Edisi #12 Kotagede | November 2019

Page 1

SUARA AKAR MAHASISWA

Jejak Kerajaan

Mataram Islam

Wisata Alternatif Kotagede

Geliat Ekonomi Masyarakat

www.suarasikap.com


2

SIKAP MAGZ | SUARA SIKAP EDISI KOTAGEDE

tim Timre-Redaksi

SALAM REDAKSI Salam Pers Mahasiswa, Salam Intelektual!

Setelah lima bulan berselang, Buletin Sikap kembali hadir untuk para pembaca. Usai buletin tentang politik kampus yang terbit Mei 2019, kini kami mengulas tentang Kotagede. Proses produksi telah kami lalui. Mulai dari penentuan tema, liputan, hinga proses penulisan. Kami menyoroti Kotagede sebagai salah satu saksi sejarah sekaligus destinasi wisata di Yogyakarta. Tidak sedikit informasi yang kami temukan terkait sejarah, wisata, hingga kuliner di dalamnya. Akhir kata, kami berharap buletin edisi ini mampu memberikan informasi, memperluas wawasan tentang Kotagede. Semoga kehadiran buletin ini dapat membawa pembaca untuk ikut berpartisipasi dalam kontribusi menjaga keberadaannya. Selamat membolak-balik halaman, dan selamat membaca.

DAFTAR ISI 03

Peninggalan Kerajaan Mataram di Kota Pelajar

05

16

Jejak Kuliner Khas Kotagede

18

Percampuran Budaya Hindu Buddha Dalam Arsitektur Masjid

Sepenuh Hati Menjaga Makam Para Raja

Geliat UKM Perak di Tengah Gempuran Teknologi

Rupiah dan Para Perayu Aspal

08 10

Bertahannya Industri Kerajinan Perak di Tengah Zama

13

Hata di Balik Tembok

20

22 Wisata Alternatif Kotagede

Penanggung Jawab Dr. Subhan Afifi, M.Si. Penanggung Jawab Senja Yustitia, M.Si. Pemimpin Umum Tiana Riski Pemimpin Umum Tiana Riski Editor Aqmarina Laili, M Leo Bisma, Dian Editor Puspita Aqmarina Laili, Marcelina Mia, Ganisha Puspitasari, Reporter Anindya Devi, Aqmarina Laili, Reporter Ayu Fitmanda, Azura Aulia, M Ayu Larasati, Salma Annisa Leo Bisma, Difa Arifin, Fajar Rahmah, M. Rizky Fabian, Andrian, Faya Lusaka, Ganisha Hafiyyana Nurlitasari, Anisa Puspitasari, Ida Nur, Karina Rindi Azzahrah, Hasna Fadhilah, Maharani. Laras Dika, Marcelina Wan Audri Ilyasha, Paulina Dita Mia, Melvindy Kuswanto, Prameswari, Redemptus Risky Muhammad Hasan, Nabila Fachri Ernanda Ramadhan, Roselini, Novella Candra, Rieka Kuni Qurota 'Aini, Latief Fadhlan Yusuf, Dian Puspita, Tiana Riski, Hidayat, Graceilla Mellania Fajar Isusilaningtyas, Umar Abdul. Desain dan Layout Nabila Rosellini, Karina Desain dan Layout Maharani, Umar Abdul, Fajar Nabila Roselini, Karina Maharani, Isusilaningtyas, Anisa Rindi Umar Abdul, Fajar Isusilaningtyas Azzahrah, Fachri Ernanda Ramadhan Percetakan & Distribusi M Leo Bisma, Ida Nur Percetakan & Distribusi Fajar Andrian, Anindyadevi Email Aurellia, Muhammad Hasan suarasikap@gmail.com Syaifurrizal A, Laras Dika Youlanda, Latief Fadhlan Hidayat, Website Hasna Fadhilah www.suarasikap.com Foto Sampul Umar Abdul A Email suarasikap@gmail.com Website www.suarasikap.com


SIKAP MAGZ |

SUARA SIKAP EDISI KOTAGEDE

Peninggalan Kerajaan Mataram di Kota Pelajar

Y

ogyakarta merupakan kota yang memiliki kisah sejarah panjang. Sejak zaman Panembahan Senopati hingga sekarang, kekuasaan Sri Sultan Hamengkubuwana masih dihormati oleh masyarakat. Banyak peninggalan berupa budaya maupun bangunan yang masih ada dan dilestarikan hingga sekarang.

3

Sebut saja Grebeg Mulud yang biasanya diadakan bersamaan dengan acara Sekaten di Alun-Alun Utara. Kemudian pemandian Tamansari yang terletak beberapa meter ke selatan dari Kraton Yogyakarta. Adapula daerah yang dulunya merupakan bekas pusat kerajaan Mataram yang kini menjadi daerah Kotagede. Kawasan yang terkenal dengan kerajinan perak ini memiliki beberapa bangunan bersejarah. Antara lain Masjid Kotagede, Pasar Kotagede, dan Pemakaman Raja Kotagede. Letak pemakaman tersebut berada di sebelah barat masjid. Menurut Agung, salah satu abdi dalem di sana, pada awalnya lokasi tersebut adalah hutan yang bernama Alas Mentaok yang ditemukan oleh Ki Ageng Pemanahan. Kemudian ia membangun kerajaan di lokasi tersebut. Dahulu pemakaman tersebut merupakan rumah dari keluarga Ki Ageng Pemanahan.

