Suluh MHSA | edisi I | Th. I | Juni 2011
1
2
Suluh MHSA | edisi I | Th. I | Juni 2011
daftar isi
Akademia Mencari Nasionalisme Lewat Novel
Suluh Utama Eksotika Lanskap Madura
Setiap warga negara republik ini, merindukan Indonesia yang seutuhnya, luhur, berbudi pekerti, damai dan benar-benar mencerminkan Indonesia. Tetapi di sebagian wilayah republik ini, amuk merajalela. Rusuh di Pandeglang, Temanggung, Ambon, dan tawuran warga di berbagai daerah menjadi tanda bahwa aroma persatuan dan kesatuan sebagai sesama warga negara republik ini nyaris hanya menjadi wacana saja
Suluh utama
4
Suluh Khusus
8
Opini
10
Potensi Desa
Potensi Desa
20
Ada Buah Naga di Rombasan
Eksotika
22
Generasi Bangsa
24
Kronika Peristiwa
28
Politika
32
Akademia
36
Kronik
40
Oase
42
Redaksi Suluh MHSA
design: obbath/ grafis: david
Majalah Bulanan Suluh MHSA ini diterbitkan SAI (Said Abdullah Institute) Pembina: MH Said Abdullah, Januar Herwanto. Pemimpin Umum: Moh Rasul Junaidy. Wakil Pemimpin Umum: A Zahrir Ridlo. Pemimpin Redaksi: Abrari Alzael. Sekretaris Redaksi: Zeinul Ubbadi. Lay Outer: Ahmed Davidinejad. Reporter: Didik L Setia Budi, M Sa’ie. Fotografer: Mohammad Saiful Bahri. Biro Sampang: Fathurrahman. Biro Pamekasan: Nanang Sufiyanto. Biro Sumenep: Zaiturrahiem RB. Biro Bangkalan : Ervandi. Biro Jakarta: Alwi Assegaf Alamat Redaksi : Jalan Adirasa 5-7 Sumenep 69417 tel. 0328-674374 faks. 0328-661719. email : suluh_mhsa@yahoo.com. web : www.suluhmhsa.com. Redaksi menerima sumbangan tulisan dari pembaca baik berupa opini maupun artikel lainnya.
Suluh MHSA | edisi I | Th. I | Juni 2011
3
44
Suluh SuluhMHSA MHSA ||edisi edisiII||Th. Th.II||Juni Juni2011 2011
foto: abra ri al
zael
Setiap warga negara republik ini, merindukan Indonesia yang seutuhnya, luhur, berbudi pekerti, damai dan benarbenar mencerminkan Indonesia. Tetapi di sebagian wilayah republik ini, amuk merajalela. Rusuh di Pandeglang, Temanggung, Ambon, dan tawuran warga di berbagai daerah menjadi tanda bahwa aroma persatuan dan kesatuan sebagai sesama warga negara republik ini nyaris hanya menjadi wacana saja. Selebihnya, sebagian pihak memandang orang lain sebagai musuh dan karenanya layak dibunuh.
INDONESIA, kadang cinta memang tidak selalu memberikan yang kita suka, tapi lewatnyalah kita belajar menjadi dewasa
Kejadian-kejadian ini paradoks bukan saja rusuh menjauh dari rasa damai. Ini juga menjadi antiklimaks lantaran sesama warga telah memandang orang lain sebagai yang pantas dicurigai dan dimusuhi. Faktor pertama dan utama adalah lemahnya pemikiran penduduk Indonesia. Ini membuat warga begitu mudah terprovokasi. Selain itu, sebagian pihak telah melakukan depolitisasi yang menyebabkan warga tidak memahami politik dengan benar. Lemahnya pemikiran ini berbanding terbalik dengan semangat empat pilar kebangsaan (Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika) yang mendedahkan persatuan. Belum lagi soal persatuan dan kesatuan ini selesai, sebagian penduduk di republik ini tidak mencintai produk dalam negeri. Mereka merasa sangat bangga apabila memakai sesuatu yang dijual di luar negeri. Padahal, jika bukan bangsa ini yang mencintai produk negeri ini, siapa lagi? Ketidakcintaan terhadap negeri ini seperti berdampak sistemik ke wilayah yang sangat lokal. Misalnya, sebagian warga Madura khususnya remaja hari ini justru tidak senang jika dianggap sebagai asli Madura. Kejadian dalam berindonesia (dan bermadura ini) dapat dipastikan terjadi di daerah lain dengan studium yang berbeda. Itu dari aspek budaya, politik bahkan pendidikan. Di bidang ekonomi, situasinya bisa lebih parah. Bahkan, jejak ekonomi neoliberalisme di Indonesia serasa menghilangkan aset nasional dengan berpindah ke tangan asing. Sampai suatu ketika, pada akhirnya, janganjangan aset yang dimiliki bangsa lain di negeri ini justru jauh lebih banyak dibanding aset warga bangsa ini di republik ini. Soal nasionalisme ini, mirip kerja sama lembaga satu dengan
lembaga dua. Lembaga satu selalu membantu lembaga dua dan terus menerus begitu. Begitu banyak bantuan yang diberikan lembaga satu kepada lembaga kedua, sampai lembaga dua hanya memiliki sesuatu yang kecil. Sebab ornamennya yang digunakan lembaga dua lebih banyak disuplai lembaga satu. Sampai akhirnya,
pendidikan samar-samar telah menjadi “luar negeri�. Inilah yang seharusnya direnungkan bersama lembaga satu mengakuisisi lembaga dua karena tidak kuat menahan bantuan dan tak sanggup menganti bantuan yang terus bertubi-tubi itu. Diam-diam, di republik ini sudah mengarah ke model kerja sama tersebut. Suatu ketika, jika kondisi ini dibiarkan mengalir tanpa nasionalisme, Indonesia hanya tinggal nama karena piranti yang berada di dalamnya sudah milik orang lain khususnya menyangkut
ekonomi, budaya, politik, dan bahkan hukum. Dalam ekonomi misalnya, arus modal asing mulai masuk ke Indonesia; PMA dan utang luar negeri meningkat. Merujuk sejarah di awal 1970-an, atas kerjasama dengan Bank Dunia, Dana Moneter Internasional (IMF), Bank Pembangunan Asia (ADB) dibentuk suatu konsorsium Inter-Government Group on Indonesia (IGGI) yang terdiri atas sejumlah negara industri maju untuk membiayai pembangunan di Indonesia. Saat itulah Indonesia dianggap telah menggeser sistem ekonominya dari sosialisme ke arah semi kapitalisme. Dunia koperasi yang mencirikan Indonesia pelan tapi pasti tergerus. Lalu memasuki periode akhir 1980-an dan awal 1990-an, sistem ekonomi di Indonesia terus mengalami pergeseran. Kebijakan ekonomi pemerintah banyak dibawa ke arah libelarisasi ekonomi; baik sektor keuangan, industri, maupun sektor perdagangan. Pakto ‘88 dapat dianggap sebagai titik tonggak kebijakan libelarisasi ekonomi di Indonesia. Menjamurnya industri perbankan di Indonesia, yang selanjutnya diikuti dengan terjadinya transaksi utang luar negeri perusahaan-perusahaan swasta yang sangat pesat, mewarnai percaturan ekonomi liberal Indonesia saat itu. Hingga saat ini, ekonomi di republik ini telah tergantung. Dengan kata lain nasionalisme berbasis ekonomi mengalami erosi. Begitu juga dengan budaya, dimana bangsa lain terang-terangan mencaplok bahwa sebagian budaya yang dilabeli Indonesia sesungguhnya versi luar negeri milik bangsa lain. Tidak berbeda pula pendidikan samar-samar telah menjadi “luar negeri�. Inilah yang seharusnya direnungkan bersama agar siapapun di republik ini berpikir jangka panjang berguna lebih massif dan mengindonesia. (tim)
Suluh MHSA | edisi I | Th. I | Juni 2011
5
Menanti Pulihnya yang Tersengal
M
adura sebagai bagian dari In donesia, memiliki keanekaragaman budaya. Dalam konstruk Indonesia, keanekaragaman tersebut sinergis dengan kebhinnekaan dalam Pancasila. Kebhinnekaan ini yang menjadi bagian dari Pancasila seharusnya memuat logos (kemampuan berpikir), patos (semangat hidup), dan etos(budi pekerti luhur). Fakta menunjukkan, tiga hal yang semestinya padu tersebut berjalan sendiri-sendiri bahkan sebagian diantaranya nyaris tidak terlihat, soal budi pekerti itu. Indonesia yang terdiri atas gugusan pulau memiliki kesamaan dengan istilah taneyan lanjang versi Madura. Taneyan lanjang ini mengajarkan kekerabatan sistemik dan tidak terpisahkan yang menyatu dalam taneyan lanjang. Tetapi, gugusan pulau yang menyatu dalam nusantara dan membentuk Indonesia sebagaimana taneyan lanjang di Madura saat ini hampir tinggal nama. Sebab, arus informasi, kepentingan, dan pengaruh budaya luar diakui atau tidak menjajah kesatuan dengan berbagai cara. Akibatnya, aura sebagai republik taneyan lanjang mulai samar dan pada bagian tertentu hilang. Keretakan antarkeluarga dalam lingkup kecil dan ancaman disintegrasi dalam skala besar semakin menjelaskan rapuhnya kesatuan berbangsa yang pada awalnya kepaduan ini menjadi budaya. Memandang Indonesia dari kacamata Madura yang seperti ini adanya tak lepas dari orangtua. Or-
66
angtua ini terbagi pada dua kategore. Pertama, orangtua secara genetik. Kedua, orangtua geografis. “Sebagian orangtua tidak lagi mengajarkan budaya kepada anaknya,” urai Dinara Maya Julianti, dosen fakultas ilmu sosial dan budaya Universitas Trunojoyo, Bangkalan. Perubahan budaya masyarakat terjadi karena banyak hal. Diantaranya, kurangnya kesadaran masyarakat di mana budaya yang berlaku sebenarnya sebagai identitas yang harus terpelihara dan lestari. Di samping itu, pola hidup yang tidak terkendali dan tanpa disadari mengikis jatidiri. Bahkan, kemajuan teknologi ikut memancing pergeseran budaya, pengaruh asing, dan erosi jati diri dalam berbudaya semakin memperkeruh runtuhnya kerajaan budaya. “Mestinya, naghara ta’ kapotongan pekolan (pemerintah berwibawa jika aparatnya jujur, bersih, dan disiplin,” kata Sollahur Robbani, budayawan Sampang.
SuluhMHSA MHSA ||edisi edisiII||Th. Th.II||Juni Juni2011 2011 Suluh
“
gugusan pulau yang menyatu dalam nusantara dan membentuk Indonesia sebagaimana taneyan lanjang di Madura saat ini hampir tinggal nama
“
Terpengaruh Geografis I
ndonesia, berada pada posisi silang percatu ran era leksosbudhankam dunia yang sangat rentan pengaruh. Zamrud khatulistiwa, menurut budayawan Sampang Ali Daud Bey berada pada garis geografis yang mempengaruhi karakter berbangsa. Di bagian utara terdapat Cina, India dan Pakistan. Sedangkan di bagian selatan terdapat Australia. Sementara, rancang bangun negara harus sinergis dengan gerak global negara-negara tersebut. Tetapi, posisi negara yang strategis ini tidak memanfaatkannya sebagai geografis yang menunjang pembangunan di dalam negeri. Sebaliknya, kandungan alam, iklim dan karakter budaya dalam negeri justru diwarnai dari yang seharusnya mewarnai. Begitu dominannya warna yang masuk ke jagat ini, pada akhirnya warna bangsa yang sebenar-benarnya hari
ini tidak terlihat dengan sempurna. “Penghuni zamrud ini telah meninggalkan budaya leluhurnya,” katanya pada saat mengurai budaya dalam seminar pra kongres kebudayaan Madura di Sampang akhir Mei lalu. Faktor geografi juga muncul sebagai sisi lain dari konsep pembangunan manusia Indonesia. Begitu dahsyatnya proses akulturasi terhadap budaya tradisi, sehingga nilai-nilai luhur tergerus arus globalisasi. “Masihkah hal yang seperti itu terus dibiarkan?,” dia bertanya dan menjawabnya sendiri. Lelaki yang juga aktif sebagai ketua dewan pendidikan di Sampang itu menginginkan tindakan bersama yang konkret tanpa adu otot untuk mencari siapa yang superior. “Hanya pintar ngomong bukan solusi,” tegasnya. (abe)
Dimana Indonesia ?
SuluhMHSA MHSA ||edisi edisiII||Th. Th.II||Juni Juni2011 2011 Suluh
77
wawancara tokoh
Nasionalisme, Religiusitas & Regionalitas
Krisis persatuan yang menggema di hampir seantero nusantara, anginnya tertiup sampai ke Madura. Cekcok, kekerasan antarkeluarga maupun pengeroyokan antarsesama warga menjadi tanda atas terjadinya disharmoni. Kuat dugaan, realitas ini terjadi karena rasa bersaudara tidak terwahana dengan baik dan tadarus Pancasila yang tidak tuntas. Akibatnya, pada sebagian individu menempuh caranya sendiri yang terkadang berseberangan dengan kesantunan berkomunikasi bahkan dari sisi kebangsaan mengabaikan empat pilar (UUD 1945, Pancasila, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika). Secara tidak langsung, dua hal yang telah menyebabkan komunikasi berbangsa ini mengabaikan rasa persaudaraan. Antara lain, retaknya pemahaman atas cinta tanah air karena warga merasa sudah selesai ketika hidupnya selesai pada dataran individu. Akibat dari ini, orang lain cenderung dianggap sososk yang tidak penting dan karenanya tidak perlu diperhatian. Bahkan jika dianggap mengganggu dinilai layak mendapat perlajaran dengan cara menorehkan kekerasan. Kedua, robeknya rasa bersatu dan bertanah air ini disebabkan faktor budaya hidup yang matearealistik dan hedonistik. Saat dua hal ini dominan dan dijadikan sebagai cara pandang, out put pendidikan politik cenderung solokarier. Antara lain, politisi saat ini terlebih dahulu harus bertarung di kandangnya sendiri dan jika menang ke luar
8
Suluh MHSA | edisi I | Th. I | Juni 2011
kandang dan bertarung dengan politisi lain di kandang yang berbeda. Itulah sebabnya, dipandang perlu menanamkan nilai-nilai kebangsaan pada peserta didik bahkan dalam usia sedini mungkin. Itu dilakukan agar generasi masa depan mengangap orang lain sebagai bangsanya dan menilai dirinya sebagai bagian penting dari keseluruhan berbangsa seperti yang disampaikan Rektor UIM Pamekasan, Madura, HM Sahibudin yang berbicara soal keindonesiaan, kemaduraan, dan kagamaan. Menurut Anda, bagaimana nasionalisme hari ini dalam pandangan anak muda? Itu masalah kita semua. Saya juga melihat tidak saja generasi muda tetapi generasi yang lebih muda dan lebih tua juga begitu, mengalami gejala krisis berindonesia. Kira-kira, apa penyebabnya? Hemat saya itu sudah complicated. Misalnya, dari aspek pendidikan seakan-akan tidak lagi mengenali yang terdapat di sekitarnya. Dalam konteks Madura, mari kita hitung berapa banyak generasi muda kita yang sudah tidak bisa berbahasa Madura yang lebih santun. Berapa banyak pula kaum muda yang tidak menghormati orang yang lebih tua. Bahkan, begitu banyak generasi muda yang telah melampaui rasa malu dalam kasus berpacaran di tempat umum. Sebagai orang tua, seharusnya kita tidak boleh permisif. Saya khawatir tidak malu pada satu dimensi itu pada akhirnya juga tidak malu melakukan hal lain yang lebih jauh. Apa solusinya? Menurut saya harus terintegrasi. Karena ini Madura, saya ingin
peserta didik sedini mungkin telah mendapatkan tiga aspek penting. Misalnya, anak-anak sejak kecil telah mendapat pelajaran keindonesiaan, kemaduraan, dan keagamaan. Saya kira sudah banyak yang tahu bahwa
“
Saya juga melihat tidak saja generasi muda tetapi generasi yang lebih muda dan lebih tua juga begitu, mengalami gejala krisis berindonesia
“
warga Madura memiliki religiusitas yang tinggi dan taat beribadah dan karenanya ada yang menyebut Madura sebagai serambi Madinah. Masalahnya, religiusitas ini kan tidak harus bertumpu pada simbol tetapi substansial. Begitu pula tentang keindonesiaan. Saya membayangkan siapa saja menjadi Indonesia seutuhnya dengan, setidaknya, mengadopsi empat pilar kebangsaan (Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika). Begitu juga Madura hemat saya selayaknya bisa ditanamkan sejak usia dini. Yang Anda amati? Saya jadi teringat pada sebagian peserta didik kita baik di SD sampai perguruan tinggi. Di tengah banyak materi pelajaran, anakanak kita kadang tidak utuh dan belajar tanpa fokus. Apa yang terjadi, sebagian anak kita kan tidak begitu ahli di bidangnya. Mantap di bahasa Inggris juga nggak, menguasai bahasa Arab ya nggak juga, dan begitu seterusnya.
