musim semi 2014
Seni & Budaya Korea Fitur Khusus vo l. 3 n o . 1
Incheon:Pintu Gerbang Utama Korea
Dari Pelabuhan Terbuka menuju Bandar Udara Nomor Satu
m usi m sem i 2014
Incheon Pintu Gerbang Utama Korea
Kota yang Mengintegrasi Dalam dan Luar
www.koreana.or.kr
v o l. 3 NO . 1
ISSN 2287-5565
Penata Letak dan Desain
Negara di luar Amerika dan Kanada
© The Korea Foundatioon 2014
Direktur Editorial Zeon Nam-jin
Kim’s Communication Associates
(termasuk Korea)
Hak cipta dilindungi undang-undang.
Pemimpin Redaksi
Koh Young Hun
384-13 Seogyo-dong, Mapo-gu, Seoul,
Korea Foundation
Dilarang memperbanyak sebagian atau
Dewan Redaksi
Bae Bien-u
121-839, Korea. www.gegd.co.kr
2558 Nambusunhwan-ro, Seocho-gu,
seluruhnya tanpa izin Korea Foundation.
Choi Young-in
Telp: 82-2-335-4741 Faks: 82-2-335-4743
Seoul, Korea
Emmanuel Pastreich
Han Kyung-koo
Kim Hwa-young
Kim Young-na
Koh Mi-seok
Song Hye-jin
Song Young-man
Werner Sasse
Pemimpin Umum
Yu Hyun-seok
Langganan
Telp: 82-2-2151-6544 Faks: 82-2-2151-6592
Biaya per tahun: Korea \18,000,
Percetakan Edisi musim semi 2014
Asia(udara) US$33, Negara di luar Asia(Udara) US$37
Samsung Munhwa Printing Co.
Harga per eksemplar (Korea): \4,500
274-34 Seongsu-dong 2-ga,
Informasi Berlangganan
Seongdong-gu, Seoul, Korea Telp: 82-2-468-0361/5
Amerika, Kanada
Pendapat penulis atau pengarang dalam majalah ini tidak harus selalu mencerminkan pendapat editor atau pihak Korea Foundation. Majalah Koreana ini sudah terdaftar di Kementerian Budaya, Olahraga, dan Pariwisata(No. Pendaftaran Ba 1033, 8 Agustus 1987), Korea sebagai majalah triwulanan, dan diterbitkan juga dalam bahasa Inggris, China,
Koryo Book Company
Prancis, Spanyol, Arab, Rusia, Jepang, dan
1368 Michelle Drive
Jerman.
St. Paul, MN 55123-1459 Telp: 1-651-454-1358 Faks: 1-651-454-3519
Seni & Budaya Korea Edisi musim semi 2014
http://www.koreana.or.kr
Diterbitkan empat kali setahun oleh Korea Foundation 2558 Nambusunhwan-ro, Seocho-gu, Seoul, Korea
“Lanskap Dermaga” (2007) Kim Jae-youl, cat air di atas kanvas, 75 x 56 cm. Setelah pembukaan pelabuhan di akhir abad 19, beras dari daerah penghasil padi di sekitar Korea dikirim ke dermaga yang terletak di Pelabuhan Incheon ini.
Dari Redaksi
Musim Semi: Bunga Mekar di Mana-mana
Musim dingin telah berlalu. Salju sudah tidak lagi membeku di bumi Korea. Bahkan, pelan-pelan hilang. Udara
nakan di Incheon Korea Selatan 18 September hingga 4 Oktober 2014. Asian Games XVII disebut pula XVII
yang semula menggigilkan tubuh, di musim semi mulai terasa hangat. Pada musim semi, antara Maret hing-
Asiad karena penyelenggaraannya di stadion Asiad Incheon. Sungguh, kehangatan dan persahabatan bang-
ga Mei, pepohonan yang semula gugur daun, pelan-pelan mulai tampak hijau, bahkan berbunga. Sungguh,
sa-bangsa di Asia bukan hanya dirindukan namun harus diwujudkan.
tidak mengherankan jika bagi kebanyakan masyarakat Korea, musim ini dianggap sebagai musim yang paling
Incheon menjadi pilihan penyelenggaraan perhelatan olah raga akbar ini. Incheon adalah kota metropolitan
menyenangkan, indah, dan selalu ditunggu
dan pelabuhan utama di pantai barat Korea Selatan serta merupakan kota terbesar ketiga di Korea Selatan
Bunga Sakura, Maehwa, Canola dan bunga-bunga lain menampakkan kelopaknya, dengan aneka warna,
setelah Seoul dan Busan yang berpopulasi lebih dari 2,6 juta jiwa. Incheon adalah kota penting yang berfung-
bentuk, dan keelokannya. Kecantikan Sakura tampak di kawasan Seoul Grand Park, Namsan Park dan Istana
si sebagai kota pelabuhan dan transportasi di Asia Timur Laut. Di samping itu, Bandar Udara Internasional
Deoksugung. Kawula muda akan pergi ke objek wisata termasuk jembatan romantis di Jinhae untuk berceng-
Incheon merupakan salah satu bandar udara terbaik di dunia. Pengalamannya menjadi salah satu tuan rumah
kerama dan berfoto. Pada musim semi siang terasa lebih panjang, udara pun hangat. Pakaian-pakaian tebal
Piala Dunia FIFA 2002 merupakan salah satu alasan mengapa kota ini siap menjadi tempat penyelenggaraan
pun ditinggalkan, seakan meninggalkan beban berat di tubuh. Jaket ringan dan sepatu casual menjadi pilihan
Asian Games tersebut.
mereka. Santai dan terasa bebas.
Nikmati Koreana Edisi Musim Semi 2014 ini sambil berharap agar keanekaragaman budaya, bangsa, bahasa,
Koreana Edisi Musim Semi kali ini akan mengantar kota Incheon yang akan menyelenggarakan perhelatan
dan sebagainya sungguh bersinar dan hangat sebagai saudara di Incheon melalui perhelatan olah raga Asia.
olah raga terbesar di Asia, yaitu Asian Games, dengan semangat aneka macam bunga yang mekar di musim
Salam.
semi. Beragam namun bersatu dalam spirit dan keindahannya. Keadaan itu sangat relevan dengan semboyan
Koh Young Hun
“Diversity Shines Here” (Di sini Keanekaragaman telah Bersinar) Asian Games XVII/ 2014 yang akan dilaksa-
Pemimpin Redaksi Koreana Edisi Indonesia
Fitur Khusus Incheon: Pintu Gerbang Utama Korea
04 12 16 22
Fitur Khusus 1
Kota yang Mengintegrasi Dalam dan Luar
Lee Chang-guy
Fitur Khusus 2
Incheon Menurut Pandangan Penari Istana
Shin Kyung-sook
Fitur Khusus 3
7
Sejarah Incheon: Gerbang Masuk Menuju Korea
Cho Woo-sung
Fitur Khusus 4
Kepulauan Lepas Pantai Incheon: Koleksi Harta Karun Ekologis yang Hidup
Kang Je-yoon
23
28 34
FOKUS
Galeri Seoul sebagai Galeri Seni Lukis Modern Nasional
Koh Mi-seok
WAWANCARA
‘On Such a Full Sea ’: Chang-rae Lee dan Novel Barunya
Young-Key Kim-Renaud
30
40 44
TINJAUAN SENI
‘Putri Hong di Istana’ Sebuah Psikodrama yang Diangkat dari Sejarah
Kim Il-song
Jatuh Cinta pada Korea
Pendeta Motoyuki Nomura: ‘Orang-orang yang tinggal di gubug-gubug di Cheonggyecheon adalah guru saya.’ Jeon Eun-i 39
50 52 43
56 60 64
Esai
Korea dan Budaya Digital
Ivan Atmanagara
HIBURAN
Di Era “Flower Boys ,” Ha Jung-woo Menampilkan Maskulinitas dan Beragam Talenta
Oh Dong-jin
KENIKMATAN GOURMET
Bom Namul , Sayur-mayur di Musim Semi
Ye Jong-suk
gaya hidup
Perawatan Kecantikan Tradisional Menjadi Cantik Alami
Lee Kum-sook
Perjalanan Kesusastraan Korea
Menerjemahkan Dunia dengan Kehangatan Hati Kumbang Kecil Terbang Tinggi Park Chan-soon
Chang Du-yeong
53
Ko r e a n a | Mu s i m S e m i 2014
3
Fitur Khusus 1 Incheon: Pintu Gerbang Utama Korea
Kota yang Mengintegrasi Dalam dan Luar Menurut perspektif yang luas dari sudut sejarah budaya, Incheon adalah kota yang sangat simbolis. “Cajangmyeon” (Mie dengan saus kacang hitam) dan “Chinatown” adalah kata kunci penting yang membantu memahami kota ini. Lee Chang-guy, Penyair dan Kritikus Sastra | Ahn Hong-beom Fotografer
4
S e n i & B u d a y a Ko re a
K
ebanyakan orang ingin percaya bahwa ada masakan khas negara mereka yang sudah ada sejak awalnya. Tapi bertentangan dengan harapan itu, masakan tidak begitu membantu dalam menunjukkan siapa bangsa mereka. Sama saja seperti jika seseorang berbicara tentang dirinya, entah bagaimana akhirnya ia berbicara juga tentang orang lain yang akrab dengan dirinya. Hal ini berlaku juga saat kita berbicara tentang budaya. Peneliti kuliner Cina-Amerika Ken Hom, yang menjadi MC di acara dokumenter KBS “Noodle Road” berkata seperti berikut. “Mie itu sendiri adalah sebuah kanvas kosong, dan budaya pangan daerah di mana mie tersebar adalah seperti seniman. Sama seperti artis memiliki kontrol penuh atas apa yang akan dilukis di kanvas kosong, begitulah juga dengan mie. Mie tercipta baru sesuai dengan budaya makanan daerah yang dikuaskan di atasnya.” Berkembangnya budaya mie yang diimpor dari Asia Tengah di Cina sebenarnya berkaitan langsung terbentuknya kota. Dengan jatuhnya Dinasti Tang dan munculnya Dinasti Song, tembok kota runtuh disertai dengan hilangnya berbagai macam peraturan yang membawa kebebasan perdagangan dan industri. Di ibukota Biànliáng (sekarang Kaifeng) muncul 73 restoran besar sementara restoran skala lebih kecil tak terhitung jumlahnya. Karena cepat dan mudah untuk disajikan, apalagi harganya relatif, mie menjadi makanan yang paling tepat bagi para pekerja kota miskin yang telah membanjir dari pedesaan ke kota metropolitan. Fenomena yang sama terjadi dengan pasta di Italia di era Baroque dan soba di Tokyo di era Edo. Mie saus kacang hitam atau cajangmyeon di Incheon, juga pertama kali muncul ketika urbanisasi sedang ramai-ramainya terjadi berkat pembukaan pelabuhan di awal abad 20. Tapi orangorang Incheon tidak menganggap cajangmyeon sebagai masakan khas daerah mereka. Mienya berasal dari Asia Tengah melalui Cina dan sausnya adalah pasta kedelai asin hasil fermentasi dari Cina yang dicampur dengan karamel dari Amerika Selatan. Itulah cajangmyeon, disajikan dengan acar lobak Jepang dengan rasa asam manis, yang setiap harinya di Korea terjual kurang lebih 7 juta porsi. Jadi Incheon, tepatnya daerah Jung-gu Seollin-dong yang disebut sebagai ‘Chinatown’, yang berlokasi di stasiun terakhir di Incheon dengan subway line 1 dari Stasiun Seoul, adalah tempat pertama di mana berbagai bahan dan budaya pangan dengan keperluannya masing-masing bergabung menjadi satu. Dari puncak bukit ini terlihat langsung pelabuhan pertama Korea Jemulpo terhampar di bawahnya (bukan Stasiun Jemulpo sekarang, tetapi bagian belakang dari Stasiun Incheon). Pembukaan pelabuhan ini tidak hanya membawa sistem yang termodernisasi dan berbagai penemuan baru dalam satu waktu kepada “Negeri Fajar yang Tenang,” tetapi juga menumbuhkan rasa ingin tahu, semangat, serta usaha terhadap budaya baru bagi orang Korea yang dulunya hidup di dalam status dan wilayah yang terbagi-bagi.
Jemulpo, Kota Pertama yang Menjadi Kota Modern Terminal Penumpang Pelabuhan Incheon, dengan enam rute ke pulaupulau Jeju, Baengnyeong, Yeonpyeong, Deokjeok, Ijak dan Pung. Pelabuhan ini’dibuka pada tahun 1995 dan sudah dilalui satu juta penumpang pada tahun 2013.
Ko r e a n a | Mu s i m S e m i 2014
Asia pada pertengahan abad ke-19 tertekan untuk membuka diri oleh kekuatan-kekuatan imperialis Barat yang telah lebih dulu berhasil mencapai industrialisasi. Yang paling dulu, Cina terpaksa menyerahkan Hong Kong akibat kalah oleh Inggris dalam Perang Opium dan kemudian pada tahun 1843 membuka lima pelabuhan lain termasuk Shanghai, Jepang membuka pelabuhan Yokohama dan Nagasaki di tahun 1859 karena terdesak oleh ‘kapal hitam’ Komodor Perry Amerika. Keadaan Korea juga tidak jauh berbeda. Jika ada perbedaan, dalam pembukaan pelabuhan walau rasanya kurang adil, adalah bahwa kekuatan asing termasuk Jepang dan Cina Qing yang sedikit lebih awal menerima modernisasi. Pada saat itu Korea terjebak dalam perselisihan faksi yang serius antara pendukung pencerahan yang didukung oleh Jepang setelah Perjanjian Persahabatan di tahun 1876, dan pendukung konservatif, yang didukung oleh Cina Qing. Pada akhirnya di bawah tekanan dari Jepang dan Cina Qing - karena keduanya berjuang untuk berpengaruh dan berkuasa atas Korea – maka pada Januari 1883 Korea membuka pelabuhan Jemulpo yakni pintu gerbang ke ibukota Seoul.
5
Tetangganya” oleh seorang ahli geografi Isabella Bird Bishop, anggota Royal Geographical Society of Britain yang mengunjungi Korea empat kali dimulai pada tahun 1894 dan tinggal selama total 11 bulan. Dalam rentang waktu tiga bulan, sekitar 6.000 tentara Jepang mendarat di pelabuhan ini. Di mata Bishop, mereka tampak telah mempersiapkan diri sejak beberapa waktu untuk memenangkan supremasi atas Korea dengan kekerasan. Persentase impor dari Qing China, yang hanya mencapai 20 persen pada tahun 1885, meningkat menjadi sama dengan impor dari Jepang pada tahun 1893 hanya dalam 10 tahun. Hak navigasi di selat yang menghubungkan Incheon ke Seoul, yang memungkinkan penghematan yang luar biasa baik dalam hal waktu dan biaya ketika melakukan perdagangan, jatuh ke tangan pengusaha Cina Tung Shun-tai. Meskipun pemerintah Cina, yang dipimpin oleh Yuan Shikai, telah mengadopsi kebijakan yang mendorong pengusaha Cina dan menekan pemerintah Korea, ini adalah langkah belum pernah terjadi sebelumnya bahkan untuk Cina. Untuk waktu yang lama, sistem daratan berpusat Cina sebagai negara yang besar sehingga Cina menunjukkan sedikit minat dalam perdagangan atau armada operasi maritim. Cina cukup menyambut pedagang asing yang melintasi lautan untuk membawa barang yang dibutuhkannya, atau perwakilan dari pemerintah asing yang ingin mengenali dan menghormati kekuasaan dan kemakmuran Cina. Selain itu, Dinasti Qing yang didirikan oleh Manchu, yang selalu memiliki rasa rendah diri akan budaya dan terperangkap dalam ajaran eksternal Neo-Konfusianisme. Mereka menekankan ajaran bahwa orang harus tinggal di 1 Pengusaha Cina yang kampung halaman mereka untuk 1 Tangga ini merupakan pembatas antara gaya Jepang dan gaya Cina. Di sebelah kiri Datang di Jemulpo menjaga keluarga mereka, dan tangga ini adalah bangunan bergaya Cina, dan yang sebelah kanan adalah bangunan “[Pada pagi hari 21 Juni 1894] juga memandang rendah orangbergaya Jepang. 2 Jalan Samkukji , tampak dinding-dindingnya dihiasi dengan karakter Cina klasik. Sembilan puluh persen orang Cina yang tinggal di Incheon berasal dari Begitu dari turun dari kapal yang orang yang menjelajahi dunia Shandong, yang juga dikatakan menjadi rumah bagi Luo Guanzhong, penulis “The mendarat, saya menemukan untuk perdagangan atau meliRomance of Three Kingdoms” 3 Pesta Budaya Chinatown Incheon sedang berlangsung di Chinatown. pelabuhan Jemulpo yang sanghat mereka sebagai ancaman at membosankan telah berubah dan berusaha untuk mengendasama sekali. Di jalan-jalan bergema derap langkah tentara Jepang likan mereka. Orang-orang Cina yang menetap di Asia Tenggara adayang sedang berbaris dalam barisan-barisan besar, (…) Setiap rumah lah pengecualian dan mereka bisa berhasil karena kesadaran mereka di jalan utama dari pemukiman Jepang berubah menjadi barak dan sendiri petualangan atau kelihaian mereka dalam bisnis. Situasi mereramai dengan tentara, terlihat juga senapan dan perlengkapannya ka berbeda dari yang dari pengusaha Cina yang datang ke Korea di yang berkilauan di balkon. Sementara segerombolan orang Korea bawah perlindungan atau dukungan dari pemerintah. mondar-mandir di jalanan atau duduk-duduk di bukit dengan wajah binKedatangan tentara Jepang secara tiba-tiba membuat pengugung dan melongo menyaksikan pelabuhan mereka berubah menjadi saha Cina yang biasanya tenang dan dingin mulai panik. Merasakan kamp tentara asing.” bahaya, mereka bergegas meninggalkan Jemulpo dan bentrokan tenIni adalah deskripsi tentang ‘pelabuhan Jemulpo di ambang Perang tara kedua negara akhirnya berkembang menjadi perang. Tiga ratus Sino-Jepang’ seperti yang tertulis dalam buku berjudul “Korea dan tahun setelah Cina membantu Korea menangkis invasi Jepang, Cina Jemulpo yang semula hanyalah sebuah pelabuhan kecil dengan hanya 15 keluarga tinggal di sekitarnya mulailah konsesi asing didirikan satu demi satu mulai dari Jepang, kemudian Cina, Amerika, dan berbagai negara Eropa. Di daerah, di mana ekstrateritorialitas dan hal kepemilikan tanah dan bangunan, kegiatan dan kebebasan perdagangan terjamin ini, dibukalah jalan, didirikan bank, kantor perlautan yang sekarang menjadi kantor bea cukai, kantor pos dan hotel, yang menjadikan kota ini semakin terlihat modern. Semua catatan tentang perubahan yang terjadi setelah pembukaan pelabuhan di kota ini tersimpan di Museum Pelabuhan Terbuka Incheon yang dulunya adalah bank cabang Jepang yang pertama di Incheon. Berbagai jenis kalangan lalu-lalang di tempat ini. Sudah pasti diplomat asing, pedagang, insinyur asing yang datang untuk membangun kota, dan yang lebih banyak lagi adalah sejumlah besar pekerja. Seorang arsitek Rusia Sabatin adalah salah seorang di antara mereka. Dia merancang Taman Manguk (yang berarti Taman Segala Bangsa), taman modern pertama di Korea di atas Gunung Eungbong yang menghadap ke bawah di atas laut. (Ketika patung Douglas MacArthur, yang memimpin Incheon Landing selama Perang Korea, didirikan di sini pada tahun 1957, taman ini berganti nama Taman Jayu (yang berarti Taman Kebebasan). Ada sirene dibunyikan untuk menandakan tengah hari pada jam 12 siang). Tempat ini juga di mana pada tahun 1888 empat orang suster dari ordo St. Paul de Chartres tiba untuk memulai pekerjaan misionaris mereka. Tapi di antara mereka semua, yang membawa perubahan paling besar adalah tentara militer.
6
S e n i & B u d a y a Ko re a
2
Ko r e a n a | Mu s i m S e m i 2014
7
3
berhadapan lagi dengan Jepang dalam perang di semenanjung Korea. Namun kali ini Cina kalah sehingga pengaruh komersial mereka di Korea menjadi turun.
memainkan peran utama dalam menyebarkan cajangmyeon ke setiap provinsi. Keberhasilan pertumbuhan pedagang Cina di mata orang Korea terlihat sebagai hasil kepercayaan dan ketekunan mereka, tetapi untuk Gonghwachun dan Museum Cajangmyeon Jepang, yang menjajah Korea, itu adalah sesuatu yang harus diwaspaKetika konsesi Qing berdiri di Jemulpo, otomatis muncullah bebedai. Pemerintah kolonial Jepang menekan impor sutra dari Cina dengrapa restoran Cina di sana. Salah satunya adalah Sandong Hoegwan an tindakan keras terhadap penyelundupan dan pengenaan tarif tinggi (Balai Shandong) yang didirikan pada tahun 1908. Untuk memperingati pada kain rami Cina serta menggantinya dengan kain rami diproduksi kelahiran Republik Cina pada tahun 1911, menggantikan Dinasti Qing, secara lokal. Dengan demikian ini, kemakmuran ekonomi pengusaha restoran ini berubah nama menjadi Gonghwachun (Republik Musim Cina di Korea menurun secara bertahap. Semi) dan berkembang sebagai tempat di mana tidak hanya pedaSebentar Cina menunjukkan tanda-tanda pemulihan ekonomi setegang Cina tetapi juga pedagang dari semua negara yang melakukan lah pembebasan Korea pada tahun 1945, tetapi mereka kembali menperjalanan ke dan dari pelabuhan Incheon tinggal dan makan. Di sinighadapi krisis ketika Perang Korea pecah pada tahun 1950. Chinatown lah, di Gonghwachun untuk pertama kalinya cajangmyeon ala Incheon menjadi rata dengan tanah oleh pengeboman selama Incheon Lanmuncul pertama kali dalam menu. ding. Saat itu yang membuat orang-orang Cina di Korea dapat memSalah satu faktor terbesar dalam kesuksesan Gonghwachun adapertahankan kehidupan ekonomi mereka tak lain adalah ada saat berlah kebebasan komersial Cina dijamin oleh Jepang, yaitu tingkat kebekat bisnis restoran dan hidangan perwakilan mereka, cajangmyeon. basan yang sama dengan yang diberikan oleh kekuatan Barat ketika Pada tahun 1950, ketika budaya jajan makan masih asing bagi sebasecara paksa mereka menduduki Korea pada tahun 1910. Para pedagian besar warga Korea, jumlah restoran Cina mulai meningkat dan gang Cina setelah usainya Perang Sino-Jepang, tumbuh aktif kempada tahun 1970-an delapan dari setiap 10 orang Cina yang tinggal di bali berkat sutra dan kain rami. Industri tekstil Cina yang telah tumKorea bekerja di sebuah restoran. buh secara signifikan dengan kekuatan invasi kapitalis asing, semakin Pemerintah Korea, juga tidak tampak ramah pada mereka, pada meluas sampai ke negara-negara Asia terdekat melalui perdagangan tahun 1970-an pemerintah Korea mulai memberlakukan berbagai perantara. peraturan, dimulai dengan pembatasan kepemilikan tanah oleh orang Dari tahun 1913 sampai tahun 1920, lebih dari 70 persen dari total Cina melalui undang-undang untuk larangan kepemilikan tanah bagi kain rami yang diekspor oleh Cina ke Korea dan impor sutra yang pada orang asing pada tahun 1961. Pembatasan tersebut membuat sulit tahun 1903 tercatat sebesar 1 juta won meningkat pesat menjadi 6,76 bagi Cina untuk bertahan hidup, apalagi menjalankan bisnis. Akhirjuta pada tahun 1919. Orang-orang Cina di Korea menikmati kemaknya 75 tahun setelah dibuka, Gonghwachun terpaksa menutup pintu muran ekonomi sampai 1920 – pada tahun 1983 dan memudar an sampai – sampai sebuah lagu ke dalam kabut sejarah. Apalagi berjudul “Mr. Wang, Pedagang karena terbentuknya hubungSutra” yakni lagu yang mencerian diplomatik dengan Republik takan kisah cinta pedagang Cina Rakyat Cina terintimidasi para yang kaya menjadi lagu populer pengusaha Cina yang memayang dikenal oleh hampir semua sang foto Chiang Kai Shek di orang. restoran mereka, maka ini memDalam arus perkembangan buat pengusaha Cina merasa yang demikian, jumlah pendalebih tertekan lagi. tang Cina di Korea meningkat Gedung Gonghwachun (sekasecara dramatis, mereka mulai rang menjadi Properti Budaya meninggalkan Jemulpo dan Terdaftar Nomor 246) dibeli menyebar ke seluruh negeri. oleh kota Incheon, diperbaiki 1 Sehingga restoran Cina beroleh kantor wilayah Junggu dan munculan di setiap sudut negeri pada April 2012 dibuka seba1 Mercusuar Palmido, terlihat di foto pada halaman depan, dibangun pada tahun 1903, ini. Industri penggilingan yang gai Museum cajangmyeon yang adalah mercusuar pertama di Korea. Mercusuar ini terletak di rute laut menuju Incheon dari barat daya dan memainkan peran penting dalam arus lalu lintas maritim selama seratus dimulai oleh perusahaan Jepang menampilkan artefak yang bertahun. Sejak mersusuar Palmido Baru dibangun tepat di sebelah kanannya pada tahun berkembang dan tepung untuk kaitan dengan cajangmyeon dan 2003, mercusuar lama telah dijadikan cagar budaya sebagai kekayaan budaya kota Incheon. 2 Desa “Boat Bridge,” merupakan tempat tinggal masyarakat Korea setelah dipaksa keluar membuat mie didistribusikan restoran legendaris itu. Sama dari pelabuhan yang diubah menjadi lebih modern. Lingkungan tersebut nyaris dirobohkan dengan kereta api melalui relseperti sebuah pabrik tekstil dan dihancurkan demi pembangunan kembali kota pada tahun 2007. Namun, kemudian ditetapkan sebagai “distrik cagar budaya sejarah” sesuai dengan keinginan publik. rel ke seluruh pelosok negeri ini, di Shanghai yang telah men-
8
S e n i & B u d a y a Ko re a
Masa Kecil di Incheon Lee Chang-guy, Penyair dan Kritikus Sastra
K
eluarga saya pindah ke Incheon dari Seoul pada tahun 1959, ketika saya berusia kurang dari satu tahun yakni saat ayah saya mendapat pekerjaan jangka pendek di Pabrik Kereta Incheon (yang ditutup akhir tahun itu). Keluarga kami menetap di sebuah rumah kontrakan di Songhyeon – dong, yang adalah daerah pusat di Incheon dengan latar belakang Stasiun Incheon Timur yang ramai ditinggali oleh berbagai pendatang termasuk pengungsi dan pekerja. Wilayah ini awalnya adalah daerah pasang surut yang menjorok jauh ke pedalaman, berbatasan dengan padang rumput yang penuh dengan alang-alang, tetapi di akhir 1930-an Jepang menimbunnya untuk diperluas menjadi pelabuhan dan tempat untuk membangun pabrik-pabrik dan pemukiman seperti yang bisa kita lihat sekarang ini. Hanya nama lokasi seperti “pintu air” (Sumuntong) dan “Jembatan Perahu” (Baedari) saja yang menjadi bukti pemandangan geografis pada masa itu. Di tanah timbunan ini terbentuklah berbagai fasilitas industri seperti pabrik penggilingan dan pengecoran, yang sebenarnya sulit untuk dibayangkan. Salah satunya adalah Pabrik Kereta Incheon, yang nantinya menjadi Perusahaan Railroad Incheon, yang merupakan perusahaan pertama di Korea untuk membangun dan memperbaiki kereta. Fasilitas industri tersebut berbatasan tiga kilometer dari pesisir laut utara yang menyambung jalur ke Seoul dan Pelabuhan Utara. bergabung Line Seoul-Incheon dengan pelabuhan. Di sepanjang jalan itu banyak sekali gubuk-gubuk yang terhampar, dan masih terasa juga perasaan ngeri menyaksikan bagaimana kereta seolah-olah akan bersentuhan dengan atap gubuk-gubuk itu jika sewaktu-waktu melintasi ‘jalan kereta’ ini. Kenangan pertama saya di Incheon bermula dari rumah di Songhyeon-dong. Rumah itu adalah sebuah rumah mungil bergaya Korea berbentuk L yang berlokasi di sebuah gang di sebelah Pasar Pintu Air Pasar. Ibu saya yang kini telah sepuh berusia 80 tahun terkadang menjadi sentimental saat mengenang ketika keluarga kami membeli rumah tersebut. Dapur berada sedikit lebih rendah dari halaman depan di luar, dan di atas dapur adalah ruang kecil yang menghubungkan kamar tidur utama dengan beranda belakang rumah yang sangat ideal untuk bersembunyi dan mengawasi halaman depan dan belakang sekaligus. Ketika angin bertiup dan hujan
Ko r e a n a | Mu s i m S e m i 2014
datang, halaman belakang dipenuhi dengan bunga kesemek. Pada saat air pasang, halaman dibanjiri air laut, dan dengan pandangan khawatir ayah dan saya akan keluar untuk melihat pintu air. Di rumah ini, ibu melahirkan dua adik perempuan saya. Saya dan adik yang lebih muda satu tahun lebih muda bersekolah di TK Gereja Kelima di belakang rumah kami. Saat tumbuh saya mulai menjelajah daerah itu, saya menyaksikan rumah sakit Palang Merah dengan cucian putih melambai oleh angin, membawa ember air naik ke Gunung Sudoguk, dan melintasi Pasar Jembatan Perahu yang selalu berlumpur. 2 Saya masih ingat saat mengikuti jalur air yang menuju bawah Pasar Pintu Air hanya karena penasaran dan rasa ingin berpetualang, dan akhirnya men jadi takut saat melihat kapal-kapal besar berlayar dan pabrik diselubungi asap disertai dengan suara gemuruh yang luar biasa. Saat itu juga adalah pertama kalinya saya melihat daerah pasang surut yang sangat luas di laut di lepas pantai Incheon pada tahun 1960. Pada tahun saya masuk ke SD, keluarga kami pindah ke sebuah rumah di Yonghyeon-dong. Tidak seperti Songhyeon-dong, di mana rumah-rumah yang penuh sesak berderet di sepanjang gang-gang sempit, rumah ini berdiri sendiri di atas bukit dengan latar belakang bukut di mana kita bisa menerbangkan layang-layang. Katanya rumah itu dibangun sebagai tempat tinggal bagi pengajar di Universitas Inha. Banyak juga orang asing yang tinggal di sekitar rumah kami. Ketika konstruksi jalan kereta Seoul-Incheon dimulai, orang-orang yang tergusur pindah beramai-ramai ke daerah tempat tinggal kami. Berkatnya, saya jadi mempunyai banyak teman baru. Sepanjang tahun 1970-an, dengan mereka saya pergi memancing ke Pulau Nak, mencari akar Chik di Gunung Baekkop, pada hari raya Chuseok kami bermain meruntuhkan menara batu, dan pada musim dingin saya menghabiskan waktu bermain skate bersama adik-adik perempuan saya. Yonghyeon-dong sekarang telah ditunjuk sebagai wilayah yang akan direkonstruksi dan sedang menunggu gilirannya untuk direkonstruksi kota baru Songdo, kota yang dibangun di atas tanah hasil timbunan. Setelah menyelesaikan sekolah di tahun 1980-an, saya pergi ke Seoul untuk mencari pekerjaan. Sama seperti ayah saya yang meninggalkan Seoul menuju Incheon dengan tujuan yang sama.
9
Chinatown Incheon jelas memiliki budaya yang unik dan pemandangan yang menenggelamkan pengunjung dalam suasana Cina. Tetapi kalau melihat adanya patung Konfusius dan juga ‘Jalan Samgukji (Tiga Kerajaan)’ yang dihiasi dengan gambar-gambar karakter dari Cina klasik di antara jalan-jalan konsesi Jepang dan Cina konsesi dulu, sebenarnya tidak bisa juga dikatakan bahwa tempat itu melulu adalah tempat bernuansa Cina.
jadi simbol dari industri tekstil Cina menjadi distrik seni M50, Museum cajangmyeon telah menjadi pusat wisata di Incheon yang telah dikunjungi oleh lebih dari 300.000 orang pengunjung dalam waktu dua tahun sejak pembukaannya.
Di Incheon tidak ada Chinatown? Sebagian ilmuwan mengatakan bahwa Korea adalah salah satu dari sedikit negara di dunia yang tidak memiliki Chinatown. Mereka menilai bahwa kekuatan ekonomi Cina yang tinggal di luar negeri, yang telah memberi kontribusi pada pertumbuhan yang cepat bagi Cina dan supremasi komersial yang dicapai di Asia Tenggara, ternyata tidak mampu memberi banyak pengaruh di Korea walau sejarah kegiatan bisnisnya mencapai 130 tahun. Tetapi orang-orang dari Incheon, yang lebih memilih istilah “Cheonggwan” (secara harfiah berarti ‘Desa Qing’), merasa sedikit berbeda. Ini karena mereka agak tidak nyaman dengan
1
10
bayangan tentang budaya Chinatown di San Francisco Chinatown. Menurut statistik terbaru dari Asosiasi Warga Cina Incheon, sekitar 3.000 orang Cina saat ini menetap di Incheon dan 600 orang Cina (yakni sekitar 150 - 200 keluarga) tinggal di Chinatown. Chinatown Incheon jelas memiliki budaya yang unik dan pemandangan yang menenggelamkan pengunjung dalam suasana Cina. Tetapi kalau melihat adanya patung Konfusius dan juga ‘Jalan Samgukji (Tiga Kerajaan)’ yang dihiasi dengan gambar-gambar karakter dari Cina klasik di antara jalan-jalan konsesi Jepang dan Cina konsesi dulu, sebenarnya tidak bisa juga dikatakan bahwa tempat itu melulu adalah tempat bernuansa Cina. Sama seperti Yesus bukan melulu adalah penduduk Nazaret, dan agama Buddhisme tidak melulu merupakan budaya Shakya, tempat kelahiran Siddhartha. Sembilan puluh persen dari penduduk Cina Incheon berasal dari Shandong, provinsi Cina yang terletak tepat di seberang Laut Kuning.
S e n i & B u d a y a Ko re a
Shandong adalah tempat asing untuk dapat memidi mana Qi dan Lǔ negara liki tanah dan peraturan periode Musim Semi dan izin tinggal bagi orang Gugur lahir, sehingga juga asing dalam upaya untuk disebut dengan nama “Old menarik modal asing. Capital Qi dan Lǔ.” Lǔ adaHal ini menghasilkan tinlah tempat di mana Konfuchu dakan berarti oleh Cina lahir, Mencius dan Sun Tzu dan Korea. Pada tahun juga adalah warga Shandong. 2000, Cina menghapus Luo Guanzhong, penulis “The pembatasan wisata berRomance of the Three Kinkelompok dar i Korea. gdoms” juga disebut-sebut Pada tahun 2001, Korea berasal dari daerah ini. Jadi membuka Bandar Udara 2 patung dan gambar-gamInternasional Incheon bar yang disebutkan di atas yang dimaksudkan untuk 1 Kota Internasional Songdo, salah satu dari tiga zona ekonomi bebas Incheon dan merupakan pusat mencerminkan kebanggaan menjadi pusat perjalanan bisnis internasional, teknologi informasi, dan bioteknologi. 2 Jembatan Incheon menghubungkan Bandara Internasional Incheon dengan Kota Internasional Songdo. Jembatan ini merupakan jembatan terpanjang warga Cina Incheon tentang udara di Asia Timur Laut. di Korea yang mencapai 18,38 kilometer dan memiliki tiang jembatan setinggi 230,5 meter. Hal itu warisan yang mereka miliki. Di tahun yang sama kota dirancang sedemikian rupa agar kapal-kapal besar bisa lewat di bawah jembatan. Dalam teks “Guanzi” yang Incheon ditunjuk sebagai diduga ditulis sekitar tahun 500 SM oleh pejabat Qi Guan Zhong, konsesi Cina kuno dan pulau Wolmido menjadi zona wisata khusus. menyebutkan perdagangan antara Qi dan negara Korea kuno GojoPada tahun 2003, tiga zona ekonomi bebas didirikan di Incheon. Juga seon (Old Joseon). Shandong disebut juga sebagai tempat di mana pada tahun 2005, Seoul menjadi tuan rumah Konvensi Dunia WirausaJang Bo-go, warga Silla yang menguasai laut dari barat daya Korea hawan Cina untuk pertama kalinya. dan terlibat dalam perdagangan aktif dengan kedua Cina dan Jepang, Dengan luas tiga kali Manhattan, zona ekonomi bebas Incheon mendirikan Kuil Chishan Fahua dan menjadi pilar masyarakat Silla berhasil menarik investasi asing : wilayah Songdo merupakan pusat di Cina. Neo-Konfusianisme menjadi ideologi bagi 500 tahun Dinasbisnis internasional, teknologi informasi, dan teknologi bio, wilayah ti Joseon. “The Romance of the Three Kingdoms” adalah salah satu Yeongjong adalah pusat distribusi dan pariwisata, dan wilayah Cheongnovel klasik yang paling banyak dibaca di Korea juga. na adalah pusat keuangan dan rekreasi. Sejauh ini, zona ini telah Ketika melintasi laut timur Semenanjung Shandong, tempat ketimenarik $ 642.500.000 investasi asing secara langsung dan pada baan pertama adalah Semenanjung Korea, yakni Incheon. Ini adalah Desember 2013 sekretariat Green Climate Fund dibuka di Songdo. alasan yang membuat banyak imigran dari Shandong ke Incheon, dan Kantor cabang Korea untuk Bank Dunia juga direncanakan akan segejuga alasan mengapa orang Incheon tidak dapat menerima budaya ra dibuka di Songdo. Meneruskan dari Guangzhou Cina, Incheon juga dengan nama Chinatown yang berkesan terisolasi. akan menjadi tuan rumah Asian Games pada tahun ini. Incheon yang miskin dan babak belur akibat perang di pertengahan abad ke-20 kini Persinggahan Pertama Menuju ke Laut, Pelabuhan Pertama naik ke panggung dunia, bersaing dengan Singapura dan Hong Kong, Menuju Dataran Luas mencari pasar baru dan industri untuk ditaklukkan. Pada tahun 1987, China Central Television menyiarkan enam seri Joel Kotkin, ahli Amerika yang terkenal di bidang budaya urbanisasi dokumenter. Kaum konservatif di Cina mengkritik acara itu “mengeksmenguraikan dalam bukunya “The City : A History global,” ada tiga fakpos kelemahan China,” tapi kaum reformis dan kebanyakan orang Cina tor yang membuat sebuah kota besar dan menyebabkan kemakmuran menganggapnya sebagai pertanyaan yang menusuk dan serius “Ke dan keberlanjutan. Yakni kesucian tempat, kemampuan untuk membemana arah perginya Cina?”. Bermunculanlah buku-buku yang mengrikan keamanan dan daya proyek, dan peran menjiwai perdagangan. kritik budaya Cina yang tua dan usang, serta mengajak untuk menSepanjang sejarah elemen-elemen ini terbukti penting dalam mengencari jalan keluar ke masa depan yang baru. Deng Xiaoping, yang telah dalikan kesehatan kota secara keseluruhan. membawa Cina pada kebijakan terbuka dan wafat pada tahun 1997, Bersamaan dengan dibukanya pelabuhan, mercusuar pertama di meninggalkan sebuah wasiat dengan instruksi agar abu kremasinya Korea, Palmido, juga didirikan, dan pada 1 Juni tahun ini akan merayaditebarkan di laut. Banyak orang Cina menafsirkan wasiat ini sebakan 110 tahun sejarahnya. Mercusalar ini masih saja membimbing gai ekspresi dari keyakinannya bahwa masa depan Cina terletak pada mereka yang memimpikan esok yang lebih baik pergi ke laut, yang keterbukaan yang dilambangkannya dengan laut. dapat disebut melambangkan kesucian Incheon. Kesucian ini tentunya Korea juga tidak bisa lepas dari refleksi diri ini. Pada Juli 1998, di akan dapat melampaui patriotisme sipil atau kekaguman dan memtengah krisis moneter Asia, Korea melonggarkan peraturan bagi orang bawa semua orang pada ‘mitos penting dalam masyarakat’. Ko r e a n a | Mu s i m S e m i 2014
11
Fitur Khusus 2 Incheon: Pintu Gerbang Utama Korea
Incheon Menurut Pandangan Penari Istana Berikut ini adalah kalimat-kalimat yang menggambarkan pelabuhan Incheon, pintu gerbang menuju Korea pada akhir abad ke-19, dari novel karya Shin Kyung-sook Rijin . Novel ini menceritakan kisah cinta Rijin, penari Istana Joseon, dan diplomat Perancis. Rijin adalah tokoh sejarah yang sebenarnya bernama Yi Jin. Ia jatuh cinta dengan Victor Collin de Plancy, menteri Perancis pertama di Korea, setelah penandatanganan Traktat KoreaPerancis 1886 dan pergi dengannya untuk tinggal di Paris. Shin Kyung-sook, Novelis
D
ari ibukota ke pelabuhan ini butuh waktu tiga hari penuh. Mereka melakukan perjalanan berliku melewati jalan pegunungan, jalan raya baru yang berdebu, dan jalan kerikil yang tampak di atas sungai yang mengapungkan beberapa perahu kayu. Mereka melakukan perjalanan sepanjang pegunungan di tengahtengah sawah yang baru ditanami bibit padi hijau yang melambai tertiup angin. Mereka melewati bunga perdu, pohon ceri, pohon elm, dan melewati bunga marigold, iris, randa tapak, dan persik. Mereka menemukan beberapa perdu liar dan berhenti di sana sebentar. Ia minum sambil menikmati dalam pemandangan yang terlihat di luar tandu - bertanya-tanya apakah ia akan melihatnya lagi. Ia melihat hamparan pasir laut yang sedang surut, yang berwarna abu-abu, untuk pertama kalinya. Tidak ada awan di langit, angin pun tak berembus. Ketika ia mengangkat matanya, ia melihat sekelompok pulau mengambang jauh di laut biru seperti mimpi, seolah-olah mereka tahu sesuatu tentang masa depan Joseon yang tidak pasti. Kapal yang membawa kayu bakar dan muatan lain digulung dengan tenang di laut, seolah-olah ditarik oleh tangan yang tak terlihat, dan bau yang menyeruak dari tumpukan ikan kering menutupi seluruh pelabuhan. Ikan yang baru ditangkap dipajang di warung pinggir jalan. Penjaja sepatu jerami bergegas bersama dagangan kelas atas mereka yang ditumpuk tinggi. Pemandangan ini memperlihatkan orang bekerja keras dengan dagangan mereka, di
bawah sinar matahari yang jernih dan lembut di awal musim panas, yang belum lengket karena panas. Lelaki ini, sebagai seorang diplomat, telah menghabiskan dua bulan setiap tahun menaiki kapal, sementara sang wanita adalah penari istana dan baru saja naik kapal pertamanya hari ini. Pria Perancis itu mengenakan celana pantalon longgar yang menggantung sampai ke mata kaki, rompi pendek yang menutupi mantel bepergiannya yang bersabuk. Ia berdiri tegak dengan kulit yang cerah dan kumis penuh gaya. Sedangkan wanita Joseon itu memegang topi bermotif bordir mawar dan mengenakan mantel ketika cuaca berangin, dengan gaun yang berkibar bercahaya biru muda. Keduanya berdiri dalam kerumunan pelabuhan. Tidak hanya orang-orang tua dengan pipa panjang yang dijepit pada gigi mereka, para penjaja dalam bakiak kayu mereka, para pemuda yang tampak seperti preman, dan anak-anak yang terselimuti dalam jelaga, bahkan orang China yang mengangkat kayu bakar di rakit atau teh yang dijual di konsesi asing dan orang Jepang yang menjual beras di dermaga, mengangkat kepala mereka ketika keduanya lewat. Seperti orang yang bisa membuka pintu ke dunia yang aneh dan mengintip ke dalamnya, mereka terus menatap pasangan itu dengan malu-malu. Terutama pada sang wanita. Wanita ini memiliki rambut hitam berkilau yang tebal bagai kayu arang disisir. Ia memakai kerudung di atas kepalanya. Mata cekungnya
“Pelabuhan Jemulpo Dipandang dari Lepas Pantai� (2009) oleh Kim Jae-youl, cat air di atas kanvas, 118 x 91 cm.
