Swara rahima edisi 52

Page 1


D A F T A R Tafsir Alquran Mengkaji Teks Tentang Peran Lak-Laki Dalam Pencegahan Kekerasan Berbasis Gender

Oleh Ustadzah Dr. Hj. Nina Nurmila, Ph.D

I S I

Dirasah Hadis

Kehidupan dan Rumah Tangga Tanpa Kekerasan

Oleh: Ustadz Nur Achmad, MA

Hal. 48

Hal. 28

Fokus

Profil KH. Husein Muhammad:

Pelibatan Laki-Laki dalam Mencegah Kekerasan Berbasis Gender

Kiai Pembawa Rahmat

Hal. 8

Hal. 40

Fikrah

Pemikiran Muhammad Khalid Masud: Reformasi Hukum Keluarga

Hal. 34

Hal. 22

OPINI OPINI

Wawancara Wawancara Jackie Viemelawati Nur Iman Subono

Laki-Laki Pro Feminis

Laki-Laki Perlu Harus Menjadi Kesadaran mainstream Dilibatkan dalam Upaya Transformasi Gender

Hal. 16

Refleksi

Belajar Menjadi Laki-Laki Dari Ketidakadilan Yang Dialami Perempuan

Hal. 62

Akhawatuna

Menghentikan Kekerasan Berbasis Gender Melalui Pelibatan Tokoh Agama

Hal. 38

Jaringan

PP. Kebon Jambu Al-Islamy

Hal. 43

Khazanah

Menjadi Laki-Laki Baru

Hal. 46

Teropong Dunia Perempuan Nigeria di Tengah Gerakan Boko Haram Hal. 56

SALAM REDAKSI HAL. 3 SURAT PEMBACA HAL. 4 ABSTRAK HAL. 5 - 6 KIPRAH HAL. 36 INFO KUPI: MOMEN TEPAT HAL. 53 CERPEN: LEBIH BAIK TAK BICARA HAL. 54

TANYA JAWAB Bagaimana Mengelola Rumah Tangga LDR? Hal. 59


REDAKSI

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

A

lhamdulillah, rasa syukur senantiasa kita haturkan ke hadirat Ilahi Rabbi. Atas kasih sayang-Nya kita diberinya kesehatan dan semangat, untuk saling mengingatkan dan menjalani hidup dengan hal-hal yang bermanfaat. Semoga Shalawat dan Salam juga senantiasa tercurah kepada Baginda Rasul, yang mengajarkan kita untuk berbuat baik dan mencegah kerusakan di muka bumi.

PENANGGUNG JAWAB Hj. Masruchah PEMIMPIN UMUM KH. Husein Muhammad PEMIMPIN REDAKSI AD. Eridani DEWAN REDAKSI AD Eridani, AD. Kusumaningtyas, M. Syafran, Mawardi, REDAKTUR PELAKSANA AD. Kusumaningtyas DEWAN AHLI Hj. Hindun Anisah, Hj. Afwah Mumtazah, Dr. Nur Rofiah, Prof. Dr. Saparinah Sadli, KH. Muhyiddin Abdussomad, Prof. Dr. Azyumardi Azra, Kamala Chandra Kirana, MA, Faqihuddin Abdul Kodir, MA, KH. Helmi Ali, Farha Ciciek ABSTRAK ARAB Dr. Muhbib Abdul Wahab, MA. ABSTRAK INGGRIS AD. Kusumaningtyas KARTUNIS Basuki DESAIN GRAFIS & TATA LETAK zuriham_artdesign@gmail.com DOKUMENTASI Rizal Rahmat Tulloh KEUANGAN M. Syafran DISTRIBUSI Rizal Rahmat Tulloh

SWARA RAHIMA adalah majalah berkala terbitan Perhimpunan RAHIMA untuk memenuhi kebutuhan dialog dan informasi tentang Islam dan hak-hak perempuan. SWARA RAHIMA berusaha menghadirkan fakta dan analisis berita, serta wacana Islam dan hak-hak perempuan. SWARA RAHIMA mengharapkan partisipasi pembaca melalui saran dan kritik. SWARA RAHIMA menanti kiriman tulisan pembaca sesuai dengan visi Rahima. Bagi yang dimuat akan diberi imbalan. Redaksi berhak mengedit semua naskah yang masuk. Semua tulisan menjadi milik redaksi, jika hendak direproduksi harus ada izin tertulis dari redaksi. 5 rubrik dari SWARA RAHIMA (Fokus, Tafsir Alquran, Dirasah Hadis, Fikrah dan Refleksi) diterjemahkan dalam bahasa Inggris, dan dapat diakses di website Rahima, www.rahima.or.id.

Pembaca Swara Rahima yang mulia, Kekerasan Berbasis Gender (KBG) yang terutama banyak menimpa perempuan dan anak sehingga menempatkan mereka sebagai korban, telah disadari oleh banyak pihak. Meskipun berbagai pemberitaan telah banyak disajikan di media, namun kasus-kasus sepertinya tak kunjung berakhir. Sebagian regulasi telah kita miliki, misalnya UU No.23 tahun 2004 tentang PKDRT maupun UU No.35 tahun 2014 yang merupakan perubahan dari UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Dan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual pun saat ini tengah diperjuangkan. Namun, masih banyak yang belum menyadari bahwa selain upaya penanganan kasus yang bersifat kuratif, upaya preventif masih tetap harus dilakukan. Salah satu upaya preventif itu, perlu dilakukan melalui edukasi atau penyadaran dengan melibatkan pihak laki-laki, yang secara statistik menempati posisi tertinggi sebagai pelaku kekerasan berbasis gender. Situasi ini, mestinya juga disadari bahwa pola asuh bias gender yang selama ini masih banyak dilakukan oleh masyarakat juga tetap memicu andil pada munculnya beragam bentuk kekerasan. Oleh karenanya, pada Edisi ke-52 ini Swara Rahima kembali menyapa pembaca dengan tema “Pelibatan Laki-laki Melalui Pencegahan Kekerasan Berbasis Gender (KBG)”. Pembaca Swara Rahima yang selalu bersemangat, Tanpa partisipasi Anda semua, Swara Rahima tak mungkin hadir secara optimal untuk membangun pengetahuan kita bersama. Oleh karenanya, berbagi, informasi baru, maupun gagasan-gagasan kritis Anda sangat kami harapkan untuk membenahi Swara Rahima. Goresan pena atau tulisan Anda masih tetap dibutuhkan, sungguhpun melalui banyak media baru, gambar bisa berbicara. Oleh karenanya, partisipasi Anda ke depan masih perlu dan sangat kita nantikan. Mudah-mudahan, kita termasuk dalam golongan orang yang melalui lisan maupun tulisan tangannya, bisa saling mengingatkan dan berbagi pengetahuan. Akhirnya, kami ucapkan Selamat Membaca! Wassalam Redaksi

Jl. H. Shibi No. 70 Rt. 007/01 Srengseng Sawah, Jakarta Selatan 12640 Telp. 021-78881272, Fax. 021-7873210 Email: rahima2000@cbn.net.id - Website: www.rahima.or.id


Surat

Pembaca

S

Khuntsa itu Apa Sih?

Assalamu’alaikum wara Rahima, saya pernah mendengar istilah Khuntsa. Artinya apa, sih? Apakah hal ini termasuk dalam orientasi seksual? Apakah pernah ada terbitan soal itu? Wa’alaikum salam, Muzda. Wassalam Istilah ini sering digunakan dalam Fikih Klasik Muzdalifah, Semarang untuk menyebutkan orang yang memiliki alat 0813-8023XXXX kelamin ganda, sehingga sering diistilahkan dengan “jenis kelamin ketiga”. Tapi sebaiknya, untuk memperoleh pemahaman yang lebih tepat bisa membaca SR Edisi ke-49 Th.XII Desember 2012 tentang Menggali Ragam Khazanah Seksualitas yang bisa diakses di www.rahima.or.id

Tema Seputar Kespor di Pesantren Assalamu’alaikum Swara Rahima (SR) yang baik, Apakah SR pernah mengangkat tema seputar Kesehatan dan Reproduksi di kalangan pesantren? Soalnya tema itu menarik untuk bahan skripsiku. Kasih tahu bila SR pernah menerbitkan tema itu. Wassalam Irina, Pandeglang Banten Irina.irin@gmail.com Wa’alaikum salam, Irina. Rahima sudah pernah menerbitkan SR yang mengangkat tema seputar Kespro di Pesantren. Lihat kembali SR Edisi ke-48 Th.XV Maret 2015 tentang Kesehatan Reproduksi dalam Pendidikan Pesantren dan Madrasah, dan SR Edisi ke-50 Th.ke-XV November 2015 tentang Santri, Seksualitas dan Teknologi Informasi. Silakan disimak kedua edisi tersebut. Bila masih butuh referensi, silakan kunjungi perpustakaan Rahima setiap hari dan jam kerja.

4

Swara Rahima

Ingin Ikut Menulis Assalamu’alaikum Saya sangat sedih karena Swara Rahima (SR) sudah ‘menghilang’ cukup lama. Tapi kembali kaget bercampur senang SR akan terbit lagi. Bolehkah saya ikut ‘urun rembug’, bantu-bantu menulis untuk Swara Rahima? Terimakasih sebelumnya. Wassalam MA Wahab, Ciputat

Waalaikum salam Pak Wahab, terimakasih banyak atas perhatiannya. Redaksi terbuka untuk menerima tulisan, seperti pada rubrik Akhwatuna, Refleksi, yang bersifat tematik setiap edisinya; maupun Fikrah, Teropong, Suplemen, Khazanah, Cerpen, dll. yang bersifat non tematik. Kami tunggu kiriman tulisannya.

No 52 Th. XVII NOV 2017


Abstrak

Swara Rahima No 52 November 2017

BUDAYA PATRIARKI telah menyebabkan laki-laki dan perempuan dididik, dibesarkan dan diperlakukan dalam situasi yang timpang. Akibatnya, di tengah masyarakat banyak terjadi kekerasan yang muncul akibat ketidakadilan relasi di antara kedua jenis kelamin ini. Sikap masyarakat yang permisif, telah banyak membuat perempuan dan anak menjadi korban kekerasan. Sementara, dalam kasus-kasus berbasis gender ini pelakunya (hampir 90%) adalah laki-laki. Namun, kabar baiknya adalah bahwa situasi ini terjadi karena konstruksi sosial. Sehingga, dengan kesadaran penuh, kita juga memiliki harapan bahwa kesungguhan kita dalam merubah pola relasi menjadi lebih adil dan setara, juga akan berkontribusi menurunkan bahkan menghapuskan kekerasan berbasis gender.

Selama ini, beragam program penanganan kasus kekerasan berbasis gender cenderung hanya melibatkan kaum perempuan (yang kebanyakan adalah korban). Sementara, penanganan melalui kaum laki-lakinya (yang merupakan kebanyakan dari pelaku atau potensial menjadi pelaku kekerasan) cenderung dilupakan. Oleh karenanya, berangkat dari refleksi ini strategi penanganan kekerasan berbasis gender pun belakangan juga melibatkan laki-laki. Banyak tokoh laki-laki pegiat gerakan perempuan yang bermunculan dengan berbagai sebutannya. Feminis laki-laki, laki-laki pro feminis, meninist, laki-laki pro perempuan, dan lain-lain dengan segala filosofi di balik penamaan ini. Nur Iman Subono, yang memilih istilah laki-laki pro feminis, setidaknya mengingatkan pada kita semua akan rambu-rambunya. Yakni, gerakan ini tidak boleh menjadi

No 52 Th. XVII NOV 2017

organisasi tersendiri, dia bersifat supporting dan bukan leading, dan dia harus menjadi bagian dari gerakan perempuan dan berkonsultasi dengan organisasi gerakan perempuan. Hal ini demi menghindari terjadinya conflict of interest dan munculnya priviledge baru, serta memastikan akuntabilitas bagi kalangan laki-laki yang bekerja untuk gerakan perempuan. Kehadiran laki-laki dalam dunia gerakan perempuan bukannya tidak menimbulkan pro dan kontra. Namun, menurut Jackie Viemilawati pro kontra ini mesti dipahami sebagai upaya peneguhan komitmen bahwa mereka tidak akan melakukan kekerasan terhadap perempuan, maupun menelikung gerakan perempuan. Sepanjang tujuannya untuk membangun kesetaraan dan keadilan gender, dan dalam perilaku keseharian mereka menunjukkan komitmen itu, maka sah-sah saja laki-laki menjadi bagian dari gerakan feminis. Berbagai program maupun komunitas laki-laki yang berkomitmen untuk menghapuskan kekerasan berbasis gender telah banyak bermunculan di berbagai belahan dunia maupun di tanah air. Promundo, White Ribbon Campaign, MASVAW, Men Care, Prevention+, Her for She adalah contoh-contoh gerakan laki-laki yang bekerjasama memperjuangkan kesetaraan dan keadilan gender dan menghapuskan kekerasan terhadap perempuan dan anak. Di Indonesia kita mengenal Aliansi Laki-Laki Baru (ALLB) yang mengkampanyekan pentingnya keterlibatan laki-laki untuk bekerjasama dengan pasangan, dari pengelolaan kerja rumah tangga hingga dalam pengasuhan anak. Sejak dini, mereka memperkenalkan nilai-nilai maskulinitas positif dan peran ayah, serta bagaimana menjadi pasangan yang supportif bagi istri serta sosok ayah yang peduli dengan anak. Sebelumnya, Gerakan Sayang Ibu (GSI) memperkenalkan program Suami Siaga (Siap Antar Jaga), yang mendukung siap mendukung istri yang tengah hamil, menghadapi persalinan, menyusui dan pengasuhan pasca kelahiran bayi. Tokoh agama (terutama tokoh agama laki-laki) memiliki peran strategis dalam mengkampanyekan peran laki-laki dalam penghapusan kekerasan berbasis gender. Mereka bisa berperan tidak hanya dalam menyampaikan nilai-nilai agama yang ramah, adil, setara gender dan nir kekerasan, namun juga melalui uswatun hasanah (teladan yang baik) langsung dari perilaku keseharian mereka. Sejatinya, menegaskan urgensi laki-laki dalam membangun kesetaraan dan keadilan di masyarakat dan adanya komitmen untuk menghapus kekerasan berbasis gender, adalah salah satu upaya untuk menghadirkan ajaran “rahmatan lil ‘alamien� itu mewujud dalam kehidupan nyata. {}

Swara Rahima

5


Abstract Swara Rahima No 52 November 2017

The presence of men in the women’s rights movement doesn’t mean leaving the pro and cons. But, according to Jackie Viemilawati, the pro and cons should be understood as ensuring commitment that they (men) will never do Violence Agaisnt Women (VAW) or cheating the women’s rights movement. As long as they have the same goal to build gender equality, and in their daily attitudes show the commitment, so it will be okay for men to become part of feminist movement. THE PATRIARCHAL CULTURE in the society had constructed that men and women are treated differently in a such inequality situation. As a result, there are so many injustices happen in the society based on this inequal gender relation. The permissive behavior of the society had put women and children in disadvantage situation as the victims of violence. While, in the gender based violence, most of the perpetrators (90%) are men. But the good news is because this a social construction, we consider that we can change the situation through a more gender equality relationship. So that it will also contribute to reduce and probably to end gender based violence (GBV). So far, the handling of GBV cases tend to involve only women (which most of them are victims). While, the handling cases through men (which most of them are perpetrators or potential to be perpetrators) tend to be forgotten. Therefore, based on this reflection, later the handling of GBV cases are also involving men. There are so many male figures who struggle for women’s rights whatever they are called. Male feminist, pro feminist men, meninist, men pro women, and etc. with its various philosophy behind this. Nur Iman Subono -who is prefer to be called as a pro feminist man-, reminded us about the signs. That this movement should not be a new single organization, it must be supporting not leading, and it should become feminist movement and should consult with women’s rights organization. This should be done to prevent from conlict of interest and also the coming of new priviledge, and to ensure the accountability of men doing feminism.

6

Swara Rahima

Many programs or men’s community who commit to eliminate Gender Based Violence (GBV) had been spread out in many parts of the world as well as in our countr y. Promundo, White Ribbon Campaign, MASVAW, Men Care, Prevention +, He for She are the examples of pro feminist movement of the men group who struggle for gender equality and eliminating the GBV and violence against children. In Indonesia, we know Aliansi Laki-Laki Baru (ALLB) who campaign on the meaningfull participation of man to cooperate with his spouse, in the management of domestic works as well as in parenting (caring and nurturing the children). From the beginning, they introduced the positive masculinity and becoming supportive husband for his wife and a care father for their children. Several years ago before, Gerakan Sayang Ibu (or Save Motherhood campaign) introduced the Suami Siaga (Aler t Husband) who are ready to support his wife during their pregnancy, childbirth, breastfeeding, and parenting after the childbirth. The religious figures (especially male religious figures) have strategic roles in campaigning the male involvement in eliminating GBV. They can play their role, not merely through disseminating religious values which are gender friendly and non violence, but also through their uswatun hasanah (becoming the role model directly) through their positif daily attitude and behavior. Indeed, affirming the urgency of male involvement in building gender equality in the society and their commitment to end GBV, is one of efforts to present the teaching of Islam as “blessing for the universe” come into reality. {}

No 52 Th. XVII NOV 2017


‫الملخص‬ ‫إن المجتمع األبوي قد أدى إلى المتعلمين‬ ‫والمتعلمات نشؤوا وترعرعوا في ظروف‬ ‫منحرفة‪ .‬وذلك يترتب على أنه ظهر في‬ ‫أوساط المجتمع كثير من أعمال العنف‬ ‫نتيجة عدم العالقة العادلة بين الجنسين‪.‬‬ ‫وموقف المجتمع اإلباحي قد أدى بالمرأة‬ ‫واألطفال إلى أن يكونوا ضحايا ألعمال‬ ‫العنف‪ .‬وفي نفس الوقت‪ ،‬أن معظم فاعلي‬ ‫العنف على أساس الجنس(‪ %90‬تقريبا)‬ ‫هم الرجال‪ .‬غير أن هذا الحادث راجع‬ ‫إ لى ا لبنية ا ال جتما عية ‪ ،‬و با لتا لي نأ مل‬ ‫بكل وعي تام أن جهودنا المبذولة لتغيير‬ ‫نمط العالقة تكون أكثر عدالة ومساواة‪ ،‬كما تسهم‬ ‫جهودنا في تخفيض أعمال العنف‪ ،‬بل إزالتها مبنية‬ ‫‪.‬على المساواة بين الجنسين‬ ‫وثمة عدة برامج للتغلب على حوادث العنف المبنية‬ ‫على الجنس شاركت النسائ دون غيرهن من الرجال‬ ‫إلى درجة كبيرة‪ ،‬والتي معظمهن ضحايا لها‪ .‬وفي‬ ‫نفس الوقت أن التغلب على أعمال العنف بإشراك‬ ‫الرجال (الذين معظمهم فاعلوها أو يتمكنون من أن‬ ‫يكونوا فاعليها) أمر مهمل‪ .‬وانطالقا من هذا الواقع‪،‬‬ ‫أصبحت إستراتيجية التغلب على العنف القائم على‬ ‫تور ط وتشارك الرجال في اآلونة األخيرة‪.‬‬ ‫الجنس‬ ‫ّ‬ ‫فهناك الكثير من ناشطي الحركة النسوية بأنواع‬ ‫مسمياتـها‪ .‬وظهر أيضاكثير من الرجال أنصار الحركة‬ ‫النسوية أو مؤيدو مصالح المرأة بكل فلسفتهم وراء‬ ‫َّ‬ ‫وتفضلَ السيد نور إيمان سوبونو‬ ‫هذه التسمية‪.‬‬ ‫بتسمية الرجال األنصار للحركة النسوية‪ ،‬وهذه‬ ‫التسمية تذكّرنا جميعا معايير الحركة‪ ،‬وهي أن هذه‬ ‫الحركة غير مسموحة بأن تكون منظمة مستقلة‪ ،‬وهي‬ ‫ذات صفة داعمة‪ ،‬وليست قيادية‪ .‬وهي ال بد من أن‬ ‫تكون جزءا ال يتجزأ من الحركة النسوية ومستشارة‬

‫‪7‬‬

‫‪Swara Rahima‬‬

‫بهيئة حركة نسوية‪ .‬وذلك ليس إال من أجل تجنب‬ ‫تضارب المصالح وظهور امتياز جديد للحركة‪ ،‬والتأكّد‬ ‫من مساءلة الرجال الذين يعملون لمصالح الحركة‬ ‫‪.‬النسوية‬ ‫وكيان الرجال في عالم الحركة النسوية قد يثير‬ ‫نشوء الطرفين المؤيد والمعارض لها‪ .‬إال أن الطرفين‬ ‫المتنازعين عند جاكي فيميالواتي ال بد من فهمهما‬ ‫كمحاولة لتقوية التزام مفاده أنهم لن يقوموا بأي‬ ‫عنف ضد المرأة أو تلفيف الحركة النسوية‪ .‬فمن حق‬ ‫الرجال أن يشاركوا في الحركة النسوية طالما يكون‬ ‫هدفهم من المشاركة فيها من أجل بناء المساواة‬ ‫والعدالة بين الجنسين‪ ،‬وطالما تثبت سلوكياتـهم‬ ‫‪.‬اليومية التزامهم بـها‬ ‫ولقد ظهرت برامج وهيئات رجالية متعهدة وملتزمة‬ ‫بإزالة العنف على أساس الجنس في بقاع العالم‬ ‫‪ Promundo,‬وفي إندونيسيا على السواء‪ .‬وتعتبر‬

‫‪White Ribbon Campaign, MASVAW, Men Care,‬‬

‫من أمثال الهيئات للحركة‬ ‫الرجالية المتعاونة لكفاح المساواة والعدالة بين‬ ‫الجنيسين وإلزالة العنف ضد المرأة واألطفال‪ .‬ونعرف‬ ‫الذي يقوم )‪ (ALLB‬بإندونيسيا تحالف الرجال الجدد‬ ‫بحملة منادية بأهمية مشاركة الرجال في التعاون‬ ‫مع أزواجهم على إدارة األسرة وحتى رعاية األطفال‪.‬‬ ‫ومنذ مرحلة مبكرة‪ ،‬قام هؤالء بتعريف قيم الذكورة‬ ‫اإليجابية‪ ،‬ودور اآلباء‪ ،‬وكيف يكونون أزواجا داعمين‬ ‫لزوجاتهم‪ ،‬ومهتمين بأمور أوالدهم‪ .‬وقد قامت حركة‬ ‫مودة األمهات قبل تواجد ذلك التحالف بتعريف برنامج‬ ‫األزواج الجاهزين المرافقين المحافظين عليهن الذين‬ ‫يساعدون زوجاتهم في أثناء الحمل‪ ،‬ومواجهة الوالدة‪،‬‬ ‫‪.‬وحضانة األوالد بعد والدتـهم‬ ‫‪Prevention +, He for She‬‬

‫وفي هذا الصدد‪ ،‬يلعب رجال الدين دورا استراتيجيا‬ ‫هاما في حملة دور الرجال في إزالة العنف على‬ ‫أساس الجنس‪.‬وهم يقدرون على لعب الدور في‬ ‫إلقاء القيم الدينية المناسبة والعادلة والمساوية‬ ‫بين الجنسين وعدم العنف‪ ،‬كما يتمكنون من تقديم‬ ‫األسوة الحسنة الواقعية في سلوكياتـهم اليومية‪.‬‬ ‫وحقيقة األمر هي أن إثبات أهمية دور الرجال في‬ ‫بناء المساواة والعدالة بين الجنسين في المجتمع‪،‬‬ ‫وااللتزام بإزالة العنف القائم على الجنس عبارة عن‬ ‫إحدى المحاوالت والجهود المبذولة لتحقيق اإلسالم‬ ‫‪.‬كرحمة للعالمين في حيز الوجود وفي أرض الواقع‬

‫‪No 52 Th. XVII NOV 2017‬‬


Fokus

PELIBATAN LAKI-LAKI

Dalam Pencegahan Kekerasan Berbasis Gender

"Terus terang saja sebelum mengikuti kegiatan PUL ini, saya tidak bisa menahan emosi kalau marah ke istri dengan memukul apa saja. Setelah ikut PUL ini ada perubahan lebih baik pada diri saya ketika ada masalah saya diam dulu baru kemudian diselesaikan dengan musyawarah."

PERNYATAAN tersebut dikemukakan oleh Uztad Abdul Aziz, peser ta program Pendidikan Ulama Laki-laki (PUL) yang diselenggarakan oleh Rahima di Banten. Senada dengan pernyataan tersebut, perubahan juga dirasakan oleh rekannya Ustad Ghulamuddin. Ia menyatakan,

8

Swara Rahima

“Sebelum mengikuti kegiatan di Rahima jujur secara pribadi saya menganggap perempuan itu adalah pelayan yang harus melayani segala keinginan suami. Dan apabila istri melanggar maka dia berdosa. Tanpa berpikir dengan menghargai, menghormati keberadaan istri yang harus dipenuhi juga hak-haknya. Tapi setelah mengikuti PUL ini saya sadar. Selama ini sikap saya yang egois, ingin menang sendiri, ingin dihormati, sementara saya jarang menghormati istri. Sikapsikap itu sekarang sudah hilang. dan sekarang mulai menghargai, sering membantu pekerjaan istri seperti membawa air untuk minum, membawa cucian untuk dijemur, sampai menyapu rumah.� 1 Pelibatan laki-laki dalam pendidikan adil dan setara gender dan penghapusan kekerasan, terbukti penting untuk mengubah cara pandang, cara berpikir maupun berperilaku sehingga lebih dapat menghargai perempuan dan menghentikan kecenderungan terhadap perilaku kekerasan berbasis gender (KBG) yang banyak menimpa perempuan dan anak. Mereka cenderung untuk mengubah cara berelasi, dari instruksi ke dialog, dari pelampiasan kemarahan ke menahan diri (self control)

No 52 Th. XVII NOV 2017


Fokus dan mencari solusi bersama atas persoalan rumah tangga. Bahkan, lebih jauh dari itu, bisa membuat laki-laki berperan aktif dalam berbagai advokasi dan aksi-aksi penghapusan kekerasan terhadap perempuan dan anak. Seperti yang dilakukan Kyai Hasan di Ciamis yang melakukan pengorganisasian kepada kaum perempuan single parent (kepala keluarga), Ustad Sholahuddin di Garut melakukan penguatan perempuan korban trafficking, Ustad Abdullah Amin yang memberikan konseling kepada perempuan korban kekerasan di pesantrennya di Majalengka, Ustad Abdul Imam melakukan penguatan kepada perempuan korban kekerasan seksual di Subang, maupun Ustadz Miftahussalam yang melakukan penguatan perempuan pesantren untuk mendapatkan pendidikan di Garut.2 Kisah-kisah di atas, sebenarnya cukup banyak mewarnai berbagai aktivitas pendidikan Rahima maupun program-program serupa yang dilakukan oleh lembaga lainnya. Hal ini juga mengindikasikan pentingnya keterlibatan lelaki dalam membangun relasi adil dan setara gender dalam keluarga dan masyarakat, serta untuk mencegah kekerasan berbasis gender. Mengingat bahwa di masyarakat masih banyak pandangan yang beranggapan bahwa relasi suami istri yang tidak setara dalam keluarga (dimana suami dominan dan istri subordinat) adalah given dari Yang Maha Kuasa. Padahal sejatinya ini konstruksi sosial yang membawa dampak pada munculnya kasus-kasus kekerasan berbasis gender akibat dari budaya patriarkhi. Lagi pula, banyaknya angka kekerasan dalam rumah tangga (KDR T) yang terungkap sebagai alasan perceraian di Pengadilan Agama (PA) maupun Pengadilan Negeri (PN) sejatinya menunjukkan bahwa selama ini perkawinan dibangun atas dasar fondasi yang rapuh. Bukan berasal dari komitmen yang setara antara suami dan istri, namun atas dasar asumsi gender dimana kepada laki-laki disematkan gelar sebagai ‘kepala rumah tangga’ -yang harus menjadi pencari nafkah utama sebagai persyaratan yang harus dipenuhinya dan wewenang untuk mengatur anggota keluarga termasuk istri sebagai konsekuensinyadan pada perempuan disebutkan posisi sebagai ‘ibu rumah tangga’ yang wajib tunduk dan patuh pada suami dan harus terikat pada urusan domestik sebagai konsekuensinya. Oleh karenanya, dampak dari “pelatihan kepekaan gender” yang ingin mendekonstruksi relasi gender yang tidak setara ini serta merta akan dianggap pemberontakan dari kemapanan bahkan pelanggaran atas ajaran agama yang seolah-olah sudah menegaskan pembagian peran

No 52 Th. XVII NOV 2017

suami istri dalam keluarga. Urgensi tentang pelibatan laki-laki dalam berbagai program Rahima, sesungguhnya bukanlah sesuatu yang diabaikan. Jauh sebelum Rahima berdiri, saat masih menjadi Divisi Fikih an-Nisa dari Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M) yang bergiat dalam isu Islam dan Hak-hak Reproduksi Perempuan, pelibatan tokoh agama (Kyai dan Nyai) di pesantren dianggap sebagai strategi jitu dalam me-landingkan program-programnya di masyarakat. Di antara kadernya adalah KH.Husein Muhammad dari PP. Dar el-Tauhid Arjawinangun, Cirebon yang kini amat dikenal publik sebagai “Kyai Gender”. Namun, upaya memperjuangkan kesetaraan dan keadilan gender dengan melibatkan laki-laki tak selalu berjalan mulus. Selalu ada ujian yang menunjukkan bahwa gerakan

perempuan dan gerakan sosial, ternyata tidak selalu seiring sejalan. Kehadiran Rahima, diawali dari sikap protes para stafnya terhadap pimpinan dari organisasi induknya waktu itu (P3M) yang melakukan poligami. Tentu hal ini menjadi ironi, bila dalam sebuah lembaga yang memperjuangkan hak-hak perempuan, salah satu aktor utamanya justru menjadi pelaku kekerasan terhadap perempuan.3 Situasi di atas, ternyata tidak hanya dialami oleh Rahima. Gerakan perempuan juga sempat diramaikan dengan perbincangan tentang beberapa aktivis laki-laki lainnya, yang juga berpoligami, terlibat perselingkuhan, melakukan kekerasan terhadap perempuan, dan lainnya. Memang, ini tidak terjadi pada semua aktivis laki-laki yang dalam kenyataan banyak juga yang mendukung gerakan perempuan.

