SULUH MHSA | Edisi VI|Nopember 2011
1
2
SULUH MHSA | Edisi VI|Nopember 2011
Sapatorial
Menawar Kematian
S
eperti halnya ajal, kebudayaan daerah pada akhirnya akan lenyap. Ia sirna bersama punahnya peradaban dan manusia itu sendiri, pelan tapi pasti. Tetapi matinya kebudayaan, tuhan tidak terlalu ikut campur secara teknis. Manusia diberi hak eksekusi untuk menghidup atau mematikannya pada waktu yang cepat bahkan sangat lesat dan melampaui cahaya. Namun di sekitar kita saat ini, berapa banyak pihak yang menginginkan kebudayaan Indonesia khususnya daerah tetap hidup? Semesta ini dihuni cara pandang manusia yang berubah dimana peradaban terkadang menjadi sesuatu yang tidak penting. Untuk selanjutnya, banyak pihak yang lebih suka membaca dan menerapkannya sebagai binatangisme. Jaman dulu, ketika anak-anak hendak pergi ke sekolah tingkahnya menyejukkan dada. Mereka terlebih dahulu menyalami orangtuanya, menundukkan kepala seolah-olah tanpa kedua orangtua mereka bukan siapa-siapa. Namun kini, pada sebagian (besar) anak hanya melambaikan tangan dari motor atau mobilnya sembari berucap, “Da Mama, da Papa, mmmuach,” kata mereka sambil mengecupkan telapak tangan ke bibirnya yang belakangan diketahui sebagai kiss bye. Ada bahasa tubuh berbeda, yang menurut orang tua yang masih hidup saat ini sebagai sesuatu yang aneh karena di jamannya hal yang seperti itu tidak ada. Seperti juga bahasa (daerah), satuan lain dari piranti kebudayaan yang luas. Sebagai bahasa daerah, perlahan-lahan mulai rapuh. Bahkan ratusan bahasa daerah (di Indonesia) terancam punah karena semakin jarang digunakan. Diperkirakan, pada ujung abad ke 21, hanya sekitar 10 persen saja (bahasa daerah) yang akan bertahan.
Selain karena warga di daerah mulai enggan mengamalkannya, urbanisasi dan perkawinan antaretnis merupakan penyebab utama terancam punahnya ratusan bahasa daerah. Sugiyono mengatakan, “Dari 746 bahasa daerah di Indonesia kemungkinan akan tinggal 75 saja. Dari 746 bahasa daerah yang tersebar dari Sabang sampai Merauke, hanya sembilan yang memiliki sistem aksara. Yakni Aceh, Batak, Lampung, Melayu, Jawa, Bali, Bugis, Sunda, dan Sasak. Madura tidak ada dalam sembilan bahasa yang memiliki sistem keaksaraan. Ia hanya diturunkan melalui tradisi lisan, dan menyebabkan bahasa Madura semakin mudah hilang. Ini, hanya sebagian kecil dari sebagain besar diktum kebudayaan Madura. Sebenarnya, bahasa maupun bagian dari kebudayaan lainnya, memiliki kekhasan dan kekayaan masing-masing. Begitu pentingnya bahasa ibu ini, Badan di PBB yang membidangi pendidikan, ilmu pengetahuan dan kebudayaan (Unesco) telah mencanangkan tanggal 21 Februari sebagai bahasa ibu internasional. Hal itu dilakukan karena hampir semua bahasa daerah yang berada di sejumlah negara didunia telah terancam punah. Namun, sebagian besar penduduk dunia lebih suka merayakan upacara yang lain, di bulan yang sama seminggu sebelum 21 Februari, Valentine’s Day pada setiap 14 Februari. Ruwat kebudayaan yang dilakukan siapa saja termasuk Said Abdullah Institute pada kongres kebudayaan hanya sebentuk menawar kematian. Ia sebentuk ikhtiar kultural agar kematian kebudayaan tidak datang sebegitu cepat. Perlindungan kebudayaan juga sebentuk usaha pemerintah dalam menyelamatkan presiden RI dari kemungkinan ancaman pen-
embakan dengan memasang kaca mobil presiden seharga Rp. 704 juta. Itu baru satu kaca. Padahal seperti kebudayaan, presiden sekalipun pada akhirnya akan mati dengan satu sebab atau lantaran sebab lain. Tetapi makna paling penting dari ruwatan ini, bahwa sesuatu yang berharga perlu dilindungi karena hanya dengan begitu sesuatu itu menjadi lebih bermakna. Kebudayaan sebenarnya menjadi penanda bahwa sesungguhnya manusia lebih sempurna dibanding binatang. Tetapi pada saat tak berbudaya, bahkan tuhan pun sepakat : lebih sesat dari species mana pun. Pembelaan terhadap kebudayaan ini sebentuk sakramen pangurapan pada jiwa yang sakit dengan berharap keajaiban datang. Tetapi pastilah doa saja tidak cukup. Berat memang mengembala kebudayaan. Seperti Cak Nun yang pernah mengatakan dalam seribu masjid sebenarnya hanya ada satu tempat ibadah. Serupa Mahfud MD, republik ini seperti rumah yang menjadi hunian 100 jiwa. Pada seratus jiwa, 1 orang selalu bersih-bersih pada 99 orang lainnya yang senantiasa bikin kotor. Tetapi dalam nestapa manusia kontemporer, tidak saja kebudayaan yang ditenggelamkan dan kenegaraan yang dilacurkan. Bahkan tuhan pun seringkali diabaikan dan dielus-elus saat terpinggirkan untuk kemudian dialpakan ketika kegirangan. Menawar kematian ini sebentuk angan-angan besar meski pada akhirnya kenyataan yang muncul pasti tidak jauh lebih lebar. Sebab, hampir setiap jiwa menderita kronis budaya dalam segala bentuk dan penjajahannya yang menyebabkan hidup kebudayaan terjebak ke “dalam rangka”.
SULUH MHSA | Edisi VI|Nopember 2011
3
daftar isi
Suluh Utama Madura, memang bukan barang lama. Tetapi membicarakannya, tidak pernah basi. Madura, sebagai satu wilayah dan kedaulatan selalu menarik dikaji peneliti, pengamat, dan pelestari budaya baik dari dalam maupun luar negara. Madura, sebagai etnisitas selalu unik meski pada bagian yang lain, Madura sebagai identitas nyaris punah. Sebab khazanah budaya di dalamnya tidak diruwat sebagaimana mestinya seperti Bali dan Jogja. Ini persoalan!
Hoby Belajar Perubahan dari Sepeda
D
ua tahun lalu, di Pamekasan dideklarasikan La Sena (Kompolan Sapeda Kona) Panglepor Ate yang tetap eksis hingga saat ini. Komonitas digagas oleh budayawan madura Kadarisman Sastrodiwiryo yang juga Wakil Bupati pamekasan.
Suara Pembaca
5
Suluh utama
6
Suluh Khusus
8
Opini
12
Fokus Lensa
20
Generasi Bangsa
26
Politika
28
Serambi
30
Olahraga
36
Akademia
38
Hobi
40
Oase
42
Redaksi SULUH MHSA
Majalah Bulanan Suluh MHSA diterbitkan SAI (Said Abdullah Institute) Pembina: MH Said Abdullah, Januar Herwanto. Pemimpin Umum: Moh Rasul Junaidy. Pemimpin Redaksi: Abrari Alzael. Sekretaris Redaksi: Zeinul Ubbadi. Lay Outer: Ahmed David. Reporter: M Sa’ie. Fotografer: Saiful Bahri. Biro Sampang: Mamak. Biro Pamekasan: Syah Manaf. Biro Sumenep: Fauzi. Biro Bangkalan : Safi’. Biro Jakarta: Alwi Assegaf Koresponden: Rozaki (Jogja), AE: Badrul Ahmadi, Pemasaran: A. Rusdi Gogo. Alamat Redaksi : Jalan Adirasa 5-7 Sumenep 69417 tel. 0328-674374 faks. 0328-661719. email : suluh_mhsa@yahoo.com. web : www.suluhmhsa.com. designed by ahmed david
4
SULUH MHSA | Edisi VI|Nopember 2011
suara pembaca TERMINAL SEPERTI KOLAM RENANG Lewat majalah Suluh adisi ini saya hanya ingin titip sesuatu buat pemerintah daerah sumenep. Yakni tentang kondisi Terminal Wiraraja Sumenep yang sangat memperihatinkan. Pertama kondisi memprihatinkan tersebut bisa dilihat dari aspal jalan di sekitar tempat parkir bis antar kota yang ada di bagian sebelah timur. Ketika musim hujan tiba, jalanan di kawasan tersebut nyarsi layaknya kolam renang. Air menggenang begitu banyak dan sangat membuat tidak nyaman masyarakat yang lewat di tempat tersebut. Apalagi menggunakan motor. Jika tidak hati-hati, bisa terpeleset dan jatuh ke dalam kubangan lebar menyerupai kolam renang tersebut. Jalan ini sangat butuh diperbaiki dengan segera. Sebab selain dilalui bus-bus yang hendak istirahat setelah dari luar kota, jalan ini juga dilalui mobil-mobil angkutan dari Pamekasan dan kecamatan Bluto. Saya pikir, pemerintah tidak harus menunggu ada korban jatuh untuk memperbaikinya. Ada pepatah bilang “Jika ingin tahu kepribadian seseorang, liatlah kamar mandinya”. Barangkali begitu pula jika kita hendak melihat kepribadian sebuah masyarkat di suatu kota, “Kita bisa melihatnya dari terminalnya”.
Ketika dulu pemerintah selesai membua jembatan suramadu yang menhubungkan pulau Jawa dan pulau Madura, saya begitu gembira dan senang. Sebab menurut orang-orang pemerintah yang saya baca lewat media, dengan jembatan suramadu akan terjadi percepatan dalam perbaikan ekonomi masyarakat di palau garam ini. Akan ada industrialisasi, penyerapan tenaga kerja dan upah yang menjanjikan. Tamun ternyata, hingga saat ini janji itu tak pernah terealisasi. Masyarkat tetap melarat, pengangguran tak kunjung berhenti tumbuh dan beras miskin makin banyak harus disalurkan dolog.
FAWAID Ketua Komisariat PMII STITA Sumenep
KTP ELEKTRONIK Hingga saat ini kartu penduduk elektronik yang konon akan lebih canggih dari pada KTP yang selama ini ada, belum juga terealisasi. Dikabarkan diberbagai media, pemerintah kesulitan dalam hal teknologi, kesiapan SDM hingga peralatan yang belum terpasang rapi. Saya tidak pernah tahu pasti apa sebenarnya kelebihan dari KTP elektronik yang sebenarnya dijanjikan sudah bisa tereasliasi 3 bulan lalu itu. Dari sekilas informasi yang saya dengar, KTP tersebut sangat akurat dan tidak bisa digandakan, atau lebih tepatnya, si pemilik KTP tidak bisa memiliki KTP ganda. Terlepas dari kecanggihan yang nanti dimiliki KTP elektronik ini, saya hanya ingin mengatakan bahwa orang kecil macam saya ini yang dibutuhkan bukanlah keakuratan data, KTP ganda atu apalah namanya... saya hanya ingin KTP bebas dari pungli. Itu saja. Jangan sampai orang yang jelas-jelas sudah lahir dan hidup di negeri ini bertahun-tahun lamanya, untuk mendapatkan KTP saja harus maen sogok sana sini. Jika mendapatkan KTP (sebagai tanda sah sebagai warga negera) saja sudah susah, apalagi mendapatkan layanan yang layak sebagai warga negara. Mau KTP elektronik tau KTP berbahan meteorit sekalipun, warga tak akan protes. Sebab bagi mereka TKP tak ada gunanya. Yang memerlukan KTP pada hakikatnya adalah negara. Yakni untuk memastikan keberadaan warganya harus ia lindungi. Negeralah yang mustinya pro aktif mengayomi warganya. Bukan malah warga disuruh ngemis-ngemis kepada negera dengan sogok sana sini lewat para penyelenggaranya yang berwatak calo. HARIRI EM NOER Mantan Aktivis PC PMII Sumenep KESENIAN KITA HILANG SEDIKIT DEMI SEDIKIT Ada begitu banyak kebudayaan yang sangat eksotis di madura. Namun karena tidak dirawat dengan baik maka kebudayaan tersebut sedikit demi sedikit menghilang begitu saja. Beberapa pihak seperti pemerintah mungkin merasa sudah melakukan upaya pemeliharaan dengan mengadakan festival dan lomba-lomba. Namun upaya itu tak cukup membantu.... ini sangat naif karena kemudian tidak dicari terobosan-terobosan atau upaya baru yang lebih ampuh. Jika terus menerus seperti ini, bukan tidak mungkin kekayaan budaya kita akan hilang sama sekali dan tergantikan oleh budaya orang lain. ARAI WAHIDIN ABDURRAHMAN Pemerhati Budaya Tinggal di Sumenep
SURAMADU, BUKAN UNTUK ORANG MISKIN
keberadaan suramadu justeru mengisayrakatkan adanya diskriminasi terhadap masyarakat kurang mampu. salah satu contohnya adalah tidak dibolehkannya bus ekonomi melewati jembatan suramadu. Ini sama halnya dengan melarang orang miskin melawati jembatan tersebut. Sementara orang-orang kaya yang naik bus patas bisa melenggang kapan saja tanpa ini itu. ABD HADI Plt Ketua Ansor Sumenep
dari redaksi Surat pembaca yang masuk ke meja redaksi kali ini agak berbeda dengan surat-surat yang masuk pada edisi-edisi sebelumnya. Saat ini para pembaca Suluh banyak berisi curhat teteng persoalanpersoalan yang ada di daerahnya maupun di Madura secara umum. Terkait hal tersebut, redaksi tentu tidak bisa memberikan jawaban. Sebab hal-hal yang menjadi keluhan pembacar rupanya adalah soal kebijakan-kebijakan pemerintah yang mereka anggap kurang berpihak pada diri mereka. Redaksi hanya bisa membantu mempublikasikan unek-unek pembaca dengan harapa dapat didengar oleh pemilik kebijakan di madura.
SULUH MHSA | Edisi VI|Nopember 2011
5
SULUH UTAMA
Nasib Tragis Kebudayaan Madura
Budaya Madura, memang bukan barang lama. Tetapi membicarakannya, tidak pernah basi. Madura, sebagai satu wilayah dan kedaulatan selalu menarik dikaji peneliti, pengamat, dan pelestari budaya baik dari dalam maupun luar negara. Madura, sebagai etnisitas selalu unik meski pada bagian yang lain, Madura sebagai identitas nyaris punah. Sebab khazanah budaya di dalamnya tidak diruwat sebagaimana mestinya seperti Bali dan Jogja. Ini persoalan! Dalam kajian Lukman, pengamat masalah sosial-budaya Madura, Madura memiliki kekayaan kesenian tradisional yang amat banyak, beragam dan amat bernilai. Dalam menghadapi dunia global yang membawa pengaruh materalisme dan pragmatisme, kehadiran kesenian tradisional dalam hidup bermasyarakat di Madura sangat diperlukan agar tidak terjebak pada moralitas asing yang bertentangan dengan moralitas lokal. Sebagai orang asli Madura harus mengenal budaya Madura yang masih hidup, bahkan yang akan dan telah punah. Pengenalan terhadap berbagai macam kebudayaan Madura tersebut diharapkan mampu
6
menggugah rasa kebangsaan akan kesenian daerah. Madura dikenal sebagai wilayah yang tandus namun kaya ragam budaya. Kekayaan budaya Madura dibangun dari berbagai unsur budaya baik dari pengaruh animisme, Hinduisme dan Islam. Perkawinan dari ketiga unsur tersebut sangat dominan mewamai kebudayaan yang ada. Dalam perkembangannya berbagai kesenian yang bemafaskan religius, terutama benuansa Islami temyata lebih menonjol. Keanekaragaman dan berbagai bentuk seni budaya tradisional yang ada di Madura menunjuk kan betapa tinggi budaya yang dimiliki oleh bangsa Indonesia. Kekayaan seni tradisional yang berisi nilai-nilai adiluhur yang berlandaskan nilai religius Islami seharusnya dilestarikan dan diperkenalkan kepada generasi muda sebagai penerus warisan bangsa. Kesenian tradisional adalah aset kekayaan budaya lokal yang akan mampu melindungi gene rasi muda dari pengaruh negatif era globalisasi. Pengaruh budaya global yang demikian gencar melalui media elektronik dan media cetak menye babkan generasi muda kehilangan jati diri.
SULUH MHSA | Edisi VI|Nopember 2011
Berlalu Ini juga yang dirasa Abd Hadi WM, budayawan asal Sumenep yang menetap di Jakarta dalam Madura: sejarah, sastra, dan perempuan seni. Perempuan seni dalam dimensi patriarki masyarakat Madura, telah menciptakan kelonggaran relasi gender. Seni pertunjukan yang tidak meninggalkan tradisi diasporik masyarakat Madura telah memposisikan perempuan dan laki-laki sebagai elemen pembentuk harmonisasi. Dengan demikian, rentang sejarah yang panjang telah menjadikan perempuan seni di Madura teruji menjadi subjek dalam formasi sosial masyarakat Madura. Terkadang, faktor ekologis sebuah wilayah bisa menjadi faktor utama pembentukan kultur sebuah masyarakat. Tradisi diasporik masyarakat Madura, berawal dari sejarah kelangkaan ekologis (ecological scarcity) yang panjang pada abad ke-18, yang memaksa penduduknya untuk berimigrasi ke daerah lain terutama pulau Jawa. Jika melakukan pendekatan sejarah ekologi (eko-historikal) pada masyarakat Madura untuk menemukan pola atau formasi sosial serta perubahan sosialnya, maka motif ekonomi terlihat sebagai sebuah kesa-
Tanpa Pengembala daran yang mengembalikan sentimen kooperatif masyarakat Madura pada awal abad ke-20. Sejarah Madura selama hampir seabad (1850-1940) memperlihatkan saling keterkaitan antara pengaruh faktor ekologis dengan pelaku sejarah dalam membentuk sebuah masyarakat dan nasib masyarakat itu. Ekotipe ladang kering yang menetap atau ekotipe tegal telah menghasilkan unit eko-historikal tersendiri, berbeda dengan ekotipe sawah di Jawa dan ekotipe perladangan di Indonesia bagian Timur. Penelitian Kuntowijoyo (2002) tentang pengaruh ekologi pada formasi sosial di Madura, melihat bahwa migrasi ke pulau Jawa merupakan bagian dari sejarah orang Madura. Dibukanya perkebunan di Jawa Timur menarik orang Madura untuk menjadi buruh di perkebunan. Pada tahun 1930, lebih dari separuh keseluruhan etnis Madura tinggal di Jawa, kebanyakan di pojok bagian Timur. Di Jawa Timur, sebagai kelompok mayoritas (kecuali Banyuwangi), orang Madura aktif berperan dalam pergerakan nasional di kota dan di lingkungan kelompok etnis Madura umumnya. Salah satu penyebab mobilitas
orang Madura yang didasari oleh kondisi pertanian yang miskin adalah, dibentuknya organisasi militer dengan nama barisan yang memiliki misi mendampingi Belanda dalam berbagai perang dan ekspedisi untuk melawan pemberontakan-pemberontakan yang muncul di kepulauan Indonesia. Barisan adalah sebuah kekuatan militer kerajaan-kerajaan Madura yang ditujukan untuk melayani kepentingan-kepentingan penguasa Kolonial. Organisasi militer yang berbasis pada kekuatan rakyat Madura itu merupakan manifestasi politik para penguasa Madura (aliansi militer antara madura dan Belanda) atas jasa Belanda yang melindungi Madura melepaskan diri dari hegemoni Mataram.
bentuk kerajinan lukisan dan patung.
