2
dari
Redaksi DEWAN PEMBINA: Cosmas Batubara, Siswono Yudho Husodo, Akbar Tandjung, Theo Sambuaga, Erna Witoelar, M. Yusuf Asy’ari, Suharso Monoarfa, Djoko Kirmanto DEWAN PENASEHAT: Menteri Negara Perencanaan Pembangunan/ Ka.Bappenas, Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Menteri Agraria dan Tata Ruang/Ka.BPN, Direksi Perum Perumnas, DPP REI DPP APERSI, DPP AP2ERSI PIMPINAN UMUM/USAHA/ PENANGGUNG JAWAB: WAKIL PIMPINAN UMUM: Ali Tranghanda WAKIL PIMPINAN USAHA: Endang Kawidjaja, Djaja Roeslim, Soelaiman Soemawinata, Muhammad Nawir, Ferry Sandiyana SEKRETARIS PIMPINAN UMUM/USAHA: REDAKS AHLI: Kemal Taruc, Budi Prayitno, Harun Al Rasyid Lubis, Jehansyah Siregar, Oswar M Mungkasa, Nugroho Tri Utomo, Lukman Hakim, Herry Eko PIMPINAN REDAKI: Muhammad Joni REDAKTUR: Rudy Nandar, Erfendi E.P, Nursalim, Aan KONSULTAN HUKUM: ARTISTIK & KOORDINASI PRODUKSI: Agus Sumarno MANAJER IKLAN & KEUANGAN: ADMINISTRASI & UMUM: Deny Kusnadi DITERBITKAN OLEH: PT. HUDMAGZ Indonesia Diterbitkan oleh: PT. HUDMAGZ Indonesia Alamat Redaksi: Jln. Arya Putra No. 14A, Ciputat-Tangerang Website: hudindonesia.org Email: lpp3hudjkt@gmail.com hudmagz@gmail.com Redaksi menerima kiriman naskah dengan panjang tulisan maksimal 1.600 kata, melalui hudmagz@gmail. com, disertai data diri. Redaksi berhak melakukan perubahan naskah tanpa mengubah isi.
Edisi 5 - 2015
“Dari Rumah Negeri Digenah”
M
ajelis pembaca pasti setuju, sudah takdir manusia menempati ruang dan menghuni rumah. Selain makhluk sosial, manusia adalah “makhluk bermukim” yang memiliki tempat menetap. Kita membutuhkan hunian layak untuk bermukim: rumah! Mengisi ruang dan menghuni rumah tempat menetap itu peradaban yang manusiawi dan logis. Hukum memang logis. Hukum bertujuan memanusia sebagai manusia, dan dibuat untuk manusia. Kelop, jika bermukim menjadi hak konstitusi, hak asasi manusia (HAM), dan hak dasar. Kua konstitusi, hak bermukim bagi seluruh rakyat (for all) dijamin Pasal 28H ayat (1) UUD 1945. Lebih teknis-normatif, diatur UU HAM, pun demikian UU Perumahan dan Kawasan Permukiman (UU PKP) dan UU Rumah Susun (UU Rusun). Majelis pembaca yang bersemangat. Pembangunan perumahan rakyat tidak sekadar idem ditto membangun fisik rumah. Tak mesti memiliki namun bisa saja menikmati dan menghuni. Namun negara mesti hadir menggiatkan kesejahteraan rakyat dimulai dari rumah. Tak semua disiapkan dengan skim rumah formal, malah rumah swadaya paling utama kuantitasnya. Angkanya lebih 71%. Kua-UU PKP, kewajiban, tanggungjawab dan wewenang pemerintah memenuhi perumahan rakyat. Itu menjadi alibi yuridis membantah satir-alegoris “negara penjaga malam”. Karenanya, urusan perumahan rakyat adalah kepentingan publik. “Pemerintah wajib memenuhi kebutuhan rumah bagi MBR “, titah Pasal 54 ayat (1) UU PKP. Bahkan wajib memberi kemudahan dan bantuan bagi MBR. Tepat, kebijakan Pemerintah ihwal pembangunan Sejuta Rumah bagi rakyat, walaupun bukan hanya MBR saja tetapi juga warga miskin. Mestinya tidak hanya via rumah formal saja namun menyentuh rumah swadaya yang menyumbang signifikan. Mengapa? Itu dorongan kodrati “makhluk menghuni”. Pembangunan Sejuta Rumah itu kompatibel dengan Nawacita, visi Presiden Joko Widodo. Nun di hadapan, tantangan tidak sederhana. Laju angka defisit rumah atau backlog harus direm, belum lagi kawasan kumuh dan rumah tidak layak huni yang masih meluas. Konsolidasi tanah belum menjadi pilihan andalan. Apapun, pembangunan Sejuta Rumah harus didukung. Penggabungan portofolio perumahan rakyat dan pekerjaan umum, titik api peluang lebih lincah merumahkan rakyat berasaskan kerakyatan. Kebijakan bisa dioptimalkan, koordinasi lebih ringkas, anggaran lebih jumbo, tindakan lebih lekas dikerjakan, dan partisipasi rakyat digiatkan. Pantang surut ke belakang, tantangan klasik dan terbesar pembangunan Sejuta Rumah tidak menurunkan tekad. Tantangan kelangkaan tanah dan kapitalisasi nilai tanah menjadi biang abadi alasan menaikkan harga rumah bersubsidi. Seakan tersandera oleh cara kerja pasar tanah yang tidak rasional. Pemerintah patut segerakan bank tanah (land bank) dan mengelolanya secara cerdas dan bijak. Insya Allah, bisa mengerem eskalasi harga tanah. Regulasi dan skimnya sudah diatur UU PKP. Bahkan jurus menggarap MBR informal yang dibilang tidak bankable, bisa diatasi denghan skim pembiayaan pemerintah dan pembiayaan berbasis komunitas. Warga di luar sistem perbankan itu, meminjam Hernando de Soto, memiliki kapital yang masih tersembunyi. Masih mistery of capital, yang bertenaga jika dipicu gerakkan. Pun demikian, postulat HUD Institute mengenai 5 (lima) komponen dasar hak bermukim harus menjadi area intervensi pemerintah. Selain penyediaan tanah, kompenen dasar lain adalah tata ruang, infrastruktur dasar, bangunan rumah dan bahan bangunan strategis, dan pembiayaan perumahan. Lima komponen dasar itu harus menjadi kebijakan, tindakan, perlindungan dan affirmative action Pemerintah, termasuk Bank Indonesia (BI). Syukur, kabar gembira datang dengan kebijakan Bantuan Uang Muka (BUM) sebesar Rp.4 juta, penurunan uang muka bunga KPR dari 5% menjadi menjadi 1%, pemangkasan bunga kredit FLPP dari 7,25% flat 20 tahun menjadi hanya 5% per tahun. Publik menunggu rentetan kabar gembira lain ihwal penyediaan tanah dengan pembentukan bank tanah, revitalisasi aturan hunian berimbang, revitalisasi Kasiba-Lisiba, dan optimalisasi tanah milik pemerintah dan pemerintah daerah, BUMN dan BUMD serta tanah terlantar. Penting memastikan tata ruang untuk perumahan rakyat, pembangunan infrastruktur menjadi trigger perumahan rakyat, relaksasi dan inovasi pembiayaan perumahan rakyat, dan digenapkan dengan penyediaan bahan bangunan strategis pro MBR. Majelis Pembaca, sajian HUD Magz di tangan anda adalah ikhtiar menggelar informasi, analisis, pendapat, kritik dan ragam materi ihwal pembangunan Sejuta Rumah. Dari rumah negeri digenah. (Muhammad Joni)
3
Sapaan Pembaca
Redaksi HUDMagz:
Bpk./ ibu, kami minta informasi bagaimana mendapatkan majalah Hudmagz ? Apakah majalah Hudmagz terbit bulanan ? Mohon infonya, terimakasih banyak. hormat kami, Hanadi Hanadi Rahardja rahardja.hanadi@yahoo.com
Dear Redaksi Hudmgz,
Salam kenal, nama saya Budi Santoso dari Paramount Enterprise, salah satu pengembang real estate di Gading Serpong. Melalui email ini, saya ingin menanyakan mengenai cara berlangganan majalah hudmagz ataupun cara mendapatkan informasi mengenai seminar/training property yang akan diadakan. Terima kasih. Budi Santoso Budi.Santoso@paramountenterprise.co.id
Best Regards,
Zainab Abdul Rahman zainababdulrahman21@hotmail.com Apakah Anda menerima email saya dikirim kepada Anda? Did you receive the email i sent to you?
Dear Redaksi Majalah HUD,
Saya ucapkan selamat atas terbitnya HUD Magz. Semoga selalu dapat memberikan informasi aktual dan gamblang mengenai perumahan, infrastruktur dan Pembangunan perkotaan. Bersama ini saya kirimkan pendapat saya mengenai artikel Desentralisasi dan Otonomi Daerah yang dimuat di pada edisi 3 Bulan Maret 2013. Semoga bermanfaat. Terima kasih.. Fany Wedahuditama fanyweda@gmail.com
4
Salam kenal
Saya Rossa mewakili Iradio Jakarta,bila berkenan membantu Saya ingin minta contact person bapak Ir.Zulfi Syarif Koto. Rencananya sih bila beliau berkenan,kami ingin mengundang wawancara ringan membahas hal seputar tata kota dan pembangunan perumahan. Kupasan ringan juga tentang Usaha yang beliau jalankan saat ini. Terima kasih atas bantuannya. Rossa-Purchasing Sarinah Bldg 8fl,MH.Thamrin st Kav.11 Jakarta-10350 Phone/Fax: 021-39832193/3903532 email:rossa@mramedia.com
Kepada yth. Redaksi Majalah HUDmagz
Kami dari kantor HRC ingin menanyakan: Bagaimana cara mendapatkan majalah HUDmagz edisi 1dan 2? terima kasih Della Housing Resource Center [HRC] Abhiseka Building 2nd Floor Jl. Ipda Tut Harsono No 26 Yogyakarta T/F. +62.274.555 185 www.hrcjogja.org
Yth. Majalah HUD
Terlampir tulisan saya sebagai informasi tentang Adiupaya Puritama, penghargaan dari Kementerian Perumahan Rakyat. Saya ditugaskan oleh HUD dalam hal ini Pak Zulfi S. Koto untuk membantu sebagai anggota tim Verifikator sejak tahun 2011 sd. 2014. Latar belakang saya adalah PNS yang telah pensiun pada tahun 2009 dari Kemenpera, Pendidikan saya adalah Arsitek dan Manajemen Perkotaan. Tulisan ini dikirimkan sebagai akhir dari Nomenklatur Kementerian Perumahan Rakyat. Saya mengharap seluruh data pribadi saya hanya untuk redaksi dan tidak untuk dipublikasikan. Terima kasih bila artikel saya dapat masuk dalam majalah HUD. Salam. Tintin Agustini tintinagustini@gmail.com
Daftar Isi
Edisi 5 - 2015 Edisi 5 - 2015 Pendapat
Dari Redaksi ......................................................... Sapaan Pembaca.................................................... Daftar Isi ............................................................... Sekapur Sirih......................................................... Laporan Utama
3 4 5 6
“Bekerja Merumahkan Rakyat”, Apa Jurus Sejuta?........................................ 7 Merumahkan Rakyat, (Jangan Bimbang) Itu Kewajiban Negara..................................13 Wawancara Andrinof Chaniago, Menteri PPN/Kepala Bappenas “Kuncinya di Penguasaan Tanah oleh Negara” ..16 Basuki Hadimuljono, Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat “Saya Senang Dikritik Supaya Tidak Dibohongi Anak Buah”...............................................................19 Maryono, Direktur Utama PT Bank Tabungan Negara Tbk. BTN, Lokomotif Pembiayaan Program Sejuta Rumah.......................................................................22 Himawan Arief Sugoto, Direktur Utama Perum Perumnas Tupoksi Perumnas Tetap, Membangun Rumah Bagi MBR.............................. 23 Raharjo Adisusanto, Presiden Direktur PT Sarana Multigriya Financial SMF, Juragannya Lembaga Penyalur KPR........................................................... 25 Chavidz Ma’ruf, PT. Propernas Griya Utama Bangun Rusunami untuk Program Sejuta Rumah........................................... 28 Enam Tanya Kepada “Kang DN” (Bupati Bandung) tentang Pemenuhan Hunian Rakyat................................................................... 29 Ahmed Zaki Iskandar, B.Bus., SE, Bupati Kabupaten Tangerang Kabupaten Tangerang, Berandanya Indonesia.................................................. 31 Kota Wisata Batu Bangun Rumah Tanpa Program Perumahan.....................32
Testimoni.
