Suluh 9

Page 1

SULUH MHSA | Edisi IX|Pebruari 2012

1


2

SULUH MHSA | Edisi IX|Pebruari 2012


Sapatorial

The Sentralisasi K

etika jurnalisme dibungkam, sastra harus bicara. Begitulah Seno Gumira Adjidarma memberikan perlawanan terhadap rezim yang antireformasi-informasi di era 1990an. Saat ini, ketika nasionalisme dan integrasi tak bisa (baca sulit) diwujudkan, siapa yang harus bicara. Itulah kira-kira antara lain makna yang seharusnya bisa dipetik saat berlangsung seminar kebangsaan beberapa waktu lalu di pendopo Agung Sumenep. Tapi sayang, seminar yang dihadiri tokoh nasional, regional, dan lokal tersebut kurang fokus. Padahal, makna penting seminar kebangsaan itu sesungguhnya migas. Seolah-olah, bersama-sama mengadaptasi Seno Gumira Adjidarma dengan mengatakan, “Ketika integrasi terancam, migas harus bersuara�. Namun nyatanya, soal migas ini justru yang menjadi salah satu pemicu kerenggangan antara pusat dan daerah. Ini sebentuk disintegrasi kecil yang sengaja diciptakan. Sehingga, daerah mengerang dan pusat melenggang karena merasa telah berhasil menggerus kekayaan daerah atasnama undang-undang. Indonesia memang hebat dan tidak sepenuhnya membuat penduduknya sehat. Sesuai data, Indonesia merupakan negara yang memiliki keanekaragaman dan terdiri lebih dari 17.000 pulau (dimana 6.000 di antaranya tidak berpenghuni). Lebih dari 300 suku yang menggunakan lebih kurang 250 bahasa yang berbeda. Pulau Jawa, merupakan salah satu daratan berpenduduk terpadat di dunia. Sedangkan Papua merupakan pulau berpenduduk terjarang di dunia. Sebagian pulau di republik ini meng-

hasilkan migas. Ia menguntungkan dan juga merugikan. Menguntungkan karena kekayaan alam menyemburkan hasil bumi. Merugikan lantaran pada sebagian warga di daerah eksplorasi migas maupun tambang, justru tidak sepenuhnya menerima bagian dari keuntungan itu. Sekali lagi, untuk dan atasnama undangundang, penambang memang tidak memberikannya. Ada apa dengan undang-undang, jelas-jelas ini menantang. Ada beberapa tantangan tantangan yang dihadapi daerah atas kesenjangan faktual yang masih menjadi penghalang perkembangan daerah. Antara lain, kesenjangan fiskal. Yakni terserapnya potensi daerah ke pemerintah pusat tetapi daerah hanya mendapatkan sebagian kecil serupa sumber pendapatan seperti pajak potensial, cukai, hasil alam migas dan pertambangan. Semua itu diserap pemerintah pusat dan hanya sebagian kecil dikembalikan ke daerah dalam bentuk dana perimbangan. Contoh kesenjangan fiskal ini seperti Kediri, Nganjuk dan Jombang dimana target cukai tahun ini sebesar Rp 15 triliun. Berdasarkan UU No.39 tahun 2007 tentang cukai, maka provinsi penghasil cukai tembakau mendapatkan 2%. Selanjutnya, realisasi dana tersebut dibagikan kepada propinsi itu sendiri sebesar 30%, kota/kabupaten penghasil sebesar 40%, dan sisanya sebanyak 30% dibagikan kepada kota/ kabupaten lainnya yang masih satu provinsi. Kedua, kesenjangan monoter. Yakni terserapnya dana masyarakat melalui perbankan di daerah. Namun, hanya sedikit dana tabungan masyarakat di daerah disalurkan kembali dalam

bentukkredit bagi masyarakat setempat. Kondisi tersebut tercermin dari data pokok bank yang berkantor pusat di Jatim. Ketiga, kesenjangan konsumerisme; yaitu tersingkirnya pelaku usaha daerah dan pasar tradisional akibat terserapnya perekonomian daerah melalui budaya belanja masyarakat kepada pasar modern. Melalui jaringan perdagangan ini, uang masyarakat di daerah terserap ke dalam sistem produksi nasional yang mengakibatkan sistem produksi lokal tidak berkembang.. Kesenjangan kewenangan; yaitu tereduksinya kewenangan pemerintah daerah oleh regulasi perundangan lain. Sehingga, otonomi yang didengungkan sejak 1999 tidak lebih dari sumbolisme kebijakan karena pada kenyataannya bukan desentralisasi melainkan the sentralisasi. Kemajuan daerah dapat diukur dari parameter kehidupan ekonomi, layanan publik dan performa politik. Namun untuk mencapai suatu kemajuan daerah diperlukan suatu inovasi. Sebagaimana jamak diketahui, inovasi terbesar bangsa ini justru terletak pada coba-coba. Awalnya, negeri ini memberlakukan sentralisasi, semua diatur pusat. Saat sentralisasi dianggap tiran dan fasis, republik ini melakukan migrasi menjadi desentralisasi. Ketika desentralisasi dianggap melahirkan raja-raja kecil di daerah, pusat menarik dukungan dan malu-malu kembali melakukan sentralisasi. Dalam konteks ini, pemerintah seperti meraih ucapannya sendiri yang semula dialamatkan kepada kelompok lain yang tidak jelas sebagai OTB, organisasi tanpa bentuk. Kini OTB itu justru menjelma serupa wajah massif ; Indonesia. (**)

SULUH MHSA | Edisi IX|Pebruari 2012

3


daftar isi

Suluh Utama Banyak sekali minyak dan gas di Kabupaten Sumenep yang dikuras dan dikirim keberbagai perusahaan di dalam maupun luar negeri. Namun Sumenep sendiri ternyata hampir bisa dikatakan tidak mendapatkan apa-apa dari kekayaan alamnya tersebut.

Foto: Saiful Bahri/SM

Fokus Lensa Kerapan tanpa kekerasan Akhirnya, Kerapan sapi yang selama ini identik dengan kekerasan dan penyiksaan terahadap sapi, bisa dilaksanakan dengan lebih “beradab”. Adalah MUI yang mula-mula menyuarakan untuk menggelar Kerapan tanpa penyiksaan terhadap sapi. Dan itu terwujud pada tanggal 12 Peberauri 2012 Lalu. Tetap asyik ditonton dan justeru lebih eksotis.

Suara Pembaca

5

Suluh utama

6

Suluh Khusus

10

Opini

12

Politika

16

Fokus Lensa

20

Eksotika

22

Generasi Bangsa

26

Akademia

32

Olahraga

34

Kriminal

36

Hoby

38

Obituari

41

Oase

42

Redaksi SULUH MHSA

Majalah Bulanan Suluh MHSA diterbitkan SAI (Said Abdullah Institute) Pembina: MH Said Abdullah, Januar Herwanto, Moh Rasul Junaidy. Pemimpin Umum/Redaksi: Abrari Alzael. Sekretaris Redaksi: Zeinul Ubbadi. Lay Outer: Ahmed David. Reporter: Busri Thaha, Veros Afif Fotografer: Saiful Bahri. Biro Sampang: Mamak. Biro Pamekasan: Syah Manaf. Biro Sumenep: Fauzi. Biro Bangkalan : Safi’. Biro Jakarta: Alwi Assegaf Koresponden: Rozaki (Jogja), AE: Badrul Ahmadi, Pemasaran: A. Rusdi Gogo. Alamat Redaksi : Jalan Adirasa 5-7 Sumenep 69417 tel. 0328-674374 faks. 0328-661719. email : suluh_mhsa@yahoo.com. web : www.suluhmhsa.com. designed by ahmed david

4

SULUH MHSA | Edisi IX|Pebruari 2012


suara pembaca ALUN-ALUN YANG BETUL-BETUL ALUN-ALUN

E-KTP, HARUS DISOSIALISASIKAN SEGERA

Ada empat kabupaten di pulau Madura. Semuanya memiliki alun-alun yang cukup luas. Namun sayang area publik ini belum benar-benar bisa dinikmati sebagai ruang publik yang benar-benar nyaman disinggahi oleh masyarakat banyak. Beberapa diantaranya hanya sekedar dibangun diberik bunga dan pohon agar telihat cantik.

Denger-dengar nih, ktp konvensional kita sudah tidak akan berlaku lagi sejak tahun 2013 depan. Yang dinyatakan sah sebagai kartu tanda penduduk (KTP) hanyalah E-KTP yang sedang diproyeksikan pemerintah akhir-akhir ini.

Cantik, hijau dan sejuk tentu memang penting. Namun ruang publik tidak hanya harus cantik dan sejuk. Ia juga harus berfungsi maksimal sebagai sarana rekreatif. Di salah salah satu alun-alun yang ada di madura memang terlihat upaya ke arah seperti itu, namun rupanya belum dilakukan secara sungguhsungguh dan maksimal.

Sayangnya, hingga saat ini saya belum melihat pemerintah di kabupaten sumenep melakukan sosialisasi yang intensif terhadap masyarkat. Sehingga warga masyarakat yang ada di pedesaan dan pinggiran tidak tahu bagaimana cara mendapatkan E-KTP. Bahkan untuk KTP konvensional pun Mereka tidak begitu tahu.

Saya baru menyadari hal ini setelah berkunjung ke salah satu alun-alun kota di jawa timur bagian selatan. Di alun-alun ini saya tiba-tiba tidak hanya meras sejuk dan asri, namun juga melihat banyak bagian bagian yang kaya fungsi. Misalnya, sebagian jalan-jalan kecil yang melintas di tengah alun-alun dipasang batu-batu kecil yang bisa dimanfaatkan warga untuk sarana pijat refleksi dengan melepas sandal. Selain itu saya juga melihat satu bagian dari alun-alun ini dipasang sarana olah raga out bond layaknya di tempat-tempat rekreasi anak. Ada jembatan teridiri dari tiga utas tali dan di bawahnya diciptakan lautan pasir agar anakanak yang jatuh tidak kesakitan. Dan masih banyak lagi sarana-sarana rekreatif yang membuat alun-alun ini serasa benar-benar menjadi ruang publik yang sesungguhnya. Uniknya lagi, di alun-alun ini saya menjumpai sekitar seribu burung dara yang sengaja dilepaskan di alun-alun. Para pengunjung bisa asyik bercengkrama dengan burung-burung ini sembari memberinya makan dengan jagung atau makanan lain yang tidak berbahaya. Dan ya.. di bagian lain tapatnya di samping keraton sebelah alun-alun disulap menjadi semacam kebun binatang mini. Ada buruk merak, unta bahkan kolam-kolam ikan yang cantik juga diciptakan di situ. Semuanya terawat dengan baik dan bersih. Saat saya mengingat alun-alun di Madura ...... Saya pikir pasti bisa menjadi alunalun yang lebih baik dari yang saya jumpai itu. Tapi entah kapan? WAQI’ SANINGRUM Aktifis IPPNU Sumenep

SERUAN HATI NURANI Sayamerindukan sebuah bidikan mendalam di Suluh, yakni sebuah bidikan yang menyangkut persoalan lokal yang ada kaitannya dengan kebutuhan masyarakat banyak. Contohnya untuk sumenep, kebutuhan warga kepulauan tentang transportasi misalnya. Ternyata hingga saat ini upaya pemerintah sumenep terkesan setengah hati memperjuangkan masyarakat kepulauan, buktinya untuk APBD 2012 tidak mengkaver pembelian kapal yang sangat dibutuhkan warga kepulauan. Kepulauan merupakan penyumbang pendapatan daerah terbesar. Buktinya dari sektor Migas saja untuk tahun 2011 Dana Bagi Hasil Migas (DBH) sumenep mendapatkan 180 milyar yang dicairkan pertiga bulan. Jadi logikanya, untuk membeli kapal sebenarnya bisa diambil dari DBH migas tersebut. Bayangkan, jika harga kapal 25 milyar hingga 30 milyar, ada berapa kapal yang bisa di miliki pemkab sumenep. Jadi harapan saya selaku pembaca yang setia Suluh MHSA,kedepan bagaimana fokus bidikannya kepada persoalan yang memang mendesak untuk segera diselesaikan. Sehingga nantinya majalah ini menjadi pioner media perubahan yang menjadi acuan semua kalangan... AHMAD SAE Warga Pasongsongan Sumenep

Saat membutuhkan KTP mereka hanya bisa datang ke kantor desa dan minta tolong perangkat desa untuk menguruskannya. Akibatnya terjadilah banyak hal yang tidak diinginkan, yakni pungutan liar yang tidak seharusnya dilakukan oleh perangkat desa. Mereka memasang tarif kepada warga jauh di atas harga yang sesungguhnya (Rp 6000). Alasannya, ongkos bensin, rokok dan makan saat menguruskan berkasberkas warga ke kecamatan dan ke dispenduk capil di kabupaten. Tak hanya itu, biasanya juga ada uang tambahan sebagai salam tempel buat petugas yang melayani pembuatan KTP dimaksud. Sebab konon katanya, tanpa salam tempel, proses pembuatan KTP menjadi sangat lama. Saya tidak bisa membayangkan ketika nanti masyarakat harus memiliki E-KTP. Prosesnya kan tentu lebih rumit dari pada pembuatan KTP konvensional. Pasti mereka akan makin kebingungan. Karenanya saya pikir pemerintah harus melakukan sosialisasi yang betul-betul serius. Sehingga masyarakat semuanya tahu bagaimana proses dan kewajiban serta uang yang harus mereka bayar untuk mendapatkan KTP. Lucunya, di beberapa daerah di Madura terdengar kabar, pendataan penduduk terkait pembuatan E-KTP ini sempat macet kerena petugasnya belum faham betul mengoprasikan alat yang akan digunakan. Nah lho... jika petugasnya saja sudah bingung, apalagi masyarakat awam... FATHORRAHMAN Aktifis Pemuda Batuputih Sumenep

dari redaksi Terkait alun-alun dan KTP, pemerintah daearah di Madura memang perlu memikirkannya secara serius. Terutama KTP, sebab KTP adalah kebutuhan primer kita sebagai warga negara. Sebab tanpa KTP sama halnya kita warga Ilegal. Sementara alun-alun seharusnya memang sudah direnofasi. Tidak hanya semata-mata fisiknya, tapi juga fungsinya. Dinas terkait harus kreatif dan tidak hanya memikirkan yang sudah ada. Wallahu A’lam....

SULUH MHSA | Edisi IX|Pebruari 2012

5


SULUH UTAMA t Bagi Hasil Migas

Daerah Dipasung atas nama Undang-Undang

T

idak Sedikit undang- undang (UU) yang dinilai merugikan daerah. Salah satunya, UU No 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Masyarakat daerah yang merasa dirugikan akhirnya mengajukan judicial review (uji materi).

6

Di antara isi UU yang merugikan daerah antara lain berlakunya Pasal 14 huruf e dan f pada frasa ’’84,5 persen untuk pemerintah dan 15,5 persen untuk daerah’’ dan frasa ’’69,5 persen untuk pemerintah dan 30,5 persen untuk daerah’’. Persentase dana bagi hasil minyak bumi dan gas bumi yang diatur

SULUH MHSA | Edisi IX|Pebruari 2012

dalam UU Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah itu telah merugikan hak konstitusional. Pasal 14 huruf e menyebutkan, penerimaan pertambangan minyak bumi yang dihasilkan daerah setelah dikurangi komponen pajak dan pungutan lainnya dibagi dengan imbangan 84,5 persen untuk pemerintah dan 15,5 persen untuk daerah. Sementara, Pasal 14 huruf f menyebutkan penerimaan pertambangan gas bumi yang dihasilkan daerah setelah dikurangi komponen pajak dan pungutan lainnya dibagi dengan imbangan 69,5 persen untuk pemerintah dan 30,5 persen untuk daerah.


merugikan daerah. Akibatnya, banyak terjadi tumpang tindih kebijakan antara pemerintah pusat dan daerah. Sistem hukum nasional yang tidak bersemangat otonomi daerah tersebut terbentuk oleh konstruksi otonomi daerah yang tidak sanggup mengikuti perkembangan setiap daerah. Untuk mengarahkan konsepsi pembangunan sistem hukum nasional agar memihak daerah, butuh riset materi ayat, pasal atau bagian undang-undang yang merugikan daerah. Dari sekian yang diteliti, baru didapat 64 undang-undang yang merugikan daerah. Materi ayat, pasal, dan bagian UU yang merugikan daerah itu antara lain menyangkut legalitas hukum, pengelolaan sumberdaya alam, dan pembagian batas wilayah. Selain itu, penetapan jatah daerah penghasil sebesar 15,5 persen untuk minyak dan 30,5 persen untuk gas tidak memiliki dasar hukum yang jelas. Pasal 14 huruf e dan huruf f Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah harus dikoreksi karena tidak mencerminkan azas keadilan dan kepatutan, terutama bagi daerah penghasil migas.

Foto: istimewa

Persentase penerimaan pertambangan minyak bumi yang dihasilkan dengan imbangan 84,5 persen untuk pemerintah dan 15,5 persen untuk daerah dan persentase penerimaan pertambangan gas bumi yang dihasilkan dengan imbangan 69,5 persen untuk pemerintah dan 30,5 persen untuk daerah dinilai tidak adil dan tidak memberikan kepastian hukum serta bersifat diskriminatif. Itu sebabnya banyak daerah yang menggugat atas dugaan ketidakadilan ini. Diperkirakan, versi Dewan Perwakilan Daerah (DPD), terdapat 64 undang undang (UU) yang dinilai

Penetapan angka 15,5 persen untuk minyak itu layaknya mengganggap daerah penghasil sama dengan kontraktor yakni perusahaan yang menjalankan usaha mengeluarkan minyak dan gas tersebut dari “perut” bumi. Padahal, kontraktor migas juga menerima “cost recovery” atau pergantian biaya dari aktivitas eksplorasi dan eksploitasi atau pengangkatan minyak dan gas yang dilakukannya di luar jatah 15 persen yang jadi haknya. Sementara daerah yang menerima resiko dari pertambangan migas tersebut harus puas dengan jatah 15,5 persen untuk minyak dan 30,5 persen. Jelas, Angka ini yang terlalu kecil dan tidak adil. Di daerah, alanjutnya, angka 15,5 persen untuk minyak dan 30,5 persen untuk gas itu masih harus dibagi-bagi. Angka 0,5 persen dijatah untuk anggaran pendidikan dasar, lalu 3 persen untuk provinsi, 6 persen untuk kabupaten/kota penghasil, dan 6 persen lainnya untuk kabupaten/kota lain di provinsi tersebut. Jatah yang 0,5 persen itu pun masih

ada rinciannya, yaitu 0,1 persen untuk provinsi, dan 0,2 persen untuk kabupaten/kota penghasil, dan 0,2 persen lagi untuk kabupaten/kota lain di provinsi penghasil tersebut. Ini sebabnya, Undang-Undang tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah memberikan “lorong gelap” yang merugikan daerah penghasil minyak dan gas bumi (migas). Kerugian itu disebabkan adanya frasa ‘pungutan lainnya’ dalam pasal itu sebelum dilakukan pembagian dengan daerah penghasil pertambangan migas. Frasa ‘pungutan lain’ dapat saja digunakan sebagai cara untuk mengurangi pembagian daerah yang telah diatur dengan angka atau persentase yang sangat kecil. Karenanya, banyak pihak yang meminta pemerintah agar memberlakukan ketentuan dana bagi hasil minyak bumi dan gas untuk daerah seperti diatur dalam UU No 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh dan atau UU No 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua yang memerintahkan presiden untuk menerbitkan Perpu. Itu juga yang dilakukan Sumenep. Tahun 2007 lalu, DPRD Sumenep melakukan judicial review terhadap peraturan pemerintah yang dinilai membonsai daerah dalam kasus migas. Mahkamah Agung memenangkan gugatan tersebut di mana daerah penghasil migas mendapat jatah 6,20 persen. Namun, sampai sekarang, tetap saja jatah untuk Sumenep tidak juga diberikan oleh pusat. Dalam pendidikan, tingkat pendidikan di Sumenep masih rendah yaitu 91 persen warga Sumenep masih lulusan sekolah dasar. Menurut dia, khusus di kepulauan akan diupayakan perusahaan migas yang beroperasi memberikan beasiswa kepada warga kepulauan. Sayangnya, BP Migas tidak bisa menganggarkan kegiatan itu sebab pemerintah melarang beasiswa masuk dalam dana bagi hasil migas. Belum bisanya warga pulau Pagerungan menikmati kekayaan alamnya, terkendala aturan yang dibuat pemerintah pusat soal dana bagi hasil migas. Misalnya dalam PP Nomor 20 tahun 2001 disebutkan bahwa daerah penghasil migas tidak mendapatkan bagian dari kekayaan alam yang dikeruk. (abe)

SULUH MHSA | Edisi IX|Pebruari 2012

7


SULUH UTAMA t Bagi Hasil Migas

Sayangi Negeri, Sayangnya Tak Berbagi Disintegrasi Daerah-Pusat Soal Migas?

