2019 Koreana Spring(Indonesian)

Page 1

MUSIM SEMI 2019

Seni & Budaya Korea

FiTur KHuSuS

Korea Modern

Warisan Kecerdasan sastrawan Modern Korea; Kesadaran Perempuan: Cahaya dan Kegelapan; Musik Pop: Mekar di Tengah Keputusasaan; Masa Pencerahan dan seratus Tahun Kemudian

Jalan Menuju Modernitas

korea di awal abad ke-20

vol. 8 No. 1

2287-5565 seni & budaya ISSN Korea 39


CITRA KOREA

Menyambut Musim Semi Kim Hwa-young

Kritikus sastra; Anggota Akademi Seni Nasional

1 Koreana Musim Semi 2019


H Š NewsBank

eung dan han merupakan konsep yang paling umum digunakan untuk menggambarkan pe­rilaku orang Korea. Yang pertama mengacu pada sukacita hidup dan dorongan untuk bermain ketika energi duniawi dan manusia berseberangan; yang terakhir adalah emosi terpendam yang berasal dari masalah yang tidak terselesaikan. Manifestasi khas heung adalah menikmati bunga musim semi awal. Ketika Maret tiba, orang-orang yang gelisah dengan tidak sabar melihat ke luar jendela. Tidak sampai akhir bulan kabar tentang bunga musim semi yang dimulai di Pulau Jeju tiba. Kemudian, jumlah kereta api selatan dan bus meningkat, dan jiwa-jiwa yang gelisah mulai membuat rencana perjalanan. Bunga musim semi yang paling populer di kalangan orang Korea adalah bunga sakura merah muda (beotkkot), diikuti oleh bunga plum putih (maehwa) dan bunga cherry cornelian kuning (yuchae). Festival bunga musim semi dimulai di Desa Maehwa di Gwangyang, Provinsi Jeolla Selatan. Rumpun bunga plum putih cemerlang menyelimuti desa-desa di sepanjang tepi Sungai Seomjin menyaji­ kan pemandangan indah yang menarik lebih dari satu juta pengunjung setiap tahun. Namun, acara utama adalah Festival Bunga Sakura Jinhae pada awal April. Festival ini dimulai pada 1960-an. Pohon ceri menghiasi Jinhae selama pemerintahan Jepang. Pohon-pohon di sekitar pangkalan angkatan laut dimusnahkan setelah kemerdekaan, tetapi pohon-pohon di dalam pangkalan itu dibiarkan tak tersentuh dan terus tumbuh. Ketika kemudian ditemukan bahwa pohon ceri Jinhae bukan spesies Jepang tetapi bunga ceri Korea dari Pulau Jeju, sebuah gerakan mulai memulihkan pohon-pohon itu. Setiap musim semi, Jinhae dipenuhi bunga sakura yang menghujani kerumunan pengunjung dengan kelopaknya. Pesaing Jinhae adalah jalan sepanjang empat kilometer yang dikelilingi oleh lebih dari seribu pohon ceri di Hwagae, di Provinsi Gyeongsang Selatan. Pohon-pohon ditanam di kedua sisi jalan yang dibangun pada 1930-an untuk menghubungkan Pasar Hwagae dan Kuil Ssangye. Penduduk kota yang tidak mampu melakukan perjalanan tetap dapat menikmati musim semi. Seoul dan semua kota besar di seluruh negeri itu harum dengan aroma bunga setiap musim semi. Beberapa lokasi musim semi yang paling terkenal adalah Yunjung-ro di Yeouido dan Danau Seokchon di Seoul, Danau Bomun di Gyeongju, Kabupaten Gurye di kaki Gunung Jiri, dan Dalmaji (Salam Bulan) di Pantai Haeundae di Busan. Sayangnya, musim semi di Korea cepat berlalu. Pada pertengahan April, hawa panas musim panas mulai terasa membuat orang merindukan cuaca sejuk lagi. Ketika para turis pergi setelah menikmati musim semi, menyisakan tumpukan sampah. Kenangan yang tak terlupakan dari musim semi bagaikan pintalan han yang tertinggal di udara.


Dari Redaksi

Pemimpin Umum

Lee Sihyung

Bunga Musim Semi di Korea Modern

Direktur Editorial

Kim Seong-in

Pemimpin Redaksi

Koh Young Hun

Menurut Kweather (Jasa Layanan Prakiraan Cuaca) tahun ini bunga musim semi diperkirakan akan mekar lebih awal dibandingkan tahun lalu. Bunga musim semi diperkirakan mulai bermekaran pada akhir Februari hingga pertengahan Maret. Forsythia akan menunjukkan keindahan di Jejudo sekitar 11 Maret dan meluas ke Busan, Yeosu, Gwangju, Daegu dan daerah selatan lainnya pada tanggal 12-23 Maret. dan akhirnya mencapai Seoul, Incheon, Daejeon, dan wilayah lainnya pada tanggal 22-31 Maret. Sedangkan, azalea, diperkirakan akan bermekaran di pulau Jeju sekitar 15 Maret dan naik ke wilayah selatan pada tanggal 22-27 Maret, dan mencapai wilayah tengah pada tanggal 24 Maret - 2 April. Itulah rona keindahan Korea di musim semi. Keindahan alami ini menjadi semakin cantik ketika bersenyawa dengan lanskap Korea yang modern. Bunga musim semi tidak hanya dijumpai wilayah pegunungan, namun juga ditemukan di distrik perkotaan. Cobalah berjalan-jalan di Yeouido Road, Kyunghee University, Everland, dan sebagainya. Bunga-bunga musim semi bermekaran di tengah-tengah kota-kota Korea yang modern. Sungguh luar biasa. Modernitas sudah lama terjadi di Korea Selatan. Modernitas merambah semua sektor kehidupan: busana, tata rambut para perempuan muda, arsitektur, teknologi, transportasi, film, musik, seni sastra, seni lukis, dan sebagai­ nya. Hanya saja modernitas di Korea Selatan tidak lalu meninggalkan nilainilai adiluhung para nenek moyang, tetap merawat semua peninggalan masa lalu. Jadilah Korea Negara modern, namun tetap klasik; maju namun masih merawat nilai-nilai kebajikan yang dimiliki. Tentang modernitas Korea ini diangkat sebagai fitur khusus dalam Koreana Edisi Musim Semi 2019. Selamat membaca terbitan kali ini. Mari kita jelajahi Korea yang modern, tanpa lupa tetap menjunjung tinggi peradaban masa lalu.

Dewan Redaksi

Han Kyung-koo

Benjamin Joinau

Jung Duk-hyun

Kim Hwa-young

Kim Young-na

Koh Mi-seok

Charles La Shure

Song Hye-jin

Song Young-man

Yoon Se-young

Direktur Kreatif

Kim Sam

Editor

Ji Geun-hwa, Noh Yoon-young

PENATA aRTISTIK

Kim Ji Yeon

Desainer

Kim Eun-hye, Kim Nam-hyung,

Yeob Lan-kyeong

Tim Penerjemah

Koh Young Hun

Kim Jang Gyem

Evelyn Yang

Lee Yeon

Koh Young Hun Pemimpin Redaksi Koreana Edisi Bahasa Indonesia

Shin Soyoung

Lee Eun Kyung

Penyunting

Tengsoe Tjahjono

Penata Letak

Kim’s Communication Associates

dan Desain

44 Yanghwa-ro 7-gil, Mapo-gu

Seoul 04035, Korea

www.gegd.co.kr

Tel: 82-2-335-4741

Fax: 82-2-335-4743

Harga majalah Koreana per-eksemplar di Korea W6.000. Di negara lain US$9. Silakan lihat Koreana halaman 84 untuk berlangganan.

Percetakan Edisi Musim SEMI 2019

seni & budaya korea Musim Semi 2019

Samsung Moonwha Printing Co. 10 Achasan-ro 11-gil, Seongdong-gu, Seoul 04796, Korea Tel: 82-2-468-0361/5

Diterbitkan empat kali setahun oleh The Korea Foundation 55 Sinjung-ro, Seogwipo-si, Jeju-do 63565, Korea http://www.koreana.or.kr

© The Korea Foundation 2019 Pendapat penulis atau pengarang dalam majalah ini tidak haurs selalu mencerminkan pendapat editor atau pihak Korea Foundation. Majalah Koreana ini sudah terdaftar di Kementerian Budaya, Olahraga, dan Pariwisata(No. Pendaftaran Ba 1033, 8 Agustus 1987), Korea sebagai majalah triwulanan, dan diterbitkan juga

“Istana Deoksu” Kim Bom 2010, Akrilik di atas kanvas, 162 x 130 cm

dalam bahasa Inggris, Cina, Prancis, Spanyol, Arab, Rusia, Jepang, dan Jerman.


fitUr khUsUs

jalan menuju modernitas: korea di awal abad ke-20 04

FITUR KHUSUS 1

Warisan Kecerdasan Sastrawan Modern Korea Song Sok-ze

12

FITUR KHUSUS 2

Kesadaran Perempuan: Cahaya dan Kegelapan

18

FITUR KHUSUS 3

Musik Pop: Mekar di Tengah Keputusasaan Chang Yu-jeong

22

FITUR KHUSUS 4

Kim Chi-young

Masa Pencerahan dan Seratus Tahun Kemudian

26

50

FOKUS

Jung Duk-hyun

KISAH DUA KOREA

60

HIBURAN

Perjalanan Waktu dalam Kamus

Rencana Merajut Unifikasi Secara Indah

Hong Sung-ho

Kim Hak-soon

Jung Duk-hyun

32

54

62

WAWANCARA

Dalparan: Sukses Berkat Nada yang Berbeda Lim Hee-yun

38

BUKU DAN LAINNYA

‘Penari Pengadilan’

Novel mengenai Perempuan Korea Pertama di Paris

‘Kami, Hari demi Hari’ JATUH CINTA PADA KOREA

Jawaban Pemuda Turki pada Tangisan Haegeum

Puisi untuk Pengalaman Sensual di Luar Interpretasi

‘KoreanLit’ (www.koreanlit.com)

Choi Sung-jin

Website Membawa Sastra Modern Korea pada Dunia Charles La Shure

42

56

DI ATAS JALAN

Napak Tilas Jejak Raja Jeongjo ke ‘Benteng Brilian’ Lee Chang-guy

SATU HARI BIASA

Menjadi Tukang Sol Sepatu di Seoul Kim Heung-sook

Zombi Lahir Kembali di Korea

ESAI

Meminjam Mata Koreana Ummu Hani Abu Hassan

64

KISAH RAMUAN

Cita Rasa dan Nutrisi Rumput Laut Jeong Jae-hoon

68

PERJALANAN KESUSASTRAAN KOREA

Antara Ketakutan dan Pesona Tulisan Choi Jae-bong

Ketika Kuas Menebas Kim Deok-hee


FITUR KHUSUS 1

Jalan Menuju Modernitas: Korea di Awal Abad Ke-20

Warisan Kecerdasan Sastrawan Modern Korea Modernitas di Korea sebagian besar tumpang tindih dengan penjajahan kolonial. Era modern merupakan masa yang sangat sulit bagi para sastrawan dan seniman negeri ini, yang sering mendapati diri mereka berada di barisan depan perubahan sosial-budaya. Karena menghadapi persoalan kemiskinan dan penyakit, mereka berjuang untuk bersaksi tentang masa-masa sulit dengan cara mereka sendiri. Song Sok-ze Novelis

1 1. Kim Yu-jeong melakukan debut sastranya pada tahun 1933 dengan cerita pendek “A Rainy Spell.” Kisahnya yang berlatar desa kaya akan humor dan sindiran. 2. Park Nok-ju (1906–1979) merilis album pansori pertamanya pada tahun 1924 melalui Columbia Records, yang diikuti oleh sejumlah album lain dengan beragam label. Dia digandrungi oleh novelis Kim Yu-jeong. 3. Yi Sang memulai karirnya sebagai arsitek setelah lulus dari SMA Teknik Gyeongseong pada tahun 1929, dan pada tahun berikutnya menerbitkan novel pertamanya “12 Desember.” Puisi dan ceritanya ditandai oleh refleksi diri. 4. Park Tae-won memulai debutnya pada tahun 1926 dengan puisinya “Sister Elder.” Meskipun ia mulai sebagai penyair, dari tahun 1930-an ia fokus pada fiksi. Dalam foto itu Park memiliki potongan rambut pageboy pendek.

4 Koreana Musim Semi 2019


2

3

4

seni & budaya korea 5


S

elalu ada urat nadi emas yang menghubungkan lelucon dan sindiran dalam tradisi dan budaya Korea. Kim Yoo-jung (1908-1937), adalah seorang novelis yang menjadi urat nadi emas tersebut untuk periode sastra modern. Ia lahir sebagai anak ketujuh dari delapan bersaudara dalam sebuah keluarga pemilik tanah yang kaya. Sebagian besar karyanya berlatar belakang daerah pedesaan sehingga ia sering diduga sebagai sastrawan desa penganut etos pedesaan. Meskipun ia dilahirkan di desa Sillae yang terletak di kaki gunung dekat Chuncheon di provinsi Gangwon, Kim Yoo-jung lebih banyak menghabiskan masa kecilnya di Seoul -membuat dirinya tidak ada bedanya dengan sastrawan kota-, menulis tentang kesedihan, kisah cinta, dan keputusasaan. Dia menyebutkan [Ulysses] sebagai tulisan favorit yang tak lain adalah karya James Joyce (1922), dan mengaku pernah merasakan pengalaman romantis di mobil yang sedang melaju. Ada beberapa hal menarik yang dapat ditemukan saat membandingkan Kim Yoo-jung dengan penyair Lee Sang

(bernama asli Kim Hae-kyung; 1910 ~ 1937), yaitu mereka melewati masa kanak-kanak dan masa muda yang bermiripan pada periode yang sama di lokasi yang terpisah oleh Istana Kyeongbok di pusat kota Seoul. Lee Sang lahir di sebelah barat Gunung Inwang di sebelah barat Istana Kyeongbok pada saat Kekaisaran Korea kehilangan kedaulatannya. Dia adalah seorang yang ‘modern ala Gyeong-sung’ yang menikmati puncak kemodernan kota Gyeong-sung [nama kota Seoul pada zaman kolonial Jepang] di tahun 1920-1930. Dalam karyanya berjudul [Jong Saeng-gi] -yang merupakan ringkasan kisah hidupnya-, ia menulis bahwa dirinya “tidak pernah melihat padi” (yang berarti ia tidak pernah melihat kehidupan di desa). Selain itu, sebagaimana layaknya seorang mantan arsitek yang pernah bekerja di kantor gubernur Chosun, ia juga menjadikan ruang kota “Gyeongsung” dan arsitektur kota itu sebagai latar belakang karyanya. Sebagai orang Joseon, ia memiliki kesadaran nasional dan jiwa perlawanan kuat terhadap pendudukan Jepang, yang tercermin dalam kebiasaannya memakai Hanbok (pakaian tradisonal Korea) dalam kesehariannya. Istrinya, Byun Dong-rim, mengenang sosoknya mengenakan Durumagi (jaket paduan untuk pakaian tradisional Korea) berwarna coklat tua saat mereka bertemu untuk pertama kalinya, serta saat-saat bulan madu ketika ia harus mengenakan Hanbok selama satu bulanm yang terasa kurang nyaman dalam ingat­ annya. Sosok yang demikian itu tentunya sangat jauh dari gambaran seorang sastrawan berambut gerondong bersifat terlalu unik dan aneh atau menyimpang ekstrem dari kehidupan normal dengan sebuah pipa rokok di mulutnya.

1

Sastrawan-sastrawan Muda dari Gyeongsung

© Desa Sastra Kim Yu-jeong

6 Koreana Musim Semi 2019

Kim Yoo-jung sendiri juga pernah mengaku bahwa dia selalu mengenakan ‘pakaian Joseon’ setiap hari. Ayahnya adalah keturunan seorang bangsawan terkemuka, dan keluarganya memiliki sebuah rumah di Yunni-dong, tenggara Istana Kyeongbok, yang berukuran lebih dari seratus meter persegi, dan satu lagi di Chuncheon. Jadi ia hidup berpindah-pindah dari rumah yang satu ke rumah yang lain. Pada usia 7 tahun, sang ibu meninggal dunia, diikuti sang ayah saat ia berumur sembilan tahun. Kim Yoo-jung masuk ke sekolah dasar negeri Jangdong di Seoul dekat rumahnya pada tahun 1920. Ia lulus dalam empat tahun dan mendaftar di sekolah tinggi rakyat. Dalam catatan sekolahnya tercatat data tentang diri­ nya demikian, ‘Anggota keluarga 11 orang, saudara 2 orang, pkekayaan 50.000 won, bersifat kolot dan polos, tinggi badan sekitar 160 cm’. Kakak lelaki tertuanya, yang mewarisi sebagian besar dari harta keluarga, mulai menghambur-hamburkannya sejak saat itu. Sementara Kim Yoo-jung yang waktu


Kekhawatiran Badai Topan

Pelukis Ku Bon-woong dan novelis Park Tae-won adalah teman seperjalanan dalam hidup Lee Sang. Terutama sahabat kentalnya Ku Bon-woong yang dengannya ia tumbuh dan hidup bertetanggaan, adalah seorang pelukis yang terkenal dengan karyanya berjudul ‘Pelukis Kerdil’ dan ‘Penyair Aneh Berpenyakit Paru-paru’. Berkat Ku Bon-woonglah ia membuat membuat nama samaran ‘Lee Sang’, bertemu Gisaeng bernama Keum Hong-i, membuka warung kopi bernama ‘Jaebi’ dan akhirnya juga bekerja sebagai pekerja kantoran. Istrinya Byun Dong-rim yang di kemudian hari menikah dengan pelukis Kim Hwan-ki dan berganti nama menjadi Kim Hyang-an adalah

© Museum Nasional Seni Modern dan Kontemporer, Korea

itu duduk di kelas 2 masuk di pusat rehabilitasi wicara karea kegagapan bicaranya, dan gagal naik ke kelas 4. Ketika dia masih bersekolah di Gobo, dia jatuh cinta pada Park Nok-joo, seorang yang di kemudian hari menjadi penyanyi pansori terkenal, dan mulai menulis surat cinta pada gadis itu. Ketika Park Nok-joo menolak cintanya, ia merekam suaranya dan mengirimkan rekaman itu melalui adik perempuan Park berulang kali sebagai hadiah. Suatu hari ia mengunjungi Park di rumah sakit -karena mencoba untuk bunuh diri- dan melamarnya. Tetapi sekali lagi Park menolak lamaran itu dengan mengatakan dia adalah seorang Gisaeng (wanita penghibur raja dan bangsawan di zaman Joseon) sementara Kim adalah seorang terpelajar. Status mereka terlalu jauh berbeda. “Aku tidak percaya pada pria lagi, jadi jangan berharap yang sia-sia, dan kembalilah ke rumahmu”, katanya pada saat itu. Disebutkan bahwa pada hari berikutnya terlihat Kim Yoo-jung meratap keras di depan rumah Park Nok-joo. Dia sempat bersekolah di Sekolah Kejuruan Yeonhee, tetapi dikeluarkan karena sering absen. Setelah itu, dia masuk Sekolah Kejuruan Boseong (Universitas Korea sekarang), tetapi radang paru-paru dan wasir akibat putus cintanya kambuh saat itu, menyebabkan ia hidup sebagai seorang penyakitan dan gagal sampai akhirnya ia kembali ke kampung halamannya. Setelah itu dia menjadi dekat dengan penjudi, gangster, dan buronan yang membuat kesehatannya semakin memburuk. Radang paru-parunya berkembang menjadi TBC paru-paru, memaksanya untuk tinggal di desa pertanian guna memperbaiki kesehatannya. Dan disitulah ia mulai mendirikan sekolah malam dan mengajar penduduk untuk meningkatkan kehidupan mereka. Sejak saat itu, ia mulai menulis novel, dan pada tahun 1933, atas dukungan sahabatnya seorang novelis bernama Ahn Hee-nam, ia me­ nerbitkan cerita pendek berjudul “Musafir di Kaki Gunung” di sebuah majalah sastra, yang merupakan langkah pertama karirnya sebagai seorang penulis.

2 1. Setelah lulus dari sekolah menengah pada tahun 1929, Kim Yu-jeong tinggal bersama saudara perempuan tertua keduanya, Kim Yu-hyeong. Dalam foto, Kim berada di sebelah kiri, saudara perempuannya di tengah, dan keponakannya Kim Yeong-su di sebelah kanan. 2. “Potret Seorang Teman” (1935) oleh Gu Bon-ung. Minyak di atas kanvas, 62 × 50 cm.

adik dari ibu tiri Ku Bon-woong. Lee Sang juga memiliki hubungan yang baik dengan novelis Park Tae-won. Park Tae-won menggambar ilustrasi untuk cerbungnya berjudul [Keseharian Novelis Tuan Ku Bo] yang diserialkan dalam surat kabar “Chosun Joongang Ilbo”, dan didalam cerbung itu dilukiskannya resepsi pernikahan Park Tae-won. Dan saat Park Tae-won menikah, karena khawatir tidak dapat bertemu dengannya setelah pernikahan, Lee Sang menulis dalam buku tamu ‘Dilarang keras menolak untuk bertemu denganku’. Park Tae-won sendiri pernah menulis sebuah novel berjudul “Ambisi Cinta” (1934) de­­ ngan mengambil Lee Sang sebagai tokoh utamanya. Lee Sang dan Park Tae-won juga pernah bekerja bersama sebagai anggota asosiasi sastra yang terbentuk di Seoul pada tahun 1933. Nama organisasi ‘Kuin-hoe (Asosiasi 9 Orang)’ tercipta dari kenyataan bahwa selalu ada sembilan anggota meski mengalami perubahan anggota beberapa kali. Kelompok ini mengacu pada seni murni yang tidak menyimpang dari ideologi, memiliki posisi yang kuat dalam bidangnya karena beranggotakan penulis kelas menengah yang kompeten dan

seni & budaya korea 7


penulis baru terbaik. Asosiasi ini bubar dalam waktu tiga hingga empat tahun, tetapi melalui aktivitas kerja mereka masingmasing yang unik, mereka menyediakan tanah subur bagi tumbuhnya sastra modern dan kontemporer di Korea.

Belenggu Kemiskinan dan Penyakit

Kim Yoo-jung terpaksa kehilangan kerja dan hidup sebagai pengangguran setelah sekolah malam ditutup paksa oleh pemerintah kolonial Jepang, dan pada saat yang sama penyakit menggerogoti tubuhnya. Karena harta yang diwarisinya hampir sepenuhnya habis terpakai, ia hidup berpindah-pindah dari rumah ke rumah milik sepupu dan kakak-kakak perempuannya. Pada masa itu, kakak perempuan keduanya yang tinggal di Seoul berfokus pada warung nasinya, sementara Kim Yoo-jung memfokuskan diri pada penulisan karyanya. Berkat dukungan dari Ahn Hoe-nam, ia mencari nafkah dengan menulis beberapa naskah dan ia mengulangi upayanya untuk menyambung hidupnya. Pada bulan Januari 1935, dua tahun setelah penampilan pertamanya, ia terpilih sebagai sastrawan baru setelah karya-karyanya <Hujan Lebat Sesaat / Sonakbi> dan <Tambang Keberuntungan / Nodaji> terbit melalui harian [Chosun Ilbo] dan [Chosun Joongang Ilbo]. Kim Yoojung, yang bergabung dengan [Asosiasi Sembilan Anggota] berkenalan dengan Lee Sang. Ada banyak kesamaan di antara keduanya. Pertama - tama, Lee Sang mengidap TBC dan Kim Yoo-jung juga menderita penyakit yang sama. Kim Yoo-jung kehilangan orang tuanya dan hidup sebagai

© Desa Sastra Kim Yu-jeong

8 Koreana Musim Semi 2019

anak yatim pada masa kecilnya, sementara Lee Sang diangkat oleh pamannya dan hidup terpisah dari orang tua kandungnya, dan penderitaan dalam kemiskinan juga menjadi alasan mereka memiliki rasa solidaritas. Karya representatif Lee Sang beberapa kali menghiasi harian [Joseon Jung-ang Ilbo] -sampai akhirnya terhenti karena adanya tentangan dari pembaca yang menanggapnya terlalu abstrak- di antaranya adalah puisinya yang berjudul [Burung Gagak / Oh Gam Do] (1934) dan cerpennya berjudul [Sayap / Nalgae] (1936) yang menceritakan kisah tokoh utamanya yang adalah seorang intelektual modern tetapi menghabiskan kesehariannya dengan kebosanan karena tidak ada hal yang dapat dilakukannya. Sangat berbeda dengan karya Kim Yoo-jung, yang subjek utamanya adalah realitas ekstrem para intelektual yang hidup pada masa kolonial dan realitas masyarakat pedesaan yang miskin. Walau demikian, Lee Sang dan Kim Yoo-jung saling memahami jiwa seni masing-masing. Ketika penyakit Kim Yoo-Jung menjadi parah pada musim semi 1936, oleh dokter ia diberitahu bahwa akan sulit baginya untuk melewatkan musim gugur tahun itu, tapi ia justru minum banyak alkohol dan merokok, serta tidak berhenti menulis manuskrip setiap malam, hingga akhirnya harus dirawat di rumah perawatan di pegunungan dekat Jeongneung, Seoul. Ketika ia mulai berhenti minum alkohol dan merokok serta hidup secara teratur, kondisnya seakan membaik. Saat itulah Lee Sang datang padanya dan dan mengusulkan untuk bunuh diri bersama. Namun, Kim Yoo-jung membuka ritsleting pakaiannya seraya menunjukkan dadanya yang tinggal tulang berbalut kulit sambil berkata “Saya masih punya harapan membara akan hari depan” dan menolak usulan itu. Lee Sang memandang Kim Yoo-jung, yang bernafas sepotong-sepotong itu kemudian mengucapkan salam perpisahan “Abang Kim! Saya akan pergi ke Jepang”, Kim Yoo-jung menangis keras setelah mendengarnya. Meskipun harus menggeliat dalam penyakit yang mematikan, Kim Yoo-jung dengan penuh semangat mengabdikan dirinya menciptakan karya seolah membakar semua sisa hidupnya. Sebagai hasilnya, ia menyelesaikan sekitar 30

Diterbitkan di majalah “Jogwang” (Cahaya Pagi) pada bulan Desember 1935, cerita pendek Kim Yu-jeong “Musim Semi, Musim Semi” (kiri) adalah konflik kisah jenaka antara seorang pemuda yang tinggal bersama keluarga istrinya dan ayah mertuanya. Hukum memperlakukannya seperti pelayan. Diterbitkan di majalah yang sama pada bulan Mei 1936, “Camelia” (kanan) adalah penggambaran tentang hubungan cinta.


Menjelajahi ketidakstabilan batin para intelektual yang tinggal di tanah jajahan, gaya sastra Yi Sang jelas berbeda dari gaya Kim Yu-jeong, yang berfokus pada kondisi masyarakat pedesaan yang miskin. Namun kedua penulis saling memahami visi artistik masing-masing. cerita pendek, sekitar 20 esai, dan menerjemahkan satu novel panjang. Dalam suratnya kepada Ahn Hoe-nam tertanggal 18 Maret 1937, dia berkata, “Tubuhku semakin padam setiap hari. Bahkan kini untuk bisa bangun dari tempat tidurpun tidak lagi bebas untukku. Di malam hari, insomnia membuatku mengeluhkan waktu-waktu yang menyesakkan”, menjelaskan keadaannya yang bagai di terpojok di ujung jalan. Meski begitu, “Aku sangat ingin bangun. Sekarang aku melakukan perlawananku yang terakhir dengan penyakitku. Aku butuh uang segera. Tetapi aku tidak ada uang itu. Aku bersiasat untuk mendapatkan uang seratus won. Aku berharap kau akan memberikannya dengan hati membantu serang sahabat yang kau sayangi”. Dalam lanjutan suratnya, Kim Yoo-jung menyatakan keinginannya untuk membeli ayam dan ular banyak-banyak untuk direbus dan dimakannya, menunjukkan keinginan­nya yang kuat untuk hidup, tetapi sehari sebelum ia mendapat balasan suratnya, yaitu pada subuh tanggal 29 Maret, ia menghembuskan nafas terakhirnya. Dan sekitar 20 hari berikutnya pada tanggal 17 April, Lee Sang yang dirawat di rumah sakit di Tokyo karena TBC-nya juga menghembuskan nafas terakhirnya. Dokter Jepang yang menangani Lee Sang mengatakan “Pada orang ini yang namanya paru-paru hampir-hampir tidak ada yang tersisa”. Demikiankah dua sastrawan jenius ini dalam usia belia 20-an seakan saling kejar mengejar mengakhiri jalan hidup mereka yang berbeda.