Pemangku Kepentingan........................................................................................ 34 Sejuta Rumah, Dimata Pengusaha....................................................................... 36 Jangan Bermimpi Bangun Rumah MBR, jika Kebijakannya Tidak Konsisten..................................................................................................... 37
Tulisan Khusus
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2015-2019 Bidang Perumahan............................................................... 39 Penyelenggaraan Pembangunan Perumahan, Permukiman dan Perkotaan................................................................................. 41
Segmen
Menuju Jati Diri Metropolitan Batam Mencari City Branding Batam......... 45 Menuju Metropolitan Batam Tinjauan Aspek Pengelolaan Perkotaan......... 47
“Strategi Merumahkan Rakyat: Meningkatkan Pasokan, Memampukan Akses”........................................................................................... 50 Menggapai Langit Lupa Landasan....................................................................... 54 Perencanaan, Pelaksanaan dan Pengendalian Pembangunan Perumahan Rakyat................................................................................................ 60 Save Perumahan MBR dan Program Sejuta Rumah........................................ 65 Dari Bank Tanah Menuju Kota yang Inklusif.............................................70 Revitalisasi Kasiba: Mendorong Perumahan Umum atau tetap Memfasilitasi Perumahan Komersial?..............................................73 Penataan Ruang Perkotaan: Menjamin Hak Bermukim bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah......................75 Sinkronisasi Kepranataan Perumahan Rakyat di Era Otonomi Daerah..... 77 Penyiapan Sumberdaya Manusia dalam Pembangunan Permukiman dan Perumahan, Keniscayaan yang Terabaikan......................................................... 80 Penguatan Peran Perumnas sebagai National Housing and Urban Development Corporation (NHUDC)...................................................... 82 Pengelolaan Pembangunan di Daerah: Profesionalisme atau ala Kadarnya?.......................................................................................................... 84
Konsep.
Tanah Wakaf untuk Perumahan Rakyat............................................................. 90 . Petarung (Pemuda Tata Ruang)...............93
Agenda
Hari Bumi dan Hari Lingkungan Hidup........ 94 Hari Air Dunia 22 Maret 2015 “Water and Sustainable Development” “Air dan Pembangunan Berkelanjutan”............................................................ 95 Puncak Peringatan HUT REI ke-43 di Pontianak “Bersatu Menapak Indonesia Baru”.................................................................. 96 Dua Menteri Kabinet Kerja Hadiri Peringatan HUD Institute Ke-4........... 97
Serba Serbi
5 Kota Terbersih di Dunia 2015...................98 10 Kota Termacet Dunia................................99
Hukum
Bank Tanah untuk Perumahan Rakyat............................................................. 101
Info Buku
Bank Tanah............................................................................................................. 105
Info Regulasi
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah......... 104
Situs........................................................................ 105 5
Sekapur Sirih
5 KDHB Ihwal Program Sejuta Rumah:
“Jangan ke Langit Lupa Landasan” Zulfi Syarif Koto, Pemimpin Umum/Penanggung jawab
A
pa syarat penting keselamatan penerbangan sipil? Landasan pacu yang panjang, kuat dan bermutu, itu salah satunya menurut ICAO, organisasi penerbangan sipil internasional. Pun demikian perumahan rakyat dengan titel program sejuta rumah, pentingkanlah landasan kuat dan bermutu. Terbang tinggi promosi program sejuta rumah sudah membahana, dan efektif menggeliatkan stakeholder perumahan rakyat dari segala penjuru mata angin, apakah sektor pemerintah maupun nonpemerintah. Gema promosi sejuta rumah sudah “take off” di jagat nasional, bahkan menarik minat pelaku pembiayaan internasional. Menurut HUD Institute, ada 3 (tiga) problem utama perumahan rakyat: (1) backlog (2) kawasan kumuh (Sanmuh) (3) rumah tidak layak huni (RTLH). Syukurlah, kabar gembira jurus pembiayaan “pola 5-4-1” sudah diwartakan ke haribaan publik. Pemerintah menggiatkan kebijakan FLPP dengan menurunkan suku bunga menjadi 5%, subsidi uang muka Rp 4 juta, dan bantuan uang muka 1%. Setuju atau tidak, pembiayaan “pola 5-4-1” itu untuk mengecilkan senjangnya daya beli dan daya cicil kaum masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) dengan eskalasi harga rumah di pasar di tengah sengkarut angka backlog yang tinggi. Mengatasi backlog, pembiayaan “pola 5-4-1” itu kebijakan yang progresif. Komponen pembiayaan perumahan itu tak berarti tanpa disertai 4 komponen dasar lain. Mengatasi Sanmuh, diluncurkan kebijakan/program 100-0-100 pengentasan kawasan kumuh yang terhubung program sejuta rumah, patut diberi acungan jempol menjulang. Penting mengintegrasikan infrastruktur dasar sebagai komponen dasar berikutnya. Namun, mengatasi RTLH belum bergema program “Aladin” (atap,lantai, dinding) yang mesti berbasis komunitas dan melibatkan peranserta/swadaya masyarakat. Lagi pula, belum nampak kemajuan penyediaan tanah untuk perumahan rakyat. Pembentukan bank tanah masih di atas kertas perencanaan jangka panjang. Pembaca sudah maklum, kapitalisasi tanah yang tidak rasional berimbas mahalnya harga rumah subsidi. HUD Magz di tangan pembaca melaporkan rata-rata kenaikan harga tanah 36% per tahun. Disarankan, bank tanah tak hanya penyedia tanah, namun patut diberikan hak prioritas membeli tanah (preemption rights). Pun demikian tata ruang kerap diutak atik “warna”nya sehingga kepastian tata ruang gampang goyah. Ihwal tata ruang ini tak terelakkan bagi program sejuta rumah, dan perlu digandeng erat dengan jurus pembiayaan “pola 5-4-1”. Integrasi infrastruktur “program 100-0-100” mengatasi Sanmuh dengan program sejuta rumah rakyat, plus program ”Aladin” berbasis komunitas, diyakini semakin lekas sejak portfolio perumahan rakyat sebagai tugas dan wewenang Menteri PU dan PR. Menggenapi itu, ihwal bangunan rumah itu merupakan komponen yang kelima bersama dengan komponen: tata ruang, penyediaan tanah, infrastruktur dasar dan pembiayaan. Namun, belum ada jurus jitu ihwal penyediaan bahan bangunan strategis seperti subsidi “semen rakyat”, padahal bahan baku semen dikeruk dari perut bumi Indonesia. Kalau ada subsidi pupuk untuk petani, mengapa tidak subsidi “semen rakyat” dan bahan bangunan strategis lain? Pengembangan 5 (lima) komponen dasar hak bermukim (sebut saja “KDHB”) itu, yakni tata ruang, penyediaan tanah, infrastruktur dasar, pembiayaan dan bangunan rumah, menurut kajian HUD Institute merupakan landasan pacu yang perlu dikembangkan terus menerus. Dengan 5 KDHB itu pula, hambatan perumahan rakyat menemukan pola untuk dilakoni. Dengan tata ruang dan penyediaan tanah, diyakini harga rumah rakyat dapat ditekan. Dengan jurus pembiayaan pro MBR, daya beli dan daya cicil meningkat dan pasokan rumah bersubsidi lekas terserap MBR, termasuk MBR informal. Bisa dirancang skim kreditur primer dan sekunder berbasis kelompok untuk MBR informal penerima KPR bersubsidi. Dengan 5 KDHB itu, program sejuta rumah dapat menjelajah sebagai pendekatan mengatasi darurat perumahan rakyat. Namun tidak boleh melupakan soal utama, yakni menjejakkan program yang dirancang dan jargon kebijakan yang dirumuskan menjadi kenyataan. Untuk maksud itu, HUD Institute menawarkan 3 (tiga) strategi: Regulasi, Konsolidasi, dan Subsidi-Fasilitasi (sebut saja “strategi RKS”). Program sejuta rumah mutlak memerlukan legalitas formal dengan penyerasian regulasi. Konsolidasi mutlak dilakukan pemimpin untuk menghimpun sumberdaya dan mematuhi arahan sang “konduktor” yang disiplin pada perhimpunan notasi, termasuk mencegah friksi dan kerjasama tak harmoni. Subsidi-Fasilitasi yang diberikan pada MBR sebagai kepatuhan pemerintah atas amanat konstitusi dan aturan UU PKP yang menerakan 8 (delapan) anasir wajib kemudahan dan atau bantuan untuk MBR versi Pasal 54 ayat (3) UU PKP. Dengan 5 KDHB dan 3 Strategi RKS, HUD Institute dan HUD Magz mengambil peran tulus menyukseskan program sejuta rumah. Ihtiar sederhana untuk gagasan besar menyediakan rumah bagi “makhluk bermukim”.
6
Laporan Utama Edisi 5 - 2015
“Bekerja
Merumahkan Rakyat”, Apa Jurus Sejuta?