Swara Rahima

9


Fokus dengan laki-laki, di samping adanya pandangan bahwa laki-laki yang dibesarkan dalam kultur patriarkhi akan sangat sulit untuk melepaskan priviledge mereka; sehingga masih besar terjadi kemungkinan menghadirkan persaingan baru bahkan pengkhianatan. Oleh karenanya, sejatinya mereka yang tidak setuju telah membuat semacam ‘rambu-rambu’ atau menjadi devil’s advocate terhadap laki-laki yang terlibat dalam gerakan perempuan.4

Namun, hal ini juga menjadi refleksi mereka bahwa gerakan laki-laki pro feminis hadir karena kerentanan laki-laki yang dibesarkan dalam kultur patriarkhi untuk terjebak dalam lingkaran kekerasan berbasis gender ini kembali. Kesadaran ini juga menjadi spirit mereka untuk benar-benar akuntabel dalam mensupport gerakan perempuan.

Feminis Laki-laki: Adakah? Sekilas, pertanyaan di atas mungkin terkesan nyinyir, mengingat sebenarnya ada banyak laki-laki yang sangat suportif mendukung gerakan pembelaan hak-hak perempuan. Dalam konteks Indonesia, sebutlah nama Arief Budiman, Mansour Fakih, Nasaruddin Umar, dan lain-lain yang membuat istilah ‘gender’ menjadi akrab di telinga masyarakat Indonesia. Penerimaan konsep kesetaraan gender di Indonesia, juga dibantu oleh hadirnya tokoh-tokoh feminis muslim dunia baik yang perempuan seperti Riffat Hassan, Fatima Mernissi, maupun laki-laki seperti Asghar Ali Engineer, Abdullah an-Naim, Nasr Hamid Abu Zaid, dan lain-lain. Gerakan perempuan Indonesia memang perlu sangat bersyukur dengan situasi ini. Namun, di sisi lain kadang-kadang kembali terpaksa menelan pil pahit saat beberapa nama aktivisnya justru menjadi pelaku kekerasan berbasis gender seperti yang telah disebutkan di atas. Situasi ini membuat gerakan perempuan seperti terbelah sikapnya. Menurut Jackie Viemilawati dari Yayasan Pulih, sebagian yang setuju menerima kehadiran laki-laki karena berpandangan bahwa sesungguhnya kesetaraan gender adalah tujuan bersama, dan harus diperjuangkan bersama baik oleh perempuan maupun laki-laki. Sementara, yang tidak setuju mengedepankan argumen bahwa laki-laki tidak bisa menjadi feminis karena pengalaman terkait ketubuhan yang berbeda antara perempuan

10

Swara Rahima

Senada dengan penjelasan Jackie di atas, Nur Iman Subono menyatakan bahwa ia termasuk orang yang berkeberatan dengan penggunaan istilah “laki-laki feminis”. Hal ini karena banyak pengalaman pribadi perempuan maupun eksistensinya yang tidak bisa diadopsi oleh laki-laki. Misalnya seperti mens–truasi, mengandung, menyusui, meskipun secara sadar dapat dinalar oleh laki-laki, namun mereka tidak akan pernah bisa mengalaminya sendiri. Selain itu karena berbagai bentuk tindakan opresif yang dialami oleh perempuan, seringkali tidak bisa dihayati oleh laki-laki. Oleh karenanya, ia memperkenalkan istilah ‘laki-laki pro feminis’, yang menghayati bahwa sesungguhnya kekerasan bukanlah givendari Allah tetapi merupakan sesuatu yang dipelajari, oleh karenanya mereka bisa berubah. Dan untuk itu diperlukan empati, male af firmation (keyakinan kuat bahwa mereka bisa berubah), serta komitmen yang kuat untuk memegang teguh nilai-nilai kesetaraan dan keadilan gender dan anti kekerasan. Selain kedua konsep tersebut, menurutnya ada juga yang menggunakan istilah ‘meninist’ yang sebenarnya perbedaan maknanya tidak terlalu signifikan, karena hanya mengadopsi istilah ‘feminist’ yang aktor utamanya adalah kaum perempuan dan karena berjenis kelamin laki-laki mereka disebut ‘meninist”.5

Urgensi Pelibatan Laki-laki dalam Penghapusan Kekerasan Mengapa laki-laki perlu terlibat dalam upaya penghapusan KBG? Setidaknya, ada 2 alasan utama mengenai urgensi keterlibatan mereka. Pertama, Laki-laki perlu dilibatkan karena mayoritas (90%) pelaku kekerasan berbasis gender adalah laki-laki, dan laki-laki yang bukan pelaku kekerasan seringkali memilih menjadi silent majority. Kedua, bila selama ini dalam penanganan kekerasan berbasis gender yang dilihat hanya korban, saatnya laki-laki dilibatkan untuk menyadarkan bahwa apa yang mereka lakukan merugikan dan membahayakan orang lain dan mereka perlu untuk mengubah perilaku mereka.6

No 52 Th. XVII NOV 2017


Fokus Melalui pelibatan laki-laki setidaknya ada 2 kontribusi yang diharapkan. Pertama, mengurangi kekerasan terhadap perempuan dan anak; karena sekarang mereka menjadi bagian yang menentang (tindak kekerasan). Kedua, ada kesadaran masyarakat bahwa nilai-nilai yang selama ini mengagungkan hegemoni maskulin yang tidak ramah gender itu adalah tidak benar. Upaya pelibatan laki-laki ini dilakukan melalui 3 langkah. Pertama, komunikasi. Kedua, informasi. Dan ketiga terlibat langsung. Selain itu, untuk mencegah hadirnya priviledge baru berkaitan dengan kehadiran gerakan pelibatan laki-laki, sejak awal mereka memilih bahwa gerakan ini bukanlah organisasi tersendiri. Selain itu, ada beberapa kode etik yang perlu mereka ikuti seperti Pertama-tama, harus diletakkan bahwa dia adalah bagian dari gerakan perempuan. Yang kedua, sifat gerakan itu bukan leading, dia supporting. Yang ketiga, yang lebih penting memang harus ada proses seleksi dan tidak asal masuk namun mempertahankan sifat macho dan patriarkhinya. Karena pemikirannya dia tidak boleh leading dan harus supporting, dan dia menjadi bagian dari gerakan perempuan sejatinya adalah untuk menguji tentang priviledge laki-laki itu. Ia harus melakukan ‘bunuh diri kelas’ dimana selama ini dia diuntungkan oleh patriarkhi ini. Setidaknya, dalam kurun waktu 10 tahun terakhir ini kehadiran gerakan laki-laki pro feminis semakin marak. Sejumlah program pelibatan laki-laki pun mulai dilakukan. Program-program tersebut di antaranya adalah Men Care dan Prevention+ yang dilakukan oleh Rutgers WPF, Male Involvement (dan belakangan bernama Male Engangement) milik Badan PBB untuk Dana Kependudukan (UNFPA), He for She yang gencar dipromosikan oleh Badan PBB untuk Perempuan (UN Women), dan beberapa program lain seperti MASVAV, Promundo, Sonke, dll. Pelibatan laki-laki pada dasarnya dilakukan untuk mendorong mereka mengambil peran aktif dalam menghentikan kekerasan terhadap perempuan dengan cara mengartikan ulang arti ‘maskulinitas’ dan peran keayahan (fatherhood).7 Men Care sendiri merupakan sebuah gerakan kampanye global mengenai peran ayah yang aktif di

No 52 Th. XVII NOV 2017

lebih dari 40 negara. Misi gerakan ini adalah untuk mengkampanyekan keterlibatan laki-laki sebagai pasangan yang setara, ayah yang tidak melakukan kekerasan dan terlibat dalam pengasuhan, dalam rangka mencapai kesejahteraan keluarga, kesetaraan gender, dan kualitas kesehatan yang lebih baik bagi ibu, ayah, dan anak-anak. 8 Sementara, kampanye global He For She yang dibentuk oleh UN Women ditujukan untuk meningkatkan peran laki-laki menuju kesetaraan gender dan mengakhiri kekerasan terhadap perempuan dan anak.9 Adapun Promundo yang mendefinisikan dirinya sebagai pemimpin global dalam mempromosikan keadilan gender dan pencegahan kekerasan dengan melibatkan laki-laki dewasa dan anak laki-laki untuk bekerja sama dengan perempuan dewasa dan anak perempuan. Promundo bertujuan untuk mencegah kekerasan berbasis gender dan kekerasan terhadap anak dengan cara mengubah norma-norma yang membahayakan yang melanggengkan praktik-praktik ini. Mereka membangun praktik-praktik terbaik mengenai pelibatan laki-laki dalam pencegahan kekerasan berbasis gender dan seksualitas, dan telah berkontribusi menyebarluaskan hasil penelitian dan mengembangkan program-program serta kampanye untuk mempromosikan sikap dan perilaku anti kekerasan yang dikaitkan dengan dengan jenis kelamin. Promundo juga mempromosikan keterlibatan laki-laki dan peran ayah dalam pengasuhan untuk mendukung peran gender yang setara, mencegah kekerasan terhadap perempuan dan anak, serta berkontribusi positif pada peningkatan kesehatan ibu dan anak.10 Selain beberapa contoh di atas, ada juga White Ribbon Campaign (WRC) sebuah gerakan global yang dilakukan oleh laki-laki dewasa dan remaja laki-laki untuk mengakhiri kekerasan terhadap perempuan dan anak perempuan. Kampanye yang dilakukan oleh gerakan yang lahir di London, Ontario tahun 1991 ini ditujukan untuk membangun kesadaran tentang prevalensi laki-laki sebagai pelaku kekerasan terhadap perempuan dan menggunakan simbol pita putih untuk menyatakan bahwa kesadaran tentang pentingnya mengakhiri kekerasan ada di tangan mereka. Gerakan yang aktif di lebih dari 60 negara ini mencari dan mempromosikan

Swara Rahima

11


Fokus pentingnya relasi yang sehat, kesetaraan gender, dan visi maskulinitas yang lebih bersifat menyayangi.11 Juga Men’s Action to Stop Violence Against Women (MASVAW) sebuah Aliansi laki-laki dan organisasi-organisasi yang bekerja dalam isu gender yang berkomitmen untuk bereaksi atas tindak kekerasan dan mengurangi terjadinya kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan. Melalui pendekatan kultural dan kampanye untuk advokasi, MASVAW melakukan menyadaran dan melakukan rekruitmen anggota-anggota baru yang bersungguh-sungguh akan bekerja untuk perubahan relasi gender secara kelembagaan. MASVAW, utamanya aktif melakukan kerjanya di negara bagian Uttar Pradesh, India.12 Selain itu ada juga Sonke, sebuah organisasi non pemerintah di Afrika Selatan yang didirikan pada tahun 2006 yang memiliki visi untuk menciptakan dunia dimana laki-laki, perempuan, dan anak-anak bisa menikmati hak-hak dan hubungan yang bahagia dan dan setara yang berkontribusi pada masyarakat yang adil dan demokratis. Kini Sonke menjadi wakil koordinator dari Men Engage Alliance dan menyebarluaskan prinisip-prinsip keterlibatan laki-laki dalam kerja-kerja yang adil dan setara gender. 13

Di Indonesia sendiri, beberapa tahun yang lalu telah dideklarasikan Aliansi Laki-laki Baru (ALLB) salah satu kelompok laki-laki pro-feminis yang aktif terlibat dalam gerakan untuk keadilan gender dan penghapusan kekerasan terhadap perempuan di Indonesia. Gerakan yang tumbuh dari gerakan perempuan ini lahir di penghujung tahun 2009 dan diinisiasi oleh beberapa aktivis laki-laki dan perempuan dalam sebuah pertemuan kecil di kota kembang Bandung. Kehadirannya didorong oleh keinginan kuat untuk mengubah patriarki sebagai sistem dan laki-laki sebagai kelompok yang dianggap paling bertanggung jawab atas penderitaan yang ditanggung oleh perempuan di masyarakat, mulai dari diskriminasi sampai tindakan kekerasan.14

2004). GSI diperlukan karena target penurunan AKI merupakan komitmen nasional dan internasional serta merupakan salah satu indikator keberhasilan pembangunan kesehatan di Pusat maupun Daerah (Depkes RI, 2003).15

Revitalisasi Peran Ayah dan Membangun Maskulinitas Positif Salah satu ikhtiar yang dilakukan dalam membangun kepedulian laki-laki dalam mencegah kekerasan berbasis gender ini adalah revitalisasi peran ayah dan optimalisasi mereka dalam pengasuhan. Mengapa pengasuhan dipandang sebagai strategi yang efektif untuk mencegah kekerasan berbasis gender? Karena sebenarnya, pada titik inilah seseorang bisa membangun kerjasama dalam urusan domestik, terutama bekerjasama dengan istri untuk terlibat dalam proses pengasuhan. Mengutip Jackie, melalui pelibatan figur ayah dalam pengasuhan, sebenarnya kita juga melakukan dekonstruksi atas stereotipe gender yang melihat pengasuhan dilekatkan dengan tugas perempuan. Laki-laki yang terlibat dalam pengasuhan, mengambil peranan sebagai seorang ayah yang kehadirannya dibutuhkan oleh putra-putri mereka dan menjadi sosok yang mendukung pasangannya.16Melalui peran ini, dia bisa menjadi agen perubahan yang melalui peran ini upaya transformasi gender bisa terjadi. Menghadirkan sosok ayah yang baik dalam diri laki-laki, membuat dirinya merasa dihargai dan memungkinkannya mengembangkan sikap-sikap maskulinitas positif. Sebagaimana juga

sasi Revitali ah y Peran A

Sesungguhnya, jauh sebelumnya upaya pelibatan laki-laki juga telah terjadi. Namun, hal ini masih belum bisa dilihat sebagai upaya spesifik untuk mencegah praktik kekerasan berbasis gender. Untuk meningkatkan kepedulian suami terhadap ibu hamil, bersalin dan nifas terutama meningkatkan kesadaran suami tentang pentingnya keterlibatan dan dukungan dalam kehamilan istrinya, maka pemerintah membuat program Gerakan Sayang Ibu (GSI) dengan pengorganisasian Suami Siaga (Kementerian Pemberdayaan Perempuan RI,

12

Swara Rahima

No 52 Th. XVII NOV 2017


Fokus yang dituturkan oleh Wawan Suwandi, kehadiran Ayah penting dalam proses tumbuh kembang dan penguatan mental anak. Keberadaannya di sisi sang anak, membantu membuat dirinya melakukan perubahan atas pola asuh bias gender yang dirasakannya semasa kecil. Selain itu, di samping merasakan kualitas kebersamaan dalam interaksinya dengan anak-anak, peran pengasuhan ini setidaknya telah menyelamatkan dirinya sehingga tidak menjadi “monster bagi kaum perempuan, pasangan, dan anak”.17 Program Prevention+ di Indonesia yang didukung oleh Rutgers WPF dilakukan di komunitas oleh Rifka Annisa di Yogyakarta, Lembaga Advokasi Perempuan DAMAR di Lampung, serta melibatkan penguatan perspektif psikososial dari Yayasan Pulih, perspektif Islam, gender dan hak-hak perempuan dari Rahima, dan perspektif pelibatan laki-laki dari Aliansi Laki-laki Baru (ALLB). Program Prevention+ ini berupaya menggunakan kerangka ekologis untuk melihat perubahan yang terjadi di ranah personal (individual), di ranah institusional baik di keluarga maupun lembaga-lembaga pemerintah mulai dari pemerintahan di tingkat desa maupun instansi-instansi terkait, serta perubahan di ranah organisasi maupun komunitas. Di tingkat komunitas, upaya perubahan dilakukan melalui serangkaian aktivitas-aktivitas diskusi yang dirancang dalam modul diskusi untuk 4 kelompok.Yakni kelompok ayah, kelompok ibu, kelompok remaja laki-laki dan kelompok remaja perempuan. Di dalam keempat modul tadi, para peserta diskusi diajak untuk merefleksikan realitas sosial mereka terkait dengan identitas diri, model pengasuhan, peran jenis kelamin melalui identifikasi dan refleksi mereka atas peran ayah dan peran ibu, pembagian kerja secara seksual yang lazim terjadi di masyarakat, dan untuk mengenali kekerasan berbasis gender dan cara mengatasinya, di antaranya soal Bullying dan Anger Management (manajemen marah). Selain modul-modul ini diupayakan untuk diterapkan di komunitas, upaya untuk menggalakkan konseling bagi pelaku kekerasan dan menggandeng tokoh agama setempat maupun instansi Kantor Urusan Agama (KUA) juga dilakukan sehingga kekerasan berbasis gender dapat dicegah dan diatasi semenjak dini. Program ini dijalankan melalui konsep yang disebut dengan Gender Transformative Approach (GTA). 18 Pendekatan transformasi gender ini juga diterapkan dalam program-program Men’s Engagementnya UNFPA di Indonesia. Program-programnya

No 52 Th. XVII NOV 2017

menyasar pada dinamika kelembagaan, sosial, dan kultural yang mempengaruhi perilaku dan kerentanan perempuan dan laki-laki dalam masyarakat Indonesia. Bagian penting dari pendekatan ini adalah pelibatan laki-laki dewasa dan anak laki-laki dalam mendukung kesetaraan gender dan memberi perhatian untuk mengubah bentuk-bentuk negatif maskulinitas yang mendorong hadirnya kekerasan dan konflik. Pendekatan yang digunakan merujuk pada resolusi Komisi Kependudukan dan Pembangunan pada Manusia Dewasa dan Remaja pada sesi ke-45 April 2012 yang menyatakan bahwa pemerintah harus mengambil tindakan untuk mendorong anak-laki-laki dan kelompok lelaki dewasa muda untuk berpartisipasi secara penuh terhadap semua kegiatan yang mendukung kesetaraan gender. Oleh karenanya, UNFPA Indonesia telah

Kekerasan bukanlah ‘given’. Kekerasan bukanlah kodrat dari Tuhan, namun kekerasan dipelajari dari situasi sosial budaya kita yang sarat dengan nilai patriarkhi.

membuat dan pendukung hadirnya platform untuk mengubah perilaku dan praktik-praktik membahayakan yang terkait dengan tipe-tipe maskulinitas. Termasuk dalam hal-hal yang berkaitan dengan kekerasan berbasis gender, HIV/AIDS, peran laki-laki dalam Keluarga Berencana (KB), penguatan peran laki-laki dalam Kesehatan Ibu, dan bekerja dengan para tokoh agama untuk mempromosikan tanggung jawab bersama sebagai orang tua dan kesehatan keluarga.19 Saat ini UNFPA dan Kemen PPPA tengah melakukan penyusunan secara bersama Kerangka Nasional Pelibatan Laki-laki. Output yang diharapkan dari proses ini adalah kerangka kerja tersebut akan menjadi panduan bagi Kementrian/ Lembaga (K/L), aktivis dan masyarakat yang akan

Swara Rahima

13


Fokus

melakukan kerja-kerja pelibatan laki-laki. Sampai saat ini beberapa inisiatif telah dilakukan oleh beberapa kelompok masyarakat, aktivis, maupun dokter dalam mendorong pelibatan laki-laki, yang salah satunya dengan pendekatan kesehatan reproduksi. UNFPA juga telah melatih fasilitator pencegahan kekerasan atau the Parters for Prevention (P4P) di 2 desa di Papua untuk percontohan Violence Free Villages (VFV).20 Melalui berbagai upaya ini, diharapkan kesadaran mengenai konstruksi patriarkhi dan bagaimana mengubahnya melalui joint parenting antara ayah dan ibu dan ide tentang pengasuhan oleh ayah dengan nilai-nilai yang nir kekerasan, dapat merubah pola didik yang patriarkhis dan pelanggengan nilai-nilai kekerasan yang selama ini banyak terjadi.

Islam dan Pesan Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan Berangkat dari berbagai penuturan di atas maupun berbagai forum diskusi yang telah kita lalui bersama, kita bisa mengambil kesimpulan bahwa kekerasan bukanlah ‘given’. Kekerasan bukanlah kodrat dari Tuhan, namun ia dipelajari dari situasi sosial budaya kita yang sarat dengan nilai patriarkhi. Selama ini laki-laki telah diajarkan bahwa menjadi pelaku kekerasan adalah sah, dan perempuan diajarkan untuk menerima apapun bentuk kekerasan yang dia alami dia harus pasrah menerimanya. Mulai saat ini, mari kita tegaskan bahwa apa yang kita pelajari itu salah. Laki-laki menjadi selalu menjadi pelaku, dan perempuan selalu menjadi korban, bukanlah sesuatu yang harus kita lestarikan. Kita juga tidak akan mengubahnya sehingga relasi yang timpang ini menjadi terbalik keadaannya. Pesan-pesan universal Islam seperti kesetaraan kedudukan manusia (lelaki dan perempuan) semestinya menjadi kesadaran utama, sebab derajat seseorang diukur hanyalah berdasarkan

14

Swara Rahima

ketaqwaannya, bukan jenis kelaminnya. Oleh karenanya, di dalam Islam perempuan mendapatkan perlakuan yang mulia. Penyebutan “Ibumu, ibumu, ibumu (sebanyak 3 kali), baru kemudian ayahmu” saat Rasulullah mendapatkan pertanyaan dari salah seorang sahabat tentang kepada beliau tentang siapa yang layak untuk terlebih dahulu mendapatkan penghormatan, selayaknya mesti dipahami tidak untuk melanggengkan stereotipe perempuan. Namun lebih karena peran strategisnya selama ini, tidak saja karena tugas regenerasi yang hadir melalui rahimnya, namun karena secara sosial dia banyak memainkan peran sebagai sumber pendidikan pertama (madrasah al-ula). Dalam konteks peran ayah dalam pengasuhan anak (parenting) sejatinya, dalam Alquran juga telah dinarasikan dengan baik kisah Luqman dengan anaknya. Dimana Luqman mengajarkan pada anaknya tentang prinsip-prinsip ber-tauhid (meng-Esa-kan Tuhan), etika berinteraksi sebagai khalifah di muka bumi dimana seseorang dilarang mengembangkan sikap sombong dan menepuk dada, larangan mengatakan “ah” pada orang tua, terutama pada Ibu yang telah mengandung dalam keadaan yang lemah dan bertambah lemah, semestinya tidak saja dipahami sebagai perintah untuk berbakti kepada orang tua, namun juga untuk menghargai peran-peran reproduktif perempuan yang selama ini diabaikan, dan tidak menanamkan sikap permisif terhadap kekerasan, termasuk di dalamnya kekerasan verbal yang hadir lewat kata-kata kasar.21 Dalam salah satu kisah, disebutkan pula bahwa seorang perempuan datang kepada Nabi Muhammad saw. sambil membawa anaknya yang masih bayi. Rasulullah lalu menggendongnya, namun tak berapa lama si bayi pipis di pangkuan Baginda Rasul. Si Ibu bergegas hendak merenggutnya, namun Rasulullah melarangnya seraya berkata padanya “Najis bekas air kencing bayi ini masih bisa dibersihkan. Namun, perlakuan kasarmu padanya akan membekas sepanjang hidupnya.” Kisah ini mengajarkan pada kita agar kita tidak melakukan kekerasan terhadap anak, karena mereka belajar kekerasan dari perilaku orang dewasa yang ada di sekelilingnya. Dalam hadis lain, Nabi juga melarang untuk melakukan tindak kekerasan seperti memukul kaum perempuan. ”Laa tadhribuu imaa-a Allah” (”Janganlah kamu pukul perempuan-perempuan hamba Allah.”) yang popular sebagaimana disebutkan dalam hadis No. 2148 Kitab HR.Sunan Abu Dawud, menyiratkan pesan agar kaum muslimin tidak melakukan KDRT. 22

No 52 Th. XVII NOV 2017


Fokus Dengan mengoptimalkan peran ayah untuk bekerjasama dengan Ibu dalam mengasuh dan mendidik anak serta berbagai peran secara adil berdasarkan kesepakatan bersama dalam mengelola urusan rumah tangga, dan menggali narasi-narasi tentang maskulinitas positif untuk diterapkan dalam kehidupan keseharian, insyaallah upaya membangun relasi adil gender dan mencegah kekerasan berbasis gender sejak dini bisa diterapkan. Bila dunia yang sarat dengan kekerasan akibat budaya patriarkhi ini adalah konstruksi

sosial yang dibangun manusia, maka sejak saat itu pula kita harus bertekad untuk mengubahnya. Sebab, dunia yang adil, setara, damai, dan nir kekerasan, tentu harapan kita semua. Sekedar untuk bahan refleksi, sepertinya kita mesti merenungkan kembali makna hadis yang diriwayatkan oleh Ali bin Abi Thalib ini, “Tidak memuliakan perempuan kecuali orang yang mulia. Dan tidak menghinakan perempuan kecuali orang yang hina.” Jadi, termasuk kategori yang manakah Anda? AD.Kusumaningtyas

ENDNOTE 1   Catatan Belakang Lihat dalam CFLI Recipient End of the Project Report 2016, atas hasil program “Training of Islamic Religious Leaders (Male Ulemas) on Women's rights with a View to PromotingMessages about Gender Equality and Stop Gender Based Violence within Their Congregations” kerjasama Rahima-CFLI di Banten 2015. 2    Lihat laporan evaluasi dan refleksi atas program Pendidikan Ulama Laki-laki (PUL) Angkatan I di Jawa Barat, kerjasama antara Rahima dengan Kedutaan Inggris tahun 2013-2014. 3    Kisah selengkapnya mengenai sejarah berdirinya Rahima, dapat dilihat dari tulisan Helmy Ali, The Rahima Story, penerbit Rahima, 2010. Sengaja, nama pelaku tidak disebut. Untuk menghindari tuduhan ghibah (bila terbukti benar) ataupun fitnah (bila informasi ini tidak benar) : sungguhpun fakta tentang hal ini -berpoligami- telah terkonfirmasi kebenarannya. 4    Lihat hasil wawancara dengan Jackie Viemilawati pada rubrik Opini yang berjudul “Laki-laki Perlu Dilibatkan dalam Upaya Transformasi Gender” pada Swara Rahima edisi 52 September 2017. 5    Lihat hasil wawancara dengan Nur Iman Subono

No 52 Th. XVII NOV 2017

pada rubrik Opini yang berjudul “Laki-laki Pro Feminis Harus Menjadi Kesadaran Mainstream” pada Swara Rahima edisi 52 September 2017. 6    Lihat kembali wawancara dengan Nur Iman Subono “Laki-laki Pro Feminis Harus Menjadi Kesadaran Mainstream”. 7    Lihat tulisan Magdalene “Pelibatan Laki-laki dalam Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan” sebagaimana termaktub dalam situs http://magdalene.co/ news-1034-pelibatan-lakilaki-dalam-penghapusan-kekerasan-terhadap-perempuan. html 8    Lihat dalam tulisan berjudul About MenCare, dalam Men Care : A Fatherhood Global Campaign, sebagaimana dikutip dari situs http://men-care.org/about-mencare/) 9    Lihat dalam tulisan berjudul Ini Alasan Indonesia Bisa Jadi Duta Kampanye "He For She" (Liputan 6, 3 Desember 2016), sebagaimana dikutip dari situs http://news.liputan6.com/ read/2686467/ini-alasan-indonesia-bisa-jadi-duta-kampanye-he-for-she 10   Lihat dalam Our Work dan Fatherhood and Care Giving dalam situs Promundo yang beralamat di http://promundoglobal.org/

work/?program=fatherhood-and-caregiving

rubrik Refleksi Swara Rahima edisi 52 September 2017

11    Lihat dalam tulisan mengenai White Ribbon Campaign sebagaimana dimuat dalam situs https://en.wikipedia.org/wiki/White_Ribbon_ Campaign

18    Disarikan dari berbagai informasi yang didapat dari refleksi atas kegiatan-kegiatan pelatihan, penyusunan modul, coaching clinic, dan partner meeting baik yang diselenggarakan di Jakarta dan Yogyakarta tahun 2016-2017.

12    Lihat tulisan berjudul Men's Action for Stopping Violence Against Women (MASVAW) dalam situs http://www.chsj.org/masvaw. html 13    Lihat dalam situs http:// www.genderjustice.org.za/ about-us/about-sonke/ 14    Lihat penjelasan mengenai Aliansi Laki-laki Baru dalam situs website http:// lakilakibaru.or.id/tentang-kami/ 15    Lihat dalam situs http:// digilib.unimus.ac.id/files/ disk1/121/jtptunimus-gdl-nurulhiday-6011-1-babi.pdf 16    Lihat kembali hasil wawancara dengan Jackie Viemilawati pada rubrik Opini yang berjudul “Lakilaki Perlu Dilibatkan dalam Upaya Transformasi Gender” pada Swara Rahima edisi 52 September 2017. 17    Lihat tulisan Wawan Suwandi “Belajar Menjadi Laki-laki dari Ketidakadilan yang Dialami Perempuan”, sebagaimana termaktub dalam

19    Lihat dalam Men’s Engagement : strengthening understanding, capacity and policy to transform inequality and unhealthy gender attitudes and norms, UNFPA, Jakarta. Informasi lebih detail bisa didapatkan melalui kontak dengan Risya Ariyani Kori, NPO Gender Equality (kori@ unfpa.org) dan Nur Aisyah Usman, Male Involvement Officer (usma@unfpa.org) 20    Disarikan dari keterangan Sri Wahyuni, NPO Gender UNFPA Indonesia, 1 November 2017. 21    Pesan selengkapnya dari Nasihat Luqman ini, silakan dibuka Kitab Alquran berikut terjemahannya pada QS.Luqman 13-19. 22    Selengkapnya, lihat tulisan Nur Achmad MA, Kehidupan Rumah Tangga tanpa Kekerasan, dalam rubrik Dirasah Hadis Edisi ke 52 ini.

