SULUH MHSA | Edisi VIII|Januari 2012
1
2
SULUH MHSA | Edisi VIII|Januari 2012
Sapatorial
TANDA-TANDA Tanggal 23 Januari 1948, Madura dinyatakan sebagai negara Madura oleh Van der Plas (antek Van Mook, Gubernur Jenderal Hindia Belanda). Saat itu, Van der Plas bertindak sebagai Gubernur Belanda di Jawa Timur. Wilayah negara Madura saat itu, tetap tidak berbeda, meliputi Pulau Madura dan pulaupulau kecil sekitarnya. Pada tanggal 20 Februari 1948 pemerintah Hindia Belanda mengakui berdirinya negara Madura. Bertindak sebagai wali negara adalah RAA Tjakraningrat. Namun lantaran tekanan gerakan pro-republik, negara Madura bubar dan akhirnya bergabung dengan Republik Indonesia. Lalau tanggal 19 Maret 1950, terbit Surat Keputusan Presiden RIS (Republik Indonesia Serikat) yang menetapkan daerah Madura sebagai karesidenan dari Republik Indonesia. Keputusan Presiden ini ditindaklanjuti dengan serah terima kekuasaan di Madura kepada pejabat baru, R. Sunarto Hadiwijojo. Dilihat dari proses pisahnya Madura sebagai negara menuju republik, Madura berusia lebih tua dari merdekanya Singapura (1965). Dihitung dari apa yang dilakukan Singapura yang lebih muda, yang dilakukan Madura bahkan garapan negeri ini, pasti jauh panggang dari api. Madura tertatih meski laut dan daratannya lebih luas. Madura tertinggal walau penduduknya dua kali lebih banyak dari Singapura. Sepintas, pembanding ini (Madura v Singapura) tidak imbang. Perbandingan ini sengaja merujuk daerah lain yang jauh lebih melesat kemampuannya. Sebab umumnya, antara satu hal dengan yang dibandingkan tidak bisa lebih baik. Tetapi setidak-tidaknya Madura bisa maju. Jika Singapura bisa maju Madura juga pasti bisa maju. Bila Singapura memiliki ikon patung Singa (Merlion), sebenarnya Madura bisa membuat ikon, samasama binatang, sapi kerap. Ini sekedar menjelaskan bahwa Madura memiliki ikon dan menjadi ingatan kolektif. Ketika di Singapura, tidah sah rasanya wisatawan bila tidak mengunjungi patung Singa itu. Tetapi patung sapi kerap di Kamal Madura, begitu kumuhnya. Bagaimana mau berpose dengan patung sapi yang kumuh dan tak terurus bila melihatnya saja sudah tidak tertarik. Padahal, kerapan sapi di Madura begitu tersiar ke manca negara dan tiba-tiba
ikon itu justru tidak terurus di Madura sebagai simbol. Sebenarnya, ikon apakah yang kemudian akan dipakai Madura yang dapat menjadi ikon kolektif? Jembatan Suramadukah? Tetapi jika jembatan sebagai ikon, jembatan seperti itu meski tidak sepanjang Suramadu bisa ditemukan di mana saja. Di Batam terdapat Jembatan Barelang, di palembang terdapat Jembatan Ampera, di Kalimantan, dan sejumlah jembatan penghubung lainnya. Jika jembatan ikon ini benar-benar dijadikan ikon, pastilah ahistoris dan tidak memiliki spesifikasi kemaduraan. Di luar itu, secara humorik, Jembatan Suramadu sebenarnya jembatan yang berlalu dari Surabaya-Menuju Madura. Bila memang harus jembatan, perlu dibuat jembatan lagi, dari Madura menuju Surabaya, Madusura. Itulah sebabnya, banyak yang bertanya, apa yang akan ditonjolkan Madura sebagai ingatan kolektif yang ketika nama itu disebut ingatan orang-oang langsung tertuju ke Madura? Mungkin saja masjid yang menandakan masyarakatnya memiliki religiusitas yang tinggi. Tapi masjid apa, di mana? Ataukah setiap orang diimbau memiliki sebentuk bangunan musala serupa masjid serupa di Bali di mana hampir setiap rumah memiliki pura beraroma dupa? Soal ikon ini sebenarnya soal kecil tetapi pada hal-hal kecil kadang dilupakan. Bila lupa pada hal kecil, bagaimana seseorang bisa mengingat sesuatu yang lebih besar? Ikon (lambang, simbol dan citraan) memiliki daya kultural yang mampu menggerakkan publik untuk berpikir, berimajinasi, berekspresi/berperilaku dan berkarya. Ikon kota budaya yang dimiliki Yogyakarta. Ikon itu memiliki andil (baca: tantangan) atas terjaganya iklim/tradisi kreatif di Yogya yang melahirkan ide, ekspresi dan karya material berkualitas. Yogya memiliki banyak ikon. Ada ikon lama, misalnya kraton Ngayogyakarta Hadiningrat dan Kadipaten Pakualaman (situs dan arsitektur bersejarah). Ada juga jalan Malioboro (situs modern/ urban perkotaan), gudeg, bakpia dan sate klathak (kuliner). Ada sepeda, andong dan becak (transportasi rakyat), kampus dan sekolah (pendidikan). Begitu juga sendratari Ramayana (tari klasik), pasar malam/ sekaten (budaya tradisi), festival kesenian
Yogyakarta (FKY), Java Jogja Carnival dan Bienale Jogya (budaya modern). Otentisitas Kota yang kaya budaya, berjiwa dan berkarakter selalu memberikan inspirasi kepada warganya. Begitu pula Yogya, sedang Madura? Abu-abunya ikon di Madura ini mengancam lemahnya penguatan dan pewarisan nilai-nilai tradisi (kearifan lokal). Karena itu, ikon sengaja diciptakan sebagai manifestasi dari keinginan kolektif untuk kolektifitas ingatan pula. Ikon itu akan mendorong wisatawan untuk berkunjung ke Madura karena Pulau Garam ini memunculkan tanda-tanda sebagai daerah yang hidup. Daerah yang ingin maju pada mulanya bertolak dari ikon sebagai sebuah mimpi menuju ikon-ikon lainnya yang kreatif. Di Mempawah, Pontianak, meski kaya potensi tetapi sebagai daerah Mempawah Gelisah. Di daerah ini memiliki istana Amantubillah, ritual tahunan Robo-robo, dan sejumlah pemandangan lainnya yang artistik. Tetapi apalah artniya artistik itu bila tanpa ikon seperti Tugu di Jogjakarta dan Rumag Gadang di Padang. Mungkin agak terlambat mempertahankan arsitektur Madura sebagaimana Padang memelihara nilai itu melalui rumah makan, gedung, dan perkantoran. Paling tidak nawaitu untuk membuat Madura lebih terdengar lebih dan tidak melulu terstigma sebagai penganut cluritisme politik Madura. Ikon ini bukan bermaksud mengikuti atau meniru yang telah dilakukan Syahrini dengan mempopulerkan kata alhamdulillah ya, sesuatu banget. Begitu pula SBY dengan kata lanjutkan, Surya Paloh dengan restorasi, atau lainnya. Bila daerah tanpa ikon kultural, benda dana bukan benda, pada akhirnya sebagai sebuah “benda� Madura akan lenyap baik sebagai wilayah berbasis kultur maupun kontekstual. Madura lama-lama seperti seonggok jasad yang terlalu sering mengenakan topeng karena memakai aura orang lain. Begitu seringnya topeng dipakai, onggok itu sampai lupa pada jati dirinya. Pada akhirnya, para pelancong yang tidak melihat tanda-tanda tentang Madura akan bernyanyi seperti Ayu Ting Ting ; ke mana, di mana Madura. (**)
SULUH MHSA | Edisi VIII|Januari 2012
3
daftar isi
MADURA Makin tak Beraura Suluh Utama Bermula dari keluhan wisatawan saat memasuki Madura, sesaat setelah turun dari jembatan terpanjang se Asia, Suramadu. Di lokasi pasar rakyat yang kumuh, mereka bersuara sumbang tentang Madura sebab tidak melihat tanda-tanda kemaduraan saat mereka lepas landas dari kaki jembatan.
Suara Pembaca
5
Suluh utama
6
Suluh Khusus
10
Opini
12
Politika
16
Bertarung untuk meminang
Fokus Lensa
20
Menjelang akhir tahun lalu, Kamis tanggal 29 Desember 2011, sekelompok orang membakar pondok pesantren di desa Karang Gayam Kecamatan Omben Kabupaten Sampang. Hal itu dilakukan karena pesanten dimaksud diduga menyebarkan ajaran syiah sesat.
Eksotika
22
Generasi Bangsa
26
Akademia
32
Olahraga
34
Kriminal
36
Hoby
38
Obituari
41
Oase
42
Fokus Lensa
Redaksi SULUH MHSA
designed by ahmed david
4
SULUH MHSA | Edisi VIII|Januari 2012
Majalah Bulanan Suluh MHSA diterbitkan SAI (Said Abdullah Institute) Pembina: MH Said Abdullah, Januar Herwanto, Moh Rasul Junaidy. Pemimpin Umum/Redaksi: Abrari Alzael. Sekretaris Redaksi: Zeinul Ubbadi. Lay Outer: Ahmed David. Reporter: Busri Thaha, Veros Afif Fotografer: Saiful Bahri. Biro Sampang: Mamak. Biro Pamekasan: Syah Manaf. Biro Sumenep: Fauzi. Biro Bangkalan : Safi’. Biro Jakarta: Alwi Assegaf Koresponden: Rozaki (Jogja), AE: Badrul Ahmadi, Pemasaran: A. Rusdi Gogo. Alamat Redaksi : Jalan Adirasa 5-7 Sumenep 69417 tel. 0328-674374 faks. 0328-661719. email : suluh_mhsa@yahoo.com. web : www.suluhmhsa.com.
suara pembaca AMUK DAN POLISI INDIA
BERAS MISKIN YANG MEMISKINKAN
Seingat saya, di Madura tidak pernah terjadi kekacauan apapun yang disebabkan oleh persoalan SARA. Apalagi soal agama. Namun beberapa minggu lalu saya sangat terkejut dengan kejadian di Kabupaten Sampang. Di mana sebuah mushalla dan tempat tinggal seorang kiai di bakar oleh warga.
Akhir-akhir ini saya seringkali melihat demo tentang raskin di media. Para peserta demo menuntut pemerintah untuk segera mencairkan beras miskin yang sudah tiga bulan tidak dicairkan. Usut punya usut ternyata hal ini disebabkan stok beras di gudang dolog habis. Kata pak kepala gudang, defisitnya stok beras ini gara-gara peraturan gubernur yang melarang pengadaan beras miskin dengan beras impor. Orang-orang miskin, kata para pendemo, kini bingung mau makan apa. Sebab beras yang biasa mereka peroleh dari pemerintah, kini mandeg tak lagi dikirim. Saya sendiri sangat bersimpati atas nasib para warga miskin di Sumenep. Ingin rasanya terjun juga ke jalan ikut berteriak agar pemerintah segera mencarikan solusi.
Lucunya, isu yang menjadi pemantik adalah konflik antar faham. Yakni SunniSyiah. Sesama Islam yang seharusnya saling menolong, malah saling membinasakan. Sekalipun ada beberapa versi yang mengatakan bahwa kejadian itu terjadi gara-gara Syiah yang disebarkan di daerah tersebut adalah Syiah sesat, pembakaran itu tetap tidak perlu terjadi.
Namun niat itu menjadi urung tatkala ingat bahwa yang menyebabkan stok beras miskin itu defisit adalah kebijakan gubernur untuk tidak menggunakan beras impor demi memenuhi stok raskin. Kebijakan ini menurut saya perlu didukung, sebab itulah bentuk nasionalisme yang sebenarnya. Di mata saya, Pak De Karwo (Gubernur Jatim) jelas sedang mengajak jajarannya untuk lebih menghargai petani sendiri dari pada petani luar negeri.
Menurut kabar yang saya kumpulkan dari masyarakat sekitar dan dari mediamedia, Syiah yang dipimpin Tadjul Muluk itu memang sedikit menyimpang dari ajaran Islam pada umumnya. Misalnya, tidak harus shalat jumat, Dluhur dan Ashar cukup Shalat Ashar saja, Kawin kotrak dan lain sebagainya. Hal ini tentu memang sangat meresahkan bagi warga di sekitarnya. Namun tentu ada cara yang lebih elegan untuk menyelesaikannya dari pada “membakar�.
Maka berdemo tanpa kejelasan solusi, bagi saya hanya menambah kegaduhan yang ujung-ujungnya akan membuat kebijakan Pak De Karwo seakan-akan salah. Seakan kita memang perlu terus mengimpor beras dan membiarkan petani kita miskin dan tak berdaya.
Di lain sisi, petugas kepolisian seharusnya sudah bisa mendeteksi sejak dini dan mencegahnya. Sebab konon katanya, isu syiah sesat di kecamatan Omben ini bukanlah isu baru. Ia sudah lama menjadi api dalam sekam, bahkan sejak sekitar tahun 2006. Saya yakin polisi punya ilmu yang cukup, peralatan dan kewenangan yang memadai untuk hanya mendeteksi dan mengawasi bibit konflik ini. Maka jika tidak mau mengatakan LENGAH, tentu namanya adalah PEMBIARAN, yakni dengan sengaja membiarkan konflik tersebut meledak.
Mari lawan para pejabat yang ingin kembali mengimpor beras hanya karena berharap fee dari pemasok beras luar negeri itu. Bagi saya, menggunakan beras impor sebagai beras miskin akan semakin membuat miskin masyarakat kita yang sudah miskin.
Foto: Saiful Bahri/SM
Tadjul Muluk, Pimpinan aliran Syiah yang dianggap sesat ini selamat dari amuk massa. Ia pergi beberapa hari sebelum terjadi pembakaran. Ia sepertinya lebih tahu dari polisi bahwa akan terjadi sesuatu pada mushalla yang dipimpinnya. SYAFI’E ARBY Pemerhati Keagamaan tinggal di Guluk-Guluk
dari redaksi
RSUD BERUBAH JADI BLUD Sekarang Rumah Sakit Daerah di Sumenep telah berganti nama Badan Layanan Umum Daerah (BLUD). Seluruh kebutuhan rumah tangga kecuali gaji pegawai PNS, dibiayai sendiri oleh pihak rumah sakit. Hal ini tentu berdampak sangat besar pada persoalan biaya. Tentu lebih mahal dari biasanya. Soal biaya, tak terlalu penting, sebab untuk rakyat miskin pemerintah sudah menyiapkan program jamkesmas. Hanya saja yang perlu diperhatikan adalah persoalan pelyanan. Jangan samapai berubah nama, tapi pelayanan tetap paspasan. AHMED DAVID Warga Pandian Sumenep
KHAIRUL MUFID Staf Pengajar di SMK Nurul Huda Gingging Bluto
Terkait kerusuhan dan pembakaran yang terjadi di kabupaten Sampang, banyak pihak yang memang menyesalkan. Namun kita memang perlu melihat persoalan lebih jernih sebelum memvonis pihak mana yang salah dan mana yang benar. Sementara terkait peraturan gubernur yang tidak membolehkan menggunakan beras impor untuk beras miskin, memang bisa jadi demo-demo mamang tidak murni bersumber dari masyarakat. Namun bersumber dari orang berkepentingan dengan adanya impor beras. Wallahu A’lam....
