Swara Rahima No. 7 Th. II, Maret 2003
Swara Rahima -1
DaftarIsi FOKUS Pendidikan Islam tidak mengenal Pembedaan!
5
32
POTRET Menilik pesantren gender di Jember….
OPINI Dalam Sejarah pendidikan Islam; tidak ada segregasi laki-laki dan perempuan Wawancara dengan Azyumardi Azra
9
34
KIPRAH Menggagas Sistem Pendidikan Berperspektif Gender dan Membebaskan! Mungkinkah?
Pendidikan Islam dan keberpihakan bagi Perempuan Wawancara dengan Henny Supolo
14
TAFSIR AL-QUR’AN Yang Luput; Pendidikan Perempuan
16
Swara Rahima
oleh: Ala’i Najib DIRASAH HADIS Menuju Pendidikan yang Memihak Perempuan oleh: Faqihuddin A. Kadir, MA MA.
20
FIKRAH Cadar Bagi Kaum Perempuan oleh: Syafiq Hasyim
25
TEROPONG DUNIA Membincang Sekolah Khusus Puteri
27
AKHWATUNA Ada Apa dengan Santri Perempuan? oleh: Mahrus eL-Mawa
30
22-Swara Rahima
Penguatan Islam dan Hak Perempuan Melalui Radio, Mengapa Tidak ? 37
INFO
38
KHAZANAH Kritik Menuju Proses Pembelajaran yang Berkeadilan Gender
40
CERPEN Bunga untuk Ibunda
42
45
TANYA JAWAB Apakah wanita hamil di luar nikah tetap diperbolehkan bersekolah? REFLEKSI Sekolah atau Teks yang Berbicara (?) Oleh Dwi Rubyanti Khalifah
KIPRAH - 35 Mahrus eL Mawa, staf Rahima dan rekan sedang on air disalahsatu stasiun radio di Tasikmalaya
No. 7 Th. III, Maret 2003
Pembaca yang budiman, Tak terasa kita sudah berada pada tahun 2003, tahun ke-tiga menuju abad 21. Di awal tahun ini pula Swara Rahima ingin menyapa kembali, mengajak para pembaca setianya untuk kembali peka “membaca” situasi sosial yang mengelilingi. Pada edisi kali ini Swara Rahima akan mengajak pembaca untuk “membaca” masalah pendidikan. Tema yang mungkin bukan tema yang asing lagi untuk didiskusikan dan dibahas, tetapi tetap penting untuk terus dicermati. Swara Rahima akan mengangkat tema tersebut dengan penyajian dan pembahasan yang lebih spesifik; dengan “bingkai” nilai-nilai keislaman dan keberpihakan terhadap perempuan. Pembaca sekalian yang berbahagia, Sebelumnya, perlu para pembaca ketahui, bahwa Swara Rahima kali ini kembali harus mengalami rotasi kepemimpinan. Kesekian kalinya Swara Rahima harus beradaptasi dengan redaktur pelaksana yang baru, dari Sdri Nefisra, Agus Muhammad dan Farid F. Saenong, kini Swara Rahima berada dibawah komando Daan Dini Khairunida. Daan menggantikan redaktur pelaksana terdahulu yaitu Farid F. Saenong yang harus pergi ke Bali untuk persiapan melanjutkan program pasca sarjananya. Namun demikian kami berharap penggantian tersebut tidak mengurangi keseriusan penggarapan Swara Rahima ini. Selanjutnya, jika bicara tentang tema-tema pendidikan, mungkin pembicaraan dan pembahasan tidak akan cukup diurai hanya lewat lembaran-lembaran majalah yang terbatas ini. Sebab, bicara pendidikan tidak bisa hanya bicara dari sisi teknis saja, atau mengurai filosofinya saja, tetapi bila mungkin seharusnya dia bisa terurai hingga ideologi –ideologi di baliknya, pun tak tertutup kemungkinan ideologi patriarkhi. Karena ketika menyentuh “ruang” ideologi, atau kebudayaan, maka pendidikan sebagai institusi yang telah dipercaya orang sebagai lembaga tempat orang mencari pengetahuan, seolah-olah tidak terlibat. Padahal jelas bahwa lewat pendidikanlah sesungguhnya ideologi tertentu dapat terserap
Swara
Rahima
Swara Rahima
ASSALAMU’ALAIKUM WR.WB. dengan relatif “aman”. Lewat pendidikanlah sosialisasi dari kultur tertentu termapankan. Walaupun tetap parsial, bidikan pembahasan tentang pendidikan dan keadilan terhadap perempuan dianggap penting diangkat pada Swara Rahima kali ini? Sebab pendidikan sekarang ini ternyata memang hanya baru menjadi milik sebagian orang saja, ia belum berpihak kepada kepada kaum marjinal. Bahkan, ditengah fenomena kapitalisasi dan dehumanisasi yang terjadi, pendidikan justru tumbuh subur dengan menjadi pengukuh adanya kelas-kelas sosial. Ironisnya, agama kembali dipakai untuk legitimasi bagi pemihakan tersebut. Hingga banyak orang yang tak berani membantah karena menganggap bahwa yang tersosialiasi dalam proses pendidikan tersebut memang given dan tak bisa lagi diperdebatkan. Perdebatan mengenai boleh atau tidaknya kepemimpinan perempuan, hak politik, quota, sampai hak kebebasan berpendapat bagi perempuan, tak bisa dipungkiri lagi bahwa ia juga berawal dari pola dan proses pendidikan yang bias gender. Yaitu berasal dari bagaimana nilai agama yang bias gender itu disosialisasikan di lembaga pendidikan. Sosialisasi berupa materi maupun perlakuan dan “pengkhususan” terhadap jenis kelamin tertentu. Bila pendidikan masih bias gender dan tidak segera diperbaiki, maka gerak perjuangan terhadap diskriminasi terhadap perempuan bisa jadi akan sia-sia. Pada pembahasan edisi ini, pembaca akan kami ajak untuk kembali mengkritisi tentang makna pendidikan, pandangan al-Qur’an dan hadits tentang hak pendidikan bagi perempuan, dilengkapi dengan informasi-informasi lain, baik berkaitan dengan kegiatan Rahima sebagai wujud dari komitmennya maupun tawaran strategi lain menuju pendidikan yang berpihak kepada perempuan. Akhirul kalam, kru redaksi Swara Rahima juga tidak lupa mengucapkan Selamat Hari raya Idul Adha kepada pembaca sekalian. Mari gandeng tangan untuk keadilan. Selamat membaca Redaksi
Jl. Pancoran Timur IIA No. 10 Perdatam Pasar Minggu Jakarta Selatan Telp. 021-7984165 Fax. 021 - 798 2955 Email:rahima2000@cbn.net.id, Website: www.rahima.or.id
PEMIMPIN UMUM/ PENANGGUNG JAWAB KH. Husein Muhammad, PEMIMPIN REDAKSI Farha Ciciek, DEWAN REDAKSI Wahyu Budi Santoso, A.Dewi Eridani, Syafiq Hasyim, AD. Kusumaningtyas, Dwi Rubiyanti, Helmy Ali, Daan Dini Khairunnida, Faqihuddin Abdul Kodir MA. REDAKTUR PELAKSANA Daan Dini Khirunida DEWAN AHLI Prof.Dr. Saparinah Sadli, KH. Muhyiddin Abdussomad, Nyai. Hj. Nafisah Sahal, Dr. Mansour Faqih, Prof.Dr. Azyumardi Azra, Dr. Kamala Chandra Kirana. ILUSTRASI Mufidz Aziz, DISAINER GRAFIS mars, PUSDOK Ulfah Mutiah Hizma, KEUANGAN M. Syafran, DISTRIBUSI Imam Siswoko, Sanim. JARINGAN Emma Marhummah (Yogyakarta), Djudju Zubaidah (Tasikmalaya), M. Thohir Laela Sholeh (Cirebon), Ruqayyah Ma’shum (Bondowoso), Kholillah Mawardi (Jepara), Hindun (Mataram), Zohra A. Baso (Makasar). SWARA RAHIMA adalah majalah berkala terbitan Yayasan RAHIMA untuk memenuhi kebutuhan dialog dan informasi tentang Islam dan hak-hak perempuan. SWARA RAHIMA berusaha menghadirkan fakta dan analisis berita, serta wacana Islam, gender dan hak-hak perempuan. SWARA RAHIMA mengharapkan partisipasi melalui saran dan kritik. SWARA RAHIMA juga menanti kiriman tulisan dari pembaca, bagi yang dimuat diberi imbalan ala kadarnya.
No. 7 Th. II, Maret 2003
Swara Rahima -1
SURAT PEMBACA BUTUH KLIPING REPRODUKSI PEREMPUAN
Swara Rahima
Assalamu’alaikum Wr, Wb Saya telah lama mengenal Swara Rahima, kebetulan orang tua saya setiap bulan mendapat kiriman. Dan bagi saya Swara Rahima sangat cocok dengan kebutuhan informasi bagi perempuan saat ini terutama untuk kalangan pesantren. Ada beberapa hal yang ingin saya sampaikan di sini : 1. Saya ingin berlangganan Swara Rahima, bagaimana caranya? Saya tinggal di Jogyakarta dan orang tua saya di Banyuwangi, jadi saya hanya bisa menikmati Swara Rahima ini kalau sedang pulang saja 2. Saya membutuhkan kliping tentang reproduksi perempuan, terutama yang menyangkut masalah menstruasi, guna untuk mendukung penulisan skripsi saya. Bagaimana saya bisa mendapatkanya? 3. Saya pernah membaca Swara Rahima yang mengupas tentang masalah kekerasan pada perempuan (ada pembahasan tentang khitan perempuan), maaf saya lupa edisi berapa. Saya melihat di situ banyak tulisan yang tumpang tindih, jadi mohon dalam menurunkan tulisan redaktur agar memperhatikan angel dan fokusnya. Demikian surat ini kami buat atas perhatiannya dan partisipasinya kai sampaikan terima kasih Wassalamu’alaikum Wr, Wb Nihayatul Wafiroh -wafiroh@eudoromail.com LPM Arena IAIN Kalijaga
Terima kasih kepada Nihayatul Wafiroh atas masukannya. Di edisi selanjutnya kami akan mengusahakan lebih cermat lagi dalam pemilihan angel dan fokus.
22-Swara Rahima
Untuk berlangganan, anda bisa kirimkan alamat lengkap anda yang di Yogya dan permohonan berlangganan. Tetapi mohon dimaklumi jika pada edisi selanjutnya setiap pengiriman Swara Rahima akan dikenai ganti ongkos cetak Rp 3500,- ditambah ongkos kirim Rp 2500,- (jadi Rp 6000,-@ eks). Untuk Kliping, anda bisa memesannya ke bagian perpustakaan RAHIMA atas nama Ulfa/Maman BACA Swara Rahima BERULANGULANG Assalamu’alaikum Wr, Wb Alhamdulillah, terima kasih saya ucapkan kepada redaksi Swara Rahima bahwa Swara Rahima No. 6 th II Desember 2002 telah saya terima. Pada saat saya menulis surat untuk redaksi Swara Rahima ini, saya sudah tamat membacanya. Bahkan rasanya masih kurang, oleh sebab itu sering kali Swara Rahima saya ulang-ulang membacanya. Saya punya usul untuk Swara Rahima: 1. Majalah Swara Rahima dipercepat penerbitannya sehingga menjadi majalah bulanan 2. Majalah Swara Rahima ditambah isinya (artikelnya) otomatis menambah halaman/ketebalannya, sehingga pembaca dapat puas membacanya. 3. Bagaimana pula jika Rahima menampilkan cerita-cerita/ dongeng-dongeng Islam yang dapat diambil tauladannya oleh anakanak, sehingga Rahima juga akan disenangi oleh anak-anak kita. Demikian kiranya terima kasih dan saya mohon maaf kalau berlebihan. Semoga Rahima akan bertambah besar dan jaya. Amin! Hasan Basrie AS Gunung Terang I Labuhan Ratu Lampung Timur 34196
Terima kasih Hasan. Usulanusulannya akan menjadi masukan yang berharga dan akan kami pertimbangkan ADA APA DENGAN RAHIMA? Terima kasih atas kiriman Swara Rahima di setiap edisi. Semoga dengan rahmat Tuhan yang maha Esa semua kru Rahima diberi kesehatan yang sangat baik. Amin! Saya sangat heran sekali karena ketika Rahima datang kaum wanita selalu rebutan untuk membacanya, ada apa dengan Rahima? Apa yang telah dilakukan Rahima saya pikir sangat penting dan sangat cocok pada kaum wanita di zaman sekarang ini. Karena kebanyakan orang sekarang selalu westernisasi, khususnya kaum wanita. Rahima bagi kami adalah salah satu media untuk menambah wawasan dan keintelektual peserta organisasi kami (REBATIM) pada khususnya dan lapisan masyarakat pada umumnya. Karena menurut saya mencari ilmu bukan hanya di bangku sekolah tapi di luar sekolah. Sesuai dengan hadits Rasulullah yang menegaskan bahwa menuntut ilmu itu tidak mengenal batas usia (Utlubul ‘ilma minal mahdi ilal lahdi) yang artinya : “Tuntutlah ilmu mulai dari buaian sampai liang lahat”. Artinya pendidikan bisa dilakukan dimana saja, di perpustakaan, majlis ta’lim, majalah, Koran, pesawat TV dsb. Wassalamu’alaikum Wr, Wb Moh. Imron Ketua REBATIM Batang-Batang-Sumenep Madura 69473 Semoga Rahima bisa terus menjadi teman berbagi ilmu bagi teman-teman di Madura
No. 7 Th. III, Maret 2003
Swara Rahima
F O K U S
Pendidikan Islam
dok.rahima
tidak mengenal Pembedaan!
Adalah Dyana, seorang perempuan Afganistan, yang mengalami keputusasaan hidup setelah dia menyadari bahwa ia adalah perempuan. Dyana merasa putus asa, sebab sebagai perempuan di bawah rezim Thaliban, selain harus kehilangan pekerjaan dan berlindung di balik burqa, diapun harus rela kehilangan haknya untuk pergi ke sekolah, karena rezim Thaliban mengharuskan perempuan berada di rumah. Kalaupun dia hendak keluar rumah maka ia harus ditemani oleh muhrimnya. (Sumber, Republika, 11 Juni 2002)
C
erita Dyana mungkin bukan cerita pertama yang pernah anda dengar, bahkan mungkin hanya bagian kecil dari banyak cerita tentang diskriminasi terhadap perempuan. Dalam kasus Dyana, alih-alih atas nama ajaran agama Islam, Thaliban menerapkan aturannya terhadap perempuan hingga kepada aturan boleh atau tidaknya mereka pergi ke sekolah. Bila dicermati, rezim Thaliban bukanlah satu-satunya rezim yang
No. 7 Th. II, Maret 2003
pernah memperlakukan warga negara perempuannya seperti itu. Arab Saudi, Iran, dan beberapa negara lain kerap menerapkan aturan “khusus� terhadap perempuan. Kebijakan terbaru yang dikeluarkan Arab Saudi misalnya, negri petro dolar ini ternyata baru beberapa tahun ini saja membolehkan warganegara perempuannya memiliki Kartu Tanda Penduduk (KTP) sendiri-sendiri. Sebelumnya para warga negara perempuan Arab hanya “numpang� identitas KTP ayah atau suami mereka, yaitu
Swara Rahima -5
F O K U S
Swara Rahima
dengan mencantumkan nama ayah atau suami mereka sebelum nama sendiri. Alasannya adalah hanya karena dalam teks ajaran Islam dikatakan bahwa laki-laki adalah pemimpin perempuan (QS ;Annisa : 34) Dan atas dasar itu juga perhatian pendidikan kaum perempuan di Arab Saudi sangat minim. Karena baru 4 dasa warsa terakhir ini saja perempuan Arab Saudi, yang semula hampir semuanya buta huruf, mendapatkan haknya untuk belajar.. Itupun belum semuanya dapat masuk Universitas (Koran Tempo, 11 Maret 2002). Pertanyaannya, apakah benar ajaran Islam sedemikian “ketat” membatasi perempuan, pun membatasi mereka untuk mendapatkan hak berpendidikan? Sudah sedemikian diskriminatifkah Tuhan kepada kaum yang bernama perempuan? Bagaimana pandangan Islam sesungguhnya tentang hak perempuan, terutama di dalamnya hak berpendidikan? Sesungguhnya bila kita cermati dalil naqli atau teks-teks yang ada, hak yang paling penting yang diberikan Islam kepada perempuan justru adalah hak pendidikan. Dalam hal ini, jika kita melihat kembali sejarah pra-Islam, kultur dan budaya masyarakat jahiliyahlah yang ingin didekonstruksi oleh Islam. Kultur yang diskriminatif terhadap perempuan, pun diskriminasi terhadap hak berpendidikan dan berpengetahuan bagi perempuan. Islam datang justru memberikan penghargaan dan kesempatan kepada perempuan untuk mendapatkan pengetahuan yang sama dengan laki-laki. Sebab dalam Islam kemuliaan bukan diukur pada banyaknya harta, atau ukuran fisik dan kepantasan publik, tetapi justru diukur berdasarkan ketaqwaan dan keilmuan. “Allah akan mengangkat derajat orang-orang yang beriman dan orang-orang yang berilmu di antara kalian” (QS. Al-Mujadalah: 11). Hal ini ditegaskan kembali oleh Nabi SAW dengan menyatakan bahwa hanya dengan menuntut ilmulah kebodohan akan sirna. Dan cara melawan kebodohan itu adalah dengan membuka selebar-lebarnya peluang menuntut Ilmu. Bahkan dikatakannya
66-Swara Rahima
“tuntutlah ilmu sampai ke negeri Cina!”. Beliau juga menyatakan bahwa menuntut ilmu pada konteks ini menjadi sebuah kewajiban yang harus dilaksanakan oleh umatnya, tanpa perbedaan jenis kelamin. “Tholabul ‘Ilmi Farîdhotun ‘alâ kulli muslimin wa muslimatin” (Hadits Riwayat Ibnu Majah). Perempuan, selain sebagai “poros” regenerasi manusia selanjutnya, di tangannyalah para generasi baru itu dididik. Bahkan jika kita baca kembali kutipan Syaikh Muhammad Al–Ghazali yang menyitir syair seorang sastrawan Arab, Hafidh Ibrahim, Ibu adalah sekolah, jika engkau mempersiapkannya, berarti engkau mempersiapkan bangsa yang berketurunan baik” (Imam Al Ghazali, Mulai dari Rumah, Syaikh Muhammad Al–Ghazali , Mizan, 2001), jelas memposisikan perempuan (Ibu) sebagai “poros” utama pendidikan. Sehingga tidak logis kemudian jika arus pengetahuan untuk perempuan terhambat karena masalah-masalah seperti ketiadaan muhrim, peran domestik yang harus dilakukan, atau lainnya. Justru arus utama pengetahuan itu seharusnya ditujukan kepada para perempuan terlebih dahulu. Karena baik tidaknya pola didikan para Ibu ini akan sangat tergantung pada tingkat pengetahuan dan pendidikan yang dimilikinya.
Tahap perkembangan Pendidikan Islam Pada awalnya, proses pendidikan umat Islam dimulai dari Nabi SAW, yang mengajarkan sendiri prinsip-prinsip Islam kepada sahabat-sahabatnya. Dia mengajar secara sembunyi dan terang-terangan. Secara sembunyi dilakukannya di rumah Al-Arqom. Di sana tidak ada pemisahan laki-laki dan perempuan. Semua diajarkannya bersama-sama dan dengan kapasitas yang sama. Karena memang semuanya harus mendapatkan kebutuhan mereka akan pengetahuan terhadap ajaran Islam. Nabipun tidak segan-segan membuka ruang dialog untuk pemahaman yang lebih mendalam, dan dalam masa
No. 7 Th. III, Maret 2003
F O K U S
No. 7 Th. II, Maret 2003
“pembentuk” awal dari pola pendidikan yang didapati seorang anak. Pelajaran bahasa, baik itu bahasa tubuh berupa prilaku keseharian hingga bahasa verbal, jelas didapat anak dari kedua orang tuanya terlebih dahulu. Lalu tahap pendidikan selanjutnya yaitu pada lingkup di luar rumah. Pada sekarang ini kita lebih mengenal dengan nama sekolah atau madrasah. Jika melihat kembali sejarah perkembangan dunia ilmu pengetahuan Islam, madrasah sesungguhnya menempati posisi yang tinggi dalam masyarakat dan berkembang menjadi rintisan awal bagi institusi pendidikan yang memainkan peranan penting dalam dunia muslim. Contoh yang bisa diebutkan misalnya Qayrawan di Maroko, Al Azhar di Mesir, An Nizamiyah dan Al Mustansiriyah, dan An Nuriyah di Damaskus. Seiring dengan perkembangan itu, muncul juga observatorium dan rumah sakit yang berdiri independen sebagai akibat dari perkembangan madrasah dan lembaga ilmu pengetahuan tersebut, bagian dari eksperimen (penelitian), dan ada pula yang tergabung dengan perguruan tinggi tersebut. Observatorium Syamsiyyah milik khalifah al-Makmun misalnya. Para tokoh yang berada di balik observatorium atau rumah sakit itu tidak hanya berfungsi sebagai seorang guru dalam sense intelektual, tetapi juga berfungsi sebagai seorang teladan dalam tingkah laku moralnya.[S.H. Nasr, “Islamic Education and Science”, dalam Dr. Haifaa A. Jawad, Otentisitas Hak-hak perempuan perspektif Islam dan Kesetaraan jender, Fajar Pustaka, Oktober 2002] Dari tahapan perkembangan pendidikan Islam dan sistem yang terbangun di dalamnya, sesungguhnya tidak pernah mengenal pembedaan, pemisahan antara yang teologis dan sekuler, kekhususan pendidikan untuk jenis kelamin tertentu, ataupun mengukuhkan konstruksi yang bias gender. Sistem pendidikan Islam terbangun dan berkembang karena tantangan dan kebutuhan manusia itu sendiri. Tidak seharusnya ia menciptakan penindasan dan penderitaan, baik penindasan berdasarkan ras, agama maupun gender. Karena Islam datang sebagai rahmatan lil ‘alamin.
