SULUH MHSA | Edisi IV|September 2011
1
2
SULUH MHSA | Edisi IV|September 2011
Sapatorial
Diskusi Peradaban Sudah dari dulu, pendidikan akan membentuk manusia yang seutuhnya. Sejak dari dulu pula, pendidikan belum bisa mewujudkan pendidikan manusia yang seutuhnya. Adkah yang salah kaprah, tak lazim, atau jangan-jangan semua pihak telah merasa benar di jalan yang “sesat”? Mengapa pendidikan memberi kesan bermasalah? Apakah pendidikan selama ini justru tidak memanusiakan manusia? Apakah pendidikan telah berorientasi sebagai “pabrik” dan menjadikan peserta didik sebagai bahan baku untuk dijadikan sebuah produk? Atau, jangan-jangan pendidikan telah mengejar yang dianggap besar dan mengabaikan hal yang dianggapnya kecil? Jangan-jangan, pendidikan juga telah melupakan sejarah tentang kapal besar yang tenggelam karena membiarkan kebocoran kecil di lambung kapal? Banyak persoalan dalam pendidikan di tanah ini. Sehingga, tujuan pendidikan semakin jauh dan tak terkejar. Pada saat yang sama peserta didik gamang dan menganggap pendidikan tidak penting. Sebab, pintar saja tidak cukup untuk menjadi guru karena pengajar di republik ini diukur seberapa banyak uang yang dikeluarkan saat melamar sebagai tenaga pengajar melalui saringan PNS. Peserta didik mendapat inspirasi dan ilmu baru tentang kebohongan asal tujuan yang ingin diperoleh bisa tercapai. Padahal, ia sesungguhnya tidak ahli mengajar dan mendidik. Tetapi karena tidak punya pekerjaan dan bukan sosok yang inovatif, lalu dipilihlah profesi guru sesuai ijazahnya dengan cara membayar. Ia seperti pemain sepak bola yang tidak mahir tetapi lolos seleksi karena panitia menerima “tanda jasa”. Maka dalam konteks ini dengan kualifikasi guru yang seperti itu, di ruang kelas peserta didik tidak betah. Naluri peserta didik dapat merasakan sia-
pa saja yang secara kualifikasi tidak layak menjadi guru. Tetapi kok lolos jadi guru? Inilah yang sebagian dirasakan peserta didik di salah satu SD di Surabaya yang terkena kasus contek masal pada saat UASBN lalu. Seorang peserta didik yang menerima pelajaran kejujuran dari rumah, tibatiba mengalami situasi yang kontradiktif saat anak ini berada di sekolah. Pergulatan batin antara yang ditemukan dengan yang diyakini benar adanya sebagai kejujuran berakhir dengan curhat. Dari curhat yang mengabarkan contek masal ini, anak ini justru dianggap berbohong dan salah. Ini hanya contoh kecil. Tidak menutup kemungkinan hal yang sama terjadi di daerah-daerah yang lain. Maka pendidikan dalam kasus SD di Surabaya itu sungguhsungguh menikam peradaban dan tidak berkarakter. Peran siswa sebagai subyek pembelajaran teraniaya. Peran guru yang memanipulasi kenyataan dan seharusnya menjadi teladan, ambruk karena khawatir kehilangan jabatan. Ketika kejujuran dan kebenaran dianggap aneh, maka pendidikan sebenarnya sedang tidak memanusiakan manusia. Di samping itu, bila dicermati, banyak sensitivitas yang hilang dari proses pembelajaran di sekolah. Ini terjadi lantaran perhatian sekolah (guru) lebih terjebak pada faktor kognitif. Padahal, karakter yang berkualitas harus dibentuk sejak usia dini seperti anak SD Surabaya itu yang benar-benar mengingat pentingnya kejujuran. Namun jika kegagalan dalam penanaman kepribadian yang baik di usia dini, akan membentuk pribadi-pribadi yang bermasalah kelak di masa dewasanya” (Freud). Mungkin tidak disadari, bangsa ini telah berkali-kali diterpa badai, sebagai dampak dari pendidikan yang cenderung hanya memperhatikan faktor kognitif (fungsi belahan otak kiri). Kerusuhan Mei 1998, meningkatnya tindak kekerasan baik secara
individu maupun kolektif, meningkatnya prilaku merusak diri (narkoba, seks bebas, alkohol), penurunan etos kerja, semakin kaburnya pedoman moral baik dan buruk, perilaku tidak jujur yang telah begitu “membudaya”, dan menjadi peradaban. Hingga saat ini, pendidikan di sekolah masih berorientasi pada filosofi “pedagogy of the oppresed” yang menekan dan menindas peserta didik. Banyak guru yang keasyikan memberi tugas sebanyakbanyaknya, guru cenderung hanya ingin didengarkan oleh peserta didik (yang menjadi pendengar pasif ), banyak pula guru yang memposisikan dirinya sebagai subjek sedangkan peserta didiknya hanya dijadikan objek dalam proses pembelajaran. Akibatnya peserta didik cenderung belajar hanya untuk sekolah. Pasti, sudah tiba saatnya tinggalkan sistem pendidikan yang tumpul itu. Pendidikan yang berperadaban harus berorientasi pada filosofi “pedagogy of love”. Guru harus mampu mengundang keingintahuan peserta didiknya, yang dapat melarutkan jiwa siswa pada kesukaan/ senang dan akhirnya cinta belajar. Cara ini signifikan karena peserta didik tidak akan menilai sekolah sebagai penjara. Indikasi sekolah di tanah ini seperti penjara dibuktikan dengan siswa yang senang saat bel istirahan atau pulang berbunyi. Hampir tak ada siswa yang merasa kehilangan karena jam belajar di sekolah berakhir. Situasi ini tidak ditangkap pendidik bahwa pendidikan tidak berhasil membuat peserta didik rindu untuk belajar. Lebih buruk lagi, ketika guru lebih suka mengajar dengan lebih memperhatikan jam mengajar sebagai standar sertifikasi, bukan seberapa bermutu kegiatan belajar yang diberikan. Dus, pendidikan di tanah ini seperti sinetron kejar tayang, tak bermutu tetapi terus disiarkan dan banyak penggemarnya. (*)
SULUH MHSA | Edisi IV|September 2011
3
daftar isi
Suluh Utama Pengamat Pendidikan Indecs (Institute for Education and Cultural Sutdies) Pamekasan, pendidikan yang diselenggarakan selama ini telah menjauhkan peserta didik dari realitas. Pendidikan ini, katanya, tidak disadari telah membentuk warna baru bagi peserta didik. Akibatnya, peserta didik memiliki kecendrungan instan, mengambil jalan pintas, dan pragmatis.
Eksotika Moyangku Seorang Nelayan
designed by david
Aktifitas nelayan sungguh unik jika didekati dari dekat. Mereka tidur, makan dan sholat diatas perahu ketika sedang menunggu tangkapan. Bahkan ketika cuaca tak bersahabatpun mereka berani bertaruh nyawa untuk melaut demi memenuhi kebutuhan keluarga.
Suluh utama
6
Suluh Khusus
10
Opini
12
Politika
16
Fokus Lensa
20
Esotika
22
Generasi Bangsa
26
Percik
28
Cermin Hati
35
Serambi
32
Akademia
36
Potensi Desa
38
Kriminal
40
Olah Raga
41
Oase
42
Redaksi SULUH MHSA
Majalah Bulanan Suluh MHSA ini diterbitkan SAI (Said Abdullah Institute) Pembina: MH Said Abdullah, Januar Herwanto. Pemimpin Umum: Moh Rasul Junaidy. Wakil Pemimpin Umum: A Zahrir Ridlo. Pemimpin Redaksi: Abrari Alzael. Sekretaris Redaksi: Zeinul Ubbadi. Lay Outer: Ahmed David. Reporter: Didik L Setia Budi, M Sa’ie. Fotografer: Saiful Bahri. Biro Sampang: Mamak-Fathurrahman. Biro Pamekasan: Nanang Sufiyanto. Biro Sumenep: Fauzi. Biro Bangkalan : Safi’. Biro Jakarta: Alwi Assegaf Koresponden: Rozaki (Jogja), Amir Faqih (Yaman) AE: Badrul Ahmadi Alamat Redaksi : Jalan Adirasa 5-7 Sumenep 69417 tel. 0328-674374 faks. 0328-661719. email : suluh_mhsa@yahoo.com. web : www.suluhmhsa.com. Redaksi menerima sumbangan tulisan dari pembaca baik
4
SULUH MHSA | Edisi IV|September 2011
suara pembaca SULUH BELUM MENYELURUH?
BOLEH TIDAK SAYA KIRIM TULISAN?
Terbitnya Majalah Suluh membanggakan. Sebab, sedikitnya ikut mewarnai jagad kejurnalistikan. Meski, kami melihat ada sejumlah kekurangan. Diantaranya, redaksi tidak menyediakan ruang bagi para pelajar untuk menampangkan karyanya, kemudian Majalah Suluh setidaknya juga didistribusikan ke semua lembaga pendidikan di Sumenep, khususnya lembaga kami di wilayah pedesaan.
Askum SULUHMHSA,saya Ahmad Sa’ie asal pasongsongan pengegemarmu yang setia membaca di setiap terbitan. Saya sangat kagum dengan tampilan majalah SULUH MHSA, yaitu tampilan yang khas Maduranya. Sajian informasi seputar Madura membuat saya tertarik untuk ikut nimbrung didalamnya..
Selain itu, perlu juga kiranya redaksi memikirkan penghargaan atas karya yang dimuat (misalkan nanti disediakan rubrik khusus karya pelajar/umum). Penghargaan itu tidak harus berupa materi. Namun, bisa berupa sertifikat dan lainnya. Yang penting, para pengisi rubrik bersangkutan bisa senang karyanya dimuat dan mendapat penghargaan dari media Suluh. Akhirnya, kami berharap Majalah Suluh bisa terus eksis, lebih bagus dan menyeluruh. Sehinggga, kehadiran majalah ini bisa mengajak semua komponen kebih bijak dalam melihat sesuatu yang terjadi di sekitar (baik persoalan sosial, ekonomi, adat istiadat, hukum dan politik) Hasbullah Nyran, MA Al Ghazali Desa Rombasan, Pragaan, Sumenep.
JEMPOL UNTUK RURIK CERMIN Sejak edisi pertama saya sudah membaca majalah suluh. Beragama infomarmasi dan analisanya yang cukup ringan dan mudah dicerna, telah saya lahap. Pada edisi ketiga saya menjumpai sebuah rubrik baru yang cukup bagus. Rubrik bernama cermin hati tersebut membuat saya semakin apresiatif terhadap suluh. Sebab melalui rubrik tersebut saya didorong untuk introspeksi diri. Sekalipun rubrik ini, seakan menelanjangi diri saya, namun tak sedikitpun ada rasa tersinggung dan tidak enak hati. Sebab rubrik ini disajikan berbentuk kisah-kisah teladan. Dengan membaca rubrik ini, saya merasa kembali “direfresh�, menyadari keberadaan dan peran saya dalam menjalani hidup. Saya berharap, ke depan suluh dapat menghadirkan kisah-kisah lain yang lebih menarik dan inspiratif. Ini tentu penting mengingat kondis bangsa saat ini sangat memperihatinkan. Bangsa ini membutuhkan teladan, panutan dan tempat berteduh. Barangkali dengan rubrik cermin hati ini, hati-hati yang sedang kelam dapat kembali menjadi terang untuk menerangi bangsanya. Fathorrahman Anggota Karang Taruna desa Batuputih Laok
saya berkeinginan juga ingin menawarkan konsep pemikiran berupa tulisan tentang keinginan mengembalikan masyarakat Madura kepada khabitatnya. Yaitu menyajikan kondisi masyarakat yang santun dengan nilai agamis. Sehingga masyarakat Madura tidak terkesan kaku, tetapi sebaliknya, masyarakat madura bisa tampil sebagai sosok yang ramah penuh dengan persaudaraan. Usulan saya, SULUH MHSA lebih detil lagi mengulas masing-masing kabupaten yang ada di Madura. Baik dari segi kehidupan social,ekonomi politik dan budaya. Kemudian dari cirri khas masing-masing itu,dipadukan menjadi sebuah kesimpulan bahwa dari 4 kabupaten ini mempunyai sebuah kesamaan yang dibakukan, menjadi satu kesimpulan inilah masyarakat Madura yang sebenarnya...Terima kasih.... AHMAD SAE Warga Desa Lebeng Barat Pasongsongan Sumenep
dari redaksi
TAMBAH RUBRIK PELOSOK DESA Perwajahan dan disain Suluh sudah cukup bagus, namun ada banyak peristiwa di tingkatan desa yang belum tercover. Karanya kalau boleh usul, tolong disediakan rubrik untuk berita-berita dari pelosok desa. Selama ini Suluh saya lihat hanya memuat berita-berita yang ada di kabupaten dan bahkan berskala nasional. Jika rubrik khusus untuk pelosok desa ini ada, saya pikir akan membantu suluh untuk semakin dekat dengan masyarakat madura. Sebab dengan adanya rubrik ini, masyarakat akan selalu merindukan Suluh. Saya tidak pernah melihat koran atau majalah yang mau meliput kejadian atau isu-isu yang ada di pelosok desa. Karenanya, ini peluang cukup bagus buat suluh. Mumpung belum ada yang melirik, segera rencanakan dan atur yang baik. Akhir kata, Maju terus Suluh. Semoga terus menjadi lebih baik dan lebih dekat dengan masyarakat madura. TAUFIQURRAHAMAN Warga Desa Gilang Bluto Sumenep
Mudah-mudahan SULUH MHSA ini kedepan menjadi bahan instropeksi bagi masyarakat Madura untuk lebih semangat lagi, mengembangkan potensi yang ada di Madura. Sehingga masyarakat Madura tidak mudah terkooptasi dengan budaya luar yang dapat mengikis budaya Madura.
Berbagai masukan yang masuk ke redaksi, akan segera dibicarakan dan ditindak lanjuti jika memang memungkinkan. Terimaksih banyak kepada para pembaca yang telah ikut berbagi dan peduli terhadap eksistensi kami. Tentu, dukungan dan masukan yang pembaca utarakan akan sangat membantu kami untuk terus berkaraya dan mempersembahkan yang terbaik untuk Madura. Pada edisi kali ini kami menghadirkan informasi dan foto-foto fantastis yang insyallah cukup memukau. semoga apa yang kami sajikan ini tidak jauh dari harapan para pembaca sekalian. Semoga bisa memberi inspirasi bagi pembaca sekalian untuk melakukan hal-hal yang bermanfaat.
SULUH MHSA | Edisi IV|September 2011
5
Pendidikan Harus Mencerminkan Karakter Lokal
foto: obbath/SM
SULUH UTAMA
TETAP SERIUS : Dau orang anak kembar tampak sedang belajar dengan serius di dpan sebuah sekolah dasar yang kini sudah tidak dipakai karena sekolah ini tidak diminati oleh anak-anak masyarkat sekitar. Sekolah di sebuah desa di kecamatan Bluto ini tutup sejak dua tahun lalu.
