METODE NERACA ENERGI NISBAH BOWEN
Syukri M. Nur Sangatta, Kutim 2014
1
2
METODE NERACA ENERGI NISBAH BOWEN
DAFTAR ISI 1. PENDAHULUAN 3 Latar Belakang 3 Tujuan Penulisan 4 2. DASAR TEORI 4 Pengertian 4 Asumsi yang digunakan 6 3.
SISTEM INSTRUMENTASI Pemasangan Alat di lapangan
4.
ANALISIS DATA 8 Pengendalian Kualitas Data 8 Prosedur Analisis Data 11
5.
CONTOH APLIKASI 11
6 6
Ucapan Terimakasih
12
Daftar Pustaka
12
Lampiran Daftar Simbol
13
METODE NERACA ENERGI NISBAH BOWEN
3
1. PENDAHULUAN Latar Belakang Teknik pendugaan evapotranspirasi telah banyak tersedia untuk membantu para peneliti atau praktisi bidang iklim dan pertanian mengetahui jumlah air yang diuapkan pada suatu pertanaman atau vegetasi. Beberapa metode yang dikenal seperti metode Penman dengan bermacam-macam model pengembangannya seperti; Penman-Monteith, FAO Penman-Monteith; Metode Thornwaite, sampai pada metode pengukuran langsung dengan lisimeter atau menggunakan metode Panci Klas A. Polonia dan Soler (2000) mengelompokkan tiga metode untuk menduga evaporasi termasuk pendugaan energi untuk evaporasi yang dikenal limpahan bahang laten (λE) dan limpahan bahang terasa yaitu metode metode neraca energi nisbah bowen, metode aerodinamik, dan metode tahanan (resitance method). Dari berbagai teknik pendugaan tersebut maka Metode Neraca Energi Nisbah Bowen (disingkat NENB) –diterjemahkan dari istilah Energy Balance Bowen Ratio, EBBR) merupakan salah satu alternatif yang menjadi kajian para peneliti bidang iklim atau agrometeorologi dalam kurun 10 tahun terakhir ini karena berbagai alasan: (1) sederhana; (2) tak perlu informasi mengenai karakteristik aerodinamik pada lokasi yang dikaji; (3) dapat menghitung limpahan bahang laten pada areal yang luas; (4) dapat menghitung dalam skala waktu yang kecil (kurang dari satu jam) sehingga data bersifat kontinu. Penggunaan teknik Nisbah Bowen menguntungkan karena dalam pengukurannya hanya menggunakan sensor termometer dan higrometer dan radiasi neto (Stull, 1995). Metode ini sering digunakan karena merupakan kajian iklim mikro. Selain itu sederhana, hasilnya baik, dan hemat biaya (Todd et al., 2000). Namun demikian ada juga sisi kerugiannya karena: (1) nilai yang diperoleh akan bias dari kondisi yang sebenarnya jika dipergunakan instrumen yang memiliki kepekaan rendah. Jadi terkait dengan kepekaan instrumen yang digunakan untuk mengukur perbedaan suhu udara dan komponen neraca energi. Kontinuitas data terganggu jika nilai β mendekati –1. Ohmura (1982) menjelaskan dengan hal ini dan menjadi dasar pengendalian kaulitas data dari metode NEBR. Bahkan secara kuantitatif Perez et al., (1999) menyajikan metode untuk menentukan kisaran nilai β di sekitar -1. Sejak teknik Bowen ratio ini dipublikasikan oleh. I. S Bowen pada tahun 1926, telah mengalami pengembangan yang pesat baik dari segi pengetahuan maupun dalam terapan di berbagai tipe vegetasi dan kondisi lingkungan. Namun upaya kajian tersebut masih berada di kawasan non tropis karena digunakan di daerah lintang tinggi seperti Eropa, Jepang, dan sebagian Amerika. Untuk kawasan tropis masih terbatas di daerah Amazon, Brazil. Hal inilah yang menarik untuk membuat mengisi pengetahuan tersebut dengan memanfaatkannya di kawasan tropis seperti Indonesia yang memiliki karakteristik iklim dengan pengaruh monsun equatorial dan pengaruh lokal.
