11 MARET 2018 / 23 JUMADIL AKHIR 1439 H
DEWAN PERS
Rp. 3000 www.tanjungpinangpos.id
MEDIA TERVERIFIKASI
2018
DAPUR BUNDA AYRA
MINI ZOO, KIJANG
Buah H5 Manis Kreativitas
Wahana Bersantai Selain Pantai H3
Bawa Sinema Kita
LEBIH MARA Produksi film berskala nasional Jelita Sejuba di Natuna ‘mengusik’ rasa santai kita semua. Benarkah kita cuma menumpang bangga atau sebenarnya bisa berbuat sesuatu demi membawa geliat sinema kita lebih mara?
H2
Budaya Konteks Tinggi
SELAKSA Kolom Muhammad Natsir Tahar
Di tengah dunia milenial yang serba instans dan tergesa-gesa sekarang ini, cara-cara berkomunikasi konteks tinggi (high context communication) telah banyak dihilangkan dari kultur Indonesia. Manusia membutuhkan interaksi yang bersifat segera dan efektif, yang hanya didapat dalam pembicaraan konteks rendah (low context). Ekses negatifnya adalah komunikasi yang terlalu lugas (direct verbal mode) bisa memicu konflik di sana-sini. Meski dinilai tidak efisien, komunikasi konteks tinggi tetap harus dipelihara untuk dikombinasikan dalam cara tutur sehari-hari guna menghindari kesan penyerangan verbal kepada lawan bicara. Komunikasi
redaksitanjungpinangpos@gmail.com REDAKTUR: FATIH
konteks tinggi memang implisit dan terdengar ambigu, bersifat tidak langsung dan pesan yang ingin disampaikan tersemat pada aspek non verbal. Ciricirinya adalah singkat, penuh arti dan puitis namun
facebook/tanjungpinangpos
cenderung berputar-putar dan membiarkan audiens membuat penafsiran sendiri. Komunikasi konteks tinggi sangat mungkin dipahami jika digunakan di dalam kelompok sendiri (in group), tidak untuk pihak
luar (outsiders). Komunikasi konteks tinggi bertipikal sedikit berbicara, tersirat dan sastrawi bahkan mengandung joke. Orang berbudaya konteks tinggi menekankan isyarat kontekstual, sehingga ekspresi wajah, tensi, gerakan, kecepatan interaksi dan lokasi interaksi lebih bermakna. Orang dalam budaya ini mengharapkan orang lain memahami suasana kebatinan yang tak terucapkan, isyarat halus dan isyarat lingkungan. BERSAMBUNG KE HAL 7
@tpipos LAYOUT: DOBBY FACHRIZAL
2
Liputan Khusus
TANJUNGPINANG POS Koran Nasional dari Kepri
MINGGU 11 MARET 2018
Membawa Sinema Lebih Mara Menghadirkan hiburan sinema kini bisa menjadi milik siapa saja. Ilmunya tersebar di mana-mana. Alatnya juga semakin terjangkau saja. Dan yang tidak terbantahkan, lanskap Kepulauan Riau juga punya pesona lawa tiada dua.
FATIH MUFTIH, Tanjungpinang. AWAL bulan depan jadi titimangsa paling ditunggu. Sebuah film layar lebar berskala nasional yang diambil di Natuna akan rilis di seluruh bioskop di Tanah Air. Film berjudul Sejuta Sejuba besutan rumah produksi Drelin Amagra Pictures itu direncanakan akan tayang 5 April 2018. Kehebohan film ini sudah terasa hari ini. Anji, penyanyi pria solo, baru saja merampungkan syuting video klip Menunggu Kamu yang merupakan lagu andalan pengiring film yang dibintanti Putri Marino dan Wafda Saifan Lubis ini. Berulang kali, Anji dalam akun media sosialnya mengunggah keindahan Natuna sekaligus mempromosikan destinasi pariwisatanya. Dicuit oleh pesohor, menular ke mana-mana. Ada rasa bangga sebagai anak Kepulauan Riau yang lokasinya dijadikan sebagai latar syuting film berskala nasional. Namun, apakah hanya sekadar berhenti di bangga? Semestinya tidak. Bukan tidak ada sineas lokal yang membuktikan pesona alam Kepulauan Riau adalah garansi memproduksi sebuah sinema yang berkelas. Sarman Galang dan Khairan Aldhy, sekadar menyebut nama, setidaknya telah membuktikannya. Setahun lalu, Sarman dengan swadaya mandiri telah berhasil memproduksi dua film lumayan menyita perhatian publik. Gangster Kampung Man yang paling banyak dibicarakan. Anambas sebagai latar
utama pengambilan gambar dieksplorasi dengan ciamik. Lautnya. Pulaunya. Orangorangnya. Kehidupan kesehariannya. Ketika realitas itu dipindah ke dalam sinema menghasilkan kekaguman yang tak biasa. Sedangkan Aldhy malah memboyong aktris senior Wulan Guritno ke Tanjungpinang dan Bintan. Dalam tajuk secuplik Heaven Island, Aldhy mengajak masyarakat setempat melihat kekayaan panorama alam pulau Bintan dengan lebih seksama. Bahwasanya ini adalah anugerah yang harus dimaksimalkan putra daerahnya. Sebab jika tidak, yang bertinggal sekadar rasa bangga karena orang luar yang lebih banyak memanfaatkannya. Membawa sinema di alam Kepulauan Riau, Tanjungpinang khususnya lebih mara ke hadapan bukan suatu yang musykil. Sineas Tanjungpinang, Hendro Dwi Yunianto percaya, masa depan sinema di Tanjungpinang berada di jalur yang tepat. “Ini serius lho, dalam lima tahun terakhir, semakin banyak anak-anak muda yang buat film. Hasilnya makin keren-keren,” kata Hendro, Kamis, (8/3). Hendro tidak sembarang cakap. Gejala ini bisa dilihat dari makin suburnya lomba film-film pendek yang ditaja beragam instansi di daerah. Tidak hanya itu saja. Kemajuan platform teknologi media tayang juga berpengaruh. “Semakin banyak Youtuber Tanjungpinang,” ujarnya. Keberadaan You Tube tidak bisa disangkal menjadi perkara lain di balik semakin berkembangnya minat terhadap sinema di kalangan anak muda.
Sebagian menganggap You Tube bisa menjadi media tayang yang lebih mudah menjangkau penonton ketimbang cara-cara konvensional. Terlebih, tidak ada tahap kurasi di sana. Siapa pun dengan perangkat apa pun bisa menjadi pegiat sinema asal rajin dan konsisten produksi konten. You Tube, lewat slogan masyhurnya, mendaku lebih dari televisi. Bagi Hendro, itu benar adanya. “Malah,” kata dia, “You Tube itu juga tempat belajar sineas-sineas muda. Di sana ada banyak tutorial bikin film yang bisa dipelajari siapa saja dan itu semua gratis.” Ketika produksi sinema sudah rampung dan tidak tahu hendak dikemanakan, You Tube memang menjadi solusi tepat guna. Hendro melihat ini dari tren lomba film pendek yang berulang kali diselenggarakan. Kebetulan, berulang kali pula ia didaulat sebagai juri. “Bagaimana pun lomba video atau film-film pendek itu menjadi penyaluran lain hasrat-hasrat sinematik anak-anak muda di Tanjungpinang,” ujarnya. Dari garis sini pula, Hendro bisa berbicara perihal pekerjaan rumah di depan agar geliat sinema bisa semakin mara. Bukan tentang ketersedian peranti-peranti canggih, sebab faktor ini terbilang relatif belaka. “Karena sekarang dengan hape saja, sudah bisa bikin film. Yang perlu itu workshop,” kata Hendro. Lokakarya ini yang, kata Hendro, mendesak. Dari sini, sineas-sineas muda bisa diberikan wawasan sinema dari A sampai ke Z. Dari pra produksi, produksi, sampai pascaproduksi. Soal teknik, kata dia, bisa menyusul dan itu perkara mudah saja. “Yang paling sering terjadi dari awal persiapan masih banyak yang berantakan, jadi berimbas ke produksinya, apalagi nanti penyaluran-
(FOTO UTAMA) Sebuah proses pengambilan gambar film oleh Melayu Dot Com besutan Hendro Dwi Yunianto.
nya,” ungkapnya. Hendro sudah berulang kali memproduksi sinema. Garapannya berulang kali mendapatkan penghargaan terbaik. Mulai dari Kue Raye, Anak Suar, Tol Laut, Catatan Harian Pengukur Tanah, hingga Gurindam Laut. Belum lagi terhitung sinema-sinema durasi singkat yang ditayangkannya di akun You Tube. Meninjau dari pengalamannya bergiat di bidang sinema, Hendro menengarai tahapan praproduksi adalah kunci. Ia mencontohkan, semisal hendak membuat film bertemakan anak sekolah, maka perencanannya harus amat matang. Mulai dari tema cerita, pemilihan pemainnya yang melibatkan anak-anak sekolah, dan rencana pemutaran keliling di sekolah-sekolah. “Dari sini segala sisinya sudah terlihat efisien. Jadi bikin
film itu tidak bisa grusagrusu,” sarannya. Saking pentingnya tahap perencanaan di praproduksi, Hendro sampai menyebutkan bahwasanya dari garapannya akan terlihat celah ketakmatangannya. Hal ini yang mestinya bisa dihindari jikalau memahami arti penting sebuah praproduksi dalam rangkaian panjang produksi sinema. “Nah hal-hal semacam ini mestinya sudah bisa dibeber di workshop,” ujarnya. Lalu bagaimana dengan urusan teknis? Bagi Hendro ini bergantung pada keseriusan masing-masing sineas dalam mempelajarinya. Di zaman informasi serba terbuka, menurutnya, tidak ada alasan untuk tidak bisa ketika orang lain bisa. Yang perlu diperhatikan, sambung dia, adalah meramu sebuah produksi film yang benar-benar bisa ‘dijual’ agar bisa ketemu
senangnya produksi sebuah film. “Sebab yang sering teman-teman ini biaya produksinya swakelola,” kata dia. Perlu diingat bahwasanya sinema sejatinya masuk dalam ranah bisnis. Hendro sepakat dengan itu. Karena itu, bagaimana pun setiap tetes keringat yang keluar mesti ada timbal-baliknya. Mudahnya bicara, ada untung-rugi yang dibahas. Dan itu sudah harus dilakukan sejak praproduksi. “Penat-penat tapi tak dapat apa-apa, nanti ya malas sendiri,” ungkapnya. Sementara itu, Ajai salah seorang sineas muda Tanjungpinang menimpali, bahwasanya sumber daya alam Kepulauan Riau secara umum memang sebuah anugerah yang mestinya bisa dieksplorasi menjadi kekuatan dalam sebuah sinema. Garapangarapan bertemakan
kebudayaan Melayu, kata dia, masih amat luas untuk didedah dan diterjemahkan ke dalam layar kaca. “Sebab bicara budaya itu selalu menyenangkan. Ada kesan khas dan membedakan dengan film-film lain,” ujarnya. Sejauh ini, Ajai bersama komunitas filmnya juga tidak berhenti terus memproduksi sinema panjang atau pendek. Setidaknya, Ajai sendiri sudah mengepalai produksi tiga film panjang dan belasan film pendek. Ia yakin, jikalau temanteman sineas muda mendapatkan metode yang tepat dan berdaya guna dalam menunjang minatnya terhadap dunia sinema, geliat di Tanjungpinang bisa semakin mengada. “Karena apresiasi masyarakat terhadap film lokal masih tinggi. Ini juga bergantung bagaimana memasarkannya,” ujar Ajai.***
Pemerintah Tidak Boleh Berdiam
Hendro tengah melakukan pengambilan gambar pada sebuah filmnya.
Meneladani Noesa Penida TAK banyak sineas muda Kepulauan Riau yang mencatat nama Said Galeb Husein. Padahal, di dekade 1980-1990an, Galeb adalah orang kelahiran Tanjungpinang yang sudah mencatatkan namanya di dunia perfilman Indonesia. Coba ketikkan nama Said Galeb Husein di laman pencari Google. Niscaya akan sulit mendapati segala informasi berbahasa Indonesia yang berkelindan dengan nama tersebut. Tapi, tanggalkan awalan Said. Cukup ketikkan Galeb Husein. Jangan kaget bilamana yang didapati adalah informasi seputar aktivitas sang pemilik nama di jagat teater dan perfilman Indonesia. Said Galeb Husein adalah nama lengkapnya. Sementara Galeb Husein adalah nama panggungnya. Tak banyak yang tahu bahwa Galeb adalah anak jati Kepulauan Riau. Lahir di Tanjungpinang, 5 Maret 1937, Galeb menghabiskan masa kecil di kota kelahiran REDAKTUR: FATIH MUFTIH
nya. Setelah merampungkan pendidikan menengah pertama, Jakarta jadi tujuan selanjutnya. Di ibu kota, Galeb menekuni dunia seni teater di Akademi Teater Nasional Indonesia (ATNI). Jauh-jauh merantau untuk belajar teater? Begitulah Galeb. Buah jatuh memang tak pernah jauh dari pohonnya. Bapaknya, Said Husein dikenal sebagai seniman masyhur di Tanjungpinang. Darah yang mengalir di nadi Galib adalah darah seni. Sehingga jarak beriburibu kilometer ditempuh demi memperkental darah seninya. Tak sia-sia langkah jauh Galeb. Di tanah rantau, Galeb menemukan laman bermain. Dihentakkannya panggung-panggung teater di Jakarta di dekade 1970an. Lakon-lakon klasik semisal Monserrat dan Jangan Kirimi Aku Bunga diperankannya dengan apik bersama rekan-rekan di ATNI. Darah seni yang mengalir deras di nadi
Galeb menjadi pemicu totalitasnya untuk senantiasa berkarya dan terus berkarya. Segala yang dicintai tak pernah berkhianat. Barangkali itu laku hidup yang diimani Galeb. Dunia watak peran membawanya ke panggung yang lebih tinggi. Jagat perfilman pun mulai dirambahnya. Selama kurun waktu 1985-1992, Galeb mencatatkan namanya di banyak sampul film. Informasi yang terhimpun, sekurang-kurangnya ada 14 film yang melibatkan Galeb di dalamnya. Dari 14 film tersebut, pada film Noesa Penida (1988), I Give My All (1992) dan Kuberikan Segalanya (1992), Galeb mengambil bagian sebagai sutradara. Selebihnya, Galeb menjadi pemeran dalam film-film yang disutradarai Arifin C. Noer, Teguh Karya, Torro Margens, hingga Sophan Sophiaan. Noesa Penida (1988) melambungkan nama Galeb sebagai sineas kenamaan di
Indonesia. Film yang naskahnya ditulis oleh Asrul Sani dan diperankan oleh Ray Sahetapy, Ida Ayu Diastini dan Gusti Randa itu menyabet tiga Piala Citra Festival Film Indonesia (FFI) tahun 1989 setelah menembus 11 nominasi. Pada hajatan itu, Noesa Penida dinilai sebagai film dengan Tata Musik Terbaik yang digarap Idris Sardi, Pemeran Pendukung Pria Terbaik oleh Pietrajaya Burnama dan Juru Kamera/ Tata Sinematografi Terbaik di bawah kendali W.A. Cokrowardoyo. Sejarawan Kepulauan Riau, Aswandi Syahri bahkan tak segan menyebut Galeb sebagai orang Tanjungpinang pertama yang menceburkan diri dalam dunia perfilman. “Dia orang Tanjungpinang pertama yang sekolah di ATNI sekaligus menginspirasi agar seniman Tanjungpinang juga berkecimpung di dunia film,” sebut Aswandi. (fatih)
DAMPAK sebuah film bagi daerah amat besar. Andaikan mau sejenak membuka mata dan percaya ada dampak besar dari sebuah film terhaadap pertumbuhan sebuah kota. Tentu masih kental dalam ingatan wajah Belitung yang semakin bersolek setelah produksi film Laskar Pelangi produksi Mira Lesmana yang begitu hebohnya. Belitung yang semula bukan apa-apa kini masyhur sebagai Bumi Laskar Pelangi. Itu semua terjadi karena kekuatan sinema. Sebab itu, pemerintah tidak boleh berdiam. Walau memang sinema ditinjau dengan kacamata lebih luas adalah ranah bisnis, pemerintah juga tidak lantas bisa lepas tangan. Hendro merasa pemerintah juga punya peran penting dalam menyuburkan geliat sinema anak daerah. “Selama ini workshop film hanya dilakukan secara swadaya oleh komunitas-komunitas yang ada. Padahal di luar-luar daerah, pemerintahnya memfasilitasi dialog-dialog kreatif semacam ini,” ujarnya. Tidak hanya itu saja, kemudian perihal perizinan. Terkesan remeh belaka. Tapi seringkali sebuah pengambilan gambar batal dilakukan lantaran tidak mendapat izin dari pihak yang berwenang. Menurut Hendro, anggapan positif serta dukungan apresiatif sesuai wewenang pemerintah daerah bisa berperan banyak. “Mumpung sekarang geliatnya lagi bagusbagus. Tidak ada salahnya kalau ada
Ajai dalam sebuah produksi filmnya.
