Swara Rahima No. 5 Th. II, Juli 2002
Swara Rahima -1
DaftarIsi FOKUS Ketika Seksualitas Jadi Isu Publik D Merayakan Seksualitas Perempuan D
6 9
30
31 15
FIKRAH Perkosaan dalam Rumah Tangga? Oleh: KH. Muhyiddin Abdusshomad
19
TEROPONG DUNIA Potret Dua Perempuan Jalur Gaza
21
DUNIA PEREMPUAN Rapuhnya Anak Jalanan Perempuan Oleh: Wahyu Budi Santoso
23
OBROLAN “Politik Seksual”
25
TANYA JAWAB Suami Sering Menyakiti
27
Swara Rahima
OPINI Tentang Seksualitas: Masyarakat Sering Menggunakan Standar Ganda Wawancara dengan Sita Aripurnami
22-Swara Rahima
KIPRAH D Refleksi Hijriyah Persoalan Perempuan Islam Di Indonesia D Ketika Nyai dan Kiai Mendiskusikan Seksualitas
32
INFO Ulah Polisi Agama: 14 Siswi Tewas Terbakar
33
KHAZANAH Mengukuhkan Fikih [Perspektif] Perempuan
35
TAFSIR AL-QUR’AN Mendaulatkan Seksualitas Perempuan Oleh: Marzuki Wahid
40
DIRASAH HADIS Seksualitas Perempuan dalam TeksTeks Hadis Nabi Saw Oleh: Faqihuddin A. Kodir, MA.
43
REFLEKSI “Seksualisasi” Tubuh Perempuan Oleh: AD Kusumaningtyas
KIPRAH >> Nyai dan Kyai Berdiskusi Seksualitas. 31 KIPRAH >> Refleksi Hijriyah Tentang Perempuan 30 No. 5 Th. II, Juli 2002
ASSALAMU’ALAIKUM WR.WB.
Rahima
Jl. Pancoran Timur IIA No. 10 Perdatam Pasar Minggu Jakarta Selatan Telp. 021-7984165 Fax. 021 - 798 2955 Email:rahima2000@cbn.net.id Website: www.rahima.or.id
PEMIMPIN UMUM/ PENANGGUNG JAWAB KH. Husein Muhammad PEMIMPIN REDAKSI Farha Ciciek DEWAN REDAKSI Wahyu Budi Santoso, A.Dewi Eridani, Syafiq Hasyim, AD. Kusumaningtyas, Dwi Rubiyanti, Helmy Ali, Daan Dini Khairunnida. REDAKTUR PELAKSANA Agus Muhammad REDAKTUR TAMU Faqihuddin Abdul Kodir MA DEWAN AHLI Prof.Dr. Saparinah Sadli, KH. Muhyiddin Abdussomad, Nyai. Hj. Nafisah Sahal, Dr. Mansour Faqih, Prof.Dr. Azyumardi Azra, Dr. Kamala Chandra Kirana. ILUSTRASI Mufidz Aziz DISAINER GRAFIS MAR PUSDOK Ulfah Mutiah Hizma KEUANGAN M. Syafran DISTRIBUSI Imam Siswoko, Sanim. JARINGAN Emma Marhummah (Yogyakarta), Djudju Zubaidah (Tasikmalaya), Mahrus El Mawa (Cirebon), Ruqayyah Ma’shum (Bondowoso), Kholillah Mawardi (Jepara), Hindun (Mataram), Zohra A. Baso (Makasar). SWARA RAHIMA adalah majalah berkala terbitan Yayasan RAHIMA untuk memenuhi kebutuhan dialog dan informasi tentang Islam dan hak-hak perempuan. SWARA RAHIMA berusaha menghadirkan fakta dan analisis berita, serta wacana Islam, gender dan hak-hak perempuan. SWARA RAHIMA mengharapkan partisipasi melalui saran dan kritik. SWARA RAHIMA juga menanti kiriman tulisan dari pembaca, bagi yang dimuat diberi imbalan ala kadarnya.
No. 5 Th. II, Juli 2002
Pembaca yang budiman, Salam jumpa. Harapan kami semoga anda sekalian selalu berada dalam kondisi sehat wal afiat. Amin. Swara Rahima kembali hadir dengani mengangkat tema yang masih terbilang “asing” dan kontroversial, yakni masalah seksualitas, khususnya seksualitas perempuan. Bukan kebetulan kalau tema ini yang dipilih sebagai fokus Swara Rahima edisi ini. Sejak era reformasi, masalah seksualitas menjadi isu menonjol. Hal ini dengan mudah dapat diamati pada beberapa fenomena yang mengemuka di hadapan publik. Mulai dari kebebasan pers yang telah dimanfaatkan oleh beberapa kalangan untuk membuat media yang membombardir sensualitas perempuan (dan menjurus ke pornografi) hingga kecenderungan beberapa kelompok Islam untuk main hakim sendiri melalui tindak penyerangan dan atau pembakaran lokalisasi pelacuran, pangkas paksa rambut perempuan yang tidak berjilbab, perobekan pakaian perempuan yang dianggap seksi, “parade” penzina dll. Pembaca yang kami muliakan, Pentingnya mengungkap masalah seksualitas menurut para ahli karena seksualitas bukan hanya merupakan identitas yang mampu mendefinisikan kita secara pribadi, sosial bahkan moral, tetapi juga karena ia seringkali disikapi secara tidak proporsional. Sikap sebagian masyarakat yang demikian emosional terhadap masalah pornografi dan berbagai bentuk “kemaksiatan” lainnya merupakan merupakan bukti betapa tidak proporsionalnya melihat masalah ini. Inilah yang disayangkan Julia I Suryakusuma, seorang intelektual yang aktif menggalang pembelaan terhadap hak-hak perempuan. Mengerahkan murka dan amarah pada masalah pornografi dan kemaksiatan sama ibarat menendang rambu-rambu lalu lintas di saat jalanan macet. Tingkat efektivitasnyapun, kata Julia, sama dengan memerangi hama wereng dengan memberi pengumuman bahwa hama wereng adalah terlarang. Urgensi lain masalah seksualitas juga terletak pada keterkaitannya dengan perikehidupan “berbangsa dan bernegara ”. Dalam kenyataan keseharian, kita bisa merasakan bahwa seksualitas bukan hanya kegiatan biologis-fisik semata tetapi selalu merupakan bentuk interaksi sosial yang bahkan bisa menjadi cermin tidak cuma nilai-nilai sosial di masyarakat, tapi juga hubungan masyarakat dan negara. Kasus Orde Baru dengan jelas menunjukkan betapa negara melakukan pengaturan sedemikian rupa terhadap masalah ini, mulai dari UU Perkawinan, PP No. 10 tentang regulasi perkawinan bagi pegawai negeri, sampai pada pemaksaan penggunaan alat-alat kontrasepsi melalui program KB. Pembaca yang dirahmati Allah, Melalui kesempatan ini dengan semangat tholabul ‘ilm Swara Rahima mengajak anda untuk belajar bersama tentang masalah seksualitas, khususnya seksualitas perempuan. Alasannya jelas : Karena kaum perempuanlah yang biasanya jadi korban dari berbagai pandangan negatif terhadap masalah ini. Dan ironisnya masyarakat telah terlalu terbiasa untuk mempersalahkan para korban tersebut, bukannya khusyuk mencari akar masalah yang sebenarnya. Kami berharap, dengan membicarakan masalah yang dianggap tabu dan sensitif ini, kita bisa belajar untuk memahami sesuatu secara lebih memadai sehingga Insya Allah kita mampu lebih dewasa dalam menyikapi masalah ini. Selamat membaca. Kami selalu menunggu respon anda.
Swara Rahima
Swara
Redaksi
Swara Rahima -3
SURAT ksi Yth. Reda Kepada hima . 10 Swara Ra an Timur II No or nc Jl. Pa Jak-Sel Perdatam
PEMBACA
SWARA RAHIMA JADI REBUTAN
SWARA RAHIMA & PENCERAHAN Yth. Redaksi Swara Rahima Di Tempat Kami atas nama Perpustakaan PKPM Atma Jaya mengucapkan terima kasih atas kiriman majalah “Swara Rahima”, yang tentu saja sangat bermanfaat bagi instansi dan pengunjung perpustakaan kami. Kami masih berharap dapat menerima kembali edisi selanjutnya. Terima kasih, selamat memberikan pencerahan di masyarakat. Triwarmiyati D. Kepala Perpustakaan <triwarmi@lpa.atmajaya.ac.id> LINK KE WEBSITE RAHIMA Yth. Redaksi Swara Rahima
Swara Rahima
Apa kabar tim redaksi Swara Rahima? mudahmudahan semakin sukses. Saya ingin menanyakan apakah saya boleh mencamtumkan alamat website Rahima/Swara Rahima dalam alamat website proyek Indonesian Mediation (IM) yang ada di univ. Leiden. Begini, saya mendapatkan posisi sebagai kandidat PhD dari Univ. Leiden ini melalui suatu proyek yang bernama Indonesia in Transition (ini kerjasama antara beberapa univ. di Belanda dan univ. di Indonesia). Proyek ini mempunyai empat sub-proyek diantaranya IM, dimana saya saat ini berafiliasi. Tim kami ini (IM) sedang mempersiapkan satu website yang didalamnya memuat profil masing-masing peneliti. Dan karena dimungkinkan untuk mencantumkan satu list website link, saya ingin mencantumkan website Rahima/Swara Rahima dalam list saya. Boleh, kan? Terima kasih, sebelumnya. Salam, Wiwik
Dengan senang hati kami mempersilakan dan terima kasih atas kepercayaan dan kerjasamanya.
44-Swara Rahima
Dear Redaksi SWARA RAHIMA Seorang teman membawa tiga edisi Swara Rahima ke ruang jurusan pada suatu hari, dan segera terjadi “perebutan” di antara para dosen yang ada di Jurusan Sastra Inggris FSUI. Ada banyak penerbitan yang pernah mampir sebelumnya, namun yang paling diminati adalah Swara Rahima. Saya mengucapkan selamat dan salut buat teman- teman di redaksi yang telah bekerja sangat keras untuk melahirkan Swara Rahima. Jerih payah Anda semua jelas tidak sia-sia. Pada kesempatan ini, atas nama Jurusan Sastra Inggris FSUI, bolehkah saya meminta agar kami dikirimi ketiga edisi pertama serta edisi-edisi berikutnya? Kami bersedia membayar ongkos ganti cetak serta ongkos kirimnya. Sekarang ini, ketiga edisi yang jadi rebutan itupun raib entah kemana—barangkali sudah jadi koleksi pribadi salah seorang dosen! Semoga Swara Rahima selalu menjadi ujung tombak pencerahan dan pembangunan kesadaran perempuan Muslim dan perempuan-perempuan lainnya di seluruh negeri. Selamat bekerja! Manneke Budiman <manneke@makara.cso.ui.ac.id> Jurusan Sastra Inggris Fakultas Sastra Universitas Indonesia Depok 16424 Terima kasih atas perhatian dan apresiasinya. Insya Allah selama persediaan masih ada akan kami kirim. BUTUH BUKU BACAAN Kepada Yth. Redaksi Swara Rahima Assalamualaikum Wr. Wb. Doa kami menyertai aktivitas segenap redaksi Swara Rahima. Saya seorang santri di Pondok Pesantren Salafiyah. Beberapa waktu terakhir ini saya sangat tertarik pada kegiatan membaca, membuka diri mencari informasi dan pengetahuan di luar kitab kuning yang saya geluti sehari-hari.
No. 5 Th. II, Juli 2002
Hal ini terjadi karena saya sering termenung melihat realitas kehidupan di masyarakat yang rasanya masih sulit saya temukan pemecahannya hanya dari kitab-kitab kuning. Al-hamdulillah hari demi hari hoby membaca saya kian meningkat, tapi sering terbentur rasa malu, sungkan dan sebagainya karena harus pinjam sana sini bila ingin baca buku. Karenanya kami beranikan ini untuk bisa berlangganan SWARA RAHIMA, yang mudah-mudahan masih punya persediaan.
PEMBACA di perpustakaan BDI, dan 1 exp ingin saya distribusikan (membaca secara bergantian) di antara rekanrekan muslimah. Terimakasih sebesar-besarnya saya haturkan Wassalamu’alaikum wr.wb. Azazi Daulati JOB Pertamina Devon Tuban Menara Mulia Lt.10 Jl. Jend. Gatot Subroto kav 9-11 Jakarta 12930
Wassalam Tochidin PP. Bahrul Ulum (Asrama Al Mursidi) Awipari-Cibeureum Tasikmalaya Jabar Terima kasih atas kepercayaan Anda terhadap SWARA RAHIMA. Selama persediaan masih ada akan kami kirim. Untuk mendapatkan Majalah Halqah langsung saja hubungi P3M (Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat) Jl. Cililitan Kecil III No. 12 Kramat jati Jakarta Timur SWARA RAHIMA MENJAWAB KEINGINTAHUAN Yth. Redaksi Swara Rahima Assalamu’alaikum wr.wb Saya tertarik untuk berlangganan Swara Rahima setelah saya melihat web anda. Saya memerlukan Rahima sebagai acuan dalam bertindak dan bertingkah laku, karena saya sadar betul menjadi muslimah yang baik itu perlu pemelajaran. Apalagi di tengah suasana seperti ini, di mana isu gender dan feminisme sangat kencang. Saya melihat Swara Rahima memenuhi keingintahuan saya mengenai perempuan secara Islami. Karena itulah saya ingin sekali berlangganan Swara Rahima. Bila tidak keberatan, bisakah saya mendapatkan 3 exp setiap edisinya ? 1 exp ingin saya letakkan
No. 5 Th. II, Juli 2002
KU TEMUKAN JAWABAN DI SWARA RAHIMA Kepada Yth. Redaksi Swara Rahima Di Tempat
Swara Rahima
SURAT
Assalamu’alaikum Wr.Wb. Terima kasih atas kiriman Swara Rahima di setiap edisi dan saya sangat bersyukur, dengan adanya Swara Rahima dapat menambah wawasan saya tentang perempuan. Pada Edisi ke-4, saya telah temukan jawaban tentang makna Jihad yang sesungguhnya dan pada rubrik khazanah di bahas buku yang berjudul “Wajah Baru Relasi Suami Istri”, telaah kitab “Uqud al Lujain”. Saya tertarik dengan buku tersebut. Dimanakah saya bisa mendapatkannya. Sekali lagi terima kasih. Semoga Swara Rahima sukses selalu sesuai dengan Visi dan Misi mengedepankan hak-hak perempuan dalam khazanah Islam. Saya tunggu edisi berikutnya. Wassalam Fitriyawati Bogor Untuk mendapatkan buku “Wajah Baru Relasi Suami Istri” sebaiknya hubungi Puan Amal Hayati di Jl. Warung Silah No. 30 Kompleks Masjid AlMunawaroh, Ciganjur, Jakarta Selatan.12630 Telp. (021) 786 6960. Email: puanamal@cbn.net.id
Swara Rahima -5
FOKUS
Ketika Seksualitas Jadi Isu Publik Seksualitas sering dianggap urusan pribadi. Tapi, dalam kenyataannya, ia tak jarang justru menjadi urusan publik. Ketika seksualitas menjadi isu publik, ia menjadi obyek yang mudah diintervensi dari luar, mulai dari struktur sosial, norma-norma budaya, agama hingga negara.
P
Swara Rahima
ersoalan seksualitas menjadi semakin kom pleks karena masyarakat menganggapnya tabu untuk dibicarakan secara terbuka. Justru karena tabu inilah berbagai persoalan seksualitas bukan semakin jelas, tapi justru kian tersembunyi dengan berbagai kepentingan di dalamnya. Menurut Ratna Batara Munti (Suara Apik, edisi 12 tahun 2000), seksualitas ditabukan sebagai bahan pembicaraan publik bukan semata-mata karena ia membicarakan hal-hal yang sangat pribadi, tetapi terutama karena pembicaraan mengenai seksualitas dapat menyadarkan orang tentang tatanan sosial seksualitas yang diskriminatif, eksploitatif dan oppressif. Celakanya, seksualitas hanya dipahami sebagai isu biologis dan hubungan seks semata; hubungan seks yang dimaksudkan pun direduksi lagi menjadi hanya pada hubungan badan antara laki-laki dan perempuan (heteroseksual). Padahal, seksualitas jauh lebih luas dari sekadar persoalan biologis, apalagi hanya urusan hubungan badan. Seksualitas mencakup seluruh kompleksitas emosi, perasaan, kepribadian, sikap dan bahkan watak sosial, berkaitan dengan perilaku dan orientasi atau preferensi seksual (Munti, 2000). Akibat tabu itulah, pemahaman seksualitas mengalami reduksi bahkan distorsi. Bisa dipahami jika wacana seksualitas selama ini tidak paralel dengan perkembangan seksualitas sendiri yang terus berkembang.
Dua Pendekatan Ada dua pendekatan yang selama ini dipakai untuk memahami seksualitas. Julia I Suryakusuma (Prisma, Juli 1991) menyebut pendekatan esensialis dan non-esensialis. Pendekatan esensialis,
66-Swara Rahima
menurut Suryakusuma, mereduksi seksualitas sekadar dorongan alamiah-biologis yang hadir sebelum adanya kehidupan sosial. Seksualitas dikonsepsikan sebagai kekuatan instingtif (naluriah) yang menggerakkan dan menguasai individu dalam kehidupan pribadi maupun sosial. Jika kekuatan ini tidak disalurkan ke dalam ekspresi seksual yang langsung, maka ia akan muncul sebagai kelainan kejiwaan atau neurosis. Selain itu, seksualitas juga dianggap sebagai dorongan yang sifatnya maskulin dan heteroseksual. Sedangkan pendekatan non-esensialis beranggapan bahwa pemahaman seksualitas tidak dapat direduksi ke dalam dorongan naluriah yang ada sejak lahir. Mengutip J.H Gagnon dan William Simon, Suryakusuma mengatakan, seksualitas dipengaruhi oleh suatu proses pembentukan sosial budaya yang melampaui aspek-aspek pembentukan lain dari perilaku manusia. Pendekatan ini beranggapan bahwa seksualitas adalah hasil bentukan (konstruksi) sosial budaya. Definisi “normal” dan “abnormal”, menurut Suryakusuma, merupakan pendefinisian sosial, seperti halnya “homoseksual”, “banci”, “wadam”, dan lain-lain yang semuanya merupakan mekanisme kontrol. Pendefinisian ini, lanjut Suryakusuma, senada dengan mekanisme kontrol terhadap orang-orang yang dicap “nakal”, “berdosa”, “pezinah”, “gila”, “sakit”, “patologis”, yang semuanya bisa diatur dan dihukum menurut norma sosial yang berlaku dan menurut siapa yang berkuasa pada suatu kurun waktu. Dalam setiap budaya, seksualitas manusia diarahkan dan bahkan kadang diberi struktur yang sangat kaku. Kultus keperawanan, konsep aurat, perkawinan, paham-paham kepantasan pergaulan
No. 5 Th. II, Juli 2002
FOKUS
Seks, Gender dan Seksualitas Ada tiga istilah yang penggunaannya hampir sama dan bahkan kadang tumpang tindih, yakni seks, gender dan seksualitas. Ketiga istilah ini memang memiliki beberapa kesamaan. Dan kesamaan yang paling menonjol adalah bahwa ketiganya membicarakan mengenai “jenis kelamin”. Perbedaannya adalah pada titik tekan masing-masing istilah tersebut. Seks lebih ditekankan pada keadaan anatomis manusia yang kemudian memberi “identitas” kepada yang bersangkutan. Seseorang yang memiliki anatomi penis disebut laki-laki. Sedangkan orang yang memiliki anatomi vagina disebut perempuan. Karena penekanannya lebih pada hal-hal yang bersifat anatomis, maka seks kemudian sering dimaknai sempit sebagai hubungan badan antara laki-laki dan perempuan. Berbeda dengan seks yang menekankan aspek fisik dan anatomis, gender lebih ditekankan pada aspek sosial. Jika seks adalah jenis kelamin fisik, maka gender adalah “jenis kelamin sosial” yang identifikasinya bukan karena secara kodrati sudah given (takdir Tuhan), tetapi lebih karena konstruksi sosial. Satpam dan sekretaris adalah dua contoh ekstrim mengenai gender. Posisi satpam yang selalu diisi oleh laki-laki telah memberikan semacam jenis kelamin kepada posisi tersebut. Seolaholah jenis kelamin satpam adalah laki-laki. Padahal
No. 5 Th. II, Juli 2002
tidak semua satpam laki-laki. Demikian juga dengan sekretaris yang diidentikkan dengan perempuan. Jabatan ini seolah-olah berjenis kelamin perempuan, bukan karena jabatan sekretaris memang “ditakdirkan” berjenis kelamin perempuan, tetapi lebih karena masyarakatlah yang “membentuk” jenis kelamin tersebut. Berbeda dengan seks dan gender, seksualitas lebih luas lagi maknanya. Ia mencakup tidak hanya seks, tapi bahkan kadang juga gender. Perbedaan penting antara seksualits dengan seks dan gender terletak pada orientasinya. Jika seks berorientasi fisik-anatomis dan gender berorientasi sosial, maka seksualitas adalah kompleksitas dari dua jenis orientasi sebelumnya, mulai dari fisik, emosi, sikap, bahkan moral dan norma-norma sosial. Jika seks mendefinisikan jenis kelamin fisik hanya pada “jenis” laki-laki dan perempuan dengan pendekatan anatomis, maka seksualitas berbicara lebih jauh lagi, yakni adanya bentuk-bentuk lain di luar itu, termasuk masalah norma. Dalam kenyataan, norma-norma sosial kita menghendaki bahwa emosi, perilaku dan orientasi sesual seseorang harus sesuai dengan ketentuan masyarakat secara umum. Jika laki-laki, maka harus berpasangan dengan perempuan, demikian juga sebaliknya. Inilah yang disebut norma heteroseksual. Namun, yang berlaku di masyarakat tidak hanya norma heteroseksual, tapi juga homoseksual, biseksual dan aseksual (lihat, Opini, hlm. 15). Dalam masyarakat muslim, fenomena homoseksual dan termasuk lesbianisme sebetulnya bukan tidak pernah terjadi. Gejala itu misalnya terlihat di kalangan masyarakat pesantren. Hanya saja, gejala ini tidak dibicarakan secara terbuka bahkan cenderung ditutup-tutupi. Ada banyak model hubungan yang dilakukan oleh para santri. Biasanya mereka menyebutnya meiril (ini adalah istilah yang dipakai di kitab-kitab fiqh klasik yang artinya homo atau lesbi) atau menggunakan sebutan Ade Is (adik istimewa) atau Kakak Is (kakak istimewa).Tidak jarang misalnya salah satu dari mereka memberikan hadiah pada pasangan yang berulang tahun atau mendapatkan kesenangan sebagai bentuk rasa sayang mereka. Misalnya seorang yang alim banyak “disukai” oleh teman-temannya namun dia sendiri “menyukai” seniornya yang pintar, alim dan bijaksana. Model lain dari hubungan Ade Is dan Kakak Is bisa pada tingkat yang lebih jauh yaitu untuk menyalurkan hasrat seksualnya. Pada tingkat inilah bisa dipastikan bahwa kalau
Swara Rahima
lelaki dan perempuan, larangan terhadap seks di luar nikah, incest dan homoseksualitas semuanya merupakan regulasi seksualitas. Dalam tatanan masyarakat partiarkis, konstruksi sosial budaya atas seksualitas digunakan sebagai alat untuk mempertahankan kekuasaan dan dominasi laki-laki atas perempuan. Dominasi ini terlihat dari sikap masyarakat yang menempatkan seksualitas perempuan tak lebih sebagai pemuas hasrat seksual laki-laki di satu sisi dan alat untuk melanjutkan keturunan di sisi lain. Perempuan seolah-olah tidak memiliki kedaulatan terhadap seksualitasnya sendiri. Pendekatan kedua ini dijadikan perspektif oleh kalangan aktivis perempuan untuk membongkar akar masalah penindasan perempuan, khususnya dalam masalah seksual. Sebab, dengan perspektif kritis inilah, masalah seksualitas perempuan diletakkan tidak dalam posisi pasif dan hanya sebagai subordinat laki-laki, tetapi lebih diposisikan sebagai subyek yang aktif dan punya hak yang sama dengan laki-laki dalam masalah seksualitas.