PENDIDIKAN MENJAUH
Dari Alam Lingkungan Peserta didik Suatu ketika, pada pertengahan tahun lalu, seorang ahli pendidikan memberi kesempatan kepada sekitar 20 orang siswa SMP di Sumenep. Di gedung GNI, mereka ditanya cita-citanya. Tak satu pun dari mereka mengumumkan dirinya sebagai sosok yang ingin menjadi petani yang andal. Tidak juga untuk menjadi nelayan atau wirausaha yang hidupnya tak bergantung di bawah santunan negara melalui gaji yang dialokasikan APBN. Mereka mengatakan sebagai diri yang ingin menjadi polisi, hakim, dan jaksa. Ada pula yang ingin menjadi dokter, bidan, arsitek, kontraktor, artis, dan hanya satu orang yang ingin menjadi guru. Pertanyaannya, mengapa sebagian besar siswa dalam kasus ini tidak ingin meneruskan jejak leluhur yang akrab dengan laut dan lahan pertanian. Apakah dalam pandangan peserta didik kehidupan nelayan dan
6
petani sudah sedemikian tidak mujur? Atau, jangan-jangan pendidikan telah mendedahkan sesuatu yang salah kaprah dan tidak berkarakter serta menjauhkan peserta didik dari lingkungannya? Mengapa polisi,
SULUH MHSA | Edisi IV|September 2011
PRAMA JAYA Analis Pendidikan Indecs
hakim, jaksa, pengusaha, dan artis menjadi profesi yang jauh lebih menarik, mudah kaya, glamour dan bahkan jauh lebih favorit dibanding guru? Atau mengapa peserta didik menjadikan nelayan, peternak, dan petani sebagai pekerjaan yang “menyiksa�. Jangan-jangan guru telah menyelenggarakan KBM yang mengajak peserta didiknya untuk bermimpi. Menurut Prama Jaya, analis pendidikan dari Indecs (Institute for Education and Cultural Sutdies)
Pamekasan, pendidikan yang diselenggarakan selama ini telah menjauhkan peserta didik dari realitas. Pendidikan ini, katanya, tidak disadari telah membentuk warna baru bagi peserta didik. Akibatnya, peserta didik memiliki kecendrungan instan, mengambil jalan pintas, dan pragmatis. Bahkan pada radius tertentu, belajar bagi peserta didik menjadi tidak perlu karena tantangan dalam pendidikan dianggapnya hanya berlaku secara formalistik. Contoh paling mutakhir atas anggapan tidak pentingnya pendidikan bagi peserta didik tertentu dalam kasus dugaan contek masal di Surabaya di ujian akhir SD beberapa waktu lalu. Saat terdapat seorang peserta didik yang melaporkan contek masal kepada orangtuanya yang terus berlanjut ke sekolah dan menjadi kredo di senatreo negeri, peserta didik akhirnya menilai kejujuran sebagai satu kesalahan. Padahal, ujar Prama, kejujuran merupakan salah satu pendidikan yang berbasis karakter sebagai bentuk penghormatan terhadap kebenaran. Dia menduga, kasus yang terjadi Surabaya itu hanya tamsil dari kemungkinan terjadinya contek masal di daerah yang lain. Dia menambahkan, kasus negatif lain seperti adanya oknum bar yang “menggagahi “peserta didiknya juga menjadi tanda atas tidak adanya batas kesantunan berkomunikasi hingga menembus batas dan merasuk kepada hubungan biologis. Berawal dari ini, oknum peserta didik menilai oknum guru sebagai manusia biasa yang kadang-kadang luar biasa dan melampaui batas-batas keguruannya. Kondisi ini diperparah dengan lingkungan munculnya tayangan di media. Sementara, di sekolah pendidikan hanya berjalan apa adanya, seakan-akan hanya menggugurkan kewajiban dari jam kerja 07.00 sampai 13.30. Sedangkan apa isi dan muatan pendidikan, berjalan apa adanya dan nyaris tanpa inovasi. Memang, dia menyadari pendidikan tidak harus dialamatkan kepada pemerintah, dinas pendidikan, dan lembaga lainnya yang berkait dengan pendidikan saja. Menurut pria yang lebih suka berkumis tebal ini, pendidikan berkait antara pemerintah, parlemen, civitas (SDM) pendidikan, sekolah dan masyarakat. Apabila lingkungan dan pihak yang semestinya menopang pendidikan diam, Prama menilai pendidikan tidak berkarakter, menjauhkan peserta didik dari realitasnya, dan anak cendrung bebas untuk melakukan dan tidak mengerjakan apaapa tanpa tanggung jawab. (abe)
MINIM BUDAYA TANDING Dari amatan Salman Al Farisi (Institut Nara Utama), pendidikan menempatkan manusia sebagai pemeran utamanya baik sebagai subjek sekaligus objek. Menurut Salman, keilmuan sebagai medianya yang bertujuan untuk memanusiakan manusia . Sedangkan kemampuan untuk menjawab berbagai persoalan yang sifatnya kekinian maupun antisipasi masa depan (kenantian) masih gagal meniscayakannya sebagai budaya tanding. Mantan aktivis ini menjelaskan, pendidikan saat ini dihadapkan pada berbagai persoalan. Pertama, katanya, pendidikan diampu sebagian SDM yang bersertifikat secara simbolik. Secara substantif, kenaikan insentif melalui sertifikasi tidak dibarengi dengan kompetensi SDM subyek pembelajaran. Kedua, pendidikan tidak berorientasi pada realitas dan karenanya pendidikan perlahan-lahan membunuh karakter. Akibatnya, urainya, peserta didik menjadi kaum pemamah. Sementara, yang terjadi di lingkungan anak tak lain mimpi, hedonisme, konsumerisme, dan jalan pintas. “Masalahnya apakah kita mau pendidikan seperti itu ataukah masih ada harapan untuk menjadi lebih baik?,” ujarnya dengan nada bertanya. Dia menyadari itulah sebabnya mengapa dunia pendidikan itu kompleks, menantang, namun sangat mulia. Kompleksitas dan tantangan terus berkembang, seiring dengan perjalanan jaman. Karena itu, dia minta semua pihak harus secara bersama-sama terus-menerus berikhtiar dengan sungguh-sungguh untuk menanganinya, demi kemuliaan diri, bangsa, negara, dan umat manusia. Selain itu, dia menyadari tantangan global dan internal yang sedang dihadapi, yang mengharuskan semua untuk lebih memperkuat jati diri, identitas, dan karakter sebagai bangsa Indonesia khususnya Madura. Hal yang sama disampaikan dosen UIN Jogja muda asal Madura Abdur Rozaki. Dia memandang pendidikan belum menumbuhkan kecintaan dan kebanggaan sebagai bangsa Indonesia. Penumbuhan kebanggaan itu dilakukan melalui kegemaran kita untuk berprestasi positif untuk dikontribusikan dan didedikasikan demi kemajuan daerah teritorialmya dan bangsa bahkan negara. Tanpa prestasi, dikhawatirkan terjebak dalam kebanggaan sem dan tanpa makna. Pria yang pernah bermukin di Jepang itu menghendaki SDM pembelajaran mendekatkan peserta didik pada realitas yang berkarakter. Pendidikan karakter yang berbasis realitas ini sangat membantu peserta didik baik pada saat aktif di lembaga pendidikan maupun di luar pendidikan formal. Setidak-tidaknya, Rozaki menilai peserta didik tahu dirinya, tahu potensi alam di sekitarnya, dan tahu bagaimana caranya untuk memanfaatkan sumber daya alam menjadi penyandang kelanjutan bagi, “Jangan sampai peserta didik dihilangkan haknya untuk maju,” pangkasnya. (abe)
SULUH MHSA | Edisi IV|September 2011
7
Buta Huruf di Madura Masih Tinggi
Foto: Saiful Bahri/SM
SULUH UTAMA
TUNA AKSARA MADU
Selain sekolah formal yang mendidik pelajar berseragam, pemerintah memiliki program pendidikan luar sekolah. Pendidikan model ini lazim disebut keaksaraan fungsional. Dilihat dari angka, populasi angka tuna aksara ini tersebar luas hingga ke empat kabupaten di Madura. Populasi terbanyak berada di Kabupaten Sumenep. Mengapa banyak, tentu karena populasi jumlah pendidik di kabupaten ujung timur Madura ini juga banyak, lebih dari satu juta jiwa. Bupati Sumenep A Busyro Karim mengakui laporan dari BPS (Badan Pusat Statistik) Jawa Timur yang menyebut penderita tuna aksara sebanyak 212.266 jiwa. Menurut dia, angka tersebut tergolong besar. Untuk mengurangi angka tuna aksara tersebut, Busyro menyadari tidak sematamata tanggung jawab pemerintah melalui dinas pendidikan. Sebab, di
8
Sesuai verifikasi, angka tuna aksara tersebut terbelah dua. Jenis kelamin perempuan yang tuna aksara mencapai 139.741 orang dan 72.525 jiwa lakilaki. Dari sisi usia, penyandang buta huruf terbanyak berumur 45 hingga 64 tahun yang mencapai 111.066 dari total penyandang tuna aksara ini. “Kami sampaikan biar masyarakat tahu berapa jumlah buta huruf di Sumenep,� Busyro menjelaskan.
di KF (keaksaraan fungsional). Ketiga, masyarakat yang semula naik tingkat (melek aksara) memilih turun lagi ke tingkat tuna aksara karena ilmunya tidak diasah. Keempat, warga yang semula melek huruf pindah kota dan Sumenep kedatangan penduduk lain dari luar kota dengan membawa potensi tuna aksara. Kelima, konsep plasma penuntasan tuna aksara tidak berjalan sesuai rencana. Keenam, alokasi anggaran tuntas tuna aksara dari pusat belum memadai. “Saya sudah minta disdik dan (berkoordinasi) dengan kemenag,� terangnya.
Dalam analisanya, banyak faktor yang dapat menyebabkan terjadinya tuna aksara. Pertama, warga terlalu menikmati tuna huruf dan enggan dinaikkan statusnya dari tuna menjadi melek aksara. Kedua, program keaksaraan fungsional tidak berhasil berjalan sesuai target karena faktor SDM
Sedangkan di di Pamekasan, tercatat 33.436 warga Pamekasan masih tuna aksara. Angka ini tidak berjalan mulus karena di tahun-tahun sebelumnya Pamekasan memiliki 127.929 orang yang menderita tuna aksara. Perlahan-lahan, angka tersebut ditekan dengan berbagai cara sampai
setiap kabupaten terdapat dua penyelenggara pendidikan; dinas pendidikan dan kementrian agama.
SULUH MHSA | Edisi IV|September 2011
PENDIDIKAN KARAKTER: Pendidikan harus dimulai sejak dini agar anak bisa membaca dan tidak pipis sembarangan.
RA KIAN MERANA
kemudian Pamekasan mendapatkan penghargaan Anugrah Aksara dari Pemerintah RI di era Presiden SBY-JK. Mengapa program pemberantasan tuna aksara ini berhasil, pemkab bekerja sama dengan 42 organisasi kemasyarakatan dan lembaga pendidikan luar sekolah, organisasi profesi dan ormas. Kepala dinas pendidikan Achmad Hidayat tidak menampik adanay kerja sama dengan sejumlah pihak untuk mngurangi angka tuna aksara di Kabupaten Pamekasan. Melalui kantongkantong organisasi, pendidikan keaksaraan fungsional berjalan dengan baik. Meski demikian, dinas pendidikan masih ingin angka tersebut tertekan lagi. “Kami terus berupaya (menekan angka tuna aksara),� terangnya. Sementara di Sampang, data statistik menunjukkan nilai Indeks
Pembangunan Manusia (IPM) masih rendah (59,58). Situasi ini menjadi salah satu indikator penyebab Sampang masuk kategori daerah tertinggal. Rendahnya IPM dipengaruhi tingginya jumlah tuna aksara yang mencapai 24% (210.468) dari jumlah penduduk di Sampang (876.950 jiwa). Seperti halnya di Sumenep, penderita buta huruf diderita warga yang rata-rata berumur 45 sampai 60 tahun dan lebih banyak diderita kalangan perempuan. Adapun di Bangkalan, angka tuna aksara mencapai 16.544 warga. Seperti halnya di Pamekasan, Bangkalan menggandeng sejumlah organisasi seperti PKK, muslimat, fatayat, dan organisasi lainnya. Pemerintah kabupaten Bangkalan menargetkan jumlah penderita tuna aksara maksimal 9.000 jiwa dan ditekan lagi di tahun-tahun yang akan datang. Baik
di Sumenep, Pamekasan, Sampang, dan Bangkalan, mengapa perempuan yang dominan dalam jumlah tuna aksara? Wiwik Afifah dari KPI (Koalisi Perempuan Indonesia) Jatim menilai banyaknya angak tuna aksara di Madura karena jumlah penduduknay lebih banyak didominasi kaum perempuan. Selain itu, perempuan Madura sebagian besar tersubordinasi oleh kaum lakilaki. Rezim patriarkhi ini berimbas pada aspek kehidupan termasuk dalam soal pendidikan. Karena itu, Wiwik ingin Madura membangun budaya mitra antara laki-laki dan perempuan yang terkonstruk dalam kesetaraan atau pengarusutamaan gender. “Biar laki-laki bermitra dan perempuan tidak hanya berada di kasur, sumur atau dapur,� ulasnya. (abe)
SULUH MHSA | Edisi IV|September 2011
9
SULUH KHUSUS
Pendidikan Harus Mencerdaskan
Jangan Sampai, Pendidikan Benar-Benar Menjadi Candu Tantangan akademisi dan para praktisi pendidikan ke dapan akan semakin rumit. Bukan karena berkurangnya minat belajar di tengah-tengah masyarakat, namun terletak pada besarnya godaan terhadap para praktisi pendidikan itu sendiri untuk mengolala pendidikan secara pragmatis dengan mengabaikan nilai-nilai kebaikan yang seharusnya menjadi modal dasa pengelolaan sebuah institusi pendidikan. berikut wawancara SULUH dengan Muhammad Suhadi, Ketua Tim Penjaminan Mutu STKIP PGRI Sumenep. Pendidikan selalu dianggap sebagai kekuatan dalam membangun masa depan peradaban suatu bangsa. Bagaimana Anda melihat persoalan pendidikan saat ini? Pendidikan pada dasarnya sebagai bagian dari proses besar menciptakan kehidupan yang cerdas dan beradab. Cerdas dan beradab merupakan dua hal yang menjadi intisari dari proses pendidikan. Jadi, pendidikan pada awalnya memiliki tujuan yang luhur, tetapi dalam prakteknya, pendidikan telah mulai mengalami perubahan yang sangat drastis, karena yang tampak bahwa pendidikan telah mampu melahirkan apa yang disebut dengan mechanic student, yaitu produk pendidikan cenderung diarahkan dengan logika pasar, sehingga nalar pendidikan menjadi semakin jauh dari porosnya : dari pendidikan dengan basis keilmuan dan kebutuhan bakat anak didik, menjadi anak
10
SULUH MHSA | Edisi IV|September 2011
didik dengan masa depan pasar. Fenomena ini bisa disebut sebagai penyesatan terhadap arah luhur pendidikan, karena logika pasar pada`dasarnya sama halnya dengan “memaksa� pendidikan membuang spirit utama pendidikan, yaitu moralitas dan komitmen yang kuat dalam mempertahankan local wisdom, sementara pasar sangat kental dengan pragmatisme. Anda menyebut telah terjadi penyesatan nilai-nilai ideal pendidikan? Apakah kalimat ini tidak terlalu ekstrem? Itu asumsi saya dan mungkin saja berlebihan bagi yang lain, tetapi menurut pengamatan saya, begitulah yang terjadi dengan dunia pendidikan kita saat ini. Pragmatisme telah menjadi dominan dalam proses pendidikan yang tengah berlangsung, sehingga menyebabkan matinya nilai moralitas dalam pendidikan. Begitu dahsyatkah ajaran pragmatisme itu ketika merasuki dunia pendidikan? Betul sekali, apabila pendidikan telah dirasuki oleh nilai nilai pragmatisme, maka moralitas tidak lagi akan diperhatikan. Salah satu efek negatif dari pendidikan yang pragmatis ini adalah menguatnya tradisi korupsi di tengah-tengah masyarakat kita. Saya yakin para koruptor itu lahir, tidak hanya karena faktor sosial ekonomi, melainkan juga akibat proses pendidikan yang kehilangan nilai etis moralitas (akhlakul karimah). Demikian juga halnya dengan kasus free seks dan tindakan asusila lainnya yang terjadi di kalangan pelajar kita, diakui atau tidak, hal itu akibat kegagalan dalam proses pendidikan yang tidak lagi mampu menjadikan moralitas sebagai sesuatu yang bermakna dalam proses pendidikan. Pendidikan yang tidak dibentengi oleh
moralitas, pasti akan memproduksi generasi-generasi yang tidak punya karakter sebagai generasi terdididik.. Di tengah arus wacana pendidikan yang berkembang saat ini, muncul fenomena bahwa pendidikan yang ada kerapkali hanya menciptakan generasi yang apatis dengan lingkungannya. Bagaimana menurut Anda? Itu merupakan gejala yang harus disesali untuk terjadi, karena pendidikan merupakan proses pembentukan, bahkan pembebasan jati diri individu dari belenggu kejahiliyaan intelektual dan moralitas. Artinya pendidikan harus mampu membebaskan diri seseorang untuk mengenali diri dan lingkungannya dengan baik. Apabila pendidikan hanya menciptakan individu yang apatis dengan lingkungannya, itu berarti ada yang salah dalam proses pendidikan yang dilakukan. Maksud Anda, ada kesalahan proses dalam pendidikan? Kira-kira siapa harus disalahkan? Saya kira tidak harus mencari siapa yang harus disalahkan, karena berbicara tentang pendidikan tidak berbicara satu dan beberapa pihak, melainkan berbicara tentang sistem, kebijakan dan komitmen para pengelola pendidikan. Tetapi yang jauh lebih penting dalam proses pendidikan adalah paradigma yang dipakai dalam menggerakkan pendidikan. Kalau paradigma yang dipakai adalah paradigma asal-asalan, maka hasilnya tentu asal-asalan, tetapi juga sebaliknya apabila paradigma yang dipakai adalah paradigma pendidikan sebagai pembebasan diri setiap individu, insyaallah hasilnya akan lebih mantab dan matang, bahkan anggapan bahwa pendidikan hanya melahirkan generasi yang apatis terhadap lingkungannya tidak akan terjadi, karena hakikat pendidikan adalah proses penyadaran yang substansial, bukan proses menciptakan anak didik menjadi pemimpi. Kalau hal ini tetap dilakukan, pendidikan akan benar-benar menjadi candu. Jangan sampai tesis bahwa pendidikan itu candu terbenarkan karena kita memang tidak pernah memiliki visi ideal dalam mengelola dan mengembangkan pendidikan sesuai
dengan khittah pendidikan. Kalau demikian, guru berarti sangat berperan dalam proses pendidikan yang dilakukan? Begitulah. Guru merupakan kunci utama keberhasilan proses pendidikan. Gagal dan tidaknya sebuah proses pendidikan, sangat bergantung pada kualitas, kredibelitas, kewibawaan dan kapasitas profesional seorang guru. Ada asumsi begini bahwa tidak ada anak didik yang tidak bisa dididik, yang ada adalah pendidik (guru) tidak bisa mendidik. Selain itu, menurut saya, pendidikan kita memang sudah mulai kehilangan karakter, sehingga untuk beberapa tahun belakangan ini, pendidikan karakter mulai diperbincangkan dalam pendidikan kita. Pendidikan yang tidak berkarakter tentu saja akan menghasilkan produk yang kurang pas untuk dipakai di masa-masa yang akan datang. Mengapa bisa terjadi demikian? Sekali lagi, pendidikan itu tidak semudah membalikkan telapak tangan. Proses pendidikan merupakan pekerjaan bagaimana merubah seseorang menjadi sadar, menjadi cerdas, menjadi berbakat, menjadi terampil, dan menjadi peka akan fungsi dirinya sebagai makhluk sosial yang harus bermakna terhadap lingkungannya. Dibutuhkan sistem dan pola pembelajaran yang serius. Tidak bisa main-main dan tidak bisa dipasrahkan kepada pihak-pihak yang tidak memiliki kemampuan lebih serta tidak bisa menjadi sebagai role model (suri teladan) dalam pendidikan. Gejala anak didik menjadi apatis pada lingkungannya itu terjadi akibat proses pendidikan dilakukan hanya sebagai proses transfer ilmu pengetahuan an sich, bukan pada wilayah penanaman nilai-nilai genuine kehidupan. Nilai itu bisa dalam bentuk keikhlasan, lebih mengutamakan bimbingan, menumbuhkan kreatifitas anak didik, keteladanan, dan proses penyadaran terhadap anak didik bahwa pendidikan yang dilakukan pada akhirnya untuk mengabdi terhadap lingkungannya, yang dalam bahasa pesantren dikenal dengan liyundziru qaumahum idza raja’u ilaihim.