L
aksamana Cheng Ho memimpin tujuh ekspedisi bahari terbesar dalam sejarah. Dari ‘kapal pusaka’ berukuran lima kali lebih besar dari kapal Columbus, Cheng Ho menaklukkan jagat bahari berbekal 27.000 anak buah kapal dan 307 (armada) kapal. Cheng Ho mewariskan Peta Navigasi Cheng Ho penaklukkan samudera. Tatkala menelusuri pantai utara Jawa, Wang Jinghong (orang kedua armada Cheng Ho) mendadak sakit. Wang turun di pantai Simongan, Semarang dan menetap di sebuah gua sebagai tangsi sementara. Sepuluh hari kemudian, Cheng Ho melanjutkan perjalanan ke Tuban, meninggalkan 10 awak kapal mengawal Wang. Sembuh di situ, Wang dan anak buahnya membuka lahan dan membuat rumah. Mereka membangun hunian tempat tinggal. Jejak Cheng Ho mengajarkan ihwal permukiman sekaligus seni arsitektur. Jejak historis itu juga mewariskan navigasi takdir manusia sebagai “makhluk bermukim” Colin Imber penulis buku “Kerajaan Ottoman” mencatat tahun 1071 sultan Seljuk yang Agung mengalahkan Kaisar Byantium di Manikert (sebelah timur Anatolia). Bangsa Turki yang semula hidup seminomaden dengan mengembala ternak, berangsur berangsur membuat tempat menetap di pedesaan. Meninggalkan kehidupan mengembala ternak dan menetap di permukiman. Sekali lagi, terbukti manusia “makhluk bermukim”. Dalam sejarah kebudayaan orde mana dan dimanapun, komunitas senantiasa bertemali dengan hunian tempat menetap dan membuat rumah sebagai citra peradaban. Menghuni tempat tinggal adalah kebutuhan kodrati manusia. Tak usah heran jika dalam konstitusi ditaruh hak bertempat tinggal sebagai hak konstitusional yang wajib dipenuhi Negara. Sebagai kebutuhan dasar, logis jika rumah hunian yang diswa-
SUMBER FOTO: ISTIMEWA
dayakan sendiri memiliki akar tunggang sosio-kultural yang bertenaga, dengan atau tanpa intervensi Pemerintah. Era moderen masa kini, ihwal perumahan rakyat bertemali problematika yang kompleks. Kondisinya menggelisahkan karena kekurangan pasokan rumah atau backlog. Selain sengkarut backlog, masih banyak warga tidur di kolong jembatan, menghuni pinggir kali dan rel kereta atau kawasan kumuh dan terpaksa menjadi tuna wisma di perkotaan. Data Indikator Perumahan dan Kesehatan dari BPS tahun 2011, ada 3,4 juta unit rumah tidak layak huni. Menurut data yang dirujuk pemerintah, kawasan kumuh di Indonesia seluas 38.431 hektar. Ditargetkan kawasan kumuh bisa dientaskan seluas 7.600 hektar setiap tahun sehingga kawasan kumul nol persen tahun 2019. Diwartakan, pemerintah menyiapkan dana Rp.384 triliun. Jurus merentapkan kawasan kumuh itu diintegrasikan dengan penyediaan rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) mengatasi backlog. Tercatat defisit rumah alias backlog mencapai 13,6 juta unit, malah ada prediksi backlog sudah 15 juta unit. Kalau diasumsikan produksi rumah 200 ribu per tahun, diperlukan waktu 68 tahun mengatasi 13,6 juta backlog. Satu generasi. Kondisinya sudah darurat perumahan rakyat, demikian Budi Prayitno, Kepala Pusat Kajian Kebijakan Perumahan Rakyat Universitas Gajah Mada. Darurat perumahan rakyat disebabkan tiga hal krusial: angka defisit semakin membengkak, kawasan permukiman kumuh kian meluas, diperparah dengan tata kelola yang masih carut marut di antara 19 kementerian atau lembaga yang terlibat. “Kebutuhan hunian sekitar 700.000-800.000 per tahun, hanya mampu dipenuhi tidak lebih dari 300.000 per tahun. Untuk mengejar laju kekurangan saja sangat sulit, apalagi menurunkan angka backlog”, tutur Budi Prayitno seperti diwartakan www.kompas.com
7
Laporan Utama Kini, tahun 2015 jagat perumahan rakyat tersiar kabar gembira. Portopolio perumahan rakyat yang bergabung Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat meluncurkan jurus Sejuta Rumah. Jurus apa? Akan ada pasokan sejuta rumah rakyat, utamanya untuk MBR yang membutuhkan intervensi dan subsidi Pemerintah. Walaupun program itu tidak melulu untuk MBR namun juga non MBR. Targetnya, 603.516 unit rumah MBR dan 396.484 unit rumah non MBR. Pencanangan program sejuta rumah itu tersebar pada 19 titik lokasi. Menurut sumber HUD Magz, kriteria lokasi ground breaking sudah disiapkan: lahan bersertifikat, memiliki IMB, siap bangun, memperoleh ijin-ijin, akses jalan. Pengembangnya? Disyaratkan anggota asosisasi pengembang, Perum Perumnas, Koperasi Pegawai Negeri, sudah bekerjasama dengan bank penyalur KPR-FLPP. Titik lokasi itu harus segera dipastikan, agar tidak menghambat kecepatan bekerja merumahkan MBR, apalagi ijinijin masih perumahan rakyat belum dirampingkan. Selain memastikan terbit ijin-ijin yang memakan waktu, penentuan titik lokasi mesti sesuai titik lokasi MBR yang membutuhkan. Jangan ada gap antara persediaan rumah (housing stock) dengan lokasi MBR. “Harus ada demand di kawasan terbangun”, terang pengembang rumah subsidi Endang Kawidjaya. Itu masih MBR, belum lagi kelompok sasaran informal yang belum terpetakan dan kerap tidak bankable. Namun tidak elok jika melupakan kelompok sasaran MBR informal dan kaum miskin papa, yang membutuhkan intervensi khusus dengan skim khusus. Caranya? “Perlu kebijakan penjaminan KPR oleh Pemerintah dan komunitas MBR informal dikelola kolektif ”, tutur Maryono Direktur Utama BTN. Merumahkan rakyat, apa lagi jurus yang digiatkan? Lewat program Sejuta Rumah, Pemerintah mengumumkan kebijakan anyar pembiayaan pro MBR. “Kita memberikan uang muka satu persen dari harga rumah, ditambah 4 juta rupiah cash untuk membantu membayar uang muka,” ungkap Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PU dan PR) Basuki Hadimulyono usai mengikuti rapat dengan Presiden Joko Widodo, awal Maret 2015. “Untuk mengatasi backlog, perlu penyediaan rumah subsidi bagi MBR”, ringkas Menteri PU dan PR kepada HUD Magz. Pemerintah juga menurunkan suku bunga KPR-FLPP dari 7% menjadi 5% agar makin menjangkau daya cicil MBR. Kelop, paket pembiayaan MBR itu ringkasnya sebut saja pembiayaan “pola 5-4-1” yakni bunga FLPP 5%, bantuan DP Rp 4 juta, dan bunga 1%. Kebijakan itu bagus dan tidak soal bagi perbankan dalam pembiayan perumahan rakyat. “Kami siap menyalurkan, dan
8
tidak perlu kebijakan khusus karena FLPP itu kredit subsidi”, jelas Maryono Direktur Utama BTN yang menakhodai bank fokus perumahan itu untuk periode kedua. Tercatat, setakat ini BTN unggul sebagai penyalur utama FLPP dengan market share kredit subsidi sekitar 95%. Bahkan, BTN sudah bertekat lebih maju melayani KPR bagi MBR dan sektor informal dengan edukasi dan perlindungan konsumen. Termasuk meningkatkan mutu sumberdaya dan kapasitas internal. “BTN memiliki keunggulan dari bank penyalur lain, kami memiliki kemampuan dan pengalaman panjang, market share terbesar, jaringan kerja yang kuat serta sistem IT dan skills sumberdaya kami”, tutur Maryono setakat wawancara khusus dengan HUD Magz yang didampingi Eko Waluyo, Sekretaris Perusahaan. Maryono menjelaskan, BTN berkomitmen menjangkau kelompok sasaran yang bekerja di sektor informal dengan skim jaminan pemerintah. Terkait kelompok sasaran sektor informal yang tidak bankable, Menteri Basuki Hadimulyono perhatian khusus. Menurutnya program rumah murah ini selain menggunakan sistem Kredit Perumahan Rakyat (KPR) melalui bank, juga memanfaatkan fasilitas kredit usaha rakyat (KUR). “Kita mau pakai sistem KUR untuk perumahan, sehingga bisa misalnya supir taksi, dia mampu tapi tidak punya akses bank karena tidak punya kolateralnya, tidak ada penjaminnya. Kita akan pakai itu sehingga lebih memperluas jangkauannya dari program ini,” sambung Menteri Basuki yang diakui mempunyai potensi permintaan tinggi. Menurut kalangan pengembang, perlu menggenjot sisi permintaan (demand) misalnya rusunami dengan skim sewa beli. Agar bisa menyerap pasokan rumah umum perlu menghimpun kelompok MBR informal secara kolektif atau berkelompok yang menjadi penjamin primer, atau bisa pula dalam koperasi perumahan MBR. “Menghimpun MBR informal dalam koperasi, itu salah satu cara yang kami diupayakan di Batam”, jelas Endang Kawidjaja Sekretaris Jenderal DPP APERSI kepada Muhammad Joni dari HUD Magz. Selain pendampingan dan asistensi, “Perlu diingat, ada biaya untuk menghimpun konsumen MBR informal agar terintegrasi ke dalam skim FLPP yang sudah ada”, lanjut Endang Kawidjaja. [Disajikan Grafis Program Sejuta Rumah]. Tekat membangun Sejuta Rumah diseriusi pertama-tama dengan menyiapkan pembiayaan jumbo. Ihwal klasik pembiayaan selalu melingkupi masalah perumahan rakyat, seakan sisi pasokan rumah dan pembiayaan memiliki relasi tunggal. Satu juta rumah rakyat akan meliputi 603.516 unit MBR yang akan dibangun dengan dana APBN Kementerian PUPR, maupun FLPP Kementerian Keuangan. Menurut sumber HUD Magz, sejuta rumah itu dengan komposisi: Pemerintah membangun 98.300 unit rumah, Perumnas (36.016), REI
Edisi 5 - 2015 (230.000), APERSI (15.000), ASPERI (18.000), BPJS Tenagakerja (35.400), Pemerintah Daearah (30.000). Program sejuta rumah ternyata mampu memobilisasi dana tidak kecil. Ini kemajuan yang patut diapresiasi. Dari alokasi APBN DIPA disiapkan membiayai sekitar 98 ribu unit rumah. Karena itu, perlu dilindungi dengan tata kelola yang baik dan payung hukum yang sahih mencegah bocornya keuangan negara. Perlu akuntabilitas dan transparansi dalam program sejuta rumah yang mengalokasikan dana jumbo. “Masyarakat dan media mesti kritis mengawasi, (kritik) itu perlu bagi jajaran saya”, ungkap Menteri PU dan PR kepada HUD Magz yang mengaku sebagai konduktor program sejuta rumah, mengambil tamsil grup musik simponi. Sumbernya dari BPJS Ketenagakerjaan sebesar Rp.48,5 triliun, BAPERTARUM (Rp.3,1 triliun), PT Taspen (Rp.2,0 triliun), Perum Perumnas (Rp.1,0 triliun), Kementerian PU dan PR (5,1 triliun) dan DIPA APBN 2015 (Rp. 8,1 triliun). Namun, dana jumbo itu perlu regulasi dan konsolidasi kebijakan, agar tidak menyisakan problematika kasus hukum dan manajemen. Perlu melibatkan sektor kementerian keuangan dan kementerian hukum dan HAM untuk mengurus harmonisasi regulasi sejuta rumah ini dan menghilangkan “ranjau-ranjau” pemicu moral hazard dan menimbulkan celah kerugian negara. Mengapa Pemerintah menyediakan dana jumbo? Karena kewajiban merumahkan rakyat itu kewajiban Pemerintah. Tak perlu diragukan, kua-konsitusi Pasal 28H ayat (1) UUD 1945 dan aturan hukum dalam UU No.1 Tahun 2011 tentang Permukiman dan Kawasan Permukiman (UU PKP) maupun UU Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun (UU Rusun), Pemerintah berkewajiban menyediakan perumahan rakyat baik rumah tapat maupun rumah susun bersubsidi. Sebagai Negara Kesejahteraan yang bukan “negara penjaga malam”, tidak menghendaki Pemerintah abai kebutuhan pokok rakyat, baik sandang, pangan dan papan. Tak perlu ungkit lagi validitas kewajiban dan tanggungjawab Pemerintah merumahkan rakyat. Itu sudah takdir bagi Pemerintah. Penjelasan soal ini diulas dalam Essay “Merumahkan Rakyat, (Jangan Bimbang) Itu Kewajiban Negara”. Sejuta Rumah Rakyat, Inilah Kiat Sang “Konduktor” Mampukah Pemerintah membangun target sejuta rumah? Itu pertanyaan yang mesti dijawab dengan sistem dan kiat jitu mengubah rencana muluk di atas kertas menjadi hasil kerja konkrit. Walau perlu anggaran jumbo meyediakan pasokan rumah guna mengatasi backlog, namun sisi pasokan mesti bertemu dengan sisi permintaan agar stok rumah terserap MBR. “Asal ada permintaan dan profit memadai, pengembang dapat mengikuti target produksi”, kata Endang Kawidjaja optimis. Yang pasti perlu intervensi pemerintah dalam skim pem-