Karena perubahan struktur sosial dan ekonomi, masyarakat Madura bermata pencaharian sebagai pedagang, bukan petani. Karena para pedagang itu tipologinya suka bepergian, maka masyarakat Madura tidak terlampau memerlukan seni pertunjukan dalam budayanya. Berbeda dengan masyarakat Jawa yang lebih banyak menetap dan bertani. Sehingga artikulasi kesenian masyarakat Madura tertuang dalam
Sebaliknya, masyarakat Madura bisa menjadi orang lain ketika budayanya musnah. Orang Madura bisa menjadi siapa saja, karena yang menjadi tolok ukur orang Madura adalah agama (Islam). Syarat menjadi orang Madura itu adalah, ia harus Islam. Bukan hanya identik tapi harus mutlak Islam. Lain dengan masyarakat Jawa, yang bisa memeluk berbagai macam agama dan kepercayaan. Hal inilah yang menjadi masalah pada masyarakat Madura. (abe)
Untuk memahami posisi kesenian di Madura, pertama-tama kita harus memahami bahwa tradisi Islam dalam melihat seni (pertunjukan) tidak terlalu penting, selayaknya kaum Hindu yang mengadopsi unsur-unsur kesenian di dalam melakukan upacara keagamaan. Karena seni pertunjukan tidak menjadi bagian dari agama, maka orang Madura lebih melihat agama ketimbang tradisi. Agama lebih mengikat daripada tradisi, kalau bicara tradisi orang Madura bisa saja mengikuti tradisi Jawa. Berbeda dengan masyarakat Bali, yang memiliki pelindung dari kepunahan budaya, karena tradisi Bali sudah lebur menjadi tradisi Hindu.
SULUH MHSA | Edisi VI|Nopember 2011
7
SULUH KHUSUS
Simalakama Kebudayaan di Simpang Jalan
K
ebudayaan daerah seperti halnya di Madura dipastikan akan terpuruk apabila tidak ada yang peduli. Indikasi ketidakpedulian itu sudah bisa dilihat dari semakin mengecilnya volume berkebudayaan Madura, justru di Madura sendiri. Bias gelombang peradaban nyaris tidak terbendung dan begitu mudah masuk bahkan ke dalam ruang yang sangat pribadi melalui jejaring sosial.
BATIK MAUDURA: Sepasang remaja sedang menari dengan menggunakan Batik Madura yang dipadu dengan busana penganten.
Budayawan Sumenep Edhy Setiawan juga merasakan adanya penurunan derap-kultural. Ini terjadi seiring berkurangnya generasi tua yang peduli karena faktor usia dan meningkatnya generasi muda yang tidak acuh terhadap budaya. Situasi ini semakin melengkapi nestapa masa depan kebudayaan lokal. Edhy mengaku senang ketika keliling Eropa, mengkampanyekan kebudayan daerah Sumenep dan sangat bangga ketika mendapat apresiasi yang luar biasa. Edhy juga sangat apresiasi kepada tim kesenian yang dibawanya karena melakukan totalitas saat berperan. Totalitas ini tidak bisa didapat dalam tempo sesaat kecuali dengan latihan dan penjiwaan. Seniman di era lalu dia nilai memiliki sense yang cukup tinggi. Ia berkreasi tidak terjebak ke dalam ranga (festival, upacara hari jadi, dan karnaval). Tetapi totalitas itu dia bangun melalui proses yang tidak sebentar. Sekedar menyebut contoh, pria yang masih enerjik ini merasa kagum karena saat penari memasang topengnya seolah-olah topeng itu hidup di didirnya. Tetapi hari ini, urainya, dia mengamati sebagian generasi muda yang hanya menari topeng tanpa menjiwai. Namun ini masih jauh lebih baik dibanding generasi muda yang sama sekali tidak peduli. Pria yang sudah beberapa kali mendapat penghargaan fotografi ini merasa ada yang berbeda antara berkebudayaan di tempo dulu dibanding saat ini. Dulu, totalitas berkebudayaan nyaris tidak menghitung untung dan rugi karena tujuan utama memang bagaimana menampilkan dan melestarikan kebudayaan daerah. Saat ini, dia mengamati ada oknum tertentu yang berhitung dulu sebelum beraktivitas dalam ranah budaya. Mungkin, duganya, saat ini memang jamannya sudah berubah tetapi dia begitu yakin substansi berbudaya tidak akan pernah berubah. “Banyak faktor yang menyebabkan situasi kebu-
8
Di Simpang Jalan Simalakama Kebudayaan dayaan seperti saat ini,� katanya. Apa solusinya kira-kira agar jaringan kerja budaya ini tidak mati? Dia mengakui pada akhirnya akan mati bila siapa saja tidak mengingkan kebudayaan daerah itu hidup. Bagaimana caranya kebudayaan hidup, urainya, kebersamaan, kesadaran, dan gotong royong harus dibangun dengan baik. Dahulukan substansi kebudayaan dibanding mengedepankan yang lain. Karena itu ruang berkebudayaan ini perlu diadvokasi siapa saja agar substansinya kembali dan supaya generasi muda semakin menggemarinya. “Tetapi kan lucu ketika diskursus tentang kebudayaan tak lagi dianggap menarik dibanding berdialog tentang yang lain,� paparnya. Ini juga yang dialami pengamat seni dan budaya kontemporer Khairul Kalam. Salah satu yang menjadikan aura kebudayaan Madura redup karena kebudayaan dianggap tidak memiliki investasi jangka panjang dan hasilnya secara material tidak bisa dinikmati hari ini. Kebudayaan juga dianggap tidak memiliki investasi politik. Sementara, kata Khairul, negara saat ini lebih banyak dikendalikan oleh sistem politik. Pada saat oknum politisi menilai kebudayaan tidak memiliki arus balik, maka membangun kebudayaan
SULUH MHSA | Edisi VI|Nopember 2011
dianggap kurang tepat dibanding membangun fisik yang berwujud dan bisa dinikmati secara fisik. Pria yang juga juga mengkoordinasi komisi D karena jabatannya sebagai wakil ketua DPRD Pamekasan menegaskan, salah satu langkah efektif untuk menyelamatkan kebudayaan daerah melalui pendidikan. Misalnya, sekolah harus mengajarkan akhlak dan kesantunan. Sebab, tatakrama ini juga menjadi bagian dari kebudayaan orang Madura. Perlu diketahui, akhlak yang mencirikan religiusitas Madura mulai hilang karena tak ada ngopeni. Padahal, pelestari kebudayaan itu justru ada di rumah, sekolah, dan lingkungan sekitar didukung pemerintahan. Masalahnya saat ini, ujarnya, apakah kelestarian kebudayaan Madura sudah sepenuhnya didukung oleh rumah, sekolah, lingkungan dan pemerintahan. Jika semua elemen yang menopang lestari tidaknya kebudayaan sudah ambruk, Khairul yakin lestarinya kebudayaan Madura tidak bisa diharap lebih banyak untuk lebih hidup di masa yang akan datang. Karena itu, dia menganggap upaya penyelamatan kebudayaan yang berjalan di lingkungan yang tidak sinergis dia anggap hanya sebentuk penundaan ter-
Semalam di Madura Tanpa Aura? Semalam di Madura, ritualitas kultural digelar 22 Oktober lalu di altar Monumen Arek Lancor Pamekasan. Reportoar kesenian tradisional ini menampilkan tim kesenian dari empat kabupaten di Madura ini. Ritualitas kebudayaan ini merangkai empat acara pada waktu yang hampir bersamaan, pemilihan Kacong-Cebbing Sumenep, Kerapan Sapi, dan Sape Sono’ (Pamekasan). Setidaknya, belasan kesenian tradisional dimunculkan dalam ritual ltahunan ini. Dari tahun ke tahun, rangkaian acara ini seakan-akan kehilangan aura karena bergantinya generasi. Ia ada karena sejarah di masa lalu memunculkan reportoar sebegitu adanya. Tetapi ruhnya sebagai bagian dari kebudayaan, dari tahun ke tahun semakin terjun bebas. Kalau saja acara ini serupa penari, maka ia hanya sekedar menari tanpa menjiwai. Meski begitu, Semalam di Madura tetap menjadi tontonan yang menarik. Jalanan di sekitar Arek Lancor macet. Pada pagelaran tahunan yang muncul sejak tahun 1980-an ini seperti biasa diawali dengan musik gamelan khas, Gending Madhure. Musik ini sebagai rasa hormat kepada tamu undangan. Di eras mutakhir, panitia melakukan reformulasi dengan memasukkan peragaan busana lokal, batik. Saat undangan memasuki gelanggang, gelombang tari bermunculan dari semua penjuru kabupaten di Madura. Tim kesenian Bangkalan, menampilkan Andholenan Baong. Ribuan penonton terkesima. Begitu pula saat tim tari dari Sampang tampil dengan Pajjer Laggu. Ada juga Tera’ Bulan, Baris dan Topeng Gettak (Pamekasan). Sebagai modifikasi, musik Daul pun melengkapi acara ini. Ketua (harian) Dewan Kesenian Pamekasan Khalifaturrahman menilai kesemarakan Semalam di Madura selalu bergemuruh setiap tahun. Mamang yang juga mantan ketua depot seni Akura Pamekasan ini menganggap Semalam di Madura bukan hanya sekedar tontonan. Tetapi ia merupakan tuntunan agar generasi muda tidak melupakan kekayaan kebudayaan khususnya di bidang kesenian. Menurut dia, Semalam di Madura juga penegasan bahwa kebudayaan di Madura cukup beragam yang terpajang mulai dari Bangkalan hingga Sumenep. “Cukup semarak,” ungkapnya. (abe)
KHAIRUL KALAM
Wakil Ketua DPRD Pamekasan
hadap kematiannya, pada suatu ketika. Saat mengusung musik ul daul ke festival kesenian tradisional dunia di Jogjakarta, Khairul juga mengaku sangat senang. Koleganya dari luar negeri juga memberikan apresiasi bahwa musik disco di kelab malam dinilai lebih asik apabila memperdengarkan musik etnik. Jujur, kata Khairul, koleganya di luar negeri merasa lebih pas apabila berjoget di kelab malam dengan musik etnik khususnya ul daul. “Kalau harus orang luar negeri yang senang kebudayaan Madura (musik etnik) kan percuma apabila orang Madura sendiri tidak sebergairah mereka,” tegasnya. (abe)
SUMRINGAH: Dua orang penari sedang memperagakan diri sebagai sapi kerapan dalam acara Semalam di Madura.
SULUH MHSA | Edisi VI|Nopember 2011
9
SULUH KHUSUS
Satu Tahun Kepemimpinan Abussidik
Kebudayaan Lumpuh di Tikungan Rapuh Banyak pihak memprediksi bahwa pada akhirnya kebudayaan lokal akan tenggelam dan tergerus sesuatu yang lain, yang tidak mencirikan lokalitas. Gelombang peradaban ini terlalu kuat dan kebudayaan lokal merapuh karena pelestari dan peniadanya tidak imbang. Berikut wawancara SULUH dengan budayawan muda Pamekasan, Akhmad Zaini Makmun. Sebagai budayawan dan akademisi, bagaimana masa kebudayaan lokal? Kebudayaan itu terlalu luas. Ada bahasa, tradisi, kesenian, arsitektur, dan religiusitas berbasis kemaduraan. Nah, darimana harus dimulai ini? Kalau dari segi bahasa? Dulu sudah pernah saya sampaikan bahwa bahasa daerah termasuk Madura pada akhirnya akan lenyap. Statemen ini diawali dari survey yang menegaskan bahwa dari tahun ke tahun jumlah penutur bahasa daerah semakin berkurang. Mengapa berkurang, tentu ini banyak faktor. Misalnya?
Nama Lahir Pendidikan Aktivitas
10
: Akhmad Zaini Makmun : Pamekasan, 11 Maret 1972 : Lulusan S2 Bahasa dan Sastra Indonesia UNISMA : Mengajar di Universitas Madura Menulis buku maupun karya ilmiah Melakukan riset pendidikan Pernah aktif di Balai Bahasa Surabaya
SULUH MHSA | Edisi VI|Nopember 2011
Salah satu yang menyebabkan bahasa daerah melenyap antara lain dimulai dari keluarga. Fakta menunjukkan, di tingkat keluarga sebagian penghuninya tidak lagi menggunakan bahasa Madura sebagai bahasa komunikasi. Selain itu, generasi Madura tidak begitu “senang� berkomunikasi dengan menggunakan bahasa ibunya. Sekedar contoh, ketika naik bis antarkota antarprovinsi, di dalam
bis dua orang warga (remaja) Madura justru berbahasa Indonesia. Lainnya, bahasa Madura dianggap menyulitkan baik dari sisi fonologi maupun sintaksis. Bahasa Madura juga melenyap seiring dengan masuknya bahasa daerah lain, nasional, dan bahasa asing. Pada saatnya nanti, berdasar survey, bahasa Madura akan lenyap. Bagaimana dengan dimensi budaya yang lain? Sengaja saya memulai dari bahasa karena bagian dari kebudayaan justru bahasa lah yang paling dominan di tengah masyarakat. Bagi saya, dimensi budaya yang lain juga akan menurun. Arsitektur misalnya, di bagian mana arsitektur Madura sudah nyaris tak bisa dikenali. Mengapa bisa begitu, karena arsitektur di Madura berjalan mengalir karena tidak ada kecintaan yang mendalam seperti di daerah lain. Ini berbeda dengan arsitektur bangunan di Padang. Gedung dan perkantoran tidak menghilangkan arsitektur aslinya termasuk Padang perantauan tetap membawa budaya arsitektur leluhurnya, setidaknya di rumah makan. Nah, di Madura kan berbeda dimana arsitekturnya tidak lagi berbasis lokalitas. Soal nasib kesenian lokal bagaimana? Saya rasa bedanya hampir tidak ada. Madura agak berbeda dengan Bali dalam berkesenian. Di Bali, kesenian lokal bersinergi dengan religiusitas masyarakatnya dan selalu ada setiap hari. Di Madura kesenian menjadi kebudayaan yang terpisah dari religiusitas. Sehingga, kesenian di Madura muncul untuk melengkapi acara tertentu. Dulu, terdapat kesenian lokal berupa karya sastra Madura yang hampir melekat dengan religiusitas seperti syi’iran. Dalam puisi Madura ini menceritakan nabi dan sahabatnya sebagai contoh dan hampir terdengar seusai isya. Kini kan tidak lagi. Meski ada syair kan sudah tidak berbahasa lokal. Bagaimana solusinya agar kebudayaan lokal tidak rapuh? Apa yang kita lakukan saat ini bagi saya budaya tanding karena arus globalisasi begitu deras. Kita bersama melakukan
SAPE SONO’: Seorang Peserta festival Sape Sonok sedang menari mengiringi sapinya
pembelaan atas etnisitas dan lokalitas yang tidak boleh aus. Salah satu yang dilakukan antara lain melakukan revitalisasi kemaduraan dimulai dari rumah, sekolah, dan lingkungan sekitar. Etnisitas terkecil itu sesungguhnya ada di keluarga begitu juga satuan pendidikan terkecil juga ada di rumah dan lingkungan sekitar sekolah dan rumah. Rumah, sekolah, dan lingkungan sekitar ini idealnya kan terintegrasi dengan baik. Apakah selama ini tidak terintegrasi? Tidak selalu terintegrasi. Keluarga di rumah punya satu kehendak, sekolah juga punya kehendak, tetapi lingkungan kadang-kadang memunculkan kehendak yang lain yang lebih cepat mempengaruhi anak. Saya masih optimis pendidikan kebudayaan Madura yang dimulai dari setiap rumah, berlanjut ke sekolah, didukung lingkungan dan pengambil kebijakan. Saya kira, Cina dan Jepang menjadi contoh yang baik dalam melestarikan budaya. Mengapa Cina dan Jepang? Kedua negara itu tidak saja memasukkan budaya ke dalam rutinitas dan religiusitas. Tetapi, kedua negara itu juga memasukkan budaya ke dalam teknologi. Menurut saya ini luar biasa. Sedangkan di kita, Madura, telah mengalami penasionalan dari yang seharusnya mempertahankan lokal. Kita lihat misalnya di Sumenep. Saya menduga telah terjadi migrasi kata dari Madura menjadi Indonesia tanpa disadari hal yang seperti menghilangkan lokalitas. Misalnya, Songennep (Ma-
dura) menjadi Sumenep (mengalami pengindonesiaan). Padahal, ciri khas Madura itu antara lain melakukan pengulangan kata yang berbeda dengan Indonesia. Artinya, tidak saja globalisasi yang mengenyahkan kebudayaan lokal tetapi juga konsep nasionalismebertata kata ikut andil dalam pelenyapan etnisitas budaya. Harapan Anda? Mengembalikan yang hilang kok rasanya agak sulit ya. Tetapi bagi saya, ngopeni yang ada, yang masih bisa diselamatkan kok sepertinya masih jauh lebih baik. Hemat saya hal seperti itu bisa dimulai dari keluarga kita masing-masing. Di rumah, apa yang bisa kita lakukan kepada anakanak kita berbasis budaya Madura, bahasa, berkesenian, kesantunan perilaku, bernilai religiusitas dan seterusnya yang mencirikan budaya Madura. Kemudian di sekolah, anakanak yang didik dengan sistem tadi bertemu dengan anak-anak lain yang juga mengalami perlakuan yang sama ketika di rumah dan didorong sekolah. Kemudian pemerintah mendukung melalui Perda yang melindungi kebudayaan lokal dan benarbenar dieksekusi dengan baik. Cara ini memang tidak sempurna, tetapi paling tidak bisa menunda lenyapnya budaya lokal akibat penjajahan yang datang bertubi-tubi baik datangd ari dalam Madura sendiri maupun yang hadir karena pengaruh kebudayaan luar Madura. Perlindungan atas budaya ini sesungguhnya tugas kita semua khusunya para pengambil kebijakan. (abe)
SULUH MHSA | Edisi VI|Nopember 2011
11
Opini
ISKANDAR DZULKARNAIN, M.Si
Dosen Sosiologi Universitas Trunojoyo Bangkalan
..bahasa Madura juga digunakan untuk menunjukkan identitas dan eksistensinya sebagai salah satu suku terbesar ketiga, (Jawa 45%, Sunda 14%, dan Madura 7,5%) yang ada di nusantara ini
12
Mahalnya Sebuah Identitas Peradaban Madura A. Madura dalam Kilasan Sejarah
ekonomi, gender, dan wisatanya.
