4 MARET 2018 / 16 JUMADIL AKHIR 1439 H
DEWAN PERS
Rp. 2000 www.tanjungpinangpos.id
MEDIA TERVERIFIKASI
2018
SENGGILING Bayar H3 Lelah Menjelajah
DERBY MILANO
Merah atau H7 Biru?
LARI MASA KINI H2
Lari menjadi aktivitas yang kian populer masa kini. Antara olah raga dan tren belaka. Apa pun alasannya, berlari menjadi penting dan sarat manfaat. Seperti kata Raja Dangdut Rhoma Irama - baik sekali untuk bina jasmani.
Hikayat Api
SELAKSA Kolom Muhammad Natsir Tahar
Di balik tirai penyingkapan manusia-manusia awal, kita akan melihat api. Apakah itu kerlipan, kilatan atau kobaran. Api membuat manusia kuat di bumi untuk mengusir dan menguasai apapun. Lain dari itu, kitab suci sudah bercerita tentang makhluk api bernama Iblis yang berhasil mengusir Adam dan Hawa dari surga, yang kemudian akan disisipkan dalam tulisan ini. PENJINAKAN api adalah sebuah langkah raksasa. Dengannya manusia bisa memasak dan memakan dengan cepat. Sebab daging mentah butuh waktu lima jam
redaksitanjungpinangpos@gmail.com REDAKTUR: FATIH
untuk dikunyah. Para turis Zaman Batu mencatat destinasi wisatanya ke wilayah – wilayah pembakaran baru sambil memanen hewan, kacang – kacangan, serta umbi
facebook/tanjungpinangpos
yang telah terpanggang api. Api menjadi wisata, seperti Nero membakar Roma dan menari dari kejauhan. Singa dan beruang purba boleh melenggang sebagai makhluk kejam di hutan, tapi begitu seorang gadis kecil penghuni gua sudah mahir memantik api, para predator hutan manapun segera hangus atau tersingkir dalam waktu beberapa jam. Hutan – hutan dibakar untuk menjadi sabana, tempat tinggal baru, atau laluan. Secara domestik, api mampu melunakkan makanan, membunuh bakteri dan parasit, penerang
sekaligus penghangat. Tapi lebih dari itu api telah pun membangun tembok yang tinggi antara manusia dan makhluk planet bumi lainnya. Api dan kemampuan berbicara membuat manusia berada di pentas dunia. Manusia sudah rasis sejak pertama, ketika jumlahnya sedikit spesies manusia demikian akur. Mereka hanya menjadi rasis terhadap makhluk tegak lainnya. Panah api ditembakkan kepada Homo Rudoflensis di Afrika Timur, Erectus di Asia Timur BERSAMBUNG KE HAL 7
@tpipos LAYOUT: DOBBY FACHRIZAL
2
Liputan Khusus
TANJUNGPINANG POS Koran Nasional dari Kepri
MINGGU 4 MARET 2018
Jangan Diamkan Kaki, Mari Berlari! Yang buruk bukan aktivitas berlari. Melainkan sekadar duduk-duduk dan mendiamkan kaki. Entah karena tren atau kebutuhan hidup sehat, mari berlari! Sebab sekarang, semakin banyak warga berlari di jalanan Tanjungpinang, entah pagi maupun petang.
FATIH MUFTIH, Tanjungpinang MULAI saat ini, berjanjilah untuk lebih berhati-hati ketika melintasi jembatan Dompak. Kurangi laju kendaraan dan jangan semena-mena. Ini bukan tentang kesehatan pengendara semata. Tapi juga demi warga yang memanfaatkan ruas jembatan itu sebagai arena berlari. Sudah bukan suatu yang mengherankan. Sejak diresmikan sekira dua tahun lalu, Jembatan I Dompak langsung diserbu warga. Sebagian memanfaatkannya untuk kongkow-kongkow, fotofoto, jalan santai, dan juga berlari. Aktivitas berlari di jembatan sepanjang 1,7 kilometer ini acap terlihat pagi-pagi buta atau petang. Akan lebih riuh lagi di hari libur nasional dan puncaknya biasanya di akhir pekan. Oleh pemerintah provinsi Kepri, hasrat berlari ini difasilitasi melalui penyediaan trek berlari di kanan-kiri. Namun, karena tidak tembus sampai ujung jembatan, beberapa pelari tetap memilih ruas jalan utama. Itulah mengapa pengendara di sana tidak boleh semena-mena. Keberadaan trek berlari di Jembatan Dompak berhasil mengusir kebosanan berlari di jalanan kawasan Tepi Laut. Memang, sebelumsebelumnya rute ini jadi satu-satunya trek lari yang disukai warga. Namun, jembatan Dompak lantas menjadi alternatif. “Kalau bosan di Tepi Laut ya pindah ke Jembatan Dompak,” kata Pepy Candra. Ibu tiga anak ini sudah lebih dari setahun rutin berlari. Dalam sepekan, ia mengaku bisa melumat jarak lebih dari 25 kilometer. Tentu dengan dibagi lari per hari jarak tempuh pendek dari 3-5 kilometer saja. Dan itu semua, dilakukannya secara rutin di sela-sela kesibukannya sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Tanjungpinang. Sejak duduk di bangku legislatif pada penghujung 2014 silam, sebenarnya nyaris dikata aktivitas
keseharian Pepy sudah sedemikian padatnya. Hari ke hari menghadiri rapat dan sidang paripurna. Belum lagi ketika harus melakukan kunjungan dalam dan luar daerah. Stamina fisiknya dikuras dari waktu ke waktu. Pepy sadar, sebisa mungkin ia harus meluangkan waktu untuk berolahraga. “Barang sejenak jadilah, bahaya ini kalau tidak olahraga,” tuturnya. Terlebih bagi Pepy yang punya latar belakang sebagai penari, merasa perlu mengembalikan bentuk tubuhnya agar stamina bekerja dan berkarya tetap terjaga. Maka ia memilih aktivitas berlari sebagai penyaluran hasrat berolahraga. Hasilnya? “Sudah setahun ini berlari dan manfaatnya di badan jadi lebih ringan, fisik jadi lebih kuat dari biasanya, jadi lebih strong,” ungkap ibu tiga anak ini. Manfaat ini pula yang kemudian ia coba tularkan kepada orang-orang terdekatnya. Sudah pasti yang menjadi “korban pertama” adalah Husnizar Hood, suaminya. Tidak cuma berlari di akhir pekan, di tengah-tengah hari kerja, pasutri ini juga terus berusaha meluangkan waktu berlari. “Awalnya terpaksa nemankan bini, tapi sekarang termotivasi dan terbiasa,” kata Husnizar. Tentu bukan tanpa alasan. Kini usia Husnizar sudah 50, kendati begitu setahun terakhir diakuinya sebagai masa paling fit. Kolestrol, asam urat, stamina, semuanya dalam kondisi prima. “Bebas makan apa saja,” katanya. Banyak yang menaksir, aktivitas Pepy-Husnizar ini sekadar mengikuti tren. Tapi keduanya telah membuktikan bahwasanya dalam setahun terakhir bisa menjaga napas dan konsistensi dalam berlari. Hal itu, kata dia, tak terlepas dari motivasi dalam diri. Baik Pepy maupun Husnizar menyadari, semuanya berpulang pada niat. “Boleh kok fotofoto pas berlari, yang tidak boleh itu tidak berlari,”
F-DOK.PRIBADI PEPY
LARI PAGI: Komunitas #TemanSehatPepy usai menuntaskan rute lari pagi di kawasan Tepi Laut Tanjungpinang.
kelakar Pepy. Husnizar juga mengaku, beberapa koleganya di DPRD Kepri juga mengapresiasi konsistensi ia bersama istrinya meningkatkan kebugaran dengan berlari. Peran keduanya sebagai anggota legislatif rupanya bisa sejalan dengan hobi berlari. Tidak sekali dua, kata Pepy yang diamini Husnizar, bisa bertatap muka dengan warga yang menyampaikan keluhkesahnya ketika berlari. “Kalau mau dibilang tren, tapi kok kami senang ya menjalaninya. Malah kalau tak lari macam ada yang kurang,” kata Pepy. Di mata keduanya, kini minat warga untuk berlari di Tanjungpinang menunjukkan grafik yang meningkat. Dahulu, kenang mereka, hanya segelintir saja yang terlihat berlari bersama. Tapi sekarang, kata Husnizar, sudah semakin banyak orang
“
Sudah setahun ini rutin berlari dan manfaatnya di badan jadi lebih ringan, fisik jadi lebih kuat dari biasanya, sekarang juga jadi lebih strong.” PEPY CANDRA
yang rela bangun pagi atau meluangkan waktu di sore hari untuk berlari. Kata dia, minat ini harus dibaca dan difasilitasi oleh pemerintah daerah. “Tidak cuma sekadar menyediakan trek berlari, tapi bisa ditingkatkan menjadi event rutin tahunan. Di kota-kota besar sudah marak yang semacam itu,” ucapnya. Ambil Car Free Day (CFD) sebagai contoh. Menurut Husnizar, kegiatan semacam ini belum mendapat perhatian serius dari pemerintah daerah. Padahal, sambung dia, di kota-kota besar kegiatan ini mendapat ruang dan fasilitas. Malah menjadi tujuan berwisata. “Kami harapkan pemko dan kepolisian harus maksimal, sekarang tak ada petugas dan masyarakat belum sadar, kasihlah kesempatan masyarakat bisa memanfaatkan area CFD,” ungkapnya.
Pepy menyambung setali tiga uang. Sudah berulang kali ia memberi masukan kepada pemerintah daerah. Menurutnya, jika CFD di Tepi Laut diseriusi dan diisi dengan kegiatan-kegiatan kreatif akan sejalan dengan program menumbuhkan minat berwisata ke Tanjungpinang. “Coba bayangkan deh,” kata Pepy, “agaknya cuma di Tanjungpinang aja yang CFD-nya bisa sambil lihat laut. Di Jakarta atau Bandung tak ada yang macam ini, tapi ramai kok di sana yang lari.” Sebelumnya, Pemko Tanjungpinang memang pernah coba membangun pariwisata berbasis lari. Wali kota kala itu, Lis Darmansyah menggelar Tanjungpinang 10K. Ia berjanji, gelaran ini akan menjadi kegiatan rutin instansi terkait. “Melihat dari banyaknya peserta yang ikut, tak
hanya dari masyarakat dan pelajar di Kota Tanjungpinang saja, tetapi ada yang dari Medan, Jambi, Kalimantan. Ini menunjukkan bahwa pengembangan olahraga ini menjadi sesuatu yang kita harapkan untuk terus ditingkatkan, sehingga ini bisa lebih memacu prestasi olahraga di Kota Tanjungpinang,” kata Lis, pertengahan 2017 silam. Lari sebagai agenda pariwisata juga sudah lama ditaja Pemerintah Kabupaten. Dimulai dari gelaran Bintan Marathon, KasmaRUN, sampai Moon Run. Hajatan ini mengundang wisatawan dari berbagai negara untuk berlari menikmati lanskap panorama Bintan. Dari tahun ke tahun, tidak sepi peminat. Hal ini membuktikan bahwasanya berlari mulai bergeser dari sekadar tren menjadi kebutuhan untuk menjaga kebugaran badan.***
Lari Itu Murah, yang Mahal Itu Sakit
F-DOK. PRIBADI YOGI
Yogi berlari di lintasan Jembatan Dompak. REDAKTUR: FATIH MUFTIH
BANYAK yang beranggapan olahraga lari itu mahal. Hal ini sekiranya berkenaan dengan kelengkapan yang dikenakan. Mulai dari sepatu lari dan tetekbengek aksesori. Namun, Yogi Rizkiyanto membantah hal ini. Menurut penghobi lari asal Tanjungpinang ini, pikiran bahwasanya lari itu mahal lantaran banyak yang tidak mengerti kebutuhan sebenarnya dalam berlari. “Lari itu hanya perlu sepatu, dan selebihnya niat yang tinggi,” kata Yogi. Memang, diakuinya semakin kemari, semakin tinggi teknologi yang diciptkan produsen perlengkapan olahraga. Baik itu sepatu, jam tangan, pemutar musik, sampai baju maupun celananya. Hanya saja itu sekadar pelengkap. Tanpa itu semua, tegas Yogi, setiap orang masih bisa berlari. Ia telah membuktikannya sendiri bahwasanya ketika menuntaskan rute 21 kilometer di Bandung, yang bekerja adalah tekad dalam pikiran. “Sudah tidak terpikir apaapa kecuali menguatkan kaki untuk terus berlari,” kenang Yogi. Pilihan untuk menyukai olahraga berlari bagi Yogi, bukan karena tidak menyukai jenis olahraga yang lain. Namun, baginya lantaran lari ini yang begitu murah
dan sederhana dan bisa dilakukan di mana saja. Ketika di Tanjungpinang, Yogi mengaku gemar berlari pagi atau petang di Tepi Laut atau Jembatan I Dompak. Soal manfaat yang didapat, jangan ditanya lagi. Yogi merasa kondisi tubuhnya semakin baik semakin rutin berlari. “Semua anggota tubuh bekerja ketika berlari. Sehat iya, stress hilang. Kalau lelah, itu pasti. Tapi manfaay yang didapat lebih besar lagi,” ungkapnya. Jika dalam seminggu saja ada ia tidak berlari, Yogi mengaku badannya justru mudah letih dan stamina bekerja menurun drastis. Karena itu ia merutinkan berlari, entah sendiri atau bersama KepriRunners, komunitas larinya. Hari ini, sambung Yogi, lari kian menyenangkan. Memang tidak perlu jam tangan hebat untuk berlari. Bermodalkan aplikasiaplikasi canggih di gawai saja sudah lebih dari cukup. Beragam aplikasi bisa diunduh dengan gratis guna mengukur jarak tempuh hingga kecepatan. “Jadi tidak perlu smartwatch yang mahal itu. Ratarata kita kan sudah pakai smartphone, fungsinya sama saja kok,” ujarnya. Urusan sepatu pun terbilang relatif. Sepengalaman Yogi berlari, sepatu
mahal bukan garansi berlari jadi semakin nyaman. Ia sendiri sudah membuktikannya. Memilih sepatu yang nyaman sesuai bentuk kaki itu jadi kunci. Bukan malah mengikut gaya atau tren terkini. “Buat apa sepatu mahal, paling baru, tapi kalau lari malah tidak nyaman. Jadi yang paling penting nyaman di kaki,” tekannya. Semangat ini yang juga Pepy kobarkan ke orangorang terdekatnya. Baginya tidak ada alasan bahwa lari itu mahal. “Yang mahal itu sakit lho. Kalau lari itu murah saja dan siapa saja bisa melakukannya,” timpalnya. Saking giatnya Pepy mengajak karib-karibnya berlari, ia membentuk wadah berupa #TemanSehatPepy. Dalam komunitas ini, Pepy mengajak siapa pun berlari bersamanya, merasakan kesenangan dan manfaat kebugaran yang didapat dari berlari. Berkomunitas atau lari bersama-sama, kata dia, membuat kegiatan berlari menjadi kian menyenangkan. Dan, kata dia, dari hari ke hari, jumlah #TemanSehatPepy semakin bertambah saja. “Lari jadi bukan lagi kegiatan olahraga penuh beban, malah yang ada sangat menyenangkan,” ungkap Pepy. (fatih)
5 Tips Lari Buat Pemula 1. Cari Teman Lari Memiliki teman lari membantu untuk lebih semangat. 2. Tetapkan Tujuan Memiliki tujuan membantumu lebih termotivasi. Namun, pastikan tujuan realistis. 3. Mulai dengan Jalan Kaki Mulai dengan pola jalan-lari, seperti jalan kaki dua menit dan lari santai satu menit. 4. Buat Catatan Lari Rekam jejak latihan bisa melihat perkembangan. Suatu cara yang baik untuk mempertahankan motivasi. 5. Miliki Sepatu Lari yang Sesuai Tidak perlu mahal. Hanya pastikan sepatu nyaman digunakan.
LAYOUT: SYAFRINALDI
TANJUNGPINANG POS
3
Koran Nasional dari Kepri
MINGGU 4 MARET 2018
Pantai Senggiling, Bintan
Membayar Lelah setelah Jelajah J
IKA sudah bosan dengan keindahan pantai yang mudah diakses, mengapa tidak lebih berani melelahkan diri menuju pantai yang lain daripada yang lain. Di Bintan, asal mau saja, ada banyak pesisir yang tidak
kalah menyajikan keindahan dibandingkan pantai lain. Namun ya itu tadi, perlu sedikit keberanian menantang diri untuk menunaikan penjelajahan. Tidak perlu khawatir jelajah yang lelah itu tidak terbayar sepadan. Justru, ada kenikmatan puncak setelah lelah menjelajah dan duduk bertirah di hamparan pasir pantai yang indah. Di antara banyak pilihan pantai tersembunyi itu adalah pantai Senggiling. Letaknya di desa Sri Bintan, Teluksebong, Bintan. Bagi sebagian besar pecinta fotografi, sebenarnya pantai ini bukan sesuatu yang asing. Namun, di kalangan masyarakat awam,
pantai ini semacam masih menimbulkan tanda tanya untuk mencapai ke sana. Jalanan ke sana memang tidak semudah ke Lagoi atau Trikora. Jalan tanah dan berpasir sudah pasti harus bisa dilalui demi dapat sampai di pantai yang memiliki batu-batu besar di sekitar pantainya ini. Senggiling semakin menawarkan pesona dengan kesunyian yang ditawarkan. Lantaran perlu jelajah ke sana, membuat tidak banyak orang yang pergi ke sana. Sehingga, Senggiling amat cocok dijadikan lokasi berkemah dengan teman-teman. Ecky, salah seorang
pengunjung pantai tersebut mengatakan, Pantai Senggiling merupakan pantai terbaik di Bintan yang terbentuk secara alami dan belum banyak campur tangan manusia. Meski alami, namun keindahannya tak kalah dengan pantaipantai wisata yang sudah ditata. Ia mengatakan, untuk menuju Senggiling memang cukup perjuangan, namun suasana pantai yang tenang dan tidak banyak pengunjung ini membuat siapa saja akan nyaman. “Bagus dan indah, pastikan saat ini siapkan tenaga dan jangan takut panas untuk menjelajah,� katanya. (jendaras)
Panorama indah di Pantai Senggiling. Pantai ini bisa diakses dengan keberanian nyali buat menjelajah alam bebas di utara Pulau Bintan.
