Tanjungpinang Pos 25 Maret 2018

Page 1

25 MARET 2018 / 7 RAJAB 1439 H

DEWAN PERS

Rp. 3000 www.tanjungpinangpos.id

MEDIA TERVERIFIKASI

2018

H3

TAMAN MERLION

Spot Foto Sejuta Umat

OBITUARI

Penakluk Manuver Pugachev H7

Kisah Para Pengumpul Prangko Jika hendak belajar cinta yang adisetia, bergurulah kepada para filatelis. Mereka tetap merawat lembar demi lembar prangko di tengah ingar-bingar era digital.

H2

1846 Perangko Penny Black diterbitkan di Inggris.

FILATELI DALAM TAHUN 2006 2009 1922 1983 Pemerintah Hindia Belanda mengesahkan organisasi pengumpul perangko bernama Postzegelverzamelaar Club Batavia (PCB).

Hari Filateli Indonesia mulai dirayakan tiap 29 Maret.

Pada 29 September, Presiden Soeharto meresmikan Museum Prangko Indonesia di TMII.

UU No. 38 tentang Pos mengisyaratkan pemerintah ikut membina aktivitas filateli.

The Ghost Fleet Indonesia sudah bubar dalam tahun 2030. Tertulis dalam novel fiksi ilmiah Ghost Fleet. Novel ini tidak bisa dikatakan sembrono, karena penulisnya PW Singer adalah ilmuan dan seorang ahli strategi Amerika. Tapi Indonesia telah dilihat sebelah mata, sebagai negara acak (random country) dan tak punya masa depan. Tidakkah itu menyakitkan? Hebatkah mereka yang menulis novel ini, atau justru sebaliknya dari perspektif yang lain?

SELAKSA Kolom Muhammad Natsir Tahar

ADALAH Prabowo Subianto, dalam retorika kebangsaannya ia mengangkat novel yang terbit 2015 itu sebagai pewanti-wanti untuk kemungkinan Indonesia sebagai medan tempur dan tidak lagi eksis setelahnya.

redaksitanjungpinangpos@gmail.com REDAKTUR: FATIH

Novel Ghost Fleet atau Armada Hantu ditulis hasil duet PW Singer and August Cole. Berkisah ihwal skenario Perang Dunia III antara dua poros besar yakni Amerika Serikat dengan duet ChinaRusia. Beberapa latar cerita

facebook/tanjungpinangpos

terletak di Selat Malaka dan bekas Republik Indonesia. “Kanal sepanjang enam ratus mil antara Republik Indonesia dan Malaysia kurang dari dua mil lebarnya pada jarak tersempit, hampir memisahkan

masyarakat otoriter Malaysia dari anarki di mana Indonesia tenggelam ke dalamnya setelah perang Timor kedua,”demikian penggalan novel ini yang bertutur tentang Indonesia. Untuk kemudian Indonesia sebagai bekas negara disebut sambil lalu pada beberapa halaman. “Drone listrik V1000 milik Direktorat (China) sebenarnya telah digunakan untuk berbagi data kepada sistem komersial, tapi kelincahan dan BERSAMBUNG KE HAL 7

@tpipos LAYOUT: DOBBY FACHRIZAL


2

Liputan Khusus

TANJUNGPINANG POS Koran Nasional dari Kepri

MINGGU 25 MARET 2018

F-FATIH MUFTIH/TANJUNGPINANG POS

EDISI WAJAH PRESIDEN: Koleksi prangko bergambarkan wajah Presiden ke-2 RI Soeharto milik Amartina di Tanjungpinang.

Prangko Bukan untuk Dilego 29 Maret adalah Hari Filateli Nasional. Hari raya bagi para pengumpul prangko yang keberadaannya hari ini bak ditelan bumi. Apa kabar mereka?

FATIH MUFTIH, Tanjungpinang. IA menuju lemari bagian bawah di ruang keluarga di rumahnya, di Jalam Wiratno Tanjungpinang. Perempuan 55 tahun ini lantas mengeluarkan dua jilid besar album. Belum cukup. Disusul empat album kecil. Terakhir, ada kantung plastik bening persegi ukuran sekitar sejengkal tangan orang dewasa. Siang kemarin, ibu dua anak ini agak terkejut ketika diberi tahu bahwa 29 Maret mendatang adalah Hari Filateli Nasional. “Memang ada hari-nya juga ya? Kok baru dengar,” kata Amartina, salah seorang filatelis di Tanjungpinang. Prangko memang jadi salah satu koleksi miliknya, selain mata uang dari pelbagai belahan dunia. Kertas kecil sebagai bukti pembayaran pengiriman surat atau kartu pos di rumahnya juga berasal dari banyak negara di dunia. Ada dari Amerika Serikat, Maroko, Afrika Selatan, Jerman, Perancis, Belanda, Arab Saudi, Australia, dan tentu cukup banyak koleksi prangko dalam negeri. Kegemaran ini sudah dilakoninya sejak akhir 1960-an atau semasa duduk di bangku sekolah dasar. Bermula juga dari kebiasaan keluarga besarnya yang rutin berkirim surat di masa ketika teknologi belum secanggih seperti hari ini. Surat-surat yang diterima bapaknya dari kawan dan saudaranya itu sudah barang tentu dibubuhi prangko. Dan Amartina kecil mengaku menyukai

motif-motif gambar yang ada di prangko. “Itulah awalnya. Bukan karena tahu kalau ada hobi filateli. Tapi lebih karena suka gambar-gambarnya,” kenangnya. Kesukaan ini lantas tetap menjalar dan tumbuh sampai dewasa. Apalagi di masa-masa itu, ia cukup akrab dengan siaran radio luar negeri Kangoroo Radio, yang jadi wahana bermain korespondensi bersama sahabat pena dari berbagai penjuru dunia. Amartina pun semakin rajin berkirim surat ke banyak sahabat penanya guna mendapat balasan dan mengincar prangkonya. Tak heran kini, jumlah koleksi prangko di rumahnya lebih dari seribu lembar dengan asal negara yang cukup variatif dan tentu motif-motif yang menarik. Kegemaran berkorespondensi ini lantas terhenti semenjak teknologi berkembang sedemikian pesat dan orang dalam berkirim surat cukup menggunakan suratelektronik. “Terakhir nambahin koleksi prangko ini sekitar tahun 1997 deh. Habis itu orang sudah lebih banyak berkirim surat pakai email,” ucap perempuan yang pernah tinggal lama di Belanda dan Arab Saudi ini. Tidak ada prangko spesial. Semua disusunnya dalam album yang memang disediakan secara khusus untuk menyimpan prangko. Walau kini terasa semu, bukan berarti kesenangan ini lantas padam. Sesekali Amartina masih menyempatkan untuk menengok

koleksi yang dikumpulkannya selama lebih dari empat dekade hidupnya. “Bisa buat cerita ke anak juga kan,” katanya seraya tertawa. Karena itu pula, bagi Amartina, koleksi ribuan prangkonya ini ternilai dan tidak bisa ditakar dengan nominal uang. Belum terpikirkan olehnya jika ada seorang kolektor yang datang hendak membeli koleksinya. Tapi jika hari itu tiba, tegas sekali jawaban yang sudah ia siapkan. “Nggaklah. Ngapain dijual. Susah-susah ngumpulin kok malah dijual,” ujarnya. Koleksi Mantan Petugas Pos Jika Amartina mengoleksi prangko lantaran aktivitas korespondesi persuratannya di zaman lampau, lain halnya dengan Juhasni. Perempuan 69 tahun ini mengoleksi satu album besar prangko lantaran latar belakangnya sebagai petugas pos di Penyengat. Dikisahkan oleh Tohar Fahlevy, anak Juhasni, ibunya dahulu adalah orang yang mengurusi surat masuk dan surat keluar di Penyengat. Tak heran jika surat-surat di zaman lampau itu terbubuh prangko di bagian luarnya. “Jadi sama Mamak,” kenang Tohar, “daripada dibuang, dikumpulkan.” Sedari kecil, Tohar mengaku sudah pernah melihat ibunya mengumpulkan prangko. Keasyikan semacam itu, kata dia, hanya ibunya sendiri yang tahu. Tohar tidak pernah ikut cawe-cawe. Hanya satu hal yang pasti, ibunya bisa marah kalau ada anaknya atau cucunya yang bikin berantkan prangko-prangko yang tertata rapi dalam album. “Mana ada yang boleh

ganggu,” ujar Tohar. Karena itu, Tohar beranggapan, koleksi prangko milik ibunya ini tidak mungkin dijual. Sekalisekala dalam setahun, masih ada ibunya menilik kembali koleksinya berpuluh-puluh tahun itu. Dan setiap kali menyentuh album itu, kata Tohar, seolah ada rona kebahagiaan meruap dari album tua itu ke wajah ibunya. “Kalau sudah begitu, bangganya dia bercerita ke anak dan cucunya,” tutur Tohar. Kini, seiring tidak ada lagi aktivitas persuratan di Penyengat, tidak pernah pula bertambah lagi koleksi prangko milik Juhasni. Hanya saja ada satu yang ia banggakan dan terus berulang kali dikisahkan ke Tohar dan cucu-cucunya. “Mamak ada punya koleksi prangko dari Belanda. Dulu katanya dia punya teman orang

Belanda,” ungkap Tohar. Melepas prangko yang sudah dikoleksi puluhan tahun itu bisa menyebabkan emosi seketika. Apalagi jika barang langka itu hilang dan bukan kebeli. Sejarawan Aswandi Syahri merasakan hal itu. Ia kehilangan sebuah prangko bersejarah yang konon pernah digunakan sejak era pemerintahan Belanda di Tanjungpinang. Ia bergidik jika menaksir harga yang bisa diberikan oleh para kolektor jika barang itu masih ada di tangannya. “Bisa sembilan digit,” ungkapnya. Aswandi berkisah, penggunaan prangko di Tanjungpinang memang bukan suatu yang baru. Tradisi persuratan sudah berlangsung sejak awal pendudukan Hindia Belanda di Tanjungpinang. Sayangnya, tidak banyak orang yang menyimpan arsip berupa surat yang

sudah pasti dilengkapi prangko di bagian mukanya. “Padahal kalau jumpa barang itu, bisa dilacak lagi nilai sejarah di Tanjungpinang dari persuratannya, tapi ya sejauh ini tidak ada yang jumpa,” ujar Aswandi. Di Indonesia, prangko diedarkan pada 1864. Oleh sebab itu, 1 April 1964 diterbitkan prangko peringatan 100 tahun digunakannya prangko di Tanah Air. Perkumpulan filatelis pertama, Bataviasche Vereeniging van Postzegelverzamelaars, berdiri pada 1924, kemudian menjadi Nederland Indische Vereeniging van Postzegelverzamelaars. Perkumpulan itu bubar bersamaan dengan pendudukan Jepang. Pada 1947, muncullah Algemeene Vereeniging Postzegelverzamelaars in Indonesie (AVPVI). Di sini, orang Indonesia mulai diterima

menjadi anggota. Pada 1950-an AVPVI berubah menjadi Perkumpulan Umum Philatelist Indonesia (PUPI). Setelah masa kemerdekaan, desain prangko semakin beragam. Ada seri batik, candi, pakaian adat, bulu tangkis, Pramuka, dan Olimpiade. Prangko pun menjadi penanda peristiwa. Misalnya, pada 1979 terbit prangko Garuda Indonesia untuk memperingati ulang tahun ke-30 maskapai penerbangan yang didirikan pada 26 Januari 1949 itu. Tahun 1969, Perkumpulan Philatelis Indonesia (PPI) menjadi anggota Federation Internationale de Philatelie lewat kongres ke-39 di Sofia, Bulgaria. PPI memiliki cabang di Bandung, Semarang, Yogyakarta, Surabaya, Palembang, Medan, Balikpapan, Makassar, dan Manado.***

JADWAL KEDATANGAN DAN KEBERANGKATAN KAPAL PENUMPANG PT. PELNI DI PELABUHAN KIJANG, TANJUNGPINANG DAN BATAM

MARET

2018 RENCANA TIBA HARI TANGGAL

No.

NAMA KAPAL

JAM

DARI

1

KM. SABUK N 30

TAMBELAN

JUMAT

16-Mar-18

10.00

TG.PINANG

2

KM. SABUK N-62

TAMBELAN

JUMAT

16-Mar-18

07.00

3

KM. BUKIT RAYA

BLINYU

SABTU

17-Mar-18

02.00

4

KM. DOROLONDA

TG.PRIOK

SABTU

17-Mar-18

5 6 7 8

KM. UMSINI KM. BUKIT RAYA KM. SABUK N-62 KM. BUKIT RAYA

TG.PRIOK LETUNG SENAYANG LETUNG

SENIN KAMIS SABTU SELASA

9

KM. SABUK N 30

TAMBELAN

RABU

DARI

RENCANA BERANGKAT HARI TANGGAL

TUJUAN JAM

MINGGU

18-Mar-18

13.00

TG.PINANG

SENIN

19-Mar-18

11.00

KIJANG

SABTU

17-Mar-18

06.00

13.00

KIJANG

SABTU

17-Mar-18

15.00

19-Mar-18 22-Mar-18 24-Mar-18 27-Mar-18

14.00 08.00 06.00 08.00

KIJANG KIJANG TG.PINANG KIJANG

SENIN KAMIS MINGGU SELASA

19-Mar-18 22-Mar-18 25-Mar-18 27-Mar-18

16.00 10.00 14.00 10.00

28-Mar-18

10.00

TG.PINANG

JUMAT

30-Mar-18

13.00

10

KM. SABUK N-62

TAMBELAN

JUMAT

30-Mar-18

07.00

TG.PINANG

SENIN

02-Apr-18

11.00

11

KM. DOROLONDA

TG.PRIOK

SABTU

31-Mar-18

13.00

KIJANG

SABTU

31-Mar-18

15.00

1 2 3 4 5

KM. KELUD KM. KELUD KM. KELUD KM. KELUD KM. KELUD

TG.BALAI TG.PRIOK TG.BALAI TG.PRIOK TG.PRIOK

RABU MINGGU RABU MINGGU RABU

14-Mar-18 18-Mar-18 21-Mar-18 25-Mar-18 28-Mar-18

10.00 06.00 10.00 06.00 10.00

BATAM BATAM BATAM BATAM BATAM

RABU MINGGU RABU MINGGU RABU

14-Mar-18 18-Mar-18 21-Mar-18 25-Mar-18 28-Mar-18

13.00 11.00 13.00 11.00 13.00

KUALA MARAS - TAREMPA - MIDAI - P.TIGA - SELAT LAMPA - SEDANAU P.LAUT - RANAI - SUBI - SERASAN - SINTETE - TAMBELAN SENAYANG - JAGOH - P.BERHALA - JAGOH - P.PEKAJANG - BLINYU P.PEKAJANG - JAGOH - SENAYANG LETUNG - TAREMPA - NATUNA - MIDAI - SERASAN - PONTIANAK (PP) TG.PRIOK - SURABAYA - MAKASAR - BAU-BAU - NAMLEA - AMBON TERNATE - BITUNG (PP) TG.PRIOK LETUNG - TAREMPA - NATUNA - MIDAI - SERASAN - PONTIANAK (PP) TAMBELAN - SINTETE BLINYU - TG.PRIOK (PP) KUALA MARAS - TAREMPA - MIDAI - P.TIGA - SELAT LAMPA - SEDANAU P.LAUT - RANAI - SUBI - SERASAN - SINTETE - TAMBELAN SENAYANG - JAGOH - P.BERHALA - JAGOH - P.PEKAJANG - BLINYU P.PEKAJANG - JAGOH - SENAYANG TG.PRIOK - SURABAYA - MAKASAR - BAU-BAU - NAMLEA - AMBON TERNATE - BITUNG (PP) TG.PRIOK (PP) TG.BALAI - BELAWAN TG.PRIOK (PP) TG.BALAI - BELAWAN TG.PRIOK (PP)

1. PERUBAHAN JADWAL TSB DIATAS BILA ADA PERUBAHAN / KOREKSI AKAN KAMI BERITAHUKAN. 2. KEPADA CALON PENUMPANG PEMBELIAN TIKET AGAR SESUAI IDENTITAS/ KTP. 3. KETERANGAN LEBIH LANJUT DAPAT MENGHUBUNGI CALL CENTER 021 - 162 4. PT. PELNI CABANG TANJUNGPINANG TELP. 0771 - 21513 5. 2 (DUA) JAM SEBELUM KAPAL BERANGKAT SUDAH DI TERMINAL PELABUHAN