Ko r e a n a | Mu s i m S e m i 2014
13
berkilau seperti manik-manik kebiruan menghiasi kulitnya yang cerah, dan sangat terlihat berbeda. Pada masa itu tidak banyak orang berjalan-jalan dengan tata rambut bergaya Barat. Gaun biru mudanya jatuh mengalir turun dari bahunya, melewati pinggul, dan pergelangan kakinya dalam garis melengkung yang anggun. Ia berdiri berlawanan dengan para wanita lain di dermaga yang memakai rok dan jaket berbahan kapas putih. Mereka berpikir, “Apakah ia seorang wanita asing?” Tapi kemudian mereka memandang lagi dan melihatnya, “Ah, itu seorang wanita Korea!” Dan mereka secara terbuka menatap penasaran ke arah wajahnya, lalu ke hidung Collin yang terlihat agak angkuh, kulit putihnya, dan rambutnya yang cokelat keriting. Ada beberapa dari mereka yang tidak bisa mengalihkan mata dari renda mempesona yang menghiasi garis leher gaunnya yang menjuntai. Beberapa orang mengambil langkah mundur, khawatir akan menginjak gaunnya. Namun semua tatapan orang di dermaga beralih menatapnya dan Collin memendam rasa ingin tahu yang wajar: Wanita Korea macam apa yang berpakaian gaya Barat? Beberapa orang mengerutkan alis atau mengerutkan bibir, karena suasana hati yang dimanjakan oleh pemandangan itu. *** Wanita itu tak berkeberatan melihat lirikan dari sepanjang pinggiran kerumunan itu. Tindak tanduknya jelas berbeda dari wanita Joseon yang biasa berjalan membungkuk, menyembunyikan wajah di balik jubah berkerudung mereka. Langkahnya tidak goyah. Ia juga tidak menatap keluar ke seluruh lautan atau melakukan hal semacam itu sehingga ia bisa menangkap tatapan penasaran orang banyak. Ia melangkah maju dengan bahunya yang terdorong ke belakang, seolah-olah ia terdorong melewati sesuatu. Hal ini memberi kesan bahwa ia cukup kuat untuk tidak pernah kehilangan kepercayaan dirinya, tidak peduli apa pun keadaannya. Langkah agresif darinya ini diimbangi oleh mata cekungnya, lengkungan halus dari tengkuknya, dan keindahan wajahnya yang menarik. Melihat bahwa ia tak tergoyahkan meskipun semua melirik, orang-orang yang menatapnya akhirnya mendesah dan mengalihkan kembali mata mereka ke laut. Wanita cantik itu, wanita yang memandangi pelabuhan yang dikelilingi oleh bukit yang rendah, tidak tahu bahwa hanya sepuluh tahun yang lalu atau lebih, sebelum persetujuan dari Perjanjian Jemulpo, pelabuhan ini adalah tempat di mana hanya ada segelintir pedagang yang hidup tenang. Ini adalah saat-saat ketika kehidupan atau dunia di sekitar kita yang paling tak tertahankan, lalu perubahan datang. Desa nelayan kecil yang dikelilingi oleh air dengan cepat berubah menjadi sebuah dermaga yang terbuka setelah perjanjian tersebut. Konsesi Jepang didirikan pertama kali di desa nelayan yang tenang ini, diikuti oleh konsesi Qing dan orang-orang dari berbagai negara lainnya. Sekarang satu dari setiap sepuluh orang di Jemulpo adalah orang Jepang atau China. Tak ada yang tahu apakah mereka akan membawa kesedihan atau semangat ke Jemulpo. Wanita itu berpikir bahwa cuaca cukup ideal untuk berlayar, tapi kemudian segera berubah pikiran. Komandan pasukan regional, yang
14
telah diminta oleh Jo Byeong-sik, direktur Dewan untuk Pengendalian Umum Diplomatik dan Urusan Perdagangan, untuk mengantarkan Collin saat meninggalkan Korea, telah memberi mereka nasihat agar mereka tidak mengomentari tentang baiknya cuaca saat menaiki kapal. Dia mengisyaratkan bahwa mengatakan cuaca baik saat ini bisa menyebabkan angin dan hujan mengamuk nanti dalam perjalanan mereka. Di antara mereka yang datang untuk mengantarkan keberangkatan ialah beberapa misionaris Perancis dan para pejabat dari Kantor Pabean Maritim. Bahkan ada beberapa biarawati yang datang dari Perancis dan sekarang tinggal di sana, di Joseon. Pemandangan sekilas di sekitar menunjukkan beberapa bangunan tinggi atau kapal-kapal besar. Ini adalah dermaga luar, tapi pada pandangan pertama bangunan itu tampak seperti sebuah pelabuhan besar. Gelombang yang mendekat dan menjauh terlihat tenang. Di antara atap-atap yang rendah dapat terlihat sesekali bangunan bergaya Eropa berwarna putih. Karena tidak ada gedung-gedung tinggi, rumah-rumah beratap jerami di baris demi baris tampak seolah-olah saling menyadarkan lengan mereka di bahu masing-masing. Sinar matahari yang hangat merembes di antara mereka. Setelah menghabiskan hidup menyulam pola kura-kura dan menari jauh di dalam istana, ia menyerahkan dirinya ke sinar matahari lembut yang tersebar di pelabuhan. Atap tinggi istana yang terhubung satu sama lain, selama ia menundukkan kepalanya, membuatnya selalu berada di tempat teduh. Pada saat ia mencapai pelabuhan, wanita itu sudah menyampaikan salam perpisahan yang tak terhitung jumlahnya untuk hal-hal yang telah diihat untuk pertama kalinya, tanah yang ia injak untuk pertama kalinya, dan orang-orang yang telah ditemui untuk pertama kalinya. Dari mana sajakah mereka? Pada hari mereka meninggalkan ibukota, rombongan wanita itu harus tinggal di sebuah penginapan. Di penginapan gunung ini, yang berpagar pohon-pohon yang mati, terdapat selusin lebih kuda poni. Kuda-kuda poni itu mendengus dan tegang seolah-olah ingin berpacu di dataran tetapi malah dikandangkan dalam pagar. Ketika malam tiba, lolongan binatang gunung mengalir ke kamarnya yang tak berjendela. Ada kalanya kata-kata yang baik dapat tumbuh menjadi cinta seperti benih yamg terkubur di dalam tanah. Dalam penginapan di pegunungan itu, Rijin sang penari istana mendengar sang penasihat Perancis, Collin, menyebutnya “malaikatku.” Itu jelas bahasa Korea, bukan bahasa Perancis. Ia tidak terkejut dengan kata-kata “malaikatku,” karena pria itu mengucapkan bahasa Korea secara fasih. Collin telah belajar bahasa Korea di waktu luangnya, tetapi bahasa Korea yang ia ucapkan selalu tampak agak kurang cocok dan melayang ke udara yang tipis. Menyeberangi lautan dan pergi ke negeri pria itu berarti akan bera“Pemukiman Orang Jepang dan Hotel Daibutsu” (2008) oleh Kim Jae-youl, cat air di atas kanvas, 46 x 38 cm. Tiga lantai bangunan bata di sebelah kanan adalah Hotel Daibutsu, hotel pertama gaya Barat di Korea, dibangun pada tahun 1899.
S e n i & B u d a y a Ko re a
da bersama orang-orang yang berbicara bahasa yang berbeda. Mungkin ia telah menebak kegelisahan yang memasuki sudut kecil di hatinya. Karena itulah, dalam penginapan di pegunungan di tanah sang wanita di Joseon, ia untuk pertama kalinya mengatakan “malaikatku” dengan pengucapan Korea yang sempurna. Sang wanita membiarkan rambutnya yang bertumpuk seperti awan gelap di atas tengkuknya terurai dan mengulurkan sisir kepada Collin. “Peigner moi?” Mata Collin terbelalak. Ia suka menyisir rambut hitam wanitanya. Hadiah pertama yang telah diberikan kepadanya, setelah sebuah cincin, adalah sisir yang ia bawa dari negaranya. Sayangnya, wanita itu tidak suka jika orang menyentuh rambutnya, dengan pengecualian Janda Ratu Cheorin dan Nyonya Seo ketika ia telah menjadi wanita istana. Bahkan ketika sesama penari istana menyisir rambut satu sama lain, dianyam menjadi dua kepang, dilingkarkan di kepala mereka dan dihiasi dengan pita ungu, serta tertawa setiap saat, ia justru duduk tegak sendirian, berjuang untuk menghias rambutnya. Jadi, ketika Collin ingin menyisiri rambut wanita yang dicintainya, Collin memandangnya dengan ekspresi putus asa memohon di wajahnya. Namun saat ini dia telah mengurai rambutnya atas kemauan sendiri, mengulurkan sisir kepadanya, dan bertanya dalam bahasanya sendiri untuk menyisir rambutnya. Collin mengambil sisir yang diulurkan kepadanya dan duduk di belakangnya. Ia tidak akan pernah membayangkan bahwa sang wanita akan memintanya untuk menyisiri rambutnya. Ia membenamkan wajahnya sejenak dalam rambut hitam berkilau itu. Senyum pun bermain di wajahnya. Senyum seperti itu yang merayap di wajahnya saat sang
Ko r e a n a | Mu s i m S e m i 2014
wanita mencoba untuk tidak tertawa setiap kali ia memanggil namanya, “Rijin,” dalam bahasa Korea yang canggung. Collin mengangkat kepala dan mulai menyisir rambutnya, tetapi kemudian ia berhenti dan meniru cara sang wanita berkata, “Peigner moi?”. Ia mengintip dari balik arahnya di belakang. Sang wanita berbalik untuk duduk menghadap ke arahnya, membuat rambut tebalnya bergelombang seperti riak di atas air. Ia memegang wajah sang pria yang tetap duduk di sana sambil tersenyum, memegang sisir di tangan, dan menempatkan bibirnya pada bibir pria itu. Jambang sang pria menyapu pipinya yang memerah. Sang wanita mencari-cari tangan prianya. Ia pun meletakkan sisir itu di lantai. Terdengar dengus kuda yang Collin kendarai sepanjang hari. Mereka telah menyewa tiga kuda bersama seorang pemandu di ibukota. Bagasi mereka diangkut oleh dua kuda. Mereka membayar seratus nyang untuk setiap jarak dua puluh li yang mereka tempuh. Salah satu dari tiga kuda memiliki luka di perutnya. Kuda itu diberi pakan ternak bersama dengan kuda yang dipelihara di penginapan yang sekarang sudah tidur nyenyak. Mendengarkan suara dengusan kuda yang sedang tidur, wanita itu melepas kancing kemeja Collin. Dadanya yang terbuka memerah. *** Pada malam terakhir mereka di Joseon, sang wanita menginap bersama temannya Soa di Hotel Daibutsu yang didirikan oleh seorang Jepang. Collin lalu membiarkan mereka untuk menyampaikan salam perpisahan.
15
Fitur Khusus 3 Incheon: Pintu Gerbang Utama Korea
Sejarah Incheon: Gerbang Masuk Menuju Korea Incheon telah berkembang menjadi kota terbesar ketiga di Korea mengikuti arus perubahan struktur demografis yang cukup besar. Tetapi sejarah perpindahan yang dimulai oleh Pangeran Biryu dari Kerajaan Goguryeo sekitar 2.000 tahun yang silam tetap saja memberi pengaruh besar pada pembentukan identitas ini. Cho Woo-sung, Anggota Komite Kompilasi Sejarah Kota Incheon, Editor Utama The Incheon Times
16
Š Jung-gu Office, Incheon
1
S e n i & B u d a y a Ko re a
L
tahun yang lalu telah meninggalkan warisan pada identitas kota ini, masih terlihat hari ini ketika Incheon telah melalui perubahan demografis yang cukup besar untuk menjadi kota ketiga terbesar di Korea. Sejak zaman Biryu, “Fenomena Incheon Rush” terus saja berkelanjutan melalui sejarah panjang. Kota Incheon tetap saja menjadi ‘kota imigrasi’ bagi pendatang dari seluruh pelosok negeri, dan hal ini menjadi fenomena unik Incheon yang bahkan setelah mencapai titik imigrasi tertinggi pada tahun 1883, ketika pelabuhan dibuka untuk perdagangan internasional, dan kemudian lagi pada 25 Juni 1950, ketika pengungsi dari utara akibat Perang Korea, tidak kunjung terhenti. Menurut data statistik yang dikeluarkan oleh pemerintah kota Incheon tahun lalu, luas tanah Incheon telah menjadi tiga kali lipat dalam 23 tahun terakhir. Populasinya melebihi satu juta jiwa pada tahun 1979, dua juta jiwa pada tahun 1992, dan diperkirakan akan mencatat tiga juta jiwa pada tahun 2014. Catatan ini menunjukkan pertumbuhan penduduk tertinggi di antara semua kota metropolitan di Korea. Pada awalnya, orang-orang kebanyakan menetap di daerah di sekitar Gunung Munhak, di mana Raja Biryu membangun ibu kotanya dan di mana Komando Militer Incheon (Incheon Dohobu) terletak pada masa Dinasti Joseon. Gunung Munhak anggun yang adalah salah satu penanda geografis utama Incheon sudah pasti menjadi saksi sejarah panjang kota ini, dan tambahan lagi dengan sisa-sisa Benteng Munhak dengan Dua Ribu Tahun setelah Biryu dindingnya yang berlumut juga menyaksikan 2 Walaupun ‘emigran pertama Incheon’ sejarah yang pernah melanda kota ini. Teruta1 Perahu nelayan yang merapat di dermaga Pelabuhan Raja Biryu wafat dalam frustasi yang menma gundukan cerobong asap penanda yang Incheon yang terdapat di foto tidak bertanggal ini terjadi dalam, ia telah membuka sejarah panjang menjulang juga menjadi saksi yang tak terhapada awal abad ke-20. Para nelayan menggantung jala mereka tinggi-tinngi pada tiang agar kering. Satu abad kota Incheon. Bahwa ia rela meninggalkan puskan. Sisa-sisa cerobong asap ini bila diliyang lalu, laut dekat Incheon itu dipenuhi banyak spesies kekayaan dan kehormatan yang ada di kerahat dari jauh bentuknya tampak seperti pusar ikan, termasuk yellow corvinas dan sea bass . 2 Taman Mancanegara (sekarang disebut Taman Kebebasan) jaan ayahnya merupakan bukti keberanian seseorang berbaring telentang, sehingga dirancang pada tahun 1888 oleh arsitek Rusia Afanasii dan pikirannya yang ingin maju. Dan rasa entah sejak kapan orang mulai menamakan Ivanovich Seredin-Sabatin, dalam sebuah kartu pos. Kartu pos tersebut merupakan salah satu seri kartu pos tua yang malu pada diri sendiri melihat kemiskinan Gunung Munhak dengan julukan “Gunung dibuat selama masa penjajahan Jepang, menampilkan rakyatnya menunjukkan rasa kebangsawaPusar” (Gunung Baekkop). Mungkin itu karetempat-tempat wisata dari Incheon. nannya sebagai seorang pemimpin yang na sama seperti pusar manusia yang merumempunyai hati nurani. pakan tanda untuk setiap orang bahwa ia pernah menerima kehidupan Setelah kematian Raja Biryu, Michuhol melewati masa Peride Tiga dari ibunya selama dalam kandungan, orang merasa terlindungi dan Kerajaan, Goryeo, dan Dinasti Joseon berubah nama menjadi Maesodamai bagai menerima kasih seorang ibu dari Gunung Munhak. hol, Soseong–hyeon, Inju, dan sebagainya sampai akhirnya sekitar 6 Namun pada bulan keempat tahun 1592, yakni tahun ke-25 pemeabad yang silam di tahun 1413 saat Raja Taejong dari Dinasti Joseon rintahan Raja Seonjo dari Joseon, Gunung Munhak menderita kerusamenata menata ulang sistem pemerintahan daerah di tahun kedua kan akibat Perang Imjin dengan Jepang yang menghancurkan seluruh pemerintahannya, saat itulah untuk pertama kalinya nama ‘Incheon’ bangsa. Tentara Jepang sebanyak 200.000 orang dengan cepatnya dipergunakan. menyerang sampai ke Incheon dan Bupyeong hanya 20 hari setelah Tahun lalu, Pemerintah Metropolitan Incheon memperingati ‘Dua mereka mendarat di Busan di pantai tenggara Korea, dan melakukan Ribu Tahun Raja Biryu dan Enam Abad Jeongmyeong (Incheon)’. Sejakekejaman yang tak terlukiskan terhadap rakyat di sepanjang penyerah imigrasi yang dimulai dengan Pangeran Biryu Goguryeo dua ribu rangan mereka. Ko r e a n a | Mu s i m S e m i 2014
© Jung-gu Office, Incheon
iteratur paling awal yang menyebutkan keberadaan kota Incheon adalah “Sejarah Tiga Negara” (lebih dikenal dengan nama Samguk - sagi). Dua ribu tahun yang lalu, Pangeran Biryu, putra Jumong yang mendirikan Goguryeo di tahun 37 SM, terus menuju selatan dengan pengikut-pengikutnya, mendaki gunung dan menyeberang sungai sampai mereka tiba di daerah pesisir yang tenang. Tempat ini disebut “Michuhol,” di mana pangeran dan rombongan akhirnya menetap. Daerah ini tak lain adalah daerah di sekitar Munhak-dong dan Gwangyodong di bagian selatan dari Incheon yang kita kenal sekarang. Dengan Michuhol sebagai ibu kota, Biryu bercita-cita untuk mengubah kerajaan barunya menjadi negara yang kuat. Namun ambisinya terpaksa menjadi keputusasaan karena ternyata air di daerah itu air laut yang asing sehingga rakyatnya mengalami kesulitan dalam bercocok tanam. Merasa kecewa pada dirinya sendiri yang sebagai raja tidak berhasil memberi makan rakyatnya dengan baik, raja yang terus mencela dirinya sendiri akhirnya jatuh sakit, dan akhirnya meninggal dunia. frustrasi oleh fakta bahwa tanah di dekat laut asin tidak cocok untuk pertanian. Setelah kematiannya, adiknya Onjo, yang telah menetap di wilayah sebelah selatan Sungai Han dan sebelah tenggara Seoul sekarang, mendirikan kerajaan Baekje (28 SM - AD 660) dan meletakkan dasar untuk Periode Tiga Kerajaan (Samguk – sidae).
17
Masyarakat Incheon tidak terikat pada ‘kecenderungan regional’ tetapi seperti identitas yang telah mengakar padanya, Incheon bersifat terbuka bak laut yang menerima air dari sumber apapun, mencapai perkembangan dengan keberagaman dan dinamisme utuh.
18
3
S e n i & B u d a y a Ko re a
© Jung-gu Office, Incheon
2
sanakan dan mengawasi berbagai tugas adminstrasi seperti pelaksanaan karantina dan sebagainya, tetapi memang sejak sebelumnya Jemulpo adalah titik penting lalu lintas langsung terhubung ke Seoul, sehingga ia juga sering disebut-sebut sebagai “jalan nafas ibu kota.” Di sisi lain, Pulau Yeongjong, yang berdekatan dengan pelabuhan Jemulpo, terkenal namanya karena pulau yang 1 menjadi titik strategis laut pada zaman kemerdekaan ini adalah merupakan pulau mistis tempat diadakannya upacara kurban istana. Pulau ini adalah pulau yang sama yang disebut dengan nama “Pulau Jayeon” dalam catatan ‘Goryeo Dogyoung’ (atau Buku Tentang Goryeo) ditulis oleh Xu Jing, yang datang ke Korea pada tahun 1123 sebagai utusan dari Kerajaan Song Cina. Menurut catatan Xu Jing nama itu dipetik dari keindahan burung layang-layang yang terbang berkelompok di ‘Gyeongwonjeong’ yakni tempat persinggahannya. ‘Geyongwonjeong’ adalah tempat penginapan yang memiliki 10 kamar untuk menginap bagi utusan-utusan yang berlalu lalang dari dua negara, menunjukkan bahwa Pulau Jayeon adalah tempat penting dalam rute transportasi laut antara Cina dan Korea pada masa itu. Pulau ini berganti nama Yeongjong pada periode pertengahan Joseon. Setelah sebuah pangkalan angkatan laut yang disebut Yeongjongpo dipindahkan dari daerah Namyang (yang dikenal dengan nama Hwaseong sekarang) ke pulau ini pada tahun keempat dari Raja Hyojong (1653), nama pesisir ini menjadi lebih dikenal secara luas dan akhirnya menjadi nama pulau itu sendiri. Jika kita lihat dalam catatan geografis Raja Sejong, di sana tertulis “Terletak 3 Ri (sekitar 1,2 km) dari lepas pantai barat pelabuhan di tempat Basis Jemul dilokasikan, dengan lingkar 25 li (sekitar 9,8 km), di pulau ini ada tempat merumput untuk 258 kuda milik istana, dan ditempati oleh lebih dari 30 rumah
Incheon
Sejak Jemulpo (atau disebut juga sebagai Chemulpo), sebuah pelabuhan di Incheon, dibuka untuk perdagangan luar negeri pada tahun 1883, basis administrasi kota dipindahkan ke daerah pelabuhan, yang kita kenal sekarang sebagai Nae-dong, Jung-gu, dan Kantor Wilayah Incheon County juga berganti nama menjadi Kantor Administrasi Pelabuhan Incheon (Incheon Gamniseo). Perubahan seperti ini secara langsung dilakukan untuk memudahkan imigrasi, ekspor impor, melak-
u Office,
Pembukaan Pelabuhan
© Jung-g
Sementara kalangan penguasa dan prajurit mengalami kekalahan dan pengungsian berulang kali, satusatunya yang menjadi harapan terakhir adalah rakyat. Rakyat adalah yang paling ditakuti oleh tentara Jepang. Kemenangan di Benteng Munhak juga tak lain adalah kemenangan rakyat. Dalam laporan Bibyeonsa yang dilaporkan kepada Raja Seonjo pada hari ketiga bulan kedua belas 28 tahun pemerintahan Seonjo tertulis “Kemenangan musuh sampai sekarang tergantung hanya pada peluru senapan mereka, tapi dinding benteng yang tinggi membuat senjata mereka tidak berguna. Kita berhasil memenangkan pertempuran di Incheon dan Haengju. Akibatnya, kami mampu memenangkan pertempuran di Benteng Incheon dan Benteng Haengju karena keunggulan topografi.” Berlebihanlah rasanya jika kemenangan saat itu dipersembahkan untuk Kim Min–seon yang menjadi pemimpin wilayah saat itu. Dalam Catatan Raja Seonjo (Seonjo Sillok) tertulis “Rakyat masuk ke Benteng Incheon dan menjaganya sehingga musuh tidak berani masuk dan mendudukinya.” Gunung Munhak yang menjulang adalah lambang yang merupakan saksi bahwa peran utama dalam penjagaan sejarah negara ini dipegang tak lain adalah oleh rakyat.
tangga prajurit angkatan laut, gembala, dan petani garam laut.” Ini menunjukkan bahwa di sana memang telah ditinggali oleh orang. Bukan hanya itu saja. Catatan itu juga menceritakan bahwa Pulau Yeongjong adalah pulau yang luar biasa bagi kerajaaan Jeoseon. Pada musim kemarau yang kering, di pulau ini diadakan upacara ritual, dan dibangun juga istana sementara sebagai tempat perlindungan raja untuk berjaga dalam keadaan darurat. Dan karena kayu pinus yang berasal dari tempat ini sangat cocok untuk membuat kapal perang, maka kerajaan melindungi pohon-pohon pinus yang tumbuh di sini. Pulau ini juga terkenal dengan pemandangan gunung dan laut yang indah, serta terkenal pula dengan kesuburan tanahnya. Sampai sebelum masa pemerintahan Raja Sukjong (1674-1720) tempat ini dikenal juga sebagai tempat berburu rusa untuk persembahan bagi raja. Demikianlah tempat ini sangat hijau, permai, dan subur. Pulau Yeongjong juga dinilai sebagai titik strategis militer. Pada tahun keempat Raja Sukjong, Menteri Urusan Militer Kim Seok-ju menegaskan, “Pelabuhan selatan dapat digunakan sebagai pintu masuk kapal muatan ke ibukota, pulau ini dekat dengan jalur sungai dari daratan, dan cukup besar untuk membangun sebuah pangkalan militer tanpa mengganggu padang rumput ternak.” Dan pada tahun ke-34, Jo Tae-chae, Menteri Urusan Militer pada masa itu, mengusulkan kepada raja untuk membangun sebuah benteng di pulau ini “karena pasti akan membantu dalam saat-saat darurat.”
Strategi Pendudukan Incheon dan Bandara Internasional Jemulpo dan Pulau Yeongjeong dalam arus riuh perebutan kekuasaan dari luar tak bisa lepas dari serangkaian situasi sulit, seperti invasi Perancis ke Pulau Ganghwa tahun 1866, invasi kapal perang Amerika pada tahun 1871, dan bentrokan antara kapal perang Jepang Unyo dan Korea pada tahun 1875. Dan akhirnya akibat paksaan Jepang, pelabuhan Jemulpo terpaksa dibuka pada tahun 1883 dan ‘tergabung’ dalam ‘barisan kapitalisme modern’. Singkat kata, kota Incheon mengalami perubahan yang belum pernah dialaminya dan mengemban peran dalam sejarah untuk masuknya budaya baru di Korea. Setelah adanya pembukaan pelabuhan, di Incheon bermunculan bangunan–bangunan bergaya Barat dan muncul juga berbagai jenis lapangan kerja yang tidak pernah ada pada zaman ‘periode Joseon yang kelam’. Untuk pertama kalinya di Korea dibangun mercusuar,
hotel, kantor pos, kantor telekomunikasi, penggilingan padi, stasiun pengamatan cuaca, pabrik korek api, pabrik minuman soda, konsulat, perusahaan perdagangan, dermaga, dan sebagainya. Orang-orang dari seluruh pelosok negeri berbondong-bondong ke Incheon untuk mencari pekerjaan. Keragaman demografi yang tercipta dalam lingkungan sosial Incheon ini membuat orang bukannya bertanya dari mana mereka berasal, tetapi apa keahlian mereka pada saat menerima tenaga kerja. Artinya, bukan lagi mementingkan ‘latar belakang kedaerahan’ – yang tidak ada hubungannya dengan produktivitas, tetapi lebih menjurus kepada sistem perekrutan lebih produktif yang menekankan kemampuan dan moralitas individu. Sampai saat ini masyarakat sosial Incheon tidak terikat pada ‘kecenderungan regional’ tetapi seperti identitas yang telah mengakar padanya, Incheon bersifat terbuka bak laut yang menerima air dari sumber apapun, mencapai perkembangan dengan keberagaman dan dinamisme utuh. Warga Incheon juga bangga pada kenyataan bahwa pemilihan walikota di Incheon tidak mempermasalahkan latar belakang kedaerahan si calon. Dalam sisi ini, Incheon dapat disebut sebagai sebuah sebuah kota yang menyatukan orang-orang dari semua wilayah. Sayangnya, yang membuat kota Incheon mendapat perhatian dunia bukanlah karena keistimewaannya sebagai kota yang sehat dan terbuka. Tetapi justru karena perang. Pada tahun 1902, Rusia dan Jepang mengobarkan Pertempuran Jemulpo di lepas pantai Incheon. Selama berlangsungnya Perang Korea, yang meletus pada tanggal 25 Juni 1950, tentara sekutu yang dipimpin oleh Jenderal Douglas MacArthur melakukan pendaratan amfibi di Incheon pada bulan September. Karena terjadinya dua insiden inilah maka nama kota itu terukir dalam sejarah perang dunia. Boleh dikatakan nama kota Incheon berhasil mencapai reputasinya sebagai pusat transportasi canggih di bibir masyarakat dunia dengan dibukanya Bandara Internasional Incheon di Pulau Yeongjong pada tahun 2001. Jika pembukaan pelabuhan pada tahun 1883 dianggap sebagai masa pemaksaan dan penindasan akibat penguasaan dan penggabungan wilayah oleh kaum imperialisme di abad ke-19, maka dalam abad ke-21 pembukaan Bandara Internasional Incheon menunjukkan tekad Korea untuk melangkah maju ke pentas dunia dengan kecakapan teknologi unggulnya di zaman kedirgantaraan.
1 Jangkar dari kapal perang Korietz Rusia, yang tenggelam dalam Pertempuran Jemulpo (dari koleksi Museum Kota Metropolitan Incheon) 2 Jalan di depan Kantor Polisi Incheon pada awal abad ke-20 3 Wilayah Sinpo-dong Incheon di awal abad ke-20 4 Penanganan muatan di Pelabuhan Incheon melahirkan pergudangan dan jasa angkut buruh pelabuhan.
Ko r e a n a | Mu s i m S e m i 2014
4
19
P
ada hari Selasa, tanggal 22 Desember 1902 yang telah silam, ketika angin laut dingin bertiup di atas pelabuhan Jemulpo di Incheon, 121 penumpang yang merupakan kelompok pertama emigran Korea Hawaii naik kapal uap Jepang Kenkaimaru menuju Nagasaki, Jepang. Di sana mereka akan berpindah ke kapal SS Gaelic, kapal uap Inggris trans-Pasifik yang membawa mereka ke Hawaii. Perasaan terharu biru berkecamuk dalam hati mereka saat pelayaran dimulai. Pemandangan orang-orang dengan latar belakang pantai Yeon-an yang seolah terlucuti serta keadaan politik negara yang redup bagai nyala lilin yang hampir mati terus menggema dalam otak. Dalam saat itu Departemen Emigrasi (yang disebut Yuminwon, adalah Departemen Emigrasi yang dipimpin oleh Min Yeong-hwan, yang bunuh diri sebagai protes terhadap 1905 Protektorat Perjanjian antara Korea dan Jepang) berulang-ulang meng-
Pendeta Jones, yang sebelumnya juga telah diminta oleh pekebun tebu di Hawaii untuk membantu emigrasi dari Korea, sehingga tak bisa menolak permintaan Deshler. Segera ia berbicara dengan lebih dari 50 anggota gereja dan 20 orang pekerja di pelabuhan Incheon, dan mereka inilah yang menjadi rombongan emigran pertama yang direkrut untuk naik ke kapal dengan tujuan Nagasaki itu. Jika dilihat dari daerah asalnya, rombongan ini terdiri dari 67 orang dari Jemulpo, 10 orang dari Bupyeong, 9 orang dari Ganghwa, 3 orang dari tempat-tempat lain di Provinsi Gyeonggi, 7 orang dari Seoul, dan mayoritas (sekitar 86 orang) berasal dari wilayah yang sekarang dikenal sebagai Incheon. Ini menunjukkan bahwa kota Incheon dalam berbagai arti memiliki hubungan erat dalam bisnis emigrasi, dan pada kenyataannya para pekerja utama asal Gereja Naeri bekerja di kantor emigrasi untuk menerjemahkan dan juga berperan sebagai pemimpin di masyarakat emigran Korea Hawaii di kemudian hari. Setelah berlayar selama dua hari, tibalah rombongan ini di pelabuhan Nagasaki. Di sana mereka mendapat pemeriksaan medis pertama, dan setelah itu 104 orang (termasuk penerjemah 2 orang) saja dari mereka yang naik Kapal Gaelic, dan setelah melewati Yokohama, sekitar tiga minggu kemudian tiba di Sand Island, yakni lepas pantai dari pelabuhan Cho Woo-sung, Anggota Komite Kompilasi Sejarah Kota Incheon, Editor Utama The Incheon Times Honolulu pada dini hari tanggal 13 Januari1903. Kantor imigrasi setempat melakukan pemeriksaan medis kedua, sebagai gemakan pengumuman yang terus menerus mengingatkan mereka hasilnya beberapa dari mereka dikirim kembali ke Jemulpo karepada keadaan yang akan segera terpampang di depan mata. na penyakit mata dan gangguan kesehatan lain. Total sejumlah 86 Pengumuman itu berbunyi : “Iklim ringan tanpa panas yang orang, yaitu 48 orang laki-laki, 16 orang perempuan, serta 22 orang ekstrim, cukup untuk siapa saja, upah per orang adalah sebesar 15 anak-anak yang akhirnya diterima. Pada sore hari yang sama, 86 won yang akan dibayar dalam mata uang Amerika, waktu kerja orang emigran pertama ini dipindahkan ke perkebunan Waialua panper hari adalah selama 10 jam, hari Minggu tidak bekerja, pekerja tai utara Oahu dengan kereta api pengukur, dan barulah mereka bisa ditampung di rumah-rumah pertanian, biaya untuk kayu bakar, air membongkar bawaan mereka di kamp Makuleia. Yaitu 22 hari seteminum, dan pengobatan akan ditanggung oleh majikan, biaya tidak lah mereka meninggalkan pelabuhan Jemulpo. dibebankan kepada pekerja.� Tentu saja, bertentangan dengan apa yang diumumkan oleh kanKalau memang halnya seperti yang diumumkan, tawaran emitor emigrasi, kehidupan di perkebunan itu tidaklah mudah. Namun grasi untuk keadaan saat itu tidaklah begitu buruk. Tetapi tidaklah demikian, rombongan pertama itu berhasil membangun kehidupan mudah untuk menetapkan keputusan. Selain karena belum pernah baru sebagai emigran Korea pertama yang secara resmi diakui oleh mengenal budaya masyarakat Barat, pergi merantau meninggalkan pemerintah Korea. orang tua tanpa tahu kapan akan kembali dalam etika pada zaman Menurut catatan, tempat tinggal mereka, namanya saja adalah itu adalah sama artinya dengan berdurhaka kepada orang tua. gubuk petani, sebenarnya tidak jauh berbeda dengan barak tentara Dalam suasana seperti itu, sekalipun iklan untuk emigrasi itu yang terbuat dari kayu lapis lusuh. Mereka harus rela bekerja di dipasang di semua kota besar dan pelabuhan di seluruh negeri, hamladang tebu selama 10 jam sehari dalam panas terik yang mencekik. pir tidak ada orang yang memberikan respon. Perekrut, David W. Dalam situasi berat seperti itupun mereka mengumpulkan gaji sebeDeshler, yang akhirnya terdesak sampai-sampai harus meminta sar 1 dolar dan 25 sen – yang mereka kira adalah uang yang besar bantuan kepada Pendeta George H. Jones di Gereja Naeri. Karena – serta mengirimkannya ke tanah air sambil menghibur hati yang
Museum Emigrasi Korea, di Tempat Pertama Kali Emigran Korea di Hawai Menjejakkan Kaki
20
S e n i & B u d a y a Ko re a
rindu pada kampung halaman. Dan selanjutnya sampai bulan April dengan peringatan ke-50 tahun emigrasi Korea ke Hawaii, mereka 1905 melalui sebanyak 65 kali pelayaran, sekitar 7200 orang beremengirimkan dana sejumlah 150.000 dolar untuk pembentukan Inha migrasi ke Hawaii dan membentuk komunitas Korea di pulau PasiTechnical College (Universitas Inha hari ini), yang namanya dibenfik itu. tuk dari penggabungan suku kata pertama “Incheon” dan “Hawaii.” Namun di antara emigran pria yang kebanyakan adalah bujangan Nama ini adalah juga untuk mengingatkan hubungan persaudatua jatuh dalam minuman keras, perjudian, dan sebagainya sehingraan antara masyarakat Incheon dan Hawaii. Universitas ini, dengga menimbulkan masalah. Kantor imigrasi AS, yang menganggap an didukung oleh tambahan subsidi dari pemerintah, didirikan pada bahwa ini dikarenakan oleh tidak dapatnya mereka berkeluarga, tahun 1954, dan komunitas Korea di Hawaii terus memberikan lalu mulai mengusahakan agar para pria ini dapat berkeluarga. Seiperhatian dengan mengirimkan beasiswa untuk mendukung siswa ring dengannya, terbentuknya hukum pernikahan melalui foto. Dan muda yang berbakat. muncullah yang disebut sebagai ‘sistem mempelai foto wanita’ Setengah abad kemudian, pada Januari 2003, dua juta warga dimana wanita diizinkan untuk beremigrasi, dan kepada mereka Korea di Amerika Serikat mengadakan perayaan besar untuk yang berkeluarga diberikan izin tinggal permanen. memperingati Seratus Tahun Emigrasi Korea. Tokoh masyarakat Mempelai foto Incheon, salah satuwanita pertama adalah nya adalah walikota Choi Sa-ra yang tiba di Ahn Sang-soo, diunHonolulu pada tanggdang untuk menghadiri al 28 November 1910 perayaan ini di Hawaii. dan menikah dengan Semua yang hadir pada seorang pria bernama hari itu merasakan Lee Nae-su. Sebanyak kembali peran Incheon 951 mempelai foto tiba sebagai titik tolak di Hawaii hingga pada emigrasi Korea dan bulan Oktober tahun juga sebagai kampung 1924 yang memunghalaman kedua dari kinkan komunitas semua warga Korea di Korea secara bertahap luar negeri. mengalami stabilitas. Perayaan ini menSekitar waktu itu, c i p t a k a n ke s a d a r a n seperti yang telah yang lebih besar bahwa dikhawatirkan sebeluemigran generasi permnya, Korea dianektama, yang telah mengsasi oleh Jepang. Meliatasi kesulitan untuk Guntingan gambar sosok penumpang Korea dari SS Gaelic, bagasi, dan barang-barang pribadi mereka yang hat situasi yang demimembuka jalan mereditampilkan di Museum Sejarah Emigrasi Korea. kian generasi emingka di tanah asing dan ran pertama bangkit untuk memperjuangkan kemerdekaan tanah membantu negara mereka merebut kembali kemerdekaan, telah air mereka. Respon spontan mereka kepada keadaan di tanah air menunjukkan semangat kepeloporan dari Incheon yang perlu diteadalah salah satu karakteristik yang layak mendapatkan perhatian ruskan kepada generasi selanjutnya sehingga berdasarkan pendapat dalam sejarah emigrasi Korea. Dan akhirnya Hawaii menjadi salah umum tersebut akhirnya pendirian Museum Sejarah Emigrasi Korea satu basis terbesar di luar negeri untuk gerakan kemerdekaan Korea. mulai ditinjau. Komunitas Korea yang sungguh-sungguh mendukung pemerintahan Setelah beberapa tahun persiapan, akhirnya Museum Sejarah sementara di Shanghai dengan mendukung dana yang diperlukan Emigrasi Korea dibuka pada bulan Juni 2008. Saat ini, apa yang dengan beragam cara, termasuk menerbitkan obligasi publik, usaha ditunjukkan di dalam museum terutama difokuskan pada sejarah yang cukup memperlihatkan semangat perjuangan mereka. emigrasi ke Amerika. Dan untuk ke depannya ada rencana untuk Bukan hanya itu saja. Setelah Korea merdeka dari kekuasaan menambah ruang terpisah untuk negara-negara Asia dan Eropa. Jepang, hal pertama yang dilakukan oleh komunitas emigran Korea Dengan demikian Incheon sebagai kampung halaman di dalam hati Hawaii ini adalah segera mendirikan sebuah universitas di Incheon. para emigran akan menjadi semakin kukuh. Seabad setelah geneKarena mereka percaya satu-satunya cara untuk mencegah tanah air rasi pertama meninggalkan Korea, barulah kini tercipta dokumentasi mereka kehilangan kedaulatan lagi adalah dengan mendidik genedan pelestarian tentang sejarah kesengsaraan dan kejayaan emigrasi rasi muda dengan sebaik mungkin. Pada tahun 1953 bertepatan yang akan terwariskan kepada generasi selanjutnya. Ko r e a n a | Mu s i m S e m i 2014
21
Fitur Khusus 4 Incheon: Pintu Gerbang Utama Korea
Kepulauan Lepas Pantai Incheon: Koleksi Harta Karun Ekologis yang Hidup Terdapat sekitar 130 pulau besar dan kecil di lepas pantai Incheon saja. Setiap tahun lebih dari satu juta orang melewati pelabuhan Incheon untuk mengunjungi kepulauan itu. Di sana kita masih dapat menemukan gaya hidup masa lalu dan alam dalam bentuk aslinya. Sungguh, pulau-pulau tua ini adalah masa depan Incheon. Kang Je-yoon, Penyair, Kepala Sekolah, Sekolah Kepulauan, Institut Pressian Humanities | Ahn Hong-beom, Ha Ji-kwon, Kwon Tae-kyu Fotografer 1
22
S e n i & B u d a y a Ko re a
T
idak mudah menceritakan semua kisah dari banyak pulau lepas Pantai Incheon dalam satu waktu. Jadi, saya pikir lebih baik memulainya dengan sebuah puisi karya saya.
Pada pesisir Geomeunnang di Pulau Daecheong, Jalan setapak menyusuri tebing yang mengarah ke surga, Dan seorang tua yang akan kembali sendirian ke surga Telah tiba saatnya mencicipi makanan terakhirnya di bumi. Orang tua itu mengumpulkan tiram yang banyak tertempel di bebatuan. Tiram-tiram itu mengembang dan menipis seiring dengan kemilau dan redupnya bulan. Orang-orang pulau juga berkembang dan menjadi layu seperti tiram-tiram itu. Orang-orang pulau ini ialah anak-anak rembulan. Rembulan menarik dan mendorong air laut dan menjadikan isi lautan bertumbuh, Dan mereka semua pergi menuju lautan untuk menangkap ikan, lalu memanen kerang dan tiram. (“Jelmaan Rembulan� oleh Kang Je-yoon) Pulau Gunung Berapi Gureopdo “Ketika Anda tiba di pulau itu, luangkan waktu untuk melihat-lihat dengan tenang. Anda akan melihat pemandangan yang telah berubah selama puluhan ribu tahun, patung yang diukir oleh angin, gelombang, kabut, dan udara yang beraroma garam. Hal yang dibuat oleh tangan manusia dianggap sebagai kekayaan budaya hanya dalam seratus tahun. Namun sedikit orang yang memikirkan tentang pahatan-pahatan yang dibuat oleh alam selama ratusan juta tahun. Mereka sembarangan merubuhkannya atas nama pembangunan.� Kata-kata bermakna dari kapten kapal ke Pulau Gureop tersebut segera menghilang. Pulau Gureop yang terletak di Deokjeok-myeon, Ongjin County, yang secara administratif masuk ke wilayah Kota Metropolitan Incheon, adalah pulau berbatu-batu yang tercipta dari aktivitas gunung berapi sekitar 90 juta tahun yang lalu pada akhir Periode Cretaceous dari Era Mesozoikum. Pulau ini terbangun dari akumulasi berulang abu vulkanik. Dengan demikian jejak aktivitas vulkanik dan sejarah pengikisan batuan, saat batu-batu terbelah, hancur, dan dilarutkan, masih terlihat di pantai. Pulau ini adalah rumah bagi berbagai jenis hewan, termasuk tirampenangkap dari Eurasia (Haematopus ostralegus osculans), spesies langka yang hanya tersisa 10.000 di seluruh dunia, juga elang (Monumen Alam No 323), bangau, ular tikus, dan ular air hitam, serta menjadi pelabuhan komunitas tanaman unik, tempat tanaman subtropis dan sub-arktik hidup bersama.
Garis pantai terluar di Pulau Gureop terlihat jelas dalam buku geologi. Di dekat Pulau Kelinci yang tak berpenduduk, terhubung dengan arus pasang Pulau Gureop yang sedang surut, memiliki nilai konservasi tinggi seperti yang disebut oleh Administrasi Warisan Budaya sebagai "permata mahkota topografi pantai, yang tidak dapat ditemukan di tempat lain di Korea." Pulau Kelinci, dinamakan demikian karena penduduk Pulau Gureop dulu melepaskan dan memelihara kelinci di sana, memiliki tebing pantai setinggi 20 meter yang ditandai oleh terowongan yang tembus hingga 3-5 meter ke sisi tebing. Uniknya, terowongan ini tidak digali dengan ekskavator melainkan dengan garam, dan merupakan parit laut terkikis terbesar di Korea. Terowongan ini juga disebut "takik," sebuah tampilan topografi yang diciptakan oleh erosi batuan karena reaksi dengan garam dalam air laut. Secara keseluruhan, Pulau Gureop adalah sebuah taman yang terukir oleh alam, yang begitu indah sehingga membuat kita menahan napas saat melihatnya.