SULUH MHSA | Edisi VIII|Januari 2012
5
SULUH UTAMA t Aroma Madura Kian tak Beraura
Bermula dari keluhan wisatawan saat memasuki Madura, sesaat setelah turun dari jembatan terpanjang se Asia, Suramadu. Di lokasi pasar rakyat yang kumuh, mereka bersuara sumbang tentang Madura sebab tidak melihat tanda-tanda kemaduraan saat mereka lepas landas dari kaki jembatan. Warung-warung kumuh seperti terhampar di utara jembatan Suramadu kerap dijumpai di daerah lain seperti Jatinegara, sekedar menyebut contoh. “Serasa bukan di Madura,� salah satu dari wisatawan itu mengeluh di bawah panas matahari. Kondisi ini paradoks dengan kabar yang tersiar bahwa Madura memiliki banyak hal. Tersiar, Madura tidak hanya kaya budaya lokal, tetapi di sisi lain Madura merupakan pulau yang memberikan sumbangsih pada nilai pendidikan, terutama kontribusi pesantren yang menjadi corong dinamika intelektualitas
MADURA Semakin Tak Beraura Foto: Saiful Bahri/SM
6
SULUH MHSA | Edisi VIII|Januari 2012
keislaman. Madura juga kaya tradisi yang menjunjung nilai persaudaraan antarsesama. Banyak persoalan sosial yang rela dikerjakan bersama. Rasa simpati dan empati kepada sesama sangat kental dalam kejiwaan masyarakat Madura. Masyarakat Madura dikabarkan siap diminta sumbangsih pertolongan kapan pun dibutuhkan. Menghormati yang tua dan menyayangi yang muda adalah pola hidup yang selalu dilestarikan. Terlepas dari identittas Madura di atas, ada beberapa hal yang berdampak negatif dan perlu disadari masyarakat Madura jika berharap Madura ke depan mampu membentengi eksistensi identitasnya dan mampu berdialektika dan bersaing dengan dunia di luar. Namun melihat Madura saat ini, apa “istimewanya” Madura? Obyek wisata di Madura hidup segan mati tak mau. Pemerintah menyisakan kesan untuk menggarap semua obyek wisata dari latar apa pun. Saat semua obyek wisata digarap dengan anggaran yang terbatas, semua tidak selesai. Bahkan, belum sempurna hasil bangunan obyek wisata, kerusakan datang lebih cepat dan di tahun berikutnya seperti itu lagi. Meski ada obyek wisata yang agak tuntas, tetapi hanya sebagian kecil seperti masjid yang menjadi satu paket di Makam Syaikhona Kholil, Bangkalan.
Di luar obyek wisata, identitas yang meneguhkan ingatan kolektif Madura tidak tercermin dalam kesatuan Madura yang terintegrasi mulai dari Bangkalan, Sampang, Pamekasan, dan Sumenep. Setiap kabupaten di Madura melakukan “onani”, sibuk dengan dirinya dan lupa pada organ besar yang mewadahinya, Madura. Kiranya, menjadi penting saat ini sebelum Madura dilupakan banyak orang adalah usaha merangsang kepedulian semua pihak terhadap Madura. Revitalisasi budaya lokal sejatinya memungkinkan dalam menjawab tantangan zaman. Langkah ini sebagai tindak lanjut menuju pelestarian Madura secara massif agar semua angkatan tidak lepas akar budayanya. (*) Nyaris Tanpa Jejak Jika Aceh dikenal serambi Mekkah, Madura serambi Madinah. Dulu begitu, atau setidaknya akan dibuat begitu untuk menambah identitas Madura sebagai daerah yang berpijak pada religiusitas. Memang, tak banyak daerah yang mendapat kehormatan dilekati label “istimewa” ini. Tetapi benarkah Madura telah seperti itu, adakah, atau apa saja indikasinya indikasinya?
Sejarah, memang menggariskan kehidupan manusia Madura sebagai ikon yang unik, ulet, dan tidak gampang menyerah. Namun jika diamati, masyarakat Madura selalu dideskripsikan oleh etnik lain sebagai sekelompok yang tidak unik. Budayawan D Zawawi Imron menyadari, seringkali gambaran tentang masyarakat Madura dalam pandangan orang luar bernuansa negatif. ‘’Etnik lain menggambarkan masyarakat Madura sebagai kelompok orang yang keras, pendendam, mudah tersinggung, dan tidak toleran terhadap orang lain,’’ ujarnya. Ada lagi yang memerihkan hati, ketika seorang peneliti (carok) Elly Dowen Buusma, justru menyebut Madura sebagai Sisilia of Java. Sebagai peneliti pasti dia berpijak pada data, bersumber pada temuannya di lapangan yang mungkin memang seperti itu. Sebagaimana jamak diketahui, Sisilia merupakan sebuah negara yang di dalamnya penuh dengan penyamun dan perompak bajak laut. Tetapi itulah gambaran orang luar. Meski sebagian pihak tersinggung, tetapi sedikit orang yang bisa mewujudkan kenyataan yang terbalik. Apalagi pemb-
SULUH MHSA | Edisi VIII|Januari 2012
7
SULUH KHUSUS
Aroma Madura Kian tak Beraura
elaan positif bila yang berbicara sesuatu yang lain? Bahkan komunalitas lintas Madura sampai saat ini terseok dan tak terbangun secara konstan. Salah satu tradisi yang amat penting bagi masyarakat Madura adalah kesopanan yang harus dijunjung tinggi. Walau orang di luar Madura menilai mereka sangat kasar, namun penghormatan terhadap nilai-nilai kesopanan tinggi sekali. Dasar utama dari nilai-nilai kesopanan adalah penghormatan orang Madura kepada orang lain, terutama yang lebih tua. Nilai-nilai kesopanan ini mengatur hubungan antargenerasi, kelamin, pangkat dan relasi sosial. Masyarakat Madura tidak mau diremehkan, namun demikian penonjolan diri juga tidak dihargai. Sifat yang demikian termasnifestasikan dalam ungkapan madu ben dara (madu dan darah), yang berarti bila orang Madura diperlakukan secara baik, menjunjung tinggi nilai-nilai kesopanan dan penghormatan, maka balasannya adalah kebaikan pula. Sebaliknya, bila diperlakukan sewenangwenang dan tidak adil, balasannya jauh lebih berat bahkan dapat menimbulkan pertumpahan darah. Tetapi sekali lagi, itu dulu. Kini?
Meredupnya aura Madura disebabkan oleh banyak faktor. Madura ibarat lapangan sepak bola. Terlalu banyak pemain bola Madura yang berada di tempat lain, di luar Madura. Pada saat di lapangan itu kosong, pemain dari luar Madura berdatangan dan bermain dengan caranya sendiri, dengan budayanya sendiri. Selain itu, pemain Madura merasa tidak kerasan tinggal di lapangannya sendiri. Saat berada di lapangan orang lain, ia merasa lebur di situ dan merasa bukan berasal dari Madura. Madura ibarat kerajaan yang tidak mendapat perhatian dari raja dan masyarakat di sekelilingnya. “Ada sekitar 13 juta warga Madura di Indonesia. Hanya 3 juta jiwa yang tinggal di Madura,” kata Mien Ahmad Rifai, putera Madura yang juga peneliti di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) itu. Manakala jaman berubah, karakter masyarakat Madura yang konservatif itu seakan tertinggal jauh di belakang. Ini terbukti pada tahun 2006, terjadi tawuran dengan menggunakan senjata khas Madura, clurit, di Kecamatan Batu Marmar, Pamekasan. Peristiwa yang dipicu sengketa tanah itu menewaskan tujuh orang, dan puluhan lainnya luka-
luka. Banyak orang beranggapan, peristiwa kekerasan itu terjadi karena dipicu “budaya” kekerasan yang dimiliki etnis Madura. Padahal, sebetulnya tidak karena masalah yang sesungguhnya cuma persoalan ekonomi biasa. Antropolog asal Universitas Radboud Nijmegen, Belanda, Huub de Jonge mencatat kemampuan bertahan hidup masyarakat etnis Madura terlihat pada fenomena masyarakat Pulau Raas di Bali. Keuletan dan ikatan pertemanan yang dimiliki, membuat masyarakat Pulau Raas di Bali sukses. Masyarakat Pulau Raas di Bali sempat dimusuhi, bahkan diusir saat Indonesia tertimpa masa kritis. “Tetapi akhirnya masyarakat Pulau Raas yang bertahan dan tetap sukses,” urai Huub de Jonge. Lontaran Huub de Jonge mengguratkan apresiasi yang luar biasa dengan menegasikan stigma keras melainkan tegas dan ulet. Tetapi di sisi lain pada masyarakat yang tidak menyadari budaya leluhur yang santun dan penuh penghormatan, kekerasan ini justru dijadikan alat untuk mewujudkan keinginan dengan cara apapaun termasuk dengan model yang sangat barbar. Namun demikian, perhatian yang besar
Frustasi Geografis-Kultural Disadari atau tidak, Madura secara komunal perlahan-lahan memudar. Dari segi budaya, jelas sekali indikasi punahnya Madura terutama ketika perlahan tapi pasti, kesenian lokal Madura seperti macopat dan sungkeman kepada orangtua mulai sedikit peminatnya. Begitu pula dari segi bahasa dan kebanggan menjadi warga madura terus mengalami erosi. Dari sisi geografis, pulau-pulau di madura tenggelam akibat penjarahan dan penambangan pasir.
Maka semakin lengkaplah ketiadaan Madura dari satu waktu ke masa yang lain. Tak ada lagi lambang pemersatu Madura bahkan jembatan Suramadu pun menjadi jembatan pemisah antara kaya dan si miskin. Sebab saat siang hari, penumpang bus ekonomi tak bisa melintasi jembatan itu. Maka apa maknanya jembatan Suramadu bagi warga menengah ke atas bila untuk menikmatinya harus berpura-pura menjadi kelas menengah ke atas dengan bus patas?
Pulau-pulau yang tersisa saat ini dikuasai asing dan Madura tersisih dari daratannya karena tak punya modal dan tak bisa bersaing lalu dikucilkan oleh sistem kapitalisme. Warga Madura dari sekitar 13 juta dan hanya tersisa sekitar 4 juta yang menghuni tanah kelahirannya, menjadi tanda lain Madura terus memudar. Selain
Transformasi budaya global yang kemudian mulai bersentuhan dalam tatanan kehidupan masyarakat Madura; infrastruktur budaya yang bergerak melalui berbagai aktifitas masyarakat telah menjadi wilayah yang kurang menguntungkan bagi kepentingan fenomena budaya Madura. Hal ini lantaran sendi bu-
8
EDHI SETIAWAN itu, isyarat kemaduraan yang mestinya terpendar dari semua kota juga tidak jelas lagi tanda-tandanya.
SULUH MHSA | Edisi VIII|Januari 2012
ini hanya datang dari pihak luar negeri dan hanya sebagian saja di dalam negeri seperti D Zawawi Imron, Latief Wiyata, Kadarisman Sastrodiwirjo, Syukur Gozali, dan sejumlah nama lainnya (sekedar menyebut contoh).
Itu juga yang diinginkan guru besar Universitas Negeri Malang, Syukur Gozali, asal Madura itu. Perubahan mindset yang diharapkan dari etnis Madura tidak bisa disandarkan pada masyarakat Madura sendiri. Perlu ada upaya dari pihak lain untuk mendorong hal itu. Pemerintah, mau tidak mau menjadi salah satu pendorongnya. Butuh upaya terus menerus dari pemerintah untuk mendorong terjadinya perubahan mindset itu. Karena itu, Pendidikan menjadi jawaban dari semua aura madura yang nyrais tak terindra. “Melalui pendidikan formal
daya yang telah menjadi bagian penting tersebut, mengubah image masyarakat Madura sampai pada wilayah struktur dan pola hubungan sosial. Revitalisasi budaya menjadi lebih penting dalam mengembangkan strategi perkembangan, sehingga nantinya diharapkan penempatan posisi budaya Madura bukan sekedar menjadi wacana dalam perbincangan sesaat, tapi bagaimana menguatkan apresiasi terhadap pemaknaan budaya menjadi roh kesejarahan perkembangan masyarakat. Inti dari gejala-gejala ini sering terlihat dalam kehidupan sehari-hari di tengah masyarakat etnik Madura, baik yang bermukim di Pulau Madura, maupun yang bertebaran sekitar pesisir Pulau Jawa. Apa yang perlu dilakukan Madura dengan krisis semacam ini? Muhammad Abid al-Jabiri, seorang intelektual asal Maroko, di saat mengkaji nalar akal Arab, berkesimpulan bahwa penyebab
Foto: Saiful Bahri/SM
Latief Wijaya menyarankan agar etnis Madura menyadari, prilaku kekerasan bukan sikap yang diinginkan oleh nilai luhur Madura. Kesadaran itu seharusnya tercermin dengan keinginan menghapus mindset yang selama ini ada. “Mindset itu harus dibingkai dengan ke-Indonesia-an yang saling menghargai dan menghormati, bersatu dengan damai, aman tentram dan sejahtera,”ungkap Latief. ELEGAN: Jembatan suramadu menjelang malam tiba. Tampak cantik bertahta cahaya
harus ada upaya untuk mewarisi nilai budaya Madura,” katanya Syukur Ghazali. Pada situasi Madura yang memiliki kegersangan aura, Gerakan menumbuhkan kecintaan kepada seni tradisional Madura, juga menjadi salah satu cara untuk menanamkan nilai luhur budaya Madura. Memang, ini bukan semudah membalik telapak tangan. Hubungan sosial masyarakat Madura selalu saling
terpuruknya dunia Arab-Islam di hadapan peradaban lainnya adalah karena kecenderungan mengulang-ngulang tradisi lampau tanpa melakukan kritik dan pembaharuan di masa-masa setelahnya. Dunia Arab-Islam dijangkiti penyakit ’al-fahmu al-turatsi li al-turats’, membaca tradisi lampau dengan pembacaan lampau. Kondisi keterpurukan seperti ini sebenarnya ada kemiripan dengan apa yang dialami Madura dewasa ini. Membaca tradisi dengan kacamata dan tuntutan kekinian, adalah mega proyek yang perlu dilakukan oleh Madura. Dengan modernisasi, Madura perlu melakukan rekontruksi tradisi dari dalam tradisinya. Modenisasi bukan berarti mengganti secara totalitas tradisi lokal, kemudian menggantinya dengan di luarnya. Hal itu tidaklah mungkin, karena hanya akan menghilangkan identitas kemaduran itu sendiri. Jika diposisikan, Madura saat ini adalah ego dan tradisi masa lalu dan tradisi di luarnya adalah the others.
menghormati dan menghargai sebagai sesama manusia dan menjaga untuk tidak saling menyakiti. Harga diri atau martabat adalah nilai yang sangat mendasar dalam masyarakat Madura. Harga diri harus selalu dipertahankan agar tidak diremehkan orang lain. Tetapi masalahnya, aura Madura tidak tercermin dalam zona area Madura dan pulau ini terasa sepi, yatim ikon dan sunyi serasa bukan Madura karena tanpa tanda-tanda. (**)
berdialektika dengan the others tersebut secara proporsional. Madura perlu membaca ulang tradisinya, dan memilah-milih yang masih layak ditradisikan; mempertahankam tradisi yang selaras dengan nilai ajaran agama, etika, rasionalitas, dan modernitas, dan meninggalkan tradisi yang bertentangan dengan nilai-nilai tersebut. Sebab, jika hanya berhenti pada pelestarian dan menganggap budaya sebagai buah karya angkatan-angkatan sebelumnya merupakan tolak ukur yang statis, maka akan terjadi kekhawatiran, komunitas akan hidup dengan menyeret diri mundur ke masa silam sehingga menjadi kian tergenang dalam lumpur keterpurukan peradaban. Ini untuk menepis anggapan, bahwa buah karya budaya masa silam dianggap yang paling sempurna dan berlaku di segala kurun zaman. Pemahaman semacam ini sama artinya sikap bunuh diri kolektif dari segi budaya. (**)
Karena itu Madura perlu mampu
SULUH MHSA | Edisi VIII|Januari 2012
9
SULUH KHUSUS
Kebudayaan Madura... Nasibmu Kini...