Swara Rahima

15


Opini

Nur Iman Subono:

“ Laki-laki Pro Feminis � Harus Menjadi Kesadaran Mainstream

N

arasumber kita kali ini adalah Nur Iman Subono, yang lahir di Bandung, 4 Januari 1960, Staf Pengajar Ilmu Politik FISIP UI dan Program Pascasarjana Pusat Kajian Gender UI. Mas Boni, demikian panggilan akrabnya adalah sarjana alumnus Departemen Ilmu Politik, FISIP UI (1987), yang selanjutnya mendapatkan gelar Masternya di dua tempat, yakni Departemen Pemerintahan dan Politik, Universidad de Guadalajara, Guadalajara, Meksiko (MSc., 2004) dan Departmen Filsafat, FIB UI (M.Hum, 2006). Peraih gelar Doktor Ilmu Politik, FISIP UI (2014) yang merupakan salah satu anggota Dewan Redaksi Jurnal Perempuan ini, banyak bergiat di beberapa penerbitan dan aktivitas tulis menulis. Berikut wawancara Redaksi Swara Rahima dengan salah seorang ‘laki-laki pro-feminis’ yang juga banyak berkecimpung dalam Aliansi Laki-laki Baru (ALB) ini.

16

Swara Rahima

M

engapa laki-laki perlu dilibatkan dalam berbagai upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan?

Sebetulnya banyak jawaban, namun pertama, jawaban yang paling kelihatan bila kita melihat data-data yang dikeluarkan oleh Komnas Perempuan atau lembaga-lembaga lainnya, jumlah kekerasan berbasis gender itu meningkat khususnya terhadap perempuan dan anak. Hampir 90% pelakunya atau mayoritas pelakunya adalah laki-laki, walaupun tentu tidak semua laki-laki. Banyak laki-laki yang juga tidak suka melakukan kekerasan, tetapi masalahnya mereka menjadi silent majority yang berpikir yang penting saya tidak ikutan. Nah, itu nggak bisa dipertahankan lagi, karena laki-laki harus punya tanggung jawab moral mengingat banyak laki-laki yang menjadi pelaku kekerasan terhadap perempuan. Oleh karenanya, mereka perlu dilibatkan. Yang kedua, selama ini bila kita berbicara kekerasan berbasis gender yang dilihat hanya korban saja; yaitu perempuan dan anak. Kini sudah saatnya para pelaku atau laki-laki yang bukan pelaku dilibatkan, karena perlu ada penyadaran bagi mereka bahwa apa yang dilakukan itu membahayakan, bisa merugikan orang lain dan bisa menciptakan trauma semur hidup.

Bagaimana cara pelibatannya? Ada beberapa step yang saya baca dari berbagai literatur dan dari pelibatan kawan-kawan. Pertama, komunikasi. Seringkali laki-laki yang pada umumnya berasal dari masyarakat patriarkhal, mendengarkan cerita-cerita yang seperti ini mereka tidak

No 52 Th. XVII NOV 2017


Opini

mau terlibat. Padahal komunikasi itu perlu, karena berkaitan dengan mereka harus mendengar. Bila selama ini stereotipnya laki-laki banyak bicara, maka kini saatnya mereka harus banyak mendengar, terutama pada hal-hal sifatnya privat bukan publik. Mengingat semua kejadian itu di dunia privat, di dunia domestik. Seringkali stereotip yang ada di kepala mereka ‘itu kan persoalan domestik, saya di publik’. Sekarang tidak bisa lagi dikotomi semacam itu dipertahankan. Kedua, mencari informasi. Jadi, komunikasi, mendengar, dan mencari informasi itu penting. Ketiga, yang penting adalah terlibat. Terlibat itu bisa bermacam-macam. Selama ini saya lihat pertama, keterlibatan itu seringkali sifatnya adalah individual, padahal semestinya itu harusnya bersifat gerakan. Yang kedua biasanya keterlibatan itu terkait dengan profesi. Misalnya dia seorang lawyer, seorang dokter, dan aktivis HAM. Seharusnya tidak seperti itu, karena semestinya itu menjadi gerakan masyarakat. Dan yang terakhir, seringkali keterlibatannya pada event-event tertentu saja. Hari Perempuan Internasional, Hari Anak, dll. Karena itu bukan side-job, maka seharusnya menjadi komitmen penuh. Tidak bisa hit and run.

Mengenai hadirnya laki-laki di gerakan perempuan, tidakkah hal ini nantinya menyebabkan hadirnya ‘privilege baru’ laki-laki di gerakan perempuan? Memang harus dijelaskan sejak awal, bahwa gerakan yang dipilih oleh laki-laki -dalam hal ini saya dan kawan-kawan yang concern dengan inibukanlah organisasi yang tersendiri. Pertama-tama, harus diletakkan bahwa dia adalah bagian dari gerakan perempuan. Yang kedua, sifat gerakan itu bukan leading, dia supporting. Yang ketiga, yang lebih penting memang harus ada proses seleksi. Jangan-jangan seseorang masuk ke dalam gerakan tetapi macho-nya tetap ada, patriarkhinya tetap ada. Justru pemikirannya dia tidak boleh leading, dia harus supporting, dan dia menjadi bagian dari gerakan perempuan adalah untuk menguji priviledge laki-laki itu. Istilah kerennya ‘bunuh diri kelas’, dia harus membunuh hal hal yang sebenarnya dia diuntungkan oleh patriarkhi itu. Dia harus bisa. Dan sejak awal itu harus dibicarakan. Jadi, bukan organisasi tersendiri, karena kaitannya nanti akan jauh juga, misalnya dalam hal pendanaan. Jika jadinya akan ada dua organisasi yang punya concern sama, nantinya itu jadi jelek, yang

No 52 Th. XVII NOV 2017

ada, ribut. Jadi, gerakan teman-teman laki-laki itu menjadi bagian dari gerakan perempuan. Setiap keputusan yang diambil harus melibatkan teman-teman perempuan. Itu penting sekali.

Seberapa signifikan upaya ini dapat mengurangi terjadinya kekerasan berbasis gender, terutama kekerasan terhadap perempuan dan anak? Memang belum ada riset, saya sendiri tidak berani berspekulasi ada dampaknya atau tidak. Akan tetapi kalau kita coba lakukan perbandingan dengan beberapa negara tetangga, sebetulnya ide ini pun kita agak terlambat. Teman-teman Thailand, Singapura, Philipina terutama, bahkan Kamboja sudah cukup massif. Jadi saya belum berani mengambil kesimpulan. Namun, dalam pandangan saya, kalau ini menjadi mainstream tentu akan menjadi lebih baik, mengingat para pelaku akan berpikir dua kali bila hal tersebut menjadi ide-ide mainstream. Seperti dulu istilah ‘gender’ ini kan pinggiran, sekarang menjadi mainstream. Orang (terutama pejabat publik) tidak merasa keren bila belum mengutip istilah gender. Dan saya ingin gerakan ini juga menjadi mainstream buat teman-teman laki-laki, baik di tingkat komunitas, di kalangan akademisi, bahkan di sekolah-sekolah.

Seberapa besar berbagai upaya ini dapat mengurangi kemungkinan potensi laki-laki untuk menjadi pelaku kekerasan terhadap perempuan? Sebetulnya idenya begini, karena seringkali kasus-kasus begini tidak terjangkau hukum, atau karena hukumnya belum ramah gender dan para aparatnya belum ramah gender, maka kita perlu bermain di sisi yang lain sambil memperbaiki undang-undang atau orang-orangnya. Itu yang kita sebut dengan collective action. Collective action ini sangat berkait dengan sanksi sosial. Para pelaku akan mendapatkan sanksi sosial yang sangat berat dari komunitasnya. Dan sanksi sosial itu lebih mempunyai dampak daripada sekedar pelaku di hukum atau di penjara atau apa. Kedua, kita tetap mendorong kepastian hukum dijalankan dengan UU PKDRT. Kita berharap UU itu akan mengurangi kekerasan, sebab pelaku tentu akan berpikir dua kali apabila dia diekspose besar-besaran sebagai pelaku, walaupun secara hukum dia bisa selamat. Dan itu semacam membentengi pelaku (termasuk saya sendiri, bisa saya kan?

Swara Rahima

17


Opini

karena saya manusia biasa. Mungkin saja saya lagi emosi atau apa) untuk berpikir ulang sehingga tidak melakukan tindak kekerasan baik yang sifatnya psikologis, fisik atau psikis, atau bahkan kekerasan ekonomi. Kekerasan ekonomi seringkali lebih gila sebab seseorang berusaha menghalang-halangi perempuan untuk mendapatkan akses ekonomi atau mandiri secara ekonomi.

Bagaimana refleksi anda tentang penerapan UU PKDRT? Bila saya perhatikan UU PKDRT No. 23 tahun 2004 ini banyak tidak dipakai oleh Pengadilan. Ketika saya pergi ke Yogya dan beberapa daerah, mereka kebanyakan masih pakai KUHAP yang lama. Mungkin karena banyak hakim yang malas atau apa. Walaupun UU PKDRT ini belum sempurna, tapi di situ kan ada dicantumkan bahwa pelaku itu tidak hanya dihukum, tapi dia juga diminta untuk mengikuti konseling. Saya pikir itu sudah lebih maju. Nah, kalau ada perubahan UU PKRDT ini, harapannya nanti isinya bisa lebih maju lagi.

Menurut Anda, adakah konsep “laki-laki feminis” itu? Bagaimana turunannya? Saya termasuk yang agak keberatan dengan istilah ‘laki-laki feminis’. Saya lebih menggunakan istilah ‘laki-laki pro feminis’. Ada juga yang menggunakan istilah ‘meninist’. Akan tetapi, saya merasa bahwa banyak pengalaman-pengalaman pribadi perempuan maupun eksistensinya yang tidak bisa diadopsi oleh laki-laki. Misalnya pada pengalaman-pengalaman yang paling riil seperti menstruasi, mengandung, menyusui, itu artinya adalah pengalaman-pengalaman eksistensial -yang sesadar-sadarnya ilmu pengetahuan laki-laki- belum tentu bisa, karena tidak mengalami sendiri. Demikian juga bentuk-bentuk opresif yang dialami oleh perempuan, seringkali laki-laki nggak bisa menghayati. Oleh karenanya, saya merasa lebih tepat menggunakan istilah ‘laki-laki pro feminis’. Ide-idenya adalah, dia ada empati, ada ‘male affirmation’ (artinya, harus yakin bahwa laki-laki bisa berubah), karena kekerasan bukan given, bukan taken for granted. Kekerasan bukan pemberian Allah, orang lahir ‘kamu pelaku kekerasan, kamu enggak’, bukan begitu. Tapi kekerasan adalah sesuatu yang dipelajari. Karena itu sesuatu yang dipelajari, artinya kita juga bisa mempelajari untuk tidak melakukannya.

18

Swara Rahima

Lalu ada juga yang saya sebut sebagai nilai-nilai. Yakni kita harus selalu menjadi gerakan, ide, bila ada tindakan opresif disana yang biasanya menimpa terhadap perempuan dan anak, misalnya ketidakadilan, kekerasan, kalau ada hal seperti itu, maka itu harus menjadi concern kita. Itu nilai-nilai yang kita anut. Nah, selanjutnya adalah Anti Diskriminasi. Kalau ada kekerasan terhadap siapa saja, kelompok minoritas, kelompok yang dikucilkan, itu harus menjadi bagian dari concern kita. Apa perbedaan konsep ‘laki-laki feminis’, ‘laki-laki pro feminis’ dan ‘meninist’? Kalau ‘laki-laki feminis’ itu ada satu kesadaran konsep bahwa ada laki-laki yang merasa bahwa dia bisa menjadi feminis. Padahal kita tahu bahwa ide feminis lahir dari gerakan perempuan, dengan berbagai macam variasinya. Ada feminis liberal, feminis sosialis dan lain sebagainya, tapi concern-nya tetap sama. Adanya penindasan, ada bentuk-bentuk ketidakadilan. Dan seringkali bentuk-bentuk ketidakadilan yang dialami oleh perempuan ini memang tidak dialami oleh laki-laki. Mungkin dia hanya bisa empati kepada perempuan. Tidak mungkin laki-laki mengalami apa yang bisa dialami oleh perempuan. Atau ada banyak kepentingan perempuan yang tidak bisa dipahami oleh laki-laki. Makanya saya lebih memakai istilah ‘laki-laki pro feminis’. Sementara ‘meninist’ nggak ada bedanya dengan feminis. Ini soal istilah saja, karena laki-laki maka dia istilahkan dengan ‘meninist’. Saya baca beberapa argumennya, saya kok nggak terlalu sreg. Jadi saya gunakan istilah laki-laki pro feminis. Bahkan teman-teman Yogya, Rifka Annisa misalnya, lebih menggunakan istilah ‘laki-laki pro perempuan’.

Upaya-upaya apakah yang sudah dilakukan dalam melibatkan laki-laki dalam penghapusan kekerasan terhadap perempuan maupun mengembangkan budaya yang ramah, adil, dan setara gender? Kalau kita melihat gerakan, ada dua: pendidikan dan advokasi. Pendidikan ini lebih ke kampanye. Sejauh ini saya lihat gerakan ini nuansa kampanyenya lebih kuat. Tujuannya untuk memberikan kesadaran dan pendidikan pada masyarakat bahwa hal ini yang kita lawan. Maskulinitas yang sifatnya penuh dengan kekerasan, penuh dengan kekuatan, itu yang kita lawan. Yang kita promosikan adalah maskulinitas yang lebih ramah pada perempuan, lebih respek pada perempuan dan non violence. Itu bagian dari kampanye kita. Biasanya dilakukan

No 52 Th. XVII NOV 2017


Opini

Selama ini Kekerasan berbasis gender yang dilihat hanya korban saja; yaitu perempuan dan anak. Kini sudah saatnya para pelaku atau laki-laki yang bukan pelaku dilibatkan, karena perlu ada penyadaran bagi mereka bahwa apa yang dilakukan itu membahayakan, bisa merugikan orang lain dan bisa menciptakan trauma seumur hidup. - Nur Iman Subono -

dengan ceramah, tulisan-tulisan, training, yang harapannya jadi snow-ball. Dan sebetulnya itu relatif efektif, karena banyak laki-laki yang tidak paham pada persoalan menjadi paham. Awalnya mereka nggak tahu bahwa apa yang mereka lakukan itu adalah pelecehan seksual, yang mereka lakukan itu adalah kekerasan. Melalui kampanye mereka jadi paham. Harapannya seperti yang tadi saya sebut, ia akan menjadi gerakan sosial sehingga ia meluas dan menjadi mainstream, sehingga bagi pelaku dia akan mikir dua kali, karena sanksi sosial dan collective action itu ada di depan mereka. Sedangkan di advokasi, teman-teman ini selalu menjadi bagian dari gerakan sosial. Misalnya, dalam advokasi undang-undang PKDR T, perdagangan anak, kewarganegaraan dan sekarang sedang diperjuangkan -meskipun kadang mengalami kemacetanRUU Kekerasan Seksual. Jadi advokasi itu targetnya adalah di lembaga negara, baik di eksekutif, legislatif dan yudikatif. Dan itu lebih berkaitan dengan bagaimana melakukan lobby-lobby. Sampai kita berpikir akhirnya adalah go politics. Jadi, bagaimana agar teman-teman gerakan itu ada yang di parlemen, ada yang masuk di struktur kekuasaan dengan harapan bisa memberikan kontribusi. Dua itu yang selama ini yang saya lihat. Bila pendidikan kampanye diarahkan kepada masyarakat, tetapi kalau advokasi diarahkan kepada lembaga-lembaga negara.

Bisakah diberikan contoh tentang apa yang dilakukan oleh laki-laki pro feminis di Indonesia? Sebelumnya kalau lihat apa yang dilakukan oleh teman-teman di Aliansi Laki-laki Bar u (ALLB) itu cukup banyak yang mereka lakukan. Mereka melakukan beberapa kali demo, kampanye, punya program radio, punya tulisan-tulisan di berbagai acara, dan itu harus dilihat sebagai bagian dari gerakan perempuan. Nah, sementara kalau di advokasi kita lihat keterlibatan laki-laki dalam kampanye terkait dengan UU Antipornografi, ikut demo tentang persoalan pelecehan

No 52 Th. XVII NOV 2017

Swara Rahima

19


Opini

seksual yang terjadi. Itu yang selama ini terjadi. Jadi jangan diharapkan ia menjadi organisasi tersendiri, karena itu yang sebetulnya kita tolak karena kita khawatir bahayanya. Dia harus selalu menjadi bagian dari gerakan perempuan, dia supporting staff, dan dia tidak leading. Dan di situ ada proses seleksi, karena kadang orang ikut-ikutan saja, atau bahkan para pelaku ikut di dalamnya. Nah, itu nggak bisa. Proses seleksi ada di situ. Bisa nggak dia mengatasi patriarkhi yang sebenarnya menguntungkan mereka.

Bagaimana perkembangan gerakan pelibatan laki-laki dalam penghapusan kekerasan berbasis gender di dunia? Karena kita agak terlambat, sebenarnya kita justru bisa belajar dari kesalahan yang telah dilakukan oleh beberapa negara terlebih dahulu. Saya nggak tahu banyak, tapi yang berkembang di Amerika dan di Eropa, Pertama, banyak melahirkan organisasi atau gerakan keterlibatan laki-laki dalam menentang dan menghentikan kekerasan berbasis gender. Tetapi pada saat yang bersamaan ada rivalitas, ada fragmentasi. Jadi ini juga sebetulnya memprihatinkan, karena sebenarnya kita berharap mereka menjadi gerakan yang solid tapi masing-masing gerakan ternyata punya metode, atau cara atau pemikiran seringkali tidak solid di antara mereka. Kedua, dan ini bisa dimengerti, para aktivis perempuan tidak sepenuhnya bisa menerima. Ada rasa curiga. Dan rasa curiga itu semakin muncul berkaitan dengan kegiatan yang ada di lapangan. Ternyata itu bisa bertabrakan, atau lebih jauh lagi ketika fund-raising atau melibatkan dana-dana dari funding. Itu bisa bertabrakan di sana. Jadi ini butuh ada saling percaya, karena trust-nya belum ada sepenuhnya. Itu kalau saya lihat di beberapa negara melalui google, ternyata masih ada beberapa persoalan. Kalau tadi saya cerita dari sudut perempuannya masih ada curiga, tidak setuju atau tidak percaya, di kalangan laki-laki juga tampaknya muncul persoalan itu. Ada di sebuah organisasi di AS (saya lupa namanya), dia menganggap bahwa kita ini – kasarnya sudah menyerahkan diri kita sepenuhnya tapi kok akhirnya dia (perempuan) melakukan yang kita tentang, yakni patriarkhi yang dilakukan oleh perempuan terhadap laki-laki. Ini persoalan juga. Ketiga, khususnya untuk negara-negara

20

Swara Rahima

berkembang di Asia Tenggara, memang buat masyarakat hal ini masih jauh. Kalau saya memberikan ceramah-ceramah mereka masih sering terkaget-kaget. Mereka bilang, kalau kembali ke rumah nggak deh. Dan biasanya laki-laki nggak mau datang, perempuan yang datang. Padahal kita mengharapkan laki-laki yang datang. Yang akan kita ubah kan peradaban, jadi memang nggak bisa setahun dua tahun. Makanya saya lebih concern pada generasi lebih muda. Bukan berarti yang tua-tua tidak bisa berubah, tapi potensi untuk perubahan itu lebih susah. Kalau yang lebih muda, ide-ide maskulinitas yang women friendly itu bisa lebih berkembang.

Kontribusi apa yang diharapkan melalui keikutsertaan mereka? Saya kira jelas. Pertama, mengurangi kekerasan terhadap perempuan dan anak; karena sekarang mereka menjadi bagian yang menentang. Kedua, ada kesadaran masyarakat bahwa nilai-nilai yang selama ini mengagungkan hegemoni maskulin yang tidak ramah gender itu adalah tidak benar. Itu harus kita ubah dan itu memang butuh waktu. Tentunya kontribusi itu yang paling besar kita harapkan. Kalau yang lebih konkrit, saya berharap anak-anak muda itu bangga menjadi bagian dari gerakan ini. Maskulinitas yang tawuran, maskulinitas yang penuh kekerasan seperti track-track-an motor itu bukan maskulinitas yang sehat bagi mereka. Dan mereka harus bangga dan tidak perlu malu menjadi bagian dari gerakan maskulinitas yang women friendly. Dan ketiga, lebih jauh lagi itu ia perlu menjadi bagian dari kurikulum, atau jadi ekstra kurikuler di sekolah-sekolah. Meningkatnya perundungan, saya rasa itu bagian dari persoalan juga. Sebab sedikit banyak mereka dilahirkan dalam komunitas dimana kekerasan itu tidak mendapatkan hukuman, bahkan kejantanan itu dirayakan yang seringkali merugikan perempuan dan anak. Nah, saya kira itu bisa dimunculkan melalui kurikulum sekolah atau jadi ekstra kurikuler sekolah. Kalau di negara-negara tetangga misalnya di Philipina, mereka membuat kemah bersama dengan tema “Stop Kekerasan terhadap Perempuan�. Atau di Singapura, kalangan psikolognya membangun citra laki-laki yang lebih pro-feminis itu dengan menyodorkan figur-figur respective person seperti dokter, lawyer, pengacara yang sangat sensitif gender. Kenapa laki-laki perlu

No 52 Th. XVII NOV 2017


Opini

terlibat, salah satunya adalah role model. Kalau role model-nya preman yang suka berantem ya susah. Kita menginginkan role model yang lain, yang berlawanan dari itu.

Upaya apa yang bisa dilakukan untuk menghapuskan atau setidaknya mengurangi budaya patriarki? Budaya patriarkhi itu kan peradaban, dan kita tahu bahwa itu dikonstruksi. Kalau kita tahu itu dikonstruksi, maka itu bisa didekonstruksi. Mulainya dari mana? menurut saya ini menjadi tidak terlalu penting, sebab ia bisa dimulai dari mana saja. Kalau profesi saya pengajar, saya mulai men-spread ide-ide ini ke kalangan mahasiswa saya. Kalau dia aktivis LSM, dia harus bicara ke komunitasnya. Kalau dia pejabat publik, dia harus hati-hati menggunakan kata-katanya dan sensitif menggunakan peraturan dan undang-undang yang tidak sensitif gender. Kita bisa berharap dari hal hal itu. Karena ini merupakan peradaban yang sudah berlangsung selama ratusan tahun. Di kalangan Silent majority banyak yang menganggap ya sudah memang seharusnya seperti itu. Kepada merekalah kita harus berikan penyadaran. Karena seringkali dia tidak tahu bahwa yang dia dukung itu salah.

Bagaimana upaya untuk memastikan adanya akuntabilitas pada feminis laki-laki? Ya itu tadi, kalau dia menjadi bagian dari gerakan perempuan, dia bukan organisasi sendiri. Kalau dia menjadi supporting staff dia tidak boleh leading. Dan ketiga melibatkan perempuan dalam setiap pengambilan keputusan. Nah sebenarnya, ujiannya ada di sana. Dan selanjutnya kita harus saling mengontrol. Karena biar bagaimanapun, kita nggak boleh takabur karena pada dasarnya setiap orang bisa berpotensi menjadi pelaku kekerasan, dan justru ini yang ingin kita hambat. Jadi bukan asal ada orang yang ingin terlibat, kita jadi senang. Ini harus diuji dulu. Karena ide-ide semacam ini anda bisa baca dari buku, anda bisa baca di internet. Karena pada dasarnya gerakan ini bukan kemampuan anda secara intelektual, tetapi komitmen anda secara sosial, secara individu itu lebih penting.

mau gegabah. Jangan jadikan kami sebagai musuh. Karena saya selalu menjelaskan bahwa saya ini juga punya masalah. Dan saya juga tidak senang dengan patriarkhi. Kita akan terus menguji ini, sampai terjadi seleksi alam.

Apakah keikutsertaan ini menyebabkan berkurangnya angka kekerasan berbasis gender terutama yang terjadi pada perempuan dan anak? Tadi saya bilang kita belum bisa seperti itu, karena justru laporan menunjukkan kenaikan. Kita harus kerja lebih keras lagi karena kita juga harus ingat, bahwa ini fenomena urban. Orang-orang yang terlibat kita nggak tahu di pedesaan, kita nggak tahu di kampung-kampung apakah potensi ini cukup besar karena seringkali kita bicara tentang ‘local wisdom’. Saya selalu kritis tentang hal ini; bukan berarti tidak sepenuhnya bisa menerima. Kalau ada local wisdom diberlakukan di suatu daerah, pertanyaan saya, ketika local wisdom itu diberlakukan maka perempuan ada dimana? Perempuan dilibatkan, nggak? Nah, itu yang perlu kita tahu. Jangan karena dianggap itu sudah adat lalu nggak bisa dirubah. Bagi saya itu konstruksi, bukan sesuatu yang diberikan dari Tuhan.

Apa harapan Anda dengan maraknya gerakan sosial yang melibatkan laki-laki dalam penghapusan kekerasan berbasis gender? Harapan saya, seperti halnya harapan teman-teman bahwa ini menjadi gerakan yang besar, menjadi mainstream. Menjadi lintas generasi, lintas agama, lintas etnis. Karena kekerasan kan sama saja, mau seseorang agamanya apa, kalau mau menimpa perempuan dan anak mereka harus dibela. Saya tidak pernah menanyakan agamanya apa, etnisnya apa, bahasanya apa. Jadi harapan saya ini bisa menjadi gerakan yang meluas, lintas etnis, lintas agama, lintas ras, bahkan lebih jauh lagi ia harus menjadi gerakan yang tahapnya regional. Makanya bagi saya pertemuan-pertemuan regional yang diadakan oleh beberapa lembaga dana itu menurut saya bagus sekali. AD. Kusumaningtyas

Tentang feminisme, anda bisa baca dari buku. Jago bicara Feminisme, tapi kalau sehari-hari kelakuannya lain? Demikian juga teman-teman perempuan diharapkan bisa juga menerima secara pelan-pelan, sambil terus mengkritisi. Kita juga nggak

No 52 Th. XVII NOV 2017

Swara Rahima

21


Opini

Jackie Viemilawati

Laki-Laki Perlu Dilibatkan Dalam Upaya Transformasi Gender

I

GUSTI AGUNG AYU JACKIE VIEMILAWATi, perempuan berdarah Bali-Jawa yang asyik menekuni dunianya sebagai Psikolog. Jackie, demikian nama panggilan salah satu pengelola program yang sejak tahun 2004 bergabung di Yayasan Pulih - sebuah lembaga yang bergerak dalam pendampingan psiko-sosial - ini menamatkan studi S1-nya pada Fakultas Psikologi UI (2002). Tak puas akan ilmu di S1, ia meneruskan pada jenjang S2 untuk memperdalam profesinya pada bidang Psikologi Klinis, juga di UI (tamat 2004). Tahun 2014, Jackie lulus dari mendalami bidang Antropologi Medis di School of African Studies (SOAS) bagian dari University of London di Inggris. Bersuamikan Ali Aulia, rekan seprofesinya, pasangan ini bekerjasama membesarkan putra semata wayang, Noah. Berikut hasil wawancara Swara Rahima terkait dengan pelibatan laki-laki dalam upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan.

M

enurut Anda, mengapa laki-laki penting untuk mendukung gerakan perempuan dan apa alasannya?

Kalau saya boleh flash-back sedikit tentang adanya wacana pelibatan laki-laki, itu juga terkait gerakan perempuan dalam memperjuangkan hak-hak perempuan yang merupakan hak asasi manusia. Tujuannya untuk menghapus segala bentuk diskriminasi dan kekerasan yang dialami perempuan sebagai akibat dari budaya patriarkhi, yang menempatkan perempuan sebagai kelompok nomor dua. Situasi itu akan menjadi lebih kompleks bila dilekatkan dengan status sosial perempuan lainnya, seperti usia, disabilitas, dari ekonomi yang kurang. Saat gerakan perempuan muncul, seringkali hal ini dianggap hanya isu perempuan, padahal nilai-nilai yang diperjuangkan adalah nilai-nilai kesetaraan. Bila ini yang diperjuangkan, semestinya kelompok yang termarginalkan ini bisa terakomodir karena yang mesti diotak-atik adalah konstruksi gendernya akibat dari semua hal yang dilekatkan pada perempuan itu.

22

Swara Rahima

Laki-laki sebagai makhluk sosial, sebenarnya dia juga ter-gender-kan atau mengalami ‘gender being’, mengingat sebenarnya isu gender berdampak pada manusia, baik jenis kelamin laki-laki maupun perempuan. Akan tetapi, konstruksi gender yang sedemikian rupa ini menempatkan laki-laki pada posisi lebih tinggi. Oleh karenanya, mengapa laki-laki mesti harus dilibatkan? karena dia juga manusia. Ini merupakan isu etis mengapa dia harus terlibat. Sebenarnya isu ini bukan isu perempuan saja, meskipun memang lebih banyak perempuan yang menjadi korban. Jadi menurut saya, ini isu universal manusia sehingga laki-laki ini perlu dilibatkan. Dan tujuan dari gerakan ini adalah untuk mendukung kesetaraan gender. Karena memang banyak gerakan pelibatan laki-laki, yang belum tentu tujuan utamanya adalah mendukung kesetaraan gender. Mendukung tidak sekedar mendukung, tapi dia harus menjadi bagian dan ini harus merupakan panggilan yang muncul dari dalam.