Kenyataan Hidup Petani dan Masyarakat Rendah Kota di Masa Kolonial

Selama hidupnya Kim Yoo-jung begitu gemar mendengarkan repertoar utama Park Nok-joo, “Heungbo-ga (Nyanyi­ an Kisah Heungbo)” dan “Chunhyang-ga (Nyanyian Kisah Chunhyang)”, sampai-sampai ia dapat menghafal setiap baitnya. Ia pun menyukai puisi 6 bait ala Korea, yang konon didengarnya sampai dalam tidurnya. Karena itulah unsur kelakar dan musik dari Pansori dapat dirasakan dalam novel karyanya. Kalimat dan percakapan dalam novelnya juga bukan hanya sekedar berbentuk bahasa sehari-hari, tetapi lebih merupakan ‘bentuk narasi lisan’. Sebagian besar karakter dalam novel-novel pendeknya didasarkan pada tokoh-to-

koh nyata dengan latar belakang pedesaan di mana sebagian besar penduduk Korea hidup di zaman itu sehingga pembaca seolah dapat menyaksikan kisah dalam novelnya itu terbentang di depan mata. “Bom Bom (Semi di Musim Semi)” bukanlah kisah cinta tetapi kisah hubungan antara pemilik sawah dan petani penggarap. “Ladang Kacang Pemetik Emas” yang seolah lucu mengandung situasi putus asa hidup yang tidak menjadi lebih baik dengan teman atau pasangan hidup yang bertengkar dan berkelahi. “Sonakbi (Hujan Deras Sekejap)” menceritakan seorang suami yang mengirimkan istrinya kepada tokoh berpengaruh di daerahnya untuk mendapatkan uang yang akan digunakannya untuk berjudi, dan suami istri yang tidak segan-segan melakukan pencurian dan pelacuran. Dalam “Ttangbyut (Panas Terik)”, seorang suami, yang mendengar kabar bahwa ada rumah sakit universitas yang mena­ warkan penyembuhan bagi penyakit langka dan uang untuk pasien yang bersedia untuk berpartisipasi untuk itu, membawa istrinya gendongan kayu dengan segala susah payah. Tetapi yang ia dapatkan adalah diagnosa dokter yang menga­ takan ada bayi gugur di dalam perut istrinya dan sindiran tentang kebodohannya percaya pada desas-desus ada yang akan memberinya uang untuk penyembuhan bagi penyakit langka di rumah sakit universitas, yang membawa langkah­nya pulang. Sang istri, yang bersikeras tidak bersedia dioperasi perutnya dan meminta untuk segera pulang, mengkhawatirkan hutang beras dan cucian suaminya di rumah, dan sang suami yang menganggap ucapan istrinya akan menjadi permintaan terakhirnya menurutinya, dan kembali mendukung istrinya dalam gendongan kayu dan berjalan pulang tanpa mengucapkan sepatah katapun di tengah teriknya matahari. Dalam sebuah pertanyaan majalah, “Apa yang ingin Anda tinggalkan kepada dunia?”, ia menjawab, “Entah ya. Keinginan saya sangat besar, tapi rasanya selain dari bakteri penyakit TBC, tidak ada yang bisa saya tinggalkan”. Tentang dirinya sendiri, ia mengumpamakannya sebagai bulan purnama “Saya ingin melayang di udara hampa dan menjadi tua di sana seumur hidup”. Seperti yang dia katakan, karyanya telah menjadi bulan purnama dan menerangi cakrawala sastra modern Korea.

seni & budaya korea 9


Gubo memesan secangkir kopi dan rokok. Kedai kopi Nakrang Parlour [dibuka pada tahun 1931 dan merupakan kedai kopi pertama yang dikelola oleh orang Korea] ini terletak di dekat Sogong-dong Hotel Chosun. Tempat ini juga merupakan langganan bagi anggota asosiasi kecil Guin-hoe (Asosiasi Sembilan Orang) yang menganut sastra murni yang di dalamnya Park Tae Won sebagai anggota. 1

Orang-orang Pemburu Uang

Seoul di Tahun 1930-an: Anjangsana Bersama Novelis Gubo

Deoksu, sejenak ia termenung di tengah-tengah arus orang-orang yang “istana tua yang lemah membuat hati orang tertekan”. Gubo melangkahkan kakinya ke ruang tunggu stasiun Gyeongseong dengan harapan dapat menghibur dirinya di tengah banyak orang. Namun,

kemana akan pergi, dia tetap melintasi jalur trem, dan memandang Hwasin

turun di depan Bank Chosun, kemudi-

Store [department store pertama Korea

an melangkah ke sebuah kedai kopi.

yang didirikan pada tahun 1931, gedung

Pukul dua siang di kedai kopi beberapa

tertinggi di Seoul pada saat itu].

orang yang tidak mempunyai kegiatan

Gubo menuju ke Jalan Jongro,

duduk-duduk sambil minum teh dan

pergi ke Dongdaemun dengan trem

mengepulkan asap rokok sembari

dan turun di depan Bank Chosun,

mengobrol atau mendengarkan musik.

kemudian melangkah ke sebuah kedai kopi. Pukul dua siang di kedai kopi

Masa Muda yang Suram dalam Kota Kolonial

beberapa orang yang tidak mempu-

Ibu Gubo sulit memahami putranya

minum teh sembari mengobrol atau

yang berusia 26 tahun - belum menikah,

mendengarkan musik. Mereka hampir

menganggur dengan gelar sarjana

semuanya adalah kaum muda, tetapi

yang diperolehnya di Tokyo, dan mem-

terlihat “tidak mempunyai harapan

buang-buang waktu dengan menulis.

dan masing-masing mengeluhkan

Tanpa peduli atas kekhawatiran ibunya,

depresi kehidupan dan penderitaan

dia meninggalkan rumahnya. Dia tidak

dalam hidup.

2

nyai kegiatan duduk-duduk sambil

3

© Badan Konten Kreatif Korea

ke Dongdaemun dengan trem dan

10 Koreana Musim Semi 2019

ngseongbu dan ketika melihat Istana

berjalan dalam kesibukan dan berpikir

Meskipun ia tidak punya tujuan khusus, Gubo setiap hari meninggalkan rumah pada waktu siang, dengan sebuah buku catatan dan tongkat di tangannya, untuk mengelilingi kota. Itulah salah satu hari yang dijelaskan dalam “Suatu Hari dalam Kehidupan Novelis Gubo”, sebuah novel otobiografi dan metafiksi oleh Park Tae-won (1909–1986). Gubo menuju ke Jalan Jongro, pergi

Setelah keluar dari kedai kopi Gubo ber jalan menu ju K antor Gy eo-


di tengah kerumunan “orang-orang

dapat menikmati teh sambil melihat

yang tidak ada seorangpun yang

gadis-gadis modern memakai stocking

memiliki kehangatan manusiawi”, ia

dan sepatu hak tinggi berjalan-jalan di

melihat wanita tua dan sakit, peda-

Jalan Jongro, dan untuk Gubo sendiri

gang dari kampung, dan orang-orang

sambil menunggu temannya, terha-

mencurigakan yang memata-matai

nyut dalam kenangan kepada gadis

orang, membuatnya merasa ciut dan

yang dicintainya saat belajar di Tokyo.

malah menjadi lebih sedih dan sepi.

Gubo keluar dari kedai kopi

Gubo kemudian memanggil seo-

dan menikmati semangkuk Sol-

rang teman yang adalah seorang pen-

nong-tang (Sup Kaldu Sapi) bersama

yair dan reporter surat kabar bagian

teman-temannya, kembali ke Gwang-

sosial untuk bertemu di kedai kopi.

hwamun-tong sendirian.

Teman itu mengeluh bahwa dia harus

Gubo, yang bertemu dengan

menulis artikel tentang pembunuhan,

teman-teman keponakannya di jalan,

perampokan, dan pembakaran setiap

membelikan semangka dan kemudian

hari karena uang, dan memuji novel

pergi ke Nakrang Parlour, tempatnya

Gubo. Setelah mengobrol tentang

berjanji untuk bertemu teman-teman-

James Joyce barulah mereka keluar

nya lagi. Saat itu, dia bertemu sepeda

dari kedai kopi. Sang teman pamit

surat pengantar telegram, dan setelah

pulang untuk makan malam, dan

menerima sepucuk telegram, dia pun

Gubo mencoba memahami bahwa

tenggelam dalam keharuan. Ia lalu

temannya itu adalah orang yang

tersenyum puas setelah membayang-

memiliki ‘kehidupan berkeluarga’ jadi

kan dirinya membeli ribuan kartu pos,

berbeda dengan dirinya.

dan membayangkan dirinya menulis surat kepada teman-temannya di

Senja yang Sepi

sudut kedai kopi setelah mendapat

Gubo, yang hidup dalam kesuny-

telegram tersebut.

ian perempatan Jongno, melewati

4 1. Salah satu ilustrasi Yi Sang untuk novel Park Tae-won “Suatu Hari dalam Kehidupan Novelis Gubo”, serial dalam harian Joseon Jungang Ilbo pada Agustus 1934. 2. Hwasin Stor dibangun pada tahun 1931 sebagai toserba modern pertama Korea. Itu terletak di persimpangan Jongno, tetapi dihancurkan pada tahun 1987 untuk pelebaran jalan. 3. Stasiun Gyeongseong [Seoul], pertama kali dibangun pada tahun 1900 dengan struktur kayu 33 meter persegi, dibangun kembali pada tahun 1925, dengan satu lantai dasar dan dua lantai basement. Itu adalah salah satu stasiun kereta api terbesar di Asia bersama dengan Stasiun Tokyo. 4. Nangnang Parlor dibuka pada tahun 1931 oleh Yi Sun-seok, seorang seniman lulusan Sekolah Seni Ueno di Tokyo. Terletak di dekat Westin Chosun Seoul.

sebuah kedai kopi kecil dan mencari

Jalan-jalan di Jongro pada Dini Hari

majikan kedai itu. Karena majikan

Gubo memasuki kedai kopi, duduk

saat itu pintu terbuka dan ia mening-

tersebut tak lain adalah temannya.

di salah satu sudutnya, kemudian

galkan tempat itu bersama temannya.

kantor polisi Jongno dan pergi ke

novel dengan uang. Kebetulan sekali

Setelah mendengar bahwa sang

mendengarkan dengan tenang “Valse

Ketika ia keluar pada jam 2 pagi,

majikan sedang keluar dan akan

Sentimentale” dari Tchaikovsky, yang

tetap banyak orang hilir mudik di Jalan

segera kembali, ia memutuskan untuk

dimainkan oleh pemain biola Mischa

Jongro meski hujan. Tiba-tiba Gubo

duduk dan menunggu. [Kedai kopi

Elman. Pada saat itu, seorang penjual

teringat pada “wajah kecil, kesepian,

ini adalah ‘Kedai Kopi Burung Layang’

perusahaan asuransi jiwa yang duduk

dan sedih” ibunya yang tidak tidur

yang dikelola oleh penyair Lee Sang

di satu sisi yang sedang menikmati

menunggu dirinya. Lalu, Ketika teman-

bersama kekasihnya Gisaeng Geum-

dan bir mahal bersama rekannya,

nya memberi salam dan berkata “Mari

hong selama dua tahun sejak tahun

mengenali kehadirannya serta men-

kita bertemu lagi besok”, ia menjawab,

1933]. Menurut sebuah artikel majalah

gundangnya untuk bergabung. Tanpa

“Aku akan menulis di rumah mulai

pada saat itu, kedai kopi ini cukup

dapat menolak, Gubo terpaksa ber-

besok”. Ia pulang dengan cepat. Gubo,

unik dengan “seluruh dinding depan

gabung dengan mereka, dan akhirnya

menemukan kebahagiaan saat me-

yang merupakan dinding kaca tem-

merasa bosan mendengar obrolan

langkah pulang, kini kepalanya penuh

bus pandang” membuat para tamu

mereka yang bahkan menilai sebuah

dengan kebahagiaan untuk ibunya.

seni & budaya korea 11


Fitur Khusus 2

Jalan Menuju Modernitas: Korea di Awal Abad Ke-20

Kesadaran Perempuan: Cahaya dan Kegelapan “Perempuan baru� menerima pendidikan gaya Barat dan berusaha membebaskan diri dari kekangan Konfusianisme dan belenggu adat istiadat yang mendiskriminasi mereka. Memimpikan sebuah dunia baru di mana mereka akan menikmati status yang sama dengan pria dan kebebasan untuk memilih pasangan mereka sendiri, para perempuan ini memelopori tren baru dalam gaya rambut dan pakaian. Akan tetapi perjalanan perjuangan mereka seringkali berujung dengan nasib tragis. Kim Chi-young Dosen Fakultas Pendidikan Bahasa Korea Universitas Katolik Daegu

12 Koreana Musim Semi 2019


Bagi perempuan Joseon yang tidak diizinkan untuk keluar sendiri, era modern membawa peluang memperoleh pendidikan dan hak membuat pilihan mereka sendiri. Tetapi kebebasan seperti itu tidak mudah. Sebagai konsekuensi pencarian ide-ide baru untuk mengubah hidup mereka, mereka sering bertemu dengan kritik dan rasa frustrasi.

seni & budaya korea 13


C

hae Man-sik (1902-1950), wakil novelis satire dalam dunia sastra modern Korea, pertama kali mengenalkan namanya di panggung sastra melalui novel pendeknya yang menggambarkan pertemuan dengan seorang perempuan di dalam kereta. Novel berjudul “Menuju Tiga Jalan” yang dimuat di majalah sastra utama pada tahun 1924 ini tidak menceritakan hal khusus selain situasi di mana tokoh utama sering bertemu pandang dengan ‘siswi berkulit putih yang berpakaian sopan’ di dalam kereta api yang sedang melaju. Menurut pandangan sekarang, cerita itu bahkan tidak bisa dikatakan sebagai sebuah peristiwa. Hanya waktu itu sungguh sangat tidak biasa seorang laki-laki muda duduk di dekat perempuan tak dikenal dan melewati waktu panjang bersama, dan kereta api sebagai latar tempat modern yang memberikan pengalaman semacam itu sangatlah istimewa hingga dijadikan bahan cerita. Lebih-lebih perempuan itu adalah “perempuan baru” yang tidak dapat ditemui dengan mudah dalam kehidupan sehari-hari. Sang protagonis menggambarkan perempuan itu: “Jaketnya putih, roknya putih, pakaian dalamnya putih, kaus kakinya setinggi lutut putih, wajahnya yang serbuk putih. Segala sesuatu tentang dirinya berwarna putih kecuali sepatu hak tinggi hitamnya dan rambut hitamnya yang dianyam dengan gaya yang serampangan namun bergaya. Jantungnya yang bergetar setiap kali matanya bertemu pemiliknya merupakan pengakuan penulis di liongkungan sastra. Sampai awal 1920-an, ketika novel itu diterbitkan, pria dan perempuan yang berada dalam hubungan sedekat itu sangat jarang. Hal itu sama saja dengan “skandal”.

Sekolah untuk Perempuan

Dalam serial TV “Mister Sunshine” yang popular akhir-akhir ini mengangkat Joseon pada pergantian abad ke-19 ke awal abad ke-20. Protagonis perempuan adalah putri bangsawan yang membuang mantel mewahnya dan pergi ke sekolah untuk rakyat jelata dan belajar bahasa Inggris dari guru Barat. Tetapi sampai tahun 1910-an, peluang pendidikan bagi perempuan sangat sedikit dan jarang. © Semua Buku

1. “Enam Belas yang Manis” (1926) adalah novel roman yang sangat populer yang ditulis oleh Gang Eun-hyeong, editor dan penerbit Toko Buku Daeseong. Konsep kebebasan cinta dengan cepat terdapat pada periode modern awal, cinta dan asmara menjadi tema umum dalam novel. 2. “Melodi Musim Semi” oleh Kim In-seung. Minyak di atas kanvas, 147,2 × 207 cm.

1

14 Koreana Musim Semi 2019

Karya representatif Kim In-seung, dilukis pada dua kanvas besar, memperlihatkan sekelompok wanita yang menikmati pertunjukan cello. Ditampilkan di Pameran Seni [Korea] Pilihan ke-21 pada tahun 1942.

Sekolah Ehwa, sebuah lembaga pendidikan perempuan modern pertama Korea yang didirikan oleh misionaris Amerika Serikat pada tahun 1886, membuka pintunya di Jeong-dong Seoul. Tetapi sampai tahun 1910-an tidak mudah bagi mereka untuk mengumpulkan murid. Guru-guru sekolah ini mengunjungi rumah demi rumah dan berusaha mengumpulkan murid sambil memohon, “Jika ada anak atau saudara perempuan, tolong disekolahkan. Kami akan mengajari mereka secara gratis”. Tetapi situasi ini berubah setelah diketahui bahwa siswi sekolah Ehwa terlibat aktif dalam gerakan kemerdekaan 1 Maret 1919. Siswi yang ingin mendaftarkan diri bertambah pesat sampai-sampai berujung pada kondisi tidak mampunya sekolah menampung siswi-siswi tersebut. Akan tetapi bukan berarti jumlah siswi tersebut sebanyak jumlah keseluruhan di masyarakat. Menurut data statistik Pemerintah Jepang di Korea, jumlah siswi sekolah menengah pertama dari total 7 sekolah negeri dan swasta pada tahun 1923 adalah 1.370 orang. Angka ini merupakan 0,6% dari total penduduk perempuan ketika itu, dan jumlah siswi yang mendapat pendidikan di atas sekolah menengah pertama jauh lebih rendah – yaitu sebanyak 0,3%. Demikianlah siswi-siswi yang semula hanya sekelompok minoritas ini mendapat perhatian istimewa dari kota. Tidak lama kemudian mereka mulai memperlihatkan identitas kelompok yang baru dengan sebutan “perempuan baru”. Lebih dari apapun, dari penampilannya perempuan baru menarik banyak perhatian. Mereka menunjukkan identitas dirinya melalui rok pendek dan sepatu berhak tinggi, payung hitam serta gaya rambut yang berubah-ubah mengikuti tren. Rok hanbok (pakaian tradisional Korea) yang dipotong menjadi rok kembang hitam pendek sampai betis untuk menjaga kebersihan dan mempermudah aktivitas, bersama atasan hanbok-nya yang berwarna putih menjadi seragam sebagian besar sekolah – termasuk sekolah Ehwa dan sekolah perempuan Jeong-sin – dan ketika itu seragam ini menjadi simbol para siswi. Mulanya payung hitam digunakan sebagai pengganti rok kerudung untuk menutupi wajah, namun lama kelamaan payung ini berganti warna menjadi putih dan menjadi peleng-


kap busana. Bukan saja payung, tetapi juga sepatu, kaos kaki, ikat pinggang, syal, saputangan, kacamata, dan aksesori lainnya berubah-ubah sesuai tren dan memperlihatkan kelas dan status sosial para perempuan baru. Gaya rambut terutama menjadi tolak ukur penting untuk menentukan perempuan baru. Perubahan gaya rambutnya juga beragam dari gaya rambut hisashigami ala Jepang yang juga disebut gaya rambut kotoran sapi karena diikat bulat di belakang kepala setelah mengembungkan tepi kepala seperti kotoran sapi, sanggul kepang yang merupakan pengembangan dari gaya rambut tersebut, kemudian gaya rambut kepang tradisional ala Korea yang kembali populer di pertengahan tahun 1920-an, rambut palsu yang disebut darikkokji, dan lain-lain. Di sini, muncul juga para perempuan yang berambut pendek sebagai tanda kebebasan perempuan. Rambut pendek mendapat dukungan dari perempuan baru karena kenyamanannya secara ekonomi, hemat waktu, higienis. Tetapi terdapat pula banyak pria yang tidak menyukainya dengan alasan bahwa rambut pendek “merampas keindahan perempuan karena rambut sebagai sumber keindahannya”. Dengan berpenampilan berbeda dan hidup secara berbeda, perempuan baru itu berusaha memantapkan dirinya sebagai “baru”, berbeda dengan yang “lama”. Rok kembang dan sepatu lancip bukanlah sekedar hiasan semata, melainkan bentuk representasi budaya yang menampung harapan para perempuan baru yang ingin menjalin kasih atas kemauannya sendiri, membangun keluarga modern di rumah yang berlengkapkan piano, mendapat hak yang sejajar dengan suami, dan mendidik generasi mendatang dengan pemikiran baru. Akan tetapi masyarakat tidak menerima harapan mereka dengan mudah. Bersamaan dengan jumlah pelajar perempuan yang bertambah drastis dan penampilan perempuan baru yang menjadi bahan pembicaraan, celaan men-

2 © Bank of Korea

genai mereka pun semakin bertambah. Surat kabar dan majalah saat itu mengkritik ‘pemborosan dan keangkuhan’ mereka dengan keras. Kenyataan bahwa tidak murahnya biaya untuk menghias penampilan juga benar karena harga sepasang sepatu pada masa ini hampir sama dengan harga dua karung beras.

Objek Kecemburuan dan Kritik

Melewati pertengahan tahun 1920-an, di samping pergi ke sekolah, para perempuan mulai mengunjungi tempat-tempat umum seperti jalanan, konser, acara ceramah, teater, taman, dan sebagainya. Meluasnya ruang lingkup aktivitas para perempuan membuat pihak sekolah mengontrol siswi-siswi dengan peraturan yang ketat. Mereka melarang siswi pergi ke teater untuk menonton film atau ke konser musik tanpa izin. Para siswi harus ditemani dengan keluarga atau teman lainnya ketika pergi ke luar, dan mereka diharuskan untuk melapor ke sekolah jika memiliki majalah atau buku selain buku pelajaran. Tinggal di rumah kos dianggap membawa kekacauan sehingga mereka direkomendasikan dengan keras untuk tinggal di asrama, dan bahkan kirim-mengirim surat pun dibatasi dengan ketat. Ketika inilah kata “gangguan moral” yang tidak jelas maknanya mewabah. Kata “moral (phoonggi)” dalam bahasa Korea yang secara harfiah berarti “rasa angin” digunakan secara aneh. Gaya berpakaian yang mewah, pergi mengunjungi kafe atau rumah makan juga merupakan “gangguan moral”, dan bolos sekolah dan pergi menonton film pun demikian. “Gangguan moral” yang paling bahaya adalah pergaulan antara laki-laki dan perempuan. Untuk alasan pengontrolan pelajar perempuan dengan peraturan ketat, ada kaitannya juga dengan kenyataan bahwa kemodernan yang direpresentasikan oleh para perempuan baru relatif mewah dan terlalu rumit. Para cendikiawan Joseon di tahun 1920-1930-an gagal membangun negara modern dengan kemampuannya sendiri, dan harus melewati kehidupan

seni & budaya korea 15


Dengan berpenampilan berbeda dan hidup secara berbeda, perempuan baru itu berusaha memantapkan dirinya sebagai “baru.” yang bersimpang sambil tunduk kepada modernisasi kolonial. Dalam kondisi seperti itu, cita-cita dan kehidupan perempuan baru terlihat sangat kontras dengan realitas sekitarnya yang suram. Di dalam ambiguitas idaman dan kritikan terhadap perempuan baru, tersembunyi perasaan bersisi dua para cendikiawan lelaki yang tidak bisa menjadi subjek pembangun negara modern. Bagi mereka, pelajar perempuan adalah simbol kemodernan sekaligus juga representasi “modern palsu yang gegabah dan kurang terdidik” yang berbahaya dan tidak mulia.

Jalinan Cinta dan Bunuh Diri

Dalam masyarakat Joseon sebelum zaman modern, perkawinan berlangsung atas keputusan para orang tua dan sejak semula mustahil untuk memilih pasangan hidup atas kemauan sendiri. Kata baru “yeonae (menjalin cinta)” yang dibawa dari terjemahan kata “love” oleh Jepang ketika itu menimbulkan reaksi yang luar biasa sebagai kata yang menyebarluaskan cara perkawinan ala Barat di mana orang yang akan menikah memilih pasangannya berdasarkan kemauannya sendiri. “Menjalin cinta”, sebagai kebiasaan baru menolak perkawinan yang diatur oleh orang tua dan memilih pasangan hidup sendiri menciptakan musim semi secara sosial. Akan tetapi ketika “gagasan baru” bernama percintaan tersebut mulai muncul, banyak pemuda cendekiawan yang telah menikah dengan perempuan yang ditentukan oleh orang tua mereka mengikuti tradisi lama. Para pemuda ini menolak perkawinan dengan istri yang ditentukan oleh orang tua mereka dan berharap dapat hidup dengan perempuan pilihannya sendiri. Akhirnya terbentuk kelompok “ikatan cerai” di sekolah dan bahkan muncul gerakan pemba­talan kawin. Dalam perbedaan realitas dan cita-cita yang jauh berbeda, pemu-

1 © Sekolah Menengah Perempuan Speer Gwangju

16 Koreana Musim Semi 2019

da-pemudi berusaha untuk memastikan kemurnian jati dirinya dengan semangat yang jauh lebih kuat. Harapan dan gairah seringkali menimbulkan tindakan ekstrem seperti bunuh diri. Tindakan bunuh diri sepasang kekasih yang mulai mewabah sejak tahun1920-an, tersembunyi konteks situasi seperti ini. Peristiwa Kang Myeong-hwa, perempuan berumur 23 tahun yang meninggal di atas lutut pria yang dicintainya dengan memakan obat tikus pada tahun 1923 menjadi berita utama surat kabar dan majalah. Kang Myeong-hwa yang merupakan gisaeng (perempuan penghibur dengan menyanyi, menari dan memainkan alat musik) saling jatuh cinta de­­ngan anak hartawan Jang Byeong-cheon, namun mereka memilih bunuh diri karena ditentang keras oleh keluarga. Untuk beberapa saat Jang Byeong-cheon mengajak Kang Myeong-hwa melarikan diri ke Jepang, namun mereka mendapat cacian karena dikatakan mencemari kehormatan orang Joseon dari teman-teman yang belajar di luar negeri. Akan tetapi setelah Jang Byeong-cheon juga ikut memilih mati dengan cara yang sama, nama Kang Myeong-hwa terukir di dalam hati rakyat sebagai sebuah kata ganti yang mengagumi jiwa murni cinta. Cerita mereka kemudian dijadikan novel, lagu, dan film selama berpuluh-puluh tahun. Kim U-jin dan Yun Sim-deok yang meninggal dunia dengan menerjunkan diri ke selat Korea bersama dari perahu yang berlayar dari Shimonoseki ke Busan, membawakan sensasi yang lebih besar dari pada peristiwa Kang Myeong-hwa. Ketika itu keduanya berumur 29 tahun. Kim U-jin adalah pelopor sandiwara modern yang berpartisipasi dalam pembentukan Perkumpulan Akademis Seni Drama dan Teater yang dirancang pada tahun 1920 oleh pelajar Joseon yang mempelajari seni di Tokyo. Yun Sim-deok adalah nama yang dikenal luas sebagai penyanyi sopran pertama Korea. Kritik sosial bermunculan terhadap peristiwa bunuh diri para bintang musik yang telah memiliki


1. Siswa Sekolah Perempuan Memorial Jennie Speer, yang dipenjara karena berpartisipasi dalam Gerakan Pertama Maret, berfoto setelah pembebasan mereka. Meskipun jumlah siswa perempuan secara nasional sedikit, kebanyakan dari mereka secara aktif berpartisipasi dalam perjuangan kemerdekaan. Sekolah ini didirikan pada tahun 1908 di Gwangju, Provinsi Jeolla Selatan, oleh misionaris Amerika Eugene Bell. 2. Kim U-jin mulai menulis dan menyutradarai drama ketika sebagai mahasiswa sastra Inggris di Universitas Waseda di Tokyo. “Kehancuran” adalah drama otobiografi yang ditulis pada 1926, tahun saat Kim melakukan bunuh diri. Menggambarkan konflik batin seorang penyair muda ketika id e-ide Baratnya berbenturan dengan nilainilai Konfusianisme keluarganya. 3. Yun Sim-deok adalah penyanyi dan bintang aktris. Wanita Korea pertama yang mempelajari musik klasik Barat.

2

3 © The JoongAng Ilbo

beberapa gosip cinta, dengan sutradara menjanjikan yang telah memiliki istri dan anak. Berbeda dengan Kim Myeong-hwa yang berstatus gisaeng, pandangan masyarakat mengenai Yun Sim-deok tidaklah begitu toleran. Entah mendapat pandangan iba dan model ideal atau menjadi objek celaan dan cemoohan, kegagalan cinta pemuda-pemudi yang berujung pada kasus bunuh diri merupakan masalah sosial yang berat. Hingga pertengahan tahun 1920-an, kadang sampai muncul tiga hingga empat kasus bunuh diri dalam sehari di surat kabar. Novel modern Korea pada masa awal, di mana karya-karya bertemakan percintaan menarik perhatian khalayak dan menyebar luas, memperlihatkan berbagai aspek kematian pemuda-pemudi di masa ini. Misalnya tokoh dalam <Yoon Kwang-ho (1918)> karya Yi Kwang-su (1892-1950) mati karena cinta yang tak berbalas, tokoh dalam <Suka Cita (A Young Man’s Life, Delight – 1923)> karya Na Do-hyang (1902-1926) mati untuk menebus pilihannya yang salah, dan tokoh dalam <Malam Itu (1921)> karya Bang Jeonghwan (1899-1931) mati karena pengkhianatan kekasihnya. Kematian di satu sisi menjadi cara untuk membuktikan kemurnian diri di hadapan cita-cita bernama percintaan, dan kebalikannya di sisi

lain merupakan ekspresi perlawanan keras terhadap kesenjangan antara cita-cita dan realitas. Karena benturan dengan berbagai masalah realitas yang terlampau jauh dengan kepercayaan akan cinta utuh, pemuda-pemudi mencapai puncak identitas dirinya melalui bentuk yang disalahtafsirkan bernama kematian.