Masjid Kotagede yang berada sekawasan dengan pemakaman (Foto:


4

SIKAP MAGZ | SUARA SIKAP EDISI KOTAGEDE

Temu, abdi dalem lainnya menambahkan sekitar 300 meter ke selatan adalah desa penduduk yang kini menjadi Kampung Wisata Purbayan. Selepas meninggalnya ibu dari Ki Ageng Pemanahan, halaman rumah tersebut dijadikan pemakaman. Ia adalah orang pertama yang dimakamkan di lokasi tersebut dan seterusnya menjadi makam keluarga kerajaan, hingga yang paling terakhir dikebumikan di situ adalah Sri Sultan Hamengkubuwana II. Kini lokasi pemakaman ditutup oleh tembok dan terdapat pintu di depannya. Bagi wisatawan yang ingin masuk, terdapat beberapa aturan yang harus ditaati seperti menggunakan pakaian Jawa lengkap bagi pria. Kemudian, untuk wanita menggunakan kemben dan jarik. Lalu, tidak diperbolehkan mengenakan alas kaki. “Hal tersebut dilakukan demi menghormati budaya yang ada, kalau bukan kita siapa lagi,� kata Agung. Di

sebelah

Infografis : Karina Maharani

pemakaman

terdapat

Sendang Seliran, sebuah pemandian yang dulunya digunakan penduduk kerajaan Mataram. Saat ini, pemandian tersebut masih bisa digunakan bagi pengunjung yang ingin membersihkan diri ketika ingin memasuki makam. Selain itu, di tempat ini masih ada budaya yang dilestarikan terutama oleh kalangan abdi dalem. Setiap hari Kamis Pon, mereka dan pengunjung akan melakukan doa bersama untuk mendoakan keluarga raja yang sudah meninggal. Budaya lainnya yang masih dipertahankan adalah nguras sendang (membersihkan pemandian). Kegiatan ini dilakukan setiap setahun sekali. “Biasanya (nguras sendang) dilakukan setahun sekali pada bada mulud, setelah perayaan grebeg mulud di Kraton,� ujar Agung. Peninggalan sejarah seperti ini perlu dirawat keberadaannya. Hal tersebut dilakukan agar budaya tersebut tidak punah dan dapat dinikmati oleh generasi yang akan datang. (Wan Audri Ilyasha)


SIKAP MAGZ |

5

SUARA SIKAP EDISI KOTAGEDE

Percampuran Budaya Hindu Buddha dalam Arsitektur Masjid Gedhe Mataram Kotagede Orang Jawa menyerap kata gapura dari bahasa Arab yaitu ‘ghafura’ (Al-gaffar) yang berarti yang maha pengampun.

Gapura kawasan masjid kotagede sebagai pintu satu-satunya untuk keluar masuk pengunjung. (Foto: Umar)

M

asjid Gedhe Mat aram memiliki arsitektur bangunan yang berbeda dari kebanyakan bangunan masjid di kota Yogyakarta. Bangunan masjid biasanya berkubah dan memiliki corak unsurunsur islami. Namun, berbeda dengan bangunan masjid di daerah Kotagede ini yang kental akan perpaduan budaya Hindu dan Budha. Tempat peribadatan umat Muslim tersebut dibangun pada abad ke-16 oleh Sultan Agung dan tercatat sebagai masjid tertua di Yogyakarta. Masjid yang sarat akan sejarah ini terletak di kawasan pemakaman Rajaraja Mataram. Arsitektur Masjid Gedhe Mataram Kotagede ini termasuk bangunan yang unik karena memadukan empat unsur budaya, yaitu Hindu, Budha, Jawa dan Islam. Pintu gerbang menuju masjid berupa gapura berbentuk paduraksa


6

SIKAP MAGZ | SUARA SIKAP EDISI KOTAGEDE

yang kental dengan nuansa Hindu karena pada waktu itu mayoritas masyarakat masih menganut ajaran agama Hindu dan Budha. Paduraksa merupakan bangunan berupa pintu gerbang dengan atap yang menyatu Kiri-kanannya bersayap dan bagianbagiannya dihiasi relief-relief. Relief yang dimaksud berupa hasil seni pahat sebagai pengisi bidang pada padukarsa yang melukiskan suatu cerita atau kisah “Saat bangunan masjid dibangun, masih banyak pengikut Panembahan Senopati yang beragama Hindu dan Buddha. Sehingga, untuk menarik mereka mau datang ke masjid, dibangunlah gapura yang menyerupai pura. “Itu adalah salah satu cara mengenalkan dan menyebarluaskan Islam dimasa itu”, tutur Muhammad Majarno, salah satu abdi dalem kawasan masjid. Perpaduan budaya Jawa terdapat pada pemakaian istilah pintu gerbang yang biasa disebut dengan gapura. Orang Jawa menyerap kata gapura dari bahasa Arab yaitu ‘ghafura’ (Al-gaffar) yang berarti yang maha pengampun. Dengan demikian, maksud dibuatnya gapura agar seseorang yang telah memasuki tempat tersebut akan mendapatkan kesenangan, kegembiraan, kenyamanan, dan memberikan ketenangan batin. Terlepas dari kegelisahan, ketidaknyamanan, dan perasaan khawatir yang dapat membawa rasa tidak nyaman.

Setelah memasuki gapura di kompleks masjid, terdapat Rana Kelir sebagai sekat yang bentuknya menyerupai pagar tembok batu bata yang dihiasi corak-corak ragam hias geometris, serta ragam hias tumbuhan atau flora. Bangunan Rana Kelir mirip bentuk huruf L, yang mana jika ada orang yang hendak memasuki halaman masjid harus belok ke kanan. Tujuannya untuk menghalangi pandangan para pengunjung agar tidak melihat secara langsung bagian dalam masjid. Namun, secara simbolik Rana Kelir ini dipercaya sebagai penolak masuknya roh jahat. Salah satu pengunjung yang berasal dari Bali mengatakan bahwa arsitektur bangunan masjid sangat kental dengan nuansa Hindu dan Buddha persis seperti di kota kelahirannya. Apalagi bangunan gapura dan Rana Kelir kerap ada dalam setiap bangunan peribadatan di Bali. “Kebetulan saya berasal dari Bali. Melihat corak arsitektur di sini mengingatkan saya pada kota saya dilahirkan”, tutur Niluh Kompyang Sariani, mahasiswa berumur 22 tahun dari Universitas Gajah Mada. Bangunan peribadatan umat Muslim ini selain digunakan untuk sembahyang, juga dipakai untuk tempat mengungsi warga pada masa penjajahan Belanda. Saat hari besar umat Islam, masjid ini ramai dikunjungi untuk melakukan salat idulfitri maupun idhuladha.


