Devensive Medicine Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh!!! Salam Pers Mahasiswa ! Puji Syukur kita haturkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan kami nikmat sampai akhirnya bisa menyelesaikan Spektrum Edisi Bulan Februari 2014 yang bertemakan “DEFENSIVE M E D E C I N E � . Beberapa rubrik sekaligus memahas tema tersebut , di antaranya laporan utama .laporan khusus .Selain itu masih ada rubrik yang membahas tentang informasi ISMKI wilayah , profil, LPM , Introduce US dan rubrik lainnya. Kami sadar majalah ini banyak kesalahan , mohon kritik dan saran yang membangun untuk kebaikan majalah ini kedepan. Akhir kata semoga majalah ini bermanfaat bagi kita semua.
r
D
a t f
a
i s I
Susunan Pengurus Diretur Utama Fathonah Agung Wahyu Direktur Utama Terpillih Maria Megilda Bosri
Sekretaris Ida Ayu Kemala Wasita Manuaba
Bendahara Tri Umi Maslakhatud Diniyah
Kadiv Spektrum Shafrizal Razali Staff Ida Ayu Putri Widya Lestari Rezita Oktiana Nurmalia Fitria Ningrum Muhammad Arif Budi Prakoso Kenny Cantika Abadi Paulus Pradatama Raga Come Utami Ningsih Emirza Nur Wicaksono Boma Bhaswara Maghfirah Mahmuddin Ong Reaya Sany Kadiv Internal Gita Eka Ayuningtyas
Kadiv eksternal Rizka Khairiza
Kadiv Danus Dita Septiani Kadiv Litbang Arief Kurniawan
Sepktrum
Edisi Februari 2014
Laporan Utama KETIKA PARA PENEGAK HUKUM DAN MASYARAKAT KITA TIDAK PERCAYA LAGI PADA DOKTER APAKAH DOKTER PERLU MENERAPKAN DEFENSIVE MEDICINE? Defensive medicine occurs when doctors order tests, procedures, or visits, or avoid high-risk patients or procedures, primarily (but not necessarily or solely) to reduce their exposure to malpractice liability.(Congressional Office of Technology Assessment, 1994).
P
rofesi dokter merupakan profesi yang berhubungan dengan nyawa manusia. Melalui tangannya, seorang dokter berusaha memperbaiki kualitas hidup pasien. Tak jarang pula seorang dokter dengan sabar mendengarkan keluh kesah pasien, dan tak jarang pula seorang dokter dengan sabar memberikan penjelasan, pengertian, dan edukasi kepada pasien serta berdoa, semoga keadaan pasien lebih baik dari sekarang. Tak lepas dari itu, dokterpun juga seorang manusia biasa yang tak luput dari kelalaian dan kealpaan. Seorang dokter juga tidak bisa menjanjikan kesembuhan kepada pasien. Seorang dokter juga tidak akan tau datangnya resiko medis yang mungkin akan terjadi nantinya dan tidak bisa dicegah, karena hal itu diluar kuasa seorang manusia Mungkin kita masih ingat di benak kita tentang pemberitaan mengenai kasus kriminalisasi dokter yang menimpa dr. Wida pada tahun 2012 lalu yang meninggal akibat kejang karena sebelumnya sang dokter memberi cairan KCL 12,5 mL karena diare yang menimpa
seorang anak, lalu kasus dr. Ayu dkk November 2013 lalu yang ditahan karena meninggalnya pasien akibat emboli yang merupakan resiko medis yang tidak bisa dihindari, dan keduanya divonis bersalah dengan hukuman 10 bulan penjara oleh mahkamah agung yang kebetulan pula dipimpin oleh hakim agung Artidjo Alkostar. Kedua contoh kriminalisasi tersebut membuat para dokter akan dilematis ketika menghadapi pasien terutama pasien gawat darurat, karena dikhawatirkan tindakannya akan membawa sang dokter masuk kedalam jeruji besi. Untuk menghindari dilema tersebut tersiar kabar bahwa kedepan, dokter di Indonesia akan menerapkan defensive medicine seperti di negara Paman Sam Amerika Serikat, untuk melindungi dokter sendiri dari dugaan Malpraktik. Nah mungkin teman-teman banyak yang bingung dengan istilah defensive medicine. Defensive medicine sendiri mulai dikenal pertama kali di negara Amerika Serikat, istilah ini selalu muncul hampir berbarengan dengan istilah malpraktek. Ibarat kata, kedua istilah ini timbul
Spektrum
01
Edisi Februari 2014
berbarengan; dinegara yang rentan terjadi malpraktek dan dokternya dihukum, disana akan muncul pula defensive medicine. Di Amerika Serikat sebelum mereka menegakan suatu diagnosis pasti, maka banyak sekali pemeriksaan yang dilakukan sang dokter, mulai dari anamnesis ke pemeriksaan fisik, setelah itu pasien harus melakukan pemeriksaan darah, terkadang harus dilakukan pemeriksaan radiologi juga, ini, itu sampai jelas penyakitnya apa, itulah gambaran kasar mengenai defensive medicine. Defensive medicine ada dua bentuk utama, yaitu perilaku jaminaan dan perilaku menghindar. Perilaku Jaminan atau yang dikenal dengan Active Defensive Medicine (ADM) sendiri dengan melakukan layanan maupun pemeriksaan yang tidak perlu untuk mengurangi hasil buruk, mencegah pasien dari pengajuan klaim malpraktek, ataupun memberikan bukti yang terdokumentasi bahwa praktisi sesuai dengan SOP, sehingga apabila nanti sang dokter digugat secara hukum maka hal ini dapat dicegah sedini mungkin. Lalu yang kedua yaitu perilaku menghindar atau Passive Defensive Medicine (PDM) yaitu terjadi ketika sang dokter menolak untuk berpartisipasi dalam prosedur berisiko tinggi atau keadaan. Artinya dalam hal ini sang dokter melimpahkan tindakan pasien kepada dokter lain. Dari pernyataan tersebut maka kita dapat tarik kesimpulan bahwa defensive medicine itu sendiri adalah kondisi di mana sang dokter hanya akan melakukan tindakan medis jika sang dokter sudah merasa benar-benar aman dan yakin bahwa tindakannya tidak menyebabkan dia terjerat oleh hukum. Yang jadi suatu pertanyaan disini, apakah hal ini akan
melanggar sumpah dokter? Memang dilematis, disisi lain dokter ingin sekali menangani pasien tersebut sesegera mungkin tanpa berbelit, namun disisi lain dokter juga tidak ingin masuk penjara karena suatu hal yang mungkin diluar kuasanya dan hal itu harus terpaksa dilakukan walaupun sebenarnya bertentangan dengan nurani sang dokter. Ada dua kerugian besar dalam penerapan defensive medicine, pertama kemungkinan pasien darurat tidak tertolong secara cepat. Kedua, biaya pengeluaran untuk layanan kesehatan akan membengkak. Dari kedua kerugian besar tersebut tentunya nanti akan terdapat kerugian-kerugian bermakna lainnya, semisalnya terbuangnya waktu petugas kesehatan untuk menganalisa banyak data yang sebenarnya pada praktek klinik bisa dikesampingkan; dengan layanan tenaga kesehatan yang terbatas di negeri ini, maka akan berimbas semakin banyaknya pasien yang menumpuk dan tidak tertangani dengan baik. Di negara maju, hal ini banyak dilakukan karena semakin banyak pasien yang menuntut terkait kurang tepatnya diagnosis, tetapi tidak sebaliknya. Oleh karena itu, beberapa dokter berpendapat, lebih aman apabila pasien diperiksa berbagai macam - just in case - karena toh tidak ada ruginya jika ternyata hasil pemeriksaan tidak menunjukkan apa-apa. Yang penting dokter sudah melakukan prosedur sesuai teorinya. Bagaimana dengan di Indonesia sendiri? jumlah tuntutan terhadap dokter di Indonesia telah meningkat dalam dekade terakhir dan telah memiliki dampak besar pada perilaku dokter dan praktek medis.Isu
02 Edisi Februari 2014
Spektrum
akan diberlakukan defensive medicine memang berkembang akhir-akhir ini setelah kasus kriminalisasi oleh dr. Ayu dkk. Selain itu, fenomena masyarakat yang sering berobat akibat ketidakpercayaan masyarakat terhadap dokter Indonesia yang notabene sering salah diagnosis juga akan menjadi alasan penerapan defensive medicine di Indonesia nantinya. Hal itu pertama kali dilontarkan oleh Ketua Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia (POGI) Cabang Jakarta dokter Frizar Irmansyah pasca aksi solidaritas mendukung dr. Ayu dkk, beliau mengatakan bahwasanya dokter akan melakukan defensive medicine apabila peninjauan kembalinya ditolak. “Kalau sampai PK ditolak kemungkinan dokter akan melakukan defensive medicine,� ujar Frizar saat konferensi pers di Rumah Makan Natrabu, Jakarta, Rabu (27/11) yang dikutip dari detik.com. Fenomena ini juga sangat merugikan pasien apabila sang dokter menangani pasien emergency dan tidak segera dilakukan hanya karena pemeriksaan yang tidak perlu. Selain itu biaya yang harus dikeluarkan pasien juga akan membengkak akibat banyak pemeriksaan yang dilakukan, terutama saat ini dimana BPJS Kesehatan telah diterapkan. Di Indonesia nampaknya fenomena ini sudah mulai diterapkan. Disebuah blog yang ditulis oleh seorang dokter obstetri dan ginekologi yang bertugas disalah satu RSUD di Jakarta, sang dokter tersebut menceritakan bahwa dia kedatangan pasien eklampsi, dengan tekanan darah sang ibu 190/120 mmHg dan Detak Jantung Janin (DJJ) 80 kali per menit dan harus dilakukan operasi CITO saat itu juga.