Mimpi yang Tak Terpenuhi

Dalam novel otobiografis <Tiang Ibu (1979)> karya Park Wan-suh (19312011), tokoh masa kecil “aku” menderita karena paksaan dan keinginan mendalam sang ibu yang mengharuskannya menjadi perempuan baru. Bagi anak perempuannya yang ingin memakai pita kuncir merah, rok kuning, dan sepatu bergambar bunga, penampilan seperti itu sama sekali tidak menarik hatinya. Anaknya kembali bertanya. “Memangnya apa yang dilakukan perempuan baru?” Sang ibu yang kali ini terlihat bingung menjawab, “Perempuan baru adalah perempuan yang belajar dengan giat sehingga tidak ada prinsip dunia yang tidak diketahuinya dan dapat melakukan apa pun yang ia inginkan jika berniat”. Akhir masa kolonial, itulah cita-cita akan masa depan anak perempuan yang diimpikan oleh ibu yang bergantung pada kemampuan menjahitnya dan pindah dari desa ke Seoul hanya berbekal semangat untuk memberikan pendidikan kepada anaknya. Masa saat masyarakat pertama kali bertemu dengan peradaban Barat yang disebut modern, dan mengalami perubahan hidup dan kesadaran yang mendadak – mungkin seperti itu pulalah masa depan yang diimpikan oleh para perempuan yang menolak adat lama dan meninggalkan tempat tinggal perempuan. Di masa kini dalam perkembangan gemilang ekonomi dan sosial setelah akhirnya merdeka dan melewati bencana perang yang mengerikan, kira-kira seberapa dekatkah perempuan-perempuan zaman kini telah mencapai cita-cita para ibu?

seni & budaya korea 17


Fitur Khusus 3

Jalan Menuju Modernitas: Korea di Awal Abad Ke-20

Musik Pop: Mekar di Tengah Keputusasaan © Museum Jalan Tua di Mungyeong

Di Korea, musik populer mulai berkembang pada awal abad ke-20, ketika label rekaman luar negeri memproduksi album komersial di sini dan semakin banyak rumah tangga menikmati kemewahan media rekaman. Dibagi menjadi empat genre: jazz, jenaka, lagu-lagu rakyat dan lagu-lagu populer, musik pop lokal di masa-masa awal mencerminkan suasana sosial dan mentalitas publik pada zaman itu. Chang Yu-jeong Profesor, Departemen Seni Liberal, Universitas Dankook

P

ada tahun 2018, topik terbesar musik pop Korea adalah BTS. Ini karena mereka telah menulis ulang sejarah musik dunia di luar sejarah musik pop Korea dengan memecahkan rekor berulang kali. Selama satu tahun, dua album mereka menduduki tingkat teratas di tangga lagu ‘Billboard 200’ yang merupakan suatu prestasi yang patut diberi perhatian. Rekor tersebut adalah rekor pertama yang diraih oleh penyanyi Korea dan rekor pertama yang diraih oleh album bahasa asing. Saya merasakan perubahan yang luar biasa ketika melihat banyak penyanyi dan lagu pop Korea mendapatkan reaksi gila-gilaan dari luar negeri seperti BTS pada akhir-akhir ini. Setidaknya 100 tahun yang lalu, siapakah yang bisa meramalkan fenomena seperti ini ketika musik pop mulai tumbuh pada saat Korea kehilangan kedaulatan mereka dan harus hidup dalam kesedihan dan kepiluan.

18 Koreana Musim Semi 2019

Media Rekaman dan Musik Komersial

Musik pop muncul bersamaan dengan dimulai­ nya modernitas yang berfokus pada ‘popularitas’. Namun itu tidak berarti bahwa tidak ada lagu populer di masyarakat sebelum zaman modern. Sebagai contoh, seorang misionaris yang sekaligus juga adalah seorang pendidik dari Amerika bernama Homer B. Hulbert, dikenal sebagai orang asing yang sangat mencintai Korea. Ia menulis artikel berjudul “Musik Vokal Korea” dalam The Korean Repository edisi Februari 1896, majalah bahasa Inggris pertama yang diterbitkan di Korea. Di situ ia memperkenalkan lirik dan lembar­ an musik <Arirang>. Dia menjelaskan bahwa <Arirang> adalah “sebuah lagu yang menggambarkan orang Korea dan merupakan lagu yang paling populer untuk orang Korea seperti layaknya nasi yang dimakan setiap hari”. <Arirang> atau ‘Gu Arirang’ yang diperkenalkan oleh Hulbert pada saat itu, berbeda dari ‘Bonjo Arirang’ yang

Aransemen “Arirang” diterbitkan dalam esai “Musik Vokal Korea” oleh Homer B. Hulbert dalam edisi Februari 1896 di Museum Korea.


sekarang kita kenal. Setidaknya kita dapat me­­ ngetahui bahwa kepopuleran lagu <Arirang> luar biasa di tahun 1896. Demikianlah, sebelum musik pop dengan makna yang kita kenal saat ini muncul, jelas sudah ada lagu-lagu yang dicintai oleh orangorang pada setiap zamannya. Yang membedakannya adalah bahwa musik pop saat ini terkait erat dengan industri musik dan muncul melalui media canggih. Tujuan akhir dari musik pop adalah mendapatkan keuntungan, oleh karenanya selain merupakan karya seni, lagu pop juga merupakan sebuah produk industri. Alasan ini jugalah yang menjelaskan mengapa <Arirang>, yang diperkenalkan oleh Hulbert, tidak dapat dikategorikan sebagai lagu pop. Industri rekaman di Korea bermula pada tahun 1907 ketika Columbia Records, perusahaan rekam­an AS, merilis rekaman komersialnya untuk pertama kalinya. Colombia merekam dan merilis lagu-lagu Han Gyeong-oh dan seorang Gisaeng (wanita penghibur raja dan bangsawan zaman dinasti Joseon) bernama Hongmae. Tak lama kemudian, Viktor Records juga merekam musik tradisional Korea dan setelah itu bak bersaing, rekaman musisi terkenal dirilis berentetan. Karena alasan itulah bisa dikatakan bahwa kunci penyebaran musik pop selama periode ini adalah media rekaman. Sebelum siaran radio dikenal di Korea yaitu pada akhir 1920-an, alat rekaman yang merembes kuat dalam kalangan masyarakat atas saat itu memberikan kontribusi besar terhadap perkembangan dan penyebaran musik.

rah baru, dan trot. Meskipun perbedaan ini bukan jelas sejak awalnya, dari sekitar tahun 1930 ketika musik pop muncul dengan hangatnya, kadangkadang untuk membedakan lagu-lagu ini pada judul lagu dituliskan jenis lagu tersebut. Di antaranya yang paling utama adalah bahwa lagu jazz sangat berbeda dari konsep yang kita kenal saat ini. Pada waktu itu, bukan hanya jazz Amerika tetapi juga semua musik pop populer dan musik Latin, yang dipengaruhi oleh musik pop Barat, disebut ‘lagu jazz’. Orang Korea telah mengenal dan menggunakan alat musik ala Barat melalui lagu pujian agama Kristen dan orkes musik Barat. Pada awal 1920-an, musik Barat berpengaruh lebih kuat hingga terjadilah ‘jazz boom’ kala itu. Misalnya, pada tahun 1926, Baek Myeong-gon, seorang dari Provinsi Jeolla-do yang pergi ke Shanghai bersama tim sepak bola Korea, kembali dengan membeli instrumen jazz dan lembaran

“Pendengaran Sunyi” (1934) oleh Kim Kichang. Tinta dan warna pada sutra, 159 × 134,5 cm. Menggambarkan keluarga modern tahun 1930-an. Lukisan itu ditempatkan di ruang tamu yang didekorasi dengan baik oleh seorang dokter yang tinggal di lingkungan yang sama dengan sang seniman.

© Museum Nasional Seni Modern dan Kontemporer, Korea

Ledakan Jazz

Seperti kebanyakan fenomena budaya baru, musik pop modern Korea juga lahir dari persaingan budaya asing dengan budaya lokal, yang kemudian berbaur dalam koeksistensi dan karenanya musik pop Korea sangat terpengaruh oleh tiga jenis musik. Musik tradisional milik Korea, musik Barat, dan musik Jepang. Pengaruh ketiga pengaruh musik ini tidak begitu sederhana karena mereka saling terkait satu sama lain, tetapi tergantung pada pengaruh musik mana yang relatif dominan, musik pop awal telah terbentuk dan berkembang menjadi genre yang berbeda. Musik pop modern Korea dapat dibagi menjadi empat yaitu lagu jazz, lagu jenaka, lagu dae­

seni & budaya korea 19


musik untuk membentuk Band Jazz Korea. ‘Jazz Song’, yang terutama bertujuan memberikan hiburan yang sensasional, menjadi populer di akhir 1920-an di kalangan modern boy dan modern girl di Gyeongsung, yang merupakan sinonim untuk pria dan wanita kota. Fenomena ini sangat terpengaruh oleh film dan rekaman musik. Namun pandangan masyarakat terhadap fenomena ini tidaklah selalu ramah. Pada saat itu, ada intelektual yang menyindir dengan mengatakan “hiruk-pikuk jazz oleh modern girl dan modern boy yang tergila-gila dengan penampilan luar lantas menari-nari dengan menggerakkan pinggul mereka”. Berkat ‘ledakan jazz’ pada akhir tahun 1920-an, musik pop mulai muncul dengan nama ‘lagu jazz’ pada sekitar tahun 1930. Pada awalnya, se­perti <Dinah>, banyak lagu yang populer di Barat dan Jepang dirilis. Kemudian, pada pertenga­­han tahun 1930-an, karya-karya kreatif seperti <Mimpi Biru dari Warung Kopi>.

Simpati vs Sarkasme

Manyo adalah lagu yang mementingkan lirik lagu daripada klasifikasi musiknya. Istilah ‘Manyo’ berasal dari sebuah kisah yang sebagian besar terdiri dari dua orang yang saling bercerita tentang hal yang menarik. Manyo terbagi dari yang berisi konten konyol yang mirip dengan buku komik dan sindiran yang menertawakan situasi atau kondisi.

Kehidupan terus berjalan di kedalam­­ an keputusasaan, memunculkan lagu-lagu yang meletakkan dasar bagi kekayaan musik masa kini. Jika yang pertama adalah tawa belas kasih, yang terakhir adalah tawa kritik. Jika yang pertama adalah tawa hangat, yang terakhir adalah tawa yang dingin. Lagu asli dari lagu <Melihat-lihat Seoul>, yang secara luas merakyat dari tahun 1950-an hingga 1970-an, aslinya adalah lagu <Pak Tua yang Berbahagia> karya Kang Hong-sik pada tahun 1936. Lagu ini adalah penggambaran lucu seorang bapak tua dari desa yang datang ke Seoul untuk pertama kalinya menggunakan kereta api. Sambil mendengarkan liriknya, kita akan tertawa membayangkan cerita di dalamnya, pada saat yang sama di sisi lain, kita akan dapat bersimpati pada kesalahan yang dilakukan oleh sang bapak dari desa itu. Karena lirik lagu itu menghadapkan kita pada sosok kita yang terjebak di arus laut modern. Selain itu, lagu <Mahasiswa Amburadul> yang dirilis oleh Columbia Records pada tahun 1939 adalah lagu satir tentang seorang mahasiswa tetangga yang tidak pergi ke kuliah karena menge-

Band Jazz Korea difoto setelah penampilan pertama mereka di Stasiun Radio Gyeongseong (JODK) pada musim panas 1929.

20 Koreana Musim Semi 2019


Hiburan dalam Zaman yang Susah

Pada pertengahan 1930-an, ada banyak penyanyi lagu populer yang dulunya adalah Gisaeng. Siswa Gisaeng yang secara formal dilatih menari dan menyanyi di sekolah gisaeng dapat juga dipandang sebagai ‘artis-artis yang sudah dipersiapkan’. Terutama penyanyi dari kalangan Gisaeng yang mampu menyanyikan lagu dengan baik menggunakan cara menyanyi tradisional menonjol sebagai penyanyi lagu rakyat. Pendengar musik pop pada waktu itu sangat menggemari lagu rakyat, yang relatif ‘berbau Korea’ dibandingkan dengan lagu genre lainnya. Berkat hal itu pada tahun 1933, Wang Su-bok, seorang Gisaeng yang berpartisipasi dalam rekaman, memenangkan tempat pertama dalam kategori penyanyi wanita pada ‘Penyanyi lagu pop terlaris’ yang disponsori oleh Samchully, yang menerbitkan majalah budaya [Samchully] pada tahun 1935. Yang disebut sebagai lagu ‘rancak’ di zaman sekarang pun muncul dalam periode ini. Pada waktu itu, mereka disebut sebagai ‘lagu pop’,

© Badan Konten Kreatif Korea

jar cinta dan tercandu bermain biliar. Sindiran ini bukan hanya ditujukan kepada mahasiswa tetangga tetapi juga seorang mahasiswa yang menunjukkan perilaku seperti itu. Lagu ini memiliki arti tersendiri karena memberi kesenangan dan pelajaran melalui sindiran. <Shin Minyo> atau yang juga berarti “lagu rakyat baru”, seperti yang terungkap dalam namanya, menunjukkan sosok lagu pop Korea asli. Lagu ini mencoba mewarisi unsur tradisional dengan meminjam beberapa bagian dari musik tradisional atau lagu daerah. Refrain dipinjam dari dari musik tradisional, menggunakan iringan instrumen tradisional, dan menggunakan berbagai cara tradisional untuk memainkan unsur-unsur tradisional dalam lagu. Khususnya, melalui lagu tema <Arirang> dari sebuah film karya Na Wook Kyu pada tahun 1926 yang sangat populer pada saat itu kita dapat merasakan lagu Shin Minyo pada awal kelahirannya.

© Arsip Rekor Korea di Universitas Dongguk

1

2

kebanyakan lagu-lagu ini dipengaruhi oleh musik pop Jepang dan menunjukkan karakteristik formal dua-beat, monoton, dan lima not. Namun, musik pop Jepang yang mempengaruhi lagu-lagu ini sebenarnya tidak sepenuhnya berasal dari Jepang. Jepang secara aktif memeluk budaya Barat termasuk musik Barat, dan dalam prosesnya musik Barat bertemu dengan musik Jepang dan melahirkan ‘Enka’. Di Jepang pada waktu itu, lagu-lagu ini tidak disebut ‘Enka’, tetapi mereka disebut “Ryukoka”. Pada 1960-an, ‘Ryukoka’ disebut ‘Enka’ dan ditetapkan sebagai musik pop tradisional. Dalam proses pembentukan identitas nasional, Jepang memperlakukan ‘Enka’ sebagai musik tradisional. Singkatnya, ‘Enka’ dari Jepang adalah “tradisi buatan”. Di Korea, irama rancak telah teraniaya dan dikecam sejak lama karena dianggap sebagai musik yang terpengaruh oleh Jepang. Namun demikian, ia masih bertahan sampai hari ini dengan menunjukkan kegigihannya dalam bertahan berkat respon dari masyarakat luas. Modernitas kita, yang tidak terbuat secara sukarela dan subjektif, adalah nama lain dari keputusasaan. Namun, di tengah keputusasaan, kehidupan dan budaya terus berlanjut, dan ada lagu-lagu yang bisa dilihat sebagai akar musik pop modern. Musik pop Korea adalah musik yang menyentuh dan menghibur hati orang-orang yang berada dalam kepiluan, bunga indah yang mekar di kegelapan zaman modern.

3 1. Dirilis oleh Columbia Records pada tahun 1907, “Nyanyian Korea” adalah rekaman satu sisi yang berisi lagu-lagu daerah Provinsi Gyeonggi dinyanyikan oleh Han In-o 2. “Duka Cita di Mokpo” oleh Yi Nan-yeong, dirilis pada 1935 oleh Okeh Records, menghibur warga Korea yang tinggal di tanah jajahan. Lagu ini masih tetap populer hingga saat ini. 3. “Ansambel Pertama” dirilis pada 1940, kompilasi penyanyi di bawah kontrak eksklusif dengan Okeh Records. Perusahaan rekaman pertama yang didirikan oleh orang Korea, Okeh Records diluncurkan pada tahun 1932.

seni & budaya Korea 21


FITUR KHUSUS 4

Jalan Menuju Modernitas: Korea di Awal Abad Ke-20

Masa Pencerahan dan Seratus Tahun Kemudian Setelah pembukaan pelabuhan yang dimulai dengan Perjanjian Korea-Jepang pada tahun 1876, Joseon menyambut masa pencerahan yang dikarenakan perubahan sosial secara drastis bersamaan dengan runtuhnya disiplin konfusianisme. Kemudian seratus tahun kemudian, sekarang Korea sedang berhadapan dengan pencerahan ke-dua di tengah gelombang globalisasi budaya. Jung Duk-hyun Kritikus Budaya Populer

22 Koreana Musim Semi 2019


P

uncak simbolis konten budaya populer Korea di tahun 2018 adalah drama televisi berjudul “Mister Sunshine”. Mengambil akhir masa Dinasti Joseon pada abad ke-19 sebagai latar belakangnya, yaitu masa di mana armada-armada laut Amerika Serikat, Prancis, dan Jepang berdatangan dan meminta untuk membuka pelabuhan. Drama ini memberikan kesan mendalam dengan menyorot kembali para tentara rakyat jelata tanpa nama yang berjuang demi menjaga bangsanya dari kekuasaan asing dan kini hilang tanpa kabar. Tetapi drama ini memiliki makna yang lebih dalam karena secara seimbang menggambarkan perjuangan tentara rakyat jelata dan keretakan yang dialami masyarakat Joseon bersamaan dengan masuknya budaya baru Barat, serta perubahan kesadaran dari berbagai kelas sosial. Memang bukan berarti tidak ada film atau drama lain yang menggambarkan masa pencerahan sebelumnya, tetapi sebagian besarnya bertumpu pada cerita perlawanan terhadap Jepang. Sebaliknya, drama ini menampilkan kembali hotel ala Barat yang menempati jalanan kota Hanyang, toko roti Prancis, kedai arak terbuka Jepang dan toko jahit pakaian Barat, dan menggambarkan kisah sehari-hari seperti pekerjaan buruh modern dan kisah cinta. Terutama pemeran utama wanita drama ini yang merupakan putri dari keluarga bangsawan ternama memperlihatkan dobrakan yang luar biasa. Wanita pemberani ini menolak pertunangan yang ditentukan oleh kedua belah pihak keluarga dan jatuh cinta pada Yu-jin Choi. Pria ini sebenarnya berasal dari kelas budak Joseon yang menyelinap lari ke Amerika, menjadi perwira angkatan laut Amerika, dan kemudian dikirim dinas ke kedutaan di Hanyang. Selain itu pemeran wanita ini secara diam-diam mempelajari cara menembak dari seorang pemburu kelas masyarakat rendah dan bergerak sebagai penembak gelap golongan pro-Jepang. Melalui tokoh utama wanita yang menolak kehidupan yang ditentukan oleh orang lain dan memilih jalan hidup yang ia rintis sendiri, para penonton dapat melihat citra wanita masa pencerahan yang aktif dan mandiri.

© Chosun Ilbo

1 1. RM atas nama BTS berpidato di Sidang Umum ke73 Amerika Serikat pada tanggal 24 September 2018 untuk menandai peluncuran “Generasi Tanpa Batas”, sebuah inisiatif pemuda global baru oleh UNICEF. Pesan mereka “Temukan suaramu” sangat selaras dengan kaum muda di seluruh dunia. 2. Adegan dari “Tour Dunia BTS: Cintailah Dirimu di Seoul”, dirilis di 3.800 bioskop di 95 negara pada 26 Januari 2019. Ini adalah film konser kedua oleh BTS, setelah “Membakar Panggung: Sebuah Film”.

2 © Big Hit Entertainment

seni & budaya Korea 23


Sebuah studio foto di Sangyeok-dong, Daegu, adalah hotspot di kalangan anak muda untuk foto-foto bergaya retronya yang menciptakan kembali tampilan dan suasana hati dari era Joseon pada pergantian abad ke-20. Berkat ledakan popularitasnya, studio ini telah membuka cabang di Seoul dan Busan.

Harapan Masa Pencerahan

“Mister Sunshine” mengandung simbolisme lain juga. Seratus tahun berlalu sejak waktu latar belakang tersebut, sekarang drama ini memperlihatkan standar konten yang diminta oleh zaman globalisasi budaya yang berhubungan dengan jaringan digital. Drama yang telah menyelesaikan syutingnya sebelum masa penayangannya ini memakan biaya produksi sebesar 4.3 milyar, dan dengan sistem produksi drama dalam negeri yang terbatas drama ini mustahil untuk dibuat. Yang membuat proses produksi ini dapat berlangsung adalah platform global Netflix yang memberikan investasi sebesar 70% dari total biaya produksi tersebut. Hasilnya, muncullah drama yang dapat ditonton di seluruh dunia pada waktu yang sama dengan Korea. Dan melalui hal ini, cara produksi dan konsumsi konten drama Korea menjadi berubah sama sekali.

24 Koreana Musim Semi 2019

Kini usaha produksi konten budaya populer Korea berhadapan dengan masa peralihan baru. Para penonton sudah saling berbagi konten yang diproduksi di seluruh dunia pada waktu yang sama saat konten tersebut dibuat melalui platform global seperti Netflix atau YouTube. Dalam situasi seperti ini, bisnis budaya Korea memasuki masa “pencerahan-baru” di mana kita harus mempertimbangkan dan memutuskan apakah kita akan meluncur ke pasar global atau terus diam di pasar dalam negeri. Jika kita kembali melihat “Mister Sunshine” melalui perspektif ini, latar belakang masa drama ini memberikan makna implisit. Dalam pasar global, konten yang diharapkan adalah konten yang cocok dengan sifat pasar tersebut. Latar belakang masa “pencerahan” memiliki daya tariknya sebagai bahan cerita khusus yang dibawa dari sejarah Korea sekaligus juga dapat dipahami secara universal oleh penonton luar negeri. Kebebasan, perdamaian, dan hasrat romantis mengenai cinta yang dikan­ dung oleh masa pencerahan Korea adalah tema universal yang melampaui batas negara dan ras sehingga drama ini dapat meningkatkan rasa simpati dan memperluas tingkat penontonnya. © Studio Sankyeok Masa pencerahan, masa khusus ketika benturan budaya terjadi secara kuat, adalah latar belakang yang bagus untuk mengembangkan imajinasi kita. Misalnya, film “Orang Baik, Orang Jahat, Orang Aneh” karya sutradara Kim Ji-hun yang menafsirkan ulang genre barat dengan cara Korea juga berlatarkan masa pencerahan, dan berkat imajinasi “masa pertumpukan” semacam ini keasyikan dan tingkat ke­­ sempurnaan film ini meningkat. Latar belakang konten budaya Korea dapat menarik perhatian pasar global di kemudian hari. Inilah yang menjadi alasan mengapa masa pencerahan membuka pintu modern di tanah Korea sa­­ ngat mungkin terjadi.

Standar Global Baru

Contoh lain yang menunjukkan kondisi masa pencerahan-baru dewasa ini adalah gejala BTS(Bangtan Boys). BTS yang muncul menjadi grup idola global dalam waktu singkat telah menjadi ikon penting dari pencerahan-baru. Boyband beranggota tujuh orang yang menyebarkan namanya melalui kelompok penggemar (fandom) sedunia yang melampaui batas negara, bangsa, dan bahasa bernama ARMY, telah menjadi tokoh utama sebuah sindrom luar biasa yang muncul bersamaan dengan terpenuhinya kebutuhan jaringan global seperti YouTube. Kunci rahasia dari semua itu adalah kekayaan umum manusia bernama tari dan musik.


Standar global masa pencerahan-baru menyimpan nilai-nilai yang dapat dirasakan dan dibagi bersama oleh seluruh umat ma­ nusia dengan melam­ paui batas negara dan konsep zaman lama. Poster “Mr. Sunshine”, salah satu serial TV paling terkenal di tahun 2018. Drama ini menjelaskan perjuangan para pejuang tanpa nama dari “tentara budiman” selama Kekaisaran Korea dan menggambarkan karakter wanita proaktif dan independen. Juga digambarkan perusahaan komersial modern pertama di Seoul, seperti hotel bergaya Barat, toko roti dan pembuat pakaian.

Satu hal yang menarik adalah pernah terjadi kontroversi kolot yang berbentur dengan demam BTS. Kontroversi itu adalah kasus ketika sebagian kelompok sayap kanan pemerintahan Jepang menyebut kaos yang dipakai oleh salah satu anggota BTS, Jimin, dengan sebutan “kaos bom atom” dan menyerangnya sebagai target kebencian. Mereka mengancam dengan mengatakan seharusnya jangan menampilkan para idola Korea di acara program seni populer Jepang seperti acara musik tahunan Kohaku Uta Gassen. Akan tetapi bagi BTS yang telah memiliki kelompok penggemar di seluruh dunia melalui jaringan global di zaman teknologi informasi, media lama berupa program televisi bukanlah hal yang amat penting. Kontroversi dari sekelompok sayap kanan Jepang hanya membuktikan bahwa hal tersebut adalah cara penanganan zaman lama yang telah tertinggal di tengah lingkungan budaya zaman global. Akhirnya, hal tersebut merangsang para BTS ARMY Jepang dan menghasilkan kesatuan yang lebih kokoh. Singkatnya, hal ini merupakan kasus yang membuktikan kenyataan bahwa terdapat konten dengan standar global baru yang diinginkan oleh masa pencerahan. Standar global masa pencerahan-baru menyimpan nilai-nilai yang dapat dirasakan dan dibagi bersama oleh seluruh umat manusia dengan melampaui batas negara dan konsep zaman lama. Nilainilai itu bukan sebatas kompetisi, melainkan melebihi kondisi tersebut menuju kebebasan, perdamaian, dan hidup yang saling berdampingan. Kaos yang dikenakan Jimin bukanlah “kaos bom atom”, melain­ kan “kaos kemerdekaan”. Gerakan atas kehendak sendiri dari para penggemar yang mengatakan hal tersebut adalah simbol perdamaian memperlihatkan dengan jelas apa nilai-nilai yang terkandung di atas.

Tantangan Zaman Media Baru

Sekarang kita sedang menyaksikan pemandangan masa pencerahan-baru yang telah berubah melalui proses konsumsi budaya zaman global yang unik. Kehebohan yang muncul di Korea tahun lalu oleh film “Bohemian Rhapsody” yang menceritakan kehidupan Freddie Mercury dan band rok Inggris ‘Queen’ merupakan contoh lain yang bagus. Film yang mendorong turun semua rekor kantor tiket (box office) film-film musik terkenal ini justru menimbulkan sindrom yang lebih kuat di Korea daripada di Inggris sebagai negara asalnya. Di tengah semua itu ada juga budaya menonton unik dan baru bernama ‘acara tayangan bernyanyi bersama (sing-along)’ yang para penontonnya tidak hanya duduk diam menonton dengan pasif, melainkan menikmatinya sambil ikut menyanyi. Jaringan digital yang diciptakan oleh media baru zaman teknologi informasi membuka sebuah pencerahan-baru yang disebut “zaman budaya global”. Jika mempertimbangkan pengalaman masa pencerahan yang kita hadapi seratus tahun yang lalu, masa pencerahan-baru zaman sekarang adalah perkara penting dan jelas mengenai pilihan apa yang harus kita jalani. Pintu telah terbuka lebar dan jalan yang harus dituju pun terlihat jelas. Kita harus menuntut nilai-nilai universal global sambil menjaga budaya kita pada saat yang sama. Itulah tantangan yang sedang dilewati melalui pintu masa pencerahan-baru. © Studio Dragon

seni & budaya korea 25


FOKUS

1

Perjalanan Waktu dalam Kamus Kamus mencerminkan perubahan budaya dan sosial melalui kata-kata yang didaftar dan didefinisikan. “Kamus Korea, Perspektif Baru�, sebuah pameran khusus di Museum Nasional Hangeul, memberikan kesempatan unik untuk melihat kembali era modern. Hong Sung-ho Penyunting, Harian Ekonomi Korea

26 Koreana Musim Semi 2019


1. “Kamus Korea, Perspektif Baru” adalah pameran khusus yang diadakan di Museum Hangeul Nasional dari 20 September 2018 hingga 3 Maret 2019. Pengunjung menelusuri kamus dan perubahan tren sosial-budaya yang tercermin di dalamnya. 2. Naskah kamus Korea pertama yang ditulis Ju Si-gyeong (1876–1914) dengan murid-muridnya pada tahun 1911. Hanya sebagian dari naskah asli yang bertahan. 3. Draf terakhir “Kamus Bahasa Korea,” yang disusun selama 13 tahun dari tahun 1929 oleh Masyarakat Bahasa Korea yang didirikan 1921. Naskah ini disita oleh polisi Jepang pada tahun 1942 dan dipulihkan dalam sebuah gudang di Stasiun Seoul pada tahun 1945 setelah kemerdekaan.