Pasar Ikan YeonPyeongdo yang Legendaris Terletak di dekat garis batas Utara, dewasa ini Pulau Yeonpyeong paling dikenal karena pernah menjadi daerah konflik, tempat dua pertempuran angkatan laut tahun 1999 dan 2002 dan pemboman di 2010. Tempat ini cukup jauh dari Incheon, berjarak 122 kilometer, tetapi hanya 30 kilometer dari kota pesisir Korea Utara, Haeju. Pulau Yeonpyeong dianggap sebagai salah satu pulau paling penting dalam sejarah nelayan Korea dengan populasi ikan croaker kuning kecil yang besar. Puluhan miliar ikan croaker datang ke pulau dengan air yang begitu berlimpah itu, sehingga orang berkata bahwa laut di sana terdiri dari setengah air dan setengah ikan. Setiap Mei penduduk pulau ini berkumpul di malam hari untuk mencari kawanan ikan yang menyeruak. Selama musim ikan croaker, pasar ikan musiman dibuka di pulau tersebut. Ini adalah pasar sementara yang digelar baik di darat atau di laut, tergantung pada pergerakan ikan. Ribuan nelayan dan pedagang kapal akan turun di pulau ini, menjejali perairan sehingga bisa dibilang Anda dapat berjalan dari satu kapal ke kapal lain tanpa membasahi kaki Anda. Ketika pasar ikan dibuka, pulau yang kecil dan tenang itu akan berubah menjadi kota terapung yang ramai, penuh dengan puluhan ribu warga, nelayan, dan pedagang. Toko-toko dadakan juga bermunculan untuk menjual alat pancing dan kebutuhan
1 Bekas aktivitas vulkanik dan sejarah erosi, seperti batu-batu terbelah, hancur, dan larut, masih terlihat di pantai Pulau Gureop. 2 Pantai Gaemeori di Pulau Gureop merupakan sebuah padang rumput tempat ternak digembalakan.
Ko r e a n a | Mu s i m S e m i 2014
23
2
1
sehari-hari. Ada lebih dari seratus bar tempat lebih dari lima ratus pramusaji, yang disebut "burung air ", dapat ditemukan di sana. Pada April 1943, ketika pasar ikan musiman mencapai puncaknya, sekitar 5.000 perahu merapat ke Pulau Yeonpyeong. Pada 1944, sekitar 9,7 miliar ikan croaker ditangkap di perairan pulau itu. Dan pada 1947, jumlah nelayan yang berkumpul di pasar ikan mencapai 90.000 orang. Ketika perahu nelayan datang, para perempuan di pulau itu juga memiliki kesibukan. Mereka menyediakan makanan, air, dan kayu bakar bagi kapal yang turun jangkar. Mereka juga menjual air, berbaris di penginapan air pasang dengan botol air mereka. Ketika musim memancing berakhir, para penjaja lekas berkemas dan pergi. Pulau ini sekali lagi menjadi sebuah desa nelayan yang tenang. Hari-hari keemasan Pulau Yeongpyeong, yang seolah-olah tampak akan bertahan selamanya, datang mendekati akhir 1960-an. Pada 1968, garis batas memancing ditarik ke arah utara pulau, melarang kapal nelayan untuk menyeberanginya. Peristiwa itu terjadi sewaktu jumlah croakers di perairan turun drastis akibat dari bertahun-tahun penangkapan ikan yang berlebihan. Keadaan semakin memprihatinkan saat sekitar 1969 suhu dingin mulai menyergap di Laut Kuning, menjadikan suhu turun di daerah pemancingan. Ikah-ikan tetap hidup di laut lepas pantai selatan Korea, di mana
24
kapal nelayan menurunkan jala dan menangkap mereka. Hal ini memotong migrasi croakers hingga Pulau Yeonpyeong untuk seterusnya. Ikan croaker yang selalu berlimpah pun menghilang tanpa jejak hanya dalam beberapa tahun. Perahu nelayan dan kapal pedagang berhenti mengunjungi pulau itu. Pasar ikan musiman pun berakhir. Dewasa ini Pulau Yeonpyeong dibayangi ketegangan perbatasan. Jika Anda berdiri di Tempat Observasi Manghyang di sana, Korea Utara terlihat cukup dekat untuk disentuh.
Pulau Ijak, Pulau Pasir yang Misterius Pulau Ijak yang terletak di Jawol-myeon, daerah Ongjin, dahulu disebut Pulau Ijeok, yang secara harfiah berarti "pulau bajak laut." Pulau ini dinamakan demikian karena Wako Jepang, atau para bajak laut yang paling mengancam di seluruh Asia Timur di zaman kuno, memiliki tempat persembunyian di sini. Para perompak telah lama berlalu, namun di perairan ini terdapat pulau lain yang muncul dan menghilang seperti fatamorgana. Ini adalah pulau pasir seluas 100.000 meter persegi lebih. Disebut Puldeung oleh penduduk setempat, pulau itu adalah tempat misterius yang menyembunyikan dirinya pada saat air pasang tinggi dan menunjukkan dirinya pada saat air surut. Terbentang sepanjang 2,5 kilometer timur ke barat dan 1 kilometer dari utara S e n i & B u d a y a Ko re a
“ Ketika Anda tiba di pulau itu, luangkan waktu untuk melihat-lihat dengan tenang. Anda akan melihat pemandangan yang telah berubah selama puluhan ribu tahun, patung yang diukir oleh angin, gelombang, kabut, dan udara yang beraroma garam.�
ke selatan, tumpukan pasir ini seperti padang pasir di tengah laut. Sebuah pemandangan yang hanya bisa dikerjakan oleh Tuhan. Konon, di masa lalu, kita bisa dengan mudah menangkap kepiting biru, udang, halibut, dan makhluk lainnya yang terjebak di kolam kecil di Puldeung saat air surut. Telah lama ada sebagai tanah pemijahan untuk berbagai makhluk laut, Puldeung memberi makan rakyat Pulau Ijak selama beberapa generasi. Namun pemerintah resmi daerah Ongjin telah mengeruk pasir dari sini selama lebih dari 10 tahun. Akibatnya, jumlah pasir sekarang berkurang drastis, hanya sekitar 100.000 meter persegi tumpukan pasir asli di 165.000 meter persegi wilayah yang masih tertinggal. Sayangnya pemerintah terlambat menyadari nilai keindahan dan ekologis Puldeung. Didorong oleh penduduk setempat dan kelompok-kelompok pecinta lingkungan, pada 2004 tempat ini ditunjuk sebagai "zona konservasi ekologi." Penduduk Pulau Ijak sekarang memahami nilai Puldeung dan menjadi pemimpin
dalam pelestariannya. Pada Pantai Jageun Puran di Pulau Ijak terletak batu tertua di Republik Korea yang terbentuk lebih dari 2,5 miliar tahun yang lalu. Batu jenis migmatite ini terbentuk ketika batu metamorf sebagian mencair dan terkristalisasi kembali menjadi batuan beku. Hasilnya adalah campuran lelehan batuan metamorf dan batuan beku yang merupakan petunjuk penting dalam menjelaskan evolusi kerak bumi di semenanjung Korea.
1 Puldeung, terletak di lepas pantai Pulau Ijak, merupakan sebuah pulau pasir kecil yang memiliki luas 100.000 persegi meter atau lebih yang hanya terlihat pada saat air surut . Pada tahun 2004 ditetapkan sebagai “zona konservasi ekologi.� 2 Anjing laut tutul di pantai Dumujin di Pulau Baengnyeong. Disebutkan bahwa seluruh Laut Barat adalah habitat bagi anjing laut tutul pada masa lalu. Sayang sekali, sekarang hewan-hewan tersebut merupakan spesies yang terancam punah.
Ko r e a n a | Mu s i m S e m i 2014
25
2
1
26
S e n i & B u d a y a Ko re a
Fosil Berumur Miliaran Tahun, Batuan Stromatolite di Socheongdo Pulau Socheong adalah pulau kecil yang dapat dikelilingi dengan tur santai hanya dalam beberapa jam. Pantai tenggaranya berupa tebing marmer yang disebut oleh penduduk setempat sebagai Batuan Bubuk. Batu marmer itu terbentuk oleh metamorfosis dari batu kapur. Ketika permukaannya terkikis maka terbentuklah tampilan seperti bubuk, demikianlah asal nama lokal itu muncul. Di dekat tebing ini terletak fosil tertua batuan stromatolite di Korea. Mereka adalah fosil cyanobacteria (alga biru-hijau) yang terbentuk satu miliar tahun yang lalu di Era Neoproterozoikum. Cyanobacteria adalah mikroorganisme primitif pertama di bumi yang menggunakan fotosintesis, sekitar dua miliar tahun yang lalu. Mereka adalah organisme pertama yang menciptakan oksigen dan memungkinkan munculnya bentuk-bentuk kehidupan di bumi. Terdapat catatan bahwa stromatolite terbentuk dua miliar tahun yang lalu di Korea Utara, tetapi fosil yang ditemukan di Korea Selatan ini adalah yang tertua, yang merupakan warisan alam dengan nilai geologis yang sangat penting. Sayangnya fosil ini rusak menjelang abad ke-20. Sampai awal 1980-an, banyak dari fosil-fosil itu menghilang, dibuat menjadi produk yang memanfaatkan pola-pola fisik mereka. Barulah pada 2009 mereka secara terlambat dinobatkan sebagai Monumen Alam No 508. Beruntung, kini akhirnya nilai mereka telah diakui dan dilindungi.
“Karya Terakhir Sang Dewa Tua� Baengnyeongdo
relawan melawan Jepang ketika mereka menyerbu Korea pada akhir abad ke-16, diasingkan ke pulau ini menjelang akhir hidupnya. Ia tertarik dengan pemandangan Dumujin dan dalam catatan hidupnya di pengasingan di sana, memuji tempat ini sebagai "karya terakhir dari sang dewa tua." Namun Dumujin yang seindah itu telah lama menjadi pangkalan bagi bajak laut. Ada tiga jenis predator di laut lepas Pantai Dumujin: anjing laut, bangau cormorant, dan orang-orang. Anjing laut tutul yang bepergian selama musim dingin ke laut es Teluk Liaodong di Laut Bohai kembali ke Dumujin di musim semi. Dikatakan bahwa seluruh Laut Barat adalah habitat bagi anjing laut di masa lalu namun sekarang mereka menjadi spesies yang terancam punah. Di perairan Dumujin, pesaing tunggal anjing laut adalah bangau-bangau cormorant. Para bangau membangun sarang mereka di tebing dan menyelam hingga 40 meter ke dalam air untuk menangkap ikan. Pulau ini selalu menjadi wilayah ketegangan militer, seperti di daerah konflik. Untunglah baru-baru ini angin perdamaian telah bertiup. Hal ini disebabkan oleh keberadaan Residensi Kesenian Perdamaian Pulau Baengnyeong, yang dijalankan oleh Badan Kesenian Incheon untuk mendukung kegiatan kreatif dan mempromosikan pertukaran seniman dari Korea dan luar negeri. Dalam inisiatif ini, seniman dari Korea, Amerika Serikat, China, dan banyak negara lain telah menggunakan pulau sebagai dasar untuk kegiatan kreatif mereka, dengan latar belakang lautan yang terpisah. Tidak ada keraguan bahwa aktivitas mereka akan berkontribusi besar terhadap perdamaian dan meredanya ketegangan antara Korea Utara dan Korea Selatan.
Laut, yang mungkin tertutup bagi kita esok hari, memberikan jalan ke pulau ini. Pulau Baengnyeong terletak di ujung utara sepanjang pantai Provinsi Hwanghae, Korea Utara. Pulau ini lebih dekat ke Pyeongyang daripada ke Seoul. Kapal penumpang yang bepergian ke Pulau Baengnyeong dari Korea Selatan harus berlayar menembus kepulauan di Korea Utara seperti daerah Ongjin (Sunwi, Ohwa, Changnin, Piam, Kirin, dan Kepulauan Maam) dan daerah Changyon (Wollae, Yuk, serta pulau-pulau lain), dan terus berlanjut ke utara. Untuk waktu yang lama, Pulau Baengnyeong menjadi milik daerah Changyon pada Provinsi Hwanghae. Tetapi ketika Korea terbagi, pulau itu diperintah oleh daerah Ongjin, yang sekarang menjadi milik Kota Metropolitan Incheon. Meskipun terletak 229 kilometer dari Incheon, daerah ini hanya berjarak 13,5 kilometer dari Titik Changsan di Korea Utara. Pulau Baengnyeong, yang menghadap Titik Changsan di perairan Korea Utara, terkenal karena formasi batuan dari Dumujin, yang terletak di ujung barat laut pulau. Di perairan lepas Pantai Dumujin berdiri baris demi baris formasi batuan, seperti Bebatuan Bruder, Batuan Gajah, Batuan Batang Lilin, dan Batuan Abadi. Mereka mengingatkan kita kepada bentuk fantastis Gunung Kumgang (atau Pegunungan Berlian, juga dieja sebagai Geumgang), sehingga daerah ini disebut "Gunung Kumgang di Laut Barat". Yi Dae-gi, yang memimpin pasukan
1 Formasi batuan dari Dumujin di Pulau Baengnyeong menciptakan pemandangan yang indah. 2 Wanita mengumpulkan tiram di pantai Pulau Baengnyeong.
Ko r e a n a | Mu s i m S e m i 2014
27
2
FOKUS
Galeri Seoul sebagai Galeri Seni Lukis Modern Nasional 28
S e n i & B u d a y a Ko re a
G
aleri Seoul sebagai Galeri Seni Lukis Modern Nasional dibuka pada 13 November 2013 di Samcheong-ro, Jongno-gu, Seoul, setelah persiapan selama empat tahun. Dibangun di atas lahan seluas 27.264 meter persegi dengan biaya 246 miliar won. Galeri ini memiliki total luas lantai 52.125 meter persegi, dengan tiga lantai di atas dan tiga lantai di bawah tanah. Tempat ini menjadi daya tarik dari Kota Seoul khususnya di sebelah utara Sungai Han, dengan 3.900 pengunjung pada hari pembukaan dan rata-rata sekitar 3.000 pengunjung hariannya.
Sejarah Penting Situs
Galeri Seni Lukis Modern Nasional, Seoul (MMCA Seoul) adalah dirancang agar tidak mendominasi kawasan sekitarnya namun menyatu dengan lingkungan sekitar. Dengan latar belakang bangunan tradisional Jongchinbu dan pelataran yang dikelilingi tembok, atau madang , bangunan itu pun berbagi, sebelah kiri adalah Arsip Seni Digital MMCA, dan di sebelah kanan adalah Seoul Box untuk instalasi seni kontemporer.
Dahulu, museum ini adalah situs Jongchinbu (Kantor Urusan Keluarga Kerajaan) pada masa Dinasti Joseon, dan Sekolah Medis Gyeongseong selama periode penjajahan Jepang. Setelah pembebasan Korea, tempat ini berfungsi sebagai Rumah Sakit Tentara di wilayah Seoul dan Komando Keamanan Pertahanan dan Angkatan Bersenjata Seoul, fasilitas militer yang membutuhkan keamanan ketat sehingga tempat ini tertutup bagi masyarakat umum. Dengan pembukaan Galeri Seoul, situs penting dengan sejarah yang luar biasa ini telah dikembalikan kepada publik. Dalam tampilan konteks sejarahnya, Galeri Seoul ini dirancang sedemikian rupa sehingga secara alami berbaur dengan lingkungan sekitarnya. Bangunan-bangunan tradisional Jongchinbu, yang telah dipindahkan ke dekat Perpustakaan Umum Jeongdok pada 1981, direstorasi dan dikembalikan ke situs sebelumnya, di mana fondasi aslinya ditemukan pada 2010. Bangunan-bangunan bata merah modern yang dibangun untuk menjadi rumah sakit di akhir 1920-an juga dipertahankan. Dengan pembangunan gedung galeri baru, koeksistensi tradisi, modernitas, dan kekontemporeran telah dibangkitkan kembali. Dengan bangunan-bangunan bergaya khas dari era yang berbeda, museum menawarkan beragam struktur dan ruang; kedelapan galeri membentuk daerah sentral, dengan sebuah bioskop, ruang multi-fungsi, dan ruang seminar. Sekitar sepertiga dari luas lantai disediakan untuk fasilitas pengunjung, seperti restoran, kafetaria, dan sebuah kafe buku digital. Kompleks ini dirancang untuk menjadi “Galeri Seni Lukis Terbuka,� suatu tempat yang dapat membuat orang merasa bebas untuk singgah seperti kafe umumnya. Saat ini ketiga cabang Galeri Seni Lukis Modern Nasional menjalankan peran dan fungsinya masing-masing. Galeri Seoul akan fokus mempromosikan kesenian Korea ke seluruh dunia dan memajukan status Korea sebagai pusat seni kontemporer Asia. Galeri Gwacheon akan lebih fokus dalam meningkatkan studi sejarah seni Korea. Galeri Istana Deoksu akan dikhususkan untuk penelitian dan penyajian seni modern,� kata Chung Hyungmin, Direktur Galeri Seni Lukis Modern Nasional.
Galeri Seoul sebagai Galeri Seni Lukis Modern Nasional telah resmi dibuka. Galeri yang merupakan tempat baru untuk seni modern ini terletak di jantung ibu kota Korea tepatnya di seberang jalan Istana Gyeongbok (istana utama Dinasti Joseon) serta dekat dengan Cheong Wa Dae (kediaman presiden). Koh Mi-seok, Penulis Editorial, The Dong-A Ilbo Ko r e a n a | Mu s i m S e m i 2014
29
Galeri seni lukis baru ini terdiri dari beberapa bangunan yang ditata seperti “pulau-pulau di lautan.� Meskipun tampak terpisah dari luar, semua galeri saling berhubungan di bawah tanah. Enam Madang (ruang terbuka) juga berfungsi sebagai bagian yang menghubungkan bagian dalam dan luar bangunan yang diterangi oleh sinar matahari.
Proses Pendirian Galeri Seoul adalah pencapaian dari mimpi panjang komunitas seni nasional. Galeri Gwacheon yang dibuka pada 1986 terletak di pinggiran Seoul tidak dapat diakses dengan mudah oleh pengunjung biasa. Sementara, pengunjung utama galeri baru ini adalah pecinta seni yang bersedia meluangkan waktu untuk ke sana, atau kelompok siswa sekolah dasar, menengah, dan tinggi yang melakukan karyawisata. Berdampingan dengan Seoul Grand Park, sebuah taman hiburan populer, dan Racecourse Park Seoul, galeri seni lukis terkadang sangat sulit untuk dicapai karena kemacetan lalu lintas, terutama selama musim semi dan musim gugur. Di sisi lain, Galeri Istana Deoksu yang berukuran lebih kecil dan terletak di dalam istana memiliki keterbatasan untuk menyelenggarakan pameran. Komunitas seni telah lama menyatakan bahwa Seoul membutuhkan galeri seni lukis modern yang memadai untuk seni kontemporer dan modern. Mereka pun berusaha untuk mengumpulkan petisi namun tidak berhasil. Setelah Komando Keamanan Pertahanan dipindahkan pada 2008, para seniman mengusulkan pembangunan sebuah galeri seni lukis baru di situs tersebut. Kemudian pada 2009, ketika upacara Tahun Baru, di depan para seniman, Presiden Lee Myung-bak mengumumkan rencana untuk membangun sebuah galeri seni lukis nasional di tempat tersebut. Rencana pembentukan sebuah galeri seni lukis modern berskala besar di jantung Kota Seoul bisa menjadi lanskap nasional yang terhubung ke istana di dekatnya, museum, galeri, dan rumah-rumah tradisional Korea di Bukchon Village. Mihn Hyun-jun, 45 tahun, Pimpinan Perusahaan Arsitektur MP ART, diangkat menjadi pemimpin proyek pada Agustus 2010. Namun dalam prosesnya, tidak berjalan mulus. Ketika penggalian situs dilakukan, pondasi asli dari bangunan Jongchinbu ditemukan, dan setelah berdiskusi panjang lebar, diputuskan bahwa bangunan tersebut akan dipulihkan dan dikembalikan pada situs aslinya. Merelokasi Rumah Sakit Angkatan Bersenjata Seoul, yang pasiennya termasuk presiden dan pejabat tinggi, juga ternyata bukan pekerjaan mudah.
1
2
30
S e n i & B u d a y a Ko re a
3
Renovasi gedung bekas Sekolah Medis Gyeongseong, sebuah Situs Budaya Terdaftar, juga menimbulkan kontroversi. Bahkan, sebuah kebakaran juga terjadi selama pekerjaan konstruksi.
Menyatu dengan Lingkungan Pimpinan arsitek, Mihn Hyun-jun, yang terpilih dari 110 pelamar menyatakan bahwa, “Galeri Seoul bukanlah sebuah arsitektur, melainkan lanskap.” Mengingat latar belakang situs, ia bercita-cita membangun galeri seni lukis yang baru dengan sedemikian rupa sehingga tidak akan mendominasi lanskap sekitarnya tetapi berdampingan dengan “fragmen sejarah” yang tersebar di sana, selain itu ia juga mengesampingkan ambisi pribadi untuk menunjukkan “arsitektur sebagai sebuah karya seni.” Di dalam galeri seni lukis, tidak ada bangunan yang menonjol sendirian. Sebaliknya, galeri tersebut terdiri dari beberapa bangunan yang ditata seperti “pulau-pulau di lautan.” Meskipun dari luar tampak seperti terpisah tapi semua galeri saling berhubungan di bawah tanah. Selain itu, galeri itu memanfaatkan penggunaan ruang bawah tanah untuk mengatasi batas ketinggian 12 meter dari Istana Gyeong Bok di area tersebut. Arsitek juga menerapkan konsep tradisional madang Korea, atau ruang terbuka, untuk menghubungkan galeri yang terpisah dan memanfaatkan pencahayaan alami. Enam ruang terbuka berfungsi sebagai penghubung bagian dalam dengan luar bangunan dan diterangi oleh sinar matahari. Ko r e a n a | Mu s i m S e m i 2014
1 “Film ” (2011), instalasi oleh Tacita Dean. Layar lebar CinemaScope ditempatkan secara vertikal menunjukkan perangkat video analog selama 11 menit. 2 “Bermimpi Bepergian – Masa KanakKanak” (2011) oleh Whang In-kie, 307 x 845 cm, blok plastik pada kayu lapis, bagian dari pameran khusus “Zeitgeist Korea” yang menyajikan karya-karya dari koleksi museum sendiri. 3 “Rumah dalam Rumah dalam Rumah dalam Rumah” (2013) oleh Suh Do-ho, 1.530 x 1.283 x 1.297 cm, kain poliester dan bingkai logam.
31
1
Keselarasan bangunan berkaitan dengan baik satu sama lain, juga dengan lingkungan sehingga semuanya seolah-olah selalu terhubungkan. Ide desain yang memperlihatkan penghormatan terhadap sejarah situs telah diterima secara positif.
Pameran Khusus untuk Pembukaan Untuk peresmian pembukaan, lima pameran khusus diselenggarakan dengan memperlihatkan arah masa depan Galeri Seoul. Pameran itu mempertemukan sejarah seni Korea dan tren terbaru dalam seni kontemporer di seluruh dunia: Pameran “Connecting-Unfolding” diisi oleh kurator Korea dan asing dengan tujuan untuk menciptakan sebuah pusat pentas seni internasional; “Aleph Project” yang memecah dinding antara genre, “Site-Specific Art Project” yang memanfaatkan ruang terbuka galeri seni lukis, “Zeitgeist Korea,” sebuah pameran permanen yang menampilkan karya-karya dari koleksi galeri sendiri, dan “Birth of a Museum,” yang mendokumentasikan proses konstruksi galeri seni lukis dengan foto dan audio. Ketua kurator Choi Eun-joo menjelaskan, “Pameran berfokus pada pencapaian keterbukaan dan eksplorasi pusat hubungan dan kemungkinan artistik.” Pameran khusus yang tidak disertai dengan karya spektakuler tetap bernilai sangat tinggi ketika konsistensi standar secara keseluruhan dapat dipertahankan. Apalagi, sudah mencakup berbagai macam genre, seperti lukisan, video, seni instalasi, dan seni pertunjukan yang secara aktif saling berhubungan serta menyatukan genre
32
S e n i & B u d a y a Ko re a
berbeda. Dalam hal “Connecting-Unfolding,” tujuh kurator dari negara seperti Korea, Amerika, dan Jerman membahas berbagai kemungkinan sebelum akhirnya memilih karya tujuh seniman. Mereka adalah: Kishio Suga (Jepang), seniman besar dari gerakan Mono-ha, Kim Jones (Amerika) pelukis dengan tema anti-perang, Amar Kanwar (India) dengan karya-karya puitis menyerukan perlawanan terhadap pembangunan yang tidak manusiawi, dan Tacita Dean (Inggris) yang menciptakan video analog menentang tren digital saat ini. Selain itu, juga ada Lee Mingwei (Taiwan) dengan karya berjudul “Sonic Blossom” yang diselesaikan dengan melibatkan penonton: seseorang dengan mantel panjang berjalan di sekitar aula galeri seni lukis lalu mendekati pengunjung dan menawarkan mereka hadiah musikal, kemudian ia menyanyikan lagu dari Schubert. Sementara “Aleph Project” mengintegrasikan arsitektur, desain, ilmu pengetahuan, penampilan, dan seni, memukau pengunjung dengan hal baru yang unik. Karya yang paling banyak dibicarakan yaitu milik Philip Beesley “Arsitektur Bergerak” yang selalu mengangkat tentakel setiap kali pengunjung mendekatinya, dan “The Elaboratorium” oleh tim Australia di mana para pengunjung diperbolehkan untuk melihat gambar mikro yang hampir tidak terlihat. Dalam “Site-Specific Art Project,” yang menjadi fokus adalah karya video Hangeulteks oleh tim “Jang Young-Hye Heavy Industry,” dan “Rumah dalam Rumah dalam Rumah dalam Rumah dalam Rumah” oleh Suh Do-Ho menampilkan rumah tradisional Korea yang berada dalam sebuah bangunan bergaya Amerika yang menyerupai tempat tinggal artis ketika belajar di luar negeri, dan keduanya terbuat dari kain tipis.
1 “Epiphyte Chamber ” (2012) oleh Philip Beesley. Sebuah patung instalasi interaktif yang terdiri atas 100.000 elemen digital halus. 2 Meskipun tampak terlihat terpisah dari luar, sebenarnya semua galeri saling berhubungan di basement . Jauh terlihat di latar belakang dan menjulur dari langitlangit adalah “Opertus Lunula Umbra ” (Bayangan Budan Tersembunyi, 2008) oleh Choe U-ram.
Batu Pijakan bagi Kesenian Korea Saat ini, suatu batu pijakan sudah tersedia untuk kemajuan kesenian Korea. Meskipun beberapa kendala masih perlu diatasi, seperti sirkulasi pengunjung yang tidak efisien, Galeri Seoul yang hadir pada jalur di mana sejarah dan tradisi—serta alam dan seni—hidup dan bernapas bersama sekiranya dapat menyediakan tempat yang populer baik untuk pengalaman budaya maupun relaksasi. Tujuan utama dari Galeri Seoul adalah untuk meningkatkan kesejahteraan budaya dan memungkinkan lebih banyak orang dapat menikmati seni dan menempatkan Korea dalam sorotan budaya global. Bangunan hebat dan pameran saja tidak cukup bagi Galeri Seoul untuk berkembang menjadi sebuah ikon baru dalam perbaikan budaya Korea. Sebagaimana dikatakan pepatah, tanaman tumbuh pada suara langkah kaki petani, budaya dan seni berkembang karena minat, perhatian, dan kesungguhan publik. Keberhasilan Galeri Seoul tergantung pada berapa banyak pecinta seni terus mengunjunginya secara konsisten.
2
Ko r e a n a | Mu s i m S e m i 2014
33
WAWANCARA
‘On Such a Full Sea ’ Chang-rae Lee dan Novel Barunya Ketika saya pergi dari Washington D.C. ke Princeton, New Jersey, untuk bertemu Chang-rae Lee, terjadi badai salju. Kami bertemu di Perpustakaan Penulisan Kreatif, Princeton University. Perasaan canggung sebelum interview seketika hilang ketika kami bertemu. Lee sangat ramah, murah senyum dan sangat menarik. Young-Key Kim-Renaud, Linguis dan Profesor di Jurusan Bahasa dan Budaya Korea dan Hubungan Internasional, George Washington University Jaean Lee Fotografer
34
S e n i & B u d a y a Ko re a
B
uku pertama Chang-rae Lee yang berjudul “Native Speaker” (1995) memenangkan PEN/Hemingway Foundation Award sebagai fiksi terbaik dan menerima penghargaan American Book Award pada tahun 1996. Buku keempatnya, “The Surrendered” (2010), adalah finalis Penghargaan Pulitzer tahun 2011. Setelah bukunya yang kedua, “A Gesture Life,” terbit di tahun 1999, The New Yorker menyebutnya sebagai salah satu dari 20 penulis Amerika terbaik berusia di bawah 40 tahun. Novel ketiganya, yaitu “Aloft” (2004), menerima penghargaan dari Asian/Pacific American Award untuk Sastra kategori Fiksi Dewasa tahun 2005-2006. Bukunya yang kelima dan yang terbaru, “On Such a Full Sea,” diterbitkan oleh Riverhead Books dan beredar pada tanggal 7 Januari 2014. Lee lahir di Korea pada tahun 1965 dan pindah ke Amerika Serikat bersama keluarganya ketika dia berusia tiga tahun. Ia kuliah di Yale University dan University of Oregon, hingga mendapatkan gelar M.F.A. Saat ini dia adalah profesor penulisan kreatif di Lewis Center for the Arts, Princeton University. Dia sudah mengajar di Yonsei University di Seoul selama musim panas sejak tahun 2007.
Chang-rae Lee sebagai Penulis
Chang-rae Lee beranggapan bahwa menulis lebih merupakan proses penemuan bersama dengan pembaca daripada menceritakan sesuatu yang sudah saya ketahui
Ko r e a n a | Mu s i m S e m i 2014
Young-Key Kim-Renaud: Saya suka novel pertama Anda, “Native Speaker.” Novel ini menceritakan kisah yang sangat saya kenal, tapi kisah sedih imigran ini dituturkan dalam bahasa yang sangat cantik. Dan metafornya juga sangat kuat! Anda dikenal sebagai seorang “penulis Korea-Amerika” karena buku ini. Bagaimana menurut Anda, karena Anda menulis novel yang sangat berbeda dan barangkali Anda menganggap diri Anda lebih Amerika. Chang-rae Lee: Saya selalu merasa sebagai penulis Korea-Amerika, tapi saya kurang sreg dengan istilah ini karena kami para penulis Korea-Amerika berasal dari berbagai latar belakang yang yang sangat berbeda. Sebagian di antara kami lahir di sini, sebagian datang ketika kami anak-anak, sebagian datang ketika sudah dewasa, sebagian dari kami anak adopsi, dan sebagainya. Ini istilah yang sangat luas dan tidak jelas. YK: Mengapa bukan hanya publik Amerika pada umumnya tapi juga masyarakat Korea yang menyebut Anda demikian? CL: Kita sebagai manusia suka sekali mengelompokkan sesuatu. Memang membuat segalanya lebih sederhana. Tapi menurut saya akan jauh lebih menarik bicara mengenai seseorang dalam hal karyanya, bukan hanya mengatakan, “Oh, dia penulis Korea-Amerika,” atau “Dia seniman Korea-Amerika.” Saya akan menulis mengenai orang-orang Korea-Amerika ini kelak, tapi Korea-Amerika di sini tidak mewakili mereka yang tadi saya sebutkan. Mereka mewakili dirinya sendiri. Tapi, saya bangga dengan leluhur Korea dan tidak masalah masuk dalam kategori ini. YK: Mereka bermaksud baik ketika menyebut Anda sebagai orang Korea-Amerika. CL: Tentu saja! Memang begitu. Tapi itu seperti mengatakan “Dia baik.” Itu istilah yang sangat luas, bukan? Anda harus menjelaskan apa maksudnya “baik” di sini, karena hal ini sangat sarat makna. Tugas saya sebagai seorang penulis adalah membawa kompleksitas dunia dan cerita mengenainya, bagaimanapun rumit dan berwarnanya hidup ini. YK: Kapan Anda merasa punya bakat dan ingin menjadi penulis? Dan ketika Anda menyadarinya, apa yang menjadikan Anda penulis yang diperhitungkan? CL: Saya tidak tahu kalau saya punya bakat. Sewaktu saya SMA, guru saya mengatakan bahwa saya punya bakat dalam bidang bahasa dan menulis. Ini terjadi di Phillips Exeter — kelas 10 dan 11. Sebelum itu saya sangat menikmati membaca, sejarah, matematika dan sains, segalanya, tapi dari situlah saya mulai fokus menulis. YK: Apa yang membantu Anda? CL: Saya menulis puisi, dan saya juga menulis beberapa cerita pendek. YK: Bagaimana Anda berlatih? CL: Salah satu guru saya mengizinkan saya menulis fiksi, walaupun itu bukan bagian dari materi di kelas. Saya menulis satu bab pendek dari sebuah cerita yang lebih panjang. Dia suka dan mengatakan “Jika kamu bisa terus menulis seperti ini, kamu tak perlu mengerjakan tugas lain. Silakan menulis terus.” YK: Wah, itu suatu keuntungan CL: Luar biasa! Dan saya berpikir, “Dia menyukai tulisan saya!” Sebelumnya, Saya yakin dia hanya bersikap baik dan menyemangati saja. YK: Anda pencerita hebat. Bagaimana Anda menulis novel? Misalnya, ketika Anda menulis “On Such
35
a Full Sea,” Apakah Anda mengembangkan cerita atau tokohnya dulu? CL: Saya biasanya memulai dari tokoh. Saya mencoba berpikir dari hal kecil ke hal yang besar. Saya melihat karya sebagai sesuatu yang lebih besar, tapi saya mencoba untuk tidak berpikir mengenai detil kerangka terlalu banyak sampai saya mendapatkan momen ceritanya. Bagi saya, menulis novel lebih merupakan proses penemuan, bukan menceritakan sesuatu yang sudah saya ketahui. Lebih menarik menulis dengan cara seperti itu, dan juga saya berpikir cara ini membuat aktifitas menulis menjadi menarik ketika penulis, bersama dengan pembaca, menemukan apa yang ada dalam cerita. YK: Seperti sebuah perjalanan. CL: Benar. Khususnya dalam “On Such a Full Sea,” yang memang sebuah cerita perjalanan. Bahkan dalam buku-buku saya lainnya yang berupa narasi seseorang tentang masa lalu, lahir juga sebuah perjalanan. YK: Anda penyuka keindahan. Tulisan Anda sangat liris, puitis, elegan, dan sangat cantik — sangat menyenangkan. Anda menulis dan menulis kembali kalimat Anda. Kapan Anda tahu proses itu sudah cukup? CL: Di akhir proses penyuntingan, perbaikan, dan penulisan kem-
CL: Ya. Saya sangat mencintai hidup. YK: Itu sangat jelas. Tapi luasnya wawasan Anda mungkin agak mengintimidasi mereka yang kurang berpendidikan. Sebagian pembaca mungkin berpendapat tulisan Anda tak bisa dinikmati semua orang. CL: Mungkin. Tapi saya belajar sejak dulu bahwa kita tidak bisa menulis untuk semua orang karena pembaca terdiri dari banyak segmen. Dan mereka suka atau tidak suka terhadap karya kita karena banyak alasan berbeda. Saya tidak bisa mengantisipasi, mengerti atau memperkirakan apa yang bakal disukai pembaca. Baru-baru ini saya mengatakan kepada mahasiswa saya di kelas — tulislah sesuai dengan panggilan jiwa Anda dan apa yang Anda percayai. Itu adalah dorongan artistik, atau hak prerogratif artistik. Itu saja. YK: Dalam budaya Korea, kami menghormati spontanitas dan keinginan belajar, karena percaya bahwa “manusia selalu mampu melakukan perbaikan,” dan seharusnya pendidikan berlangsung seumur hidup. CL: Tentu saja saya percaya keduanya. Mungkin dalam hal ini saya sangat Korea. Dan inilah yang saya sampaikan kepada mahasiswa saya. Anda seharusnya membawa semua yang Anda pelajari ke dalam tulisan Anda. Tapi pada saat menulis, bebaskanlah.
“Kisah Fan ini adalah juga cerita manusia pada umumnya. Fan mewakili kita semua, bagaimana kita berjuang mencapai tujuan, bertemu dengan kesempatan dan takdir. Semua itu menjadikan kita manusia, ada yang membahagiakan dan ada juga yang menyedihkan.” bali, ada kalanya saya bosan, tapi saya sudah menemukan irama. Kadang-kadang, lucu juga menyebutnya “irama” tapi itulah yang saya rasakan. YK: Apakah Anda benar-benar menyuarakannya? Apakah Anda membacanya dengan nyaring? CL: Saya membaca nyaring, tapi tidak semuanya. Hanya bergumam. Saya mendengarnya di kepala saya. Istri saya akan menceritakan kepada Anda bahwa ketika saya menulis, dia mendengar saya seperti ini [suara mendengung], bergumam, karena saya benar-benar mencoba merasakan ritme dan suara, dan nadanya. Saya sangat memperhatikan hal-hal ini karena saya belajar menulis berawal dari puisi. YK: Anda mulai menulis sebagai penyair. CL: Ya. Itulah mengapa saya selalu menyelaraskan bukan hanya jalan ceritanya tapi juga kata-katanya. YK: Anda bicara mengenai makanan, anggur, lukisan, dan patung. Sungguh Anda seorang bon vivant. CL: Ha ha. Dalam bahasa Korea disebut apa ya? YK: Barangkali yang paling mendekati adalah pungnyugaek , sebuah estetika kenikmatan atas seni, makanan dan minuman enak, dan dulu disebut gisaeng . Seseorang yang mencintai hidup ….
36
Tentang Novel Barunya, “On Such a Full Sea”
YK: Apa tujuan Anda menulis buku ini? Apakah Anda berencana membuatnya sangat berbeda dari semua karya Anda sebelumnya? CL: Tidak, saya tidak merencanakan membuatnya berbeda. Saya punya premis yang saya suka — membawa kembali para pekerja ke Amerika yang keadaannya sudah berbeda. Sebagian keinginan saya menulis buku adalah karena kepedulian saya mengenai Amerika — masyarakat Amerika dan tempat mereka di dunia. Tapi begitu saya menerima premis ini, saya menyadari bahwa saya harus melihat jauh ke depan, baru segalanya akan sangat berbeda. Saya mengikuti alur cerita saya sendiri dan memberi sentuhan yang diperlukan, hal-hal kecil yang penting dan tokohnya. Saya sangat menikmati menuliskannya. YK: Maksud Anda, Anda meliarkan imaginasi Anda? CL: Ya, dan dengan cara yang belum pernah saya lakukan sebelumnya. Anda bisa saja membiarkan imaginasi berlari, tapi ketika menulis saya benar-benar bebas, karena saya bisa menciptakan dunia sesuai dengan yang saya inginkan. YK: Tapi masih terasa sangat kontemporer. CL: Saya bukan seorang fantasis. Buku itu bukan fantasi sepenuhnya. Dan semua buku mengenai masa depan selalu bertutur tentang masa kini juga YK: Barangkali, itu sebabnya mengapa menjadi lebih menakutkan. CL: Benar. Karena itu bukan mimpi yang tak mungkin. S e n i & B u d a y a Ko re a
YK: Judul buku ini berassal dari kalimat dalam “Julius Caesar” karya Shakespeare — adakah artinya secara khusus? Apakah “naik turunnya kehidupan” menjadi ciri dalam petualangan Fan? Atau berlaku pada manusia secara umum? Atau ada hal lainnya? CL: Semuanya. Tentu saja kehidupan Fan — bagaimana dia menjalani hidupnya. Dia terbawa gelombang yang mengombang-ambingkan hidupnya. Hampir tidak punya kendali sama sekali. YK: Apakah menurut Anda dia menikmati petualangannya? CL: Saya tahu ketika saya menuliskannya. Awalnya saya tidak berpikir demikian, tapi begitu saya memulai menuliskan perjalanannya itu, saya menyukai ke mana arah perjalanan itu. Ini memang cerita tentang Fan tapi kisah ini juga tentang manusia. Fan mewakili kita. Kita berjuang demi tujuan tapi juga bertemu kesempatan dan takdir. Semua hal itu menjadikan kita manusia dan membuat kita senang dan sedih. YK: Cara penceritaannya sangat menarik. Siapakah “kami”? Orang pertama jamak tidak biassa dipakai dalam fiksi kontemporer. Dalam “The Buddha in the Attic” karya Julie Otsuka juga memakai “kami” sebagai narator. Namun, saya merasa keduanya berbeda. CL: Bagaimana Anda merasakan perbedaan keduanya? Saya penasaran. YK: Dalam novel itu, ungkapan “salah satu dari kami” sering kali muncul, menyiratkan bahwa narator berada dalam suatu kelompok, sementara dalam novel Anda, hal seperti ini tidak pernah muncul. Sebenarnya saya hanya melihat satu tokoh dalam novel Anda. CL: Anda hanya melihat satu tokoh, tapi saya ingin tokoh ini mengalami semua emosi. YK: Jadi, dia adalah tokoh yang serba bisa? CL: Hampir benar, tapi juga seseorang yang kadang-kadang bingung, penuh harapan, kadang tidak yakin, kadang defensif. Saya ingin “kami” bermakna luas. YK: Apakah karakteristik setiap komunitas dalam novel — Charters, kelompok yang tinggal di kompleks khusus dan desa — termasuk kemungkinan langka “promosi” ke kelompok masyarakat elit, berdasarkan paham Confusius atau prinsip “meritokrasi”? CL: Bagi saya tidak begitu. Ini karena menurut saya masyarakat dibagi-bagi seperti itu. YK: Tapi ada kesan jika Anda berpendidikan Anda termasuk kelompok Charters yang eksklusif. CL: Tapi Anda juga dari kelompok ini. Itu bukan meritokrasi. Latarnya memang masyarakat Confusianis. Masyarakat ini punya aspek positif dan negatif. Ketiga kelompok dalam novel menyuarakan perhatian saya mengenai kelas — perbedaan kelas sosial-ekonomi. YK: Bagaimana Anda sampai pada nama-nama itu? Saya mengerti bahwa “B-Mor” adalah wilayah Baltimore, tapi bagaimana Ko r e a n a | Mu s i m S e m i 2014
Anda memutuskan mana yang “Charters” dan “desa”? CL: Semuanya datang begitu saja. Saya merasa sepertinya “desa” sudah tepat karena mewakili wilayah yang luas tanpa ada peraturan. Tak dikenal dan liar. Istilah “Charters” berasal dari “sekolah charter.” Sekolah ini sangat fokus dan eksklusif, dan mereka memiliki ketentuan mengenai siapa saja yang boleh masuk. YK: Saya melihat Anda menuliskan dengan huruf besar kata Charters dan B-Mor, tapi kata desa tidak. CL: Desa merupakan kelas yang lebih rendah. YK: Sebagai seorang linguis, saya suka metafor dan kemampuan penggunaan bahasa Anda untuk membedakan kelas-kelas tersebut. Tapi, masyarakat desa melakukan permainan bahasa dalam latar desa tanpa teknologi. Anda tidak punya aktifitas kreatif di dua masyarakat lain. Apakah menurut Anda “tanah tak berpenghuni” tanpa teknologi lebih kondusif bagi kehidupan yang menarik dan kreatif, tidak berbahaya dan amoral? CL: Menurut saya, teknologi menjauhkan kita dari dorongan dasar manusia. Baik teknologi maupun alam di B-Mor dan Charters menekan imaginasi dan kreatifitas, dan bahkan mengabaikan nilai semua itu. Mereka yang menghargai imaginasi tak berpikir tentang hal lain. Dan karena tak punya apa-apa lagi, mereka harus menemukan kehidupan mereka sendiri, melatih pikiran mereka dengan bahasa, dengan permainan kata. Merekalah yang membaca novel-novel lama. Bagi orang lain, novel tak berarti lagi. Mereka menggantinya dengan keinginan mengejar uang, makanan, kenyamanan, barang-barang mewah, sangat berlawanan dengan orang-orang yang tak punya apa-apa tapi bisa mengapresiasi seni. YK: Ini bagian dari kekhawatiran Anda. CL: Ya. YK: Saya sangat terpesona oleh neologi yang Anda gunakan. Misalnya, Anda memakai kata-kata “handscreen(komputer tablet seperti iPad),” “global(pesawat)“pix(foto gigital),” dan “vids(video digital),” dan bahkan kata-kata khusus seperti B-Mor dan T-Roy. Kata-kata itu tampak seperti parodi pola kalimat penutur asing. CL: Saya tidak berniat memarodikan penutur asing. Saya ingin memakai bahasa yang ringkas yang sepertinya hampir punah. Bahasa itu semakin jarang dipakai, dan ini salah satu kekhawatiran saya lainnya. Bahasa adalah hidup saya. Tapi di gambaran masa depan ini saya melihat bahwa bahasa tidak lagi dibutuhkan. YK: Kelompok mana yang diwakili oleh kisah itu? Sepertinya kelompok Elit. CL: Memang kelompok Elit, tapi juga kelompok B-Mor. YK: Benar, mereka mulai ... CL: Keseluruhan novel ini tentang awal lahirnya kesadaran mereka. Mereka sadar bagaimana tertekannya hidup mereka. Dan seberapa
37
besar mereka menekan diri mereka sendiri! Itu salah satu hal yang ingin sampaikan melalui buku ini. Bukan kekuatan lain yang menentukan, tapi ketakutan mereka sendiri. YK: Itu kekhawatiran yang lain lagi. Dan akan sangat menarik karena sebagian kekhawatiran itu nampaknya bertolakbelakang. Misalnya, Anda khawatir mengenai kolektifisme tapi pada saat yang bersamaan Anda juga berpikir mengenai individualisme. CL: Tak ada satupun di dunia ini yang sepenuhnya benar atau seluruhnya salah. Ya, saya merasakan kekhawatiran mengenai kolektifisme kaum Confusius dalam masyarakat B-Mor, bagaimana hal itu menekan individualisme, tapi pada saat yang bersamaan, ada banyak keriaan dan hal-hal luar biasa dalam komunitas: rasa aman, kehangatan, dan keteraturan. YK: Secara khusus saya tertarik pada banyaknya orang-orang Asia di ketiga masyarakat itu. Saat ini di Amerika, sebagian merasa khawatir dengan kaum Hispanik. Apakah karena Anda orang Asia lalu Anda memasukkannya ke dalam buku ini? CL: Karena saya orang Asia, tapi juga karena menurut saya dunia ini menjadi dunianya orang Asia. Ya, Hispanik memang berkembang, tapi jika Anda berpikir mengenai kekuatan ekonomi, kekuatan budaya, dan lainnya, bukankah Asia dan negara-negara Timur sangat dominan? Anda bisa melihat pengaruh Asia lebih besar dari sebelumnya di jaman global ini. YK: Saya tertarik pada implikasi bahwa identitas tak lagi penting di sini, barangkali karena berangkat dari karya sebelumnya. CL: Sekarang pertanyaannya agak berbeda. Bukan tentang identitas dalam suatu budaya. Beberapa buku saya sebelumnya mengenai individu dalam tekanan budaya sekitarnya. Novel ini bukan tentang itu. Novel ini lebih khusus tentang budaya itu sendiri. YK: Apakah Anda optimis mengenai hal ini? Atau Anda hanya berandai-andai? CL: Itu bukan pesan dalam novel saya. Dan itu suatu hal yang ingin saya sampaikan supaya masyarakat mengenai keberadaan penulis dan karyanya. Hanya karena saya menulis tentang hal tertentu dalam buku pertama saya, bukan berarti bahwa saya selalu akan menulis tentang hal itu. YK: Karena Anda mengawali novel Anda dengan tokoh, saya juga penasaran apakah tokoh Anda dari suatu stereotip atau tipe tertentu. CL: Saya bekerja dengan “tipe.” Tapi saya ingin bisa menunjukkan banyak aspek yang berbeda mengenai manusia. Dan menikmatinya. Dengan orang-orang di B-Mor, yang tinggal di masyarakat Konfusius Asia, saya sedikit menikmati memarodikan hal-hal tertentu yang mereka sukai. Orang-orang di B-Mor terobsesi dengan makanan, bukan? Itu adalah kenyamanan mereka yang luar biasa, tapi saya juga khawatir jika terlalu nyaman. Apakah itu terlalu mudah untuk sebuah pelarian? Tentu pertanyaan yang lebih muncul akan lebih serius. Apakah kami tidak cukup radikal? Cukup memberontak? Cukup lantang bersuara? Itulah kecemasan yang saya pikirkan mengenai masyarakat B-Mor. YK: Kreatifitas berawal dari ketidakpuasan.