B

eberapa waktu yang lalu, warga Pulau Gililabak, Desa Kombang, Kecamatan Talango, Kepulauan Poteran, Kabupaten Sumenep mendesak PT Santos (Madura Offshore) Pty Ltd agar wilayahnya dimasukkan dalam daerah dampak eksploitasi migas Blok Maleo. Pulau yang berpenghuni 44 KK tidak masuk peta terdampak eksloitasi migas Blok Maleo. Akibatnya, mereka tidak mendapatkan apapun dari eksploitasi migas ini kecuali “limbah”. Kasus ini hanya salah satu contoh dari efek domino atas terjadinya eksplorasi maupun eksploitasi migas di daerah yang dilakukan pusat atau setidaknya atas nama pusat. Fenomena seperti itu memberi kesan sebagai “mainan” antara pengusaha dan penguasa (pusat). Akibatnya, daerah tidak dominan dalam meraup keuntungan alam bahkan justru berada di garis bawah, tak terjamah. Blok Maleo hanya contoh kecil diband-

8

ing contoh eksploitasi lainnya seperti Freeport, Newmont, Exxon Mobile, dan Blok Cepu. Tetapi apakah harus seperti ini sampai akhir masa?

selingkuh” dengan penguasa dengan cara melupakan daerah. Dus, daerah mengerang, merasa hanya diekploitasi, dan meregang karena limbah.

Jauh sebelum rakyat menggugat, Pemkab Sumenep juga pernah memperkarakan undang-undang. Sebab, daerah penghasil migas tidak mendapatkan apa-apa karena hasilnya disetor ke pusat melalui provinsi. Pemerintah kabupaten Sumenep mengajukan yudicial review (2007) ke Mahkamah Agung karena aturan yang diberlakukan tersebut tidak fair, tidak adil, dan merugikan. Pada tahun 2010, pemkab Sumenep dinyatakan menang dan berhak mendapat keuntungan dari migas daerah yang ditambang pusat.

Sesuai jadwal, pada tahun 2012 Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas) menargetkan pasokan gas tersebut mencapai 300 MMscfd (million metric standard cubic feet per day) dari lapangan Terang Sirasun Batur (TSB) yang dioperasikan Kangean Energy Indonesia Ltd. Tahun ini saja, TSB berproduksi untuk kebutuhan Migas di Jawa Timur. Sebab, eksploitasi yang dilakukan Kangean Energy Indonesia Ltd di Pagerungan sudah hampir habis. Selain itu, PT Santos (Madura Offshore) sedang dalam proses pengeboran ladang baru di selat Madura untuk memenuhi harapan masyarakat Jawa Timur.

Tettapi, kemenangan ini yang sudah dua tahun berjalan tidak disertai dengan kemenangan secara material. Sumenep sebagai penghasil migas tetap menjadi bulan-bulanan pemerintah pusat yang diduga “ber-

SULUH MHSA | Edisi IX|Pebruari 2012

Soal penilaian disintegrasi pusatdaerah soal bagi hasil migas dan tambang inilah yang antara lain di-


seminarkan secara nasional di keraton Sumenep pertengahan Pebruari lalu (14/2). Seminar bertajuk Satu bangsa, satu perdamaian, dan satu kesejahteraan ini menghadirkan agamawan KH Sholahuddin Wahid, Dr Gde Pradnyana (Kepala Divisi Humas, Sekuriti dan Formalitas BP Migas), jurnalis Sunu Diyantoro (Editor Bidang Politik Majalah Tempo), Teguh Santoso (Pimred Rakyat Merdeka Online), A Busyro Karim, AKBP Dirin dan moderator Tri Agung Kristanto (Redaktur Politik dan Hukum Harian Kompas). Peserta seminar, perwakilan tokoh se Madura. Busyro yang tak lain juga bupati mengatakan, Sumenep menjadi salah satu catatan sejarah atas terbentuknya Indonesia. Sebab, bupati pertama Sumenep, Adipati Arya Wiraraja, sudah bekerja sama erat dengan pendiri Kerajaan Majapahit, Raden Wijaya. Saat ini, Sumenep memiliki 27 kecamatan. Sembilan kecamatan diantaranya berada di kepulauan dan memiliki potensi 6 triliun kaki kubik gas. “Potensi ini setidaknya cukup untuk 30 tahun ke depan.” Sholahudin Wahid atau yang akrab disapa Gus Sholah menilai disintegrasi dalam masalah apapun bermula dari tidak tegaknya hukum. Hukum menurut dia hanya diberlakukan kepada orang-orang kecil. Sedangkan bagi orang-orang besar dengan pelanggaran yang tidak kalah besar, hukum tidak bisa berdiri dengan gagah. Karena itu, sepanjang hukum muncul dengan aura seperti itu, Gus Sholah tidak yakin Indonesia akan maju. “Kuncinya ya di situ, hukum,” katanya. Selain itu adik kandung Gus Dur ini mengungkapkan bahwa Indonesia sangatlah kaya dengan potensi alam. Namun nyatanya, negeri ini selalu saja melarat tak berkesudahan. Karenanya ia berkesimpulan bahwa memang ada yang salah dengan cara elit-elit bangsa dalam mengalola Indonesia. “Kita katanya kaya minyak, tapi masyarakat miskin bertebaran di mana-mana. Kita katanya negeri agraris, tapi beras masih ngimpor tiap hari” Ungkap Gus Solah dengan kesal. (abe)

Bupati Sumenep, A. Busyro Karim bersama Gus Solah setelah Seminar Kebangsaan.

BP Migas Normatif BP Migas yang diwakili Gde Pradnyana (Kepala Divisi Humas, Sekuriti dan Formalitas BP Migas) tidak memberikan kebijakan karena posisinya bukan sebagai pengambil kebijakan. Dia hanya bersikap normatif dan dijanjikan untuk disampaikan kepada pimpinannya yang berkedudukan lebih tinggi. Sebagai bentuk kepedulian sesaatnya, BP Migas memberikan dana Corporate Social Responsibility (CSR) bagi pondok pesantren di Sumenep serupa mushaf al qur’an dan mukena senilai Rp 25 juta. Secara simbolis bantuan itu diberikan di pondok pesantren AlKarimiyah, Braji, Sumenep di sela-sela pengajian dan tausiyah bersama KH Sholahudin Wahid Senin (13/2) malam. Sepintas, bantuan senilai Rp. 25 juta itu banyak. Tetapi dibanding Sumenep yang memiliki potensi minyak bumi dan gas kurang lebih 6 trilyun kaki kubik gas (TCF) berdasarkan laporan Direktorat Jenderal Minyak dan Gas dan cukup untuk 30 tahun ke depan, bantuan tersebut sepertinya terlihat lebih kecil. Sampai saat ini, 10 Kontraktor Kerja Sama (KKS) yang mengerjakan 10 blok/wilayah kerja pertambangan migas dan 2 diantaranya telah berproduksi (Pagerungan dan Giligenting) Sementara, nara sumber lain yang bergelut dengan dunia pers yakni Sunu Diantoro (Editor Bidang Politik, Tempo), dan Teguh Santoso (Pimred Rakyat Merdeka Online ) memandang media perlu mengambil bagian yang seluas-luasnya dalam membangun NKRI lebih baik. Terutama, media dapat menyaydi penyampai informasi atas terjadinya disintegrasi pembagian hasil kekayaan daerah. Bahkan, media harus mengampil posisi yang tidak hanya sekedar mengejar berita konflik dan dijadikan headline. Tetapi lebih dari itu, media dapat berperan serta mencari akar persoalan bangsa yang dihadapi saat ini dan memberikan solusi cerdas. Posisi media dalam menjaga kesatuan, perdamaian dan kesejehteraan bangsa ini mempunyai peran penting. Media harus mengambil bagian menjadi pemadam kebakaran dari semua konflik yang selama ini selalu menjadi persoalan besar di tengah kehidupan masyarakat maupun pemerintahan. Memilah dan memilih berita dan tetap independan serta seimbang, merupakan kewajiban insan pers. Bila kembali pada etika dan kode etik jurnalistik, maka sungguh terhormat kehadiran media massa ditengah kehidupan berbangsa dan bernegara. “Peran media yang sedemikian berada di tengah itu kadang-kadang masih menjadi sosok yang tertuduh,” kata Sunu, dari majalah Tempo. Dalam dialog kebangsaan yang menghadirkan banyak pihak baik berskala nasional maupun lokal ini, banyak pihak yang menyoroti soal penambangan. Warga masih trauma dengan sejumlah titik tambang di negeri ini yang tidak menguntungkan penduduk lokal bahkan dalam situasi darurat tertentu justru membahayakan masyarakat lokal. (abe)

SULUH MHSA | Edisi IX|Pebruari 2012

9


SULUH KHUSUS

BPWS, Apa Kabarmu.....

BPWS Oh BPWS ......

A

ngin BPWS yang “bernafas di dalam lumpur� ini juga sampai ke Senayan, Jakarta. DPR RI meminta Badan Pelaksana (Bapel) Badan Pengembangan Wilayah SurabayaMadura (BP-BPWS) bekerja sama dengan investor-investor swasta dalam membangun lingkungan kawasan jembatan Madura. Anggota komisi Komisi V Riswan Tony menilai sulit dalam mempercepat penataan lingkungan di kawasan jembatan Suramadu. Ini jika tanpa bantuan dari pihak-pihak swasta karena dana yang dibutuhkan sangat besar sekali. Selain itu, jika dibiarkan terus menerus seperti saat ini, kawasan tersebut menjadi daerah kumuh tidak, tertata dengan baik karena semakin banyaknya pedagang-pedagang yang berjualan di sekitar kawasan tersebut.

Semakin banyaknya pedagang yang berjualan di sana (kaki Suramadu), dinilai akan semakin sulit bagi pemerintah untuk menata (memindahkan) pedagang-pedagang tersebut. Karena itu BP-BPWS perlu didengar kejelasannya sejauh mana program yang diamanatkan apakah sudah atau belum dilakukan. Disarankan, pengembangan Pulau Madura dan jembatan Suramadu dapat mengadaptasi pengembangan Tanjung Bunga (Makassar). Jika dilihat sejarah Tanjung Bunga, dulu tempat tersebut kosong dan tidak ada daya tariknya sama sekali. Kemudian pemerintah menggandeng investor-investor swasta untuk bekerja sama memajukan wilayah tersebut dan jadilah tempat tersebut menjadi kawasan menarik yang san-

gat diminati pengunjung. Kalau punya lahan yang cukup luas, rasanya tidak sulit untuk mengembangkan kawasan Suramadu menjadi lebih dibanding saat ini. Apalagi Pulau Madura berdekatan dengan kota besar seperti Surabaya. Dari segi marketing, Madura cukup kuat dan daya belinya pun sangat bagus untuk menarik wisatawan-wisatawan lokal berkunjung ke daerah tersebut. Dengan berkembangnya kawasan tersebut menjadi kawasan wisata, otomatis perokonomian masyarakat Madura akan berkembang dengan baik. Indikatornya, jembatan Suramadu terbangun megah dan bernilai investasi sangat mahal. Dengan adanya jembatan tersebut diharapkan perekonomian di Pulau Madura dapat tumbuh semakin baik dan hal ini perlu terobosan-terobosan untuk memulainya. Sedianya, BPWS berencana mengembangkan tiga kawasan (kawasan kaki

TANTANGAN DAN PELUANG PENGE Perkembangan ekonomi global saat ini mau tidak mau akan tetap melibatkan seluruh negara, termasuk Indonesia. Pertumbuhan ekonomi nasional saat ini seharusnya dapat dirasakan hingga keberbagai daerah. Prestasi pemerintah membangun jembatan Suramadu perlu mendapatkan apresiasi, karena dianggap telah membuka peluang sekaligus tantangan pembangunan madura. Dengan hadirnya jembatan megah tersebut diharapkan akan mampu mendorong pertumbuhan ekonomi di kawasan Madura secara signifikan. Perlunya pengelolaan dan strategi pembangunan yang berkelanjutan dan terkoordinir adalah kunci utama sukses atau tidaknya pengembangan wilayah Suramadu. Madura sebagai sebuah pulau yang terletak ditengan-tengah Indonesia, secara geografis memiliki prospek dan masa depan pengembangan ekonomi yang menjanjikan. Masyarakat Madura dan segenap komponen daerah harus mampu sinergi dalam membenahi Madura meraih pertumbuhan ekonomi jauh diatas rata-

10

Pemerintah pusat pada tanggal 7 Mei 2008 telah menetapkan bahwa Suramadu masuk dalam Wilayah Pengembangan Ekonomi Khusus. Hal tersebut dengan diterbitkannya Perpres Nomor 27 Tahun 2008 Tentang Badan Pengembangan Wilayah Surabaya-Madura. Hal ini menjadi angin segar khususnya untuk Wilayah Madura melihat keseriusan pemerintah untuk menggerakkan perekonomian daerah, sehingga pandangan masyarakat Madura selama ini bahwa kemajuan hanya terjadi dikota-kota besar saja, sepertinya akan segera terwujud juga di wilayah Madura.

SAIFUL ANAM

rata nasional, sehingga kedepan wilayah Madura akan menjadi tiang penyangga ekonomi nasional.

SULUH MHSA | Edisi IX|Pebruari 2012

Dengan menetapkan wilayah Madura sebagai kawasan industri dan pengembangan usaha lainnya, tentunya ini akan melibatkan banyak masyarakat Madura. Lapangan pekerjaan akan semakin terbuka, peluang usaha semakin bermacam ragam, persaingan peningkatan SDM semakin meningkat, geliat ekonomi akan semakin kuat serta akses dan ruang untuk membangun Madura akan


jembatan Suramadu sisi Madura, kawasan kaki jembatan Suramadu sisi Surabaya dan kawasan khusus sisi Madura). Kegiatan akan dibagi dalam tiga tahapan, lima tahun tahap pertama (2010-2014), tahap lima tahun ke dua (2015-2019) dan tahap lima tahun ke tiga (2020-2024). Sasaran lima tahun pertama yang direncanakan adalah tersedianya rencana rinci, sistem perijinan, terbangunnya kawasan industri sebesar 15 persen dan terbebasnya lahan jalan penghubung ke pelabuhan peti kemas. Sasaran lima tahun berikutnya, terbangunnya kawasan industri 50 persen, beroperasinya pelabuhan peti kemas 80 persen, beroperasinya jalan tol ke pelabuhan peti kemas dan tersedianya air bersih dan tenaga listrik untuk keperluan industri. Sedang untuk sasaran 15 tahun ke depan adalah, kawasan industri yang terbangun 100 persen, jalan tol ke pelabuhan peti kemas terbangun 100 persen, beroperasinya pelabu-

han peti kemas juga 100 persen, terbangunnya air bersih 2.000 liter/detik dan terbangunnya listrik 600 MW. Namun demikian, pada lima tahun tahapa pertama, rencana BPWS terhadang sebagian pihak yang tidak mau BPWS membangun. Sebagian

pihak lainnya menghendaki perpres terkait BPWS ditinjau kembali. Sehingga, BPWS tidak bisa bergerak secara leluasa. Namun demikian, apa yang dihadapi BPWS saat ini bukan sebagai pembenar bagi BPWS untuk “tidak bekerja� sesuai aturan dan rencana yang telah ditetapkan. (abe)

EMBANGAN WILAYAH SURAMADU semakin besar. Tentunya hal tersebut juga tidak terlepas dari tantangan yang ada. Pemerintah tentunya perlu bekerja secara profesional, perlunya mempertahankan nilai-nilai budaya yang justru dapat dijadikan daya tarik wisata serta pemerataan pembangunan di seluruh wilayah Madura, mulai dai utara hingga ke selatan. Bagaimanapun juga tentunya harapan masyarakat Madura belum sepenuhnya dapat terwujud selama masih adanya tendensi kepentingan pribadi dan golongan para oknum pemerintah daerah yang tidak tanggap terhadap program pengembangan wilayah Suramadu tersebut. Namun, bagaimanapun juga keterlibatan unsur masyarakat Madura harus ada didalam pengelolaan dan pengembangan wilayah Suramadu tersebut. Agar nantinya dapat berimplikasi positif terhadap langkah-langkah BPWS yang dibentuk oleh Presiden. Namun keterlibatan tersebut hanya sebatas koordinasi program, mengingat

pentingnya harmonisasi kinerja antara pemerintah pusat dengan daerah. Pemerintah daerah harus melihat berbagai peluang devisa bagi daerah dengan dibukanya Madura sebagai kawasan ekonomi khusus. Ketidaksiapan pemerintah daerah justru nantinya malah dapat memperlambat target pembangunan wilayah Madura. Khususnya dalam hal perizinan yang berkaitan dengan pengembangan ekonomi daerah harus mendapatkan skala prioritas, jika pemerintah daerah tidak dapat melakukan hal tersebut, sebaiknya presiden mencabut saja kewenangan penerbitan izin tersebut kepada kementerian terkait. BPWS sebagai lembaga yang berada didaerah juga harus benar-benar serius menunjukkan langkah-langkah konkret mengembangkan wilayah Madura. Perlunya keterbukaan BPWS dalam menampung berbagai harapan masyarakat Madura harus dapat direspon dengan baik oleh BPWS. Perlunya mensinkronkan harapan publik Madura dan target

BPWS akan berbanding lurus, jika seluruh stake holder saling memaksimalkan potensi yang ada. BPWS adalah sebuah komitmen nyata dari pemerintah memperhatikan pertumbuhan ekonomi Madura yang selama ini kurang bergeliat dibandingkan daerah-daerah lainnya, seperti Batam, Karawang dan Tangerang. Dengan hadirnya badan pengelola tersendiri dan langsung bertanggung jawab kepada Presiden, maka profesionalisme dan optimisme pasar akan semakin besar. Hal tersebut tentunya sangat dibutuhkan sekali sebagai magnet masuknya berbagai modal usaha ke Madura. Namun yang terpenting adalah, apakah masyarakat Madura dan pemerintah daerah se Madura di empat kabupaten serius dan antusias untuk turut serta mengembangkan wilayah Madura sebagai cluster kawasan industri nasional yang bertaraf dunia. Pertumbuhan ekonomi Madura tinggal menunggu waktu saja.