P

2 l Hangeul

m Nasiona

© Museu

ada 2010, Oxford University Press mengumumkan bahwa mereka tidak akan lagi mencetak “Oxford English Dictionary” (OED), kamus bahasa Inggris yang paling resmi. Ksrena terjadi penurunan besar dalam penjualan tahunan kamus cetaknya, perusahaan mengatakan edisi ketiga OED hanya akan tersedia secara daring. Kamus yang edisi perdananya diterbitkan pada tahun 1884 ini merupakan salah satu dari segelintir kamus dunia bergengsi. Kamus ini tidak hanya akrab bagi orang Korea, melainkan juga sudah mencatat sekitar 10 kata dari bahasa Korea, seperti ‘Hangeul’, ‘Taekwondo’, ‘Kimchi’, ‘Makgeolli’, ‘Ondol’, serta satuan unit distrik administratif seperti ‘myeon’ dan satuan mata uang ‘won’. Bersamaan dengan peringatan Hari Aksara Korea di

© Masya

3

rakat Han

geul

tanggal 9 Oktober 2006, Institusi Nasional Bahasa Korea mengungkapkan bahwa edisi revisi mendatang hanya akan diterbitkan secara daring. Sebagai gantinya, Institusi Nasional Bahasa Korea meningkatkan fungsi kamus web ini, sehingga siapa pun dapat mengunggah kata baru beserta penjelasannya atau dapat disebut sebagai kamus terbuka dua arah yang kemudian diberi nama ‘Urimalsaem’ yang berarti ‘musim semi bahasa kita’. Transisi dari cetak ke daring sejajar dengan kemajuan teknologi. Kehadiran komputer dan smartphone akan membuat pemiliknya benar-benar berjalan-jalan dengan kamus kecil. Internet telah membuat pencarian definisi atau kata dalam kamus digital dan online menjadi mudah dan praktis. Hari-hari melelahkan dalam mencari makna kata melalui halaman-halaman kamus kertas berlalu sudah.

seni & budaya Korea 27


Pameran khusus, “Kamus Korea, Perspektif Baru,” dimulai pada 20 September 2018, di Museum Nasional Hangeul, yang terletak di kompleks Museum Nasional Korea di Distrik Yongsan, Seoul. Meskipun awalnya dijadwalkan untuk ditutup pada akhir tahun, karena tanggapan publik sangat luar biasa sehingga pameran diperpanjang selama tiga bulan.

dokumen-dokumen Langka yang Baru diungkap ke Publik

Kamus bukan sekedar kotak harta karun yang menyimpan kata-kata, melainkan juga perubahan masyarakat. Oleh karena itu, proses perubahan pada kamus berbahan kertas bisa memperlihatkan secara ringkas perkembangan masyarakat, kebudayaan, dan alur sejarah. Sehingga, pameran ini disambut baik karena dapat membuat kita menjelajahi waktu ke dalam sejarah 100 tahun lalu sambil mengingat kembali makna yang tersimpan di dalam perubahan sebuah kamus dan di dalam setiap kata Aksara Korea bernama Hangeul yang diciptakan tahun 1443 oleh Sejong, raja keempat Dinasti Joseon, baru diresmikan menjadi aksara resmi negara setelah sekitar empat abad berlalu, yakni di tahun 1894 setelah Titah Kerajaan No. 1 diturunkan pemerintah Joseon, sehingga pembuatan kamus Bahasa Korea dianggap sebagai tugas nasional masyarakat modern yang kelam untuk menentukan nasib negara. Namun

di luar dugaan, kamus Bahasa Korea pertama dibuat lebih dulu oleh misionaris asing untuk menyebarkan ajaran Kristen. ‘Dictionnaire Coréen-Français’ ditemukan tahun 1880, sementara kamus dua bahasa seperti ‘Kamus Ringkas Korea – Inggris’ diterbitkan tahun 1880 dan ‘Kamus Inggris – Korea’ diterbitkan tahun 1891. Manuskrip ‘Dictionnaire Coréen-Français’ (tahun 1878, Ketua Yayasan Penelitian Sejarah Gereja Korea) selama ini belum pernah dibuka ke publik, sehingga kemunculannya sangat menarik perhatian dalam pameran kali ini. Manuskrip ini merupakan naskah asli ‘Dictionnaire CoréenFrançais’ yang diterbitkan di Yokohama, Jepang pada tahun 1880 oleh Uskup Félix-Clair Ridel dari kelompok misionaris Korea milik Komunitas Misionaris Asing Paris. ‘Dictionnaire Coréen-Français’ merupakan kamus Korea – Perancis pertama, sekaligus dokumen bersejarah karena dianggap sebagai perintis kamus Korea dalam dua bahasa. Melalui pameran kali ini, pengunjung dapat membandingkan perbedaan manuskrip yang dibuat sebelum kamus diterbitkan dengan versi cetak yang menggunakan teknik percetakan huruf lepas. Selain itu, pengunjung juga dapat mencari tahu me ngenai fakta menarik mengenai Syngman Rhee, aktivis kemerdekaan sekaligus presiden pertama Korea di masa awal, yang ingin menerbitkan kamus Inggris – Korea. Keti-

1. Foto anggota Masyarakat Bahasa Korea yang diambil pada tanggal 9 Oktober 1957, memperingati penerbitan “Kamus Bahasa Korea”. Kompilasi kamus yang dimulai pada tahun 1929 harus dihentikan karena pemenjaraan perhimpunan leksikograf, dan diselesaikan oleh penggantinya, Masyarakat Hangeul.

1 © Masyarakat Hangeul

28 Koreana Musim Semi 2019

2. “Kamus Korea-Prancis” diterbitkan oleh Uskup FélixClair Ridel (1830–1884) dari La Société des Missions, Etrangères de Paris (Masyarakat Misi Asing Paris) pada tahun 1880. Kamus Korea bilingual pertama, berisi sekitar 27.000 entri Korea dalam urutan abjad.


ka dipenjara di akhir masa Dinasti Joseon, Rhee meninggalkan ‘naskah awal Kamus Inggris – Korea Baru (1903~1904, Ketua Badan Penelitian Syngman Rhee Universitas Yonsei)’. Dokumen berisi huruf A sampai F ini tidak terselesaikan akibat mulai ditulis bersamaan dengan ‘Semangat Kemerdekaan’ (The Spirit of Independence). Kemudian, pengunjung juga dapat melihat naskah kamus buatan Soh Jaipil, sosok yang mengoperasikan ‘Koran Kemerdekaan’ berbahasa Korea di era Joseon ketika kekuasaan Barat sedang bersaing sengit di akhir abad ke-19. ‘Naskah awal Kamus Inggris – Korea’ buatannya berisi huruf A sampai P. Naskah-naskah kamus tulisan tangan yang belum selesai ini dipamerkan untuk pertama kalinya ke publik dalam pameran kali ini.

Jejak Sejarah Peradaban Modern

Pameran ini juga menunjukkan betapa menariknya perubahan kata dan makna di dalam sebuah kamus di setiap zaman. Pengunjung bisa menengok kembali bagaimana perkembangan masyarakat sejak masa pencerahan tercermin di dalam kamus, serta apa saja perubahan yang ada dalam wawasan masyarakat Korea. Sebagai contoh adalah ‘Telepon’ karya

© Museum Nasional Hangeul

2

Yeom Sang-seop yang dikenal melalui novel pendek berjudul ‘Katak Hijau Ruang Spesimen’ yang sekaligus salah satu penulis terkenal di masa awal sastra modern Korea. Novel pendek ‘Telepon’ yang diterbitkan tahun 1925 ini mendeskripsikan secara realistis ketidakjujuran umat manusia, kebocoran privasi, dan masalah lainnya yang muncul setelah adanya telepon yang saat itu merupakan penemuan ilmiah termutakhir. Telepon memperlihatkan sambungan kabel pertamanya di Korea pada tahun 1898. Awalnya kata ‘telephone’ yang merupakan bahasa Inggris disadur ke huruf Korea yang berbasis aksara Tiongkok, sehingga kemudian bunyinya menjadi deongnyulpung dalam bahasa Korea. Kata ini juga dapat diartikan ‘angin penyebar kebajikan’. Selain itu, telepon juga disebut ‘mesin penyampai pesan’ karena fungsinya. Mesin pemudah kehidupan umat manusia bernama telephone ini tidak memiliki saduran resmi ke Bahasa Korea sampai akhirnya disebut ‘telepon’ seperti yang tercantum di judul novel Yeom Sang-seop di tahun 1920-an. Kata ‘pesawat telepon’ baru digunakan resmi di masyarakat ketika peneliti Bahasa Korea Moon Se Young (1888~?) merapikan sekitar 10 ribu istilah pada tahun 1938 ke dalam ‘Kamus Baha-

seni & budaya Korea 29


1 Š

Di era digital saat ini, ketika arus informasi tumpah ruah didapatkan secara nyaman dan cepat, mudah sekali melupakan peran kamus dalam masyarakat. sa Joseon’. Saat itu kata pesawat telepon baru dimasukkan ke kamus dan ditambahkan ke dalam bahasa Korea. Kamus bahasa Korea ini sangat bermakna dalam khususnya berkat jerih payah seumur hidup Moon Se Young untuk menerbitkannya demi melindungi harga diri bangsa Korea selama masa penjajahan. Selain itu, kamus ini juga merupakan kamus Bahasa Korea pertama yang terlahir dari orang Korea. Beberapa kamus dua bahasa memang banyak diterbitkan sejak akhir abad ke-19, tapi kamus-kamus tersebut me rupakan karya misionaris asing, sehingga tidak bisa dianggap sebagai kamus bahasa Korea jika dilihat dari perspektif kemurniannya. Kamus yang diterbitkan Gubernur Jenderal Korea pada zaman penjajahan Jepang di tahun 1920 juga tidak bisa dianggap sebagai kamus bangsa Korea karena tujuan pembuatannya adalah sebagai salah satu upaya penjajahan Jepang di bidang kebudayaan. Pengunjung juga bisa menemukan sejak kapan kata-kata baru terkait dengan teknologi ilmiah, seperti mobil, televisi, listrik, dan lainnya mulai digunakan melalui kamus di pameran ini. Selain itu, pengunjung juga bisa meninjau kemun-

30 Koreana Musim Semi 2019

Ge

du

ng

Ke m

erd

eka

an

Ko rea

culan istilah-istilah baru yang melambangkan keadaan sosial, seperti modern boy, modern girl, dan madame freedom.

negara adidaya iT dan aksara Korea

‘Kamus Besar Bahasa Korea’ yang diterbitkan tahun 1999 dianggap menorehkan garis besar dalam sejarah kamus Bahasa Korea. Ini merupakan upaya besar selama 8 tahun yang dimulai sejak tahun 1992 karena pemerintah juga ikut andil dengan berinvestasi sekitar 12 milyar won. Kamus ini dibagi menjadi tiga jilid dengan total lebih dari 7 ribu halaman berisi kata-kata standar, serta bahasa Korea Utara, dialek daerah, kosa kata kuno, dan lainnya, membuat total katanya menjadi sekitar 500 ribu kata. Sejak itu, kebanyakan penerbit komersial menerbitkan berbagai macam kamus berdasarkan kamus ini. Di era digital saat ini, ketika arus informasi tumpah ruah didapatkan secara nyaman dan cepat, mudah sekali melupakan peran kamus dalam masyarakat. Pameran Museum Aksara Korea Nasional kali ini dapat mengingatkan akan nilai kamus sebagai penunjuk jalan di dunia, serta dapat


um Nasi © Muse ngeul

onal Ha

© Institut Syngman Rhee, Universitas Yonsei

3

2

1. Draf pertama kamus bahasa Inggris-Korea aktivis Soh Jaipil yang ditulis pada tahun 1898. Dia hanya berhasil menyelesaikan A ke P. 2. Sampul bagian dalam dan halaman pertama “Kamus Bahasa Korea” ditulis dan diterbitkan oleh Mun Se-yeong pada tahun 1938. Berisi sekitar 100.000 entri. Merupakan kamus Korea pertama yang menggunakan Paduan Sistem Ejaan Hangeul. Edisi yang direvisi dan diperbesar diterbitkan pada tahun 1940 dengan 10.000 entri tambahan dan mengubah anotasi. 3. Draf “Kamus Inggris-Korea-Korea” yang belum selesai yang ditulis oleh Syngman Rhee, presiden pertama Republik Korea, pada tahun 1904–1905 ketika ia berada di penjara.

menjadi kesempatan langka untuk memupuk pengetahuan. Selain itu, pameran ini juga dapat menjadi wadah untuk memastikan keunggulan dan makna aksara Korea bersamaan dengan sejarah berliku bangsa Korea. Aksara Korea yang unik merupakan aksara yang sangat ilmiah dan praktis yang telah diakui secara global. Selain itu, nama lama aksara Korea berarti ‘suara tepat untuk mengajar rakyat’ menyimpan berbagai kesulitan Raja Sejong saat menciptakannya, serta semangat penuh kasih sayang dan prinsip tidak membeda-bedakannya. Aksara Korea merupakan satu-satunya aksara yang memang sengaja diciptakan. Oleh karena itu, pada tahun 1997 UNESCO menetapkan ‘Hunminjeongeum Haerye’ sebagai warisan dunia. Tanggal 8 September yang merupakan hari kelahiran Raja Agung Sejong juga ditetapkan sebagai ‘Hari Literasi Internasional’ dan pribadi atau kelompok yang berkontribusi dalam pengentasan buta huruf akan dianugerahi ‘Piala Literasi Raja Agung Sejong’. Hari ini Korea telah menjadi negara adidaya IT berkat kemajuan industri ponsel dan internetnya, keberadaan aksara Korea yang mudah dikuasai siapa pun.

seni & budaya Korea 31


WAWANCARA

dalparan:

Sukses Berkat nada yang Berbeda Sebagai seorang musisi, Dalparan berdiri di garis depan setiap genre baru dan sekarang merevolusi adegan musik film Korea. Sejak karya pertamanya “Bioskop Buruk� membawanya ke musik film pada tahun 1997, ia terus menciptakan karya yang mengesankan dengan orisinalitas tanpa henti dalam desain bunyinya. Lim Hee-yun Reporter Budaya, The Dong-a Ilbo Ahn Hong-beom Fotografer

32 Koreana Musim Semi 2019


D

alparan (“Biru Bulan”; lahir dengan nama Kang Ki-young) membawa angin revolusi kemana pun ia pergi. Dulu, ia adalah anggota beberapa band cadas dan rok alternatif. Kemudian, ia menjadi seorang DJ musik elektronik. Sekarang, ia merupakan satu dari segelintir komposer yang dianggap berpengaruh dalam kesuksesan film Korea. Sendiri atau bersama rekannya sesama komposer, Jang Young-gyu, Dalparan sudah menciptakan mosaik karya sinematik yang unik di abad ke-21 ini. “Kehidupan yang Pahit” (2005), “Kebaikan, Keburukan, Keanehan” (2008), “Sungai Kuning” (2010), “Pembunuhan” (2015), “Ratapan” (2016), “Penganut” (2018) — adalah beberapa dari daftar panjang film dengan musik garapannya yang juga berisi lagu-lagu laris. Sisi lain musisi populer dengan nama panggung yang unik ini bisa ditemukan di studionya di Paju, bagian utara Seoul. Studio itu mirip bungker dengan benteng berupa instrumen musik. Di dinding utama terdapat panel raksasa yang memenuhi dinding. Sebuah komputer dan keyboard besar menempati bagian tengah yang mengarah ke panel itu. Synthesizers analog dan modular membentang seperti sayap dan gitar elektrik dan bas berjajar pula di ruangan itu, termasuk gitar Fender Jaguar. Namun, sebenarnya sejarah musik Dalparan berawal dari bas. “Saya berteman dekat dengan putra penyanyi dan penulis lagu legendaris Shin Joong-hyun, Dae-chul, sejak kami duduk di sekolah menengah atas”, kenang Dalparan. “Saat itu, kami melihat kemampuan masing-masing dan bermain musik bersama. Bisa dikatakan kami memahami satu sama lain”.

Legenda Musik Rok

Grup musik rok Sinawe yang dipimpinnya pada tahun 1980an membuka jalan karir pemusik besar lain seperti Kim Jongseo, Yim Jae-beom dan Seo Taiji, yang meninggalkan warisan abadi dalam musik populer Korea. Dalparan menggambarkan dirinya sendiri sebagai seseorang yang “mudah bosan”. Setelah Sinawe, ia bergabung dengan H2O, sebuah band yang memperkenalkan musik rok modern di Korea, dan pada pertengahan tahun 1990-an, ia menjadi anggota Pippi Band yang aliran rok avant-garde-

Dalparan bekerja di studionya di Paju, Provinsi Gyeonggi. Dia berkata, “Musiknya tidak boleh melampaui film, Anda harus merancang secara alami dari dalam film itu sendiri”.

seni & budaya korea 33


nya menembus industri musik Korea. Tak lama kemudian, setelah bermain beberapa waktu di band Pippi Longstocking, ia menjadi DJ dan mengawali musik tekno dan trance Korea. Sepertinya gambaran mengenai dirinya memang benar. “Ada lagu yang berjudul ‘Bioskop Buruk’ di album kedua saya bersama Pippi Band”, katanya. “Sutradara Jang Sun-woo datang menemui saya dan mengatakan ia sudah mendengarkannya. Ia sedang membuat film dengan judul yang sama dan bertanya apakah saya bersedia menggarap musik untuk film itu. Saya menerimanya tanpa berpikir panjang karena dengan pekerjaan itu saya akan mendapatkan uang. Saya tidak menyangka akan menjadi seorang komposer”. Itulah awal Dalparan mencetak debut sebagai komposer dan sutradara musik film. Namun, dua tahun kemudian, yaitu di tahun 1999, ketika ia sedang mengerjakan komposisi musik untuk film “Kepalsuan” ia duduk di depan keyboard dan tak tahu apa yang harus dilakukan. Ia sangat terkesan dengan musik film “Dinding”, sebuah film garapan Alan Parker yang dibuat berdasarkan konsep album Pink Floyd, dan musik dalam film “Pelari Jagoan” yang digarap oleh Vangelis. Sebagai generasi MTV, ia sudah melihat sumbangsihnya dalam video musik. Namun, dalam musik film, ia tidak punya pegangan atau panutan. “Saya tidak begitu tertarik dengan pembicaraan mengenai Ennio Morricone menjadi ini atau Hans Zimmer menjadi itu,” katanya. “Pada saat itu, tidak ada pakem khusus dalam musik film Korea. Tanpa bekal pengetahuan apa pun, pekerjaan ini seperti berkelana di rimba belantara”. Tapi, pengelana di rimba belantara ini tidak sendiri. Untungnya, sekitar waktu itu, Dalparan bertemu dengan “pengelana” lain yang merasakan hal serupa. Bang Jun-seok, Jang Young-gyu dan Lee Byung-hoon sudah aktif di band seperti U&Me Blue, Uhuhboo Project dan Lizard, dan ma­­ sing-masing sudah berkontribusi dalam musik indipenden avant-garde Korea. Pada akhir tahun 1990-an, mereka membentuk Peach Present. Kata “Peach” dipilih tanpa alasan khusus, tapi “janji di kebun persik” ini menjadi lahan subur bagi musik film Korea abad ke-21.

Persahabatan di Rimba Raya

“Dulu, Internet masih sangat sederhana. Kami bertukar informasi satu sama lain mengenai kendala yang kami hadapi dan akhirnya menjadi teman”, kenangnya. “Kami berbagi halhal yang unik, tapi lebih dari itu, kami sama-sama kurang puas dengan musik film Korea pada saat itu, yang musik­ nya sangat tidak jelas. Kami bisa kritis karena tidak ada satu pun dari kami yang benar-benar berinvestasi dalam dunia film. Tapi, saya pikir sikap inilah yang menjadi pemacu kami bekerja”.

34 Koreana Musim Semi 2019

Musik garapan Dalparan dalam “Kehidupan yang Pahit” menjadi titik balik yang membuatnya memperoleh penghargaan sebagai musik film terbaik dalam Festival Film Fantastik Internasasional Catalonia di Sitges, Spanyol. “Sutradara Kim (Jee-woon) menelepon saya dan mengatakan bahwa saya memenangkan penghargaan itu. Saya ingat sekali, saya kira ia sedang bercanda. Saya berpikir demikian karena sama sekali tidak menyangka”. Di antara anggota Peach Present, Jang Young-gyu menjadi partner Dalparan. Mereka berkolaborasi menggarap musik untuk film aksi kimchi western “Keburukan, Kebaikan, Keanehan” yang berlatar Manchuria. Kimchi western adalah istilah untuk film Barat yang diproduksi oleh orang-orang Korea. Sutradara Kim Jee-woon meminta mereka berdua pergi ke wilayah Uighur di Asia Tengah. “Kami membeli kaset dari pasar lokal untuk mendapatkan sensasi musik Uighur”, kata Dalparan. “Sama seperti musik Timur Tengah tapi musik Uighur punya gaya yang berbeda. Kami menggunakan instrumen berdawai dan perkusi yang kami beli di pasar itu. Kami mencoba gaya Timur dan membuatnya seperti film bergenre spaghetti western garapan Ennio Morricone dari Italia”. Setelah itu, “Laut Kuning” “Keheningan” dan “Pembunuhan” memberikan tantangan lebih besar dengan konteks yang sudah sangat dikenal tapi juga sangat jauh seperti seja­ rah Asia Timur dan Korea modern. “Ada saatnya kita harus menggunakan musik dari periode tertentu sebagai sarana sinematik. Namun, itu tidak menghambat saya karena kita bisa menangkap suasana sebuah film dengan cara lain sambil tetap mempertahankan atmosfer yang tercipta dari film itu”, katanya. “Film bukanlah sesuatu yang nyata. Tak ada aturan yang baku di dalamnya”. Setelah malang melintang dari musik cadas ke rok dan tekno, karir Dalparan dari masa remaja hingga usia 30-an itu menjadi ladang kiprahnya dalam dunia musik film. “Dalam film, Anda harus menggunakan banyak gaya yang berbeda tergantung keadaannya”, katanya. Di dinding sebelah kanan studionya terpampang jam digital, seperti yang biasa kita temui di bangunan-bangunan publik. Jam itu menunjukkan juga angka detiknya. Angka-angka

Sebuah adegan dari “Enam Peragawati” dilakukan di Ruang Seni LIG, Gangnam, Seoul, pada Juli 2011. Konser ini dibuat oleh Dalparan (paling kanan) dan Kwon Byung-jun, teman satu bandnya dari Pippi Longstocking, yang mempopulerkan musik punk dan rock modern di Korea.


Atas perkenan Dalparan

“Film bukanlah kehidupan nyata. Tak ada aturan baku di dalamnya�.

seni & budaya korea 35


© CJ ENM

1 2

merah tebal itu seolah selalu minta perhatian seperti bos yang suka mengatur ini-itu. “Setiap film yang saya kerjakan punya tantangannya masing-masing. Jika itu pekerjaan independen saya pribadi, saya bisa duduk dan menunggu saja sampai mendapatkan ide”, katanya. “Tapi, film punya tenggat dan tanggal tayang, jadi punya ide atau tidak, saya tetap harus mengerjakannya. Bahkan, jika perlu, harus memaksakannya. Namun, biasanya, selalu saja ada ide”. “Prosesnya sendiri sudah sangat berat. Banyak sekali yang harus dikerjakan. Banyak teman saya yang mengganggap pekerjaan ini membosankan dan tidak cocok dengan mereka, sehingga akhirnya mereka menyerah. Ada juga teman saya yang pingsan karena terlalu lelah ketika sedang menggarap sebuah film. Tapi, buat saya, sukanya lebih banyak daripada dukanya. Saya juga menikmati perasaan berhasil mencapai sesuatu ketika menyelesaikan musik sebuah film. Makin banyak yang saya lakukan, makin senang”.

Setiap Proyek adalah Perjuangan Baru

1. Seorang Korea Barat pada tahun 2008 di dataran Manchuria selama pemerintahan kekaisaran Jepang, “Yang Baik, Yang Buruk, Yang Aneh” menyihir penonton dengan musik yang kuat. Dikerjakan dengan irama tarian Latin yang cepat dan nuansa gaya Barat. Lagu “Jangan Biarkan Aku Disalahpahami” semula ditulis untuk Nina Simone pada tahun 1964, dengan sempurna melengkapi adegan itu sebagai lagu judul film. 2. “Penganut” adalah blockbuster yang paling banyak dibicarakan di paruh pertama tahun 2018, dipuji karena artikulasi yang luar biasa dari dunia batin protagonis melalui musik. Film ini membuat Dalparan memperoleh kategori musik terbaik di Penghargaan Asosiasi Produser Film Korea.

36 Koreana Musim Semi 2019

Di belakang synthesizer analog tiga level itu ada sebuah piano. Sekilas lebih mirip bangun anatomi daripada instrumen musik. Jika penutupnya dibuka, © Next Entertainment World palu dan dawainya baru tampak jelas dan terlihat seperti rusuk. Alat ini sangat tepat untuk seorang komposer musik film; semua jenis suara bisa diproduksi dan dimanipulasi. Di atas piano itu berjajar tiga buah trofi. Ia memenangkan trofi-trofi itu dalam acara penghargaan Grand Bell Awards, yang diadakan setiap tahun oleh Motion Pictures Association of Korea, dan dalam Blue Dragon Film Awards yang diselenggarakan oleh Sport Chosun. Di salah satu trofi itu tertulis “Ratapan”. Untuk film itu, Dalparan dan Jang


Young-gyu berhasil menciptakan desain suara yang artistik. Hasilnya adalah paduan antara horor dan thriller, realitas dan surealisme, syamanisme dan nafsu haus darah. Dalparan mengatakan, “Film adalah karya dalam dua dimensi. Semua terjadi di layar. Efek suaralah yang membantu penonton menangkap gambar itu sebagai pengalaman tiga dimensi, seolah benar-benar terjadi. Dalam sebuah ulasan mengenai film ‘The Wailing,’ seorang kritikus film asing menyebutkan adanya ilusi space yang berhasil diciptakan oleh suara dalam film itu. Memang begitu. Jika tidak pada level seni instalasi, tapi berkompromi smapai batas yang bisa diterima penonton, saya mencoba menambahkan elemen suara artistik. Saya selalu ingin mencoba hal-hal seperti itu, dan untungnya saya bisa menggarap film dengan maksimal”. Dalam film “Ratapan” Dalparan dengan hati-hati memperkenalkan teknik klaster suara seperti yang dilakukan oleh komposer musik kontemporer seperti György Ligeti. “Ada gelombang yang muncul karena distorsi suaranya. Seperti melebur dua nada dan menciptakan elemen akustik baru”, katanya. “Untuk efek seperti itu, saya menggunakan synthesizers analog dan modular”. Saat ini, Dalparan fokus kepada karya komposer Islandia Jóhann Jóhannsson, yang meninggal tahun lalu di usia 48 tahun. Dalparan tidak pernah bertemu Jóhannsson tapi menganggapnya sebagai kolega dan teman. Tidak hanya karena mereka seusia, namun Jóhannsson adalah pelopor aliran yang ingin digeluti Dalparan. Jóhannsson menciptakan karya eksperimental seperti yang selalu ingin dicobanya dan juga sudah memakainya dalam film-film besar. Jadi, kematian Jóhannsson membuatnya sangat kehilangan dan ia pun masih berduka. Karya musik Jóhannsson dalam “Sicario”, sebuah film Amerika yang diproduksi pada tahun 2015 mengenai per­ dagangan obat terlarang menarik minat Dalparan pada komposer ini. “Jóhannsson menggunakan distorsi nada untuk mengekspresikan elemen kekerasan dalam film itu. Ia berhasil mengungkapkannya dengan cara yang bahkan penonton yang awam mengenai musik kontemporer pun bisa merasakannya. Itulah mengapa eksperimennya sangat luar biasa”. Dalparan menambahkan, “Karyanya yang lain, ‘Kedatangan’ juga seperti itu. Sangat menakjubkan bagaimana ia bisa menggunakan eksperimen seperti itu yang hanya dengan membuat efek suara biasa menjadi sebuah karya musikal. Saat ini, sudah ada karya-karya serupa di luar Korea. Namun, bahkan film superhero Marvel, yang memakai efek di sana-sini, tidak sedikit pun mendekati level karya Jóhannsson. Belum ada film Korea yang sepenuhnya menggunakan sistem suara tiga dimensi, dari suara kitar (surround sound) sampai Dolby Atmos”.