Sekalipun penelitian dan penulisan sejarah umum Madura belum banyak dilakukan orang, namun berdasarkan ekstrapolasi data dan informasi yang ada dapatlah direkonstruksi suatu lintasan masa lampau Madura yang dimulai sekitar 4000 tahun yang lalu. Bukti-bukti peninggalannya yang ditemukan di pulau ini menunjukkan bahwa leluhur orang Madura itu datang dari utara dan diketahui berkebudayaan neolitik. Dengan demikian, mereka sudah bisa mengupam atau mengasah batu menjadi kapak persegi, yang dapat pula dijadikan pacul. Penguasaan teknologi pacul ini mengisyaratkan bahwa mereka telah mampu bercocok tanam, walaupun jenis tanamannya hanya terbatas pada talas, ubi, gadung, pisang, dan jawawut. Diketahui pula bahwa mereka mampu beternak dan memelihara anjing untuk keperluan berburu. Selain itu, karena datang dengan mengarungi lautan terbuka, mereka tentu merupakan bangsa pelaut.
Menurut sejarahnya kata Madura awalnya berasal dari sebuah dongeng atau legenda, salah satu orang di antara pendatang yang dilahirkan di atas rakit (ghetek) yang ditumpangi ibunya saat melintasi laut lepas. Legenda tersebut berawal dari negara Mendangkumalan yang konon merupakan ibukota dari kerajaan Kalingga dengan raja bernama Sangjangtunggal. Raja tersebut memiliki seorang putri yang bernama Bendoro Gung, yang kemudian hari diketahui hamil tanpa suami. Dikarenakan malu maka sang Raja menyuruh sang Patih untuk membunuh putrinya dan tidak diperkenankan pulang ke kerajaaan sebelum dapat membunuhnya. Kemudian, sang Patih membawa putri raja tersebut ke hutan untuk dibunuhnya, namun setiap kali pedangnya akan menyentuh leher sang putri setiap kali itu pula pedang tersebut jatuh ke tanah, hal ini terjadi sampai tiga kali. Sehingga sang patih kemudian memberi kesimpulan bahwa kehamilan sang putri adalah mukjizat. Karena ketidakmampuannya maka sang putri dihanyutkannya ke laut bebas dan sang patih kemudian memakai baju poleng dan merubah namanya menjadi kiai Poleng. Kemudian sang putri sampai ke sebuah pulau yang saat itu terpecah menjadi dua, gunung Gegger dan gunung Pajuddan dengan melahirkan seorang putra yang diberi nama Raden Sagoro (Ab-
Madura sebagai sebuah pulau yang berada di ujung timur pulau Jawa, semakin dikenal seiring dengan adanya jembatan penghubung antara Surabaya dengan pulau Madura yakni Jembatan Suramadu. Jembatan terpanjang di Indonesia bahkan di Asia Tenggara, dengan panjang 5,43 KM. Selain itu, Madura juga dikenal dengan berbagai kelebihan lainnya. Di antaranya, budaya, agama, politik,
SULUH MHSA | Edisi VI|Nopember 2011
Opini durrahman, 1971: 1-5). Selain itu, ada juga yang berpendapat bahwa Madura berawal ketika para penganjur agama dari India tiba di Nusantara di abad-abad awal millineum pertama, ada juga di antara mereka yang sampai ke pulau itu. Kaum Brahmana yang terhitung terpelajar tadi rupanya menemukan pulau yang indah, sehingga dengan menggunakan bahasa Sansakerta dinamakanlah pulau tersebut Madura (Mien A. Rifa’I, 1993: 9). Dalam bahasa Sansakerta Madura berarti permai, indah, molek, cantik, jelita, manis, ramah, dan lemah lembut. Hal inilah yang kemudian beberapa abad Jayendradewi Prajnaparamita salah seorang istri raja Majapahit pertama Sri Kertarajasa Jayawardana, melambangkan gunacaranurupita satyapara (watak sangat setia dan kaya akan sifat baik dan berguna) serta memiliki anindyeng raras (kecantikan rupa tanpa cacat) dibandingkan dengan prakarti (pekerti, watak, tabiat, kodrat) pulau Madura (Bustami, dalam Aswab Mahasin, edit, 1996: 326). Menurut P.J. Veth tahun 1903 yang menulis tentang perbandingan keindahan Jawa dan Madura, menurutnya Madura menghadirkan sebuah keindahan yang sederhana, dengan warna-warna lembut dan bergarisgaris, dengan silang menyilang warna putih kapur (Kuntowijoyo, 2002: 2427). Madura memiliki berbagai ranah wisata yang sangat eksotis, mulai wisata budaya, wisata religi, wisata bahari, wisata historis, maupun wisata-wisata lainnya. Madura terdiri dari empat kabupaten, yakni Sumenep, Pamekasan, Sampang, dan Bangkalan. Dengan pembagian wilayah menjadi dua, wilayah daratan dan wilayah kepulauan. Jumlah pulau di Madura sebanyak 127 pulau. 126 pulau di Sumenep dan satu pulau di Sampang, 48 pulau berpenghuni dan 78 pulau tidak berpenghuni. Selain itu, Madura juga pernah memiliki lima kerajaan, meskipun kelima kerajaan tersebut berada di bawah kendali kerajaan-kerajaan Jawa. Kelima kerajaan tersebut berada di Sumenep, Pamekasan, Sampang, Blega dan Kota Anyar. Sehingga sampai sekarang Madura memiliki berbagai wisata historis tempat peninggalan kerajaan-kerajaan terdahulu. Madura juga memiliki wisata eksotis bahari lainnya, di antaranya pantai Lombang, dengan hutan cemara udangnya. Di mana hanya ada dua
wilayah yang memiliki hutan cemara udang, yakni di Brasil dan di Lombang itu sendiri, pantai Sloping, pantai Camplong, dll. Wisata budaya kita mengenal banyak budaya yang berasal dari Madura, baik budaya yang penuh dengan eksotisme kelembutan, seperti sapi sonok, maupun budaya kekerasan, seperti kerapan sapi, carok, ojung, dan lain sebagainya. Selain itu, Madura juga dikenal dengan wisata religinya, di antaranya makam Syekh Abdullah Cholil, Asta Tinggi, Masjid Jamik Sumenep, Asta Tinggi, dan lain sebagainya. Dan yang tidak kalah penting adalah wisata kuliner Madura, mulai dari jamu kesehatan, makanan, minuman, maupun jamu untuk pria dan wanita. Kemajemukan etnis, social, agama, merupakan bagian tersendiri dari eksotisme Madura. Hal itu diperkuat dengan beragamnya bahasa Madura, mulai dari daerah Madura Barat, Madura Timur, dan Madura Kepulauan yang berbeda-beda bahasanya. Bahkan sampai sekarang belum terdeteksi berapa banyak bahasa yang digunakan di Madura. Padahal Bahasa Madura merupakan bahasa daerah yang dipakai oleh orang Madura sebagai alat komunikasi dalam interaksi sosialnya. Selain itu, bahasa Madura juga digunakan untuk menunjukkan identitas dan eksistensinya sebagai salah satu suku terbesar ketiga, (Jawa 45%, Sunda 14%, dan Madura 7,5%) yang ada di nusantara ini yaitu suku Madura. Bahkan menurut Wurm dan Shiro Hattori (1981), mengatakan bahwa pemeringkatan bahasa daerah di Indonesia berdasarkan jumlah penggunanya, yang menempati urutan 1-20 adalah bahasa Jawa, Sunda, Madura, Minangkabau, Bugis, Batak, Banjar, Bali, Aceh, Sasak, Lampung, Makasar, Rejang, Komering, Sa’dan, Manggarai, Minahasa, Dayak Ngaju, Gorontalo dan Bima. Bahasa Madura yang termasuk bahasa Melayu-Polynesia tersebut, berada dalam kelompokkelompok yang lebih kecil lagi bergabung dengan bahasa-bahasa Jawa, Sunda, Bali, dan Melayu. Berawal dari itulah kita bisa melacak tentang kekayaan peradaban Madura. B. Kilas Balik Peradaban Madura Ketika kita berbicara tentang peradaban, maka kita juga harus berbicara tentang sejarah kelahirannya. Di mana kelahiran peradaban itu sendiri berawal dari sejarah manusia. Sudah banyak ilmuwan yang menjelaskan tentang sebab kemunculan, perkembangan, keterkaitan, pencapaian,
kemunduran, dan kejatuhan peradaban, yang telah tereksplorasi dengan sangat baik melalui para sejarawan, sosiolog, maupun antropolog. Seperti Max Weber, Emile Durkheim, Oswald Spengler, Pitirim Sorokin, Arnold Toynbee, Alfred Weber, Christopher Dawson, dan lain-lain. Menurut tokoh-tokoh tersebut, ketika kita berbicara peradaban ada lima persoalan sebagai bentuk kesepakatan dalam kaitan proposisi-proposisi sentral mengenai hakikat, identitas, dan dinamika dari masing-masing peradaban. Pertama, sebuah pembedaan dapat ditemukan di antara perbagai peradaban, baik yang singular maupun plural. Kedua, sebuah peradaban adalah entitas cultural. Ketiga, setiap peradaban selalu bersifat komprehensif yang tidak satu pun dari konstituen kesatuannya dapat sepenuhnya terpahami tanpa mengacu pada cakupan (wilayah) peradaban. Keempat, peradaban-peradaban bersifat fana namun juga hidup sangat lama, ia berkembang, beradaptasi, dan sangat berpengaruh terhadap kehidupan manusia, realitas-realitas yang benarbenar dapat bertahan dalam waktu lama, kekuatan dan esensi utamanya adalah kontinuitas historisnya. Kelima, peradaban-peradaban merupakan entitas cultural bukan entitas politik (Samuel P Huntington, 2000: 38-47) Berbeda halnya dengan Mien A Rifa’I (2007) yang mendefiniskan peradaban (kebudayaan) sebagai keseluruhan pengejewantahan batin, pikiran, dan akal budi suatu suku bangsa, yang terakumulasikan berdasarkan pelajaran pengalaman hidupnya. Sehingga, peradaban ke-Madura-an membahas tentang perkembangan kecerdasan, pemanfaatan, pengembangan, dan penguasaan pengetahuan, ilmu dan teknologi, kepercayaan spiritual, seni budaya, selera, nilai, hukum, budi pekerti, adat, dan tatanan bermasyarakat. Dari berbagai bentuk pengertian tentang peradaban tersebut kita bisa membuat ringkasan singkat tentang historisasi (sampai saat ini) peradaban Madura dalam berbagai bentuk di antaranya (disadur dari Mien A Rifa’I, 2007: 42-120): a. Religi Peradaban keagamaan di Madura sejak zaman animism sudah lahir, di antaranya lahirnya bangunan bato kennong (batu kenong) atau bato
SULUH MHSA | Edisi VI|Nopember 2011
13
Opini egghung (batu gong) dan menhir di Pulau Sepudi. Kepercayaan ini terlihat juga dari nama desa (kampongkampong) yang ada di Madura, yakni Candi, Mandala, Sema dan lain-lain. Selain itu juga lahirnya pesantren besar – yang kemudian hari melahirkan tokoh-tokoh Islam di Indonesia – akhir abad XIX di desa Kademangan dengan pimpinannya KH. Muhammad Khalil. Sehingga dapat dipahami pada sa’at itu Syarikat Islam sebagai gerakan politik Islam berkembangn sangat pesat di Madura. Sebelum itu, bahasa Madura juga sudah menyerap ratusan kata dari bahasa Arab, seperti mahrib, makam, makhlok, ma’mom, malaekat, mayyit, molod, dll. Ada pula kosakata bahasa Madura serapan dari bahasa Sansakerta yang lalu dibahasatinggikan dengan memakai bahasa Arab, seperti apowasa dihaluskan menjadi aseyam, se mate menjadi almarhum, dan asambhajang menjadi asalat. Lebih lanjut, masyarakat Madura juga menyerap bulan-bulan tarikh Hijriyah sembari terus memperhatikan makna keagamaannya, seperti Sora (Muharram), Sappar (Shafar), Molot (Rabi’ul Awal dari Maulud), Rasol (Rabi’ul Akhir dari Rasulullah), dan lain sebagainya. Sejalan dengan itu, nama-nama muslimin juga dipakai oleh orang Madura dalam memberikan nama anak-anaknya. Dalam menjalani kehidupan beragama sebagai umat Islam, Madura mayoritas mengikuti aliran ahlus sunnah wal jama’ah dan menganut mazhab Imam Syafi’i. Hari-hari besar Islam, pernikahan, kelahiran, membangun rumah, pertanian, dan laut juga seringkali dirayakan dengan cara-cara ‘Islami’. b. Bahasa Bahasa Madura merupakan bahasa daerah yang dipakai oleh orang Madura sebagai alat komunikasi dalam interaksi sosialnya. Selain itu, bahasa Madura juga digunakan untuk menunjukkan identitas dan eksistensinya sebagai salah satu suku terbesar ketiga (Kompas, 24 September 2005) yang ada di nusantara ini yaitu suku Madura. Meskipun pada saat ini banyak persoalan yang dihadapi mengenai problematikan eksistensi bahasa Madura, di antaranya kurang bangganya pemuda-pemudi Madura menggunakan bahasa Maduranya serta kurangnya kepedulian dinas pendidikan untuk melestarikannya dengan hanya memberikan mata pelajaran bahasa Madura sampai Sekolah Me-
14
nengah Pertama (Iskandar Dzulkarnain, Keker, Radar Madura, 22 November 2009). Para ahli bahasa dan para peneliti bahasa Madura yang telah lama menekuni mengambil kesimpulan yang berbeda-beda mengenai bahasa Madura, di antaranya: bahasa Madura termasuk bahasa-bahasa Melayu-Polynesia yang dipakai oleh kurang lebih 15 juta penduduk yang mendiami pulau Madura dan pulau-pulau sekitarnya yang berada di ujung timur pulau Madura serta daerah-daerah utara pulau Jawa yang sering disebut daerah tapal kuda. Selain itu, juga oleh orang-orang Madura yang tersebar di seluruh Indonesia. Bahasa Madura merupakan bahasa terbanyak ketiga yang dipakai oleh bangsa ini dari sekitar 726 bahasa daerah yang ada di Indonesia. Menurut Salzner dalam bukunya yang berjudul “Aprachenatlas des Indopazifischen Raumes (Wiesbaden, 1960)”, mengatakan bahwa bahasa Madura sangat erat kaitannya dengan bahasa Jawa. Selanjutanya, ada juga yang berkata bahwa bahasa Madura tersebut berstruktur imbuhan yang serumpun dengan bahasa-bahasa kelompok Austronesia, bahasa tersebut mirip dengan bahasa Jawa, Sunda, dan Bali (Steven, 1968: 1-2). Di pulau Madura sekarang dikenal empat dialek utama bahasa Madura, yaitu dialek Bangkalan (Bangkalan dan Sampang barat), dialek Pamekasan (Sampang timur dan Pamekasan), dialek Sumenep (Sumenep dan pulau-pulau di dekatnya), dan dialek Kangean (pulau Kangean). Bagi ‘orang luar Madura’ pelafalan dialek Sumenep dianggap terdengar paling merdu, halus, jelas, dll. Sehingga sejak tahun 1893 dialek Sumenep dianggap lebih cocok untuk dijadikan pedoman bagi pembakuan bahasa Madura sehingga dari dulu bahasa Madura yang dipakai sebagai bahasa pengantar di sekolah-sekolah maupun buku-buku bahasa Madura adalah dialek Sumenep. Sebagaimana bahasa Jawa, Sunda, dan Bali, bahasa Madura juga memiliki beberapa tingkatan kebahasaan. Pembagian tingkat bahasa tersebut bisa disederhanakan menjadi tiga tingkat saja, yaitu: tingkat bahasa kasar (iyâ – enjâ’), tingkat bahasa tengah (engghi – enthen), dan tingkat bahasa halus (éngghi – bhuntén). c. Kesenian
SULUH MHSA | Edisi VI|Nopember 2011
Motif kain, penenun tradisional maupun batik Madura merupakan salah satu bentuk pengejewantahan seni rupa Madura. Dengan menggunakan dominasi berpola poleng merah, putih, hitam, kuning, dan hijau lumut. Kombinasi warna-warna berani dan mencolok juga dipakai oleh pemahat Madura dalam seni ukirnya. Kemudian, lalongedan atau jhungkejhungan (kidung), dan paparegan juga merupakan bentuk seni suara Madura yang diperuntukkan bagi anak-anak maupun orang dewasa. Selain itu juga dikenal bang-tembhangan, dan machopat. Selain itu juga dikenal kesenian yang dipengaruhi oleh Islam, yaitu diba’, hadrah, samman, gambus, dan samrah. Seni tari Madura juga dikenal dengan baik, di antaranya tayuban dengan tandha’nya. Luddruk, katoprak, ajhing, dan topeng. d. Sistem Pengetahuan Orang banyak mengenal ilmu-ilmu perbintangan. Hal ini sesuai dengan system pencaharian masyarakat Madura. Yakni berlaut dan bercocok tanam. Seperti arah angin, waktu, musim, dan iklim. Selain itu, masyarakat Madura juga mengenal perbedaan bermacam-macam habibat, padang (lapangan rumput), ra-ara (savanah), ombhut (semak belukar), alas (hutan) dan alas raja (hutan belantara). Selain itu, juga mereka mengenal daftar nama tetumbuhan dengan membedakan menjadi beberapa kelompok, yaitu ka’bhungka’an (pepohonan), rabet (liana), dan bha’-rebbha’an (terna). Serta mereka juga mengenal tidak kurang dari 700 jenis tertumbuhan yang diketahui manfaatnya (sebagai sumber pangan, ramuan jamu, pewarna dan penyamak, pakan ternak, dan lainnya). Lebih lanjut, masyarakat Madura juga mengenal pengetahuan tentang ruang dan ukuran dalam menata rumahnya, seperti lencak (balai-balai), pola kampong meji atau taneyan lanjang. Atau mereka juga mengenal pamengkang, pakarangan, kebbhun, talon, tegghal, dan lainnya. e. Teknologi Masyarakat Madura yang berprofesi sebagai peramu, petani, nelayan, peternak, dukun, dan pemimpin dalam masyarakat Madura kuno juga melahirkan pekerja tukang. Merekalah yang menciptakan alat produksi dan alat perlengkapan lainnya, sesuai dengan perkembangan za-