workshop tentang film. Ingat lho, bisnis film ini bisnis yang tidak akan habis sampai masa depan. Sebab semua orang suka nonton film,” imbaunya. Senada dengan Hendro, Ajai menyuarakan, pemerintah memang mesti berbuat. Tidak bisa cuma pada bagian akhir dari sebuah produksi panjang sebuah film lantas menumpang tenar dan bangga saja. “Ketika kami butuh ini dan itu, mereka ke mana,” ucap Ajai. Tidak perlu sesuatu yang muluk-muluk. Bagi Ajai, pemerintah bisa mulai menyokong dengan mendukung segala kegiatan perfilman di Tanjungpinang. Kalau perlu, kata dia, pemerintah bisa mulai menduku-
ng pemutaran film-film lokal barang sebulan sekali. Hal ini bisa menjadi ruang apresiasi kepada para sineas muda. “Nanti mereka sudah capek-capek bikin film, tak ada yang tonton ‘kan kasihan,” kata Ajai. Pembentukan sebuah wadah komunitas film di bawah binaan pemerintah juga tidak ada salahnya. Dari situ, kata Ajai, rencana program kerja pro terhadap pembangunan sinema di Tanjungpinang bisa dibahas bersama dan tepat guna. “Bayangkan saja kalau ada sebuah studio film yang disediakan pemerintah untuk jadi tempat kongkow sambil bahas film, asyik tuh,” pungkas Ajai. (fatih)
LAYOUT: SYAFRINALDI
TANJUNGPINANG POS
3
Koran Nasional dari Kepri
MINGGU 11 MARET 2018
MENYUSURLAH ke kawasan Kota Kijang, Kecamatan Bintan Timur. Dengan jarak tempuh kurang 30 menit dari Tanjungpinang, Kijang bisa jadi wahana berlibur bila sudah bosan menjelajah sepanjang kawasan pesisir pantai Trikora di sisi lain Pulau Bintan. Kijang memang tidak punya pantai seindah Pantai Trikora. Tapi, memang bukan itu tujuannya. Berlibur ke Kijang adalah cara lain merayakan akhir pekan yang menggembirakan. Di sini, ada kebun binatang mini. Jangan dibayangkan kebun binatang di timur Bintan ini punya banyak koleksi binatang yang bisa dipamerkan, sebagaimana kebun binatang Ragunan, Jakarta atau Kebun Binatang Surabaya. Karena ditilik dari namanya; Mini Zoo, sudah bisa dibayangkan bahwa kebun binatang yang buka setiap hari dari pukul 09.00-17.00 WIB ini hanya menyajikan sebagian kecil fauna yang ada di dunia margasatwa. Namanya juga mini. Ada kalkun, rusa, iguana, beruang madu, buaya, orang utan, monyet, owa jawa, musang, kelinci, kelelawar, ular sanca. Ada juga pelbagai jenis burung yang dikandangkan. Mulai dari kakak tua, parkit, perkutut, burung unta, nuri, elang, merak, dan enggang. Seluruh koleksi binatang itu bisa dinikmati secara gratis oleh para pengunjung. Karena tak ada biaya masuk yang dikenakan. Tak pelak, karena digratiskan, pengunjung dari kawasan Kijang, Tanjunguban, dan Tanjungpinang membludak dan memenuhi kebun binatang ini. Biasanya, di akhir pekan, Sabtu dan Minggu.
Wahana Bersantai Selain Pantai
Pengunjung yang datang ke Mini Zoo juga beragam. Mulai dari anak-anak, sekeluarga, hingga sepasang kekasih yang menghabisi akhir pekan di sana. Kesannya bermacam-macam. Bagi kebanyakan anak-anak, mengunjungi kebun binatang adalah melihat hewan-hewan yang sebelumnya tak akrab di mata mereka. “Wow, ada beruang hitam besar,” kata bocah usia lima tahunan yang berdiri sedepa di hadapan kandang beruang madu. Sementara bagi keluargakeluarga yang menghabiskan akhir pekan di sana, mempunyai kesan bahwa Mini Zoo di Kijang ini tempat yang nyaman untuk berakhir pekan. “Di sini, punya gazebo dan pondok-pondok yang bersih,” kata Aini, pengunjung dari Tanjungpinang yang memboyong suami dan tiga anaknya ke Mini Zoo. Bagi Aini bersantai di Mini Zoo Kijang bisa menjadi pengalaman tersendiri buat anak-anaknya dalam mengenal fauna. Sepanjang akhir pekan kemarin, ia mengaku kewalahan meladeni pertanyaan demi pertanyaan putri bungsunya yang masih balita. “Macammacam ditanya. Seputar hewanhewan di sini yang tidak pernah dilihat di rumah sebelumnya,” ungkap Aini. Jika akhir pekan, bebas saja hendak datang pukul berapa. Namun, di hari-hari kerja, disarankan berkunjung ke Mini Zoo jelang petang. Selain karena cuaca sudah tidak begitu terik, saat-saat begini, biasanya mulai berduyun-duyun orang berdatangan. Sehingga, suasana Mini Zoo tidak terlalu sepi dan bukan tidak mungkin, bisa saling bertukar pengalaman. (fatih)
Pengunjung beserta anaknya berkeliling menyaksikan koleksi fauna di Mini Zoo Kijang.
Burung Merak Memberi Makan Rusa
Owa Jawa
Burung Rangkong
REDAKTUR: FATIH MUFTIH
LAYOUT: SYAFRINALDI
4
Komunitas
TANJUNGPINANG POS Koran Nasional dari Kepri
MINGGU 11 MARET 2018
Band Metal Kalamun Tanjungpinang
Beda Zona Kerja, Satu Band Jua PERBEDAAN zona kerja tidak pernah membatasi kreativitas. Selagi ada mau dan semangat dalam berkarya, selagi itu pula keterbatasan jarak bukan lagi kendala. Setidaknya, hal ini yang tercerminkan dari grup band Kalamun. Justru perbedaan zona kerja itu dijadikan sebagai api dalam menggarap musik-musik keras mereka. “Intinya, kami satu tekad untuk berkarya. Mau terpisah-pisah pun tetap saling berkomunikasi dan diskusi,” kata Sumartono alias Toink, gitaris Kalamun. Semangat ini dijaga bersama sejak setahun lalu. Satu tekad itu yang mengguyubi kelompok musik genre death metal ini di tengah pentas yang semakin susah didapati. Selain Toink, ada empat personel yang menjaga api Kalamun tetap menyala. Ada Feriz di vokal, Herri di gitar bas, Agung di drum, dan Stevy di gitar. Panca kawan setia sekata menjadikan musik cadas sebagai ekspresi bermusiknya. Toink menegaskan, tanpa sebuah komitmen yang utuh, sukar mempertahankan sebuah band yang para personelnya berbeda zona kerja. Hanya ia, Feriz, dan Stevy yang tinggal di Tanjungpinang. “Si Agung kerjanya di Kerinci, Riau, dan
si Herri di Batam. Tapi misalnya lagi ingin bikin satu sesi latihan serius, semuanya mau datang kok,” ujar Toink. Bagi Toink yang juga diyakini teman-temannya, beda zona kerja bukan sebuah kendala. Mereka meneladani langgam bandband cadas di Jawa. “Hal semacam ini biasa sajalah,” ucap Toink. Malah keterikatan dan tekad membangun karier di jalur musik nonarus utama menjadi unsur pemersatu kelima personel dalam rengkuh Kalamun. Toink dkk sadar, musiknya memang bukan “sesuatu yang akrab” di telinga pendengar pada umumnya. Namun, semangat Kalamun justru semakin membuncah agar lagu-lagu death metal-nya bisa diterima. “Mimpi semacam itu yang menguatkan kami berlima,” kata Toink. Sudah seperti keluarga. Begitu Toink ingin menyebut keterikatan satu sama lain dalam Kalamun. Bermula dari pertemuan tak sengaja pada aliran musik yang sama, mereka mencoba perjudian dengan latihan bersama. Irama dan harmoni permainan musik satu sama lain coba ditemukan dalam satu ritme. Setelah merasa klop, terpikirkan untuk membentuk band dan sekaligus ingin menawarkan
langgam musik “yang lain” buat masyarakat Tanjungpinang. “Sejak jams session iseng-iseng beberapa kali itu, akhirnya kami sepakat membentuk Kalamun,” kenang Toink. Nama band ini berasal dari bahasa Sansekerta. Artinya ketika. “Maksudnya, ketika kita bersama, kita punya kekuatan untuk menaklukkan dunia,” beber Toink. Sibuk Matangkan Album Usianya memang baru seumur jagung, tapi tekad Kalamun bermusik tidak main-main. Tahun ini akan menjadi tahun yang super sibuk buat Toink dkk. Tanpa basa-basi, mereka sedang mempersiapkan album perdana. Hal ini merupakan pembuktian keseriusan mereka dalam bermusik. Tak pelak, hal ini membuat jadwal kerja sebisa mungkin coba disesuaikan agar pematangan materi album tetap terjaga. “Harus bisa rilis tahun ini. Agendanya biar masyarakat tahu di Tanjungpinang ada band death metal dan yang paling penting, kami ingin menunjukkan bahwa kami serius bikin band ini,” ujar Toink. Tidak hanya itu saja. Toink melanjutkan, bahwasanya Kalamun juga ingin mengajak teman-teman band death metal lain yang ada di
Tanjungpinang untuk tetap berkarya dan tidak perlu kecut hati dengan pasar yang kurang apresiatif. Baginya, itu tantangan dan bukan penolakan. Justru mungkin karena belum terbiasa sehingga seakanakan sepi peminatnya. “Kami yakin ada banyak Metalhead (sebutan penyuka musik cadas, red) di Tanjungpinang. Karena itu tidak perlu malu. Ayo kita kumpul lagi, diskusi lagi, bikin gigs lagi,” kata Toink. Gigs alias panggung musik apresiatif di Tanjungpinang memang jadi barang langka. Dalam setahun belum tentu ada banyak panggung gigs didirikan. Sebab itu, Kalamun ingin melawan
Lima Personel Band Metal Kalamun Tanjungpinang.
kevakuman ini dengan merilis album. Diperkirakan, album perdana Kalamun ini rilis pertengahan tahun. Materi
kini sudah masuk tahap akhir. Lagu-lagu yang akan masuk dapur rekaman juga sudah disortir. Tinggal menggeber jadwal para personelnya yang beda zona kerja.
“Kekompakan yang jadi modal besar kami bikin album. Semoga bisa cepat selesai dan menyapa Metalhead di Tanjungpinang,” pungkas Toink. (fatih)
DIBUTUHKAN Tenaga Pengasuh di Taman Penitipan Anak “Melayu Bersinar” Persyaratan : þ Minimal tamatan SMP þ Sayang & sabar pada anakanak þ Tekun dan ulet bekerja
Lamaran dikirim ke alamat :
Jln. Sukaramai - Ruko Hangtuah Blok A No. 10 Telp : 081277502161
D-1St Female Station in Bintan Island Indonesia
Jl. Yos Sudarso No.63 Lantai 2-4 Batu Hitam, Tanjungpinang Telp. 0771 - 318 637. Fax. 0771 - 319 489 Email : radioonine@gmail.com
Marketing : 0812 7099 8897 (Fira Rewadi) 0852 6453 3303 (Andy)
REDAKTUR: FATIH MUFTIH
LAYOUT: SYAFRINALDI
TANJUNGPINANG POS
5
Koran Nasional dari Kepri
MINGGU 11 MARET 2018
Pai Buah, Dapur Bunda Ayra
Buah Manis Kreativitas K
REATIVITAS adalah keniscayaan di balik bisnis kuliner rumahan yang tumbuh subur bak cendawan di musim hujan. Tanpa unsur itu, kesulitan dalam persaingan pasar yang semakin ketat akan bikin buntu. Impian mendulang Rupiah dari dari balik dapur jadi kabur. Modal habis. Untung buntung. Sayangnya, kreativitas tidak bisa datang begitu saja. Belajar teori pun belum keruan cukup. Kreativitas adalah produk dari uji coba segala dengan laku paling berani. Salah dan benar atau gagal dan sukses bukan lagi dijunjung sebagai batas yang paling diburu dan dihindari. Kesalahan adalah sebaikbaik guru. Kesuksesan adalah buah manis bangkit dari kesalahan. Dwi Djamilah mengiyakan. Pengalaman hidup mengajarkan sedemikian. Ibu 39 tahun ini sadar kreativitas adalah hal yang paling diupayakan dalam menekuni bisnis kuliner rumahan. “Ya mau tidak mau harus begitu,” kata Dwi. Inilah yang menguatkannya selama empat tahun menekuni bisnis kuliner rumahan di Dapur Bunda Ayra. Selama itu, Dwi suka mengolah pai. Tapi dasar saat itu pemula yang mesti banyak belajar, saat itu Dwi hanya memproduksi pai brownies dengan aneka pupuran topping. Karena minus kreativitas hasilnya rata-rata. Sudah tak terhitung lagi jumlah produsen serupa. Itulah mengapa hasil
REDAKTUR: FATIH MUFTIH
jualannya begitu-begitu saja. Dan ... di sinilah kreativitas memberi sentuhan berbeda. Jatuh-bangun mempertahankan putaran roda bisnis mengajarkan suatu bernama kreativitas. Dwi mengolah ide dalam kepalanya. “Sejak saat itu saya terpikir mengapa tidak memberikan topping buah-buah di pai. Pasti dipadukan dengan vla yang manis jadi enak,” kisahnya. Benar saja. Pesanan mulai meningkat. Tapi, pesan Dwi, jangan lekas berpuas diri. Sebab prinsip berdagang tidak pernah ada kata selesai. Segala bergerak dengan dinamis, cepat, dan kerap tak diprediksi. Dwi berkisah, pada mulanya ia menerima pesanan pai buah dalam ukuran besar yang bisa dimakan beberapa orang. Tetapi, lambat laun, ukuran untuk sebuah penganan juga perlu dimodifikasi. Dwi berpikir keras agar pai buah racikannya tetap dapat dinikmati tanpa harus orang merasa membeli dalam porsi besar. “Saya berpikir bagaimana pai buah saya ini bisa terjangkau,” ucapnya. Kemudian Dwi berkreativitas lagi. Kini, ia menerima pesanan pai buah dalam ukuran mini. Dengan begitu pelanggannya tidak perlu lagi merasa terbebani harus membeli dalam ukuran jumbo. “Jadi kadang ada orang yang pingin cuma sekali hap, saya penuhi permintaan ini,” ungkap Dwi. Kini memasuki tahun kelima berjualan pai buah, Dwi men-
gaku masih terus belajar agar lebih baik lagi. Baginya, berdagang tanpa mau belajar adalah sebuah kesalahan. “Ya itu syarat
utamanya, entah bagaimana agar selalu ada ide dalam kepala untuk memuaskan pelanggan,” pungkasnya. (fatih)
LAYOUT: SYAFRINALDI
6
Goes to School
TANJUNGPINANG POS Koran Nasional dari Kepri
MINGGU 11 MARET 2018
Kelas Inspirasi Tanjungpinang
Nyala Api Semangat Berbagi K
ENYATAANNYA, semangat dan tekad mampu mengalahkan apa pun. Juga membangkitkan dari tidur panjang yang melenakan. Para pegiat di Kelas Inspirasi Tanjungpinang mengalami sendiri kenyataan itu. Pernah vakum selama setahun vakum usai setahun terbentuk, kini dengan semangat dan tekad yang baru mereka bangkit. Api semangat berbagi itu sungguh tidak pernah padam. Barangkali hanya meredup, dan kemudian menyala lagi. Caranya mudah belaka. Persis serupa kata orang bijak, ketika hendak menyerah atau berhenti, ingatlah tentang lelahnya memulai. Para pegiat Kelas Inspirasi di ibu kota provinsi Kepri ini saling mengingatkan dan menguatkan niat awal untuk peduli dengan kelangsungan pendidikan di Tanjungpinang. “Alhamdulillah, akhirnya kembali kami hidupkan di tahun 2017 dengan mengumpulkan teman-teman yang punya niat sama untuk peduli pendidikan anak bangsa, terutama di daerah pinggiran,” ucap Dewi Nuryatima, Ketua Kelas Inspirasi Tanjungpinang. Rasa-rasanya, sejak saat itu kegiatan demi kegiatan justru semakin bersusulan. Vakum sejenak untuk kemudian melanjutkan ternyata menjadi percikan api semangat untuk semakin berbagi di ruangruang Kelas Inspirasi. Tengok saja mulai dari kegiatan mingguan, bulanan, triwulan, sampai
tahunan yang sudah siap menanti di depan mata. Kegiatan mingguan yang selalu menarik untuk disimak adalah Minggu Ceria. Lokasinya berada di Taman Batu 10. Di sini, para pegiat Kelas Inspirasi melangsungkan sesi bermain edukatif dengan anak-anak yang berada di seputaran ruang terbuka hijau itu. “Lalu 15 Februari lalu, kami sudah melaksanakan Hari Inspirasi #3. Tidak tanggung-tanggung, kami melaksanakannya di empat sekolah di seputaran Dompak dan Senggarang,” papar Dewi. Pada Hari Inspirasi itu, sambung Dewi, setidaknya ada 30 pegiat atau yang akrab disebut relawan terlibat. Menariknya, siapa pun boleh bergabung dan tidak peduli latar belakang yang tersemat. Ada pengacara, wartawan, penyiar, pegawai Bea Cukai, penyuluh hukum, arsitek, pengawas, pegawai bank, pengusaha, dan masih banyak lagi. Dewi sendiri kebetulan berlatar belakang sebagai tenaga pengajar di sebuah sekolah swasta di Tanjungpinang. “Sudah berbedabeda latar belakang, berbeda pula asalnya,” tambah Dewi. Lantaran ini Kelas Inspirasi Tanjungpinang, sambung dia, bukan melulu relawan yang terlibat dari domisili yang sama. Ada dari Bintan, Batam, Tanjung Balai Karimun, dan bahkan Jakarta. Kekompakan atas dasar semangat hendak berbagi inspirasi macam ini yang kemudian menautkan
Refleksi Hari Inspirasi
Kegiatan Hari Inspiras
Swafoto bersama antara relawan dengan peserta didik.