Spektrum
Namun karena untuk menghindari resiko emboli dan gugatan hukum, sang dokter tersebut harus menunggu keluarga yang saat itu dalam perjalanan hanya untuk meminta persetujuan tindakan operasi CITO dan melakukan pemeriksaan yang sebenarnya tidak perlu seperti EKG. Dokter tersebut melakukan itu semata-mata supaya apa yang dilakukan sang dokter tidak menyebabkan masuk penjara apabila nantinya terjadi hal yang diluar kuasanya. Itulah sebuah fenomena defensive medicine yang sudah mulai ada di Indonesia dan akhirnya terpaksa harus diterapkan oleh dokter Indonesia meskipun sebenarnya bertentangan dengan hati nurani seorang dokter, namun apa daya walaupun didalam Undang-Undang Kesehatan tertulis bahwa dalam keadaan gawat seorang dokter boleh melakukan tindakan tanpa persetujuan keluarga, tapi tampaknya kejadian yang menimpa dr. Wida maupun dr. Ayu dkk memang menuntut kita perlu menerapkan defensive medicine tersebut. Sebenarnya praktek defensive medicine tersebut tidak salah, namun kurang tepat diterapkan kepada pasien kita apalagi pada negara yang tidak memiliki kepastian hukum seperti Indonesia, pada kasus yang rawan, dalam hal ini berpotensi menyebabkan seorang dokter dituntut secara hukum, mungkin mereka akan berpikir dua kali untuk mencoba tulus menyelematkan pasien seperti yang mereka biasa lakukan. Apabila seperti ini permasalahanya, apakah dokter Indonesia perlu menerapkan defensive medicine?
03 Edisi Februari 2014
Laporan Khusus DEFENSIVE MEDICINE: HUKUM LEBIH MENGERIKAN DIBANDINGKAN PENYAKIT (Nurmalia Fitria Ningrum, FK Universitas Udayana Denpasar 2011)
M
endengar kata “ D e f e n s i v e Medicine� untuk saat ini bukanlah hal yang jarang, pembicaraan topik mengenai hal tersebutpun saat ini telah tersebar luas hampir di seluruh Indonesia, dimana Defensive Medicine merupakan suatu tindakan yang terjadi ketika dokter melakukan Informed consent, menunggu keluarga maupun saudara pasien dan pemeriksaan laboratorium untuk pasien beresiko tinggi, terutama (belum tentu atau sematamata) untuk mengurangi tindakan mereka yang dianggap sebagai malpraktik. Saat ini di Indonesia khususnya, belum pernah ada kasus maupun data mengenai adanya tindakan Defensive Medicine ini. Perlakuan tindakan seperti ini baru di terapkan di Negara-negara maju. Studi penelitian mengenai prevalensi dokter di Negara maju sudah menerapkan konsep Defensive Medicine dengan total 824 Dokter dimana hanya 65% yang menjawab survey. Rinciannya adalah 93% dokter telah melakukan Defensive Medicine seperti melakukan Informed consent dan menunggu keluarga pasien datang, 43% dokter telah melakukan pemeriksaan Imaging yang tidak diperlukan, 42% dokter melaporkan bahwa mereka telah mengambil langkahlangkah untuk membatasi praktek mereka dalam tiga tahun sebelumnya, termasuk menghilangkan prosedur, seperti operasi trauma, dan menghindari pasien yang memiliki masalah medis yang kompleks atau dianggap sebagai sadar hukum, Data diatas berasal dari Pennsylvania pada tahun 2003.
0 4
Dokter yang menjawab survey teridentifikasi berasal enam Spesialis yaitu Spesialis-darurat, bedah umum, bedah saraf, ginekologi, bedah ortopedi, dan radiologi sebagai praktisi utama yang dipengaruhi oleh biaya dan tanggung jawab tinggi. Sebuah sampel acak bertingkat dari 1333 dokter pada spesialisasi ini diambil dari American Medical Association. Menurut salah seorang dokter yang juga sebagai responden yaitu dokter Masterfile, beliau menerangkan bahwa satu strata primer terdiri dari lima kota di Pennsylvania tenggara, yang diidentifikasi sebagai informan yang paling terpengaruh, dan yang lain terdiri dari semua kota lain di Pennsylvania. Dalam setiap strata, spesialis yang aktif dalam perawatan pasien langsung sekurang-kurangnya 50% dari waktu menurut data. Karakteristik dari responden itu sendiri bervariasi, dimulai dari dokter kandungan/ginekolog terdiri kelompok terbesar secara khusus di antara responden yaitu (23%), diikuti oleh dokter bedah umum dan ahli radiologi (keduanya 19%), dokter Spesialis-darurat (18%), ahli bedah ortopedi (15%), dan ahli bedah saraf (6%). Dimana Responden cukup berpengalaman sebagai dokter (96% dengan > 10 tahun dalam praktek). Praktisi kesehatan lainnya (39%), rumah sakit (28%), dan praktek pribadi (20%), serta memperoleh perlindungan asuransi kewajiban mereka langsung dari operator komersial (63%) atau melalui rumah sakit
Spektrum Edisi Februari 2014
Spesialis
Jenis Kelamin
Pengalaman bekerja
Spesialis Darurat, 148 (18%)
Pria, 717 (87%)
1-10, 29 (4%)
Spesialis Bedah, 155 (19%)
Wanita, 107 (13%)
Spesialis Orthopedi, 127 (15%) Spesialis Neurologi, 52 (6%) Spesialis Ginekologi, 187 (23%)
11-19, 219 (26%)
Tempat bekerja Praktek Pribadi, 161 (20%) Klinik Bersama, 322 (39%)
20-29, 291 (35%)
Rumah sakit, 227 (28%)
≼ 30, 287 (35%)
Lainnya, 111 (13%)
Radiologi, 155 (19%) Sumber : American Medical Association
Dari penjabaran data-data diatas menyatakan bahwa memang benar kejadian dalam perberlakuan adanya Definsive Medicine lebih banyak kepada menyelamatkan diri dari tuntutan hukum. Sudah sejak lama negara maju terutama Amerika menggunakan sistem ini, sayangnya di Indonesia tidak diterapkan dengan alasan bahwa segala hal berhubungan dengan hati nurani, apalagi bila ada hal yang berhubungan dengan menyangkut nyawa manusia. Tetapi setelah beberapa pekan lalu sesuatu hal yang mengubah pandangan dokter Indonesia mengenai peristiwa solidaritas mengangkat kembali pemikiran mereka untuk dengan terpaksa memberlakukan Definsive Medicine terutama setelah diketahui bahwa hukum Indonesia yang tidak jelas.
Spektrum
Sudah sepantasnya dengan adanya pemberlakuan ini, dari pihak dokter sendiri dengan melakukan penyelamatan pribadi tentu dari pihak pasien merasa dirugikan karena nyawa kini sebagai taruhannya, selain itu beberapa dokter yang memang ditempakan di daerah terpencil kini pasti sudah tidak mau di tempatkan di daerah tersebut, apalagi daerah dituju minim dari alat-alat Imaging atau pemeriksaan Labolatorium lengkap yang memang dibutuhkan oleh pasien.
05 Edisi Februari 2014
Informasi Kesehatan Non-Communicable Disease: Potensi Ancaman Kesehatan Dunia Oleh: Boma Bhaswara (Prodi Kedokteran FKIK Unsoed 2011)
N
on-Communicable Disease atau disingkat NCD adalah penyakit non infektif atau tidak menular antar orang. Penyakit-penyakit yang termasuk di dalamnya antara lain penyakit autoimun, kardiovaskular, stroke, kanker, diabetes, penyakit ginjal kronis, osteoporosis, katarak dan masih banyak lagi. Masyarakat masih menganggap NCD sebagai penyakit kronis, pernyataan ini sebenarnya kurang benar. NCD adalah kumpulan penyakit berdasarkan sifat non infektif, bukan berdasarkan lama penyakit. Jadi penyakit infeksi menular semacam HIV/AIDS tidak termasuk di dalamnya. NCD sering juga disebut sebagai Lifestyle Disease. Karena mayoritas penyebab terjadinya NCD adalah kebiasaan dan gaya hidup seharihari. Diantaranya adalah merokok, konsumsi alkohol dan minuman keras, intake makanan yang kurang sehat, dan kurangnya aktivitas fisik. Para ahli awalnya menyimpulkan penyakit ini sebagai penyakit yang berbanding lurus dengan perkembangan ekonomi dan dianggap sebagai Disease of Rich. Tetapi dengan timbulnya NCD di negara-negara berkembang dengan penghasilan rendah-menengah dan 2/3 total penderita Diabetes Melitus (DM) ada di negara berkembang termasuk Indonesia. Maka NCD tidak bisa lagi dianggap sebagai Disease of Rich. Selain itu NCD juga dapat mengakibatkan keterpurukan ekonomi akibat kematian prematur dan akibat hilangnya kemampuan atau produktivitas kerja. Negara seperti Cina diperkirakan akan mengalami kerugian sebesar 55 juta USD dalam rentang tahun 2005-2015 akibat NCD. Sayangnya meskipun mengancam pembangunan, masih banyak negara, lembaga atau yayasan yang masih mengabaikan krisis ini maupun penanggulangannya. WHO telah melakukan program “The 2008-2013 Action Plan of The Global Strategy for the Prevention and Control of NonCommunicable Disease�.