38
CL: Ketidakpuasan dan perbedaan pendapat. Intinya, kecemasan utama novel ini adalah tentang kreatifitas atau kurangnya kreatifitas. YK: Mereka mengingatkan kita kepada stereotip yang sebenarnya — wanita Asia yang sangat pasif, orang-orang Asia hampir semuanya mengungkung diri sendiri? CL: Anak-anak perempuan Miss Cathy. YK: Ya, anak-anak perempuan Ms. Cathy dengan mata lebar hasil operasi. Apakah itu juga merefleksikan kecemasan atau stereotip Anda? CL: Ya. Saya ingin sedikit bersenang-senang dengan mereka, karena mereka sangat menakutkan. Saya pergi ke Jepang dan Korea musim panas yang lalu. Banyak sekali gadis-gadis muda melakukannya! Mereka tampak serupa! Mereka merasa cantik tapi sebenarnya tidak. Bahkan sangat menakutkan. YK: Dalam konteks ini, apakah tokoh Fan yang protagonis diciptakan untuk mmebawa sebuah pesan? Sebuah harapan? CL: Ya, dia adalah sebuah harapan. Bukan karena dia mengatakannya. Dia tidak pernah mengatakan hal itu, tapi dia menginspirasi harapan dalam diri semua orang yang bertemu dengannya. Dia satu-satunya tokoh dalam novel ini yang mengerti siapa dirinya dan apa yang dia inginkan. Tokoh-tokoh lainnya berjuang sekuat tenaga. Mereka sangat tidak puas dan sangat tidak nyaman mengenai siapa diri mereka, apakah mereka hidup di desa karena miskin, apakah karena mereka berada di B-Mor dan hidupnya sangat terbatas, atau di Charter sebagai orang yang terpenjara oleh kekayaannya. Fan ibarat sebuah panutan bagi mereka. Juga sebuah petunjuk arah juga. Dia sangat biasa dan sederhana, sesuatu yang sangat langka di dunia ini. YK: Akhir ceritanya sangat menarik. Apakah Anda menyiapkan semacam kisah lanjutannya? CL: Saya tidak tahu. Saya suka akhir cerita ini, sesuatu yang belum selesai. Karena jika sudah selesai, tak akan ada lagi harapan.
Tentang Kehidupan Pribadinya YK: Bahasa pertama Anda adalah bahasa Korea. Anda berbicara bahasa Korea sebelum Anda mulai sekolah. Sekarang bahasa Inggris Anda jauh lebih baik dibanding penutur asli. Dengan metafor yang Anda pakai, bisakah seseorang menjadi penutur asli? Apakah Anda merasa sebagai penutur asli? CL: Seseorang dapat menjadi penutur asli secara eksternal. Secara internal sangat tidak mungkin. YK: Bisakah Anda jelaskan sedikit? CL: Anda, sebagai seorang linguis, mungkin tahu sebagaimana orang lain juga, bahwa bahasa tidak dapat dihapus dari diri Anda sepenuhnya. Dan karena banyak sekali hal lain yang berkaitan dengan bahasa, untuk “menjadi” seorang penutur asli adalah sebuah kebohongan, atau sebuah mimpi. Anda menjadi penutur asli jika lahir di sana dan tidak pernah tinggal di tempat lain. Anda tidak dapat “menjadi” penutur asli. Mungkin saya berbicara seperti penutur asli, tapi tetap bukan. YK: Tentang pernikahan Anda dengan orang yang luar, bagaimana hal ini memperkaya hidup Anda dan memperkuat idenS e n i & B u d a y a Ko re a
Adegan wawancara antara Changrae Lee dan Young-Key Kim-Renaud/ Linguis dan Profesor di Jurusan Bahasa dan Budaya Korea dan Hubungan Internasional, George Washington University.
titas Anda? CL: Pernikahan itu memperkaya saya. Tentu saja, saya juga tidak tahu bagaimana keadaannya jika saya menikah dengan orang Korea. Saya tak bisa menerima begitu saja sejarah dan kesadaran yang dibawa istri saya ke dalam keluarga dan kehidupan kami. Jika saya menikah dengan orang Korea pun belum tentu bisa, tapi saya akan punya intuisi lebih banyak mengenai apa yang dia bawa. Kami berdua harus belajar dan menemukan satu sama lain sebagai individu tapi juga sebagai individu dari budaya yang berbeda. Barangkali kami lebih menyadari perbedaan budaya ini, yang ternyata sangat membantu saya sebagai seniman. Saya sering menanyakan segala sesuatu, menganggap penting segala sesuatu baik sebagai pribadi maupun terkait konteks. Anda harus ke luar dan melihat ke arah diri Anda. Dan itulah yang secara alami dilakukan penulis. YK: Pernahkah Anda merasa terasing dari hidup Anda? CL: Kadang-kadang saya rindu perasaan intuitif dan perasaan memiliki yang tidak saya rasakan. Ketika saya pergi ke Korea, meski saya senang dan semua orang mirip dengan saya, saya merasa itu bukan tempat saya karena saya tidak tumbuh di sana. Dan meski saya tinggal di Princeton dan bekerja di sana, dan semua orang tahu siapa saya, masih ada perasaan berbeda. Jadi kadang-kadang saya pikir bagus juga merasa begitu sesekali. YK: Saya membaca tulisan mengenai kematian ibu Anda. SungKo r e a n a | Mu s i m S e m i 2014
guh sesuatu yang menggugah. Anda menggambarkan masalah bahasa Inggrisnya. Apakah Anda merasa bahwa Anda sudah membebaskan han (penyesalan/penderitaan akibat hidup yang tidak baik) ibu Anda melalui usaha yang Anda lakukan? CL: Tidak, saya tidak merasa begitu. Saya tidak berpikir bahwa hal itu bisa dibebaskan, karena pada akhirnya tak ada yang pernah dibebaskan. Itu adalah proses dan proseslah yang membawa saya ke tempat berbeda. Proses itu tetap ada, dan sangat kuat. YK: Saya tahu Anda pergi ke Korea untuk mengajar setiap musim panas. Apakah Anda punya rencana menulis di Korea, atau berhubungan dengan Korea, di masa yang akan datang? CL: Belum, tapi saya yakin itu akan terjadi. Saya akan memakai beberapa latar Korea. Saya menikmati kunjungan ke Korea dan mengajar di Yonsei. Dan bertemu mahasiswa saya di sana. Bertemu jajaran fakultas di sana. YK: Apakah Anda merasa pulang ke rumah? CL: Sedikit. Tapi saya tahu Korea tak pernah menjadi rumah buat saya. Tapi pulang selalu menyenangkan. Saya tak akan pernah tinggal di Korea dan merasa sangat nyaman di sana. Saya tidak bisa bicara dalam bahasa Korea dengan baik. Saya tidak bisa menjadi diri saya sendiri. Tapi saya menikmati perasaan emosional ketika saya berada di sana.
39
TINJAUAN SENI
‘ Putri Hong di Istana’ Sebuah Psikodrama yang Diangkat dari Sejarah 40
S e n i & B u d a y a Ko re a
Sebuah adegan dari drama “Putri Hong di Istana.” Kim So-hee memberikan penafsiran terhadap kekuatan semangat dalam kehidupan yang sulit ketika dipimpin Putri Mahkota putri abad ke-18.
S
ejarah tak lepas dari pengaruh penguasa. Sangat mungkin ada sejarah lain berisi kebenaran yang ingin disembunyikan penguasa. Lee Youn-taek, yang menentang perspektif sejarah konvensional, menyuarakan pandangannya tentang sejarah tersembunyi ini dengan bekerja sama dengan Dewan Pertunjukan Nasional menampilkan drama sejarah “Putri Hong di Istana.” Lampu meredup dan suara batuk kering itu semakin pelan, Putri Hong dan anak lelakinya, Raja Jeongjo, tampil di panggung. Mereka berada di istana peristirahatan di Hwaseong, tempat Putri Hong merayakan ulang tahunnya yang keenampuluh. Kemudian, kru mengubah tata panggung menjadi Istana Changgyeong, tempat terjadinya peristiwa Peristiwa Imo. Putri Hong yang baru berumur sepuluh tahun menjadi putri mahkota dan mulai tinggal di istana. Penonton mendapatkan kesempatan menjelajah waktu selama satu malam bersama seorang wanita yang mengalami begitu banyak hal dalam hidupnya.
Sejarah Tragis Keluarga Raja yang Bijak Yeongjo, raja ke-21 Dinasti Joseon, dianggap sebagai salah satu penguasa hebat dalam lima abad sejarah Joseon. Ia dikenal karena reformasinya yaitu tangpyeongchaek atau kebijakan yang tidak berpihak, dan gyunyeokbeop atau hukum pajak setara. Kebijakan ini dibuat dengan tujuan melibatkan orang-orang berbakat tanpa melihat afiliasi politik dan mengurangi beban keuangan rakyat dengan memotong setengah pajak pembebasan wajib militer. Cucunya, Jeongjo, yang juga penerus tahtanya, adalah raja yang bijak dan baik hati. Penerusnya ini menekankan kebijakan yang tidak berpihak dan membuka kemungkinan anak-anak para selir untuk ambil bagian dalam pemerintahan. Ia menghapuskan monopoli yang dilakukan oleh beberapa pedagang besar demi keuntungan pedagang kecil. Putri Hong adalah ibunda King Jeongjo dan menantu Raja Yeongjo. Putri Hong lahir pada tahun 1735 dan menjadi putri mahkota pada usia 10 tahun. Sampai meninggalnya sebagai Ratu Dowager pada tahun 1816, ia menghabiskan tujuh dekade di lingkaran kekuasaan. Namun, hidupnya sama sekali tidak mudah. Suaminya, Putra Mahkota Sado, adalah anak laki-laki Yeongjo dan ayahanda Jeongjo. Ia dihukum mati oleh ayahnya, dengan cara dikurung di sebuah kotak penyimpanan. Kotak itu sangat kecil, sampai-sampai seorang anakpun harus membungkuk untuk masuk ke dalamnya. Putra mahkota berusia 28 tahun itu wafat karena sesak nafas pada hari ke delapan di dalam kotak itu. Para ahli sejarah menyebutnya Peristiwa Imo karena terjadi pada tahun 1762, tahun imo dalam zodiak China. Drama “Putri Hong di Istana” diangkat dari autobiografi seorang wanita mengenai tragedi pengadilan Joseon dan keluarganya. Pada saat mulai tinggal di istana, Putri Hong tahu bahwa ayah mertuanya tidak percaya kepada anaknya. Putra Mahkota Sado adalah seorang laki-laki yang pandai, namun Yeongjo, ayahnya, tidak medidiknya sebagai seorang monarki yang kuat. Putra mahkota muda itu selalu merasa tak mampu, dan karena tumbuh di bawah tekanan ayahnya yang kejam, ia mengalami kecemasan dan depresi. Ia terjebak di tengah perebutan kekuasaan antara faksi politik. Kemarahan dan tekanan terpendam ini kemudian berkembang menjadi gangguan mental. Depresi dan gangguan mental menyebabkan perilaku aneh dan kegilaan yang mirip dengan kisah Hamlet karya Shakespeare. Dalam pertunjukan itu, ketika putra mahkota membunuh penjaga yang
“Putri Hong di Istana,” adalah psikodrama yang diangkat dari “Memoir Putri Hyegyeong: Sebuah Autobiografi Seorang Putri Mahkota Korea Abad 18” (Hanjungnok). Drama ini dipentaskan oleh Dewan Pertunjukan Nasional Korea, dan berkisah tentang kehidupan tragis seorang wanita di tengah lingkaran kekuasaan. Menurut penulis skenario dan sutradara Lee Youn-taek, drama ini adalah “usaha kecil untuk menorehkan sejarah,” yang dengan brilian menghidupkan kembali beberapa tokoh sejarah. Kim Il-song, Penyunting, Pencatat Adegan Ko r e a n a | Mu s i m S e m i 2014
41
ditugaskan untuk mengawasinya, penonton diingatkan pada adegan ketika Hamlet membunuh Polonius. Putra Mahkota Sado dikisahkan membunuh lebih dari 100 orang, namun drama itu tak sedikitpun menyebutkannya. Drama ini justru menampilkan hubungannya dengan banyak orang. Tidak hanya dengan para wanita di kalangan istana, tapi juga hubungan dengan adik perempuannya, Putri Hwawan. Ketika gosip ini tersebar di istana, Yeongjo memerintahkan agar anaknya dikurung di kotak penyimpanan. Jeongjo, penerus tahta yang masih belia, melihat ayahnya memasuki kotak itu dan terkurung di dalamnya. Ibunya juga menutup mata melihat adegan eksekusi yang menyeramkan ini. Putra Mahkota Sado, yang merindukan cinta ayahnya, memperlihatkan perhatian khusus kepada anaknya. Bagi Jeongjo, yang lebih dekat kepada ayahnya dibanding ibunya, insiden mengerikan ini mengingatkan pada trauma yang menghantui sepanjang hidupnya. Jeongjo bekerja keras mengembalikan kehormatan ayahnya ketika ia menjadi raja, dan pembentukan Benteng Hwaseong, yang kini terdaftar sebagai Wrisan Budaya Dunia UNESCO, adalah salah satu usahanya. Dalam adegan awal pertunjukan itu, ketika Putri Hong sedang menikmati jamuan ulang tahun keenampuluh yang dipersiapkan untuknya, ia sedih melihat anaknya berusaha memperbaiki akibat perbuatan ayahnya yang membawa bencana bagi keluarga itu. Ia berusaha melenyapkan saudara kandungnya yang terlibat dalam kematian ayahnya dan ini membuatnya terpisah dari keluarga ibunya. Pertunjukan itu menampilkan sejarah yang panjang dalam satu hari. Setelah perayaan ulang tahunnya yang keenampuluh, Putri Hong tidur dan dalam mimpinya ia mengembara ke masa silam. Ia bangun dan mendapati adik perempuannya berdiri di depannya. Ia sedang di pengasingan ketika Jeongjo bertakhta, dan selama 20 tahun berikutnya Putri Hong berada antara hidup dan mati. Ia sangat sedih ketika Jeongjo mengunjunginya tapi ia tak menampakkan perubahan emosi. Akhirnya, Putri Hong menulis kisahnya: tahun-tahun selama ia harus hidup sebagai istri seorang pendosa, dan hal lain yang diderita keluarganya. Tulisan ini menjadi memoir, yang kemudian diangkat menjadi drama ini, dan adegan itu menjadi adegan terakhir pertunjukan ini.
Sutradara dan Tokoh Utama
Ketika aktor-aktor berbakat menampilkan pertunjukan ritual shaman untuk menenangkan para arwah, Kim So-hee berdiri. “Lady Hong di Istana” menampilkan para pemeran yang luar biasa dan membawakan kisah sejarah dari perspektif seorang wanita, bukan dari sudut pandang laki-laki, dan mendobrak sejarah mainstream bahwa pemenang selalu mendapatkan semuanya. Dengan kata lain, drama ini menuturkan bahwa “yang kalah” melakukan perlawanan.
Penulis skenario dan sutradara Lee Youn-taek dikenal sebagai “gerilya” dalam kancah budaya Korea. Ia dikenal sebagai penyair, wartawan, dan kemudian memasuki dunia seni peran. Pada tahun 1986 ia mendirikan Teater Troupe Georipae dan sampai kini masih berperan sebagai direktur artistik. Tak hanya itu, Lee juga mendirikan teater di Daehangno (University Street), Seoul, dan Miryang di Provinsi Gyeongsang Selatan. Kampung Teater Miryang adalah salah satu dari sedikit pusat kegiatan kreatif yang tersisa di komunitas teater Korea di mana budaya para pemeran tampil bersamaan masih dipertahankan. Ia menghasilkan karya kontroversial sebagai seorang penyair, penulis skenario, sutradara drama dan pementasan musik, dan sebelum Putri Hong ini ia sudah membuat karya besar yang berkaitan dengan sejarah. Salah satu karyanya adalah “Mimpi di Hwaseong,” sebuah pertunjukan musik tentang kehidupan Raja Jeongjo. Dalam karya-karya awalnya, Lee menampilkan Pangeran Yeonsan yang dikenal sebagai raja paling kejam di Joseon dan menggambarkan sisi kemanusiaan Laksamana Yi Sun-sin yang gagah berani. Ia selalu menyuarakan apa yang tidak diungkap dalam sejarah. Kali ini ia mengangkat Putri Hong, dan memilih Kim So-hee sebagai pemeran utama. Lee menganggap Kim sebagai seorang bintang berbakat dalam “mewujudkan konsep.” Ia sangat “mewakili Lee Youn-taek,” mampu menumbuhkan kesadaran manusia dengan kepiawaiannya berakting dan memberikan ruh pada hal yang konseptual, ruang psikologis kehidupan yang tak setiap hari terjadi. Hal ini diilustrasikan dengan sempurna dalam “Putri Hong di Istana.” Di panggung, kehidupannya ditampilkan selama 50 tahun — mulai dari seorang gadis berusia 10 tahun yang baru mekar, wanita berusia 28 tahun yang berada
42
Sesaat sebelum Putra Mahkota Sado terkunci di dalam peti besar untuk menyimpan beras. Ayahnya, Raja Yeongjo, memerintahkan dia untuk masuk ke dalam, sementara anaknya memohon kepada sang raja untuk melepaskannya.
S e n i & B u d a y a Ko re a
di puncak kecantikannya, dan seorang wanita tua berusia 60 tahun yang sangat lemah. Tanpa tata rias khusus, Kim hanya menggunakan ekspresi wajah, gestur tubuh dan nada suaranya untuk menggambarkan perjalanan waktu ini. Putri Hong adalah satu-satunya tokoh dalam drama itu yang hidup selama 50 tahun. Sejak memoirnya diangkat ke dalam banyak pertunjukan, sangat sulit untuk sepenuhnya lepas dari bayang-bayang Putri Hong. Tapi hal itu bukan berarti drama ini hanya memperkuat penampilannya saja. Mengapa Yeongjo menghendaki kematian anaknya? Mengapa ibunda Putra Mahkota Sado tidak dapat menghentikan suaminya? Mengapa Hong Bong-han, atau ayah Lady Hong, berpura-pura abai? Mengapa Jeongjo ingin melenyapkan saudaranya yang tersisa? Drama ini memberikan kekuatan kepada semua tokoh, dan membiarkan pikiran penonton berkelana. Untuk menyampaikan pesan ini, Lee Youn-taek menggunakan arwah para leluhur yang datang kepada Putri Hong dalam mimpinya. Ini adalah pilihan yang memungkinkannya lebih menonjolkan tokoh dibanding cerita sejarahnya, dan sisi psikologis selain fakta belaka. Ketika aktor-aktor berbakat menampilkan pertunjukan ritual shaman untuk menenangkan para arwah, Kim So-hee berdiri. “Putri Hong di Istana� menampilkan para pemeran yang luar biasa dan membawakan kisah sejarah dari perspektif seorang wanita, bukan dari sudut pandang laki-laki, dan mendobrak sejarah mainstream bahwa pemenang selalu mendapatkan semuanya. Dengan kata lain, drama ini menuturkan bahwa “yang kalah� melakukan perlawanan. Pertunjukan ini awalnya dijadwalkan di Small Hall Dal di Dewan Pertunjukan Nasional Korea, namun ada perubahan tempat karena mundurnya pekerjaan renovasi. Akhirnya drama ini dipentaskan di Baek Seonghui dan Jang Min-ho Theater di Seogye-dong, dan tiket pertunjukan habis terjual dari tanggal 14-29 Desember 2013. Jika kelak dipentaskan di Small Hall Dal yang sudah selesai direnovasi, pasti akan lebih banyak menyedot penonton. Semoga terlaksana.
Ko r e a n a | Mu s i m S e m i 2014
43
Jatuh Cinta pada Korea
Pendeta Motoyuki Nomura ‘ Orang-orang yang tinggal di gubuggubug di Cheonggyecheon adalah guru saya.’ Bagi Pendeta Motoyuki Nomura, 83 tahun, satu dekade di tahun 1973 adalah periode pembelajaran hidup sebagai “Yesus yang Miskin” melalui orang-orang yang tinggal di gubug-gubug di sepanjang sungai Cheonggye di Seoul, salah satu lingkungan miskin di wilayah ibukota pada saat itu. Pada tahun 2007, Pendeta Nomura menyumbangkan 800 rol film yang berisi foto wilayah itu dan data berharga lain dari periode tersebut yang terkumpul dalam hasil penelitiannya kepada Pemerintah Metropolitan Seoul. Ia menulis “The Nomura Report ,” (Catatan Nomura) sebuah jurnal fotografik mengenai masyarakat yang hidup di sisi sungai di tahun 1973 -1976. Buku harian ini membuatnya dikenal generasi muda Korea. Jeon Eun-i, Peneliti, Pusat Penelitian Media dan Budaya, Universitas Kobe
K
etika berkunjung ke komunitas Pendeta Nomura, yang saya tempuh dengan berganti kereta beberapa kali, saya melihat banyak hal. Yang pertama adalah “orang suci dari Cheonggyecheon” di tengah lingkungan yang kumuh dan miskin. Kedua adalah seorang lelaki tua yang menyiapkan “makan malam untuk rubah” di hutan pada saat matahari terbenam. Ketika kami pertama kali berhubungan melalui e-mail dan mengatur pertemuan, saya memanggilnya Pendeta. Tapi beliau minta saya tidak menyebutkan gelar itu. “Saya hanya seorang lelaki tua yang tinggal di desa terpencil. Panggil saja ‘Halbae’ [Panggilan untuk kakek].”
Perjalanan ke Rumah Persinggahan
1 1 “Laporan Nomura,” koleksi foto Motoyuki Nomura, diterbitkan pada tahun 2013. 2 Motoyuki Nomura di rumahnya di Kobuchizawa, Prefektur Yamanashi, Jepang. Terlepas dari kehidupan pribadinya yag tersembunyi demi menjaga sendiri, ia menyumbangkan sebagian foto bernilai sejarah tentang daerah Sungai Cheonggye kepada Pemerintah Metropolitan Seoul.
44
Saya tiba di sana setelah menempuh perjalanan selama empat jam dari Kobe, tempat yang jarang turun salju. Di pangkuan saya ada “The Nomura Report,” sebuah jurnal fotografik mengenai penduduk di gubug-gubug di sepanjang sungai Cheonggye pada tahun 1973 - 1976. Sampulnya melukiskan sebuah kawasan miskin sepanjang sungai di pusat kota pada tahun 1970an. Pada tahun 2014, tak ada lagi jejak lingkungan kumuh yang kini berubah menjadi area pelesir masyarakat Seoul ini. Ketika saya buka halaman pertama, tampak seorang anak tersorot kamera, berdiri di jalan masuk sebuah gua atau gubug tanah liat. Keluarga yang tidak mampu membeli papan kayu menggali gua-gua di sisi sungai untuk rumah mereka, dan menutup jalan masuknya dengan tikar jerami atau lembaran plastik. Mereka menyebutnya gaemi maeul (desa semut). Saya naik kereta pedesaan di Shiojiri, Nagano. Setelah sekitar 40 menit terlihat pemandangan pegunungan Alpen di Jepang Selatan yang tertutup salju, megah sekali. Di desa kecil sekitar 5 kilometer S e n i & B u d a y a Ko re a
2
sebelah timur laut Stasiun Kobuchizawa berdirilah Rumah Persinggahan milik “Kakek” Nomura, di kaki Gunung Yatsugatake (1,050 meter di atas permukaan laut). Di sini semua orang dan binatang bebas datang dan pergi.
Semangkuk Air Gula Setelah menyusuri jalan di hutan, sampailah saya di sebuah rumah kecil. Rumah itu tampak sangat sederhana dibandingkan dengan rumah-rumah lain di sekitarnya, yang dikenal sebagai tempat berlibur. Pada tahun 1985 Kakek Nomura menjual rumahnya di Tokyo dan pindah ke tempat ini. Pada saat itu, harga tanah sangat murah karena wilayah itu sangat terpencil dan tersembunyi di dalam hutan. Pohonpohon yang dulu hanya setinggi lututnya ketika ia datang, kini sudah menjelma menjadi hutan lebat. Dari hutan itulah rusa liar, rubah dan burung-burung datang ke halaman depan rumahnya. “Kau datang jauh-jauh kemari untuk bertemu lelaki tak berguna yang hanya menunggu sekawanan rubah….” Kakek Nomura, pemilik senyum seperti senyum anak-anak di gaemi maeul, menyambut saya. Anaknya, yang memberi pelatihan kejuruan kepada orang-orang yang terbelakang mental di wilayah Ibaraki, dan menantunya, yang merawat gigi orang-orang cacat di sana, kebetulan sedang menikmati liburan Natal di rumah itu. “Saya mendapat kesempatan mengunjungi Korea pertama kali pada tahun 1968. Ketika saya kuliah di jurusan kedokteran hewan di Jepang sekitar Perang Korea, saya punya teman dekat berkebangsaan Korea. Ia dari Pulau Jeju. Setelah mengunjungi Jeju, saya menjelajah tempat-tempat lain di Korea. Saya Ko r e a n a | Mu s i m S e m i 2014
45
“ Penduduk di Cheonggyecheon memberi sebuah pelajaran yang tak diajarkan siapa pun. Mereka adalah guru saya, yang membuka mata saya tentang isi Alkitab. Saya malu dipanggil ‘orang suci dari Cheonggyecheon’… Saya berterimakasih kepada mereka yang membuat saya ingin menjadi murid Yesus sejati.”
terpana. Saya pikir, ‘Duapuluh tahun lalu bendera Jepang berkibar di segala penjuru negeri ini, termasuk di pedesaan, dan suara sepatu boot tentara kekaisaran Jepang terdengar sangat lantang. Itu ingatan yang tak pernah terhapus mengenai pemerintah kolonial Jepang.’ Saya ingat semuanya,” kata Nomura. Pada saat itu ia kembali ke Jepang, yang sedang mengalami perkembangan ekonomi yang pesat, setelah menyelesaikan studi di Amerika Serikat. Selama kuliah di bidang kedokteran hewan, ia didorong oleh misionaris Amerika untuk mempelajari teologi. Di Korea, ia terpukul melihat bekas yang ditinggalkan Perang Korea dan kehidupan orang-orang miskin. Ia yakin bahwa setiap orang juga bertanggungjawab secara moral atas perang yang dilakukan oleh negaranya. Ditemani oleh keluarganya, ia mengunjungi Korea kembali pada musim panas tahun 1973 dengan tujuan melakukan pelayanan kepada bangsa Korea, sebuah rencana yang juga disetujui oleh keluarganya. Kemudian istrinya, Nenek Yoriko, yang diam dan hanyut dalam lamunan pada saat kami berbincang, menceritakan kunjungan mereka ke Jeam-ri di Hwaseong, Provinsi Gyeonggi. “Tempat itu sangat panas di musin panas. Sulit mendapatkan air minum. Kami mengunjungi Jeam-ri dan bertemu seorang nenek tua di sebuah rumah beratap jerami. Ia menawari kami semangkuk air gula dan sepotong semangka yang ditaburi gula. Ini sangat mengherankan. Pada saat itu, gula sangat jarang dan mahal di Korea. Anak lelaki kami, Makoto, baru kelas dua pada saat kami ajak dalam perjalanan itu,” katanya. Wanita tua itu adalah salah satu dari sedikit orang yang berhasil selamat dari Pembantaian Jeam-ri. (Sebagai balasan terhadap Gerakan Kemerdekaan tanggal 1 Maret 1919, tentara kekaisaran dan polisi Jepang membunuh 20 warga Korea yang tidak bersalah di Jeam-ri, Kabupaten Hwaseong, Provinsi Gyeonggi pada tanggal 15 April di tahun yang sama.)
‘Jangan panggil saya orang suci dari Cheonggyecheon!’ Pada tanggal 25 Juli 1973, Pendeta Nomura dan keluarganya mengunjungi kawasan Cheonggyecheon dengan bantuan kelompok masyarakat yang bernama Urban Industrial Mission (Misi Industri Perkotaan). Mereka terpukul dengan apa yang mereka lihat. Benar-benar sebuah neraka. Di salah satu sudut kawasan kumuh itu mereka menemukan sebuah rumah yang sudah bobrok dengan salib kayu di bagian atasnya. Rumah itu adalah Gereja Hwalbin (bantu tetanggamu yang kekurangan). Berkat seorang pendeta muda yang penuh semangat, Pendeta Nomura yakin bahwa di sinilah panggilan hatinya untuk memberikan pelayanan. Itu adalah awal hubungan antara Kakek Nomura, kawasan Cheonggyecheon, dan pendeta muda itu. Melalui penduduk di wilayah ini, Nomura tahu bagaimana hidup sebagai “Yesus yang Miskin” dan memutuskan untuk menjalaninya. Nomura terlibat dalam aktifitas mendukung masyarakat di wilayah ini dan menggalang dana dengan bantuan negara lain, termasuk Jepang, Jerman Barat, dan Selandia Baru. Ketika kawasan Cheonggyecheon dihancurkan, dana dan bantuan dari negara lain digunakan untuk menolong mereka yang direlokasi 1
46
S e n i & B u d a y a Ko re a
1 Di pelataran depan Rev Nomura, seekor rubah menikmati makan malam yang disiapkan olehnya. 2-5 Pemandangan dari daerah Sungai Cheonggye pada 1970-an yang didokumentasikan oleh Nomura dalam foto itu. Foto kedua dari atas menunjukkan sebuah pondok lumpur dan anak-anak di Gaemi Maeul (Desa Semut).
ke Namyangju, Provinsi Gyeonggi. Pusat-pusat penitipan anak didirikan untuk keluarga berpendapatan rendah dan program swadaya pedesaan diluncurkan. Relawan asing datang dan mendirikan kamp untuk membantu masyarakat membangun fasilitas untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri. Nomura tidak pernah memakai sedikitpun uang itu untuk kegiatan pribadinya. Setiap satu atau dua bulan, ia harus kembali ke Jepang untuk memperbarui visanya. Semua kebutuhan pribadi dipenuhinya dari uangnya sendiri. Kemudian terjadilah sebuah peristiwa karena buruknya manajemen yang dilakukan oleh seorang pengkhotbah Korea yang tidak berpengalaman menangani dana dalam jumlah besar. Pada tahun 1985 hubungan Nomura dengan Korea berakhir. Setelah peristiwa itu, keluarganya mengalami kesulitan ekonomi. Makoto terpaksa menyelesaikan kuliah selama tujuh tahun. Nomura dan istrinya memakai pakaian katun yang sudah sangat usang. “Mereka yang lebih kaya dan lebih mampu dibanding orang lain seharusnya berbagi apa yang mereka miliki itu dengan mereka yang kurang beruntung. Bahkan ketika kita tidak punya apa-apa, kita masih bisa berbagi dengan mereka yang membutuhkan,” kata Nomura, menerawang ke masa silam. Nomura mendapatkan pelajaran berharga dari para janda, pelacur, gelandangan, dan anak-anak yang tinggal di wilayah Cheonggyecheon. “Ketika saya masih muda, ayah saya adalah profesor di Universitas Doshisha di Kyoto. Saya bersekolah di sekolah kristen. Saya belajar di tiga seminari yang berbeda di Amerika. Tapi penduduk Cheonggyecheon mengajari saya pelajaran yang tak diberikan siapa pun. Merekalah guru saya, orang-orang yang membuka mata saya mengenai apa yang tertulis dalam Alkitab. Saya malu dijuluki ‘orang suci dari Cheonggyecheon’… Saya berterimakasih kepada mereka yang membangkitkan keinginan saya menjadi seorang murid Yesus sejati,” katanya.
2
3
4
Makan Malam untuk Para Hewan Nomura tiba-tiba berdiri dan berkata, “Permisi, saya harus memasak untuk tamu-tamu yang sudah memesan Ko r e a n a | Mu s i m S e m i 2014
47
5
© Choi In-gi
1
tempat di restoran ….” Ia punya gaya bicara yang unik, serius tapi humoris. Saya sempat dibuatnya bingung beberapa kali sebelum terbiasa dengan gayanya itu. “Maaf. Apakah Anda mengatakan restoran?” tanya saya. “Di halaman depan, ada restoran untuk keluarga rubah. Tentu ada juga restoran untuk burung dan rusa,” menantunya ikut menimpali. Keluarga itu lalu tertawa melihat saya menyadari apa yang mereka maksudkan. Saya senang. Kakek Nomura menyiapkan makan malam untuk rubah-rubah di halaman depannya ketika hari menjelang malam. Terdapat sebuah batu hitam besar di tengah halaman sekitar tiga hingga empat meter dari jendela balkon. Nomura membawa sesuatu di kantong plastik dan dengan hati-hati meletakkannya di batu itu. Kantong itu berisi daging mentah. Toko daging di desa itu memberikan bagian daging yang tidak dijual untuknya. Ketika orang-orang mulai membangun vila liburan di hutan, hewan-hewan turun ke desa mencari makan. Beberapa binatang bahkan mati kelaparan karena tidak ada makanan. “Restoran” untuk hewan di halaman depan Kakek Nomura selalu penuh setiap hari. “Setelah Ayah meninggal ketika saya masih kecil, Ibu ingin saya belajar di seminari. Jadi, saya tinggal dengan kakek-nenek saya dari pihak ibu dan masa kecil saya sangat kesepian. Saya sangat merindukan kasih sayang ibu saya. Pada saat itu, saya tidak yakin pada diri sendiri karena berpikir saya ditelantarkan ibu saya. Sejak muda saya penyayang binatang,” kata Nomura.
Awal Sebuah Hubungan Baru Esok harinya, saya bangun pagi karena merasa ujung hidung saya sangat dingin. Malam sebelum-
48
S e n i & B u d a y a Ko re a
nya, Kakeek Nomura meletakkan selimut elektrik, dua selimut katun, dan beberapa selimut militer di tempat tidur saya seraya berkata, “tamu Korea merasa dingin di rumah-rumah orang Jepang karena kami tidak punya ondol [sistem pemanas tradisional di bawah lantai yang digunakan oleh orang Korea].” Rumah Persinggahan itu adalah sebuah tempat tinggal komunal. Ruang tamunya yang luas terdiri dari beberapa area, meski tidak dipisahkan dengan partisi — sebuah ruang yang cukup lebar untuk pertemuan sekitar 10 orang, sebuah ruang istirahat, dan sebuah ruang untuk makan. Dapur yang terhubung dengan ruang makan sangat kecil namun rapi dan mengingatkan kita akan dapur di biara. Terdapat banyak ruang di kedua sisi lorongnya. Ini menandakan bahwa rumah ini memang dibuat untuk banyak orang dan semua orang berbagi segala sesuatunya dengan orang lain. Sampai saat ini, tempat itu sudah menerima sekitar 3.000 pengunjung. “Martin Buber [1878 - 1965, seorang filsuf Yahudi Israel kelahiran Austria] pernah mengatakan bahwa pandangan orang mengenai dunia sangat berbeda tergantung bagaimana mereka melihat orang lain,” Nomura menekankan. “Pada dasarnya, dunia terdiri dari ‘Anda dan Saya’ atau ‘Sesuatu dan Saya.’ Jika kamu menerima orang lain bukan sebagai alat atau sarana mencapai keinginanmu melainkan sebagai individu yang harus diperlakukan dengan hormat, hal ini akan menumbuhkan kepercayaan, kasih sayang dan penghargaan. Saya pikir orang-orang Korea dulu menganggap saya sebagai ‘Sesuatu,” mungkin karena pada saat itu mereka dituntut secara material dan spiritual. Banyak orang mencoba mencari ‘Sesuatu’ melalui saya. Tapi kini saya bahagia, karena orang-orang Korea sudah menerima saya dan keluarga saya sebagai ‘Anda’ sejak saya smenyumbangkan koleksi foto Cheonggyecheon.” Pada tahun 2005, ketika ibunya, Katsuko Nomura, yang lahir dari keluarga pengrajin kimono di Kyoto dan mengabdikan hidupnya pada gerakan perlindungan konsumen, dinominasikan Hadiah Nobel Perdamaian, penyunting Lee In-cheol dari surat kabar Hankyoreh mengunjungi Tokyo. Dalam pertemuannya dengan jurnalis Korea, Nomura, yang mengatakan bahwa dirinya semakin tua, menyatakan harapan bahwa Korea akan memanfaatkan catatan lamanya mengenai wilayah Cheonggyecheon. Ia menyumbangkan 800 rol film berisi foto wilayah itu dan data berharga lain dari masa itu kepada Pemerintah Metropolitan Seoul. Kemudian, sebagian hidup Pendeta Nomura di sana juga dipaparkan kepada publik. Setelah pameran foto-fotonya di Seoul dan Gwangju, masyarakat Korea yang melihatnya mulai mengunjungi Rumah Persinggahan. Hubungan jangka panjangnya dengan Yayasan Purme, sebuah organisasi nirlaba Korea untuk penyandang cacat, juga membuatnya mendapatkan penghargaan warga negara kehormatan dari pemerintah kota Seoul pada tahun 2013. Nomura juga bertemu seorang fotografer muda berkebangsaan Korea. Choe Im-gi adalah seorang pemuda pemalu yang sangat menyukai kucing dan mengabadikan penduduk yang diusir atau direlokasi, atau pedagang kaki lima dalam foto-fotonya. Setelah kembali ke Jepang, Nomura mengirimi Choe dua kamera digital dan lensa. Fotografer muda itu mengenalkannya kepada sebuah rumah produksi yang menerbitkan “The Nomura Report.” Semua hasil penjualan jurnal fotografik ini digunakan untuk mendukung pekerjaan para aktifis sosial. Nomura mengatakan ia terkejut ketika tahu bahwa ia akan menerima penghargaan warga negara kehormatan dari pemerintah kota Seoul — karena ia hanya ingin “menangis bersama mereka yang menangis.” Tapi ia berterimakasih bahwa penghargaan itu memberinya momentum memperbaharui hubungannya dengan Korea, dan ia ingin melakukan sesuatu untuk membalasnya. Makoto, yang menjalani kehidupan serupa dengan ayahnya, juga berharap banyak dari hubungan keluarganya dengan Korea. “Saya meneladani ayah saya. Saya mengikuti jalannya. Ini bukan hanya soal pilihan,” katanya. “Kini tampaknya lembaran baru telah terbuka dalam kehidupan keluarga kami.”
49
2
© Choi In-gi
Ko r e a n a | Mu s i m S e m i 2014
1 Nomura dan putranya Makoto (sebelah kiri) mengunjungi Institut Orang Cacat untuk Kehidupan Independen Seoul. 2 Nomura dianugerahi Penghargaan sebagai Warga Negara Kehormatan dari Pemda Metropolitan Seoul pada tanggal 28 Oktober 2013. Istrinya, Yoriko, yang sangat mendukung aktivitas suaminya, berdiri di sampingnya pada upacara pemberian penghargaan.