Karya terbaru Dalparan adalah “Pengikut” dan “Kunci Pintu”. “Pengikut” memenangkan Blue Dragon Film Award untuk musik terbaik, dan untuk memenuhi permintaan penonton, lagu-lagu di dalamnya diproduksi dalam bentuk CD. Dalam film thriller horor “Kunci Pintu” ia mencoba memasukkan elemen suara lebih banyak daripada melodi. Namun, hasrat kreatifnya masih belum terpuaskan. Lalu, apakah proyek berikutnya akan berhasil memuaskannya? Film “Bahasa Negeri Kami” yang mengisahkan tentang Raja Sejong dan penemuan Hangeul, dibintangi Song Kangho, dan “Panggilan” sebuah film thriller yang menceritakan bagaimana dua orang perempuan dari masa yang berbeda bisa terhubung berkat telepon sebentar lagi akan ditayangkan. Dalparan mengatakan bahwa dalam film “Panggilan” ia memakai eksperimen baru. Ada satu tantangan baru lagi baginya. Karyanya dalam film seri tentang zombie pada masa Dinasti Joseon yang kini memasuki Musim Kedua produksi Netflix, “Kerajaan” akan menandai debutnya dalam drama seri. Dalparan mengakui bahwa ia adalah tipe orang yang bisa kehilangan semangat begitu memulai sebuah pekerjaan. Ketika kurang bersemangat, ia memilih berjalan-jalan daripada mengkonsumsi vitamin. “Sering kali ketika saya berjalan-jalan tak tentu arah, ide-ide baru justru berdatangan ke kepala saya”, katanya. Lebih jauh ia mengatakan bahwa sebagai seorang komposer film, ia harus “tahu arus musik kontemporer dan populer yang sedang digemari”. Oleh karenanya, ia menyediakan waktu berselancar di Internet dan membaca majalah untuk mengetahui musik yang sangat beragam. Ia pun membantu musik remix yang dibuat oleh band indipenden Silica Gel di tahun 2017 karena mengenal musisi-musisi di dalamnya.

Sisi Lain sang Bulan

Saya menyimpan pertanyaan ini untuk bagian akhir interview; pertanyaan yang sejak awal sudah sangat ingin saya utarakan. Dari mana nama yang terdengar aneh itu, Dalparan, berasal? “Itu berawal ketika saya masih bersama Pippi Band. Suatu malam, saya menengadah ke langit dan ada bulan purnama yang tampak sangat cantik. Bulan hanya memperlihatkan satu sisi dirinya, sedangkan sisi lainnya tidak bisa kita lihat. Tampak tidak alami juga, dengan semacam tipuan cahaya. Hal serupa pun terjadi kepada diri saya. Saya ingin menjadi seseorang yang bisa membuat orang lain berpikir mengenai sesuatu yang tidak disangka-sangka seperti bulan. Tapi, tentu tidak asyik kalau nama saya hanya dal saja, yang artinya ‘bulan’. Jadi, saya tambahkan paran yang artinya ‘biru’. Jika diucapkan, nama itu terasa dan terdengar aneh”, katanya sambil tertawa.

seni & budaya korea 37


JaTuh CinTa PaDa Korea

jawaban Pemuda Turki pada Tangisan Haegeum Perubahan radikal tidaklah mudah, tapi Cevzet Tam melakukan dua hal dalam waktu singkat. Pertama, ia meninggalkan Turki untuk belajar ilmu komputer dan teknologi informasi di Korea, kemudian ia berubah haluan ke musik tradisional Korea. Perubahanperubahan ini tidak akan terjadi tanpa tekat dan cinta kepada negara tempatnya tinggal. Choi Sung-jin Editor Eksekutif, Korea Biomedical Review Ha Ji-kwon Fotografer

38 Koreana Musim Semi 2019


B

agi sebagian orang, momen transformatif dalam kehidupan terjadi melalui suatu kebetulan — sebuah isyarat dari Dewi Fortuna. Bagi Cevzet Tam, momen ini terjadi ketika ia berjalan-jalan di Seoul. Ketika sedang merasa sangat sedih dan kesepian, ia mendengar suara melankolis haegeum yang dimainkan oleh pemusik jalanan. “Saya berusia 19 tahun saat itu, sedang bersedih dan kesepian karena rindu kepada keluarga saya di Turki”, kata Cevzet. “Seolah-olah instrumen musik tradisional Korea itu menangis bersama saya”. Perkenalan dengan instrumen musik asing ini mengubah jalan hidupnya.

Dari Matematika ke Musik

Dulu, Cevzet mengikuti kelas khusus bagi siswa yang berbakat dalam matematika. Ia ingin menjadi insinyur dan memutuskan belajar ilmu komputer dan teknologi informasi di Korea. Namun, setelah tiba di Korea pada tahun 2012 dan menyelesiakan kursus bahasa Korea selama satu tahun, Cevzet justru menjauh dari teknologi informasi. Ia masuk ke Departemen Musik Tradisional Korea di Seoul National University dan mendalami haegeum. Apa daya tarik instrumen musik asing kuno itu? Bagaimana seseorang yang berusia 19 tahun dan tidak mengerti musik menjadi begitu tertarik kepada instrumen ini? “Saya sendiri tidak tahu”, aku Cevzet. “Mungkin saya punya ketertarikan akan musik tanpa saya sadari. Ketika saya melihat haegeum untuk pertama kali, instrumen ini mengingatkan saya akan instrumen petik serupa di Turki yang disebut saz. Makin sering saya dengarkan, makin saya suka. Haegeum menghasilkan suara yang tidak dapat diungkapkan dengan kata-kata — sedih dan pedih, tapi kadang-kadang jenaka”. Haegeum adalah instrumen yang simpel dengan dua dawai sutra, satu kotak suara dan leher menyerupai gagang pancing; dan dimainkan dengan posisi berdiri di lutut. Alat musik ini merupakan instrumen musik tradisional Korea, yang bukan hanya dimainkan di lingkungan istana tapi juga di halaman belakang di kampung-kampung. Ada delapan bahan yang digunakan untuk membuat instrumen ini, yaitu kayu, metal, sutra, batu, bambu, cangkang buah yang mirip

Tercatat bahwa orang Korea mengungkapkan sedikit identitas budaya dalam musik populer mereka, Cevzet Tam berharap komposer K-pop akan memasukkan lebih banyak unsur musik tradisional Korea sama seperti musisi Turki menggunakan instrumen asli mereka untuk memainkan musik modern.

labu berbentuk seperti botol, tanah liat dan kulit. Oleh karenanya, instrumen ini disebut pareum, yang berarti “delapan suara.” Selain itu, alat musik ini dikenal juga dengan nama kkaengkkaeng-i, onomatopoeia dari suaranya yang bernada tinggi. Tidak ada yang lebih kaget mendengar perubahan minat Cevzet yang sangat tiba-tiba dibanding keluarganya. Semua orang berharap Cevzet, anak bungsu dari enam bersaudara, menjadi insinyur bergaji tinggi setelah belajar di Korea. Pemberitahuannya yang mendadak bahwa ia akan belajar musik dan khusus mendalami instrumen musik yang tidak biasa itu membuat resah ayahnya. “Awalnya, ayah saya tidak mau berbicara dengan saya selama lebih sari satu bulan. Perlu tiga tahun untuk membujuknya menerima keputusan saya”, kata Cevzet. “Ayah saya perlahan mulai berubah pikiran ketika melihat saya belajar dengan giat dan menerima beasiswa dari universitas”. Setelah Cevzet tampil di TV Korea, keraguan itu memudar. “Ayah saya mengatakan bahwa ia bangga karena saya mengenalkan negara kami, Turki, kepada bangsa Korea”, kata Cevzet. Tidak hanya ayahnya, anggota keluarga lain sekarang sangat mendukungnya. Namun, Cevzet mengatakan, Turki sangat jauh dari Korea untuk memungkinkannya mendapatkan dukungan selain dukungan moral dari keluarga. Teman-teman di Korealah yang mengisi kekosongan ini dan beberapa dari mereka seperti orangtua angkat baginya.

Orang Tua Korea

Salah satu kenalan Cevzet di Korea adalah Profesor Yang Young-sook di Seoul National University, yang juga menjadi pembimbing akademiknya. “Professor Yang membantu saya bertahan di tahun-tahun awal kuliah saya dan membantu saya dalam banyak hal, bahkan sampai urusan makan”, kata Cevzet. “Ada tiga mahasiswa yang mendalami haegeum setiap tahun di departemen saya. Meski saya tertinggal dari mahasiswa lain, keduanya mahasiswa Korea, profesor-profesor di kampus itu memberi saya kelonggaran. Itulah mengapa saya bisa mendapatkan nilai 3,2 dari poin tertinggi 4. Profesor Yang seperti ibu saya, yang tanpanya saya tidak akan bisa menyelesaikan kuliah”. Cevzet juga memiliki “ayah Korea”, seorang eksekutif di kelab malam tempatnya bekerja sebagai DJ paruh waktu. Ketika Cevzet sakit, ia datang berkunjung dan membawakannya bubur dan buah. Ia juga sesekali menelepon untuk memastikan Cevzet sudah membayar sewa dan bertanya apakah ia perlu bantuan finansial. Apa yang membuat mahasiswa-mahasiswa Korea itu membantu lelaki muda dari jauh ini? Ya, Cevzet adalah seorang laki-laki yang disukai banyak orang dengan senyum

seni & budaya Korea 39


yang hangat. Tapi, di atas semua itu, mereka tergerak karena perilakunya yang positif dan antusias dalam belajar dan bekerja, dan selalu melakukan segala yang ia bisa untuk mencapai mimpinya. Ia tidak pernah membuang waktu. Siang hari, Cevzet berlatih haegeum dan belajar menulis; dan malam harinya ia bekerja paruh waktu di kelab malam sebagai DJ atau pelayan. Mengenai bagaimana membuat anak-anak muda mau belajar musik tradisional negara lain — misalnya, anak-anak muda Korea yang ingin belajar instrumen tradisional Turki — ia mengatakan bahwa pertama-tama dan paling penting adalah belajar, dan lebih baik lagi, mencintai budaya negara itu. “Anda harus memahami jalan pikiran mereka”, katanya. Itulah alasan Cevzet bergabung dengan sebuah band yang bernama “Hangeul”, terdiri atas 11 orang asing yang bekerja di Korea. Band ini, yang beranggotakan musisi dari Inggris, Spanyol, Turki dan Jepang, tampil di berbagai acara. Pertama, mereka tampil dalam bahasa pertama mereka kemudian dalam bahasa Korea. Hangeul adalah nama alfabet Korea, namun Cevzet menjelaskan bahwa nama band ini berasal dari “Han” (dari kata “Hanguk” yang berarti Korea) dan “geul” (pelafalan dalam bahasa Korea untuk suku kata pertama dari kata “global”), sehingga nama itu bermakna “seniman global yang memperkenalkan Korea kepada dunia”. Cevzet saat ini terikat dengan FMG (Foreign Manpower Group), sebuah agen hiburan yang mengelola sekitar 50 seniman asing di Korea. Sesekali ia tampil di TV Korea dan acara radio, tapi bukan sebagai pengisi acara tetap. Ia berharap bisa tampil dalam acara “Selamat Datang, Pertama Kali ke Korea?”, sebuah acara TV populer yang menampilkan orang asing di Korea yang mengundang teman-teman dari negara asalnya dan memberikan gambaran mengenai Korea di mata mereka. Selain jarak geografis dan perbedaan budaya, Korea dan Turki sudah sejak lama menganggap “saudara” satu sama lain karena tentara Turki ikut bertempur dalam Perang Korea di bawah bendera PBB (1950–1953).

Negara Saudara

Cevzet percaya kedua negara punya beberapa kesamaan. Ia mengatakan, “Misalnya, bahasa Turki dan bahasa Korea punya kesamaan susunan kata, sehingga sangat mungkin bangsa Korea dan bangsa Turki memiliki pola pikir yang serupa. Berbeda dari bangsa Barat, orang Korea dan orang Turki melepas sepatu ketika mereka memasuki rumah. Bangsa Turki, khususnya laki-laki, juga mudah marah, seperti laki-laki Korea, tapi cepat mereda dalam waktu kurang dari 10 menit, sama seperti laki-laki Korea”. Lebih dari itu semua, musik tradisional kedua nega-

40 Koreana Musim Semi 2019

“Saya belajar siang hari dan bekerja malam harinya. Banyak kendala yang saya hadapi. Namun, saya tidak pernah sekalipun menyesali keputusan saya”. ra punya atmosfer serupa”, kata Cevzet. “Sama halnya de­­ ngan lagu-lagu Korea, banyak lagu Turki bernada sedih dan suram, meratapi kasih tak sampai, seperti lagu seorang istri yang merindukan suaminya yang sedang berperang. Memang Korea dijajah oleh bangsa asing lebih lama dibanding Turki, tapi ada banyak perang juga dalam sejarah kami”. Nada dan notnya memang berbeda. Namun, Cevzet ingin membuat komposisi dengan menggabungkan musik Korea dan Turki. Ketika ditanya apakah ia jatuh cinta kepada Korea dan jika ya, mengapa, Cevzet tampak sedikit malu. Kamudian, ia memberikan jawaban singkat, “Kalau saya tidak cinta Korea, mengapa saya sangat ingin Korea dan budayanya lebih dikenal oleh orang asing?” Cevzet mengatakan ia tidak banyak menghadapi ke­­ sulitan ketika tinggal di Korea karena sebagian besar orang Korea yang ditemuinya sangat baik. Kecuali, pemilik kelab yang menolak membayarnya sekitar 1 juta won (setara dengan US$8.900) sebagai pesangon. “Sebagian besar orang Korea bersikap baik kepada orang asing, tapi cenderung takut atau kurang percaya kepada mereka, khususnya ketika baru kenal”, kata Cevzet, mengenai xenofobia yang dialami oleh banyak orang Korea. Cevzet mengakui ia berhubungan baik dengan teman dan koleganya, tapi beberapa orang asing yang baru datang biasanya mengalami banyak kesulitan khususnya sebelum mereka terbiasa dengan gaya hidup orang Korea. “Saya menyarankan orang asing yang ingin belajar atau bekerja di Korea untuk belajar bahasa Korea dulu”, kata Cevzet. “Se­­perti halnya di banyak negara lain, ada perbedaan besar dalam hal pekerjaan antara mereka yang bisa berbahasa


Korea dan mereka yang tidak bisa”. Mengenai hal itu, Cevzet berharap pemerintah Korea memberikaan pelajaran bahasa Korea gratis atau dengan biaya yang murah. Ia menghargai kebijakan multikultural pemerintah Korea, tapi berharap program-programnya lebih praktis membantu pendatang baru beradaptasi dengan budaya dan gaya hidup Korea lebih mudah dan cepat. “Se­p erti biasa”, lanjutnya, “masalah terbesar adalah masalah ekonomi — mendapatkan pekerjaan dan memperpanjang masa berlaku visa”.

Hidup sebagai Musisi di Korea

“Hidup sebagai musisi di Korea tidak mudah. Sebagian besar mahasiswa yang mendalami musik berasal dari keluarga berada”, katanya. “Saya harus belajar siang hari dan bekerja malam harinya. Ada banyak kendala yang saya hadapi. Namun, saya tidak pernah sekalipun menyesali keputusan saya”. Cevzet menyukai musik pop Korea, tapi kadang-kadang berpikir orang Korea cenderung kurang kuat identitasnya dalam aktivitas budaya mereka. Ia mengutip kata-kata tokoh pendiri Turki, Mustafa Kemal Atatürk, yang mengatakan bahwa jika seseorang tidak tahu sejarah dan budaya bangsa­ nya, ia akan menghadapi masa depan yang suram. Cevzet juga menambahkan mengenai musisi Turki yang menggunakan suara instrumen tradisional mereka, yaitu saz, dalam musik modern. Katanya, “Saya ingin melihat komposer K-pop menggunakan lebih banyak elemen musik tradisional Korea dalam karyanya melalui fusi lama dan baru”. Walaupun bekerja sebagai DJ paruh waktu, Cevzet tidak terlalu menyukai minuman keras. “Turki adalah negara Islam, jadi kami tidak banyak minum dan berhati-hati dalam memilih makanan, dan memakan daging babi adalah sesuatu yang tabu bagi kami”, katanya. “Kecuali hal-hal itu, saya tidak punya banyak masalah dengan makanan Korea. Karena alasan ekonomi dan alasan lain, saya lebih sering memasak sendiri daripada makan di luar”. Ketika ditanya kira-kira akan seperti apa lima tahun ke depan, Cevzet mengatakan ingin menjadi musisi yang lebih bagus. Jika ia tetap di jalurnya, menjelang tahun 2025, bangsa Korea akan bisa mendengar sonata haegeum pertama yang ditulis oleh orang asing.

Cevzet Tam percaya bahwa haegeum membuka gairahnya untuk musik dan potensinya sebagai seorang musisi.

seni & budaya korea 41


Di aTas JaLan

Napak Tilas jejak Raja jeongjo ke ‘Benteng Brilian’

42 Koreana Musim Semi 2019


Benteng Hwaseong, salah satu peninggalan arsitektur Dinasti Joseon, berdiri mengelilingi pusat kota tradisional Suwon. Benteng ini tercatat dalam Daftar Warisan Budaya Dunia UNESCO pada tahun 1997, dan merupakan reeksi pemikiran Raja Jeongjo, penguasa ke-22 Joseon, yang juga mendokumentasikan seluruh proses pembangunannya dengan cermat. Lee Chang-guy Penyair dan Kritikus Sastra Ahn Hong-beom Fotografer

seni & budaya Korea 43


P

ada musim semi tahun 1795, Hanyang, ibukota Joseon yang sekarang dikenal dengan Seoul, dibanjiri pengunjung dari segala penjuru negeri. Penghapusan jam malam dan tenda-tenda darurat tidak dapat memenuhi kebutuhan akomodasi yang membludak. Namun, di sisi lain, para pemilik toko menyambut baik luapan pe­­ ngunjung yang di luar dugaan itu. Alasan para pendatang itu: ingin melihat prosesi raja. Poster yang disebar ke seluruh penjuru negeri mengumumkan kepada rakyat mengenai perjalanan raja dan kapan mereka bisa melihat dari dekat. Pada waktu itu, raja bagaikan dewa matahari. Melihat raja sama seperti disucikan dengan cahaya surgawi. Mereka yang datang dari jauh disebut gwangwang minin, yang berarti “orang-orang yang datang untuk melihat cahaya”. Sekarang, kata gwangwang berarti “pariwisata”.

Bakti Raja kepada Keluarga

Pada sekitar pukul tujuh pagi di hari kesembilan bulan kedua tahun 1795, Raja Jeongjo secara resmi memberi salam kepada ibunya, Putri Hyegyeong, di gerbang depan Istana Changdeok, kemudian dengan berkuda bersama-sama berangkat ke Benteng Hwaseong untuk tinggal di sana selama empat hari. Alasan utama perjalanan ini adalah untuk merayakan ulang tahun ke-60 Putri Hyegyeong di benteng Hwaseong dan untuk mengunjungi makam Putra Mahkota Sado, ayahnya, yang berlokasi di sana. Semua terlibat dalam persiapan prosesi. Prosesi kerajaan terbentang sepanjang satu kilometer. Artinya, lima persen

44 Koreana Musim Semi 2019

perjalanan yang totalnya sepanjang 20 kilometer. Perlu waktu dua hari bagi prosesi panjang itu untuk sampai di Suwon, tempat benteng itu berada. Sungguh suatu pemandangan yang tidak pernah terlihat selama Dinasti Joseon. Bahkan, peristiwa ini masih dikenang oleh orang Korea masa kini sebagai wujud kecintaan raja di abad ke-18 kepada keluarganya. Jeongjo menjadi penerus tahta di usia 11 tahun, ketika Putra Mahkota Sado meninggal setelah selama delapan hari dikurung di dalam kotak beras dari kayu. Ayah Pange­ ran Sado, Raja Yeongjo, memerintahkan hukuman itu dengan tuduhan penistaan dan pembelotan. Tercatat dalam sejarah bahwa putra mahkota menderita gangguan jiwa dan membuat seisi istana ketakutan. Dikatakan juga bahwa ia menjadi korban pertentangan kelompok dan intrik dalam istana. Jeongjo muda, yang memiliki nama seperti mendiang pamannya, menghabiskan 14 tahun berikutnya dalam ketakutan dibunuh oleh para pejabat istana. “Saya sangat takut bagaikan duduk di atas jarum dan berada dalam bahaya seperti telur di ujung tanduk”, katanya. Yang membuatnya makin takut adalah “suara langkah kaki berat, sikap ceroboh dan tak hormat”, paparnya. Pada tahun 1776, setelah kematian kakeknya, ia berdiri di depan rakyatnya dan memproklamasikan sebagai anak Putra Mahkota Sado. Makam putra mahkota yang malang itu terletak di Gunung Hwa, sekitar 10 kilometer di sebelah selatan Gunung Paldal, puncak tertinggi benteng Hwaseong. Sesuai dengan nama Gunung Hwa, yang berarti “gunung bunga”, makam itu sangat indah, dikelilingi oleh 12 batu yang dipahat bunga


teratai dengan kelopaknya. Situs yang berlokasi di kantor pemerintah wilayah Suwon ini selama ratusan tahun dianggap sebagai situs makam kerajaan yang penting. Pada tahun 1789, Raja Jeongjo pindah ke kantor wilayah yang dikenal sekarang, dan memindahkan makam ayahnya dari Yangju, bagian utara Hanyang, ke Gunung Hwa. Ia menamai makam itu Hyeollyungwon, yang berarti “taman kebangkitan”, dan membangun sebuah kuil di sekatnya untuk berdoa bagi kebahagiaan ayahnya. Dengan demikian, setelah 33 tahun kemudian, akhirnya Putri Hyegyeong bisa memberikan penghormatan yang semestinya kepada mendiang suaminya.

Mengenang Memori 200 Tahun Silam

Prosesi akbar kerajaan merupakan acara seremonial dan politis yang sering dilakukan oleh dinasti pra-modern Asia Timur Laut. Prosesi Raja Jeongjo ke Benteng Hwaseong merupakan yang terbesar sejak berdirinya Dinasti Joseon pada tahun 1392, termasuk anggarannya. Untuk perjalanan selama delapan hari, istana mengerahkan 6.000 orang dan 1.400 kuda dan mengalokasikan 100.000 nyang, setara dengan 7 milyar won sekarang (sekitar US$ 6,2 juta). Sekitar 120 tukang kayu berkumpul membuat tandu yang membawa Putri Hyegyeong dalam prosesi. Tandu ini memakan biaya 2.785 nyang (200 juta won), seharga dua mobil sedan Korea paling mewah saat ini. Angka-angka ini bisa diketahui berkat catatan rinci me­­ ngenai prosesi itu. Salah satunya adalah “Catatan Prosesi Raja Jeongjo ke Makam Putra Mahkota Sado di Tahun Eul-

myo” (Wonhaeng eulmyo jeongni uigwe), sebuah catatan sepanjang delapan volume mengenai keseluruhan peristiwa, termasuk semua tahap persiapannya. Sebanyak 63 banchado, ilustrasi yang memperlihatkan semua peserta dan tempat mereka dalam prosesi, sangat memperkaya catatan itu. Kim Hong-do (1745–c. 1806), seorang pelukis genre dan pelukis keluarga kerajaan yang terkenal, mengumpulkan seniman-seniman berbakat untuk membuat karya itu. Oleh karenanya, ilustrasi itu bernilai seni dan dokumenter yang sangat tinggi. Catatan penting lain adalah “Lukisan Prosesi Raja Jeongjo ke Makam Ayahnya di Hwaseong” (Hwaseong neunghaeng do), sebuah layar lipat selebar delapan panel. Lukisan ini menggambarkan prosesi dengan gambar detail keseluruhan benteng, yang menunjukkan bahwa lukisan ini dibuat satu tahun setelah prosesi berakhir. Ada beberapa detail yang sangat hidup di sana-sini, seperti gambar tentara yang berusaha mengendalikan kawanan kuda, kelompok cendekiawan yang sedang menikmati pemandangan, para laki-laki yang mencoba menghentikan sebuah perkelahian, dan penjual per“Prosesi ke Makam Pangeran Mahkota Sado di Benteng Hwaseong” oleh Kim Deuk-sin et al. c. 1795. Tinta dan warna pada sutra, masing-masing panel 151,5 x 66,4 cm. Layar lipat mencatat perjalanan Raja Jeongjo ke Benteng Hwaseong pada tahun 1795 untuk memberi penghormatan di makam ayahnya, Putra Mahkota Sado, dan menyelenggarakan perjamuan ulang tahun ke-60 untuk ibunya, Lady Hyegyeong. Layar delapan panel menggambarkan adegan dari perjalanan delapan hari. Agaknya diproduksi oleh beberapa seniman dari Biro Kerajaan tentang Lukisan, merupakan lukisan lambang pengadilan dengan nada halus dan warna yang indah. © Museum Istana Nasional Korea

seni & budaya korea 45


Prosesi akbar kerajaan merupakan acara seremonial dan politis yang sering dilakukan oleh dinasti pra-modern Asia Timur Laut. Prosesi Raja Jeongjo ke Benteng Hwaseong merupakan yang terbesar sejak berdirinya Dinasti Joseon pada tahun 1392, termasuk anggarannya. men dan kue beras menerobos kerumunan. Banyak orang mulai ingin tahu peristiwa yang terjadi 200 tahun lampau ketika novel “Eternal Empireâ€? (Yeongwon-han jeguk) karya Lee In-hwa diterbitkan pada tahun 1993. Ber­ kisah tentang diracunnya Jeongjo hingga meninggal dunia, novel ini menjadi novel laris dan kemudian dibuat versi filmnya dengan judul yang sama. Ketika Benteng Hwaseong tercatat dalam Daftar Warisan Budaya Dunia UNESCO, kompilasi catatan yang ditinggalkan raja diterbitkan dan ilustrasi prosesi yang awalnya berupa gambar hitam putih dibuat menjadi berwarna, sehingga menjadi produk budaya yang bernilai tinggi. Semua ini menunjukkan Jeongjo memiliki reputasi sebagai raja yang mengawali Renaissance Joseon dan mengingatkan kenangan bangsa Korea akan raja yang mereka kagumi.

Jembatan Perahu bagi Raja

Prosesi itu bukan pertama kalinya Jeongjo menunjukkan

penghormatan kepada ayahnya. Setelah merelokasi makam ayahnya, ia mengunjungi makam itu setiap tahun. Dengan demikian, prosesi di tahun 1795 adalah yang keenam kalinya. Sebenarnya, prosesi ini mengandung maksud terselubung. Karena banyaknya tentara yang dimobilisasi untuk keperluan ini, prosesi itu merupakan kesempatan bagi raja untuk mengecek keadaan dan memeriksa sistem pertahanan ibukota. Pengerahan banyak tentara berarti banyak diperlukan jalan dan jembatan baru, yang tentu saja memperluas jaringan transportasi kerajaan. Oleh karenanya, prosesi itu memperkuat kedudukan raja. Salah satu isu paling kompleks mengenai prosesi ini adalah penyeberangan Sungai Han. Raja bisa menyeberangi sungai dengan kapal atau berjalan kaki di jembatan yang terbuat dari kapal-kapal yang berjajar. Ia memilih yang terakhir, yang untuk membuatnya dibutuhkan ratusan kapal. Karena pengerjaannya memakan waktu lama, pemilik kapal mengalami kerugian waktu alih-alih menggunakannya untuk 1

46 Koreana Musim Semi 2019


bekerja. Jeongjo ingin membangun jembatan ponton paling aman dan indah dalam waktu dan biaya sekecil mungkin. Ia menginginkan rancangan dan pengerjaan proyek yang sistematik. Dengan pengalaman yang diperoleh dari relokasi makam ayahnya, raja membagi instruksi pembangunan jembatan ponton dalam 15 kategori. Kategori itu meliputi tinggi kapal dan cara penyatuannya. Setelah masa persiapan yang panjang dan menyeluruh, sebuah buku berjudul “Petunjuk Pembangunan Jembatan Perahu” (Jugyo jeolmok) selesai pada tahun 1793. Berkat pengarahan yang tepat dan cermat, jembatan perahu yang fungsional dan indah berhasil dibangun dalam waktu 11 hari di bulan kedua tahun 1795. Di lokasi jembatan itu, jembatan pejalan kaki modern Korea pertana, yaitu Jembatan Su­­ ngai Han, dibuka pada tahun 1917. Seratus tahun kemudian, sebanyak 31 jembatan dibangun di atas sungai itu. Setelah berhasil menyeberangi Sungai Han, Jeongjo menolak rute lama menyeberangi Namtaeryeong, yang me­­ rupakan jalur pegunungan, menuju Gwacheon. Ia memilih rute baru, melewati Noryang dan terus ke Siheung. Jarak­nya hampir sama. Namun, karena prosesi berjalan dalam lima atau kadang-kadang 11 barisan, jalan yang dilewati harus lebar. Daripada memperlebar jalan menembus gunung, lebih mudah membangun jalan baru di lahan datar. Karena ba­nyak sungai besar dan kecil di sepanjang rute Siheung, banyak juga jembatan yang harus dibuat. Keputusan Raja Jeongjo ini mengubah dua rute. Jalan Siheung terus diperluas sampai menjadi satu dari 10 jalan arteri utama di Joseon. Kini, jalan ini merupakan seksi utama dari Jalan Nasional No. 1, yang menghubungkan Seoul tengah dengan bagian selatan negara ini. Sebaliknya, masa-masa keemasan Namtaeryeong berakhir dan hanya menyisakan beberapa penginapan dan tempat minum minuman keras sebagai pengingat akan jalan tua yang legendaris.