Swara Rahima -7
FOKUS ketahuan mereka akan mendapatkan sanksi yang tegas dari pengasuh pesantren. Bahkan bisa-bisa dikeluarkan dari pesantren. Sedangkan relasi Ade Is dan Kakak Is sebagai bentuk ekspresi cinta tidak mendapatkan sanksi apapun karena tetap dianggap bukan lesbian. Bagi sebagian besar penghuni pesantren, yang dinamakan lesbian adalah pasangan sejenis yang mengarah pada pemenuhan hasrat seksual. Makanya ketika isu lesbian ini marak di Indonesia mereka menolak mentah-mentah, karena kenyataannya prilaku mereka tidak masuk dalam kategori lesbian. Pembicaraan mengenai seksualitas di dalam masyarakat selama ini memang tidak mengalami perkembangan yang berarti, karena masalah di seputar seksualitas telah ditabukan sedemikian rupa, sehingga masalah seksualitas yang terus berkembang tidak sebanding dengan upaya memahaminya secara lebih lengkap dan konprehensif.
Swara Rahima
Dari Privat ke Publik Perkembangan seksualitas seperti yang kita saksikan sekarang ini sebetulnya adalah hasil dari pasang surut perkembangan sebelumnya. Michel Foucault dalam Seks dan Kekuasaan (1997) memberikan gambaran menarik mengenai pasang surut ini. Pada awal abad ke-17, konon, menurut Foucault, masih berlaku keterbukaan tertentu. Kegiatan seksual tidak ditutup-tutupi. Kata-kata dan halhal yang menyangkut seks tidak disamarkan. Namun keterbukaan semacam itu tidak berlangsung lama. Seksualitas kemudian dipingit rapi. Dirumahtanggakan.Suami istri menyitanya dan membenamkan seluruhnya dalam fungsi reproduksi yang hakiki. Orang tidak lagi berani bicara seks. Pasangan yang sah dan pemberi keturunan menentukan segalanya. Ia muncul sebagai model, mengutamakan norma, memegang kebenaran, mempunyai hak bicara dengan tetap memelihara asas kerahasiaan. Kesimpulannya, kata Foucault, segala sesuatu yang tidak diatur untuk membangun keturunan dan yang tidak diidealkan berdasarkan tujuan yang sama, tidak lagi memiliki tempat yang sah dan juga tidak boleh bersuara; diusir, disangkal dan ditumpas sampai hanya kebungkaman yang tersisa. Sekitar abad ke-19, bidang hukum yang sebelumnya hanya mengurusi seksualitas yang â&#x20AC;&#x2DC;melawan kodratâ&#x20AC;&#x2122; mulai berubah dengan mulai munculnya peradilan untuk
88-Swara Rahima
mengadili masalah kesusilaan warga. Maka pengaturan dan pengekangan terhadap seksualitas pun mulai dilakukan secara lebih sistematis; dan semua itu terus berlangsung hingga saat ini. Munculnya pengaturan dan pengekangan itu sebetulnya aneh, karena di satu sisi seksualitas diperlakukan sebagai urusan privat yang tidak boleh diintervensi apapun atau siapapun, juga tidak perlu diperbincangkan di tingkat publik karena seksualitas adalah tabu. Namun, di sisi lain, ia diperlakukan sebagai isu publik yang harus diatur melalui sistem hukum lengkap dengan sanksi-sanksi tidak hanya moral, tapi juga fisik-material, seperti hukum rajam dalam kasus Islam atau bentuk-bentuk hukuman fisik lainnya di beberapa tempat yang berbeda. Pengaturan dan pengekangan itu sekaligus menandai era baru seksualitas yang tidak lagi sekadar menjadi isu privat seperti sebelumnya, tapi sekaligus juga menjadi isu publik. Seseorang tidak lagi berdaulat terhadap seksualitasnya sendiri. Yang lebih parah tentu saja perempuan. Karena obyek dari pengaturan dan pengekangan itu lebih ditujukan kepada perempuan ketimbang laki-laki. Modernitas dan Seksualitas Perempuan Ironisnya, perkembangan modernitas ternyata tidak banyak membantu mengembalikan otonomi seksualitas perempuan. Jika sebelumnya pengaturan dan pengekangan seksualitas perempuan dilakukan oleh kekuatan simbolik (norma-norma sosial, budaya, agama) dan kekuatan represif (negara), maka dalam negara modern, perempuan juga â&#x20AC;&#x153;ditundukkanâ&#x20AC;? oleh modernitas itu sendiri melalui kapitalisme sebagai kaki tangannya. Priyo Soemandoyo (2001) menunjukkan dalam penelitiannya mengenai citra seksualitas perempuan di media massa, betapa perempuan bukan saja dijadikan alat oleh industri media dan pemilik modal untuk memasarkan beragam produknya, tetapi bahkan tak jarang justru dilecehkan dalam proses-proses itu. Media massa, baik cetak maupun elektronik, hanya salah satu dari sekian banyak contoh eksploitasi seksualitas perempuan. Ini membawa dampak-dampak yang serius bagi meluasnya obyektifikasi perempuan, perempuan hanya menjadi obyek. Padahal, sebagai manusia, perempuan seharusnya juga ditempatkan sebagai subyek yang bermartabat. D (Gus/Ruby)
No. 5 Th. II, Juli 2002
Merayakan Seksualitas Perempuan
Swara Rahima
FOKUS
“Seseorang tidak akan sampai pada cinta Tuhan yang sejati, sebelum merasakan cinta yang sejati terhadap (dari) perempuan”. Ujaran yang cukup terkenal di kalangan sufi cinta [tashawwuf al-’ishq] ini, mengisyaratkan betapa agungnya perempuan. Cinta Tuhan hanya didapat dengan cinta perempuan. Tetapi di saat yang sama ia mencitrakan perempuan sebagai obyek cinta, bukan yang sebaliknya. Perempuan itu dicintai, disayang dan dilindungi untuk tidak mengatakan dikontrol. Bukan sebaliknya.
U
jaran ini, yang lebih tepat dikatakan sebagai pemeo, sangat mudah dicari padanannya dalam pemikiran keagamaan, dari semua agama termasuk Islam. Perempuan diagungkan, tetapi di saat yang sama dinistakan dengan dijadikan obyek atas berbagai kepentingan di luar dirinya. Dalam hal seksualitas, ‘agama’ tidak memberikan hak kepada perempuan sebagai mahluk yang independen, atau setidaknya sama seperti laki-laki. Baik seksualitas perempuan dalam maknanya sebagai identitas diri (self identity), tindakan seks (sex action), perilaku seksual (sexual behavior), maupun orientasi seksual (sexual orientation). Salah satu contoh, dalam pemikiran fikih ada perbedaan pandangan apakah seorang isteri memiliki hak untuk menikmati (baca: meminta) hubungan seks dari suami. Bahkan ada pandangan bahwa suami tidak berkewajiban melayani keinginan seksualitas isteri. Berbeda dengan hasrat suami yang jika tidak dilayani oleh isteri maka sang isteri akan dilaknat oleh malaikat, seksualitas perempuan hanyalah pelengkap dari seksualitas laki-laki. Ia hanya ada bagi kepentingan di luar dirinya. Ia harus dikontrol, bahkan disembunyikan dan dipendam karena bisa mengancam kepentingan-kepentingan yang lain. Berawal dari Khitan Ketika khitan perempuan dianggap sebagai perbuatan mulia, ia sebetulnya telah menjadi awal dari kontrol terhadap seksualitas perempuan. Perempuan tidak memiliki hak atas seksualitasnya.
No. 5 Th. II, Juli 2002
Padahal dalam analisis dalil [argumentasi], seperti dikatakan oleh Ibn Hajar al-’Asqalani, AsySyawkani, Muhammad Syaltut, Sayyid Sabiq, Wahbah Az-Zuhaili dan Anwar Ahmad, tidak ada satupun teks hadis yang valid [shâhih] sebagai dasar hukum khitan perempuan. Tetapi ulamaulama madzhab bersikeras menyatakan bahwa khitan perempuan setidaknya adalah perbuatan mulia, untuk tidak mengatakan wajib seperti yang dinyatakan oleh mazhab Syafi’I (Lihat: al-‘Asqallani, Fath al-Bari, 1993: XI/530. Asy-Syaukani, Nayl alAuthar, I/138. Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, 1987: I/ 36 dan az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami, 1989: III/642). Argumentasi yang diajukan untuk mendukung syari’at [perbuatan] khitan, semuanya mengarah kepada khitan laki-laki. Khitan sebagai ajaran yang baik [millah] yang dilakukan oleh Nabi Ibrahim atas dirinya, adalah khitan laki-laki. Juga argumentasi bahwa khitan akan memudahkan membersihkan sisa kotoran (baca: air kencing) dari kelamin, membuat seseorang secara medis menjadi lebih sehat, menambah kenikmatan dan memperlama hubungan intim seseorang. Semua ini adalah argumentasi bagi mendukung khitan laki-laki, bukan khitan perempuan. Sebaliknya, khitan pada perempuan tidak ada kaitannya dengan kebersihan kelamin, atau menjadi lebih sehat. Justru bisa menjadi sangat negatif dari sudut kebutuhan seksual karena akan mengurangi kenikmatan, bahkan bagi sebagian perempuan bisa menimbulkan trauma psikologis yang berat. Karena ujung klentit adalah organ seks perempuan yang cukup sensitif terhadap
Swara Rahima -9
FOKUS
Swara Rahima
gesekan dan rangsangan bagi kenikmatan seksual khitan itu hanya diperbolehkan jika mendatangkan perempuan. Dengan mengkhitan ujung klentit, kemaslahatan. Jika tidak, ia sama dengan melukai daerah erogen (sensitif) akan berpindah dari muka (baca: memotong) anggota tubuh yang hukum asal(clitorus) ke belakang (liang vagina). Rangsangan nya adalah haram (lihat: al-‘Asqallani, Ibid). perempuan akan berkurang, gairahnya lemah, dan susah memperoleh kenikmatan (orgasme) ketika Karena Tubuh Perempuan itu Fitnah hubungan kelamin. Apalagi praktik khitan yang samDalam pemikiran keagamaan banyak sekali pai memotong bibir kecil (labia minora), yang terjadi anjuran, berupa perintah dan larangan, yang hanya di beberapa tempat di Afrika, sering menimbulkan berkaitan dengan perempuan. Hanya karena identitrauma psikologis. Praktek ini membuat perempuan tas seksya adalah perempuan. Perempuan tidak tidak dapat menikmati hubungan seksual sama boleh keluar rumah tanpa alasan, tanpa ditemani sekali (lihat: Elga Sarapung, Agakerabat dekat [mahram], harus menutup rapat seluruh tubuhnya, ma dan Kesehatan Reproduksi, tidak diperkenankan berhias untuk 1999: 118). umum, diharamkan menyambung Ketika argumentasi teks tidak Khitan perempuan rambut, mencukur alis, mengada, maka pemuliaan khitan petidak memiliki dasar gambar di tubuhnya, bersuara lanrempuan oleh agama, hanya bisa teks yang valid, tang, memimpin (menjadi imam) dipahami melalui paradigma pengalasan medis yang shalat, diharuskan berkabung atas ontrolan seksualitas perempuan. kuat dan tidak sesuai kematian suami selama empat Agama ikut mengontrol seksualidengan rasionalitas bulan sepuluh hari dan perintahtas perempuan. Mulai dari ajaran kesetaraan relasi lakiperintah lain yang hanya ditujukan kesucian (baca: keperawanan) pelaki dan perempuan, kepada perempuan.Tumpukan perempuan yang harus dipertahanmaupun konsep rintah dan larangan ini bisa ditarik kan, bahkan harus memiliki tan‘mu’âsyarah bil benang merahnya pada pandangda kesucian (baca: selaput dara) an ‘figur perempuan sebagai pengpada awal perkawianan. Untuk itu, ma’rûf’ dalam goda’. Dalam bahasa fikihnya, sebaiknya ia tidak memiliki organ perkawinan. (tubuh) perempuan adalah fitnah yang mudah terangsang, sehingdan seksualitasnya mengancam ga tidak mudah tergoda dan tergelincir dalam kenistaan yang merusak kesuciaanya. [dharar] stabilitas sosial keagamaan umat. Di satu sisi, kekhawatiran terhadap fitnah ini Sebagai istri ia harus siap melayani kebutuhan seksual suami kapan saja, sementara ia sendiri memicu lahirnya aturan-aturan yang mengekang tidak dianjurkan meminta kepada suaminya, apalagi kebebasan perempuan, di sisi lain menghargai pemenuntut kepuasan dan kenikmatan seksual. Pe- rempuan hanya sebatas orientasi fitnah, dengan rempuan juga harus siap menerima perlakuan poli- makna-maknanya yang erotis dan sensual. Dalam gami dari suaminya yang menuntut kesiapan psi- kitab ‘Uqûd al-Lujayn, Syeikh Nawawi (1230-1314H/ kologi agar tidak agresif dalam kehidupan seksual. 1813-1897M) menyitir sebuah hadis: “Perempuan Untuk tujuan itu semua, setiap komponen budaya adalah perangkap bagi setan (untuk menggoda harus mengkondisikan perempuan agar siap manusia). Andaikata syahwat (baca: libido) ini tidak menerima beban di atas, diantaranya dengan men- ada, niscaya perempuan tidak punya kuasa (baca: dukung praktik khitan perempuan yang akan meng- posisi) di mata pria”. (lihat: FK3, Wajah Baru Relasi arah kepada kepasifan seksualnya. Tepatnya me- Suami Isteri, 2001, 154). Karena itu, kriteria peremngontrol seksualitas perempuan untuk kepentingan puan yang baik [shâlih] tidak terlepas dari penilaian sejauh mana ia bisa mengecilkan potensi-potensi seksualitas laki-laki. Khitan perempuan tidak memiliki dasar teks fitnah itu di hadapan masyarakat, di saat yang sama yang valid, alasan medis yang kuat dan tidak sesuai ia bisa menawarkan fantasi fitnah tersebut di hadapdengan rasionalitas kesetaraan relasi laki-laki dan an suaminya. Seperti yang disebut dalam hadis perempuan, maupun konsep ‘mu’âsyarah bil ma’rûf’ shahih bahwa: “Perempuan yang shalih adalah dalam perkawinan. Karena itu, atas nama agama perempuan yang jika dilihat oleh kamu (suami) dan kemaslahatan, khitan seharusnya tidak bisa menyenangkan, jika diperintah bersedia melaklagi dilanjutkan. Dalam pandangan Al-Mawardi, sanakan, jika ditinggalkan mau menjaga dirinya dan
1010-Swara Rahima
No. 5 Th. II, Juli 2002
FOKUS
No. 5 Th. II, Juli 2002
layanan selama perkawinan. Alasannya, layanan seksual dari suami itu tergantung hasrat seks darinya. Hasrat seks tidak bisa dipaksakan, atau ditentukan dengan batasan-batasan waktu. Apalagi hasrat seks laki-laki tidak bisa dan tidak boleh dipaksakan. Laki-laki yang tidak berhasrat, penisnya tidak bisa ereksi, sehingga tidak mungkin melayani kebutuhan isterinya. Potensi fitnah dianggap -oleh pemikiran keagamaan- secara inheren melekat pada perempuan. Domestifikasi perempuan, lahir dari anjuran perlindungan masyarakat dari fitnah perempuan. Dalam sebuah riwayat hadis: “Setiap perempuan yang keluar rumah, akan diikuti setan sambil menghembuskan bisikan: goda ini, bujuk itu. Dalam setiap langkahnya lahir setan-setan penggoda. Dalam setiap ayunan tangannya keluar setan-setan penyesat”. “Shalatmu di rumahmu lebih baik dari shalatmu di mushalla kampungmu, dan shalatmu di mushalla kampungmu lebih baik dari shalatmu di masjidku (Nabi)” (Riwayat Ahmad, VI/371). Bahkan diriwayatkan: “Shalat perempuan yang paling dicintai Allah, adalah di tempat yang paling gelap di dalam rumahnya” (Riwayat Ibn Khuzaimah, atTarghib, I/227 dan al-Baihaqi, III/131). Karena kekhawatiran fitnah perempuan yang akan merusak tatanan masyarakat, perempuan tidak disarankan untuk keluar rumah tanpa keperluan. Kalaupun harus keluar, sebisa mungkin tidak sendirian. Karena kehadiran tubuh perempuan di tengah masyarakat dengan sendirinya menggoda mereka. Masyarakat akan terangsang, tergoda dan mungkin bangkit melakukan sesuatu terhadap tubuh perempuan. Anjuran tidak keluar rumah terhadap perempuan, disamping melindungi masyarakat dari fitnah tubuhnya, juga melindunginya dari fitnah dirinya yang ditimbulkan terhadap mereka. Pemikiran keagamaan yang cenderung melarang perempuan untuk memimpin shalat, memegang jabatan publik, maupun memimpin negara, juga banyak dipengaruhi stigma ‘perempuan adalah fitnah’. Dalam pemikiran ini, kehadiran tubuh perempuan di depan jama’ah shalat, dikhawatirkan akan mengganggu kekhusyu’an dan membuyarkan konsentrasi mereka dalam menghadap Allah. Tubuhtubuh perempuan juga tidak diharapkan duduk dalam jabatan-jabatan publik, karena kehadirannya hanya akan menggoda masyarakat dan memalingkan perhatian mereka dari tugas-tugas yang semestinya mereka kerjakan. Seksualitas perempuan, dalam pemikiran keagamaan dianggap fitnah
Swara Rahima
harta suaminya” (Hadis Riwayat Abu Dawud dan Nasa’i, lihat: FK3: Op. Cit, hal. 47-48). Identitas perempuan ada pada fitnah (baca: sensualitas) tubuhnya. Dalam relasi suami isteri menurut fikih, kewajiban isteri hanyalah memberikan kesempatan [tamkîn] bagi suami untuk menikmati tubuhnya. Kapan saja suami berkeinginan dan di mana saja. “Ketika suami mengajaknya berhubungan intim, isteri harus memenuhinya sekalipun ia sedang di dapur atau di punggung unta”, dalam suatu hadis yang diriwayatkan at-Turmudzi Turmudzi (Sunan Turmudzi, no. hadis, 1160, III/465). Bahkan: “Ketika suami mengajaknya berhubungan intim, kemudian ia menolaknya, sehingga suami tidur dengan penuh kegundahan, ia dilaknat oleh para malaikat sampai pagi”, riwayat al-Bukhari (Shahih Bukhari, no. hadis: 3065 dan 4898). Dalam suatu riwayat, Rabi’ah al-‘Adawiyyah setiap malam selalu berhias, memakai pakaian yang indah, menyemprotkan wewangian ke tubuhnya, lalu menawarkan dirinya ke suaminya. “Silahkan, aku persembahkan tubuhku untukmu”. Jika suami tidak berminat, ia lepas semua pakaian indahnya, ia cuci tubuhnya dari wewangian, lalu menghadap Allah Swt. Ia mendirikan sembahyang dan berdzikir sepanjang malam (lihat: FK3: Op. Cit. 181-182). Demikian tugas inti perempuan; mempersiapkan tubuhnya untuk dinikmati suaminya. Perempuan itu fitnah, yang dinilai darinya adalah fantasi fitnahnya. Karena ia fitnah yang akan menggiurkan orang lain, ia harus dijinakkan sejak di dalam rumah, sebelum kemudian dijinakkan oleh aturan dan norma-noram sosial. Fitnah (baca: hasrat seks perempuan) yang dijinakkan ini, pada akhirnya dianggap sebagai sebuah kenyataan. Bahwa seksualitas perempuan itu sudah terjinakkan atau pasif, tidak seperti laki-laki yang agresif. Karena kepasifannya, perempuan tidak memliki hak untuk mengaktualisasikan hasrat seksualitasnya. Bahkan dalam relasi suami-isteri, hasrat seksual perempuan diukur tidak dari dalam dirinya. Hasrat seksualnya diukur dari kesanggupan dan kemungkinan waktu yang dimiliki laki-laki. Dalam fikih, ada beragam pendapat tentang hak perempuan untuk memperoleh layanan seksual dari suaminya. Ada yang mengatakan sekali dalam empat hari, dengan asumsi seorang laki-laki memiliki empat isteri dan setiap isteri berhak giliran satu malam. Ada yang mengatakan satu bulan sekali, ada yang empat bulan sekali dan ada yang menyatakan bahwa isteri hanya berhak menuntut satu
Swara Rahima -11
FOKUS yang membahayakan. Baik terhadap dirinya, maupun orang lain. Dalam peringatan yang dinyatakan oleh Nabi: “Tidak sekali-kali aku tinggalkan suatu fitnah yang paling membahayakan diri kalian, selain fitnah perempuan”. (Riwayat al-Bukhari, no. hadis:4808). Dalam riwayat Abu Hurairah lebih tragis lagi: “Sumber kesialan [syu’m] itu ada tiga: perempuan, rumah dan kuda”, (Riwayat Bukhari. Lihat: al-‘Asqallani, VI/150-152). Demikianlah, bangunan pemikiran keagamaan (baca: fikih) menyangkut relasi perempuan dengan dirinya, laki-laki pasangannya, atau dengan masyarakatnya, didirikan atas dasar pandangan bahwa perempuan adalah fitnah dan sumber kesialan.