TANJUNGPINANG, FEBRUARI 2018 TTD PT. PELNI CABANG TANJUNGPINANG

D-1St Female Station in Bintan Island Indonesia

Jl. Yos Sudarso No.63 Lantai 2-4 Batu Hitam, Tanjungpinang Telp. 0771 - 318 637. Fax. 0771 - 319 489 Email : radioonine@gmail.com

Marketing : 0812 7099 8897 (Fira Rewadi) 0852 6453 3303 (Andy)

REDAKTUR: FATIH MUFTIH

LAYOUT: SYAFRINALDI


TANJUNGPINANG POS

3

Koran Nasional dari Kepri

MINGGU 25 MARET 2018

Berwisata ke Singapura

Spot Foto Sejuta Umat B

ERWISATA ke Singapura, bagi orang-orang Kepulauan Riau, barangkali bukan sesuatu yang bisa dikatakan mewah. Sepenempuhan buang ngantuk dalam kapal saja sudah tiba ke Negeri Singa. Asal punya paspor, ongkosnya terbilang terjangkau. Boleh dikatakan lebih murah ketimbang liburan ke luar kota. Kendati begitu, terlalu sayang berstatus sebagai warga Kepulauan Riau namun tidak pernah menjejakkan kaki ke negeri jiran. Asal ada niat dan kemauan, menabung dalam satu hingga dua semester

bisa terkumpul uang lebih dari cukup untuk dapat plesiran ke Singapura. Lantas bagaimana jikalau tidak bisa bahasa Inggris? Tenang saja. Jumlah wisatawan atau pekerja asal Indonesia di sana cukup banyak. Hampir di setiap pusat berwisata atau belanja, ada orang Indonesia di sana. Belum lagi, hampir sebagian besar warga negara Singapura juga fasih berbicara bahasa Melayu. Satu hal saja. Ketika sudah sampai di Singapura, jangan sampai tidak untuk

melewatkan kesempatan berfoto di Taman Merlion berlatarkan patung singa yang ikonik itu. “Belum sah ke Singapura, kalau belum foto di Merlion Park,” kata Edo, wisatawan asal Bintan. Untuk sampai ke kawasan Taman Merlion juga tidak rumit. Utamanya bisa menggunakan layanan MRT

dengan biaya yang amat terjangkau. Kemudian dari stasiun MRT terdekat, tinggal jalan kaki beberapa ratus meter saja. Jika modal liburan ke Singapura sedang paspasan, disarankan untuk tidak bermalam di sana. Pasalnya, biaya akomodasinya cukup tinggi walau sekadar mengambil penginapan kelas melati. Belum lagi

biaya makan yang juga tidak bisa dikatakan murah. Hanya saja, jika merencanakan liburan sehari alias berangkat pagi pulang sore, pastikan singgah di Ta m a n Merlion agar ‘sah’ perjalanan ke

luar negerinya. “Namanya juga spot sejuta umat. Tidak mungkin tidak singgah di Merlion Park,” kata Edo. (jendaras)

F-JENDARAS/TANJUNGPINANG POS

Wisatawan berfoto di Taman Merlion, Singapura.

REDAKTUR: FATIH MUFTIH

LAYOUT: SYAFRINALDI


4

Komunitas

TANJUNGPINANG POS Koran Nasional dari Kepri

MINGGU 25 MARET 2018

Petualang Subuh Tanjungpinang

Safari Menghidupi Masjid

F-SAID UNTUK TANJUNGPINANG POS

Silaturahmi usai safari Subuh.

J

ARAK terjauh bukanlah ke kota seberang. Tetapi menuju masjid terdekat ketika azan berkumandang. Memenuhi panggilan Tuhan, jarak yang harus ditempuh bukan lagi ruang, melainkan niat. Dan, inilah jalan panjang itu. Tidak banyak orang sanggup melakukan. Karena selain memerlukan kesadaran yang dilandasi iman, seringkali tersita oleh ragam pekerjaan. Namun, apa yang tidak mungkin jika semangat dan niat sudah menggebu-gebu?

Di Tanjungpinang, ada sekumpulan laki-laki yang menisbahkan diri sebagai Petualang Subuh. Saban Ahad pagi atau libur hari besar, mereka rutin bertualang dari masjid ke masjid. Safari menghidupi suasana Subuh yang acapkali sunyi. Said Subhan Candra Fani, salah seorang penggiatnya, berkisah pada mulanya gerakan ini terinspirasi dari komunitas motor di kota-kota besar yang rutin safari ke masjid setiap Subuh. “Tapi ternyata di Tanjungpinang, yang ikut

lebih banyak bukan bikers, jadi kami pakai nama Petualang Subuh saja,” ungkap Said. Tidak ada aturan apa pun dalam komunitas ini. Siapa yang bersedia tinggal ikut saja setiap Ahad pagi. Masjidnya berpindah-pindah. Kadang juga mengikut jadwal kajian yang diadakan. Jikalau sedang tak ada taushiyah, kata Said, sesama anggota biasanya saling diskusi keagamaan. Sebab menunaikan salat berjemaah di masjid itu bergantung pada kesadaran dan keimanan masingmasing orang, tidak ada angka pasti jumlah Petualang Subuh. “Yang siap monggo kita gas safari, sifatnya tak terikat,” kata Said. Lalu, sembari menunggu matahari terbit, biasanya para petualang ini berzikir yang disambung salat sunnah Isro. “Terakhir, biar semakin kenal satu sama lain, biasanya silaturahim. Bisa ke rumah kawan, atau ngopi di kedai,” pungkas Said. (fatih)

F-SAID UNTUK TANJUNGPINANG POS

Usai mengadakan kajian rutin lepas salat Subuh berjemaah.

F-JENDARAS/TANJUNGPINANG POS

Aksi model.

IKLAN BARIS SELERA KITA -------------------------------“MENERIMA PESANAN PECAL LELE“ PENGANTARAN DARI JAM 15.00 (SORE) S/D JAM 03.00 (MALAM). ALAMAT : JL. HANDJOYO PUTRO PERTOKAN GESYA

DI JUAL CEPAT RUMAH TYPE 105 LT. 96 M2, 2 KT, 2 KM, LISTRIK 1300 WATT, AIR PDAM. ALAMAT : HANGTUAH PERMAI KM. 11, BLOK H, GANG KASTURI 3 NO. 18 HUBUNGI : 0813 7220 7170 HARGA NEGO

ANDA BUTUH RUMAH SUBSIDI? TYPE 36/ 98 (READY) DATANG LANGSUNG KE KANTOR PT. CAHAYA KRISTAL PROPERTI ALAMAT : JL. D.I. PANJAITAN KM 9. ATAU HUBUNGI : HP 0812 6891 0101

INGIN MILIKI RUMAH SUBSIDI? DI KM 13 ARAH KIJANG. HUBUNGI : 0858 3477 3078

ERDEKA BOOK STORE. MENJUAL BUKU SEJARAH & SASTRA MELAYU. WWW.ERDEKABOOKSTORE.COM

MENERIMA PESANAN BROWNIS KUKUS. SIAP ANTAR KE ALAMAT ANDA. #UK. 22 X 22 = RP.90.000# UK. 22 X 10 = RP. 45.000#. HUBUNGI : AMI. 0823 9297 9062

MENERIMA BELAJAR SILAT UNTUK PENGAJARAN DI HARI JUMAT MLM PUKUL 7.30 & MINGGU JAM 7.00 WIB PAGI. BERMINAT HUB. : HP. 0822 8816 6100

MENJUAL OBAT GAMAT. MENGATASI BERBAGAI PENYAKIT. BERMINAT BISA ANTAR KETEMPAT. HUB. : 0813 7209 4056

Mau pasang iklan? Hubungi : 0852 6404 0033

DIBUTUHKAN Tenaga Pengasuh di Taman Penitipan Anak “Melayu Bersinar” Persyaratan : þ Minimal tamatan SMP þ Sayang & sabar pada anakanak þ Tekun dan ulet bekerja

Lamaran dikirim ke alamat :

Jln. Sukaramai - Ruko Hangtuah Blok A No. 10 Telp : 081277502161

REDAKTUR: FATIH MUFTIH

LAYOUT: SYAFRINALDI


TANJUNGPINANG POS

5

Koran Nasional dari Kepri

MINGGU 25 MARET 2018

Manisan di Pelantar Dua

Buah Tangan ke Negeri Jiran F-FATIH/TANJUNGPINANG POS

Suasana berbelanja manisan di pasar Tanjungpinang.

F-RAYMON/TANJUNGPINANG POS

Lapak jualan manisan di Pelantar Dua.

S

ETIAP pengujung pekan, kawasan Pelantar Dua Tanjungpinang dipadati wisatawan mancanegara. Ratarata mereka yang berbelanja di

REDAKTUR: FATIH MUFTIH

sana datang dari negara jiran seperti Malaysia dan Singapura. Keberadaan mereka di sini tidak lain dan tidak bukan adalah untuk berbelanja oleh-

oleh atau buah tangan. Seperti pengakuan Zaidah bte Osman, pelancong asal Malaysia yang kedapatan sedang belanja di seputar

Pelantar Dua, akhir pekan kemarin. “Kami sebulan sekalilah sering main kat Tanjungpinang ini,” katanya. Perempuan yang datang bersama putrinya ini mengaku berada di ibu kota Provinsi Kepri ini untuk dua tujuan. Pertama bertemu dengan kerabat jauhnya. Kedua, apalagi kalau bukan belanja. “Saya dan anak saya ini suka bilis dan manisan di sinilah,” katanya seraya tertawa. Di antara sekian toko yang sering dipadati wisatawan adalah toko milik A San. Hampir tiap akhir pekan terlihat antrean di depan tokonya. Antrean yang menanti-nanti camilan ataupun manisannya

untuk dapat ditimbang. Toko A San menjajakan camilan dan manisan dengan sistem kiloan. “Sabtu dan Minggu bisa lebih ramai dari hari ini. Selain orang Pinang, biasanya turis dari Malaysia dan Singapura juga sering beli buat oleholeh,” katanya, kemarin. Sepintas, beragam camilan dan manisan yang dijual secara kiloan di Tanjungpinang memang terlihat sulit didapati. Namun jika menyempatkan diri untuk mampir ke pelantar dua, yang mana juga jalan menuju pasar ikan dan Hotel Laut Jaya, setidaknya ada tiga toko yang menjual jenis makanan ringan tersebut. Kios sejenis milik A San terlihat mencolok sekali di

sepanjang lorong menuju Pelantar Dua. Di muka toko mereka, akan terlihat toples kaca berisi camilan. Mulai dari kacang mente manis atau asin, kacang campur, dan kacangkacang lainnya. Ada pula camilan berupa berbagai macam kerupuk dari pulau-pulau di sekitar Tanjungpinang. Berbagai asal, berbagai bentuk dan warna, dan juga terbuat dari bahan yang berbeda. Beragam manisan, penuh warna seakan menghiasi toko, juga bisa menjadi salah satu alternatif buah tangan yang dapat dibawa pulang. Dan jika datang pada musim durian, lempok pun menjadi salah satu dagangan yang diserbu. (fatih)

LAYOUT: SYAFRINALDI


6

Goes to School

TANJUNGPINANG POS Koran Nasional dari Kepri

MINGGU 25 MARET 2018

KEPALA DINAS PENDIDIKAN KARIMUN, BAKRI HASYIM BERSAMA ROMBONGAN DARI SMK DATO PENGGAWA, JOHOR, MALAYSIA.

Kunjungan SMK Dato Penggawa Barat, Pontian Johor, Malaysia ke Karimun

P

Wahana Pertukaran Pengalaman

EMERINTAH Kabupaten Karimun tidak punya pilihan lain untuk tidak menyokong kerja pembangunan kualitas pendidikan. Apa pun itu bentuknya, asal punya nilai positif, sebisa mungkin mendapatkan sokongan. Sekali pun itu kegiatan bertaraf internasional juga bukan sebuah pengecualian. Yang paling baru, telah digelar ajang Karimun International Scout Challenge (KISC) di SMP Negeri 2 Karimun, Jumat (23/3) lalu. Kegiatan kepramukaan ini bahkan sampai melibatkan perwakilan dari SMK Dato Penggawa Barat, Pontian Johor, Malaysia. Diharapkan pertemuan pramuka lintas negara ini bisa menjadi wahana pertukaran pengalaman satu sama lain. “Itu harapan terbesar kami,” kata Kepala Dinas Pendidikan Karimun, Bakri Hasyim. Kegiatan KISC terbilang menarik minat siswa. Sebab, turut digelar pula perlombaan olimpiade matematika, olimpiade IPA, dan program Adiwiyata. Tidak ketinggalan pula progam ketrampilan semacam seni membatik. Lalu juga dilaksanakan malam kebudayaan dan ramah-tamah. Dari sini, Bakri melihat sudah terjalin ikatan persahabatan antara Pramuka Indonesia dan Pengakap Malaysia. “Kegiatan pramuka bisa membuat peserta lebih berkarakter, kreatif, dan berinovasi dalam mengisi pembangunan. Selain itu, menghindarkan anak-anak dari hal-hal bersifat negatif,” ungkap Bakri. Selain itu, diharapkan pula, kunjungan perwakilan Pengakap Malaysia pada ajang KISC ini menjadi pemicu agar lebih banyak lagi pramuka dari negara jiran yang ikut bertandang ke

Karimun. Hal ini, sambung Bakri, akan semakin baik guna mengajarkan anak-anak untuk berdiplomasi dengan orang asing sejak usia dini. “Mereka akan saling bertukar pikiran tentang pembangunan bangsa, dan karakter generasi muda di masa mendatang,” ujarnya. Ketua sekaligus Wakil Resmi merangkap Guru Penolong Kanan Hal Ihwal Murid SMK Dato Penggawa, HM Azmi mengaku terharu atas sambutan yang diberikan tuan rumah. Terlebih begitu sampai di pelabuhan, rombongan disambut kompang. Bahkan mempersembahkan tanjak yang disematkan oleh Camat Karimun, Arpan. Diterangkan olehnya, ajang KISC tahun ini melibatkan persekutuan pengakap Malaysia yang diwakili Pengakap Laut Kumpulan 14 Pontian, Johor. Masing-masing 49 peserta pelajar, dan 15 guru. “Kami sangat berbangga mendapat sambutan yang begitu tinggi. Mulai dari kedatangan, hingga penjamuan. Kami berharap, kegiatan ini terus kekal, dan berkesinabungan dalam mempererat silaturahmi,” ungkap Azmi. Kepala SMPN 2 Karimun, Salawati menjelaskan, KISC merupakan kerja sama dua negara yang diselenggarakan untuk Pramuka Indonesia, dan Pengakap Malaysia. Kegiatan KISC berisi aktivitas kreatif, produktif, inovatif, dan rekreatif dalam bentuk lomba persahabatan. “Melalui kegiatan KISC dapat memupuk rasa persahabatan, persaudaraan, dan perdamaian antar Indonesia, dan Malaysia. Dan kita berharap silaturahmi terus terjalin, dan kegiatan serupa tetap terjaga,” ungkap Salawati. (alrion)

Pramuka SMP Negeri 2 Karimun dan pelajar SMK Dato Penggawa, Malaysia. REDAKTUR: FATIH MUFTIH

Kepala SMP Negeri 2 Karimun, Salawati menyematkan tanda kepada pelajar.

Pelajar SMK Dato Penggawa Barat, Malaysia belajar bersama siswa SMP Negeri 2 Karimun.

Siswi memperlihatkan kerajinan sekolah. LAYOUT: SYAFRINALDI


TANJUNGPINANG POS Koran Nasional dari Kepri

7

MINGGU 25 MARET 2018

OBITUARI: MENGENANG KOLONEL PNB MJ HANAFIE

Penakluk Manuver Pugachev Cobra Inilah kisah seorang pilot pesawat tempur andalan TNI AU dengan call-sign Jupiter. Kecelakaan ketika menerbangkan pesawat aerobatik Super Decathlon PK-RTZ, tidak lantas dapat menghapus prestasi gemilangnya di langit. Kolonel PnB MJ Hanafie kekal dalam kenang.