antarrelawan di Kelas Inspirasi Tanjungpinang. Sampai dari yang luar kota pun dengan sukarela dan
senang untuk datang. Tak ayal, kata Dewi, kevakuman yang pernah ada itu jadi bukan apa-apa setelah
mendapati api semangat untuk berbagi di antara mereka kepada anak-anak itu tetap menyala. Bahkan
lebih terang dan lebih bercahaya. “Jadinya sekarang untuk anggota relawan kami sudah
ada 50 orang dan besar kemungkinan terus bertambah sepanjang waktu,” pungkas Dewi. (fatih)
Lomba ceria mewarnai dan menggambar.
REDAKTUR: FATIH MUFTIH
LAYOUT: SYAFRINALDI
TANJUNGPINANG POS Koran Nasional dari Kepri
7
MINGGU 11 MARET 2018
Jelang Tour de Bintan 2018
Hari Ini, Deklarasi Prabowo sebagai Capres
Masuk Kalender Kejuaraan Dunia BINTAN - Kejutan pembangunan pariwisata Bintan masih terus berlanjut. Paling mutakhir, ajang Tour de Bintan kini sudah masuk daftar kalender Kejuaraan Dunia UCI Grand Fondo. Dengan begitu akan semakin kesohor ajang rutin tahunan balap sepeda ini. Bupati Bintan Apri Sujadi turut bungah. "Karena Tour de Bintan satusatunya kegiatan pariwisata di Indonesia yang masuk dalam kalender perlombaan internasional," ungkap Apri, kemarin. Pada tahun ini, Tour de Bintan akan dilaksanakan sepanjang akhir pekan 2325 Maret 2018. Diperkirakan akan ada paling sedikit seribu pesepeda dari seluruh penjuru dunia ambil bagian pada ajang bergengsi ini. Bukan cuma gengsi yang ditawarkan. Tour de Bintan menjadi ajang balap sepeda favorit di Asia lantaran menawarkan sensasi beradu cepat di atas sepeda sembari melewati lintasan dengan panorama indah. Ada pantai, ada hutannya. Jalannya tidak melulu datar, menanjak dan menurun menyusuri
F. AAN/TANJUNGPINANG POS
Gelaran Tour de Bintan tahun lalu di Lagoi.
lanskap perbukitan di Bintan. Kepala Dinas Pariwisata Bintan, Luki Zaiman Prawira menegaskan, pihaknya bersama panitia masih memantapkan persiapan menyangkut teknis dan prosedurial. Segala hambatan yang mungkin akan terjadi diupayakan sedini mungkin untuk dapat dicegah. "Kami masih terus persiapan. Ini tahap pemantapan. Intinya
jangan sampai sukses tahun ini menurun dibanding tahun kemarin. Harus terus ditingkatkan," tuturnya Seperti tahun-tahun sebelumnya, klasifikasi umum balapan adalah 175 KM Individual Time Trial, 140 KM Grand Fondo Clasic dan 170 KM Grand Fondo Century. Seluruh pebalap sepeda akan melintasi berbagai rute yang mengitari Pulau Bintan.
Kegiatan ini juga diharapkan mampu mempromosikan pesona wisata Kabupaten Bintan agar semakin dikenal di seantero dunia. "Ini bukan yang pertama, pelaksanaan di tahun lepas kita jadikan bahan evaluasi. Tenaga medis, keamanan dan semua pihak termasuk masyarakat harus dapat mengambil peran masing-masing untuk mensukseskan," katanya. (tih)
JAKARTA - Ketua Umum Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra), Prabowo Subianto akan dideklarasikan sebagai calon presiden RI pada Pemilu 2019, secara serentak di 34 provinsi, Minggu (11/3) hari ini. Dengan begini, semakin terang sudah penantang petahana Presiden Joko Widodo pada pemilihan tahun depan adalah kompetitor yang sama empat tahun lalu. "Seluruh DPD akan mendeklarasikan Pak Prabowo. Insyaallah setelah nanti DPD-DPD deklarasi tentunya akan langsung digodok oleh DPP," kata Wasekjen Gerindra Andre Rosiade, kemarin. Andre menyebut, kader Gerindra mendorong deklarasi dari DPP dilakukan bersamaan saat Rakernas pada akhir Maret atau awal April mendatang. Rakernas rencananya digelar di kediaman Prabowo, Padepokan Garuda Yaksa, Bojong Koneng, Bukit Hambalang, Bogor.
F-XXX
Prabowo Subianto
"Nanti juga akan ada Rakernas setelah ini. Infonya bisa akhir Maret atau awal April. Insyaallah di Hambalang," jelas Andre. Sebelumnya diberitakan, Partai Gerindra telah dipastikan memajukan ketumnya, Prabowo Subianto, sebagai capres pada Pilpres 2019.
Deklarasi dukungan kepada Prabowo akan dilakukan pada akhir Maret mendatang. "(Deklarasi Prabowo) Ini menunggu waktu saja. Tapi maksimal akhir Maret ini kita sudah jelas deklarasi calon presiden dari Gerindra," kata Waketum Gerindra Sufmi Dasco Ahmad. (net)
Budaya........................................................................................................................dari halaman 1 Budaya komunikasi konteks tinggi ditemukan dalam sistem sosial tertutup (closed system), seperti sistem sosial masyarakat Indonesia. Sulitnya untuk mengatakan tidak, bagi orang Indonesia - dulu - bukan sekadar basa-basi, situasi demikian benar-benar ada apa adanya di lingkungan kita sehari-hari, yang oleh Edward T. Hall dikatakan sebagai places cultures along a continuum (bersemi ada dalam budayanya). Orang Indonesia lebih memilih
diam daripada mengucapkan kata tidak secara langsung. Tapi itu dulu. Bangsa Skandinavia dan Jerman tergolong dalam budaya bertipikal konteks rendah, dan Amerika, terutama yang berkulit putih - Anglo Saxon mempunyai tipikal konteks yang lebih tinggi dibanding Skandinavia dan Jerman, meskipun masih tergolong dalam budaya konteks rendah. Sedangkan bangsa Asia dan suku Indian Amerika tergolong dalam budaya bertipikal konteks tinggi.
TANJUNGPINANG POS Koran Nasional dari Kepri
Diterbitkan Oleh: PT Batam Intermedia Pers Terbit sejak tanggal 28 Oktober 2009 Alamat Redaksi: Komplek Pinlang Mas No.15 Lt 2-3 JL.DI Panjaitan-Batu IX Tanjungpinang, Telepon : (0771) 7447234 (hunting), Fax (0771) 7447085
Menurut Hall, dalam situasi tertentu dapat saja seseorang berkomunikasi dengan gaya komunikasi konteks tinggi dan di situasi lainnya bergaya komunikasi konteks rendah. Contohnya adalah orang Jepang yang dalam berbincang dengan keluarga cenderung berkonteks tinggi, sedangkan jika berdiskusi dengan orang luar atau orang asing, mereka lebih memilih berkonteks rendah. Selain itu, dalam suatu budaya bertipikal konteks
tertentu bisa saja terdapat subkultur yang relatif berkonteks tinggi atau relatif berkonteks rendah. Misalnya, di Indonesia yang berbudaya relatif berkonteks tinggi, meski sebenarnya budaya konteks tinggi sudah sangat jarang ditemukan. Pada rezim Soeharto, media massa cenderung berkonteks tinggi, memakai bahasa eufemisme yang halus untuk tetap mempertahan fungsi sosial kontrol. Namun media massa di era reformasi justru menjadi
Pimpinan Umum/GM/Penjab : M Nur Hakim Wakil Pimpinan Umum : Ramon Damora Pemimpin Redaksi : Ramon Damora Wakil Pemimpin Redaksi : Zakmi Pimpinan Perusahaan : M Nur Hakim Manajer Umum/Adm/Keu : Ari Istanti Manajer Pemasaran : M Nur Hakim Manajer Iklan : M Nur Hakim
PEMBINA MANAJEMEN : Rida K Liamsi, Suhendro Boroma
Dewan Redaksi : M Nur Hakim, Ramon Damora, Zakmi, Martunas Situmeang, Abbas, Fatih Muftih
salah satu penyebab yang membawa bangsa Indonesia dari budaya konteks tinggi menuju konteks rendah yang eksplisit dan komunikatif. Media massa berpretensi mengarahkan orang untuk menganut waktu monokronik yang berjalan secara linear. Waktu linear dianggap bergerak dari masa lalu ke masa depan, seperti garis lurus, dan tidak pernah kembali. Waktu dianggap objektif, dapat dihitung, dihemat, dihabiskan, dan dibuang. Di sosial media misaln-
ya, respon dan kritik terhadap suatu fenomena bisa berlangsung secara real time dan timpa menimpa. Sekelompok orang yang terlibat di dalamnya cenderung tidak ingin membuang waktu untuk berbelok-belok, sindir menyindir, atau sibuk memilih frasa halus dan puitis, tapi langsung menohok kepada inti. Biasanya saklak dan penuh dengan ujaran kebencian. Hal ini sangat kontraproduktif untuk membincangkan topik yang sensitif.
Sehingga menyebabkan konflik melebar dan setiap topik yang dimunculkan selalu menjadi titik panas. Sementara waktu yang sedianya dapat dihemat dalam komunikasi konteks rendah, bahkan menjadi sangat boros, bisa berlangsung berjam - jam, sehari penuh bahkan berhari - hari. Kehilangan budaya tinggi berarti kehilangan budaya leluhur. Waktu linier pada setiap zaman selalu menyisakan banyak paradoks. ***
DIVISI REDAKSI Redaktur Pelaksana Kompartemen: Martunas Situmeang, Abbas, Fatih Muftih. Redaktur: Martua P Butarbutar, Yusfreyendi, Adly Bara Hanani Reporter: Suhardi (Koordinator), Desi Liza Purba, Andri Dwi Sasmito, Raymon Sandy, Jendaras Karloan (Bintan Utara), Tengku Irwansyah (Lingga), Daniel Tambunan (Karimun), Hardiansyah (Natuna), Indra Gunawan (Anambas). Sekretaris Redaksi: Fauziatul Husna Ardelia
Tarif Iklan
Halaman Muka (FC) Rp 30.000,-/mm kolom. Halaman Muka (BW) Rp 25.000,-/mm kolom. Halaman DIVISI ONLINE Fatih Muftih (Penjab), Desi Liza Purba (Wakil Penjab) Dalam,- (FC) Rp 25.000,-/ mm kolom. DEPARTEMEN PRACETAK/LAYOUT/PERWAJAHAN: Dobby Fachrizal (Manajer), Syafrinaldi (Penjab Layout), Gilang Dhikapati, Agung Saputra Prastya (Staff). Halaman Dalam (BW) Jaringan/IT/Online: Rahmat Santoso (Penjab). Rp 15.000,-/mm DIVISI BISNIS kolom. Iklan Umum/ Departemen Umum, Adm, & Keuangan: Penjab: Dahlia , Kasir: Reynaldi Syah Display (BW) Rp Customer Service: Dilas Tari Umum: Irhamna. Departemen Iklan: Saifullah (Ass. Manager), 15.000,-/mm kolom. Penjab Desain Iklan: Kevin Perdana, Wira Harjuman. Penjab Adm Piutang: Dahlia Anna, Juni Ella. Penjab Penagihan: Jefri, Departemen Pemasaran & EO: Rijon Sitohang (Penjab Ekspedisi) Iklan Ucapan Selamat Yurika, Sri Wahyuni, Afriyanti (Penjab Adm Piutang dan Retur). (FC) Rp 7.000,-/mm Departemen Pemasaran Koran: kolom. Iklan Ucapan Rijon Sihotang (Penjab Ekspedisi), Eris Surahman, Pariadi. Selamat (BW) Rp Penjab Pemasaran Koran: Hardian, Sudiarta,Wahyu Gustianto, Isep Ilham, Tarmizi 3.500,-/mm kolom. Penjab Langganan Koran: Afriyanti, Sri Wahyuni (Staf) Iklan Dukacita Rp Perwakilan - Perwakilan 3.500,-/mm kolom. Batam (Martua Butar-butar, Tarmizi Rumahitam), Lingga (Tengku Irwansyah), Bintan Utara (Jendaras Karloan), Karimun (Alrion Tambunan), Natuna (Hardiansyah), Anambas (Indra Sport Color Rp 7.000,Gunawan), /mm kolom. Advertorial Kepala Biro Iklan Jakarta: Shanti Novita Rp 5.000,-/ mm kolom.
Dicetak pada : PT Ripos Bintana Press. Isi di luar tanggung jawab percetakan.
„ REDAKTUR: FATIH
„ LAYOUT: SYAFRINALDI
TANJUNGPINANG POS Koran Nasional dari Kepri
MINGGU 11 MARET 2018
REDAKTUR: ADLY BARA
IKLAN
8
LAYOUT: SYAFRINALDI
Jembia
MINGGU 11 MARET 2018
TANJUNGPINANG POS Koran Nasional dari Kepri
Jembia terbuka untuk semua tulisan dan foto seni kreatif. Kirim naskah, biodata, foto terbaru Anda ke alamat email: jembiatanjungpinangpos@gmail.com
31 NEGARA BUDAYA Tiga hari, dua malam. Lebih dari 100 orang seniman meriung di Pantai Marina City, Batam. Gawai yang tak biasa. Yang hadir lintas negara.