Infografis : Anisa Rindi Azzahrah

SIKAP MAGZ |

SUARA SIKAP EDISI KOTAGEDE

7 Pada bulan suci Ramadan, masjid ini rutin menyiapkan ratusan takjil untuk berbuka puasa bersama dan kemudian dilanjutkan salat tarawih berjamaah. Menurut penuturan Muhammad Majarno, salah satu abdi dalem yang sudah menjaga kawasan masjid selama tujuh tahun, walaupun Masjid Gedhe Mataram telah mengalami beberapa kali renovasi, namun tidak pernah merubah arsitektur yang sudah ada. Masjid ini termasuk dalam cagar budaya, sehingga harus dipertahankan bangunan aslinya. Diperlukan tanggung jawab dari semua pihak agar salah satu warisan budaya ini tidak rusak dimakan zaman. (Salma)


8

SIKAP MAGZ | SUARA SIKAP EDISI KOTAGEDE

Romli (kanan) sedang melakukan proses transaksi dengan seorang pengunjung (Foto: Fabian)

Geliat UKM Perak di Tengah Gempuran Teknologi

T

idak dapat dipungkiri di era globalisasi ini perkembangan teknologi sangat pesat dan masif. Perkembangan teknologi mengubah cara seseorang dalam melakukan kegiatan sehari-hari. Namun, bagaikan pisau bermata dua, perkembangan teknologi memiliki dampak positif dan negatif. Hal itu tergantung bagaimana cara seseorang memanfaatkannya. Dampakdampak inilah yang dirasakan oleh Romli, seorang pengusaha kerajinan perak di Kotagede. Ia harus beradaptasi dengan teknologi untuk menjalankan bisnis kecilnya. Kotagede merupakan sentra kerajinan perhiasan yang menggunakan perak sebagai bahan dasarnya.

2008. Gerai yang ia beri nama Romli Silver menjual berbagai macam produk kerajinan dari perak, seperti gelang, anting, maupun cincin. UKM (Usaha Kecil Menengah) yang ia rintis selama kurang lebih sebelas tahun ini mengalami kesulitan bersaing dengan industri besar pada awal pendiriannya. Kesulitan yang dialami Romli merupakan hal yang lumrah dan sering menimpa UKM lainnya. Perbedaan modal, tenaga kerja, serta media promosi merupakan beberapa alasan mengapa UKM sulit berkembang. Romli menjelaskan bahwa dahulu ia hanya memiliki 2-3 pengrajin perak saja. Angka yang tergolong kecil dibandingkan industri besar yang bergerak di bidang yang sama.

Romli membuka usahanya pada tahun

Dengan hadirnya teknologi, proses


SIKAP MAGZ |

SUARA SIKAP EDISI KOTAGEDE

produksi kerajinan perak pun semakin cepat. Cepatnya proses produksi pun diiringi oleh kualitas dari hasil yang diperoleh. Romli menjelaskan bahwa ada kesulitan dalam proses adaptasi dari penggunaan alat-alat kovensional ke alat-alat yang lebih modern. Namun setelah diberikan program latihan, para pengrajin pun dapat menggunakan teknologi berupa bor untuk mengubah barang mentah menjadi perhiasan dengan lebih mudah dan efisien. “Dulu ketika belum ada teknologi, para pengrajin saya membutuhkan waktu sekitar 7-10 hari untuk membuat satu perhiasan. Sekarang hanya membutuhkan waktu 3-4 hari sesuai dengan kerumitan barang yang dibuat,� kata Romli. Kemudahan yang didapat akibat perkembangan teknologi pun menimbulkan beberapa masalah baru. Dominasi industri besar semakin terlihat. Alat-alat yang digunakan oleh industri besar jauh lebih canggih daripada alat yang digunakan oleh pegiat UKM. Hal ini menyebabkan ketimpangan hasil produksi antara usaha kecil dengan industri besar. Jika Romli

9

membutuhkan waktu empat hari untuk memproduksi satu perhiasan, industri besar hanya membutuhkan waktu satu hari untuk memproduksi 1000 perhiasan. Dengan hadirnya internet, diharapkan para pegiat UKM dapat menjangkau para konsumen yang lebih luas. Sayangnya, perkembangan teknologi tidak diiringi dengan peningkatan kualitas sumber daya manusia. Romli menjelaskan bahwa ia harus membiayai pelatihan para pengrajinnya agar dapat menguasai teknologi yang akan digunakan. Hal ini membuat para pengusaha kecil dan menengah semakin tertinggal dari industri yang memiliki modal jauh lebih besar. Harapan pun dilontarkan agar pemerintah memberikan pelatihan khusus terhadap para pengrajin, maupun pengusaha agar usaha kecil yang mereka rintis dapat bertahan dari gempuran industri besar yang lebih modern. Dengan adanya kemudahan teknologi serta pelatihan dari pemerintah, tentunya para pegiat UKM akan lebih siap dalam menghadapi Revolusi Industri 4.0 dan dapat melahirkan “Romli-Romli� lainnya. (Fabian)

Romli : Cepat lambatnya proses produksi memengaruhi kualitas Deretan cincin di toko perhiasan Romli (Foto: Fabian)

Perlu waktu empat hari untuk memproduksi satu perhiasan, industri besar hanya membutuhkan waktu satu hari untuk memproduksi 1000 perhiasan.


10

K

SIKAP MAGZ | SUARA SIKAP EDISI KOTAGEDE

otagede identik dengan kawasan kerajinan perak. Seni ini sudah ada sejak zaman Kerajaan Mataram Islam pada abad ke-16. Kerajinan perak sempat mengalami masa kejayaan pada era 80-an hingga 90-an. Hampir di setiap sudut, dapat kita temui toko-toko yang memajang hasil kerajinan perak.

Bertahann Kerajinan Per Gempura

Romli, pemilik Romli’s Silver menjelaskan setiap toko memiliki pengrajin sendiri-sendiri, namun pengerjaannya dilakukan di rumah. Pekerja perak rata-rata datang dari daerah sekitar dan dari Wonosari, Gunungkidul. Adapun barang mentah untuk produksinya didapatkan dari penyetor. Proses produksi tergantung kerumitan modelnya. Semakin rumit semakin lama pula jangka waktunya. Biaya produksi yang dikeluarkan juga tergantung kerumitan dan waktunya. Untuk cincin biasa rata-rata Rp150.000,00 keatas sudah termasuk biaya pengrajin. Kisaran harga satuan perak di sana untuk cincin mulai dari Rp175.000,00, anting Rp80.000,00, dan gelang Rp90.000,00. Proses produksi pada waktu awal didirikan hingga sekarang masih menggunakan teknik

Tampak depan toko perak milik Nugroho (Foto: Hasna)

Suasana dalam toko perhiasan perak milik Nugroho (Foto: Ha

manual. Perbedaannya terletak pada perkembangan teknologi mesinnya. Alatalat produksi sudah semakin canggih. Adanya perkembangan teknologi itu sangat membantu, terutama dalam mempercepat proses produksi. Walaupun begitu, kualitas barang yang dihasilkan tidak menurun, justru malah semakin baik kualitasnya, karena dapat menghasilkan kerajinan perak yang lebih detail.