„ REDAKTUR: FATIH MUFTIH
Rute jelajah.
Lanskap batu-batu besar.
Kesunyian di Senggiling.
Memandang panorama laut dari ketinggian.
„ LAYOUT: SYAFRINALDI
4
Komunitas
TANJUNGPINANG POS Koran Nasional dari Kepri
MINGGU 4 MARET 2018
Komunitas Malam Puisi Tanjungpinang
Semua Berhak Mencintai Puisi K
ESESATAN pertama yang dilawan adalah puisi milik penyair semata. Padahal, dalam cakupan yang lebih luas, puisi bisa menjadi milik siapa saja. Tanpa terkecuali. Siapa yang menggemari sekaligus percaya pada kata-kata berhak mencintai puisi. Seutuhnya. Semaunya. Komunitas Malam Puisi Tanjungpinang hadir untuk itu. Para pegiatnya ingin meyakinkan khalayak, bahwasanya puisi adalah milik kita semua. Tanpa puisi di muka bumi, kehidupan jadi sedemikian tidak menarik untuk tidak dijalani. “Tidak percaya,” kata Herima, “coba saja bayangkan, cowok menembak gebetannya dan garing belaka, seperti ‘yuk pacaran’ atau ‘aku mau jadi pacar kamu’, kan nggak asyik.” Herima Hendrawan adalah pegiat Komunitas Malam Puisi Tanjungpinang. Sejak komunitas ini terbentuk empat tahun lalu, ia selalu meyakinkan kepada pemirsanya bahwasanya puisi milik siapa saja. Herima sendiri mengaku bukan seorang penyair. “Tapi saya suka puisi dari dulu,” ungkapnya. Semangat suka ini yang lantas mempertemukan Herima dengan rekan-rekan sejawat yang sama-sama
percaya pada kekuatan dan keindahan puisi. Merujuk pada komunitas yang tersebar di seantero kota di Indonesia, ada slogan menarik yang memacu kebenaran bahwa siapa saja berhak mencintai puisi. Datang, dengar, dan bacakan puisimu. Slogan ini menyahihkam betapa puisi bukan kapling barisan penyair. Puisi itu justru mengada dari kalam-kalam penyair yang dipersembahkan buat para pembacanya. Dan di sini, Komunitas Malam Puisi menjadi jembatan yang mempertemukan baris indah puisi kepada para pembacanya. “Kalau memang tak ada puisi karya sendiri, juga boleh kok baca puisi temannya, atau puisi penyair siapa saja. Bebas sebebas-bebasnya,” terang Herima. Pada helat pembacaan puisi 17 Februari lalu di Rumah Nenek Cafe, hal itu terejawantahkan dengan nyata. Sebagian para pegiat ada yang membacakan puisi karyanya sendiri. Tidak sedikit pula yang memilih membacakan puisi karya penyair masyhur. Apa pun puisinya yang dibacakan memang bukan persoalan. Sebab tujuan utama adalah mengajak kembali kawula muda mencintai puisi. Sebab, tak ditampik dan sama diyakini, puisi yang
F-FATIH/TANJUNGPINANG POS
Berani baca puisi.
membuat kehidupan ini jadi menarik dijalani. Hal ini diamini Irma Sari. Gadis berjilbab ini mengaku tidak mahir menulis puisi. Ia hanya menulis puisi jika sedang mau-maunya. Kendati begitu, cintanya pada puisi tidak pernah pudar walau sekali. Sebab itu pula, sebisa mungkin pada tiap malam helatan pembacaan puisi, Irma selalu menyempatkan diri ambil bagian. “Modalnya cuma satu: saya suka puisi. Itu saja. Dan selalu senang bisa kumpul sama teman-teman yang suka puisi. Kan tidak banyak yang begini,” ujarnya. Bagi Irma, Komunitas Malam Puisi punya tempat tersendiri di hatinya. Komunitas ini, kata dia, berbeda dengan komunitas lain. Tidak banyak — atau malah tidak ada, komunitas sastra lain yang seterbuka Komunitas Malam Puisi. Yakni, dengan menerima siapa saja bisa tergabung di dalamnya. Ada memang, kata dia, yang tergabung di komunitas ini sebagai penyair, tapi tidak sedikit pula yang memang cuma bermodalkan kesukaan atas puisi semacam dirinya. Dan suasana yang terjalin selama helat pembacaan tidak pernah ada pembedabedaan. Semua, sambung Irma, punya kesempatan yang sama untuk membacakan puisi karyanya atau puisi kesukaannya. “Malah kepada temanteman yang penyair, kami jadi bisa ikut belajar bagaimana menulis puisi yang asyik itu,” aku Irma. Lain bagi Zainal Takdir. Penyair 25 tahun ini mengaku juga amat senang bisa tergabung dalam Komunitas Malam Puisi Tanjungpinang. Menurutnya, ada energi yang bisa diserap setiap kali bersua muka dengan para penyula puisi. Energi ini, kata dia, menambah semangatnya
dalam berkarya. “Kami jadi semakin percaya bahwa puisi tidak pernah tertinggal apalagi ditinggalkan,” ungkapnya. Kelak, agar suasana semakin semangat dan antusias, Zainal akan mengajak rekanan berkeseniannya. Ia ingin komunitas ini menjadi sebuah ruang tempat belajar. Baik itu bagi penyair dalam memahami pembacanya, serta bagi pembaca dalam mengenali puisi langsung dari penyairnya. Hal ini, kata dia, yang sudah lama tidak hadir dalam lingkup kesusastraan di Tanjungpinang. “Saya yakin komunitas ini akan menjadi titik temu yang tepat antara penyair dan pembaca. Jarak yang sudah lama membentang harus segera dipangkas. Karena jika tidak, akan semakin melebar dan menjauhkan puisi dari pembacanya. Sungguh itu mimpi buruk bagi penyair,” pungkasnya. (fatih)
F-FATIH/TANJUNGPINANG POS
Malam helatan pembacaan puisi.
JADWAL KEDATANGAN DAN KEBERANGKATAN KAPAL PENUMPANG PT. PELNI DI PELABUHAN KIJANG, TANJUNGPINANG DAN BATAM
MARET
2018
1 2
NAMA KAPAL DARI KM. SABUK N-62 TAMBELAN KM. DOROLONDA TG.PRIOK
RENCANA TIBA HARI TANGGAL JUMAT 02-Mar-18 SABTU 03-Mar-18
3
KM. SABUK N-39
SABTU
4
KM. SABUK N 30
TAMBELAN MINGGU 04-Mar-18
10.00
TG.PINANG
06-Mar-18
13.00
5 6 7
KM. UMSINI KM. SABUK N-62 KM. BUKIT RAYA
TG.PRIOK SENAYANG LETUNG
SENIN SABTU
05-Mar-18 10-Mar-18 00/00/2018
09.00 07.00 07.00
KIJANG SENIN 05-Mar-18 TG.PINANG MINGGU 11-Mar-18 KIJANG 00/00/2018
14.00 14.00 09.00
8
KM. SABUK N 30
No.
K.MARAS
03-Mar-18
RENCANA BERANGKAT DARI HARI TANGGAL TG.PINANG SENIN 05-Mar-18 KIJANG SABTU 03-Mar-18
JAM 07.00 10.00 06.00
KIJANG
RABU
07-Mar-18
SELASA
TUJUAN JAM 11.00 12.00 13.00
TAMBELAN
JUMAT
16-Mar-18
10.00
TG.PINANG MINGGU 18-Mar-18
13.00
9 KM. SABUK N-62 TAMBELAN 10 KM. DOROLONDA TG.PRIOK
JUMAT SABTU
16-Mar-18 17-Mar-18
07.00 13.00
TG.PINANG KIJANG
SENIN SABTU
19-Mar-18 17-Mar-18
11.00 15.00
11
KM. SABUK N-39
SABTU
17-Mar-18
06.00
KIJANG
RABU
21-Mar-18
13.00
12 13 14 1 2 3
KM. UMSINI KM. SABUK N-62 KM. SABUK N-62 KM. KELUD KM. KELUD KM. KELUD
TG.PRIOK SENIN 19-Mar-18 SENAYANG SABTU 24-Mar-18 TAMBELAN JUMAT 30-Mar-18 TG.PRIOK MINGGU 04-Mar-18 TG.BALAI RABU 07-Mar-18 TG.PRIOK MINGGU 11-Mar-18
07.00 06.00 07.00 06.00 10.00 06.00
KIJANG SENIN 19-Mar-18 TG.PINANG MINGGU 25-Mar-18 TG.PINANG SENIN 02-Apr-18 BATAM MINGGU 04-Mar-18 BATAM RABU 07-Mar-18 BATAM MINGGU 11-Mar-18
14.00 14.00 11.00 11.00 13.00 11.00
K.MARAS
SENAYANG - JAGOH - P.BERHALA - JAGOH - P.PEKAJANG - BLINYU - P.PEKAJANG - JAGOH - SENAYANG TG.PRIOK - SURABAYA - MAKASAR - BAU-BAU - NAMLEA - AMBON - TERNATE - BITUNG (PP) TAMBELAN - PONTIANAK - SERASAN - SUBI - RANAI - SELAT LAMPA - P.LAUT - SEDANAU - PULAU TIGA MIDAI - TAREMPA - K.MARAS KUALA MARAS - TAREMPA - MIDAI - P.TIGA - SELAT LAMPA - SEDANAU - P.LAUT - RANAI - SUBI - SERASAN SINTETE - TAMBELAN TG.PRIOK - SURABAYA - MAKASAR - MAUMERE - LARANTUKA - LOWELEBA - KUPANG (PP) TAMBELAN - SINTETE DOCKING TAHUNAN KUALA MARAS - TAREMPA - MIDAI - P.TIGA - SELAT LAMPA - SEDANAU - P.LAUT - RANAI - SUBI - SERASAN SINTETE - TAMBELAN SENAYANG - JAGOH - P.BERHALA - JAGOH - P.PEKAJANG - BLINYU - P.PEKAJANG - JAGOH - SENAYANG TG.PRIOK - SURABAYA - MAKASAR - BAU-BAU - NAMLEA - AMBON - TERNATE - BITUNG (PP) TAMBELAN - PONTIANAK - SERASAN - SUBI - RANAI - SELAT LAMPA - P.LAUT - SEDANAU - PULAU TIGA MIDAI - TAREMPA - K.MARAS TG.PRIOK - SURABAYA - MAKASAR - MAUMERE - LARANTUKA - LOWELEBA - KUPANG (PP) TAMBELAN - SINTETE SENAYANG - JAGOH - P.BERHALA - JAGOH - P.PEKAJANG - BLINYU - P.PEKAJANG - JAGOH - SENAYANG TG.BALAI - BELAWAN TG.PRIOK (PP) TG.BALAI - BELAWAN
1. PERUBAHAN JADWAL TSB DIATAS BILA ADA PERUBAHAN / KOREKSI AKAN KAMI BERITAHUKAN. 2. KEPADA CALON PENUMPANG PEMBELIAN TIKET AGAR SESUAI IDENTITAS/ KTP. 3. KETERANGAN LEBIH LANJUT DAPAT MENGHUBUNGI CALL CENTER 021 - 162 4. PT. PELNI CABANG TANJUNGPINANG TELP. 0771 - 21513 5. 2 (DUA) JAM SEBELUM KAPAL BERANGKAT SUDAH DI TERMINAL PELABUHAN
TANJUNGPINANG, FEBRUARI 2018 TTD PT. PELNI CABANG TANJUNGPINANG
MITSUBISHI
DIJUAL CEPAT LORI Mitsubishi Canter Tahun 2012 Kondisi baik, pajak hidup, belum ada Jak Harga 155 Juta/Nego Bagi yang berminat Hub. : HP. 0822 8516 1161
D-1St Female Station in Bintan Island Indonesia
Jl. Yos Sudarso No.63 Lantai 2-4 Batu Hitam, Tanjungpinang Telp. 0771 - 318 637. Fax. 0771 - 319 489 Email : radioonine@gmail.com
Marketing : 0812 7099 8897 (Fira Rewadi) 0852 6453 3303 (Andy)
REDAKTUR: FATIH MUFTIH
LAYOUT: SYAFRINALDI
TANJUNGPINANG POS
5
Koran Nasional dari Kepri
MINGGU 4 MARET 2018
Lendot Dapur Bunda Naufal, Tanjungpinang
Dibuat Pedas Kuah Kental K
ENIKMATAN tak tergantikan dari seporsi sajian lendot adalah kuahnya. Teksturnya yang kental dan disajikan panaspanas mampu menghangatkan badan. Apalagi disantap ketika hujan. Sempurna rasanya. Bahan baku yang berupa kangkung kemudian diisi pula dengan siput isap menghadirkan rasa tak biasa di
lidah. Bagi yang belum pernah menyantapnya tentu akan terkejut. Namun, sungguh kelewat sayang kekentalan kuah sagu dari sajian lendot untuk dilewatkan. Rahmadian Indriyani percaya itu. Karena itu, sejak pertengahan 2015 lalu, ia tunak mengolah sajian tradisional Melayu di Dapur Bunda Naufal. “Saya suka saja dengan makanan Melayu. Termasuk lendot ini. Dulunya suka masak saja, tapi kata temanteman suruh dijual. Keterusan deh sampai
Rahmadian Indriyani
REDAKTUR: FATIH MUFTIH
sekarang,” ungkapnya. Perempuan 32 tahun yang akrab disapa Dyan ini menerangkan lendot adalah makanan khas masyarakat Tanjungbatu, Karimun. Dyan sendiri juga asli dari sana. Ibunya, Dara anis Mz, kenangnya, membiasakan anakanaknya mampu memasak sedari kecil. Sebab itu, tangan Dyan cukup terampil menyulap bahan baku di dapurnya. Perihal lendot yang kini jadi menu andalan di Dapur Bunda Naufal, Dyan berkisah, tantangan dari penyajiannya adalah perihal bahan baku. Utamanya siput isap. Pernah suatu kali, Dyan kehabisan stok di pasaran. Padahal, kata dia, ciri khas lendot selain pada kuah kentalnya yang pedas terletak pada keberadaan siput ini. Tapi tidak habis pikir bagi Dyan. “Saya coba ganti sotong atau udang. Saya beri tahu ke pelanggan saya, dan mereka mau. Tapi tetap, selama masih ada siput isap, ya itu yang didahulukan,” ujarnya. Sementara urusan kuah, bagi Dyan itu bisa opsional. Bagi yang suka pedas, cabai kering menjadi solusi kompromi sekaligus memberi warna merah di kuah yang memikat. Jika tidak suka pedas, bisa dikurangi penggunaan cabai keringnya. Namun, Dyan tetap menyarankan, sebaik-baiknya lendot adalah yang pedas dan disajikan panas-panas. “Barangkali itu yang bikin cocok di lidah orang Tanjungpinang, yang memang suka pedas-
F-ISTIMEWA
LENDOT: Sajian lendot produksi Dapur Bunda Naufal.
pedas,” ungkapnya. Kini, Dyan belum tertarik berbisnis dalam bentuk lain. Aktivitas di balik Dapur Bunda Naufal sudah lebih dari sekadar cukup menerbitkan kesenangan dan menyalurkan hobinya dalam memasak. Sudah pasti lendot menjadi daya pikat utamanya, dan Dyan masih terus berkreasi dengan resep-resep kuliner
tradisional Melayu. Semisal lakse goreng mercon dan tahu bulat isi krispi (TBC). “Masih yang pedas-pedas juga sih sesuai selera orang Pinang,” katanya. Untuk memasarkan produksi dapurnya, Dyan kini lebih tertarik memanfaatkan jalur media sosial. Banyak pelanggannya datang dari sana. Agar
semakin dikenal, Dyan juga aktif ikut bazar-bazar kuliner rumahan yang rutin digelar di Tanjungpinang. Kata dia, itu banyak membantu penjualannya. “Saya juga aktif bersama teman-teman pelaku bisnis kuliner rumahan. Dari situ bisa menambah teman dan juga pelanggan,” pungkas Dyan. (fatih)
LAYOUT: SYAFRINALDI
6
Goes to School
TANJUNGPINANG POS Koran Nasional dari Kepri
MINGGU 4 MARET 2018
Pondok Pesantren Modern Al-Kautsar Tanjungpinang
Santri Bisa Mengaji dan Berdiplomasi
S
ANTRI hari ini tidak sama dengan hari kemarin. Perkembangan teknologi yang melesat tak terbendung, menjadi keniscayaan yang tak dapat dikesampingkan. Sebutlah jikalau tak peduli dan tak mau ambil berat, bisa-bisa tertinggal amat jauh di belakang. Dan karena itu, wawasan cakrawala harus dilebarkan. Menyerap modernitas tanpa pernah menerabas batas. Di Pondok Pesantren Modern (PPM) Al-Kautsar hal itu sudah tercermin sejak bangun pagi. Santri usia 12-15 tahun tidak lagi boleh manja. Mereka harus siap melatih disiplin sejak membuka mata. Harus mau dan sanggup menunaikan salat Subuh berjamaah. Tak peduli seberapa dingin air di kulit pada dini hari. Kantuk yang masih tersisa di pelupuk mata tidak lantas boleh membuat mereka terlena. Setiap pagi mereka diajak menghafal sekaligus menambah perbendaharaan kosakata bahasa asing. Arab dan Inggris. Bahasa pertama digunakan untuk memper-
mudah pemahaman pembelajaran agama, sedangkan bahasa kedua, seperti yang sudah disebutkan tadi, untuk menjemput modernitas di depan mata. “Jadi santri kami tidak cuma pandai mengaji, tapi juga harus berani berdiplomasi sampai ke luar negeri,” ungkap Kyai Supeno selaku pengasuh PPM AlKautasar Tanjungpinang. Kemampuan itu penguasaan bahasa asing itu juga, sambung Kyai Supeno, yang dilatih setiap hari. Bukan cuma dalam kelas saja, melainkan dalam percakapan sehari-hari seluruh santri dan guruguru yang mengajar pun harus menggunakan bahasa Arab atau Inggris untuk berinteraksi. Dengan begitu, keterampilan berbahasa jadi mutlak tidak boleh sekadar di atas kertas. “Tetapi mereka juga harus bisa mengucapkannya. Ilmu tanpa praktik tidak ada artinya,” ungkap Kyai Supeno. Pembiasaan ini berbuah manis. Dari tahun ke tahun prestasi kerap dibawa pulang ke pesantren yang berada di Jalan Sidomulyo Tanjungpinang Timur ini. Utamanya berkenaan lomba-lomba pidato
Rutinitas mengaji saban petang.