4
METODE NERACA ENERGI NISBAH BOWEN
Sebelum dapat dikaji dan diterapkan pada berbagai kegiatan peneliti dan praktisi maka sebaiknya perlu diketahui prinsip dasar metode tersebut, instrumentasi yang digunakan dan teknik pengendalian kualitas data yang digunakan berdasarkan kajian pustaka pustaka dan pengalaman penulis menggunakan metode ini. Tujuan Penulisan Tujuan penulisan makalah ini adalah : 1. Menjelaskan prinsip dasar yang digunakan dalam metode Neraca Energi Nisbah (NENB). 2. Menjelaskan sistem instrumentasi yang digunakan dan prasyarat kondisi lokasi yang diperlukan untuk menggunakan metode NENB. 3. Menjelaskan strategis dan langkah-langkah yang perlu dibuat untuk melakukan kualitas kontrol data yang dihasilkan dari metode NENB
2. DASAR TEORI Pengertian Pengertian dasar Nisbah Bowen (Bowen Ratio) yang dilambangkan sebagai β ini didasari pada konsep perbandingan energi yang digunakan dalam proses pemanasan atmosfer atau bahang terasa dengan energi bahang laten yang akan digunakan untuk menguapkan sejumlah air ke atmosfer. Persamaan nilai dapat dihitung sebagai berikut :
(1) keterangan mengenai simbol yang digunakan pada setiap persamaan dalam makalah ini disajikan pada Lampiran 1. Teknik Nisbah Bowen sering disebut teknik sederhana karena hanya dalam pengukurannya sebenarnya hanya memerlukan data suhu udara pada dua ketinggian, sedangkan nilai beda tekanan diperoleh dari persamaan berikut;
(2)
Persamaan (3) dan (4) menunjukkan nilai tekanan uap udara jenuh dan hubungannya dengan kelembaban telatif. Keduanya digunakan untuk menentukan tekanan udara aktual pada suhu (T) tertentu pada setiap ketinggian.
METODE NERACA ENERGI NISBAH BOWEN
5
(3) (4)
Ada dua kombinasi dalam persamaan (1) yang menggunakan parameter tekanan dan kelembaban spesifik namun kedua hal tersebut memberikan maksud yang sama. Teknik ini juga disebut metode Neraca Energi Nisbah Bowen (disingkat: NENB) (Bowen Ratio Energy Balance) karena setiap penggunaanya melibatkan komponen neraca energi seperti radiasi seperti radiasi neto.
Rn – G – H – LE = 0
(5)
Persamaan tersebut merupakaan penyederhanaan dari persamaan neraca energi yang diungkapkan oleh Brutsaert (1982) karena menghilangkan faktor energi yang digunakan untuk fotosintesis dan perubahan energi simpanan dalam sebuah sistem. Sistem yang dimaksud pada bagian ini adalah lapisan permukaan yang dapat berupa vegetasi atau tanah kosong dimana terjadi proses penerimaan dan pelepasan energi. Untuk membedakannya maka diperlukan kesepakatan berupa tanda positif (+) untuk penerimaan yang arahnya ke permukaan dan tanda negatip untuk pelepasan yang arahnya dari permukaan. Untuk ilustrasi mengenai proses penerimaan dan pelepasan energi disajikan pada Gambar 1. Konvensi ini perlu ditaati karena untuk menghindari kesalahan pertama jika dasar pemikiran Ohmura (1982).
Gambar 1. Proses pelepasan komponen neraca energi (radiasi neto, Rn; limpahan bahang laten, LE; limpahan bahang terasa H, dan limpahan bahang tanah, G) dalam sebuah sistem permukaan. (Dimodfikasi dari Oke, 1983).