Swara Rahima
itu dia tidak pernah membatasi dialog diantara sahabat-sahabatnya, baik itu laki-laki maupun perempuan. Lalu, ketika hijrah ke Madinah, proses pendidikan yang dilakukannya secara terbuka. Proses dimana beliau harus kembali mengajarkan prinsipprinsip Islam kepada semua kaumnya. Berbeda dengan di Mekkah, proses pendidikan di Madinah dilaluinya dengan terang-terangan. Beliau juga segera memulai proses penghapusan buta huruf. Dan pada masa itu masjid adalah pusat pendidikan umat Islam. Dan untuk ini Nabi sangat memperhatikan persoalan pengentasan buta huruf. Salah satu bentuk perhatiannya tercermin dari kebijakan yang diambilnya setelah umat Islam memenangkan perang Badar. Pada waktu itu Nabi tidak meminta tebusan harta, atau lainnya tetapi dia segera memerintahkan setiap tawanan Mekkah yang “melek” huruf tersebut untuk mengajari sepuluh orang muslim cara membaca dan menulis, sebagai tebusan bagi kebebasan mereka. Dari sinilah kemudian berangsur-angsur terbangun pola sekolah (madrasah). Walaupun pada masa itu pola sekolah (madrasah) yang dimaksud sangat sederhana, tidak terbatas hanya di masjid, dimana Nabi sering menjadikan masjid sebagi pusat pendidikan dan pengajaran ilmu pengetahuan, tetapi mulai berkembang menjadi bangunan sistem dari komunitas tertentu untuk melakukan interaksi belajar mengajar. Sistem pendidikan telah didirikan Nabi di atas pondasi kualitas-kualitas moral dan spiritual. Sistem inipun tidak mengenal adanya pemisahan antara pendidikan agama dengan pendidikan sekuler, tidak mengenal pemisahan lakilaki dan perempuan. Karena semua forum yang digelar Nabi dapat menggali pengetahuan apa saja, dari masalah sosial, ekonomi, strategi perang, sampai urusan interpersonal suami istri dalam rumah tangga dan mengasuh anak. Semua dilakukan didepan khalayak majlis baik laki-laki maupun perempuan. Meskipun sistem pendidikan Islam sesungguhnya meliputi sendi seluruh sendi kehidupan umat Islam terdahulu, namun dia juga mengenal adanya fase-fase atau tahap pendidikan. Tahap pendidikan yang pertama dimulai di rumah yang merupakan tempat kedua orang tua bertindak sebagai “guru” dalam beberapa “materi” pelajaran seperti agama, bahasa, konstruksi budaya, dan kebiasaan-kebiasaan sosial. Dari sini peran orang tua sangatlah besar, baik Bapak maupun Ibu, mereka adalah
Islam, pendidikan dan Perempuan Pada dasarnya Islam mendukung pendidikan perempuan dalam wilayah agama maupun sosial. Islam tidak mengenal prioritas bagi laki-laki di atas perempuan sehubungan dengan hak pendidikan. Laki-laki dan perempuan sama didukung untuk
Swara Rahima -7
F O K U S
dok.rahima
Swara Rahima
memperoleh pendidikan, bahkan dinyatakan Nabi dari semenjak di ayunan sampai masuk liang lahat. Semua ayat al-Qur’an yang berkaitan dengan pendidikan dan yang menganjurkan untuk menuntut Ilmu pengetahuanpun ditujukan secara setara baik kepada laki-laki maupun perempuan. Perhatian Nabi SAW terhadap pendidikan kaum perempuan merupakan manifestasi dari kenyataan bahwa beliau sendiri biasa mengajar perempuan bersama laki-laki. Beliau juga memerintahkan kepada sekalian umatnya agar tidak hanya mendidik keluarga perempuan mereka saja, namun juga budakbudak perempuan mereka, seperti tercantum dalam hadits “Seorang laki-laki yang mendidik budak perempuannya, memerdekakannya dan kemudian menikahinya, maka orang tersebut akan mendapatkan pahala yang berlipat ganda”. Sesuai dengan semangat al-Qur’an dan Hadits yang mendorong kaum perempuan untuk mengembangkan semua aspek kepribadian mereka, diyakini bahwa seorang perempuan muslim yang terdidik tidak hanya memancarkan kualitas-kualitas moralnya di lingkungan rumah, namun juga harus memiliki sebuah peran aktif di lapangan-lapangan sosial, ekonomi, dan perkembangan politik. Secara khusus dalam surat At-Taubah ayat 71-72, al-Qur’an memerintahkan laki-laki dan perempuan untuk mendirikan sholat, membayar zakat, beramar ma’ruf dan nahi munkar dalam segala bentuk; sosial, ekonomi, dan politik. Ini berarti laki-laki dan
88-Swara Rahima
perempuan setara dalam mengemban perintah tersebut dan untuk itu mereka harus sama memiliki akses yang setara terhadap kesempatan-kesempatan pendidikan. Lalu bagaimana perempuan bisa membenarkan kebijakan-kebijakan sosial dan ekonomi yang baik atau tidak menyepakatinya, kalau secara intelektual dia tidak dipersiapkan untuk tugas itu? Bila kita kembali berkaca kepada sejarah Islam, sesungguhnya Islam tidak pernah sepakat dalam pembatasan terhadap perempuan. Islam telah memberi kesempatan seluas-luasnya kepada para perempuan-perempuan untuk menimba ilmu apa saja. Dan ini terbukti dengan munculnya beberapa nama perempuan-perempuan yang menghiasi tinta sejarah Islam. Sebutlah misalnya Aisyah yang telah meriwayatkan ribuan hadits, Al Khansa yang dipuji Nabi karena keindahan puisinya, Zainab dari Bani Awd dan Ummu Al-Hasan binti Qadi Abi Ja’far al-Tanjali yang terkenal menguasai ilmu kedokteran, dan sering menunaikan tugasnya untuk mengobati para sahabat yang terluka ketika perang, lalu Nusaibah yang pandai dalam strategi perang, dan mungkin masih ada banyak lagi. Dan jika memang pendidikan adalah fondasi bagi transformasi sosial, maka pembatasan hak pendidikan kepada perempuan tidak relevan. Maka saatnya mengutamakan pendidikan yang berkeadilan, humanis, dan tidak diskriminatif untuk semua.D (Daan Deka)
No. 7 Th. III, Maret 2003
Swara Rahima
OPINI
Pengantar Opini Pendidikan seharusnya menjadi hak prioritas bagi seluruh lapisan masyarakat. Ia bukan sekedar hak dan tentang kebutuhan bersekolah. Lebih dari itu, pendidikan adalah proses dimana di dalamnya terus terjadi proses sosialisasi berbagai pengetahuan dari perkembangan pemikiran manusia itu sendiri. Dan hanya pendidikan yang berkualitaslah yang mampu melahirkan individu-individu berkualitas. Tanpa memisahkan kualifikasi-kualifikasi tertentu, kualifikasi sistem pendidikan, proses atau, materi yang disampaikan, dll. Dalam hal ini mengangkat pendidikan Islam dan keberpihakan bagi perempuan, sesungguhnya lebih banyak dilatarbelakangi oleh persoalan tentang masih adanya tafsiran bahwa Islam membatasi hak pendidikan bagi perempuan. Pun masih ditemui bias-bias gender dalam materi-materi pendidikan. Pada edisi Swara Rahima kali ini, kami mencoba mewawancarai 2 orang yang dikenal sebagai praktisi pendidikan. Pertama, Azyumardi Azra, Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta, dan kedua Henny Supolo, yang lebih senang mengaku “bekerja” di sekolah umum bernuansa Islam di Pondok Labu yaitu Al Izhar. Berikut cuplikan wawancaranya
Dalam Sejarah pendidikan Islam;
tidak ada segregasi laki-laki dan perempuan Wawancara dengan Azyumardi Azra Saat kita membicarakan Islam dan Pendidikan(tarbiyah, ta’lim) maka rujukan yang mu’tabar (dianggap tepat) adalah melihat tarikh (sejarah atau riwayat) pada masa awal Islam, saat Nabi Muhammad Rasulullah SAW. Menyampaikannya. Pun demikian, ketika kita akan menengok praktek yang terjadi dengan hak perempuan dan lelaki dalam mencari ilmu, baik ilmu agama atau pengetahuan umum. Prof. DR. Azyumardi Azra, M.A., sebagai sejarawan dan yang pernah meneliti “jaringan ulama Indonesia dan Timur Tengah” menyatakan, bahwa tidak ada pembedaan antara lelaki dan perempuan dalam sistem pendidikan di zaman Nabi. Selain mengungkap fakta sejarah, ia juga mengomentari seputar masalah gender, pendidikan seks (sex education), pendidikan Islam mutakhir hingga persoalan remaja yang “kebablasan”.
www.mcgill.ca/indonesia-project
No. 7 Th. II, Maret 2003
Swara Rahima (SR) : Apakah ada persoalan dengan segregasi dalam pendidikan, yakni pemisahan lelaki dan perempuan, misalnya di
Swara Rahima -9
OPINI Pesantren, terkait dengan keadilan gender? Azyumardi Azra (AA) : Menurut pandangan saya, khususnya dari sudut sejarah, misalnya tradisi sosial sejak masa Nabi kemudian masa Sahabat, sesungguhnya tidak ada segregasi (pemisahan laki-laki dan perempuan) dalam proses menuntut ilmu, dsb. Bahkan mereka terlibat dalam kehidupan sosial. Hanya pada masa aspek-aspek doktrin dari Islam mulai dirumuskan oleh para ulama dalam bentuk pertama, mungkin ilmu Hadis, Tafsir, Kalam, Fiqh, dsb memang ada kecenderungan perempuan tersegregasi. Karena itulah, khususnya pada abad ke-2 Hijriyah, perempuan jika mau menuntut ilmu, pada umumnya belajar dengan sama ayahnya, atau kepada para ulama tertentu secara khusus dan terpisah dari laki-laki. SR: Artinya, segregasi dalam pendidikan tidak memiliki akar geneologi sejarahnya pada zaman Nabi? AA: Kalau dilihat akar sejarah Nabi, tidak ada! Misalkan, kita baca riwayat Nabi menyampaikan Islam, tidak ada pembedaan, apakah Nabi ketemu dengan perempuan, atau juga saat Nabi melaksanakan pendidikan di Dar al-Arqam. Tidak ada indikasi yang menyebutkan bahwa ada pemisahan laki-laki dan perempuan.
Saya kira, secara historis, munculnya segregasi dalam Islam pada masa belakangan. Kalau kita lihat sumbernya, doktrin-doktrin fiqhiyah, mengenai laki-laki dan perempuan mulai terumuskan secara lebih mapan oleh para fuqaha.
Swara Rahima
ang tuanya. Dan dari situlah muncul ulama’-ulama’ perempuan, tapi tidak melalui co-ed (ko-edukasi, bergabung, atau bersama-sama, red.) dengan lelaki di Madrasah. Dalam sejarah ada lembaga yang disebut kuttab; lembaga dasar. Yaitu pendidikan dasar untuk belajar mengaji, belajar tata bahasa Arab, baca-tulis al-Qur’an, pokoknya tentang dasardasar Islam, seperti juga, aqidah, ibadah, dan SR: Lalu, sejak kapan munculnya kesan ada tentang yang pokok-pokok itu. Dan dalam prosessegregasi dalam Islam? nya dalam kuttab ini juga tidak ada pemisahan AA: Saya kira, secara historis, munculnya se- antara lelaki dan perempuan. gregasi dalam Islam pada masa belakangan. Kalau kita lihat sumbernya, doktrin-doktrin fiqhiyah, SR: Sekedar perbandingan, dalam mencetak mengenai laki-laki dan perempuan mulai terumus- kader-kader agama, misalnya, apakah dalam kan secara lebih mapan oleh para fuqaha. Maka tradisi Kristen (baca: agama lain) juga ada pada masa itulah batas-batas tentang hak dan segregasi? kewajiban antara laki-laki dan perempuan itu AA: Oh iya, jelas. Segregasi itu dalam sistem terumuskan. Kemudian yang menjadi bahagian dari pendidikan masyarakat Eropa dan Barat sangat masyarakat muslim. Oleh karena itu, kalau kita lihat kuat. Bahwa perempuan itu mendapatkan pendidalam lembaga-lembaga pendidikan di Timur dikan yang universal, sistem pendidikan yang Tengah, khususnya setelah bangkitnya ortodoksi dikenal dalam pendidikan Barat disebut dengan cosunni, dalam pengertian; Fiqh Madzhab empat, ed, laki-laki dan perempuan itu belajar dalam satu Kalam Asy’ari, Tasawuf al-Ghazali, yang lalu kelas, itu juga fenomena yang relatif baru. Yakni, direpresentasikan dalam lembaga pendidikan oleh secara universal, baru terjadi pada awal abad keNizhamiyah. Madrasah Nizhamiyah di Baghdad itu 20. Nah, sekarang juga masih terjadi, perguruan memang hanya disediakan khusus untuk lelaki, tinggi yang disebut dengan college, memang masih perempuan tidak ada (dilarang, red.). Jadi, kalau segregated. Seperti tempat belajar saya di ada perempuan yang ingin menuntut ilmu, ingin Coloumbia, itu ada college khusus untuk peremmenjadi ulama’, harus belajar private kepada guru puan, namanya “Barnard College”, laki-laki tidak atau para ulama tertentu yang dipercayai oleh or- boleh belajar di situ. Di Harvard juga ada. Terlepas
1010-Swara Rahima
No. 7 Th. III, Maret 2003
OPINI
SR: Mengapa hanya pada sekolah-sekolah keagamaan saja diterapkan sistem segregasi? sementara pada pendidikan umum itu tidak ada? AA: Hal ini bisa dilihat dari dua perspektif. Pertama, dari perspektif tradisional, baik di dalam masyarakat muslim maupun Eropa. Dalam masyarakat Eropa, kenapa perempuan di-pisahkan. Karena memang citra, pandangan terhadap perempuan masih dianggap menyesatkan, masih ada yang seperti itu. Hal ini sesuai dengan mitos-mitos atau legenda-legenda mengenai perempuan sebagai iblis, sebagai makhluk yang menyesatkan laki-laki. Demikian pandangan baku tradisi Barat. Kalau dalam pandangan masyarakat muslim tradisional, saya kira, terdapat dalam Fiqh tradisional. Memang, perempuan itu mungkin tidak disebut the second class, tapi tidak termasuk prioritas. Dan pertimbangan fiqhiyah juga, bahwa ada pandangan kemungkinan mudlarât yang lebih besar, kalau perempuan itu belajar bersama-sama laki-laki (coed, red). Jadi, dasar dari pandangan fiqhiyah semacam itu, lebih cenderung pada su’udhan (buruk sangka) terhadap perempuan. Saya kira, di negaranegara Barat sekalipun, masih banyak pandangan bahwa memang diperlukan sekolah-sekolah khusus bagi perempuan. Karena, kalau langsung bersama
No. 7 Th. II, Maret 2003
lelaki, misalnya, maka pertarungannya mereka anggap tidak seimbang. Perempuan dianggap sebagai kelompok yang kurang mendapatkan keuntungan, mendapatkan kerugian kalau berkompetisi dengan laki-laki. Jadi, itulah kenapa masih ada college khusus untuk perempuan. Tapi, dalam masyarakat muslim sekarang ini, kalaupun masih ada sekolah-sekolah, atau lembaga pendidikan yang memisahkan perempuan, saya kira, tidak jauh berbeda dengan alasan di atas. Nah tentu saja, anggapan-anggapan ini, saya kira juga keliru. Karena, kalau kita lihat di berbagai survey, sekalipun dalam sistem co-ed, justru perempuan yang menduduki ranking teratas di dalam berbagai bidang ilmu.
Swara Rahima
dari itu, memang kemudian, pendidikan yang coed, mulai meluas baru pada awal abad ke-20 ini.
SR: apakah menurut anda pewajiban jilbab di kemudian hari merupakan pengganti sistem pemisahan kelas laki-laki dan perempuan? AA: Saya kira untuk jilbab hal ini terkait dengan ciri atau karakter dari lembaga pendidikan tertentu yang juga karena bersifat historis, atau pertimbangan nilai-nilai yang dipandang sebagai karakter dari pendidikan itu. Seperti IAIN atau sekarang UIN, secara historis, jilbab sebagai sesuatu yang sudah dirumuskan menjadi keharusan dan sekaligus melekat dengan ciri identitas dari lembaga itu sendiri. Jadi, kaitannya mungkin ke sana. Mungkin dalam soal itu, jilbab tidak ada hubungannya dengan soal mengurangi hak atau tidak sensitif pada gender. Karena, kita lihat juga misalnya, lembaga-lembaga lain atau institusi lain mempunyai ketentuan-ketentuan, misalnya cara berpakaian, apakah lembaga pemerintah atau swasta, itu ada ketentuan- ketentuan seperti itu. Jadi, berhadapan dengan ketentuan-ketentuan yang ada tersebut, masyarakat berhadapan dengan pilihan-pilihan, ketika, dia mau masuk di lembaga tersebut. Jadi, kalau ada ketentuannya, kemudian tidak suka dok.rahima dengan hal itu, jangan
Swara Rahima -11
OPINI
......kurikulum pendidikan Islam itu belum sensitif gender. Kalaupun ada, sangat sedikit sekali. Jadi, misalnya pandanganpandangan keagamaan yang diajarkan dalam kurikulum, apakah Fiqh dsb, masih belum memiliki perspektif gender yang mempertimbangkan keadilan bagi pendidikan perempuan.
masuk. Tapi, kalau anda ke DKI (Daerah Khusus Ibukota, red.) misalnya, harus pakai seragam orang DKI, atau jika menjadi Satpam, ya seragamnya seperti itu. Kalau keberatan jangan jadi Satpam. Saya melihat hal itu tidak mengurangi hak-hak orang.
Swara Rahima
SR: Bagaimana dengan beberapa lembaga pendidikan modern yang belakangan muncul dengan berlabel Islam ?apakah ada yang menarik dari itu ? AA: Ini menunjukkan dari berbagai gejala, sesungguhnya. Dari sudut pendidikan, ini adalah gejala dari kebutuhan masyarakat muslim sendiri untuk mendapatkan pendidikan yang menurut mereka berkualitas. Jadi, semakin ada segmen di masyarakat kita yang menginginkan seperti itu. Dan kemudian, mereka mempunyai kemampuan keuangan untuk mendapatkan pendidikan tersebut. Jadi, dari sudut itu bisa kita lihat juga, adalah gejala dari mobilitas sosial ekonomi di kalangan masyarakat muslim kota. Tapi, gejala pendidikan ini hanya satu gejala saja. Gejala yang lain, misalnya pesantren yang sekarang juga sudah mulai menyebar di daerah perkotaan. Jadi, muncul pesantren-pesantren urban dsb ini juga menunjukkan meningkatnya kepercayaan orang terhadap pesantren yang
1212-Swara Rahima
dipandang mampu mengatasi atau mengurangi akibat-akibat yang terjadi dalam masyarakat akibat berbagai hal; globalisasi, tayangan TV, penyebaran Narkoba dsb. Tapi, hemat saya, kemunculan perkembangan lembaga-lembaga pendidikan secara keseluruhan cukup menggembirakan, karena gejala-gejala seperti itu. Meskipun, saya kira memang harus dibedakan karena sekalipun sekolah-sekolah Islam seperti al-Azhar, al-Izhar, dan Madania itu sudah bagus, tapi mereka belum bisa bersaing, bila dibandingkan sekolah-sekolah Kristen, misalnya. Ada kelemahan-kelemahan tertentu, kalau kita lihat dari mereka yang lulus, dsb, ternyata masih kalah gitu. Tapi, saya kira ini adalah awal dari pendidikan yang lebih berkualitas. SR: Paling tidak, dalam konteks sekarang, sistem pendidikan Islam, apakah kurikulumnya sudah mengarah ke keadilan gender? AA: Saya kira, masih diperlukan Affirmative action, kebijakan-kebijakan khusus agar perempuan-perempuan bisa mendapatkan hak-haknya secara lebih adil di dalam lembaga-lembaga pendidikan. Sebab memang secara umum, boleh kita katakan misalnya saja, kurikulum pendidikan Islam itu belum sensitif gender. Kalaupun ada, sangat sedikit sekali. Jadi, misalnya pandangan-pandangan keagamaan yang diajarkan dalam kurikulum, apakah Fiqh dsb, masih belum memiliki perspektif gender yang mempertimbangkan keadilan bagi pendidikan perempuan. Tapi, di lingkungan kita (UIN, red.) saya kira, sejak 10 tahun terakhir, atau lebih intensif lagi 5 tahun terakhir, perspektif gender menjadi penting dalam kurikulum. Oleh karena itulah dalam mata kuliah-mata kuliah diberikan perspektif gender, dimana kemudian kesetaraan, keadilan, di antara lelaki perempuan itu baik dalam konteks doktrinal atau yang lainnya itu bisa dipahami oleh mahasiswa. Nah, dalam konteks itulah mensosialisasikan perspektif gender, kurikulum yang memiliki perspektif gender, dilakukan training (pelatihan-pelatihan) baik untuk para pejabat, sejak dari tingkat Rektor, Universitas, hingga Dekan, Pembantu Dekan, dsb mengenai pengembangan pendidikan dan kurikulum dalam perspektif gender. Saya kira, setiap waktu, saya tidak tahu persisnya, tapi mungkin apakah enam bulan ada juga pelatihan-pelatihan (training), sosialisasi bagi dosen-dosen.