Esai
Korea dan Budaya Digital Ivan Atmanagara, Staf Kementerian Komunikasi dan Informatika, Republik Indonesia
A
nak muda Indonesia sekarang rata-rata menggilai apapun yang berbau Korea. Mulai dari drama Korea, grup band Korea, fesyen Korea, bahkan kuliner Korea. Tapi hal yang paling memukau bagi saya adalah prestasi Korea di bidang teknologi informasi dan komunikasi. Dalam beberapa tahun terakhir, Korea Selatan secara konsisten selalu menjadi pemimpin dalam hal konektivitas Internet di dunia. Menurut riset Organisation for Economic Cooperation and Development (OECD), penetrasi broadband di Korea telah mencapai 97,5% dengan sambungan akses data mencapai 100 Mbps ke tiap rumah di negara tersebut. Dengan capaian itu, Korea dinobatkan sebagai “the most wired country in the world.” Barangkali hal ini merupakan salah satu alasan mengapa International Telecommunication Union (ITU) sebagai wadah induk telekomunikasi dunia, menyelenggarakan workshop dengan tema “ICT Convergence: Technology and Services” di Korea, tepatnya kota Busan. Saya kebetulan mendapatkan kesempatan untuk mengikuti workshop tersebut bersama beberapa teman dari Kementerian Komunikasi dan Informatika, Indonesia. ITU Center of Excellence (CoE) bekerja sama dengan Pusan University menyelenggarakan workshop ini bagi perwakilan negara-negara anggota ITU di kawasan Asia Pasifik untuk berbagi ilmu mengenai konvergensi teknologi, cloud computing, green ICT, Internet of Things, dan sebagainya. ⌘
Setelah transit di Incheon, saya melanjutkan perjalanan ke Busan yang memakan waktu kurang lebih 2,5 jam dengan pesawat udara. Saya dijemput oleh dua mahasiswa Pusan National University. Dengan ramah, mereka mengarahkan saya ke hotel yang sudah saya pesan sebelumnya di daerah turis, Haeun-dae. Busan (kota terbesar kedua di Korea) adalah kota yang sangat menarik, kota budaya, kota festival, dan penuh turis dari mancanegara. Tiap tahun, di kota ini, diselenggarakan Busan Film Festival dan berbagai event internasional lainnya. Tahun 2014 ini, Busan akan menjadi tuan rumah ITU Plenopotentiary yang melibatkan 200 negara anggota ITU dan akan dihadiri oleh lebih dari 2.500 orang (stakeholder) dari seluruh dunia. Mungkin saya akan menjadi salah satu di antaranya, siapa tahu? Tentunya saya dan teman-teman sudah membuat rencana untuk berkeliling Busan di sela-sela workshop— mulai dari Gukje Market (pasar tradisional yang menjual segalam macam cindera mata—paling tidak gantungan kunci buat teman-teman di Indonesia), Busan Museum of Modern Art, PIFF Plaza, Nampo–Dong, Jagalchi Market (pasar seafood), Gwangali Beach, Busan Tower, sampai ke Shinsegae Centum City, shopping mall terbesar di dunia. Semua destinasi wisata terkoneksi dengan jalur subway yang nyaman dan tepat waktu. Penduduk Busan selalu menjawab dengan semangat setiap kami bertanya tentang lokasi tempat-tempat tertentu. Walaupun pertanyaan kami dalam bahasa Inggris, mereka selalu menjawab dengan bahasa Korea. Toh kami tidak pernah tersesat karena ada aplikasi maps dan sinyal GPS yang kuat. Untuk berkomunikasi, saya tidak perlu membeli kartu SIM yang baru, karena jaringan wi-fi ada di mana-mana, bahkan di jalan dan jalur subway. Kota besar seperti Busan memiliki puluhan ribuan titik hostspot, sehingga setiap orang dengan smartphone dapat mengakses data secara gratis hampir di setiap sudut kota melalui akses wi-fi dan layanan Long Term Evolution (LTE) yang disediakan oleh tiga operator telekomunikasi di Korea, antara lain, Korea Telecom, SK Telecom, dan LGU Plus.
50
S e n i & B u d a y a Ko re a
Akses Internet cepat di Korea sangat merata, namun sebenarnya yang membuat adoption rate-nya begitu tinggi adalah biaya yang murah—biaya langganan Internet kurang dari $17 per bulan dan akses broadband tidak sampai $30. Walaupun tersedia koneksi wi-fi gratis, saya tetap tidak mau direpotkan batasan time-out atau kuota akses. Untuk koneksi tanpa batas selama 24 jam, saya hanya perlu membeli voucher akses data seharga ₩3.000 di convenience store, tanpa berlangganan. Selain murah, kualitas layanan juga mumpuni karena infrastruktur dibangun dengan baik. Awal tahun ini, penyelenggara telekomunikasi Korea bahkan sudah mulai melakukan tes jaringan 5G dengan kecepatan data mencapai 1 Gbps. Semua itu bisa terjadi karena adanya kompetisi yang sehat dalam industri. Di samping itu, kebutuhan masyarakat yang tinggi akan informasi supercepat membuat perusahan-perusahaan telekomunikasi berlomba menyediakan konektivitas. Tidak mengherankan kalau setiap orang di Korea sepertinya memiliki sebuah smartphone dengan layar ukuran 5 inci yang tidak pernah lepas dari tangan. Di dalam kereta bawah tanah, orang-orang yang sibuk dengan gadget masing-masing merupakan pemandangan yang lumrah. Jutaan transaksi elektronik, hiburan, dan koneksi media sosial, dapat terjadi antara stasiun Metro Yeonsan dan Seomyeon. Kemajuan teknologi informasi katanya “mendekatkan yang jauh dan menjauhkan yang dekat,” tetapi satu hal yang sering luput dari argumen seperti itu: kehidupan sosio-ekonomi kita sebenarnya jauh lebih efektif dan efisien dengan adanya teknologi informasi. ⌘
Setelah menyelesaikan sesi terakhir workshop di Westin Chosun, saya bersama beberapa teman dari Kiribati, Kamboja, dan Malaysia, berjalan-jalan menyusuri pantai Haeun-dae di malam hari yang diramaikan oleh kaum millenial yang berkumpul sambil bercengkrama. Sambil menikmati Dakkochi yang pedas dan gurih, kami melihat sebuah grup pengamen (bagi saya lebih kelihatan seperti boyband) menggelar peralatan musik mereka di pinggir jalan dan menyanyikan lagu-lagu merdu, yang saya sama sekali tidak tahu maknanya. Kemudian, salah satu penonton mengeluarkan smartphone merk Samsung dan mulai merekam mereka bernyanyi. Kemajuan teknologi informasi dan komunikasi berbanding lurus dengan berkembangnya budaya pop Korea, yang saat ini sudah melampaui popularitas budaya Jepang, paling tidak dari sisi kuantitas. Video musik Gangnam Style milik Psy, misalnya, sudah ditonton hampir dua miliar orang di YouTube—tertinggi dalam sejarah Internet. Korea saat ini sedang melakukan invasi budaya dalam skala global, yang hanya dapat dilakukan dengan bantuan teknologi informasi. Saat ini, menguasai akses dan informasi, berarti menguasai dunia. Pengalaman saya selama lima hari di Busan memang belum cukup menggambarkan secara utuh budaya digital yang sedang tumbuh pesat di Korea. Namun satu hal yang membuat saya tercenung ketika berada di dalam bus untuk mengejar pesawat pulang di bandara Gimhae: betapa cepatnya Korea bertumbuh menjadi negara maju. Lima puluh tahun lalu, Korea masih berkecamuk dengan perang saudara, namun rakyatnya bangkit dan belajar dengan cepat, meninggalkan semua perbedaan, dan membangun negerinya. Saat ini, Korea sudah berada di estafet terdepan dalam menyongsong zaman yang didefinisikan oleh kemajuan teknologi informasi dan komunikasi. Ruang dan waktu sejenak menjadi kabur saat saya bertatap muka dengan istri saya, yang berjarak ribuan kilometer, melalui video call dengan telepon seluler. Ko r e a n a | Mu s i m S e m i 2014
51
HIBURAN
S
ophie (Vera Farmiga) ingin hamil agar tetap mendapatkan cinta suaminya, seorang pengacara berdarah Korea Amerika. Jihah (Ha Jung-woo) ingin membawa istrinya ke Amerika. Mereka memikirkan hal yang berbeda di benak masing-masing. Sang istri menginginkan seorang anak, dan ada seorang laki-laki lain yang dibayar 300 dolar setiap kali melayani keinginannya. Jika Sophie hamil, laki-laki ini mendapatkan tambahan bayaran sebesar 30,000 dolar. Namun, ternyata Sophie jatuh cinta kepada laki-laki Asia kasar dan misterius bermata coklat tua itu. Walaupun mereka berusaha mengingkari kedekatan itu, perasaan cinta mereka makin membara.
Maskulinitas yang Kuat “Never Forever” yang disutradarai oleh Jina Kim, seorang profesor di Program Studi Visual and Lingkungan, Harvard University, ini mengawali karir Ha Jungwoo. Film yang gagal memikat penonton Korea dan tidak menjadi film laris. Sebagai kritikus film saya berpendapat film itu tidak mendapatkan sambutan yang layak, walaupun sempat menyita perhatian ketika diputar pada Festival Film Sundance pada tahun 2007. Namun, film ini berhasil memunculkan aura maskulinitas kuat Ha Jung-woo. Sebelumnya, industri hiburan Korea dibanjiri “flower boys” — aktor yang keperempuan-perempuanan — dan sulit mendapatkan aktor yang pas membawakan peran laki-laki kuat. Pada saat seperti ini, Ha tampil sebagai aktor dengan potret maskulinitas yang cemerlang. Ia bagai memiliki insting binatang karnivora yang siap melahap mangsa. Sangat wajar jika kemudian para produser film mencatat namanya.
bunuh berantai berdarah dingin. Sejak tahun 2009, sebagian besar film yang dibintanginya sukses hebat. Rangkaian film larisnya diawali dengan “Take Off” dan “The Yellow Sea,” kemudian “The Client,” “Nameless Gangster: Rules of the Game,” “Love Fiction,” “The Berlin File,” dan “The Terror Live.” “The Terror Live” adalah film yang dibuat olehnya, ditujukan untuknya dan hampir seluruhnya dibintangi olehnya — pertunjukan tunggal virtual Ha Jung-woo. Film ini menuai kritik peran pembantu yang terlalu artifisial dan akhir cerita yang menggantung. Tapi kesan dramatik, yang sangat bergantung pada peran Ha, berhasil menjawab kritik itu dan membuktikan daya tariknya dengan hangatnya sambutan penonton. Penampilan kelas box office film ini sangat bergantung pada Ha Jung-woo. Dalam film ini Ha bermain sebagai seorang jangkar berita
Di Era “Flower Boys ,” Ha Jungwoo Menampilkan Maskulinitas dan Beragam Talenta
di televisi yang sebelumnya dikenal secara nasional namun kini bekerja sebagai penyiar radio di daerah yang kurang berkembang. Karena sangat terobsesi meraih sukses, di dunia maya ia berpura-pura menaruh perhatian pada keadilan dan kepedulian sosial bagi mereka yang kurang ber untung. Di dunia nyata, topeng ini terkuak: ia membuat perjanjian dengan kepala bagian Aktor Ha Jung-woo sedang di atas angin. berita dan mengkhianati rekan Ia berhasil membuat sebuah film berbiaya kerjanya. Ini yang mengubahnya dari seorang jangkar berita terrendah yang digarap oleh seorang sutradara kenal menjadi penyiar radio. Permuda menjadi film yang meledak hebat. buatannya dalam insiden mengInvestor dan produser di kalangan para erikan itu sangat tidak menyepembuat film Seoul kini sedang mengejarnya. nangkan bagi rekan sekerjanya. Lalu, datanglah titik balik itu. Mengapa penikmat film Korea sangat Ia menerima panggilan telepon terpesona oleh aktor ini? dari seorang laki-laki yang mengOh Dong-jin, Kritikus Film ancam akan meledakkan Jembatan Mapo jika tuntutannya tidak dipenuhi. Bukan sesuatu yang mudah, dan ia menantang laki-laki itu: “Ledakkan saja jembatan itu!” Jembatan itu hancur, sebagaimana ancaman si penelepon. AncaPencetak Film Laris man bom teroris ini membantunya memperoleh kembali posisinya Ha Jung-woo mendapatkan julukan “Ha sang Megatrend” karena sebagai jangkar berita. Ia tak peduli dengan serangan teroris karena daya tarik box office yang kuat. Produser dijamin mendapatkan keunasyik mengambil keuntungan dari insiden ini untuk membersihkan tungan besar jika Ha bermain dalam filmnya. nama baiknya di media. Setelah peran pertamanya dalam “The Unforgiven” pada tahun Menyaksikan “The Terror Live,” membuat saya berpikir hanya Ha 2005, sambutan penonton kurang bagus sampai pada tahun 2008 ketiJung-woo yang bisa memainkan dengan indah tokoh yang sangat ka ia sukses berperan dalam “The Chaser,” yang menampilkan pemsederhana. Saya juga membayangkan Ha pasti sudah menumbuhkan
52
S e n i & B u d a y a Ko re a
Aktor Ha Jung-woo telah membuktikan fleksibilitas dalam memainkan beragam peran, mulai dari berperan sebagai seorang pembunuh berantai sampai berperan sebagai tokoh protagonis dalam film komedi romantis.
Ko r e a n a | Mu s i m S e m i 2014
53
Seorang laki-laki yang mampu membawakan tema romantik dalam film thriller spionase, melompat dari jendela demi seorang wanita — dialah Ha Jung-woo.
54
S e n i & B u d a y a Ko re a
keberingasan dalam dirinya. Penampilannya membuat penonton sadar bahwa pikiran dan perilaku mereka dalam kehidupan mirip sekali dengan tokoh yang diperankannya. Lee Choon-yeon, kepala studio Cine 2000, yang merencanakan dan memproduksi “The Terror Live,” berusaha memberikan peran kepada Ha Jung-woo sebagai daya tarik film-filmnya. Bayarannya menyita sebagian besar dari anggaran yang relatif kecil, yang menghabiskan biaya produksi bersih (biaya total selain biaya pemasaran dan distribusi) sebesar 2 milyar won, atau setara dengan 1.89 juta dolar. Sutradara dan kru bersedia mengorbankan bayarannya dengan perjanjian akan mendapatkan kompensasi keuntungan dari film yang berpotensi mencetak box office itu. Strategi produksi ini berjalan sempurna. Film ini menyedot lebih dari lima juta penonton, dan mendapatkan keuntungan sebesar 15 milyar won.
Penjahat yang Mengesankan Pada saat bermain sebagai bos dalam “Nameless Gangster,” Ha Jung-woo menampilkan seluruh pesonanya. Ketika si tokoh berkumis tampil dengan kacamata hitam, jaket berkancing ganda, dan rambut yang rapi, penonton lebih melihatnya sebagai lelaki yang mengesankan dan bukan sebagai anggota geng yang menakutkan. Ia menghidupkan tokoh itu dengan penampilan yang pas. Dalam perbincangan dengan pamannya (Choi Min-sik), yang direkrutnya untuk keperluan koneksi di kantor pemerintah, ia berulang kali mengusap dagu, sebuah sentuhan kecil yang berhasil memikat penonton — menonjolkan karismanya. Ha sangat mengidolakan Marlon Brando, yang membuka adegan pertama trilogi “Godfather” dengan mengusap dagu pada saat mendengarkan kliennya. Ha mengatakan, serial “Godfather” adalah film favoritnya. “Saya menonton trilogi itu 100 kali. Sejak kecil, Saya sudah menirukan mimik Marlon Brando.”
Aksi dan Roman Dalam film thriller spionase “The Berlin File,” Ha tampil sebagai seorang mata-mata elit Korea Utara yang dianggap pahlawan. Tapi ia terlibat dalam politik yang kotor dan ia harus berjuang demi istrinya (Jun Jihyun) yang sangat dicintainya walaupun jati diri wanita ini sangat mengusiknya. Usaha menyelamatkan istrinya menjadi semakin menantang. Ia diburu oleh mata-mata Korea Utara yang brutal, yang membunuh duta besar Korea Utara di Berlin, orang yang sangat dipercayainya. Dengan bantuan tak terduga dari lawan politiknya dari Korea Selatan, seorang agen Dinas Intelijen Nasional, ia berjuang membebaskan istrinya yang menjadi sandra. Adu tembakpun terjadi. Ia berhasil mengalahkan musuh tapi istrinya terkena peluru dan berjuang beregang nyawa.
Melihat istrinya menghembuskan nafas terakhir sungguh membuatnya berduka. Penonton mendengar rintihan yang sangat menyentuh. Seorang laki-laki yang yang mampu membawakan tema romantik dalam film thriller spionase, melompat dari jendela demi seorang wanita — dialah Ha Jung-woo.
Seni dan Komedi Ha juga seorang pelukis berbakat dan karyanya yang ekspresif itu cukup menjanjikan tampil dalam pameran tunggal. Tampak sekali ia mememenuhi panggilan jiwanya dalam melukis. Karyanya sering kali menunjukkan sisi humor, yang merupakan unsur penting keberadaannya sebagai aktor. Ia juga membuktikan multitalentanya dalam genre komedi, misalnya, ketika ia tampil dalam video musik di akhir film komedi romantis yang sangat menghibur “Love Fiction.” Humor yang susungguhnya lahir dari dalam diri, sebagaimana dibuktikan dengan debut penyutradaraan Ha, “Fasten Your Seatbelt,” yang diputar pada bulan Oktober 2013. Ha menulis skenario dan menyutradarai film, yang membuktikan bahwa bintang film top yang filmografinya meliputi serangkaian film laris yang sangat mengesankan ternyata bisa menertawakan, menganggap rendah, menyinggung, dan melukai dirinya sendiri. Ia dianggap banyak bicara dan jahat, suatu hal yang menyertai pemujaan terhadap kaum selebritas. Pada saat itu, ia bertanya kepada penonton, “Apa artinya menjadi bintang?” Ia menanyakan alasan untuk apa menjadi selebritas. Ia mengatakan bahwa seorang bintang juga manusia, yang memiliki rutinitas seperti halnya orang lain, tak ada bedanya. Pesan kritis Ha tidak hanya menyassar bintang top. Kritiknya ini juga ditujukan kepada para pemegang kekuasaan, para petinggi yang terobsesi menyalahgunakan pengaruhnya, mengeksploititasi masyarakat demi keuntungan pribadinya. Walaupun film konyol ini tidak mencetak hit komersial, Ha terus mengembangkan karirnya sebagai sutradara film. Kini ia sedang menggarap “Chronicle of a Blood Merchant,” sebuah novel yang ditulis oleh seorang pengarang Cina Yu Hua. “Saya sedang mencoba menafsirkan novel tersebut secara metaforis. Kurang pas rasanya sebuah 2 film hanya didasarkan pada satu cerita Xu Sanguan. Saya juga berusaha membawa warna Cina dalam konteks Korean dalam periode antara Perang Korea dan tahun 1990-an.” Khasanah seninya semakin meluas, dan sangat sulit memperkirakan mana yang akan menjadi jalan hidupnya kelak. Namun, sudah pasti banyaknya bidang ini membuatnya bertahan selama bertahuntahun kiprahnya di dunia perfiman. Sebagai aktor, sutradara dan seniman yang akan berada di hati penggemarnya.
Lukisan Ha Jung-woo “Portrait,” 175,5 x 146 cm, pena di atas kanvas (2013). Aktor ini juga seorang pelukis profesional. Dia telah berpameran tunggal setiap tahun sejak 2010.
Ko r e a n a | Mu s i m S e m i 2014
55
KENIKMATAN GOURMET
Bom Namul, Sayur-mayur di Musim Semi
© yoanna
56
S e n i & B u d a y a Ko re a
Sayur-mayur musim semi atau bom namul (bom berarti musim semi dan namul berarti sayur-mayur dalam bahasa Korea) yang tumbuh dari tanah yang masih beku selama musim dingin mengandung banyak vitamin dan mineral. Untuk membangkitkan selera makan, bom namul paling enak dimasak dengan tauco atau gochujang setelah direbus sebentar atau dijadikan sup. Salah satu penganan istimewa di musim bunga ini adalah panekuk
bom namul .
Ye Jong-suk, Kolumnis Kuliner, Profesor Jurusan Marketing, Universitas Hanyang
D
alam budaya kuliner Korea, makanan yang hadir di musim tertentu menjadi sajian utama dari keseluruhan hidangan yang tertata rapi di sebuah meja. Bagi orang Korea, cara terbaik untuk menikmati musim tertentu dan meningkatkan kesehatan adalah dengan menyantap sisik atau “makanan musim itu” yang dimasak dengan bahan-bahan musiman.
Masakan untuk Raja dan Rakyat Namul dianggap sebagai masakan terbaik di musim semi, hadiah dari alam yang mempunyai arti penting secara praktis maupun filosofis bagi orang Korea. Makanan di musim ini menyimbolkan hidup yang bertumbuh seperti kecambah yang muncul di awal musim semi setelah melewati musim salju yang keras dan dingin. Pada zaman Dinasti Chosun (1392-1910) keluarga raja selalu mempersembahkan namul segar kepada arwah leluhur mereka. Menurut “Catatan Raja Taejo” yang ditemukan pada masa Dinasti Chosun: “Sayur-mayur segar, beberapa jenis jeruk, dan hasil buruan selalu dipersembahkan ke kuil suci sebagai makanan pertama dari musim bunga.” Pada awal musim bunga atau ipchun (satu masa dari 24 pembagian musim dalam kalender Korea) lima jenis sayuran diambil dari tanah yang masih membeku, yaitu lobak, bawang, sawi, peterseli, dan tunas angelica. Sayuran ini kemudian dibumbui lalu disajikan di meja makan untuk sang raja. Kelima sayur dalam sajian tersebut dinamai osinban atau “lima makanan pedas.” Dalam Gyeongdo Japji dan Dongguk Sesigi, buku berisi dokumentasi adat-istiadat pada zaman Dinasti Chosun, tertulis bahwa kelima sayur tersebut dibawa dari daerah Pegunungan Yangpyeong dan Pocheon di Provinsi Gyeonggi lalu disajikan ke istana. Pada masa itu keluarga raja beranggapan bahwa osinban membantu mereka mencapai lima nilai yang diutamakan agama Konfucu yaitu kehalusan, ketenangan, sopan santun, hemat, dan kerendahan hati. Selain itu mereka percaya bahwa sayur-mayur itu membuat badan lebih sehat dengan memberi keseimbangan dan harmoni kepada tubuh mereka. Rakyat jelata pun mengikuti kebiasaan keluarga raja itu dan saling berbagi sayuran pada musim bunga. Sebuah puisi berjudul “Ipchun” dalam buku berjudul Saga Sijip karya Seo Geo-jeong, sastrawan terkemuka pada masa awal Dinasti Chosun, menulis tentang sayuran tersebut: “Tahun ini, ipchun datang kembali /Seberapa jauh dunia ini berubah/Bosan pada namul yang pedas setelah makan banyak/Aku ingin pergi untuk minum anggur cemara/Tak mencapai tujuan apa pun di dunia ini/Apa yang berubah hanyalah refleksi diriku di dalam cermin.” Pada umumnya namul juga dianggap sebagai lambang dari kehidupan yang bahagia dan gembira walaupun dalam kemiskinan, sebagaimana terungkap dalam buku Lunyu, the Analects of Confucius: “Setelah makan nasi dengan namul dan minum air/Berbaring dengan lengan sebagai bantal/Terasa penuh segala kesenangan.”
Makanan Pengganti bagi Rakyat Kecil di Musim Semi
Sup pasta kacang yang ringan dengan dilengkapi naengi dan ssuk : Rebus air dengan beberapa teri kering dan kelp (sejenis tumbuhan laut). Pisahkan bahan-bahan yang lain, kemudian tambahkan pasta kacang secukupnya. Lengkapi dengan tambahan naengi dan sukk sebelum panas berkurang.
Ko r e a n a | Mu s i m S e m i 2014
Bagi banyak orang, bagaimanapun, namul sering dilekatkan dengan kemiskinan. Sepanjang sejarah Korea, rakyat sering mengalami kesulitan untuk mendapat makanan. Tujuh puluh persen dari negeri Korea adalah pegunungan sementara lahan untuk pertanian tidak cukup memberikan hasil pada masa paceklik. Apalagi panen sering gagal akibat kemarau dan banjir. Hingga setengah abad yang lalu masih ada sebuah periode menakutkan bernama “Barley Hump” atau boritgogae (masa di mana rakyat Korea di pedesaan menderita kelaparan), sebuah peristiwa yang asing bagi generasi sekarang. Periode tersebut datang di bulan April dan Mei. Selama masa itu orang-orang dusun menderita kelaparan karena hasil panen tahun lalu sudah habis dimakan sementara jelai yang mereka tanam belum bisa dipanen. Pada masa Dinasti Chosun rakyat sering menderita kekurangan pangan yang diakibatkan oleh berbagai musi-
57
Bom namul mengandung banyak vitamin dan mineral yang membantu mengurangi keletihan dan rasa penat yang biasanya dialami banyak orang selama musim semi. Selain itu bom namul juga kaya serat dan mengenyangkan sehingga populer sebagai makanan diet.
bah yang menimpa semenanjung Korea. Raja Sejong yang bijaksana kemudian menerbitkan beberapa buku yang memperkenalkan berbagai cara untuk mendapat bahan masakan supaya rakyat dapat menanggulangi kelaparan, seperti buku berjudul Guhwang Byeokgokbang (Sejumlah Cara untuk Menanggulangi Kelaparan). Dalam buku itu ditemukan beragam cara untuk mendapat bahan makanan dan juga cara memasaknya pada saat banjir dan kemarau. Buku-buku itu memperkenalkan sekitar tujuh ratus jenis makanan pencegah kelaparan seperti kulit pohon pinus, kulit pohon elm, daun pinus, bunga gandum hitam, kacang polong, talas, ubi rambat, biji pohon ek, akar Atractylodes (sapju), Rumex coreanus (sorujaengi), dan segala macam tumbuhan yang dapat dipakai sebagai bahan masakan. Selama masa paceklik tumbuh-tumbuhan tersebut merupakan makanan pengganti yang sangat berguna. Orang Korea pun memasak bubur atau menanak nasi dengan menambahkan tumbuhan tersebut. Dari peristiwa itu, diketahui bahwa namul dapat digunakan untuk menambah jenis bahan makanan pada masa sulit itu. Betapa kurangnya makanan untuk bertahan hidup pada masa itu, namun dalam catatan Mongmin Simseo (Peringatan dalam Mengatur Negeri) yang ditulis oleh Jeong Yak-yong, sarjana yang terkenal di bidang silhak (sebuah aliran dalam Konfusianisme) pada akhir periode Chosun terdapat tulisan: Ketika panen gagal rakyat terpaksa makan namul dan mereka harus membumbuinya dengan garam. Hal itu memicu naiknya harga garam di pasar. Maka rakyat pun menyimpan kecap asin, rumput laut, dan udang kering sebanyak-banyaknya untuk menambah rasa asin dalam masakan. Seorang misionaris bernama James Scarth Gale asal Kanada yang datang ke Korea pada akhir abad XIX menyatakan, “Tidak ada bangsa yang lebih lebih tahu tentang jenis tumbuh-tumbuhan yang dapat dimakan selain bangsa Korea.� Dia mengagumi orang Korea yang makan pakis setelah menghilangkan racunnya dengan cara meredamnya di dalam air. Pakis merupakan sejenis tumbuhan yang tidak boleh dimakan di Barat karena dianggap mengandung racun. Menyantap namul di masa sekarang dapat menghidupkan kembali kenangan akan mereka yang tinggal di pedesaan. Yi Hae-in, biarawati sekaligus penyair yang berasal dari Yanggu di Provinsi Gangwon, mengenang masa kanak-kanaknya selama musim bunga dengan mengatakan, “aku ingin memanggil kawankawanku di masa kanak-kanak/yang bersama-sama pergi untuk meng-umpulkan bom namul/ aku ingin bertemu kawan-kawanku di masa kanak-kanak/yang memandangku dengan pandangan cemburu pada waktu itu,/sebagaimana angin musim dingin cemburu pada bunga musim semi.
Makanan untuk Kesehatan Kini namul kembali menjadi sorotan namun bukan sebagai makanan di masa kelaparan tetapi sebagai makanan untuk kesehatan. Sayur-mayur musim semi seperti shepherd’s purse (naengi), mugwort (ssuk), bawang liar (dallae), dan lokio (buchu) mengandung banyak vitamin dan mineral, yang dapat membantu mengurangi keletihan dan rasa penat yang biasanya dialami banyak orang selama musim semi. Selain itu, bom namul yang kaya dengan serat membuat orang merasa cepat kenyang sehingga populer sebagai makanan diet. Bagi mereka yang vegetarian namul merupakan makanan yang paling baik. Kini, pada musim apa pun, orang dapat menikmati namul karena telah ditanam di rumah kaca meskipun tidak seenak namul yang dipetik pada musim bunga. Ketika angin musim dingin menghilang dan tunas baru muncul, marilah kita berjalan-jalan menyongsong datangnya musim bunga. Di berbagai restoran besar dan kecil yang menghidangkan namul, kegembiraan saat menyantap sayuran hijau yang beraroma segar itu akan menghibur kita dalam menjalani hidup yang terus berubah. 1
58
S e n i & B u d a y a Ko re a
1 Berbagai jenis bom namul (sayuran hijau) atau sayuran musim semi, di jalanan sebuah pasar. 2 Salad sayuran musim semi: daun bawang liar (dallae ), peterseli air (Minari), dan chamnamul (Pimpinella brachycarpa) diaduk dengan balutan sirup sitrun.
2
Š yoanna
59
gaya hidup
Perawatan Kecantikan Tradisional Menjadi Cantik Alami
1
60
S e n i & B u d a y a Ko re a
Perhatian wanita yang ingin terlihat lebih cantik beralih dari ahli kulit dan dokter bedah plastik ke obat-obatan tradisional Korea. Dengan tersebar luasnya terapi pijatan kulit meridian, yakni perawatan kulit dengan pijatan secara teratur untuk membuat aliran darah menjadi lancar sehingga menghilangkan stress, membantu kinerja otot wajah serta mengencangkan kulit kendur, perhatian wanita mulai terfokus pada cara perawatan secara tradisional. Lee Kum-sook, Staf Penulis, Health Chosun | Ahn Hong-beom Fotografer
2
U
ntuk Shin, seorang karyawati berusia 30-an yang tinggal di Guri, Provinsi Gyeonggi, perawatan pijat wajah meridian merupakan bagian dari rutinitas. Selama tiga tahun terakhir, dia telah melakukan kunjungan ke tempat pijat di dekat kantornya setidaknya sekali seminggu. Terutama setelah melewati hari stres di tempat kerja, pijat mengurangi kelelahan dan membuatnya merasa jauh lebih baik. Pada awalnya, ia merasa sakit dan bahkan wajahnya memar di beberapa tempat sehingga dia merasa sangat kecewa dan berpikir perawatan yang memakan biaya hampir mencapai 100.000 won (sekitar $ 90) itu terlalu mahal. Tetapi setelah mendapatkan perawatan secara terus menerus, ia mulai merasakan manfaatnya. Biasanya setelah melewatkan hari yang melelahkan, jika bangun di pagi berikutnya wajahnya akan terlihat membengkak. Tetapi gejala itu membaik sama sekali. Jerawat yang selama ini tidak jera bermunculan juga hampir-hampir hilang dan kulit wajahnya terlihat mulus. Orang-orang di sekitarnya pun mulai memuji “Wajahmu kelihatan mengecil!.”
1 Seorang wanita menjalani akupunktur kosmetik wajah dari Profesor Choi Minsun di Hospital Oriental Ilsan Dongguk University. Profesor Choi mengatakan, “Saya menusukkan 50 sampai dengan 100 jarum perak nano pada titik akupuntur dan meridian otot tendino sekaligus. Sekitar 5 sampai dengan 10 perawatan akan memberikan efek kosmetik seperti pengencangan wajah dan pelenturan otot, di samping untuk meningkatkan kondisi seperti sakit kepala, insomnia dan gejala menopause.” 2 Serbuk obat herbal bubuk untuk perawatan tubuh secara herbal Oriental dan jarum perak nano.
Meluasnya Pasar Kecantikan ala Perawatan Tradisional Konsep perawatan kecantikan melalui cara tradisional mulai dikenal sejak awal tahun 2000-an. Sebelum itu, prosedur perawatan terkait dengan wajah dalam pengobatan tradisional hanya terbatas pada pengobatan akupunktur untuk menyembuhkan kelumpuhan saraf wajah dari stroke yang menyebabkan mulut miring dan sebagainya. Dunia pengobatan tradisional Korea, dengan dukungan respon positif dari masyarakat, terus berusaha untuk mengeksplorasi pasar, sementara dari dunia pengobatan modern membantahnya dengan mengatakan bahwa merubah bentuk wajah hanya dengan mendapat pijatan saja adalah pernyataan yang dibesar – besarkan dan adalah ‘iman’ yang berlebihan untuk percaya bahwa pengobatan tradisional Korea bebas dari efek samping. Menurut analisis Samsung Economic Research Institute pada tahun 2013, bisnis perawatan kecantikan Korea dengan cara tradisional maupun modern berkembang cepat dengan rata-rata per tahun sebesar 10,1 persen yakni sekitar 11,9 triliun won (para ahli mengatakan bahwa perawatan kecantikan menggunakan pengobatan tradisional Korea berkisar kurang dari 30% dari keseluruhan pasar). Permintaan yang bertambah pesat sebagai akibat dari berita mulut ke mulut tentang efek dari pijat meridian ini, bukan hanya membuat meningkat jumlah dokter pengobatan tradisional, tetapi juga spesialis pijat meridian yang telah menyelesaikan pelatihan dan lulus ujian kualifikasi yang disediakan oleh Asosiasi Pijat Meridian Korea, yang juga mempengaruhi besarnya pasar perawatan kecantikan. Beberapa perusahaan waralaba untuk toko pijat meridian telah muncul dalam beberapa tahun terakhir. Tempat perawatan waralaba seperti ini mempunyai kelebihan karena menyediakan data analitik yang digunakan melalui kantor pusat mereka, yang tidak tersedia di klinik obat tradisional kecil atau toko tempat pijat wajah, tetapi juga ada kelemahannya karena pengguna harus bersedia membayar keanggotaan untuk minimal 10 kali kunjungan perawatan yang sama artinya harus bersedia membayar sejumlah besar uang sekaligus.
Dari Kecantikan ke Kesehatan Apakah benar perawatan pijat meridian bisa mengecilkan wajah? Lucunya, hal ini justru terbukti dari studi Ko r e a n a | Mu s i m S e m i 2014
61
klinis kedokteran modern. Untuk tujuan perbandingan ilmiah dan analisis efek perawatan pijat meridian dan injeksi Botox, pada tahun 2012 Bagian Kedokteran Gigi di Rumah Sakit Universitas Yonsei mengadakan penelitian terhadap 10 orang wanita berusia antara 20 sampai 40. Mereka menerima perawatan pijat meridian sebanyak dua kali seminggu selama 10 minggu. Sebagai hasil dari pengukuran wajah sebelum dan sesudah pijat, terbukti bahwa volume wajah berkurang ratarata 731 milimeter kubik, dengan ketebalan otot pada tulang pipi dan rahang berkurang masing-masing sekitar 0,4 mm dan 0,44 mm. Tim peneliti mengatakan bahwa “Efek ini serupa dengan efek pengecilan wajah.� Dalam pengobatan tradisional Korea, sistem pijat meridian mengacu pada bagian di mana energi tubuh mengalir. Seperti darah mengalir melalui pembuluh darah dan rangsangan tersalur melalui saraf, energi mengalir melalui sistem meridian. Manusia memiliki 12 sistem meridian penting dalam tubuhnya. Titik di mana banyak energi terkumpul disebut titik meridian, yang jika dibandingkan dengan sistem kereta api berfungsi seperti stasiun tempat kereta api berkumpul. Prinsip dasar dari pijat meridian adalah untuk mengembalikan keseimbangan dalam sistem saraf otonom dan meningkatkan daya penyembuhan diri dengan merangsang sistem meridian dan titik darah. Dengan terbukanya jalan energi yang terhambat, revitalisasi fungsi sel dan mempercepat sirkulasi darah, maka dalam tahap awal kulit wajah terlihat lebih baik dari sebelumnya. Inilah alasan utama orang-orang memiliki sejak awal. Menurut berbagai penelitian, terbukti efek jangka panjang dari pijat meridian membantu mencegah berbagai macam rasa sakit, mengurangi masalah pencernaan, depresi dan obesitas. Dikatakan bahwa mendapatkan perawatan pijat meridian secara teratur dapat meningkatkan aliran energi, memperbaiki ketidakseimbangan pada otot dan sendi, dan meningkatkan fungsi organ internal, yang akhirnya memperkuat seluruh tubuh, serta menyingkirkan timbunan lemak berlebihan di dalam tubuh. Tempat-tempat perawatan pijat menggunakan bukti ini dan mulai mengundang minat konsumen dengan mengiklankan “memperlambat penuaan, membantu diet.� Bukan hanya wajah saja, perawatan pijat meridian ada juga yang melayani perawatan seluruh tubuh termasuk panggul, tubuh bagian bawah, lengan, dan sebagainya. Lee, yang tinggal di Seocho-gu, Seoul, melahirkan anaknya di akhir usia 30-an, sehingga ia sangat khawatir karena panggulnya menjadi tidak imbang. Karena bentuk tubuhnya terus menjadi tidak seimbang, ia menjadi lebih tertekan. Wajah dan tubuh bagian atasnya terlihat kurus, tetapi tubuh bagian bawahnya terlihat gemuk. Ketika dia pergi untuk mendapatkan perawatan pijat meridian seluruh tubuh pijat, dia diberitahu bahwa panggulnya tidak seimbang akibat melahirkan dan posisi tubuh yang tidak baik sehingga sirkulasi energi tubuhnya terganggu. Ini menyebabkan edema parah pada tubuh bagian bawah. Lee menghabiskan lebih dari 2 juta won untuk mendapatkan 20 kali perawatan pijat dan dia puas dengan hasilnya karena perawatan pijat meridian di seluruh tubuhnya telah memulihkan keseimbangan panggulnya.
62
1 2
S e n i & B u d a y a Ko re a
Prinsip dasar dari pijat meridian adalah untuk mengembalikan keseimbangan dalam sistem saraf otonom dan meningkatkan daya penyembuhan diri dengan merangsang sistem meridian dan titik darah. Dengan terbukanya jalan energi yang terhambat, revitalisasi fungsi sel dan mempercepat sirkulasi darah, maka dalam tahap awal kulit wajah terlihat lebih baik dari sebelumnya. Inilah alasan utama orang-orang memilihnya sejak awal.
Self-Massage Dengan dikenal luasnya efek pijat meridian, buku-buku tentang self-massage (pijat sendiri) dengan judul seperti “Diet Face” dan “Face Yoga” juga mendapatkan popularitas. Namun teknik yang disebut-sebut dalam buku-buku ini sama sekali berbeda dari perawatan pijat meridian oleh ahli. Isinya hanya menawarkan cara self-massage yang membantu memperbaiki otot wajah untuk membuatnya terlihat lebih oval dengan merangsang kulit dan jaringan ikat. Buku-buku seperti ini memperkenalkan puluhan cara pijat yang bertujuan untuk rahang berbentuk V, dahi sempit atau hidung agar terlihat mancung, serta pijat untuk mengurangi keriput di sekitar mulut dan membuat wajah tampak halus dan alami waktu mengenakan kosmetik. Di kalangan orang kantoran yang selalu sibuk beredar gosip-gosip tentang kisah sukses wajah mereka terlihat lebih oval setelah menekan otot-otot di sekitar wajah, telinga, dan kepala selama sekitar 5 sampai 10 menit setiap hari sesuai dengan petunjuk dalam buku-buku ini.
Peremajaan Wajah dengan Akupuntur Ada metode cara perawatan yang lebih agresif daripada perawatan pijat meridian ini. Yang disebut sebagai ‘bedah plastik ala akupuntur Korea’. Karena prosedur ini sama efektifnya dengan operasi plastik tanpa menggunakan pisau bedah, semakin banyak orang, tidak hanya Korea tetapi juga peminat dari Cina, Jepang, Vietnam, Amerika Serikat dan negara-negara lain, yang mendengar efek tentang cara ini datang untuk mencoba mendapatkan perawatan akupuntur ini. Menurut sebuah klinik medis terkenal tradisional Korea di Gangnam, Seoul yang mengkhususkan diri dalam perawatan kecantikan sekitar 10 persen pasiennya adalah orang asing. Pengobatan yang paling umum adalah untuk merangsang kulit korium dengan akupunktur. Cara ini adalah untuk menciptakan kolagen yang mampu mengurangi keriput pada wajah. Ada pula “metode akupunktur maesun” yaitu cara untuk menghilangkan kerutan dan mengencangkan kulit dengan menanamkan ke dalam kulit pada wajah atau payudara benang bedah yang akan larut dalam cairan jaringan tubuh setelah telah dilumuri dengan bahan - bahan obat herbal. Shim, yang berusia 30 - an, selalu merasa resah selama ini karena ia sering dikira berumur 40 - an karena kerutan di sekitar mulutnya. Kerutan ini malah bertambah parah sejak ia melakukan diet untuk mengurangi berat badannya agar kelihatan lebih muda. Tetapi sekitar satu bulan setelah mendapatkan perawatan “metode akupunktur maesun,” dia berkata bahwa wajahnya terasa dan terlihat lebih kencang dan elastis, keriputnyapun kurang terlihat. Dia berencana untuk menjalani perawatan ini beberapa kali lagi untuk benarbenar menghilangkan kerutan di sekitar mulutnya. Juga ada cerita kasus dengan “metode akupunktur maesun” di sepanjang hidung berhasil meninggikan hidung lebih dari 3 mm atau mengencangkan kulit wajah yang menarik bagi para wanita yang segan untuk menjalani operasi plastik. Dengan bertambahnya perhatian pria wanita tua muda akan perawatan kecantikan tradisional Korea, diperkirakan pasarnya akan terus bertumbuh. Ini terlihat dari kecenderungan bertambahnya jurusan perawatan kecantikan tradisional di perguruan tinggi yang mengajarkan pengobatan tradisional. Berbeda dengan cara bedah plastik yang menyisipkan bahan tertentu ke dalam tubuh, memang cara tradisional ini tidak menunjukkan efek drastis dalam waktu singkat dan menuntut kesabaran sehingga tingkat kepuasan setiap orang berbeda. Walau demikian, karena cara ini berfokus pada kekuatan penyembuhan diri dari tubuh manusia, dengan menginduksi perubahan alami dalam struktur jaringan tubuh dan fungsi internal bukan perubahan buatan, maka tidaklah mengherankan jika cara ini mendapatkan perhatian istimewa dari kaum hawa. Ko r e a n a | Mu s i m S e m i 2014
1 Mengenai perawatan wajah, Profesor Choi Min-sun menjelaskan , “Dengan melenturkan otot yang mengeras di bahu, Anda dapat meningkatkan sirkulasi darah di wajah.” 2 Perawatan wajah herbal Oriental adalah metode peremajaan kulit yang mengelupas, mengontrol wajah yang berminyak, dan merevitalisasi melalui stimulasi lembut dengan memakai partikel herbal halus.
