Koreana - Autumn 2013 (Indonesian)

Page 1

Musim Gugur 2013

Seni & Budaya Korea Fitur Khusus

Pekarangan dan Taman

M usimmerG ug ur 2013 vo l.n o2. 2n o . 3 sum 2012 vo l. 26

Pekarangan dan Taman; Pekarangan Saya; Taman-taman dalam Ruangan di Apartemen

ISSN 2287-5565

v o l. 2 NO. 3

Pekarangan dan Taman Bagaimana Komunitas Korea Bersama Alam


Penata Letak dan Desain

Negara di luar Amerika dan Kanada

© The Korea Foundatioon 2013

Direktur Editorial Zeon Nam-jin

Kim’s Communication Associates

(termasuk Korea)

Hak cipta dilindungi undang-undang.

Pemimpin Redaksi

Koh Young Hun

384-13 Seogyo-dong, Mapo-gu, Seoul,

Korea Foundation

Dilarang memperbanyak sebagian atau

Penyunting

Mirna Yulistianti

121-839, Korea. www.gegd.co.kr

2558 Nambusunhwan-ro, Seocho-gu,

seluruhnya tanpa izin Korea Foundation.

Dewan Redaksi

Bae Bien-u

Telp: 82-2-335-4741 Faks: 82-2-335-4743

Seoul, Korea

Elisabeth Chabanol

Han Kyong-koo

Kim Hwa-young

Kim Mun-hwan

Kim Young-na

Koh Mi-seok

Song Hye-jin

Song Young-man

Werner Sasse

Pemimpin Umum

Yu Hyun-seok

Langganan

Telp: 82-2-2151-6544 Faks: 82-2-2151-6592

Biaya per tahun: Korea \18,000,

Percetakan Edisi Musim Gugur 2013

Asia(udara) US$33, Negara di luar Asia(Udara) US$37

Samsung Munhwa Printing Co.

Harga per eksemplar (Korea): \4,500

274-34 Seongsu-dong 2-ga,

Informasi Berlangganan Amerika, Kanada

Koryo Book Company 1368 Michelle Drive St. Paul, MN 55123-1459

Seongdong-gu, Seoul, Korea Telp: 82-2-468-0361/5

Pendapat penulis atau pengarang dalam majalah ini tidak harus selalu mencerminkan pendapat editor atau pihak Korea Foundation. Majalah Koreana ini sudah terdaftar di Kementerian Budaya, Olahraga, dan Pariwisata(No. Pendaftaran Ba 1033, 8 Agustus 1987), Korea sebagai majalah triwulanan, dan diterbitkan juga dalam bahasa Inggris, China, Prancis, Spanyol, Arab, Rusia, Jepang, dan Jerman.

Telp: 1-651-454-1358 Faks: 1-651-454-3519

Seni & Budaya Korea Edisi Musim Gugur 2013

http://www.koreana.or.kr

Diterbitkan empat kali setahun oleh Korea Foundation 2558 Nambusunhwan-ro, Seocho-gu, Seoul, Korea

“Afternoon” by Chang Uc-chin, Minyak di atas kanvas 42 x 32 cm, 1985

Dari Redaksi

Musim Kesyahduan

Tanpa terasa, musim gugur telah menyambangi kita lagi. Bukankah Koreana edisi Indonesia untuk pertama kalinya menyapa khalayak pembaca Indonesia dan kawasan Asia Tenggara pada musim gugur tahun lalu? Setahun adalah usia yang di depan terbentang harapan panjang. Koreana akan terus menata diri. Perubahan musim adalah langkah menuju masa depan yang lebih baik. Seperti adagium: hari ini harus lebih baik dari kemarin, dan esok mesti lebih baik lagi dari hari ini. Begitulah kehidupan. Melangkah ke depan adalah keniscayaan. Harapan adalah landasan manusia untuk tetap optimis menatap masa depan. Pada hari raya Chuseok, yang jatuh pada tanggal 19 September, warga Seoul dan kota-kota besar lainnya, mudik dan berkumpul dengan sanak saudara dan handai tolan. Berziarah ke makam leluhur sambil sekalian mempererat tali silaturahmi. Itulah momentum menanamkan spirit persaudaraan. Di balik itu, orientasi dan semangat baru ditanamkan. Carpe diem , raihlah selagi ada kesempatan. Tidak berlebihan jika Koreana edisi musim gugur ini pun dilandasi dengan semangat itu. Maka, sajian aneka ragam seni budaya Korea, baik yang tradisional, maupun yang modern, dimaksudkan sebagai pintu masuk untuk menyelami lebih jauh tentang keunikan, eksotisme, dan filosofi bangsa Korea yang tak bisa melepaskan diri dari alam dengan segala fenomenanya, keluarga dengan hasrat memelihara dan menjaga harmoni, dan masyarakat yang senantiasa bergerak dinamis. Bagi bangsa Korea, musim gugur adalah kisah lain lagi tentang alam. Kerimbunan dedaunan perlahan-lahan memamerkan kecantikannya. Meski bukan waktunya bunga bermekaran seperti terjadi

pada musim semi, perubahan warna-warni daun, sungguh bakal menggagalkan kita menyembunyikan decak kagum. Aneka warna daun-daun itu lebih kaya dari lanskap pelangi. Hutan-hutan dan pegunungan di pelosok Seoul atau di luar kota Seoul, akan diserbu para pecinta keindahan alam. Segenap anggota keluarga sengaja berkemah di tengah panorama daun yang warna-warni, dengan hembusan angin sejuk, dan langit biru menjulang tinggi, tanpa awan. Alam musim gugur laksana pengejawantahan kesyahduan hutan dan penggunungan yang diam-diam merayap menghadapi musim salju. Koreana edisi musim gugur, seperti yang sejak awal ditanamkan sebagai filosofi media ini, tetap melangkah dengan semangat menempatkan diri sebagai jembatan budaya. Menjalin hubungan sosial-budaya antara Korea-Indonesia. Dalam konteks itu, acara peringatan 40 tahun hubungan Korea-Indonesia di Seoul, 25 September lalu, menandai semangat dan hasrat meningkatkan persahabatan-persaudaraan kedua bangsa. Diperlukan berbagai langkah, bahu-membahu mengangkat martabat bangsa Korea dan bangsa Indonesia menjadi lebih terhormat dan sejahtera di mata bangsa-bangsa lain di dunia. Bersama warna-warni keindahan dedaunan yang tampak syahdu, bersama bentangan langit biru nun jauh menjulang tinggi, dengan girang Koreana menyapa sidang pembaca yang mulia!

Koh Young Hun Pemimpin Redaksi Koreana Edisi Indonesia


Fitur Khusus Pekarangan dan Taman

04 08 14 18 28

Fitur Khusus 1

Pekarangan dan Taman

Han Kyung-koo

Fitur Khusus 2

Pekarangan Saya

Suh Hwa-sook

Fitur Khusus 3

Taman-taman dalam Ruangan di Apartemen

6

Kim Yoo-kyung

Fitur Khusus 4

Pekarangan Rumah-rumah Tua

Cho Jeon-hwan

Fitur Khusus 5

Desainer Taman, Hwang Ji-hae Menghargai Emosi Primitif

Suh Hwa-sook

24

32 36

WAWANCARA

Kim Yeon-gap, Tergila-gila ‘Arirang’

Lim Jong-uhp

RESENSI SENI

Film Independen Jiseul: Waktu yang Belum Berakhir 2 Harapan dalam Sebutir Kentang Heo Young-sun

34

40 44 48

Jatuh Cinta pada Korea

Ibu Little Psy, Vu Thi Ly: “Mimpi Putraku Adalah Mimpiku”

44

Kim Dae-o

Kehidupan Menelusuri Satu Jalan

“ Cacatan Sislilah adalah Akar dari Keluarga dan Bagian dari Sejarah Nasional”

Kim Hak-Soon

Buku & lebih Charles La Shure Nilai Konfusianisme dan Perang: Novel Autobiografi Penyemangat Jiwa oleh Penulis Perempuan Peranakan Korea-Amerika

“Suara dari Surga” Sekilas Puisi Zen Master untuk Kehidupan

“Magnolia & Lotus: Puisi Hyesim Pilihan” Studi Korea Online bagi Pelajar SMU Amerika Serikat

“Program Pembelajar Studi Korea Sejong”

60

50 52 54 58 62

Esai

Fasilitas Publik di Seoul

Andriani Koesmarijanti

HIBURAN

Cho Yong-pil Telah Kembali!

Lim Jin-mo

KENIKMATAN GOURMET

Aroma Lezat Jamur Song-i

Ye Jong-suk

gaya hidup

Menetap di Jeju untuk Melepaskan Diri dari Lelahnya Kehidupan Urban Perjalanan Kesusastraan Korea

Didetoksifikasi Kekerasan Uh Soo-wong Hanya Geun-won Paik Ga-huim

Lee Jin-joo


[ Fitur Khusus 1 Pekarangan dan Taman ]

Pekarangan dan Taman

Apa yang membuat taman bernuansa tradisional Korea berbeda dengan taman geometris Eropa modern dan dengan taman ala Cina dan Jepang yang terkomposisi demikian rapi dan rinci? Mungkin saja dapat dikatakan alasan perbedaan itu adalah tak lain karena adanya perbedaan yang besar dalam tata cara penggunaan ruang huni. Han Kyung-koo, Antropolog budaya, Profesor Seoul National University, (College of Liberal Studies) | Suh Heun-gang Fotografer

S

ecara tradisional biasanya sewaktu mendirikan rumah, orang Korea tidak berusaha untuk menghiasi rumah mereka dengan taman yang indah seperti orang - orang yang tinggal di negeri tetangga Cina atau Jepang. Tidak usah kita berbicara tentang rumah penduduk miskin yang sudah pasti tidak ada taman, bahkan halaman depan rumah - rumah besar milik penguasa atau orang beradapun biasanya dibiarkan kosong tanpa tertanam apapun. Tanah halaman dipadatkan sehingga terlihat selalu rata dan bersih tanpa ada satupun kerikil ataupun rumput sekecil apapun. Memang itu bukan berarti bahwa konsep ‘taman’ di Korea tidak ada sama sekali. Taman Sosaewon yang berlokasi di Damyang ataupun Bogildo yang terletak di Buyongdong dan sebagainya sampai sekarang menunjukkan budaya taman yang cukup tinggi pada zaman Chosun yang tertata dengan apik serta memiliki makna - makna filosofis dan simbolis yang mendalam. Tetapi taman - taman seperti ini tidaklah biasa di Korea. Orang Korea pada umumnya menyukai hala-

4

man terjaga selalu rata daripada menghiasnya menjadi taman luas yang indah.

Sebuah Ruang Lain yang Luas Pada rumah tradisional Korea Hanok, pekarangan adalah tak lain dari wajah rumah. Dalam novelnya berjudul < Honbul > Choi Myung - hee melukiskan halaman yang “demikian rata dan padat sehingga sekalipun berjalan dengan kaki telanjang, tidak ada debu tanah yang melekat di kaki.” Itu karena halaman telah disapu “selicin mungkin seperti wajah yang sudah dibasuh bersih”. Dalam lagu < Legenda Jilmajae > yang dinyanyikan oleh Seo Jeong – ju, ruang tamu yang “rata dan wangi bak wajah Chunhyang” (halaman disebut juga sebagai ruang tamu karena digunakan juga seperti layaknya kamar untuk menerima tamu) merupakan bagian penting dari Hanok sama seperti pentingnya ruang ondol dan ruang tamu. Halaman rumah tradisional Korea mempunyai beragam fungsi, S e n i & B u d a y a Ko re a


Pekarangan kaum Adam di rumah kuno Jeong Yeo-chang, yang terletak di Hamyang, sebagian besar ruang dibiarkan kosong, dengan hanya bagian taman, seperti taman batu di bawah beranda yang ditinggikan dan dibiarkan terbuka lebar untuk pemandangan sekitarnya.

karena sesuai dengan perubahan cuaca atau pelaksanaan acara besar kecil dari keluarga pemilik rumah, ruang yang merupakan ruang transisi ataupun ruang penyempurna ini bisa menjadi ‘ruang di dalam rumah’ atau ‘ruang di luar rumah’. Halaman dapat menjadi ruang bermain anak - anak, kemudian berubah menjadi ruang kerja, lalu berubah lagi menjadi ruang tertutup jika diberi kanopi saat ada perayaan peringatan nenek moyang atau pesta keluarga. Di halaman, orang menjemur berbagai sayur dan cabe, menimbun berbagai jenis padi padian, pada musim panas menjadi tempat berkumpul seluruh keluarga untuk menyantap makan malam dan menikmati semangka sambil mengobrol bersama sebelum akhirnya terlelap tidur. Jika ada acara perkawinan, halaman kembali berubah fungsi menjadi tempat digelarnya pesta pernikahan tradisional. Jika ada yang meninggal, halaman berubah menjadi tempat duduk para pelayat. Pada tanggal 15 bulan pertama penanggalan Imlek, orang memainkan Pungmul (musik tradisional di desa menggunakan gong, beduk, suling, dsbnya) untuk mengKo r e a n a | Mu s i m Gu g ur 2013

adakan Jisin - balbgi (perayaan tradisional untuk memuja dewa tanah) yang pada puncaknya dilakukan Madang - balbgi (perayaan tradisional untuk memuja dewa tanah tempat rumah didirikan) di halaman rumah. Halaman juga menjadi tempat diadakannya upacara terakhir untuk menghalau roh atau hantu yang dikumpulkan saat diadakan gut (upacara persembahan tradisional). Demikianlah ‘madang’ atau halaman adalah ruang untuk bekerja, untuk bermain, untuk beristirahat, tempat untuk diadakannya upacara (祭仪) atau pesta, menjadi tempat untuk memproduksi dan juga tempat untuk menyimpan. Dan karena halaman menjadi tempat berlangsungnya berbagai kegiatan dan memiliki berbagai fungsi, maka di Korea situasi atau proses dan ruang atau arena di mana sesuatu sedang berlangsung disebut sebagai ‘madang’ (halaman). ‘Madang’ juga digunakan sebagai unit untuk menghitung babak dalam pansori (musik dan lagu tradisional Korea yang menceritakan sebuah kisah) atau tari topeng dan sebagainya. Juga untuk orang yang mempunyai banyak

5


Dan kini masyarakat Korea modern yang tinggal di kota - kota terkesan merasakan betapa perlunya ‘mendatangkan’ alam ke dalam rumah atau taman mereka. Usaha untuk hidup dekat dengan alam dengan cara menggunakan semua ruang yang dapat dipakai di luar dan dalam rumah telah bermunculan di setiap kompleks apartemen. keahlian dan banyak kenalan disebut sebagai ‘madang - bal’.

Ruang yang Sengaja Dikosongkan Jadi bila diperhatikan dengan baik ‘madang’ atau halaman bagi untuk orang Korea tidak selalu berarti ruang di luar rumah. Dan juga bukanlah tempat yang sekedar merupakan hasil memperkecil atau meniru alam. Halaman berada di bagian sekeliling rumah atau bagian tengah rumah yang dihiasi dengan pot - pot bunga dan halaman yang berada di bagian belakang dijadikan ladang untuk menanam berbagai sayuran.

6

Lalu, mengapa orang Korea tidak terlalu menaruh minat untuk membuat taman? Apakah itu dikarenakan adanya kebijakan keras dari ajaran Konfucu yang membatasi dan mengkritik kaum penguasa yang berfoya - foya? Ataukah karena orang Korea lebih menyukai pohon dan bunga tumbuh dan berkembang secara alami dan enggan membuat bentuk tertentu dengan sengaja memotong atau membengkokkannya? Apakah karena alasan yang sama taman bernuansa tradisional Korea berbeda dengan taman geometris Eropa modern dan dengan taman ala Cina dan Jepang yang terkomposisi demikian rapi dan rinci? Ataukah karena ekonomi Korea yang berdasarkan bertanam padi menyeS e n i & B u d a y a Ko re a


Pelataran tempat tinggal kaum Hawa di rumah kuno Yi Sang-ik (nama pena Geonjae, 18481897) yang terletak di Asan, Provinsi Chungcheong Selatan; bagi kaum wanita halaman adalah tempat untuk pekerjaan rumah tangga. Bunga dan pohon ditanam di depan tembok rendah di ujung halaman. Sebuah batu dan tempat duduk di depan dapur. Paprika merah tersebar kering yang langsung berada di bawah sinar matahari.

air yang bening dan jernih. Mungkin saja karena mereka bisa menikmati pemandangan yang sangat dekat dengan mereka, maka mereka membiarkan halaman di rumah mereka kosong untuk menikmati sisi lowong daripada membuat taman di dalam rumah.

Dari Pekarangan ke Taman

babkan orang tidak mudah mengumpulkan kekayaan yang cukup untuk membuat taman yang mewah? Mungkin saja dapat dikatakan alasan perbedaan itu adalah tak lain karena adanya perbedaan yang besar dalam tata cara penggunaan ruang huni. Mungkin saja karena dengan keluar dari rumah sedikit saja, orang bisa menikmati keindahan pemandangan alam yang terhampar, jadi dirasa tidak perlu menghias rumah dengan taman. Dan mungkin juga karena orang Korea memilih untuk bercocok taman dan menikmati hasilnya daripada membuat alam buatan eksklusif yang memakan banyak ruang. Sampai pada akhir abad ke - 19, populasi Seoul berjumlah sekitar 200.000 jiwa dan dikelilingi oleh pegunungan dan hutan yang teramat indah. Orang yang miskin dan tidak memiliki kuasa, juga orang yang kaya dan memiliki kuasa sama - sama dapat menikmati pemandangan gunung dari rumahnya. Bila mereka keluar dari rumah dan berjalan naik ke gunung sedikit saja mereka dapat menemukan aliran Ko r e a n a | Mu s i m Gu g ur 2013

Kini masyarakat Korea modern tidak lagi memiliki keleluasaan seperti itu lagi. Populasi kota Seoul kini mencapai sekitar 10 juta jiwa dan fenomena urbanisasi di Korea Selatan lebih dari 80%. Peningkatan jumlah orang yang tinggal di dalam kota yang mendadak menyebabkan perluasan kota yang membuat orang semakin jauh dari alam. Karena itulah baru - baru ini orang Korea mati - matian mengerahkan tenaga untuk ‘membuat’ alam masuk ke dalam rumah atau tengah kota. Seiring dengan adanya industrialisasi halaman yang kehilangan fungsi sebagai ruang produksi, penyimpanan, dan ruang kerja, dengan cepat berubah menjadi taman. Bagi mereka yang menyukai rumah tradisional berpendapat bahwa dibanding halaman kosong yang disinari terik matahari, taman mempunyai efek menahan terik matahari yang menyinari bagian dalam rumah dengan lembut dan juga mengurangi suhu angin dingin yang masuk dari halaman belakang, dan halaman juga cukup membuat ibu - ibu rumah tangga di kota sibuk menghiasnya dengan rumput, bunga, dan pohon. Demikianlah, kini di kota - kota Korea hampir di setiap rumah lahir taman - taman mini yang mungil dan cantik. Menyenangkan bagi orang yang tinggal di rumah yang mempunyai halaman, tetapi pada faktanya sebagian besar dari orang Korea harus tinggal di apartemen yang tidak ada halamannya karena faktor kemudahan. Lebih dari 50 % dari penduduk Seoul, dan sekitar 60 % dari penduduk Daejon dan Busan tinggal di apartemen atau rumah susun, dan banyak diantaranya yang memiliki taman mini. Kita dapat dengan mudah menyaksikan orang meletakkan pot - pot bunga di beranda rumah mereka, yang melimpah sampai ke koridor, tangga, dan di pintu gerbang. Di masa lampau orang Korea sengaja mengosongkan halaman yang merupakan ruang yang dekat dengan rumah, dan menikmati gunung dan sungai dengan pergi mendatanginya secara langsung. Dan kini masyarakat Korea modern yang tinggal di kota - kota terkesan merasakan betapa perlunya ‘mendatangkan’ alam ke dalam rumah atau taman mereka. Usaha untuk dekat dengan alam dengan cara menggunakan semua ruang yang dapat dipakai di luar dan dalam rumah telah bermunculan di setiap kompleks apartemen. Semoga kebijakan orang dulu yang sengaja mengosongkan ruang tidak pudar dan dapat turut memberikan arti pada perubahan dari halaman ke taman ini.

7


[ Fitur Khusus 2 Pekarangan dan Taman ]

Pekarangan Saya Sebagaimana kebanyakan wanita yang memiliki pekerjaan, saya melewati kehidupan yang sangat padat dan sibuk. Di tengah kesibukan dalam kehidupan saya, jika disuruh memilih hal terbaik yang telah saya lakukan, saya akan memilih melahirkan tiga anak saya dan membeli rumah ini. Di halaman rumah kami dari musim semi hingga musim gugur, bunga - bunga silih berganti mekar dan gugur. Suh Hwa-sook, Reporter Senior Korea Times | Ahn Hong-beom, Ha Ji-kwon Fotografer

8

S e n i & B u d a y a Ko re a


S

Pengarang Suh Hwa-sook (tengah), sedang bersantai bersama tetangganya, BuamDong, di halaman belakang rumahnya bertaburkan semburat cahaya senja dengan punggung Gunung Bukhan tampak di kejauhan.

Ko r e a n a | Mu s i m Gu g ur 2013

aya tinggal di sebuah rumah di Buam - dong Seoul. Buam - dong adalah daerah yang berada tepat di belakang istana utama Kyongbok - gung, yang karena pemandangannya indah, pada zaman Dinasti Chosun dipergunakan oleh orang - orang yang bekerja di kerajaan untuk membangun tempat peristirahatan, dan oleh wanita - wanita pekerja di kerajaan keluar ke sungai untuk mencuci pakaian. Meju (gumpalan kacang kedelai yang difermentasi) untuk kerajaan juga dibuat di daerah ini. Tembok pembatas Hanyang ibukota Chosun yang terletak di kaki gunung Bugak - san bertemu dengan sungai yang airnya jernih, kantor pemerintah yang berfungsi untuk memasok kertas yang dibuat menggunakan air jernih untuk digunakan di kerajaan juga terletak di daerah ini. Di tempat ini sampai sekarang masih ada salah satu dari empat pintu kecil untuk masuk ke kota Hanyang yakni Jaha - mun (nama resminya adalah Changui - mun) yang masih tetap sama rupanya seperti zaman Dinasti Chosun. Chungwadae (Blue House / Istana Kepresidenan) terletak di utara Istana Kyongbok - gung, jadi tentu saja daerah ini juga merupakan daerah di belakang Chungwadae. Pada tahun 1968 saat terjadi penyelinapan mata mata bersenjata Korea Utara untuk membunuh Presiden Park Chunghee, peristiwa tembak - menembak antara polisi dan mata - mata itu juga terjadi di tempat ini. Hanya 30 menit dengan jalan kaki dari Kwanghwa - mun yang merupakan pusat kota tua dari kota Seoul. Daerah ini juga adalah daerah internasional yang sering dikunjungi turis asing dari Jepang, Taiwan, Hong Kong, Thailand, Malaysia, dan Filipina yang mencari sambil membaca peta sebagai efek dari populernya drama “Coffee Prince� pada tahun 2007 yang diambil gambarnya di daerah ini. Dengan adanya fenomena urbanisasi di kota Seoul, maka di sana sini gedung - gedung tinggi bermunculan dengan cepat, namun fenomena itu tidak terjadi di daerah ini dikarenakan geografis daerah ini terletak di bukit dengan kemiringan tajam. Daerah ini dipenuhi oleh banyak rumah berbentuk vila yang tidak tinggi serta perumahan sendiri - sendiri yang jarang bisa ditemukan di daerah lain di Seoul. Tambahan lagi, bila berjalan sedikit saja di daerah ini, kita dapat dengan mudah menemukan sungai dan gunung. Sehingga sejak dulu daerah ini dijuluki ‘Seoul yang tidak seperti Seoul’. Suhu di daerah ini termasuk rendah karena terletak 190 m di atas permukaan laut. Pada musim dingin tahun lalu ketika suhu di kota Seoul adalah 17 derajat Celcius di bawah titik beku, di daerah ini menunjukkan minus 20 derajat Celcius. Pada umumnya suhu di daerah ini selalu lebih rendah kira - kira 2 derajat Celcius daripada pusat kota Seoul. Harga rumah termasuk murah di daerah ini karena rumah - rumah tua dan dingin waktu musim dingin. Memimpikan Rumah dengan Halaman Sebagai seorang yang lahir di sudut desa di Kangwon - do dan pindah ke Seoul pada usia 7 tahun, dan sebagai seorang Korea yang dibandingkan dengan perubahan masyarakat Korea, bisa dikatakan saya hidup di rumah yang sangat umum. Waktu pertama kali datang ke Seoul, saya tinggal di rumah tradisional yang dibangun serentak dalam jumlah besar pada zaman Jepang, kemudian saya tinggal di sebuah rumah sangat kecil asal buat bertingkat satu di daerah gunung, Memasuki tahun 70 - an, saya tinggal di rumah bertingkat dua yang luas tanahnya sebagian besar dipenuhi dengan bangunan rumah sehingga tidak memungkinkan adanya taman. Pada tahun 1983 saya pindah ke apartemen yang tinggi. Setelah itu sampai akhir tahun 2007, kecuali 2 tahun, saya terus tinggal di apartemen yang terletak di daerah yang berbeda. Yang 2 tahun itu begini ceritanya. Apartemen adalah jenis perumahan yang umum di Seoul. Tetapi walaupun saya telah hidup lama di apartemen, tetap saja saya tidak merasa betah tinggal di dalamnya. Bagi saya, apartemen bukanlah rumah, tetapi hanya tempat untuk tidur saja. Rumah tanpa halaman dengan tanah untuk berpijak dan bunga yang bisa dipelihara bagi saya bukanlah rumah. Semua kerabat saya tinggal dengan baik di apartemen. Saking tinggal dengan baiknya, kalau saya mengatakan ingin pindah ke rumah yang ada halamannya, mereka melarang saya dengan bola mata yang berapi - api. Mereka mengatakan sangat sulit mengurus rumah berhalaman, dan menakut - nakuti bahwa rumah tersendiri seperti itu sulit untuk dijual, jadi daripada nanti menyesal karena pindah ke rumah yang demikian. Akhirnya waktu usia saya sekitar pertengahan 30 - an, saya bukan membeli rumah berhalaman tetapi sewa rumah tersendiri yang mempunyai halaman selama dua tahun. Kalau selama itu saya merasa senang, saya berpikir untuk membeli rumah tersendiri. Waktu itu anak - anak saya masih kecil. Dan memang betul dugaan saya. Anak - anak yang sewaktu tinggal di apartemen mendekam di rumah sambil menonton televisi atau bermain game, berlarian di halaman. Mereka menggali tanah untuk membuat lubang dan mengumpulkan ranting kayu untuk bermain api. Saya dan anak - anak juga membakar kentang di perapian yang

9


terletak di luar rumah. Di waktu musim dingin, kami bermain luncuran salju di bagian menurun ke arah rumah tetangga. Tetapi kehidupan ini tidak berlangsung lama. Akibat adanya krisis moneter yang membuat Korea menjadi negara yang harus mendapat bantuan dari IMF, suami saya kehilangan pekerjaan, dan saya tidak memiliki kemampuan untuk mempertahankan apartemen dan rumah tersendiri secara bersamaan, jadi kami terpaksa kembali ke kehidupan di apartemen. Nikmatnya Hidup di Rumah Berhalaman Saya tidak pernah tinggal di rumah yang seperti rumah, jadi saya mencoba untuk menghibur diri dengan berkeliling mencari rumah tersendiri untuk dibeli. Dalam arti, walaupun bukan untuk membeli, seperti benar - benar akan membeli rumah, saya mendatangi agen properti dan juga melihat - lihat rumah yang akan dijual. Tetapi semua rumah yang saya lihat lebih mahal dari perkiraan saya atau sempit untuk tinggal berenam. Jika ada waktu senggang di kantor, saya menggunakannya untuk berkeliling beberapa daerah di daerah Kyungbok - gung yang dekat dengan kantor saya. Berbeda dengan daerah Gangnam di mana bangunan tinggi berbaris dengan rapinya, daerah dengan pemandangan yang terasa berhenti di tahun 1970 itu justru cocok dengan saya. Demikianlah setelah mencari dan mencari lagi rumah di sekitar Kyungbok - gung melampaui gunung Bukak, sampailah saya di rumah di daerah ini, yang seperti telah saya ceritakan di depan, pada waktu itu merupakan daerah yang berada di tengah kota Seoul dengan harga rumah termurah. Saat itu, jika saya menombok sedikit saya bisa membeli rumah dengan halaman yang luas. Akhirnya saya bisa memiliki rumah dengan halaman yang didirikan pada tahun 1977 Rumah kami dingin, sampai - sampai pada musim dingin di dalam rumahpun kami harus memakai baju tebal. Waktu pertama kali, jika dibandingkan dengan apartemen di mana kami tetap memakai baju berlengan pendek di musim dingin sekalipun, rumah ini terasa seperti barak tentara. Sekalipun keadaannya membaik setelah jendela yang tertembus angin dingin diganti dengan yang baru dan juga ditambahi gorden, perubahan cuaca ke cuaca sangat terasa bila tinggal di rumah tersendiri di daerah ini jika dibandingkan dengan apartemen. Musim dingin di sini datang lebih cepat satu bulan dan bunga musim semi baru mekar setengah bulan lebih lambat daripada pusat kota. Rumah yang dingin juga berarti bahwa biaya pemanas di musim dingin juga keluar sangat banyak. Walau begitu, tetap saja saya menyukainya. Sampai - sampai saya sendiri heran, bagaimana saya bisa sebegini menyukainya. Jika disuruh memilih hal terbaik yang telah saya lakukan setelah lahir di dunia ini, tanpa ragu - ragu saya akan memilih melahirkan tiga anak saya dan membeli rumah ini. Di halaman rumah kami dari musim semi hingga musim gugur, bunga - bunga silih berganti mekar dan gugur. Di musim dingin saya bangun siang pada akhir minggu. Tetapi jika musim semi datang, tanpa sadar mata saya terbuka pada dini hari. Karena ingin segera pergi ke halaman. Jika malam, saya merasa sayang karena harus meninggalkan halaman dan tidur. Lalu, apakah saya melakukan hal yang istimewa di halaman? Tidak juga. Saya

10

hanya sekedar berjalan kian kemari sambil memperhatikan satu per satu bunga - bunga yang lain kemarin dan lain pada hari ini. Jika mulai ada tunas atau kuntum baru yang muncul, saya malah duduk di sana dan memperhatikannya lebih lama. Sekali - sekali saya mencabut rumput liar yang muncul di antara rumput - rumput dan mengurusi pohon - pohon agar tidak tumbuh berlebihan. Jika ada kabar akan datang hujan di sore hari, saya memindahkan pohon dan menanam bibit baru. Mengetahui bahwa harus berada di tempat teduh, tanaman saya pindahkan juga dari tempatnya yang terang. Di ruang seluas sekitar 50 pyong (sekitar 165,3 m2), setiap hari saya melihat tanaman yang sama, tetapi selalu terasa baru dan asyik.