No. 7 Th. III, Maret 2003
OPINI
SR: Apakah hal itu ada kaitannya dengan pengarusutamaan gender yang dikembangkan oleh pemerintah, atau karena sudah menjadi issue global maka harus masuk pada kurikulum? AA: Sebetulnya, pengembangan kurikulum yang memiliki perspektif gender itu sudah diterapkan lebih dari sejak 5 tahun terakhir, khususnya kerja sama dengan Mc Gill University, dan juga dengan program-program yang lain. Karena itu sampai dengan tingkat policy (kebijakan). Misalnya, kita akan mengangkat dosen atau mengirim dosendosen kita ke luar negeri, maka kemudian representasi gender juga harus ada. Jadi, kalau misalnya, katakanlah mengirim 10 orang calon MA ataupun Doktor ke luar negeri, maka kita harus usahakan 50% di antaranya perempuan. Ini selalu diusahakan seperti ini, meskipun kadang-kadang dosen perempuan lebih sedikit dibanding laki-laki, maka tidak terpenuhi. Tapi, paling tidak, dengan melakukan kebijakan seperti itu, maka kebijakannya sudah memiliki perspektif gender.
No. 7 Th. II, Maret 2003
SR: Menurut data statistik, perempuan yang berpendidikan selalu sedikit jumlahnya, mulai dari SD hingga ke Perguruan Tinggi. Nah, kesannya, pendidikan itu dilihat hanya secara formal semata, padahal ada juga pendidikan non formal dan informal. Melihat hal demikian, kenapa perempuan seringkali dipojokkan dan adakah ruang keadilan pendidikan alternatif bagi perempuan?
Swara Rahima
SR: Apakah hal itu termasuk di dalamnya sex education juga? AA: Tidak, ini hanya ditekankan pada hubungan antara laki-laki dengan perempuan. Termasuk juga dalam mata kuliah-mata kuliah, selama ini dianggap secara tradisional, kurang menguntungkan bagi perempuan. Atau penafsirannya itu cenderung kurang menguntungkan bagi perempuan, katakanlah misalnya dalam Fiqh atau Tafsir. Nah itu kemudian disosialisasikan kepada para dosen di bidangbidang itu.
AA: Ya, seharusnya, perempuan berhak mendapatkan pendidikan alternatif. Tapi gejala seperti itu, memang gejala sosiologis yang muncul sebagai akibat dari masih dominannya perspektif di dalam masyarakat. Misalnya saja, untuk terus melanjutkan ke perguruan tinggi. Memang, kecenderungan budaya di masyarakat, perempuan supaya cepat bersuami, dsb. Model seperti itulah. Atau misalnya, laki-laki lebih diprioritaskan untuk mendapatkan pendidikan. Nah, karena ini berangkat dari sikap budaya seperti itu, maka sikap demikian yang harus diperbaharui, atau diganti dan dirombak. Tetapi, saya melihat di berbagai lembaga, sesungguhnya, jumlah perempuan itu tetap dominan, seperti di UIN ini, saya kira, secara keseluruhan, perempuannya lebih dari 50%, sekitar 52% atau 53%, dari jumlah mahasiswa. Tapi memang, tradisi, praktek dalam masyarakat kurang kondusif terhadap perempuan. Jadi, kalau ada perempuan yang terus kuliah misalnya, katakanlah kalau dia telah sampai semester akhir, belum punya calon, maka kemudian cenderung dipojokkan, cenderung disindir, dsb. Hal ini menimbulkan masalah tersendiri. Ada persoalan psikologis bagi perempuan itu. D
Swara Rahima -13
Pendidikan Islam dan keberpihakan bagi Perempuan Wawancara dengan Henny Supolo
Setiap proses penyadaran sebetulnya mensyaratkan pemahaman terlebih dulu pada guru. Apabila guru tidak merasa bahwa issue ini penting maka tidak bisa diharapkan akan dibicarakan sebagai suatu proses pemahaman. Malahan, bisa jadi dipandang sebagai suatu pengetahuan yang perlu diketahui hanya pada saat materi tersebut direncanakan untuk diberikan saja.
Swara Rahima
OPINI
tingkatan apakah perempuan di negaramu boleh meneruskan pendidikan?” Itulah beberapa pertanyaan yang diajukan, sementara pada saat yang sama mereka juga mengetahui dari keterangan saya bahwa sekolah tempat saya bekerja adalah dengan sistem “co–ed”, di mana murid perempuan dan laki bersama-sama berada di kelas. Pada saat itu saya pikir betapa terbatasnya memang pengetahuan mengenai pendidikan dan khususnya dalam sekolah-sekolah yang membawa label “Islam”. Kesan yang ditangkap oleh teman-teman, sebagian besar berkebangsaan Amerika, saat itu adalah adanya keterbatasan dan lebih jauh lagi bukan hanya dalam kesempatan tetapi juga dalam kemerdekaan berpikir. Padahal, kita semua tahu bagaimana ‘Iqra’ sangat bisa diterapkan dalam kegiatan sehari-hari suatu lembaga pendidikan. Dengan memahami dan membaca lingkungan maka tentunya proses pendidikan yang dinamis akan senantiasa terjadi. Manusia sebagai khalifah di muka bumi ini memiliki peran untuk senantiasa menjaga dan bahkan mengembangkan setiap anugerah Sang Pencipta sehingga dari dua prinsip penting yang kita temukan dalam Qur’an ini saja kita bisa memasuki penyadaran bias gender. Yaitu, pertama-tama apakah sikap bias bisa disebut mengikuti perkembangan kebutuhan masa kini dan sudah merupakan penterjemahan dari anjuran untuk membaca atau mengembangkan diri? Dan ke dua, apakah sebagai khalifah masing-masing dari kita sudah berperan untuk menjaga dan mengembangkan segenap karunia Sang Pencipta, baik di diri sendiri maupun di lingkungan secara maksimal? Dari dua pertanyaan itu saja sesungguhnya tidak sulit untuk melihat benang merah mengapa sesuatu yang bias tidak perlu dikembangkan. Termasuk di dalamnya bias gender.
Swara Rahima (SR) : Selama meneliti persoalan pendidikan, khususnya pendidikan Islam. Pada tingkat metodologis, bagaimana bentuk riil pendidikan berpihak pada perempuan? Henni Supolo (HS) : Ketika saya kuliah dan mengambil program master di Michigan State University, teman-teman kuliah saya menanyakan halhal yang saya pandang menggambarkan keterbatasan pengetahuan masyarakat mengenai lembaga pendidikan Islam atau pendidikan umum bernuansa Islam. Antara lain pertanyaan yang saya dapatkan adalah “Apakah murid perempuan di sekolahmu mengikuti pelajaran olahraga? Bagaimana di kelas, apakah mereka dipisah menurut jenis kelaminya? SR : Adakah ideologi pendidikan sadar genApakah dalam pelajaran diperbolehkan interaksi antara siswa perempuan dan laki-laki? Sampai der yang perlu dikembangkan?
No. 7 Th. II, Maret 2003
Swara Rahima -15
OPINI HS : Kembali pada penggunaan pikiran dan kesempatan secara maksimal (Iqra) dan mengambil peran untuk menjaga dan mengembangkan ciptaanNya dengan sebaik-baiknya, sebagai khalifah di muka bumi ini.
Swara Rahima
SR : Pada tingkat kurikulum, apa sebenarnya yang perlu diisi dalam kurikulum pendidikan yang sadar gender? (Buku wajib dan sebagainya) HS : Setiap proses penyadaran sebetulnya mensyaratkan pemahaman terlebih dulu pada guru. Apabila guru tidak merasa bahwa issue ini penting maka tidak bisa diharapkan akan dibicarakan sebagai suatu proses pemahaman. Malahan, bisa jadi dipandang sebagai suatu pengetahuan yang perlu diketahui hanya pada saat materi tersebut direncanakan untuk diberikan saja. Proses penyadaran sangat membutuhkan keterlibatan dan perasaan terlibat siswa sejak awal. Artinya, pendekatan yang dilakukan guru perlu mengikutsertakan siswa sejak awal. Berbagai cara dan pendekatan yang bisa dipilih dalam hal ini adalah di antaranya melakukan diskusi dengan berbagai materi seharihari, melakukan penelitian kecil di lingkungan masing-masing dan melaporkannya, mencari berbagai issue yang dipandang bias gender dan seterusnya. Semua hal ini, kesadaran dan pemahaman guru, keterlibatan siswa, pemakaian lingkungan terdekat dan kegiatan sehari-hari merupakan hal penting yang memang perlu direncanakan secara strategis. Dan sekali lagi, proses penyadaran bukan sekedar memberikan pengetahuan tetapi melalui suatu proses pemahaman yang seakan-akan telah mengalir di segenap pembuluh darah guru dan siswa. SR : Terlepas dari kontroversi jilbab (wajib atau tidak), apakah relevansi jilbab dalam pendidikan Islam. Apakah hanya sekedar meneguhkan identitas atau punya arti tersendiri? Menurut Ibu bagaimana? HS : Saya kira banyak sekali pandangan yang berbeda-beda mengenai hal ini. Tetapi secara pribadi, saya kira setiap orang berhak memilih untuk menentukan prioritasnya masing-masing. Sekaligus dalam hal ini, juga memilih bagaimana menyatakan dirinya (yang Anda sebut sebagai meneguhkan identitas itu). Akan tetapi, dalam pemahaman yang terbatas, saya kira pilihan apapun yang dijatuhkan
1616-Swara Rahima
(memakai atau tidak memakai jilbab) tidak berarti bahwa yang satu lebih baik dari lainnya. Selama pemahaman hanya terbatas di sana saya kira tidak jadi soal pilihan memakai atau tidak memakai jilbab ini. Diskusi akan berubah menjadi perdebatan bilamana keputusan segera dikaitkan dengan penilaian. Dan justru di sana, saya kira yang perlu dihindari. SR : Apakah materi pendidikan seks termasuk dalam paket pendidikan Islam sadar gender? HS : Secara pribadi saya melihat bahwa penyadaran adanya bias gender sangat berkaitan dengan kegiatan sehari-hari. Termasuk di dalamnya kesadaran bahwa sebagai manusia, kita secara pribadi, merupakan pemimpin bagi diri masing-masing. Karenanya, sejak dini pula, mestinya anak-anak kita diajak untuk memahami peran mereka dalam menentukan kehidupan yang sehat. Artinya, tentu di dalamnya termasuk pemahaman fungsi dan alat reproduksi dan bagaimana menjaga dengan sebaikbaiknya. Inilah yang saya maksudkan sebagai pendidikan sex dalam penyadaran gender.D
No. 7 Th. III, Maret 2003
Yang Luput; Pendidikan Perempuan Oleh: Ala’i Najib
Tafsir-tafsir umumnya tidak membuat ruang segregasi antara laki-laki dan perempuan pun juga tidak menyebut perempuan secara eksplisit sebagaimana hadis-hadis. Hadis dengan sangat detail bisa bertutur bagaimana gigihnya para istri Nabi belajar, setting ruang dan materi yang dipelajari.
I
bu adalah sekolah bangsa jika engkau per siapkan seorang Ibu dengan baik, maka engkau sedang menyiapkan bangsa yang tangguh. Inilah kata hikmah yang tidak pernah saya lupa setiap berbicara tentang perempuan dalam banyak aspeknya. Sebab pendidikan dimana proses belajar di ruang formal maupun non formal terjadi, adalah syarat bagi keberhasilan melakukan “transaksi� kehidupan. Di negeri ini, tak kurang R.A.Kartini sampai Rasuna Said berjuang untuk pendidikan kaum perempuan. Nasib perempuan, bagaimanapun hebatnya dibicarakan dan diseminarkan, masih menjadi ironi. Jika ada kemiskinan di sebuah negeri, maka perempuanlah kelompok yang paling miskin, jika ada kelompok buta huruf, maka perempuanlah yang banyak buta huruf (Ann Hartfiel, In Support of Women: Ten Years of Funding by The Inter-Ameri-
No. 7 Th. II, Maret 2003
Swara Rahima
TAFSIR
can Foundation September 1982, p.2). Di Indonesia, statistik perempuan menunjukkan ketimpangan yang menyolok. Ini bisa dilihat misalnya Statistik Indonesia untuk pendidikan dan kebudayaan yang dikeluarkan Bappenas 1997 menunjukkan bahwa antara tahun 1980-1990, angka masuk sekolah laki-laki dan perempuan selalu lebih rendah dibanding laki-laki dan semakin tinggi tingkat pendidikan semakin kecil siswa perempuannya. Jika dirunut ketimpangan pendidikan perempuan dikarenakan masyarakat masih berpandangan male oriented, pandangan yang mengedepankan pendidikan laki-laki daripada perempuan. Dengan konsep bahwa anak laki-laki kelak menjadi kepala keluarga, maka sebuah keluarga dimana terdapat anak lakilaki dan perempuan dengan ekonomi pas-pasan pasti akan mendahulukan pendidikan tinggi anak laki-lakinya daripada anak perempuan. Anggaran pemerintah terhadap pendidikan di banyak negara –terutama negara berkembang- memang lebih kecil dibanding anggaran yang lain, hal ini menyebabkan pendidikan bukan saja konsumsi mewah yang tak banyak dijangkau masyarakat umum, namun juga menciptakan masyarakat berkelas; orang awam dan orang berpendidikan. Boleh dikata, hanya yang punya uang yang mampu sekolah, sebab ternyata beasiswa tidak untuk semua orang. Kemiskinan tentu bukan satu-satunya sebab yang memarginalkan pendidikan perempuan, male oriented juga paralel dengan budaya yang kuat mengakar bahwa perempuan tidak sepantasnya berpendidikan tinggi karena nanti hanya akan ke dapur. Persepsi ini tidak diluruskan bahwa peran di dapurpun menuntut pengetahuan. Tanpa tahu nutrisi yang baik, mustahil perempuan bisa menyiapkan menu yang sesuai dengan kebutuhan gizi keluarga. Koran Tempo edisi November menurunkan laporan bahwa mempunyai istri yang cerdas lebih menguntungkan terutama dalam hubungannya dengan gizi keluarga, tapi tidak
Swara Rahima -17
TAFSIR
Swara Rahima
sebaliknya, kalau seseorang mempunyai suami cerdas.Budaya bahwa perempuan adalah konco wingking, sehingga tak perlu dididik juga turut mensubordinatkan perempuan. Fakta-fakta di atas menunjukkan betapa pendidikan –dalam arti yang sebenarbenarnya- bagi perempuan bukan ketertinggalan yang harus dikejar, tapi dilanggengkan. Memang banyak perempuan sekarang yang sudah memegang peranan penting, tapi itu hanya representasi kecil yang belum mencapai keterwakilan penduduk di muka bumi dan harus dicatat tidak semuanya punya sense of gender. Sulitnya, lingkungan pendidikan keagamaan juga turut berperan membentuk persepsi ini, lihatlah misalnya; seorang perempuan yang masuk fakultas kehutanan, mestilah ia bercitacita menjadi insinyur kehutanan, tapi apakah ada di pesantren perempuan, santrinya berani bercitacita menjadi ibu Nyai? yang mengajar di pesantren? Sebaliknya laki-laki, nyarisnya semuanya diproyeksikan jadi: ”Kyai”. Kalau ini terjadi secara simultan, bagaimana kita mengharapkan, nanti yang mengajar fikih, tafsir atau disiplin ilmu keagamaan lain perempuan? Padahal posisi ini sangat penting, sebab pengajaran keagaamaan yang berperspektif gender bisa digerakkan sebab guru atau bu Nyai yang merupakan tokoh kunci. Selain faktor-faktor di atas, adanya trend bahwa perempuan yang sekolah tinggi kemudian tidak mengembangkan karirnya dan memilih kembali ke ruang domestik menimbulkan persepsi bahwa memang tugas perempuan adalah mengurus rumah tangga dan ini tidak dianggap sebagai pilihan sadar individu. Faktor-faktor diatas juga sebenarnya kita sadari telah dikembangkan secara budaya, dikukuhkan oleh negara, mungkin dinikmati laki-laki dan juga diamini perempuan, tetapi benarkah ketertinggalan ini dilegitimasi penafsiran agama? Bagaimana sebenarnya teks-teks agama menjelaskan duduk soal pendidikan perempuan? Wahyu pertama (QS. 96:1) misalnya dipahami sebagai perintah iqra’, membaca, daras yang wajib untuk seluruh kaum muslimin. Perintah belajar bersifat umum, tidak ada pembedaan laki-laki dan perempuan. Surat 2;30, yang berbunyi
“sesungguhnya aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi
dan surat Hud: 61,
1818-Swara Rahima
Dan Dia yang menciptakan kamu dari bumi (tanah) dan menugaskan kamu untuk memakmurkan.
Dengan ayat ini, manusia dituntut akan tanggung jawabnya sebagai hamba dan khalifah yang berkualitas di muka bumi. Dan untuk menuju kesana dibutuhkan orang yang mau belajar agar tugastugasnya untuk mewujudkan kehidupan dunia yang adil dan makmur tercapai, baik laki-laki maupun perempuan. Tafsir-tafsir umumnya tidak membuat ruang segregasi antara laki-laki dan perempuan pun juga tidak menyebut perempuan secara eksplisit sebagaimana hadis-hadis. Hadis dengan sangat detail bisa bertutur bagaimana gigihnya para istri Nabi belajar, setting ruang dan materi yang dipelajari. Satu kitab tafsir yang ditulis dimana budaya patriakhal masih dominan, Ibn Katsir (lihat Ibnu Katsir; volume 4:562) tidak menyebutkan limitasi antara laki-laki dan perempuan dalam pendidikan. Ghalibnya, para mufassir lebih menonjolkan aspek sababun nuzul pada pembahasannya dan memenuhi jawaban zamannya. Harus ditegaskan bahwa pendidikan perempuan yang merujuk kepada banyak ayat-ayat Quran sudah jelas tanpa diskriminasi, perempuan bisa belajar bidang apa saja. Kalau ada ayat yang berbunyi
“ dan tetap tinggallah kamu dirumah” (QS.33;33) jangan dimaknai bahwa perempuan harus di rumah, sebab ayat ini sebenarnya adalah khususiyah kepada istri Nabi, bukan kepada seluruh kaum muslimat, atau ketentuan adanya hijab antara istriistri Nabi dan kaum mukminin,
“….apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada istri-istri Nabi, maka mintalah dari belakang tabir, sebab yang demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hati mereka…” (QS.33;53).
Ayat ini merupakan perintah adanya hijab bagi mereka diantara laki-laki (para sahabat Nabi) yang memasuki rumah Nabi dan kewajiban istri-istri Nabi
No. 7 Th. III, Maret 2003
untuk menutup wajah mereka kalau keluar rumah, ini sejalan dengan ayat (QS. 33; 59) (Abu Syuqqah: volume 4-6: 287 dan volume 1-3; 18). Relasi laki-laki dan perempuan dalam Islam yang ideal juga mensyaratkan pendidikan, misalnya;
“barang siapa yang beramal shaleh laki-laki dan perempuan, dan mereka adalah orang yang beriman, baginya kehidupan yang baik (QS.3:27)
Rasyid dalam Tafsir al-Manar berpendapat bahwa ayat
Qasim Amin yang disebut bapak “feminism” Arab meletakkan pendidikan sebagai isu utama gerakannya, sebab pendidikan merupakan salah satu pintu untuk melakukan perubahan.
Swara Rahima
TAFSIR
“ Orang-orang yang beriman laki-laki dan perempuan sebagian mereka adalah menjadi pelindung bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh kepada yang makruf dan mencegah yang munkar…(QS. 9;71).
Merupakan kewajiban laki-laki dan perempuan untuk saling amar ma’ruf nahi munkar, mengajar, beramal dan saling menguatkan. Selain itu perempuan sebagaimana laki-laki juga berhak mewujudkan kehidupan yang mawaddah penuh mahaabbah dan rahmah.(Ibn Katsir, volume 3; 448). Ini misalnya dalam ayat “
Dan di antara tanda-tanda kekuasaanNya ialah Dia menciptkan untukmu istri-istri dari jenismu sendirin supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya dan dijadikan diantaramu rasa kasih sayang….” (Q.S. 30:21)
Para mufasir lama memang tidak banyak memberi tekanan pada ayat-ayat yang mengandung pendidikan. Namun ulama kontemporer seperti Muhammad Abduh atau Qasim Amin telah memberi modifikasi yang baik dan semangat pendidikan bagi perempuan dengan teks-teks agama. Qasim Amin yang disebut bapak “feminism” Arab meletakkan pendidikan sebagai isu utama gerakannya, sebab pendidikan merupakan salah satu pintu untuk melakukan perubahan.
No. 7 Th. II, Maret 2003
Meski pendidikan perempuan seperti sejarah yang kurang terliput, banyak wanita terkemuka karena pengetahuannya dan menjadi rujukan sekian banyak tokoh laki-laki seperti ‘Aisyah ra. yang menjadi rujukan dalam soal-soal keagamaan. Selain itu kita mengenal Sakinah binti Husain bin Ali bin Abu Thalib bahkan yang tak banyak diungkap, Imam Syafi’i, imam madzhab yang pandanganpandangannya menjadi panutan banyak orang di Indonesia, mempunyai seorang guru perempuan Syuhrah yang digelari Fakhr al-Nisa’ (kebanggaan kaum perempuan), al-Khansa, Rabiah al-Adawiyah dll (Shihab: 278;1994) Banyak figur di masa lalu dan teks-teks Quran tentang pendidikan sudah sharih, sejarah pendidikan perempuan tetap gelap bahkan seakan lenyap terutama dalam khasanah pengetahuan keagamaan. Teks-teks itu memang jarang dimunculkan untuk spirit betapa ketertinggalan pendidikan perempuan juga menjadi tanggung jawab agamawan. Saya setuju dengan pendapat bahwa teks-teks Quran harus dibaca pada konteksnya (qiraah al-siyaqiyah) untuk mengembangkan penafsiran modern yang menganalisa teks dalam konteks sosial sejarahnya (Nasr Hamid Abu Zaid; Dawair al-Khauf Qiraah fi Khitab al-Mar’ah; 202). Untuk merealisasikan itu,
Swara Rahima -19
TAFSIR
Swara Rahima
teks dan konteks harus berdialog dan berdialektika serta tidak dibiarkan secara pasif (Nasr Hamid Abu Zaid; Ishkaliyat al-Qiraat wa Aliyah al-Ta’wil;42) Pendidikan perempuan bersifat mutlak, selain tugas sebagai khalifah, sebagaimana disebut di atas, persoalan-persoalan keseharian perempuan misalnya soal keagamaan; haid dan nifas atau soal kemasyarakatan lainnya sebenarnya mensyaratkan perempuan harus punya bekal pendidikan yang cukup. Hak-hak reproduksi perempuan sudah seharusnya pembelajarannya lewat perempuan, sebab hanya perempuan yang tahu dan mengalami bagaimana membedakan darah haid sebagai tanda boleh dan tidaknya perempuan mulai sholat, merasakan nifas dsb. Ubudiyah dalam Islam terutama menyangkut hak-hak reproduksi perempuan sangatlah rigid, karenanya perempuan harus melewati proses belajar untuk tahu itu. Banyak kitab, semacam fiqh al-nisa’ yang ditulis oleh ulama (baca; laki-laki) dan kemudian mereka pula yang mengajarkan, lihat misalnya, sebagai contoh, Fatawa al-Nisa’ yang ditulis Ibn Taimiyah, kitab ini sebegitu komplek. Saya tidak membayangkan bagaimana kalau yang mengajarkan adalah lakilaki, mungkin akan lebih bersifat dogmatik daripada
Ketertinggalan perempuan dalam pendidikan perlu dikejar dalam waktu yang lama sebab pendidikan merupakan investasi jangka panjang. Sekarang ini meski agenda perempuan sudah dilihat keberhasilannya, namun perempuan belum banyak memasuki sektor-sektor penting terutama yang menyangkut kebijakan.