Melalui kegiatan atau aktivitas apa saja upaya-upaya itu bisa dilaksanakan? Selama ini kami menggunakan kerangka

No 52 Th. XVII NOV 2017


Opini

berpikir perubahan perilaku. Dan ini erat kaitannya dengan Teori Psikologi, bagaimana perilaku seseorang ini dibentuk, tidak sekedar dari faktor gendernya an-sich, tapi juga dari faktor sosial, bagaimana hal ini dilakukan, karena tujuannya adalah sebuah perubahan, dimana dia sendiri adalah bagian dari perubahan tersebut. Kami melihat perubahannya menggunakan layer dari pendekatan psikologi yang diintegrasikan pada 3 hal. Kalau di Ekologi, ada tingkatan individu, individu dipengaruhi oleh keluarganya, dan keluarga dipengaruhi oleh komunitas atau sistem komunitas yang berlaku, dan negara serta sistem sosial budaya yang lebih luas. Bagaimana upaya harus dilakukan sehingga perubahan itu terjadi? Ya harus menyasar pada semua level. Ada level yang harus dilakukan pada tingkat inter vensi individual, keluarga dan komunitas, dan secara makro. Idealnya, melakukan perubahan atau yang secara teori, upaya mendukung perubahan itu bisa lebih cepat bila intervensinya dilakukan di semua level. Kalau kita melihatnya dari subjeknya, laki-laki itu sendiri, kita bisa melihatnya sebagai klien atau individu, dia sebagai pasangan, dan dia sebagai agen perubahan. Dia sebagai individu misalnya ada servis yang ditujukan untuk laki-laki, jam kerjanya setara (misalnya selama ini pengasuhan dilekatkan dengan perempuan, kali ini dia dilibatkan sebagai seorang ayah yang terlibat dalam pengasuhan dan juga sebagai pasangan yang mendukung pasangannya). Dia sebagai agen perubahan, itu berada di level yang makro, mengingat di sistem kita laki-laki masih menempati posisi-posisi kunci. Agen perubahan itu bisa melakukan tugasnya di level komunitas atau di level institusi, atau di level manapun dia bisa berperan mendukung kesetaraan. Tapi, kata kuncinya di gender. Jadi tidak secara khusus membuat dikhotomi laki-laki perempuan. Jadi semua isu yang berkaitan dengan konstruksi gender. Pada dasarnya pelibatan laki-laki ini mengarah pada upaya transformasi gender.

Apa yang dimaksud dengan Pendekatan Transformasi gender ini? Pendekatan Transformasi Gender merupakan sebuah pendekatan yang seringkali dipakai sebagai sebuah pendekatan program untuk lebih kritis melihat konstruksi gender. Tidak hanya memahami demikianlah keadaannya tetapi memahami lebih dalam dampaknya apa, dan bagaimana

No 52 Th. XVII NOV 2017

perubahannya. Karena transformasi gender pada dasarnya memahami bahwa gender itu konstruksi, sehingga ia bisa diubah. Jadi, perubahan seharusnya menguntungkan laki-laki dan perempuan dan makhluk manusia manapun yang terdampak dari konstruksi gender tersebut. Supaya tidak ada lagi isu-isu sosial seperti kekerasan yang muncul akibat dari konstruksi gender tersebut secara psikologis adalah untuk meningkatkan kesejahteraan manusia.

Ikhtiar apakah yang selama ini Anda lakukan melalui lembaga Anda terkait dengan pelibatan laki-laki dalam penghapusan Kekerasan Berbasis Gender (KBG)? Hal ini lebih terkait dengan skup pekerjaan Pulih. Pulih itu bergerak di pelayanan. Jadi pencegahan yang dilakukan sebenarnya adalah pencegahan sekunder. Seseorang biasanya datang sebagai korban atau sebagai pelaku, lalu dia mengikuti konseling maka yang kami lakukan pada saat proses konseling adalah melakukan konseling yang menggunakan perspektif transformasi gender. Yang dimaksud dengan pencegahan sekunder agar dia tidak melakukan lagi. Tidak melulu isunya sebagai pelaku sebagai korban pun proses transformasi gender ini selalu dilakukan agar peristiwa itu tidak terjadi lagi. Kepada klien perempuan, konseling dimaksudkan agar dia mampu mengambil keputusan pribadi dan melakukan self determinasi untuk menentukan relasi apa yang sebenarnya ia inginkan. Misalnya merubah pandangan bahwa perempuan tidak bisa mengambil keputusan, perempuan tidak harus selalu bersikap submisif, ataupun hal apapun yang terkait dengan isu gender. Untuk pencegahan yang sifatnya bukan pelayanan klinis atau konseling, kami juga memperkenalkan literasi, edukasi, website dan pengembangan kapasitas yang sifatnya menggunakan pendekatan transformasi gender. Karena sebenarnya Pulih itu bergerak di isu kekerasan, kekerasan berbasis gender maupun kekerasan struktural. Kalau gender, karena akar masalahnya adalah hal itu maka konselingnya harus dilakukan secara lengkap.

Apa tantangan bagi semua proses tersebut? Karena upaya ini terkait dengan mengubah konstruksi gender, tantangannya adalah perempuan

Swara Rahima

23


Opini

sudah melakoni peran gender yang sedemikian rupa, sehingga tantangan itu tidak hanya dari perempuan tapi juga masyarakat yang menganggap bahwa peran itu sudah given. Kalau di kalangan perempuan itu lebih mudah karena mereka merasakan ketidakadilan. Sementara, kalau di kalangan laki-laki itu lebih sulit, maka masuknya melalui isu pengasuhan. Karena sebenarnya pengasuhan itu sarat dengan isu relasi gender dengan pasangan. Dan sebenarnya laki-laki cukup termotivasi untuk menjadi pasangan dan ayah yang baik, meskipun sebenarnya ukuran baik ini ya adil gender, berbagi peran. Selain itu, di ruang-ruang klinis mereka sudah cukup sering terpapar dengan apa yang diakibatkan dari konstruksi gender yang sedemikian rupa yang muncul dalam keluhan-keluhan seperti, pekerjaan, makna, identitas diri, orientasi seksual. Hal itu sangat berkait erat dengan gender. Jadi saat mereka datang dengan permasalahan, isu yang dihadapi, itu lebih mudah memberikan pemahaman bagaimana konstruksi gender itu sedemikian mempengaruhi bias gender.

Bagaimana Anda berupaya menggali spirit penghapusan kekerasan berbasis gender dari perspektif Ilmu Psikologi? Bila kita baca dari berbagai referensi, Ilmu Psikologi sudah cukup banyak berkecimpung di dampak kekerasan seperti trauma, depresi, dan sebagainya. Terkait dengan kekerasan berbasis gender, ruang psikologi banyak sekali yang membahas tentang kesehatan mental. Dan Pulih sering diminta bica soal itu bila terkait dengan dampak, trauma, dan sebagainya. Bila dikaitkan dengan Psikologi, bicara soal dampak dan kekerasan ini sudah banyak. Pergerakannya bukan hanya bicara soal dampak, namun juga dari pencegahan. Di kami –kalangan psikologi klinis- yang dimaksud dengan sehat mental itu adalah berfungsi secara sosial dan terlepas dari segala bentuk kekerasan, karena itu menjadi sumber tekanan. Kami masuk dari situ, dari perspektif hak. Artinya kalau dari perspektif hak, semua orang berhak untuk bebas dari segala bentuk kekerasan. Artinya, kamu bisa mengaktualisasikan diri apabila lingkungannya kondusif dan terbebas dari segala bentuk kekerasan. Di kalangan psikolog, muncul konseling-konseling yang berperspektif feminis. Akan tetapi

24

Swara Rahima

di kalangan psikologi itu juga muncul golongan-golongan psikolog yang melihat gender ya ‘as it is’, namun itu tidak cukup. ‘As it is’ itu seperti membantu perempuan agar dia bisa menjadi istri yang baik, namun bisa ‘happy’ di situ. (Jadi lebih mengukuhkan konstruksi). Padahal kan pilihannya lebih banyak. Tapi ada juga gerakan psikolog yang tidak mulai bias gender lagi. Karena banyak teori-teori Psikologi yang sangat patriarki seperti misalnya kasus incest, tidak dilihat sebagai kekerasan dalam bentuk incest, tetapi seorang anak perempuan yang sangat mencintai ayahnya. Padahal kalau dilihat dari sisi anak sebenarnya dia adalah korban incest, karena hal itu dilihat dari sisi relasi kuasa. Misalnya juga, ada seorang istri yang tidak suka berhubungan seksual dengan suaminya, suami istri dianggap relasinya sama. Jadi yang harus diperbaharui adalah komunikasinya. Bukan cara pandang kita yang harus diubah tentang melihat relasi kuasa antara suami istri. Sebenarnya di kalangan psikolog feminis sudah banyak berubah, menggunakan analisis gender untuk melihat relasi kuasa. Menurut saya teori psikologi juga memberikan peluang, misalnya melalui konsep sehat dan berkontribusi. Di dalam psikologi ada teori self-actualization (bahwa seseorang bisa dengan baik mengaktualisasikan dirinya) bila dia tidak terkungkung oleh konstrusksi gender yang memberikan pembatasan-pembatasan. Spiritnya teori psikologi adalah mendobrak atau memberi ruang bagi seseorang untuk membebaskan diri dari konstruksi gendernya.

Apa kontribusi Ilmu Psikologi dalam melihat persoalan gender ini ? Pendekatan psikologi juga memperkenalkan bahwa gender memang konstruksi sosial yang seakan-akan oleh setiap orang itu akan dihayati sama. Namun, hakikatnya Psikologi berkontribusi untuk melihat bahwa bagaimana relasi kuasa ini dihayati dan dipraktikkan dalam level mikro. Sehingga dia memberikan ruang untuk mendapatkan kesimpulan bahwa tidak semua laki-laki sama dan tidak semua perempuan sama. Jadi ada peluang perubahan. Karena pada hakikatnya gender tidak hanya ‘socially constructed’ tapi juga ‘personally constructed’. Jadi okelah, secara sosial kita menempatkan laki-laki punya priviledge, tapi juga perlu ditelaah secara mikro bagaimana konstruksi sosial dalam lingkup mikro (si laki-laki). Ketika seorang laki-laki datang

No 52 Th. XVII NOV 2017


Opini

dalam konteks konseling, kita juga perlu melihat bahwa dia adalah pelaku kekerasan. Tapi kita juga perlu melihat kapan dia menjadi pelaku kekerasan, kapan dia dalam posisi subordinat. Karena penghayatan individual itu banyak faktornya. Jadi cukup ruang untuk melihat konteks, pada laki-laki A, B, atau C. Pertanyaan berikutnya tentang bagaimana membangun kesadaran? Jadi secara Psikologis ia memberikan ruang yang memungkinkan untuk melakukan, untuk membahas ini karena kita akan masuk pada setiap orang memiliki value. Tapi seringkali ketika dieksekusi, value yang dikeluarkan menjadi tidak sesuai dengan value tersebut karena banyak faktor, faktor resiko atau faktor sosial yang juga bisa disebut faktor penghambat. Sehingga untuk mencapai titik temu itu bisa lebih mudah. Misalnya seorang laki-laki punya value yang baik, tapi ketika diyakini bahwa laki-laki harus menjadi seorang suami mendidik istrinya itu boleh melakukan kekerasan, hal ini jadi tidak ketemu. Dan sebenarnya menggunakan kekerasan itu tidak perlu. Dan mungkin tidak juga harus melihat dia sebagai enemy. Sebenarnya ini memang value yang baik. Tapi kita juga mesti lihat kembali apanya yang salah sehingga istri menjadi takut, anak menjadi takut. Jadi kita bisa mengubah perspektif, meskipun kita menghindari kata korban; karena secara sosial memang susah laki-laki menjadi korban.

Pembelajaran apakah yang Anda dapatkan melalui proses-proses tersebut? Saya pribadi lebih mudah masuk membahas melalui pendekatan transformatif gender. Karena dia melihat fakta yang perlu dikaji dan melihat dampaknya apa. Pembelajaran terbaik ketika saya mendapatkan respon peserta yang mulai memahami sendiri masalahnya apa, daripada kita yang menunjukkannya; meskipun kita mulai membukanya dengan menyajikan data. Ada pembelajaran juga yang kita dapat dari ruang-ruang konseling sebagai lesson learnt, sebenarnya kebutuhan pasangan untuk bisa bekerjasama sebagai tim itu sangat dibutuhkan. Karena yang perempuan merasa sangat terbebani (di ruang domestik), dan yang laki-laki juga merasa banyak terbebani (di ruang publik). Dia ingin berbagi, maka satu-satunya yang dia miliki adalah pasangannya. Bagaimana mereka menjadi pasangan yang fleksibel, tanpa harus terbebani dengan konstruksi

No 52 Th. XVII NOV 2017

gender, terkadang itu lebih relieving karena punya option lain untuk mengatasi masalah ini. Dan itu karena konstruksi gender meskipun mereka tidak menggunakan istilah ini. Itu buat mereka yang datang ke ruang konseling, karena memang datang untuk mencari solusi dalam konseling. Di tataran perubahan perilaku, mereka lebih siap dibandingkan dengan dengan mereka yang merasa dirinya baik-baik saja.

Bagaimana respon lingkungan Anda terhadap berbagai upaya yang anda lakukan ini? Secara profesi Psikolog, kami yang bergerak di Pulih ini seringkali dianggap tidak psikolog banget karena psikolog banyak aliran. Kami sendiri, sebenarnya kebanyakan karena kita melakukan pendekatan psiko-sosial. Di Psikologi kami tidak dianggap psikologi banget (Psikolog banyak aliran, kebanyakan kita berlatar belakang Psikologi klinis), karena kita tidak ngomongin klinis –dalam arti melulu hanya praktik- yang bilang seseorang mengalami gangguan dan sebagainya. Misalnya kita memperbaiki satu individu, ketika dia dikembalikan lagi ke lingkungannya dia menjadi kumat lagi, karena masalahnya ada di sini, kan (lingkungannya). Controlling yang kita punya adalah dealing with the individu, yang harus kita akui bahwa itu bukan salah dia sepenuhnya. Walaupun dia bisa tanggung jawab dan mengambil keputusan. Tapi kita menyadari bahwa faktor sosial mempengaruhi. Sehingga di Pulih pun, kita punya ruang untuk melakukan program-program di komunitas dan sebagainya. Diagnosa memang perlu, namun pendekatan kita bukan klinis banget dan melulu hanya praktik. Kalau di jajaran aktivis (yang juga dialami oleh para board), Pulih tidak terlalu dianggap ‘aktivis’ banget karena kita tidak berdiri di garis depan. Kenapa? Ya, karena itu tadi kita juga melihat dinamika manusia. Kasarnya, kita sering dianggap alay. Dampaknya apa? Ya, kita bukan dianggap aktivis banget karena kita jarang menggunakan istilah yang khas aktivis perempuan, seperti pemiskinan dan sebagainya.

Bagaimana reaksi kalangan ‘aktivis perempuan’ terhadap kaum feminis laki-laki (atau laki-laki pro feminis) yang selama ini Anda temukan? Memang kelompok-kelompok itu terbelah dalam arti yang secara verbal menyatakan setuju, dan ada

Swara Rahima

25


Opini

yang menyatakan tidak setuju karena menganggap bahwa feminis itu sangat terkait dengan ketubuhan perempuan, karena memang tubuh laki-laki dan perempuan itu berbeda. Tapi ada juga laki-laki yang menganggap bahwa “Oh, tidak. Saya laki-laki feminis�. Tapi bagi saya, mereka menyakini bahwa tujuannya adalah kesetaraan gender, dan apa yang mereka lakukan adalah untuk memperjuangkan kesetaraan gender, maka sah-sah saja mereka disebut feminis laki-laki atau laki-laki pro feminis. Nah, ini adalah wacana yang berkembang soal ini. Mengenai pelibatan laki-lakinya sendiri –terlepas apakah dia menyatakan diri sebagai feminis laki-laki atau laki-laki pro feminis- di kalangan aktivis perempuan Indonesia memang ada sikap setuju dan tidak setuju. Setuju dengan catatan karena tujuannya adalah memperjuangkan kesetaraan gender, karena ini adalah tanggung jawab bersama. Mereka yang tidak setuju sebenarnya karena mereka i masyarakat kan mememberikan persyaratan atau kompas, dan mereka menjadi devil’s advocate. Ratusan tahun kita hidup dalam kultur patriarkhi, lalu privilidge laki-laki itu terlalu enak untuk dilepas, dan tahu darimana bahwa nanti tidak akan muncul persaingan baru. Nah, sebenarnya dari kedua hal ini bisa diambil pesannya yang memang diperlukan untuk mengembangkan program kekerasan berbasis gender.

Bagaimana tanggapan Anda terhadap beragam reaksi tersebut? Menurut saya wajar saja sih. Wajar dalam arti karena selalu ada tesis dan antitesis. Selagi cukup taugh untuk memperjuangkan ruang ini ya sah-saja. Menurut saya, ini bagian dari kebebasan berpendapat.

Menurut Anda, seberapa penting untuk melibatkan tokoh agama yang mayoritas berjenis kelamin laki-laki di dalam program penghapusan Kekerasan Berbasis Gender ini? Ini sebenarnya menjadi target yang oke banget dalam perubahan sosial, karena mereka menempati posisi-posisi kunci yang penting dalam struktur sosial di masyarakat. Di satu sisi ini aset (potensi), tapi tantangannya ya itu karena wacana pelibatan laki-laki sendiri seringkali juga disalahartikan. Jadi, di satu aset karena secara politis mereka laki-laki, asalkan perspektif laki-lakinya menuju ke arah kesetaraan gender. Di situ saya rasa tantangannya.

26

Swara Rahima

Apalagi kalau kita mengacu pada teori perubahan dalam pembelajaran sosial, role model, tokoh masyarakat, karena dia bisa memberi contoh maka dia bisa menjadi katalisator perxubahan di masyarakat. Selain itu tokoh agama dan tokoh masyarakat seringkali dijadikan teladan kehidupan keagamaan yang baik. Jadi sebenarnya dia modal sepanjang dia memiliki perspektif gender yang baik.

Bagaimana cara anda untuk menghadapi resistensi yang beragam, dari kelompok yang beragam (misalnya institusi keagamaan maupun kelompok perempuan sendiri) terhadap kehadiran feminis laki-laki yang berlatar belakang tokoh agama? Penyebaran dalam suatu populasi, yang egaliter banget itu kan hanya sedikit. Namun, setelah itu ada sebagian kelompok-kelompok yang pragmatis. Misalnya di perkotaan, itu sebagian besar masyarakat dengan ide kesetaraan itu setuju. Mereka mendorong, ayo dong perempuan yang bekerja. Meskipun dalam implementasi, laki-laki dalam kehidupan domestiknya dia tidak berubah. Jadi ada double standard. Kalau situasi di masyarakat kan memang begitu dinamikanya. Tapi kalau kita belajar dari negara-negara lain yang sudah melaluinya, setara gender itu sebenarnya bisa meskipun ada juga faktor-faktor sosial ekonomi lainnya. Karena sebenarnya itu permasalahan manusia banget. Cuma menurut saya yang sangat dibutuhkan misalnya, tokoh-tokoh agama yang punya pandangan progresif itu sudah ada dan sudah banyak. Tapi suara mereka perlu lebih bergema.

Apa harapan Anda terhadap para tokoh agama laki-laki, terutama terkait dengan upaya penghapusan kekerasan berbasis gender (yang banyak terjadi pada perempuan dan anak). Menurut saya, kajian progresif yang mempromosikan kesetaraan gender itu banyak. Namun bagaimana agar mereka -para tokoh agama laki-laki itu- bisa lebih gencar untuk mempromosikan nilai-nilai itu kepada para jamaah atau pengikutnya, sehingga menjadi kesadaran masyarakat yang lebih luas. {}AD Kusumaningtyas

No 52 Th. XVII NOV 2017


Perihal

1

KEKERASAN BERBASIS GENDER

PENGERTIAN KBG

Adalah setiap bentuk tindakan kekerasan yang terjadi akibat ketidakseimbangan relasi kuasa (power relation) atas dasar konstruksi peran berdasarkan jenis kelamin (gender) antara laki-laki dan perempuan yang dibentuk dan dilanggengkan oleh budaya patriarkhi dan berdampak pada kemungkinkan munculnya kesengsaraan atau penderitaan perempuan termasuk anak-anak. Kekerasan ini bisa terjadi secara fisik, seksualdan/atau psikologis,termasuk ancaman tindakan tertentu pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang yang terjadi di ranah privat/domestik dan di ranah publik.

?

CONTOH 1.

BENTUK-BENTUK

2

• Kekerasan Fisik : Adalah tindakan yang bertujuan untuk melukai, menyiksa atau menganiaya orang lain, dengan menggunakan anggota tubuh pelaku (tangan, kaki) atau dengan alat-alat lain. • Kekerasan Psikis/Emosional : tindakan yang bertujuan merendahkan citra seorang perempuan, baik metalui kata-kata maupun perbuatan (ucapan menyakitkan, kata-kata kotor, bentakan, penghinaan, ancaman) yang menekan emosi perempuan. • Kekerasan Seksual : Adalah tindak kekerasan yang bernuansa seksual, termasuk berbagai perilaku yang tak diinginkan dan mempunyai makna seksual yang disebut pelecehan seksual, maupun berbagai bentuk pemaksaan hubungan seksuat yang disebut sebagai perkosaan. • Kekerasan Ekonomi : Adalah tindakan eksploitasi, manipulasi dan pengendalian lewat sarana ekonomi berupa: pemaksaan terhadap korban untuk bekerja dengan cara eksploitatif termasuk pelacuran, melarang korban untuk bekerja namun menelantarkannya, mengambil tanpa sepengetahuan dan tanpa persetujuan korban, merampas dan atau memanipulasi harta benda korban, maupun melakukan upaya-upaya sengaja yang menjadikan korban tergantung atau tidak berdaya secara ekonomi atau tidak terpenuhi kebutuhan dasarnya.

Kekerasan Yang Berlangsung di

Ranah Umum/Publik

3

• Perdagangan perempuan (Trafficking) • Pelecehan seksual di tempat kerja / umum. • Pelanggaran hak-hak repdoduksi. • Perkosaan, pencabulan. • Kebijakan / Perda yang diskriminatif / represif. • Aturan dan praktik yang merampas kemerdekaan perempuan di lingkungan masyarakat. 2. Kekerasan yang Terjadi di Ranah Privat/Domestik • Kekerasan fisik, psikis dan seksual. • Pelanggaran hak-hak reproduksi (perkosaan dalam hubungan perkawinan/marital rape, pemaksaan ber-KB, sterilisasi paksa, pemaksaan aborsi oleh pasangan). • Penelantaran ekonomi kekeluarga. • Incest (pemaksaan hubungan seksual oleh orang yang masih memiliki pertalian darah atau hubungan akibat perkawinan). • Pemotongan/pelukaan genitalia perempuan (P2GP) atau Female Genital Mutilation/Cutting (FGM/C) 1. Kekerasan terhadap pekerja rumah tangga. • Ingkar janji / kekerasan dalam pacaran. • Pemaksaan aborsi oleh pasangan. • Kejahatan perkawinan , termasuk berpoligami tanpa izin. • Kawin paksa dan pernikahan anak (pernikahan dengan anak di bawah umur).


Diasuh Oleh: Ustadzah Dr. Hj. Nina Nurmila, PhD.

Mengkaji Teks

Tentang Peran Laki-Laki

Dalam Pencegahan Kekerasan Berbasis Gender Pengantar

K

ekerasan terjadi akibat ketimpangan relasi kuasa, yaitu biasanya pelaku berada pada posisi yang lebih kuat atau lebih tinggi, baik secara fisik atau kekuasaan kepada yang lebih lemah atau lebih rendah posisi kekuasaannya. Misalnya dari polisi kepada tahanan, dari orang tua kepada anaknya yang masih kecil, dari majikan kepada bawahan, dari guru atau dosen kepada mahasiswanya, dari pemimpin “agama� kepada jamaahnya. Atau dalam budaya patriarkhal, yang menempatkan laki-laki di atas posisi perempuan, dari laki-laki terhadap perempuan, yang menjadi fokus tulisan ini. Kekerasan yang dilakukan oleh laki-laki terhadap perempuan juga dikenal dengan kekerasan berbasis gender. Untuk mencegah dan menghentikan kekerasan yang dilakukan laki-laki terhadap perempuan, tentu saja penting untuk melibatkan laki-laki, yang cenderung menjadi pelaku, walau tentu

28

Swara Rahima

ada juga perempuan yang menjadi pelaku, karena ada laki-laki yang tidak baik dan ada juga laki-laki yang baik, demikian halnya ada perempuan yang tidak baik dan ada pula

perempuan yang baik. Ada berbagai penyebab mengapa seseorang melakukan kekerasan terhadap orang lain, baik ber upa verbal, fisik, psikologis

No 52 Th. XVII NOV 2017


ataupun seksual. Penyebab utama adalah ketidak mampuan pelaku dalam mengontrol emosi dirinya untuk tidak menyakiti orang lain. Kehendak menyakiti orang lain itu sendiri bisa disebabkan oleh berbagai faktor. Misalnya rasa frustasi atau depresi karena ketidakmampuan suami untuk memenuhi idealitas yang dibuat masyarakat, seperti untuk menafkahi keluarganya, untuk menjadi figur pemimpin yang secara penghasilan dan pendidikan lebih tinggi dari istrinya atau karena ia mengalami kekerasan dari atasannya. Kekerasan itu bisa menular dengan mudah. Seorang suami yang mendapat kekerasan baik dari atasan atau rekan kerja akan mudah menularkannya pada orang yang dianggap lebih lemah dari dirinya, misalnya pada istri atau anaknya di rumah. Atau istri yang mendapat kekerasan dari suaminya tidak menutup kemungkinan akan melampiaskan kemarahannya pada anaknya, yang lebih lemah secara fisik. Oleh karena itu, pencegahan kekerasan terhadap orang lain, terutama dari suami kepada istri harus bermula dari setiap individu, siapa pun itu. Dia harus memulai untuk tidak melakukan kekerasan dalam bentuk apa pun kepada orang lain, karena sebuah peristiwa kekerasan dapat menyebabkan terjadinya kekerasan lain.

َ َ َّ َ ُ ْ ُ َ َ َ َّ َ ُ ُ َ َ ْ ُ ْ ‫الزكاة‬ ‫المنك ِر وي ِقيمون الصلة ويؤتون‬ َ ُ َُ َ َٰ ُ َ ُ َ َ َّ ‫ون‬ ‫الل َو َر ُسول ُه ۚ أول ِئك َس َي ْرح ُمه ُم‬ ‫وي ِطيع‬ َّ َّ َ ‫الل ۗ إن‬ ُ َّ ‫الل َع ِز ٌيز َح ِك ٌيم‬ ِ “Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyur uh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. At Taubah (9) : 71) Dalam konteks relasi suami istri untuk pemenuhan kebutuhan seksual pasangannya seperti yang digambarkan dalam QS 2: 187 sebagai berikut:

َ ُ َ َّ َ ّ َ َ ْ َ ْ ُ َ َّ ُ ُ ‫الرفث ِإل ٰى ِن َسا ِئك ْم‬ ‫الصي ِام‬ ِ ‫أ ِحل لكم ليلة‬ َّ َ َ َّ ُ َ ٌ َ ْ ُ ْ َ َ ْ ُ َ ٌ َ َّ ُ ُ‫الل‬ ‫ۚ هن ِلباس لكم وأنتم ِلباس لهن ۗ ع ِلم‬ ُْ ْ َ َ َ َ َ ْ ُ َ ُ ْ َ َ ُ َ ْ َ ْ ُ ْ ُ ْ ُ َّ َ ‫أنكم كنتم تختانون أنفسكم فتاب عليكم‬ ‫َ َ​َ َْ ُْ َ ْآ‬ ُ ُ ‫ال َن َباش ُر‬ ‫وه َّن َو ْاب َتغوا‬ ‫و عفا عنكم ۖ ف‬ ِ َ ُ َّ َ َ َ َ ْ ُ ُ ُ َّ َ ُ َ َ ‫الل لك ْم ۚ وكلوا واش َربوا حت ٰى‬ ‫ما كتب‬ ْ َ ُ َ ْ َ‫َ َ َ َّ َ َ ُ ُ ْ َ ْ ُ ْ أ‬ َ ْ ‫يتبين لكم الخيط ال بيض ِمن الخي ِط‬ َ‫ْ أ‬ َ ّ ِ ‫ال ْس َو ِد ِم َن ْال َف ْجر ۖ ُث َّم َأ ِت ُّموا‬ ‫الص َي َام ِإلى‬ ِ َ ُ َ ْ ُ ْ َ َ َّ ُ ُ َ ُ َ َ ْ َّ ‫اللي ِل ۚ ول تب ِاشروهن وأنتم ع ِاكفون ِفي‬ ْ َّ ُ ُ ُ َ ْ َ ‫الل َف َل َت ْق َر ُب‬ ‫ال ٰ َم َس ِاج ِد ۗ ِتلك حد‬ ۗ ‫وها‬ ِ ‫ود‬ َّ َ َّ َ ُ َّ ُ ّ َ ُ َ َ َ َ ُ ‫اس ل َعل ُه ْم َي َّتقون‬ ِ ‫كذ ِلك يب ِين الل آيا ِت ِه ِللن‬

Peran Laki-laki Alquran menggambarkan laki-laki dan perempuan sebagai teman satu sama lain, untuk saling mendukung dan saling tolong menolong (QS 9: 71).