Pembangunan Benteng Hwaseong

Prosesi kerajaan yang berangkat dari gerbang depan istana berhenti di Siheung untuk beristirahat di malam hari. Mereka baru akan melewati gerbang utara Benteng Hwaseong dan sampai di kantor wilayah Suwon pada malam hari berikutnya. Konstruksi dinding benteng sudah dimulai satu tahun sebelumnya dan pekerjaan itu masih berjalan. Jeongjo mengganti nama Suwon menjadi Hwaseong, yang artinya “benteng brilian”, dan meningkatkannya menjadi unit administratif yang lebih tinggi. Ia juga mendirikan asrama untuk pengawalnya, Jangyongyeong, yang terdiri atas 5.000 tentara. Suwon sekarang masih menjadi pemberhentian penting dari Seoul ke wilayah-wilayah selatan. Penguatan

2

sistem pertahanan di sekeliling ibukota kerajaan menjadi justifikasi kebijakan Jeongjo. Benteng Hwaseong merupakan peninggalan hebat yang dibangun dengan teknologi terbaru saat itu. Benteng ini dirancang oleh Jeong Yak-yong (1762–1836), seorang cendekiawan yang mengajarkan “pembelajaran praktis” (Silhak) dan merancang jembatan perahu. Namun, pembangunan benteng militer itu sama sekali bukan yang dibayangkan raja. Sungai-sungai diarahkan melewati kota dan sebuah jalan yang menyerupai tanda salib dibangun untuk memfasilitasi lalu lintas orang dan barang. Ketika tinggal di wilayah ini selama empat hari, Jeongjo mengunjungi makam ayahnya, mengadakan ujian khusus pegawai negeri bagi pejabat-pejabat daerah terpilih, melakukan observasi pelatihan tentara siang dan malam, mengadakan jamuan makan untuk me­­ rayakan ulang tahun ke-60 ibunya dan mengadakan jamuan lain untuk mereka yang sudah lanjut usia. Di kota berbenteng yang dibangunnya, Jeongjo menguji segala sesuatu yang diyakininya dan mencoba mengimplementasikannya setelah melalui banyak pertimbangan. Itu terjadi satu tahun setelah memulai persiapan prosesi kerajaan, enam tahun sejak ia merelokasi makam ayahnya, dan 20 tahun setelah ia ber1. Yungneung, terletak di tahta. Hwaseong, Provinsi Gyeonggi, Dengan dinding sepanadalah makam bersama orang tua Raja Jeongjo: Putra Mahkota jang 5,7 kilometer dan tingSado (1735–1762) dan Lady gi 4,9 x 6,2 meter, Benteng Hyegyeong (1735–1816). Hwaseong selesai pada 2. Makam Pangeran Mahkotahun 1796, setahun setelah ta Sado dan Lady Hyegyeong didekorasi dengan cermat prosesi besar Raja Jeongjo berupa batu berbentuk kuncup ke makam ayah­n ya. Pembunga dan batu penahan yang b a n g u n a n k e s e l u r u h­a n menampilkan desain bunga peomemakan waktu dua tahun ny dan bunga teratai. Ini mencerminkan keinginan Raja Jeongjo enam bulan, termasuk 40 untuk membuat makam ayahnlebih fasilitas pertahanan ya, yang meninggal sebelum yang meliputi empat gerwaktunya dalam keadaan tragis, menyerupai makam raja. bang indah di utara, selatan,

seni & budaya korea 47


timur dan barat. Pos di bagian barat berada di bagian tertinggi benteng, yaitu di puncak Gunung Paldal; Paviliun Banghwasuryu (yang namanya berarti “paviliun untuk merangkai bunga dan mencari pohon dedalu”) dan Gerbang Hwahong, salah satu gerbang yang lebih kecil yang terletak di atas pintu air, tampak indah sepanjang tahun; dan tiga menara pengamat yang disebut Gongsimdon, berupa bangunan baru terbuat dari batu bata dan batu yang berlubang di bagian dalamnya dan hanya bisa dilihat di sini. Istana sementara di Hwaseong rusak selama periode kolonial Jepang dan pernah digunakan sebagai rumah sakit, sekolah dan kantor polisi. Namun, istana ini dibangun kembali sesuai bentuk aslinya pada tahun 2003 dan bangunan itulah yang bisa dilihat pengunjung saat ini. Restorasi akurat itu bisa dilakukan karena Raja Jeongjo mendokumentasikan proses pembangunannya dalam “Catatan Pembangunan Benteng Hwaseong” (Hwaseong seongyeok uigwe).

Modernisasi bagi Raja Jeongjo

Saya menapak tilas jejak Raja Jeongjo dengan pertanyaan sederhana: Mengapa ia membangun Benteng Hwaseong dan sebagai penguasa Joseon, apa yang ingin ia capai? Yang saya temukan adalah bahwa ia penguasa yang memiliki kecintaan kepada keluarga, menjalankan pemerintahan yang baik berdasarkan pengetahuan dan nilai neo-Konfusianisme yang solid — raja yang berkuasa dan dihormati rakyatnya. Ini semua ada dalam “Kumpulan Karya Raja Jeongjo” (Hongje jeonseo) dan teks-teks lain yang ditinggalkannya.

Dalam masa pemerintahan Raja Jeongjo, filosofi Katolik dan neo-Konfusianisme Wang Yangming mulai masuk ke negara ini, sejalan dengan ilmu pengetahuan dan teknologi Barat “pembelajaran praktis”. Neo-Konfusianisme berdasarkan paham Zhu Xi tidak lagi dianggap progresif dalam hal pembelajaran dan nilai hidup. Bagi Jeongjo, modernisasi penuh dengan ketidakpastian. Ia mencoba berkompromi dengan waktu yang terus berubah, dengan berpedoman pada “cinta untuk rakyat”. Kapanpun ia melakukan prosesi, Jeongjo menyempatkan bertemu secara langsung dengan rakyat untuk mendengarkan keluhan mereka. Banyak di antara mereka buta huruf dan tidak bisa menulis. Dalam setiap kesempatan, ia menerima sekitar 85 keluhan. Untuk mereka yang ikut terlibat dalam pembangunan Benteng Hwaseong, ia menyiapkan baju musim dingin yang hangat dan obat herbal untuk membantu melawan cuaca musim panas. Namun, meski ia mencoba memerintah dengan kasih sayang dan nilai neo-Konfusianisme yang kental, Jeongjo gagal membaca spirit masa modern yang melahirkan “sifat individual” dan konflik yang berakar dari perbedaan kelas. Berkali-kali ia menekankan bahwa Benteng Hwaseong ditujukan untuk melindungi makam kerajaan dan istana sementara. Manangyo (Jembatan Keselamatan), yang dibangun di jalan Siheung dan dipakainya untuk menuju makam ayahnya, tidak begitu dimanfaatkan oleh rakyat. Pemikiran Jeongjo tidak sejalan dengan gagasan ideal yang dikemukakan oleh cendekiawan Shin Gyeong-jun

Tempat Kunjungan di Suwon 46km

Seoul Suwon

1 Gerbang Jangan

2 Gerbang Hwahong

3 Pos Komando Barat Benteng Hwaseong

4 Yungneung

48 Koreana Musim Semi 2019

5 Kuil Yongju

1

2

3

4

5


© Topic

Paviliun Banghwasuryu, yang dikenal sebagai struktur paling indah dari Benteng Hwaseong, dikelilingi oleh pemandangan indah yang dihasilkan oleh empat musim dalam setahun. Dengan nama yang berarti “paviliun untuk mencari bunga dan mencari pohon willow,” itu adalah karya arsitektur indah yang terbuat dari kayu dan batu yang dibangun sebagai pos pengamatan militer dan tempat untuk menikmati pemandangan.

(1712–1781) dalam pembuka bukunya yang terbit pada tahun 1770, “Rute dan Jalan” (Dorogo): “Jalan-jalan itu tidak punya pemilik. Hanya mereka yang menggunakan jalan itulah pemiliknya”. Inilah poin yang selalu mengganggu para sejarawan ketika mereka mengaitkan Jeongjo dengan modernisasi sebagai jawaban atas sentimen publik. Pada tahun 1800, empat tahun setelah pembangunan Benteng Hwaseong selesai, Raja Jeongjo meninggal dengan tiba-tiba. Warisannya tidak bertahan lama. Jangyongyeong, sebuah asrama untuk pengawal kerajaan, dihentikan dan Hwaseong kembali menjadi sebuah kota kecil. Orang-orang lebih suka menggunakan nama Suwon daripada Hwaseong. Seratus tahun kemudian, Suwon menjadi pemberhentian utama jalur kereta dari Seoul ke Busan. Pusat kota baru kemudian lahir di antara stasiun kereta Suwon di pinggiran selatan kota dan Gerbang Paldal di gerbang selatan Hwaseong. Kantor pemerintah Propinsi Gyeonggi juga didirikan di Suwon, yang mulai menggeliat lagi. Keadaan geografis Suwon membuatnya menjadi medan perang berdarah dalam Perang Korea tahun 1950–1953. Banyak bagian kota dan benteng yang hancur karena keba-

karan dan bom. Namun, setelah perang usai, kota ini menjadi sebuah pusat industri tekstil, salah satu penggerak industrialisasi Korea yang berkembang pesat. Saat ini, kondisi geografis membantu Suwon menjadi pusat produksi Samsung Electronics, pemain besar dalam industri semikonduktor global. Ketika tim UNESCO mengunjungi Suwon pada bulan April 1997, sebuah salinan “Catatan Pembangunan Benteng Hwaseong” sampai ke tangan Nimal de Silva, yang memim­ pin inspeksi lapangan benteng itu. Ia terkesan dengan arsitektur bangunan benteng dan terpesona oleh dokumen yang sangat lengkap dan detail. Buku itu berperan dalam penganugerahan status Warisan Budaya Dunia yang diterima oleh Hwaseong, yang sudah berulang kali rusak dan direstorasi dalam dua abad ini. Reaksi tim UNESCO terhadap buku itu sejalan dengan apa yang dirasakan oleh bangsa Korea saat ini mengenai Raja Jeongjo. Dalam catatan yang ditinggalkannya, tersirat ketulusan dan pandangannya mengenai monarki dan republik, transisi dari pra-modern ke modern, gambaran sebagai pribadi dan mewakili sebuah negara.

seni & budaya korea 49


Kisah Dua Korea

Rencana Merajut Unifikasi Secara Indah

K

ota Istimewa Rasun-si yang terletak di hilir sungai Duman, Hamgyongbuk-Do terkenal memiliki suhu udara yang dingin sekali. Suhu rata-rata bulan Januari tercatat minus 18 celsius dan angin musim dingin pula sangat kencang sehingga ada peribahasa ‘angin cukup kuat untuk menerbangkan sapi’. Pang In-sung, kepala Hananuri merangkap pendeta utama Open Together Church menuju ke tempat itu setiap musim dingin untuk menyampaikan selendang kepada anak-anak di Kawasan khusus ekonomi Rajin-Sunbong.

Selendang dan Keuangan Mikro

“Truk yang memuat 3.000 selendang mengunjungi taman kanak-kanak di tengah angin kencang, tempat penitipan anak, panti asuhan, membuat wajah anak-anak berubah menjadi bahagia sekali”, ujar Pang, “anak-anak Korea Utara menahan dinginnya musim dingin dengan sedikit pakaian hangat untuk melindungi mereka, ketika bahan bakar pemanas sangat sedikit. Selendang merupakan hadiah terbaik untuk mereka di musim dingin. Saya pikir selendang sepanjang 1 meter menghubungkan orang-orang di kedua Korea yang terpisah hampir 3.000 ri atau 1.178,18 kilometer”. Hananuri juga menyediakan dukungan keuangan di Ryongpyong, sebuah desa pertanian di daerah Rason. Ini menjalankan dana komunal untuk membantu penduduk desa membeli peralatan pertanian dan pasokan agar mandiri. Contohnya program kredit mikro Grameen Bank yang didiri-

50 Koreana Musim Semi 2019

Pendeta Pang In-sung menabur benih penyatuan melalui bantuan kemanusiaan, menentang pasang surut hubungan antar-Korea. Dia mendesak gereja-gereja Korea Selatan untuk memberi perhatian besar dalam memberikan bantuan substansial kepada warga Korea Utara untuk meningkatkan mata pencaharian mereka sebelum melakukan penginjilan. Kim Hak-soon Jurnalis, Profesor Tamu Jurusan Media dan Komunitas Universitas Korea

Ahn Hong-beom Fotografer

kan oleh Muhammad Yunus, seorang wirausahawan sosial, ekonom dan pemimpin masyarakat sipil Bangladesh, yang menerima Hadiah Nobel Perdamaian pada 2006. Hananuri diluncurkan pada 2007 dengan tujuan membuat persiapan untuk reunifikasi nasional berdasarkan tiga aspek program pendukung: kegiatan praktis, penelitian dan pendidikan untuk membangun perdamaian di semenanjung Korea. Lembaga yang baru dibuka, Institut Penelitian Asia Timur Laut, bertugas menciptakan model pembangunan yang sa­ling menguntungkan untuk Asia Timur Laut. Saat ini, sedang mempelajari Ryongpyong sebagai prototipe. Melalui Hananuri serta Open Together Church-nya, sebuah gereja kecil dengan hanya 100 anggota, Pendeta Pang In-sung menabur benih penyatuan melalui bantuan kemanusiaan, menentang pasang surut hubungan antar-Korea. Dia mendesak gereja-gereja Korea Selatan untuk memberi perhatian besar dalam memberikan bantuan substansial kepada warga Korea Utara untuk meningkatkan mata pencaharian mereka sebelum melakukan penginjilan.

Sukarelawan Perajut

Pada 2011, seorang staf Hananuri menyusun gagasan memberikan selendang sebagai hadiah kepada warga Korea Utara. Hubungan antar-Korea sedang membeku pada saat itu, dengan program pertukaran di sektor swasta hampir sepenuhnya terhenti. Pang merasa bahwa pertukaran sektor swasta harus dipertahankan, terlepas dari keadaan hubungan antara


1. Anak-anak di pusat penitipan anak di Zona Ekonomi Khusus Rason, Korea Utara, mengenakan syal yang dirajut oleh relawan di Korea Selatan. Selendang adalah hadiah yang tepat selama cuaca musim dingin di Korea Utara, di mana pasokan bahan bakar terbatas. 2. Relawan muda merajut syal di kantor Hananuri, sebuah organisasi bantuan nonpemerintah, di Distrik Jung, Seoul. Mereka datang setiap hari Sabtu keempat setiap bulan. Mereka yang tidak bisa datang menerima bahan rajutan di rumah mereka dan mengirim syal yang sudah jadi ke kantor.

1 2

mendengar bahwa selendang dirajut oleh siswa Korea Selatan, mungkin karena mereka merasa telah menerima hadiah yang sungguh hangat. Inilah sebabnya Pang merajut selendang satu per satu, meskipun ia tahu akan jauh lebih mudah untuk membeli dan mengirimnya ke Korea Utara. Karyawan Samsung Display dan perusahaan Korea lainnya juga telah terlibat dalam kampanye, dan proposal partisipasi berasal dari Amerika Serikat dan Kanada, dan negara-negara lain. “Sekitar 2.000 hingga 3.000 orang di dalam dan luar negeri berpartisipasi setiap tahun”, kata Pang.

Dana Komunal untuk Kemandirian

pemerintah. Gagasan merajut rajutan sungguh segar dan asli. “Itu ide yang sangat bagus. Bahkan para pejabat Korea Utara kagum dengan cara kami memahami gagasan semacam itu”, kata Pang. Sebagian besar selendang yang didistribusikan melalui kampanye “Selendang Menghubungkan Dua Korea” dirajut oleh siswa SMP dan SMA Korea Selatan. Dengan berpartisipasi dalam kampanye, para siswa mendapatkan kredit sekolah untuk layanan masyarakat sukarela. Pada hari Sabtu keempat setiap bulan, mereka berkumpul di kantor Hananuri di Distrik Jung Seoul. Mereka yang tidak bisa datang merajut di rumah mereka dan mengirim selendang yang sudah jadi ke kantor. Bahan rajut didanai oleh para donatur. Anak-anak dan guru di taman kanak-kanak dan pusat penitipan anak Korea Utara sangat terharu ketika mereka

Aktivitas Hananuri di Ryongpyong dimulai pada 2009, ketika memberikan bantuan ke pusat penitipan anak di Chongjin, juga di Provinsi Hamgyong Utara, dan panti asuhan di dekat Provinsi Ryanggang. Pada 2017, Hananuri memulai proyek 10 tahun untuk membantu Ryongpyong menjadi lebih mandiri dalam pasokan makanan, perawatan anak, perumahan, pendidikan, layanan medis, energi, dan administrasi mandiri. Dana desa, bagian dari proyek, memperpanjang pinjaman yang setara dengan sekitar 33 juta won Korea Selatan (sekitar US $ 30.000) untuk 48 rumah tangga desa. Dengan uang itu mereka membeli benih, pupuk, dan peralatan pertanian untuk 615.000 meter persegi (152 hektar) tanah yang mereka garap. Keberhasilan atau kegagalan proyek kemandirian seperti itu tergantung pada apakah penduduk desa dapat membayar kembali pinjaman mereka. Laporan kinerja desa 2017 membantu meredakan kekhawatiran. Hasil beras dan jagung masing-masing meningkat sekitar 60 ton, dibandingkan dengan 2016, dan konsumsi beras dan mie setiap rumah tangga meningkat sekitar 10 kg tahun-ke-tahun. Pembayaran pertama dilakukan pada 17 Juli 2018. “Ryongpyong merupakan model difusi yang dapat di­­ terapkan ke tempat lain di Utara”, kata Pang. Dia berencana untuk menginvestasikan hasil pembayaran ulang di desa lain di Rason.

Persiapan Pasca Reunifikasi

Hananuri akan membuka kantor perwakilan di Rason untuk

seni & budaya korea 51


“Anak-anak Korea Utara menahan dinginnya musim dingin dengan sedikit pakaian hangat untuk melindungi mereka, ketika bahan bakar pemanas sangat sedikit. Selendang merupakan hadiah terbaik untuk mereka di musim dingin. Saya pikir selendang sepanjang 1 meter menghubungkan orang-orang di kedua Korea”.

1

manajemen proyek bantuan. Kantor tersebut juga akan menginvestasikan kembali keuntungan dan berfungsi sebagai saluran komunikasi untuk perusahaan Korea Selatan. Dari sudut pandang jangka menengah dan panjang, kantor akan melakukan penelitian tentang pariwisata, pendidikan bahasa asing, transportasi, budidaya ikan, pengembangan sumber daya bawah tanah dan program kota pintar serta perencanaan kota dan pengembangan lahan. Saat menjalankan proyek Ryongpyong, Pendeta Pang mengetahui bahwa sebagian besar penduduk desa memiliki beban utang yang besar. Dia juga mengetahui bahwa pinjam­ an dengan tingkat bunga 10 hingga 30 persen adalah hal biasa di Utara. Banyak orang Korea Utara tidak mempercayai bank, karena mereka menderita kerugian besar dalam reformasi mata uang 2009, yang memaksa semua orang untuk mendapatkan uang kertas baru sambil membatasi jumlah mata uang lama yang tiba-tiba usang. Rentenir telah mengisi kekosongan yang tercipta oleh ketidakpercayaan bank dan jumlah pinjaman rumah tangga meningkatkan tajam. Untuk membantu meringankan beban, Pang bersiap untuk membiarkan dana komunal menawarkan pinjaman tanpa bunga hingga setara dengan 85.000 won Korea Selatan untuk setiap rumah tangga. Biaya hidup bulan­ an rata-rata per rumah tangga setara dengan sekitar 50.000

52 Koreana Musim Semi 2019

won Korea Selatan. Hananuri memiliki bidang pemikiran lain yang dikhususkan untuk studi penggunaan lahan, yaitu Institut Tanah dan Kebebasan. Penelitian di institut ini difokuskan pada siklus ekonomi, merujuk pada tradisi alkitabiah awal di mana tanah, properti dan budak akan dikembalikan kepada pemiliknya di tahun ke-50. Penelitian ini menyangkut bagaimana tanah dan properti harus ditangani di Korea Utara setelah penyatuan dan ekonomi alternatif apa yang bisa berlaku untuk kedua Korea. “Saya percaya bahwa kita membutuhkan struktur ekonomi alternatif baru untuk semenanjung bersatu, melampaui sistem saat ini dari kedua Korea”, kata Pang. “Struktur alternatif baru harus membayangkan perdamaian sejati, mengikuti tradisi alkitab”. Selama pemerintahan liberal Presiden Roh Moo-hyun (2003-2008), Hananuri mensponsori pameran bersama seniman Korea Selatan dan Korea Utara dan memberi kesempatan kepada pemuda Korea untuk menanam pohon bersama. Pada 2007, ia membayangkan 500 pemuda dari kedua sisi melintasi Zona Demiliterisasi dengan sepeda. Tetapi setelah pemerintahan konservatif Lee Myung-bak mengambil alih tahun berikutnya, perjalanan sepeda lintas batas tiba-tiba dibatalkan. “Kementerian Unifikasi dan sponsor potensial, serta otoritas Korea Utara, sangat tertarik dengan acara ini”, kata Pang. “Tapi kita tidak bisa melanjutkannya karena hubungan antar-Korea dingin. Kami telah mencapai kesepakatan de­­ ngan Federasi Kerjasama Ekonomi Nasional Korea Utara dan kami baru akan memulainya. Saya ingin mendorong agenda ini lagi jika ada kesempatan lain di masa depan”. Lingkungan politik yang bermusuhan bukan satu-satunya penghalang bagi proyek-proyek bantuan Pang. Kegiatan Hananuri tidak dipahami dengan baik bahkan oleh gereja-gereja Korea Selatan. Beberapa membandingkan proyek-proyeknya dengan “menyekop pasir melawan gelombang”, bersikeras bahwa “Korea Utara harus disingkirkan dan dia tidak boleh ditipu oleh mereka”. Tetapi tekanan Pang pada dukungan akar rumput tak tergoyahkan.


“Semakin banyak kekacauan akan menghancurkan Korea Utara, jika gereja besar Korea Selatan dan berbagai denominasi dan organisasi Kristen bersaing hanya untuk membuka gereja dan memperluas pengaruh mereka di sana”, katanya. “Saya berharap gereja-gereja Korea Selatan tidak akan meng­­anggap Korea Utara hanya sebagai target penginjilan, tetapi akan mencintai mereka terlebih dahulu dan kemudian berpikir serius tentang bagaimana cara kedua Korea dapat hidup berdampingan secara damai”.

Upaya untuk Reformasi Gereja

Pang merupakan pendeta generasi ketiga di keluarganya. Kakeknya, Pendeta Pang Gye-sung, membangkitkan minatnya pada Korea Utara dan penyatuan semenanjung yang terpecah. “Saya semakin tertarik pada penyatuan dan kedamaian, karena saya percaya bahwa mencintai Korea Utara adalah inti dari Injil, melampaui tragedi keluarga saya sendiri”, katanya. Pendeta Pang Gye-sung merupakan seorang pendeta dari Cholsan, Provinsi Pyongan Utara. Dia dipenjara karena menolak untuk memberi hormat di kuil Shinto selama pendudukan Jepang di Korea. Setelah pembebasan nasional pada tahun 1945, komunis membunuhnya karena menolak untuk memasang bendera nasional Korea Utara di gerejanya dan bergabung dengan Federasi Kristen Korea Utara. Pang In-sung mempelajari teologi di King’s College London dan Fakultas Teologi Universitas Oxford. Dia ditahbiskan sebagai pendeta di Gereja Presbiterian Internasional di Inggris dan bekerja sebagai pendeta di sebuah gereja Korea di Kings Cross, London, dan sebagai pendeta senior di gereja Korea lainnya di Oxford. Setelah kembali ke Korea Selatan pada tahun 1996, ia mengambil alih Gereja Seongteo, yang dibangun di Seoul oleh orang-orang Protestan yang dipenjara karena menolak untuk memberi hormat di kuil-kuil Shinto selama masa kolonial. Dia hanya memiliki satu ginjal karena dia menyumbangkan yang lain untuk anggota gereja yang sakit. Itu adalah keputusan berdasarkan keyakinannya “mempraktikkan apa yang Anda khotbahkan”. Pada 2014, Pang melakukan protes tidak makan 40 hari di Gwanghwamun Square di pusat kota Seoul, mencari keadilan bagi para korban bencana Ferry Sewol tahun itu, sebagian besar dari mereka siswa SMA. Selain proyek-proyek bantuannya untuk Korea Utara dan aktivis sosial, Pang dikenal karena pembelaannya terhadap gereja kecil. Bekerjasama dengan Solidaritas untuk Reformasi Gereja di Korea, ia melakukan gerakan reformasi Pro­ testan yang berupaya mengakhiri suksesi turun-temurun dari administrasi dan kepemimpinan gereja.

2 1. Peternakan ayam di Desa Ryongpyong di Zona Ekonomi Khusus Rason, Korea Utara, pada tahun 2018. Hananuri membantu 48 rumah tangga desa menjadi mandiri melalui proyek pendanaan. 2. Pendeta Pang In-sung membentuk model pembangunan saling menguntungkan untuk Korea pasca-unifikasi berupa bantuan besar kepada Korea Utara melalui Hananuri, sebuah organisasi bantuan nonpemerintah yang didirikan pada tahun 2007.

seni & budaya korea 53


BUKU & LAINNYA Charles La Shure

Profesor, Departemen Bahasa dan Sastra Korea, Universitas Nasional Seoul

54 Koreana Musim Semi 2019

Novel mengenai Perempuan Korea Pertama di Paris ‘Penari Pengadilan’

oleh Kyung-Sook Shin, diterjemahkan oleh Anton Hur, 336 halaman, 25,95 USD, New York: Pegasus Books [2018]

“Penari Pengadilan” adalah novel terbaru karya Shin Kyung-sook yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris (ia dikenal terutama oleh pembaca-dalam-bahasa-Inggris dari novelnya “Tolong Jaga Ibu”). Novel ini mengisahkan tentang Yi Jin, seorang penari pengadilan pada akhir abad ke-19 yang mencuri hati seorang diplomat Perancis di Korea, Victor Collin de Plancy. Yi Jin kemudian pergi ke Perancis bersama Victor pada tahun 1891, menjadi perempuan Korea pertama yang mengunjungi Perancis. Novel tersebut, menurut sampulnya, “berdasarkan dari sebuah kisah nyata yang luar biasa”, tetapi yang sesungguhnya luar biasa adalah bagaimana Shin mengangkat kisah tersebut dari menyebut secara singkat seorang penari pengadilan Korea ke dalam konteks pergantian-abad di Perancis. Akhir abad ke-19 merupakan waktu yang penuh gejolak dalam sejarah Korea, sebagai sebuah negara yang baru membuka negaranya dan terjepit di antara kekuatan-kekuatan besar dunia yang berlomba-lomba menjadi penguasa di Asia Timur. Untuk menjaga kedaulatan negara, raja dan terutama ratu mencoba memainkan kekuatan-kekuatan ini untuk saling beradu satu sama lain. Namun, usaha mereka berakhir sia-sia ketika Jepang berhasil menguasai Korea pada tahun 1910, mengawali 35 tahun penjajahan Jepang atas Korea. Novel Shin ini menghidupkan keputusasaan Korea sekaligus memotong optimisme dari Belle Époque Paris. Namun, sejarah di sini tidak hanya menjadi latar dari kisah Jin; Jin digambarkan sebagai seorang dengan peran yang dimainkan dalam sejarah tersebut. Dengan demikian, Shin menceritakan kisah Korea pada waktu itu melalui kisah Jin. Shin menggunakan berbagai gaya teknik penulisan untuk memberikan kesan klasik sekaligus abadi pada ceritanya, seperti secercah kearifan abadi yang ditaburkan melalui suara penulis. Pepatah yang berurusan dengan karakteristik air memiliki sebuah resonansi khusus. Ketika seorang pe­rempuan menyuruh Jin mengambil air dari sebuah sumur, penulis memberi catatan, “Sifat dasar air tidak berubah, yang memberikan air keku­atannya”. Selanjutnya, ketika diplomat Perancis Victor melewati sebuah sungai di dalam istana kerajaan, kita diberitahu, “Air mengalir ketika bebas, dan berkumpul ketika dihentikan”. Kata-kata ini pada awalnya terlihat dangkal, tetapi kata-kata tersebut seperti ramalan bagaimana Jin akan beradaptasi terhadap dunianya yang baru di Perancis. Selalu menjadi pembelajar yang cepat, Jin dapat segera fasih berbicara bahasa Perancis, dan dia tidak ragu untuk membuang pakaian pengadilannya untuk mode pakaian terbaru Perancis. Se­perti air, dia mengadopsi bentuk dari sekelilingnya. Namun, dia tetap menjadi sebuah tontonan bagi orang-orang di sekitarnya. Bahkan bagi orangorang yang menerimanya masuk ke dalam kehidupan mereka pun masih memperlakukannya sebagai sesuatu hal yang eksotis, seperti satu dari vas-vas celadon yang dikoleksi Victor dan dibawa pulang ke Perancis. Di sisi lain, Hong, satu-satunya orang Korea lain yang ada di Paris pada saat itu, menyalahkan dan mengejeknya karena telah meninggalkan budayanya. Jin pun mendapati dirinya mempertanyakan identitasnya, sesuatu yang tidak pernah menjadi beban pikirannya ketika dia masih tinggal di istana kerajaan di Seoul.