2020-Swara Rahima
menjawab persoalan. Dialog yang mestinya cair, barangkali menjadi kikuk, karena bapak kyai yang menguraikan darah haid!. Kasus pelarangan sekolah bagi perempuan di rezim Taliban janganlah di lihat semata-mata karena motivasi agama, sehingga mencitrakan Islam sebagai agama terbelakang. Sebab banyak faktor politisnya di tengah ketidakberdayaan kebudayaan global dan kepentingan kapitalism.Isu-isu seperti ini banyak dipakai politisi dunia untuk menjatuhkan Islam. Ketertinggalan perempuan dalam pendidikan perlu dikejar dalam waktu yang lama sebab pendidikan merupakan investasi jangka panjang. Sekarang ini meski agenda perempuan sudah dilihat keberhasilannya, namun perempuan belum banyak memasuki sektor-sektor penting terutama yang menyangkut kebijakan. Bahkan mungkin banyak perempuan mengkhususkan menekuni gender daripada isu-isu lain, mungkin ini wajar sebagai ketidakadilan gender telah menjadi kerja besar bagi kita semua terutama kaum perempuan untuk menghapuskannya. Jika kita hanya berkutat terus pada wacananya dan lihai untuk menekuni bidang yang lain, kita akan kehilangan startnya kembali. Penuntutan kesetaraan laki-laki dan perempuan dalam segala bidang adalah omong kosong tanpa diikuti pendidikan formal maupun non formal. Sebagai contoh jangan sampai tuntutan pemenuhan quota perempuan di DPR, memaksakan jumlah perempuan yang seimbang namun tidak diikuti bekal yang proporsional. Jumlah perempuan memang terpenuhi tapi apakah kuantitasnya memadai?, apakah mereka juga punya sense of gender? Apakah merupakan yang diperjuangkan karena mereka keperempuananya juga dibuatkan kontrak bahwa mereka nanti bisa mempengaruhi kebijakan? jangan sampai perempuan Indonesia menjadi bunga parlemen seperti di India. Ada tapi tak ada, ada tapi tak melakukan perubahan Sekarang ini agenda yang mendesak ditengah konflik multi dimensional bangsa adalah memperbaiki dan membantu pendidikan perempuan di segala sektor, agar kita semakin banyak punya politisi, ahli agama, ekonomi dan pejabat yang punya sense of gender. Tanpa pendidikan formal atau non formal semuanya non sense!. Penulis adalah Dosen Tamu Program Kajian Wanita Pascasarjana Universitas Indonesia dan staf Lakpesdam Jakarta
No. 7 Th. III, Maret 2003
Menuju Pendidikan yang Memihak Perempuan Oleh: Faqihuddin Abdul Kodir
Beberapa teks hadits dari sisi sanad kebanyakannya adalah lemahyang menghambat aktifitas pendidikan perempuan harus segera dihentikan pengajaran dan periwayatannya.
K
emuliaan di sisi Allah SWT -dan tentu di sisi manusia - hanya bisa didapatkan melalui keimanan dan keilmuan. Seperti yang dinyatakan di dalam al-Qur’an:
“Allah akan mengangkat derajat orang-orang yang beriman dan orang-orang yang berilmu di antara kalian” (QS. Al-Mujadalah: 11).
Sama seperti halnya keimanan, keilmuan hanya bisa didapatkan melalui pengkondisian, kemauan, pencarian dan usaha yang keras dari semua pihak.
“Bahwa seseorang tidak akan memperoleh kecuali apa yang ia usahakan” (QS. An-Najm, 53: 39).
Proses ini biasa dinamakan dengan pendidikan. Karena itu, pendidikan merupakan hak semua
No. 7 Th. II, Maret 2003
Swara Rahima
DIRASAH HADIS
orang, dan pada saat yang sama penyelengaraan pendidikan merupakan kewajiban bagi mereka yang menguasai sumber daya; orang tua terhadap anak, orang kaya untuk orang miskin, dan yang paling bertanggung jawab adalah negara terhadap seluruh rakyatnya. Sekalipun pendidikan merupakan hak seluruh rakyat, pada kenyataannya mereka yang diposisikan lemah adalah mereka yang paling banyak terhambat untuk memperoleh kesempatan pendidikan. Perempuan misalnya, karena posisi sosialnya yang dilemahkan, ia memperoleh kesempatan pendidikan lebih terbatas jika dibandingkan dengan laki-laki, padahal jumlah penduduk perempuan sedikit lebih banyak dari laki-laki. Dari data BPS mulai tahun 1980-1990 misalnya, menunjukkan bahwa rata-rata angka masuk perempuan ke lembaga pendidikan lebih kecil bila dibandingkan dengan angka masuk laki-laki. Semakin tinggi jenjang pendidikan, semakin kecil angka rata-rata masuk perempuan. Tingkat SD, perbandingan perempuan dengan laki-laki adalah 49.18 %:50.83 %, di tingkat SMP; 46.34%:53.56%, di tingkat SMA; 41.45 %:58.57%, di perguruan tinggi; 33.60%:66.40%. Tentu saja, untuk tingkat yang lebih tinggi, kesempatan perempuan akan jauh lebih sedikit. Kesempatan yang kecil ini berimbas juga pada posisi-posisi lain bagi perempuan, baik sosial, ekonomi, maupun politik. Di parlemen kita hanya ada 8 % perempuan, begitu juga di DPR di daerah, di Malang misalnya hanya ada 4 orang perempuan dari total 45 anggota DPRD, dan di Kota Cirebon tidak ada seorangpun perempuan yang menduduki DPRD (lihat: Jurnal Perempuan, no. 23, 2002, h.716). Kesempatan yang lebih kecil ini merupakan salah satu ketimpangan pendidikan bagi perempuan. Ketimpangan lain adalah segregasi yang lebih sering menistakan perempuan, stereotipe yang menempatkan perempuan hanya untuk jenis pendi-
Swara Rahima -21
DIRASAH HADIS
Swara Rahima
dikan tertentu dan yang lebih parah adalah kurikulum dan materi pendidikan yang masih melestarikan ketidak-adilan bagi perempuan. Ketimpangan ini merupakan tanggung jawab semua orang, terutama negara terhadap rakyatnya. Masyarakatpun, dengan kulturnya yang tidak adil terhadap perempuan, ikut bertanggung jawab dalam pelestarian ketimpangan pendidikan perempuan. Agama (atau lebih tepat pemaknaan terhadap agama), sebagai salah satu unsur dari kultur masyarakat bahkan menjadi unsur utama, menjadi sangat bertanggung jawab dalam hal ketimpangan gender. Karena itu, pengajaran agama perlu dilihat ulang, terutama yang terkait dengan teks-teks hadits. Beberapa teks hadits -dari sisi sanad kebanyakannya adalah lemah- yang menghambat aktifitas pendidikan perempuan harus segera dihentikan pengajaran dan periwayatannya. Apabila teks-teks hadits seperti ini tertulis dalam kitab-kitab maupun buku kurikulum, ia harus dikoreksi dan dikritik dengan pengetahuan yang memadai. Seperti hadits yang memerintahkan perempuan untuk selamanya tinggal di dalam rumah, untuk mengikuti perintah suami dan melayani segala kebutuhannya. Teks hadits ini dikutip oleh Imam Al-Ghazali (w.505H) dalam magnum opusnya Ihya ulûm ad-dîn dan Imam Nawawi (w. 1315H) dalam kitab Uqûd al-Lujjain ketika berbicara mengenai kewajiban seorang isteri (lihat: FK3, Wajah Baru Relasi Suami Isteri; Telaah Kitab ‘Uqûd al-Lujjayn, 2001:126-128). Beberapa pendakwah agama pada saat ini, seperti dinyatakan oleh Syekh Muhammad al-Ghazali dalam kitab AsSunnah an-Nabawiyyah (1992:51), juga menjadikan teks hadits seperti ini sebagai dasar untuk melarang perempuan memasuki jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Teks hadits ini sekalipun dikutip oleh beberapa ulama terkenal, tetapi ia adalah hadits yang dha’îf, atau lemah dan tidak bisa dipertanggungjawabkan, seperti yang dinyatakan oleh Mahmud Muhammad Haddad dan Syekh Muhammad al-Ghazali. Teks hadits yang seperti ini akan banyak menghambat perempuan untuk memperoleh pengetahuan dan pendidikan. Beberapa teks hadits yang sejenis juga harus dikritik dan dimaknai ulang. Seperti pelarangan perempuan untuk terlibat dalam aktifitas masjid. Ketika perempuan dilarang untuk mengikuti shalat di masjid, berarti adalah penghambatan terhadap perempuan untuk memperoleh pengetahuan, pendidikan dan informasi. Karena masjid
2222-Swara Rahima
bagi umat Islam adalah pusat pengetahuan dan pendidikan, di samping sarana untuk ibadah ritual. Teks hadits yang dimaksud adalah pernyataan Nabi Muhammad SAW:
“Shalat perempuan di dalam rumahnya lebih baik dari shalatnya di dalam masjid” (Riwayat al-Baihaqi, Sunan al-Kubra, juz III, hal. 132).
Sekalipun teks ini secara sanad adalah shahih [kuat dan diterima], seperti yang dinyatakan oleh Ibn Khuzaimah, Ibn Hibban, al-Haytsami dan asSuyuthi, tetapi ia menyalahi teks-teks hadits lain yang lebih kuat dan bertentangan dengan fakta-fakta sejarah. Dalam teks lain, yang diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim dan at-Turmudzi, Nabi SAW menyatakan:
“Apabila isterimu meminta izin untuk pergi ke masjid di malam hari, maka janganlah dihalangi”.
Atau:
“Janganlah menghalangi para perempuan yang ingin pergi ke masjid Allah”. (Lihat: Ibn al-Atsir, juz XI, hal. 467, nomor hadits: 8698).
Dengan argumentasi ini, dan beberapa argumentasi yang lain, Imam Ibn Hazm az-Zhahiri (Ali bin Ahmad w. 456H/1064M) menyatakan bahwa hadits pelarangan perempuan untuk pergi ke masjid adalah lemah dan tidak bisa dipertanggung-jawabkan (lihat: FK3, 2001:115).
Hak pendidikan bagi perempuan Pendidikan adalah hak setiap orang, baik lakilaki maupun perempuan. Dalam bahasa hadits:
“Menuntut ilmu adalah kewajiban setiap muslim” (Riwayat Ibn Majah, al-Baihaqi dan Ibn Abd al-Barr.)
Dalam catatan al-‘Ajlûni, ulama berbeda pendapat tentang status hadits ini, Ibn ‘Abd al-Barr menyatakan lemah sementara al-‘Iraqi dan al-Mizzi
No. 7 Th. III, Maret 2003
DIRASAH HADIS
“Perempuan terbaik adalah mereka yang dari Anshar, mereka tidak pernah malu untuk selalu belajar agama” (Riwayat Bukhari, Muslim, Abu Dawud dan anNasâ’i, lihat: Ibn al-Atsîr, juz VIII, hal. 196, nomor hadis: 5352 ).
Bahkan mereka berani menuntut kepada Nabi SAW ketika mereka merasakan bahwa hak belajar mereka tidak terpenuhi bila dibandingkan dengan kesempatan yang diberikan kepada sahabat lakilaki. Ada teks hadits yang lain, dari Abi Sa’îd alKhudriyy ra berkata:
“bahwa suatu saat beberapa perempuan mendatangi Nabi Muhammad SAW, mereka mengadu: “Mereka yang laki-laki telah banyak mendahului kami, bisakah kamu mengkhususkan waktu untuk kami para perempuan? Nabi bersedia mengkhususkan waktu untuk mengajari mereka, memperingatkan dan menasehati mereka”.
Dalam catatan lain: ada seorang perempuan yang datang menuntut kepada Nabi SAW, ia berkata:
No. 7 Th. II, Maret 2003
Swara Rahima
menyatakan baik [hasan] dan kuat [shahih], lihat: Kasyf al-Khafâ, juz II, vol. 43-45). Setiap muslim berarti siapapun yang muslim, baik laki-laki maupun perempuan. Kata Rashid Ridha, para ulama sependapat bahwa laki-laki dan perempuan dalam hal ini adalah sama (Syahhatah, al-Mar’ah fi al-Islam, 1982:73). Ketika menuntut ilmu menjadi kewajiban setiap muslim, maka seluruh masyarakat dengan struktur sosial dan politiknya harus mengkondisikan agar kewajiban tersebut bisa dilaksanakan dengan sempurna. Dalam catatan Imam Bukhari, isteri Nabi Muhammad SAW yaitu Aisyah binti Abi Bakr ra pernah memuji para perempuan Anshar yang selalu belajar:
“Wahai Rasul, para lak-laki telah jauh menguasai pelajaran darimu, bisakah kamu peruntukkan waktu khusus untuk kami perempuan, untuk mengajarkan apa yang kamu terima dari Allah? Nabi merespon: “Ya, berkumpullah pada hari ini dan di tempat ini”. Kemudian para perempuan berkumpul di tempat yang telah ditentukan dan belajar dari Rasulullah tentang apa yang diterima dari Allah SWT. (Riwayat Bukhari dan Muslim, lihat: Ibn al-Atsîr, juz X, hal. 359, nomor hadis: 7340).
Perempuan memiliki hak yang sama untuk memperoleh pendidikan. Dengan demikian, semestinya tidak ada lagi alasan untuk menelantarkan pendidikan perempuan. Hak pendidikan bagi perempuan, berarti juga hak untuk mendidik dan mengajar. Dalam catatan para ilmuwan hadits, para perempuan pertama terlibat aktif dalam pengajaran dan periwayatan hadits. Tercatat hampir seribu dari sahabat perempuan yang menjadi pengajar, atau tepatnya perawi hadits. Seperti Aisyah dan Asma bint Abi Bakr, Hafshah bint Umar bin al-Khattab, Khansa binti Khidam, Umm Salamah, Umm Ayyub, Umm Habibah ra, dan banyak lagi yang lain. Anehnya, jumlah perempuan yang ilmuwan menjadi semakin kecil ketika dunia Islam justru semakin berkembang, baik dari sisi politik maupun sosial. Pada abad ketiga Islam misalnya, hanya ada sepuluh perempuan yang dikenal dan tercatat sebagai penyampai ilmu pengetahuan (Ruth Roded, Kembang Peradaban, 1995:119-123).
Swara Rahima -23
DIRASAH HADIS Berarti persoalan kemunduran pendidikan perempuan bukan pada ajaran Islam, bukan juga pada teks-teks hadits, tetapi pada ummat Islam sendiri, yang semakin hari semakin memposisikan perempuan pada tempat yang marjinal dalam hal pengajaran dan pendidikan. Memperjuangkan pendidikan perempuan adalah meletakkan persoalan pada posisi semula dimana Islam awal meletakkannya.
Pemihakan dalam materi pendidikan
Swara Rahima
Pendidikan termasuk salah satu pranata sosial yang paling bertanggung jawab melestarikan ketimpangan-ketimpangan gender. Materi pengajaran agama yang berkembang juga merupakan salah satu faktor yang mungkin banyak mempengaruhi budaya patriarkhal. Materi-materi ini harus dikaji ulang dan disusun kembali agar ketimpangan-ketimpangan tidak lagi terjadi, dan keadilan bagi perempuan –yang juga berarti keadilan bagi semua- akan terwujud. Jika dibandingkan dengan al-Qur’an, lebih banyak teks-teks hadits yang dimaknai oleh ulama dengan cara yang timpang dan tidak adil dalam kaitannya dengan relasi laki-laki dan perempuan. Dari sebagian teks-teks hadits, kita mengenal ajaran bahwa perempuan tercipta dari tulang rusuk laki-laki yang bengkok, perempuan adalah fitnah, kurang akal dan kurang agama, sebagai penghuni neraka terbanyak, tidak layak menjadi pemimpin, tidak sah mengawinkan dirinya atau orang lain, tidak sah menjadi saksi, tidak boleh bepergian kecuali dengan kerabat, harus tunduk pada aturan suami, bahkan ada teks yang menyatakan bahwa perempuan adalah sumber kesialan. Pemaknaan terhadap teks-teks hadits seperti ini harus dikaji ulang, bahkan sebagian diantaranya harus ditolak karena sanadnya lemah, atau karena maknanya bertentangan dengan ayat al-Qur’an, atau dengan hadits lain yang lebih kuat sanadnya. Aisyah bint Abi Bakr ra telah mencontohkan bagaimana beliau mengkritik hadits tentang kesialan perempuan, yang diriwayatkan oleh Abi Hurairah ra dan disahkan oleh Imam Bukhari dan Ibn Hajar al-‘Asqallani. Ia tidak mau menerima teks hadits ini karena maknanya bertentangan dengan ayat al-Qur’an :
2424-Swara Rahima
“Tiada bencanapun yang menimpa di muka bumi ini dan (tidak pula) pada dirimu sendiri, melainkan telah tertulis dalam kitab sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu mudah bagi Allah” (QS. Al-Hadid, 57: 22).
Katanya, tidak mungkin teks hadits yang menyatakan bahwa perempuan adalah sumber kesialan, ia keluar dari mulut Rasul, suaminya (lihat: al-’Asqallani, Fath al-Bari, VI/150-152). Dari sini, Aisyah ra mengajarkan kepada kita bahwa pemaknaan hadits harus dikaitkan dengan ayat-ayat al-Qur’an. Beberapa prinsip relasi lakilaki dan perempuan yang digariskan al-Qur’an adalah; [1] bahwa perempuan dan laki-laki diciptakan dari entiti [nafs] yang sama (QS. An-Nisa, 4: 1); [2] bahwa kehidupan yang baik [hayâtan thayyibah] hanya bisa dibangun dengan kebersamaan laki-laki dan perempuan dalam kerja-kerja positif [‘amalan shâlihan](QS. An-Nahl, 16:97); [] perlu kerelaan kedua belah pihak, laki-laki dan perempuan dalam kontrak perkawinan [tarâdlin] (QS. Al-Baqarah, 2: 232-233), [2] tanggung jawab bersama [al-amânah] (QS. An-Nisa, 4: 48), [3] independensi ekonomi dan politik masing-masing (QS. Al-Baqarah, 2: 229 dan an-Nisa, 4: 20), [4] kebersamaan dalam membangun kehidupan yang tentram [as-sakînah] dan penuh cinta kasih [almawaddah wa ar-rahmah] (QS. Ar-Rum, 30:21), [5] perlakuan yang baik antar sesama [mu’âsyarah bil ma’rûf] (QS. An-Nisa, 4:19), [6] berembug untuk menyelesaikan persoalan [musyâwarah] (QS. AlBaqarah, 2:233, Ali ‘Imran, 3:159 dan Asy-Syura, 42:38). Prinsip-prinsip ini menjadi dasar pemaknaan ulang terhadap beberapa hadits yang secara literal dimaknai secara tidak adil terhadap perempuan. Pemaknaan ulang juga dilakukan dengan penelusuran terhadap asbâb al-wurûd, untuk mengaitkan teks dengan konteksnya. Misalnya hadits tentang kewajiban bagi perempuan yang akan bepergian untuk mengikutsertakan kerabatnya. Hadits ini tidak semestinya dipahami sebagai pelarangan perempuan untuk pergi melakukan aktifitasnya. Tetapi merupakan konsep perlindungan terhadap perempuan, yang pada masa Nabi ditekankan kepada keluarga masing-masing. Saat ini perlindungan merupakan kewajiban masyarakat, atau lebih tepat adalah negara. Perempuan harus diberi kesempatan melakukan aktifitas dalam kerjakerja positif, dan untuk itu semua komponen harus memberikan perlindungan. Nabi SAW sendiri
No. 7 Th. III, Maret 2003
setelah mengungkapkan kewajiban mahram itu, ketika ada seorang sahabat yang menanyakan bahwa isterinya pergi sendirian menunaikan haji, Nabi tidak melarang atau menyalahkan perempuan, tetapi balik menyatakan: “Pergi susullah isterimu dan temani ia menunaikan hajinya”. Padahal lakilaki itu awalnya ingin pergi berperang bersama Rasul (lihat: Ibn al-Atsîr, juz VI, hal. 17). Konsep mar’ah shalihah juga, tidak semestinya hanya dikaitkan dengan relasi perempuan terhadap suaminya. Karena setiap perempuan memiliki relasi dengan Allah sang Pencipta, dengan keluarganya dan masyarakatnya. Nabi ketika menyatakan:
“Maukah aku tunjukan simpanan terbaik seseorang? Perempuan shalihah; yang ketika dilihatnya memuaskan, diperintahkannya menurut dan ditinggalkan olehnya, mau menjaga diri dan harta suami”,
adalah dinyatakan di hadapan sahabat-sahabat yang miskin. Saat itu, mereka mendatangi Nabi dan mengeluhkan bahwa perintah-perintah Qur’an banyak yang mengarah kepada orang-orang kaya, seperti haji, zakat dan shadaqah (lihat teks hadis lengkap pada Sunan Abu Dawud, juz II/126, nomor hadis: 1664). Mereka, karena kemiskinannya, merasa tidak memiliki apa-apa untuk bisa beramal shalih lebih banyak. Dalam konteks ini, Nabi menyatakan perempuan shalihah sebagai harta atau simpanan terbaik. Berarti, konteksnya adalah menenangkan, melipur lara dan memberi kesempatan kepada orang-orang tertentu untuk tetap bisa merasakan kenikmatan dan tetap bisa melakukan ‘amal shalih. Tetapi keshalihan seseorang, baik laki-laki maupun perempuan, bermakna luas, seluas makna shalih itu sendiri; layak, patut, baik dan bermanfaat. Disamping pemaknaan ulang terhadap beberapa teks hadits yang bias, pengajaran hadits juga harus diperkuat dengan teks-teks yang secara jelas dan tegas memperkuat posisi sosial-politik perempuan. Seperti teks-teks tentang perjuangan Siti Khadijah ra dan beberapa sahabat perempuan yang lain, tentang kemitraan laki-laki dan perempuan, tentang hak perempuan dalam perkawinan dan perceraian, tentang aktifitas sosial-politik perempuan yang hidup pada masa Nabi Muhammad SAW, tentang kehidupan surgawi yang ada di
No. 7 Th. II, Maret 2003
Perempuan memiliki hak yang sama untuk memperoleh pendidikan. Dengan demikian, semestinya tidak ada lagi alasan untuk menelantarkan pendidikan perempuan. Hak pendidikan bagi perempuan, berarti juga hak untuk mendidik dan mengajar.