SIKAP MAGZ |

SUARA SIKAP EDISI KOTAGEDE

nya Industri rak di Tengah an Zaman

11

Toko Romli Silver (Foto: Hasna)

biasanya tokonya selalu ramai, namun hal itu berbeda dua tahun belakangan ini. “Untuk dua tahun ini malah sepi waktu lebaran, untuk dulu iya, waktu lebaran ramai banget,” ujarnya. Romli mengaku, keuntungan yang ia dapatkan waktu musim liburan biasanya meningkat sekitar 50% dibandingkan hari-hari biasa. Penurunan permintaan juga dirasakan oleh Nur Parwanto Silver, toko kerajinan perak yang terletak di Jalan Kemasan No. 69, Kotagede. Toko ini sudah berdiri sejak tahun 1970-an yang merupakan warisan turun-temurun. Nur Parwanto adalah generasi ketiga. Reporter Sikap mewawancarai salah seorang penjaga toko, Nugroho, yang sudah mengabdikan dirinya sejak tahun 2004. “Disini, peminatnya memang berkurang mbak. Kan harga emas dan perak itu gak beda jauh ya, pasti mereka sekarang mikirnya mending beli emas aja,” ujar Nugroho.

asna)

Pelanggan yang biasa datang ke Romli’s Silver berasal dari beragam daerah. Namun, rata-ratanya masih wisatawan domestik. Puncak ramai pelanggan dari luar kota terjadi pada musim liburan, terutama liburan sekolah. Lain halnya dengan wisatawan dari luar negeri, yang biasanya banyak menyambangi tokonya pada bulan Juni-Juli. Romli juga menuturkan bahwa waktu lebaran tiba,

Menurutnya untuk keuntungan penjualan perak pun tidak pasti. Biasanya toko baru ramai saat musim liburan yaitu pada bulan Juni dan Juli. Sehingga omzet yang di dapat tidak bisa dihitung perharinya melainkan harus diakumulasikan dulu dalam rentang waktu setahun. Nugroho juga mengeluhkan semakin berkurangnya pengrajin perak di daerah Kotagede akibat dirasa


12

SIKAP MAGZ | SUARA SIKAP EDISI KOTAGEDE

pekerjaan sebagai pengrajin perak tidak relevan dengan zaman. Nur Parwanto Silver saat ini memiliki dua pengrajin tetap yang memiliki beberapa anak buah. “Kalo dulu mengerjakan di satu tempat dengan toko jualannya. Tapi karena berisik mukul-mukulnya itu, sekarang mereka mengerjakannya di rumah masing-masing. Jadi kita tinggal bilang mau bentuk apa atau bagaimana, nanti kalau sudah jadi barangnya kita juga yang ambil.� Ungkap Nugroho. Meski begitu Nur Parwanto Silver masih memiliki pelanggan tetap, salah satunya adalah membuat bingkisan untuk tamu kehormatan kepresidenan dan Kedubes negara lain di Jakarta. Nugroho mengungkapkan mereka memiliki strategi khusus dalam pemasarannya, “Biasanya kami 2-3 bulan sekali ke Jakarta, kami lakukan door to door di beberapa kantor Dubes atau rumah orang-orang kelas menengah ke atas yang memang menjadi target khusus kami, sambil membawa contoh hasil kerajinan peraknya,� Toko Nur Parwanto Silver sebenarnya memiliki alamat website khusus untuk memasarkan

produk mereka, namun hal itu dirasa tidak begitu berdampak terhadap omzet penjualan. Sehingga, mereka lebih memaksimalkan cara-cara konvensional untuk memasarkan produknya. Sementara itu untuk produk kerajinan perak yang paling laris dibeli oleh masyarakat atau turis biasa berupa pernak-pernik perhiasan seperti cincin, kalung, dan gelang. Walau pembeli kerajinan perak berasal dari berbagai kalangan, menurut Nugroho, toko tempat dirinya bekerja tidak memiliki niatan untuk memasarkan produknya sampai luar negeri. Hal ini disebabkan karena pembeli yang membeli kerajinan perak dari tempatnya, akan menjual kembali kerajinan perak tersebut ke luar negeri dengan harga yang lebih mahal. Faktor tersebut dirasa menjadi penyebab lain kerajinan perak kurang bisa berkembang dengan baik. Upaya pemerintah sendiri belum bisa memberikan solusi terkait permasalahan makin meredupnya industri kerajinan perak di Kotagede. (Fachri, Hasna)


Keris-keris yang disusun rapi di bagian atas ruangan yang nantinya akan dijadikan sebagai museum. (foto: Hafi)

SIKAP MAGZ |

SUARA SIKAP EDISI KOTAGEDE

13

HARTA DI BALIK TEMBOK Para pengunjung sering kali tidak menyadari bahwa tempat yang dijadikan sebagai background dalam foto mereka adalah salah satu saksi sejarah dari beberapa kerajaan di Indonesia.

R

umah Rudy Pesik atau Rumah “Tembok Hijau” yang cukup terkenal di kalangan anak muda, ternyata bukan rumah dengan arsitektur fotografi biasa. Rumah yang berlokasi di Jalan Mondorakan, Gang Soka, Sayangan, Jagalan, Banguntapan, Bantul, DIY ini, menyimpan berbagai warisan budaya Indonesia.

