Koreana Autumn 2018 (Indonesian)

Page 1

MUSIM GUGUR 2018

SENI & BUDAYA KOREA

FITUR KHUSUS

TANDA-TANDA PERDAMAIAN

Hubungan dan Emosi Rakyat Dua Korea dalam Film; Perjalanan Rekonsiliasi melalui Musik Pop; Titik Balik Baru Melalui Pertukaran Olah Raga AntarKorea

2287-5565 SENI & BUDAYA ISSN KOREA 39

VOL. 7 NO. 3

Peredaan Ketegangan Antar-Korea dalam Budaya Pop

Tanda-Tanda Perdamaian


Citra Korea

Mudik di Hari Raya Chuseok Kim Hwa-young

Kritikus Sastra; Anggota Akademi Seni Nasional


“A

© Yonhap News Agency

rus mudik ke rumah untuk berlibur menjadi lebih panjang dan lebih lama. Kemacetan lalu lintas di jalan raya utama di seluruh negeri diperkirakan tidak akan berkurang hingga jam 1 pagi besok.” Laporan kondisi lalu lintas ini terdengar dalam siaran berita setiap tahun ketika Chuseok, festival musim panen Korea, dimulai. Hari Raya ini merupakan salah satu dari tiga hari libur nasional Korea dalam kalender Gregorian, dua lainnya adalah Tahun Baru Imlek dan Hari Raya Kelahiran Buddha. Setiap tahun, hari-hari libur ini terjadi pada hari-hari yang berbeda pada kalender Gregorian, dan Tahun Baru Imlek dan Chuseok membuat orang berbondong-bondong mudik. Chuseok jatuh di hari kelima belas pada bulan lunar ke delapan. Tepatnya pada 24 September tahun ini, dan dengan tambahan akhir pekan sebelumnya dan dua hari “pengganti”, masa liburan berlangsung menjadi lima hari. Liburan musim gugur adalah merupakan waktu untuk menikmati sajian biji-bijian dan buah-buahan yang dipanen dan untuk berterima kasih kepada orang tua dan leluhur. Istilah Korea untuk mudik adalah gwiseong, yang berarti “kembali ke rumah orang tua untuk memberi penghormatan.” Hal ini merupakan ekspresi kerinduan akan kampung halaman dan menunjukkan ikatan keluarga dan regional ke dalam tindakan; anak-anak memiliki Gangguan musim gugur adalah waktu untuk menikmati kelimpahan biji-bijian dan buah-buahan yang dipanen dan untuk berterima kasih kepada orang tua dan leluhur. Istilah Korea untuk kepulangan tahunan ini adalah gwiseong, yang berarti “untuk kembali ke rumah orang tua untuk memberi penghormatan.” Chuseok lahir sebagai fenomena sosial sekitar tahun 1945, setelah pembebasan Korea dari pendudukan Jepang. Awalnya sebagian besar merupakan “siswa mudik,” para siswa pulang dari sekolah mereka di Seoul dan kota-kota lain. Industrialisasi pada 1960-an dan migran yang memenuhi kota-kota mengakibatkan terjadi lonjakan jumlah massa saat mudik pada hari libur nasional. Saat itu, kereta api merupakan satu-satunya pilihan perjalanan jarak jauh. Sejumlah besar orang dating di Stasiun Seoul untuk membeli tiket mudik. Jumlah penumpang di kereta-kereta menuju ke provinsi-provinsi meningkat tiga kali lipat dari kapasitas normal mereka, mengingat kereta api masa perang dipenuhi juga oleh para pengungsi. Pada 1970-an, jalan tol dibangun, mobil dan bus semakin bertambah hiruk-pikuk seiring dengan lonjakan migrasi. Pada 1990-an, ketika pembelian mobil menjadi semakin mudah, kemacetan parah di jalan raya menjadi hal biasa. Sekarang, demi menghindari kemacetan dan memaksimalkan waktu bersama terciptalah “mudik terbalik,” justru orang tua yang bepergian ke Seoul untuk bertemu anak-anak mereka. Beberapa anak muda menghindari kemacetan dengan bersama-sama pergi ke luar negeri. Namun, selama terdapat orang yang mendambakan kenyamanan dan kegembiraan dalam pelukan orang tua dan kampung halaman mereka, hiruk pikuk pada hari libur nasional akan terus berlanjut.


Dari redaksi

Pemimpin Umum

Lee Sihyung

Harapan Baru di Musim Gugur

Direktur Editorial

Kang Young-pil

Pemimpin Redaksi

Koh Young Hun

Musim gugur akan menyulap semenanjung Korea menjadi kanvas de­­ ngan lukisan alam dalam cat warna-warni. Berjalan di atas guguran daun ginkgo dan maple serasa menapaki belantara keindahan yang tanpa batas. Walaupun sisa hawa panas yang lebih panas dari Indonesia tahun ini, tak menyurutkan semangat masyarakat Korea untuk menikmati musim gugur melalui berbagai acara dan atraksi. Di awal musim gugur ini sebagai tindak lanjut pertemuan kedua pemim­ pin Korsel dan Korut beberapa waktu lalu, keluarga terpisah di Korsel dan Korut diberi kesempatan berjumpa. Tentu persitiwa itu disambut de­­ ngan gembira. Bahkan, tim Korsel dan Korut di <18th Asian Games Jakarta-Palembang> bersama-sama memasuki Gelora Bung Karno ketika diadakan upacara pembukaan. Sungguh, suasana membaik telah terjadi di semenanjung Korea. Keamanan dan perdamaian di semenanjung Korea memberi dampak positif ke seluruh dunia. Harapan baru pun mekar. Hal itu membuktikan bahwa olah raga berperan penting dalam menciptakan suasana damai di semenanjung Korea ketika dua tim Korea bersatu padu dan berbaris bersama di bawah satu bendera di acara olahraga internasional. Kita berharap agar melalui persatuan para atlet Korea Utara dan Selatan mimpi unifikasi akan menjadi kenyataan. Sambil membayangkan semenanjung yang indah dan damai, nikmatilah tulisan-tulisan tentang makanan, sejarah, seni populer, film, musik, olah raga, dan sebagainya dalam Koreana Musim Gugur 2018 ini. Dengan membaca sajian kami, pembaca akan diajak mengenal lebih dekat Korea dan segala keunikannya.

Dewan Redaksi

Han Kyung-koo

Benjamin Joinau

Jung Duk-hyun

Kim Hwa-young

Kim Young-na

Koh Mi-seok

Charles La Shure

Song Hye-jin

Song Young-man

Yoon Se-young

Direktur Kreatif

Kim Sam

Editor

Ji Geun-hwa, Noh Yoon-young,

Park Do-geun

PENATA aRTISTIK

Kim Do-yoon

Desainer

Kim Eun-hye, Kim Nam-hyung,

Yeob Lan-kyeong

Penata Letak

Kim’s Communication Associates

dan Desain

44 Yanghwa-ro 7-gil, Mapo-gu

Seoul 04035, Korea

www.gegd.co.kr

Tel: 82-2-335-4741

Fax: 82-2-335-4743

Harga majalah Koreana per-eksemplar di Korea W6.000. Di negara lain US$9. Silakan lihat Koreana halaman 80 untuk berlangganan.

Koh Young Hun Pemimpin Redaksi Koreana Edisi Indonesia

seni & budaya korea Musim Gugur 2018

Percetakan Edisi Musim GUGUR 2018 Samsung Moonwha Printing Co. 10 Achasan-ro 11-gil, Seongdong-gu, Seoul 04796, Korea Tel: 82-2-468-0361/5

Diterbitkan empat kali setahun oleh The Korea Foundation 55 Sinjung-ro, Seogwipo-si, Jeju-do 63565, Korea http://www.koreana.or.kr

© The Korea Foundation 2018 Pendapat penulis atau pengarang dalam majalah ini tidak haurs selalu mencerminkan pendapat editor atau pihak Korea Foundation. Majalah Koreana ini sudah terdaftar di Kementerian Budaya, Olahraga, dan Pariwisata(No. Pendaftaran Ba 1033, 8 Agustus

Kolase gambar yang menggamba­rkan rekonsiliasi di semenanjung Korea yang terdiri atas olahraga, bioskop, dan musik pop. Lihat Fitur Khusus halaman 4-25.

1987), Korea sebagai majalah triwulanan, dan diterbitkan juga dalam bahasa Inggris, Cina, Prancis, Spanyol, Arab, Rusia, Jepang, dan Jerman.


fitUr khUsUs

tanda-tanda Perdamaian: Peredaan ketegangan antar-korea dalam Budaya Pop

04

FITUR KHUSUS 1

12

FITUR KHUSUS 2

Hubungan dan Emosi Rakyat Dua Korea dalam Film

Perjalanan Rekonsiliasi melalui Musik Pop

Jung Duk-hyun

O Gi-hyeon

26

50

FOKUS

KISAH DUA KOREA

18

FITUR KHUSUS 3

Titik Balik Baru Melalui Pertukaran Olahraga Antar-Korea Jeong Yoon-soo

62

GAYA HIDUP

Ondol sebagai Warisan Budaya Nasional

Mi Dingin Pyongyang: Rasa Semenanjung Bersatu

Ham Seong-ho

Kim Hak-soon

Seong Jeong-a

32

54

66

WAWANCARA

SATU HARI BIASA

DIY Desain Interior, Kegiatan di Waktu Luang yang Menyenangkan

PERJALANAN KESUSASTRAAN KOREA

Mengabadikan Memori Masa Lalu yang Mulai Hilang

Tidak Ada Waktu Istirahat bagi ‘Mahasiswa Abadi’

Obat apa yang diperlukan perempuan itu?

Chung Jae-suk

Kim Heung-sook

Choi Jae-bong

38

58

JATUH CINTA PADA KOREA

Istri-istri Imigran Ingin Hidup Setara dan Mandiri

Sejarah Obat HIBURAN

Memulihkan Citra Menantu Perempuan

Choi Sung-jin

Jung Duk-hyun

42

60

DI ATAS JALAN

ESAI

Rumah-Rumah Penuh Kisah di Lorong-Lorong Seongbuk-dong

Mengapa Unsur Korea Menarik untuk Dituliskan dalam Novel dan Cerpen?

Lee Chang-guy

Sinta Yudisia

Oh Hyun-jong


FitUr KHUSUS 1

Tanda-Tanda Perdamaian: Peredaan Ketegangan Antar-Korea dalam Budaya Pop

“Shiri” (1999), sutradara Kang Je-gyu © Kang Je-gyu Films

“Sangat Rahasia” (2013), sutradara Jang Cheol-soo

Hubungan dan emosi rakyat dua korea dalam Film “Taegukgi: Persaudaraan dalam Perang” (2004), sutradara Kang Je-gyu © Kang Je-gyu Film

4 Koreana MUSIM GUGUR 2018

“Selamat datang di Dongmakgol” (2005), sutradara Park Kwang-hyun


© MCMC

“Kawasan Keamanan Bersama” (2000), sutradara Park Chan-wook © Myung Films

Bagaimanakah perjalanan perubahan persepsi orang Korea Selatan terhadap Korea Utara, setelah lewat 65 tahun Perang Dingin dan terpecah menjadi dua negara? Selain melalui film, rasanya tidak ada yang dapat dengan jelas menunjukkan perubahan tersebut. Dari film-film yang muncul sejak peristiwa bersejarah pertemuan dua kepala negara Korea Selatan dan Utara di tahun 2000 sajalah kita bisa menilik perubahan pandangan masyarakat Korea Selatan terhadap Korea Utara dan hubungan antar-Korea. Jung Duck-hyun Kritikus Budaya Masyarakat © Film It Suda

“Arsip Berlin” (2012), sutradara Ryoo Seung-hwan © Pembuat film R & K, CJ ENM

seni & budaya Korea 5


“S

ejarah film Korea terbagi menjadi masa sebelum dan sesudah film <Swiri (ikan yang turut mati jika pasangannya mati)>”. Film <Swiri> yang disutradarai Kang Je-gyu dirilis pada tahun 1999, membuat perubahan arah perfilman yang sangat besar. Hal ini tentunya berhubungan dengan jumlah penonton yang tercatat pada saat itu, yakni sekitar 2,45 juta orang di Seoul dan 5,82 juta orang di seluruh negeri Korea. Hingga saat itu, film satu-satunya yang berhasil menarik lebih dari 1 juta penonton di Seoul adalah film yang disutradarai oleh Im Kwontaek, yang bertemakan Pansori (musik tradisional Korea) berjudul <Seopyeonjea (Film yang diangkat dari novel karya Lee Cheong Jun, yang menceritakan kecintaan seorang ayah pada Pansori sehingga untuk membuat anaknya dapat mengeluarkan suara untuk menyanyikan Pansori dengan baik ia membuat buta mata anak perempuannya, dan akhirnya berhasil membuat anaknya itu menjadi penyanyi yang baik)>, yang dirilis pada tahun 1993. Saat film-film yang dibuat dengan biaya produksi sangat besar oleh investasi mata uang asing masuk dengan limpahnya, film-film Korea nyaris tidak bisabertahan dalam sistem kuota perfilman. Dalam keadaan yang demikin <Swiri> berhasil membuktikan bahwa perfilman Korea cukup memiliki peluang dalam blockbuster Korea. Dengan investasi biaya produksi 3,1 miliar won, yang merupakan jumlah tertinggi pada waktu itu, keberhasilan film ini telah mempercepat perputaran blockbuster film Korea dan telah menjadi titik tolak bagi film Korea sebagai industri budaya. Tapi harus dicatat di sini apa sebenarnya yang membuat <Swiri> berhasil menarik perhatian penontonnya. Secara singkat dapat dikatakan bahwa itu adalah karena film tersebut dengan berani mengambil tema hubungan antar-Korea yang berada dalam perubahan. Tema Baru, Perspektif Baru Film <Swiri>berisi kisah perjuangan menghentikan serangan teroris kelompok keras Korea Utara yang ingin menghancurkan suasana rekonsiliasi dengan Korea Selatan. Babak klimaks di mana pada mata-mata Korea Utara dan agen dari Korea Selatan saling berkonfrontasi, telah menciptakan suatu pemandangan yang menggambarkan hubungan antar-Korea itu sendiri. Jika pertandingan sepakbola antar Korea Utara dan Selatan yang disaksikan oleh pemimpin-pemimpin kedua Korea menunjukkan suasana dikemas untuk rekonsiliasi, munculnya kelompok keras mengungkapkan ketegangan dan permusuhan yang masih tetap dalam masyarakat Korea. Namun para penonton lantas bersimpati pada jalinan cinta yang tetap dapat dipastikan bahkan dalam situasi di mana pelakon utama pria dan wanita harus terpisah oleh ideologi negaranya masing-masing.

6 Koreana MUSIM GUGUR 2018

“Hujan Baja” (2017), sutradara Yang Woo-suk © Yworks Entertainment

Film ini mencerminkan dengan baik emosi yang berbeda dari orang-orang pada saat itu ketika mereka mencoba untuk melihat Korea Utara sebagai sesama manusia, bukan “musuh” di era anti-komunisme. Aspirasi untuk mengakhiri Perang Dingin diwujudkan dalam 55 tahun sejak terbaginya kedua Korea yaitu pada tanggal 13 Juni 2000. Kunjungan mantan Presiden Kim Daejung ke Pyongyang atas undangan Presiden Kim Jong-il adalah salah satu peristiwa yang digembar-gemborkan sebagai perubahan dramatis yang terjadi di Semenanjung Korea. Film sutradara Park Chan-wook “Kawasan Keamanan Bersama” yang dirilis pada bulan September tahun itu dan menarik lebih dari 2,51 juta penonton di Seoul saja tidak lepas dari peristiwa bersejarah tersebut. Film ini menceritakan tentang pelacakan terhadap peristiwa penembakan yang terjadi di wilayah Panmunjom, wilayah penuh ketegangan dan konflik, dan juga menunjukkan suatu keadaan yang mengejutkan, yakni bahwa para prajurit Korea Utara dan Selatan ternyata saling berkomunikasi secara rahasia dan menjalin persahabatan. Saat itu suasana di Korea Selatan telah berubah dari perjuangan pro-demokrasi pada Juni 1987 dan peresmian pemerintahan sipil pertama bermula pada 1993. Kebebasan individu akhirnya benar-benar bisa dinikmati. Namun demikian, pada tahun 1990-an sikap Korea Selatan terhadap Korea Utara belum berubah. Kelompok konservatif menganjurkan kewaspadaan dan pendekatan kelompok keras Korea Utara. Jembatan yang diperjuangkan secara progresif dibangun atas kerja sama dan kepercayaan. Industri hiburan, harus selalu sadar akan Undang-undang Keamanan Nasional anti-komu-


1

“Operasi Chromite” (2016), sutradara John H. Lee

2

© Taewon Entertainment

nis tahun 1948, terus mempraktekkan penyensoran sendiri. <Swiri> mencobal menguakmasalah intra-Korea secara tidak langsung dengan menampilkan mata-mata yang dibumbui dengan kisah cinta. Sementra <JSA> bahkan lebih keras, lugas menggambarkan persahabatan antara tentara yang diposisikan untuk saling membunuh. Sutradara Park Chan-wook mengatakan pada saat itu, “Saya siap untuk ditangkap karena film ini”. Untungnya, realisasi dramatis dari pertemuan antar-Korea sesaat sebelum peluncuran film ini justru membuatnya mendapat respon luar biasa di luar dugaan. ekspansi Genre Sutradara Kang Jae-gyu, yang telah mengetahui kemungkinan sukses pada blockbuster Korea dengan <Swiri>, muncul lagi dengan <Taegeukgi/Dengan MengibarkanBendera Negara>-nya. Mengikuti pemerintahan Kim Dae-jung, pemerintahan Roh Moo-hyun terus mengejar rekonsiliasi hubungan dengan Korea Utara. Kini, film-film yang menggambarkan hubungan antar-Korea menampilkanPerang Korea menjadi dengan pandangan yang berbeda dari masa lalu. Ini adalah perspektif baru yang memandang orang-orang terlibat di dalam perang, bukan perspektif yang melihat kepada perang itu sendiri. Pelatihan tentara khusus yang keras untuk menghadapi strategi serangan Korea Utara di tahun 2003 yang ditunjukkan oleh Sutradara Kang Woo-suk (康祐碩) secara tidak langsung dalam film <Silmido> menampilkan situasi tragis akibat terpisahnya Korea. Film ini adalah film pertama yang berhasil menarik lebih dari sepuluh juta penonton di Korea. Dua tahun kemudian, <Taegukgi/Dengan Mengibarkan Bendera Nega-

1. Para aktivis dari Selatan dan Utara mengesampingkan ideologi mereka untuk bersama-sama menghentikan perang nuklir di tengah upaya kudeta di Korea Utara. 2. Sebuah tim mata-mata mengumpulkan intelijen pada pertahanan Korea Utara sebelum Pendaratan Incheon, serangan amfibi oleh Pasukan U.N. pada September 1950, yang membalikkan gelombang Perang Korea.

ra> untuk kedua kalinya sebuah film berhasil menarik lebih dari sepuluh juta penonton di Korea. Film ini menggambarkan kisah terpecahnya sebuah keluarga dalam tragedi Perang Korea dari sudut pandangpersaudaraan. Film ini menggambarkan situasi yang tragis di mana dua orang saudara akhirnya harus saling adu senjata akibat sang kakak menjadi anggota tentara Korea Utara. Pesan dalam film itu tak lain adalah bahwa tentara Korea Utara, yang dianggap sebagai “komunis” selama periode anti-komunis, sebenarnya tak lain adalah saudara dari Korea Selatan. <Selamat Datang di Dongmakgol> yang disutradarai Park Wang-hyun pada tahun 2005, mengikutsertakan sekitar 640.000 penonton dengan memfokuskan film pada humanisme melawan perang. Film ini menggambarkan kisah tentang tentang Korea Selatan, Korea Utara, dan Amerika yang terjebak di desa gunung Dongmakgol, desa yang lolos dari medan perang. Gelombang komersialisasi Belakangan ini, film-film yang berhubungan dengan hubungan antar-Korea juga mulai naik daun dalam komersial-

seni & budaya Korea 7


Kini film-film yang menampilkan hubungan antar-Korea memilih tema tentang Perang Korea dan mulai menunjukkan pandangan yang berbeda dari masa lalu yaitu saat anti-komunis masih kuat. “Silmido” (2003), sutradara Kang Woo-suk © Cinema Service

isasi. Sutradara Song Hae-sungdalam <Tak Terkendali>, yang diputar pada tahun 2010, telah mencoba genre pahlawan wanita noir, dengan menampilkan pelarian dari Korea Utara. Film ini memiliki makna ganda yaitu “seorang yang tak terkalahkan” dan “seorang yang tidak memiliki kebangsaan”, yang bermaksud mencoba menciptakan genre aksi noir untuk dihadapkan pada prasangka bahwa ‘pelarian dari Korea Utara adalah senjata yang mematikan’. Hal ini didasarkan pada spekulasi samar bahwa orang Korea Utara pastilah berbeda karena melewati kehidupan yang keras. Jadi, melalui karakter pelarian dari Korea Utara yang sanggup membuat gentar geng terorganisir Korea Selatan, terciptalah film aksi yang jauh dari kenyataan yang hampir seperti perang adanya. Gelombang komersialisasi tetap jaya di zaman ‘presiden ekonomi’ Lee Myung Bak, yang terpilih pada tahun 2008. Pada masa itu walaupun konflik antara kaum konservatif dan progresif tetap ada, konsep ‘ekonomi’ lebih dominan. Di era pemerintahan Lee Myung-bak satu-satunya film yang bertemakan hubungan Utara-Selatan adalah <Garis Depan> yang disutradarai Jang Hoon (張熏). Film iniadalah sebuah karya yang mengungkapkan kecerobohan dan kesia-siaan perang melalui proses pendudukan dataran tinggi secara bergantian antara Selatan dan Utara. Film oleh Ryu Seung-wan (柳昇完) berjudul <Berlin> dan Jang Cheol-soo (張哲秀) berjudul <Secara Rahasia, Tapi Mulia> adalah film-film yang merupakan hasil emas gelombang komersialisasi, yang dirilis bersamaan di tahun 2012. Masing-masing karya ini menarik 7,2 juta penonton dan sekitar 6,6 juta penonton, dan semuanya bertemakan Korea Utara namun tetap pada formula genre dalam gelombang komersialisasi. <Berlin> yang dimulai pada tahun 2002 bertemakankonfrontasi mata-mata Korea Utara dengan agen rahasia Korea

8 Koreana MUSIM GUGUR 2018

1

Utara di Berlin terus berlanjut hingga ke <Jason Bourne> pada tahun 2016, yang sering disebut sebagai “Seri Bourne”. Untuk generasi dewasa, persepsi tentang mata-mata Korea Utara adalah agen bersenjata seperti Kim Sin-jo, yang tertangkap dalam percobaan pembunuhan yang gagal pada tahun 1968. Namun <Secara rahasia, tapi Mulia> menunjukkan seberapa besar persepsi ini telah berubah di kalangan muda Korea Selatan, sampai-sampai mereka membayangkan mata-mata Korea Utara sebagai seorang pemuda tampan yang menggetarkan hati. Film <Perang di Laut Yeongpyeon> yang berlatar belakang pertempuran laut antara Korea Utara dan Korea Selatan pada Juni 2002 di Pulau Yeonpyeong di Laut Barat, berhasilmenarik enam juta penonton. Sempat ada kontroversi mengenai kontrol pemerintah atas konten yang mendahului produksi agar film ini mengadopsi pandangan konservatif. Sebagai hasilnya adalah justru bukti bahwa bahkan ideologi pun dapat dikomersialisasikan. Layar penayangan yang jumlahnya 667 pada hari pertama perilisan, meningkat menjadi 1.013 dalam lima hari pertama, memonopoli dunia perfilman. <Strategi Pendaratan di Incheon> juga merupakan film komersial yang disusun di sekitar konflik antara kaum konservatif dan progresif. Kepala perusahaan produksi berkomentar pada saat itu “Saya membuat film itu karena ingin melihat orang waspadasecara mental dan sadar akan keamanan nasional”. Film ini menggambarkan pertaruhan berani untuk mendaratkan pasukan Amerika di Incheon selama Perang Korea untuk memotong seranganpasukan Korea Utara menjadi setengah. Dalam satu adegan, seorang perwira militer Korea Utara menyodongkan senjatanya kepada keluarganya karena mereka tidak lagi satu dalam pandangan ideologi, menunjukkan bahwa ‘ideologi lebih kental daripada darah’. Dia digambarkan sebagai lambang kejahatan. Sebaliknya, Jendral AS Douglas MacAr-


“Garis Depan” (2011), sutradara Jang Hoon © TPS Company

2

thur ditampilkan seperti dewa. Daripada kesengsaraan akibat perang, film itu memfokuskan katarsis para pemenang. Melalui komersialisasi ideologi dan penyajian spektakuler tentang perang, film ini berhasil menarik tujuh juta penonton. imajinasi dan realitas sinematik Film <Namhansanseong/Benteng Bukit Namhan> di tahun2017 membawa penonton kembali ke Invasi Manchu kedua, atau Byeongja Horan, pada tahun 1636. Dirilis di tengah meningkatnya ketegangan atas uji coba rudal nuklir Korea Utara, sentimen terpolarisasi yang dipamerkan berabad-abad lalu menggarisbawahi kegelisahan hari ini. Terletak di Bukit Namhan, benteng tempat keluarga dinasti Joseon berlindung, film ini menampilkan debat sengit antara Kim Sang-heon, pemimpin faksi yang berdebat untuk bertempur melawan penjajah Qing, dan Choe Myeong-gil, pemimpin faksi yang menganjurkan penyelesaian secara damai, yang dianggap menggambarkan pandangan berbeda yang dimiliki oleh kaum konservatif dan progresif di masa itu. Dalam film tersebut, Menteri Ritus Kim Sang-heon menegaskan bahwa Joseon harus melawan dengan mengatakan, “Walaupun nyawa gantinya, kami tidak sudi hidup dipermalukan” sementara Menteri Personalia Choe Myeong-gil menjawab “Kita harus hidup jika kita mau melihat keadilan menang dan bekerja untuk tujuan yang lebih besar”. Argumen tersebut mencerminkan pandangan yang berlawanan dari kaum konservatif dan progresif tentang hubungan Utara-Selatan. Pada tahun 2017, setelah Presiden Park Geun-hye diberhentikan dengan tuduhan korupsi dan digantikan oleh Moon Jae-in dari kaum progresif, <Gangcheolbi/Hujan Baja> yang disutradarai oleh Yang Woo-seok meledak di bioskop-bioskop, membuat lebih dari 4,5 juta warga Korea yang mengantisipa-

“Garis Batas Utara” (2015), sutradara Kim Hak-soon

3

© Rosetta Cinema

1. Berdasarkan peristiwa nyata, film ini menceritakan tentang sekelompok orang yang dilatih untuk membunuh pemimpin Korea Utara Kim Il-sung. Itu adalah film Korea pertama yang ditonton lebih dari 10 juta pemirsa. 2. Salah satu film yang lebih mendalam selama pemerintahan Lee Myung-bak yang keras, kesia-siaan dan kecerobohan perang dalam pertempuran terakhir sebelum gencatan senjata Perang Korea. 3. Merefleksikan pandangan garis keras konservatif, film ini menggambarkan pertempuran laut antara Korea Utara dan Korea Selatan.

si pencairan hubungan antar Korea di bawah Presiden Moon Jae-in datang ke bioskop. Dalam adegan imajiner digambarkan ‘hujan baja’ akibat perang nuklir yang mematikan dan dalam sekejap mata menciptakan kota neraka cukup dapat dirasakan betapa tragisnya perang nuklir. Para pahlawan film ini adalah dua agen dari Selatan dan Utara yang menyadari bahwa tragedi itu bukan disebabkan oleh ancaman dari negara musuh tetapi oleh ambisi mereka yang mengeksploitasi pembagian nasional untuk dikuasai. Mereka mengesampingkan ideologi masing-masing dan bekerjasama untuk menghentikan perang nuklir. Kepada penonton tidak begitu banyak disajikan tontonan visual, tetapi melalui film ini mereka bertepuk tangan karena menyaksikan bagaimana rasa humanisme yang menggelora dalam diri dua orang berhadapan dengan perang nuklir. Perubahan dalam film yang berhubungan dengan hubungan antar-Korea menyimpulkan bahwa di setiap munculnya film-film itu pasti ada pengaruh kebijakan pemerintah saat itu terhadap Korea Utara. Konfrontasi dan kerja sama yang dieksplorasi oleh film telah mencerminkan pendekatan antara kaum konservatif dan progresif. Pandangan dan nilai-nilai yang disorot pada layar perak telah mempengaruhi sikap Korea Selatan terhadap Korea Utara - bagaimana hal itu harus dirasakan dan ditangani.

seni & budaya Korea 9


“Senama” (2017), sutradara Choi Jong-goo dan Son Byeong-jo © Changpoong E & M

1

Pandangan Film kemerdekaan terhadap Pelarian korea utara Keutamaan film kemerdekaan adalah penanganan yang jujur atas subjek yang diabaikan secara komersial. Sejumlah film kemerdekaan tentang pelarian Korea Utara melihat masalah yang mereka hadapi ketika mencoba untuk berasimilasi di Korea Selatan yang menganut paham kapitalis.