biayaan untuk MBR dan tersedianya pasokan rumah MBR. “Pengembang anggota APERSI siap menyediakan pasokan rumah”, pungkas Endang Kawidjaja dari Delta Group itu. Pemerintah menyadari tidak bisa bekerja sendirian merumahkan rakyat namun melibatkan anasir asosiasi pengembang, Perumnas dan pelaku lainnya. Terbukti, Menteri PU dan PR sebagai “konduktor” yang memaduserasikan program sejuta rumah program sejuta rumah itu menjemput peran partisipatif asosiasi pengembang seperti REI dan APERSI. “Pengembang pejuang anggota APERSI siap lahir batin mendukung program sejuta rumah, namun perlu perbesar bantuan PSU dan pangkas perijinan”, tegas Anton R. Santoso Ketua Umum DPP APERSI. “Dengan bunga 5%, bantuan uang muka Rp.4 juta dan uang muka 1%, perlu menambah dana FLPP agar perbankan mampu mendukung program sejuta rumah”, lanjut Anton . Membangun rumah untuk rakyat bukan hanya untuk menyukseskan program 1 atau 2 tahun, namun menjadi kebijakan permanen selagi angka backlog dan permukiman kumuh masih kasat mata. Faktor terpenting suksesnya program sejuta rumah adalah kelembagaan. Penggabungan portopolio perumahan rakyat menjadi Kementerian PU dan PR mesti lebih lincah, kebijakan bisa dioptimalkan, koordinasi lebih ringkas, anggaran lebih jumbo,tindakan lebih lekas dikerjakan, dan partisipasi rakyat digiatkan. Menteri PU dan PR Basuki Hadimulyono yakin program sejuta rumah tidak sulit asal dilakukan dengan sinergi dan kerja bagus. Menteri Basuki mengaku perhatian besar Pemerintah untuk menyukseskan program sejuta rumah guna mengatasi backlog dan pengentasan kawasan kumuh berbasis pembangunan kawasan. “Saya sendiri sering ditelpon Wakil Presiden Jusuf Kala, beliau memberi arahan dan memonitor kemajuan program sejuta rumah”, demikian pengakuan Basuki Hadimulyono kepada tim redaksi HUD Magz yang mewawancarai di kantornya, 6 April 2015. Membangun rumah bukan hanya menyiapkan bangunan fisik, namun terintegrasi infrastruktur dasar untuk kawasan kumuh dan rumah layak huni. “Saya tidak akan menyetujui program perumahan jika tidak terintegrasikan dengan penanganan kawasan kumuh”, ungkap Menteri PU dan PR bersemangat. Apa konkrit kebijakannya? “Perumahan rakyat mesti terintegrasi dengan cipta karya dan tak terpisah dari program 100-0-100 untuk penanganan rumah tidak layak huni”, pungkas Menteri Basuki Hadimulyono yang menyukai musik dan piawai menabuh drum sejak muda belia. Dalam sejarah militer klasik, tabuhan drum dipakai memacu semangat juang pasukan. Pas bagi seorang pemimpin bergaya konduktor. Menggiatkan sejuta rumah itu, Menteri PU dan PR yang menjadi pilar penjuru utama gigih mengonsolidasikan peranserta segenap pihak seperti REI, APERSI, Perum Perum-
9
Laporan Utama nas, dan BTN. Bahkan PT.SMF sebagai lembaga pembiayaan sekunder khusus perumahan berpelat merah yang selama 10 tahun menyuntik dana kepada perbankan yang disalurkan guna membiayai 377.217 debitur, terutama MBR. Menurut Rahardjo Adisusanto Dirut SMF, tahun 2014 aliran dana SMF untuk pembiayaan perumahan naik 37,69 % dari tahun 2013. Tepat jika pemerintah mengoptimalkan segenap kekuatan demi sejuta rumah. “Ibarat atraksi musik simponi, saya menjadi konduktor untuk menyukseskan program sejuta rumah dengan jajaran kementerian, Perum Perumnas, BTN, dan kementerian terkait”, tutur Menteri PU dan PR kepada HUD Magz yang didampingi Syarif Burhanuddin Plt.Dirjen Penyediaan Perumahan dan Djoko Mursito Kepala Pusat Komunikasi Publik. Selain konsolidasi kebijakan dan regulasi, kesiapan internal tidak kalah penting menggerakkan “mesin” birokrasi sejuta rumah. Struktur organisasi dan pejabat teras yang mengurusi perumahan rakyat mesti efektif dan defenitif. Itu menjadi soal tersendiri yang perlu disegerakan untuk kepastian bekerja birokrasi program sejuta rumah. Berbagai penyesuaian regulasi yang menjadi payung hukum perlu disegerakan. Jika Pemerintah memberi subsidi bantuan uang muka kepada MBR seperti yang pernah diterapkan era Menteri Perumahan Rakyat Muhammad Yusuf Asy’ari, mutlak diperlukan payung hukum agar memiliki landasan formal. Tercatat, beberapa regulasi yang perlu direvisi seperti Permenpera Nomor 7 Tahun 2013, Permendagri Nomor 32 Tahun 2010 tentang Pedoman Pemberian Ijin Mendirikan Rumah, dan berbagai Surat Edaran Bank Indonesia (SEBI). Lebih dari penyediaan regulasi itu, mutlak menciptakan tata kelola pemerintahan yang bersih dan ajeg agar melekaskan program perumahan rakyat sebagai dalam membumikan visi Nawacita. Akankah permukiman kumuh yang kontras dengan permukiman mewah dan gemerlap kota metropolitan akan segera tergerus dengan program sejuta rumah? Lagi-lagi tergantung pada format kebijakan pemerintah merumahkan rakyat. Jika melalui jalur rumah formal dan terfokus pada target group sektor formal, sulit mengentaskan kawasan kumuh. Apalagi mengabaikan jalur pembangunan rumah swadaya dan menggerakkan masyarakat. Jika tidak menggiatkan jurus konsolidasi tanah mengatasi kawasan kumuh, dikuatirkan sulit menuntaskan kawasan kumuh dan tidak layak huni di perkotaan. Walau secara statistik bisa saja positif mengoreksi angka baclog. Bukankah dengan motif sebagai “makhluk bermukim” yang memebutuhkan tempat hunian, masyarakat atau komunitas setempat bisa bergiat sendiri mengatasi masalah perumahan rakyat?
10
Menurut sumber data BAPPENAS, sekitar 71% masyarakat membangun rumah sendiri atau rumah swadaya yang memanfaatkan kemampuan sendiri, walau tidak diketahui berapa porsi MBR yang membangun sendiri. Pola swakelola (self-governing housing development) memanfaatkan sumber daya pribadi atau pola swakelola yang menjadikan masyarakat termasuk MBR sebagai subyek pembangunan perumahan. Demikian Parwoto, pakar perumahan rakyat Universitas Tarumanegara dan Universitas Trisakti setakat berbicara pada diskusi fokus HUD Institute ihwal rumah swadaya di Jakarta, 31 Mei 2015 lalu. Namun tidak semua bisa membangun rumah dengan swadaya, karenanya perlu bantuan fasilitas, pendampingan dan asistensi Pemerintah. Parwoto melanjutkan, bagi MBR, tidak semua sumberdaya yang dibutuhkan membangun rumah yang layak dapat diraih. Gayung bersambut. “Pemerintah siap mengiatkan program rumah swadaya bersamaan dengan rumah formal”, janji Menteri PU dan PR kepada HUD Magz. Selagi rumah di bangun di atas tanah, urusan penyediaan tanah menjadi soal yang utama. Konsolidasi tanah sebagai jurus menggiatkan pembangunan perumahan rakyat dan mengatasi kekumuhan perkotaan bukan tanpa landasan, namun sudah diatur dalam UU PKP mengenai penyediaan tanah. Agaknya, program relokasi masyarakat di kawasan kumuh seperti di Propinsi DKI melulu memindahkan kaum kurang beruntung dan MBR itu dari titik kumuh dan rumah tidak layak huni ke bangunan vertikal rumah susun sewa (rusunawa) milik pemerintah daerah. Belum melakukan konsolidasi tanah. Dengan konsolidasi tanah, justru tidak memisahkan masyarakat dan penghuni setempat dengan temali sosio-kultural dengan tanahnya. Tak mengasingkan penduduk dengan komunitas, pola pekerjaan dan hubungan subyektif kultural dengan tanah leluhurnya. Baiklah. Andai pembangunan sejuta rumah diluncurkan karena kurangnya persediaan rumah formal dengan angka backlog tinggi, namun perlu memastikan tepatnya sasaran MBR yang menikmati, baik formal maupun informal. Penting memastikan kecocokan kelompok sasaran MBR dengan kawasan 19 titik lokasi agar tidak hanya menambah stok rumah semata. Pemerintah harus double check karena tidak membangun sendiri. Selama ini, pemerintah memang mematok target pembangunan rumah untuk MBR dengan skim FLPP, namun tidak membangun sendiri tetapi melalui pengembang. Pun demikian, Perumnas mesti dipacu menjadi pemain utama dalam program sejuta rumah walau setakat ini masih mematok target 36.016 unit dalam bentuk Rumah Susun Sederhana Milik, Pengelolaan Rusunawa, dan Rumah Sederhana serta Rumah Sederhana Tapak. Itu pun dengan suntikan penempatan modal negara (PMN) ke-
Edisi 5 - 2015 pada Perum Perumnas sebesar Rp 1,0 triliun. Dengan klaim sebagai bank tanah dan menjadikan tanah sebagai inventori dengan modal sendiri mestinya Perumnas bisa lebih banyak dan fokus membangun rumah umum untuk MBR dalam program sejuta rumah. Dengan suntikan PMN, menjadi tonikum bagi Perumnas kembali fokus membangun rumah umum dan tak lagi tergiur membangun rumah komersial. “Pemerintah mengembalikan tugas dan fungsi Perumnas membangun rumah bagi MBR”, tukas Menteri PU dan PR. Kua-teknis, memang diperlukan pelaksana pembangunan yang andal dan konsisten. Pemerintah bisa mengambil peran sebagai mendorong alias enabler, jangan terlalu masuk seakanakan bertindak bagai pengembang. Kua-normatif, UU PKP sudah memberi jalan dengan memberi dasar pembentukan badan perumahan rakyat. Dasarnya? Pasal 39 ayat (1) dan Pasal 40 ayat (1) UU PKP. Absah dan mendesak pembentukan badan penyedia logistik rumah rakyat seperti penyangga logistik pangan, katakanlah sebagai “Bulog” perumahan rakyat atau bisa juga disebut saja Badan Perumahan Nasional. “Bulog” perumahan rakyat itu bertugas menyangga pasokan atau produksi rumah umum, menggerakkan sistem penyediaan (housing delivery system), mengelola bank tanah (land bank), mengendalikan harga rumah umum (termasuk rumah susun umum), dan menggiatkan mekanisme peralihan dan kepenghunian. Tak berlebihan muncul kecemasan, apabila Pemerintah tidak membentuk lembaga atau badan yang bertugas memeroduksi rumah umum, maka antisipasi atas darurat perumahan tak akan bergerak cepat. Untuk apa berlimpah banyak uang kalau tanpa pembangunan? Harus ada badan yang lembaga publik yang menyangga kebutuhan papan nasional, seperti Bulog menyangga kebutuhan pangan nasional. Pemerintah jangan menggantungkan target pembangunan rumah rakyat pada pengembang nonpemerintah. Jika melirik jiran Singapore, rumah umum dikelola Housing and Development Board (HDB). Menurut data, 85% penduduk negara kota itu tinggal di HDB Flat. Prancis memiliki Habitation a Loyer Moderere (HLM) atau perumahan sewa murah. Malah lebih maju lagi, di sana urusan perumahan terintegrasi dengan perkotaan dan pertanahan, seperti Urban Renaissance (UR) di Jepang, Korean Land and Housing Corporation (KLHC) di Korea Selatan, dan Redevelopment Authority, di Singapore. Selain sisi pasokan, permasalahan krusial perumahan rakyat mencakup pula ihwal ketepatan sasaran alias target group. Jangan sampai, target group program Sejuta Rumah meleset tidak dinikmati kaum MBR formal dan informal. Hal ini sudah disadari Pemerintah. Menurut Menteri Basuki, Presiden Joko Widodo telah mengingatkan, program rumah rakyat ini jangan sampai jatuh ke tangan orang yang tidak