6
METODE NERACA ENERGI NISBAH BOWEN
Nilai bahang laten (LE) dan bahang terasa (H) diperoleh melalui persamaan berikut :
(6) (7) Ketepatan nilai LE dan H tergantung pada ketepatan nilai β sehingga galat dalam limpahan dapat dihitung dengan mengehtahui galat percobaan dari sensor yang digunakan dalam teknik Nisbah Bowen. Bagian ini akan dibahas secara rinci bagian pengendalian kualitas data.
Asumsi yang Digunakan Frietschen dan Simpson, (1989) dalam Todd et al., (2000) mengemukakan beberapa asumsi yang dipakai untuk teknik nisbah Bowen: 1. Teknik ini mengasumsikan bahwa proses perpindahan adalah satu dimensi dan tidak ada perbedaan horisontal. 2. Permukaan juga diasumsikan homogen dan yang terlibat sebagai sumber dan rosot hanyalah bahang, uap air, dan momentum. 3. Nisbah koefisien pertukaran golak untuk bahang dan uap air adalah satu. Nilai Kh=Kw yang berarti bahwa koefisien transfer untuk kedua bentuk energi tersebut sampai pada semua kondisi stabilitas atmosfer (Perez, et al., 1999; dan Todd et al., 2000). 4. Asumsi pada nomor 3 dapat terpenuhi dengan persyaratan bahwa (lapisan perbatas) juga tersedia yang perkirakan pada perbandingan 100:1 antara tinggi sensor dengan jarak permukaan horisontalnya. Namun asumsi terakhir ini masih diperlunak jika ratio yang ada 20:1 asal nilai Nisbah Bowen kecil dan positif.
3. SISTEM INSTRUMENTASI Sistem intrumentasi yang digunakan dalam metode Neraca Enegri Nisbah Bowen terdiri atas sensor radiasi neto, limpahan bahang tanah, dan termometer atau psikrometer digital pada dua ketinggian. Pemasangan Alat di Lapangan Ada dua mekanisme dalam peletakan sensor suhu udara tersebut yaitu dengan melakukan perubahan posisi ketinggian secara periodek atau tanpa perubahan sensor. Kendati sistem tersebut sederhana namun memerlukan ketelitian pengukuran yang baik untuk mengurangi galat yang ditimbulkannya.
METODE NERACA ENERGI NISBAH BOWEN
7
Gambar 2. Skema pemasangan instrumentasi pengukuran limpahan bahang dari metode Neraca Energi Nisbah Bowen di lapangan.
Untuk memenuhi asumsi No. 4 maka pemasangan instrumentasi tersebut di lapangan masih memerlukan kriteria bahwa bentang alam atau landscape suatu vegetasi dapat memenuhi kriteria sekitar 100 kali dari tinggi posisi kecepatan angin supaya kita yakin bahwa sistem yang akan dibangun berada di dalam lapisan berbatas (boundary layer).
8
METODE NERACA ENERGI NISBAH BOWEN
Liu dan Foken (2000) juga menyarankan bahwa perbandingan anatara dua ketinggian (z1/z2) dua sensor suhu udara sebaiknya diatas nilai 4 untuk menghindari kesalahan sistematik yang mungkin timbul selama waktu pengukuran. Jika berdasarkan posisi sensor psikrometer yang mengukur suhu dan kelembaban pada dua ketinggia di Gambar 3 maka dapat dihitung bahwa nilai perbandingannya adalah (2m/0.3m) 6.7.