Puisi untuk Pengalaman Sensual di Luar Interpretasi ‘Kami, Hari demi Hari’

oleh Jin Eun-young, Diterjemahkan oleh Daniel Parker dan Ji Young-shil, 108 halaman, 16,00 USD, New York: White Pine Press [2018]

Mungkin kelihatannya sia-sia, atau bahkan konyol, mencoba untuk menulis ulasan tipikal dari “Kami, Hari demi Hari”, sebuah kumpulan puisi dari Jin Eun-young. Sama seperti seseorang yang mungkin akan tersesat dalam menggambarkan perasaan seseorang ketika melihat indahnya matahari terbenam, maka tampaknya ini juga sebuah tugas tanpa harapan untuk mengatakan sesuatu tentang kumpulan ini hanya dengan menuliskan kata-kata yang masuk akal dan menenangkan dalam susunan teratur. Pengantar dari penerjemah memberikan pembaca beberapa firasat tentang apa yang ditulis di depan, dengan memberi catatan bahwa puisi Jin “selalu penuh tantangan bagi pembaca yang mencari pemahaman menyeluruh”. Lagipula, tujuan puisinya bukan untuk membuat pembaca mudah menangkap dan memahami, tetapi lebih “untuk mempersembahkan suatu pengalaman sensual baru”. Hal ini dapat men-

jadi suatu hal yang membuat frustasi bagi beberapa orang. Jika Anda pernah berdiri di depan lukisan­nya Jackson Pollock (dan yang saya maksud adalah lukisan yang sebenarnya, bukan hanya sebuah gambar yang bisa dilihat melalui internet) dan Anda membayangkan apa maksudnya semua kehebohan itu, maka kumpul­an puisi ini mungkin bukan untuk Anda. Jika Anda dapat melihat keindahahan dalam keganjilan, maka, begitulah semestinya. Pengantar mencatat bahwa Jin telah mempublikasikan tiga buku filsafat di samping tiga buku puisi, tetapi saya akan memperdebatkan bahwa garis di antara keduanya tidak terlalu jauh – bahwa, sesungguhnya, “Kami, Hari demi Hari” adalah keduanya, yaitu puisi dan filsafat. Apa yang coba Jin sampaikan di sini adalah semangat dari Duchamp ketika dia memutuskan untuk menyambungkan sebuah roda sepeda ke sebuah kursi.

Website Membawa Sastra Modern Korea pada Dunia ‘KoreanLit’ (www.koreanlit.com)

Dijalankan oleh Layanan Budaya Korea di Massachussetts (Korean Cultural Service of Massachusetts)

Beberapa akan mengatakan bahwa me­­ nerjemahkan puisi adalah tugas paling sulit yang dapat dihadapi seorang penerjemah. Yang lain akan berdebat bahwa terjemahan puisi sesungguhnya tidak mungkin, bahwa seni mengakar sangat dalam pada bahasa yang menyebabkan segala usaha untuk mengungkapkannya dalam bahasa berbeda dapat dipastikan akan menuju pada kegagalan. Hal ini tidak menghentikan orang-orang di balik website KoreanLit, sebuah proyek di bawah arahan dari Layanan Budaya Korea di Massachusetts, yang berjuang membawa terjemahan dari sastra modern Korea kepada para pembaca penutur-bahasa-Inggris. Dalam satu-satunya esai yang ada di website saat ini, Profesor Yu Jin Ko mencatat bahwa puisi tidak hanya mengenai apa yang hilang dalam terjemahan, tetapi juga mengenai apa yang ditemukan. Yaitu, sementara tentu saja terdapat elemen

dari puisi Korea yang tidak dapat direplikasi dalam bahasa Inggris, sebuah terjemahan dapat menemukan dan membuka aspek baru dari sebuah karya. Pandangan yang lebih luas semacam ini adalah satu cara untuk mengatasi kelumpuhan ide bahwa puisi pada kenyataannya tidak mungkin diterjemahkan. Selain beberapa ratus karya puisi, baik untuk orang dewasa maupun untuk anak-anak, website ini juga melihat puisi sebagai sesuatu yang berkaitan dengan bentuk lain dari seni seperti lukisan atau musik popular. Walaupun karya-karya tersebut relatif sedikit dibandingkan terjemahan puisi murni, diharapkan akan ada lebih banyak lagi usaha seperti ini di masa depan, yang memperluas pemahaman dari peran yang puisi mainkan dalam seni Korea. Juga akan diterima lebih banyak esai tentang puisi dan seni dari terjemahan puisi; esai yang disebutkan di atas oleh Prof. Ko itu cukup menarik dan bermakna.

seni & budaya korea 55


SATU HARI BIASA

Menjadi Tukang Sol Sepatu di Seoul Dulu, ada kios semir sepatu di setiap jalan dan gang di Seoul, tapi kios-kios itu perlahan-lahan menghilang. Sekarang, kios seperti itu jarang sekali dijumpai. Salah satunya adalah kios milik Kim Seong-bok, yang hanya berupa kotak metal di sebuah tempat parkir. Selama lebih dari 30 tahun, ia memperbaiki dan menyemir sepatu yang tak terhitung jumlahnya dalam suasana damai yang sangat disukainya. Kim Heung-sook Penyair Ha Ji-kwon Fotografer

56 Koreana Musim Semi 2019


N

asib setiap orang tergantung dari orangtuanya. Seperti yang digambarkan dalam film arahan Roberto Benigni “Life Is Beautiful” (1997), orang tua yang baik bisa menciptakan keajaiban, bahkan membuat perang terasa seperti permainan bagi anak-anaknya. Namun, di sisi lain, ada juga orangtua yang membuat hidup anak-anaknya sangat menderita. Masa kecil Kim Seong-bok seperti yang kedua itu. Ayahnya, seorang petani, gemar berjudi alih-alih mengurus keluarganya. Ibunya bekerja menjual ikan dan garam; dan tidak memperoleh penghasilan cukup untuk makan anak-anaknya. Belum lagi kaki Kim yang cacat seumur hidup. “Dari kecil saya sangat suka memperbaiki mobil. Suatu hari saya melihat beberapa orang sedang memperbaiki truk GMC besar bermuatan padi yang baru dipanen”, kenang Kim. “Truk itu mogok. Saya berdiri memandang me­­ reka, lalu asisten sopir menghampiri saya dan mengatakan bahwa kalau saya membantu mereka, mereka akan memberi tumpangan kepada saya. Jadi, saya bantu mereka, mengambilkan ini dan itu, dan membantu menyalakan mesin. Namun, ketika mesin mobil itu bisa berjalan, mereka tidak menepati janji dan justru pergi meninggalkan saya. Saya bergelantungan di bagian bekakang truk dan terjatuh ketika truk itu melaju kencang”. Peristiwa ini mengubah nasib­nya. Salah satu kakinya tidak bisa pulih seperti sedia kala dan itu memaksanya berputar haluan. Ia sama sekali tidak

Kim Seong-bok (kiri) tidak pernah melewatkan satu hari kerja sejak ia membuka bengkel sepatunya di tempat parkir kompleks apartemen di Oksu-dong, Seoul, pada tahun 1986.

bisa bertani atau melakukan pekerjaan berat lain dan tanpa dukungan finansial keluarganya, melanjutkan kuliah dan memperoleh pekerjaan kantor juga tidak mungkin lagi baginya. Namun, setelah beberapa dekade, Kim berkata sambil tersenyum, “Saya menemukan kedamaian menyemir dan memperbaiki sepatu yang tak terhitung jumlahnya”.

Sendiri di Seoul

Setelah kecelakaan itu, para tetua di lingkungannya mendorong Kim pindah ke Seoul, dan mengatakan, “Kamu tidak akan bisa bertani dengan kaki seperti itu, tapi kalau kamu ke Seoul, pasti ada satu atau dua pekerjaan yang bisa kamu lakukan”. Karena nasihat itu, Kim meninggalkan kampung halamannya di Haenam, di ujung selatan Korea, dan menempuh perjalanan sejauh 400 kilometer ke ibukota. Saat itu ia baru berusia 12 tahun. Setelah tiba di Stasiun Seoul tanpa rencana apapun, Kim bertemu de­­ngan orang yang mencarikan pekerjaan bagi mereka yang tidak punya tempat tinggal dan pekerjaan. Akhirnya Kim menjadi jjiksae, anak laki-laki yang mengumpulkan sepatu dari para pekerja kantor di stasiun Seoul dan membawanya ke kios tukang sepatu untuk disemir. Itulah awal hubungannya dengan sepatu. Pekerjaan sebagai jjiksae berlangsung selama sekitar tiga tahun. Kemudian, Kim menjual koran dan permen karet. Dengan kaki pincangnya ia berjalan ke sana-sini di Seoul tanpa keluarga. Hidupnya seperti perburuan tanpa akhir, mencari makan dan tempat berteduh di tempat-tempat yang sebe­ lumnya tidak dikenalnya. Sering kali ia harus berpindah tempat. Di antara 25 distrik di Seoul, hanya ada satu atau dua yang belum pernah ditinggalinya. Kim bertemu teman-teman yang menghalangi niatnya untuk hidup jujur. Untungnya, ia bertemu seorang pe­­

rempuan dari kampung halamannya, Lee Yu-sook. Ia adalah tetangga Kim di Haenam, yang tinggal di sebelah rumahnya. Ia juga pindah seorang diri ke Seoul, dan harus berjuang untuk bertahan hidup dengan bekerja serabutan untuk memenuhi kebutuhannya. Karena sangat memahami kesulitan dan latar belakang masing-masing, tetangga masa kecil ini kemudian menikah dengannya setelah dua tahun menjalin hubungan. Kim berusia 23 tahun dan Lee 20 tahun. “Tidak ada seorangpun di dunia ini yang seperti dia”, kata Kim. “Upacara pernikahan kami pun jauh dari pantas, tapi jika meninggal dan terlahir lagi, saya tetap ingin hidup dengannya. Ia bekerja keras seperti saya selama bertahun-tahun. Ia bekerja sebagai penempel kertas dinding, sebagai penjahit, dan menjadi pengurus rumah tangga. Dia bekerja terus sepanjang waktu. Bahkan, sekarang pun ia masih merajut”. Setelah menikah, Kim fokus menyemir dan memperbaiki sepatu, dan di tahun 1986, ia membuka kiosnya sendiri di tempat parkir sebuah kompleks apartemen di Oksu-dong di distrik Seongdong, Seoul. Tempat bekerjanya adalah kotak metal se­­ luas 3,3 meter persegi, dengan pintu geser di salah satu sisinya. Di sinilah ia bekerja setiap hari kecuali hari Minggu. Tidak seperti ayahnya yang seorang penjudi, Kim menjalankan perannya sebagai seorang suami dan ayah yang bertanggung jawab. Tidak gentar dengan tingginya biaya pendidikan, pasangan ini berhasil menguliahkan kedua anak perempuan mereka. Mereka sekarang sudah menikah dan memberikan tiga orang cucu. Meskipun perjuangan Kim untuk hidup sudah lama berakhir, harihari­­nya masih sangat disiplin seperti tentara. Ia bangun pukul 6:30 pagi, berkendara selama 30 menit sampai ke kiosnya dan membukanya pada pukul

seni & budaya korea 57


9 pagi. Pada seluruh musim, hari-hari­ nya praktis sama. Perbedaan yang mencolok adalah waktu tutupnya — pukul 7:30 malam di musim panas dan pukul 6 malam di musim dingin. Dulu, ia mulai bekerja lebih awal. Itu sebelum beban kerjanya menurun secara dramatis, seperti yang dialami oleh semua rekan-rekannya.

Pekerjaan yang Nyaris Punah

“Ketika saya pertama kali membuka kios, ongkos menyemir sepatu sebesar 1.500 won sepasang, sekarang 4.000 won. Dengan kenaikan biaya hidup dalam 30 tahun terakhir, jumlah ini tidak sebanding. Jumlah sepatu yang harus disemir juga berbeda. Dulu banyak sepatu yang perlu disemir sampai-sampai saya menggunakan moped dengan keranjang untuk membawanya. Sekitar 20 tahun lalu pun saya masih

harus datang pukul 7 pagi dan bekerja sepanjang hari”, kenang Kim. “Ada 20 pasang sepatu berjajar di luar pintu menunggu disemir! Itulah yang membuat saya bisa menguliahkan kedua anak saya dan hidup dengan baik. Tapi, sekarang orang-orang tidak lagi memakai sepatu yang perlu disemir dan saya semakin tua. Berkeliling dengan moped sangat berat buat saya”. Peraturan berpakaian bagi pegawai negeri menjadi lebih longgar sejak tahun 2005, dan pakaian dan sepatu formal makin sedikit diperlukan di kantor-kantor. Ketika tren busana yang lebih santai ini menemukan momentumnya, kios Kim makin sepi. “Saat ini baik anak-anak maupun orang dewasa mengenakan sepatu olah raga yang nyaman. Jadi, tidak perlu disemir”, kata Kim. “Saya masih punya pelanggan yang datang setiap

1

1. Dahulu semua orang memakai sepatu bersih untuk bekerja, sebagian besar pendapatan Kim berasal dari kilau sepatu. Saat ini, jauh lebih sedikit pelanggan yang menyemir sepatu mereka dan ia harus bergantung pada pekerjaan reparasi. 2. Setelah mengoleskan semir sepatu, Kim menggosoknya dengan kain yang dilembabkan dengan air. Metode pemolesan ini disebut “kilau air” dan begitulah cara dia mencapai kilau mengkilap yang indah.

minggu, tapi tidak banyak. Selain itu, orang-orang tidak lagi berjalan kaki ke mana-mana seperti dulu. Mereka sekarang mengendarai mobil, sehingga sepatu mereka tidak cepat kotor. Jalanjalan juga sudah diperbaiki, Bahkan ketika mereka harus berjalan kaki pun tidak akan banyak kotoran dan debu. Dulu, sebagian besar pemasukan saya berasal dari menyemir, tapi sekarang separuhnya saya dapat dari memperbaiki sepatu”. Ketika tidak ada pelanggan yang datang, Kim berjalan-jalan di sekitar tempatnya bekerja. Setelah bekerja di lingkungan itu selama beberapa dekade, ia mengenal banyak orang. Ia tidak khawatir kehilangan pelanggan. Jika ia pergi, mereka cukup menelepon. Nomornya ada di pintu kios. Kim ingin terus bekerja setiap hari, tapi ia sangat sedih karena mungkin pekerjaan ini tidak akan ada lagi. “Se­­ pertinya pekerjaan ini tidak akan lama. Bagaimana mungkin akan berlanjut jika tidak ada anak muda yang mau bekerja seperti kami?” katanya dengan mantap. Kim khawatir kios semir sepatu akan benar-benar menghilang, sama seperti sandal jerami jipsin yang dipakai oleh pekerja Korea selama beberapa generasi. Sebelum zaman modern, sebagian besar mereka yang tinggal di semenanjung Korea memakai jipsin, yang dibuat dari anyaman jerami dan hanya orang-orang yang berpengaruh saja yang mengenakan sepatu. Kios tukang sepatu pertama kali berdiri di akhir abad ke-19, yang merupakan awal pekerjaan menyemir dan mem-

“Saya hidup dengan tubuh cacat sejak kecil, tapi saya mampu melakukan pekerjaan ini dengan baik”. 58 Koreana Musim Semi 2019


perbaiki sepatu kulit dan sepatu karet gomusin menjadi sebuah profesi. Pada tahun 1950-an, ketika Kim lahir dan tumbuh, ada tukang sepatu di setiap pasar desa dan di pinggiran kota. Dengan lem dan logam yang dipanaskan, mereka memperbaiki sepatu karet yang rusak. Sepatu gaya Barat masuk ke Korea bersamaan dengan modernisasi negara ini si awal abad ke-20 dan tersebar luas, sehingga gomusin secara bertahap hanya dipakai oleh biarawan Buddha, narapidana dan orang-orang tua di pedesaan, dan sebagian besar pekerjaan tukang sepatu adalah memperbaiki sepatu kulit.

Kegembiraan Sederhana

Melihat perjalanan hidupnya, Kim mengatakan, “Saya sudah mencoba semua pekerjaan, menjual koran, menjual permen karet, membersihkan dapur kafe, dan menempel label pakaian di Pasar Dongdaemun. Saya juga pernah belajar menata rambut selama lima tahun dan bekerja sebagai pembuat sepatu wanita di pabrik kecil di perbukitan Changsin-dong, tapi duduk terlalu lama membuat kaki saya sakit. Akhirnya saya menyerah. Di antara semua yang pernah saya coba, menyemir sepatu adalah pilihan terbaik.” “Saya hidup dengan tubuh cacat sejak kecil, tapi saya bisa melakukan pekerjaan ini dengan baik. Saya tidak mencuri, tidak bisa melakukan sesuatu yang memerlukan menulis, dan tidak suka berpangku tangan. Saya selalu ingin mengejakan sesuatu, dan pekerjaan ini sesuai untuk saya”. Bahkan angin musim semi dan mekarnya bunga ceri yang membuat orang-orang pergi ke perdesaan tidak mampu menarik Kim keluar dari kiosnya. Seakan-akan hari libur tidak begitu berarti baginya. Kim mengatakan, “Saya merasa senang ketika ada banyak pelanggan.

2

Ketika tidak banyak yang datang, saya beristirahat. Di rumah, saya menonton televisi dan makan bersama keluarga. Itu cukup buat saya. Di hari Minggu saya pergi ke gereja bersama istri saya, tapi saya tidak terlalu tersobsesi dengan hal itu. Saya bahagia. Bahkan, jika terjadi hal-hal yang menyedihkan pun, saya tidak memasukkannya ke dalam hati. Saya tidak bisa memberi sesuatu kepada orang lain, tapi saya juga tidak menerima apapun dari mereka. Jadi, saya tidak khawatir mengenai apa yang dipikirkan orang lain. Barangkali itu sebabnya semua orang mengatakan saya tampak lebih muda dari usia saya sebenarnya”. Dalam bahasa Korea, kata untuk

dewa yang menentukan kemalangan dan keberuntungan manusia dan kata untuk sepatu dilafalkan sama, yaitu “sin”. Ada pepatah yang berbunyi, “Tak seorang pun tahu dengan pasti apakah dewa (sin) itu ada atau tidak, tapi saya tahu pasti mengenai sepatu (sin) di kaki saya”. Pepatah lain mengatakan, “Dewa (sin) menentukan nasib manusia, tapi sepatu (sin) merekalah yang bisa meng­­ubahnya”. Betapa indahnya jika suatu hari Kim Seong-bok, yang berhasil keluar dari nasib buruk di masa mudanya dan menjadi kepala keluarga yang bahagia dengan memperbaiki dan menyemir sepatu yang tak terhitung jumlahnya ini mengatakan kepada dirinya sendiri, “Hidup itu indah!”

seni & budaya korea 59


hiBuran

Kebanyakan penonton Korea cenderung menyukai film yang realistis. Namun akhirakhir ini ditemukan fenomena baru, yaitu film-film bertemakan zombi menarik banyak perhatian. Generasi muda sangat berminat pada film-film dan drama-drama yang bertemakan zombi. Namun, terlalu dini untuk memasukkan film bertema zombi ini ke dalam kategori film Korea genre tersendiri.

1

© Netflix

Zombi Lahir Kembali di Korea

2

Jung Duk-hyun Pengamat Budaya Populer

© Next Entertainment World

60 Koreana Musim Semi 2019


P

enggemar film Korea menilai film zombi sebagai hiburan kelas-B. “I Am Legend”, sebuah film horor pasca-apokaliptik A.S. 2007 tentang seorang ilmuwan yang mencoba menghentikan wabah yang mengubah orang menjadi kanibal; hanya menjual 2,64 juta tiket di Korea, jauh lebih sedikit daripada di sebagian besar negara lain. Dengan 5,3 juta pemirsa, “World War Z” (2013) bernasib jauh lebih baik, tapi itu masih jauh dari box office. Tema film maupun aktor utama, bintang Hollywood pe­­ ringkat atas Will Smith dan Brad Pitt, tidak mampu menarik banyak penonton. Pada 2016, “Train to Busan” tiba. Itu mengubah sikap orang Korea terhadap film zombi. Film ini menjual 11,6 juta tiket, menjadikannya film ke-15 paling populer dalam sejarah Korea, dan berkibar di seluruh bioskop Asia. Film ini, yang dianggap sebagai asal-usul zombie Korea, menjadi juga populer di Netflix, layanan streaming video di seluruh dunia.

Interpretasi Yang Tidak Konvensional

Interpretasi yang unik adalah peran penting dalam kesuksesan film ini. Setelah The Host (2006), film-film Korea yang bertemakan bencana, misalnya Deranged (2012) menarik banyak simpati karena film-film itu memaparkan pandangan kritis terhadap sistem pemerintah yang tidak memuaskan dalam menangani bencana. Film Train To Busan pun tidak jauh berbeda dari film-film tersebut karena orang-orang biasa harus langsung bertarung dengan gerombolan zombi dikarenakan pemerintah gagal dalam mengontrol persebaran zombi. Terlihat kekhasan film ini, yaitu ‘zombi bergaya Korea’. Film Train ke Busan mengandung sejarah Korea modern di dalamnya. Kereta api KTX yang menjadi latar belakang film itu merupakan metafora untuk ‘Speed Korea’, yaitu pencapaian kemajuan industri Korea yang pesat. Para zombi yang berkeliaran di dalam kereta api merepresentasikan sejumlah pergerakan kelompok massa atau budaya rakyat yang hadir dalam berbagai peristiwa yang pernah kita alami. Dalam film-film luar negeri juga terdapat percobaan yang menginterpretasi zombi dengan cara berbeda. Sebagai contoh, tokoh utama “Zombie R” dalam film Warm Bodies (2013) berusaha keras untuk menjaga seorang gadis bernama Julie dari zombi-zombi lain. Perspektif baru seperti ini jauh berbeda dari bentuk stereotip film-film zombi sebelumnya yang merupakan pengikut dari film Night of the Living Dead (1968), karya sutradara George A. Romero, yang lazim dianggap sebagai awal mula film zombi. Hal ini sangat mungkin adalah hasil dari interpre“Kerajaan”, sebuah serial TV Korea 1. Selatan yang ditayangkan perdana di tasi dan cara memandang yang baru terhaNetflix pada Januari 2019, populer di dap ‘sesuatu lain.’ Dengan demikian, hal itu luar negeri daripada di pasar domesmemperlihatkan perspektif abad ke-21 yang tik. Penggemar luar negeri tampaknya telah tertarik dengan keindahan bersimpati dan bertoleransi terhadap ‘sesJoseon yang indah, istana dan benuatu lain’, berbeda jauh dari perspektif abad tengnya sebagai latar belakang. ke-20 yang memandang ‘sesuatu lain’ den2. “Yang Merajalela”, diputar di gan sikap diskriminatif. bioskop Korea pada Oktober 2018, mengantarkan genre baru film zombie Korea dengan menambahkan lapisan drama periode sejarah. Namun, itu jauh dari hit box office dan tidak menerima penghargaan untuk alur cerita inovatifnya.

Zombi dalam Latar Sejarah

Film Rampant (2018) merupakan sebuah film yang istimewa karena bertemakan zombi dengan latar belakang zaman kera-

jaan Joseon. Terutama film ini menyajikan tontonan yang istimewa, yaitu ‘Zombi yang berpakaian Hanbok (pakaian tradisional Korea)’. Namun, yang lebih menarik daripada latar waktu dalam film ini adalah interpretasi baru terhadap zombi. Yang menonjol dalam film Rampant adalah perbedaan antara penguasa dengan rakyat yang kemudian berubah menjadi gerombolan zombi. Film ini menyampaikan pesan bahwa yang mengancam kerajaan Joseon bukan gerombolan zombi yang menyerbu karena kelaparan, melainkan penguasa yang terobsesi pada hasrat yang tersesat. Zombi ditafsirkan kembali sebagai metafora untuk rakyat yang kelaparan. Perspektif yang memandang zombi sebagai rakyat mengacu pada Kingdom, sebuah drama yang berdasarkan naskah ditulis oleh Kim Eun-hee, yang ditayangkan melalui Netflix pada Januari 2019. Menurut Kim, tema drama ini adalah kelaparan. Ketika episode 1 dan 2 drama ini ditayangkan dalam acara See What’s Next: Asia yang diselenggarakan oleh Netflix pada tanggal 9 dan 10 November 2018, sejumlah wartawan dari seluruh Asia memberi tanggapan hangat kepada drama ini. Reed Hastings, pendiri sekaligus CEO Netflix berkata, “Saya yakin bahwa drama Korea ini akan menjadi sangat populer di seluruh dunia”. Alasan Netflix menginvestasi Kingdom, drama zombi Korea ini, karena warna fusion dalam drama ini sesuai dengan strategi dan tujuan yang dimilikinya. Netflix mendekati para penonton dengan cara menambah keunikan yang dimiliki suatu daerah atau negara tertentu ke dalam tema yang universal. Karena alasan ini ia memberi perhatian istimewa pada Kingdom yang menuangkan interpretasi dan suasana unik ke dalam genre zombi, yaitu sebuah genre yang biasa dan digemari oleh orang-orang di seluruh dunia. Mungkin pendekatan yang seperti itu akan memberi jawaban terhadap pertanyaan dari bagaimanakah para prosedur dan penulis skenario dapat melibatkan diri dalam pasar konten global.

seni & budaya korea 61


ESAI

Meminjam Mata Koreana Inspirasi Pendidikan Lanjut di Korsel Ummu Hani Abu Hassan Dosen Akademi Pengajian Melayu, University of Malaya, Kuala Lumpur

M

inggu pertama bulan Maret 2014, salju masih turun di Seoul. Isi halusnya jatuh ke jilbab saya sewaktu melangkah kali pertama ke gedung besar, Hankuk University of Foreign Studies (HUFS). Saya berdebar-debar. Desir dingin menambahkan lagi kaget dan cemas. Gara-gara kecocokan saya dengan universitas ini, terlalu cepat dan tergesa-gesa. Kami belum sempat saling berkenalan. Saya bahkan tidak belajar pun bahasa Korea, hanya mengandalkan semboyan universitas; ‘Come to Hufs and meet the world.’ Saya benar-benar ‘datang’ saja dulu. Profesor Koh Young Hun menyambut saya dengan mesra.