Opini man, tukang kayu, kemudian tukang batu. Tukang gerabah melahirkan pelteng, tempayan, dan cobik. Selanjutnya, pandai besi Madura juga bisa menciptakan bhirang, cakkong, calo’, calo’ kodhi’, are’, sada’, dan lainnya. Selain itu, masyarakat Madura dikenal bisa menganyam sendiri tikar, nyiru, karanjhang, renjhing, peltong, cobbhu’, cetteng, tenong, dan ceppo. Juga memiliki keilmuan dalam bertani di lahan basah dan di tegalan. Serta kemampuan dalam produksi pangan, seperti lorjhu’, alor, tekkay, pe-ape, dan lainnya. Dalam kaitannya dengan pangan dan gizi, masyarakat Madura memiliki keahlian dalam penguasaan ramuan jamu Madura, terutama tentang kesehatan, vitalitas tubuh, dll. Serta arsitektur rumah Madura, baik bentuk, susunan atap, bahan dinding, dan kerangkanya yang ternyata disesuaikan dengan iklim tropic panas. f. Mata Pencaharian Pertanian dan nelayan merupakan dua mata pencaharian utama masyarakat Madura. Yang melandasi lahirnya etos kerja dan semangat kerja yang sangat luar biasa, yang kemudian melahirkan peribahasa abhantal omba’ asapo’ angin. g. Peralihan Kehidupan Ritus peralihan bagi orang Madura dikenal dari sebelum lahir, lahir, kawin, system kekerabatan, dan kematian. Dalam proses sebelum lahir dan lahir dikenal beberapa istilah yakni, pellet kandung, azan ketika lahir, tamone, dhamar kambang, colpak bujhel, pemberian nama, kekah, toron tana, dan khiatanan. Kawin dikenal nyalabhar (menyebarluaskan), ngen-ngangenaghi (menganginanginkan), nyareng bhakal bine’ (menyaring calon istri), noro’ patona oreng (ikut contoh perbuatan orang – nikah), narabhas jhalan (menerabas jalan), nagghuk (menepuk), nyaba’ oca’ (menempatkan kata), matoju’ tandha (mendudukkan tanda), topa’ toju’ (ketupat yang dapat didudukkan), calon bhakal (calon tunangan), nale’e paghar (mengikat pagar), leppet (lepat), panyengset (pengikat), tongkebbhan (pemasangan tutup), masekket batton (mengukuhkan ikatan pinggir balai-balai), abhakalan (pertunangan), - epaburung (diputus) dan sobung paste (tidak merupakan suratan takdir) – obang penyeddhek (uang pendesak), nganggi’ dhalika (pengikat geladak balai-balai tempat
tidur), lencak (tempat tidur), ba-ghiba (barang bawaan), midodarenan (menunggu kunjungan bidadari), seraman (mandi), ba-tamba kabellina buja (penambah pembeli garam), pangada’ (juru bicara), matoro’a dhaging sakerra’ (menitipkan daging sepotong), mapeggha’ bhalabhar (memutuskan hambatan), mowang sangkal (membuang kemalangan), kembhang campor bhabur (bunga dicampur irisan daun pandan wangi), sembha songkem (sembah kedua orang tua mempelai), kocoran ban capcabhan (mengucurkan dan meneteskan air suci), dan ditentukan are beccek (hari bagus). Sedangkan system kekerabatan dikenal beberapa istilah, yang secara umum dikenal bhala sabharundhut (keluarga batih), bhala sapamolean (keluarga sepemulangan), bhala dhalem (keluarga dalam), bhala dhibi’ (keluarga sendiri), bhala semma’ (keluarga dekat), dan bhala jhau (keluarga jauh). Untuk kematian dikenal beberapa proses yang dikenal oleh orang Madura, yaitu sesudah mayat dimakamkan di liang lahat maka akan dikumandangkan adzan, dan iqamat, lalu dikebumikan. Setelah selesai nisan dipasang, dibakar kemenyan, dan dibacakan talekken (talkin). Sesudah itu keluarga sibuk mengurus suguhan rasolan atau selamatan untuk menjamu para pelayat. Selanjutnya, ada hari-hari perayaan, yakni tiga harinya (lo’ tello’), tujuh hari (to’ petto’), empat puluh hari (pa’ polo are), seratus hari (nyatos), dan seribu hari (nyaebu), diadakan selamatan dengan pembacaan tahlil dan membaca AlQuran. C. Mahalnya Sebuah Identitas Kecintaan Madura (Refleksi Sa’at Ini) Dari berbagai bentuk warisan kebudayaan para leluhur kita (nenek moyang masyarakat Madura) ternyata banyak menciptakan nilai-nilai kearifan local ke-Madura-an yang lambat laun melahirkan sebuah peradaban. Meskipun saat ini, banyak refleksi, analisa, dan kritik dari pemerhati kebuadayaan Madura yang merasakan semakin lama semakin hilangnya nilainilai peradaban Madura. Masyarakat Madura semakin tidak bangga dengan nilai-nilai kebudayaannya, mengapa ini terjadi? Sekarang, mari kita lihat Madura padaa saat ini. Madura yang sudah memiliki Jembatan Suramadu yang diresmikan oleh Presiden Susilo Bambang Yudoyono diharapkan mampu
memeratakan pembangunan antara Surabaya dan Madura, yang selama ini terjadi kesenjangan yang sangat jauh antara industrialisasi di Surabaya dan di Madura. Industrialisasi merupakan salah satu dampak nyata dari direalisasikannya Jembatan Suramadu, yang diharapkan mampu menyejahterakan masyarakat Madura melalui pembangunan-pembangunan yang diproyeksikannya. Sehingga seiring perkembangan jembatan Suramadu diharapkan memiliki ciri “Indonesianis, Maduranis, dan Islamis”. Kebanggaan dan kesenangan akibat terealisasinya jembatan Suramadu tidak dibarengi oleh kesadaran pemerintah pusat, local maupun masyarakat Madura (tokoh masyarakat) bahwa ada sosok lain dari dibangunnya jembatan Suramadu yang mengalami kesengsaraan. Mereka inilah masyarakat yang berada di kaki jembatan Suramadu, tepatnya masyarakat Labang Dusun Sekar Bunguh Desa Sukolilo Barat. Masyarakat yang telah rela tanahnya dibangun dan telinganya bising mendengarkan kendaraan-kendaraan yang melewati Jembatan Suramadu. Berawal dari itulah Prodi Sosiologi FISIB Unijoyo berupaya untuk melakukan pemberdayaan bagi masyarakat Kaki Jembatan Suramadu melalui “Sekolah Rakyatnya”, yang diadakan tanggal 31 Oktober sampai 01 November 2009. Tanggal yang memang sengaja dipilih untuk mengingatkan kita bahwa ada persoalan dan penindasan akan hak-hak asasi yang muncul seiring melecusnya G/30 S PKI, yang kemudian melahirkan hari Kesaktian Pancasila. Sebuah upaya keadilan, kemakmuran, kamanusiaan, dan kebersatuan, serta kemusyawaratan yang merupakan ciri utama bangsa Indonesia dengan tidak melepaskan diri dengan makna Ketuhanan. Suatu tujuan dan makna filosofis yang sangat mulya. Masyarakat Sekar Bunguh beranggapan bahwa munculnya Jembatan Suramadu yang melalui proses panjang dan berliku telah melahirkan upaya musyawarah antara pemerintah, pengelola, dan masyarakat. Namun, yang menjadi persoalan adalah ketika “ketidakjujuran” menimpa mereka, dalam artian bahwa ada sebuah janji tidak tertulis, menurut Pak Solihin; ketika ia bersedia menjual tanahnya untuk dibangun Jembatan Suramadu maka sebagai gantinya adalah pekerjaan bagi anaknya di area
SULUH MHSA | Edisi VI|Nopember 2011
15
Opini Jembatan Suramadu. Sesuatu yang tidak terealisasi sampai saat ini. Fenomena ketidakjujuran inilah yang pada akhirnya menjadikan Suramadu tidak memiliki landasanlandasan filosofis kepancasilaan, yakni tidak berkeadilan, tidak memakmurkan, dan tidak berlandaskan kemanusiaan, serta nilai-nilai kearifan peradaban Madura. Sebelum Suramadu terealisasi masyarakat Sekar Bunguh yang mayoritas nelayan kalau tidak mahu disebut semuanya nelayan, berpenghasilan sekitar 200.000 ketika musim ikan dan 25.000 ketika tidak musim. Namun, saat ini nelayan Sekar Bunguh hanya mendapatkan 10.000 dari tangkapan ikannya. Hal ini disebabkan dari sempitnya lahan tangkapan mereka karena diberlakukannya aturan tidak boleh menangkap di sekitar Jembatan Suramadu, dangkalnya
Pemberdayaan masyarakat melalui keterampilan merupakan salah satu upaya yang sangat signifikan ketika lahan pekerjaan mereka, yakni nelayan dan pertanian, pada akhirnya akan semakin mengecil, seiring banyaknya lahan-lahan baru yang dibutuhkan untuk industrialisasi. Keterampilan dengan mengedepankan potensi daerahnya merupakan upaya yang harus segera dilakukan oleh berbagai elemen masyarakat Madura untuk menyejahterakan masyarakat Madura dengan adanya industrialisasi, bukannya malah menjadi penonton bagi penikmat Suramadu yang berasal dari luar Madura. Inilah potret kecil dari terserabutnya nilai-nilai kearifan peradaban Madura yang salah satunya disebabkan oleh dampak industrialisasi, yang pada akhirnya akan melahirkan individualistic, material-
Jembatan Suramadu sudah terealisasi sehingga alangkah bijaknya jika kita semua, Ulama, pemerintah, pengelola, akademisi, dan masyarakat bersama-sama melakukan evaluasi dini dampak-dampak negative dari Suramadu. air laut, dan terjadinya pengikisan sisi pantai secara cepat. Dan yang pasti adalah banyaknya ikan dan terumbu karang yang rusak akibat bom pra pembangunan Jembatan Suramadu. Minimnya penghasilan para nelayan inilah yang pada akhirnya akan menimbulkan dampak social ekonomi bagi industrialisasi di Madura, yang sejak awal sudah ditakuti oleh para Ulama, pemerintah, dan masyarakat. Yakni kesiapan dan perbaikan taraf perekonomian masyarakat Madura dengan adanya Jembatan Suramadu bukan malah melahirkan kemiskinankemiskinan baru dan penjajahanpenjajahan baru bagi masyarakat Madura. Jembatan Suramadu sudah terealisasi sehingga alangkah bijaknya jika kita semua, Ulama, pemerintah, pengelola, akademisi, dan masyarakat bersama-sama melakukan evaluasi dini dampak-dampak negative dari Suramadu. Sehingga segala persiapan bagi dampak-dampak negative tersebut bisa segera terselesaikan bukannya malah didiamkan yang pada akhirnya akan menjadi bom waktu akan terjadinya revolusi penentangan masyarakat terhadap industrialisasi.
16
istic, semangat kapitalisme yang semakin merajalela yang pada akhirnya akan menyebabkan masyarakat Madura sebagai orang yang mengalami ‘pemiskinan psikologis dan kefakiran sistemik’ sebagaimana yang diungkapkan oleh “Jean Baudrillard�, dengan berpola masyarakat konsumerisme hasil produk industry. Sesuatu yang belum dipikirkan secara jernih oleh kita bersama, karena masyarakat kita bukanlah produses industry. Lebih lanjut, dari sisi yang lain jembatan Suramadu seringkali dianggap kesuksesan yang tanpa makna, dalam artian biaya mahal yang telah dihabiskan hanya menjadi sebuah kebanggaan simbolik sebagai jembatan terpanjang, baik di Indonesia, Asia Tenggara, dll. Padahal harusnya kita tidak hanya terpaku terhadap sisi simboliknya namun sisi kesuksesan secara ekonomi, sosial, budaya, agama, politik, dll. BPWS (diskusi terbatas di Kompas jawa Timur) pernah mengungkapkan bahwa hal nyata dari kesuksesan Jembatan Suramadu adalah kuantitas kendaraan yang hilir mudik dari Surabaya ke Madura, kemudian jumlah rumah makan, hotel, dan berbagai
SULUH MHSA | Edisi VI|Nopember 2011
rencana bangunan yang sedang digarap. Secara ekonomi mungkin ada dampak, tapi yang menjadi pertanyaan adalah bagi siapa? Masyarakat Madura mayoritas adalah petani dan nelayan, yang tidak akan mampu untuk membangun itu semua dan tidak akan bisa untuk menjadi bagian dari industrialisasi ketika belum ada pelatihan bagi mereka. Hal lain, adalah identitas ke-Madura-an yang hilang di Jembatan Suramadu. Sebuah simbol yang seharusnya dipikirkan sejak awal bahwa ketika orang luar sudah masuk ke wilayah Madura, mereka sudah tersadarkan bahwa mereka sudah ada di wilayah Madura, bukannya hanya foto-foto pemimpin kita (bupati) dari empat kabupaten. Kesan budaya, etos kerja, agama, dan lain-lainnya yang seharusnya dijadikan simbol utama masuknya orang luar ke Madura, sehingga masyarakat paham bahwa mereka sudah ada di Madura dan semakin tertarik untuk mengetahui lebih lanjut tentang Madura. Seperti ketika kita ke Bali, Jawa Tengah, Yogyakarta, dan lainnya. Lebih lanjut, wilayah-wilayah wisata yang belum tergarap, menjadi bukti utama bahwa Suramadu telah menjadi ajang perebutan kekuatan ekonomi, sosial, budaya, agama, dll, di setiap unsur kepentingan di setiap kabupaten, tanpa memikirkan kemajuan Madura secara sinergis antarkabupaten. Hal inilah yang menjadi titik kelemahan utama dari kita. Karena bagaimanapun ketika kita masih bisa menjaga nilai-nilai kearifan lokal peradaban Madura, maka secara umum tidak akan mengakibatkan lunturnya nilai-nilai tersebut. Industrialisasi dan wisata, yang bagi sebagian orang dianggap sebagai titik pelemah bergesernya nilai-nilai peradaban, secara sosiologis merupakan sesuatu yang tidak terbantahkan. Namun, ada prosesi yang kita lalui supaya esensi nilai-nilai kearifan itu tetap terjaga meskipun mengalami berbagai bentuk pergeseran, yakni sosialiasi, akulturasi, dan asimilasi kebudayaan. Belum adanya buku panduan yang dimiliki oleh masing-masing kabupaten di Madura (lebih baik kalau jadi satu seluruh kabupaten di Madura) untuk orang luar yang belum punya pemandu atau kenalan maupun kerabat orang Madura. Seperti, kuliner, batik, wisata pantai, wisata religi, wisata budaya, kerapan sapi, dll. Sehingga ketika orang luar ke Madura sudah memiliki jadwal, dan peta yang
Opini jelas mahu ke mana dan apa yang mereka ingin lihat. Contoh yang paling sederhana, kalau saya mahu nonton kerapan sapi di Madura kapan ya? Ciri khas rumah Madura seperti apa ya?, kalau mahu nonton tarian-tarian Madura di mana ya? dll. Ini yang seharusnya dijadikan PR bagi kita semua orang Madura untuk memikirkan kemajuan Madura secara kualitas bukan hanya secara kuantitas. Karena bagaimanapun ketika kita berembuk dan berfikir bersama pasti kemajuan itu hanya akan menunggu waktu. Sekarang tugas kita semua unsur berkumpul, petani, nelayan, birokrat, akademisi, BPWS, LSM, wartawan, agamawan, politisi, budayawan, pemuda, dan semua unsur untuk berbagi ide kemajuan Madura sesudah dua tahun adanya Jembatan Suramadu, yang kemudian melahirkan konsep nyata dengan penanggung jawabnya, entah siapa yang harus memulainya, bupati mana, kampus mana, atau media mana, atau individu siapa, kita berdo’a aja semoga ada yang memulainya. Dengan atau tanpa memikirkan kemajuan individu (pengkayaan diri) semua untuk masyarakat Madura, kemajuan di segala bidang. Selain itu, kurang sadarnya orang untuk mengabadikan nilai-nilai kearifan lokal budaya Madura bagi para ilmuwan kita dengan melakukan penelitian, penulisan buku, dan pembentukan lembaga, pada akhirnya akan menciptakan pemahaman keMadura-an yang berorientasi kepada buku-buku lampau yang dtulis oleh para ilmuwan Belanda, Perancis, dll. Kemudian pergeseran ini memunculkan ilmuwan-ilmuwan Madura yang ada di luar Madura untuk melakukannya, yang menjadi pertanyaan bagaimana ilmuwan-ilmuwan Madura (kita) yang ada di Madura kenapa sangat sedikit yang melakukannya, terutama akdemisi-akademisi?. Lebih lanjut, berbagai Keberlangsungan keunikan nilai-nilai kearifan budaya Madura tampak tidak sejalan dengan kuatitas komunalnya yang menyebar ke berbagai daerah di Indonesia, yakni 9,7 Juta Jiwa (7,5%), menempati peringkat kuantitas etnik terbesar setelah Jawa (45%) dan Sunda (14%) (Kompas, 24 Sept. 2005). Walaupun kedua konsepsi itu tampak tidak sejalan tetapi realitasnya mencerminkan kondisi tersebut. Hingga saat ini komunalitas etnik Madura di berbagai daerah, baik di Madura maupun di daerah peran-
tauan (migran) masih tetap harus “berjuang” untuk mempertahankan survivalitasnya dalam menghadapi arus industrialisasi dan modernisasi yang semakin cepat. Keberadaan mereka seolah-olah kian menyusut karena mereka ternyata mulai enggan atau malu mengakui komunitas asalnya saat status sosial ekonominya meningkat, maupun ketika intelektualitasnya semakin berkembang (mahasiswa). Keengganan untuk mengakui identitas asal mereka dapat dimengerti karena selama ini citra tentang orang Madura selalu jelek (stereotipenya) sedangkan komunitasnya cenderung termarginalkan sehingga menimbulkan “image trauma atau enggan mengakui identitas Maduranya.”
pertanian tradisional (atau tidak disebut sangat kurang mencukupi perekonomian keluarganya) yang penuh tantangan dan resiko sehingga memunculkan keberanian jiwa dan fisik yang tinggi, berjiwa keras dan ulet, penuh percaya diri, defensif dalam berbagai situasi bahaya dan genting, bersikap terbuka, lugas dalam bertutur, serta menjunjung martabat dan harga diri. Watak dasar bentukan iklim bahari dan pertanian tegalan itulah yang kadang kala diekspresikan secara berlebihan sehingga memunculkan konflik dan tindak kekerasan fisik (carok). Oleh karena itu, stereotype perilaku kekerasan “dikukuhkan dan dilekatkan” sebagai keunikan budaya pada tiap individu kelompok atau komunitas etnik Madura.