Para pengunjung sering kali tidak menyadari bahwa tempat yang dijadikan sebagai background dalam foto mereka, adalah salah satu saksi sejarah dari beberapa kerajaan di Indonesia. “Tidak sangka saja sih. Dari luar temboknya warna hijau saja seperti arsitektur masjid biasa,” ucap Fitriyani, salah satu pengunjung Rumah Pesik. Tahun 1928, Rumah Pesik dibangun dengan dinding tinggi di bagian luar, disertai pahatan batu serta ornamen bermotif pada jendela dan pintu. Kala itu, Rudy membeli rumah warga dan mengubahnya menjadi kompleks. Penjaga sekaligus pegawai yang sudah bekerja selama 19 tahun, Asep Yayan, mengungkapkan bahwa Rumah


14

SIKAP MAGZ | SUARA SIKAP EDISI KOTAGEDE

Suguhan pemandangan yang dapat dilihat pada bagian depan setelah pintu gerbang Rumah Pesik. (foto: Hafi)

Tembok warna hijau yang menjadi ikon bagi para remaja dalam melakukan hunting foto pada bagian depan rumah. (foto: Hafi)

Kereta kencana peninggalan dari Keraton Solo yang merupakan alat transportasi yang digunakan oleh Pakubuwono X.(foto: Hafi)


SIKAP MAGZ |

SUARA SIKAP EDISI KOTAGEDE

Rudy Pesik ini adalah rumah pribadi biasa. Dikarenakan Rudy adalah orang yang suka mengoleksi bendabenda antik atau warisan budaya, maka fungsi rumah juga digunakan sebagai tempat koleksi barang-barangnya. Rumah ini didirikan dengan berbagai gaya arsitektur. Bagian dalamnya, berisi ukiran dari Jepara dan barang-barang khas Bali, Jawa, dan Eropa. Uniknya, terdapat perpaduan unsur Jawa dan Eropa. Joglo yang dijadikan rumah induk terletak di bagian belakang. Sedangkan, bangunan Eropa ditempatkan pada bagian depan. Bangunan Eropa cenderung berbentuk baroque (religius dan penuh emosi), berikut corak corinthian dan doriq (gaya Romawi). Pada bangunan joglo, khususnya pendopo, sudah termodifikasi menjadi tertutup. Tidak terbuka seperti pendopo joglo Rumah Jawa. Rumah milik pengusaha asal Manado ini telah dibuka untuk umum sejak Agustus 2018. Asep menjelaskan rumah ini dijadikan sebagai museum, homestay atau penginapan, dan kafe. Selain itu, tidak jarang pasangan pengantin memanfaatkan keindahan Rumah Pesik sebagai tempat foto prewedding. “Kebanyakan di sini isinya patungpatung, kursi-kursi, barang pusaka juga ada. Kayak keris-keris,” ucap Asep. Hal tersebut dibuktikan dengan kedatangan beberapa peneliti atau pengamat budaya yang datang untuk mengkaji patung di Rumah Rudy Pesik. Universitas Gadjah Mada (UGM) menjadi institusi pendidikan yang mendirikan

15

kantornya di samping Rumah Pesik, agar dapat meneliti hal-hal bersejarah yang ada di dalamnya sejak 2006 silam. Rumah Kalang yang berada di bagian depan rumah, juga memiliki banyak peninggalan kerajaan, seperti kereta kencana Kraton Solo. Keris – keris juga disusun rapi di bagian atas rumah kalang. Kurang lebih 200 keris dapat ditemukan di sana. Karena hobi yang dilakukannya, Rudy Pesik dan istrinya mendapat penghargaan dari Raja Puri Agung Singaraja dan Anak Agung Ngurah Ugrasena, atas segala dedikasi dan jasanya pada bidang budaya, sosial, kemanusiaan, dan pariwisata. Dalam melaksanakan tugas seharihari, Asep mengaku tidak ada ritual khusus untuk menjaga barang-barang peninggalan yang ada. Ia cukup membersihkannya supaya tidak terkena debu dan menatanya agar terlihat rapi. Selain itu, ia juga menepis stigma horor penjaga benda pusaka. “Kesannya waktu pertama kali masuk beda banget, sih. Waktu pertama agak takut, karena banyak banget patung gede. Akan tetapi, setelah lama duduk di dalam, ternyata hawanya enak, kayak adem gitu. Terus tenang juga,” ujar Fitri. Rumah Kalang Rudy Pesik menjadi salah satu bentuk pelestarian budaya yang ada di Indonesia. Harapannya, dengan adanya rumah ini sebagai salah satu cagar budaya di Kotagede, dapat menambah pengetahuan masyarakat. Wisatawan yang datang bisa belajar tentang warisan kebudayaan, sekaligus mendapat foto yang tentunya instragam-able untuk diunggah ke akun media sosial. (Hafiyyana, Kuni, Ayu)

Baca majalah SIKAP versi digital, di sini : www.suarasikap.com


16

K

SIKAP MAGZ | SUARA SIKAP EDISI KOTAGEDE

otagede yang dulunya bagian dari Kerajaan Mataram meninggalkan banyak jejak sejarah. Tidak hanya tempat historis yang memiliki beragam kisah, makanan khas Kerajaan Mataram pun memiliki historisnya tersendiri. Salah satu kuliner khas Kotagede yang masih dapat dijumpai yaitu kue Kembang Waru. Nama roti ini diambil dari nama bunga Waru. Kala itu Kotagede dihiasi banyak Pohon Waru. Sehingga, juru masak kerajaan terinspirasi untuk membuat kue layaknya Bunga Waru. “Untuk pembuatan Kue Kembang Waru ini, saya sudah generasi ketiga. Untuk pastinya terciptanya kue ini saya tidak tahu, tetapi jelas, Kembang Waru ini diciptakan oleh kerabat Keraton untuk jamuan para tamu raja,” jelas Basiran, salah satu pembuat kue. Basiran menjelaskan, pembuatan kue ini sempat terputus pada tahun 1965, akibat peristiwa G30S/PKI. Kemudian produksi kue dilanjutkan kembali oleh Basiran dan istrinya sejak 1985. Basiran menambahkan, kelopak Kue Kembang Waru memiliki filosofi tersendiri. Delapan kelopak yang terukir dalam kue ini menandakan elemenelemen kehidupan: matahari, bulan, bintang, air, tanah, udara, api, dan mega. Selain Kue kembang waru, makanan khas Kotagede lainnya adalah Legomoro. Makanan tersebut serupa dengan lemper. Nasi ketan yang diisi dengan daging ayam, lalu dibungkus dengan daun pisang. Meski begitu Legomoro berbeda dengan lemper. Perbedaannya terletak pada teknik pembungkusan. Legomoro