63
Perjalanan Kesusastraan Korea
Kritik
Menerjemahkan Dunia dengan Kehangatan Hati Chang Du-yeong, Kritikus
Setiap penggambaran yang dilakukan Park Chan-soon disertai dengan sedikit kejutan pada kiprah sastranya yang terlambat. Park lahir pada tahun 1946. Pada usia 60 tahun, Park memenangkan hadiah pertama dalam Sayembara Tahunan suratkabar Chosun, tahun 2006 dengan cerita pendek “Garibong-dong Lamb Kabob.” Terlambat memulai kiprahnya sebagai penulis justru menarik perhatian masyarakat luas. Tak hanya dalam komunitas lingkungan sastrawan yang terpesona oleh latar belakang penulis baru ini dengan penampilannya yang berwibawa di atas pentas, tetapi juga oleh rasa ingin tahu masyarakat pembaca yang dipicu oleh kenyataan bahwa Park memulai kehidupan barunya itu pada usia ketika kebanyakan orang akan segera pensiun. Sejumlah ulasan menyambut kehadiran karyanya menunjukkan hal tersebut. “Terlambat-mekar penulis ini memulai debutnya pada usia 60 tahun,” atau “kombinasi gaya abad ke-21 yang sepoi-sepoi dengan kesungguhan generasi 1960-an,” begitulah komentar dan penilaian kritikus Kim Byeong-ik. Delapan tahun berlalu sejak Park terjun sebagai penulis. Pada saat itu ia menerbitkan dua kumpulan cerita pendek yang membuktikan bahwa kepenulisannya tidak lahir dalam sekejap. Buku pertamanya, berjudul Balhae-style Garden (2009), adalah kumpulan cerita yang terjadi di berbagai negara dan penuh penuh gambaran eksotik, seperti kisah tentang jageusani (sejenis ikan mas), sarang burung walet, tanah di bawah lembah, kayu gelondongan, pabrik kristal, kubah gedung, dan posisi mantid. Anda tidak dapat membantu bagaimana dia datang dengan persoalan yang beragam, dan bagaimana pula ia memintal persoalan-persoalan itu menjadi cerita yang indah. Dalam hal ini, Balhae-style Garden tampaknya laksana sebuah proklamasi: “Peduli amat dengan usia?” Mereka yang kagum melihat penulisnya dan ingin tahu, itulah kisah petualangan intelektual. Secara alami hal itu menunjukkan produktivitas dalam karier kepenulisannya sebagai penerjemah sebelum ia memasuki dunia sastra. Park, yang mengambil jurusan sastra Inggris di sebuah universitas adalah penerjemah veteran yang menghasilkan skenario dalam bahasa Korea untuk film-film asing yang tak terhitung jumlahnya dan serial TV tahun 1980-an dan 1990-an. Memang dalam beberapa cerita pendeknya, dia menyebutkan kesulitan para penerjemah mencari nafkah. Dalam “Lip Sync” misalnya, dikisahkan penerjemah yang harus
64
menyampaikan kepada pemirsa TV Korea isi film dokumenter tentang burung yang disebut avocet yang menghuni Cagar Alam Minsmere di Inggris, mengeluh tentang cobaan pekerjaannya: “Saya bekerja sampai keluar keringat dingin hanya untuk menerjemahkan satu kata ...” Dalam “Turban Shell Republik,” penerjemah berteriak, “Aku harus mengambil bahasa asing agar telinga terbiasa mendengarkannya dalam kehidupan yang sudah kubangun dan kugabungkan dengan semua pengalaman, kemudian menempatkannya melalui saringan yang entah bagaimana menghasilkan benang sutra ....” Karya-karya Park Chang-soon menekankan fakta berdasarkan pengetahuan dan penelitian sebelumnya yang merupakan prasyarat, tidak hanya dari terjemahan, tetapi juga sastra. Untuk memahami nuansa halus makna setiap kata, penting artinya untuk mengungkap budaya yang kaya dan makna yang ada di balik kata itu. Pengetahuan Park, jika melihat seluruh pekerjaan dan keakrabannya dengan budaya Barat, tidak diragukan lagi berkaitan erat dengan pendidikannya di universitas dan pekerjaan masa lalunya sebagai penerjemah. Keragaman masalah yang dihadirkan, bukan hanya sebagai perangkat untuk membangkitkan ketertarikan pembaca, tetapi juga untuk membawa tema kehidupan atau menciptakan suasana cerita. Itu bukan pengetahuan yang dangkal seperti kita menjelaskan buah ceri dari ensiklopedia, tetapi pengetahuan yang menyakitkan yang dibangun melalui pekerjaan siang-malam penuh kecemasan yang tak terhitung banyaknya. Dalam hal ini, karya Park sebagai penerjemah akhirnya berfungsi menunjukkan proses paling sulit untuk lahir menjadi seorang penulis. Artinya, keterlambatan dirinya sebagai seorang penulis tidak datang secara kebetulan, melainkan melalui sebuah masa pelatihan intelektualitasnya membuahkan hasil dalam bentuk imajinasi penulis. Berbeda dengan buku pertama Park yang sebagian besar merupakan potongan-potongan yang disusun berdasarkan tempat-tempat yang eksotis, kumpulan cerpennya yang kedua, Kumbang Kecil Terbang Tinggi (2013) berisi cerita dengan latar Korea. Bahkan ketika latar cerita tidak di Korea pun, cerita-ceritanya sangat dekat dengan berbagai isu yang terjadi pada masyarakat Korea. Pengarang, yang untuk beberapa waktu lamanya memusatkan perhatian pada masalah yang tak lazim yang terjadi di seluruh dunia, sekarang mengalihkan perhatiannya pada lingkungan sendiri dan mulai menghidupkan imajinasinya S e n i & B u d a y a Ko re a
pada peristiwa yang mungkin terjadi di sekitar kita. Secara umum, dapat dikatakan, bahwa tugas penerjemah bukan untuk mengamati orang lain secara mendetail. Hanya melalui pengamatan lingkungan di sekitarnya penerjemah dapat mencapai pemahaman yang jelas. Seperti juga buku pertamanya, “Kumbang Kecil Terbang Tinggi� tetap memperlihatkan kesetiaan pada tugasnya sebagai penerjemah yang tidak beranjak jauh dalam menafsirkan bahasa orang lain dan mengungkapkannya kembali dengan katakata yang paling tepat. Pengarang mengamati ekspresi dan tindakan orangorang di sekitar (“orang lain�), dan dengan demikian mencermati juga impian dan keputusasaan mereka. Karya pegarang ini coba melihat dari dekat orangorang yang cenderung diabaikan dalam rutinitas kehidupan sehari-hari yang terus berulang dan pengarang menerjemahkan kehidupan mereka melalui sarana fiksi.
Š Taman Jai-hong
Park Chan-soon Meskipun mereka tinggal di tempat yang berbeda dan mencari nafkah juga dengan cara yang berbeda, tokoh-tokoh dalam cerita pendek Park Chan-soon menghadirkan sesuatu yang sama: mereka hidup bagai telur di ujung tanduk, bergelantungan di ketinggian atap sebuah gedung bertingkat, tanpa alat pengaman. Nama sastrawan ini kemudian harum semerbak menjangkau masyarakat melalui prosa yang nyaring menggaungkan semangat, dan pada saat yang sama memancarkan kehangatan.
Ko r e a n a | Mu s i m S e m i 2014
Sepertinya aku selalu mendengar suara-suara datang dari orang-orang di sekitarku. Kudengar lagi kisah-kisah baru tentang anak-anak muda, meskipun aku sama sekali tidak bisa membantu, mengatakan masalah mereka. Sama seperti suara seorang pemuda berkulit agak gelap yang berkerja keras sepanjang hari di Kompleks Industri Sihwa. Mereka adalah para pemuda yang kehidupannya terperosok dalam dunia persaingan yang ketat atau mereka menderita di bawah kondisi kerasnya kehidupan. Korea. Jika kita mengambil langkah mundur dan melihat mereka, mereka semua adalah anak-anak alam, bentuk indah kehidupan seperti kumbang dengan punggungnya yang berwarna cerah. (Catatan pengarang dari “Kumbang Kecil Terbang Tinggi�) Meskipun mereka tinggal di tempat yang berbeda dan mencari nafkah juga dengan cara yang berbeda, tokoh-tokoh dalam cerita pendek Park Chan-soon menghadirkan sesuatu yang sama: mereka hidup bagai telur di ujung tanduk, bergelantungan di ketinggian atap sebuah gedung bertingkat, tanpa alat pengaman. Terperangkap dalam labirin, mereka hilang menggelandang, menghadapi jalan buntu; pribadi mereka adalah menunggu untuk tidak datang, dan mereka dicekam perasaan tidak nyaman, dan mereka tidak mampu berbuat apa-apa, jika mereka coba kabur. Bertahan dalam kesepian, kesedihan, dan ketidakberdayaan, semua yang bisa mereka lakukan adalah bertahan hidup. Seperti yang diidentifikasikan dengan pengamatan seorang penerjemah yang setia saat membaca cerita, kita berjumpa dengan makhluk yang lelah atas perbuatannya dalam hidup dan menyadari bahwa kita berbagi perasaan dengan mereka. Empati seperti ini tentu lahir dari pemahaman dan kedekatan pengarang dengan masalah yang diceritakannya. Untuk jiwa-jiwa yang lelah dalam menghadapi kehidupan, pengarang tidak terburu-buru memberi harapan. Juga tidak menawarkan pemecahannya untuk mengatasi rasa sepi yang menyelimuti mereka. Semua cerita dalam buku itu berakhir pada titik ketika pembaca mencapai empati pada tokoh protagonis. Tetapi ketika kita menutup buku itu, kita menyadari bahwa beberapa kata tetap berdering nyaring dalam kepala kita. Segitiga yukizuri yang membentuk jaringan anggota badan pada makhluk yang begitu lelah, jalinan Ariane, sebuah bola kecil benang emas yang muncul dalam mitologi Yunani, dan kumbang dengan punggung yang indah - itu adalah semua kata yang menawarkan kenyamanan begitu mahal yang dicari oleh tokoh-tokoh dalam ceritanya yang disampaikan dengan cara yang bermartabat, meski terkesan sederhana.
65
citra korea
S
ungguh, hatiku gelisah bukan main, menunggu musim semi tiba, saat sinar matahari yang jatuh pada salju di awal Februari hangat kurasakan, saat kulangkahkan kaki di bawah pohon aprikot yang tegak berdiri di halaman sebuah kuil, jauh di pegunungan. Kala kuncup bunga sudah mulai bermekaran seperti millet pada cabangcabang pohon, aku pun berkunjung ke kuil dengan maksud mau berdoa kepada Sang Buddha. Namun, pandanganku pertama-tama justru jatuh kepada cabang-cabang penuh bunga. Tidak seperti hatiku yang tidak mampu bersabar, pohon-pohon aprikot, pohon ceri Cornelian, bunga kamelia, dan pohon-pohon willow mampu bersabar menanti lebih dari satu bulan sebelum bangun dari tidur musim dingin mereka, satu per satu. Tunas pertama tanaman Adonis mekar kuning di tempat yang penuh cahya matahari, menerobos selimut guguran daun, sementara salju belum jua mencair. Sepanjang waktu itu, sesungguhnya musim semi di Korea mekar kali pertama bukan di lembah-lembah, bukan pula di ladang-ladang atau di kebun-kebun, namun justru di universitas-universitas. Menjelang pengujung Februari, banyak kampus sibuk dengan upacara wisuda. Para kaum muda yang telah suntuk belajar keras selama dua belas tahun, mempelajari ejaan dan angka di TK dan SD, kemudian berjuang memenangi uji secara kompetitif yang tak terhitung jumlahnya selama belajar di SMP, SMA, dan universitas, akhirnya memakai topi wisuda di usia muda mereka yang penuh warna-warni bunga. Universitas yang berjumlah hanya 52 pada tahun 1960 telah berkembang menjadi 345 pada saat ini. Negara dengan 48 juta penduduk ini, 71 persen lulusan SMA-nya melanjutkan studi ke universitas, kurang lebih ada tiga juta mahasiswa. Jadi, setiap sepuluh ribu orang, yang 615 orang adalah mahasiswa, sebanding dengan Amerika Serikat yaitu 502. Universitas di Korea Selatan melahirkan enam sampai dengan tujuh ratus ribu lulusan setiap musim semi. Tidaklah mengherankan bila setiap Februari di Korea, tujuh ratus ribu bunga mekar di kampus-kampus di seantero negeri. Hanya sayang, kenapa musim semi di negeri ini terlalu pendek. Kaum muda yang cantik dan tampan dengan topi dan balutan gaun indah, yang telah mencapai puncak kehidupan mereka, memiliki sedikit waktu untuk menikmati kegembiraan hidupnya dan manfaat pengetahuan yang diperolehnya. Sukacita kaum muda yang baru dirasakannya harus berhadapan dengan momok pasar kerja yang serba menakutkan. Pertanyaan: Mengapa musim semi mekar begitu cepat untuk mencapai musim panas yang memaksa seseorang agar terus melangkah ke depan ? Di pegunungan, ladang dan di pelataran kuil, kembang-kembang musim semi belum sepenuhnya mekar, bahkan!
Musim Semi Kenapa Sangat Pendek Kim Hwa-young, Kritikus Sastra; Anggota Akademi Kesenian Nasional
We Help Asia Speak to the World We Asia World We Help Asia Speak Speak to the World andHelp the World Speakto tothe Asia. and the World Speak to Asia. and the World Speak to Asia. We Help Asia Speak to the World We Help Asia Speak to the World We Help Asia Speak to the World and the World Speak to Asia. Inside ourto Asia. and the World Speak and the World latest Speak issue:to Asia. Inside Inside our our
THE US REBALANCING TOWARD ASIA: ESSAYS BY
Patrick M. Cronin, Michael McDevitt, Wu Xinbo, Donald K. Emmerson, Malcolm Fraser, Richard A. Bitzinger, Kang Choi & Noboru Yamaguchi CREATING A NEW WORLD OF SOCIAL ENTERPRISES
Reflections by Won-soon Park & Tae-won Chey DRAWING A LINE IN THE SOUTH CHINA SEA
By Nguyen Manh Hung
BURMA IN THE ASEAN CHAIR IN 2014, AT LAST
By Pavin Chachavalpongpun
PLUS
Georgiy Voloshin China as a Stabilizer in Central Asia Ramesh Thakur The New Great Game in Afghanistan Tridivesh Singh Maini & Manish Vaid The Emerging Role of Indo-Pakistan Border States Young-hoon Lee Economic Reform in North Korea Peter Hayes A Breakthrough Six-Party Summit in 2013? Asger Røjle Christensen Japan’s Abduction Saga Book Reviews by David C. Kang, Börje Ljunggren & John Delury
THE US REBALANCING TOWARD ASIA: ESSAYS BY
PLUS
THE US REBALANCING TOWARD ASIA: ESSAYS BY CREATING A NEW WORLD OF SOCIAL ENTERPRISES
PLUSEmerging Role of Indo-Pakistan Border States The Georgiy Voloshin China as a Stabilizer in Central Asia Young-hoon Lee Economic Reform in North Korea Ramesh Thakur The New Great Game in Afghanistan Peter Hayes A Breakthrough Six-Party Summit in 2013? Tridivesh Singh Maini & Manish Vaid Asger Røjle Christensen Japan’s Abduction Saga The Emerging Role of Indo-Pakistan Border States Book Reviews byEconomic David C. Kang, Young-hoon Lee Reform in North Korea Börje Ljunggren & John Delury Peter Hayes A Breakthrough Six-Party Summit in 2013? Asger Røjle Christensen Japan’s Abduction Saga Book Reviews by David C. Kang, Börje Ljunggren & John Delury
US$15.00 Georgiy Voloshin China as a Stabilizer in Central Asia Patrick M. Cronin, Michael McDevitt, Wu Xinbo, W15,000 Donald K. Emmerson, Malcolm Fraser, Richard A. Bitzinger, Ramesh Thakur The New Great Game in Afghanistan | A JOURNAL THE EAST ASIA FOUNDATION | WWW.GLOBALASIA.ORG 7, NUMBER Kang Choi &OF Noboru Yamaguchi Tridivesh Singh VOLUME Maini & Manish Vaid 4, WINTER 2012
The US ‘Pivot’ to Asia
Patrick M. Cronin, MichaelPark McDevitt, Wu Xinbo, Reflections by Won-soon & Tae-won Chey Donald K. Emmerson, Malcolm Fraser, Richard A. Bitzinger, DRAWING A LINE IN THE SOUTH CHINA SEA Kang Choi & Noboru Yamaguchi By Nguyen Manh Hung CREATING A NEW WORLD OF SOCIAL ENTERPRISES
BURMA IN THE ASEAN CHAIR IN 2014, AT LAST Reflections by Won-soon Park & Tae-won Chey By Pavin Chachavalpongpun DRAWING A LINE IN THE SOUTH CHINA SEA
By Nguyen Manh Hung
BURMA IN THE ASEAN CHAIR IN 2014, AT LAST
By Pavin Chachavalpongpun
Is It Just About Containing China?
US$15.00 W15,000
A JOURNAL OF THE EAST ASIA FOUNDATION | WWW.GLOBALASIA.ORG | VOLUME 7, NUMBER 4, WINTER 2012
The US ‘Pivot’ Theto US ‘Pivot’ Asia to Asia PLUS
Georgiy Voloshin China as a Stabilizer in Central Asia Ramesh Thakur The New Great Game in Afghanistan
By Nguyen Manh Hung
Asger Røjle Christensen Japan’s Abduction Saga PLUS Reviews by David C. Kang, Book Georgiy Voloshin ChinaDelury as a Stabilizer in Central Asia Börje Ljunggren & John Ramesh Thakur The New Great Game in Afghanistan Tridivesh Singh Maini & Manish Vaid US$15.00 The Emerging Role of Indo-Pakistan Border States CREATING A NEW WORLD OF SOCIAL ENTERPRISES W15,000 Reflections by Won-soon Park & Tae-won Chey Young-hoon Lee Economic Reform in North Korea | WWW.GLOBALASIA.ORG A JOURNAL OF THE EAST ASIA CHINA FOUNDATION VOLUME 7, NUMBER 4, WINTER 2012 Peter Hayes A|Breakthrough Six-Party Summit in 2013? DRAWING A LINE IN THE SOUTH SEA US$15.00 THE US REBALANCING TOWARD ASIA: ESSAYS BY PLUS By Nguyen Manh Hung Asger Røjle Christensen Japan’s Abduction Saga W15,000 Georgiy Voloshin China as a Stabilizer in Central Asia Patrick M. Cronin, Michael McDevitt, Wu Xinbo, BURMA IN THE CHAIR IN 2014, LAST A. Book Reviews David C. 7, Kang, | Bitzinger, |byVOLUME Donald K. Emmerson, Malcolm Fraser,ATRichard A JOURNAL OFASEAN THE EAST ASIA FOUNDATION WWW.GLOBALASIA.ORG NUMBER 4, Afghanistan WINTER 2012 Ramesh Thakur The New Great Game in Börje Ljunggren & John Delury By Pavin Chachavalpongpun Kang Choi & Noboru Yamaguchi Tridivesh Singh Maini & Manish Vaid The Emerging Role of Indo-Pakistan Border States CREATING A NEW WORLD OF SOCIAL ENTERPRISES South Korea Leading the Way Into a New World ofLee Social Enterprises Reflections by Won-soon Park & Tae-won Chey Young-hoon Economic Reform in North Korea Peter Hayes A Breakthrough Six-Party Summit in 2013? DRAWING A LINE IN THE SOUTH CHINA SEA By Nguyen Manh Hung Asger Røjle Christensen Japan’s Abduction Saga US$15.00 BURMA IN THE ASEAN CHAIR IN 2014, AT LAST Book Reviews by David C. Kang, W15,000 Börje Ljunggren & John Delury By Pavin Chachavalpongpun BURMA IN THE ASEAN CHAIR IN 2014, LAST BY THE US REBALANCING TOWARD ASIA:AT ESSAYS
By Pavin Patrick M.Chachavalpongpun Cronin, Michael McDevitt, Wu Xinbo, Donald K. Emmerson, Malcolm Fraser, Richard A. Bitzinger, Kang Choi & Noboru Yamaguchi
The US ‘Pivot’ Theto US ‘Pivot’ Asia to Asia The US ‘Pivot’ to Asia The US ‘Pivot’ to Asia
A JOURNAL OF THE EAST ASIA FOUNDATION | WWW.GLOBALASIA.ORG | VOLUME 7, NUMBER 4, WINTER 2012
Is It Just About Containing China? US$15.00 Is It Just About W15,000 | WWW.GLOBALASIA.ORG | VOLUME 7, NUMBER 4, WINTER 2012 A JOURNAL OF THE EAST ASIA FOUNDATION Containing China? THE POLITICS OF ENGAGEMENT: ESSAYS BY
PLUS
Rudiger Frank RollingEnterprises Reforms: Reflections Mel Gurtov, MiroslavSouth Nincic,Korea Walter C. Clemens, Jr., Into a New Leading the Way World of Social on Visits to Kim Jong Un’s North Korea Karin J. Lee, Andrei Lankov, Troy Stangarone, Stuart J. Thorson, Hyunjin Seo, Trita Parsi & Nicholas Farrelly Cheol Hee Park The Double Life of Shinzo Abe Stein Tønnesson Steps Forward for China
to Resolve the South China Sea Disputes Is It JustMark About J. Valencia & Hong Nong Exploring Joint Development Possibilities in the South China Sea Containing Book China? Reviews by John Delury
JAPAN’S DANGEROUSSouth GAMBLE ON ‘ABENOMICS’ Korea Leading the Way Into a New World of Social Enterprises
By Gongpil Choi
and Taehwan Kim
Is It Just About Containing China?
THE POLITICS OF ENGAGEMENT: ESSAYS BY
Have you tried our iPad or Android tablet editions? See p.3
PLUS
US$15.00
Rudiger Frank Rolling Reforms: Reflections Mel Gurtov, Miroslav Nincic, Walter C. Clemens, Jr., W15,000 on Visits to Kim Jong Un’s North Korea Karin J. Lee, Andrei Lankov, Troy Stangarone, Stuart A JOURNAL OF THE EAST ASIA FOUNDATION | WWW.GLOBALASIA.ORG | VOLUME 8, NUMBER 2, SUMMER 2013 J. Thorson, Hyunjin Seo, Trita Parsi & Nicholas Farrelly Cheol Hee Park The Double Life of Shinzo Abe THE POLITICS OF ENGAGEMENT: ESSAYS BY
PLUS
Stein Tønnesson Steps Forward for China Rudiger Frank Rolling Reforms: Reflections to Resolve the South China Sea Disputes on Visits to Kim Jong Un’s North Korea Mark J. Valencia & Hong Nong Exploring Joint Cheol Hee Park The Double Life of Shinzo Abe Development Possibilities in the South China Sea THE DEBATE: IS POLITICAL RECONCILIATION Stein Tønnesson Steps Forward for China POSSIBLE IN MALAYSIA? Book Reviews by John Delury JAPAN’S DANGEROUS GAMBLE ON ‘ABENOMICS’ to Resolve the South China Sea DisputesHave and Taehwan Kim Khairy Jamaluddin By Gongpil Choi Squares Off Against Rafizi Ramli you tried Mark J. Valencia & Hong Nong Exploring Joint ourChina iPad Sea or Development Possibilities in the South THE DEBATE: IS POLITICAL RECONCILIATION Android tablet POSSIBLE IN MALAYSIA? Book Reviews by John Delury editions? Have and Taehwan Kim Khairy Jamaluddin Squares Off Against Rafizi Ramli See p.3 you tried South Korea Leading the Way Into a New World of Social Enterprises our iPad or US$15.00 Android tablet editions? W15,000 p.3 A JOURNAL OF THE EAST FOUNDATION WWW.GLOBALASIA.ORG VOLUME 8, NUMBERSee 2, SUMMER 2013 SouthASIA Korea Leading the| Way Into a New World of|Social Enterprises JAPAN’S DANGEROUS ON ‘ABENOMICS’ Mel Gurtov, MiroslavGAMBLE Nincic, Walter C. Clemens, Jr., By Gongpil Karin J. Lee,Choi Andrei Lankov, Troy Stangarone, Stuart J. Thorson, Hyunjin Seo, Trita Parsi & Nicholas Farrelly
Positive Engagement with North Korea, Iran and Myanmar
PLUS
US$15.00 Gilbert Rozman, Takashi Inoguchi, David Shambaugh, Jennifer Lind Beware the Tomb of the Known Soldier W15,000 Joon Hyung Kim, Haksoon Paik, Leon V. Sigal, Shalendra D. Sharma From8,Meltdown | WWW.GLOBALASIA.ORG | VOLUME A JOURNAL OF THEMiller EAST & ASIA NUMBERto1,Bounceback: SPRING 2013 Jonathan Berkshire LiliaFOUNDATION Shevtsova How South Korea Weathered the 2008 Financial Crisis RISKS & OPPORTUNITIES FOR ASIA’S NEW LEADERS: ESSAYS BY THE TPP AND THE QUEST FOR EAST ASIAN REGIONALISM
Gilbert Rozman, By Inkyo CheongTakashi Inoguchi, David Shambaugh, Joon Hyung Kim, Haksoon Paik, Leon V. Sigal, THE DEBATE: IS THE TPP AIMED AT THWARTING CHINA? Jonathan Berkshire Miller & Lilia Shevtsova Wang Yong Squares Off Against Takashi Terada
THE TPP AND THE QUEST FOR EAST ASIAN REGIONALISM
PLUS
Andy YeeLind When Will Japan Tap Its Potential? Jennifer Beware the Tomb of Internet the Known Soldier Saroj Kumar Drugs in Meltdown India Are atoSecurity Threat Shalendra D. Rath Sharma From Bounceback: How South Korea Wu Weathered 2008 Financial In Focus: Taiwan Yu-shan,the Chen Tain-jy & ChuCrisis Yun-han
Andy Yee WhenbyWill Japan Tap Its Internet Potential? Book Reviews John Delury We and Taehwan Kim Drugs in India Are a Security Saroj Kumar Rath now have Threat an iPad and Yun-han In Focus: Taiwan Wu Yu-shan, Chen Tain-jy & Chu Wang Yong Squares Off Against Takashi Terada Android tablet ASSESSING A CODE OF CONDUCT FOR THE SOUTH CHINA SEA Book Reviews by John Delury edition! We and Taehwan Kim By Mark J. Valencia See p.5 now have an iPad and US$15.00 Android tablet edition! W15,000 See A JOURNAL OF THE EAST ASIA FOUNDATION | WWW.GLOBALASIA.ORG | VOLUME 8, NUMBER 1,p.5 SPRING 2013 ASSESSING A CODE OF CONDUCT FOR THE SOUTH CHINA SEA By Inkyo Cheong By Mark J. Valencia THE DEBATE: IS THE TPP AIMED AT THWARTING CHINA?
Avoiding the Mines Avoiding Avoiding the Mines the Mines
RISKS & OPPORTUNITIES FOR ASIA’S NEW LEADERS: ESSAYS BY
Gilbert Rozman, Takashi Inoguchi, David Shambaugh, Joon Hyung Kim, Haksoon Paik, Leon V. Sigal, RISKS & OPPORTUNITIES FOR ASIA’S NEW LEADERS: ESSAYS BY Jonathan Berkshire Miller & Lilia Shevtsova Gilbert Rozman, Takashi Inoguchi, David Shambaugh, THE TPP AND THE QUEST FOR EAST ASIAN REGIONALISM Joon Hyung Kim, Haksoon Paik, Leon V. Sigal, By Inkyo Cheong Jonathan Berkshire Miller & Lilia Shevtsova THE DEBATE: IS THE TPP AIMED AT THWARTING CHINA? THE TPP AND THE QUEST FOR EAST ASIAN REGIONALISM
Wang Yong Squares Off Against Takashi Terada By Inkyo Cheong
New Leaders, New Dangers in Northeast Asia
ASSESSING A CODE OF CONDUCT FOR THE SOUTH CHINA SEA
THE DEBATE: IS THE TPP AIMED AT THWARTING CHINA? By Mark J. Valencia Wang Yong Squares Off Against Takashi Terada
ASSESSING A CODE OF CONDUCT FOR THE SOUTH CHINA SEA RISKS & OPPORTUNITIES FOR ASIA’S NEW LEADERS: ESSAYS BY
By MarkRozman, J. Valencia Gilbert Takashi Inoguchi, David Shambaugh, Joon Hyung Kim, Haksoon Paik, Leon V. Sigal, Jonathan Berkshire Miller & Lilia Shevtsova
THE TPP AND THE QUEST FOR EAST ASIAN REGIONALISM
By Inkyo Cheong
PLUS
Jennifer Lind Beware the Tomb of the Known Soldier
Shalendra D. Sharma From Meltdown to Bounceback: PLUS How South Korea Weathered the 2008 Financial Crisis Jennifer Lind Beware the Tomb of the Known Soldier Andy Yee When Will Japan Tap Its Internet Potential? Shalendra D. Sharma From Meltdown to Bounceback: SarojSouth Kumar Rath Drugs in India Are Financial a SecurityCrisis Threat How Korea Weathered the 2008
In Focus: Wu Japan Yu-shan, Chen Tain-jy &Potential? Chu Yun-han Andy YeeTaiwan When Will Tap Its Internet Book Reviews by John Delury Saroj Kumar Rath Drugs in India Are a Security Threat We and Taehwan Kim now have In Focus: Taiwan Wu Yu-shan, Chen Tain-jy & Chu Yun-han an iPad Book PLUS Reviews by John Delury Android and Wetablet and Taehwan Jennifer LindKim Beware the Tomb of the Known edition! now haveSoldier anSee p.5and iPad Shalendra D. Sharma From Meltdown to Bounceback: Android tablet How South Korea Weathered the 2008 Financial Crisis edition! US$15.00 Andy Yee When Will Japan Tap Its Internet Potential? W15,000 See p.5
Saroj Kumar Rath Drugs in8,India Are a Security Threat | VOLUME A JOURNAL ASIA FOUNDATION WWW.GLOBALASIA.ORG NUMBER 1, SPRING 2013 THE DEBATE:OF IS THE THE EAST TPP AIMED AT THWARTING |CHINA? US$15.00 RISKS & OPPORTUNITIES FOR ASIA’S NEW LEADERS: ESSAYS BY PLUS
In Focus: Taiwan Wu Yu-shan, Chen Tain-jy & ChuW15,000 Yun-han Wang Yong Squares Off Against Takashi Terada Gilbert Rozman, Takashi Inoguchi, David Shambaugh, Jennifer Lind Beware the Tomb of the Known Soldier ASSESSING CODE OF CONDUCT FOR SOUTH SEA Book Reviews|byVOLUME John Delury | CHINA A JOURNAL THE EAST ASIA WWW.GLOBALASIA.ORG 8, NUMBER 1, SPRING 2013 Joon HyungAOF Kim, Haksoon Paik,FOUNDATION LeonTHE V. Sigal, Shalendra D. Sharma From Meltdown toWe Bounceback: and Taehwan Kim By Mark J.Berkshire Valencia Miller & Lilia Shevtsova Jonathan have Crisis How South Korea Weathered the 2008now Financial
New Leaders, New Dangers in New Leaders, Northeast Asia New Dangers in Northeast Asia
an iPad and
THE TPP ANDIn THE QUEST FOR EAST ASIAN REGIONALISM This Issue: We Start a New Regular Section Profiling Asian Taiwan Andy Yee When WillCountries Japan Tap in ItsAndroid Internet tablet Potential? By Inkyo Cheong THE DEBATE: IS THE TPP AIMED AT THWARTING CHINA?
Wang Yong Squares Off Against Takashi Terada
ASSESSING A CODE OF CONDUCT FOR THE SOUTH CHINA SEA
By Mark J. Valencia
Saroj Kumar Rath Drugs in India Areedition! a Security Threat See p.5 In Focus: Taiwan Wu Yu-shan, Chen Tain-jy & Chu Yun-han Book Reviews by John Delury and Taehwan Kim
US$15.00
We W15,000 now have and Android tablet edition!
A JOURNAL OF THE EAST ASIA FOUNDATION | WWW.GLOBALASIA.ORG | VOLUME 8, NUMBER 1, SPRING 2013 an iPad
See p.5
US$15.00 W15,000 A JOURNAL OF THE EAST ASIA FOUNDATION | WWW.GLOBALASIA.ORG | VOLUME 8, NUMBER 1, SPRING 2013 TACKLING TRUST GAPS IN EAST ASIA: ESSAYS BY PLUS
Avoiding Avoiding the Mines the Mines Avoiding the Mines Avoiding the Mines
Billo A WayCountries to Peace inin theTaiwan South China Sea InRichard This Issue: We Start a New Regular SectionAndrew Profiling Asian Yun Byung-se, Ned Lebow, Tae-Seop Bahng, Charles A. Kupchan, Wang Yizhou, Yoshihide Soeya, Alexandre Y. Jung-Sun Park Why ‘Gangnam Style’ Isn’t Hallyu Style Mansourov, Myung-bok Bae & Mohamed Jawhar Hassan Chung-in Moon North Korea vs. South Korea: What Will It Take to End 60 Years of War?
NON-WESTERN AND ASIAN POLITICAL SYSTEMS In DEMOCRACIES This Issue: We Start a New Regular SectionHaruki Profiling Asian Countries in Taiwan Wada Korea’s War, Armistice and Legacy By Alexei D. Voskressenshi. THE DEBATE: AUSTRALIA’S NEW REFUGEE POLICY
Andrew Markus Squares Off Against Graeme McGregor
Book Reviews by John Delury, Taehwan Kim, Nayan Chanda and David Plott
Have you tried our iPad or Android tablet editions? See p.57
New Leaders, New NewDangers Leaders,in Yun Byung-se, RichardNortheast Ned Lebow, Tae-Seop Bahng, Charles Asia By Alexei D. Voskressenshi. New Dangers A. Kupchan, Wang Yizhou, Yoshihide Soeya, Alexandrein Y. Mansourov, Myung-bok Bae & Mohamed Jawhar Hassan Northeast Asia Andrew Markus Squares Off Against Graeme McGregor TACKLING TRUST GAPS IN EAST ASIA: ESSAYS BY
PLUS
US$15.00
Andrew Billo A Way to Peace in the South China Sea Yun Byung-se, Richard Ned Lebow, Tae-Seop Bahng, Charles W15,000 A. Kupchan, Wang Yizhou, Yoshihide Soeya, Alexandre Y. Jung-Sun Park Why ‘Gangnam Style’ Isn’t Hallyu Style A JOURNAL Myung-bok OF THE EAST ASIA FOUNDATION WWW.GLOBALASIA.ORG | VOLUME 8, NUMBER 3, FALL 2013 Mansourov, Bae & Mohamed Jawhar| Hassan Chung-in Moon North Korea vs. South Korea: TACKLING TRUST GAPS IN EAST ASIA: ESSAYS BY NON-WESTERN DEMOCRACIES AND ASIAN POLITICAL SYSTEMS
PLUS Will It Take to End 60 Years of War? What Andrew Billo A Way to Peace in the South China Sea Haruki Wada Korea’s War, Armistice and Legacy Jung-Sun Park Why ‘Gangnam Style’ Isn’t Hallyu Style Book Reviews by John Delury, Taehwan Kim, Chung-in Moon North Korea THE DEBATE: AUSTRALIA’S NEW REFUGEE POLICY Nayan Chanda and David Plottvs. South Korea: What Will It Take to End 60 Years of War? NON-WESTERN DEMOCRACIES AND ASIAN POLITICAL SYSTEMS Have Haruki Wada Korea’s War, Armistice and youLegacy By Alexei D. Voskressenshi. tried our Kim, Book Reviews by John Delury, Taehwan iPad or Android tablet THE DEBATE: AUSTRALIA’S NEW REFUGEE POLICY Nayan Chanda and David Plott editions? Andrew Markus Squares Off Against Graeme McGregor Have See you p.57 tried our iPad or In This Issue: We Start a New Regular Section Profiling Asian Countries in Taiwan Android tablet editions?US$15.00
How East Asia Can Secure New Leaders, New Dangers in a Peaceful Northeast Asia Future In This Issue: We Start a New Regular Section Profiling Asian Countries in Taiwan
See p.57
W15,000
| WWW.GLOBALASIA.ORG
| VOLUME 8, NUMBER 3, FALL 2013
A JOURNAL OF THE EAST ASIA FOUNDATION
| WWW.GLOBALASIA.ORG
| VOLUME 8, NUMBER 3, FALL 2013
THE POLITICS OF ENGAGEMENT: ESSAYS BY PLUS Hee Park The Double Life of Shinzo Abe J. Thorson, Hyunjin Seo, Trita Parsi & Nicholas Farrelly Cheol Rudiger Frank Rolling Reforms: Reflections Mel Gurtov, Miroslav Nincic, Walter C. Clemens, Jr., Stein Tønnesson Steps Forward for China on Visits to Kim Jong Un’s North Korea JAPAN’S DANGEROUS GAMBLE ON Stangarone, ‘ABENOMICS’ South Korea Leading the Way Into a New World of Social Enterprises Karin J. Lee, Andrei Lankov, Troy Stuart to Resolve the South China Sea Disputes By Gongpil Hyunjin Choi Seo, Trita Parsi & Nicholas Farrelly J. Thorson, Cheol Hee Park The Double Life of Shinzo Abe
Andrew Billo A Way to Peace in the South China Sea Yun Byung-se, Richard Ned Lebow, Tae-Seop Bahng, Charles A. Kupchan, Wang Yizhou, Yoshihide Soeya, Alexandre Y. Jung-Sun Park Why ‘Gangnam Style’ Isn’t Hallyu Style TACKLING TRUST GAPS IN EAST ASIA: ESSAYS BY Hassan PLUS Mansourov, Myung-bok Bae & Mohamed Jawhar Chung-in Moon North Korea vs. South Korea: Andrew A Way to Peace in the South China Sea Yun Byung-se, Richard Ned Lebow, Tae-Seop Bahng, Charles What WillBillo It Take to End 60 Years War? ThisYizhou, Issue:Yoshihide We Start a New Regular Profiling Asian inofTaiwan NON-WESTERN DEMOCRACIES AND ASIAN POLITICAL SYSTEMS A. Kupchan, In Wang Soeya, Alexandre Y.SectionHaruki Jung-Sun Park WhyCountries ‘Gangnam Style’ Isn’tLegacy Hallyu Style Wada Korea’s War, Armistice and By Alexei D. Myung-bok Voskressenshi. Mansourov, Bae & Mohamed Jawhar Hassan Chung-in Moon North Korea vs. South Korea:
THE DEBATE: IS POLITICAL RECONCILIATION POSSIBLE IN MALAYSIA? THE POLITICS OF ENGAGEMENT: ESSAYS BY
JAPAN’S DANGEROUS GAMBLE ON ‘ABENOMICS’
New Leaders, New Dangers in Northeast AsiaEast Asia How
US$15.00 W15,000
US$15.00 W15,000
Can Secure How East Asia a Peaceful Can Secure Future a Peaceful
In This Issue: We Start a New Regular Section Profiling Asian Countries in Taiwan
TACKLING TRUST GAPS IN EAST ASIA: ESSAYS BY
Mark J. Valencia & Hong Nong Exploring Joint Stein Tønnesson Steps Forward for China Development Possibilities in the South China Sea to Resolve the South China Sea Disputes Book Reviews by John Delury Mark J. Valencia Joint Have and Taehwan Kim& Hong Nong Exploring you Development Possibilities in the South China Sea tried our iPad Book PLUS Reviews by John Delury Android or tablet Have and Taehwan Kim Rudiger Frank Rolling Reforms: Reflections editions? you tried on Visits to Kim Jong Un’s North Korea See p.3 or our iPad Android Cheol Hee Park The Double Life of Shinzo Abe tablet editions? US$15.00 Stein Tønnesson Steps Forward for China W15,000 See to Resolve the South China Sea Disputes p.3
PLUS
Future Andrew Squares Off Against Graeme McGregor By AlexeiMarkus D. Voskressenshi. THE DEBATE: AUSTRALIA’S NEW REFUGEE POLICY NON-WESTERN DEMOCRACIES AND ASIAN POLITICAL SYSTEMS THE DEBATE: AUSTRALIA’S NEW REFUGEE POLICY
Andrew Markus Squares Off Against Graeme McGregor TACKLING TRUST GAPS IN EAST ASIA: ESSAYS BY
Yun Byung-se, Richard Ned Lebow, Tae-Seop Bahng, Charles A. Kupchan, Wang Yizhou, Yoshihide Soeya, Alexandre Y. Mansourov, Myung-bok Bae & Mohamed Jawhar Hassan
NON-WESTERN DEMOCRACIES AND ASIAN POLITICAL SYSTEMS
Book Reviews by John Delury, Taehwan Kim, What It Take toDavid End 60 Years of War? NayanWill Chanda and Plott Haruki Wada Korea’s War, Armistice and Legacy Have Book Reviews by John Delury, Taehwan youKim, tried Nayan Chanda and David Plott our iPad or Android tablet Have PLUS editions? you China tried Sea Andrew Billo A Way to Peace in the South SeeiPad p.57 our or Style Jung-Sun Park Why ‘Gangnam Style’ Isn’t Hallyu Android tablet editions? Chung-in Moon North Korea vs. South Korea:
See p.57 US$15.00 What Will It Take to End 60 Years of War?