Adly ‘Bara’ Hanani, Tanjungpinang SOSOK pria yang ramah. Begitu kesan yang seketika menguar dari lelaki bertubuh tegap ini. Ramah di darat, garang di angkasa. Hanafie dikenal memiliki kemampuan luar biasa ketika asih aktif berdinas di skadron operasional pesawat tempur Multirole Fighter Sukhoi SU27SK di lanud Hasanuddin,

Makassar. Maklum saja. Rekam jejak pria kelahiran Malang, 23 Juli 1969 ini terbilang mentereng. Kemampuannya yang mumpuni lantas membawanya tergabung dalam penerbang Tim Aerobatik Elang Biru dengan pesawat F-16A/B di tahun 1995-1997. Ketika memiloti F-16, Hanafie

sudah mengantongi 1.781,50 jam terbang. Hanafie pula penerbang angkatan pertama yang dikirim Indonesia ke Rusia untuk menerbangkan jet tempur Multirole Fighter SU-27/30SK. Apa perasaan Hanafie? “Saya selalu happy ketika menerbangkan pesawat,” ungkapnya pada Tanjungpinang Pos saat aktif menjabat sebagai Komandan Lanud RHF Tanjungpinang. Keramahan khas Arek Malang membawanya berkisah panjang selama pendidikan di Rusia. Dia sempat menguping obrolan pilot-pilot skuadron Sukhoi

andalan Rusia yang punya manuver khas bertajuk Pucagchev Cobra. Saat itu, tidak ada pilot di luar armada tempur Rusia yang bisa mempraktikkannya. Tapi, bagi Hanafie, tidak ada yang tidak mungkin. Kelak, sepulang ke Tanah Air, ia diakui sebagai satusatunya penerbang yang mampu ‘menarikan’ pesawatnya seumpama gerakan ular kobra mematuk ketika mengawal pesawat kepresidenan yang ditumpangi Presiden SBY. “Kita harus yakin bahwa itu bisa kita lakukan. Terlebih belajar untuk menerbangkan pesawat tempur. Saya selalu

Alm. Kolonel MJ Hanafie

Rusia tentang Viktor Pugachev. Dengan kemampuan berbahasa Rusia, ia jadi tahu bahwa Pugachev adalah seorang pilot

menekankan hal itu kepada siswa, ketika menjadi instruktur sekolah penerbangan TNI,” ungkap Hanafie. Tak dipungkiri pula keyakinan mampu yang mampu membuatnya dapat mempraktikkan manuver Pucrhagev Cobra dengan Sukhoi SU-27SK milik TNI AU. Berkenaan dengan pengalaman tinggal di Tanjungpinang, Hanafie dan istri serta ketiga anaknya menaruh kesan mendalam. Alam Melayu diakuinya cukup ramah dan bikin kerasan siapa yang tinggal di sini. Bagi Hanafie, episode pernah bertugas di Tanjungpinang adalah

sesuatu yang berharga. Tapi siapa sangka langit Bandara Tunggul Wulung Cilacap, Selasa (20/3) lalu menjadi saksi manuver terakhir Hanafie. Pesawat aerobatik Super Decathlon PK-RTZ, milik Genesa Flight Academy lepas kendali. Kecelakaan tak dapat dihindari. Seorang penerbang pesawat tempur andalan negeri ini pergi untuk selama-selamanya. Bukan sesuatu yang mudah melepas kepergian seorang penerbang andal macam Hanafie. Jupiter ... Jupiter ... Jupiter senantiasa kekal di angkasa Indonesia.***

The Ghost...................................................................................................................dari halaman 1 kemampuan menghilang menjadikannya pilihan bagi China untuk misi penyerangan di Afrika dan bekas Republik Indonesia,” bagian lain dari novel ini. Dikutip dari Randu, seorang netizen, Singer bukanlah penulis fiksi biasa. Sebelum novel Ghost Fleet, dia menulis empat buku yang kesemuanya nonfiksi. Buku terlarisnya yang diterbitkan Penguin, berjudul Wired for War: The Robotics Revolution and Conflict in the 21st Century. Dia mewawancarai ratusan ilmuwan robotika, penulis fiksi ilmiah, tentara, pemberontak, politisi, pengacara, jurnalis, dan aktivis hak asasi manusia dari seluruh dunia. Wired for War mengangkat tentang bagaimana teknologi

robotik akan memainkan peran yang lebih banyak dalam peperangan masa depan. Buku ini dinobatkan sebagai Non-Fiction Book of the Year di tahun 2009 oleh majalah Financial Times dan masuk menjadi bacaan resmi di Angkatan Udara dan Angkatan Laut AS serta Angkatan Laut Australia. Sementara Ghost Fleet sendiri direkomendasikan sebagai bacaan wajib di kalangan militer Amerika. Laksamana James Stavridis menyebut The Ghost Fleet sebagai: Sebuah cetak biru yang mengejutkan untuk perang masa depan dan karenanya perlu dibaca sekarang juga! Defense News menobatkan Singer sebagai salah satu dari 100 orang paling

TANJUNGPINANG POS Koran Nasional dari Kepri

Diterbitkan Oleh: PT Batam Intermedia Pers Terbit sejak tanggal 28 Oktober 2009 Alamat Redaksi: Komplek Pinlang Mas No.15 Lt 2-3 JL.DI Panjaitan-Batu IX Tanjungpinang, Telepon : (0771) 7447234 (hunting), Fax (0771) 7447085

berpengaruh dalam masalah pertahanan. Dan semua jejak digital pencapaiannya terdapat di berbagai laman yang menyimpulkan Singer tidak sebagai orang biasa. Tapi jika kita menoleh ke perspektif lain, maka yang diprediksi dan diimajinasikan Singer dalam novelnya adalah manifestasi dari tiga hal keliru dari hubungan internasional di abad (post) modern: geopolitik, nasionalisme dan militerisme. Menurut Hans J. Morgenthau, geopolitik, nasionalisme dan militerisme adalah teori – teori yang tidak pernah didasarkan atas ilmu pengetahuan (pseudoscience). Mereka menjadikan faktor geografi sebagai hal mutlak untuk menentukan kekuatan dan nasib suatu bangsa.

Pemikiran yang hanya berlandaskan kepada ruang (space) negara dalam ruang dunia yang selalu dinamis. Kehendak penguasa yang hegemonik bukan selalu kehendak semesta dan rakyat yang terus mengglobal. Geopolitik sebagai pemicu perang adalah hukum sejarah kuno atas penaklukan ruang. Dikatakan pula oleh Sir Halford Mackinder bahwa zaman purba lebih cerdas karena nomaden berkuda bebas berkelana kemana saja di muka bumi ketika sekarang semuanya dilingkupi oleh pagar-pagar mematikan atas komando para tiran. Nasionalisme adalah abstrak dan militerisme adalah gertak sambal (bulf), yang dalam game theory dianggap sebagai kelucuan.

Pimpinan Umum/GM/Penjab : M Nur Hakim Wakil Pimpinan Umum : Ramon Damora Pemimpin Redaksi : Ramon Damora Wakil Pemimpin Redaksi : Zakmi Pimpinan Perusahaan : M Nur Hakim Manajer Umum/Adm/Keu : Ari Istanti Manajer Pemasaran : M Nur Hakim Manajer Iklan : M Nur Hakim

PEMBINA MANAJEMEN : Rida K Liamsi, Suhendro Boroma

Dewan Redaksi : M Nur Hakim, Ramon Damora, Zakmi, Martunas Situmeang, Abbas, Fatih Muftih

Jika Negara X meningkatkan kekuatan militernya menjadi 1.000, lalu Negara Y melakukan hal yang sama, maka tidak ada yang meningkat dari keduanya. Berperang adalah cara naïf dan kotor untuk menyelesaikan sengketa. Tidak ada yang gembira setelah perang usai. Yang kalah mati dan yang menang tersungkur dalam kebangkrutan. Kita selalu tahu, bahwa ancaman keamanan tidak melulu muncul dari senjata tempur kuno (secara filosofis), melainkan dari kemiskinan, pengangguran, kesenjangan dan ketidakaadilan sosial, pelanggaran HAM serta kekurangan gizi. Konsep keamanan yang baru menawarkan pendekatan yang lebih menyeluruh,

mulai dari kesejahteraan fisik dan batin manusia, sampai dengan kelestarian alam. Pemikiran akan perang yang paling brilian sekalipun macam Singer adalah primitif di sisi postmodernisme. Postmodernisme untuk beberapa masa ke depan akan sulit diterima dan mendapat penentangan. Hal ini terlihat dari gelagat manusia modern yang sulit memisahkan dirinya dengan mitos masa lalu, patriotisme, feodalisme dan paham rasisme untuk unggul dari bangsa lain. Ada tiga bagian otak manusia yakni otak Reptil untuk pertahanan dan makanan, kemudian otak Mamalia yang berfungsi di antaranya sebagai penyimpan memori, pengendalian emosi,

metobolisme dan seterusnya. Yang terakhir adalah Neokorteks terbungkus di sekitar bagian atas dan sisi-sisi otak Mamalia. la merupakan 80% dari seluruh Tiateri otak manusia. Tugas Neokorteks adalah berpikir, berbicara, melihat, dan mencipta. Otak ini merupakan tempat kecerdasan manusia, sedang berkelahi dan berperang adalah cara kerja otak hewan melata. Politik internasional dengan senjata sembari menguasai cadangan – cadangan logistik adalah cara kerja otak Reptil. Otak ini mendominasi cara bertindak kera yang disebut Darwin sebagai nenek moyang manusia modern. Jadi tak perlu berkecil pada PW Singer dengan novelnya yang bombastis. ***

DIVISI REDAKSI Redaktur Pelaksana Kompartemen: Martunas Situmeang, Abbas, Fatih Muftih. Redaktur: Martua P Butarbutar, Yusfreyendi, Adly Bara Hanani Reporter: Suhardi (Koordinator), Desi Liza Purba, Andri Dwi Sasmito, Raymon Sandy, Jendaras Karloan (Bintan Utara), Tengku Irwansyah (Lingga), Daniel Tambunan (Karimun), Hardiansyah (Natuna), Indra Gunawan (Anambas). Sekretaris Redaksi: Fauziatul Husna Ardelia

Tarif Iklan

Halaman Muka (FC) Rp 30.000,-/mm kolom. Halaman Muka (BW) Rp 25.000,-/mm kolom. Halaman DIVISI ONLINE Fatih Muftih (Penjab), Desi Liza Purba (Wakil Penjab) Dalam,- (FC) Rp 25.000,-/ mm kolom. DEPARTEMEN PRACETAK/LAYOUT/PERWAJAHAN: Dobby Fachrizal (Manajer), Syafrinaldi (Penjab Layout), Gilang Dhikapati, Agung Saputra Prastya (Staff). Halaman Dalam (BW) Jaringan/IT/Online: Rahmat Santoso (Penjab). Rp 15.000,-/mm DIVISI BISNIS kolom. Iklan Umum/ Departemen Umum, Adm, & Keuangan: Penjab: Dahlia , Kasir: Reynaldi Syah Display (BW) Rp Customer Service: Dilas Tari Umum: Irhamna. Departemen Iklan: Saifullah (Ass. Manager), 15.000,-/mm kolom. Penjab Desain Iklan: Kevin Perdana, Wira Harjuman. Penjab Adm Piutang: Dahlia Anna, Juni Ella. Penjab Penagihan: Jefri, Departemen Pemasaran & EO: Rijon Sitohang (Penjab Ekspedisi) Iklan Ucapan Selamat Yurika, Sri Wahyuni, Afriyanti (Penjab Adm Piutang dan Retur). (FC) Rp 7.000,-/mm Departemen Pemasaran Koran: kolom. Iklan Ucapan Rijon Sihotang (Penjab Ekspedisi), Eris Surahman, Pariadi. Selamat (BW) Rp Penjab Pemasaran Koran: Hardian, Sudiarta,Wahyu Gustianto, Isep Ilham, Tarmizi 3.500,-/mm kolom. Penjab Langganan Koran: Afriyanti, Sri Wahyuni (Staf) Iklan Dukacita Rp Perwakilan - Perwakilan 3.500,-/mm kolom. Batam (Martua Butar-butar, Tarmizi Rumahitam), Lingga (Tengku Irwansyah), Bintan Utara (Jendaras Karloan), Karimun (Alrion Tambunan), Natuna (Hardiansyah), Anambas (Indra Sport Color Rp 7.000,Gunawan), /mm kolom. Advertorial Kepala Biro Iklan Jakarta: Shanti Novita Rp 5.000,-/ mm kolom.

Dicetak pada : PT Ripos Bintana Press. Isi di luar tanggung jawab percetakan.

REDAKTUR: FATIH

LAYOUT: SYAFRINALDI


TANJUNGPINANG POS Koran Nasional dari Kepri

MINGGU 25 MARET 2018

REDAKTUR: ADLY BARA

IKLAN

8

LAYOUT: SYAFRINALDI


Jembia

MINGGU 25 MARET 2018

TANJUNGPINANG POS Koran Nasional dari Kepri

Jembia terbuka untuk semua tulisan dan foto seni kreatif. Kirim naskah, biodata, foto terbaru Anda ke alamat email: jembiatanjungpinangpos@gmail.com

Warisan

Hasan Gajah mati meninggalkan gading. Harimau mati meninggalkan belang. Hasan Junus wafat mewariskan tulisan. Di Perpustakaan Raja Muhammad Yusuf Ahmadi, warisan Hasan itu tersimpan.

S

EPOTONG undangan dari Perpustakaan Raja Muhammad Yusuf Ahmadi mengusik Aswandi Syahri. Sejarawan berkaca mata ini tak sabar memenuhinya. Bunyinya: silakan datang, kami punya arsip-arsip berkenaan Hasan Junus. Matahari belum lagi tinggi, Aswandi sudah bergegas ke perpustakaan daerah milik Pemerintah Provinsi Kepri di Jalan Basuki Rahmat ini. Sembari menunggu tuan rumah, ia meluru ke ruang koleksi khusus di lantai dasar. Di sini, mata Aswandi memindai buku-buku koleksi Hasan Junus yang sudah berpindah tangan menjadi milik perpustakaan. Ia berdecak. Tak yakin jikalau semua buku di perpustakaan pribadi Hasan Junus di Pekanbaru sudah berpindah ke Tanjungpinang. “Hasan Junus itu bukunya banyaaak,” ungkapnya, Kamis (22/3) kemarin. Yang didapati Aswandi di rak-rak yang terpacak di sana, memang segelintir belaka. Itu pun bercampurbaur dengan koleksi hibah Daoed Kadir. Tak sekali, Aswandi menyesalkan hal semacam ini bisa terjadi di perpustakaan sentral milik pemerintah ini. “Harusnya, dibeda-bedakan antara milik Daoed Kadir dan Hasan Junus. Dipisah raknya,” ucapnya. Sepuluh menit puas memindai judul-judul buku di ruang koleksi khusus, datang Habibi Rohan. Ia pustakawan yang menuliskan undangan kepada Aswandi. “Saya belum pernah lihat Bang Aswandi main ke sini,” ucap Habibi sembari berkenalan dengan Aswandi. Pengakuan pertama Habibi, ia baru kali ini bersemuka dengan Aswandi. Selebihnya, hanya berkutat pada artikel-artikel sejarah yang tayang di media massa. Yang menarik kala itu, Habibi datang tidak dengan tangan kosong. Ada sebundel kertas kuning tua yang menyita perhatian. “Ini,” kata dia, “makalah karya Hasan Junus.” Aswandi lekas meraih. Sepasang matanya lekas menyelisik lebih dalam bundel makalah itu. Ia juga memeriksa tarikhnya. Dalam pandangan Aswandi, makalah yang dijilid bersama milik Korrie Layun Rampan ini hasil sebuah seminar. Aswandi bertanya, dari mana makalah yang ditulis menggunakan mesin ketik didapat. Habibi menjawab, “Ruang arsip kami menyimpan lebih banyak dari ini.” Apalagi yang ditunggu. Habibi membimbing Aswandi menuju Depo Arsip. Tidak banyak atau malah tidak ada pengunjung yang pernah punya kesempatan melihat ruang ini. Letaknya di sayap lain gedung perpustakaan. Sekali pintu kaca itu dibuka, yang terlihat adalah rak-rak besi berisikan kotakkotak cokelat yang berbaris rapi. Jumlahnya cukup melelahkan untuk dihitung. Namun, perhatian Aswandi sudah terbetot pada dua boks yang sudah diturunkan ke meja. Di dalamnya, ada bundel-bundel bersampul kertas padi cokelat.