Itu yang terjadi hari ini. Dalam konsep terdahulu kan ada tiga hal yang telah populer, Islami, Indonesiawi, dan Madurawi. Tiga hal itu kan sudah memuat nasionalisme, religiusitas, dan regionalitas. Bagaimana cara menanamkan nasinalisme, religiusitas, dan regionalitas itu? Seperti dalam teori, lembaga pendidikan terkecil sebenarnya ada di rumah tangga. Soal religiusitas itu dimulai dari rumah kita. Begitu pula tentang regionalitas enggi bunten juga di rumah kita. Hal yang sama juga soal nasionalisme. Anak-anak kita dibiasakan mendengar lagu-lagu yang berdimensi tiga aspek. Jujur, saya merasa terganggu ketika mendengar anak-anak menyanyi lagu-lagu sampah dan tidak mengajarkan apa-apa. Sebut saja misalnya Keong Racun atau Kucing Garong. Apa maknanya? Kan masih ada yang lebih bermakna. Ada lagu-lagu nasional, tembang-tembang religius dan nyanyian berbahasa Maduar yang lebih mendidik. Inovasi menuju three in one yang merangkai religiusitas, regionalitas, dan nasionalisme itu harus ditanamkan sedini usia sebelum anakcucu kita dijejali produk yang tidak memiliki arti. (abe)
Biodata Nama Ttl Kelamin Agama Status Pekerjaan Alamat Pekerjaan
: Drs. HM. Sahibudin, SH., M.Pd : Pamekasan, 12 Agustus 1963 : Laki-laki : Islam : Kawin : Rektor & Dosen Fakultas Agama Islam Universitas Islam Madura : Dsn. Langgar Desa Pangorayan Kec. Proppo Pamekasan : Dosen Fakultas Agama Islam Universi tas Islam Madura Th 1994-sekarang.
Riwayat Pendidikan SD SMP SMA Jenjang S1 Jenjang S2
: SDN Mapper 1 Pamekasan Tahun 1977 : SMPN 3 Pamekasan Tahun 1981 : SMAN 1 Pamekasan Tahun 1984 : IAIN Sunan Ampel Pamekasan Tahun 1988 : Universitas Islam Malang Tahun 2006
Suluh SuluhMHSA MHSA||edisi edisiII||Th. Th.II||Juni Juni2011 2011
99
Opini Kebangsaan
ESKALASI & EROSI Kadarisman Sastrodiwiryo
RASA KEMADURAAN
Budayawan RASA KEMADURAAN
“
Selama ini, masyarakat Madura mengalami evolusi sosial, kendatipun mungkin intensitas perubahannya tidak secepat etnis lain di sekitarnya
10
“
K
etika media massa di negara kita ramai dengan gonjang ganjing peng hujatan terhadap kepemimpinan Nurdin Halid, Ketua Umum PSSI, ru panya ada segelintir warga Madura yang ikut-ikutan menghujat. Akan tetapi yang sangat menyedihkan, mereka yang menghujat, sebagaimana foto yang dimuat di sebuah surat kabar, membawa poster dengan tulisan: “Nurdin ke Madura, mati”, dilengkapi gambar arit dengan tetesan darah. Foto buram ini betul-betul menyentak perasaan kita diiringi rasa prihatin yang mendalam. Rupanya masih ada orang Madura terpelajar yang justru bangga menunjukkan sikap keras, kasar, sangar dan siap membunuh musuh-musuhnya. Berangkat dari peristiwa kecil ini, kita telaah bersama tema yang ditetapkan oleh Panitya dalam acara Pra Kongres Budaya Madura. Tema ini pada satu sisi sesungguhnya terasa sudah mem”vonis” bahwa di kalangan orang Madura sudah terjadi erosi rasa kemaduraan yang eskalatif. Seharusnya perlu diteliti terlebih dahulu apakah di kalangan masyarakat Madura betul-betul telah berlangsung proses erosi rasa bermadura? Juga apakah erosi itu sudah merata atau hanya terjadi pada sekelompok komunitas tertentu saja; dan apa betul bersifat massif serta prosesnya eskalatif ? Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, berikut ini kita simak berbagai fenomena yang muncul di kalangan masyarakat.
STEREOTIPE TENTANG ORANG MADURA Peristiwa sebagaimana tergambar dalam foto buram seperti disinggung di atas, rupanya tidak disadari oleh pelakunya bahwa hal tersebut kian mengukuhkan citra negatip orang luar terhadap orang Madura, bahwa orang Madura “sangat mudah menghunus senjata dalam menyelesaikan masalah, pendendam, dan tidak mudah menyesuaikan diri dengan lingkungan” (Giring, 2004). Apalagi persoalannya hanya menyangkut organisasi sepakbola. Stereotype bahwa orang Madura keras, kasar, sangar, pendendam, bodoh, suka berkelahi bahkan gampang membunuh, menurut catatan sejarah sudah ada sejak zaman penjajahan. Dalam rangka politik adu domba, mereka menciptakan image orang Madura seperti itu. Namun anehnya, stereotype itu terus melekat sampai sekarang. Tidak mudah untuk menghapusnya, karena rupanya sudah terwariskan dari generasi ke generasi berikutnya. Tampilnya orang Madura
Suluh Suluh MHSA MHSA || edisi edisi II || Th. Th. II || Juni Juni 2011 2011
menjadi petinggi dan tokoh-tokoh nasional, menjadi Jenderal, Panglima dan Kepala Staf di jajaran TNI/ Polri di Republik ini, rupanya tidak cukup kuat untuk mengikis citra negatip ini. Menyikapi tudingan miring ini, orang Madura terbelah menjadi beberapa kelompok. Ada sekelompok orang yang kukuh dengan kemaduraannya. Kelompok ini tidak peduli dengan pendapat orang luar, dan secara konsekwen serta konsisten tetap berbudaya, berbahasa, berperilaku sebagai orang Madura. Kelompok ini kebanyakan terdiri dari golongan menengah dan masyarakat di “akar rumput”, dan ada pula dari golongan atas. Kelompok kedua adalah kelompok yang terdiri dari orang-orang yang tidak peduli terhadap budayanya, dan orang-orang yang “malu menjadi orang Madura” sehingga merasa perlu menyembunyikan identitas kemaduraannya. Kebanyakan mereka adalah para pejabat atau kaum intelektual yang berada di luar Madura.
kopi kepada tamunya, ketika mempersilakan minum akan mengatakan: “Eatore ka’dinto. Namong saporana model Pacenan”. Adapun yang dimaksud dengan model pecinan, karena konon tradisi di Cina tamu dihormat dengan suguhan teh. Sementara orang Madura menghormati tamu dengan suguhan kopi. Itu, dulu. Sekarang, menyuguhi tamu dengan air putih dalam gelas kemasan, sudah lumrah dan sang tuan rumah tidak perlu berbasabasi lagi ketika menyilakan minum. Perubahan ini terjadi karena pengaruh teknologi kemasan, yang dirasa memberi “nilai tambah” bagi segelas air putih. Dulu, orang Madura memiliki “keangkuhan” tidak mau disebut orang miskin, dan tidak mau menerima bantuan yang berlabel “untuk orang miskin”. Sekarang, keangkuhan itu sudah pupus. Si
anggap biasa-biasa saja bahkan dijadikan sebuah strategi. Menyimak fenomena kecil seperti di atas, kiranya kita tidak ragu mengatakan bahwa orang Madura sedang mengalami pergeseran nilai pada berbagai aspek kehidupan, baik ekonomi, sosial, politik maupun budaya. Pergeseran nilai dan perubahan sosial pada sebuah etnis adalah sebuah keniscayaan, karena memang tidak ada masyarakat atau bangsa yang stagnant. Semua bergerak dan berubah, sesuai dengan hukum sosial yang mengatakan bahwa di dunia ini tidak ada yang tidak berubah. Satusatunya yang tidak berubah adalah perubahan itu sendiri. Tentang perubahan sosial ini, Astrid S. Susanto mengatakan bahwa ada tiga bentuk perubahan sosial, yaitu evolusi sosial (social evo-
Kelompok ketiga, adalah kelompok yang secara sadar dan bersemangat berupaya untuk “membangun citra positip” dan mengikis citra miring tentang Orang Madura. Kelompok ini pada umumnya adalah kaum terpelajar, tokoh masyarakat, para budayawan yang tinggal di Madura, serta sebagian perantau baik yang menjadi tokoh dan petinggi nasional, maupun yang menjadi warga biasa. Mereka tetap cinta dan peduli akan nasib etnisnya. Mengacu pada pengelompokan ini, rupanya yang kita anggap mengalami erosi rasa bermaduranya banyak terjadi pada kelompok kedua. Sedangkan pada kelompok pertama, bisa saja dianggap mengalami penggerusan rasa bermaduranya, akan tetapi sesungguhnya mereka tidak persis seperti itu, melainkan mengalami pergeseran nilai. MOBILITAS SOSIAL DI MADURA Sekitar dua puluh tahun silam, seseorang kalau karena sesuatu hal terpaksa menyuguhkan teh dan bukan
foto: saiful bahri
miskin dan yang tidak miskin sama-sama berebut Raskin atau BLT tanpa rasa risih. Mungkin karena tekanan ekonomi atau karena orang-orang sudah berpikir pragmatis, yang melahirkan perubahan ini. Dua puluh tahun lalu, hampirhampir tidak ada politikus yang pindah partai, karena dianggap tidak etis, dan akan dijuluki “kutu loncat”. Sekarang hal tersebut di-
lution), mobilitas sosial (social mobility) dan revolusi sosial (social revolution). Sebagaimana bangsa-bangsa lain di dunia, atau sub etnis lain di Indonesia, masyarakat Madura juga mengalami perubahan. Selama ini, masyarakat Madura mengalami evolusi sosial, kendatipun mungkin intensitas perubahannya tidak secepat etnis lain di sekitarn-
Suluh Suluh MHSA MHSA || edisi edisi II || Th. Th. II || Juni Juni 2011 2011
11
sistem teknologi juga pasti berubah. Mata pencaharian orang Madura akan bergeser dari sektor primer ke sekunder atau tersier. Mereka yang tetap berada di sektor primer seperti para petani, akan bergeser aktifitasnya dari pertanian subsistence ke agribisnis, dari kerja manual ke masinal, dari tradisional ke teknologikal.
foto: saiful bahri
ya. Akan tetapi sekarang, dengan perkembangan teknologi utamanya teknologi informasi, komunikasi yang intens, ditambah adanya Jembatan Suramadu, diyakini bahwa proses evolusi sosial sudah mengalami eskalasi dan beranjak ke mobilitas sosial. Jembatan Suramadu secara signifikan memang meningkatkan mobilitas penduduk yang melahirkan komunikasi langsung dengan etnis lain. Sehingga pada gilirannya terjadilah pertukaran informasi, transfer teknologi, persinggungan budaya yang sangat intensif. Dan dalam proses ini terjadilah proses assimilasi, akulturasi atau dominasi. Dalam budaya Madura tanggal nilai-nilai lama yang tidak sesuai dengan perkembangan situasi dan tumbuh nilai-nilai baru. Tentu saja nilai-nilai ini ada yang positif dan ada yang negatip. Selanjutnya yang perlu diamati, unsur budaya apa saja yang mengalami perubahan? Menurut Koentjaraningrat, kebudayaan meliputi tujuh unsur, yaitu sistem religi, sistem organisasi kemasyarakatan, sistem pengetahuan, bahasa, kesenian, sistem mata pencaharian dan sistem teknologi/ peralatan. Ketujuh unsur tersebut juga ditemui dalam budaya Madura. Masingmasing unsur akan mengalami perubahan, hanyasaja intensitasnya berbeda. Unsur yang disebut awal lebih sulit berubah daripada yang
12
disebut belakangan. Sistem religi, diyakini tidak akan mengalami perubahan yang berarti. Orang Madura tidak akan beranjak dari keIslamannya. Hanya saja yang mungkin terjadi adalah hantaman terhadap nilai-nilai keIslaman, dengan masuknya nilainilai non Islami. Sistem organisasi kemasyarakatan, mungkin saja mengalami pergeseran. Akan tetapi perubahannya diprediksi tidak akan menyentuh “akar rumput” Sedang sistem ilmu pengetahuan pasti akan berubah. Perubahan ini justru diharapkan, yaitu terjadinya transfer ilmu pengetahuan dan teknologi. Bahasa dan kesenian merupakan unsur budaya yang secara teoritis rentan terhadap perubahan. Sekarang saja di Madura, perubahan kedua unsur ini sudah sangat terasa. Anggota masyarakat, utamanya kaum terpelajar sudah banyak yang meninggalkan “bahasa ibu” sebagai pengantar dalam kehidupan keseharian di tengah keluarga, dan menggantinya dengan Bahasa Indonesia. Demikian halnya dengan kesenian. Banyak cabang seni yang dirasa tidak sesuai dengan perkembangan zaman akan punah, dan berganti dengan seni kontemporer. Ke depan perubahan itu akan makin melebar. Sistem mata pencaharian dan
Suluh MHSA | edisi I | Th. I | Juni 2011
Pergeseran-pergeseran nilai ini natinya akan melahirkan perubahan perilaku. Hal inilah mungkin yang oleh kita dirasakan sebagai terjadinya “erosi rasa bermadura” atau tergerusnya rasa kemaduraan. Akan tetapi sesungguhnya kita perlu membedakan antara keduanya, yaitu antara tergerusnya rasa kemaduraan dengan proses pergeseran nilai. Terlepas dari hal-hal di atas, apabila kita mencermati perubahan perilaku masyarakat khususnya di Pamekasan, sesungguhnya telah muncul fenomena baru yaitu terjadinya pergerakan “arus balik” di bidang budaya. Beberapa kenyataan berikut ini bisa dijadikan bukti penguat tentang hal tersebut Dalam bidang bahasa, di Madura sekarang sudah terbit sekurangkurangnya tiga Kamus Bahasa Madura-Indonesia. Buku-buku pelajaran dan majalah berbahasa Madura, sudah banyak yang menerbitkannya. Bahkan saat ini sedang digarap Terjemahan Al Qur’an ke dalam Bahasa Madura. Pemerintah Daerah di Madura juga makin intens memberi perhatian terhadap bahasa, seni dan budaya Madura. Tahun lalu, Pemerintah Kabupaten Pamekasan mensponsori penyelenggaraan Kongres Bahasa Madura. Dalam setiap peringatan Hari Jadi setiap Daerah, selalu diprogram kegiatan Pekan Budaya Madura. Fasilitas umum perkotaan seperti taman kota, ada yang diberi nama dengan bahasa Madura, seperti Taman Pottre Koneng, Sekar Pote. Kawasan PKL diberi nama Sae Salera, Sae Rassa. Monumen Are’ Lancor sudah menjadi landmark Pamekasan, dan masyarakat bangga dengan itu. Lagu dan tari Madura, sekarang
kian memperoleh tempat di kalangan masyarakat. Media massa juga tidak ketinggalan. Hampir semua Stasiun Radio memiliki program berbahsa Madura. Surat Kabar dan majalah lokal semua menyediakan rubrik Bahasa Madura. Hal yang menarik lagi, komunikasi SMS antar warga banyak yang mempergunakan bahasa Madura. Dunia usaha juga memberikan tempat yang memadai terhadap budaya Madura. Batik Pamekasan, sudah menjadi tuan di negerinya sendiri, dan Orang Pamekasan bangga terhadap batiknya. Merek dagang, sekarang banyak yang mempergunakan bahasa Madura. Label bungkusan makanan kecil misalnya, banyak yang memakai bahasa Madura, seperti Perusahaan Krepe’ Tette, Krepe’ Tengghang, Krepe’ Geddhang, Minuman Nata de Ta’al, Rojhak Tajhin, Tajhin Etem, Campor Lorjhu’, dan banyak lagi lainnya. Promosi dan iklan dagang perusahaan banyak yang mempergunakan bahasa Madura. Apakah hal-hal tersebut tidak bisa dijadikan bukti bahwa sekarang ada arus balik yaitu kian mengentalnya rasa kemaduraan atau “rasa bermadura”? MADURA KE DEPAN
depan, menilai tinggi hasil karya, semangat kompetitif, mengutamakan kejujuran, keterbukaan, efisiensi, hemat, menghargai waktu dan sesuai dengan syariat Islam. Dalam membangun mentalitas baru ini, kita harus bangkit bersama. Pemerintah, Ulama/ Pemuka Masyarakat, Cendekiawan/ Akademisi, Budayawan, LSM, Insan Pers perlu turun tangan bersama merumuskannya. Gerakan ini juga perlu Pelembagaan, mengingat orang Madura tidak mengenal Lembaga Adat sebagaimana Ninik Mamak di Minangkabau atau Subak di Bali. Bersamaan dengan ini, para akademi-
“
Kalau Jepang bisa menghidupkembangkan semangat Bushido dan menghidupkan nilai-nilai luhur yang dijunjung para Samurai; kalau orang Cina bisa mentransfer ajaran se perang Sun T Tse menjadi ajaran manajemen bisnis, mengapa kita tidak?