VISITASI KE LUAR NEGERI: Rombongan santri PPM Al-Kautsar di Kantor Kedubes Indonesia di Singapura.
bahasa Arab atau Inggris yang nyaris setiap tahun dikomeptisikan. Santrisantri PPM Al-Kautsar selalu mampu hadir sebagai peserta tangguh. Tentu itu semua turut disandingkan dengan keterampilan non akademis yang juga dijadwalkan di sela-sela kegiatan di pesantren. Kyai Supeno menuturkan, guna menambah pengalaman dan cakrawala
santri-santrinya, dilaksanakan juga beragam program berkelindan. Sebut saja visitasi kedutaan besar Indonesia di Singapura atau ke sekolah-sekolah rekanan di negeri jiran. Pernah juga, kata dia, pesantrennya menerima kunjungan balasan pelajar dari Singapura. “Di situ, saya melihat santri saya punya kepercayaan diri yang tinggi untuk berkomunikasi dalam
bahasa Inggris. Santri zaman sekarang tidak cukup kalau sekadar pintar mengaji,” katanya. Keseimbangan dalam pembelajaran agama dan ilmu modern adalah kunci di balik melahirkan generasi santri yang siap menyambut kemajuan zaman di hari depan. Ditambah pula kedisiplinan yang, kata Kyai Supeno, juga jadi modal penting dalam menjalani kehidupan
sebenarnya usai masuk dunia profesional yang sebenarnya. “Kami menyiapkan itu. Seluruh santri harus punya disiplin dan tanggung jawab yang tinggi. Serta sudah pasti keilmuan agama dan umum yang memadai,” tekannya. Apa yang dicitakan selama lebih dari 10 tahun ini berujung pada semakin meningkatnya minat belajar di pesantren. Kini, di PPM
Al-Kautsar sudah ada lebih dari 140 santri yang mukim dan menuntut ilmu setingkat sekolah menengah pertama. Menariknya, tidak cuma dari seputaran Tanjungpinang. Ada yang dari Bintan, Batam, Lingga, hingga Karimun. “Itu menunjukkan pesantren di kota ini secara kualitas bisa bersaing dengan sekolah lain pada umumnya,” pungkas Kyai Supeno. (fatih)
Ruang kelas pesantren.
Mengaji Alquran menjelang magrib. REDAKTUR: FATIH MUFTIH
LAYOUT: SYAFRINALDI
TANJUNGPINANG POS Koran Nasional dari Kepri
7
MINGGU 4 MARET 2018
Kontes Layang-Layang Internasional di Malaysia
Tembus Laga Final
F-DOK. PRIBADI RAKHMAT
SEMANGAT: Pelayang asal Kepri di Johor, Malaysia.
JOHOR - Pelayang asal Kepulauan Riau yang tergabung dalam Yayasan Masyarakat Layanglayang Indonesia (YLMI) berhasil menembus laga final pada kontes layanglayang internasional di Lapangan Pasir Gudang, Johor, Malaysia, Sabtu (3/ 3). Rakhmat, salah seorang peserta asal Tanjungpinang, mengungkapkan, tim YLMI Kepri berhasil meloloskan ke babak pamungkas di kategori Naga dan Nemo. “Angin di sini cukup kencang, itu tantangannya,” kata anggota Komunitas Layang-Layang Tanjungpinang ini melalui pesan singkat. Dijelaskan Rakhmat, tim YLMI Kepri yang bertandang ke jiran untuk bersaing dengan 44 negara sedunia itu terdiri dari Abdul Syukur, Iman Suhardi, Bustami dan Idris, Wahyu, Raihuddin dan dirinya sendiri. Sementara Ridho Eka Syahputra, Fachri Haikal merupakan
peserta tingkat pelajar yang berasal dari SMAN 1 Tanjungpinang. “Antusiasme penghobi layang-layang di Malaysia luar biasa. Sesuatu yang justru jarang kami dapatkan di rumah sendiri,” ucap Rakhmat. Begitu juga dikatakan Abdul Syukur selaku Ketua YMLI KEPRI. Menurutnya, suatu kebanggaan dan kesenangan bisa ikut menaikkan layang-layang khas daerah di negeri jiran. Apalagi kontes yang diikuti ini disebut satu di antara yang bergengsi di dunia. “Semua layang-layang kami bawa bisa mengangkasa,” ujarnya. Layang-layang diboyong ke Malaysia itu di antaranya adalah layanglayang bermotif train kupu, rokaku, eagle, dragon train, dua dimensi, serta creative kite. “Semuanya secara sempurna mengangkasa dan disaksikan peserta dari seluruh dunia,” ucapnya. (tih)
F-GAZZETA DELLO SPORT
BENTROK: Andre Silva dan Joao Mario di Derby Della Madonina 2017 silam.
Semangat Revans dan Kebangkitan MILANO - Akhir pekan yang krusial di Milano, Italia. Dua kesebelasan kebanggaan kota mode akan berjibaku memperebutkan hati penduduk Milano. AC Milan dan Inter Milan siap menunjukkan kemampuan terbaiknya di laga bertajuk Derby Della Madonina, Senin (5/3) dini hari. AC Milan membawa semangat revans setelah pada pertemuan pertama akhir tahun lalu takluk dengan skor tipis 3-2. Apalagi, tim besutan Gennaro Gattuso ini sedang menjalani periode
apik dengan 13 laga tanpa menelan kekalahan. “Kami tidak pernah sepercaya diri ini sebelumnya. Kami siap untuk Derby Della Madonina,” kata penjaga gawang utama AC Milan, Gianluigi Donnaruma. Kepercayaan diri yang punya akar bagi portiere belia ini. Luka dibobol trigol oleh Mauro Icardi pada paruh musim lalu sudah benar-benar dilupakannya. Di lain pihak, kesebelasan Inter Milan juga mengaku siap menatap laga krusial ini. Periode buruk yang sempat
melanda tim besutan Luciano Spalletti ini diharapkan sudah selesai. “Kami ingin menghentikan laju Milan,” ujar pemain bertahan Inter, Milan Skriniar. Lawan kami, sambung pemain berkebangsaan Slovakia ini, sedang sangat percaya diri dan dalam rentetan performa yang sangat apik. “Gattuso bekerja dengan baik. Tapi bukannya tidak bisa dikalahkan. Kami siap menghentikan laju tren positif mereka,” tegas Skriniar. (tih)
Hikayat........................................................................................................................dari halaman 1 dan Naenderthal di Eropa dan Asia Barat. Ketiganya punah (meminjam Yuval NH dalam Sapiens). Manusia makin rajin membakar hutan jelang memasuki revolusi pertanian. Jika saat ini perkebunan dibuka dengan cara yang sama hingga kabut asap menjadi bencana nasional, kita dengan mudah menebak: DNA primitif para pembakar belum juga terputus dalam ribuan generasi. Kisah kelam tentang api dalam episode selanjutnya adalah pembakaran kota, seperti pasukan Mongol membakar Baghdad dan buku-buku. “Di manapun mereka membakar buku, pada akhirnya mereka akan
membakar manusia,” kata Heinrich Heine. Hal yang menjadi bencana literasi sangat memilukan dalam sejarah, ketika buku-buku berharga menjadi lautan karbon hitam yang diinjakinjak pasukan dungu. Tentang –misalnya- 40.000 buku telah dihanguskan di Aleksandria, adalah bagian terpedih dalam sejarah panjang pembakaran yang dimulai di Sumeria Kuno, sekitar 4.000 tahun Sebelum Masehi. Manusia penguasa api telah diperkenalkan kepada mitos dan agama. Jiwa-jiwa primitif dan kosong dibersihkan ke dalam gereja Gotik, masjid Islam, ashram Hindu, perkamen Taurat, roda doa Tibet atau
TANJUNGPINANG POS Koran Nasional dari Kepri
Diterbitkan Oleh: PT Batam Intermedia Pers Terbit sejak tanggal 28 Oktober 2009 Alamat Redaksi: Komplek Pinlang Mas No.15 Lt 2-3 JL.DI Panjaitan-Batu IX Tanjungpinang, Telepon : (0771) 7447234 (hunting), Fax (0771) 7447085
dinding-dinding ratapan Yahudi. Bahkan manusia menyembah api itu sendiri, atau bola api besar bernama matahari di samping batu-batu paganisme. Batu – batu yang sebenarnya jika diadu, menghasilkan api juga. Sejak itu manusia diperkenalkan kepada Iblis atau makhluk kegelapan dengan istilah apapun. Mereka terbuat dari api untuk menjerumuskan manusia ke dalam api di hari pembalasan. Manusia adalah makhluk penguasa api di dunia nyata, tapi jiwanya dipanggang oleh api abstrak yang disulut para legiun setan. Maka api-api yang dikuasai manusia akan semakin
menghanguskan, dan apiapi yang berkobar dalam jiwanya akan terus membinasakan. Pertempuran intelektual antara Adam Smith dan Karl Marx misalnya, adalah pergelutan pikiran antara dua filsuf demi kesejahteraan umat manusia, sampai kemudian manusia menerjemahkannya dengan cara api. Maka kapitalisme dan komunisme di belakang hari akan sama jahatnya. Adam Smith yang dianggap sebagai pencetus kapitalisme justru adalah seorang dosen filsafat moral. Dia tidak hanya bicara tentang pasar bebas melainkan juga tentang moral sentimen. Dengan kata lain, konsep dasar
Pimpinan Umum/GM/Penjab : M Nur Hakim Wakil Pimpinan Umum : Ramon Damora Pemimpin Redaksi : Ramon Damora Wakil Pemimpin Redaksi : Zakmi Pimpinan Perusahaan : M Nur Hakim Manajer Umum/Adm/Keu : Ari Istanti Manajer Pemasaran : M Nur Hakim Manajer Iklan : M Nur Hakim
PEMBINA MANAJEMEN : Rida K Liamsi, Suhendro Boroma
Dewan Redaksi : M Nur Hakim, Ramon Damora, Zakmi, Martunas Situmeang, Abbas, Fatih Muftih
ekonomi sesungguhnya adalah sarana untuk mencapai kesejahteraan bersama. Sedangkan Marx adalah seorang pemikir sosialisme ekonomi yang paling berpengaruh, terlepas apakah dia penganut materialisme historis-atheis. Gerakan sosialisme ekonomi sendiri muncul ketika pasar yang menjadi andalan kapitalisme, mulai bergerak liar dan meninggalkan konsep ekonomi sebagai kegiatan bersama untuk mencapai kebaikan bersama. Masyarakat terbelah dan terpola menjadi kelompok kapitalis dan buruh, lalu menjadi borjuis dan proletar. Ekonomi bertumbuh tetapi
alih-alih sejahtera bersama, para borjuis menjadi penindas dan penghisap. Api penghangus telah berada di tangan para penjahat revolusi industri dan kolonialis di pihak Smith dan api-api lainnya di pihak Marx dipegang dengan brutal oleh Lenin, Stalin, Mao, Castro sampai Pol Pot dan para komunis radikal yang membantai di Indonesia. Api berjabat tangan dengan kedunguan dan ketergesa-gesaan untuk tidak memikirkan esensi Smith dan Marx, sebagai nabi baru mereka. Api telah menyediakan titik panas di sebentang jembatan panjang sejarah. Menjadikan umat manusia sebagai makhluk terkuat
sekaligus terlemah secara akal budi. Dan makhluk api telah ikut campur sedemikian jauh untuk sebuah akhir api abadi di hari perhitungan. Inilah hikayat api. Secara domestik, api mampu melunakkan makanan, membunuh bakteri dan parasit, penghangat dan penerang di masa lampau, lalu juga menjadi energi listrik di abad modern untuk menyalakan apa saja. Api mampu menjadi teman terbaik ketika ia kecil, atau berhati-hatilah ketika ia mulai membesar. Jangan bermain api dan jadilah penjinak api, bukan sebaliknya. Agar hikayat api tidak melulu soal kobaran. ***
DIVISI REDAKSI Redaktur Pelaksana Kompartemen: Martunas Situmeang, Abbas, Fatih Muftih. Redaktur: Martua P Butarbutar, Yusfreyendi, Adly Bara Hanani Reporter: Suhardi (Koordinator), Desi Liza Purba, Andri Dwi Sasmito, Raymon Sandy, Jendaras Karloan (Bintan Utara), Tengku Irwansyah (Lingga), Daniel Tambunan (Karimun), Hardiansyah (Natuna), Indra Gunawan (Anambas). Sekretaris Redaksi: Fauziatul Husna Ardelia
Tarif Iklan
Halaman Muka (FC) Rp 30.000,-/mm kolom. Halaman Muka (BW) Rp 25.000,-/mm kolom. Halaman DIVISI ONLINE Fatih Muftih (Penjab), Desi Liza Purba (Wakil Penjab) Dalam,- (FC) Rp 25.000,-/ mm kolom. DEPARTEMEN PRACETAK/LAYOUT/PERWAJAHAN: Dobby Fachrizal (Manajer), Syafrinaldi (Penjab Layout), Gilang Dhikapati, Agung Saputra Prastya (Staff). Halaman Dalam (BW) Jaringan/IT/Online: Rahmat Santoso (Penjab). Rp 15.000,-/mm DIVISI BISNIS kolom. Iklan Umum/ Departemen Umum, Adm, & Keuangan: Penjab: Dahlia , Kasir: Reynaldi Syah Display (BW) Rp Customer Service: Dilas Tari Umum: Irhamna. Departemen Iklan: Saifullah (Ass. Manager), 15.000,-/mm kolom. Penjab Desain Iklan: Kevin Perdana, Wira Harjuman. Penjab Adm Piutang: Dahlia Anna, Juni Ella. Penjab Penagihan: Jefri, Departemen Pemasaran & EO: Rijon Sitohang (Penjab Ekspedisi) Iklan Ucapan Selamat Yurika, Sri Wahyuni, Afriyanti (Penjab Adm Piutang dan Retur). (FC) Rp 7.000,-/mm Departemen Pemasaran Koran: kolom. Iklan Ucapan Rijon Sihotang (Penjab Ekspedisi), Eris Surahman, Pariadi. Selamat (BW) Rp Penjab Pemasaran Koran: Hardian, Sudiarta,Wahyu Gustianto, Isep Ilham, Tarmizi 3.500,-/mm kolom. Penjab Langganan Koran: Afriyanti, Sri Wahyuni (Staf) Iklan Dukacita Rp Perwakilan - Perwakilan 3.500,-/mm kolom. Batam (Martua Butar-butar, Tarmizi Rumahitam), Lingga (Tengku Irwansyah), Bintan Utara (Jendaras Karloan), Karimun (Alrion Tambunan), Natuna (Hardiansyah), Anambas (Indra Sport Color Rp 7.000,Gunawan), /mm kolom. Advertorial Kepala Biro Iklan Jakarta: Shanti Novita Rp 5.000,-/ mm kolom.
Dicetak pada : PT Ripos Bintana Press. Isi di luar tanggung jawab percetakan.
REDAKTUR: FATIH
LAYOUT: SYAFRINALDI
TANJUNGPINANG POS Koran Nasional dari Kepri
MINGGU 4 MARET 2018
REDAKTUR: ADLY BARA
IKLAN
8
LAYOUT: SYAFRINALDI
Jembia
MINGGU 4 MARET 2018
TANJUNGPINANG POS Koran Nasional dari Kepri
Jembia terbuka untuk semua tulisan dan foto seni kreatif. Kirim naskah, biodata, foto terbaru Anda ke alamat email: jembiatanjungpinangpos@gmail.com
Wahai Penulis, Mari Berlari!
ILUSTRASI NOVELIS HARUKI MURAKAMI SEDANG BERLARI YANG TERBIT DI MAJALAH NEW YORKER
Menjangkau kilometer demi kilometer itu menyiksa, menuntut fokus, dan hipnotik – seperti menuliskan kata per kata di atas kertas.