4. ANALISIS DATA Pengendalian Kualitas Data Berdasarkan persamaan (6) dan (7) maka ketepatan hasil yang diperoleh tergantung pada ketepatan nilai yang ditentukan oleh tingkat akurasi sensor yang digunakan untuk mengukur beda suhu udara dengan termometer pada dua ketinggian dan nilai radiasi neto dan limpahan bahang laten yang masing-masing diukur oleh sensor Pyranometer dan Soil Heat flux meter. Berkaitan dengan posisi sensor suhu udara pada dua ketinggian, ada yang berpendapat bahwa posisi tersebut dapat menimbulkan kesalahan sistematik. Namun hal ini dibantah oleh pakar lain karena berdasarkan percobaan tidak ada galat yang terjadi. Ritari dan Strommer (1985) mendapatkan hasil bahwa sistem pertukaran suhu udara pada dua ketinggian tidak menjamin pengurangan galat dalam perhitungan nilai Nisbah Bowen atau bahang terasa dan bahang laten. Namun hasil perhitungan tersebut juga masih tergantung pada tingkat akurasi sensor yang digunakan yang dapat mengukur perbedaan suhu udara dan tekanan udara pada dua ketinggian yang berbeda. Pruger et al., (1997) pemperkuat pernyataan tersebut dengan melakukan perbandingan antara teknik NENB, yang menggunakan psikrometer pada dua ketinggian dan tidak dilakukan pertukaran posisi, dengan dengan lysimter. Hasilnya menunujukkan bahwa teknik NENB memberikan hasil prediksi sebaik lysimeter dalam pendugaan evapotranspirasi pada berbagai tanaman. Ohmura (1982) menjelaskan bahwa ada tiga masalah yang menjadi dasar untuk menolak nilai perhitungan dari metode Nisbah Bowen yaitu: Pertama munculnya galat dalam evaluasi radiasi neto dan limpahan bahang tanah yang terakumulasi dalam limpahan golak. Galat ini muncul karena kesalahan dalam pengukuran radiasi neto, limpahan bahang tanah, suhu vertikal, dan beda tekanan uap. Kedua adalah kesalahan kemungkinan yang terjadi karena kekeliruan dalam menentukan tanda arah pada limpahan yang terjadi. Contoh kasus adalah terjadinya peristwa evaporasi ataukah kondensasi. Kesalahan ketiga adalah kemungkinan untuk mendapatkan nilai limpahan yang sangat besar dan tidak akurat. Pencirinya adalah jika terjadi nilai β yang mendekati –1. Kondisi ini terjadi pada pagi hari, setelah sore hari, selama hujan, dan terutama jika ada hembusan angin kencang, dan ketika arah limpahan bahang laten berlawan dengan limpahan bahang terasa.
METODE NERACA ENERGI NISBAH BOWEN
9
Ketiga tipe masalah tersebut diformulasikan oleh Ohmura (1982) dalam bentuk persamaan matematika sehingga dapat dimasukkan dalam pemrograman untuk pengendalian kualitas data yang layak digunakan dalam metode Neraca Energi Nisbah Bowen. 1. Jika R+G > 0 kemudian LΔq + α cpΔT> 0 atau ΔT>-(L/αcp) Δq dan 2. Jika R+G < 0 kemudian LΔq + α cpΔT< 0 atau ΔT<-(L/αcp) Δq 3. Jika ΔT-2E(T) < δT<ΔT+2E(T) untuk beda suhu 4. Jika Δq-2E(q) < δq<Δq+2E(q) untuk beda kelembaban spesifik. Poin 3 dan 4 lebih lanjut dijelaskan bahwa kisaran yang digunakan sebagai indikator penolakan data dari hasil perhitungan Metode NENB adalah jika terjadi nilai beda suhu dan kelembaban spesifik yang berada pada kisaran berikut :
α c p [ ∆T − 2 E (T ) ] + L [ ∆q − 2 E (q ) ] < α c pδ T + Lδ q < α c p [ ∆T + 2 E (T ) ] + L [ ∆q + 2 E (q ) ]
(8)
Jika terjadi nilai β -1 maka α cpΔT+LΔq = 0 sehingga persamaan di atas berubah menjadi
−( L / α c p )∆q − 2 ( L / α c p ) E (q ) + E (T ) < ∆T < −( L / α c p )∆q + 2 ( L / α c p ) E (q ) + E (T )