Bagaimana menyikapi pergeseran dan perubahan ini? Menghadapi pergeseran nilai yang merupakan sebuah keniscayaan tersebut, perlu disikapi dengan berpedoman pada qoidah yang berasal dari kalangan Pesantren yaitu: “Al muhafadzotu alal qodimis sholih wal akhdzu bil jadidil ashlah” yang artinya “mempertahankan nilai lama yang baik dan menerima nilai baru yang lebih baik lagi”.
si perlu menggiatkan kajian-kajian kemaduraan dan mendirikan Pusat-Pusat Studi Kemaduraan.
Dalam rangka itu, kita perlu membangun mentalitas baru yaitu “Mentalitas Pembaharuan” atau menurut Koentjaraningrat, “Mentalitas Pembangunan”. Mentalitas ini merupakan ramuan dari mentalitas luhur yang kita miliki dengan mentalitas baru yang sesuai dengan budaya Madura. Substansinya memuat nilai yang mendukung kemajuan, seperti berorientasi ke masa
Sedang para Pemuka Masyarakat utamanya Budayawan, hendaknya aktip menyeleksi, melakukan redifinisi, reinterpretasi, revitalisasi dan refungsionalisasi terhadap nilai-nilai luhur yang kita miliki. Misalnya ungkapan “Oreng jhujhur mate ngonjhur, oreng ngeco’mate malekko’, Asel ta’ Adhina asal, Andhap Asor” dan lain-lain perlu dihidupkembangkan. D.Zawwawi Imron
“
yang mengintroduksi “Clurit Mas” dan mengatakan bahwa clurit sekarang bukan untuk menebas leher melainkan untuk menebas ketertinggalan, kemiskinan dan kebodohan, perlu kita realisasikan dalam kehidupan nyata. Clurit itu mungkin berupa Perguruan Tinggi, bisa Lembaga Keuangan Syariah, bisa juga berupa buku seperti yang telah ditulis Mien A.Rivai, Pertanyaan yang muncul : “Bisakah kita?”. Kalau Jerman bisa menumbuhkan semangat “Uber Alles”; kalau Jepang bisa menghidupkembangkan semangat Bushido dan menghidupkan nilai-nilai luhur yang dijunjung para Samurai; kalau orang Cina bisa mentransfer ajaran perang Sun Tse menjadi ajaran manajemen bisnis, mengapa kita tidak? Karena itu jawaban terhadap pertanyaan tersebut, adalah: ”Insyaallah kita bisa”. SIMPULAN Di kalangan Orang Madura sekarang berlangsung perubahan sosial berikut pergeseran nilai. Ada nilai-nilai atau tradisi yang aus dan tanggal, dan ada nilai baru yang tumbuh. Perubahan itu nampak dalam perubahan perilaku, sehingga terasa seperti terjadi penggerusan rasa kemaduraan atau erosi rasa bermadura. Akan tetapi pada sisi lain, muncul fenomena baru yaitu justru menguatnya rasa kemaduraan atau rasa bermadura. Kedepan, perubahan itu perlu dimanaje bersama. Perlu ditumbuhkan “Mentalitas Pembaharuan” yang diikuti dengan proses penumbuhan, pelembagaan, serta sosialisasi. Mentalitas baru tersebut berisi ramuan antara nilai lama yang baik, nilai yang direinterpretasi, redifinisi, revitalisasi dan refungsionalisasi, dengan nilai-nilai baru yang lebih baik yang datang dari luar, yang sudah ditapis dan disesuaikan dengan kondisi Madura, Alhasil, Madura memang sedang berubah. Dan perubahan itu menuju ke keadaan yang lebih baik dan tidak menuju ke kepunahan. Insyaallah.
Suluh MHSA | edisi I | Th. I | Juni 2011
13 12
Opini Kebangsaan
Akhmad Zaini
?
Bahasa Madura, di Ambang
Kematian
Staf Pengajar Bahasa dan Sastra Indonesia Unira
H
“
Di dunia terdapat 6500 bahasa, dan 100 di antaranya setiap tahun mengalami proses kematian.
“
14 14
asil penelitian tim Pakem Maddhu tentang eksistensi Bahasa Madura (BM) di Pamekasan bulan Juni 2010 yang lalu cukup mengejutkan. Bah wa penggunaan Bahasa Madura di perkotaan, baik di kalangan remaja, petani, pedagang, maupun di lingkungan keluarga sangat minim dan tidak eksis, karena dianggap kurang modern. Masyarakat cenderung menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa pertama. Sedangkan di pinggiran kota di semua kalangan menunjukkan penggunaan BM masih cukup eksis dan ada keinginan kuat berbahasa Madura. walaupun di kalangan remaja masih banyak tejadi interfrensi bahasa Indonesia ke dalam BM. Sedangkan sampel desa di semua kalangan masih eksis dipakai dalam kehidupan berinteraksi setiap hari antar penutur. Mereka memandang BM sebagai warisan yang harus dilestarikan kepada anak cucunya. Namun demikian, disimpulkan bahwa BAHASA MADURA AKAN PUNAH ! Prediksi kepunahan BM tidaklah berlebihan jika bercermin pada penelitian yang dilakukan oleh Unesco pada tahun 2006. Menurutnya, di dunia terdapat 6500 bahasa, dan 100 di antaranya setiap tahun mengalami proses kematian. Bahkan pada abad ke-21 ini separuh jumlah itu akan punah (Tempo, 21 Peb’2007). Penyebabnya, 1) karena adanya perkawinan antar bangsa dan antar suku yang menghasilkan keturunan dengan menggunakan bahasa pengantar berbeda dari bahasa ibunya sebagai langkah kompromistis, 2) karena hilangnya kebanggaan dan rendahnya komitmen penuturnya, 3) tidak dilakukannya pembukuan dan pembakuan terhadap sistem dan struktur bahasa itu, 4) adanya pergeseran nilai di tengah-tengah masyarakat yang mengedepankan aspek ekonomis dan praktis. Dan bahasa yang ditinggalkan biasanya dianggap tidak memiliki nilai ekonomis dan tidak praktis. 5) rendahnya dukungan politik-birokratis terhadap nasib bahasa itu. Tampaknya kelima penyebab di atas menjadi penyebab pula dalam proses kematian bahasa daerah, termasuk BM. Berdasarkan penelitian Pusat Bahasa Depdiknas RI pada tahun 2005, Bahasa Daerah (BD) berjumlah 731 dan pada tahun 2007 tinggal 726 karena 5 bahasa di antaranya mati/punah. Keadaan ini juga terjadi dalam BM. Pada tahun 2000 (hasil penelitian B.K Purwo dalam Rifai:2007) penutur BM sebanyak 13 juta atau sekitar 5% dari jumlah penduduk Indonesia dan pada tahun 2007 (hasil penelitian Pusat Bahasa) penutur BM tinggal 10 Juta yang tersebar di berbagai daerah seperti Madura, Bondowoso, Probolinggo, Banyuangi, Pasuruan, dan Bawean. Bukan tidak mungkin suatu saat BM akan menjadi vernakular, yaitu bahasa yang tidak memiliki status resmi. Ini artinya BM sedang mengalami ancaman kepunahan yang serius jika tidak dilakukan upaya penyelamatan. Atas keinginan menyelamatkan BM dari ancaman kepunahan inilah, seminar pra kongres dilakukan. Sebab kongres Kebudayaan Madura (KM) yang akan dilaksanakan tahun 2012 nanti jika tidak disiapkan secara matang akan kembali
Suluh SuluhMHSA MHSA ||edisi edisiII||Th. Th.II||Juni Juni2011 2011
menjadi ajang temu alumni para tokoh yang diwarnai perdebatan tanpa ujung. Akan sia-sia! Padahal kongres adalah harapan terakhir semua pihak mengakhiri salah satu polemik tentang kodifikasi dan pembakuan BM yang selama ini terus berlangsung. Semua berharap Kongres KM sebagai akhir vernakularisasi dan titik awal mengantarkan BM sebagai bahasa yang besar. Sebuah bahasa dikatakan besar apabila memiliki empat ciri, yaitu adanya pembakuan terhadap sistem dan struktur bahasa itu, adanya media sebagai sarana ungkap penuturnya, berlangsungnya proses pengajaran di lembaga pendidikan, dan adanya komitmen penuturnya untuk mengunakan dalam komunikasi sehari-hari dan pengantar di banyak forum. Merujuk pada empat ciri di atas, bagaimanakah kondisi BM saat ini? Pertama upaya pembakuan biasanya harus melewati proses kodifikasi, yaitu tahap pembakuan kosa kata, ejaan, dan tata bahasa. Bahasa yang telah mengalami proses ini akan menjadi bahasa standar atau baku, yang tentunya dilakukan dengan tulisan. Sebab standardisasi bahasa ditemukan dalam tulisan, bukan dalam tuturan. Karena itu perlu pembakuan dan pembukuan. Upaya pembukuan kosa kata telah dilakukan sejak tahun 1904 yang dimulai dengan penyusunan kamus BM yang ditulis oleh Kiliaan. Pada tahun 1913 Penninga dan Hendriks menyusun kamus BM dengan mendaftar sekitar 7000 lema atau entri (kata dasar) kata Madura, termasuk kosa kata Madura Kuno. Langkah penyusunan kamus diikuti Safioedin pada tahun 1977, dan pada tahun 2007 Pemkab Pamekasan bersama tim Pakem Maddu menyusun kamus BM. Upaya lain pembakuan kosa kata dilakukan pada tahun 2006 dengan memasukkan sejumlah kosa kata Madura ke dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) yang diterbitkan tahun 2008. Tahun 2007 Balai Bahasa Surabaya (Kini Balai Bahasa Jatim) menyusun kamus Indonesia-Madura. Pada kedua upaya terakhir, penulis terlibat sebagai tim. Pada tataran ini, BM cukup syarat untuk digolongkan sebagai bahasa yang besar. Sementara upaya pembakuan
ejaan dimulai 34 tahun yang lalu, yakni melalui serasehan yang dilaksanakan tanggal 28-29 Mei tahun 1973 di Pamekasan. Hasilnya baru sebatas konsep mengambang yang belum menjadi kata sepakat di antara para pakar BM. Pada tahun 2002 dilakukan upaya lanjutan berupa lokakarya, “Pemantapan Ejaan Bahasa Madura” di Surabaya dengan hasil bahwa rumusan serasehan tahun 1973 dapat dilaksanakan dengan beberapa penyempurnaan. Kemudian pada tahun 2004 diterbitkan Ejaan Yang Disempurnakan (EYD) BM yang kemudian disempurnakan lagi pada tanggal 27 September 2005 dalam acara “Pemasyarakatan Pedoman EYD Bahasa Madura” yang dilaksanakan di Hotel Elmi Surabaya. Walaupun demikian, sejumlah kritik dan perdebatan tentang EYD BM masih terus berlangsung yang membutktikan bahwa EYD BM itu belum sepenuhnya diterima oleh sejumlah kalangan. Melihat kenyataan itu, Balai Bahasa Jatim kembali mengumpulkan para tokoh BM dalam seminar “Bahasa Madura” di Surabaya pada tanggal 22-23 November tahun 2005. Dari seminar ini, upaya pembakuan ejaan masih belum sepenuhnya disepakati walaupun terdapat langkah kompromistis bahwa EYD BM tahun 2004 sementara dapat digunakan hingga waktu yang tidak ditentukan. Baru tahun 2008 melalui kongres BM di Pamekasan, EYD BM 2004 disepakati digunakan sebagai ejaan resmi. Adapun upaya pembakuan tata bahasa telah lama dilakukan, misalnya oleh Depdikbud Jatim pada tahun 1988 yang bekerja sama dengan IKIP Malang yang kemudian terbit buku “Tata Bahasa Acuan Bahasa Madura”. Untuk menyempurnakannya, pada tahun 2007, Balai Bahasa Jatim mengadakan acara “Lokakarya Penyusunan Tata Bahasa Madura” di Malang. Puncak pembakuan dan pembukuan dilakukan tahun 2008 dalam Kongres Bahasa Madura di Pamekasan yang digagas Balai Bahasa Jatim. Kemudian lahirlah buku rujukan “Tata Bahasa Baku Bahasa Madura”. Semoga buku ini menjadi sejarah keemasan penyelamatan BM. Kedua terkait dengan media.
“
Sebuah bahasa dikatakan besar apabila memiliki empat ciri, yaitu adanya pembakuan terhadap sistem dan struktur bahasa itu, adanya media sebagai sarana ungkap penuturnya, berlangsungnya proses pengajaran di lembaga pendidikan, dan adanya komitmen penuturnya untuk mengunakan dalam komunikasi sehari-hari dan pengantar di banyak forum.
“
Mien Ahmad Rifaei dalam bukunya “Manusia Madura” mengatakan keprihatinannya terhadap perkembangan media cetak berbahasa Madura. Menurutnya, tidak terdapat surat kabar atau majalah dalam bahasa Madura yang mampu bertahan lama. Hal ini dikuatkan oleh penelitian Hariyadi (dalam Basar, 2006) yang menemukan bahwa pada tahun 1981 jumlah majalah berbahasa Madura sebanyak 75 eks, buletin 7 eks, selebaran 3 eks, dan buku pelajaran 47 buah. Namun pada tahun 1990 media yang masih bertahan tinggal 1 buletin yaitu Buletin Konkonan terbitan tim Nabara Sumenep walaupun pada akhirnya juga mengalami pasang surut. Pada tahun 2005 terbit Buletin Pakem Maddu yang diterbitkan Pakem Maddu Pamekasan dan kini sering mengeluh karena tidak banyak tulisan yang disumbangkan oleh masyarakat. Hal yang sama dilakukan oleh Balai Bahasa Jatim yang me-
Suluh SuluhMHSA MHSA ||edisi edisiII||Th. Th.II||Juni Juni2011 2011
15 15
SENJA: Alam yang masih sangat asri dan bersahabat, membuat anak Madura bebas berekspresi tanpa harus takut polusi.