Kembang Waru dan Legomoro: Jejak Kuliner Khas Kotagede tidak hanya berbalut daun pisang seperti layaknya lemper. Dibutuhkan tali yang terbuat dari bambu untuk melilitkan makanan khas Kotagede tersebut. Legomoro biasanya digunakan sebagai hantaran saat pernikahan. Arti dari nama makanan ini sendiri yaitu, “lego” artinya lega, “moro” artinya datang. Sehingga, bermakna hati yang lega karena sudah tiba kepada mempelai wanita. Salah satu pembuat Legomoro, Sarjimah, telah membuat Legomoro sejak lama. “Saya sudah menekuni pembuatan Legomoro ini kira-kira sejak tahun 70an,” jelasnya. Sarjinah menambahkan pembuatan Legomoro sedikit lebih lama. Bahkan, bahan yang dibutuhkan pun terbilang banyak sehingga Sarjimah hanya menerima pesanan khusus. (Latief)


SIKAP MAGZ |

SUARA SIKAP EDISI KOTAGEDE

17


18

SIKAP MAGZ | SUARA SIKAP EDISI KOTAGEDE

Sepenuh Hati Menjaga Makam Para Raja

A

Erno sedang bertugas berjaga di sekitar lokasi makam (Foto : Umar)

Satu kali shift menjaga makam adalah 24 jam “ Saya merasa dapat berguna bagi sesama dan Kesultanan Yogyakarta. Selama menjadi Abdi Dalem Kraton Yogyakarta, saya juga bersyukur karena selalu dilimpahi rezeki sehingga kebutuhan keluarga saya dapat tercukupi, �

lunan tembang Jawa terdengar di pelataran makam Raja-Raja Mataram Kotagede, Yogyakarta. Suara itu terdengar dari sebuah radio tua di tempat para Abdi Dalem Kesultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta sedang berkumpul. Ramah senyuman seorang Abdi Dalem menawarkan para pengunjung untuk menulis buku tamu dan meletakkan uang sumbangan jika berkenan. Abdi Dalem Keraton Yogyakarta tersebut adalah Muhammad Pajarno. Erno, sapaan akrabnya, berasal dari Kotagede yang tinggal di sebelah barat Masjid Besar Mataram. Abdi Dalem merupakan aparatur sipil yang bertugas sebagai pelaksana operasional di setiap organisasi yang dibentuk oleh Sultan atau Sunan. “Tugas saya menjaga makam dan menjelaskan para pengunjung tentang sejarah dan


SIKAP MAGZ |

19

SUARA SIKAP EDISI KOTAGEDE

keadaan Masjid Besar Mataram dan Makam Raja-Raja Mataram saat ini,” ucap Erno. Hal ini dilakukan sesuai dengan tugas Abdi Dalem sebagai Abdi Budaya. Erno mendapatkan shift menjaga makam raja-raja bersama kedua temannya dari Kraton Yogyakarta dan ketiga temannya dari Kraton Surakarta. Kesultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta bekerja sama dalam melestarikan makam ini. Hal ini dilakukan karena raja-raja yang disemayamkan di makam ini merupakan raja-raja Mataram. Pada Minggu (14/04) bertepatan dengan tradisi keluarga Kasunanan Surakarta berziarah ke Makam Raja Mataram. Seluruh keluarga dari Keraton Yogyakarta maupun Surakarta dan pengunjung diwajibkan mengenakan pakaian adat serta dilarang untuk mengenakan perhiasan emas. Pengunjung juga tidak diperbolehkan untuk mengambil foto di dalam makam. Ziarah hanya diperbolehkan pada hari Minggu, Senin, Kamis, dan Jumat pukul 08.00-16.00. Erno menjaga makam Raja-Raja Mataram selama dua puluh empat jam setiap enam hari sekali. Pekerjaannya tidak hanya menjaga makam Raja-Raja tetapi juga diselingi dengan menjaga makam Hasta Renggo yang masih berada di kawasan Kotagede. Makam ini merupakan tempat bersemayam jasad Panembahan Senopati yang merupakan pendiri Kerajaan Mataram. Tidak seperti teman-temannya yang sudah berpuluh-puluh tahun mengabdikan diri sebagai Abdi Dalem, pria berusia 59 tahun ini baru menjadi Abdi Dalem selama lima tahun. Pekerjaan awal Erno adalah perajin emas yang

bekerja ke Ibukota. Akibat teror bom yang terjadi pada saat itu, pasar emas di Jakarta menjadi sepi dan berkurang jumlah permintaannya. “Saat itu saya tetap digaji oleh atasan saya, namun karena tidak ada pesanan saya tidak dapat mengerjakan apa-apa,” katanya. Ia pun akhirnya memilih pulang ke Yogyakarta. Pada pertengahan tahun 2013, Erno mengikuti jejak beberapa temannya sesama perajin Jakarta yang menjadi Abdi Dalem Kraton Yogyakarta. Ia mengajukan permohonan untuk menjadi Abdi Dalem. “Proses yang saya alami untuk menjadi Abdi Dalem seperti melamar pegawai,” kata Erno. Dimulai dengan tahap mengajukan berkas, pelatihan, hingga akhirnya menjadi Abdi Dalem Keraton. Bagi Erno mengabdikan diri pada Kraton Yogyakarta merupakan pengalaman hidup yang menyenangkan. Selain itu, ia juga dapat bertemu kembali dengan kawan lamanya. Selama menjadi Abdi Dalem ia mendapatkan ketentraman dan kebahagiaan batin. “Saya merasa dapat berguna bagi sesama dan Kesultanan Yogyakarta. Selama menjadi Abdi dalem Kraton Yogyakarta, saya juga bersyukur karena selalu dilimpahi rezeki sehingga kebutuhan keluarga saya dapat tercukupi,” ucap Erno. (Mella)

BIAR UPDATE, ADD SEKARANG!