Identitas diri mereka makin tidak dapat dikenali karena adanya kecenderungan escapistic dalam berinteraksi sosial di berbagai daerah. Dalam artian, mereka “mengebiri identitasnya” yang merupakan ciri khas, keunikan, dan karakteristik etnisitas sesungguhnya yang justru masih melekat erat pada dirinya. Termasuk di dalamnya juga menyembunyikan penggunaan berbahasa Madura antarsesama etnik maupun antarsesama masyarakat Madura. Padahal di dalam ketatabahasaan Madura terdapat strata kebahasaan. Sehingga ketika menggunakan bahasa Madura secara otomatis etika interaksi sosialnya akan terbentuk. Kondisi sosiologis seperti inilah yang sangat jarang ditemui pada komunitas etnisitas lain, karena penggunaan bahasa lokal etniknya justru memunculkan kebanggaan tersendiri bagi dirinya, seperti Jawa maupun Sunda.
Kearifan budaya Madura yang juga menjadi keunikan etnografisnya tampak pada perilaku dalam memelihara jalinan persaudaraan sejati (taretan dhibi’). Hal itu tergambar dari ungkapan budaya oreng dhaddhi taretan, taretan dhaddhi oreng, (orang lain bisa menjadi saudara, sedangkan saudara sendiri bisa menjadi orang lain). Keunikan yang muncul dari ungkapan kultural (pseudo-kinship) itu diwujudkan dalam bentuk perilaku aktual. (Wiyata, 2005: 4; Astro, 2006: 2).
Ungkapan etnografi, misalnya taretan dhibi’ (saudara sendiri) dalam ketata-bahasaan Madura saat berkomunikasi dengan sesama etnik kadang cenderung mempererat persaudaraan. Penggunaan konsep budaya taretan dhibi’ justru sering ditirukan oleh individu etnik lainnya sebagai bentuk ungkapan tentang bertemunya dua orang Madura atau lebih dalam satu lokasi. Keunikan budaya Madura pada dasarnya banyak dibentuk dan dipengaruhi oleh kondisi geografis dan topografi hidraulis serta lahan pertanian tadah hujan yang cenderung tandus dan berpola tegalan, sehingga survivalitas kehidupan mereka lebih banyak melaut dan bertani sebagai mata perncarian utamanya. Mereka pun dibentuk oleh kehidupan bahari dan
Berbagai bentuk streotipe yang diidentikkan ke dalam masyarakat Madura itulah sebagai salah factor penyebab keengganan masyarakat mengidentifikasi dirinya sebagai komunal Madura. Kurang adanya pembiasaan atau kebanggaan diri dalam berinteraksi menggunakan bahasa Madura juga factor penentu akan mahalnya identitas Madura. Mereka (orang tua) lebih bangga ketika anak-anaknya mampu menggunakan bahasa Indonesia dalam berinteraksi social. Factor dominant lainnya adalah kurang sadarnya para pengambil kebijakan (Diknas, dan lembaga lainnya) untuk menjadikan mata pelajaran bahasa Madura sebagai sebuah identitas kebanggaan bagi setiap sekolah. Dalam artian bahwa bahasa Madura tidak lagi dianggap sebagai pelengkap kurikulum namun sebagai mata pelajaran pokok (sebagaimana bahasa Indonesia dan bahasa Inggris) bagi sekolah-sekolah di Madura untuk tingkat dasar sampai tingkas atas, atau bahkan perlunya dibuka sastra Madura di perguruan tinggi sebagai bentuk upaya survivalitas identitas Madura. (*)
SULUH MHSA | Edisi VI|Nopember 2011
17
Opini
AHMAD SAHIDAH
Dosen Filsafat dan Etika Universitas Utara Malaysia, Asal Kec. Ganding Sumenep
Kemajuan negeri ini bisa dilihat dari apa yang dilakukan oleh mereka dalam mewariskan tabiat dan pengetahuan pada anakanaknya.
Madura Kosmopolitan, Mungkinkah? Setelah jembaan Suramadu berdiri kokoh, apa yang ada di benak kita? Kemajuan berada di depan mata. Dengan beton penyambung Kamal dan Perak, arus barang dan orang akan jauh lebih deras mengalir dari kota ke seluruh pelosok Pulau Garam. Belum lagi, jauh sebelumnya, seorang taipan pernah mengumbar janji akan membangun pabrik semen setelah jembatan dibangun, meskipun hingga kini wujud pabrik itu masih berupa tanah yang hanya dipatok papan tanda akan dibangun pabrik semen. Sembari menunggu industri berkembang, kita mungkin perlu memikirkan apakah tanah Madura ini akan menyandang predikat kosmopolit pada masa depan? Pastinya, denyut negeri ini terus bergerak. Orang-orang luar semakin mudah untuk mengunjungi Madura, meskipun hanya berhenti di perbatasan jalan masuk, sekadar menikmati jembatan terpanjang di Indonesia. Kehadiran mereka tentu menguntung penjual kelontong di sepanjang jalan di bibir jembatan. Para penjual itu tidak hanya menangguk untung, tetapi pada waktku yang sama menjadi orang terdepan dalam mengenalkan barang khas lokal, seperti batik dan cenderamata. Pada waktu yang sama, mereka bertanggungjawab untuk menjadi warga yang mencerminkan nilai-nilai kemaduraan. Lalu, apa kaitannya dengan kos-
18
SULUH MHSA | Edisi VI|Nopember 2011
mopolitan? Dengan merujuk pada pengertian kosmopolitan sebagai keadaan masyarakat yang menyepakati adanya komunitas moral tunggal, maka tantangan ke depan terbentang di depan mata. Moralitas di sini mengacu pada gagasan tentang nilai-nilai universal bersama yang disepakati. Betapa pun warga terbelah dengan perbedaan pilihan organisasi keagamaan, partai politik dan bahkan cita rasa kebudayaan, namun kita mewarisi nilai-nilai kemaduraan yang disangga oleh ide besar tentang bapa, guru dan rato. Tiga soko guru ini adalah cermin dari keadaan masyarakat. Ketiganya juga mempunyai tanggung jawab yang sangat besar untuk mewujudkan kehidupan masyarakat yang lebih baik. Orang tua, misalnya, adalah sosok yang menjadi panutan. Kemajuan negeri ini bisa dilihat dari apa yang dilakukan oleh mereka dalam mewariskan tabiat dan pengetahuan pada anak-anaknya. Prilaku anak jelas-jelas menggambarkan apa yang telah ditunjukkan oleh bapak dan ibunya. Dengan mengacu pada telaah psikoanalisis, bahwa prilaku masa dewasa adalah pengulangan kebiasaan masa kecil, maka peran orang tua begitu besar dalam menciptakan suasana si kecil agar anak-anak itu menemukan dunianya dengan riang. Sayangnya, tidak jarang kita pun acapkali melihat orang tua yang melampiaskan kejengkelan pada anaknya dengan kekerasan, baik lisan maupun tangan.
Opini Tak perlu penelitian mendalam, Anda bisa melihat dari dekat betapa kondisi kejiwaan anak adalah kepanjangan dari tingkah orang tuanya. Nah, mengingat perkembangan anak juga ditentukan oleh guru, maka kehadiran orang yang layak digugu dan ditiru ini adalah penyeimbang dari kemungkinan kekerasan simbolik dan fisik di rumah. Oleh karena itu, betapa mulianya tugas guru untuk memberikan jalan bagi anak murid dalam meneroka dunia. Tentu saja cara pengajaran dan pembelajaran perlu diperbaharui, agar para murid mempunyai bekal dan keterampilan dalam menyonsong masa depannya. Misalnya, teori Gal’perin yang mengulas isu dan asal-usul otak dan perubahan kognitif. Seraya mengembangkan gagasan Vygotsky tentang perkembangan manusia, Gal’perin menegaskan bahwa proses mental seharusnya dipahami sebagai tindakan material yang mengalami transformasi dan pendarahdagingan (internalisasi) yang melibatkan alat-alat kebudayaan. Coba lihat pengajaran bahasa Inggeris kita, apakah telah menggunakan kebudayaan lokal untuk memahami dan menguasai bahasa Anglo-saxon ini? Dengan kata lain, pengajaran ilmu pengetahuan apa pun sejatinya tidak menjarakkan peserta didik dengan lingkungannya. Guru di sini juga berarti dosen yang mengampu pelajaran di perguruan tinggi. Mereka tidak hanya meneriakkan kebajikan dari menara gading, tetapi juga bertungkus-lumus dengan orang ramai untuk menciptakan ruang bagi setiap individu bersuara atas ketimpangan yang menimpa masyarakat kebanyakan. Tentu saja, saluran yang bisa dimanfaatkan adalah organisasi keagamaan dan lembaga swadaya lokal. Selain menjadikan kumpulan ini sebagai wadah silaturahim agar warga tak semakin terasing dengan kehidupan yang disandera oleh kemajuan teknologi, mereka menjadi pengawal masyarakat madani, di mana masyarakat harus memiliki alat berupa organisasi yang tidak terikat dengan kepentingan politik praktis dan pada waktu yang sama menjaga jarak dari pemerintah yang berkuasa. Mungkin yang paling utama dari peran yang dipanggul oleh guru adalah tugas yang diemban oleh para kyai. Mereka tidak saja mendapatkan legitimasi moral, tetapi juga spiritual. Tidak ada satu pun lembaga atau individu di tanah ini menyangkal peran
SUAKA BUDAYA : Seniman melestarikan kesenian dengan mengajak anak-anaknya turut serta dalam salah satu reportoar
utama dari kyai. Di tangan mereka, nilai-nilai dan etika tidak saja disampaikan secara lisan, tetapi juga melalui tindakan. Teladan yang diperlihatkan mereka akan dengan mudah mengalir pada orang ramai. Misalnya, kegigihan Gus Muhammad Mushthafa, Kepala SMA 3 Annuqayah, memelopori kepedulian pada sampah dengan mengelola barang buangan dengan kreatif melalui kegiatan-kegiatan daur-ulang, baik sebagai kompos maupun barang bernilai-jual adalah keberhasilan kyai mudah menerjemahkan gagasan besar agama dalam ranah setempat. Di sini, agama tidak saja berbicara tentang pesan Nabi mengenai kaitan erat antara iman dan kebersihan, tetapi mewujudkan pesan itu menjadi tindakan yang menciptakan kemaslahatan bersama. Tentu saja, rato atau pemerintah mempunyai amanah yang harus ditunaikan. Termasuk di dalamnya para wakil kita yang telah mengumbar janji menjelang pemilihan umum. Mewujudkan kosmopolitanisme, yang kadang dirancukan dengan penampakan fisik, seperti bangunan menjulang tinggi dan mewah, atau kecantikan yang dipermak dengan begitu banyak alat solekan sebagaimana tercermin dari majalah Cosmopolitan, berada di pundak wakil rakyat dan pegawai negeri sipil. Di tangah mereka, kebijakan publik dan pelaksanaan dari program yang diterakan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah harus sepenuhnya untuk warga. Bagaimanapun, kearifan lokal yang menempatkan bapa, guru dan rato, sebagai penyangga kehidupan masyarakat adalah modal sosial yang perlu dirawat. Namun, pada waktu
yang sama kita harus menempatkan peran mereka dalam napas baru. Sosok orang tua, ustaz dan aparatur pemerintah, termasuk anggota dewan, masih mempunyai peran yang sesuai untuk zaman baru dengan cara menerjemahkan gagasan tentang moralitas tunggal, terkait dengan kemajuan, tanpa harus meninggalkan kebudayaan lokal. Yang terakhir tentu saja relatif berhasil dipertahankan secara fisik, namun penanaman pesan moral dari kebudayaan itu tidak berhenti pada pemanggungan persembahan, tetapi nyata dalam kehidupan masyarakat sehari-hari. Dengan keyakinan di atas, sejatinya kita telah menyambut gagasan mengenai Pembejaran untuk Kehidupan di Abad ke-21 (Gordon Wells dan Guy Claxton, ed.), yang menempatkan keadaan sosial dan kebudayaan lokal sebagai alat untuk penanaman nilai-nilai kebajikan dan kemajuan dalam pendidikan. Karya kumpulan ini merupakan pengembangan dari gagasan besar dari Lev Vigotsky tentang Teori Aktivitas Historis Kultural. Seni Hadrah, misalnya, adalah bukan sekadar klangenan segelintir orang, tetapi mendidik pelaku seni ini tentang bagaimana menjadikan hiburan itu bukan semata-mata merupakan pemanjaan pada hasrat berhibur, tetapi juga penyemaian rasa keindahan agama, kebersamaan, dan tentu saja pengenalan terhadap Nabi Muhammad sebagai teladan yang bisa didekati dengan seluruh kehadiran diri, jiwa dan raga, tidak berjarak. Ketika pengetahuan, kesenian dan keagamaan menyatu dalam gerak dan langkah seluruh unsur masyarakat, impian tentang negeri kosmopolitan adalah bukan khayalan. (*)
SULUH MHSA | Edisi VI|Nopember 2011
19
Fokus Lensa
IKHTIAR KULTURAL : Gemuruh berkesenian terdengar riuhnya dalam ritualitas tahunan. Pada religiusitas harian di Madura, kesenian tidak guyub. Konstruk ini bisa menyebabkan redupnya berkesenian secara umum karena kesenian tidak hidup di rumah-warga warga. Melainkan, ia musiman, temporal, dan insidental. Pada generasi yang berubah, suatu ketika, cepat atau lambat, yang periodik-tahunan dan temporal ini semakin menipis sampai akhirnya habis. Etnisitas yang berfungsi sebagai identitas pada akhirnya akan lenyap, seperti habitat di suatu tempat liar tanpa pengembala.
20
SULUH MHSA | Edisi VI|Nopember 2011
KERAPAN SAPI PIALA PRESIDEN 2011
B
agi masyarakat madura, sapi bukanlah sekedar hewan piaraan untuk membajak tanah atau untuk memenuhi kebutuhan ekonomis belaka. Di pulau Mpu Kelleng ini sapi menjadi bagian dari hidup yang mungkin bahkan nyaris lebih penting dari pada membaca koran bagi orang Jakarta. Sapi menjadi bagian dari gaya hidup yang dianggap dapat dijadikan ukuran tingkat strata sosial sang pemiliknya.
Maka tidak heran bila di Madura dijumpai berbagai event yang berkaitan dengan sapi. Seperti digelar Bakorwil Pamekasan bersama Madura Channel baru-baru ini. Dalam event bertajuk kerapan sapi piala presiden 2011 ini, berpasang-pasang sapi dibawa ke stadion soenarto hadi widjojo pamekasan untuk dikerap. Tak ayal, ribuan masyarakat madur dari empat kabupaten di dalamnya menyesaki stadion. Bagi masyarakat Madura kerapan sapi piala presiden ini tak ubahnya ajang Formola 1 bagi para penggemar otomotif. Penonton tak hanya menyemut di dalam arena. Mereka yang tak kebagian tiket bahkan rela memanjat pohon di luar pagar stadion demi menyaksikan sapi-sapi pilihan ini dipacu menyusuri lintasan dengan cepat. Menyiapkan seekor sapi untuk mengikuti kerapan tidaklah mudah dan murah. Jauh-Jauh hari sebelum hari pelaksanaan kerapan, para pemilik sapi sudah melakukan terapi-terapi khusus agar sapinya bisa menang. Sejak dari latihan rutin hingga diberi jamu berupa telur ayam yang jumlahnya bisa mencapai tiga sampai empat puluh butir setiap hari. Layaknya manusia, tak jarang sapi tersebut juga diberi minuman bersoda dengan harapan tenaganya bisa berlipat ganda dan mampu berlari di lintasan dengan cepat dan meyakinkan. Hadiah, bagi para pemilik sapi kerapan bukanlah tujuan utama. Sebab hadiah tersebut bisa dipastikan tidak akan lebih besar nilainya dari biaya perawatan sapi-sapi mereka. Prestise sebagai pemilik sapi tercepat dan terindah sudah lebih dari cukup. Satu-satunya Keuntungan ekonomis yang bisa diperoleh oleh para pemilik sapi yang menang di lintasan pacu itu adalah harga jual sapinya yang makin mahal. Dan uniknya, dalam setiap perlombaan kerapan sapi, Selalu ada dua pemenang. Yakni Pemenang dari Golongan Menang dan Pemenang dari golongan kalah. Kedengarannya, mungkin agak aneh, mana ada peserta yang sudah dinyatakan kalah, tapi masih juga bisa jadi pemenang? Ya bisa, dan itu ada di Madura. :-) (obeth)
SULUH MHSA | Edisi VI|Nopember 2011
21
Suasana Gelaran “Semalam di Madura” Taman Tugu Arek Lancor Pamekasan 22 Oktober 2011
22
SULUH MHSA | Edisi VI|Nopember 2011
23
SULUH MHSA | Edisi VI|Nopember 2011 Foto-foto: Saiful Bahr
i/SM
Fokus Lensa
24
SULUH MHSA | Edisi VI|Nopember 2011
Sape Sono’ Selain kerapan sapi, madura juga punya budaya yang tak kalah menarik. Budaya itu biasa disebut dengan Sape Sono’.
Bedanya, jika kerapan sapi diadu kekuatan dan keperkasaannya dalam berlari, maka sape sono’ diadu kecantikan dan keanggunannya. Sapi tidak pacu dan di tunggangi. Ia Malah diiring dengan musik dan tari-tarian saronen--sebuah musik khas yang memang biasa digunakan untuk mengiring sape sono’. Sapi-Sapi ini dirawat agar bulunya bagus, badannya sintal dan bisa berjalan serempak bersama pasangannya seperti pasukan yang sedang baris berbaris. Orang-orang di luar Madura biasa menyebut kontes ini tak ubahnya Fashion show. Hanya saja, aktornya adalah sepasang sapi. Dan.. semua sapi yang ikut berlaga dalam kontes ini harus berjenis kelamin perempuan. Dikatakan Sapi Sono’ karena dalam kontes ini, sapi dilepas digaris finis, diiring berjalan di lintasan, dan kemudian harus finis dengan masuk (nyono’) di bawah sebuah gapura. Di garis finis ini, sapi-sapi dituntut bisa mengangkat kakinya secara bersamaan dan meletakkannya di sebuah kayu melintang. Kayu tersebut sebelumnya dibuat lebih tinggi dari lintasan.