06
Edisi Februari 2014
Berdasarkan evaluasi WHO menunjukkan bahwa NCD akan menjadi penyebab utama kematian di dunia. Karena dari tahun 2008 saja, NCD telah mencakup lebih dari 60% dari total kematian setiap tahun. Dari 57 juta kematian, 36 juta diantaranya dikarenakan NCD. Dari jumlah tersebut hampir separuh kematian NCD terjadi secara dini sebelum usia 70 tahun. Selain itu 80% kematian NCD terjadi di negara berpenghasilan rendah-menengah. Di Indonesia sendiri, penyebab kematian terbesar NCD adalah kardiovaskular, kanker, penyakit pernapasan kronis dan diabetes. Jika lifestyle buruk ini tetap dipertahankan, tidak diragukan lagi NCD akan menjadi masalah utama dunia. Diperkirakan pada tahun 2020, NCD akan menguasai Global Cause of Death dengan perkiraan 7 dari 10 kematian dilatarbelakangi NCD. Bahkan akan membunuh sekitar 52 juta orang setiap tahunnya pada tahun 2030. Melihat potensi ancaman tersebut, WHO melalui program di atas telah melakukan berbagai tindakan sebagai upaya menangani NCD pada negaranegara anggotanya. Contohnya seperti: implementasi program anti tembakau, program strategi global untuk diet dan aktivitas fisik, serta program strategi global pengurangan konsumsi alkohol. Di Indonesia sendiri terdapat PRORIVA ( Programme to Reduce Cardiovaskular Disease Risk Factors in Yogyakarta) yang merupakan strategi pemberdayaan masyarakat untuk mengontrol faktor risiko NCD di Yogyakarta. Untuk mengurangi keberadaan NCD, kita dapat bersama-sama melakukan pencegahan dan kontrol terhadap perkembangan faktor risiko NCD. Contohnya dengan pembatasan dan edukasi merokok di kalangan masyarakat, mengurangi konsumsi alkohol, modifikasi lifestyle dengan memperbanyak aktivitas fisik, menerapkan pola makan seimbang, dan community control untuk saling mengingatkan satu sama lain sehingga tercipta “warning chain� yang akan berkontribusi terus menerus dalam mengontrol faktor risiko NCD.
Spektrum
Medical Update
C difficile: Obesity Linked to Community-Onset Infections Oleh : Kenny Cantika Abadi – FK Universitas Andalas
O
besity may be a risk factor for Clostridium difficile infection (CDI), according to results from a retrospective cohort study of 132 cases seen at a tertiary care medical center.
After potential confounders were taken into account, patients with simple communityonset infections were more than 4 times as likely to be obese as patients who had communityonset infections that came shortly after an exposure to a healthcare facility, according to data reported in an article published in the November issue of Emerging Infectious Diseases. "Obesity may be associated with CDI, independent of antibacterial drug or health care exposures," write the researchers, led by Jason Leung, MD, from the University of Michigan Hospital in Ann Arbor. Such an association could help explain the uptick of community-onset cases in individuals having low levels of traditional risk factors. The authors propose that obesity may perturb the intestinal microbiome in ways similar to those seen with inflammatory bowel disease and use of antibiotics, both of which are known risk factors for CDI. "Translational research could help elaborate the dimensions of the interaction of the intestinal microbiota with C. difficile in obese patients," the researchers maintain. They also suggest that an investigation of a dose–response relationship between body mass index and infection risk might be informative. "It is critical to establish whether obesity is a risk factor for high rates of C. difficile colonization, as is [inflammatory bowel disease]; if that risk factor is established, prospective observations would improve understanding of whether obesity plays a role in the acquisition of CDI, or alters severity of disease and risk for recurrence," they write. As for the patients with community-onset infections after healthcare exposure, the study's findings highlight "the importance of increased infection control at ancillary health care facilities and surveillance for targeting high-risk patients who were recently hospitalized.� In the study, the researchers reviewed the microbiology results and medical records of all patients who had laboratory-proven, nonrecurrent CDI at Boston Medical Center in Massachusetts during a 6-month period.
Spektrum
Edisi Februari 2014
07
When the patients were classified according to the setting of disease onset, 43% had infections that began in the community without recent exposure to a healthcare facility, 30% had infections that began in a healthcare facility, and 23% had infections that began in the community within 30 days of exposure to a healthcare facility (most often a hospital or long-term care facility). The prevalence of obesity, defined as a body mass index exceeding 30 kg/m2, was 34% in the group with community-onset infections compared with 23% in the general population (odds ratio, 1.7; 95% confidence interval [CI], 1.02 - 2.99). The value stood at 13% in the group with community-onset healthcare-associated infections and 32% in the group with healthcare-onset infections. In multivariate analyses, patients with simple community-onset infections were significantly less likely to be older than 65 years (odds ratio, 0.35; 95% CI, 0.13 - 0.92; P < .05) and more likely to be obese (odds ratio, 4.06; 95% CI, 1.15 14.36; P < .05) than patients with community-onset healthcare-associated infections. In addition, patients with simple community-onset infections were significantly less likely to have prior antibiotic exposure (odds ratio, 0.29; 95% CI, 0.11 - 0.76; P < .05) than patients with healthcare-onset infections. There was also a trend whereby they were much more likely to have inflammatory bowel disease (odds ratio, 6.40; 95% CI, 0.73 - 56.17; P < .10). Finally, patients with community-onset healthcare-associated infections were dramatically less likely to have had prior antibiotic exposure than patients with healthcare-onset infections (odds ratio, 0.08; 95% CI, 0.02 - 0.28; P < .05). Written by Susan London Copyright: Medscape Medical News Upload: November 04, 2013
08 Edisi Februari 2014
Spektrum
Etnomedisin
USADA BALI MULAI DITINGGALKAN Ria Asprila (Pendidikan Dokter FK Universitas Udayana)
D
i era globalisasi ini telah banyak kemajuan yang terjadi di berbagai belahan bumi salah satunya kemajuan di bidang pengobatan. Berbagai ilmu kedokteran modern telah mewarnai bidang pengobatan dengan berbagai penelitian serta penemuan baru dalam menangani permasalahan kesehatan. Seiring dengan perkembangan kemajuan dalam ilmu kedokteran modern, ilmu pengobatan tradisionalpun perlahanlahan menghilang di kalangan masyarakat. Ilmu pengobatan tradisional ini sebenarnya telah dikenal masyarakat jauh sebelum ilmu kedokteran modern ada sebagai warisan leluhur, namun kini mulai ditinggalkan. Pengobatan tradisional kini hanya dijadikan pilihan kedua setelah pengobatan modern. Pengobatan tradisional seharusnya tidak bisa terlepas begitu saja dari kehidupan manusia karena juga merupakan warisan leluhur yang perlu dipertahankan dan dilestarikan. Pengobatan tradisional yang ada sangat beragam jenisnya disesuaikan dengan kebudayaan dan kepercayaan yang berkembang di wilayah masing-masing. Di wilayah Indonesia khususnya Bali memiliki budaya pengobatan tersendiri yang cukup manjur dan masih di percaya masyarakat dalam penyembuhan suatu penyakit. Dalam kepercayaan Hindu kita mengenal ilmu kedokteran Ayur Weda serta di Bali kita mengenal ilmu kedokteran Usadha Bali dan Balian di istilahkan sebagai dokternya. Kata Usada berasal dari bahasa sansekerta yaitu dari kata ausadha yang
Spektrum
berarti tumbuh-tumbuhan yang berkhasiat obat, atau dibuat dari tumbuh-tumbuhan dan dari kata ausadhi (bahasa Jawa kuno) yang berarti tumbuh-tumbuhan yang mengandung khasiat obat-obatan . Pengetahuan orang Bali tentang penyembuhan (usada) masih berkaitan erat denagn agama Hindu, hanya sedikit orang yang mau mempelajari secara seksama. Hal ini dikarenakan masyarakat Bali mengalami hambatan sosio-psikologis untuk mempelajari lontar (usada dan tutur). Usada adalah ilmu pengobatan tradisional Bali, yang sumber ajarannya terdapat pada lontar. Lontar tersebut dapat dibagi menjadi dua golongan yaitu lontar tutur dan lontar usadha. Di dalam lontar tutur (tatwa) berisi tentang ajaran aksara gaib atau wijaksara, ajaran anatomi, phisiologi, falsafah sehat-sakit, padewasaan mengobati orang sakit, sesana balian, tatenger sakit. Sedangkan di dalam Lontar Usada berisi tentang cara memeriksa pasien, memperkirakan penyakit (diagnosa), meramu obat (farmasi), mengobati (terapi), memperkirakan jalannya penyakit (prognosis), upacara yang berkaitan dengan pencegahan penyakit dan pengobatannya. Dalam dunia kedokteran modern, kita mengenal dokter sebagai pelaksana praktisi pengobatan sedangkan dalam usadha Bali dokternya dikenal dengan istilah Balian, tapakan atau jero dasaran. Balian adalah pengobat tradisional Bali
Edisi Februari 2014
09