Dirilis pada akhir tahun 2017, <Ryeon-hui dan Yeon-hee>menampilkan dua wanita yang memiliki nama yang sama tetapi diucapkan secara

han seksual di sebuah taman. Poster untuk film yang mengandung kalimat, “Seorang wanita

berbeda karena perbedaan linguistik antara kedua Korea. Ryeon-hui

yang meninggalkan rumahnya; Seorang wanita yang melarikan diri

adalah seorang yang kehilangan putrinya saat melarikan diri dari Ko-

dari negaranya” menyamakan nasib pelarian Korea Utara dengan nasib

rea Utara. Dia melarikan diri karena terlalu sulit untuk bertahan di sana

wanita Korea Selatan yang hidup dalam masyarakat patriarkal. Ryeon-

tetapi menyadari bahwa kehidupan di masyarakat Korea Selatan tidak

hui menangkap Yeon-hee mencoba mencuri gimbap berbentuk segitiga

mudah. Ryeon-hui mencari nafkah dengan bekerja paruh waktu di toko

(nasiyang dibungkus rumput laut) dari toko. Pertemuan pertama itu

serba ada. Di sana, ia harus menahan diri menghadapi pelanggan dan

mengarah ke persahabatan baru sesaat sebelum Yeon-hui melahirkan,

rekan kerja memandang rendah dirinya – yaitu pengalaman khas pelar-

dan Ryeon-hui akhirnya mulai membebaskan dirinya dari mimpi buruk

ian Korea Utara yang hidup di Korea Selatan. Hidup Yeon-hee juga sulit.

akibat kehilangan anaknya.

“Pelarian”-nya adalah dari rumah, untuk menjauh dari ayahnya yang

Film ini menunjukkan bagaimana ‘pelarian dari Korea Utara’ dan ‘wa-

kasar. Dia menemukan dunia adalah tempat yang dingin. Dia hamil, teta-

nita’ bertemu di satu titik di mana mereka disepelekan dan bagaimana

pi tidak tahu siapa ayahnya, bahkan dia hampir saja mengalami pelece-

mereka berusahamembentuk ikatan untuk mengatasi masalah mereka.

10 Koreana MUSIM GUGUR 2018


Film ini sekaligus juga mencuatkan kembali pelarian Korea Utara terkaiti-

lah menunjukkan bagaimana keadaan dirinya.

su-isu gender yang baru-baru ini muncul ke permukaan di seluruh dunia.

Kim Man-cheol, seorang Korea Utara yang melarikan diri ke Selatan

Film <Myung-hee>yang menyebabkan sensasi kecil ketika dimasuk-

bersama keluarganya menggunakan sebuah kapal kecil pada tahun

kan dalam Festival Film Pendek Mise-en-scene pada tahun 2014, men-

1987, mengatakan pada konferensi pers segera setelah kedatangannya

gambil pendekatan yang berbeda untuk subjek yang serupa dengan

bahwa dia telah berlayar ke ‘negeri selatan yang hangat’, sebagai ek-

mengikuti kehidupan sehari-hari seorang pelarian Korea Utara dalam

spresinya tentang Korea Selatan. Tetapi bagi Seong-cheol dalam <The

gaya dokumenter. Yang umum untuk hampir semua film pelarian ada-

Journal of Musan/Catatan dari Musan>, ‘negeri selatan yang hangat’

lah deskripsi tentang pelarian yang mengerikan dan perjalanan berisiko

tidak ada. Karena apa yang digambarkan di film itu adalah bahwa yang

ke KoreaSelatan. Namun, film ini hanya menampilkan seorang wanita

ada hanyalah bertahan hidup secara mati-matian dan kenyataan per-

yang telah menjadi bagian dari masyarakat Korea Selatan.

saingan sengit yang dihadapinya.

Film ini dibuka dengan adegan yang cukup biasa, yaitu tempat pelatihan senam. Myung-hee, yang pergi ke sana oleh ajakan seorang teman, bertemu dan berteman dengan Su-jin dan Mi-jeong. Cerita yang kelihatannya akan berakhir biasa-biasa saja itu berlanjut ketika ia semakin dekat dengan Su-jin dan mulai bekerja tanpa dibayar di toko pakaiannya setiap hari untuk membantu. Untuk Myung-hee, kerja tanpa dibayar bukanlah masalah. “Di Utara, kami harus pergi ke luar dan menghancurkan batu di tengah musim dingin” katanya, mengenai pekerjaannya di toko sebagai tindakan persahabatan sederhana. Tetapi ketika orang lain melihatnya, dia tidak memiliki konsep ekonomi. Di Korea Selatan yang kapitalis, seseorang secara otomatis akan dibayar sebagai ganti kerjan-

1. Film ini menyandingkan realitas yang dialami oleh dua wanita, seorang pembelot Korea Utara yang berjuang untuk menetap di Selatan dan seorang wanita Korea Selatan yang menderita di bawah konvensi patriarkal. 2. Film ini menggambarkan konflik antara pembelot Korea Utara dan orang-orang di sekitarnya, yang timbul dari perbedaan dalam cara berpikir dan konsep ekonomi mereka. 3. Pemenang beberapa penghargaan film internasional, film ini menyoroti nasib para pembelot Korea Utara dari perspektif neorealis.

ya. Jadi, Myung-hee mulai tergoncang hatinya ketika teman-temannya bertanya “Memangnya kamu budak Su-jin?”.

2

Film terkenal lainnya adalah <Catatan dari Musan> yang memenangkan 16 penghargaan di berbagai festival film internasional, termasuk Penghargaan Tiger, Federasi Internasional Penghargaan Kritikus Film di Festival Film Internasional Rotterdam, PenghargaanUtama di Festival Film Internasional Andrey Tarkovsky di Rusia dan Festival Film Internasional Reel Asia Toronto. Penghargaan internasional yang diraih oleh <Catatan dari Musan> dapat dikaitkan dengan pandangan neorealist film ini tentang dunia. Catatan itu merekam perjuangan sehari-hari untuk bertahan hidup yang

“Myung-hee” (2014), sutradara Kim Tae-hun

dikobarkan oleh Jeon Seung-cheol, seorang pelarian dari Musan, Provinsi

© Central Park Films

Hamgyong, Korea Utara. Tetapi selain itu film ini jugamenyoroti kenyata-

3

an yang dihadapi olehnya. Yaitu menerangi kesulitan orang-orang hidup di pinggiran masyarakat Korea Selatan karena mereka miskin atau tidak memiliki harta. ‘Musan’ adalah nama kota kelahiran Seung-cheol, tetapi ‘Musan’ dalam bahasa Korea juga berarti ‘tidak memiliki harta’. Hidup dari hari ke hari menempel poster di dinding, Seung-cheol memiliki sedikit harapan untuk kehidupan yang lebih baik. Sambil menghadapi pelecehan verbal dan fisik setiap hari, hidupnya di Korea Selatan tetap merupakan ujianbertahan hidup yang berbahaya. Satu-satunya pelipur lara adalah gereja, di mana semua dianggap sebagai anak-anak Tuhan, dan seekor anak anjing terlantar, yang tanpa banyak bicara seo-

“Jurnal Musan” (2010), sutradara Park Jung-bum © Film Secondwind

seni & budaya Korea 11


FITUR KHUSUS 2

Tanda-Tanda Perdamaian: Peredaan Ketegangan Antar-Korea dalam Budaya Pop

Š The Hankyoreh

Perjalanan Rekonsiliasi melalui Musik Pop Korea Selatan dan Utara melakukan pertukaran budaya melalui musik selama lebih dari 30 tahun, dan sudah 20 tahun berlalu sejak kedua Korea saling mengenal satu dengan lainnya melalui musik populer. Bagi kedua Korea dengan ideologi dan sistem politik yang berbeda, pertemuan melalui musik berarti lebih dari sekadar pertukaran budaya; ini adalah upaya untuk memulihkan identitas mereka sebagai satu bangsa dengan mempromosikan rekonsiliasi dan perdamaian. O Gi-hyeon Produser Stasiun Penyiaran SBS 12 Koreana MUSIM GUGUR 2018


P

ada 8 Februari 2018, sehari sebelum upacara pembukaan Olimpiade Musim Dingin Pyong­Chang, angin laut berembus mereda di Gangneung, sebuah kota di pantai timur dekat tempat Olimpiade, dan pada sore hari, suhu naik menjadi 6 derajat celcius. Hari itu, konser oleh Orkestra Samjiyon, bagian dari delegasi Korea Utara yang datang untuk merayakan Olimpiade Musim Dingin, dijadwalkan di Pusat Kesenian Gangneung. Ensemble dari lebih dari 140 anggota baru diorganisasikan untuk memadukan para instrumentalis, penyanyi dan penari terbesar dari Orkestra Samjiyon, Kelompok Seni Moranbong, dan Kelompok Orkestra Simfoni Nasional Republik Rakyat Demokratik Korea (Korea Utara). Cuaca pada hari pertunjukan ini untungnya cukup hangat, namun orang-orang yang berkumpul di Pusat Kesenian Gangneung tidak dapat meregangkan ketegangan mereka sebelum pertunjukan seni tersebut dimulai. Hal ini dikarenakan bahkan sampai satu-dua bulan yang lalu, Korea berada dalam suasana konflik akan adanya kemungkinan perang sehingga beberapa media massa Korea Selatan menyindir ketua Kelompok Orkestra Samjiyon, Hyun Song-wol, sebagai “Gadis Penjual Nuklir” yang merupakan sindiran dari opera revolusi Korea Utara berjudul “Gadis Penjual Bunga” dan muncul pendapat bahwa Korea Utara dapat melakukan propaganda politik. Kekhawatiran yang memenuhi aula pertunjukan seketika memudar begitu lagu pertama “Bangapsseumnida” – yang berarti “senang berjumpa dengan Anda” – dinyanyikan. Lagulagu yang didengarkan berikutnya juga adalah lagu yang umumnya sesuai dengan emosi dan perasaan rakyat Korea Selatan dan Utara, tanpa menekankan warna politik kedua Korea. Para penonton memberikan tepuk tangan meriah yang hangat untuk lagu-lagu dan pertunjukan musik penuh semangat yang dimainkan oleh rombongan seni Korea Utara. Cenderung kepada Musik Populer Korea Selatan Rombongan seni Korea Utara terlihat bersungguh-sungguh dalam mempersiapkan pertunjukan pertamanya di Korea Selatan sejak kunjungan terakhirnya 16 tahun yang lalu. Di antaranya, yang paling menarik perhatian adalah pencampuran suaranya (audio mixing). Ketika dua orang teknisi melakukan pencampuran suara (mixing) dengan audio console yang dibawa dari Korea Utara, keseimbangan suara penyanyi dan alatalat musiknya begitu sempurna dan lembut sehingga mem-

Pada konser Orkestra Samjiyon yang diadakan pada 11 Februari 2018, di Teater Nasional Korea di Seoul, Seohyun (keempat dari kiri) dari Girls ‘Generation bernyanyi dengan artis Korea Utara. Delegasi resmi Korea Utara ke Olimpiade Musim Dingin Pyeong Chang, band ini menampilkan konser lain di Gangneung, salah satu kota tuan rumah Olimpiade, pada 8 Februari.

buat tim produksi Korea Selatan yang sedang mempersiapkan rekam­an penyiaran takjub dan terkesan. Pencahayaannya pun sangat bagus. Performasi mereka terasa tidak wajar karena terlalu pandainya mereka mencari dan menyoroti para pemusik dalam pertunjukan seiring dengan alur musik. Meskipun pakaian seragam musisi Korea Utara terlihat sedikit tertinggal zaman dan secara keseluruhan gaya rambutnya sederhana dan monoton, tetapi di dalam semua itu terlihat budaya berkelompok khas Korea Utara yang mementingkan kedisiplinan dan kesatuan. Mereka memainkan begitu banyak musik dari musik klasik hingga pop selama lebih dari 2 jam hampir tanpa melihat partitur. Kita dapat menerka betapa kerasnya mereka berlatih dalam masa persiapan yang singkat. Dalam pertunjukan kali ini, rombongan seni Korea Utara memainkan 13 buah lagu Korea Selatan. Dua di antaranya adalah lagu olahraga yang juga dikenal luas di Korea Utara, sementara 11 lagu lainnya adalah lagu pop Korea Selatan. Di dalam lirik 11 buah lagu tersebut muncul kata “cinta” sebanyak 40 kali, “air mata” sebanyak 10 kali, dan “perpisahan” sebanyak 4 kali. Lagu-lagu ini dapat diibaratkan sebagai lagu “angin kapitalisme” yang diwaspadai oleh Korea Utara. Kira-kira apa alasan Korea Utara sengaja memilih lagu-lagu yang biasanya mereka waspadai sambil menanggung resiko politik. Mungkin mereka berusaha untuk meruntuhkan tembok pemisah cita rasa antara kedua Korea yang tertutup rapat dan berusaha untuk dapat memahami kehidupan dan gaya pikir masing-masing melalui lagu-lagu yang mengekspresikan kehidupan sehari-hari dan cita rasa rakyat Korea Selatan. Alasan lain pemilihan lagu-lagu tersebut mungkin juga terletak pada pengaruh pertunjukan seniman Korea Selatan dalam kunjungannya ke Utara yang berlangsung sejak tahun 1999. Lagu “Perpisahan”, “Labirin Cinta”, dan “Untuk J” yang diperdengarkan oleh rombongan seni Korea Utara kali ini adalah lagu-lagu yang masing-masing dinyanyikan oleh Patti Kim pada tahun 1999, Choi Jin-hee pada tahun 1999 dan 2002, dan oleh Lee Sun-hee pada tahun 2003 secara berurutan di depan penonton Pyongchang. Sejarah Pertukaran Budaya Musik Pop Sejarah pertukaran musik antara Korea Selatan dan Utara dimulai pada tahun 1985. Titik mulanya adalah ketika pertunjukan pertukaran kelompok seni Korea Selatan dan Utara berlangsung pada bulan September tahun itu, di mana pertunjukan ini berlangsung bersamaan dengan acara kunjungan kampung halaman bagi keluarga yang terpisah karena perang Korea. Rombongan seni yang terbentuk masing-masing terdiri atas 50 orang seniman Korea Selatan dan Utara melakukan pertunjuk­ an di kedua wilayah Korea. Akan tetapi ketika itu pertunjuk­ an tersebut tidak mendapat sambutan yang baik. Korea Utara

seni & budaya korea 13


Pertukaran budaya Utara-Selatan terus berlanjut meskipun banyak kendala, terutama melalui konser musik populer, dengan artis Korea Selatan lebih sering mengunjungi Utara daripada sebaliknya. mencemooh rombongan seni Korea Selatan dengan mengatakan “feodalistis dan tidak senonoh”, sementara Korea Selatan merendahkan rombongan seni Korea Utara dengan mengatakan bahwa mereka “merusak tradisi dan terlalu monoton”. Selepas itu pun kedua Korea meneruskan tali hubungan pertukaran budaya seni ini dengan menyelenggarakan beberapa kali pertunjukan musik di Pyongyang dan Seoul secara bergiliran. Akan tetapi pertukaran musik pop baru dapat dikatakan benar-benar berlangsung sejak tahun 1999. Langkah pertamanya adalah pada tanggal 5 Desember 1999, saat “Konser Persahabatan dan Perdamaian Tahun 2000” arahan stasiun penyi­aran SBS yang dibuka di Teater Seni Bonghwa, Pyongyang. Pertunjukan musik ini sebenarnya adalah konser Roger Clinton, yaitu adik mantan presiden Amerika Serikat, Bill Clinton, dan SBS ikut serta dalam konser ini. Kemudian pada tanggal 22 Desember 1999 stasiun penyiaran MBC juga mengadakan pertunjukan dengan judul “Konser Persatuan Bangsa” di tempat yang sama. Hal ini dapat berlangsung karena ketika itu pemerintahan Presiden Kim Dae-jung menjalankan Kebijakan Sinar Matahari (Sunshine Policy, yaitu kebijakan untuk membangun hubungan persahabatan antara Korea Selatan dan Utara), sehingga terbentuk lingkungan yang memudahkan interaksi dan pertukaran antar Korea. Dengan melihat munculnya grup idola generasi pertama di Korea Selatan – yaitu Sechckies dan Fin.K.L. – dalam konser SBS, kita dapat mengetahui bahwa terdapat maksud untuk memperlihatkan perbedaan sosial dan budaya antara Korea Selatan dan Utara melalui budaya populer Korea Selatan. Pada 27 dan 28 September 2002, MBC mengadakan

1

14 Koreana MUSIM GUGUR 2018

“Konser Spesial Lee Mi-ja” dan konser “Oh! Korea Bersatu” secara berurutan di Teater Utama Pyongyang Timur. Dalam konser “Oh! Korea Bersatu”, penyanyi musik rok asal Korea Selatan, Yoon Do-hyun, mengejutkan penonton Korea Utara melalui lagu Arirang yang dinyanyikannya dengan gaya me­nyanyi yang bebas. Pertunjukannya diperdengarkan dalam siaran langsung di seluruh Korea Utara sehingga terbentuk “Sindrom Yoon Do-hyun”. Selain itu, stasiun penyiaran KBS juga membuka acara “Pamer Bakat Menyanyi Pyongyang” di Taman Moranbong, Korea Utara, pada tanggal 11 Agustus 2003. Acara yang me­rupakan program musik televisi di mana rakyat biasa muncul untuk memperlihatkan kemampuan menyanyinya yang telah berjalan sejak tahun 1972 ini, awalnya direncanakan de­­ ngan judul “Pamer Bakat Menyanyi Seluruh Negeri, Bagian Pyongyang (Jeonkuk Norae Jarang, Pyongyang pyeon)”. Pada Oktober 2003, SBS menyelenggarakan konser persatuan sebagai hari peringatan pembukaan Gimnasium Ryugyong Chung Ju-yung di Pyongyang. Kompleks olahraga ini dibangun bersama pada tahun 2003 oleh Grup Hyundai dari Korea Selatan dan Korea Utara, dan ketika itu 1.100 orang rombongan seni dan pengamatnya menyeberangi garis demarkasi untuk mengunjungi Pyongyang di Korea Utara. Pertunjukan ini juga merupakan pertunjukan musik pertama yang diselenggarakan di kompleks olahraga bagi Korea Utara. Dalam pertukaran budaya Korea Selatan dan Utara yang dipertahankan dengan susah payah seperti ini, Korea Selatan lebih sering mengunjungi Korea Utara dibandingkan dengan sebaliknya dan pertunjukan musik populer biasanya menjadi bagian utama dalam pertukaran budaya ini. Jika kita lihat secara lebih mendetail, di dalamnya terdapat ciri khusus “sejarah pertunjukan musik populer dalam kunjungan ke Korea Utara yang diselenggarakan oleh stasiun penyiaran Korea Selatan”. Kelahiran Kelompok Seni Moranbong Kerja sama pertunjukan seni antara Korea Selatan dan Utara yang memiliki perbedaan ideologi dan sistem, saling memberikan pengaruh yang tidak sedikit. Pertunjukan rombong­an seni Korea Utara yang diadakan di Korea Selatan secara keseluruhan memulihkan kesan permusuhan dan dapat dikatakan telah meningkatkan perhatian dan harapan rakyat


1. The Yoon Do-hyun Band tampil di konser bersama Utara-Selatan “Kita adalah Satu” yang diadakan 3 April 2018, di Ryugyong Chung Ju-yung Gymnasium di Pyongyang. Band ini juga berpartisipasi dalam konser 2002 “Oh! Korea Bersatu Lagi” yang diselenggarakan oleh MBC di East Pyongyang Grand Theatre. 2. Penduduk Pyongyang bernyanyi dan bersorak pada “Konser Perdamaian Delegasi Seni Korea Selatan dalam Harapan Rekonsiliasi dan Kerjasama: Musim Semi di Semua Penjuru,” diadakan 1 April di East Pyongyang Grand Theatre.

2

Korea akan perdamaian dan persatuan. Sebaliknya tidak mudah untuk mengetahui reaksi dan hasil dari pertunjukan seni Korea Selatan yang berlangsung di Korea Utara. Media massa di Korea Utara sangat jarang memberikan komentar mengenai pertunjukan rombongan seni Korea Selatan. Akan tetapi kita dapat memastikan hasil pertunjukan rombongan seni Korea Selatan secara tidak langsung melalui pertunjukan kelompok seni Moranbong. Kelompok seni Moranbong yang dibentuk atas perintah Pemimpin Tertinggi Korea Utara Kim Jong-un pada awal 2012, terdiri atas kurang lebih 20 orang penyanyi dan musisi wanita. Mereka mendapat perhatian dari dalam dan luar negeri bukan saja karena kecantikannya, tetapi juga karena kostum dan koreografinya yang sangat berbeda dengan sebelumnya. Korea Utara bermaksud untuk menciptakan kesan ceria dan dari dalam maupun luar hal ini memberikan pesan akan perubahan. Karakteristik lain yang ditemukan dalam pertunjukan kelompok Moranbong adalah bahwa mereka melakukan “pertunjukan di gedung olahraga”. Sebenarnya Korea Utara memiliki prinsip “pertunjukan dilakukan di teater, pertandingan dilakukan di gedung olahraga”. Mereka juga menolak keras ketika Korea Selatan bermaksud untuk membuka pertunjukan seni di gedung olahraga. Akan tetapi, setelah melihat pertunjukan seni Korea Selatan di gedung olahraga pada tahun 2003 dan 2005, Korea Utara juga mulai mengadakan pertunjukan-pertunjukan penting di gedung olahraga. Penggunaan kamera jimmy jib saat perekaman pertunjukan juga patut diperhatikan. Jimmy jib adalah kamera yang digantung di ujung katrol, dan kamera ini sering digunakan untuk memotret pertunjukan atau pertandingan olahraga karena ruang lingkupnya yang luas dan dapat mengambil gambar objek dengan lebih hidup. Kamera ini diperkenalkan di Korea Utara

© Yonhap News Agency

untuk pertama kalinya pada tahun 2003 saat konser persatuan sebagai hari peringatan pembukaan Gimnasium Ryugyong Chung Ju-yung. Ketika itu stasiun Korea Selatan menyiapkan satu buah kamera jimmy jib atas permintaan Korea Utara, dan sejak itu kamera ini tidak pernah absen dalam acara pertunjukan di Korea Utara. Kembang api dan serbuk kertas yang digunakan sebagai efek panggung pun sepenuhnya dimanfaatkan oleh Korea Utara setelah melihat pertunjukan Korea Selatan di Pyongyang. Setelah kunjungan kelompok orkestra Samjiyon, Korea Selatan juga membentuk rombongan seni dan mengun­jungi Pyongyang pada April lalu untuk membalas sambutan dari Korea Utara. Ini merupakan pertunjukan bersejarah yang diadakan kembali setelah 13 tahun selepas konser Cho Yong-pil pada tahun 2005. Nama resmi pertunjukan ini adalah “Pertunjukan Perdamaian Rombongan Seni Korea Selatan dalam Rangka Harapan untuk Kerja-sama Perdamaian Antar-Korea”, dengan anak judul “Semi Akan Datang”. Sejak terbelah dua, Korea Selatan dan Utara terus-menerus mencari stabilitas sistem pemerintahan masing-masing melalui persaingan bersenjata. Akan tetapi perdamaian semakin menjauh dan beban ekonomi saja yang semakin bertambah. Kini banyak terdengar suara untuk menghentikan persaingan yang tak berujung dan bersama-sama mencapai kehidupan sejahtera melalui toleransi dan kerja sama. Dalam hal ini, pertukaran seni dan budaya justru menjadi cara yang paling efisien untuk saling mengerti satu dengan lainnya. Tembok kecurigaan yang meninggi selama bertahun-tahun memang tidak dapat sepenuhnya runtuh hanya dengan pertunjukan seni yang diadakan beberapa kali. Akan tetapi kita dapat mengharapkan kedatangan “musim semi” ketika usaha-usaha tersebut terus berlangsung.

seni & budaya korea 15


Kisah Masuknya K-Pop ke Korea Utara Album debut <LOVE YOURSELF 轉' Tear> oleh Bangtan-sonyeondan atau BTS menduduki puncak ‘Billboard 200’ pada bulan Juni tahun lalu. Hal ini merupakan rekor setelah 12 tahun sejak rekor lagu pop bahasa non-Inggris menduduki urutan pertama di tangga lagu tersebut. Demikianlah, K-Pop menyebar ke seluruh dunia, dan ombaknya menciptakan gelombang terselubung menuju Korea Utara, negara tertutup itu. Kang Dong-wan Profesor Universitas Donga, Direktur Busan Hana Center

Tahun lalu, seorang tentara Korea Utara, yang melarikan diri melalui

Pengawasan vs Penyebaran

Panmunjeom dari negaranya dengan luka tembakan di sekujur tubuhnya

Lagu-lagu pop baru dari penyanyi grup yang populer di Korea Sela-

menjadi topik hangat, mengatakan bahwa dia menyukai lagu penyanyi

tan, dapat dikatakan bisa dinikmati di Korea Utara hampir pada saat yang

grup wanita Korea Selatan Girls Generationatau SNSD. Sementara di New

bersamaan. Ini karena media massa seperti DVD dan USB, yang memuat

York Times, memuat sebuah artikel dengan “Akan Mampukah Korea Utara

K-pop, mengalir melalui penyelundupan di Tengah dan Utara. Misalnya,

Bertahan Atas Invasi K-Pop?” dengan fokus pada penyanyi grup wanita

ketika <Gangnam Style> of Psy marak secara global, lagu itu juga populer

Red Velvet saat beralngsungnya pertunjukan oleh penyanyi Korea di Pyeo-

di Korea Utara.

ngyang pada musim semi lalu.