Bisa dijelaskan lebih jauh lagi, apa makna ideal dari kalimat liyundziru qaumahum idza raja’u ilaihim, hubungannya dengan dunia pendidikan? Kalimat itu merupakan gambaran tentang tujuan dari proses pendidikan yang dilakukan oleh seseorang anak. Dan di pesantren hal itu menjadi sangat ideologis terbangun dalam ruh pesantren. Kiai dan para guru di pesantren kerapkali menyampaikan kalimat itu sebagai bahan motivasi dalam proses pembelajaran bahwa tujuan anak belajar adalah agar ilmu dan pengalaman yang didadapatkan bisa digunakan untuk menyadarkan dan mengembangkan lingkungannya dengan maksimal. Jadi, salah satu karakter pendidikan sejatinya terletak pada bangunan komitmen anak didik dalam mengembangkan lingkungan dan potensi budaya yang ada di sekitarnya dengan segenap pengetahuan dan keterampilan yang didiperolehnya selama berproses dalam pendidikan. Mengapa kita juga perlu terus belajar mencari ilmu sebanyak mungkin, karena target ilmu yang dicari itu pada akhirnya untuk kebutuhan masyarakat dan lingkungan. Bagaimana mungkin penanaman nilai semacam itu bisa tergerus? Menurut saya, faktornya karena pendidikan tengah mulai kehilangan ruh idealnya, yaitu moralitas, keikhlasan dan pengabdian yang total terhadap pendidikan. Yang tampak, pendidikan dan pembelajaran hanya dilakukan asal jalan, tidak lagi didasarkan pada nilai-nilai pengabdian dan tidak didasarkan pada upaya untuk kembali pada hakikat pembelajaran guna melahirkan sosok anak didik yang memiliki kecerdasan ganda : cerdas intelektual, cerdas sosial, dan cerdas moralitas. Lebih jauh lagi? Ketika pendidikan sudah berpijak pada pragmatisme, yang akan dihasilkan adalah lahirnya anak didik yang hanya pandai membangun mimpi-mimpi kosong, tetapi tidak memiliki kemampuan untuk mewujudkan mimpi itu melalui kreatifitas dan karya yang bermakna terhadap masyarakat dan lingkungannya. (*)
SULUH MHSA | Edisi IV|September 2011
11
Opini
ABDUR ROZAKI Dosen Pengembangan Masyarakat UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Pendidikan Karakter
Berbasis Realitas P
Ilmu hanya diuji dalam even ujian kelas dan ujian nasional, bukan diuji menghadapi dinamika kehidupan, dan keberhasilannya dirayakan dengan penuh kepalsuan.
endidikan dapat memberi jalan pembebasan bagi individu, masyarakat dan akhirnya sebuah bangsa. Pengalaman bangsa Indonesia telah membuktikan akan hal ini. Betapa bangsa yang memiliki aset kekayaan alam yang berlimpah dan keanekaragamaan penduduknya ini mampu melepaskan diri dari praktek kolonialisme dan imperialisme melalui pintu pendidikan. Kemerdekaan dapat diraih bukan sekedar jalur kekerasan senjata semata, tetapi ujung tombaknya justru kehadiran para kaum terdidik dari jalur pendidikan di kalangan putra-putri bangsa ini. Berbagai perundingan dengan kaum penjajah dan diplomasi politik terhadap bangsa-bangsa lain di dunia untuk mencari dukungan atas kemerderkaan bangsa Indonesia menjadi bukti sejarah, betapa katangguhan para bapak pendiri bangsa kita dalam berdiplomasi sehingga memperoleh dukungan bangsa lain adalah karena kedalaman pengetahuan yang dimiliki dan keteguhan sikap yang semuanya disemai sebelumnya melalui proses dealektika yang penuh makna dan karakter dalam menjalani pendidikan. Proses di dalam menjalani pendidikan selalu bergumul dan berdealektika bersama realitas sosial. Pendidikan di kelas, selalu diabstraksi dan dikon-
12
SULUH MHSA | Edisi IV|September 2011
tekstualisasi dengan kenyataan yang terdapat di lingkungan sekitar. Proses belajar semacam ini menempatkan sinergi antara refleksi dengan aksi sehingga melahirkan pencerahan untuk pembebasan. Hal ini yang tercermin dari hasil sebuah pendidikan yang penuh dengan karakter, yakni perpaduan antara kecerdasan, moralitas dan mentalitas yang tangguh untuk mewujudkan idealisme menjadi kenyataan sosial. Sebagaimana yang tercermin pada sosok para sarjana seperti Supomo, Wahidin Sudiro Husodo, Soekarno, Hatta, Syahrir dan lainnya. Para pendiri bangsa ini, semuanya menjadikan pencarian dan penguasaan atas ilmu pengetahuan sebagai misi untuk membebaskan realitas masyarakat dari praktek penindasan, dehumanisasi menuju kesamaan hak dan derajat sebagai manusia dan bangsa. Inilah yang disebut sebagai realitas pendidikan yang memberi jalan pada pembebasan (education for freedom). *** Nah, apakah realitas pendidikan semacam ini terus berkembang dalam masyarakat Indonesia pasca kemerdekaan? Apakah pendidikan dapat memberi jalan untuk membebaskan manusia Indonesia dari keterbelakangan dan kemiskinan? Apakah pendidikan kita dapat membuat bangsa ini memiliki daya saing tangguh di bidang
Opini ekonomi politik dan tekhnologi di tengah globalisasi kapital antar bangsa di dunia? Pertanyaan ini sungguh akan membuat kita menjadi miris dan berlinang air mata. Mengapa? Karena jalan pendidikan kini mulai dibengkokkan bukan sebagai jalan pembebasan, jalan pembodohan menuju lorong yang gelap dengan mitos-mitos kenaifan. Jangankan untuk membebaskan masyarakat dari problem yang dihadapinya, mengatasi problem dirinya sendiri saja tak berdaya. Lihat saja data BPS tahun 2009 terkait dengan angka pegangguran terbuka di Indonesia, jumlahnya sebesar 9,25 juta. Dari besaran itu, pengangguran sarjana berkontribusi sebesar 1.198.000 orang. Trend pengangguran terdidik ini dari tahun ke tahun diprediksi oleh banyak pengamat akan terus mengalami peningkatan. Jumlah ini tampak kepermukaan, saat perusahaan swasta membuka lowongan renkuitmen karyawan, para sarjana berjejal antre mendaftar berdesakan sampai lapangan bola di senayan pun tak mampu menanmpung mereka. Mengapa hal ini semacam ini terus terjadi? Jawabannya dapat dikembalikan pada hilangnya ruh pembebasan dalam praktek penyelenggaraan pendidikan di tanah air. Praktek pendidikan dipisahkan dengan dinamika dan pergumulan dengan realitas sosial. Pengajaran-pengajaran sekolah di kelas hanya menjejali peserta didik dengan pengetahuan tekstual yang kehilangan konteks dan relevansinya dengan kenyataan sosial di masyarakat. Seorang anak dapat pandai menghafal teori dan rumus matematika, fisika, kimia dan ilmu lainnya namun gagal mengkontekstualisasikannya dengan praktek kehidupan keseharian. Ilmu hanya diuji dalam even ujian kelas dan ujian nasional, buka diuji menghadapi dinamika kehidupan, dan keberhasilannya dirayakan dengan penuh kepalsuan. Kini hampir sulit menemukan nilai hasil ujian peserta didik di sekolah dengan nilai yang rendah, karena hal itu akan mengancam eksistensi sekolah sehingga untuk menyelematkan sebuah eksistensi ini perlu ada strategi kepalsuan, suap dan tipu muslihat. Reproduksi atas kepalsuan semacam ini kemudian menciptakan generasi yang memiliki karakter moralitas dan kecerdasan yang sangat rendah. Tak heran jika perilaku korupsi makin menjadi budaya di dalam struktur ke-
hidupan sosial masyarakat dan ketatapemerintahan bangsa kita. Dan dalam konteks persaingan perdagangan global antar bangsa, bangsa kita memiliki daya saing yang sangat rendah. Jika dilihat dari posisi daya saing Indonesia berdasarkan laporan World Economic Forum yang dimuat The Global Competitiveness Report 20082009, daya saing Indonesia berada pada peringkat 55 dari 135 negara di dunia. Tertinggal jauh dibandingkan negara di ASEAN lainnya, seperti Singapura yang menduduki peringkat ke 5, Malaysia peringkat ke 21 dan Thailand peringkat ke 32. Daya saing ekonomi yang sangat rendah ini, karena sejak dari awal institusi pendidikan kita menanamkan mind set sebagai pencari kerja (joob seeker), bukannya membuka lapangan pekerjaan (job creator). Pendidikan kita gagal menyambungkan tradisi kewirausahaan (entrepreneurship) yang sebenarnya memiliki akar yang kuat di tengah masyarakat. Bahkan lebih ironis lagi, sebagaimana studinya Hajriyanto Y Thohari, pendidikan dalam kultur Orde Baru telah membunuh spirit dan kultur kewirausahaan di tengah masyarakat. Hal ini ia buktikan melalui studi kasus di sebuah desa di Pekalongan, yang mayoritas warganya hidup sebagai pengrajin dan perdagangan batik. Ia meneliti dua keluarga yang sama-sama sebagai pedagang batik dari keluarga dengan corak keberagamaan NU dan Muhammadiyah. Keluarga yang berasal dari keluarga pedagang batik NU, menyekolahkan anaknya ke pondok pesantren sedangkan yang keluarga Muhammadiyah menyekolahkan anaknya ke pendidikan umum. Singkat cerita, setelah para anak-anak dari keluarga ini menjalaninya studinya, yang dari kalangan keluarga NU, usai nyantri pulang ke rumah dan melanjutkan bisnis keluarganya sebagaai pedagang batik. Sedangkan yang dari keluarga Muhammadiyah usai melanjutkan studinya menjadi pegawai pemerintahan, yakni birokrat. Dalam perkembangannya, tradisi kewirausahaan dari keluarga NU sebagai pedagaang batik ini terus tumbuh dan berkembang dan bahkan generasi penerusnya makin menjadi “elit ekonomi desa’ sedangkan yang dari keluarga Muhammadiyah, tradisi kewirausahaan itu redup karena generasi penerus di keluarga tak lagi melanjutkan tradisi kewirausahaan di dalam keluarga karena beralih profesi sebagai pegawai
pemerintahan, priyayi modern yang dalam konstruksi pendidikan Orde Baru dianggap lebih “terhormat�. Dari studinya ini Hajriyanto menyimpulkan, bahwa pendidikan Orde Baru telah membunuh kultur kewirausahaan di tengah masyarakat. Dampak dari kosntruksi pendidikan semacam ini sungguh terasa sampai sekarang. Di tengah persaingan dagang antar bangsa, Indonesia sangat miskin dilihat dari jumlah entrepreneurnya. Pada tahun 2010, jumlah enterpreneur di Indonesia. berkisar 0,24 persen dari total jumlah penduduk Indonesia. Kalah jauh dibandingkan dengan negara di ASEAN lainnya, seperti Singapura yang memiliki wirausaha 7,2 persen dari total jumlah penduduknya. Thailand sebesar 4,1 persen dan Malaysia 2,1 persen. Padahal bila mengacu pada pemikiran David McClelland, dari Universitas Harvard dalam bukunya “The Achieving Society (Van Nostrand, 1961), bahwa negara bisa makmur apabila minimal 2% dari jumlah penduduknya menjadi pengusaha. Dalam konteks Madura, jika masyarakat di dalamnya ingin mengalami akselerasi di dalam pembangunannya, maka para stakeholder atau pemangku kepentingan di dalamnya harus keluar dari perangkap pendidikan yang menuju lorong gelap peradaban yang tidak membebaskan ini. Mulailah membuat kontruksi baru yakni pendidikan yang berbasis realitas sosial, khususnya tantangan yang dihadapi di lingkungan masyarakat sekitar. Misalnya, masyarakat Madura memiliki tradisi kemaritiman yang sangat kuat, perdangangan antar pulau melalui perkapalan rakyat para saudagar muslim ini di sejak abad 16 mulai dikenal di Nusantara. Di tengah kampaye pemerintah pusat ingin menegakkan kembali kebanggaan sebagai bangsa bahari, yang pernah jaya di lautan, sudah saatnya institusi pendidikan kita melirik realitas semacam ini. Sejauh ini, pendidikan kita meninggalkan local wisdom dalam tradisi perahu kapal rakyat ini. Para generasi tua pembuat perahu kapal rakyat ini makin sungsut, sementara generasi mudanya sudah kehilangan kontak dalam proses transfer pengetahuan. Padahal kita tidak akan mampu kembali mendayung samudera dengan penuh kedigdayaan jika ilmu pengetahuan dari teknik pembuatan kapal-perahu dan navigasi dan lainnya hilang mengikuti menuanya para leluhur kita. (**)
SULUH MHSA | Edisi IV|September 2011
13
Opini
M. ALI AL HUMAIDY Peneliti Madura dan aktif di MaduraSpose
PENDIDIKAN
BERLATAR KE-MADURA-AN
Secara normatif, para ahli pendidikan berpendapat bahwa fenomena krisis identitas dikalangan pelajar disebabkan faktor rendahnya SDM guru, pengelolaan manajemen, kurikulum yang tidak berbasis lokal, minimnya sarana
14
Apa yang salah dengan (sistem) pendidikan di Indonesia. Pertanyaan mendasar ini muncul ketika di media massa seringkali terpublis fenomena ‘anarkhisme’ sosial dikalangan masyarakat khususnya pelajar seperti tauran, mencuri, pencabulan, pembunuhan, mencontek saat ujian dan terlibat narkoba. Apakah fakta diatas sebagai bukti kegagalan pendidikan nasional, disfungsi agama atau karena matinya peradaban manusia Indonesia. Tentu beragam perspektif untuk menjawab problem krisis identitas yang melanda republik ini yang pada akhirnya muncul solusi yang komprehensif dengan memperhatikan semua aspek pendidikan dan bersifat sistemik yaitu proses yang bersifat terstruktur integratif. Selama ini sebagian masyarakat masih menilai sistem pendidikan dilihat dari aspek formal semata, apalagi didukung dengan wacana yang tidak produktif dengan mendikotomi pendidikan umum dan agama. Secara normatif, para ahli pendidikan berpendapat bahwa fenomena krisis identitas dikalangan pelajar disebabkan faktor rendahnya SDM guru, pengelolaan manajemen, kurikulum yang tidak berbasis lokal, minimnya sarana, timpangnya pemerataan akses, pendidikan mahal dan yang lebih ekstrim lagi faktor kesejahteraan. Dalam pan-
SULUH MHSA | Edisi IV|September 2011
dangan penulis, pandangan ini sangat simplikatif yang berakibat pada kecilnya peluang masyarakat untuk mewarnai dunia pendidikan . Namun bila deskripsi diatas benar maka memperkuat hepotesa bahwa pendidikan hanya milik pemerintah dan pengelola pendidikan. Padahal, banyak para ahli sosiologi berpendapat bahwa sistem sosial sangat menentukan pandangan dan sikap individu serta prilaku sosial masyarakat. Mengapa demikian, karena dalam sistem sosial terdapat value (nilai) yang bermuara dari budaya dan agama yang dapat dijadikan panduan hidup bermasyarakat. Dalam konteks ini penulis memandang bahwa sistem pendidikan Indonesia masih belum maksimal memasukkan nilainilai budaya dan agama sebagai roh sistem pendidikan. Bahkan secara faktual, pendidikan di Indonesia masih cenderung formalistik, hedonis, elitis yang mempertontonkan pendidikan perbedaan kelas antara yang kaya dan miskin. Fenomena diatas mengakibatkan output pelajar yang dipasung dengan standar nilai dan kelulusan, serta pilihan-pilihan sekolah favorit yang seringkali tidak disadari proses ini menguras uang banyak. Apakah pendidikan berkualitas harus mahal dan
Opini (hanya) bisa dinikmati kelompok the have saja?. Padahal secara substansial jauh lebih penting bagaimana nilai-nilai budaya dan agama seperti kejujuran dan kearifan lokal mampu mewarnai kehidupan kepada guru, pelajar, orang tua dan lembaga penyelenggaran pendidikan. Maka aneh bila para aktor pendidikan justru tidak memberikan ketauladanan kepada masyarakat dan pelajar, misalnya tentang kejujuran.
Deskrpsi peribahasa diatas senyawa dengan nilai-nilai agama yang mengukuhkan pentingnya nilaiagama dan posisi agama (pendidikan) bukan hanya masuk pada penjabaran ajaran formal dalam tataran ritual dan tradisi, karena dengan begitu pendidikan hanya merupakan upaya ideologisasi. Sebaliknya pendidikan agama hendaknya dipahami dalam sistem transendensi seluruh aspek kehidupan. Pendidikan budaya dan agama semestinya diarahkan untuk mengajak orang menerima dan terbuka ter-
(lantang). Menawar Solusi Akhir-akhir ini dalam konteks pendidikan nasional sedang membumikan pendidikan karakter (caracter building) sebagai sebuah ikhtiar menjawab krisis identitas yang sedang melanda di bumi pertiwi ini. Setidaknya satu kesimpulan yang perlu direnungkan adalah refleksi sistem dan nilai pendidikan dengan memadukan secara integratif pendidikan formal dan non formal yang berbasis kebudayaan dan keagamaan. Pendidikan formal setidaknya kurikulum sistem nasional yang ber-
Foto: IST
Penulis berargumentasi bila nilai budaya dan agama mampu diinternalisasikan sejak dari keluarga, lingkungan sekitar dan dilembaga pendidikan akan menciptakan masyarakat (termasuk pelajar) yang berkarakter santun, tidak anarkhis, mempunyai jati diri dan mellek lingkungan. Kritik yang muncul ketika kurikulum yang ada kurang memperhatikan aspek lokalitas sehingga problem lokal nyaris tidak menjadi concern utama. Apalagi proses pembodohan sejak awal tertanam ketika guru dan orang tua memberikan ‘hayalan’ bahwa kelak setelah lulus menjadi PNS.
tekun. Intinya bermakna spirit hidup dalam mencari kehidupan di Madura atau diluar Madura.
Berbasis Karakter ke-Madura-an. Dengan berfikir kearifan lokal (local wisdom) bila dikaji secara mendalam maka banyak nilai-nilai budaya Madura yang dapat dijadikan roh internalisasi nilai pendidikan seperti kalimat bepak bebuk guru rato yang memberikan pedoman hidup bahwa keharusan sikap patuh (ta’dzim) kepada kedua orang tua, guru dan raja. Konsep taretan dhibi’ dapat dijadikan pedoman interkasi sosial bahwa ada pengakuan kemanusiaan sebagai saudara sendiri khususnya sesama etnis Madura meski tidak ada hubungan darah. Sifat rasa malu, yang dalam bahasa Madura disebut todus, adalah salah satu sifat orang Madura yang membuat mereka sanggup menjalani hidup di perantauan dan malu jika tidak membawa hasil. Perasaan ini diungkap dalam semboyan “Ango’an potea tolang, e tembang pote mata” (lebih baik putih tulang daripada putih mata), yang artinya lebih baik mati daripada malu. Oleh sebab itu karena didorong rasa malu bila gagal merantau, maka mereka berjuang dengan gigih dan
JAJANAN NON LOKAL: Para siswa sebuah sekolah dasar di pamekasan ini tamapak berjejaljejal d untuk membeli pentol bakso yang dijual seorang pedagang dari luar halaman sekolah mereka.
hadap pluralisme serta turut memperhatikan lingkungannya. Dengan begitu peserta didik diberikan kesempatan untuk mencerna rasa keberagamaan dan keragaman budaya dengan bahasanya sendiri. Disini masyarakat ‘dilatih’ untuk menggunakan kepekaan atas pluralitas (perbedaan) dengan tanpa menghilangkan ‘jati diri etnisitas’ Madura.
laku saat ini perlu dikaji ulang untuk disesuaikan dengan kebutuhan lokal yang berbasis humanisme dengan mamasukkan unsur pendidikan karakter dengan berbasis budaya bangsa (lokal), sedangkan pendidikan non formal sangat penting untuk merefleksi strategi penguatan keterlibatan masyarakat, budaya dan agama dalam proses transformasi pendidikan.