nerbitkan majalah “Jokotole� dimulai pada tahun 2008 dan saat ini tulisan yang termuat cukup memprihatinkan. Bukan saja karena penulisnya cenderung tetap, juga isinya terkesan yang penting ada. Sebab redaksi sepertinya tidak banyak pilihan kecuali memuat tulisan yang masuk yang jumlahnya sangat minim. Karena memang masyarakat kita tidak memiliki tradisi menulis. Bahkan dari 726 bahasa daerah, hanya 11 bahasa yang penuturnya memiliki tradisi menulis. Sedangkan media elektronik yang saat ini masih peduli terhadap BM hanyalah RRI Sumenep, radio Karimata FM, Madura Fm, Ralita FM (ketiga di Pamekasan), dan JTV (walau banyak kritikan terhadap bahasa yang digunakan). Dari acara di atas, yang ironis karena pengasuhnya hampir semua para tokoh tua dan yang merespon juga dari kalangan yang sama. Tidak banyak anak muda yang terlibat dalam media tersebut. Semua menunjukkan bahwa komitmen, minat, dan kemampuan masyarakat Madura terhadap bahasanya masih rendah. Artinya menuju besarnya bahasa Madura masih membutuhkan kerja keras para tokoh Madura. Yang sangat tempak saat ini adalah Balai Bahasa Jatim, di era kepemimpinan Drs. Amir Mahmud yang bersemangat melestarikan Bahasa Madura yang dianggapnya hampir punah. Ini membutuhkan dukungan semua pihak. Ketiga pengajaran BM di lembaga pendidikan dapat dikatakan berjalan jika terdapat beberapa komponen utama yaitu tersusunnya kurikulum, bahan ajar, metode, dan
1616
foto: saiful bahri
“
Orang Madura enggan berbahasa Madura karena menghindari kesan (walau hanya sekedar anggapan) sebagai Madura yang tidak maju atau memiliki kesan negatif sebagai daerah terbelakang, keras, dan berasal dari daerah minus
“
tersedianya tenaga pendidikan. Sejak pemberlakukan kurikulum nasional 1968, BM menjadi bahasa pengantar di sekolah. Pada kurikulum 1977, BM mengalami kemunduran karena BM sebagai muatan lokal yang tidak wajib diajarkan. Bahkan pada kurikulum 1984, BM sekedar pelajaran mapel alternatif yang diajarkan dengan mengurangi pelajaran bahasa Indonesia. Sampai di sini kurikulum BM belum tersusun secara baik. Baru pada kurikulum 1994, BM kembali mendapat peluang cukup besar dikembangkan di sekolah. Hal ini
SuluhMHSA MHSA||edisi edisiI I||Th. Th.I I||Juni Juni2011 2011 Suluh
diperkuat oleh ketetapan Kep. Kandepdikbud Jatim No. 1702/ 104/M/94 tanggal 30 Maret 1994 tentang Kurikulum Muatan Lokal. Sejak keluarnya keputusan dimaksud, BM menjadi muatan lokal di SD dan SLTP. Untuk jenjang SMA hanya diajarkan di SPG, SGO, dan PGA. Dengan lahirnya keputusan di atas, BM memiliki kurikulum yang resmi yang diterbitkan Depdikbud Jatim. Bahkan pada tahun 2006 Pemkab Pamekasan melalui Perda No. 13 tahun 2006 tentang Sistem Penyelenggaraan Pendidikan, ada harapan nasib BM lebih baik karena di Pamekasan, BM harus diajarkan mulai dari TK hingga SMA. Konsep kurikulum terkait Perda di atas saat ini sedang disusun Pakem Maddu Pamekasan. Sayangnya komitmen terhadap pengajaran BM melalui Perda hanya terdapat di Pamekasan. Sementara di tiga kabupaten lainnya di Madura belum melakukan hal yang sama. Itupun sampai saat ini pelajaran BM di SMA Pamekasan belum dapat direalisasikan secara komprehensif. Kendala dalam implementasi Perda tersebut pada tenaga edukatifnya. Keterbatasan tenaga edukatif disebabkan hampir tidak ada sarjana strata 1 (S1) yang berlatar belakang BM di samping kelompok-kelompok pelestari bahasa Madura yang ada saat ini terancam punah tanpa regenerasi. Upaya alternatif menyiapkan tenaga pengajar BM dilakukan di Universitas Madura (Unira) Pamekasan pada Prodi Bahasa Indonesia yang mengembangkan mata kuliah tambahan wajib keahlian BM sebanyak 16 SKS dengan mendatangkan dosen luar biasa (walaupun tidak bergelar sarjana BM). Harapan kita adalah kesuksesan para tokoh Madura yang saat ini sedang melobi Depdiknas untuk membuka jurusan BM di perguruan tinggi walaupun kendala utama adalah tenaga edukatif karena untuk membuka jurusan atau Prodi baru mempersyaratkan tenaga dosen lulusan Pasca Sarjana (S2) yang relevan. Upaya membuka Prodi BM tampaknya hanya akan berakhir menjadi cita-cita semata, sulit terwujud. Selain sulitnya mendapat ijin operasional, juga akan terkendala peminat (calon mahasiswa). Sebab jumlah peminat akan linier dengan pe-
luang dunia kerja. Terkait dengan bahan ajar. Jumlah bahan ajar BM hingga saat ini masih sangat terbatas. Tercatat para penulis buku pelajaran BM di sekolah antara lain, Ratnawi Padmodiwirjo, Djufri, Umar Sastrodiwirdjo (orang tua Wabup Pamekasan), HM. Dradjid, Drs H. Muakmam, Drs. H. Kutwa, M.Pd., Moh.Tayib, Drs. H. Chairil Basar, M.Pd dll. Adapun dari kalangan pemuda hanya M. Hafidz Effendii, M.Pd sebagai kader Pakem Maddhu yang saat ini baru menjadi penulis pendamping. Keempat komitmen orang Madura berbahasa Madura masih sangat rendah. Ini terlihat dari keengganan menggunakan BM dalam berkomunikasi terutama ketika bertemu di daerah lain. Mereka lebih memilih berbahasa Indonesia atau Jawa agar terkesan modern dan menghindari kesan sebagai orang Madura. Rendahnya komitmen ini sangat dipengaruhi oleh perkembangan sebuah bahasa yang senantiasa mengikuti tiga hal, kemajuan daerah penutur, nilai ekonomis dan apek kepraktisan. Orang
Madura enggan berbahasa Madura karena menghindari kesan (walau hanya sekedar anggapan) sebagai Madura yang tidak maju atau memiliki kesan negatif sebagai daerah terbelakang, keras, dan berasal dari daerah minus di samping BM dianggap kurang memiliki nilai tawar ekonomis. Misalnya tidak menjadi pertimbangan utama untuk melamar sebuah pekerjaan tertentu atau tidak mampu mengangkat pristise penuturnya sebagai orang modern dan ilmuan. BM dianggap tidak praktis dan justru menyulitkan, baik dalam tindak tutur (karena diikat oleh tingkatan bahasa) maupun dalam tulisan karena memiliki fon dan fonem yang sangat banyak, apalagi dengan menggunakan sistem penulisan secara fonemis (satu fonem menggunakan lambang berbeda). Selain faktor ekstrinsik di atas, kepunahan BM juga karena faktor intrinsik. BM tidak mampu memenuhi kebutuhan komunikasi di era globalisasi yang heterogen dan tidak mampu menjadi penggali, penafsir, dan penyampai ilmu pengetahun, akibatnya ruang gerak BM semakin
menyempit dan lambat laun ditinggalkan penuturnya. Padahal pada tahun 1951 Unesco telah merekomendasikan penggunaan bahasa ibu (BD) dalam pengantar pendidikan karena secara psikologis, bahasa ibu telah menjadi alat berfikir sejak kecil bagi pelajar. “Melihat kondisi BM sebagaimana diuraikan di atas, tampaknya kondisi BM untuk menjadi bahasa yang besar masih problematik. Jangankan menuju besar, bertahan saja kiranya cukup bagus.� Dengan mengenyampingkan sikap utopis terhadap cita-cita besarnya BM, ada tawaran yang bisa (semoga) menyelematakan BM, yaitu merujuk pendapat Rusli Abdul Ghani (Dewan Bahasa dan Pustaka Malaysia), yaitu mengokohkan kekuatan politik, teknologi, dan kesarjanaan/pendidikan. Pertama; dalam konteks politik, Madura sebagai daerah yang memiliki nilai tawar tinggi perlu terus dikembangkan. Bisa mungkin Madura sebagai provinsi menjadi salah satu solusi kekuatan politik kelembagaan. Sementara politik pengguna, maka penuturnya perlu memili-
foto: saiful bahri
EKSOTIS : Beragam budaya Madura yang unik dan menerik sebenarnya menggambarkan betapa Madura memiliki cita rasa dan peradaban yang tak kalah maju dengan masyarakat di daerah lainnya
SuluhMHSA MHSA||edisi edisiI I||Th. Th.I I||Juni Juni2011 2011 Suluh
1717
foto: saiful bahri
KERJA KERAS: Jika ada yang mengatakan orang Madura miskin karena malas, itu sama sekali salah. Kerja keras seperti penambang batu ini bukan hal asing di Madura
ki martabat yang terus meningkat di tengah-tengah komunitas yang dominan, mampu meningkatkan kesejahteraannya, memegang legitimasi yang kuat di mata komunitas yang dominan, memiliki posisi yang kuat di dalam sistem pendidikan, penuturnya dapat menulis dalam bahasanya, dan dapat memanfaatkan teknologi elektronik sebagai media berkomunikasi (David Crystal dalam Irawan, 2008). Kedua; bidang teknologi yang diproduksi Madura perlu mempertahankan BM sebagai label atau merk. Misalnya batik asli Madura, jenis kesenian, kerajinan tangan, dll. Syukur hasil teknologi itu dapat merambah manca negara sehingga BM dapat dikenal mereka. Lihatlah Bahasa Inggris lewat bahasa teknologinya, internet, hollywood, dll.
1818
Ketiga; kesarjanaan yang identik dengan bidang pendidikan, pengetahuan, dan kebudayaan. Pada aspek ini para ilmuan Madura perlu memperbanyak penulisan teks berbahasa Madura yang menggali potensi-potensi Madura yang saat ini hampir punah. Seperti jenis-jenis rumah dan bagian-bagiannya, alat teknologi tradisional, batik dan ragamnya, dll. Pemerintah daerah bisa jadi melakukan penganugerahan duta bahasa Madura, mulai tingkat kabupaten hingga Bakorwil. Langkah lain, menggunakan pendekatan birokratis. Artinya penguasa daerah yang harus berdiri di pihak terdepan melakukan upaya pelestarian dan pengembangan. Pendekatan birokratis pernah sukses dilakukan di India dalam upaya pelestarian bahasa daerah Hindi.
Suluh SuluhMHSA MHSA||edisi edisiI I||Th. Th.I I||Juni Juni2011 2011
Hal yang sama dilakukan di Amerika untuk melestarikan bahasa daerah di Mexiko. Langkah yang dilakukan kedua negara itu antara lain, menerbitkan perundang-undangan perlindungan bahasa daerah, mendirikan devisi khusus semacam lembaga yang didanai daerah yang khusus mengurusi pelestarian dan pengembangan bahasa daerah (tidak sekedar organisasi milik masyarakat semacam Pakem Maddu dan Nabara), berupaya mendorong masyarakat berkeinginan untuk meningkatkan bahasa daerah dengan menyediakan alokasi dana yang cukup dari pemerintah, melakukan komunikasi dengan menggunakan bahasa daerah dalam acara-acara tertentu, pembakuan ejaan, memfasilitasi penelitianpenelitian tentang bahasa daerah, menerbitkan media berbahasa daerah dan buku-buku yang dibuat masyarakat, mendidik tenaga edukatif, mendirikan lembaga pendidikan/sekolah yang khusus melatih para calon guru bahasa daerah yang kemudian dijadikan tenaga daerah, dll. Pijakan pemerintah daerah untuk melakukan pelestarian BM adalah Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 40 Tahun 2007 tentang Pedoman bagi kepala daerah dalam pelestarian dan pengembangan bahasa negara dan bahasa daerah yang ditetapkan 21 Agustus 2007 dan UndangUndang Nomor 24 Tahun 20092tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan. Pada Pasal 42 termaktub (1) Pemerintah daerah wajib mengembangkan, membina, dan melindungi bahasa dan sastra daerah agar tetap memenuhi kedudukan dan fungsinya dalam kehidupan bermasyarakat sesuai dengan perkembangan zaman dan agar tetap menjadi bagian dari kekayaan budaya Indonesia. (2) Pengembangan, pembinaan, dan pelindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara bertahap, sistematis, dan berkelanjutan oleh pemerintah daerah di bawah koordinasi lembaga kebahasaan. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengembangan, pembinaan, dan pelindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah. Kuatkan identitas dan selamatkan Bahasa Madura !
Suluh MHSA | edisi I | Th. I | Juni 2011
19
Potensi Desa
Sumenep
Mukhlis, Kades Rombasan bersama Pak De Karwo
Mayoritas Berbasis Pertanian Desa Rombasan Kecamatan Pragaan Sumenep dihuni sekitar 900 jiwa. Pada pemilu lalu, pemilih di desa ini mencapai 600-an orang. Potensi desa lebih banyak bersumber dari alam. Sebagian besar penduduknya memilih sebagai petani. Sele-bihnya peternak, pedagang, dan wiraswasta lainnya. Menurut Kepala Desa Rombasan, Muhklis, Rombasan dan sekitarnya memerlukan lokasi wisata buah. Dia beralasan, wilayah barat daya Sumenep yang berbatasan dengan Pamekasan ini menyajikan buah yang beragam. Antara lain, dia mencontohkan buah naga, kelapa muda dingin dan bakar, siwalan, pisang, jagung, dan sebagainya. Pria yang pernah bermukim di Jakarta itu yakin aneka buah yang bisa tumbuh di Pragaan khususnya Rombasan bisa berkembang pesat karena pola penjualannya lebih tertata. Selama ini, aneka buah dipasarkan tradisional yang diyakini baik menurut masyarakat. Tetapi saat dilihat dari aspek penyajian barang untuk dijual, Mukhli mengakui jauh apabila dibanding cara orang malang menjajakan aneka buah. “Hemat saya harus ada inovasi dari pemerintah,� uajr-nya. (tur)
M
emasuki Desa Rombasan, bagi yang belum pernah pernah bertandang akan sedikit heran. Sebab, disepanjang jalan, akan menemui suasana yang berbeda dengan desa lain di Sumenep bahkan di Madura. Sebab, di sana kini tumbuh subur tanaman buah naga. Kemunculan buah naga ini telah ada di Desa Rombasan sejak tahun 2005. Ini setelah tanaman tembakau tak sesukses di era 80-an. Sebab, harga tembakau anjlok sebagian dijual seharga Rp 5 ribu/kg seperti yang terjadi dua tahun lalu. Pasca terpuruknya tembakau, sebagian petani beralih ke tanaman alternatif. Misalnya, petani di desa Rombasan Kecamatan Pragaan kini beralih ke tanaman buah naga yang konon berkhasiat ini. Pemdes Rombasan sudah menyarankan warganya beralih ke tanaman alternatif di luar tembakau. Bahkan, Kades Rombasan HM Muhklis Hidayat pun didaulat menjadi penggerak tanaman yang semula subur di Tiongkok itu. Dragon Fruit atau populer disebut buah naga (buah dari tanaman hylocereus undatus) ini tergolong species baru di Indonesia. Awalnya, tanaman ini tumbuh di negeri asalnya. Di Tiongkok tanaman ini juga disebut thang-loy (buah purba). Menurut Mukhlis, warga Tiongkok menganggap buah ini membawa berkah dan sering muncul di acara pemujaan. Selain itu, katanya,
warga di suku Indian dan penduduk Mexico juga mengkonsumsi buah ini. Mereka menyebutnya dengan pitaya roja atau pitaya merah. Buah ini tergolong elit dan mahal terutama di Vietnam dan Thailand. Selain itu, buah naga dihasilkan tanaman sejenis kaktus. Dia menambahkan, buah ini mempunyai sulur batang yang tumbuh menjalar. Batangnya berwarna hijau dengan dengan bentuk segi tiga. Bunganya besar, berwarna putih, harum, dan mekar di malam hari. Setelah bunga layu, akan terbentuk bakal buah yang menggelantung di setiap batangnya. Kultivar aslinya, tanaman ini berasal dari hutan teduh. Biasanya, warga memperbanyak tanaman dengan cara stek atau menyemai biji. Tanaman akan tumbuh subur jika media tanam porous (tidak becek), kaya akan unsur hara, berpasir, cukup sinar matahari dan bersuhu antara 38o-40o C. Muhlis mengatakan, jika perawatan cukup baik, tanaman akan mulai berbuah pada umur 11- 17 bulan. Di Rombasan, arela buah Naga mencapai 3 hektare. Sejauh ini, buah tersebut dijual ke pasar lokal dan regional Jatim dengan harga mencapai Rp. 15 ribu per buah tergantung besarkecilnya ukuran buah. “Kami yakin buah naga ini menjadi tanaman alternatif dan sesuai dengan konservasi tanah Madura khususnya di sini (Rombasan),� pungkasnya. (tur)
foto: saiful bahri
foto: abrari al zael
Ada Buah Naga di Rombasan
BUAH NAGA: Salah satu pontensi yang ada di pulau madura adalah budi daya Buah Naga di Desa Rombasan Pragaan Sumenep
2020Suluh Suluh MHSA edisi Th. Juni 2011 MHSA || edisi I |I | Th. I |I | Juni 2011
Potensi Desa
Pamekasan
Larangan Merindu Jeruk JERUK: Di Kecamatan Larangan Pamekasan potensi budi daya jeruk sangat bagus.