TARMIZI RUMAHITAM, Batam
S
ECARA politik geografis, Indonesia, Malaysia, dan Singapura berbeda. Masing-masing adalah negara yang berdaulat di atas hukum dan undangu ndangnya sendiri. Tapi, landasan dan keterikatan kebudayaan, tiga negara itu seirama. Terhimpun oleh tradisi persuratan Melayu yang sudah terjalin sejak lampau dan masih lestari sampai hari ini. Maka dari itu, sepanjang 2 – 4 Maret lalu, sebanyak 100 seniman dari tiga negara ini berkumpul. Bukan untuk hura-hura, tapi ada sejumlah agenda kebudayaan yang digiatkan. Dalam tajuk Majelis Kemah Seniman dan Ziarah Kesenian (ZK) Batam 2018, dua hari jadi riuh sekali di kawasan pantai Marina. Ada meja-meja diskusi sebagai wahana pertukaran ide pembangunan kebudayaan serumpun. Lalu panggung pementasan teater, musik, dan puisi sebagai sarana apresiatif. Pada malam pembukaan kemah ZK, Jumat (2/ 3), Presiden ZK Batam, Rahmanidar yang juga anggota Mejelis Tinggi republik rbb (rumahitam batam berpuisi) menyebutkan, mejelis kemah seniman ZK yang digawangi ZK Batam merupa REDAKTUR: FATIH MUFTIH
kan salah satu bentuk kesungguhan ZK Batam dalam menjulang hubungan yang baik dan saling berbagi pengalaman berkesenian antara seniman Batam dan Kepulauan Riau dengan para seniman dari berbagai daerah di Indonesia, Malaysia dan Singapura. Bersamaan pula dengan membangun semangat kecintaan dan apresiasi atas nilai nilai perjuangan kepahlawananan nusantara. Di mana nusantara yang dimaksud, meliputi Indoneseia, Singapura, Malaysia, Brunei dan Thailand. Meski hanya dihadiri peserta dari tiga negara saja, Indonesia, Singapura dan Malaysia, kemah seniman ZK Batam tetap berlangsung dengan meriah dan sarat hikam. Pada malam seremonial pembukaan, Jumat (2/3) malam di Pantai Marina. Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Batam, Febrialin menyatakan rasa hormat dan terima kasih kepada seluruh peserta yang berkenan hadir di Batam. Dikatakan Febrialin, kehadiran para seniman dari berbagai provinsi di Indonesia, Singapura dan Malaysia, diharapkan dapat memberi arti tersediri, terhadap kemajuan dan pengembangan sejarah seni dan budaya di Batam. “Sebab Batam sebagai
gugusan pulau dalam daulat Riau Lingga Johor dan Pahang pada masa silam, memiliki catatan sejarah yang menarik untuk diziarahi para seniman, sejarawan dan budayawan. Sehingga dari ziarah ini, akan lahir karya kreatif yang dapat memperkenalkan Batam secara lebih luas dari nilai-nilai historinya,” ungkapnya. Catatan Jembia, di anatara para peserta yang mengikuti kemah seniman ZK tersebut, ada yang datang secara personal, ada juga yang datang atas nama kelompok seni. Dari riau misalnya, hadir kelompok Toktan yang terdiri dari beberapa seniman senior seperti A Aris Abeba, Deni Kurnia dan Tin Marni. Selain itu juga hadir pernyair dan teaterawan wanita Riau, Kunni Masrohanti dari Komunitas Rumah Sunting. Hadir juga kelompok teater STKIP Rokan Hulu dinakhodai Hermawan dan Andrimar AR. Dari Sumatera Barat, hadir penyair dan teaterawan Muhamad Ibrahim Ilyas serta penyair Syarifudin Arifin. Tidak hanya dari Sumatera Barat dan Riau, dari Sumatera Utara hadir Zulkarnain Siregar dan Porman Wilson Manalu. Dari bengkulu hadir kelompok Teater Basurek Universitas Bengkulu
yang dinakhodai Emong Swandi. Sedangkan dari Pulau Jawa, hadir Debora dari Jember. Peserta dari Batam, turut serta Perdana Menteri Republik RBB Sudirman El Batamy. Selain itu, juga dikuti anggota Majelis Tinggi Republik RBB, Jefi Chandra, RD Paschal. Temenggung Timur Republik RBB, Nikolaka dengan Laksemana Lingga Republik RBB, Alang Dilaut bersama Panglima Barat Republik RBB, Chanchan Parase. Tak pula ketinggalan, Ketua Mahkamah Keagungan dan Kesejehteraan Republik RBB, Ongah Samson RP. “Dengan segala keterbatasan, kita bersyukur kemah seniman ZK dapat terselenggara. Selaku presiden ZK Batam, saya berterima kasih kepada semua pihak yang telah membantu, wabil khusus kesatuan TNI AD Kompi 134 Tuah Sakti dan Kesatuan Brimob Polda Kepri yang telah membantu pengadaan tenda dan perlengkapan yang kita perlukan. Semoga peristiwa ini tidak hanya satu kali, dan kelak kita bisa menggelar kembali,” sebut Rahmanidar yang pada malam pembukaan Kemah Seninam Ziarah Kepahlawanan Nusantara tersebut, meluncurkan buku puisinya bertajuk Perempuan Bajak Laut.*** LAYOUT: DOBBY F
10
hari puisi
MINGGU 11 MARET 2018
Saturasi Magnolia; Adakah Tiada? di suatu duka, ringkih aku menyaksikan senja melangkah perlahan menuju air mata. dari matanya air, hanya sekelebat hening menghinggapi kedua pupilnya yang sirat luka. dia merembeskan dua kegamangan pada serumpun Magnolia di tepian telinganya dari mana warna semburat langit jingga padahal bilik hatinya dibutakan saturasi ????????
TANJUNGPINANG POS Koran Nasional dari Kepri
sajak-sajak EKA NOVIRNA Harry Potong /Tongkat/ “Buk, Buk... aku ingin tongkat Voldemort.” “Untuk apa?” “Untuk menyihir mulut-mulut nyinyir yang bau anyir. Satu saja.” “Jangan. Nanti kita tidak tahu di mana lebihnya kita dari bau anyir mulut mereka.” /Topi/ “Kalau begitu, berikan aku topi Dumbledore, Buk.” “Untuk apa lagi?” “Kali ini kabulkan, ya, Buk?” “Mesti untuk menampung belas kasih para penjilat cukong, ya?” “Kok, Ibuk tahu?” “Aku ini ibumu, bau kelekmu saja aku tahu seperti apa.” “Memang, seperti apa?” “Ambilkan Ibuk terasi di dalam gudang ikan busuk, ya.” “Jawab dulu, Buk. Seperti apa?” “Terasi itu bahkan masih lebih wangi dari bau kelekmu itu!” /Sapu/ “Baiklah, Buk. Buatkan saja aku sapu terbang. Agar aku bisa menepis debu-debu kotoran di kepalaku sendiri” “Aku kabulkan. Pegang dulu pisau ini.” “Untuk apa?” “Potong dulu lehermu!”
EKA NOVIRNA, Kelahiran 22 November. Sudah 14 tahun menulis. Puisi terbarunya tergabung dalam antologi puisi Gelas Sompek (2015).
Tantangan & Masa Depan Kritik Sastra Indonesia BAGIAN KEDUA DARI DUA TULISAN OLEH: MARTIN SURYAJAYA
M
ASALAH kritik sastra kita dewasa ini bukanlah pada kelangkaan polemik besar, melainkan pada tiadanya landasan bersama untuk bicara. Kecenderungan pembentukan pusat-pusat kecil di sekitar sastrawan idola di media sosial dan keterasingan resiprokal di antara ekosistem-ekosistem sastra adalah gejala tiadanya landasan bersama itu. Kita seperti tak punya wahana untuk menaruh ukuran-ukuran sastra kita, membandingkannya secara cermat dan membahasnya bersama-sama. Kita, singkatnya, tak punya acuan bersama tentang “sastra Indonesia”. Di sini peran sayembara kritik sastra tingkat nasional sangat penting. Sayembara kritik sastra tingkat nasional punya sekurang-kurangnya tiga fungsi pokok: (1) memotret state of the art kritik sastra Indonesia, (2) sebagai ajang showcase keragaman ekosistem kritik sastra Indonesia, dan (3) menetapkan tolok ukur (benchmarking) sementara atas perjalanan kritik sastra Indonesia terkini. Untuk memperlihatkan bekerjanya tiga fungsi itu, kita dapat mengambil contoh Sayembara Kritik Sastra yang diselenggarakan Dewan Kesenian Jakarta. Kita mulai dari fungsi pertama, yaitu memotret state of the art kritik sastra Indonesia. Dalam Sayembara Kritik Sastra DKJ, kita akan menjumpai naskah-naskah kritik yang mengupas isu-isu terkini sastra Indonesia kontemporer dan tak terpublikasi sebelumnya. Dalam naskah-naskah itu kita akan menemukan kecenderungan terbaru kritik sastra kita. Kecenderungan terbaru itu muncul dari beragam ekosistem sastra di tanah air; di sini kita masuk ke fungsi kedua, yaitu sayembara kritik sastra sebagai dokumentasi keragaman ekosistem kritik sastra Indonesia. Naskah yang masuk berasal dari latar belakang komunitas sastra yang demikian beragam, mulai dari kota besar seperti Jakarta, Bandung, dan Yogyakarta, sampai kota kabupaten seperti Sragen, Trenggalek, Muara Enim, Enrekang, Martapura, dan berbagai tempat lain di Indonesia. Di sini, kita saksikan pertandingan di antara berbagai jenis kritikus, mulai dari kritikus koran nasional, kritikus akademis, kritikus media sosial, dan kritikus koran lokal. Pada akhirnya, Sayembara Kritik Sastra DKJ juga berfungsi sebagai wahana penetapan tolok ukur bersama tentang pencapaian terbaik kritik sastra Indonesia. Dengan menetapkan sejumlah pemenang, DKJ memberikan acuan bersama tentang kritik sastra yang baik (betapapun sementara sifatnya) pada publik sastra tingkat nasional. Selain ketiga fungsi di muka, Sayembara Kritik Sastra DKJ dapat dikatakan menjalankan pula fungsi pengkaderan kritikus sastra. Fungsi ini tercermin dalam penetapan empat kritik pokok penjurian yang berlaku sejak pertama hingga terakhir Sayembara Kritik Sastra diselenggarakan oleh DKJ, yakni 2005, 2007, 2009, 2013, dan 2017. Keempat kriteria pokok itu dapat saya jabarkan lebih lanjut seperti ini; REDAKTUR: FATIH
Kritikus, Pemikir Pertama, ketajaman dalam menelaah karya. Yakni, kritik seyogyanya masuk ke rincian tkes, tidak berhenti pada pengamatan global dan penilaian yang menggeneralisasi tanpa bukti yang cukup. Dan, kritik seyogyanya mampu melihat keterkaitan antar unsur dalam teks (misalnya kesaling-hubungan antara pilihan isi dan pilihan bentuk), tidak fiksasi di satu unsur saja (misalnya praktik rajin tapi absurd seperti menghitung berapa jumlah kata “dan” dalam karya). Kedua, kritik yang inspiratif dan orisinal. Yakni, kritik seyogyanya mampu menempatkan teks dalam peta sastra Indonesia kontemporer dan dalam bingkai sejarah sastra Indonesia, sehingga tidak tuna acuan. Dan, kritik seyogyanya mampu membuka agenda riset baru tentang teks yang dibahasnya, membuka sudut-sudut penelusuran dan pertanyaan baru. Ketiga, argumentasi yang meyakinkan. Yakni, kritik seyogyanya memuat pikiran kritikus, bukan hanya deskripsi, tentang karya (sebab kritik bukan resensi buku). Kritik seyogyanya menghadirkan pikiran kritikus yang berlandaskan pada teks, bukan pada spekulasin teoritis yang jauh dari teks. Dan, kritik seyogyanya menempatkan teori sebagai alat bantu untuk memahami teks, bukan sebagai hipotesis yang diuji kebenarannya lewat teks (yang mengakibatkan teks menjadi alat bantu untuk menerangkan teori). Keempat, keberanian menafsir dan kesegaran perspektif. Yakni, kritik seyogyanya menghadirkan sudut pembacaan yang berbeda dari sudut pembacaan dominan atas teks yang sama, sehingga tidak membeo kritikus terdahulu. Dan, kritik seyogyanya menggali sumber-sumber sastra yang belum atau masih jarang dikenali publik tapi menyimpan potensi, sehingga kritik tidak hanya mengikuti arus dalam membahas karya-karya yang banyak dibicarakan orang. Dengan menempatkan keempat kriteria di muka, Sayembara Kritik Sastra DKJ secara tidak langsung menetapkan arah bersama untuk mengusahakan kritik sastra yang baik. Dengan adanya keempat kriteria seabgai standar, para peserta dikondisikan untuk mengasah kritiknya untuk memenuhi standar tersebut. Artinya, lewat penyelenggaraan Sayembara Kritik Sastra, DKJ menjalankan fungsi pengkaderan atas para pelaku dalam ekosistem kritik sastra Indonesia. Lewat keempat fungsi itulah sayembara kritik sastra tingkat nasional yang diselenggarakan secara regular dapat memberikan acuan bersama, landasan bersama untuk bicara, sehingga meretas fragmentasi dalam ekosistem sastra dan kritik sastra Indonesia. Sayembara kritik sastra tingkat nasional, singkatnya, akan meneguhkan bahwa kita semua hidup dalam “Sastra Indonesia” yang sama. Menuju Kritik Sastra yang Berkepribadian Berdasarkan pengamatan saya sebagai salah satu juri dalam Sayembara Kritik Sastra DKJ 2017, saya menjumpai
sekurang-kurangnya tiga persoalan mendasar dari naskah-naskah kritik sastra yang lulus seleksi administratif: Pertama, kritik cenderung melepaskan karya sastra yang dibahas dari ekosistem sastra Indonesia. Sebagian menghubungkan karya itu secara langsung dengan karya-karya besar kesusastraan Eropa. Sebagian lain asyik sendiri mengupas karya tanpa melihat keterkaitannya dengan karya-karya lain dalam ekosistem sastra Indonesia. Kedua, kritik kerap kali berhenti di tataran deskriptif, belum sampai ke tataran argumentatif. Dalam hal ini, yang sering mengemuka ialah praktik menginventarisasi teknik dan/atau meringkas karya sastra, tidak melangkah lebih jauh dengan mengajukan argument tentang teknik ataupun isi karya tersebut. Ketiga, kritik sering kali menggunakan teori dan acuan teoritis yang hubungannya jauh dengan unsur-unsur dalam karya yang dibahas. Akibatnya, teori dan pendekatan teoritis tampak lebih sebagai hiasan ketimbang sebagai peranti untuk membedah karya. Masalah kedua dan ketiga berkaitan dengan kemampuan menulis; suatu soal yang akan terpecahkan dengan sekadar mengikuti lokakarya academic writing. Akan tetapi, masalah yang lebih berat dan ingin saya angkat terutama ialah yang pertama, yakni kecenderungan untuk membahas karya dengan mengabaikan ekosistem sastra dan kritik sastra Indonesia. Penilaian atas mutu estetik sebuah karya sastra hanya akan punya bobot yang berarti apabila karya tersebut ditempatkan dalam konteksnya, yakni sistem karya sastra Indonesia lain dengan genre yang sama, atau yang punya keserupaan motif, tema, alur,
serta sistem kritik sastra yang telah memproduksi pengetahuan tentang sistem karya sastra tersebut. Ini adalah syarat minimal yang mesti dipenuhi untuk menakar nilai sebuah karya sastra. Terhadap pendekatan itu, kita bisa juga menambahkan sistem sosial sastra yang lebih luas: hubungan antar pengarang, institusi sastra, publik sastra, dan seterusnya. Selain itu, kita mestinya juga menempatkan karya dalam bingkai sejarah perkembangan sastra Indonesia. Dengan cara itu, kita tahu posisi sebuah karya sastra dalam ekosistem sastra Indonesia dan membangun argumen berdasarkan pemahaman tersebut. Inilah yang absen dalam kritik sastra kita belakangan ini, sementara kritik sastra yang berkembang di dunia akademik cenderung abai pada sejarah sastra Indonesia karena lebih berfokus pada telaah linguistik, kritik sastra populer yang berkembang di dunia maya juga mengidap masalah yagn sama dengan alasan yang berbeda. Kritik sastra populer kita cenderung berangkat dari ukuran-ukuran yang sifatnya pribadi, tanpa mengaitkannya dengan pembacaan atas sejarah sastra Indonesia dan posisi karya yang dibahas dalam medan sastra Indonesia. Akibatnya, kritik yang muncul cenderung “impresionistik” atau bergantung pada kesan subjektif kritikus dan selera estetiknya. Sebagian dari kritik itu memang memperlihatkan ciri kepribadian yang khas, misalnya dengan gaya mengejek, memasukkan unsur-unsur otobiografis, membuat penilaian-penilaian pribadi, dan seterusnya. Akan tetapi kepribadian itu abstrak karena tidak dilandaskan pada pembacaan yang memadai tentang sejarah dan konteks sastra Indonesia.