NICK RIPATRAZONE – The Atlantic (Diterjemahkan oleh Fatih Muftih)
D
ARI The Iliad karya Homer sampai puisi A.E. Housman tentang seorang atlet yang mati muda, dilukiskan
d engan sangat gamblang tentang aktivitas berlari. “Bergeraklah seperti tungkai pelari bekerja,” tulis W.H. Auden, “Pada sebuah orbit, yang melingkar dan tanpa akhir.” Memang telah ada sejak dahulu kebiasaan ketika penulis sejenak meletakkan pena atau meninggalkan layar dengan berjalan-jalan. Jonathan Swift, menurut Samuel Johnson, biasanya “lari ke bukit setiap dua jam sekali, setengah mil naik dan setengah mil turun” ketika ia berusia 20-an. Sedangkan Louisa May Alcott sudah biasa berlari sejak muda: “Saya selalu berpikir saya adalah seekor rusa atau seekor kuda di sebuah bekas ladang,” tulisnya di sebuah jurnal, “karena berlari itu sangat menyenangkan.” Perasaan merdeka, kesadaran, dan bahakn keliaran: Lari memberi ruang pada penulis REDAKTUR: FATIH MUFTIH
untuk sejenak meninggaldengan spasi tunggal dan kan dari tujuan yang diketik di atas kertas. memusingkan. Ketika “Lari, bagi saya, seperti sedang bersihadap memperlebar kesadaran saya dengan masalah dalam seperti ketika sedang penulisannya yang menulis. Nampak seperti di “panjang, geram, frustrasi film atau mimpi,” tulisnya. dan kadang-kadang Lari sangat Oates masih terus berlari menyiksa ketika pagi menaiki bukit yang dia membantu saya tiba,” Joyce Carol Oates rasakan seperti, “ada akan dengan mudah ‘berpindah’ dari sebuah ide yang menunggu meredakannya lewat lari saya di sana. Sebuah ide satu dunia ke pada sore hari. yang tidak pernah sama Bagi Oates dan penulis dunia lain. jikalau saya hanya duduk di lain, lari adalah proses kamar.” Pepohonan, dan pembuktian, yang Don DeLillo juga menikakan begitu berguna burung-burung, mati efek dari berlari usai ketika terkungkung dari menulis pada pagi hari. “Lari gerimis – suatu intensitas pekerjaan yang sangat membantu saya selingan yang dilakukan. Tapi, sebenarn‘berpindah’ dari satu dunia ya lari juga bagian dari ke dunia lain. Pepohonan, menyenangkan.” sebuah pekerjaan menulis. burung-buruung, gerimis – Kemantapan menapaki suatu selingan yang menykilometer demi kilometer enangkan.” adalah cerminan dari kemantapan menulis dari Mengapa banyak penulis menyukai berlari? halaman ke halaman. Sebab berlari juga mengajarkan tentang Ketika berlari, penulis mempertajam kemamkebebasan dari jarak, sebuah ruang sunyi puannya fokus untuk menyelesaiakn tugas yang sama ditawarkan dalam kegiatan menulis dengan memasuki alam pikir baru, semacam itu sendiri. Ada ruang meditatif antara napas kata ke kata, atau kilometer ke kilometer. yang terengal-engal dan jarak yang diusaKetika perayaan Hari Sabat di London pada hakan. 1972, Oates yang dirundung rindu kampung Penulis dan pelari bekerja dalam alam pikir halaman memilih berlari. Dan di waktu yang yang sama, dan penulis-yang-berlari akan sama, ia mampu menulis jurnal empat ribu kata dengan lebih mudah menyadari hubungan
”
keduanya, bahwasanya antara seni dan olahraga, adalah suatu mutualisme yang menyenangkan. Novelis Haruki Murakami, pernah menjadi seorang manajer bar Jazz di Tokyo. Semasa itu, gaya hidupnya buruk sekali dengan mampu menghabiskan 60 batang rokok dalam sehari. Lalu ia mulai berlari untuk memperoleh kesehatannya kembali sekaligus mengurangi berat badannya. Ketika novel ketiganya baru dirilis, ia merasa baru benar-benar menjadi penulis seutuhnya. “Dan perasaan ini,” kata Murakami, “timbul seiring ketika saya memutuskan untuk serius berlari.” Bagaimana pun, diakui dia, rutinitasnya berlari membantunya dalam menyelesaikan kalimat demi kalimat, halaman demi halaman. Seorang Neurosaintis, pernah menjelaskan, bahwasanya pengalaman berlari itu serupa dengan mengalami ketakterhinggaan-dalamwaktu-dan-ruang. Di sini, perhatian terpusatkan dan imajinasi terbangunkan. Sekali lagi, penulis dan pelari menggunakan jargon yang sama: taklukkan penghalang, untuk menggambarkan momen ketika bekerja segenap tenaga itu sebagai sebuah keriangan. Ketika majal di kalimat, penulis harus mengikat tali sepatunya dan pergi lari. Memang, sehabis itu, ia akan berkeringat, dan lebih lelah, tapi percayalah, seringkali sehabis lari itu tenaga untuk merampungkan kalimat demi kalimat jadi lebih prima.***
LAYOUT: DOBBY F
10
hari puisi
MINGGU 4 MARET 2018
TANJUNGPINANG POS Koran Nasional dari Kepri
sajak-sajak INDRA ANWAR Hujan Pagi
Melipat Waktu
Di luar hujan sedang deras Membasahi tanah Sedang diriku masih terbungkus selimut
Renik hujan musnah Seperti diriku menghapus jejak Kristal Di mata nelayan pada samudra Sebab angin menerkam sampan
Petir sesekali menggelegar Menyambar cakrawala
Jejak langkah lorong yang ditelusuri Masih membekas kepalsuan rindu Seperti melipat waktu Walau malam tak tersenyum
Pasangkayu, 3/4/2017
Kasih, kembali gerimis hujan tanpa koma Tak berujung Bak camar pulang tak bersarang Pasangkayu, 03/3/2017
Hujan Senja Aku tak menikmati senja tapi, kunikmati ialah hujan dan gerimis yang jatuh membasahi bumi Debu terjilat-jilat-basah Bukan pula tentang sepotong senja yang nampak bukan pula tentang sepotong yang melebur dengan laut yang menjadikannya orange Namun, ini tentang senja yang membasahi tanah setelah mangrove, udara, air, tanah yang rusak laut tercemar bau menusuk hidung dan tanah yang berbaur zat kimia
Terperangkap Puisi
Ini tentang senja yang menangis Polman, 25/3/2017
Aku terperangkap pada badai puisi bak menerkam jiwa menguliti Aku terpenjara lautan diksi saat media memberi warta di tiap rubrik sastra Aku tergilas sajak-sajak penyair Hingga raga serasa diinfus puisi Aku menggila di bait puisi Pasangkayu, 19/3/2017
INDRA ANWAR, banyak menulis puisi dan cerpen. Tinggal di Pasangkayu Mamuju Utara sebagai jurnalis.
Tantangan & Masa Depan Kritik Sastra Indonesia BAGIAN PERTAMA DARI DUA TULISAN OLEH: MARTIN SURYAJAYA
Kritikus, Pemikir
D
ALAM perkembangan sastra Indonesia kontemporer, orang sering mempertanyakan di mana sumbangan para kritikus. Sebagian berpendapat bahwa kritik sastra kita tidak lagi melahirkan polemik besar di tataran paradigmatik. Setelah polemik seputar ‘sastra wangi’ dan ‘sastra digital’ pada awal tahun 2000-an, kita tak menjumpai lagi polemik sastra dengan permasalahan yang cukup segar (kecuali permasalahan musiman seperti pembabakan angkatan dan kanon sastra). Kita pernah punya sederet polemik sastra yang cukup mendasar, yang memaksa kita mempertanyakan kembali hakikat dan fungsi sastra serta memperlihatkan peran kritik sastra yang demikian penting. Sebut saja polemik metode genzheit di tahun 1968, pengadilan puisi tahun 1974, debat sastra konstekstual tahun 1984, polemik hadiah Magsaysay untuk Pramoedya Ananta Toer tahun 1995, dan lain sebagainya. Kita sepertinya kekurangan polemik sastra yang cukup berarti dewasa ini. Sebagian orang menafsirkan fenomena ini sebagai mengendurnya fungsi kritik. Anggapan ini dapat dipahami apabila kita tempatkan polemik sebagai gejala dari perbendaan pandangan yang fundamental tentang hakikat dan fungsi sastra – wilayah wacana yang secara tradisional merupakan gelanggang kerja para kritikus. Perbedaan pandangan yang mendasar ini hanya bisa muncul kalau ada penggalian atas khazanah sastra Indonesia secara kreatif. Artinya, polemik sastra dapat dipandang sebagai barometer kekuatan kritik sastra kita sehingga langkanya polemik mengindikasikan lemahnya kekuatan kritik sastra dalam medan sastra Indonesia kontemporer. Polemik-polemik besar sastra itu pada umumnya punya daur hidup yang spesifik. Polemik semacam itu hampir selalu muncul dari (1) rangkaian artikel kupasan sastra di surat kabar atau majalah, (2) dilanjutkan dalam semacam saresehan sastra, lalu (3) seluruh tulisan polemik itu dibukukan, kemudian (4) dikomentari dan ditafsirkan ad nauseam dalam jurnal-jurnal kritik sastra akademik dan di ruang-ruang kuliah sastra Indonesia. Daur hidup semacam ini, dengan kata lain, dikondisikan oleh situasi budaya analog. Kedatangan era digital dan media sosial mengubah lanskap kritik sastra kita. Perdebatan sastra di suratkabar mulai digantikan oleh ribuan perdebatan (dan pertengkaran) sastra di media sosial. Intelektual koran terasa kurang relevan dibandingkan intelektual twitter. REDAKTUR: FATIH
Kritik sastra di jurnal-jurnal akademik semakin kehilangan apinya dibandingkan kritik sastra di facebook dan celometan sastra di kolom komentarnya. Dapat dinyatakan dengan agak pasti bahwa kritik sastra kita dewasa ini telah mengalami migrasi ke habitat digital, seperti webzine, v-log, dan linimasa berbagai media sosial. Yang menjadi pokok di sini bukan sekadar peralihan wahana (dari analog ke digital) taetapi juga peralihan bentuk dan sifat-sifat dari kritik sastra itu sendiri. Kekhasan wahana digital mendorong timbulnya praktik kirik sastra yang juga khas. Salah satu ciri yang paling mengemuka adalah keragaman bentuk kritik. Sementara suratkabar cenderung menyeragamkan bentuk kritik (sesuai kaidah bahasa tulis yang sopan dan sederhana), media sosial cenderung memungkinkan keragaman bentuk kritik tanpa kaidah umum sama sekali di mana bahasa lisan tanpa tanda baca, lengkap dengan variasi bahasa kebun binatang dan bahasa laboratorium, berpadu dalam satu diskusi. Sifat kritik pun bergeser, dari yang tadinya cenderung terfokus pada satu duduk perkara menjadi menyebar dan terfragmentasi dalam berbagai aspek tanpa sistematika. Saking riuh dan ruwetnya, kritik sastra dalam wahana digital (khususnya debat sastra di facebook) mungkin dapat kita bandingkan dengan automatic writing para penyair surealis dan gaya tulis “arus kesadaran” para pengarang modernis. Perubahan “mentalitet” ini tidak hanya berhenti di ranah digital saja, tetapi meresap dalam dunia keseharian kritik sastra kita. Yang jelas era digital mempersulit pemusatan tunggal dalam kancah sastra Indonesia. Kita tahu bahwa sejak tahun 1994, sejumlah sastrawan daerah mengkritik kecenderungan pemusatan dalam sastra kita, yakni pemusatan pada ukuranukuran sastra ibu kota untuk menilai mutu karya sastra. Ketika kita sudah setengah badan dalam era digital seperti sekarang ini, kecenderungan pemusatan itu telah digantikan oleh kecenderungan penyebaran pusat-pusat kecil sastra Indonesia. Pusat-pusat kecil ini bergravitasi di sekitar tokoh sastra idola. Kecenderungan sastrawan untuk menghadirkan diri sebagai pusat perhatian pun dimungkinkan lewat media sosial. Seorang sastrawan idola bisa saja menyapa “Selamat pagiii” di beranda facebooknya dan dalam tempo satu jam sudah terkumpul sekurangkurangnya 500 jempol. Dalam suasana seperti ini, kritikus digital pun cen-
derung bergerombol di sekitar sastrawan idola. Polemik terjadi mana kala kritikus dari satu mini-pusat bersilangpendapat dengan kritikus dari minipusat yang lain. Terjadilah polemik kecil-kecilan di antara kritikus yang gemanya hanya terdengar di kedua minipusat itu. Polemik sastra kita dewasa ini, karenanya, mewujud dalam ratusan minipolemik di kalangan fanboys (misalnya tawuran sastra di media sosial antara fanboys Tere Liye dan fanboys Eka Kurniawan tahun lalu). Semua gejala ini memperlihatkan tidak berlakunya ukuranukuran zaman analog (seperti ada/ tidaknya polemik besar) untuk menyimpulkan sehat/tidaknya kritik sastra kontemporer. Kita perlu memeriksa keseluruhan ekosistem sastra dan kritik sastra Indonesia kontemporer untuk menakar permasalahan kita sebenarnya, kemudian mencari jalan keluar yang mungkin diusahakan bersama. Ekosistem Sastra dan Kritik Sastra Kita Perkembangan sastra digital, tentu saja, bukan satu-satunya unsur pembentuk lanskap kesusastraan Indonesia kontemporer. Kita mesti melengkapi lukisan kita dengan mempertimbangkan dikotomi klasik “desa – kota” atau “pinggiran – pusat”. Sekalipun dikotomi ini dalam banyak hal telah dijembatani oleh media sosial dan teknologi digital lainnya, kita tak bisa mengabaikan efek yang diberikan oleh cuaca kultural sebuah daerah (desa/ kota) pada warna kesusastraan dan kritik sastranya. Suhu udara, suara, rutinitas hidup, dan hubungan sosial yang membentuk temperamen sastra dan memberi corak pada kritik sastra yang berkembang di sana. Berangkat dari kesadaran itu, kita dapat menganalisis ekosistem sastra dan kritik sastra di beberapa daerah. Yang dimaksud “ekosistem” di sini ialah totalitas hubungan yang membentuk posisi sastrawan, kritikus sastra, dan publik sastra di suatu daerah tertentu. Sudah pasti analisis yang saya ajukan
ini tidak menyeluruh, apalagi lengkap. Dengan ini, saya bermaksud untuk memperlihatkan jurang perbedaan yang sangat lebar dalam se-mesta imajinasi sastra dan kritik sastra di antara berbagai daerah sebagai ilustrasi dari keragaman ekosistem sastra dan kritik sastra Indonesia. Kita bisa ambil contoh ekosistem sastra kelas meneng a h urban di Jakarta. Di sebagian kalangan anak muda Jakarta, kita jumpai acuan pada para pengarang dan penyair kontemporer luar negeri yang menjadi sumber inspirasi dalam berkarya maupun melancarkan telaah sastra. Sebagian publik muda sastra kita fasih bicara soal pengarang-pengarang yang baru dikenal di dunia (dalam satu dekade terakhir) seperti Roberto Bolaòo, Enrique Vila-Matas, Etgar Keret, dan sastrawan Eropa yang kurang dikenal di Indonesia seperti Comte de Lautréamont. Imajinasinya terbangun oleh subkultur hipster, musikalisasi puisi band indie, dan kafe-kafe di selatan Jakarta. Kritik sastra yang dilontarkan pun dipenuhi acuan dan alusi ke unsur-unsur “budaya pop tinggi” semacam itu. Ukuran-ukuran kritiknya pun didasarkan pada selera kelas menengah urban yang memprioritaskan literary motives seperti kesunyian dan keterasingan. Mereka menulis di webzine dan menggelar forum diskusi sastra di situs-situs hipster Ibu kota. Para sastrawan dan kritikusnya hidup sebagai desainer grafis, copy writerperusahaan iklan, wirausahawan kafe, pegawai perusahaan startup, kadang juga pegawai LSM. Mereka praktis tidak bergaul dengan ekosistem sastra lain yang hidup di Jakarta, seperti Kelompok sastrawan dan kritikus yang berkumpul di Wapres Bulungan, demikian pula sebaliknya. Sebagai pembanding kita bisa sebut pula ekosistem sastra di daerah seperti Semarang. Perbedaannya nyaris hitamputih dengan ekosistem sastra kelas
menengah urban di Jakarta. Dibandingkan skena kesusastraan kontemporer Jakarta, Semarang boleh dibilang seperti “kawasan konservasi” atau “hutan lindung” sastra Indonesia era 1990-an. Ke acara pembacaan puisi manapun di Semarang kita hampir selalu bertemu dengan semacam “Rendra”. Para sastrawan dan kritikusnya menggeluti isu-isu abadi sastra Indonesia. Mereka tidak mengakses sumber-sumber kontemporer dari luar negeri. Pembacaan puisi dan forum kupasan sastra diadakan di angkringan ataupun warung-warung sekitar Taman Budaya Raden Saleh. Kalau modalnya cukup banyak, bisa juga diselenggarakan di dalam gedung TBRS. Para sastrawannya hidup dari melatih ekstrakurikuler teater di sekolahsekolah, sebagian tergabung dalam jajaran SKPD, sebagian lain berprofesi sebagai dukun. Kritikusnya hidup dari juri lomba puisi antar SMA, membuka warung nasi, mengadakan kegiatankegiatan sastra dari anggaran Disbudpar dan menjadi stringer di media massa lokal. Ekosistem sastra semacam ini membentuk semesta imajinasi sastra yang sepenuhnya berbeda dari ekosistem sastra kelas menengah urban Jakarta. Para sastrawan dan kritikus dalam kedua ekosistem itu sama-sama memainkan media sosial. Akan tetapi, betapa asingnya mereka satu sama lain. Mereka seperti hidup dalam “Sastra Indonesia” yang berbeda. Bagi para sastrawan dan kritikus urban Jakarta, “Sastra Indonesia” terbuat dari kesunyian kota besar, kepelikan konsep-konsep filsafat dan obsesi untuk “menjadi kontemporer sendirian”. Mereka adalah perlambang dari “gentrifikasi sastra Indonesia” (pengelas-menengahan selera #aesthetic bangsa Indonesia). Bagi para sastrawan dan kritikus daerah seperti Semarang, “Sastra Indonesia” terbuat dari proyek-proyek Pemda, silsilah hutang-piutang di warung makan dan obsesi untuk menjadi “sastrawan dan kritikus nasional”. Mereka bicara tentang “darah-daging sastra Indonesia” dan menjual motornya untuk menerbitkan buku puisi. Keduanya hidup dalam sensibilitas estetiknya sendiri. Yang jenaka bagi yang satu, menyedihkan bagi yang lain. Yang sublime bagi yang satu, membosankan bagi yang lain. Yang mengharukan bagi yang satu, konyol bagi yang lain. Yang indah bagi yang satu, menyebalkan bagi yang lain. Kita sungguh-sungguh hidup dalam “sastra Indonesia” yang berbeda. (bersambung) LAYOUT: SYAFRINALDI
11
niskala
MINGGU 4 MARET 2018
TANJUNGPINANG POS Koran Nasional dari Kepri
candubuku
“
Aku lebih menyukai aroma sebuah buku daripada setangkai mawar.”