Halaman Rumah Kami Sampai Ke Gunung Bukhan Taman tradisional Korea yang berbentuk vila biasanya dibiarkan dalam keadaan alami dengan sungai yang mengalir di dalamnya, sementara untuk rumah biasa halaman adalah tempat yang sebatas dibiarkan bersih tanpa sejumput rumputpun, di sapu bersih setiap hari dan ditanami beberapa pohon hias ataupun pohon buah seperti pohon plum, bambu, pohon bunga moran, bunga lily, atau pohon delima. Namun beberapa pohon itu ditanam dengan makna tertentu. Pohon plum dan bambu melambangkan integritas cendekiawan, pohon bunga moran melambangkan kekayaan, pohon delima melambangkan kesuburan dalam melahirkan anak, dan bunga lily melambangkan perolehan anak laki - laki. Pohon bunga locust yang melambangkan cendekiawan masuk ke istana dan pohon lagerstroemia yang melambangkan kerukunan antar saudara ditanam di dekat gerbang atau di luar rumah. Di rumah rakyat selalu ada kebun sayur dan buah. Kepercayaan Kongfucu pada zaman Chosun mewajibkan cendekiawan untuk juga bekerja meneteskan keringat di kebun untuk menjernihkan hati dan pikiran selain membaca buku. Di rumah rakyat yang bukan vila, taman bukanlah suatu tempat yang indah yang membuat mabuk kepayang tetapi merupakan suatu ruang yang tenang dan praktis. Halaman rumah kami bukanlah taman tradisional Korea. Halaman yang saya suka dan impikan bukanlah taman yang tenang ala Kongfucu, bukit yang sejuk dengan bunga - bunga warna warni ala Cinalah yang saya mau. Karena itulah setelah pindah rumah, selama enam tahun saya membuat halaman sedikit demi sedikit menjadi demikian. Saya memasukkan bunga - bunga warna warni dan menghindari hal hal yang kurang serasi. Untuk meniru bukit yang sejuk saya menanam rumput di gundukan tanah yang terbentuk di tempat parkir. Ah‌ bukan menanam, tapi menghidupkannya kembali. Penghuni pertama rumah ini yang membangunnya di tahun 1977 mungkin punya cita rasa yang sama tentang taman dengan saya. Ia membangun rumah di bagian tengah, di halaman sebelah timur ia menanam pohon bunga cherry, di sebelah barat ia menanam pohon aprikot. Semuanya adalah jenis bunga yang bermekaran indah dengan bunga - bunga merah muda bak awan dan lembayung di musim Sekitar 1, 2 meter rumah Hahn Moo-sook di Myeongnyun-dong, Seoul, ketika terakhir kali novelis Hahn Moo-sook menulis novelnya. Diperlukan ciri khas rumah gaya Korea modern, berbentuk persegi empat mengelilingi sebuah halaman tengah.

S e n i & B u d a y a Ko re a


1

Dengan alasan memberi mereka bunga, akan mengadakan pesta bunga, dan terkadang tanpa alasan apapun, saya jadi sering mengundang orang - orang ke halaman rumah kami. Kalau tinggal di apartemen, sulit mengundang orang datang ke rumah tanpa persiapan hati untuk memperlihatkan ruang - ruang yang bersifat pribadi. Halaman adalah area pribadi, tetapi tidaklah seperti ruang dalam rumah yang ingin disembunyikan dari tamu - tamu. Karena ada halaman, maka mengundang orang ke rumah menjadi lebih mudah dan praktis. 2

Ko r e a n a | Mu s i m Gu g ur 2013

11


semi. Halaman dialasinya dengan rumput hijau, dan ditanamnya juga bunga moran dan peony di sana sini. Ini cerita yang saya dengar dari tetangga yang mengingat masa itu. Di sela - sela, ia menanam bunga magnolia putih dan bunga chainomeles merah, juga bunga azalea yang berwarna ungu muda. Setelah penghuni pertama pindah karena usahanya bangkrut di tahun 1996, penghuni kedua rumah ini merubah rumput di halaman belakang dengan mengalasinya dengan semen dan menutupinya dengan tenda plastik untuk membuatnya menjadi tempat latihan memukul bola golf. Waktu saya memperoleh rumah ini, rumput yang berada di halaman depanpun dalam keadaan tidak terawat sehingga sedikit saja di sudut bagian gerbang yang masih hidup. Pohon - pohon masih hidup tetapi sebagian besar dari halaman berupa tanah yang kering dengan rumput - rumput liar di sana–sini. Bunga moran dan peony juga tidak terlihat waktu itu. Pohon ceri juga tidak bertunas dan hanya ranting ranting kering saja tertinggal. Tapi saya sudah cukup puas dengan halaman yang luas dengan pohon - pohon tua di dalamnya. Jika berdiri di belakang, Gunung Bukhan terlihat dalam sekali pandang. Apalagi di bukit kecil yang lebih dekat akan bersemu merah muda lembut dari bunga Sakura gunung pada musim semi. Memang, taman tradisional asli Korea tidak ditata banyak - banyak tetapi ‘meminjam’ alam apa adanya menjadi bagian dari taman milik sendiri yakni teknik ‘meminjam taman (借景)’ yang merupakan satu konsep penting. Kalau menurut konsep ‘meminjam 1 Pekarangan sebuah rumah di Pyeongchang-dong, Seoul, memanfaatkan dasar Gunung Bukhan sebagai dinding alam.  2 Pasangan lansia cenderung menyediakan sepetak tanaman sayuran di sudut halaman mereka di Yeoju, Provinsi Gyeonggi.  3 Pekarangan sebuah rumah di Gunsan, Provinsi Jeolla Utara.

taman’, maka taman kami sampai di Gunung Bukhan yang terlihat jauh di sana.

Menata Taman Mulai dari musim panas di tahun pembelian rumah sampai kami pindahan pada musim dingin tahun berikutnya saya berulang kali mendatangi rumah kosong itu. Saya sering kali mampir untuk menata taman. Saya mencabuti rumput - rumput liar di halaman depan, dan mencabut rumput yang tinggal seluas alas duduk dengan hati - hati dan menanamnya di halaman. Saya sering memberinya air dan setelah lewat beberapa bulan rumput itu berkembang biak dan mulai tumbuh menyebar ke seluruh halaman. Suatu hari waktu saya sedang duduk di halaman depan berbentuk seperti gundukan, saya menemukan sepotong akar pohon tebal yang terpotong rata dengan tanah di antara gumpalan kusut rumput dan gulma. Ingin tahu itu akar apa, saya mencoba mencabutnya, kalau melihat akar itu tidak tercabut, rupanya itu bukan akar pohon mati. Pada musim semi tahun berikutnya bermunculan bunga moran. Pada musim panas tahun yang sama pohon kering kerontang yang berada di sebelah barat halaman mulai hidup kembali dan dari cabangnya bermekaran bunga - bunga berwarna putih. Itu adalah pohon ceri. Di jalan menuju pintu gerbang bunga peony berkembang juga. Tanaman dengan ajaibnya seakan menjawab panggilan dari orang yang merawat mereka. Dengan adanya halaman, banyak orang yang menawarkan memberi bunga. Ada yang menyuruh untuk datang dan saya mengambilnya sampai bagasi mobil penuh, ada juga yang membawakan bunga sebagasi mobil penuh. Pemilik toko kecil yang memanfaatkan tanah kosong

© Womansense

1 2

12

S e n i & B u d a y a Ko re a


di bagian depan gang sebagai taman dengan menanam pohon bunga moran, peony, dan bunga iris kuning Jerman mengalihkan tanaman – tanaman tersebut kepada kami karena tanah kosong itu akan dipakai menjadi tempat parkir sesuai dengan Perencanaan Tata Kota Seoul. Saya juga sering mendapatkan biji bunga dari kelompok pecinta tanaman. Ayah saya memberikan saya bunga bakung yang ada di halaman rumah di kampung halaman saya. Saya juga membeli beberapa pohon dari pasar bunga.

Bermeditasi Sembari Menata Rumput Beberapa bunga memamerkan kecantikannya selama 2 tahun dan kemudian menghilang, sementara bunga - bunga lain berkembang biak dengan pesatnya setiap tahun sampai - sampai sulit ditangani. Bunga lain yang hampir mati karena berada di tempat teduh, hidup lagi setelah dipindahkan ke tempat yang mendapat matahari langsung. Ada juga bunga yang hilang karena tidak kuat pada terik matahari dan dinginnya musim dingin. Bunga wild rose dan bunga cornelian cherry tumbuh dengan suburnya di sana sini dibawa terbang oleh burung - burung. Saya membagikan bunga - bunga yang kebanyakan dan melimpah kepada tetangga. Setelah lewat musim dingin, kami saling berbagi kabar tentang bunga - bunga yang bertahan hidup selama musim dingin dan mekar di musim semi. Jika ada bunga mekar yang jarang bisa ditemukan, saya memanggil tetangga untuk menyaksikannya bersama. Kami makan bersama, kemudian dilanjutkan dengan minum bersama. Sisi baik dari memiliki halaman adalah kita bisa saling berbagi satu sama lain. Karena yang saya bagikan adalah kehidupan yang melimpah yang ada pada saya, maka baik saya yang memberi maupun orang yang menerima semua merasa senang dan

riang. Dengan alasan memberi mereka bunga, akan mengadakan pesta bunga, dan terkadang tanpa alasan apapun, saya jadi sering mengundang orang - orang ke halaman rumah kami. Kalau tinggal di apartemen, sulit mengundang orang datang ke rumah tanpa persiapan hati untuk memperlihatkan ruang - ruang yang bersifat pribadi. Halaman adalah area pribadi, tetapi tidaklah seperti ruang dalam rumah yang ingin disembunyikan dari tamu - tamu. Karena ada halaman, maka mengundang orang ke rumah menjadi lebih mudah dan praktis. Bagi seorang individu adalah juga ruang meditasi. Mulai dari Robert Louis Stevenson (1850 - 1894), Hermann Hesse (1877 - 1962) sampai Diane Ackerman (1948 - ), penulis tanpa batas generasi, usia ataupun jenis kelamin mengakui bahwa mencabut rumput mempunyai daya tarik yang istimewa. Siapapun yang pernah menata taman akan setuju bahwa pekerjaan sederhana yang melelahkan dalam posisi duduk jongkok ini justru adalah pekerjaan yang sangat menarik yang membuat orang jadi lupa waktu. Siapapun pasti pernah mengalami pengalaman bahwa selama waktu itu satu tema terus menerus terpikirkan berulang kali sampai akhirnya pada satu titik masalah tiba - tiba terselesaikan. Berjalan mengitari halaman dan kemudian berhenti sejenak untuk mengamati tanaman dan kemudian mengitarinya lagi adalah seperti perjalanan ziarah yang menyucikan kehidupan adalah salah satu pengalaman lain yang biasa dialami oleh orang yang menata taman. Dalam kepercayaan tradisional Korea Shamanisme ada ajaran yang mengatakan bahwa jika manusia meninggal maka jiwanya akan terbang menaiki bunga ke dunia yang penuh dengan bunga. Ya, benar. Jiwa kita mengharapkan dunia indah yang demikian. Jadi, tidak ada salahnya kita menata taman sejak masih bernafas di dunia ini, bukan?

Š Womansense

3

Ko r e a n a | Mu s i m Gu g ur 2013

13


Š Womansense

Sebuah taman atap yang dibudidayakan di lantai atas rumah penduduk, yang merupakan taman rahasia yang dapat diakses melalui pintu geser di bagian atas bangunan.

14

S e n i & B u d a y a Ko re a


[ Fitur Khusus 3 Pekarangan dan Taman ]

Taman-taman dalam Ruangan di Apartemen Kim Yoo-kyung, Jurnalis | Ahn Hong-beom Fotografer

M

ereka yang menganggap menanam bunga baik sebagai kegemaran dan bagian penting dalam hidup, tidak lantas meninggalkannya hanya karena mereka tinggal di apartemen. Mereka menikmati menanam bunga dalam pot dan membuat taman-taman di beranda, dengan menjadikan ruang kosong yang kecil dan tanpa hiasan menjadi sesuatu yang istimewa. “Bunga-bunga yang saya lihat saat membuka mata di pagi hari membuat saya senang.” “Saya bisa melihat perubahan musim di tanaman saya di dalam pot. Saya khususnya sangat menyukai saat kuncup-kuncup bunga baru muncul di musim semi dan sewaktu daun berjatuhan saat musim gugur.” Inilah perkataan ibu-ibu rumah tangga Jeon Young-Ok dan Lee Kyu-Hee, yang memiliki lebih dari seratus tanaman dalam pot di apartemen mereka masing-masing. Tumbuhan dalam pot ini merupakan teman yang terdekat sebagaimana anggota keluarga, dan membutuhkan perhatian sama banyaknya. Keluarga mereka juga menikmati melihat suasana kota sambil duduk-duduk di bawah payung peneduh besar di tengah-tengah tumbuhan pot mereka di taman atap rumah. Tanaman dalam pot merupakan cara yang paling mudah dan nyaman untuk menikmati bungabunga bagi para penghuni apartemen. Jadi saat musim semi datang, ada banyak orang yang “mengonsumsi” tanaman, membeli pot-pot plastik yang diisi oleh tumbuhan berkuncup kemudian membuangnya saat bunganya layu. Bahkan di apartemen, walaupun begitu, hanya dengan melihat bunga saja akan dengan mudah menumbuhkan kebosanan. Menanam sebatang tumbuhan memiliki arti lebih dari sekadar menikmati bunga, melainkan bagaimana perawatan tanaman itu selama periode yang panjang dan secara bertahap membawa ke dalam keindahan mereka sepenuhnya. Terlebih lagi, aspek keindahan bunga di dalam pot tidak bisa dikesampingkan. Tanaman yang dijual dalam pot plastik sekali pakai terlihat penuh daya tarik ketika ditanam dalan pot yang lebih cocok sehingga mengeluarkan kecantikannya. Namun pot dari tanah liat yang kasar lebih mudah pecah setelah melewati musim dingin yang sangat beku. Jadi, para peminat yang mencari pot yang cocok bagi tanaman mereka, kadang kala mengeluarkan uang lebih daripada seharusnya untuk memastikan kualitas yang tinggi. Menanam tumbuhan dalam pot tidak selalu merupakan kegiatan untuk menghabiskan waktu yang perlu disyukuri. Dari segi tenaga yang dibutuhkan, bekerja menanam tanaman pot tidak berbeda dari merawat sebidang halaman kecil. Tentu saja, tidak ada bunga yang dapat tumbuh sendiri dan tidak membutuhkan usaha. Bunga-bunga harus diperhatikan sepanjang tahun, orang harus mengganti tanah tepat sebelum musim semi, menggunakan pestisida yang sesuai, memberi pupuk pada tanaman, dan menyianginya. Sebagai contoh, bahkan pada teras sebuah apartemen yang rapi, seseorang harus bangun antara jam dua hingga tiga pagi untuk mematikan bekicot yang muncul pada waktu itu untuk memakan pucuk tanaman yang baru mekar. Jika hal ini tidak dilakukan, dedaunannya akan tumbuh dengan lemah, bunga-bunganya dimakan, dan tanaman akan terlihat menyedihkan. “Memetik rerumputan dan mengganti tanah di pot-pot... Pekerjaan sehari-hari ini melepasan saya dari kekhawatiran kehidupan perkotaan yang biasa. Saya cinta bunga-bunga yang tumbuh mekar dengan menakjubkan dan indah,” kata seorang wanita, yang hobi menanam bunga.

Ko r e a n a | Mu s i m Gu g ur 2013

15


1

2

“ Memetik rerumputan dan mengganti tanah di pot... Pekerjaan sehari-hari ini melepaskan saya dari kekhawatiran kehidupan perkotaan yang biasa. Saya cinta bunga-bunga yang tumbuh mekar dengan menakjubkan dan indah.�

Š Womansense

3

16

Seni & 4 B u d a y a Ko re a


“Biarpun hanya untuk waktu sependek itu, saya mengalami kegembiraan untuk hidup bersama alam. Bunga-bunga memberikan saya harapan saat saya tenggelam dalam keputusasaan,” kata seorang yang lain. Menumbuhkan bunga bukan hanya urusan para ibu rumah tangga. Kualitas bunga-bunga tidak selalu hanya bagi wanita. Kim Jung-hoon, seorang wirausahawan, berkata, “Bunga-bunga indah yang saya pelihara dalam pot yang baik sudah seperti surat cinta bagi istri saya.” Terdapat juga para pegawai kantoran yang haus pengetahuan tentang pepohonan, dan pegawai militer yang cinta pada bungabunga. Institut Botani Hyorim, didirikan oleh Choi Byung-cheol, seorang profesor di Universitas Konkuk yang meninggal dunia tahun lalu, mengumpulkan orang-orang seperti itu. Institut ini menjadi rumah bagi tanaman-tanaman dalam wadah yang dipelihara Profesor Choi, pakar dalam pertanian lahan, yang telah mendalami bidangnya lebih dari 40 tahun. Dari sebatang pohon Yew yang berusia lebih dari 600 tahun hingga pohon-pohon pinus dan bunga lili lembah, terdapat banyak tanaman yang tak terhitung, menampilkan kekuatan hidup yang indah dan menarik. Profesor Choi memberikan kuliah khusus dalam sebuah acara saat masih hidup. Sebagai tambahan untuk segala informasi tentang metode merawat tanaman dalam pot, beliau berbicara tentang bagaimana memilih pot dan bagaimana cara menjaga pepohonan. Jeo Hae-soon, yang menjalankan sebuah tempat penitipan anak, pernah mengunjungi institut tersebut beberapa tahun lalu dan sangat kagum oleh pemandangan ratusan pot bunga tua hingga ia mulai bertani banyak varietas tanaman pot secara mandiri. Belakangan ini, ia mengabdikan banyak waktunya untuk menunjukkan bunga-bunga dan bahkan hutan-hutan kepada anak-anak perkotaan. You Jeong-su, yang berkata bahwa Profesor Choi mengajarkan bahwa “menumbuhkan tanaman dalam pot bisa menjadi sebuah seni,” menyelenggarakan pameran 300 tanaman dalam pot untuk merayakan hari ulang tahunnya yang ke-70. Teman-teman sekelasnya terdahulu iri padanya saat ia duduk di sana dikelilingi tanaman-tanaman itu. Beberapa orang mengubah seluruh beranda apartemennya menjadi sebuah pot bunga yang besar. Kang yeun-sim, yang hidup di lantai satu sebuah apartemen, membuat sebuah taman beranda sebagai tambahan pada halaman yang bisa ia akses sebagai penghuni lantai satu. Karena berandanya tidak menerima banyak sinar matahari, ia meletakkan sebuah papan saluran air, melapisinya dengan tanah (menggunakan bahan yang tidak berpori untuk mencegah tanah larut terbawa air), kemudian menanam bunga-bunga yang dapat tumbuh dengan sedikit tanah dan sinar matahari. Ia juga menambahkan tanaman dalam pot dan pada sandaran dinding ditempatkan pernak-pernik pohon-pohon tua. Dari ruang tamu, hijaunya beranda dan halaman di luar, menyambut mata seperti gelombang penghijauan. Ketika ia pergi jauh dengan keluarganya, ia meminta para tetangga untuk menyirami tanamannya. Kim Jung-soon, yang tinggal di lantai atas, memiliki teras kecil dan taman di atap, tempat di mana bunga-bunga bermekaran saat musim semi hingga musim panas. Terasnya tertutup kaca dari lantai hingga langit-langit, agar dapat menerima banyak sinar matahari. Maka ia pun dapat menanam berbagai jenis tanaman dan “menikmati macam-macam bentuk dan warna yang mereka tumbuhkan.” Ia menggunakan banyak barang antik, menempatkan cobek batu sebagai sebuah wadah air di dekat keran. Tangga, kursi-kursi, dan bahkan tali jemuran yang tergantung di udara pun selaras dengan bunga-bungaan seperti mawar, geranium, bunga Miss Kim, dan bunga pancawarna. Selada dan China pinks yang ia pelihara di atap sudah sebesar kubis. “Setiap kali saya mengunjungi penjual bunga selalu saja ada tumbuhan baru yang saya inginkan,” ujarnya. Dengan cara ini, tamannya terus berganti secara bertahap saat tanamannya berbunga dan layu.

1 Taman atap di rumah Kim Jung-soon, yang tinggal di lantai paling atas sebuah gedung di pusat kota.  2 Kang Yeun-sim sebagai penghuni yang tinggal di lantai pertama gedung apartemennya mengubah halaman tempat tinggalnya menjadi taman yang fantastis yang memiliki akses untuk bisa berbagi dengan tetangganya.  3 Balkon galeri Korea Craft & Design Foundation (Yayasan Desain dan Kerajinan Korea), dirancang oleh desainer taman Seo Su-hyeon; kotak-kotak bunga digunakan untuk memberi kesan luas menghiasi ruangan kecil.  4 Taman atap di Taman Kanak-Kanak Bethel di Haengdangdong, Seoul, di mana anak-anak memiliki kesempatan untuk menikmati alam.

Ko r e a n a | Mu s i m Gu g ur 2013

17


[ Fitur Khusus 4 Pekarangan dan Taman ]

Pekarangan Rumah-rumah Tua Saya adalah seorang tukang kayu yang mengkhususkan pada rumah-rumah Korea Tradisional. Dunia pertukangan telah menjadi usaha keluarga selama lima generasi. Selama dua puluh tahun terakhir, sol sepatu saya menipis karena mencari sisa-sisa rumah tua Korea yang tersebar di seluruh negeri. Dalam rumah-rumah tua tersebut, bukan hanya tatanan kayunya yang menarik mata dan hati saya. Perjalanan saya yang tak berujung dimulai pada suatu hari dengan sebuah kesadaran yang luar biasa di halaman utama pada sebuah kuil di gunung.

18

Cho Jeon-hwan, Tukang Kayu dan CEO, Eyoun Hanok | Ahn Hong-beom, Suh Heun-gang, Ha Ji-kwon Fotografer S e n i & B u d a y a Ko re a


S

aya pertama kali mengunjungi Kuil Buseok di Yeongju, Provinsi Gyeongsang Utara, pada 1995, saat angin topan baru saja lewat di daerah tersebut. Hujan lebat menghadang jalan menuju kuil sehingga saya harus menyusuri sisi genangan air. Dengan membawa sepatu di tangan untuk menjaganya agar tidak terciprat lumpur, saya mencapai gerbang satu pilar, pintu masuk pertama ke daerah batas kuil. Setelah memasuki gerbang, saya melihat ke belakang hanya untuk melihat pemandangan hutan gelap yang menjadikan kita takut akan tempat yang sempit.

Ko r e a n a | Mu s i m Gu g ur 2013

Kuil Buseok berdiri di lereng gunung dengan susunan sembilan tingkat. Anyangnu atau Paviliun Kenyamanan dan Kepuasan, serta halaman (sebelah kanan) yang dibangun pada tingkat tujuh.

Sembilan Halaman di Kuil Gunung Saya kembali berjalan naik ke jalan gunung yang menanjak dan tepat saat saya kehabisan napas, gerbang kedua pun terlihat. Sebuah gerbang yang didedikasikan untuk empat pengawal surga yang melindungi kuil itu. Saya menaiki anak-anak tangga, namun di balik gerbang dan di hadapan saya, hanya terlihat beberapa tingkat undakan batu. Saat saya melihat ke belakang lagi, bagaimana pun, saya

19


1

1 Sebuah jalan yang menghubungkan gerbang utama ke tempat kediaman para mahaguru di Rumah Songhwa di Asan, Provinsi Chungcheong Selatan. Halamannya memiliki keindahan alam yang jarang terlihat pada umumnya halaman rumah kalangan bangsawan periode Joseon.  2 Perempatan halaman bagian dalam rumah kuno Chusa di Yesan, Provinsi Chungcheong Selatan. Halaman persegi ini dikelilingi bangunan, yang bermanfaat untuk meredakan efek buruk panas matahari atau hujan lebat.

tidak melihat hutan yang sebelumnya menghalangi pandangan saya. Saat ini, jarak yang semakin jauh dengan gunung itu memberi saya gambaran kasar mengenai ukurannya. Setelah istirahat singkat, saya melanjutkan menyusuri jalan dan berpapasan dengan satu kumpulan anak tangga menuju undakan batu pertama yang mengagumkan tadi.

20

Di tangga teratas, waktu melihat ke belakang kembali, saya menemukan nuansa hijau pengunungan telah menghilang. Sementara itu, langit biru membentang sejauh mata memandang. Di hadapan saya, di sisi lain, Muryangsujeon (Balai Kehidupan Tanpa Batas), balai utama di mana Patung Buddha diletakkan dalam kuil, muncul di arah paviliun genta, tempat genta kuil digantungkan bersama peralatan ritual lainnya. Saya meneruskan memanjat tangga, melewati paviliun itu dan kemudian melewati Anyangnu (Paviliun Rasa Tenang dan Rasa Syukur). Tiba-tiba, Balai Kehidupan Tanpa Batas menyingkap lukisan yang menarik. Di belakang saya terdapat pemandangan Gunung Sobaek S e n i & B u d a y a Ko re a


2

yang berhadapan dengan langit cerah, bersih dari kabut dan debu karena hujan. Saya seakan tersentak: inilah pertemuan dengan kehidupan, arsitektur yang penuh inspirasi, tidak dapat dibandingkan dengan hal lain yang pernah saya lihat sebelumnya. Kejutan dari pengalaman ini mendorong saya untuk menekuni arsitektur Korea tradisional secara lebih serius. Segera setelahnya, saya meninggalkan pekerjaan sebagai tukang kayu biasa, dengan upah 150,000 won per hari, dan beralih kerja di Pemugaran Istana Gyeongbok dengan bayaran 38,000 won per hari. Beberapa tahun berlalu saat saya sadar bahwa kesan yang saya terima hari itu bukan hanya kebetulan atau kesan pribadi namun Ko r e a n a | Mu s i m Gu g ur 2013

sebuah efek dari desain menyeluruh yang dibangun lebih dari seribu tahun lalu. Kuil Buseok, yang dibangun di tanah landai, memiliki konfigurasi berundak dengan sembilan tingkatan. Dari Gerbang Empat Raja Surga naik ke Balai Kehidupan Tanpa Batas, balai ibadah utama, terdapat tiga halaman utama, masing-masing terbagi menjadi tiga halaman yang lebih kecil. Mendaki 108 langkah melewati halamanhalaman besar ini, pengunjung wajib mengosongkan pikiran dari halhal berat. Kondisi spiritual pikiran yang menderita tidak akan mungkin mencapai kediaman Buddha. Proses fisik saat badan menaiki jalan yang menanjak, dan proses estetika lewat mata untuk menghormati pemandangan yang berubah-ubah sepanjang jalan –memberikan peng-

21


alaman unik dari kuil ini kepada pengunjung. Saya masih mendatangi Kuil Buseok sekali atau dua kali setahun. Setiap kali, saya mendapatkan inspirasi baru di dalam tata ruang cerdas di kuil ini dengan halamannya yang berundak-undak dalam banyak tingkat. Setiap tingkatannya memancarkan pemandangan Gunung Sobaek yang berbeda dengan banyak puncak yang melebar di kejauhan. Berjalan dari pintu masuk kuil menuju balai utama, saya menemukan bahwa keadaan raga dan pikiran saya serta perubahan di lingkungan sekeliling seluruhnya bekerja untuk membuat suatu kesan baru di tempat tersebut.

alam tradisional, dibuat di pojok halaman (gunung batu ini merupakan tipe klasik dari jenisnya yang sering digunakan rumah-rumah tradisional Korea sebagai model). Sebagai tambahan, dua pohon pinus yang berdiri di seberang dinding menimbulkan bayangan sejuk pada beranda dengan cabang-cabang yang saling bertaut dan membengkok. Di masa lalu, beranda ini berfungsi sebagai paviliun di sebuah taman. Tuan rumah akan menerima dan menyenangkan para tamu di beranda, di mana mereka menikmati puisi dan lagu tentang keindahan alam di sekelilingnya. Karena ini merupakan pusat dari segala kegiatan yang gembira, seluruh halaman yang tadinya berisi tamu dapat ditinggalkan menjadi ruang kosong.