D
i era 1980-an nama Kecamatan Larangan sempat melambung. Itu lantaran kecamatan di tepi timur Kabupaten Pamekasan ini memiliki potensi jeruk. Saat itu, jeruk yang diproduksi di lahan lokal kecamatan Larangan begitu subur dan menjelajah pasar lokal dan regional. Tetapi kini, jeruk di Larangan nyaris tidak terdengar. Meredupnya potensi jeruk ini karena dua faktor. Pertama, ada indikasi tanah bekas tanaman jeruk di era lalu itu mengandung keasaman. Itu dipicu dengan penggunaan pupuk non organik yang tidak berimbang. Sehingga, tingkat kesuburan tanah tidak seperti dulu saat jeruk mencapai masa keemasan di Larangan. Kedua, saat ini tanaman jeruk dihinggapi pengganggu termasuk penyakit CVPD (Citrus Vein Phloem Degeneration). Untuk menjaga kelangsungan dan kualitas hidup tanaman jeruk, perlu adanya perhatian khusus terhadap penyakit CVPD, terutama pada kebun-kebun jeruk yang masih bebas CVPD, karena pengendalian penyakit tersebut jika sudah ada dipertanaman sangat sulit dilakukan. Menurut pendamping petani Larangan Sunnairi, berbagai cara sudah dilakukan untuk membasmi virus tersebut. Bahkan, cara infus sudah dilakukan petani. Sayangnya, virus tersebut belum hilang secara menyeluruh dan masih menggerogoti tanaman jeruk. Petani juga mencoba
melakukan penebangan secara massif dan kembali menanam. Hasilnya, kata pria yang juga staf di Kecamatan Larangan ini, rata-rata pohon jeruk yang ditanam setelah panen satu hingga dua kali, tanaman lemas untuk selanjutnya mati secara perlahan-lahan. “Tetapi kami masih optimis dan jeruk kembali menjadi primadona di Larangan,” paparnya. Berdasar pantauannya, petani pascaruntuhnya keemasan tembakau mencari tanaman alternatif yang berhasil guna dan memiliki prospek pasar yang tinggi. Dia mengamati, selain jeruk sebagian petani telah beralih ke tanaman dan varitas lain. Misalnya, Sunnairi mencontohkan, sebagian petani kembali ke tanaman pokok seperti padi dan jagung. Selebihnya, petani melirik semangka dan hortikultura. Termasuk, petani ngopeni bawang merah. Di Larangan sendiri, ujarnya, tanaman yang layak tumbuh adalah tumbuhan sejenis padi, mangga, tomat, dan tembakau. itu sendiri. “Tapi kan tembakau sepertinya masa depannya suram,” katanya. Cuaca yang selalu tidak teratur membuat tembakau sulit diproduksi dengan baik. Karenanya, menurut Sunnairi, tembaku tidak bisa dijadikan tumpuan harapan. (tur)
Dibayangbayangi Hama Pertanian di kecamatan Larangan khususnya di desa Montok dan sekitarnya dibayang-bayangi hama. Pda tanaman jeruk, hama tidak beranjak pergi dan menggerogoti pohon. Ini yang dialami petani sejak beberapa tahun terakhir ini. Sebab, pohon jeruk yang berada di kawasan kecamatan Larangan dan sekitarnya terserang hama CVPD CVPD (Citrus Vein Phloem Degeneration). Menurut kades Montok Abdul Wahed, penyebab penyakit CVPD yang juga disebut citrus greening atau huanglongbin merupakan bakteri Liberobacter yang tergolong dalam subdivisi Protobacteria (Chen. 1998). Bakteri Liberobacter hidup dalam floem tanaman jeruk dan menimbulkan gejala yang khas, bakteri tersebut belum bisa dibiakkan. Akibat dari hama tersebut, Wahed mengakui tanaman jeruk yang pernah mencapai keemasan di tahun 80-90 an tidak bisa diharap hingga tahun depan. Sebab berdasar teori, CVPD terlebih dahulu dimusnahkan dari pepohonan jeruk dan butuh waktu selama dua tahun karena sudah masuk golongan endemis. Wahed menyadari butuh waktu untuk mengembalikan jeruk ke Larangan setelah sebelumnya pernah juara nasional. “Untuk sementara, jeruk di Larangan belum pulih dan masih jauh dari keemasan seperti tempo dulu,” Wahed menguraikan. (abe)
Suluh MHSA edisi Th. Juni 2011 Suluh MHSA || edisi I |I | Th. I |I | Juni 2011
2121
foto: saiful bahri
foto-foto Saiful Bahri
22 22
SuluhMHSA MHSA ||edisi edisiII||Th. Th.II||Juni Juni2011 2011 Suluh
SuluhMHSA MHSA ||edisi edisiII||Th. Th.II||Juni Juni2011 2011 Suluh
23 23
Kerusuhan yang terjadi di hampir setiap daerah di Indonesia menyisakan perhatian di benak putri batik Pamekasan, Fenni Rosiana. Mahasiswa Unira Pamekasan ini menaruh rasa haru dan tidak habis pikir. Padahal, katanya, semua orang sejatinya bersaudara yang terlindungi dalam negara kesatuan. Bagi dia, NKRI tidak bisa ditawar
24
Suluh MHSA | edisi I | Th. I | Juni 2011
dan harga mati yang ditandai bersatunya masyarakat. Tetapi, dia ragu masyarakat bisa bersatu seluruhnya. Sebab, setiap orang berbeda karakter satu sama lain. Namun mengacu Bhinneka Tunggal Ika, perbedaan seharusnya tidak sampai menyebabkan kerusuhan. “Jujur, aku ngeri menyaksikan kerusuhan antarsesama,� katanya.
Cewek yang ikut aktif mempromosikan batik kepada warga luar Pamekasan ini mendambakan realitas tanpa kekerasan. Dia memimpikan tatanan masyarakat seperti habitat bunga yang beragam dalam sebuah kebun. Menurut dia, tulip, matahari, bogenvile, melati, mawar, dan bunga lainnya yang berbeda dia yakini pasti indah dalam taman. Seolah-olah, ujarnya, kehadiran bunga yang berbeda hadir untuk bersatu dan merangkai keindahan tersendiri. “Melankolis banget ya, atau karena aku terlalu romantis,” katanya lalu tersenyum. Menurutnya, semua orang sejatinya harus sadar bahwa keberagaman adalah fitrah yang sengaja diciptakan tuhan untuk kebaikan. Perbedaan tidaklah untuk dijadikan jalan membuat manusia menjadi destroyer atau penghancur satu sama lain. “Perbedan, baik yang membuat kita nyaman atau tidak, hakikatnya adalah ujian, sejauh mana kita bisa bijak berdiri di antara perbedaan-perbedaan itu” pungkasnya dengan mimik serius. (abe)
Model yang saat ini bekerja pada salah satu bank di Pamekasan, Apriana Suci Wulandari, merasa harus dalam mencintai produk dalam negeri. Menurutnya, mengonsumsi produk buatan sendiri secara tidak langsung menegaskan cinta pada Indonesia. Perempuan lulusan SMAN 1 di Kota Gerbang Salam ini juga mengakui apabila pada sebagian remaja sudah ada yang bergaya ala luar negeri. Padahal, urai cewek kelahiran Pamekasan 3 April 1990 ini, sesuatu yang berasal dari luar negeri belum tentu baik. Bahkan, perempuan yang akrab disapa Ria ini pernah mendengar produk yang dibeli di luar negeri sebenarnya barang dari Indonesia.
Karenanya, pada kostum yang dikenakannya baik sebagai wanita karir maupun model, cewek berlesung pipi ini seringkali berinovasi sendiri terutama batik. Ria mengakui karya sendiri terasa lebih punya aura. Model ini mengaku senang batik. Alasannya, batik asli Indonesia sudah jamak dikenakan warga di lintas usia. Bahkan, katanya, pasca diakuinya batik sebagai karya adiluhung anak bangsa (Indonesia) di tingkat dunia, Pamekasan juga kecipratan aromanya setelah Gubernur Jatim Soekarwo menetapkan Pamekasan sebagai satu-satunya Kabupaten Batik di Jawa Timur. “Koleksi batikku banyak lho, kan cinta Indonesia, Madura dan Pamekasan juga,” ujarnya bangga. (abe)
Suluh MHSA | edisi I | Th. I | Juni 2011
25
S
etiap warna memiliki arti yang menandakan seseorang yang gemar dengan warna itu. Seperti Femiastuti Ekanova, mengaku senang warna yang natu ral. Ada tiga warna yang menjadi favorit alumni SMAN 1 Sumenep ini. Pertama merah, putih, dan hitam. Menurutnya, warna-warna itu alami. Kealamian warna itu digunakan bangsa ini untuk bendera, merah-putih. Sedangkan warna hitam seringkali digunakan untuk pentas teater. Bukan berarti, warna lain tidak disukai. “Cuma aku senengnya yang natural, lihat bajuku,� katanya mengenakan kostum atasan merah yang dipadu dengan rok warna putih. Secara tidak langsung, Nova ingin menunjukkan dirinya sebagai remaja yang cinta tanah air dan produk dalam negeri. Dia merasa ikut bertanggungjawab untuk menebar rasa simpati kepada Indonesia melalui warna. Meski dia akui hal itu tidak begitu penting, tetapi Nova merasa harus ada yang meruwat warna bangsa. Selain itu, dia juga senang dengan warna kaos Madura yang juga memiliki dwiwarna. “Merah dan putih kan?,� dia bercanda. (dav)
26
Suluh MHSA | edisi I | Th. I | Juni 2011
B
ila sebagian remaja agak malu-malu mengakui jadi dirinya sebagai orang Madura, tidak demikian halnya dengan Frida Ika Rahmawati. Model yang saat ini menjadi wanita karir di dunia perbankan ini justru merasa sangat pede (percaya diri) mengakui dirinya sebagai orang Madura. Alasannya, Madura memiliki ciri khas, unik, dan pernah menjadi negara di jamannya terutama saat negara ini masih menganut Republik Indonesia Serikat. Karena itu, cewek asal Sumenep yang akrab disapa Frida ini, mengaku sangat tegas mengakui dirinya sebagai orang Madura. Perempuan yang pernah menjadi presenter di Madura Channel ini, merasa aneh saja bila ada generasi yang mengingkari tanah kelahirannya. Model yang memiliki alis indah ini mengatakan, tidak merasa sebagai orang Madura padahal sebenarnya warga Madura, justru telah memposisikan diri sebagai sosok yang tidak jujur. Selain itu, urainya, tidak mengakui diri sebagai Maduar bahkan Indonesia sebentuk pengingkaran terhadap nasionalisme berbangsa dan bermadura. “Apapun yang terjadi, I love Madura,� Frida menegaskan jati dirinya. (dav)
Suluh MHSA | edisi I | Th. I | Juni 2011
27
PDS SM
Puan Maharani menyampaikan orasi klbangsaan
Kiri-Ka Para undangan berdiri menyanyikan Lagu Indonesia Raya
28 28
SuluhMHSA MHSA ||edisi edisiII||Th. Th.II||Juni Juni2011 2011 Suluh
MAN 1 PAMEKASAN menyanyikan lagu nasional
anan: MH. Said Abdullah, Puan Maharani, KH. Kholilurrahman, Sirmadji, Saiful Bahri
ah Para undangan beramah tam
Bupati Pamekasan,KH. Kholilurrahman memberika n bantuan
SuluhMHSA MHSA ||edisi edisiII||Th. Th.II||Juni Juni2011 2011 Suluh
29 29
30
Suluh MHSA | edisi I | Th. I | Juni 2011
Suluh MHSA | edisi I | Th. I | Juni 2011
31
Politika
BERGERILYA, M-SPOSE MENCARI DATA
M
-Spose (Madura Survey and Policy Studies) mes ki belum lama berdiri, berani melakukan survey kepuasan publik di seluruh pemkab di Madura. Berdasar survey, publik memberikan penilaian yang beragam. Satu sisi pemkab baik tetapi di sebagian besar tidak baik dalam persepsi masyarakat. Bahkan untuk beberapa kebijakan terkait rekrutmen CPNS, publik menilai pemkab melakukan reformasi setengah hati. Meski tidak terbukti, tetapi publik mencium aroma KKN dalam rekrutmen tersebut. Karena itu, M-Spose melakukan survey ke semua pemkab di Madura sebagai pembanding dan second opinion dari masyarakat. Ini dirasa penting agar pemkab tidak hanya mendengar informasi dari jajarannya yang terkadang ABS (asal bapak senang). Selain itu, M-Sposes memberikan kesempatan kepada publik untuk menilai. Sebab, suara rakyat yang selama ini dititipkan kepada wakilnya seringkali nyaris tidak terdengar. Bagaimana masyarakat menilai pemerintah kabupaten di Madura? Hasil survey versi M-Spose ini pasti memberikan kabar yang tidak sama.