Swara Rahima
fitnah, keburukan juga fitnah (QS. Al-Anbiya, 35), rasul adalah fitnah bagi kaumnya (QS. Ad-Dukhan, 49) dan kaumnya adalah fitnah baginya (QS. AlMaidah, 5: 49), orang kafir adalah fitnah bagi orang mukmin (QS. Al-Buruj, 85: 10) dan orang mukmin adalah fitnah bagi orang kafir (QS. Al-Mumtahanah, 60: 5), bahkan setiap orang adalah fitnah bagi yang lain, atau sebagian orang atas sebagian yang lain (QS. Al-An’am, 6:53 dan al-Furqan, 25: 20). Karena itu, fitnah tidak hanya melekat pada tubuh perempuan terhadap laki-laki. Tetapi juga melekat pada tubuh laki-laki terhadap perempuan. Pandangan alQur’an lebih proporsional bila dibandingkan teks hadis bahwa perempuan adalah fitnah yang paling membahayakan bagi lakiFikih ‘amanah’ versus fikih laki. Pandangan yang tanpa ada ‘fitnah’ timbal baliknya, bahwa laki-laki Fikih ‘relasi laki-laki Fikih ‘relasi laki-laki dan peremjuga fitnah bagi perempuan. Padadan perempuan’ puan’ yang dikembangkan atas hal, baik laki-laki terhadap peremyang dikembangkan dasar anggapan bahwa perempuan puan atau perempuan terhadap atas dasar anggapan itu fitnah, saat ini tidak layak lagi laki-laki keduanya sama-sama dilestarikan. Fitnah adalah kata memiliki potensi fitnah dan pada bahwa perempuan itu yang terkait dengan kondisi dan saat yang sama memiliki potensi fitnah, saat ini tidak situasi tertentu. Fikih fitnah munmaslahah. Stigma fitnah salah layak lagi cul dalam situasi sosial yang pesatu dari keduanya, tanpa satu dilestarikan. nuh dengan gejolak, kecurigaan, yang lain, adalah salah dan tidak ketakutan dan kewaspadaan. sesuai dengan perspektif alBiasanya, orang yang memiliki poQur’an. sisi paling lemah di masyarakat Karena itu, Aisyah ra menolak yang akan dikenakan banyak aturan, demi kewas- keras teks hadis yang diriwayatkan Abu Hurairah padaan dan perlindungan sosial. Dalam hal ini, pe- ra bahwa tubuh perempuan itu sumber kesialan. rempuan akan banyak dikontrol atas nama perlin- Katanya, tidak mungkin teks ini keluar dari mulut dungan daripada laki-laki. Saat ini, dalam masya- Rasul, suaminya. Iapun menyitir ayat: “Tiada benrakat kedamaian yang harus dikembangkan adalah canapun yang menimpa di muka bumi ini dan (tidak fikih ‘amanah’ bukan fikih ‘fitnah’. Dalam masya- pula) pada dirimu sendiri, melainkan telah tertulis rakat damai, format hukum -termasuk fikih- tidak dalam kitab sebelum Kami menciptakannya. lagi harus didasarkan pada kecurigaan atau keta- Sesungguhnya yang demikian itu mudah bagi Alkutan satu dari yang lain. Tetapi pada moralitas lah” (QS. Al-Hadid, 57: 22) (lihat: al-’Asqallani, Fath tanggung jawab, atau tepatnya fikih ‘amanah’. Yaitu al-Bari, VI/150-152). fikih yang mengembangkan norma-norma yang Dengan demikian, anjuran-anjuran keagamaan mendasar pada nilai-nilai tanggung jawab, keber- yang didasarkan pada ‘fitnah’ perempuan harus samaan dan saling pengertian dan penghargaan. dipahami substansi persoalannya dan konteks soYaitu fikih yang dibangun atas prinsip-prinsip ke- sialnya. Karena fitnah adalah kata yang sarat maslahatan bersama, keadilan, kerahmatan dan dengan muatan-muatan konteks temporer. Misalkebijaksanaan untuk semua. Seperti yang dinyata- nya, larangan perempuan keluar rumah tanpa kerakan Ibn al-Qayyim al-Jawzi (w. 751H). bat, harus dipahami sebagai bentuk perlindungan Berbeda dengan hadis yang secara sepihak perempuan bukan pengekangan atau pembatasan. menganggap perempuan sebagai fitnah, dalam al- Karena itu, ketika seorang sahabat menyampaikan Qur’an kata fitnah adalah muncul sebagai relasi kepada Nabi, bahwa isterinya pergi sendirian menutimbal balik. Di dalam al-Qur’an kebaikan adalah naikan ibadah haji, Nabi tidak melarang perempuan
1212-Swara Rahima
No. 5 Th. II, Juli 2002
FOKUS
Seksualitas Perempuan yang Maslahah Karena argumentasi fikih fitnah yang tidak lagi kuat, saat ini fikih yang harus dikembangkan adalah fikih kesetaraan relasi laki-laki dan perempuan. Sehingga, seksualitas perempuan harus diletakkan pada proporsi yang sebenarnya. Kesempatan harus diberikan kepada perempuan untuk mengartikulasikan seksualitasnya, sama seperti kesempatan yang diberikan kepada laki-laki. Karena perempuan dan laki-laki diciptakan dari entiti [nafs] yang sama (QS. An-Nisa, 4: 1), memiliki hasrat seksual, keinginan hidup, cita-cita dan angan-angan yang tidak jauh berbeda. Kehidupan yang baik [hayâtan thayyibah] hanya bisa dibangun dengan kebersamaan laki-laki dan perempuan dalam kerja-kerja positif [‘amalan shâlihan](QS. An-Nahl, 16:97). Dalam relasi suami-isteri, fikih yang dikembangkan harus tidak didasarkan pada hegemoni dan diskriminasi satu pihak pada yang lain. Tetapi pada prinsip-prinsip; [1] kerelaan kedua belah pihak dalam kontrak perkawinan [tarâdlin] (QS. AlBaqarah, 2: 232-233), [2] tanggung jawab [alamânah] (QS. An-Nisa, 4: 48), [3] independensi ekonomi dan politik masing-masing (QS. AlBaqarah, 2: 229 dan an-Nisa, 4: 20), [4] kebersamaan dalam membangun kehidupan yang tentram [as-sakînah] dan penuh cinta kasih [al-mawaddah wa ar-rahmah] (QS. Ar-Rum, 30:21), [5] perlakuan yang baik antar sesama [mu’âsyarah bil ma’rûf] (QS. An-Nisa, 4:19), [6] berembug untuk menyelesaikan persoalan [musyâwarah] (QS. Al-Baqarah, 2:233, Ali ‘Imran, 3:159 dan Asy-Syura, 42:38) [7] dan menghilangkan ‘beban ganda’ dalam tugastugas seharian [al-ghurm bil ghunm]. Prinsip-prinsip ini menuntut keadilan dan kesetaraan dalam segala hal. Misalnya dalam hal menikmati fantasi seksual, perempuan memiliki hak penuh atas kenikmatan-kenikmatan seksual. Sehingga, ketika khitan laki-laki dilakukan untuk kemaslahatan (baca: kesehatan dan kenikmatan biologis) yang kembali kepada dirinya, maka khitan perempuan juga harus dihentikan demi kemaslahatan bagi diri perempuan. Bahkan harus diharamkan, karena ternyata melemahkan seksualitas perempuan sepanjang hidupnya. Dalam realitas medis, perempuan yang tidak dikhitan lebih mudah terangsang dan lebih mudah memperoleh kenikmatan seksual, jika dibandingkan dengan perempu-
No. 5 Th. II, Juli 2002
an yang dikhitan. Pengontrolan terhadap seksualitas perempuan harus dihentikan juga pen-subordinasiannya terhadap seksualias laki-laki. Karena ia tidak sesuai dengan prinsip-prinsip kesetaraan, keadilan dan kemaslahatan. Seksualitas perempuan tidak lagi harus diukur dari luar dirinya. Karena itu, sesuai dengan konsep ‘mu’âsyarah bil ma’rûf’’ layanan seksual adalah hak bersama antar suami-isteri. Kenikmatan seksual juga hak bersama, sehingga hubungan intim bukanlah suatu mu’âsyarah yang ma’rûf jika hanya memuaskan satu pihak dan mengecewakan pihak lain. Dalam pandangan fikih Maliki, melayani kebutuhan seksual isteri adalah wajib. Sama wajibnya bagi isteri untuk melayani kebutuhan seksual suami. Kewajiban ini tentu saja relatif tergantung kondisi kedua belah pihak dan selama tidak mengakibatkan keburukan kepada keduanya. Demi kadilan dan kemaslahatan, orientasi fikih dalam hal kasus perkosaan harus memihak kepada korban, yaitu perempuan. Fikih semestinya tidak lagi menganggap seksualitas perempuan sebagai penyebab terjadinya perkosaan, sehingga kasus perkosaan tidak menjadi berbalik kepada perempuan. Fikih diharapkan bisa memunculkan moralitas perlindungan, pelayanan dan tanggung jawab terhadap korban. Sehingga hukum aborsi bagi perempuan korban perkosaan harus dikaitkan dengan semangat perlindungan dan pelayanan. Dengan demikian, perempuan tidak lagi takut dengan seksualitasnya sebagai perempuan. Kecenderungan traumatis juga bisa diminimalisir dari kejiwaan perempuan korban perkosaan. Fikih juga dituntut kearifannya dalam memandang persoalan-persoalan seksual dalam tataran realitas. Misalnya dalam hal orientasi seksual, perilaku yang secara normatif “dipersalahkan” seperti lesbianisme, tidak hanya disalah-salahkan. Yang lebih penting lagi, menumbuhkan pribadi-pribadi yang bertanggung jawab [amanah] dalam berperilaku seksual. Baik tanggung jawab terhadap diri sebagai pelaku, pasangan, maupun masyarakat. Dengan demikian perilaku seksual yang sehat harus dipentingkan. Sehat dalam arti sehat moral, sehat biologis dan psikologis. Fikih ‘amanah’ adalah fikih yang menebarkan sikap bertanggung jawab dalam hal seksualitas, bukan yang memasang ketakutan-ketakutan di setiap sudut kehidupan. Seksualitas harus dibuka, untuk dipertanggung jawabkan, bahkan harus disyukuri.
Swara Rahima
tersebut. Nabi balik menyarankan kepada sahabat tersebut: “susullah dan temani isterimu”.
Swara Rahima -13
FOKUS
Swara Rahima
Dalam suatu seminar, Indriani Bone, seorang teolog perempuan, menyatakan bahwa seksualitas perempuan harus dirayakan (baca: disyukuri). Karena ia terkait langsung dengan reproduksi manusia. Hanya perempuan yang diberikan amanah dari Tuhan untuk mengemban tanggung jawab dan beban reproduksi. Dari tubuh perempuanlah lahir manusia-manusia, awal dari sebuah peradaban. Tanpa manusia, tidak akan ada peradaban. Seksualitas, bagi perempuan, adalah bagian dari rencana-Nya yang harus disyukuri, diafirmasi dan dirayakan. Bukan ditabukan, apalagi dianggap najis. Karena itu, masyarakat harus bertaubat dari pandangan-pandangan yang seksis dan misoginis terhadap seksualitas perempuan. Dalam teologi Islam kondisi sosial yang misoginis merupakan
bentuk otoriterianisme kekuasaan yang harus diruntuhkan. Dalam bahasa hadis, menyatakan kebenaran di hadapan kekuasaan yang otoriter adalah sebaik-baik jihad [afdhal al-jihâd al-qawl alhaqq amâm sulthân jâ’ir]. Dengan kata lain, mendaulatkan seksualitas perempuan dalam kondisi yang otoriter terhadap kedaulatannya adalah perbuatan terpuji. Saatnya seksualitas perempuan tidak lagi dikorbankan untuk kepentingan di luar dirinya. Karena pada prakteknya, akan mengakibatkan ketimpangan-ketimpangan sosial yang berakibat buruk pada semua. Dalam Islam, semua keburukan dan kerusakan harus disingkirkan dan dilenyapkan [lâ dharara wa lâ dhirâr]. D Faqihuddin Abdul Kodir
g n i a g t n a L Ten a u u pu t Sa uk em B er P “Tubuh, Seksualitas dan Kedaulatan Perempuan” (Bunga Rampai Pemikiran Ulama Muda) Karya: Abdul Moqsit Ghazali, Badriyah Fayumi, Marzuki Wahid, dan Syafiq Hasyim. DAPATKAN DI RAHIMA Jl. Pancoran Timur IIA No. 10 Perdatam Jakarta Selatan Telp./Fax. 021-7984165 Telp. 021 - 798 2955 Email:rahima2000@cbn.net.id Website: www.rahima.or.id atau di toko-toko buku terdekat.
1414-Swara Rahima
No. 5 Th. II, Juli 2002
Tentang Seksualitas:
Masyarakat Sering Menggunakan Standar Ganda Wawancara dengan Sita Aripurnami Seksualitas sering dianggap barang tabu yang “haram” dibicarakan. Namun secara sembunyi-sembunyi ia justru sering dicari dari buku-buku stensilan, novel-novel kacangan, mitos-mitos maupun legenda yang berkembang dalam tradisi kita. Masyarakat seringkali menggunakan standar ganda: ia dipandang sebagai “hak” dan “kekuasaan” bagi laki-laki, tapi “petaka” dan “aib” bagi perempuan. Bagaimana cara yang lebih adil dan realistis memandang seksualitas lelaki dan perempuan? Berikut wawancara A.D. Kusumaningtyas dari Swara Rahima dengan Sita Aripurnami, ibu dari 4 orang anak lulusan London School of Economic yang turut membidani lahirnya Kalyanamitra – sebuah LSM perempuan yang cukup berpengaruh di Indonesia. Sebagai awal pembicaraan, bisa Anda ceritakan masalah seksualitas dan pandangan masyarakat terhadap seksualitas perempuan. Menurut saya seksualitas bukan hanya milik perempuan, tetapi laki-laki juga. Seksualitas sebetulnya berkaitan dengan bagaimana diri setiap manusia itu dimaknai sebagai seorang laki-laki atau perempuan. Ini kemudian berhubungan dengan apa yang disebut sebagai organ seksual. Laki-laki dengan alat kelaminnya yang disebut penis dan perempuan dengan vagina. Di situlah muncul berbagai pemaknaan terhadap apa yang disebut sebagai kemampuan atau fungsi seksual laki-laki dan perempuan.
No. 5 Th. II, Juli 2002
Swara Rahima
OPINI
Seksualitas adalah bagaimana masyarakat memberi arti laki-laki dan perempuan dan bagaimana seharusnya mereka melakukan relasi, terutama dalam hal relasi seksual. Karena perempuan punya vagina, bisa melahirkan, punya payudara, maka dia seharusnya adalah pihak yang memberikan perhatian dan perawatan terhadap sesamanya. Jadi kalau tidak mempunyai kemampuan seperti itu, dia dipandang bukan perempuan. Sebaliknya bagi laki-laki, karena dia tidak melahirkan, tetapi agar seorang perempuan bisa melahirkan, maka harus ada sumbangan dari pihak laki-laki. Lalu, lucu sekali logikanya. Laki-laki berarti harus melakukan pembagian, maka dia melakukan pencarian sumber daya sehingga perempuan melakukan perawatan itu, sehingga diartikan laki-laki yang mencari nafkah. Kalau perempuan dan laki-laki tidak menjalankan apa yang dipandang sebagai mestinya, maka dianggap menyalahi kodrat seksualitasnya. Menyalahi, itu berarti tidak lumrah, kelainan. Di dalam perkembangannya manusia punya pilihan, itu yang sering dilupakan. Hanya alat kelaminnya yang berbeda. Namun kemudian dipandang manusia itu tidak punya pilihan, harus sesuai dengan si alat kelamin itu. Dia harus melakukan jalur itu dan diatasnamakan agama. Sebetulnya agama, menurut saya, dibentuk untuk membantu manusia agar bisa mengatur dirinya dan tidak saling menyakiti, tidak saling merugikan. Celakanya agama seringkali dibuat sebagai dasar untuk saling menyakiti dan merugikan ma-
Swara Rahima -15
OPINI nusia. Termasuk juga di sini, seorang perempuan tiba-tiba mengatakan saya tidak mau kawin dan tidak mau punya anak. Inipun dianggap menyalahi kodrat. Atau laki-laki mengatakan, saya tidak tertarik sama perempuan, perilaku seperti ini kemudian tidak dihargai sebagai orientasi tertentu dan dipandang itu telah menyalahi agama, bahkan sebagian agama mengatakan itu sebagai sesuatu yang berdosa.
nai makna seksualitas itu sendiri? Tadi Anda menyebut penyimpangan, kenapa itu disebut sebagai penyimpangan? Kalau disebut sebagai penyimpangan, maka berdasarkan matra atau ukuran mayoritas. Mayoritas mengatakan tidak lumrah, tidak sesuai dengan apa yang selama ini dianut. Yang tidak sama dengan mayoritas itu dianggap sebagai kelainan. Sebetulnya itu bukan kelainan. Memang dia lain dengan kelompok itu. Tetapi belum tentu dia lain dengan kelompok yang memang menjadi seperti itu. Saya pada posisi tidak setuju, bahwa itu sebagai kelainan. Dia lain karena Seks itu jenis pilihannya, tetapi bukan berarti dia kelamin, kemudian memiliki kelainan.
Swara Rahima
Apa yang Mbak Sita ceritakan, bisa tidak didefinisikan dengan ketat apa itu seks, seksualitas, apa itu orientasi seksual agar pembicaraan bisa lebih â&#x20AC;&#x2DC;clearâ&#x20AC;&#x2122;? bagaimana jenis Seks itu adalah jenis kelamin. Jenis kelamin itu bahasa InggrisApakah reproduksi adalah kelamin itu nya sex. Sedangkan seksualitas satu-satunya fungsi seksualitas? berfungsi, bisa mirip dengan makna gender. Dia Seks itu jenis kelamin, kemudiuntuk reproduksi, adalah bagaimana manusia diberi an bagaimana jenis kelamin itu makna berdasarkan seksnya; berfungsi, bisa untuk reproduksi, tapi juga bisa dan gender sebetulnya tidak tapi juga bisa untuk rekreasi. Kalau untuk rekreasi. hanya berkaitan dengan seksnya, bahasa Inggrisnya recreation atau tetapi berkaitan dengan nilai-nilai procreation untuk mereproduksi yang sama. Ini dibangun untuk dan menambah umat dengan memembentuk apa yang diartikan lahirkan, mereproduksi. Atau sebesebagai laki-laki dan perempuan. Tetapi kalau tulnya untuk recreation (kesenangan), bisa duaseksualitas berkaitan dengan kemampuan seksnya duanya dan itu hidup di dalam masyarakat. atau sebetulnya lebih pada organ seks, berkaitan Peroalannya ketika dituntut rekreasi, kemudian dari dengan kemampuan reproduksi manusia. zaman baheula muncul misalnya jenis kerja yang dinamai pekerja seks. Kemudian dimunculkan di Kalau orientasi seksual? masyarakat fungsi itu, karena orang butuh menyaOrientasi seksual sebetulnya adalah kecende- lurkan kebutuhan untuk melakukan hubungan seks. rungan untuk melakukan hubungan seks dengan Orang yang tidak punya pelampiasan kemudian siapa, disitu ada tiga: ada yang hetero dimana dia melampiaskan atau menyalurkan dorongan seks memang bisa memilih untuk melakukan hubungan kepada pekerja seks dengan memberi bayaran. dengan lawan jenis. Itu dinamakan heteroseksual. Sebetulnya munculnya pekerja seks merupakan Ada yang namanya homoseksual, bisa laki dan implikasi dari apa yang selama ini dipandang oleh bisa perempuan dengan sejenis (dengan sesama masyarakat tentang seksualitas. Jadi seks itu atau perempuan atau dengan sesama laki-laki).Tetapi aktivitas seksual bisa untuk mereproduksi, menamada juga yang disebut selibat (tidak melakukan bah umat (menambah jumlah orang). Atau bisa juga hubungan seks, biasanya pendeta). Tetapi pada untuk rekreasi. kenyataannya bukan berarti â&#x20AC;&#x2DC;tidak melakukan sama sekaliâ&#x20AC;&#x2122;. Pendeta atau pastur juga manusia biasa Pemaknaan seks untuk laki-laki dan peremdan mempunyai keinginan seks yang harus dipenuhi. puan, sering disebutkan, makna seks untuk Jadi pemenuhan kebutuhan seks dapat berhu- perempuan adalah untuk prokreasi. Sementabungan dengan sesama jenis, lawan jenis atau tidak ra laki-laki untuk rekreasi â&#x20AC;Ś sama sekali. Tidak bisa dikatakan begitu, karena dua-duanya punya peluang yang sama , bisa mengandung dua Bagaimana pandangan masyarakat menge- pengertian itu.
1616-Swara Rahima
No. 5 Th. II, Juli 2002
OPINI
Kemudian mengenai seksualitas kaitannya dengan â&#x20AC;&#x153;tubuh perempuanâ&#x20AC;?, bagaimana selama ini masyarakat memandang tubuh perempuan? Kembali lagi, hubungannnya erat sekali dengan bagaimana posisi laki-laki dan perempuan itu diartikan di dalam masyarakat. Perempaun selalu dipandang sebagai pihak yang harus dinikmati, baik secara fisik maupun dengan cara yang lain. Tubuh perempaun selalu dilihat sebagai sesuatu yang memang patut untuk dilihat oleh semua orang. Itu berkaitan dengan bagaimana selama ini perempuan diposisikan dalam masyarakat selalu sebagai pihak yang menjadi milik, apakah sebagai milik ayahnya, suaminya. Ini selalu berkaitan dengan hubungan yang tidak setara, termasuk tubuh perempuan. Misalnya ada seorang pelaku perkosaan tertangkap. Dia tidak mengelak, ketika dipenjara, dia akan dihajar rame-rame. Karena hadirnya dia di penjara, menunjukkan pada para laki-laki yang lain bahwa telah terjadi rebutan hak atas tubuh perempuan, pada diri seorang laki-laki. Dan itu buat laki-laki yang lain sebagai sebuah pelecehan, jadi dihabisin rame-rame. Jadi sesama laki-laki dilarang saling mendahului. Enak saja, ini sebagai peringatan. Jadi jangan macam-macam karena perempuan adalah propertinya laki-laki. Mereka melihat dalam rangka itu, tetapi sebagai laki-laki ternyata haknya diinjak-
No. 5 Th. II, Juli 2002
injak, itu sebagai pembelaan terhadap laki-laki sebagai super komunitas.
Swara Rahima
Bisa lebih detail? Itu berkaitan dengan bagaimana masyarakat melihat fungsi-fungsi seksual laki-laki dan perempuan. Ketika itu menjadi sebuah nilai dan menjadi sebuah standar arti yang perlu dipercayai, kemudian disebut dengan seksualitas manusia. Ada perbedaan anggapan bahwa alat reproduksi atau organ seks manusia berbeda-beda.Kemudian muncul anggapan bahwa bukan hanya fungsi yang berbeda di masyarakat, tetapi juga kemampuan, kapasitas, prilaku. Makanya kalau perempuan ingin melakukan hubungan seks setiap hari, dikatakan bukan perempuan tetapi itu laki-laki yang punya keinginan seks. Seks itu sama seperti makan dan minum, hanya bagaimana manusia mengatur seleranya itu. Bahkan ada yang mengatakan seperti binatang. Selama ini masyarakat melihat seks seperti â&#x20AC;&#x153;kalau sama isteri dianggapnya seks itu untuk reproduksiâ&#x20AC;?. Tetapi belum tentu, bisa saja itu rekreasi.
Bagaimana dengan pornografi, apa batasanbatasannya? Sebetulnya di masyarakat sendiri, menurut saya telah terjadi double standard (standar ganda) terhadap pornografi. Dari satu sisi, mereka mengatakan itu sebagai sesuatu yang tidak bermoral, dan dianggap menjadi penyebab maraknya berbagai maksiat. Di sisi lain, mereka justru mengkonsumsi itu. Jadi ada double standard terhadap pornografi. Ini sebetulnya sebuah diskusi di kalangan para aktivis perempuan sendiri, diskusi yang belum selesai juga. Karena pada satu sisi banyak aktivis perempuan melihat, ini adalah cara perempuan untuk, secara merdeka, menunjukkan tubuhnya tanpa harus diperintah oleh laki-laki. Ada sebagian aktivis perempuan menganggap bahwa aku terserah mau pakai baju apa, aku ingin menunjukkan ekspresi diriku dengan cara seperti ini. Kenapa kalau melihat laki-laki pakai pakaian yang terbuka perempuan tidak terasosiasi langsung timbul birahinya. Sebagian posisi aktivis perempuan seperti itu, dan ini bukan di Indonesia, terutama di dunia Barat sana. Ada juga yang kemudian melihat ini sebetulnya ada hubungannya dengan sebuah pandangan juga; ada sebuah cara pandang yang maskulin, karena cara mengekspresikan diri, sebetulnya merupakan cara berekspresi tanpa disadari, cara berekspresi laki-laki, bahwa seperti itu cara mengekspresikan kebebasan. Menurut saya masyarakat hipokrit dalam hal pornografi. Semangatnya melarang, tetapi menikmati juga, misalnya dengan diam-diam melihat perempuan kelihatan pahanya, merupakan satu sikap yang hipokrit tehadap pornografi. Toh dia ternyata melirik, sekalipun dia ikut membakar semua gambar-gambar itu. Bagaimana dengan pandangan pornografi adalah eksploitasi terhadap tubuh perempuan? Saya mengatakan, cara mengekspresikan diri seperti laki-laki itu nyambungnya ke situ (perempuan sebetulnya dieksploitasi). Dalam konteks ini mungkin bisa dibedakan antara seksualitas dan sensualitas? Sensual sebenarnya bermaksud memenuhi kepuasan satu pihak, artinya merangsang. Tetapi kata itu muncul karena berkaitan dengan kebutuhan
Swara Rahima -17
OPINI siapa, saya melihat ini muncul dari kebutuhan yang selama ini banyak didominasi laki-laki, karena kita tidak pernah mengatakan bahwa sensual selalu dikaitkan dengan posisi perempuan. Kita tidak pernah mengatakan laki-laki bibirnya sensual. Sebetulnya itu adalah cara laki-laki mendefinisikan cipta, rasa penikmat. Jika dikaitkan dengan agama? Menurut saya, kalau dikaitkan dengan pandangan agama terhadap posisi perempuan â&#x20AC;&#x201C; karena
perempuan dipandang agama sebagai sesuatu yang, menurut bahasa agama, sesuatu yang indah, harus dilindungi dan sementara perempuan sendiri harus melayani â&#x20AC;&#x201C; itu memunculkan pernyataanpernyataan misalnya di pengajian-pengajian, ya ibuibu kalian harus mau melayani suami, sekalipun puasa harus bisa melayani. Pernyataan-pernyataan seperti itu, tanpa disadari, akhirnya membangun kesadaran bagaimana perempuan harusnya tampil. Seorang laki-laki tentu senang sekali kalau isterinya bisa melayani. D
ANDA BUTUH KLIPING? Swara Rahima
Berbagai berita tentang
Perempuan dan Islam terekam dalam kliping RAHIMA (Syariâ&#x20AC;&#x2122;at Islam, HIV/AIDS, Reproduksi, Pornografi Kekerasan Terhadap Anak, Diskursus Keislaman, Isu Jilbab dll.)