berhak. Perlu data akurat masyarakat yang berpenghasilan rendah. “Jika diperlukan pemerintah akan mengeluarkan peraturan Kementerian Keuangan ataupun Kementerian Agraria untuk mencegah masuknya spekulan,” tutur Basuki. Selagi Rumah Bertapak di Bumi, Segerakan Bank Tanah Tak ada rumah dibangun menggantung di langit, namun bertapak di bumi. Negeri di awan tak berbumi hanya ada dalam lirik molek lagu KLA Project yang menamsilkan negeri damai. Ihwal perumahan rakyat bahkan realestate komersial, absolut bertemali dengan tanah. Tepatnya penyediaan tanah yang masih menjadi benang kusut di negeri ini. Kapitalisasi nilai tanah akibat spekulasi, pasar yang tidak rasional dan penguasaan besar memicu langsung kepada eskalasi harga rumah rakyat. Logis dan jamak diketahui, eskalasi harga tanah paling menentukan eskalasi harga perumahan rakyat. Menurut data, eskalasi harga rumah sederhana (RS) dan rumah sederhana sejahtera (RSS) selama sepuluh tahun 1997/1998 s.d 2009/2010 kenaikannya mencapai 1500%. Tahun 1997/1998 harga RS sebesar Rp.5,9 juta dan harga RSS sebesar Rp.4,2 juta. Tahun 2009/2010, harga RS sebesar Rp.80 juta dan harga RSS sebesar Rp.55 juta, seperti diungkap Zulfi Syarif Koto dalam bukunya “Politik Pembangunan Perumahan di Era Reformasi – Siapa Mendapat Apa?”. Lebar sekali gap antara kenaikan pendapatan masyarakat dengan eskalasi harga rumah. Eskalasi penghasilan MBR gagal menyusul cepat laju kenaikan harga rumah. Akibatnya, timbul kesenjangan antara harga rumah dengan daya beli ataupun daya cicil. Mengapa? Karena perumahan rakyat tak bisa lepas total dari mekanisme pasar dan komponennya terjebak memasuki dalam wilayah pasar. Apalagi tanpa intervensi pemerintah, terutama harga tanah sebagai komponen harga utama. Sekali lagi, Negara terutama lewat kebijakan Pemerintah wajib hadir menggiatkan ikhtiar bekerja merumahkan rakyat. Setakat menelisik dokumen “Rancangan Skenario Pembangunan PKP Tahun 2015-2019” yang diterbitkan Kementerian Perumahan Rakyat sudah didentifikasi 3 (tiga) persoalan penyediaan tanah. Pertama, keterbatasan dan mahalnya harga lahan menyebabkan harga rumah makin tak terjangkau bagi MBR. Kedua, pembangunan rumah bagi MBR yang sesuai dengan batas harga pemerintah berlokasi jauh dari perkotaan dan tempat kerja. Ketiga, belum ada intervensi pemerintah untuk penyediaan tanah bagi pembangunan perumahan dan mengendalikan harga lahan. Sejalan itu, menurut Parwoto, pemerintah harus mematok harga tanah untuk rumah dengan luas lahan tertentu misalnya 45 meter persegi dan 90 meter persegi. “Harus ada lokasi di tiap kota yang harga tanah dan bangunannya dikendalikan ketat”, tulis Parwoto pakar perumahan rakyat yang mengaku
11
Laporan Utama pegiat pembangunan berbasis komunitas. lembaga bank tanah yang melakukan penyediaan, pematangNamun, penyediaan tanah dan bank tanah belum men- an dan penyaluran tanah untuk mengendalikan harga tanah, jadi kabar gembira dalam kebijakan sejuta rumah. “Itu bu- Prof.Dr.Maria S.W. Sumardjono menyebut beberapa cara kan lingkup kewenangan saya”, demikian Menteri PU dan intervensi pemerintah yakni pengadaan tanah, regulasi/pengPR. Padahal bank tanah adalah faktor strategis merumahkan aturan penatagunaan tanah dan kebijakan perpajakan. rakyat dan mengatasi kapitalisasi nilai tanah tidak rasional. Kua normatif, penyediaan tanah untuk kepentingan peTanpa intervensi serius Pemerintah dengan membuat rumahan rakyat sudah jelas dasar hukumnya. Jika merujuk instrumen kebijakan pro MBR, Indonesia Property Watch Pasal 54 ayat (3) huruf f Jo.Pasal 105 s.d. Pasal 117 UU PKP, (IPW) memprediksi harga tanah terus melonjak. “Harga ta- dan Pasal 10 huruf o UU No.2/2012, beralasan menyediakan nah saat ini semakin melambung dan tidak ada instrumen tanah untuk perumahan rakyat dengan membuat bank tapemerintah yang dapat mengendalikan harga tanah. Baik ta- nah. Kewenangan siapa? Bank tanah itu adalah salah satu nah untuk segmen bawah sampai atas naik tidak terkendali,” ihtiar untuk melaksanakan kewajiban Pemerintah dan Pemekata Ali Tranghada Direktur Eksekutif IPW dalam keterang- rintah Daerah menyediakan rumah bagi MBR (Pasal 54 ayat an tertulisnya. (2), (3) UU, dan Pasal 105 ayat (1) UU PKP). PengadaanSolusinya? Sudah saatnya pemerintah membentuk lemba- nya dilakukan oleh Pemerintah, dengan status kepemilikanga bank tanah. Menteri Agraria dan Tata Ruang Ferry Mursyi- nya oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah (Pasal 11 dan Baldan menegaskan pembentukan bank tanah penting ayat (1) UU No.2/2012), atau BUMN (Pasal 11 ayat (2) UU bagi perumahan rakyat. “Bank tanah segera dimulai tahun No.2/2012). 2015 ini”, demikian Menteri Ferry Mursyidan Baldan dalam Memang menyediaan tanah bukan hanya untuk menguasai keterangannya seperti dikutip ANTARA News. Diyakini, tanah, namun bisa berkembang pada beragam mandat yang Menteri Ferry mampu dan patut diapresiasi, agar usaha sam- diarahkan mengatasi backlog dan sekaligus dekomoditifikasi pai tuntas mengoreksi kapitalisasi tanah yang tidak rasional tanah. Untuk maksud itu, maka bank tanah harusnya dikemas menjadi kenyataan. menjalankan fungsi sebagai Dengan bank tanah, penghimpun tanah (land Tabel Perkembangan Harga Tanah dan Rumah Sepuluh Tahun Terakhir pemerintah dapat memakeeper), pengaman tanah Perumahan Kenaikan Rata-rata Kenaikan Rata-rata tok harga sesuai kebutuh(land warantee), pengendali Skala Kota Harga Tanah Peningkatan Harga Harga Rumah Peningkatan Harga 10 Tahun (%) Tanah/Tahun (%) 10 Tahun (%) Rumah/Tahun (%) an pembangunan rumah penguasaan tanah (land 570,4 57,0 367,0 36,7 rakyat. Tanpa harus masuk Jakarta purchaser), pengelola tanah 615,5 61,5 449,0 44,9 dalam mekanisme pasar Bekasi (land management), penilai 564,1 56,4 327,0 32,7 yang membuat harga da- Bogor tanah (land appraisal), dan Tangerang 560,2 56,0 332,6 33,2 pat naik lebih tinggi lagi. penyalur tanah (land dis57,5 360,4 36,0 Coba bayangkan, untuk Rata-rata Kenaikan 574,0 tributor). Sumber: P&B, Edisi 112-2015, Ir. Torushon Simanungkalit, MM., CPA. kawasan Jakarta kenaikan Dari mana asal tanah? harga tanah dalam 10 tahun bisa mencapai 570,4% atau Untuk keperluan perumahan rakyat, sumber tanah bisa dari 57% se tahun. Untuk kota Bekasi kenaikan komoditas tanah tanah terlantar, tanah aset pemerintah dan pemda, tanah famencapai 61,5% se tahun, sedangkan Bogor (56,4%), dan sos/fasum atau PSU, tanah ex-kewajiban redistribusi pengemTangerang (56%). [Data dari Majalah P&B, Edisi 112-2015, bang perumahan, tanah aset BUMN/BUMD, tanah sitaan, Ir.Torushon Simanungkalit,MM., CPA]. ataupun dengan pengadaan tanah. Angka kenaikan harga tanah relatif tinggi juga pernah Siapkah pemerintah menyegerakan bank tanah? Nah, itu diungkap Andrinof Chaniago yang saat ini menjabat Men- persoalan politik dan arah kebijakan pemerintahan dalam biteri PPN/Kepala BAPPENAS. “Tiap tahun naiknya ada yang dang pertanahan. Bukan soal teknis kebijakan dan janji politik bisa mencapai sekitar 37%. Kalau seperti itu, bagaimana bisa lagi, tetapi soal kegesitan dan kesegeraan pemimpin. “Bekerja dijangkau oleh MBR,” kata Andrinof Chaniago setakat gigih merumahkan rakyat” itu bukan melulu mendandani perencasebagai pakar kebijakan publik Universitas Indonesia yang naan, namun perlu didukung kepemimpinan “konduktor” disampaikan dalam acara Silaturrahmi Nasional Keluarga Be- yang tabah dengan takdir sosial melakoni kesejerahteraan sar Perumahan Rakyat, Kamis (27/2/2014). rakyat bagi “makhluk bermukim”. Dari fakta di atas, sangat mendesak penyediaan tanah pro Seperti Cheng Ho mewariskan peta navigasi kebaharian, MBR melalaui intervensi Pemerintah dengan pembentukan apa yang hendak diwariskan bagi navigasi perumahan rakyat? bank tanah. Agar tanah tidak dijadikan ajang spekulasi yang Cara apa jurus sejuta, dari rumah negeri digenah. merusak kepentingan Negara dan menghambat ihtiar Pemerintah merumahkan rakyat. Selain menyetujui pembentukan [Muhammad Joni].
12
Edisi 5 - 2015
Merumahkan Rakyat, (Jangan Bimbang) Itu Kewajiban Negara
A
nda pernah mengisi borang identitas penduduk, atau pendataan pemilih menjelang pemilukada? Tentu saja. Setelah nama sebagai identitas tiap orang, borang isian pasti menyediakan kolom tempat tinggal, sebagai bagian tidak terpisahkan dari nama sebagai identitas pribadi orang. Orang dan tempat tinggal senantiasa melekat tak terpisahkan. Manusia adalah “makhluk bermukim” selain makhluk sosial dan makhluk ekonomi. Postulatnya: Tak ada orang yang tak bernama, dan dalam setarikan nafas, tak ada orang tak bertempat tinggal. Kua-juridis, sosologis ataupun ekonomis, orang (persoon) bertemali dengan tempat tinggal. Pun demikian badan hukum (recht persoon) memiliki domisili. Hukum adat mengenal hukuman diusir dari kampung sebagai jenis hukuman. Hak perdata orang “jahat” seperti itu dianggap hapus dan tak boleh bermukim lagi di kampung. Sudah mati secara perdata. Pengakuan status pribadi orang bertemali dengan bermukim. Perumpamaan sederhana itu cocok sebagai justifikasi mengapa setiap orang mempunyai hak konstitusional atas nama dan hak atas tempat tinggal. Pasal 28 I ayat (1) UUD 1945 menjamin hak konstitusional “untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum”. Pun demikian hak atas tempat tinggal itu dijamin Pasal 28 H ayat (4) UUD 1945. Sebuah kemajuan konstitusional. Kontras dengan fakta konkrit “manusia gerobak” dan penghuni RT 00/RW 00 di kolong jembatan? Dalam kebudayaan manapun, tidak terbantah tempat tinggal merupakan kebutuhan dasar manusia, yang diformulasi sebagai hak setiap orang untuk menempati hunian yang layak dan terjangkau (adequate and affordable shelter for all). Konsideran “Menimbang” huruf b dan d UU Nomor 1/2011 menggunakan frasa “layak dan terjangkau”. Hak atas rumah sebagai tempat tinggal menjadi hak semua orang (for all), yang berarti diberikan kepada “setiap orang” sebagaimana frasa dalam Pasal 28 H ayat (1) UUD 1945. Demikian pula Pasal 40 UU Nomor 39/1999 dan konsideran “Menimbang” huruf a UU Nomor 1/2011. Frasa yang dipergunakan “setiap orang berhak bertempat tinggal”. Dengan demikian pemenuhan hak atas rumah tidak semestinya memiliki norma pembatasan (restriction) yang tidak lain adalah diskriminasi terhadap rakyat ataupun subyek hukum. Asas nondiskriminasi bersifat universal yang ada pada setiap instrumen HAM. Pendapat Mahkamah Konstitusi dalam Putusan perkara Nomor X/PUU-X/2012, diskriminasi ada jika dalam norma UU terdapat subyek yang berbeda dalam perlakuan hukum. Kita kembali membahas HAM. Hak atas perumahan dijamin dalam instrumen atau konvensi internasional. Hak atas standar hidup yang layak termasuk pangan, sandang, dan perumahan, adalah hak ekonomi sosial budaya. Indonesia telah meratifikasi Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya.