Kepunahan Budaya itu Kian Terasa
SARONEN: Musik yang biasa digunakan untuk mengawal kerapan sapi ini kini terancam punah.
P
elan tapi pasti, kepunahan Madura dari sisi budaya, tradisi, bahasa, dan ornamen lainnya semakin terasa. Ini terjadi karena terjadi benturan peradaban, hilangnya rasa kecintaan dan kepemilikan atas Madura secara massif. Berikut penuturan Budayawan Edy Setiawan yang dikemas secara bertutur. Saya turut merasakan betapa kebudayaan daerah terus-menerus susut. Ini tidak saja di Madura teta-
10
pi di semua daerah. Bahkan cinta tanah air, nasionalisme juga mengalami hal yang sama.
kan kebudayaan itu sendiri, termasuk seni dan tradisi yang berbasis lokalitas.
Banyak faktor yang telah membuat situasi kebudayaan tidak seperti dulu lagi. Dalam garis besar ada dua hal yang menyebabkan kebudayaan terjerembab. Pertama soal kebutuhan, dan yang kedua menyangkut kekuasaan. Pada konteks kebutuhan, sebagian besar masyarakat saat ini telah membutuhkan yang lain dengan melupa-
Begitu pula kekuasaan. Saya amati tidak semua penguasa mencintai dan mengurusi budaya, seni, dan tradisi. Mungkin saja cara pandangnya sudah berbeda. Saya melihat kebudayaan terjerat sandra. Ia dimunculkan pada ruang yang terjebak dalam rangka. Seperti ada kalimat dalam rangka ini, mari kita lakukan itu. Akibatnya se-
SULUH MHSA | Edisi VIII|Januari 2012
Sewaktu saya keliling Eropa mengusung topeng Madura (Sumenep), butuh waktuu berharihari untuk penjiwaan ini. Agak sulit menemukan seniman yang begitu topeng di pasang, seolah-olah terjadi sublimasi antara topeng dan penarinya, menyatu. Penjiwaan ini memunculkan totalitas berkesenian karena topeng sebagai raga kesenian menjadi bagian tidak terpisahkan dengan penarinya. Itu dulu, sekedar menyebut contoh. Saat ini, banyak penari topeng atau bukan topeng yang hanya sekedar menari. Tidak tercermin totalitas dalam auranya. Wajah yang tersirat terlihat hambar karena sebagian penari kontemporer hanya sekedar menari terkait dalam rangka (acara tertertu). Bagi saya ini masih jauh lebih baik ada sebagian generasi muda yang peduli khazanah lokal. Memang, totalitas tidak gampang karena memerlukan latihan dan penjiwaan. Saat di Eropa, tim topeng Madura (Sumenep) mendapat sambutan yang luar biasa karena dianggap total itu tadi. Karena itu pertanyaannya bukan mengapa bisa total, tetapi berapa banyak latihan, gizi dan tenaga yang telah dikeluarkan. Inilah yang kadang-kadang tidak disadari bahwa proses berkebudayaan itu tidak mudah meski sebenarnya tidak sulit.
Foto: Saiful Bahri/SM
cara substansial berbudaya menjadi seperti itu adanya, tidak menjadi religiusitas hari-hari. Itulah antara lain mengapa kebudayaan di Bali menjadi sangat jauh apabila dibandingkan dengan di Madura. Kebudayaan di Bali menjadi religiusitas, hidup dan melekat setiap hari. Di Madura bukan tidak bisa tetapi butuh latihan, kebiasaan, dan cost yang tidak sedikit. Hanya, sebagian saja yang menyadari bahwa kebudayaan itu butuh gizi biar bertenaga.
Saat ini, ada pergeseran nilai dari semula substansial beralih ke seremonial. Hanya untuk diingat, bahwa apapun khususnya kebudayaan memiliki sejarah. Saat kesejarahan itu tak dimiliki, maka produk kebudayaan terlepas dari akarnya. Karena tercerabut dari akarnya, terasa hambar disamping telah terjadi migrasi dari substansial ke seremonial.
kerapan sapi tidak mau dikalahkan dan karenanya harus menang. Mungkin hanya di Madura yang menobatkan juara kategore pasangan sapi kerap yang kalah. Saya kira soal kardi masa lalu ini layak diganti dengan etos yang lebih sportif dan inovatif. Itulah pentingnya sejarah agar kita bisa belajar pakem yang masih bisa dilestarikan dengan kebiasaan lama yang tidak harus diteruskan lagi. Soal sejarah ini, sekedar contoh, saya kok tidak yakin semua generasi muda mengenal Arya Wiraraja yang namanya diabadikan menjadi perguruan tinggi. Ini terjadi karena popularitas Arya Wiraraja tidak terekam dengan baik, khususnya bagi generasi muda Sumenep. Tidak heran apabila kaum muda lebih tahu sosok yang lain yang tidak menyejarah dalam risalah Madura. Padahal, Arya Wiraraja seorang tokoh di era Singasari yang punya peranan penting. Hanya karena tidak sepaham dengan Kertanegara, Ayia Wiraraaja didudukkan sebagai adipati Sumenep. Cuma akhirnya, generasi muda lebih mengenal Teuku Umar, Pattimura, Hasanuddin, atau Kartini. Padahal, Wiraraja ada di sini (Madura), dulu. Sekali lagi ini kan soal budaya dan keyakinan bahwa sesuatu dari daerah lain itu lebih dengan cara melupakan yang berharga di sekitarnya.
Seperti pendidikan misalnya, sebagian dari kita lupa pada potensi yang ada di sekitar rumah. Seolah-olah, pekerjaan itu hanya menjadi PNS. Bisa dibayangkan, setiap tahun Sumenep telah mencetak sarjana kurang lebih dari 1000 orang. Kalau semua harus menjadi PNS, apa kata dunia? Karena itu generasi muda harus menciptakan budaya yang Untuk mempertahankan kebulain, etos kerja. Ada banyak hal dayaan Madura ini diperlukan reyang bisa dilakukan baik menvitalisasi. Artinya, kita tidak salah yangkut peternakan, perikanan, menghilangkan trardisi yang tidak kuliner, kompetensi non formal, baik seperti kardi (egoisme) yang dan yang lain. Kita perlu mempernah muncul di Madura tempo bangun budaya untuk berdikari dulu, dan digantiDua dengan SUMRINGAH: orangkebiasaan penari sedangdan memperagakan diri sebagai sapi keratidak melulu tergantung kepan dalam Madura. pada negara dengan cara menjadi lainnya yangacara lebihSemalam bagus. diKonon, warga Madura tempo dulu dalam PNS. (**)
SULUH MHSA | Edisi VIII|Januari 2012
11
Opini
YouTube University M MUSHTHAFA
Alumnus program Erasmus Mundus Masters Course in Applied Ethics di Utrecht University, Belanda, dan NTNU, Trondheim, Norwegia.
Tak perlu kuliah ke luar negeri jika hanya mau menyimak perkuliahan dari kampus terkemuka dunia atau presentasi orang-orang atau pemikir ternama.
Internet sudah cukup lama masuk di Indonesia dan pelan-pelan menjadi semakin populer sejak sekitar sepuluh tahun terakhir ini. Persoalannya, berapa banyak dan bagaimana masyarakat Indonesia memanfaatkan internet sebagai sebuah ruang belajar alternatif, terutama dalam menyiasati keterbatasan mutu lembaga pendidikan dan akses terhadap ilmu dan pengetahuan?
didirikan pada Februari 2005 ini pada dasarnya mirip pasar swalayan. Aneka rupa video tersaji. Saya bisa menemukan video gol-gol indah para pesepakbola terkenal dunia, berita meninggalnya seorang ulama dari Madura, dokumentasi kegiatan lingkungan di sebuah SMA swasta di Madura, seekor anjing yang bisa melafalkan nama Obama, dan sebagainya.
Saat pertama kali mengenal internet di Yogyakarta tahun 1999, di antara hal menarik yang dilakukan dalam berinternet bagi saya dan para penggemar buku atau mahasiswa adalah berburu buku elektronik. Waktu itu buku-buku berhaluan kiri sedang populer, terutama di kalangan mahasiswa, dan internet memberi kesempatan yang luas untuk mengakses buku-buku semacam itu. Jika di dunia offline buku-buku kiri waktu itu cukup sulit didapat karena adanya pelarangan dari pemerintah, internet menjadi ruang yang lebih bebas untuk bukubuku yang diberangus tersebut.
Yang menarik, situs yang kini setiap hari dikunjungi lebih dari satu miliar peselancar itu sejak akhir Maret 2009 lalu membuka sebuah saluran yang sangat menarik yang diberi nama YouTube EDU. Saluran ini dibuat untuk maksud menghimpun content pendidikan yang diunggah oleh civitas akademika di Amerika. Belakangan, kampus-kampus Eropa dan negara lain juga berkontribusi di saluran ini.
Dalam konteks yang lebih luas, proyek digitalisasi buku yang kemudian dapat diakses lewat internet hingga kini terus berlangsung. Project Gutenberg, perpustakaan digital tertua yang didirikan oleh Michael S. Hart pada tahun 1971, hingga November 2011 menyatakan telah memiliki 38.000 koleksi, dan terus bertambah setiap pekan. Ini adalah salah satu contoh tentang bagaimana internet menyediakan ruang bagi akses yang lebih terbuka. Seiring dengan kecepatan perkembangan teknologi internet yang luar biasa dan sulit diterka, akses pengetahuan dan informasi di internet tersaji dengan cara yang semakin beragam dan menarik. Di antaranya saya temukan dalam salah satu situs yang sangat terkenal: YouTube. Situs tempat berbagi video yang
12
SULUH MHSA | Edisi VIII|Januari 2012
Saluran ini semakin memperkaya pilihan bagi para pembelajar otodidak yang haus ilmu dan informasi. Saya dapat membayangkan, bagi masyarakat Indonesia atau warga negara dunia ketiga lainnya, menikmati ceramah ilmuwanilmuwan terkemuka melalui saluran ini akan serupa dengan harta karun bernilai tinggi. Setelah saya membaca esai reflektif Peter Singer tentang kemiskinan di Bangladesh di jurnal Philosophy and Public Affair (1972) yang merupakan bahan diskusi di kelas saya saat kuliah di Utrecht University bulan September 2009 lalu, saya betul-betul menikmati saat kemudian menyimak ceramah filsuf terkemuka ini di Macquarie University Australia pada Juli 2009 yang saya temukan di saluran baru YouTube ini. Ceramah sekitar 70 menit bertajuk “Climate Change, Eating Meat and Ending Poverty� ini tidak saja membantu saya untuk lebih memahami esai klasik di bidang etika terapan tersebut, tetapi juga berhasil
Opini mendorong saya untuk membaca buku terbaru Singer: The Life You Can Save: Acting Now to End World Poverty (2009). Hal serupa berulang saat saya menemukan ceramah seorang filsuf, dan aktivis lingkungan India terkemuka: Vandana Shiva. Ceramah-ceramahnya yang kritis dan radikal yang cukup banyak di saluran YouTube ini sungguh menyemangati saya untuk segera menuntaskan membaca beberapa bukunya. Sebenarnya, berbagai disiplin keilmuan dan tema dapat kita temukan di saluran ini, mulai dari soal perdagangan karbon, bailout dalam konteks resesi ekonomi, game internet, diferensial dan kalkulus integral, dan yang lainnya. Banyak kampus terkemuka yang membuka akun untuk berbagi video kuliah atau ceramah di saluran ini, seperti MIT, Harvard University, Cambridge University, dan yang lainnya. Fenomena semakin terbukanya akses pendidikan ini dalam konteks internet tentu saja terjadi tak hanya melalui saluran YouTube ini. Newsweek edisi 9 November 2009 menyebutkan bahwa pada tahun 1999 Tübingen University di Jerman menjadi kampus pertama yang membuka akses file-file ceramah dan perkuliahannya melalui internet. Pada tahun 2002, MIT menyusul. Dilaporkan bahwa dari 1,2 juta pengunjung situs MIT tiap bulan, 45 persen di antaranya adalah para pembelajar otodidak yang mengakses ceramah-ceramah ilmiah tersebut. Lalu apa arti semua ini bagi masyarakat Indonesia? Terbukanya akses content pendidikan melalui internet memang sebuah hal yang sangat menggembirakan. Tak perlu kuliah ke luar negeri jika hanya mau menyimak perkuliahan dari kampus terkemuka dunia atau presentasi orang-orang atau pemikir ternama. Akan tetapi ini tentu mengandaikan beberapa hal yang bisa jadi masalah, atau lebih tepatnya tantangan, bagi masyarakat Indonesia. Secara teknis, akses internet di Indonesia masih belum merata, dan kalaupun ada, kebanyakan masih belum bisa secara nyaman mengakses file video semacam di YouTube dengan lancar. Masalah teknis lainnya terkait dengan kemampuan bahasa, karena semua ceramah di YouTube EDU mensyaratkan pen-
guasaan bahasa Inggris yang cukup baik untuk bisa menyerapnya secara optimal. Content pendidikan berbahasa Indonesia, terutama dalam bentuk video, memang masih belum banyak dikembangkan. Belakangan ini, di YouTube ada channel TEDxJakarta yang merupakan program pengembangan dari situs TED yang berdiri sendiri dan telah cukup lama berbagi content video presentasi dengan narasumber terkemuka dan tema-tema aktual yang inspiratif. TED, yang berpusat di New York, telah mempublikasikan video-video ceramah atau presentasinya secara gratis sejak Juni 2006 dan hingga kini memuat lebih dari seribu video untuk berbagai tema. Kehadiran saluran TEDxJakarta ini sementara bisa mengatasi keterbatasan bahasa masyarakat Indonesia, karena TEDxJakarta memuat presentasi orang-orang Indonesia—dan dengan bahasa Indonesia. Di saluran tersebut, kita bisa mendengarkan kisah Anies Baswedan dengan program Indonesia Mengajar-nya, juga Ade Rai tentang masyarakat Indonesia yang sehat, atau juga Ridwan Kamil, arsitek dan desainer yang penuh inspirasi dan belakangan dikenal dengan gerakan Indonesia Berkebun. Tentu saja content pendidikan di internet tak hanya berupa video. Akan tetapi, saya pikir kita akan sepakat bahwa media video akan lebih mudah diterima oleh masyarakat luas daripada, misalnya, buku atau bahan bacaan yang mengandaikan kemampuan mencerna yang lebih kompleks. Bagaimana dengan di Madura? Dalam pengamatan saya, masyarakat Madura mulai mengenal internet secara lebih luas sejak tahun 2007, saat Telkom mulai mengembangkan jaringan internet mereka ke wilayah kecamatan. Belakangan, penetrasi internet ke wilayah desa mulai semakin meluas. Tambahan lagi, beberapa kalangan di Madura juga mulai menggunakan provider telepon seluler untuk akses internet. Akan tetapi, seperti masyarakat Indonesia umumnya, tantangan yang paling besar sebenarnya terkait dengan mental. Sepertinya, sosok pembelajar mandiri yang haus akan ilmu dalam arti yang sebenarnya dan tak terikat dengan formali-
tas masih tak merata. Fenomena penjiplakan dan semacamnya, seperti juga soal ijazah atau sertifikat palsu, yang sampai sekarang masih saja muncul, dan mungkin saja juga terbantu dengan teknologi internet, jelas sangat bertolak belakang dengan semangat sosok pembelajar mandiri yang diandaikan dalam kasus ini. Sayangnya, di Madura, momentum penetrasi internet bersamaan dengan booming-nya situs-situs jejaring sosial seperti Facebook. Akhirnya, cukup banyak orang di Madura yang pertama kali mengenal internet melalui Facebook. Ini juga terjadi di kalangan pelajar atau mahasiswa. Dengan demikian, pelajar dan mahasiswa jenis ini mengenal internet pertama kali sebagai tempat bersosialisasi, atau bahkan mungkin bernarsis-ria, dan bukan sebagai tempat untuk mengatasi keterbatasan perpustakaan di kampus atau sekolahnya—juga keterbatasan guru dan dosennya. Jika belakangan ini mulai muncul gerakan-gerakan bertajuk “internet sehat” maka menurut saya salah satunya harus berupa upaya untuk mendorong masyarakat memanfaatkan internet sebagai ruang belajar alternatif dalam konteks akses yang terbatas dan kualitas pendidikan yang perlu terus ditingkatkan. Umpama ada anak lulusan SMA dan sederajat yang tak bisa melanjutkan kuliah, kita bisa memberinya saluran alternatif. Mungkin dia bisa “kuliah” di semacam YouTube University, atau TED, dan sebagainya. Saya juga berpikir bahwa saluransaluran semacam ini, terlepas dari kekurangannya sebagaimana kelemahan internet pada umumnya yang dinilai kurang mendalam dan mendangkalkan cara berpikir (Nicholas Carr, 2011), mungkin saja bisa membantu mendorong tumbuhnya sosok pembelajar mandiri. Artinya, memanfaatkan kelebihan internet sebagai batu loncatan untuk membentuk mental pembelajar. Seorang pembelajar karbitan akan resah jika tak mendapatkan selembar ijazah setelah melalui proses pendidikannya. Tapi seorang pembelajar mandiri lulusan YouTube University, sebutlah demikian, tak sedikit pun risau bila tak punya sertifikat atau apa pun yang menyatakan bahwa ia telah mengikuti perkuliahan di sana. Siapa hendak bergabung?