1818-Swara Rahima
HUBUNGI BAGIAN PERPUSTAKAAN RAHIMA Jl. Pancoran Timur IIA No. 10 Perdatam Pasar Minggu Jakarta Selatan Telp. 021-7984165 Fax. 021 - 798 2955 Email:rahima2000@cbn.net.id Website: www.rahima.or.id
No. 5 Th. II, Juli 2002
Perkosaan umah T angga ? Tangga Rumah dalam R Oleh KH Muhyiddin Abdusshomad
B
erdasarkan data penelitian, satu dari tiga orang istri pernah meng alami kekerasan dalam rumah tangga (Farha Ciciek, 1999:28). Fakta ini cukup mengejutkan. Betapa tidak, kasus tindak kekerasan dalam rumah tangga hampir mencapai separuh jumlah kehidupan pasangan suami istri. Boleh jadi, kita malah termasuk salah satu di antara pelakunya.Tetapi mudah-mudahan tidak demikian. Bahwa dalam perbincangan wacana fiqh perempuan terdapat bahasan tentang kekerasan dalam rumah tangga, adalah sesuatu yang tidak dapat kita elakkan. Hal itu lantaran tindak kekerasan dalam rumah tangga banyak mencuat ke permukaan. Bahkan kini sering dijumpai juga, seorang istri melaporkan tindakan bringas dan kasar suami kepada polisi. Kasus Nur Afni Octavia â&#x20AC;&#x201C; seorang pelantun lagu rohani gerejawi dan seorang selebritis terkemuka â&#x20AC;&#x201C; adalah contoh kasus yang faktual dan sekaligus aktual. Pada dasamya, kekerasan adalah semua bentuk prilaku, baik verbal maupun nonverbal, yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang terhadap seseorang atau sekelompok orang lain, sehingga menimbulkan efek negatif secara fisik, emosional dan psikologis (Elli Nur Hayati, 2000:28). Kekerasan dalam rumah tangga bisa berupa kekerasan fisik, kekerasan emosional, kekerasan ekonomi dan juga kekerasan seksual (Elli Nur Hayati, 1999: 1).
Perkosaan Dalam Rumah Tangga Perkosaan merupakan salah satu bentuk kekerasan seksual yang dialami oleh laki-laki maupun perempuan. Kekerasan seksual ini bisa dilakukan laki-laki terhadap perempuan tapi bisa juga sebaliknya. Namun yang umum terjadi pelakunya adalah lelaki. Perkosaan merupakan perbuatan memaksa dalam melakukan hubungan senggama, baik dengan cara persuasif maupun represif. Singkat
No. 5 Th. II, Juli 2002
Swara Rahima
FIKRAH
kata, perkosaan adalah persetubuhan antara laki-laki dengan perempuan, antara laki-laki dengan laki-laki (homoseksual), perempuan dengan perempuan (lesbian), yang dilakukan tidak atas dasar kesukarelaan dan sarat dengan pemaksaan. Perkosaan bisa diidentifikasi setidaknya menjadi empat macam. Pertama, perkosaan dilakukan oleh orang yang dikenal oleh korban, bisa teman, pacar, rekan kerja, anggota keluarga maupun tetangga. Namun bukan berarti tertutup kemungkinan perkosaan dilakukan oleh orang asing yang tidak dikenal korban. Kedua, perkosaan saat kencan. Perkosaan yang dilakukan oleh pacar atau teman dekat saat sedang kencan. Ketiga, perkosaan dengan ancaman halus. Perkosaan yang dilakukan oleh orang yang mempunyai kedudukan yang lebih tinggi dari pada korban. Seperti majikan terhadap pembantu, atasan terhadap bawahan, guru terhadap murid, ipolisi terhadap tahanan dan lain sebagainya. Dan, biasanya, perkosaan itu dilakukan dengan cara bujuk rayu, mengumbar janji dan tipu muslihat. Keempat, perkosaan dalam perkawinan. Perkosaan yang dilakukan oleh suami terhadap istri atau sebaliknya, dengan cara memaksa untuk minta dilayani melakukan hubungan badan, tanpa melihat dan mempertimbangkan kesediaan dan kesiapan pasangannya. (Adrina Taslim et.al,: 30-33). Perkosaan dalam perkawinan atau lazim juga disebut dengan â&#x20AC;&#x153;marital rapeâ&#x20AC;? dalam kebiasaan dan budaya hubungun seksual di Indonesia relatif tidak begitu populer. Perkosaan diasumsikan dengan perbuatan cabul seorang laki-laki terhadap perempuan dengan cara memaksa untuk melampiaskan dorongan hawa nafsu seks. Perbuatan itu dilakukan tidak dengan kesediaan dan juga tidak dalam konteks rumah tangga. Terlihat sekali bahwa definisi perkosaan mengalami reduksi. Perkosaan dalam rumah tangga tidak dimasukkan dalam kategori perbuatan ini. Maka dari itu, perkosaan dalam rumah
Swara Rahima -19
FIKRAH tangga masih tergolong kontroversial. Walaupun demikian, dewasa ini ada diantara kaum perempuan Indonesia cukup gigih untuk memperjuangan wacana bahwa jika suami yang memaksa istri melayani nafsu birahinya padahal istri tidak bersedia melakukannya dengan sukarela, maka itu termasuk perkosaan dalam rumah tangga. Pemekaran definisi tersebut berangkat dari rumusan bahwa segala hubungan seksual yang ditandai dengan pemaksaan adalah perkosaan.
Swara Rahima
bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka “ (QS. AL-Baqarah /2:187). “Dan pergaulilah mereka secara patut (QS. AnNisa/4:19) “Sebaik baiknya kalian (kaum laki-laki) adalah yang paling baik kepada istrinya “. (HR. Ahmad dan Tirmidzi) Dengan demikian, suami maupun istri tidak boleh memaksa melakukan hubungan seksual. Sebab memaksa itu sama halnya dengan memperlakukan pasangannya tidak maTinjauan Hukum Islam nusiawi, memandang pasanganIslam mengajarkan prinsip nya sebagai obyek pelampiasan mu’asyarah bil ma’ruf (hubungan nafsu, serta menempatkan payang baik dan sukarela) dalam sangannya seperti layaknya orIslam melakukan relasi seksual. Antara ang yang dijajah. Padahal, suami mengajarkan suami dan istri harus saling memmaupun istri adalah setara yang prinsip beri dan menerima, saling mengmempunyai kedudukan yang saasihi dan menyayangi, tidak saling ma yang harus diperlakukan mu’asyarah bil menyakiti, tidak saling memperdengan baik. ma’ruf (hubungan lihatkan kebencian, dan tidak saBerangkat dari prinsip muyang baik dan ling mengabaikan hak dan kewa’asyarah bil maruf dan anjuran jibannya masing-masing (KH Huberbuat baik kepada istri, yakni sukarela) dalam sein Muhammad, 2001:112). tidak melukai hatinya, tidak memelakukan relasi Bahkan, mu’asyarah bil ma’ruf itu nyakiti fisiknya, seperti yang diseksual. merupakan salah satu dasar pecontohkan oleh Rasulullah SAW, ngembangan fiqh perempuan yang juga memahami muatan kata mencoba memanusiakan manu“libas” pada ayat 187 berarti saling sia dan memperlakukan manusia dengan baik, melindungi (Al-Qardhawi, 1977: 201) dalam segala terutama dalam hubungan suami istri (Syafiq persoalan, maka harus diupayakan penyesuaian Hasyim, 2001:264). dan penyamaan sikap termasuk dalam masalah Oleh karena itu, suami tidak mempunyai hak hubungan seksual antara suami istri harus dilakukan monompoli seksual. la tidak boleh hanya memikir- dengan penuh kerelaan, tidak ada keterpaksaan kan kenikmatan sendiri dan mau enaknya sendiri. diantara kedua belah pihak. Sedangkan memaksa Sebab hubungan seksual harus didasarkan pada berhubungan seksual kepada istri atau sebaliknya kesetaraan gender, tidak ada yang superior dan itu bertendensi idza’ (menyakiti) salah satu pihak. inferior. Semua sama-sama berkewajiban untuk me- Hal tersebut tentu merupakan perbuatan haram. layani dan memberikan pelayanan yang terbaik. Sedangkan hadits-hadits la’nat bagi istri yang Suami dan istri, keduanya adalah pelayan bagi pa- tidak melayani suami, itu harus diinterpretasikan sangannya masing-masing. sebagai motivasi kepada istri agar selalu berusaha Suami maupun istri hendaknya melakukan hu- melakukan penyesuaian dengan suami; demikian bungan seksual sesuai dengan prinsip tersebut. juga sebaliknya. Istilah la’nat itu sendiri tidak berarti Suami dituntut untuk memperlakukan istri dengan haram. Buktinya para ulama fiqih masih memberi baik. Istri pun dituntut untuk memperlakukan suami batas apabila tidak ada udzur syar’i seperti sakit dengan baik. Itikad dan usaha untuk memberikan atau capek yang luar biasa. yang terbaik bagi pasangan masing-masing, bukan Wacana ini tentu terbuka untuk didiskusikan lesekadar dianjurkan melainkan diharuskan. bih mendalam agar kita bisa menyajikan Islam seDari uralan di atas, sudah jelas bahwa perkosaan suai dengan misi keadilan dan kesetaraan yang dalam rumah tangga tidak boleh. Hal itu berten- dibawanya.D Penulis adalah Pimpinan Pondok Pesantren Nurul Istangan dengan firman Alllah: “Mereka itu (istri-istri kamu) adalah pakaian lam, Jember.
2020-Swara Rahima
No. 5 Th. II, Juli 2002
K
Potret Dua Perempuan Jalur Gaza
onflik antara Israel-Palestina sudah berlang sung hampir 50 tahun. Namun hingga saat ini masih belum ada tanda-tanda yang signifikan bahwa perang itu akan segera berakhir. Korban dari kedua belah pihak juga sudah berjatuhan, tak terkecuali anak-anak dan perempuan. Perang kedua negara itu berawal dari dibagibaginya Palestina oleh PBB pada tanggal 29 Nopember 1947 dan berdirinya negara Israel 14 Mei 1948. Sejak itu lahir konflik seputar tanah perbatasan antara bangsa Israel dan bangsa Palestina sehingga perang tak lagi bisa dihindari. Bahkan pada tahun 1968 kemelut itu juga diikuti migrasi besarbesaran rakyat Palestina ke negara-negara sekitar untuk mendapatkan perlindungan dan keamanan. Hingga kini ada sebagian pengungsi Palestina tersebut yang sudah menetap di negara-negara yang mereka singgahi dahulu, seperti di Mesir, Yordan, Syria, Iran, bahkan Cina. Potret Perempuan Israel Kisah konflik berkepanjangan yang melibatkan Israel adalah sejarah yang tidak bisa dilupakan. Akan tetapi jangan dikira perlakuan aparat negara otomatis sebagai representasi dari seluruh bangsa Israel. Sebanyak 60.000 warga Israel justru menuntut pemerintahannya menghentikan penyerangan demi perdamaian dan kemanusiaan. (Media, 6/5/ 02) Adalah Neta Golan, perempuan Israel yang telah sedemikian frustasi terhadap segala tragedi kemanusiaan yang terjadi di sekelilingnya. Baginya “sabung” nyawa harus segera dihentikan. Walaupun konflik ini kerap memojokkan dirinya yang notabene sebagai warga Israel – bangsa yang dipandang telah menjajah bangsa Palestina – akan tapi hal tersebut tidak membuat dirinya tinggal diam menyaksikan segala macam kebiadaban di depan matanya. Ini yang membuatnya nekat untuk melawan kekerasan yang dilakukan oleh bangsanya sendiri dengan berbagai cara. Belum lama ini Golan bahkan nekat menjadi tameng hidup pemimpin Palestina, Yasser Arafat. Seperti diberitakan Koran Tempo (8/5/02,) ia
No. 5 Th. II, Juli 2002
Swara Rahima
TEROPONG DUNIA
bersama para aktivis perdamaian dari berbagai negara mencoba melindungi Arafat yang saat itu berada dalam kepungan militer Israel. Selama 34 hari Golan bertahan di Muqataa, kantor pusat pemerintahan Palestina di Ramallah Tepi Barat. Bagi perempuan berusia 30 tahun ini Bangsa Palestina berhak memiliki negara seperti halnya ia sebagai warga bangsa Israel. Selama menjadi tameng hidup ia duduk di luar pintu kantor Arafat. Di dekatnya seorang Palestina pernah tersungkur tewas bermandikan darah akibat tembakan tentara Israel. Sepupunya juga tewas oleh bom bunuh diri Palestina di sebuah kafe di Tel Aviv. Tapi, katanya, “Bagaimanapun juga kami tidak berhak melakukan hal yang sama”. Ia justru melihat kekerasan yang dilakukan pejuang kemerdekaan Palestina adalah akibat tekanan militer Israel. “Setiap hari terjadi pemerkosaan terhadap harga diri mereka, tanah air mereka, masa depan mereka, hak asasi mereka, masa depan anak mereka. Aku rasa suatu tindakan tercela jika kita katakan kepada seseorang yang diperkosa: jangan melawan.” Golan mulai melibatkan diri dalam gerakan perdamaian di Tepi Barat sejak awal 1990-an dalam usia19 tahun. “Lima belas menit pertama di Tepi Barat aku lewati dengan jantung yang berdegup kencang dan keringat dingin. Aku yakin semua orang ingin membunuhku.” Golan membutuhkan waktu 18 bulan untuk dapat tenang. Hingga kini sudah 12 kali ditangkap dan tangan kirinya patah saat polisi Israel menyeretnya di Al-Khadr. Pada 29 Maret ia menyabung nyawa dengan menerobos desingan peluru dan lontaran granat hanya untuk memasuki Muqataa. Di sana ia mendapati para pejuang Palestina yang kekurangan obat-obatan, makanan, dan air bersih. Ia dapati jenazah yang mulai membusuk tak dapat dikubur selama 14 hari. Di sana ia menyanyikan Nami (tidurlah) – semacam lagu Ninabobo dalam bahasa Ibrani – untuk menyejukkan seorang pemuda Palestina dengan punggung yang hancur. Potret Perempuan Palestina Masih dalam dalam konteks konflik di wilayah
Swara Rahima -21
TEROPONG DUNIA
Swara Rahima
Jalur Gaza yang melibatkan Israel dan Palestina, adalah Maysun, perempuan berkebangsaan Palestina yang menyatakan kesaksiannya. Seperti diberitakan Koran Tempo (27/2/02), Maysun menceritakan kenangan pahitnya ketika hendak melahirkan putranya. Pada waktu itu ia hendak pergi ke Rumah Sakit. Kondisi keamanan yang tidak menentu memang sangat membuatnya ketakutan, namun semua itu terhapus oleh bayangan kebahagiaan bahwa akan lahir anak yang selama ini didambakannya. Tentara Israel memang sempat menghambat perjalanannya. Mereka memerika mobil yang dikendarai suaminya, Hayek. “Mereka menyuruh saya melepaskan seluruh pakaian yang saya kenakan. Saya telanjang, persis seperti ketika saya dilahirkan dulu,” kata Maysun lagi. Setelah diletakkan di dalam kendaraan lapis baja, Maysun kemudian dibawa ke rumah sakit dengan ambulans Bulan Sabit Merah. “Bayiku lahir saat aku masih di lift. Dan karena shock teramat hebat, aku sampai tak merasakan proses kelahiran itu,” ujar Maysun. Di saat yang sama, ketika Hayek muda untuk pertama kalinya menghirup udara alam dunia, ayahnya melepaskan napas terakhir di ruangan lain rumah sakit yang sama. Tubuhnya tercabik-cabik oleh hujan peluru yang tak terbilang; ia tak mampu lagi bertahan. Sementara kakeknya masih bisa bertahan hidup meski dua peluru bersarang di dada dan punggungnya. Maysun tak dapat berkata apa-apa ketika dokter memberitahukan kematian suaminya, bapak dari bayi merah yang baru dilahirkannya. Masih terngiang-ngiang perkataan suaminya, tiga hari sebelum peristiwa itu. “Tak akan ada yang tertembak atau menjadi martir dari kampung kita.” Seakanakan, meninggal wajar di tempat tidur adalah barang aneh di Palestina. Sebenarnya Maysun tidak sendirian. Ada sejumlah perempuan Palestina hamil yang mengalami hal serupa, bahkan lebih parah. Di Rumah Sakit yang sama, dokter tengah menyelamatkan seorang ibu mengandung yang tertembak bahunya. Sedangkan di timur Betlehem, seorang wanita Palestina lainnya harus dioperasi caesar karena perutnya tertembak peluru tentara Israel. Pada tahun ini juga ada dua ibu Palestina yang terpaksa melahirkan di pos militer Israel. Mereka dilarang ke rumah sakit yang terdapat di seberang perbatasan.
2222-Swara Rahima
“Bayiku lahir saat aku masih di lift. Dan karena shock teramat hebat, aku sampai tak merasakan proses kelahiran itu,” ujar Maysun. Potret seksualitas Dua potret di atas sedikitnya memberi peringatan bahwa konflik yang seringkali meniscayakan terjadinya kekerasan baik fisik maupun mental lebih banyak mendatangkan penderitaan, tak terkecuali bagi perempuan. Dalam konteks ini penderitaan tersebut nampaknya telah bergulir menjadi revolusi fisik yang dilakukan rakyat Palestina terhadap Israel. Namun revolusi tentu tidak akan berjalan begitu saja, ia membutuhkan setting dan rekayasa sosial yang matang. Dalam konteks ini setting sosial yang terbangun secara tak sadar ternyata dilakukan berdasarkan seksualitas juga. Konstruksi laki-laki dan perempuan tidak bermain dalam bahasa kesetaraan, tetapi justru dipakai untuk saling berbagi peran. Salah satu yang sangat kentara misalnya bahwa laki-laki baik di Israel maupun Palestina akan terus dikader untuk menjadi “jundi” pembela bangsanya. Sedangkan peran reproduksi perempuan di sini adalah sebagai “mesin” regenerasi tersebut. Makanya tak heran kalau ternyata penyerangan juga ditujukan kepada perempuan-perempuan Palestina yang tengah mengandung. Bahkan lebih dahsyat lagi, perempuan-perempuanlah yang sering kali dijadikan sebagai “alat pancing” untuk menghancurkan kondisi psikologi bagi lingkungan sekitarnya. Lagi-lagi perempuan yang dijadikan korban. Namun, pada kenyataanya, peran berdasarkan jenis kelamin sesungguhnya tidaklah baku. Karena pengalaman Golan berbeda dengan Maysun. Golan yang terlahir sebagai perempuan juga pernah ingin dididik sebagai perwira oleh ayahnya. Namun karena Golan menolak, maka ia tidak pernah mengikuti wajib militer tersebut. Sedangkan Maysun, perannya sebagai “mesin” regenerasi bangsa seolah sudah menjadi kewajibannya sebagai investasi masa depan bangsanya. Lagi-lagi konstuksi seksualitas pada akhirnya tidak pernah bisa dipisahkan dari wilayah kekuasaan, apakah dalam bentuk perebutan hegemoni peran maupun sebagai manifestasi terjadinya kekerasan.D (Daan)
No. 5 Th. II, Juli 2002
Rapuhnya Anak Jalanan Perempuan Oleh : Wahju Budi Santoso
K
Anak adalah amanah. Islam mengajarkan bahwa anak bukan hanya tanggung jawab orang tua, tetapi masyarakat bahkan juga negara. Dalam kenyataannya, kita melihat banyak anak yang tidak mendapat perhatian yang semestinya, sehingga mereka harus hidup di jalanan.
risis moneter yang berlanjut dengan krisis ekonomi, kemudian meluas menjadi krisis multidimensi, mengakibatkan semakin banyak anak-anak usia sekolah terkena dampaknya. Banyak diantara mereka tidak bersekolah lagi, karena orang tua mereka terkena pemutusan hubungan kerja. Meskipun krisis ekonomi bukan satu-satunya penyebab terbengkalainya pendidikan anak-anak usia sekolah, namun ada korelasi kuat semakin luasnya krisis ekonomi diikuti pula oleh makin banyaknya anak-anak tidak berada di ruang sekolah lagi. Pada jam-jam sekolah, mereka berhamburan di mana-mana, bahkan di jalanan. Tidak bisa tidak, angka anak jalanan meningkat tajam. Siapa Mereka? Salah satu masalah krusial dari meningkatnya jumlah anak jalanan adalah bahwa diantara mereka tidak sedikit anak perempuan. Mereka berumur antara 4 sampai dengan 18 tahun, berada di jalanan untuk hidup bebas, lari dari keluarga/rumah atau untuk mencari tambahan pendapatan keluarga dengan menjadi pengamen, pemulung, pengasong, pengemis, dan lain-lain. Meskipun demikian mereka bukan penjaja seks jalanan. Penelitian Departemen Sosial (Depsos), Universitas Atmajaya Jakarta, SET Production (sebuah rumah produksi) dan ADB (Bank Pembangunan Asia) tahun 2000 menunjukkan 79,2% anak jalanan perempuan berada pada umur wajib belajar (wajar) sembilan tahun. Disamping faktor ekonomi keluarga yang rendah, adanya anggapan bahwa anak perempuan harus mengalah dengan saudara laki-lakinya serta lebih banyak berkorban untuk keluarga, merupakan faktor pendorong anak perempuan banyak turun ke jalan. Penelitian di atas menunjukkan bahwa sebagian besar (41,9%) anak perempuan turun ke jalanan untuk membantu menambah pendapatan orang tua
No. 5 Th. II, Juli 2002
Swara Rahima
DUNIA PEREMPUAN
baik atas kesadaran sendiri maupun disuruh orang tua. Pada kelompok umur di bawah 7 tahun jumlah anak jalanan perempuan tiga kali lipat dari jumlah anak jalanan laki-laki. Semakin bertambah umurnya, perbandingan tersebut bergeser dan jumlah anak jalanan laki-laki menjadi dua kali lipat dari jumlah anak jalanan perempuan. Gambaran tersebut mengindikasikan bahwa jalanan bukanlah tempat yang nyaman apalagi anak perempuan. Hidup di jalanan bagi anak perempuan adalah sebuah â&#x20AC;&#x153;pilihan terakhirâ&#x20AC;? yang penuh risiko.