َ َ ُ ْ ُْ َ ُ ‫ون َو ْال ُم ْؤ م َن‬ ‫ات َب ْع ُض ُه ْم أ ْو ِل َي ُاء‬ ‫و المؤ من‬ ِ َْ ِ ْ َ ْ َ ْ ََْ َ َ َ ْ ُ َ ‫وف و ينهو ن ع ِن‬ ِ ‫ض ۚ يأ م ُر ون ِبالمع ُر‬ ٍ ‫بع‬ No 52 Th. XVII NOV 2017

Artinya: “Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan istri-istri kamu; mereka adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf

kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempur nakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri’tikaf dalam mesjid. Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa.” (QS. Al Baqarah (2) : 187) Namun sayangnya masyarakat muslim yang patriarkhal pada umumnya lebih merujuk pada QS 4: 34 tentang relasi hubungan suami istri dengan pemahaman yang patriarkhal juga:

ّ َ َ َ ُ َّ َ ُ َ ّ َ َ ‫الن َس ِاء ِب َما ف َّضل‬ ِ ‫الر جال قو امون على‬ ِ ْ‫الل َب ْع َض ُه ْم َع َل ٰى َب ْعض َو ب َما َأ ْن َف ُقوا ِمن‬ ُ َّ ِ ٍ َ َ ٌ‫ات َحاف َظات‬ ٌ ‫ات َقا ن َت‬ ُ ‫الصا ل َح‬ ِ ِ َّ ‫أ ْم َو ا ِل ِه ْم ۚ ف‬ ِ َ ُ َ َّ ُ َّ ‫ِل ْل َغ ْيب ب َما َح ِف َظ‬ ‫الل ۚ َو الل ِتي ت َخافون‬ ِ ِ َ ُ َ ُ​ُ ُ ْ ُ َّ َّ َّ ُ ‫نشو ز ُهن ف ِعظو هن َو ا هج ُر و هن ِفي‬ ْ َ​َ ُ َ َ ْ َ ُ ُ ْ َ ‫وه َّن ۖ ف ِإن أط ْع َنك ْم فل‬ ‫ال َم َض ِاج ِع واض ِرب‬ َ َ َ َّ َّ ً َ َّ ْ َ َ ُ ْ َ َ ‫الل كان َع ِل ًّيا ك ِب ًيرا‬ ‫تبغوا علي ِهن س ِبيل ۗ ِإن‬ Yang sering diartikan : “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum perempuan, karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu, maka perempuan yang sholih, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, karena Allah telah memelihara (mereka). Perempuanperempuan yang kamu khawatirkan

Swara Rahima

29


nusyuz-nya, maka nasihatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka menaatimu, maka janganlah kamu mancari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.� (Q.S. An-Nisa’ (4) : 34) Pada umumnya ayat di atas sering dipahami sebagai berikut sebagaimana yang telah ditafsirkan oleh para mufassir klasik seperti Ibn Kathir yang memandang bahwa laki-laki secara kodrati lebih unggul dari perempuan: yaitu bahwa laki-laki adalah pemimpin keluarga karena

30

Swara Rahima

laki-laki memiliki keunggulan dibanding perempuan dan karena laki-laki menafkahkan sebagian har tanya untuk keperluan keluarganya. Padahal ada cara lain dalam memahami ayat di atas, yaitu dengan menggunakan perspektif keadilan gender karena pada realitasnya tidak semua yang berjenis kelamin laki-laki dapat memenuhi idealitas menjadi pencari nafkah keluarga. Penafsiran yang berperspektif keadilan gender di antaranya dikemukakan oleh para feminis Muslim laki-laki seperti Nasaruddin Umar, Asghar Ali Engineer, Nasr Hamid Abu Zayd, Kiayi Husein Muhammad

dan Sahiron Syamsuddin. Nasaruddin Umar dalam bukunya Argumen Kesetaraan Gender dalam Al-Qur’an menjelaskan perbedaan penggunaan kata dzakar dan rijal dalam Alquran. Menur utnya, Alquran menggunakan kata dzakar saat merujuk pada laki-laki secara biologis (kodrat), sedangkan rijal digunakan saat merujuk pada peran (gender). Rijal adalah seseorang yang memenuhi kriteria tertentu. Seorang dzakar akan menjadi rijal jika ia memenuhi kriteria sebagai kepala keluarga seperti yang digambarkan dalam QS 4: 34 yaitu: memiliki keunggulan

No 52 Th. XVII NOV 2017


dibanding pasangannya, misalnya dari segi pendidikan dan penghasilan yang lebih tinggi; menafkahkan sebagian hartanya untuk keluarganya. Dzakar akan tetap menjadi dzakar seumur hidupnya jika ia tidak dapat memenuhi kedua syarat ke–idealan menjadi kepala rumah tangga tersebut. Dari pemahaman seper ti itu, dapat difahami pula bahwa seorang untsa (perempuan secara biologis) dapat menjadi rijal jika ia memenuhi kedua kriteria di atas. Temuan Nasaruddin Umar ini dapat dijadikan dasar untuk mendekonstruksi dan merekonstruksi maskulinitas yang dibangun selama ini, yang dapat dicapai baik oleh yang berjenis kelamin laki-laki ataupun perempuan. Sedangkan menur ut pemahaman Asghar Ali Engineer, QS 4: 34 itu merupakan ayat sosio-teologis, bukan ayat teologis. Maksudnya adalah bahwa ayat tersebut merupakan gambaran relasi gender pada saat diturunkannya ayat, bukan suatu kewajiban bagi laki-laki yang harus dijalankan di setiap saat dan tempat, karena secara bahasa tidak ada yang mengindikasikan kewajiban tersebut, misalnya dengan kata wajaba atau kataba atau penggunaan kata perintah. Di ayat tersebut digambarkan bahwa para laki-laki menjadi pemimpin keluarga karena mereka memiliki keunggulan, mungkin dari segi fisik karena mencari nafkah pada saat itu lebih menggunakan kekuatan fisik, dibanding perempuan dan para laki-laki menafkahi keluarganya. Ayat ini, menurut Engineer, bukan ayat teologis yang mengharuskan bahwa laki-laki itu harus menjadi pemimpin keluarga di setiap tempat dan waktu. Implikasi dari pemahaman

No 52 Th. XVII NOV 2017

tersebut adalah bahwa relasi gender saat ini bisa saja sama dengan relasi gender saat itu, yaitu ketika pada suami menjadi pemimpin rumah tangga karena mereka memiliki keunggulan dibanding pasangannya dan menafkahi keluarganya, namun bisa juga berbeda yaitu bisa saja para istri yang menjadi kepala keluarga karena mereka lebih unggul dari suaminya baik secara pendidikan maupun penghasilan dan menggunakan sebagian penghasilannya untuk menafkahi keluarganya. Pemahaman Nasr Hamid Abu Zayd dan Kyai Husein Muhammad hampir sama dengan penafsiran Engineer, hanya berbeda nama saja yaitu bahwa menurut Nasr Hamid Abu Zayd, QS 4: 34 merupakan ayat deskriptif, yang mendeskripsikan relasi gender saat itu, bukan ayat preskriptif, yang mengharuskan bahwa relasi gender seluruh umat Muslim di mana saja dan kapan saja harus seperti itu.

seorang laki-laki akan merasa depresi atau frustasi ketika ia tidak dapat memenuhi keidealan tersebut. Salah satu wujud frustasinya, misalnya dengan meninggalkan anak istrinya begitu saja tanpa kabar, atau menikah lagi dengan perempuan lain untuk menunjukkan pada istrinya bahwa sebagai laki-laki ia tetap lebih superior karena ia dapat melakukan hal yang tidak dapat dilakukan istrinya, yaitu beristri lebih dari satu, atau menyakiti istrinya secara fisik untuk menunjukkan superioritasnya sebagai laki-laki ketika ia tidak dapat menunjukkan superioritas yang diidealkan yaitu memiliki pendidikan dan penghasilan yang lebih tinggi dari istrinya dan menafkahi keluarganya. Selain itu, QS 4: 34 juga seringkali dijadikan sebagai legitimasi atau pembenar dilakukannya pemukulan terhadap istri sebagai upaya untuk mendidik:

Adapun menurut Kiayi Husein Muhammad, QS 4: 34 itu adalah ayat informatif, yang menginformasikan relasi gender saat itu, bukan ayat normatif, yang mengharuskan bahwa relasi gender seluruh umat Muslim di mana saja dan kapan saja harus seperti itu.

“Perempuan-perempuan yang kamu khawatirkan nusyuz-nya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.”

Hampir sama dengan penafsiran ketiga ulama tersebut, Sahiron Syamsuddin memahami QS 4: 34 sebagai ayat Historis-KulturalNormatif. Ar tinya, ayat tersebut adalah ayat yang menggambarkan sejarah sosial dan budaya Arab yang patriarkhal pada masa turunnya ayat dan upaya Islam memasukan nilai-nilai moral dalam kultur tersebut.

Padahal, menur ut Sahiron Syamsuddin, Alquran itu diturunkan dengan membawa pesan moral, sebagai petunjuk bagi umat manusia, agar dapat berbahagia di dunia dan di akhirat. Rasul pun sebagai penerima wahyu merupakan penyempurna akhlak manusia sebagaimana yang dinyatakan dalam hadis berikut:

Sayangnya pemahaman QS 4: 34 yang berperspektif keadilan gender di atas belum sepopuler pemahaman patriarkhal yang sudah membudaya di kalangan masyarakat sehingga

‫أ‬ ‫أ‬ ‫إنما بعثت لتمم مكارم الخالق‬ “Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan kemuliaan

Swara Rahima

31


akhlak”. Sebagai penyempurna akhlak, Rasul saw. menjadi model ataupun panutan baik dalam kehidupan pribadinya ataupun dalam kehidupannya bermasyarakat. Dalam kehidupan pribadinya, ia tidak pernah memukul ataupun menyakiti istri dan asisten rumah tangganya. Bahkan secara lisan beliau mendorong umatnya untuk berbuat baik kepada para perempuan dalam sabdanya:

‫خيركم خياركم لنسائهم‬ “Sebaik-baik kamu adalah yang terbaik pada perempuanmu.” Oleh karena itu, tidak mungkin ayat Alquran, dalam hal ini QS 4: 34, diturunkan hanya untuk melegitimasi atau membenarkan terjadinya pemukulan dari suami kepada istrinya. Selain itu, dilihat dari konteks diturunkannya ayat, yaitu bahwa

saat itu para laki-laki sudah biasa melakukan pemukulan terhadap istrinya, sehingga dalam ayat ini diberikan petunjuk untuk menunda pemukulan dengan melakukan dua langkah terlebih dahulu kepada istri yang dikhawatirkan melakukan nusyuz (selingkuh), yaitu dengan memberikan nasihat terlebih dahulu dan pisah ranjang. Jika telah dilakukan kedua langkah tersebut namun si istri masih selingkuh atau mengundang laki-laki lain selain suaminya ke ranjangnya, maka ia bisa dipukul. Namun para mufassir klasik sekalipun, misalnya Ar-Razi menegaskan bahwa pukulan tersebut bukan untuk menyakiti, namun untuk mendidik sehingga tidak boleh sampai berbekas apalagi melukai, serta tidak di muka, misalnya dengan menggunakan sapu tangan. Penafsiran para mufassir klasik seperti Ibn Kathir dan Ar-Razi, tentang QS 4: 34 memang masih nampak patriarkalnya yang terlihat dengan jelas saat mereka memahami bahwa laki-laki itu memang secara kodrati lebih unggul dari perempuan. Namun dalam pengaturan pemukulan terhadap perempuan, penafsiran mereka, menurut Syamsuddin, nampak humanis, yaitu bahwa mereka tidak menyetujui adanya pukulan yang menyakitkan, yang melukai, meninggalkan bekas atau mengenai muka.

Penafsiran yang humanis tersebut sejalan dengan QS 4: 19:

ُ َ ْ َ ُ َ ُّ َ َّ َ ‫َيا أ ُّي َها ال ِذ َين َآم ُنوا ل َي ِحل لك ْم أن ت ِرثوا‬ ْ ّ ُ ‫الن َس َاء َك ْر ًها ۖ َو َل َت ْع ُض ُل‬ ‫وه َّن ِل َتذ َه ُبوا‬ ِ ْ َ َّ ْ َ ُ ُ َ ‫ب َب ْعض َما آ ت ْيت ُمو ه َّن إ ل أ ن َيأ ِت‬ ‫ين‬ ِ ِ ْ َّ ُ ُ َ َ َ ّ َ ُ َ ِ َ ْ َ ُ ۚ ‫وف‬ ِ ‫ِبف‬ ِ ‫احش ٍة مب ِين ٍة ۚ وع ِاشروهن ِبالمعر‬ ً ْ َ ُ َ ْ َ ْ َ ٰ َ َ َ َّ ُ ُ ُ ْ َ ْ َ ‫ف ِإن ك ِرهتموهن فعسى أن تكرهوا شيئا‬ َ َ ُ َّ ‫َو َي ْج َع َل‬ ‫الل ِف ِيه خ ْي ًر ا ك ِث ًير ا‬ “Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai perempuan dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata dan bergaullah dengan mereka secara patut. kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” QS 4: 19 di atas memerintahkan untuk memperlakukan perempuan dengan baik, sehingga dapat disimpulkan bahwa memukul dengan tujuan menyakiti adalah perbuatan yang bertentangan dengan perintah ayat tersebut. Selain itu, sebetulnya tidak semua ulama mengartikan kata dharaba dengan memukul. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Engineer, Ahmed Ali mengar tikan fadribuu hunna dengan “tidurilah” (“setubuhilah”) berdasar

32

Swara Rahima

No 52 Th. XVII NOV 2017


rujukannya pada kamus Mufrodat karya Al-Roghib, yang di dalamnya dijelaskan bahwa dharaba secara metaforis artinya “bersetubuh�. Mungkin saat suami istri bertengkar atau istri selingkuh, suami menasihati istrinya dan pisah ranjang untuk sementara waktu. Hal ini mungkin menimbulkan kerinduan dari kedua belah pihak, sehingga kemudian dianjurkan mengakhiri situasi ketidak nyamanan tersebut dengan melakukan persetubuhan di antara suami istri tersebut sebagai tanda bahwa pertengkaran mereka sudah berakhir dan sudah saling memaafkan.

mengurus rumah tangga, demikian halnya ketika istri menjadi pencari nafkah satu-satunya dalam keluarga, maka suami idealnya mengurus rumah tangga seper ti memasak, mencuci piring dan pakaian, mengurus anak dan membersihkan rumah sehingga kedua belah pihak tetap dapat berkontribusi pada keluarga secara adil. Yang penting dipahamkan kepada para laki-laki dan masyarakat pada umumnya adalah bahwa pergantian peran secara fleksibel tersebut tidaklah ber tentangan dengan kodrat, karena peran itu ada-

dalam keluarga. Yaitu agar orang tua menyiapkan anak-anaknya untuk siap menjalankan kedua peran tersebut tanpa memandang jenis kelamin sehingga mereka bisa secara fleksibel bertukar peran sesuai dengan kemampuan masing-masing, bukan berdasar jenis kelamin. Kepada para laki-laki yang masih tidak dapat mengontrol emosi mereka untuk melakukan kekerasan terhadap perempuan, disarankan untuk melakukan konseling agar dapat mengubah perilaku dan perspektifnya supaya tidak menjadi pelaku kekerasan terhadap perem-

Langkah Pencegahan Ada langkah bersama yang perlu ditempuh agar laki-laki dapat dicegah atau dihentikan menjadi pelaku kekerasan terhadap perempuan. Yaitu di antaranya dengan memberikan pemahaman kepada keduanya, laki-laki dan perempuan, tentang perspektif keadilan gender sehingga suami istri dapat saling menghormati dan saling menyayangi, tanpa merasa yang satu lebih superior dibanding yang lainnya. Dengan pemahaman relasi gender yang adil, konsep pemberian nafkah berubah dari laki-laki yang harus menafkahi perempuan, menjadi yang kuat secara ekonomi menafkahi yang lemah secara ekonomi, apa pun jenis kelaminnya. Ketika yang kuat secara ekonomi dan yang menafkahi keluarga adalah perempuan, maka penting dilakukan pembagian peran yang fleksibel dan adil. Yaitu: yang tidak mencari nafkah idealnya mengurus rumah tangga, supaya tidak terjadi double/multiple burdens pada satu jenis kelamin. Seper ti halnya keidealan saat suami menjadi pencari nafkah satu-satunya dalam keluarga, maka istri

No 52 Th. XVII NOV 2017

lah gender. Gender dikonstruksi/ dibangun oleh manusia sehingga bisa dibangun kembali (direkonstruksi) sesuai dengan situasi dan kondisi yang mengiringinya. Tafsir yang ditawarkan oleh kelima feminis Muslim laki-laki di atas telah berkontribusi dalam merekonstruksi peran gender laki-laki dan perempuan sehingga mereka dapat memilih apakah berkontribusi pada keluarganya dengan mengurus rumah tangga atau dengan mencari nafkah. Pemahaman ini berimplikasi pada proses pendidikan anak

puan. Penyuluhan tentang pentingnya fleksibilitas peran gender dan tentang dampak kekerasan terhadap perempuan juga penting dilakukan. Penyuluhan ini bisa juga diselipkan dalam materi kursus calon pengantin (suscatin) agar pasangan yang bar u menikah dapat mencegah terjadinya kekerasan dalam rumah tangga mereka. Wallahu a’lam bish shawab. {}

Swara Rahima

33


MUHAMMAD KHALID MASUD

Fikrah

Pemikiran Muhammad Khalid Masud

Reformasi Hukum Keluarga

Fikih is not divine law that Muslims have a duty to implement. Fikih is juristic law, humanly constructed to deal with times and circumstances.

D

emikianlah kutipan singkat gagasan Muhammad Khalid Masud, pemikir Islam yang bergiat pada isu kesetaraan gender dalam konteks pada wacana hukum keluarga Islam. Pemikiran Masud, banyak beredar dalam tulisan berbentuk ar tikel maupun buku.

Tentang Masud dan Kiprahnya Masud dilahirkan 15 April 1939 di India. Di masa kecilnya, ia dan keluarganya melarikan diri ke Pakistan saat negara tersebut baru terbentuk. Di sana, ia mnegawali karirnya sebagai guru hingga kemudian melanjutkan pendidikan Masternya dalam studi Islam pada

34

Swara Rahima

tahun 1962 di Universitas Punjab Lahore. Kemudian ia menjadi associate di Islamic Research Institute (IRI) di Islamabad (Pakistan) dari tahun 1963 sampai 1999. Ia memegang banyak posisi penting, termasuk editor jurnal Studi Islam di lembaga tersebut. Gelar Ph.D ia peroleh dari McGill University, Montreal, Canada dalam bidang Islamic Studies. Sebelumnya, Masud bekerja sebagai Academic Director pada International Institute for the Study of Islam in the Modern World (ISIM) di Leiden, Belanda. Kar ya-kar ya Pr of. Khalid Masud diantaranya adalah Shatibi’s Philosophy of Law (rev. ed. 1995), Iqbal’s Reconstr uction of Ijtihad (1995), Islamic Legal Interpretation: The Muftis and their Fatwas (dengan B. Messick and D. Powers, 1996), dan telah mengedit volume Travellers in Faith: Studies of the Tablîghî Jamâ’at as a Transnational Islamic Movement for Faith Renewal (2000). Ia juga menjadi editor The Journal Islamic Studies. Tulisan Prof. Masud lainnya diantaranya adalah Gender Equality And The Doctrine Of Wilaya dan

Ikhtilaf al-Fuqaha: Diversity in Fikih as a Social Construction. Judul tulisan yang disebut terakhir dimuat di Musawah, gerakan global untuk kesetaraan dan keadilan di Keluarga Muslim.

Pemikiran tentang Fikih dan Reformasi Hukum Keluarga Adanya ketidakadilan gender di dunia Islam tidak terlepas dari bagaimana umat Islam menafsirkan dan memahami teks Alquran dan Hadis. Pemahaman umat Islam terbentuk dari interpretasi para ulama yang telah sekian lama terkumpul dalam kitab-kitab fikih yang begitu beragam dari berbagai mazhab. Fikih sebagai sebuah pemahaman, tentunya, tidak bisa dihindari, terjadi perbedaan satu pemahaman dengan lainnya. Pemahaman tersebut sangat tergantung dari latarbelakang pendidikan orang yang memahami, kondisi sosial budaya dimana si penafsir tinggal, kecenderungan si penfsir dan lain sebagainya. Begitu pun fikih yang terkait dengan hukum keluarga, tidak lepas dari aspek-aspek yang telah disebutkan di atas. Mengenai upaya mereformasi

No 52 Th. XVII NOV 2017


Fikrah

hukum keluarga muslim, menurut Prof. Masud, ada sejumlah langkah yang perlu diperhatikan. Pertama, dalam proses menafsirkan sebuah teks Alquran atau Hadis, kita perlu melihat konteks sosial yang terjadi. Begitu pun ketika memahami fikih, kita juga perlu melihat latar belakang sosial yang terjadi saat fikih tersebut muncul. Dalam studi hukum modern, mempelajari kasus-kasus hukum yang telah terjadi juga dilakukan untuk memahami dengan baik sebuah hukum. Seringkali kebanyakan orang mengabaikan aspeks konteks sosial sebuah hukum dalam fikih, padahal dengan memahami konteks sosial yang terjadi dapat membantu kita menger ti dalam penerapan hukum tersebut. Begitu pun saat kita mendiskusikan wacana kesetaraan gender dalam Islam dengan mengacu pada Alquran dan Hadis, tidak bisa tidak kita perlu melihat konteks sosial yang terjadi ketika itu. Menurut Prof. Masud, kita perlu memahami isu-isu yang dibahas dalam Alquran dan Sunnah bukan sebagai teologi, tapi sebagai respons Alquran dan Sunnah terhadap masalah sosial yang ada pada ketika itu. Kedua, memahami fikih perlu juga mengetahui dengan baik sejarah perkembangan dan kemajuan dari sebuah mazhab fikih. Seringkali kebanyakan masyarakat mempunyai pemikiran bahwa fikih dan hukum yang dibangun secara sosial dipahami sebagai sesuatu yang bersifat ilahi dan karenanya mutlak kebenarannya. Dengan pemikiran seperti itu, tidak mudah untuk menerima perbedaan pemahaman atau ikhtilaf dalam fikih. Menurut Prof. Masud, Hukum keluarga muslim berbasis prinsip keadilan, hal tersebut tidak bisa diragukan, namun dalam praktiknya

No 52 Th. XVII NOV 2017

gagasan tentang keadilan didefinisikan di dalam kerangka hirarki sosial sebagai hak dan tanggung jawab seseorang di masyarakat. Konsep hukum yang dikaitkan dengan status sosial seseorang perlu dibongkar karena menyajikan tujuan tertentu yang menyebabkan ketidaksetaraan dan ketidakadilan saat ini. Ketiga, penting juga untuk memahami bahwa ahli hukum dalam memahami dan menafsirkan teks Alquran ataupun Hadis sangat dipengaruhi oleh cara pandang dan perspektif sosial yang dimilikinya. Misalnya, dalam menafsirkan surat An-Nisa (4):34, para penafsir mencoba untuk memenuhi syarat pemukulan seperti apa yang boleh dilakukan. Kita harus menganggap bahwa diskusi mereka tentang syarat pemukulan juga mengacu pada ayat di atas mesti dipahami sebagai upaya sosial yang sesungguhnya bersifat temporal dan juga sosial. Dengan menggunakan cara penalaran yang sama, kita sekarang bisa melihat bagaimana keadilan itu dapat dicapai atau dimungkinkan di era modern ini. Keempat, perubahan sedang terjadi dan akan terus berlangsung. Perubahan adalah suatu keniscayaan yang tidak bisa ditolak. Menur ut Prof. Masud, kita sering berpikir bahwa apapun yang ada dalam fikih adalah Alquran atau Sunnah dan dengan demikian tidak berubah. Namun, dengan menggunakan contoh klasik yang berlangsung selama kurang lebih 100 tahun sejak perbudakan dihapuskan, tak seorang pun -bahkan termasuk di kalangan tradisionalis- yang akan mengusulkan untuk kembali ke masa perbudakan atau melaksanakan bentuk pernikahan berdasarkan perbudakan.

Di bidang hukum lainnya, perubahan dalam periode modern juga telah diterima dan diinternalisasi. Ini adalah contoh yang bisa digunakan untuk menunjukkan mengapa perubahan dimungkinkan dalam undang-undang keluarga. Fikih bukanlah hukum Ilahi sehingga umat Islam memiliki kewajiban untuk melaksanakannya. Menurut Prof. Masud, Fikih adalah hukum yang dibuat secara manusiawi untuk menghadapi dan menjawab persoalan yang terjadi. Hal itu bisa berubah saat zaman dan situasi baru muncul. Mazhab-mazhab Fikih yang berkembang dalam sejarah dan masih terus berkembang sebagai bentuk respons terhadap perubahan sosial. Jadi, menur ut Prof. Masud, kita tidak perlu menemukan atau memunculkan mazhab baru. Tapi kita harus mengadopsi metode yang sama dengan para ahli hukum tersebut dalam penetapan hukum. Terakhir, dalam mengadvokasikan persoalan perempuan khususnya hukum keluarga, menurut Prof. Masud, penting kelompok perempuan untuk memperkuat diri dengan data dan statistik terkait masalah yang dihadapi. Karena dengan data yang kuat dan analisa sosial yang akurat, kelompok-kelompok yang selama ini menolak dari kalangan patriarkal dan fundamentalis akan kesulitan untuk membantahnya. Lebih lanjut, Prof. Masud menyarankan untuk menjadikan keadilan sebagai prinsip dan panduan untuk mengembangkan solusi yang tepat. {} Maman Abdurrahman

Swara Rahima

35


R KIP

AH

DISKUSI KEPALA KUA SE-KABUPATEN

Pendekatan Mubaadalah untuk Pencegahan Kekerasan Berbasis Gender

P

ada tanggal 26-27 Oktober lalu, Rahima bersama dengan Forum Komunikasi dan Silaturahmi Kepala KUA Se-Kabupaten Gunung Kidul & Kulon Progo, mengadakan kegiatan diskusi terkait pencegahan kekerasan berbasis gender. Kajian utama yang dibahas adalah tentang pendekatan Mubaadalah dalam membaca dan memahami teks-teks agama utamanya, al-Quran dan Hadis. Para kepala KUA diharapkan dapat mengembangkan pendekatan mubaadaalah sebagai kaidah penafsiran dalam memaknai teks, terutama yang terkait dengan isu-isu relasi gender. Sehingga, teks yang secara bahasa untuk laki-laki bisa menyasar perempuan, begitupun teks untuk perempuan juga mencakup laki-laki. Selama pesan dari teks tersebut bersifat umum dan mencakup kedua jenis kelamin. Karena selama ini, dikotomi antara teks untuk laki-laki dan teks untuk perempuan telah melahirkan berbagai tafsiran Islam mengenai gender yang bersifat absolut, seksis, timpang, dan melestarikan berbagai kekerasan terhadap perempuan.

36

Swara Rahima

Dikotomi ini juga yang melahirkan kebudayaan dominatif, dari satu jenis kelamin kepada yang lain, hegemonik, dan pada akhirnya juga destruktif. Bagi kepala KUA, penguasaan terhadap pendekatan mubaadalah dinilai penting berkaitan dengan tugas melakukan bimbingan perkawinan maupun memberikan nasehat perkawinan. Diharapkan dengan perspektif yang adil setara dengan pendekatan ini, para kepala KUA dapat andil dalam membangun keluarga sakinah berspektif kesetaraan tanpa kekerasan. Pada kegiatan ini, para kepala diminta untuk mempraktek pendekatan mubaadalah ke dalam

pasal-pasal dalam Bab Hukum Perkawinan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI). Narasumber utama dalam diskusi ini adalah Dr. Faqihuddin Abdul Kodir. Kegiatan berlangsung selama dua hari di dua tempat yang berbeda. Hari pertama dilaksanakan di Gunung Kidul, 26 Oktober, dihadiri 18 kepala KUA se-kabupaten. Dalam kesempatan ini juga turut Hadir Kasie Bimas Kemenag Kabupaten Gunung Kidul, Arief Gunadi. Di hari kedua, kegiatan diskusi dilaksanakan di Kulon Progo. Sebanyak 12 kepala KUA se-Kabupaten Kulon Progo hadir dalam kegiatan. Kegiatan ini dibuka oleh Kepala Kandepag Kab. Kulon Progo, H. Nuruddin.