REDAKTUR: FATIH MUFTIH

“Boleh dibuka, kan ini?” Aswandi meminta izin. Habibi mempersilakan. Yang dibuka Aswandi adalah bundel dari sebuah boks bertuliskan Arsip Hasan Junus 2013. Setahun setelah berpulangnya budayawan prolifik ini, Aswandi “menghasut” Pemprov Kepri agar membeli seluruh koleksi buku dan juga manuskrip-manuskrip milik Hasan Junus. Rayuan maut itu terpenuhi. Dan apa yang sedang ada di hadapan Aswandi adalah hasil hasutannya pada alm. Gubernur Sani waktu itu. Simpul pita sudah terbuka. Aswandi meraih sebuah buku tulis. “Ini sangat penting ini,” katanya sembari membuka lembar demi lembar. Di situ ada semacam catatan harian Hasan Junus, lengkap dengan tarikhnya. Ada pula sebagian lain berupa surat-surat kepada Hasan Junus. Belum lagi manuskrip-manuskrip karya. Baik itu karya sastra terjemahan (spesialisasi Hasan Junus), sampai dengan esai-esai Hasan Junus. Ada pula buku yang berisikan aksara Kanji. Di buku lain, berisikan pula kliping-klipin segala berkenaan sastra dari pelbagai bahasa asing. Kemudian, di sebelahnya diterakan terjemahannya. Dan ... semua itu merupakan tulisan tangan Hasan Junus. Mata Aswandi berbinar-binar. Sudah lama ia mengenal Hasan Junus, namun tidak pernah mampu melihat lebih dalam proses kreatif di sebalik karya terbilang Om Hasan, panggilan akrab Aswandi kepada Hasan Junus. Bagi Aswandi, secara pribadi ini menyenangkan bisa menilik Hasan Junus lebih dekat. Namun, lebih daripada itu, ada banyak hal lain yang bisa terungkap lewat dua boks arsip pribadi Hasan Junus. “Selain tentu saja menerbitkan karya-karyanya yang bersumber dari dua kotak ini,” ungkapnya. Mengintip Proses Kreatif Satu di antara banyak hal yang bisa dituai manis dari terungkapnya dua boks arsip Hasan Junus ini adalah mengintip proses kreatifnya. Siapa meragukan kualitas penulisan seorang Hasan Junus? Rasarasanya nyaris semua penulis di Alam Melayu berhutang-rasa pada budayawan kelahiran Penyengat pada 1941 ini. Boleh dikata, ia adalah juru penerang penulis semasanya agar lebih membuka mata dengan karya-karya sastra dari pelbagai penjuru dunia. Bukan sesuatu yang asing. Mengingat Hasan Junus menguasai sejumlah bahasa asing. Dari manuskrip yang diperlihatkan itu, terlihat betapa fasih seorang Hasan Junus dalam berbahasa Belanda, Jerman, Latin, Jepang, dan sudah pasti Inggris. Jika kebanyakan dari penulis hari ini menerjamahkan dari bahasa Inggris. Hasan lebih gemar menerjemahkan dari bahasa langsung karya sastra tersebut dituliskan. Terlihat, ada kliping artikel-artikel sastra berbahasa asing yang dilekatkan dalam buku tulis kemudian ia menerjmahkan di sebelahnya.

Aswandi mengungkapkan, Hasan Junus tidak begitu piawai dengan peranti ketik elektronik. “Dulu, sering minta dibelikan buku tulis dan pena,” kenangnya. Ketangguhan Hasan Junus dalam menulis juga tersingkap dari boks arsipnya yang masih tersimpan rapi itu. Terlihat di beberapa buku tulis, ada yang terisi penuh. Ia sanggup menulis tangan panjangpanjang, rapi-rapi pula, karya-karyanya. Sebuah cerminan bahwasanya ketersediaan kemajuan teknologi tidak pernah sejalan lurus dengan kualitas satra yang dihasilkan penulis kekinian. Habibi juga tidak kalah kagum mendapati fakta yang terungkap dari boks arsip tempatnya bekerja ini. “Luar biasa memang Hasan Junus ini,” katanya sembari ikut membolak-balik manuskrip Hasan Junus. Selama ini, atau nyaris setengah dekade, manuskrip ini tak pernah tersentuh. Dan kini, bersama orang yang tepat, manuskrip Hasan Junus dibuka bersama Aswandi Syahri. Lebih spesial lagi menyambut Haul Hasan Junus pada 30 Maret nanti. “Saya kira dari sini, bisa ditindaklanjuti dengan penelitian mengenai manuskrip-manuskrip ini. Saya juga yakin ada banyak hal yang bisa diungkap,” ujarnya. Aswandi sepakat. Manuskrip akan tinggal manuskrip jika tidak diteliti untuk kemudian mengungkap sesuatu yang baru. Namun, tidak bisa dalam waktu singkat. Menurut Aswandi, hal pertama yang perlu dilakukan adalah inventarisasi ulang sesuai dengan kaidah yang tepat, kemudian digitalisasi agar manuskrip ini bisa lebih mudah diakses, dan kemudian disalin untuk dilakukan penelitian. “Sangat riskan kalau pakai manuskrip asli, takut rusak,” ungkapnya. Dari sini, Aswandi melihat perlu urun daya dari pemerintah daerah untuk menyatakan dukungan terhadap penelitian manuskrip Hasan Junus. Dinas Kebudayaan atau Dinas Perpustakaan atau Dewan Kesenian, kata dia, harus ambil peduli terhadap manuskrip ini. Memang, diakui Aswandi, ini bukan kerja mudah. Namun, bukan tidak mungkin dilakukan. Kata dia, apalah arti setahun dua jika kelak yang terungkap dari manuskrip Hasan Junus merupakan warisan tak berperi dari seorang budayawan terbesar di alam pikir Melayu Riau yang belum tergantikan sampai hari ini. “Kita berutang budi terlampau banyak dengan Hasan Junus. Entah dengan apa cara paling tepat untuk berterima kasih atas jasa-jasanya,” ucap Aswandi. Jika memang meneliti warisan Hasan ini adalah sepersekian cara mengungkapkan terima kasih, menga tidak untuk diseriusi oleh pemerintah daerah atau pihak swasta yang mau peduli. Pertanyaan paling paripurna: Adakah?*** (fatih muftih)

LAYOUT: DOBBY F


10

hari puisi

MINGGU 25 MARET 2018

Nostalgia Purnama Berpuluh purnama bersarang di ubun-ubun Membuka halaman silam,beraroma kemiyan Mengetuk pintu-pintu sepi Gelombang pasang berdebur Namamu tak hancur Bunga tidur semalam racun Menumbuk bumbu-bumbu ditabur

sajak-sajak ABD. SOFI Seikat Gerhana Musim berdarah di karangka jendela Berkabut keruh Gerimis dan embun berhenti Reruncing sunyi menusuk lancip nadi 2018

2016-2018

TANJUNGPINANG POS Koran Nasional dari Kepri

Setelah Semalam Kita seperti dua orang asing saling menunggu kecemasan musim selanjutnya Memainkan telunjuk arah Mengucap selamat datang pada kenangan Memaksa rindu berhenti Lalu kalimat apa lagi harus ditulis,menyamarkan ini semua Kita duduk dibukit kesunyian Membunuh kata,membagi luka Januari, 2018

Istikhara Aku bimbang antara dua gerbang Selatan dan utara Darah dan arah Luka dan cinta

Mata Layu Beku menatap Janji terucap Menancap ujung tombak berbisa Meracuni darah Sebatang tubuh tergeletak pilu Rindu bergemuruh duka Tumpah dari hampa ke hampa

Doa megembara menyusuri sumudra sajadah Dada ku tekan ,agar nama nyata Siapa dan yang mana? Hanya pada-Mu Tawakal dilayarkan lewat ayat-ayat Sirami kecemasan yang tak beralasan Bunga dan purnama Cahaya dan semerbak

Di ranting-ranting sunyi ia teduh Menjelma malam gulita

Karna kesepian ini tak patut untuk dirawat Datanglah kepada keyakikan yang bulat Lewat petunjuk-Nya.

2016-2018

2018. ABD. SOFI, lahir di Sumenep. Menulis puisi dan cerpen. Aktif di Komunitas Rumah Sajak. Kumpulan puisinya Di Ujung Senja (2015).

Rapper Pantas Memperoleh Nobel Sastra OLEH: TIM HAKKI

Jurnalis, Pengamat Seni

K

ETIKA Bob Dylan dianugerahi penghargaan Nobel Sastra tahun lalu, internet bereaksi dengan panas.Gosip bahwa Dylan dimasukkan ke daftar pemenang oleh komite Nobel sudah muncul sejak 1996. Tapi wacana itu dianggap khayalan semata. Sara Danius selaku Sekretaris permanen Akademi Swedia menanggapi serangan banyak orang atas terpilihnya Dylan, menyandingkan kualitas lirik Dylan dengan pujangga klasik seperti Sappho atau Homer. Dia juga berargumen bahwa puisi dan lagu dulunya adalah satu kesatuan—bahkan, lagu-lagu yang digubah dari puisi panjang Homeri dan Sappho mendahului konsep sastra. Lirik mereka mulai didefinisikan sebagai sastra setelah ditulis dan melewati tradisi lisan. Tentunya karya-karya Dylan muncul di era yang berbeda: vinyl dan buku cetakan. Tetap saja usaha mengkanonisasi Dylan bukanlah hal baru. Buku Christopher Rick rilisan 2003 yang berjudul Dylan’s Visions of Sin berargumen bahwa lirik tulisan Dylan mempunyai kualitas puisi yang sama dengan karya John Keats. Lirik Dylan juga tercantum dalam The Norton Anthology of Poetrydan The Oxford Book of American Poetry. Semua ini meneguhkan kehadiran torehan Dylan dalam kancah sastra Inggris di institusi resmi yang melakukan kanonisasi. Langkah yang serupa juga pernah dilakukan dengan genre hip hop. Buku Tricia Rose rilisan 1994 berjudul Black Noise serta terbitan 1997 berjudul Norton Anthology of African American Literature menyalin rap dari dunia musik ke atas kertas. Rap juga sudah pernah menjadi subyek akademis di departemen African-American Studies di AS sejak era 90-an. Lebih dari itu, sarjana pengkaji budaya pop Lawrence Grossberg mengatakan bahwa rap sudah menganut nilai-nilai posmodernisme sejak 1988. Dalam esainya berjudul “Putting the Pop Back into Postmodernism,” dia berargumen bahwa rap dalam esensinya adalah seni posmodern. Bagi Andrew Warnes, Profesor Sastra Amerika di Leeds University yang mengajarkan album Fear Of A Black Planet milik Public Enemy ke murid S2, rap dan tradisi literatur Afrika-Amerika berhasil menangkap hakikat dari kultur REDAKTUR: FATIH

kulit hitam Amerika. “Tradisi kultur Afrika-Amerika berakar di ekspresi identitas manusia melawan segala tantangan. Inilah esensi dari kultur Afrika-Amerika,” katanya. “Seniman Afrika-Amerika menegaskan haknya untuk tidak hanya eksis, tapi juga merasakan emosi di tengah penindasan berbau rasisme. Kalau disaring menjadi sebuah satu etos, kultur Afrika-Amerika bertemakan pertahanan hidup dan penegasan eksistensi manusia. Anda bisa dengar semua ini dalam musik blues, dalam tulisan Richard Wright, Langston Hughers, dan tentunya di hip-hop.” Lalu bagaimana dengan sikap panitia Nobel terhadap definisi baru yang disebut sebagai sastra? Menurut surat wasiat Alfred Nobel, penghargaan untuk kategori sastra sebaiknya diberikan, “kepada orang yang telah menghasilkan karya luar biasa ke arah yang ideal dalam bidang sastra”. Biarpun penjelasan tersebut sangat terbuka untuk bermacam tafsir, jelas sekali bahwa Young Thug, Lil Wayne atau Drizzy tidak akan memenangkan penghargaan Nobel dalam waktu dekat. Prinsip rapper yang sangat berpusat di diri sendiri dan kerap apolitis tidak akan disukai oleh para akademis yang mencari idealisme sosial dalam hip hop. Elleke Boehmer, profesor sastra dunia dan seorang ahli perihal Penghargaan Nobel dari Oxford University mengatakan kadang-kadang sikap komite Nobel bisa mengejutkan dunia. ”Namun umumnya mereka memberikan penghargaan ke seseorang yang bukan hanya sekedar penulis hebat dengan gaya dan prosa yang jelas, tapi juga mereka yang visinya sesusai dengan keadaan politik saat itu. Tidak jauh berbeda dengan kriteria Penghargaan Nobel Perdamaian.” Produk bentukan dari tradisi dan norma lama, komite Nobel terkadang membuat pilihan yang mengejutkan, misalnya memenangkan Svetlana Alexievitch, seorang jurnalis, untuk kategori Nobel Sastra 2015. Tapi konsep “tradisi” itu lumayan pelik. Tradisi bisa berubah-ubah, tergantung oleh generasi yang memiliki kemampuan untuk mengakses perubahan ini. Selama beribu-ribu tahun di yang memiliki kemampuan ini hanyalah kaum kulit putih yang terpelajar dan kelas menengah dari keturunan Eropa. Memang di

tahun 1986 kemenangan Wole Soyinka berhasil membawa pencerahan untuk Sastra Afrika, tapi belakangan ini penulis ternama asal Kenya, Ngugi Wa Thiong’o gagal menang dua tahun berturut-turut. Sebelum Dylan menang, sastrawan AS yang terakhir kali memperoleh Nobel Sastra adalah Toni Morrison pada 1993. Observasi ini lantas menghasilkan tuduhan bila Panitia Nobel antiAmerika dan berbagai generalisasi tentang literatur Amerika di 2008 oleh sekretaris permanen Akademi Swedia Horace Engdahl. Apresiasi mutu lirik dalam rap, di sisi lain, lumayan problematis. Seniman paling idealis sekalipun akan kesulitan membenarkan penggunaan kosa kata berbau homofobik, misoginis dan rasialis. Eminem sering sekali menggunakan kata “faggot”, sementara sesudah grup NWA bubar, penggunaan kata ”nigga” yang lebih ramah belum juga tidak diterima semua orang. “I Don’t Wanna Be called Yo Nigga” milik Public Enemy dicibir karena penggunaan kata Nigga yang mencolok. Pada 2014, rapper Swiss dari So Solid Crew merilis sebuah lagu yang memperingatkan risiko penggunaan kata “nigga” mengingat konteks sejarah yang kelam di belakang julukan rasis ”nigger”. Belum selesai dengan perdebatan semantik ini, ada juga debat seputar misoginis yang sangat berkaitan erat dengan genre hip hop. Kendrick Lamar sebagai rapper paling ternama di era kepemimpinan Presiden Barack Obama, mengeluarkan album yang ditelaah banyak orang dan mampu menginspirasi demonstrasi pro-kulit hitam dan anti kekerasan polisi. Biarpun begitu, banyaknya penggunaan kata-kata kasar di lagu “Bitch Don’t Kill My Vibe,” membuat komite Penghargaan Nobel berpikir ulang menganugrahkan penghargaan sastra kepada Lamar. Perlu diingat juga bahwa karya Lamar cenderung jinak ketika dibandingkan dengan pemenangpemenang Nobel sebelumnya. Hanya dengan sekilas melihat daftar pemenang, anda akan menemukan kontroversi demi kontroversi. Puisi The White Man’s Burden karya Rudyard Kipling merupakan panggilan jingoistik untuk imperialisme kulit putih. Debat yang rumit pun masih kerap terjadi seputar elemen anti-semit dari karya penyair T S Eliot. Artinya

sebagian pemenang Nobel Sastra sebetulnya tidak selalu menggambarkan arah yang “ideal”. Dan biarpun penggunaan bahasa di hip-hop kerap terdengar kasar, lirik rap juga memiliki kemampuan membuat melongo pihak-pihak yang menyebut penghargaan sastra sebagai versi KW anugrah Nobel Perdamaian. “Emangnya pemenang Nobel harus selalu figur yang sopan?” kata Warnes dari Leeds University. “Sudah jelas jawabannya tidak. Rapper harus kontroversial, menantang dan provokatif untuk bisa menjadi figur penting. Apabila nuansa mesum dalam lirik hip-hop dianggap sebagai masalah yang menghalangi rapper mendapatkan hadiah Nobel, saya tidak bisa setuju, karena ini seakan mengandaikan setiap pemenang Nobel harus sopan dan berperilaku baik. Kalau asumsi itu benar, berarti penghargaan Nobel sudah kehilangan gairah