yakni orang yang mempunyai kemampuan untuk mengobati orang sakit. Dalam mengobati Balian berpedoman pada Dharma Sesana yang didalam bahasa Indonesia dapat disejajarkan dengan tata susila, yakni dasar kebaikan yang menjadi pedoman dalam kehidupan manusia, kewajiban yang harus dipenuhi selaku anggota masyarakat yang dalam kedokteran modern kini mungkin bisa di istilahkan sebagai Kode Etik Kedokteran. Usada di Bali mencakup hal yang lebih luas, usada diartikan semua tata cara untuk menyembuhkan penyakit, cara pengobatan, pencegahan, memperkirakan jenis penyakit/diagnosa, perjalanan penyakit dan pemulihannya. Kalau dilihat secara analogi, hampir sama dengan pengobatan modern. Dengan menguasai konsep usada dan memanfaatkannya dalam kerangka konseptual di bidang pencegahan, pengobatan, rehabilitasi serta penelitian berguna untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang kesehatan. Dalam usada, penyakit ada tiga jenis, yakni penyakit panes (panas), nyem (dingin), dan sebaa (panas-dingin). Demikian pula tentang obatnya. Ada obat yang berkasihat anget (hangat), tis (sejuk), dan dumelada (sedang).Sistem pengobatan/penatalaksanaan suatu penyakit dalam usada terdiri atas berbagai pendekatan, meliputi pengobatan tradisional (tamba) seperti loloh, boreh dan minyak/lengis yang didasarkan atas lontar taru pramana. Usada (Taru Pramana) adalah salah satu metode pengobatan tradisional yang lebih sering kita kenal dengan pengobatan herbal atau pengobatan yang memanfaaatkan tumbuhtumbuhan dalam
10
Edisi Februari 2014
proses menyembuhkan suatu penyakit. Metode pengobatan ini sebenarnya adalah salah satu warisan berharga bagi kita dalam melakukan suatu pengobatan. Efek samping dari suatu obat kimia akan jauh lebih banyak daripada penggunaan bahan herbal. Dengan memanfaatkan bahan alami dari tumbuhtumbuhan dalam suatu pengobatan dapat meminimalisir terjadinya efek samping dan komplikasi. Dari dahulu sebelum adanya pengembangan ilmu kedokteran medis, ilmu pengobatan di Bali (usada) ini masih cukup eksis di kalangan masyarakat Bali. Mulai dari pengobatan penyakit yang ringan hingga berat diobati masyarakat bali dengan memanfaatkan tumbuh-tumbuhan. Masyarakat tradisional melakukan pengobatan secara totalitas antara tubuh dan jiwanya. Jenis tumbuhan yang digunakan untuk pengobatan pertama-tama bertujuan untuk menghilangkan penyebab metafisik yang tampak sebagai gejala fisik. Fenomena serupa juga tercermin dalam metode pengobatan usada. Gangguan kesehatan timbul akibat ketidakseimbangan Antara elemen wayu (udara,kekuatan), pita (api,panas,sinar), dan kapha (lairan, lender, dan larutan) dalam tubuh. Sifat gangguan dapat disebabkan oleh suatu yang bersifat natural (skala) dan supra natural (niskala). Pelaksanaan ritual dalam sistem pengobatan usada terkait dengan pencegahan (preventif), dan pengobatan (kuratif) serta rehabilitasi yang menggabungkan pendekatan fisik dan spiritual. Konsepsi timbulnya suatu penyakit merupakan perpaduan antara penyebab skala-niskala, dan penyembuhannya tergantung
Spektrum
penyembuhannya dengan menggunakan cara praktis yaitu metode yoga dan pemanfaatan tumbuhan yang disesuaikan dengan jenis penyakit untuk memberikan dampak penyembuhan yang lebih baik. Ketersediaan tanaman obat merupakan bagian dari pengetahuan tentang pengobatan. Sedangkan cara penyembuhan dari usada ini merupakan perpaduan antara pendekatan kepercayaan dan khasiat dari jenis tumbuhan obat yang digunakan. Secara umum kesembuhan seseorang sebagian besar dipengaruhi oleh kepercayaannya (placebo effects) yang dikombinasikan dengan teknik pengobatan. Sebenarnya teknik pengobatan modern sangat baik dan efektif jika masyarakat mampu mengakses informasi dan memiliki biaya, mengetahui secara ilmiah khasiat dari tumbuhan dan mengkombinasikan teknologi modern dengan metode pengobatan tradisional seperti Usada Bali dalam praktek pengobatan masa kini. Sistem pengobatan usada di Bali ini tentunya memiliki kharakteristik budaya positif karena melakukan pengobatan dengan totalitas antara tubuh dan jiwa dengan metode yoga dan pemanfaatan tumbuh-tumbuhan yang sebenarnya perlu untuk dipelajari lebih mendalam dan diterapkan dimasyarakat. Namun pengembangan pengobatan tradisional atau di Bali dikenal dengan usada ini mulai tidak dipahami oleh masyarakat. Banyak masyarakat Bali kini tidak mengetahui konsep dan tata cara mengolah tumbuh-tumbuhan untuk digunakan dalam pengobatan. Jangankan untuk mengetahui konsep serta tata cara pengolahan, bahkan kata usada saja sekarang mulai asing di
Spektrum
dengar di telinga masyarakat bali khususnya di kalangan anak muda. Kecenderungan masyarakat sekarang ketika sakit akan berpikir pada dokter dan penanganan secara medis. Padahal konsep usada yang ada sejak dulu ini bisa dikembangkan dan di barengi dengan tindakan medis untuk mengurangi efek samping atau untuk mendapatkan pengobatan yang lebih mutakhir. Sistem pengobatan usada dapat dimantapkan dengan jasa pengetahuan pengobatan modern melalui kajian-kajian ilmiah sebagai satu pemberdayaan diri masyarakat untuk tidak terjebak ke dalam satu ketergantungan dalam pengobatan modern sebagai pilihan utama. Kini sudah seharusnya kita mulai berbenah diri tidak melupakan warisan leluruh seperti Usada Bali dalam bidang pengobatan, namun mampu melestarikan dan memanfaatkan apa yang sudah diwariskan leluhur tersebut dengan kemajuan-kemajuan yang terjadi setiap saat. Berpikir kritis dalam penyatuan metode tradisional dan modern dengan menimbang kelebihan serta keburukan sehingga mampu menciptakan konsep baru yang lebih baik tanpa meninggalkan nilai positif di masa lampau dan tanpa menitik beratkan semua hal hanya pada hal modern, karena tidak selamanya tradisional itu buruk dan tidak selamanya modern itu baik.
Edisi Februari 2014
11
LPM CORNEA FK UISU Anggi Maulida Hanum (FK UISU 2011)
M
ahasiswa merupakan sekumpulan kaum intelektual yang kritis dalam sosial masyarakat.
Untuk menggambarkan karakter watak pers mahasiswa, kita amati empat ciri kehidupan mahasiswa yang membedakannya dengan warga masyarakat umumnya adalah :
(1) Mahasiswa adalah kelompok kaum muda, yang masih merasakan mentalitas kaum muda-dinamis, radikal, lugas. (2) Mahasiswa adalah kelompok yang menjalani sistem pendidikan formal-modern yang mampu membuat mereka berfikir rasional, kritis, skeptis dan objektif. (3)Mahasiswa merupakan yang relatif independen, hanya berkepentingan terhadap masa depan kemanusiaan yang lebih baik, dan tak punya keterikatan materialis, politis, ideologis (4) Mahasiswa merupakan kelompok subsistem dalam masyarakat karena itu mahasiswa senantiasa ingin berinovasi, berorientasi pada hal-hal yang normatif, fundamental yang pada dasarnya setiap pers ditujukan untuk memegang fungsi sebagai informasi. Apa itu CORNEA? CORNEA adalah Unit Kegiatan Mahasiswa yang baru terbentuk di bidang jurnalistik yang akan mengembangkan informasi terkini tentang kampus yang akan di sajikan dalam beberapa media seperti cetak , elektronik dan internet. Sejarah CORNEA CORNEA terbentuk pada bulan juni 2013 di masa Gubernur Pemerintahan Mahasiswa (2013- 2013) yaitu Shafrizal,dimana pada sistem pemerintahannya mempunyai salah satu program kerja unggulan untuk membentuk Unit Kegiatan Mahasiswa. Unit Kegiatan Mahasiswa sebagai wadah bagi mahasiswa kampus untuk menyalurkan bakat mahasiswa ,salah satunya Unit Kegiatan Mahasiswa di bidang jurnalistik. Setelah terbentuknya UKM CORNEA akan menjalankan beberapa program kerja yang telah di susun oleh pengurus CORNEA, salah satu program kerjanya adalah membuat PELATIHAN JURNALISTIK KAMPUS yang akan dilaksanakan pada tahun depan yang di harapkan dengan terlaksananya kegiatan ini, mahasiswa akan terpicu untuk membuat tulisan yang kritis tentang hal disekitarnya dan minat bergabung ke UKM CORNEA.(Anggi Maulida)
1
2
Spektrum Edisi Februari 2014
ISMKI Wilayah
MUSYAWARAH WILAYAH 4
ISMKI 2013
Oleh: Kevyn Renaldy Wiratama Popang (FK Universitas Tadulako)
D
alam rangka perjalanan akhir kepengurusan ISMKI Wilayah 4 Periode 20122013, diadakanlah Musyawarah Wilayah 4 ISMKI 2013 di Universitas Tadulako Palu yang dimana sebelumnya telah ditetapkan sebagai tuan rumah terpilih pada Muswil 2012 di Universitas Mataram. Muswil 4 ISMKI 2013 kali ini diketuai oleh Ahmad Ramadhan Tantu. Kegiatan ini berlangsung selama 5 hari sejak tanggal 4 Desember 2013 sampai 8 Desember 2013. Dan pada Muswil kali ini pun dihadiri 17 Institusi yaitu, Universitas Brawijaya (UB), Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), Universitas Islam Malang (Unisma), Universitas Hang Tuah (UHT), Universitas Wijaya Kusuma Surabaya (UWKS), Universitas Airlangga (Unair), Universitas Jember (UJ), Universitas Udayana (UNUD), Universitas Warmadewa, Universitas Mataram (Unram), Universitas Hasanuddin (Unhas), Universitas Muhamadiyah Makasar (Unismuh), Universitas Muslim Indonesia (UMI), Universitas Haluoleo (UHO), Universitas Islam Al Khairat (Unisa), Universiras Tadulako (Untad), dan Universitas Sam Ratulangi (Unsrat), dengan jumlah sekitar 50 delegasi. Pada Muswil kali ini Agenda Sidang berlangsung selama 4 hari dan memilih Sekretaris Wilayah 4 yang tepilih yaitu Ihwan
Spektrum
Ukhrawi Aly dari Universitas Tadulako yang menggantikan M. Vardian Mahardika yang mengalahkan Ibnu Malik dari FK UMM. Selain menetapkan Sekwil, sidang juga menghasilkan beberapa keputusan antara lain seperti, menetapkan FK UHO sebagai tuan rumah Muswil selanjutnya dan mengesahkan FK UMM sebagai tuan rumah Muskerwil 2014, serta beberapa hasil sidang komisi dan rekomendasi Muswil yang telah ditetapkan. Tetapi terlepas dari itu semua, ada suatu kejadian pada saat sidang yang menyebabkan sidang tersebut berlangsung selama 24 Jam dimana hal ini menjadi pengalaman Muswil yang sangat mengesankan bagi tiap delegasi. Untuk menghibur para peserta pada Muswil kali ini, panitia menyuguhkan Outbound dan Water Sport yang sangat menarik bertempat di Taipa Beach, yang merupakan salah satu pantai yang ada di Palu. Di Taipa Beach ini pun para delegasi serta panitia bermain dan bersenang-senang, melepas kepenatan yang ada selama sidang, Malam harinya dilanjutkan Farewell Party yang sangat meriah sebelum acara tersebut resmi ditutup.