Paviliun dan Beranda Kayu Di masa Dinasti Joseon, tidak lazim bagi cendekiawan Konfusian untuk hidup bertapa di sebuah pojok negeri yang jauh, mendirikan bangunan dan taman di hutan. Taman-taman pedesaan abad ke-15 ini juga dibangun untuk membiarkan pikiran, sensibilitas, fungsi, dan kombinasi keseluruhannya bertindak sebagai faktor-faktor yang penting bagi apresiasi. Beberapa contoh yang menonjol termasuk Gyosujeong (Paviliun Pendidikan) di Hamyang dan Duksujeong (Paviliun Pertahanan Tunggal) di Damyang, dibangun di taman Jo Seung Suk dan Jeon Sin-min, masing-masing pendukung setia Dinasti Goryeo yang telah runtuh, yang memilih hidup menyendiri daripada bekerja sama dengan para pendiri negara baru Joseon. Kedua paviliun ini berfungsi sebagai model bagi struktur-struktur lain yang serupa, yang berjamur di lingkungan sekitarnya di kaki Gunung Deogyu dan Gunung Mudeung. Puncaknya adalah pembentukan Soswaewon (Taman Pikiran yang Murni), salah satu taman terbesar di kesusasteraan Joseon yang masih tersisa hari ini. Gaya arsitektur ini juga mempengaruhi penyusunan ruang kosong bagi rumah tangga, dan perubahan bentuk ke dalam beranda kayu yang dinaikkan (numaru), yang biasa dipasangkan ke bangunan utama di ruang berkumpul pria di rumah tradisional kaum kelas atas. Rumah tua Jeong Yeo-chang di Desa Gaepyeong, Hamyang, juga menampilkan beranda kayu, tempat pemilik rumah duduk dengan para tamu mendiskusikan filsafat Neo-Konfusian atau urusan politik. Bersambungan dengan sisi timur ruang tamu pria, terdapat sudut terbaik untuk mengapresiasi miniatur gunung batu, sebuah unsur bentang

Bergabung dengan Alam dalam Keselarasan Orang Korea melihat manusia dan alam dalam sebuah hubungan yang saling berdampingan ketimbang sebagai subyek dengan obyek. Saat membangun rumah, mereka pertama kali mempertimbangkan tampilan geografis lokasinya, khususnya bentuk dari gunung terdekat dan arah aliran sungai di lingkungannya. Setiap rumah memiliki sebuah tempat di mana orang dapat mengapresiasi sekian banyak pemandangan dari satu sudut melalui sejumlah jendela terbuka ke arah yang berbeda. Seseorang yang duduk di sudut itu akan melihat pemandangan alam yang jauh melampaui tembok, pemandangan keseharian di halaman utama, dan interior ruangan, semua pada saat yang bersamaan. Pemandangan yang berbeda-beda ini menjadi satu dan membangkitkan wawasan tertentu bagi orang yang memandanginya. Karena pemandangan itu sendiri dianggap milik alam, tak ada usaha yang dibuat untuk mengubahnya. Tetapi, orang-orang menyesuaikan ukuran dan arah jendela untuk membingkainya sesuka mereka. Di sisi lain, mereka secara aktif mengubah bentang alam jarak dekat dengan menambahkan unsur penghias hingga komponen yang berguna bagi rumah seperti dinding dan cerobong asap. Mereka juga mendekatkan obyek-obyek seperti pepohonan, batu-batu berbentuk unik, dan tanaman di halaman utama. Unsur-unsur penghias alam ini dipilih tidak hanya karena nilai keindahannya namun juga karena pengaruh simbolisnya. Mereka yang hidup di perkotaan atau sebaliknya terbatas dalam menyesuaikan lingkungan alami saat ingin memasang

Setiap rumah, memiliki sebuah tempat di mana orang dapat mengapresiasi sekian banyak pemandangan dari satu titik melalui sejumlah jendela yang terbuka ke arah yang berbeda. Seseorang yang duduk di suatu sudut akan melihat pemandangan alam yang jauh melewati tembok, pemandangan sehari-hari di halaman utama, dan interior ruangan. Semua terjadi pada saat bersamaan. Pemandangan yang berbeda-beda ini menjadi satu dan membangkitkan wawasan tertentu bagi orang yang memandanginya. 22

S e n i & B u d a y a Ko re a


lukisan alam pada dindingnya, akan menghias halaman mereka dengan kolam atau miniatur gunung batu. Dongnakdang, atau Rumah Kesenangan Utama, di Gyeongju merupakan kasus klasik sebuah rumah yang didirikan untuk menampilkan lingkungan alam sepenuhnya. Yi Eon-jeok (1491-1553), cendekiawan Konfusian ternama di Joseon abad ke-16, tinggal di rumah ini selama bertahun-tahun setelah mengundurkan diri dari posisi kerajaan tingkat tinggi karena alasan politik. Disebut-sebut oleh para cendekiawan sebagai perayaan hidup menyendiri, rumah ini terletak di sisi sungai dari Gunung Jaok untuk Ko r e a n a | Mu s i m Gu g ur 2013

Beranda yang ditinggikan di tempat kediaman para mahaguru rumah kuno Myeongjae di Nonsan, Provinsi Chungcheong Selatan, menghadap tidak hanya pada halaman yang berdekatan, tetapi pada seluruh wilayah pedesaan.

membuat atmosfir tempat tinggal di gunung yang jauh, di mana keamanan penghuninya dipastikan oleh dinding ganda yang saling menutupi. Di rumah inilah, Yi Eon-jeok mengembangkan teori-teori NeoKonfusian yang sesuai dengan kehidupan Korea masa kini, yang berbeda dengan ajaran asli dari China. Teori-teorinya disampaikan pada Yi Hwang, yang memperdalamnya ke sebuah tradisi filsafat yang sangat

23


1

kental. Penataan rumah dan halamannya sangat logis sehingga para pengguna dapat menikmati alam yang memukau dari dekat, sejalan dengan pemikiran filsafat pemiliknya. Hal ini berfokus pada aspek rasional daripada aspek spiritual ajaran Neo-Konfusianisme. Hampir 500 tahun setelah pembangunannya kita dapat membaca pemikiran dan maksud Yi dalam cara pendirian rumah yang mencerminkan gagasannya tentang hubungan antara manusia dan alam. Salah satu tampilan yang menarik pada rumah pedesaan yang menyenangkan ini ialah sebuah bukaan pada dinding berhiaskan lubang-lubang berpola. Bukaan sederhana tersebut terlihat menyeim-

24

bangkan kesan keras yang ditimbulkan oleh dinding kuat yang dibangun dari tumpukan lumpur dan tumpukan atap yang tinggi. Sementara dindingnya memiliki kegunaan dasar untuk mencegah orang asing masuk ke dalam rumah. Dinding itu juga menghubungkan penghuni dengan lingkungan sekitar, ketimbang menjadi penghalang. Berkat kisi-kisi ini, mereka dapat menikmati pemandangan sungai yang segar hanya dengan membuka jendela di balai utama. (Walaupun kebanyakan rumah pada saat itu memiliki sebuah ruang pada kedua sisi balai utama, rumah ini justru tidak memilikinya, supaya tidak menghalangi pandangan ke arah sungai.) S e n i & B u d a y a Ko re a


Ada sebuah tempat di Bukchon (Desa Utara), Seoul, yang memberikan kesan serupa. Bukchon adalah kumpulan rumah kecil sederhana dengan halaman depan, sebuah pulau yang dikelilingi oleh blok-blok bangunan tinggi yang padat. Di lingkungan ini, terdapat sebuah rumah kecil bernama Mumuheon (Rumah Kehampaan) di sudut jalan setapak di Gahoe-dong, yang juga memiliki jenis bukaan tembok yang sama dengan hiasan kisi-kisi vertikal. Karena rumah ini berlokasi di sudut, kedua sisinya menghadap ke jalan masuk: Di satu sisi terdapat gerbang depan menuju rumah dan di sisi lainnya ialah ada dinding dengan sebuah kisi-kisi. Melalui kisikisi tersebut, tuan rumah sering terlihat menyirami tanaman di halaman utama. Seolah-olah membuat rumah itu membuka hatinya melalui kisi-kisi tersebut. Jadi, jika Anda mengintip lewat kisi-kisi tersebut dan bertatap mata dengan seseorang di halaman utama, tak perlu merasa malu. Sebuah versi modern dari dinding seperti itu di Dongnakdang, dengan jendela kecilnya terasa memberi kehidupan di jalan setapak yang hening.

Halaman Utama Rumah Pribadi Di masa lalu, rumah warga kelas atas kebanyakan memiliki empat halaman: di ruang pelayan, tempat pertanian dan pekerjaan pemeliharaan dilakukan; di ruang tuan rumah, tempat ia menerima tamu dan menyelenggarakan upacara keluarga; di ruang dalam, tempat nyonya rumah menjalankan bermacam pekerjaan rumah tangga; dan di halaman belakang, tempat cerobong asap berdiri sejajar dengan tembok belakang, dan kuali-kuali berisi saus dan makanan kecil diletakkan di meja datar. Halaman belakang, khususnya, disusun dengan mempertahankan tampilan tanah yang alami dengan menanami pohon dan memasang undakan bunga-bunga yang ditinggikan atau diberi tingkatan. Sehingga pemandangan itu dapat dinikmati melalui pintu-pintu belakang di deretan ruangan dalam. Rumah tua Myeongjae di Nonsan ialah sebuah rumah kelas atas yang biasa terdapat pada zaman Dinasti Joseon. Myeongjae ialah nama pena Yun Jeung, cendekiawan terkenal abad ke-17. Dan rumah itu dibangun untuknya oleh murid-muridnya yang setia. Dalam rangka melebihi batasan Neo-Konfusianisme, yang menyo-

kong nilai-nilai mutlak dari segala hal di alam semesta, Yun Jeung mendukung teori yang mengenal pikiran dengan sebabnya, oleh karena itu rumah beliau mencerminkan filsafat pandangan dunia ini. Bahkan tatanan halaman rumahnya mengungkap perhatian sang desainer terhadap penghuninya. Sebagai contoh, walau halaman di deretan ruangan terdalam dikelilingi oleh bangunan dan dinding, penggabungan itu dimaksudkan agar nyonya rumah waspada terhadap apa yang terjadi di setiap sudut rumah. Dalam Dinasti Jeoseon, pria dan wanita menempati tempat hidup yang berbeda, agar lingkup aktivitas nyonya rumah dipusatkan di ruangan dalam. Di Rumah Myeongjae, bangunan dan komponen diatur sedemikian rupa agar nyonya rumah dapat menjaga segala sesuatu yang keluar masuk di ruangan tuan rumah. Pekarangan di ruangan terdalam juga menyediakan jalan pintas menuju gudang bagi kenyamanan wanita yang bekerja di dapur. Tatanan ruang ini pun memastikan sirkulasi udara yang lebih baik dan saluran air hujan. Dinding kecil di pinggir pekarangan dan pohon perdu di sisi sumur menyembunyikan ruangan dalam dari pandangan tamu pria yang sering datang ke ruang tuan rumah. Sebagai tambahan, jendela-jendela balai utama terbuka bagi pemandangan luas di halaman belakang dengan kebun bunga dan meja kuali-kuali. Ruang tuan rumah memiliki beranda yang ditinggikan, terpasang di sisi barat, mengawasi seluruh pedesaan, dan pekarangan yang luas dengan sebuah kolam dan miniatur gunung batu serta sebuah sumur.

Ilmu Bekerja di Halaman Rumah tua Chusa (nama pena seniman kaligrafi Kim jeong-hui) adalah asal dari Putri Hwasun (anak dari Raja Yeongjo dari Joseon), tempat ia tinggal setelah menikah dengan Kim han-sin (cendekiawan dan kakek buyut Chusa). Rumah tersebut merupakan hasil karya penuh keterampilan dari tukang kayu istana. Namun karena hanya setengahnya yang masih ada saat ini, sulit untuk mengetahui bagaimana rupa seluruh bangunannya. Namun, ini merupakan model besar dari rumah kaum kelas atas abad ke-18, dengan bangunan elegannya di kelompok ruang luar maupun dalam. Secara spesifik, ruang bagian dalam, tempat sang putri tinggal, menunjukkan konfigurasi berbentuk persegi dengan pekarangan di

1 Platform untuk tempayan dan gudang di halaman belakang Seobaekdang (Rumah Seratus Tulisan) di Desa Yangdong, Gyeongju, Provinsi Gyeongsang Utara. Desa bersejarah ini adalah sebuah situs Warisan Dunia UNESCO.  2 Dongnakdang (Rumah Kesenangan Tersendiri), berlokasi dekat Akademi Oksan di Gyeongju, berada berdampingan dan berlawanan dengan sebuah sungai yang berlatar belakang hutan lebat. Duduk di ruang utama adalah Han Kyungkoo (kanan), profesor antropologi, yang menulis kata pengantar untuk liputan khusus ini pada beranda dan kebun Korea, dan Cho Jeon-hwan, bersama tukang kayu, dan penulis artikel ini.

Ko r e a n a | Mu s i m Gu g ur 2013

25

2


1

tengahnya. Saat matahari musim panas menerpa atap bangunan yang berjajar, panas yang membara menaikkan suhu tanah, menjadikan suasana gerah. Saat jendela menuju halaman belakang dibuka, angin sejuk dari hutan di belakang rumah pun masuk dan udara bersih masuk ke seluruh rumah dan menyejukkan panas di dalamnya. Hal ini dapat disamakan dengan proses menjinakkan kuda liar. Halaman sisi dalam berguna sebagai alat yang menjinakkan kekuatan alam yang kadang kala keras. Angin yang masuk menjadi lembut, yang membuat rumah menjadi penuh udara, menghilangkan panas menyengat di siang hari menjadi kehangatan yang lembut di malam hari. Selain itu juga menyalurkan kelebihan air hujan ke dalam kolam.

26

(Sebuah halaman kosong yang dipagari oleh karung pasir adalah kondisi terbaik bagi saluran air, namun untuk beberapa alasan, rumah yang dipugar tersebut memiliki kerikil di pekarangan dalamnya.)

Epilog Sejak saya pertama kali hidup sebagai tukang kayu di umur 15, melanjutkan usaha keluarga, saya bekerja pada rekonstruksi warisan budaya. Saya berjalan dari satu tempat ke lokasi lain. Seiring waktu, bagaimanapun, saya lebih memilih membangun rumah untuk orang yang hidup ketimbang membangun lagi istana-istana milik dinasti terdahulu. Saya telah membaktikan diri untuk membangun rumah tradiS e n i & B u d a y a Ko re a


2

sional Korea bagi orang-orang masa kini. Bagi saya, rumah-rumah tua yang telah dijaga selama berabad-abad selalu menjadi sumber inspirasi yang bernilai. Belakangan ini, saya melakukan penelitian tentang rumah-rumah kuno yang tersisa di sebuah pulau di lepas pantai barat Korea. Rumahrumah tua yang berderit ini telah ditinggalkan selama 15 tahun setelah jembatan berdiri menghubungkan pulau ini ke daratan utama, yang membuat ketidakpastian tentang harga perumahan. Karena keterbatasan geografis di pulau itu, rumah-rumah ini tidak besar dan tidak memiliki gaya. Namun, saya telah belajar banyak tentang arsitektur tradisional dan membuat bentang alam saat mengunjungi, mengukur, dan Ko r e a n a | Mu s i m Gu g ur 2013

1 Halaman dilihat dari beranda yang ditinggikan di tempat tinggal para mahaguru di rumah kuno Jeong Yeo-chang di Hamyang, Provinsi Gyeongsang Selatan. Jendela melengkapi bingkai cantik pohon pinus tua dan miniature gunung batu.  2 Paviliun pinggir sungai di Dongnakdang (Rumah Kesenangan Tersendiri) di Gyeongju. Paviliun memberikan sebuah pandangan luas pada air yang mengalir dan hutan lebat.

merekam rumah-rumah kecil ini. Sekarang, rumah-rumah ini berada di ambang keruntuhan, dan itu sangat mengkhawatirkan saya. Sebelum terlambat, saya berharap bisa menyumbangkan pekerjaan untuk membangkitkan cara hidup lama, yang mendukung hidup berdampingan antara manusia dan alam.

27


[ Fitur Khusus 5 PEKARANGAN DAN TAMAN ]

Desainer Taman, Hwang Ji-hae Menghargai Emosi Primitif Suh Hwa-sook, Reporter Senior Korea Times | Ahn Hong-beom Fotografer

1 1 Desainer Taman, Hwang Ji-hae, meyakini bahwa bahan sederhana dapat dijalin bersama untuk membuat kisah yang kaya. Untuk kreasi terbarunya “Lugworm Path” dia menggunakan bahan daur ulang dan tanaman sisa dari sekitar lokasi konstruksi.  2 Struktur berbentuk lugworm yang dikonsep oleh Hwang membawa pengunjung ke sebuah galeri dan perpustakaan.  3 Patung “The Sowing Hand mengingatkan pengunjung bahwa tempat pameran awalnya sawah yang sekian lama telah memberikan penghidupan bagi petani lokal.

2

28

S e n i & B u d a y a Ko re 3a


D

i belahan barat daya Korea Selatan, di Suncheon yang memiliki Teluk Suncheon dan salah satu dari lima rawa - rawa alam terbesar di dunia, dari tanggal 20 April hingga 20 Oktober selama 6 bulan, International Garden Exposition Suncheon Bay Korea 2013 diselenggarakan. Ini adalah pameran taman tingkat internasional pertama di Korea di mana kita bisa menyaksikan karya - karya desainer taman internasional dari berbagai negara untuk desain dalam dan luar ruangan. “Jalan Cacing Rawa / Lugworm Path” yang bisa ditemui di tempat ini telah menerima medali emas dari Chelsea Flower Show di Inggris secara berturut - turut pada tahun 2011 dan 2012. Di tempat ini juga bisa kita temukan leburan impian masa kecil desainer taman Hwang Ji - hae (黄知海), yang pada tahun 2012 menerima penghargaan tertinggi tingkat internasional yakni ‘Penghargaan Top President’. Di sini ada perpustakaan dan galeri yang tersambung oleh jalan berkelok - kelok seperti cacing rawa dengan bukit dan sungai, lubang tikus dan rumah semut, flora dan fauna, padang tempat anjing berlarian. Menjadikannya sebagai salah satu tempat favorit yang dibanjiri oleh pengunjung. Waktu memasuki taman ini, kita akan merasa seperti masuk ke suatu daerah tua di Korea. Pemandangan pohon - pohon locust yang bengkok menjuntai di kiri kanan dan tersibak untuk jalan masuk, membuat tempat ini terlihat seakan memang sudah demikian adanya sejak dulu. Sebenarnya tempat ini adalah sawah yang datar. Siapapun tidak akan dapat menahan rasa takjub jika mengetahui bahwa pemandangan itu tercipta dari bukit menjulang alami yang ditanami dengan pohon - pohon yang diperhitungkan satu per satu dengan cermat sudut penanamannya. Saat menapaki jalan tersebut, kita akan menemukan galeri berbentuk cacing rawa, setelah melihat - lihat di galeri tersebut dan memasuki perpustakaan, kita bisa melihat pada jendelanya tertulis “Jangan mengetuk. Di sini ada burung long - tailed tit”. Ternyata di antara pohon Isodon Japanicus yang ditanam di sebelah luar jendela, burung long - tailed tit bersarang dan telurnya telah menetas 4 butir. Hal itu terjadi pada hari keseratus taman ini dibentuk. Ketika melihat dengan lebih teliti, terlihatlah induk burung long - tailed tit sedang memberi makan kepada anak - anaknya.

Taman Yang Memiliki Cerita Suh Hwa - sook: Sangat menakjubkan bahwa burung langsung membuat sarangnya begitu taman ini tercipta. Hwang Ji-hae: Taman barulah lengkap bila ditambah dengan lebah dan kupu - kupu dan juga burung yang beterbangan. Suh: Apakah itu berarti bahwa taman ini tertanam tanaman yang pas untuk menarik burung tinggal di dalamnya? Hwang: Saya berusaha untuk menghidupkan alam sebagaimana adanya untuk menjaga ketenangan yang menjadi ciri khas taman Korea. Burung dan kupu - kupu serta ekosistem yang tidak terlihat adalah makhluk alam yang paling dulu mendeteksi ketenangan ini. Di sekitar galeri dan perpustakaan cacing rawa tertanam tanaman yang akrab dengan orang Korea, yakni Isodon Japanicust dan Butterbur yang biasanya ditanam di ladang untuk dimakan sebagai sayur. Ko r e a n a | Mu s i m Gu g ur 2013

Suh: Standar apa yang digunakan untuk menata taman ini? Hwang: Saya mencari cerita yang dimiliki oleh wilayah ini dan kemudian membuat cerita utamanya. Suh: Apa cerita di daerah ini? Hwang: Di Teluk Suncheon terdapat beratus ribu pyeong rawa lumpur. Lokasi Pameran Taman yang terdapat di bagian dalam rawa lumpur itu adalah tempat mata pencaharian petani – petani dan tempat sawah yang adalah rawa lumpur buatan. Saya berpendapat bahwa pusat dari Suncheon tak lain adalah rawa lumpur ini. Melalui cacing rawa lumpur saya ingin bercerita tentang ekosistem yang tidak terlihat. Menghargai tokoh - tokoh utama alam dan merenungkan kehidupan manusia yang hidup berbaur bersama mereka adalah cerita yang saya muat dalam taman kali ini. Di bagian perut cacing rawa lumpur saya membuat galeri dan perpustakaan, dan semua pintunya saya rendahkan menjadi 1,2 meter. Artinya agar kita juga memikirkan nilai dari kehidupan kecil waktu membungkuk melewati pintu itu. Waktu melewati semak belukar rumput, pengunjung juga harus menjaga ketenangan. Karena di sana binatang - binatang sedang berpasangan. Suh: Saya merasa terkesan ketika melihat air terjun yang airnya seperti rambut seorang gadis yang sedang mencuci rambutnya. Hwang: Dalam pameran kali ini taman danau yang dibuat oleh arsitek teoris yang juga adalah desainer taman Charles Jencks menjadi pusat seperti jantung pameran. Padang rumput di sekitarnya dibentuk menjadi beberapa bukit, tetapi bentuknya agak asing untuk lingkungan ekologi Korea. Dari panitia pameran saya diminta untuk membuat lingkungan ekologi Korea yang alami untuk dihubungkan dengan taman danau itu, dan saya memikirkan membuat air terjun sebagai sumber dari air yang mengalir ke danau itu. Air yang tertumpah dari kepala seorang wanita - yang melambangkan ibu dari tanah - mengalir ke taman danau itu.

Delapan Musim di Korea Selatan Suh: Apa yang paling sulit ketika membuat taman ini? Hwang: Karena tanahnya berupa lapisan lumpur, maka pembuatan taman terbatas dan tidak bisa ditanami pohon besar. Pohon - pohon locust dan batu - batu yang ada di jalan masuk desa ini saya ambil dari pohon - pohon dan batu - batu yang dibuang dari tempat konstruksi untuk daerah tempat tinggal. Di bagian yang dasarnya dari semen saya membuat gambar menarik menggunakan batang - batang besi yang juga saya ambil dari pedagang loak di daerah ini. Kumpulan benda benda miskin ini menceritakan cerita - cerita yang kaya. Karena dikerjakan dengan cara seperti ini anggarannya terhemat banyak, tetapi rupanya jadi tidak terlalu mewah. Suh: Prinsip taman di Korea memang membawa alam ke dalam halaman rumah, tetapi biasanya yang paling ideal adalah mencoba menciptakan kemewahan alam. Tempat ini sangat ajaib karena sangat akrab di mata orang Korea, sangat terasa dekat karena menampilkan alam Korea apa adanya. Hwang: Saya berpikir bahwa di Korea ada delapan musim, bukan empat. Alam Korea beraneka ragam dan indah sampai - sampai bisa

29


1 1 Sebuah pemandangan mata elang dari “Lugworm Path,” sebuah taman yang dirancang bebas menampilkan konsep menyenangkan seperti “galeri lugworm” dan “perpustakaan lugworm,” “café lubang-tikus,” dan “ruang terowongan-semut.”  2 Patung kepala wanita yang miring ke belakang melambangkan vitalitas Ibu Pertiwi, dari mana air mengalir memasuki “Taman Danau” yang dirancang oleh Charles Jencks, terletak di pusat Suncheon Garden Expo.  3 Area peristirahatan “Lugworm Path” menampilkan sumber tanaman dan batu lokal.

2

30

S e n i & B u d a y a Ko re 3a


“ Saya berpikir bahwa asal usul dari Suncheon adalah dari rawa lumpur ini. Melalui cacing rawa yang tinggal di dalam rawa lumpur ini saya ingin menceritakan ekosistem yang tidak kelihatan”.

dikatakan rupanya berubah setiap bulan. Karena itu saya memakai teknik “meminjam pemandangan”, yakni membawa alam apa adanya ke halaman rumah. Saya membuat pusatnya di puncak bukit yang anginnya baik, di tempat kita menikmati daun - daun pohon dan hutan melambai - lambai. Waktu saya kecil, halaman belakang rumah saya tersambung langsung dengan gunung. Setiap hari saya bermain di gunung itu, saya tidak pernah merasa bosan memandangnya. Suh: Jadi masa kecil Anda juga termuat juga dalam karya ini? Hwang: Saya besar di sebuah rumah tradisional Korea di desa Gokseong, Provinsi Jeolla - namdo. Ibu saya bercerai waktu saya berumur 7 tahun, dan ia membesarkan saya dan dua orang adik laki - laki saya seorang diri, dan dalam keadaan itupun beliau berladang dan menanam pohon buah di satu sisi di halaman rumah kami. Kalau buah ceri masak, beliau mengatakan “Jihae, petik dan makanlah buah ceri itu sebelum burung - burung memakannya”. Untuk menata taman kali ini ibu memberi satu bangku taman, saya meletakkannya di jalan bukit di sebelah galeri cacing rawa, dan di belakangnya saya tanam pohon ceri. Tidak lupa saya tulis juga perkataan ibu saya.