USB, yang biasa disebut sebagai “stik kartu memori” di Korea Utara,

Tentu saja, pihak berwenang di Korea Utara secara sangat ketat-

digunakan terutama untuk menonton film Korea Selatan atau mendengar-

menangani distribusi dan penayangan media dari Korea Selatan karena

kan musik. USB dan SD-card mudah dibawa dan dapat terhindari dari pen-

khawatir warganya akan menderita sindrom ‘Kebadungan akibat Kapital-

gawasan pihak berwenang. Baru-baru ini, perangkat media MP5 masuk ke

isme’. Namun, di Korea Utara, media Korea Selatan telah menjadi produk

Korea Utara melalui Cina. Jika MP3 sebelumnya adalah alat untuk memutar

populer yang menghasilkan uang besar yang terus terdistribusi dengan

musik saja, MP5 digunakan sebagai alat untuk menonton video dengan

menghindar dari pengawasan. Tidak hanya lagu-lagu populer, tetapi film-

definisi tinggi. Apalagi MP5 menggunakan kartu micro SD yang lebih kecil

film Korea Selatan dan OST drama juga beredar melalui jalur-jalur gelap.

dari USB, yang kapasitas penyimpanan lebih tinggi sementara ukurannya

© Yonhap News Agency

1

16 Koreana MUSIM GUGUR 2018


1. BTS (Bangtan Boys), menduduki puncak tangga lagu Billboard 200 Juni lalu dengan album reguler ketiga mereka “Cintai Dirimu: Airmata,” popular kalangan muda Korea Utara. 2. Diundang ke konser Pyongyang April lalu, Red Velvet menampilkan “Red Flavor” dan “Bad Boy” untuk penonton Korea Utara.

2

lebih kecil sehingga lebih aman dari pengawasan.

tah Korea Utara bila dibanding dengan generasi yang lebih tua.

Berkembangnya MP5 untuk menonton video telah membuka peluang

K-Pop telah menjadi katalis untuk mendorong perilaku pasif yang

baru bagi anak muda di Korea Utara untuk menonton video musik K-Pop.

menyimpang bagi generasi baru ini. Jika generasi sebelumnya adalah gen-

Ini berarti bukan hanya mendengarkan secara sembunyi-sembunyi lagu-

erasi yang setia oleh “mentalitas bom dan senjata”, solidaritas yang demiki-

lagu, tetapi berarti melihat langsung wajah penyanyi K-Pop, gerak tarian

an pada generasi baru bisa dikatakan lemah. Bahkan kalaupun kontrol dan

mereka, mode pakaian serta gaya rambut mereka. Akibatnya, intensitas

tindakan keras pada video Korea Selatan diperkuat, mereka tetap akan

kejutan budaya yang muncul menjadi lebih tinggi dari sebelumnya.

dengan berani menonton berulang kali. Karena menyanyikan lagu K-Pop dianggap menunjukkan superioritas di antara teman sepantaran mereka.

Kejutan Budaya Korea Utara telah lama menggunakan musik sebagai sarana untuk

Tindakan menyanyikan lagu K-Pop sembari mengikuti gerakan tariannya dianggap sebagai tindakan “pencerahan”.

mempertahankan sistem pemerintahan mereka. Dengan keyakinan bahwa “satu lagu mampu mewakili sepuluh juta pasukan”, Korea Utara telah

Generasi Jangmadang

mempertahankan filosifi mereka. Alasan mengapa pemuda Korea Utara

Pihak berwenang Korea Utara terpaksa harus menerima perubahan

yang dibesarkan dalam latar belakang sosial yang demikian begitu antusias

budaya dan perlawanan dari Generasi Jangmadang. Mereka tak bisa lagi

tentang K-Pop adalah karena K-Pop menyanyikan emosi universal manu-

serta merta melakukan pengawasan dan pembatasan seperti di masa lalu,

sia, bukan tentang filosofi atau ideologi, seperti lagu “Teman” oleh Ahn Jae-

tetapi terpaksa menghadapinya dengan menciptakan budaya sosialis baru

wook. Sebagian besar pengungsi Korea Utara menyatakan bahwa “hampir

yang dapat mengatasi budaya kapitalisme.

semua lagu-lagu Korea Utara merupakan propaganda politik dan pujian

Pesan politik dari pemerintah Korea Utara yang memerintahkan

bagi para pemimpin, sedangkan lagu-lagu Korea Selatan mudah untuk dii-

untuk mengakomodasi “tuntutan tinggi rakyat” dapat ditafsirkan sebagai

kuti dan ungkapan di liriknya sangatlah manusiawi”.

perubahan di Korea Utara terhadap masuknya kreasi baru. Contoh yang

Masuknya K-Pop dan proliferasinya ke Korea Utara terjadi di antara

menonjol adalah dibentuknya Moran Bong Band di era Kim Jong Eun.

kesenjangan generasi dan perbedaan stratifikasi. Ada istilah ‘Generasi Jang-

Penampilan para penyanyi anggota Moran Bong Band seperti pakaian dan

madang (berarti Generasi Pasar)’ yang mengacu pada generasi baru Korea

gaya rambut yang dikenakan, benar-benar berbeda dari gaya tradisional

Utara. Pada pertengahan hingga akhir 1990-an, sistem kesejahteraan

Korea Utara. Lirik lagu dan gerak tarian penyanyimengingatkan kita pada

berupa pendidikan gratis, perawatan medis gratis, dan distribusi bebas,

grup penyanyi wanita Korea Selatan.

yang oleh otoritas Korea Utara dikedepankan baik di dalam maupun di luar

Meskipun ada pengawasan dan kontrol ketat dari otoritas Korea Utara

negeri tidak berjalan dengan baik karena kesulitan ekonomi yang serius.

terhadap budaya asing, termasuk K-Pop, perubahan dalam generasi baru

Generasi Jangmadang tak lain mengacu pada generasi yang lahir pada

yang muncul dapat menjadi petunjuk kunci tentang perubahan dalam

sekitaran periode ini dan gagal menikmati manfaat sistem sosialis. Mereka

rezim Korea Utara di masa depan. Inilah alasan mengapa K-Pop memper-

dengan lebih kuat menunjukkan keseganan mereka pada kontrol pemerin-

hatikan efek yang akan dihasilkannya dalammasyarakat Korea Utara.

seni & budaya korea 17


FITUR KHUSUS 3

Tanda-Tanda Perdamaian: Peredaan Ketegangan Antar-Korea dalam Budaya Pop

Titik Balik Baru Melalui Pertukaran Olahraga Antar-Korea Olahraga telah memainkan peran penting dalam menciptakan suasana damai di semenanjung yang terbelah dengan dua tim Korea bersatu padu dan berbaris bersama di bawah satu bendera di acara olahraga internasional. Baru-baru ini, perkembangan menuju pembangunan perdamaian menunjukkan bahwa pertukaran olah raga antar-Korea akan menjadi sebuah momentum baru. Jeong Yoon-soo Komentator Olahraga dan Dosen Pascasarjana Budaya Universitas Sungkonghoe.

Hyun Jung-hwa (Korea Selatan, kanan) dan Li Bun-hui (Korea Utara) bermain dalam tim di Kejuaraan Tenis Meja Dunia ke-41, yang diadakan April 1991 di Chiba, Jepang. Mereka mengalahkan Cina 3: 2 dalam ganda wanita. Ini adalah acara olahraga internasional pertama di mana atlet dari kedua Korea berkompetisi bersama.

18 Koreana MUSIM GUGUR 2018


Š Yonhap News Agency

seni & budaya korea 19


P

ada tahun 1936, pelari maraton Sohn Kee-chung (1912–2002) berlari pada Olimpiade Musim Panas ke-11 di Berlin dengan bendera Jepang terpampang di seragamnya dan memenangkan medali emas. Lahir di Sinuiju, Korea Utara hari ini, Sohn bekerja di sebuah perusahaan yang berbasis di Dandong, China ketika dia berusia 16 tahun. Setiap hari dia berlari sekitar 20 li (sekitar 8 km) melintasi Sungai Yalu dari Sinuiju ke Dandong. Kim Yong-sik (1910–1985), seorang pemain sepak bola yang terkenal, pelatih dan manajer tim nasional Korea Selatan, lahir di Sinchon, Provinsi Hwanghae di Korea Utara saat ini. Kedua atlet datang ke Seoul sekitar waktu yang sama dan menghadiri Bosung College, yang sekarang adalah Universitas Korea. Kisah-kisah dari dua pahlawan olahraga itu menunjukkan kepada kita bahwa tujuh dekade yang lalu, bepergian antar wilayah selatan dan utara Korea sama alaminya dengan perjalanan antara Birmingham dan London, atau Chicago dan New York. Namun, ini berubah setelah pembagian teritorial dan pecahnya Perang Korea pada tahun 1950. Perang dan Negeri yang Terbelah Awal abad ke-20, Semenanjung Korea mengalami industrialisasi dan urbanisasi di bawah tekanan eksternal dari pera­ daban Barat dan penjajahan Jepang. Pada tahun 1897, lapangan golf enam hole (enam lubang) sudah terbentuk di kota Wonsan yang merupakan perwakilan kota pelabuhan dan industri, dan tim sepak bola dibentuk yang berpusat di setiap pabrik-pabrik­

nya. Di kota pelabuhan Incheon pun muncul berbagai macam klub olahraga seperti klub sepak bola, bisbol, basket, voli, dan sebagainya bersamaan dengan berkembangnya kota ini menjadi kota industri modern. Kota-kota yang memiliki tim dengan performasi terbaik dan penggemar yang banyak di antaranya adalah Pyongyang dan Kyungsung (nama lama kota Seoul). Pyongyang yang berkarakteristik benua dan menerima budaya Barat lebih awal melalui Cina, dan Kyungsung yang merupakan kota pusat Semenanjung Korea dengan sumber daya manusia dan alam yang berlimpah, kedua kota ini terutamanya membentuk persaingan yang kuat dalam bidang sepak bola. Oleh sebab itu ‘pertandingan KyungPyong’ yang dinamai dengan mengambil inisial dari Kyungsung dan Pyongyang memperoleh popularitas yang tinggi ketika itu. Pertandingan panas ini adalah acara olahraga menarik yang bentuknya dapat ditemui di negara manapun di mana kedua kota rival bertemu dalam pertandingan. Pertandingan Kyung-Pyong mengikuti peraturan modern ‘kandang-tandang (home and away)’ dan ‘pertanding­ an reguler’, dan pertandingan ini berlangsung hingga tahun 1946 tepat setahun setelah Korea merdeka. Interaksi di antara kedua tim ini berlangsung dengan dinamis. Franchise player Kim Yong-sik yang disebutkan sebelum ini bahkan pindah ke tim Pyongyang yang merupakan tim lawannya pada tahun 1940. Jika bukan karena perang dan perpecahan Korea, mung­ kin kita dapat melihat pemandangan di mana pemain-pemain sepak bola bisa bermain di tim Seoul dan juga pindah ke tim

1 © KPPA

20 Koreana MUSIM GUGUR 2018


Pyongyang, dan para penggemar sepak bola yang antusias dari Pyongyang dapat datang ke Seoul dengan kereta api untuk mendukung timnya. Namun hal tersebut tidak terjadi selama 70 tahun terakhir ini. Meskipun ketegangan politik dan militer berlangsung di semenanjung, pertukaran olah raga antar-Korea dan kerjasama tidak pernah sepenuhnya berhenti. Awal interaksi antara Korea Selatan dan Utara dalam bidang olahraga terjadi pada tahun 1964. Interaksi tersebut berlangsung karena Komite Olimpiade Internasional (IOC) meminta Korea Selatan dan Utara bersatu membentuk sebuah tim untuk berpartisipasi dalam olimpiade yang diselenggarakan di Tokyo, sehingga membuat kedua Korea membuka perundingan mengenainya. Kompetisi dan Interaksi Dalam kemajuan yang terhenti, kedua Korea saling berkompetisi di beberapa acara olahraga besar. Pada Piala Dunia FIFA yang kedelapan yang diadakan di Inggris pada tahun 1966, tim nasional Korea Utara “Chollima,” sebagai kuida hitam, mengejutkan dunia dengan maju ke perempatfinal. Pada saat olahraga dianggap sebagai perpanjangan dari persaingan politik antara kedua Korea, prestasi tak terduga ini memprovokasi Selatan untuk mendirikan klub sepak bola di bawah payung Central Intelligence Agency (Badan Intelejen Pusat) pada tahun 1967. Satu-satunya tujuannya adalah mengalahkan Utara, agar tidak mencetak kemenangan di Piala Dunia atau Piala Asia. Akan tetapi ironisnya pelatih untuk pelatihan luar negeri

1. Pemain basket dan pelatih dari dua Korea masuk ke Gymnasium Chung-yung Ryugyong di Pyongyang untuk pertandingan pada 4 Juli 2018. Ini merupakan pertan­ dingan basket pertama antara Korea Utara dan Korea Selatan sejak 2003.

2

2. Pemain Korea Selatan dan Utara mengelilingi lapangan membawa Bendera Unifikasi setelah “pertandingan sepak bola unifikasi” pada 7 September 2002, di Seoul World Cup Stadium. Pertandingan, kompetisi persahabatan antar-Korea pertama sejak 1990, berakhir dengan hasil imbang tanpa gol.

adalah Kim Yong-sik yang telah dikenalkan di atas, dan atlet posisi penyerang termuda dalam tim ini adalah Lee Hoe-taik yang menjadi pelatih tim nasional Korea ketika Piala Dunia ke-14 di Italia pada tahun 1990. Lee Hoe-taik, yang mengunjungi Korea Utara sebagai penasehat tim Korea Selatan dalam pertandingan sepak bola unifikasi Korea Selatan-Utara pada tanggal 11 Oktober 1990, meninggalkan cerita yang istimewa. Secara dramatik Ia bertemu dengan ayahnya yang berada di Korea Utara dengan bantuan kawannya, Park Doo-ik, yang ia temui melalui berbagai pertandingan internasional. Park Dooik ialah tokoh utama dalam peristiwa bersejarah perempat final Piala Dunia di Inggris sekaligus pahlawan sepak bola Korea Utara. Ayah Lee Hoe-taik meninggalkan dirinya yang masih berumur 4 tahun ke Korea Utara ketika perang Korea tahun 1950 berlangsung. Kebetulan, sehari setelah pertemuan mereka kembali yang terwujud setelah 40 tahun berlalu adalah hari ulang tahun Lee Hoe-taik sehingga ia mendapat hidangan ulang tahun dari ayahnya. Dalam begitu banyak kompetisi yang berlangsung sebagai pertandingan simbolis dari persaingan sistem yang kuat di antara kedua Korea, terdapat banyak peristiwa memilukan dan membuat air mata mengalir karena perpecahan Korea. Atletik Korea Utara Shin Geum-dan yang memegang rekor tertinggi di dunia untuk kategori 400 meter dan 800 meter perempuan, baru dapat bertemu kembali dengan ayahnya Shin Moon-ju yang menyeberang ke Korea Selatan seorang diri ketika perang Korea berlangsung setelah 14 tahun berlalu di Tokyo saat ia mengikuti Olimpiade Musim Panas tahun 1964. Pertemuan kembali keluarga terpisah dengan penuh kesedihan yang berlangsung hanya dalam beberapa menit ini menarik mata masyarakat sampai-sampau dijadikan lagu dengan judul <Shin Geum-dan dan Air Matanya>. Pada tahun 1978, tim nasional sepak bola Korea Selatan dan Utara bertanding setelah sekian lamanya dalam Asian Games Bangkok. Kedua tim Korea yang bertemu di babak final sama-sama menjadi pemenang dengan skor seri 0 : 0 setelah melewati babak perpanjangan. Ketika ini, terjadi episode menyedihkan yang berkaitan dengan terbelahnya Korea saat upacara penghargaan. Kapten tim Korea Selatan Kim Ho-gon mempersilakan kapten tim Korea Utara Kim Jong-min untuk naik lebih dulu ke panggung dan menerima penghargaan. Tetapi ketika Kim Ho-gon bermaksud naik ke panggung pada gi­­lirannya, Kim Jong-min tidak memberikan tempat untuk Kim Ho-gon. Kim Ho-gon mencoba menyelinap naik ke panggung, tetapi terjatuh karena dorongan kiper Korea Utara Kim Kwang-il sehingga ia harus berusaha lagi naik ke panggung. Ini menjadi adegan menyedihkan yang muncul dari sistem pembelahan wilayah. Jika tahun 1960 hingga 1970-an adalah masa di mana olahraga dan masalah Korea Selatan-Utara dimanfaatkan sebagai

© Newsbank

seni & budaya korea 21


Meskipun ketegangan politik dan militer berlangsung di semenanjung, pertukaran olah raga antar-Korea dan kerjasama tidak pernah sepenuhnya berhenti. alat untuk memperkuat pemerintahan dan alasan memperpanjang kekuasaan, maka tahun 1980 adalah masa di mana kedua Korea membesar-besarkan keunggulan kekuatan lawannya, sehingga hubungan olahraga pun disalahgunakan sebagai alat untuk menekankan legitimasi pemerintahan kedua Korea secara internal dan eksternal serta digunakan untuk meningkatkan citra internasional. Politik dan Olahraga Sebenarnya, hubungan kerja sama yang membuahkan hasil dalam bidang olahraga antara Korea Selatan dan Utara dimulai sejak tahun 1990. Pemerintahan Presiden Roh Taewoo mengikuti arus sejarah dunia bebas dari perang dingin dengan menjalankan kebijakan “kunjungan ke Korea Utara”, dan menekankan kebijakan ini pada bidang olahraga. Kebijak­ an ini direalisasikan melalui diselenggarakannya “pertan­ dingan sepak bola unifikasi Korea Selatan dan Utara” seba­ nyak dua kali di Pyongyang dan Seoul pada bulan Oktober 1990. Pemain Korea Selatan, Kim Joo-sung, yang bermain di atas lapangan stadium Rungnado 5.1 Pyongyang menjelaskan situasi ketika itu, “ingatan yang paling mengejutkan dan menyentuh hati adalah ketika penduduk Korea Utara menggendong kami dari bandara Sunan dan berjalan kurang lebih sejauh 1 Kilometer”, tuturnya dalam sebuah wawancara. Interaksi olahraga semacam ini memberikan dampak positif bagi hubungan Korea Selatan dan Utara dalam tahap tertentu. Kedua Korea menandatangani “Perjanjian Dasar Antar-Korea” saat Konferensi Tingkat Tinggi ke-5 yang dibuka di Seoul pada tanggal 13 Desember 1991, dan perjanjian ini menjadi dokumen bersejarah yang memberikan hasil positif dalam perbincangan dan perundingan di antara Korea Selatan dan Utara hingga saat ini. Berdasarkan suasana perundingan tersebut Korea Selatan dan Utara dapat ikut berkompetisi dalam Kejuaraan Tenis Meja Dunia ke-41 yang diselenggarakan di Jepang pada April 1991 sebagai satu tim. Hyun Jung-ah dari Korea Selatan dan Rhee Bun-hee dari Korea Utara sebagai satu tim memenangkan pertandingan tenis meja kategori kelompok perempuan setelah mengalahkan wakil tim Cina Dung Yang-ping yang merupakan juara dunia ketika itu. Peristiwa ini kemudian menjadi latar belakang film <Korea>. Interaksi olahraga Korea Selatan dan Utara kembali aktif

22 Koreana MUSIM GUGUR 2018

1. Kedua tim hoki wanita Korea bersatu bermain di Olimpiade Musim Dingin PyeongChang 2018, menarik perhatian dunia. Kantor berita luar negeri berkomentar tim, meskipun kalah, “membuat sejarah” dan “mencapai kemenangan untuk perdamaian.” 2. Kedua Korea berbaris bersama di bawah Bendera Unifikasi pada upacara pembukaan Olimpiade Musim Dingin Pyeong Chang pada 9 Februari 2018. Korea Selatan, tuan rumah Olimpiade, menurunkan 145 atlet dalam 15 pertandingan, sementara Korea Utara mengirim 22 atlet dalam lima pertandingan.

1


2

setelah Presiden Korea Selatan Kim Dae-jung dan Ketua Komisi Pertahanan Nasional Korea Utara Kim Jong-il melakukan konferensi pada bulan Juni 2000 dan menandatangani “Pernyataan Bersama 15 Juni”. Saat Olimpiade Sidney tahun 2000, Korea Selatan dan Utara masuk bersama pada acara pembukaan untuk pertama kalinya, dan kedua Korea terus memasuki arena bersama-sama ketika acara pembukaan Asian Games di Busan tahun 2002, Olimpiade Musim Dingin Aomori tahun 2003, Universiade Musim Panas Daegu tahun 2003, hingga Olimpiade Athena tahun 2004. Selain itu, pada September 2002 diselenggarakan “pertandingan sepak bola unifikasi Korea Selatan dan Utara” di Stadium World Cup Seoul, dan ketika itu pemain Korea dari Selatan Choi Tae-uk dan dari Utara Rhee Kang-in memperlihatkan adegan mengharukan di mana mereka saling bertukar seragam dari baju sampai sepatu sepak bolanya. Kembalinya Peluang Perdamaian Sejak tahun 2011 Korea Utara menyatakan negaranya sebagai negara “kuat dalam sepak bola” dan “kuat dalam olahraga”. Korea Utara menaruh budaya dan olahraga sebagai prioritas utama dan mempertahankan asasnya untuk berkembang menjadi “negara peradaban sosialis”. Pada tahun 2015, Pemimpin Tertinggi Korea Utara Kim Jong-un menyemangati para pemain sepak bola perempuan Korea Utara yang menang

dalam Kejuaraan Sepak Bola Federasi Asia Timur dengan menjemput kedatangan mereka secara langsung ke bandara, dan dengan antusias memperluas fasilitas stadium Rungnado dan Yanggakdo, padang golf Pyongyang, dan arena ski Masikryong dan Samjiyon. Bersamaan dengan semua itu, pada September 2013 dalam acara Kejuaraan Atlet Angkat Besi Persatuan Asia yang diselenggarakan di Pyongyang, bendera dan lagu kebangsaan Korea Selatan untuk pertama kalinya berkibar dan berkumandang di Korea Utara. Mengikuti kebijakan Korea Utara yang berubah sejak kepemimpinan Kim Jong-un, para petinggi Korea Utara mengunjungi Korea Selatan pada tahun 2014 saat Asian Games Incheon dan sejumlah besar tim olahraga dan pemandu sorak secara mendadak berpartisipasi dalam Olimpiade Musim Dingin Pyeongchang pada tahun 2018. Terutama pada Olimpiade Musim Dingin Pyeongchang juga terbentuk kesatuan tim hoki es perempuan Korea Selatan dan Utara. Selain itu, pada tanggal 4 Juli 2018 pemain basket Korea Selatan dan Utara mengadakan pertandingan persahabatan di Pyongyang, dan keduanya sedang mengusahakan pertandingan persahabatan antar kota-kota utama Korea Selatan-Utara dan pengaktifan kembali pertandingan sepak bola Kyung-Pyong. Demikian langkah-langkah untuk perdamaian Semenanjung Korea dipraktikkan, dan bersamaan dengan itu hubungan olahraga antar Korea pun menyambut kondisi yang baru.

seni & budaya korea 23


1

“Kami Adalah Satu!” Pada Februari lalu, tim pemandu sorak Korea Utara sebanyak 226 orang hadir dalam Olimpiade Musim Dingin Pyeongchang. Jumlah mereka yang mendukung tim olahraga kedua belah Korea Selatan dan Utara ini sepuluh kali lipat lebih banyak dari jumlah 22 orang atlet Korea Utara. Pada saat yang sama, dalam kesempatan partisipasi olimpiade ini Korea Utara mengirim kelompok seni yang terdiri atas 140-an pemain musik, penyanyi, dan penari elit ke Korea Selatan, di mana kelompok seni ini juga telah berpentas dua kali di Gangneung dan Seoul. Kim Young-rok Wartawan Surat Kabar Sports Joseon

Tim pemandu sorak Korea Utara menarik perhatian dunia bukan saja karena situasi semenanjung Korea dan karakteristik sistem Korea Utara yang berbeda, melainkan juga karena kecantikan anggota regu

pada tahun 2005, ini merupakan kunjungan mereka yang keempat di Korea Selatan. Dalam masyarakat Korea ada kata-kata yang disampaikan turun-

pemandu soraknya. Kemunculan mereka meredakan ketegangan dan

te­­murun sejak dulu berbunyi, “nam-nam-buk-nyeo (laki-laki selatan-per-

memperlihatkan suasana damai secara eksternal, dan ini membantu

empuan utara)”. Kata-kata ini berarti “lelaki dari selatan lebih tampan,

bagi kedua belah pihak Korea. Terutama bagi Korea Selatan sebagai tuan

sementara perempuan dari utara lebih ayu”. Apa mungkin karena ini,

rumah pertanding­an olahraga dunia. Situasi ini dapat menenangkan tim

minat menggebu terhadap tim pemandu sorak Korea Utara kadang kala

olahraga dari ber­bagai negara dan pemerintah-pemerintah negara lain

melahirkan bintang primadona yang tak terduga. Ketua tim pemandu

yang waswas akan masalah keamanan negara yang terbelah dua.

sorak tahun 2002 Rhee Yoo-kyung dan Choi Yeon-so serta salah satu anggotanya Chae Bong-i memperoleh popularitas hebat sampai-sampai

Kunjungan Keempat Sejauh ini Korea Utara telah sering mengirim tim pemandu soraknya ke pertandingan olahraga internasional yang dibuka di kawasan Asia,

terbentuk klub penggemar internet di Korea Selatan, sementara Cho Myeong-ae pernah syuting iklan bersama penyanyi Korea Selatan Lee Hyo-ri.

dan selepas Asian Games ke-14 di Busan pada tahun 2002, Universiade

Ibu negara Korea Utara Ri Sol-ju adalah anggota tim pemandu sorak

Daegu Musim Panas (Summer Universiade Daegu) pada tahun 2003, dan

yang paling banyak mendapat perhatian sejauh ini. Dengan parasnya

Kejuaraan Atletik Asia (Asia Athletics Championships) ke-16 di Incheon

yang cantik, ia menarik perhatian banyak orang sejak kunjungan per-

24 Koreana MUSIM GUGUR 2018


tamanya ke Korea Selatan dalam acara Palang Merah Remaja Korea

Di masa lampau, tim pemandu sorak Korea Utara menjadi topik

Selatan dan Utara pada tahun 2003. Kemudian Korea Utara mengikutser-

pembicaraan hanya dengan keberadaannya. Ketika itu, saat kunjun-

takan Ri Sol-ju dalam tim pemandu sorak Konferensi Guru Antar-Korea

gan pertama mereka pada tahun 2002, ribuan warga Korea Selatan

Geumgangsan pada tahun 2004 dan Kejuaraan Atletik Asia di Incheon

bergerombol untuk melihat mereka di pelabuhan tempat perahu

pada tahun 2005.