(9)
Perez et al., (1999) membuat batasan yang jelas mengenai kisaran nilai B yang mendekati –1 sehingga data tersebut dapat digolongkan tidak layak untuk dipakai dalam analisis. Krieria tersebut disajikan pada Tabel 1 dan 2. Tabel 1. Krieria Penerimaan Data dari Metode NENB Ketersediaan Beda Nisbah Energi Tekanan Bowen Uap Rn-G>0 Δe>0 >-1 Δe<0 <-1 Rn-G<0 Δe>0 >-1 Δe<0 >-1 Sumber : Perez et al., 1999
Limpahan Bahang LE>0 dan H 0 untuk –1< 0 atau H>0 untuk >0 LE<0 dan H>0 LE>0 dan H<0 LE<0 dan H 0 untuk –1< 0 atau H<0 untuk >0
10 METODE NERACA ENERGI NISBAH BOWEN
Tabel 2. Krieria Ketidaklayakan Data dari Metode NENB Tipe Galat A B C D E
Kondisi Rn-G>0, Δe<0 dan <-1+ Rn-G>0, Δe<0 dan >-1Rn-G<0, Δe>0 dan >-1Rn-G<0, Δe<0 dan <-1+ terjadi perubahan cepat pada T dan e
Sumber : Perez et al., 1999 Nilai ditentukan melalui persamaan berikut:
ε=
δ∆e − γδ∆T ∆e
(10)
Liu dan Foken (2000) menjelaskan mengenai kriteria pengendalian kualitas data dari metode NENB melalui pengecekan terhadap adanya sisaan atau residu (Re) yang mungkin didapat dari persamaan neraca energi sehingga persamaan energi tidak mutlak harus nol. Sisaan tersebut muncul jika terjadi penambahan energi melalui proses adveksi, namun sisaan tersebut jarang sekali ditemukan jika kriteria Ohmura diterapkan secara ketat. Untuk mengecek pengaruh adveksi maka Todd et al (2000) memberikan saran untuk menggunakan persamaan berikut sebagai kriteria.
H + λE >1 Rn − G
(11)
yang umumnya terjadi jika cuaca kering, berangin dan dan panas. Adveksi merupakan perpindahan energi atau massa dalam jarak horisontal dan searah dengan kecepatan angin (Oke, 1983). Berdasarkan kajian pustaka tersebut penulis mencoba menyusun kriteria kelayakan data dari Metode NENB sehingga diperoleh data yang dapat dipakai dalam analisis selanjutnya. Kriteria penolakan data karena tidak layak jika : 1. Nilai hasil pengukuran radiasi neto, limpahan bahang tanah dan suhu udara melebihi batas maksimum kepekaan alat. 2. Nilai perhitungan komponen neraca energi tidak digunakan atau ditolak Nisbah Bowen tidak digunakan atau ditolak jika nilai β mendekati –1 dan nilai H atau λE dan H+ λE tidak melebihi nilai Rn. 3. Jika nilai R+G > 0 atau jika nilai R+G<0 maka perlu diperhatikan Tabel 1 dan 2 untuk kriteria penerimaan atau penolakan hasil pengukuran. 4. Jika menggunakan sensor suhu dengan kepekaan 0.01oC maka nilai tersebut digunakan untuk menentukan nilai T dan e atau q sehingga dapat memenuhi persamaan (8) dan (9).
METODE NERACA ENERGI NISBAH BOWEN 11
Prosedur Analisis Data Ada dua tahapan dalam proses analisis data dari metode Neraca Energi Nisbah Bowen yaitu pertama adalah melaksanakan penyaringan untuk mendapatkan data yang layak dipakai dalam analisis selanjutnya. Sedangkan pada tahap kedua menekankan pada target yang hendak dicapai seperti pengujian metode ini dengan metode lain yang lebih akurat (misalkan dengan metode Lysimeter) atau untuk langsung menggunakan hasil perhitungannya dalam analisis energi energi dan air. Pada tahap ini, statistika seringkali diterapkan dengan menggunakan analisis sensitivitas data seperti analisis regresi, kurva penyuaian kuadrat kecil, dan perancangan statitiska. Untuk mengetahui galat perhitungan maka digunakan persamaan (10), sedangkan untuk mengetahui adanya faktor adveksi maka digunakan persamaan (11).