SULUH MHSA | Edisi VIII|Januari 2012
13
Opini
AHMAD SAHIDAH
Dosen Filsafat dan Etika Universiti Utara Malaysia,
Bagaimanapun, pemikiran keagamaan modern perlu hadir, agar tradisionalisme mempunyai cermin sehingga tidak terperangkap pada romantisisme belaka
14
Menjahit Identitas
yang teroyak
Identitas sejatinya tak mempunyai makna tunggal. Apabila di kartu penduduk kita tertera tempat lahir di Sumenep dan beribu-bapak yang berasal Prenduan, misalnya, maka kita secara serta-merta akan membawa status etnik Madura. Dengan membesar di pesisir dan dalam sehari-hari menggunakan bahasa ibunda, tak ada siapa pun yang menyangkal jati diri sebagai anak negeri yang tak hanya mengusung ciri-ciri tertentu, yang direkonstruksi secara sosial dan telah menjadi bagian dari watak secara keseluruhan, yang terangkum dalam sajak Zawawi Imran, “Madura, Akulah Darahmu”. Tetapi, adakah warga Pulau Garam ini menemukan perasaannya dalam bahasa daerah, sementara mereka membaca novel, menonton televisi, dan menikmati musik dalam bahasa Indonesia. Lalu, adakah identitas mereka terbelah? Penanda lain tentu saja adalah kebudayaan, sebagai ungkapan identitas yang melekat pada pelaku dalam bentuk kreativitas. Dari sini, orang luar akan menilai kebiasaan-kebiasaan dan pandangan hidup warga bersangkutan. Melalui karya Hélène Bouvier (2002) bejudul Lèbur!: Seni Musik dan Pertunjukan dalam Masyarakat Madura kita bisa menyelusuri potret kebudayaan warga yang terbelah pada tradisi santri dan bukan santri. Yang terakhir tidak disebut abangan sebagaimana dalam varian Clifford Geerts, Antropologi Amerika Serikat, yang meneliti struktur masyarakat Mojokuto, Kediri, karena pembedaan tersebut dibuat
SULUH MHSA | Edisi VIII|Januari 2012
secara formal terkait latar belakang pendidikan saja, yaitu sekolah umum dan pondok pesantren. Tentu yang pertama tak menangung beban untuk menikmati pertunjukan ludruk, tandha’, dan wayang. Hal lain, Iik Mansour Noor, sarjana Indonesia yang menetap di Brunei, berbicara tentang relasi santri dan kiai, di mana menempatkan identitas itu melalui dengusan napas keagamaan. Dengan sendirinya, kebudayaan yang melekat pada kaum ini berkait dengan kebudayaan dan kesenian religius yang dipengaruhi oleh gaya Timur Tengah, India dan Asia Tengah. Tak jarang, kaum santri begitu menghayati lagu-lagu berbahasa Arab, akrab dengan Samman, Hadrah, samrah. Adakah kegandrungan ini telah menyatu dengan identitas kemaduraan mereka? Dari ekspresi khas ini, mereka pun lebih cenderung membawakan diri dengan pakaian sarung dan kopiah, berbeda dengan bukan santri yang telah terbiasa dengan celana dan tanpa penutup kepala. Meskipun demikian, batas-batas pakaian ini tak lagi setegas dulu. Sekarang, kaum santri telah mengalami transformasi setelah mereka tak lagi mengisi ruang di pesantren, melainkan turut merambah dunia politik dan memegang jabatan penting di pemerintahan lokal, bahkan nasional. Di sudut lain, hal-ihwal terkait identitas kita juga bisa ditelusuri dari pekerjaan. Huub De Jonge, Antropolog Belanda, dan Koentowidjojo, Sejarawan Yogyakarta, pun mencoba
Opini kaitan pekerjaan yang terkait dengan pertanian telah turut mempengaruhi identitas tersebut. Kehidupan pertanian telah membentuk hubungan patron-klien warga dengan kiai, tetapi juga dengan juragan atau majikan yang rata-rata telah menunaikan haji pada masa-masa sebelum kemerdekaan. Namun, sekarang, gengsi gelar haji tak hanya dimiliki juragan. Banyak petani juga telah menunaikan ibadah haji. Tak ayal, pakaian sebagai salah satu penentu jati diri bertambah, tak lagi selembar kain sarung, tetapi juga jubah atau gamis dan serban yang dililitkan di kepala. Kalau Anda memerhatikan jamaah Jum’atan, biasanya mereka yang berdiri di barisan depan adalah warga kampung yang mewujudkan budaya Arab sebagai ekspresi Islam dan ketaatan. Namun, perlahan tapi pasti, kebudaaan yang dulu merupakan napas kehidupan sehari-hari satu persatu mulai tanggal atau rontok. Samman tak lagi dirayakan di kampung halaman saya. Betapa gerakan indah besama pujian itu menunjukkan bahwa dulu Islam hadir melalui kebudayaan telah digantikan dengan hiburan lain. Orkes dangdut yang dulu jarang dipanggungkan, sekarang musik yang dipengaruhi India, Arab dan Deli itu lebih menarik kalangan muda untuk menyalurkan katarsis. Dulu, ibu saya sendiri adalah pegiat samrah sebagai bagian dari kegiatan tambahan di madrasah, namun hari ini anak-anak telah diperkenalkah dengan nasyid Maher Zaen, penyanyi asal Libanon yang berkewarganegaraan Canada. Ternyata, kita tak lagi bisa meringkus identitas dalam satu tarikan napas. Bagaimanapun, transformasi identitas tak dapat dielakkan. Jika kadang kita dengan mudah melihat identitas dari nama, mungkin kita tak lagi terpaku dengan nama-nama berbahasa Arab. Kalau pun pengaruh nama Jawa masih dipakai, kita pun masih maklum, karena ia adalah bagian dari identitas Madura, dengan merujuk pada Trunojoyo sebagai tokoh yang dipandang paling berwibawa. Lalu, bagaimana dengan nama yang sepenuhnya berasal dari Barat? Apa yang ada di benak kita jika kita mendengar nama seorang anak jiran kita Martin Heidegger hanya karena ayahnya peminat filsafat? Adakah anak itu akan membesar dengan eksistensialisme penulis karya magnum opus Being and Time itu? Mungkin diamdiam, sebagian masyarakat kita akan menggugat karena nama itu berbau
bukan Islam? Walau bagaimanapun, kenyataannya banyak warga yang tak lagi terpaku pada nama-nama berbahasa Arab. Dari sini pun, kita pun tak perlu risau. Betapa nama itu diambil dari khazanah Barat, namun pengucapan tak akan terelakkan secara fonologis terdengar dalam logat Madura. Nama Antoinette, misalnya, mungkin tampak kedengaran agak aneh di telinga kita, namun penamaan kata asing ini disandingkan kata Arab, sehingga kehadirannya tak begitu terasa janggal untuk warga yang dikenal memegang nilai-nilai tradisional. Mungkin malah dianggap cara yang gagah untuk menangguk semangat baru dalam mewujudkan identitas hibrid. Batasbatas kita sebagai orang Madura makin terpapar dengan dunai baru yang mungkin dulu dianggap aneh dan tak patut. Kadang kita pun gagap untuk sepenuhnya menjadi Madura. Seraya mengikatkan dengan identitas yang lebih besar, Republik Indonesia, sejak kemerdekaan bahasa pengantar pendidikan dan bahasa resmi di pemerintahan daerah adalah bukan bahasa ibu. Malah, tidak hanya menggunakan bahasa Indonesia, para petinggi lokal pun tak segan menggunakan kata launching untuk program kerakyatan yang dicanangkan. Dengan baju khas pejabat publik berwarna putih dan lencana yang dipasang di atas saku, jelas baju kebesaran ini lebih mencerminkan warisan Belanda. Tentu, aneh apabila pejabat publik hari ini menggunakan pakaian kebesaran model bangsawan kerajaan kuno, meskipun itu dianggap sebagai warisan yang layak mendapat tempat, apa lacur hanya dipakai oelh anak-anak kecil yang berkarnaval diiringi musik Ul-Daul. Silang-sengkarut identitas di atas sejatinya tak perlu membuat kita risau. Sejak dulu, sebelum negeri ini merdeka, model pemerintahan kerajaan pun mengandaikan titik-silang budaya dengan pelbagai peradaban dunia yang telah maju, seperti China, India dan Eropa. Hari ini, kita pun hanya melanjutkan sisa-sisa yang masih bisa dikais dan kadang memang tampak arkaik. Kalau kita andaikan identitas Madura itu sobek tidak berarti ia dengan sendirinya ditanggalkan, tetapi dijahit agar ia tampak masih layak pakai. Bagaimanapun, mengandaikan sebuah identitas tunggal adalah tidak mungkin. Namun secara
antropologis, watak, struktur, dan keadaan kejiwaan Madura mengandaikan perpaduan antara yang profan dan sekuler yang masih memegang teguh kearifan lokal, seperti hubungan emosional kyai-santri. Memang, dua varian ini seakan-akan berjalan berseberangan, namun bisa dipastikan ikatan keagamaan tradisional telah menjadi pengikat agar ungkapan kebudayaan religius dan sekuler itu semata-mata berkait dengan rasa nyaman dan pengetahuan yang bersangkutan. Justeru, yang patut mendapat perhatian bahwa ikatan emosional keagamaan itu mendapatkan tantangan. Tidak hanya di tingkat nasional, kaum ortodoks yang terdiri dari santri lulusan Arab Saudi mulai bergerak, menyoal kepercayaan lokal. Dengan menenteng kitab al-I’tishom, yang bersangkutan menggugat kepercayaan bahwa tahlilan adalah menyesatkan. Padahal, sebagai ritual keagamaan lokal, sepatutnya kritik itu perlu diarahkan bukan pada kehendak untuk berdoa, tetapi kepedulian orang ramai terhadap keluarga yang ditinggalkan. Jadi, jika keyakinan agama adalah identitas lain yang melekat, maka setiap organisasi keagamaan harus memerhatikan pesan progresif dari Islam, yaitu keadilan dan kesejahteraan. Dari sinilah, seharusnya identitas keagamaan mendapatkan perhatian dan pemantapan. Bagaimanapun, pemikiran keagamaan modern perlu hadir, agar tradisionalisme mempunyai cermin sehingga tidak terperangkap pada romantisisme belaka. Namun, seperti dilakukan oleh Georg-Hans Gadamer dalam Wahrheit und Methode, bahwa rehabilitasi terhadap tradisi itu perlu, bukan malah ditinggalkan begitu saja, karena bahan pemikiran modern itu sendiri berasal dari tradisi. Nah, agar identitas tradisionalisme itu sejalan dengan napas baru, seluruh unsur masyarakat memikirkan kembali identitas yang berkelindan dengan banyak pengandaian. Apa yang dilakukan oleh Seyyed Hossen Nasr, sarjana asal Iran, dengan melakukan pembaruan terhadap praktik dan teks, yang akhirnya melahirkan mazhab neo-tradisionalisme layak untuk ditimbang. Dengan menafsir kembali masa lalu, masyarakat Madura sejatinya bisa menemukan hidup otentik dengan memegah secara teguh tradisi seraya memberikan pemaknaan dan ungkapan baru. Semoga!
SULUH MHSA | Edisi VIII|Januari 2012
15
Politika
INSYAALLAH, Saya (pasti) Maju
Akhir-akhir ini, menjelang pilkada Pamekasan 2013, nama Achmad Syafii disebutsebut akan maju lagi untuk memimpin Pamekasan. Benarkah dia akan maju? Berikut penuturan Bupati Pamekasan di era 2003 – 2008 tersebut kepada Majalah SULUH.
16
Anda terlihat lebih muda.. Ha ha ha ..... itu gosip. Senang sekali kembali bertemu dengan temanteman sesama alumni (Ponpes Nurul Jadid Paiton Probolinggo) di Sumenep. Silaturrahim ini penting karena tidak jarang di forum-forum seperti ini ide-ide brilian muncul. Soal pilkada Pamekasan, nama Anda mulai disebut-sebut akan maju Saya juga mendengar begitu he he. Setiap silaturrahmi ke sejumlah tempat, pertanyaan (apakah Syafii akan maju atau tidak) itu selalu muncul. Saya kira pertanyaan itu wajar. Suatu ketika saya percaya yang bertanya akan menemukan jawabannya. Anda tidak ingin menjawabnya sekarang? Jika saya balik bertanya, apakah saya harus menjawabnya saat ini? Saya jadi teringat dialog dalam cerita Abu Nawas dengan Raja. Pada sebuah pertanyaan, Abu Nawas diminta menjawab atau tidak menjawab. Baik menjawab atau tidak menjawab, Raja
SULUH MHSA | Edisi VIII|Januari 2012
akan memberi hukuman. Tetapi Abu Nawas cukup cerdik. Dia hanya berkata pendek, saya akan menjawabnya. Jawaban itulah yang menyelamatkan Abu Nawas dari ancaman hukuman Raja. Itu juga yang saya akan lakukan, saya akan menjawabnya, untuk pertanyayan apakah saya akan maju atau tidak dalam pilkada 2013 Pamekasan. Tetapi tidak saat ini he he he Apakah ini berarti Anda raguragu? Lho kan sudah dijelaskan saya sudah punya pilihan, berarti sudah yakin kan he he. Kecuali bila saya menjawab “atau” untuk pertanyaan apakah saya akan maju atau tidak. Nyatanya saya kan tidak menjawab “atau”. Sliaturrahim Anda dengan masyarakat apakah bagian dari sosialisasi? O ya, pasti. Sosialisasi itu merupakan hal yang harus dilakukan berkait kabar mutakhir hubungannya dengan perkembangan Madura pasca pembangunan Suramadu. Hal itu bagian dari serap aspirasi terkait dengan
Politika tugas-tugas saya di komisi V DPR RI. Bukan sosialisasi majunya Anda dalam pilkada 2013? Jika itu ya, kan tidak harus saya katakan secara jelas dan hari ini pulan kan, he he. Biarlah waktu yang bicara apakah pada akhirnya saya maju atau tidak dalam pilkada. Tetapi ingat, saya sudah punya pilihan. Kiai khos dan orang-orang tertentu sudah tahu kok apakah saya maju atau tidak. Saya menganggap, hari ini belum waktunya untuk mendeklarasikan diri apakah saya maju atau tidak dalam pilakada Pamekasan 2013. Namun pada saatnya nanti, saya akan lebih jelaskan.
mi, pelayanan publik dan keamanan. Saya yakin kuncinya di situ. Soal bagaimana mengeksekusinya, itu saya rasa di luar kewenangan saya. Ada yang lebih berhak menjawabnya. Harapan Anda ke depan? Siapapun pemimpinnya hari ini maupun di masa yang akan datang, semoga Pamekasan satu hati dan satu kata dalam mengawal pembangunan.