Foto-foto: Saiful Bahari/ SM
Yang paling anggun dan serempak berjalan, serta paling cepat meletakkan kakinya di papan melintang di bawah gapura, dialah sang pemenang. Pemiliknya berhak menerima hadiah dan secara ekonomis sapinya akan otomatis makin tinggi nilainya. (obeth)
SULUH MHSA | Edisi VI|Nopember 2011
25
LUKITA PURNAMASARI
MADURA ITU GUE BANGET Tidak semua generasi muda terperangkap ke dalam budaya pop, instan, dan hedonis. Sebab, sebagian generasi muda masih menaruh perhatian besar terhadap budaya bangsanya, daerahnya, dan aspek lainnya yang menyiratkan etnisitas. Diantara yang peduli itu antara lain Lukia Purnamasari. Moyang Sumenep yang kini kuliah di Unibraw Malang ini mengaku masih sangat peduli terhadap daerahnya. Ini antara lain dibuktikan dengan promosi Sumenep sebagai daerah yang serba etnik dan unik. Bahkan, Luki (nama akrabnya) tidak malu mengkampanyekan Madura dari sisi bahasa di tengah temantemannya yang tidak mengerti bahasa Madura. Tujuannya, agar teman-temannya tertarik dan belajar bahasa Madura. “Bahasa Madura kan bahasa ibuku,” terangnya bangga. Memang, katanya, ada sebagian mahasiswa asal Madura yang kurang pede menjadi Madura di luar Madura. Misalnya, Luki menyebut contoh mahasiswa Madura yang justru menyembunyikan identitasnya sebagai warga Madura. Padahal, warga luar mengenali dialek Madura. Karena itu, menjadi tidak ada gunanya menutupi kemaduraan di hadapan orang luar yang justru lebih senang bila warga Madura tidak menutupi jati dirinya sebagai Madura. “Aku sih seneng saja, apalagi warga Madura banyak menjadi orang yang T.O.P.B.G.T,” katanya. Alumni SMAN 1 ini ingin suatu ketika kesenian Madura seperti daerah yang lain khususnya Bali, Aceh, Sunda, Jawa, dan Batak. Alasannya, etnisitas di daerah tersebut tadi kesenian bisa mencirikan wilayah yang khas. Ia bisa bersatu di dalam daerahnya dan di luar daerah para perantaunya bersatu dalam budaya. Sehingga, popularitas dan intensitas berkebudayaan seakan lebih bergaung melebihi Madura. Dia mengaku tidak ingin Madura seolah hanya dikenal karena (dugaan) keluguan dan kelucuannya. Sebab, masih banyak hal lain yang lebih bermakna yang seharusnya lebih dikenal di luar Madura. “Banyak kan ragam kebudayaan kita yang inovatif dan lebih mendidik,” ujarnya. (dav)
26
SULUH MHSA | Edisi VI|Nopember 2011
EDWINA FIQHE ANANDITA
BUDAYA KITA BRILIAN “Budaya kita ternyata tak kalah hebat dengan budaya-budaya luar. Kita punya cita rasa yang tinggi” ujar gadis manis yang lahir 18 tahun lalu ini. Menurutnya keaneka ragaman kesenian dan cara berbicara orang Madura sangat mencerminkan tata budaya madura di masa lalu yang begitu brilian. “Bayangkan, dari sisi bahasa saja, madura punya beberapa strata. Sejak dari bahasa biasa hingga kromo inggil”. Jika tidak karena punya cita rasa dan kebudayaan yang sudah sangat mapan, hal itu tidak mungkin terjadi. “Kalo mau tahu buktinya begini.. Anggaplah kita tarzan yang masih baru bisa berkomonikasi dengan lisan... tidak mungkin kan membuat strata bahasa yang begitu rumit seperti di madura”. Jadi menurut lajang yang biasa di sapa FIQHE ini, bahasa madura bisa seperti sekarang setelah melalui proses yang panjang. Tidak bim salabim turun dari langit begitu saja. FIQHE mengaku baru benar-benar sadar bahwa kebudayaan madura begitu brilian setelah ia banyak meliat berbagai macam kesenian dan budaya masyarakat luar. Sejak dari budya jawa, Sunda, Sumatra, Kalimantan dan Bali. Menurutnya, Madura bahkan memiliki nilai lebih dibanding budaya daerah-daerah tersebut. (dav)
SULUH MHSA | Edisi VI|Nopember 2011
27
Politika
Jelang Pilkada di Gerbang Salam
SEJUMLAH NAMA MULAI MERAJAH Masa jabatan bupati – wakil bupati Pamekasan memang masih akan berakhir Maret 2013 mendatang. Tetapi hiruk pikuknya sudah mulai terasa. Balon (bakal calon) pun bergemuruh. Sejumlah nama bertaburan mulai dari in cumbent, anggota parlemen, pejabat, dan mantan anggota dewan. Ketika SULUH bertandang ke Gerbang salam untuk sebuah acara, gesekan nama-nama pun beragam. In cumbent bupati Kholilurrahman dapat dipastikan maju lagi untuk menjadi calon bupati. Bersama siapa dia akan berpasangan, bahkan Kholil pun belum bisa memastikan. Tatpi ketika disinggung apakah akan maju lagi, politisi itu hanay berkata pendek. “Tidak menutup kemungkinan,” dia berkelit. Sosok lain yang diprediksi akan bertarung di pilkada Pamekasan tak lain mantan bupati 2003 – 2009, Achmad Syafii Yasin. Saat ini, mantan ketua DPRD Pamekasan itu menjadi anggota DPR RI. Tetapi seperti halnya Kholil, politisi Demokrat itu pun tidak bisa memastikan sejak dini mengingat pilkada Sampang masih akan berlangsung 2013. Tetapi seandainya ada yang mencalonkan dan siap memenangkannya, Syafii pun hanya
28
tersenyum. “Lanjutkan,” dia bercanda merujuk ikon partai yang digelutinya saat ini setelah sebelumnya berkhidmat di PPP. Nama yang berbeda juga muncul, RPA Mujahid Anshori. Dai kondang yang juga poltisi PPP ini mengacu bahasa Arab, ma fi musykilah (tidak ada yang tidak mungkin). Mujahid tidak pernah putus asa untuk berusaha menjadi apapun yang lebih baik. Sebelumnya, mantan anggota DPRD Jatim ini mengaku telah berikhtiar untuk menjadi calon bupati Sumenep tetapi akhirnya kandas. Pernah juga mencalonkan diri sebagai ketua DPW PPP, juga kandas. Mujahid tidak tahu apakah akan kandas juga bila dia maju sebagai calon bupati Pamekasan. “Lihat saja nanti he he,” katanya bersenda gurau. Di sisi lain ada sejumlah nama seperti Badrut Tamam. Berkali-kali dikonfirmasi, Badrut mengaku tidak ingin ikut dalam hingar bingar pilkada. Tetapi dia tidak habis pikir masih ada sebagian pihak yang menelusuri jejaknya saat bertemu dengan masyarakat di bawah. Seolah-olah, kehadirannya di tengah masyarakat sebagai salah satu sosialisasi atas dirinya sebagai balon bupati Pamekasan mendatang.
SULUH MHSA | Edisi VI|Nopember 2011
Pria yang juga wakil ketua DPW Anshor Jatim ini merasa perkembangan isu politik melebihi pergerakan cahaya. “Cepat banget, saya dituding mau nyalon bupati, padahal...,” katanya tidak meneruskan kalimatnya. Sejumlah nama lainnya yang ramai dibicarakan antara lain Totok Hartono (pejabat), Muhdlar Abdullah, M Suli Faris (PBB), Boy Suhari Sadjidin (Golkar), Agus Sujarwadi (Gerindra), Abd Syukur (PDI Perjuangan), Khairul Kalam (Demokrat), Haji Kamil, Ibrahim Sugesty (pengusaha) dan Supriyadi (calon wabup pada tahun 2009). Mendekati pilkada, nama-nama dipastikan akan semakin banyak pada puncaknya dan kian susut bila tiba saatnya. Itulah keyakinan M Syariful Iman Dion. Lelaki yang aktif di LSM dan enterpreuner ini meyakini maksimal calon bupati hanya akan mengerucut ke tiga nama pasang calon. Siapa saja mereka, Dion tidak bisa memberikan kepastian. Tiga calon ini dia asumsikan dari dalam, luar (kekuasaan), dan aletrnatif. “Memang bursa nama bisa banyak, tetapi sesungguhnya hanya ada tiga pasang ideal,” tuturnya tetap menolak berkomentar lebih panjang. (abe)
Infotorial
SUMENEP KAYA ENERGI MIGAS Kabupaten Sumenep Merupakan salah satu daerah penghasil MIGAS terbesar di Indonesia, hal itu dikarenakan potensi migas di kab. Sumenep cukup besar. Hal ini dibuktikan dengan adanya 2 KKKS besar yang sudah beroperasi di kab. Sumenep yaitu KEI (Kangean Energy Indonesia) dan Santos. KEI melakukan Operasi di Pulau Pagerungan Besar Kec. Sapeken dan Santos di Perairan pulau Giligenting kec. Giligenting. Selain 2 KKKS tersebut masih ada nama-nama KKKS yang sudah mulai melakukan Seismik 2D dan 3D diantaranya Husky Oil, EML, Petrojava, dan masih ada yang lain. PERTAMBANGAN Potensi Tambang yang ada di Kab. Sumenep antara lain : Fosfat, Sirtu, Batu Putih, Tanah Urug, dll. Namun pada perkembangannya Pertambangan di Kabupaten Sumenep banyak yang liar (PETI) Penambang Tanpa Izin, hal ini sangat mengancam ekosistem kesinambungan dan keseimbangan alam, oleh karenanya PETI harus diarahkan dan dibina agar tidak mengancan ekosistem lingkungan. Selain itu Sektor Pertambangan perlu membuat Wilayah Pertambangan untuk pemetaan Potensi Pertambangan khususnya di Kab. Sumenep. PEMBANGKIT LISTRIK TENAGA MIKROHIDRO (PLTMH) Di Kabupaten Sumenep PLTMH juga dikembangkan di Desa Payudan Daleman Kecamatan Gulukguluk . PLTMH tersebut menghasilkan energy listrik yang cukup untuk Desa tersebut. Pemerintah Kabupaten Sumenep Menganggarkan Rp. 275.000.000,- untuk pelaksanaan pembangunan PLTMH tersebut. Proyek ini diharapkan dapat menjadi proyek percontohan yang bisa dikembangkan di daerah-daerah lain di kabupaten sumenep yang hingga kini belum tersentuh aliran listrik PLN sama seklai. STAND ALONE PHOTOVOLTAIC Stand Alone PV system atau Sistem Pembangkit Listrik Tenaga Surya Terpusat (PLTS-Terpusat) merupakan sistem pembangkit listrik alternatif untuk daerah-daerah terpencil/pedesaan yang tidak terjangkau oleh jaringan PLN. Di Kabupaten Sumenep Pembangkit Listrik Tenaga Surya terpusat (PLTS – Terpusat) juga dikembangkan, khususnya dan terutama di daerah kepulauan dan daerah terpencil, hal ini dikarenakan Listrik PLN tidak menjangkau daerah tersebut. Kepulauan yang sudah menggunakan PLTS Terpusat di Tahun Anggaran 2011 diantaranya : Desa Tonduk Ra’as, Desa Sapangkor Kec. Sapeken, Desa Saobi Kec. Kangayan. Untuk Tahun Anggaran berikutnya Kantor ESDM Kab. Sumenep mengusulkan untuk kepulauan yaitu Desa Paliat Kec. Sapeken. Pada tahun anggaran 2011 Kantor ESDM Kab. Sumenep menganggarkan sekitar 1 M AIR BAWAH TANAH (GROUND WATER) Lebih dari 98 persen dari semua air di daratan tersembunyi di bawah permukaan tanah dalam poripori batuan dan bahan-bahan butiran. Dua persen sisanya terlihat sebagai air di sungai, danau dan reservoir. Setengah dari dua persen ini disimpan di reservoir buatan. Sembilan puluh delapan persen dari air di bawah permukaan disebut air tanah dan digambarkan sebagai air yang terdapat pada bahan yang jenuh di bawah muka air tanah. Dua persen sisanya adalah kelembaban tanah. Pemakaian Air Bawah Tanah di Kab. Sumenep selama ini masih dibilang bisa dikendalikan, namun untuk daerah yang sulit air, hal itu perlu dipikirkan dan diperhatikan oleh Pemerintah Kab. Sumenep. Misalnya di Daerah Desa Batuputih Daya Kec. Batuputih, Pemkab. Sumenep menganggarkan untuk pengeboran Air Tanah di daerah tersebut.
Dipersembahkan oleh: Kantor ESDM Kabupaten Sumenep
SUPRAYUGI Kepala Kantor ESDM Sumenep
SULUH MHSA | Edisi VI|Nopember 2011
29
Percik Serambi
GAYENG : Dari kiri Mujahid Ansori, Lora Thohir, Badrut Tamam, dan Imadoeddin dalam sarasehan kaum muda Madura dalam rangkaian Sumpah Pemuda akhir Oktober lalu.
MENGGUGAT SISTEM ORANG TUA (MADURA) Ada yang berbeda di peringatan Sumpah Pemuda yang digagas Madura Foundation di Balerejo Jalan Niaga Pamekasan. Upacara ini dilakukan dengan cara sarasehan tanpa mengurangi makna Sumpah Pemuda sebagai seremoni yang hadir di setiap tahun.
R
angkaian peringatan Sumpah Pemuda ini berlangsung gayeng dipandu Manajer Madura Channel Abrari Alzael yang kocak. Dalam dialog bertajuk Pembangunan partisipatoris Madura pasca Suramadu menuju Madura bangkit ini, hadir Bupati Pamekasan Kholilurrahman (keynote speaker), Mujahid Ansori (DPW PPP Jatim), Badrut Tamam (DPRD Jatim), Imadoed-
30
din (KIP Jatim) dan Lora Thohir (PP Mambaul Ulum Bata-bata). Hadir pula sejumlah aktivis LSM seperti Heru Budhi Prayitno, Ribut Baidi, Bambang Sugiharto, aktivis mahasiswa Wahyu Garuda dan puluhan pelajar. Saat Kholilurrahman berbicara, pemuda menjadi harapan bangsa bukan saja pemuda memiliki tenaga yang segar dan pemikiran yang luas ke masa depan. Lebih dari itu, pembangunan Madura salah besar apabila tidak melibatkan pemuda. Tetapi, dia juga menganggap tidak proporsional apabila Madura pasca Suramadu hanya diserahkan kepada pemuda. Menurut dia, partisipasi warga Madura lintas generasi dianggap semakin mudah untuk mewujudkan Madura bangkit. “Saya respek dengan sarasehan kaum muda ini agar Madura dan khususnya Pamekasan bisa lebih bangkit dan semakin berkualitas,” katanya. Namun Mujahid Ansori, orangtua di masa lalu tidak sepenuhnya proporsional. Ini terbukti saat lembaga pendidikan menja-
SULUH MHSA | Edisi VI|Nopember 2011
mur di semua daerah di Madura. Sayangnya, pendidikan tersebut tidak arif lingkungan dan terkesan dipaksakan. Seharusnya, pembangunan di Madura bukan mengawali dari debut pendidikan formal. Melainkan, Madura menurut dia butuh pendidikan non formal yang out put-nya jelas dan berwawasan lingkungan. Sehingga, SDM Madura lebih memiliki skill dan kompetensi. “Kalau saya jadi bupati (di Madura), saya kedepankan binlatbinlat, bukan sekolah formal macam sekarang,” ujarnya. Sementara Badrut Tamam, dia menilai ada indikasi pembangunan di Madura diwarnai “rasa cemburu”. Akibatnya, integrasi Madura yang terbangun dari Sumenep, Pamekasan, Sampang hingga Bangkalan nyaris tidak selalu kompak terutama di beberapa tahun silam. Karena itu, dia menyambut baik ketika semua bupati saat ini telah membentuk forum untuk dan atas nama Madura yang mengenyampingkan egosektoral. Menurut Baduttamam, Madura memang terasa kering sebagai Madura
secara keseluruhan. Seolah-olah, begitu masuk Madura pelancong maupun warga lokal tidak menemukan kekahasan Madura. Ini berbeda dengan pelancong lain yang masuk ke Bali maupun Jogja. Itu juga yang dirasa mantan aktivis Imadoeddin. Pria yang akrab disapa Imad itu menganggap antara pemerintah dengan masyarakat berjalan sendirisendiri. Tidak semua kegiatan warga diapresiasi pemerintah dan begitu sebaliknya, tidak setiap kegiatan pemerintah diperhatikan masyarakat. Contoh paling sederhana, saat pemerintah mendapat penghargaan, jarang ditemukan ucapan dari masyarakat untuk pemerintah yang telah memperoleh penghargaan. Yang terjadi justru pemerintah mengucapkan selamat kepada dirinya sendiri sebagai lembaga yang memperoleh prestasi. “Lucu kan, ada lembaga yang bepretasi lalu lembaga itu pula yang mengucapkan selamat kepada dirinya,” jelas dia. Lambannya pembangunan di Madura atau Indonesia secara keseluruhan bagi Lora Thohir karena geografis yang salah urus. Mahasiswa S2 UIN Malang itu mengusulkan dua opsi. Pertama, antara yang muda dan tua harus berpartisipasi dalam pembangunan Madura masa depan.
JUARA TENIS PELTI CUP2011 DALAM RANGKA HARI JADI KABUPATEN SUMENEP KE 742
TUNGGUL PUTRA UMUM I. Santo (Novas) II. Faris (RRI) III. Dadang Iskandar (Novas) IV. Juhari (BRI) GANDA PUTRA UMUM I. Dadang + Edi Indisono (Novas) II. Faris + Jarji Akbar (RRI) III. M. Ridwan + Syamsul Arifin (BIMA) IV. Santo + Razik (Novas) GANDA VETERAN 95 TH MIN 45 TH I. Juhari + Akbar (BRI) II. Jarji + Razik (Novas) III. Edy Molyono + Zain Saleh (Gempar) IV. S. Arifin + Carto (Gempar) TUNGGAL PELAJAR I. Akbar (SMK 1 Sumenep) II. Robin (SMPN 1 Sumenep) III. Roni (SMPN 2 Sumenep) IV. Fiyan (SMPN 2 Sumenep) EMPAT BESAR KUALIFIKASI I. Juhari (BRI) II. Gunawan (Novas) III. Akbar (SMK 1 Sumenep) IV. Edy Molyono (Novas)
Kedua, kalangan orangtua dan kaum muda yang tidak reformis disarankan “diamputasi” (ditinggalkan) karena memaksakan siapa saja yang tidak visioner akan menguras waktu dan tenaga. Karena itu, dia memandang pembangunan apapun hanya butuh SDM yang dinamis bukan yang mabni (statis). “Kalau tidak mau maju yang ditinggal saja, toh pada akhirnya ia akan merasa sendiri dan kesepian,” dia bercanda. Namun demikian, hal itu bukan dimaksudkan untuk meremehkan. Kalangan orang tuh tetap perlu dihormati sekalipun tidak semua pemikiran mereka musti dikuti. (abe)
SULUH MHSA | Edisi VI|Nopember 2011
31
Serambi
KOMPAK : Sejumlah panitia lokal penyembelihan hewan kurban untuk selanjutnya bekerja sama membagi daging untuk fakir miskin.