13 Edisi Februari 2014
MUSYAWARAH WILAYAH ISMKI WILAYAH 3 2013 Rezita Oktiana Rahmawati (FK UMS)
datang dari Palangkaraya ke Jogja mendatangkan 19 delegasi sekaligus.
M
usywarah wilayah 3 I S M K I i n i diselenggarakan pada tanggal 13-15 Desember di Fakulats Kedokteran Universitas Islam Indonesia (FK UII). Selama 3 hari, banyak agenda dilaksanakan berupa agenda acara muswil yang inovatif dan berbeda dari muswil tahun â&#x20AC;&#x201C; tahun sebelumnya. Selain FK UII sebagai penyelenggara, acara muswil yang dihadiri oleh 13 institusi lain anggota wilayah 3 yang terdiri dari FK Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS), FK Universitas Negeri Sebelas Maret, FK Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), FK Universitas Gadjah Mada (UGM), FK Universitas Kristen Duta Wacana (UKDW), FK Universitas Jenderal Soedirman, FK Universitas Muhammadiyah Purwokerto, FK UNDIP, FK UNIMUS, FK UNISSULA, FK Universitas Lambung Mangkurat, FK Universitas Mulawarman, FK Universitas Palangkaraya (Unpar). Dan tak tanggungtanggung, FK Unpar yang jauh-jauh
14 Edisi Februari 2014
Pada hari pertama, diawali dengan Welcoming party dengan disaji oleh adanya Tari Saman dari FK UII. Bertempat di Villa Eden Jogja yang sejuk dan letaknya di puncak ini, sebagai tempat 3 hari muswil diselenggarakan. Setelah welcoming party, dilanjutkan dengan agenda Pembacaan LPJ oleh Sekwil dan para Sekbid atau yang mewakili tiap bidangnya yang berakhir sampai jam 4 pagi. Pada hari kedua, sidang komisi diselenggarakan lagi dengan pembacaan tata tertib sebelum memulai tiap musywarah dengan dipimpin 3 presidium. Acara inti pada hari itu yaitu Pemilihan Sekwil 3 ISMKI 2013-2014. Meski pencalonan 1 orang sebagai casekwil yaitu Fachrurozy Irsyad asal FK Unsoed, tapi jalannya pemilihan lumayan memakan waktu, dari diadakan Musyawarah, Loby,Voting. Dan pada akhirnya didapatkan 1 suara bersama bahwa Fachrurozy Irsyad berhak menggantikan Nizar Fathurrohman sebagai Sekwil 3 ISMKI 2013-2014. Serta Ahmad Mustofa asal FK Undip sebagai MPA ISMKI Wilayah 3 2013-2014. Setelah acara pemilihan, tak kenal lelah dini hari setelah pemilihan casekwil, para delegasi diajak city tour di Alun-Alun Kidul (Alkid) Jogja yang masih kental dengan budaya Jogjanya. Di Alkid, ada yang balapan naik kereta lampu yang aneka macam, main gelembung sabun yang besar, wedangan ronde, melewati 2 pohon besar yang mana kepercayaan / mitos disana bahwa yang
Spektrum
bisa melewati pohon besar disana mimpinya akan terwujud. Selanjutnya disuguhkan dengan tempat tongkrongan terkenal di Jogja yaitu Kopi Joss yang letaknya dekat dengan stastiun tugu Jogja ini, di tempat ini pula disajikan berbagai minuman atau bisa dikatakan wedangan hangat dan segar diantaranya Kopi Joss, Susu Jahe hangat, Susu Tape hangat, dan ada nama antik sampai membuat salah satu delegasi salah sangka dengan namanya es Josua yang isi minumannya campuran dari susu dan ekstra jos. Dini hari itu, sungguh keceriaan muncul dari semua delegasi dan tidak kenal lelah karena kebersamaan dengan keluarga baru di Muswil ini, Hari ketiga, dimana penutupan muswil, dengan agenda diantaranya penyerahan kenang-kenangan untuk institusi, penyerahan sertifikat untuk PHW dari Sekwil 3 ISMKI 2012-2013. Dilanjutkan Medical Expo, yang mana institusi akan membuka stand di FK UII untuk Siswa-siswa SMA se Jogja dan sekitarnya. Selain MEDEX, juga ada Talkshow untuk Siswa-siswa SMA dengan pembicara dari dokter spesialis di bidangnya. Antusias tiap siswa dalam menghadiri tiap stand sangat besar,
Spektrum
lain, dari tempat penyelenggaraan yang sangat luar biasa dan banyak wajah-wajah baru dan semangat baru untuk membangun ISMKI Wilayah 3 yang lebih baik,” kesan Ahmad Mustofa, MPA ISMKI Wilayah 3, asal FK UNDIP. “Sangat luar biasa sekali muswil tahun ini karena merupakan tahun istimewa bagi ISMKI Wilayah 3 karena bisa mendatangkan delegasi lebih dari 80 orang. Rekor tertinggi delegasi yang dating pada saat muswil dari tahun-tahun sebelumnya. Selain itu juga sangat senang sekali karena bisa mengundang Unpar, UMP, UKDW untuk pertama kalinya dalam menghadiri acara wilayah 3 ini. Semoga ini adalah langkah awal kita untuk terus menjalin kekeluargaan dengan seluruh mahasiswa kedokteran Indonesia khususnya di Wilayah 3, “ kata Fachrurozy Irsyad, yang akrab disapa Ozy sebagai Sekwil 3 ISMKI 2013-2014, asal FK UNSOED. “Jangan pernah berhenti untuk tetap berkontribusi melanjutkan estafet kepengurusan yang telah dibangun oleh para pemimpin terdahulu, karena kehancuran dari sebuah organisasi adalah lenyapnya kader-kader hebat yang Wilayah 3 miliki, karena dengan
1 5 Edisi Februari 2014
Musyawarah Wilayah ISMKI Wilayah II 2013 Oleh: Kathena Hanindita
M
uswil kali ini diadakan pada Sabtu-Minggu, 28-29 Desember 2013 di Universitas Jenderal Ahmad Yani, Cimahi, Jawa Barat. Kegiatan ini dihadiri oleh 11 dari total 17 institusi yang tergabung dalam ISMKI
Wilayah II.
Acara dibuka oleh Sekretaris Wilayah II, Trahmono, dan Wakil Dekan III FK Unjani, kemudian dilanjutkan dengan pembacaan LPJ dari tiap-tiap bidang ISMKI. Rangkaian acara ini berlangsung lama sampai pukul 02.30 WIB dini hari karena diskusi sangat aktif, mulai dari cara penyampaian LPJ sampai masukan-masukan konstruktif oleh para institusi membuat hari pertama sangatlah menarik. Hari ditutup dengan tenderisasi muswil periode berikutnya, yang dimenangkan oleh Universitas Tanjungpura, Pontianak. Hari kedua juga tidak kalah menarik karena berlangsung sesi KPU, yaitu pemilihan Sekretaris Wilayah ISMKI Wilayah II periode 2014-2015. Ada 3 calon, yaitu Bey Hafidz dan Glen dari Unjani, serta Gusti Adintya dari Unpad. Ketiganya memaparkan visi-misi mereka dan dilanjutkan dengan sesi debat para calon. Debat ini berlangsung panas karena para calon memberikan argumen-argumen yang kuat, peserta, panitia, dan tim sukses heboh menyaksikan sesi ini. Akhirnya sesi pemungutan suara dilakukan dan terpilihlahAdin sebagai Sekretaris Wilayah ISMKI Wilayah II yang baru. Dua hari yang sangat berarti bagi para PHW dan institusi karena di sinilah semua keluh-kesah selama satu tahun bisa dikeluarkan dan jalan keluar serta saran-saran yang membangun diberikan demi ISMKI Wilayah II yang lebih baik. Semoga kepengurusan periode 2012-2014 telah memberikan manfaat bagi seluruh mahasiswa kedokteran di wilayah II dan periode 2014-2015 bisa memberikan yang lebih baik lagi.