Toilet dan DMZ Suh: Bagaimana Anda menjadi desainer taman? Hwang: Desainer taman? Artis lingkungan? Saya kurang tahu julukan apa yang cocok untuk saya. Saya adalah orang yang merancang semua tempat yang kelihatan. Di universitas dulu, jurusan saya adalah lukisan ala barat. Waktu saya menjadi guru praktik di desa, saya melukis di tembok untuk anak - anak. Anak - anak yang tidak memiliki ruang untuk menikmati seni budaya merasa sangat senang, dan melihat itu saya mulai menjadi artis lingkungan. Mulai dari gambar di tembok di gang - gang, patung - patung, disain jalan, taman kecil, dan sebagainya, saya telah mengerjakan seni lingkungan selama sekitar 10 tahunan. Tetapi karena saya hanya menangani karya mati saja, saya menjadi rindu kepada alam seperti pohon, rumput dan tanah, sehingga tanpa pikir panjang pada tahun 2009 saya pergi bersekolah ke Inggris. Setelah menyelesaikan sekolah bahasa, saya mendaftar ke Universitas Inchbald yang terkenal dan pada saat yang sama saya juga mendaftar ke Chelsea Flower Show. Saya diterima oleh keduanya. Setelah memikirkan masak - masak, saya memilih untuk pergi ke Chelsea. Dan setelah itu pada tahun 2011 lahirlah karya pertama yang berjudul ‘Hae Woo So: Mengosongkan Pikiran – Toilet Tradisional Korea’ (Hae Woo So: Ko r e a n a | Mu s i m Gu g ur 2013

Emptying your Mind – Traditional Korean toilet). Arti ‘Hae Woo So’ adalah ‘tempat melepas kekhawatiran’, demikian orang Korea menamakan toilet. Dan pada kenyataannya entahkah toilet itu toilet tradisional Korea yang terletak di luar rumah, ataukah toilet modern yang berada di dalam rumah, semuanya merupakan tempat untuk menenangkan hati dengan nyaman, bukan? Tempat itu juga adalah tempat satu satunya untuk saya bisa bercermin diri waktu sedang belajar di Inggris. Untuk membuat ‘Hae Woo So’ saya membawa plantain, bunga dilatata, Rodger’s bronzeleaf, deodeok, dan jenis rumput padang seperti randa tapak langsung dari Korea. Saya merasa ajaib mengetahui ketenangan yang saya rasakan ternyata diakui juga oleh tim juri Inggris dan para pengunjung. Suh: Karya Anda di tahun 2012 yang berjudul ‘DMZ, Taman Terlarang’ (Quiet Time: DMZ Forbidden Garden) juga menjadi isu seperti karya sebelumnya, bukan? Saya dengar karya itu memberikan kesan yang sangat mendalam kepada para mantan prajurit yang pernah ambil bagian dalam perang Korea dan juga oleh BBC disorot sebagai taman yang disukai oleh keluarga kerajaan. Hwang: Saya pikir taman yang paling indah adalah taman di mana rasa primitifnya masih hidup. Jika dilihat dari titik itu, DMZ yang lama tidak terkena jamahan tangan manusia adalah sebuah ruang yang dapat bercerita secara paling esensial tentang taman. Cerita tentang perasaan dan kemampuan reproduksi alam. Taman ini dibuat untuk memperingati berhentinya Perang Korea selama 60 tahun dan memperingati 130 tahun (di tahun 2013) hubungan persahabatan Korea - Inggris, jadi rencananya taman ini akan nanti dipindahkan ke London Pleasure Garden di tepi sungai Thames untuk dipamerkan hingga tahun 2016. Suh: Apa rencana utama untuk tahun depan? Hwang: Sebenarnya saya ingin ikut lagi Chelsea Flower Show, tahun ini saya tidak bisa turut serta karena mengerjakan Taman Cacing Rawa ini, tapi masih belum tahu. Untuk seorang desainer taman yang harus memindahkan ratusan jenis tanaman dibutuhkan dana yang besar. Tanpa dukungan dari negara atau perusahaan, sulit untuk ikut serta setiap tahun dengan menanggung biayanya secara pribadi. Saya kurang tahu apakah ada perusahaan yang serta merta mendukung, mengingat di Korea desainer taman masih belum mendapat perhatian yang cukup. Orang - orang Barat percaya kalau sekarang tidak membuat taman, maka 30 tahun ke depan akan muncul 3000 rumah sakit jiwa.

31


WAWANCARA

1

Kim Yeon-gap, Tergila-gila ‘Arirang’ Arirang adalah lagu rakyat yang sangat dekat di hati masyarakat Korea. Tidak hanya di Korea Selatan dan Utara, melainkan hingga ke luar negeri. Di mana pun orang Korea membangun rumah, mereka menyanyikan lagu ini. Hidup Kim Yeon-gap, seorang lelaki yang sepenuh hati khusus meneliti lagu ini dan ragamnya, menjelma menjadi sebuah kisah modern dari Arirang . Bahkan pada konteks tertentu, kisah hidupnya dapat dianggap sebagai sejarah Korea modern. Lim Jong-uhp, Staf Reporter Hankyoreh | Ahn Hong-beom Fotografer

M

usim semi ini, di pameran berjudul Arirang: Song of the Road and Sound of a Mountain Pass (Arirang: Lagu Jalan dan Suara Lintasan Gunung) di Museum Jalan Lama Mungyeong di Mungyeong, Provinsi Gyeongsang Utara, dua rekaman lama yang telah langka (Standard Play (SP) records) –– masih dengan standard kecepatan putar 78 rpm –– diperdengarkan di depan publik. Kedua rekaman ini berisi lagu Arirang yang dinyanyikan dua tahanan perang Korea-Rusia yang ditangkap oleh tentara Jerman pada Perang Dunia I. Pemutaran rekaman di hadapan publik ini tidak terlepas dari peran penting seorang lelaki yang “tergila-gila pada Arirang”.

Mengumpulkan Berbagai Hal Mengenai Arirang Kim Yeon-gap, 59, mulai menelusuri rekaman langka Arirang pada tahun 1980-an. Dalam penelitiannya, ia menemukan fakta bahwa Jer-

32

man telah melibatkan beberapa ahli bahasa untuk meriset para tahanan perangnya. Pada saat itu terdapat 230 bahasa berbeda yang dituturkan oleh para tahanan Perang Dunia I. Jerman kemudian merekam cerita dan lagu-lagu rakyat tahanan tersebut dengan menggunakan teknologi rekaman lilin (wax recording technology). Salah satu rekaman tersebut berisi lagu Arirang yang dinyanyikan oleh dua tentara Korea-Rusia. Kim berusaha menemukan rekaman terbarunya yang merupakan hasil rekaman lama yang dibuat ulang pada 1933 dalam bentuk SP yang ia yakini masih tersimpan di suatu tempat di Jerman Timur. Sayangnya, ia perlu menunggu Jerman bersatu untuk dapat melanjutkan penelitiannya. Bahkan setelah Jerman bersatu, Kim masih membutuhkan waktu selama 15 tahun untuk mencari di mana rekaman itu disimpan. Akhirnya, Kim berhasil menemukan kedua rekaman yang ia inginkan. Keduanya disimpan di Laut Archive, sebuah tempat S e n i & B u d a y a Ko re a


penyimpanan data di Universitas Humboldt di Berlin. Pada Februari Jepang, selama Perang Korea, selama demonstrasi anti diktator, selatahun ini, ia akan memperoleh sumber data digitalnya. ma masa lahirnya sistem demokrasi Gwangju, selama pertandingan Kim tinggal di Gye-dong 30 tahun lalu, di Distrik Jongno di pusat sepak bola Piala Dunia, selama pagelaran Olimpiade di Seoul, dan Seoul. Rumahnya terletak di sebelah barat Istana Changdeok dan lainnya. Dengan demikian, sejarah warga Korea dapat dengan erat ia masih tinggal di sana hingga kini. Di seberang jalan besar terledihubungkan dan tercermin dalam lagu Arirang. Ketika bagian chorus tak Insa-dong, sebuah perkampungan toko antik, kerajinan tradisiolagu diperdengarkan, orang-orang Korea merasa dipertemukan. Inilah nal, dan galeri seni. Kapan pun ia mendengar tentang hal-hal yang saat orang-orang Korea untuk memperbarui identitas mereka. Bagian berkaitan dengan Arirang sedang dipamerkan di toko-toko tersebut, chorus memberikan kesempatan bagi mereka untuk menyatakan perKim langsung bergegas membelinya. Tempat penyimpanan barang satuan dan solidaritas. miliknya di Jeongseon, di daerah pegunungan Provinsi Gangwon Sebuah Lagu ‘Hidup dengan Jelas’ dan Pulau Jindo, daerah lepas pantai barat daya, seperti yang ada di Seoul, penuh dengan artifak dan barang-barang Arirang yang mudah Kim Yeon-gap pertama kali mengenal Arirang pada 1978 saat menrusak: mulai dari lembaran musik, rekaman dengan durasi panjang (LP jalankan tugas militer. Saat bertugas jaga di sepanjang kawat berduri records) hingga hal-hal seperti rokok, korek api, dan majalah dengan dan garis gencatan senjata, ia mendengar Arirang diputar melalui penlabel penjualan Arirang –– segala sesuatu yang berkaitan dengan Arigeras suara Korea Utara saat menghadapi Korea Selatan. Ia kemudian rang telah ia kumpulkan. Kim dapat bercerita tentang banyak anekdot menuliskan syairnya. Namun saat hendak menuliskan larik ”Gunung di mengenai bagaimana ia dapat memperoleh beragam barang yang kini sana pastilah Gunung Baekdu/Bunga-bunga bermekaran bahkan saat menjadi koleksinya. Mengenai segala hal yang berkaitan dengan Arimusim dingin terdingin sekali pun …” tiba-tiba salah seorang rekan rang, ia adalah orang terkaya di Korea. Tidak ada pameran –– termatentara berkata bahwa sebenarnya arti Gunung Baekdu adalah Kim II suk yang dipamerkan di Museum Rakyat Nasional Korea (Korea Natiosedang menyanyi. Ia pun dilarang untuk menyanyikan baris itu sama nal Folk Museum) –– yang dianggap lengkap tanpa koleksinya. sekali. Seorang tentara Korea Selatan yang menyanyikan lagu Korea Tentang apa sebenarnya lagu Arirang, lagu yang membuatnya terUtara akan dianggap subversif dan tuduhan kriminal akan langsung gila-gila itu? Ada banyak versi Arirang yang berbeda bergantung pada ditimpakan kepadanya agar langsung dijebloskan ke penjara, jelas lokasinya. Seperti yang ada di Utara dan Selatan Korea, di Jeongseon, rekan Kim tersebut. Jindo, Miryang, dan Gyeongju di Selatan, yang berbeda dari Haeju, Setelah menyelesaikan tugas militer dan kembali ke universitas, Tanchon [Dancheon sebagaimana yang diucapkan oleh orang Korea Kim mulai mempelajari Arirang. Pertama kali yang ia temukan adalah Utara], Musan, dan Onsong [Onseong] di Utara, dan banyak lagi daelagu yang ia dengar di seberang garis gencatan senjata dinyanyikan rah lainnya. Di mana pun orang Korea hidup, Arirang selalu dinyanyioleh rezim Korea Utara yang berkuasa saat itu. Meskipun syairnya kan. Lagu Arirang yang telah dikumpulkan dari dalam negeri berjumlah sama sekali tidak berkaitan dengan komunisme, lagu ini dipandang 140 versi. Jumlah tersebut akan terus meningkat jika Arirang dinyanyisebagai propaganda ideologi hanya karena banyak diputar di siaran kan oleh orang Korea yang tinggal di Jepang, China, Rusia, dan temyang ditujukan pada Korea Selatan. Sebuah situasi yang patut disesalpat-tempat lainnya. kan! Terdapat satu lagu Arirang tanpa ada nama lokal yang dapat diiden“Menjelang akhir 1970-an, sastra rakyat dan wisata desa menjadi tifikasi. “Arirang, Arirang, arariyo/Crossing over Arirang Pass.” (Menyetrend. Sebagai mahasiswa Sastra Korea di Universitas Dankook, saya berangi Perbatasan Arirang”). Bagian depan berjalan-jalan ke penjuru negeri. Saya memrefrain-nya diikuti oleh syair dengan struktur bawa alat perekam mendatangi tidak hanya yang sama di mana setiap orang dapat dentempat kelahiran Arirang, seperti Jeongseon, gan spontan menambahkan syair secara perMiryang, dan Jindo, melainkan juga beberapa sonal. Jika kita menambahkan versi individu, tempat lainnya di mana Arirang dinyanyikan. tanpa maksud melebih-lebihkan, jumlah lagu Ketika melakukan riset tersebut, yang saya Arirang akan sama banyak dengan jumlah tekuni bukanlah lagu kesenian rakyat yang orang Korea. telah kuno seperti obyek taxidermic, melainArirang dinyanyikan saat beberapa periskan sebuah lagu yang masih hidup dengan tiwa yang dianggap sebagai titik balik penting jelas. Arirang bukanlah lagu rakyat dengan dalam sejarah Korea, seperti: selama pemteks yang dipelajari para cendekiawan seperti bangunan kembali Istana Gyeongbok di tahun ahli sejarah Yi Byeong-do dan sastrawan Yang 2 terakhir masa Dinasti Joseon, selama pem- 1 Kim Yeon-gap telah mengumpulkan bahan-bahan yang Ju-dong. Alih-alih, inilah lagu yang dinyanyikan terkait langsung dan tidak langsung dengan Arirang dan bangunan rel kereta di bawah pemerintahan oleh rakyat semasa hidup mereka.” diteliti asal-usul dan transmisi selama 30 tahun terakhir.  Jepang, selama masa perjuangan bersen- 2 Sampul dari catatan “Arirang Symphony” dirilis di Korea Melalui proses ini, Kim menjadi yakin jata oleh para pejuang independen melawan Utara pada tahun 1972. (Sumber: Kim Yeon-gap) bahwa lagu-lagu rakyat itu adalah organisme Ko r e a n a | Mu s i m Gu g ur 2013

33


hidup yang dapat tumbuh dan menjadi semakin kaya ketika dinyanyikan terus oleh rakyat, dipelajari dari mulut ke mulut. Sebagai kelanjutannya, Kim kemudian membentuk sebuah “kelompok perjalanan Arirang” yang terdiri atas para siswa yang mau melakukan survei lapangan. Setelah Kim diwisuda, kelompok Arirang resmi dibentuk pada 1983 dan ia menjabat sebagai sekretarisnya. Kelompok ini juga diikuti oleh pujangga Ko Un dan Park Jae-sam, serta direktur dramawan Heo Gyu. Kelompok ini kemudian berkembang menjadi Asosiasi Nasional Preservasi Arirang, sebuah organisasi bagi pemain Arirang Nasional. Kelompok ini kemudian berganti nama menjadi Asosiasi Orang-Orang Korea Arirang pada 1994 hingga kini. Asosiasi ini banyak mendukung penelitian mengenai Arirang dan kegiatan lain seperti penyelenggaraan festival guna menyebarluaskan dan melestarikan lagu-lagu Arirang. “Pertanyaan yang paling sering saya hadapi adalah, ‘Penelitian macam apa yang dapat dilakukan pada Arirang?’ Itulah pertanyaan umum yang seringkali dilontarkan, baik dari pihak keluarga maupun orang luar. Untungnya, sekarang orang-orang semakin tertarik pada Arirang sebagai salah satu warisan budaya, meskipun dana penelitian untuk subyek ini tidak begitu besar. Asosiasi saya juga hanyalah salah

ti suara anak-anak yang sedang menangis, pipa willow yang sedang dimainkan, nyanyian pembawa peti pemakaman, dan paktek hapalan tabel perkalian. Melodi seperti ini tidak asing lagi dan disukai oleh orang-orang Korea. Asal-usulnya diidentifikasi dari jejak suku nomaden dari suku nenek moyang Korea seperti Ye, Maek, dan Han. Penelitian Kim yang berdasarkan pada dokumen sejarah dan survei lapangan ini juga termasuk Proyek Timur Laut China. China menganggap orang-orang Korea sebagai salah satu kelompok minoritasnya dan menyatakan Arirang sebagai warisan budaya miliknya beberapa tahun yang lalu. Orang China menjelaskan bahwa Arirang adalah lagu yang dinyanyikan oleh orang-orang China yang kehilangan keluarga karena tertinggal di rumah saat mereka memindahkan komando militer ke Peninsula Korea melewati Jalur Jabi (Jabi Pass) sekitar satu abad sebelum Masehi. Ini merupakan salah satu strategi Proyek Timur Laut China yang bertujuan membuat kerajaan leluhur Korea, Joseon Lama [Gojoseon] dan Goguryeo, menjadi bagian dari sejarah China. Kim yakin bahwa Arirang terbentuk dari Catatan Menari yang kemudian berkembang menjadi beragam cerita dan syair mengikuti perkembangan waktu. Kim memberikan contoh syair Arirang Jeongseon: Is it going to snow?/Is it going to rain?/Is it going to be a rainy spell?/On Mt. Mansu dark clouds/are just gathe“ Arirang disukai oleh 99 persen orang Korea dan dapat ring (Apakah akan turun salju?/Apakah akan turun dinyanyikan dengan baik oleh 99 persen orang tersebut. hujan?/Apakah ini akan menjadi mantra hujan?/Di atas Jadi, bisa dilihat dengan jelas bahwa lagu ini dapat dianggap Gunung Mansu awan mendung/baru saja berkumpul). sebagai kunci penting bagi persatuan bangsa Korea.” Kim menafsirkan syair tersebut sebagai gambaran perasaan 72 orang abdi setia Dinasti Goryeo yang satu organisasi dengan kegiatan yang berkaitan dengan Arirang. Tidak bersembunyi di gunung Provinsi Gangwon setelah berhasil melariada biaya keanggotaan dan para anggotanya pun tidak menyukai kan diri dari pemberontakan Jenderal Yi Seong-gye, yang meruntuhstruktur organisasi yang ketat. Banyak orang berpikir bahwa sebuah kan Goryeo dan mendirikan Dinasti Joseon pada 1392. Peristiwa di organisasi yang menerima bantuan dana keuangan bisa saja mengGunung Mansu termasuk salah satu yang disesalkan oleh Songdo aburkan pekerjaannya. Banyak orang merasa khawatir akan keber(Kaesong), ibu kota Goryeo. Sementara, larik “terancam oleh awan langsungan organisasi kami. Tapi, entahlah. Saya hanya bekerja keras, mendung” menyimbolkan bala tentara Yi Seong-gye. menulis buku, memberikan kuliah, jika diperlukan … .” Menurut “Joseon Folk Song Arirang” (Lagu Arirang versi Rakyat Kim telah menerbitkan buku dari hasil penelitiannya yang berjudul Joseon), sebuah publikasi resmi milik Korea Utara yang ditulis Yun SuPerjalanan Demi Arirang Melintasi Delapan Provinsi I (1994), Arirang dong (direktur Joseon Folk Music Research Institute), asal mula Ari(1998), dan Asal-Usul Arirang — Hasil Penelitian pada Arirang Jeongrang ditemukan pada legenda “Seongbu dan Rirang.” Pada awal perioseon dan Yi Saek (2006). Ia juga telah menerbitkan buku foto berjudul de Joseon, para petani dengan gigih melawan tirani para pemilik lahan, Arirang Lagu Rakyat Joseon (2011) yang diterbitkan di Korea Utara. yang seringkali dihadapkan dengan tentara. Ketika seorang pemuda bernama Rirang bergabung dalam pemberontakan itu dan harus melaTeori Asal Mula rikan diri dari angkatan bersenjata, kekasihnya yang bernama Seong“Arirang muncul pertama kali di Maecheon Yarok (1894) dinyanyibu meratap, “Ah-Rirang, ah-Rirang, ah-nanriyo/Ah-Rirang is going over kan oleh Hwang Hyeon, seorang pujangga sekaligus sejarawan yang the pass.” (Ah-Rirang tidak akan dapat meloloskan diri). Ratapan ini hidup di akhir masa Dinasti Joseon. Namun, saya yakin akar lagu terdinyanyikan seketika. Pesan yang menyayat hati ini sangat menyensebut telah ada jauh sebelum Masa Perunggu. Sejak Ye, Maek, dan tuh dan tersebar dengan cepat. Sebenarnya, teori ini menggambarkan Han, para suku yang dianggap sebagai nenek moyang Korea, yang cara pandang para cendekiawan Korea Utara yang cenderung melihat saat itu tinggal di Peninsula Korea, mereka telah menyanyikan Arirang.” sejarah sebagai perjuangan kelas sosial. Hal ini sedikit berbeda dari Keyakinan Kim ini didukung oleh teori tentang suara-suara meloteori yang diusulkan oleh Kim yang menyatakan bahwa kata arirang di yang telah ia kumpulkan dari berbagai tempat sepanjang wilayah berasal dari akar kata ari, yang merujuk pada bahasa, suara, dan lagu. Gunung Baekdu, yang ia sebut sebagai “Catatan Menari”. Isinya seperMeskipun demikian, para cendekiawan baik yang berasal dari

34

S e n i & B u d a y a Ko re a


Korea Utara maupun Selatan sama-sama setuju pada satu hal: sebuah film yang berjudul Arirang (1926) yang disutradarai oleh Na Un-gyu, berkontribusi sangat penting bagi penyebaran Arirang. Tokoh utama film tersebut adalah mahasiswa yang hidup mandiri di Seoul, ikut dalam Gerakan Kemerdekaan 1 Maret kemudian tertangkap dan disiksa. Dalam keadaan terluka jiwa dan raga, pemuda itu kembali ke rumahnya di pedesaan, tempat keluarganya hidup sebagai petani penyewa yang pro terhadap pemilik lahan Jepang. Saat itu, salah satu rekannya adalah kekasih saudara perempuannya. Kepala pemilik lahan, yang tergiur melihat saudara perempuannya, mencoba memperkosa saudaranya ketika para penduduk desa sedang menggelar festival. Mendengar teriakan perempuan, teman pemuda itu langsung bergegas menolongnya dan bertarung dengan kepala pemilik lahan. Saat bergabung dalam baku hantam, tokoh utama kemudian membunuh penyerang

1

2

1 Lembaran musik dari lagu Arirang digunakan dalam film “Arirang” tahun 1926 oleh Na Un-gyu. Melodinya jadi terkenal di seluruh dunia. (Sumber: Kim Yeon-gap).  2 Sampul album “Song of the Hill, Mungyeong Arirang”, dirilis pada peringatan perayaan Arirang pada daftar Warisan Budaya Takbenda Kemanusiaan UNESCO.  3 Buku tentang Arirang ditulis oleh Kim Yeon-gap.

saudara perempuannya. Pemuda itu kemudian ditahan dan dibawa pergi oleh polisi, dan saat itulah para penduduk desa yang menyaksikan sembari tak berdaya menyanyikan Arirang.

Menyatukan Semua Orang Korea Kim menyatakan bahwa Arirang meliputi semangat dan aspirasi orang Korea. “Orang-orang Korea memberi nama rokok pertama mereka Arirang, begitu juga dengan satelit negara pertama mereka. Malah, ada pendapat bahwa seharusnya kereta api ekspres pertama mereka juga disebut Arirang, meskipun pada akhirnya kereta tersebut diberi nama KTX. Ketika kantor pemerintah Korea buka di luar negeri, rumah makan Korea pertama di lingkungan itu seringkali disebut dengan Arirang. Sebuah majalah ternama di tahun 1970-an juga disebut dengan Ko r e a n a | Mu s i m Gu g ur 2013

Arirang, begitu pula dengan banyaknya karaoke lounges yang hingga kini masih disebut Arirang. Semua ini berarti semangat Arirang selalu menjadi hal teratas dalam benak orang-orang Korea. Itulah fakta yang kita semua tahu. Arirang merupakan sebuah penegasan dari identitas Korea.” Dengan mata berkaca-kaca, Kim menceritakan sebuah kisah yang dimulai dari zaman pemerintahan Jepang yang ia temukan dan ia rekam. “Di Jepang, sebuah pertandingan baseball antara sekolah menengah Korea dan Jepang digelar. Diinformasikan bahwa seorang tokoh Korea pro-Jepang yang vokal turut hadir dalam acara tersebut. Seorang pembunuh bayaran pun dikirim dari Korea. Saat orang-orang Korea dan para pendukung berkumpul bersama setelah pertandingan, pembunuh tadi mengambil sebilah pisau lalu mendekati kolaborator yang saat itu menyadari adanya ancaman dan mulai menyanyikan Arirang. Pembunuh itu kemudian membiarkan tokoh Korea pro Jepang tetap hidup seraya berkata, ‘Anda juga orang Korea, salah satu dari kami. Sebaiknya kita tidak perlu bertemu lagi.’ Setelahnya, banyak orang mendengar bahwa pria yang akan dibunuh tadi tidak lagi berpihak kepada Jepang.” Kim menganggap Arirang sebagai pemersatu bangsa yang terpecah. Pada Maret 1989, Korea Utara dan Selatan setuju untuk menjadikan Arirang sebagai salah satu lagu kebangsaan yang berguna untuk menyatukan tim. Selama pertandingan Tenis Meja Dunia pada 1991 yang digelar di Chiba, Jepang, persatuan tim perempuan Korea Selatan dan Utara akhirnya dapat memenangkan pertandingan final melawan China. Itu merupakan pertama kalinya tim Korea menang. Saat peristiwa membahagiakan itu, tidak hanya para pemain tetapi juga orang-orang Korea yang menonton jalannya pertandingan, baik yang berasal dari Korea Utara maupun Selatan, sama-sa3 ma menyanyikan Arirang dengan terharu. Kim memberi saya kartu namanya yang unik. Pada bagian depan tercantum namanya namun di bagian belakang, alih-alih tertulis nomor telepon, malah terdapat sebuah imbauan: “Orang Korea! Ayo lihat langit pada 25 Juni setiap tahun (peringatan pecahnya Perang Korea) pada pukul 6:25 sore hari. Lalu nyanyikan lagu Arirang di tempat, di mana pun Anda berada.” Bagi Kim, Arirang berarti harapan untuk sebuah negara yang bersatu. Sayangnya, dengan tidak adanya pengesahan dari organisasi pemerintah atau non pemerintah, organisasi yang dipimpin Kim seringkali mendapat serangan baik dari pihak kiri atau kanan ketika kontroversi meningkat. Pihak Kiri menyebut prinsipnya sebagai pemikiran orang Kanan, sementara pihak Kanan menyebut Kim sebagai orang yang pro terhadap komunis Pyongyang. Mungkin inilah nasib Arirang di Peninsula Korea hingga hari bersatu itu tiba.

35


RESENSI SENI

D

i sebuah bukit, salju turun dengan deras disertai deru angin yang ganas seperti bunyi tangisan meratap. Sebuah pintu rumah rakyat jelata ditutup dengan keras dan terdengar bunyi tajam dari pintu yang dibuka. Seorang prajurit tampak muncul dari balik asap yang tebal. Jegi (alat untuk upacara pengorbanan atau pemujaan) yang jatuh berguling-guling di tanah mengantarkan wangi dupa yang belum habis terbakar kepada para penonton. Suara embusan angin dalam layar film yang berwarna gelap dan bunyi ombak Pulau Jeju mengoyak rasa sedih di hati penonton. Demikian film Jiseul: Waktu yang Belum Berakhir 2 dimulai dengan suara-suara di Pulau Jeju. Namun ke mana perginya semua orang yang baru saja memulai upacara peringatan leluhur di tempat ini?

Awan, Pohon, dan Angin sebagai Aktor Beberapa penonton berbisik dalam kegelapan yang pekat tentang ketakutan dan harapan. Apakah seperti itu keadaan 65 tahun yang lalu? Para penonton merasa hari itu, yang terkubur dalam sejarah, tibatiba muncul kembali di hadapan mereka. Demikianlah setiap adegan pada awal film Jiseul menarik perhatian para penonton. Mereka merasakan penderitaan dan kegetiran hidup, seperti melihat luka masa lalu yang kini ada di tubuh mereka.

Ketika lagu rakyat Jeju IEoDo SaNa IEoDo SaNa ChyeoRa~ ChyeoRa~ diputar di akhir film, saya terdiam dan terpaku menatap layar. Di atas punggung bukit dengan pemandangan yang indah tergantung sebuah kesedihan. Film ini sangat mengerikan tetapi juga sangat menarik dan memberi kesan layaknya suatu penderitaan yang menusuk dalam sampai ke tulang. Apakah jiwa-jiwa sedih mereka mendapat penghiburan walaupun sedikit saja? Jeju adalah sebuah pulau berangin dan penuh bukit. Di setiap sudutnya terhampar pantai, bukit yang indah, dan bekas tragedi 3 April. Ketika mewawancarai sutradara film O-Myeol, ia mengutarakan kesan pribadinya; “Saya sebenarnya tidak pernah tahu wilayah itu adalah tempat bersejarah atas tragedi 3 April. Tetapi, saya bisa merasakan bunyi angin seperti tangisan dan ilalang bergoyang bagai menarikan tarian sedih. Ah! Saya baru menyadari tempat ini masih menyimpan kenangan tragedi itu. Awan, pohon, dan angin, semuanya menjadi aktor saat kamera mengambil gambar hari ini.”