IDUL KURBAN, MACHAN JAGAL HEWAN Keluarga Machan (TV, radio, dan majalah SULUH) ikut berbagi rasa saat Idul Adha (10 Zulhijjah 1432 Hijriyah) lalu. Ini sebagai bentuk kebersamaan dan hidup berdampingan dengan masyarakat. Rutinitas ini agak berbeda. Dulu, keluarga Machan berkurban di kantor pusat, Jalan Adirasa Sumenep. Tetapi pada tahun ini, keluarga Machan menjagal sapi (Kurban) di desa Karduluk Kecamatan Pragaan. Ini sebagai model silaturahim Machan untuk lebih dekat dengan masyarakat. Setidaknya, dua ekor sapi kurban dijagal di desa ini untuk 211-an warga di desa tersebut. Salah seorang warga penerima kupon Machan, Tibyan, mengaku senang dengan acara model Machan. Kakek dua cucu itu menilai pembagian daging kurban dari Machan merata. Ini tidak saja menyangkut penyebaran kupon bagi warga tak mampu yang terjangkau. Tetapi lebih dari itu, takaran daging bagi setiap penerima kupon
32
sama dan relatif berisi lebih berat dibanding penerimaan daging kurban dari penyelenggara kurban yang lain. “Senang, dagingnya lebih berbobot,” terangnya. Sementara panitia yang ditugasi untuk membagi-bagikan daging Hj Zakiyah mengaku, setiap daging yang hendak dibagikan kepada warga ditimbang. Berdasar timbangan, penerima kupon rata-rata menerima 0,5 kg paket berisi daging kurban. Daging tersebut didistribusi melalui kupon untuk warga di 5 dari 13 dusun yang ada di desa Karduluk. Penerimanya berasal dari dusun Blajud, Dunggaddung, Somangkaan, Rengperreng, dan Batopowar. “Melelahkan, tapi menyenangkan juga,” ujarnya. Manajer Machan, Abrari yang ditunjuk mengorganisasi kegiatan ini juga memberikan apresiasi terhadap warga. Pasalnya, warga cukup tertib dan tidak rebutan. Lebih dari itu, warga datang ke TKP (tempat kegiatan pemoton-
SULUH MHSA | Edisi VI|Nopember 2011
gan) tidak hanya hadir untuk menerima jatah daging kurban karena telah memiliki kupon. Tetapi, warga juga ikut membantu panitia. Apalagi, saat pemotongan berlangsung gerimis tidak berhenti hingga usai pembagian daging kurban. “Machan hanya ingin berbagi, sekecil apapun. Mungkin bergunba bagi warga yang memerlukan,” katanya. Tradisi menyembelih hewan kurban ini sudah menjadi tradisi di Machan. Hanya, pada tahun ini mendekatkan diri kepada masyarakat. Sedangkan pada tahun-tahun sebelumnya, Machan mengeksekusi hewan kurban di tempat yang tidak jauh dari lokasi kantor Machan, Jalan Adirasa 5-7 Sumenep. Namun di tahun-tahun yang akan datang, Machan akan berusaha semakin dekat dengan masyarakat dengan menjagal hewan kurban di tengah-tengah masyarakat. Ini memiliki makna gotong-royong, silaturrahim dan saling berbagi .(abe)
Percik
SULUH MHSA | Edisi VI|Nopember 2011
33
Serambi
Foto-foto: Abdullah Anshari
RUSAK: Sebanyak 3 kapal milik PT Sumekar Lini yang bisa melayani rute Kalianget-Kepuluan kini dalam keadaan rusak. Akibatnya banyak penumpang dan barang sering terlantar di pelabuhan Kalianget Sumenep
TERSEOKNYA Kapal Menuju Kepulauan
T
ransportasi jalur laut di Kabupaten Sumenep mulai terseok. Warga kepulauan hanya bisa mengeluh dan menangis, berharap ada secercah perbaikan sehingga mereka bisa pulang dengan aman dan sampai ke rumah dengan salamat. Lumpuhnya transportasi laut ke sejumlah wilayah kepulauan Sumenep karena tiga buah kapal milik milik PT Sumekar Line mengalami kerusakan dan harus didoking. Sehingga, warga yang hendak pulang ke pulau, terpaksa harus terlantar di pelabuhan Kalinget Sumenep, hingga berhari-hari. Namun, dari tiga kapal yang rusak, tinggal satu kapal yang bisa beroperasi, Dharma Bhakti Sumekar (DBS) 1. Kapal yang satu ini yang diburu warga. Kapal DBS 1 menjadi satu-satunya kapal yang diharapkan warga untuk bisa membawa mereka pulang. Teta-
34
pi, apa hendak dikata, kapasitas kapal tidak mampu membawa seluruh penumpang yang mencapai ribuan penumpang. Di pelabuhan, para penumpang berdesak-desakan berebut tempat agar bisa pulang. Bahkan, mereka nyaris melupakan keselamatan jiwanya. Meski pintu masuk depan kapal telah ditutup, para penumpang banyak yang nekat naik dengan cara memanjat ke atas kapal. Walau cukup membahayakan keselamatannya, tidak mau peduli. Hasanuddin, 40, salah satu penumpang asal kepulauan Kangean Sumenep, mengaku kecewa karena tidak ada kapal yang memadai untuk warga kepulauan. Apalagi, dirinya tidak mendapatkan bagian tempat duduk. �Kami kecewa sebab, karena harus menunggu kembalinya kapal tersebut dari pulau Kangean,� ujar pria yang mengaku sudah empat
SULUH MHSA | Edisi VI|Nopember 2011
hari berada di pelabuhan Kalianget Sumenep. Menurutnya, pemerintah dinilai tidak tanggap terhadap nasib warga kepulaun. Terbukti, ketika kapal di doking atau diperbaiki, tidak ada transportasi lain yang bisa digunakan warga kepulauan. Seharusnya, menurut Hasanuddin, pemerintah menyediakan kapal pengganti sehingga tidak ada warga yang terlantar. Sementara itu, Bambang Suprio, Menejer Oprasinal Sumekar Line, tidak membantah jika ini tiga kapal miliknya sedang didoking sehingga tidak dapat beroprasi. Sebab, memang sudah masanya kapal-kapal tersebut diperbaiki. �Saat ini memang sudah saatnya untuk diperbaiki,� katanya. SEMENTARA ITU, ketersediaan armada angkutan untuk masyarakat, sedianya tanggung jawab pemerintah yang seharusnya ditangani oleh Dinas Perhubungan. Apalagi, di Kabupaten yang memiliki wilayah kepulauan cukup luas seperti Kabupaten Sumenep, tentu masyarakat tidak mungkin mudah mengusahakan adanya alat transportasi sendiri
Serambi tanpa ada bantuan pemerintah. Ketika maysarakat Sumenep mengeluhkan kurangnya armada angkutan laut, pemerintah terkesan angkat tangan dan tidak mau menanganinya secara serius. Bahkan, yang ada hanya saling lempar tanggung jawab antar sesama pemangku kebijakan. Terbukti, dari pihak PT Sumekar Line, tiga kapal tersebut masih ada di Surabaya dan dalam proses perbaikan. Disisi lain, Kepala Dinas Perhubungan (Dishub), Ahmad Nur Salam, mengaku juga tidak bisa berbuat banyak. Dalihnya, tanggung jawab untuk meperbaiki kapal-kapal yang rusak tersebut, sepenuhnya adalah tugas dari PT Sumekar Line. ”PT Sumekar Line juga bertanggung jawab untuk mencari kapal pengganti selama 3 kapal tersebut tidak bisa dioperasikan,” imbuhnya. Anggota Komisi A DPRD Sumenep, Moh. Ali menegaskan, rusaknya kapal yang biasa mengangkut penumpang ke wilayah kepulauan, mengaku sangat khawatir terhadap jamaah haji asal kepulauan yang saat ini sedang melaksanakan perintah Allah SWT di Makkah. Apalagi, diperkirakan pertengahan November ini, jamaah haji Sumenep sudah tiba kembali ke tanah air. ”Otomatis jamaah yang dari Kepulauan ini kan harus kembali ke pulau. Kami khawatir akan terlantar di pelabuhan juga,” keluhnya. Menurutnya, kapal perintis Amukti Palapa tidak beroperasi. Sebab, informasinya masih ada kerusakan yang perlu diperbaiki. Sehingga, kalau semua kapal tidak beroperasi, maka pelayaran ke Kepulauan akan lumpuh, terutama ke Sapeken dan Masalembu. Politisi asal kepulauan ini meminta, agar Dinas terkait memperhatikan persoalan tersebut, dan segera mengambil langkah-langkah solutif, agar masyarakat pulau tidak menjadi korban. ”Kami menginginkan segera ada kapal pengganti, meski sifatnya sementara. Hal itu sangat diperlukan terutama menghadapi masa kedatangan jamaah haji dari tanah suci Makkah. Bagaimana para jamaah bisa kembali ke pulau kalau tidak ada kapal?. Jadi, kami berharap perhatian dan solusi cerdas dari pemerintah,” pungkasnya. (bus)
SULUH MHSA | Edisi VI|Nopember 2011
35
Olahraga
MENYENANGKAN : Salah satu pemain skimboarding saat berselancar di atas laut yang bergelombang.
Ada Skimboarding di Sampang Olahraga skimboarding tidak hanya berada di laut luas dengan ombak yang agak tinggi. Tetapi di Sampang, benih-benih olahraga ini mulai dirintis dan atlet bermain di sisi selatan pantai wiasata Camplong, Sampang.
Untuk diketahui, olahraga ini dinilai menyenangkan dan adiktif. Sekali belajar bagaimana melakukan trik pertama, seseorang memiliki kecendrungan untuk kembali belajar. Olahraga skimboarding menantang dan tidak dilakukan kecuali jika telah menguasai sejumlah langkah yang lebih mendasar. Karena olahraga ini berbahaya, berhati-hati dan akal sehat skimboarding sementara. Olahraga ini dilakukan di pantai bahkan dapat dilakukan di selat yang minim ombak. Pola permainan ini bermodalkan papan luncur yang cukup dimainkan di bibir pantai tanpa perlu ombak besar. Bahkan,
36
permainan ini dapat di atas laut yang bahkan nyaris tanpa gelombang. Di Sampang, mulai terbentuk komunitas pemain skimboarding. Tidak hanya baru, tapi komunitas itu juga tergolong unik dan menarik. Unik karena permainan itu hanya menggunakan papan seluncur dan menarik lantaran permainan tersebut bermodalkan keberanian berselancar di atas air, di selat Madura sisi selatan pantai ria Camplong.
Pertama trik three sixty atau papan berputar 360 derajat. Trik kedua, tumpuan kaki dengan tangan jadi satu atau dikenal dengan fire hydrant. Yang ketiga, memutar papan ala skateboard atau akrab disebut shove it. Sementara trik keempat adalah ollie.Trik dengan meloncat dan papan terbang sekaligus dengan si pemain. Yang terakhir adalah head standing, trik dengan kepala pemain sebagai tumpuan.
Sisi lain, permainan tersebut termasuk yang pertama di Sampang. Tidak hanya di Kota Bahari Sampang. Sesuai dengan namanya, Skimboarding memiliki arti papan seluncur. Sehingga untuk memainkan permainaan menarik itu tidak membutuhkan banyak biaya. Caranya, hanya dengan modal papan seluncur. Dengan modal itu, siapapun bisa mencoba untuk bermain Skimboarding. Modalnya cukup memiliki keberanian, seperti dituturkan Moh. Imron Sjaifuddin, perintis permainan ini di Sampang.
Lumrah bagi orang awam untuk lebih mengenal surfing daripada skimboarding ini. Selain karena surfing lebih akrab di telinga kita, skimboarding juga tergolong permainan baru, khususnya di negeri ini. Apalagi permainan ini hanya berkembang massif di pantai-pantai yang bukan merupakan tujuan wisata, seperti Madura ini. Perintis ini mengakui telah banyak merangkul anak muda Sampang untuk menemukan dunianya di skimboarding. Mencoba untuk membuat sejarah skimboard di pulau garam dengan terus bergulat dengan papan luncurnya.
Kini, komunitas yang didirikan Imblo (sapaan Imron Sjaifudidn) sudah memiliki puluhan 20 kader yang mahir bermain Skimboarding. Dari para pemain tersebut, kemampuannya bertingkat-tingkat. Skimboarding memiliki 5 tingkat trik permainan.
SULUH MHSA | Edisi VI|Nopember 2011
Untuk jangka panjang, olahraga yang baru hadir di Sampang ini diharapkan bisa akrab dan lebih mudah memasyarakat di Madura seperti halnya olahraga surfing di daerah lain. (*)
SULUH MHSA | Edisi VI|Nopember 2011
37
Akademia gan daerah lain dan berhak maju pula. Bagaimana caranya Madura melaju, warga Maduralah yang berhak tahu dan menentukan nasibnya sendiri dengan bingkai integritas, regionalitas, religiusitas dan kepastian bernasionalisme sebagai bagian dari bangsa. Dalam sejarah, Madura pernah menjadi “negara� pada saat bangsa ini menganut RIS (Republik Indnonesia Serikat). Bertitik tolak dari sejarah ini, Madura pastilah tidak akan melupakan masa lalu sebagai referensi. Sebagai bagian dari masa lalu, masa kini dan masa depan, Madura sejatinya sudah memiliki pola agar Madura lebih maju dan seirama dengan daerah lain yang lebih dulu mendapat kesempatan untuk berkembang.
MADURA,
Narasi Kecil untuk Perubahan Besar
OLEH: SIRMADJI Ketua DPD PDI Perjuangan Jatim
38
Membaca risalah Madura ini terbayang pula Jogjakarta yang juga pernah menjadi ibu kota negara. Memang, Jogjakarta sebagai Javanese dan Madura sebagai Madurese pastilah berbeda. Namun sebagai daerah yang memiliki kesamaan, perkembangan Jogjakarta tidak menghilangkan identitats kejogjaannya bahkan terus bertahan sampai saat ini. Begitu pula Madura masa depan diinginkan banyak pihak termasuk penulis buku Menuju Madura Modern tanpa Kehilangan Identitas (MH Said Abdullah) tetap mencirikan Madurese yang mengajari rakyatnya dengan pergerakan (kemajuan) dan mendidik penguasa dengan perlawanan (budaya tanding) menuju Madura yang lebih berbudaya.
Ada sebaris puisi yang cukup menarik dan ditulis penyair Clurit Emas (HD Zawawi Imron), Madura akulah darahmu, cukup pantas untuk memulai narasi ini. Ia secara tidak langsung mengguratkan nasionalisme bermadura yang juga nasionalisme berindonesia karena Madura juga Indonesia.
Kemajuan Madura yang bergerak lebih cepat barangkali memerlukan banyak piranti. Pertama, Madura harus berbingkai integrasi mulai dari ujung timur (Sumenep) hingga ufuk barat (Bangkalan) yang melintasi Pamekasan dan Sampang. Kiranya, Madura tidak bisa maju secara massif apabila di dalamnya dibayang-bayangi ancaman disitegrasi sebagai Madura secara komunal.
Sejauh ini, Madura seringkali menjadi “bahan guyonan� karena dinilai lugu dan lucu dalam tayangan televisi. Padahal, Madura tidak selalu seperti itu dan sebagai bangsa, Madura sejajar den-
Kedua, masing-masing daerah memetakan ruangnya sendiri-sendiri tanpa menghilangkan karakteristik dan identittas kemaduraan yang disandangnya secara geografis-kultural yang berkarakter. Ketiga, tataruang dan
SULUH MHSA | Edisi VI|Nopember 2011
Akademia tatakelola Madura menuju peradaban yang lebih baik patutlah menampilkan potensi dasariahnya dengan basis local wisdom. Sehingga komunalisme Madura lebih terbaca dan Madura sebagai tanah kelahiran orang-orang besar tidak teralienasi dan mengecil dari derap kemajuan jaman. Keempat, forum-forum yang melibatkan kepala daerah se Madura tidak sekedar simbolik. Tetapi, ia merupakan wahana untuk mewujudkan kemajuan Madura secara substantif dan bisa menjelaskan kepada publik bahwa Madura sebenarnya Madura bisa berkembang lebih cepat dari saat ini. Selain itu, derap pembangunan Madura harus berakar dari lokalitas dan potensi yang dikandungnya. Dari sini, dapat terlihat dengan jelas ada perbedaan antara membangun Madu-
taka. Selain itu penduduk Madura akan teralienasi dari kehidupan dan religiusitas hari-harinya. Dibangunnya Jembatan Suramadu yang tonggak penggarapannya dimuali di era Presiden Megawati Soekarnoputri sebenarnya menjadi tanda dari sekian tanda lainnya bahwa Madura bisa maju. Tetapi jembatan akan menjadi “masalah� apabila jembatan tersebut hanya berfungsi utama sebagai sarana penyeberanangan ansih. Lebih dari itu, jembatan difungsikan sebagai sarana penunjang untuk menggerakkan kemajuan lokal Madura baik dari sisi ekonomi, sosial, politik, dan aspek-aspek kehidupan lainnya. Sebagai yang sudah beberapa kali ke Madura, ingin rasanya pendataan dari berbagai aspek di Ma-
orang yang merasa begitu. Nah, buku Menuju Madura Modern tanpa Kehilangan Identitas ini sebentuk narasi kecil untuk perubahan paradigma. Sebab dalam pandangan banyak Madurolog, suatu saat entitas Madura akan lenyap seiring dengan munculnya gelombang ketidakpedulian sebagian warga Madura atas identitas, entitas, dan karakterisitik Madura itu sendiri. Sampai akhirnya, Madura sebagai etnisitas, entitas, dan identitas akan punah. Inilah sebabnya, MHSA sebagai warga Madura mencoba memberikan perhatian terhadap tanah kelahirannya sebagai bentuk tanggung jawab terhadap nasionalisme bermadura dan berbangsa karena Madura juga Indonesia. Tetapi membebankan masa kini dan masa depan Madura pastilah teralu be-
BEDAH BUKU: Said Abdullah, penulis buku “Menuju Madura Moderen Tanpa Kehilangan Identitas�, memberikan tanggapan terhadap masukan-masukan yang diberikan peserta acara bedah buku yang diselenggarakan di Sumenep 1 Nopember lalu.
ra dengan membangun di Madura. Pada kontent membangun Madura, segala potensi yang berbasis lokalitas ditunjukkan dan dikelola dengan baik dalam derap pembangunan. Model ini menyelamatkan banyak aspek baik yang menyangkut identitas, karakterisitik, dan masa depan Madura secara massif seperti yang dikehendaki MHSA dalam bukunya yang bertajuk Menuju Madura Modern tanpa Kehilangan Identitas. Sebaliknya, membangun di Madura berarti menempatkan pembangunan yang tanpa identitas dan tidak berkarakter Madura di Madura. Model pembangunan kedua ini merupakan pe-
dura lebih ditata kembali. Sebab, data merupakan hal yang sangat urgen sebagai pijakan awal untuk menentukan langkah. Pada saat data tentang apapun baik potensi maupun lainnya jelas, maka efek domino akan muncul sebagai bias dari hukum karambol. Jika boleh berharap, identitas Madura tercermin dalam banyak hal seperti halnya Bali. Pada saat siapa saja masuk Bali, aura Bali begitu kentara. Ini menjadi berbeda pada saat masuk Madura, aura Maduranya tidak begitu berasa. Namun bisa jadi hanya saya saja yang merasakannya meski hal ini saya ragukan karena ternyata banyak
rat apabila hanya dibebankan kepada satu orang. Itu sebabnya masih diperlukan MHSA lainnya di Madura disamping tokoh formal-informal yang bisa menunjang masa depan Madura secara lebih berkarakter, beridentitas, berentitas untuk dan atas nama Madura secara spesifik. Bahkan jika dimungkinkan, suatu ketika Madura akan menjadi laboratorium daerah yang modern tetapi tetap beridentitas, mengandung unsur etnisitas, berkarakter dan berentitas Madura. Memang tidak mudah, tetapi berdoa saja tak cukup karena perjuangan tidak pernah selesai. Merdeka !!!