Swara Rahima
DIRASAH HADIS
telapak kaki perempuan, dan beberapa teks yang lain mengenai hak-hak perempuan. Salah satu buku terpenting dalam hal ini adalah apa yang telah ditulis oleh ‘Abd al-Halim Muhammad Abu Syuqqah; ‘Tahrîr al-Mar’ah fi ‘Ahsr ar-Risâlah; Dirâsah ‘an alMar’ah Jâmi’ah li an-Nushûsh al-Qur’an al-Karim wa Shahîhay al-Bukhâri wa Muslim’ [Pembebasan Perempuan pada Masa Kenabian; Studi tentang Perempuan dari Ayat-ayat al-Qur’an dan Teks Hadits yang ditulis Imam Bukhari dan Muslim – sudah diterjemahkan-]. Buku ini bisa menjadi dasar pengajaran bagi penguatan terhadap perempuan melalui teks-teks hadits Nabi Muhammad SAW. Ketika konstruksi sosial dan struktur politik secara zalim meminggirkan perempuan, maka pemihakan terhadapnya merupakan sebuah keniscayaan sebagai wujud pembelaan terhadap orang-orang lemah [al-mustadh’afin] dan perjuangan melawan kezaliman. Dalam sebuah hadits, Nabi SAW menyatakan bahwa menyatakan keadilan di hadapan struktur yang zalim adalah sebaik-baik jihad; “Afdhal al-jihâd kalimat ‘adlin ‘inda sulthânin jâ’ir” (Riwayat Turmudzi dan Abu Dawud, lihat Ibn al-Atsîr, juz I, hal. 236). Pendidikan adalah wilayah yang tepat untuk melakukan pembelaan terhadap perempuan dan perjuangan menegakkan nilai-nilai keadilan, terutama bagi perempuan. Pendidikan merupakan alat utama untuk melakukan transformasi sosial. Melalui pendidikan, orang bisa mengenal kemampuan dan kekuatan dirinya, didorong mempertanyakan berbagai asumsi, terus menerus mencari kebenaran, belajar mengartikulasikan dan memperjuangkan kebenaran. Pendidikan akan menjadi basis kekuatan sosial dan politik perempuan. Pendidikan adalah media perjuangan Aisyah ra, Kartini, Rohana Koedoes dan para perempuan serta siapapun yang ingin menegakkan keadilan bagi perempuan, yang berarti keadilan bagi semua. Wallâhu a’lam.D
Swara Rahima -25
Cadar Bagi Kaum Perempuan Oleh: Syafiq Hasyim
B
agi sebagian besar orang Indonesia, nama Snouck Hurgronje mungkin identik dengan orang yang licik dan suka mengadu domba. Ketika kita di sekolah dasar dan menengah, guru sejarah kita sering menyalahkan tokoh ini sebagai biang keladi bagi perpecahan nusantara (Indonesia) pada perlawanan terhadap pemerintah kolonial Belanda. Ia terkenal dengan teori pecah belah. Fikrah kali ini tidak bermaksud menyoroti teori pecah belah ini, namun ingin melihat salah satu sosok asli dari Snouck Hurgronje. Selain sebagai penasihat masalah-masalah Islam bagi pemerintahan kolonial Belanda, Snouk Hurgronje adalah seorang Islamisis1 terkemuka pada zamannya. Ia pernah menjadi guru besar di Universitas Leiden dalam bidang studi ketimuran. Karyanya tentang Indonesia dan Makkah pun masih menjadi rujukan utama di dunia akademik. Dalam sebuah kesempatan ia pernah menulis sebuah artikel yang berjudul “Cadar bagi Kaum Wanita,� yang diterbitkan oleh jurnal berbahasa Prancis Revue Scientifique, 14 Juli 1886. Tulisan ini tidak terlalu panjang, namun cukup menyenangkan untuk dibaca. Namun sebelumnya saya ingatkan kepada pembaca bahwa karya ini tidak ditulis oleh seorang muslim karenanya kalau ada sesuatu yang berbeda dengan pemahaman kita mengenai isi tulisan ini sangatlah wajar terjadi. Pendekatan yang dipakai oleh Snouck Hurgronje adalah pendekatan positivistik di mana ajaran Islam dilihat bukan sebagai kepercayaan akan tetapi sebagai bahan studi. Karena sebagai bahan studi maka bisa jadi ajaran Islam bisa dikritisi olehnya. Dalam menyoroti masalah cadar pertama-tama Snouck melihat fenomena umat Islam dalam menyikapi hal ini. Ia menyatakan bahwa cadar adalah kewajiban yang ditetapkan oleh fikih, bukan oleh Islam, terhadap perempuan, namun banyak
No. 7 Th. II, Maret 2003
Swara Rahima
FIKRAH
juga perempuan Islam yang tidak mematuhinya. Ia memberikan contoh tentang perilaku gadis-gadis pedesaan di Siria, para petani di Mesir, pada abad 19 M yang tidak memakai jilbab dalam keseharian mereka. Gadis-gadis di Kirgistan juga baru memakai jilbab ketika sudah menjalani pernikahan. Bahkan ia mengajukan data sejarah yang cukup menarik bahwa pada zaman Usman Pasha menjadi gubernur di Hijaz, tidak ada kain penghalang permanen bagi jamaah laki-laki dan jamaah perempuan. Pada zaman Nabi, menurut Snouck, perempuan bisa memasuki masjid secara bebas. Namun kebebasan ini menimbulkan kemerosotan mentalitas jamaah laki-laki dan juga mutu keluarga. Kehadiran perempuan di masjid dianggap mengganggu kekhusukan kaum laki-laki dalam berjamaah. Ada pertanyaan yang cukup menarik diajukan oleh Snouck Hurgronje mengapa Rasulullah yang mewajibkan menutup wajah perempuan pada saat bertemu dengan kaum laki-laki, justru mencabut perintah itu pada saat kesempatankesempatan besar di mana perempuan dan lakilaki berkumpul? Snouck Hurgronje mengambil contoh berpakaian ihram pada ibadah haji. Sudah barang tentu pertanyaan seperti demikian ini aneh bagi umat Islam yang melihat itu sebagai keyakinan akan agamanya. Meskipun aneh, namun pertanyaan itu terlalu sayang untuk dilampaui begitu saja. Mungkin salah satu hal yang bisa kita ambil pelajaran dari ini adalah kecerdikannya untuk melontarkan pertanyaan yang mungkin bagi kalangan biasa tidak akan dipertanyakan. Sebuah pertanyaan khas yang biasa dilontarkan oleh kalangan Islamisis Barat terhadap kita umat Islam. Namun bagaimana pendapat Snouck sendiri soal cadar atau hijab. Menurutnya, pemakaian cadar adalah bukan hal yang fenomenal bagi
Swara Rahima -27
FIKRAH
Swara Rahima
kalangan Islam. Jauh-jauh hari sebelumnya, kalangan Kristen juga memakainya. Sampai kini, kalau kita jalan-jalan ke Timur Tengah dan sempat berkunjung ke gereja-gereja kaum Koptik dan mungkin gereja Kristen Ortodok di Lebanon, maka kita akan menjumpai fenomena cara berpakaian yang sama dengan kalangan muslim. Lelakinya memakai baju jubah dan perempuannya memakai cadar. Seorang pemikir Islam bernama Qasim Amin melalui bukunya yang sangat terkenal Tahrir alMar’ah menyatakan hal yang sama. Dalam hal ini, Snouck nampaknya lebih percaya bahwa jilbab adalah lebih merupakan tradisi wilayah Timur, daripada tradisi Islam itu sendiri. Karenanya, dengan merujuk kepada kenyataan empiris yang terjadi di negara-negara Islam, dan pelbagai diskursus yang dikembangkan ulamaulama Islam baik oleh kalangan mufassir maupun fuqohanya, Snouck berpendapat bahwa penetapan hukum jilbab (hijab) yang paling tinggi adalah berdasarkan ijma (kesepakatan ulama) sebagaimana yang dilansirnya dari pendapat kalangan mufti Syafi’i. Karena hanya ditetapkan pada tingkat ijma (kesepakatan mayoritas ulama semazdhab atau lintas mazdhab), berarti di sana masih ada kelompok kecil yang tidak sepakat. Perlu diingat juga bahwa Snouck dalam hal ini tidak hanya mempelajari pendapat kalangan Syafi’iyyah, tapi juga pendapat kalangan madzhab yang lain. Kembali kepada Snouck Hurgronje berpakaian dalam Islam adalah berpakaian menurut kepantasan, atau yang dalam bahasa agama disebut dengan istilah ma’ruf.2 Ma’ruf mengandung makna relativitas; artinya sangat tergantung dengan konteks zaman (waktu) dan makan (ruang). Lokalitas sangat berperan dalam menentukan apakah sebuah pakaian itu ma’ruf atau tidak. Pertanyaannya adalah apakah cara berpikir seperti Snouck ini berguna bagi Islam ataukah tidak, sebab di dalam diskursus Islam berpikir diskriminatif itu masih sangat sering dijadikan pertimbangan. Maksud saya berpikir diskriminatif ini adalah berpikir yang didasarkan kepada perbedaan yang menimbulkan pembedaan. Berpikir secara diskriminatif ini adalah berpikir tentang mana yang dilontarkan oleh orang Islam dan mana yang dilontarkan oleh orang non Islam. Padahal cara berpikir yang sehat adalah
2828-Swara Rahima
cara berpikir yang berorientasi kepada tujuan (maqashid). Bayangkan anda menolong korban kecelakaan, maka pikiran anda adalah bagaimana menolongnya secara cepat agar bisa teratasi, bukan bertanya asal-asal. Melalui ini saya hanya ingin berkata bahwa pendapat seperti Snocuk sebenarnya juga muncul di kalangan Islam, bahkan mungkin sudah lama. Namun setiap kali ada ulama Islam yang berpendapat bahwa jilbab (cadar) bukan kewajiban dalam Islam, maka ulama Islam tersebut dianggap sebagai dipengaruhi oleh pemikiran Barat. Memang stigma sebagai antek Barat senantiasa menghinggapi setiap pemikir Islam yang memiliki cara pandang moderat dan bebas, meskipun mereka terkadang berpikir dengan caranya sendiri, namun stigma seperti itu tetap datang menghampirinya. Saya secara pribadi sering berpikir apakah gejala seperti ini menunjukkan ketidakpercayaan kita terhadap kemampuan kalangan intelektual kita atau ketakutan akan dipengaruhi. Bukankah sepanjang hidup kita adalah merupakan proses pengaruh dan mempengaruhi. Bahkan kalau kita lari ke sejarah abad pertengahan, Islam selain mempengaruhi juga terpengaruhi oleh budaya Barat. Bukankah imperium Islam pernah menguasai hampir seluruh daratan penting Eropa? Hubungan yang begitu panjang dengan daratan Eropa, hampir merupakan kemustahilan apabila di sana tidak ada saling pengaruh mempengaruhi. Kini tinggal kita yang memikirkan. Apakah kita terus berpijak pada cara berpikir diskriminatif seperti itu, dan akibatnya mungkin adalah akan selalu tertinggal dengan isu, ataukah kita mulai berani untuk menghilangkan tradisi seperti itu dan akibatnya mungkin adalah lebih maju. Dan cara berpikir seperti ini menurut hemat saya adalah cocok untuk isu-isu perempuan dalam Islam. Tuhan itu lebih tahu akan suatu kebenaran.D
Catatan Kaki: 1 Islamisis adalah sebutan bagi mereka yang bukan Islam namun mengkaji tentang Islam. 2 Secara bahasa, ma’ruf artinya diketahui atau dikenal menurut kebiasaan yang berlaku dalam sebuah wilayah kebudayaan tertentu. Berpakaian dengan ma’ruf artinya adalah berpakaian menurut kepantasan wilayah kebudayaan di mana seseorang tinggal.
No. 7 Th. III, Maret 2003
Swara Rahima
TEROPONG DUNIA
Membincang Sekolah Khusus Puteri (Belajar dari Perdebatan Soal Single-Sex School di Inggris Raya) “Thalabul ‘ilmi fariidhatun ‘ala kulli muslimin wa muslimatin “ (Menuntut ilmu itu wajib bagi setiap muslim, baik laki-laki ataupun perempuan) (Al Hadits)
B
icara soal sekolah khusus puteri sebenarnya bukanlah suatu hal yang asing. Sebab, dalam sejarah pendidikan, sekolah semacam ini pernah diperkenalkan Kartini yang mendirikan sekolah khusus untuk anak-anak perempuan di Jepara, atau Dewi Sartika yang menyelenggarakan Sekolah Isteri di tanah Pasundan, pun Rahmah El Junusiyah yang mengelola Diniyah Puteri di Padang Panjang. Bahkan sampai sekarangpun kita masih menemui sekolah khusus perempuan seperti Tarakanita, Santa Ursula, Stella Duce, Regina Pacis untuk anak perempuan, ataupun Colesse Canisius , Don Bosco, De Britto untuk anak laki-laki. Pertanyaannya mengapa harus ada sekolah khusus? Lalu jika ada sekolah khusus putrid, apakah benar sistem ini ditujukan untuk membebaskan perempuan dari belenggu patriarki yang begitu kuat ataukah justru melanggengkannya?
No. 7 Th. II, Maret 2003
Tulisan berikut mungkin tidak ditujukan untuk memberikan jawaban, akan tetapi sekedar mencoba memberi gambaran dari pengalaman orang lain tentang model sekolah khusus putri itu dan alasan yang melatarinya.
Belajar dari Pengalaman Maria Hanifa Adalah Maria Hanifa, seorang warganegara Pakistan yang berimigrasi ke Inggris tahun 1967. Dia adalah muslimah yang kesehariannya di Inggris berprofesi sebagai guru di salah satu sekolah ternama di Inggris. Pengalaman hidup Hanifa inilah yang oleh Kaye Haw, penulis buku Educating Moslem Girls coba diambil sebagai salah satu contoh. Haw mengajak Hanifa untuk mau mencurahkan sebagian pengalamannya menjadi sebuah tulisan. Maria Hanifa kemudian tercatat sebagai salah satu kontributor dalam tulisan Kaye Haw tersebut yang berhasil diterbitkan Open University
Swara Rahima -29
TEROPONG DUNIA
Swara Rahima
Press Buckingham, Philadelphia. Pengalaman Hanifa dianggap menarik oleh Haw, sebab dalam kondisi ini Hanifa yang berkebangsaan Pakistan, mewakili pandangan seorang minoritas yang hidup di tengah kekuasaan dan kebudayaan bangsa Inggris. Pun pandangannya tentang pentingnya sekolah khusus puteri. Bagi Hanifa yang ketika awal mula berada di Inggris harus berhadapan dengan realitas sebagai kelompok minoritas, pemerintah Inggris seharusnya dapat mengakomodir kepentingan seluruh masyarakat. Setidaknya jangan terlalu kelihatan hanya memfasilitasi kaum mayoritas. Seharusnya pemerintah dapat melihat sisi keragaman masyarakat Inggris yang pluralis. Untuk masalah sekolah misalnya banyak siswi muslim yang masuk ke sekolah Katholik, untuk mendapatkan pendidikan formal. Masalah sesungguhnya menurut Hanifa bukan pada masalah sekolah khusus agama katolik atau Islam, akan tetapi pada budaya masyarakat setempat dan juga keyakinan sebagian muslim yang masih sangat memegang pendapat bahwa dalam hal menuntut ilmu, siswi putri sebaiknya dipisah dari siswa lakilaki. Dan di Inggris, kebetulan ada sekolah khusus siswi, yaitu sekolah khusus putri Katolik. Tetapi ketika siswi putri Katholik mendapatkan pendidikan yang menyeluruh berkaitan dengan keberadaan mereka di tengah komunitas agama Katholik, para orang tua muslim menyekolahkan anaknya ke tempat tersebut karena terpaksa dan merupakan satu-satunya pilihan bagi mereka. Karena tidak ada sekolah lain yang khusus puteri untuk masyarakat muslim. Dan yang terpenting dicatat adalah pilihan untuk menyekolahkan perempuan pada sekolah khusus adalah pilihan bagi keberlangsungan budaya masyarakat muslim. Dan sayangnya apa yang sudah tersedia belum menjawab kebutuhan untuk mendidik anak-anak mereka dalam berbagai nuansa keislaman. Tahun 1994-1995 ada perdebatan mengenai apakah 5 sekolah di tengah kota akan dijadikan sekolah Islam atau tidak. Pada awalnya masyarakat tidak peduli dan Badan Pemerintah punya kekuasaan yang cukup besar untuk mengambil alih sekolah. Keberadaan sekolah khusus puteri di kalangan muslim adalah jawaban untuk menepis masalah yang disebut di atas. Dan untuk itu, dibutuhkan guru yang baik, siswa yang baik, dan lingkungan yang kondusif. Ketika sebuah sekolah berdiri, orang tua dapat menanyakan kualifikasi dari staf pengajar dan
3030-Swara Rahima
Sekolah khusus puteri merupakan kebutuhan mendasar bagi perempuan muslim, karena hal ini dianggap untuk mempersiapkan tegaknya semangat keIslaman bila mereka mendapatkan pendidikan yang baik secara benar.
latar belakang mereka. Pada awalnya mereka menghendaki guru-guru non muslim, karena dalam pandangan mereka seorang guru non muslim berkulit putih lebih baik dibandingkan guru-guru muslim. Namun, kondisi dengan pandangan yang masih sangat rasis ini kemudian dapat sedikit demi sedikit di kikis habis. Lagi-lagi dengan merujuk kembali kepada ajaran masing-masing agama yang dianut sebagian masyarakat, bahwa kualitas seseorang tidak dapat diukur dari kulit maupun agama, tetapi dari kesempatan mereka memperoleh pengetahuan. Dan, untuk meningkatkan kualitas guru yang muslim juga harus dibuka kesempatan untuk mereka. Kini, pandangan itu tak terjadi lagi dan telah banyak orang tua yang mempercayakan pendidikan anak-anaknya di tangan guru muslim sendiri karena mereka memiliki kualifikasi untuk itu.Ibu-ibu mulai berani datang dan berkonsultasi perihal pendidikan puteri mereka. Namun sayang, belum semua keinginan mendidik perempuan meresap dalam hati para orang tua muslim, karena kebanyakan mereka masih menginginkan anaknya berada di sekolah hingga usia 16 tahun. Perlu diperhatikan bahwa perlu kerja keras untuk menanamkan kesadaran bahwa memberikan pendidikan bagi anak perempuan termasuk dalam status ‘jihad’, dan harus dibicarakan oleh para imam di masjid-masjid. Sekolah khusus puteri merupakan kebutuhan mendasar bagi perempuan muslim, karena hal ini dianggap untuk mempersiapkan tegaknya semangat
No. 7 Th. III, Maret 2003
TEROPONG DUNIA
Pandangan Soal Single Sex School (Sekolah Khusus) Pembicaraan soal sekolah khusus akan sangat berkait dengan beragamnya pandangan untuk menjawab soal kesetaraan kesempatan untuk mendapatkan pendidikan. Beberapa pandangan yang berkembang tentang hal ini, adalah : 1. Segregasi/ pemisahan lelaki-perempuan di segala umur itu tidak bersifat alami. 2. Sekolah yang bercampur antara jenis kelamin laki-laki dan perempuan, dianggap akan menciptakan sebuah perilaku yang lebih sehat dalam memandang jenis kelamin dan pola relasi diantara
No. 7 Th. II, Maret 2003
kedua jenis tersebut. 3. Kebanyakan siswa memilih sekolah yang bercampur laki-laki dan perempuan dan juga mata pelajaran yang diberikan pada mereka, karena pelajaran akan terasa lebih menarik. 4. Kebanyakan guru lebih menyukai sekolah untuk umum karena kehadiran murid-murid perempuan membuat akibat pada murid laki-laki sehingga lebih pendiam dalam berperilaku sehingga berdampak jauh pada munculnya perilaku positif untuk pembelajaran. 5. Sekolah yang bercampur antara murid lelaki dan perempuan melibatkan sebuah komitmen akan keadilan bagi kedua jenis kelamin secara prinsipil dan memberikan fasilitas yang sama bagi kedua jenis kelamin di dalam praktik kehidupan. Kaum muslim lebih cenderung pada isu sekolah khusus untuk satu jenis kelamin, karena hal itu dianggap berakar dari nilai keagamaan/budaya mereka. Dalam hal ini mungkin ada perbandingan tentang pendidikan dalam konteks feminis dan muslim. Kaum feminis liberal mendukung prinsipprinsip kesamaaan kesempatan di semua bidang dan bergeser dari pengelompokan sekolah satu khusus untuk satu jenis kelamin pada sekolah ko-edukasi. Tetapi pendekatan-pendekatan liberal untuk sekolah khusus perempuan ditolak oleh kaum muslim. Bagi kaum liberal, kesetaraan didasarkan pada prinsip-prinsip melalui perlakuan yang identik untuk lelaki dan perempuan. Sedangkan di sisi lain, kaum muslim percaya bahwa kesetaraan didapatkan dengan cara menghargai perbedaan, dan pembeda-bedaan peran bukanlah merupakan contoh dari kesetaraan. Tampaknya kaum muslim di Inggris mencoba melakukan pembelaan terhadap bentuk pendidikan dengan cara yang berbeda yaitu dengan menekankan agar perempuan mempergunakan kesempatan belajar satu sama lain, dan mereka sama-sama merasakan secara kuat adanya tindak kekerasan seksual pada siswi perempuan di sekolah campuran lelaki dan perempuan.