W15,000
By Gongpil Choi A JOURNAL OF THE EAST ASIA FOUNDATION | WWW.GLOBALASIA.ORG | VOLUME 8, NUMBER 2, SUMMER 2013 Mark J. Valencia & Hong Nong Exploring Joint
Haruki Wada Korea’s War, Armistice and Legacy By Alexei D. Voskressenshi. A JOURNAL OF THE EAST ASIA FOUNDATION | WWW.GLOBALASIA.ORG VOLUME NUMBER 3, FALL 2013 Book Reviews by| John Delury,8,Taehwan Kim,
THE Gurtov, DEBATE:Miroslav IS POLITICAL RECONCILIATION Rudiger Frank Rolling Reforms: Reflections W15,000 Mel Nincic, Walter C. Clemens, Jr., POSSIBLE IN MALAYSIA? Book Reviews John Delury | WWW.GLOBALASIA.ORG | by A JOURNAL THE Lankov, EAST ASIA FOUNDATION VOLUME 8, NUMBER on Visits to Kim Jong Un’s North Korea 2, SUMMER 2013 Karin J. Lee, OF Andrei Troy Stangarone, Stuart Have and Taehwan Kim Khairy Jamaluddin Squares Off Against Rafizi Ramli J. Thorson, Hyunjin Seo, Trita Parsi & Nicholas Farrelly
Andrew Billo A Way to Peace in the South ChinaW15,000 Sea Yun Byung-se, Richard Ned Tae-Seop Charles Andrew Markus Squares OffLebow, Against GraemeBahng, McGregor Have | WWW.GLOBALASIA.ORG | VOLUME A JOURNAL OF THE EAST Yoshihide ASIA FOUNDATION 8,Style’ NUMBER 3, FALLStyle 2013 A. Kupchan, Wang Yizhou, Soeya, Alexandre Y. Jung-Sun Park Why ‘Gangnam Isn’t you Hallyu tried Mansourov, Myung-bok Bae & Mohamed Jawhar Hassan Chung-in Moon North Korea vs. South ourKorea: iPad or Android See our redesigned In This website, Issue: Our www.globalasia.org, New Section Focusing for analysis, on It Asia's debates, Less archives Nations more What Will Take to EndProminent 60 Years ofand War? tablet
THE POLITICS OF ENGAGEMENT: ESSAYS BY
PLUS
US$15.00
Development Possibilities in the South China Sea
Positive Engagement with North Korea, Positive Engagement Iran and Myanmar with North Korea,
Cheol Hee Park The Double Life of Shinzo Abe you tried iPad or In This In Focus: Issue:How We Start to Break a New the Regular Deadlock Section in Tønnesson the South Profiling China Asian SeaCountries in Taiwan Stein Steps Forward forour China Android tablet JAPAN’S DANGEROUS GAMBLE ON ‘ABENOMICS’ to Resolve the South China Sea Disputes editions? By Gongpil Choi Mark J. Valencia & Hong Nong Exploring Joint See p.3 Development Possibilities in the South China Sea THE DEBATE: IS POLITICAL RECONCILIATION US$15.00 POSSIBLE IN MALAYSIA? Book Reviews by John Delury Have W15,000 and Taehwan Kim Khairy Jamaluddin Squares Off Against Rafizi Ramli you tried A JOURNAL OF THE EAST ASIA FOUNDATION | WWW.GLOBALASIA.ORG | VOLUME 8, NUMBER SUMMER 2013 our2,iPad or Android tablet editions? See p.3
Iran and Myanmar
Positive Engagement US$15.00 W15,000 with North Korea, In This In Focus: Issue:How We Start to Break a New the Regular Deadlock Section in the South Profiling China Asian SeaCountries in Taiwan Iran and Myanmar
A JOURNAL OF THE EAST ASIA FOUNDATION | WWW.GLOBALASIA.ORG | VOLUME 8, NUMBER 2, SUMMER 2013
PositiveInEngagement This In Focus: Issue:How We Start to Break a New the Regular Deadlock Section in the South Profiling China Asian SeaCountries in Taiwan with North Korea, Iran and Myanmar
Sticks Before Sticks
Jung Young Moon A Most Ambiguous Sunday, and Other Stories
We now have an iPad and Android tablet edition! See p.5
A JOURNAL OF THE EAST ASIA FOUNDATION
Positive Engagement with North Korea, Positive Engagement Iran and Myanmar South Korea Leading the Way Into a New World of Social Enterprises with North Korea, THE POLITICS OF ENGAGEMENT: ESSAYS BY PLUS Rudiger Frank Rolling Reforms: Reflections Mel Gurtov, Miroslav Nincic, Walter C. Clemens, Jr., and Myanmar on Visits to Kim Jong Un’s North Korea Karin J.Iran Lee, Andrei Lankov, Troy Stangarone, Stuart
Khairy Jamaluddin Squares Against Rafizi Ramli Mel Gurtov, Miroslav Nincic, Off Walter C. Clemens, Jr., Karin J. Lee, Andrei Lankov, Troy Stangarone, Stuart J. Thorson, Hyunjin Seo, Trita Parsi & Nicholas Farrelly
Jung Mi-kyung My Son’s Girlfriend: Stories
Book Reviews by John Delury and Taehwan Kim
A JOURNAL OF THE EAST ASIA FOUNDATION | WWW.GLOBALASIA.ORG | VOLUME 8, NUMBER 2, SUMMER 2013
Khairy Jamaluddin Squares Off Against Rafizi Ramli
Jang Jung-il When Adam Opens His Eyes
ASSESSING A CODE OF CONDUCT FOR THE SOUTH CHINA SEA
RISKS & OPPORTUNITIES FOR ASIA’S NEW LEADERS: ESSAYS BY
Dewi Fortuna Anwar, Stephen Norris, James Castle, A. Lin Neumann, Erry R. Hardjapamekas and Adil W. Surowidjojo & Syed Farid Alatas
Saroj Kumar Rath Drugs in India Are a Security Threat
In Focus: Taiwan Wu Yu-shan, Chen Tain-jy & Chu Yun-han
By Mark J. Valencia
INDONESIA AND THE CHALLENGES OF GROWTH: ESSAYS BY
Andy Yee When Will Japan Tap Its Internet Potential?
latest issue: latest issue: The hard Inside our Inside our The hard choices The hard Inside our latest issue: latest issue: Inside our choices latest issue: Indonesia choices latest issue: The hard
PLUS
Jonathan Berkshire Miller Politics Continues to Chill Japan-South Korea Relations Andy Ye Why Taiwan’s ICT Sector Needs a New Model Pavin Chachavalpongpun Western Pragmatism Trumps CHINA’S NEW AIR ZONE AND THE EAST CHINA SEA DISPUTES Human Security Concerns in Myanmar By Mark J. Valencia Paul Evans The Passing of Robert Scalapino, Kim Kyung INDONESIA AND THE CHALLENGES OF GROWTH: ESSAYS BY PLUS Won and Yamamoto Tadashi WILL JAPAN’S PLAN TO EXERCISE ITS COLLECTIVE Jonathan Berkshire Miller Politics Continues to Chill Dewi Fortuna Anwar, Stephen Castle, SELF-DEFENSE RIGHT MAKE ASIANorris, MOREJames OR LESS SECURE? Book by Samuel S. Kim INDONESIA AND THE CHALLENGES OF GROWTH: ESSAYS BY PLUS Reviews Japan-South Korea Relations A. Lin Neumann, Erry R. Hardjapamekas and Have Gui Yongtao Squares Off Against Yuichi Hosoya & John Delury Jonathan Berkshire Miller PoliticsNeeds Continues Chill Dewi Fortuna Anwar,&Stephen Norris, James Castle, youatried Andy Ye Why Taiwan’s ICT Sector NewtoModel Adil W. Surowidjojo Syed Farid Alatas Japan-South Korea Relations our A. Lin Neumann, Erry R. Hardjapamekas and iPad or Trumps Pavin Chachavalpongpun Western Pragmatism Andr CHINA’S NEW AIR ZONE AND THE CHINA SEA DISPUTES oid Andy YeSecurity Why Taiwan’s ICTin Sector Needs a New tableModel Adil W. Surowidjojo & Syed FaridEAST Alatas t Human Concerns Myanmar editions? By Mark J. Valencia Pavin Chachavalpongpun Western Pragmatism Trumps See p.107 Paul Evans The Passing of Robert Scalapino, Kim Kyung CHINA’S NEW AIR ZONE AND THE EAST CHINA SEA DISPUTES Human Concerns in Myanmar Won andSecurity Yamamoto Tadashi WILL JAPAN’S PLAN TO EXERCISE ITS COLLECTIVE By Mark J. Valencia Paul Theby Passing ofS. Robert Kyung US$15.00 SELF-DEFENSE RIGHT MAKE ASIA MORE OR LESS SECURE? BookEvans Reviews Samuel Kim Scalapino, Kim Won and Yamamoto Tadashi Have W15,000 WILLYongtao JAPAN’S Squares PLAN TO Off EXERCISE ITSYuichi COLLECTIVE Gui Against Hosoya & John Delury you WINTER 2013 SELF-DEFENSE MAKE ASIAFOUNDATION MORE OR LESS |SECURE? Book Reviews|byVOLUME Samuel S. A JOURNAL OFRIGHT THE EAST ASIA WWW.GLOBALASIA.ORG 8,Kim NUMBER 4, tried ourHave iPad or Gui Yongtao Squares Off Against Yuichi Hosoya & John Delury Andr oidtried you tablet editi our ons?or iPad INDONESIA AND THE CHALLENGES OF GROWTH: ESSAYS BY PLUS Seeoid Andr p.107 tablet Jonathan Berkshire Miller Politics Continues editions? to Chill Dewi Fortuna Anwar, Stephen Norris, James Castle, INDONESIA AND THE CHALLENGES OF GROWTH: ESSAYS BY PLUS See p.107 US$15.00 Japan-South Korea Relations A. Lin Neumann, Erry R. Hardjapamekas and Jonathan Berkshire Miller Politics Continues to Chill Dewi Fortuna Anwar, Stephen Norris, James Castle, W15,000 Andy Ye Why Taiwan’s ICT Sector Needs a New Model Adil W. Surowidjojo & Syed Farid Alatas Japan-South Korea Relations A. Lin Neumann, Erry R. Hardjapamekas and US$15.00 | WWW.GLOBALASIA.ORG | VOLUME A JOURNAL OF THE EAST ASIA FOUNDATION NUMBER 4,aWINTER 2013 Pavin Ye Chachavalpongpun Western Pragmatism Trumps Andy Why Taiwan’s ICT8, Sector Needs New W15,000 Model Adil W. Surowidjojo & Syed Farid Alatas CHINA’S NEW AIR ZONE AND THE EAST CHINA SEA DISPUTES Human Security Concerns inWestern Myanmar INDONESIA AND THE CHALLENGES OF GROWTH: ESSAYS BY PLUS Chachavalpongpun Pavin Pragmatism Trumps | DISPUTES | VOLUME 8, NUMBER By MarkNEW J. Valencia A JOURNAL OF THE EAST ASIA FOUNDATION WWW.GLOBALASIA.ORG 4, WINTER 2013 CHINA’S AIR ZONE AND THE EAST CHINA SEA Jonathan Berkshire Miller Politics ContinuesKim to Chill Paul Evans The Passing of in Robert Scalapino, Kyung Dewi Fortuna Anwar, Stephen Norris, James Castle, Human Security Concerns Myanmar By Mark J. Valencia Japan-South Korea Relations Won and Yamamoto Tadashi A. Lin Neumann, Erry Hardjapamekas and WILL JAPAN’S PLAN TO R. EXERCISE ITS COLLECTIVE Paul Evans The Passing of Robert Scalapino, Kim Kyung SELF-DEFENSE RIGHT MAKE MORE OR LESS SECURE? Andy Ye Why Taiwan’s ICTS.Sector Adil Surowidjojo &CHALLENGES SyedASIA FaridITS Alatas Book Reviews by Samuel Kim Needs a New Model INDONESIA AND THE OF GROWTH: ESSAYS BY PLUSand Won Yamamoto Tadashi WILLW. JAPAN’S PLAN TO EXERCISE COLLECTIVE Have to Chill Gui Yongtao Off Against Yuichi & JohnReviews Delury Jonathan Berkshire Miller Politics SELF-DEFENSE RIGHT MAKE ASIANorris, MORE ORHosoya LESS SECURE? Pavin Chachavalpongpun Pragmatism Dewi FortunaSquares Anwar, Stephen James Castle, Book by Samuel S.Western Kim Continues you tried Trumps CHINA’S NEW AIR ZONE AND THE EAST CHINA SEA DISPUTES Japan-South Korea Relations Human Security Concerns in Myanmar GuiLin Yongtao Squares OffHardjapamekas Against Yuichi Hosoya A. Neumann, Erry R. and & John Delury ourHave or By Mark J. Valencia youiPad AndyEvans Ye Why Taiwan’s SectorAndr Needs atried New Model oid Adil W. Surowidjojo & Syed Farid Alatas Paul The PassingICT of Robert Scalapino, Kim table tKyung our iPad editi ons?or Trumps Won and Yamamoto Tadashi WILL JAPAN’S PLAN TO EXERCISE ITS COLLECTIVE Andr Pavin Chachavalpongpun Western Pragmatism tablet Seeoid CHINA’S NEW AIR ZONE ANDASIA THE MORE EAST CHINA SEA DISPUTES SELF-DEFENSE RIGHT MAKE OR LESS SECURE? editip.107 Human SecuritybyConcerns inKim Myanmar Book Reviews Samuel S. ons? By Mark J. Valencia Have See Gui Yongtao Squares Off Against Yuichi Hosoya p.107 & John Delury Paul Evans The Passing of Robert Scalapino, Kim Kyung US$15.00 you tried Won and Yamamoto Tadashi WILL JAPAN’S PLAN TO EXERCISE ITS COLLECTIVE W15,000 our iPad orUS$15.00 SELF-DEFENSE RIGHT MAKE ASIA MORE OR LESS |SECURE? Andr 4, WINTER Book Reviews|byVOLUME Samuel S. table t 2013 A JOURNAL OF THE EAST ASIA FOUNDATION WWW.GLOBALASIA.ORG 8,Kim NUMBER oid W15,000 Have editi Gui Yongtao Squares Off Against Yuichi Hosoya ons? & John Delury you A JOURNAL OF THE EAST ASIA FOUNDATION | WWW.GLOBALASIA.ORG | VOLUME 8, NUMBER 4,p.107 WINTER 2013 See tried our iPad or Android table t US$15.00 editions? W15,000 See p.107
The Sense and Sensibility of Indonesia The Sense The Sense and Sensibility and Sensibility of Indonesia of Indonesia
An Emerging Giant Carrots An Emerging Before An Emerging The Sense The Sense Sticks and Sensibility Giant and Sensibility Carrots Giant ofThe Indonesia The Politics Sense Carrots of Indonesia Before of Trust and Sensibility Before The Sense Sticks of Indonesia Sticks An Emerging and Sensibility The Politics An Emerging of Indonesia The Politics of Trust Giant An Emerging of Trust Carrots Giant Carrots An Emerging Before Before Giant Sticks Carrots Sticks Before The Politics Carrotsout more and Find to our print or online edition atGiant globalasia.org Thesubscribe Politics THE DEBATE: IS POLITICAL RECONCILIATION POSSIBLE IN MALAYSIA?
Khairy Jamaluddin Squares Off Against Rafizi Ramli
JAPAN’S DANGEROUS GAMBLE ON ‘ABENOMICS’ THE DEBATE: IS POLITICAL RECONCILIATION POSSIBLE MALAYSIA? By GongpilINChoi
Hyun Ki Young One Spoon on This Earth
Shalendra D. Sharma From Meltdown to Bounceback: How South Korea Weathered the 2008 Financial Crisis
US$15.00 W15,000
PLUS Is It JustGeorgiy About Tridivesh Singh Maini & Manish Vaid Voloshin China as a Stabilizer in Central Asia The Emerging Role of Indo-Pakistan Border States Ramesh Thakur The New Great Game in Afghanistan Containing China? Young-hoon Lee Economic Reform in North Korea Tridivesh Singh Maini & Manish Vaid Peter Hayes A Breakthrough Six-Party Summit in 2013? Emerging Role of Indo-Pakistan Border States Is It JustThe About By Nguyen Manh Hung Asger Røjle Christensen Japan’s Abduction Saga Reflections by Won-soon Park & Tae-won Chey Young-hoon Lee Economic Reform in North Korea BURMA IN THE ASEAN CHAIR IN 2014, AT LAST Book Reviews by David C. Kang, PeterChina? Hayes A Breakthrough Six-Party Summit in 2013? DRAWING A LINE IN THE SOUTH CHINA SEAContaining Börje Ljunggren & John Delury By Pavin Chachavalpongpun
Kim Joo-young Stingray
PLUS
Jennifer Lind Beware the Tomb of the Known Soldier
A JOURNAL OF THE EAST ASIA FOUNDATION | WWW.GLOBALASIA.ORG | VOLUME 8, NUMBER 1, SPRING 2013
DRAWING A LINE IN THE SOUTH CHINA SEA CREATING A NEW WORLD OF SOCIAL ENTERPRISES
Listed Among World Literature Today’s Notable Translations of 2013
THE DEBATE: IS THE TPP AIMED AT THWARTING CHINA?
Wang Yong Squares Off Against Takashi Terada
US$15.00 W15,000
THE US REBALANCING TOWARD ASIA: ESSAYS BY
The Library of Korean Literature
THE TPP AND THE QUEST FOR EAST ASIAN REGIONALISM
By Inkyo Cheong
A JOURNAL OF THE EAST ASIA FOUNDATION | WWW.GLOBALASIA.ORG | VOLUME 7, NUMBER 4, WINTER 2012
Patrick M. Cronin, Michael McDevitt, Wu Xinbo, Donald K. Emmerson, Malcolm Fraser, Richard A. Bitzinger, THE US REBALANCING TOWARD ASIA: ESSAYS BY Kang Choi & Noboru Yamaguchi Patrick M. Cronin, Michael McDevitt, Wu Xinbo, CREATING A NEW WORLD OF SOCIAL ENTERPRISES Donald K. Emmerson, Malcolm Richard Reflections by Won-soon Park &Fraser, Tae-won CheyA. Bitzinger, Kang Choi & Noboru Yamaguchi
Dalkey Archive Press in the U.S. Publishes the First 10 Books in
RISKS & OPPORTUNITIES FOR ASIA’S NEW LEADERS: ESSAYS BY
Gilbert Rozman, Takashi Inoguchi, David Shambaugh, Joon Hyung Kim, Haksoon Paik, Leon V. Sigal, Jonathan Berkshire Miller & Lilia Shevtsova
TACKLING TRUST GAPS IN NEW EASTREFUGEE ASIA: ESSAYS BY THE DEBATE: AUSTRALIA’S POLICY
US$15.00
PLUS Chanda and David Plott Nayan
How East Asia CanEast Secure How Asia a Peaceful Can Secure Future a Peaceful HowFuture East Asia See our redesigned In This website, Issue: Our www.globalasia.org, New Section Focusing for analysis, on Asia's debates, Less Prominent archives and Nations more Can Secure aSection Peaceful See our redesigned In This website, Issue: Our www.globalasia.org, New Focusing for analysis, on Asia's debates, Less Prominent archives and Nations more HowFuture East Asia Can Secure a Peaceful Future
NON-WESTERN DEMOCRACIES AND ASIAN POLITICAL SYSTEMS
By Alexei D. Voskressenshi.
THE DEBATE: AUSTRALIA’S NEW REFUGEE POLICY
Andrew Markus Squares Off Against Graeme McGregor
editions? Haruki Wada Korea’s War, Armistice and Legacy See p.57 Book Reviews by John Delury, Taehwan Kim, Nayan Chanda and David Plott
Have US$15.00 you triedW15,000 our iPad or 2013 A JOURNAL OF THE EAST ASIA FOUNDATION | WWW.GLOBALASIA.ORG | VOLUME 8, NUMBER 3, FALL Android tablet editions? See p.57
A JOURNAL OF THE EAST ASIA FOUNDATION
| WWW.GLOBALASIA.ORG
US$15.00 W15,000
| VOLUME 8, NUMBER 3, FALL 2013
The hard Indonesia is facing Indonesia The hard choices The hard is facing ischoices facing Indonesia choices Indonesia is facing Indonesia is is facing facing
A JOURNAL OF THE EAST ASIA FOUNDATION | WWW.GLOBALASIA.ORG | VOLUME 8, NUMBER 4, WINTER 2013 US$15.00 W15,000 A JOURNAL OF THE EAST ASIA FOUNDATION | WWW.GLOBALASIA.ORG | VOLUME 8, NUMBER 4, WINTER 2013
In In This Focus: Issue: Asian We Nations Start a New in the Regular Race toSection Get a Share Profiling of the Asian Arctic Countries in Taiwan
In In This Focus: Issue: Asian We Nations Start a New in the Regular Race toSection Get a Share Profiling of the Asian Arctic Countries in Taiwan In In This Focus: Issue: Asian We Nations Start a New in the Regular Race toSection Get a Share Profiling of the Asian Arctic Countries in Taiwan
of of Trust Trust The Politics Find to ofsubscribe Trust The Politics Find out out more more and and subscribe to our our print print or or online online edition edition at at globalasia.org globalasia.org of Trust In This In Focus: Issue:How We Start to Break a New the Regular Deadlock Section in the South Profiling China Asian SeaCountries in Taiwan
See our redesigned In This website, Issue: Our www.globalasia.org, New Section Focusing for analysis, on Asia's debates, Less Prominent archives and Nations more
In This In Focus: Issue:How We Start to Break a New the Regular Deadlock Section in the South Profiling China Asian SeaCountries in Taiwan
See our redesigned In This website, Issue: Our www.globalasia.org, New Section Focusing for analysis, on Asia's debates, Less Prominent archives and Nations more
In This In Focus: Issue:How We Start to Break a New the Regular Deadlock Section in the South Profiling China Asian SeaCountries in Taiwan
See our redesigned In This website, Issue: Our www.globalasia.org, New Section Focusing for analysis, on Asia's debates, Less Prominent archives and Nations more
In This In Focus: Issue:How We Start to Break a New the Regular Deadlock Section in the South Profiling China Asian SeaCountries in Taiwan
See our redesigned In This website, Issue: Our www.globalasia.org, New Section Focusing for analysis, on Asia's debates, Less Prominent archives and Nations more
In In This Focus: Issue: Asian We Nations Start a New in the Regular Race toSection Get a Share Profiling of the Asian Arctic Countries in Taiwan In In This Focus: Issue: Asian We Nations Start a New in the Regular Race toSection Get a Share Profiling of the Asian Arctic Countries in Taiwan
In In This Focus: Issue: Asian We Nations Start a New in the Regular Race toSection Get a Share Profiling of the Asian Arctic Countries in Taiwan In In This Focus: Issue: Asian We Nations Start a New in the Regular Race toSection Get a Share Profiling of the Asian Arctic Countries in Taiwan
Find to online edition at Have you tried our print tabletor edition yet? Download our app free on Find out out more more and and subscribe subscribe to our our print or online edition at globalasia.org globalasia.org iPad from Apple’s App Store or on Android from the Google Play Find out more and subscribe to our print or online edition at globalasia.org Have you tried our tablet edition yet? Download ourper app free on Find out more and subscribe to our print or online edition globalasia.org store.you Subscribe just $19.99 per year orat $5.99 Have tried ourfrom tablet edition yet? Download our appissue. free on
Kim Won-il The House with a Sunken Courtyard
Lee Ki-ho At Least We Can Apologize
Yi Kwang-su The Soil
Park Wan-suh Lonesome You: Stories
Jang Eun-jin No One Writes Back
We Help Asia Speak to the World We Help Asia Speak to the World and the World Speak to Asia. and the World Speak to Asia.
Ad for Koreana 277x280 Mar 2014.indd 1
Ad for Koreana 277x280 Mar 2014.indd 1 Ad for Koreana 277x280 Mar 2014.indd 1 THE US REBALANCING TOWARD ASIA: ESSAYS BY
Patrick M. Cronin, Michael McDevitt, Wu Xinbo, Donald K. Emmerson, Malcolm Fraser, Richard A. Bitzinger, Kang Choi & Noboru Yamaguchi
PLUS
By Pavin Chachavalpongpun
Georgiy Voloshin China as a Stabilizer in Central Asia Ramesh Thakur The New Great Game in Afghanistan Tridivesh Singh Maini & Manish Vaid The Emerging Role of Indo-Pakistan Border States Young-hoon Lee Economic Reform in North Korea Peter Hayes A Breakthrough Six-Party Summit in 2013? Asger Røjle Christensen Japan’s Abduction Saga Book Reviews by David C. Kang, Börje Ljunggren & John Delury
THE US REBALANCING TOWARD ASIA: ESSAYS BY
PLUS
CREATING A NEW WORLD OF SOCIAL ENTERPRISES
Reflections by Won-soon Park & Tae-won Chey DRAWING A LINE IN THE SOUTH CHINA SEA
By Nguyen Manh Hung
BURMA IN THE ASEAN CHAIR IN 2014, AT LAST
Patrick M. Cronin, Michael McDevitt, Wu Xinbo, Donald K. Emmerson, Malcolm Fraser, Richard A. Bitzinger, Kang Choi & Noboru Yamaguchi
Georgiy Voloshin China as a Stabilizer in Central Asia Ramesh Thakur The New Great Game in Afghanistan US$15.00 Tridivesh Singh Maini & Manish Vaid W15,000 The Emerging Role of Indo-Pakistan Border States CREATING A NEW WORLD OF SOCIAL ENTERPRISES A JOURNAL OF THE EAST ASIA FOUNDATION | WWW.GLOBALASIA.ORG | VOLUME 7, NUMBER 4, WINTER 2012 Reflections by Won-soon Park & Tae-won Chey Young-hoon Lee Economic Reform in North Korea Peter Hayes A Breakthrough Six-Party Summit in 2013? DRAWING A LINE IN THE SOUTH CHINA SEA By Nguyen Manh Hung Asger Røjle Christensen Japan’s Abduction Saga BURMA IN THE ASEAN CHAIR IN 2014, AT LAST Book Reviews by David C. Kang, Börje Ljunggren & John Delury By Pavin Chachavalpongpun
The US ‘Pivot’ to Asia
Ad for Koreana 277x280 Mar 2014.indd 1 Is It Just About Ad for Koreana 277x280 Mar 2014.indd 1 Containing China?
iPad from Apple’s App Store or on Android from the Google Play iPad from Apple’s App Store or on Android from the Google Play store. Subscribe from just $19.99 per year or $5.99 per issue. store. Subscribe from just $19.99 per year or $5.99 per issue. Have Have you you tried tried our our tablet tablet edition edition yet? yet? Download Download our our app app free free on on iPad from Apple’s App Store or on Android from the Google Play Have you tried our App tablet edition Download our Google app freePlay on iPad from Apple’s Store or onyet? Android from the store. Subscribe just $19.99 per year $5.99 Have you tried ourfrom tablet edition Download ourper appissue. freePlay on iPad from Apple’s App Store or onyet? Android from the Google store. Subscribe from just $19.99 per year or or $5.99 per issue. iPad from Apple’sfrom App just Store or on per Android from theper Google store. Subscribe $19.99 year or $5.99 issue.Play store. Subscribe from just $19.99 per year or $5.99 per issue.
RISKS & OPPORTUNITIES FOR ASIA’S NEW LEADERS: ESSAYS BY
Gilbert Rozman, Takashi Inoguchi, David Shambaugh, Joon Hyung Kim, Haksoon Paik, Leon V. Sigal, Jonathan Berkshire Miller & Lilia Shevtsova
THE TPP AND THE QUEST FOR EAST ASIAN REGIONALISM
By Inkyo Cheong
THE DEBATE: IS THE TPP AIMED AT THWARTING CHINA?
PLUS
Jennifer Lind Beware the Tomb of the Known Soldier
Shalendra D. Sharma From Meltdown to Bounceback: How South Korea Weathered the 2008 Financial Crisis
Saroj Kumar Rath Drugs in India Are a Security Threat
In Focus: Taiwan Wu Yu-shan, Chen Tain-jy & Chu Yun-han
ASSESSING A CODE OF CONDUCT FOR THE SOUTH CHINA SEA
Book Reviews by John Delury and Taehwan Kim
By Mark J. Valencia
RISKS & OPPORTUNITIES FOR ASIA’S NEW LEADERS: ESSAYS BY
Gilbert Rozman, Takashi Inoguchi, David Shambaugh, Joon Hyung Kim, Haksoon Paik, Leon V. Sigal, Jonathan Berkshire Miller & Lilia Shevtsova
We now have an iPad and Android tablet edition! PLUS See p.5 Jennifer Lind Beware the Tomb of the Known Soldier
Shalendra D. Sharma From Meltdown to Bounceback: US$15.00 How South Korea Weathered the 2008 Financial W15,000 Crisis
THE TPP AND THE QUEST FOR EAST ASIAN REGIONALISM | Will Andy Yee When Japan8, Tap Its Internet Potential? A JOURNAL OF THE EAST ASIA FOUNDATION | WWW.GLOBALASIA.ORG VOLUME NUMBER 1, SPRING 2013
By Inkyo Cheong
THE DEBATE: IS THE TPP AIMED AT THWARTING CHINA?
Saroj Kumar Rath Drugs in India Are a Security Threat
Wang Yong Squares Off Against Takashi Terada
In Focus: Taiwan Wu Yu-shan, Chen Tain-jy & Chu Yun-han
ASSESSING A CODE OF CONDUCT FOR THE SOUTH CHINA SEA
Book Reviews by John Delury and Taehwan Kim
By Mark J. Valencia
We now have an iPad and Android tablet edition! See p.5
US$15.00 W15,000
US$15.00 W15,000
A JOURNAL OF THE EAST ASIA FOUNDATION | WWW.GLOBALASIA.ORG | VOLUME 7, NUMBER 4, WINTER 2012
A JOURNAL OF THE EAST ASIA FOUNDATION | WWW.GLOBALASIA.ORG | VOLUME 8, NUMBER 1, SPRING 2013
The US ‘Pivot’
INDONESIA AND THE CHALLENGES OF GROWTH: ESSAYS BY
Andy Yee When Will Japan Tap Its Internet Potential?
Wang Yong Squares Off Against Takashi Terada
Inside our latest issue: Inside our
Dewi Fortuna Anwar, Stephen Norris, James Castle, A. Lin Neumann, Erry R. Hardjapamekas and Adil W. Surowidjojo & Syed Farid Alatas
CHINA’S NEW AIR ZONE AND THE EAST CHINA SEA DISPUTES
By Mark J. Valencia INDONESIA AND THE CHALLENGES OF GROWTH: ESSAYS BY Dewi FortunaPLAN Anwar, James Castle, WILL JAPAN’S TOStephen EXERCISENorris, ITS COLLECTIVE A. Lin Neumann, ErryMAKE R. Hardjapamekas SELF-DEFENSE RIGHT ASIA MORE ORand LESS SECURE? Adil W. Surowidjojo & Off Syed Farid Alatas Gui Yongtao Squares Against Yuichi Hosoya CHINA’S NEW AIR ZONE AND THE EAST CHINA SEA DISPUTES
By Mark J. Valencia
WILL JAPAN’S PLAN TO EXERCISE ITS COLLECTIVE SELF-DEFENSE RIGHT MAKE ASIA MORE OR LESS SECURE?
Gui Yongtao Squares Off Against Yuichi Hosoya
PLUS
Jonathan Berkshire Miller Politics Continues to Chill Japan-South Korea Relations Andy Ye Why Taiwan’s ICT Sector Needs a New Model Pavin Chachavalpongpun Western Pragmatism Trumps Human Security Concerns in Myanmar PLUSEvans The Passing of Robert Scalapino, Kim Kyung Paul Jonathan BerkshireTadashi Miller Politics Continues to Chill Won and Yamamoto Japan-South Korea Relations Book Reviews by Samuel S. Kim Andy Why Taiwan’s ICT Sector NeedsHave a New Model & JohnYeDelury you tried Trumps Pavin Chachavalpongpun Western Pragmatism our iPad or Human Security Concerns in Myanmar Android tablet Paul Evans The Passing of Robert Scalapino, Kim Kyung editions? See p.107 Won and Yamamoto Tadashi Book Reviews by Samuel S. Kim Have US$15.00 & John Delury you tried W15,000
3/10/1
3/10/1 3/10/1
3/10/1 3/10/1
We Help Asia Speak to the World We Asia World We Help Asia Speak Speak to the World andHelp the World Speakto tothe Asia. and the World Speak to Asia. and the World Speak to Asia. We Help Asia Speak to the World We Help Asia Speak to the World We Help Asia Speak to the World and the World Speak to Asia. Inside ourto Asia. and the World Speak and the World latest Speak issue:to Asia. Inside Inside our our
THE US REBALANCING TOWARD ASIA: ESSAYS BY
Patrick M. Cronin, Michael McDevitt, Wu Xinbo, Donald K. Emmerson, Malcolm Fraser, Richard A. Bitzinger, Kang Choi & Noboru Yamaguchi CREATING A NEW WORLD OF SOCIAL ENTERPRISES
Reflections by Won-soon Park & Tae-won Chey DRAWING A LINE IN THE SOUTH CHINA SEA
By Nguyen Manh Hung
BURMA IN THE ASEAN CHAIR IN 2014, AT LAST
By Pavin Chachavalpongpun
PLUS
Georgiy Voloshin China as a Stabilizer in Central Asia Ramesh Thakur The New Great Game in Afghanistan Tridivesh Singh Maini & Manish Vaid The Emerging Role of Indo-Pakistan Border States Young-hoon Lee Economic Reform in North Korea Peter Hayes A Breakthrough Six-Party Summit in 2013? Asger Røjle Christensen Japan’s Abduction Saga Book Reviews by David C. Kang, Börje Ljunggren & John Delury
THE US REBALANCING TOWARD ASIA: ESSAYS BY
PLUS
THE US REBALANCING TOWARD ASIA: ESSAYS BY CREATING A NEW WORLD OF SOCIAL ENTERPRISES
PLUSEmerging Role of Indo-Pakistan Border States The Georgiy Voloshin China as a Stabilizer in Central Asia Young-hoon Lee Economic Reform in North Korea Ramesh Thakur The New Great Game in Afghanistan Peter Hayes A Breakthrough Six-Party Summit in 2013? Tridivesh Singh Maini & Manish Vaid Asger Røjle Christensen Japan’s Abduction Saga The Emerging Role of Indo-Pakistan Border States Book Reviews byEconomic David C. Kang, Young-hoon Lee Reform in North Korea Börje Ljunggren & John Delury Peter Hayes A Breakthrough Six-Party Summit in 2013? Asger Røjle Christensen Japan’s Abduction Saga Book Reviews by David C. Kang, Börje Ljunggren & John Delury
US$15.00 Georgiy Voloshin China as a Stabilizer in Central Asia Patrick M. Cronin, Michael McDevitt, Wu Xinbo, W15,000 Donald K. Emmerson, Malcolm Fraser, Richard A. Bitzinger, Ramesh Thakur The New Great Game in Afghanistan | A JOURNAL THE EAST ASIA FOUNDATION | WWW.GLOBALASIA.ORG 7, NUMBER Kang Choi &OF Noboru Yamaguchi Tridivesh Singh VOLUME Maini & Manish Vaid 4, WINTER 2012
The US ‘Pivot’ to Asia
Patrick M. Cronin, MichaelPark McDevitt, Wu Xinbo, Reflections by Won-soon & Tae-won Chey Donald K. Emmerson, Malcolm Fraser, Richard A. Bitzinger, DRAWING A LINE IN THE SOUTH CHINA SEA Kang Choi & Noboru Yamaguchi By Nguyen Manh Hung CREATING A NEW WORLD OF SOCIAL ENTERPRISES
BURMA IN THE ASEAN CHAIR IN 2014, AT LAST Reflections by Won-soon Park & Tae-won Chey By Pavin Chachavalpongpun DRAWING A LINE IN THE SOUTH CHINA SEA
By Nguyen Manh Hung
BURMA IN THE ASEAN CHAIR IN 2014, AT LAST
By Pavin Chachavalpongpun
Is It Just About Containing China?
US$15.00 W15,000
A JOURNAL OF THE EAST ASIA FOUNDATION | WWW.GLOBALASIA.ORG | VOLUME 7, NUMBER 4, WINTER 2012
The US ‘Pivot’ Theto US ‘Pivot’ Asia to Asia PLUS
Georgiy Voloshin China as a Stabilizer in Central Asia Ramesh Thakur The New Great Game in Afghanistan
By Nguyen Manh Hung
Asger Røjle Christensen Japan’s Abduction Saga PLUS Reviews by David C. Kang, Book Georgiy Voloshin ChinaDelury as a Stabilizer in Central Asia Börje Ljunggren & John Ramesh Thakur The New Great Game in Afghanistan Tridivesh Singh Maini & Manish Vaid US$15.00 The Emerging Role of Indo-Pakistan Border States CREATING A NEW WORLD OF SOCIAL ENTERPRISES W15,000 Reflections by Won-soon Park & Tae-won Chey Young-hoon Lee Economic Reform in North Korea | WWW.GLOBALASIA.ORG A JOURNAL OF THE EAST ASIA CHINA FOUNDATION VOLUME 7, NUMBER 4, WINTER 2012 Peter Hayes A|Breakthrough Six-Party Summit in 2013? DRAWING A LINE IN THE SOUTH SEA US$15.00 THE US REBALANCING TOWARD ASIA: ESSAYS BY PLUS By Nguyen Manh Hung Asger Røjle Christensen Japan’s Abduction Saga W15,000 Georgiy Voloshin China as a Stabilizer in Central Asia Patrick M. Cronin, Michael McDevitt, Wu Xinbo, BURMA IN THE CHAIR IN 2014, LAST A. Book Reviews David C. 7, Kang, | Bitzinger, |byVOLUME Donald K. Emmerson, Malcolm Fraser,ATRichard A JOURNAL OFASEAN THE EAST ASIA FOUNDATION WWW.GLOBALASIA.ORG NUMBER 4, Afghanistan WINTER 2012 Ramesh Thakur The New Great Game in Börje Ljunggren & John Delury By Pavin Chachavalpongpun Kang Choi & Noboru Yamaguchi Tridivesh Singh Maini & Manish Vaid The Emerging Role of Indo-Pakistan Border States CREATING A NEW WORLD OF SOCIAL ENTERPRISES South Korea Leading the Way Into a New World ofLee Social Enterprises Reflections by Won-soon Park & Tae-won Chey Young-hoon Economic Reform in North Korea Peter Hayes A Breakthrough Six-Party Summit in 2013? DRAWING A LINE IN THE SOUTH CHINA SEA By Nguyen Manh Hung Asger Røjle Christensen Japan’s Abduction Saga US$15.00 BURMA IN THE ASEAN CHAIR IN 2014, AT LAST Book Reviews by David C. Kang, W15,000 Börje Ljunggren & John Delury By Pavin Chachavalpongpun BURMA IN THE ASEAN CHAIR IN 2014, LAST BY THE US REBALANCING TOWARD ASIA:AT ESSAYS
By Pavin Patrick M.Chachavalpongpun Cronin, Michael McDevitt, Wu Xinbo, Donald K. Emmerson, Malcolm Fraser, Richard A. Bitzinger, Kang Choi & Noboru Yamaguchi
The US ‘Pivot’ Theto US ‘Pivot’ Asia to Asia The US ‘Pivot’ to Asia The US ‘Pivot’ to Asia
A JOURNAL OF THE EAST ASIA FOUNDATION | WWW.GLOBALASIA.ORG | VOLUME 7, NUMBER 4, WINTER 2012
Is It Just About Containing China? US$15.00 Is It Just About W15,000 | WWW.GLOBALASIA.ORG | VOLUME 7, NUMBER 4, WINTER 2012 A JOURNAL OF THE EAST ASIA FOUNDATION Containing China? THE POLITICS OF ENGAGEMENT: ESSAYS BY
PLUS
Rudiger Frank RollingEnterprises Reforms: Reflections Mel Gurtov, MiroslavSouth Nincic,Korea Walter C. Clemens, Jr., Into a New Leading the Way World of Social on Visits to Kim Jong Un’s North Korea Karin J. Lee, Andrei Lankov, Troy Stangarone, Stuart J. Thorson, Hyunjin Seo, Trita Parsi & Nicholas Farrelly Cheol Hee Park The Double Life of Shinzo Abe Stein Tønnesson Steps Forward for China
to Resolve the South China Sea Disputes Is It JustMark About J. Valencia & Hong Nong Exploring Joint Development Possibilities in the South China Sea Containing Book China? Reviews by John Delury
JAPAN’S DANGEROUSSouth GAMBLE ON ‘ABENOMICS’ Korea Leading the Way Into a New World of Social Enterprises
By Gongpil Choi
and Taehwan Kim
Is It Just About Containing China?
THE POLITICS OF ENGAGEMENT: ESSAYS BY
Have you tried our iPad or Android tablet editions? See p.3
PLUS
US$15.00
Rudiger Frank Rolling Reforms: Reflections Mel Gurtov, Miroslav Nincic, Walter C. Clemens, Jr., W15,000 on Visits to Kim Jong Un’s North Korea Karin J. Lee, Andrei Lankov, Troy Stangarone, Stuart A JOURNAL OF THE EAST ASIA FOUNDATION | WWW.GLOBALASIA.ORG | VOLUME 8, NUMBER 2, SUMMER 2013 J. Thorson, Hyunjin Seo, Trita Parsi & Nicholas Farrelly Cheol Hee Park The Double Life of Shinzo Abe THE POLITICS OF ENGAGEMENT: ESSAYS BY
PLUS
Stein Tønnesson Steps Forward for China Rudiger Frank Rolling Reforms: Reflections to Resolve the South China Sea Disputes on Visits to Kim Jong Un’s North Korea Mark J. Valencia & Hong Nong Exploring Joint Cheol Hee Park The Double Life of Shinzo Abe Development Possibilities in the South China Sea THE DEBATE: IS POLITICAL RECONCILIATION Stein Tønnesson Steps Forward for China POSSIBLE IN MALAYSIA? Book Reviews by John Delury JAPAN’S DANGEROUS GAMBLE ON ‘ABENOMICS’ to Resolve the South China Sea DisputesHave and Taehwan Kim Khairy Jamaluddin By Gongpil Choi Squares Off Against Rafizi Ramli you tried Mark J. Valencia & Hong Nong Exploring Joint ourChina iPad Sea or Development Possibilities in the South THE DEBATE: IS POLITICAL RECONCILIATION Android tablet POSSIBLE IN MALAYSIA? Book Reviews by John Delury editions? Have and Taehwan Kim Khairy Jamaluddin Squares Off Against Rafizi Ramli See p.3 you tried South Korea Leading the Way Into a New World of Social Enterprises our iPad or US$15.00 Android tablet editions? W15,000 p.3 A JOURNAL OF THE EAST FOUNDATION WWW.GLOBALASIA.ORG VOLUME 8, NUMBERSee 2, SUMMER 2013 SouthASIA Korea Leading the| Way Into a New World of|Social Enterprises JAPAN’S DANGEROUS ON ‘ABENOMICS’ Mel Gurtov, MiroslavGAMBLE Nincic, Walter C. Clemens, Jr., By Gongpil Karin J. Lee,Choi Andrei Lankov, Troy Stangarone, Stuart J. Thorson, Hyunjin Seo, Trita Parsi & Nicholas Farrelly
Positive Engagement with North Korea, Iran and Myanmar
PLUS
US$15.00 Gilbert Rozman, Takashi Inoguchi, David Shambaugh, Jennifer Lind Beware the Tomb of the Known Soldier W15,000 Joon Hyung Kim, Haksoon Paik, Leon V. Sigal, Shalendra D. Sharma From8,Meltdown | WWW.GLOBALASIA.ORG | VOLUME A JOURNAL OF THEMiller EAST & ASIA NUMBERto1,Bounceback: SPRING 2013 Jonathan Berkshire LiliaFOUNDATION Shevtsova How South Korea Weathered the 2008 Financial Crisis RISKS & OPPORTUNITIES FOR ASIA’S NEW LEADERS: ESSAYS BY THE TPP AND THE QUEST FOR EAST ASIAN REGIONALISM
Gilbert Rozman, By Inkyo CheongTakashi Inoguchi, David Shambaugh, Joon Hyung Kim, Haksoon Paik, Leon V. Sigal, THE DEBATE: IS THE TPP AIMED AT THWARTING CHINA? Jonathan Berkshire Miller & Lilia Shevtsova Wang Yong Squares Off Against Takashi Terada
THE TPP AND THE QUEST FOR EAST ASIAN REGIONALISM
PLUS
Andy YeeLind When Will Japan Tap Its Potential? Jennifer Beware the Tomb of Internet the Known Soldier Saroj Kumar Drugs in Meltdown India Are atoSecurity Threat Shalendra D. Rath Sharma From Bounceback: How South Korea Wu Weathered 2008 Financial In Focus: Taiwan Yu-shan,the Chen Tain-jy & ChuCrisis Yun-han
Andy Yee WhenbyWill Japan Tap Its Internet Potential? Book Reviews John Delury We and Taehwan Kim Drugs in India Are a Security Saroj Kumar Rath now have Threat an iPad and Yun-han In Focus: Taiwan Wu Yu-shan, Chen Tain-jy & Chu Wang Yong Squares Off Against Takashi Terada Android tablet ASSESSING A CODE OF CONDUCT FOR THE SOUTH CHINA SEA Book Reviews by John Delury edition! We and Taehwan Kim By Mark J. Valencia See p.5 now have an iPad and US$15.00 Android tablet edition! W15,000 See A JOURNAL OF THE EAST ASIA FOUNDATION | WWW.GLOBALASIA.ORG | VOLUME 8, NUMBER 1,p.5 SPRING 2013 ASSESSING A CODE OF CONDUCT FOR THE SOUTH CHINA SEA By Inkyo Cheong By Mark J. Valencia THE DEBATE: IS THE TPP AIMED AT THWARTING CHINA?
Avoiding the Mines Avoiding Avoiding the Mines the Mines
RISKS & OPPORTUNITIES FOR ASIA’S NEW LEADERS: ESSAYS BY
Gilbert Rozman, Takashi Inoguchi, David Shambaugh, Joon Hyung Kim, Haksoon Paik, Leon V. Sigal, RISKS & OPPORTUNITIES FOR ASIA’S NEW LEADERS: ESSAYS BY Jonathan Berkshire Miller & Lilia Shevtsova Gilbert Rozman, Takashi Inoguchi, David Shambaugh, THE TPP AND THE QUEST FOR EAST ASIAN REGIONALISM Joon Hyung Kim, Haksoon Paik, Leon V. Sigal, By Inkyo Cheong Jonathan Berkshire Miller & Lilia Shevtsova THE DEBATE: IS THE TPP AIMED AT THWARTING CHINA? THE TPP AND THE QUEST FOR EAST ASIAN REGIONALISM
Wang Yong Squares Off Against Takashi Terada By Inkyo Cheong
New Leaders, New Dangers in Northeast Asia
ASSESSING A CODE OF CONDUCT FOR THE SOUTH CHINA SEA
THE DEBATE: IS THE TPP AIMED AT THWARTING CHINA? By Mark J. Valencia Wang Yong Squares Off Against Takashi Terada
ASSESSING A CODE OF CONDUCT FOR THE SOUTH CHINA SEA RISKS & OPPORTUNITIES FOR ASIA’S NEW LEADERS: ESSAYS BY
By MarkRozman, J. Valencia Gilbert Takashi Inoguchi, David Shambaugh, Joon Hyung Kim, Haksoon Paik, Leon V. Sigal, Jonathan Berkshire Miller & Lilia Shevtsova
THE TPP AND THE QUEST FOR EAST ASIAN REGIONALISM
By Inkyo Cheong
PLUS
Jennifer Lind Beware the Tomb of the Known Soldier
Shalendra D. Sharma From Meltdown to Bounceback: PLUS How South Korea Weathered the 2008 Financial Crisis Jennifer Lind Beware the Tomb of the Known Soldier Andy Yee When Will Japan Tap Its Internet Potential? Shalendra D. Sharma From Meltdown to Bounceback: SarojSouth Kumar Rath Drugs in India Are Financial a SecurityCrisis Threat How Korea Weathered the 2008
In Focus: Wu Japan Yu-shan, Chen Tain-jy &Potential? Chu Yun-han Andy YeeTaiwan When Will Tap Its Internet Book Reviews by John Delury Saroj Kumar Rath Drugs in India Are a Security Threat We and Taehwan Kim now have In Focus: Taiwan Wu Yu-shan, Chen Tain-jy & Chu Yun-han an iPad Book PLUS Reviews by John Delury Android and Wetablet and Taehwan Jennifer LindKim Beware the Tomb of the Known edition! now haveSoldier anSee p.5and iPad Shalendra D. Sharma From Meltdown to Bounceback: Android tablet How South Korea Weathered the 2008 Financial Crisis edition! US$15.00 Andy Yee When Will Japan Tap Its Internet Potential? W15,000 See p.5
Saroj Kumar Rath Drugs in8,India Are a Security Threat | VOLUME A JOURNAL ASIA FOUNDATION WWW.GLOBALASIA.ORG NUMBER 1, SPRING 2013 THE DEBATE:OF IS THE THE EAST TPP AIMED AT THWARTING |CHINA? US$15.00 RISKS & OPPORTUNITIES FOR ASIA’S NEW LEADERS: ESSAYS BY PLUS
In Focus: Taiwan Wu Yu-shan, Chen Tain-jy & ChuW15,000 Yun-han Wang Yong Squares Off Against Takashi Terada Gilbert Rozman, Takashi Inoguchi, David Shambaugh, Jennifer Lind Beware the Tomb of the Known Soldier ASSESSING CODE OF CONDUCT FOR SOUTH SEA Book Reviews|byVOLUME John Delury | CHINA A JOURNAL THE EAST ASIA WWW.GLOBALASIA.ORG 8, NUMBER 1, SPRING 2013 Joon HyungAOF Kim, Haksoon Paik,FOUNDATION LeonTHE V. Sigal, Shalendra D. Sharma From Meltdown toWe Bounceback: and Taehwan Kim By Mark J.Berkshire Valencia Miller & Lilia Shevtsova Jonathan have Crisis How South Korea Weathered the 2008now Financial
New Leaders, New Dangers in New Leaders, Northeast Asia New Dangers in Northeast Asia
an iPad and
THE TPP ANDIn THE QUEST FOR EAST ASIAN REGIONALISM This Issue: We Start a New Regular Section Profiling Asian Taiwan Andy Yee When WillCountries Japan Tap in ItsAndroid Internet tablet Potential? By Inkyo Cheong THE DEBATE: IS THE TPP AIMED AT THWARTING CHINA?