Kerangka Film Menjadi ‘Ritual Peringatan Arwah’ Peristiwa 3 April di Pulau Jeju merupakan sebuah tragedi besar dalam sejarah modern Korea yang mengorbankan hampir 30,000 jiwa rakyat Jeju oleh kekuasaan pemerintah Korea. Pada suatu hari di bulan

Film Independen Jiseul: Waktu yang Belum Berakhir 2 Harapan dalam Sebutir Kentang Jiseul: Waktu yang Belum Berakhir 2 adalah sebuah film independen hitam putih berlatar belakang tragedi di Pulau Jeju yang terletak di ujung Selatan semenanjung Korea pada 1948, sebuah masa kekacauan dalam sejarah modern Korea. Film ini telah menarik banyak perhatian penonton hingga memecahkan rekor box-office dalam bidang film independen. Film ini membuka kembali lembar sejarah yang terlupakan, yaitu pembunuhan terhadap rakyat Jeju yang dianggap ‘Si Merah (Komunis)’ dalam konflik ideologis ekstrem antara pihak kanan dan kiri. Heo Young-sun, Penyair, Dosen di Universitas Jeju

36

S e n i & B u d a y a Ko re a


November tahun 1948, ketika Korea berada di bawah pemerintahan militer Amerika setelah baru merdeka dari penjajahan Jepang, turun perintah pemindahan paksa di Pulau Jeju. Film ini menceritakan keadaan itu secara singkat melalui subtitle “Siapa pun yang berada 5 km dari garis pantai di luar perbatasan dianggap sebagai pemberontak, dan akan dibunuh!” Setelah itu, film menayangkan rakyat Jeju yang terburu-buru melarikan diri dari pembunuhan tersebut. Rakyat Pulau Jeju melarikan diri sampai ke gunung yang jauh dan bersembunyi di dalam gua saat tentara mengejar mereka. Sekitar 120 orang masuk ke dalam sebuah gua “KeunNeolGue” yang besar dan luas untuk berlindung dari pembunuhan tersebut. Mereka bertahan hidup di gua selama sekitar 50 hari. Banyak gua lahar alam di Jeju yang terkenal sebagai warisan alam dunia menjadi tempat yang pernah digunakan rakyat Jeju untuk mengungsi dan melanjutkan hidup dalam keadaan sulit. Mereka sangat ingin melihat langit dan menghirup udara segar, namun di luar gua kematian sedang menanti mereka. Saat tentara mengetahui keberadaan mereka, rakyat Jeju yang

Dalam sebuah adegan dari film “Jiseul,” penduduk desa Jeju menghindar dari hukuman prajurit bersembunyi dalam “gua besar dan lebar,” berbagi kentang untuk menenangkan rasa lapar.

bersembunyi di dalam gua membakar cabai sehingga asap tajamnya merembes membuat pasukan tidak dapat masuk ke dalam gua. Adegan ini dibuat berdasarkan pernyataan saksi seorang penduduk yang mengalami keadaan itu. Selain itu, meskipun tidak ditayangkan di dalam film, beberapa orang yang melarikan diri dari gua kemudian ditangkap dan dibunuh di air terjun JeongBang, Kota SeoGwiPo, kemudian mayat mereka dibuang ke laut. Tokoh utama dalam film ini adalah rakyat jelata yang dibunuh dan tentara yang harus mematuhi perintah negara. Tentu saja, film ini tidak bisa menceriterakan segala situasi yang terjadi ‘waktu itu’. Saat mengunjungi “KeunNeolGue” empat tahun yang lalu, sutradara O-Myeol sangat terinspirasi untuk membuat film yang dapat mengenang korban tragedi 3 April. Maka film ini dapat dipandang sebagai ritual peringatan bagi arwah mereka yang dulu terpaksa hidup di gua yang gelap tak terkira. Film ini dibagi menjadi empat bagian dengan sub judul yang diambil dari nama-nama tata cara upacara leluhur: “SinWi” adalah roh mereka yang dikorbankan pada hari itu, “SinMyo” berarti tempat untuk mengabdikan roh. Sedangkan “EmBok” adalah makan bersama hidangan persembahan setelah selesai upacara. “SoJi” berarti upacara melepaskan penyesalan (dendam) baik roh penduduk yang dikorbankan maupun roh para tentara (saat diadakan upacara ini biasanya dibakar “JiBang”, semacam kertas yang di atasnya ditulisi nama orang meninggal yang menandai arwahnya). Film ini terbagi atas empat bagian berdasarkan empat kata kunci tersebut ini. Pada waktu itu, mereka dilarang bersedih, yang tidak berdosa dihukum, bahkan menangis pun tidak diperbolehkan. Melalui film yang berfungsi juga sebagai ritual peringatan ini, kita menghibur mereka yang telah hilang seperti embun malam di kala waktu itu. Jiseul bagaikan“SsitGimGut, sebuah upacara untuk memurnikan jiwa mereka yang telah tiada, dan sebuah “requiem” (lagu bagi ketenangan jiwa). Dengan kata lain, film ini merupakan sebuah penyembuhan sekaligus penghiburan. Sutradara O-Myeol berkata, “Film ini berfokus pada manusia, bukan ideologi. Peristiwa tragedi 3 April telah terlupakan pada zaman perang dingin. Saya ingin film ini mendapat perhatian dan membangkitkan kesadaran masyarakat Korea mengenai sejarah tragedi 3 April.” Film ini adalah karya pertama sutradara O-Myeol bertema tragedi 3 April dengan sub judul ‘Waktu yang Belum Berakhir 2’. Sebelumnya pernah ada sebuah film berjudul Waktu yang Belum Berakhir karya almarhum sutradara Kim Kyeong-Ryul, tetapi film ini tidak begitu mendapat perhatian masyarakat Korea. Oleh sebab itu, O-Myeol menambahkan angka ‘2’ pada filmnya untuk meneruskan film sebelumnya.

Simbolisme pada Jiseul Kentang merupakan makanan bagi jiwa (soul-food) untuk penduduk dunia. Jiseul berarti kentang dalam bahasa daerah Pulau Jeju. Saat terjadi tragedi 3 April di sana, ubi dan kentang adalah makanan pokok rakyatnya. Di setiap desa yang dihancurkan oleh tentara, di depan setiap rumah, di dalam nul (semacam tempat penyimpanan makanan tradisional dalam lubang tanah yang ditutupi jerami), penduduk Ko r e a n a | Mu s i m Gu g ur 2013

37


Rakyat Jeju melarikan diri ke gunung yang jauh dan bersembunyi di sebuah gua untuk berlindung dari perintah evakuasi dan kejaran tentara. Merekalah tokoh utama dalam film ini; rakyat Jeju yang dibunuh dan tentara yang mengikuti perintah atasan untuk membunuh.

menyimpan ubi dan kentang sebagai pangan utama. Butiran kentang yang berjatuhan setengah terbakar adalah adegan biasa pada tragedi 3 April. Beberapa butir kentang yang dibawa seorang Ibu yang rumahnya terbakar, telah memberi nutrisi dan kehangatan bagi para penduduk yang mengungsi ke dalam gua. Mereka adalah seorang laki-laki sangat mengkhawatirkan babinya yang tertinggal di rumah. Seorang bujangan ingin menikah. Seorang bocah yang mengaku kakinya bisa berlari secepat kuda dari pengejaran tentara. Seorang pemuda yang menyimpan hatinya untuk seorang gadis ‘SunDeok’ sekampung yang dicintainya. Seorang ibu yang sedang hamil. Di dalam gua, kehidupan di pulau itu pun berlanjut. Di luar keadaan yang sulit itu, mereka duduk mengelilingi lilin dan tidak melepaskan harapan

38

bahwa kegelapan akan segera sirna. Jiseul, kentang, menyimbolkan sikap positif, optimistis, dan ketenangan hati mereka. Bahasa daerah Jeju yang mereka tuturkan ditayangkan sebagai subtitle di bawah layar, terkesan kaya dan eksotis.

Film Independen yang Memenangkan Hadiah Penghargaan Jiseul adalah film independen yang dibuat oleh seorang sutradara yang lahir di Jeju bersama beberapa aktor penduduk asli Jeju yang belum terkenal. Proses syuting film ini tidak begitu mudah karena mesti membawa peralatan dari Seoul dan mengajari para aktor sukarelawan untuk setiap adegan film. Film ini menghabiskan dana dua ratus lima puluh juta (250,000,000) won, kurang dari sepersepuluh dana film

S e n i & B u d a y a Ko re a


komersial biasa. Untuk membuat film ini, berbagai kalangan masyarakat ikut mendukung dana dan sang sutradara sendiri pun berutang. Film yang diproduksi dalam keadaan sulit ini menjadi pembicaraan di kota saat memenangkan penghargaan untuk empat kategori pada 17th Busan International Film Festival 2012. Selain itu, film ini mendapat tempat di beberapa festival film di luar negeri sebelum resmi diputar tahun 2012. Pada 29th Sundance Film Festival di Amerika, film tersebut mendapat penghargaan dewan juri dalam kategori drama world cinema dengan penghargaan atas skenario dan penyutradaraan O-Myeol yang sukses memperlihatkan ekspresi emosi film yang begitu baik. Sangat sulit menemukan karya seperti ini yang menggambarkan absurditas perang secara detail dan begitu indah. Film ini juga memenangkan penghargaan Golden Cyclo Award yang tertinggi dalam kategori film panjang pada 19th Vesoul International Asia Film Festival di Perancis. Film Jiseul diputar pertama kali di Pulau Jeju pada 1 Maret di musim semi, sebagai peringatah tahunan atas tragedi pembunuhan

Prajurit Park menodongkan pistolnya ke arah seorang gadis desa. Ia ragu-ragu untuk menarik pelatuknya karena ia tidak melihat tanda-tanda wanita muda itu sebagai pemberontak.

Ko r e a n a | Mu s i m Gu g ur 2013

3 April. Dalam waktu seminggu, 40.000 orang telah datang menonton dari seluruh pelosok semenanjung Korea. Dalam waktu tiga bulan, lebih dari 140,000 penonton datang ke pemutaran film ini (hingga 26 Mei 2012). Begitulah, film ini tidak henti-hentinya menjadi buah bibir masyarakat. Mengapa para penonton dapat menitikkan air mata dan bertepuk tangan atas narasi yang sangat terkendali emosinya dalam bahasa daerah Jeju yang sulit dimengerti dan layar film hitam putih yang sederhana?

Kesedihan dalam Warna Hitam Putih, dan Harapan Walau menampilkan tragedi dalam sejarah, Jiseul tidak bercerita dari sudut pandang politik maupun ideologis. Sejak awal hingga akhir adegan, hanya sejarah individulah yang dikisahkan, yang membuat para penonton tertawa dan menangis. Ini menandakan harapan dalam hidup sehari-hari, bahkan saat kematian ada di depan mata. Layar film dipenuhi kasih sayang antar manusia, cinta ibu, dengan kehangatan universal yang dapat menyentuh hati semua orang. O-Myeol yang merupakan lulusan dari jurusan seni menggambarkan suasana Jeju seperti lukisan tinta Cina yang meredam suasana alam warna-warni yang terang di Pulau Jeju. Tidak pernah sebelumnya, warna hitam putih dapat menampilkan kesan dukacita dan penderitaan yang begitu dalam, membuat suara dan gambar menjadi lebih indah dan kuat. “Dalam hal ini, penting untuk menggambarkan kesedihan tanpa warna. Saya ingin para penonton sendiri yang menemukan warna dengan perasaan mereka masing-masing,” katanya. O-Myeol menghabiskan masa muda dengan belajar berbagai bidang, kesenian, drama, pementasan, dan skenario. Ia mempelajari film dengan cara menonton ratusan judul film. Pada usia 25, film yang menarik perhatiannya berjudul The Sacrifice dan Nostalgia karya Andrei Arsenyevich Tarkovsky. Pembuatan film Jiseul dimulai pada hari Natal 2011 sampai Februari di tahun berikutnya. Syuting film ini mengambil tempat di KeunNeolGue (DongGwang-ri, AnDeok-myeon, SeoGwiPo), Jeju Stone Park, Bukit Kamelia (SeonHeul-ri) pada musim dingin. Sebagian besar aktor dan staf terkena radang dingin karena syuting dilakukan pada musim dingin. Meskipun syuting telah selesai, tetapi O-Myeol masih menderita demamnya. Ia akan merasa dingin kembali ketika mengingat masa itu. Tubuhnya lebih dulu merasa kedinginan pada waktu itu. Jiseul menampilkan tragedi melalui tragedi. Walau tidak ditampilkan dengan jelas, pada akhirnya film ini berbicara tentang harapan. Pada bagian akhir film, terdengar suara bayi di sebelah ibunya yang terbaring wafat. Itulah suara dari harapan. Sang sutradara melambangkan bayi itu sebagai “saya” atau “kita.” Ketika film selesai, saya berpikir, apakah energi yang mengelilingi saya ini, yang seperti asap redup memenuhi layar selama film diputar? Saya masih merasakan deru angin dan nafas para penduduk dalam film itu. Harapan manusia, dalam suasana yang sangat buruk pun, tetap hidup seperti sebatang pohon cemara di puncak Gunung HalRa pada musim dingin. Seperti masa itu, pohon itu tetap berdiri tegak hingga hari ini.

39


Jatuh Cinta pada Korea

Ibu Little Psy , Vu Thi Ly: “Mimpi Putraku Adalah Mimpiku” 1

Vu Thi Ly yang dijuluki sebagai Ibu Little Psy berterima kasih kepada putranya yang berusia sembilan tahun. Nama panggilan itu membawa banyak sekali perubahan –– baik yang bersifat positif maupun negatif –– pada hidupnya di Korea, setelah ia pindah dari Vietnam lebih dari satu dekade yang lalu, setelah ia menikah dengan seorang pria Korea. Kim Dae-o, Penulis Senior, Ohmystar | Yi Jung-min Fotografer

D

i tahun 2002, tiga tahun setelah tiba di Korea pada usia 20, setelah menikah dengan pengusaha Korea, Vu Thi Ly melahirkan bayi laki-laki. Ketika sang bayi berumur sekitar tiga bulan, Vu mengalami kesulitan untuk mengerjakan pekerjaan rumah hingga ia perlu melepaskan bayinya terlebih dulu untuk beberapa saat. Untuk menenangkan sang bayi, Vu biasanya menyalakan musik dari telepon genggamnya. Setelah itu, barulah sang bayi akan berhenti menangis dan mulai berceloteh. Malah tak jarang juga disertai dengan tawa. Bayinya yang bernama Hwang Min-woo, kini berusia sembilan tahun. Ia kini lebih dikenal dengan nama Little Psy, seorang bocah yang terkenal lewat video Psy, bintang pop Korea “Gangnam Style.” Musik telah menjadi bagian hidupnya sejak ia dilahirkan, atau malah sejak ia masih di dalam kandungan, papar ibunya.

Menemukan Bakat Musik Sang Putra “Dulu suami saya banyak sekali membelikan CD musik Vietnam untuk menghibur saya, karena saat itu saya sering merasa kesepian berada jauh dari Vietnam. Ketika saya mengandung Min-woo, saya terbiasa mendengar musik pop Vietnam dan lagu-lagu Korea setiap hari. Saya pikir, itulah yang membangun jiwa musik Min-woo sejak usia sangat dini. Saat ia menjadi balita, saya menyadari bahwa Min-woo sangat menikmati musik. Oleh karena itu, saya terus memutarkan musik untuknya. Sejak berusia tiga tahun Min-woo mulai meniru tarian bintang pop di TV. Bahkan, saat itu ia telah mampu menirukan penampilan Michael Jackson yang luar biasa, ‘Billie Jean’,” terang Vu. Vu bertemu dengan suaminya, Hwang Eui-chang, 53, saat Hwang sedang melakukan perjalanan bisnis ke Vietnam. Setelah menikah, pasangan itu tinggal di Kota Gwangju. Vu mendapatkan status kewar-

1 Little Psy adalah sebutan bagi Hwang Min-woo, seorang aktor cilik Korea Selatan, penari dan penyanyi. Ia memiliki penampilan mirip dengan Psy, penyanyi Gangnam Style. (catatan penerjemah)

40

ganegaraan Korea dari pernikahan tersebut. Sayangnya, keahlian bahasa Koreanya tidak begitu baik sehingga ia sulit bergaul dengan para tetangga dan tidak pernah benar-benar merasa berada di Korea. Sejak kelahiran Min-woo lah Vu baru benar-benar merasa tinggal di negaranya yang baru. Min-woo dan bakat musiknya telah membawa kestabilan dan kebahagiaan bagi kehidupan Vu di Korea. “Saat Min-woo berusia empat tahun, seluruh keluarga berkunjung ke Vietnam. Di Sungai Mekong ada acara makan malam yang digelar di atas kapal layar yang dilengkapi dengan fasilitas pertunjukan live. Ketika kami semua makan malam di sana, suami saya yang mengenal kepala pengelola panggung bertanya, apakah Min-woo dapat ikut tampil dalam pertunjukan. Saat itu, kepala pengelola panggung mengizinkan Min-woo tampil untuk menari dengan gaya Michael Jackson ‘Billie Jean’ dan menyanyikan sebuah lagu Vietnam. Para penonton yang saat itu datang dari beberapa negara berbeda, seperti Perancis, China, Jepang, dan Korea, menyukai penampilan Min-woo. Suami saya merekam semuanya, dan saat kami kembali ke Korea, ia dengan bangga menunjukkan video itu kepada para pegawainya,” kenang Vu. Sebenarnya, saat itu ayah Min-woo hanya ingin membanggakan putranya, namun ternyata karyawannya memiliki gagasan lain. Dengan pandangan bahwa Min-woo adalah seorang jenius dengan bakat yang terlalu berharga jika dibiarkan begitu saja, kemudian mereka mengirim rekaman video itu ke sebuah TV pencari bakat terkenal dengan acara Star!King, SBS.

Keberhasilan Debut TV Min-woo Ketika dihubungi oleh produser Star!King, Vu dan suaminya berpikir serius untuk dapat mengizinkan putra kecil mereka tampil pada sebuah acara TV. Dengan mempertimbangkan bakat Min-woo, kesempatan itu terlalu baik untuk dilewatkan begitu saja. Kebetulan, penulis program memutuskan bahwa konsep yang diterapkan untuk penampilan Minwoo di TV haruslah bertema “gentleman,” sama dengan Psy yang saat S e n i & B u d a y a Ko re a


itu sedang mendunia dengan “Gangnam Style.” Setelah memutuskan untuk mengizinkan putranya tampil di TV, orang tua Min-woo tiba-tiba menyadari bahwa persiapannya akan membuat mereka sibuk. “Kami mencari ke semua pusat perbelanjaan di Gwangju agar dapat memperoleh kostum dan aksesoris yang tepat untuk tampil di panggung. Tidaklah mudah menemukan setelan anak-anak, kaos, dan dasi kupu-kupu yang kami sukai. Hari itu mungkin adalah hari yang paling menarik selama saya hidup di Korea. Saya masih dapat mengingat dengan jelas setiap detail peristiwanya,” kenang Vu. Bagaimanapun, saat hari perekaman, alih-alih merasa senang, orang tua Min-woo malah merasa tegang. “Produser dan koordinaKo r e a n a | Mu s i m Gu g ur 2013

Vu Thi Ly dan anaknya Hwang Min-woo berpose untuk dipotret. Ibu merasa bangga karena anak yang baru berusia sembilan tahun sudah berpengalaman di dunia hiburan. Namun dia berpikir juga anaknya masih perlu perhatian ibunya.

tor program terus memuji, menyebut Min-woo sebagai bintang yang hanya muncul ‘sekali dalam seratus tahun.’ Namun, tetap saja, saya dan suami merasa gelisah,” ujar Vu. “Min-woo saat itu sedang demam tinggi. Selama pembacaan naskah dan gladi resik, ia pasti merasa menderita. Hal itu dapat dilihat dari wajahnya yang nampak seperti ingin menangis. Ketika saya menyarankan agar sebaiknya kita pulang karena Min-woo sakit, tiba-tiba ia meraih tangan ayahnya dan meminta untuk tetap tinggal demi pertunjukan. Kami begitu sedih melihat Min-

41


woo di panggung. Ia menari dan dengan ceria berbincang dengan pembawa acara sambil dengan sembunyi-sembunyi mengatur pileknya agar tak ada seorang pun yang mengetahui. Walaupun sedang sakit, ia menampilkan ‘Billie Jean’ Michael Jackson, ‘RingDingDong’ SHINee, dan ‘Bonamana’ Super Junior, bahkan lebih baik dari yang ia tampilkan di rumah. Setelah melihat apa yang ia lakukan hari ini, suami dan saya berpikir untuk mendukungnya jika langkah ini yang ia inginkan. Ternyata ia membuktikan bahwa ia memang berbakat.” Sepanjang debutnya di TV, Min-woo mendapat panggilan Chairman Hwang from Gwangju (Ketua Hwang dari Gwangju). Panggilan itu diberikan padanya oleh seorang staf Star!King yang terkesan dengan karisma yang melekat di usia muda Min-woo. Bagi Min-woo dan ibunya, kehidupan sehari-hari mereka juga berubah luar biasa. Di jalan, orangorang mulai mendekati mereka untuk meminta tanda tangan dan foto bersama. Banyak penyelenggara acara (event organizer) juga menghubungi mereka untuk meminta Min-woo tampil di berbagai kegiatan, termasuk di sejumlah panti bagi anak-anak dan orang tua, festival universitas, dan Festival Kupu-kupu Hampyeong yang terkenal. Di tahun berikutnya, Min-woo terpilih sebagai pemenang kompetisi Star!King dua tahunan karena telah menjadi kontestan teratas setiap minggu pada pameran Yeosu Expo 2012.

Hidup sebagai Ibu Little Psy Kesuksesan Min-woo di Star!King membawanya pada kesempatan lain – untuk tampil pada video musik Psy “Gangnam Style”. Min-woo yang saat itu duduk di samping ibunya sepanjang wawancara mengenang tentang proses pembuatan video sambil berbicara dengan aksen daerah Jeolla. “Membuat video musik dengan Paman Psy adalah sesuatu yang mengagumkan. Saya menari dengan ritme yang sama sekitar enam kali namun saya tidak merasa lelah sama sekali. Setelah pengambilan gambar, Paman Psy mengacungi saya jempol sambil berkata, ‘Kamu mengagumkan!’ saat itu saya merasa di surga. Saya ingin mengikuti kesuksesannya. Mulanya, saya berharap untuk bisa menjadi pering-

kat teratas di banyak program di Korea… . Saya turut bahagia untuk Paman Psy [atas kesuksesannya yang mendunia], dan itu seperti terjadi pada diri saya.” Setelah diluncurkannya video “Gangnam Style”, nama panggilan Min-woo berubah dari Chairman Hwang dari Gwangju menjadi Little Psy. Di sekolah, bahkan selama jam belajar, anak-anak berdatangan ke ruang kelas hanya untuk melihat Min-woo dan foto bersamanya. Guru Min-woo sampai harus menutup jendela dengan kertas untuk menjaga kondisi ruang kelas tetap kondusif. Selama jam istirahat, Min-woo sibuk memberi tanda tangan dan bergaya untuk foto dengan siswa-siswa yang lain. Sayangnya, menjadi bintang secara mendadak juga diikuti oleh kesalahpahaman dan prasangka terhadap latar belakang keluarga ibunya. Saat masyarakat Korea sedang menuju masyarakat yang multikultural di masa depan, khususnya dengan peningkatan jumlah pernikahan internasional, beberapa kalangan masih berpegang pada gagasan bahwa Korea adalah bangsa yang homogen. Latar belakang keluarga Little Psy yang berbeda-beda menjadikan ia sebagai banyak target gosip. “Awalnya, karena Min-woo adalah seorang anak yang berbakat, kami hanya ingin melakukan banyak hal yang mampu kami lakukan untuk mendukungnya. Namun, seiring berjalannya waktu, untuk beberapa saat, anak-anak mulai mengejeknya karena memiliki ibu yang berasal dari Vietnam. Saya merasa sangat buruk untuknya dan mulai menyesal telah mengizinkan Min-woo untuk tampil di TV. Andai saja Min-woo menjalani hidup sebagai anak biasa, latar belakang keluarga ini tidak perlu harus terkuak di hadapan publik,” kata Vu. “Hal paling berharga dari kehidupan saya di Korea adalah bahwa putra saya tumbuh menjadi seorang anak laki-laki yang sehat dan baik. Saya telah menikah dengan seorang pria Korea dan saya bangga karena dapat menjadi warga negara Korea, namun kebanggaan itu sama besarnya dengan kebanggaan saya yang merupakan keturunan Vietnam. Bagaimanapun, beberapa orang Korea masih belum begitu memahami gagasan mengenai keluarga multikultural. Popularitas Min-

© YG entertainment

Sebuah cuplikan dari video musik hit Psy, “​​Gangnam Style,” yang menempatkan Hwang Minwoo dalam sorotan media dan mendapat julukan “Little Psy.”

42

S e n i & B u d a y a Ko re a


“ Dari Ho Chi Minh City, kampung halaman saya Dong Nai, berjarak kurang dari satu jam bila ditempuh dengan mobil… Saat saya meninggalkan Vietnam, saya telah meletakkan semua harapan dan kepercayaan sepenuhnya kepada suami yang berkewarganegaraan Korea. Tak pernah terbayangkan sebelumnya, baik ibu saya maupun saya, bahwa saya akan memiliki putra yang begitu terkenal hingga para penduduk Desa Dong Nai pun mengenalnya juga.”

woo membuat beberapa orang memandang keluarga kami dengan prasangka tertentu. Meskipun begitu, saya berharap orang dengan prasangka kurang menyenangkan terhadap keluarga kami itu berjumlah tidak banyak dan dapat menganggap Min-woo sama dengan anak-anak Korea lainnya.”

Little Psy Terkenal Sampai ke Kampung Halaman Ibu Kegiatan Min-woo kini semakin meluas hingga ke Vietnam. Selain menyanyi dan menari, ia juga membuat sebuah debut film kolaborasi Korea-Vietnam yang berjudul Pengantin Perempuan dari Saigon. Ia juga turut berpartisipasi dalam acara promosi penjualan produk ginseng merah di Vietnam. “Pada kunjungan sebelumnya, kami sangat sibuk sehingga tidak sempat mengunjungi kampung halaman saya. Sementara ibu saya terus berkata bahwa ia sangat merindukan cucunya. Kami pergi ke Ho Chi Minh dan Saigon. Dari Ho Chi Minh City, kampung halaman saya Dong Nai berjarak kurang dari satu jam jika ditempuh dengan mobil. Ibu pasti sangat sedih bila beliau mengetahui bahwa sebenarnya jarak kami sangat dekat dengannya. Pada kunjungan berikutnya, saya berjanji akan mengunjunginya. Saat saya meninggalkan Vietnam, saya telah meletakkan seluruh harapan dan kepercayaan kepada suami yang berkewarganegaraan Korea. Tak pernah terbayangkan sebelumnya, baik ibu saya maupun saya, bahwa saya akan memiliki seorang putra yang begitu terkenal hingga para penduduk Desa Dong Nai mengenalnya juga.” Vu dengan tegas meyakini bahwa kesuksesan Min-woo dapat lebih dari sekadar Little Psy, karena ia tahu betul seberapa besar perjuangan yang telah Min-woo lakukan. “Min-woo latihan menari dan menyanyi tiga sampai empat jam sehari tanpa terlewat sehari pun. Setiap ia berlatih, ia berkeringat begitu banyak hingga kaos yang dikenakannya bersimbah keringat. Untuk mendukung mimpi Min-woo, kami sekeluarga pindah dari Gwangju ke Incheon. Bahkan di apartemen kami, Min-woo banyak berlatih sampai-sampai para tetangga mengeluhkan keramaian yang sering terjadi. Dan sekarang Min-woo hanya berlatih di studio tari,” terang ibu Minwoo. Min-woo baru berusia sembilan tahun, namun ia sudah dapat merasa bimbang mengenai bagaimana ia harus memelihara citra publiknya. Keadaan ini membuat sang ibu merasa peduli. “Ketika kami pergi ke pusat perbelanjaan atau tempat-tempat publik Ko r e a n a | Mu s i m Gu g ur 2013

lainya, Min-woo selalu dimintai tanda tangan dan foto bersama. Merupakan hal yang baik ketika banyak orang mengenalnya dan mengapresiasi tarian dan nyanyiannya. Namun, terkadang Min-woo meminta saya untuk sedikit berdandan sebelum kami bepergian bersama. Kami tidak bisa lagi keluar rumah semudah dulu. Di usia Min-woo, merupakan hal yang wajar ketika anak-anak terkadang berkelahi, namun Minwoo lebih memilih untuk menghindarinya. Katanya, ia tidak ingin ada bekas luka di wajahnya,” ujar Vu bercerita. Sampai pada bagian ini, tiba-tiba Min-woo memotong. Ia berkata, “Saya tidak pernah suka pizza dan es krim. Saya mencoba untuk tidak memakannya karena saya tidak ingin gemuk. Dulu di Gwangju, saya banyak makan ikan laut dan gurita. Sekarang makanan favorit saya adalah daging panggang. Namun, lebih dari semuanya, saya sangat menyukai masakan buatan Ibu.” Tak lama kemudian, ayah Min-woo ikut bergabung dan memuji masakan istrinya. “Ia adalah koki yang hebat. Dia ahli memasak masakan tradisional Korea sebaik ia memasak masakan Vietnam. Sup ikan yang ia masak, sup radish hijau yang telah dikeringkan, dan sup kepiting biru buatannya, sangat luar biasa. Min-woo terbiasa dengan masakan ibunya yang sempurna sehingga ia tidak begitu menikmati makan di luar atau makan makanan instan,” tutur ayah Min-woo. Di usianya yang muda, Min-woo telah menyedot banyak perhatian dan bahkan pernah tampil dengan Psy di sebuah upacara inagurasi bagi calon presiden Park Geun-hye. Meskipun begitu, mimpinya termasuk dalam skala besar. Dalam keadaan ini, Min-woo terlihat tidak berbeda dari anak-anak kecil lainnya. “Saya ingin menjadi penyanyi terkenal di Korea… bahkan penyanyi paling terkenal di seluruh planet,” ungkapnya. “Seperti Paman Psy, saya ingin menjadi seorang superstar yang tercantum pada daftar Billboard dan YouTube. Saya ingin membeli rumah yang bagus untuk Ibu dan sebuah mobil untuk Ayah, karena pada merekalah saya paling berterima kasih.” Demi tujuan itu, Vu Thi Ly menambahkan, “Membuat mimpinya menjadi kenyataan berarti membuat Min-woo jadi terkenal. Selama itu yang ia inginkan, saya pun menginginkan ia untuk jadi terkenal. Namun, gagasan untuk hidup dalam gemerlap merupakan sebuah gagasan yang sedikit menakutkan di saat yang sama.” Tidak diragukan lagi, ibu Min-woo akan selalu siap sedia untuk membantu mewujudkan mimpi putranya layaknya mimpinya sendiri, sama seperti ibu-ibu Korea yang lain.