Akasia
10 Buku Sepak Bola Terbaik (1)
Cerpen: Nafi’ah al-Ma’rab Kami terlahir di bumi yang tak diharapkan. Setiap kehidupan kami menjadi sesak di dada para lelaki tua di kampung ini. Kami meneduhkan bumi yang terlarang. Kami dicerca, dan mungkin saja orang-orang sudah siap membunuh kami kapan saja.
KU dan teman-temanku selalu menanti cahaya. Saat lesatan kemuning surya menyinggahi wajah-wajah kami, itulah yang kami katakan kehidupan. Menikmatinya, menghirupnya, merasakan kesejukannya. Lalu pelan-pelan hembusan dari syurga pun datang. Ia singgah sejenak di kelopak bunga berbentuk lingkarang berwarna coklat. Lalu berhembus lagi menerbangkan butiran serbuk hitam, jatuh ke bumi. Keesokan harinya sedikit demi sedikit sebuah batang hijau tumbuh. Lalu daunnya melebar, batangnya meninggi. Terus begitu, sampai seorang lelaki menghampirinya dengan senyum sumringah. Dia begitu girang saat kami mulai tumbuh. Bukan di satu sudut bumi saja, ditiap jengkal tanah di kampung ini. Ia mengusap kumis tebalnya, manggutmanggut dan tersenyum lebar pada karyawannya. “Bagus, kalau begini bisnis kita bisa tambah maju.” “Tapi Pak…” “Kenapa?” “Ada yang tau soal ini.” “Siapa?” “Pak Madi.” “Lelaki tua itu? Hah, mau kupecat anaknya jadi karyawanku?” Sebenarnya, kami tak tau menau soal cerita lelaki itu dan karyawannya. Kami hanya mengemban risalah langit untuk tumbuh menghijaukan bumi. Kami telah mengikat janji pada buana, akan membuat penduduk kampung ini tersenyum. Membantu para anak muda memberikan sedikit rupiah pada emak-emak mereka di awal bulan. Tapi aneh, kami lihat sorot mata orang-orang di sini justru sebaliknya. Mereka seolah ingin membunuh kami, mencincang-cincang tiap belah dahan kami. Entah apa yang terjadi. Entah apa pula rahasia senyum Pak Muhtar disetiap kali menyaksikan kami mulai bertapak di tanahnya. Kami hanya melihat kerisauan yang tak sudah di mata para lelaki tua di kampung ini. Mereka seperti dilema. Anak-anak mereka menjadi buruh Pak Muhtar, mereka senang dan sejahtera. Tapi para ayah terisak, mereka memendam luka yang tak terzahirkan. Mereka bungkam lantaran tak punya keberanian. Mungkin tak ada yang mengecapi bangku universitas di antara mereka. Yang ada hanya sorot ketakutan manakala Pak Muhtar datang beserta anak buahnya. Mereka pura-pura menunduk hormat, lalu tersenyum palsu. Kami sekali lagi belum mengerti, kenapa risalah kami dibenci. Kenapa para orang tua menanggung luka terpendam. “Pak, kau harus berani bilang pada si Muhtar.” “Aku takut, Bu.” “Tapi tanah kita Pak, aku tak mau toke tanah hanya membayar sebagian hak kita.” “Kurang berapa meter?” “Lima meter Pak. Itu cukup banyak. Bagaimana kita bisa menuntaskan bangunan rumah kalau lima meter tak dibayar toke?” “Tapi Bu, aku tak mau si bujang dipecat. Itu resikonya, Bu. Mau kerja apalagi dia? Gabung dengan preman-preman kampung? Itu juga tak mungkin kubiarkan terjadi. Aku ingin dia tetap seperti sekarang, bisa lebih sejahtera dari kita.” Selalu begitu. Bukan cuma Pak Madi yang takut anaknya dipecat. Semua lelaki di kampung ini berpikiran sama, takut anak bujangnya jadi preman dan sengsara. Jadilah mereka memilih menahan luka. Luka yang kami pun tak mengerti sabab musababnya. Yang kami lihat hanya air mata di sudut mata para wanita. Mereka mengeluh pada pria-pria penakut. Tapi, kenapa mereka mengeluh pada risalah kami? Apa dosa kami? Apa yang salah dengan janji kami pada bumi? Atau jangan-jangan si pria berkumis itu yang
A
REDAKTUR: FATIH MUFTIH
sudah merusak takdir suci kami? Akhirnya kegaduhan terjadi di sore hari. Istri Pak Madi lemas lunglai mendapati amplop berisi uang yang disodorkan si toke tanah kepadanya. Ia memandanginya dengan mata berlinang. Sementara sang suami bungkam menunduk. Lelaki itu membenci keadaan. Ya, entah siapa yang hendak disalahkan. “Madi, kau jangan dendam pulak padaku. Aku tak salah. Tanah kau tu memang tinggal sepuluh meter saja. Itu yang kami ukur barusan.” Toke tanah bercelutuk serba salah melihat pasangan suami istri itu dirundung duka. “Tapi kau lihat di sertifikat ini! Kau tengok lah kemari, ini angkanya lima belas meter. Jangan pulak kau mau ambil hak kami.” “Madi, kau tak tau si Muhtar? Aku tak mau berurusan dengan dia. Pokok akasia itu sudah tumbuh di sana, jadi itu memang sudah jadi tanah dia. Kau jangan pulak menyuruh aku dihajar anak buah si Muhtar. Sudah lah, kau ikhlaskan saja lima meter tu. Lagi pula anak kau si bujang kan dah punya motor sekarang. Suruh lah dia bantu kalian bangun rumah. Aku tak salah, Madi.” “Aku tau itu. Tapi tidak kah kau mau menolong aku? Aku butuh uang. Aku dizhalimi si Muhtar. Kau kaya, kau punya kuasa. Kenapa tak kau lawan si Muhtar?” “Aku tak bodoh Madi. Bisnisku bisa mati kalau kulawan si Muhtar. Sudah lah, kau ikhlaskan saja lah yang lima meter tu. Kalau kau ikhlas, nanti tanah tu kembali juga lagi pada kau.” Akhirnya kami mengerti. Dan kami pula lah yang menjadi saksi atas fragmenfragmen kisah yang terjadi. Betapa manusia mencintai bumi, mereka ingin tinggal kekal di sana meski menautkan luka di hati sesama. Mereka ingin mengabadikan hidup diri sendiri meski bertaruh sengsara dengan saudara. Tapi sudah lah. Itulah ihwal dunia. Tugas kami hanya singgah sejenak memberi kesejukan pada siapa saja. **** Begitulah manusia. Kami ditanam hanya untuk menghidupkan luka. Juragan kaya bernama Muhtar itu sengaja menanam kami dalam jumlah besar, ribuan hektar. Ia menyimpan rahasia maksud menanam kami. Suatu waktu ia pun bercerita pada istrinya di beranda rumah. Dan kami lah lagi-lagi yang menjadi saksi atas fragmen-fragmen kisah yang terjadi. “Bisnis itu tak harus pintar, Munah. Tapi juga harus pintar-pintar.” “Maksud Abang?” “Selama ini memang aku tak pernah kasi tau kau kenapa aku pilih bisnis pohon akasia. Barangkali kalau bukan akasia yang kupilih, bisnisku sekarang tak sebesar ini.” “Maksud Abang apa? Abang menyembunyikan sesuatu?” “Ya, Abang memang menyembunyikan sesuatu, tapi ini demi kau dan anak-anak. Kalau abang nanti meninggal, tak takut rasanya abang mewariskan harta benda ini pada kau dan anak-anak. Abang memilih pohon akasia karena pohon itu mudah tumbuh. Bunganya yang gugur akan cepat jatuh ke tanah-tanah di sekitarnya. Dan orang hanya tau kalau setiap tanah yang ditumbuhi pohon akasia itu adalah milik kita.” Dan kami pun terisak. Akhirnya kami mengerti kenapa kehadiran kami dianggap petaka oleh warga kampung. Inilah manusia perusak risalah langit. Ia punya kejujuran yang sia-sia. Mungkin saja sebentar lagi kejujuran itu akan melahap hidupnya. Entah berapa meter tanah warga ia ambil dengan cara curang. Lalu ia pura-pura menerima anak-anak bujang di kampung ini sebagai karyawan di kebunnya. Ia gagah berkacak pinggang di hadapan warga. Merasa telah memberi sepiring nasi pada anak-anak dari para bapak-bapak yang dengan bodohnya malah kegirangan, ‘Anakku jadi karyawan Muhtar, terimakasih Muhtar, kau lah pahlawan kami.’ Ada yang dengan tololnya bicara demikian. Memuji-muji Muhtar, padahal tak sadar pelan-pelan ia sedang digusur dari kampung itu. **** Dan tanah pun menyimpan luka. Ia kini tak lagi punya aneka pohon besar yang melingkari tubuhnya. Ia marah, ia mengamuk. Lalu ia pun meretakkan bagian-bagian
Madonna Musisi, Aktris
tubuhnya. Saat itu kawanan harimau mulai sadar akan bahaya. Mereka takut kepada tanah tempat mereka bernaung. Ketakutan yang tak pernah disadari oleh Muhtar dan anak buahnya. Gajah-gajah mencaci Muhtar, puluhan burung mengutuk. Mereka tak tega melihat tanah menangis sepanjang hari. Lihat lah betapa satwa mencintai tanah. Mereka tak sanggup menyaksikan kesedihan si tanah. Kini yang dimiliki tanah hanya kami. Ia telah kehilangan hutan sebagai mahkotanya. Kami yang selalu diperas oleh Muhtar untuk menghasilkan rupiah ke dalam dompetnya. Hingga kami semakin mengerti kenapa risalah kami dibenci. Kami sungguh telah sangat mengerti. Di malam hari yang sunyi, saat daun-daun memuntahkan butiran bening ke udara, tanah pun bersujud pada ilahi. Ia memohon agar dibebaskan dari siksa. Daun-daun tersentak mendengar doa tanah. Lantas mereka bangun dari tidur. Beramai-ramai mengamini setiap kata yang terlontar dari mulut tanah. Daun-daun juga memanggil kawanan penduduk hutan lainnya untuk turut sama mengamini. Hewan-hewan datang mengerumuni tanah. Mereka menghibur tanah, membantu tanah berdoa, dilepaskan dari petaka. Seluruh penduduk hutan khusyuk berdoa, mereka ingin dibebaskan dari sengsara. Mereka ingin hidup tanpa cengkraman manusia. Doa-doa yang mengerikan mereka lantunkan. Kami bergidik, kami sungguh ngeri mendengar doa-doa itu. Ingin rasanya kami mendongakkan kepala Muhtar agar ia mendengar doa tanah. Dan sekali lagi, kami lah yang menjadi saksi atas fragmen-fragmen kisah yang terjadi. ***** Ketika manusia membungkam diri dari bicara yang ahsan, langit pun siap menumpahkan sengsara pada setiap makhluk. Manusia lupa bila bumi meradang, mereka akan ditenggelamkan. Sebab tak ada lagi yang mampu bersuara. Bahkan untuk menentang sepatah kata saja pada pria bernama Muhtar. Semua setia pada kebodohan yang diagungkan. Langit memuramkan wajahnya. Ia mengerti derita bumi, meski ia tak pernah bersentuhan dengan tanah. Tapi manusia yang saban hari menginjak tanah, mereka sedikit pun tak paham dengan bahasa alam. Mereka memicingkan mata melihat binatangbinatang hutan yang sudah berani berjalanjalan di perkampungan. Tersebab mereka tak punya lagi rumah bernaung. Yang dilakukan manusia semakin bodoh. Mereka memasang jerat, lalu dua tiga ekor harimau tertangkap. Lalu dibawa lah si raja hutan itu ke pertengahan kampung. Ditonton beramai-ramai oleh anak pinak manusia. Sehinggakan langit mulai menyimpan dendam. Ia akan mengabulkan doa-doa tanah di tengah malam. Ia akan membahagiakan dedaunan yang berzikir menitiskan embun. Di pagi hari yang buta, orang-orang berlarian membawa anak-anaknya. Langit pun mengadzab manusia. Banjir bandang terjadi. Rupanya rintik-rintik hujan tadi malam yang membuat semua orang lena dengan nyenyak adalah pengundang mau di pagi hari. Tanah-tanah berjalan mengitari kampung. Seolah mereka ingin memuntahkan kekesalan pada manusia. Entah dimana Muhtar dan istrinya. Orang-orang sibuk mengurus diri sendiri. Ada yang selamat karena diselamatkan Tuhan. Mereka bertasbih usai subuh. Mata mereka lah yang lebih dulu melihat saat bongkahan tanah bercampur air kecoklatan menghantam apa saja yang dilalui. Lalu mereka buruburu berlari ke tempat yang lebih tinggi. Semua terisak kehilangan saudara. Anakanak kehilangan bapak dan ibunya. Rintihan di mana-mana. Tanah kian mengamuk. Ribuan hektar kebun akasia milik Muhtar lesap dalam hitungan menit. Dan lagi-lagi, kami lah yang menjadi saksi atas fragmenfragmen kisah yang terjadi.***
NAFI’AH AL-MA’RAB, nama pena dari Sugiarti. Sejak 2009, aktif di komunitas Forum Lingkar Pena Riau, menulis berbagai antologi puisi, cerpen, essay, resensi, opini, novel dan sebagainya.
Sebagai olahraga paling populer di dunia, sepak bola tidak lengkap jika hanya ditonton. Banyak buku yang ditulis dengan baik dan memikat yang wajib dibaca seputar sepakbola. Berikut ini sepuluh buku sepak bola terbaik dari berbagai sumber:
1. A Life too Short oleh Ronald Reng Jika ada buku tentang sepak bola yang bisa membuat Anda menitikkan air mata, maka inilah salah satunya. Buku ini disusun oleh jurnalis Jerman, Ronald Reng, untuk menepati janjinya kepada istri mendiang Robert Enke, kiper tim nasional Jerman yang tewas akibat bunuh diri. Di awal cerita, buku ini mengisahkan Enke muda yang penuh gairah dan bermasa depan cerah. Seiring perjalanan kariernya, depresi terus-menerus melandanya akibat karier yang sempat terjun bebas kala membela Barcelona di Liga Spanyol dan Fenerbahce di Liga Turki. Separuh jiwanya pun sudah lama mati ketika putri kesayangannya meninggal karena sakit. Kemudian Enke lebih memilih mengakhiri hidupnya sendiri, justru ketika pintu tim nasional Jerman mulai terbuka untuknya. Tragis.
2. I Am Zlatan oleh Zlatan Ibrahimovic dan David Lagercrantz Biografi ini benar-benar lain dari yang lain karena ditulis dengan gaya bertutur yang unik. Sosok Zlatan Ibrahimovic dibuat sebagai seorang jagoan yang tak mau diatur. Namun, di sisi lain ia digambarkan sebagai pekerja keras dan memiliki harga diri tinggi. Tentu saja yang paling menarik dari buku ini adalah cerita tentang apa sebenarnya di balik perseteruan dengan Pep Guardiola yang menyebabkan ditendangnya Zlatan dari tim inti Barcelona. Di buku ini, Zlatan mengalirkan semua unekuneknya dengan bantuan jurnalis asal Swedia David Lagercrantz.
3. Fear and Loathing in La Liga oleh Sid Lowe Sepak bola Spanyol tak pernah lepas dari pembahasan sosiokultural dan politik. Itulah yang diangkat jurnalis terkenal Sid Lowe dalam bukunya ini. Mengambil perseteruan abadi Real Madrid dan Barcelona sebagai fokus utama, Lowe mengajak kita menengok kembali sejarah Spanyol dari masamasa setelah Perang Dunia I dan II dilihat dari kacamata penggemar sepak bola.
4. Inverting the Pyramids oleh Jonathan Wilson Buku ini terpilih menjadi Best Fooball Book dalam penghargaan British Sports Book Awards pada tahun 2009. Cukup jarang buku sepak bola mengkhususkan isinya untuk membahas taktik, sehingga karya Jonathan Wilson ini menjadi sebuah karya yang banyak dicari. Wilson membahas revolusi taktik negara-negara Eropa hingga Amerika Latin dengan cara bertutur yang mudah dipahami pembaca awam sekalipun.