susastra. Padahal sastra tidak bisa dipaksa selalu sopan.” Sesungguhnya, tantangan utama seniman rap sebelum bisa memenangkan penghargaan Nobel adalah tradisi seni ini yang masih seumur jagung. Bob Dylan menduduki peringkat teratas tangga lagu populer, jauh sebelum popularitas musik folk menyebar luas keluar dari New York. “Kalau seperti itu kriterianya,” kata Boehmer, “Berati harusnya seorang rapper bisa menang Penghargaan Nobel apabila dia mempunyai diskografi karya yang cukup dan bertahan selama empat atau lima dekade. Liriknya juga harus mempertahankan kualitas dan ketajaman sosial. Tapi sepertinya kita belum sampai di titik tersebut. Saya belum kepikiran satu rapper yang bisa memenuhi kriteria seberat itu.” Bagaimanapun Boehmer setuju kalau rap memiliki banyak kesamaan dengan puisi. “Banyak puisi keluar dari tradisi lagu dan tradisi rakyat, dan yang

menarik tentang tradisi kuno adalah bagaimana rima berfungsi untuk mengelem beberapa makna yang berbeda, atau membantu kita mengingat puisi atau lagu. Anda bisa melihat bagaimana rapper menerapkan tradisi ini dalam karya mereka.” Kecenderungan Panitia Nobel menilai sebuah karya selama ini menjadi masalah untuk budaya hip-hop. Lagu-lagu balada Dylan seperti “Boots of Spanish Leather” masih masuk ke dalam kriteria meteran sajak iambik sementara flow rap secara intrinsik erat dengan dentuman beat dalam musik hip hop. “Ketika lirik rap anda taruh ke atas kertas, ada yang hilang,” kata Warnes. “Lagunya direduksi menjadi sesuatu yang kaku, dipersembahkan sebagai puisi—masalahnya itu bukan puisi, itu lirik pengiring dance. Kalau anda memaksakan ide bahwa penulis lirik hip-hop harus bisa menulis seperti penyair, bukankah implikasinya berarti mereka bukan penulis lirik hiphop, tapi penyair? Ini dua konsep yang berbeda.” Kesimpulannya, di atas kertas rap berpeluang memenangkan Penghargaan Nobel Sastra suatu hari nanti. Chuck D, Ice Cube, Rakim, Kendrick, Killer Mike, Kano, Mike Skinner, Little Simz dan masih banyak lagi, sudah merintis deretan karya yang sesuai dengan kriteria “arah yang ideal” menurut Akademi Swedia. Hanya saja kita butuh beberapa dekade lagi sebelum para punggawa hip hop ini masuk pertimbangan para juri. Apakah pengakuan dari komite berisi orang-orang tua masih ada artinya di masa depan? Lagipula, momen pengunjuk rasa di AS menyanyikan lirik “Alright” karya Kendrick di saat terlibat aksi antikekerasan polisi atau massa anti-Trump meneriakan “T5” karya Swet Shop Boys saat menolak larangan muslim masuk AS lebih menangkap esensi semangat musik rap. Hadirnya rap sebagai alat perlawanan semacam itu lebih baik dibanding sekedar rapper memperoleh penghargaan seni yang kesannya adiluhung. Alhasil, daripada menyesuaikan estetika hip-hop demi mendapat penghargaan sastra, kita mesti minta setiap panitia penghargaan seni menerima cara pandang musik rap mengekspresikan dirinya. Saya mikirnya sih seperti itu.*** LAYOUT: SYAFRINALDI


11

niskala

MINGGU 25 MARET 2018

Yang Terus Mengalir dalam Pikiran Cerpen: Boni Chandra

TANJUNGPINANG POS Koran Nasional dari Kepri

candubuku

yang terpenting bagi seorang seniman – hendak ia menjadi seperti ikan paus biru: terus tumbuh tiada berhenti membesar sampai mati. Hasan Junus Budayawan

LIMA BUKU MONUMENTAL HASAN JUNUS

Sungai ini masih mengalir. Seperti iringan kereta yang melintasi rel tanpa henti. Apa kau ingin menjumpai seseorang di balik sana? Atau sekedar menyaksikan raut wajah, yang ingin kau kenang di malam tiba? Baiklah. Kau mesti meyimak cerita. Meski tak separuh waktu yang kuhabiskan saat mendengarnya.

30 Maret 2018 ini, tepat enam tahun berpulangnya Hasan Junus, budayawan besar Kepulauan Riau. Warisan intelektual yang ia tinggalkan adalah “harta karun” yang harus dijaga selamanya. Buah dari kerja intelektualnya adalah puluhan buku-buku tentang sejarah, sastra dan kebudayaan Melayu yang dengan gemilang ia hasilkan sepanjang 71 tahun hidupnya. Berikut Lima Buku Monumental karya Hasan Junus di antara puluhan buku lainnya:

P

ERTAMA, kau mesti datang, lalu menjadi santri. Di sini, telah disediakan asrama untuk ditinggali

selama kau menjadi santri. Jangan pikirkan bahwa kau akan menemukan seseorang yang tangannya bebas kau gandeng di area pesantren. Sebagai lelaki, kau mesti tinggal di Asrama Putra, selayaknya perempuan yang menetap di Asrama Putri. Kau tidak akan bisa mengenali santriwati, terlebih menemuinya. Kau harus tahu bahwa kompleks ini telah dirancang secara khusus. Persis lingkaran yang dibelah aliran sungai. Di sisi barat adalah hutan. Di sisi timur perumahan. Kau akan memasuki setengah lingkaran dari utara. Sementara separuh lainnya dari selatan, pintu masuk bagi perempuan. Jangan pikirkan bahwa kau bisa menjumpainya di hutan atau perumahan. Kau hanya bisa meninggalkan kompleks pesantren dengan tujuan yang jelas. Atau, kau bersikeras keluar dengan alasan membeli pakaian atau mencari buku-buku? Tidak. Itu tak akan berlaku. Di sini, hampir semua kebutuhanmu tersedia. Jadi tak ada alasan lain bila kau ingin keluar—kecuali untuk kepentingan dakwah. Sungai ini masih mengalir. Seperti iringan musik pada lirik yang dinyanyikan tanpa henti. Pagi ini, aku kembali. Mencari pemilik suara yang lama bersarang dalam pikiran. Dengar. Kau mesti mendengarkanku untuk mengetahui sebuah kisah yang belum sudah. Dulu, semasa menjadi santri, telah kuhabiskan waktuku di sepanjang sungai yang membatasi. Semula merintang hari. Setelahnya, aku ingin mengetahui kenapa ada pagar tembok di seberang sungai. Lalu terdengar kecipuk—yang kuketahui kemudian, adalah lemparan kerikil dari seseorang yang sedang iseng, yang gemar bersenandung di balik tembok seberang sungai. ‘Indung-indung kepala lindung Hujan di udik, di sini mendung...’ Aku mendengarnya, terkesima. ‘Duduk goyang di kursi goyang Duduk subuh hampir siang...’ Aku mendengarnya, mengucap salam lalu menyapa. ‘Kau siapa?’ ‘Aduh aduh Siti Aisyah Mandi di kali rambutnya basah...’ Aku terus mendengarnya, bersikeras berbicara. ‘Namaku Alif. Umurku sembilan belas tahun. Aku dari Padang. Aku boleh mengenalmu? Melihatmu setidaknya.’ ‘Wahai pemuda jangan durhaka Mata melirik seperti buta Tiada daya tiada upaya Melainkan tuhan Yang Maha Esa.’ *** Sungai ini masih mengalir. Seperti suarasuara di wawancara. ‘Dengar. Kemarin, aku sudah memperkenalkan diri. Aku ingin mengetahui namamu, usia dan negeri asalmu.’ Aku ingin mendengar. Tapi tak ada suara REDAKTUR: FATIH MUFTIH

lain kecuali kecipuk sungai di sepanjang mata memandang. ‘Baiklah. Kau sedikit pemalu, aku tahu. Tapi bila kau ingin tahu, aku sedang mengenakkan kemeja berwarna biru. Tinggiku seratus tujuh puluh. Tak kurus. Tidak pula kegemukan. Pada wajahku ada bintik-bintik merah. Apa kau ingin mendengar yang lain? Baiklah. Aku akan menceritakannya lebih rinci. Tapi sebelumnya, aku ingin tahu bagaimana rupamu, warna kerudung yang sedang kau kenakkan dan...’ ‘Aku tak sebaik yang kau pikirkan. Tapi tak pula seburuk yang kau bayangkan.’ Aku menarik napas, menengadah, lalu menghembuskan napas dan menyimpan kesabaran di dalam dada. ‘Oh. Baik. Bila begitu, aku ingin meminta pandanganmu tentang satu hal. Misalnya...’ Aku memandangi sungai yang airnya terus mengalir, daun-daun yang berjatuhan ke dalamnya, dan sebuah pagar tembok di seberangnya. ‘Menurutmu, kenapa pagar itu dibuat sedemikian tinggi?’ ‘Tingginya hanya tiga meter.’ ‘Dalam pengamatanku, ya. Tapi, untuk apa?’ ‘Karena kita dilarang untuk saling memandangi.’ ‘Lantas, kenapa pagar itu dibangun di seberang sana?’ ‘Kau bisa memanjatnya, lalu dapat memandangku bila dibangun di sebarang sana.’ ‘Hoho. Tapi aku masih bisa menyeberangi sungai dan merobohkan pagar itu untuk memandangmu.’ ‘Oh, ya? Bukankah kau pernah mendengarnya. Siapa yang menyeberangi sungai, akan hanyut, lalu tenggelam di lautan dosa.’ *** Sungai ini masih mengalir. Seperti putaran bumi yang mengelilingi matahari.

Sungai ini masih mengalir. Seperti iringan musik pada lirik yang dinyanyikan tanpa henti. Pagi ini, aku kembali. Mencari pemilik suara yang lama bersarang dalam pikiran...”

Bila siang di waktu senggang, mendengarkan suara tanpa rupa. Bila bulan telah temaram, mengenang suara membayang rupa. ‘Ah, kau terlalu banyak cerita.’ ‘Tapi, bukankah kau menikmati ceritaku? Kau menanggapinya, dan dengan begitu, aku bisa membayangkan wajahmu lewat suara, melukisnya kemudian, lalu dapat kupandangi sepanjang malam.’ ‘Kau mendengarku? tanyaku. Tapi tak jawaban, dan sejak itu...’ “Tunggu. Tahan dulu ceritamu,” katamu, lalu merogoh saku. Beberapa saat kemudian, kau telah mengeluarkan telepon genggam seraya melangkah, berusaha menjauh meski aku bersikeras mendekat. “Assalammualaikum, Bu.” “Dengar. Di pesantren itu, ada sebuah sungai yang memisahkan asrama lelaki dan perempuan.” Aku mendengarnya. Suara itu... “Bila suatu hari kau mendengarkan suara-suara yang kau suka, kau mesti menemuinya. Sesulit apa pun, kau harus menemuinya seperti yang dulu ayahmu lakukan. Jangan seperti santri lain, yang pasrah menunggu takdir tanpa melakukan apa pun. Ingat. Kau tak perlu banyak bicara bila kau memang suka. Di sana ada satu pintu rahasia...” Ah, kau terus melangkah dan aku mulai enggan mengikuti. “Baik, Bu. Setelah menyelesaikan pendidikan, saya akan membawakan menantu yang baik untuk ibu. ya. Baik, Bu. Waalaikumsalam...” Kau memalingkan wajah. “Aku sudah mendengar ceritamu,” katamu, setelah mengembalikan telepon genggam ke dalam saku. Sambil berjalan, “Apa selanjutnya?” “Kedua, kau mesti menemukannya untuk ibumu, lalu memulai kisah baru dan menceritakannya hingga tuntas.” “Apa kau yakin? Bukankah kau telah menghabiskan separuh hidupmu untuk mencari suara yang kau damba. Dan sampai kini, kau tak kunjung bisa menemukannya. Bagaimana jika...” “Sungai ini akan selalu mengalir. Tapi seperti kata ibumu, suatu hari, kau akan menemukan sebuah pintu untuk menjumpai seseorang di balik sana. Kau akan mampu menangkap wajahnya, lalu membawanya pulang bersama sebuah kisah yang kau tuliskan.” *** Sungai ini enggan mengering. Seperti kata-kata yang tak akan pernah habis dalam cerita. Kau tak akan pernah tahu. Itu separuh cerita dari sebuah kisah yang belum sudah. Dan, suara perempuan yang kau panggil ibu, telah berperan besar memutus kisahku. Ya. Perempuan itu telah pergi, selamanya, sebelum usai cerita.*** BONI CHANDRA, Lahir di Payakumbuh, 25 Juli 1989. Menulis cerpen dan cerita anak. Sering menjuarai kompetisi menulis. Sekarang tinggal di Makassar.

1.

Raja Ali Haji Budayawan di Gerbang Abab XX

2.

Raja Haji Fisabilillah Hanibal dari Riau, buku biografi politik Raja Haji.

3. Engku Puteri Raja Hamidah Pemegang Regalia Kerajaan Riau, (2002)

4. Karena Emas di Bunga Lautan Sekumpulan Esei-Esei Sejarah (2002) 5. Buku Dari Saudagar Bodoh dan Fakir yang Pintar Menuju ke Sastra yang Mendunia (1997)

LAYOUT: DOBBY F


12

perada

MINGGU 25 MARET 2018

TANJUNGPINANG POS Koran Nasional dari Kepri

Sjair Boerong Gubahan Raja Hasan ibni Raja Ali Haji

S

KUTUBKHANAH

EJAK abad ke-16, masnawi (sejenis puisi dalam kesusastraan Parsi) berjudul Mantiq at-Tayr atau ‘Musyawarah Burung’ karya Faraduddin Attar telah mempengaruhi penciptaan syair-syair agama karya para sufi penyair di Alam Melayu yang kaya dengan pembayang-pembayang simbolisasi pencarian manusia akan Tuhannya. Di Alam Melayu, masnawi karya Attar itu hadir ‘secara langsung’, atau melalui perantaraan Syair Si Burung Pinggai karya penyair sufi asal Barus, Hamzah Fansuri. Di Kerajaan RiauLingga, syair ‘musyawarah para burung’ itu juga hadir dalam versi yang lain pada pertengahan abad ke-19 melalui Syair Burung, karya Raja Hasan ibni Raja Ali Haji yang berasal dari Pulau Penyengat.

KOL OM OLOM

ASWANDI SYAHRI

Sejarawan Kepri

Manuskrip dan Litografi Satu-satunya manuskrip Sjair Boerong dalam bentuk salinan yang diketahui keberadaannya, kini ada dalam simpanan Perpustakaan Universitas Leiden (Universiteitsbibliotheek) di Negeri Belanda. Teuku Iskandar dalam volume pertama Catalogue of Malay, Minangkabau, and Sout Sumatran Manuscripts in The Netherlands (1999: 742), mencatatnya sebagai bagian dari koleksi manuskrip Melayu milik H.C. Klinkert dengan nomor katalogus KI. 171. Manuskrip ini adalah bagian dari sekumpulan manuskrip Melayu yang dikumpulkan, atau tepatnya dibeli, oleh H.C. Klinkert selama ia bermastautin di Negeri Riau, Tanjungpinang, sempena mempelajari bahasa Melayu dan memperbaiki terjemahan kitab Injil ke dalam bahasa Melayu pada tahun 1869. Menurut catatan Klinkert, yang tertera pada halaman judulnya, syair ini pada mulanya adalah milik Majlis Injil Belanda (Eigendom van Het Nederl. Bibel Genootsch), yang kemudian diserahkan kepada Perpustakaan Universitas Leiden: Klinkert membelinya di Tanjungpinang seharga f 3.50. Salinan manuskrip ini ditulis pada lembaran kertas kertas Eropa berwarna biru muda (dengan tanda air S & M SMITH & MEYNIER FIUME) yang dijilid dan telah diberi kulit karton tebal ukuran 20,5 x 16,5 cm. Kesuluruhan isi syair ini ditulis dalam format dua kolom pada 48 muka surat menggunakan tinta hitam. Tulisan tangannya kemas dan jelas terbaca. Sebagaimana catatan H.C. Klinkert pada halaman judulnya, pengarang atau tepatnya penggubah (opgesteld) syair ini adalah Raja Hasan ibni Raja Ali Haji dari Pulau Penyengat yang menggubahnya pada tahun 1859: Opgesteld door Radja Hasan zoon van Radja Ali Hadji van Penjingat in 1859. Kecuali judul syair yang ditulis menggunanakan tulisan rumi ejaan lama, Sjair Boeroeng; seluruh isi syair ini sejak dari awal hingga bagian

DOK. ASWANDI SYAHRI

Halaman pertama Sjair Boerong gubahan Raja Hasan ibni Raja Ali Haji koleksi Universiteitsbibliotheek Leiden.

penghabisannya ditulis menggunakan huruf Arab Melayu atau tulisan Jawi. Selain dalam bentuk manuskrip, Sjair Boerong karya Raja Hasan juga ditemukan dalam format edisi cetak litografi (teknik cetak batu: sejenis teknik cetak offset yang sangat kuno) dengan judul yang lain. Ian Proudfoot dalam Early Malay Printed Books (1992: 532), mencatat dua eksemplar versi lain Sjair Boerong dengan judul Syair Unggas Soal Jawab yang kini berada dalam simpanan Perpustakaan Nasional Republik Indonesia di Jakarta dan perpustakaan School of African and Oriental Studies (SOAS) di London, Inggris, sebagai buah karya Raja Hasan dari Negeri Riau, Pulau Penyengat. Informasi bibliografis yang disuguhkan oleh Proudfoot menyebutkan edisi litografi tersebut disalin oleh Husain bin Musa Terengganu Tukang. Salin tersebut kemudian diterbitkan oleh Syaikh al-Hajj Muhammad Nuh bin Haji Ismail ahl al-Badawi Juwana di daerah Kampung Kalang Lorong Luaran, Kawasan Masjid Sultan Ali, Singapura. Syair Burung dalam format litografi yang juga ditulis menggunakan huruf Arab Melayu ini berukuran 20 x 15 cm, dengan tebal 43 halaman. Verisi litografi syair ini selesai dicap atau dicetak pada hari Khamis 10 Zulkaedah 1289 AH bersamaan dengan 9 Januari 1873 CE. Raja Hasan ibni Raja Ali Haji Silsilah Upu Bugis-Melayu yang disusun oleh Raja Adnan bin R.H.