16 Edisi Februari 2014
Spektrum
INTRODUCE US
TEMPAT MENARIK YANG WAJIB DIKUNJUNGI DI MEDAN (Novita Rizky â&#x20AC;&#x201C; FK UISU)
K
alau mengingat tentang kota Medan pasti akan mengingat bika ambon atau
bolu meranti, tetapi bukan itu saja, selain keberagaman kulinernya Kota Medan juga memiliki tempat tempat wisata yang wajib dikunjungi. Diantara sekian banyaknya wisata di Kota Medan berikut ini ada beberapa tempat wisata yang paling populer dan wajib dikunjungi di Medan 1.Istana Maimun Istana Maimun sangat terkenal karena merupakan peninggalan Kerajaan Deli yang dibangun oleh Sutan Makmun Al Rasyid Perkasa Alamsyah pada tahun 1888, sebuah tempat bersejarah berwarna kuning yang megah. Istana Maimun. Di dalam istana kita bisa menikmati koleksi bersejarah seperti foto Sultan dan singgasananya yang mewah. 2. Masjid Raya Medan Masjid Raya Medan merupakan ikon kota Medan yang sudah sangat populer, selain menjadi tempat beribadah Mesjid Raya Medan juga objek wisata yang wajib dikunjungi. Masjid Raya Medan dibangun pada 1906 di design oleh seorang arsitek dari Belanda, meskipun sudah berusia lebih dari 100 tahun masjid ini masih berdiri kokoh hingga sekarang. 3. Rahmat Gallery Jika berkunjung ke Kota Medan jangan sampai melewatkan museum yang satu ini. Museum Rahmat terletak di jalan S. Parman yang didirikan oleh bapak Rahmat Shah. Museum ini berisi lebih kurang 1000 spesies jenis hewan langka yang ada di seluruh dunia. Dari Gajah Afrika yang berukuran sangat besar sampai kucing berkepala dua dan sebagainya. 4. TjongAfie Rumah Tjong Afie merupakan bangunan dengan perpaduan adat antar Melayu, China dan Eropa yang dibangun pada 1895 dan selesai tahun1900. Bangunan Tjong Afie memiliki ukiran kayu yang yang cantik dan dihiasi dua fitur singa batu duduk di pintu masuk. Selain itu didalamnya terdapat 40 kamar. Tjong Afie mulai dibuka umum pada tahun 2009.(novita rizky)
Spektrum Edisi Februari 2014
17
FK UISU BERSATU, MAMPU, UTUH (Indira Khairuna Nasution FK â&#x20AC;&#x201C; UISU)
F
akultas kedokteran Universitas Islam Sumatera Utara (FKM UISU) didirikan pada bulan oktober 1965. UISU sendiri didirikan oleh sekelompok pemuda dan pemudi Islam yaitu : H Bahrum Jamil, Adnan Benawi, Sariani AS, Abdul Manaf dan Sabarudin Ahmad. Mula-mula mereka hanya membuka Fakultas Hukum. Dua tahun kemudaian mereka membangun Fakultas Agama dan Fakultas Ekonomi. Berikutnya pada tahun 1957 Fakultas Sastra dan FKIP didirikan. Tiga Tahun kemudian Dibuka Fakultas tarbiyah dan Fakultas Dakwah. Sedangkan Fakultas Agama diubah Menjadi Fakultas Syariah. Dilanjutkan dengan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik dan Fakultas Pertanian pada tahun 1964. Fakultas Kedokteran didirikan pada tahun 1965. Pada tahun 1997 Fakultas Syariah digabung bersama Fakultas Tarbiyah menjadi Fakultas Agama Islam. Sedangkan Fakultas Dakwah berdiri sendiri di sebagai Sekolah Tinggi di bawah asuhan Yayasan UISU. FK UISU terletak dijalan Sisingamangaraja No.2A Medan, Sumatera Utara. Letaknya yang sangat strategis, membuat FK UISU memiliki banyak ciri khas di kota Medan sendiri. Salah satunya FK UISU terletak disebelah rel kereta api yang masih aktif. Bunyi kereta api tak menjadi penghalang bagi mahasiswa ataupun dosen untuk melakukan kegiatan akdemik. Tak hanya rel kereta api yang menjadi ciri khasnya. FK UISU juga terletak pas didepan tower PDAM Tirtandi Medan, yang menjadi salah satu icon kota Medan karena merupakan bangunan tua. Awalnya FK UISU memakai sistem belajar-mengajar secara konvensional, sejak tahun 2007 berubah menjadi PBL (Program Based Learning) dimana sistem belajarnya dibagi atas 21 blok dan MKD (Mata Kuliah Dasar ) yang harus ditempuh selama 7 semester. Mahasiswa/I FK UISU dituntut untuk belajar mandiri untuk menambah wawasan agar menjadi dokter yang berkompeten. FK UISU masih terakreditasi C, meskipun sebelumnya pernah berakreditasi B. Untuk itu mahasiswa/i dan staff pengajar harus lebih aktif lagi demi memajukan FK UISU. Setiap blok, mahasiswa/i akan dibagi mejadi 10 grup untuk praktikum. Satu grup terdiri dari 30- 35 mahasiswa/i yang tujuan untuk mendukung proses belajar lewat ilustrasi dan aplikasi praktek terhadap apa yang mahasiswa pelajari dari diskusi, belajar mandiri dan kuliah. Setiap grup dibagi lagi menjadi 7 kelompok kecil untuk latihan keterampilan klinik di Skills Laboratory yang bertujuan melatih keterampilan klinik dasar yang harus dikuasai mahasiswa untuk mendukung pencapaian kompetensi dokter. Tak hanya itu, FK UISU juga memiliki 29 SGD (Small Group Discussion) yang masing-masing berisi 10-12 mahasiswa/i. Setiap ruangan di FK UISU disediakan LCD dan infocus untuk memudahkan proses belajar mengajar.Sarana dan prasarana di FK UISU juga sudah cukup lengkap untuk proses pembelajaran. Ada 10 laboratorium, diantaranya Laboratoium anatomi, histologi, fisiologi, patologi anatomi (PA), mikrobiologi, patologi klinik, farmakologi, parasitologi, dan laboratorium komputer, serta laboratorium PCR() Sesuai dengan SK Mendikbud No.155 tentang organisasi kemahasiswaan, mahasiswa membentuk organisasi kemahasiswaan berdasarkan aspirasi mahasiswa. Di tingkat fakultas terdiri dari Badan Aspirasi Mahasiswa (BAM) FK UISU sebagai badan legislatif dipimpin oleh seorang Ketua dan Pemerintahan Mahasiswa sebagai badan eksekutif yang dipimpin oleh Gubernur Mahasiswa. Tak hanya itu, sejak tahun 2013 FK UISU memiliki lebih dari 16
18
Spektrum Edisi Februari 2014
UKM yang beroperasi aktif mulai dari tahun 2012, salah satunya adalah CORNEA, lembaga pers kemhasiswaan kampus FK UISU . Berbagai kekhasan FK UISU menambah warna-warni di FK UISU sendiri ,mulai menjadi FK swasta tertua di Sumatera, letaknya yang strategis, kegiatan kemahasiswaan yang aktif baik dari lokal maupun nasional, bahkan UISU sendiri berpartisipasi dalam kegiatan bertaraf internasional. Warna-warni itu pun tak selamanya berselang-seling dengan warna cerah dan indah, malah berselang dengan keabu-abuan. Inilah dinamika kampus FK UISU yang sebenarnya sudah banyak diketahui masyarakat Indonesia, khususnya di kota Medan sendiri. Akhir tahun 2006 adalah awal mula perpecahan di dalam Yayasan UISU mulai terangkat ke ranah publik. UISU terpecah menjadi dua. UISU Almunawarah berada di Jalan Sisingamangaraja (Kampus kedokteran, Kampus Induk, dan Kampus pertanian) dan UISU Almanar berada di pesantren Almanar. Penyebab perpecahan ini tidak diketahui pasti, tetapi akibat perpecahan ini menimbulkan konflik sampai sekarang yang penyelesaiannya masih menjadi mimpi yang harus diwujudkan. Masih terbayang aksi mahasiwa menuntut keabsahan ijazah, legalitas kampus, EPSBED, dam satunya UISU pada tanggal 6 September lalu, dan pada tanggal 11 september ada kabar yang sangat menggembirakan UISU satu. UISU dinyatakan islah didepan kedua belah pihak yayasan uisu, kopertis, mahasiswa dan orang tua mahasiswa. Maklumat uisu islah pun ditandatangani pihak yang bersangkutan, beberapa kesepakatan mulai dirancang dan dibentuk. Maklumat itu, sekarang hanya menjadi maklumat kosong dan tidak bermakna bagi mahasiswa kampus FK UISU. Protes dan kontra oleh mahasiswa/i FK UISU mulai memuncak pada 29 November 2013 dikarenakan , masih belum terdaftarnya EPSBED (Evaluasi Program Studi Berbasis Evaluasi Diri) mahasiswa/i FK UISU. Masalah ini sudah terlanjur berlarut-larut, dan mahasiswa/i FK UISU membentuk KAM (Kesatuan Aksi Mahasiswa) yang disepakati oleh seluruh mahasiswa/i FK UISU dan beberapa dosen ikut bergabung. Mahasiswa/i FK UISU menutup kegiatan akademik sampai tuntutan terpenuhi. Tuntutannya antara lain : 1. Terdaftarnya EPSBED mahasiswa/i FK UISU; 2. Bersatunya UISU; 3. Turunkan dekan beserta jajarannya; 4. Tidak melunasi uang kuliah sampai tuntunan terpenuhi; 5. Audit keuangan UISU. sampai sekarang tuntunan belum terpenuhi. Hari ini tepat 22 hari kegiatan akademik belum berjalan seperti biasa. Mahasiswa/i FK UISU mendesak tanggung jawab pihak yayasan UISU beserta dekanat kampus FK UISU juga ke berbagai pihak terkait. Keabu-abuan nasib mahasiswa FK UISU ini tidak menghalangi semangat mahasiswa/i untuk berjuang demi pendidikan dan kegiatan kemahasiswaan. Buktinya saja ditengah konflik ini, mahasiswa FK UISU masih bisa melakukan kegiatan kemanusiaan oleh TBM, ikut serta nd dalam kegiatan ISMKI. Bahkan kepanitiaan untuk 2 IMSS masih solid dan semangat untuk memeriahkan acara terbesar ISMKI. UISU JAYA ! itu suara teriakan dari hati mahasiswa/i FK UISU, karena mahasiswa/i rindu akan kegiatan akademik kampus. Mahasiswa/i ingin mewujudkan cita-cita menjadi dokter yang Islami nasional, dan berakhalak mulia serta profesioanl sesuai dengan visi misi FK UISU tercinta.