5. The Damned United oleh David Peace Salah satu buku sepak bola terunik karena memakai gaya penulisan novel untuk mengisahkan hari-hari Brian Clough di Leeds United. Penulis Inggris David Peace sengaja memaparkan kegagalan pelatih legendaris tersebut sebelum mereguk sukses bersama Nottingham Forest. Meski menuai kontroversi karena dianggap banyak memuat fakta tak akurat mengenai hidup Clough, buku ini laris manis di pasaran ketika diterbitkan pada tahun 2006. (Bersambung)
LAYOUT: DOBBY F
12
perada
MINGGU 4 MARET 2018
TANJUNGPINANG POS Koran Nasional dari Kepri
Korte Genealogie Sisilah Keluarga Diraja Kerajaan Johor 1780-1827
H
KUTUBKHANAH KOL OM OLOM
ASWANDI SYAHRI
Sejarawan Kepri
AL ihwal silsilah keluarga diraja kerajaan Riau-Lingga-Johor-dan Pahang (yang nama awalnya Kerajaan Johor) tidak hanya menjadi perhatian penulis-penulis kronik istana seperti Raja Ali Haji dan ayahnya Raja Ahmad, atau penulis kronik istana Johor periode sebelumnya seperti Engku Busu yang karyanya menjadi rujukan Raja Ali Haji dan ayahnya saja. Terlepas dari kepentingan politik kolonial yang ada di sebaliknya, tak sedikit pejabat kolonial Belanda yang pernah bertugas di Negeri RiauTanjungpinang, mulai dari Resident di tingkat yang paling tinggi hingga Controleur di jenjang yang paling rendah, menaruh minat yang besar terhadap sejarah dan silsilah keluarga istana Riau-Lingga-Johor-dan Pahang. Dan memang, kebanyakan dari mereka yang dikirim bertugas di Negeri Ria (Tanjungpinang) oleh Batavia, adalah orang-orang yang fasih dalam hal sejarah, kebudayaan, dan bahasa Melayu. Dari sejumlah nama yang dikenal, yang paling terkenal mungkin adalah Resident Eliza Netscher melalui karyanya yang berjudul Nederlanders in Djohor en Siak 1602 tot 1865, Belanda di Johor dan Siak 1602 hingga 1865 (1870), dan seorang pegawai bahasa (Taalvorser) yang kemudian juga pernah menjadi Resident Riouw di Tanjungpinang, Hermann von De Wall, yang tunak meneliti bahasa Melayu Riau dengan bantuan Raja Ali Haji dan Haji Ibrahim dari Pulau Penyengat. Kutubkhanah minggu ini akan memperkenalkan sebuah sumbangan seorang Resident Riouw di Tanjungpinang yang menulis manuskrip silsilah ringkas dan sejarah keluarga istana Riau-Lingga ketika masih bernama Rijk van Djohoor (Kerajaan Johor): sebuah manuskrip yang ditulis dalam bahasa Belanda pada tahun 1872. Koleksi Warisan KITLV Judul lengkap manuskrip ini adalah Korte Genealogie der Vorstelijke Familie van het Rijk van Djohor (selanjutnya disingkat Korte Genealogie), yang jika diterjemahkan kedalam bahasa Melayu kira-kira artinya adalah Silsilah Ringkas Keluarga Diraja Kerajaan Johor. Hingga kini diketahui hanya ada dua manuskrip Korte Genealogie. Dulu keduanya berada dalam simpanan Perspustakaan Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde (KITLV) di Leiden, dan kini menjadi bagian dari koleksi warisan KITLV yang disimpan di Perpustakaan Universitas Leiden, Belanda. Menurut catatan dalam katalog lama KITLV, manuskrip ini ditulis pada tahun 1827. Manuskrip pertama bernomor katalogus H (Handschriften) 369 dan ditulis di atas kertas Eropa setebal 36 muka surat. Ada pun manuskrip kedua yang merupakan hadiah dari J.D. van
Herwerden kepada Perpustakaan KITLV-Leiden pada 1878, bernomor katalog H 492 yang tebal juga 36 halaman. Kondisi kertas dan tulisan manuskrip ini masih sangat baik dan jelas terbaca. Selain dalam bentuk manuskrip asli, keduanya juga tersedia dalam format alih media berupa microfis (aanwezig op microfiche). L.C. von Ranzow Nama lengkap penulis manuskrip ini adalah Lodewijk Carel des H.R. Rijksgraaf von Ranzow. Dalam katalogus manuskrip Melayu dan kepustakaan tentang sejerah Riau-Lingga biasanya disingkat menjadi L.C. von Ranzom. Siapa von Ranzow? Dari nama dan gelar yang melekat pada pada nama batang tubuhnya, berkemungkinan besar ia adalah keturunan bangsawan Jerman. Lahir di daerah Manaar dalam wilayah Sri Lanka pada 13 Desember 1787. Pada 29 Mei 1822 ia menikah dengan Wilhelmina Koek yang lahir di Melaka. Dua tahun setelah pecahnya pemberontakan Arung Bilawa di Negeri Riau-Tanjungpinang antara tahun 1820 hingga 1827, L.C. von Ranzow bertugas di Tanjungpinang sebagai Resident Riouw. Ia menggantikan Resident G.E. Konigsdorffer yang telah bertugas di Tanjungpinang sejak 1819 hingga 1822. Von Ranzow wafat di Batavia pada 2 Januari 1865. L.C. von Ranzow adalah salah satu contoh Resident Riouw pada pada fasefase awal yang sangat akrab dan dekat dengan keluarga istana Diraja Johor di Lingga dan Pulau Penyengat. Oleh karena itu, bukan tanpa alasan bila ia mampu menulis silsilah keluarga diraja Riau-Lingga sejak masa Sultan Mahmud Ri’ayatsyah hingga zaman ia bertugas di Tanjungpinang: semuanya dimungkinkan karena ia berhubungan langsung dengan bahan sumber informasi tangan pertama. Keakraban dan dan kedekatan hubungan itu masih terus terjalin meskipun kemudian ia berpindah tugas sebagai Asistent Resident di Bengkulu (1827) dan Sumenep (1828). Kadar kedekatan hubungan antara resident L.C. von Ranzow dengan keluarga diraja istana Riau-Lingga di Pulau Penyengat, barangkali dapat disimak dalam sepucuk suratnya sebagai Asisten Resident Sumenep di Madura kepada Yamtuan Muda Raja Jakfar di Pulau Penyengat pada tarikh 6 Muharam 1244 bersamaan dengan 19 Juli 1828. Walaupun telah berada jauh di Sumenep, von Ranzow masih manuruh rasa hormat yang tinggi kepada Yamtuan Muda Raja Jakfar dan istrinya yang bernama Tengku Lebar, yang ia sapa Tuanku Lebar. Demikian pula halnya kepada Sultan Abdulrahman dan bundanya yang bernama Encik Maryam di Lingga. Bahkan ia menyapa Engku Puteri Raja
DOK. ASWANDI SYAHRI
LAMPIRAN: Salinan bagian lampiran berupa opgave pulau-pulau dan kawasan penting milik kerajaan Johor berserta jumlah penduduk dan pemimpin tempatan yang dimuat dalam Korte Genealogie koleksi warisan KITLV nomor katalogus H 369.
Hamidah dengan panggilan emak, dan pernah ia hadiahkan satu tong ikan bandeng dari Madura, seperti terungkap dalam bait-bait penutup suratnya kepada Yamtuan Muda Raja Jakfar: “…dan lagi banyak-banyak kita punya tabek dengan segala hormat serta cinta hati kita punya sahabat dan yang seperti kita orang punya emak yaitu Tuanku Puteri… hanya kita ada kirim ikan bandeng isinya tiga tong: kepada sahabat sendiri satu tong, kepada Tuanku Putrei satu tong…”. Bukan itu saja. Ketika di Tanjungpinang, istri von Ranzow juga sangat akrab dengan Tengku Lebar dan Engku Puteri Raja Hamidah. Kalaulah demikian kenyatannya, apakah masih diragukan bila orang Belanda keturunan Jerman ini mampu menuliskan silsilah keluarga diraja Riau-Lingga yang ketika itu masih mereka sebut Rijk van Djohoor (Kerajaan Johor)?
DOK. ASWANDI SYAHRI
MANUSKRIP: Halaman pertama Manuskrip Korte Genealogie koleksi warisan KITLV, nomor
REDAKTUR: FATIH MUFTIH
Korte Genealogie: Silsilah Plus Kandungan isi dua versi manuskrip Korte Genealogie warisan koleksi KITLV, seperti dicatat oleh L.C. Graaf von Ranzow pada bagian pembukanya, sama. Diawali dengan silsilah Sultan Mahmoed Sha atau Sultan Mahmud Ri’ayatsyah (1780) yang bersambung kepada namanama tokoh penting di istana Johor (Riau-Lingga-JohorPahang) yang hidup hingga akhir bulan April 1827, atau ketika von Ranzow diberhentikan dengan hormat sebagai Resident van Riouw yang digantikan oleh seorang dari kalangan militer bernama C.P.J. Elout. Silsilah dalam narasi yang dimuat dalam Korte Genealogie ini dibuka dengan sejarah ringkas Sultan Mahmud Ri’ayatsyah di Lingga dan zuriatnya melalui empat orang istrinya yang berkelindan dengan penjelasan hubungannya dengan keluarga pihak Temenggung Johor di Pulau Bulang. Setelah itu secara berturut-turut dilanjutkan sengan uraian mengenai silsilah keluarga Yamtuan Muda Raja Jakfar di Pulau Penyengat, silsilah Raja Dries (Raja Idris) saudara Raja Jakfar yang membuat istana di Pulau Senggarang, silsilah Raja Ahmad ibni Raja Haji Fisabilillah, dan lain sebagainya. Silsilah keluarga diraja Johor ini ditutup dengan deskripsi tentang sejarah ringkas dan silsilah Raja Isa atau Nong Isa yang rupanya juga pernah menjadi Kelana atau calon Yamtuan Muda Riau (opvolger) untuk menggantikan posisi Yamtuan Muda Raja Jakfar kelak di kemudian hari. Selain silsilah yang
berkenaan dengan keluarga diraja Johor, dalam Korte Genealogie ini, juga diuraikan sejarah dan silsilah singkat orang-orang penting istana Johor ketika itu, seperti: Ulama Besar (De Hooge Proester) istana Johor dan sekaligus guru Engku Puteri bernama Syekh Abdul Wahab Siantan yang berdarah Minangkabau; kemudian diuraikan juga Raja Indra Bungsu; Raja Tua; Datuk Suliwatang di Lingga; Datuk Penggawa yang bermastautin di Pulau Penyengat; dan Datuk Laksamana yang bermastautin di Daik-Lingga. Secara keseluruhan, Korte Genealogie tidak seperti silsilah lazimnya sebagai sebuah bagan ranji atau ‘pohon keluarga’ yang tersusun bercabangcabang bagaikan cabang dan ranting sebatang pohon. Oleh karena itu, Korte Genealogi juga dapat disebut sebagai sebuah ‘silsilah plus’ yang dilengkapai dengan deskripsi biografis dan historis anggota cabang-cabang cabang keluarga diraja dan orang-orang penting di sekitarnya. Berbeda dengan manuskrip Korte Genealogie nomor H 492, maka manuksrip Korte Genealogie nomor H 369 dilengkapi dengan empat halaman lampiran berjudul, Opgave der Voornaamste Eilanden van het Rijk van Djohoor benevens dezelfs Bevolking en Voorbrengsels (Pemberitahuan atau laporan tentang pulau-pulau penting yang utama di Kerajaan Johor beserta penduduknya dan hasil-hasil yang dikeluarkannya). Dalam lampiran opgave tersebut, tercatat nama empat puluh dua (42) pulau dan daerah terpenting di kerajaan Djohoor pada tahun 1827. Selain pulau besar di wilayah Kepulauan RiauLingga, juga tercakup didalamnya Singapura, Johor, dan Pahang di tanah Semenanjung. Nama pulau dan tempattempat enting itu dilengkapi pula dengan nama-gelar ‘penguasa tempatannya’ dan jumlah penduduknya pada ketika itu. Total jumlah penduduk di kawasankawasan utama kerajaan Johor pada tahun 1827 adalah 82.978 jiwa. Konsentrasi jumlah penduduk terpadat terdapat di Pahang (20.000 jiwa); Eiland Bintang atau Pulau Bintan (13.321 jiwa); Eiland Mantan atau Pulau Mantang (12.500 jiwa); dan Eiland Linga atau Pulau Lingga (10.000 jiwa). Selain Yamtuan Besar Sultan Abdulrahman yang memerintah di Lingga, Yamtuan Muda Raja Jakfar di Pulau Penyengat, Bendahara di Pahang, dan Temenggung Johor di Singapura, pada ketika itu masing-masing wilayah pulau di luar empat ‘kawasan utama’ itu dipimpin oleh seorang kepala (Hoofden) tertentu pula. Pulau Serasan umpamanya, dikepalai oleh Orang Kaya Ibrahim; Siantan oleh Datuk Pangeran Moehamad; Pulau Singkep dan Sekanak oleh Datuk Suliwatang; Pulau Mepar oleh Orang Kaya dan Penghulu Hamba Raja; pulau-pulau seperti Mantang, Buru, Moro, Sugi, Pekaka, dan Manda (Mandah) serta Igal di Pesisir Timur Sumatra dikepalai oleh seorang yang bergelar Batin.*** LAYOUT: SYAFRINALDI
perada
TANJUNGPINANG POS Koran Nasional dari Kepri
MINGGU 4 MARET 2018
13
Menempah Surga Bersama Keluarga I JEMALA KOLOM ABDUL MALIK
NILAH fenomena manusia hidup bersama keluarganya. Tak sesiapa yang terniat atau berani berharap keluarganya hidup sengsara. Tak sesiapa pun rela keluarganya diremehkan orang dalam pergaulan hidup di lingkungan masyarakat. Tak sesiapa juga yang sampai hati melihat anggota keluarganya senantiasa didera keperitan hidup. Intinya, tak seorang manusia pun sampai hati melihat, apatah lagi menjadi penyebab, keluarganya gagal meraih kebahagiaan hidup. Kegagalan membahagiakan keluarga merupakan kenyataan yang sangat menyakitkan.Pasalnya, bukan hanya manusia yang bersatu dalam keluarga itu gagal membangun keluarganya, melainkan juga, terutama, kepala keluarganya gagal memimpin keluarganya untuk meraih harapan dan cita-cita sejati hidup berkeluarga. Jadi, pemimpin keluargalah sebetulnya yang paling bertanggung jawab terhadap berjaya atau gagalnya sesebuah keluarga menikmati kebahagiaan hidup yang telah disediakan oleh Allah di dunia ini, bahkan juga di akhirat kelak. Tanggung jawab kepemimpinan di dalam keluarga umumnya dilakukan oleh suami atau bapak, yang didampingi oleh istri atau ibu bagi rumah tangga yang masih lengkap suami dan istri. Lumrah pula, jika suami telah meninggal dunia, istri atau ibulah yang menggantikan suaminya menjadi kepala keluarga. Begitulah tanggung jawab kepemimpinan keluarga silih berganti atau secara bersamaan di antara bapak dan ibu. Siapa pun yang menjadi pemimpin keluarga, dia mestilah memiliki kemampuan, cekap, dan sepenuh hati memimpin keluarganya. Jika tidak, keluarga akan berantakan atau porakperanda. Pasalnya, setiap perjalanan hidup berkeluarga pastilah mengalami pelbagai permasalahan, sama ada besar ataupun kecil. Nyaris tak ada keluarga yang tak menghadapi persoalan di dalam hidup ini. “Sedangkan lidah lagi tergigit, inikan pula hidup berkeluarga,” kata orang tua-tua. Maknanya, setiap orang yang hidup berkeluarga pastilah akan menghadapi pasang-surut kehidupan. Tinggal bagaimana kita mengelolanya saja dengan baik, terutama kepala keluarganya, sehingga tak ada kesulitan hidup yang tak dapat diatasi. Di tangan kepala keluarga yang arif, baik, pandai, cekap, dan bertanggung jawab segala permasalahan di dalam keluarga akan dapat diselesaikan dengan baik. Hal itu bermakna kepemimpinan dalam keluarga bukanlah beban, melainkan tugas mulia yang seyogianya dapat dilaksanakan atau ditunaikan dengan sebaik-baiknya, sepatut-patutnya, dan seanggunanggunnya Oleh sebab itu, kemampuan atau kecekapan memimpin keluarga menjadi penanda kehalusan budi manusia dalam perhubungannya dengan keluarga yang dicintainya. Karya Raja Ali Haji rahimahullah, yakni Syair Abdul Muluk, mendedahkan perihal kearifan dan kecekapan memimpin keluarga. Inilah nukilan bait syair yang sangat memikat itu. Siti Rahmah sempurna bicara Rafiah dibuat seperti saudara
REDAKTUR: RAMON DAMORA