Pengakuan dan jaminan hak atas rumah sebagai HAM bukan hanya pernyataan atau declaration akan tetapi merupakan komitmen sebagai masyarakat internasional yang beradab yang menandatangani Deklarasi Rio de Jeneiro, dan Indonesia aktif dalam kegiatan yang diprakarsai United Nation Center for Human Settlements tersebut, yang kemudian tertuang pula dalam Agenda 21 dan Deklarasi Habitat II. Diakui, rumah merupakan hak dasar manusia dan menjadi hak bagi semua orang untuk menempati hunian yang layak dan terjangkau. Dari berbagai rujukan hukum tersebut, norma hukumnya adalah mengakui (recognized), melindungi (protected), menjamin (ensured), dan tentunya memenuhi hak bertempat tinggal sebagai hak dan melekat kepada setiap orang. Bandingkan Pasal 54 ayat (1) UU Nomor 1/2011 yang hanya menyebut MBR saja. Pemenuhan hak atas rumah sebagai tempat tinggal sebagai kewajiban Pemerintah selaku eksekutif yang menjalankan undang-undang. Oleh karena itu, pemenuhan hak atas rumah tentu wajib kepada setiap orang, bukan hanya bagi kelompok tertentu saja dan mengucilkan (exclution) kelompok lain. Jika hal itu terjadi menimbulkan diskriminasi dan ketidakadilan, dan kua juridis hal itu bertentangan dengan asas “keadilan dan pemerataan” yang diakui dalam Pasal 2 huruf b UU Nomor 1/2011. Soal ketidakadilan pembangunan perumahan disitir Zulfie Syarif Koto, yang berdasarkan data dan fakta menyimpulkan “… pembangunan perumahan rakyat hingga dalam perjalanan panjang 65 tahun Indonesia merdeka, ternyata masih lebih banyak dinikmati oleh masyarakat menengah atas” [Zulfi Syarif Koto, 2011, hal 48].
Akan tetapi, dalam pemenuhan hak atas rumah sebagai tempat tinggal, UU Nomor 1/2011 lebih menitikberatkan regulasinya terhadap kelompok masyarakat berpenghasilan rendah atau MBR. Dikaitkan dengan pemenuhan hak bertempat tinggal sebagai HAM dan hak konstitusional bagi setiap orang, maka terdapat norma hukum yang membedakan “setiap orang” yang kemudian dikerucutkan hanya kepada MBR, yang secara ekonomis lebih beruntung dari warga miskin. Hal ini muncul dalam ketentuan Pasal 54 ayat (1) UU Nomor 1/2011 yang berbunyi “Pemerintah wajib memenuhi kebutuhan rumah bagi MBR”. Dalam kaitan dengan ketentuan Pasal 54 ayat (1) UU Nomor 1/2011 yang berlaku bagi kelompok MBR saja, tentunya tidak termasuk kelompok lebih tidak mampu atau warga miskin. Andai di-
13
Laporan Utama lakukan klasterisasi masyarakat Indonesia menurut pendapatannya, terbagi atas 3 (tiga) kelompok, yaitu (a) masyarakat berpenghasilan menengah (MBM) dengan penghasilan antara Rp.2,5 sampai Rp.4,5 juta, berkisar 10% sampai 20%; (b) masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) dengan penghasilan antara Rp.1 juta sampai Rp.2,5 juta, berkisar 20% sampai 30%; (c) masyarakat miskin dengan penghasilan kurang Rp.1 juta, berkisar 60% sampai 70%. Oleh karena Pasal 54 ayat (1) UU Nomor 1/2011 hanya mengikat pemerintah untuk memenuhi hak atas rumah bagi kelompok tertentu saja, yakni kelompok MBR. Pemerintah tidak wajib memenuhi kebutuhan rumah bagi warga masyarakat yang tinggal di tempat yang tidak layak dan manusiawi atau warga miskin yang jumlahnya masih besar di Indonesia. Dengan demikian, ada kelompok warga masyarakat selain kelompok MBR yang tidak dapat memperoleh hak atas rumah. Warga yang tinggal tak memiliki rumah (homeless) tinggal di emperan toko, di kolong jembatan, di bawah jalan tol, pinggiran rel kereta api, pada fasilitas umum, lahan rawan bencana. Berdasarkan publikasi Statistik Kesejahteraan Rakyat Tahun 2008, sebanyak 11,95% rumah tangga menghuni rumah dengan lantai tanah; 10,6% rumah tangga dengan dinding belum permanen; 3,61% rumah tangga tinggal di rumah beratapkan daun; 21,1% rumah tangga belum dapat mengakses air bersih; 8,54% rumah tangga masih belum mendapatkan sambungan listrik; 22,85% rumah tangga masih belum memiliki akses terhadap jamban. Sekitar 8 juta rumah tangga di Indonesia belum menempati rumah layak huni yang sebagian besar adalah kelompok MBR [Majalah Inforum Edisi 3 Tahun 2010, hal. 12-13]. Imperium vs Dominium Awal September 2013, pernah diwartakan gejolak harga kedelai. Pedagang tempe dan tahu menyusun siasat mogok. Protes pada abainya negara menjinakkan gejolak pasar kedelai. Media mengingatkan negara akan resiko UMKM melipat tikar dan makan modal. Akankah negara berdiam? Bukankah sejahtera alasan konstitusional bernegara? Di lapangan harga menaik. Lazim, itulah perilaku pasar. Namun, tak lazim jika membiarkan kedelai tak terkendali itu tanpa membuat solusi sistemik menjinakkan gejolak harga. Pun demikian ihwal rumah rakyat untuk MBR. Akankah pemerintah takluk dan tergoda turut menaikkan harga rumah rakyat bawah? Tegarkah pemerintah tidak menjadi Imperium? Haruskah menaikkan harga hanya satu-satunya solusi? Padahal menaikkan harga bukan jalan satu-satunya andai mengacu Pasal 54 ayat (2) dan (3) UU Nomor 1/2011. Masih banyak cara mempertahankan daya beli masyarakat utamanya MBR dengan menggiatkan intervensi insentif pemerintah. Pemerintah mestinya tidak mudah takluk pada pasar rumah yang tersandera oleh eskalasi harga tanah dan material bangunan. Andai kata kemudahan dan bantuan dalam bentuk subsidi, stimulan, insentif pajak, perizinan murah, penyediaan lahan, sertifikasi tanah dan prasarana, sarana dan utilitas (yang merupakan kewajiban pemerintah), tak perlu kuatir dengan kenaikan harga
14
rumah MBR. Di tengah tingginya backlog, ironi target produksi rumah bersubsidi selalu anjlok. Target pembangunan rumah MBR kerap tak tercapai, kecuali era Menpera Akbar Tanjung. Perlu kerja keras dan tabah menyejahterakan rakyat dengan menyiapkan rumah rakyat. Tak boleh abai menggiatkan rumah bagi MBR yang membutuhkan intervensi pemerintah. Tatkala pemerintah lunglai mengatasi harga dan menyerah pada gejolak pasar tanpa intervensi negara dan kebijakan afirmatif pemerintah, itu reproduksi pikiran lama akibat relasi yang “tidak senonoh” antara rakyat dengan negara. Menurut Muhammad Hatta, adanya pembedaan konsep kedaulatan politik dengan kedaulatan ekonomi (Imperium versus Dominium), karena produk sejarah yang “tidak senonoh” [Tabloid Pergerakan Daoelat Ra’yat, Tahun I, 1931, No.1, hal. 2, dalam Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme di Indonesia, hal. 123]. Dahulu, pemikir memisahkan konsep Imperium versus Dominium secara diametral. Imperium adalah konsep mengenai “rule over all individuals by the prince”. Dominium adalah konsep mengenai “rule over things by individuals” [Baron de Montesquieu, L’Esprit dos, dalam Morris R. Cohen, Law and Social Order: Essays In Legal Philosophy, dalam Jimly Asshiddiqie, hal. 121-123]. Dari titah Montesquieu, politik tidak mengurus ekonomi alias kesejahteraan rakyat. Katanya, dengan hukum publik (political law) kita memperoleh kebebasan, dengan hukum perdata kita memperoleh hak milik (property). Rakyat dipahami hanya berdaulat dalam bidang politik. Nasib rakyat dalam bidang ekonomi diserahkan kepada keuletan masing-masing dan daya kompetisi sendiri di pasar bebas. Negara tidak mengurus perut dan mulut, tamsil untuk ekonomi dan kesejahteraan sosial. Bercermin dari kedelai dan rumah, bisa jadi “primitifisme” relasi negara dengan rakyat itu terjadi akibat relasi ekonomi yang timpang dan kesempatan yang tidak adil. Membiarkan tak terkendalinya harga kedelai, UMKM melipat tikar, tergoda dan tergopohnya pemerintah menaikkan harga rumah sejahtera untuk MBR, adalah reproduksi hubungan tidak senonoh negara dengan rakyat. Yang memisahkan Imperium dengan Dominium. Mari kita menengok ulasan konstitusi. Hak bertempat tinggal atau hunian sebagai hak konstitusional dan HAM. Karenanya, negara dan pemerintah bergesit menyediakan rumah rakyat mengatasi backlog dan rumah tidak layak huni. Di Indonesia, pemenuhan kebutuhan akan papan mengkhawatirkan. Tidak terpenuhinya kebutuhan dasar akan tempat tinggal kasat mata sebagai patologo sosial tunawisma, gelandangan, manusia gerobak. Di sebelah gedung mentereng, masih kontras dengan kawasan kumuh, rumah tidak layak huni yang berhampiran di sebelahnya. Dari ulasan ini, masihkah terdiam membiarkan eskalasi harga tanah dan tergopoh menaikkan harga rumah rakyat? Masihkah menjadi Imperium? Muhammad Joni, Pemimpin redaksi dan Ketua Masyarakat Konstitusi Indonesia, Managing Partner Joni & Tanamas Law Office
Edisi 5 - 2015
15
Laporan Utama
WAWANCARA
Andrinof Chaniago, Menteri PPN/Kepala Bappenas
“Kuncinya di Penguasaan Tanah oleh Negara” Kebijakan pembangunan perumahan dan permukiman khususnya pembangunan perumahan rakyat harus mulai meninggalkan tanah sebagai salah satu komponen penentu harga rumah.