Swara Rahima
ke-Islaman bila mereka mendapatkan pendidikan yang baik secara benar. Sekolah-sekolah ini seharusnya menyesuaikan dengan standar pendidikan, dimana kaum muslim dan non muslim dapat merasa cukup puas terhadap infrastruktur sekolah muslim sehingga memungkinkan mereka untuk memberi yang terbaik bagi siswanya. Maria Hanifa berpendapat bahwa hendaknya orang tua menyadari tanggungjawab memberi pendidikan bukan hanya karena Undang-undang Negara Inggris, tetapi juga karena Islam itu sendiri sesuai Sabda Nabi Muhammad Saw, Menuntut ilmu itu wajib bagi setiap muslim. Dan muslim di sini mengacu pada lelaki dan perempuan. Mereka sangat membutuhkan dedikasi dan ketetapan hati. Tanpa adanya komitmen sangat sulit untuk mendapatkan fasilitas kelas utama, sehingga dibutuhkan kerja keras menghadapi masa depan bangsa yang dititipkan pada anak-anak kita. Lembaga pendidikan untuk kaum perempuan muslim mendorong mereka untuk mengekspresikan keyakinan keagamaan mereka dan bagaimana menjadikan mereka contoh yang baik. Dengan harapan, ketika meninggalkan bangku sekolah mereka telah dapat memutuskan mana yang benar dan yang salah, tidak hanya pada sisi permukaan tetapi juga apresiasi yang cukup dalam mengenai kehidupan dan tujuannya. Dalam sekolah muslim ada sebuah lingkungan dimana keluasan pengetahuan membuat mereka sadar dan menghayati akan keberadaan Allah. Bagi sebagian muslim, anggapan bahwa pemisahan sekolah merupakan sebuah hal sangat penting dan tidak sekedar perintah agama terhadap anak-anak mereka, tetapi secara lebih dalam adalah untuk keberlangsungan budaya.
Ditulis oleh : AD. Kusumaningtyas (Disarikan dari Schooling for Moslem Students in Contemporary Britain, tulisan Kaye Haw dan kontribusi dari Maria Hanifa dan Gender, Islam, and single-sex schooling dari tulisan Kaye Haw dalam Educating Muslim Girls terbitan Open University Press Buckingham, Philadelphia)
Swara Rahima -31
Ada Apa dengan Santri Perempuan? Oleh: Mahrus eL-Mawa
S
antri, dalam ‘adat (tradisi) pesantren memiliki filosofi tersendiri, bila dilihat dari akar katanya. Paling tidak,istilah santri itu ada empat huruf; sin (:sâtirul ‘awrât, yang menutup aurat), nun (:nâ’ibul ‘ulamâ, pengganti ulama), ta (:târikul ma’âshi, yang meninggalkan kemaksiatan), dan ra (:ar-râji rahmatallâhi, yang mengharapkan rahmat Allah). Dengan definisi semacam ini, maka santri adalah orang yang saleh; orang yang beribadah sungguh-sungguh, atau orang yang mendalami agama Islam.1 Barangkali, karena pemaknaan semacam itu, sebutan “santri”, menjadi sesuatu yang perlu dibedakan dengan yang lain. Ia akan lebih mempunyai beban atau dituntut lebih dibanding dengan sebutan lainnya, seperti pelajar, mahasiswa, pengajar, dll. Kesan atau harapan yang hampir sama, dengan sebutan nyai, kyai, ustadz, ustadzah, romo, pendeta, bikshu, bikshuni, dst. Sekalipun, sebutan-sebutan demikian, saat ini telah berubah, seiring dengan perkembangan sosial, budaya, dan politik. Termasuk juga dalam hal ini, sebutan atau makna dari istilah ‘ulama2 . Hanya saja, nilai-nilai kesantrian tersebut, seringkali kontra produktif (baca: kontradiktif), bila kita menengok perjalanan “santri perempuan” Indonesia, sekurangnya. Atau hal itu seperti dikatakan banyak pihak, bahwa Islam tidak konsisten dan tidak maju, karena ulah dari pihak umat Islam sendiri (mahjûbun li al-muslimin). Sejak Islam masuk di Indonesia (baca: Nusantara), posisi dan peran perempuan kurang mendapatkan perhatian yang sama atau setara dengan lelaki. Pengajaran atau pendidikan bagi perempuan Islam, secara terbuka baru dibolehkan pada tahun 1919, umpamanya. Saat itu, KH. M. Bishri Syansuri (1886-1980), mendirikan kelas khusus untuk santrisantri perempuan di pesantrennya. Hal itu dilakukan setelah pendirian pesantren Mamba’ul Ma’arif pada tahun 1917 di Den Anyar. Adapun Madrasah Diniy-
No. 7 Th. II, Maret 2003
Swara Rahima
AKHWATUNA
yah yang khusus santri putrinya, baru berdiri pada tahun 1930. 3 Hal ini hampir bersamaan dengan pendirian Madrasah Diniyah li al-Banat, 1 November 1923 oleh Rangkayo Rahmah el-Yunusiah di Minangkabau.4 Masa sekarang, seperti pesantren, madrasah, ataupun lembaga pendidikan Islam, khususnya yang mengakomodasi perempuan, tentu saja sudah cukup banyak didirikan di berbagai penjuru pelosok Nusantara. Soalnya, kenapa bagi santri perempuan tetap saja mendapat perlakuan yang tidak setara atau dibedakan dengan santri lelaki. Contoh sederhana, santri perempuan tidak boleh ikut terlibat secara aktif di kampus. Sebab, jika menjadi aktifis kampus, maka ia akan sering pulang (larut) malam. Masalahnya, bukan sekedar peraturan yang telah ditetapkan oleh pengurus atau pengasuh pesantren, lebih dari itu, karena akan mempunyai citra sebagai “santri perempuan” yang tidak dapat menjaga nilai kesantriannya; santri putri yang terlalu bebas, liberal, dst. Hal yang sama, sistem pendidikan di lingkungan pesantren masih memiliki kesan bias gender. Secara kelembagaan pesantren masih menerapkan sistem segregatif, memisahkan ruang perempuan dan ruang laki-laki dengan dalih agama. Segregasi ini tidak hanya terjadi pada tingkat pembagian ruangan, akan tetapi juga pada tingkat keilmuan. Santri laki-laki dengan kebebasannya yang lebih, biasanya akan mendapatkan kesempatan yang lebih untuk mengakses informasi ilmu, apabila dibandingkan dengan santri perempuan yang memang sangat dibatasi. Materi pendidikan yang didapatkan perempuan tidak sepadat yang didapatkan laki-laki. Santri perempuan secara keilmuan biasanya lebih diarahkan kepada menghapal, misalnya, menghapal al-Qur’an, daripada ke arah menganalisis. Santri laki-laki belajar ilmu-ilmu alat (:Sharaf, Nahwu, Bahasa Arab, Mantiq, Balaghah, dsb), santri perempuan belajar ilmu-ilmu yang berkaitan dengan
Swara Rahima -33
AKHWATUNA
Dalam konteks pendidikan Islam di Indonesia, kiranya tidak berlebihan, jika demokratisasi dan kesetaraan perempuan-lelaki diterapkan, akan muncul generasigenerasi yang siap untuk menegakkan keadilan. ubudiyah, dan juga kepada suaminya kelak, misalnya belajar Fiqh dan ilmu Akhlak. Pelabelan negatif (stereotype) terhadap santri perempuan tersebut, sesungguhnya berlaku juga bagi perempuan di tempat lain. Sementara, pengajaran pada anak-anak sesungguhnya perlu mempertimbangkan situasi zaman juga. Maka, apakah hal ini masih perlu diteruskan atau ditinjau ulang tentang pemahaman nilai atau peraturan bagi santri perempuan tersebut. Sebab, seperti diketahui, zaman kita sekarang adalah era demokrasi dan kesetaraan lelaki-perempuan.
Perlu Keadilan, Segera !!(?)
Swara Rahima
Dalam suatu syair Arab disebutkan, “Ibu adalah madrasah. Bila engkau mempersiapkannya, maka engkau telah mempersiapkan bangsa yang mulia”. Pernyataan yang mirip juga diungkapkan Prof. Katarina Tomasevski, pelapor khusus masalah pendidikan PBB (Persatuan Bangsa-Bangsa). Katanya, “Mendidik satu perempuan adalah mendidik satu keluarga besar. Perempuan yang tidak berpendidikan cenderung menurunkan anak-anak yang juga tidak berpendidikan”.5 Dari dua pernyataan tersebut, dan dengan menyoal pasal perempuan di atas, dimana para santri perempuan masih dibeda-bedakan karena jenis kelaminnya, maka tak berlebihan, bila santri perempuan tidak mungkin dapat menjadi “madrasah”, atau akan menurunkan anak-anak yang berpendidikan setara atau sama dengan lelaki.
3434-Swara Rahima
Artinya, dibutuhkan keadilan bagi santri perempuan. Agak rumit memang, karena budaya patriarkhi atau aturan yang tidak adil akan tetap langgeng di Pesantren tersebut, dan berlanjut di rumah tangga, hingga di tempat pendidikan lainnya (baca: majlis ta’lim, pengajian Ibu-Ibu, dst). Wawasan Ustadz atau pengasuh dan pengurus sangat menentukan dalam masalah pengajaran ini. Sehingga, tidak heran meskipun secara kuantitatif jumlah santri laki-laki dan perempuan itu sama, bahkan lebih banyak, namun secara kualitatif mutu keilmuan mereka berbeda. Karenanya, dalam konteks demikian, selain melakukan proses penyadaran akan hak-hak perempuan, yang perlu kita lakukan juga adalah mereformasi sistem pendidikan dan kelembagaan pesantren. Orang tua santri, barangkali juga cukup berpengaruh untuk perubahan (reformasi) ini, termasuk para pengajar (ustadz, ustadzah), dan santri lelakinya. Atas permasalahan keadilan demikian, sebenarnya, kerumitan itu dapat diatasi dimulai dengan prinsip al-muhafadhah ‘ala al-qadim ash-shalih wa al-akhdz bi al-jadid al-ashlah. Artinya, kita tetap mempertahankan tradisi, aturan, atau kitab-kitab yang masih baik diajarkan dan ada relevansinya dengan zaman. Tetapi, kita juga, harus berani ambil resiko dengan mengambil suatu tradisi baru, yang dianggap lebih baik dan sesuai dengan kebutuhan atau kemaslahatan santri perempuan tersebut. Dalam konteks pendidikan Islam di Indonesia, kiranya tidak berlebihan, jika demokratisasi dan kesetaraan perempuan-lelaki diterapkan, akan muncul generasi-generasi yang siap untuk menegakkan keadilan. Harapan bahwa Ibu adalah madrasah dan Islam jangan sampai tidak maju, kiranya akan benar-benar dapat diwujudkan melalui pemberian keadilan terhadap santri perempuan di atas. Dengan demikian, Islam akan selalu relevan dengan ruang dan waktu (shalihun li kulli zaman wa makan). Wallahu a’lam bi ash-Shawab Penulis adalah alumnus PP Al-Munawwir Krapyak Yogyakarta Catatan Kaki: 1Tim, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Kedua, Jakarta: Balai Pustaka, 1997, h. 878. 2Lih., Azyumardi Azra, “Biografi Sosial-Intelektual Ulama Perempuan (Pemberdayaan Historiografi), dalam Ulama Perempuan Indonesia, Jajat Burhanuddin, edit., Jakarta: Gramedia, 2002, h. xxviii-xxii. 3H. Abd Aziz Masyhuri, al-Maghfurlah KH M Bishri Syansuri, CitaCita & Pengabdiannya, Surabaya: al-Ikhlas, 1983. h. 35-39 4Lih., Junaidatul Munawaroh, “Rahmah el-Yunusiah: Pelopor Pendidikan Perempuan”, dalam Jajat., Ulama Perempuan., op. cit., h. 12 5Kompas, 22 Juli 2002
No. 7 Th. III, Maret 2003
Menilik pesantren gender di Jember….
A
dalah Elin, seorang santri putri Nurul Islam (Nuris) yang sedang menyelesaikan sarjananya di sebuah perguruan tinggi negeri di Jember. Sebagai seorang mahasiswa yang aktif, diapun harus bisa membagi waktunya antara aktifitas di pesantren dan kampus. Suatu malam Elin dan dua orang santri lainnya menghadiri undangan pertemuan organisasinya dan sudah mendapatkan ijin dari pengurus pondok putri meski melalui perjuangan yang keras. Ketika kakinya melangkah keluar dari pagar pondok putri tiba-tiba Abdullah, seorang santri putra menegurnya. Berikut ini dialog singkatnya Abdullah: Hi…ini perempuan-perempuan, mau kemana malam-malam begini? Nggak baik dilihat orang, perempuan kok keluar malam, apalagi kamu kan santri seharusnya jadi contoh yang baik” tegurnya dengan ketus Elin : memang kenapa? Kan sudah “gender”,
KH. Muhyiddin Abdussomad
No. 7 Th. II, Maret 2003
Swara Rahima
POTRET
perempuan keluar malam asal jelas tujuannya tidak masalah,” sahutnya gadis manis umur belasan tahun tak kalah ketusnya. Itulah secuplik fragmen di sebuah pesantren kecil di desa pinggiran kota Jember Jawa Timur, yang konon orang lebih mengenal dengan sebutan Nuris daripada nama panjangnya Nurul Islam. Cerita ini saya dapat bulan November tahun lalu ketika Rahima melakukan monitoring program di sana. Dibangun di atas tanah seluas 2,5 ha, lembaga pendidikan tradisional berbasis nilai-nilai keislaman ini secara resmi memulai aktifitasnya pada tahun 1981 dengan sarana yang sangat terbatas. Baru kemudian berturut-turut pada tahun 1983 program pendidikan tsanawiyah (sekolah lanjutan pertama/SLTP) dibuka, kemudian program taman kanak-kanak (TK) pada tahun 1985 dan institusi terakhir yang lahir adalah madrasah aliyah yang baru berdiri 17 tahun yang lalu. Sebagai almamater (ibu yang memberikan ilmu) dari 500 anak (baca: santri), aktifitas belajar terbagi di dua tempat. Nuris 1 (Antirogo) membawahi empat institusi pendidikan (diniyah, TK, Tsanawiyah dan aliyah) dengan jumlah santri 310 orang dengan selisih 10 orang lebih banyak santri putri (150 lakilaki dan 160 putri), sementara Nuris II (Mangli) baru akan merancang untuk membangun sebuah diniyah. Di Nuris II inilah pergulatan isu kesetaraan gender secara wacana tampak lebih dinamis karena sebagian besar mereka (150 orang ) adalah mahasiswa sekolah tinggi agama Islam negeri (STAIN) di Jember dan mayoritas perempuan. Anda ingin mengetahui bagaimana sosok pesantren gender ini? Datanglah ke Nuris I, kira-kira setengah jam perjalanan dari terminal bis Tawangalun -Jember. Setidaknya kedatangan saya yang kedua telah memberikan kesan yang mendalam terhadap perubahan yang terjadi di pesantren, baik pada aturan-aturan, metode belajar dan juga suasana yang penuh canda ria santri sebagai ekspresi kebebasan. Kebebasan bagi santri perempuan
Swara Rahima -35
POTRET dan laki-laki untuk mengekspresikan dirinya. Menurut beberapa guru yang pernah mengikuti pelatihan gender Rahima, perubahan ini tak lepas dari keterbukaan sosok pengasuh pesantren yang sekaligus orang penting di nahdatul ulama (NU) di Jember.
Swara Rahima
Kyai Muhyiddin sebuah pribadi yang unik Siapa yang tidak kenal KH Muhyiddin Abdusomad di Jember? Rasanya hampir semua warga Jember (yang mengaku NU) bisa dipastikan akan mengenal figur kyai satu ini. Selain sebagai pengasuh Pesantren Nuris, dalam kesehariannya kyai yang punya obsesi “tersenyum� ini memimpin ormas terbesar di Jember (dan juga Indonesia) yaitu nahdatul ulama. Sekarang gelarnya bukan hanya ketua NU cabang Jember akan tetapi bertambah dengan sebutan “kyai gender� (maksudnya kyai yang sensitif gender). Pasalnya dua tahun terakhir ini kyai yang dilahirkan 48 tahun lalu rajin melakukan sosialisasi keadilan gender. Tidak jarang beliau diundang menjadi pembicara di forum-forum atau di radio-radio lokal yang membincang persoalan seputar hak-hak perempuan. Sejak perkenalannya dengan Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M) pada tahun 1996, telah memberikan kesan yang mendalam terhadap program penegakan hak-hak perempuan dalam Islam yang kemudian menghantarkannya untuk mengenal lembaga-lembaga yang concern pada isu perempuan lainnya seperti Puan Amal Hayati, Solidaritas Perempuan cabang Jawa Timur, Koalisi Perempuan, Gerakan Peduli Perempuan Jember, Rahima dan masih banyak lagi. Pergulatan wacana dengan kelompok-kelompok inilah banyak mempengaruhi kebijakan di pesantren berkaitan dengan posisi dan peran perempuan.
Madrasah yang membebaskan Aku dengar maka aku lupa, Aku lihat maka aku ingat, Aku lakukan maka aku paham
Bukan hal yang aneh jika anda sesekali menyaksikan sekelompok siswi bermain sepak bola atau bola voly di kompleks pesantren Nuris. Bahkan sekarang siswa perempuan mendapatkan kesempatan yang sama seperti siswa putra untuk beraktifitas dan berperan di sekolah, seperti aktif dalam pecinta alam, pramuka, paskibraka, bahkan
3636-Swara Rahima
Bukan hal yang aneh jika anda sesekali menyaksikan sekelompok siswi bermain sepak bola atau bola voly di kompleks pesantren Nuris. menjadi pemimpin di lembaga-lembaga sekolah. Pesamtren juga memberikan keluasan pada para santrinya untuk memilih pakaian muslim jenis apapun asalkan sesuai dengan standard kepantasan umum di lingkungan pesantren, termasuk santri putri diperbolehkan memakai kulot/celana. untuk mempermudah melakukan aktifitasnya. Baru-baru ini pengasuh pesantren memberikan perintah untuk tidak mengajarkan kitab uqudulujain kepada santri-santri di Nuris, atau tetap diajarkan tapi dengan interpretasi yang berpihak pada perempuan. Beberapa guru/ustadz/ah muda memulai memecahkan kebisuan pesantren dengan membuka ruang-ruang dialog santri. Sudah bukan zamanya belajar kitab dengan metode ceramah karena pada hakekatnya santri adalah manusia yang punya pengalaman dan setiap pengalaman adalah unik. Apakah ini berarti kesetaraan gender sudah terwujud di Nuris? Saya tidak berani mengatakan itu karena ini harus dibuktikan dengan alat ukur yang memadai yaitu personal is political. Kalau nilai-nilai kesetaraan sudah terefleksikan pada kehidupan rumah tangga penghuni pesantren, mungkin ya. Siapa yang tahu? Wallahualambisowab. Saya hanya ingin menutup dengan ungkapan menarik dari Bernard Shaw, seorang penulis drama komedi tersohor yang mengatakan He who can, does and He who cannot, teaches (dia yang tahu, lakukan dan dia yang tidak tahu, ajarkan). Dan sepertinya menjadi kewajiban bagi setiap manusia yang mengaku dirinya bijaksana untuk mengabarkan keadilan gender pada setiap sudut kehidupan. Sampai kapan? Sampai matahari dan bulan bosan (Ruby) memancarkan sinarnya.
No. 7 Th. III, Maret 2003
Menggagas Sistem Pendidikan Berperspektif Gender dan Membebaskan! Mungkinkah?
B
erbicara tentang sistem pendidikan Indonesia, kita masih dihadapkan pada realitas bahwa sistem pendidikan kita masih belum menjadi oase pembebasan dari beragam ketertindasan, kekerasan, dan ketidakadilan. Padahal pendidikan merupakan basis dari proses pencerahan, sebagai wadah dan sarana memanusiakan manusia, atau kunci untuk memperoleh informasi yang berguna bagi kehidupan seseorang. Pendidikan memang bukan jaminan menjadi kaya, tetapi menjadi pintu melihat dunia, memperluas cakrawala berpikir dan berjaringan dengan dunia lain, pendidikan adalah proses yang terus dilalui manusia. Selama ini proses pendidikan selalu diikat oleh nuansa formalitas, dibatasi oleh empat sisi tembok yang bernama lembaga pendidikan formal. Padahal sebenarnya proses pendidikan tak hanya terbatas pada nuansa formalitas tapi juga masuk pada lingkup yang sangat informal. Setidaknya pembahasan itulah yang muncul dalam Halqah pendidikan yang dilaksanakan sebagai kelanjutan dari program pelatihan sensitifitas gender bagi guru dan pendidik pondok pesantren. Upaya ini dilakukan untuk mengkritisi sistem pendidikan yang ada selama ini, khususnya pada lembaga pesantren ataupun kelompokkelompok yang berbasis Islam. Acara untuk para alumni pelatihan gender ini mengangkat tema “Menuju pendidikan yang membebaskan dan berkeadilan gender�. Acara yang digelar pada tanggal 27-30 April 2002 di Pesantren Nurul Islam Jember Jawa Timur ini, diarahkan untuk memberikan penguatan konsep pendidikan yang membebaskan dan berkeadilan gender. Acara yang dipandu Helmy Ali ini menggali bersama beragam paradigma teori pendidikan, bagaimana memandang manusia sebagai agent of social change dalam pendidikan, pendekatan pendidikan androgogi dan pedagogi serta menggagas sistem pendidikan yang membebaskan dan berperspektif gender.