SULUH MHSA | Edisi IX|Pebruari 2012

11


SULUH KHUSUS

BPWS, Apa Kabarmu.....

Foto: Saiful Bahri/SM

TOLAK BPWS: Sejumlah warga di Babupaten Bangkalan menggelar aksi menolak keberadaan BPWS karena dianggap tidak benar-benar berfungsi buat masyarakat.

Kaukus Bergerak ke Jakarta

Menggugat Peran BPWS D ua kali sudah setidaknya kaukus parlemen se madura bertandang ke Jakarta. Pertama mereka ke Mahkamah Agung pada tanggal 2 Februari 2012 dan yang kedua pada tanggal 9 Februari 2012 Kaukus yang beranggotakan komisi A/C DPRD se Madura ini mengajukan uji materi kepada Mahkamah Agung terkait Perpres 27/2008 tentang BPWS. Gugatan tersebut diajukan H.Moh. Suli Faris Ketua Komisi ADPRD Kabupaten Pamekasan selaku Ketua Kaukus Parlemen dan Hj. Fathonah Rachmaniyah Sekretaris Komisi A-DPRD Kabupaten Bangkalan selaku Sekretaris Kaukus Parlemen Madura. Keduanya mewakili pimpinan dan anggota Kaukus Parlemen Madura. Berkas gugatan diterima bagian Hak Uji Materi (HUM)

12

di Mahkamah Agung.

Pokok-pokok keberatan yang diuraikan dalam memori gugatan diantaranya, Perpres 27/2008 diyakini telah melanggar prinsipprinsip negara hukum. Hal ini dinilai dapat dilihat dari konsideran mengingat dalam Perpres dimaksud langsung merujuk pada pasal 4 UUD 1945. Padahal kedudukan Perpres dalam konteks hirarkhi peraturan perundang-undangan diatur dalam UU 10/2004 Jo.UU 12/2011 tentang pembentukan peraturan perundang undangan jauh berada dibawah UU. Sedangkan fungsi Perpres, untuk mengatur hal-hal yang bersifat teknis sebagai tindak lanjut UU atau Peraturan pemerintah (PP) seperti diatur pasal 11 UU 10/tahun 2004. Sementara, muatan Perpres

SULUH MHSA | Edisi IX|Pebruari 2012

dimaksud berisi materi yang diamanatkan oleh UU atau materi untuk melaksanakan Peraturan pemerintah berdasar ketentuan tersebut. Pada dasarnya presiden tidak diperkenankan membuat Perpres sepanjang tidak diperintahkan oleh UU atau PP. Berkaitan dengan pengembangan wilayah Surabaya – Madura, hingga saat ini belum ada satupun UU atau PP yang memerintahkan presiden untuk membuat Perpres terkait pengembangan wilayah Surabaya – Madura. Karena itu kaukus menganggap keberadaan Perpres menyalahi prinsip hukum tata pemerintahan yang berlaku di republik ini. Selain itu, versi Kaukus Parlemen, materi muatan Perpres 27/2008 tentang BPWS dinilai


bertentangan dengan beberapa peraturan perundang-undangan. Berdasar data di Kaukus Parlemen, klausul yang diduga dilanggar Perpres itu antara lain : Pertama, pasal 12 Perpres bertentangan dengan semangat otonomi daerah sebagaimana diatur dalam pasal 14 dan 21 UU 32/2004 tentang pemerintah daerah. Di dalam pasal 14 dan 21, diatur secara tegas tentang hak-hak dan kewajiban pemerintah daerah kabupaten/kota sebagai daerah otonom. Sementara, dalam pasal 12 Perpres 27/2008 secara sepihak presiden memberikan tugas dan wewenang kepada BPWS untuk melaksanakan kegiatan yang telah menjadi kewenangan pemerintah kabupaten/kota sebagai daerah otonom. Kedua, materi muatan Perpres 27/2008 bertentangan dengan PP nomor 38/2007 tentang pembagian urusan pemerintahan antara pemerintah, pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota. Di dalam PP 38/2007 diuraikan secara gamblang bahwa semua urusan pemerintahan telah terbagi habis. Ada yang menjadi kewenagan pemerintah pusat, ada yang menjadi urusan kewenangan pemerintah provinsi dan ada yang menjadi urusan dan kewenangan pemerintah kabupaten/kota. Dengan bahasa lain sudah tidak ada lagi urusan pemerintahan yang tersisa. Tetapi secara otoriter, Kaukus Parlemen menilai Presiden telah memberikan tugas dan kewenangan kepada BPWS untuk melaksanakan kegiatan secara legal. Padahal, hal tersebut sudah menjadi urusan kewenangan pemerintah daerah kabupaten/kota. Dicontohkan Kaukus parlemen, kewenangan untuk menyusun tata ruang di Madura, menerima dan melaksanakan pelimpahan sebagian wewenang dari pemerintah pusat dan/atau pemerintah daerah, menyelenggarakan pelayanan satu atap untuk urusan perizinan, melaksanakan pelabuhan petikemas di Pulau Madura, membangun dan mengelola kawasan ekonomi khusus di Madura, industri dan

banyak lagi yang lainnya. Semua urusan tersebut telah menjadi urusan kewenangan pemerintah kabupaten di Madura yang tidak bisa dibenarkan pemerintah pusat mengambil kembali hanya dengan berdasar pada Perpres. Karena, hak dan wewenang tersebut diberikan/ dilimpahkan ke daerah melalui UU dan PP. Tugas dan wewenang BPWS yang amat sangat tidak bisa diterima logika hukum adalah klausul “BPWS menerima dan melaksanakan pelimpahan sebagian wewenang dari pemerintah pusat dan/atau pemerintah daerah”. Menurut Ketua Kaukus M Suli Faris, hal ini sungguh sangat kacau karena di dalam UU 32/2004, pemerintah pu-

SULI FARIS |

Ketua Kaukus Parlemen Madura

bangunan nasional. Sedangkan pokok-pokok keberatan yang tetrutai dalam petitum, Kaukus Parlemen meminta Mahkamah Agung membatalkan dan menyatakan Perpres 27/2008 tentang BPWS tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Selain alasan hukum, versi Kaukus Parlemen, sebagian besar masyarakat Madura meyakini BPWS sebagai pintu masuk industrialisasi, perdagangan bebas dan pelabuhan bebas di pulau Madura. Terhadap semua itu, masyarakat Madura khawatir pada akhirnya madura hanya akan menjadi tamu, kuli, dan menjadi babu di rumah sendiri. Suli menjelaskan, hal ini dapat dilihat di daerah daerah lain yang selama ini sudah dijadikan sebagai kawasan ekonomi dan kawasan industri masyarakat setempat rata rata hidup di bawah garis kemiskinan dan termajinalkan karena lahannya sudah dikuasai pihak investor. Disamping itu, masyarakat Madura khawatir budaya warga Madura yang selalu mengedepankan nilai-nilai agama, suka menjalin silaturrahim akan hilang terbawa arus globalisasi. Sampai saat ini, masyarakat Madura menganggap globalisasi hanya menjadikan rakyat kecil melarat karena tidak punya nilai tawar yang cukup. “Globalisasi hanya menguntungkan pemilik modal dan kelompok masarakat kelas menengah ke atas,” sergahnya.

sat hanya bisa melimpahkan sebagian wewenangnya kepada organ pemerintahan di bawahnya. Yaitu, pemerintah provinsi atau pemerintah kabupaten/kota. Sedangkan pemerintah kabupaten/kota hanya diperkenanakan melimpahkan sebagian kewenangannya kepada organ di bawahnya yaitu kecamatan atau pemerintah desa.

Sementara humas BPWS Faisal mengaku sudah mendengar adanya gugatan yudicial review oleh Kaukus Parlemen se Madura ke Mahkamah Agung. Dia enggan berkomentar banyak karena materi gugatan tidak secara langsung ke alamat BPWS. Melainkan, gugatan tersebut melayang ke MA. Ia juga enggan menanggapi penolakan sebagian pihak di Madura yang Hal lain yang diberatkan Kaukus menolak BPWS. Menurut dia, yang Parlemen menyangkut materi Perdilakukan BPWS hanya meninpres 27/2008 pasal 5, 6, 7, 8 dan 9 daklanjuti perintah Perpres untuk yang dinilai menabrak UU 39/2009 membangun Surabaya-Madura tentang kawasan ekonomi khusus. agar lebih berkembang dibanding Termasuk yang menjadi keberatan saat ini. “Kita lihat saja nanti seperti Kaukus Parlemen, materi muatan SUMRINGAH: orangdianggap penari sedangapa memperagakan diriyang sebagai sapi kerahasilnya toh kami (BPWS) Perpres 27/2008Duajuga pan dalam acara Semalam di Madura. lakukan untuk kemajuan bersama,” bertentangan dengan UU 25/2004 urainya. (abe) tentang sistem perencanaan pem-

SULUH MHSA | Edisi IX|Pebruari 2012

13


Opini

HAMBALI RASIDI

Mahasiswa program Filsafat Islam di Pasca Sarjana IAIN Sunan Ampel, Surabaya.

Ruh Madura

di Raga yang Berbeda Sosok “kiai dulu� di Madura begitu terhormat di mata masyarakatnya. Mendengar namanya saja sejuk di hati. Jikalau ada gambar atau fotonya juga ikut dihormati.

Masyarakat Madura ternyata memiliki penilaian ganda sekaligus berkarakter sebagai masyarakat relegious. Prasangka keterbelakangan budaya dan nilai-nilai kemanusia seperti pudar ditelan dengan banyaknya sosok manusia sholeh (waliyullah, kiai) yang menjadi tauladan dan membawa misi kedamaian hidup. Keakraban sosial antar persaudaraan etnis dan mengutamakan kepentingan spiritual menegaskan ciri khas manusia Madura yang tidak diikuti manusia suku manapun di Indonesia. Ditambah menjamurnya bangunan masjid dan mushalla di hampir tiap rumah beserta jumlah pesantren yang mencapai ribuan, mewujudkan icon masyarakat beragama yang taat, kecondongan beraura kepada kepentingan kehidupan akhirat mendominasi daripada kehidupan dunia. Simbolisme sikap keagamaan di atas menjadi bukti nyata dan berwarna beda dibanding mayoritas kehidupan beragama di Indonesia. Mayoritas bersepakat karakter manusia Madura bersetereotipe negatif secara budaya, diseberang pandangan negatif itu ada wilayah spiritualitas yang menjadi adihulung kehidupan sosok manusia sholeh yang diikuti sebagian besar masyarakatnya. Dalam realitas, ribuan wisata relegi dari tanah Jawa membanjiri makam-makam (tempat istirahat) manusia sholeh

14

SULUH MHSA | Edisi IX|Pebruari 2012

di tanah Madura. Apalagi sejumlah pengasuh pesantren besar di Jawa berasal dari Madura atau mereka menularkan ilmu gurunya dari Madura. Pada akhir abad ke 19 Masehi tepatnya masa pra kemerdekaan RI, ada sosok Syechona Kholil dari Bangkalan yang menjadi gurunya guru para kiai di tanah Jawa. Syech Kholil menjadi tauladan sekaligus motor penggerak para kiai di tanah Jawa untuk melakukan pencerahan sekaligus memberdayakan masyarakat Indonesia agar keluar dari penindasan kolonialisme menuju masyarakat bebas dan negara yang merdeka. Salah satu muridnya adalah KH Hasyim As’ari, pendiri NU ormas Islam terbesar di Indonesia. Kisah manusia sholeh (masa lalu dipanggil kiai, seterusnya akan disebut kiai) di Madura menjadi kesepakatan mayoritas bahwa dia menjadi sosok pengayom, pelindung, tumpuan sekaligus pemberi secercah harapan masyarakat yang membutuhkan. Kepribadiaanya menjadi pusat kehidupan masyarakat mulai dari urusan privaci hingga kebutuhan hidup sehari-hari. Ketika orang mengalami kondisi psikologi tertekan (stress) dan urusan hidup terasa buntu, tanpa diutarakan asal bersanding dengannya, seakan terasa sirna dan ada harapan positif. Kes-


Opini eharian hidup kiai itu disangka kaya karena dia tidak pernah meminta secara mendesak walau sedikit yang mau dimakan karena tidak bisa berusaha. Kata-katanya menjadi do’a. Ludahnya dimasukkan wadah khusus khawatir ada orang melangkahin.

nafsu. Kehidupan spiritual dicarikan gelar, praktek keagamaan mencari pujian manusia. Ketika menabur kebaikan berharap balasan materi dan bersama-sama berebut kekuasaan. Intinya manusia materialis sudah disetting atau diperbudak nafsunya.

Sosok “kiai dulu” di Madura begitu terhormat di mata masyarakatnya. Mendengar namanya saja sejuk di hati. Jikalau ada gambar atau fotonya juga ikut dihormati. Fenomena orang berziarah di kuburan para waliyullah menjadi bukti nyata bahwa dia mendapat tempat tersendiri dalam kehidupan masyarakat Madura, semasa hidup.

Lebih gundah dan tak berdaya, ketika anak-anak saya hendak ditempatkan atau disekolahkan pada lembaga pendidikan keagamaan (pondok pesantren) sebagai icon sekaligus basis keagamaan di Madura. Mencari pesantren ideal menurut standar pendidikan moral, juga mengalami kebingungan. Bukan karena apa, belakangan sering saya dengar informasi, para santri di pesantren kerap mengalami kesurupan mahluk halus. Di masjid pesantren tempat santri beribadah juga tidak luput dari gangguan mahluk halus. Hati saya terasa teriris mendengar kabar itu. Bagaimana bisa, pesantren sebagai pusat kegiatan mencari ilmu agama Islam dan masjid tempat beribadah seakan tidak lagi menjadi tempat suci yang ditakuti oleh setan-setan pengganggu manusia.

Kisah kiai di atas di dapat dari orangtua dan kakek saya saat mereka mondok dan sering berinteraksi langsung dengannya. Orangtua dan kakek saya sering bercerita keunggulan “kiai-kiai” Madura dulu, dari yang sakti mandraguna hingga kematian yang moksa. Masa remaja tepatnya di awal era 80’an, ketika masih kanak-kanak, saya diajak orangtua bersilaturrahmi ke sejumlah kiai, seakan ingin menunjukkan bahwa cerita sosok kiai di atas benar adanya bukan cerita fiktf. Persoalan berikutnya, timbul perasaan tidak enak dalam diri saya, ketika hendak bercerita kepada putra-putri saya bahwa di Madura dulu ada sosok kiai sebagaimana kisah kakek dan buyutnya. Saya mengalami kegundahan bathin, bila akan bercerita sosok kiai Madura saat ini kepada anak-anak saya yang masih belia. Kegundahan itu bukan karena mendramatisir dari hal sederhana atau apalah namanya, tapi itu beralasan pada 10-20 tahun akan datang, khawatir muncul penilaian terbalik dalam diri anak saya bahwa sosok Kiai Madura saat ini tak jauh dari sosok fiktif dalam alur cerita kehidupan novel. Hanya cerita yang mengharu biru, tapi dalam kehidupan realitas nyaris tidak ditemukan yang sepadan.

Kabar itu tidak berhenti soal kesurupan. Cerita para alumni santri, kiai sebagai pengasuh jarang memberi pengajian rutin kepada santri untuk mengkaji atau menelaah kitab-kitab klasik warisan ulama besar Islam, seperti:al-Hikam, karya Ibnu ‘Ataillah, Misykat al-Anwar karya Imam al-Ghazali, Fushuh alHikam, karya Ibnu ‘Arabi. Pesantren dulu, kata cerita kakek, kitab-kitab itu harus dipahami betul sebagai prasyarat santri sebelum dinyatakan lulus nyantri atau sebelum santri diperbolehkan pulang ke kampung halamannya oleh sang kiai. Saat ini, jikalau masih ada pengajian rutin kitab-kitab itu di pesantrenpesantren, bisa dihitung dengan jari dan pensyarhnya (pemberi penjelas) bukan lagi kiai, tetapi santri senior atau ustadz yang ditunjuk pengasuh.