Serta dengan bela pelihara Sedikit tak mau nama cedera Bait syair di atas menceritakan kearifan, kepiawaian, dan kecekapan Siti Rahmah memimpin keluarganya dalam mendampingi suaminya, Sultan Abdul Muluk. Walau Siti Rafiah adalah madunya, dengan ikhlas dia membimbing dan mengajari istri kedua Abdul Muluk itu karena usia Siti Rafiah memang masih sangat muda. Rahmah tak pernah menganggap Rafiah sebagai saingannya, bahkan diperlakukannya sebagai saudara yang memang wajib dibimbingnya. Motivasinya tiada lain supaya nama baik keluarga mereka tetap terpelihara. Alhasil, kelak memang terbukti bahwa Siti Rafiah menjelma menjadi seorang perempuan pembela keluarga yang tiada tolok bandingnya. Kesemuanya itu adalah buah manis dari keikhlasan Siti Rahmah yang membela, memelihara, mendidik, dan memperlakukan Siti Rafiah dengan baik sebagai manusia sekaligus sebagai anggota keluarga. Penggambaran watak dan tindakan tokoh-tokohnya di dalam bait syair tersebut jelas menyiratkan amanat yang hendak disampaikan oleh pengarangnya, Raja Ali Haji. Nama baik keluarga akan terjamin jika pemimpin keluarganya arif, piawai, dan cekap dalam mengendalikan segenap anggota keluarga. Di dalam bait syair di atas kualitaskearifan, kepiawaian, dan kecekapan itu disandang oleh Siti Rafiah, istri pertama Sultan Abdul Muluk. Dengan kepemimpinan yang sejuk, anggun, lagi penuh kasih sayang, dia berjaya membawa keluarganya ke pintu gerbang kebahagiaan. Jadi, kecekapan memimpin keluarga menjadi indikator kehalusan budi di dalam keluarga, yang seyogianya dimiliki oleh setiap pemimpin keluarga. Kecekapan memimpin keluarga banyak dikisahkan oleh Raja Ali Haji di dalam Tuhfat al-Nafis. Di antaranya yang sangat terkenal ketika Sultan Mahmud Riayat Syah (Yang Dipertuan Besar Riau-Lingga-Johor-Pahang 1761—1812) membuka Pulau Penyengat dan membagi-bagi rezeki di Lingga dan Riau kepada para anggota keluarganya. Karena kearifan Baginda memimpin itu, tak terjadi persengketaan di antara anggota keluarga besar Baginda Sultan. Berikut ini petikannya. “Syahadan kata sahibul hikayat sekali persetua (sic!, mestinya “peristiwa,” A.M.) pada suatu masa maka bertitahlah baginda Sultan Mahmud kepada paduka adinda baginda Engku Puteri di hadapan beberapa raja-raja seperti Raja Mahmud putera Tengku Panglima Besar putera baginda Marhum Sultan Sulaiman, demikian bunyinya titahnya, Hai Raja Hamidah, adalah saya membuat Pulau Penyengat ini dijadikan negeri sudah cukup dengan istana kota paritnya. Maka Raja Hamidahlah saya buatkan jadi miliklah kepada Raja Hamidah. Syahadan lagi daripada fasal negeri Riau ini daripada hasilnya dan lainnya, iaitu makanan dan milik Raja Hamidahlah adik beradik, iaitu segala putera-putera Marhum Raja Haji fi sabilAllah. Maka tiadalah saya campur lagi barang suatunya. Adapun negeri
Lingga maka, iaitu bahagian si Komenglah (iaitu puteranya Tengku Abdul Rahman) dan janganlah Raja Hamidah adik beradik campuri lagi daripada pihak hasil-hasilnya dan kerajatnya,” (Matheson, 1982:254—255). Teks di atas tak hanya menyiratkan sifat adil Sultan Mahmud Riayat Syah di dalam memimpin keluarga besar, tetapi juga sifat arif, bijak, dan cekap Baginda. Dengan begitu, kerukunan di dalam keluarganya tetap terpelihara dan nama besar keluarga Baginda tetap harum di kalangan rakyat dan bangsanya. Itulah tauladan pemimpin keluarga yang memiliki budi yang halus, yang diimplementasikannya dalam kepemimpinan di lingkungan keluarga. Darikutipan karya-karya Raja Ali Haji di atas dapatlah disimpulkan bahwa sesebuah keluarga memerlukan seseorang yang arif, piawai, dan cekap untuk memimpin keluarganya. Pemimpin keluarga yang hebat seperti itu akan sanggup membuat keluarganya berbahagia dan sejahtera. Dengan demikian, kearifan, kepiawaian, dan kecekapan memimpin keluarga merupakan kualitas kehalusan budi manusia yang berhubung dengan pemeliharaan keluarganya sehingga segenap anggota keluarga beroleh kebahagiaan hidup. Keluarga (anak-anak dan istri) merupakan bahagian dari amanah Allah. Oleh sebab itu, setiap pemimpin keluarga haruslahmampu menjaga amanah itu dengan sebaik-baiknya. Salah satu syaratnya adalah kepala keluarga mestilah memiliki keahlian, kearifan, dan kecekapan dalam memimpin keluarganya. Allah SWTmemang mewajibkan manusia untuk menjaga amanah-Nya, termasuk amanah yang berhubung dengan pembinaan keluarga. “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanah-amanah yang dipercayakan kepadamu, sedangkan kamu mengetahui,” (Q.S. AlAnfaal:27). Telah disebutkan bahwa keluarga merupakan salah satu amanah Allah kepada manusia. Di dalam firman Allah yang dipetik di atas secara tegas dan jelas Allah memerintahkan manusia, khasnya orang-orang yang beriman, supaya tak mengkhianati amanah-Nya. Oleh sebab itu, setiap kepala keluarga seyogianya dapat memimpin keluarganya dengan sebaik-baiknya sebagai bukti bahwa dia menjaga amanah Allah. Hal itu juga bermakna dia sanggup menjaga dirinya sebagai pemimpin keluarga dari murka Allah.Oleh sebab itu, diperlukan keahlian dan kecekapan di dalam memimpin keluarga. Jadi, secara tersirat, kearifan, kepiawaian, dan kecekapan memimpin keluarga memang dianjurkan oleh Tuhan. Rasulullah SAW juga mengingatkan bahwa setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawabannya, termasuk pemimpin keluarga. Sehubungan dengan itu, pemimpin keluarga haruslah mahir dan cekap supaya keluarganya tidak melencong atau menyimpang ke arah yang salah di dalam perjalanan hidup ini. Hal itu berarti bahwa kepiawaian dan kecekapan memimpin keluarga juga dibenarkan oleh Rasulullah SAW
yang seyogianya dipedomani oleh setiap pemimpin keluarga. Dari Ibnu Umar r.a. bahwasanya Rasulullah SAW bersabda, “Ketahuilah, tiap-tiap kamu sekalian adalah pemimpin dan tiap-tiap kamu sekalian akan dimintai pertanggungjawaban terhadap apa yang kamu pimpin. Seorang raja yang memimpin rakyat adalah pemimpin dan dia akan dimintai pertanggungjawaban terhadap yang dipimpinnya. Seorang suami adalah pemimpin bagi anggota keluarganya dan dia akan dimintai pertanggungjawaban terhadap mereka. Seorang istri juga pemimpin bagi rumah tangga serta anak suaminya dan dia akan dimintai pertanggungjawaban terhadap yang dipimpinnya. Seorang budak juga pemimpin atas harta tuannya dan dia akan dimintai pertanggungjawaban terhadap apa yang dipimpinnya. Ingatlah! Tiap-tiap kamu adalah pemimpin dan setiap kamu akan dimintai pertanggungjawaban atas apa yang kamu pimpin,” (H.R. Muslim). Berdasarkan firman Allah dan sabda Baginda Rasulullah SAW itu, jelaslah bahwa setiap pemimpin keluarga dimintai pertanggungjawaban terhadap yang dipimpinnya. Oleh sebab itu, pemimpin keluarga haruslah memiliki kemahiran dan kecekapan memimpin keluarganya sehingga anggota keluarga yang dipimpinnya menjadi manusia yang baik. Kenyataan itu membuktikan bahwa tanggung jawab membina dan membahagiakan keluarga sejalan dengan ajaran agama Islam. Dengan demikian, amanat Raja Ali Haji tentang perkara itu melalui karya beliau tergolong baik dan mengandungi nilai kebenaran. Dalam hal ini, arif, bijak, dan cekap memimpin keluarga merupakan perbuatan yang mulia lagi terpuji. Jadi, pemimpin keluarga yang memiliki kualitas itu termasuk manusia yang halus budi pekertinya. Pemimpin keluarga seperti itu dapat dipastikan akan senantiasa mendapat perlindungan dan bimbingan dari Allah Azza wa Jalla. Andai negeri atau negara kita analogikan sebagai sebuah keluarga besar, maka segenap rakyatnya merupakan anggota keluarga itu. Berbahagia atau menderita anggota keluarga besar itu sangat tergantung kepada kualitas pemimpinnya, apa pun sebutan bagi pemimpin tersebut. Kualitas itu tak hanya berkaitan dengan kemampuannya mengelola sumber daya negeri atau negaranya, tetapi lebih-lebih terletak pada kehalusan budinya terhadap rakyat, bangsa, negeri, dan atau negaranya. Jika budi baik itu yang menjadi niat, yang pada gilirannya diimplementasikannya di dalam kepemimpinannya, maka dia akan menjelma menjadi pemimpin besar yang senantiasa mendapat hidayah dan inayah dari Allah. Bersamaan dengan itu, doa tulus dari seluruh rakyat untuk kebaikan dan kesejahteraan baginya akan mengalir sepanjang masa. Alhasil, jaminan keselamatannya tak semata-mata di dunia, tetapi kehidupan akhiratnya pun sangat jelas tempatnya di sisi Allah. Pasalnya, dia telah berjaya menjaga amanah yang dipercayakan kepadanya oleh Sang Khalik.***
LAYOUT: SYAFRINALDI
14
MINGGU 4 MARET 2018
imaji
TANJUNGPINANG POS Koran Nasional dari Kepri
Panggung Kedua Wayang Cecak T
IDAK lagi. Cukup sekali saja melewatkannya. Padahal, yang satu itu begitu istimewa. Apatah tidak, untuk kali p ertama setelah ratusan tahun, wayang cecak kembali dipentaskan. Tapi dasar, dalam diri belum ada kepedulian yang benar. Mudah saja mengesampingkannya. Maka, ketika akhir pekan lalu, ada panggung kedua, tidak lagi ingin melewatkannya begitu saja. Sayang, pekerjaan seperti tidak kasih permisi. Masih saja ada yang minta diperhatikan sepanjang hari. Sekadar jarak sepeminuman teh dari rumah seketika terasa jadi jauh sekali. Panggung kedua ini berbeda. Pertengahan tahun lalu, pada awal kali dipentaskan kembali, wayang cecak dipentaskan bersempena Festival Penyengat Syawal Serantau. Orangorang dari luar kota dan Penyengat sama berebut tempat ingin menyaksikan kesenian tradisional yang nyaris punah ini. Tak ayal
riuh sekali. Namun, yang kemarin itu, sengaja dipentaskan lagi untuk kebutuhan syuting sebuah acara televisi nasional. Ah, mengapa tidak. Setidaknya, pementasan ini akan mengobati penyesalan melewatkannya pada kesempatan pertama. Satu hal. Yang membuat terkesima, wayang cecak ini diiringi alunan musik seperti biola, akordion, gendang, dan gong sampai cerita berkahir. Khas sekali kental dengan nuansa Melayu. Dulu wayang cecak ini dimainkan untuk anak-anak Tionghoa yang kaya dan tiada begitu menyebar di tengah-tengah masyarakat. Bersyukur setelah pertunjukan kami dapat belajar bersama dalang untuk mengetahui cara memainkan boneka yang digunakan dalam pewayangan. Sungguh, kesempatan emas yang mengobati kerinduan sepanjang tahun.***
NURFATILLA AFIDAH, gadis yang lahir dan tumbuh besar di Penyengat. Menyukai jalan-jalan dan icip-icip. Intip galerinya di akun Instagram @ilooot. „ REDAKTUR: FATIH MUFTIH
„ LAYOUT: DOBBY F
jerumat
TANJUNGPINANG POS Koran Nasional dari Kepri
MINGGU 4 MARET 2018
15
Pelajaran Pertama Buat Calon Wali Kota OLEH: FATIH MUFTIH
Sayap Kiri Jembia CARA terbaik memilih wali kota adalah dengan mengetahui satu hal saja: apakah dia sudah menguasai sebuah pelajaran pertama. Tanpa itu, apa yang kelak dilakukannya sebuah kebodohan belaka. Bukan apaapa. Dan kita, sebagai pemilihnya, akan melakukan pekerjaan yang luar biasa muspra. Hal ini menjadi penting karena pemilihannya sudah di depan mata. Empat purnama lagi, kita akan memilih satu dari dua orang untuk masa depan kota tercinta ini selama lima tahun ke depan. Jikalau sampai salah pilih, lima tahun akan terasa lama. Menunggu memang tidak pernah mengenal kata sebentar. Apalagi menunggu untuk sesuatu yang tidak disenangi berakhir, rasa-rasanya akan serasa hidup di neraka. Maka, tidak ada jalan terbaik buat kita selain menjadi pemilih bijaksana. Sebelum Anda sekalian mengetahui pelajaran pertama buat calon wali kota, ada baiknya mengenal diri terlebih dahulu. Kata orang-orang bijak, mengenal diri adalah kunci, adalah hal utama yang harus dipelajari. Ini juga bukan pelajaran main-main. Tidak banyak orang yang berkesempatan memiliki pengetahuan mumpuni atas dirinya sendiri. Tak ayal, banyak yang gegabah, banyak yang ceroboh, banyak yang putus asa. Semua itu karena satu lantaran: tidak kenal terhadap dirinya sendiri. Semua itu diawali dengan mengenali nama. Tidak ada satu pun orang tua di muka bumi ini, sekali lagi tidak ada, yang tanpa alasan melekatkan sebuah nama pada anaknya. Maka, dari sini, wajib bagi kita untuk mengenal arti atau maksud di balik nama yang melekat pada diri kita. Orang tua saya pernah berkisah sedikit perihal ini. Ia mencomot nama nabi junjungan kita Muhammad SAW. Kata bapak saya, makhluk
termulia yang pernah tercipta itu dinamai sedemikian lantaran sifatsifatnya kelak yang akan melekat sepanjang hayat. Muhammad tanpa cacat. Pada dirinya, segala yang baikbaik dan mulia melekat. Karakter ini kemudian disempurnakan oleh namanya dalam bahasa Arab yang dapat diartikan terpuji. Ya, Nabi Muhammad menghidupi kehidupannya dengan segala hal-hal terpuji. Tuturnya. Sikapnya. Dan di sini, apakah arti nama Anda? Yang masih memiliki orang tua, bisa menanyakannya. Kalau yang sudah tidak ada, jangan berputus asa. Masih ada banyak cara untuk mengetahuinya. Bersama Google, Anda bisa melacak dari kata dalam bahasa apa, nama Anda dirumuskan. Dari situ, Anda kemudian bisa mencari maknanya. Baik itu etimologis, dan tentu filosofis. Serupa tidak mungkin orang bernama Budi, namun kelakuannya justru mencermikan orang yang tak berbudi. Ingkar nama, itu namanya. Syukurlah, sampai tahap ini, Anda sudah mengenali nama Anda. Sekarang mari menyimak langkah selanjutnya untuk mengenali diri sebelum beranjak mengenali pelajaran pertama buat calon wali kota. Sejak sekarang, biasakan untuk selalu mengetahui hal apa yang akan lakukan. Orang-orang arif selalu punya alasan dan tujuan sebelum melakukan perbuatan. Mereka meletakkan akal selangkah sebelum tindakan. Alahasil, jauh dari kesembronoan, apalagi kesia-siaan. Membiasakan hal semacam ini akan melatih kemampuan serta ketahanan melakoni kehidupan. Jikalau Anda ingat, sewaktu kecil, kita membiasakan melatih hal ini. Dahulu, ketika akan disuapi makanan, kita akan selalu bertanya mengapa seorang manusia harus makan. Lalu orang tua kita memberi jawaban bahwasanya makan akan membuat kita kenyang, kenyang akan membuat kita bisa bekerja dan seterusnya. Lama kelamaan, kita tidak lagi menanyakan alasan untuk makan. Sebab, pikiran kigta sudah merekam jawaban itu sedari dulu. Sayangnya, kemampuan berpikir sebelum melakukan tindakan ini seringkali luntur seiring pertambahan usia kita. Yang terjadi, kita lebih banyak terjebak pada arus zaman. Bukannya membuat arus tersendiri, kita malah terseret dan – anehnya, merasa betah berada dalam arus pikiran dan tindakan orang lain.