43


Kehidupan Menelusuri Satu Jalan

“ Cacatan Sislilah adalah Akar dari Keluarga dan Bagian dari Sejarah Nasional�

Park Byung-ho, the second president of Hoesangsa, a jokbo publishing house, looks over the genealogy books that his firm has printed at the jokbo museum on the sixth floor of his office. Park Byung-ho, presiden kedua Hoesangsa, sebuah penerbitan jokbo , tampak di atas buku silsilah perusahaannya yang telah tercetak di museum jokbo di lantai enam kantornya.

44

S e n i & B u d a y a Ko re a


‘Hoesangsa’ adalah asal muasal diterbitkannya catatan silsilah Korea. Lebih dari 80% catatan silsilah Korea modern dicetaknya dan tahun depan akan merayakan ulang tahunnya yang ke 60 tahun. Memang kini mengikuti perkembangan zaman catatan silsilah elektronik juga turut dibuat, namun baik ayah dari pendiri percetakan ini ataupun anak yang mewarisi bisnis keluarga ini memiliki keyakinan teguh tentang catatan silsilah yang terbuat dari kertas yang dipercaya ‘akan bertahan selama seribu tahun’. Kim Hak-Soon, Jurnalis | Ahn Hong-beom Fotografer

M

encari akar silsilah dari diri adalah suatu minant yang dimiliki manusia tanpa batas etnis ataupun regional. Karena dalam keluarga manapun ada legenda dan sejarah yang selalu ingin diketahui oleh manusia sebagai salah satu nalurinya. Sebuah novel semi dokumenter yang ditulis oleh seorang penulis Afrika Amerika bernama Alex Haley berjudul < Akar > ( Roots: The Saga of an American Family ) demikian populernya di dunia sampai - sampai begitu diterbitkan pada tahun 1976, langsung diterjemahkan dalam 37 bahasa. Cerita tragis keluarga penulis yang dimulai dari kisah kakeknya Kunta Quinte, 7 generasi di atas penulis, yang dijual sebagai budak dari Gambia ke Amerika pada tahun 1767 ini memberikan sensasi di dunia untuk mencari akar silsilah keluarga. Sampai - sampai seluruh wilayah Ireland sempat heboh karena akar silsilah presiden Amerika John F. Kennedy, Ronald Reagan, Bill Clinton ternyata berasal dari Ireland.

Catatan Silsilah menurun di istana dan juga di rumah rakyat Walau demikian, orang mengatakan bahwa sulit mencari negara di mana setiap keluarga mempunyai catatan silsilah seperti di Korea. Korea Selatan mendapat pengaruh Cina Kuno dalam hal catatan silsilah, tetapi catatan ini tidak hanya sebatas catatan rumah tangga tetapi juga memiliki unsur sejarah. Di dalam catatan silsilah tercatat dengan rinci tentang setiap keluarga dan tertulis juga catatan besar dan kecil tentang setiap pribadi yang cukup untuk mengisi ruang kosong dalam sejarah. Berbeda dengan catatan silsilah di negara lain yang terfokus pada orang - orang kerajaan dan kaum aristokrat, di Korea Selatan orang biasa menjadi fokus dalam catatan silsilah dan dengan berbagai bentuk serta isi menampilkan juga budaya bangsa Korea. Selain itu, para ahli setuju mengatakan sistem percetakan yang masuk dengan cepat di Korea Selatan dibanding dengan negara lain memungkinkan budaya catatan silsilah berkembang dengan cepat. Demikian pesatnya sehingga di Perpustakaan Nasional Korea tersimpan arsip catatan silsilah sekitar 600 jenis dan 13.000 ribu buah buku catatan silsilah, dan di Universitas Harvard juga tersimpan catatan silsilah Korea Selatan dalam bentuk mikrofilm . Di dunia barat catatan silsilah disebut Family Tree, di Cina disebut Jongbo (宗谱), dan di Jepang disebut Gabo (家谱). Catatan silsilah yang dianggap merupakan catatan mula - mula adalah Wangdaejongrok (王代宗录) yang dibuat oleh Kim Kwan - ui (金寬毅) pada pertengahan zaman Koryo pada masa Ui - jung. Jika catatan silsilah keluarga keraKo r e a n a | Mu s i m Gu g ur 2013

jaan dikesampingkan, catatan silsilah rakyat yang pertama kali adalah pada tahun 1423 (Zaman Sejong tahun ketiga) oleh Keluarga Ryu. Catatan silsilah ini diturunkan secara tertulis. Catatan silsilah terbaik yang masih ada sampai sekarang adalah catatan keluarga Ryu yang dibuat pada periode Chosun Myung - jung tahun 17. Di Cina, Sobo (苏 谱) yang dibuat oleh Sodongpha (苏东坡) disebut - sebut sebagai catatan silsilah rakyat yang mula - mula.

Sejarah Hoesangsa Penerbitan catatan silsilah modern di Korea Selatan tidak bisa lepas dari Bapak Park Hoong - gu (朴泓九) yang meninggal tahun lalu dalam usia 89. Penerbitan Hoesangsa (回想社) yang didirikan olehnya pada tahun 1954 itu adalah perusahaan penerbitan profesional terbesar di Korea Selatan yang menerbitkan catatan silsilah keluarga. Dapat dikatakan lebih dari 80% dari catatan silsilah modern Korea Selatan diperkirakan diterbitkan di perusahaan ini. Buku silsilah yang dibuat di sini lebih dari 600 buah. Di lantai 6 dari gedung perusahaan ini juga terdapat museum catatan silsilah pertama Korea Selatan Hoesangmunbowon (回想文谱院) yang dibentuk pada tahun 1988. Di sini tersimpan koleksi sebanyak kurang lebih 900 jenis catatan silsilah dalam bentuk 25.000 buah buku. Daedongbo (大同谱) ada sekitar lima ratus jenis, Pabo (派谱) ada sekitar seribu lima ratus jenis, Gaseungbo (家乘谱) yang mencatat keluarga berdasarkan keturunan langsung sekitar sembilan ratus jenis. Mulai dari catatan silsilah keluarga Kang dari Geumcheon (衿川姜氏) sampai catatan silsilah keluarga Hwangbo dari Young - cheon (永川皇甫氏) tersimpan dengan rapi berurutan menurut alfabet Korea. Sebagai catatan, marga keluarga di Korea ada sekitar dua ratus delapan puluh buah, daerah asal marga (宽鄕本) sekitar delapan ratus buah, dan sekitar tiga ribu empat ratus buah garis keturunan. “Nama Hoesangsa diberikan oleh almarhum ayah - yang artinya adalah ‘ciptakanlah sesuatu yang baru dengan mengenang kenangan lama’ - mengandung pesan untuk mengingat keindahan dan kebijakan nenek moyang, mengenal masa kini dengan tepat untuk menciptakan masa depan yang menawan.” Park Byoung - ho (朴炳浩• 67), anak laki - laki tertua dari pendiri Hoesangsa, yang menjelaskan sejarah nama perusahaan percetakan ini sebenarnya berkarir sebagai seorang apoteker - anggota dewan kota - kepala kantor kecamatan Daejeon yang jauh dari usaha keluarga. Adik kandungnya Park Byung - suk (朴炳锡) adalah seorang poli-

45


tikus yang saat ini menjabat sebagai Wakil Ketua Majelis Negara keempat.

ayah. Almarhum ayah selalu bangun sebelum jam 5 pagi, beliau selalu berbaring di sebuah dipan tua di lantai Kisah Pilu di Belakang Layar atas kantornya, dan bahkan ketika ia Ada kalanya yakni di tahun 1970 berbaringpun tidak pernah catatan silsian di mana pendapatan rakyat meninlah lepas dari tangannya.” gkat yang disertai dengan minat untuk Bapak Park Byoung - ho juga menmencari akar nenek moyang sehingga ceritakan pengalaman almarhum ayahpermintaan catatan silsilah naik pesat. nya yang dulu pernah bertemu dengan Dan pada pertengahan tahun 1980 seorang yang menjadi kaya mendapekerjaan membanjir karena banyak dak yang menganggap catatan silsi1 orang yang ingin membaharui cetakan lah keluarga sebagai surat identitas 1 Sebuah jokbo elektronik yang dihasilkan oleh Hoesangsa. Perusahaan catatan silsilah mereka. Berkat semua diri. “Kata ayah, suatu hari seorang membuka era “jokbo digital” pada tahun 2004 menyesuaikan dengan itu Hoesangsa mengalami pertumpria paruh baya klimis naik mobil asing perkembangan zaman.  2 Riwayat buku dicetak Hoesangsa. Meski menguasai media canggih, Park masih sangat menghargai jokbo yang buhan yang luar biasa. Pertumbuhan mahal mendatangi beliau. Ia meminta tercetak pada kertas. pesat itu tidak bisa lepas dari kisah pilu agar catatan silsilah keluarganya diseBapak Park Heung - gu yang mengalipkan dalam catatan silsilah keluarga lami berbagai kesulitan yang sulit untuk dilukiskan semuanya dengan ningrat. Katanya selama ini ia hanya bekerja mencari uang dan berhakata - kata. sil menjadi seorang direktur yang membawahi beberapa perusahaan, “Ada satu cerita yang diceritakan oleh almarhum ayah saya yang namun sama sekali tidak tahu akar silsilah keluarganya. Direktur ini tidak bisa saya lupakan. Menurut ayah pada suatu pagi musim dingin, akan menikahkan anak perempuannya, dan karena keluarga dari ayah pergi ke rumah seorang anggota senior dari sebuah marga untuk calon besan meminta catatan silsilah keluarga, ia bermaksud untuk menerima pesanan catatan silsilah. Ia menunggu sampai tuan rumah membuat catatan silsilah keluarga palsu. Tentu saja, ayah saya menobangun dari tidurnya. Ia menunggu di bawah atap luar rumah itu. Tanpa laknya dengan segera.” menyadari bahwa ada seorang yang menunggu di atap luar rumah Sebagaimana layaknya seorang sarjana Sungkyunkwan, di ruang itu, menantu perempuan dari tuan rumah membuang air cucian beras. kantor perusahaan dan di pabrik percetakan Direktur Park - Honggu Dalam cuaca yang dingin menusuk, ayah yang basah kuyup terkena terlihat di sana sini kaligrafi Cina yang ditulis dengan kuas. Ada satu air cucian beras tetap berdiri di tempatnya sampai tuan rumah melihatkalimat yang paling berkesan yang terlihat di sana. “Yang memiliki nya. Iba melihat ayah, ia serta merta memesan catatan silsilah kepada kepala, keluarkanlah pengetahuan. Yang memiliki pengetahuan, keluar-

Sebagaimana layaknya seorang sarjana Sungkyunkwan, di ruang kantor perusahaan dan di pabrik percetakan Direktur Park - Honggu terlihat di sana sini kaligrafi Cina yang ditulis dengan kuas. Ada satu kalimat yang paling berkesan yang terlihat di sana. “Yang memiliki kepala, keluarkanlah pengetahuan. Yang memiliki pengetahuan, keluarkanlah keringat. Yang tidak memiliki pengetahuan atau keringat, keluarlah dengan tenang”. 46

S e n i & B u d a y a Ko re a


kanlah keringat. Yang tidak memiliki pengetahuan atau keringat, keluarlah dengan tenang”. “Milikilah sopan santun di dahi, kecerdasan di bola mata, keramahan di bibir, kebenaran di hati, dan tenaga kerja di tanganmu!”

Catatan Silsilah Kertas dan Digital Sejak merayakan ulang tahun ke 50 tahun perusahaan pada tahun 2004, Hoesangsa membuka generasi baru dengan menerbitkan catatan silsilah keluarga digital di samping catatan silsilah kertas. Di catatan silsilah digital dilengkapi dengan fungsi - fungsi modern, seperti penambahan karakter Cina pada nama Hangeul (Korea), dan jika nama diklik, berbagai data muncul, termasuk potret empunya nama, prestasi, lukisan atau karya kaligrafi, foto kuburan keluarga, video saat almarhum masih hidup, dan sebagainya. Walau demikian Bapak Park Byeong - ho menyatakan tidak percaya pada perangkat penyimpan data elektronik seperti disk, CD - ROM, dan internet. “Catatan silsilah keluarga dalam bentuk kertas dapat disimpan selama ratusan atau bahkan beribu tahun. Terus terang perangkat penyimpan data elektronik tidak ada yang bisa menjamin dapat menyimpan data seberapa lama. Adalah tugas saya untuk menumpuk dan memupuk keahlian serta data yang hanya dimiliki oleh Hoesangsa”. Bapak Park memilih besarnya data serta akurasi yang dimiliki oleh Hoesangsa sebagai aset terbesar perusahaannya. Hoesangsa telah mengembangkan font pencetakan untuk sekitar 700 karakter Cina langka yang terutama digunakan untuk nama pribadi, inilah harta milik Hoesangsa yang tidak dimiliki oleh perusahaan percetakan lainnya. Untuk pekerjaan mencetak catatan silsilah keluarga digunakan font Chuncheon (春田体), yang diciptakan oleh almarhum direktur Park Heung - gu yang dikembangkan secara tersendiri oleh

beliau. Chun - cheon (春田) adalah nama lain yang dimiliki almarhum direktur. Untuk penjilidan buku juga digunakan cara tersendiri yang memungkinkan buku catatan silsilah kuat untuk dapat disimpan selama mungkin. “Sekarang karena mulai dari internet sampai perangkat digital sudah berkembang, tidak banyak orang yang datang ke Hoesangsa untuk melakukan pekerjaan perbaikan atau editing. Almarhum ayah saya selalu bercerita bahwa sekitar 2000 tahun yang lalu tidak jarang terlihat seorang sepuh yang memakai topi dan jubah datang ke percetakan dan tinggal selama lebih dari satu minggu untuk mengoreksi catatan silsilah keluarga mereka”. Sekarang upacara ritual untuk memohon agar pencetakan catatan silsilah keluarga dapat berlangsung dengan baik dengan meletakkan kepala babi juga sudah sirna. Di dalam gedung perusahaan masih terdapat penginapan dan tempat makan – seperti layaknya tempat bersejarah - bagi mereka yang datang dari jauh untuk memperbaiki catatan silsilah keluarga mereka. Sekarang dengan diterimanya sistem wanita sebagai kepala keluarga dan bertambahnya pernikahan internasional maka sebagai akibatnya gagasan tentang akar keluarga semakin memudar, sehingga menyebabkan kesadaran tentang catatan silsilah keluarga juga terasa semakin berkurang. Tambahan lagi, munculnya catatan silsilah berbentuk digital mengurangi dengan drastis permintaan catatan silsilah berbentuk kertas. Ini juga membuat keadaan manajemen Hoesangsa tidak mudah. Tetapi direktur generasi kedua Bapak Park Byeong - ho tetap teguh pada tekadnya untuk terus mencetak catatan silsilah berbentuk kertas. Sebagai alasannya, ia berkata “Almarhum ayah selalu berkata bahwa catatan silsilah tak lain adalah akar dari keluarga dan bagian dari sejarah bangsa”.

2 Ko r e a n a | Mu s i m Gu g ur 2013

47


Buku & lebih Charles La Shure, Profesor, Graduate School of Interpretation and Translation, Hankuk University of Foreign Studies

48

Nilai Konfusianisme dan Perang: Novel Autobiografi Penyemangat Jiwa oleh Penulis Perempuan Peranakan Korea-Amerika

“Suara dari Surga� Oleh Maija Rhee Devine, 305 halaman, $16.00/12,000 won, Irvine: Seoul Selection USA, Inc. (2013)

Debut novel Maija Rhee Devine dimulai sebagai sebuah kenangan dari pengalamannya di Korea sebelum dan selama Perang Korea. Atas saran dari agennya, dia menuliskan kenangannya dalam bentuk novel. Ia menceritakan kisahnya melalui tokoh protagonis, Mi-na, gadis dengan orangtua yang saling mencintai, tetapi gagal melahirkan anak laki-laki. Mi-na menderita di bawah tatapan mencela para tetangga yang mengatakan padanya bahwa dia seharusnya terlahir laki-laki, dan bahwa dia sepenuhnya bertanggung-jawab ketika ayahnya dipaksa mengambil istri lagi untuk melahirkan anak laki-laki sebagai penerus keturunan garis keluarga. Bagian pertama dan terpanjang dari novel bermula pada 1949, masa sebelum perang, dan dokumen kehidupan keluarga saat mereka mengadaptasi dengan kehadiran istri kedua yang dikenal Mi-na sebagai “Little Mommy.� Kemudian terjadi perang, yang tidak hanya memporak-porandakan negara, tetapi juga keluarganya. Walaupun mereka bersatu kembali setelah perang usai, tetapi mereka tidak pernah utuh lagi. Mi-na pun berjanji pada dirinya sendiri untuk mengenyam pendidikan, sehingga dia dapat pergi ke Amerika untuk memperoleh kehidupan baru dan menyatukan kembali orangtuanya. Epilog, diatur 50 tahun setelah bagian ketiga novel, menunjukkan bagaimana Mi-na mempelajari saat terungkapnya rahasia keluarga yang menggetarkan pemahaman tentang jati dirinya sendiri. Sebagai tambahan terhadap perjalanan waktu yang telah lampau, novel ini juga mengisahkan tentang ruang. Sementara kenangan ditulis dari sudut pandang sang penulis, novel berjalan lompat-lompat dari depan ke belakang, menceritakan kisah berturut-turut dari perspektif Mi-na, ayahnya, ibunya, dan Little Mommy. Walaupun tokoh protagonis adalah Mi-na, karakter pertama yang dikenalkan pada pembaca adalah Soo-yang, wanita muda yang nantinya menjadi Little Mommy. Perpindahan perspektif ini memberikan kesan mendalam pada novel dan menjadikan setiap karakter simpatik dengan caranya sendiri; antagonis yang sesungguhnya adalah keadaaan yang ditemui para karakter itu sendiri dan masyarakat tempat di mana mereka terlahir. Cerita novel ini sendiri cukup menarik tentang perjuangan hidup berhadapan dengan peristiwa-peristiwa sejarah yang terjadi saat itu dan dalam ikatan masyarakat yang masih terkungkung dengan nilai Konfusianisme yang kental. Khususnya, novel menggaris-bawahi perjuangan karakter perempuannya, yaitu Mi-na, gadis yang seharusnya terlahir laki-laki; Eum-chun, istri penuh kasih yang terpaksa menyambut perempuan lain datang ke tempat tidur suaminya hanya karena dia tidak dapat melahirkan anak laki-laki untuknya; dan Sooyang, perempuan muda yang ditolak oleh pengantin pria muda dan hanya dijadikan tidak lebih dari seorang istri kedua. Kritik secara eksplisit terhadap nilai-nilai Konfusianisme seperti itu bukanlah hal yang aneh pada masa modern ini, tetapi jarang didapat dengan dampak emosional seperti itu. Mungkin hal yang paling menonjol tentang buku ini adalah bahasa yang digunakan dalam novel ini sendiri. Pembaca dijamu dengan frasa-frasa yang cenderung aneh dan terdengar sangat asing. Teksnya juga kadang dibumbui dengan frasa onomatope yang bunyinya seolah tidak pernah didengar seorang pun. Bahkan kadang penulis mempunyai karakter yang tidak menyertakan subyek dalam kalimatnya, yang merupakan hal yang umum ketika berbicara bahasa Korea. Pada intinya, teks cerita terasa sekali seperti Bahasa Korea yang ditulis dalam Bahasa Inggris. Pada awalnya orang yang berbahasa Korea dan sudah tinggal lama di Korea akan merasa teralihkan (jika demikian, maka akan segera berhenti mengaitkan antara Bahasa Inggris dan inspirasi Bahasa Korea aslinya). Namun tidak dapat dipungkiri penulis novel ini memiliki keunikan. Pembaca yang kurang mengenal Korea dan bahasa Korea cenderung akan menghargai keunikan Korea ini yang masih menginformasikan masyarakat kini. S e n i & B u d a y a Ko re a


Sekilas Puisi Zen Master untuk Kehidupan

“Magnolia & Lotus: Puisi Hyesim Pilihan”

berhadapan dengan seorang master Seon Korea dari berabad-abad lalu. Buku ini merupakan sambutan terhadap sastra Buddha Seon dalam bahasa Inggris.

Ditulis oleh Hyesim (Choe Sik), diterjemahkan oleh Ian Haight dan Ho Taeyong, 97 halaman, $16.00, New York: White Pine Press (2012)

Tradisi Seon (atau meditasi) dari Buddha berdiri kontras dengan tradisi tekstual: meraih pencerahan melalui pembelajaran sutra. Sementara tradisi tekstual seperti yang dijelaskan oleh penerjemah, lebih mendukung kepada pencerahan spontan melalui meditasi atau perenungan. Buddha Seon memahami kontradiksi penurunan bahasa ini: bahwa hal itu penting untuk komunikasi, tetapi juga membatasi kemampuan kita untuk berkomunikasi. Dalam kata yang ringan dan puitis ini, pencarian lebih dari yang disimpulkan dari kata-kata tersebut, mungkin adalah ekspesi yang ideal bagi sekolah pemikiran Buddha ini. Hyesim adalah biksu Buddha yang hidup pada akhir abad 12 dan awal abad 13 di barat daya Korea dan merupakan master Seon (Zen) pertama yang mendedikasikan diri pada puisi. Tema dan topik puisi ini juga didiskusikan, dan terdapat bagian terpisah yang membahas pengaturan, perjemahan, serta pembacaan puisi. Lima puluh delapan puisi itu sendiri diatur secara kronologis dalam tiga bagian: tahun-tahun pertama Hyesim sebagai biksu, tahun-tahunnya sebagai abbas dari Songgwang Temple, dan tahun-tahun terakhir hidupnya. Walaupun ada beberapa karyanya yang panjang, kebanyakan puisinya cukup pendek, dan dapat dibaca sekilas. Puisi ini memadatkan arti hanya dalam beberapa kalimat, tetapi memaksa pembaca untuk berhenti dan merenungkan kebenaran yang tersembunyi di balik kata-kata. Tindakan membaca puisi itu sendiri membuka pandangan pada prinsip dan praktek dari Seon Buddha. Puisi-puisi lainnya merenungkan alam, tidak hanya tentang keindahannya, tetapi untuk kebenaran yang mungkin terkandung di dalamnya; misalnya salah satu kutipan “Plantain” adalah sebuah meditasi mengenai bagaimana persepsi kita akan berbagai hal mungkin terjatuh dekat dengan hal itu sendiri. “Water Clock” adalah salah satu puisi yang merenungkan sebuah obyek, menggunakan alat penyimpanwaktu sebagai metafora untuk menggambarkan keberadaan manusia yang secara alami hanya sekejap mata. Akhirnya, terdapat perenungan terhadap alam itu sendiri, seperti kumpulan empat kuatrain (sajak empat baris) yang berjudul “Emotions of the Seasons.” Sajak pendek ini, yang kaya akan pandangan terhadap tiap musim dari empat musim di luar dari ekspektasi tradisional, menyemangati pembaca untuk ikut bergabung dengan puisi dalam perenungan hidupnya. Magnolia & Lotus adalah sebuah buku yang dapat dibaca berulangulang; masing-masing dibuka dengan sebuah puisi yang menawarkan kedalaman makna dari artinya itu sendiri. Ini adalah kesempatan langka bagi pembaca, baik penganut Buddha Seon maupun bukan, untuk Ko r e a n a | Mu s i m Gu g ur 2013

Studi Korea Online bagi Pelajar SMU Amerika Serikat

“Program Pembelajar Studi Korea Sejong” Stanford University: http://spice.stanford.edu/docs/sejong_korean_scholars_ program/

Program Pendidikan Lintas-Budaya dan Internasional (Stanford Program on International and Cross-Cultural Education (SPICE)) adalah bagian dari usaha Universitas Stanford untuk menyadari pendidikan lintas budaya pada sekolah tingkat pertama dan menengah di seluruh Amerika Serikat. Di antara aktivitas dan programnya adalah Program Pembelajar Studi Korea Sejong, sebuah program Studi Korea online bagi siswa SMU. Dari 60 pelamar, dipilih 27 siswa tahun ini dari seluruh negara untuk berpartisipasi dalam kelas online yang mencakup berbagai bidang di bawah cakupan Studi Korea yang lebih luas. Diluncurkan pada bulan Maret tahun ini, program tersebut adalah yang pertama menawarkan studi Korea kepada siswa SMU. Kelas diselenggarakan dalam bahasa Inggris oleh ahlinya dan subyek yang diajarkan seperti sejarah, budaya, kepercayaan, kesenian, politik, dan perekonomian Korea. Jufa terdapat kelas khusus: “Pengantar Buddha Korea”, “Perkembangan Ekonomi Korea”, dan “Gerakan Hallyu”. Kelas yang terakhir ini tentu saja populer di antara siswa yang tertarik dengan budaya pop Korea. Siswa dapat memilih dari 12 kelas online, dan mereka juga dapat berpartisipasi dalam sesi diskusi online dan menyelesaikan tugas baca dan tugas mingguan. Program ini tidak dipungut biaya, menawarkan siswa SMU AS sebuah kesempatan langka untuk mempelajari tentang Korea dan mendapatkan awal yang lebih dulu akan pendidikan dan karier masa depan dalam studi Korea. Shin Gi-wook, direktur Program Studi Korea Universitas Stanford dan pengajar Program Studi Korea Sejong, berharap bahwa program ini akan membantu memperbaiki kesalahpahaman mengenai Korea di Amerika dan memberikan siswa SMU kesempatan untuk “meraih perspektif yang lebih luas dan mengembangkan pengetahuan dan pemahaman mereka tentang Korea.”