Logika empiris itu menjadi landasan saya, apa-apa yang akan dilihat anak-anak saya atau generasi anak Madura pada 10-20 tahun mendatang, sosok kiai nyaris tidak ada bedanya dengan masyarakat Madura pada umumnya, yang hidup di tengah masyarakat modernis ketika manusia menjadi budak syahwat materialisme. Akal sehat menjadi tumpul karena kalah dominasi

Pondok pesantren bersama sang sosok kiai masa lalu sedang mengalami modifikasi kebangkitan moral sehingga para alumninya bisa menjadi andalan masyarakat. Pondok pesantren menjadi kebanggaan nomor dua setelah sosok kiai dalam penghormatan masyarakat Madura. Ketika itu, pesantren menjadi tempat produksi pemimpin-pemimpin masyarakat. Lulusan pesantren

memiliki ilmu keislaman yang kuat dan menjadi bagian integral dalam kehidupan sehari-harinya. Sehingga masyarakat menaruh hormat karena sikap dan tutur katanya mencerminkan sosok kembaran kiainya. Masyarakat Madura kini seperti kehilangan aura kehidupan yang mulya dan dihormati banyak suku manusia di luar Madura. Sejumlah sosok manusia sholeh nyaris tidak terdengar kembali. Masa kebangkitan moral masyarakatnya mengalami kepudaran, kalah atau tergantikan dengan kebangkitan syahwat kepentingan duniawi. Yang sering di dengar dan muncul ke publik adalah sosok kembaran manusia sholeh dalam bentuk sosok duplikat simbol. Generasi muda Madura 10-5 tahun lalu mulai bermunculan dari sejumlah kelompok masyarakat yang terpinggirkan yang seakan ingin menabur benih-benih harapan baru dalam kebangkitan intelektual masyarakatnya. Mereka sadar warisan “kiai dulu” dalam membangun kebangkitan moral masyarakat tidak mampu lagi dilanjutkan. Karena itu, mereka, generasi muda Madura dari berbagai latarbelakang sosial-budaya berinisiatif mendirikan sejumlah pendidikan keagamaan yang berpikiran kosmopolit. Mereka ada yang alumni McGill University, Montreal Canada, USA. Mereka membuka sekolah keagamaan plus yang diorientasikan pada dunia markateble dan visible sesuai kebutuhan saat ini, seperti jurusan Teknik Jaringan, Sitem Informatika, Design dan sebagainya. Dan para alumni siswanya dibiayai lembaga/ sekolah untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang lebih tinggi baik dalam negeri atau luar negeri. Sebagian masyarakat Madura tetap bertekad mencari pesantren seperti diasuh sosok “kiai dulu” yang berorientasi pada kebangkitan moral alumninya untuk mempertahankan karakter masyarakat Madura demi nasib generasi anak Madura akan datang, ketika ruh kebanggaannya luluh satu persatu. Hal inilah selalu mennjadi pertanyaan banyak orang, Masih Adakah pesantren yang diasuh seperti manusia sholeh (sosok“kiai dulu”)? Kalau ada, dimanakah tempatnya? Kesulitan itu, ibarat mencari jarum di tengah tumpukan jerami. Wallahu ‘alam. (**)

SULUH MHSA | Edisi IX|Pebruari 2012

15


Opini

SYARIF HIDAYAT SANTOSO Penulis dan penggemar buku tinggal di Sumenep

Bagaimanapun, pemikiran keagamaan modern perlu hadir, agar tradisionalisme mempunyai cermin sehingga tidak terperangkap pada romantisisme belaka

Cara Madura

Memandang Dunia

Dunia pasca perang dunia kedua membelah menjadi dua, Barat dan timur. Barat menunjuk komunitas negara-negara bekas penjajah sedang timur jamak dirujukkan kepada negara-negara bekas jajahan yang masih membangun jatidiri nasionalisme dan developmentalismenya. Pembelahan ini bukan cuma soal geoekonomi namun bersifat jauh menjangkau sampai kepada hal-hal pandangan hidup masyarakat dunia. Jamak diketahui orientalisme mendahului oksidentalisme. Cara berpikir orang barat yang menghakimi dan menghukumi orang timur dengan perspektif barat. Orang timurpun juga begitu, meski terjajah ratusan tahun dan diminorkan dalam peradaban kontemporer, timur menawarkan banyak hal kepada barat. Timur berdiri dengan sikap-sikap ideologi baru mulai spiritualisme, anti neolib, fundamentalisme dan sosialisme dunia ketiga. Spiritualisme berbasis ketimuran dalam berbagai paketnya sejak Yoga, meditasi Cina sampai sufisme Islam ditawarkan dan menjadi melodi kultural yang booming di barat. Timur juga menawarkan pos kolonialisme untuk memilah sisi subaltern sebuah tamaddun. Timurpun berkemas dengan spirit anti neolib dan sosialisme gaya baru untuk mengejar barat. Dua dekade terakhir, timur menawarkan fundamentalisme yang anehnya tidak cuma ditawarkan kepada barat namun dikampanyekan di timur sendiri. Persoalan timur barat bukan persoalan semantik arah angin. Ini buah berpikir transdialogisme yang ter-

16

SULUH MHSA | Edisi IX|Pebruari 2012

jadi sejak paruh abad 20. Seandainya tidak ada kolonialisme, takkan pernah ada pemilahan barat dan timur seperti saat ini. Transformasi kolonialisme telah melahirkan dikotomi bersikap akut yang bahkan tak mampu memerdekakan akal dalam meninjau dunia. Di Madura, dua kutub (barat-timur) hadir secara sinergis pada pandangan dunia orang Madura. Namun, ada keunikan yang dipresentasikan cara pandang orang Madura terhadap dirinya dan dunia sekitarnya. Meski dibelit aura warna-warni dalam kolonialisme, orang Madura tetap memiliki cara pandang tersendiri terhadap dunia. Edward Said, dalam buku monumentalnya, Orientalism mengkritik cara pandang kolonialis yang mendikotomikan barat-timur sebagai sesuatu yang berantitesis dengan peletakan barat sebagai superior dan timur sebagai subordinan peradaban. Barat adalah segala-galanya bagi orang barat, karenanya barat harus dimenangkan dalam kontestasi apapun. Bagi orang Madura, keterpakuan pada dikotomisasi ini justru tak merisaukan cara pandangnya. Boleh dikata, pandangan dunia orang Madura relatif bebas dari klasifikasi geografis. Di Madura, barat dan timur memiliki posisi dan daya tawar sama. Di masa kolonialisme, istilah oreng bhara’ (orang barat) dirujukkan kepada ras Eropa yaitu Belanda. Namun, Barat (bhara’) bagi orang Madura juga menggambarkan aspek kesatuan dan kesakralan teogeografis, yaitu


Opini menggambarkan arah kota suci. Kalau ada orang Madura berucap Ka Bhara’, maka itu berarti konotasi naik haji ke Mekkah. Musim hujan yang merupakan masa bertiupnya angin barat disebut dengan nembhara’ Bagi mayoritas orang Madura, musim penghujan adalah berkah karena topografi pertanahan Madura yang mengambil bentuk ladang sudah pasti membutuhkan banyak air, apalagi Madura adalah pulau kering. Bhara’ dimaknai sebagai sesuatu yang penuh kebaikan, meski orang Madura juga menyebut bhara sebagai identifikasi terhadap orang barat. Penyebutan bhara’ sebagai lafal yang berkait dengan musim hujan dan Mekkah adalah sesuatu yang menarik. Baik mekkah maupun musim penghujan adalah sesuatu yang dianggap barokah dalam pandangan keislaman orang Madura. Pandangan orang Madura yang menyebut bhara’ dengan identifikasi barokah terhadap Mekkah sekaligus musim hujan ini menarik sekali, karena bersesuaian dengan pandangan dunia Al Quran yang menyebut air hujan dan Ka’bah di Mekkah sebagai sesuatu yang penuh berkah. Dalam surat ayat Qaaf ayat 9 disebutkan “Dan kami turunkan dari langit air yang mengandung berkah”. Sementara dalam Surat Ali Imran ayat 96 disebutkan “Sesungguhnya rumah yang mula-mula dibangun bagi umat manusia adalah baitullah yang di Mekkah yang diberkahi dan menjadi petunjuk bagi manusia”. Walhasil, sikap Madura terhadap barat selain mendapat justifikasi dari sisi kultural juga sinergik dengan pandangan dunia Quran. Sebaliknya, musim kemarau disebut nemor, sebuah penyebutan yang berkait erat dengan kata temor (timur). Di Madura, kata timur sendiri memiliki makna paradoks. Paradoks kemakmuran karena musim kemarau selalu dimaknai berkah bagi mayoritas orang Madura yang petani tembakau dan garam dan paradoks kerugian karena timur juga dimaknai magis negatif. Dalam sistem religi orang Madura dikenal istilah elmo temor (ilmu timur) atau asma’ temor (asma’ timur). Dua istilah ini mengacu kepada konsep magi yang sifatnya merusak, sejenis sihir putih yang sering menyebabkan pemiliknya merugi lahir batin. Elmo temor atau asma’ temor sering dianggap berbahaya karena pemiliknya sering ditimpa taras yaitu kondisi dimana terjadi kerusakan secara perlahan terhadap harta

dan jasmani seseorang atau kondisi dimana seseorang kehilangan berkah dalam pekerjaannya. Terkadang asma’ temor dan elmo temor digunakan dalam rangka apagar (pagar diri) sebagai pelengkap ajaza’ dalam upaya melindungi badan tapi tetap saja ia menuai kontroversi. Kalangan puritan sering menuduh asma’ temor sebagai khurafat yang lahir dari sinkretisme. Namun, asma temor menjadi menarik karena dia menggambarkan sebuah pribumiisasi Islam di Madura. Dalam asma’ temor, mantra yang diucapkan sering merupakan kombinasi antara Quran dan mantra lokal berbahasa Madura (A. Latief Bustami:2002). Kecenderungan mantra kombinatif ini pada dasarnya mirip dengan konsep mantra dalam ajian orang-orang Jawa yang juga menggunakan kombinasi bahasa lokal dan Quran atau syahadat sebagai pamungkas. Dalam asma’ temor, lokalitas dipaksa tunduk kepada Islam, terbukti bahwa setiap pembacaan asma’ temor biasanya diakhiri syahadat yang menunjukkan superioritas Islam. Dari paparan diatas dapat disimpulkan bahwa barat dan timur bisa baik sekaligus bisa buruk. Dalam memori kultural Madura, timur tak selalu diartikan positif dan merepresentasikan eksotika, sebagaimana barat juga tak melulu dipandang negatif. Barat dan timur bisa positif sekaligus negatif. Saya kira inilah pandangan terbaik yang mendahului lahirnya diskursus orientalisme dan occidentalisme di timur. Inilah pandangan manusiawi dalam melihat dunia. Pola pikir ini sama dengan orang Banyuwangi dalam melihat timur dan barat. Dalam perspektif orang Banyuwangi, barat kadang disamakan dengan ketidaksopanan terbukti dari istilah Wong Kulonan yang ditujukan kepada setiap perilaku tak sopan. Timurpun dalam perspektif Banyuwangi juga kadang mengandung sinisme. Timur dalam benak orang Banyuwangi bermakna sama dengan orang Madura, yaitu berkaitan dengan magis, karena kata timur (wetan) dekat dengan makna wiwitan (asal), sedang wiwitan juga makna dari kata Purwo. Purwo sendiri adalah nama sebuah hutan (Alas Purwo) yang menjadi referensi mistik orang Blambangan (Heru. S.P Saputra: 2007) Kedudukan timur dan barat yang sejajar dalam pola pikir orang Madura inilah yang menyebabkan orang Ma-

dura enteng dalam bersikap Paparan tentang konsep barat-timur dalam ruang pikir Madura menunjukkan bahwa sistem dunia pikir orang Madura tak mengikatkan diri pada fokus tertentu. Worldviewnya bebas tanpa batasan harus diideologikan kemana. Inilah cara pandang terbaik dalam melihat kolonialisme dan efeknya. Dengan merdeka terhadap dikotomi barat-timur, orang Madura bebas mereferensi dunianya sendiri. Orang Madura tak sungkan untuk menilai orang lain tanpa harus tunduk pada konseptualisasi sebuah peradaban yang dianggap superior. Karenanya, dalam Manusia Madura (2007), Mien Ahmad Rifa’ie secara gamblang menjelaskan bagaimana Madura menyebut Jawa melalui sebutan Jhaba yang berarti Jewawut, jenis pangan yang tak enak di lidah orang Madura. Atau filosofi Madura Mon ngajhi ka Arab mon adhaghang ban Cena (kalau ngaji kepada orang Arab, kalau berdagang dengan Cina). Parebhasan ini mengajari kita untuk memandang dunia sesuai spesialisasinya. Dalam memori kultural orang Madura, Cina dan Arab didudukkan setara sesuai konteks kemanusiaannya. Namun, Cina juga terkena stereotip rentenir karena dalam parebasan Madura Timur (Sumenep) sering muncul kalimat Aotang ka iye’, majar ka Cena (berhutang ke Arab, bayarnya ke Cina) yang menunjukkan bahwa etnis Cina bisa saja berlaku pelit dan berperilaku rentenir. Istilah pelit sendiri sering diasosiasikan dengan istilah Tambi Keleng (pelit seperti orang Keling). Penyebutan Keling, nama sebuah wilayah di India menunjukkan bahwa Madura tak selalu menganggap positif orang-orang timur. Di masa perang dunia kedua, juga terkenal parebhasan ondur syetan dhateng dano (pergi syetan datang hantu) yang merujuk kepada situasi datangnya penjajah baru Jepang yang menggantikan penjajah lama (Belanda). Dalam tataran ini, baik Belanda yang barat maupun Jepang yang timur sama-sama dinilai negatif karena sama-sama memiliki sikap imperialis. Dalam menilai, Madura tak menggunakan paramater geopolitik, geoideologi namun kepada sikap dan perilaku apakah sesuai dengan humanisme atau tidak.

Bersambung di halaman 19

SULUH MHSA | Edisi IX|Pebruari 2012

17


kicreP

Percik

Ulasan Novel

SENGAL NAFAS DI DALAM KUBUR Setiap peristiwa, selalu menyisakan dua hal, suka atau duka. Saat sedih menyergap, siapa yang telah membuat seseorang susah, dosa pengakuannya sangat berliku, panjang sekali. Tetapi pada peristwia yang mendedahkan suka, banyak orang yang memberi klaim atas kegembiraan itu sebagai inisiatifnya. Fragmentasi suka dan duka ini menyembulkan ketidakadilan bahkan ketertindasan untuk dan atas nama manusia.

K

isah ketidakadilan dan duka ini direkam dengan baik oleh Yazid R. Passandre dalam novel Lumpur. Novel ini tidak saja berisi lumpur yang menenggelamkan daratan, tetapi lebih dari itu semburan lumpur telah mengubur masa lalu. Ada erangan anak manusia di situ yang mengalirkan airmata sambil menggelengkan kepala dengan desah tak terpatri. “Kesalahan apakah yang telah dilakukan sampai azab dan sengsara secepat kilat hadir seperti itu? Jelas ini bukan takdir karena rejeki tidak akan tertukar kecuali ada yang sengaja menukar. Ini penganiayaan karena Tuhan pasti tidak “tega� melakukan hal itu. Ini juga bencana yang sengaja dibuat tuan! Untuk sekedar tahu, penderitaan itu perih tuan! Terutama saat penganiayaan itu ditimpakan kepada yang tak berdosa dan papa pula.

Karena itu, kebenaran yang menang melawan kezaliman itu ternyata hanya ada di dunia sinematografi. Pada kenyataannya, kebenaran tidak pernah menang melawan uang dan kekuasaan. Apalagi, bial pejuang kebenaran itu dari orang-orang miskin dan tak

18

SULUH MHSA | Edisi IX|Pebruari 2012

JUDUL: Lumpur (Trilogi Tanah dan Cinta), PENULIS: Yazid R Passandre, PENERBIT: Penerbit Tonggak, Yogyakarta 2011, ISBN: 978-602-19232-0-7, UKURAN: 13 x 21 cm, TEBAL: xvi + 472 , Peresensi: Imalah Hasanah (Lulusan Sastra Asia Barat UIN

dan Magister Hukum Unisma, Malang)

berdaya juga, seperti cerita novel Lumpur ini. Dus, kekuasaan yang tunanurani ini jauh lebih licik dari iblis. Bahkan Tuhan, kadang-kadang berusaha ditipu, oleh tuan-tuan itu. Membaca novel ini seperti membaca sejarah di negara di mana Rezim Pol Pot berkuasa di jamannya. Saat itu, ribuan politikus dan pejabat dibunuh, dan Phnom Penh pun ikut berubah menjadi kota hantu. Penduduknya banyak yang meninggal akibat kelaparan, penyakit atau eksekusi. Di Sidoarjo yang menjadi salah satu daerah setting novel ini mereka juga mati. Kematian geografis ini tidak saja membunuh ratusan keluarga, tetapi menggergaji masa depan keturunan mereka. Banyak pihak yang memberikan komentar terhadap novel ini. Mantan Ketua PP Muham-


Akademia madiyah Ahmad Syafii Maarif misalnya, menilai republik ini telah penuh dengan perselingkuhan, uang dan kekuasaan. Akibat dari semua ini, derita rakyat kecil antara lain yang terkena dampak lumpur. Mereka seperti tertelan waktu yang semakin lama kian dilupakan. Ini merupakan kultur bangsa yang tunamoral dan tunanurani. Novel ini bertutur kuat tentang perlawanan terhadap ketidakbebasan, ketidakadilan, dan pembiaran. Ada pesan fundamental : Manakala kebudayaan dan kemanusiaan digadaikan sekadar untuk kepentingan korporasi dan kekuasaan, saat itulah denyut dan roh kehidupan sebuah bangsa terhenti, begitulah Rizal Ramli memberikan tanggapan. Novel lumpur ini disebut sebagian pihak sebagai novel sejarah dan upaya gigih berperang melawan lupa (Daniel M Rosyid, Guru Besar ITS). Novel ini juga memberi wajah manusiawi atas saling sengkarut malapetaka lingkungan dan sekaligus panggung pertunjukan teknik penyelesaian masalah khas Indonesia: penuh ironi dan kabut ketidakadilan (Hanum Salsabiela Rais). Selain itu, kelebihan novel ini juga terletak pada kelemahannnya sebagai karya. Tanpa kelemahan, tidak sempurna rasanya Lumpur sebagai novel. Misalnya, sebagai novel sejarah Lumpur ini belum tuntas karena setting plot kesaksian di Lapindo hingga saat ini masih terus berlalu dan tidak direkam secara sempurna di dalam novel ini. Itu bukan tanpa alasan karena menanti kisah lumpur berikutnya akan membuat novel ini tidak pernah selesai. Itu sebabnya, seperti halnya film Rambo, maka layak bila penulis novel ini membuat novel berikutnya menjadi rambo I, II, III dan seterusnya meski judul dan settingnya tidak sama persis. Setidak-tidaknya, tokoh dalam cerita dibuat bersambung sebagaimana cerpenis ulung Indonesia Seno Gumira Ajidharma selalu membuat tokoh yang dama dalam cerita yang berbeda : Sukab itu. Namun sebagai sejarah, pengarang Novel Lumpur (Yazid R. Passandre, Lahir di Sumenep, Madura. 1978) sudah berhasil tidak melupakan peristiwa yang pantas diingat. Misalnya, masa depan anak bangsa yang digergaji penguasa atau penguasa yang semestinya tumbuh seperti anak-anak yang ingin meraih cita-cita setinggi langit, tak hanya kampung halaman yang lenyap tertimbun di sana tetapi tersengal karena segenap asanya terkubur di kubangan lumpur itu. Selain itu, hampir saja mereka patah arang andai tak ada perempuan setegar Daya, juga lelaki luar biasa seperti Kiai Sola dan Kasan yang menopang semangatnya. Semburan lumput setara magma gunung berapi dan meluap tak henti-henti, memang bukan ancaman sepele. Prahara yang pertama kali muncul di Ronokenongo itu juga buka tidak mungkin menenggelamkan Jawa (Timur), kelak. Terutama, apabila pembiaran terus berlangsung dan alam sedemikian bebas diekspolkitasi, parah!. (**)