Menuju Pamekasan yang lebih baik memang tidak mudah, lebih sulit lagi apabila tidak ada komitmen dari semua pihak. Oleh karena itu menarik pandangan seseorang untuk mulai aktivitas dengan 3M. Mulai dari hal yang kecil-kecil, mulai dari sendiri, dan mulai saat ini juga. Bila tidak jua berhasil seperti yang diinginkan, mulai dengan 3B, berdoa, berusaha, dan bercermin. (*)
Santer terdengar kandidat kuat calon Bupati Pamekasan hanya dua, Anda dan in cumbent Bisa begitu, bisa tidak begitu. Saya rasa pilkada hak semua bangsa, kalau anda mau, memenuhi syarat, saya kira bisa juga. Saya rasa semua kandidat untuk maju sebagai calon kepala daerah di Pamekasan kuatkuat semua. Tetapi sekuat apapun pasti memiliki kelemahan. Bagi saya, rival terbesar dalam pertarungan bukan kompetitor, melainkan diri kita. Karena itu saya berusaha untuk menguasai diri saya agar menang dalam pertandingan yang sesungguhnya. Berarti maju (pilkada Pamekasan) dong. He he itu kesimpulan Anda kan? Sudah saya jelaskan suatu saat nanti akan ada penegasan apakah saya maju atau tidak. Saya silaturrahim dulu dengan sejumlah pihak khususnya kiai khos tokoh penting di Pamekasan. Betapa pun saya tidak bisa sendiri, apalagi banyak pihak yang telah mengantar saya baik pada saat menjadi bupati (2003-2008) maupun anggota DPR RI (2009-2014). Apalagi dalam teori sosial, tidak ada yang bisa hidup sendiri. Karena itu tetaplah saling dukung dan mendoakan serta menjaga komitmen untuk selalu bersama-sama. Soal Pamekasan ke depan? Wah pertanyaannya menjebak ni he he. Nanti saya dikira kampanye terselubung, mendahului takdir politik. Saya kira standar. Di mana-mana itu daerah harus kuat dalam lima hal. Yakni, pendidikan, kesehatan, ekono-
B.I.O.D.A.T.A Nama Lahir Alamat Status Istri Anak Pekerjaan Pengalaman Pendidikan Terakhir
: Drs. H. Achmad Syafii Yasin M.Si : Pamekasan, 11 September 1964 : Jalan Raya Lawangan Daya Pamekasan : Menikah : Anny Rifqotullaily : Imada Dzawin Nuha : Anggota DPR RI 2009 – 2014 : Ketua DPRD dan Bupati Pamekasan : S2
SULUH MHSA | Edisi VIII|Januari 2012
17
Politika
HUTANG NEGARA Rp. 1.800 TRILIUN rakercab PDI Perjuangan se Madura. “Punya bayangan nggak sih seberapa besar Rp. 1.800 ribu triliun itu. Jika tidak bisa membayangkan, berarti sama karena saya juga tidak tahu pasti,� katanya lalu tersenyum.
SIRMADJI : Ketua PDI Perjuangan Sirmadji saat berbincang dengan bupati dan wakil bupati Sumenep bebera pawaktu lalu
Hutang negara sudah mencapai Rp.1.800 ribu triliun per akhir tahun 2011. Secara akal, hutang ini sulit terbayar karena setiap tahun hutang tersebut berbunga progresif. Setiap tahun, hutang Indonesia terus bertambah karena ada kemungkinan salah takar dalam menghitung biaya pembangunan. Merujuk jumlah penduduk Indonesia yang sudah mencapai 250-an juta jiwa lalu disandingkan dengan hutang negara, maka setiap jiwa dari warga negara ini telah memiliki hutang sebesar Rp. 7,2 juta. Duit dari mana? Anggota DPRD Jatim dari PDI Perjuangan Sirmadji mengukugkan hutang Indonesia memang benar-be-
18
nar telah mencapai Rp. 18 ribu triliun. Bagaimana angka hutang sampai sebesar itu, pria yang juga ketua DPD PDI Jatim itu mengakui telah terjadi kekeliruan takaran dalam pembangunan. Sebab hampir semua pembangunan di Indonesia diperoleh dengan cara ngutang, termasuk dalam membayar tunjangan sertifikasi dan sejenisnya. Sirmadji tidak bisa memastikan kapan hutang itu bisa terbayar, atau lebih pastinya dia tidak tahu apakah hutang sebesar itu bisa dilunasi. Dia menyampaikan besarnya hutang itu agar diketahui masyarakat Madura khususnyay Sumenep karena sat berbicara mengenai hutang Sirmadji berbicara pada saat pembukaan
SULUH MHSA | Edisi VIII|Januari 2012
Saat negara dipimpina Soekarno, terdapat tekad bulat dalam menjalankan roda pemerintahannya berprinsip berdikari (berdiri di kaki sendiri). Tekad tersebut merupakan cara membangun kepercayaan diri bangsa Indonesia yang baru saja lahir sebagai Negara berdaulat. Terlepas dari berhasil atau tidaknya konsep tersebut, Soekarno telah menanamkan sikap tegar agar bangsa Indonesia harus mampu membangun bangsanya tanpa ada campur tangan asing. Pasca orde lama, konsep yang dibangun Soekarno diubah drastis. Di era pasca Soekarno, perekonomian pada masa orde baru dibangun dengan hutang. Gutang ini terjadi karena tidak diikuti pertumbuhan perkapita yang tinggi pula. Pada dasarnya, pemerintahan Orde Baru menganggap hutang luar negeri sebagai injeksi terhadap perekonomian. Maksudnya adalah, pinjaman yang didapat dipakai sebagai penutup defisit anggaran pada APBD serta menutup deficit neraca pembayaran. Pada intinya adalah, pinjaman luar negeri merupakan solusi jangka pendek yang apabila dilakukan dalam jangka panjang akan mengakibatkan ketergantungan. (**)
Hangusnya Pesantren Kami
HANGUS: Mushalla Aliran syiah setelah dibakar massa karena diduga menyebarkan ajaran sesat kepada masyarakat sekitar
M
enjelang akhir tahun lalu, Kamis tanggal 29 Desember 2011 benar-benar menjadi abu. Sekelompok orang membakar pondok pesantren di desa Karang Gayam Kecamatan Omben Kabupaten Sampang. Sejumlah warga menghakimi sendiri atas dugaan penyebaran aliran yang berbeda di pesantren itu. Api, dinilai pantas menghentikan dogma berbasis agama yang diduga mendekati syiah. Meski tidak ada korban jiwa, pembakaran atas pesantren yang dipimpin Tajul Muluk itu dinilai tidak lazim. Sebab meski berbeda keyakinan aliran dalam agama yang sama (Islam), penghakiman sepihak melanggar prinsip dasar bernegara yang berpijak pada hukum. Tetapi benarkah pemicu atas pembakaran itu karena perbedaan keyakinan atau justru lantaran kesenjangan sosial? Sumber SULUH di sekitar TKP menyebutkan, pemicu pembakaran pesantren ini lantaran perbedaan keyakinan. Perbedaan pandangan
antara pengelola pesantren ditengara telah muncul sekitar tahun 2004. Puncaknya, tanggal 24 Desember 2011 dimana warga yang tidak menyukai kehadiran pesantren itu telah bersepakat untuk membakar pesantren. Namun, rencana tanggal 24 Desember 2011 gagal dan bisa diredam. Tetapi dua hari menjelang pergantian tahun baru 2012 (29/11), amuk massa tak terhindarkan. Sejumlah warga menyulut api dan membakar pesantren. Apakah rencana pembakaran itu tidak terendus pihak keamanan? Sekitar pukul 10.00 (29/11), sejumlah massa berdatangan di desa Karang Gayam Kecamatan Omben dan sejurus kemudian menyerbu pesantren. Mereka membakar musala, madrasah, asrama dan rumah pemimpin pesantren, Tajul Muluk. Dua kompi aparat keamanan dari Polres Sampang dikabarkan tidak bisa masuk ke lokasi karena jalan menuju TKP diblokir massa yang melengkapi diri dengan senjata tajam. Begitu pula tentara dari Komando Rayon Militer Omben dikabarkan
Foto: Saiful Bahari/ SM
sempat diserang massa karena mencoba masuk ke lokasi. “Tiba-tiba (warga) menyerang dan membakar pesantren,� ujar Tajul Muluk kepada wartawan saat itu. Disayangkan, aparat terkesan kurang sigap dalam mengantisipasi serangan warga. Padahal beberapa hari sebelumnya sudah beredar ancaman pesantren akan dibakar. Dijelaskan, pesantrennya sudah berdiri pada tahun 2004 yang lalu. Namun, seiring waktu, ada beberapa tokoh masyarakat yang diduga memprovokasi warga untuk menyingkirkan pesantren. Memang, bukan hal mudah bagi polisi maupun tentara untuk masuk ke area pesantren saat itu. Sebab, lokasi diblokir massa yang dilengkapi senjata tajam. Apalagi, orang yang tidak dikenal dan hendak masuk ke lokasi kejadian memperoleh serangan massa. “Karena situasi yang tidak memungkinkan (aparat tidak masuk ke lokasi kejadian),� kata Kabag Ops Polres Sampang, Kompol Zainuri.
SULUH MHSA | Edisi VIII|Januari 2012
19
Fokus Lensa
Bara di Sampang Bagi intelektual muda Muhammadiyah Bahrus Surur, amuk api di salah satu pesantren di Sampang memberi tanda bahwa masyarakat belum siap berdemokrasi yang berpijak pada pluralisme. Sentimen keyakinan memberi indikasi adanya masyarakat yang mudah disulut atau tersulut. Idealnya, perbedaan diselesaikan melalui dialog bukan dengan cara mengumbar kekerasan. Pria asal Lamongan yang kini bermukim di Sumenep ini mencontohkan Jogja yang adem ayem menyangkut perbedaan keyakinan. Bahkan, tidak samanya cara memandang keyakinan justru difasilitasi dalam lembaga Dian (Dialog Antar-iman). Selain itu, di mata orang luar, rusuh atas nama agama di Sampang menegaskan adanya kekerasan di Madura. Di luar itu, kurangnya pendidikan keberagaman dan pemahaman keberagamaan dari institusi-institusi berbasis agama. Padahal pesantren memiliki peran besar dalam pemberdayaan dan pendewasaan umat di tingkat bawah “Tetapi Perlu ditelusuri apakah pembakaran pesantren itu karena berbeda keyakinan atau justru karena hal lain,� katanya. Dari intelektual muda NU Pamekasan Abdul Hamid Zain, kekerasan atas nama apapun dinilai tidak saja melanggar koridor hukum agama. Dari sisi hukum positif kekerasan dan penghakiman sepihak menurut alumni ponpes Nurul Jadid Paiton ini juga tidak populer. Dalam kasus kekerasan atas nama agama di Sampang, dia ragu kekerasan terjadi karena beda paham. Lebih dari itu, tidak menutup kemungkinan pemicu kekerasan karena persoalan sosial. Hanya, untuk lebih memudahkan menggalang massa, agama diseret-seret agar agitasi dan propaganda untuk mewujudkan amuk. “Apapun perbedaannya, penyelesainnya bukan kekerasan melainkan dialog antarpihak dan temukan solusinya di situ,� urainya. Saat turun ke lapangan, Kabid Humas Polda Jatim Kombes Rahmat Mulyana menjelaskan, polisi telah bekerja keras untuk mengusut pelaku pembakaran. Diduga, lima pelaku pantas ditengara terlibat dalam aksi kekerasan itu. Sebagian yang diduga pelaku sudah ditangkap sedang pelaku lainnya masih diburu. Untuk memastikan siapa saja yang terlibat dan apa motifnya, polisi telah memanggil belasan saksi. Para pihak yang diduga terlibat diancam pasal 170 dan Pasal 178 KUHP dengan ancaman hukuman penjara lima tahun. Polisi, sebagaimana diakui Mulyana, berjanji akan menjaga warga dan harta benda yang dimilikinya. Benarkah polisi akan menjaga sepenuhnya warga? (abe)
20
SULUH MHSA | Edisi VIII|Januari 2012
Foto-foto saiful bahri/SM
SULUH MHSA | Edisi VIII|Januari 2012
21
Foto-foto: Saiful Bahari/ SM
Fokus Lensa
22
SULUH MHSA | Edisi VIII|Januari 2012
Foto: Saiful Bahri/SM
KERAPAN
Tukul mencoba menjadi Pecacak saat berkunjung ke Pamekasan beberapa waktu lalu
SULUH MHSA | Edisi VIII|Januari 2012
23
Eksotika
24
SULUH MHSA | Edisi VIII|Januari 2012
Barongsai Kesenian Barongsai mulai populer di zaman dinasti Selatan-Utara (Nan Bei) tahun 420-589 Masehi. Kala itu pasukan dari raja Song Wen Di kewalahan menghadapi serangan pasukan gajah raja Fan Yang dari negeri Lin Yi. Seorang panglima perang bernama Zhong Que membuat tiruan boneka singa untuk mengusir
pasukan raja Fan itu. Ternyata upaya itu sukses hingga akhirnya tarian barongsai melegenda. Barongsai yang juga disebut Tarian Singa ini terdiri dari dua jenis utama yakni Singa Utara yang memiliki surai ikal dan berkaki empat. Penampilan Singa Utara kelihatan lebih natural dan mirip singa ketimbang Singa Selatan yang memiliki sisik serta jumlah kaki yang bervariasi antara dua atau empat. Kepala Singa Selatan dilengkapi dengan tanduk sehingga kadangkala mirip dengan binatang ‘Kilin’. Gerakan antara Singa Utara dan Singa Selatan juga berbeda. Bila Singa Selatan terkenal dengan gerakan kepalanya yang keras dan melonjak-lonjak seiring dengan tabuhan gong dan tambur, gerakan Singa Utara cenderung lebih lincah dan penuh dinamika karena memiliki empat kaki. Satu gerakan utama dari tarian Barongsai adalah gerakan singa memakan amplop berisi uang yang disebut dengan istilah ‘Lay See’. Di atas amplop tersebut biasanya ditempeli dengan sayuran selada air yang melambangkan hadiah bagi sang Singa. Proses memakan ‘Lay See’ ini berlangsung sekitar separuh bagian dari seluruh tarian Singa.