49


Esai

Fasilitas Publik di Seoul Andriani Koesmarijanti, Ibu Rumah Tangga

Ketika suami mendapat panggilan untuk mengajar di Hankuk University of Foreign Studies (HUFS), Seoul, Korea, sebagai istri, tentu saja saya senang. Tetapi di balik itu, timbul pertanyaan. Korea dengan Winter Sonata, ginseng yang jadi mitos kaum lelaki, kimchi dengan rasanya yang khas, atau Seoul yang gemerlap: seperti apakah gerangan? Pertama kali kami datang di sebuah apartemen di bilangan Hwarangdae, sebuah wilayah di pinggiran Seoul, saya dikejutkan oleh beberapa ajumma dan ajussi—sebutan untuk perempuan dan lelaki setengah baya. Mereka seperti berlomba membantu kami mengangkuti barang-barang. Selepas itu, salah seorang di antaranya, menjelaskan cara pemakaian kompor, memperlihatkan peralatan memasak dan peralatan makan, dan mengingatkan, agar kami tidak segan-segan memanggil mereka jika perlu pertolongan. Inikah orang Korea yang guyub? Esoknya, salah seorang ajumma itu, panjang-lebar menjelaskan aturan membuang sampah. Sambil memperlihatkan kantong kresek untuk sampah, ditujukkannya beberapa tong sampah khusus untuk sisa makanan, kertas dan plastik kering, botol-botol, dan tempat pembuangan kardus atau barang-barang yang agak besar. Meski saya tidak mengerti bahasanya, caranya memberi contoh, memudahkan saya memahami segala yang dipesankannya. Dalam perkara tolong-menolong, mahasiswa-mahasiswa HUFS, tak kalah gesitnya. Segala urusan dokumen kependudukan, lengkap sudah, dalam waktu cepat, berkat uluran tangan mereka. Mereka pun membantu kami mencarikan mesin cuci dan televisi bekas. Anak saya yang masuk kelas 2 SMP Korea (Gongreung Jung Hakkyo), juga tidak terlepas dari kegesitan mereka menolong. Tinggal di negeri asing, di tengah lingkungan yang bahasanya tidak saya pahami, semestinya membuat saya terkucil dan tak betah. Namun ternyata tidak begitu. Dengan segala kemudahannya mendapat berbagai pertolongan, saya seperti tinggal di kampung halaman sendiri. Tentu kesannya hiperbolis. Tetapi itulah yang saya alami. Sampai kini, para mahasiswa HUFS, jika tidak ada kegiatan kuliah atau urusan lain, selalu siap membantu kami, apa pun urusannya. Lain lagi ceritanya ketika berada di dalam subway atau bus kota. Sebagian besar penumpang, tampak sibuk sendiri dengan Galaxy Tabs atau Note, Ipad, Iphone atau handphone berbagai merek. Kecuali anak-anak SD atau gadis-gadis ABG yang heboh ketika mereka mengobrol, para penumpang itu asyik-masyuk sendiri bermain game, menonton film atau pertandingan olah raga dari hp mereka, atau mendengar musik lewat earphone. Mereka seperti tak peduli pada penumpang di sebelahnya. Kesannya cuek, tetapi sejauh urusanmu urusanmu, urusanku urusanku, segalanya akan baik-baik saja. Tidak ada keisengan, tidak terdengar pula obrolan dan tawa canda penumpang. Tertib sosial! Itulah potret paling menonjol dalam kehidupan warga Seoul. Seperti ada konvensi tak tertulis, tertib sosial adalah tanggung jawab bersama. Maka berhati-hatilah membuang sampah sembarangan, mengobrol lewat telepon dengan suara agak nyaring, atau menyerobot masuk subway atau bus kota. Para penumpang itu seketika akan memelototi kita. Juga, bagi para pemuda, biarkanlah tempat duduk untuk para lansia, tunadaksa, atau ibu hamil dan anak-anak, tetap kosong, meski penumpang berjejalan. Wahai anak muda, ketika kau naik subway atau bus, janganlah berpura-pura tidur di tempat dudukmu, ketika di depanmu ada orang tua atau ibu hamil berdiri tak kebagian tempat duduk. Pandangan para penumpang lain di

50

S e n i & B u d a y a Ko re a


depanmu akan tumpah ke arahmu, dan sorot mata mereka seperti hendak mencibir, “Tak tahu adat, tak menghargai orang tua!� Bahkan, sering pula saya melihat, seorang polisi membawakan barang-barang seorang penumpang lansia atau perempuan setengah baya. Kadang kala petugas stasiun tergopoh-gopoh mengantar calon penumpang ke jalur yang benar, jika mereka salah memilih jalur kereta. Bangsa Korea ternyata sangat menghormati orang tua. Lihat saja, di setiap stasiun, lift disediakan untuk mereka yang kerepotan naik tangga. Kadang-kadang, para lansia itu dipekerjakan di tempat-temat umum. Mereka bekerja sekadar untuk membersihkan kaca, pegangan eskalator, atau langit-langit stasiun. Ada pula yang pekerjaannya hanya duduk di kursi sambil mengawasi para pejalan kaki. Jika di antara pejalan kaki itu ada yang salah arah, tugas lansia itulah mengingatkannya. Pada pagi hari yang sibuk, seorang ibu setengah baya, dengan bendera di tangan, akan bergerak cepat menyeberangkan anak-anak sekolah atau orang-orang lansia. Begitu bangga ia melakukan pekerjaannya sebagai relawan. Tampak pula kebahagian terpancar ketika ia berhasil menyeberangkan orang-orang itu. Perhatian pemerintah Korea kepada orang tua, ibu hamil, dan tunadaksa atau tunanetra, tampak pula dari berbagai kebijakan yang berkaitan dengan pelayanan publik. Dalam antrean panjang melewati pemeriksaan dokumen keimigrasian di bandara, misalnya, petugas imigrasi selalu akan mendahulukan para orang tua yang termasuk kategori lansia. Ongkos naik subway atau bus kota pun, bagi para lansia itu, lebih murah dibandingkan ongkos penumpang biasa. Tidak jarang pula, petugas stasiun, melalui pintu khusus, sengaja membebaskan mereka. Bagi seorang ibu setengah baya seperti saya, peristiwa-peristiwa itu mengharukan. Bagaimana para orang tua, ibu hamil, dan tunadaksa, seperti hendak dimanjakan. Lebih dari itu, konon, pemerintah pun memberi bantuan kursi mesin bagi para tunadaksa. Maka, mereka bisa leluasa naik subway atau bus, keluar-masuk stasiun, melaju perlahan di trotoar, atau berbelanja sendiri di pasar, lantaran pemerintah menyediakan fasilitas untuk mereka. Di dalam subway atau bus pun, disediakan pula ruangan khusus untuk mereka. Di setiap kelurahan tersedia pula beberapa taman atau tempat bermain para kakek atau nenek yang hendak mengasuh cucu mereka. Di samping peralatan mainan, sebagaimana yang terdapat di sekolah taman kanak-kanak, sejumlah peralatan olah raga disediakan pula di sana. Jangan coba-coba iseng mencorat-coret atau mencopot mur peralatan olah raga itu. CCTV yang bertebaran di mana-mana, akan memudahkan polisi menemukan pelakunya. Jika tertangkap, selain hukuman formal dengan dakwaan telah merusak fasilitas umum, sanksi sosial sudah menunggu begitu selesai berurusan dengan polisi. Seoul yang sibuk dengan semangat orang Korea yang ingin serba cepat, ternyata menyimpan begitu banyak penghormatan kepada orang tua. Pemerintah seperti sengaja memanjakan masyarakatnya dengan berbagai fasilitas dan pelayanan publik. Hanya di Seoul, saya merasa nyaman dan aman pulang larut malam, meski kerap berpapasan dengan orangorang yang berjalan sempoyongan sambil meracau karena mabuk berat.

Ko r e a n a | Mu s i m Gu g ur 2013

51


HIBURAN

Dengan album terbaru berjudul “Hello,” Cho Yong-pil menaklukkan dunia musik pop masa kini dengan menghapus garis pemisah antara generasi tua dan generasi muda. Album tersebut menggabungkan genre generasi muda seperti electronica, modern rock, serta rap dengan tidak kehilangan jati diri yang dimiliki dunia musiknya.

Lim Jin-mo, Kritikus Musik

Cho Yong-pil

Telah Kembali!

© YPC Production

R

espons terhadap Cho Yong-pil, penyanyi yang kembali setelah satu dekade, meledak melebihi sambutan masyarakat terhadap idol bands yang mengusung trend K-pop. Di kafe dan tempat-tempat yang didominasi oleh generasi muda berumur 20-an terdengar lagu terbarunya berjudul “Bounce” dan “Hello” disenandungkan orang banyak. Penyanyi berumur 63 tahun itu tidak hanya menjadi juara satu di

52

digital music source charts tetapi juga berdiri di puncak beberapa program musik TV, seperti “Music Bank” dan “Music Core” dengan penonton terbesar dari generasi muda. Pada bulan Juni, dua bulan setelah album Cho Yong-pil dirilis, terjual lebih dari 230.000 keping dan menjadi penjualan terbaik di antara sejumlah album yang dikeluarkan selama tahun ini. Suatu keajaiban yang dibuat oleh seorang penyanyi veteran kelahiran tahun 1950-an. S e n i & B u d a y a Ko re a


Keberanian ‘Old Timer’ “Bapak Cho Yong-pil, betapa indah mendengar lagu dari digital music source! Bounce. Bounce. Hati saya berdebar-debar. Saya takut ketahuan kalau hati saya berdebar-debar.” Itu adalah twitter tribute yang lucu dari Taeyang, bintang idol band musik Big Bang yang sekarang terkenal seperti lagu “Bounce”. Sebenarnya kalimat itu diambil dari lirik lagu “Bounce”, lagu pertama dari album Cho yang ke-19. Buzz fansnya dimulai dari yang berumur belasan hingga dua puluhan tahun. “Benarkah ini suara laki-laki berumur 63 tahun?” Mereka mengatakan, hal itu sangat mengagumkan dan tidak dapat dipercaya. Musik yang terdiri dari techno, rock, dan rap ini, dinyanyikan seseorang yang berasal dari generasi orangtua mereka. Mereka asyik streaming dan mengunduh lagu baru Cho Yong-pil, “Penyanyi dari Masa Silam”. Tentu saja sambutan dari generasi tua pun sangat hangat. Di samping senang dapat mendengar lagu baru Cho yang telah lama ditunggu, mereka juga sangat tersentuh. Terlebih saat ini lagu terbaru Psy “Gentleman”, penyanyi yang sudah go internasional, tengah mendominasi dunia. Wajarlah para penyanyi lain menghindari mengeluarkan album baru. Namun Cho sangat berani berhadapan langsung dengan bintang musik yang paling panas pada zaman ini, dan keberanian itu sangat mengesankan. Oleh karena itu dapat dipastikan sekali lagi, bahwa Cho Yong-pil bukan hanya penyanyi tetapi juga ikon generasi yang tersimpan dalam hati generasi tua. Seorang pegawai bank berumur 40 tahun merasa begitu bergetar dan berkata, “Saya merasa keberhasilan yang diperoleh Cho seolaholah adalah keberhasilan saya”. Sebetulnya generasi tua merasa tertinggal dalam budaya pop sekarang, tetapi keberhasilan Cho membawa semangat lagi kepada mereka; “saya pun bisa” dan “saya belum tua”. Beralihnya piringan hitam (LP) diganti teknologi CD ternyata mengusik perasaan generasi tua. Piringan hitam telah lama dianggap sebagai sesuatu yang hampir lenyap, namun berkat sensasi Cho Yong-pil, kini permintaan untuk piranti ini berkembang kembali. Hal ini memperlihatkan bahwa budaya analog tidak akan mudah hilang. Dalam mendesain konten album ini Cho sengaja mementingkan unsur rock, perbedaan yang paling menyolok dengan album ke-18-nya yang berjudul “Over the Rainbow”, dirilis pada 2003. Bersama usaha untuk tidak ketinggalan zaman dengan menampilkan semangat muda, Cho memperlihatkan maksudnya untuk mendorong generasi tua dan membangkitkan jiwa mereka dengan mendengarkan rock, alirannya kaum muda.

Raja Pop Korea ho Yong-pil telah lama dikenal sebagai “Raja Pop Korea”. Sebab utama dia dianggap sebagai penyanyi lagu pop Korea nomor satu adalah karena dia memiliki hit song terbanyak di antara penyanyi Korea lain, seperti lagu “Return to Busan Port” dan “Woman Outside the Window”. Dia mempunyai setidaknya lebih dari 50 lagu yang mudah dikenali generasi muda hanya dari mendengar bagian awal lagu-lagu terseKo r e a n a | Mu s i m Gu g ur 2013

but. Sebagai perbandingan, jika dalam musikal “Mamma Mia” dipakai 17 lagu dari album ABBA, grup legendaris pop Swedia, maka dapat dihasilkan lebih dari tiga karya musikal dengan lagu-lagu Cho Yong-pil yang terkenal. Sejak dulu Cho Yong-pil membuat musik tersendiri dengan mengintegrasi semua genre musik. Dari periode 1970-an, yang dapat disebut sebagai masa Cho Yong-pil, sampai awal 1990-an semua genre musik yang ada di Korea tercakup di dalam musiknya. Tidak ada genre musik yang belum dicobanya, dari rock, blues, country, folk, trot, sampai gaya musik vokal yang lain. Inilah salah satu sebab mengapa dia disebut sebagai “penyanyi favorit nasional” atau “ ledakan tungku musik pop Korea”. Lagu Cho Yong-pil tidak hanya berkumandang di telinga tetapi juga pada hati pendengarnya. Secara sepintas lagunya terdengar seperti suara nasal, namun memiliki kekuatan karena berasal dari gema yang sangat mendalam. Lagu “Bounce”-nya memikat hati remaja sekarang dengan vokal yang kuat dan jelas. Karena itulah, para remaja tahun 1980-an menyeru “Oppa!” ketika dia muncul di panggung.

Dua Sayap Cho Yong-pil Inovasi yang diperlihatkan Cho sekarang sesungguhnya bukan merupakan sesuatu yang baru. Dia adalah penyanyi yang terus-menerus mengubah diri sendiri dengan hal yang baru dan tidak pernah menempatkan diri pada formula yang sukses. Album yang diproduksinya selalu hasil dari usaha seperti itu. Pada poster albumnya yang terbaru, tertulis ungkapan: “hasil dari inovasi dan gairah selama 10 tahun”. Cho selalu mengutamakan pentingnya panggung. Dia mengatakan bahwa menyanyi di atas panggung adalah hal dasar bagi penyanyi. Pernyataannya tersebut memang dianggap sebagai sesuatu yang wajar dan sebagaimana semestinya. Namun, nilai yang dimiliki pernyataan tersebut mungkin tidak tersentuh oleh para penyanyi muda zaman sekarang yang percaya bahwa jalan pendek menuju sukses adalah ikut-ikutan sejumlah program entertainment TV untuk menjadi multitalented entertainer. Cho pernah mengatakan, “Dengan jadwal yang ketat, penyanyi tidak dapat memfokuskan diri pada musik. Dengan berdiri pada panggung konser, Anda dapat tumbuh sebagai penyanyi dalam arti yang sebenarnya”. Meskipun dia tidak muncul lagi sejak lagu “Dream” hadir dalam music charts pada 1991, dia tetap mempertahankan posisinya yang kuat dengan konser yang tidak berhenti. Orang-orang tahu, jika mereka ingin melihatnya, mereka harus pergi ke konsernya, dan kenyataannya dia selalu ada di atas panggung. Lagi-lagi dia mengatakan bahwa album terbarunya ini berisi “concert-oriented songs”. Di tengah dunia musik pop sekarang yang dipenuhi oleh idol bands, Cho Yong-pil terbang dengan indah sekali lagi. Dia mempertahankan hal mendasar sekaligus selalu mengubah diri dengan sikap yang terbuka. Inilah dua sayap yang dimilikinya. Dia memperoleh dukungan dari seluruh generasi karena kita hidup dalam suatu era yang memerlukan nilai-nilai utama yang dimilikinya.

53


KENIKMATAN GOURMET

54

S e n i & B u d a y a Ko re a


Aroma Lezat Jamur Song-i Daya tarik jamur Song-i yang utama adalah aroma, tekstur, dan keberadaannya yang sulit diperoleh. Jamur itu dapat diperoleh di hutan pohon cemara hanya saat musim gugur. Membuat jamur itu menjadi bahan masakan nomor satu bagi para ahli kuliner. Ye Jong-suk, Kolumnis Makanan, Profesor Marketing, Universitas Hanyang | Ahn Hong-beom Fotografer

K

egemaran orang Korea terhadap jamur Song-i tidak kalah dengan kegemaran orang Eropa terhadap jamur truffle. Keistimewaan Song-i terletak pada aromanya sehingga jamur ini harus disimpan dengan baik agar aromanya tidak mudah menghilang. Song-i merupakan salah satu bahan masakan musim gugur yang paling dihargai oleh orang Korea. Menjelang Tahun Baru dan Chuseok, hari Raya paling penting bagi bangsa Korea, harga jamur Song-i melonjak tinggi karena dicari banyak orang sebagai oleh-oleh.

Hubungan Simbiosis antara Song-i dan Pohon Cemara Daya tarik yang dimiliki jamur Song-i adalah aromanya. Ketika dimakan, aroma jamur akan tertinggal lama di dalam mulut. Jika jamur Song-i yang dipetik pagi hari dimakan langsung setelah akarnya dibuang, dicabik sesuai uratnya, aroma pohon cemara yang khas akan terus terasa di dalam mulut sepanjang hari. Teksturnya pun terasa elastis dan lembut saat dikunyah. Jamur Song-i sendiri dapat menambah citarasa jika ditambahkan ke masakan lain. Selain Song-i sangat serasi dengan berbagai bahan masakan lain, jamur ini juga mampu meningkatkan nafsu makan. Sewaktu memasak sup dengan aroma yang mengepul, sup itu akan bertambah lezat jika ditambahkan Song-i. Ketika menambahkan Song-i saat memanggang daging, rasa daging itu akan menjadi jauh lebih enak. Jika jamur itu dipakai saat menanak nasi, rasanya akan membangkitkan nafsu makan. Kegemaran orang Korea terhadap jamur Song-i tidak kalah dengan kegemaran orang Eropa akan jamur truffle. Truffle lebih mudah diperoleh sementara Song-i sulit didapat. Song-i tidak mudah beradaptasi dengan lingkungan sekelilingnya. Jang-ka pertumbuhannya pun sangat pendek. Selain itu, jamur itu tidak mungkin dibudidayakan. Hal-hal inilah yang menjadikan nilai Song-i begitu tinggi. Song-i adalah anggota keluarga jamur Tricholomataceae yang hidup dengan menempel pada akar pohon cemara berumur 20-60 tahun. Jamur ini bersimbiosis dengan pohon cemara dengan cara saling bertukar nutrisi. Jamur itu kemudian menumbuhkan diri di tanah. Song-i sangat peka terhadap kondisi lingkungan. Suhu harus lebih rendah dari 26°C saat siang hari dan tidak boleh rendah dari 15°C di malam hari. Hujan harus turun lebih dari 100 mm selama kurang-lebih 20 hari. Oleh karena itu, Song-i yang segar hanya dapat diperoleh selama 20 hari dari bulan September sampai Oktober. Ada juga ‘Song-i musim panas’ yang dapat dipetik pada bulan Agustus jika suhu dan jumlah curah hujan memenuhi syarat tersebut. Namun rasa dan aromanya tidak begitu bagus dibandingkan dengan Song-i yang original.

Jamur songi bertunas sekali pada musim gugur setelah cangkokan yang memasuki usia tahun ke-20 sampai ke60, sistem akar pohon pinus yang halus, bertukar nutrisi dengan pohon dalam hubungan simbiotik.

Ko r e a n a | Mu s i m Gu g ur 2013

Sambutan Spesial dari Raja Sebenarnya banyak ditemukan catatan dan referensi yang memperlihatkan betapa pentingnya jamur Song-i bagi orang Korea sejak zaman kuno. Dongeui Bogam (Buku Pengobatan Korea) yang diterbitkan pada 1613 di zaman Kerajaan Joseon menyatakan: “Dengan aroma wangi dan rasa manis, Song-i adalah jamur paling bagus di antara sejumlah jenis jamur. Song-i tumbuh di bawah pohon cemara dalam hutan kemudian mendapat kekuatan hidup dari pohon itu. Pada masa yang lebih awal, Song-i ditemukan den-

55


56

S e n i & B u d a y a Ko re a


gan kata songji di sebuah kumpulan puisi berjudul Pahanjip karya Yi In-ro, seorang priyayi Kerajaan Goryeo. Dalam puisinya, Yi Saek, sarjana pada abad ke-14 memuji Song-i sebagai jamur yang menampilkan “rasa yang halus”. Pada Periode Joseon jamur Song-i dikumpulkan dari berbagai daerah kemudian dipersembahkan kepada sang raja sebagai masakan khas lokal. Sejarah masa Raja Yeongjo (Yeongjo Sillok, 1724-1776) mencatat ketika Song-i diserahkan kepada raja, beliau bertanya apakah jamur Song-i itu pernah disajikan dalam upacara leluhurnya. Jika jawabannya “belum”, raja akan menyalahkan pejabat istana dan tidak berkenan menyantap jamur Song-i yang disajikan. Dalam sejarah Raja Gojong (Gojong Sillok, 1864-1907) terdapat sebuah cerita yang menarik. Seorang inspektur Provinsi Gangwon melaporkan kepada raja bahwa dia memecat seorang pegawai karena tidak mau menyerahkan jamur Song-i. Namun raja itu menyuruhnya untuk memaafkan si pegawai karena waktu itu musim panen begitu berlimpah.

Festival Song-i Song-i banyak ditemukan di daerah pesisir Lautan Timur dan hutan pohon cemara Pegunungan Taebaek sampai Sobaek, terutama Yongduk, Boonghwa, dan Uljin di Provinsi utara Kyoungsang, serta Yangyang di Provinsi Gangwon. Daerah-daerah tersebut sangat dikenal sebagai wilayah hutan pohon cemara yang lebat. Panen Song-i di daerah provinsi utara Kyoungsang melebihi 80 persen dari semua penghasilan Song-i di seluruh Korea. Song-i yang dihasilkan di pegunungan bersifat khas, berat, dan aromanya sangat kental sedangkan Song-i dari daerah pesisir bersifat lembut dan besar. Sementara Song-i yang dihasilkan dari Bonghwa, daerah yang sangat segar di kaki Gunung Taebaek, dianggap sebagai jamur berkualitas paling bagus, keras, serta beraroma enak sebab tumbuh di hutan cemara dengan pepohonan Chunyang yang berbentuk indah dan sangat populer sebagai bahan Kegemaran orang Korea terhadap jamur Song-i tidak kayu. Dalam hal kualitas, Song-i terbaik adalah yang kalah dengan kegemaran orang Eropa terhadap jamur memiliki kepala lebih tebal daripada batangnya dan truffle . Keistimewaan Song-i justru terletak pada aromanya memiliki warna berbeda. Keistimewaan Song-i justru jadi harus disimpan baik-baik karena aromanya mudah terletak pada aromanya jadi harus disimpan baik-baik karena aromanya mudah menghilang. Oleh karena menghilang. itu, cara paling bagus untuk makan Song-i adalah makan langsung di daerah penghasilnya. Jika jamur dikonsumsi di kota, waktu distribusi tidak boleh lama karena akan merusak kesegarannya. Jamur Song-i juga diekspor ke luar negeri sehingga dengan segala cara dibuatlah kemasan untuk menjaga kesegaran dan aromanya. Seperti yang telah disebutkan di atas, cara paling bagus untuk menikmati aroma Song-i adalah memakan setelah akarnya dicabut. Sebaiknya dimasak dengan cepat di atas api kecil, serta memakai sedikit bumbu untuk menjaga aroma jamur. Sebuah buku pertanian yang terbit pada pertengahan abad ke-18, Jeungbo Salim Gyengje menyatakan, “Jika daging burung pegar dibuat sup, dibakar sedikit setelah ditusuk sate kemudian dibumbuhi minyak wijen, ditambah jamur Song-i, maka ini akan menjadi ‘makanan surga’. Sebuah buku resep yang ditulis pada abad ke-19, Sieui Jeonseo, menyajikan berbagai cara memasak jamur Song-i seperti dibuat sup, disate (sanjeok), dan dikukus (jjim). Sesungguhnya banyak cara memasak Song-i seperti bulgogi, jeongol (hot pots), dolsot (stone hotpot), rice dish, abalone porridge, kalguksu (mie di dalam sup), dan jangjorim (tumis sapi masak saus kecap). Beberapa restoran yang terkenal menyajikan masakan Song-i di Bonghwa adalah Yongdu, Solbong-I, serta Namyangsutbulgalbi. Di Yangyang, Provinsi Gangwon, restoran yang terkenal adalah Song-i Gol dan Song-i Maeul di pinggir jalan bernomor 7. Saat musim Song-i, kita dapat menyantap sup Song-i sebagai sarapan di restoran di daerah penghasil Song-i. Pemilik restoran kadang memasak sup menggunakan Song-i yang tidak terlalu bagus untuk dijual. Sup tersebut menjadi hidangan yang justru tidak pernah dibayangkan Jamur song-i tumbuh di pohon pinus yang berusia 20 tahun dan terasa lebih istimewa daripada masakan Song-i yang sengaja dicari-cari. Di Bonghwa, Uljin, dan Yansampai 60 tahun dengan tukargyang bahkan diselenggarakan “Song-i Festival” pada setiap musim gugur. menukar nutrisi masing-masing. Ko r e a n a | Mu s i m Gu g ur 2013

57


gaya hidup

Menetap di Jeju untuk Melepaskan Diri dari Lelahnya Kehidupan Urban Bagi mereka yang ingin lepas dari kehidupan urban modern, Pulau Jeju adalah pulau impian. Kaum muda usia 20 hingga 30-an yang menghindari persaingan hidup; para orang tua tengah baya yang menghendaki putra-putrinya tumbuh dengan lingkungan pendidikan yang lebih baik; dan para pensiunan yang berusia 50 hingga 60-an, bermimpi atau bahkan tengah mewujudkan mimpi mereka dengan berimigrasi ke Jeju. Lee Jin-joo, Penulis Lepas | Ahn Hong-beom Fotografer

K

im Tae-hwan, pemilik Wisma dan Kafe Dalparan, dulu mengajar bahasa Korea di sekolah menengah atas. Setelah kedua anaknya kuliah, ia dan istrinya, yang juga seorang guru, menjadi relawan untuk bekerja di sebuah sekolah di Jeju. Di tempat kerjanya yang terakhir, Sekolah Menengah Atas khusus Perempuan Daejeong (Daejeong Girls’ High School), ia melihat para siswa belajar dengan tergesa-gesa ketika menghadapi ujian dan semakin terbebani rutinitas lingkungan pendidikan yang sama seperti di Seoul. Kim merasa kecewa dengan pendidikan di sekolah tersebut, begitu juga dengan profesinya sebagai pengajar. Ia berusia 49 tahun dan kesehatannya tidak lagi sebaik dulu. Akhirnya, ia memutuskan untuk pensiun dini.

“Tahap Kedua” dalam Hidup Kim menjual apartemennya di Seoul seharga 600 juta won. Hasil penjualan tersebut kemudian ia belikan sebidang tanah di Wimi-ri, Namwon-eup, Seogwipo. Ia membangun sendiri sebuah rumah untuk ia tinggali. Lokasinya di Rute 5 di dataran sepanjang Jeju Olle Trail. Jendela-jendela di lantai dua kafe Kim mengarah ke pemandangan laut yang mengagumkan, dilatarbelakangi Gunung Halla yang spektakuler. Banyak rekan dan saudara yang sebenarnya menghawatirkan guru kutu buku ini ketika membuka sebuah wisma dan kafe karena ia hanya tahu tentang membaca buku dan mengajar puisi. Menanggapi kekhawatiran tersebut, Kim akhirnya dapat mengelola usahanya dengan bantuan banyak orang. Tinggal di Jeju tidak selamanya romantis. Jeju merupakan wilayah

58

dengan curah hujan yang tinggi. Oleh karena itu, Kim perlu berjuang melawan kelembaban, serangga, dan jamur yang tumbuh sepanjang tahun. Walaupun Kim telah menjadi pengusaha, terkadang ia tetap harus melakukan banyak hal sendiri, seperti memberi makan anjing, mencuci piring, dan membersihkan kamar mandi. Sambil tersenyum masam, Kim berkata, “Saya terbiasa bekerja keras dan hidup dengan melakukan segala sesuatu sendiri.” Pada Agustus tahun lalu, istri Kim memutuskan untuk berhenti mengajar di Seoul dan tinggal dengannya di Jeju. Jeju adalah tanah impian bagi penduduk urban di usia menjelang masa pensiun. Generasi yang memasuki dunia kerja di era 1980-an terbiasa mendengar lagu yang berjudul “Malam Biru di Pulau Jeju” (“Blue Night in Jeju Island” ): “Saat kita benci dengan segala hal yang mengikat kita: koran, TV, gaji…” Lagu tersebut menggambarkan Jeju sebagai Utopia, sebuah tempat yang diidamkan orang untuk hidup dengan semua hal yang terasa memungkinkan. Baru-baru ini, terjadi peningkatan jumlah pensiunan dini yang hendak memasuki “Tahap Kedua” dalam hidup selagi mereka masih muda dan sehat. Merekalah masyarakat urban yang pindah ke Jeju dan membangun wisma juga kafe di sepanjang Olle Trail atau dekat pantai, dan menjadikannya sebagai trend.

Imigrasi Seniman Berusia 30-an Ko Pil-heon (nama pena: Mega Shocking), pemilik wisma Jjolgit S e n i & B u d a y a Ko re a


Center di dekat Pantai Hyeopjae, dulunya adalah artis kartun humor lowbrow 1. Tiba-tiba tiga tahun yang lalu, ia berhenti menggambar komik dan memutuskan untuk menetap di Jeju. Setelah melewati masa krisis kehidupan pasca perceraian, Ko Pil-heon memutuskan untuk memulai hidup baru. Berkat modal yang terkumpul dari adik laki-laki dan tujuh adik kelasnya, ia berhasil membeli sebuah rumah bobrok dua lantai di Hallim-eup, Jeju, lalu membuka sebuah wisma. Anak-anak muda, termasuk seniman lokal seperti para penyanyi band rock indie yang kecewa oleh kapitalisme chaebol, berkumpul di wisma Ko. Usaha ini bergerak oleh energi mereka yang berusia 20 hingga 30-an yang dengan senang hati mengajukan diri bekerja sebagai relawan di wisma Ko lewat Twitter. Dengan kata lain, mereka adalah pekerja bahagia tanpa bayaran. Bagi mereka, ini bukanlah sebuah pekerjaan melainkan ajang bersenang-senang. “Merupakan sebuah kesalahan bila Anda berharap suatu hari akan bahagia,” tutur Ko. “Alihalih, lakukanlah sesuatu sekarang, sesuatu yang mampu membuat hati Anda jjolgit (segala sesuatu yang Anda temukan pasti berharga).” Pelukis Lee Myung-bok dan istrinya, Kim Eun-jung, memiliki kisah serupa. Lee pernah menjalani kehidupan ganda, yaitu sebagai penulis yang mengumandangkan anti kapitalisme sekaligus sebagai karyawan di perusahaan penyiaran dengan gaji yang sangat tinggi. Saat Lee merasa takut bahwa suatu hari ia akan kehilangan segalanya dalam satu waktu, Jeju memberi isyarat, tuturnya. Istrinya, yang pada saat itu bekerja di sebuah perusahaan penyiaran berbeda, dengan senang hati langsung menyetujui keputusan Lee untuk berimigrasi ke Jeju. Keduanya lalu membuka Nori Galeri di pintu masuk Desa Seniman Jeojiri, dekat Museum Seni Kontemporer Jeju. Saat mereka berencana membuka pameran yang menggabungkan konser dan pertunjukan, para artis yang sedang naik daun seperti artis pop Mari Kim, yang sangat terkenal di kalangan kelas atas Cheongdam-dong di Seoul; dan Vandal, seorang pelopor seni graffiti Korea; turut memeriahkan acara. Mereka juga memberi kesempatan buat anak-anak dari sekolah dasar lokal untuk memanfaatkan ruang pameran galeri sebagai tempat untuk memamerkan karya mereka. Para kakek dan nenek kemudian berdatangan untuk melihat hasil karya cucu-cucu mereka. Gerakan seni yang telah mereka luncurkan di kampung halaman yang baru turut melibatkan seniman-seniman top-drawer dan bergerak seperti gerakan akar rumput. Dahulu kala, Jeju adalah sebuah tanah yang gersang akan seni, kurang infrastruktur seperti teater dan gedung-gedung pertunjukan. Ketika para imigran artis tiba, Jeju kemudian menjelma menjadi kiblat baru bagi kebudayaan dan seni, seperti halnya daerah kantong seni dekat Universitas Hongik di Seoul atau Heyri di Paju, Provinsi Gyeonggi. Beberapa dari para imigran artis tersebut memiliki peran yang menonjol di gerakan-gerakan lokal, seperti saat memobilisasi pihak oposisi pada pembangunan pangkalan angkatan laut atau melakukan kampanye masyarakat.