... dari halaman 17 Arab dan Islam dalam tradisi Madurapun dipribumiisasi sedemikian rupa. Salah satunya, ketika sepasang orang tua Madura menyebut nama mereka sesuai nama anak pertama. Jika anak pertamanya bernama Ahmad, maka secara otomatis bapak ibunya akan disebut Pa’na Ahmad dan Bu’na Ahmad. Ritus sosial semacam ini tak lantas menjadikan orang Madura fundamentalis. Ritus sosial ini justru meneguhkan atitesis Madura terhadap Arabisasi ala kaum fundamentalis. Orang Madura tak perlu bergaya ala kaum fundamentalis yang mengganti nama mereka dengan Abu Ahmad atau Ummi Ahmad jika nama anak pertama mereka Ahmad. Inilah cara orang Madura agar Islamisasi Arab itu tidak berubah menjadi kolonialisasi Arab. Ritus sosial penggantian nama terjadi spontan begitu saja tanpa ada yang mengkomando. Orang Madura tak perlu ribut soal Islamisasi karena itu berjalan dengan sendirinya. Orang Madura tak perlu galau akan terpisah dari komunitasnya manakala merujuk kepada sunnah nabi. Islam dalam cara pandang orang Madura bukanlah sesuatu yang problematis namun sesuatu yang komplementer. Keberadaan Islam pada komunitas Madura menjadi pelengkap dalam produk kebudayaan yang sudah ada. Islam direferensi secara diakronis tanpa dilematisasi. Islam Madura lahir dengan semangat normativitas dan historisitas sekaligus. Islam di Madura menemukan sentuhan unik karena antar pemimpin masyarakat baik kyae, klebun maupun blater hidup dalam semangat Islam sesuai karakternya masingmasing. Ritualisme di Madura dilakukan oleh berbagai partisipan baik pendukung kyai maupun blater dan klebun. Ritualisme bukan cuma sebuah rite de passage ala Arnold Van Gennep namun alat untuk memperkuat solidaritas sosial. Ritual telah berfungsi mempersatukan beragam partisipan yang berbeda melalui performa dan pengabdian (Emile Durkheim:1995). Berbagai tradisi sejak maulidan, imtihanan, slametan menjadi alat untuk memperkuat keseimbangan masyarakat guna tercapainya kerukunan sosial yang besar. Di Madura tak ada pembelahan masyarakat ala Clifford Geertz sebagaimana terjadi di Jawa. Di Madura tak ada segmen santri, abangan dan priyayi. Bisa jadi seorang blaterpun adalah santri sebagaimana seorang klebun dalam berbagai insiden politik didukung kyai. Madura secara lihai mampu membantah pemikiran Geertz dan orientalis lain yang sering membagi masyarakat Islam berdasar asumsi-asumsi antropologis tak menyejarah. Madura tak pernah mengalami proses pencarian otentisitas agama seperti yang melanda kaum fundamentalis. Sebagaimana disebut oleh Richard T. Antoun (2003), kaum fundamentalis selalu mencari kemurnian dengan tiga macam cara yaitu eksodus, pemisahan diri yang eksklusif serta konfrontasi. Di Madura, Islam tak pernah dipraktekkan dengan cara semacam ini. Madura dan Islam adalah satu kesatuan integral. Menjadi Islam bagi orang Madura tak lantas harus melahirkan eksklusifisme, konfrontativisme dan eksodus yang eskapis. Islam bisa nyaman dipraktekkan dengan menjadi Madura sekaligus, tanpa harus memperdebatkan mana ruang yang otentik mana ruang yang imitatif. Jika terdapat orang Madura yang memprotes tradisi Islam Madura sudah pasti hal tersebut karena efek transnasionalisme yang sejak sepuluh tahun terakhir juga melanda Madura. Hal-hal diatas mengajarkan kepada kita bahwa Madura memiliki keunikan tersendiri dalam menilai dan mempersepsi ulang dunia. Bagi orang Madura, segala sesuatu bisa berparadoks namun tetap harus memiliki warna khusus yang hanya boleh dimaknai oleh orang Madura. Inilah cara pandang orang Madura yang merdeka terhadap dunia. (*)

SULUH MHSA | Edisi IX|Pebruari 2012

19


percik

Budaya Melalui Perahu

Foto: Saiful Bahri/SM

Serambi

BERBUDAYA MELALUI PERAHU Kebudayaan Madura yang labil dalam ingatan kolektif masyarakat, mengilhami Yazid R Passandre untuk membuat novel. Setelah novel Lumpur yang mendedahkan korban ekses pembangunan di Renokenongo Porong Sidoarjo, kini Yazid sedang merampungkan novel sejarah bertajuk Parao. Parao ini berasal dari bahasa Madura (perahu, Indoensia). Pria kelahiran Sumenep 1978 ini malang melintang di jelajah rantau dan pulang kampung menginvestigasi parao. Berikut kisah novelis Madura, Yazid R Passandre yang disajikan dalam bahasa tutur.

H

idup itu ternyata tidak mudah ya. Jagat ini seperti altar yang di dalamnya penuh dengan kandang-kandang. Jika saya kuda dalam satu kandang, saya harus bertarung dengan kuda lain di kandang yang sama. Menang di kandang yang sama, saya harus keluar kandang lagi dan kembali bertarung dengan kuda lain yang berasal dari kandang yang berbeda. Seterusnya begitu. Tetapi inilah seninya bagi orang yang menyadari. Bagi saya, tanah kelahiran saya ini (Madura) sangat unik dan menarik. Salah satu keunikannya antara lain agak sulit menerima kekalahan. Saya jadi khawatir, kerapan sapi yang memenangkan dua versi (menang di bagian menang dan menang di bagian kalah) justru masyarakat saat ini tidak mau sapinya dikalahkan terutama dalam derap langkah yang sama dalam pacuan. Itulah sebabnya saya di berba-

20

SULUH MHSA | Edisi IX|Pebruari 2012

gai tempat khususnya di luar Madura selalu mempopulerkan Madura, terlepas memiliki kelebihan atau kelemahan sebagai sebuah bangsa. Semula, menjadi novelis tidak terbayangkan karena sesungguhnya di Madura saya bukan siapasiapa. Tetapi detail hidup di sekitar saya menggariskan hal yang berbeda, unik dan sayang kalau tidak ada yang menyelamatkan. Saya takzim terhadap D Zawawi Imron yang berada di pelosok tetapi andil dalam mempopulerkan desanya, daerahnya. Celurit emas yang mendedahkan semerbak mayang menurut saya luar biasa. Banyak tokoh Madura yang lain tetapi mereka memilih tinggal di luar Madura. Abdul Hadi WM, Fudholi Zaini, Jamal D Rahman, Ahmad Nurullah, dan sejumlah budayawan lainnya. Di luar budayawan


Budaya Melalui Perahu

Sebagai orang Madura meski tidak sepenuhnya karena salah satu orangtua saya dari luar Madura, saya merasa Madura banget. Di dalam tubuh saya mengalir darah Madura. Saya melihat sebagian generasi Madura sudah tidak kekeh lagi terhadap le-

YAZID R.P

Hemat saya ada beberapa kata yang bisa lekat ke Madura selain Carok. Misalnya, kerapan sapi dimana asosiasi orang yang mendengarkannya sudah jelas muaranya. Begitu pula tanduk majeng dimana orang akan memberi arti sebagai lagu Madura terkenal. Lainnya, sate, yang tidak terbantahkan. Inilah yang saya katakan sebagai ingatan kolektif, semua tahu artinya dan semua tahu ke mana alamatnya. Tapi ya jangan carok, kesan yang muncul kurang bagus dan memebri kesan anarkis. Ada lagi satu kata, parao, yang menurut saya tidak sesederhana tetapi mengandung filosofi dan makna yang luar biasa.

ibmareS

bukti nyata, yang diperlihatkan para pembuat perahu di empat kabupaten di Madura. Di luar itu, parao juga menjadi sumber penghidupan bukan saja untuk mengais rejeki tetapi bagaimana caranya nelayan selamat dari terpaan gelombang maupun sapoan angin. Di jaman Nabi Nuh, perahu juga menjadi salah satu cara menyelematkan diri dari banjir yang luar biasa besar di jamannya. Maka, bagi para nelayan Madura, membuat parao bukan saja rutinititas dan religiusitas, tetapi ini sebentuk budaya tanding yang luar biasa filosofis.

Foto: Abrari/SM

pasti lebih banyak lagi. Tetapi hidup adalah pilihan termasuk apakah akan tinggal di Madura atau di tempat lain. Cuma apakah termasuk pilihan jika ada orang Madura tetapi tidak senang terhadap budayanya. Atau, jangan-jangan ini sebentuk keputusasaan karena di tanah kelahirannya tidak berperan dan tidak mendapat peran.

percik

Novelis Tinggal di Talango Sumenep

luhur dan akar budayanya. Saya hanya berpikir apabila ketidakkekehan itu juga melibatkan saya, pastilah semakin banyak yang tidak peduli Madura. Padahal jujur, meski Madura tidak saya singgahi setiap hari, tetapi Madura serasa hadir. Saya prihatin ketika saya di Jogja atau Jakarta, betapa banyak generasi madura yang tidak mengakuii secara kultural-geografis sebagai Madura. Di sisi yang lain betapa banyak pula warga Madura di luar negeri yang lupa pada Indonesia tetapi sangat ingat terhadap tanah kelahirannya Madura. Ketika ditanya dari mana, mereka di Malaysia mengatakan dari Madura tanpa mengatakan dari Indonesia. Inilah salah satu keunikan Madura yang saya tangkap. Satu sisi Madura banget dan pada sisi yang lain Madura dilupakan, untuk tidak menyebut tak diakui.

TEKUN: Seorang pengrajiN perahu di Kecamatan Talango Sumenep sedang tekun menyelesaikan pekerjaannya.

Perahu dan laut merupakan bagian terbesar bagi filosofi, prilaku hidup, dan keseharian warga suku Madura, suatu hal yang mirip dengan orang Bugis memaknai perahu. Di Indonesia termasuk madura, pelaut merupakan nenek moyang sampai diabadikan menjadi sebentuk lagu, nenek moyangku orang pelaut, gemar mengarung luas samudera. Di pesisir Madura, saya lihat warga bukan hanya dikenal sebagai pelaut yang tangguh atau nelayan yang trampil. Tetapi, juga sebagai pembuat perahu kayu yang andal. Tentu saja, dengan teknologi tradisionalnya mereka membuat perahu yang umumnya diawali pembuatannya dengan mengacu kepada hari baik. Itu bukan hanya tercatat dalam naskah kuno seperti di Bugis dalam lakon La Galigo. Namun juga dalam

Nah, saya mencoba melalui novel Parao menyusun masa depan peradaban yang dikaitkan dengan sejarah Arya Wiraraja. Sebab di era silam, para tokoh menggunakan parao untuk berpolitik, berbisnis, bahkan menjajah. Nilai yang remeh-temeh ini kadang-kadang terlupakan begitu saja dan saya ingin memungutnya kembali dan menjadikannya lebih bernilai. Sejujurnya, saya menyadari bahwa saya bukan siapa-siapa. Mungkin hanya seonggok generasi yang tidak rela budaya leluhurnya tercerabut begitu saja dan lepas tanpa nilai. Melalui novel Parao di tengah novel saya lainnya, saya berusaha menjelaskan kepada publik bahwa Madura bernilai, memiliki falsafah, dan tak mudah menyerah. Setidaknya Parao menjadi saksi bahwa warga Madura mencintai budayanya. (**)

SULUH MHSA | Edisi IX|Pebruari 2012

21


MUANG SANGKAL

Tari Muang Sangkal Adalah Tari asli masyarakat Sumenep yang sringkali ditampilkan saat menyambut tamu agung

22

SULUH MHSA | Edisi IX|Pebruari 2012


Foto: Abrari/SM

SULUH MHSA | Edisi IX|Pebruari 2012

23


FOKUS LENSA Fokus Lensa

24

Kerapan tanpa Kekerasan

SULUH MHSA | Edisi IX|Pebruari VIII|Januari 2012 2012


Fokus Lensa

KERAPAN TANPA KEKERASAN

K

erapan Sapi sudah menjadi ikon budaya dari Pulau Madura. Sayangnya kerapan sapi tidak lepas dari penyiksaan kepada sapi yang dilombakan. Karena dalam perlombaan ini hanya sapi tercepat yang akan mendapatkan pengharagaan, maka sang pemilik sapai menggunakan segala cara untuk membuat sapinya berlari kencang. Sejak memberinya jamu berupa telur dan minuman bersoda hingga melukainya saat lomba digelar. Sebelum perlombaan dimulai sapi dilukai di bagian pantatnya yakni diparut dengan paku hingga kulitnya berdarah. Kemudian saat adu cepat berlangsung, sang joki mengusik luka-luka tersebut dengan berbagai bahan yang akan membuatnya semakin perih dan sakit, seperti parut dan cambuk berduri. Selain melukai bagian pantatnya, sang pemilik sapi juga mengusapi anus sapinya dengan balsem. Ini dimaksudkan agar sapi merasa kepanasan dan dengan demikian ia diharapkan berlari membabi buta hingga bisa mendahului lawan tandingnya. Kekerasan atau penyiksaan terhadap sapi ini membuat para tokoh ulama prihatin. Mereka bersama para pemuda dan tokoh Madura serta para penyayang binatang mewacanakan penyelenggaraan kerapan sapi tanpa kekerasan. Sebab penyiksaan terhadap hewan pada akhirnya hanya akan mencederai nilai luhur kebudayaan Madura itu sendiri. Atas desakan berbagai pihak dan dukungan dari beberapa kalangan, akhirnya Badan koordinasi wilayah Pamekasan menyelenggarakan Karapan Sapi tanpa kekerasan. Pagelaran yang diletakkan di Kabupaten Pamekasan ini menjadi even kerapan sapi pertama kali yang digelar tanpa kekerasan. Karapan sapi tanpa kekerasan ini digelar pada hari Minggu (12/2/2012) di Stadion Sonearto Hadiwidjoyo. Kerapan sapi tanpa Kekerasan ini dihelat mulai pukul 09.00 hingga pukul17.00 sore. Sesuai ketentuan, masing-masing bupati atau dinas terkait mengutus enam pasang Sapi Kerap. Artinya, ada 24 pasang sapi yang bertanding untuk menjadi yang terbaik dalam pagelaran ini.

Mashudi mengatakan pelaksanaan lomba menjadi lebih alamiah. Tanpa adanya siksaan, justru bisa dijadikan tolak ukur sapi yang benarbenar kencang larinya di lapangan. “Kecepatan lari sapi murni karena kekuatan sapi, bukan karena disakiti,� ucapnya. Ia berharap ke depan tidak ada lagi pelaksanaan kerapan sapi yang menggunakan cara-cara lama dengan menyiksa sapi. (*) Foto: Saiful Bahri/SM

SULUH MHSA MHSA | Edisi VIII|Januari IX|Pebruari 2012

25

Foto-foto: Saiful Bahari/ SM

Salah seorang penonton asal Kabupaten Bangkalan, Mashudi, kagum menyaksikan lomba karapan sapi tanpa kekerasan. Menurut Mashudi, meski tidak menggunakan cambuk berpaku, lomba karapan sapi tetap menarik ditonton.


INDAHNYA POLA HIDUP SEHAT

Tenty Damayanti Ardillah

Berkutat dengan segudang kegiatan kadang membuat tubuh menjadi rentan terhadap berbagai penyakit, untuk itu pola hidup sehat menjadi solusi utama bagi mereka yang mempunyai banyak kegiatan. Seperti “Tenty Damayanti Ardillah” gadis cantik kelahiran Sumenep ini selalu menerapkan pola hidup sehat dengan berolahraga dan banyak makan buah. Menurut Tenty, pola hidup sehat seharusnya bisa diterapkan oleh semua orang, “sekarang itu kan makanan udah mulai banyak macemnya tuch, apalagi tidak sedikit yang nggak sehat dan berlemak, mungkin kalau sekarang sich belom ada efeknya tapi liat aja ntar beberapa tahun lg, pasti deh akan terasa!”. Jawabnya dengan penuh percaya diri. Disela-sela aktivitasnya sebagai mahasiswi yang juga sibuk menjadi aisten dosen ini menjelaskan, “dalam menjalankan pola hidup sehat, aku sich banyak minum air putih sama buah-buahan trus juga di usahain rutin olahraga walaupun Cuma lari keliling rumah selama 5 hingga 10 menit udah cukup untuk bisa ngeluarin keringat, yang terpenting niat sich, dimana ada kemauan disitu pasti ada jalan.” tukasnya. Memiliki tubuh yang selalu sehat adalah keinginan semua orang. Bukan cuma sehat jasmani tapi juga sehat rohani. “Untuk memperoleh badan yang sehat tentunya harus diikuti dengan pola hidup yang sehat juga”. sahut Dara imut yang punya hobi baca dan nulis puisi ini. (DJ)

26

SULUH MHSA | Edisi IX|Pebruari 2012


HIDUPLAH

DENGAN PILIHAN BAIK Rofiqoh Nurul

“Hidup ini adalah pilihan-pilihan. Dan aku memilih untuk hidup dengan kegeranku yang kupikir bisa memberi manfaat buat lingkungan sosilaku. dalam hal ini Madura.” Betulih sebagian kata yang diucapkan gadis asli Kabupaten Bangkalan ini saat berbincang dengan Suluh. Menurutnya, dalam hidup banyak sekali sesuatu yang menyenangkan dan mengasyikkan. Namun tidak semua yang menyenangkan itu baik untuk kita lakukan. “Bagaimanapun kita musti memilih yang menyenangkan dan yang baik sekaligus” Ujarnya. Dalam pandangannya, hidup ini hanya sekali dan harus benar-benar berarti. Dan keberartian hidup adalah tergantung sejauh mana kita bermanfaat buat lingkungan sosialnya. Tak heran jika kemudian ia kerapkali memilih batik sebagai gaunnya saat menjalani kegermarannya sebagai model di atas catwalk. Menurutnya, menggunakan batik adalah bagian dari upayanya ikut melestarikan karya dan budaya masyarakat mMadura. (obeth)

SULUH MHSA | Edisi IX|Pebruari 2012

27


Serambi

Jeda

Penghargaan untuk Si Celurti Emas

Ke Thailand, Zawawi Diantar Kelenjar

28

SULUH MHSA | Edisi IX|Pebruari 2012


Penghargaan untuk Si Celurti Emas

Apapun yang dilakukan secara istiqamah, pada akhirnya akan berbuah. Inilah yang dicontohkan penyair nasional HD. Zawawi Imron. Dia terbang ke Thailand untuk memenuhi undangan Raja Thailand dalam serah terima penghargaan Penyair Asia Tenggara (South East Asia Writer Award) 2012. Tim yudisium Thailand menilai puisi Zawawi yang bertajuk Kelenjar Laut layak mendapatkan penghargaan itu.

Jeda

ibmareS Infotorial

Sebelum akhirnya mendapat penghargaan, Zawawi pernah “membocorkan” reward itu kepada SULUH tetapi dia minta untuk tidak ramai dulu karena saat itu belum pasti. Kini, juara itu benar-benar menjadi kenyataan. Zawawi mengaku nenek moyangnya berdarah Bugis-Makassar. Sejak tamat Sekolah Rakyat (SR, setara dengan sekolah dasar) dia melanjutkan pendidikannya di Pesantren Lambicabbi, Gapura, Semenep, dan kemudian belajar secara otodidak hingga menemukan kecintaannya pada dunia sastra. Ia mulai terkenal dalam percaturan sastra Indonesia sejak Temu Penyair 10 Kota di Taman Ismail Marzuki, Jakarta pada 1982. Di tahun itu terbit kumpulan sajaknya “Bulan Tertusuk Lalang”, yang kemudian mengilhami film Garin Nugroho dengan judul yang sama. Zawawi, penyair Madura par excellence. Penyair yang menulis dalam bahasa Indonesia dengan mengangkat khazanah Madura dalam sajak-sajaknya. Yakni penyair yang menjadikan Madura hadir secara amat bermakna dalam khazanah sastra Indonesia. Lahir, tumbuh, dan besar di Madura tentu membuat Zawawi akrab dengan idiom-idiom Madura, sehingga dia bisa memaknainya secara intens dalam sajak. Ia melakukan pergulatan batin dan dialog dengan lingkungan terdekatnya: pohon siwalan, lenguh sapi, kalung genta sapi kerapan, saronen (musik tradisional Madura pengiring kerapan sapi), legenda rakyat Madura, kemarau, laut, dan lain-lain. Dan Madura telah menjadi sumber inspirasi sejak masa-masa paling awal karier kepenyairannya. Hal itu membedakan Zawawi dari sejumlah sastrawan kini, terutama setelah Soeharto jatuh, yang menulis sastra Indonesia warna lokal (budaya daerah) karena menganggap pusat “kemodernan Indonesia” (Jakarta dan cara pandang sosial-politik-nasionalnya) sebagai “sumber masalah”. Oleh karena itu karya-karya Zawawi tidak tampil beringas, tetapi lembut sebagai nyanyian atau semacam ode (pujaan) kepada alam, sosial, dan budaya. Pemujaan itu tidak lahir dari kebencian terhadap “kemodernan Indonesia”, meskipun dalam beberapa karya dihadirkan kemiskinan Madura (sisi lain Indonesia) yang terpinggirkan.