Rentan Anak jalanan perempuan kiranya perlu mendapat perhatian yang serius. Ada tiga predikat sekaligus yang mereka sandang; anak, perempuan dan jalanan. Sebagai anak, mestinya mereka memperoleh ruang dan waktu yang kondusif untuk perkembangan fisik maupun psikis secara wajar. Anak yang seharusnya mendapat perlindungan, kini harus bersandar pada dirinya sendiri tanpa ada yang memberikan perhatian maupub perlindungan. Di rumah mereka harus melindungi diri dari orang tua dan keluarga, di jalanan harus melindungi diri dari masyarakat bahkan dari aparat. Mereka juga harus berjuang untuk memenuhi kebutuhan dirinya sendiri, mulai dari makan, minum, istirahat, bermain, berlindung, hingga pada saat sakit sekalipun. Sebagai perempuan, dari sisi gender mungkin mereka mampu mengatasinya, namun perbedaan kodratinya menyebabkan anak jalanan perempuan sangat rentan terhadap kekerasan seksual. Jalanan bukanlah tempat yang aman dan nyaman apalagi bagi anak perempuan. Dengan mitos bahwa perempuan â&#x20AC;&#x201C; apalagi anak perempuan â&#x20AC;&#x201C;
Swara Rahima -23
DUNIA PEREMPUAN adalah makhluk yang lemah, maka risiko yang paling banyak mereka terima di jalanan adalah diperas, di-palak, ditodong, dieksploitasi. Dan sebagai perempuan, risiko pelecehan dan kekerasan seksual tidak dapat dihindari, karena di kehidupan jalanan tak ubahnya seperti hukum rimba; yang kuat, dia berkuasa. Sebuah penelitian mengungkapkan bahwa anak jalanan (laki-laki maupun perempuan) paling lama hanya dua hari pertama selamat dari pelecehan seksual. Jumlah anak jalanan perempuan yang mendapatkan risiko pelecehan seksual, masih menurut penelitian di atas sebanyak 3,7%. Suatu angka penderitaan yang cukup tinggi.
Swara Rahima
Tanpa atau dengan Persetujuan Hubungan seksual antara “warga” anak jalanan bisa terjadi pada dua kondisi, yaitu tanpa persetujuan atau dengan persetujuan. Untuk kasus tanpa pesetujuan, baik pelecehan seksual maupun perkosaan, sudah bukan rahasia lagi bahwa pelakunya adalah orang dekat bahkan orang yang seharusnya melindungi. Dan yang sangat mengejutkan mereka adalah aparat pembina dan bahkan aparat keamanan (PKBI DKI, YPSI, Unicef, 1997). Hal ini terjadi pula terhadap anak jalanan perempuan. Mereka mengalami bermacam bentuk perlakuan pelecehan seksual dari yang ringan hingga yang berat. Pengakuan Is (14 th) di Palembang bahwa dadanya dipegang-pegang, pantatnya ditepuk, dipeluk secara paksa oleh preman masih termasuk pelecehan seksual ringan bagi anak jalanan perempuan (Potret Anak Jalanan Perempuan, Depsos, 2000). Namun demikian, perkosaan tetap merupakan suatu yang paling ditakuti oleh anak jalanan perempuan, sekalipun kehidupan seksual di jalanan sangat permissif dan nyaris tidak ada hukum maupun norma yang bisa melindungi mereka. Pada kasus hubungan seksual dengan persetujuan, yang dilakukan dengan suka sama suka, jumlahnya cukup banyak. Hasil penelitian Depsos cukup mengejutkan. Bahwa mereka telah melakukan hubungan seks berumur antara 10-18 tahun, berhubungan dengan sesama teman, bertempat di bangunan-bangunan kosong, gerbong kereta api, dengan pasangan tetap atau berganti pasangan. Perilaku tersebut bukan untuk mencari uang, melainkan karena kehidupan yang bebas. Pada saat berganti-ganti, pasangannyapun orang yang tidak jauh dengannya; sudah lama dikenal dengan baik.
2424-Swara Rahima
Hal ini menunjukkan bahwa meskipun bebas, mereka masih juga tidak asal berganti pasangan. Dengan kehidupan seksual seperti itu, mau tidak mau mereka sangat rentan terhadap penyakit menular seksual (PMS), suatu penyakit yang berisiko tinggi terhadap kesehatan reproduksi, berpengaruh buruk baik pada dirinya sendiri maupun keluarganya keluarganya kelak. Kebutuhan mereka Hidup di jalanan bukanlah pilihan bagi siapapun, tak terkecuali bagi anak perempuan. Sejelek-jelek rumah, ia masih merupakan tempat yang lebih nyaman. Memang sebagian besar (83.1%) anak jalanan perempuan masih tinggal bersama orang tua, artinya setiap hari atau secara berkala pulang ke rumah. Namun “rumah” bagi mereka tidak bisa dibandingkan dengan rumah seperti yang dipahami orang pada umumnya. Meskipun mereka punya orang tua – yang berarti punya “rumah” – namun bukan berarti mereka secara otomatis bisa mendapatkan kedamaian keluarga. Rumah bagi mereka tidak berarti kebutuhan hidupnya bisa terpenuhi dengan baik. Andai telah terpenuhi kebutuhannya, tentu mereka tidak akan berkeliaran di jalanan. Sebab risikonya terlampau berat untuk dipikul oleh seorang anak perempuan yang sama sekali tidak memperoleh perlindungan dari lingkungan aparat keamanan. Berdasarkan hasil penelitian di atas, ada lima besar kebutuhan anak jalanan perempuan, yaitu makanan, pakaian, sekolah, rumah dan modal usaha. Terlihat bahwa pilihan kebutuhannya berturutturut sejak kebutuhan primer bergerak ke kebutuhan masa depan. Ini hanya bisa diartikan satu hal: jangankan untuk kebutuhan sandang dan masa depan, untuk kebutuhan makan dan pakaian saja mereka masih menghadapi persoalan serius. Persoalannya menjadi lebih krusial karena kebutuhan-kebutuhan di atas harus mereka usahakan sendiri tanpa bantuan orang lain. Alih-alih mendapat bantuan, mereka justru menjadi obyek pemerasan dan pelecehan seksual. Negara tidak mampu menyelesaikan bukan hanya karena kecilnya anggaran untuk mereka, tapi juga karena penyelesaiannya tidak menyentuh persoalan paling mendasar dari kebutuhan mereka. Sehingga anak jalanan terus bertambah, termasuk anak jalanan perempuan. Bagi umat muslim, hal ini mestinya menjadi kesadaran religius untuk turut mengatasinya sekecil apa pun bentuknya.D
No. 5 Th. II, Juli 2002
“Politik Seksual” Ditemani minuman dan makanan kecil, sesekali kru RAHIMA dan beberapa sejawatnya duduk lesehan, ngobrol, tentang suatu topik tertentu yang dibahas secara “sersan”, serius tapi santai. Teman ngobrol beragam, mulai dari kawan mancanegara seperti Zainah Anwar, seorang aktifis perempuan dari Malaysia. Martin van Bruinessen, seorang islamolog dari Belanda. Bisa juga seorang ahli tentang topik tertentu (misalnya dr. Ramonasari yang bicara tentang Kesehatan Reproduksi Perempuan) atau kru RAHIMA sendiri yang berbagi cerita tentang satu hal, (oleh-oleh seminar, diskusi, maupun laporan perjalanan). Kali ini kami ingin berbagi pengalaman “ngobrol” dengan Mbak Syarifah Sabaroedin, seorang aktivis perempuan yang juga dosen kriminologi di Universitas Indonesia Jakarta. Topik yang diangkat tergolong asing dan kontroversial. Komunitas RAHIMA memang selalu ingin mempelajari hal-hal baru meskipun kontroversial dan bukan malah menghindari. Karena kami yakin, dengan mengetahui sesuatu secara memadai, kita bisa bersikap secara “benar” dan dewasa. Bukankah demikian?
M
engawali pembicaraan dalam forum obrolan di RAHIMA, Syarifah langsung memetakan seksualitas berdasarkan dua mazhab pemikiran yang berbeda. Pertama, mazhab tradisi seksologis; yaitu mazhab yang memandang seksualitas sebagai fenomena biologis. Kromosomkromosom manusia dibakukan sebagai XX (perempuan) dan XY (laki-laki). Kalau tidak XX dan XY maka dianggap patologis. Kalau kepribadian seseorang tidak sesuai dengan norma-norma “baku” seperti gambaran kromosom tersebut maka ia disebut “sakit”, “tidak beres”, “menyimpang”, dan lain-lain, karena tidak sesuai dengan wacana besar dari disiplin-disiplin yang mendasari wacana baku tersebut. Ini adalah wacana yang dimunculkan disiplin medis, psikiatri, psikologi dan biologi. Kedua, mazhab non-seksologis; yakni mazhab yang memandang seksualitas sebagai bentukan-bentukan sosial dan budaya. Perspektif ini muncul sejak tahun 1960-an. Mereka mengatakan bahwa
No. 5 Th. II, Juli 2002
Swara Rahima
OBROLAN
seksualitas tak lebih sebagai tingkah laku manusia yang merupakan hasil bentukan sosial dan budaya, sehingga ia sesungguhnya tidak bersifat absolut, kodrati, dan masih bisa diperdebatkan. Perbedaan mendasar dua mazhab tersebut adalah bahwa penganut mazhab tradisi seksologis dapat menerima begitu saja norma-norma heteroseksualisme (bahwa hubungan seksual yang “normal” adalah antara laki-laki dan perempuan) tanpa mempertanyakan apakah norma itu adalah given (takdir) atau justru bentukan sosial budaya. Itulah yang dipertanyakan mazhab non-seksologis. Seksualitas bukanlah hal yang given, akan tetapi hasil konstruksi masyarakat sendiri. Perbedaan lain antara dua mazhab ini juga bisa dilihat dalam hal “kekerasan seksual”. Kalau mazhab tradisi seksologis menganggap kekerasan terhadap perempuan karena perempuannya yang memang salah, maka mazhab non-seksologis menganggap kekerasan terhadap perempuan adalah hasil bentukan sosial. Perempuan disubordininasikan dalam suatu tatanan sosial yang patriakhal. Karena seksualitas merupakan bentukan-bentukan sosial budaya, maka mazhab non-seksologis ini sering dipakai oleh sementara kalangan aktivis perempuan untuk menempatkan seksualitas sebagai sebuah isu politik. Selanjutnya Syarifah yang juga aktif di LBH APIK itu mengatakan bahwa aktivis perempuan membedakan antara seks, gender dan seksualitas. Karena “Seks“ dan “seksualitas” merujuk pada dua arti (dalam penggunaan kata-kata umum). Pertama, seks untuk perbedaan fisikal (seks biologis) antara laki-laki dan perempuan. Kedua, seks sebagai kegiatan erotis yang intim sifatnya. Dalam pandangan umum, seks dan seksual mengandung makna ganda yaitu seks sebagai identitas, perbedaan biologis manusia, dan seks sebagai tindakan seksual. Untuk kategori pertama, para aktivis perempuan banyak menggunakan istilah “gender” yang mencakup seluruh aspek dari “jenis kelamin sosial” yang menempatkan perempuan pada posisi tertentu misalnya sekretaris dan laki-laki pada posisi tertentu pula misalnya satpam. Sedangkan seksualitas diorientasikan untuk aspek-aspek kehidupan pribadi dan
Swara Rahima -25
OBROLAN
Swara Rahima
sosial yang memiliki signifikansi erotis. Dalam pengertian ini konsep “seksualitas’ masih tetap mengambang.Sebagian karena ia hanya dipahami sebagai erotisme, dan karena itu menjadi sangat kental nuansa erotisnya. Padahal apa yang dianggap “erotis” oleh seseorang bisa jadi merupakan hal yang menjijikkan bagi pihak kedua, dan secara politis tidak dapat diterima oleh pihak ketiga. Ini terlihat pada isu pornografi. “Ketika seseorang berbicara tentang paha perempuan, kulitnya yang mulus dan tak berbulu, tidak ada panu, maka secara politis bisa jadi saya yang mendengarnya tidak terima dengan alasan pereduksian perempuan ke sebuah paha,” ujar Syarifah. Bagi Syarifah, tidaklah mengherankan bila seksualitas menjadi sebuah isu besar bagi aktivis perempuan, karena berdasarkan fakta sejarah, telah pernah terjadi sebuah usaha besar-besaran untuk mengendalikan perilaku seksualitas ini. Mulai dari sabuk pengaman vagina sampai hukum-hukum yang berkaitan dengan hak milik. Di Eropa, “sabuk pengaman” digunakan perempuan bila suaminya pergi berdinas. Ini dilakukan agar si istri tidak bisa melakukan hubungan seks dengan orang lain. Sebagai bentukan sosial, seksualitas sering dikaitkan dengan moralitas. Dalam hal ini Syarifah menyebut istilah “moralitas ganda”. Moralitas ganda memberikan semacam hak istimewa pada laki-laki berupa kebebasan seksual, tapi tidak bagi perempuan. Seksualitas perempuan dibingkai dalam kebijakan serta peraturan, sementara seksualitas laki-laki tidak. Moralitas ini pula yang membagi perempuan ke dalam dua kategori “madonna” dan “pelacur”. Perempuan pelacur adalah istilah perempuan yang dianggap telah mengeksploitasi tubuhnya sekaligus diposisikan sebagai “objek” seks lakilaki. Ia mendapat stigma buruk dan dihukumi “negatif” oleh masyarakat sebagai perempuan “kotor”. Sedangkan perempuan madonna adalah contoh dari perempuan yang menganggap bahwa dengan mengeksploitasi tubuhnya, ia bukan sedang mengobjekkan dirinya akan tetapi sedang memperdaya laki-laki karena keterpesonaan mereka terhadap tubuhnya. Dalam konteks ini, justru sikap “pengobjekkan” diri perempuan oleh masyarakat dibalik menjadi ‘pensubjekkan” diri si perempuan sendiri. Sehingga perempuan madonna ini seolah lebih baik dari perempuan pelacur. Dan bagi mereka, heteroseksualisme selalu membawa resiko bagi perempuan karena “harga diri” disimbolkan melalui mitos keperawanan.
2626-Swara Rahima
Sejak terjadinya revolusi seksual tahun 1960, lahir gagasan “cinta bebas” sebagai ganti perkawinan yang dianggap sebagai pranata borjuis yang mereduksi perempuan menjadi benda milik. Gagasan ini dimaksudkan untuk meletakkan perempuan dan laki-laki dalam kesetaraan, menentang moralitas ganda, dan menyajikan seks sebagai sesuatu untuk dinikmati demi seks itu sendiri. Sayangnya, dalam praktek, gagasan itu membawa konsekuensi-konsekuensi yang berbeda bagi perempuan dan laki-laki. Banyak perempuan yang merasa bahwa “pembebasan seksual” justru membuka peluang terbukanya akses yang lebih besar bagi laki-laki kepada tubuh perempuan dan mencabut hak perempuan untuk mengatakan “tidak” pada seks, karena dengan mengatakan itu mereka akan dilecehkan sebagai perempuan kuno atau kolot. Meskipun pengaruh dari revolusi seksual merupakan hal yang problematis untuk perempuan, tapi melalui revolusi ini pula seksualitas tampil sebagai sebuah isu politik. Karena dalam konsekuensikonsekuensinya yang negatif untuk perempuan, revolusi ini “bergaung” kepada kemungkinan melakukan resistensi dan pengembangan perspektif aktivis perempuan sebagai alternatif. Justru karena perempuan mengalami dampak negatifnya maka perempuan makin berpikir tentang revolusi seks. Dalam perspektif ini, para aktivis perempuan bukan hanya semata-mata mempertanyakan otoritas laki-laki dalam akses seksual, tapi juga rasa ketidakpuasan dengan kualitas hubungan-hubungan mereka dengan laki-laki baik di dalam maupun di luar tempat tidur. Umpamanya yang menyangkut politik orgasme. Politik orgasme selalu menyatakan bahwa orgasme dicapai dengan penetrasi tetapi pendidikan yang dilakukan oleh para aktivis perempuan menyatakan bahwa penetrasi tidak menjamin tercapainya orgasme oleh perempuan. Menurut mereka, orgasme paling dirasakan di daerah klitoris perempuan, bukan di vaginanya. Sebagai penutup, Syarifah mengungkapkan bahwa aktivis perempuan sejatinya tidak pernah melihat sesuatu dengan perspektif tunggal, pun dalam memaknai seksualitas. Karena jika hal itu terjadi maka berarti mereka kembali menjadikan sesuatu sebagai ideologi besar yang mematikan perbedaan atau keberagaman. D (Daan)
No. 5 Th. II, Juli 2002
JAWAB
Suami Sering Menyakiti Pertanyaan: Saya seorang istri (35 tahun) sudah 10 tahun berumah tangga tetapi masih belum menemukan katentraman dan kedamaian (rumah tangga sakinah).Saya dan suami berbeda suku dan adat. Kami sama-sama dilahirkan di lingkungan agamis (pesantren). Perlu RAHIMA ketahui suami saya adalah anak lelaki tunggal. Selama 10 tahun kami ikut mertua dan saudara-saudara perempuan suami. Walau kami sama-sama bekerja, tapi suami tidak pernah memberikan nafkah kesehariannya. Hasil kerja saya hanya cukup untuk kebutuhan anak, kebutuhan saya dan bahkan suami kadangkadang minta kepada saya. Yang tidak bisa saya terima adalah sikap suami saya dan keluarganya. Kalau saya ingatkan kesalahannya ia tidak terima dan marah-marah. Ketika saya ajak untuk berbuat kebaikan ia bahkan pernah mengusir saya dan mengucapkan kata-kata cerai sampai 5 kali bahkan di depan anak. Begitu juga dengan orang tua dan saudara-saudaranya. Jika suamiku tak ada di rumah mereka selalu mengucapkan kata-kata yang menyakitkan hati. Bahkan mereka pernah memfitnah saya, tetapi saya selalu diamkan. Yang ingin saya tanyakan : 1. Sebenarnya saya ingin bercerai, tetapi bagaimana dengan 3 anak saya ? 2. Suami saya pernah mengucapkan cerai 5 kali, tetapi saya sudah nikah/rujuk, bagaimana hukumnya ? 3. Saya dikucilkan di lingkungan keluarga bagaimana saya harus melangkah ? 4. Apa yang dinamakan harta gono gini? Demikan pertanyaan saya. Nia Jember Jawab: Sebelumnya saya ingin mengucapkan rasa salut dan prihatin terhadap Ibu Nia yang mampu bertahan selama 10 tahun dalam kehidupan pernikahan yang penuh tekanan. Saya juga menghargai usaha-usaha Ibu untuk tidak larut dalam kebiasaan dan perilaku buruk suami dan keluarganya. Harapan saya,
No. 5 Th. II, Juli 2002
Swara Rahima
TANYA
Ibu tetap teguh dan istiqomah dengan nilai-nilai yang Ibu yakini dan jalani selama ini, seperti mandiri secara ekonomi, merdeka dalam bersikap, bertanggungjawab, mau kerja keras, tidak suka rizki yang haram, tidak suka menggunjing orang, dan sebagainya. Saya melihat itu semua adalah kekuatan ibu untuk menghadapi berbagai terpaan masalah kehidupan. Selalulah memohon kepada Allah SWT agar Ibu diberi kekuatan menghadapi dan menyelesaikan masalah secara jernih dan tuntas. Mengenai berapa hal yang Ibu tanyakan, saya ingin menanggapinya sbb: 1. Setiap pasangan yang menikah berharap pernikahannya akan bahagia dan langgeng sampai ajal memisahkan. Namun tidak semua impian jadi kenyataan. Inilah sebabnya Islam membolehkan perceraian sebagai jalan keluar terakhir jika rumah tangga menjadi neraka yang membuat salah satu atau kedua pasangan menderita. Allah SWT tahu betapa berat beban yang harus ditanggung pasangan yang bercerai, khususnya perempuan, seperti beban ekonomi, psikologis, sosial, dan sebagainya. Oleh karena itu, Allah berjanji dalam QS. An-Nisaâ&#x20AC;&#x2122;/ 4:130 yang artinya: â&#x20AC;&#x153;Dan jika keduanya bercerai maka Allah akan memberi kecukupan kepada masing-masing dari limpahan karunia-Nya. Dan adalah Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Bijaksana.â&#x20AC;? Ayat ini berkaitan erat dengan ayat sebelumnya yang berbicara tentang isteri yang diacuhkan, tidak dipedulikan dan dibiarkan terkatung-katung oleh suaminya (ayat 128-129), sehingga bisa dipahami ayat ini seolah-olah menjawab keresahan para isteri yang terpaksa menempuh perceraian sebagai cara menyelesaikan masalah. Dalam kasus seperti itu, Allah sama sekali tidak mencela isteri, apalagi jika sebelumnya isteri telah mengupayakan jalan damai (shulh). Sebaliknya, Allah justeru akan menjamin rizki mereka yang bercerai, termasuk anak-anak mereka. Jika kita perhatikan, banyak perceraian justru menjadi titik awal bagi kesuksesan hidup seseorang karena setelah itu ia bisa mandiri, bebas berekspresi (tentu sesuai dengan garis Allah), dan bisa melihat banyak peluang dan kesempatan. Tidak sedikit pula kisah sukses seorang perempuan yang
Swara Rahima -27
TANYA
Swara Rahima
membesarkan anak-anaknya seorang diri (single parent). Namun sebelum mengambil keputusan sebaiknya ibu berkonsultasi dengan keluarga Ibu dan jangan lupa minta petunjuk-Nya dengan shalat istikharah. Mudah-mudahan apapun langkah yang Ibu tempuh selalu diberkahi Allah SWT. Mengenai akibat hukum bagi anak-anak yang orangtuanya bercerai, dalam UU Perkawinan pasal 14 bagian a dinyatakan bahwa baik ibu maupun bapak wajib memelihara dan mendidik anak-anaknya semata-mata demi kepentingan anak. Jika ada perselisihan, pengadilanlah yang memutuskan. Dalam pasal yang sama bagian b disebutkan bahwa bapak bertanggungjawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan anak. Namun jika bapak tidak mampu pengadilan bisa memutuskan ibu ikut memikul biaya tersebut. Khusus mengenai perwalian anak, pengadilan bisanya memberikan hak perwalian dan pemeliharaan anak di bawah umur kepada ibu. Dasarnya, Kompilasi Hukum Islam pasal 105 yang menyatakan anak yang belum berusia 12 tahun adalah hak ibunya. Jika anak sudah mumayyiz (bisa memilih), ia dipersilakan memilih diantara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak pemeliharannya. Dalam pada itu, biaya pemeliharaan ditanggung oleh ayahnya. 2. Ada dua masalah hukum dalam kasus ini. Pertama, mengucapkan kata “cerai” 3 kali atau lebih dalam satu waktu dan tempat. Kedua, jatuh atau tidaknya talak bila diucapkan tidak di depan hakim/ saksi. Untuk masalah pertama, paling tidak ada tiga versi pendapat. Yang pertama, pendapat yang mengatakan bahwa talak itu dihitung satu, kecuali jika memang diniatkan untuk talak tiga. Dasarnya adalah hadis Nabi tentang sahabat Rukanah yang mentalak isterinya tiga kali pada satu tempat dan satu waktu. Setelah itu, ia merasa sedih lalu mengadu kepada Nabi. Menanggapi hal itu Nabi bersabda, “Talak (yang kamu ucapkan itu) terhitung satu. Maka rujuklah kepada isterimu jika kau menghendaki demikian.” Sahabat Rukanah kemudian rujuk kepada isterinya. (HR. Ahmad dan Abu Dawud dari Ibnu Abbas ra.) Pendapat ini dipegang oleh sebagian besar sahabat, jumhur tabi’in (generasi setelah sahabat) dan Imam Madzhab Empat. Praktik yang terjadi pada masa Nabi, Khalifah Abu Bakar dan awal pemerintahan Khalifah Umar juga menun-
2828-Swara Rahima
JAWAB jukkan bahwa untuk kasus-kasus yang demikian, talak yang dijatuhkan dihitung satu. Dasar pertimbangan yang lain adalah., pada umumnya talak yang demikian terjadi dalam suasana emosi tidak terkontrol, sehingga jika langsung dihukumi tiga akan menutup peluang rujuk bagi yang menyesali perbuatannya dan ingin kembali kepada pasangannya. Yang kedua, pendapat yang mengatakan bahwa talak itu dihitung tiga. Kalaupun diucapkan lebih dari tiga, maka yang terhitung tetap hanya tiga. Selebihnya merupakan kezaliman dan dosa yang harus ditanggung suami yang mengucapkan. Pendapat ini dianut oleh ulama yang memahami teksteks ayat dan hadis secara tersurat, seperti QS. Al-Baqarah/2:229, 230, 236 dan 237 (lihat FiqhusSunnah, bab ‘Ahad ath-Thalaqat). Namun demikian, pendapat ini tidak begitu populer karena ayat-ayat yang dijadikan argumen adalah ayat-ayat yang berbicara tentang talak secara umum sehingga tidak begitu kuat dijadikan dasar hukum jatuhnya talak tiga untuk kasus seperti yang Ibu kemukakan. Untuk masalah kedua, yakni apakah talak dianggap jatuh ketika diucapkan tidak di depan dua saksi yang adil (seperti hakim agama), ada ikhtilaf (perbedaan pendapat) juga. Sebagian besar ulama mazhab empat berpendapat talak tetap jatuh meskipun tidak diucapkan di depan dua orang saksi. Alasannya, talak adalah hak prerogratif suami, sehingga jika ia menggunakannya maka jatuhlah talak. Namun ulama madzhab Hambali dan fuqaha’ Syi’ah Imamiyah berpendapat talak harus diucapkan di hadapan dua orang saksi yang adil. Dasarnya adalah QS. Ath-Thalaq/65:2 yang memerintahkan agar rujuk dan cerai dipersaksikan kepada dua saksi yang adil semata-mata demi Allah SWT. Di samping kedua madzhab ini, banyak sahabat dan tabi’in yang mengharuskan talak di depan saksi, seperti khalifah Ali bin Abi Thalib r.a dan Imran bin Hushain ra. (sahabat), Atha’ Ibnu Juraij, Ibnu Sirin, Muhammad al-Baqir, Ja’far ash-Shadiq (tabi’in). Di Indonesia sendiri, talak baru dianggap sah jika diucapkan di depan Pengadilan Agama. Dengan kata lain dalam hal ini UU Perkawinan kita sejalan dengan pendapat kedua. 3. Ada baiknya Ibu merenungkan apa sebab Ibu dikucilkan. Jika memang ada sikap yang kurang baik, sebaiknya Ibu berusaha memperbaiki. Mintalah pertimbangan orang ketiga yang bisa melihat secara obyektif, apakah Ibu dikucilkan karena ada sikap Ibu yang kurang simpatik atau karena mereka
No. 5 Th. II, Juli 2002