5. CONTOH APLIKASI Metode Neraca Energi Bowen Ratio telah banyak digunakan untuk menghitung penggunaan air, menghitung koefisien tanaman, mempelajari hubungan air-tanaman, dan untuk evaluasi model penggunaan air tanaman. Bahkan Gong Li, et al., (2000) menggunakan metode ini untuk mengkaji jika terjadi penggurunan di daerah Mongolia Cina. Nilai β bervariasi pada setiap permukaan seperti yang dikemukakan oleh Oke (1978). Nilai-nilai spesifik untuk β laut di tropis yaitu 0.1; hutan tropis 0.1-0.3; hutan temperate dan padang rumput adalah 0.4-0.8; kawasan semi gurun 2.0-6.0; dan lebih dari 10 adalah gurun. Apabila nilai β lebih dari satu berarti komponen bahang terasa lebih besar daripada bahang laten. Kondisi di lapangan menunjukkan bahwa air yang terdapat dipermukaan tersebut terbatas karena lebih banyak energi diubah memanaskan atmosfer. Sebaliknya jika nilai β maka bahang laten lebih besar daripada bahang terasa dan mengakibatkan masukan dari atmosfer dalam bentuk bahang laten. Nilai H dan λE dihitung dari persamaan tersebut sedangkan komponen lain seperti Rn dan G diukur sehingga masing-masing komponen bersifat independen atau bebas dari pengaruh komponenkomponen lainnya. Bahang laten dan bahang terasa dapat dicirikan dalam skala waktu harian, tahunan, mapun disesuaikan dengan perubahan cuaca. Hasil kompilasi nilai komponen neraca energi pada berbagai tipe vegetasi disajikan pada Tabel 3. Berdasarkan data tersebut, dapat ditunjukkan bahwa perubahan vegetasi akan mengakibatkan perubahan nilai Nisbah Bowen. Implikasi penting dari tabel tersebut adalah perubahan tata guna lahan tidak hanya mengindikasikan pengubahan tipe vegetasi tetapi juga mengubah sifat-sifat permukaan seperti albedo, emisivitas, dan kekasapan dan selanjutnya mengubah komponen neraca energi. Jika suatu vegetasi mendominasi suatu wilayah maka dengan terjadinya perubahan tipe vegetasi maka memicu perubahan iklim lokal pada kawasan tersebut. Oleh karena itu, mekanisme perubahan komponen neraca energi ini perlu dipertimbangkan dalam perencanaan suatu wilayah yang umumnya melakukan pengubahan lahan hutan menjadi non hutan.
12 METODE NERACA ENERGI NISBAH BOWEN
METODE NERACA ENERGI NISBAH BOWEN 13
Ucapan Terimakasih Ucapan terimakasih penulis haturkan kepada komisi pembimbing disertasi, Daniel Murdiyarso, Upik Rosalina, dan Chay Asdak yang telah memberikan saran untuk terus menerus membaca berbagai buku terutama hasil-hasil penelitian yang terkait dengan kegiatan penulis melalui jurnal ilmiah. Alhasil, sedikit saran tersebut menghantarkan makalah ini menjadi suatu bahan kajian yang dapat menambah khasanah pengetahuan Agrometeorologi di Indonesia. Daftar Pustaka Allen, R. G., L.S. Peirera., D. Raes., M. Smith. 1998. Crop evapotranspiration-Guidelines for computing crop water requirements. FAO Irrigation and drainage papaer No. 56. 299p. Bidlake, W. R. W.M. Woodham, and M.A. Lopez. 1996. Evaporation from areas of native vegetation in West-Central Florida. US Geological Survey. Water-Supply Paper 2430. 35p. Cellier, P. And A. Olioso. 1993. A simple system for automated long-term Bowen ratio measurement. Agric. For. Meterol. 66:81-92. Fuch, M, and C. B. Tanner. 1970. Error analysis of Bowen Ratio Measured by differential psychrometry. Agric. Meteorol. 