Salman (1985: 7), mencantumkan susur galur Raja Hasan sebagai anak Raja Ali Haji, pengarang Gurindam 12, dengan istrinya yang benama Raja Halimah binti Raja Jakfar Yang Dipertuan Muda Riau ke-VI (1808-1832). Raja Hasan adalah satu-satunya anak laki-laki Raja Ali Haji dengan Raja Halimah. Selain Raja Sulaiman atau Raja Bih, Raja Hasan adalah salah satu dari dua anak laki-laki Raja Ali Haji yang mengikuti jejaknya dalam dunia persuratan Melayu abad ke-19. Di mata Raja Ali Haji, Raja Hasan adalah anak laki-lakinya yang menempati tempat istimewa sebagai anak kesayangan. Ia memang telah dipersiapkan untuk menggantikannya sebagai cendekiawan Islam dan dalam kerja tulis-menulis kelak di kemudian hari. Tentang harapannya kepada Raja Hasan, Raja Ali Haji menjelaskan dalam sepucuk surat bertarikh 28 Maret 1870 yang ditujukannya kepada Hermaan von de Waal di Tanjungpinang. Ketika itu Raja Hasan sakit, dan dalam suratnya Raja Ali Haji melauahkan isi hatinya kepada Von de Wall: “… Sebab pun demikian itu, karena itulah anak yang boleh diharapkan boleh menggantikan saya barang satu pekerjaan saya, baik pada hal ikhwal pengajian, atau pada pekerjaan lainnya yang khas pada pekerjaan saya. Maka dari karena inilah, apabila ia mendapat suatu kesusahan, saya pun susah jugalah. Karena banyak pekerjaan saya tertahan karenanya, adanya.” Raja Ali Haji sememangnya melibatkan Raja Hasan dalam kerja-kerja literasi dan aktivitas intelektualnya. Begitu juga ketika ia membantu von de Wall menyusun kamus Bahasa MelayuBahasa Belanda di Tanjungpinang. Perihal keterlibatan Raja Hasan dalam kerja-kerja intelektual Raja Ali Haji dengan von de Wall dijelaskan dalam sepucuk surat Raja Ali Haji kepada Von de Wall bertarikh 9 Februari 1868: “… Maka lepas Ramadan ini pula memulai juru2 tulis menyurat tiada berhenti. Adalah yang menjaganya dan memeriksanya supaya bersamaan dengan burangan yang saya perbuat itu, serta menjagai lebih kurangnya huruf kalimahnya, yaitu anak saya sendiri yang sudah dapat ilmu sedikit2 di dalam pelajaran yaitu Raja Hasan…”

DOK. ASWANDI SYAHRI

Syair Unggas Soal Jawab: Halaman awal versi lain Sjair Boeroeng karya Raja Hasan dalam format cetak litografi koleksi Perpustakaan Nasional Republik Indonesia.

REDAKTUR: FATIH MUFTIH

Gubahan Raja Hasan Satu-satunya informasi tertulis tentang Raja Hasan ibni Raja Ali Haji sebagai penggubah Syair Burung adalah sepenggal catatan bibliografis oleh H.C. Klinkert pada halaman judul salinan syair itu. Belum ada penjelasan dan sumber lain yang dapat membantah catatan Klinkert tersebut. Analisis-analisis filologis tentang syair

ini yang dipaparkan oleh V.I. Braginsky dalam Yang Indah, Berfaedah dan Kamal Sejarah Sastra Melayu Dalam Abad ke 7-19 (1998: 516-524) juga memberikan informasi tambahan yang memperkaya pengetahuan kita tentang penggubah syair ini. Menurut Braginsky, Sjair Boerong karya Raja Hasan, adalah salah satu varian dari resensi kedua dalam kelompok pendekatan kedua dan model adaptasi penyair-penyair Melayu terhadap masnawi berjudul Mantiq atTayr karya Faraduddin Attar. Namun berbeda dengan resensi pertama, seperti Syair Si Burung Pinggai karya Hamzah Fansuri atau Syair Bayan Budiman yang lebih mendekati karya Attar, maka Syair Burung karya Raja Hasan, dan semua syair burung yang sejenisnya dengannya tidak begitu membicarakan ajaran tasawuf dan pencarian Tuhan oleh anak manusia yang dilambangkan dengan Simurgh, Burung Pinggai, atau Phoenix. Ianya lebih kepada percakapan atau soal-jawab tentang hukum Islam (fikih), iman, Islam, tauhid, hakikat, dan makrifat. Bgraginsky juga menemukan bahwa Sjair Boerong yang paling tua sebagai hasil salinan syair yang lebih tua lagi (sejenis dengan Syair Burung karya Raja Hasan) adalah berasal dari tahun 1826, dan kini tersimpan di Paris. Oleh karena itu, Braginsky menyimpulkan bahwa Raja Hasan bukanlah pengarang asli Sjair Boerong. Yang lebih mungkin, ia hanya menyalin salah satu naskah resensi kedua, atau menggubah salah salah satu variannya. Braginsky menambahkan, “dalam sastra Melayu tradisional kedua prose tersebut hampir sama belaka”. Semua watak dalam syair ini adalah burung, yang dalam khazanah tradisi sastra sufi merupakan personifikasi dari roh manusia atau manusia dalam arti yang sesungguhnya. Hal ini jelas dinyatakan oleh Raja Hasan dalam salah satu bait pembuka syairnya: Itulah masa sahya mengarang/ Daripada duduk seorang-orang/ Menulis bukan sebarang-barang Unggas tu seperti umpama orang. Terdapat lebih dari tiga puluh burung yang memainkan peran dalam bersoal-jawab perkara-kara iman dan ilmu agama dalam Sjair Boerong ini, seperti: burung Helang, burung Dewata, burung Jantayu, Merpati, Murai, Bayan, Baladu, Ketitiran, Tiung, Merak, burung Rawa, Belatuk, Punai, Camar, Gagak, Cendrawasih, burung Pergam, burung Nuri, dan lain sebagainya. Dari semua burung itu, maka burung Nuri adalah yang utama dan yang terpandai. Teuku Iskandar ( 1996: 567) memperkirakan bahwa Nuri yang menjadi salah satu watak utama dalam syair ini adalah perlambang nur, dalam pengertian, Nur Muhammad. Ia juga menambahkan bahwa isi Sjair Boerong gubahan Raja Hasan tak terlalu berbeda dengan isi Syair Siti Sianah karya Raja Ali Haji. Dalam Syair Burung karya Raja Hasan, pembukaan kisah para burung bersoal-jawab perkara ilmu dan agama ini diawali dengan dengan bait syair sebagai berikut: Adalah konon suatu cerita / Sekalian unggas dari angkasa / Pandai bermadah berkata-kata / Bersoalkan ilmu supaya nyata. Sebagai ‘pembuka kata’ dalam soaljawab para burung ini dimulai oleh burung Helang dengan mengemukakan pentingnya berguru mengaji agama ketimbang risau memikirkan harta, yang kemudian disahut oleh burung Dewata. Akhir keseluruhan syair yang terdiri dari lebih 432 bait syair ini ditutup dengan bait syair sebagai berikut: Terbanglah puntu tinggi mengawan / Terbang mencari saudaranya tuan / Sahya menyurat tiada ketahuan / Habislah sudah ceritanya tuan.*** LAYOUT: SYAFRINALDI


perada

TANJUNGPINANG POS Koran Nasional dari Kepri

MINGGU 25 MARET 2018

13

Suka-Duka Segantang Lada Bagian Kedua dari Tiga Tulisan

M

JEMALA

KOLOM ABDUL MALIK

REDAKTUR: RAMON DAMORA

AU tak mau, suka tak suka, apa pun cabarannya, aktivi tas berlayar ke Singapura tetap mereka laksanakan dan tetap tanpa dokumen resmi. Pasalnya, jika aktivitas itu menggunakan dokumen resmi malah mendatangkan kerugian karena muatan yang mereka bawa tak seberapa (1—3 ton). Sejak itu, sekira tahun 50-an, aktivitas perdagangan antarpulau dengan tujuan Singapura itu, oleh masyarakat tempatan, disebut dan dikenal dengan istilah smokel. Secara umum, kita mengenalnya dengan istilah penyelundupan. Setelah aktivitas berlayar ke Singapura tanpa dokumen resmi menjadi terlarang, para pesmokel harus berhadapan dengan polisi perairan, patroli bea cukai, dan aparat lain yang terkait dan tak terkait juga, yang penting aparat. Dengan kata lain, jika melakukan aktivitasnya, para pesmokel akan ditangkap dan diancam hukuman penjara. Namun, sering juga terjadi permainan pungli (pungutan liar) dalam arti pesmokel tak ditangkap, tetapi harus menyerahkan sejumlah uang kepada oknum aparat yang menangkap mereka. Kenyataan seperti itu menjadi pemandangan yang biasa di daerah perbatasan, khasnya perbatasan laut antara Kepulauan Riau (Indonesia) dengan Singapura dan Malaysia. Tak semua orang sanggup membayar sejumlah uang yang diminta oknum aparat tersebut karena barang bawaan mereka memang sedikit sehingga mereka harus rela ditangkap dan dipenjara. Sering pula terjadi peristiwa kejarkejaran antara kapal patroli perbatasan dan para pesmokel, bahkan sering dilakukan penembakan oleh kapal patroli tersebut. Dalam situasi seperti itu, ada juga pesmokel yang mati tertembak atau perahu mereka tenggelam di laut. Walaupun maut sebagai taruhannya, aktivitas bersmokel tetap dilakukan oleh masyarakat. Pasalnya, barang-barang yang mereka bawa mendapatkan harga yang jauh lebih tinggi di Singapura karena dibayar dengan mata uang dolar Singapura, sedangkan barangbarang keperluan sehari-hari yang mereka beli di Singapura jauh lebih murah daripada harga barang yang sama di kampung mereka masingmasing.

Ancaman lain yang juga sering mengintai adalah terpaan angin ribut (topan) dan amukan gelombang. Perahu kecil yang sarat muatan memang sangat riskan berhadapan dengan terpaan ribut dan hempasan gelombang. Dalam pada itu, tak jarang terjadi perahu-perahu pesmokel terlanggar (tertabrak) oleh kapal-kapal kontainer yang berlalu-lalang di daerah perbatasan itu. Pasalnya, perahu-perahu pesmokel berlayar pada waktu malam dan tak menggunakan penerangan apa pun—jika menggunakan penerangan mereka akan sangat mudah ditangkap oleh patroli laut—sehingga mereka tak terlihat oleh nakhoda kapal yang melintas di sana. Jika terjadi peristiwa terlanggar oleh kapal-kapal besar itu, mautlah taruhannya. Dalam perkembangan selanjutnya, aktivitas bersmokel tak lagi menggunakan perahu layar. Pasalnya, gerak perahu layar yang lambat menyebabkan pesmokel sangat mudah ditangkap oleh patroli laut. Dimulailah bersmokel dengan menggunakan perahu bermotor. Di samping lebih cepat, muatannya pun menjadi lebih banyak sampai dengan 5—10 ton sesuai dengan kapasitas perahunya. Walaupun begitu, yang berlayar dengan muatan hanya 1—3 ton masih tetap ada walaupun sekarang mereka tak lagi menggunakan perahu layar. Jenis barang yang dibawa pun ada penambahan, terutama rokok kretek Indonesia, yang banyak peminatnya di negeri jiran dan harganya cukup mahal di pasar gelap Singapura jika dibandingkan dengan harga di Kepulauan Riau. Dalam hal barang yang terlarang juga dibawa ke Singapura itu, pesmokel tak hanya berhadapan dengan aparat Indonesia, tetapi juga aparat Singapura. Akan tetapi, itu tadi, apa pun cabarannya, pekerjaan smokel itu tetap dilakukan oleh sebagian masyarakat Kepulauan Riau untuk mendapatkan harga jual barang mereka yang lebih

tinggi, sebaliknya harga beli barangbarang keperluan sehari-hari yang lebih rendah. Setelah barang-barang elektronik buatan Tiongkok dan Indonesia serta barang-barang perabot rumah tangga yang didatangkan dari Jakarta dan atau kota-kota lain di Pulau Jawa membanjiri pasar Kepulauan Riau dan harganya mulai terjangkau oleh masyarakat, aktivitas smokel tak lagi membawa barang-barang seperti itu yang dibeli di Singapura. Akan tetapi, barang-barang keperluan hidup sehari-hari tetap dibawa karena harganya jauh lebih murah jika dibandingkan dengan yang dijual di pasar-pasar se-Kepulauan Riau, yang didatangkan dari Pulau Sumatera dan Pulau Jawa. Sisa lebih dari penjualan barang yang dibawa ke dan dibeli di Singapura tentulah uang dolar Singapura. Itulah yang dibawa pulang oleh para pesmokel untuk dibelanjakan untuk pelbagai keperluan hidup mereka sehari-hari. Pendek kata, sesiapa pun yang berani melakukan aktivitas bersmokel kehidupannya relatif lebih sejahtera dibandingkan dengan orang-orang yang tak berani melakukan aktivitas berlayar yang terlarang itu. Menariknya lagi, smokel tak dianggap kejahatan oleh masyarakat Kepulauan Riau umumnya karena mereka mengacu pada keberadaan Kepulauan Riau dan Singapura pada masa lalu. Lebih daripada itu, tuntutan kehidupanlah yang membuat mereka masih tetap bersmokel. Dalam hal ini, tak ada pasar setempat yang membeli produk masyarakat dengan harga yang sebanding dengan pasar Singapura. Dengan latar kehidupan smokel itulah, Irwanto menjalinkan kisah seorang pemuda Kepulauan Riau, Yunus. Tak hanya suka-duka dan perjuangan Yunus berniaga secara gelap (smokel) itu saja yang diperikan, tetapi juga kisah cinta Yunus terhadap Tini, gadis Singapura. Dara pujaannya itu bukan pula sebarang gadis. Dia anak bos besar (orang yang menampung barang-barang)-nya di Singapura. Batin pemuda pulau itu berkecamuk. Bahkan, dia sampai berniat kalau Tini menerima cintanya dan direstui oleh ayahnya, smokelnya kali itu merupakan smokel terakhirnya, yang untuk selanjutnya dia akan berkunjung ke Singapura dengan menggunakan paspor pelancong (turis). Tentulah untuk melamar Tini. Sampaisampai, karena cintanya, Yunus berniat juga untuk pindah warga negara, menjadi warga negara atau sekadar penduduk tetap Negeri Singa itu. Duh, siapakah yang menyangka ternyata cinta Yunus tak bertepuk sebelah tangan? Rupanya, Tini juga mencintainya. Tuah ayam pada kakinya, tuah manusia pada nasibnya. Setelah mengetahui itu, dengan hati yang berbungabunga, dada berdebardebar, perasaan yang berkecamuk cinta; dia berlayar dari Singapura menuju kampungnya. Namun, apakah yang terjadi? Dalam perjalanan pulang dengan membawa sejuta harapan hidup bahagia bersama Tini pada hari-hari depannya, Yunus tenggelam di laut: entah terlanggar kapal kontainer, entah sampannya tertembus peluru aparat, entah tertelan gelombang malam; tak seorang pun yang tahu. Begitulah dahsyatnya cinta. Tini masih beranggapan bahwa kekasih hatinya itu masih hidup, yang akan mem-