62 Koreana Musim Semi 2019

“Ambillah ini,” kata Profesor Koh Young Hun, memberikan beberapa Majalah Koreana edisi Bahasa Indonesia kepada saya. Saya menerimanya seperti orang yang mengantuk disorongkan bantal. Pengembaraan mengenali Korea bermula ketika saya sekeluarga menetap di Taereung, Nowon Gu. Walaupun Taereung adalah kota yang sibuk karena menjadi pintu keluar Seoul ke Wilayah Gangwon dan Gyeonggi, tetapi bagi saya dan suami yang baru tiba beberapa hari, daerah ini seperti gua tanpa cahaya. Begitu kaki menjelajahi jalanan dan lorong, mata kami ditutupi debu-debu hampa. Tiada satupun huruf Hangeul yang kami mengerti, apalagi percakapan orang-orang di situ. Tetangga yang paling dekat pun hanya menggu-


nakan isyarat senyuman sebagai sapaan salam. Lalu, saya ingin coba memaknai apa itu Korea dan manusianya. Karena kami telah berjodoh, dan kami sedang ‘hidup’ di dalamnya. Perkara pertama yang saya lakukan adalah membaca Majalah Koreana edisi Bahasa Indonesia. Saya mencermati majalah keluaran musim dingin 2013. Tulisan Ye Jong Suk berjudul Minuman Beralkohol Terlaris di Dunia. Baharulah saya mengerti bahwa soju bukan air istimewa bagi kebanyakan orang Korea, sebalikya ia adalah minuman wajib, hampir sepenting air bening atau ‘mul’. Pengarang memperkirakan seorang dewasa Korea minum soju sebanyak 88 botol setahun. Saat orang Korea meneguk soju, dia sebenarnya sedang membuang kelelahan jiwa dan berusaha menjadi pejuang bagi dirinya sendiri. Banyak orang yang jatuh, merasa menjadi manusia lagi selepas minum soju. Sejak membaca tulisan itu, saya tidak lagi mengecam para peneriak yang mengganggu mimpi kami. Semakin menekuni Majalah Koreana, rasa cinta makin mendekap. Korea, negara ratusan gunung dan laut tidak mengabaikan warisan alam Tuhan. Saat berjalan-jalan di lapangan City Hall dan menatap gedung-gedung pencakar langit, hampir di seluruh penjuru Seoul, anehnya ada anak sungai Cheonggye dan sungai besar Han di pikiran. Industrialisasi Korea tidak meremehkan alam dan pengetahuan. Apakah itu terjadi secara naturalisasi? Tulisan Kim Hwa Young dalam Majalah Koreana edisi musim semi 2013 memberitahu, Korea tidak bangkit sebagai orang yang menang lotere. Tetapi dimulai dari kodrat orang-orang miskin yang bekerja keras, dan anak-anak elit yang belajar kuat. Beliau menceritakan pada 1955, dia datang ke Seoul seorang diri. Walaupun umurnya baru 13 tahun, tetapi keinginan belajar sangat besar. Seoul kota yang bangkit dari perang. Orang-orang tidur di jalanan yang penuh debu dan hanyir sampah. Malah, sekolah terbaik di Korea yang ingin dilamar penulis waktu itu hanyalah bangunan biasa di tanah kumuh. Tulisan Suh Hwa Sook dalam Majalah Koreana edisi Musim Gugur 2013 menginsafkan saya sebagai wanita. Beliau berhasil dalam karier, sibuk dan tangkas. Tetapi jika disuruh memilih apakah tugas yang paling dicintainya selama hidup, beliau berkata, “Melahirkan tiga anak dan

membeli rumah tidak jauh dari Istana Gyeongbuk.” Beliau berbangga dengan tugas sebagai ibu dan pengendali rumah. Dari situ, fahamlah saya bahwa kemodernan tidak melenyapkan inti keibuan. Seoul menghidangkan suasana yang sukar dimengerti terutama di pagi dan sore hari. Saat orang-orang pulang dari kantor, berkejaran di stasiun subway. Saya menggeleng kepala melihat wanita dengan sepatu tumit tinggi, bisa melompat di tangga stasiun agar bisa masuk ke dalam kereta api. Ada juga wanita, dengan tangan memegang cermin make-up atau gincu, tidak peduli siapa pun, tersenyum seorang diri kerana puas dengan dandanannya pada hari itu; di dalam subway. Saya juga bertanya sendiri, berapa kalilah dalam sebulan, seorang wanita Korea merawat wajah di pusat kecantikan? Paras cantik, uang dan keanggunan adalah ciri wanita Korea. Namun, ciri dalaman yang jika saya tidak membacanya di Majalah Koreana, saya mengabaikan bahwa wanita Korea sangat keibuan dan pencinta rumah tangga. Dari tulisan Ibu Suh Hwa Sook juga saya mendapat tahu falsafah pohon bunga di halaman masyarakat Korea. Setiap musim kecuali musim dingin, halaman rumah Korea dihiasi bunga bersilih-ganti. Majalah Koreana seperti satu nafas di antara denyut nadi saya di Seoul. Saban musim bergantian, saya menunggu edisi terbaharu majalah ini, baik di ruang maya ataupun cetakan. Membacanya dari kulit depan sehingga ke kulit akhir. Waktu mengajarkan sastera Melayu kepada mahasiswa Korea Ijazah Pertama di HUFS, saya mengambil cerpen terjemahan bahasa Indonesia di Majalah Koreana. Mahasiswa nampak giat membaca pelbagai versi bahasa; Korea, Indonesia ataupun Inggeris. Cerpen yang mengesankan kami antara lain cerpen Toserba karya Kim Ae Ran. Bulan Agustus 2018, Genap 4 tahun 5 bulan saya tinggal di Korea. Walaupun jodoh tidak berpanjangan, tetapi saya akan terus meminjam mata Majalah Koreana untuk melihat Korea dari jauh. Kita selalu mendengar pepatah, “tidak kenal makan tidak cinta”. Apa yang lebih penting, Majalah Koreana edisi Indonesia menjadi jembatan yang menghubungkan jodoh yang bermula hambar dan akhirnya menjadi dekat, sekurangnya meninggalkan parut cinta di hati saya kepada negara Korea. Terima kasih tim Majalah Koreana edisi Bahasa Indonesia.

seni & budaya korea 63


KISAH RAMUAN

Cita Rasa dan Nutrisi Rumput Laut Rumput laut (rumput laut) yang sejak dahulu memiliki tempat penting di atas meja makan orang Korea merupakan makanan dengan rasa luar biasa dan nutrisi tinggi. Selain itu, rumput laut bersama ikan tuna selalu bersaing menempati urutan pertama atau kedua sebagai produk makanan laut ekspor utama dari Korea. Saat ini rumput laut juga semakin populer menjadi makanan camilan bergizi tinggi, kaya akan mikronutrien dan rendah kalori di antara orang Barat yang pernah menyebut rumput laut sebagai “lada hitam� dan ragu-ragu untuk memakannya. Jeong Jae-hoon Apoteker, Penulis Makanan

Š Topik

1

64 Koreana Musim Semi 2019


A

da pepatah yang mengatakan siapa saja pasti tahu makanan enak. Rumput laut sungguh seperti pepatah tersebut. Sekitar 70 jenis rumput laut yang termasuk ke dalam genus Porphyra dimanfaatkan sebagai bahan makanan di daerah tempat rumput laut tumbuh. Hal ini dikarenakan rasanya yang enak. Di laut Wales, Skotlandia, dan Irlandia juga lazim dilihat rumput laut yang menempel di atas bebatuan. Roti rumput laut (laverbread) adalah makanan lezat yang dijuluki sebagai “kaviarnya orang Wales�, tetapi masih dinikmati orang-orang di sana untuk sarapan. Roti ini terbuat dari rumput laut yang dihaluskan dan direbus dalam waktu lama hingga menjadi seperti Puree, lalu dicampur tepung oatmeal, digoreng dengan bacon. Bentuk roti rumput laut ini berbeda jauh dari bentuk roti pada umumnya, tetapi mungkin dipanggil roti karena makanan ini dijadikan sebagai makanan pokok oleh orang-orang di daerah pesisir. Di Korea, rumput laut dihamparkan tipis seperti kertas, lalu dikeringkan menjadi rumput laut untuk dimakan bersama nasi. Rumput laut kering ini kemudian dipanggang di atas api kecil dengan diolesi minyak wijen atau minyak perulla dan ditambah minyak zaitun serta ditaburi garam. Ketika rumput laut tipis seperti selembar kertas dikunyah di dalam mulut, suara kunyahan rumput laut yang renyah ikut menstimulasi rasanya di dalam mulut. Selain itu, Rumput laut panggang enak dinikmati dengan ditaburkan di atas kuksu (masakan mi) bersama sayuran yang digoreng atau dinikmati dengan ditabur2

kan di atas nasi kepal. Rumput laut panggang jika dibumbui menjadi gimjaban juga merupakan makanan pendamping populer, dan juga dapat dimakan sebagai makanan camilan jika diolesi pasta tepung ketan lalu digoreng menjadi gimbugak. Jika rumput laut segar atau rumput laut kering direbus dan diberi sedikit minyak wijen atau minyak perulla menjadi gimkuk juga lezat dimakan. Rumput laut yang dikeringkan dengan bentuk seperti kertas juga dinikmati di Jepang. Khususnya, rumput laut merupakan salah satu bahan utama dalam membuat sushi. Selembar rumput laut panggang ditaruh di atas mi untuk dimakan bersama mi juga lazim dilihat di sana. Sementara itu, di Tiongkok, gumpalan rumput laut kering yang berbentuk bulat rata digunakan sebagai bahan dalam membuat sup atau gorengan.

Gabungan Tiga Rasa

Di Korea terdapat sebuah lelucon yang mengatakan, “menaburkan bubuk rumput laut ke dalam kuah masakan sama saja dengan berbuat curangâ€?. Hal itu dikarenakan rumput laut dipercayai menguatkan rasa, jika dimasukkan ke dalam makanan. Meng­ apa rasa rumput laut sangat enak? Pada umunya ada tiga kompenen yang berfungsi sebagai penyedap rasa yaitu glutamat yang dikenal sebagai MSG, asam inosinat (IMP) yang disebut juga asam nukleat, dan asam guanilat (GMP). Untuk menyedapkan masakan, di Asia (Timur), sering digunakan daun bawang dan rumput laut, sedangkan di Barat, bawang bombai, wortel, dan tomat sering digunakan. Hal itu karena bahan-bahan tersebut mengandung

1. Rumput laut adalah ganggang laut yang paling banyak diproduksi dan dikonsumsi di Korea. Awalnya hitam gelap dan mengkilap, rumput laut berubah menjadi hijau saat dipanggang. Rumput laut kering seperti kertas biasanya dijual secara tot, tiap unit 100 lembar. 2. Rumput laut panggang adalah lauk favorit orang Korea. Lembaran rumput laut kering disikat dengan minyak wijen atau perilla dan ditaburi sedikit garam, dipanggang ringan.

seni & budaya korea 65


banyak MSG. Adapun makanan yang kaya akan asam inosinate adalah daging sapi, daging ayam, tulang ayam, dan ikan teri. Asam guanilat banyak dikandung di dalam berbagai jenis jamur seperti jamur shitake, jamur porcini, dan jamur beruang. Akan tetapi, di dalam rumput laut terdapat semua zat tersebut, yaitu glutamat, asam inosinat, dan asam guanilat. Gabungan ketiga zat ini justru meningkatkan rasa. Hanya menambah satu zat asam inosinate saja sudah dapat meningkatkan rasa makanan sama seperti menambahkan 1/60 konsentrat glutamat. “Akarnya menempel pada batu, tetapi karena tidak memiliki cabang, maka rumput laut tumbuh menyebar di atas permukaan batu. Warnanya ungu gelap dan rasanya juga manis serta enak�. Di dalam “Jasaneobo� oleh Jeong Yak Jeon (1758-1816) yang disebut sebagai ensiklopedia mahluk hidup laut yang pertama di Korea, terdapat penjelasan yang seperti itu mengenai Jachae. Penjelasan ini tepat menggambarkan bentuk, warna, dan rasa dari rumput laut karena rumput laut adalah Jachae yang memiliki daun rumput yang panjang dan lebar berwarna merah kehitaman dengan bagian ujung menyerupai akar, tumbuh menempel pada batu.

Kaya Mikronutrisi

Rumput laut adalah bahan makanan yang

1

66 Koreana Musim Semi 2019

kaya nutrisi. Rumput laut yang dikeringkan mengandung protein sebesar 42% dan karbohidrat 36%. Namun, kandungan protein tersebut tidak mencukupi kebutuhan protein manusia. Jika sehari memakanr Rumput laut kering satu lembar (3gr) pun, hanya memenuhi 2% kebutuhan protein sehari. Akan tetapi, rumput laut kaya akan mikronutrien seperti vitamin dan mineral. Jika dibandingkan dengan bahan makanan dari tumbuhan yang tumbuh di atas tanah, kandungan mineral rumput laut adalah sepuluh kali lipat lebih banyak. Baru-baru ini banyak riset dikembangkan untuk meneliti efek fungsional serat porphyran yang banyak diandung oleh rumput laut. Porphyran adalah materi yang memenuhi ruang antara sel dan sel pada rumput laut, yang memiliki peran sangat penting, yaitu melindungi rumput laut agar tetap hidup pada saat air surut. Rumput laut tumbuh di perairan pantai yang perbedaan pasang surutnya sangat tinggi. Oleh karena itu, rumput laut harus melindungi diri dari air laut asin ketika air laut pasang, sedangkan bertahan hidup dalam keadaan yang terpapar dari udara dan sinar ultraviolet ketika air laut surut. Pada keadaan tertentu, perubahan lingkungan dapat terjadi begitu drastis seperti kelembaban dapat menurun hingga 95%. Ketika keadaan yang seperti itu terjadi, porphyran menahan kelembaban, sehingga sel-sel rumput laut tidak mengalami kekeringan. Selain itu, porphyran juga membantu menjaga fleksibilitas dinding sel rumput laut, sehingga pada keadaan ekstrem seperti pasang surut air laut pun, rumput laut dapat selamat. Menurut hasil penelitian, jika porphyran masuk ke dalam tubuh manusia, komponen itu bekerja sebagai serat makanan dan membantu mencegah penyakit kanker dan meningkatkan sistem imunitas tubuh. Selain itu, berbagai bahan antioksodan dibuat di dalam rumput laut untuk melindungi diri dari tekanan oksidasi stress akibat terpapar sinar matahari ketika air laut surut. Berbagai bahan antioksidan itu juga diharapkan akan membawa manfaat bagi tubuh manusia.

Perkembangan Cara Budi Daya Hasil Laut Buatan

Cara budidaya rumput laut adalah dengan meniru cara pertumbuhan rumput laut, yaitu tumbuh dengan menempel pada batu. Cara tersebut mulai dilakukan di Korea, Jepang, dan Tiongkok pada sekitar abad 17, tetapi ada orang-orang

2


Rumput laut mengandung glutamat, asam inosinat, dan asam guanilat. Gabungan ketiga zat ini justru meningkatkan rasanya. © Topic

mengalami banyak kesulitan sebab tidak mengetahui cara menyebar bibitnya. Orang-orang tidak mengetahui bagaimana rumput laut yang menghilang pada musim panas muncul lagi ketika musim gugur berakhir. Oleh karena itu, me­reka terpaksa menunggu conchospores (spora rumput laut) muncul secara alami dan baru dapat menggunakannya sebagai bibit. Namun, pada tahun 1949, Kathleen Mary Drew-Baker, seorang peneliti Inggris di bidang alga, mengadakan riset tentang siklus hidup rumput laut dan menemukan Conchocelis rosea yang dianggap sebagai salah satu jenis alga sampai saat itu ternyata adalah salah satu tangga kehidupan rumput laut. Hasil penelitiannya itu membuat terobosan dalam budi daya rumput laut buatan. Berkat hasil penelitian Drew-Baker, produktivitas budidaya rumput laut dapat meningkat pesat karena budi daya rumput laut yang sebelumnya hanya bergantung pada laut, kini me­mungkinkan untuk melakukan budi daya rumput laut di daratan. Kota Uto, di Kyushu, Jepang, menyebut Drew-Baker yang me­mungkinkan produksi rumput laut dalam jumlah besar berhasil sebagai “Ibu dari Laut” dan merayakan upacara yang memperingati jasanya. Korea, bersama dengan Jepang dan Tiongkok, merupakan tiga negara produsen rumput laut terbesar di dunia, dan Korea berada jauh terdepan dibanding dua pesaingnya dalam hal ekspor rumput laut. Rumput laut hasil produksi Korea telah diekspor ke lebih dari 100 negara di seluruh dunia dari benua Eropa, Amerika, hingga Afrika, sehingga rumput laut disebut sebagai “semikonduktor dari laut” di Korea. Akhir-akhir ini dengan dikembangkannya berbagai jenis makanan ringan yang dibuat dari rumput laut, Korea menjadi negara pengekspor produk hasil laut terbesar nomor satu di dunia. Namun, budi daya rumput laut masih merupakan pekerjaan yang memerlukan tenaga kerja yang sangat tinggi dan pasar global akan menuntut produk yang lebih bervariasi lagi.

Makanan Populer, Terlepas dari Musim

Gimbab merupakan makanan paling disukai orang Korea yang dapat dinikmati sebagai menu makan siang atau makanan ringan. Gimbab ini dibuat dengan cara menaruh nasi secara merata (membentuk lapisan tipis) di atas rumput laut, lalu selanjutnya ditaruh di bagian tengahnya bermacam-macam bahan warna-warni seperti sayuran, telur dadar, ham, dan lainnya yang telah dimasak dan dipotong tipis memanjang (seperti lidi) dengan cara disusun memanjang. Setelah semua bahan selesai disusun, Gimbab digulung. Nasi putih dan berbagai macam bahan yang dibungkus oleh rumput laut hitam yang mengkilat memunculkan rasa fantastik di dalam mulut dan memberikan cita rasa luar biasa. Setiap kali memakan gimbab, orang-orang terkesan dengan kenyataan bahwa makanan yang dinikmati zaman sekarang ini merupakan hasil dari pertukaran ilmu pengetahuan dan informasi selama bertahun-tahun dari orang-orang di dunia yang saling membantu dan membuat sesuatu bersama. Dengan kenyataan tersebut, rumput laut menjadi makanan yang lebih enak.

3 4

© Institut Penelitian Bidang Masakan

1. Metode mengambang dengan gelaran rumput laut dirangkai dan digantung pada pelampung memungkinkan pembudidayaan di laut dalam, sangat meningkatkan produktivitas. 2. Rumput laut yang dibudidayakan dipanen beberapa kali dari akhir November hingga Februari tahun berikutnya. Kemudian dikeringkan dengan mesin di pabrik. Cara tradisional mengeringkan rumput laut di bawah sinar matahari punah, karena tenaga kerja yang intensif diperlukan. 3. Gulungan rumput laut dibuat dengan meletakkan nasi putih pada selembar rumput laut kering, meletakkan bermacam-macam isi di atas, lalu menggulungnya. Berbagai jenis gimbap dengan bahan berbeda dibuat akhir-akhir ini, mencerminkan selera dan preferensi yang berubah. 4. Rumput laut tua kehilangan kesegarannya saat musim semi. Itu dibuat menjadi gimbugak, makanan ringan yang terbuat dari rumput laut.

seni & budaya korea 67


PerJaLanan KesusasTraan Korea

KRITIK

Antara Ketakutan dan Pesona Tulisan Karier sastra Kim Deok-hee (lahir 1979) mungkin baru mulai lepas landas, tetapi antologi cerpennya yang pertama, Titik Tekanan (2017), memperlihatkan kemampuannya dalam mengemas hakikat cerita pendek itu melalui kalimat-kalimat yang kuat dan pembalikan dramatik. Dalam pengisahan tersebut, pembaca dapat merasakan ambisi besar seorang penulis yang baru muncul dan bertekad menyerang intisari fiksi dan sastra, cukup dengan satu pukulan. Choi Jae-bong Reporter, The Hankyoreh

T

itik Tekanan (Moonji Publishing) merupakan antologi cerpen pertama Kim Deok-hee. Cerita-ceritanya beragam dalam hal mengangkat pokok masalah dan tema. Hal itu pula yang membuat sulit menemukan fitur yang konsisten yang dapat diidentifikasi sebagai karakteristik penulis. Tentu saja, konsistensi dalam tema menghadirkan bahaya tersendiri yang inheren berupa pengulangan, meskipun secara umum, terutama pandangan dunia menunjukkan kekhasan seorang penulis dan memungkinkan pembaca dapat membedakannya dari penulis lain. Gaya pengucapan cerpen Kim bervariasi. Ia tidak hanya menampilkan persoalan inti dan tema cerita, tetapi juga dalam penyusunan bentuk. Karya-karyanya dapat dianggap sebagai fiksi sejarah, duduk berdampingan dengan nuansa Sci-Fi, dan cerita-cerita realisme yang dingin dan sekaligus mendidih bersama cerita yang menggunakan model perangkat fantasi. Pengarang ternyata memiliki bakat yang luas, dan pada saat yang sama, ia belum dapat menemukan suaranya yang unik dan merasakan jalan ke depan. Secara keseluruhan, antologi cerpen itu menekankan “bagaimana” dan bukan “apa”. Dari pesannya itu sendiri,

68 Koreana Musim Semi 2019

pengarang lebih fokus pada metode penyampaian. Dengan kata lain, orang bisa saja menyebut Kim Deok-hee sebagai estetikus. Terlepas dari tema dan bentuk yang beragam, cerita-ceritanya membentuk satu kesatuan: semangat intens yang piawai. Cerita-ceritanya berkehendak menciptakan jagat mikrokosmos yang lengkap. Apa pun pokok bahasannya, Kim coba menunjukkan ketelitian dan kecerma tan yang tinggi melalui penelitian menyeluruh dan gaya prosa yang sesuai dengan subjek dan tema. Dari judulnya saja Titik Tekanan, misalnya, tergambarkan dunia manusia tempat kekerasan yang liar merajalela, dan itu disajikan dalam gaya sekuat tema ceritanya. “Setiap kali saya membaca cerita yang terhimpun dalam buku ini, perasaan saya berkecamuk. Rasanya seperti melihat foto atau video masa lalu. Tentu saja saya tidak bisa kembali ke masa lalu itu dan mengubah pose atau ekspresi saya, atau merapikan pakaian, rasanya saya harus membiarkan semua kalimat sebagaimana adanya. Saya pikir lebih baik menambahkan sedikit dan berusaha menghapus lebih banyak. Sambil melakukan hal itu, saya merenungkan, apa yang membuat saya menulis hal-hal seperti itu di tempat pertama”, ujar Kim dalam


catatannya dalam buku itu. ya menganggap kemampuan menulis Perburuan Kim yang tak kenal lelah sebagai jalan yang langsung bisa menuju kehancuran diri sendiri dan keluarga. dalam melengkapi bentuk sastra dan Setelah berhenti belajar membaca kesadaran estetik, terlihat jelas dalam dan menulis karena ditentang ayahnya, semua ceritanya, dan ketertarikan­ Su-bok malah fokus menggambar apa nya pada “bagaimana” yang menguasai yang dia lihat di dunia di sekitarnya. “apa” dapat dengan mudah terdeteksi di Keahlian menggambarnya sedemikisejumlah cerpen-cerpen itu. Bagian-bagian seperti itu ada di dalam Titik an rupa, sehingga, “Ketika aku menggambar sabit, tampaknya sabit itu bisa Tekanan yang menggambarkan bentuk memotong tangkai yang keras, dan ketidan metode laksana gaya menangkap ka aku menggambar anjing, kelihatanndan memukul babi hutan dengan stik ya anjing itu bisa menggonggong kapan golf; penjelasan yang cermat menulis saja”. Ketika dia menggambar salin­ dengan kuas dalam “Ketika Kuas Me­­ an tulisan, dia menemukan di secarnebas”; penggambaran bakat menarik ik kertas, Tuannya mengakui bakatnya dayung untuk membuat kapal melaju © Park Jae-hong dan menjadikannya seorang juru tulis, dalam “Jala Insang”; dan bagian dalam menugaskannya dengan pekerjaan me­­ “Garis Bujur” yang menekankan pentin“Saya pikir lebih gnya persekutuan antara akupunktur dan nyalin tulisannya. Sang guru memberi baik menambahkan pasiennya, memungkinkan mereka hadir tahu banyak murid-murid menulisnya, “Bocah ini tidak tahu cara memba­ selaras satu sama lain ketika memasuksedikit dan berusaha kan jarum: masing-masing berisi pengca, sehingga tidak seperti kalian, dia etahuan yang diperoleh oleh seseorang tidak akan menaruh perasaan pribamenghapus lebih di ke dalam hal-hal yang saya tulis”. dengan penguasaan dalam tindakan terbanyak”. tentu. Pada akhirnya, semua hal ini dapat Pernyataan ini mengandung semacam berfungsi sebagai metafora yang menarwawasan ironis dalam praktik penuik untuk menulis dan dilihat sebagai eksposisi sastra dari ke­­ lisan. Apakah perasaan pribadi sesuatu yang harus dimasukkan dalam tulisan, atau sesuatu yang harus ditinggalkan? sadaran diri penulis akan keahliannya. Orang bisa berpendapat bahwa menulis harus seperDi antara ceritanya, “Ketika Kuas Menebas” adalah ti cermin dan mencerminkan objek persis seperti apa ada­ karya yang luar biasa yang menggambarkan efek besar bakat, nya. Tetapi juga masuk akal untuk mengatakan bahwa tidak kemampuan, dan orientasi sastra Kim Deok-hee. Ini memiliki bentuk cermin, melingkar, dimulai dan diakhiri dengan peduli betapa transparan dan bersihnya cermin, apa pun yang garis: “Saya tidak tahu cara membaca” menjadi sebuah certercermin di dalamnya tidak dapat menjadi objek itu sendiri ita tentang menulis, ia juga menghadirkan aspek metafiksi. dan pasti akan menjadi bayangan yang terdistorsi dan kabur. Dalam cerita ini, pembaca menemukan ide-ide menarik yang Dalam “Ketika Kuas Menebas” hubungan antara Tuan yang muncul dari pertanyaan-pertanyaan tentang apa artinya memtahu cara menulis dan budak yang tidak bisa membaca, tetabaca dan menulis kata-kata, dan apa yang tersirat lewat situapi dapat menyalin seolah-olah menggambar lukisan yang si khusus untuk bisa menulis, tetapi tidak membaca. memunculkan banyak pertanyaan mengenai perasaan pribadi yang masuk ke dalam penulisan. Tetapi itu tidak memberPencerita—protagonis, Su-bok, adalah seorang lelaki ikan jawaban yang jelas. Hanya permohonan putus asa dari yang lahir dari masyarakat kelas budak yang tidak bisa membaca tetapi belajar sebagai anak laki-laki untuk menyalin teks ayah Su-bok, yang memperingatkan bahaya menulis, yang dengan sempurna seolah-olah ia menggambar. Keinginannya meninggalkan gema nyaring: untuk mempelajari tulisan yang dapat “menyalin semua hal “Yangban dapat menggunakan sabit itu untuk memotong di dunia, dan menangkap semua kata yang diucapkan yang tenggorokan manusia dan mengirim anjing itu keluar sebagai menyebar ke udara, dan mengemas dan menyimpan semua anjing pemburu. Dan itu belum semuanya. Akan tiba juga pikiran yang jatuh dan berkumpul seperti kepingan salju di saatnya sabit itu mulai menggonggong dan anjing itu berlari benak sebelumnya, mereka tidak akan hilang” yang dilake sawah untuk memotong batang padi. Dunia bisa dilemparrang ayahnya seolah-olah itu adalah masalah hidup dan mati. kan ke dalam kekacauan seperti itu kapan saja”. Karena kejadian yang sangat penting di masa lalu, ayahn-

seni & budaya korea 69


Informasi Berlangganan

Cara Berlangganan Biaya Berlangganan

Isi formulir berlangganan di website (www.koreana.or.kr > Langganan) dan klik tombol “Kirim.� Anda akan menerima faktur dengan informasi pembayaran melalui E-mail.

Daerah

Biaya Berlangganan (Termasuk ongkos kirim melalui udara)

Edisi lama per eksemplar*

Korea

1 tahun

25,000 won

6,000 won

2 tahun

50,000 won

3 tahun

75,000 won

1 tahun

US$45

2 tahun

US$81

3 tahun

US$108

1 tahun

US$50

2 tahun

US$90

3 tahun

US$120

1 tahun

US$55

2 tahun

US$99

3 tahun

US$132

1 tahun

US$60

2 tahun

US$108

3 tahun

US$144

Asia Timur

1

Asia Tenggara dsb

2

Eropa dan Amerika Utara 3

Afrika dan Amerika Selatan 4

US$9

* Pemesanan edisi lama ditambah ongkos kirim. 1 Asia Timur(Cina, Hong Kong, Jepang, Makau, dan Taiwan) 2 Asia Tenggara(Brunei, Filipina, Indonesia, Kamboja, Laos, Malaysia, Myanmar, Singapura, Thailand, Timor Leste, Vietnam,) dan Mongolia. 3 Eropa(termasuk Russia and CIS), Timur Tengah, Amerika Utara, Oseania, dan Asia Selatan (Afghanistan, Bangladesh, Bhutan, India, Maldives, Nepal, Pakistan, dan Sri Lanka) 4 Afrika, Amerika Selatan/Sentral (termasuk Indies Barat), dan Kepulauan Pasifik Selatan

Mari bergabung dengan mailing list kami

Jadilah orang pertama yang mengetahui isu terbaru; maka daftarkan diri Anda pada Koreana web magazine dengan cara mengirimkan nama dan alamat e-mail Anda ke koreana@kf.or.kr

Tanggapan Pembaca

Tanggapan atau pemikiran Anda akan membantu kami meningkatkan daya tarik Koreana. Kirimkan komentar dan saran Anda melalui E-mail ke koreana@kf.or.kr.

84 Koreana Musim Semi 2019

* Selain melalui majalah web, konten Koreana tersedia melalui layanan e-book untuk perangkat mobile (Apple i-books, Google Books, dan Amazon)


A JournAl of the eAst AsiA foundAtion

We Help Asia Speak to the World and the World Speak to Asia. In our latest issue:

Leadership in Asia: Populism, Prosperity and the Basis of Political Legitimacy

Learn more and subscribe to our print or online editions at

www.globalasia.org

understAnding AsiA’s leAders: essAYs bY

John Nilsson-Wright; David Shambaugh; Ellis Krauss; Sang-young Rhyu; John McBeth; Michael Vatikiotis & Pratap Bhanu Mehta the debAte: the us-ChinA trAde ClAsh: two views

Simon Lester on Trump’s trade quagmire; Aidan Yao & Shirley Shen on why a breakthrough is unlikely

in foCus: denuCleArizing the KoreAn peninsulA

Three perspectives on the road ahead for peace efforts

plus

Christopher h. lim & vincent mack zhi wei Global Ambitions of Beijing’s Belt and Road Initiative stephen blank Washington Returns to Central Asia Kai he & huiyun feng A Quest for Joint Prestige: Rethinking the US-China Rivalry t. v. paul The Risks of War Over the South China Sea beginda pakpahan Indonesia’s Indo-Pacific Challenge book reviews by Nayan Chanda, Taehwan Kim, John Delury and John Nilsson-Wright

us$15.00 w15,000 | www.glob A JournAl l of the eAst AsiA foundAtion Ation www.globAlAsiA.org .org | volume 13, number 3, september 2018 A

Leaders & Leadership in Asia Populism, Prosperity and the Basis of Political Legitimacy News, archives and analysis at www.globalasia.org

Have you tried our Magster digital edition? Read on any device. Issues just $5.99 each or $19.99 per year. Download Magzter’s free app or go to www.magzter.com seni & budaya Korea 41


38 Koreana Musim Semi 2019

KoreanLiteratureNow.com


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.