Coba diingat kembali, kita sering berada dalam barisan yang dibuat orang lain. Ketika orang lain mendengarkan si A, kita ada di sana. Ketika orang lain menonton si B, kita ikut duduk di sana. Ketika orang lain menyuarakan C, kita lantas senang membagikannya. Padahal, coba dicerna, apakah kita sudah mencari tahu lebih lanjut mengenai informasi yang dibagikan. Seringkali belum, bukan. Simak saja isi media sosial kita. Betapa berhamburannya informasi yang belum terverifikasi lantas dimakan mentah-mentah. Pada tataran semacam ini, gelar akademik di belakang nama bukan lagi sebuah garansi. Sekali lagi, letakkan pikiran selangkah sebelum tindakan. Ini kunci lain menghadapi kehidupan yang semakin edan. Dengan kemampuan semacam ini, kita akan berani memilah-milih calon pemimpin yang paling tepat buat kota kita. Tidak melulu mengikut pada latar belakang partai atau pilihan kekasih semata. Namun dengan segenap akal sehat, kita akan fasih melacak rekamjejak dua calon yang bertarung pada palagan Pilkada tengah tahun nanti. Kita tentu tidak boleh lupa, keduanya adalah sama-sama calon petahana. Ingat saja pengalaman-pengalaman yang masih bisa dengan mudah kita ukur selama lima tahun belakangan, akankah taraf kehidupan kita sudah semakin baik? Atau, cek saja bagaimana keduanya mewujudkan janji politiknya pada masa kampanye sebelumnya. Jika tidak, lihat indikator keberhasilan keduanya dalam membangun ekonomi kita ini. Dari sini, kita bisa punya banyak alasan untuk mendukung satu dari keduanya. Atau malah tidak sama sekali. Tentu yang terakhir ini dibenci KPU. Tapi, selama Anda masih punya alasan, KPU bisa apa. Tidak memilih adalah sebuah pilihan itu sendiri. Dan itu tandanya harus dihormati. Tapi ingat, ini harus dilakukan dengan kesadaran atas sebuah pilihan dan juga disertai alasan yang benar-benar membuat ada tiba pada kesimpulan bahwasanya keduanya tidak berhak mendapatkan dukungan Anda. Sebab itu, dari sini perlu terlebih dahulu mengetahui pelajaran pertama yang harus dipunya wali kota agar bisa menjadi standar paling dasar agar tidak salah pilih. Dengan itu, Anda bisa menimbang suara Anda untuk siapa,
“
Empat purnama lagi, kita akan memilih satu dari dua orang untuk masa depan kota tercinta ini selama lima tahun ke depan. Jikalau sampai salah pilih, lima tahun akan terasa lama. Menunggu memang tidak pernah mengenal kata sebentar. Apalagi menunggu untuk sesuatu yang tidak disenangi berakhir, rasa-rasanya akan serasa hidup di neraka.
atau malah untuk tidak keduanya. Pelajaran pertama yang harus Anda tahu dimiliki oleh calon wali kota adalah buku-buku bacaannya. Sebentar dan sabar. Jangan keburu memekik pelajaran ini berlebihan dan terkesan mengadaada. Sebab, kita tidak mungkin mengetahui angka rekening tabungannya. Apa yang dipaparkan di LHKPN itu formalitas belaka. Masih ada angka-angka liar yang tak terjangkau. Kita juga tidak mungkin menerka isi hatinya, kita bukan malaikat. Ada orang bijak bilang, kamu adalah apa yang kamu baca. Jika kita sepakat dengan parafrasa ini, kita bisa membayangkan seandainya calon wali kota kita membaca serial cerita detektif Sherlock Holmes, kita boleh berharap pemimpin kita dalam lima tahun ke depan adalah orang yang cerdik mengatasi kebuntuan pertumbuhan ekonomi. Jika ada calon wali kota kita membaca Tetralogi Bumi Manusia, tindak-tanduknya melawan kezaliman akan sewira Minke. Jika ada calon wali kota kita membaca The Godfather karya Mario Puzo, tentu ia bisa setangguh Don Corleone atau Don Michael membela kedaulatan kota kita. Jika mereka membaca Dilan 1990, ya jangan kaget kalau nanti mereka lebih gemar mengumbar kata berat selama menjabat. Jadi sebenarnya, buku sastra apa yang sedang dibaca calon wali kota kita?***
Memahami Situasi Chairil Menulis Puisi untuk Negeri yang Penduduknya 90 Persen Buta Huruf (BAGIAN PERTAMA DARI DUA TULISAN) Oleh: HASAN ASPAHANI
Penyair dan Jurnalis
C
HAIRIL Anwar – dengan bakat dan minatnya yang kuat pada kesenian – tumbuh dalam lingkungan yang mendukungnya untuk membangun kepenyairannya: kesempatan mendapatkan pendidikan pemerintah kolonial, akses pada buku-buku yang baik, dan lingkungan pergaulannya di Batavia. Chairil dan Literasi pada Zamannya Apa hebatnya dan buat apa seorang penyair menulis puisi pada saat tingkat buta huruf di negerinya masih 90 persen lebih? Chairil Anwar mulai berkarya pada tahun 1943 ketika Indonesia dalam keadaan seperti itu. Chairil ke Batavia pada tahun 1942 untuk melanjutkan MULO yang ia tinggalkan di Medan. Mungkin ia sempat meneruskan pelajaran tapi pasti ia tak lulus. MULO dilihat dari jenjang pendidikan setara dengan SMP sekarang, tapi dari tingkat pelajaran lebih tinggi. Di HIS, Chairil sudah membaca buku-buku MULO. Jepang menutup sekolah-sekolah dan universitas. Chairil beruntung sempat menumpang di rumah Sutan Sjahrir, pamannya. Sjahrir punya koleksi buku yang sangat cukup untuk melayani minat baca Chairil. Dari ruang perpustakaan Sjahrir pikiran Chairil melanglang buana. Chairil kemudian memperluas pergaulannya, mengikut minat besarnya pada kesenian, khususnya dunia tulis menulis, apa yang sudah ia sadari sejak semula: Aku memasuki kesenian dengan sepenuh hati. Tapi hingga kini lahir aku hanya bisa mencampuri dunia kesenian setengah-setengah pula. Tapi untunglah bathin seluruh hasrat dan minatku sedari umur 15 tahun tertuju ke titik satu saja, kesenian. (Kartu pos Chairil kepada Jassin, 8 Maret 1944) Ia bertemu Sutan Takdir pengelola Balai Pustaka yang sekaligus membangun perlawanan terhadap lembaga itu lewat Pujangga Baru – kedua kegiatan penerbitan itu terhenti pada zaman Jepang. Di lingkaran Takdir itu juga Chairil membangun hubungan benci REDAKTUR: FATIH MUFTIH
dan rindu dengan Jassin. Jassin yang bekerja pada Takdir juga pembaca yang tak pernah puas. Koleksi bukunya menggiurkan Chairil yang suka datang untuk meminjam buku tanpa memberi tahu. Atau jika dia sedang sopan dia meninggalkan catatan. Dari satu catatan itu misalnya, kita bisa tahu saat itu Chairil membaca H.R. Holst (De Nieuwe Getroste dan Keur uit de Gedichten) dan Huizinga (In de Schaduw van Morgen dan Cultuur Historiche Verkenningen). Ini seperti anak SMA sekarang membaca bukubuku Nassim Nicholas Taleb (penulis Amerika kelahiran Lebanon) itu
atau buku-buku Malcolm Gladwell (penulis Kanada kelahiran Inggris) itu. Sajak-sajak awal Chairil tak bisa menembus terbitan yang disensor ketat oleh penguasa Jepang. Jepang menyensor segala hal: film, buku, suratkabar, majalah,
bahkan bisa menembak orang yang berbicara dalam bahasa Belanda yang mereka larang keras untuk dipakai di bawah kekuasaan mereka. Untunglah Jassin tak habis akal. Ia yang melihat kekuatan dan kebaruan pada sajak Chairil kemudian mengetik tujuh rangkap sajak-sajak itu dan membagikannya kepada tokoh-tokoh yang ia anggap penting dan perlu mengetahui sajak itu. Chairil adalah produk sistem pendidikan yang meskipun diskriminatif (tak semua orang bisa sekolah) tapi kurikulum dan gurugurunya bagus. Ia beruntung karena status sosial
orangtuanya memungkinkan dia untuk menjadi penduduk yang tak sampai sepuluh persen, yaitu mereka bisa membaca saat itu. Ini butir pertama saya tentang Chairil dan literasi: ia dibentuk oleh satu proses pendidikan yang terancang baik. Chairil adalah tukang baca yang rakus. Minatnya pada kesenian keras. Jika tak bisa beli buku, ia pinjam, atau mencuri. Chairil dibentuk menjadi penyair besar oleh bacaannya yang luas. Chairil yang berbakat besar itu pasti tak akan jadi Chairil yang kita kenal jika ia tak membaca bahan-bahan yang ia cerna pada saat itu. Maka, butir kedua yang ingin saya petik dari sosok Chairil dalam kaitan dengan literasi adalah: ciptakanlah situasi dimana orang yang punya minat baca punya akses mudah ke sumber bacaan. Itu bisa berupa perpustakaan yang menyediakan buku, atau sambungan internet yang baik untuk mengakses data digital yang berlimpahruah. Pada zamannya Chairil sudah membaca dan tak asing dengan karyakarya Hendrik Marsman, Edward du Perron, Slauerhoff, W.H. Auden, John Cornford, R.M. Rilke, hingga MacLeish. Apa yang menghalangi anak-anak muda sekarang, yang seumur dengan Chairil dulu ketika dia mulai sangat serius menulis, untuk mengakses karya siapa saja di belahan dunia manapun? Harusnya situasi saat ini bisa melahirkan banyak Chairil yang lain. Chairil berada di lingkungan yang mendukung minatnya. Ia berada di sebuah komunitas yang memungkinkan ia mengasah bakat dan menguji pencapaian penulisannya. Jassin, Takdir, Sanusi Pane, Idrus, Baharuddin, Asrul Sani, Affandi, Basuki Resobowo, Soedjojono, hingga Ida Nasution, dan Laurens Koster Bohang adalah kawan-kawan kepada siapa Chairil memukul denturkan dan menguji pematang ide-idenya. Butir ketiga saya adalah komunitas. Dulu mungkin istilah ini tak tersebutkan, tapi saya melihat yang melingkupi Chairil adalah sebuah komunitas literasi yang sangat dinamis. Selebihnya Chairil tak peduli. (bersambung) LAYOUT:SYAFRINALDI
16
MINGGU 4 MARET 2018
Mantra Puisi
TANJUNGPINANG POS Koran Nasional dari Kepri
cindai
YULIANI J
ANGAN pernah takut, Yuliani. Pada apa pun. Sesungguhnya ada daya lebih dari apa pun yang bersemayam di tubuhmu. Daya yang kelak akan menjagamu dari segala kengerian kehidupan ini. Untuk menyalakan daya itu, kau hanya perlu membaca sebarang mantra. Sebuah mantra puisi, tepatnya. Dengannya, daya dari ujung kaki sampai ubun-ubun di kepala akan melindungi setiap langkahmu, gerakmu, bicaramu, dan hari-harimu. Mantra puisi ini tidak bisa kaucari. Mantra puisi ini tidak bisa kaubeli. Ia akan hadir pada waktunya. Nanti, pada suatu masa yang paling tepat. Kau harus percaya, bahwasanya semesta ini tidak mengenal kata sifat berupa terlambat. Senantiasa tepat waktu. Dan itu selalu. “Seperti apa bunyinya?” tanyamu. Tidak bisa aku mengajarimu. Sebab justru dirimu yang lebih tahu. Yang bisa kubagikan sedikit saja dari sebuah buku yang ada di tanganmu itu, adalah hikayat panjang elang. Burung penjaga langit semesta kita. “Takut aku sama burung itu,” ucapmu.
Jangan, Yuliani. Sungguh elang adalah adalah pemburu yang hebat, jarang gagal dalam setiap medan. Padahal, tulangmu berlubang. Sering tak seimbang dengan panjangnya kepak. Kepadanya justru kaubisa banyak belajar tentang keharusan serta keberanian melakukan tualang. Hidup tidak bisa sekadar dalam satu tempat saja. Tapi, ini kiasan semata. Tempat yang kauhuni dalam alam pikirmu, sejatinya nirbatas, nirbaka, dan nirfana. Maka kepakkan sayapmu, terbang, dan bertualang. Jangkau dunia seperti mata elang melihat dari ketinggian.***
Foto Narasi
: Nina Idora : Fatih Muftih
BIODATA YULIANI Nama TTL Alamat Sekolah Instagram Buku Bacaan
: YULIANI PUSPA RAHMAWATI : Tanjungpinang, 10 Januari 2001 : Bintan Bukit Batu : SMAN 1 Teluk Bintan : @yulianipusparahmawatii : Olang 2 karya Dheni Kurnia
Dari Benang Merah ke Benang Biru S
TEMBERANG KOLOM HUSNIZAR HOOD
REDAKTUR: FATIH
AYA tak tau sejak kapan dan kenapa jika sesuatu yang ada hubungannya dan saling berkait erat itu selalu disebut dengan “benang merah”. Misalnya gini, “Apa yang terjadi hari ini itu tidak begitu saja, ada benang merahnya dengan masa lalu, paling tidak ada 10 tahun silam, kami sudah saling kenal, ketika kami kerap kali bertemu walaupun tidak saling menyapa di sebuah perpustaakan naskah-naskah lama, dia penjaga dan saya pengunjungnya”. “Ini hanya contoh kalimat saja, jangan ada pikiran-pikiran yang lain,” tambah Mahmud kawan saya itu mungkin ketika dia melihat saya bersemangat menunggu lanjutan cerita itu. Hampir saya lupa menyimak dimana terletak kata “benang merah” yang diucapkan Mahmud. Bagaimana tidak saya bersemangat menunggu lanjutan cerita Mahmud karena apa yang disampaikannya itu sangatlah romantis, dalam istilah penulisan skenario zaman sekarang, mereka menyebutnya “Sudah film banget!”Wow. Oh ya, kenapa istilah benang merah itu tidak disebut dengan “benang hitam” misalnya atau kenapa perumpamaannya harus jenis benang, kenapa tidak kawat besi atau bisa saja tali nilon, misalnya lagi. Wah, itu perlu kajian mendalam, perlu sejarawan. Perlu orang yang punya referensi kuat akan bukti-bukti. Tak mungkin dia tiba-tiba datang serta merta pastilah ada penyebabnya. Sebab-menyebab itulah yang selalunya berkait-erat dengan benang merah. “Kenapa kita jadi orang terhormat hari ini, tertunduktunduk orang dengan kita, terkagum-kagum banyak orang mendengar kita, walaupun kita tak tahu entah betul entah tidak dia menghormati kita, bisa saja dia terpaksa dan atau pura-pura karena mereka ada maunya,” ujar Mahmud tenang. “Benang merahnya di mana?” tanya saya. “Karena mereka adalah pemilih kita atau mereka adalah orang yang ikhlas mendoakan kita,” balas Mahmud. “Tapi ukur juga apa yang dibicarakan, Mud. Jangan mentang-mentang orang tertunduktunduk dengan kita dan kita bermodal hafal dua tiga ayat berlebih pulak bercakap tinggi nak mengalahkan Ustadz Somad,” ujar saya. Mahmud memandang saya penuh makna. Saya memandang ke langit menyaksikan awan menggumpal menjadi mendung dan mungkin akan turun hujan sebentar lagi. Benang merah masa lalu kita, takkan bisa kita hapuskan apalagi kita tak pernah mengubah perangai kita, tak menganggap orang lain, laju berjalan sendiri seakan sampai mati nanti dia bisa pergi ke kuburan sendiri. Hmmm… hidup ini berkawan-kawan, walaupun budi baik kawan itu baru mampu hanya memberi semangat atau
senyuman kepada kita, dia mestilah kita ingat juga. “Mana ada orang seperti itu,” potong Mahmud menebas lamunan saya. Baru saja saya melamun kalau saja orang itu benar-benar ada di depan saya akan saya tunjuk batang hidungnya, “Dulu kita ini siapa? Tak lebih kita sama dengan mereka yang duduk di tepi jalan atau kedai kopi, di pelabuhan atau di belakang kemudi.” “Adalah Mud,” bela saya. “Kalau awak bilang tak ada itu menegakkan benang basah namanya,” tambah saya, sambil mengeluarkan ucapan membela diri. Ah, dalam percakapan barusan saya tak sengaja mengucapkan istilah menegakkan benang basah. Maknanya itu adalah sebuah pembenaran, benda yang dah nyata nak kita kaburkan, benda yang tak betul nak kita betulbetulkan. “Kalau dulu kita pernah bertemu dan sempat dekat terus kita jarang bertemu lagi kemudian jalan sendiri-sendiri dan tapi kita sangat yakin bahwa dia masih suka dengan kita, itu apa namanya?” tanya saya kepada Mahmud. “Menegakkan kaki harimau,” jawab Mahmud bergurau. Saya terperangah, membayangkan diterkam harimau. “Tapi ini pertanyaan serius, Mud,” saya ulang lagi pertanyaan saya kepada Mahmud dengan
harapan kawan saya itu serius juga menjawabnya. Bagaimana tak serius, lebih dari seminggu ini saya memang sedang disibukkan dengan berbagai benang, mungkin lebih hebat dengan legenda “Benang Merah dan Takdir Cinta” di Jepang sana. “Unmei No Akai Ito”. Cobalah baca. Tapi tentulah jauh beda yang agak menyamanyamakan karena ada benang merah di sana. Hanya kalau soal takdir cinta itu kitapun mempercayai adanya takdir, ya takdir untuk bisa bertemu lagi atau kepada sesuatu yang tak terpikirkan oleh kita tapi hari ini dia menjadi sesuatu yang indah untuk kita pikirkan. Tentang takdir yang lain, lihat saja begitu banyak kita menyaksikan kebesaran Sang Maha Kuasa di muka bumi ini dengan kekuasaan takdirnya dia jadikan orang yang “ape ke tidak itu” menjadi orang yang dihormati dan begitu diruntuhkannya juga kehormatan orang-orang itu jika mereka tak bersyukur serta tak adil juga bebal dan juga batil. Lalu kita menanti takdir, nah ini yang mungkin harus kita hindari, kita harus berusaha dan berdoa, jangan semua kita serahkan dengan keadaan bahwa seolah apa yang terjadi sudah menjadi takdir untuk kita. Seperti cerita Mahmud ada seoarang kawan sebut saja “Ricky Sayoer” (bukan nama sebenarnya untuk menjaga kode etik jurnalistik) dia berharap cinta akan datang padanya, dan yakin bahwa cinta itu akan datang pada suatu waktu dari “Dwi” (ini juga bukan nama sebenarnya). Tak bisa seperti itu, lihat begitu banyak orang berikhtiar tak peduli waktu, siang dan malam mungkin juga subuh menyeberang lautan demi mendapatkan cinta, menunggu di lapangan parkir tanpa peneduh untuk hati yang teguh. Tak bisa hanya bersandar di kedai kopi terus kita berharap takdir dia datang, mungkin mungkin “Dwi” yang kita maksudkan tak datang Dwi yang lain ada di depan kita, ya, Dwi pelayan menagih kopi kita berikut catatan tagihan hutang lama. Berapa banyak orang merebut “kekuasaan” dengan senyuman manisnya, dengan kumis tipisnya, dan membuat terlena kita semua dan tiba-tiba hari ini kita baru tersadar dan membuat kita gemetar hampir menangis. Kita mau berteriak, mau membentak? Kita tak punya tenaga. Apakah itu takdir? Mahmud tak menjawab dan saya tak bertanya ulang kepadanya. Di kedai kopi tempat kumpul kami berdua, setiap Sabtu dan mungkin juga jika ada waktu di hari Minggu. Mengenang benang merah, tidak menegakkan benang basah dan ingin mewujudkan menyulam benang biru. Cinta itu biru dan kekuatan kita adalah itu, adalah cinta, maka berkuasalah dengan penuh rasa cinta sambil terus tak berjarak dengan siapa saja, termasuk mereka sang empunya kedai kopi itu yang sudah terima order makanan banyak tapi dibatalkan karena tak boleh menerima sumbangan. Apa itu juga takdir Tuhan?*** LAYOUT: SYAFRINALDI