Foto-foto: Saiful Bahari/ SM
Barongsai biasanya selalu digelar oleh masyarakat tionghoa untuk meramaikah hari raya imlek. Termasuk juga di Indonesia. Sejak masa kepemimpinan Gus Dur pada tahun 1998 lalu, barongsai digelar di mana-mana diindonesia. Sebelumnya, pada masa pemerintahan Orde Baru, barongsai dilarang digelar di depan umum dengan alasan RAS. (obeth)
SULUH MHSA | Edisi VIII|Januari 2012
25
Nuri Fikayanti
TAHUN BARU, HARAPAN BARU Perayaan tahun baru mungkin akan menjadi hal yang paling di tunggu oleh seluruh masyarat dunia termasuk Nuri Fikayanti gadis manis yang sangat antusias menyambut pergantian tahun 2012. Alasannya selain bisa liburan nuri panggilan akrabnya, juga bisa pulang kampung. Maklum dara manis yang hobinya Traveling ini masih berantau di kota orang untuk menempuh pendidikan S1-nya di Universitas Negeri Surabaya (Unesa), jadwal kuliah yang padat sudah pasti menyuras energi dan tenaganya jadi liburan akhir tahun ini tidak di sia-siakan oleh gadis kelahiran Sunemep, 14 Juli 1992 ini. Di tahun yang menurut penanggalan China adalah tahun Naga, banyak pengharapan yang ingin di Raih oleh gadis yang suka makan kripik pedes ini, salah satunya adalah ingin cepat dapat gelar Sarjana, “iyya nich, pengen cepet selesai kuliah biar bisa cepet jadi guru!!! ”. Ucapnya sambil tersenyum manja. Tapi kalau urusan harapannya untuk bangsa indonesia gadis ini langsung berubah serius, “aku berharap nggak ada lagi korupsi, warga negaranya makin rukun dan damai dan yang lebih penting itu moga kiamat nggak jadi datang 2012 dec”, candanya. Sebagian orang banyak yang merubah penampilannya agar terlihat berbeda di tahun baru tapi untuk Nuri, hal itu tidak berlaku. “Menurutku tahun baru ngak harus segalanya baru sich cukup jadi diri yang lebih baik dan bisa menghargai apa yang kita miliki, maka aura positif itu akan terpancar dengan sendirinya tanpa harus merubah penampilan”, kata gadis berShio monyet ini. Yach semoga tahun baru bisa membawa kita ke hal yang lebih baik lagi. (DJ)
26
SULUH MHSA | Edisi VIII|Januari 2012
Andine Defari
BUDAYAKAN MEMBACA Di zaman modern seperti sekarang sudah mulai jarang kita temui orang yang menghabiskan waktunya untuk membaca, tapi Andine Defari malah sangat gemar membaca. Malah Saking hobinya membaca, dara manis ini juga punya banyak koleksi buku. “ehmm…kalau ditanya soal koleksi buku, aku paling suka buku satra apalagi yang judulnya Deru Campur Debu karya Chairil Anwar, mantaps tuch”, celotehnya. Membaca bagi gadis asal Sumenep, 3 Desember 1988 ini adalah hal yang sudah lama ia gemari, selain membaca ia juga suka menulis. Pernah juga ia mengikuti beberapa ajang perlombaan menulis artikel walaupun dewi fortuna belum datang padanya tapi tidak menyurutkan langkahnya untuk terus mencintai membaca. Malah Hobi membacanya ini juga ia tularkan pada teman – temannya, “iya nich, nggak tau kenapa mereka pada suka baca buku juga, ya alhamdullah kalau aku bisa nulerin hal yang positif sama mereka, lagian kan buku itu jendela dunia”, kata gadis berkulit coklat manis ini. (DJ)
SULUH MHSA | Edisi VIII|Januari 2012
27
Serambi
Infotorial
Penghargaan untuk Sumenep
PKK Bergengsi, Nyi Mila Berprestasi Pada puncak Peringatan Hari Ibu (22/12), ketua Tim Penggerak PKK Sumenep Wafiqoh Jamilah Busyro Karim mendapat penghargaan dari Pemerintah RI melalui Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak.
28 28
SULUH SULUHMHSA MHSA||Edisi EdisiVIII|Januari VIII|Januari2012 2012
Penghargaan untuk Sumenep
S
erah terima penghargaan ini disaksikan Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono yang juga hadir dalam PHI ke-83 di Balai Kartini Jakarta dan memberi ucapan selamat kepada The First Lady Sumenep, Wafiqoh Jamilah Busyro Karim. Penganugerahan penghargaan dari Pemerintah RI ini lantaran Nyi Mila (sapaan akrab Wafiqoh Jamilah Busyro Karim) dinilai memiliki inovasi dan kreatif dalam mengawal ke-PKK-an di Sumenep. PKK Sumenep di bawah Mila dinilai sebagai salah satu Pelopor Penggerak Nasional. Selain itu, perempuan yang juga akrab disapa Bunda itu dinilai mampu mensinergikan kekuatan struktural dan kultural dalam kepengurusan serta keanggotaan PKK Kabupaten Sumenep. Apresiasi dari Pemerintah RI ini diinginkan pusat sebagai tambahan motivasi diri agar semakin meningkatkan kinerja Tim Penggerak PKK Kabupaten Sumenep untuk menunjang pembangunan di segala bidang.
Bagi Mila, anugerah yang diterima sejatinya bukan hanya untuk dia saja. Tetapi apresiasi dari Pemerintah RI itu untuk PKK secara organisatoris. Bahwa dia yang hadir di Balai Kartini Jakarta, itu untuk memenuhi undangan dari Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. Anugerah itu dijadikan suntikan motivasi bagi Tim Penggerak PKK untuk lebih bersemangat dalam berkarya. Sekecil apapun yang dilakukan, diyakininya bermanfaat bagi masyarakat. Selain itu, Tim Penggerak PKK Sumenep diyakini akan lebih bersemangat dan kompak dalam satu tim. “Tanpa dukungan dari internal maupun eksternal PKK, anugerah ini agak sulit didapat,” Mila merendah. Mila, saat bertemu dengan SULUH sesaat setelah pulang dari Jakarta merasa pantas berterima kasih kepada jajarannya terutama Wahyuningtiyas Soengkono Sidik dan Mardatillah Saleh serta seluruh jajarannya baik di tingkat kabupaten, kecamatan, dan desa. Dia menyadari kehadirannya di Tim Pengerak PKK bukan siapa-siapa
Infotorial
ibmareS Infotorial
tanpa dukungan dari banyak pihak dalam menjalankan program organisasi. “Semoga prestasi ini sebagai langkah awal untuk meraih keberhasilan di masa-masa yang akan datang,” dia menegaskan. Sesuai data di pusdain (pusat data dan informasi) Tim Penggerak PKK Sumenep, terdapat banyak hal yang sudah dan akan dilakukan. Selain mewujudkan 10 program pokok PKK yang berlaku nasional (penghayatan dan pengamalan Pancasila, gotong-royong, pangan, sandang, perumahan dan tata laksana rumah tangga, pendidikan dan keterampilan, kesehatan, pengembangan kehidupan berkoperasi, kelestarian lingkungan hidup, serta perencanaan sehat), Tim Penggerak PKK Sumenep juga melestarikian silaturrahmi dan dakwah. Silaturrahmi dilakukan terhadap lintas profesi, struktural, kultural, dan geografis. Sedangkan dakwah yang menjadi “profesi” Nyi Mila jauh sebelum menjadi Ketua PKK terus berlanjut dan mendukung harmonitas PKK di semua jenjang. (**)
SULUH SULUHMHSA MHSA||Edisi EdisiVIII|Januari VIII|Januari2012 2012
29 29
Serambi
Infotorial
Penghargaan untuk Sumenep
sebagai pemenang dan berhak atas pin emas dan penghargaan lainnya dari Kemenag RI.
Bupati Sumenep, A Busyro Karim Menerima Penghargaan dari Menteri Agama Surya Dharma Ali.
Bupati Berkarya,
BUSYRO BERJAYA Satu demi satu, penghargaan terhadap Bupati A Busyro Karim datang silih berganti. Kali ini, Bupati Busyro mendapat penghargaan dari Kementrian Agama Republik Indonesia. Kepala daerah Sumenep itu dianggap berhasil karena memiliki andil besar dalam menyukseskan pendidikan, khususnya di jalur pendidikan agama. Karena itu Menteri Agama RI, Suryadharma Ali mengapresiasi kerja para kepala A Busyro Karim yang telah berjasa dalam mengembangkan jalur pendidikan agama. Sebagai bentuk apresiasi, Kementrian Agama (Kemenag) memberikan Penghargaan Amal Bhakti Bidang Pendidikan dan Keagamaan kepada Busyro. Penyerahan penghargaan ini diserahkan langsung Suryadharma Ali didampingi Wakil Menteri Agama, Nasaruddin Umar kepada Bupati Sumenep A Busyro Karim di acara Apresiasi Pendidikan Islam yang dirangkaikan dengan peringatan Hari Amal Bhakti di Hotel Borobudur Jakarta awal Januari lalu (2/1). Bentuk apresiasi tersebut berupa Pin Emas dan Piagam Penghargaan. Memang, dalam serah terima penghargaan ini, Busyro tidak sendirian. Sebab, terdapat 14 kepala daerah lainnya di seluruh Indonesia yang dianggap punya dedikasi dalam
30
memberikan perhatian terhadap pendidikan agama. Dari sisi mana keberpihakan terhadap pendidikan agama itu dianggap sukses? Bupati A Busyro Karim mengakui pihaknya menerima penghargaan tersebut karena Kementrian Agama RI menilai APBD menganggarkan bantuan pada lembaga keagamaan di Sumenep. Dalam catatan kemenag, keberpihakan anggaran itu dimulai sejak tahun 2003 hingga tahun 2011. Busyro ingin, lembaga kegamaan yang menerima anggaran dari APBD bisa mengelola bantuan tersebut seefektif mungkin. Bahkan, bantuan yang diterima dapat menjadikan lembaga lebih kreatif dan inovatif. �Namun, pemerintah tidak mungkin terus menerus memberikan bantuan mengingat kekuatan APBD sangat terbatas,� katanya. Kementrian agama tidak begitu saja menentukan siapa yang dinilai berjaya. Tetapi, tim turun ke lapangan untuk melihat kinerja kepala daerah khususnya advokasi anggaran terhadap pendidikan agama di wilayahnya. Ini saja belum cukup karena kepala daerah yang menjadi nominator diminta presentasi di Jakarta. Selanjutnya, atas dasar verifikasi juri berikut hasil presentasi, kepala daerah yang memenuhi syarat dinobatkan
SULUH MHSA | Edisi VIII|Januari 2012
Untuk diketahui, jumlah lembaga pendidikan agama di Sumenep setara dengan jumlah desa atau lebih dari 300 institusi pendidikan. Di tingkatan MI hampir setiap desa memiliki madrasah setara SD itu. Hal yang sama terjadi pula dengan RA (Raudlatul Athfal) yang juga mewabah. Bahkan dalam satu desa bisa lebih dari satu MI/RA. Di tingkatan MTs (Madrasah Tsnawiyah), tidak setiap desa memiliki lembaga setara SMP ini meski di desa tertentu bisa memiliki lebih dari dua lembaga karena populasi penduduknya begitu banyak seperti di desa Prenduan kecamatan Pragaan yang berpenduduk hampir 20 ribu jiwa. Sementara di tingkatan MA (Madrasah Aliyah) populasinya berkurang. Ini terjadi karena tidak semua lulusan MTs masuk MA lantaran meningkatnya angka drop out. Jumlah lembaga pendidikan itu di luar MD (Madrasah Diniyah) yang biasanya muncul di lembaga yang sama dengan spesifikasi pendidikan keagamaan. Adakalanya, di lembaga pendidikan tertentu, jumlah siswa di dalam data lebih banyak dari siswa yang sesungguhnya di dalam kelas. Ini terjadi karena ingin mendapatkan BOS (Biaya Operasional Sekolah) yang lebih besar. Dulu, saat Abdurahman Wahid (Gus Dur) menjadi presiden, pernah muncul gagasan pendidikan formal TK/ RA, SD/MI, SMP/MTs, SMA/SMK/ MA, dan PT/PTAI diserahkan kepada Depdiknas. Cara ini dianggap memudahkan Depdiknas khususnya dalam pendataan dan pendanaan. Sedangkan Depag (saat ini Kemenag), cukup mengurusi bidang (pendidikan) keagamaan yang tidak perlu formal. Bahkan, Gus Dur pernah usul agar Depag ketika itu dibubarkan saja karena dianggap terlalu besar sebagai departemen. Sebab secara de facto, menurut Gus Dur, depag hanya mengurusi dua hal ; pernikahan dan haji. Namun sampai saat ini, depag tetap eksis dengan nama yang berbeda (kementrian agama), tidak saja mengurusi pernikahan dan haji, tetapi lebih dari itu.
Akademia
SULUH MHSA | Edisi VIII|Januari 2012
31
Akademia
MENJAGA DAN MENGGERAKKAN MADURA Madura adalah nama pulau yang terletak disebelah timur laut Jawa Timur. Besaran pulau garam itu kurang lebih 5.250 km2, dan dihuni sekitar 2,5 juta jiwa yang tersebar di empat kabupaten; Bangkalan, Sampang, Pamekasan dan Sumenep. Warga Madura tersebar diseluruh penjuru negeri ini karena terbiasa merantau. Kondisi tanah yang tandus membuat sebagian masyarakat Madura mencari pekerjaan di luar tanah kelahirannya untuk bertahan hidup.
Tapi ingat, penyakit diberbagai belahan dunia menunjukkan, pembangunan yang diiringi dengan modernisasi (kebanyakan) harus mengorbankan identitas asli daerah. Buku “Menuju Madura Modern Tanpa Kehilangan Identitas� adalah ijtihad putra Madura yang resah melihat tanah kelahirannya dan berupaya melepas Madura dari kejumudan tanpa harus kehilangan identitas ke-madura-annya pasca industrialisasi Madura. MH. Said Abdullah dalam buku tersebut menilai, jembatan Suramadu tak hanya sebatas bangunan fisik yang menghubungkan Jawa-Madura. Lebih dari itu, Suramadu adalah simbol transformasi (modernisasi) Madura. Artinya, Madura ke depan akan jadi daerah terbuka dan berbagai gaya hidup dan aliran pemikiran modern akan menjalar dengan leluasa. Hal ini sebenarnya yang jadi kekhawatiran banyak pihak sejak awal.
32
Solusi yang ditawarkan anggota DPR RI tersebut, tak ada cara lain untuk bertahan mendapat hak hidup pasca industrialisasi Madura selain mensenjatai diri dengan SDM yang memadai sebagai taming. Dalam hal ini pendidikan punya peran sangat penting dalam upaya menumbuhkan SDM yang terampil (hal. 149). Kesadaran masyarakat Madura akan pentingnya pendidikan harus selalu didengungkan. Pasalnya, kesuksesan sebuah wirausaha sangat ditentukan oleh sistem manajerial. Lagi-lagi, sistem manajerial yang handal tidak lepas dari pendidikan yang memadai.