Kabupaten Sampang
S
ejak 26 Pebruari 2008 lalu, Sam pang dipimpin Noer Tjahja dan Fannan Hasyib masing-masing sebagai bupati dan wakil bupati (2008-2013). Berdasar survey, bupati-wabup responden menyatakan mengenal Noer Tjahja (64%), Noer Tjahja sebagai bupati (97%). akseptabilitas publik terhadap Noer Tjahja (46%), menyukai alasan figurnya baik (30%), memiliki kinerja bagus (29%) dan merakyat (19%). Semen-
32
tara 18% tidak menyukai karena kurang peduli masyarakat (59%). Noer Tjahja versi publik dinilai kurang menepati janji (13%). Kinerja Pemkab Sampang di bawah Noer Tjahja menurut publik kurang memuaskan (40%). Sementara itu publik menyatakan kinerja pemkab cukup memuaskan (35%), memuaskan (23%) dan sisanya sangat memuaskan (3%). Sektor yang dianggap berhasil di Sampang adalah pembangnan jalan dan jembatan (37,1%), pendidikan (16,7%), dan pelayanan kesehatan (10,6%). Yang dianggap kurang berhasil juga perbaikan jalan dan penambahan infrasrtuktur (68%) dan penyediaan lapangan kerja serta pengangkatan CPNS lebih transparan (11%). Publik juga berharap pemkab menanggulangi banjir dan pengelolaan air di musim kemarau. Dalam penanganan banjir 59,5% responden mengharap pembuatan saluran air hujan menuju laut, drainase (20,3%) pembuatan waduk(20,3%). Selain itu, publik inginkan bor sumur (50,0%), dan kenaikan kinerja PDAM (38,3%). Persepsi masyarakat terkait transparansi menilai penegakan hukum adil (42%), APBD disosialisasikan (18%), pengisian jabatan tidak proporsional (22%) dan rekrutmen CPNSD tak adil (21%). Persepsi masyarakat terhadap pelayanan publik menilai penyediaan akses jalan kurang baik (47 %), sudah baik (44 %). Di sektor pendidikan, responden menilai sudah baik (82 %) dan kurang baik (10 %). Selain itu, responden menyatakan dukungan pemkab terhadap kemajuan Ponpes baik (77 %), kurang baik (12 %). Untuk kesempatan memperoleh lapangan pekerjaan, responden menilai tidak baik
Suluh MHSA | edisi I | Th. I | Juni 2011
(64 %) dan kurang baik (28 %). Di bidang pelayanan pengurusan dokumen kependudukan (KTP, KK, Akta Kelahiran) responden menilai baik (68 %) dan kurang baik (17 %). Sektor kemampuan dalam menangani permasalahan sosial menilai tidak baik (48 % ), menilai kurang baik (29 %). Tingkat pengenalan masyarakat terhadap SKPD secara umum reponden mengaku belum mendengar dinas-dinas yang ada di lingkungan pemkab. Dinas yang paling tinggi pengenalannya, dinas kesehatan (85%), pendidikan (62%) dan pertanian (52%). Pada Kinerja SKPD, responden menyatakan banyak tidak tahu terhadap SKPD. Misalnya dinas perhubungan (45%) dan badan kepegawaian (47%) sebagai lembaga yang kurang memuaskan. Yakni, dinas kesehatan (2,73%) dan disdik (2,63%) merupakan dinas yang kinerjanya baik. Dari sisi ekspektasi, bupati–wabup telah memberi bantuan biaya sekolah (49,5%), sedangkan 33,3% responden berharap agar biaya sekolah (SD,SMP,SMA) diratiskan. Bidang kesehatan, publik gratis dalam biaya di puskesmas (40,6%) dan responden berharap anggaran khusus untuk pengobatan gratis bagi warga miskin (22,8%) dan peningkatan pelayanan di Puskesmas dan RSUD Sampang (8,1%) serta pendirian Poskesdes (Pos Kesehatan Desa) di setiap Desa (8,1%). Bidang penyediaan lapangan kerja responden ingin bantuan modal usaha bagi UKM (39,9%), kursus-pelatihan kerja bagi pemuda (25,4%), kerjasama pemkabswasta (18,7%) dan transparansi dalam rekrutmen CPNSD (10,4%). Bidang perikanan, responden ingin bantuan modal (19,7%), jaminan ketersediaan bibit dengan harga terjangkau (18,3%). Di wilayah perkebunan dan pertanian, responden bantuan pengeboran sumur (37,2%) dan stabilitas harga jual hasil perkebunan (30,6%). Pertanian, responden menginginkan subsidi pupuk bagi petani (34,5%) dan batuan modal bagi petani (28,4%). Kependudukan dan capil, pembuatan KTP gratis (54,1%),
Politika
mempercepat proses pelayanan dokumen kependudukan (18,4%) dan kemudahan memperoleh dokumen kependudukan (17,9%). Sementara pembangunan infrastruktur responden ingin perbaikan jalan yang rusak di (72,4%) dan paling dominan dalam bidang infrastruktur ini. Responden menginginkan pemkab memperbaiki jembatan (13,8%), perbaikan selokan dan drainase (8,2%). Responden ingin pemkab pembuangan sampah (23,2%) dan pemberian bekal/ilmu pengolahan sampah rumah tangga (17,9%), pembuatan TPA (16,6%). Kabupaten Bangkalan
E
kspektasi masyarakat Bangkalan terhadap pemkab Bangkalan di bawah kepemimpinan Fuad AminSyafikRofii cukup beragam. Responden mengaku Fuad Amin (81%), tidak mengenal (13%) dan tidak menjawab (6%). Mayoritas responden mengenal sosok Fuad Amin bupati (92%) dan sebagai kiai (5%) dan anggota DPRD (2%). 78% masyarakat menyukai Fuad Amin dengan alasan, 13,5% karena figur yang baik dan merakyat. Sedangkan 8% masyarakat tidak menyukai karena kurang memperhatikan masyarakat (42,9%) dan otoriter (28,6%). 46% responden menyatakan puas atas kinerja bupati, 25% cukup memuaskan, 6% sangat memuaskan atas kinerja bupati. Sementara itu 23% masyarakat menyatakan kurang puas atas kinerjanya. Pembangunan yang dinilai berhasil antar lain pendidikan (25%), jalan dan jembatan (22%), infrastruktur-tata kota (15,5%) dan pelayanan kesehatan (11,5%). Sektor pembangunan yang dinilai gagal, perbaikan jalan (44,5%), infrastruktur (8%) dan pertanian (6%). Selain itu, 84% masyarakat menganggap Suramadu mempunyai pengaruh lebih baik. 44,19% responden mengangap semakin mudah akses ke Surabaya dengan Suramadu. Dari 4% masyarakat yang menganggap Suramadu semakin buruk, 33,3% diantaranya menganggap pendapatan sopir perahu berkurang, pencemaran lahan pertanian (33,3%) dan semakin bany-
ak kecelakaan (33,3%). Persepsi masyarakat atas transparansi kebijakan sebanyak 59% responden menilai penegakan hukum berjalan baik, 28% responden menilai pengisian jabatan struktural berjalan transparan, 27,5% responden menilai APBD disosialisasikan kepada masyarakat dan 43% responden responden menilai pelaksanaan rekrutmen CPNSD tidak berjalan transparan dan adil. Persepsi masyarakat terhadap pelayanan publikdi 55% responden menganggap penyediaan akses jalan kurang baik dan 37% lainnya menganggap baik. 69% responden menganggap pembangunan di bidang pendidikan sudah baik dan 18% yang lain menilai kurang berjalan baik. Di luar itu, 48% masyarakat menyatakan dukungan terhadap kemajuan Ponpes baik, sementara 41% masyarakat menilai dukungan pemkab kurang baik, 64% masyarakat menilai kinerjanya baik untuk pelayanan dan pengurusan dokumen, sementara itu 28% responden menyatakan kurang baik. Persepsi masyarakat terhadap beberapa dinas memiliki tingkat pengenalan yang tinggi dalam masyarakat antara lain, dinas kesehatan (85%), pendidikan (85%), pertanian-peternakan(70,5%) danBadanPemberdayaanperempuandan KB (71%). Sedangkan dinas lainnya rata-rata kurang dikenali respoden. Berdasarkan tingkat pengenalannya, dinas kesehatan dan pendidikan sebagai dinas yang paling tinggi tingkat pengenalannya. Sedangkan dinas pertambangan dan energi dan PU ciptakarya dan tataruang sebagai dinas yang paling rendah tingkat pengenalannya. Sementara Dinas paling sering digunakan oleh masyarakat adalah dinas kesehatan (70,5%), dinas pendidikan (70,5%), dinas kependudukan dan catatansipil (51,5%), Dinas Pertanian dan Peternakan (47,5%) dan Badan Pemberdayaan Perempuan dan KB (41,5%). Dari responden yang mengenal SKPD, menyatakan hampir semua SKPD dalam penilaian respoden baik dengan prosentase diatas (40%). Karenanya mereka me-
miliki harapan dan pikiran yang positif positif terhadap pemerintah daerah setempat. Harapan respoden terakait bidang pendidikan adalah biaya sekolah gratis (56,9%) dan harapan mereka kedua yang paling menonjol, adalh bantuan biaya sekolah bagi warga miskin (23,4%). Sementara Harapan tertinggi masyarakat pada bidang kesehatan adalah biaya berobat di Puskesmas (45,6%) dan harapan tertinggi selanjutnya adalah adanya anggaran khusus untuk pengobatan gratis bagi warga miskin (16,3%) dan ketersediaan obat-obatan dengan harga terjangkau (13,5%). Di bidang kependudukan terdapat dua harapan masyarakat, yakni pembuatan KTP gratis (50,5%) dan kemudahan memperoleh dokumen kependudukan (27,2%). Harapan pembangunan dan perbaikan jalan rusak di Bangkalan (67,3%) menjadi yang paling dominan dalam bidang infrastruktur. Dalam penanganan PKL harapan tertinggi masyarakat penyediaan lahan relokasi yang strategisbagi PKL (40,9%). Kemudian penataan PKL di Bangkalan (28,1%) disusul larangan berjualanbagi PKL di jalan utama (23,6%). Bidang kehidupan beragama harapan tertinggi responden adalah bantuan modal bagi pesantren (32%), kemudianmenciptakankerukunanberagama yang kondusif (22%), membangun sarana dan prasarana peribadatan (17,5%) dan menjaga budaya lokal madura yang agamis (17%). Pembuatan TPA (18,36%), memperbanyak fasilitas pembuangan sampah (17,87%), perlombaan kampung bersih (16,91%) dan penambahan tenaga pembersih sampah (14,98%) menjadi harapan masyarakat yang dominan dibidang kebersihan dan pengelolaan sampah. Selain itu Menurut masyarakat terdapat tiga harapan utama. Dalam bidang keamanan, tindakan tegas dari aparat terhadap pelaku kriminalitas (30,9%), menciptakan suasana yang aman di daerah (29,9%) dan menciptakan sistem keamanan lingkungan berbasis masyarakat (28,4%)
Suluh Suluh MHSA MHSA | | edisi edisi II | | Th. Th. II | | Juni Juni 2011 2011
33 33
Politika
Kabupaten Pamekasan
T
ernyata hanya 89% saja masyarakat Pamekasan yang mengenal Drs. H. Kholilurrahman sedangkan 6,5 % mengatakan tidak mengenal. Sementara sisanya (4,5%) tidak menjawab. Dari 89% masyarakat yang mengenal Drs. H. Khililurrahman, 96.1% mengenalnya sebagai bupati, 3.4% mengenal sebagai seorang kyai dan 0.6% mengenal sebagai direktur sebuah bank. 81.7% masyarakat Pamekasan menyukai profil Bupati Pamekasa Drs. H. Kholilurrahman sedangkan yang tidak menyukai profilnya sebanyak 5.4%. Alasan beragam: sebanyak 47% masyarakat Pamekasan menilai bahwa kinerja Pemkab Pamekasan saat ini memuaskan, sedangkan 31% menjawab kurang memuaskan dan 20% menjawab cukup memuaskan. Sektor pembangunan di Kabupaten Pamekasan yang dinilai gagal oleh masyarakat adalah masalah perbaikan jalan (37.1%), selanjutnya masalah pertanian (25.8%) dan pembangunan pendidikansebanyak 6.5%. Sementara Sektor pembangunan di kabupaten Pamekasan yang dinilai berhasil oleh masyarakat adalah masalah pembangunan jalan dan jembatan (36.81%), selanjutnya masalah pembangunan pendidikan (25%) dan masalah pertanian yang semakin maju (7.9%). Berdasarkan persepsi masyarakat kabupaten Pamekasan, untuk masalah penegakanhukum 67.5% masyarakat menyatakan sudah dilakukan secara adil. Dan untuk masalah proses rekrutmen CPNS sebanyak 54% masyarakat menyatakan tidak tahu. Untuk masalah Kebijakan di bidang Pendidikan, 56%) respnden sangat berharap agar biaya sekolah (SD,SMP,SMA) di pamekasan digratiskan. Lain dari itu mereka juga berharap agar Pemkab memberi bantuan biaya sekolah bagi warga miskin (24.8%). Di bidang kesehatan 50.9% responden berharap biaya pengobatan di PUSKESMAS digratiskan. Dan juga pelayanan di PUSKESMAS dan RSUD ditingkatkan pelayanannya (18.8%). Untuk masalah penyediaan lapangankerja, masyarakat berharap tertinggi agar bantuan modal usaha bagi usaha mikro, kecil dan wirausa-
34
ha bagi warga miskin (51.4%) dan masalah rekrutmen CPNSD agar dilakukan secara adil dan transparan (46.4%) Untuk masalah kebijakan perikanan dan penggaraman, masyarakat berharap agar ketersediaan bibit ikan dijamin (31.9%) dan diberikan bantuan alat penangkapikan (15.%). Sementara di bidang Pertanian, masyarakat berharap tertinggi agar diberikan subsidi pupuk bagi petani (51.9%) dan diberikan bantuan modal bagi petani (24.1%). Di bidang kependudukan dan catatansipil, masyarakat berharap tinggi agar untuk masalah pembuatan KTP digratiskan (54.4%) dan kemudahan memperoleh dokumen kependudukan (KK, Aktelahir, dll) (23.3%). Sementara Di bidang sosial dan bencana alam masyarakat berharap tinggi agar program sekolah gratis bagi anak jalanan (46.5%) dan kursus keterampilan bagi PSK agar beralih profesi (15.5%) dan pembuatan posko penanggulangan bencana (13,1%). Di bidang Perhubungan dan Transportasi masyarakatberharap agar dilakukan penataan kembali jalur transportasi dikab. Pamekasan (48.1%) dan peningkatan pelayanan angkutanumum (13.5%). Di bidang pembangunan infrastruktur masyarakat berharap tinggi agar pembangunan dan perbaikan jalanrusakdikab. Pamekasan (62.8%) dan pembagunan/perbaikanjembatan (17.3%). Bidang Kehidupan Beragama masyarakat berharap tinggi agar dibangun sarana dan prasarana peribadatan (49.3%), bantuan modal kepada pesantren (19.6%) dan menjaga budaya lokal madura yang agamis (18,7%). Di bidang potensi wisata masyarakat berharap tinggi agar dilakukan peningkatan potensi wisata alam dikab. Pamekasan (38.5%) dan peningkatan potensi wisata keluarga (22%). Di bidang potensi Olah raga masyarakat berharap tinggi agar keterlibatan Pemkab Pamekasan dalam penanganan persatuan sepak bola Pamekasan (40.4%) dan peningkatan pembangunan fasilitas Olah raga (27.1%). Kabupaten Sumenep
9
5,3% responden mengaku kenal dengan Bupati Sumenep, KH. Abuya Busyro Karim. Sementara
Suluh MHSA | edisi I | Th. I | Juni 2011
0,2% mengaku tidak mengenal dan 4,4% tidak menjawab/tidak tahu. Secara umum masyarakat Kab Sumenep mengenal KH Abuya Busyro Karim sebagai Bupati Sumenep (84%), mengenal sebagai kiai (7%),sebagai anggota DPRD (7%) dan lainnya (2%). Ekseptabilitas Publik terhadap KH. Abuya Busyro Karim Figur Abuya Busyro Karim di mata responden cukup baik 71% dan alasan tertinggi menyukai karena faktor keagamaan 37%, figur yang baik 15% dan merakyat 13%. Sedangkan responden yang tidak menyukai Abuya Busyro Karim sebanyak(4%) karena alasan tidak menepati janji. Terkait dengan penilaian terhadap kinerja pemerintah Kab Sumenep dibawah kepemimpinan KH Abuya Busyro Karim-Ir Sungkono Sidik, secara umum responden menilai cukup memuaskan 49%, kurang memuaskan 25%, memuaskan 23% dan sangat memuaskan 3%. Dalam sektor pembangunan 56% responden yang menilai pemkab sumenep kurang berhasil dalam perbaikan jalan desa, 8% dalam bidang distribusi listrik yang tidak merata dan tidak continu, 7% terkait masalah pertanian, 4% pelayanan kesehatan, 4% masalah ekonomi, dan 4% d pembangunan infrastruktur. Sedangkan sektor pembangunanyang dinilai berhasil adalahpembangunan pertanian 25%,pembangunan jalan dan jembatan22%, pendidikan 16%, danpembangunan sarana kesehatan12%. Tentang perkembangan pembangunan kepulauan menurut kepulauan, 51% responden menilai tidak ada perubahan, 45% responden menilai menjadi lebih baik dan 4% menilai semakin buruk. Adapun alasan penilaian terhadap perkembangan pembangunan kepulauan; tidak ada perubahan; memang tidak ada perubahan 53%; dan karena baru menjabat (99 hari)33%. Alasan menjadi lebih baik; bantuan tersalur dengan baik 39%, program-program yang direncanakan sudah berjalan dengan baik 13%, banyak jalan dalam rencana perbaikan 11%. Sedangkan alasan semakin buruk
Politika
karena jalan yang masih dalam kondisi rusak berat 50%. Persepsi Masyarakat Terkait Dengan Transparansi Kebijakan PEMKAB Sumenep Persepsi responden terhadap pengisian jabatan struktural di Pemkab Sumenep (apakah telah dilakukan secara proporsional dan transparan?), sebagian besar responden menjawab tidak tahu (77%), sementara yang menjawab Y (17%) d menjawab Tid k (6%) j b Ya dan j b Tidak (6%). Persepsi terhadap proses rekrutmen CPNSD di Kabupaten Sumenep berlangsung transparan dan adil, sebagian besar menjawab tidak tahu(66%), (66%) menjawab Y (20%) dan Tidak (14%). Sementara itu persepsi responden terhadap penegakan hukum di Kabupaten Sumenep, sebagian besar responden menjawab tidak tahu (40%), yang menjawab Ya (39%) dan menjawab Tidak (21%). Tidak (21%) . Harapan responden dalam bidang Pendidikan; Biaya sekolah (SD,SMP, SMA sederajat) GRATIS 48,1%, Bantuan biaya sekolah bagi warga miskin 31,3%, Peningkatan kinerja dan kualitas guru 7,4%, Perbaikan gedung sekolah yang rusak 6,7%, Penambahan/ rekrutmen tenaga pengajar/guru 2,5%, Pengadaan buku-buku pelajaran 2,0%, Program beasiswa bagi siswa berprestasi buku buku1,7%, Kemudahan sekolah di SMP/SMA Negeri 1,2%, Uang Partisipasi dihapus 0,2% Harapan bidang Kesehatan Biaya pengobatan di puskesmas gratis 41%, Anggaran khusus untuk pengobatan gratis bagi warga miskin 20%, Peningkatan pelayan di puskesmas dan RSUD dr.Moh. Anwar Sumenep 18%, Pendirian Poskesdes (Pos kesehatan desa) di tiaptiapkelurahan 7%, Peningkatan kualitas dan kinerja tenaga dokter dan para medis 6%, Ketersediaan obat-obatan dengan harga terjangkau 5%, Penambahan fasilitas obat obatanmedis di puskesmas 2%, Penambahan/rekrutmen tenaga dokter dan para medis1 %. Dalam hal penyediaan lapangan kerja, harapan tertinggi masyarakat Kab Sumenep adalah bantuan modal usaha mikro dan
wirausaha baru (49%). Selanjutnya rekrutment CPNSD dilakukan secara adil dan transparan sebesar (18%), kerjasama Pemkab Sumenep dengan perusahaan swasta (16%) dan (18%) kursus/pelatihan kerja dan kewirausahaan bagi pemuda/ remaja (13%). Pada bidang kependudukan dan catatan sipil adalah pembuatan KTP gratis ( (55%) dan kemudahan memperoleh dokumen kependudukan (23%). Harapan ini sebenarnya sejalan dengan semangat Pemkab Sumenep untuk mereposisi kebijakan pembuatan KTP pada kecamatan, sehingga warga kepulauan juga teraspirasikan. Sementara Pada bidang transportasi kepulauan, harapan yang paling tinggi adalah memperbanyak armada kapal (44%) dan memperbanyak jadwal penyeberangan (29%) pemeliharaan dan meningkatkan fasilitas pelabuhan (18%). Harapan ini logis karena sampai saat ini penyeberangan antar pulau di Sumenep masih ada yang 2 kali seminggu. Bidang pembangunan infrastruktur, harapan tertinggi adalah pembangunan dan perbaikan jalan rusak di Kab. Sumenep (80%). Bidang penyediaan listrik, harapan tertinggi adalah penyaluran listrik secara merata di kawasan kepulauan (45 8%) adanya teknologi (45.8%), penyediaan listrik bagi daerah terpencil (25.5%) dan meminimalisasi kejadian listrik mati (22,5%). Bidang pengembagan potensi wisata, harapan tertinggi adalah peningkatan potensi wisata alam di Sumenep (53 3%) dan peningkatan (53,3%)fasilitas pada lokasi wisata (15,1%). Potensi wisata di Sumenep sangat besar, namun sampai saat ini pengelolaannya masih belum maksimal. Bidang penyediaan air besih,
harapan tertinggi masyarakat Kab Sumenep adalah menambah sumber air bersih (37%) dan menambahmobil pengiriman air bersih terutama saat panen tembakau (30%). Dinasterkait (PDAM) dengan bidang ini juga tak luput dari harapan responden untuk dimaksimalkan (14%). Responden masih relatif tinggi responnya dalam beberapa program yang dijanjikan oleh Pemkab Sumenep dibawah kepemimpinan KH Abuya Busyro Karim. Program seperti Puskesmas gratis (79%), PBB gratis (77%) dan ketersediaan pupuk dengan harga terjangkau (64%) sudah familiar di tengah masyarakat. Tentu kondisi ini terbangun atas dasar tigaprogram utama yang selalu dikampanyekan oleh pasangan terpilih Bupati Sumenep dalam pencalonannya dulu. Namun, apakah ketiga program tersebut sudah terlaksana secara maksimal? perlu ada pendalaman lebih lanjut. Ketika responden dihadapkan pada pertanyaan apakah program tersebut sudah berjalan secara maksimal? Sebagian besar menyatakan (meskipun tidak berbeda jauh selisihnya) bahwa beberapa program seperti Puskesmas gratis (36,8%), PBB Gratis (49,8%), dan Program pupuk terjangkau (39,2%) masih dianggap berjalan kurang maksimal. Kondisi ini perlu segera diperbaiki mengingat ketiga program diatas merupakan program unggulan bupati terpilih saat ini. Untuk program yang dianggap kurang dikenal di tengah masyarakat, justru dianggap berjalan lebih maksimal, Guru GTT (41%) dan perijinan 1 atap (47,4%). ***
Summary Responden Jumlah responden Unit sampel Metode sampling Wilayah Survey Margin of error Periodepenelitian
: : : :
200 Responden per kabupaten Rumahtangga Multistage Random Sampling Bangkalan, Sampang, Pamekasan dan Sumenep : 3,4 % : 27 Januari – 6 Februari 201 1 2011
Suluh MHSA | edisi I | Th. I | Juni 2011
35
Akademia
Kegiatan pembelajaran masih kurang mendidik peserta didik untuk menjadi sosok yang kerdil. Ini dibuktikan dengan kehadiran lingkungan yang tidak menunjang potensi peserta didik di sekitarnya. Buktinya, orangtua di rumah tidak menopang hasrat jangka panjang anaknya.