S
16
SUMBER FOTO: ISTIMEWA
elama penguasaan tanah dibebaskan seluasluasnya untuk dimiliki badan usaha, maka selama itu pula persoalan penyediaan perumahan bagi masyarakat sulit untuk dituntaskan. Karena itu, kebijakan pembangunan perumahan dan permukiman khususnya pembangunan perumahan rakyat harus mulai meninggalkan tanah sebagai salah satu komponen penentu harga rumah. Hal itu dikemukakan oleh Andrinof Chaniago, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional kepada HUD Magz. Andrinof menyadari tantangan selama ini berupa sistem penguasaan tanah dibebaskan seluas-luasnya. Hal itu yang kemudian menjadi masalah untuk pengadaan perumahan. Untuk memenuhi masalah perumahan rakyat, tanah tidak boleh dibisniskan. “Tanah harus dikendalikan negara untuk penyediaan rumah rakyat,” cetusnya. Dia membandingkan keberhasilan negara lain seperti Hong Kong dan Singapura yang mampu memenuhi kebutuhan rumah untuk warganya. Alumni Universitas Indonesia tersebut mengakui sejak dulu pemerintah telah mencampuradukkan antara kepentingan bisnis dalam pelayanan publik untuk penyediaan perumahan. Sehingga tidak heran angka kebutuhan rumah terus meningkat. “Sekarang pemerintah harus punya kemampuan menyuplai rumah. Misalnya dengan meningkatkan peran Perumnas. Dulu Perumnas sanggup membangun banyak rumah untuk rakyat bawah. Sekarang peran itu akan kembali digerakkan pemerintah. Perumnas memiliki peran misi, karena itu kinerjanya diukur bukan dari keuntungan bersih tetapi lebih dititikberatkan pada sejauh mana
Edisi 5 - 2015
Membangun Hunian Vertikal dan Kota Baru Mandiri Nah, Bappenas sesuai program dalam pembangunan satu juta rumah menurutnya mendorong penyediaan perumahan vertikal di kota yang berpenduduk lebih dari dua juta jiwa. Untuk itu, menurut Adrinof bersama kementerian terkait, pihaknya mengatur arah perumahan vertikal dengan mengintegrasikan program penyediaan rumah sekaligus menangani kawasan kumuh. Pengelolaan kawasan menurutnya harus diatur oleh pemerintah karena ia melihat praktek bisnis yang dilakukan oleh badan usaha (pengembang) adalah menjual konsep kota mandiri dengan berbagai fasilitas. Namun hanya ditujukan kepada orang kaya saja. Karena itu, sekali lagi ia meminta pengembang seharusnya berorientasi kepada pembangunan rumah saja. “Pengembang bangun rumah saja. Orientasi pada produk rumah berkualitas, bukan kawasan. Kawasan biar diurus pemerintah. Kota mandiri yang dibangun pengembang cenderung diskriminatif karena hanya dimiliki oleh masyarakat berkantong tebal,” kritiknya. Ke depan, menurut dia fasilitas umum di pemukiman harus dibangun pemerintah sehingga pengembang hanya fokus membangun hunian. Sehingga tak ada lagi pengusaha yang menguasai suatu kawasan. Untuk itu tambahnya pemerintah akan memulai pembangunan 10 kota baru. Kota kota baru pertama adalah Tanjung Selor, Kalimantan Utara. “10 kota, di luar jawa. Sedangkan di Jawa hanya
untuk penataan kota saja. Kami akan memulainya di pemerintahan ini,” katanya. Karena itu, pemerintah telah menuntaskan kajian untuk perubahan Tanjung Selor, yang sebelumnya berstatus kecamatan untuk menjadi ibu kota provinsi Kalimantan Utara, provinsi termuda yang berbatasan langsung dengan Malaysia. Pemerintah pusat, ujar Andrinof, telah mengalokasikan anggaran dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan untuk pembangunan kota baru tersebut. Sebagai informasi, Tanjung Selor merupakan wilayah dengan luas 1.277 kilometer persegi, dengan jumlah penduduk sekitar 42 ribu orang. Sayangnya, disinggung lebih lanjut, Andrinof masih enggan mengungkapkan lokasi sembilan kota baru lainnya dan juga jumlah anggaran yang disiapkan. Dia hanya mengatakan, akan terdapat beberapa wilayah lagi di pulau Kalimantan yang akan menjadi kota baru. “Ada beberapa dikaji, jika diberitahukan sekarang nanti banyak spekulan,” ujarnya. Pembangunan kota baru ini menjadi salah satu upaya pemerintah untuk mendorong pemerataan pertumbuhan ekonomi, dan mencapai target kesejahteraan seperti pengurangan kemiskinan dan pengangguran. Salah satu target besar pemerintah adalah menciptakan pusat pertumbuhan ekonomi baru di luar Pulau Jawa. Kontribusi ekonomi pulau Jawa selalu mendominasi terhadap Produk Domestik Bruto Nasional. Pada 2013, kontribusi Pulau Jawa terhadap PDB nasional sebesar 58 persen, disusul Sumatera 23,8 persen, Kalimantan 9,6 persen, Sulawesi 4,8 persen, Maluku-Papua 2,2 persen, dan Bali-Nusa Tenggara 2,8 persen. Pada 2015, pemerintah juga menargetkan tingkat pemerataan manfaat ekonomi dapat membaik, beberapa di antaranya diukur dari tingkat kesenjangan ekonomi (rasio Gini) yang diharapkan dapat turun menjadi 0,4, tingkat kemiskinan menjadi 10,3 persen dan angka pengangguran menjadi 5,6 persen. “Ini adalah salah satu misi untuk pemerataan,” kata Andrinof pada kesempatan lain dalam paparannya di Peluncuran Indeks Kota Cerdas Indonesia, beberapa waktu lalu. Andrinof menekankan pentingnya pembangunan kota baru dengan sistem tata kota yang modern sebagai instrumen mensejahterakan manusia dan masyarakat. “Kita belum membangun kota sebagai bangsa, selama ini kota-kota yang ada lebih banyak diwariskan sejak zaman kolonial,” tutupnya. SUMBER FOTO: ISTIMEWA
Perumnas mampu membangun rumah bagi MBR sebanyak mungkin,” paparnya. Adrinof juga menyoroti peran masyarakat melalui komunitas untuk bisa digerakkan membangun perumahan secara swadaya. Karena menurutnya pola subsidi bunga yang ada di sektor formal, tidak sepenuhnya bisa menyelesaikan persoalan perumahan. Justru subsidi bunga lebih banyak menguntungkan perbankan, pengembang dan golongan masyarakat tertentu. “Tidak salah juga. Tetapi fokusnya jangan selalu kesitu (untuk menyelesaikan persoalan yang ada),” ujarnya. Dia menekankan, hak bermukim tidak selalu harus membeli, namun juga menyewa. Dan pemerintah wajib bertanggung jawab. Menurutnya, apabila negara gagal menyiapkan perumahan untuk rakyat, maka itu bisa menjadi indikator kegagalan pembangunan yang dilakukan pemerintah saat ini. Berdasarkan data Bappenas, 70 persen penduduk Indonesia memiliki rumah dengan cara swadaya, 12 persen dengan akses Kredit Pemilikan Rumah (KPR) dan 18 persen dengan cicilan selain KPR.
17
18
Edisi 5 - 2015
Basuki Hadimuljono, Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat
SUMBER FOTO: ISTIMEWA
“Saya Senang Dikritik Supaya Tidak Dibohongi Anak Buah”
Persoalan penyediaan lahan, harga tanah yang naik cepat, hingga perizinan, memunculkan keraguan dalam mencapai target penyediaan rumah rakyat. Suara pesimis muncul dari berbagai kalangan. Lalu bagaimana pemerintah menjawab keraguan tersebut?
D
ata Badan Pusat Statistik mengatakan, (katanya) terjadi kekurangan 13,6 juta unit rumah rakyat. Itu data tahun 2010. Tahun lalu, lagi lagi katanya jumlah kekurangan rumah bertambah menjadi 15 juta unit. Entah benar atau tidak. Sampai dengan tulisan ini dimuat, pemerintah tidak pernah punya data, dimana titik kekurangan tersebut adanya. Apa yang perlu dibangun. Apakah rumah tapak, rumah susun atau rumah gubuk. Yang terjadi, hanya cerita atau “bualan”, dari pentas seminar ke seminar. Data itu, kemudian menjadi bahan bagi “pengamen”, dan dikutip para kuli berita. Ironisnya, data yang tidak pernah jelas itu, justru kemudian melahirkan kebijakan “program sejuta rumah”. Salah satu program unggulan di bidang perumahan di era pemerintahan Jokowi dan Jusuf Kalla. Nah, tugas tersebut menjadi tanggung jawab Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (Kemenpupera). Sang nahkoda, Basuki Hadimuljono, Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat mengakui banyak mendapat kritik terhadap program tersebut. “Justru bagus banyak yang mengawasi. Saya senang mendapat kritik dan harusnya memang begitu. Jangan sampai saya dibohongi anak buah,” ujarnya. Hal itu diungkapkannya ketika menerima wawancara khusus tim HUD Magz di kantornya, Jl. Pattimura 20, Kebayoran Baru, Jakarta selatan. Dengan santai, Menteri PU-Pera yang jebolan Sarjana Teknik Geologi dari Universitas Gadjah Mada, Magister dan Doktor dari Colorado State University, USA, menjawab satu demi satu pertanyaan HUD Magz. Bahkan pada beberapa kesempatan justru ia banyak mendengar keterangan yang disampaikan oleh Zulfi Syarif Koto, Ketua HUD Institute. Berikut Petikannya:
Bisa anda ceritakan bagaimana latar belakang sehingga akhirnya lahir program satu juta rumah ini? Kabinet kerja tadinya menghitung setahun itu butuh minimum 2 juta rumah. Itu hasil hitungan dari kekurangan yang 15 juta. Nah kita mulai hitung ulang. Satu tahun itu kemampuan kita berapa. Dikarenakan resources, kapasitas dan lain-lain rasanya tidak memungkinkan setahun dua juta. Kita petakan kembali satu-satu resourcesnya REI, Apersi mereka bisa dapat berapa. Sampai akhirnya awal tahun 2015 kita perkirakan dapat angka 1 juta unit. Akhirnya diputuskan 1 juta rumah. Terdiri atas 603.516 unit untuk MBR, dan 396.484 unit untuk non-MBR. Dengan APBN dan kemampuan BUMN kita hitung. Selama ini BPJS diminta menyisakan sedikit dividen dari investasinya, kemudian diminta untuk memperbaiki regulasi bagaimana supaya bisa lebih besar lagi. Perumnas kemampuannya terbatas bagaimana caranya supaya misi awalnya tercapai. Itu kita bahas kembali. Dari sisi APBN, kami lihat sekitar Rp.8,3 triliun, FLPP Rp.5,3 triliun. Kita hitung bisa dapat berapa rumah formal. Kita menghitung kontribusi dari BPJS Rp.1 triliun, Perumnas, kemudian perbankan seperti BTN mereka bisa berapa. Sekarang sudah berapa hitungannya? Dimonitor terus setiap minggu. Saya ditelepon Bapak Wakil Presiden progresnya. Beliau menanyakan mengenai implementasi. Kita mulai buat program. Mudah-mudahan bisa launching 30 april. Rusunami berapa, rumah tapak berapa sekarang angkanya masih terus berubah. Tetapi mudah-mudahan makin nambah angkanya karena bupati yang sudah siap dibuatkan program untuk PNS, TNI, Polri, dan lain-lain. Sekarang ini sudah 313.000 unit rumah siap di ground breaking. Izin-izin sudah harus selesai. Doakan di Semarang peluncurannya akhir April itu. Ada berapa daerah yang siap? Untuk yang siap ground breaking ada 16 daerah, setiap pulau ada. di Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau, Kepulauan