Mangyongbong yang digunakan sebagai tempat tinggal tim pemandu

Namun tim pemandu sorak Korea Utara tidak selalu membawa

sorak Korea Utara itu berlabuh. Dukungan “irama genta kayu tangan”

pokok pembicaraan yang positif saja. Salah satu contohnya, saat Uni-

khas Korea Utara dan gerakan ritmisnya mendapat sambutan besar di

versiade Daegu Musim Panas pada tahun 2003, “kasus spanduk Kim

Korea Selatan dan orang-orang yang bergembira mengikuti irama mere-

Jong-il” lebih heboh daripada tim pemandu sorak yang berpartisipasi da-

ka dapat ditemui dengan mudah.

lam acara tersebut. Tim pemandu sorak yang sedang bergerak dengan

Tim pemandu sorak Korea Utara yang hadir kembali di Pyeongchang

menaiki bus menangis secara serempak ketika melihat spanduk bergam-

setelah 13 tahun berlalu sejak kunjungan terakhirnya di Incheon pada

barkan wajah Ketua Komisi Pertahanan Nasional Korea Utara Kim Jong-

tahun 2005 dalam acara Kejuaraan Atletik Asia, tetap menarik perhatian

il yang tergantung di pinggir jalan sedang basah terkena hujan deras

banyak orang dengan penampilannya yang penuh semangat. Dengan

dan mengatakan, “lukisan wajah jenderal kami basah. Kami tidak bisa

gerakan yang teratur, mereka menyorakkan kata-kata semangat seper-

pergi begitu saja”. Bersamaan dengan itu, berlangsung kegaduhan untuk

ti, “kita adalah satu!”, “bagus atlet kita”, “sesama bangsa kita”, dan juga

menurunkan spanduk tersebut secepatnya.

memperlihatkan pertunjukan unik paduan suara dengan menyanyikan lagu-lagu yang tidak asing bagi kedua Korea seperti <Gohyangeui Bom –

Popularitas dan Isu

Musim Semi Kampung Halaman> dan <Seolnal – Hari Tahun Baru>. Teta-

Pada awal masa berlangsungnya Olimpiade Musim Dingin Pyeong­

pi mereka tidak menunjukkan reaksi apa pun ketika lagu-lagu dari Korea

chang, tanpa disengaja muncul ‘kontroversi topeng Kim Il-sung’. Pihak Ko-

Selatan diperdengarkan di lapangan pertandingan. Mereka sepenuhnya

rea Selatan mengemukakan pendapat mengenai topeng yang dikenakan

menunjukkan sikap tidak peduli terhadap pertandingan negara-negara

oleh tim pemandu sorak Korea Utara ketika mereka menyayikan lagu

lain, dan sering langsung meninggalkan arena begitu pertandingan tim

negaranya berjudul <Huipharam-Siulan> bahwa Korea Utara melakukan

Korea Selatan dan Utara selesai.

“pemuliaan terhadap Korea Utara dengan mengenakan topeng yang mengingatkan mereka kepada masa muda Kim Il-sung”. Sebelum kontroversi di atas terjadi, apa yang disebut dengan ‘ben-

Sebagian warga yang melihat sikap tim pemandu sorak Korea Utara ini menunjukkan reaksi yang sedikit-banyak berbeda dengan masa lalu dengan melontarkan beberapa pendapat seperti, “mereka seperti pulau

dera semenanjung Korea-Dokdo’ muncul sebelum dimulainya evaluasi

terpencil”, “bagaikan terkurung di dalam dunia mereka sendiri”, “seperti

tim hoki es perempuan. Mengenai ini, Komite Olimpiade Internasional

mesin atau boneka tali”, dan sebagainya. Provokasi senjata nuklir dari

mencemaskan protes yang dilontarkan oleh pemerintahan Jepang dapat

Korea Utara yang terus-menerus terjadi belakangan ini, dan argumen

menimbulkan masalah yang tak terduga dan menganjurkan penghapu-

mengenai tim hoki es perempuan yang dibentuk dengan terburu-buru

san pulau Dokdo dari bendera semenanjung Korea. Korea Selatan mengi-

nampaknya memberikan dampak negatif terhadap pendapat publik.

kuti anjuran tersebut dan menggunakan bendera semenanjung Korea tanpa pulau Dokdo saat kedua Korea bersama-sama memasuki acara pembukaan. Namun tim pemandu sorak Korea Utara secara konsisten menyorakkan dukungannya dengan mengibar-ibarkan bendera Korea

© Yonhap News Agency

2 3

Utara dan bendera Semenanjung Korea-Dokdo. “Kami hanya menandai wilayah bangsa kami di bendera persatuan kami”, jelas pihak Korea Utara menyampaikan pendapat resmi mereka. 1. Para penonton Korea Selatan menyambut tim pemandu sorak Korea Utara di Olimpiade Musim Dingin Pyeong Chang. Para pemandu sorek menarik perhatian, baik di dalam maupun di luar tempat Olimpiade. 2. Pemandu sorak Korea Utara bernyanyi dan berteriak memberikan semangat di lomba lari wanita. Mereka menarik perhatian karena gerakan dan sorakan yang selaras sempurna.

seni & budaya korea 25


FOKUS

26 Koreana MUSIM GUGUR 2018


Ondol

sebagai Warisan Budaya Nasional Budaya ondol sebagai sistem pemanas lantai tradisional Korea ditetapkan sebagai kekayaan budaya takbenda nasional oleh Administrasi Warisan Budaya pada bulan April yang lalu. Ondol yang berfungsi memanaskan lantai kamar dengan menggunakan sistem pemanas taklangsung merupakan sistem pemanas khas yang berbeda dengan sistem pemanas umumnya di sekitar Korea seperti Cina dan Jepang, apalagi Eropa. Ham Seong-ho Penyair dan Arsitek

Sebuah ruang tamu dari kepala dinasti lama Jang Heung-hyo (1564–1633, nama pena Gyeongdang), seorang sarjana Konfusius dari Dinasti Joseon tengah, di Andong, Provinsi Gye­ ongsang Utara. Lantai dari ruang ondol biasanya dikilapkan dengan minyak kedelai setelah hanji tebal (kertas tradisional) ditempelkan pada penutup tanah liat. Furnitur ditempatkan sangat jauh dari api. Š Ahn Hong-beom

seni & budaya korea 27


B

entuk paling awal ondol di semenanjung Korea berasal dari Zaman Neolitik. Sistem pemanas di bawah lantai mendorong warga Korea untuk duduk dan berbaring di lantai. Semua kegiatan rumah tangga - makan, membaca, berinteraksi dan tidur - dilakukan di lantai, dan untuk mengakomodasi kegiatan, berbagai meja berkaki pendek diciptakan. Titik awal dari ondol suatu rumah adalah dapur. Tempat ini menjadi bagian yang sangat penting dari rumah Korea. Selain memberikan makanan dan kehangatan kepada keluarga, dapur juga memiliki altar untuk melayani para dewa yang mengawasi kesejahteraan mereka, serta tempat pensucian. Ondol adalah inti budaya rumah tradisional bagi orang Korea yang telah mampu mengendalikan api sejak masa lampau. Banyak orang Korea yang berusia paruh baya diingatkan kepada pengalaman yang berhubungan dengan ondol yaitu ditambatkan di lantai yang dipanaskan: penghangat di musim dingin; meletakkan mangkuk nasi di lantai yang hangat untuk ayah yang pulang terlambat; dan menyediakan tempat-tempat hangat bagi anggota keluarga dan tamu tertua. Kebiasaan ini telah jarang dilihat saat ini karena rumah dan apartemen mo­dern dilengkapi dengan meja, kursi, dan tempat tidur bergaya Barat. Tetapi sistem pemanas tradisional dalam versi modern melengkapi masing-masing lantai dari generasi sebelumnya. Cara hidup yang lahir dari ondol tetap hadir di seluruh negeri. Itulah mengapa ondol diakui sebagai “kekayaan budaya takbenda nasionalâ€? oleh Administrasi Warisan Budaya pada bulan April tahun ini.

1

28 Koreana MUSIM GUGUR 2018

Agung-i dan Perapian Saat ini, hampir setiap rumah di Korea memiliki versi modern dari ondol, sementara sistem pemanas tradisional sulit ditemukan. Komponen utamanya adalah agung-i, kotak api atau kompor. Itu ditempatkan di bawah lantai, berdampingan dengan dapur, dan berfungsi seperti tungku untuk menghasilkan sistem pemanasan berkelanjutan yang mengalir di bawah lantai. Struktur dan fungsi yang rumit, tentu saja, sangat berbeda dengan perapian. Perapian, langsung memanaskan udara di dalam ruangan, sistem pemanas konveksi. Namun, udara yang hangat naik dan api di perapian membakar oksigen di dalam ruangan, membuat udara menjadi pengap. Sebelum munculnya cerobong asap sekitar abad 13 dan 14 di Venice, Italy, jendela harus dibuka untuk mengalirkan udara, sehingga menyia-nyiakan panas yang telah dihasilkan. Rumah-rumah tradisional Cina di sebagian besar wilayah tidak memiliki sistem pemanas khusus untuk menghadapi cuaca dingin. Hampir tidak ada alasan untuk menyalakan api kecuali untuk memasak dan rumah-rumah tidak memiliki cerobong asap. Ruang tempat api dinyalakan memiliki langit-langit yang tinggi dan atap yang terdiri atas batang-batang kayu bun­dar dengan lebar sekitar 10 cm dengan genteng di atasnya. Asap berkumpul di bawah langit-langit yang tinggi dan menghilang di antara genteng, bersama dengan udara hangat. Rumah tradisional Jepang dengan tikar tatami juga tidak memiliki cerobong asap. Dalam sistem ondol tradisional, panas dari kotak api meng-


hangatkan lantai, yang pada gilirannya, menghangatkan udara di dalam ruangan. Metode pemanas pancaran memiliki efisiensi termal yang lebih tinggi daripada pemanasan konveksi yang dihasilkan oleh perapian. Radiasi panas dengan mudah menghangatkan ruang besar dan memberikan distribusi suhu ruangan yang relatif merata. Hal tersebut juga tidak menghasilkan dan mengedarkan debu, seperti yang terjadi pada arus udara konveksi. Pemanas pancaran dapat ditemukan di tempat lain di dunia. Rumah-rumah asap di Finlandia dan pechka, kompor batu bata Rusia, adalah contohnya. Sistem pemanas yang mirip de­­ ngan ondol adalah kang, yang menyebar dari Provinsi Hebei ke wilayah timur laut Cina. Kang terbatas pada hanya sebahagian ruangan, biasanya ukuran tempat tidur besar. Dibandingkan dengan sistem penghangat radiasi dan konveksi lainnya, perbedaan yang paling mencolok adalah sistem ondol tradisional Korea tidak menghasilkan asap di dalam ruangan. Struktur dan Prinsip Dalam memanaskan ruangan dari luar, sistem ondol tradisional cukup unik. Banyak hal yang diperlukan agar sistem berfungsi dengan baik: panas harus dikumpulkan dan dikirim ke bawah lantai dari kotak api tanpa hilang dalam perjalanannya. Pada saat yang sama, asap harus dikeluarkan tanpa membiarkannya merembes melalui lantai. Selain agung-i, komponen utama lainnya dari sistem ondol adalah gorae dan gaejari di pintu masuk cerobong asap. Gorae adalah ondol yang memindahkan panas, menghangatkan lantai dan membawa asap ke cerobong asap.

Š newtimehousing

Setiap cerobong memiliki lebar sekitar 20 cm. Biasanya dibangun dengan meletakkan garis lurus dari batu bata di sisi mereka miring ke arah cerobong asap. Dengan dinding bata di antara cerobong sebagai perlengkapan pendukung, lempeng­ an batu dengan tebal sekitar 0.3 cm menutupi seluruh lantai dan kemudian lempengan batu dilapisi dengan lapisan lumpur padat. Pelat-pelat batu ini disebut gudeul. Masuknya cerobong asap berada di samping kotak api sehingga nyala api memanjang secara horizontal ketika bahan bakar menyala, dan panas memasuki jaringan di bawah lantai cerobong asap, yang disa­ lurkan ke cerobong asap. Meskipun jalur api terorganisasi dengan baik, beberapa panas dapat lolos karena kotak api terbuka untuk dapur, dan digunakan untuk kegiatan memasak. Sistem ondol sangat baik dalam menjaga panas. Begitu api dibuat pada malam hari, ruangan tetap hangat sampai pagi berikutnya. Jika pelat lantai batu diletakkan dengan baik, hanya sekitar enam batang kayu yang diperlukan untuk menjaga kehangatan selama tiga hari. Untuk ruang meditasi di

1. Di rumah-rumah tradisional Korea, dapur bersebelahan dengan ruang utama. Udara panas dari dapur agung-i (tungku api atau kompor) mengalir ke cerobong di bawah lantai untuk menghangatkan ruangan. 2. Untuk memastikan distribusi panas, penempatan yang tepat dari alas lantai (gorae) dan pelat lantai batu (gudeul) adalah hal paling penting.

2

seni & budaya korea 29


1 © Cultural Heritage Administration

Kuil Chilbul di Gunung Jiri, sekitar 0,5 ton kayu dapat dibakar sekaligus, dengan api yang menjaga lantai dan dinding ruangan tetap hangat hingga 100 hari. Ruangan ini terkenal karena “sistem ondol ganda” dan lantai yang berbentuk salib dengan peron meditasi yang tinggi di setiap sudut. Dengan demikian, sistem ondol dapat menyimpan panas untuk waktu yang lama, bahkan dengan hanya sedikit bahan bakar, namun ketika api padam dan struktur mendingin, udara dingin melewati kotak api dan cerobong asap, melembabkan cerobong udara. Jika cerobong udara tetap lembab dalam waktu yang lama, panas tidak mudah dihasilkan kembali, dibutuhkan lebih banyak bahan bakar. Untuk mencegah masalah ini, tempayan yang disebut gaejari (yang berarti “tempat anjing”) diposisikan di dekat cerobong untuk menangkap kelembaban di dalam cerobong asap. Kelembaban yang terkumpul di dalam tempayan diuapkan kembali oleh panas ketika api memasuki cerobong lagi. Itulah mengapa api dinyalakan di pagi dan sore hari selama musim hujan musim panas, untuk mengeringkan bukan hanya ruangan tetapi juga udara lembap di bawah lantai. Memang, di masa lalu, anjing peliharaan kadang-kadang

30 Koreana MUSIM GUGUR 2018

masuk ke lubang dekat kotak api untuk menghindari dingin pada musim dingin. Tentu saja, anjing itu berisiko terbangun karena jilatan api di pagi hari. Oleh karena itu, siapa pun yang membuat api di pagi hari pertama-tama harus memeriksa dan memastikan bahwa kotak api kosong dengan menyodok bagian dalam dengan menggunakan tongkat. Pemulai Pemanasan Air Panas Satu dari berbagai alasan mengapa budaya ondol dinamai aset budaya takbenda nasional adalah karena ondol tradisio­ nal telah musnah. Saat ini, kebanyakan rumah di Korea telah menggantikan ondol dengan ketel air dan pipa yang diletakkan di bawah lantai untuk memanaskan ruangan. Di kompleks apartemen besar, ratusan bahkan ribuan rumah dipanaskan melalui sistem pemanas air terpusat. Orang yang membuat sistem pemanas air pertama adalah arsitek terkenal Amerika, Frank Lloyd Wright. Master dalam arsitektur modern ini menemukan ondol Korea di Tokyo selama musim dingin tahun 1914. Baron Okura Kihachiro, seorang pengusaha terkenal,


Konveksi

Penghubung

2

Pemancaran

Abu

© Hansol Academy

1. Rumah kuno Sim Ho-taek, seorang pria kaya yang menggunakan nama pena Songso, di Wilayah Cheongsong, Provinsi Gyeongsang Utara. Dibangun sekitar tahun 1880, itu adalah rumah khas dari kelas bangsawan periode Joseon akhir. Setiap kamar yang terhubung ke agung-i yang dipanaskan, tetapi ruang terbuka, tidak untuk yang berlantai kayu.

“Kami segera merasa hangat dan bahagia – saat duduk berlutut di lantai, kehangatan yang tak terlukiskan. Tidak ada pemanas yang terlihat atau terasa langsung. Itu benar-benar bukan masalah pemanasan namun persekutuan dengan iklim.”

2. Ketika api dinyalakan di kotak api, udara panas dan asap bergerak ke cerobong ondol. Ruangan dihangatkan oleh panas konveksi melalui lantai sementara asap menyebar melalui cerobong asap.

menugaskan Wright untuk mendesain Imperial Hotel. Suatu hari, ketika sang arsitek menggigil kedinginan, Okura memperlihatkan “ruang Korea” kepadanya. Itu merupakan bagian dari Jaseondang, bekas kediaman putra mahkota Korea, yang dipindahkan dari Istana Gyeongbok di Seoul. Rumah-rumah tradisional Korea dibangun dengan menggabungkan kayu yang saling melengkapi dan karena itu relatif mudah untuk dibongkar dan dibangun kembali. Wright mengingat pengalamannya sebagai berikut: “Iklim sepertinya telah berubah. Bukan, bukan karena kopi; saat itu musim semi. Kami segera merasa hangat dan bahagia – saat duduk berlutut di lantai, kehangatan yang tak terlukiskan. Tidak ada pemanas yang terlihat atau terasa langsung. Itu benar-benar bukan masalah pemanasan namun persekutuan dengan iklim.” (‘Gravity Heat’ dari “Frank Lloyd Wright: An Autobiography,” edisi revisi 1943) Wright membetulkan lilitan radiator listrik dan meletakkannya di bawah lantai Imperial Hotel. Hal tersebut merupakan awal dari pemanas air panas, dan Wright menerapkan sistem ini ke bangunan lain setelah itu.

ruang Penyembuhan Ruang ondol tradisional juga merupakan “ruang penyembuhan”. Pemanasan yang bebas asap rokok membantu mencegah penyakit pada saluran bronkus seperti infeksi sinus dan pneumonia. Ini juga efektif dalam mengurangi rasa sakit neuralgia dan rematik. Biasanya, seorang penderita pilek bisa merasa lega dengan berbaring di lantai yang hangat dan menggunakan selimut untuk memicu keringat; meringankan hidung tersumbat. Prosedur yang sama juga dapat membantu menurunkan demam. Ruang ondol juga cukup efektif untuk perawatan pasca melahirkan. Hasil ini dijelaskan dengan fakta bahwa sinar inframerah yang terpancar dari batu dan lumpur ketika ruangan dipanaskan menembus tubuh kita dan memiliki efek hipertermia terapeutik. Panas yang langsung menyentuh kulit membantu sirkulasi darah dibandingkan dengan panas di udara, dan sinar inframerah jauh meningkatkan kekebalan tubuh dan membantu tubuh memulihkan kekuatan penyembuhan diri. Inilah sebabnya mengapa upaya dan percobaan ilmiah terus menggabungkan efek kesehatan ondol dengan sistem pemanas modern.

seni & budaya Korea 31


WAWANCARA

Mengabadikan Memori Masa Lalu yang Mulai Hilang 32 Koreana MUSIM GUGUR 2018


“Toko Keluarga Jeâ€? (2018). Pena dan tinta akrilik di atas kertas, 75 Ă— 135,5 cm.

Lee Me-Kyeoung ingin mengenang hal-hal yang mulai menghilang. Selama 20 tahun terakhir, ia melanglang buana ke seluruh penjuru negeri untuk mencari toko tua yang menjadi simbol penolakan dan kepunahan. Dengan coretan pena yang halus dan detail, ia mengabadikan kisah toko-toko seperti itu yang dijalankan oleh pasangan suami istri dan orang-orang yang menghabiskan waktu di sekitarnya. Chung Jae-suk Reporter Budaya Senior, The JoongAng Ilbo Ha Ji-kwon Fotografer

seni & budaya korea 33


L

ee Me-Kyeoung punya benjolan kecil di jari tengah tangan kanannya, yang mengingatkannya pada saat-saat ia memegang pena selama lebih dari 10 jam sehari dan menggambar ribuan, bahkan puluhan ribu garis. Setiap pagi, ia menuju ke ruang kerjanya, dan menjadi “pekerja” dengan pena sebagai alatnya. Suara ujung pena di atas kertas memberinya energi. Hari-harinya berlalu dalam harmoni dengan tarikan penanya. “Anda tidak bisa menciptakan gambar dengan pena dan tinta jika melakukannya setengah hati,” kata Lee. “Tarikan kuas tidak bisa dibandingkan dengan tekstur yang diciptakan oleh lapis demi lapis garis ultra tipis ini. Saya mengkombinasikan 28 warna tinta akrilik dan menggambar seolah-olah saya sedang menggambar dengan warna yang berbeda. Dengan cara ini, warna di bawahnya menjadi lebih cerah dan jelas. Warna-warna itu menjadi solid tapi tidak terlihat terlalu tebal, se­perti keindahan toko tua yang tetap cantik sepanjang waktu. Isi dan bentuk luarnya berpadu dalam harmoni yang sempurna.” Lee belajar lukisan Barat di Hongik University ketika Neo-ekspresionisme Jerman menjadi trend dalam dunia seni. Ada saatnya ia bekerja sepanjang malam di sanggar seni di sekolah; dan suatu malam ia menghasilkan empat lukisan besar. Tidak disengaja ia beralih ke lukisan dengan pena dan tinta, seni yang sangat memerlukan detil yang sangat teliti. Dalam musim panas tahun 1997, ketika mengandung anak kedua dan anak pertamanya baru berumur sekitar dua tahun, ia meninggalkan Seoul dan tinggal di kota terdekat yaitu Gwangju, Propinsi Gyeonggi. Di sana ia melihat sebuah toko tua yang seolah-olah menantinya cukup lama. “Pada musim semi pertama setelah melahirkan anak kedua, saya menghabiskan hari-hari saya duduk di depan kanvas dan menggambar apa saja yang muncul dalam pikiran saya de­­ngan pena, mencoba mencari awal baru,” kenang Lee. “Di suatu hari yang indah ketika kelopak-kelopak bunga ceri berjatuhan seperti salju, saya pergi ke sebuah toko kecil. Sudah lama saya tidak ke sana. Tempat itu tampak asing, namun sangat menarik. Atapnya yang coklat kemerahan menunjukkan perubahan besar antara siang dan malam hari, dan kata ‘minuman’ dalam huruf berwarna merah tertulis di jendela yang ditulis dengan gaya seperti cipratan itu tampak menarik.” Tema dalam Karyanya Ia pulang ke rumah dan menunggu hingga anak-anaknya tidur sebelum ia bisa mulai menggambar. Ia sangat bahagia, jantungnya berdetak cepat karena senang; suatu emosi yang dirasakannya sejak lama. Tuntutan untuk terus menggambar sesuatu menjadi beban baginya, dan tiba-tiba ia merasakan terbebas dari tekanan dan kecemasan. Ia akhirnya menemukan gagasan yang muncul dari dalam hatinya — yang menjadi tema

34 Koreana MUSIM GUGUR 2018

dalam karyanya. “Begitu saja. Itulah seni,” katanya. Ia dengan sabar menunggu toko tua yang “sempurna” yang akan mena­ rik hatinya. Inilah alasannya mengapa selama 10 tahun ia hanya bisa menghasilkan tak lebih dari 15 gambar. Kapanpun mendengar ada toko tua yang masih mempertahankan daya tarik otentiknya, ia segera mendatanginya. Datang sekali saja tidak cukup. Ia ingin sepenuhnya menangkap daya tarik toko itu saat berubah dari siang ke malam, dan dari musim ke musim. Meskipun ia mengambil lusinan foto, selalu ada detail yang dilewatkannya. Ada perbedaan besar antara mengamati dengan mata Anda saja dan merasakannya di dalam hati. Karena banyak orang mengetahui bahwa ia menggambar toko-toko kecil di perkampungan, mereka memberinya informasi toko semacam itu di suatu tempat. Beberapa tahun lalu, ia menerima pesan singkat dari seseorang yang mengatakan, “Ms. Lee, Toko Yusim di lingkungan kami akan segera tutup. Anda sebaiknya cepat datang dan mengambil gambar jika Anda belum pernah melakukannya.” “Saya sudah pernah ke toko ini beberapa kali dan kenal dengan pemiliknya, seorang perempuan berusia lebih dari 80 tahun,” kenang Lee. “Mungkin ia memutuskan menutup usahanya setelah menjalankannya selama lebih dari 50 tahun. Sedih sekali melihat toko seperti ini di Seoul hanya akan tinggal sejarah. Saya merasa ada bagian dari diri saya hancur berkeping-keping.” Ada toko yang rusak, diubah, atau diganti dengan toko baru sebelum ia selesai menggambarnya. Sering kali, ia mengunjungi toko yang didengarnya dan mendapatinya sudah ditutup. Tentang kesedihannya melihat toko-toko kecil itu punah, Lee mengatakan, “Sedih sekali memikirkan betapa banyak pengorbanan kita demi pertumbuhan dan perkembangan zaman.” “Dari koleksi gambar toko yang saya hasilkan selama lebih dari 20 tahun, saya melihat betapa struktur bangunan, bentuk atap dan bahan bangunan yang dipakai sangat beragam di wilayah satu dengan lainnya,” kata Lee. “Ketika saya menemukan sebuah toko tua, saya punya kebiasaan membayangkan bagaimana toko ini saat pertama kali dibuka. Misalnya, atap yang diperkenalkan pada awal tahun 1970an merupakan akibat adanya Gerakan Saemaul (Gerakan Masyarakat Baru). Saya pernah menemukan rumah kayu bergaya Jepang dengan atap tinggi yang dibangun pada masa penjajahan Jepang. Sangat menarik membandingkan atap-atap yang berbeda dalam gambar saya. Atap-atap ini menunjukkan pentingnya mempertahankan dan merestorasi bangunan lama, bukan memusnahkan yang lama dan dengan cepat menggantinya dengan bangunan baru.” Toko-roko kecil yang menarik dan para pemiliknya — hasil pencariannya ke seluruh negeri — tetap hidup dalam karyanya. Karena tak ada yang tahu sampai kapan toko-toko ini berdiri,


Untuk menciptakan tekstur pena dan gambar tinta, ribuan, atau bahkan puluhan ribu garis pena halus saling bertumpuk satu sama lain. Lee Me-kyeoung menghabiskan lebih dari 10 jam sehari mengerjakan gambarnya, menyebabkan sakit kronis di jari tengah kanannya.