No 52 Th. XVII NOV 2017


KIPRAH Sharing Hasil Pelatihan. Kegiatan diskusi yang berlangsung selama sehari ini diawali dengan kegiatan sharing informasi hasil pelatihan. Di Gunung Kidul, Zudi Rahmato dan Yosep Muniri tampil. Sedangkan di Kulon Progo, Abdurrahman kepala KUA pengasih yang tampil. Mereka semua mengulas materi yang telah dipelajari sewaktu pelatihan "Mewujudkan Ketahanan

Keluarga Sakinah Dalam Perspektif Adil Gender" yang berlangsung pada bulan Mei 2017 silam. Saat itu, salah satu rencana tindaklanjut yang disusun oleh para kepala KUA adalah menyampaikan hasil pelatihan kepada kepala KUA yang tidak ikut pelatihan. Pasalnya para kepala KUA yang terlibat dalam pelatihan tersebut hanya 9 perwailan dari setiap kabupaten: Gunung Kidul dan Kulon Progo. *

Kepala Kantor Kemenag Kabupaten Kulon Progo, H. Nuruddin, SH. MA tengah menyampaikan sambutan dalam kegiatan diskusi dengan para Kepala KUA se-Kabupaten Kulon Progo yang diselenggarakan oleh Rahima, Jumat (27/10) di Kalibiru, Kulon Progo. *

DISKUSI TOKOH AGAMA

Praktek. Tampak beberapa kepala KUA sedang tengah mempraktekkan pendekatan mubaadalah ke dalam pasal-pasal dalam KHI terkait bab Hukum Perkawinan*

TOKOH AGAMA SAPTOSARI & PENGASIH

Kaji Persoalan Perkawinan Anak

S

elain diskusi dengan Kepala KUA, Rahima sebelumnya juga terlibat dalam kegiatan diskusi dengan para Tokoh Agama dari dua kecamatan: Kecamatan Saptosari Kab. Gunung Kidul, dan Kecamatan Pengasih Kab. Kulon Progo. Kegiatan diskusi ini dilaksanakan pada 5 Oktober 2017. Narasumber Ustadz Imam Nakhei dari Rahima menyampaikan seputar Persoalan Pernikahan Anak dalam kajian Islam dengan menggunakan perspektif adil gender. Acara ini sendiri dilaksanakan oleh Rifka Annisa Yogyakarta. *

No 52 Th. XVII NOV 2017

Swara Rahima

37


Akhwatuna

MENGHENTIKAN Kekerasan Berbasis Gender Melalui

Tokoh

AGAMA Oleh Sely Fitriani *

Dalam beberapa tahun terakhir ini hak-hak perempuan menjadi perbincangan di tingkat lokal, nasional dan global. Perdebatan tentang hak perempuan versus kondisi riil perempuan yang mengalami ketertinggalan dalam bidang pendidikan, ekonomi, hukum, sosial, budaya dan politik mengemuka secara terbuka. Fokus perdebatan ini berpangkal pada ketidaksetaraan perempuan dan laki-laki dalam berbagai bidang kehidupan.

C

ONTOH ketidaksetaraan itu bisa dilihat dalam proses pengambilan keputusan di dalam rumah tangga yang pada umumnya dilakukan oleh laki-laki; meskipun keputusan yang diambil adalah tentang hal-hal yang berkaitan dengan hidup perempuan. Dalam penentuan pasangan hidup, pada umumnya perempuan tidak dapat bebas memilih pasangannya melainkan harus tunduk pada kehendak keluarga. Anak-anak perempuan dalam keluarga banyak yang terpotong aksesnya pada pendidikan karena adanya anggapan

38

Swara Rahima

bahwa tidak ada gunanya perempuan sekolah terlalu tinggi karena pada akhirnya mereka hanya akan mengurus rumah tangga. Contoh lain, di luar r umah tangga adalah pembagian kerja laki-laki dan perempuan. Pada umumnya di beberapa lemwbaga laki-laki diposisikan pada tugas-tugas operasional dan perempuan pada tugas-tugas administratif, karena adanya anggapan bahwa laki-laki lebih kuat dari perempuan terutama dalam menghadapi bahaya yang ditimbulkan oleh tugas-tugas operasional. Oleh sebab itu untuk melindungi

perempuan, maka perempuan ditempatkan pada posisi administratif saja. Dalam dunia kerja yang lain, standard gaji perempuan dibuat lebih rendah dari standard gaji laki-laki karena adanya anggapan bahwa laki-laki adalah kepala keluarga sedangkan perempuan pekerja adalah pencari nafkah tambahan karena asumsi bahwa pekerjaan mereka hanyalah bersifat sampingan. Budaya patriarkhi telah mengarahkan pola hidup manusia dan lembaga baik lembaga keluarga maupun lembaga publik untuk memuliakan kedudukan dan menguatkan peran

No 52 Th. XVII NOV 2017


Akhwatuna

salah satu jenis kelamin, yaitu laki-laki. Pola hidup yang tidak adil gender ini tidak berhenti di satu generasi, melainkan direproduksi dan direplikasi dari satu generasi ke generasi penerusnya melalui pola asuh dalam keluarga, pola didik di sekolah dan agen sosial lainya seperti media yang secara intensif menggambarkan pola hubungan laki-laki dan perempuan yang dikehendaki oleh budaya patriarkhi. Ketidakadilan gender pada akhir nya mengarah dan membentuk ketidakadilan sosial yang dibuktikan dengan statistik kondisi perempuan di seluruh dunia. Angka Kematian Ibu (AKI) melahirkan sangat tinggi di negara-negara miskin karena salah prioritas dalam alokasi anggaran kesehatan. Kesalahan ini bukan karena kebodohan pemerintahnya, melainkan karena budaya patriarkhi yang mempengaruhi pola pikir para pengambil kebijakan anggaran, sehingga hal-hal yang berhubungan dengan perempuan tidak dianggap prio­ritas. Untuk merealisasikan kesetaraan dan keadilan gender serta anti kekerasan terhadap perempuan, maka Lembaga Advokasi Perempuan DAMAR perlu menentukan strategi pendekatan kepada multipihak. Salah satu pihak yang dinilai mempunyai peran dan pengaruh dalam masyarakat adalah tokoh adat dan tokoh agama. Mengingat, banyaknya salah kaprah pemahaman yang berkembang di masyarakat akibat pemahaman budaya maupun interpretasi keagamaan yang dinilai bias gender karena pesan-pesan yang mereka tangkap dari para tokoh adat dan tokoh agama ini. Memasuki era otonomi daerah, tokoh adat dan tokoh agama mempunyai peran dan porsi yang strategis dalam mendukung pembangunan daerah, baik pembangunan

No 52 Th. XVII NOV 2017

ekonomi maupun sumberdaya manusia. Kondisi-kondisi tersebut menjadi penting bagi DAMAR untuk perlu membangun komunikasi dan sinergisitas dengan multipihak. Salah satu upaya dalam membangun komunikasi dan sinergisitas tersebut, adalah dengan melakukan penyadaran gender dan anti kekerasan terhadap perempuan kepada tokoh-tokoh agama yang berpengaruh, institusi agama yang berlaku dalam sistem sosial masyarakat pada masing-masing wilayah program Prevention+ di Lampung, hingga duduk bersama dalam sebuah forum di semua level maupun dengan para pihak lainnya. Proses ini penting mengingat kebanyakan tokoh agama berjenis kelamin laki-laki; dimana dalam masyarakat yang patriarkhis nilai-nilai yang berkembang di masyarakat termasuk terkait relasi lelaki dan perempuan bersumber dan banyak disampaikan oleh para tokoh agama ini. Oleh karenanya, untuk menanamkan nilai yang adil dan setara gender serta upaya penghapusan maupun pencegahan kekerasan berbasis gender juga diperlukan upaya bekerjasama dengan kaum laki-laki. Berbagai ikhtiar penghapusan kekerasan berbasis gender melalui pelibatan tokoh agama inilah yang mulai digagas dan diterapkan oleh DAMAR dalam berbagai programnya di Lampung, terutama di Kabupaten Tanggamus dan Kabupaten Lampung Timur. Tujuan pelibatan tokoh agama adalah untuk: a) Mengidentifikasi tokoh-tokoh adat dan tokoh agama yang berpengaruh dalam masyarakat b) Mempermudah pendekatan dan membangun komunikasi dengan tokoh adat dan tokoh agama

kesinambungan dengan tokoh-tokoh adat dan tokoh agama yang berpengaruh terkait penyadaran hak-hak kaum perempuan dan laki-laki d) Tokoh-tokoh adat dan tokoh agama yang berpengaruh mempunyai komitmen untuk mendukung ter wujudnya nilai adil gender dan bebas dari kekerasan berbasis kekerasan, baik melalui nasehat-nasehat maupun kesepakatan adat budaya yang lebih adil dan peka gender.

Kegiatan ini dilaksanakan melalui berbagai tahapan kegiatan. Yaitu: 1) Membangun pemahaman dan perspektif melalui analisis kasus pengalaman lapang. 2) Membangun alur penyadaran dan topik bahasan 3)Membangun strategi sesuai konteks 4)Pendekatan personal pada 1- 2 tokoh agama yang telah diidentifikasi dan mengkomunikasikan program dengan tokoh agama tersebut. 5)Mengadakan per temuan awal dengan tokoh-tokoh agama yang berpengaruh untuk mengidentifikasi tokoh-tokoh yang memiliki keterbukaan berfikir dan komitmennya terhadap pemenuhan dan perlindungan hak-hak perempuan. 6)Memetakan tokoh-tokoh agama yang telah teridentifikasi pada pertemuan awal. 7) Mengadakan diskusi berseri dan bertahap mulai dari kelompok kecil tingkat Kabupaten/Kota dan/ atau Propinsi sesama tokoh agama. 8) Mengadakan diskusi berseri dan bertahap dengan tokoh-tokoh agama, masyarakat, dsb. pada tingkat Kabupaten/Kota dan/atau Propinsi dan 8)Membangun kelompok kecil atau pendukung/‘champion’ (kampiun) advokasi mempertahankan norma gender yang setara dan adil dan mencegah kekerasan berbasis gender. *Penulis adalah Direktur Lembaga Advokasi DAMAR yang berbasis di Lampung

c) Terbangunnya diskusi ber

Swara Rahima

39


Profil

â– KH. Husein Muhammad

Kiai Pembawa Rahmat Oleh: Mamang M. Haerudin*

Husein Muhammad namanya. Kiai Haji adalah gelar kehormatan yang diberikan santri dan masyarakat kepada beliau karena kealiman dan pengabdiannya kepada kemanusiaan yang luar biasa.


Profil

B

eliau lahir di Desa Arjawinangun, Cirebon, hidup dalam tradisi Pesantren Daarut Tauhid. Pesantren salaf warisan Al-Maghfurlah KH. Abdullah Syathori, guru sekaligus kakeknya, kiai khas yang menjadi pahlawan bersama Kiai Amin Sepuh (Babakan, Ciwaringin) dan Kiai Abbas (Buntet Pesantren) pada peristiwa 10 November 1945 lampau. Kiai Husein dikenal sebagai kiai pembawa rahmat bagi Islam dan perempuan. Genealogi keilmuannya tentang keadilan gender berakar dari tradisi Pesantren yang didominasi oleh kitab kuning. Sekadar informasi, Kiai Husein melanjutkan pengembaraan intelektualnya ke Pesantren Lirboyo, Kediri, Jawa Timur, Pergur uan Tinggi Ilmu Al-Qur’an (PTIQ), Jakar ta, dan sempat belajar di Universitas Al-Azhar, Mesir. Sekitar tahun 1990-an, kiai Husein bertemu dengan kiai Masdar F Mas’udi dan mbak Lies Marcoes Natsir dari P3M (Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat) yang sedang menjalankan program Islam dan Hak Reproduksi Perempuan di Pesantren. Sejak itu, Kiai Husein banyak terlibat dengan berbagai kajian dan problem kemanusiaan seputar perempuan dan gender; Kekerasan dalam Rumah Tangga (KdR T) - beliau sempat dua periode menjadi Anggota Komisioner Komnas Perempuan-, melonjaknya angka perceraian, maraknya pernikahan anak dan perilaku diskriminatif lainnya. Hidup dalam tradisi Pesantren yang lekat dengan tradisi patriarkhi, lalu bertemu dengan berbagai isu kemanusian dan perempuan membuat Kiai Husein melakukan transformasi menjadi kiai yang berbeda

No 52 Th. XVII NOV 2017

KH Husein Muhammad tengah menyampaikan materi dalam pelatihan Pengkaderan Ulama Laki-Laki yang diadakan oleh Rahima pada medio 2016 silam di wilayah Provinsi Banten. KH. Husein adalah segelintir kiai pesantren yang gigih memperjuangkan hak-hak perempuan.

Swara Rahima

41


Profil dari kebanyakan. Bahkan bagi sebagian orang, beliau dianggap nyeleneh, kontroversial dan ‘liberal.’ Kiai Husein mensinyalir ada pemikiran dan ajaran Islam--yang hampir dipahami mainstream--yang jumud dan justr u mengancam keberadaan umat manusia, khususnya perempuan. Maka, bagi Kiai Husein tidak ada jalan lain kecuali Islam mesti dikembalikan maknanya sebagai agama rahmat, agama kasih sayang. Kata, ‘rahmat’--menur ut Kiai Husein--mengandung ar ti riqqah al-Qalb (kepekaan hati), al-Ta’athuf (kelembutan jiwa) dan al-Maghfirah (pemaafan). Ia sesuatu yang menimbulkan rasa indah, damai dan penuh kebaikan bagi yang dirahmati. Terlebih spirit ‘rahmat’ bagi perempuan. Bagi Kiai Husein, mustahil Al-Qur’an dan hadits mengenyampingkan dan atau menyepelekan keberadaan perempuan. Al-Qur’an dan hadits justru menjadi inspirasi kasih sayang terhadap perempuan. Islam sangat memuliakan perempuan. Maka jelas sekali, kalau ada pemikiran dan ajaran Islam yang terkesan menyepelekan (merendahkan) perempuan, misalnya perempuan itu--katanya--dekat dengan fitnah, perempuan akal dan agamanya lemah, perempuan takdirnya di dapur, sumur, kasur, perempuan dekat dengan setan dan stereotipe lain serupanya, maka semua itu bukanlah ajaran Islam yang dibawa Nabi Muhammad saw. Untungnya Kiai Husein produktif menulis buku, selain di media sosial. Bukunya yang sudah terbit dan fenomenal adalah Fikih Perempuan: Refleksi Kiyai atas Wacana Agama dan Gender (2001). Buku-bukunya yang lain: Islam Agama Ramah Perempuan: Pembelaan Kiyai Pesantren

42

Swara Rahima

(2005), Spiritualitas Kemanusiaan: Perspektif Islam Pesantr en, (2005). Ijtiihad Kyai Husein: Upaya Membangun Keadilan (2011), Mengaji Pluralisme Maha Guru Pencerahan, Mengarungi Sufisme Gus Dur, Gus Dur dalam Obrolan Gus Mus, dan masih banyak buku-buku yang lain. Saya beruntung, menjadi santri yang pernah menulis duet bersama Kiai Husein, buku kami itu berjudul ‘Mencintai Tuhan, Mencintai Kesetaraan: Inspirasi dari Islam dan Perempuan’.

tahun 2006 juga pernah dianugerahi penghargaan ‘Heroes to End Morn-Day Slavery oleh Pemerintah Amerika Serikat. Kita sangat membutuhkan Kiaikiai segigih dan sejujur Kiai Husein. Kiai dari Pesantren yang lekat dengan tradisi pesantren dan kitab kuning tetapi mempunyai cara pandang dan keberpihakan untuk keadilan serta kesetaraan perempuan. Akhirnya, semoga Kiai Husein selalu diberi kesehatan dan keberkahan hidup oleh Allah.

Dalam buku ini, Kiai Husein mengatakan, bahwa perempuan adalah manusia sebagaimana juga laki-laki. Perempuan memiliki seluruh potensi sebagaimana yang dimiliki laki-laki: akal yang berpikir, naluri yang merasa dan tubuh yang bergerak dalam ruang dan waktu. Akan tetapi dalam realitas kehidupan bermasyarakat dan berbangsa sampai hari ini, kita menyaksikan dengan kasatmata bahwa masih begitu banyak makhluk Tuhan berjenis kelamin perempuan, belum sepenuhnya memperoleh kemerdekaan sebagaimana kemerdekaan lawan jenisnya: laki-laki.

*Penulis merupakan Mitra Rahima dari Cirebon.

Di tangan Kiai Husein Islam ramah perempuan. Bagaimana beliau ‘membela’ perempuan memang sangat mengesankan, soal hak waris, wali nikah, imam shalat perempuan, kesehatan reproduksi, seksualitas, aurat perempuan dan lain sebagainya dikupas dan dikaji dengan kontekstual.

tradisi pesantren

Tidak heran jika kemudian, Kiai Husein pantas menyandang sebagai--satu-satunya--Kiai Pesantren bertaraf internasional yang paling jujur membela perempuan. Namanya tercatat dalam ‘The 500 Most Influential Muslims’ (The Royal Islamic Strategic Studies Center, tahun 2010, 2011-2012) dan pada

Kita sangat membutuhkan Kiai-kiai segigih dan sejujur Kiai Husein. Kiai dari Pesantren yang lekat dengan dan kitab kuning tetapi mempunyai cara pandang dan keberpihakan untuk keadilan serta kesetaraan perempuan.

No 52 Th. XVII NOV 2017


Jaringan

PESANTREN KEBON JAMBU AL ISLAMY BABAKAN CIWARINGIN CIREBON JAWA BARAT

Menyemai Bibit

KEULAMAAN PEREMPUAN Terletak tak jauh dari jalan raya antara Bandung-Majalengka, sekitar 3 km dari pintu tol

Sumber, Cirebon di kawasan Babakan Ciwaringin pesantren ini berada. Menarik, karena Pesantren Kebon Jambu Al Islamy adalah pesantren yang kini dipimpin oleh seorang perempuan yakni Nyai Hj. Masriyah Amva. Menariknya lagi, 26-27 April lalu sebuah perhelatan akbar yakni Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) digelar di tempat yang bersuasana asri ini.

Oleh Nyai Hj. Awani Amva

Sejarah dan Model Pendidikan

P

P. Kebon Jambu al-Islamy didirikan oleh K.H Muhammad dan istrinya Nyai Hj. Masriyah Amva, pada 20 November 1993 di atas tanah wakaf yang diberikan sang mertua KH. Amrin Hanan, setelah sebelumnya berhasil menjalankan amanat gurunya, KH. M Sanusi. Kebon Jambu terletak di Babakan Ciwaringin Cirebon. Dalam sejarahnya, daerah Babakan sering disebut sebagai babak awal perkembangan pendidikan Islam di Cirebon pada abad XVI, dengan tokoh pertamanya Kyai Jatira. Pengambilan nama Kebon Jambu sendiri dilatarbelakangi upaya pengabdian maupun aspek sejarah geografisnya, dimana lokasi tersebut dulunya adalah belantara kebun yang ditanami pepohonan jambu biji. Pesantren ini mengajarkan kitab-kitab klasik (kitab kuning) dengan metode bandongan seperti Ihya Ulumuddin, Riyadus Shalihin, Tafsir maupun sorogan seperti Safinatun Najah, Tijan Darari, Qatrul Ghaits, Sulamun Najat, Tanqihul Qaul, Sulamut Taufiq, Talimul Mutaallim dan Fathul Qarib.

No 52 Th. XVII NOV 2017

Swara Rahima

43


Jaringan

Agar menjadi “santri paripurna”, mereka juga harus ingat pada “Sembilan Larangan”. Yaitu:

Pesantren juga menyelenggarakan pendidikan agama dengan metode madrasah dengan mendirikan Madrasah Tahsinul Akhlak Salafiyah (MTAS) pada 1987. Metode ini diperuntukkan bagi santri yang mengkhususkan diri belajar keilmuan pendidikan Islam dan melestarikan kebiasaan musyawarah bagi santri tingkat 1-6 yang dilaksanakan setiap ba'da shalat Isya’. Beragam bentuk pembelajaran di pesantren dimotivasi oleh tanggung jawab pesantren untuk memfasilitasi santri-santri yang tidak mengikuti sekolah formal. Namun, dalam perkembangannya kini PP. Kebon Jambu Al Islamy dilengkapi dengan hadirnya pendidikan formal melalui pendirian SMPTP, MATP dan Ma’had Aly di bawah naungan Yayasan Tunas Pertiwi. Program pendidikan formal di pesantren yang disesuaikan dengan kurikulum pendidikan nasional ini ditujukan untuk menjawab kebutuhan tindak lanjut pendidikan para santri kelak. Pesantren juga memperbolehkan banyak santrinya untuk melanjutkan pendidikan di berbagai perguruan tinggi di wilayah Cirebon, baik di perguruan tinggi agama seperti IAIN Cirebon, ISIF, STAI Al Biruni, maupun di perguruan tinggi umum seperti UNSWAGATI dan lain-lain. Kini Pondok Pesantren Kebon Jambu menjadi lembaga untuk ber-tafaqquh fiddien (mendalami ilmu-ilmu agama) serta mengembangkan berbagai ketrampilan dan pengabdian untuk mencetak generasi yang BENER (berperilaku yang benar) dengan cara WEKEL (rajin dan bersungguh-sungguh) dalam mengaji supaya PINTER (pandai dan tidak mudah dibodohi), dan membiasakan mereka melaksanakan shalat berjama’ah. Dengan rajin melaksanakan shalat berjamaah, diharapkan mereka selalu berkelakuan baik dan benar.

44

Swara Rahima

1.

Tidak boleh banyak jajan,

2.

Tidak boleh banyak tidur,

3.

Tidak boleh banyak keluyuran,

4.

Tidak boleh melihat tontonan,

5.

Tidak boleh ikut permainan,

6.

Tidak boleh jambulan,

7.

Tidak boleh sering pulang,

8.

Tidak boleh pindah sebelum tujuh tahun, dan

9.

Tidak boleh boyong sebelum pandai.

Pengasuh pertama PP. Kebon Jambu adalah KH.Muhammad, yang di kalangan santri terkenal dengan sebutan “Akang”. Kepemimpinan beliau berjalan sampai beliau wafat pada 1 November 2006 (9 Syawal 1437 H). Kemudian kepemimpinan PP. Kebon Jambu digantikan oleh istri beliau yaitu Nyai Hj. Masriyah Amva dan putranya yaitu KH. Asror Muhammad yang akrab dipanggil “Aang”. Namun, karena Jumat 9 Juni 2017, Aang (41 tahun) berpulang ke rahmatullah, istri beliau Nyai Hj. Awani Amva menggantikan posisinya dan bersama-sama dengan Nyai Hj.Masriyah Amva, melanjutkan kepemimpinan pondok pesantren Kebon Jambu yang kini memiliki 950 santri putra dan 450 santri putri.

Pesantren Cinta Kesenian dan Pendukung Kesetaraan Meskipun berbagai tata kelola penyelenggaraan pendidikan pesantren PP.Kebon Jambu mengalami perubahan secara berangsur-angsur, namun tidak menjadikan pergeseran nilai-nilai pada dasarnya. Disini berbagai program unggulan ekstrakulikuler dikembangkan seperti seni Qiraatul Quran, seni dakwah, kaligrafi, shalawat, rebana, Lingkar Budaya Jambu dan seni bela diri Panca Tunggal Serba Guna (PTSG). Menggantikan posisi suami untuk mengelola pesantren baik dalam mengisi pengajian, mendisiplinkan santri, memimpin rapat dll. yang sebelumnya belum secara langsung dilakukan menjadi tantangan tersendiri. Secara tidak langsung, tuntutan kemandirian membuat para srikandi pesantren ini mempraktikkan langsung kesetaraan gender dan menolak

No 52 Th. XVII NOV 2017


Jaringan

Upaya membangun kesetaraan gender juga dilakukan dengan menggabungkan pengajian santriwan dan santriwati dengan membahas kitab yang berbagai diskriminasi yang berkembang di dalam masyarakat. Mereka membuktikan kesetaraan kiprah perempuan dan laki-laki dalam memimpin maupun mengelola pesantren. Upaya membangun kesetaraan gender juga dilakukan dengan menggabungkan pengajian santriwan dan santriwati dengan membahas kitab yang sama. Ini dilakukan karena mereka menyadari bahwa laki-laki dan perempuan memiliki potensi dan kesempatan yang sama dalam pendidikan dan pengajaran. Tidak hanya dalam forum pengajian, dalam berbagai kegiatan musabaqah (lomba) pun laki-laki dan perempuan digabungkan. Hal ini penting untuk menanamkan kesadaran bahwa potensi mereka sama dan bisa bersaing sehat dalam semangat yang positif. Kekhasan lain dari PP.Kebon Jambu adalah mengaji kitab “Adab� selama satu tahun bagi para santri baru untuk menanamkan nilai akhlakul karimah sebagai pondasi dan membentuk karakter yang bertanggung jawab, ikhlas dalam pengabdian, dan menjadi santri yang bertakwa. Akhlak penting untuk pertama kali ditanamkan agar mereka mampu menghayati nilai-nilai akidah dan selanjutnya dapat merealisasikannya dalam kehidupan bermasyarakat. Salah satu pelajaran terpenting akhak adalah menjadikan Nabi Muhammad saw. suri teladan dalam memperlakukan perempuan. Beliau memuliakan dan tidak membeda-bedakan perempuan maupun membatasi ruang geraknya. Bahkan istrinya Siti Aisyah binti Abu Bakar diakui kecerdasan dan kepiawaiannya dalam meriwayatkan hadis sebagimana perawi laki-laki lainnya. Di antara kegiatan di PP. Kebon Jambu Al Islamy, setiap ba’da shalat shubuh ada pengajian untuk

No 52 Th. XVII NOV 2017

sama. Ini dilakukan karena mereka menyadari bahwa lakilaki dan perempuan memiliki potensi dan kesempatan yang sama dalam pendidikan dan pengajaran. kelas akhir. Materi yang diajarkan adalah tentang kehidupan, aji rasa, dan memotivasi mereka dengan menyampaikan kisah para tokoh perempuan yang mandiri, cerdas dan ber wawasan luas sehingga tidak terjebak menjadi pribadi yang fanatik. Dengan memberikan wawasan kepada para santri bahwa kaum perempuan bisa berada pada posisi yang selama ini didominasi laki-laki; dengan keilmuan dan kemampuan mereka. Mental mereka juga perlu dipersiapkan agar tidak menjadi sosok yang lemah dalam kondisi dan situasi apapun. Akhirnya, mudah-mudahan ikhtiar ini akan berhasil dengan hadirnya Ma'had Aly di PP. Kebon Jambu Al-Islamy yang secara simbolis telah ditandai penandatanganan prasati oleh : Ibunda Nyai Hj. Mariyah Amva dan penyerahan kitab kuning kepada Mudir Ma'had Aly : Dr. KH. Marzuki Wahid baru-baru ini. La haula wala quwwata illa billah. Semoga!. *

Swara Rahima

45


Khazanah

MENJADI

Laki-Laki Baru Judul: Laki-Laki Dalam Asuhan Feminisme (gerakan Laki-Laki Baru untuk Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan dan Pencapaian Keadilan Gender di Indonesia) Penulis: Desti Murdijana dan Nur Hasyim Penerbit : Oxfam dan Australian Aid Cetakan : Pertama Tebal: 4 + 89 halaman Tahun Terbit: September 2006 ISBN : 978-602-19664-2-6

Oleh Ahmad Fadhil*

KESADARAN akan fakta kekerasan berbasis gender telah telah memunculkan hadirnya komunitas laki-laki pro-feminis. Dan hadirnya buku LakiLaki Dalam Asuhan Feminisme yang disusun oleh Desti Murdijana dan Nur Hasyim dan diterbitkan oleh Oxfam dan Australian Aid pada 2016 ini mendokumentasikan kiprah Aliansi Laki-laki Bar u (ALB) dalam membangun nilai-nilai baru dalam masyarakat yang mencerminkan keadilan dan antikekerasan. Buku ini juga berkontribusi dalam membangun pengetahuan untuk memperkuat posisi politik perempuan; memperkaya pengetahuan terkait gerakan laki-laki pro feminis di Indonesia, dan menjadi rujukan dalam pengembangan program penghapusan kekerasan terhadap perempuan. Buku setebal 89 halaman ini diawali dengan paparan tentang wacana dan

46

Swara Rahima

No 52 Th. XVII NOV 2017


Khazanah

sejarah pelibatan laki-laki pro-feminis di dunia dan Indonesia. Selanjutnya,dibahas 3 fokus buku ini: (1) pandangan ALB—satu-satunya jaringan laki-laki pro-feminis yang aktif di Indonesia—terhadap gerakannya dalam konteks gerakan untuk keadilan gender dan penghapusan kekerasan terhadap perempuan di Indonesia, (2) sumbangan ALB dalam menumbuhkan nilai kesetaraan di komunitas, dan (3)sumbangan ALB dalam mendukung penghapusan kekerasan terhadap perempuan. Fenomena laki-laki yang mendukung gerakan anti kekerasan terhadap perempuan di Indonesia tertinggal dari negara-negara lain, seperti Kanada, India, bahkan Filipina, Kamboja, dan T imor Leste. Di Indonesia, catatan tentang gerakan ini diawali oleh deklarasi Cowok-cowok Anti Kekerasan (CANTIK) pada 2001 di Jakar ta. Delapan tahun setelah itu, pada September 2009 di Bandung, generasi kedua laki-laki pro-feminis mendirikan Aliansi Laki-laki Baru. ALB lahir dari keprihatinan akan situasi penindasan dan ketidakadilan pada perempuan yang berpangkal pada partiarki sebagai sistem sosial yang memberikan laki-laki kedudukan dan status lebih tinggi. ALB memandang bahwa ketidakadilan terhadap perempuan bersifat struktural dan dilestarikan oleh beragam institusi sosial yang membuatnya menjadi melembaga dan berdampak negatif juga bagi laki-laki. ALB memposisikan diri sebagai pendukung dan bagian dari gerakan perempuan. Ini karena para penggiat ALB: (1) memiliki kedekatan dengan gerakan feminis sehingga ada yang menyebut mereka sebagai “laki-laki dalam asuhan feminis”, (2) memiliki pengalaman hidup yang mengantarkan kepada penolakan terhadap kekerasan terhadap perempuan. ALB menyatakan tidak mengelola program agar tidak berkompetisi dengan organisasi perempuan dalam mendapatkan dana, tidak berebut panggung, dan tidak melahirkan pengistimewaan baru bagi laki-laki. ALB melakukan inisiatif untuk menjadi gerakan yang melibatkan masyarakat. ALB melakukan pelatihan penanaman nilai-nilai kesetaraan gender

No 52 Th. XVII NOV 2017

di masyarakat di sejumlah desa di Nusa Tenggara Timur dan Barat. Pesertanya, yaitu para Laki-Laki Baru (LLB),dilatih untuk menerapkan nilai kesetaraan dan antikekerasan dalam kehidupan sehari-hari, mulai dari (1) mengubah cara pandang terhadap dirinya dan perempuan; (2) mengurangi pencetus terjadinya kekerasan terhadap perempuan seperti mengonsumsi alkohol; (3) terlibat dalam tugas domestik seperti mencuci piring, memasak, dan pengasuhan anak; (4) berhenti menggunakan kekerasan dalam menyelesaikan konflik rumah tangga; dan (5) mengelola emosi dan membangun pola komunikasi yang positif. Meski dianggap aneh dan rendah oleh laki-laki lain, tapi para LakiLaki Baru ini mengaku bahwa mereka merasa menjadi lebih bahagia. Kebanyakan mereka juga berhenti melakukan kekerasan dan dapat berkomunikasi dengan lebih terbuka dengan pasangan, serta memiliki hubungan emosional yang lebih dekat dengan anak. Namun begitu, posisi mereka memang belum diterima sepenuhnya oleh para aktivis perempuan. Konsistensi dan kesungguhan hati mereka selalu ditagih agar pantas disebut laki-laki feminis (male feminist). Jika tidak, ia akan dianggap mempromosikan hak perempuan karena sekadar menjalankan program atau proyek (men doing feminism atau pseudo-feminist). ALB dan LLB harus memberikan bukti lebih banyak karena pandangan bahwa laki-laki mustahil melakukan “bunuh diri kelas”. Meski demikian, buku ini membuktikan bahwa ALB telah berkontribusi dalam mendorong partisipasi laki-laki dalam upaya mencapai keadilan gender dan penghapusan kekerasan terhadap perempuan. Membaca buku ini membuat saya merasa bahwa saya sudah termasuk Laki-Laki Baru. Di arisan keluarga, di masjid, dan di kelas saya menceramahkan bahwa Alquran mewajibkan laki-laki untuk menyiapkan makanan dan pakaian yang siap dimakan dan dipakai. Dan di rumah, saya berusaha menerapkan itu walau belum sepenuhnya. Kalau tidak percaya, silakan bertanya pada istri saya.{} *Penulis merupakan Mitra Rahima di Banten

Swara Rahima

47


Diasuh Oleh: Ustadz Nur Achmad, MA

Kehidupan dan Rumah Tangga

TANPA KEKERASAN Islam adalah agama keadilan dan kebajikan serta mengajarkan kesederajatan umat mausia sebagai makhluk di hadapan Allah.