Spektrum Edisi Februari 2014
19
INTERNATIONAL "Experince the Unknown”
ESC 2013
Semboyan
Nurmalia Fitria Ningrum (FK Universitas Udayana Denpasar 2011)
European students conference (ESC) merupakan kegiatan yang dikelola oleh konferensi ilmiah biomedis terbesar di seluruh dunia. Kegiatan ini sudah berjalan selama kurang lebih empat tahun dimulai pada tahun 2010, pada tema yang bertajuk keilmiahan. Kegiatan ini dilaksanakan di Charite, Medical School Berlin, Jerman. ESC telah menjadi salah satu kegiatan ilmiah utama di Charite Medical School yang didirikan pada tahun 1989, dimana pada saat perubahan politik besar di sekolah medis, paling bergengsi di Republik Demokrat Jerman. Pada awalnya ESC didirikan untuk membina hubungan baik antara Fakultas Kedokteran antara Timur dan Barat, dalam peran ESC sekarang adalah dukungan dari para ilmuan muda dan kemajuan ilmu biomedis pada skala yang lebih Internasional. Pada program ini Mengatasi ilmuwan muda, mahasiswa sarjana, mahasiswa pasca-sarjana, mahasiswa doktor, dan semua orang yang tertarik dalam penelitian biomedis. Selain itu ESC merupakan sebuah platform interdisipliner untuk pertukaran ilmiah internasional antara berbagai negara, mahasiswa, dokter, dan profesor dari berbagai bidang penelitian dan berbagai budaya. Dimana untuk tema yang diambil pada tahun ini adalah “Consciousness and the Senses – How do we Perceive the World?”. Jangkauan yang diraih oleh ESC sudah sampai ke penjuru benua dan empat penjuru dunia, ESC dengan bangga menyambut 500-700 Presenting peserta berasal lebih dari 60 Negara. Selain itu, untuk para Presenting tidak perlu khawatir tersesat disana, karena Panitia pelaksana ESC pun memberikanAkomodasi
20
tersendiri untuk para peserta seperti Hotel dan Homestay, dimana untuk Hotel mereka siapkan untuk peserta yang memang ingin mengeluarkan biaya tambahan, sedangkan untuk program Homestay para peserta dianjurkan untuk memilih ini agar bisa berinteraksi langsung dengan orang-orang dari Jerman. Untuk partisipan, dibedakan menjadi dua bagian ada partisipan yang aktif dan pasif dimana keduanya memiliki hak-hak yang berbeda, misalnya untuk partisipan pasif dia dapat mengikuti presentasi, Lecture, Workshop, sedangkan untuk peserta aktif dia mendapatkan hak istimewa dari partisipan pasif juga ditambah dapat mepresentasikan hasil karya mereka dan bersaing hadiah dengan peserta lainnya, selain itu untuk biaya pendaftarannya pun berbeda untuk peserta pasif dikenakan €50 dan peserta aktif €75 (tidak termasuk biaya sosial program dan Day Tiket). Program-program yang dijalankan dari hari pertama dan kedua adalah Lecture dan Workshop sedangkan untuk hari ketiga adalah Workshop dan Presentasi karya ditutup dengan farewell party pada malam penutupan akan ada pengumuman award untuk para peserta yang memiliki poster terbaik dimana hadiah yang diberikan sejumlah €1500 untuk empat peserta, hingga di hari terakhir bagi beberapa partisipan yang telah mendaftar untuk mengikuti program sosial dapat mengikuti dihari keempat bersama dengan Conference Tour. Bagi peminat tahun 2014 dalam program ini dapat dibuka di Web ESC yang dapat diakses http://www.esc-berlin.com/. (Lya)
Spektrum Edisi Februari 2014
Organisasi
DOKTER INDONESIA BERSATU Anggi Maulida Hanum FK-UISU
D
okter Indonesia Bersatu (DIB) melakukan Aksi solidaritas terhadap dr Ayu, dokter spesialis kandungan yang dipidana karena tuduhan malpraktik yang menyebabkan kematian pasien pada tahun 2010, berlanjut.
Dokter Indonesia bersatu (DIB) akan menggelar Aksi Solidaritas Tolak Kriminalisasi Dokter pada Rabu, 27 November 2013 di Bundaran HI mengangkat isu sentral 'Selamatkan Dokter, Selamatkan Rakyat'. Aksi ini diikuti sejumlah anggota DIB yang berasal dari seluruh Indonesia. "Tujuan aksi untuk menyadarkan masyarakat bahwa kriminalisasi dokter justru pada akhirnya akan merugikan masyarakat itu itu sendiri karena timbul tekanan psikologis pada dokter dalam memberikan layanan sehingga hasilnya tidak optimal karena sebisa mungkin dokter akan menghindari tindakan medis yang akan membahayakan posisinya (defensive Medicine)," ungkap Koordinator Nasional DIB dr. Eva Sridiana , SpP. Menurutnya, profesi dokter perlu mendapatkan jaminan perlindungan hukum dalam rangka memberikan kepastian dalam melakukan upaya kesehatan kepada pasien, peraturan perundang-undangan yang memberikan dasar perlindungan hukum bagi dokter adalah pertama pasal 50 UU No. 29 tahun 2004 tentang praktik kedokteran yaitu dokter memperoleh perlindungan hukum sepanjang melaksanakan tugas sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional. Kedua pasal 27 UU No. 36 tahun 2009 tentang kesehatan, yaitu bahwa tenaga kesehatan berhak mendapatkan imbalan dan pelindungan hukum dalam melaksanakan tugas sesuai dengan profesinya dan ketiga pasal 24 PP No 32 tahun 1996 yaitu perlindungan hukum diberikan kepada tenaga kesehatan yang melakukan tugasnya sesuai dengan standar profesi tenaga kesehatan. Dokter Indonesia Bersatu (DIB) telah banyak memberikan informasi tentang perkembangan nasib dokter indonesia pada website dib-online.org mereka, tulisan di antara lain : -
Kepatian hukum dalam Praktik Kedokteran Disepakati
-
Aparat sebaiknya gunakan hukum kesehatan untuk kasus Dr.Ayu]
-
Kehidupan Mahasiswa Dokter , Banyak â&#x20AC;&#x153;sukaâ&#x20AC;? sedikit Duka
Ketika Masyarakat bertanya . Mengapa Dokter Mogok ..... DIB juga mendekatkan diri mereka dengan cara berbagi informasi juga kepada masyarakat melalui media social facebook pada fan page mereka agar mudah di akses oleh masyarakat.
Spektrum
21 Edisi Februari 2014
Defensive Medicine, Sebuah Pilihan yang Dilematis Rezita Oktiana Rahmawati (FK UMS)
….Isn't a bit unnering that doctors call what they do “practice”? – George Carlin “Most doctors are prisoners of their education and shackled by their profession” – Richard Diaz Defensive medicine, biasa disebut sebagai keputusan medis defensic yang mengacu pada praktek merekomendasikan tes diagnostic atau penatalaksanaan yang belum tentu terbaik untuk pasien, tetapi pilihan yang terutama untuk melayani fungsi untuk melindungi dokter terhadap pasien sebagai penggugat. Juga sebagai reaksi meningkatnya biaya premi asuransi malpraktik dan bisa karena tidak ada jawaban dari pasien penggugat atau tertunda diagnosis atau pengibatan tetaoi tidak terdiagnosis. Sering dan tertinggi terjadi pada dokter diAmerika Serikat karena kasus tingginya premi asuransi. Masih ingatkah anda dengan kisah kasus dokter spesialis obsgyn dan kedua residentnya yang terduga dan tertuduh kasus malpraktik berdasarkan keputusan Mahkamah Agung karena adanya emboli saat membantu persalinan dan sang Ibu meninggal saat itu? Meski dalam Peraturan kesehatan dan Konsul Kedokteran Indonesia menyatakan bahwa mereka tidak bermasalah tapi keputusan hakim agung Artidjo Alkostar sulit diganggu gugat. Hingga pada tanggal 27 November 2013, IDI memutuskan untuk menyelenggarakan 1 hari mogok bersama dan tafakur Nasional. Inilah wujud nyata sejawat karena opini dan suara mereka tidak bisa terdengar oleh pihak peradilan agung. Bagaimana menurut kalian? “Tujuan aksi untuk menyadarkan masyarakat bahwa kriminalisasi dokter justru pada akhirnya akan merugikan masyarakat itu sendir karena timbul tekanan psikologis pada dokter dalam memberikan pelayanan sehingga hasilnya tidak optimal karena sebisa mungkin dokter akan menghindari tindakan medis yang akan membahayakan posisinya (defensive medicine),” ungkap Koordinator Nasional DIB (Dokter Indonesia Bersatu) dr. Eva Sridiana, SpP .Setelah muncul kasus itu, dokter-dokter banyak yang menyarankan bagaimana untuk melakukan tindakan baik emergency maupun non, digunakan dengan metode defensive medicine, yang mana segala sesuatu yang ditindak dengan medis harus melalui tes diagnostic terlebih dahulu seperti tes laboratorium, ronsen atau x-ray , dan menunggu persetujuan dari keluarga pasien.
22 Edisi Februari 2014
Spektrum
â&#x20AC;&#x153;Defensive Medicine itu tidak perlu dilakukan dokter bila masyarakarat memahami betul proses upaya kesehatan yang dilakukan. Adalah hak pasien untuk ikut menentukan keputusan tentang apa yang akan dilakukan padanya. Wewenang dokter untuk menjelaskan segala hal yang bersifat informative kepada pasien. Ketika pasien disarankan untuk cek a,b,c karena itu dinilai penting oleh dokter, tetapi pasien menolak, berarti pasien tidak berhak menuntut dokter. Yang sering terjadi adalah dokter diminta cek segala macam untuk mengabulkan keinginan pasien. Tetapi ini tidak bisa berlaku pada Negara yang menggunakan system paket pemeriksaan dalam menentukan diagnosis,â&#x20AC;? kata Fakih S. Latif mantan Sekjen ISMKI 2011-2012 Ttindakan ini bertujuan untuk mengurangi kemungkinan terjadi kasus hokum baik pidana maupun perdata terhadap dokter. Tindakan ini ada yang bersifat aktif dan bersifat pasif. DMDM (Defensive Medical Decision Making) aktif meliputi permintaan prosedur tambahan. Sedangkan DMDM pasif meliputi menghindari pasien dengan resiko tinggi untuk menimbulkan kasus hukum. DMDM aktif dapat berupa permintaan prosedur yang berlebihan dan pengakuan informed consents (pertujuan tindakan medis). Seperti contohnya pasien dating kepada dokter dengan keluhan nyeri dada. Dokter mendiagnosis sebagai adanya gangguan pencernaan. Dokter menyarankan untuk mengubah pola makan dan memberinya obat. Akan tetapi, karena ekspresi pasien yang sedemikian rupa, dokter tersebut memiliki pemikiran lain untuk melakukan serangkaian pemeriksaan untuk menghilangkan diagnosis banding penyakit jantung, walaupun diagnosisnya sudah tepat dan pemeriksaan tersebut tidak diperlukan. Berkenaan adanya kasus dr.Ayu, yang terjadi adanya kasus emergensi pada persalinan, didasarkan fakta bahwa klausa emergensi pada peraturan menteri, yang meminta untuk dokter untuk informed consent kepada pasien dengan panjang lebar di keadaan emergensi, yang jelas tidak bersinkronisasi dibandingkan klausa malapraktik yang diatur pada UU kesehatan. Hal ini bisa dilakuakan dengan melakukan tindakan emergensi langsung kepada pasien. Ada lagi tentang passive defensive medicine (PDM) yang meliputi aspek menghindari pasien berisiko tinggi melakukan penuntutan.PDM juga dilakukan untuk menghindari bekerja di bidang yang menangani resiko tinggi. Profesi dokter perlu mendapatkan jaminan perlindungan hukum dalam rangka memberikan kepastian dalam melakukan upaya kesehatan kepada pasien, peraturan perundangundangan yang memberikan dasar perlindungan hukum. Seperti pada pasal 50 UU No.59 tahun 2004 tentang praktik kedokteran yaitu dokter memperoleh perlindungan hukum sepanjang tugas sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional. Akhir kata, praktik defensive medicine merupakan reaksi jangka panjang atas tuduhan malapraktik yang dilakukan dokter. Defensive medicine memiliki pengaruh besar terhadap tenaga kesehatan dan pasien. Yang pasti, segala bentuk tindakan, selalu harus berdasarkan prosedur atau SOP dan peraturan UU yang mengikat khususnya UU kesehatan bagi para tenaga kesehatan.