“Saya ingin berbagi dengan orang lain kisah yang makin memudar dalam memori saya dan merawat ingatan itu bersama-sama.� seni & budaya korea 35


“Pasar Pungnyeon” (2017). Pena dan tinta akrilik di atas kertas, 35 × 35 cm.

karya seni yang dibuatnya dengan pelan dan sangat hati-hati ini akan menjadi arsip seiring dengan berjalannya waktu. Memori untuk Semua “Beberapa orang menanyakan kepada saya mengapa saya terpaku pada hal-hal yang makin menghilang dari hidup kita, mengapa saya memilih terjebak masa lalu,” kata Lee. “Saya ingin berbagi kepada orang lain kisah yang makin memudar dalam memori saya dan merawat kenangan itu bersama-sama. Saya ingin kita lebih mengenal apa yang ada di sekeliling kita dan tidak mengyia-nyiakan kesempatan menghargai halhal kecil yang menjadi bagian dari hidup kita. Toko di lingkungan kita, pelukan seorang ibu, keranjang jahit, dan piring-piring tua — saya ingin mengabadikan hal-hal yang menimbulkan ha­dirnya perasan lembut dan memiliki kisah tentang kehidupan sehari-hari dalam gambar saya.” Di mata Lee, toko tua ini bukan semata-mata sebuah ba­­ ngunan. Toko-toko ini punya karakter sendiri, sama halnya se­­ perti manusia. Ia ingat sebuah toko tanpa nama yang kebetulan ditemuinya ketika mengunjungi Desa Ttangkkeut (“ujung ne­geri”) di Haenam di bagian paling selatan semenanjung Korea.

36 Koreana MUSIM GUGUR 2018

“Saya sedang menapaki jalan menanjak ke atas bukit ke Kuil Mireuk di Highway 806 ketika saya melihat toko itu. Dengan melihatnya sekilas, saya tahu toko ini punya sejarah panjang, seolah ia menjadi saksi kebahagiaan dan penderitaan,” kenangnya. Di bawah langit malam, toko ini seperti bayangan toko yang dicari Lee di penjuru negeri. Ketika gelap mulai pekat dan langit menjadi biru keunguan, pohon-pohon yang berdiri di belakangnya tampak seperti layar dan toko itu tampil dengan karakternya. “Kilauan lampu jalan yang berdiri di sebelah toko dan cahaya kekuningan dari jendela tampak seperti mata yang bercahaya dan memancarkan kehangatan. Keindahan atmosfer misterius yang tercipta dari bayangan malam dan cahaya lampu adalah sesuatu yang khas tentang toko ini. Inilah yang ada dalam karya saya,” kata Lee. Gambar toko yang dibuat oleh Lee juga menampilkan pohon di dalamnya. Ia menuangkannya dalam beragam beentuk dan ukuran tergantung wilayah dan musim, sehingga pohon-pohon itu tampil dalam harmoni dengan gambar toko. Seperti halnya setiap orang punya keluarga, toko ini juga sebaiknya punya paling sedikit satu batang pohon, pikirnya. Waktu seolah ber-


“Musim Dingin di Sancheok” (2017). Pena dan tinta akrilik di atas kertas, 80 × 80 cm.

henti dalam gambarnya, tapi pohon-pohon itu tetap tumbuh. Semakin tua toko itu, semakin besar pohonnya, dan keduanya berdiri bersebelahan satu sama lain seperti dua orang sahabat. “Sepuluh tahun lalu saya mengunjungi Toko Seokchi di Gunsan, Propinsi Jeolla Utara. Toko ini adalah contoh toko tua yang sempurna dan tampak seolah melompat keluar dari gambar saya,” kata Lee. “Ada dua pohon besar berdiri di sisi sebelah kiri toko yang tampil dalam harmoni. Dengan penampilan seperti pendeta Tao, pemilik toko berambut putih itu menceritakan kepada saya kisahnya selama 40 tahun mengelola toko itu. Ada sesuatu yang sangat menyentuh ketika melihat kesetiaan seumur hidup yang dimiliki seseorang pada tujuan hidupnya. Kemudian, saya mendengar kabar bahwa toko itu ditutup beberapa tahun setelah kedatangan saya. Hanya dua batang pohon kenari yang tersisa. Seperti halnya sebuah keluarga, kita akan mengingat toko dan pemiliknya, dan menceritakan kisah itu kepada yang lain.” Kehidupan Sepenuhnya Dalam bulan Maret 2017, BBC News memperkenalkan 10 karya Lee dalam sebuah artikel berjudul “Pesona Toko

Tua Korea yang Mulai Punah.” Ia juga diundang menampilkan karyanya di Pekan Seni Internasional Tokyo bulan Mei ini. Gambar Lee mengenai toko yang dikelola oleh suami istri — yang awalnya ditujukan untuk pengunjung domestik — menarik perhatian dealer seni dan pencinta seni global. Bukunya yang berjudul “Kennagan Masa Kecil tentang Toko Tua,” yang menampilkan 80 buah gambarnya dan kisah di belakangnya, sangat populer. Buku ini diterbitkan di Perancis dan Taiwan dalam bulan Juni dan terjemahannya dalam bahasa Jepang akan terbit sebentar lagi. Pameran tunggal Lee dijadwalkan pada bulan Oktober di Seoul. “Pameran ini tidak mudah karena gambar-gambar itu perlu banyak waktu dan tenaga. Sangat membutuhkan stamina dan energi, dan saya harus memacu diri saya sendiri dan menjaga kesehatan. Saya ingin bersantai sebentar tahun depan,” katanya. Saat ini, ia punya banyak pekerjaan. Ia berharap bisa menangani sekitar 200-an gambar toko yang tersebar di sana-sini, dan berencana mulai menggambar toko buku tua. Namun, ia tak ingin buru-buru. Ia menambahkan, “Jalani hidup ini sepenuhnya tanpa perlu terburu-buru — itulah yang diajarkan seni pena dan tinta kepada saya.”

seni & budaya korea 37


JATUH CINTA PADA Korea

Istri-istri Imigran Ingin Hidup Setara dan Mandiri Iresha Perera adalah penanggungjawab Talk to Me, sebuah organisasi nirlaba yang membantu mereka yang mengalami diskriminasi tanpa memandang kewarganegaraan. Talk to Me memperjuangkan perlakuan dan pemberian kesempatan yang setara bagi mereka dengan memberdayakan bakat artistik mereka. Choi Sung-jin Editor Eksekutif, Korea Biomedical Review Ha Ji-kwon Fotografer

38 Koreana MUSIM GUGUR 2018


S

aat ini terdapat lebih dari 300.000 istri imigran yang tinggal di Korea. Pernikahan internasional banyak terjadi di wilayah perkotaan dan seperempat dari pernikahan yang baru dilaksanakan adalah antara suami berkebangsaan Korea dan perempuan imigran. Sebagian besar orang Korea menganggap para istri ini sebagai perempuan asing yang tidak begitu lancar berbicara bahasa Korea atau, dalam beberapa kasus, sangat fasih. Namun, mereka tetap dianggap berbeda. Sebagian besar istri imigran itu kini dinaturalisasi menjadi warga negara Korea yang berperan sebagai pilar keluarga multikultural di negara ini, yang berjumlah sekitar 800.000 orang. Mereka berkorban hampir segalanya — kewarganegaraan, pekerjaan dan bahkan keluarga — untuk menjadi istri laki-laki Korea dan memiliki anak dari mereka. Dapat dikatakan mereka mengalami diskriminasi sebagai konsekuensi jatuh cinta pada Korea. Suara mereka makin didengar seiring berjalannya waktu. Saat ini, Korea punya lebih dari dua juta penduduk berkewarganegaraan asing, dan jumlah anggota keluarga multikultural mencapai sekitar satu juta pada tahun 2020. Beradaptasi dan Menjadi Pemimpin Iresha Perera tiba di Seoul pada tahun 1999 untuk bekerja di perusahaan tekstil. Ia ingin mendapatkan pengalaman dalam desain fesyen dan pulang tiga bulan kemudian. Namun, sifat rajin dan periang perempuan Sri Lanka ini memikat ibu kosnya, yang memperkenalkan Iresha kepada anak laki-lakinya. Dua tahun kemudian mereka menikah. “Itulah bagaimana saya akhirnya menetap di Korea. Cinta membuat saya buta,” kata Iresha, yang meminta saya memanggilnya dengan nama kecil. Namun, diskriminasi yang dialaminya membuat kehidupan pernikahannya tidak bahagia, dan karena tidak sanggup menghadapi kebencian bangsa Korea terhadap orang asing, ia kembali ke Sri Lanka.

Boneka Monika adalah salah satu upaya utama Talk to Me, sebuah organisasi swadaya dari perempuan imigran yang menikah yang dipimpin oleh Iresha Perera. Siapa pun boleh mengunjungi kantor organisasi dan membuat boneka, yang dijual untuk mendanai kegiatan Talk to Me.

Tak lama kemudian, suaminya membujuknya kembali ke Korea. Ia mau, tapi ia ingin mencoba sesuatu yang baru. Ia membangun persahabatan dengan tetangganya di Anyang, kota satelit di bagian selatan Seoul, khususnya dengan warga yang lebih tua. “Tetangga saya yang lebih tua menyukai saya, dan saya bisa belajar bahasa Korea dengan cepat karena bergaul dengan mereka,” katanya. “Penyesuaian saya dengan kehidupan Korea menjadi lebih mudah dari sebelumnya.” Ia membentuk kelompok relawan di wilayahnya dan menjadi anggota komite otonomi warga di Anyang. Iresha juga menjadi figur nasional. Selama delapan tahun terakhir, ia memimpin Talk to Me, sebuah asosiasi istri imigran. Organisasi yang didirikan pada tahun 2006 dengan kurang dari sepuluh istri imigran dari Seoul dan kota-kota satelitnya ini sekarang sudah memiliki sekitar 4.000 anggota online dan 500 anggota offline, yang membuatnya menjadi organisasi terbesar dalam bidang sejenis di Korea. “Nama organisasi ini menunjukkan harapan anggotanya: datang dan bicaralah kepada kami,” kata Iresha. “Ini adalah kelompok self-help yang terdiri dari perempuan dari negara-negara yang berbeda, termasuk Cina, Jepang, Filipina, Rusia, Thailand, Vietnam dan Sri Lanka. Kami membantu mereka beradaptasi dengan kehidupan di Korea.” Jika tidak sedang berada di kantor Talk to Me di pusat kota Seoul, Iresha sering kali berada di stasiun TV dan radio, baik sebagai pembawa acara ataupun panelis, yang makin menaikkan profil nasionalnya. Kegiatan Self-Help Pengunjung yang datang ke kantor Talk to Me akan melihat banyak “boneka Monika,” salah satu bentuk kegiatan organisasi ini. “Monika” punya dua arti. Nama boneka ini menunjukkan akar internasional penciptanya, dan lafalnya sama dengan kata meonikka dalam bahasa Korea yang artinya “jauh.” Talk to Me sudah memproduksi lebih dari 7.000 boneka Monika, ma­­singmasing dengan warna dan bentuk yang berbeda. “Tidak ada yang sama,” kata Iresha. Ia menambahkan bahwa penampilannya yang berbeda satu dari yang lainnya ini melambangkan “bersatu di tengah keberagaman.” Laba penjualan boneka digunakan untuk membiayani aktivitas organisasi. “Boneka Monika merupakan usaha kami mengekspresikan bakat budaya kami dengan menggunakan

seni & budaya korea 39


“ Seperti istri-istri imigran lain, saya akan dikebumikan di Korea setelah saya meninggal. Kami ingin dianggap dan diperlakukan seperti orang Korea.” bahan daur ulang,” kata Iresha. “Siapapun yang tertarik, baik orang asing maupun bangsa Korea, silakan datang bergabung dengan kami dan ikut membuat boneka.” Iresha menambahkan bahwa ia dan koleganya di asosiasi itu mengharapkan bangsa Korea, baik pemerintah maupun warga biasa, tidak menganggap mereka sebagai objek simpati atau orang-orang yang sangat membutuhkan bantuan, namun melihat mereka sebagai individu yang memiliki kedudukan setara “yang bisa membantu dan dibantu oleh orang lain.” Aktivitas Talk to Me lainnya adalah “Multicultural Lunch,” bisnis katering yang menawarkan menu internasional yang sangat beragam. Ini membantu berjalannya aktivitas asosiasi dan makanan yang berlebih diberikan kepada lansia Korea yang tinggal sendiri. Kegiatan ketiga adalah program “Visiting Aunts’ Countries”. Sekelompok relawan mengunjungi anak-

40 Koreana MUSIM GUGUR 2018

anak dan sekolah di negara lain untuk memberikan dukungan. Beberapa tahun yang lalu, misalnya, anggota Talk to Me dan mahasiswa Ulsan University mengunjungi sebuah sekolah dasar di Sri Lanka dan memperbaiki fasilitas dan arena bermain. Sejak saat itu mereka menjalin hubungan dengan siswa sekolah itu dan mendorong mereka belajar keras untuk mewujudkan mimpi mereka. Mendobrak Stereotip Iresha menekankan bahwa para istri imigran tidak lagi dianggap sebagai “orang asing yang menunggu uluran tangan masyarakat.” Mereka adalah individu-individu kuat yang mampu mengurus keluarganya, bisa berbicara bahasa Korea dengan fasih, dan sangat mencintai pekerjaannya. Namun, mereka masih menghadapi prasangka dan diskriminasi, katanya, karena


banyak orang Korea beranggapan mereka menikah dengan laki-laki Korea karena alasan kemiskinan. “Di masa lalu, mungkin ini ada benarnya, tapi kini tidak lagi,” kata Iresha. Ia menekankan bahwa banyak istri imigran yang mandiri secara finansial bisa ditemui di wilayah metropolitan Seoul. “Kami warga negara Korea yang taat membayar pajak, bukan orang asing yang bisa didiskriminasi dan dianggap sebagai orang luar. Kadang-kadang, media menulis mengenai politisi atau pebisnis yang memberikan donasi dalam jumlah besar atau membangun fasilitas untuk kaum imigran, namun kontribusi ini sering kali tidak didistribusikan dengan baik, atau tidak menyentuh mereka yang sa­­ngat membutuhkan. Hal seperti ini hanya akan menyakiti hati para istri imigran dan mempengaruhi pandang­ an mereka mengenai bangsa Korea. Kami memang minoritas, tapi kami bukan orang yang lemah.” Iresha tahu betul mengenai kendala dalam pekerjaan ini. Ia sendiri belum berhasil mewujudkan mimpi yang membawanya ke Korea 19 tahun yang lalu — mendesain baju. Ia secara khusus menyayangkan kurangnya dukungan pendidikan untuk etnis minoritas. “Mereka yang berasal dari Cina, Vietnam dan Thailand punya kemampuan berbahasa Korea yang relatif bagus, tapi mereka dari negara lain seperti Sri Lanka, Myanmar dan Bangladesh biasanya kurang bagus,” katanya. “Ini menjadi masalah karena sebagian besar persoalan kami berakar dari buruknya komunikasi.” Kebijakan yang Tidak Efektif Iresha juga menyampaikan pendapatnya mengenai kebijakan multikultural pemerintah Korea, yang punya reputasi terburu-buru dan tidak efektif. “Ketika Pemerintahan Metropolitan Seoul bicara mengenai multikulturalisme, biasanya hanya mengacu kepada penyebaran budaya Korea kepada orang asing, khususnya mereka dari negara-negara tertinggal. Saya berharap bangsa Korea lebih terbuka dan mau menerima negara-negara Asia lain selain budaya Cina dan Jepang.” Mindset intoleran bangsa Korea, menurut Iresha, akan memberikan dampak negatif pada negara ini, khususnya karena populasi lanjut usia yang meningkat.

Iresha Perera menyiapkan mandu bersama anggota lain. Para anggota Talk to Me secara teratur mengunjungi para lansia yang tinggal sendiri dan memberi mereka makanan gratis.

Ia mengatakan sebaiknya bangsa Korea mengadopsi lebih banyak perilaku positif dan menerima perbedaan budaya untuk mengatasi krisis demografi yang disebabkan oleh rendahnya angka kelahiran. “Seperti istri imigran lain, saya akan dikebumikan di Korea ketika meninggal. Kami ingin dianggap dan diperlakukan sebagai bangsa Korea,” kata Iresha. Melihat generasi pertama imigran yang mentolerir diskriminasi yang mereka terima, ia bersikeras, “generasi kedua imigran, atau anak-anak dari keluarga multikultural, tidak akan tinggal diam.” Suaranya cukup lantang. Meski pemerintah kini lebih memperhatikan anak-anak dari orangtua campur­ an, kebijakan imigrasi Korea masih belum berhasil. Banyak kajian memperlihatkan bahwa 70 persen anakanak dari orangtua campuran terpaksa merelakan mimpi mereka karena kendala linguistik dan diskriminasi sosial. Beberapa pasangan dari dua budaya yang berbeda ini tidak berkeinginan membangun keluarga karena mereka tidak ingin anak-anak mereka mengalami penderitaan yang sama. Iresha berharap pemerintah Korea lebih memperhatikan istri-istri imigran dan anak-anak mereka, khusus­ nya karena banyak di antara mereka lebih muda dibanding suaminya. “Di masa mendatang, perempuan-perempuan ini harus menjadi tulang punggung keluarga,” katanya. Rencana Pribadi Iresha bertekad melakukan apapun yang ia bisa untuk meningkatkan kehidupan istri imigran, warga negara Korea naturalisasi dan pekerja asing. Ketika ditanya apakah ia akan memasuki dunia politik jika ada kesempatan, ia menjawab “ya,” tapi ia tidak akan melakukan itu jika partai politik meminangnya hanya untuk pencitraan semata. Iresha mengatakan bahwa ketika Jasmine Lee, istri imigran yang berasal dari Filipina menjadi anggota Mahkamah Nasional Korea, ia tidak mendapatkan kesempatan cukup untuk menyelesaikan agendanya. Di tengah jadwalnya yang padat, Iresha melakukan pekerjaan rumah tangganya nyaris tanpa bantuan. Itu menjelaskan mengapa ia lebih suka melakukan interview ini bukan sepulang bekerja atau di akhir pekan. “Saya hanya tidur beberapa jam sehari. Namun, saya mencoba sebisa mungkin melakukan semua pekerjaan rumah tangga sendiri,” katanya. Ibu mertua Iresha, yang dulu merupakan ibu kosnya, memang sudah mengambil keputusan yang tepat.

seni & budaya korea 41


DI ATAS JALAN

Rumah-Rumah Penuh Kisah di Lorong-Lorong

Seongbuk-dong 42 Koreana MUSIM GUGUR 2018


Nama Seongbuk-dong berarti “lingkungan utara dari tembok kota.� Dibentuk tepat di luar bagian timur laut dari tembok Seoul pada abad ke-18 hingga abad ke19 selama Dinasti Joseon, daerah ini sekarang penuh dengan situs budaya dan merupakan tujuan wisata yang populer. dihiasi dengan rumah modern mewah dan rumah tradisional.

Seongbuk-dong, yang terletak di sepanjang bagian utara Tembok Kota Seoul di kaki Gunung Bugak, menarik hati banyak sastrawan dan seniman selama masa kolonial (1910–1945). Rumah-rumah tua tokoh-tokoh terkenal itu menyimpan kisah pemiliknya. Lee Chang-guy Penyair dan Kritikus Sastra Ahn Hong-beom Fotografer

seni & budaya korea 43


S

ebuah kota tak akan pernah diam. Ia akan terus berubah menyesuaikan gaya hidup dan nilai para penghuninya. Itulah sebabnya ia akan terus menjadi baru. Zaman sekarang, pemandu wisata dianggap kurang memadai, karena dengan membuka peta sebuah kota, pengunjung dapat menemukan banyak tempat ramai yang dihubungkan oleh jalan-jalan lebar dengan gang dan lorong. Mereka yang setiap hari tenggelam dalam pekerjaan yang melelahkan atau memegang tulisan dan berteriak-teriak dengan suara lantang dalam suatu unjuk rasa pulang menyusuri jalanjalan menanjak ke tempat keluarga mereka menunggu dan untuk beristirahat. Di sebuah rumah di ujung jalan, yang pemiliknya sudah lama meninggal, saya berjalan mengelilingi kebun kecil dan memikirkan kembali mengenai kehidupan di masa silam dan orang yang dulu membangun dan tinggal di rumah ini. Meski terletak di bagian luar Tembok Kota Seoul lama (Hanyang Doseong), Seongbuk-dong dipenuhi pepohonan lebat sama seperti jalan-jalan di pegunungan seabad lalu. Hanya ada sekitar 70 rumah di wilayah ini. Di antaranya ada vila liburan bangsawan-bangsawan kaya dan rumah-rumah rakyat jelata. Namun, kini populasinya mencapai 20.000 orang.

44 Koreana MUSIM GUGUR 2018

“Jalan raya� di Seongbuk-dong adalah jalan sepanjang tiga kilometer dari stasiun kereta bawah tanah Hansung University (Jalur 4) ke rumah perjamuan tradisional Samcheonggak. Sambil berjalan melihat toko-toko dengan bagian depan yang indah menghadap ke pegunungan di kejauhan, saya melihat jalan itu makin menyempit. Sekarang banyak dibangun perlintasan di atas Sungai Seongbu, yang mengalir dari Gunung Bugak. Bayangkan air mengalir di bawah kaki Anda, melewati bebatuan dan terus ke bawah menyusuri lembah. Jalan itu seperti jalan-jalan lain di Seoul, namun banyak pengumuman tentang beragam kegiatan budaya tergantung di sana-sini. Ada beberapa papan nama yang membuat Anda berhenti. Papan-papan nama itu dipasang untuk mengenang figur sejarah di sana. Kemudian, saya juga melihat sekelompok turis mengikuti seorang pemandu wisata yang memegang bende-

Penulis Yi Tae-jun membongkar rumah keluarganya di Cheorwon dan membangunnya kembali di Seongbuk-dong, di mana ia menghabiskan sekitar 10 tahun bekerja. Tempat yang bernama “Suyeon Sanbang,� sekarang adalah rumah teh tradisional yang dioperasikan oleh kerabat Yi.


ra kecil. Seperti halnya distrik lain, pariwisata Seongbuk-dong sangat berkembang dengan promosi atraksi turis menyusuri jejak sejarah dan budaya. Tembok Kota dan Bunga Persik Aset pariwisata utama Seongbuk-dong adalah Tembok Kota Seoul. Ketika Raja Taejo, pendiri Dinasti Joseon (1392– 1910), memindahkan ibukota negara ke Hanyang (sekarang Seoul) dan membangun Istana Gyeongbok, tembok ini dibangun di wilayah yang dikelilingi oleh empat gunung untuk menangkal invasi. Tembok sepanjang 18,6 km itu dibangun di atas pegunungan dan tanah datar. Tembok ini melewati istana kerajaan, kantor administratif, pasar, dan wilayah permukiman. Bangunan ini bisa dijangkau oleh semua orang, seperti tertulis berikut ini: “Di musim semi dan musim panas, orang-orang di Hanyang mengelilingi tembok kota menikmati keindahan pemandangan sekitarnya. Mereka berjalan dari pagi sampai malam.� Pondasi tembok ini masih sangat kokoh. Seongbuk-dong terbentang sepanjang 4 km, antara Gunung Bugak dan Gunung Nakta. Wilayah ini terletak di tempat tinggi dan berkelok-kelok.

Ketika menyusuri jalan di sebelah tembok, kita akan disuguhi pemandangan spektakuler bangunan modern berpadu dengan benteng batu tua dan kota Seoul di bawahnya. Menurut penduduk lokal, Malbawi (Batu Kuda) di Taman Waryong punya pemandangan paling bagus. Fotografer profesional lebih suka wilayah di antara Sukjeongmun (Gerbang Utama Utara), pintu gerbang utama bagian utara, dan Changuimun (Gerbang Kecil Utara), pintu gerbang kecil di bagian barat daya. Tembok kota itu dibangun dengan perhitungan yang kurang cermat. Dalam 30 tahun, populasi di dalam tembok berkembang sangat pesat sehingga negara memperlebar wilayah permukiman baru seluas 10 li (sekitar 4 km) di luar tembok, dimulai dari sisi luar pintu gerbang timur, yaitu Dongdaemun. Namun, Seongbuk-dong, dengan lembah-lembah dan hutan lebatnya, adalah pengecualian. Masyarakat tidak mau pindah ke wilayah baru itu, sehingga di Bukdun, bagian utara Eoyeongcheong, penjaga kerajaan ditempatkan secara permanen di tempat itu pada tahun 1766 untuk memperkuat pertahanan ibukota. Rumah-rumah mulai bermunculan di sepanjang Sungai Seongbuk dan pendatang non-militer diberi pekerjaan penanganan dan pengadaan barang-barang kering.

Situs Kunjungan di Seongbuk-dong

Seoul

Kuil Gilsang

Samcheonggak (restoran)

Sukjeongmun (gerbang)

Terowongan Samcheong

Suyeon Sanbang (rumah teh) Museum Seni Seongbuk

Nosi Sanbang (tidak ada) Museum Seni Kansong Simujang Museum Seonjam Desa Bukjeong (rumah peringatan)

Tembok Kota Seoul

Taman Waryong Stasiun Universitas Hansung (Jalur 4) Hyehwamun (gerbang)

Kuil Gilsang

Desa Bukjeong

Museum Seni Kansong

Museum Seonjam

seni & budaya korea 45


Untuk menambah pendapatan, mereka menanam pohon persik di sekeliling rumah. Ladang-ladang di situ diharapkan bisa memenuhi kebutuhan pangan mereka, meski tanahnya kurang cocok untuk agrikultur. Setelah 20 tahun kemudian, Chae Je-gong (1720–1799), ketua dewan negara, sekarang disebut perdana menteri, dari masa Joseon berjalan-jalan di sekitar wilayah itu. Ia menulis deskripsi berikut: “Ketika beristirahat, saya melihat ke bawah dan tampak rumah-rumah di desa itu tersebar di sekeliling kaki gunung. Sebagian besar dikelilingi pohon-pohon persik dan sejak dulu sampai sekarang ada jendela atau celah yang memungkinkan kita melihat sesuatu di antara bunga-bunga persik. Penduduk kota, baik pejabat maupun rakyat biasa, sangat senang dengan pemandangan yang membuat mereka lupa waktu itu.” Segera setelah itu, Bukdun tertutupi bunga-bunga persik. Saat itu, kaum bangsawan, tokoh sastra yang berpengaruh dan individu-individu yang kaya raya mulai membangun rumah di Seongbuk-dong. Rumah-rumah bergaya Barat dibangun selama pendudukan Jepang. Saat ini, rumah-rumah mewah para titan mewarnai wilayah itu.