Dalam perpsektif lain, penulis berpendapat bahwa pendidikan dengan kurikulum nasional jangan mengakibatkan lunturnya sikap dan karakter orang Madura sebagaimana tulisan Mien Ahmad Rifai (2007) tentang beberapa karakter orang Madura; Bângalan (pemberani), Koko (kukuh), Sahuduna (apa adanya), Sacca (tulus setia), Jijib (tertib), Sanggâp (tanggap), Bilet (ulet), Junĕl (berkewirausahaan), Lalampang (ketualangan), Parĕmpen (hemat dan cermat), Sokkla (berkeagamaan), Ta’-karata’an
Untuk mencapai harapan diatas, tuntutan agar pemerintah lebih serius berkomitmen dalam menyelenggarakan pendidikan nasional dengan memperhatikan problem sosial sebagaimana uraian diatas. Penegasan ini penting agar pendidikan nasional mampu menjati dirikan masyarakat dan pelajar dengan nilai-nilai budaya serta agama sehingga kedepan bangsa ini mampu menciptakan warga yang berkarakter, mempunyai pengetahuan yang cukup dan kemampuan skill. Wallahu a’lam (**)
SULUH MHSA | Edisi IV|September 2011
15
foto: mamak/sm
POLITIKA
GAYENG: Para fungsionaris M-Spose menggelar FGD guna menutup ramadan untuk membuka kegiatan setelah bulan puasa berakhir.
M-SPOSE, SURVIVE di MEDAN SURVEY S emua bergerak dari data. Begitulah kesimpulan dalam FGD (Focus Group Discussion) M-Spose yang digelar di ruang Orchid hotel dan retoran Putri, Jalan Trunojoyo Pamekasan akhir ramadan lalu, FGD bertajuk menutup (ramadan) untuk membuka (kegiatan) ini mengedepankan ijtihad risetiyah sebagai basis untuk mengambil kebijakan yang ditindaklanjuti lembaga pemerintah maupun swasta.
nya. Dalam tradisi survey, hasil riset selalu memunculkan dua opsi; bisa seperti itu, atau bisa tidak seperti itu. Untuk mengukuhkan survey pertama, umumnya dilakukan survey lagi. Sebab, responden, momentum, dan suasana biasanya mempengaruhi opini responden.
Dalam satu tahun terakhir ini, MSpose yang berkedudukan di Sampang ini telah dua kali melakukan riset. Pertama, lembaga riset dan kebijakan publik ini melakukan survey persepsi warga atas kinerja pemerintah. Secara umum berdasar survey ini, setiap kabupaten di Madura memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Dari sisi riset, empat kabupaten mendapat apresiasi khususnya menyangkut layanan publik di birokrasi yang cenderung berliku dan memberi kesan yang mudah menjadi lebih sulit. Dua kabupaten masing-masing Sampang dan Bangkalan dinilai baik. Sedangkan dua kabupaten lainnya (Pamekasan dan Sumenep) lebih baik.
Pejabat M-Spose Alawi mengatakan, M-Spose merupakan satu-satunya lembaga survey yang secara spesifik mengawal riset di Madura. Tidak berarti, ujarnya, M-Spose menutup diri dari dunia di luar Madura. Pria berambut cepak ini mengatakan, Madura masih memerlukan kebijakan yang lebih populis. Pasalnya, berdasar temuannya di lapangan, kebijakan lebih cenderung muncul dari atas dan terus ke bawah. Seharusnya, ide muncul dari bawah dan pengambil kebijakan dapat “menyewa” lembaga riset untuk menegaskan pilihan kebijakan pemerintah dipadu dengan aspirasi yang muncul dari bawah. “Tanpa survey, kebijakan bisa berawal dari asumsi dan bukan berangkat dari penelitian yang tuntas. Apalagi, sebagian pihak menengarai Madura masih miskin data,” paparnya.
Kedua, M-Spose melakukan survey pra pilkada yang memunculkan sejumlah nama. Dari sejumlah nama yang disandingkan, KH Fannan Hasib dinilai terpopuler melampaui sejumlah nama lain-
Dalam FGD bertajuk menutup untuk membuka itu M-Spose tetap ingin bergerak dari data dan mengkampanyekan hal ini kepada siapa pun. Itu, urai mantan aktivis ini, agar pengambil kebijakan tidak salah mengambil
16
SULUH MHSA | Edisi IV|September 2011
langkah yang pro rakyat. Selain itu, M-Spose tidak saja berkomunikasi dengan lembaga pemerintah atau swasta namun juga berinteraksi dengan person. “Intinya berkomunikasi dengan siapa saja,” pungkasnya lalu tersenyum. Dia berpendapat, hasil survei kini menjadi suatu keniscayaan dan menjadi dasar kebijakan untuk menentukan kebijakan baik politik maupun non politik. Dalam politik, survey berguna untuk mengetahui pendapat dan persepsi pemilih serta mendapatkan informasi yang spesifik yang diinginkan kandidat. Survei bisa mengukur seberapa banyak pemilih yang mengenal kandidat. Berapa banyak pemilih yang tidak mengenal, dan bagaimana perbandingan popularitas kandidat dengan kandidat lain. Melalui survei juga bisa diketahui seberapa mungkin popularitas kandidat bisa ditingkatkan. Hasil survei dapat jadi masukan amat penting untuk melihat secara riil kekuatan dan kelemahan kandidat sekaligus untuk menghadapi masa kampanye yang akan segera dilakukan. Hasil survei juga membimbing kandidat dan tim sukses tentang apa yang harus dilakukan untuk meningkatkan peluang terpilih dalam pilkada nanti. Memang, dewasa ini apapun terutama menyangkut kebijakan publik, perusahaan dan pembangunan telah bersandar ke hasil riset. (mak)
POLITIKA
BERGELEMBUNG TAK BERGELOMBANG Terkait Munculnya Nama Bacakada Pamekasan
Kholilurrahman (bupati saat ini) dikabarkan bakal menjajal kembali. Disebut-sebut pula nama Totok Hartono (kadis PU), HM Muhdlar Abdullah (wakil ketua dewan/PBB), Boy Suhari Sadjidin (anggota dewan/Golkar), Taufikurrahman (anggota dewan/ Gerindra), Moh Yusuf Suhartono (staf ahli bupati), Badrut Tamam (anggota DPRD Jatim/PKB), Achmad Syafii Yasin (anggota DPR RI/Demokrat), pengusaha Haji Ibrahim dan Haji Kamil (HK). Bisa jadi nama lain menyusul seiring lalu waktu menuju 2013. Bagi yang hendak maju baik sebagai calon bupati maupun calon wakil bupati, waktu dua tahun bukan waktu yang lama. Tetapi terang-terangan menyatakan diri sebagai sosok yang akan maju di saat ini, tentu terlalu dini. Hanya, diam saja saat ini untuk dua tahun mendatang bukan pilihan yang pas. Karena itu, sejumlah nama yang hendak maju pasti sudah sounding mulai saat ini dengan cara yang samar dan terselubung. Di face book, telah muncul nama tertentu yang berseru dan mengajak untuk mendukungnya. Memang, ini bukan kampanye lebih awal karena sampai hari ini KPU belum membuka pendaftaran untuk pilkada 2013 Pamekasan. Di lain pihak, terdapat nama yang menamakan diri “Kalau saya jadi bupati” (Pamekasan). Ada juga sebuah nama di FB yang menje-
laskan dirinya sebagai “Cabup Pamekasan”. Salah satu pemilik akun bernama “Kalau saya jadi bupati”, Muzairi menyadari dirinya tidak ambisi menjadi bupati karena posisi itu bukan maqomnya. Muzairi merasa hanya bermimpi dan mengandaikan dirinya sebagai bupati di FB. Dia tidak ingin menggurui bupati karena bupati baginya setara posisinya dengan orangtua. Sebagai orangtua, katanya, bupati pasti ingin memberikan yang terbaik kepada warganya. Sebab, warga dalam pemerintahan sesungguhnya anak secara geografis. Setidak-tidaknya, dia bermimpi pelayanan di birokrasi untuk
pada akhirnya, sebagai rakyat dia ingin Pamekasan dari waktu ke waktu semakin baik. Sebab, urai mantan aktivis mahasiswa ini, peningkatan dari berbagai sisi menjadi indikator atas kemajuan Pamekasan. Dia juga balik bertanya apakah mempertanyakan siapa yang akan maju di 2013 mendatang di saat ini, jauh lebih penting daripada membangun apa yang bisa dilakukan hari ini. “Siapapun calonnya, jika terpilih pasti bupatinya warga Pamekasan,” urainya. Sementara ketua KPU HM Ramli juga mendegar terdapat sejumlah nama yang disebut-sebut bakal maju dalam pilkada dua tahun mendatang. Ramli enggan menyebut nama siapa saja yang dia den-
Foto: A. Taufiq for Suluh MHSA
Pemilu kada Kota Gerbang Salam dijadwal berlangsung tahun 2013. Namun metamorfosa politiknya, samarsamar menggelembung mulai saat ini. Sejumlah nama dikabarkan akan meramaikan pemilu kada mendatang.
IKON PAMEKASAN: Kawasan Arek Lancor di pamekasan tampak dipadati oleh para pemuda dan pelajar dalam memriahkan acara Festival Lontar Pamekasan
masyarakatnya tidak berbelit-belit. Bila terdapat warga yang salah prosedur administratif berhak mendapat informasi yang lebih benar dan bukan membuatnya terasa dipersulit. “Semua tergantung seberapa profesional dan keikhlasan menjalankan tugas sebagai aparat,” katanya. Menurutnya, memang banyak nama yang bermunculan dan digadang-kadang sebagai sang kandidat bakal calon. Bagi Muzairi, siapapun calon dan siapa pula yang terpilih
gar akan maju. Tetapi, dia merasa perlu menegaskan bahwa rangkaian pencalonan pilkada dimulai enam bulan sebelum masa jabatan bupati yang lama berakhir. Untuk Pamekasan, masa bupati dan wakil bupati akan berakhir pada minggu ketiga bulan April 2013. Sedangkan saat ini baru September 2011. “Masih jauh, tetapi biarlah namanama itu muncul toh akhirnya bisa terjawab siapa yang benar-benar mendaftar,” katanya. (abe)
SULUH MHSA | Edisi IV|September 2011
17
POLITIKA
SAMPANG tanpa EFEK SAMPING Harapan Publik Tentang Pilkada Pemilihan kepala daerah di kabupaten Sampang direncanakan berlangsung tahun depan. Bahkan, disebutsebut pemilihan tersebut bakal terlaksana di angka serba 12. Yakni, tanggal 12 bulan 12 tahun 2012. Penentuan sementara ini bisa berubah menunggu situasi mutakhir dalam kosmologi politik Sampang.
Meski pencalonan masih jauh, Bupati Noer Tjahja mulai pasang kudakuda. Setidaknya, Noer meminta jajarannya khususnya jajaran kepala desa agar tidak menjadi kolektor fotokopi KTP sebagai bagian dukungan dari bakal calon kada yang ingin maju dari unsur independen. Pria yang juga Ketua DPC PKB Sampang tidak ingin kades menjadi koordinator kepentingan balon tertentu. Ini dia sampaikan sebagai bentuk tanggung jawab moral baik sebagai bupati maupun pembina partai politik (Parpol). Sebab, aparat desa lebih baik bersikap netral agar tidak terjebak dalam kepentingan politik praktis. “Bila menemukan indikasi dan ada bukti ada kades menjadi koordinator KTP, silahkan laporkan kepada saya,“ tegas Noer. Terkait bakal calon independen ini, anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) Sampang Agus Sumaryono memberikan penjelasan. Untuk memenuhi persyaratan, bakal calon independen memerlukan foto kopi Foto: IST
Namun meski pilkada masih akan dieksekusi setahun lagi, aroma politik mulai terendus meskibelum sempurna. Sejumlah nama mulai muncul dan diprediksi akan maju. Diantaranya, in cumbent -masing Noer Tjahja (kini bupati), Fannan Basib (wabup), dan Haryono abdul Bari (anggota DPRD Jatim). Semakin dekat pilkada,
nama-nama yang muncul bisa lebih banyak yang maju melalui parpol maupun independen.
IKON: Monomen adipura tampak gagak berdiri di alun-alun Kota Sampang. Akhir tahun 2012 mendatan kota ini kan menggelar pilkada untuk memilih bupati baru
18
SULUH MHSA | Edisi IV|September 2011
KTP sebanyak 4% dari total jumlah penduduk. Bila penduduk Sampang mencapai 900 ribu jiwa, foto kopi KTP yang dibutuhkan minimal 37 ribu lembar. Ketentuan ini mengacu PP 49/2008 tentang perubahan ketiga atas PP 6/2005 tentang pemilihan, pengesahan, pengangkatan dan pemberhentian kepala daerah dan wakil kepala daerah. Konsideran lainnya, peraturan KPU 13/2010, tentang pedoman teknis tata cara pencalonan pemilu kada dan wakil kada. Dalam pasal pasal 8 ayat 2 disebutkan, bakal pasangan calon perseorangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf b dapat mendaftarkan diri apabila memenuhi syarat dukungan. Diantara ketentuannya, kabupaten/Kota dengan jumlah penduduk lebih dari 500.000 jiwa sampai dengan 1 juta jiwa harus minimal 4 %. Dukungan itu pun harus tersebar di lebih dari 50 % jumlah kecamatan yang kabupaten/kota tersebut. “Ada aturannya,” katanya. Selain soal bakal calon, biaya pemilu kada mulai dirundingkan. KPU dikabarkan mengusulkan Rp 24 miliar. Sebagian pihak menilai usulan ini tidak relevan, karena akan memberatkan APBD. Sebab, APBD (2011) hanya Rp 600 miliar termasuk anggaran belanja pegawai. Sebagai perbandingan, pelaksanaan pemilukada Sumenep yang tidak sampai mencapai Rp 24 miliar. “Jadi parameter tersebut juga bisa menjadi pertimbangan,” dia menjelaskan. Kabar terakhir dari Sampang, berapa besaran dana pilkada Sampang pemerintah bersama DPRD masih dibahas. Kisaran besarannya mencapai Rp 20 miliar. Baik pemerintah maupun parlemen, dana pilkada tidak diinginkan berfek samping karena dinilai “mengganggu” dana program lainnya. Tetapi, alokasi dana yang dianggarkan untuk pilkada Sampang sesuai dengan kebutuhan, rasional, dan dapat dipertanggungjawabkan. (abe)
POLITIKA
A
ncaman disintegrasi di tanah ini mendapatkan perhatian serius ketua DPC PDI Perjuangan Pamekasan Drs Saiful Bahri. Contoh bentrok di Ambon dan daerah lainnya, dinilai karena pendidikan kewarganaan yang tidak terpatri di sanubari anak bangsa. Berikut penuturannya kepada Suluh MHSA.
MEMBANGUN NASIONALISME dari RUMAH
Ada beberapa bentrok antarsaudara baik di Ambon dan Papua, menurut Anda.
Mengapa bisa seperti itu? Bisa saja. Ini kan soal mental karena pendidikan kewarganegaraan yang tidak tuntas. Saya kira sudah tegas empat pilar kebangsaan (Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Bhinneka Tunggal Ika). Saya kiar tidak perlu diurai. Sila ketiga Pancasila sudah jelas menuliskan Persatuan Indonesia. Kalau tidak bersatu kan berarti tidak mengamalkan Pancasila secara utuh. Ambon dan Papua hanya beberapa kasus yang muncul ke permukaan? Kira-kira apa alasan mereka bentrok? Umumnya empat ta; harta, tahta, wanita, dan kasta. Kalau kita pelajari beberapa kasus yang bentrok di manapun pasti mengarah ke empat ta itu. Sampai kemudian, semangat bersatu tersingkir dan gotong-royong tersungkur. Ini masalah. Mungkin masih ingat mengapa Belanda dulu bertahan sampai 350 tahun. Apa yang terjadi, penduduk Indonesia saat itu sangat mudah dipecah belah dan Belanda tidak memberi kesempatan kepada bangsa ini untuk belajar. Nah, saat bangsa ini merdeka dan hak mendapat pendidikan terbuka luas, lho kok masih ada adu domba dan mau jadi korban politik belah bambu. Pendidikan model apa yang bisa merekatkan antarwarga? Saya kira harus menggunakan kultur dan dimulai di rumah melalui home schooling yang tidak formal. Anak-
Foto: Saiful Bahri/SM
Saya kira ada juga bentrok saudara di daerah lain. Cuma tidak diliput saja. Ada juga bentrok di kantor yang sama, diliput tetapi tidak merasa bahwa hal seperti itu sesungguhnya bagian dari ancaman disintegrasi. SAIFUL BAHRI, Ketua DPC PDI Perjuangan Pamekasan
anak kita ayo ajari tentang bagaimana indahnya bersatu, memberi maaf, dan bergotong-royong. Kini apa yang terjadi, secara fisik anak-anak kita memang berada di rumah. Tetapi secara psikis anak-anak kita belajar pada apa yang disaksikannya di televisi. Anak-anak kita tiba-tiba menjadi sosok yang begitu sulit memaafkan adik atau kakaknya karena rebutan mainan misalnya. Nah, saat anakanak ini kelak besar, pasti bertengkar karena memori masa kecilnya kembali terbangun. Benar kan, ketika menjadi wakil rakyat muncul prilaku seperti anak-anak TK, berantem. Berarti harus ada pembelajaran untuk menjadi negarawan? Kalimat itu terlalu ideal. Negara kecil itu sesungguhnya adalah rumah tangga. Potensi bersatu atau bercerai itu ada di keluarga. Saat potensi-potensi itu ada di rumah tangga, secara logika, potensi berkembang di ruang yang lebih besar dibanding rumah tangga. Nah, masalahnya potensi mana yang lebih berkembang di tengah keluarga itu. Bila potensi konflik yang dominan, maka bila anak keluar dari rumah akan mengembangkan potensi itu ditopang oleh situasi sosial yang didiami di luar rumah. Memang hal ini sulit tetapi membiarkan yang negatif berkembang secara liar tentu hal ini bukan hal yang arif. Solusinya?