bawanya turun dari rumah susun yang ditempatinya di Singapura selama ini untuk melancong menikmati keindahan tempat-tempat di Kepulauan Riau atau di mana pun secara leluasa, berdua. Tak mungkin seorang Yunus, Si Pesmokel hebat dari pulau itu, akan mudah tenggelam di laut. Lagi pula, peristiwa seperti itu bukan kali pertama dialami oleh Yunus. Tini percaya bahwa Yunus akan muncul hidup di salah satu pulau tak jauh dari kejadian itu. Dan, dara jelita menurut penilaian Yunus itu tetap tabah dan sabar mengikuti berita tentang Yunus seraya membayangkan kehidupan bahagianya bersama Si Pesmokel Ulung Yunus dari Kepulauan Riau. Memang, smokel menyimpan kisah suka dan duka yang tiada berhingga. Aktivitas itu pun telah menjadi budaya masyarakat Kepulauan Riau karena faktor historis dan hubungan genetis. Jonni Pakkun, dalam kumpulan ini, menyumbangkan puisi “Batam Menjemput Masa Depan”. Seperti judulnya, puisi ini mengedepankan harapan masyarakat, khasnya warga Batam, terhadap perkembangan Batam sebagai pulau industri untuk meningkatkan kesejahteraan mereka. Puisi ini mengangkat tokoh fiktif Ignatius warga asal Flores yang mengadu nasib di Kota Batam, Kepulauan Riau. Kedatangan Ignatius ke Batam terjadi pascareformasi. Dengan demikian, dia relatif baru menjadi penduduk Batam jika dibandingkan dengan warga Batam lainnya. Berdasarkan sudut pandang tokoh itulah alur puisi ini mengalir. Batam tak hanya dikenal dalam era industri modern saja, tetapi jauh sebelum itu. Pada masa Kerajaan Melaka, Batam merupakan kawasan yang pengawasannya dipercayakan oleh Sultan Melaka kepada Laksemana Hang Nadim, putra Hang Jebat dan menantu Laksemana Hang Tuah, dua tokoh laksemana yang melegenda sebelum munculnya Hang Nadim. Nama tokoh sejarah itulah yang ditabalkan (baca: digunakan) untuk bandar udara Batam, sebuah bandar udara terbesar kedua di Sumatera. Selepas zaman Melaka, Batam berada di bawah Kesultanan RiauLingga-Johor-Pahang bersama-sama kawasan lain di Kepulauan Riau, Riau, Singapura, dan sebagian Malaysia. Begitulah selanjutnya, Batam memasuki masa Indonesia merdeka berada di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia bersama kawasan-kawasan wilayah Kesultanan Riau-Lingga lainnya. Maka, bermulalah Batam dikembangkan menjadi pulau industri oleh Otorita Batam. Sejak menjadi pulau industri, berdatanganlah orang-orang dari seluruh Indonesia ke Kota Batam untuk mengadu nasib di pulau harapan baru tersebut. Ramailah penduduk baru di Pulau Batam, yang sebelumnya hanya dihuni oleh 6.000 jiwa. Pelbagai fasilitas modern yang mendukung industri pun dibangun di Batam. Bersamaan dengan itu, Batam pun menjadi tumpuan harapan orangorang yang berdatangan yang mengadu peruntungan dari hampir seluruh wilayah di Indonesia seperti Ignatius yang berasal dari Flores. Suka-duka yang dialami manusia yang mendiami pulau tersebut dalam berebut rezeki memang tak terelakkan lagi. Alhasil, pembangunan Batam cenderung membawa konsekuensi negatif dengan pelbagai masalah yang tak kunjung selesai dan atau memang seperti tak mau diselesaikan, bahkan memang tak didesain dari awal, khasnya penataan penduduknya. Ketika memasuki era MEA, Batam tak lagi memiliki daya tarik dari sudut pandang investor, konon. Batam seolah-olah kalah dengan kawasan lain yang memberikan pelbagai fasilitas yang lebih menguntungkan investor. Kondisi itu diperburuk dengan adanya dualisme pengelolaannya: Badan Pengusahaan (BP) Batam sebagai kelanjutan dari Otorita Batam di satu pihak dan Pemerintah Kota Batam di pihak lain. Jadilah perkembangan Batam tak seindah harapan masyarakat, khasnya masyarakat pendatang yang menyerbu Batam selama ini. Bagi masyarakat asli Kepulauan Riau, perkembangan Batam memang nyaris tak memberikan kontribusi apa-apa bagi mereka, kecuali pelbagai masalah sosial yang selama ini tak pernah terjadi. (bersambung)

LAYOUT: SYAFRINALDI


14

imaji

MINGGU 25 MARET 2018

B

UKANLAH itu sebuah pesta jika tanpa joget di dalamnya. Anggapan ini sudah diyakini sejak 1939. Pada sebuah warta perjalanan berjudul Een Tochtje Naarden Lingga Archipel (Sebuah Perjalanan ke Kepulauan Lingga) dan dimuat dalam Soerabaiasch-Handelblade edisi 24 Februari 1939, disebutkan bahwa joget menjadi bagian tak terpisahkan dari pesta masyarakat Melayu. Di Lingga, joget yang paling masyhur sudah pasti Joget Dangkong. Masih merujuk artikel yang sama (yang diterjemahkan Aswandi Syahri): pergelaran Joget Dangkong punya kesemarakan yang seru. “Lagu-lagu selamat datang dimainkan oleh sebuah orkes kecil yang terdiri dari 2 penggesek biola, satu penabuh gong, satu pemetik gitar, satu penabuh bedug dan seorang penabuh gendang Turki. Setelah itu tari-tarian dipersembahkan. Selanjutnya silih

TANJUNGPINANG POS Koran Nasional dari Kepri

Dangkong Istimewa berganti dimainkan alunan melodi yang indah (termasuk ‘Anitra’s Tanz’ karya komponis Peer Gyntsuite van Grieg) dalam berbagai tampilan. Dari yang paling sederhana hingga yang terbaik yang sebanding dengan Mazurka (musik pengiring tarian rakyat Polandia karya komponis Chopin) dalam tempo yang dipercepat,”tulisnya. Maka bersempena hajatan Pemuliaan Tamadun Melayu tahun lalu, turut digelar joget satu ini. Semaraknya semakin malam semakin menjadi. Bukan cuma badan yang digelitik untuk turut dan bergoyang, tapi juga perut yang ditingkahi tawa terpingkal-pingkal. Sebab Mak Dangkong (Robi) bukan main lagi kelincahannya dalam berjoged dan berjenaka. Hiburan-hiburan modern seolah pampat belaka sehadapan Dangkong Lingga yang istimewa. Perjuangan nyata melestarikan kebudayaan yang tak lekang oleh kemajuan zaman.***

FATIH MUFTIH, berbudaya di laman Jembia. Gemar berbagi cerita di mahafatih.wordpress.com.

REDAKTUR: FATIH MUFTIH

LAYOUT: DOBBY F


jerumat

TANJUNGPINANG POS Koran Nasional dari Kepri

MINGGU 25 MARET 2018

15

Halo, Gaes! (Kepala Hotak Kau!) OLEH: FATIH MUFTIH

Sayap Kiri Jembia

H

ALO, Gaes! Ketemu lagi sama gue di kolom Jerumat. Gue yakin, lu udah pada kangen sama kolom yang bikin GMZ dan sometimes bikin KZL di halaman 15 ini. Gak berasa, udah hari Minggu aja. Dan gue, you know, Gaes, mesti nulis lagi, mesti ngetik lagi, biar bisa say hello buat kalian semua, Gaes. Jadi begini, Gaes. Asal kalian tahu aja,

jadi kolumnis itu not easy. Kepala harus bisa berpikir extraordinary. Isu-isu mainstream harus ditanggepi dengan cara yang not usual which is biar terlihat like smart people. But, Gaes, di situ challenge-nya. Apalah arti hidup ini kalau nggak ada tantangan. Kurang asyique, bosque. Maka, dari situ, gue bertahan, Gaes. Entah kapan pastinya gue mulai nulis

kolom ini. Tapi, CMIIW, as I remember, sebelum lulus kuliah, gue udah mulai nulis kolom ini. Saat itu, di usia yang masih kinyiz-kinyiz, gue iseng-iseng kirim. And you know what, Gaes, rupanya diterima. Keterusan deh sampai sekarang. Sampai gue gak bisa itung lagi, udah berapa jumlahnya sekarang, Gaes di komputer. Beberapa ada yang like, banyak juga kok yang jadi haters. Biasanya, haters ini come from golongan yang merasa kecubit sama tulisan gue, Gaes. Jadi, kalau kalian nggak kuat, ngadepin haters, jangan maksa diri jadi penulis kolom, Gaes. Itu berat. Kalau gak percaya, tanya sama Bang Husnizar Hood. He is totally junjungan kalau ngomongin kemampuan ngejaga stamina nulis kolom. Bayangin lho, Gaes, doi udah nulis lebih dari separo umur gue. As long as that, Bang Nizar sama Mahmud masih bisa hadir setiap Minggu di koran pagi. Malah, kalau kalian balik halaman gue ini, langsung ketemu deh sama tulisan doi di halaman 16. Once time, Bang Nizar told me: kalau lagi sepi peristiwa, pening ape yang nak ditulis, kalau banyak kejadian pun pening juge. Semue-mue nak ditulis. Tapi kolom ade batas. Aku pikir itulah kreativitas. You got it, Gaes? Susah. Because, kalau cuma nyalin peristiwa demi peristiwa, itu so ordinary. Gak ada yang bakal mau baca kolommu, Gaes. Peristiwa itu cuma trigger buat explode kreativitas dalam kepala. Diibaratin sumbu, Gaes. Ledakan itu yang kemudian jadi ide-ide untuk sebuah kolom yang GMZ. Nulis is easy, ngedit baru difficult, Gaes. Coz, ketika nulis which is kita itu cuma mindahin ide dari kepala ke screen komputer. Seperti mesin fotokopi. Ide itu kertas yang diatas, yang di-scan. Tulisan itu kertas yang jadi, which is pasti di bawah. Nah, itu baru kerja menulis actually, Gaes. Ngedit lain cerita. Di situ, kalian butuh sesuatu yang disebut craftmanship. Kayak tukang ukir kayu gitu lho, Gaes. Kudu ngerti presisi, mesti pinter sama yang namanya teori. Word by word harus dibaca, Gaes. Gak boleh ada kesalahan, entah itu typo apalagi pilihan kata. ‘Kan beda tuh

antara hampir and nyaris. Walau samasama almost in English, Gaes, believe me, keduanya beda banget pemakaiannya di bahasa Indonesia. Capek lho, Gaes, ngedit itu. Tapi for you all, Gaes, gue seneng ngelakuinnya. Setelah koran dicetak, gue selalu berharap tulisan gue bisa bikin happy Minggu pagi kalian, Gaes. Sering lho, Gaes, gue kehabisan ide. Ya maklumin aja. Every weekend, harus ada something new buat disampaikan. Harus punya different angle biar tulisannya gak mainstream. Biasanya kalau sudah begini, gue banyakin nonton film dan baca buku. Apa aja sih. Random beud. Not spesific. Kadang film action, thriller, or sometimes dramadrama yang menye abiz. Dari pemeran yang se-beautiful Jennifer Lawrence, secool Emma Stone, sampai se-GMZ dedek Chelsea Islan. Yawla, mereka so perfect dalam acting-nya masing-masing. Kalau buku, still need my argue, Gaes? No one, sekali lagi, no one, bisa jadi penulis tanpa banyak baca buku. Peribahasa yang wisdom ‘kan pernah bilang begini, Gaes: buku ini kayak dunia, kalau kagak pernah traveling, ya berarti cuma baca satu buku. So, membaca itu kunci dapat ide, Gaes. But remember one thing, baca buku. Bukan baca Facebook yang banyak hoax apalagi status mantan yang bikin KZL. Yang bikin gue happy zaman now itu, buku bisa dianggap lebih murah dari kuota internet. Sometimes, kita easygoing aja keluarin duit Rp 100 ribu buat beli paket. But so different kalau beli buku yang harganya around Rp 50-75 ribu. I really don’t know why anak-anak zaman now bisa berpikir begitu. Paket internet, copy-paste-ganti-sikit kata Einstein, akan membawamu dari A ke Z. But books, bakal membawamu ke mana pun. So that kenapa gue selalu spare duit buat beli satu buku every month. Walau malah seringkali lebih banyak sih, Gaes. Aku anggap itu part of investation for writer. Oh iya one more thing, Gaes. Kalau stuck pas nulis, jangan malu. Semua penulis pernah ngerasain itu. Gue one of them, sering malahan. While gue nulis ini aja ada stuck-nya koq. Honestly, itu normal banget. Artinya human being.

Gak ada marathon 42 kilometer yang straightly tanpa pake berhenti, Gaes. Sometimes, perlu memperlambat langkah agar mampu sampai finish. Tapi, kalian gak boleh stop lagi stuck. Tantang diri untuk tetap menulis sesuai dengan target. Enjoy and fearless. Kan masih proses nulis, belum editing. Baru nanti kalau sudah tumpah semua, pick your time buat ngedit. Otak kita kesakitan kalau buat multitasking, Gaes. One by one saja. Cuma uda-uda di Rumah Makan Padang aja yang sanggup multitasking bawa makanan berpiringpiring di tangan. We are not, Gaes. Ada many people yang bilang, jadi penulis enak lho, Gaes. Padahal, as I told you, butuh perjuangan. Walau sih emang, nggak pernah pakai seragam setiap hari kayak PNS atau karyawan perusahaan lain, but harus mampu mencintai kata-kata, Gaes. Unfortunately, ini nggak pernah diajarin di kelas pas kita semua sekolah, Gaes. So, nggak ada panduan kilat how-to-be writer. Dan gue yakin, one and only yang bisa bikin seseorang jadi penulis adalah kesehatan akal pikirannya, Gaes. Jadi, kalau mau jadi penulis, ya betulin dulu howyou-think-nya. Makanya, jumlah penulis di sekitar kita sedikit, Gaes. But, once you try, kamu nggak akan bisa berhenti, Gaes. Karena finally kamu aware, bahwa menulis adalah skill komunikasi yang penting untuk dikuasai jelang lenyapnya Indonesia kita pada 2030 nanti, Gaes. Ini info bener atau hoaks sih, Gaes? Bagi kalian yang tahu informasinya lebih rinci, boleh tulis komentar di bawah ini. Jangan lupa subsribe channel gue ya, Gaes. Oh iya, klik juga icon lonceng di sebelahnya. Jadi, kalau gue upload video baru, langsung bunyi notif-nya di hape kalian, so gak pernah ketinggalan feed video terbaru dari gue. See you, Gaes. Dari senarai paparan di atas, silakan pilih kemungkinan yang kalian inginkan: a) Saya jadi Youtuber; b) Saya jadi pengkritik Prabowo; c) Saya jadi Admin Lambe Turah; atau d) Kepala Hotak Kau!. Jawaban Anda saya nanti, karena saya merasa setelah menulis skrip di atas membuat saya sedikit hilang keseimbangan.***