Spektrum
23 Edisi Februari 2014
Pengembangan Diri
GAGASAN Oleh: Arief Kurniawan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia 2010
D
ahulu, ada seorang dokter yang pergi berkeliling Jawa dan ia mengobati orang banyak. Ia orang kecil bin miskin, tapi punya gagasan besar. Di lain waktu, seorang dokter pula, bersama teman-temannya yang priyayi, sedang berkumpul di ruang kuliah lama di Salemba. Sang dokter yang berperawakan tenang, konon berdiri di atas meja, berorasi layaknya orang kesurupan. “Kita akan merintis suatu persaudaraan nasional, tanpa ada perbedaan ras, jenis kelamin, maupun kepercayaan.” Ide itu memang diterima orang banyak, tetapi tak seluruhnya. Yang bikin cemas adalah jika pemerintah kolonial mencium gelagat tak beres dan menjebloskan mereka satu-satu, ke dalam bui. Memang, majelis itu terus jalan—walaupun pasang surut—hingga mereka sendiri yang memilih mundur dan bubar sendiri. Justru orang yang memilih bersimpang jalan—kelak jadi nama sebuah rumah sakit—akhirnya tersisih, dibuang ke Pulau Banda. Kini, arisan kecil-kecilan itu dianggap sebagai pelopor kesatuan, kebangkitan nasional. Dan jika sebuah gagasan boleh dianggap orisinal, tepat rasanya jika kita haturkan terima kasih pada dokter miskin yang enggan disebut orang besar tadi.
24 Edisi Februari 2014
Kisah di atas memang selalu menarik, juga menyindir—dalam kadar di atas rata-rata. Seorang rekan yang akhirnya terpukau dengan kisah tersebut mendatangi saya. Ia telah selesai koas. Ia bertanya, apa yang membuat dokter tersebut berbeda dengan kita? Saya tak menjawab karena teringat sebuah jawaban singkat: mereka bukan spesialis. Dan mereka tidak meminta bayaran. Kisah tentang dokter Indonesia tak pernah lepas dari STOVIA yang didirikan pemerintah kolonial. Di sana, di Batavia yang muram, pribumi seolah mendapat tempatnya: dididik hanya untuk melatih para vaccinateur dan siap mati saat bertugas, tanpa dibayar layak. Namun, di balik dinding tua itu, para pribumi mengolah gagasan: Indonesia harus bebas, bebas memilih nasibnya sendiri. Roda pergerakan telah diputar. Indonesia harus merdeka, apapun yang terjadi. Jadilah mereka sibuk dengan rapat-rapat dan nyanyian tentang Revolusi Prancis yang ribut di malam hari, sembari melayani masyarakat di siang harinya. Tentu dengan imbalan seadanya, bahkan ada kalanya dengan senyuman yang dipaksakan. Zaman itu telah jadi patung pualam yang melegenda; kita mengenalnya d e n g a n n a m a S o e t o m o , Wa h i d i n Sudirohusodo, Cipto Mangunkusumo, dan lain sebagainya. Semua itu konon bermula
Spektrum
dari Gubernur Batavia yang pusing dengan rengekan bayi yang terkena wabah malaria di sekitarnya. Gagasan—sebagaimana sebuah revolusi—walaupun lebih sering diletuskan dari bawah, ternyata dapat juga dimulai dari atas. Di Amerika yang paling liberal, Obama mengabaikan kecaman senat dan mereformasi sistem kesehatan jadi lebih “sosialis”. Fidel Castro—tentu dengan bantuan Soviet—mengkudeta pemimpin sebelumnya dan membuat layanan gratis bagi rakyatnya. Tak jauh berbeda dengan Chavez yang menendang para kapitalis dari minyak dan membagi-bagikan penjualannya untuk mengobati rakyat banyak. Sebuah gagasan memang punya tendensi untuk selalu menggugah. Di sana, dirumuskan suatu yang ideal, tanpa sedikitpun cela. Dalam analogi seorang Badiou, ia seperti revolusi yang dibawakan secara melodramatik, melintasi “bintang-bintang”. Ia juga bisa diceritakan kembali sebagai sebuah hiperbol. Namun, di balik itu semua, tersimpan suatu elemen yang tak teratur. Ia tak seluruhnya berbaris dalam kotakkotak yang tersusun rapi. Dan sebagaimana romantisme masa lalu, tak semuanya indah dan menarik. Dalam banyak kesempatan, hal di atas mungkin lebih tepat jika disebut sebuah sesal. Kita tahu Sun Yat Sen, si demokratis itu, orang yang memilih revolusi ketimbang menyelamatkan nyawa satu pasien di kliniknya. Dan kenyataannya, kita sama-sama tahu: Cina jadi komunis; ia terpaksa minggat ke Taiwan. Saya tak tahu bagaimana keadaannya saat ia mati, hanya saja tak mudah melupakan mimpi bagi orang sepertinya. Dalam sejarah yang agak kabur, kita juga kenal Moewardi, orang yang mendirikan sekolah kedokteran di Solo, menggerakkan rakyat untuk melawan PKI, lalu tak tentu rimbanya di mana. Karena itu, gagasan yang dianggap melintasi “bintang-bintang” tak selalu dijamin mendapat tempat. Di masa lalu, Eropa yang gelap dan udik ditinggalkan,
Spektrum
diganti dengan istilah baru seperti realisme, renaissance. Sigmund Freud, si ateis itu, agaknya terinspirasi dari Philippe Pinel yang menertawakan para pendeta yang kolot beserta setan-setannya, lalu memberikan psikoterapi pada anak-anak yang dipasung di gereja. Yang paling terkenal, jika kita melihat Marx dan Soviet—jangan lupakan Lenin, Stalin, dan Trotsky—sebuah kisah tentang robohnya sebuah revolusi: lelucon terbesar abad ini, mungkin. Namun, yang lebih penting adalah imbas dari gagasan itu sendiri. Dalam hal ini, kita dapat menyederhanakannya menjadi, misalnya, nasib dokter itu sendiri. Kita memang tak ingin ada Jasih-Jasih lain yang membakar diri dan meratapi biaya berobat anaknya yang mahal, tetapi sebuah pengalaman berharga dari Jerman tahun 1923—pun Cipto dan kawan-kawannya—membuktikan: dokter tidak butuh uang, tapi roti dan mentega. Kembali berbicara soal lelucon, Indonesia sebenarnya juga punya hal seperti itu: orang-orang yang bisa (baca: harus) sehat walafiat hanya dengan 19.000 perbulan. Kabar yang beredar, konsil kedokteran bersikukuh premi harus dibayarkan lebih tinggi, sesuatu yang dianggap aneh oleh pemangku kebijakan. Sementara, di Jakarta saja, ada 16 rumah sakit yang mesti mundur karena KJS lantaran tak kuat lagi menanggung beban. Para cleaning service di puskesmas pun sering mengeluh, lantai itu tak kunjung bersih saat disapu, lalu diomeli keluarga pasien yang mengatakan tempat mereka jorok. Saya pernah mendengar seorang teman yang merutuki “impian” pemimpin kita soal sistem jaminan, dokter di dalamnya, juga tentang negara yang sehat dan gaji PTT selama tiga bulan yang pasti belum dibayar. Dalam hati, saya bertanya, adakah “impian-impian” itu salah? Entahlah. Yang jelas, Goenawan Mohamad telah lama bercerita tentang Mao, tentang sebuah “lompatan” yang akhirnya menabrak si tembok besar, kenyataan yang tua itu
25 Edisi Februari 2014
Perjalanan Sebuah Hidup Nur Awaliah Maharani (FK Universitas Al Khairat)
Dalam melangkah akan ada waktu Dimana semua cerita akan berlari Mengejar angan dan cita yang ingin dicapai Dengan langkah pasti banyak yang tak sampai Namun, seperti itulah hidup Ketika sang waktu akan berpihak pada kita Saat seperti itulah mimpi harus musnah Dan ketika sang waktu diam maka kita seperti ingin berlalu Sebuah profesi yang menuntut untuk lebih keras Kadang membuat seluruh hati tertekan Tapi tanpa penekanan, maka hidup itu akan biasa saja Tak ada yang berarti, tak ada yang istimewa Jaga profesimu, jaga hidupmu, jaga perjalananmu Semua berawal dari niat dan berakhir dengan usaha Ketika niat dan usaha telah kamu genggam Biarkan tangan Tuhan yang membantumu berdiri
26 Edisi Februari 2014
Spektrum