46 Koreana MUSIM GUGUR 2018

Studio Pegunungan Pada tahun1933, majalah Samcheolli (“tiga ribu li,” li adalah satuan luas di Korea; 1 li setara dengan 400 meter) menggambarkan melonjaknya populasi Seongbuk-dong. Pemandangan yang indah dan udara bersih adalah daya tarik wilayah ini, dan seniman dan penulis sangat terpesona dengan atmosfer ini. Di antara mereka yang disebut dalam artikel “Desa Sastra Seongbuk-dong,” terdapat novelis Yi Tae-jun (juga ditulis dengan Lee Tae-jun; 1904–?). Walaupun ia penulis pemula yang baru berusia 30 tahun, Yi sudah sangat dikenal dengan prosanya yang memikat. Yi adalah penulis yang mulai dikenal pada tahun 1933. Ia menikah pada tahun 1930 dan pindah ke Seongbuk-dong dari Cheorwon, Propinsi Gangwon, sekitar 80 km di bagian utara Seoul. Kepindahan itu lebih dari sekedar memindahkan harta miliknya. Lee merombak rumah pamannya di Seongbuk-dong dan membangunnya kembali dengan gaya yang tidak umum pada masa itu. Mengenai ketrampilan tukang kayu yang mengerjakan tugas ini, Lee menulis, “Meski hanya sebuah sichejip, di tangan


mereka semuanya dikerjakan dengan cermat.” Sichejip, arti­nya “rumah yang trendi,” adalah rumah tradisional (hanok) yang dibangun ulang dan disesuaikan dengan zaman modern. Tidak ada pebedaan antara kamar laki-laki dan perempuan. Pintu­ nya dilapisi dengan kaca dan ada kamar mandi di ruang tengah, bukan di luar rumah. Namun, rumah itu tetap mempertahankan elemen tradisional di luarnya seperti bagian atap, celah antara atap dan langit-langit, rangka atap dan pagar pengaman. Fitur utama “hanok modern” adalah teras yang dibangun agak tinggi yang digunakan sebagai tempat untuk suami istri. Dalam novelnya “The Keyword” (Hwadu), Choi In-hoon (1936–2018) mengambarkan rumah Yi sebagai berikut: “Rumah itu menghadap ke selatan, berbentuk ㄱ[ㄱ adalah huruf dalam alfabet Korea] dengan teras tinggi di satu sisi. Di bagian selatan teras itu, ada kayu yang berpahatkan “Munhyangnu” (Paviliun Wewangian). Dari fasad rumah, teras itu terletak di bagian kanan, sementara bagian horizontal struktur bentuk ㄱterbuat dari daecheong [ruang tengah berlantai kayu] dan kamar tidur. Tangga batu ke toetmaru [teras kayu sebelum ke bagian dalam] yang menghadap ke dalam dibatasi oleh pintu

1

dari potongan kayu yang disusun saling menyilang dan dilapisi kaca. Ruang tengah ini hangat di musim dingin.” Setiap pagi, Yi Tae-jun mengawali harinya dengan berjalan di luar rumah dengan pasta dan sikat gigi, dan menggosok gigi sambil memandang ke atas dan ke bawah tembok kota dan deretan pegunungan di belakangnya. Mengenai ritual hariannya ini, ia menulis, “Sambil menggosok gigi, kadang-kadang saya mengalami delusi sedang membersihkan celah antara batu-batu di dindingnya, lalu saya terhenyak.” Sekarang, din­ ding itu tidak lagi bisa dilihat dari taman. Pohon-pohon pinus dan gedung tinggi menghalangi pandangan. Rumah yang diberi nama Suyeon Sanbang (“Studio Gunung Batu Tinta Abadi”), kini dipakai sebagai rumah teh tradisional yang dijalankan oleh keluarga Yi. Di bagian terendah taman itu ada sumur tua. Sedikit ke atas bukit dari rumah Yi terdapat Simujang (Rumah Pencarian Sapi), tempat biara dan penyair Han Yongun (1879–1944) tinggal sejak tahun 1933, setelah pembebasannya dari penjara, sampai ia meninggal. Di samping pintu masuk yang mengarah ke rumah Han ada tempat tinggal Park Tae-won (1909–1986), seorang novelis dengan tata rambut

2

1. Penyair biarawan Han Yong-un tinggal di rumah ini setelah dia dipenjara karena kegiatan pro-kemerdekaan. Pendukung membangun rumah baginya pada tahun 1933, bernama Simujang (Ox Searching House), ketika ia dibebaskan. Rumah itu konon dibangun dengan berorientasi ke utara untuk menghindari menghadap gedung pemerintahan umum Jepang. Han meninggal pada tahun 1944, setahun sebelum pembebasan Korea dari pemerintahan Jepang. 2. Desa Bukjeong, tempat Simujang berdiri, disebut “desa bulan terakhir di bawah langit.” Sebuah desa bulan, atau daldongne dalam bahasa Korea, mengacu pada “lingkungan yang sangat tinggi dekat bulan” dan umumnya menunjukkan daerah yang membutuhkan. Ganggang yang sempit dan kecil dipenuhi dengan rumah-rumah tua yang kecil.

seni & budaya korea 47


eksentrik, yang tinggal di sana selama tiga tahun sejak tahun 1948. Dengan bantuan Yi, Park menerbitkan novel “A Day in the Life of Novelist Kubo” dalam bentuk serial di surat kabar. Gaya film jalanan ini menarik perhatian, karena sangat unik pada saat itu. Namun, Park terlalu memaksakan diri ketika ia membangun rumah lamanya, dan kesulitan keuangan memaksanya menjual rumah itu. Ia pindah ke Seongbuk-dong dan tinggal di rumah beratap daun dan dikelilingi oleh tanaman pagar yang diterimanya sebagai royalti. Di seberang rumah Park, terdapat sebuah rumah yang jauh dari rumah-rumah lain bernama Suworam dan kompleks Hyundai Villa. Di antara keduanya dulu ada Nosi Sanbang (“Studio Gunung Batu Tinta Abadi”) rumah pelukis dan penulis esai Kim Yong-jun (1904–1967). Kim adalah teman Yi Taejun. Keduanya bertemu ketika menjadi mahasiswa di Jepang. Ia pindah ke Seongbuk-dong pada tahun 1934 untuk tinggal bersama dengan istrinya. Dalam tulisannya, Kim mengenang bagaimana istrinya “protes keras” mengenai kepindahannya ke tempat yang “gerobak saja tidak bisa sampai di depan pintu dan burung liar dan serigala kadang-kadang turun gunung dan mun-

cul di bagian belakang rumah.” Ia mengakui bahwa motivasinya pindah ke Seongbuk-dong adalah karena “sangat mencintai pohon-pohon kesemek tua” itu. Yi memberi nama rumah Kim Nosi Sanbang. Kim tinggal di rumah itu selama sekitar sepuluh tahun dan kemudian menjualnya kepada pelukis muda yang banyak disukai, Kim Whanki (1913–1974). Ia berpisah dari “pohon-pohon tempat burung jalak bersarang, berpagar semak dan batu yang unik, salju putih dan sinar matahari yang hangat.” Semua itu “menemaninya menikmati musim dingin di rumah dengan pohon-pohon kesemek tua.” Kim Yong-jun menjelaskan mengapa ia meninggalkan rumahnya dalam esai yang berjudul “Menjual Rumah” (Yukjang hugi). Namun, barangkali lebih tepat menyebut­ nya bahwa ia mewariskan rumah itu ke Kim Whanki. Untuk mengenang persahabatan mereka, Kim tua menulis bahwa kehidupannya di rumah itu adalah “sebuah ilusi.” Sekarang rumah itu sudah hilang tak bersisa. Sebuah Ilusi Rupanya prasangka saya beralasan. Salah satu tokoh pro-

Saat ini, tembok itu tidak bisa dilihat dari taman. Rumah yang diberi nama Suyeon Sanbang (“Studio Gunung Batu Tinta Abadi”), kini menjadi rumah teh tradisional. © Whanki Museum, Whanki Foundation

1

48 Koreana MUSIM GUGUR 2018


tagonis dalam novel “Sebelum dan Sesudah Peembebasan,” Yi menulis, “Hyeon ingin hidup. Lebih dari itu, ia ingin bertahan. Angkatan Bersenjata Sekutu pasti menang. Hukum dan sejarah pasti menang. Jika hukum dan sejarah mengkhianati kemanusiaan, jangan putus asa. Hyeon tak ingin menjual rumahnya. Di Eropa, Front Kedua belum dimulai, dan meski tentara Jepang masih di Rabaul di Pasifik, ia yakin semua akan berakhir paling lama tiga tahun. Jadi, ia meminjam banyak uang dengan jamin­ an rumah itu dan meninggalkan Seoul.” Yi membangun rumahnya di Seongbuk-dong selama dua tahun setelah Insiden Manchuria (atau Mukden) yang sangat terkenal, yaitu sebuah peristiwa yang melibatkan tentara Jepang yang memberi alasan kepada diri mereka sendiri untuk menginvasi Manchuria, sebagai pembuka serangannya ke seluruh Asia. Insiden ini juga mengawali lebih dari 20 tahun pendudukan Jepang di Korea, dan pertahanan bersenjata Korea melawan Jepang berada di puncaknya. Untuk mempercepat modernisasi ibukota, pemerintah kota Gyeongseong (nama Seoul selama penjajahan Jepang) membuat perencanaan kota pada tahun 1928, bahwa wilayah yang meliputi distrik Gangbuk-gu dan Seongbuk-gu sekarang akan dijadikan pusat kota dengan jalur kereta Gyeongwon (Seoul–Wonsan) yang menghubungkan bagian selatan dan utara negara ini. Jalur kereta ini melewati kampung halaman Yi, Cheorwon. Ketika Seongbuk-dong disatukan dengan Gyeongseong, kabar yang beredar adalah jalan-jalan akan dibangun dari Hyehwamun (pintu gerbang kecil di sebelah timur laut kota) ke Seongbuk-dong dan Donam-dong. Agen real estate pun meng­ antisipasi lonjakan harga tanah di sekitar Seongbuk-dong. Pada waktu itu, Yi adalah editor budaya di sebuah surat kabar harian, Joseon Jungang Ilbo. Saat itu, ia mengalami konflik batin antara idealisme dan kenyataan. Sebagai seorang penulis, ia bertekad menyuarakan mereka yang hidupnya di bawah. Mereka tidak bisa mengubah masyarakat tapi cinta kasih tertanam dalam kehidupan mereka. Yi juga ingin melihat kecantikan kota dan segala sesuatu di waktu lampau. Ia merasa mempertahankan harga diri di sebuah negara di bawah pendudukan kolonial lebih sulit daripada berperang di luar negeri. Choi In-hoon mengatakan, “Kita tidak bia hidup di negara yang dikuasai musuh.” Keberangkatan Seperti karakter protagonis dalam novelnya, Yi tidak menjual rumahnya sebelum pulang ke kampung halaman pada tahun 1943. Setelah pembebasan pada tahun 1945, Seoul kacau balau. Semuanya menjadi tidak rasional. Tidak ada keputusan yang bisa menyembuhkan luka hatinya atau menjamin mimpi bagi negaranya setelah pembebasan akan mewujud. Pada tahun 1946, Yi dan keluarganya harus meninggalkan rumahnya di

2

1. “Suhyang Sanbang” (1944) oleh Kim Yong-jun. Tinta dan warna terang di atas kertas, 24 x 32 cm. Lukisan ini dikerjakan oleh penulis dan artis Kim Yong-jun untuk pelukis Kim Whanki dan istrinya. Kim menjual rumahnya, “Nosi Sanbang” (Studio Gunung dengan Pohon Kesemek Tua), kepada Kim Whanki, yang menamainya “Suhyang Sanbang” (Studio Gunung dari Wewangi Pohon), mengambil suku kata dari nama pena Suhwa dan nama istrinya Kim Hyang-an. 2. Foto keluarga Yi Tae-jun ini masih ada di dalam Suyeon Sanbang. Keluarga itu berdiri di kebun. Gejolak sosial melanda Korea setelah pembebasan dan Yi, dalam keputusasaan yang mendalam, menyeberang ke Korea Utara pada tahun 1946.

Seongbuk-dong dan lari ke Korea Utara. Setelah itu diikuti oleh Kim Yong-jun dan Park Tae-won. Konflik antara idealisme dan kenyataan yang dialami para penulis ini di Korea Utara diketahui dari potongan-potongan rekaman dan beberapa testimoni. Tidak ada penelitian serius yang dilakukan dari perspektif sejarah literasi. Moon Gwang-hun, seorang ahli sastra Jerman, menulis esai panjang mengenai kontemplasinya atas foto Yi dan keluarganya yang berjudul “Sebuah Momen Puitis Kebahagiaan”. Ia menulis “Ini foto lama penulis Yi Tae-jun bersama istri, dua anak laki-laki, dan tiga anak perempuannya. Ini menggambarkan kebahagiaan bagi banyak orang, bagaimana kebahagiaan dalam hidup kita, dan bagaimana kebahagiaan itu datang dan pergi.” Lalu, saya pun melihat tempat Yi dan keluarganya berdiri dalam foto itu. Walaupun pemilik awalnya tidak ada lagi di sana, bunga-bunga di kebun itu tetap bermekaran.

seni & budaya korea 49


KISAH DUA KoreA

Mi Dingin Pyongyang: Rasa Semenanjung Bersatu Konferensi tingkat tinggi antara Korea Selatan dan Korea Utara tidak hanya menghasilkan buah bibir politik tetapi juga menjadikan ‘Pyongyang Naengmyeon’ yang disantap kedua pemimpin di Panmunjom sebagai kata kunci terpopuler. Para restoran Pyongyang naengmyeon di kota besar dikerumuni pengunjung. Dengan ini, Dongmubapsang, sebuah restoran Yoon, Jong-chul yang berasal dari Korea Utara pun mulai diperhatikan lagi. Kim Hak-soon Jurnalis, Profesor Tamu Jurusan Studi Media Universitas Korea

S

etelah Presiden Korea Selatan Moon Jae-in dan pemimpin Korea Utara Kim Jong-un makan dengan mi dingin, antrean panjang segera terbentuk di restoran Korea Selatan yang paling terkenal yang menampilkan hidangan, yang menjadi kata kunci yang paling dicari secara online. Dalam tiga hari setelah KTT, penjualan di restoran Seoul yang khususnya menyajikan Pyongyang Naengmyeon menurut salah satu perusahaan kartu kredit meningkat lebih dari 80 persen dari minggu sebelumnya. Menurut Kim seorang koki dari Okryu-gwan, restoran terbaik di ibukota Korea Utara, menyiapkan naengmyeon. Itu mengubah pandangan ke Dongmu Bapsang yang dimiliki oleh Yoon Jong-cheol, mantan siswa di restoran Korea Utara yang membelot ke Selatan pada tahun 2000. Kritikus makanan dan sebuah program TV tentang kuliner sudah mencatat tentang restoran kecil yang sederhana yang dikelola oleh Yoon dan istrinya. Namun peristiwa itu mengubah restoran menjadi sensasi dalam semalam. Media meyakinkan pengunjung bahwa Dongmu Bapsang menduplikasi Naengmyeon gaya Pyongyang Okryu-gwan. Pelanggan antri selama lebih dari satu jam saat makan siang. Saya bertemu Yoon di restorannya, yang terletak di pinggir jalan dekat Stasiun Subway Hapjeong, di Distrik Mapo, Seoul, tepat di utara Sungai Han. Restoran itu masih ramai walau jam makan siang telah lewat. “Restoran saya sudah ramai sejak

50 Koreana MUSIM GUGUR 2018

dulu. Namun jumlah mereka melonjak setelah KTT. Bahkan kru TV Jepang dan Filipina, serta kru TV di sini, ingin meliput restoran saya, ” kata Yoon. Menu Yoon mencoba untuk menciptakan rasa Okryu-gwan dalam menunya, tetapi dia memperhatikan selera orang Korea Selatan dan membuat penyesuaian. Sedikit bumbu diperlukan dalam resep yang telah ia kembangkan. Menu yang ditawarkan meliputi makanan sehari-hari seperti bulgogi bebek, ikan pollack fermentasi, sundae beras ketan (sosis Korea), mandu kentang, dan mi jagung. Akan tetapi menu yang paling terpopuler adalah Pyongyang naengmyeon karena orang Korea secara alami mengingat Pyongyang naengmyeon sebagai makanan khas Korea Utara. Okryukwan, Chungryukwan, Hotel Goryo, dan Minjok Sikdang merupakan keempat restoran-restoran naengmyeon terkenal di Pyongyang. Namun kenapa hanya naengmyeon di Okryukwan sering disebut sebagai naengmyeon terkemuka. “Karena ada tenaga kerja berkualitas tinggi.” jawabnya. “Di Korea Utara, semua orang berbakat dikirim ke Pyongyang. Okryu-gwan, restoran yang dibangun berdasarkan instruksi Kim Il-sung pada tahun 1961, adalah tempat para koki terbaik bekerja.”


Kaldu dan Mi Yoon berusaha mereproduksi cita rasa Okryukwan yang terbaik di Pyongyang dalam semua masakannya. Berbeda dengan restoran naengmyeon lain di Korea Selatan, dia membuat kaldu naengmyeon dengan cara Okryukwan; merebus berbagai tulang sapi, daging sapi, daging burung pegar, daging ayam dengan air kemudian menyaring kaldu tersebut di alat penyaring yang terdiri dari batu, arang dan pasir. Kecap asin direbus dengan bawang bombay, daun bawang, apel dan pir. “Sayang tidak bisa mereproduksi pola asli naengmyeon secara sempurna karena beberapa alasan,” kata Yoon. Pertama, ada perbedaan air untuk kaldu dan kecap asin. Dia menegaskan rasa air dari sungai Han Korea Selatan dan sungai Daedong berbeda. “Biarpun Okryukwan terletak di gunung Geumgang dan di Tiongkok, rasa naengmyeon sedikit berbeda karena airnya berbeda,” jelasnya. Bahan adonan naengmyeon juga berbeda dengan restoran lain. Berbeda dengan restoran naengmyeon terkenal di Seoul yang mengandung 60%-70% gandum hitam, Dongmubapsang memakai 40% gandum hitam, 40% pati ubi dan 20% tepung terigu. Oleh sebab itu mi neaengmyeon terasa empuk. “Sebenarnya mi untuk naengmyeon Okryukwan terdiri atas 40% gandum hitam dan 60% pati kentang,” katanya. Dia juga membuat mi naengmyeon hampir sama dengan Okryukwan pada mulanya tetapi akhirnya terpaksa mengurangi rasio pati kentang dan menambahkan tepung terigu karena tamu menggunting mi karena kenyal. “Di Korea Utara sejenis mi termasuk naengmyeon disebut sebagai ‘mi panjang umur’. Oleh karena itu naengmyeon disajikan pada hari ulang tahun dan pada hari pesta. Artinya hidup sehat dan panjang umur. Namun saya heran sekali melihat orang Korea makan naengmyeon dengan cara mengguntingnya lebih dahulu. Pada mulanya, saya menjelaskan alasannya mi naengmyeon kenyal secara teliti. Akan tetapi ada tamu yang tidak suka penjelasan itu. Oleh karena itu saya tidak menjelaskan lagi tetapi mulai menambahkan tepung terigu dalam adonan mi.” jelasnya. Selain itu dia menjelaskan dia tidak memakai soda walau-

Yun Jong-cheol melarikan diri dari Korea Utara pada tahun 1998 dan tiba di Seoul pada tahun 2000. Seorang mantan siswa di Okryu-gwan, restoran terbaik di Pyongyang, ia membuka restoran bergaya Korea Utara yang disebut, Dongmu Bapsang (“Meja Sahabat”), di Hapjeong-dong, Seoul pada tahun 2015.

© Newstomato

seni & budaya Korea 51


1. Dongmu Bapsang menyajikan berbagai makanan, yang paling populer adalah mie dingin Pyongyang (naengmyeon). Rasa mie dinginnya sangat berbeda dari restoran Korea Selatan lainnya karena menggunakan resep Okryu-gwan. 2. Mie dingin telah lama menjadi favorit musim panas orang Korea Selatan. Setelah para pemimpin dari kedua Korea itu makan mie dingin Pyongyang di puncak pertemuan mereka pada tanggal 27 April, antrean panjang terbentuk di Dongmu Bapsang untuk memesan mie dingin Korea Utara yang otentik.

1

52 Koreana MUSIM GUGUR 2018

pun Okryukwan menambahkan soda dalam adonan mi untuk membantu pencernaan. “Orang Korea Selatan yang memen­ tingkan kesehatan tidak makan naengmyeon yang mengandung soda.” Naengmyeon Okryukwan berwarna hitam karena soda tetapi naengmyeon Dongmubapsang berwarna abu-abu. Yoon, Do-hyun, seorang penyanyi yang mengunjungi Pyongyang sebagai rombongan seni Korea Selatan dan pertama kali menikmati Pyongyang naengmyeon Okryukwan mengatakan “Di Okryukwan pelayan sendiri mengangkat mi dengan sumpit kemudian menambah cuka. Saya merasa aneh karena orang Korea Selatan langsung menambahkan cuka ke dalam kaldu.” Yoon, Jong-chul menerima perbedaan kebudayaan antara Korea Selatan dan Korea Utara sehingga tamu sendiri menambahkan cuka atau moster sesuai dengan cita rasa sendiri. Selain itu, Yoon menyajikan naengmyeon dengan baekgimchi (gimchi sawi yang tidak memakai bubuk cabai) dari Pyongyang, gimchi taoge dari Hamgyong-Do dan gimchi kubis di Yanggang-Do supaya tamu bisa menikmati berbagai gimchi terkemuka di Korea Utara. Beberapa pelanggan, yang akrab dengan rasa Pyong-


yang naengmyeon gaya Korea Selatan, awalnya merasa “hambar” atau “tawar” untuk mendeskripsikan naengmyeon Dongmu Bapsang. Tetapi mereka dengan cepat menjadi pelanggan setia begitu mereka terbiasa dengan rasanya. Mereka bahkan menghirup kaldu dengan nikmat tanpa menambahkan bumbu apa pun. Menelusuri Dapur Yo o n b e r a s a l d a r i O n s u n g , Hamgyeongbuk-Do tetapi bisa belajar memasak di Okryukwan, Pyongyang berkat ayahnya yang pernah menjadi pejabat tingkat tinggi partai. Meskipun kakeknya pernah bekerja sebagai © Ahn Hong-beom koki makanan Jepang pada jaman penjajahan Jepang, latar belakang keluarganya cukup baik sehingga ayahnya bisa menjadi pejabat tingkat tinggi partai. Saat masuk militer, Yoon dikirim ke Okryukwan untuk belajar memasak sebagai prajurit juru masak. Setelah belajar memasak selama 4 bulan, dia ditempatkan sebagai juru masak di restoran untuk pejabat tingkat tinggi militer. Memasak makanan yang dipesan pejabat tingkat tinggi yang berasal dari berbagai daerah selama lebih dari 10 tahun, dia bisa mempelajari bermacam makanan dari berbagai daerah. Dia bangga mengatakan “Ada ratusan resep makanan Korea Utara di dalam otak saya.” Setelah menyelesaikan wajib militer, dia mempelajari peragian di Heoryong Light Industry College dan belajar produk-produk yang diproses melalui pe­ragian sejenis kecap asin atau minuman bersoda. Memberi kuliah pula. Kadang-kadang dia dipanggil dan mempertunjukan keterampilan memasak di acara besar di Pyongyang. Yoon melarikan diri dari Korea Utara pada tahun 1998 selama periode yang disebut “Parade Kesulitan Hidup”. Dia akhirnya tiba di Korea Selatan pada tahun 2000 melalui China. Mula-mula dia berusaha menyesuaikan diri dengan ma­­syarakat Korea Selatan dengan bekerja sebagai buruh di

2

bidang konstruksi dan sebagainya. Pada suatu hari di tahun 2013, dia menghadiri sebuah acara kebudayaan kuliner dan menceritakan masakan Okryukwan yang dialaminya. Saat itu Lee, Ho-kyung, pemilik restoran ‘Hoya Cooks’ tertarik pada ceritanya kemudian membantu membuka “toko pop up” selama 3 hari. Dia mulai mengelola restoran pada tahun 2015 karena respon para pengunjung cukup baik. Tidak pernah ada kekurangan pelanggan di restoran Yun, karena berita mengenai kesungguhan dan teknik memasak­ nya menyebar dari mulut ke mulut. Banyak koki juga berkunjung untuk mempelajari resep naengmyeon-nya, dan beberapa pemilik restoran bahkan telah mengusulkan untuk kerja sama waralaba. Proposal itu ditolak segera. Yun takut bahwa prinsipnya mempertahankan kekhasan asli masakan Korea Utara akan tercemar jika dia menerima tawaran tersebut. “Di Korea Utara, orang-orang mengatakan ‘terdengar suara gertakan,’ ketika mereka menyantap makanan lezat. Saya ingin menunjukkan hal itu untuk membuktikan kepada rekan-rekan saya di Utara bahwa naengmyeon Dongmu Bapsang tidak kurang enak daripada Okryu-gwan, jika kedua Korea bersatu kembali,” katanya.

Setelah pemimpin kedua Korea makan malam mi dingin (naengmyeon) pada Konferensi Tingkat Tinggi April, masyarakat Korea berbondong-bondong ke restoran yang menyajikan hidangan ikonik. seni & budaya korea 53


SATU HARI BIASA

1

Tidak Ada Waktu Istirahat bagi ‘Mahasiswa Abadi’ Baby boomer Korea, yaitu mereka yang lahir pada tahun 1955–63, tumbuh di tengah perkembangan ekonomi yang pesat dan transisi politik yang keras. Setelah melalui peristiwa, banyak di antara mereka tidak mengurangi kegiatan di masa pensiun. Lee Chan-woong adalah salah satunya.