No. 7 Th. II, Maret 2003
Swara Rahima
KIPRAH
Ketika mempresentasikan hasil diskusi kelompoknya salah seorang peserta mengungkapkan “Bila mengacu pada pemahaman yang dikembangkan Paulo Freire, menurut kami, model pendidikan yang membebaskan setidaknya mencakup hal-hal sebagai berikut: menggunakan sistem andragogi yaitu sebuah sistem yang menempatkan peserta sebagai seorang subyek, menghilangkan (secara gradual) suasana formalitas dalam proses belajar mengajar, demokratis—artinya guru tidak selalu merasa lebih pintar. Guru hanya sebagai fasilitator, bukan sebagai orang yang mendominasi. Selain itu juga menempatkan murid sebagai peserta didik yang aktif, dengan mengedepankan sistem dialogis, tidak lagi menganggap guru sebagai sosok yang serba bisa�. Lebih lanjut masih mengacu pada pandangan Freire, sistem pendidikan untuk pembebasan ini diupayakan untuk menggarap realitas manusia. Oleh karena itu secara metodologis bertumpu pada prinsip aksi dan refleksi. Prinsip ini merupakan kesatuan dari fungsi berpikir, berbicara dan berbuat. Inilah yang oleh Freire disebut dengan prinsip praksis. Ikut memperkaya pembahasan hadir dari Yayasan Kesejahteraan Fatayat (YKF) Yogyakarta Masruhah dan Zubaidah yang membahas upayaupaya yang telah dilakukan dalam sosialisasi pendidikan yang membebaskan dan berkeadilan gender melalui forum badal kyai dan nyai untuk wilayah Jawa tengah dan Jogya. Menurut Masruhah, tidak mudah memang menghadapi realitas yang ada dalam lingkungan pesantren, ketika para Nyai dan Kyai dipertemukan dalam satu forum, mayoritas para Nyai ini sulit sekali mengungkapkan pendapatnya. Hal ini karena anggapan yang sudah melekat bahwa perempuan biasanya hanya menerima dan relatif punya kesempatan yang minim dibandingkan laki-laki dalam mengenyam pendidikan sehingga kurang berani berargument. Komitmen peserta untuk mengikuti pelatihan secara penuh dan disiplin menjadi kekuatan dalam forum ini. Wujud real komitmen mereka dituangkan
Swara Rahima -37
KIPRAH dalam beberapa kegiatan pasca halaqah yang terbagi menjadi 3 wilayah. Kelompok Nuris I akan merintis konseling sebaya tentang persoalan ketidakadilan gender, mengaktifkan sekretariat dan perpustakaan pesantren Nuris. Kelompok Jember Selatan lebih menyukai bentuk training untuk mensosialisasikan keadilan gender. Mereka melakukan beberapa pelatihan untuk guru-guru TK dan ibu-ibu majlis ta’lim. Dan kelompok terakhir yang terdiri dari kelompok muda di pesantren Nuris II, akan berusaha menawarkan konsep pendidikan Islam yang membebaskan pada pihak pesantren dan berencana untuk membangun sebuah madrasah gender. Acara yang sama dengan tema yang sama juga digelar di daerah Cirebon bertempat di pesantren Daarut Tauhid Arjawinangun Cirebon. Forum yang digelar pada tanggal 18-21 Juli 2002 ini merupakan halaqah lanjutan untuk para alumni pelatihan gender sebelumnya. Pada forum tersebut peserta sudah
masuk pada pembahasan mengarrange modelmodel pendidikan yang membebaskan dan berkeadilan gender dalam kelompok masyarakat yang berbeda-beda, sesuai dengan pengelompokkan para peserta di basisnya masing-masing. Terdapat kurang lebih 5 basis kelompok yang berhasil diidentiffikasi pada halaqah Cirebon, kemudian disusun strategi dalam upaya mengaplikasikan sistem pendidikan yang membebaskan dan berperspektif gender. Diantaranya Kelompok majlis ta’lim, pesantren, media , lembaga pendidikan formal (SD,MTs, MA) serta Perguruan Tinggi dengan strategi yang berbeda dan diupayakan mengenai sasaran. Artinya tidak terpaku pada lembaga formal saja tapi juga masuk pada kelompok informal masyarakat. Akhirnya, tak ada yang tidak mungkin rasanya bila ada keinginan melakukan sesuatu. Do for everything so you can make impossible to be possible! (lely)
Penguatan Islam dan Hak Perempuan Melalui Radio, Mengapa Tidak ?
R
Swara Rahima
amadlan merupakan salah satu bulan suci dalam Islam. Selain diyakini sebagai waktu diturunkannya kitab suci al-Qur’an, pada Ramadlan juga umat Islam seluruh dunia diperintahkan untuk berpuasa bagi yang mampu selama satu bulan penuh. Yaitu, mereka yang sudah dewasa, tidak dalam perjalanan (Musafir), tidak dalam kondisi sakit (parah), tidak sedang menyusui atau hamil yang akan berakibat buruk pada janinnya, dst. Perintah berpuasa tersebut, tentu saja mengandung banyak faedah atau keutamaan bagi mereka yang menjalankannya. Pendidikan adalah satu aspek terpenting dari hikmah itu. Satu di antaranya, dengan menahan diri untuk tidak makan, minum, dan berhubungan seks di siang hari, diharapkan pula dapat menahan agar tidak mengikuti hawa nafsu di hari-hari setelah Ramadlan tersebut. Kewajiban berpuasa ini ditujukan kepada laki-laki muslim dan perempuan muslimah. Solidaritas sosial adalah
3838-Swara Rahima
hikmah lainnya, yakni agar antara yang miskin dan kaya tidak ada jarak sosial, sama-sama merasakan kelaparan sejak fajar menyingsing hingga terbenamnya matahari. Bercermin dari hikmah puasa di atas, Rahima mengagendakan kegiatan “Penguatan Hak-Hak Perempuan dalam Konteks Syari’at Islam” melalui Talk Show Radio, satu minggu sekali pada hari Jum’at selama bulan Ramadlan (tanggal 8, 15, dan 21). Jam siarnya, pukul 14.00-15.00 kerjasama dengan Radio Reks FM Garut yang dipandu oleh Kang Zaki melalui rubrik SONTAK (Sorotan Aktual) dan pukul 21.00-23.00 di RSPD (Radio Siaran Pemerintah Daerah) FM Tasikmalaya pada acara SKETSA asuhan Kang Jun dan dibantu Kang Nunu. Pengasuh Pesantren al-Wasilah Garut, KH. Tantowi Jauhari, M.A. (Ajengan Toto) adalah narasumber pertama dengan tema Pendidikan, antara Hak dan Budaya (Tinjauan Islam dan Analisis Gender). Baginya, tidak ada perbedaan dalam teks
No. 7 Th. III, Maret 2003
KIPRAH
Swara Rahima
diperlukan pemahaman ulang, jika tidak dibilang harus berubah sesuai dengan situasi sosial, politik, dan perkembangan budaya masyarakatnya. Pendapat demikian, sesuai dengan Kang Acep Zam-Zam Noer, yang menyampaikan pikirannya sebagai budayawan dalam tema Budaya Lokal, Ajaran Islam dan Perempuan (Mencari Solusi). Katanya, pesantren sebagai tempat diajarkannya ilmuilmu keislaman sangat dipengaruhi oleh budaya setempat. PP dok.rahima Cipasung Tasikmalaya merupakan pesantren pertama yang menggunakan logat bahasa Sunda dalam pemaknaan kitab-kitab kuningnya. Pada posisi seperti itu, sebenarnya bukan budaya pesantren yang membuat diskriminasi perempuan, tetapi lebih karena aspek politik dari pemerintah setempat yang menciptakan budaya demikian, sejak zaman penjajahan dahulu. Munculnya, budayawan kecil akhir-akhir ini yang tidak bias gender merupakan harapan akan hilangnya diskriminasi itu, seperti terbetik dalam karya puisi mereka. Dr. Ieke Sartika Iriani dari PSW UNIGA juga menyoroti begitu, bahwa tindakan pemerintah memang tak jarang kurang tanggap terhadap perubahan masyarakatnya. Semestinya, tidak akan terjadi kematian Ibu melahirkan, bila akses informasi sampai pada masyarakat akar rumput. Demikian beberapa pandangannya saat mengungkap fakta pada talk show terakhir di Radio Reks FM dengan tema Pernikahan Usia di bawah Umur dan Dampaknya pada kesehatan Reproduksi Perempuan. Kegiatan ini cukup mendapat respon positif dari para pendengarnya saat dialog interaktif, khususnya di Radio Reks FM, karena dilaksanakan pada siang hari. Maka dari itu, hal serupa akan diteruskan kembali setelah Ramadhan, sesuai dengan waktu yang telah disepakati bersama pihak mitra lokal, baik di Garut dan Tasikmalaya. Imas A’an Ubudiyah adalah mitra Rahima di Garut dan Heny Hendrayani di Tasikmalaya. Sekurangnya, kegiatan talk show itu akan dilaksanakan setelah agenda pelatihan atau halqah Rahima di dua kota tersebut. (eL-Mawa)
Agama (baca: Islam) dan pemahamannya adalah wilayah budaya. Budaya pendidikan kita, seperti di Garut selama ini, selalu mengutamakan lelaki dibanding perempuan, walaupun dari sisi pendidikan sendiri, kemampuan perempuan tidak kalah dengan lelaki. Hal semacam ini, dimana lelaki yang diutamakan dalam persepsi masyarakat tentang pendidikan, karena ia akan menjadi pemberi nafkah keluarga, hal ini yang dipertanyakan Mahrus eL-Mawa dari Rahima sebagai narasumber pembanding. Sebab, sungguh aneh, katanya, jika pengutamaan itu hanya alasan jenis kelamin. Karena itulah pentingnya pemahaman agama yang luas dan tidak diskriminasi, kata Ajengan Toto, sebutan lain dari KH. Tontowi Jauhari, alumni Pascasarjana di Madinah. Hal serupa juga pada bidang politik, kata Dra. Noneng Masyitoh, Lembaga Pengabdian Masyarakat Universitas Siliwangi (Unsil) yang juga aktif di Pusat Studi Wanita Unsil Tasikmalaya. Proporsi perempuan sangat tidak imbang, karenanya perlu ada pendidikan politik bagi kaum perempuan, sebab selama ini lebih didominasi lelaki. Pada konteks inilah Syari’at Islam, memang seringkali disalahtempatkan oleh umat Islam sendiri, kata KH. Husein Muhammad, sebagai narasumber kedua, baik di Tasikmalaya ataupun Garut. Sebagai Direktur Pengembangan Wacana Rahima yang juga Pengasuh Pesantren Dar eL-Tauhid Arjawinangun Cirebon, beliau senantiasa mengingatkan bahwa syari’at Islam itu bagian dari produk budaya, maka jika terdapat diskriminasi dalam pelaksanaannya,
No. 7 Th. II, Maret 2003
Swara Rahima -39
Pendidikan prasekolah Islam berperspektif gender di Malaysia
D
alam dunia pendidikan, kita mengenal pendidikan prasekolah. Yaitu jenjang yang dipersiapkan untuk anak-anak usia pra sekolah (dibawah usia 5 tahun). Beberapa waktu lalu, muncul diskusi tentang bagaimana seharusnya pendidikan pra sekolah di Malaysia. Menurut sebagian praktisi, pendidikan pra sekolah di Malaysia sepatutnya mengetengahkan satu model sistem pendidikan prasekolah yang berlandaskan Islam. Hal ini seperti dikatakan salah seorang praktisi Wanita JIM, Pertumbuhan Jamaah Islah Malaysia (JIM) “Sistem yang mempunyai gambaran mendasar, dan mampu melahirkan insan cemerlang, berbudi tinggi dan dapat menciptakan kebaikan masyarakat. Sebab, tujuan pendidikan hari ini adalah membentuk generasi solehah untuk menanamkan nilai kemanusiaan yang mencakup aqidah, akhlak, akal, dan jasmani yang mampu melahirkan insan gemilang” Dan untuk ini pula, peran orang tua tidak dapat dipisahkan begitu saja. Pertanyaannya, perlukah pendidikan prasekolah diberikan nafas baru? Pendidikan yang bernafaskan keislaman? Dalam semangat ini, penegasannya adalah bahwa sistem pendidikan prasekolah yang berdasarkan Islam haruslah mampu mengimbangi apa yang diharapkan para orang tua. Pendidikan prasekolah yang berdasarkan ajaran Islam yang merupakan pendidikan yang baik tanpa membebankan orang tua dan mampu mencetak insan kamil. Diantara beberapa hal usulan yang dirumuskan untuk model pendidikan prasekolah berdasarkan Islam di Malaysia ialah: ·Pengajaran dari sudut kejiwaan anak-anak; pendidikan prasekolah perlu meletakkan penilaian khusus dan keutamaan terhadap perubahan sikap, tingkah laku dan adab anak-anak. Penilaian yang dibuat oleh pengajar tidak harus sekadar melihat sama kemampuan anak-anak didiknya, tetapi yang utama adalah tidak melakukan pembedaan-pembedaan antara satu dengan lainnya, pun pembedaan sebab jenis kelamin. Dengan demikian anak dapat menunjukkan ‘perubahan’ sikap dan adab seorang yang toleran, seorang yang berani, peramah, positif
No. 7 Th. II, Maret 2003
Swara Rahima
INFO
dan mampu menunjukkan semangat bekerjasama. ·Mendidik orang tua menjadi pendidik yang berkesan; hal ini dipandang perlu karena justru orang tualah “motor” pertama dalam sebuah pendidikan di keluarga. Dari sini pula pencitraan dibentuk. Pencitraan tentang peran masing-masing individu yang biasanya akan mulai teridentifikasi pertama kali oleh jenis kelaminnya. ·Meningkatkan mutu pendidik; yaitu dengan memartabatkan sistem latihan yang menyeluruh untuk menjadi guru ‘profesional’ . Dengan itu, guru diharapkan dapat mempunyai pemikiran mantap mengenai pandangan dunia pendidikan Islam dan cara pengendalian pendidikan prasekolah yang terkini dan profesional. Tidak terkecuali juga peningkatan pemahaman bahwa bukan hanya perempuan yang “pantas” menjadi pendidik, alihalih karena perempuan memang sering dilabelkan sebagai pendidik, tetapi laki-laki memiliki peran yang tidak kecil. Dikatakan bahwa pendidikan prasekolah di Malaysia “seolah-olah” didedikasikan hanya untuk laki-laki. Laki-laki terbiasa disebut pengusaha sampai kepada pendidik dalam sistem prasekolah. Akibatnya, banyak anak perempuan tidak dapat menikmati alam pembelajaran dengan model yang lebih universal daripada kaum lelaki. Bahkan ada pernyataan bahwa sebab keadaan ini karena ada anggapan bahwa prestasi pencapaian anak-anak perempuan lebih rendah dibanding anak-anak lakilaki. Sseharusnya ada inovasi yang lebih berani lagi dalam model pendidikan prasekolah Islam untuk membebaskan diri daripada pandangan negatif tersebut. Dalam masyarakat majemuk seperti di Malaysia ini, setiap etnik dan kelompok agama mempunyai sistem pendidikan yang unik bagi mempertahankan identitas dan nilai masing-masing. Islam sepatutnya dapat diketengahkan sebagai satu unsur penting yang menjamin kesejahteraan, kesetaraan dan perpaduan dalam masyarakat seperti ini. Disadur dari hasil tulisan pakar sakit puan Malaysia wjim@pd.jaring.my. webmaster@jim.org.my
Swara Rahima -37
Kritik Menuju Proses Pembelajaran yang Berkeadilan Gender
Judul Buku
: Bias Gender dalam Pendidikan Penulis : Achmad Muthali’in Penerbit : Universitas Muhammadiyah Surakarta Tahun Terbit : Juni 2001 Tebal Halaman: + 243 halaman
P
endidikan (baca; sebagai proses yang sudah terinstitusionalisasi), sekarang ini tidak hanya sekedar proses pembelajaran dari sebuah komunitas, tetapi ia telah terbangun sebagai salah satu sistem “narasumber” bagi segala pengetahuan. Citra bahwa sekolah adalah satusatunya model transfer pengetahuan telah menjadikan pendidikan seolah-olah sebagai satusatunya “alat” orang mendapat pengetahuan. Bahkan kini ia cenderung dibangun oleh manusia hanya untuk menguasai “manusia” lainnya. Sehingga pendidikan telah berubah wujud menjadi institusi yang diskriminatif dan eksploitatif! Diskriminatif terhadap kelas sosial, ras, agama, dan gender. Karena prosesnya telah berubah, pendidikan juga telah berubah wujud, dari cara menuju kritisisme menjadi cara manusia mencari legitimasi dan justifikasi. Cara manusia bersaing untuk bisa menguasai yang lainnya. Bahkan ironisnya, ia telah menjadi lahan industrialisasi yang mematikan “ruh” pendidikan sendiri, memanusiakan manusia. Majalah Basis no.07-08 tahun ke-49, JuliAgustus 2000, pernah mengangkat tentang fenomena tidakberdayanya pendidikan di Indonesia, baik tidak berdaya mengenai konsepnya, maupun pada skala praksis. Basis merepresentasikan fenomena ketidakberdayaan itu lewat cover majalahnya. Tergambar seorang perempuan berwar-
No. 7 Th. II, Maret 2003
Swara Rahima
KHAZANAH
na gelap dan keriput dengan salah satu matanya yang dicucuk ujung pensil, dan mengeluarkan air mata. Penggambaran yang secara sepintas saja sudah dapat ditangkap pesannya; bahwa pendidikan hanya membuat orang menderita. Dari situ nampak bahwa pendidikan kita memang kejam! Karena pendidikan hanya menghasilkan airmata. Air mata yang mengalir karena pendidikan sudah tidak berpihak kepada rasa kemanusiaan, pro kapitalis bahkan mungkin pro patriarkhi. Dalam hal ini, memikirkan masa depan pendidikan sudah menjadi agenda yang mendesak. Karena selain kompleksitas masalah yang berkaitan dengannya, dalam pendidikanlah sesungguhnya basis inti dari segala persoalan yang muncul di kemudian hari. Jika masalah dalam proses pendidikan tidak diselesaikan secara cepat dan tepat, mungkin ke depan pasti akan terlihat implikasinya; merajalelanya kebodohan yang juga akan melahirkan ketertindasan dan penderitaan baru. Sehingga tidak ada pilihan lain kecuali hanya lewat perbaikan pada pendidikanlah kita akan bisa lebih bernilai dan berharga, “Allah akan meninggikan derajat orangorang yang beriman dan berilmu pengetahuan (baca; bisa ditafsirkan juga sebagai berpendidikan) diantara kalian. Dan Allah maha mengetahui apa yang kalian kerjakan” (Surat Al Mujadalah ayat 11). Meskipun tidak memotret secara menyeluruh,
Swara Rahima -41
KHAZANAH
Swara Rahima
apalagi memotretnya dari sisi salah satu agama (dalam hal ini sisi agama Islam), Ahmad Muthali’in dalam bukunya yang berjudul Bias Gender dalam Pendidikan, sedikit banyak mencoba mengajak kita untuk lebih detail memikirkan masalah pendidikan. Potret yang diambil adalah dengan bingkai permasalahan di seputar birokasi pendidikan (menyangkut di dalamnya kurikulum dan proses pembelajaran). Buku yang merupakan hasil penelitian S2 penulisnya berusaha memaparkan problem bias gender dalam sistem pendidikan yang ada selama ini, terutama di sekolah dasar. Adapun pendekatan yang dipergunakan adalah pendekatan kultural. Dalam memaparkan hasil penelitiannya, penulis menegaskan bahwa sekolah sesungguhnya bukan hanya sekedar lembaga pendidikan, tetapi lebih dari itu ia merupakan sarana sosialisasi kebudayaan yang dalam prosesnya berlangsung secara formal. Dan gender sebagai bagian dari kebudayaan, proses sosialisasinya juga berlangsung di sekolah. Sekolah melakukan transfer nilai-nilai dan norma-norma yang berlaku dalam masyarakat, termasuk nilai dan norma gender. Nilai dan norma tersebut ditransfer secara lugas maupun secara tersembunyi, baik melalui teks-teks tertulis dalam buku pelajaran, maupun dalam perlakukan-perlakuan yang mencerminkan nilai dan norma gender yang berlaku dalam kebudayaan masyarakat. Jadi, sekolah bukan saja mengajarkan anak melek huruf, angka dan bahasa, tetapi juga sebagai sarana transfer atau transmisi berbagai ideologi yang dianut oleh negara atau transmisi berbagai ideologi yang termasuk di dalamnya ideologi gender. Jika diperhatikan, cerita-cerita dalam buku bacaan wajib di sekolah menggambarkan adanya perbedaan peran antara laki-laki dan perempuan. Bahkan dalam cerita-cerita yang dimaksud laki-laki pada umumnya disajikan sebagai tokoh sentral, sedang perempuan hanya sebagai tokoh pelengkap dan tidak jarang keberadaannya dihilangkan sama sekali. Penulis juga mencoba mengungkap beberapa penelitian lain berkaitan dengan bias gender dalam pendidikan, misal penelitian yang dilakukan Logsdon (1985) dan Astuti, Indarti, dan Sasriyani (1999). Dalam penelitian-penelitian tersebut ditemukan bahwa buku-buku teks yang digunakan di SD, baik untuk pelajaran bahasa Indonesia maupun mata pelajaran yang lain ternyata memuat bias gender,
4242-Swara Rahima