tidak suka dengan Ibu. Jika alasannya karena tidak suka dan Ibu merasa yakin berbuat benar, rasanya Ibu tidak perlu takut. Anggaplah itu sebagai risiko memperjuangkan kebenaran di lingkungan keluarga suami. Dan memang, seperti dikatakan dalam sebuah hadis, memperjuangkan kebenaran ibarat menggenggam bara, apalagi jika itu terjadi dalam lingkungan yang zalim. Lakukan semuanya dengan niat ihlas lillahi ta’ala dan yakinlah Allah akan selalu membantu Ibu jika Ibu berada di jalan yang benar. Namun, agar Ibu tidak merasa sendiri, agaknya Ibu perlu menjalin hubungan persahabatan atau silaturrahim dengan teman-teman Ibu dan masyarakat, seperti jama’ah pengajian, kumpulan RT dan sebagainya. Yang tidak kalah pentingnya komunikasi dengan keluarga sendiri juga tidak boleh terputus. Penting agar keluarga suami tahu bahwa Ibu tidaklah sendirian, ada keluarga dan orang-orang yang memndukung. 4. Harta gono gini adalah istilah untuk harta benda yang diperoleh secara bersama-sama selama perkawinan. Harta yang sudah dimiliki sebelum menikah, mahar, warisan, hadiah dan hibah tidak termasuk harta gono gini. Bahkan dalam Islam harta yang diperoleh istri dari hasil jerih payahnya sendiri
JAWAB tidak termasuk harta gono gini karena itu milik pribadi isteri. Si isteri punya hak penuh atas hartanya itu. Jika isteri mau menggunakan harta itu untuk keperluan keluarga, maka itu dianggap sebagai sedekah yang punya dua pahala, yakni pahala sedekah dan pahala berbuat baik kepada keluarga. Hal ini pernah dinyatakan Rasulullah kepada Isteri Abdullah bin Mas’ud yang menyedekahkan hartanya untuk sang suami karena ia tergolong laki-laki miskin (HR Bukhari-Muslim). Di Indonesia ada ketentuan khusus mengenai harta bersama ini. Dalam kompilasi Hukum Islam pasal 96 dinyatakan, apabila terjadi cerai mati, maka separoh harta bersama menjadi hak pasangan yang hidup lebih lama. Sementara itu dalam pasal 97 ada ketentuan bahwa janda atau duda cerai hidup masing-masing berhak setengah dari harta bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam parjanjian perkawinan. Demikianlah, hukum Islam sebenarnya selalu memberikan hak atas harta bersama kepada isteri yang bercerai dengan suami, baik karena kematian maupun perceraian hidup.D Badriyah Fayumi
Swara Rahima
TANYA
SI LUMPUH DAN SI BUTA Pada suatu hari seorang lumpuh pergi ke sebuah warung dan duduk disamping seseorang yang sudah sejak tadi disana. “Saya tidak bisa datang ke pesta Sultan,” keluhnya, karena kakiku yang lumpuh sebelah ini aku tak bisa berjalan cepat.” Orang disebelahnya itu mengangkat kepalanya. “Saya pun di undang,” katanya, “tetapi keadaanku lebih buruk dari Saudara. Saya buta, dan tak bisa melihat jalan, meskipun saya juga diundang.” Orang ketiga, yang mendengar percakapan kedua orang itu, berkata, “Tetapi, kalau saja kalian menyadarinya, kalian berdua mempunyai sarana untuk mencapai tujuan. Yang buta bisa berjalan, yang lumpuh didukung di pungung. Kalian bisa menggunakan kaki si Buta, dan Si Lumpuh untuk menunjukkan jalan.” Dengan cara itulah keduanya bisa mencapai tujuan, dan pesta sudah menanti. Dalam perjalanan, keduanya sempat berhenti di sebuah warung lain. Mereka menjelaskan keadaannya kepada dua orang lain yang duduk bersedih disana. Kedua orang itu, yang seorang tuli, yang lain bisu. Keduanya juga diundang ke pesta. Yang bisu mendengar, tetapi tidak bisa menjelaskannya kepada temannya yang tuli itu. Yang tuli bisa bicara, tetapi tidak ada yang bisa dikatakannya. Kedua orang itu tak ada yang bisa datang ke pesta; sebab kali ini tak ada orang ketiga yang bisa menjelaskan kepada mereka bahwa ada masalah, apalagi bagaimana cara mereka memecahkan masalah itu. (Kisah-Kisah Sufi, Kumpulan kisah nasehat para guru sufi selama seribu tahun yang lampau oleh Idries Shah (terjemahan: Sapardi Djoko Damono) Penerbit: Pustaka Firdaus, 1984)
No. 5 Th. II, Juli 2002
Swara Rahima -29
KK II P RA H P R AH
“………….kiranya diperlukan cukup kearifan untuk memahami kasus jilbab dari perspektif Hak Azazi manusia (HAM). Soal pemakaian jilbab harus dimaknai sebagai kesadaran dan pilihan individu untuk melaksanakan keyakinan agamanya yang harus diberi ruang bukan dengan cara paksa……..” dok.rahima
Refleksi Hijriyah
Persoalan Perempuan Islam di Indonesia
P
Swara Rahima
ernyataan di atas disampaikan oleh salah seorang peserta yang hadir pada diskusi refleksi hijriah seputar perkembangan gerakan perempuan Indonesia sepanjang tahun 1422 H. Refleksi ini disusun dari kumpulan dokumentasi RAHIMA mengenai berbagai hal yang berkaitan dengan isu-isu perempuan dalam Islam di berbagai media. Kegiatan yang dipandu Farcha Ciciek dari RAHIMA ini berlangsung 14 Muharram 1423 H atau 28 Maret 2002 di Wisma PKBI Jakarta. “Ada lima isu besar yang dicatat oleh RAHIMA. Kelima isu tersebut ialah : presiden perempuan, kuota, kekerasan terhadap perempuan, jilbab dan pornografi,” demikian sambutan Ketua Panitia AD Kusumaningtyas. Kontroversi soal perempuan menjadi kepala negara pernah menyeruak di Indonesia menjelang Pemilu 1999. Isu ini kembali menghangat ketika Megawati Soekarnoputri dipilih oleh MPR menjadi presiden ke-5 RI menggantikan KH. Abdurrahman Wahid pada Juni 2001 lalu. Banyak kalangan yang pada awalnya mengharamkan perempuan menjadi kepala negara tidak terdengar lagi suaranya ketika mereka mendapatkan posisi yang strategis di pemerintahan Megawati. Tapi kelompok “Islam garis keras” seperti Front Pembela Islam (FPI), Laskar Jihad dan Komite Indonesia untuk Solidaritas Dunia Islam (KISDI) tetap “bertahan” mengharamkan perempuan menjadi pemimpin. Sementara beberapa ormas Islam seperti Muhammadiyah, NU, Anshor, dan Wanita Islam menyatakan tidak mempermasalahkan dan tidak melarang presiden perempuan. Meskipun kemenangan Megawati belum dapat diklaim sebagai kemenangan gerakan perempuan, setidaknya memberikan ruang bagi adanya political exercise bagi bangsa Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam dengan segala keragaman pemahamnnya maupun dengan keken-
3030-Swara Rahima
talan wacana patriarkis yang melingkupinya. Persoalan kekerasan terhadap perempuan merupakan isu yang selama ini diremehkan oleh publik meskipun jumlahnya teramat banyak, termasuk kekerasan terhadap perempuan yang terjadi di dalam rumah tangga (domestic violence). Sebagian masyarakat terutama masyarakat Muslim melihat persoalan ini sebagai “aib keluarga” yang harus ditutup-tutupi. Apalagi bila persoalan sudah menyangkut masalah status sosial pejabat publik ataupun pemuka masyarakat. Sebagai contoh adalah apa yang menimpa Siti Ruqoyah Ma’shum yang menggugat suaminya, Drs. SY, seorang anggota DPR-RI, karena melakukan tindak kekerasan baik fisik maupun psikis. Ruqoyah berhasil memenangkan kasus ini sekaligus mendapatkan sejumlah peggantian atas nafkah terutang yang menjadi kewajiban SY yang selama ini tidak diberikan. Penyelesaian ini merupakan suntikan energi bagi kalangan perempuan atas pesimisme yang seringkali muncul ketika persoalan ini harus menyinggung soal birokrasi dan kekuasaan. Isu lain yang juga menonjol adalah maraknya pornografi diberbagai media baik media cetak maupun media elektronik seperti televisi, radio, film dan internet yang dirasakan cukup meresahkan berbagai kalangan. Meskipun masih sulit menemukan batasan yang tepat tentang istilah pornografi, kasus ini diharapkan menjadi titik perekat kesadaran dan perjuangan gerakan perempuan di Indonesia dalam memerangi bentuk-bentuk kekerasan terhadap perempuan, karena inilah awal keprihatinan kita terhadap nasib kaum perempuan. Acara ini diformat dalam bentuk rountable discussion, peserta yang hadir dari kalangan aktivis perempuan, Wakil dari Kementrian Pemberdayaan Perempuan, dan beberapa organisasi perempuan Islam serta media massa. D (dani)
No. 5 Th. II, Juli 2002
Ketika Nyai dan Kiai Mendiskusikan Seksualitas
â&#x20AC;&#x153;
Swara Rahima
KK II PP RR A H A H
Apakah nafsu perempuan dan laki-laki sama?â&#x20AC;? inferior. Sedangkan laki-laki sebaliknya. Karena
Pertanyaan ini diajukan oleh salah seorang kyai peserta Halqah Nyai dan Kyai Muda yang diadakan pada tanggal 29 â&#x20AC;&#x201C; 30 Januari 2002 di pondok pesantren Darunnajah Kebayoran Lama Jakarta selatan. Pertanyan tersebut ditujukan kepada Ibu Augustine D. Sukarlan, salah seorang narasumber dari Universitas Indonesia yang berbicara mengenai seksualitas dan tubuh perempuan dari pandangan psikologi. Menurut Ibu Titin, panggilan akrab Augustine D. Sukarlan, pada awalnya ilmu psikologi memakai teori-teori yang bias gender. Misalnya teori yang menjelaskan kenapa sejak dulu secara psikologis jenis kelamin perempuan dianggap sebagai jenis kelamin kedua (the second sex). Sigmund Freud, seorang pakar psikologi dari Jerman, yang dikenal sebagai Bapak Aliran Psikoanalisa, mengatakan prilaku manusia itu sumbernya ada pada daerah psikis dan instink. Kenapa seseorang bisa tertarik pada lawan jenisnya, itu disebabkan adanya dorongan instink, bahwa ia sebagai manusia adalah mahluk seksual. Menurut Freud, laki-laki dan perempuan itu berbeda, karena pada dasarnya mereka itu secara biologis-anatomis berbeda. Laki-laki mempunyai penis dan perempuan mempunyai vagina. Vagina artinya liang atau lubang, disesuaikan dengan keadaan secara lahiriah. Sedangkan penis merupakan simbol yang menunjukkan suatu kekuasaan. Kata penis berasal dari kata phallus artinya kejantanan. Perempuan tidak memiliki phallus, tapi memiliki sesuatu yang tidak di miliki laki-laki. Ini yang kemudian dipakai sebagai landasan oleh Freud untuk mengatakan, perempuan tidak memiliki sesuatu yang dimiliki laki-laki, maka ia jadi inferior. Pendekatan ini disebut sebagai pendekatan phallucentris (berpusat pada phallus atau penis). Karena kondisi anatomis perempuan tidak memiliki simbol yang menunjukkan kekuasaan, di dalam perkembangan kepribadiannya, ia juga tidak akan menjadi makhluk yang berkuasa. Ia akan terus menjadi makhluk yang
No. 5 Th. II, Juli 2002
memiliki phallus, ia memiliki sesuatu yang bisa digunakan untuk mengembangkan diri, maka kepribadiannya berkembang sebagai orang berkuasa. Pendapat ini telah banyak ditentang oleh berbagai kalangan. Teori-teori Freud kebanyakan berdasarkan pada pengalaman prakteknya sendiri sebagai ahli syaraf. Dalam prakteknya, ia menemukan banyak sekali kaum perempuan yang mengalami masalah seksual dan kemudian mengalami histeria bahkan sampai terkena gangguan jiwa. Menurut Freud, jika seorang dok.rahima perempuan melakukan hubungan seksual seharusnya ia mengalami orgasme. Pada perempuan, ada dua macam orgasme, orgasme kritoral dan orgasme vaginal. Orgasme kritoral terjadi karena adanya rangsangan pada kritorisnya; sedang orgasme vaginal, karena ada rangsangan pada daerah vaginanya. Pada laki-laki orgasme hanya ada satu yaitu ejakulasi (keluarnya sperma dari saluran penis). Sedangkan perempuan bisa mencapai orgasme ganda.Tetapi ada beberapa perempuan yang mengalami ejakulasi juga. Demikian penjelasan ibu Titin mengakhiri sesinya. Pada pembahasan mengenai Seksualitas dari sudut Agama Islam, KH. Husein Muhammad, menandaskan bahwa tubuh perempuan yang sudah diciptakan Tuhan tidak bisa dijadikan alat untuk melegitimasi rendahnya martabat perempuan. karena tubuh bersifat relatif dan tidak mengurangi nilai-nilai fitrah perempuan sebagai mahluk Tuhan yang memiliki kemampuan-kemampuan yang sama dengan laki-laki. Halqah ini membahas seksualitas dari sudut pandang psikologis, sosial dan agama. Pesertanya terdiri dari nyai dan bapak muda yang berasal dari pesantren di Banten, Tasikmalaya, Cirebon, Lasem, Jember dan Bondowoso.D (leli/Dani)
Swara Rahima -31
INFO
Ulah Polisi Agama:
14 Siswi Tewas Terbakar “Mereka memaksa siswi-siswi itu untuk tetap berada di dalam sekolah dan tidak mengizinkan mereka untuk meninggalkan tempat yang tengah dilalap api itu karena tidak menutup kepala dan memakai abaya.”
S Swara Rahima
ebuah peristiwa tragis terjadi di Mekah Arab Saudi 11 Maret 2002. Sebanyak 14 orang siswi tewas terbakar dalam sebuah gedung yang tengah dilalap api. Ironisnya, mereka justru dibiarkan tewas atas nama agama. Peristiwa tewasnya orang dalam suatu kebakaran memang tidak terlalu unik. Peristiwa semacam itu sudah sering terjadi. Peristiwa di Arab Saudi tersebut menjadi tragedi kemanusiaan yang menyedihkan karena Polisi Agama justru melarang tim pemadam kebakaran untuk melakukan tindakan penyelamatan. Sebagaimana dilaporkan Saudi Press Agency (29/03/02), ketika kebakaran itu sudah makin membesar, para siswi itu mulai berteriak-teriak dan saling dorong agar bisa keluar dari gedung dan menyelamatkan diri dari amukan api yang kian tak terkendali. Instink kemanusiaan kita tentu akan segera tergerak ketika melihat kobaran api melahap bangunan rumah, sekolah atau apapun. Apalagi kalau di dalamnya ada nyawa manusia yang berteriak histeris ketakukatan meminta pertolongan. Begitupun hati para pemadam kebakaran Arab Saudi ketika melihat kobaran api di bangunan sekolah, mereka berusaha memadamkan api dan ingin menyelamatkan orang yang ada di kobaran api tersebut. Pemberitaan koran pemerintah di Saudi Arabia menuduh, usaha para pemadam kebakaran untuk
3232-Swara Rahima
menyelamatkan para siswi yang terjebak di bangunan sekolah dihalangi oleh para Polisi Agama. Akibat larangan tersebut, 14 dari 835 orang siswi terbakar dan meninggal dunia, 50 orang siswi lukaluka dan ratusan orang siswi lainnya berhasil menyelamatkan diri bersama 55 orang guru yang tengah berada di dalam bangunan tersebut. Surat kabar Saudi Gazette menyatakan kebakaran terjadi dan berkobar setelah 1 ½ jam pelajaran dimulai. Yang menyedihkan adalah alasan para Polisi Agama melarang pemadam kebakaran itu sematamata karena sebagian para siswi tersebut tidak mengenakan baju panjang dan penutup kepala yang diwajibkan di tempat umum. Di Saudi, para Polisi Agama secara rutin melakukan kontrol terhadap kehidupan pribadi masyarakat. Polisi Agama Arab Saudi akan melakukan tindakan jika perempuan tidak mengenakan pakaian yang diwajibkan tersebut. Mengutip pernyataan pemadam kebakaran dan kepolisian, surat kabar Al-Iqtishadiyah menyatakan, “Mereka memaksa siswi-siswi itu untuk tetap berada di dalam sekolah dan tidak mengizinkan mereka untuk meninggalkan tempat yang tengah dilalap api itu karena mereka tidak menutup kepala dan memakai abaya.” Abaya adalah baju luar wanita yang biasanya berwarna gelap. Tidak diberitakan bagaimana tindakan pemerintah Arab Saudi terhadap tragedi kemanusiaan tersebut. Juga tidak disebutkan apakah Polisi Agama itu ditindak atau tidak. Yang jelas, tragedi kemanusiaan sengaja dibiarkan terjadi hanya karena alasan pakaian. Pertanyaannya adalah, apakah seseorang atau sekelompok orang yang terancam nyawanya akan dibiarkan tewas hanya karena tidak menggunakan pakaian yang sebetulnya masih tergolong “khilafiyah” (debatable) tersebut? Sampai kapan tragedi kemanusiaan seperti itu terus terulang? Peristiwa mengenaskan itu memang terjadi di tempat yang sangat jauh dari Tanah Air kita Indonesia. Namun tragedi itu sekaligus bisa menjadi pelajaran bagi kita di sini untuk melihat kembali problem kemanusiaan di tengah maraknya tuntutan”legalisasi” syariat Islam. D(Gus/Man)
No. 5 Th. II, Juli 2002
Mengukuhkan Fikih [perspektif] Perempuan Judul Buku Penerbit
Tahun Terbit Tebal Penulis
Editor
: Tubuh, Seksualitas, dan Kedaulatan Perempuan : RAHIMA bekerjasama dengan LKiS dan The Ford Foundation, : Maret 2002 : xxii + 224 Hal : Abd. Moqsith Ghozali, Badriyah Fayumi, Marzuki Wahid, dan Syafiq Hasyim : Amirudin Arani dan Faqihuddin Abdul Kodir
B
eberapa pemikir membedakan fikih Islam (alfiqh al-islâmî) dengan pemikiran Islam (al-fikr al-islâmî). Fikih dianggap memiliki dasar dari teks agama (al-nushûsh al-syar’iyah), sementara pemikiran Islam muncul dari ragam rujukan yang tidak selalu teks-teks agama. Pemikiran Islam dianggap hanya merupakan kumpulan dari opini, analisis, kajian dan upayaupaya pendekatan terhadap persoalan-persoalan Islam, tanpa keterikatan untuk merujuk kepada teks-teks Islam. Sedangkan fikih merupakan pemahaman terhadap nash (teks al-Qur’an dan Hadits). Pada kenyataan selanjutnya, fikih dipraktikkan dalam tataran realitas. Sehingga ia seolah-olah “didaulat” berada di atas realitas bahkan “datang” untuk meluruskan realitas-realitas. Dengan cara pandang demikian, akhirnya fikih sering diklaim sebagai hukum dan sekaligus sumber kebenaran Islam dalam kaitannya dengan perbuatan-perbuatan manusia. Padahal fikih seharusnya dipandang sebagai hasil dari proses dialog antara nash (teks suci) dan realitas, bukan sebagai produk hukum (baca: Syari’at Islam) yang final dan mutlak. Berangkat dari perspektif itulah buku ‘Tubuh, Seksualitas dan Kedaulatan Perempuan’ ini ditulis. Karena ada kecenderungan kuat dari para penulis buku ini untuk melakukan dialog antara fikih dan realitas. Kehadiran buku ini tentu penting di tengah
No. 5 Th. II, Juli 2002
Swara Rahima
KHAZANAH
kering dan kakunya perspektif fikih yang selama ini ada. Apalagi para penulis buku ini mencoba melakukan pemotretan yang sangat tajam terhadap pergumulan fikih klasik dengan realitas-realitas yang ada. Dengan meletakkan fikih dan realitas dalam ‘meja dialog’, maka kajian dalam buku ini dapat dijadikan model baru dalam perkembangan wacanawacana fikih kontemporer. Buku ini juga mencoba menawarkan fikih berparadigma keadilan gender yang mengukuhkan kajian fikih “perspektif” perempuan diantara kajian-kajian fikih kontemporer yang ada. Tidak semua problem fikih diangkat dalam buku ini. Topik yang banyak dibahas adalah seputar persoalan seksualitas perempuan. Lewat problem seksualitas, para penulis hendak mengarahkan pembaca kepada persoalan otonomi tubuh dan hak perempuan. Kategori seksualitas diusung karena pada kenyataannya problem seksualitas, baik yang operasional maupun wacana, akan sangat terkait dengan “penghargaan” terhadap perempuan. Terlebih sejarah seksualitas dapat dikatakan sama tuanya dengan sejarah manusia. Muatan seksualitas dalam buku ini dibagi kepada dua kategori. Pertama yang berkaitan dengan hal teknis seksualitas misalnya onani-masturbasi, haid, dan orientasi seksual. Kedua, seksualitas yang berkaitan dengan otonomi tubuh dan hak perempuan melalui bahasan mengenai ‘iddah, kesaksian, KB, kekerasan terhadap perempuan dan menyusui. Walaupun hampir semua argumentasi yang dipaparkan penulis mengarah pada periwayatan teks-teks Qur’an hadits, namun kekuatan buku ini tidak semata-mata terletak pada pemaparan itu, tetapi juga dari sisi penguatan dan pemilahan para penulis dalam menanggapi realitas perempuan pada khususnya dan realitas sosial pada umumnya. Secara umum, buku ini memang tidak melakukan identifikasi baru dari problem-problem yang berkaitan dengan hukum fikih. Hanya saja ia merupakan sebuah kajian dari pembahasaan dan pengulasan kembali beberapa masalah yang dianggap krusial. Dengan penuh keberanian para penulis
Swara Rahima -33
KHAZANAH
Swara Rahima
membongkar “tabu-tabu” tradisi agama yang kerap bersinggungan dengan modernitas sehingga buku ini cukup kuat untuk melawan mainstream yang yang bercorak patriarkis. Beberapa tulisan yang cukup “menggigit” dan menarik untuk mengembangkan wawasan kritis misalnya tentang ‘iddah/ihdad’, dan seksualitas dalam Islam. Dalam persoalan-persoalan seperti ini, para penulis cukup berani mengkritik “distorsi” pemahaman agama yang terjadi selama ini. Dalam iddah dan ihdad, misalnya, Moqsith mengurai perdebatan fikih dalam konteks fikih “sebagai pemahaman kepada teks-teks” dengan fikih dalam konteks “sebagai pemahaman kepada realitasrealitas” [baca; kontekstual]. Ia menyimpulkan bahwa teks fikih klasik ternyata lebih menempatkan perempuan sebagai obyek perintah dan larangan; untuk tidak keluar rumah, tidak berhias, tidak memakai wewangian, tidak menggunakan pakaian yang baik dan tidak mencari pasangan. Padahal dalam teks al-Qur’an [sebagai rujukan utama] yaitu QS. 65:6, sebenarnya perintah ditujukan kepada laki-laki, yaitu perintah untuk menafkahi perempuan yang ditalak dan tidak mengeluarkannya dari rumah keluarga. Ironisnya, kebanyakan ulama fikih klasik telah “mengubah” perintah kepada laki-laki tersebut menjadi larangan kepada perempuan. Perintah agar laki-laki tidak mengeluarkan perempuan dari rumah keluarga, menjadi larangan kepada perempuan agar ndekem menunggu rumah, tanpa keluar ke tempat manapun. Kalau tidak melalui pendekatan dan paradigma yang sensitive gender, barangkali distorsi dan pembalikan-pembalikan seperti hal tersebut dalam teks-teks fikih klasik tidak akan terdeteksi dengan baik. Sedangkan untuk perdebatan seputar seksualitas dalam Islam, keberanian Syafiq Hasyim dalam menjabarkan historisitas dan distorsi pandanganpandangan tentang seksualitas menjadikan tulisan ini menjadi cukup jernih dalam membawa pembaca memahami seksualitas itu sendiri. Baik dari konteks pemahaman seksualitas dalam realitas manusia sendiri maupun ketika dikaitkan dengan norma agama. Dalam hal ini penggiringan kepada proses dialog dengan realitas lagi-lagi menjadi dominan. Hal ini cukup membantu dalam membawa pembaca menganalisis lebih jernih, tanpa dikelabui stigmastigma lama. Karena masalah seksualitas memang sudah mendapatkan stigma buruk sehingga ketika ada pembahasan tentang hal ini seringkali hanya
3434-Swara Rahima
Semua tema yang dibahas dalam buku ini mengedepankan masalahmasalah dari realitas kekinian sehingga dapat dikatakan berhasil menguatkan paradigma kontektualisasi teks-teks agama. Karena, sekali lagi, fikih akhirnya hanya bisa dipahami sesuai dengan konteksnya masing-masing. melahirkan justifikasi. Namun, ternyata pembahasan yang dilakukan penulis tidak serta merta melahirkan justifikasi-justifikasi tersebut. Buku ini juga memuat beberapa tulisan lainnya, seperti kekerasan terhadap perempuan, haid, KB, menyusui dan kesaksian terhadap perempuan. Dari sisi tema dan penjabaran, masalah iddah dan seksualitas inilah yang biasanya banyak “memancing” reaksi masyarakat, bukan karena tema ini memang kontroversial, tetapi lebih karena perlawanan terhadap arus mainstream sangat terlihat jelas dari refleksi dua tema tulisan tadi, yaitu iddah dan seksualitas. Semua tema yang dibahas dalam buku ini mengedepankan masalah-masalah dari realitas kekinian sehingga dapat dikatakan berhasil menguatkan paradigma kontektualisasi teks-teks agama. Karena, sekali lagi, fikih akhirnya hanya bisa dipahami sesuai dengan konteksnya masingmasing. Bukan dengan memulainya lewat dogmadogma yang kering dari realitas dan kemudian dipakai untuk menjustifikasi realitas itu sendiri. Dengan berkaca pada realitas dan mendialogkannya kepada pemahaman agama yang ada, maka siapapun berhak — bahkan diharuskan — untuk menentukan norma-norma “fikih” dengan mendasarkan pada realitasnya sendiri. Sehingga dengan demikian adagium bahwa fikih [syari’at Islam] tepat untuk segala zaman [shalihah likulli zaman wa makan] menjadi benar, baik secara konseptual maupun praktikal. D (Daan-Faqih)
No. 5 Th. II, Juli 2002
Mendaulatkan Seksualitas Perempuan Oleh : Marzuki Wahid Staf Pengajar Fakultas Syari’ah IAIN Bandung dan Staf Peneliti pada LAKPESDAM-NU Jakarta
Seks adalah pemberian Tuhan sebagaimana pemberian-pemberian lain pada setiap mahlukNya. Ia adalah rahmat, karunia, dan sekaligus amânat.