Kita memerlukan kritik sastra yang berkepribadian dan kritik sastra kita hanya akan punya kepribadian kalau mengusahakan pandangan tentang sastra Indonesia sebagai sistem, yaitu dengan menimbang letak sebuah karya dalam ekosistem sastra Indonesia. Hanya dengan pemahaman tentang sistem sastra Indonesia, kita bisa bersikap dan berargumen tentang nilai dari tiap-tiap karya yang disodorkan ke muka kita. Untuk mencapai taraf itu, kita harus keluar dari tempurung estetik kita atau Kelompok kita sendiri. Kita mesti kembali pada sejarah sastra Indonesia dan membacanya dengan rinci. Oleh karena itu, sayembara kritik sastra mesti didukung pula lewat sejumlah program yang bertujuan menghadirkan “Sastra Indonesia” pada semau publik sastra kita. Kita perlu menjalankan stock opname atas perjalanan sejarah sastra Indonesia, menginventarisasi tulisan-tulisan kritik sastra yang penting bagi perjalanan sastra Indonesia dan menyebarluaskannya kepada publik. Usaha semacam ini jarang dilakukan untuk bidang kritik sastra. Kita bisa jumpai banyak sekali bunga rampai karya sastra Indonesia, tapi sedikit sekali bunga rampai kritik sastra yang relatif lengkap. Kita terbantu dengan Sumber Terpilih Sejarah Sastra Indonesia Abad XX yang dihimpun oleh Ulrich Kratz pada tahun 2000. Usaha semacam ini harus diperbarui dan diperdalam lagi agar kita punya landasan bersama untuk mengimajinasikan kritik sastra Indonesia kita. Hanya dengan stock opname secama itulah kita betul-betul hidup dalam “Sastra Indonesia” yang sama, tidak dalam sekat-sekat minipusat dan seribu satu ekosistem sastra yang saling terasing satu sama lain.*** LAYOUT: SYAFRINALDI
11
niskala
MINGGU 11 MARET 2018
Tawaran Pekerjaan Cerpen: Andri Saptono
TANJUNGPINANG POS Koran Nasional dari Kepri
candubuku
“
Tawaran pekerjaan baru ini sungguh menarik bagi Parjo. Lebih mudah dan gampang dari pekerjaannya yang ia lakukan sekarang ini: menjadi kuli barang alias manol di pasar Klewer. Walaupun bisa mendapat banyak uang kalau sedang banyak langganan. Namun, tubuhnya yang mulai ringkih sudah tidak bisa diajak kompromi lagi. Maklum saja, usianya sudah hampir 60 tahun.
aku lebih baik menjadi miskin dalam sebuah rumah penuh buku dari pada menjadi raja di istana tanpa hasrat untuk membaca.
H
INGGA datanglah seorang perempuan setengah tua. Berpenampilan orang kaya. Masgiwang gemerlapan di badannya. Pendeknya, perempuan yang tidak tidak cantik namun tidak juga jelek itu menyuruh Parjo mengusung barang-barang ke dalam mobil. Barang-barang itu berupa kain mori dan handuk kecil dalam jumlah banyak. Baru kali ini Parjo melihat perempuan itu. Parjo berharap perempuan itu jadi pelanggan tetapnya kelak. “Nanti kalau datang lagi, biar saya angkat saja bawaannya, Bu. Tidak perlu manggil yang lain. Insya Alloh siap kok...” “Nggih Mas. Ya, nanti kalau pas ke pasar ini lagi.” “Ini buat apa banyak handuk dan kain mori begini, Bu?” Perempuan itu tidak menjawab. Parjo tahu diri jika pertanyaannya diabaikan. Ia bertanya yang lain. “Kalau rumahnya mana, Bu?” “Saya di Karanganyar, Mas.” “Lho, saya juga Karanganyar. Daerah mana Panjenengan kalau boleh tahu..” Parjo mengenali plat mobil Avansa itu. Memang tanda kendaraan daerah Karanganyar. “Saya di Papahan, Mas. Panjenengan mana?” “Saya daerah Ngijo. Berarti utara desa panjenengan. Tidak jauh.” “Nggih, keleresan. Apa sudah lama di sini? Berapa tahun?” “Wah, sudah lama, Bu. Sudah lima tahunan. Ya, rejekinya di sini, mau gimana lagi.” “Berarti uangnya banyak ya mas jadi manol di sini...” “Ya, nggak banyak sih bu...tapi lumayan... Setelah selesai mengusung ke dalam mobil semuanya, Parjo berdiri menunggu si empunya barang memberi upah seperti biasa. Si perempuan juga tahu diri. “Ini uangnya mas. Cukup atau masih kurang ini?” Selembar lima puluh ribuan. Tentu saja lebih dari cukup. “Wah, saya ndak punya kembalian itu, Bu...” “Wis, nggak usah, Mas. Buat sampeyan saja...” “Maturnuwun. Mugi-mugi rejekinipun lancar...” seperti biasa Parjo berbasabasi. Sejenak si perempuan itu rupanya terkesan dengan Parjo. “Eh, Mas. Panjenengan kan deket Papahan juga. Kalau ada tawaran pekerjaan di Papahan mau tidak?” “Ehm, kalau cocok nggih purun to bu...” “Ya, kalau mau jenengan harus stand by di sana lho... gimana?” “Ehm, ya itu tadi. Kalau cocok saya nggih purun. Ibu sendiri pasti paham maksud saya...” “Iya, aku paham maksudmu itu. Uang tho... Wis, soal itu. Aku bisa jamin. Berapa sehari paling banyak kamu dapat di sini?” “300 an ribu bu, bersih...” Parjo mengatakan itu, artinya 300 an ribu itu sudah tidak termasuk makan, minum dan yang lainnya. “Baik. Aku juga kasih 300 ribu sehari.” “Kok sama saja, Bu?” “Bedanya, kamu itu tidak banyak keluar keringat. Paling satu kerjaan cuma 15 menit saja rampung. Wis, dijamin ora abot babar blas...” Parjo tertawa. “Nyambut damel napa niku bu... nggih kula kepengin. Nanging niki halal to bu?” “Ya genah halal to mas. Sing penting tidak merugikan orang lain. Gimana cocok mboten?” Parjo garuk-garuk sebentar. Ia mengangguk. “Nggih, kula purun...” “Kudu metu saka manol ora papa?” “Nggih..” ujar Parjo mantep. Parjo kemudian pamit kepada bos manol di pasar Klewer itu. Sebelumnya, agak heran bosnya dengan keinginan Parjo yang mendadak itu. “Beneran lho, Jo? Tidak ada petir tidak ada hujan, kok kamu tiba-tiba pengin berhenti..” ujar pak Kasmidi, bos manol itu. “Nggih pak. Mumpung ada pekerjaan dekat rumah.” “Ya, sudah kalau gitu. Aku juga tidak akan menghalangi kamu. Biar nanti aku cari ganti yang lain. Soalnya sing kepengin nglamar manol setelah Klewer direhab tambah banyak. Lha, anehnya kok kamu malah pengin keluar. Nanging, ya ora masalah. Muga-muga wae lancar lah...” “Nggih, matur nuwun pak...” “Ini ada sedikit amplop. Tolong diterima.” “Nggih, matur sembah nuwun. Mugamuga gusti Alloh mbales langkung sae..” Sesampai di rumah, Parjo segera mencari istrinya yang sedang berada di dapur. Istrinya sedang masak jam tiga
REDAKTUR: FATIH MUFTIH
Thomas Babington Macaulay Sejarawan
10 Buku Sepak Bola Terbaik (2) Sebagai olahraga paling populer di dunia, sepak bola tidak lengkap jika hanya ditonton. Banyak buku yang ditulis dengan baik dan memikat yang wajib dibaca seputar sepakbola. Berikut ini lanjutan sepuluh buku sepak bola terbaik dari berbagai sumber: 6. Managing My Life dan My Autobiography oleh Sir Alex Ferguson Buku pertama dirilis tepat setelah generasi emas Manchester United meraih treble bersejarah pada tahun 1999. Sedangkan buku kedua menandai pensiunnya sang legenda dari dunia sepak bola. Kedua buku ini merupakan bacaan wajib bagi para penggemar Red Devils, maupun yang bukan. Makin menarik karena keduanya merupakan autobiografi,ditulis sendiri oleh Sir Alex Ferguson. Dengan gaya bertutur orang pertama, buku ini mengupas diri sang manajer legendaris mulai dari masa-masa mudanya di Skotlandia, kehidupan pribadi dan keluarganya, serta tentu saja akhir dari sukses berkepanjangannya di United.
7. How Soccer Explains the World sore ini. “Tumben, jam segini sudah pulang, Pak?” “Iya, tadi aku dikasih bonus ini dari pak Kasmidi.” Parjo menyerahkan bonus dari pak Kasmidi karena telah menjadi pekerja lima tahun sebagai manol di pasar Klewer pada istrinya. “Ini Bu, bonus dari pak Kasmidi.” Sebuah amplop berisi uang seperti perkiraan Bu Parjo. “Wah, banyak pak. Satu juta rupiah.” “Semuanya satu juta setengah tadi. Aku ambil lima ratus, buat lunasin hutang di warung dan si Saidi.” “Aslinya ini bonus apa tho pak ini?” “Pokoke, itu kamu bawa. Eh, dimana anakmu?” “Belum pulang sekolah. Sekarang kan Tarno itu pulangnya sore terus.” Parjo melihat jam di dinding yang menunjuk angka tiga. “Masih ada setengah jam, Bu. Penake yen ora ana bocah-bocah ngene ki..” Parjo menghampiri istrinya, sambil mencolek pinggang istrinya yang subur. “Lah Pak. Lha ini masih pakai celemek di dapur kayak gini, mau yang begituan... mbok nanti malam wae... arep selak ngapa to?” Parjo menghela napas sambil mencep. Tidak berani ia memaksa istrinya. “Yo wis. Sik, aku tak adus wae.” “Yo, tak gawekne wedang saiki.” Parjo mengambil handuk. Istrinya mengaduk wedang. Nampak perempuan itu ingin mengutarakan sesuatu. “Pak, aslinya ini uang bonus apa to? Kok akeh men... ojo-ojo sampeyan ki diPHK.” “Ora, ora ana sing diPHK. Nanging aku metu karepku dhewe...” “Inna lillah... rak yo tenan to firasatku...” “Ora ngono, Bu. mengko tak critani.. aku arep adus sik. Tenan wis. Sak critan apa rong critan saknjalukmu... hahaha...” “Wong gemblung...dijak guneman tenanan kok...” “Aku yo tenanan lho... pengin saiki po piye? Tak uculane handukku maneh...” Parjo usil beneran. Handuknya dilepas. Telanjang bulat begitu sambil kembali menghampiri istrinya. “Ah..kono...kono...saru pak! Yen disawang anakmu mulih sekolah...ooo...” Parjo tertawa. Ia masuk ke kamar mandi. Tak lama suara jebur air menjadi orkes tunggal di kamar mandi itu. *** Malam itu setelah Parjo minta jatah istrinya, keduanya berbincang di tepi ranjang. Istrinya membenahi rambut yang kusut masai setelah ‘perkelahian sebentar’ itu. Sedangkan Parjo asyik menyulut rokok kretek favoritnya. “Tadi siang itu aku ditawari pekerjaan seseorang. Rumahnya deket di Papahan.” “Terus bapak mau? Terus, manolnya dilepas gitu?” “Iya. Limang tahun dadi manol capek, Bu. Kelihatan tidak ada peningkatan.” “Iya pak. Aku paham maksud sampeyan. Lha terus kerjaannya apa pak?” “Katanya di klinik. Kerjaannya enak. Aku cuman disuruh standbby di sana. Dan besok pagi aku harus sudah berangkat jam tujuh. Gajine 300 perhari.” “Wah, banyak itu pak. Lumayan.” *** Pagi itu Parjo jam tujuh sudah sampai di klinik itu. Klinik itu tidak mengesankan
sebuah klinik. Nampak seperti rumah biasa. Hanya ada seorang perawat yang hilir mudik ketika Parjo datang pertama kali itu. Parjo ingin mencari perempuan di pasar kemarin itu. Celingak-celinguk ia tidak melihatnya. Namun akhirnya, Parjo melihat juga perempuan itu. “Mas sini...” panggilnya pada Parjo. Parjo mendekat. Perempuan itu tampak berkeringat sepagi ini. Mungkin ia habis mengerjakan yang berat. “Cepat ini mumpung ada pekerjaan, Mas. Sampeyan langsung ke kebon di belakang rumah ini ya! Nanti barangnya aku antar.” Parjo masih belum ngeh. Barang apa yang akan diantar itu. “Cepat, Mas...” Parjo memutari rumah besar itu. Di belakang ada kebon tanah yang cukup luas. Di dekat keran air ada cangkul dan sekop serta ember. Parjo menebak-nebak kiranya garapan apa yang akan ia lakukan pagi ini. “Mas Parjo ke sini...” Lamunan Parjo terpecah. Perempuan itu memanggil. Di tangannya ada sebuah tembikar yang dibalut dengan kain jarit. “Ini tolong dikuburkan segera ya. Di ujung kebon sana itu ya...” Pak Parjo sejenak ragu. “Ini yang dikubur apa, Bu? Apakah ini ari-ari bayi?” Parjo ingat dulu jaman tatkala anaknya yang satu-satunya itu lahir dia juga diberi tembikar berisi plasenta bayi atau ari-ari seperti ini. Dan dia menguburnya seperti pesan orang tuanya. Perempuan itu sejenak mengamati Parjo. “Iya. Ini plasenta bayi dan orok bayi.” Mak glek, Parjo menelan ludah. Tubuhnya entah mengapa gemetar. “Sampeyan tidak usah takut atau bingung. Segera kubur saja orok yang tidak dikehendaki orang tuanya ini...” Parjo entah mengapa merasa tertipu. “Jadi ini?” “Ya Mas. Saya tidak akan bohong pada sampeyan. Di sini sampeyan kusuruh mengubur orok-orok yang diabortasi. Sehari paling 4 sampai lima kali. Sudah, sore hari ini gaji sehari sampeyan langsung kuberikan. Yang penting sampeyan bisa jaga rahasia.” Parjo masih gemetar. Ia tidak pernah membayangkan akan melakukan pekerjaan seperti ini. “Jaman sekarang kayak ini biasa mas. Yang penting tidak ada paksaan. Jadi, ini tidak merugikan siapapun. Lha wong sing mendapat anak malah tidak mau ngopeni kok..” Parjo seakan merasa dadanya tertumbuk godam sebesar rumah. Betul-betul sesak. Bahkan kepalanya berdenyut terasa pening. Mendadak ia mencium bau anyir darah dari dalam tembikar itu. Bau anyir darah persalinan. “Maaf Bu. Saya mau muntah. Saya rasa saya tidak bisa melakukan seperti ini...” Parjo akhirnya bicara. Parjo mengembalikan tembikar itu lagi. Ia berlalu dari tempat itu dengan tergesa. Sesampai di luar pintu gerbang rumah yang besar itu, Parjo mlipir ke selokan. Di sana ia sukses muntah-muntah dengan sepuasnya.***
ANDI SAPTONO Pemenang lomba novel DKJT 2011 sebagai juara pertama. Aktif di Literasi Kemuning, sebuah komunitas penulis di Karanganyar.
oleh Franklin Foer Football alias soccer atau sepak bola memang bukan olahraga nomor satu di Amerika Serikat. Maka, jika ada orang Amerika menulis tentang soccer, wajib hukumnya untuk membacanya. Seperti karya jurnalis New York Magazine yang satu ini. Rasa penasarannya terhadap sepak bola mendorongnya untuk menuangkan cerita-cerita perjalanannya ke buku ini. Dari derbi panas ibu kota Yugoslavia di akhir 1980-an, hangatnya iklim sepak bola Spanyol hingga ramainya derbi Iran, semua dibahasnya di sini. Menariknya, semua dihubungkannya dengan permasalahan sosial-politik di seluruh dunia.