yaitu memuat pemilahan peran antara laki-laki dan perempuan. Ayah/laki-laki digambarkan bekerja di kantor, di kebun, dan sejenisnya (sektor publik), sedang ibu/istri/perempuan di dapur, memasak, mencuci, mengasuh adik, dan sejenisnya (sektor domestik). Muatan buku bacaan tersebut menegaskan ada dan berlangsungnya sosialisasi gender dalam pembelajaran sekolah. Akibat dari sosialisasi panjang tersebut, gender akhirnya dipandang sebagai ketentuan Tuhan. Artinya, gender sudah merupakan bagian dari sistem nilai atau ideologi dalam masyarakat. Karena sudah menjadi sistem nilai, maka gender akan merasuk dan berpengaruh pada sistem sosial dan kemudian berpengaruh pula pada benda atau teknologi yang ada. Kerangka berpikir dalam pendekatan ideasional kognisi dalam kebudayaan memang seperti itu. Bahwa bangunan atas kebudayaan (sistem nilai budaya atau ideologi) akan mempengaruhi bangunan tengah kebudayaan (sistem sosial budaya) dan akhirnya sitem nilai dan sistem sosial budaya akan mempengaruhi benda budaya (teknologi artefak) Berdasarkan kerangka berpikir tersebut, maka sistem nilai gender akan berpengaruh pada kehidupan sistem sosial di sekolah. Artinya, perilaku yang tampak dalam kehidupan sosial sekolah akan menampakkan bias gender. Interaksi guru-guru, guru murid, dan murid-murid, baik yang terjadi di dalam maupun di luar kelas, pada saat pelajaran berlangsung maupun saat istirahat akan menampakkan hal itu. Juga tempat duduk murid, penataan barisan, dan pelaksana upacara serta permainan murid tidak lepas dari hal itu. Dengan demikian, kegiatan pembelajaran yang merupakan bagian inti dari kehidupan sosial sekolah akan menampakkan bias gender. Dari buku ini dapat disarikan bahwa pendidikan memang tidak dapat dipandang ringan. Sebab dari sanalah konstruksi yang berlaku di masyarakat berawal. Pun gender sebagai konstruksi budaya. Buku ini tidak hanya penting dibaca oleh para pemerhati isu gender, tetapi juga penting dibaca oleh kalangan akademi, praktisi pendidikan dan siapapun yang memang memiliki komitmen untuk tetap menegakkan keadilan di muka bumi ini. Kenyataannya bias gender memang masih ada dan ia masih terus dilanggengkan dalam proses pembelajaran di sekolah jika proses pembelajaran itu tidak segera diperbaiki.DDaan Deka
No. 7 Th. III, Maret 2003
Bunga untuk Ibunda Oleh : Diah Rofika
H
ari ini Bondan dan Wawan akan memulai petualangan mereka untuk mencari seekor kambing. Mereka sepakat untuk merayakan Idul Adha tahun ini dengan memotong seekor kambing yang dibeli secara patungan. Maklum kedua laki-laki ini merasa sudah sepantasnya mengeluarkan zakat mengingat mereka sudah mempunyai penghasilan sendiri. “Petualangan akan segera dimulai”, tutur Wawan sambil duduk di depan kemudi. “Siap bos”, timpal Bondan sambil mengacungkan jempolnya. Mobil melaju meninggalkan Jakarta menuju Parung. Konon katanya harga kambing di pasar Parung relatif lebih muarh dibanding tempat lain. “Eit tunggu dulu sobat, coba diingat hari ini tanggal berapa?”, sela Wawan tiba-tiba di tengah jalan.. “Mau ngapain sih ngitung tanggal segala, tanggal 13”, jawab Bondan setengah heran.. “Besok tanggal 14 kan? Hari valentine sobat,” jawab Wawan mengingatkan sahabatnya. “Terus kenapa kalau hari Valentine, pacar kagak punya?”, ledek Bondan. “Gue mesti kirim bunga dulu nih buat orangorang di rumah, terutama buat nyokap, itu kebiasaan keluarga gue.” “Jangan membiasakan berkirim bunga pada perempuan, nggak baik”, timpal Bondan. “Masih percaya takhayul aja sih”. Bondan diam tak menjawab. ******* Setiap kali mendengar kata bunga yang terbayang di ingatan Bondan adalah kenangan pahit tentang ibundanya tercinta yang telah meninggal beberapa tahun silam. Masih tergambar jelas dalam ingatannya peristiwa-peristiwa menyakitkan yang terjadi di dalam keluarganya. Ayah Bondan seorang pengusaha sukses, meski modal didapat dari warisan yang ditinggalkan oleh
No. 7 Th. II, Maret 2003
Swara Rahima
C E R P E N
orang tua bundanya. Bunda sama sekali tidak pernah mempersoalkannya, yang penting baginya ayah bisa membesarkan usahanya dan kebutuhan keluarga tercukupi semuanya. Mereka ayah, Bunda, Bondan dan Laras adiknya hidup dalam kebahagiaan. Sampai pada suatu ketika datang sepucuk surat yang mengabarkan bahwa ayah mempunyai istri lagi selain Bunda. Tapi Bunda tidak begitu saja langsung percaya, justru Bunda curiga jangan-jangan surat itu dikirim oleh lawan bisnis ayah untuk menghancurkan keutuhan keluarganya. Surat itu lalu Bunda sampaikan kepada ayah. Meski saat itu Bondan masih duduk di bangku SMP tapi dia sudah bisa menilai ekspresi seseorang dari wajahnya. Dia sempat melihat ayahnya terkejut sesaat dan wajahnya sedikit pasi ketika membaca surat itu. Ayah lalu berkata dengan suara pelan, “pastilah itu pekerjaan orang-orang yang iri terhadap kesuksesan usaha kita”. Kemudian tangannya merangkul pundak Bunda dengan mesra dan Bunda percaya. Keesokan harinya ayah mengirim karangan bunga mawar segar untuk Bunda. Bunda tampak senang dan bahagia dengan kiriman ayah itu. Begitu juga Bondan dan Laras, mereka percaya ayah tidak mungkin berbuat jahat kepada Bunda. Tapi kebahagiaan itu hanya sesaat, beberapa hari kemudian di suatu malam, ayah pulang kerja dengan wajah merah menahan marah. Suara teriakannya memanggil Bunda menggema memenuhi semua sudut rumah. Bondan dan Laras yang tengah menonton TV turut terkejut dibuatnya. Dengan tergopoh-gopoh Bunda datang menghampiri ayah dan plak... satu tamparan keras mendarat di pipi halus Bunda. Bunda tersungkur ke lantai sambil memegangi pipinya yang memerah. Bondan lalu berlari menghampiri Bunda dan menolongnya berdiri sementara Laras menangis histeris dan lari masuk ke kamarnya. “Ayah ini kenapa, apa salah Bunda?”, teriak Bondan saat itu. Seperti tidak mendengar teriakan
Swara Rahima -43
C E R P E N
Swara Rahima
Bondan, ayah kemudian berlalu menuju ruang kerjanya. Wajah Bondan merah menahan marah tetapi Bunda justru menenangkannya.. Sejak peristiwa malam itu ayah menjadi semakin sering tidak pulang dengan alasan sibuk mengurus bisnis di luar kota. Perhatian ayah kepada keluarga menjadi berkurang dan ayah lebih sering bersikap kasar terhadap Bunda. Tak seorangpun yang tahu mengapa ayah berubah seperti itu. Tiap kali habis berbuat kasar ayah selalu mengirimi Bunda bunga sebagai permintaan maafnya. Bunda tidak pernah melawan semua tindakan kasar ayah. ******* Mobil yang membawa 2 pemuda tanggung itu berhenti di depan sebuah toko bunga, Wawan bergegas turun dari mobil dan sesaat kemudian sudah terlihat sibuk memilih beberapa tangkai mawar putih. Tak lama dia sudah kembali ke mobil sambil membawa rangkaian mawar putih di tangannya. “Ini mawar putih kesukaan nyokap gue”, waktu nyokap elu masih ada, bunga apa yang beliau sukai?” tanyanya kepada Bondan sambil menjalankan mobil. Bondan tak menjawab. “Heh, kok diam aja, kenapa elu Ndan?”, tanya Wawan melihat sahabatnya hanya diam saja. “Hm, sebenarnya semua jenis bunga nyokap gue suka, dia sangat suka berkebun dan menanam bunga. Tragisnya, bunga juga yang bikin nyokap gue pergi ninggalin gue dan Laras”. “Maksudnya nyokap elu keracunan bunga?” “Bisa dibilang begitu, tapi sudahlah terlalu sakit buat gue kalau inget kejadiannya”. “Sory deh kalau gue udah membangkitkan kenangan pahit masa lalu elu ”. “Nggak apa-apa” jawabnya sambil mengingat kembali saat-saat terakhir bersama Bundanya. Malam itu Bunda, Bondan dan Laras tengah bersantai menonton acara televisi setelah melaksanakan shlat Isya bersama. Kebetulan ayah sedang dinas keluar kota. Bel di ruang tamu berbunyi, berarti ada tamu di luar sana. Bunda, Bondan dan Laras saling pandang, mengira-ngira siapa tamu yang datang malam-malam begini. Bunda segera beranjak untuk membuka pintu.
4444-Swara Rahima
Tubuhnya yang kurus dan pucat terlihat jelas saat dia berjalan. Bunda kembali dengan membawa satu rangkaian bunga di tangannya. Matanya yang cekung mengamati tulisan di kartu yang tergantung di salah satu sisi bunga. Dahinya berkerut seperti sedang memikirkan sesuatu. “Pengirimnya sih betul ayah, tapi bukan untuk Bunda, juga bukan untuk kalian”, ucap Bunda. “Lalu untuk siapa dong, mungkin Bunda salah baca”, ujar Laras. “Mana mungkin Bunda salah baca, jelas di sini tertulis “buat Dik Sri tersayang, dari mas Danu”, jelas Bunda lagi Belum hilang kebingungan Bunda, datang seorang perempuan muda ingin bertemu Bunda. Dari caranya berpakaian, sepertinya perempuan itu sedang hamil. Bunda lalu mempersilahkan perempuan itu duduk. Mulailah mereka bercakap-cakap. Perempuan itu bernama Sri. Dia mengaku sudah satu tahun ini menjadi istri simpanan pak Danu, dan saat ini sedang mengandung anak pak Danu. Hampir satu bulan ini pak Danu tidak pernah mengunjunginya bahkan kalau ditelpon yang menerima suara perempuan dan selalu mengatakan pak Danu sedang tidak berada di tempat. Suasana di ruang tamu itu menjadi hening, tapi kemudian terdengar perempuan muda itu berteriak minta tolong. Bondan dan Laras yang tengah asyik menonton televisi menjadi terkejut, lalu bergegas lari ke ruang tamu. Mereka melihat Bunda terkulai lemas di atas sofa. “Bu Danu tiba-tiba pingsan”, perempuan muda itu berkata dengan terbata-bata. Matanya tampak memerah menahan tangis. Dokter keluarga yang datang untuk memeriksa mengatakan bahwa Bunda tidak pingsan tetapi meninggal. Bondan tidak pernah mengira kalau Bunda tidak pernah lagi bangun dari pingsannya. Ayah yang telah menyebabkan Bunda pergi. Kalau saja ayah tidak salah mengirimi Bunda bunga, kalau saja ayah tidak berselingkuh, pastilah sampai saat ini Bunda masih bersama kami. D
No. 7 Th. III, Maret 2003
Apakah wanita hamil di luar nikah tetap diperbolehkan bersekolah? Pertanyaan: Belum lama ini ada kebijakan pemerintah yang diwakili oleh Menteri Negara pemberdayaan perempuan tentang kebolehan siswi yang hamil di luar nikah untuk tetap sekolah. Namun peringatan ini mengundang kontroversi di kalangan masyarakat, karena sebagian menganggap bahwa kebolehan tersebut sama dengan melegalkan perzinaan. Bagaimana pendapat Pak Kyai tentang hal tersebut? Bagaimana sebenarnya dalam Islam, apakah wanita hamil di luar nikah tetap diperbolehkan bersekolah? Ina Jakarta Jawaban: Setiap manusia, baik perempuan ataupun lakilaki, memiliki hak-hak asasi yang melekat pada dirinya. Hak-hak tersebut harus tetap ada selama hayat dikandung badan, tanpa mempertimbangkan apakah dia sebagai pendosa atau bukan. Dalam diskursus Ushul Fiqh, hak-hak tersebut dirumuskan dalam prinsip dharuriyah al khams (lima prinsip dasar) sebagaimana yang digagas as-Syatibi. Yakni Hifdz ad-din (menjaga agama), hifdz al-nafs (menjaga jiwa), hifdz a-aql (menjaga akal sehat), kebebasan berfikir, hak berpendapat serta menyuarakan aspirasi, hifdz an-nasl (menjaga keturunan), serta hifdz al-mal (menjaga harta serta hak mendapatkan penghidupan yang layak) (Abu Zahrah Ushul Fiqh, Abdul Wahab Khallaf, Ilm Ushul al Fiqh, 2002) Masuk dalam kategori hak yang lima ini adalah hak untuk memperoleh dan mendapatkan pendidikan. Yakni tergolong dalam usaha menjaga serta merawat akal sehat manusia (hifdz al-aql). Dengan bersekolah seseorang dapat menimba berbagai pengetahuan, sehingga dapat memfungsikan karunia akal yang diberikan kepadanya. Karena itu, seseorang memiliki hak untuk memperoleh pendidikan, tanpa melihat apakah dia pernah berbuat salah atau tidak. Kalau memakai alur ini, maka alasan hamil di
No. 7 Th. II, Maret 2003
Swara Rahima
TANYA JAWAB
luar nikah tidak bisa dibuat dasar untuk melarang seseorang untuk bersekolah. Karena larangan berzina masuk pada kategori hifdz an-nasl sehingga tidak dapat dijadikan alasan untuk mencabut hak memperoleh pendidikan yang tergolong hifdz alaql. Ini sesuai dengan qaidah :
“Suatu kemudharatan tidak boleh dihilangkan dengan mendatangkan kemudharatan yang lain�
Dalam konteks ini, untuk menghilangkan bahaya yang ditimbulkan perbuatan zina, tidak dibenarkan dengan melakukan tindakan-tindakan yang justru memunculkan kemudharatan lain. Apalagi yang berada pada tingkatan yang lebih tinggi, misalnya melarang bersekolah. Karena mencari ilmu meruapakan kewajiban dan sekaligus hak asasi bagi setiap manusia. Disamping itu, hamil tidak bisa dijadikan bukti (bayyinah) bahwa ia telah berbuat zina. Sebab kehamilan tidak selamanya terjadi sebab adanya penetrasi dan persentuhan kemaluan laki-laki dan perempuan. Bisa saja seorang perempuan mengandung dengan cara mempertemukan sel sperma dan ovum tanpa melalui proses yang normal. Proses seperti ini tidak disebut zina. Karena menurut fuqaha yang dikatakan zina apabila telah terjadi pertemuan antara alat kelamin seorang laki-laki dan perempuan. Karena itulah ulama memasang beberapa kriteria untuk diterimanya persaksian orang yang bersaksi telah melihat langsung terjadinya peristiwa itu. Saksi harus tahu waktu, serta posisi seseorang ketika melakukan perbuatan tersebut (al Yaqut al Nafis, 182, I’anah at Thalibin, JUZ IV, 148) Maka apabila ada wanita belum bersuami yang hamil, sedangkan ia tidak mengakui perbuatannya dan tidak ada saksi yang melihat bahwa dia telah berzina, perempuan tersebut tidak bisa begitu saja divonis sebagai pezina. Karena tidak ada alasan
Swara Rahima -45
TANYA JAWAB untuk menuduhkan hal tersebut. Malahan bila terpaksa menuduhnya, perbuatan itu dapat digolongkan menjadi qadzaf (menuduh berzina) yang jelas-jelas dilarang oleh agama. Dalam surat annur, 4 disebutkan :
Rasulullah SAW bersabda : Jauhilah had (sangsisangsi) dari kaum muslimin sebisa mungkin. Jika ada celah untuk membebaskan hukuman itu, maka bebaskan mereka. Maka sesungguhnya apabila seorang imam salah dalam memaafkan, itu adalah lebih baik daripada salah ketika menghukum seseorang�) Sunan Tirmidzi ; indek 1344)
“Orang-orang yang menuduh perempuan baik-baik berzina, kemudian ia tidak mendatangkan 4 orang saksi, maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. Dan mereka itulah orang-orang yang fasik� (QS Annur: 4)
Dengan dua pertimbangan ini, maka tidak ada alasan untuk melarang orang hamil diluar nikah untuk bersekolah. Mungkin ada pendapat yang menyatakan apabila diperkenankan bagi pendosa belajar-mengajar bisa diartikan melegalisir dosa itu sendiri, tentu hal tersebut tidak ada kaitannya. Karena untuk menghentikan perbuatan zina, tidak dengan menghilangkan dan mencabut hak-hak lain. Yang harus dilakukan adalah dengan melakukan tindakan-tindakan yang tidak sampai merampas hak-hak yang semestinya diterima oleh seseorang.
Sedangkan dalam hadits disebutkan,
Swara Rahima
KH. Muhyidin Abdussomad (Pimpinan Pon Pes Nuris Jember)
4646-Swara Rahima
ANDA BUTUH VCD? Berbagai rekaman Pelatihan & Halqah tentang Hak-Hak Perempuan dan Islam terdokumentasi dalam sebuah VCD HUBUNGI BAGIAN PERPUSTAKAAN RAHIMA Jl. Pancoran Timur IIA No. 10 Perdatam Pasar Minggu Jakarta Selatan Telp. 021-7984165 Fax. 021 - 798 2955 Email:rahima2000@cbn.net.id Website: www.rahima.or.id
No. 7 Th. III, Maret 2003
Sekolah atau Teks yang Berbicara (?) Oleh Dwi Rubyanti Khalifah
S
uatu waktu, sebuah SD Islam di Tangerang dibingungkan oleh jawaban ulangan murid kelas satu. Masalahnya, separuh lebih dari mereka memberikan jawaban yang berbeda dengan apa yang diajarkan di kelas. Salah satu pertanyaan yang diajukan oleh ibu guru bahasa Indonesia waktu itu adalah “siapakah yang selalu menyiapkan sarapan pagi di rumahmu?”. Separuh lebih dari murid kelas satu menjawab, “bibi [pembantu rumah, red]”, bukan ibu, sesuai yang tertulis buku ajar. Ibu guru pembimbing menjadi bingung, karena baru kali itu mendapati fenomena di mana murid kelas satu menjawab tidak berdasarkan apa yang tertulis di buku atau yang biasa umumnya diketahui. Terjadilah pembicaraan serius di antara guru-guru. Setelah diskusi panjang, maka para guru mendapat kesimpulan bahwa jawaban yang dibuat para murid sesungguhnya bukan kesalahan, karena jawaban tersebut ternyata memang berdasarkan realitas yang mereka alami sehari-hari. Mungkin mereka memang tidak pernah melihat ibunya mempersiapkan makan pagi untuknya dan untuk ayahnya, bahkan mereka tidak pernah melihat ibunya mengerjakan pekerjaan rumah tangga, seperti yang sering dibacakan dalam buku ajar sekolah. Maklum, rata-rata yang bersekolah di sana adalah kelompok masyarakat kelas menengah ke atas. Sampai di sini apa yang bisa kita petik dari peristiwa tersebut? Tentu saja hal tersebut telah memberikan pelajaran bagi kita bahwa realitas yang terus mengalami perubahan menuntut kita untuk juga bisa lebih fleksibel dan lebih arif dalam mengajarkan anak-anak kita. Karena, segalanya bisa berubah seiring dengan berubahnya waktu. Sehingga dalam mengajarkan suatu pengalamanpun kita harus dapat lebih toleran. Tidak selalu terpaku terhadap apa yang pernah diajarkan kepada kita, atau tetap keras mempertahankan persepsi lama. Tak salah dalam hal ini kiranya kita mengutip apa yang disarnakan Ali Bin Abi Thalib, menantu Rasulullah SAW “Didiklah anak-anak kalian tidak
seperti yang dididikkan kepada kalian sendiri, oleh karena mereka itu diciptakan untuk generasi zaman yang berbeda dengan generasi zaman kalian”. Di kota metropolitan seperti Jakarta, realitas perempuan bekerja di luar rumah sudah bukan hal yang aneh. Oleh karenanya, tugas-tugas domestik banyak dialihkan ke pembantu rumah tangga, karena keduanya (suami-istri) sama-sama bekerja untuk bisa menjangkau kebutuhan hidup sehari-hari. Begitu pula dalam dunia pendidikan, tentunya seiring dengan perkembangan peradaban banyak hal yang berubah. Pendidikan haruslah berorientasi pada pengenalan realitas diri manusia dan dirinya sendiri. Untuk itulah bicara persoalan pendidikan, maka akan selalu melibatkan tiga elemen yaitu pengajar, pelajar, dan realitas dunia. Kenyataan obyektif bahwa sisi negatif perempuan (lemah, tidak mandiri, cengeng, telaten dan sebagainya) menempatkan perempuan pada posisi yang tidak menguntungkan, harus diubah oleh subyektif yang adil gender. Teks buku ajar yang didukung dengan sistem yang sensitif gender, dalam hal ini, berperan besar dalam melakukan perubahan terhadap realitas yang tidak adil terhadap laki-laki dan perempuan. Bagaimana cara mengubahnya? Kalau realitas di sekitar kita menunjukkan hal yang lain atau bahkan mungkin saja berbalikan. Laki-laki dan perempuan pada saat yang berbeda bisa melakukan semua peran sosial, tanpa harus dibedakan berdasarkan jenis kelamin. Kalau suatu saat Wati bermain bola dan Budi bermain boneka adalah hal yang wajar, karena sekarangpun kita bisa melihat Rudi Khairudin sangat mahir memasak dan seorang Laila Ali (anak Muhammad Ali, petinju legendaris) memilih menjadi petinju. Artinya, selalu ada alternatif. Alternatif bukan hanya sekedar memperbaiki, meningkatkan, menyesuaikan, tapi juga merubah atau menggantinya sama sekali dengan sesuatu yang benar-benar baru dan membaharu! Kenapa tidak? D