Wang Yong Squares Off Against Takashi Terada
ASSESSING A CODE OF CONDUCT FOR THE SOUTH CHINA SEA
By Mark J. Valencia
Saroj Kumar Rath Drugs in India Areedition! a Security Threat See p.5 In Focus: Taiwan Wu Yu-shan, Chen Tain-jy & Chu Yun-han Book Reviews by John Delury and Taehwan Kim
US$15.00
We W15,000 now have and Android tablet edition!
A JOURNAL OF THE EAST ASIA FOUNDATION | WWW.GLOBALASIA.ORG | VOLUME 8, NUMBER 1, SPRING 2013 an iPad
See p.5
US$15.00 W15,000 A JOURNAL OF THE EAST ASIA FOUNDATION | WWW.GLOBALASIA.ORG | VOLUME 8, NUMBER 1, SPRING 2013 TACKLING TRUST GAPS IN EAST ASIA: ESSAYS BY PLUS
Avoiding Avoiding the Mines the Mines Avoiding the Mines Avoiding the Mines
Billo A WayCountries to Peace inin theTaiwan South China Sea InRichard This Issue: We Start a New Regular SectionAndrew Profiling Asian Yun Byung-se, Ned Lebow, Tae-Seop Bahng, Charles A. Kupchan, Wang Yizhou, Yoshihide Soeya, Alexandre Y. Jung-Sun Park Why ‘Gangnam Style’ Isn’t Hallyu Style Mansourov, Myung-bok Bae & Mohamed Jawhar Hassan Chung-in Moon North Korea vs. South Korea: What Will It Take to End 60 Years of War?
NON-WESTERN AND ASIAN POLITICAL SYSTEMS In DEMOCRACIES This Issue: We Start a New Regular SectionHaruki Profiling Asian Countries in Taiwan Wada Korea’s War, Armistice and Legacy By Alexei D. Voskressenshi. THE DEBATE: AUSTRALIA’S NEW REFUGEE POLICY
Andrew Markus Squares Off Against Graeme McGregor
Book Reviews by John Delury, Taehwan Kim, Nayan Chanda and David Plott
Have you tried our iPad or Android tablet editions? See p.57
New Leaders, New NewDangers Leaders,in Yun Byung-se, RichardNortheast Ned Lebow, Tae-Seop Bahng, Charles Asia By Alexei D. Voskressenshi. New Dangers A. Kupchan, Wang Yizhou, Yoshihide Soeya, Alexandrein Y. Mansourov, Myung-bok Bae & Mohamed Jawhar Hassan Northeast Asia Andrew Markus Squares Off Against Graeme McGregor TACKLING TRUST GAPS IN EAST ASIA: ESSAYS BY
PLUS
US$15.00
Andrew Billo A Way to Peace in the South China Sea Yun Byung-se, Richard Ned Lebow, Tae-Seop Bahng, Charles W15,000 A. Kupchan, Wang Yizhou, Yoshihide Soeya, Alexandre Y. Jung-Sun Park Why ‘Gangnam Style’ Isn’t Hallyu Style A JOURNAL Myung-bok OF THE EAST ASIA FOUNDATION WWW.GLOBALASIA.ORG | VOLUME 8, NUMBER 3, FALL 2013 Mansourov, Bae & Mohamed Jawhar| Hassan Chung-in Moon North Korea vs. South Korea: TACKLING TRUST GAPS IN EAST ASIA: ESSAYS BY NON-WESTERN DEMOCRACIES AND ASIAN POLITICAL SYSTEMS
PLUS Will It Take to End 60 Years of War? What Andrew Billo A Way to Peace in the South China Sea Haruki Wada Korea’s War, Armistice and Legacy Jung-Sun Park Why ‘Gangnam Style’ Isn’t Hallyu Style Book Reviews by John Delury, Taehwan Kim, Chung-in Moon North Korea THE DEBATE: AUSTRALIA’S NEW REFUGEE POLICY Nayan Chanda and David Plottvs. South Korea: What Will It Take to End 60 Years of War? NON-WESTERN DEMOCRACIES AND ASIAN POLITICAL SYSTEMS Have Haruki Wada Korea’s War, Armistice and youLegacy By Alexei D. Voskressenshi. tried our Kim, Book Reviews by John Delury, Taehwan iPad or Android tablet THE DEBATE: AUSTRALIA’S NEW REFUGEE POLICY Nayan Chanda and David Plott editions? Andrew Markus Squares Off Against Graeme McGregor Have See you p.57 tried our iPad or In This Issue: We Start a New Regular Section Profiling Asian Countries in Taiwan Android tablet editions?US$15.00
How East Asia Can Secure New Leaders, New Dangers in a Peaceful Northeast Asia Future In This Issue: We Start a New Regular Section Profiling Asian Countries in Taiwan
See p.57
W15,000
| WWW.GLOBALASIA.ORG
| VOLUME 8, NUMBER 3, FALL 2013
A JOURNAL OF THE EAST ASIA FOUNDATION
| WWW.GLOBALASIA.ORG
| VOLUME 8, NUMBER 3, FALL 2013
THE POLITICS OF ENGAGEMENT: ESSAYS BY PLUS Hee Park The Double Life of Shinzo Abe J. Thorson, Hyunjin Seo, Trita Parsi & Nicholas Farrelly Cheol Rudiger Frank Rolling Reforms: Reflections Mel Gurtov, Miroslav Nincic, Walter C. Clemens, Jr., Stein Tønnesson Steps Forward for China on Visits to Kim Jong Un’s North Korea JAPAN’S DANGEROUS GAMBLE ON Stangarone, ‘ABENOMICS’ South Korea Leading the Way Into a New World of Social Enterprises Karin J. Lee, Andrei Lankov, Troy Stuart to Resolve the South China Sea Disputes By Gongpil Hyunjin Choi Seo, Trita Parsi & Nicholas Farrelly J. Thorson, Cheol Hee Park The Double Life of Shinzo Abe
Andrew Billo A Way to Peace in the South China Sea Yun Byung-se, Richard Ned Lebow, Tae-Seop Bahng, Charles A. Kupchan, Wang Yizhou, Yoshihide Soeya, Alexandre Y. Jung-Sun Park Why ‘Gangnam Style’ Isn’t Hallyu Style TACKLING TRUST GAPS IN EAST ASIA: ESSAYS BY Hassan PLUS Mansourov, Myung-bok Bae & Mohamed Jawhar Chung-in Moon North Korea vs. South Korea: Andrew A Way to Peace in the South China Sea Yun Byung-se, Richard Ned Lebow, Tae-Seop Bahng, Charles What WillBillo It Take to End 60 Years War? ThisYizhou, Issue:Yoshihide We Start a New Regular Profiling Asian inofTaiwan NON-WESTERN DEMOCRACIES AND ASIAN POLITICAL SYSTEMS A. Kupchan, In Wang Soeya, Alexandre Y.SectionHaruki Jung-Sun Park WhyCountries ‘Gangnam Style’ Isn’tLegacy Hallyu Style Wada Korea’s War, Armistice and By Alexei D. Myung-bok Voskressenshi. Mansourov, Bae & Mohamed Jawhar Hassan Chung-in Moon North Korea vs. South Korea:
THE DEBATE: IS POLITICAL RECONCILIATION POSSIBLE IN MALAYSIA? THE POLITICS OF ENGAGEMENT: ESSAYS BY
JAPAN’S DANGEROUS GAMBLE ON ‘ABENOMICS’
New Leaders, New Dangers in Northeast AsiaEast Asia How
US$15.00 W15,000
US$15.00 W15,000
Can Secure How East Asia a Peaceful Can Secure Future a Peaceful
In This Issue: We Start a New Regular Section Profiling Asian Countries in Taiwan
TACKLING TRUST GAPS IN EAST ASIA: ESSAYS BY
Mark J. Valencia & Hong Nong Exploring Joint Stein Tønnesson Steps Forward for China Development Possibilities in the South China Sea to Resolve the South China Sea Disputes Book Reviews by John Delury Mark J. Valencia Joint Have and Taehwan Kim& Hong Nong Exploring you Development Possibilities in the South China Sea tried our iPad Book PLUS Reviews by John Delury Android or tablet Have and Taehwan Kim Rudiger Frank Rolling Reforms: Reflections editions? you tried on Visits to Kim Jong Un’s North Korea See p.3 or our iPad Android Cheol Hee Park The Double Life of Shinzo Abe tablet editions? US$15.00 Stein Tønnesson Steps Forward for China W15,000 See to Resolve the South China Sea Disputes p.3
PLUS
Future Andrew Squares Off Against Graeme McGregor By AlexeiMarkus D. Voskressenshi. THE DEBATE: AUSTRALIA’S NEW REFUGEE POLICY NON-WESTERN DEMOCRACIES AND ASIAN POLITICAL SYSTEMS THE DEBATE: AUSTRALIA’S NEW REFUGEE POLICY
Andrew Markus Squares Off Against Graeme McGregor TACKLING TRUST GAPS IN EAST ASIA: ESSAYS BY
Yun Byung-se, Richard Ned Lebow, Tae-Seop Bahng, Charles A. Kupchan, Wang Yizhou, Yoshihide Soeya, Alexandre Y. Mansourov, Myung-bok Bae & Mohamed Jawhar Hassan
NON-WESTERN DEMOCRACIES AND ASIAN POLITICAL SYSTEMS
Book Reviews by John Delury, Taehwan Kim, What It Take toDavid End 60 Years of War? NayanWill Chanda and Plott Haruki Wada Korea’s War, Armistice and Legacy Have Book Reviews by John Delury, Taehwan youKim, tried Nayan Chanda and David Plott our iPad or Android tablet Have PLUS editions? you China tried Sea Andrew Billo A Way to Peace in the South SeeiPad p.57 our or Style Jung-Sun Park Why ‘Gangnam Style’ Isn’t Hallyu Android tablet editions? Chung-in Moon North Korea vs. South Korea:
See p.57 US$15.00 What Will It Take to End 60 Years of War?
W15,000
By Gongpil Choi A JOURNAL OF THE EAST ASIA FOUNDATION | WWW.GLOBALASIA.ORG | VOLUME 8, NUMBER 2, SUMMER 2013 Mark J. Valencia & Hong Nong Exploring Joint
Haruki Wada Korea’s War, Armistice and Legacy By Alexei D. Voskressenshi. A JOURNAL OF THE EAST ASIA FOUNDATION | WWW.GLOBALASIA.ORG VOLUME NUMBER 3, FALL 2013 Book Reviews by| John Delury,8,Taehwan Kim,
THE Gurtov, DEBATE:Miroslav IS POLITICAL RECONCILIATION Rudiger Frank Rolling Reforms: Reflections W15,000 Mel Nincic, Walter C. Clemens, Jr., POSSIBLE IN MALAYSIA? Book Reviews John Delury | WWW.GLOBALASIA.ORG | by A JOURNAL THE Lankov, EAST ASIA FOUNDATION VOLUME 8, NUMBER on Visits to Kim Jong Un’s North Korea 2, SUMMER 2013 Karin J. Lee, OF Andrei Troy Stangarone, Stuart Have and Taehwan Kim Khairy Jamaluddin Squares Off Against Rafizi Ramli J. Thorson, Hyunjin Seo, Trita Parsi & Nicholas Farrelly
Andrew Billo A Way to Peace in the South ChinaW15,000 Sea Yun Byung-se, Richard Ned Tae-Seop Charles Andrew Markus Squares OffLebow, Against GraemeBahng, McGregor Have | WWW.GLOBALASIA.ORG | VOLUME A JOURNAL OF THE EAST Yoshihide ASIA FOUNDATION 8,Style’ NUMBER 3, FALLStyle 2013 A. Kupchan, Wang Yizhou, Soeya, Alexandre Y. Jung-Sun Park Why ‘Gangnam Isn’t you Hallyu tried Mansourov, Myung-bok Bae & Mohamed Jawhar Hassan Chung-in Moon North Korea vs. South ourKorea: iPad or Android See our redesigned In This website, Issue: Our www.globalasia.org, New Section Focusing for analysis, on It Asia's debates, Less archives Nations more What Will Take to EndProminent 60 Years ofand War? tablet
THE POLITICS OF ENGAGEMENT: ESSAYS BY
PLUS
US$15.00
Development Possibilities in the South China Sea
Positive Engagement with North Korea, Positive Engagement Iran and Myanmar with North Korea,
Cheol Hee Park The Double Life of Shinzo Abe you tried iPad or In This In Focus: Issue:How We Start to Break a New the Regular Deadlock Section in Tønnesson the South Profiling China Asian SeaCountries in Taiwan Stein Steps Forward forour China Android tablet JAPAN’S DANGEROUS GAMBLE ON ‘ABENOMICS’ to Resolve the South China Sea Disputes editions? By Gongpil Choi Mark J. Valencia & Hong Nong Exploring Joint See p.3 Development Possibilities in the South China Sea THE DEBATE: IS POLITICAL RECONCILIATION US$15.00 POSSIBLE IN MALAYSIA? Book Reviews by John Delury Have W15,000 and Taehwan Kim Khairy Jamaluddin Squares Off Against Rafizi Ramli you tried A JOURNAL OF THE EAST ASIA FOUNDATION | WWW.GLOBALASIA.ORG | VOLUME 8, NUMBER SUMMER 2013 our2,iPad or Android tablet editions? See p.3
Iran and Myanmar
Positive Engagement US$15.00 W15,000 with North Korea, In This In Focus: Issue:How We Start to Break a New the Regular Deadlock Section in the South Profiling China Asian SeaCountries in Taiwan Iran and Myanmar
A JOURNAL OF THE EAST ASIA FOUNDATION | WWW.GLOBALASIA.ORG | VOLUME 8, NUMBER 2, SUMMER 2013
PositiveInEngagement This In Focus: Issue:How We Start to Break a New the Regular Deadlock Section in the South Profiling China Asian SeaCountries in Taiwan with North Korea, Iran and Myanmar
Sticks Before Sticks
Jung Young Moon A Most Ambiguous Sunday, and Other Stories
We now have an iPad and Android tablet edition! See p.5
A JOURNAL OF THE EAST ASIA FOUNDATION
Positive Engagement with North Korea, Positive Engagement Iran and Myanmar South Korea Leading the Way Into a New World of Social Enterprises with North Korea, THE POLITICS OF ENGAGEMENT: ESSAYS BY PLUS Rudiger Frank Rolling Reforms: Reflections Mel Gurtov, Miroslav Nincic, Walter C. Clemens, Jr., and Myanmar on Visits to Kim Jong Un’s North Korea Karin J.Iran Lee, Andrei Lankov, Troy Stangarone, Stuart
Khairy Jamaluddin Squares Against Rafizi Ramli Mel Gurtov, Miroslav Nincic, Off Walter C. Clemens, Jr., Karin J. Lee, Andrei Lankov, Troy Stangarone, Stuart J. Thorson, Hyunjin Seo, Trita Parsi & Nicholas Farrelly
Jung Mi-kyung My Son’s Girlfriend: Stories
Book Reviews by John Delury and Taehwan Kim
A JOURNAL OF THE EAST ASIA FOUNDATION | WWW.GLOBALASIA.ORG | VOLUME 8, NUMBER 2, SUMMER 2013
Khairy Jamaluddin Squares Off Against Rafizi Ramli
Jang Jung-il When Adam Opens His Eyes
ASSESSING A CODE OF CONDUCT FOR THE SOUTH CHINA SEA
RISKS & OPPORTUNITIES FOR ASIA’S NEW LEADERS: ESSAYS BY
Dewi Fortuna Anwar, Stephen Norris, James Castle, A. Lin Neumann, Erry R. Hardjapamekas and Adil W. Surowidjojo & Syed Farid Alatas
Saroj Kumar Rath Drugs in India Are a Security Threat
In Focus: Taiwan Wu Yu-shan, Chen Tain-jy & Chu Yun-han
By Mark J. Valencia
INDONESIA AND THE CHALLENGES OF GROWTH: ESSAYS BY
Andy Yee When Will Japan Tap Its Internet Potential?
latest issue: latest issue: The hard Inside our Inside our The hard choices The hard Inside our latest issue: latest issue: Inside our choices latest issue: Indonesia choices latest issue: The hard
PLUS
Jonathan Berkshire Miller Politics Continues to Chill Japan-South Korea Relations Andy Ye Why Taiwan’s ICT Sector Needs a New Model Pavin Chachavalpongpun Western Pragmatism Trumps CHINA’S NEW AIR ZONE AND THE EAST CHINA SEA DISPUTES Human Security Concerns in Myanmar By Mark J. Valencia Paul Evans The Passing of Robert Scalapino, Kim Kyung INDONESIA AND THE CHALLENGES OF GROWTH: ESSAYS BY PLUS Won and Yamamoto Tadashi WILL JAPAN’S PLAN TO EXERCISE ITS COLLECTIVE Jonathan Berkshire Miller Politics Continues to Chill Dewi Fortuna Anwar, Stephen Castle, SELF-DEFENSE RIGHT MAKE ASIANorris, MOREJames OR LESS SECURE? Book by Samuel S. Kim INDONESIA AND THE CHALLENGES OF GROWTH: ESSAYS BY PLUS Reviews Japan-South Korea Relations A. Lin Neumann, Erry R. Hardjapamekas and Have Gui Yongtao Squares Off Against Yuichi Hosoya & John Delury Jonathan Berkshire Miller PoliticsNeeds Continues Chill Dewi Fortuna Anwar,&Stephen Norris, James Castle, youatried Andy Ye Why Taiwan’s ICT Sector NewtoModel Adil W. Surowidjojo Syed Farid Alatas Japan-South Korea Relations our A. Lin Neumann, Erry R. Hardjapamekas and iPad or Trumps Pavin Chachavalpongpun Western Pragmatism Andr CHINA’S NEW AIR ZONE AND THE CHINA SEA DISPUTES oid Andy YeSecurity Why Taiwan’s ICTin Sector Needs a New tableModel Adil W. Surowidjojo & Syed FaridEAST Alatas t Human Concerns Myanmar editions? By Mark J. Valencia Pavin Chachavalpongpun Western Pragmatism Trumps See p.107 Paul Evans The Passing of Robert Scalapino, Kim Kyung CHINA’S NEW AIR ZONE AND THE EAST CHINA SEA DISPUTES Human Concerns in Myanmar Won andSecurity Yamamoto Tadashi WILL JAPAN’S PLAN TO EXERCISE ITS COLLECTIVE By Mark J. Valencia Paul Theby Passing ofS. Robert Kyung US$15.00 SELF-DEFENSE RIGHT MAKE ASIA MORE OR LESS SECURE? BookEvans Reviews Samuel Kim Scalapino, Kim Won and Yamamoto Tadashi Have W15,000 WILLYongtao JAPAN’S Squares PLAN TO Off EXERCISE ITSYuichi COLLECTIVE Gui Against Hosoya & John Delury you WINTER 2013 SELF-DEFENSE MAKE ASIAFOUNDATION MORE OR LESS |SECURE? Book Reviews|byVOLUME Samuel S. A JOURNAL OFRIGHT THE EAST ASIA WWW.GLOBALASIA.ORG 8,Kim NUMBER 4, tried ourHave iPad or Gui Yongtao Squares Off Against Yuichi Hosoya & John Delury Andr oidtried you tablet editi our ons?or iPad INDONESIA AND THE CHALLENGES OF GROWTH: ESSAYS BY PLUS Seeoid Andr p.107 tablet Jonathan Berkshire Miller Politics Continues editions? to Chill Dewi Fortuna Anwar, Stephen Norris, James Castle, INDONESIA AND THE CHALLENGES OF GROWTH: ESSAYS BY PLUS See p.107 US$15.00 Japan-South Korea Relations A. Lin Neumann, Erry R. Hardjapamekas and Jonathan Berkshire Miller Politics Continues to Chill Dewi Fortuna Anwar, Stephen Norris, James Castle, W15,000 Andy Ye Why Taiwan’s ICT Sector Needs a New Model Adil W. Surowidjojo & Syed Farid Alatas Japan-South Korea Relations A. Lin Neumann, Erry R. Hardjapamekas and US$15.00 | WWW.GLOBALASIA.ORG | VOLUME A JOURNAL OF THE EAST ASIA FOUNDATION NUMBER 4,aWINTER 2013 Pavin Ye Chachavalpongpun Western Pragmatism Trumps Andy Why Taiwan’s ICT8, Sector Needs New W15,000 Model Adil W. Surowidjojo & Syed Farid Alatas CHINA’S NEW AIR ZONE AND THE EAST CHINA SEA DISPUTES Human Security Concerns inWestern Myanmar INDONESIA AND THE CHALLENGES OF GROWTH: ESSAYS BY PLUS Chachavalpongpun Pavin Pragmatism Trumps | DISPUTES | VOLUME 8, NUMBER By MarkNEW J. Valencia A JOURNAL OF THE EAST ASIA FOUNDATION WWW.GLOBALASIA.ORG 4, WINTER 2013 CHINA’S AIR ZONE AND THE EAST CHINA SEA Jonathan Berkshire Miller Politics ContinuesKim to Chill Paul Evans The Passing of in Robert Scalapino, Kyung Dewi Fortuna Anwar, Stephen Norris, James Castle, Human Security Concerns Myanmar By Mark J. Valencia Japan-South Korea Relations Won and Yamamoto Tadashi A. Lin Neumann, Erry Hardjapamekas and WILL JAPAN’S PLAN TO R. EXERCISE ITS COLLECTIVE Paul Evans The Passing of Robert Scalapino, Kim Kyung SELF-DEFENSE RIGHT MAKE MORE OR LESS SECURE? Andy Ye Why Taiwan’s ICTS.Sector Adil Surowidjojo &CHALLENGES SyedASIA FaridITS Alatas Book Reviews by Samuel Kim Needs a New Model INDONESIA AND THE OF GROWTH: ESSAYS BY PLUSand Won Yamamoto Tadashi WILLW. JAPAN’S PLAN TO EXERCISE COLLECTIVE Have to Chill Gui Yongtao Off Against Yuichi & JohnReviews Delury Jonathan Berkshire Miller Politics SELF-DEFENSE RIGHT MAKE ASIANorris, MORE ORHosoya LESS SECURE? Pavin Chachavalpongpun Pragmatism Dewi FortunaSquares Anwar, Stephen James Castle, Book by Samuel S.Western Kim Continues you tried Trumps CHINA’S NEW AIR ZONE AND THE EAST CHINA SEA DISPUTES Japan-South Korea Relations Human Security Concerns in Myanmar GuiLin Yongtao Squares OffHardjapamekas Against Yuichi Hosoya A. Neumann, Erry R. and & John Delury ourHave or By Mark J. Valencia youiPad AndyEvans Ye Why Taiwan’s SectorAndr Needs atried New Model oid Adil W. Surowidjojo & Syed Farid Alatas Paul The PassingICT of Robert Scalapino, Kim table tKyung our iPad editi ons?or Trumps Won and Yamamoto Tadashi WILL JAPAN’S PLAN TO EXERCISE ITS COLLECTIVE Andr Pavin Chachavalpongpun Western Pragmatism tablet Seeoid CHINA’S NEW AIR ZONE ANDASIA THE MORE EAST CHINA SEA DISPUTES SELF-DEFENSE RIGHT MAKE OR LESS SECURE? editip.107 Human SecuritybyConcerns inKim Myanmar Book Reviews Samuel S. ons? By Mark J. Valencia Have See Gui Yongtao Squares Off Against Yuichi Hosoya p.107 & John Delury Paul Evans The Passing of Robert Scalapino, Kim Kyung US$15.00 you tried Won and Yamamoto Tadashi WILL JAPAN’S PLAN TO EXERCISE ITS COLLECTIVE W15,000 our iPad orUS$15.00 SELF-DEFENSE RIGHT MAKE ASIA MORE OR LESS |SECURE? Andr 4, WINTER Book Reviews|byVOLUME Samuel S. table t 2013 A JOURNAL OF THE EAST ASIA FOUNDATION WWW.GLOBALASIA.ORG 8,Kim NUMBER oid W15,000 Have editi Gui Yongtao Squares Off Against Yuichi Hosoya ons? & John Delury you A JOURNAL OF THE EAST ASIA FOUNDATION | WWW.GLOBALASIA.ORG | VOLUME 8, NUMBER 4,p.107 WINTER 2013 See tried our iPad or Android table t US$15.00 editions? W15,000 See p.107
The Sense and Sensibility of Indonesia The Sense The Sense and Sensibility and Sensibility of Indonesia of Indonesia
An Emerging Giant Carrots An Emerging Before An Emerging The Sense The Sense Sticks and Sensibility Giant and Sensibility Carrots Giant ofThe Indonesia The Politics Sense Carrots of Indonesia Before of Trust and Sensibility Before The Sense Sticks of Indonesia Sticks An Emerging and Sensibility The Politics An Emerging of Indonesia The Politics of Trust Giant An Emerging of Trust Carrots Giant Carrots An Emerging Before Before Giant Sticks Carrots Sticks Before The Politics Carrotsout more and Find to our print or online edition atGiant globalasia.org Thesubscribe Politics THE DEBATE: IS POLITICAL RECONCILIATION POSSIBLE IN MALAYSIA?
Khairy Jamaluddin Squares Off Against Rafizi Ramli
JAPAN’S DANGEROUS GAMBLE ON ‘ABENOMICS’ THE DEBATE: IS POLITICAL RECONCILIATION POSSIBLE MALAYSIA? By GongpilINChoi
Hyun Ki Young One Spoon on This Earth
Shalendra D. Sharma From Meltdown to Bounceback: How South Korea Weathered the 2008 Financial Crisis
US$15.00 W15,000
PLUS Is It JustGeorgiy About Tridivesh Singh Maini & Manish Vaid Voloshin China as a Stabilizer in Central Asia The Emerging Role of Indo-Pakistan Border States Ramesh Thakur The New Great Game in Afghanistan Containing China? Young-hoon Lee Economic Reform in North Korea Tridivesh Singh Maini & Manish Vaid Peter Hayes A Breakthrough Six-Party Summit in 2013? Emerging Role of Indo-Pakistan Border States Is It JustThe About By Nguyen Manh Hung Asger Røjle Christensen Japan’s Abduction Saga Reflections by Won-soon Park & Tae-won Chey Young-hoon Lee Economic Reform in North Korea BURMA IN THE ASEAN CHAIR IN 2014, AT LAST Book Reviews by David C. Kang, PeterChina? Hayes A Breakthrough Six-Party Summit in 2013? DRAWING A LINE IN THE SOUTH CHINA SEAContaining Börje Ljunggren & John Delury By Pavin Chachavalpongpun
Kim Joo-young Stingray
PLUS
Jennifer Lind Beware the Tomb of the Known Soldier
A JOURNAL OF THE EAST ASIA FOUNDATION | WWW.GLOBALASIA.ORG | VOLUME 8, NUMBER 1, SPRING 2013
DRAWING A LINE IN THE SOUTH CHINA SEA CREATING A NEW WORLD OF SOCIAL ENTERPRISES
Listed Among World Literature Today’s Notable Translations of 2013
THE DEBATE: IS THE TPP AIMED AT THWARTING CHINA?
Wang Yong Squares Off Against Takashi Terada
US$15.00 W15,000
THE US REBALANCING TOWARD ASIA: ESSAYS BY
The Library of Korean Literature
THE TPP AND THE QUEST FOR EAST ASIAN REGIONALISM
By Inkyo Cheong
A JOURNAL OF THE EAST ASIA FOUNDATION | WWW.GLOBALASIA.ORG | VOLUME 7, NUMBER 4, WINTER 2012
Patrick M. Cronin, Michael McDevitt, Wu Xinbo, Donald K. Emmerson, Malcolm Fraser, Richard A. Bitzinger, THE US REBALANCING TOWARD ASIA: ESSAYS BY Kang Choi & Noboru Yamaguchi Patrick M. Cronin, Michael McDevitt, Wu Xinbo, CREATING A NEW WORLD OF SOCIAL ENTERPRISES Donald K. Emmerson, Malcolm Richard Reflections by Won-soon Park &Fraser, Tae-won CheyA. Bitzinger, Kang Choi & Noboru Yamaguchi
Dalkey Archive Press in the U.S. Publishes the First 10 Books in
RISKS & OPPORTUNITIES FOR ASIA’S NEW LEADERS: ESSAYS BY
Gilbert Rozman, Takashi Inoguchi, David Shambaugh, Joon Hyung Kim, Haksoon Paik, Leon V. Sigal, Jonathan Berkshire Miller & Lilia Shevtsova
TACKLING TRUST GAPS IN NEW EASTREFUGEE ASIA: ESSAYS BY THE DEBATE: AUSTRALIA’S POLICY
US$15.00
PLUS Chanda and David Plott Nayan
How East Asia CanEast Secure How Asia a Peaceful Can Secure Future a Peaceful HowFuture East Asia See our redesigned In This website, Issue: Our www.globalasia.org, New Section Focusing for analysis, on Asia's debates, Less Prominent archives and Nations more Can Secure aSection Peaceful See our redesigned In This website, Issue: Our www.globalasia.org, New Focusing for analysis, on Asia's debates, Less Prominent archives and Nations more HowFuture East Asia Can Secure a Peaceful Future
NON-WESTERN DEMOCRACIES AND ASIAN POLITICAL SYSTEMS
By Alexei D. Voskressenshi.
THE DEBATE: AUSTRALIA’S NEW REFUGEE POLICY
Andrew Markus Squares Off Against Graeme McGregor
editions? Haruki Wada Korea’s War, Armistice and Legacy See p.57 Book Reviews by John Delury, Taehwan Kim, Nayan Chanda and David Plott
Have US$15.00 you triedW15,000 our iPad or 2013 A JOURNAL OF THE EAST ASIA FOUNDATION | WWW.GLOBALASIA.ORG | VOLUME 8, NUMBER 3, FALL Android tablet editions? See p.57
A JOURNAL OF THE EAST ASIA FOUNDATION
| WWW.GLOBALASIA.ORG
US$15.00 W15,000
| VOLUME 8, NUMBER 3, FALL 2013
The hard Indonesia is facing Indonesia The hard choices The hard is facing ischoices facing Indonesia choices Indonesia is facing Indonesia is is facing facing
A JOURNAL OF THE EAST ASIA FOUNDATION | WWW.GLOBALASIA.ORG | VOLUME 8, NUMBER 4, WINTER 2013 US$15.00 W15,000 A JOURNAL OF THE EAST ASIA FOUNDATION | WWW.GLOBALASIA.ORG | VOLUME 8, NUMBER 4, WINTER 2013
In In This Focus: Issue: Asian We Nations Start a New in the Regular Race toSection Get a Share Profiling of the Asian Arctic Countries in Taiwan
In In This Focus: Issue: Asian We Nations Start a New in the Regular Race toSection Get a Share Profiling of the Asian Arctic Countries in Taiwan In In This Focus: Issue: Asian We Nations Start a New in the Regular Race toSection Get a Share Profiling of the Asian Arctic Countries in Taiwan
of of Trust Trust The Politics Find to ofsubscribe Trust The Politics Find out out more more and and subscribe to our our print print or or online online edition edition at at globalasia.org globalasia.org of Trust In This In Focus: Issue:How We Start to Break a New the Regular Deadlock Section in the South Profiling China Asian SeaCountries in Taiwan
See our redesigned In This website, Issue: Our www.globalasia.org, New Section Focusing for analysis, on Asia's debates, Less Prominent archives and Nations more
In This In Focus: Issue:How We Start to Break a New the Regular Deadlock Section in the South Profiling China Asian SeaCountries in Taiwan
See our redesigned In This website, Issue: Our www.globalasia.org, New Section Focusing for analysis, on Asia's debates, Less Prominent archives and Nations more
In This In Focus: Issue:How We Start to Break a New the Regular Deadlock Section in the South Profiling China Asian SeaCountries in Taiwan
See our redesigned In This website, Issue: Our www.globalasia.org, New Section Focusing for analysis, on Asia's debates, Less Prominent archives and Nations more
In This In Focus: Issue:How We Start to Break a New the Regular Deadlock Section in the South Profiling China Asian SeaCountries in Taiwan
See our redesigned In This website, Issue: Our www.globalasia.org, New Section Focusing for analysis, on Asia's debates, Less Prominent archives and Nations more
In In This Focus: Issue: Asian We Nations Start a New in the Regular Race toSection Get a Share Profiling of the Asian Arctic Countries in Taiwan In In This Focus: Issue: Asian We Nations Start a New in the Regular Race toSection Get a Share Profiling of the Asian Arctic Countries in Taiwan
In In This Focus: Issue: Asian We Nations Start a New in the Regular Race toSection Get a Share Profiling of the Asian Arctic Countries in Taiwan In In This Focus: Issue: Asian We Nations Start a New in the Regular Race toSection Get a Share Profiling of the Asian Arctic Countries in Taiwan
Find to online edition at Have you tried our print tabletor edition yet? Download our app free on Find out out more more and and subscribe subscribe to our our print or online edition at globalasia.org globalasia.org iPad from Apple’s App Store or on Android from the Google Play Find out more and subscribe to our print or online edition at globalasia.org Have you tried our tablet edition yet? Download ourper app free on Find out more and subscribe to our print or online edition globalasia.org store.you Subscribe just $19.99 per year orat $5.99 Have tried ourfrom tablet edition yet? Download our appissue. free on
Kim Won-il The House with a Sunken Courtyard
Lee Ki-ho At Least We Can Apologize
Yi Kwang-su The Soil
Park Wan-suh Lonesome You: Stories
Jang Eun-jin No One Writes Back
We Help Asia Speak to the World We Help Asia Speak to the World and the World Speak to Asia. and the World Speak to Asia.
Ad for Koreana 277x280 Mar 2014.indd 1
Ad for Koreana 277x280 Mar 2014.indd 1 Ad for Koreana 277x280 Mar 2014.indd 1 THE US REBALANCING TOWARD ASIA: ESSAYS BY
Patrick M. Cronin, Michael McDevitt, Wu Xinbo, Donald K. Emmerson, Malcolm Fraser, Richard A. Bitzinger, Kang Choi & Noboru Yamaguchi
PLUS
By Pavin Chachavalpongpun
Georgiy Voloshin China as a Stabilizer in Central Asia Ramesh Thakur The New Great Game in Afghanistan Tridivesh Singh Maini & Manish Vaid The Emerging Role of Indo-Pakistan Border States Young-hoon Lee Economic Reform in North Korea Peter Hayes A Breakthrough Six-Party Summit in 2013? Asger Røjle Christensen Japan’s Abduction Saga Book Reviews by David C. Kang, Börje Ljunggren & John Delury
THE US REBALANCING TOWARD ASIA: ESSAYS BY
PLUS
CREATING A NEW WORLD OF SOCIAL ENTERPRISES
Reflections by Won-soon Park & Tae-won Chey DRAWING A LINE IN THE SOUTH CHINA SEA
By Nguyen Manh Hung
BURMA IN THE ASEAN CHAIR IN 2014, AT LAST
Patrick M. Cronin, Michael McDevitt, Wu Xinbo, Donald K. Emmerson, Malcolm Fraser, Richard A. Bitzinger, Kang Choi & Noboru Yamaguchi
Georgiy Voloshin China as a Stabilizer in Central Asia Ramesh Thakur The New Great Game in Afghanistan US$15.00 Tridivesh Singh Maini & Manish Vaid W15,000 The Emerging Role of Indo-Pakistan Border States CREATING A NEW WORLD OF SOCIAL ENTERPRISES A JOURNAL OF THE EAST ASIA FOUNDATION | WWW.GLOBALASIA.ORG | VOLUME 7, NUMBER 4, WINTER 2012 Reflections by Won-soon Park & Tae-won Chey Young-hoon Lee Economic Reform in North Korea Peter Hayes A Breakthrough Six-Party Summit in 2013? DRAWING A LINE IN THE SOUTH CHINA SEA By Nguyen Manh Hung Asger Røjle Christensen Japan’s Abduction Saga BURMA IN THE ASEAN CHAIR IN 2014, AT LAST Book Reviews by David C. Kang, Börje Ljunggren & John Delury By Pavin Chachavalpongpun
The US ‘Pivot’ to Asia
Ad for Koreana 277x280 Mar 2014.indd 1 Is It Just About Ad for Koreana 277x280 Mar 2014.indd 1 Containing China?
iPad from Apple’s App Store or on Android from the Google Play iPad from Apple’s App Store or on Android from the Google Play store. Subscribe from just $19.99 per year or $5.99 per issue. store. Subscribe from just $19.99 per year or $5.99 per issue. Have Have you you tried tried our our tablet tablet edition edition yet? yet? Download Download our our app app free free on on iPad from Apple’s App Store or on Android from the Google Play Have you tried our App tablet edition Download our Google app freePlay on iPad from Apple’s Store or onyet? Android from the store. Subscribe just $19.99 per year $5.99 Have you tried ourfrom tablet edition Download ourper appissue. freePlay on iPad from Apple’s App Store or onyet? Android from the Google store. Subscribe from just $19.99 per year or or $5.99 per issue. iPad from Apple’sfrom App just Store or on per Android from theper Google store. Subscribe $19.99 year or $5.99 issue.Play store. Subscribe from just $19.99 per year or $5.99 per issue.
RISKS & OPPORTUNITIES FOR ASIA’S NEW LEADERS: ESSAYS BY
Gilbert Rozman, Takashi Inoguchi, David Shambaugh, Joon Hyung Kim, Haksoon Paik, Leon V. Sigal, Jonathan Berkshire Miller & Lilia Shevtsova
THE TPP AND THE QUEST FOR EAST ASIAN REGIONALISM
By Inkyo Cheong
THE DEBATE: IS THE TPP AIMED AT THWARTING CHINA?
PLUS
Jennifer Lind Beware the Tomb of the Known Soldier
Shalendra D. Sharma From Meltdown to Bounceback: How South Korea Weathered the 2008 Financial Crisis
Saroj Kumar Rath Drugs in India Are a Security Threat
In Focus: Taiwan Wu Yu-shan, Chen Tain-jy & Chu Yun-han
ASSESSING A CODE OF CONDUCT FOR THE SOUTH CHINA SEA
Book Reviews by John Delury and Taehwan Kim
By Mark J. Valencia
RISKS & OPPORTUNITIES FOR ASIA’S NEW LEADERS: ESSAYS BY
Gilbert Rozman, Takashi Inoguchi, David Shambaugh, Joon Hyung Kim, Haksoon Paik, Leon V. Sigal, Jonathan Berkshire Miller & Lilia Shevtsova
We now have an iPad and Android tablet edition! PLUS See p.5 Jennifer Lind Beware the Tomb of the Known Soldier
Shalendra D. Sharma From Meltdown to Bounceback: US$15.00 How South Korea Weathered the 2008 Financial W15,000 Crisis
THE TPP AND THE QUEST FOR EAST ASIAN REGIONALISM | Will Andy Yee When Japan8, Tap Its Internet Potential? A JOURNAL OF THE EAST ASIA FOUNDATION | WWW.GLOBALASIA.ORG VOLUME NUMBER 1, SPRING 2013
By Inkyo Cheong
THE DEBATE: IS THE TPP AIMED AT THWARTING CHINA?
Saroj Kumar Rath Drugs in India Are a Security Threat
Wang Yong Squares Off Against Takashi Terada
In Focus: Taiwan Wu Yu-shan, Chen Tain-jy & Chu Yun-han
ASSESSING A CODE OF CONDUCT FOR THE SOUTH CHINA SEA
Book Reviews by John Delury and Taehwan Kim
By Mark J. Valencia
We now have an iPad and Android tablet edition! See p.5
US$15.00 W15,000
US$15.00 W15,000
A JOURNAL OF THE EAST ASIA FOUNDATION | WWW.GLOBALASIA.ORG | VOLUME 7, NUMBER 4, WINTER 2012
A JOURNAL OF THE EAST ASIA FOUNDATION | WWW.GLOBALASIA.ORG | VOLUME 8, NUMBER 1, SPRING 2013
The US ‘Pivot’
INDONESIA AND THE CHALLENGES OF GROWTH: ESSAYS BY
Andy Yee When Will Japan Tap Its Internet Potential?
Wang Yong Squares Off Against Takashi Terada
Inside our latest issue: Inside our
Dewi Fortuna Anwar, Stephen Norris, James Castle, A. Lin Neumann, Erry R. Hardjapamekas and Adil W. Surowidjojo & Syed Farid Alatas
CHINA’S NEW AIR ZONE AND THE EAST CHINA SEA DISPUTES
By Mark J. Valencia INDONESIA AND THE CHALLENGES OF GROWTH: ESSAYS BY Dewi FortunaPLAN Anwar, James Castle, WILL JAPAN’S TOStephen EXERCISENorris, ITS COLLECTIVE A. Lin Neumann, ErryMAKE R. Hardjapamekas SELF-DEFENSE RIGHT ASIA MORE ORand LESS SECURE? Adil W. Surowidjojo & Off Syed Farid Alatas Gui Yongtao Squares Against Yuichi Hosoya CHINA’S NEW AIR ZONE AND THE EAST CHINA SEA DISPUTES
By Mark J. Valencia
WILL JAPAN’S PLAN TO EXERCISE ITS COLLECTIVE SELF-DEFENSE RIGHT MAKE ASIA MORE OR LESS SECURE?
Gui Yongtao Squares Off Against Yuichi Hosoya
PLUS
Jonathan Berkshire Miller Politics Continues to Chill Japan-South Korea Relations Andy Ye Why Taiwan’s ICT Sector Needs a New Model Pavin Chachavalpongpun Western Pragmatism Trumps Human Security Concerns in Myanmar PLUSEvans The Passing of Robert Scalapino, Kim Kyung Paul Jonathan BerkshireTadashi Miller Politics Continues to Chill Won and Yamamoto Japan-South Korea Relations Book Reviews by Samuel S. Kim Andy Why Taiwan’s ICT Sector NeedsHave a New Model & JohnYeDelury you tried Trumps Pavin Chachavalpongpun Western Pragmatism our iPad or Human Security Concerns in Myanmar Android tablet Paul Evans The Passing of Robert Scalapino, Kim Kyung editions? See p.107 Won and Yamamoto Tadashi Book Reviews by Samuel S. Kim Have US$15.00 & John Delury you tried W15,000
3/10/1
3/10/1 3/10/1
3/10/1 3/10/1
frÜ h jah r 2014
Koreanische Kultur und Kunst
Vom offenen Hafen zum Flughafen Nr. 1
Jahrgang 9, Nr. 1
Incheon: Koreas Haupttor zur Welt
frÜh j ah r 2014
Spezial
Incheon Koreas Haupttor zur Welt
Die Stadt, wo innere und äußere Einflüsse zusammentreffen; Die Geschichte von Incheon
www.koreana.or.kr
Jahrgang 9, Nr. 1
ISSN 1975-0617