Suatu ketika, katakanlah Amir, menyampaikan keinginannya untuk menjadi dokter kepada orangtuanya. Semangat ini justru dijawab dengan kalimat yang membuat anak itu kerdil. Orang tua mengatakan, “Amir, kamu tidak pantas menjadi dokter, kamu tidak ada potongan jadi dokter, kamu tidak pantas jadi dokter, masak takut pada darah mau jadi dokter.� Kalimat-kalimat itu justru datang dari lingkungan terkecil anak, keluarga. Tidak menutup kemungkinan, teman maupun guru di sekolah ikut memperkeruh suasana dan menciptakan anak semakin kerdil, tidak percaya diri, dan pada akhirnya tidak punya cita-cita. Pakar game interaktif Sugeng Priyanto mengatakan hal itu saat seminar pendidikan nasional di GNI Sumenep (29/ 11) yang dihelat IGI (Ikatan Guru Indonesia). Penindasan terhadap peserta didik ternyata tidak hanya sampai di situ. Subyek utama dalam pendidikan (guru) masih menempatkan peserta didik sebagai obyek. Padahal, seharusnya, kehadiran guru di ruangan kelas menjadi fasilitator, katalisator, dan motivator. Bila guru menjadi kakek segalatahu, peserta didik tidak bisa tegak berdiri karena diganggu oleh kehadiran guru yang tidak profesional. “Perlu ada inovasi agar sekolah tidak menjemukan,� kata pria nomaden ini.
foto: Abrari Al Zael
Lelaki yang berpindah-pindah dari satu ke kota lain itu menyarakan guru juga menciptakan game inovatif. Sehing-
ENERJIK : Sugeng Priyanto saat mendedahkan pendidikan berbasis game interaktif di gedung GNI Sumenep.
36
Suluh MHSA | edisi I | Th. I | Juni 2011
Selain itu, guru terkadang tidak mengerti kemauan peserta didiknya yang beragam keinginannya. Fakta menujukkan, sebagian guru menginginkan peserta didiknya dibuat seragam dan kurang menghargai soal potensi yang dibawanya. Setiap anak, kata Sugeng, memiliki pilihan dan pilahan yang berbeda. Sebagian ingin menjadi dokter dan karenanya menggemari eksak. Sebagian lain tidak suka eksak karena tidak ingin menjadi sosok yang serba eksak. Sayangnya, pada guru tertentu sering memberi label pada peserta didik tertentu sebagai subyek pendidikan yang bodoh dan tidak bisa berpikir maju. “Tanpa disadari, (guru) mengatakan bodoh pada peserta didik sebenarnya telah mengerdilkan peserta didik, sebab dengan kata-kata itu, secara tidak langsung telah memangkas kepercayadirian anak untuk tumbuh lebih baik.” imbuhnya. Itulah sebabnya, guru dan peserta didik di sekolah harus berada pada orbitnya masing-masing. Sebab kehadiran guru dan peserta merupakan komponen yang samasama penting untuk menciptakan iklim pendidikan yang semakin membaik untuk menghasilkan out put pembelajaran yang semakin baik juga. “Bila ada yang terlanjur berbuat tidak baik dan menegrdilkan siswa, saatnya aktivitas itu diakhiri,” pria asal Blitar itu menyudahi narasinya. (abe)
Biarkan Subyek Pendidikan
Berinovasi D
isadari, sebagian guru selama ini kurang profesional dalam melakukan aktivitas pembelajaran di sekolah. Itu terjadi bukan guru tidak punya teori. Tetapi, teori di lapangan terkadang hanya menopang sebagian saja dari aplikasi pembelajaran. Fandi Sukisno, Ketua IGI (Ikatan Guru Indonesia) merasa konsep pembelajaran dari tahun ke tahun mengalami perkembangan. Tetapi, perkembangan itu tidak tuntas karena kebijakan menyangkut pendidikan cendrung berubah tergantung pimpinan di pusat kekuasaan. Unas, katanya, menjadi salah satu contoh paling mutakhir yang membuat pola pembelajaran tidak diminati peserta didik lantaran unas menjadi momok.
foto: Abrari Al Zael
ga, peserta didik khususnya di TK dan SD anak-anak tidak merasa dirampas hak bermainnya pada saat berada di sekolah. Survey membuktikan, sebagian besar peserta didik tidak kerasan di ruang kelas. Itu terjadi karena guru gagal membuat peserta didiknya betah di ruang belajar. Akibatnya, peserta didik ingin petugas sekolah segera memgunyikan bel yang menjadi tanda jam istirahat atau saat pulang sudah tiba. Dari survey ini juga terbukti, begitu bel berbunyi, peserta didik buru-buru ingin cepat keluar dari ruang kelas dan merasa bebas. Padahal, saat bel berbunyi peserta didik seharusnya merasa “sedih” karena jam palajaran berakhir dan merasa kehilangan.
DEMONSTRASI : Sejumlah peserta didik SMPN 2 Sumenep saat demontrasi pembelajaran melalui game interaktif
Fandi bermimpi para guru khususnay di lingkaran IGI menyadari pentingnya inovasi pembelajaran tidak hanya saat mengikuti seminar. Tetapi saat kembali ke sekolah, guru tiba-tiba kembali ke masa lalunya yang anti demokrasi dalam pembelajaran. Sering dijumpai, kehadiran guru di ruang kelas menjadi sosok yang paling tahu tentang pendidikan. Padahal, bisa jadi peserta didik lebih unggul karena mengikuti perkembangan di luar sekolah tetapi masih memiliki sinergitas dengan kegiatan pembelajaran di sekolah. “Guru yang baik apabila tidak hanya memberikan informasi, tetapi ada nilai lebih yang bisa ditangkap oleh peserta didik” ungkapnya. Itu juga yang dirasakan ketua PGRI Nurul Hamzah. Akhir-akhir ini, guru lebih terbuka dalam menghadapi perbedaan termasuk menghadapi peserta didiknya yang memiliki potensi yang beragam. Namun, lelaki yang akrab disapa Mas Nunu itu menyadari pada sebagian kecil guru masih mengaktifkan pembelajaran dengan pola lama. Misalnya, guru cenderung “memaksa” peserta didik untuk mengikuti pola guru yang tidak disukai peseta didik. Mestinya, jika satu pola tidak berhasil membuat peserta didik mengerti harus dicoba dengan pola lain yang lebih komunikatif dan inovatif. “Namun sebagian besar karena telah mengikuti workshop, diklat, dan seminar, guru merealisasikannya di tempatnya bekerja meski belum maksimal,” mantan kasek SMPN 1 Sumenep itu menjelaskan. (abe)
Suluh MHSA | edisi I | Th. I | Juni 2011
37
Akademia
Ikhtiar Nasionalisme Lewat Novel
K
egerahan atas ancaman dis integrasi tidak saja muncul dari sejumlah nasionalis yang selama ini berkutat dalam di politik, pendidikan, sosial, dan ekonomi. Tetapi, kobaran nasionalisme adakalanya hadir dari seniman. Ini yang dilakukan Lan Fang dalam novel terbarunya, Ciuman di Bawah Hujan. Sastrawan ini merasa gerah ketika negerinya tergadai dan me-
“
Diksi angin dipilih dalam bait-bait puisi ini sebagai personifikasi karena nasionalisme di republik ini masih seperti angin, tak berwarna.
“
38
munculkan tampilan yang tidak Indonesia Banget sebab perjalanan berbangsa diwarnai anarkisme khususnya dalam politik. Itulah yang dikatakan Lan Fang saat diundang untuk berbicara mengenai novelnya di aula Asy Syarkawi Annuqayah Guluk-guluk 20 Mei 2011 lalu. Momentum di hari kebangkitan nasional itu diakui Lan Fang saat yang tepat untuk menggelorakan nasionalisme khususnya dalam politik. Menurutnya, politik dewasa ini menggelikan dan bisa mengganggu orang lain karena sesekali politik mewujudkan tindakan yang tidak lazim. Diantaranya, para politisi terkesan berbaik-baik kepada masyarakat ketika masyarakat dianggap penting untuk diorangkan dalam momentum politik. Idealnya, lanjut dia, ada atau tidak ada momentum politik siapa saja harus berbagai dengan sesama. Model inilah yang diakui perempuan Surabaya itu sebagai tindakan yang Indonesia Banget. Memang, akunya, novel yang sebelumnya telah dimuat di harian KOMPAS secara bersambung itu terdiri atas beberapa aspek baik nasionalisme, romantisme, dan psikologi. Diantaranya, Lan Fang menyebut persinggungan antarpolitisi yang berbeda haluan partai harus dipahami telah menampilkan tekstur
Suluh MHSA MHSA | | edisi edisi II | | Th. Th. II | | Juni Juni 2011 2011 Suluh
yang berbau disintegrasi. Menurutnya, perbedaan itu indah saatmana sesuatu yang berlainan disampaikan dengan santun. Namun, fakta menunjukkan, telah terjadi ketidaksantunan antarpolitisi baik di dalam maupun di luar partai. Akibatnya, sebagian masyarakat juga ikut terbelah karena politik itu sendiri dan nyaris mengabaikan persatuan dan kesatuan. “Ini masalahnya,” ujarnya menjelaskan. Selain itu, novel yang ditulisnya dalam kurun waktu delapan bulan itu juga mengajak bernasionalisme melalui kesantunan puisi seperti bait Aku ingin terus membaca angin. Dia menjelaskan diksi angin yang dipilih dalam bait puisi ini karena nasionalisme di republik masih seperti angin, tak berwarna. Lan Fang juga menyebut novelnya berdimensi psikologis karena situasi politik belakangan ini agak sedikit kurang sehat secara psikis meski diperagakan sejumlah orang yang secara fisik sehat. “Masalahnya sebagian realitas politik kita masih sakit dan butuh sentuhan keindonesiaan yang santun,” pungkasnya. Berbeda dengan penulis Ciuman di Bawah Hujan, wartawan senior Madura Abrari Alzael menilai novel masuk ke karya fiksi. Pria yang saat ini berkhidmat di Madura Channel saat membedah buku ini mengang-
gap novel masuk dalam kategore karya fiksi. Sedangkan idenya, kata dia, bisa bersumber dari fakta atau justru fiksi sama sekali.
memiliki kisah yang unik. Tentang politik sebagai tema, Lan Fang bisa dikatakan masih menggarapnya dalam tataran normatif.
Pria yang akrab disapa Alzael ini menilai sosok Fung Lin dalam novel ini sebagai jurnalis. Sebagai jurnalis, Fung Lin menemukan banyak hal dalam kehidupan nyata. Dunia jurnalistik mempertemukannya dengan Ari dan Rafi, dua orang politisi yang ternyata memiliki perhatian terhadap perkembangan sastra (Indonesia). Perkenalan Fung Lin dan Ari dikisahkan amat romantis : Fung Lin tak betah menunggu seorang pejabat yang tak kunjung datang dalam sebuah acara.
Menurut pria yang juga aktif di dean kesenian Pamekasan-Sumenep ini, Lan Fang masih kurang jauh menggerapai intrik-intrik politik yang dikembangkan oleh tokoh-tokohnya, yakni Rafi dan Ari — dua orang yang menjadi politisi. Rafi dan Ari terkesan sebagai politisi yang baik-baik saja. Mereka berdua, karena sedikit-banyak terlibat hubungan asmara dengan Fung Lin, pada akhirnya hanya menjadi tokoh-tokoh yang kurang menghadirkan konflik yang lebih mendalam dan rumit dalam dunia politik.
Saat ia mengomeli seseorang yang tak dikenalnya karena keterlambatan Ari, orang itu ternyata Ari; namun Ari tampak sabar mendengar gerutuannya. Ari juga menampakkan sikap yang lembut dan berbeda dari apa yang selama ini Fung Lin anggap sebagai sikap seorang pejabat. Dari sini segala asumsi Fung Lin tentang politisi, pejabat, atau orang-orang politik mulai mengalami perubahan. “Begitulah Lan Fang menyajikan pola tutur penceritaan yang tak biasa,” terangnya.