Reward ini merupakan anugerah kesekian kalinya ketika di tahun-tahun sebelumnya Zawawi mendapatkan berbagai penghargaan baik dari dalam maupun luar negeri. Ini lantaran Zawawi dianggap sebagai penyair produktif yang tidak lekang waktu meski usianya mendekati 70 tahun. Tetapi seperti sastrawan lainnya, penyair akan lebih mudah mati apabila tanpa karya. Sedangkan Zawawi tetap bertahan hidup melalui karya dan aktivitasnya di sejumlah tempat. Diantara kegiatan Zawawi antara lain menjadi anggota dewan pengasuh pesantren Ilmu Giri (Yogyakarta). Ia juga berceramah sekaligus membacakan sajaknya baik Yogyakarta, Surabaya, Surakarta, Makasar, Malang, Jakarta, Sulawesi dan bahkan di luar negeri. Zawawi masih setia tinggal di Batang-batang Sumenep yang telah memebri inspirasi bagi puisi-puisinya. Buku itu pula yang mengantarnya dalam meraih penghargaan dari Pusat Pembinaan Bahasa Nasional. Puisi yang mendapat apresiasi ini, berisi puisi bebas yang tetap menunjukkan kekhasan kampung halaman Madura. Selain itu, Zawawi pernah memperoleh penghargaan dari Majelis Sastra Asia Tenggara di Malaysia. Dalam waktu dekat, dia bersiap-siap melaunching 85 sajak-sajak terbarunya yang ia beri judul Kaki Tiga. Nama kaki tiga terinspirasi kondisinya yang sejak 4 bulan lalu tidak bisa berjalan tegak tanpa bantuan tongkat.

Beberapa karya besarnya antara lain: Semerbak Mayang (1977), Madura Akulah Lautmu (1978), Celurit Emas (1980), Bulan Tertusuk Ilalang (1982), Nenek Moyangku Airmata (1985), Berlayar di Pamor Badik (1994), Bantalku Ombak Selimutku Angin (1996), Lautmu Tak Habis Gelombang (1996), Madura Akulah Darahmu (1999), dan Kujilat Manis Empedu (2003). Beberapa sajaknya telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris, Belanda dan Bulgaria. Buku kumpulan sajaknya, “Nenek Moyangku Airmata” mendapat hadiah Yayasan Buku Utama Departemen P & K (1985). Kemudian “Celurit Emas” dan “Nenek Moyangku Airmata” terpilih sebagai buku puisi terbaik Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Zawawi yang juga penerima hadiah utama penulisan puisi ANteve dalam rangka HUT RI ke-50 (1995) ini, pernah menjadi pembicara dalam Seminar Majlis Bahasa Brunei Indonesia Malaysia (MABBIM) dan Majlis Asia Tenggara (MASTERA) Brunei Darussalam (Maret 2002), serta pernah tampil dalam acara kesenian Winter Nachten di Belanda (2002). Di dalam tahun 2011, puisinya yang berjudul “Kelenjar Laut” mendapat penghargaan hadiah sastra Asia Tenggara dari Kerajaan Malaysia di Kuala Lumpur. Hadiah diserahkan langsung oleh Wakil Perdana Menteri Malaysia Tan Sri Muhyiddin Yassin. “Puisi ini merupakan hasil pengembaraan rohaniah saya dalam memandang orang kecil dan cinta Tanah Air,” kata Zawawi. (**)

SULUH MHSA | Edisi IX|Pebruari 2012

29


Politika

AROMA PILKADA SE

P

ilkada Pamekasan, jika jadwal tidak berubah, dihelat 9 Januari 2013. Perkembangan terakhir, hampir dipastikan incumbent mencalonkan lagi. Lainnya, mantan bupati Ahmad Syafii juga dikabarkan akan maju. Ada lagi, tokoh muda Badruttamam yang kini menjadi anggota DPRD Jatim disebut-sebut akan tampil juga. Memang semuanya belum pasti. Sebab kepastian itu baru bisa diketahui ketika mereka mendaftar dan dinilai cukiup syarat oleh KPU. Di luar tiga nama tersebut, banyak nama yang dinilai layak mencalonkan sebagai bupati Pamekasan 2013 – 2018. Dari sejumlah nama yang dikabarkan muncul antara lain mantan wakil ketua DPRD Fariduddin,

30

wakil ketua DPRD Muhdlar Abdullah, ketua Golkar Boy Suhari Sadjidin, dan ketua Partai Gerindra Agus Sujarwadi. Di luar itu ada nama pejabat seperti kadis PU Totok Hartono, mantan kadis pendidikan Yusuf Suhartono, dan ada pula ketua DPRD Kholil Asyari. Tetapi seperti tiga nama yang disebut dalam tulisan ini. Semua belum pasti secara de jure sebelum mendaftar di KPU. Belakangan, sejumlah SMS beredar yang berisi dukungan kepada salah serang bakal calon bupati Ahmad Syafii yang disebut-sebut bakal diberangkatkan dari Partai Demokrat. Tetapi kemudian, jajaran Demokrat segera menyampaikan klarifikasi. Intinya, SMS yang beredar dan berisi dukungan itu muncul se-

SULUH MHSA | Edisi IX|Pebruari 2012

cara pribadi. Sebab secara kepartaian, belum ada rekomendasi untuk memebrangkat figus tertentu dalam pilkada 2013 mendatang. Meskipun, disadari sejumlah nama sedang digodok untuk diajukan kepada DPP Demokrat seperti Ahmad Syafii, Fariduddin atau nama yang lainnya. Salah satu pengurus Partai Demokrat Khairul Kalam tidak menampik banyak nama yang muncul menjelang pilkada Pamekasan. Dia nilai hal itu wajar meski pada akhirnya akan terjaring sedikit nama dibanding nama-nama yang marak belakangan ini. Terkait nama Ahmad Syafii yang juag kader Partai Demokrat, Khairul menegaskan secara organisasi belum menyebut nama siapa pun untuk menjadi calon


MAKIN MENYERUAK bupati. Tetapi di dalam politik, katanya, tidak ada yang tidak mungkin. Khairul menyadari nama Ahmad Syafii disebut-sebut melalui sejumlah SMS. “Biasa saja, menjelang gawe politik selalu ada nama yang muncul,” katanya. Sementara itu,orang dekat in cumbent KH Anwari Khalil yakin Kholilurrahman maju dalam pilkada mendatang. Indikasinya, Kholilurrahman telah menyiapkan piranti untuk melanjutkan kepemimpinannya di lima tahun mendatang. Seperti halnya Khairul Kalam, Anwari Khalil juga menilai hal yang lumrah apabila banyak nama muncul menjelang pilkada. Selain itu, kadang-kadang ada moving issue yang dialamatkan ke pihak tertentu untuk menaikkan

atau menurunkan rating figur tertentu pula. “Ya begitulah politik, tenang di satu tempat belum tentu tenang di tempat yang lain,” katanya. Di tempat terpisah, Badruttamam akan melihat situasi apakah akan maju atau tidak dalam pilkada mendatang. Melihat Kholilurrahman dan Ahmad Syafii, Badrut menilai dua orang tersebut sekufuk. Tetapi membiarkan keduanya bertarung one by one dapat membuat situasi Pamekasan memanas. Pasalnya, dua tokoh tersebut pernah bertarung dalam pilkada 2013. Karena itu, diantara Kholilurrahman dan Ahmad Syafii perlu ada calon alternatif atau muhallil politik. Sebagian pihak, katanya, telah menyarankan dirinya maju berada diantara kandidat Kholi-

lurrahman dan Ahmad Syafii. “Ini menarik saya untuk istikharah dan konsultasi kepada ilama dan kiai khos,” terangnya. Adapun di Sampang, sejumlah nama juga muncul seperti incumbent Noer Tjahja, Fannan hasib, dan haryono Abdul Bari. Muncul juga nama Zairina yang dikabarkan akan menjadi kuda hitam. Tetapi sebagaimana halnya pilkada, ,berita tentang pilkada dan nama-nama cendrung berubah. Ini juga yang terjadi di Bangkalan. Incumbent yang tidak bisa lagi mencalonkan akan memasang orang untuk menghadang derap calon (rivalitas) lainnya seperti Imam Bukhari maupun Farid Fauzi yang dikabarkan akan maju di Bangkalan. (abe)

SULUH MHSA | Edisi IX|Pebruari 2012

31


Politika

DI PILKADA, Saya Bukan Kuda Hitam Dugaan kandidat calon bupati Pamekasan yang ditengara mengabarkan nama Kholilurrahman (incumbent) dan Achmad Syafii Yasin (anggota DPR RI) diprediksi bakal menghangat. Sebab, dua tokoh ini pernah berjibaku pada pilakda 2008. Di luar itu, Badruttamam (anggota DPRD Jatim), diperkirakan akan muncul sebagai calon alternatif. Bahkan tidak menutup kemungkinan Badruttamam menjadi kuda hitam yang diuntungkan dari berseterunya Kholilurrahman-Achmad Syafii Yasin part two. Begitukah? Berikut wawancara SULUH dengan Badruttamam. Apa kabar? Alhamdulillah, sae (sehat wal afiat). Dengar-dengar Anda mau nyalon (Bupati Pamekasan)? Ha ha ha, saya kira semua bisa menjadi calon, jika syarat-syaratnya terpenuhi. Antum juga bisa (mencalonkan Bupati Pamekasan). Apa sih syarat menjadi calon bupati? Waduh...itu urusannya KPU. Pilkada kan masih lama, jika tidak berubah digelar pada tanggal 9 Januari tahun depan. Seperti halnya yang lain, saya bisa maju, bisa juga tidak maju. Tergantung syarat dan piranti pendukung lainnya. So, bagi saya wait and see itu sudah lebih dari cukup. Tetapi yang perlu saya garisbawahi, saya tidak ingin mendahului takdir politik. Biar saja segala sesuatu berjalan apa adanya, seperti air yang mengalir. Namun harus diingat, tahu air tidak bisa dibendung.

32

SULUH MHSA | Edisi IX|Pebruari 2012

Tetapi banyak orang menduga Anda akan maju? Sebagai wacana itu hal yang wajar. Namun sebagai kenyataan, tentu belum bisa dipastikan hari ini. Kalau saya memang harus maju seijin pengurus pusat, atas rstu maupun dukungan ulama dan masyarakat, saya hanya meyakini hal itulah yang terbaik bagi saya. Tetapi andai tidak harus seperti itu (maju pilkada), itu juga saya arifi sebagai kenyataan yang harus disikapi positif. Namun apapun yang terjadi, saya ingin menjadi yang terbaik. Ada yang menilai, tanpa kampanye pun Anda sudah mendapat simpati dari pemilih pemula? He he he...indikatornya apa dulu. Kalau barometernya karena sesama pemuda hal itu sangat mungkin. Tetapi masa depan bangsa kan tidak hanya ditentukan kaum muda. Sebagai santri, saya sami’na wa atha’na terhadap ndawuh pini-


Politika sepuh. Saya hanya berharap semoga yang saya lakukan sebagai wakil rakyat bisa memberikan manfaat, seberapa pun kecilnya. Anda dikenal politisi muda, gemar berorganisasi, dan melestarikan tradisi kaum santri Saya tidak tahu apakah yang saya lakukan selama ini sebagian dari karier (politik) atau tidak. Tetapi dalam biografi, saya dianggap politisi muda yang lahir tanpa karbit. Sejak SLTP saya sudah aktif di Osis dan pada saat yang sama saya nyantri (di Ponpes Mambaul Ulum Batabata Pamekasan). Kemudian pindah lagi ke pesantren al Hidayah, Lasem rembang Jateng (pondok salah satu pendiri NU, KH Syakir Maksum). Kata orang saya aktivis juga, dan berjuang untuk kaum mustad’afin. Tetapi sudahlah, saya kira siapa saja berhak menilai. Bagi saya, siapapun adalah saudara saya. Jika siapapun bukan bagian dari solusi, setidaknya kita semua bagian dari persoalan. Lalu bagaimana dengan pilkada atau kepemimpinan di Pamekasan? He he he mokso....semua tahu rakyat adalah pemilik sah kedaulatan di republik ini. Banyak yang bilang saatnya kaum muda memimpin. Semuanya tergantung masyarakat. Jika mau, tanpa kampanye Anda sudah mendapat simpati dari pemuda dan pemilih pemula? Survey dari mana itu he he he. Sudah saya jelaskan tadi, saya bisa maju tetapi juga bisa tidak maju. Lihat dulu situasinya. Bila situasi memungkinkan saya maju, bismillah, bidznillah dan restu daru ulama, insyaallah saya maju, atau sebaliknya. Bagi saya, reformasi itu tidak hanya memilih bupati dan calon wakil bupati. Yang terpenting kan Madura lebih baik dan berkualitas. Indikator Madura lebih berkembang dilihat dari masingmasing kabupaten . Apa yang harus dilakukan menuju kemajuan? Ya kita samakan komitmen. Ada yang bilang saatnya kaum muda memimpin. Idiom itu sederhana. Tetapi melaksanakannya, susahnya minta ampun karena masyarakat kita plural. Akibatnya, sebagian generasi

Bersama Once dalam sebuah kesempatan

bangsa menjadi apatis terhadap lingkungannya dan orangtua cenderung memilih jalanya sendiri. Begitu hal itu terjadi, masyarakat bingung karena sejak dari keluarga anak mengalami disintegrasi berbangsa. Keluar dari rumah, anak menemukan yang tak berbeda, tak terintegrasi pula, dan hal ini semakin lebih parah. Karena situasinya begitu lalu Anda akan menjadi calon bupati? He he he saya akan berhitung dulu antara mafsadat dan manfaatnya buat Pamekasan ke depan. Kalau pada akhirnya saya maju, itu tuntutan sejarah. Bila pada akhinya dukungan kepada saya menguat, apa boleh buat. Atau, bila pada akhirnya ada calon yang lebih dahsyat, siapa saja harus berpikir. Bagi saya perlu ada survey. Sebab sementara ini, hasil survey tentang apapun tetap menjadi rujukan dan data pembanding. Harapan Anda?

Sudah saya jelaskan, pilkada tidak hanya memilih kepala dan wakil kepala daerah. Menurut saya pilkada adalah saat yang tepat untuk menata diri menuju Pamekasan yang lebih berkualitas. Mengganti atau tidak mengganti kepala daerah itu hanya satu momentum demi hal yang jauh lebih penting. Diantara yang penting itu adalah pembangunan berbasis masyarakat. Itulah sebabnya saya tidak henti-hentinya meminta kepekaan siapa saja sesuai dengan porsi dan posisinya di republik ini untuk memperbaiki kualitas hidup untuk dirinya, orang lain, dan lingkungan sosialnya yang mesti seimbang. Banyak hal yang bisa dilakukan karena pemerintah mengagendakan pembangunan untuk masyarakatnya dengan satu syarat, tidak sombong. Sebab sombong itu artinya menolak kebenaran dan meremehkan orang lain. Marilah bersama-sama bermunajat, berikhtiar, mencari untuk menemukan yang terbaik. (**)

Nama Lahir Alamat Istari

: Badruttamam S.Psi : Pamekasan 12 Desember 1977 : Pondok Pesantren Sumber Anyar Larangan Tokol Tlanakan Pamekasan : Nayla Hasanah Syarqawi

Pendidikan

: SDN Tlesah Tlanakan Pamekasan : MTs Mambaul Ulum Bata-bata Palengaan Pamekasan : MA Mambaul Ulum Bata-bata Palengaan Pamekasan : S1 Fakultas Psikologi Unmuh Malang

Pengalaman

: Nyantri di Ponpes Al Hidayah Lasem Rembang : Nyantri di Ponpes Al Khoziny Buduran dan Ponpes Al Falah Ploso Kediri : Aktif di Teater Belbaba dan Presiden BEM Unmuh Malang : PC PMII Kota Malang : Ketua Komite Indonesia Pemebrantasan Pornoaksi dan Pornografi Jatim : Balitbang PWNU dan Penasehat PWNU Jatim : Sekretaris Fraksi PKB dan anggota DPRD Jatim : Penasehat Lembaga Pemberdayaan Pesantren dan Masyarakat Jatim : Deklarataor dan penasehat Aswaja Madura

Biodata

SULUH MHSA | Edisi IX|Pebruari 2012

33


kicreP

Akademia

Gedung Sekolah Memperihatinkan

L

Di Sumenep saja, SD yang mengalami kerusakan yang jumlanya hampir mencapai 1.000 sekolah. Dewan pendidikan pun angkat suara sekedar meminta agar sekolah yang rusak itu diperbaiki, disesuaikan dengan tingkat kerusakan dan anggaran. Anggota Dewan Pendidikan Sumenep Ahmad Firdaus misalnya, mengaku kemajuan pendidikan memang tidak semata-mata karena faktor bangunan fisik yang megah. Tetapi kualitas pendidikan tidak mungkin akan maju jika bangunan fisiknya rusak dan kegiatan belajar mengajar berlangsung dalam kelas yang tidak layak. Data dari Dinas Pendidikan Kabupaten Sumenep, hingga saat ini ada 975 ruang kelas yang rusak berat dan kelas rusak ringan. Hal itu selain karena faktor bencana alam, ada juga karena faktor dimakan usia. Kepala Dinas Pendidikan Ahmad Masuni mengakui sudah melakukan pendataan yang rencanaya pada tahun 2012 ada 100 sekolah yang akan diperbaiki. “Semoga berjalan lancar ,” katanya kepada sejumlah wartawan yang menemuinya. Begitu pula di kota yang menjuluki diri sebagai kota pendidikan Madura; Pamekasan. Ratusan sekolah di Kabupaten Pamekasan kondisinya tak layak digunakan. Banyak fasilitas belajar mengajar tak bisa difungsikan. Bangunannya sudah tua dan retak. Sekolah rusak ini tersebar di 13 Kecamatan. Data versi Dinas Pendidikan (Disdik) Pamekasan menyebutkan, daftar sekolah yang rusak di Kabupaten Pamekasan 2012 mencapai 300 sekolah dasar (SD). Kerusakan parah terjadi di wilayah utara terutama kecamatan Pegantenan (46 sekolah), Batumarmar (35) Pasean

34

F/Supporter/Saiful Bahri

ebih dari 1001 gedung sekolah di Madura rusak ringan, sedang, dan berat. Kerusakan itu terjadi karena lapuk dimakan usia, tersapu badai, dan sebagian lainnya sengaja dirusak. Jelas saja situasi yang serba rusak ini mengganggu KBM (kegiatan belajar). Sungguh pun begitu, anak-anak bangsa di Madura tetap berprestasi, setidaknya tetap optimis untuk terus berprestasi. Kerusakan sekolah ini umumnya menimpa sekolah dasar.