8. The Miracle of Castel di Sangro oleh Joe McGinniss Seperti halnya Franklin Foer, jurnalis Joe McGinniss berangkat dari rasa penasaran mengapa banyak orang di dunia ini yang mendewakan sepak bola. Pencarian yang cenderung out of the box ini membuatnya terdampar di kota kecil non-turistik Italia, untuk meliput perjalanan musim kompetisi ajaib tim sepak bola kota tersebut. Tim bernama Castel di Sangro itu, untuk pertama kalinya, menapaki kasta tertinggi mereka sepanjang sejarah, yaitu… Serie B Liga Italia! Namun, di sinilah serunya. Banyak cerita tak terduga yang muncul dan ditulis secara rapi oleh McGinniss.
9. Das Reboot oleh Raphael Honigstein
Raphael Honigstein mungkin merupakan jurnalis olahraga spesialis sepak bola Jerman paling terkemuka di dunia. Ia membuktikan reputasi mentereng tersebut dengan menerbitkan Das Reboot pada tahun 2015 lalu. Das Reboot adalah paparan menarik seputar sepak bola Jerman secara keseluruhan. Honigstein berfokus pada pembenahan besar-besaran yang dilakukan negara tersebut pasca-kegagalan di Piala Dunia 1998 dan Piala Eropa 2000 hingga akhirnya memenangi Piala Dunia 2014.
10. Fever Pitch oleh Nick Hornby Semakin merananya prestasi Arsenal dari tahun ke tahun membuat memoir Nick Hornby berjudul Fever Pitch semakin relevan. Padahal, buku ini pertama kali diterbitkan pada tahun 1992. Jangan dulu mengaku suporter Arsenal sejati kalau belum baca buku ini. Sebagai seorang suporter sejati The Gunners sejak kecil, Nick Hornby meretas jalan menjadi penulis best-seller dunia lewat memoir sepak bola yang ditulisnya secara jujur ini.
LAYOUT: DOBBY F
12
perada
MINGGU 11 MARET 2018
TANJUNGPINANG POS Koran Nasional dari Kepri
Buku Panduan Pakaian Orang Melayu
Pakai Patut Melayu
B
KUTUBKHANAH KOL OM OLOM
ASWANDI SYAHRI
Sejarawan Kepri
REDAKTUR: FATIH MUFTIH
AGAIMANAKAH adat resam berpakaian cara Melayu? Bagaimana sejarah baju kurung Teluk Belanga dan Cekak Munsang yang populer jadi pakaian orang Melayu di rantau ini? Dan pengaruh apa yang disauk dari pakaian ala Barat oleh cara berpakaian orang Melayu? Dalam sebuah buku cetakan lama yang berjudul Patut Pakai Melayu terdapat jawabannya. Mohd Said Sulaiman Buku Patut Pakai Melayu tercap atau dicetak secara tipografi menggunakan huruf jawi atau huruf Arab Melayu oleh Mathba’ah al-‘Athas di Johor Baharu pada tarikh 1349 H bersamaan dengan tahun 1931 M. Nama lengkap pengarangnya adalah Mejar (Mayor) Datok Haji Muhamad Said bin Haji Sulaiman, seorang pejabat kerajaan Johor pada masa pemerintahan Sultan Ibrahim ibni Abu Bakar, yang jabatan terakhirnya adalah setiausaha sulit (sekretaris rahasia) Sultan Johor. Jabatan ini disandangnya selama 40 tahun, dan ia pensiun pada 18 Mei 1952. Mejar Datok Haji Muhamad Said bin Haji Sulaiman lahir di Teluk Belanga, Singapura pada 1876. Ia adalah salah seorang tokoh penting dalam dunia persuratan (tulis menulis) Melayu di Johor pada awal abad ke-20. Beliaulah yang menghidupkan kembali ‘organisasi’ Pakatan Bahasa Melayu Persuratan Buku Diraja Johor (Pakatan) pada tahun 1934. Beliau hidup sezaman dengan pandita Za’ba dan Said Syekh al-Hadi Wan Anom (salah seorang tokoh penting dalam sejerah kepengarangan Riau-Lingga). Selain buku Pakai Patut Melayu, sumbangan penting Mejar Datok Haji Muhamad Said bin Haji Sulaiman dalam dunia persuratan Melayu penting bagi kawasan JohorRiau-dan Lingga adalah: Hikayat Queen Victoria, Hikayat Johor, dan Hikayat Almarhum Sultan Abu Bakar. Edisi huruf Arab Melayu buku Patut Pakai Melayu telah dialihaksarakan ke dalam huruf rumi atau latin oleh Khatijah Hashim dan diterbitkan dengan judul yang sama oleh Penerbit University Kebangsaan Malaysia pada tahun 2008. Teluk Belanga dan Cekak Munsang Pada masa kini, di Johor dan Kepulauan Riau khususnya, dua baju adat Melayu yang sangat populer adalah baju kurung Teluk Belanga dan baju kurung Cekak Munsang. Model Teluk Belanga mempunyai variasi untuk perempuan dan lakilaki. Sedangkan model Cekak Munsang hanya dipakai khusus untuk laki-laki saja. Menurut Datok Haji Muhamad Said bin Haji Sulaiman, baju kurung Teluk Belanga pada mulanya diperkenalkan di Singapura ketika Temenggung Abubakar ditabalkan menjadi Temenggung Johor menggantikan ayahanda, Temenggung Ibrahim Sri Maharaja, pada 1862. Nama baju kurung itu mengambil
kebesaran nama kawasan kediaman Temenggung Johor di daerah Teluk Belanga, Singapura, yang kini lebih dikenal sebagai Harbour Front. Nama itu juga dipilih untuk membedakan dengan “baju lain-lain … seperti baju pesak sebelah, baju kurung, baju belah, baju kebaya, dan sebagainya.” Dalam sosoknya yang paling awal, baju kurung Teluk Belanga mempunyai ciri khas sebagai berikut: labuhnya (bagian bawah baju) bagi laki-laki posisinya bawah pinggang dan bagi perempuan di bawah lutut; alas leher bagi laki-laki lebar dan bagi perempuan halus; sedangkan kocek atau saku baju bagi laki dua, dan bagi perempuan tanpak kocek. Dalam perkembangannya, model awal baju kurung Teluk Belanga diubah lagi pada masa pemerintahan Sultan Ibrahim ibni Abu Bakar: labuh baju bagi baju lakilaki berada Halaman judul edisi jawi buku Pakai Patut Melayu cetakan. 1931. pada pososo aras pinggang dan baju perempuan aras lutut; leher menghadap raja memakai baju Cekak baju laki-laki dan perempuan halus; Munsang yang dibuat dari kain yang sedangkan kocek baju perempuan baik. Raja berkenan melihat baju itu, satu. karena dapat dipasang beberapa Begitu pula halnya baju kurung butang (kancing baju) dari emas atau Cekak Munsang, juga bermula di permata. Teluk Belanga, Singapura. Asalnya Oleh karena raja berkenan, maka adalah satu corak baju Melayu yang ditentukanlah baju Cekak Munsang pada masa dahulu disebut ‘baju itu, yang asalnya adalah baju orang Wan’, yang penamaannya berpunca kebanyakan yang diberi kerah baju dari nama seorang penduduk Teluk berdiri dengan bagian bawah leher Belanga, yaitu Haji Wan Othman bertutup, dipakai bagi anak-anak raja yang nama timang-timangannya dan orang-orang besar dalam istiadatadalah Haji Busu atau Tuan Busu. istiadat istana di Johor: itulah asal Pada suatu hari Haji Wan Othman baju kurung Cekak Munsang yang populer dipakai oleh orang Melayu di Kepulauan Riau, Singapura, Tanah Semenanjung, Brunei, rantau Melayu sekitarnya pada masa kini. Panduan Pakaian Melayu Dalam bahasa Melayu, kata pakai mempunyai cakupan makna kontesktual dan leksikal yang cukup luas dan beragam. Secara kontekstual, kata pakai dapat bermakna: membubuhi, menjalankan, mematuhi, wajib, menegahkan akan sesuatu, dan lain sebagainya. Contohnya seperti tersirat dalam larik pantun berikut ini: Jika hendak mulutnya manis / Dengar-dengan dipakai jangan. Secara leksikal, makna pertama kata pakai adalah menggunakan, mengenakan, dan memakai, yang di dalamnya terkandung ‘makna intrinsik’ tentang cara menggunakan sesuatu. Sebaliknya, ketika kata pakai berubah bentuk menjadi pakaian, maka maknanya tidak hanya sebatas baju dan celana yang dipakai di badan sesorang, tapi juga segala kelengkapan dan perhiasan, beserta aturan yang mengikutinya. Dalam konteks ini, pakaian juga mengandungi makna susuatu yang biasanya digunakan, amalan, kebiasaan, dan lain-lain, seperti tersirat dalam ungkapan untuk menyebutkan sifat buruk seseorang : “mencarut, memaki, memanglah pakaiannya”. Demikianlah, buku klasik yang berjudul Pakai Patut Melayu yang disusun oleh Mejar Datok Haji Muhamad Said bin Haji Sulaiman ini mengadungi berbagaikan penjelasan tentang bentuk dan model baju orang Melayu di Johor yang dikaitkan serta kebiasaan penggunaannya serta aturan yang patut dan tak patut dalam aturan berpakaian orang Melayu. Dalam pendahuluannya yang ditulis di Johor Baharu, pengarang buku ini menjelaskan maksud dan tujuan ia mengarang buku Pakai Patut Melayu sebagai berikut: “Adalah risalah ini dikarang supaya jadi suatu panduan atas mereka yang belum dapat ketahui DOK. ASWANDI SYAHRI akan tertib pakaian Melayu. Pakaian sehari-hari perempuan dan laki-laki Johor awal abad ke-20. ()
DOK. ASWANDI SYAHRI
Terutamanya yang dipakai dalam [daerah] Johor bagi masa yang ada [zaman ketika risalah ini ditulis] dan bagi menjadi suatu ingatan pada tempoh yang di belakang [masa yang akan datang], kiranya berlaku apa-apa perubahan atau pindaan [perbaikan] sama ada sedikit atau banyak.” Selaian itu, buku cetakan lama ini juga cukup lengkap menjelaskan perihal sejarah, jenis, dan aturan memakai pakaian cara orang Melayu beserta kelengkapannya, fungsinya, jenisnya: mulai dari pakaian orang laki-laki dan perempuan dewasa hingga kanak-kanak laki-laki dan perempuan. Dalam buku klasik ini, dijelaskan pula bagaimana pengaruh budaya orang putih (orang Barat) dalam berpakaian terhadap cara berpakaian dan model pakaian orang Melayu di Johor dan Singapura. Ragam model pakaian Barat ini, terutama pakaian ala Inggris, seperti seluar pentolan dan jaket bertutup leher dipadu-padankan oleh orang Melayu di Johor dan Singapura dengan kain sarung dan songkok. Menurut Datok Haji Muhamad Said bin Haji Sulaiman, di Johor dan Singapura pada awal abad ke-20, ‘pakaian kacukan’ Melayu dan Barat ini dipakai oleh orang-orang kecil hingga orang besar-besar ketika pergi ke pajabat (kantor) dan ketika bercampur (bergaul) dengan orang putih. Buku Patut Pakai Melayu ini dicetak setebal 50 muka surat, dan terdiri dari 7 Bab. Sebagai ilustrasi, Bab I umpamanya menjelaskan: Asal Baju Kurung Laki-Laki, seluar, kain sarung bagi laki-laki, pakaian kepala bagi laki-laki, pakaian kaki, baju cekak munsang, pakaian dalam istiadat raja, pakaian larangan, pakaian sekata, pakaian sedondon, dan baju perhiasan. Dalam Bab II hingga Bab VI, secara berturut-turut dijelaskan perihal: pakaian kehormatan cara budaya Barat dan pengaruhnya terhadap cara berpakaian orang Melayu; pakaian bagi anak laki-laki dan perempuan; baju kurung Teluk Belanga bagi perempuan dan ragam pakaian perempuan lainnya; perihal pakaian Barat bagi perempuan Melayu; dan perihal pakaian bagi anak-anak perempuan ketika bersekolah. Kesudahan buku ini ditutup dengan sejumlah peringatan dan nasehat pengarang kepada kaum lakilaki dan perempuan Melayu tentang amalan, resam, kebiasaan, atau pakaian yang patut dipakai dan yang tidak patut dipakai oleh orang Melayu.*** LAYOUT: SYAFRINALDI
perada
TANJUNGPINANG POS Koran Nasional dari Kepri
MINGGU 11 MARET 2018
13
Kenen Pantun kepada Pemimpin JEMALA KOLOM ABDUL MALIK
H
AJI Ibrahim Datuk Kaya Muda adalah penulis ternama dan dikenal sebagai sahabat Raja Ali Haji. Beliau tercatat sebagai penulis pertama di Kesultanan RiauLingga yang menghimpun dan membukukan pantun di dalam karyanya Perhimpunan Pantun Melayu (1877). Pantun-pantun yang dihimpun itu sekarang tergolong pantun pusaka dan di antaranya ternyata banyak mengetengahkan masalah yang berhubung dengan kepemimpinan Melayu. Di antara pedoman kepemimpinan Melayu di dalam karya Haji Ibrahim sangat bermanfaat untuk dijadikan sanding-banding praktik kepemimpinan yang diterapkan orang sekarang. Dari karya Haji Ibrahim itu, kita mendapatkan maklumat bahwa pemimpin Melayu wajib melaksanakan tugas kepemimpinannya berdasarkan ajaran agama Islam. Dalam hal ini, sumber rujukan utama kepimpinan Melayu adalah nilai-nilai agama Islam. Memanjat galah kepada pohon Kayu bersandar berapit dua Kepada Allah tempat bermohon Kalaukan kita sadarkan nyawa Pantun-pantun yang dihimpun oleh Haji Ibrahim di atas jelas menegaskan pedoman utama kepemimpinan Melayu adalah ajaran agama Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW. Dengan kata lain, nilai-nilai Islam harus menjadi rujukan utama kepemimpinan Melayu. Kepemimpinan Melayu yang ideal juga ditunjukkan dengan keteguhan iman. Hanya pemimpin yang imannya teguhlah yang mampu menyempurnakan bakti dan tugas-tugas kepemimpinannya. Dengan iman yang teguh seseorang pemimpin tak mudah terombang-ambing dalam menjalankan tugas dan kewajibannya. Kapal anjiman dari Cina Singgah bermuat papan jati Amal dan iman biar sempurna Tidaklah jadi sesal di hati Iman yang teguh merupakan jaminan keberhasilan kepemimpinan. Pemimpin yang beriman teguh akan senantiasa berjaya. Dengan demikian, dia akan terhindar dari perkara-perkara yang memalukan. Pada gilirannya, sampai mati pun dia akan terpuji. Selanjutnya, pemimpin yang baik ditandai oleh ketaatannya beribadah. Dengan beribadah segala dosa dapat diampunkan oleh Allah. Tak sesiapa pun yang tak berbuat salah atau dosa di dunia. Namun, orang yang taat beribadah akan mendapat petunjuk dan bimbingan dari Allah sehingga „ REDAKTUR: RAMON DAMORA
akan terhindar dari perbuatan dosa. Baik berburu ke seberang Rusa banyak di dalam rimba Baik berguru kita sembahyang Dosa banyak di dalam dunia Ibadah merupakan sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah. Ibadah dapat mengingatkan kita akan kekurangan diri. Ibadahlah yang memungkinkan kualitas kepemimpinan terus meningkat secara berterusan. Rusa banyak di dalam rimba Kera pun banyak tengah berhimpun Dosa banyak di dalam dunia Segeralah kita meminta ampun Setiap pemimpin harus memiliki ilmu yang mencukupi. Dengan ilmu yang dimilikinya seseorang pemimpin boleh menjalankan tugas kepemimpinannya dengan baik dan berkesan. Selain itu, pemimpin yang berilmu akan dipercayai oleh orang-orang yang dipimpinnya. Pasalnya, dia diyakini memang layak dan mampu memimpin sesuai dengan ilmu yang dimilikinya. Sarang penyengat di atas kota Kait-kait di batang temu Hendaklah ingat semuanya kita Baik bertandang kepada ilmu Dengan pantunnya, Haji Ibrahim menegaskan bahwa tanpa ilmuperbuatan pemimpin hanyalah mengada-ada. Hal itu bermakna kepemimpinan hanyalah berdasarkan naluri yang tak pasti arahnya. Oleh sebab itu, adalah wajib seseorang pemimpin memiliki ilmu yang memadai, sama ada bersumber dari akal (ilmu dunia) ataupun ilmu yang bersumber dari Al-Quran dan Hadits (ilmu agama). Belah buluh ditaruhkan temu Batang cempedak batang pedada Olehnya tidak menaruh ilmu Duduklah hendak mengada-ngada Menjaga nama supaya tetap baik, tanpa cela, adalah wajib bagi setiap pemimpin. Pemimpin yang namanya tercemar akan mengecewakan orangorang yang dipimpinnya. Sebaliknya pula, pemimpin yang namanya harum akan menjadi tauladan sepanjang masa. Dibantu oleh Maharaja Dewa Dipa Negara Jawa yang sakti Nama pun tidak boleh kecewa Masyhurlah nama sampai ke mati Pemimpin yang mampu menjaga namanya agar tetap terbilang menyebabkan kepemimpinannya menjadi sempurna, namanya pun harum sepanjang masa. Dia tak hanya menjadi tauladan semasa hidupnya, tetapi setelah meninggal dunia pun nama dan perbuatannya akan dikenang orang. Nama baik memang