SULUH MHSA | Edisi VI|Nopember 2011
39
Hobi
Lebih Akrab dengan Onthelis Pamekasan; Kadarisman Sastrodiwirjo
Belajar Perubahan dari Sepeda por Ate yang tetap eksis hingga saat ini. Berikut penjelasan salah satu pelopor La Sena, Dadang, yang dikemas secara bertutur.
KADARISMAN SASTRODIWIRJO Budayawan Pamekasan
M
embuat komunitas yang mencintai sesuatu yang sudah jadul (jaman dulu) memang mengasyikkan. Ini juga yang dilakukan budayawan Pamekasan, Kadarisman Sastrodiwirjo (Dadang) bersama koleganya. Dua tahun lalu, di Pamekasan dideklarasikan La Sena (Kompolan Sapeda Kona) Pangle-
40
Setidakknya ada dua nilai filosofis yang bisa diambil dari sebuah sepeda. Pertama filosofi perubahan. Sepeda, dalam keadaan diam, tidak pernah bisa berdiri tanpa penyangga. Baru sesudah roda menggelinding, ia akan tegak dan bergerak ke mana saja. Karena itu fisosofi yang dikandung dari kegiatan bersepeda adalah nilai berkehidupan sosial. Kalau ingin tetap tegak, dituntut untuk bergerak terus. Bergerak, konotasinya “berubah”. “If you don’t change, you’ll die”. (Dadang mengutip pendapat C.K. Prahalad). Kita harus proaktif, berinisiatif dan kreatif dalam menyongsong perubahan zaman. Kedua, filosofi keseimbangan. Dalam bersepeda, seseorang harus menjaga keseimbangan. Allah SWT menciptakan alam dengan keseimbangan sebagai ciri utama. Untuk itu manusia hidup di dunia harus menyelaraskan dengan alam, termasuk menjaga keseimbangan.
SULUH MHSA | Edisi VI|Nopember 2011
Selain memiliki nilai filosofis, sepeda yang akhir-akhir ini sedang “ngetrend” dan diminati, memang mempunyai banyak kelebihan. Sepeda, alat transportasi yang murah, praktis, bebas polusi, menyehatkan, dan bisa menjangkau area manapun saja, bahkan pematang sawah yang sempit pun bisa dilaluinya. Di negara maju,seperti Cina, Jepang, Korea dan banyak negara di Asia dan Eropa, sepeda disukai. Ketika berkunjung ke Korea Selatan, saya melihat di trotoar tengah kota, banyak tempat parkir sepeda yang disiapkan pemerintah kota. Akhir-akhir ini, ketika masyarakat dunia sepakat mengurangi polusi dalam rangka mengatasi dampak “global warming”, sepeda merupakan salah satu pilihan utama. Di negara kita pun, sepeda banyak penggemarnya. Ada yang suka sepeda gunung dengan kegiatan “fun bike”, ada yang memilih sepeda kuno yang disebut sepeda onta atau onthel. Di Pamekasan terdapat Jumat Bersabda yang diepopori Pak Bupati (Kholilurrahman), yaitu Jumat Bersih Bersepeda yang memadukan penggalakan gemar bersepeda dengan kegiatan kebersihan.
Hobi Khusus sepeda kuno, para penggemarnya disebut “onthelis” berhimpun dalam berbagai organisasi. Induknya, Kosti (Komunitas Sepeda Tua Indonesia). Di kalangan para onthelis, sepeda tidak lagi sekedar alat transportasi, melainkan juga menjadi penyalur hobi, seni dan ada “ adu gengsi” di dalamnya. Alat transportasi modern berawal dari ditemukannya roda, setelah sebelumnya manusia menggunakan binatang sebagai kendaraan. Khusus sepeda, sejarah mencatat embrionya adalah sepeda kayu yang dibuat tahun 1791 seperti ditulis Hermanu dalam “Pit Onthel”. Sedang sepeda itu sendiri, untuk pertama kali dibuat di Perancis (1817) oleh Baron Von Drais de Sauerbrun. Sepeda tanpa pedal ini disebutnya “Hobby Horse”, yang dengan cepat menjalar ke Jerman, Inggris, kemudian ke Amerika. Tahun 1839 lahir sepeda yang memakai pedal ciptaan Kirkpatrick Macmillan, seorang pandai besi Skotlandia. Bentuknya seperti sepeda para pemain akrobat di sirkus, yaitu roda depan besar, sedang roda belakang kecil. Sesudah itu, sepeda mengalami perbaikan bentuk. Roda mulai memakai jeruji dari kawat besi dengan “ban mati”, yang kemudian berubah menjadi ban yang dipompa. Generasi berikutnya, ada rantai pada sepeda, dan menyusul kemudian dilengkapi dengan lampu. Awalnya lampu menggunakan lilin, kemudian minyak tanah, dan terakhir memakai dinamo dan berko. Pada perkembangan berikutnya dikenal persnelling yang dipergunakan untuk mengubah putaran roda sesuai dengan keinginan pengendaranya. Orang Inggris menamakan kendaraan tersebut “bicycle”, sedang orang Belanda menyebut “fiets” yang di lidah orang Jawa berubah menjadi “pit”. Entah bagaimana perubahannya, kata itu dalam bahasa Indonesia menjadi sepeda, yang disebut “sepeda angin” untuk membedakan dari sepeda motor. Di Jawa disebut sepeda onthel, dan di Madura “sapeda engkol”. Sepeda menjadi alat transportasi di Indonesia baru pada tahun 1910. Di Eropa kemudian berkembang industri sepeda. Tercatat beberapa merek terkenal, antara lain Gazelle, Simplex, Fongers, Batavus, Union, Hercules, Phillips, Humber, Sun Beam dan lain lain. Belakangan muncul Phoenics produksi Cina, dan Simano buatan Jepang. Di kalangan para
onthelis, baik di Pamekasan maupun di Jawa, merek yang dianggap bergengsi adalah Gazelle. Sepeda merek ini diproduksi di Dieren, negara Belanda, oleh ”N.V. Gazelle Rijwielfabriek v/h Arentzen en Kolling”. Di Pamekasan, penggemar sepeda kuno mendirikan “Kompolan Sapeda Kona” disingkat LaSena yang diberi nama Panglepor Ate. Resminya, LaSena lahir pada tanggal 8 Nopember 2008 oleh 21 orang “para pendiri” dan diperkenalkan kepada masyarakat pada tanggal 26 Juli 2009. Acara peluncuran menjadi heboh karena diikuti 1.167 onthelis dari berbagai pelosok nusantara. Onthelis seluruh Madura hadir. Sedang dari Jawa hadir klubklub mulai dari Banyuwangi sampai ke Bekasi. Bahkan ada maniak onthel yang datang dari Makassar. Peluncuran La Sena dilakukan Bupati Pamekasan didampingi unsur Muspida, disemarakkan kirab akbar para maniak sepeda kuno. Kirab didahului penampilan “tari sepeda” karya koreografer muda berbakat Pamekasan. Regu pendahulu adalah anggota La Sena putra, putri, regu para camat, dan disambung para lurah dengan “sepeda batik”nya. Baru kemudian berurutan para peserta dari daerah lain baik beregu maupun perorangan, yang penampilannya dinilai. Mereka menggunakan kostum beraneka rupa yang unik dan menarik, waktu itu. Ada sepeda ukuran tinggi yang sulit dicari, ada sepeda tanpa rantai karena menggunakan gardan, dan ada sepeda yang menggunakan ban mati. Hal unik lainnya, adalah sepeda terbuat dari kayu, lampu sepeda minyak tanah, bel sepeda yang bunyinya mulai dari berdering sampai seperti klakson mobil dan banyak macam lainnya. Saat itu, di arena juga digelar pasar ”klitikan”, bursa peralatan sepeda dan assesoris yang bermacammacam. Benar-benar tontonan yang mengasyikkan. Yang mengagetkan, peserta dari Bandung yang melakukan napak tilas “de grote postweg”nya Daendels. Mereka bersepeda mulai dari Anyer menuju Pamekasan. Hanya karena faktor waktu, mereka dicegat di Lamongan dan dipaksa naik pick up. Sedang peserta dari Makassar mengendarai sepedanya mulai dari Surabaya sampai ke Pamekasan. Luar biasa, asyik, menyenangkan dan tidak melupakan yang pernah istimewa di jamannya, sepeda. (abe)
Sekelumit Riwayat
Engkol
Sejarah sepeda bermula di Eropa. Sekitar 1790, sepeda pertama dibuat di Inggris. Cikal bakal sepeda ini dinamai Hobby Horses dan Celeriferes. Penemuan fenomenal sepeda tercipta berkat Baron Karl Von Drais. Von Drais, mahasiswa matematik dan mekanik di Heidelberg, Jerman. Oleh Von Drais, Hobby Horse sepeda dimodifikasi hingga bermekanisme kemudi pada bagian roda depan dan digerakkan dari kedua kaki. Von Drais mampu meluncur lebih cepat saat berkeliling kebun. Ia sendiri menyebut kendaraan ini dengan nama, Draisienne. Proses selanjutnya dilakukan Kirkpatrick Macmillan. Pada 1839, ia menambahkan batang penggerak yang menghubungkan antara roda belakang dengan ban depan Draisienne. Untuk menjalankannya, tinggal mengayuh pedal. Sedang James Starley mulai membangun sepeda di Inggris di tahun 1870. Ia memproduksi sepeda dengan roda depan yang sangat besar (high wheel bicycle) dan roda belakang sangat kecil. Sampai akhirnya, keponakan James Starley, John Kemp Starley menemukan solusinya. Ia menciptakan sepeda yang lebih aman pada 1886. Sepeda ini punya rantai untuk menggerakkan roda belakang dan ukuran kedua rodanya sama. Penemuan tak kalah penting dialami John Boyd Dunlop pada 1888. Dunlop berhasil menemukan teknologi ban sepeda yang bisa diisi dengan angin (pneumatic tire). Dari sinilah, awal kemajuan sepeda yang pesat. Di Indonesia, perkembangan sepeda dipengaruhi kaum penjajah Belanda. Mereka memboyong sepeda produksi negerinya untuk dipakai berkeliling menikmati segarnya alam Indonesia. Kebiasaan itu menular pada kaum pribumi berdarah biru. Akhirnya, sepeda jadi alat transportasi yang bergengsi. Pada masa berikutnya, saat peran sepeda makin terdesak teknologi kendaraan bermesin (mobil dan motor), sebagian orang mulai tertarik untuk melestarikan sejarah lewat koleksi sepeda antik. Sepeda lawas keluaran Eropa antara 1940 sampai 1950-an, dikoleksi dengan baik. Di masyarakat kita, sepeda lawas itu dikenal dengan beberapa sebutan, seperti ontel, jengki, kumbang dan sundung. Kalau jengki itu kan asalnya dari kata jingke (bahasa Betawi, artinya berjinjit), jadi waktu naiknya kita harus berjingke saking tingginya. Sedangkan di Madura, sepeda engkol karena cara kerjanya dikayuh, diengkol. (*)
SULUH MHSA | Edisi VI|Nopember 2011
41
Oase
HARGA DIRI Oleh : Abrari Alzael Siapakah yang tidak pernah berbohong? Bila hendak menjawab, simpan saja. Kejujuran tak harus diberi nama. Tetapi mengatakan tak pernah berdusta, inilah kesesatan yang nyata.
hitam untuk membenarkan tindakan-tindakannya. Sebab bukan rahasia lagi bila musuh-musuh Amerika sebenarnya tak ada keculi musuh yang diciptakan sendiri untuk memperkuat hegemoninya di dunia.
Hampir setiap orangtua nyaris berbalas dendam terhadap anak-anaknya saat ini dengan kebohongan, sekecil apapun. Ketika anak merengek untuk dibelikan makanan seperti otak-otak, orangtua melarangnya dengan satu alasan. Anakanak belum boleh mengonsumsi otak-otak dengan satu alasan, cepat tua. Dalam bahasa orangtua, anak yang terbiasa makan otak-otak akan mengalami penuaan usia dini. Padahal, dilarangnya anak-anak karena orangtua khawatir tidak kebagian saja.
Banyak orang bermimpi terorisme di Indoneisa sebenarnya tidak ada. Terorisme dalam mimpi warga republik ini hanya sebentuk organisasi yang sengaja diciptakan ketika negara terancam bahaya karena penguasanya tidak bajik. Mimpin ini semakin meyakinkan karena setiap terorisme muncul negara dalam keadaan tersudut yang menyebabkan perhatian publik menjauh dari substansi persoalan negeri. Masalah bangsa dalam mimpi, sebenarnya bukan terorisme karena inti dari persoalan bangsa hanya dua, kemiskinan dan rapuhnya penegakan hukum.
Kisah anak-anak yang terjebak kebohongan publik di masa kecilnya ini menarik dipelajari. Saat anak ini besar, orang-orang yang lebih tua kembali membuat diktum pelarangan yang tidak tertulis dalam panggung politik. Seolaholah, politik hanya menjadi urusan orangtua dan harus jauh dari jangkauan orang-orang yang belum tua. Itulah sebabnya Indoneisa era lalu beranjak dari Soeharto berganti ke Soeharto dan berhenti di Soeharto. Sampai akhirnya, anak-anak mengerti bahwa orangtua harus dididik menjadi dewasa dan reformasi menjadi harga mati, waktu itu. Penulis buku Set free to live free: breaking through 7 lies women tell themselves, MD Saundra Dalton-Smith mendiagnosa bahwa berdusta awalnya mampu membantu melepaskan hormon stres. Tetapi, seiring berjalannya waktu dan ketika dusta sudah menjadi kebiasaan, akan timbul resiko jantung koroner, stroker, kanker, diabetes dan gagal jantung. Sebab berdusta, ternyata meningkatkan tekanan darah. Ini bisa dibuktikan dengan alat polygram yang biasa dikenal sebagai lie detector. Mesin ini bisa mengetahui kebohongan dengan mendeteksi peningkatan tekanan darah. Orang yang berdusta dan menyimpan rahasia kebohongan, pada saatnya nanti akan menuai apa yang telah dikerjakannya. Tekanan darah terus menerus meningkat dan menyebabkan berbagai penyakit tersebut diatas. Solusi dari semua penyakit itu ternyata hanya satu hal, kata hati. Kejujuran ternyata menjadi obat ampuh untuk menjaga kesehatan. Sedang dusta, bukan hanya menyakiti perasaan orang lain tapi juga menyiksa diri sendiri. Adakah sebagian pemimpin kita yang meninggal dunia karena penyakit yang telah disebutkan? Saat WTC Amerika diledakkan melalui pesawat yang menghantam bagian gedung, mantan presiden Kuba, Fidel Castro, menilai Amerika membuat legitimasi kebohongannya dengan dusta baru. Teroris sejatinya adalah Amerika dengan menciptakan al Qaida untuk mewujudkan agendaagendanya. Saat Bush berkuasa, Castro menilainya memanfaatkan keberadaan al Qaida sebagai kambing kambing
42
SULUH MHSA | Edisi VI|Nopember 2011
Masalah lainnya republik ini, karena memiliki ketergantungan yang luar biasa yang dikukuhkan hibah dua skuadron pesawat tempur F-16 yang diterima Kementerian Pertahanan akan membuat Indonesia semakin tergantung kepada Amerika Serikat. Ketergantungan ini juga dikhawatirkan memicu terjadinya terorisme jadi-jadian yang sengaja diciptakan Amerika untuk melegitimasi tindakannya untuk mengukuhkan hegemoni. Siapapun yang menjadi pemimpin, hari ini atau nanti, pantaslah berguru kepada Bung Karno yang membuat presiden Amerika saat itu D. Dwight Eisenhower termehek-mehek. Ketika itu, negara digdaya itu dibikin malu Indonesia pada saat Allen Pope ditembak jatuh di pulau Morotai. Lebih malu lagi, karena dengan tertangkapnya pilot itu, kedok AS dan CIA akhirnya terbuka. Kedok yang membuktikan AS melalui CIA sudah main api di balik pemberontakan separatisme di Indonesia. Termasuk juga infiltrasi AS yang mempersenjatai para pemberontak. Ini yang bikin Bung Karno geram, dan mulai memainkan kartu trufnya. Bung Karno yang semula dikerjai Amerika, sekarang balas mengerjai Amerika. Bung Karno sadar, tertangkapnya Allen Pope mendongkrak posisi tawar Indonesia di hadapan Amerika. Cerita selanjutnya adalah bagaimana D. Dwight Eisenhower dan John F. Kennedy jadi repot dibuatnya. Inilah moment bersejarah ketika Indonesia yang miskin untuk pertama kalinya punya posisi tawar tinggi di hadapan “juragan kaya”, Amerika. Bung Karno tidak cuma menuntut Amerika mesti minta maaf. Tapi masih ada sederet permintaan lain yang bikin Amerika “maju kena mundur kena”. Eisenhower minta Indonesia melepaskan pilot Allen Pope. Tapi Bung Karno tidak mau melepas begitu saja dengan gratis. Inilah kisah bagaimana Bung Karno dengan amarah “memiting leher Allen Pope” sambil telunjuknya memberi isyarat agar Amerika mau bersimpuh di kaki Bung Karno. Kini, Indonesia tanpa Bung Karno dan hanya bersijingkat pada kaki Jenderal Susi. (*)
SULUH MHSA | Edisi VI|Nopember 2011
43
44
SULUH MHSA | Edisi VI|Nopember 2011