SUPPORTER P-MU: Tanpa kehadiran suporter, tim P-MU sebenarnya bukan siapa-siapa

Pendidikan

di Atas Sekolah yang Rusak (30) dan Kecamatan Kota 18 sekolah dasar. “banyak yang sudah diperbaiki tetapi ya tetap saja lebih banyak yang rusak (ringan, sedang, dan berat),” kata kabid pendidikan dasar setempat, Prama Jaya. Tidak berbeda dengan sejumlah SD di Kabupaten Sampang. Namun dari sekian sekolah yang rusak di Sampang, ada kerusakan yang berbeda. Sebab, sekolah rusak ini antara lain bukan karena lapuk dan melepuh. Melainkan, ada yang diduga sengaja merusaknya. Di SDN Rahayu 2, kecamatan Kedundung misalnya, awal Pebruari lalu mendadak rusak. Kuat dugaan dirusak orang tidak di kenal. Akibatnya gedung di sekolah tersebut rusak parah dan ratusan siswa terpaksa belajar di rumah warga setempat. Puluhan siswa yang tiba di sekolah lebih awal hanya bisa melihat sekolahnya yang berantakan. “Mungkin ada yang (sengaja) merusak,” duga Suprayitno, kepala SDN Rahayu 2 Sampang. Hal yang sama terjadidi Bangkalan, 241 gedung sekolah dasar (SD) atau 36 persen dari total 671 sekolah

SULUH MHSA | Edisi IX|Pebruari 2012

yang ada di Kabupaten Bangkalan Kabid Sarana dan Prasarana (Sarpas) Dinas Pendidikan Bangkalan Bambang Budi Mustika menjelaskan, sebagian besar gedung SD yang rusak disebabkan faktor usia. Sebab, usia gedung SD sudah tua dan dibangun kisaran tahun 1975- 1980. Seperti halnya kabupaten lainnya di Madura, Pemkab Bangkalan telah melaporkan jumlah gedung sekolah yang rusak kepada menteri pendidikan. Itu, lantaran kementerian pendidikan memiliki program rehab gedung sekolah yang harus kelar sebelum tahun 2013. Pemerintah menyiapkan anggaran Rp 18 triliun untuk perbaikan sekitar 140.000 bangunan sekolah yang rusak. Perbaikan akan dilakukan tahun 2012 ini sehingga tahun 2013 tak ada lagi laporan sekolah yang rusak berat. “Kalau ketemu sekolah rusak, jawabannya hanya satu, ya... dibangun“ Kata Menteri Pendidikan Muhammad dalam sebuah kesempatan. (fat/ nang/bus)


Madrasah di Negeri Paman Sam

Akademia

Percik

MADRASAH

DI NEGERI PAMAN SAM

Pernahkah anda membayangkan di negeri adi daya seperti Amerika berdiri sebuah sekolah agama sejenis Madrasaha? Jika tidak, anda jelas salah. Sebab di sana pun ternyata ada Madrasah. Lembaga pendidikan ini diselenggarakan oleh Indonesian Muslim Assosiation in America (IMAAM). Lembaga pendidikan yang diberinama madrasah ini mengelola pendidikan untuk anak balita hingga bapak-bapak. Madrasah yang hanya masuk pada hari minggu ini, diselenggarakan di Washington DC Amerika Serikat. Karena belum memiliki fasilitas dan gedung sendiri, Pengurus IMAAM akhirnya berinisiatif menyewa gedung sebuh sekolah dasar atau sekolah setingkat SD di Indonesia. Untuk kegiatan madrasah ini, seluruh pemasukan keuangan murni hasil dari sumbangan masyarkat indonesia yg berda di daerah tersebut. Sebagian besar siswa di Madrasah tersebut berasal dari Indonesia yang dilahirkan di negara adi daya tersebut serta beberapa di antaranya berasal dari Malaysia. Foto/Teks: Saiful Bahri/SM.

PAUD PAMAN SAM: Ashila (depan) dan adiknya Athif, Asal Kabupaten Pamekasan yang juga siswa Play group, atau Pendidikan Usia Dini (Paud), bermain disela-sela jam istirahat sekolah, di Madrasah Indonesian Muslim Assosiation in Amerika (IMAAM ) d Washington DC,Ameriika Serikat, Minggu (22/1)

SULUH MHSA | Edisi IX|Pebruari 2012

35


Kriminal kicreP

Kriminal

Raskiiiiinnn... Raskin...

Dikembalikan, Ada Apa dengan Raskin

S

jadi penyimpangan penyaluran beras untuk warga miskin (raskin) yang ditengara melibatkan orang dalam Badan Urusan Logistik (Bulog). Pemerintah Kabupaten Pamekasan setelah berkoordinasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah setempat bersepakat untuk menindaklanjuti dugaan ini agar prosedurnya lebih benar dan tepat sasaran.

Jauh sebelum kasus Sampang dan Pamekasan, di Sumenep Puluhan Aliansi Pemuda dan Mahasiswa Kepulauan, menggelar aksi di gedung DPRD Sumenep. Sambil membentangkan poster

Foto: Saiful Bahri/SM

ebagian penerima jatah raskin (beras untuk warga miskin) dikembalikan penerimanya di desa Tragi Kecamatan Kota Sampang. Pengembalian ini dilakukan warga karena kualitas beras tak layak. Versi warga, mutu raskin sangat jelek dan kurang layak dikonsumsi. Pengembalian raskin ini diangkut mobil pik up dan diturunkan di Gudang Bulog Sampang.

itu berawal saat bupati bersama wakilnya, Kadarisman Sastrodiwirjo, dan beberapa pejabat di Pamekasan terkait melakukan inspeksi mendadak ke gudang Bulog Pamekasan. Saat itu, rombongan menemukan truk pengangkut beras yang tidak mencantumkan label raskin. Akibatnya, bupati langsung meminta dokumen delivery order (DO) kepada petugas gudang. Dari dokumen itu diketahui beras yang seharusnya dikirim ke Kecamatan Kadur, Pamekasan, justru tercantum nama lain yang ditengara mitra kerja Bulog sebagai penerima.

DEMO RASKIN: Seorang petugas berusaha menenangkan warga yang berunjuk rasa terkait raskin di Balai Desa Larangan Badung, Pamekasan,

Warga tidak neko-neko kecuali hanya mengembalikan dan menuntut ganti beras yang lebih layak di konsumsi. Rahidoh misalnya, perwakilan desa Tragih mengaku terpaksa bersuara mengembalikan raskin dari sejumlah dusun karena kualitasnya sangat jelek tidak layak untuk dimakan. Tonase raskin yang dikembalikan tidak sedikit karena mencapai sekitar dua ton. Sementara Kepala Subdrive Bulog Sampang, Abdul Latif saat dikonfimasi atas pengembalian raskin ini masih belum bersia berkomentar. Sementara di Pamekasan, diduga ter-

36

Orang pertama di pemkab setempat Kholilurrahman mengatakan pihaknya telah mengantongi bukti-bukti yang menguatkan dugaan penyimpangan itu. Antara lain, dokumen delivery order (DO) serta daftar pendistribusian yang diduga tidak tepat sasaran. Semua bukti-bukti itu sudah berada di tangan Sekretariat Daerah. Kholil ingin kasus ini ditindaklanjuti secara agar ada kepastian menyangkut kebenaran ada tidaknya pelanggaran dalam masalah ini. Penemuan kasus dugaan penyimpangan beras bantuan untuk warga miskin

SULUH MHSA | Edisi IX|Pebruari 2012

bertuliskan usut mafia raskin, mereka juga menuntut raskin yang diduga digelapkan oleh oknum kecamatan dan aparat desa Sapeken, saat itu, beberapa waktu yang lalu. Para pengunjuk rasa itu, menduga pernah terjadi dugaan 500 Ton Raskin di Kecamatan Sapeken tidak disalurkan sepenuhnya kepada yang berhak. Karenanya Aliansi Pemuda dan Mahasiswa Kepulauan, mendesak wakil-wakilnya di parlemen khususnya dari Dapil 7 (kepulauan), segera turun ke bawah mengkroscek langsung kasus tersebut. (fat/nang/sai)


PMU, Maju atau tersingkir

Olahraga

Percik

PMU : TAK MENANG DAN TAK KALAH Persepam Madura United harus lega diri karena tidak bisa mengungguli lawannya, Persekam Metro FC Malang saat bertanding di GOR A Yani Sumenep 18 Februari lalu. Skor 1-1 berakhir hingga wasit meniup peluit panjang.

Kesempatan ini mendapat sambutan luar biasa dari PMU mapun pendukungnya di arena GOR A Yani. Evando yang tugasi untuk menjadi eksekutor mampu melaksanakan tugasnya dengan baik. Melalui kaki kanannya, pemain asal Brasil itu mampu merobek gawang Metro FC. Akibatnya, pemain PMU dan pendukungnya bersorak kegirangan. Unggul satu gol, pemain P-MU terus melancarkan serangan. Banyak pe-

mengulur-ulur waktu. Pola permainan ini mendapat kecaman dari pemain P-MU dengan memprotes wasit. Pengamat sepak bola asal Pakong Pamekasan Zaenal Arifin menilai, pertandingan yang disaksikannya seharusnya berkedudukan 5 : 1 untuk (kemenangan) PMU. Ini dia katakan bukan satu bentuk pembelaan atas PMU. Tetapi, analisanya berpijak pada fakta permainan di lapangan

S

Baru pada menit ke 30, para pemain besutan Winedi Purwito terus menggempur pertahanan lawan. Metro FC yang mencoba bermain bertahan terlihat lebih sigap menghadapi serangan melalui sayap dan pemain tengah. Hingga peluit babak pertama berakhir, kedudukan 0-0. Baik PMU maupun Metro, sama-sama tidak berhasil membobol gawang lawan masing-masing. Di 45 menit babak kedua, Win yang menerapkan pola 3-4-3 menginginkan serangan lebih tajam dan lebih ekstrium. Win memasukkan Indrianto pada menit 46 dan menarik Surono. Strategi ini berbuah manis. Wasit Suhardi Suharyo memberikan hadih penalti pada PMU pada menit 46. Ini dilakukan wasit lantaran pemain belakang Metro FC terlihat menyentuh bola di kotak penalti.

Foto: Saiful Bahri/SM

aat awal-awal pertandingan, di depan supporternya, P-MU menggebrak benteng pertahanan lawan. Duet Sudirman dan Marcel langsung menggempur pertahanan Persekam Metro FC. Sayangnya, beberapa kali pertahanan lawan berusaha dijebol, tendangan bola melalui kaki Sudirman digagalkan penjaga gawang Metro FC, Teguh Amiruddin. Begitu juga sundulan Marcell melalui umpan pojok Evando, gagal dimanfaatkan dengan baik oleh Marcell. Bahkan, sundulan Marcell pun masih menyamping dan melebar di sebelah kiri gawang Metro FC. TERKECOH: Beginilah kiper PM-U dikecoh kawannya saat latihan. Dan begini pulalah ia kemudian dikecoh pemain lawan saat tim sape kerapa melawan Persekam Petro FC Malang.

luang emas pun berhasil diperoleh Indrianto. Namun Sayang, tendangannya membentur mistar gawang atau disambar kiper Metro, Teguh Amiruddin.

A Yani Sumenep. Dia yakin puluhan ribu pasang mata menyaksikan permainan PMU v Metro FC. Berkali-kali juga peluang PMU yang berhasil dikandaskan kiper Metro FC.

Meski Metro secara materi pemain ngos-ngosan, namun tim ini berhasil menyarangkan bola di kandang PMU. Ini terjadi karena PMU terlalu menyerang dan lupa pertahanan di baris nelakang. P-MU justru kebobolan di menit 69 melalui sundulan pemain nomer punggung 12, dan kiper PMU Fredi Herlambang tak mampu menjangkau bola yang mengarah ke sebelah kiri. Saat kedudukan imbang, pertandingan berubah menjadi lamban dan tak menarik. Menjelang dua puluh menit wasit meniup peluit panjang, para pemain Metro FC mencoba

Pria yang juga ketua komisi C DPRD Pamekasan ini menyadari bahwa permainan adakalanya tidak ditentukan oleh materi pemain. Tetapi adakalnya keberuntungan tidak bisa membuat pemain yang hebat sekalipun bisa menang. Karena itu, kehebatan PMU bermain dengan Metro FC secara jujur dia akui tidak bisa memenangkan pertandingan. Bahkan, gol yang diciptakan PMU justru lahir dari penalti. “Tim PMU hebat, tetapi nasib baiknya tidak sehebat yang diinginkan pendukungnya,� Zaenal menjelaskan. (abe)

SULUH MHSA | Edisi IX|Pebruari 2012

37


Kriminal kicreP

Pembangunan

Diteror Abrasi

Foto: Saiful Bahri/SM

DI BAWAH BAYANG-BAYANG ABRASI

M

adura yang terbentang dari Bangkalan, Sampang, Pamekasan dan Sumenep seluas kurang kurang lebih 5.250 km2 di bawah bayang-bayang abrasi. Pulau yang sedikit lebih kecil dari Bali ini setiap tahun mengalami penyusutan. Sebab, lautan yang mengepung Madura menerjang pantai secara alami. Selain itu, penyusutan pulau ini juga diakibatkan angin dan sentuhan tangan yang tidak bertanggung jawab dengan menambang pasir di tepian pantai atau menebang pohon penghadang ombak.

permukaan bumi meningkat.

Abrasi disebabkan naiknya permukaan air laut di seluruh dunia karena mencairnya lapisan es di daerah kutub bumi. Mencairnya lapisan es ini merupakan dampak dari pemanasan global yang terjadi belakangan ini. Seperti diketahui, pemanasan global terjadi karena gas-gas CO2 yang berasal dari asap pabrik maupun dari gas buangan kendaraan bermotor menghalangi keluarnya gelombang panas dari matahari yang dipantulkan bumi. Sehingga panas tersebut terperangkap di dalam atmosfer bumi dan mengakibatkan suhu di

Rusaknya lingkungan pantai juga dapat merusak ekosistem yang ada di sana. Biota yang hidup di daerah pantai seperti terumbu karang dan ikan-ikan kecil akan mati bila tingkat pencemarannya tinggi. Maka hal itu akan menjadi beban berat bagi generasi berikutnya karena mewarisi sampah polusi dan masalah lingkungan lainnya yang mempengaruhi kehidupan paling dasar.

38

Suhu di kutub juga akan meningkat dan membuat es di kutub mencair, air lelehan es itu mengakibatkan permukaan air di seluruh dunia mengalami peningkatan dan menggerus daerah yang permukaannya rendah. Hal ini menunjukkan bahwa terjadinya abrasi sangat erat kaitannya dengan pencemaran lingkungan. Dalam beberapa tahun terakhir, garis pantai di beberapa daerah di Indonesia termasuk Madura mengalami penyempitan yang cukup memprihatinkan.

Di Sumenep misalnya, pesisir pantai selatan Desa Banmaleng, Pulau Gili Raje, Kecamatan Pulau Gili Genting tergerus abrasi. Kondisi tersebut ter-

SULUH MHSA | Edisi IX|Pebruari 2012

jadi akibat hantaman ombak selama cuaca buruk belakangan terakhir. Berdasar pantauan, pesisir pantai yang terkena abrasi akibat dihantam ombak saat air pasang mencapai 2 hingga 3 meter dari bibir pantai. Seorang warga Benmaleng, Maulidi menjelaskan, akibat abrasi tersebut sebagian kompleks tempat pemakaman umum (TPU) desa setempat juga tergerus air. Bahkan, beberapa petak lahan pertanian produktif banyak yang rusak dihantam air laut. Saat ini, warga membuat benteng pertahanan dengan memasang bambu-bambu dan batu di pesisir pantai untuk menghadang ombak. Bahkan, katanya, sebagian pulau kecil yang tidak bertuan di sekitar Giliraja, hilang. “Abrasi terus mengancam,� katanya. Abrasi juga terjadi di sepanjang pantai utara Pamekasan khususnya Kecamatan Batumarmar dan Pasean. Akibat terjangan pasang gelombang baik pemerintah maupun warga setempat merasa kesulitan menghadang gelombang. Alasannya, gelombang sebangsa air yang tidak bisa dibendung. Semakin dibendung


air, semakin besar pula terjangannya. Alasan klasiknya, pemerintah tidak banyak memiliki dana untuk menanggulangi abrasi yang mewabah ini. Sementara ini, kerusakan fasilitas yangg dilaporkan rusak di pantura Pamekasan terdiri atas 22 rumah di Desa Tamberu Agung, Kecamatan Batumarmar dan 35 rumah di Desa Tlonto Raja, Kecamatan Pasean rusak. Ombak serasa semakin dahsyat karena tangkis penghadang ombak sebagian besar sudah rusak. Meskipun sudah beberapa kali diperbaiki, namun karena kerasnya hantaman ombak, tangkis ini tidak mampu bertahan lama. Bupati Pamekasan Kholilurrahman mengaku, pihaknya tak mampu membenahi keseluruhan infrastruktur yang sudah rusak.Pasalnya, anggaran untuk penanggulangan bencana daerah sangat minim. “Kami hanya bisa membantu sebagian kecil saja dari kebutuhan masyarakat yang terkenda dampak abrasi,” ungkapnya. Dinas Pekerjaan Umum Pamekasan, berencana membuat pemecah ombak (breakwater). Dengan pemecah ombak, hantaman ke pinggir rumah warga tidak begitu keras. Dijadwalkan, anggaran pembuatan pemecah ombak ini berasal dari Badan Penaggulangan Bencana di pusat dan di Kementerian PU. Kebutuhan dana untuk dua kecamatan itu mencapai Rp 6 miliar. Rp 4 miliar untuk Kecamatan Pasean dan Rp 2 miliar untuk Kecamatan Batumarmar. Abrasi lainnya juga mengamuk rumah di Kampung Nelayan Dusun Barak Songai Desa Tamberru Timur Kecamatan Sokobanah Sampang. Gelombang tinggi yang terjadi beberapa waktu terakhir ini telah menyebabkan abrasi di sepanjang garis pantai desa ini. Tangkis laut yang dibuat secara swadaya hancur dihantam ombak. Gelombang terus menggerus bibir pantai hingga membuat sejumlah rumah warga rusak parah. Pada tahun 2003, jarak bibir pantai ke rumah warga sekitar 100 meter, namun kini terus menyusut hingga hanya tinggal belasan meter bahkan sebagian rumah rusak karena gelombang terlalu berani menyapu rumah warga saat cuaca ekstrim. Karena itu, warga pantura sampang resah bila ombak terus menggerus bibir pantai. Meski sebelumnya mereka telah membuat tangkis laut, namun tak banyak menolong. Hingga akhirnya, air laut masuk ke rumah-rumah mereka terutama bila malam hari. Benturan gelombang yang bertamu ke tepian pantai juga terjadi Bangkalan. Sedikitnya lahan seluas 10 hektare yang ada pesisir utara tepatnya di Desa Tenggun Dajah, Kecamatan Klampis, Kabupaten Bangkalan, akibat cuaca ekstrim tergerus abrasi. Di bekas sapuan gelombang ini, masyarakat bersama pemerintah , menanam sedikitnya 10 hektare mangrove. Di atas lahan tersebut, setidaknya 50 ribu tanaman mangrove masih kuat bertahan dari gelombang dengan asumsi satu hektare ditanami 5 ribu pohon mangrove. Mengapa abrasi terjadi, jawabannya kembali ke masa silam. Jawabannya hanya ada dua kemungkinan, disebabkan oleh SDA atau SDM. (fat/nang/bus)