Masih ada waktu untuk memperbaiki diri sebagai apapun di rumah maupun di luar rumah. Ingat, bahaya terbesar itu justru berada pada adanya disintegrasi dari yang paling kecil sampai kepada sesuatu yang lebih besar. Kalau kita sadar menjadi bagian dari bangsa ini tentu garis besarnya adalah pilar kebangsaan. Sebab apapun yang dibangun dengan mengabaikan pilar, pastilah sesuatu itu mudah goyah dan akhirnya roboh. Di era kolonialisme Belanda di Indonesia puluhan tahun yang lalu, betapa gagahnya Irlander menguasai daerah yang penduduknya mudah dipecah-belah. Ada solusi? Tidak ada pilihan kecuali kembali kepada rumah lama dalam pendidikan. Saya masih ingat dalam pelajaran sewaktu saya masih kecil dalam pendidikan kewarganegaraan ketika itu. Ki hadjar Dewantoro memunculkan Hamemayu Hayuning Bongso yang berarti pendidikan harus membuat peserta didik bermanfaat bagi bangsa dan negaranya. Itu juga yang disampaikan mantan Presiden Amerika John F Kennedy, jangan tanya apa yang negara bisa berikan padamu namun tanyakanlah apa yang kamu bisa berikan pada negara. Di Indonesia, Bung Karno sudah sejak dulu mengawal nasionalisme dalam berapa saja untuk kembali ke rumah lama, Indonesia yang sesungguhnya, yang seutuhnya. (abe)
SULUH MHSA | Edisi IV|September 2011
19
Nenek Moyangku Pelaut
H
ampir setiap orang pernah makan ikan laut yang kita dapat dengan membeli di pasar-pasar. Tetapi hampir semuanya tidak tahu (atau tidak mau tahu) bagaimana ikan tersebut bisa sampai di pasar. Ini kisahnya. Sesudah Ashar perahu kayu berukuran sekitar 10 m lebar 3m dengan awak sekitar 20 orang meluncur keluar dari pelabuhan Branta, kec. Tlanakan Pamekasan. Canda dan tawa berbaur dengan suara mesin perahu dan deru angin. Perahu terus melaju, ke arah timur. Matahari sudah tenggelam, kewajiban yang harus dilaksanakan, tidak bisa ditinggalkan begitu saja, sholat Maghrib. Kemudian tiba saat yang sepertinya paling menyenangkan : Makan malam! Masing-masing orang membuka bekal yang dibawanya dari rumah. Kemudian bekerja? Belum. Masih sekitar pukul 19.00, masing-masing orang mulai mencari posisi paling nyaman untuk : tidur! ya tidur! Sebetulnya tidak ada posisi yang nyaman dengan orang sebanyak itu. Meluruskan kaki saja susah. Ketika mulai bisa tertidur sekitar pukul 22.00 tiba-tiba terdengar musik dangdut keras sekali diselingi teriakan : bangun....bangun! kerja...kerja...! Nampaknya berasal dari “loudspeaker” besar diatas perahu. Inilah saatnya untuk mulai kerja yang sesungguhnya. Baju, sarung yang sebelumnya jadi selimut, di lepaskan. Banyak yang setengah telanjang. Lampu Pajeng, empat buah lampu petromak yang di modif dan dirangkai jadi satu, mulai diturunkan. Jaring kemudian di ditebarkan mengelilingi lampu tadi dalam radius puluhan meter. Kemudian sunyi.. gelap pekat..! Jangkar diturunkan, mesin dimatikan. Perahu di ombang-ambingkan gelombang. “Lampu blitznya jangan dinyalakan...! nanti ikannya lari!” teriak seseorang yang melihat penulis siap-siap memotret. Kini saatnya menunggu ikan terperangkap dalam jaring. Canda tawa terdengar lagi. Kira-kira setengah jam kemudian mesin hidup lagi. Mereka mulai berjajar di salah satu sisi perahu. Ujung jaring yang ditandai pelampung mulai diangkat. Satu...dua...tiga... tarik...tarik..! Perahu berguncang hebat mengimbangi tenaga yang dikeluarkan 20 orang itu. Sekitar sekarung ikan yang meronta-ronta! Ikan-ikan itu kemudian dipilah ke dalam bak-bak plastik berdasar jenisnya. Orang-orang berpakaian lagi, perahu mulai berjalan. Ada yang tiduran ada yang menyiapkan camilan: Ikan panggang ! Ketika memilah ikan tadi mereka memang menyisihkan beberapa ikan atau udang yang agak besar. Mereka kemudian memanggangnya di...atas mesin atau knalpot..! Soal rasa tentu tak karuan! Yang penting perut terganjal. Rangkaian kegiatan menebar-menarik jaring itu dilakukan tiga-empat kali tergantung jarak yang ditempuh. “Ikannya tidak sebanyak kemarin-kemarinnya” kata seseorang. Hal itu berarti uang yang akan diterima orang-orang yang ikut juga tidak akan banyak. Selain mendapat jatah bebarapa ikan paling mereka hanya akan mendapat sekitar 20 ribuan karena hasil melaut ini masih harus dipotong biaya solar serta diberikan pada juragan pemilik perahu. Namun tak jarang di musim-musim bagus mereka bisa dapat rupiah yang lebih banyak. Menjelang fajar, Perahu sudah berubah arah, barat. Dengan tetap diiringi musik dangdut yang keras, kira-kira sesudah adzan Subuh masuk ke pelabuhan Branta. Di dermaga istri-istri mereka dan para tengkulak sudah menanti. Sungguh, andai tahu betapa berat pekerjaan yang mereka lakukan, anda tidak akan tega untuk menawar lagi harga ikan yang mereka sodorkan!
20
SULUH MHSA | Edisi IV|September 2011
fokus Lensa
foto & teks: Abdullah Anshari
SULUH MHSA | Edisi IV|September 2011
21
22
SULUH MHSA | Edisi IV|September 2011
Foto: Saiful Bahri/SM
SULUH MHSA | Edisi IV|September 2011
23
24
SULUH MHSA | Edisi IV|September 2011
SULUH MHSA | Edisi IV|September 2011
25
Imaz Yanda Astrini Putri
CANTIK SAJA TAK CUKUP Wah, biarpun baru berusia 21 tahun, cukup fair menyebut Imaz Yanda Astrini Putri sebagai model kawakan Madura. Bagaimana tidak, cewek yang menekuni dunia modeling sejak di bangku SD ini hampir di setiap event dan lomba fashion show yang diikutinya selalu menjadi juara. Waktu ditemui Suluh MHSA saat menjadi model bintang tamu lomba Da’I dan Busana Muslim semadura di RRI mengatakan, “semua ini tidak lain karena dukungan dari ortu, karena hubunganku dengan mereka lebih mirip sahabat. Asyiknya, apapun yang aku lakuin, mereka pasti tetap menyayangi aku, tentunya dalam hal yang positif lho ya!” ujarnya dengan senyumnya yang khas. Yanda sapaan akrabnya, makin berhasil membuktikan, wajah cantiknya bukan modal utama untuk menjadi seorang entertainer, saat ini ia sedang menyelesaikan studinya di Perbanas Surabaya. Gadis yang juga memiliki hobi menyanyi ini juga mengatakan, karena sibuk dengan tugas kuliah, jadi aku harus lebih fokus dulu studiku, biar cepet lulus.. canda dara kelahiran Sumenep ini. “Konsentrasi sama kuliah bukan bukan berarti berhenti total tapi cukup dengan mengurangi aktivitas modellingku sekarang, dan saat lulus nanti aku pasti akan eksis kembali di dunia model” imbuhnya. Yanda mengaku punya keyakinan bahwa keberhasilan yang tidak didasari kesungguhan dalam bekerja keras dan menempa diri untuk terus semakin manjadi lebih baik, pada akhirnya akan runtuh dan mudah tenggelam. “Kita sudah banyak kan lihat artis-artis yang modalnya cuma kecantikan dan sensasi, akhirnya jadi ketahuan juga. Dan masyarkat akan mengecap mereka sebagai artis kampungan“ guraunya. Baginya, hidup adalah perjuangan terus menerus untuk senantiasa menjadi leibh baik. Karenanya, tak ada sesuatu yang benar-benar tuntas. “Hidup adalah menempa diri menjadi lebih manusiawi dan lebih peduli” Begitu Mojang ini menarasikan filosofi hidup yang selama ini menjadi pijakan setiap aktifitasnyta sehari-hari. Baik bersama keluarga, teman dan sahabat (dav)
26
SULUH MHSA | Edisi IV|September 2011
K
esehatan adalah suatu anugerah yang harus dijaga dan disyukuri. Bagi Khalida Alfiana Isaura, menjaga kesehatan sangatlah penting untuk dilakukan, meskipun sibuk menjalani aktifitas sehari-harinyanya sebagai keuangan di PT. Kaber Azeze Mediatel, ia selalu meluangkan waktunya untuk berolahraga seperti fitnes dan aerobik. “kalau dalam seminggu saja aku ga latihan, badanku rasanya lesu n ga gairah!� cetus dara berusia 19 tahun ini yang biasa dipanggil Indah. Saya sangat setuju dengan ungkapan mensana incorporesano, bahwa di dalam tubuh yang kuat itu terdapat jiwa yang sehat, tuturnya. Pentingnya menjaga kesehatan mulai ia rasakan saat di bangku SMP, suatu ketika ia akan mengikuti suatu lomba untuk mewakili sekolahnya, namun beberapa hari menjelang lomba tersebut ia terkena flu dan demam akibat sering tidak bisa tidur. Akhirnya ia merasa kurang maksimal dalam lomba tersebut. Usut punya usut, ternyata kurang olahragalah yang menjadi pemicunya. Mulai saat itulah aku berusaha sebisa mungkin meluangkan waktu untuk berolahraga secara rutin mas, tambahnya. Akhirnya perjuangan dan usahaku itu membawa hasil lho, badanku terasa tambah lebih sehat, tidur lebih teratur, dan yang pasti bodyku terlihat lebih mirip dengan namaku, imbuh gadis penyuka olahraga basket ini dengan tertawa lepas. Lain dari itu, gadis berparas manis ini mengkui, olahraga dapat membantunya menghidari hal-hal yang negatif. Sebab dengan berolahraga, pikarannya menjadi fokus dan tidak memiliki kesempatan untuk memikirkan hal-hal tidak bermanfaat yang kadang justru negatif. Seperti narkoba, sex bebas dan hal-hal lain yang bisa menjerumuskan dirinya. (dav)
Khalida Alfiana Isaura
HARUS TETAP SEMANGAT SULUH MHSA | Edisi IV|September 2011
27
Percik
Foto: David SM
RANCAK : Salah satu tim Tong tong Dahsyat Bluto saat unjuk gigi dalam festival di depan kantor redaksi Madura Channel pada bulan ramadan lalu.
TONG-TONG yang TERKATUNG-KATUNG
P
ada setiap malam, usai salat taraweh, musik Tong tong menjadi pemandangan tersendiri di depan kantor redaksi Madura Channel, Jl Adirasa 5-7 Sumenep. Musik ini merupakan entitas kesenian lokal yang mengandalkan alat musik yang terbuat dari tumbuhan alam sekitar. Di era lalu, musik Tong tong digunakan warga sebagai tanda dan mengandung bahasa isyarat, sesuai dengan kesepakatan warga di masing-masing wilayah. Sehingga, di desa atau dusun tertentu ketukan Tong tong memiliki makna tersendiri. Misalnya, dua ketukan bisa menjadi tanda bahwa di desa itu terdapat maling di malam hari atau orang tidak dikenal. Tiga kali ketukan bisa berarti terjadi kebakaran dan seterusnya. Tong tong yang semula terpisah dan berada di hampir setiap rumah warga, belakangan ini bisa disatukan. Umumnya, warga membuat alat musik tong tong dari bambu, akar pohon bambu, tempurung buah
28
siwalan, dan kayu yang telah dibolongi dalamnya. Inovasi ini semakin meningkat karena pemusik Tong tong memasukkan alat musik lainnya seperti kolintang, kendang, gong, dan sejenisnya. Tetapi seperti seni etnik lainnya, Tong tong hidupnya terkatung-katung. Kadang semarak melalui momentum dan festival dan lebih sering, nyaris tidak terdengar. Ini karena musik etnik ini mengalami krisis generasi yang telah bergerak ke musik pop kreatif seperti band dan rock. Menurut pelaku musik tong tong De Purwanto, musik Tong-tong dewasa ini telah berkolaborasi dengan jenis etnik lainnya. Sehingga, menurut dia, penabuh Tong tong tidak bisa berdiri sendiri sebagai sekumpulan seniman yang menabuh musik perkusi itu. Tong tong yang sejak awal muncul di musik malam sebagai patrol (ronda) dan membangunkan warga yang hendak sahur, belakangan musik Tong-tong lebih masuk ke ruang yang lebih luas. Misalnya, De Purwanto menyebut musik Tong
SULUH MHSA | Edisi IV|September 2011
tong menjadi bagian dari musik pengiring sapi kerap, berkolaborasi dengan suara saronen. “Dengan memodifikasinya, Tong tong bertahan dan bersaing dengan musik modern,� jelasnya. Dia menjelaskan, fenomena globalisasi dengan sekian nilai yang dibawanya, telah memunculkan beragam kekhawatiran masyarakat lokal (Madura). Ini, karena kebudayaan baru yang dibawa globalisasi secara perlahan mulai menggerus kekayaan lokal dalam kasus Tong tong. Tidak heran, katanya, beberapa tokoh Madura memunculkan gagasan tentang revitalisasi kebudayaan yang dimiliki Madura. Konsepsi revitalisasi dia nilai merupakan tawaran untuk menyelamatkan kebudayaan agar tetap eksis. Salah satunya, dalam bidang seni musik lokal di tengah kemajuan seni musik kekinian. Sebab, membiarkan seni musik lokal dengan apa adanya, sama halnya dengan menenggelamkan kekayaan lokal tersebut dalam kemajuan seni musik modern.
Percik Hanya, ujar dia, revitalisasi seni musik lokal yang bisa diwujudkan untuk tetap mempertahankannya. Sehingga tradisi seni musik lokal tetap menarik dan eksis di tengah blantika musik-musik modern yang terus berkembang. “Tidak tahu kenapa, nasib kesenian daerah di mana pun hidup segan mati tak mau,” ujarnya. Sementara penggagas festival musik Tong tong AK Jailani mengatakan, salah satu wujud konkret penguatan musik etnik dengan cara mengkampanyekannya lewat festival seperti yang digagas Madura Channel, Festival musik tong tong sahur (bermusik sambil menanti waktu sahur). Menurutnya, revitalisasi ini sebagai pengembangan seni musik Tong-tong Madura yang sangat fenomenal, terutama pada saat bulan ramadan. Pria yang akrab disapa Jay itu menjelaskan, Tong tong tampak telah menjadi seperangkat seni musik yang memiliki kedekatan dengan nilai religius dan sangat lokalistik karena geliatnya biasa dilekatkan pada saat momentum ramadanan. Tong tong yang diambil dari suara yang dihasilkan dari alat musiknya, belakangan berirama dan memiliki tangga nada serta solmisasi. Jay menjelaskan, musik Tong tong selain sebagai perwujudan lain seni musik, ia juga memiliki karakter khas suatu kebudayaan yang mampu beradaptasi dengan kehidupan masa kini. Menurutnya, seni musik Tong tong bukan hanya menjadi alat musik penghibur, tetapi sebagai bukti bahwa setiap kekayaan lokal tidak bisa langsung diputuskan, ditinggalkan dan dibiarkan. “Dengan segala keunikannya, musik Tong tong mampu membuktikan sebagai seni yang bisa mewarnai konstalasi seni musik yang sebenarnya tidak melulu modern,” paparnya. Dalam festival musik Tong tong ala Madura Channel, puluhan kelompok musik etnik ikut berpartisipasi dari penjuru Madura. Festival ini sebagai khazanah untuk menyelamatkan kebudayaan Madura. Tong tong tidak hanya memberikan keindahan bunyi, tetapi juga memberikan ajakan atas keluhuran nilai seni lokal Madura khsusunya Sumenep. (dav)
GERABAH TAK GEGABAH PAMEKASAN – Membuat gerabah tidak bisa gegabah. Produk lokal Pamekasan ini memerlukan ketabahan dan ketelatenan. Harus tabah karena produk berbahan tanah liat ini terancam barang sejenis yang terbuat dari keramik, lebih bagus, dan cepat selesai. Harus telaten karena membuat gerabah dari tanah liat ini membutuhkan sentuhan jiwa dan kesabaran. Sayangnya, perjalanan potensi lokal ini tidak selalu mulus karena berbagai persoalan di era globalisasi ini. Penjualan kerajinan industri rumah tangga Gerabah ini lambat laun mulai menurun, setidaknya dalam enam bulan terakhir ini. Pasar lokal seperti Sampang, Sumenep, Bangkalan, Surabaya dan probolinggo masih sepi order. Sesekali ada pesanan tetapi itu pun jarang dibading di era jayanya gerabah tanah liat ini. “Sekarang hanya seminggu sekali, kadang hanya dua minggu sekali,” kata perajin gerabah Suparti di dusun Sampettok, desa/ kecamatan Pademawu Pamekasan. Pekerjaan ini berlangsung secara tradisional. Nenek moyang mereka dulunya menggiati profesi ini. Sebab gerabah terlanjur ada, pewarisnya meneruskan usaha sampingan leluhurnya. Dalam sehari, Suparti mengaku mampu menggarap 15 buah gerabah ukuran kecil dengan harga antara Rp 20.000 hingga Rp30.000 tergantung corak, besar-kecil dan ukirannya. Untuk ukuran sedang dan besar harganya antara Rp 70.000 hingga Rp 300.000/unit. Sepinya pesanan grabah itu mulai ia rasakan sejak harga BBM (Bahan Bakar Minyak) naik. Sebelum kenaikan BBM, meski pesanan berkurang tidak seberapa sepi pasarnya. Tetapi begitu BBM naik, sepinya peminat mulai terasa. Sebenarnya, turunnya order gerabah bukan semata-mata karena faktor BBM. Namun yang juga ikut mempengaruhi tak lain karena banyaknya home industry lain di luar Madura dengan motif dan model yang lebih modern. Di era dulu sebelum home industry gerabah marak dengan harga dan motif yang bersaing, gerabah Pademawu pernah menjadi primadona pada tahun 1980-an. Bahkan, gerabah asal kota Gerbang Salam ini pernah menembus Bali dan Semarang. Namun demikian, kerajinan gerabah ini tetap diteruskan sebagai usaha sampingan meski pasarnya tidak secemerlang di tahun 1980-an. Diantara benda yang dihasilkan antara lain, cowek, pot vas bunga, tempayan, asbak, dan sejenisnya. (abe) SULUH MHSA | Edisi IV|September 2011
29
Percik
Pamor, “Srimulatnya” Madura Grup ini pertama-tama didirikan dan diperkenalkan oleh tim kreatif Madura Channel TV dengan nama Pamor Madura. Sebutan Pamor diambil dari mistik yang terdapat pada bilah tosan aji seperti Keris, Tombak, dan Pedang. Diharapkan nama Pamor bisa memberikan pamor positif (popularitas) Madura yang selama ini dipandang orang di luar Madura dengan streotep yang negatif. Dan, seterusnya Pamor Madura menjadi salah satu program unggulan televisi swasta di Madura itu. Di era 75-an, anggota Pamor Madura yang kini dikomandani oleh Sunardi MTM itu merupakan sebuah komunitas kelompok komedi yang tampil dari satu tempat ke kerumunan warga lainnya. Pementasannya sarat dengan pesan sosial dengan membebaskan diri dari patron tertentu. ”Ternyata hiburan kami yang didalamnya berisi pesan sosial sangat diterima oleh masyarakat,” bangga Sunardi. Dia menambahkan, anggota Pamor Madura yang merupakan kawakan komedian Madura, memang sering tampil bersama-sama. ”Makanya kami tidak kesulitan dengan gaya masing-masing pemain ketika harus tampil mendadak. Yang penting bagi saya, warga bisa ketawa terbahak-bahak dengan pemenatasan kami.” Yang terpenting lagi, tambah dia, materi pementasan yang dijual harus lucu dengan tetap menjaga kekhasan para pemainnya. Anggota dari Pamor Madura sendiri adalah pecahan dari beberapa kelompok komedi (ludruk) yang melakukan pentas dari satu desa ke kota lainnya di Madura. Kelompok yang beranggotakan Sunardi MTM, Jojo, Basir, Mat Kacer, dan Anjeni sebagai pemain utama itu memulai lawakan perdananya di layar kaca September 2007 silam. Seiring dengan popularitasnya itu, secara tidak sengaja Pamor Madura terus berproses menjadi sebuah fenomena dan menjadi sebuah ”subkultur” baru.