Menimbang Thukul: Sajak Melawan Kebisuan OLEH: HASAN ASPAHANI

Penyair, Jurnalis

P

ENYAIR, kata Wiji Thukul dalam pengantar buku kumpulan sajak lengkapnya “Aku Ingin Jadi Peluru” (Indonesiatera, Cet. I 2000, Cet. II 2004), harus berjiwa bebas dan aktif. Bebas mencari kebenaran. Aktif mempertanyakan kembali kebenaran yang pernah diyakininya. Sampai pada kutipan itu saja, saya sudah harus membuka dan angkat topi bagi kepenyairannya. Thukul mengajarkan sikap tawaduk, rendah hati, dan menjauh dari kesan anarkis yang banyak dilekatkan padanya mengingat dia adalah seorang yang kerap berada di tengah pusaran badai perlawanan gerakan buruh. Penyair ini di tengah kerepotan dan kepungan kepentingan untuk mempertahankan hidupnya dan keluarganya, tetaplah penyair yang rindu pada kebenaran, sesuatu yang nyata ada tetapi selalu abstrak itu. Kebenaran yang dicari dan ditemukan oleh jiwa yang bebas. Tetapi, di sinilah ironisnya, dan disitu juga ketinggian pencapaian sikap Thukul terbaca: Ia sadar tidak ada kebenaran yang mutlak, kecuali milik Tuhan. Maka, penyair harus aktif. Aktif mempertanyakan kembali kebenaran yang pernah ditemukan, dipegang dan diyakininya. Dengan kata lain, si penyair, harus meragukan lagi apa yang pernah diyakininya. Barangkali, Wiji Thukul mencomot dengan main-main kalimat ‘bebas dan aktif’ itu dari kata-kata populer kebijakan luar negeri Indonesia yang dulu pernah sangat sering diucapkan oleh petinggi negeri ini. Tetapi, menurut saya, dia sungguh-sungguh mengangkatnya menjadi sikap dan landasan kreatif kepenyairannya. Agar bisa bebas dan aktif, ujarnya, penyair harus terusmenerus belajar – dan kelak bisa kita lihat jejak-jejak Thukul belajar di dalam sajak-sajaknya. Belajar itu mutlak, katanya. REDAKTUR: FATIH MUFTIH

Penyair, ujar Thukul yang tak tamat Sekolah Menengah Karawitan Indonesia (SMKI) jurusan tari ini, harus memperluas wawasan dan cakrawala pemikiran. Kenapa? Karena hal itu menunjang kebebasan jiwanya dalam berkarya. Sajaknya: Melawan Kebisuan! Buku “Aku Ingin Jadi Peluru” bolehlah kita anggap sementara ini sebagai kumpulan terlengkap sajak-sajak Wiji Thukul. Penerbit Indonesiatera menyebutkan buku ini menampilkan hampir semua sajak Thukul, termasuk yang ditulis selama ia sengaja menghilang dan kemudian dihilangkan dan hingga kini tidak diketahui nasibnya. Tanpa mengurangi nilai sajak-sajak pada periode sebelumnya, maka buat saya sajak-sajaknya selama masa bergerak di bawah tanah itu adalah sajak-sajak yang sangat bernilai. Ada sejumlah sajak dalam buku ini yang tidak dicantumkan tanggal penulisannya. Jika yang jadi rujukan adalah sajak berangka tahun, maka sajak tertua di buku ini ditulis pada saat si penyair berusia 20 tahun. Ia lahir tahun 1963, sajak-sajaknya yang paling sulung bertahun 1983. Ini usia yang sangat muda bagi seorang penyair. Saya yakin Thukul sudah menulis puisi sebelum tahun itu. Apakah sajak bagi seorang Thukul? Kenapa Thukul menulis sajak? Kita bisa menemukan jawaban itu dalam beberapa sajaknya. Mari kita ambil petikannya: sajakku adalah kebisuan yang sudah kuhancurkan sehingga aku bisa mengucapkan dan engkau mendengarkan sajakku melawan kebisuan (sajak, 1988) Thukul menyair karena ia ingin mengucap. Ia ingin orang mendengar deritanya. Ia tak ingin jadi pahlawan. Itu diucapkannya dalam wawancara yang dikutip di halamanhalaman akhir buku ini. Kalau ia bercerita tentang nasib tak

enak rakyat kecil, maka katanya, yang ia ceritakan itu adalah nasibnya sendiri. Kalau ia menyebut tukang becak, maka ayahnya memang tukang becak. Itu bukan metafora, bukan imajinasi yang ia reka. Pada dua bait awal sajak berjudul “Sajak” tadi ia menulis: Sajakku adalah katakata / yang mula-mula menyumpal di tenggorokan / lalu dilahirkan ketika kuucapkan // sajakku adalah kata-kata / yang mula-mula bergulung-gulung dalam perasaan / lalu lahirlah ketika kuucapkan. Pilihan menyair bukan pilihan yang mudah buat ia. Ia risau dan bimbang dengan manfaat sajak yang ia tulis. Kerisauan itu jelas sekali terbaca dalam sajaknya “Apa yang Berharga dari Puisi”. Ini sajak ia tulis di tahun 1986. Ia belum menikah. Dan sepertinya ia sudah “menjadi” penyair. Ia sudah sadar di mana posisi kepenyairannya. Ia menutup sajak itu dengan bait akhir yang menarik: ”Apa yang telah kuberikan / Jika penonton baca puisi memberi keplokan?”. Sebelumnya di sepanjang bait pertama yang panjang itu, ia menulis “Apa yang berharga dari puisi?”. Larik ini menjadi semacam anafora jika dianggap sebagai awal dari bait. Ia mengulangulang pertanyaan itu lantas menjawab dengan jawaban yang meragukan nilai puisinya sendiri. Nilai sajak, dan manfaat menjadi penyair ia benturkan dengan kenyataan pahit bahwa adiknya telat bayar SPP, becak bapaknya rusak, ibunya terjerat utang, harga-harga bahan pokok semakin mahal, dan mereka tak punya rumah. Saya kira ada satu atau sekian kali, Thukul pasti pernah ingin berhenti menyair. Tapi toh, setelah tahun-tahun itu sajak-sajaknya terus saja lahir. Dua tahun setelah sajak yang gamang itu ia telah yakin pada pilihan menyairnya: sajakku melawan kebisuan!*** LAYOUT:SYAFRINALDI


16

MINGGU 25 MARET 2018

TANJUNGPINANG POS Koran Nasional dari Kepri

cindai

Di Luar Kata Natasya

W

AKTU buku yang ada dalam genggamanmu ada di tanganku, satu hal pertama yang seketika kurasa adalah luar biasa.

Kisah-kisah sederhana, dirangkai dengan jejalin yang sederhana pula, apa adanya, justru memberikan kita sesuatu yang di luar kata. Kata, kau tahu, Natasya, adalah alat adalah medium adalah perantara. Sesuatu yang di luar kata itu sebenarnya yang dibangun penulis. Tinggi menjulang, tapi tak kasat mata. Besar melebar, tapi tak teraba. Seperti halnya, kamu pernah merasaka suatu getar dalam dada yang tak biasa dan tidak ada kata-kata yang berhasil menerjemahkannya. “Seperti Isyarat, dan Malaikat Juga Tahu. Ada sesuatu yang sekadar cukup dirasa dan tidak perlu diutarakan dengan kata-kata,” ucapmu. Menara di luar kata itu yang harus digapai. Agar kegiatan membaca atau menonton atau mendengar atau

K

TEMBERANG KOLOM HUSNIZAR HOOD

BIODATA NATASYA Nama TTL Alamat Pekerjaan Hobi Instagram Buku Bacaan

: Natasya Fauzia : Bandung, Maret 1994 : Jakarta : Asisten Produksi NET TV : Membaca, Jalan-jalan : natasyafauzia : Kumcer Rectoverso Karya Dee

Tunggu setelah Usai Tari Itu

AWAN saya itu paling marah dan cepat naik darah kalau ada orang yang tak peduli dan tak menghargai dengan sebuah acara kesenian, apalagi seni itu sudah pula menjadi salah satu adat negeri ini. “Menyanyah,” selalu pekiknya begitu. Misalnya di depan sebuah Tari Persembahan yang sedang ditampilkan, eh dia malah berbual ke sana-kemari yang tak perlu, kisah-kisah yang tak lucu pula itu atau malah naik turun alis matanya khusuk memandang layar handphone, tidak memandang ke penari, mungkin dia sedang berharap ada WA yang masuk bertanya: “Abang sudah makan apa belum?” senyumnya mengulum. Pasti itu bukan WA dari sang istri, biasanya kalau dari isteri, “Awak jadi balik rumah apa tidak?” Bah!!! Oh tidak .... Tidak jugalah ya. Tak semua istri begitu. Istri saya selalu bertanya kepada saya di jam-jam makan, paling tidak pertanyaannya adalah, “Hari ini makan di mana?” maklumlah istri saya itu pandai memasak, mungkin dia takut siapa tahu suaminya kadang rindu masakan orang rumah, maka siap siaga dia akan memasakkannya. Rasanya? Jangan ditanya, harga kaki lima rasa bintang lima. Hanya yang saya tahu orang seumur saya dan juga Mahmud jarang-jarang ada istri yang masih memanggil suaminya dengan sebutan abang, mungkin, “Pap” atau “Pak” atau “Atok” karena rata-rata sudah bercucu. “Tempoyak!” pekik Mahmud, “Orang semacam itu sama dengan tempoyak,” ulang Mahmud sekali lagi. Begitulah “naik hantunya” kawan saya itu kalau sudah marah. Tahu “naik hantu”? Tahulah ya. Tahu apa itu Tempoyak? Nah ini menarik. Jangan anggap remeh tempoyak, saya pikir Mahmud juga salah, tempoyak itu bukan kata sembarangan, dia masuk kosakata yang ada dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KKBI), cobalah cari kalau tak percaya. tem·po·yak n daging durian yg digarami dan diasamkan: ikan dimasak dng “tempoyak” merupakan salah satu jenis makanan yg lezat sbg teman nasi Hebat, kan? Dia Makanan istimewa. Tempoyak itu berasal dari daging durian, siapa yang tak tahu harga durian? Siapa yang tak suka dengan durian? “Apalagi kalau itu adalah Durian Runtuh,” ucap Mahmud. Saya menoleh ke arah kawan saya itu, sambil dia bercakap tadi saya lihat kawan saya itu masih sibuk dengan handphone-nya, mungkin ia ingin memastikan, apakah ada makna lain lagikah tentang “durian runtuh” itu. “Durian runtuh itu artinya orang yang mendapat keuntungan besar tanpa harus bersusah payah, atau orang yang mendapat kekayaan yang tak disangka-sangka,” sebut Mahmud fasih tutur katanya dan dia nampak sedang membaca dari layar handphone-nya, pastilah “Mbah Google” yang sedang memberitahunya. “Rezeki tergolek atau terpijak duit contohnya,” balas saya. Maka kesimpulannya tempoyak itu sangat berharga. Lalu kenapa Mahmud menggunakannya? Hmmm ... mungkin, ini baru mungkin, karena bau dan bentuknya saja yang tak sedap dicium dan mungkin tak enak dipandang mata. Ah, lupakan tempoyak itu. Kita balik ke marah kawan saya Mahmud, akan orang-orang yang tak peduli dengan acara adat itu. Bagaimana tidak, kawan saya itu tak spaning, orang yang

REDAKTUR: FATIH

bahkan kegiatan sehari-hari itu bisa lepas dari cangkang luaran semata. Dan ... Rectoverso menjawab itu semua lewat jalinan cerita demi cerita yang dibangun di dalamnya. Ingat, kan, bagaimana cerita tentang cicak saja bisa sedemikian mengenanya? Daya yang di luar kata itu tidak bisa dibuat mengada-ada. Justru di situ letak istimewa. Ia hanya datang lewat cahaya bernama ketulusan. Seperti angin yang tak berupa, namun terasa. Seperti rindu yang tak terucap, namun berdenyar. Seperti cinta yang tak berwujud, namun menguatkan.***

tak peduli adat itu diketahuinya adalah orang yang terpandang, bisa saja pembesar negeri ini atau mungkin juga dia adalah “jembalang” negeri ini. Iya, kan? Pembesar dan jembalang itu kata orang sangatlah dekat bentuk rupanya, samasama besar, jembalang itu badannya besar, kata datuk nenek saya. Ah, tak pentinglah itu siapa dia yang penting semua kita harus menghargai adat itu, nanti dibilang tak tau adat kita marah, apalagi dibilang tak beradat, muka kita memerah. Mendengar cerita kawan saya Mahmud itu, panas juga hati saya, terbayang bagaimana adikadik atau juga anak-anak kita itu melengganglenggok dengan santun menari menebar senyum manisnya yang sudah disanggul disasak di make-up sejak Subuh lagi tapi ternyata ketika di panggung para “jembalang” itu hanya sibuk dengan dunianya sendiri, menandatangani berkas-berkas yang konon katanya harus segera. Uh, apa sudah tak ada waktu lagi bekerja? Habis waktu terkuras semuanya ingin membuat masyarakat sejahtera? Sementara masyarakat habis waktu dan habis tenaga heran memikirkan “Apa saja yang dibuatnya?”. “Tunggulah setelah usai tari itu,” suara kawan saya Mahmud mendesis. Kadang dalam hidup ini kita memang selalu tak sabar karena itu kita berbuat sesuka hati kita. Kita tak selesai melihat semua permasalahan makanya kita terlalu sibuk mengurus hal-hal yang tak perlu dan kita cenderung tak menghargainya, hal-hal yang kita anggap kecil, seperti acara adat itu. Memang adat itu banyak jumlahnya, ada yang megah tersergam ada juga yang biasa dan lazim seperti tari itu. Setiap acara bermula maka Tari Persembahanlah sebagai pembuka acara. Makanya sudah terbiasa. “Oi, jangan, Tok, ini negeri bertuah, dah

banyak cerita karena adat dibuat asal-asal, tak dihargai, pulang dari kampung kita ini dapat musibah besar,” ujar Mahmud bersungguhsungguh. Mendengar itu sayapun menjadi termenung lama, teringat cerita membayang-bayang siapa saja dan apa saja yang pernah terjadi dari tulah negeri ini. Oh, apakah berita akhir-akhir ini yang membuat kita mendengarnnya spaning hati dan spaning otak, adalah musibah karena adat itu juga. Wah! Saya baru tau spaning itu masuk Kamus Besar Bahasa Indonesia juga, artinya tegangan tinggi. Mahmud tertawa sejadi-jadinya, “Negeri dalam Spaning” pekiknya. “Sudah lama kita spaning, sekali-sekali biar mereka pulalah yang spaning, spaning membawa berkah atau spaning membawa musibah,” Mahmud terpekik sambil terepekau. “Siapa yang merasa itu musibah, Mud? Ada juga yang merasa itu adalah berkah,” tanya saya setengah pasrah. Mahmud kawan saya itu hanya berhenti tertawa dan menyeringai saja, kumis dan janggutnya nampak tak rapi itu pertanda sudah tidak dipotong lama, dan itu pertanda juga sekadar berlama-lama di depan cermin dia tak ada masa. Mahmud sibuk? Oh ya, jangan anggap hanya kita saja yang sibuk, saya saja sudah sekian lama tak dapat berjumpa dengannya, hanya hebatnya Mahmud, sesibuk apapun kawan saya itu tetap ia berkirim kabar dan menyapa saya juga yang lainnya, kawan-kawan lamanya, karena dia mungkin sadar, dalam hidup ini musuh yang paling berbahaya itu adalah bekas kawan lama. Jangan sia-siakan kawan, jangan cari musuh artinya, jangan pernah kita tinggalkan kawan lana. Begitulah Mahmud jika terjadi perbincangan serius dia hanya menyeringai, nyengir yang lama kalau dia malas menjawab apa-apa yang harus dijawab dan dibebankan kepadanya. Alasannya ialah, seorang pemimpin itu ya mesti begitu, menjadi pendengar yang baik dan terus membuat analisa dan keputusan yang baik pula. Mahmud ingin jadi pemimpin? Wow! Dengan cepat dia memotong “Tidak, saya tak ingin jadi pemimpin tapi saya hanya ingin mencontohkan saja.” Hmmm ... sakit hati juga saya mendengarnya. Oh, jangan sakit hati kalau diserang atau dikritik orang kemudian ingin menyerang lagi dengan segala sisi pribadi orang lain itu, sementara lupa sisi pribadi dia semdiri, padahal jangankan satu sisi, empat sisi pribadi dan sangat pribadi diapun ada dalam kocek kita. Lalu kita akan mulai bertelagah? Sudahlah, bagi orang Melayu biarlah bertarung dan kalah pantang hidup hanya menumpang tuah, tunggulah tari itu usai, kita akan duduk semeja lagi sambil mendengar tepuk tangan, mungkin ditujukan ke para penari itu atau mereka sebenarnya sudah melihat tanda-tanda kita mulai berseteru. Banyak orang mampu melintasi bukit batu bahkan gunung-ganang yang menjulang tapi ada lebih banyak jumlahnya orang jatuh tergelincir hanya karena batu kerikil. Saya hampir terjatuh juga, lebih 14 kilometer kami tempuh hari ini dengan berjalan kaki, letih sudah pasti walaupun katanya kami mampu berlari kalau sudah 14 kilometer itu sudah melewati ambang batas kemampuan diri. Apalagi dingin angin gunung mengigilkan badan, kopi susu kental juga tak ditemukan, di kereta cepat saya menulis tentang negeri yang menangis.*** LAYOUT: DOBBY F


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.