L

Kim Heung-sook Penyair Ahn Hong-beom Fotografer

ee Chan-woong punya kemewahan untuk tidak terikat masa pensiun dalam hal finansial. Ini membuatnya menonjol dari lainnya. Korea adalah negara yang kurang ramah bagi para pensiunan. Negara ini punya angka kemiskinan lansia tertinggi dalam OECD. Biaya hidup yang san-

54 Koreana MUSIM GUGUR 2018

gat tinggi, biaya pendidikan yang sangat mahal, ketimpangan pendapatan dan kewajiban tradisional seperti dukungan finansial bagi anak-anak sampai mereka menikah menghambat mereka memiliki tabungan pensiun. Rasio pendapatan pensiun rata-rata adalah 39,3 persen, dibandingkan de­­ngan Amerika Serikat yang memili-

ki rasio sebesar 73,1. Ini menjadi lebih besar dengan meningkatnya biaya kesehatan — 2,3 kali bagi mereka yang berusia di atas 60 tahun. Angka bunuh diri di antara lansia hampir tiga kali lipat rata-rata OECD, yaitu 54,8 per 100.000 orang. Tidak mengherankan, sebagian besar orang Korea khawatir denan masa pensiun ini.


Sebelum pensiun, Lee terjamin kesehatan finansialnya. Ia terbebas dari hutang dan memiliki rumah. Suku bunga yang relatif tinggi melindungi “sarang telurnya” dan pengeluarannya menurun karena anak pertama dari dua anak laki-lakinya sebentar lagi menyelesaikan kuliah. Lee mengakhiri karir panjangnya di Korea Exchange Bank pada bulan Februari 2004. Ia adalah salah satu penyintas terakhir yang direkrut oleh bank itu 34 tahun sebelumnya. Ia belum saatnya menjalani pensiun wajib, namun ia ingin berhenti dengan lebih terhormat. “Pada hari pertama tahun itu saya mendaki Gunung Bukhan untuk menikmati matahari terbit,” katanya. “Ketika saya pulang, saya menulis di buku harian saya, ‘Mungkin saatnya saya meninggalkan bank. Saya tak ingin seperti karyawan senior yang tampak menyedihkan ketika mereka berhenti.’ Kemudian, satu bulan kemudian, seolah sudah menjadi takdir, saya keluar.” Daftar Keinginan Walaupun mapan secara finansial ketika pensiun, Lee tidak terbebas dari masalah dalam tahun-tahun emasnya. Ia menjalani operasi batu empedu dan bermasalah dengan penglihatan dan pendengarannya yang makin menurun. Problem fisik itu memaksanya menghentikan kegiatan mengajar dengan sukarela, salah satu kegiatan yang sangat disukainya. Namun, kehausan akan pengetahuan dan keingintahuan tetap dimilikinya. Setelah mengucapkan selamat tinggal kepada koleganya, Lee tidak melakukan kegiatan selama enam bulan. Kemu-

1. Lahir pada tahun 1951, Lee Chan-woong pensiun pada tahun 2004 setelah bekerja di bank selama 34 tahun. Kegiatan pasca pensiunnya yang pertama adalah belajar menulis esai di rubrik budaya surat kabar. 2. Lee menulis esai selama 10 tahun tentang apa yang dia lihat dan rasakan.

dian, ia kembali bekerja dengan menangani masalah akuntansi bisnis impor adik iparnya. Ini berlangsung selama dua setengah tahun, sebelum ia memulai masa pensiunnya dengan tenang. Ia mewujudkan keinginan yang diangankannya sebelum pensiun. “Seorang teman pernah berkata kepada saya, ‘Sebagian besar orang mau saja tetap penasaran mengenai sesuatu dalam hidupnya. Padahal, kalau Anda penasaran mengenai sesuatu, mestinya Anda mencari tahu.’ Dia benar,” kata Lee. Hal pertama yang dilakukan nya untuk mewujudkan mimpi itu adalah menulis sebuah novel mengenai hidupnya. Lee belajar menulis esai selama hampir satu dekade, dan beberapa kali ia karyanya terbit. Pada musim semi tahun 2013, esainya dihimpun dalam sebuah buku berjudul “Saya seorang Murid.” Ia meminjam judul ini dari “Tulisan Wang Meng mengenai Dirinya: Filosofi Hidup Saya” yang ditulis oleh Wang Meng, seorang penulis Cina penerima Hadiah Nobel Sastra. Lee lebih nyaman menulis esai, tapi sejujurnya, ia tahu bahwa kemampuan menulisnya masih kurang “Saya merasa seperti menuangkan apa yang saya baca ke dalam buku, sehingga saya tidak menulis lagi belakangan ini,” katanya. “Yang bisa saya lakukan adalah menunggu inspirasi datang, seperti air di sumur.” Keinginan lain dalam daftarnya adalah mendaki Gunung Baekdu, naik kapal pesiar, dan liburan yang diisinya dengan berjalan kaki jarak jauh. Ada lagi: mengunjungi Afrika, mimpi sejak kecil; belajar sulap untuk menghibur orang lain; dan mengalami empat musim di pedalaman Gunung Jiri atau pedalaman Himalaya. Kehidupannya: Dulu dan Sekarang Lee bangun pukul 7:30 setiap pagi berkat suara alarm. Sambil menikma-

2

ti segelas jus kol dan buah, ia menandai berita-berita di surat kabarnya dan kemudian pergi ke sanggar gukseondo (seni bela diri Tao Korea tradisional) terdekat untuk berlatih pernafasan danjeon (hipogastrik) selama 90 menit. Saat ini, ia memegang sabuk hitam gukseondo. Setelah latihan, ia sering kali pulang ke rumahnya yang kosong karena istrinya, Ku Kyung-bin, seorang pemeluk Katolik yang taat, sedang ke gereja. Ia membaca artikel surat kabar sambil sarapan, lalu masuk ke layanan pesan online yang diikutinya bersama sekitar 70 teman dan kerabat. Hal yang paling penting dalam obrolan di layanan pesan itu dalam beberapa hari ini adalah berita mengenai cucu perempuan Lee, yang juga cucu satu-satunya. Ia tinggal di Spanyol, tempat anak laki-laki bungsu Lee bertugas. “Jangan membandingkan anak dan cucu. Cucu saya ibarat bunga yang cantik, dan saya tidak akan pernah bosan memandangnya,” katanya. Setelah menulis dan membaca tulisan dan melihat foto, tiba waktunya makan siang, yang dilakukannya di luar bersama seorang teman atau sendiri di rumah jika istrinya belum pulang dari gereja. Is dan istrinya bekerja di bank yang sama ketika mereka bertemu. Tahun ini, mereka merayakan ulang tahun pernikahan ke-40. “Istri saya bilang saya penganut patriarki,” kata Lee. “Mungkin karena saya bersikeras mengambil keputusan atas segala sesuatu di rumah.”

seni & budaya Korea 55


Lee dan istrinya membutuhkan rumah dengan empat kamar tidur. Ibu­ nya yang sudah menjanda tinggal di salah satu kamar tidur dan Lee juga perlu ruang lebih jika saudara dan keluarga lainnya menginap ketika mereka melakukan ritual menghormati leluhur. Sebe­lumnya, ia hanya mampu memiliki rumah yang jauh dari tetangga-tetangga lainnya. Bertahun-tahun kemudian, pasangan ini menjual rumahnya untuk membeli sebuah apartemen dengan empat kamar tidur. Mereka menghabiskan 10 tahun berhemat dan menabung untuk melunasinya. Lee punya tiga kakak perempuan, satu adik perempuan dan dua adik laki-laki. Punya banyak saudara kandung adalah ciri generasi baby boomer. Menjadi anak laki-laki tertua memaksanya menerapkan pola pikir patriarki, namun

ini bukan satu-satunya alasan keluhan istrinya. Agama Sikap Lee mengenai agama berbeda dari sikap istrinya. Ia menjelaskan, “Ketika istri saya mulai membicarakan yang terjadi di gereja, atau menggosip soal tetangga, saya tidak ingin dengar. Saya tidak tertarik. Saya sudah tinggal bersama istri saya selama 40 tahun, tapi saya tidak tahu banyak tentangnya, bahkan sampai sekarang. Kadang-kadang, ketika melihatnya sedang berdoa di gereja atau di rumah, saya merasa seperti sedang melihat orang asing.” Istrinya lahir sebagai pemeluk Katolik, tapi Lee baru dipabtis sebagai peng­ anut Katolik supaya bisa menikahinya. Nama baptis istrinya adalah Juliana, dan

1

nama baptis Lee adalah Augustinus. “Saya tidak berpikir bahwa agama adalah bagian penting dalam kehidupan,” kata Lee. “Kita tak seharusnya mengorbankan kehidupan sehari-hari demi agama. Bukankah lebih penting menjalani hidup dengan nilai-nilai baik?” Tampaknya Lee sudah menghabiskan banyak waktu berpikir mengenai agama dan kehidupan. Ia pernah menghabiskan tiga minggu tinggal di Kuil Woljeong di Gunung Odae di Propinsi Gangwon mengikuti sekolah untuk calon biara Buddha, dan ia juga melakukan retret sepuluh hari tanpa bicara di Rumah Retret Mary Ward di Okcheon, Propinsi Chungcheong Utara. “Bagi saya, Buddha tidak terasa sebagai sebuah agama dan lebih seperti rumah buat hati saya,” kata Lee. “Saya berharap bahwa tinggal di kuil Buddha akan benar-benar membebaaskan, tapi justru ada banyak hal yang tidak boleh Anda lakukan. Ini sangat mengejutkan.” Selama retret Jesuit, semua diam dan sehari sekali mereka ikut sesi konseling bersama salah satu biarawati. Sambil mengingat saat-saat itu, Lee mengatakan, “Suster menyuruh saya membuang keinginan saya bertemu Tuhan dan seba­ iknya menunggu isyarat saja, tapi saya tidak menyerah. Ketika pulang, saya berpikir, ‘Baiklah, saya akan datang lagi di lain waktu kalau ada kesempatan.’” S e l a i n p e m i k i r a n ny a m e n g e nai agama, Lee juga memiliki filosofi kehidupan masa tuanya di usia relatif muda. Ia menjalani “kehidupan yang memberi manfaat bagi orang lain, selain keluarga saya sendiri,” seperti Ernest, tokoh utama dalam cerita pendek

1. Setiap pagi Lee pergi ke pusat gukseondo di lingkungannya untuk berlatih menari dan pernapasan. Beberapa tahun yang lalu dia memperoleh sabuk hitam gukseondo. 2. Selama sembilan tahun, Lee menawarkan diri untuk mengajar administrasi bisnis di Beautiful Seodang.

56 Koreana MUSIM GUGUR 2018


Nathaniel Hawthorne berjudul “The Great Stone Face,” yang dipandangnya sebagai panutan ketika ia masih muda. Seperti The Great Stone Face Lee mengingat-ingat, “Pada tahun 2009, saya kebetulan membaca kalimat: ‘Anda ingin dikenang karena apa?’ ‘Jika Anda masih belum bisa menjawabnya sampai berusia 50 tahun, Anda sudah menyia-nyiakan hidup Anda.’ ‘Kita tidak akan membuat perbedaan jika tidak mengubah cara hidup kita.’ Saat itu saya teringat tokoh Ernest, dan saya sangat ingin membantu orang lain.” Suatu saat, ia bertemu Suh Jae-kyoung, direktur Beautiful Seodang, sebuah LSM nirlaba yang menangani pensiunan yang dijalankan oleh organisasi warga. Berkat rekomendasi Direktur Suh, Lee menjadi guru di Beautiful Seodang Young Leaders’ Academy (YLA), yang bertujuan membangun karakter, kapasitas dan semangat relawan di kalangan mahasiswa. Kelas-kelas YLA gratis, termasuk administrasi klasik dan bisnis, dan projek relawan. Pengajar di YLA adalah pensiunan dalam bidang jurnalisme, bisnis dan keuangan. Mereka tidak dibayar dan bahkan menggunakan uang mereka sendiri untuk mendukung kelas-kela itu. Lee memperkenalkan “The Great Stone Face” kepada siswanya. Baru-baru ini, setelah membaca buku petunjuk manajemen, muncul banyak pertanyaan yang mengingatkan Lee kepada Ernest. “Buku itu adalah The Essential Drucker karya Peter Drucker; yang membuat saya berpikir lagi. Saya ingin dikenang sebagai orang seperti apa?” katanya. “Dan saya menemukan jawabannya. Saya ingin dikenang sebagai ‘seseorang yang berusaha menjadi seperti Ernest.’” Ia melanjutkan, “Siswa zaman sekarang sudah kehilangan mimpi. Tekanan bisa punya pekerjaan sampingan jika mereka tidak berhasil bekerja kantoran

2

Ada yang masih ingin dilakukan: mengunjungi Afrika, impian sejak kecil; belajar sulap untuk menghibur orang lain. setelah lulus kuliah mengubur mimpi-mimpi mereka. Kasihan mereka.” Dalam bulan Juni tahun ini, Lee mengakhiri sembilan tahun stint sebagai guru di YLA. Ia berhenti mengajar karena pendengarannya yang makin melemah menjadi kendala dalam menyimak siswa-siswanya. Ia juga sering kali mengalami sakit tenggorokan dan suaranya hilang. Namun, berakhirnya pekerjaan mengajar ini bukanlah akhir dari aktivitasnya sebagai relawan. “Mulai sekarang saya akan melakukan pekerjaan yang tidak begitu melelahkan baik mental maupun fisik,” kata­nya. “Saya harus melakukan lebih ba­nyak projek relawan yang one-off, seperti membersihkan rumah atau memperbaiki sesuatu untuk orang yang membutuhkan bantuan.” Ia lahir di Mokpo, Propinsi Jeolla Selatan, dan lulus dari sekolah mene­ ngah atas bisnis dan kemudian bekerja di Seoul. Pada malam hari, ia ikut kuliah untuk memperoleh gelar. Saat itulah ia mendapati esai mengenai Ernest dari “The Great Stone Face” sebagai role model di majalah kampusnya. “Saya suka mimpinya yang seder-

hana. Saya suka dia bukan tokoh yang licik. Saya suka karena ia jujur. Ia sangat biasa. Saya suka karena punya pemikiran yang jernih,” kata Lee. Mahasiswa Abadi Jika Anda membaca buku esai Lee yang berjudul “Saya seorang Murid,” atau pernah bicara kepadanya, Anda akan berpikir ia adalah Ernest, bukan seseorang yang mencoba menirunya dalam kehidupan. Ini semua karena sifat­ nya yang membumi dan ia mengejar mimpinya yang sederhana. “Saya tidak pernah terlalu menyesal. Saya tidak menyesali sesuatu sampai bertahun-tahun. Saya tidak berhenti belajar dan mencoba menerapkan apa yang saya pelajari. Bahkan, jika saya meninggal besok pagi pun, saya merasa sudah menjalani hidup yang menyenagkan,” katanya. Selama 10 tahun ini, Lee memikirkan tentang “meninggal dengan tenang,” menulis surat wasiatnya dan menyatakan diri sebagai donor organ. Ia adalah baby boomer yang beruntung, tapi itu bukan suatu kebetulan. Ia memang menanam keberuntungan itu sendiri.

seni & budaya korea 57


HIBUrAN

Memulihkan Citra Menantu Perempuan Film dan program TV sering memasukkan konflik dan perselisihan antara ibu mertua dan menantu perempuan. Penggambaran yang berubah terhadap menantu perempuan di dunia hiburan mungkin tidak persis mencerminkan menantu perempuan dalam kehidupan nyata. Namun, jelas ke arah mana perubahan itu menuju. Jung Duk-hyun Kritikus Budaya Popular

P

ada awal tahun ini, hampir 20.000 penonton menonton film dokumenter “Myeoneuri: Istri Gila dari Anak Lelakiku”. Itu adalah kesuksesan komersial yang langka untuk film dokumenter tentang kehidupan sehari-hari, bukan politik atau peristiwa terkini. Tapi hal itu tidak mengherankan mengingat pujian yang diterima film ini di beberapa acara, termasuk Festival Film Internasional Jeonju, Festival Film Dokumenter Internasional DMZ dan Festival Film Dokumenter Internasional Chuncheon. Film ini menggambarkan perselisihan antara menantu perempuan dan mertua perempuan. Sebenarnya tema itu adalah tema yang sering muncul dalam teks budaya popular Korea. Oleh karena itu, orang-orang sudah jenuh dengan tema itu. Kemudian, para pemirsa melontarkan pandangan kritis atau keluhan, misalnya dengan berkata, “Memangnya tema yang sekuno itu masih berlaku?” atau “Mana mungkin masih ada

58 Koreana MUSIM GUGUR 2018

mertua sekejam itu pada zaman sekarang”, jika mereka melihat tokoh mertua perempuan yang menyusahkan menantu perempuan dalam sinetron. Dari kenyataan tersebut, muncullah sebuah pertanyaan, yaitu unsur apakah dari film itu yang menyentuh hati banyak orang? “Myeoneuri: Istri Gila dari Anak Lelakiku” (judul aslinya dalam Bahasa Korea adalah “Menantu Perempuan Kelas-B”) menekankan bahwa pikiran patriarkis masih berakar kuat dalam masyarakat Korea, maka para menantu perempuan dalam setiap rumah tangga masih mengalami kesulitan karena perselisihannya dengan mertua perempuan. Hal itu merupakan alasan mengapa Jin-yeong, tokoh utama dalam film itu dijadikan sebagai ‘menantu perempuan kelas-B.’ Sebenarnya dia bukan ‘menantu perempuan kelas-B’ pada awal kehidupan pernikahannya. Sejak mertua perempuannya berkata kepada Jin-yeong bahwa “Karena kamu sudah menjadi angggota keluargaku, kamu harus

mengikuti segala acara keluargaku,” dia mengurungkan niat ingin menjadi seorang menantu yang baik. Dia tersenyum dengan puas karena dia tidak berkunjung ke rumah mertua untuk merayakan hari Chuseok, sedangkan si mertua menangis karena tidak dikunjungi menantu pada hari raya. Semua cerita dalam film ini dinarasi dari perspektif Hobin, suami Jin-yeong, sekaligus sutradara film ini. Dia merasa tertekan karena selalu dikepit antara istri dan ibunya. Film ini tidak menyajikan cara pemecahan masalah itu, tetapi memaparkan mengapa para menantu perempuan mengorbankan diri supaya menjadi ‘menantu perempuan Kelas-A’ dan disayangi semua anggota keluarga dari pihak suaminya. Sebagaimana tersirat dalam judulnya, film ini memperlihatkan citra menantu perempuan alternatif, yang mengikuti perubahan zaman dan para penonton bersimpati pada apa yang disajikan film ini dari sudut pandang tersebut.


Sudut Pandang dari Pengamat <Perempuan di Dunia Aneh (Woman in Wonderland)>, sebuah reality TV show yang disajikan oleh MBC pada bulan April tahun ini memperlihatkan kehidupan sehari-hari seorang perempuan yang telah menikah dan tayangan itu mendapat banyak perhatian dari para pemirsa, kemudian menjadi acara televisi yang tetap. Acara televisi itu mendapat sorotan karena menampakkan ‘kehidupan yang aneh’ dalam tumah tangga Korea, yang tidak disadari oleh orang-orang secara nyata dengan menggunakan pengamatan kamera yang sedang menjadi tren di dunia televisi. Para tokoh menantu perempuan dalam acara televisi itu merasa terbebani ketika mengunjungi rumah mertua dan begitu tiba di rumah mertua, mereka langsung bergegas ke dapur untuk memasak dan cuci piring. Akan tetapi, para suami mereka tidak melakukan apa-apa dan hanya duduk di

depan televisi seolah-olah ada dinding yang tidak terlihat di antara ruang perempuan dan ruang laki-laki. Hal itu dianggap lazim karena dapat ditemukan di rumah tangga mana pun di Korea. Namun, dari sudut pandang pengamat, yaitu kamera yang dipasang di semua sudut di rumah itu, apa yang dilakukan para menantu perempuan tampak aneh dan abnormal. Mengapa hal-hal yang aneh dan abnormal terjadi di ‘negara yang bernama rumah mertua’? Pertama-tama hal itu bermula dari ungkapan ‘sudah menjadi anggota keluarga.’ Para mertua perempuan Korea sering mengatakan “kamu sudah menjadi anggota keluargaku karena kamu menikah dengan anak laki-lakiku” kepada menantu perempuan mereka. Ungkapan itu tidak hanya berarti sebagai sambutan hangat, tetapi juga paksaan karena menantu diberi tugas untuk mengurus segala hal baik yang besar maupun yang kecil dalam rumah tangga mertua. Salah satu tokoh dalam film ini menga-

takan, “Menantu laki-laki selalu disebut-sebut sebagai ‘tamu yang mesti dijunjung tinggi’, maka selayaknya menantu perempuan pun dapat diangggap sebagai tamu.” Dengan perkataannya itu, para pemirsa dapat menangkap alasan mengapa terasa tetrdapat hal-hal yang aneh dalam rumah mertua ketika mereka menonton acara televisi itu. Penggambaran yang Berubah Pada tahun 1972, ketika masyarakat Korea masih sangat patriarkal, pemirsa serial TV “Perjalanan (The Journey)” menangis saat melihat seorang ibu mertua dengan kasar memperlakukan menantu perempuannya, yang merawat dengan baik anak lelakinya yang cacat. Ibu mertua itu bahkan menuduh menantu perempuannya itu berzinah, yang membuat marah para menantu perempuan di seluruh negeri. Jenis plot sekarang memberi jalan kepada perubahan dramatis. Dalam drama komedi situasi “Tendangan Tinggi! (High Kick!)” misalnya, seorang wanita karier yang sukses menyusahkan ibu mertuanya. Sosok para menantu perempuan dalam drama memperlihatkan bahwa zaman telah berubah. Sekarang menantu perempuan Korea ingin berumah tangga secara mandiri dan menjaga jarak dengan rumah tangga mertuanya dan tidak harus menjadi anggota keluarga mertua. Perubahan yang seperti itu tidak terlepas dari pengaruh perubahan zaman, yaitu runtuhnya era familisme dan dimulainya era individualisme yang mengutamakan kebahagiaan diri sendiri. Tentu saja sosok menantu perempuan dalam teks budaya popular tidak selalu mencerminkan sosok nyata. Namun, setidaknya tampak jelas arah perubahan yang ditunjukkan oleh perspektif yang juga telah berubah. Kini, era menantu perempuan bukan lagi sebagai yang ‘objek yang termajinalkan,’ tetapi sebagai yang ‘subjek yang penuh kebanggaan diri’.

seni & budaya Korea 59


ESAI

Mengapa Unsur Korea Menarik untuk Dituliskan dalam Novel dan Cerpen? Sinta Yudisia Penulis, Psikolog, Anggota Dewan Pertimbangan FLP (Forum Lingkar Pena)

I

ndonesia dan Korea Selatan memiliki kemiripan dalam berbagai hal. Kedua negara menyatakan kemerdekaan pada Agustus 1945, dengan tanggal yang sedikit berbeda. Masyarakat Indonesia dan Korea menjadikan nasi sebagai salah satu bahan makanan pokok dan menyukai aroma pedas dalam berbagai masakan. Di bidang bahasa, baik Indonesia dan Korea memiliki ciri khas bangsa Timur yang memperhatikan tata krama : terdapat tingkatan bahasa untuk orang yang dituakan, dihormati dan disegani. Meski, di Indonesia, bahasa yang memiliki ciri khas tingkatan seperti itu terdapat pada bahasa daerah, contohnya bahasa Jawa. Kehidupan masyarakat Korea dengan segala ragam budayanya menjadi menarik untuk dipelajari khususnya bagi bangsa Indonesia, terlebih lagi bagi

60 Koreana MUSIM GUGUR 2018

anak muda yang haus informasi. Duapuluh tahun yang lalu, Indonesia hanya mengenal barat sebagai pemasok informasi budaya. Musik, lagu, buku, rata-rata berasal dari barat dan produk audio-visual didominasi pusat perfilman Hollywood. Sama sekali tak terbersit bahwa belahan dunia Timur se­perti Korea, memiliki budaya yang demikian mempesona. Dan, yang penting untuk digarisbawahi, Korea mampu menyajikan budaya itu dalam produk industri yang menarik dan disukai anak muda. Siapa pembawa pesan bagi dunia saat ini? Jawabannya : anak-anak muda. Cara makan, gaya berpakaian, cara berbicara, pola kehidupan sehari-hari dan makna filosofis yang dimiliki Korea menjadi hal yang mengejutkan bagi bangsa Indonesia. Padahal, apa yang ada dalam kehidupan warga Korea sesungguhnya juga dikenal


bangsa Indonesia. Sayangnya, kehidupan metropolis di kota-kota besar seperti Jakarta dan Surabaya, menyebabkan keluhuran budaya bangsa ikut meng­ uap. Menarik sekali, bila Korea dapat mengingatkan warga Indonesia untuk mencintai budaya bangsanya sendiri. Ada beberapa hal dalam budaya Korea yang dapat menjadi tulisan inspiratif bagi warga Indonesia dan dunia. Pertama, budaya makan. Nasi adalah makanan pokok Indonesia dan Korea. Memakan nasi, tidaklah berarti kita menjadi masyarakat kelas bawah yang jauh dari kehidupan modern. Masyarakat modern sering diidentikan dengan asupan daging dan roti. Membiasakan makan nasi dengan segala tata kramanya, berarti ikut mewujudkan kesejahteraan bagi masyarakat petani dan ikut menggerakkan roda perekonomian negara secara luas. Berbicara nasi berarti bicara petani, distributor, pedagang dan kebijakan pemerintah. Pola makan nasi yang menjadi kebiasaan masyarakat Indonesia dan Korea, saya tuliskan dalam cerita pendek Sejumput Nasi di Ujung Sumpit dan novel Sirius Seoul. Sejumput Nasi di Ujung Sumpit menceritakan bagaimana Indonesia dan Korea memperlakukan nasi sebagai makanan pokok. Sirius Seoul, yang menjadi novel sekuel dari Polaris Fukuoka, menceritakan seorang gadis remaja Indonesia yang sedang bertualang ke Seoul. Kebiasaannya untuk tetap makan nasi semoga menjadi pengingat bagi pembaca tentang akar budaya bangsa, termasuk kebiasaan makan. Kedua, cara berbahasa. Annyeong hasimnikka (안녕하십니까) dan annyeong haseyo (안녕하세요) menjadi kosa kata yang dipelajari masyarakat Indonesia ketika pertama kali ingin belajar bahasa Korea. Apa yang menarik dari ungkapan tersebut? Bagi masyarakat Indonesia yang masih sangat awam dengan bahasa Korea, akan menandai bahwa akhiran –ikka atau – ida menunjukkan penghormatan. Sedang akhiran –eyo menunjukkan kesetaraan. Sisipan kata-kata dari bahasa Korea akan kembali mengingatkan masyarakat Indonesia bahwa tingkatan bahasa bukan untuk menujukkan pengkastaan, tetapi untuk menunjukkan keluhuran budi. Yang muda

harus menghormati yang tua, sementara yang tua me­nyayangi yang muda. Ungkapan-ungkapan tersebut pun terkutip dalam novel Sirius Seoul. Ketiga, situs bersejarah. Korea sejauh ini sangat menghargai situs bersejarahnya. Bahkan, bangunan kuno dapat bersanding dengan bangunan baru tanpa harus merusak salah satunya. Budaya modern, terkadang harus menyingkirkan segala hal yang berbau tua, kuno dan tradisional. Kuil-kuil dan istana di Korea seperti Gye­ ongbokgung dan Deoksugung dapat tetap terpelihara; bersanding dengan pusat informasi, stasiun kereta dan museum. Bangunan stasiun yang mencerminkan kehidupan modern, dapat merusak cagar budaya. Tetapi Korea mampu menjaga situs bersejarahnya agar tetap langgeng bagi anak cucu mereka kelak. Keempat, asimilasi dengan budaya modern. Mempertahankan ciri khas budaya bangsa timur yang sarat nilai tradisional, bukan berarti menolak kemoderenan. Justru, Korea memperlihatkan bahwa budaya tradisional dapat dikawinkan dengan budaya modern. Transportasi menggunakan bis dan subway yang semuanya digerakkan dengan teknologi canggih, berpadu dengan kebiasaan masyarakat di dalam kereta atau bis untuk mempersilakan orang lanjut usia duduk lebih dahulu. Bukan hanya itu, produk kosmetik yang sedang mewabah di dunia –Nature Republic- yang dipopulerkan oleh boyband EXO; mengambil bahan dasar Korea yang telah dikenal lama sebagai bahan minuman : aloe vera. Coex building yang begitu digemari anak muda karena memiliki pusat SMTown yang melahirkan boyband dan girlband ternama, bersisian dengan kuil Bongeunsa yang megah dan khusyuk. Romantisme sungai Hangang yang telah tercipta selama ribuan tahun, memendam misteri kebesaran Tuhan dan dapat dinikmati sembari merenung di atas kereta api antara Dangsan dan Hapjeong. Bagi saya sebagai penulis; empat hal di atas dapat menjadi sumber inspirasi yang tiada habis sebagai bahan menulis novel, cerita pendek, esai, catatan perjalanan bahkan hanya sekedar mengunggah status di media sosial. Tidakkah Anda juga berpikir sama, bahwa banyak hal di Korea yang dapat menjadi kisah inspiratif untuk dibagikan kepada masyarakat dunia?