30
Menurut Sunardi, ketika kelompoknya terus popular berkat layar kaca Madura Channel, masing-masing anggota Pamor Madura mendadak menjadi selebritis lokal. ”Sekarang kelompok Pamor Madura terus mematangkan diri menghadapi tantangan zaman. Saya dan kawan-kawan terus memeras otak agar penampilan Pamor Madura tidak itu-itu saja jalan ceritanya. Perlu inovasi, baik kostum, alur cerita, gaya para pemain yang tentu disesuaikan dengan permintaan pasar,” urai Nardi Secara umum kekuatan humor kelompok Pamor Madura terletak pada jalan ceritanya yang disisipi lelucon Madura dan kelihaian para olah tubuh para pemain sehingga membuat penonton terbahak-bahak. Pantun-pantun jenaka berbahasa Madura yang disampaikan di tengah cerita ikut menambah komedian ini mudah ditangkap masyarakat. Bagi para penggemarnya, mereka sudah hafal satu per satu gaya masing-masing anggota Pamor Madura. Menurut Sunardi, agar mudah dikenali, dia meminta anggota Pamor Madura menjaga penampilan agar memiliki kekhasan masing-masing. ”Selain itu saya minta ada kalimat-kalimat yang bisa menjadi tren atau gaya khas seorang pemain,” kata Sunardi. Sebut saja Sunardi dengan kalimat “mettu mani” (dimadurakan: kaluwar pole) dan kumis pasangan khas sakera sudah melekat bagi penggemarnya. Atau ketika Jojo tatkala ia
SULUH MHSA | Edisi IV|September 2011
menjawab singkatan K - U - D - A dengan kepanjangan jeren. Basir yang memiliki postur tubuh tambun terkenal dengan kostumnya yang unik dan kalimat egelui le’ menjadi trade mark di masyarakat. Lain lagi dengan Mat Kacer yang selalu menjadi ”korban” dari skenario cerita. Sementara Anjeni yang pintar dengan pantunpantun Maduranya dan vokal suaranya menambah kekuatan kelompok komedian ini. Kemunculan Pamor Madura di televisi memang selalu dinantikan penonton. Untuk kenal lebih dekat banyak warga seringkali ingin bertatap langsung dengan kelompok ini dengan mendatangi langsung studio Madura Channel TV. Tak heran pertemuan tatap muka fans club seringkali membuahkan ’order’ baru untuk diundang baik resepsi, imtihanan, halal bihalal maupun acara lainnya. Di tengah naiknya popularitas Pamor Madura, Sunardi tidak memanfaatkan dengan memasang tarif khusus. ”Tidak ada tariff khusus. Diundang menghibur warga, bagi saya bukan main senangnya. Karena ini bentuk lain amalan ibadah saya. Soal nanti ada ganti transport dari tuan rumah mator sakalangkong,” ujarnya. Sementara tema yang menjadi “permintaan pasar” dalam pementasan berpusar pada cerita sejarah kenabian. Sebut saja cerita Nabi Yusuf yang banya digemari penggemarnya yang sarat pesan dakwak dengan kemasan humor yang mendidik. Ada juga mengangkat tema harmonisasi keluarga dan sosial kemasyarakatan. Saat ini Pamor Madura bisa dibilang banyak job di luar tampil di layar kaca. Tak jarang dalam pementasan mereka, Sunardi Cs mengundang pemirsa yang memiliki bakat untuk dikader menjadi calon komedian dengan tampil bersama. ”Awalnya masih kaku, tapi lama-kelamaan saya lihat bakatnya mulai tampak. Melihat dari bakat yang terpendam di masyarakat, saya berharap ke depan ada audisi pencarian bakat untuk Pamor Madura,” pungkasnya. (**)
Percik
MULAI PUDAR: Kesenian hadrah yang dulu digandrungi banyak kalangan di madura ini kini mulai tidak diminati oleh anak-anak muda.
HUUB DE JONGE Peneliti Asal Belanda
KONGRES, SUKMA KEBUDAYAAN Tuntas sudah rangkaian pra kongres kebudayaan Madura yang rangkaiannya dimulai di Pamekasan, Sampang, Bangkalan, dan Sumenep. Kolektivitas kegelisahan atas nama generasi berhenti pada titik kerinduan saat karakter berbudaya mulai aus diterjang globalisasi. Lebih dari itu, nasionalisme berbudaya Madura seringkali diterjang oleh yang berhak merawatnya. Maka semakin lengkaplah kegelisahan-kultural ini karena perjalanan kebudayaan Madura berlalu tanpa budaya tanding. Padahal, Kebudayaan Madura, sebagaimana kebudayaan masyarakat lainnya di Indonesia, unik. Menurut pengamat masalah kebudayaan Allex Martin, Madura sebagai daerah yang “istimewa”. Budaya dan kesenian di dalamnya menarik dan sangat etnik. Saat kebudayaan di dalamnya mulai melepuh, Alex mempertanyakan ke mana keunikan dilarikan. Menurut pria yang bermukim di Jakarta ini, kongres kebudayaan I empat tahun lalu telah berhasil menggiring kecintaan generasi Madura untuk menumbuhkan budaya tanding. Dengan cara itu, kebudayaan lokal bisa bersaing. Menurutnya, kongres ini menampilkan beragam kekayaan kultural masyarakat Madura dari empat kabupaten di Madura (Sampang, Bangkalan, Pamekasan, dan Sumenep). Bahkan, katanya, Prof DR Mien
A. Rifai (LIPI) mencatat beragam kekhasan kultural maupun karakteristik manusia Madura yang sangat etnik dan tahan banting. Saat globalisasi berembus sangat kencang, Alex menilai ketahanbantingan warga Madura sedang diuji. Selain itu, alex juga mengetahui banyak pihak di luar negeri juga meluangkan waktu untuk memperhatikan Madura seperti Huub de Jonge. Dia menambahkan, riset majalah mingguan pada tahun 1980, menempatkan suku Madura dalam lima besar suku yang paling sukses di Indonesia. Ini dibuktikan dengan adanya warga Madura di tanah rantau sebagai saksi hidup atas semangat itu. Mereka berani melakukan pekerjaan apa saja demi hidup. Namun, dibalik kegigihan itu, masyarakat dari pulau garam ini memiliki rasa humor yang khas. Masalahnya, urai dia, sukses di luar belum tentu berhasil dalam mempertahankan budayanya. Itu sebabnya, jurnalis ini memberikan apresiai terhadap Said Abdullah Institute yang telah menggelar Kongres Kebudayaan Madura (KKM) tahap pertama. Tahap kedua dijadwalkan digelar pada awal tahun 2012 yang rangkaiannya telah dimulai dari pra kongres di empat kabupaten di Madura. “Meski saya bukan orang Madura, saya juga tidak rela kebudayaan Madura semakin pupus,” ujarnya.
Sementara pengamat budaya daerah asal Banyumas Akhmad Murtajib menggelengkan kepalanya. Saat melakukan riset tentang budaya khususnya bahasa Jawa (Ngapak) Banyumasan, nasib kedaerahan hanya tinggal menunggu kematiannya saja. Dalam riset yang dia lakukan, dia justru menjadi bahan “gunjingan” karena ngopeni hal (Bahasa Ngapak) yang dianggap sebagian warga Ngapak sudah tidak penting lagi. Ini juga yang dia dengar dari sebagian warga Madura di daerah Banyumas. Sebagai warga yang melestarikan kebudayaan dan bahasa daerah, dia mendengar di Madura pun terdapat kecendrungan warga yang mulai tidak peduli terhadap sebagian kebudayaan daerah. Mantan aktivis Jogja di era 1990-an ini mengatakan, kebudayaan daerah saat ini hanya menunggu kematian. Sebab, urainya, mengamati warga di daerah saat ini yang cenderung pragmatis dan kapitalistik, kedaerahan menjadi tidak penting ada atau tidak adanya. Karena itu, tuturnya, sejumlah pihak yang mencoba mempertahankannya menurut dia hanya menunda kematian kebudayaan daerah datang lebih cepat. Pasalnya, kebudayaan daerah cendrung sama terancam globalisasi kecuali Bali. “Kebudayaan di Bali lebur menjadi religiusitas hari-hari masyarakat Bali,” paparnya. (abe)
SULUH MHSA | Edisi IV|September 2011
31
Serambi
BERTEDUH di KOPERASI MEGA BHAKTI
TITIP KOPRASI YA.. : Ketua PDI Perjuangan Jatim, Sirmadji Tjondropragolo menyalami A. Busyro Karim saat pelantikan bupati dan wabup Sumenep.
Koperasi, cara sederhana untuk memberdayakan rakyat. Selain itu, koperasi merupakan ciri khas dalam penegakan usaha kecil dan menengah. Di Republik ini, nggak ada koperasi, nggak rame. Karena koperasi kita banget. SURABAYA – Kira-kira itulah semangat yang muncul di tengah-tengah jajaran DPD PDI Perjuangan Jatim. Karena itu, partai berlogo moncong putih ini mendirikan badan usaha Koperasi Serbaguna Mega Bhakti Jawa Timur. Rapat pembentukan dan pelantikan pengurus Koperasi Serbaguna Mega Bhakti Jawa Timur ini diikuti sekitar 100 peserta, di aula DPD Jl Raya Kendangsari Industri 57 Surabaya. “Badan usaha koperasi ini dirintis murni kader PDI Perjuangan, dan diharapkan mampu melaksanakan amanat ideologis partai berlandaskan Pancasila 1 Juni yang mengharuskan kader partai senantiasa memperkuat perekonomian rakyat. Salah satunya adalah koperasi ini,” kata Sirmadji Tjondropragolo, Ketua DPD PDI Perjuangan
32
Jawa Timur. Pembentukan koperasi juga dihadiri Kepala Dinas Koperasi dan UMKM Pemprov Jatim Fatah Yasin, anggota DPR RI Dapil Jatim MH Said Abdullah, anggota Fraksi PDI Perjuangan DPRD Provinsi Jawa Timur dan pengurus DPD PDI Perjuangan Jawa Timur. Menurut Sirmadji, pendirian koperasi ini bertujuan untuk sebenar-benarnya soko guru perekonomian rakyat. Tidak sekadar untuk kader partai tetapi diharapkan mampu menjangkau masyarakat umum khususnya di wilayah Jawa Timur. Selain itu, melalui koperasi Mega Bhakti ini setiap kader partai juga melatih diri untuk terobosan-terobosan baru dalam melakukan gerakan bersama mensejahterakan rakyat. Sementara, Kepala Dinas Koperasi dan UMKM Fatah Yasin menyambut baik berdirinya Koperasi Serbaguna Mega Bhakti Jawa Timur. “Dengan jumlah anggota PDI Perjuangan Jawa Timur yang kurang lebih 4 juta orang, diharapkan koperasi Mega Bhakti turut mendukung program pemberdayaan ekonomi masyarakat khususnya masyarakat Jawa Timur,” kata Fatah Yasin dalam sambutannya. Menurut dia, Koperasi Serbaguna Mega Bhakti harus terus melakukan pemberdayaan organisasi dan anggot-
SULUH MHSA | Edisi IV|September 2011
FATAH YASIN, Kepala Dinas Kopwrasi Pemerintah Provinsi Jawa Timur
anya dalam kerangka meningkatkan kualitas sumber daya manusia yang ada di dalamnya. Selain itu, Fatah Yasin juga mengingatkan tantangan yang berat dihadapi dunia koperasi Jawa Timur saat ini adalah kemampuan melakukan penetrasi pasar agar tercapai tujuan koperasi yaitu mensejahterakan anggotanya. Pada kesempatan tersebut juga, Fatah Yasin menyatakan siap membantu Koperasi Serbaguna Mega Bhakti Jawa Timur untuk mengakses permodalan baik melalui lembaga perbankan maupun non perbankan. Hal tersebut terkait juga dengan tugas Dinas KUMKM Jawa Timur dalam kerangka melakukan pembinaan koperasi-koperasi yang telah berdiri. “Provinsi Jawa Timur masih menyandang status sebagai provinsi koperasi, yang mana terdapat 28.766 koperasi, dan 54% ekonomi Jawa Timur berbasiskan koperasi. Oleh karena itu dengan berdirinya Koperasi Mega Bhakti ini diharapkan mampu menjadi koperasi yang mandiri dan berdaya secara ekonomi bagi kader partai PDI Perjuangan,” harap Fatah Yasin. Ia mengaku sangat yakin koeprasikoperasi seperti Mega Bhakti bisa berjalan sangat lancar di Sumenep. Sebab kultur masyarakat Sumenep sangat mendukung (**)
Serambi
Tembakau, Niaga Sepi Nurani Niaga tembakau memang unik dibanding nurani niaga pada umumnya. Sebab, pemilik barang tidak bisa menentukan harga.
Foto: Saiful Bahri/SM
SUMENEP- Harga, berat timbangan, dan mutu tembakau ditentukan pembeli. Tidak heran bila dalam satu tegal dengan varietas yang sama memiliki mutu dan harga yang berbeda. Niaga ini lebih banyak ditentukan kekuatan daya endus pembeli. Ini terjadi karena pada tembakau tidak SNI dan tester di luar daya endus pembeli. Meski begitu, dari tahun ke tahun sebagian petani tetap menanam tembakau. Di Kabupaten Sumenep, tanaman tembakau tahun meningkat sekitar 100% dibanding tahun lalu. Pada tahun 2010 silam, areal tanaman tembakau seluas 9.166,54 hektare, dengan produksi 5.500 ton. Namun, untuk tahun 2011 ini, proyeksi areal tanaman tembakau mencapai 22.333 hektare, dengan produksi 13.400 ton. Itu berarti, nia-
ga tembakau yang sudah seperti itu adanya tetap mendapat perhatian banyak petani. Mengingat ketidakjelasan masa depan tembakau dengan niaga yang tida umum, pemerintah memberikan suaka. Di Pamekasan, pemerintah bersama DPRD mengesahkan regulasi daerah, perda tata niaga tembakau. Ini terkait dengan pengambilan sampel, pemurnian tembakau Madura (Pamekasan), dan larangan tembakau Jawa masuk ke parkir di kota Gerbang Salam itu. Kehadiran perda saja tidak cukup dan karenanya pemkab menambah kuda-kuda di luar perda. Pemkab membangun tameng lainnya berupa lembaga non pemerintah untuk membela hak-hak petani. Yakni, APTP (Asosiasi Petani Tembakau Pamekasan) dan KUTP (Komisi Urusan Tembakau Pamekasan). Tetapi dalam perjalanannya, rezim niaga tembakau nyaris tak berubah. Ini juga yang ditemukan Ketua Komisi B DPRD Pamekasan, A Hosnan Ahmadi. Pria yang juga pelaku bisnis ini menyadari ada yang berbeda dari niaga tembakau. Pada jual
belu barang pada umumnya, pemilik barang menentukan harga untuk benda yang dimiliki. Tetapi situasinya berbeda dengan transaksi tembakau. Pemilik barang belum bisa memberi harga. Pembeli lebih dominan apakah tembakau itu berkualitas atau kurang bermutu, berharga mahal atau tidak berharga mahal, termasuk pengambilan sampel. Terjadinya hal tersebut disebabkan tidak adanya tester yang bisa menentukan kualitas baik, sedang atau rendah yang berlaku umum. “Faktanya di lapangan pemilik barang nyaris tidak punya bargaining position,� katanya. Hal yang unik pada niaga tembakau juga ketidakjelasan mutu. Menurut Sekretaris KUTP Heru Budi Prayitno, barang tidak bisa menunjukkan dirinya sebagai sesuatu yang berkualitas. Pada niaga di luar tembakau, dikatakan atau tidak dijelaskan suatu barang telah menunjukkan dirinya sebagai benda yang berkualitas atau tidak. Hal ini tidak terjadi pada tembakau. Sebab, hanya pembeli yang punya hak untuk menentukan suatu barang itu bermutu atau kurang berkualitas. Menurut Heru, niaga tembakau memang aneh dan berbeda dengan jualan barang lain. Tidak jarang, barang yang bermutu bisa lebih murah harganya dibanding barang yang tidak begitu bagus tetapi dibeli lebih mahal. “Ya begitulah dalam niaga tembakau, tergantung selera pembeli,� jelasnya. (abe)
SELALU KALAH : Ibu-ibu di Pamekasan sedang menggulung tembakau untuk kemdian dirajang. Setiap tahun mereka selalau menanam dan memanen tembakau sekalipun mereka selalu saja tidak punya hak untuk menentukan harga dari tembakau yang mereka rawat selama 3 bulan.
SULUH MHSA | Edisi IV|September 2011
33
Foto-foto: Saiful Bahri SM
Serambi
LEBARAN : Seorang petugas rukyat meneropong hilal di Pantai Ambet Tlanakan. Tampak para jama’ah wanita khusu’ melaksanakn salat ied di depan Masjid Agung Pemekasan.