20

SIKAP MAGZ | SUARA SIKAP EDISI KOTAGEDE

Jejeran becak di Kotagede (Foto: Hasan)

RUPIAH DAN PARA PERAYU ASPAL Pengayuh becak sepeda melintas di jalanan Kota Yogyakarta (Foto: Hasan)

K

isah ‘rupiah’ memang tak akan lekang ditelan waktu. Hampir semua kisah yang diproduksi manusia telah dimasuki rupiah. Jadi, jika Tuhan adalah sutradara hidup, maka uang adalah Tuhan bagi sebagian orang. Kisah ‘kayuh-mengayuh’ seorang tukang becak di daerah Kotagede, Yogyakarta yang menjalani pekerjaannya sebagai tukang becak di tengah gempuran modernisasi. Ia merupakan representasi dari orang-orang yang sedang dilema antara mengikuti arus modernisasi tapi tak punya rupiah atau tetap bertahan dengan cara konvensional tapi miskin rupiah. Hidup tak pasti. Mungkin itulah predikat yang pantas disandang orang-orang seperti ini. Cerita ini dimulai dari seorang tukang becak bernama Zaldikri. Pria kelahiran Yogyakarta, 55 tahun silam ini adalah salah satu tukang becak yang masih bertahan dengan becak sepeda. Lima belas tahun sudah ia menggeluti pekerjaan ini. Waktu yang cukup lama untuk sebuah

pekerjaan yang sudah terkena gempuran modernisasi. Munculnya sepeda motor, hingga teknologi aplikasi transportasi online ternyata belum berhasil menyingkirkan Zaldikri dan becak tuanya. Sepeda yang terlihat usang, besi yang sudah keropos, dan masalah teknis lainnya menjadikan pekerjaan Zaldikri sebagai tukang becak semakin tidak pasti. Sebenarnya, ia sudah pernah mengganti sepedanya. “Pernah karena patah, disenggol mobil,” katanya. Sangat sulit memang karena ia harus mulai dari nol lagi. Ketiadaan modal membuatnya menganggur beberapa waktu. Pekerjaan serabutan di pasar pun pernah dilakoni. “Susah, kita yang masih narik pakai sepeda seperti ini,” kata Zaldikri sambil melihat kedepan, kalau-kalau ada pembeli yang menenteng belanjaan.”Orangorang sudah pada pindah ke motor sama aplikasi. Jarang sekali ada yang mau pakai jasa kita,” lanjutnya. Jumlah tukang becak di Kotagede


SIKAP MAGZ |

SUARA SIKAP EDISI KOTAGEDE

pun sekarang sudah sangat sedikit. Di pangkalan becak, hanya ada sekitar 2 sampai 3 tukang becak. Menurut Zaldikri, jumlah tukang becak memang selalu menurun setiap tahunnya. Beberapa dari mereka sudah mulai dengan usaha baru, ada juga yang sudah pindah profesi menjadi tukang ojek motor. Bagi mereka, tukang becak bukan lagi sebuah pekerjaan yang menjanjikan. Dari segi harga, becak memang mematok harga yang lebih tinggi dari ojek motor. Hal ini sebenarnya wajar-wajar saja, mengingat tenaga yang dikeluarkan untuk mengayuh kendaraan ini besar. Belum lagi barang bawaan penumpang yang melebihi batas normal. “Ya, mau tidak mau harus diangkut. Rezeki tidak datang dua kali,” kata Zaldikri sambil tertawa. Inilah salah satu hal utama yang menyebabkan becak tidak lagi diminati. Penyebabnya karena penumpang ingin harga yang terjangkau. Selain itu, alasan efektifitas juga sering kali menjadi penyebab mengapa tidak banyak orang yang menaiki becak. Lajunya yang lambat dan sering kali terjebak di jalanan macet membuat becak semakin tidak diminati. Ketika ditanya tentang berapa rata-rata penumpang dalam sehari, Zuldikri mengatakan tak menentu. Jika sedang ramai, bisa dua sampai tiga penumpang. Namun jika sedang sepi, hanya satu penumpang saja dan tak jarang pula tidak mendapat penumpang sama sekali. Zaldikri juga sering menjadi tukang antar barang. Para pedang di Pasar Kotagede biasanya menggunakan jasanya untuk mengantar barang ke Pringgolayan. Barang bawaannya tidak main-main banyaknya. Para pedagang tersebut tidak mau rugi menyewa becak berkali-kali

21

untuk pergi dan pulang PringgolayanKotagede. Maka, cara paling tepat adalah mengangkut barang dagangan sebanyak mungkin dalam satu kali pengantaran. Pecah ban adalah hal yang biasa dan para pedagang tidak mau tau tentang hal itu. Mengandalkan penghasilannya sebagai seorang tukang becak tentu tidak cukup untuk menghidupi keluarga. Zaldikri biasanya narik dari jam 7 pagi sampai jam 1 siang. Pada sore hari, ia berjualan angkringan. Katanya, lumayan untuk menambah penghasilan. Bagi Zaldikri memenuhi kebutuhan keluarga adalah tujuan utamanya, meskipun ketiga anaknya sudah berkerja dan berkeluarga. Menurutnya, ketiga anaknya sudah ‘sukses’ dan sudah mendapat kerja yang bagus. Ia juga mengaku bahwa meskipun pekerjaannya berat, tapi sampai saat ini keadaannya baik-baik saja. Ketika ditanya apakah akan tetap bertahan menjadi tukang becak sepeda, Zaldikri menjawab tak punya pilihan lain. “Sebenarnya sudah mau pindah ke motor, tapi tidak punyak modal. Mau tetap jadi tukang becak juga susah. Tidak pasti dapatnya (uang) sehari berapa. Kita kalah sama ojek aplikasi itu,”katanya sambil melihat ke depan, menunggu jika ada penumpang. Orang-orang seperti Zaldikri bukanlah orang yang tidak mau berubah dan memilih bertahan dengan becak konvensional. Namun, mereka orang yang menerima keadaan dan mencoba ikhlas dengan segenap kemampuan yang ada. Walaupun susah, mereka memilih untuk ‘merayap’ dari pada mengemis untuk menghidupi keluarga. (Redemptus Risky)


22

SIKAP MAGZ | SUARA SIKAP EDISI KOTAGEDE

Wisata Alterna menyebabkan banyak penghuni kasat mata yang meninggali.