menjadi salah satu tagan utama kepemimpinan Melayu, bahkan bagi kepemimpinan dalam peradaban mana pun. Jangan sampai pemimpin tak sanggup mengotakan (melaksanakan) yang telah dikatakannya. Tanjungpinang tempatnya elok Tempat Belanda dengannya Keling Di manakan senang di hati makhluk Mulut berkata hati berpaling Kepimpinan Melayu juga mensyaratkan seseorang pemimpin harus mampu berlaku adil. Adil kepada diri sendiri, adil kepada keluarga, dan lebih-lebih adil kepada rakyat atau masyarakat. Pemimpin yang adil akan disenangi dan diikuti orang kepemimpinannya. Sebaliknya pula, pemimpin yang zalim dan hanya sekadar mengumbar janji akan dimusuhi oleh orang banyak. Tempat Belanda dengannya Keling Cina Melayu ada di situ Mulut berkata hati berpaling Di manakan boleh mendapat tentu Ketakadilan di dalam kepemimpinan akan mengundang malapetaka. Tak ada orang yang berakal akan mengikuti pemimpin yang tak mampu berlaku adil. Jadi, sanggup berlaku adil menjadi syarat penting kepemimpinan Melayu. Pemimpin yang baik berjiwa bersih. Dia tak rela kepemimpinannya dinodai oleh sifat-sifat yang tak terpuji seperti dengki, khianat, hasad, dan sebagainya. Hanya dengan jiwa yang bersihlah, matlamat kepemimpinan boleh tercapai secara gemilang. Lada dipatuk burung kedidi Anak pelanduk di dalam perigi Tanda kerjanya tidak menjadi Duduk dengan berhati dengki Kepemimpinan Melayu mengidealkan seseorang pemimpin berjiwa bersih. Kebersihan jiwa itu merupakan roh yang mampu mengantarkan kepemimpinan menuju kejayaan. Tak ada keraguan orang terhadap pemimpin yang jiwanya bersih. Kepemimpinan yang baik juga ditandai dengan keikhlasan untuk mengabdi demi orang banyak. Pemimpin yang ikhlas akan mendarmabaktikan seluruh kemampuannya untuk kemajuan negeri dan rakyat yang dipimpinnya. Begitu dia bersedia menerima tanggung jawab kepemimpinannya, pemimpin yang baik akan melakukan apa pun kewajiban kepemimpinannya itu dengan ikhlas, tanpa niat tercela yang terselubung di sebalik itu. Galang rakit batang buluh Kunang-kunang di dalam padi Hilang penyakit di dalam tubuh
Baharulah senang di dalam hati Ikhlas berbakti merupakan ciri pemimpin yang baik. Kepemimpinan yang berlandaskan keikhlasan akan menuai hasil yang sesuai dengan harapan semua orang. Keikhlasan akan menyinari kepemimpinan sehingga pemimpin akan dikenang dan dihormati orang sepanjang masa. Pemimpin Melayu juga dituntut untuk teliti. Kurang selidik dalam kepemimpinan sangat berbahaya, bahkan dapat menjatuhkan pemimpin. Oleh sebab itu, pemimpin harus memiliki ilmu yang cukup sehingga dia dapat meniliti segala sesuatu sesuai dengan ilmunya. Dengan demikian, dalam memilih pemimpin rakyat diminta untuk teliti agar tak menyesal kemudian hari. Jika kepemimpinan dipertukargantikan setiap lima tahun, misalnya, kesalahan memilih pemimpin akan menyebabkan rakyat menjadi sengsara selama periode kepemimpinan itu. Oleh sebab itu, berhati-hati dan telitilah dalam memilih pemimpin. Harus dikaji semua buruk-baiknya, jangan sekadar mengikuti perasaan sesaat. Baik-baik belayar malam Arus deras karangnya tajam Cari-cari malim yang paham Di situ banyak kapal tenggelam Kerja kepemimpinan bukanlah sesuatu yang mudah. Banyak onak dan duri yang akan dilalui oleh pemimpin dalam kepemimpinannya. Akan tetapi, kesemuanya itu dapat dijalankan dengan berkesan jika pemimpin sanggup bertindak teliti dalam bekerja. Ketelitian menjadi salah satu syarat pemimpin terbilang. Ajaran agama Islam telah menjadi roh yang menjulangkan tamadun Melayu. Persebatian nilai-nilai kemelayuan dan keislaman tak dapat dipisahkan sehingga harus menjelma di dalam kepemimpinan Melayu. Hanya dengan melaksanakan nilainilai asli Melayu yang berbancuh serasi dengan nilai-nilai Islam secara konsisten dan konsekuenlah, kepemimpinan Melayu akan menuai kejayaan. Alhasil, kepemimpinan dan tamadun Melayu tetap bermartabat dan terjulang di kalangan bangsa-bangsa beradab di mana pun di dunia ini. Perkara itu dan tunjuk ajar yang berkenaan dengannya telah diwariskan para pendahulu kita yang arif sejak dahulu. Hendak dibantah jugakah? Jika iya, terimalah padahnya. Tangan yang mencencang, bahu yang memikul. Oleh sebab itu, tepuk dada tanya selera. Intaha.*** „ LAYOUT: SYAFRINALDI
14
imaji
MINGGU 11 MARET 2018
TANJUNGPINANG POS Koran Nasional dari Kepri
Kerja Mengabdi dari Gawai D
UNIA bergerak cepat. Kemajuan teknologi yang tak terbendung. Bak arus yang menggerus. Tak mungkin dilawan. Beradaptasi dan mengikut jadi pilihan tak terelakkan. Menyentuh segala ranah. Fotografi jua tanpa terkecuali. Sesuatu yang pada mulanya begitu rumit dan jarang, kini jadi lebih sederhana dan gampang. Ihwal mengabadi apa yang tertangkap mata mewujud imaji. Dahulu, tidak sembarang orang bisa melakukan. Tapi zaman, dengan kecepatan perubahan, memudahkan. Kini, mengabadi imaji bisa jadi kerja siapa saja. Dari balik gawai yang kian hari kian mumpuni, warna-warna dari mata bisa berpindah indah. Poles tipis-tipis, foto-foto jadi manis. Namun, gampang itu nisbi belaka. Pada dasarnya mengabadi
dari gawai kompleks adanya. Juga dibutuhkan latihan berkalikali. Tak lagi asal menangkap dengan sentuhan jari. Renik-renik teknik memang penting, tapi jauh lebih utama lagi keintiman. Baik itu dengan alam atau orang-orang sekitar. Sesuatu yang tidak pernah bisa dibeli sepaket dengan kotak kamera baru dari gerai. Jika ada yang menyanggah ketaksejajaran ini tidak perlu berang. Bebas-bebas pendapat belaka melakukan penilaian. Sebab fotografi hari ini adalah sesuatu yang menyenangkan. Bukan untuk menyulut pertikaian. Jika kita tidak bisa bersenang-senang dengan fotografi sebagai seni, lantas bagaimana hendak hidup yang luar biasa ini mesti disyukuri? Bersukasukalah. Itu sebaik-baik pesan menekuni fotografi.***
HAFR NELSON, Mahasiswa Sastra Perancis di Malang asal Tanjungpinang. Menikmati jalan-jalan. Ikuti galerinya di akun Instagram @hafrnelson. „ REDAKTUR: FATIH MUFTIH
„ LAYOUT: DOBBY F
jerumat
TANJUNGPINANG POS Koran Nasional dari Kepri
MINGGU 11 MARET 2018
15
Kata Ibu yang Anaknya Mencintai Buku OLEH: FATIH MUFTIH
T
IBA-TIBA pertanyaan itu mengingatkan saya pada ke berangkatan pertama ke Tanjungpinang. Pertanyaan tentang segala berkenaan pertama selalu begitu. Membetot saraf untuk membongkar brankas kenangan dari masa lalu. Namun, atas nama ingin terlihat jemawa, saya menjawab pertanyaan seorang anak muda tentang buku pertama yang saya baca sekenanya. Setiba di rumah, saya renung lagi pertanyaan: buku pertama yang dibaca. Baiklah. Melalui kolom sederhana ini, izinkan saya bercerita. Pada Juni 2009, saya mengepak segala kebutuhan jelang keberangkatan ke Tanjungpinang. Saat itu, Anda tahu, Ibuk adalah orang paling khawatir. Tentu, berat baginya akan berpisah ribuan kilometer dengan anaknya yang jago makan ini. Jenis kerisauan akankah lidah anak sulungnya bisa berkompromi dengan masakan yang beda kultur. Saya menenangkannya. “Tenang, lauk terbaik adalah lapar.” Itu saya kutip dari penuturan guru mengaji saya. Ibuk sudah tenang, giliran saya melanjutkan mengepaki barang-barang. Setelah semua perkakas macam baju, dalaman, gantungan baju (serius ini Ibuk membelikan selusin yang baru), sajadah, dan kitab-kitab penunjang kegiatan mengajar, saya masih merasa ada yang kurang. Perjalanan dua hari tiga malam Tanjung Perak ke Pelabuhan Kijang ini sudah pasti akan berlalu dengan amat membosankan. Saya mesti membekali diri dengan sebaik-baiknya hiburan. Kartu remi sudah, gaple ada, berbungkus-bungkus sigaret, lalu camilan yang memang akan sangat wajib. Dan ... rasa-rasanya buku bisa jadi barang yang asyik. Di sini pangkal permasalahannya. Saya ingat tidak punya sebarang buku cerita di rumah. Maklum, saat itu, toko buku terdekat ada di kota. Jarak yang tidak terjangkau. Tentu akan aneh dipandang penumpang sekapal, kalau dalam waktu senggang saya membaca Kitab Kuning. Buku apa pun, saya rasa, bisa menjadi penyeling bosan bermain judi. Saya beruntung punya Ibuk yang selalu suka merepoti diri membantu anaknya epak-epak. “Buku ini dibawa, Le?” Ibuk menunjukkan sebuah buku tebal bersampul putih kusam, tulisan di bagian mukanya besar-besar. Dengan bahasa Inggris pula. Mungkin, menurut Ibuk, itu bagian dari buku pelajaran
yang juga harus diangkut. Jadilah, pikir saya. Ketimbang tidak ada buku lain yang pantas dibaca. Buku itu berjudul Rich Dad Por Dad oleh Robert T. Kiyosaki. Sesungguhnya, buku inilah yang harusnya saya katakan kepada anak muda yang bertanya itu. Tapi, ya semoga ia membacanya di tulisan ini. Sebenarnya, buku ini tidak saya beli. Sungguh, akan mengerikan pola pikir seorang remaja 17 tahun sampai harus membeli kitab suci teori ekonomi. Buku ini saya angkut (jikalau mencuri terlalu kriminil) dari perpustakaan di pesantren. Ringan saja alasannya. Buku itu terletak di rak tertinggi dan dari hari ke hari berdebu, tidak ada santri yang menyentuhnya. Maka, tentu akan ‘lebih mulia’ jika saya membawanya. Toh, waktu itu, tidak ada yang benar-benar dirugikan. Daripada lapuk, daripada dimakan rayap. Maka, Robert T Kiyosaki benar-benar menjadi peneman yang baik usai kalah main kartu. Saya membaca halaman ke halaman tentang ayah kaya dan ayah miskin. Jujur, itu bukan buku yang mudah. Baris ke baris, saya seperti berulang-kali terjatuh. Otak saya kadung bebal memahami teori-teori ekonomi. Siapakah Ayah Kaya dan Ayah Miskin? Dari awal membaca sampai ke pertengahan, kesulitan isi kepala saya mencernanya. Namun, demi menghabisi waktu di atas KM Dobonsolo, saya terus membaca dan membaca dan membaca. Pikir saya, aktivitas ini jauh lebih berfaedah ketimbang membayangkan Maria Ozawa. Saya tidak ingat pastinya. Namun, boleh jadi, sejak pengalaman membaca di atas kapal itu, saya bertekad untuk semakin rajin membaca. Utamanya terhadap buku yang saya suka. Maka, setiap masuk ke toko buku, saya tidak pernah keluar dengan tangan kosong. Ada saja sebiji dua yang saya jinjing keluar. Ini beli, bukan mencuri. Saya belum punya keberanian sebanding dengan Chairil Anwar dan Asrul Sani dalam menguntit buku di toko. Cukup di pesantren saja. Hampir 10 tahun tinggal di Tanjungpinang, saya baru sadar ada Ayah Miskin dan Ayah Kaya beranak-pinak. Entah berapa jumlah pastinya. Rasa-rasanya tiga kardus rokok besar adalah yang berdiam sebab sudah habis terbaca. Sedangkan di rak, meja kerja, di tas, di bawah bantal, di samping rak sepatu, di sebelah cermin, ada buku. Buku-buku
yang masih terus-terusan merengek minta dibaca. Sampai di sini saya cuma bisa tercenung, berapakah uang hasil kerja yang sudah habis untuk membeli buku? Saya takut menghitungnya. Janganjangan bisa ditukar dengan satu unit motor trail yang masih jadi idaman itu. Kalau benar iya, tentu saya bisa menyesal. Sebab itu, biarkan saja bukubuku itu terus beranak-pinak. Robert T. Kiyosaki tentu tetap punya tempat
spesial, seperti mantan pacar pertama. Mereka bertinggal di belakang, tapi pada waktu tidak pernah lekang. Nah, ada satu orang yang iseng menghitungnya, menaksir duit yang sudah habis untuk berbelanja buku. “Kalau saja kita pukul rata satu buku Rp 60 ribu,” kata juru taksir itu, “berarti total yang sudah kauhabiskan senilai ....” Sebentar. Sebentar. Saya menyergahnya. Tidak adil kalau main pukul rata
begitu. Ada buku yang saya beli memakan sepertiga gaji. Ada pula yang senilai bujet menginap semalam di hotel. Dan, memang ada pula yang hanya seukuran seharga dua bungkus rokok. Macammacam harganya. “Bagaimana kalau dipukul rata Rp 75 ribu?” usul saya. Ia kembali meraih kalkulatornya. Tattit-tut telunjuknya menekan tombol. Keluarlah deretan angka panjang di sana. Saya mengelus jidat. Tidak mungkin sebanyak itu. Juru taksir itu tersenyum melihat keterkejutan saya. Saya ingin mengomelinya. Bukan karena apa. Dengan melihat angka itu, saya jadi kembali terbayang motor trail idaman dan kembaliannya mungkin bisa untuk menyicil uang muka rumah. Tibatiba terasa sesak dan sesal yang bercampur-aduk dalam dada. Sebenarnya, saya ingin mendampratnya dengan seenaknya menghitung nilai beli buku-buku saya. Tapi, ia satusatunya manusia yang tidak mungkin menerima kata kasar dari saya, apalagi sebuah dampratan. Bisa jadi batu nanti. Juru taksir yang semena-mena itu tak lain dan tak bukan adalah Ibuk saya. “Pantas kamu kok belum nikahnikah,” kata Ibuk. Saya melengos. Mencari benang merah antara menikah dan buku-buku. Saya ingin membeberkan bahwasanya tidak ada kaitan buku ini dengan belum adanya anak gadis yang bisa dibawa pulang. Tapi Ibuk mana mau dengar. Ia sudah merasa menang telak, persis seperti usai melakukan slam dunk penuh gaya. Bersyukur, Ibuk ketika main ke Tanjungpinang bersama Bapak. Di sini, saya seperti punya dewa penolong. Bapak sambil membakar rokok menyampaikan sebuah petuah yang akan saya ingat seumur hidup dan kelak akan saya wariskan ke anak dan cucu sampai cicit kalau perlu. “Buku itu ‘kan juga investasi. Karena laki-laki harus pandai membaca buku lebih dahulu sebelum membaca perempuan,” kata Bapak. Saya jadi tahu mengapa orang tua saya tetap romantis setelah lebih dari seperempat abad menikah. Mendengar ungkapan Bapak itu, wajah Ibuk seketika merengut-manja. “Maksudnya apa?” katanya. Saya berterima kasih dilimpahi sepasang orang tua yang membiarkan anaknya membaca banyak buku dan memilih gadis yang kelak akan jadi menantunya.***