Namun, pada sisi yang lain banyak kalangan menyebut, pinjam bahasa Emha Ainun Najib, Madura bak penggalan surga yang dijipratkan ke bumi. Alamnya kaya raya dan melimpah ruah. Jika potensi lokal yang dimiliki mampu dikelola dengan baik niscaya masyarakat Madura tak perlu lagi mencari nafkah ke luar Madura. Upaya melepas diri dari kemiskinan dan keterbelakangan, berbagai kebijakan pemerintah diorientasikan untuk peningkatan Madura. Salah satunya bukti keseriusan pemerintah dalam upaya membangun Madura adalah tiang pancang jembatan Suramadu. Terlepas dari pro kontra, pembangunan jembatan Suramadu dimaksudkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat Madura.
sebagai bagian dari untuk mempermudah industrialisasi Madura telah berdiri kokoh. Tak ada cara lain selain menerima dan menanggung segala konsekuensi yang ditimbulkannya.
Judul Menuju Madura Moderen Tanpa Kehilangan Identitas Penulis MH. Said Abdullah Penerbit Taman Pustaka Jakarta ISBN 978-602-19014-0-3 Tahun Cetakan I, Sep 2011 Peresensi M. Kamil Akhyari
Modernisasi Madura dibutuhkan untuk mengangkat martabat Madura yang mendapatkan stigma kurang baik, tapi pada sisi yang lain arus modernisasi jadi kekhawatiran banyak pihak. Tradisi dan budaya luhur Madura dikhawatirkan akan tergerus dan dilucuti budaya modern. Sekalipun belum melihat dampaknya, sentra industrialisasi Madura tak dapat kita cegah. Jembatan Suramadu sebagai
SULUH MHSA | Edisi VIII|Januari 2012
Tak lama lagi kita akan membuka lembaran baru APBD 2012. Lembaran baru tersebut diharapkan lebih dititikberatkan kepada pembangunan SDM untuk menyiapkan tenaga yang kreatif dan inovatif, sehingga Madura tak akan kehilangan identitas ke ma-maduraannya sekalipun pelancong berbagai belahan negara keluar-masuk Madura. *** Terlepas dari pro kontra penerbitan buku tersebut yang oleh rival politiknya dinilai sarat dengan kepentingan politis. Dalam kali ini, siapapun saja yang merasa perihatin dengan Madura buku ini layak dibaca sebagai bahan diskusi untuk memulai memperbaiki streotipe Madura yang kurang mengenakkan. Buku yang ditulis hasil perpaduan pengetahuan dan pengalaman diparlemen sangat baik untuk kita baca bersama. Namun, sebagai karya manusia tentu buku setebal 204 halaman tersebut masih terdapat kekurangan. Dan hal ini sebenarnya tugas kita untuk melengkapi kekurangan tersebut. Letak kelemahan buku tersebut dapat kita lihat misalnya, kurang mendalamnya penulis dalam mengupas desentralisasi tanpa terlebih dahulu menggambarkan kebijakan tersebut di Madura, sebagaimana disampaikan Pusat Studi Islam PP. Al Amien pada bedah bukunya. Kekurangan tersebut diakui oleh penulis, karena kesibukan lain membuat penerbitan bukunya tergesa-gesa. Wallahu a’lam.
Akademia sudah melahap buku-buku Fisika referensi mahasiswa ketika ia masih pelajar sekolah menengah. Karena ketekunannya, ditambah otak yang memang encer tentunya, Andy selalu meraih juara pertama setiap kompetisi Fisika yang diikutinya.
BANGGA : Andy Octavian Latief (kiri) saat meluapkan kegermbiraaanya, tahun 2006 lalu seusai kemenangannya di Kazakhtan.
LIBUR, ANDY JADI MOTIVATOR PAMEKASAN – Andy Octavian Latief Peraih medali emas pada Olympiade Fisika Tingkat Dunia (2006) menjadi motivator. Ini bukan side job fisikawan muda Pamekasan itu. Tetapi saat pulang kampung, Andy selalu datang ke sekolah. Selain silaturrahim edukatif, pria asal Plakpak itu menjadi motivator bagi adik-adiknya di SMAN 1. Itu sebagai bukti bahwa tidak ada yang tidak mungkin. Seperti pengakuannya, awalnya tidak menduga dirinya bakal menang juara fisika bahkan di tingkat internasional. Salah satu motivasi yang diberikan Andy antara lain harus bangga pada dirinya sendiri sebelum pada akhirnya bangga pada orang lain. Di saat banyak orang enggan mengakui dirinya sebagai orang Madura, justru dia merasa bangga dengan tanah kelahirannya itu. Dia juga merasa senang saat pertama kali landing sepulang dari Kazakhtan 2006 lalu tiba-tiba sesepuh warga Madura moh Noer (alm) mengalungi bunga pada dirinya. “Ini sesuatu yang luar biasa,” katanya. Kebanggaan Andy bukan saja menang dalam lomba fisika internasional. Tetapi sebagian mimpinya terwujud. Sebab, ada asumsi warga desa agak sulit menembus dunia apalagi sekolah di daerah. Tetapi
pada kasus dirinya dan obsesinya yang dibangun dari mimpi-mimpi, dia merasa membuktikan bahwa pada akhirnya ada mimpi yang terwujud. Hanya, dia tidak ingin bernostalgia dan merajut benang romantisme. Sebab yang dihadapinya saat ini bukan masa lalu. Bahwa masa silam menyisakan kenangan, dia sadari tidak akan melupakannya.
Tahun 2004 sampai awal 2005 saja ia menjuarai 11 kompetisi sains termasuk menyabet gelar High Distinction dalam Australian National Chemistry (2004). Ditambah lagi medali perunggu dari ajang Asian Physics Olympiad di Almaty, Kazahstan (2006). Tak heran kalau temantemannya menjuluki penggemar sate ini sebagai Einstein muda, sesuai motto Andy sejak awal-awal menggemari Fisika. Kepala sekolah SMAN 1 Basyoir memang meminta Andy atau Shohibul Maromi agar datang ke sekolah bila libur dan pulang kampung. Basyoir menyadari sekolah yang dipimpinnya memiliki nama besar di kelas internasional karena peserta didiknya berhasil lolos ke tingkat dunia. Lelaki asal Lamongan itu menyadari mempertahankan prestrasi ternyata lebih sulit dibanding meraih prestasi. “Makane jalu’ tulung agar peserta lainnya dimotivasi,” katanya dalam bahasa campuran, Jawa dan Indonesia. (abe)
Ada beberapa alasan bagi Andy untuk terus datang ke almamaternya (SMAN 1). Pertama, Andy merasa ditempa sekolah itu dan didukung banyak pihak sampai akhirnya meraih puncak kesuksesan. Kedua, kedatangannya ke sekolah bisa sowan ke guru-gurunya dan adik-adik kelasnya baik yang masih kenal maupun yang belum kenal sama sekali. Ketiga Andy ingin menjadi motivator agar adikadik kelasnya memiliki semangat untuk maju dan menjadi yang terbaik. Keempat, motivasi yang ditularkan untuk menjadi yang terbaik telah melahirkan generasi yang juga bisa menembus dunia internasional seperti M Shohibul Maromi yang meraih medali emas dalam Olimpiade Fisika Internasional 2010 di Zagreb, Kroasia. Andy lahir pada tanggal 3 Oktober 1988, putra pasangan Abd. Latief dan Nur Rahma. Hobinya bermain game, gitar, dan membaca, terutama buku-buku Fisika. Andy bahkan
Andy Oktavian Latief
SULUH MHSA | Edisi VIII|Januari 2012
33
Olahraga
SUPPORTER P-MU: Tanpa kehadiran suporter, tim P-MU sebenarnya bukan siapa-siapa
F/Supporter/Saiful Bahri
P-MU BERTANDING, PERSID TERGULING Salah satu tim di divisi utama Persepam Madura United (P-MU) berhasil menggulung Persid Jember. Skor menang tipis 2-1 atas Persid diraih P-MU dalam laga lanjutan Liga Super Indonesia (LSI) di Stadion Gelora Bangkalan beberapa waktu lalu. Berdasar pengamatan di lapangan, sejak menit-menit pertama, tim berjuluk Laskar Suramadu ini terlihat menggempur kandang lalwan. Akibatnya, pertahanan Persid khususnya di laga belakang agak goyah. P-MU merasa pede karena berlaga di kandang sendiri dan ini menjadi modal karena bermain di lapangan yang tidak asing. Di depan mulut gawang Persid, duet Martial Poungoue dan Sudirman dari P-MU beberapa kali mengancam gawang Persid. Namun, duet maut itu masih belum mampu memasukkan bola ke gawang Persid yang dikawal Junianto. Permainan kedua tim ini sama-sama kuat pada awalnya bukan saja karena staminanya cukup kuat. Tetapi, mereka juga juga kuat menahan dingin hujan yang mengguyur saat pertandingan berlangsung. Akibatnya, pertandingan di lapangan SGB memberi kesan kurang maksimal.
34
Meski begitu, antusiasme pemain terutama penonton tetap tidak bergeming. Meski banyak peluang emas yang gagal gol semangat tetap menyala-nyala. Bahkan, over bola dan umpan yang biasanya menyeberang dari kaki ke kaki yang lain, lebih sering salah sasaran baik dari P-MU maupun Persid karena faktor alam dari kedua kesebelasan. Sampai babak pertama berakhir, skor masih sama, 0-0. Baru memasuki babak kedua P-MU meningkatkan tempo serangan. Alhasil, pada menit ke-75 P-MU berhasil membobol gawang Persid melalui sepakan keras Sudirman yang memanfaatkan umpan silang dari Evandro Antonid Bevilaqua. Unggul satu gol tidak membuat pemain P-MU menurunkan tempo permainan. P-MU berhasil menggandakan keunggulan lewat tandukan pemain asing Martial Poungoue menit ke-80 dengan memanfaatkan umpan dari Sudirman. Kedudukan berubah menjadi 2-0. Unggul 2-0, P-MU besar kepala dan menganggap kedudukan tidak akan berubah sampai wasit meniup peluit panjang. Namun di injury time, kon-
SULUH MHSA | Edisi VIII|Januari 2012
sentrasi pemain P-MU mulai pecah. Sekitar 7 menit sebelum pertandingan usai, pemain Persid Rike Maopo, lepas kawalan pemain P-MU. Sampai akhirnya, pemain lini depan Persid ini melepaskan tembakan keras dari luar kotak pinalti pada menit ke-83. Penjaga gawang P-MU, Fredy Herlambang, tak berkutik dalam membendung tendangan Rike yang berbuah gol. Skor pertandingan ini tidak berubah ketikasejurus kemudian wasit meniup peluit panjang dengan kedudukan 2-1 untuk P-MU Manajer P-MU A Qosasi menggelengkan kepalanya. Dalam analisanya, P-MU seharusnya bisa meraih kemenangan yang lebih besar, tetapi, kenyataan yang melintas di kepala manajer berbanding terbalik dengan kejadian yang muncul di lapangan. Namun demikian, ia tetap memberikan apresiasi kepada para pemain P-MU yang telah bermain maksimal. Terima kasih juga ia sampaikan kepada parar supporter di bawah bendera Kacong Mania dan Taretan Dhibik karena dinilai ikut mendorong kemenangan P-MU. “Terima kasih kepada semua pihak,� ujarnya. (iba)
pajak kendaraan bermotor
Infotorial
Percik
PAJAK KENDARAAN: Ali Muhson menyaksikan langsung Sosialisasi pajak kendaraan bermotor di dinas pendapatan pemprov jatim (Samsat) kabupaten sumenep. Sosialisasi ini diharapkan dapat membantu masyarakat dalam mamhami cara pembayaran pajak kendaraan bermotor.
SULUH MHSA | Edisi VIII|Januari 2012
35
Kriminal
Ada yang Cabul di Madura
P
encabulan yang pernah terjadi di daerah lain, belakangan ini mulai merambah Madura. Tetapi bisa jadi di Madura sudah lama terjadi tetapi hanya sebagian yang terungkap ke publik. Seperti pada pertengahan Januari lalu, seorang ABG menjadi korban pencabulan oleh temannya sendiri, di Sampang.
terus dilanjutkan Akbar. Pada pencabulan paksa ini, korban terus melawan dengan mengigit tangan Akbar. Secara refleks. Akbar kaget dan perlahan-lahan melepaskan tubuh ST. Situasi yang terbebas dari cengkraman pencabul ini dimanfaatkan untuk kabur dan ST melarikan diri.
Kisah ini bermula di hari libur. Seorang cewek ABG, ST (16) diajak berlibur temannya, Akbar (19) menuju lokasi wisata Bendungan Klampis di wilayah Kecamatan Kedungdung Sampang. Tanpa curiga, ST ikut saja ketika temannya Erik (19) menjemputnya untuk berlibur. Namun di tengah perjalanan, ST dibelokkan haluannya dari semula menuju waduk tetapi beralih ke rumah Akbar.
ST mengadukan pengalaman pertama yang tidak menyenangkan ini diadukan kepada orangtua. Lalu berlanjut ke polisi, Bahkan tanpa menunggu lama, Akbar (pemeran utama) dan Erik (pemeran pembantu) langsung diburu dan setelah dibekuk, kedua ABG itu dimintai keterangan oleh Polres Sampang. “Korban trauma dan shok,� “ kata Kasat Reskrim Polres Sampang, AKP Roy A Prawirosastro.
Di rumah Akbar, Erik tiba-tiba pamit untuk pergi sebentar. Di rumah itu, yang tersisa hanya ST dan Akbar. Di kamar yang menjadi tempat peristirahatan ST sebelum akhirnya meneruskan perjalanan menuju Waduk, Akbar menemui ST. Diduga lantaran tidak tahan melihat ST, Akbar tak kuan menahan emosi. Sampai akhirnya, ada adegan pencabulan yang diperagakan Akbar terhadap ST. Bentuk pencabulan antara lain diduga melalui ciuman, rabaan organ tertentu, ada dugaan peremasan buah dada dam pemegangan alat vital ST secara paksa. Hasrat melawan prilaku tak senonoh itu muncul dari ST sebagai pemebrontakan. Tetapi karena lebih berotot pelakum korban sulit memberikan perlawanan. Namun secara spontan, ST meronta dan berteriak. Aksi tak laik itu diduga itupun
36
Di tahun lalu, hal serupa terjadi di Sumenep. GS (16), warga Desa Parsanga Kecamatan Kota menjadi korban pencabulan dua pria sekaligus, FD (19) dan NN (43), yang masih bertetangga. Kabag Ops Polres Sumenep, Kompol Edy Purwanto. Berdasar hadil penyelidikan, peristiwa itu berawal ketika GS main ke rumah FD. Di dalam rumah FD yang sepi, GS digerayangi dan alat vitalnya dipermainkan. FD sempat mengajak korban berhubungan intim, namun korban menolak. Karena menolak, FD memilih memulangkan korban yang menangis ketakutan. Tetapi kemudian datang NN yang berpura-pura menolong. Namun ternyata, NN pun bukan menolong tetapi menyalirkan sederahanabukannya men-
SULUH MHSA | Edisi VIII|Januari 2012
gantar korban pulang, namun di tengah jalan, di sebuah rumah kosong, korban dipaksa melayani nafsu NN. Tetapi berdasar keterangan korban kepada polisi, NN mengaku belum diposisikan sebagai sosok yang melakukan hubungan intim. Dalam cerita sebelumnya, seorang dukun (cabul) juga berususan dengan Polisi di Polsek Tlanakan Pamekasan. Seorang dukun yang berjuluk si Janur Kuning diduga melakukan pencabulan terhadap kliennya dengan alasan sebagai ritual memindahkan ilmu kanuragan. Aksi cabul ini diketahui warga dan sang dukun yang meminta pasiennya melepas baju untuk dicabuli, diarak sebelum akhirnya diserahkan kepada polisi. Begitu pula di Bangkalan, seorang oknum guru berinisial HP ditengarai memiliki pekerjaan sampingan sebagai pencabul. Dia ditengarai berbuat cabul pada Mawar (13) yang tak lain peserta didiknya saat bertandang ke rumah guru cabul ini. Mawar tidak berani melawan apalagi melapor karena mendapat ancaman. Tetapi membiarkan prilaku itu menimpa dirinya, Mawar juga tidak tahan. Pelajar yang masih kelas akhir sebuah SD di Kecamatan Kota itu akhirnya berhenti sekolah. Dari sinilah terungkap bahwa ada yang cabul di sekitar Mawar. Kasus pencabulan ini bisa jadi lebih banyak terjadi di lapangan tetapi tidak terungkap. Bahkan pencabulan yang disengaja atas suka sama suka diantara ABG diprediksi lebih banyak lagi jumlahnya dan terjadi di mana-mana, di Madura. (abe)
pajak kendaraan bermotor
Infotorial
SULUH MHSA | Edisi VIII|Januari 2012
Percik
37
Hoby
EKSOTIS: Januwar Herwanto (putih) bersama para punggawa komunitas Seramadura sedang mengagumi ayam kegemaran mereka
Seramadura, Kumpulan “Penghulu Ayam” Para penggemar ayam, beternak ayam buras, pedaging, dan petelur saja tak cukup. Karena itu mereka melirik ayam serama yang dinilai sebagai kegiatan inovatif. Sebab, ayam ini bernilai jual tinggi dengan nilai jual hingga mencapai Rp. 30 juta per ekor.