MANUSIA satu kepada manusia lain, tidak diperkenankan melakukan apapun selain sikap ihsan, berbuat baik secara tulus, sebagaimana perintah ayat:

َ َ َ َ ُ َّ َ َ ْ َ َ َ ْ ْ َ َ ‫الل ِإل ْيك ۖ َول ت ْب ِغ‬ ‫وأح ِسن كما أحسن‬ َ‫ْ أ‬ َْ ُّ‫الل َل ُي ِحب‬ َ َّ ‫ال ْر ض ۖ إ َّن‬ ‫الف َس َاد ِفي‬ ِ ِ ْ ْ ‫ال ُمف ِس ِد َين‬ Ar tinya: ...Dan berbuat baiklah sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu dan janganlah

48

Swara Rahima

No 52 Th. XVII NOV 2017


Dirasah Hadis bertindak merusak di muka Bumi. Sungguh Allah tidak menyukai para perusak. (QS. Al-Qashas/28: 77). Karenanya semua sikap dan tindakan yang mengandung unsur zalim (merugikan) dan fasad (merusak) sangatlah dilarang dalam pandangan Islam. Sikap zalim dan merusak tersebut lahir dari landasan kufur dan syirik. Dalam konteks ayat di atas, Qarun, Fir’aun dan Haman, memilih bersikap kufur dan syirik sehingga mereka berlaku zalim dan merusak secara massif dan tersistem. Sebaliknya untuk membangun kehidupan yang aman dan tercerahkan, haruslah dilandasi dengan iman dan menjauhi kezaliman/ syirik. Iman sejati melahirkan sifat amanah pada diri orang yang beriman dan sifat ini akan melahirkan rasa aman dan kondisi yang menenangkan. Allah menegaskan tentang hubungannya,

َّ ُْ ْ َ َ ‫ال ِذ َين َآم ُنوا َو ل ْم َيل ِب ُسوا ِإ َيمان ُه ْم ِبظل ٍم‬ َ ‫ُ َٰ َ َ ْ أ‬ َ ‫أول ِئك ل ُه ُم ال ْم ُن َو ُه ْم ُم ْه َت ُدون‬ Artinya: Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman (syirik), mereka itu mendapatkan rasa aman dan mereka itu mendapatkan petunjuk (QS. Al-An’am/6: 82). Kehidupan yang tercerahkan oleh petunjuk dan aman hanya akan diperoleh, jika umat manusia berpegang pada iman (tauhid) dan tidak berlaku syirik. Dalam praktik sehari-hari, masih sering dijumpai adanya sikap dan tindakan kekerasan dalam berbagai jenis dan bentuknya, kekerasan antarkelompok, antarjenis kelamin, antara kelompok bersenjata kepada kelompok sipil tanpa senjata, dan

No 52 Th. XVII NOV 2017

kekerasan kepada kaum perempuan serta anak-anak. Kekerasan dalam pelbagai bentuknya, baik fisik, psikis, seksual, dan penelantaran ekonomi-sosial terjadi akibat hubungan yang tidak setara, tidak sederajat dalam status yang serba timpang. Kelompok yang merasa lebih (kuat, baik, sempurna, benar, mulia, suci, dst.) menganggap layak atau patut bertindak keras dan kasar kepada pihak lain yang memiliki kondisi sebaliknya atau yang dinilai sebaliknya. Jika seseorang atau suatu kelompok menilai diri dan orang/ kelompok lain setara akan berusaha membangun keharmonisan

Janganlah kalian memukul perempuanperempuan hamba Allah

dan kedamaian antara kondisi yang setara tersebut. Namun jika kondisi timpang, satu pihak merasa di atas dan pihak lain dinilai di bawah, maka ketimpangan ini menghasilkan kekerasan, kezaliman, dan anti kedamaian. Hal ini patut diperhatikan dan disikapi agar dapat dihentikan atau setidaknya diminimalisir. Semua pihak perlu terlibat dan berperan dalam menghapuskan tindakan kekerasan yang terjadi. Ini adalah tugas mulia sabagai khalifah Allah dalam menciptakan kehidupan yang makmur, sejahtera, dan damai.

*** Pada suatu hari, pernah ada sekitar 70 perempuan mengadukan nasib mereka dengan melaporkan kepada Nabi Muhammad Saw. atas kasus kekerasan yang dialami yang dilakukan oleh para suami. Nabi saw. pun menegaskan: “La tadhribuu imaa’ Allah” (Janganlah kalian memukul perempuan-perempuan hamba Allah). Kemudian terjadi lagi kasus kekerasan dan kaum perempuan menyampaikan pengaduan kedua kepada Nabi saw. kemudian Nabi saw. menyatakan: “Laisa ula’ika bi khiyarikum” (“Mereka yang melakukan kekerasan itu bukanlah orang-orang yang baik”). Petikan hadis ini diriwayatkan oleh sejumlah ahli hadis, antara lain Abu Dawud, Sunan Abi Dawud, no. 2148, Tirmizi, dan Nasa’i. Berikut hadis selengkapnya dalam Riwayat Imam Abu Dawud:

َ َ َ ُ َ ْ ِ َّ ‫َع ْن إ َياس ْبن َع ْب ِد‬ :‫ قال‬،‫اب‬ ٍ ‫الل ب ِن أ ِبي ذب‬ ِ ِ َّ​َ َ َ ْ َ َ ُ َّ َ َّ ِ ُ ُ َ َ َ : ‫الل صلى هللا علي ِه و سلم‬ ِ ‫قال ر سول‬ َ ُ َ ُ َ َ َ َّ َ َ ُ ْ َ َ ‫الل » فجاء عمر ِإ لى‬ ِ ‫«ل تضر بوا ِإ ماء‬ َ َ َ َ َّ َ َ ْ َ َ ُ َّ َ َّ ِ ُ :‫الل صلى هللا علي ِه وسلم فقال‬ ِ ‫ول‬ ِ ‫َرس‬ َ َ ّ َ َ َ ْ َّ َ ‫ ف َر خ َص‬، ‫اج ِه َّن‬ ِ ‫ذ ِئ ْر ن‬ ِ ‫الن َس ُاء َعلى أ ز َو‬ َ َ َ َّ َ َّ ُ ‫الل‬ ِ ‫ول‬ ِ ‫ فأ طاف ِب ِآل َر س‬، ‫ِفي ض ْر ِب ِهن‬ َّ َ ُ َّ َ َ ُ ْ َ ‫هللا َعل ْي ِه َو َسل َم ِن َس ٌاء ك ِث ٌير َيشكون‬ ‫صلى‬ َْ َ ُ َّ َ ُّ َّ َ َ َ َّ ُ َ َ ْ َ ‫ فقال الن ِبي صلى هللا علي ِه‬، ‫أ ز و اجهن‬ َّ َ َ َ​َ َ ‫ «لق ْد طاف ِب ِآل ُم َح َّم ٍد ِن َس ٌاء ك ِث ٌير‬:‫َو َسل َم‬ َ َ ُ َ َ َ َْ َ ُ َْ ُ ‫اج ُه َّن ل ْي َس أول ِئك ِب ِخ َي ِارك ْم‬ ‫يشكون أزو‬ Artinya : “Dari Iyas bin ‘Abdillah bin Abi Zubab, berkata: Rasulullah Saw. bersabda: “Janganlah kalian memukul perempuan-perempuan hamba Allah!”. Kemudian ‘Umar datang kepada Rasulullah Saw. dan berkata: “Kaum perempuan berlaku

Swara Rahima

49


Dirasah Hadis tidak wajar atas para suami”. Lalu Rasulullah Saw. memberikan keringanan dalam hal memukul perempuan. Maka banyak perempuan mengelilingi (rumah) keluarga Rasulullah Saw. mengadukan suami-suami mereka. Kemudian Rasulullah Saw. bersabda: “Sungguh banyak perempuan mengelilingi (rumah) keluarga Muhammad Saw. mengadukan suami-suami mereka. Mereka itu (pelaku kekerasan) bukanlah orang-orang yang baik.” (HR. Abu Dawud: 2148). Nabi Muhammad Saw. figur laki-laki yang memiliki perhatian dan pembelaan kepada semua yang terzalimi dan terugikan, baik fisik, psikis, maupun materi. Sabda beliau: “unshur akhaaka dzaaliman aw madzluuman.” (Tolonglah saudaramu, baik dia sebagai pelaku maupun korban kezaliman). Kita pun diharapkan demikian. Ketika di sekitar kita, ada pihak-pihak yang menjadi korban ketidakadilan dan kekerasan, kita diharapkan bisa ambil bagian dalam membantu mengatasinya sebagai bagian dari amar ma’ruf nahi munkar. Keterlibatan kita bisa sebagai penyuluh masyarakat tentang Islam sebagai agama damai dan antikekerasan. Bisa juga dengan menyebarkan tulisan yang mengajak pada kehidupan rumah tangga yang harmonis, damai, dan tanpa kekerasan. Bahkan dalam kondisi yang dibutuhkan, kita bisa menjadi penghubung pihak-pihak yang menjadi korban dan pelaku KDRT sehingga rumah tangga dapat diselamatkan. Namun jika tidak bisa diselamatkan, karena KDRT yang terjadi sudah pada stadium tinggi, dan membahayakan pihak-pihak yang menjadi korban baik perempuan dan anak-anak, maka pembelaan dan pendampingan dilakukan hingga ke ranah hukum.

50

Swara Rahima

*** Suatu hari Rasulullah saw. ditanya oleh Haidah al-Qusyairi ra. tentang apa hak-hak perempuan/istri atas suaminya. Rasulullah saw. menjelaskan dengan sabdanya: “An tuth’imahaa idza tha’imta, wa taksuwahaa idza iktasaita, wa laa tadhribi al-wajha wa tuqabbih, wa laa tahjur illa fi l-bait.” (memberi makan, bila kamu bisa makan; memberi pakaaian, jika kamu bisa berpakaian; jangan memukul wajahnya; jangan menghinakannya; serta jangan menjauhkan dirinya kecuali masih di dalam rumah)”. (HR. Abu Dawud, no. 2144 dan 2145). Berikut teks hadis selengkapnya:

َ ‫ َع ْن‬، ‫َع ْن َس ِع ِيد ْب ِن َح ِك ِيم ْب ِن ُم َع ِاو َية‬ َ َ َ َ ُْ َ : ‫ قال‬، ‫ َع ْن َج ِّد ِه ُم َع ِاو َية القش ْي ِر ِّي‬، ‫أ ِب ِيه‬ َّ َ ُ َّ َ َّ َ ُ َ ُ ْ َ َ ،‫هللا َعل ْي ِه َو َسل َم‬ ‫الل صلى‬ ِ ‫أتيت رسول‬ َ َ َ َ ُ َُ َ ُ َُْ َ َ : ‫ ِفي ِنسا ِئنا قال‬: ‫ ما تقول‬: ‫ فقلت‬: ‫قال‬ َ ُ ُ ْ َ َّ َّ ُ ُ ْ َ ُ ‫ َو ْاك ُس‬،‫ون‬ ‫وه َّن ِم َّما‬ ‫«أط ِعموهن ِمما تأكل‬ َ ُ َْ َ ُ ‫ َو َل ُت َق ّب ُح‬،‫وه َّن‬ ُ ‫ َو َل َت ْضر ُب‬،‫ون‬ َّ‫وهن‬ ‫تكتس‬ ِ ِ

َ َ َّ - ‫ َح َّد ث َنا َي ْح َيى ْب ُن‬، ‫َح َّد ث َنا ْاب ُن َبش ٍار‬ َ َ ‫ َح َّد ث ِني‬، ‫ َح َّد ث َنا َب ْه ُز ْب ُن َح ِك ٍيم‬، ‫َس ِع ٍيد‬

َ َ ُْ َ َ ‫ َيا َر ُسول‬: ‫ قل ُت‬: ‫ قال‬،‫ َع ْن َج ِّد ي‬،‫أ ِبي‬ َْ َ​َ َ َّ ، ‫ ِن َس ُاؤ نا َما نأ ِتي ِم ْن ُه َّن َو َما نذ ُر‬، ‫الل‬ ِ َ َ ْ َ َ ْ َّ َ َ ْ ‫ َوأط ِع ْم َها‬،‫ «ائ ِت َح ْرثك أنى ِشئ َت‬:‫قال‬ َ َ َ َْ َ ْ ‫ َول‬، ‫ َواك ُس َها ِإ ذ ا اكت َس ْي َت‬، ‫ِإ ذ ا ط ِع ْم َت‬ َ َ َ ْ َُ َ َ ‫ قال أ ُبو‬.» ‫ َو ل ت ْض ِر ْب‬، ‫تق ِ ّب ِح ال َو ْج َه‬ ْ ُ ُ ُ َ َ ‫ َر َوى ش ْع َبة «تط ِع ُم َها ِإذا ط ِع ْم َت‬:‫َد ُاو َد‬ َْ َ َ ُ ْ َ َ ‫وها ِإ ذ ا اكت َس ْي َت‬ ‫»و تكس‬ Kedua hadis ini memberikan penegasan tentang jaminan hak-hak dasar bagi perempuan (baik sebagai anak atau istri), antara lain hak nafkah materil berupa pangan dan sandang, hak rasa aman dan hak harga diri berupa tidak disakiti (fisik) dan tidak dihinakan (psikis), serta hak dalam pernaungan dan pendampingan berupa tidak ditelantarkan. Hak-hak asasi perempuan yang merupakan bagian tak terpisakan dari Hak Asasi Manusia (HAM), ditegaskan secara lengkap dalam hadis ini dengan penyebutan secara prinsipnya. Sandang, pangan, aman, nyaman, dan pengayoman. Ini semua adalah masuk dalam tugas kepemimpinan atau tugas manusia sebagai khalifah Allah di Bumi untuk memakmurkan bumi dan penduduknya.

No 52 Th. XVII NOV 2017


Dirasah Hadis atau perempuan, dan dia beriman, niscaya Kami menghidupkannya dengen kehidupan terbaik (hayatan thayyibah) dan niscaya Kami memberikan ganjarannya dengan lebih baik dari apa yang mereka kerjakan. (QS. Al-Nahl: 97). Ayat ini memberi semangat bahwa laki-laki dan perempuan, harus terlibat atau berperan bersama dalam mewujudkan kehidupan terbaik (hayatan thayyibah), baik di level kecil, keluarga inti dan keluarga besar serta lingkungan kecil, maupun level lebih luas, kehidupan bermasyarakat/sosial. Tanpa peran aktif dari laki-laki dan perempuan yang dilandasi iman kepada Allah swt., mustahil kehidupan terbaik itu tercapai atau terwujud.

Dalam konteks rumah tangga, dan yang diberi tugas awal karena penerima ijab-qabul adalah para suami untuk menjalankan amanah kepemimpinan di dalam r umah tangga yang mengamalkan atau meniru sifat Allah yang “ath’ama hum min juu’in wa aamana hum min khouf” (Allah Yang Maha Memberi makan, dan terbebas dari rasa lapar serta memberi aman,dan terbebas dari rasa takut). QS. Quraish: 4. Meniru sifat dan akhlak Allah swt., dengan mengikuti hadis takhallaquu bi akhlaqillahi, Yang Maha Memberi dan Menjaga, begitulah seharusnya akhlak kepemimpinan dalam rumah tangga. Jika suami diberi amanah menjadi pemimpin r umah tangga, maka tidak ada hal lain selain meniru sifat Allah, yakni memberi dan

No 52 Th. XVII NOV 2017

melindungi, tidak ada kekerasan dan ketidak–adilan. Dalam konteks yang lebih luas, semua hamba dituntut meniru sifat-sifat Allah Yang Maha Rahman (Welas) dan Rahim (Asih). Artinya, semua hamba Allah, laki-laki dan perempuan, berkewajiban mewujudkan kehidupan di bumi ini penuh dengan kedamaian dan harmoni atas dasar iman dan kerangka amal shaleh menuju kehidupan yang terbaik (hayatan thayyibah). Hal ini ditegaskan dalam QS. Al-Nahl: 97:

َُْ َ َ َ ‫َم ْن َع ِمل َصا ِل ًح ِام ْن ذك ٍرأ ْوأنثى َو ُه َو ُم ْؤ ِم ٌن‬ َ َ ً َ ً َ​َ ‫فل ُن ْح ِي َي َّن ُه َح َياة ط ِّي َبة َو ل َن ْج ِز َي َّن ُه ْم أ ْج َر ُه ْم‬ َ ُ َ ُ َ َ َ ْ َ 9 : ‫واي ْع َملون [النحل‬ ‫ِبأ حس ِن ماكان‬

“Siapa saja yang berbuat terbaik (beramal shaleh), laki-laki

Karenanya, sudah sepatutnya kaum laki-laki (sebagai ayah, suami, saudara, anak) mengambil bagian dalam gerakan bersama berkesinambungan dalam mewujudkan hayatan thayyibah yang mewujud dalam qaryah thayyibah (kampung yang terbaik) dan baldah thayyibah (negeri yang terbaik) serta Tuhan Yang Maha Pengampun (wa Robbun Ghafuur) atas penduduknya. Aamin. Dengan berpegang teguh pada nilai dasar agama dan akhlak karimah, maka kehidupan pribadi, keluarga, masyarakat dan juga negara akan berlangsung dengan baik, aman, dan beradab. Kehidupan yang baik adalah kehidupan yang dilandasi iman yang lurus dan amal yang shaleh, yang salah satu indikasinya adalah terbebasnya kehidupan dari praktik kekerasan, ketidakadilan, dan penindasan antarsatu dan lainnya. Semoga. *) Penulis adalah Pengurus Perhimpunan Rahima, Dosen Kajian Islam STIE Ahmad Dahlan Jakarta dan Dewan Mudir MBS Jakarta di Jampang.

Swara Rahima

51


ْ ‫صا ِل ًحا‬ َ ‫َمن َع ِمل‬

ٌ ْ َّ َ ‫ح َيا ًة‬ َ َ ُ َ ‫ِم ْن َذ‬ ‫ط ِّي َب ًة‬ ‫ه‬ ‫ن‬ ‫ي‬ ‫ي‬ ‫ح‬ ‫ن‬ ‫ل‬ ‫ف‬ ‫ن‬ ‫ك ٍر َأ ْو ُأ ْن َثى َو ُه َو ُمؤ ِم‬ ُ َ َِ ْ َّ ‫َو َل َن ْج ِز َين ُه ْم َأ ْج َر ُهم‬ َ ‫س ِن َما‬ ‫كا ُنو ا َي ْع َم ُلو َن‬ َ ‫ِب َأ ْح‬

Siapa saja yang berbuat terbaik (beramal shaleh), laki-laki atau perempuan, dan dia beriman, niscaya Kami menghidupkannya dengan kehidupan terbaik (hayatan thayyibah) dan niscaya Kami memberikan ganjarannya dengan lebih baik dari apa yang mereka kerjakan.

-- QS. Al-Nahl: 97 --


INFO KONGRES ULAMA PEREMPUAN INDONESIA

Momen Tepat

P

Di Tengah Kuatnya Interpretasi Maskulinitas

roses kultural cukup penting yang telah ditorehkan oleh perempuanperempuan Islam Indonesia pada pelaksanaan Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI). Kongres ini kali pertama di Indonesia bahkan di dunia, yang dilangsungkan pada 25-27 April 2017 di Pondok Pesantren Kebon Jambu al-Islamy Cirebon Jawa Barat. Acara yang dihadiri lebih dari 700 ulama perempuan Indonesia dari Aceh sampai Papua. Kegiatan yang diinisiasi oleh tiga lembaga yang konsen terhadap isu-isu keadilan dan kesetaraan laki-laki dan perempuan (Fahmina, Rahima, dan Alimat). Rangkain kongres secara garis besar adalah Seminar Internasional, Seminar Nasional. Diskusi Paralel, Diskusi dan Launcing Karya Keulamaan Perempuan, Diskusi pandangan keagamaan, Pentas Seni dan Budaya, dan kegiatan sosial. Kongres ini sebagai sebuah even mungkin biasa. Akan tetapi jika dilihat dari perspektif historis pembentukan teologi klasik Islam yang menunjukkan terlalu kuatnya maskulinitas, hal itu menjadi signifikan bagi torehan sejarah keberlangsungan KUPI ini. Sejarah Islam telah mencatat bahwa ulama perempuan telah menjadi bagian dari setiap peradaban ilmu pengetahuan. Namun, dalam lembaran-lembaran sejarah tidak banyak ditampakkan sebagaimana popularitas ulama laki-laki. Tidak kalah penting juga kiprah organisasi-organisasi perempuan di kalangan komunitas keagamaan. Seperti Muslimat dan Fatayat di kalangan Nahdlatul Ulama (NU), Aisyiah dan Nasyiatul Aisyiyah di lingkungan Muhammadiyah maupun Persistri di lingkungan organisasi Persatuan Islam (Persis). Kiprah organisasi ini, sedikit banyak, merupakan respon dari adanya tuntutan agar perempuan mendapatkan ruang untuk ber-tafaqquh f id-dien, menuntut ilmu dan berpartisipasi dalam berbagai bidang kehidupan. Akhir-akhir ini, diskursus yang berkembang di masyarakat banyak memunculkan dikotomidikotomi yang mempertentangkan antara agama dan

No 52 Th. XVII NOV 2017

negara, kesalehan individual dan kesalehan sosial, lokal dan global yang berpotensi memunculkan ketegangan dalam kehidupan sehari-hari. Ulama perempuan nampaknya menyadari betul ancaman teologi Islam klasik terhadap tatanan di era yang akan datang. Oleh karenanya dengan melakukan kritik sumber pengetahuan agama, ulama perempuan bermaksud memotong tradisi elitisme dalam agama. Upaya pembebasan dari budaya patriakhi ini hanya bisa dilakukan dengan membongkar paradigma teologi Islam yang elitis kepada paradigma teologi Islam yang humanis transformatif. KUPI ini penting untuk dilihat sebagai momentum untuk menggeser paradigm statis ke paradigm yang dinamis dan membebaskan. Dan dari Kongres ini telah melegitimasi dan mengafirmasi kerja-kerja perempuan-perempuan ulama di Indonesia, terutama mereka yang sudah memiliki kesadaran keberpihakan untuk keadilan relasi lakilaki dan perempuan. Kongres yang merupakan ruang perjumpaan akbar para perempuan pemimpin pondok pesantren, pengasuh dan pengelola majlis taklim, ustadzah, muballighah, dai’iyah, aktivis, pakar, pemerhati, dan akademisi yang peduli pada isu keislaman dan keadilan gender dari seluruh penjuru Indonesia untuk belajar bersama, berkenalan, bertukar pengetahuan dan pengalaman terkait kiprah keulamaan perempuan. Proses dialektika kongres ini paling tidak, telah menghasilkan pertama, pandangan keagamaan tentang isu perempuan kontemporer perspektif Islam dalam konteks kebangsaan di Indonesia dan kemanusiaan global dunia. Kedua, memberikan rekomendasi bersifat taktis dan strategis dari perspektif ulama perempuan, akademisi dan praktisi pemberdayaan perempuan, dalam menjawab krisis masalah kekerasan terhadap perempuan (pernikahan anak, kekerasan seksual), migrasi, pembangunan berkeadilan dan radikalisme. Dan beberapa rekomendasi langsung disambut oleh pemerintah melalui kementerian agama tentang persoalan usia pernikahan untuk ditingkatkan menjadi 20 tahun dari 16 tahun.{} Rosidin

Swara Rahima

53


Lagi-lagi, mata itu menatap sayu ke arahku. Wajahnya yang pucat kian suram. Air mata menggenangi bola matanya tiapkali menatapku. Tak sanggup aku melihatnya terus seperti ini.

Cerpen

Lebih Baik

Tak Bicara Oleh : Sirtu Firdianti

Aku tak sanggup menahan ini lebih lama. *** PERLAHAN meraih tanganku seraya berkata, ““Rena..., sampai kapan kau akan tetap diam seperti ini? Lima tahun sudah berlalu. Kakak mohon, tolong berhenti seperti ini! Kakak merindukan Adik manis Kakak yang cerewet dulu...” Tangisannya pun tumpah. Aku masih terdiam, tak tahu apa yang harus aku lakukan. Haruskah aku mengikuti sarannya Tapi... ini terlalu berat bagiku. “Kakak merindukan nyanyianmu Ren...” Aku menghela napas. Perlahan ku dekati Kak Alina yang duduk tertunduk di ranjang rumah sakit, tanganku meraih lembut pundak kirinya. Ia menghentikan tangisannya lalu menatapku. Ingin rasanya aku menyanyikan lagu yang dulu sering kunyanyikan di depannya.

54

Swara Rahima

“Rena!!” Suara teriakan itu sudah sering aku dengar. Suara yang sudah satu tahun ini menghiasi rumah kecilku yang dulu begitu tenang. Rumah yang dulu selalu terisi akan tawa bahagiaku bersama Ayah, Ibu dan Kak Alina. “Rena!! Cepatlah...!” Aku pun bergegas mendekati tempat suara itu berasal. Aku tak mau membuatnya semakin marah. Walau sebenarnya saat ini ia sudah begitu marah. Lihatlah, keningnya saat ini sudah berkerut. “Apa-apaan ini?” Lelaki di depanku ini menunjuk meja makan yang masih kosong. “Kau belum memasak apapun? Lalu Ayahmu ini mau makan apa?” Ya, dia Ayahku. Lebih tepatnya Ayah tiriku sejak satu tahun yang lalu.

“Kau tahu betapa susahnya aku bekerja di luar sana untukmu dan juga Kakakmu yang sekarat itu?” Aku hanya dapat menghela napas. Lihatlah, dia mulai lagi. Menyombongkan apa yang dia lakukan terhadap keluargaku. Tapi nyatanya dia justru merupakan beban di rumah ini. Bagaimana tidak, yang dia lakukan hanya menghabiskan uang yang Ibu hasilkan dari menjadi TKW. Namun tak ada yang tahu itu. “Brakkk” Aku begitu terkejut mendengarnya memukul keras meja. Begitu pula gelas kaca yang ia lempar ke arahku. Beruntung aku dapat menghindarinya, hingga gelas itu kini pecah tepat di belakangku. “Kau ini benar-benar...” Ia menghentikan ucapannya lalu berjalan mendekatiku. Aku hanya dapat menutup mata saat tangan kekarnya ia angkat... Tak ada yang terjadi, perlahan ku buka kembali dua bola mataku.