S
eks adalah kebutuhan azali manusia. Semenjak dari merancang, Tuhan sudah memikirkan seks manusia yang kelak menjadi kebutuhannya. Dengan kesadaranNya, Tuhan menciptakan manusia berpasangan, lengkap dengan seperangkat alat-alat seksnya yang unik. Tanpa melalui proses pengajaran, manusia mampu mempergunakan seperangkat alat-alat seks itu secara tepat, bahkan sangat kreatif. Adam dan Hawa adalah contohnya. Ini karena bersama dengan rancangan itu, Tuhan melengkapi manusia dengan “naluri seksual” sebagaimana yang diberikan kepada mahluk-mahluk lainnya. Oleh karena itu, seks adalah natur, naluri, dan kepentingan biologis-keberlangsungan (li altanâsul). Keberadaannya melekat dengan nadi kehidupan. Sering dikatakan bahwa kehidupan itu sendiri adalah seks. Tak seorang pun bisa mengintervensi urusan seks manusia sebagaimana juga tidak mungkin mengatur arah kehidupannya. Seks merupakan kedaulatan diri, harga diri, dan mahkota kehidupan. Ia hanya bisa diberikan dan dilakukan
No. 5 Th. II, Juli 2002
Swara Rahima
TAFSIR AL-QUR’AN
melalui kesadaran diri, dan melalui kontrak (al-‘aqd) atau kesepakatan bersama (‘an tarâdl). Perlakuan di luar itu adalah pemerkosaan, pengangkangan, dan pelanggaran terhadap hak asasi manusia, yang dalam bahasa al-Qur’an disebut al-zinâ. Ini tidak lain karena seks adalah hak asasi setiap individu. Secara dasariyah, seks menganut kebebasan sebagaimana bebasnya individu untuk memperlakukan organ-organ seksualnya. Pembatasannya adalah ketika penggunaan seks berbenturan dan mengusik kebebasan orang lain. Dengan kata lain, regulasi tentang seks mulai dibutuhkan ketika seks bekerja dalam konteks hubungan sosial dengan pihak lain. Inilah yang senantiasa menjadi wacana dan perdebatan publik, termasuk dalam ajaran-ajaran agama.
Teologi Seksualitas Perlu ditegaskan terlebih dahulu, bahwa seks adalah pemberian Tuhan sebagaimana pemberianpemberian lain yang dilekatkan pada setiap kehidupan mahluk-Nya. Ia adalah rahmat, karunia, dan sekaligus amânat (kepercayaan) karena satu misi pelestarian dan keberlangsungan kehidupan. Seks adalah bagian dari cara Tuhan (sunnatullâh) mereproduksi jenis-jenis ciptaanNya secara natural. Ini seks dalam pengertian khusus. Dalam pengertian yang umum, seks sesungguhnya terkait erat dengan perasaan, emosi, naluri, dan juga rasio yang menjadi bagian tak terpisahkan dari keutuhan jiwa-raga sebagai mahluk hidup. Setiap orang, baik laki-laki maupun perempuan, secara kudrati telah dilengkapi organ-organ seks sekaligus naluri seksualnya. Manusia memiliki hak penuh untuk menikmati dan memperlakukan organorgan seks tersebut sesuai dengan kehendak dan kesadarannya, yang tentu saja diharapkan tidak mengabaikan norma-norma yang digariskan oleh Sang Pemberi Anugerah tersebut. Sebagai pemberian Tuhan yang melekat dalam eksistensi manusia,
Swara Rahima -35
TAFSIR AL-QUR’AN
Swara Rahima
maka seks merupakan bagian dari otonomi diri. Tidak seorang pun yang diberi peluang dan hak untuk merampas dan mengambil alih hak seksualitas orang lain. Oleh karena itu, dalam pandangan teologis tidak saja dilarang adanya praktik-praktik yang mengarah kepada penguasaan dan eksploitasi seksual, tetapi juga subordinasi seksualitas sebagaimana yang selama ini terjadi antara laki-laki atas perempuan. Dalam konteks hubungan lelaki dan perempuan, seks memiliki kesetaraan (sexual equality). Baik laki-laki maupun perempuan diberikan organ, naluri, potensi, dan energi seksual yang setara. Perbedaannya terletak pada bentuk, beberapa fungsi, wujud dan ekspresi tertentu dari setiap organ seksual itu. Perbedaan ini sengaja diciptakan Tuhan sebagai pasangan (partner kesempurnaan [jawz]) yang diharapkan dapat memperwujudkan Tuhan dengan segala amanat dan misiNya di bumi, dan tidak dalam maksud untuk dibeda-bedakan dalam perlakuan sosial, politik, ekonomi, maupun budaya [QS al-Nisa: 1, al-A’raf: 188, al-Zumar: 6, al-Nahl: 72, al-An’am: 8]. Pembedaan perlakuan sosial (diskriminasi) berdasarkan jenis kelamin, lebih khusus lagi dalam soal seksual, merupakan bagian dari penentangan terhadap kehendak dan “strategi” kehidupan yang dirancang oleh Tuhan. Al-Qur’an sesungguhnya secara dasariyah menganut paham ini, yakni prinsip kesetaraan, partnership, dan keadilan dalam hubungan seksual lakilaki dan perempuan. Hal itu dinyatakan sendiri oleh al-Qur’an dalam bahasa metaforik: “Hunn-a libâsun lakum wa antum libâs-un lahunn-a” (Mereka [perempuan] itu adalah pakaian bagimu dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka) [QS al-Baqarah: 187]. Pakaian, dalam penjelasan Tafsîr Jalâlayn, merupakan simbol dari kebutuhan dasar (basic need) yang tidak mungkin dipisahkan antara lakilaki dan perempuan. Ibn Abbas mengkongkretkan bahwa kebutuhan dasar yang dimaksud adalah kebutuhan ketentraman, kedamaian, dan ketenangan satu sama lain. Dalam diri laki-laki ada ketentraman bagi perempuan dan sebaliknya dalam diri perempuan ada kedamaian bagi laki-laki. Seks Perempuan dalam al-Qur’an Al-Qur’an tidak secara spesifik menjelaskan perihal seksualitas. Tetapi al-Qur’an juga tidak menghindar dari pembicaraan ini. Dalam beberapa ayatnya, al-Qur’an secara gamblang membicarakan dan menjelaskan jenis kelamin sebagai kenyataan
3636-Swara Rahima
(sunnatullâh) seksual, tetapi pembicaraannya lebih cenderung sebagai relasi seksual suami-isteri ketimbang seks sebagai hak individu. Karenanya, pembicaraan nikah sebagai pelembagaan relasi sosial seksual memperoleh penjelasan yang cukup lengkap dibanding dengan seksual sebagai hak setiap orang. Akibatnya, timbul suatu pemahaman dan persepsi di kalangan masyarakat bahwa penyaluran seksual hanya bisa dilakukan lewat jalur pernikahan belaka, dan seks adalah semata-mata hubungan kelamin (wathî) antara suami dan isteri. Padahal makna seks jauh lebih luas dari sekadar itu. Setiap aktivitas yang berhubungan dengan organ-organ seks, dan memperoleh kenikmatan darinya, mungkin bisa disebut sebagai aktivitas seksual. Sejak bayi, meskipun belum sempurna, setiap orang tentu telah melakukan aktivitas seksualnya. Karena itu, aktivitas seksualitas tidak bisa dibatasi hanya setelah atau karena melakukan pernikahan. Seks bisa dilakukan dan terjadi di mana dan kapan saja dalam setiap tahapan perkembangan manusia. Oleh karenanya, yang kita butuhkan sebetulnya adalah penjelasan tentang hak-hak seksual dan sekaligus juga aturan-aturan etika dan moral yang melingkupinya. Akan tetapi, ketentuan-ketentuan demikian ternyata tidak kita temukan dalam teksteks al-Qur’an. Ini bisa dipahami karena al-Qur’an memang bukan “buku panduan” dan bukan pula “kitab hukum” yang merinci setiap persoalan, melainkan sekadar kerangka makro dan prinsipprinsip dasar belaka sebagai konsekuensi dari kedudukannya sebagai sumber dari segala sumber nilai dan hukum. Meski begitu, dalam metafora yang cukup terang, seksualitas digambarkan oleh al-Qur’an sebagai “cocok-tanam”, di mana harus tersedia ladang, penanam, bibit yang ditanam, dan cara yang digunakan dalam bercocok-tanam. Dalam QS alBaqarah ayat 223 dinyatakan “Nisâ’ukum harts-un lakum fa’tû hartsakum annâ syi’tum” (Istri-istrimu adalah [seperti] tanah tempat kamu bercocoktanam, maka datangilah tanah tempat bercocoktanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki). Ayat ini, seperti telah dinyatakan di atas, menggambarkan relasi seksual suami dan istri. Dalam ayat itu, sekilas tergambar bahwa seksualitas perempuan adalah pasif dan sebaliknya seksualitas lelaki harus aktif, terutama ketika berhubungan kelamin (jimâ’). Juga tergambar bahwa perempuan harus mau dan siap untuk diperlakukan bagaimana saja oleh kehendak seksualitas sang suami. Seba-
No. 5 Th. II, Juli 2002
gai “ladang”, perempuan bisa ditanami apa saja, kapan saja, dan bagaimana saja caranya oleh si penanam bibit itu, kaum laki-laki. Dengan kata lain, perempuan adalah objek (ladang) bagi seksualitas lelaki, dan posisinya subordinatif dari seksualitas laki-laki. Penafsiran dan pemahaman demikianlah yang umum berkembang di tengah-tengah masyarakat. Pemahaman ini membentang lebar dari zaman unta hingga zaman nuklir, dari Barat hingga Timur. Bisa jadi segala bentuk diskriminsi, subordinasi, dan ‘fitnah’ atas seksualitas perempuan yang selama ini beroperasi melalui ajaran keagamaan, seperti ajaran khitan-perempuan dan pengharusan istri untuk memenuhi hasrat seksualitas suami, bersumber dari pemahaman dan penafsiran terhadap ayat ini. Padahal pemahaman dan penafsiran ini keliru dan tidak memiliki dasar penafsiran yang sahih kecuali sebagai bias dari kukuhnya budaya dan alam pikir patriarki yang menyelimuti para mufassir dan khalayak dari masa ke masa. Ayat tadi, jika kita tilik dari konteks turunnya, sebenarnya menjelaskan tentang “kebebasan cara” dalam melakukan hubungan seksual antara suami dan istri. Oleh banyak kitab tafsir dijelaskan bahwa cara itu bisa dipraktikkan sambil berdiri, duduk, tiduran, jongkok, dari depan, dari belakang, dari samping, dan bisa dengan model apapun selagi masih berfokus ke dalam lobang farj (vagina). Farj adalah fokus seksualitas yang ditekankan ayat ini. Harst (ladang) yang dimaksud adalah farj (vagina), bukan anus (dubur) atau lobang lainnya. Dijelaskan oleh Rasulullah SAW, “innahâ ‘alâ kulli hâl-in idzâ kâna fiy al-farj-i” [Sebenarnya seksualitas bisa dilakukan bagaimana saja caranya asalkan tertuju pada farj]. Oleh karenanya, ayat ini tidak dalam maksud menggambarkan posisi struktural seks laki-laki atas perempuan yang subordinatif, sebagaimana umum dipahami. Dalam sabab al-nuzûl, ayat ini turun sebagai penolakan atas persepsi orang Yahudi yang beranggapan bahwa “siapa yang menyetubuhi isterinya dari arah belakang, maka anaknya akan lahir juling.” Sekali lagi, aksentuasinya adalah teks fa’tû hartsakum annâ syi’tum (datangilah “ladangmu” [vagina] itu bagaimana saja kamu kehendaki). Karenanya, menurut saya, ayat ini menganut kebebasan cara melakukan hubungan seksual, dan untuk menentukan “bagaimana” kebebasan cara ini diterapkan dalam tataran praksis tentu perlu musyawarah antara suami dan istri terlebih dahulu
No. 5 Th. II, Juli 2002
Dalam konteks hubungan lelaki dan perempuan, seks memiliki kesetaraan (sexual equality). Baik laki-laki maupun perempuan diberikan organ, naluri, potensi, dan energi seksual yang setara. Perbedaannya terletak pada bentuk, beberapa fungsi, wujud dan ekspresi tertentu dari setiap organ seksual itu.
Swara Rahima
TAFSIR AL-QUR’AN
[QS al-Syura: 38, Ali ‘Imran: 159). Ayat tersebut sekaligus menunjukkan bahwa hubungan seksual sesungguhnya bukan sematamata untuk kepentingan reproduksi (untuk melanjutkan keturunan), tetapi juga bisa untuk kepentingan rekreasi. Fungsi reproduksi hanya salah satu dari fungsi relasi seksual. Apalagi jika melihat masa subur perempuan yang sangat sempit, yakni hanya 12 jam dalam satu bulan, maka nampak sekali betapa hubungan seks sebetulnya lebih banyak berdimensi rekreatif ketimbang reproduktif. Sedangkan relasi struktural seksual tetap mengacu kepada QS al-Baqarah: 187 yang berbunyi “Hunn-a libâs-un lakum wa antum libâs-un lahunn-a” (Mereka [istri] itu adalah pakaian bagimu dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka), yakni suatu hubungan yang setara, saling melengkapi, dan saling membutuhkan sebagai partner dalam menyalurkan hasrat seksualnya. Visi Pembebasan Al-Qur’an Kita memang harus memposisikan al-Qur’an secara proporsional, sebagai aturan (norma dan nilai) yang universal, yang bersendikan keadilan, kemaslahatan, dan mengangkat harkat dan derajat kemanusiaan, sebagai sesuatu yang qath’iy. Positioning ini perlu dilakukan, terutama, dalam memahami ayat-ayat yang berhubungan dengan seksualitas dan relasi gender. Ini dilakukan karena al-Qur’an diturunkan pada
Swara Rahima -37
TAFSIR AL-QUR’AN
Islam melalui alQur’an bertendensi ke arah pembebasan perempuan. Ajaranajarannya tampak sebagai pemberontakan terhadap budaya dominasi lakilaki atas perempuan. Perempuan didudukkan secara setara dengan lakilaki (QS al-Baqarah: 228).