1 Lowbrow merupakan salah satu seni visual underground yang di akhir 1970-an banyak muncul di Los Angeles, California (catatan penerjemah).

Ko r e a n a | Mu s i m Gu g ur 2013

Trend lain yang perlu dicatat adalah peningkatan jumlah karyawan dengan usia sekitar 30 sampai 40 tahunan. Sama halnya dengan gejala baby boomers, para imigran tersebut terus meningkat di Jeju. Tidak seperti para pensiunan dengan usia lanjut, golongan ini termasuk kelompok produktif yang mampu mengerjakan banyak hal dengan vitalitas penuh. Golongan ini disebut juga “downshifters” dalam sistem sosiologi saat ini, yaitu golongan yang mencari kebahagiaan dengan menurunkan derajat hidup mereka dan memutuskan untuk menjalani kehidupan dengan santai. Mereka lebih suka memperoleh pendapatan kecil dengan pengeluaran yang kecil pula. Para downshifters sedikit berbeda dari generasi tua yang pada usia muda bekerja seperti semut pekerja hingga mampu membeli rumah, menyekolahkan anak-anak, mengejar karier, kemudian menikah. Para downshifters telah memperlambat gerakan mereka lebih awal, sehingga mereka dapat menikmati kehidupan saat ini juga, bukan nanti. Sosiolog dan psikolog menanggapi positif perubahan tersebut. Kim Ho-ki, seorang profesor sosiologi di Universitas Yonsei, menggambarkan para downshifters sebagai “generasi muda dengan strategi kemunduran yang proaktif.” Kim Ho-ki lebih lanjut berkata, “Mereka memilih kembali ke alam untuk mengatasi rasa takut menjadi pengangguran muda di usia sekitar 20-an, stres menjadi orang tua di usia 30-an, dan takut akan pemecatan ketika usia 40-an.” Beberapa cendekia menyebut fenomena ini sebagai awal mula perpindahan besar-besaran dari kota. Sebuah fenomena yang telah terlihat di negara-negara ekonomi maju.

Pendidikan Alternatif Kim Yeon-deok, 37, seorang dokter mata, turut bergabung dalam arus imigrasi ke Jeju pada September tahun lalu. Dulu, ia adalah seorang profesor di rumah sakit besar di Seoul, sebuah daerah metropolitan. Saat ini, ia bekerja di rumah sakit pribadi di Jeju. Kim melepas 2 pekerjaan bergaji tinggi dan memutuskan untuk pindah ke Jeju karena putranya yang berusia delapan tahun. Putranya memiliki IQ di atas 0.1 persen berdasarkan tes IQ Wechsler. Akibatnya, ia mengalami kesulitan untuk beradaptasi dengan pendidikan umum di Korea. Sekolah Internasional Jeju, yang menggunakan kurikulum terbuka, berjanji untuk mendidik anaknya dan memberi kesempatan untuk lompat kelas, tergantung pada kemampuannya. Istri Kim Yeon-deok berhenti dari pekerjaannya sebagai seorang penyiar untuk turut pindah bersamanya. Putra mereka, yang dulunya terkenal sering membuat keributan semasa sekolah di Seoul, sekarang menjadi presiden siswa setelah satu semester menginjakkan kaki di sekolah. Ia sangat menikmati sekolah dengan berpartisipasi dalam tim sepak bola junior. “Ketika saya menyaksikan putra saya berubah, saya yakin bahwa pengorbanan yang telah kami lakukan adalah sebuah tindakan yang berharga,” papar Kim. Beberapa imigran berusia 30 hingga 50 tahunan seperti Kim, yang memutuskan untuk pindah karena alasan pendidikan anak, tinggal di kota kecil dengan sekolah internasional di Daejeong-eup di Seogwipo dan pusat Kota Jeju, sebuah wilayah dengan standar biaya kehidup-

59


1

2

an yang tinggi. Sebagian besar keluarga ini telah melepaskan diri dari kejamnya persaingan sekolah-sekolah urban. Di Jeju, sebuah provinsi khusus dengan sistem pemerintahan sendiri, anak-anak penduduk lokal Korea dapat dengan bebas memasuki sekolah internasional. Tidak seperti sekolah di wilayah metropolitan Seoul yang mensyaratkan latar status kewarganegaraan asing atau berpengalaman tinggal di luar negeri untuk bisa diterima. Para orang tua menganggap Jeju sebagai kiblat baru bagi pendidikan alternatif. Banyak orang memutuskan untuk meninggalkan kota besar dan menetap di Jeju dengan tujuan untuk menempatkan putraputri mereka di lingkungan yang lebih baik, bukan hanya karena adanya sekolah internasional dengan sistem terbuka. Sebagai contoh, keadaan sekolah dasar di kota. Setiap kelas di sekolah umum yang mahal di distrik Seoul dipenuhsesaki oleh anak-anak berjumlah 30 orang. Halaman sekolah yang dilapisi serat tahan air poliuretan begitu sempit, sehingga tidak memungkinkan anak-anak untuk berlari 100 meter lurus maupun diagonal. Keadaan ini sangat kontras dengan sekolah di Jeju. Setiap kelas di Jeju hanya berisi kurang dari 10 siswa. Bahkan di sekolah-sekolah kecil di daerah terpencil pun memiliki lapangan berumput yang setiap saat dapat digunakan sebagai lapangan bola.

Sisi Negatif Tentu saja, selalu ada sisi negatif seperti halnya di tempat mana pun. Sebagian besar imigran sering berkata, “Anda akan tertegun pada keindahan alamnya tahun pertama. Anda akan langsung merasa bosan pada tahun kedua. Kemudian Anda tidak dapat bertahan hidup di sini dan ingin meninggalkan Jeju di tahun ketiga.” Kepulauan Jeju memiliki iklim dan budaya yang berbeda dari daratan. Itulah sebabnya banyak orang menyebut perpindahan mereka dengan istilah imigrasi. Anda akan dijamin gagal bila tidak memiliki persiapan yang memadai. Saya berimigrasi ke Jeju musim gugur tahun lalu untuk memberikan kesempatan pendidikan yang lebih baik bagi anak saya. Meskipun saya telah tinggal di sini hampir satu tahun, saya belum bisa beradaptasi dengan kondisi cuaca yang berubah-ubah. Seorang ibu rumah tangga di lingkungan saya, yang telah tinggal di sini sekitar 10 tahun,

60

1 Kim Tae-hwan, pemilik Wisma Dalparan. Pada pagi hari, ketika ia berada di perjalanan ke SMA tempatnya mengajar, dia memulai harinya dengan membuat dan minum kopi sambil memandang bebas ke laut.  2 Lee Myoung-bok dan istrinya, Kim Eun-joong, membuka Galeri Nori di Kota Jeju setelah berhenti dari perusahaan penyiaran.

mengaku tidak pernah bisa beradaptasi dengan iklim di Jeju. Jika cuaca memburuk, angin berdesis seperti suara hantu yang menangis. Saya takut pada langit yang mengubah wajahnya beberapa kali dalam sehari, sementara kelembaban udara terasa menusuk tulang. Saya belum pernah dengan sengaja membuat janji dengan seseorang apalagi mengunjungi tempat-tempat tertentu. Pertunjukan budaya yang bagus sangat sulit didapat di sini. Dokter spesialis anak yang menangani anak saya menyarankan, “Sangat sulit menjalani kehidupan di sini sebelum tinggal selama lebih dari tiga tahun, hingga setidaknya Anda tahu bagaimana cara bermain golf di sini.” Meskipun kami pindah ke Jeju karena telah jengah dengan sejumlah kegiatan tak berarti di kota, “orang-orang dari daratan” tetap terus dianggap sebagai orang asing oleh para penduduk asli pulau ini karena mereka memiliki kebudayaan yang eksklusif yang disebut gwendang (bahasa Jeju untuk menyebut saudara), yang dengan kata lain hanya meliputi mereka dengan asal-usul yang sama. Di pusat kota di Pulau Jeju, tempat para imigran bermukim, Anda dapat menyembunyikan identitas diri hingga batas waktu tertentu. Sayangnya, di daerah terpencil pulau tersebut, tempat Anda harus tetap menjaga hubungan baik dengan para tetangga, para imigran dapat langsung terpental begitu mereka berusaha berbaur ke dalam lapisan masyarakat yang lebih dalam lagi. Anda akan merasa menemukan diri sedang terdampar di pulau lain di dalam pulau. Keputusan pindah untuk menetap di Jeju baru dapat dipastikan paling tidak setelah tinggal di sini setidaknya enam bulan hingga satu tahun untuk menimba pengalaman. Pengalaman inilah yang mampu membuat para pendatang mempertimbangkan keputusan mereka. Wilayah yang berbeda di Pulau Jeju memiliki cuaca dan kebiasaan yang berbeda. Anda perlu memiliki pertimbangan yang matang mengenai hubungan pernikahan, pendidikan anak, usia dan keluarga Anda, serta kegemaran keluarga Anda. Masih banyak agen real estate di sini yang tak ragu untuk membohongi pendatang. Pendapatan para pekerja S e n i & B u d a y a Ko re a


kantoran biasa, bukan pemegang lisensi profesional, hanya sepertiga atau setengah gaji para karyawan di Seoul. Hal ini berarti standar biaya hidup di Jeju tidak semahal di Seoul. Faktanya, agak sulit bagi Anda untuk bisa berhasil di sini, hingga setidaknya Anda dapat membuka sebuah kafe sederhana di daerah yang memiliki pemandangan bagus.

gal. Beberapa imigran mengaku bahwa mereka telah terpesona oleh kecantikan Olle Trail, yang sihirnya mampu bekerja dengan pola-pola yang mudah diketahui: awalnya, mereka hanya berkunjung ke Olle Trail untuk berlibur di akhir pekan. Berikutnya, mereka datang lagi dengan tujuan berjalan-jalan sembari menginap selama dua minggu. Selanjutnya, mereka datang dan tinggal di wisma selama sebulan. Lalu Jeju yang Ramai akhirnya, memutuskan untuk tinggal di pulau ini secara permanen. Para imigran tampaknya akan terus berdatangan untuk meramaikan Menanggapi trend tersebut, sebuah artikel majalah menuliskan, “Para pulau ini dalam beberapa waktu mendatang. Berdasarkan data statistik wisatawan yang awalnya bertebaran seperti angin memutuskan untuk Korea terdapat 25.000 penduduk kota yang pindah ke Jeju tahun lalu. menapaki Bumi, menjadi seperti dol hareubang, yaitu patung-patung Jumlah total para imigran yang pindah ke Jeju berkebalikan dengan batu basal aborigin yang dapat ditemukan hampir di seluruh penjuru jumlah emigran yang meninggalkan pulau untuk menetap di tempat pulau. lain. Jumlah ini meningkat di tahun 2010 sebanyak 437 orang. Jumlah Olle Trail adalah jalur pejalan kaki sepanjang 425 km dengan rute ini terus bertambah drastis setiap tahun hingga mencapai 2.343 orang yang saling berhubungan satu sama lain. Suh Myung-sook, presiden (lima kali lipat) pada tahun 2011, 3.052 orang pada tahun 2012, dan Yayasan Jeju Olle Trail, yang pertama kali merencanakan dan mem3.401 orang pada akhir Mei tahun ini. Populasi di Jeju mencapai lebih buka jalur pejalan kaki pada tahun 2007 ini, dilahirkan di Jeju. Selama dari 600,000 jiwa untuk pertama kalinya tahun ini. Kecuali Seoul, hanya 30 tahun, ia menghabiskan waktu untuk kuliah di kota dan bekerja sebagai reporter surat kabar lalu kembali ke kampung halamannya. Saya memiliki alasan mengapa menyebut perpindahan ke Jeju dengan Suh Myung-sook pernah melaporkan istilah imigrasi. Banyak orang dari daerah perkotaan tertarik dengan bahwa ia menemukan adanya efek laut yang menyembuhkan dan lanskap berbukit-bukit yang lembut. penyembuhan dari berjalan kaki di Namun mereka harus berjuang dengan cuaca yang berubah-ubah, Camino de Santiago (jalur di Gunung James) di Spanyol. Jeju Olle Trail deninfrastruktur yang tidak memadai, dan budaya masyarakat eksklusif gan motto dialek lokal “nolmeong, yang disebut gwendang , istilah Jeju yang berarti saudara –– yang shimeong, georeumeong” (bermain, membuat orang luar sulit diterima oleh penduduk lokal karena tidak beristirahat, berjalan) telah mengubah termasuk dalam sistem kekerabatan mereka. seluruh paradigma berwisata hingga menghasilkan para “Maniak Olle.” di Jeju dan Sejong (kota dengan populasi yang sebagian besar terSeiring dengan semakin ramainya pengunjung dalam dua hingga diri dari para pejabat pemerintah beserta keluarga mereka yang telah tiga tahun terakhir ini, harga tempat tinggal dan berbagai komoditi juga hijrah dari Seoul) kita dapat melihat adanya pertumbuhan populasi turut meningkat. Namun, masih memungkinkan untuk membangun semacam itu. sebuah rumah dua lantai yang sederhana lengkap dengan kebun denDengan adanya pertumbuhan jumlah penduduk yang berasal dari gan harga yang setara apartemen kecil di wilayah utara Sungai Han di kota yang merupakan pusat kehidupan urban, keadaan ini memicu Seoul. Di Seoul, sangat sulit untuk berjalan-jalan bebas di akhir pekan adanya peningkatan perhatian media dan informasi guna membantu mengingat adanya banjir kendaraan di jalan. Berbeda dengan di Jeju, para pemukim baru dalam proses transisi mereka. Di sepanjang rak di sini Anda dapat melihat laut atau hutan hanya dengan berkendara toko buku, tulisan perjalanan tentang Jeju adalah buku-buku yang ditusekitar 5 hingga 10 menit. Ini adalah sebuah perubahan revolusioner lis oleh dan mengenai orang-orang yang telah bermukim di pulau terbagi para penduduk urban. Dengan sistem penyewaan tahunan, Anda sebut. Pada tahun-tahun pertama, mereka banyak menggambarkan dapat menyewa rumah seharga 2 juta won setahun. Beberapa orang kegagalan atau menjadi orang buangan dari kota. Namun, nyatanya menyewa rumah sambil memikirkan cara untuk menetap, sembari Jeju memiliki pencitraan yang berbeda. Pencitraan ini berkembang bekerja sebagai pemetik jeruk keprok atau kuli pelabuhan. seiring dengan banyaknya para penduduk urban elit yang mulai meraSalah satu sebab mengapa Jeju Olle Trail dapat berhasil diterangmaikan pulau, menghindari gaji besar, dan peningkatan karier. Para kan Suh dalam wawancara baru-baru ini. “Ini karena Korea adalah penyiar juga turut membantu perubahan pencitraan imigran Jeju densekumpulan masyarakat yang melelahkan.” Sebuah generasi atau gan menghadirkan kisah-kisah sukses para imigran tersebut. sebagian orang Korea, yang telah menghabiskan masa hidup mereka dengan giat belajar dan bekerja keras, telah melihat ke dalam diri Daya Tarik Olle Trail mereka seraya membuka mata saat berjalan-jalan di Olle Trail. “Saya Bagi sebagian pemukim baru, Olle Trail adalah tempat yang mampu tidak bahagia sekarang,” ujar beberapa orang. Namun Jeju hadir sebamembuat mereka terkesan hingga memotivasi mereka untuk tinggai obat mujarab utama bagi masyarakat Korea yang lelah. Ko r e a n a | Mu s i m Gu g ur 2013

61


Perjalanan Kesusastraan Korea

Kritik

Didetoksifikasi Kekerasan Uh Soo-woong, Redaktur Seni Budaya, Harian Chosun

P

aik Ga-huim dikenal sangat ramah dan tidak keberatan dipanggil ‘Agen Paik’ karena kerelaannya setiap saat menyiapkan kebutuhan dan kenyamanan rekan-rekannya. Ia adalah salah seorang anggota komunitas sastra. Entah berapa banyak penulis memanggilnya di setiap musim, dan ia membawa mereka dengan mobilnya sendiri ke Samcheonpo dan Namhae, atau Gwangju. Ada rumor yang mengatakan bahwa ia adalah angkutan bagi siapa pun yang bertanya ke dan dari Pusat Kebudayaan Toji di Wonju, fasilitas perumahan seniman yang didirikan oleh mendiang novelis Park Kyung-ni untuk membantu penulis muda dalam kerja kreatif mereka. Kegiatan ini mengungkapkan kebaikannya dan ketertarikannya pada orang lain. Apa yang luar biasa adalah bahwa fiksinya dipisahkan oleh sungai lebar realitas manusia yang sebenarnya. Dalam karya-karyanya, sangat banyak orang yang tak terhitung jumlahnya mengalami bentuk kekerasan, namun tetap utuh. Cinta dalam novel-novelnya juga luar biasa. Biasanya itu adalah semacam nafsu mesum yang melibatkan pemerkosaan, pembunuhan, penguasaan, penyerahan, atau sado-masokisme. Saya telah membaca teks yang menganalisis karya-karyanya dalam hal hati, itu adalah “Sebuah Laporan Hati Paik Ga-huim yang Aneh” oleh novelis Yi Gi-ho, yang mulai diterbitkan sekitar dua tahun sebelum Paik dan dua tahun lebih awal. Dalam “laporan” yang penuh humor, Yi menulis, “Anda kadang-kadang menemukan orang-orang yang percaya bahwa novel ditulis dengan tangan, atau kepala, atau jantung. Mereka keliru. Bahkan, ada fiksi yang ditulis dengan hati. Hanya sebuah kekuatan, hati yang sehat dapat menghasilkan karya kontroversial. Itulah rahasia terdalam fiksi itu.” Dari sebuah anggapan, ia melanjutkan dengan menganalisis secara lucu kasus luar biasa Paik Ga-huim.

Bagaimanapun, jika Anda mengambil penulis Paik Ga-huim, tampaknya tidak selalu menjadi kasus. Ditinjau dari bentuk luarnya, hati secara jelas berada dalam kesehatan yang buruk, fiksi yang bermasalah. ... Hati Paik Ga-huim memiliki elastisitas yang menakjubkan dan sejenis dengannya tidak ada di antara penulis Korea. Pada saat-saat biasa, hatinya menyusut jadi seukuran bola pingpong, tetapi ketika ia menulis, hatinya membengkak seperti balon, mengembang dan begitu sering membuat perjanjian, sehingga hati menjadi sangat keriput, pembengkakan hati, hati yang rapuh, hati lembut, jenis hati yang aneh. Sekarang tentu salah satu fungsi hati paling penting adalah menahan racun, menghapus dan menolak segala macam zat beracun. Ini adalah hati yang membuat kontribusi terbesar atas detoksifikasi dan keseluruhan kapasitas diri memurnikan tubuh kita. Pada saat-saat biasa, fungsi ini kekurangan dan kontrak hati Paik Ga-huim yang menghasilkan kelelahan dan kelemahan, hanya untuk memperluas ketika ia menulis. Dalam karya-karyanya, berbagai jenis kekerasan dan kecelakaan akan ditampilkan dan dia mendetoksifikasi dirinya dari mereka. Ketika kita membaca karyanya, ada saat-saat dalam perjalanan itu pemurnian diri ketika kita dibiarkan dengan tidak menyenangkan, rasa pedas di mulut. Pada saat-saat seperti itu, kita terdorong untuk mempertanyakan kemampuan kita sendiri untuk detoksifikasi dan pemurnian diri. Geun-won, tokoh utama dalam cerita pendek yang diterjemahkan di sini, adalah tokoh sederhana, pendiam tukang cuci tubuh di pemandian umum yang dipetik dari salah satu bentuk penghambaan kepada yang lain, yang disewa oleh majikan sebagai “manajer” –yang sebenarnya pengawal - seorang penyanyi pop. Pekerjaan menceritakan kisah hidup Geun-won sekilas terkesan fragmentaris dari percakapan bosnya dan kenangan sendiri. Ibu mereka meninggalkan Geun-

62

S e n i & B u d a y a Ko re a


Paik Ga-huim, sastrawan yang pertama kali mendapat pengakuan pada tahun 2001, telah menerbitkan serangkaian karyanya yang khas yang dengan ironi dan imajinasinya, ia menangkap keberadaan “yang lain” –orang luar zaman kita sekarang dan dunia interior mereka yang terasing –mereka yang bergerak gamang di tengah masyarakat pinggiran dan yang tidak peduli seberapa mencoba, tidak bisa diabaikan.

Paik Ga-huim won dan saudaranya Geun-bon ketika mereka masih anak-anak. Sebelum itu, ayah mereka meninggalkan rumah, dan tidak pernah terlihat lagi. Nenek mereka sungguh-sungguh berpegang pada imannya, berdoa untuk “Bapa di Surga” untuk membawa kembali anaknya. Ibu mereka pindah dan menikah lagi. Tak perlu dikatakan, anak-anak yang tersisa dalam kemiskinan parah. Narasi bergantian antara kilas balik dan ke depan yang cepat, pembaca belajar bahwa selama tiga tahun terakhir, Geun-won dipekerjakan oleh bos manajemen perusahaan hiburan. Ini adalah pekerjaan saat ia berusia 27 tahun sejak dia datang ke Seoul. Pekerjaan dalam usia 26 tahun berada di pemandian, menggosok kulit pelanggan. Pada saat yang berubah-ubah itu, memperhatikan tangan Geun-won tetap menggosok, bahkan ketika ada sedikit kotoran datang dari kulit pelanggan, pemilik perusahaan mempekerjakan dia sebagai manajer berbakat. Sebaliknya, adiknya Geun-bon selalu dalam kesulitan. Berbeda Geun-won, yang sangat pemalu, Geun-bon tidak mengenal malu, atau menahan diri, seperti anak sekolah, ia memeras uang saku dari anak-anak lain, dan akhirnya dikeluarkan dari sekolah menengah. Ia pertama kali dipenjara karena membunuh seorang pedagang barang rongsokan lokal yang memergokinya sedang mencuri, kemudian keluar dia membunuh lagi, dan sekarang di penjara seumur hidup. Geun-won menjadi manajer Cash, penyanyi lagu-lagu “trot”. Dia setia mengamati perintah atasannya, bahwa ia tidak pernah sejenak lupa, untuk mencegah Cash membuat kontak dengan dunia luar. Setelah ia melakukan pekerjaan ini selama tiga tahun, sesuatu terjadi. Tiba-tiba, ia menerima panggilan telepon dari ibu yang telah meninggalkan dia dan sebelumnya dari saudaranya yang berusia 28 tahun. Menempatkan semua penderitaan di belakangnya, Geun-won kini berjalan menuju lembah di mana ibunya hidup, atau mati untuk lebih tepatnya, sepanjang jalan pegunungan yang diliputi kegelapan malam. Alih-alih bulan, bunga sakura menyinari jalan. Kehidupan barunya dalam industri hiburan tampaknya telah mengubahnya menjadi semacam orang yang canggih, tetapi kenyataannya sendiri tidak berubah dan pada jantung Geun-won tetap sama seperti sebelumnya. Pada akhirnya ia tidak pernah menemukan rumah ibunya. Sebaliknya, ia menghabiskan malam di rumah yang salah. Di antara cerita Paik Ga-huim ini, salah satu kekerasan dan kekejaman berada di antara sifat lemah mereka. Namun mungkin bekerja dengan efek paling kuat sejauh detoksifikasi dan memurnikan diri yang bersangkutan. Melalui cerita ini, penulis tampaknya akan berbisik kepada pembaca: “Pada dasarnya, siapa engkau sesungguhnya? Apakah engkau berdamai dengan dirimu sendiri? Saya berharap cerita ini dapat berfungsi sebagai vaksin terhadap rasa sakit Anda. “ Tentang judul, dengan koma tak terduga, kritikus sastra Seo Yeong-chae telah menulis: “Antara dua kata, pembaca diberi jeda untuk bernapas, 28 tahun berlalu. Dan itu tidak hanya waktu yang berlalu. Dalam cerita ini, Paik Ga-huim bercerita tentang seorang lelaki yang dipimpin tangan waktu mencapai tempat yang tak pernah bisa diantisipasi. Seolah-olah berkata, seperti kehidupan.”

[Catatan Penerjemah: “Geun-won” adalah nama tokoh utama yang diambil dari karakteristik dua suku kata nama yang diberikan Korea. Tapi kata geunwon berarti juga “akar, penyebab, sumber, dasar” dan “Geun-bon,” adik si tokoh utama, berarti sesuatu yang sangat mirip: “Akar, dasar, esensi”. Judul cerita dalam bahasa Korea berbunyi “Geureon , Geunwon ” dan tampaknya menentang setiap upaya untuk mengekspresikan permainan kata yang sama pada kata-kata dan tata bahasa dalam bahasa lain. Kata pertama berarti “seperti” dan yang kedua dapat berupa nama tokoh utama atau kata “esensi” karena dua huruf dalam bahasa Korea diberi nama yang ditulis dengan tanda penghubung dalam bentuk huruf Latin.]

Ko r e a n a | Mu s i m Gu g ur 2013

63


citra korea

P

ohon kesemek menjulang tinggi; tidak seperti anak-anak. Memudar laksana musim gugur, langit jauh meninggi dan bebuahan ranum menggantung di atas. Tatapan dan impian anak-anak melambung melalui galah panjang, merayap pohon kesemek, menggapai langit biru. Dari cabang-cabang pohon kesemek yang berdiri di sudut kebun sayur, anak-anak memilih buahnya. Seorang anak menggoyangkan cabang dengan ujung galah panjang, lengan menari penuh semangat. Mengisi keranjang dengan buah kesemek yang berwarna terang kekuning-kuningan. Pohon kesemek adalah bagian dari pemandangan di pelosok-pelosok pedesaan Korea. Mereka tumbuh di mana-mana: di lereng pegunungan, di sudut-sudut tanah lapang, di sepanjang samping pekarangan, dan di setiap halaman belakang. Pohon-pohon dapat berkembang tanpa pupuk atau pestisida, dan kita bahkan tidak usah memangkas cabang yang tak berguna. Itulah sebabnya mengapa pohon kesemek dapat ditemukan di pelosok negeri, hidup sendiri, dan tumbuh tinggi menyentuh langit. Pohon kesemek adalah penanda dari siklus empat musim di negeri ini. Pada awal musim semi, muncul tunas hijau bercahaya, semakin jelas, daun hijau ramping, dan ketika bunga putih mekar dan jatuh ke tanah di musim panas, anak-anak memungutinya dan merangkaikannya dengan benang untuk dijadikan kalung dan gelang. Ketika musim gugur tiba, dedaunan jatuh seketika, sementara buah-buahan, tergantung di tangkainya, matang dengan warna terang kekuning-kuningan kontras dengan langit biru. Kesemek yang menggantung tinggi dan tertutup embun beku menyentuh suara pedih di dalam hati. Lalu tiba-tiba aku terdorong untuk menulis surat kepada orang tuaku di kampung halaman. Tidak semua kesemek yang sudah ranum di pohon dipetik. Beberapa yang tergantung di cabang-cabang tinggi dibiarkan untuk langit biru dan burung-burung. Itulah yang disebut “murai makanan.� Setelah burung-burung menikmati bebuahan yang tergantung di cabang-cabang kurus, badai salju akan segera datang membelainya. Kemudian, segenap anggota keluarga akan duduk membentuk lingkaran di kamar yang hangat dan menikmati kelembutan, buah kesemek yang matang atau yang kering kenyal. Tetapi sekarang masih musim gugur yang cerah ketika mimpi anak-anak melambung tinggi sepanjang galah yang diarahkan ke buah kesemek yang matang.

Memetik Kesemek Kim Hwa-young, Kritikus Sastra, Anggota Akademi Seni Nasional Korea


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.