7:329-334. Gong Li, S., Y. Harazono., T. Oikawa. H. L. Zhao., Z. Y. He., X. L. Chang. 2000. Grassland desertification by garzing and resulting micrometeorological changes in Inner Mongolia. Agric. For. Meteorol. 102:125-137. Harazono, Y., S. Li., J. Sheen., Z. He., Z. Liu., H. Zhao., K. Tagaki., M. Komine. 1999. Micrometeorology od Dune and vegetation at semi-arid area at Naiman in Inner Mongolia, China. National Intitute of Agro-Environmental Sciences. Konondai, Tsukuba, Ibaraki. Japan. 286p. Hölscher, D. , T. D. De A. Sa., T.X. Bastos., M. Donich., H. Fölster. 1997. Evaporation from young secondary vegetation in eastern Amazonia. J. Hydrol. 193:293-305. Liu, H. , and T. Foken, 2001. A modified Bowen ratio method to determine and latent heat fluxes. Meteorologische Zeitschrift 10 (1):71-80. Ohmura, A. 1982. Objective criteria for rejecting data for Bowen ratio flux calculation. J. Appl. Meteorol. 21:595-598. Oke., 1983. Boundary Layer Cilmate. Metheun and Co. London. 372p. Perez, P. J., F. Castellvi., M. Ibanez, J. I. Rosell. 1999. Assessment of reliability of Bowen ratio method for partitioning fluxes. Agric. For. Meteorol. 97:141-150. Polonia, D., and M. R. Soler. 2000. Surface fluxes estimation over agricultural area. Comparison of Methods and the effects of Land surface in homogeneity. Thoer. Appl. Climatol. 67: 65-74. Prueger, J. H. J.L. Hatfield., J. K. Aase., J. L. Pikul. Jr. 1997. Bowen ratio comparisons with lysimeter evaporation. Agron. J. 89:730-736. Ritari A., and E. Strommer. 1985. Determining the temperature and water vapour pressure gradient of the ambient air using a reversing two–sensor system. Agric. For. Meteorol. 35:255-265. Rosset, M., M. Riedo., A. Gruto. M. Geismann., J. Furhrer. 1997. Seasonal variation in radiation and energy balances of permanen pastures at different altitudes. Agric. For. Meteorol. 86:245-258. Sauer, T. J., J. L Hatfield, J.H. Pruger., J.M. Norman. 1998. Suraface energy balance of a corn residuecovered fiel. Agric. For. Meteorol. 89:155-168.
14 METODE NERACA ENERGI NISBAH BOWEN
Stull, R. B. 1995. Meteorology Today for Scientist and Engineers. A Technical companion book. Wes Publishing Comp. New York. 383p. Todd. R. W. , S. R. Evett., T. A. Howel. 2000. The Bowen ratio-energy balance method for estimating latent heat iriigated alfalfa evaluated in a semi-arid advective environment. Agric. For. Meteorol. 103:335-348. Wenzel. A., and N. Kalthoff. 2000. Method for calculating the whole–area distribution of sensible and laten heat fluxes based on climatological observations, Theor. Appl. Climatol. 66:139-160.
Lampiran : Keterangan simbol yang digunakan β Rn H LE G ε ea (T) es (T) z cp α Kh Kw δq Δq δT ΔT
= = = = = = = = = = = = = = = = =
Nisbah Bowen Radiasi Neto atau energi tersedia (Wm-2) atau (MJm-2 d-1) Limpahan bahang terasa (Wm-2) atau (MJm-2 d-1) Limpahan bahang laten (Wm-2) atau (MJm-2 d-1) Limpahan bahang tanah (Wm-2) atau (MJm-2 d-1) Galat perhitungan Tekanan udara aktual pada suhu (T) (kPa) Tekanan udara jenuh pada suhu (T) (kPa) Ketinggian sensor pada stasiun pengamatan (meter). Bahang spesifik udara lembab (kPa oC-1). Kh/Kw Difusivitas golak untuk bahang terasa Difiusivitas golak untuk bahang laten. Beda kelembaban spesifik antara dua ketinggian Nilai pengamatan dari δq Beda suhu udara antara dua ketinggian Nilai pengamatan dari δT