Penduduk tanpa Kartu Penduduk Sebagian penduduk Madura merasa dirinya tidak perlu memiliki kartu penduduk (KTP). Alasannya, mereka tidak akan bepergian ke mana-mana dan tidak punya urusan dengan pemerintah. Alasan lainnya, sebagian warga malas karena jalan mengurus KTP berliku dan sangat berbau birokrartik. Ada juga warga yang tidak mengurus KTP lantaran menganggap pengurusan KTP mahal. Di Sumenep, warga yang tidak memiliki KTP diperkirakan mencapai 20 persen. Bila di Sumenep wajib KTP mencapai 800-an ribu jiwa, maka warga yang tidak ber-KTP mencapai 200-an ribu jiwa. Dinas kependudukan dan catatan sipil mencatat, tidak dimiliknya KTP tersebut disebabkan KTP lama warga tidak lagi berlaku. Kepala Dispendukcapil Sumenep Adnan, tidak menampik taksiran warga yang belum miliki KTP mencapai 20-an persen dari warga wajib KTP bahkan bisa lebih dalam kenyataan. Untuk memudahkan warga yang tidak memiliki KTP, pemerintah melakukan razia KTP secara insidentil. Pada saat mendapati warga yang tidak memiliki identitas, pemerintah memberikan layanan pembuatan KTP setelah sebelumnya melakukan kroscek apakah warga yang “tertangkap” benarbenar warga Sumenep dan belum punya KTP. Di Pamekasan, warga yang ditengarai belum memiliki KTP juga setara 20 persen dari total wajib KTP sekitar 680-an ribu jiwa. Itu artinya, sekitar 136 ribu jiwa masih harus mengurus KTP. Seperti halnya di Sumenep, mereka tidak memiliki KTP karena dokumen lama sudah tidak berlaku atau memang tidak butuh KTP dengan berbagai alasan. Namun saat ini, Pamekasan sedang melakukan pemutakhiran KTP dari semula KTP manual menjadi eKTP sesuai “petunjuk” pemerintah pusat. Sementara di Sampang, pemerintah sedang memproses pembuatan KTP Elektronik (e-KTP) yang mencapai sekitar 20 persen. Bagi warga, pembuatan eKTP kalah penting dibanding menjaga sawahnya. Buktinya, dalam siklus hujan yang ekstrim, aktivitas eKTP yang diprogram pemerintah ditinggalkan warga. Pendek kata, pembuatan KTP bagi warga belum merupakan hal yang urgen. Yang menjadi masalah terhambatnya pembuatan eKTP banyaknya peralatan yang rusak. Selain itu, terdapat beberapa operator yang tidak bisa memperbaiki sehingga alat yang rusak harus dikirim kembali ke Jakarta dan menunggu selama sepekan. Jumlah wajib KTP di Sampang mencapai 700-an ribu jiwa. Sedangkan di Bangkalan, pelaksanaan dan penerapan e-KTP masih masih terus sosialisasi dan bulan depan ditargetkan bisa selesai. Ini dinilai penting karena pada tahun 2013 KTP lama (manual) sudah dinyatakan tidak berlaku. Apalagi, e-KTP dibuat secara massal di sejumlah kecamatan. Di Bangkalan, akan memproses e-KTP sesuai jumlah penduduk yang mencapai lebih dari satu juta jiwa. (fat/nang/bus)

SULUH MHSA | Edisi IX|Pebruari 2012

39


Kriminal kicreP

Pembangunan

Bandara Trunojoyo Mulai Menggeliat

TWIN OTTER 300: Inilah jenis pesawat yang akan digunakan untuk melayani penerbangan komersil di Bandara Trunojoyo Sumenep.

BELAJAR TERBANG KE SURABAYA Punya lapangan terbang tetapi tidak beroperasi maksimal, rasanya gerah juga. Ibarat pemain sepakbola, ia disuruh latihan dan terus latihan tanpa pertandingan. Pemain sepak bola akan mengalami stres serupa serdadu tanpa perang. Karenanya, latihan perang serdadu terkadang menjadi perang yang sesungguhnya karena ketika berhadapan dengan musuh tak jadi berperang sebab diselesaikan secara damai, kekeluargaan, dan hubungan diplomatik. Itulah kira-kira yang dialami kabupaten Sumenep. Dibanding tiga kabupaten lainnya di Madura, hanya Sumenep yang memiliki lapangan terbang. Tetapi, hanya lapangan terbang yang dimiliki dan belum punya pesawat terbang. Namun kini, lapangan terbang itu akan lebih maksimal beroperasi. Sebab Pemerintah Kabupaten Sumenep telah berkomunikasi secara kedirgantaraan dengan maskapai yang akan melayani penerbangan rute Sumenep- Surabaya yang dijadwal efektif per 1 Maret 2012 mendatang. Sekali terbang, harga pembelajaran ini dipatok Rp 600.000 sekali terbang.

40

Kedengarannya mahal karena melebihi biaya terbang dari SurabayaJakarta. Tetapi sebenarnya tidak (begitu) mahal karena yang terbang bukan orang biasa. Setidaknya mereka adalah orang pilihan karena punya kesanggupan membayar ongkos terbang setara atau lebih besar dari Surabaya dengan keunggulan melipatgandakan waktu tempuh dari angkutan darat sekitar 4 jam menjadi kurang dari 1 jam dengan pesawat terbang. Bagi pebisnis, uang Rp. 600 ribu tidak seberapa terutama jika dengan modal itu bisa menghadirkan keuntungan yang berlipat ganda.

SULUH MHSA | Edisi IX|Pebruari 2012

Bupati Sumenep A Busyro Karim menjelaskan, penerbangan (komersial) dilakukan maskapai mitra kerja perusahaan minyak dan gas bumi (migas) yang beroperasi di wilayah Sumenep. Perusahaan migas di Sumenep bakal mengangkut semua karyawan perusahaan migas ke maupun dari Bandara Trunojoyo. Semua kursi pesawat tidak akan terisi semua dan karenanya bagi penumpang umum dapat memanfaatkannya dengan satu syarat, sanggup membayar ongkos terbang. Terkait kondisi bandara, saat ini sudah memenuhi syarat sesuai atensi pihak maskapai. Khususnya, pesawat berukuran kecil dan sedang seperti kapal terbang yang akan melayani rute Sumenep-Surabaya jenis Twin Otter berkapasitas 18 orang. Apalagi, Bandara Trunojoyo memiliki landasan pacu sepanjang 905 meter dengan lebar 23 meter dianggap cukup untuk pesawat dimaksud. Bahkan, pemerintah daerah terus berusaha mengembangkan luas bandara melalui pembebasan lahan. “Sepan-


Bandara Trunojoyo Mulai Menggeliat

jang tahun 2011 lalu, pemerintah telah membebaskan lahan seluas 5,4 hektare,� terang Busyro. Manfaat pembebasan lahan ini antara lain berguna untuk perpanjangan landasan pacu hingga mencapai 1.200 meter agar bisa digunakan pesawat yang lebih besar (berkapasitas sampai 30 orang). Sejak 30 November 2010 lalu, Lapter Trunojoyo telah digunakan PT Merpati Nusantara Airlines sebagai latih terbang pesawat bagi peserta didiknya. Sedangkan untuk penerbangan komersial akan dilayani PT Surf Air Indonesia dengan pesawat jenis DHC-6 Twin Otter seri-300. Direncanakan, dalam sepekan nantinya, terdapat 6 hari layanan penerbangan Sumenep-Surabaya. Bahkan, direncanakan 3 dari 6 hari kerja itu diproyeksi melayani penerbangan 2 kali dalam sehari. Di awal pelayanan komersial, sasaran pengguna jasa penerbangan tak lain karyawan Kontraktor Kontrak Kerjasama (K3S) Migas. Mereka akan diangkut pesawat DHC-6 Twin Otter seri-300 yang mampu mengangkut 18-20 penumpang dan barang lainnya seberat 1.500-2.000 kg. Namun demikian masih ada sisa tempat duduk setelah dimanfaatkan penumpang K3S yang bisa dimanfaatkan penumpang lainnya (masyarakat umum). Untuk rute Sumenep-Surabaya untuk sementara dilayani satu pesawat. Tetapi, bila rute menuju Bali dibuka, setidaknya ada 2 pesawat harus dipersiapkan. DI luar kepentingan niaga, Lapter Trunojoyo berkali-kali digunakan untuk landing pesawat yang membawa tamu ke Sumenep. Diantaranya, rombongan mantan presiden RI Megawati Soekarnoputri, Gubernur Jatim Soekarwo, BP Migas juga dari K3S, dan rombongan lainnya. Untuk selanjutnya, pesawat DHC-6 Twin Otter akan melenggang dengan nyaman di bandara Trunojoyo. Apalagi, pesawat ini mampu short take off landing (STOL) yang bisa landing di landasan pacu pendek. Pesawat ini juga mempunyai daya menanjak tinggi (high rate of climb) dan cocok untuk geografis Sumenep yang punya lebih dari 100 pulau. (abe)

Pembangunan

Obituari Percik

PESAWAT TWIN OTTER ITU.... DHC-6 Twin Otter adalah jenis pesawat yang paling sukses dalam sejarah program dirgantara Kanada.Pengembangan pesawat dimulai pada 1964, dengan penerbangan pertama pada 20 Mei 1965. Penggantian bermesin ganda untuk tunggal bermesin Otter telah direncanakan oleh de Havilland Kanada. Mesin ganda tidak hanya memberikan keamanan membaik tetapi juga memungkinkan untuk peningkatan muatan sementara tetap mempertahankan kualitas STOL terkenal. Fitur desain termasuk flaps ganda tepi trailing slotted dan ailerons yang bekerja bersamaan dengan flaps untuk meningkatkan kinerja STOL. Keberadaan 550 shp (410 kW) Pratt dan Whitney Kanada PT6A-20 mesin balingbaling turbin pada awal tahun 1960 membuat konsep yang lebih kembar layak. Untuk operator semak, keandalan peningkatan daya turboprop dan peningkatan kinerja dari konfigurasi bermesin ganda membuatnya menjadi salah satu alternatif segera populer untuk mesin tunggal, piston bertenaga Otter yang telah terbang sejak tahun 1951. Pesawat pertama yang diproduksi enam ditunjuk Seri 1, menunjukkan bahwa mereka adalah pesawat prototipe. Jangka produksi awal terdiri dari Seri 100 pesawat, nomor seri tujuh sampai 115 inklusif. Pada tahun 1968, Seri 200 produksi dimulai dengan nomor seri 116. Perubahan yang dilakukan pada awal Seri 200 produksi juga meningkatkan kinerja STOL, menambahkan lagi hidung yang dilengkapi dengan bagasi yang lebih besar (kecuali untuk pesawat dilengkapi dengan pelampung) dan pas pintu yang lebih besar ke bagasi belakang. Semua pesawat Seri 1, 100 dan 200 dan varian mereka (110, 210) yang dilengkapi dengan tenaga kuda poros 550 -20 PT6A mesin. Pada tahun 1969, Seri 300 diperkenalkan, dimulai dengan nomor seri 231. Kedua kinerja pesawat dan payload ditingkatkan dengan memposisikan lebih kuat PT6A-27 mesin. Ini adalah 680 hp (510 kW) mesin yang datar rate hingga 620 hp (460 kW) untuk digunakan dalam Seri 300 Twin Otter. Seri 300 terbukti menjadi varian yang paling sukses sejauh ini, dengan 614 pesawat 300 Series dan subvarian (Seri 310 untuk Inggris operator, Seri 320 untuk operator Australia, dll) dijual sebelum produksi berakhir pada tahun 1988. Setelah Seri 300 produksi berakhir, perkakas sisanya dibeli oleh Air Viking dari Victoria, British Columbia , yang memproduksi suku cadang untuk semua keluar dari pesawat produksi de Havilland Kanada. Pada 24 Februari 2006 Viking membeli sertifikat jenis dari Bombardier Aerospace untuk semua keluar dari produksi de Havilland DHC-1 melalui DHC-7 pesawat. Kepemilikan sertifikat memberikan Viking hak eksklusif untuk memproduksi pesawat baru. Pada tanggal 17 Juli 2006, di Farnborough Air Show , Air Viking mengumumkan niatnya untuk menawarkan Seri 400 Twin Otter. Pada April 2, 2007 Viking mengumumkan bahwa dengan 27 pesanan dan pilihan di tangan, itu restart produksi Twin Otter, dilengkapi dengan lebih kuat Pratt & Whitney Kanada PT6A-34/35 mesin. Pada bulan November 2007, 40 perusahaan pesanan dan 10 pilihan telah diambil dan pabrik perakitan baru akhir yang ditentukan di Calgary , Alberta . Zimex Penerbangan dari Swiss menerima pesawat pertama produksi baru, nomor seri 845, pada bulan Juli 2010. Perubahan besar diperkenalkan dengan Seri 400 termasuk Honeywell avionik Primus Apex terintegrasi, penghapusan sistem AC listrik, penghapusan sistem cadangan beta, modernisasi sistem listrik dan pencahayaan, dan penggunaan komposit untuk non-dukung beban struktur seperti pintu. Pesawat ini di Indonesia, banyak dioperasikan di kawasan timur yang fasilitas bandaranya masih minim. (*)

SULUH MHSA | Edisi IX|Pebruari 2012

41


Oase

Artefak Oleh : Abrari Alzael Diam-diam, pantas disadari bersama bahwa generasi saat ini sebenarnya tidak seutuhnya kreatif, terutama soal kebudayaan. Apakah masih ada gunanya mempertahankan kebudayaan yang dideahkan generasi lampau bila akhirnya kebudayaan lama akan hilang tergerus jaman? Apa yang dilakukan saat ini, sebagai upaya mempertahankan kebudayaan, sesungguhnya tidak lebih dari sekadar menawar kematiannya agar tidak terlalu cepat datang. Maka pertanyaan apakah masih ada gunanya mempertahankan kebudayaan itu menjadi sama dengan bertanya apa manfaatnya tidak mempertahankan kebudayaan? Disadari atau tidak, kebudayaan saat ini telah mengembalikan setiap jiwa ke jaman batu dengan hukum rimba di barisan garda. Bila kebudayaan merupakan konfigurasi tingkah laku yang dipelajari dan menghasilkan prilaku yang unsur-unsur pembentuknya didukung dan diteruskan anggota masyarakat (R. Linton), masihkah penduduk di republik ini berbudaya (manusia)? Sedianya, saat ini generasi bangsa hanya mengenang para pendahulu yang berbudaya dan berinovasi di jamannya dan dikenang pada saat ini. Adakah pemikiran bagaimana bangsa saat ini menciptakan budayanya yang futuristik dan bisa dikenang generasi yang akan datang? Dinamisasi kebudayaan itu sesungguhnya meneruskan yang masih baik dan membuat yang baru, yang lebih baik. Inovasi inilah yang menyebabkan kita hari ini dikenang di masa depan. Sejauh ini, generasi saat ini Cuma mengulangulang bahwa yang dulu baik dan sayang kalau tidak dilestarikan. Akibatnya, generasi saat ini hilang di masa depan karena yang lebih dikenang generasi masa lalu. Itu artinya ketika tak lagi dikenang apalagi dilestarikan, generasi saat ini sama sekali tidak kreatif dan lebih suka mendaur ulang romantisme. Semangat Friedrich Nietzsche yang mempopulerkan “Tuhan sudah mati” (Jerman: Gott ist tot). Ini sebuah ungkapan ungkapan yang banyak dikutip sampai hari ini. Kita tidak perlu meniru Friedrich Nietzsche untukikut-ikutan mengatakan Tuhan telah mati. Ungkapan Tuhan sudah mati tidak boleh ditanggapi secara harfiah, seperti dalam “Tuhan kini secara fisik sudah mati”. Sebaliknya, inilah cara Nietzsche untuk mengatakan bahwa gagasan tentang Tuhan tidak lagi mampu untuk berperan sebagai sumber dari semua aturan moral atau teleologi. Nietzsche hanya ingin mengakui krisis yang diwakili kematian Tuhan bagi pertimbangan-pertimbangan moral yang ada. Itu sebabnya, kebudayaan menuntut manusia hari ini berbudaya. Berbudaya artinya menghasilkan karya yang baik dan diperlukan pihak lain di jamannya. Sayangnya,

42

SULUH MHSA | Edisi IX|Pebruari 2012

budaya hari ini telah dipandang sebelah mata karena manusia secara kolosal justru membunuh Tuhannya dengan cara memberhalakan materi. Seseorang yang merantau lalu pulang kampung dengan harta melimpah, maka tetangga sebelah akan mengatakan bahwa orang itu telah menjadi “orang”. Ini terkesan sederhana tetapi telah menjadi idieologi dimana kesederhanaan sebagai tak laku karena menganggap Tuhan telah jauh dan kembali mendekat pada seseorang yang beruntung secara materi. Itu sebabnya ada yang “salah” perjalanan kebudayaan dimana semua nilai diukur dalam frame kapitalisme. Jika kebudayaan tidak bisa lagi dipertahankan karena masyarakatnya tidak mau melestarikan, mengapa tidak dibuat kebudayaan tanding. Tidakkah nenek moyang kita telah mati dan kebudayaan yang diwariskan justru dikubur oleh anak kandung sejarahnya? inilah saatnya membuat paradigma yang lebih baru, yang lebih bermanfaat, dan lebih diterima. Masalahnya, adakah kebudayaan nenek moyang yang tidak baik atau adakah kebudayaan baru yang lebih baik? Wujud ideal kebudayaan adalah kebudayaan yang berbentuk kumpulan ide-ide, gagasan, nilai-nilai, normanorma, peraturan, dan sebagainya yang sifatnya abstrak; tidak dapat diraba atau disentuh. Wujud kebudayaan ini terletak dalam kepala-kepala atau di alam pemikiran warga masyarakat. Jika masyarakat tersebut menyatakan gagasan mereka itu dalam bentuk tulisan, maka lokasi dari kebudayaan ideal itu berada dalam karangan dan buku-buku hasil karya para penulis warga di masyarakat tersebut. Aktivitas adalah wujud kebudayaan sebagai suatu tindakan berpola dari manusia dalam masyarakat itu. Wujud ini sering pula disebut dengan sistem sosial. Sistem sosial ini terdiri dari aktivitas-aktivitas manusia yang saling berinteraksi, mengadakan kontak, serta bergaul dengan manusia lainnya menurut pola-pola tertentu yang berdasarkan adat tata kelakuan. Sifatnya konkret, terjadi dalam kehidupan sehari-hari, dan dapat diamati dan didokumentasikan. Sedangkan artefak adalah wujud kebudayaan fisik yang berupa hasil dari aktivitas, perbuatan, dan karya semua manusia dalam masyarakat berupa benda-benda atau hal-hal yang dapat diraba, dilihat, dan didokumentasikan. Sifatnya paling konkret diantara ketiga wujud kebudayaan. Dalam kenyataan kehidupan bermasyarakat, antara wujud kebudayaan yang satu tidak bisa dipisahkan dari wujud kebudayaan yang lain. (**)


SULUH MHSA | Edisi IX|Pebruari 2012

43


44

SULUH MHSA | Edisi IX|Pebruari 2012


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.