Untuk sekedar diketahui, novel ini digarap pada saat-saat pemilihan Gubernur Jatim dan legislatif tengah dihelat pada tahun 2009 lalu. Suasana yang hiruk-pikuk atas pesta rakyat inilah yang tampaknya menjadi cikal-bakal lahirnya novel ini ; walaupun tak semua bagian novel ini tergarap saat momen itu berlangsung. Di dalam novel ini juga ada penggalan-penggalan novelet yang pernah digarap Lan Fang beberapa tahun silam. Judul novelet itu 1001 Hari di Hongkong. Novelet itu menjadi pemenang dalam
sayembara novelet (cerita bersambung) yang dihelat oleh Majalah Femina. Dalam novel ini, penggalan-penggalan novelet itu dijadikan Lan Fang sebagai novel Fung Lin yang dibaca Rafi dan Ari. Menjadikan nama sendiri sebagai nama tokoh utama dalam sebuah cerpen atau novel mungkin bukan masalah yang berarti. Namun, dari situ, menurut hemat saya, sebuah obsesi kepengarangan dapat terbaca. Lewat karyanya ini, mungkin masih terlalu dini untuk menyebut Lan Fang sebagai seorang novelis yang amat nasionalis. Tapi, setidaknya, dari novel ini, dan beberapa karyanya yang lain, Lan Fang telah menulis berbagai gejolak budaya yang terus terjadi dalam masyarakat kita. Lan Fang memiliki ketajaman yang mulai terasah dalam mengamati berbagai peristiwa sosial; dan kemudian meramunya dalam sebuah novel seperti yang ditulisnya kali ini. Inilah yang mungkin perlu diingat saat membaca novel ini. Nah, dari novel ini, para pembaca sastra di tanah air bisa berbangga, karena ada seorang novelis wanita — apa pun jati-diri atau pun suku bangsanya — yang mau menggarap sebuah novel dengan mengangkat dunia politik dalam ceritanya. (obeth)
Anehnya, lanjut Alzael, dalam beberapa kesempatan Lan Fang menghadirkan kisah yang surealis. Misalnya, ujar dia, ada sebuah adegan tentang tikus-tikus yang begitu banyak menggerogoti Fung Lin dalam novel ini. Ia juga sempat menyindir penanganan kasus lumpur Lapindo yang belum tuntastuntas hingga kini. “Nah, apakah semua ini memang dibuat dengan maksud atau alasan eksplorasi penceritaan yang sedapat mungkin unik? Mungkin itu alasannya,” ombuhnya. Namun alasan itu membuat novel ini kurang begitu greget memancing emosi pembaca untuk terlibat dalam jalinan kisah yang tengah dibangun Lan Fang; juga membuat pembaca enggan menyelidiki sambil menyimpan rasa ingin tahu halhal yang terjadi dalam diri para tokohnya yang masing-masing
foto: obeth
BEDAH BUKU : Lan Fang pengarang novel Ciuman di Bawah Hujan sedang mempresentasikan novelnya bersama Abrari Al-Zael wartawan senior Madura Channel di INSTIKA Guluk-Guluk Sumenep
Suluh MHSA | edisi I | Th. I | Juni 2011
39
Kronik
Meruwat Jejak Leluhur SAI dan Kongres Kebudayaan Madura
Bupati Pamekanan, KH. Kholilurrahaman Memberikan sambutan dalam acara seminar Pra Kongres Kebudayaan Madura di Kabupaten setempat.
foto: Saiful Bahri
S
aid Abdullah Institute (SAI) meruwat kebudayaan Madu ra melalui acara Pra Kongres Kebudayaan Madura di semua kabupaten di Madura (Sumenep, Pamekasan, Sampang, dan Bangkalan). Ruwatan regional ini berawal dari kesaksian paradoks atas khazanah budaya lokal yang mulai rontok. Ada beberapa hal yang menyebabkan budaya lokal ini pelan tapi pasti mulai seperti sabun mandi, semakin lama kian tipis dan kurang wangi. Pertama, budaya lokal hanya terkesan diopeni orang tua (bahkan sebagian diantaranya telah wafat). Kedua, generasi Madura kurang apresiatif terhadap warisan leluhur. Ketiga, budaya luar Madura menembus batas dan “meng-
40
ganggu� konsistensi budaya lokal. Keempat, budaya lokal dianggap tidak menguntungkan secara finansial di tengah masyarakat yang hedonistik. Dari sinilah muncul gagasan dari SAI untuk menggelar kongres kebudayaan Madura. Meski tidak ingin menjadi pemadam kebakaran, tetapi setidaknya SAI ingin berbuat, sekecil apapun. Kongres Kebudayaan Madura yang diawali pra kongres ini sebenarnya bukan pertama kali. Sekitar empat tahun lalu, SAI telah menyelenggarakan kongres kebudayaan Madura yang pertama di Sumenep. Tahun ini, pada kongres kali kedua di tahun ini juga akan digelar di kota yang sama. Pemilihan Sumenep sebagai lokasi kongres bukan untuk menomorduakan
Suluh Suluh MHSA MHSA | | edisi edisi II | | Th. Th. II | | Juni Juni 2011 2011
kabupaten yang lain. Ini dilakukan hanya untuk memudahkan koordinasi dengan jajaran SAI yang berkantor di Sumenep. Tetapi pra kongres ini telah, sedang dan akan dilakukan di setiap kabupaten di Madura. Jamak diketahui, selama ini budaya Madura pantas diduga mengalami krisis identitas. Sehingga, sisi kesenian, kebahasaan, relasi gender, dan aspek kebudayaan lainnya yang mencirikan Madura mulai terlihat samar. Itu terjadi karena pewaris Madura mengalami krisis nasionalismebermadura. Kondisi ini dikhawatirkan akan melenyap seperti prediksi sejumlah pihak berbasis riset, yang dilakukan lembaga lokal Madura, regional, nasional
bahkan internasional. Dalam acara pra kongres ini, ada beberapa rekomendasi yang diajukan masyarakat sebagai salah satu bahan untuk Kongres Kebudayaan Madura yang dijadwal Nopember mendatang. Diantaranya, masya-rakat Madura menginginkan kejayaan budi pekerti hadir kembali baik di sekolah, rumah, dan di mana pun. Ini dinilai penting karena sebagian besar generasi muda Madura saat ini abai terhadap persoalan itu. Selain itu, disampaikan pula strategi meruwat budaya Madura dengan berbagai pendekatan. Diantaranya, pendekatan kebahasaan agar ditingkatkan gengsinya bukan hanya menjadi pengantar komunikasi tetapi menjadi bahasa ekonomi, pendidikan, bahkan politik, setidaknya di Madura. Selain itu, budaya Madura diekplorasi agar konstruk budaya ini seakan-akan tidak hanya terkantuk pada kerapan, sape sonok, dan kesenian (tari, musik, dan tradisi) lainnya. Sebab, budaya Madura terkait banyak hal menyangkut kehidupan. Forum pra kongres kebudayaan juga memberikan masukan
agar siapapun merasa bangga sebagai Madura di Madura maupun di luar Madura. Ini juga dianggap penting karena ada indikasi sebagain warga Madura justru lebih senang mengaku bukan sebagai warga Madura. Pembina SAI, MH Said Abdullah mengaku sangat respek terhadap kebudayaan. Dia ragu apabila pemeliharaan budaya lokal (Madura) diserahkan kepada warga luar Madura. Itu sebabnya, penyelamatan budaya lokal dan Madura secara keseluruhan dia nilai harus digalakkan masyarakat secara bersama-sama sebelum akhirnya terancam punah karena tidak dirawat dengan baik oleh yang berhak memeliharanya. “Kongres Kebudayaaan Madura ini hanya narasi kecil untuk menggugah kesadaran,” kata Said. Itu juga disampaikan HD Zawawi Imron saat menjadi nara sumber pra kongres kebudayaan di pendopo Agung Sumenep. Menurut penyair nasional asal BatangBatang itu, generasi muda Madura saat ini merupakan pewaris sah atas kebudayaan Madura untuk kelestariannya di masa yang akan da-
tang. Jika generasinya saja tak peduli, Zawawi mengatakan tidak heran bila pada saatnya nanti warga Madura belajar budaya Madura ke Belanda. Karena itu, Zawawi memberikan apresiasi yang tinggi terhadap SAI yang menggelar Kongres Kebudayaan Madura yang diawali pra kongres di semua kabupaten di Madura. “Seperti puisi, kita sesungguhnya bagian dari Madura, akulah darahmu,” pekiknya. Sama halnya dengan budayawan Pamekasan Kadarisman Sastrodiwirjo yang mengurai makalah dalam pra kongres kebudayaan yang digelar di Pamekasan bulan lalu. Menurutnya, telah terjadi pergeseran kebudayaan di Madura. Misalnya, budaya Madura yang semula sangat ramah dan santun bergerak ke pop yang berdimensi instan-hedonistik. Selain itu, pria yang akrab disapa Dadang ini juga menilai adanya kehilangan identitas dari sebagian besar generasi Madura. Ini dibuktikan dengan tidak adanya rasa sebagai warga Madura di rantau. “Heran, mengapa generasi muda kita merasa tidak bangga mengakui diri sebagai generasi Madura,” paparnya.
Tak Bangga Berbudaya Madura
foto: Abrari Al Zael
M
asyarakat Madura dikenal memiliki karakter dan corak kehidupan yang berbeda dari daerah lainnya dan kaya budaya. Sayangnya, kebudayaan daerah tersebut tidak diimbangi dengan tindakan untuk melestarikannya. Bupati Sampang Noer Tjahja menyampaikan hal tersebut dalam seminar pra kongres kebudayaan Madura di Kabupaten Sampang (28/11) lalu. Pendapat bupati yang disuarakan Wabuhnya, Fannan Hasib, menilai generasi muda sebenarnya merupakan komponen masyarakat yang sangat penting dalam kebudayaan. Fakta menunjukkan, generasi muda saat ini tidak begitu peduli terhadap kelestarian budaya leluhurnya. Sebab, anak muda memilih budaya yang lain dan dilestarikan di tengah komunitas kebudayaannya yang mulai susut. Karena itu, bupati memandang perlu pendidikan kebudayaan yang terdiri atas banyak aspek itu ditanamkan pada anak sejak usia dini. Ini harus dilakukan agar budaya daerah terus berlanjut meski
SERIUS: Marina warga negeri Rusia (tengah), peserta pra kongres kebudyaan Maudra di Kabupaten Sampang
sebagian diantaranya nyaris atau bahkan telah punah. Bupati berjanji akan membangun fasilitas dan infrastruktur yang berkai dengan kebudayaan khususnay kesenian.(abe)
Suluh MHSA | edisi I | Th. I | Juni 2011
41
OASE
Ogaden Oleh : Abrari Alzael ebuah daerah di timur laut Kenya, Ogaden, diperebutkan Somalia – Ethiopia beberapa tahun lalu. Daerah ini awalnya dikuasai Ethiopia. Tetapi kaum nasionalis mengklaim Ogaden merupakan teritorial Somalia. Mayoritas warga Somalia menghuni, menjadi penduduk Ogaden. Tetapi klaim ini tidak diterima Ehiopia. Perang menjadi jawaban dan Somalia keluar sebagai pemenang. Hanya, keunggulan Somalia tidak mutlak karena ada campur tangan pihak dari negara lain.
S
Sebagai bangsa, nama besar republik ini mengecil bukan saja pada konteks sebagian daratannya yang telah dimiliki pihak lain. Tetapi besar sesungguhnya memiliki perhatian yang besar pada sesuatu yang kecil-kecil. Memang, ada perhatian terhadap yang kecil-kecil terutama pada judi, narkoba dan mafia sistemik. Pada bandar besar, di tanah ini terkesan dibiarkan (untuk tidak menyebut dipelihara) lalu dijadikan mesin ATM. Itu juga yang (mungkin) terjadi pada koruptor di negeri ini.
Spirit nasionalisme selalu muncul untuk mempertahankan diri dari gangguan. Tetapi di sebuah rumah makan tak jauh dari patung singa (Merlion), seorang rekan di Singapura dengan bangga mengatakan Singapura T.O.P.B.G.T. Daratan negeri berpenduduk sekitar 5,08 juta jiwa memuai seperti hukum besi dalam panas. Memang sedikit agak heran, karena di Indonesia daratannya justru susut karena gelombang alami dan abrasi yang disengaja.
Nasionalisme sebenarnya setiap siapa saja memelihara yang pantas dijaga di satuan terkecilnya ; di dalam maupun di luar rumah. Dalam kurun waktu 66 tahun setelah Indonesia merdeka, urusan memperhatikan yang kecil-kecil ini kadang luput dari perhatian. Bahkan, ketidakjujuran itu telah dimulai dari rumah, terus merambah ke luar rumah, dan masuk kembali ke rumah dengan membawa ketidakjujuran baru baik sebagai anak bangsa maupun sebagai anak dari orangtua yang pernah melahirkannya, dulu!
Rekan saya yang asli Indonesia itu memilih menjadi penduduk Singapura karena merasa lebih nyaman dan aman. Di Singapura, tas yang tertinggal di stasiun pun dengan begitu mudah ditemukan dan kembali ke pemiliknya. Sedangkan tas di gendongan pemiliknya, di Indonesia bisa hilang. “Tak usah lah cerita detil Indonesia tu macam mana,” katanya. Ia menilai Indonesia hanya tempat untuk lahir dan mati, pada akhirnya. Rasa penasaran soal daratan yang memuai di Singapura itu belum tuntas. Sebelum akhirnya meninggalkan Singapura, saya minta ia menjelaskan tentang daratan yang memuai itu. Ia katakan, kata menjelaskan di negeri yang dihuninya saat ini membuat sesuatu yang semula kabur menjadi lebih jelas dan tuntas. Tetapi, sekali lagi dia bercanda. Di negeri kelahirannya, di Indonesia, ia anggap menjelaskan berarti menyebabkan persoalan justru tidak semakin jelas. Itu juga yang terjadi dalam kata menyumbangkan lagu. Di Indonesia, katanya, menyumbangkan lagu berarti menyanyikan lagu yang semula merdu menjadi sumbang. Soal teori pemuaian daratan itu, di Singapura terjadi. Orang-orang Indonesia mengangkut tanah. Bahkan pulau tak bertuan pun digerus lalu ditimbunkan ke bibir pantai Singapura. Teori besar – kecil pun muncul. Sesuatu yang semula kecil bisa besar dan sebaliknya, yang awalnya besar jadi kecil. Tetapi itulah, cinta tanah air telah dijelaskan warga republik ini dengan mengangkut tanah di negerinya dan diceburkan ke air, di Singapura.
42 42
Suluh SuluhMHSA MHSA||edisi edisiII||Th. Th.II||Juni Juni2011 2011
Pada religiusitas, semangat nasionalisme memiliki kemiripan alam kontruk. Saat ini, manusia beragama menderita kegamangan. Seolah-olah, agama tidak menyelesaikan problem yang dihadapi. Padahal, agama sesungguhnya dapat menyelesaikan masalah penganutnya. Persoalannya telah terjadi penghambaan yang tidak total dari penganut terhadap agama yang diyakininya. Di sinilah pemeluk agama frustasi dan bahkan agama yang diyakininya benar dilacurkan untuk kepentingan dirinya yang justru bertentangan dengan urgensi beragama itu sendiri. Sedangkan pada nasionalisme yang menurut sebagian orang retak saat ini, justru terjadi karena warga dari sebuah nation itu tidak melakukan totalitas dalam berbangsa. Pancasila diyakini benar dalam konsep bernegara tetapi ia hanya menjadi hiasan. Begitu juga UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika juag dapat dimengerti sebagai pilar kebangsaan. Tetapi semua itu, tinggal wacana. Lebih parah dari itu, kita tidak pernah marah dengan pengabaian itu. Justru, pelan-pelan menjadi sosok yang mengambil bagian dalam penyelewengan atas tegaknya pilar-pilar bangsa. Padahal, rakyat Somalia saja bisa geram ketika Ethiopia hendak mengambil sebagian dari daerah yang dimilikinya, Ogaden itu. Sementara di republik ini, warga negera menyerahkan tanah airnya “begitu saja” kepada Singapura bahkan kepada negara lain secara tersembunyi atau atau dengan cara yang lebih barbar(*)
Suluh MHSA | edisi I | Th. I | Juni 2011
43
44
Suluh MHSA | edisi I | Th. I | Juni 2011