D
i Madura, sebagian peternak dan pelestari ayam serama bergabung ke Seramadura (Serama Madura). Ini merupakan perkumpulan para pecinta ayam serama dari berbagai pelosok di Madura. Bahkan, kelompok ini sukses melaksanakan kontes ayam serama kelas internasiomal yang dipusatkan di Sumenep tahun lalu. Ayam serama, meski berperawakan kerdil tetapi pantang minder. Keunikan ayama ini karena senang bergaya petentang-petenteng dan tak ragu berkokok lantang. Serama diklaim sebagai ras ayam terkecil di dunia. Anggapan bahwa kate jenis ayam terkecil nampaknya sudah kedaluarsa dan tak berlaku lagi. Sekarang ada serama. Ras ayam terkecil di dunia. Kian mungil ukuran badannya semakin bagus kualitasnya. Bobot serama tak lebih dari 500 gram. Sedangkan ukuran badannya hanya sebesar kepalan tangan orang dewasa. Meski berbadan cebol, serama bukan ayam murahan. Serama berkualitas bisa diboyong jika sanggup membelinya senilai Rp 25 juta –
38
Rp 30 juta. Mutu serama ditentukan bobot badan yang ringan, bentuk leher menyerupai huruf S, kepala tertarik jauh kearah belakang, sayap menjuntai tegak lurus ke bawah, dan ekor pedang panjang serta berdiri tegak. Ciri fisik seperti itu membuat ayam serama berpenampilan tegap menyerupai prajurit yang sedang berbaris. Yanuar Herwanto mengatakan, Seramadura hanya komunitas penggiat ayam serama. Namun demikian, meski komunitas ini menjelajah hingga kampung, bukan berarti Seramadura kampungan. Sebab, sebagian hasil kreativitas para penggiatt ayam serama ini berhasil menjuarai lomba mulai dari lokal, regional, nasional, hingga tradisional. Yang layak dibanggakan, bukan karena penggiat ayam serama berhasil menjuarai hingga ke level dunia, tetapi inovasi anak-anak muda dalam berkarya yang menghasilkan secara ekonomi. “Setidaknya komunitas ini tidak tergantung dan merugikan negara,” Yanuar bercanda. Sekedar diketahui, serama merupakan makhluk hasil kreatifitas Wee Yean Een seorang “penghulu ayam” dari Negeri Jiran, Malaysia. Pada tahun 1971 ia menyilangkan ayam Kapan alias kate kaki panjang dengan ras ayam Modern Game Bantam. Ayam Kapan fipilih lantaran memiliki sayap menjuntai lurus ke bawah. Sedangkan Modern Game Bantam
SULUH MHSA | Edisi VIII|Januari 2012
memiliki postur badan tegap, leher panjang dan tertarik ke belakang menyerupai huruf S. Pada tahun 1973 Wee Yean Een menyilangkan keturunan pertama hasil perkawina antar ayam kapan dan Modern Game Bantam dengan jenis ayam sutera (Silkie Bantams). Perkawinan tersebut akhirnya melahirkan ayam sutera berpostur badan kecil. Wee Yean Een rupanya masih tidak puas dengan hasil persilangan tersebut. Penghulu ayam itu lalu menjodohkan keturunan ke dua tersebut dengan kate Jepang. Ayam ini punya warna bulu indah serta bentuk ekor berdiri tegak. Baru tahun 1988 mak comblang ayam itu akhirnya berhasil mencetak ayam kate dengan bobot kurang dari 500 gr. Wee Yean Een lantas memberi nama “Serama” kepada ayam berbadan mikro itu. Julukan tersebut ia berikan lantaran ayam hasil kreasinya itu memiliki gaya dan penampilan gagah layaknya Sri Rama tokoh pewayangan dalam kisah Ramayana. Lidah Wee Yean Een menyebut Sri Rama berubah menjadi berlafal serama. Ayam serama dipublikasikan pada tahun 1990 melalui kontes pertama yang diselenggarakan di Perlis. Dalam perlombaan Wee Yean Een tampil sebagai salah satu juri. Selain di Malaysia kontes ayam serama juga banyak digelar di Thailand. Di Indonesia Serama mulai dipertandingkan pada tahun 2004 di Ancol, Jakarta. Penggemar ayam serama berkumpul dalam sebuah wadah bernaman Persatuan Pelestari Ayam Serama Indonesia). (**)
SULUH MHSA | Edisi VIII|Januari 2012
39
Serambi Hobi
Infotorial
pajak kendaraan bermotor
SOSIALISASI PKB: Dinas Pendapatan Pemprov Jatim bersama DPPKA Kabupaten Sumenep melakukan Sosialisasi Pajak Kendaraan Bermotor di berbagai kecamatan di kabupaten Sumenep
40
SULUH MHSA | Edisi VIII|Januari 2012
Obituari
KENANGAN : Lan Fang (kanan) saat bersama Pimred Suluh Abrari Alzael (kiri) saat membedah novel Ciuman di Bawah Hujan.
PERGINYA SEORANG KAWAN Tanggal 25 Desember lalu, menjadi hari yang sedih meski di saat yang sama diperingati Hari Natal. Betapa tidak, penulis asal Surabaya, Lan Fang meninggal dunia, Minggu (25/12/2011) di RS Mount Elizabeth Singapura karena sakit yang dideritanya cukup ganas dan merenggut nyawanya, kanker payudara. Bagi kru Majalah Suluh, Lan Fang bukan hanya sekedar seorang sastrawan. Tetapi, perempuan kelahiran Banjarmasin, 5 Maret 1970 sebagai teman dialog terutama mengenai dunia tulis-menulis sastra. Almarhumah memberikan apresiasi kepada Majalah Suluh sebagai majalah pertama berbasis budaya di Madura. “Bagus, berkualitas,” begitu kata Lan Fang menanggapi Majalah Suluh edisi pertama Juni 2011 yang juga memuat berita tentang Lan Fang road show novelnya, Ciuman di Bawah Hujan, di Madura. Salah seorang kolega Lan Fang yang tak lain Pimred Suluh, Abrari Alzael merasa kehilangan seorang kawan. Menurutnya, Lan Fang mer-
nominee Khatulistiwa Award 2008 untuk novelnya, Lelakon. Cerpencerpennya masuk 20 Cerpen Terbaik Indonesia versi Anugrah Sastra Pena Kencana 2008 dan 2009.
upakan satu dari sedikit perempuan yang produktif di Jatim. Selain itu, Lan Fang mudah bergaul dengan siapa saja dan anti kemapanan. Dia tidak menyangka pertemuan dengan Lan Fang Juni lalu di Ponpes Annuqayah sebagai pembedah novel Ciuman di Bawah Hujan sebagai perjumpaan terakhir. “Lan Fang santai, sederhana, dan produktif,” kata pria yang akrab disapa Abe itu.
Cerita bersambung buah tangan Lan Fang, Ciuman di Bawah Hujan, dimuat di harian Kompas tahun 2009. Gramedia Pustaka Utama menerbitkannya sebagai novel dengan judul yang sama pada Maret 2010. Lan Fang juga telah melahirkan berbagai karya, antara lain Reinkarnasi (2003), Pai Yin (2004), Kembang Gunung Purei (2005), Laki-laki Yang Salah (2006), Yang Liu (2006), Perempuan Kembang Jepun (2006), Kota Tanpa Kelamin (2007), dan Lelakon (2007).
Lan Fang menyelesaikan pendidikan di Fakultas Hukum Universitas Surabaya. Namun, ia lebih menekuni dunia prosa dibandingkan melakoni karir di bidang hukum. Lan Fang aktif membimbing pelajar dalam berbagai penulisan kreatif. Sebagai penulis, Lan Fang menjadi
Selama hidupnya, ia dikenal bukan hanya karena keindahan karyanya. Pribadinya juga dikenang karena sifatnya yang pluralis, humanis, dan keberpihakanya pada orang-orang tertindas. Selamat jalan Lan Fang, damai di hati, damai di sisi-Nya. (obet)
SULUH MHSA | Edisi VIII|Januari 2012
41
Oase
Amnesia Oleh : Abrari Alzael
Memasuki Madura setelah turun dari Suramadu, seorang wisatawan mengaku tidak menemukan tanda-tanda bahwa daratan yang dipijaknya adalah Madura. Ia merasa hanya mendapatkan ratusan warung tenda yang memanjang di kirikanan jalan dengan jualan. Pajangan para penjual itu hampir sama, sandang dan pangan. Bahkan, hampir setiap warung menuliskan kata WC. Penawaran jasa jamban ini, begitu dominan. Bahkan, dalam satu warung ada tulisan WC begitu besar ditempatkan di posisi yang lebih tinggi dari dari kata musala. Dari sisi psikologis, penempatan dan format tulisan itu memberi isyarat bahwa penulisnya lebih mengingat WC (tempat membuang air besar) daripada musala (tempat salat). Masalahnya, di manakah ikon Madura sebagai identitas ketika wisatawan lepas dari Surabaya dan memasuki Madura melalui jembatan Suramadu? Jika ikon Madura adalah kerapan sapi, di manakah tempatnya? Apabila etnisitas Madura ditandai dengan masjid/musala, di manakah harus menemukan identitas itu? Tetapi bila identitas itu ditandai dengan banyaknya kata WC di kaki jembatan Suramadu (sisi Madura), apakah Madura hanya tempat untuk membuang limbah organik? Tidak adanya identitas ini semakin menegaskan bahwa pengambil kebijakan abai terhadap urgensi ingatan kolektif yang dapat menegaskan etnisittas secara kolektif. Konstruk ini sangat berbeda dibanding etnisitas Bali, Jogja, Padang, dan Batak (sekedar menyebut contoh). Daerah-daerah itu peduli terhadap ingatan kolektif yang dapat menegaskan sebuah daerah berlatar etnik. Lalu di Madura, tak ada ingatan kolektif kecuali di sisi utara jembatan Suramadu, wisatawan akan menemukan tulisan yang sangat banyak : WC. Identitas alternatif yang menandai religiusitas Madura antara lain masjid. Banyaknya masjid di Madura ditandai dengan banyaknya peminta-minta amal di jalan raya untuk pembangunan masjid. Memang, dianjurkan agama agar memperbanyak tempat bersujud meski lebih dianjurkan lebih banyak bersujud. Bila jumlah masjid tidak seimbang dengan jamaah yang datang, barangkali benar yang disampaikan Emha Ainun Nadjib, dalam 1000 masjid hanya 1 jumlahnya. Andai masjid ini menjadi ikon Madura masa depan, tak ada masjid di kaki Suramadu yang mengobarkan ingatan kolektif bahwa dataran yang dipijak wisatawan adalah Madura. Kontinyuitas ingatan kolektif yang nyaris tak terbaca ini semakin menegaskan bahwa sebenarnya tidak ada kecintaan yang mahadahsyat terhadap Madura. Madura seakan-akan dibiarkan begini saja meski usia di masing-masing kabupaten telah mencapai ratusan tahun. Ada banyak indikasi yang menegaskan atas hilangnya identitas kolektif. Pertama, pemerintah di Madura didominasi pikiran ego sektoral dan ruang berpikir untuk komunalisme Madura tersisih. Desentralisasi yang mengaum sejak 1999
42
SULUH MHSA | Edisi VIII|Januari 2012
telah menyebabkan Madura sebagai wilayah kalah taring dibanding otonomi daerah. Sehingga, ambiguitas Madura melepuh di bawah otonomi daerah yang meringkuk di kabupaten/kota. Ini juga yang menyebabkan Madura sebagai ruang besar tidak sebesar empat kabupaten di dalamnya. Semakin lama, Madura hanya tinggal nama. Kedua, rasa peduli ini tererosi kepentingan yang lebih nampak dan dalam waktu dekat sebagai investasi politik (kepentingan). Karena itu pembangunan yang berlangsung berjalan apa adanya, bukan berlalu seperti yang diinginkan terjadi. Padahal, semakin lama kian dirasa secara gamblang teste Madura hambar. Identitas maupun etnisitas Madura seakan-akan tidak penting lagi di era kontemporer ini karena hedonisme telah menjadi ideologi baru yang mengarah kepada komunisme berwajah konsumerisme mutakhir. Situasi mutakhir Madura yang tidak jelas “jenis kelaminnya� ini mirip seseorang yang selalu mengenakan topeng. Wajah aslinya tidak terlihat dan yang muncul aura orang lain. Semakin sering seseorang menggunakan topeng, maka lama-lama ia sendiri lupa pada wajah aslinya. Itu juga yang terpancar dari wajah Madura yang tidak jelas lagi. Ini terjadi ketika Madura dipaksa memakai topeng yang tidak menjadikan dirinya sebagai Madura. Begitu lama gejala ini dibiarkan dan akut, Madura dan orang-orang yang berada di dalamnya lupa pada wajah aslinya. Bahkan, ingatan kolektif tentang Madura secara massif juga tidak terjadi karena amnesia yang tak dirasa, sampai saat ini. Warga luar Madura pun merasakannya karena Madura tidak nampak berkarakter, beretnik, beridentitas bahkan tanpa ikon yang mewabah ke setiak penjuru tanah Madura. Atau, apakah amnesia kolektif Madura tentang kewilayahan ini justru juga menegaskan Madura terancam disintegrasi? Madura memang sesuatu yang menggoda, dalam bahasa gaul saat ini, Madura seksi. Namun apalah artinya seksi bila Madura lebih populer sebagai daerah yang hanya dikenang penuh lelucon dan bahan tertawaan. Ada baiknya Madura dipikirkan bersama, tidak perlu mengajukan sebagai daerah istimewa bila sebenarnya Madura sesungguhnya tidak istimewa karena ditempatkan di ruang yang tidak istimewa. Madura sejatinya memiliki orang-orang dan prestasi yang luar biasa. Tetapi keluarbiasaan ini menjadi nyaris tidak terbaca karena ada sesuatu yang lain terutama karena ketidakcintaan kolektif yang mendera. TIdak perlu proteksi tetapi saat terjadi gerakan massif Madura untuk tidak menjadi Madura yang ditampilkan melalui prilaku, sikap, dan performance, Madura kini berada di ambang batas dan nyaris tanpa identitas.
SULUH MHSA | Edisi VIII|Januari 2012
43
44
SULUH MHSA | Edisi VIII|Januari 2012