DUA SEMBAHYANG SATU LEBARAN S
ejak malam 29 Agustus 2011 beberapa waktu lalu, beredar berbagai pesan melalui Blackberry Messenger (BBM) menanggapi perbedaan lebaran. Ada yang bernada lucu, ada juga yang menyebarkan informasi palsu, ada juga yang memprovokasi. Misalnya, beredar SMS penetapan Hari Raya Idul Fitri 1 Syawal 1432 H jatuh pada hari Selasa (30/8) untuk (Islam) Muhammadiyah, 31 September untuk (Islam) NU, dan 32 September untuk Islam KTP. Apa yang muncul di masyarakat merupakan apresiasi atas riuh rendah masyarakat setelah sebulan menunaikan ibadah puasa menuju hari kemenangan 1 Syawal. Itu sebagai ungkapan berbingkai demokrasi atas adanya perbedaan banyak hal termasuk soal keyakinan. Perbedaan cara pandang ini patut dijadikan rahmat karena berbeda di republik ini bukan barang baru termasuk soal lebaran. Sebab, mekanisme pengambilan keputusan menyangkut keyakinan ini berbeda media. Satu pihak menggunakan rukyat dan pihak lainnya memanfaatkan hisab. Dari cara pandang yang tidak sama ini, hasilnya bisa sama dan dapat pula berbeda, seperti lebaran Idul Fitri beberapa waktu lalu. Jauh sebelum dualisme lebaran, Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah telah mengedar-
34
kan hasil hisab hakiki wujudul hilal. Isinya, ijtimak menjelang Syawal 1432 H terjadi pada hari Senin 29 Agustus 2011 M pukul 10:05:16 WIB. Tinggi hilal pada saat matahari terbenam di Yogyakarta (f= -07°48¢dan l= 110°21¢BT) adalah *+01°49¢57²(hilal sudah wujud) dan di seluruh wilayah Indonesia pada saat matahari terbenam hilal sudah berada di atas ufuk. Berdasarkan hasil hisab tersebut maka Pimpinan Pusat Muhammadiyah menetapkanTanggal1 Syawwal 1432 H jatuh pada hari Selasa 30 Agustus 2011 M.
lebaran Idul Fitri diputuskan 1 Syawal 1432 jatuh pada hari Rabu (31/8). Ini berbeda dengan keputusan Muhammadiyah yang menetapkan hari raya 1 hari lebih cepat dari NU dan pemerintah. Perbedaan ini bukan hal baru karena di beberapa lebaran sebelumnya hal yang sama terjadi. Terjadi pula, sekelompok masyarakat NU saat lebaran mengikuti Muhammadiyah. Hal ini lazim karena perbedaan menjadi hal yang lazim untuk ukuran warga yang dewasa menyikapi ketidaksamaan.
Sedangkan bagi kalangan NU, berbeda cara pandang dan tidak sama sarana penunjangnya dalam penentuan lebaran. Sesuai penegasan PBNU, penentuan lebaran ditentukan dengan cara rukyat untuk melihat bulan. Biasanya, rukyat dilakukan pada hari ke 29 ramadan. Jika rukyat di hari tersebut berhasil melihat bulan, itu berarti sebulan dalam puasa di tahun itu hanya 29 hari. Sedangkan bila bulan tidak terindra, disimpulkan puasa sebulan berlangsung 30 hari atau lazim disebut istikmal, menggenapi puasa sebulan 30 hari. Sedangkan ulul amri (pemerintah) merangkul keduanya melalui media badan hisab dan rukyat yang ditindaklanjuti dengan sidang isbat (penentuan lebaran versi pemerintah).
Itu sebabnya bagi Ketua PCNU Pamekasan KH Abd Gaffar, perbedaan lebaran merupakan hal yang biasa dan tidak perlu dibesar-besarkan. Di dalam agama, terjadinya perbedaan karena terdapat rahmat di dalamnya. Karenanya, Gaffar meminta warga tidak memperuncing adanya perbedaan (lebaran) antara NU dengan kelompok lain. Itu juga yang disampaikan ketua PD Muhammadiyah Pamekasan Imam Santoso. Menurut dia, PP Muhammadiyah sejak dari awal telah tidak saja menetapkan awal puasa, akhir ramadan, dan Idul Fitri. Tetapi Idul Adha pun, PP Muhammadiyah telah menentukan jauhjauh hari berdasar pada majelis tarjid dan tajdid. “Kita sudah dewasa kok bagaimana menghadapi perbedaan, minal aidin wal faizin,” katanya. (abe)
Pada kesimpulan akhir sidang isbat,
SULUH MHSA | Edisi IV|September 2011
Cermin Hati imbah pantai bagi kebanyakan orang tetaplah sampah. Tak hanya bau yang kurang sedap, tapi membuat pemandangan pantai kurang bagus karena kotor berserakan. Justru itulah yang menjadi kelebihan dan keunikan hasil kerajinan tangan Syamsul Arifin, 35 tahun, yang memanfaatkan limbah itu. Bagi warga Taddan, Kecamatan Camplong, Sampang ini, sampah sudah menjadi salah satu penopang ekonomi, khususnya masyarakat sepanjang pantai Camplong. Dengan teksturnya yang unik, limbah tersebut bisa didesign sedemikian rupa sehingga menghasilkan karya yang cukup mempesona. Antara lain, asesoris (bros, jepit rambut, gantungan kunci), tempat perhiasan, koleksi, vas bunga, tempat tisu, pigura, tirai, aneka ikan, pelunakan, jenis binatang, meja, dan sebagainya, sehingga kelihatan lebih menarik dan unik. Syamsul Arifin, bersama rekan-rekannya mulai menekuni kerajinan kerang dirumahnya mulai tahun 1985. Dengan sedikit modal uang dan berbagai jenis kerang yang sudah tersedia di sepanjang pantai, Syamsul memutar otak memanfaatkan potensi kerang hingga bisa menghasilkan rupiah. Dibuatlah bermacam koleksi mulai dari souvenir berupa aneka kreasi. Proses pembuatannya relatif mudah dan dikerjakan bersama temantemannya yang dibentuk dalam wadah Karang Taruna �Karya Muda� yang anggotanya dari warga setempat. Meski tidak berlatar belakang seorang pengrajin atau seniman, Syamsul menyulap limbah menjadi sesuatu yang bermakna. Ia tahu persis, bahwa kekayaan kerang di Selat Madura sungguh melimpah ruah. Syamsul lebih senang mengubah kerang jenis simpring atau tiram, menjadi aneka jenis peralatan rumah tangga. Seperti piring, tempat tisu atau nampan. Bisa dibilang, jumlah rupiah yang dibutuhkan sebagai modal, cukup untuk membeli bahanbahan untuk membuat kerajinan. Modal lain yang justru lebih penting adalah tekad, kesabaran dan ketekunan, karena kerang-kerang ini tak langsung dibentuk. Setelah kotorannya dibersihkan, kerang jenis simpring selanjutnya direndam dengan cairan kimia (kaporit) hingga kerang menjadi bersih,
KERAJINAN KERANG Rupiah dari Limbah
Foto: Suadi Sujonono/SM
L
TEKUN: Seorang nenek tampak dengan sabar memunguti kerang di sela-sela sampah pantai yang berserakan.
sehingga mudah dibentuk sesuai selera. Setelah kering dan menjadi keras kembali, lalu diamplas hingga halus. Terakhir diberi lapisan resin catalis, hingga tampak licin dan keras. Sampai saat ini, pemasaran kerajinan kerang bisa dikatakan belum ada kendala. Untuk pasar lokal, karya Syamsul mampu memenuhi permintaan pasar sekitar 35% per tahun. Daerah pemasaran meliputi Magetan, Cilacap, Bali, Jogjakarta, dan Jakarta. Sebagai pengrajin kerang, kini Syamsul punya obsesi menjadi eksportir. Sayangnya, masalah pemasaran, hingga ke luar membuat impiannya hanya sebatas angan-angan. Memang diakui Syamsul, hasil kerajinannya memang ada sudah dikirim ke Arab Saudi dan Taiwan, meski dalam jumlah yang begitu sedikit.
Soal harga cukup variatif dan bisa dijangkau oleh masyarakat. Misalnya, asesoris Rp 1.000 - Rp 10.000, tempat perhiasan Rp 5.000 - Rp 40.000, vas bunga Rp 25.000 - Rp 50.000, tempat tisu Rp 50.000 - Rp 75.000, pigura Rp 25.000 - Rp 250.000, aneka bentuk ikan Rp 25.000 - Rp 1.000.000, jenis binatang Rp 150.000, meja Rp 750.000 - Rp 1.500.000 Menurut Syamsul, kapasitas produksi yang dihasilkan dinilai masih belum maksimal. �Karena faktor peralatan yang kami miliki masih tradisional. Dan itu masih tergantung jenis barang yang kami produksi, seperti asesoris sebanyak 2000 - 3000 buah per hari, koleksi 200-250 buah per hari, pigura 30 buah perhari, vas bunga 80 - 90 buah per hari, dan kotak perhiasan 40 buah per harinya,� ujarnya. (sul)
SULUH MHSA | Edisi IV|September 2011
35
Akademia
PRO OPOSISI: Para demonstran di Yaman terus menggelar aksi menuntut Presiden Ali Abdullah Saleh untuk turun dari jabatannya
PELAJAR MADURA TERPERANGKAP DAMPAK KRISIS POLITIK YAMAN
YAMAN, Hingga saat kondisi di Yaman belum sepenuhnya stabil. Amir Faqih Qadafi, kontributor Suluh yang berada di Yaman mengatakan 1500 orang pelajar yang berada di negeri Ali Abdullah Saleh itu dihimbau untuk pulang ke Indonesia atau mengungsi ke kota-kota yang masih aman.
A FAQIH QADAFI
Kontributor Suluh di Yaman
36
Saat ini, kota yang paling tidak stabil adalah ibu kota yaman, yakni Sana’a. Selain itu kota-kota lain seperti Zabid, Hudaidah dan Aden juga dilaporkan dalam kondisi tidak aman. Di kota Sana’a bahkan perguruan-perguruan tinggi sudah tutup hingga waktu yang tidak ditentukan. Para pelajar di kota tersebut, mengaku semakin resah karena di samping agak sulit mendapatkan
SULUH MHSA | Edisi IV|September 2011
kebutuhan sehari-hari, harganya pun melambung, sebab bahan bakar bensin naik hingga tiga kali lipat. Pada hari normal bensin biasa dijual 70 Riyal (Rp 3000), namun saat ini harganya menjapai 180 Riyal (Rp 9000). Para pelajar Indonesia yang berada di kota Sana’A, Zabid, Hudaidah dan Aden diberi dua opsi pilihan oleh pihak KBRI di Yaman, yakni pulang ke Indonesia atu mengungsi ke kota-kota lain yang masih kondusif. Bagi para pelajar yang memilih mengungsi diberikan uang sebesar 2,5 juta rupiah, sementara untuk pelajar yang memilih pulang ke Indonesia akan digratiskan tiketnya. Namun biaya untuk kembali kelak, ditanggung oleh masing-masing pelajar. Hingga saat ini dilaporkan banyak pelajar yang memilih pulang ke Indonesia, terutama yang tinggal di kota-kota tidak kondusif. Tak hanya pelajar, para TKI yang bekerja di
Foto: IST
Yaman juga sudah banyak pulang ke Indonesia. Saat ini, para pelajar dari indonesia yang masih bertahan dan terus mengikuti perkuliahan diantarnya adalah di kota Tarim. Di kota ini, beberapa pelajar dari Madura menetap. Mereka yang dikirim oleh berbagai pondok pesantren di Madura itu mengaku masih cukup betah dan tidak khawatir, sebab kondisi di Kota Tarim masih cukup terkendali dan perguruan-perguruan tinggi masih buka serta berkatifitas seperti biasa. Namun tak ubahnya di kota-kota lain yang masih mencekam, harga-harga kebutuhan pokok di kota Tarim juga merangkak naik. Krisis di Yaman bermula saat di Mesir Husni Mubarok mulai terdesak untuk mundur dari jabatannya sebagai presiden. Para demonstran anti pemerintah di Yaman juga menggelar akasi menuntut presiden Ali Abdullah Saleh untuk mundur dari jabatannya seperti Husni Mubarok di Mesir. Stabilitas politik dan kemanan di Yaman berangsur-angsur menjadi tidak menentu. Sebab selain karena banyaknya aksi anti pemerintah yang menuntut presiden Ali Abdullah Saleh mundur, kelompok militan Al-Qaida juga memanfaatkan momentum ini untuk merebut kota-kota di Yaman dari tangan pemerintah. Satu kawasan yang kini banyak diduduki oleh para militan Al-Qaida adalah provinsi Abyan di wilayah selatan yaman. Menurut laporan beberapa kantor berita asing, militer Yaman membombardir beberapa tempat di provinsi tersebut. Sedikitinya 24 orang tewas dalam seranganserangan tersebut, termasuk diantaranya adalah warga sipil. Sementara itu Presiden Yaman Ali Abdullah Saleh, sempat terkena bom yang dilepaskan oleh pihak oposisi di lingkungan istana kepresidenan. Akibat serangan tersebut sang Presiden dilaporkan terluka dan harus dirujuk ke sebuah rumah sakit di Arab Saudi. Hingga kini tidak jelas kapan Ia akan pulang. Sebab pergolakan di Yaman masih terus membara. (*/obeth)
DEKONSTRUKSI ATAS ORDE SASTRA Jogja, dikenal sebagai kota pelajar, budaya, dan sejarah. Sebagai sebuah kota budaya, Jogja telah melahirkan sejumlah sosok yang bergelut di bidang sastra. Diantaranya, A Faaizi L Laelan, Achoe Sunhiyah Misya, Kuswaidi Syafii, Abrari Alzael (Madura), Fikri AF (Jabar). Aning Ayu Kusuma, Brojol Senoaji (Klaten) dan sebagainya. Saat media membuat rezim atas karya, penyair muda di jamannya terpinggirkan. Padahal, belum tentu penyair yang sudah punya nama, karyanya pada saat tetentu lebih bagus dari penyair pemula. Kegelisahan yang bergumpal ini menjadi inspirasi baru bahwa sesungguhnya karya yang baik bukan ditentukan oleh yang siapa yang menulisnya. Tetapi lebih tergantung pada karya itu sendiri : yang dalam bahasa Sutardji Coulzum Bahri, biarkan kata sendiri yang menjelaskan maknanya. Seniman muda Jogja termasuk nama-nama dari Madura yang telah disebutkan, ikut bergabung dalam barisan penulis “Puisi Jelek�. Ini sebagai bentuk perlawanan atas kemapanan rezim sastra saat itu terutama di era 90-an. Penindasan atas penilaian “jelek� pada sastra sesungguhnya tidak jauh berbeda dengan fasis. Dari sisi politik, rezim fasisme-sastrawi ini sebentuk hegemoni politik di mana kelompok tertentu selalu berkuasa atas yang lain bukan karena pertimbangan kompetensif, tetapi lebih disandarkan pada rezim. Buku antologi Puisi Jelek ini bukan berarti memuat tulisan para penyair Jogja (dari latar dan geografis yang berbeda-beda) yang memuat syair-syair jelek. Istilah jelek digunakan sebagai bentuk dekonstruksi atas rezim yang menghegomi. Namun seiring bergeraknya waktu lalu Soeharto tumbang di 1998, rezim atas nama orde bergeser. Orde gekemoni di lingkungan sastrawi pun atas nama senioritas-yunioritas juga ikut tumbang. Diferensiasi atas jelek dan bagus juga tumbang karena seperti diamini Tardji, kata yang pada akhirnya menjelaskan dirinya sebagai sesuatu yang jelak atau tidak jelek. Buku yang dikodifikasi Amien Wangsitalaja dan dikata-pengantari Darmanto Jatman ini sebagai bentuk penyadaran kepada penulis pemula agar tidak ragu berkarya khususnya sastra. Buku ini juga mengajak pemuda untuk berinovasi melalui jalur kompetensi karena sesuatu tidak bisa dipaksakan. Bila seseorang hendak menjadi penyair tetapi taste-nya bukan di situ, karya yang dihasilkan dapat dibaca. Begitu juga dalam politik, faktor hereditas yang dipaksakan akan melahirkan anarkhi dalam politik bahkan dalam apapun. Sebab tak ada yang bisa diwariskan kecuali darah yang mengalir, seperti salah satu larik dalam antologi Puisi Jelek ini : Keranda Diam. (abe)
SULUH MHSA | Edisi IV|September 2011
37
Potensi Desa Minal aidin wal faizin Bapak, apa kabar? Sama-sama. Alhamdulillah, baik-baik saja. Monggo, silakan duduk. Lagi open house? He he...hanya silaturrahmi biasa. Saling beranjangsana sudah menjadi tradisi, sesuai adat timur. Jalan menuju rumah bapak berliku ya? Ya begitulah. Kalau musim hujan lebih parah lagi, licin dan rawan longsor. Padahal jalan ini merupakan akses menuju pasar Kapedi dari sisi selatan dan Lenteng di sisi utara. Cuma ya seperti diketahui kondisinya begitu (rusak) dan tidak bisa dilalui kendaraan dari dua arah yang berlawanan. Sempit dan di sisi kiri kanannya tebing. Memang sebaiknya dibangun pelengsengan? Kok tidak dibangun? Ya kalau dibangun sendiri nggak kuat, dari mana dananya. Mestinya pemerintah tidak tutup mata dengan situasi seperti ini. Namun kami juga paham dana pemerintah terbatas dan tidak bisa membangun semuanya. Cuma saat masyarakat bertanya sampai kapan jalan itu rusak, terus terang saya tidak menemukan jawabannya. Karena itu kami ingin pemerintah khususnya kabupaten ikut memikirkan. Sebab, jalan tersebut dilalui warga dari berbagai desa khsusunya dari kecamatan Lenteng dan Bluto.
Moh. LUTFI, Kepala Desa Moncek Barat Kecamatan Lenteng Sumenep sesaat setelah pelantikan dirinya sebagai Kepala Desa
SEMUA BERAWAL DARI DESA Sebuah kabupaten tetap tidak bisa maju apabila dalam penyelenggaraan kebijakan mengabaikan desa. Sebab, kabupaten bisa tegak apabila disanggah desa. Bila desa ditinggalkan, berarti kabupaten telah meninggalkan substansinya sebagai satu wilayah. Berikut wawancara dengan Kades Moncek Barat Kecamatan Lenteng Kabupaten Sumenep. Moh Lutfi SP.