Tampak depan rumah pocong (foto: Dita)

K

otagede menjadi salah satu destinasi pariwisata di Yogyakarta. Daerah ini sarat dengan budaya peninggalan Kerajaan Mataram. Ada Masjid Kotagede hingga Rumah Rudy Pesik yang kental dengan arsitektur bergaya Jawa dan Eropa. Selain itu, berbagai kios kerajinan perak juga tersentra di sana. Di tengah ragam objek tersebut, ada dua tempat yang bisa menjadi alternatif untuk dikunjungi. Keduanya terlepas dari ciri khas budaya Kotagede, namun tidak menyurutkan pengunjung datang karena keunikannya. Rumah Pocong: Tidak Sepi meski Mistis Rumah yang berdiri sejak 1860 ini terbengkalai dengan kondisi rumput liar hingga ke dalam rumah dan tidak ditinggali beberapa puluh tahun. Kekosongan itu

“Dijuluki Rumah Pocong karena di sini ada dua pocong penghuni. Ada pocong dengan wajah yang hancur dan rusak, sedangkan satunya adalah pocong cantik berbalut kain kafan bersih putih yaitu Mbak Sumi. Mbak Sumi sering menampakan diri daripada yang lainnya, maka dari itu dijulukilah Rumah Pocong” Kata Nono, penjaga Rumah Pocong. Saat ini Rumah Pocong menjadi salah satu tempat wisata populer tanpa biaya. Sejak gempa bumi yang melanda pada 2006, Nono berniat membersihkan dan menjaga Rumah Pocong. “Jagalan merupakan desa wisata. Rumah ini adalah salah satu cagar budaya, namun terihat sangat kotor. Timbul niat saya untuk membersihkan rumah ini. Siapa tahu untuk foto-foto berwisata,” Jelasnya. Sebelum kosong, rumah ini ditinggali oleh keluarga Alm. Sudigdo. Sebelum merenovasi, Nono meminta izin cucu dari Alm. Sudigdo. Tidak hanya sekadar meminta izin kepada pemilik rumah, Nono juga meminta izin kepada ratusan penghuni kasat mata yang telah menghuni rumah kosong ini.


SIKAP MAGZ |

SUARA SIKAP EDISI KOTAGEDE

23

atif Kotagede “Merasa takut iya, namun dengan tekat niat ikhlas saya menguatkan diri. Hingga nego-nego terjadi akhirnya berhasil dan berteman dengan mereka saat ini. “Intinya saling menghargai maka mereka tidak akan mengganggu.” ungkapnya. Bangunan rumah diperbaiki Nono mulai dari halaman depan, dalam rumah hingga halaman belakang. Usai renovasi, Rumah Pocong dikenal sebagai wisata mistis Kotagede. Penyuguhan spot

Salah satu ruangan di rumah pocong (foto: DIta)

dan atribut foto dibuat pula oleh Nono. “Setiap hari hampir ada kunjungan oleh mahasiswa, pelajar untuk tugas kuliah bahkan sampai acara televisi seperti Dua Dunia Trans 7 pernah bekunjung ke sini.” kata Nono. Hal tersebut dibutuhkan penjagaan lebih oleh Nono. Sikap sopan mulai dari perilaku perkataan merupakan hal yang perlu diperhatikan dalam berkunjung Rumah Pocong. Mistisnya Rumah Pocong tidak lepas dari perhatian masyarakat sekitar Desa Jagalan. Warga sudah biasa dengan kejadian mistis yang terjadi di sana. “Ya takut tapi mau bagaimana lagi gang besar menuju rumah untuk gerobak hanya lewat sana dan saya sudah biasa.,” Jelas Tanti, salah seorang warga yang tinggal di Jalan Mondorakan.

Halaman belakang rumah pocong (foto: Dita)


24

SIKAP MAGZ | SUARA SIKAP EDISI KOTAGEDE

Omah UGM: Lestari karena Antik Bangunan ini berdiri tidak jauh dari Rumah Pocong. Menurut Nono, pemilik rumah tersebut awalnya adalah Parno Darsono. Parno merupakan perajin perak terbesar di seluruh daerah Jagalan Kotagede pada zamanya. Pasca Parno meninggal, rumah itu sempat ditawarkan ke warga, namun akhirnya jatuh ke UGM. Usai dibeli oleh pihak kampus pada 2006, rumah tersebut diresmikan oleh Sri Sultan Hamengkubuwono X. Setelah pindah hak milik, pihak UGM melakukan renovasi kembali dan dikembalikan ke Kampung Bodon sebagai tempat untuk melakukan berbagai kegiatan seperti arisan, pernikahan, hingga pembuatan film. Joglo serbaguna yang kerap difungsikan sebagai aula juga boleh dipakai oleh umum. Perabotan di dalam rumah masih dijaga keasliannya sehingga tercipta kesan tua dan unik bagi pengunjung masa kini.

Sisi samping Omah UGM (foto: Rindi)

Tampak depan Omah UGM (foto: Rindi)

Terdapat nama-nama istilah untuk setiap bagian rumah. Emperan merupakan tempat untuk menerima tamu, pendopo sebagai tempat untuk bersantai, pringgitan sebagai tempat prasmanan, pawon yaitu


SIKAP MAGZ |

SUARA SIKAP EDISI KOTAGEDE

25

Bagian menarik rumah ini terdapat di belakang rumah. Dahulu di tempat tersebut terdapat bungker yaitu goa yang sekarang menjadi pohon sereh. Menurut Nono, bungker tersebut ada untuk mencari “satpam�, yaitu penjaga kasat mata . Hal ini dilakukan dengan cara bersemedi di bungker tersebut, lalu setelah dapat maka akan ditempatkan di setiap bagian rumah. Tujuannya untuk menjaga keamanan, mengingat sejarah bahwa rumah ini merupakan rumah saudagar kaya yang merupakan pengrajin perak terbesar di Kotagede.

dapur, dan terakhir sentong yang dibagi lagi menjadi tiga tempat yaitu yang sentong kanan sebagai tempat tidur, sentong tengah sebagai tempat salat untuk muslim, dan sentong kiri sebagai tempat pusaka.

Ruang tengah Omah UGM (foto: Rindi)

Terlepas dari sejarah, kini Omah UGM dijadikan sebagai pusat pergerakan pelestarian. Terdapat gadhok yang telah direnovasi tetapi tetap melestarikan bekas dinding yang sudah tidak utuh lagi. Hal ini dilakukan untuk mengingat dahsyatnya gempa yang sudah lama terjadi. Untuk saat ini Omah UGM banyak diminati kaum muda sebagai tempat foto dikarenakan bangunan yang antik dan unik. (Dita, Rindi)


26

SIKAP MAGZ | SUARA SIKAP EDISI KOTAGEDE


SIKAP MAGZ |

SUARA SIKAP EDISI KOTAGEDE

27


www.suarasikap.com

Fotografer : Umar

2019


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.