No 52 Th. XVII NOV 2017


Cerpen “Brukkk” Aku hanya dapat meringis kesakitan saat tubuhku membentur lantai. Sementara laki-laki itu hanya tersenyum sinis lalu berlalu meninggalkanku. Aku kembali meringis saat ku rasakan perih di telapak tangan kananku. Pecahan gelas itu menyisakan luka yang teramat menyakitkan di tanganku. *** “Kenapa kau selalu ceroboh seperti ini Ren?” Aku hanya dapat meringis saat Deka, laki-laki yang berada di depanku ini mencabut pecahan gelas di tanganku. Tangannya begitu terampil mengobati luka ini. “Kenapa kau sering terjatuh, hah? Bagaimana bisa hampir setiap hari kau selalu saja terluka?” Aku hanya tersenyum sembari menggeleng pelan. Deka memang tak pernah tahu apa yang sebenarnya terjadi. Ia hanya mengira luka-luka yang sering aku dapatkan karena terjatuh. Walau sebenarnya luka-luka itu berasal dari Ayah tiriku. Deka adalah teman dekat yang baru saja dua bulan aku kenal. Walau aku tak dapat berbincang banyak dengannya dan diatak mengerti bahasa isyarat yang aku gunakan. Tapi aku cukup bahagia memilikinya. Setiap kali aku bersedih aku selalu menghampiri taman tempatku berada saat ini. Karena di tempat inilah aku bisa berjumpa dengannya. Deka menghela napas. “Baiklah, selesai..” Aku tersenyum menatap tangan kananku yang kini terbalut perban. Lalu beralih melihat seorang anak perempuan yang kini bermain riang bersama Ibu dan Ayahnya tak jauh dari tempatku berada. Aku pun teringat peristiwa lima tahun yang lalu yang menimpa keluargaku. Saat itu aku masih berusia lima belas tahun, tanpa sengaja aku

No 52 Th. XVII NOV 2017

melihat Ayah bersama seorangperempuan. Aku tak mengenal perempuan itu, tapi Ayah memeluk mesra perempuan yang duduk di sampingnya itu. Aku berniat menghampiri mereka, namun meraka sudah menghilang dari pandanganku. *** “Aku benar bukan. Aku melihat Ayah bersama perempuan lain tadi...” Suasana rumah tampak riuh. Ibu menangis tersedu di sudut ruangan. Sementara Kak Alina menenangkan Ibu. Ayah masih menatap marah ke arahku. “Apa yang kau bicarakan Rena? Kau menuduh Ayahmu berselingkuh? Mana mungkin Ayah tega melakukan itu...” Ayah masih memegang teguh ucapannya. Beliau tak mau mengakui perbuatannya. “Bohong!! Ayah jahat... Kenapa Ayah melakukan ini pada kami? Rena benci Ayah...!!” Ayah mengangkat tangannya. Aku terdiam. Ayah berlalu meninggalkanku. Baru satu langkah, Ayah berhenti. Beliau memegang dadanya sembari meringis kesakitan. Aku jelas sangat terkejut. Ada apa? Apa yang terjadi? Kak Alina dan Ibu berlari menghampiri Ayah yang sudah tersungkur lemas di lantai. “Lihatlah Ren...!!Sudah Kakak katakan sebaiknya kau diam saja... Terkadang ada saat dimana sebaiknya kau tak mengatakan apa yang kau ketahui.” Aku masih terdiam. Hingga saat Ibu dan Kak Alina menangisi raga Ayah yang kini telah terbujur kaku. Aku masih terdiam. Perlahan ku hampiri mereka. Kak Alina menatap tak suka kepadaku. “Ini yang kau mau Ren? Karena kau ini semua terjadi... Jika saja tadi kau menuruti perkataan Kakak... Jika saja kau bisa diam sebentar saja, mungkin ini tidak akan terjadi...”. Mungkin benar yang dikatakan Kak

Alina. Andai saja aku diam, Ayah tidak akan pergi. *** “Sejak kapan Ayah tirimu memperlakukanmu seperti tadi Ren?” Deka menatap marah ke arahku. Aku hanya dapat tertunduk diam. “Jawab Ren!!” Aku masih terdiam. Jelas terlihat dia sangat marah sekarang. Entah bagaimana bisa dia tahu semua yang sejak awal ku sembunyikan darinya. “Baiklah... Sepertinya aku harus membicarakan hal ini dengan Kak Alina.” Deka berlalu meninggalkanku. Dengan cepat kuraih tangannya. Aku takut Kak Alina akan sangat sedih mengetahui semua ini. Aku menggeleng kuat, tak mau Deka mengatakan semua ini pada Kak Alina. Deka menghela napas. “Sampai kapan kau akan tetap diam seperti ini Ren? Kau harus mengatakan semuanya, kau tak bisa hanya menyimpan penderitaanmu sendiri.” Deka melepaskan genggaman tanganku lalu berlalu meninggalkanku. *** Aku kembali menghela napas saat ku dapati Kak Alina menangis kembali. “Kenapa kau tak mengatakan ini pada Kakak Ren? Kenapa kau hanya diam saja?” Aku hanya dapat terdiam. “Ah iya... Kakak yang menyuruhmu diam bukan? Kakak yang membuatmu seperti ini. Kakak yang membuatmu memilih untuk menyembunyikan suaramu itu. Maafkan Kakak Ren...” Kak Alina menangis begitu kencang. Aku merengkuhnya. Dan tentu aku sudah memaafkannya. {}

Swara Rahima

55


TEROPONG DUNIA

Perempuan Nigeria Di Tengah Gerakan Boko Haram

Oleh Muyassarotul Hafidzhoh*

P

ergolakan radikalisme dan terorisme selalu melahirkan ketimpangan dan ketidakadilan. Ada banyak kisah pilu dan menyedihkan dari mereka yang menjadi korban terorisme, khususnya kaum perempuan. Namun bagi perempuan Nigeria, kisah kelam dan memilukan mereka jadikan motivasi untuk bangkit dan menggugah kaumnya untuk makin berdaya dan bisa berpartisipasi membangun bangsa dan negaranya. Nigeria sebagai negara lahir pada 1 Oktober 1960 dengan Presiden pertamanya Nnamdi Azikiwe. Sejak tahun 1960-an sampai 1990-an, suksesi kepemimpinan penuh diwarnai keributan, khususnya antara kelompok sipil dan militer. Ada enam kali pergantian kepemimpinan dalam rentang waktu tersebut, dan sejak 1999 sampai sekarang, kelompok sipil mulai memimpin Nigeria. Disana proses demokratisasi mulai berkembang, seiring dengan proses serupa yang terjadi di berbagai belahan dunia, termasuk di Afrika. Namun, demokratisasi yang terjadi di Nigeria belum dibarengi

56

Swara Rahima

dengan tata kelola pemerintah yang bersih (good governance). Transisi politik kepemimpinan Nigeria justru melahirkan tumbuh suburnya korupsi dan ketimpangan yang luar biasa. Data tahun 2010, menunjukkan angka kemiskinan menembus sebesar 60,9 %. Ada pergolakan politik, protes rakyat, dan stabilitas negara bergoyang.

Boko Haram dan Nasib Kaum Perempuan Sejak kran demokratisasi dibuka pada 1999 -hampir beriringan dengan Indonesia-, semua suara rakyat dibebaskan dalam beraspirasi. Memasuki awal abad ke-21,

pada 2002, lahirlah kelompok fundamentalis Islam bernama Boko Haram atau Jama’atu Ahlis Sunna Lidda’awati Wal-Jihad yang didirikan oleh Muhammad Yusuf di negara bagian Borno. Dengan dalih agama, Boko Haram memandang pemerintah Nigeria yang mayoritas dikuasai etnis Igbo yang beragama Kristen sebagai pemerintahan yang korup dan tidak memikirkan nasib rakyat kecil serta penuh diskriminasi terhadap wilayah utara yang mayoritas ditempati umat Islam. Sentimen keagamaan inilah yang digunakan Boko Haram untuk membangun simpati, sehingga bisa menarik banyak warga untuk bergabung dengannya.

No 52 Th. XVII NOV 2017


TEROPONG DUNIA

Boko Haram didasari oleh paham Maitatsine yang mengajarkan bahwa dilarang untuk membaca buku apapun selain Al-Quran. Istilah “Boko Haram” diambil dari bahasa lokal setempat yang berarti “Haramkan pendidikan Barat”. Mereka bermarkas di Nigeria timur laut yaitu di wilayah Yobe, Kano, Bauchi , Borno dan Kaduna. Oleh karenanya, Boko Haram menerapkan tafsir tunggal atas ajaran agama. Mereka yang tidak sependapat dengannya, akan dianggap sebagai musuhnya. Termasuk dalam hal pemberontakannya terhadap pemerintahan Nigeria dan paksaan seenaknya terhadap perempuan dan anak. Selain berpusat di Nigeria, Boko Haram juga berkembang di Chad, Niger, dan Kamerun. Misi utamanya adalah mendirikan sebuah negara kekhalifahan Islam. Sejak 2009, Boko Haram mulai melancarkan serangan pemberontakan terhadap pemerintah dengan membawa sentimen keagamaan dalam setiap misinya misinya. Sejak 2009-2015, pemberontakan Boko Haram mengakibatkan hampir setengah juta penduduk Nigeria menjadi pengungsi. Rafatu Abdulhamid (2016) menjelaskan kelompok Boko Haram telah menyebabkan banyak perempuan dan anak mengungsi, dan mereka mengalami pemerkosaan di kamp pengungsian. Selain itu juga terjadi pelanggaran HAM yang sistematis terhadap perempuan. Penyebarluasan penggunaan permerkosaan sebagai sebuah senjata perang telah menyebabkan pada dampak yang besar terhadap fisik, psikologis, sosial ekonomi dan sosial budaya. Mereka terkadang mengalami perkosaan massal dan dipukul hingga meninggal. Ternyata, kelompok militan Islamis Boko Haram telah berafiliasi dengan ISIS, pada 2014 menculik lebih dari 200 anak perempuan di Kota Chibok, Nigeria.

No 52 Th. XVII NOV 2017

Perjuangan Perempuan Nigeria Di tengah himpitan kemiskinan dan jebakan fundamentalisme yang digerakkan Boko Haram, perempuan Nigeria tetap optimis dalam perjuangannya dalam pemenuhan hak-hak perempuan dan anak, khususnya dalam pendidikan. Menurut Rafatu Abdulhamid, ulama perempuan di Nigeria berupaya untuk melawan radikalisme secara organisasi ataupun individu untuk melawan kesalahan tafsir dan kesalahpahaman terhadap Islam. Mereka berkampanye untuk meningkatkan

Ulama perempuan di Nigeria berupaya untuk melawan radikalisme secara organisasi ataupun individu untuk melawan kesalahan tafsir dan kesalahpahaman terhadap Islam.

kepedulian masyarakat terhadap perempuan, ser ta lebih waspada terhadap lingkungan mereka. Para ibu di Nigeria juga diajak untuk bersama-sama mencari solusi saat menghadapi persoalan keterlibatan anak-anak mereka dalam radikalisme. Kampanye menentang radikalisme ini dilakukan melalui dakwah dan khotbah yang disampaikan para ulama. Ulama perempuan Nigeria terus mendakwahkan ajaran Islam yang moderat, yang menjunjung tinggi hak-hak perempuan. Ada sosok Nana Asma’u, ulama perempuan yang berperan penting dalam

mendidik perempuan Nigeria. Dengan kapasitas ilmu luar biasa, Nana Asma’u tak cuma seorang guru dan penulis, tapi juga politikus, tokoh masyarakat, dan penasihat pemerintahan selain tugas domestik sebagai seorang ibu dan istri. Nana Asma’u mendidik para guru perempuan (jaji) untuk disebar ke masyarakat dan mengorganisir mereka untuk dikirim ke kota dan desa di mana orang-orang yang kurang mendapat akses pendidikan. Mereka tak hanya mengajar perempuan, tapi juga laki-laki tanpa membatasi agama. Kaum perempuan moder n Nigeria juga membangun jejaring gerakan dengan berbagai lintas elemen internasional. Mereka manfaatkan jejaring ini untuk menimba ilmu sekaligus mengabarkan optimisme kepada dunia bahwa perempuan Nigeria masih tetap semangat dalam memperjuangan bangsa dan negaranya. Mereka tetap optimis dan terus bergerak, walaupun Boko Haram terus melancarkan gerakan radikal tanpa henti. Optimisme inilah yang, dalam World Data Education 7th edition, 2010/11 (International Beaureau of Education, 2010), menjadikan perempuan Nigeria terus mengenyam pendidikan, terlebih lagi dengan animo untuk pendirian sekolah-sekolah Islam. Hal ini memberikan mereka kesempatan untuk mendapatkan pendidikan Islam sebagai upaya untuk meningkatkan perempuan yang melek pengetahuan. Terlepas dari apapun, perempuan Nigeria memiliki potensi besar yang diperlukan untuk mengembangkan tatanan ekonomi baru untuk mempercepat pembangunan sosial dan politik sehingga dapat mengubah masyarakat menjadi lebih baik. Dalam hal pendidikan anak-anak, pada tahun 1993, 6,9 juta murid perempuan berada di sekolah

Swara Rahima

57


TEROPONG DUNIA dasar seperti terhadap 8,3 juta murid laki-laki. Pada tahun 1994, ada 9,1 juta laki-laki dan 7,1 juta perempuan. Pada tahun 1995, ada 8,7 juta laki-laki dan 7,0 juta perempuan di sekolah dasar Nigeria, di tingkat pasca pendidikan dasar, pada tahun 1993, ada 2,2 juta siswa laki-laki seperti terhadap 1,9 juta siswa perempuan. Ada peningkatan yang stabil dalam pendaftaran perempuan di berbagai tingkatan pendidikan di

Nigeria. Pada tahun 2004 bergerak dari 44,73% menjadi 46,07% pada tahun 2008. Pada tingkat menengah, bergerak dari 43,63% menjadi 44,43%. Melek huruf orang dewasa turut terjadi peningkatan ke atas dari 46,42% menjadi 50,35%. Ini menjadi bukti nyata perempuan Nigeria selalu berjuang tanpa henti meskipun Boko Haram menjadi tantangan tersendiri. Perempuan Nigeria selalu berinovasi dalam

gerakan dan melebarkan sayap jaringannya dalam rangka meneguhkan peran membangun kehidupan yang bermartabat. Mereka tak akan pernah berhenti berjuang untuk membebaskan negerinya dari jebakan radikalisme, patriarkhi, dan ketimpangan sosial ekonomi. *Penulis adalah peser ta Pendidikan Ulama Perempuan (PUP) Rahima angkatan ke-4

GLOSSARY RADIKALISME

AKUNTABEL

dapat dipertanggungjawabkan

AKUNTABILITAS satu keadaan, pekerjaan, tugas dan tindakan yang dapat dipertanggungjawabkan baik secara hukum maupun secara moral

PERMISIF

bersikap longgar dan serba membolehkan

LOCAL WISDOM

kearifan lokal

MAZHAB haluan atau aliran mengenai hukum fikih

1) paham atau aliran yang radikal dalam politik; 2 paham atau aliran yang menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial dan politik dengan cara kekerasan atau drastis; 3) sikap ekstrem dalam aliran politik DIKOTOMI

pembagian atas dua hal yang saling bertentangan

DOGMA

kepercayaan atau doktrin yang dipegang oleh sebuah agama atau organisasi yang sejenis untuk bisa lebih otoritatif.

EGALITER

berkedudukan sama atau sederajat

ROLE MODEL contoh yang baik, suri teladan.

SUPREMASI memiliki kekuasaan yang lebih tinggi

PRIVILEGE kedudukan dan hak istimewa

IKHTILAF

perbedaan pendapat

INTERNALISASI

penghayatan terhadap suatu ajaran, doktrin, atau nilai sehingga merupakan keyakinan dan kesadaran akan kebenaran doktrin atau nilai yang diwujudkan dalam sikap dan perilaku

KONTROVERSIAL

mengundang perdebatan dan sikap pro dan kontra

PROGRESIF

berhaluan ke arah kemajuan

SIGNIFIKAN

penting, relevan, atau perbedaannya sangat kecil.


TJawab

RUBRIK Diasuh oleh :

Nyai Hj. Dra. Hindun Anisah, MA

anya

Bagaimana Mengelola

Rumah Tangga LDR

Assalamu’alaikum wr.wb. Bu Nyai yang terhormat, perkenalkan saya Setyono, 33 tahun, tinggal di Bumi Andalas. Begini, Bu Nyai. Saya memiliki persoalan yang saya rasa cukup serius. Saya menikah dengan seorang perempuan, rekan kerja saya di sebuah perusahaan retail 3 tahun lalu. Sebenarnya, awalnya saya merasa cukup siap berumahtangga dengan dia karena kami rekan sekerja. Jadi setidaknya, kami sudah saling memahami kebiasaan, latar belakang, dan irama kerja masing-masing. Persoalan terjadi sejak 1 tahun lalu, saat istri saya ditugaskan oleh kantor pusat di Jawa Timur. Kami harus berpisah tempat tinggal, dan menjalani kehidupan berumah tangga secara LDR (long distance relationship). Saat ini, kami masih belum dikaruniai momongan. Sebenarnya, saya ingin istri saya mengalah dan berhenti bekerja. Tapi dia tidak mau, karena menurutnya ia menjadi tulang punggung di keluarganya dan masih harus membantu orang tua membiayai 2 adiknya (1 masih kuliah dan 1 masih SMA). Dia bilang, bahwa dia akan berhenti bekerja bila saya yang menanggung biaya adik-adiknya tersebut. Selain itu, selama ini saya banyak mengalah, dengan wira-wiri Sumatra-Jawa Timur agar kami tetap bisa bersama. Saya sebenarnya juga berharap, agar istri menyempatkan diri untuk pulang ke rumah, setidaknya sebulan sekali. Saya khawatir, perjalanan rumah tangga seperti ini tidak sehat.Karena rawan perselingkuhan, fitnah, maupun intervensi pihak ketiga. Salah seorang rekan saya, akhirnya perkawinannya juga kandas karena hubungan jarak jauh begini. Saya juga sering mendengar, resiko yang sama, juga banyak terjadi di keluarga TKI. Bu Nyai, mohon pencerahannya.Karena sebenarnya saya khawatir bila perceraian membayangi nasib keluarga kami. Sementara saya sudah terlanjur sayang pada istri. Terimakasih banyak atas nasihatnya. Wassalam Setyono, Bumi Andalas Sumba 0857-26XX-XXXX

JAWABAN Wassalamualaikum

Bapak Setyono yang dirahmati Allah, Terima kasih atas pertanyaan Bapak. Kami sangat berterima kasih Bapak mempercayakan kami untuk ikut mencoba menawarkan solusi atas permasalahan rumah tangga Bapak. Semoga penjelasan saya nanti dapat membantu meringankan

No 52 Th. XVII NOV 2017

beban Bapak dan tentunya dapat mendukung keutuhan keluarga Bapak.

Bapak Setyono yang baik, Seorang laki-laki dan perempuan yang telah mengikatkan dirinya dalam sebuah pernikahan menunjukkan bahwa mereka berkomitmen untuk terikat pada suatu akad yang kuat atau yang disebut dengan

mitsaqan ghalidzan. Suami dan istri yang menyadari adanya ikatan atau akad yang kuat di antara mereka ini akan selalu saling menghormati dan saling menjaga di antara keduanya serta tidak akan membiarkan apapun atau siapapun dapat memisahkan mereka, termasuk hubungan jarak jauh atau LDR. Hal ini selaras dengan tujuan pernikahan sebagaimana dalam QS ar-Rum: 21, adalah memberikan ketenangan dan

Swara Rahima

59


TANYA JAWAB

‫في األمر‬ …dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu.” (QS 3: 159).

senantiasa mewujudkan mawaddah (rasa cinta) dan rahmah (kasih sayang) di antara suami dan istri. Mawaddah dalam ayat 21 tersebut adalah saling cinta dan mengasihi. Tujuan dan hasil selanjutnya dari pernikahan adalah bisa melahirkan rasa saling mencintai dan mengasihi satu sama lain. Silih bergantinya masalah baik itu suka atau duka, bahagia, senang dan sedih justru dapat menguatkan cinta adalah kekuatan dan komitmen untuk menghadapi semua masalah dalam rumah tangga. Ibnu Katsir mengartikan “mawaddah” dengan “al-mahabbah” (rasa cinta yang sebenar-benar cinta). Al-mahabbah juga diartikan sebagai perasaan yang membuat buta untuk selain dia dan tuli bagi selain dia. Sebagaimana diungkapkan dalam salah satu hadits:

‫حبك الشئ يعمي ويصم‬ 60

Swara Rahima

Artinya : “Kecintaanmu kepada sesuatu membuat buta dan tuli.”. Oleh karena itu, pasangan suami istri jika di dalam hatinya telah berkembang rasa mawaddah, maka akan menjadi “buta dan tuli” terhadap kondisi-kondisi yang mencoba memisahkan mereka. Sedangkan Rahmah yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah kasih sayang. Rahmah adalah kasih sayang dan kelembutan, timbul terutama dikarenakan ada ikatan. Perasaan kasih sayang tingkatannya lebih tinggi daripada mencintai, karena kasih sayang muncul ketika pasangannya mengalami musibah atau keburukan kemudian ia dengan sukarela mengasihi dan menerima apa yang kekurangan pasangannya. Suami atau istri yang telah mempunyai sifat Rahmah artinya sudah mampu menerima kelebihan dan

kekurangan pasangannya tanpa pernah mengeluh sebagaimana orang tua yang mengasihi anaknya yang tanpa pamrih. Dengan demikian, rasa cinta dan kasih sayang yang kuat antara suami istri akan melampaui batas-batas ruang dan waktu. Kisah terpisahnya Nabi Adam dan Hawa dalam waktu yang cukup lama namun tidak menyurutkan cinta di antara mereka menginspirasi kita bahwa ikatan batin antara dua orang yang saling mencinta lebih kuat dari sekedar kebersamaan fisik. Para ulama kita zaman dulu juga banyak yang LDR tetapi rumah tangga mereka tetap langgeng sampai maut memisahkan mereka. Saya juga sering menyaksikan teman-teman di sekitar saya yang hidup berjauhan dari pasangannya dikarenakan tugas atau pekerjaan mereka, dan selama ini rumah tangga mereka juga baik-baik saja.

No 52 Th. XVII NOV 2017


TANYA JAWAB

Saya yakin, dengan rasa cinta yang kuat, Bapak Setyono dapat mengatasi masalah yang timbul dari hubungan jarak jauh dengan istri Bapak.

Bapak Setyono yang dimuliakan Allah, Hal yang terpenting bagi relasi suami-istri adalah komunikasi. Komunikasi yang terjalin baik dan berkualitas antara suami dan istri dapat memperkuat ikatan batin keduanya. Di dalam berkomunikasi, Allah swt. memerintahkan kita untuk selalu mengedepankan musyawarah dalam berbagai hal. Sedemikian pentingnya musyawarah tersebut, sehingga Allah banyak menyinggung dalam Alquran, sebagaimana dalam salah satu firman-Nya:

‫أ‬ ‫وشاورهم في المر‬ Artinya: “…dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu.” (QS 3: 159). Ayat yang turun dalam konteks perang Uhud tersebut menegaskan bahwa dalam keadaan sangat darurat seperti perang pun, Nabi tetap mengedepankan hasil keputusan musyawarah bersama para sahabat.

Di dalam bermusyawarah dengan pasangan misalnya, kita harus mengedepankan sikap saling menghormati pendapat masingmasing, hindari berdebat yang tidak berdasar, sehingga musyawarah dapat menghasilkan kesepakatan yang menguntungkan dua belah pihak, tidak ada yang merasa dirugikan.

yang telah kalian ceraikan) dengan cara yang baik.” Bila dengan pasangan pasangan yang sudah bercerai saja Allah masih memerintahkan untuk bermusyawarah, bagi suami-istri yang masih bersatu, tentunya musyawarah haruslah lebih menjadi prioritas. Di dalam konteks LDR keluarga Bapak, musyawarah bisa meminimalisir kesalahpahaman di antara kalian berdua. Apalagi di era teknologi informasi yang canggih sekarang, tiak ada kendala yang cukup signifikan bagi Bapak Setyono untuk berkomunikasi dengan istri.

Bapak Setyono yang selalu dalam lindungan Allah,

Demikian juga dalam kehidupan rumah tangga, Allah menekankan pentingnya musyawarah. Bahkan Allah tetap memerintahkan musyawarah bagi suami-istri yang sudah bercerai berkaitan dengan urusan anak-anak mereka, sebagaimana dalam QS. 65 ayat 6:

Satu hal lagi yang senantiasa diingatkan oleh Nabi Muhammad saw. bahwa di dalam berkomunikasi dengan pasangan, kita dianjurkan menggunakan bahasa, baik bahasa lisan maupun bahasa tubuh yang baik dan menyenangkan pasangan kita. Nabi bersabda:

‫وأتمروا بينكم بمعروف‬

‫أ‬ ‫خياركم خياركم ل هله‬

Artinya: “ Dan bermusyawarahlah di antara kalian (dengan istri

Ar tinya : “Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap

No 52 Th. XVII NOV 2017

keluarganya “ Hadits tersebut mengingatkan kita bahwa yang dimaksud orang yang terbaik adalah yang senantiasa berbuat baik terhadap keluarganya terutama dalam hal bertutur kata dan bertingkah laku. Kata-kata lembut akan dapat meluluhkan hati seseorang. Tingkah laku yang menunjukkan per nghor matan bukan pelecehan akan meningkatkan rasa cinta dan kasih sayang pasangan kita. Di dalam bermusyawarah dengan pasangan misalnya, kita harus mengedepankan sikap saling menghormati pendapat masing-masing, hindari berdebat yang tidak berdasar, sehingga musyawarah dapat menghasilkan kesepakatan yang menguntungkan dua belah pihak, tidak ada yang merasa dirugikan.

Bapak Setyono yang dimuliakan Allah, Demikian sedikit jawaban dan solusi yang dapat saya tawarkan, semoga bermanfaat bagi keutuhan rumah tangga Bapak. Mohon maaf jika ada kata-kata yang kurang berkenan. Wallahu a’lam bish-shawab. Wassalamu’alaikum wr.wb.

Swara Rahima

61


REFLEKSI Belajar Menjadi Laki-laki Dari Ketidakadilan Yang Dialami Perempuan

A

Oleh Wawan Suwandi*

ktivitas saya pada gerakan pelibatan laki-laki untuk mencegah keker asan terhadap perempuan, tidak terjadi begitu saja. Sebab dahulu saya adalah laki-laki pada umumnya, dibesarkan dengan pola asuh yang sarat akan nilai budaya yang mengedepankan perspektif dan kepentingan laki-laki (patriarki). Ketika mulai terpapar isu ketidakadilan gender terhadap perempuan, tidak mudah bagi saya untuk bisa menentukan sikap. Ada bimbang yang luar biasa. Satu sisi akal dan nurani mengatakan tidak pantas perempuan mendapatkan ketidakadilan hanya karena ia perempuan. Namun di sisi lain pemahaman dan ego sebagai laki-laki mengatakan, perempuan dinomorduakan, ditempatkan di rumah (domestifikasi), hingga dipukul, adalah hal yang wajar. Apalagi bila berefleksi pada dogma dalam penafsiran agama yang saya terima tentang relasi kuasa laki-laki terhadap perempuan membuat saya semakin bimbang menerima konsep adil gender, khawatir hal itu bertentangan dengan ajaran agama yang saya anut. Syukurlah pencarian panjang saya akhirnya menemukan jawaban. Kebimbangan itu berakhir pada pilihan menerima konsep adil gender. Saat menggali banyak referensi, saya menemukan ajaran agama justru menggunakan pendekatan yang mengedepankan sikap saling menghormati dan menghargai.

62

Swara Rahima

Belajar Dari Masa Lalu Dalam Membangun Keluarga Ketika membangun keluarga, ada dua hal yang mempengaruhi konsep rumah tangga yang saya dan istri ciptakan. Pertama, pengalaman kami semasa kecil mendapatkan pola asuh yang bias gender sebagaimana pengalaman pada banyak orang. Kedua, pemahaman tentang kesetaraan dan adil gender, serta keterlibatan kami pada isu gender dan keberagaman. Dari dua pengalaman tersebut kami bersepakat untuk membangun keluarga yang jauh dari nilai-nilai kekerasan, baik dalam konteks relasi, maupun saat membesarkan anak. Selain prinsip di atas, berbagi kerja domestik juga menjadi hal yang tidak terpisahkan untuk diterapkan di dalam rumah tangga. Bagi saya, mengaplikasikan nilai-nilai kesetaraan dalam membangun rumah tangga, merupakan wujud dari akuntabilitas atas pilihan saya yang secara sadar meninggalkan hak-hak istimewa sebagai laki-laki, dimana budaya patriarki memberi kewenangan laki-laki untuk mendominasi perempuan. Berbagi peran, dan membangun relasi kuasa yang setara justru membuat keluarga kami minim konflik, dan kehidupan berkeluarga terasa indah, dan ringan kala menghadapi masalah.

Bangga Terlibat Pada Pengasuhan Bagi saya membesarkan anak bukan hanya domainnya istri, tetapi menjadi tanggungjawab suami dan

istri. Karenanya perhatian dan pendampingan pasangan selama proses kehamilan, persalinan, hingga turut andil dalam pengasuhan menjadi keterlibatan yang menyenangkan saya.

Suka cita pada keterlibatan dalam pengasuhan, saya rayakan melalui sharing ketika menjadi narasumber suatu even tentang pengasuhan. Kampanye ini saya lakukan karena tidak sedikit Ayah yang meyakini pengasuhan bukanlah tanggung jawab laki-laki. Akibatnya sering kali anak tidak merasakan kehadiran Ayahnya walaupun dia tengah berada di dalam rumah. Padahal kehadiran Ayah penting dalam proses tumbuh kembang dan penguatan mental anak. Saya tidak rela anak saya merasa kehilangan sosok Ayahnya, terutama saat secara fisik saya hadir di dekatnya. Karena itu saya selalu memaksimalkan interaksi dengan anak walau sekedar membacakan buku, atau melakukan aktivitas lainnya. Hasil dari terpaparnya saya pada isu keadilan gender, bukan saja menyadarkan saya akan kekeliruan tentang konsep maskulinitas yang patriarki dalam membangun dominasi laki-laki, juga menyelamatkan saya untuk tidak menjadi “monster bagi kaum perempuan, pasangan, dan anak�. *Penulis adalah anggota Aliansi Laki-Laki Baru (ALB)

No 52 Th. XVII NOV 2017


Telusuri Majalah Swara Rahima Edisi Lainnya di website Rahima

www.rahima.or.id Referensi Kajian Islam Adil Gender

Like Us & Follow

Rahima Fans Page

Rahima: Pusat Pendidikan Islam & Hak-Hak Perempuan Perpus takaan Rahima

Menyed Baca juga dan kol iakan referens eksi bu i Swara Rahima Edisi 51: ku-buk seputar u G e n d er dala Islam d Ikhtiar Mencegah m an Kita Perkawinan Anak Islam k b-Kitab lasik. Katalog diakses online dapat perpus melalui www. takaan. rahima . or.id


Naskah: Nining | Gambar: Basuki

by: Ulfah


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.