38
SULUH MHSA | Edisi IV|September 2011
Pembangunan seperti apa yang anda inginkan? Menurut saya, jika perbaikan jalan tembus tersebut hendak diperbaiki lagi dengan pengaspalan dan plengsengan, hemat saya kok dibuat swakelola justru lebih baik. Pertama, pemerintah memberdayakan masyarakat. Kedua, masyarakat lebih bertanggungjawab karena jalan tersebut melintas di sekitar rumahnya dan mereka lebih banyak memanfaatkannya. Tetapi terserah karena yang punya dana pemerintah. Yang kami perlukan hanya perbaikan sarana, infrastruktur desa, dan hal lainnya yang menunjang pembangunan. Menurut anda, bagaimana seharusnya pemerintah memberlakukan desa? Pada saat saya kuliah dulu, pernah
Potensi Desa mendengar bahwa pembangunan seharusnya dimulai dari bawah. Ini menjadi tanda bahwa saat ini bukan orde baru. Di jaman orde baru, segala pembangunan didrop dari atas ke bawah apakah hal tersebut diperlukan atau tidak dibutuhkan oleh masyarakat. Nah, di orde regormasi, pembangunan semestinya atas dasar usulan dari bawah. Desa kami termasuk pedalaman. Dari sisi selatan berbatasan dengan desa Kapedi kecamatan Bluto. Hemat saya, kalau yang pedalaman ini semakin tidak tersentuh, kami akan terisolasi. Saya ingin kemajuan pembangunan itu merata. Saya juga ingat, katanya, desa merupakan penunjang tegaknya daerah di atasnya termasuk kabupaten. Anda pernah menyampaikan usulan seputar pembangunan desa? Pernah. Sebagian kecil diterima dan sebagian besar belum terealisasi. Inipun kami mengerti karena alasan
keterbatasan. Tetapi saya ingin tegaskan bahwa desa Moncek Barat ini kan ada di peta sebagai bagian integral dari Kabupaten Sumenep. Sebagai bagian dari kabupaten mestinya juga mendapat bagian dari pembangunan dan pemerataan program. Mungkin memang harus menunggu giliran. Namun pertanyaannya, sampai kapan masa penantian ini? Apa yang paling anda butuhkan di desa Moncek Barat? Memang ada usulan dan menjadi skala prioritas. Saya kira akses jalan dan sarana penunjangnya seperti plengsengan. Jalan saja dibangun tetapi tidak bertahan lama rusak karena rawan longsor dan terjadi penyempitan jalan. Mengapa saya katakan jalan dan plengsengan bisa satu paket, ini sangat membantu warga dari dua kecamatan yang memanfaatkan jalan ini yakni Lenteng dan Bluto. Warga bisa bergerak lebih cepat dalam menjalankan usahanya.
Lebih dari itu kami juga memerlukan bantuan untuk rehabilitasi rumah kumuh di desa kami. Tetapi rumah lebih menyangkut keluarga sedangkan jalan lebih komunal. Harapan dan saran-saran anda? Saya ingin pemerintah menguatkan pembangunan di desa-desa. Bahkan, pusat pemerintah di kabupaten juga bisa melimpahkan sebagian kewenangannya ke tingkat kecamatan menyangkut pelayanan publik. Sehingga, dalam mengurusi keperluan layanan warga tidak harus datang ke kota. Saya dengan hal ini juga sinergis dengan kehendak bupati dan wakil bupati. Sebenarnya tidak terlalu sulit untuk membuat warga tenang di desa-desa. Selain karena fasilitas umum terpenuhi, layanan pemerintahan tidak memebri kesan berbelit-belit, keamanan terjaga, dan bantuan sosial diebrikan kepada yang berhak, saya kira itu sudah lebih dari cukup. (arul/adv)
HALAMAN UKURAN
HARGA
Cover Dalam Depan
1 hlm (20x28 cm) ½ hlm (20x14 cm) ¼ hlm (10x14 cm)
Rp 3.000.000 Rp 1.500.000 Rp 1.000.000
Cover Dalam Belakang
1 hlm (20x28 cm) ½ hlm (20x14 cm) ¼ hlm (10x14 cm)
Rp 2.500.000 Rp 1.300.000 Rp 1.200.000
Cover Belakang
1 hlm (20x28 cm) ½ hlm (20x14 cm) ¼ hlm (10x14 cm)
Rp 3.500.000 Rp 2.000.000 Rp 1.500.000
Halaman Dalam
1 hlm (20x28 cm) ½ hlm (20x14 cm) ¼ hlm (10x14 cm)
Rp 1.000.000 Rp 750.000 Rp 500.000
Iklan
Kirimkan Anda dalam bentuk Digital Bisa via e mail suluh_mhsa@yahoo.com, atau bisa dikirm langsung ke alamat kami di Jl. Adirasa No 6-7 Kolor Sumenep. Kontak kami di 0818538328, 081803156945. SULUH MHSA | Edisi IV|September 2011
! 39
Kriminal
Madura TO Narkoba? Bandar narkoba ditengarai ditengarai melirik Madura sebagai pasar alternatif. Sebab, Madura dinilai potensial. Indikasi ini cukup kuat bukan karena sebagian warga dari berbagai kalangan telah mengonsumsi psikotropika ini. Lebih dari itu, statemen itu muncul dari ketua BNK Jatim, Saifullah Yusuf. Ini berdasar pada sejumlah kasus yang melibatkan oknum kepala desa dan kalangan pelajar. Misalnya, oknum kades di salah satu kecamatan di Pamekasan, ditengarai tersangkut narkoba yang ditandai dengan penemuan BB sabu-sabu.
darkan narkoba di Madura. “Waspadai narkoba di Madura,” tegas Gus Ipul saat bersilaturrahim di Madura.
Kasus lainnya, belum lama ini, polisi Bangkalan menangkap dua pemuda yang masih berusia 20-21 di daerah teritorialnya karena jadi kurir narkoba dengan barang bukti sabu seberat 0,7 gram. Bahkan di Pamekasan, sepasang kekasih diduga kuat mengisap sabu di salah satu kamar kos dengan barang bukti sabusabu 0,2 gram dan bong alat hisap.
Namun terlepas dari TO (target operasi) bandar narkoba untuk Madura, Ketua Badan Narkotika Kabupaten (BNK) Kadarisman Sastrodiwiryo menilai target bandar narkoba bisa di mana saja termasuk Madura. Sebab, mobilitas penduduk Madura melalui jalur laut sudah lama terjadi dan sulit dikontrol. Bahkan, pergerakan warga Madura tidak hanya antarpulau tetapi antarnegara melalui jalur laut. Pasca beroperasinya jembatan Suramadu, arus lalu lintas dari dan ke Madura semakin ramai. Kondisi ini sangat membuka peluang terjadinya peredaran narkoba di Madura. Bagaimanapun warga binaan yang ada di dalam (Lapas) karena sebelumnya bermasalah sebagai pemain, pengguna, atau pengedar yang berpengalaman dan memiliki jaringan narkoba.
Di luar pelajar, pemuda, dan oknum kades, oknum PNS juga ditengarai etrlibat narkoba. Oknum di salah satu instansi vertikal juga diduga kuat menge-
Dibanding tiga kabupaten lain di Madura, Pamekasan tergolong lebih rawan. Sebab, Lapas Narkotika berada di Kota Gerbang Salam tersebut. Upaya pem-
berantasan peredaran narkoba yang dilakukan petugas kepolisian sebenarnya sangat optimal dibuktikan dengan pengungkapan kasus ini. “Kami apresiasi polisi karena menangkap pelaku narkoba tidak mudah,” katanya. Cuma, keberhasilan menangkap pengguna dan pengedar narkoba bukan jalan terakhir. Sebab pada kasus lain, alumni lapas dengan kasus narkoba kumat setelah keluar dari penjara. Kini, program prioritas BNK Pamekasan berupaya memberikan penyadaran agar tidak mengonsumsi narkoba dengan alasan apapun. Di Sumenep, peredaran narkoba cukup tinggi. Pengguna yang tertangkap polisi di tahun 2011 ini mencapai 36. Jika dibuat rata-rata, setiap satu bulan terdapat 4 pengguna dan saat ini meringkuk di rutan. Angka tersebut tercatat tertinggi se Madura. Dari 444 kabupaten di Indonesia, pengguna narkoba di Sumenep ranking 15. Ini paradoks disandingkan dengan label yang melekat ke kota paling timur Madura ini yang lekat dengan sebutan kota santri. Data itu bisa jadi permukaan gunung es. Sebab yang tidak tertangkap bisa jadi jauh lebih banyak dari yang diringkus polisi. Yang menjadi pertanyaan, mengapa hanya pengguna atau pengedar yang ditangkap? Tingginya kasus narkoba juga ditandai dengan banyaknya warga binaan di rutan. “Dari 130 tahanan, 29 diantaranya tersandung narkoba,” ujar kepala rutan Sumenep, Saifur Rahman.
illustrasi by dav
40
SULUH MHSA | Edisi IV|September 2011
Kuat dugaan, maraknya narkoba ini dipengaruhi banyak faktor. Pertama, keluar masuk warga baik dari dan ke luar Madura yang membawa pergaulan berbasis narkoba. Kedua, jaringan narkoba mulai menguat baik dari kalangan pelajar, pemuda, oknum kades bahkan oknum PNS. Ketiga, tidak tegaknya kontrol dari pihak terkait. Keempat, dugaan jaringan narkoba bersekutu dengan oknum sipir di lapas maupun di luar tahanan. (abe)
foto-foto:
OUT BOUND,
saiful ba
ENERJIK: Sejumlah peserta didik saat bermain out bound di pekarangan sekolah di musim MOS Lalu.
hri
Olahraga
Berkolaborasi dengan Alam PAMEKASAN – Di sejumlah sekolah, pendidikan olahraga tidak hanya di sektor formal yang memiliki induk organisasi. Tetapi, ada olahraga yang berkolaborasi dengan alam yang bertujuan untuk menyehatkan fisik saja. Seperti out bound (out of boundaris, keluar dari keterbatasan) yang belakangan ini menjadi “pelajaran tambahan” dalam pendidikan olahraga multidimensi di hampir setiap sekolah saat tahun pelajaran baru tiba. Proses bermain out bound lebih banyak dilakukan di alam terbuka dibanding di ruangan tertutup. Satu sisi, permainan ini mendekatkan peserta didik kepada lingkungan alam sekitarnya. Selain itu, olahraga ini menjaga kekompakan dan kebersamaan. Sejumlah sekolah di Pamekasan sudah mentradisikan game ini yang bertujuan tidak hanya untuk refreshing. Tetapi lebih penting dari itu, permainan ini memberikan pelajaran berarti bahwa siapapun menjadi urgen dalam satu tim. Dengan demikian outbound memiliki ciri khas sendiri, dimana keseluruhan kegiatan diterjemahkan dalam
betuk kegiatan yang lebih nyata dan factual. Di dalam berbagai kegiatan para peserta outbound akan diperkenalkan dengan berbagai jenis permainan (games) yang dipimpin fasilitator secara fairplay. Refleksi bersama selalu dilakukan setelah setiap game berlangsung. Sehinga sekalipun dibentuk pola permainan tapi hasilnya bukan mainmain. Para peserta disadarkan untuk menyadari, bahwa hampir tidak ada batasnya kemampuan seseorang bila orang tersebut memiliki kemauan dan keberanian untuk mencoba dan mencoba lagi dalam upaya meningkatkan kemampuannya. Karena itu, semboyan pelatihan yang selalu dipekikkan antara lain, “Aku bisa, dan tetap semangat”. Selain itu, semboyan one for all, all for one dan whe are one sudah berlaku secara internasional. Dalam sebuah kesempatan, instruktur out bound Nurkodim mengatakan dalam acara MOS (masa orientasi siswa), out bound penting bagi siapa saja. Tujuannya, antara lain melatih para peserta agar mampu menyesuaikan diri (adaptasi), mem-
bentuk sikap profesionalitas berdasar perubahan, perkembangan karakter, komitmen dan kinerja yang membaik. Misalnya, pola prilaku yang berkarakter dalam melakukan tugas-tugas kehidupan, berdisiplin, bertanggung jawab, berorientasi ke masa depan, mengutamakan tugas pengabdian, memiliki sikap, etika dan etos kerja yang tinggi. Disebutkan, apapun jenisnya, out bound dipastikan memiliki manfaat yang beragam. Misalnya, dia menyebut berguna untuk komunikasi efektif, pengembangan tim, pemecahan masalah, kepercayaan diri, kepemimpinan, kerja sama, permainan yang menghibur dan menyenangkan, konsentrasi dan kejujuran. Semuanya, kata dia, berujung pada tercapainya pengembangan diri dan tim yang dirasakan para peserta. Karena, imbuhnya, sukses seseorang sangat ditentukan oleh seberapa besar kepercayaan diri, kemampuan mengontrol emosi, dan kemampuan berinteraksi dengan orang lain. “Out bond ini sudah mewabah karena menyehatkan dan menyenangkan,” pangkasnya. (abe)
SULUH MHSA | Edisi IV|September 2011
41
Oase
TELENOVELA Oleh : Abrari Alzael
M
engikuti pelaksanaan kegiatan belajar mengajar, sebagian besar peserta didik mendapat pelajaran baru; mimpi. Subyek utama pendidikan (baca guru) dalam pembelajaran di dalam kelas, menceritakan bagaimana indahnya menjadi seseorang yang jauh dari lingkungan alam peserta didik. Dus, anak-anak itu merasa enggan mewarisi nenek moyangnya sebagai pelaut, petani, peternak, dan wirausaha. Anak-anak di sekitar kita lebih suka menjadi polisi, jaksa, hakim, kontraktor, dan siapa yang hendak mengelola pertanian dan kelautan, akhirakhir ini nyaris tak terdengar. Padahal, di sekitar anak-anak terhampar ladang-sawah dan lautan. Anak-anak yang ingin menjadi polisi, tentara, hakim, jaksa, PNS atau hendak menjadi apa saja, tentu hak mereka. Tetapi profesi itu memiliki daya tampung yang terbatas dibanding jumlah lulusan sekolah. Bila mereka semua ingin menjadi seperti itu, apakah berarti alam sekitar tidak menarik lagi untuk dikelola dan menghasilkan pula? Tidakkah laut itu luas, bumi tak terbatas, dan membuat hidup ini tidak selalu bergantung kepada negara? Di luar itu, terkadang pendidikan mengajarkan yang berbeda. Seolah-olah, yang dijadikan contoh dalam pembelajaran adalah orang-orang yang sukses meniti karir lewat jalur formal. Bahkan dalam tahap tertentu, peserta didik yang akhirnya sukses meraih cita-cita yang diutarakannya tersebut dianggap telah “menjadi orang�. Padahal, petani, peternak, dan pelaut yang sukses juga orang. Bahkan yang tidak sukses pun sebenarnya orang tetapi terkadang tidak diorangkan dalam keseharian pendidikan kita. Maka dari itu, anak-anak menjadi sosok yang malas untuk menjadi petani, nelayan, dan peternak yang dapat melakukan inovasi karena pendidikan yang ditempanya di sekolah.
Lebih parah dari itu, anak-anak kehilangan penghormatan terhadap siapa saja yang pantas ditakzimi dan mengaburkan kesantunan dalam pergaulan di rumah, sekolah, dan di mana pun. Konstruk ini mengakibatkan pendidikan tidak berkarakter dalam perspektif kemaduraan dan keindonesiaan yang menjunjung nilai budaya ketimuran. Anak-anak kontemporer menjadi hanyut dalam mimpi indah, instant, hedonis, konsumtif dan ahistoris.
Sebenarnya, sesuai sisdiknas, pendidikan nasional bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Hal tersebut berkaitan dengan pembentukan karakter peserta didik sehingga mampu bersaing, beretika, bermoral, sopan santun dan berinteraksi dengan masyarakat. Mengacu hasil riset di Harvard University Amerika Serikat (2000), kesuksesan tidak ditentukan pengetahuan dan kemampuan teknis (hard skill) saja. Tetapi keberhasilan itu lebih karena kemampuan mengelola diri dan orang lain (soft skill). Ini mengisyaratkan bahwa mutu pendidikan karakter peserta didik sangat penting ditingkatkan. Sebab karakter merupakan nilai-nilai prilaku manusia yang berhubungan dengan tuhan, diri sendiri, sesama manu-
42
SULUH MHSA | Edisi IV|September 2011
sia, lingkungan, dan kebangsaan yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata krama, budaya, dan adat istiadat. Terlepas dari berbagai kekurangan dalam praktik pendidikan di Indonesia, apabila dilihat dari standar nasional pendidikan yang menjadi acuan pengembangan kurikulum (KTSP), dan implementasi pembelajaran dan penilaian di sekolah, tujuan pendidikan di SMP sebenarnya dapat dicapai dengan baik. Pembinaan karakter juga termasuk dalam materi yang harus diajarkan dan dikuasai serta direalisasikan oleh peserta didik dalam kehidupan sehari-hari. Permasalahannya, pendidikan karakter di sekolah selama ini baru menyentuh pada tingkatan pengenalan norma atau nilai-nilai, dan belum pada tingkatan internalisasi dan tindakan nyata dalam kehidupan sehari-hari. Perjalanan pendidikan yang mengejar mimpi ini ibarat pepatah Madura yang mengajarkan agar dalam berjalan tidak mendongak ke atas. Tetapi, inilah yang terjadi dalam pendidikan yang menyebabkan anak-anak itu tersandung batu dan jatuh. Kejatuhan seseorang karena mimpi besar ini yang tidak berbeda kondisinya dengan situasi pembelajaran sebagian besar penyelengara pendidikan di sekitar kita. Ini semakin menjadi-jadi karena pola rekrutmen tenaga pendidik lebih banyak ditentukan oleh nasib dan koneksitas. Karenanya, tidak jarang faktor ini menyebabkan pendidikan bukan saja tidak berkarakter tetapi juga tidak bermutu. Pola ini berjalan secara terus-menerus dan konstruk pendidikan tidak mendidik. Dari sisi konseptual, kementrian diknas mengupayakan peningkatan mutu pendidikan berbasis karakter untuk setiap jalur, jenjang, dan jenis satuan pendidikan. Grand design menjadi rujukan konseptual-operasional pengembangan, pelaksanaan, dan penilaian pada setiap jenjang pendidikan. Konfigurasi karakter dalam konteks totalitas proses psikologis dan sosial-kultural dikelompokan dalam olah hati (spiritual and emotional development), olah pikir (intellectual development), olah raga serta kinestetik (physical and kinestetic development), olah rasa-karsa (affective and creativity development). Pengembangan dan implementasi pendidikan karakter dilakukan mengacu grand design. Masalahnya, sebaik apapun grand design jika dieksekusi sosok yang tak berhak secara profetik, hasilnya pasti berbeda, tidak indah seperti warna aslinya dalam bahasa fotografi.
Tetapi kenyataannya, pendidikan seperti perjalanan bangsa ini : tidak berkarakter, melampaui etika dan mengalami disintegrasi antara sekolah, rumah, dan lingkungan sekitarnya. Pendidikan berjalan apa adanya, bukan berlalu seperti yang diinginkan terjadi. Apakah harus merujuk Yudhistira ANM Massardi, berhentilah sekolah sebelum terlambat. Atau merajuk pada Roem Topatimasang, sekolah itu candu, ketika pendidikan terus menerus mendedahkan mimpi-mimpi. Lebih dari itu, pendidikan telah menjauhkan anak dari lingkungan alam sekitarnya bahkan karakter leluhur bangsa yang santun dan berperadaban. (*)
SULUH MHSA | Edisi IV|September 2011
43
44
SULUH MHSA | Edisi IV|September 2011