Swara Rahima
abad ke-7 M di kawasan Arabia yang, secara sosiologis, masyarakatnya memiliki konstruk dan persepsi kebudayaan yang diskriminatif mengenai perempuan. Tatanan yang berlaku pada masyarakat jazirah Arabia ketika al-Qur’an turun adalah sistem patriarki atau kebapakan, suatu budaya yang dibangun di atas struktur dominasi laki-laki sebagai pusat kuasa. Perempuan, dalam kebudayaan mereka, diposisikan dan diperlakukan sedemikian rendah dan hina. Kebiasaan yang bisa dicatat dari budaya mereka terhadap perempuan adalah pembunuhan bayi perempuan, pelecehan seksual terhadap [budak] perempuan, peniadaan hak waris bagi kaum perempuan, dzihâr, poligami tanpa batas, menceraikan perempuan sesuka lelaki, dan lain-lain (Asghar Ali Engineer: 1994). Perempuan saat itu tidak lebih dari sekadar mesin reproduksi manusia. Ia bak komoditas reproduktif. Oleh karena itu, memahami ayat-ayat al-Qur’an tidak bisa hanya berhenti pada teks semata, melainkan harus menyertakan bacaan konteks sosialbudaya kapan dan di mana teks itu terbentuk. Membaca ayat al-Qur’an tentang seksualitas tanpa membaca konstruk kebudayaan masyarakat Jazirah Arabia saat itu hanya akan menghilangkan misi emansipatoris yang tersirat dalam setiap maknanya. Kita tahu, posisi perempuan saat ayat-ayat al-
3838-Swara Rahima
Qur’an diturunkan berada dalam anggapan yang buruk, bahkan sampai menjadi keyakinan bahwa perempuan adalah makhluk sumber ‘fitnah’, lemah, mewarisi kejahatan, tidak mempunyai kemampuan intelektual, dan kosong dari spiritualitas; karena itu, perempuan “tidak setara dengan kaum lelaki”. Konsekuensinya, perempuan dianggap tidak mampu dan tidak laik untuk memikul peran-peran publik dan segala hal yang memiliki akses ke dalam wilayah publik. Perempuan dicukupkan hanya mengurusi, bukan mengatur, hal-hal yang berada pada wilayah domestik belaka. Dalam latar sosio-budaya demikianlah, di antaranya, al-Qur’an diturunkan sebagai jawaban, bantahan, dan alternatif nilai untuk membangun kembali tata kebudayaan yang adil. Benar, apa yang dikatakan oleh Fazlur Rahman bahwa Al-Qur’an merupakan respon Allah yang disampaikan melalui Rasul-Nya untuk menanggapi situasi sosial-moral pada masa Nabi. Al-Qur’an dan asal usul masyarakat Islam muncul dalam sinaran sejarah dan berhadapan dengan latar belakang sosial-historis. Al-Qur’an merupakan respon terhadap situasi tersebut dan sebagian besar kandungannya terdiri dari pernyataan moral, religius, dan sosial, sebagai respon terhadap masalah spesifik yang dihadapkan kepadanya dalam situasi-situasi yang konkret. Al-Qur’an hadir dengan weltanschauung (pandangan hidup) sendiri. Secara tegas, al-Qur’an mengakui adanya perbedaan anatomis dan biologis antara seksualitas perempuan dan seksualitas lakilaki. Al-Qur’an juga mengakui bahwa organ seks berfungsi dengan cara yang mencerminkan perbedaan yang dibatasi dengan baik oleh kebudayaan tempat al-Qur’an berada. Al-Qur’an tidak berusaha menghapus perbedaan anatomis dan biologis itu, juga tidak menghilangkan signifikansi perbedaan yang kudrati itu. Tetapi juga al-Qur’an tidak pernah membuat aturan yang secara kultural menjadikan perbedaan seks itu dapat diperlakukan secara diskriminatif, subordinatif, dan dominatif atas yang lain. Sebab ketentuan-ketentuan kultural semacam itu (jika ada) akan bertentangan dengan skala fungsi al-Qur’an sendiri yang bersifat universal, lintas kultural, melampaui batas ruang dan waktu. Dalam pemahaman demikian, kita akan menemukan optimisme bahwa Islam melalui al-Qur’an bertendensi ke arah pembebasan perempuan. Ajaran-ajarannya tampak sebagai pemberontakan terhadap budaya dominasi laki-laki atas perempuan. Perempuan didudukkan secara setara dengan laki-
No. 5 Th. II, Juli 2002
TAFSIR AL-QUR’AN adalah orang pertama di kawasan Arabia yang memikirkan proses perubahan yang terjadi secara serius. Ia sekaligus menjadi pemimpin terkemuka yang mampu mengartikulasikan teori yang sistematis dan masuk akal untuk memajukan peradaban umat manusia, baik pada tataran spiritualitas maupun teknis-pragmatis. Tentu saja tawarannya membawa konsekuensi terjadinya restrukturisasi masyarakat secara radikal menuju kepada keadilan gender. Di sinilah, Nabi Muhammad adalah seorang revolusioner, baik dalam ucapan maupun perbuatannya. Ia bekerja demi perubahan radikal pada struktur masyarakat pada masanya. Dengan inspirasi wahyu ilâhiyah, menurut formulasi teologis, ia mengajukan sebuah alternatif tatanan sosial yang adil dan tidak eksploitatif, tidak diskriminatif, serta menentang perbudakan dan kecenderungan-kecenderungan tidak humanis terhadap perempuan. Dalam konteks ini, bukankah Nabi Muhammad SAW bisa disebut seorang “feminis”? Wallahu a’lam.D
Swara Rahima
laki (QS al-Baqarah: 228). Baik laki-laki maupun perempuan di hadapan Allah adalah sama: mereka memiliki asal-usul hidup yang sama (QS al-Nisâ’: 1), sama-sama makhluk (ciptaan) Allah yang mengemban fungsi ganda sebagai hamba Allah (‘abdullâh) [QS al-Dzariyat: 56] dan khalifah Allah (khalifatullâh fi al-ardl) [QS al-Baqarah: 30]. Keduanya dimuliakan Allah secara setara [QS alIsra: 70], dan satu sama lain ibarat pakaian yang saling membutuhkan, melengkapi, dan menyempurnakan; tak akan sempurna tanpa kehadiran yang lain [QS al-Baqarah: 187]. Perbedaan mereka di hadapan Allah adalah masalah kualitas kerja, amal, iman, dan ketaqwaan, bukan karena faktor jenis kelamin [QS al-Hujurat: 13]. Adapun keunggulan (fadlilat) yang diberikan Allah kepada satu atas yang lain atau kepada laki-laki atas perempuan, sebagaimana dinyatakan dalam surat al-Nisâ’:34, bukanlah superioritas jenis kelamin. Itu karena fungsi-fungsi sosial yang telah dikonstruksi sedemikian rupa oleh perkembangan kebudayaan masyarakat. Nabi Muhammad SAW dengan al-Qur’annya
INGIN TAHU PERSOALAN
PEREMPUAN DAN ISLAM
?
TEMUKAN BUKU, MAJALAH, KLIPING, PROSEDING DAN VCD-NYA DI PERPUSTAKAAN RAHIMA Jl. Pancoran Timur IIA No. 10 Perdatam Jakarta Selatan Telp./Fax. 021-7984165 Telp. 021 - 798 2955 Email:rahima2000@cbn.net.id Website: www.rahima.or.id
No. 5 Th. II, Juli 2002
Swara Rahima -39
DIRASAH HADIS
Seksualitas Perempuan dalam Teks-teks Hadis Nabi Saw Oleh: Faqihuddin Abdul Kodir MA
D
Swara Rahima
alam fikih Islam ada dua definisi tentang perkawinan. Pertama bahwa perkawinan adalah akad pemilikan (‘aqd at-tamlîk) dan kedua sebagai akad pewenangan (‘aqd al-ibâhah). Baik dalam definisi yang pertama maupun yang kedua, posisi perempuan selalu menjadi obyek dari kepentingan laki-laki. Karena akad pemilikan dalam fikih, berarti pemilikan laki-laki terhadap perempuan, atau pemilikan hak menikmati tubuh perempuan. Sementara akad pewenangan juga berarti akad yang memberikan wewenang kepada laki-laki untuk menikmati tubuh perempuan. Perempuan memang memiliki hak yang sama untuk menikmati tubuh suaminya, tetapi hak tersebut tidak disebutkan secara eksplisit dalam definisi perkawinan. Lain halnya dengan hak laki-laki yang secara eksplisit dinyatakan bahwa perkawinan adalah (hanya) hak pemanfaatan laki-laki terhadap tubuh perempuan. Konsekuensinya, ulama fikih tidak tegas ketika membicarakan apakah isteri juga memiliki hak yang sama atas kenikmatan seksual juga tidak tegas apakah suami berkewajiban memenuhi hasrat seksual isterinya. Definisi perkawinan yang menempatkan perempuan sebagai “bawahan” laki-laki memperoleh pembenaran dari beberapa teks hadis, seperti hak suami terhadap tubuh [seksualitas] istrinya dan kewajiban perempuan untuk menyerahkan tubuhnya [tamkîn] demi hasrat seksual suaminya. Sementara untuk yang sebaliknya, tidak ditemukan satu teks hadispun menyangkut hak seksual perempuan, atau kewajiban laki-laki memenuhi hasrat seksual isterinya. Ada beberapa hadis yang membicarakan subordinasi seksualitas perempuan ini. Diantaranya sabda Nabi: “Apabila seorang suami mengajak isterinya berhubungan intim, lalu isterinya menolak sehingga ia marah sepanjang malam; maka isteri tersebut dilaknat oleh malaikat sampai pagi hari [idzâ da’â ar-rajulu imra’atuhû ilâ firâsyihî, fa ‘abat an tajî’a, fa bâta ghadhbâna, la’anat hâ al-malâ’ikatu hattâ
4040-Swara Rahima
tushbih]”, riwayat Bukhari, Muslim dan Abu Dawud (lihat: Ibn al-Atsir, Jâmi’ al-Ushûl, VII/323, no. hadis: 4706). Dengan melihat sumber rujukan hadis ini, mayoritas ulama menyatakan bahwa hadis ini adalah shahih. Setidaknya dalam kritik sanad, ia telah dianggap layak, benar dan valid [shahih]. Bukhari menempatkan hadis ini dalam Al-jâmi’ al-Shahîh’nya, kitab an-Nikah, bab yang ke-86, nomor hadis 5193. Tetapi dalam riwayat Bukhari tidak diungkapkan kalimat ‘sehingga suaminya marah sepanjang malam’ [fa bâta ghadhbâna]. Sementara dalam riwayat lain kalimat tersebut disebutkan, bahkan menjadi klausa yang terpenting. Ibn Hajar al-’Asqallani dalam kitab Fath al-Bari mendukung penuh kesahihan hadis ini. Baginya, ada beberapa hadis lain yang memperkuat [syawâhid] hadis di atas. Yaitu: riwayat Muslim dari Abi Hazim: “Demi Dzat yang menguasai diriku, seseorang yang memanggil isterinya ke ranjangnya (berhubungan intim), lalu sang isteri menolaknya, sungguh semua yang berada di langit mengutuk isteri tersebut sampai sang suami memaafkannya”. Riwayat pendukung [syawâhid] lain oleh Ibn Khuzaimah dan Ibn Hibban, dari Jâbir ra: “Tiga orang yang shalatnya tidak diterima oleh Allah dan kebaikannya tidak naik ke langit; (1) budak yang lari dari tuannya sampai kembali, (2) orang yang mabuk sampai ia sadar dan (3) perempuan yang dimurkai suaminya sampai ia memaafkan” (lihat: al-’Asqallani, Fath al-Bari, X/368). Dalam pemaknaan, secara sederhana dipahami oleh ulama bahwa isteri wajib memenuhi ajakan suaminya untuk berhubungan intim. Isteri bisa berdosa, bahkan dilaknat oleh malaikat, ketika ia menolak ajakan tersebut. Dalam riwayat Bukhari yang tanpa fa bâta ghadhbâna, berarti laknat itu melekat pada perempuan ketika terjadi penolakan darinya. Sementara riwayat Muslim, Abu Dawud, Ibn Khuzaimah dan Ibn Hibban, dengan klausa fa bâta
No. 5 Th. II, Juli 2002
DIRASAH HADIS
ghadhbâna dipahami beberapa ulama bahwa laknat hanya turun ketika penolakan menimbulkan kemarahan suami. Penolakan saja, yang tidak menimbulkan kemarahan suami, tidak mengakibatkan laknat, atau tidak berdosa. Penentunya adalah lakilaki. Dalam pemaknaan fikih terhadap hadis di atas, tugas primer isteri adalah memenuhi kebutuhan seksual suami. Isteri berkewajiban penuh untuk melayani hasrat seksual suami. Kewajiban isteri ini merupakan konsekuensi dari kewajiban nafkah oleh suami. Dalam fikih, suami dibebani kewajiban nafkah dalam kaitannya ia memperoleh hak untuk menikmati tubuh isterinya [an-nafaqah fi muqâbalat al-istimtâ’]. Artinya, isteri yang ingin memperoleh hak nafkah, setiap saat harus selalu dalam keadaan bersedia untuk dinikmati oleh suaminya. Jika tidak, misalnya ketika ia belum memiliki kesiapan fisik untuk disetubuhi karena berumur kecil, atau ketika ia dimasukkan penjara karena suatu tindak pindana, atau ia melakukan penolakan terhadap ajakan hubungan intim suaminya [nusyuz], maka nafkah tidak wajib atas suami. Bahkan, isteri yang bepergian jauh sekalipun atas izin suami, ia tidak berhak menuntut nafkah dari suaminya. Suaminya sama sekali tidak berkewajiban menafkahinya, karena secara fisik berjauhan tidak bisa memenuhi tuntutan sesksual suaminya (lihat al-Zuhaili, al-Fiqh alIslami, VII/789-797). Dalam pandangan ini, tubuh perempuan benar-benar di bawah kekuasaan suaminya. Apakah perempuan berdosa (dilaknat), hanya karena ia menolak ajakan suami? Bagi Ibn Hajar hanya penolakan yang mengakibatkan kemarahan
No. 5 Th. II, Juli 2002
Swara Rahima
Hadis yang menekankan totalitas ketaatan istri harus dikritisi dan dimaknai kembali, terutama hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan at-Turmudzi
suami yang dianggap berdosa [fa bâta ghadhbâna], karena hubungan intim adalah hak suami. Ketika suami merelakan dan memaafkan maka penolakan tersebut tidak berdosa. Penolakan yang berdosa, juga disyaratkan bahwa ia merupakan inisiatif penuh dari sang isteri, bukan sebagai akibat dari perlakuan suami yang zalim. Ibn Hajar mendasarkan pada riwayat lain ‘hâjiratan firâsahâ’, yang berarti perempuan secara sadar dan sengaja meninggalkan ranjang perkawinan. Artinya, yang dilaknat adalah perempuan yang sengaja mengawali penolakan, bukan penolakan yang diawali dengan ulah suami yang zalim (lihat al-’Asqallani, X/368). Bahkan dalam pandangan sebagaian ulama fikih kontemporer, seperti az-Zuhaili, dinyatakan bahwa laknat [dosa] itu turun pada penolakan yang tidak beralasan [min ghair ‘udzrin], dan yang muncul bukan karena sedang memenuhi kewajiban agama [lam yusyghilhâ ‘an al-farâ’idh]. Artinya, perempuan berhak menolak ajakan suami yang dipastikan akan menyakitinya, atau ia sedang menunaikan suatu kewajiban (lihat, Husein Muhammad, 2000: 99). Dari beberapa pandangan ini, setidaknya subordinasi seksualitas perempuan terhadap laki-laki tidak total dan tidak sepenuhnya. Ada ruang-ruang di mana perempuan oleh agama (pemikiran fikih klasik) dinyatakan berhak menolak ajakan hubungan intim dari suaminya. Artinya totalitas ketaatan isteri tidak sepenuhnya bisa dibenarkan. Hadis yang menekankan totalitas ketaatan istri harus dikritisi dan dimaknai kembali, terutama hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan at-Turmudzi: “Jika seseorang mengajak isterinya berhubungan intim, maka si isteri harus memenuhinya sekalipun sedang berada di dapur, dalam suatu riwayat disebut dengan redaksi sedang di atas punggung unta” [idzâ da’â ar-rajulu imra’tahû li hâjatihi, falta’tihî walaw kânat ‘alâ attannûr, wa fî riwâyatin walaw kânat ‘alâ zhahri qatabin]. (lihat Sunan at-Turmudzi, III/465, no. hadis: 4697). Jika dianalisis, teks hadis ini memuat perbedaan atau salah baca tulis [tash-hîf]. Karena dalam riwayat Imam Ahmad yang lain, menggunakan kata falya’tihâ, bukan falta’tihî. Teksnya adalah: “Apabila kamu ingin memenuhi kebutuhan biologismu dari isterimu, maka datangilah isterimu itu, sekalipun ia sedang berada di dapur” [Idza arâda ahadukum min imra’atihi hâjatan, fal ya’tihâ, walau kânat ‘ala at-tannûr] (Musnad Ahmad, IV/23). Perbedaan lafal baca-tulis [tashhîf]; antara riwayat at-Turmudzi [fal
Swara Rahima -41
DIRASAH HADIS
praktik-praktik diskriminatif terhadap perempuan sebenarnya tidak menemukan legitimasinya dari agama, yang ada hanya dari penafsiran, pemaknaan dan itu jelas dipengaruhi oleh kondisi tempat dan waktu.
Swara Rahima
ta’tihî] dengan riwayat Ahmad [fal ya’tihâ], dalam ilmu hadis dianggap kejanggalan [illah] yang bisa menurunkan derajat hadis menjadi lemah [dha’îf] dan tidak bisa diterima [mardûd]. Perbedaan ini terkesan sederhana, tetapi memiliki konsekuensi pemahaman yang berbeda jauh antara redaksi yang pertama dengan yang kedua. Dari redaksi hadis yang pertama [falya’tihâ]; bisa dipahami bahwa isteri wajib memenuhi kebutuhan biologis suami kapanpun dan dimanapun. Isteri tidak memiliki hak untuk menolak. Bahkan jika menolak, ia akan dilaknat oleh malaikat dan seluruh makhluk seisi bumi. Tetapi pada redaksi yang kedua [fal ya’tihâ], yang bisa dipahami hanyalah anjuran kepada suami untuk melampiaskan kebutuhan biologisnya kepada isterinya, bukan kepada yang lain, sekalipun sang isteri sedang berada di dapur. Artinya, hanya sebatas izin syara’ kepada lelaki untuk melampiaskan kebutuhan biologis kepada isteri yang di dapur, bukan totalitas ketaatan isteri dalam memenuhi kebutuhan suami. Tetapi kebanyakan ulama memilih pemahaman dari redaksi hadis yang pertama, tidak yang kedua. Sehingga lagi-lagi menegaskan subordinasi seksualitas perempuan untuk kepentingan laki-laki. Pertanyaannya, mengapa dalam pemikiran keagamaan seksualitas perempuan harus dikorbankan untuk kepuasan seksualitas laki-laki? Menurut Ibn Hajar al-’Asqallani, karena seksualitas laki-laki lebih agresif daripada perempuan. Lakilaki tidak bisa bersabar lebih lama untuk tidak berhubungan intim. Konsentrasinya lebih banyak diganggu oleh fantasi-fantasi seksual dengan tubuh perempuan. Karena itu, perempuan diharapkan ikut
4242-Swara Rahima
membantu meredam agresivitas seksual laki-laki dan menjaganya agar tidak berzina. Bantuan ini dilakukan dengan memenuhi hasrat seksual suami. Artinya, kewajiban perempuan lebih karena kewajiban saling membantu satu dengan yang lain, terutama antara suami dan isteri (al-’Asqallani, X/369). Jika demikian, maka seksualitas perempuan juga harus ditempatkan pada logika agresivitas yang sama. Karena persoalan agresivitas dan pasifitas seksual lebih terkait dengan fisik dan mental ketimbang dengan jenis kelamin laki-laki atau perempuan. Pelabelan seksualitas perempuan pasif dan seksualitas laki-laki agresif adalah menyesatkan dan tidak terbukti secara empiris. Artinya, perempuan dan laki-laki bisa agresif dan bisa juga pasif dalam hal hasrat seksual. Tergantung dengan makanan yang dikonsumsi, kondisi fisik, mental dan lingkungan. Sehingga dengan logika Ibn Hajar, laki-laki juga berkewajiban membantu dan mengupayakan isterinya bisa menikmati hasrat seksualnya. Pandangan Syafi’i bahwa kewajiban berhubungan intim oleh suami terhadap isteri hanya sekali selama umur perkawinan, sementara oleh isteri terhadap suami selalu wajib selama umur perkawianan, harus dihentikan. Begitu juga pandangan mazhab Maliki yang memberikan kesempatan pada isteri untuk menuntut hubungan intim sekali dalam tempo empat bulan, juga harus dihentikan. Pemenuhan kebutuhan seksual, baik oleh isteri terhadap suami atau sebaliknya, tidak terkait dengan waktu. Tetapi terkait dengan kesiapan-kesiapan fisik, mental dan kondisi lingkungan. Dan kebutuhan perempuan tidak harus diukur dari kemampuan suami pasangannya. Konsep mu’asyarh bil ma’ruf menuntut adanya kebersamaan menyangkut segala kebutuhan suami-isteri. Termasuk menyangkut hubungan seksual antara mereka berdua. Yang satu harus memperhatikan yang lain secara bersama. Adalah bukan suatu hal yang ‘mu’asyarah bil ma’ruf’ jika hubungan intim hanya menyenangkan satu pihak, sementara tidak kepada pihak yang lain, apalagi sampai menyakitkan. Pola relasi antara suami dan isteri yang ditegaskan al-Qur’an adalah setara. Hunna libâsun lakum, wa antum libâsun lahunna [Perempuan adalah pakaian laki-laki, dan laki-laki adalah pakaian bagi perempuan]. Kalau al-Qur’an demikian tegas menyuarakan kesetaraan, mengapa subordinasi seksulitas perempuan harus ada? Mengapa pandangan-pandangan fikih yang lahir dari subordinasi ini harus dilestarikan? D
No. 5 Th. II, Juli 2002
“Seksualisasi” Tubuh Perempuan Oleh : A.D. Kusumaningtyas “Wajar saja kalau kugoda, kar’na pantas kau digoda. Salah sendiri kau manis, punya wajah teramat manis Wajar saja kalau kuganggu, sampai kapan pun ku rindu Lepaskan tawamu nona, agar tak murung dunia.”
S
epenggal lagu Mata Indah Bola Pingpong-nya Iwan Fals tersebut tiba-tiba mengingatkan saya bahwa tak mudah menjadi perempuan. Selalu dikambinghitamkan dalam setiap kesalahan anak Adam. Daya tarik magnetik apakah yang dibawa perempuan sehingga ia selalu menjadi pusat perhatian maupun obyek dari setiap pelecehan? Haruskah ia berani menertawakan “kebodohannya” sementara melalui nyanyian, kita sama-sama melanggengkannya. Tubuh perempuan seolah merupakan bala dan bencana yang harus memaksa perempuan menutupi dirinya. Menstruasi yang dialami sebagai kekhasan cirinya oleh masyarakat dipandang sebagai penyebab dosa dan mengotori kehidupan manusia tempat-tempat suci lainnya. Untuk mengatasinya, perempuan harus membangun menstrual hut (gubuk pengasingan bagi perempuan yang sedang haid) yang dikembangkan oleh kebudayaan patriarki. Apa beda tubuh perempuan terbuka atau tertutup bila cara masyarakat memandangnya masih tetap dengan fantasi kotornya? Larangan mengeksploitasi perempuan dan dhihar (menyerupakan isteri dengan punggung ibunya) bukankah lebih kontekstual bila dimaknai sebagai larangan pemanjaan fantasi seksual. Anjuran berjilbab, bukankah lebih bermakna bila dipandang sebagai pengenalan sebuah identitas dibandingkan cara pandang perendahan diri perempuan akan realitas ketubuhan maupun berbagai tabu menstruasi, menjadi bumper untuk laki-laki ketika mereka merasa kehilangan kemampuan untuk mengendalikan hawa nafsunya sendiri? Sigmund Freud pernah bicara tentang penis envy (rasa iri terhadap penis/alat kelamin laki-laki). Penis dianggap memiliki citra kewibawaan tersendiri sehingga dijadikan simbol peradaban. Tugu Monas contoh produk kebudayaan yang didasarkan pada peradaban phallocentris ini. Kaum perempuan pun merasa marah karena iri terhadap apa yang dimiliki oleh lelaki. Mereka menjadi posesif serta ingin
No. 5 Th. II, Juli 2002
Swara Rahima
REFLEKSI
“menguasai” anak yang dilahirkan dari rahimnya sendiri dan memproteksinya secara berlebihan sebagai bentuk protes mereka pada ketiadaan penis dalam dirinya. Freud lupa akan makna rahim bagi perempuan, sampai Hellen Deutsch mengingatkan kita akan wacana baru justru tentang ketiadaan rahim (womb) pada laki-laki. Inilah yang disebut womb envy. Seksualitas memang memiliki bahasanya sendiri. Dan seksualitas akan menjadi menakutkan manakala ia menjadi politik identitas. Bukankah dinyatakan bahwa personal is political? Bahwa yang pribadi itu pada hakikatnya selalu memiliki makna politis. Selama ini penis merupakan identitas kekuasaan laki-laki, sehingga kelaki-lakian selalu menjadi senjata untuk menguasai. Ar-rijaalu Qawwaamuuna ‘alaa An-nisaa’ disosialisasikan setiap hari dengan penafsiran yang dikebiri. Adakah itu sekedar cara mempertahankan kelaki-lakian agar tetap bisa berkuasa? Ataukah untuk mengontrol tubuh perempuan melalui segala cara pemaksaan hubungan seksual atas nama Tuhan, alat-alat kontrasepsi, penghias media massa, memperdagangkan perempuan, maupun mempopulerkan poligami? Selama ini, keperempuanan “mengabdi” pada kepentingan lelaki. Bilakah tiba saatnya kelaki-lakian dan keperempuanan merupakan pancaran eksistensi tugas kekhalifahan dan bentuk ekspresi kemanusiaan? Mari kita hargai seseorang karena prestasinya, karena amal salehnya, dan karena kemanusiaannya. Sebagaimana Nabi telah bersabda : Innaalllaaha laa yandhuru ilaa ajsaadikum wa laa shuwarikum wa laakin yandhuru ilaa quluubikum wa a’maalikum (Sesungguhnya Allah tidak memandang jasad dan penampilanmu, akan tetapi Allah memandang pada hati dan amal perbuatanmu). Tubuh manusia, lelaki dan perempuan itu bersifat fana adanya. Dibandingkan kekuasaannya semua itu tak punya makna apa-apa, karena semuanya itu milik-Nya yang akan kembali lagi pada-Nya. Bukankah memanfaatkan segala potensi untuk menjalankan tugas kemanusiaan kita sebagaimana mestinya, akan membuat diri kita memiliki arti dihadapan-Nya? D
Swara Rahima -43