Memahami Situasi Chairil
Menulis Puisi untuk Negeri yang Penduduknya 90 Persen Buta Huruf (Bagian K edua dari Dua T ulisan) Kedua Tulisan) AHANI OLEH: HASAN ASP ASPAHANI
Penyair dan Jurnalis
I
A tak peduli siapa yang akan membaca karyanya. Tapi kita tahu sajak-sajaknya dibaca luas, oleh murid-murid hingga prajurit medan tempur. Ia tak peduli – atau mungkin malahan bangga – ketika guru Taman Siswa melarang sajak-sajaknya dibaca karena dianggap merusak bahasa yang dipakai umum saat itu. Karya Chairil, sebagai hasil dari kegiatan menulis – satu bagian dari budaya literasi itu – tak banyak difahami pada masanya. Bahkan lima tahun setelah kematiannya, Asrul Sani menulis, sajak-sajak Chairil ibarat hutan dan perlu keberanian untuk masuk mengungkap apa rahasia makna di dalam lebat hutan itu. Sikap tak peduli itu misalnya ia ekspresikan dalam bait akhir sajak Fragmen yang dikutip di awal tulisan ini: yang bukan penyair tidak ambil bagian. Chairil menantang kita. Literasi adalah proses pembentukan situasi yang terus-menerus. Bisa membaca saja belum cukup. Ia menawarkan sajak, produk untuk dibaca, yang menuntut kemampuan membaca yang lebih, menguasai referensi-referensinya, melacak rujukanrujukannya. Sesungguhnya, Chairil menawarkan satu pengalaman tamasya bahasa dan petulangan literasi yang mengasikkan. Wawasan dan kecakapan literasi Chairil memungkinkan dia dipercaya mengelola berbagai penerbitan, meskipun ia kemudian tak pernah betah menjadi pekerja tetap, tak nyaman dalam kungkungan mengalami kantor. Literasi pada Masa Kita Sastrawan saat ini harusnya lebih bahagia daripada Chairil. Situasi berubah penuh. Tingkat literasi Indonesia menurut daftar yang dibuat oleh UNESCO (2015) adalah 93.9 persen (laki-laki 96.3 persen, perempuan 91.5 persen). Persentase itu lebih tinggi 7.3 persen daripada rata-rata literasi global (86.3 persen). Beberapa negara mencapai tingkat literasi 99 persen (Singapura, Moldova, Azerbaijan, Rusia). Sementara Mali (38.7 persen), Afghanistan (38,2 persen), Afrika Tengah (36 persen), Papua Nugini (30,4 persen), dan yang paling rendah Nigeria (19,1 persen). Hanya Korea Utara yang dicatat mencapai tingkat literasi 100 REDAKTUR: FATIH MUFTIH
persen, tapi UNESCO memberi catatan angka ini perlu diragukan dan didiskusikan (Wikipedia, 2016). Institusi di bawah PBB ini mengartikan literasi pada pengertian yang paling dasar yaitu kemampuan membaca, menulis, dan berhitung. Data didapat dari survei berturut-turut dalam kurun sepuluh tahun terakhir. Bayangkan betapa luas dan besarnya orang yang bisa menikmati karya sastrawan saat ini. Memang, menurut daftar World’s Most Literate Nations (WMLN) yaitu hasil pengumpulan data 200 negara
(tapi hanya 61 yang akhirnya bisa diolah datanya), Indonesia berada di peringat ke-60. Harus sedihkah kita? Tak perlu, tapi kita harus menjadi terpacu karenanya. Central Connecticut State University (CCSU) mengumpulkan semua data dari sumber sekunder dan melansir data dan analisa tersebut tahun Maret 2016 lalu mengukur dengan parameter yang lebih banyak. Ada lima kategori – suratkabar, perpustakaan, masukan sistem pendidikan (masukan), keluaran sistem pendidikan, dan akses komputer – yang terperinci lagi menjadi
beberapa subkategori yang beberapa sulit juga dimengerti. Misalnya, apa artinya menghubungkan tingkat literasi dengan berapa jumlah eksemplar suratkabar yang diekspor ke luar negeri? Indonesia jelas nol angkanya di sini. Soal komputer juga bisa diperdebatkan. Angka yang dipakai adalah jumlah rumah tangga yang memiliki PC, dan atau tablet, telepon pintar, bahkan ponsel. Dan Indonesia ada di peringkat 60 untuk kategori ini. Benarkah? Rasanya juga bisa ditelisik lagi. Ratarata kepemilikan telepon sekarang bisa lebih dari satu per orang.
Sastrawan sekarang tidak bisa untuk tidak peduli pada pembacanya, seperti Chairil dulu. Sastarawan dan publik sastranya punya akses yang sama kepada sumber-sumber yang diolah oleh si sastrawan. Ini memerlukan strategi berkarya yang berbeda. Yang diberi harga adalah bagaimana si sastrawan mengolah bahan-bahan yang ia pilih untuk karyanya. Tenggelamnya kapal Van Der Wijck sebagai peristiwa dulu tak terberitakan sebagaimana media sekarang memberitakan penyanderaan awak kapal kargo Indonesia oleh gerombolan Abu Sayyaf di Filipina. Karena itu orang dulu (dan pembaca sekarang) membaca novel Hamka yang mengolah peristiwa itu dengan ketertarikan dan keingintahuan yang mungkin akan berbeda dengan karya sastrawan sekarang jika dia menulis dengan bahan-bahan dari peristiwa penculikan di Filipina itu. Tugas yang Tetap Sama Chairil Anwar pada masanya dan sastrawan manapun pada masa sesudahnya punya satu tugas yang tetap sama. Penyair adalah pembuka jalan ke masa depan bahasa. Hasil kerja penyair pun sebaliknya adalah penghubung bahasa dan pemakainya saat ini ke masa lalunya. Sajak-sajak Chairil Anwar sepeninggalnya menjadi bahan bahasan, rujukan, pijakan bagi penyair sesudahnya, dikutip dalam pidato presiden, dipakai untuk mempertegas makna dan memperindah ucapan, juga menginspirasi film populer, apa yang berada di luar ranah bahasa. Coba bayangkan betapa keringnya Bahasa Indonesia jika Chairil Anwar, Sapardi Djoko Damono, Sutardji Calzoum Bachri, Rendra, Goenawan Mohamad, dan para penyair lain tidak menuliskan puisi-puisi terbaiknya! Penyair kini, sastrawan kini, berutang pada para pendahulunya dan ia harus membayar utang itu dengan menghasilkan karya-karya terbaik yang memperkaya bahan bacaan, rujukan, kutipan, sumber permenungan, bagi pembaca kini dan nanti. Dan hanya karya-karya yang kuat yang bertahan lama. Seperti apa yang ditekadkan Chairil dalam bait sajaknya: Aku mau hidup seribu tahun lagi.*** LAYOUT:SYAFRINALDI
16
MINGGU 11 MARET 2018
Menanti Bidari E SOK, hujan turun. Siapkan dirimu, Bidari. Tidak ada siapa pun di sana, kecuali dirimu sendiri. Bersedia tentu boleh, takut jangan. Sungguh air dari langit itu membawa segala. Berkah iya, kenangan juga. Siapkan dirimu untuk keduanya. Maka, air mata bisa punya makna ganda. Jika hendak menangis, kata orangorang bijak itu, menangislah di tengah rinai hujan. Ia akan mengaburkan batas tipis antara duka dan suka. Setelahnya, engkau bisa menulis puisi. Tentang apa saja yang kausuka. Tapi ingat, ada banyak hal di luar sana ketika kau sedang bermain dengan segala yang dibawa hujan. Mungkin, rindu. Rasa semacam ini amat mudah bergelayut ketika bumi menguarkan aroma khas ketika hujan tiba. Nun, di seberang sana, Bidari,
TANJUNGPINANG POS Koran Nasional dari Kepri
cindai
barangkali ada yang diam-diam menanti. Tanpa kata. Kepada hujan menitip segala rasa. “Ciri-ciri orang yang sedang jatuh cinta adalah merasa bahagia dan sakit pada waktu bersamaan. Merasa yakin dan ragu dalam satu hela napas. Mereka senang sekaligus cemas menunggu hari esok. Benarkah?” tanyamu. Bisa jadi, Bidari. Mungkin saja. Seperti bumi dan langit yang setia menjaga titik temu. Jarak berupa kolong yang kita tinggali ini ruang tatap keduanya. Pada masa yang paling tepat, lewat mendung sekelabat, dan petir berkilat-kilat, rindu itu usai pada titik temu. Menjelma hujan agar mengerti rindu. Dalam diam sebenarnya ada yang menanti dirimu.*** Foto Narasi
: Nurfatilla : Fatih Muftih
BIODATA BIDARI Nama TTL Alamat Pekerjaan Hobby Instagram Buku Bacaan
: Bidari Rehelina : Batam, 4 Desember 1997 : Jalan Istana Laut, Penyengat : Karyawati Swasta : Membaca : bidarirehelinaa : Novel Hujan Karya Tere Liye
Pukul dan Lari, atau Berpeluk? “
TEMBERANG KOLOM HUSNIZAR HOOD
REDAKTUR: FATIH
SAYA tak suka dengan caracara strategi dalam olah raga tinju,” ucap kawan saya Mahmud tiba-tiba tapi tangannya mengepal seperti sedang melakukan double cover kemudian hook dan juga upper cut. Dia memandang saya dengan setengah sinis. Saya tak bereaksi apa-apa dengan ucapannya itu. Meski sekalipun ucapan itu ditujukannya kepada saya tetap saya sudah memantapkan diri untuk tidak merespons ucapannya walaupun dengan satu kata sekali pun. Bagaimana tidak, saya yakin kawan saya itu tahu betul saya paling menggemari olahraga satu ini. Saya hafal nama-nama petinju dunia, saya tau siapa di ranking berapa dan siapa yang di kelas mana. Tinju memang tontonan kesukaan saya, belum lagi saya memiliki banyak koleksi perlengkapan tinju. Entah kenapa, kalau saja terpandang dalam siaran TV sedang ditayangkan olahraga tinju itu maka tak lengah akan terhentilah mata saya di siaran itu sampai usai pertandingannya. Kaki saya dingin dengan serta merta menyaksikan jual beli pukulan itu, badan saya terbawa bergerak-gerak mengikuti gerak sang petinju atau mengelak dan menghindar dari serangan lawan yang sedang bertinju. Kalau sudah begini selalu istri saya menertawakan saya, mungkin melihat tingkah aneh saya itu. Kadang saya terpikir mungkin ini penyakit tapi biarlah selagi dia tak menganggu diri saya secara pribadi apalagi menganggu orang lain. “‘Hit and run or clinch,’ itu bahasa orang kampung sana dalam mengatur siasat dalam bertinju, kalau itu bagi saya tidak Tok, pantang itu. Kalau saya pukul maka selanjutnya saya akan tegak berdiri untuk menghadapinya, saya takkan lari apalagi mau berpeluk ketika terdesak, oh tidak,” suara Mahmud agak meninggi dalam peyampaiannya. Cepat saya hilangkan kecurigaan saya yang mengatakan Mahmud bicara seperti itu karena dia setelah usai menonton berita kalau beberapa hari terakhir ini Pak Presiden kita berlatih tinju dengan gagahnya. Berlatih dengan pelatih profesional. Sebelumnya juga beberapa hari yang lalu bapak Presiden kita keluar dari bioskop menonton film yang menjadi sebuah booming kini. Apalagi kalau bukan “Dilan”, dua-dua peristiwa itu kawan saya Mahmud sangat mengetahuinya. Beritanya ada di mana-mana. Sampai Mahmud sempat mengumam sendiri, “Kalau latihan tinju, nonton film, ramai beritanya, kalau listrik naik, BBM naik dan pajak juga naik, kok sepi-sepi saja,” Ha?
Waktu Mahmud menyampaikan itu saya lumayan terkekeh sejadi-jadinya. Menurut saya kawan saya itu jeli, ini mungkin stategi “pukul dan lari” yang dikatakannya itu. BBM naik, pajak naik tapi semua diam, pura-pura tak tahu, itu sama dengan lari dari kenyataan yang ada. Hanya pada kenyataanya, semua yang di antara kita, hanya bisa diam seribu bahasa, merasa hanya pasrah meskipun dalam hati berkata sungguh tak rela. Inilah mungkin saat yang tepat merasakan nikmat yang selalu kita dengar akhir-akhir ini “Pasrah tapi tak rela”. Lama saya merenung makna apa di sebalik celoteh Mahmud kawan saya yang baik itu pada hari ini, tak biasa dia langsung meledakledak emosinya, biasanya kalaupun dia marah masih disempat-sempatkan juga dia berseloroh dengan saya. Seperti dia membaca berita kemarin katanya rencana pembangunan jembatan Batam-Bintan sudah disetujui, sebenarnya dia marah, karena sudah begitu lama cerita jembatan “khayal” itu menghilang beritanya dan entah kenapa selalu muncul lagi disaat-saat seperti sekarang ini di tahun-
tahun pujuk rayu membanjiri kita. “Saya takkan lari Tok dan saya juga takkan memeluk mereka,” ujarnya seperti ingin mengulangi kata-katanya sendiri guna mempertegas sikap dan keputusannya. Mahmud memang sudah memutuskan tidak akan turun ke jalan menyuarakan kebenaran yang harus di dengar banyak orang itu. Saya pikir mungkin karena itulah dia dituduh tak punya nyali. “Ini bukan hanya sekedar nyali, berada dalam gelanggang memang membutuhkan keberanian tapi yang lebih penting adalah siapa sebenarnya yang menjadi lawan kita dalam gelanggang itu,” masih suara Mahmud walaupun sedikit menggerutu. Ya ya ya ... saya pikir benar itulah yang menjadi puncanya kenapa kawan saya Mahmud itu menggerutu, dan itu sejak kemarin lagi di hari Sabtu. Apalagi dia, Mahmud dan juga saya pada hari yang ditentukan akan turun ke jalan itu kami tak bisa berada bersama mereka. Mahmud galau, meninggalkan kebersamaan itu dia dianggap lari dari kesepakatan yang pernah diucapkan. “Siapa yang lari Mud?” kini giliran saya bertanya, menyergah Mahmud yang tampak gelisah. “Awak tak lari Mud, awak hanya menghindar, yang sebenarnya lari itu dia, yang dulu kawan ngopi semeja sekarang tak pernah bersua, dulu sama pergi ke laut sekarang berjumpa pun takut, dulu makan sama sepinggan sekarang menegurpun enggan,” bertubi-tubi saya hujani kata-kata ke kawan saya itu. Saya lihat wajahnya memerah tapi bukanlah marah. Tapi begitulah hidup, di gelanggang, ketika kita menang kita merasa melayang di awangawang dan kita pikir kitalah juara yang tak terkalahkan. Padahal kekalahan itu pasti akan datang hanya tinggal dengan siapa kita akan takluk. Itu yang menjadi rahasia besar kehidupan. Kini di depan mata kita mereka dengan mata menyala sudah menunjuk-nunjuk kening kita, mereka yang dulu setia sekarang memilih melawan dan berdiri di garis perbatasan. Ini semua buah dari apa yang kita lakukan, kita terlalu angkuh dalam “ring” itu. Mungkin kononnya kita ingin menjadi seperti “si mulut besar” legendaris tinju Muhammad Ali, dia seniman ring, seperti kupu-kupu dia bertinju, menari terus menari sambil terus satu per satu “jab”-nya masuk dan itu membuat lawannya takluk. Lalu kita siapa? Mungkin “si pembual besar” yang menari-nari dan saya pikir tak perlu saya teruskan menjelaskannya lagi.*** LAYOUT: SYAFRINALDI