seni & budaya korea 61


GAYA HIDUP

Š Hanssem

DIY Desain Interior, Kegiatan di Waktu Luang yang Menyenangkan Do-it-yourself desain interior sangat populer, khususnya di kalangan generasi muda yang tinggal sendiri. Mereka menjadikan rumah sebagai ekspresi pribadi dan interpretasi mereka atas keindahan dan manfaat. Seong Jeong-a Direktur Konten Gaya Hidup

62 Koreana MUSIM GUGUR 2018

1


S

ebelumnya, publik di Korea kurang tertarik pada desain interior. Kegiatan ini dianggap sebagai pekerjaan mahal yang dilakukan oleh perancang profesional dan dikerjakan atas permintaan ibu-ibu rumah tangga kaya. Namun, kini mereka yang masih lajang adalah pelaku utama pekerjaan ini. Pekerjaan yang stabil dengan gaji tinggi sulit didapat oleh mereka yang berusia sekitar 20 sampai 30 tahunan. Bagi banyak orang, menikah dan membangun keluarga adalah sesuatu yang tidak mungkin. Mereka yang lajang dan punya pekerjaan yang mapan justru menunda perkawinan demi mengejar karir. Laki-laki dan perempuan lajang dan tinggal

sendiri di apartemen studio kecil mencari kebahagiaan dengan menghias dan mengisi rumah dengan barang-barang seperti tanaman dalam pot, lilin aromatik, sprei baru, dan furnitur siap pasang. Pendek kata, mereka melakukan dekorasi rumah “Do-It-Yourself”. Ide “DIY dekorasi rumah” yang dilakukan oleh mereka yang bukan pendekor profesional pertama kali muncul dalam buku yang ditulis oleh bloger, dengan buku petunjuk praktis, yang banyak diminati pembaca. Kemudian, pada tahun 2016, desain interior ini mengawali debut dalam acara TV yang mengangkat “orang biasa” yang suka mendekor ruangan menurut selera mereka, bukan menurut desainer interior professional dan arsitek.

1. Furnitur kecil multi-fungsi yang dapat diselipkan ke dalam ruang kecil memperoleh popularitas, berkat tren desain interior Do It Yourself yang sedang digemari mereka yang berusia 20-an dan 30-an.

Personalisasi Ruang Choi Go-yo, seorang tamu di acara televisi kabel “The Class of My Room” yang ditayangkan di tvN, mengatakan ia menghabiskan sekitar 799.100 won mengubah ruang selebar 50 meter persegi di rumah berusia 25 tahun menjadi tempat yang nyaman menyerupai café. Hasilnya luar biasa dan membuat penon-

2. Rak, gambar berbingkai dan tanaman kecil dapat mengubah suasana dengan mudah, membutuhkan sedikit uang atau usaha. Banyak anak muda membeli barang-barang seperti itu di situs belanja online, karena barang dapat dibandingkan dengan cepat.

© Choi Go-yo

2

ton takjub. Choi, seorang manajer ruang dan penulis buku Do You Live in a Place that You Like? mengatakan ia senang melihat publik mulai tertarik mendekor rumah. Ia juga menambahkan, “Saya mengubah ruangan sesuai selera saya sejak tinggal sendiri. Saya mengisi ruang selebar 20 meter di bagian atap gedung atau apartemen dengan dua kamar tidur dengan barang-barang favorit saya. Beberapa tahun lalu, mereka yang menyewa rumah dengan sistem jeonse (sistem sewa dengan deposit) berpikir bahwa ketika mereka melakukan perbaikan, mereka melakukannya untuk pemilik rumah, bukan demi mereka sendiri. Namun, kini persepsi itu sangat berbeda. Fenomena ini muncul berkat perubahan nilai bahwa mereka ingin menikmati kebahagiaan saat ini, bukan untuk masa yang akan datang.” Lee Ha-na, seorang mahasiswi, menikmati berbelanja secara online. Musim semi lalu, ia menciptakan atmosfer segar di kamar sewanya di semi-basemen dengan memasang rak gantung di dekat jendela dan meletakkan tanaman dalam pot di rak itu. “Saya menghabiskan sepuluh ribu won membeli rak dan tanaman itu. Barang-barang itu adalah hadiah buat diri saya sendiri,” katanya. “Membeli furnitur dan aksesori rumah kini menjadi kegiatan di waktu luang yang menyenangkan buat saya.” Ia menambahkan bahwa perlengkapan DIY itu bisa dibelinya dengan cara tidak minum kopi atau menabung dari uang saku. Kegiatan Baru di Waktu Luang Kim Hoon, pekerja kantor yang membeli rumah di pusat kota Seoul, adalah seorang penyuka DIY yang senang mengumpulkan ide dan memamerkan hasilnya. Melalui pencarian gambar ruangan dan rumah di Instagram, ia mendapatkan informasi mengenai model dan merek furnitur. Ia mengunggah foto

seni & budaya korea 63


“Anda pasti merasa bahagia setelah sukses mendekorasi ruangan dengan tangan Anda sendiri. Namun, Anda perlu tahu apa yang Anda sukai sebelum mendekorasi ruangan. Anda juga perlu lebih mengenal diri sendiri sebelum melakukannya.” kamar tidur setelah mengecatnya dengan warna baru dan menggantung beberapa lukisan. Ia pun sangat senang dengan begitu banyak “like” yang diterimanya. Dengan hobi yang sama, mereka yang berusia 20 hingga 30 tahunan sering kali saling membagikan foto di Instagram menggunakan tanda pagar #jipstagram, dan membentuk komunitas online (jip artinya “tempat tinggal” atau “rumah”). Lebih dari dua juta gambar akan muncul di layar ketika kita mencarinya dengan tanda pagar #jipstagram di Instagram. Pencarian untuk #selfinterior menghasilkan ratusan ribu gambar

interior yang baru didekorasi. “House of Today,” sebuah aplikasi mobile untuk contoh desain yang cepat dan komprehensif, juga populer di kalangan para menggemar DIY. Dengan komunitas yang memungkinkan adanya tukar pendapat, aplikasi ini sangat dikenal di kalangan anak-anak muda. Reporter Shin Jin-soo dari majalah desain interior Maison Marie Claire Korea, mengaitkan kegilaan terhadap DIY ini dengan berkembangnya media sosial. Ia mengatakan, “Publik mulai tertarik dalam dekorasi interior do-it-yourself lima tahun lalu. Namun, baru

benar-benar mencapai puncaknya sekitar dua tahun lalu. Jelas sekali media sosial dan aplikasi mobile berperan dalam menyebarkan wabah ini. Gambar-gambar menarik di Instagram atau Pinterest bisa diakses oleh semua orang. Semacam permainan atau kegiatan di waktu luang yang menyenangkan bagi generasi muda.” “Saya tidak menganggapnya trend sesaat, tapi lebih merupakan sebuah perubahan positif dalam gaya hidup. Anda pasti merasa bahagia setelah mendekorasi ruangan dengan tangan Anda sendiri. Namun, Anda perlu tahu apa yang Anda sukai sebelum mendekorasi ruangan. Anda juga perlu lebih mengenal diri sendiri sebelum melakukannya. Desain interior do-it-yourself merupakan kesempatan bagi Anda untuk mengenal diri Anda sendiri lebih dalam.” Dekorasi interior do-it-yourself menjadi sangat populer karena mudah bagi semua orang membeli bahan-bahan untuk menciptakan beragam gaya meski mereka tidak punya pengetahuan profesional atau cita rasa estetika. Sangat mungkin menciptakan desain unik dan individual dengan merangkai furnitur siap pasang.

1. Seorang wanita muda mencoba menyempurnakan tekniknya di kelas melukis Home & Tones. Semakin banyak perusahaan yang menawarkan program perancangan interior DIY untuk pelanggan yang mencari kebahagiaan dalam mendekorasi ruang mereka sendiri.

© Home & Tones

64 Koreana MUSIM GUGUR 2018

1

2. Bagian dalam rumah multipleks Choi Goyo, pengelola ruang, telah dihiasi. Dia hanya menghabiskan sekitar 800.000 won untuk mengubah rumahnya.


“Makin mudah membeli bahan-bahan seperti cat, furnitur dan aksesori rumah, karena pasar desain interior do-it-yourself ini makin berkembang,” kata Lee Eun-kyung, seornag editor desain interior. “Industri ini terbagi menjadi beberapa segmen.” Ia juga menambahkan, “Beberapa bahan desain interior yang dijual di pasar sangat menarik. Bahan-bahan itu termasuk pelapis dinding yang mudah dipasang dan plastik beragam warna yang dapat dengan mudah Anda pakai ketika Anda mengganti warna bak cuci atau furnitur dapur. Beberapa perusahaam kayu juga memotong kayu dengan ukur­ an sesuai kebutuhan Anda. Bahan-bahan ini bisa dibeli online dan dikirim dengan cepat. Belanja online sangat mudah bagi semua orang .” Strategi Pemasaran Ti d a k d i r a g u k a n l a g i , I K E A memainkan peran penting dalam meng­ ubah persepsi dalam DIY. Perusahaan global ini membuka toko pertamanya di Korea pada tahun 2014, dan segera mendapatkan tempat di hati konsumen Korea dalam waktu singkat dengan “warrna-warna cantik, desain yang sangat beragam, dan harga murah,” dan mendobrak stereotip furnitur rumah yang berat dan membosankan. Brand gaya hidup global pun ikut ambil bagian dengan harga yang terjangkau. Perusahaan-perusahaan Korea lain juga ikut meramaikan trend pasar ini. Hanssem, sebuah perusahaan desain interior Korea, secara khusus mengembangkan furnitur multiguna kecil dan produk-produk DIY untuk rumah tangga kecil. Samhwa Paint juga membuka toko bernama Home & Tones. Perusahaan ini mengirimkan wakilnya ke pameran, eksibisi dan sesi pelayanan konsumen untuk memberikan tip DIY kepada konsumen seperti pengecatan furnitur dan solusi-solusi interior. Produk-produk Samhwa tersedia dalam beragam jenis

2

— cat yang mengubah dinding menjadi papan magnetik dekoratif, cat berwarna cerah, dan cat yang bisa menciptakan atmosfer vintage — sesuai dengan permukaan dinding, kertas pelapis dinding, atau furniturnya. “Dulu, sebagian besar pembeli cat adalah desainer interior professional atau perusahaan. Namun, kini sebagian besar konsumennya adalah individu yang membeli cat-cat itu dalam jumlah kecil,” kata Yang Soo-hyuk dari tim pemasaran Home & Tones. “Zaman sekarang konsumen punya pengetahuan luas dan ingin ambil

© Choi Go-yo

bagian dalam mendekor ruangannya. Trend lain yang menonjol adalah ketika mereka membeli cat, mereka lebih tertarik pada sesuatu yang ramah lingkung­ an dan nyaman, bukan sekedar warna atau gaya,” tambahnya. Dengan naiknya permintaan di retail, atau konsumen individu, perusaahaan yang sebelumnya fokus pada pemasaran grosir mencoba mendekati konsumen individu ini. Misalnya, moongori.com, sebuah toko DIY, menciptakan sistem yang ramah konsumen dengan menawarkan cara pembelian onestop shopping.

seni & budaya korea 65


PERJALANAN KESUSASTRAAN KOREA

KRITIK

Obat apa yang diperlukan perempuan itu? Oh Hyun-jong, sastrawati kelahiran 1973 ini, memintal jalinan ceritanya yang menarik dalam beragam genre, seperti kisah romansa, spionase, dan seni bela diri, dengan kekuatan imajinasinya yang jenius. Dalam memasuki wilayah genre yang berbeda, ia telah mencatatkan namanya sebagai sastrawan yang berhasil memperluas cakrawala fiksi Korea. Pada saat yang sama, kisah-kisah yang disampaikannya selalu memiliki pandangan yang tajam terhadap problem kejiwaan manusia. Choi Jae-bong Reporter, The Hankyoreh

O

h Hyun-jong mengawali debut sastranya pada tahun 1999, ketika cerita pendeknya “Kecanduan” memperoleh penghargaan bulanan penulis baru Munhak Sasang (Sastra dan Gagasan). Selama dua dekade terakhir sebagai penulis, ia telah menerbitkan enam novel dan tiga antologi cerpen. Mengingat sejumlah karyanya, wajarlah jika ia, setidaknya, mendapat satu atau dua penghargaan sastra. Meski begitu, tak satu pun dari banyak penghargaan sastra tahunan yang datang kepadanya. Tentu saja hal itu bukan karena bakat sastranya, melainkan realitas zaman­ nya seperti menuntut penghargaan menghasilkan penghargaan dan mereka yang diabaikan tetap terus-menerus berada dalam keadaan begitu. Namun, Oh tak peduli. Ia terus menulis de­­ngan kiprahnya sendiri; dan ia telah menunjukkan bakatnya yang luar biasa. Tema yang diangkat dalam novel-novel Oh, cukup bera­ gam. Novel-novel yang awal cenderung bersifat otobiografis. Novel pertamanya, You’re a Witch, misalnya, menggambarkan perkembangan cinta yang tumbuh perlahan antara seorang penulis berusia 30-an dan seorang mahasiswa pascasarjana. Novel masa depan, Time Spent Learning Languages, menjelajahi kebenaran, pencarian, dan frustrasi para siswa di sekolah menengah bahasa asing, dan Divine Snobs, menceritakan perjuangan seorang mahasiswi yang berkencan dan membuat terobosan di tengah masyarakat. Semua peristiwa itu tampaknya berasal dari kehidupan pengarangnya sendiri.

66 Koreana MUSIM GUGUR 2018

Beberapa penulis lain, meskipun mereka juga terampil dalam mengubah pengalaman dan pemikiran menjadi fiksi, akhirnya berjuang untuk melepaskan diri dari materi otobiografi. Dalam banyak kasus, masalahnya adalah kurangnya imajinasi dan bakat. Tidak demikian halnya dengan Oh Hyun-jong; ia mahir menciptakan narasi di luar penceritaan otobiografi. Novel panjangnya yang kedua, Petualangan Mimi Si Gadis Bond (2007) adalah semacam rekonstruksi ulang yang mendasar kisah film detektif “007” yang diolah dari perspektif feminis. Seperti juga dalam film-film James Bond, novel Oh menggambarkan James Bond sebagai kemasan yang memancarkan daya tarik seks, tetapi tidak seperti dalam film, di mana gadis Bond hanya memainkan peran pendukung untuk menyoroti maskulinitas Bond, Mimi justru proaktif dan ketokohannya sangat kuat. Di bagian pertama novel, Mimi merindukan Bond dan mengejarnya, tetapi Bond memanfaatkan tugas dan misinya sebagai perisai untuk mendorongnya pergi. Setelah melacak keberadaan Bond, di bagian akhir cerita, Mimi berubah menjadi mata-mata dengan nama sandi “013.” Itulah misi untuk memecahkan masalah yang disebabkan arogansi Bond dan ketidakmampuan menyelamatkan organisasi dari lubang bahaya. Oleh karena itu, sebagai mata-mata, 013 mengalahkan 007. Manis dan Dingin (2013), novel kelima Oh, menceritakan kisah yang sama sekali berbeda. Novel ini dapat diringkas sebagai “ritus brutal bagian cerita” di mana seorang pemuda tidak menolak jadi pembunuh untuk perempuan yang dicintain-


ya, dan dalam prosesnya, ia berhadapan langsung dengan kebenaran kegelapan kemanusiaan. Dalam karya ini, Oh tidak lagi mengandalkan pengalaman pribadinya sendiriatau mengambil budaya metaforik, melainkan berhasil menghadirkan persepsi dunia dan realisasi karakter yang sepenuhnya fiktif. Novelnya yang keenam, Pedang Pembunuh pada Harihari Panjang yang Hilang (2015), menunjukkan karakteristik yang benar-benar berbeda, tidak hanya menyangkut tema dan isi cerita, tetapi juga dalam hal gaya prosais, yang dengan fasih menunjukkan kepiawaiannya sebagai penulis. Sementara dalam Petualangan Mimi Si Gadis Bond, Oh melakukan reinterpretasi dan transformasi film seri blockbuster. Novel ini mencoba menurunkan kisah yang melampaui fiksi seni bela diri tradisional Asia Timur dengan cara modern. Cerita pendek, “Sebuah Sejarah Obat,” yang disajikan di sini, termasuk dalam antologi cerita pendek Oh, Aku Itu Raja dan Badut Sekaligus, yang diterbitkan Munhak Dongne (Komunitas Sastra), 2017. Buku ini berisi delapan cerpen yang menuntut kontemplasi serius dalam mengeksplorasi status dan peran penulis di dunia saat ini. Seseorang yang menjadi raja dan kemudian juga badut dalam satu cerita tidak lain adalah penulis. Dalam kisah otobiografi “Di Busan,” yang termasuk dalam buku ini, tokoh utama, mengingatkan pada penulisnya sendiri, memberitahukan bahwa “usia novel sudah lama hilang” oleh seorang wanita setengah baya yang bekerja di bidang penyiaran dalampertemuan pertama. Dalam “Membaca Daftar Keluarga,” adegan yang menggambarkan para pegawai atau karyawan agen visa,bereaksi masam terhadap status protagonis yang tak stabil sebagai no­­ velis menggemakan episode dari cerpen “Di Busan.” Namun, dalam cerita ini, tokoh utama yang merenung sambil melihat-lihat nama, tanggal lahir, dan kematian leluhurnya dalam daf­ tar keluarga, seperti sebuah paradoks. Garis, “pertemuan pertama dan perpisahan, kesepian dan ketakutan,tidak dicatat dalam dokumen resmi,” tampaknya mengungkapkan kebanggaan dan keyakinan dalam fiksi yang dapat merekam hal-hal seperti itu. Dalam catatan pengarang di akhir buku, Oh Hyun-jong berkata, “Bahkan, jika takdirku, sebagai raja dalam tragedi atau badut dalam komedi, ditentukan oleh lemparan dadu dalam permainan sore sebagai pengisi waktu, itu pun tetaplah bagus. Peran apa pun yang harus kuambil sekarang, kupikir, aku dapat mengabdikan diri untuk itu.” Solilokui ini tampaknya didasarkan pada kebangkitan dan keyakinan identitas Oh sebagai novelis. “Sebuah Sejarah Obat” tidak terkait dengan metapikirantentang fiksi atau sastra. Ceritanya berpusat pada romansa antara mahasiswa pascasarjana berusia akhir dua puluhan yang sedang studi sastra Inggris dan mahasiswa kedokteran oriental. Cara hubungan di sekitar lingkaran keduanya ini berada di satu tempat di antara teman dan kekasih, dan tidak pernah berkem-

© Lee Cheon-hui

“Bahkan, jika takdirku, sebagai raja dalam tragedi atau badut dalam komedi, ditentukan oleh lemparan dadu dalam permainan sore sebagai pengisi waktu, itu pun tetaplah bagus.” bang, tetapi pada saat yang sama, tidak juga terputus yang mengingatkan pada novel pertama Oh, You’re a Witch. Seperti judulnya, “Sebuah Sejarah Obat,” Oh memperkenalkan semua jenis obat yang diambil protagonis sepanjang hidupnya. Tokoh utama, mendekati usia tiga puluh tahun, mengidap batuk kronis sangat lama hingga batuknya terdengar seperti gonggongan anjing liar. Dalam kondisi itu, Seob, mahasiswa kedokteran oriental itu, membuat resep obat yang dia bisa, tetapi gejala protagonis tidak menunjukkan tanda-tanda baik. Sedikit demi sedikit, pembaca menyadari bahwa hal tersebut bukan karena Seob kurang terampil. Meskipun keduanya telah lama saling mengenal, mereka “tidak pernah berpegangan tangan,” dan karena itu, protagonis menyadari bahwa “jarak yang tepat antara kita sedekat yang akan kita dapatkan.” Ketika tiba-tiba mahasiswi sastra Inggris itu mendapat panggilan telepon dari Seob yang memintanya keluar untuk makan malam karena dia menemukan tempat pembuat sup kimchi yang baik, tokoh utama, justru merasa seperti sudah beranjak tua. Ia berpikir, “Aku bahkan lebih lelah dari kedinginanku sendiri yang tidak akan hilang.” Di akhir cerita, dia berkata pada Seob, “Aku perlu obat,” lalu dia menangis. Sangat jelas bagi pembaca bahwa obat yang dimaksud bukanlah obat tradisional Korea yang diracik Seob atau obat Barat yang dijual di apotek. Seob tampaknya juga sadar, karena dia tidak menutup teleponnya, tetapi hanya mendengarkannya menangis, tanpa kata.

seni & budaya korea 67


Informasi Berlangganan

Cara Berlangganan Biaya Berlangganan

Isi formulir berlangganan di website (www.koreana.or.kr > Langganan) dan klik tombol “Kirim.� Anda akan menerima faktur dengan informasi pembayaran melalui E-mail.

Daerah

Biaya Berlangganan (Termasuk ongkos kirim melalui udara)

Edisi lama per eksemplar*

Korea

1 tahun

25,000 won

6,000 won

2 tahun

50,000 won

3 tahun

75,000 won

1 tahun

US$45

2 tahun

US$81

3 tahun

US$108

1 tahun

US$50

2 tahun

US$90

3 tahun

US$120

1 tahun

US$55

2 tahun

US$99

3 tahun

US$132

1 tahun

US$60

2 tahun

US$108

3 tahun

US$144

Asia Timur

1

Asia Tenggara dsb

2

Eropa dan Amerika Utara 3

Afrika dan Amerika Selatan 4

US$9

* Pemesanan edisi lama ditambah ongkos kirim. 1 asia Timur(Cina, Hong Kong, Jepang, Makau, dan Taiwan) 2 asia Tenggara(brunei, Filipina, indonesia, Kamboja, Laos, Malaysia, Myanmar, singapura, Thailand, Timor Leste, Vietnam,) dan Mongolia. 3 eropa(termasuk russia and Cis), Timur Tengah, amerika utara, oseania, dan asia selatan (afghanistan, bangladesh, bhutan, india, Maldives, nepal, Pakistan, dan sri Lanka) 4 afrika, amerika selatan/sentral (termasuk indies barat), dan Kepulauan Pasifik selatan

Mari bergabung dengan mailing list kami

Jadilah orang pertama yang mengetahui isu terbaru; maka daftarkan diri Anda pada Koreana web magazine dengan cara mengirimkan nama dan alamat e-mail Anda ke koreana@kf.or.kr

Tanggapan Pembaca

Tanggapan atau pemikiran Anda akan membantu kami meningkatkan daya tarik Koreana. Kirimkan komentar dan saran Anda melalui E-mail ke koreana@kf.or.kr.

80 Koreana MUSIM GUGUR 2018

* selain melalui majalah web, konten Koreana tersedia melalui layanan e-book untuk perangkat mobile (apple i-books, Google books, dan amazon)


A JournAl of the eAst AsiA foundAtion

We Help Asia Speak to the World and the World Speak to Asia. In our latest issue:

Where Asia’s Military Modernization Is Headed Learn more and subscribe to our print or online editions at www.globalasia.org

ASiAn ArmS for peAce or peril? eSSAYS bY

plUS

Joel Wuthnow & Phillip C. Saunders; Dipankar Banerjee; Noboru Yamaguchi; Sam Bateman; Seung-chan Boo; Evan A. Laksmana; Peter Hayes; Andrey Gubin; Richard Tanter

John feffer Fiddling in the Face of Floods: Climate Change and Asia’s Coastal Cities

cAn the development bAnkS pUt rivAlrY ASide?

raymund Jose g. Quilop Co-operation by Indonesia, Malaysia and the Philippines: Temper Expectations

ADB, World Bank, AIIB and NDB: It needn’t be old vs. new, say Ramon Pacheco Pardo and Pradumna B. Rana in focUS: north koreAn denUcleArizAtion

New summitry brings hopes, but old fears persist

rupakjyoti borah India and Trump: A New Symphony

chan chak-ming The Rule of Law in Hong Kong Is Robust book reviews by Nayan Chanda, Taehwan Kim, John Nilsson-Wright and John Delury

US$15.00 W15,000 | WWW.globAlASiA.org | volUme 13, nUmber 1, Spring 2018 A JoUrnAl of the eASt ASiA foUndAtion A Ation

Asia’s Arms Race

Where the Region’s Military Modernization Is Headed

News, archives and analysis

at www.globalasia.org

Have you tried our Magster digital edition? Read on any device. Issues just $5.99 each or $19.99 per year. Download Magzter’s free app or go to www.magzter.com seni & budaya Korea 81


82 Koreana MUSIM GUGUR 2018


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.