19
Laporan Utama Riau, dan lain-lain. Nanti bisa datanya. Katanya dana untuk target 1 juta unit kurang apakah akan direvisi? Mudah-mudah tidak. Kalau kurang, kami tidak akan merevisi. Kalau direvisi nanti ndak kerja dong. APBN-P sebesar Rp 8,2 triliun ini bisa digunakan untuk membangun 153 ribu unit, termasuk juga rumah bagi TNI/Polri, rusunawa maupun rumah tapak dan lainya. Sedangkan dana FLPP sebesar Rp.5,1 triliun dapat 58 ribu unit rumah serta dana dari Bapertarum sebesar Rp.2 triliun untuk membangun 100.000 unit rumah. Nanti ada BPJS, dan lainnya. Bank Dunia juga siap. Apakah beda program ini dengan gerakan nasional pembangunan sejuta rumah semasa pemerintahan Presiden Megawati dulu? Dulu pernah ada? Tetapi yang jelas menurut saya ini adalah program untuk mempercepat realisasi pembangunannya. Kami sisir demand dan suplainya. Sekarang ada bantuan uang muka sebesar Rp.4 juta per orang, Subsidi bunga melalui skema FLPP masyarakat hanya membayar bunga KPR 5 persen dari sebelumnya 7,25 persen dan juga uang muka yang hanya 1 persen dari sebelumnya 5 persen. Jadi sangat meringankan. Dari sisi suplai? Nah itu yang penting lahannya. Dari sisi pemerintah sekarang Perumnas yang diprioritaskan. Lahan-lahan pemerintah yang tidur diberikan ke Perumnas. Bangun rumah untuk MBR. Perumnas tidak boleh lagi bersaing dengan Lippo, Summarecon, dan pengembang swasta lainnya. Perumnas harus mengurus MBR. Tanah-tanah PU bisa diberikan ke Perumnas. Perumnas bisa membeli tanah untuk program misi ini. Demikian juga BPJS dinaikkan untuk investasi keperluan perumahan. Kementerian Agraria dan Tata ruang juga ditugaskan menyediakan ruang untuk pembangunan perumahan bagi MBR. Penyediaan lahan dan infrastruktur kebutuhan umum. Sekarang ini ada program sinergi dengan BUMN. Program penyediaan rumah ini akan digabungkan dengan pengembangan kawasan. Jadi griya ini tidak dapat berdiri sendiri, misal pembenahan kawasan kumuh maka Cipta Karya untuk menyediakan fasilitas. Jangan sampai program pengentasan kawasan kumuh dibikin Cipta Karya sendiri. Sekarang ada dirjen, kepala badan pengembangan infrastruktur wilayah sebagai user penataan ruang, pengawasan kawasan kumuh, nelayan dan lain-lain. Regulasi yang harus dirubah untuk mendukung program ini? Iya setuju itu juga penting. Karena merubah regulasi butuh waktu. Tetapi harus segera dilakukan mana yang dirasa menghambat. Saya tidak hapal tetapi memang sudah ada yang harus direvisi. Seperti BPJS dari sisi regulasi yang harus direvisi
20
“Jauh lebih Berat Mengatasi Persoalan Perumahan”
A
wal didapuk menjadi Menetri, soal Perumahan diakuinya tidaklah terlalu khatam. Maklum, sejak berdinas di Departemen Pekerjaan Umum, Basuki Hadimuljono lebih banyak berkutat soal pembangunan infrastruktur. “Memang lebih berat di perumahan karena berurusan dengan persoalan pendanaan, hulu sampai hilir dan tidak mudah,” ujarnya. Apalagi jenjang karir yang pernah dijabat Basuki tidak satu pun yang menyentuh persoalan perumahan. Basuki pernah menjabat sebagai Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Pekerjaan Umum periode 2005–2007. Setelah itu, ia menjabat sebagai Inspektur Jenderal Kementerian Pekerjaan Umum periode 2007–2013. Terakhir, ia menjabat sebagai Direktur Jenderal Penataan Ruang Kementerian Pekerjaan Umum periode 2013 hingga 2014. Pada masa pemerintahan Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono, Basuki pernah dipercaya untuk menjadi penanggungjawab Tim Penanggulangan Lumpur Lapindo, Porong, Jawa Timur. Ia mulai mendatangi lokasi tersebut sejak 8 September 2006. Tugasnya pada saat itu adalah memantau perkembangan penanganan lumpur Lapindo setiap hari.
selama ini berapa persen yang bisa dikonversi ke investasi. Hal-hal seperti itu mesti tuntas. Pemerintah tidak pernah serius memikirkan kalangan yang bekerja di sektor informal? Selama ini pekerja informal seperti SUMBER ILL: ISTIMEWA pedagang, tukang ojek dan lainnya sulit mengajukan KPR ke bank karena tak punya slip gaji bulanan. Bakal ada skema akses kredit seperti yang diterapkan dalam Kredit Usaha Rakyat (KUR) yaitu adanya penjaminan kredit oleh perusahaan re-asuransi. Bapak Wakil Presiden sudah meminta untuk itu bisa diberikan. Dalam program satu juta unit rumah di dalamnya juga ada program rumah susun milik. Nah ada isu salah sasaran bagaimana mengatasi itu? Pertama regulasi. Saya dulu diskusi dengan Ahok (Gubernur DKI Jakarta-red). KTP harus sesuai domisili dan bisa diumumkan ke masyarakat, kemudian meminta manajemen propertinya dari Perumnas sehingga tidak bisa dipindahtangankan. Jadi sistemnya yang harus diperbaiki. Terakhir, dulu di awal Anda memimpin Kemenpupera, berjanji untuk segera memangkas perizinan yang banyak dikeluhkan dalam pembangunan perumahan. Sekarang bagaimana kondisinya? Iya, saya menjanjikan bahwa pemerintah memangkas waktu dan sejumlah proses perizinan yang dibutuhkan terkait dengan pembangunan perumahan khususnya perumahan bagi masyarakat berpenghasilan rendah. Satu pintu prosesnya dan waktunya harus cepat. Sudah mulai berjalan dari dulu dikeluhkan 24 proses. Sekarang saya dapat laporan bisa cepat dan BPN juga ikut membantu.
Edisi 5 - 2015
21
Laporan Utama Utama Laporan
Maryono
Direktur Utama PT Bank Tabungan Negara Tbk.
BLokomotif T N, Pembiayaan Program Sejuta Rumah
SUMBER FOTO: ISTIMEWA
Sebagai lembaga perbankan terkemuka penyalur KPR Bersubsidi, bagaimana kemampuan BTN mendukug program sejuta rumah?
“B
TN semakin di depan”. Kalimat itulah yang paling tepat jika membicarakan PT. Bank Tabungan Negara Tbk. Bank yang lahir 65 tahun yang lalu itu memang piawai dalam pembiayaan perumahan. Sektor yang menjadi kebutuhan utama masyarakat. Selama masih ada cinta, maka sektor ini tak akan pernah mati. BTN masih menjadi pemimpin pasar pembiayaan perumahan, dengan penguasaan pangsa pasar total KPR sebesar 24%. Dan sebanyak 95% diantaranya, didominasi KPR subsidi. Tak salah jika kemudian pemerintah menunjuk BTN sebagai aktor utama untuk merealisasikan program sejuta rumah. “Ini peluang sekaligus tantangan bagi BTN menyukseskan program pemerintah. Peran sentral BTN dihargai karena track record-nya selama ini,” tutur Maryono, Direktur Utama BTN kepada Tim HUD Magz, dalam sebuah kesempatan wawancara khusus di kantornya Jl. Gajah Mada. Jakarta Pusat. Sebagai informasi, total KPR bersubsidi yang sudah disalurkan BTN sejak 1976 sampai dengan 2014 berjumlah sekitar Rp.60 Triliun dan telah dimanfaatkan oleh lebih kurang 2,6 juta masyarakat Indonesia. Sementara khusus untuk program KPR Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP), sejak program ini dijalankan tahun 2010 sampai dengan 2014 telah direalisasikan rumah lebih dari 368.000 unit dengan total kredit mencapai lebih dari Rp.25 Triliun.
22
Semua pencapaian di atas kata Maryono adalah karena BTN memiliki kompetensi yang tinggi sebagai bank yang peduli dengan pembiayaan perumahan dan tidak dimiliki oleh bank lainnya. BTN berpengalaman menangani KPR massal yang didukung oleh jejaring pengembang di seluruh Indonesia dengan brand awareness yang tinggi di mata masyarakat Indonesia. Tidak lupa BTN didukung oleh jaringan yang sangat luas. Sebagai bank yang dalam sejarahnya merupakan satu-satunya lembaga pembiayaan yang mendapatkan penghargaan dari Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) dalam penyaluran KPR Triguna (lihat box), pertanyaan besarnya adalah bagaimana kemampuan BTN dalam pendanaan program sejuta rumah ini? Menjawab tantangan tersebut, Maryono menyatakan sangat siap dan mampu. Menurutnya Program Sejuta Rumah adalah misi mulia pemerintah. BTN tidak kuatir karena memiliki kemampuan pendanaan. Apalagi pemerintah juga berencana menurunkan bunga Kredit Pemilikan Rumah (KPR) bersubsidi dari 7,25% menjadi 5%. Sehingga porsi pendanaan pemerintah akan lebih besar dari sebelumnya 75% menjadi sampai 90%. Sisanya menjadi tanggungan BTN. Jika kemudian ternyata dana yang tersedia masih kurang maka banyak opsi yang dapat dilakukan. Misalnya pemerintah memberikan Penyertaan Modal Negara (PMN) dalam rangka Program Sejuta Rumah kepada BTN. Alternatif lain dapat dilakukan dengan cara penempatan dana seperti BPJS, Taspen, Bapertarum PNS, LPDP, dan sejenisnya untuk mendukung program pemerintah untuk rumah rakyat. Bisa juga dengan mekanisme pinjaman off
Edisi 5 - 2015 shore dari World Bank, JICA, ADB, dan sejenisnya untuk mendukung tersedianya dana murah dari luar negeri. KPR Bagi Debitur Pekerja Informal Permasalahan backlog perumahan, kata Maryono, disamping cepatnya pertumbuhan populasi Indonesia juga disebabkan tingkat harga tanah yang sangat melonjak. Alhasil, saat ini pengembang kesulitan mencari tanah murah untuk dibangun rumah yang sesuai dengan standar harga pemerintah yang disubsidi oleh pemerintah. Disamping itu, skema cicilan KPR yang tersedia saat ini masih belum berpihak kepada masyarakat berpenghasilan tidak tetap atau pekerja informal seperti tukang bakso, ojek, pedagang kecil, pekerja restoran, dan lainnya. Bank terkesan pilih kasih dalam hal ini. Apalagi sebagian kelompok masyarakat penyandang cacat (disabilitas) yang walaupun memilki pendapatan tetap sulit mengakses KPR. Bank hanya menyalurkan KPR untuk kelompok sasaran yang memiliki penghasilan tetap seperti PNS, TNI, Polri dan karyawan swasta.
Hal itu diakui Maryono karena KPR subsidi harus melihat pendapatan maksimumnya. Akibatnya masyarakat informal butuh waktu lama untuk diteliti pendapatannya. Terkadang bisa satu tahun. Kalau dia calon debitur dengan profesi pedagang maka pembukuannya harus dilihat. “Kami akui tidak mudah, butuh waktu untuk persetujuannya. Tetapi bukannya tidak bisa. BTN bahkan sudah menyalurkan tetapi jumlahnya memang tidak sebesar debitur berpendapatan tetap,” akunya. Untuk mempercepat hal tersebut maka regulator, pengembang, dan bankir bisa merumuskan model cicilan yang lebih ideal. Karena pendapatan per kapita mereka berbeda-beda. Jika tidak, maka masyarakat informal selalu kesulitan memiliki rumah. Selain itu, intervensi pemerintah juga dibutuhkan untuk memastikan kesetaraan pembiayaan perumahan, bagi seluruh kelompok masyarakat. “Jadi tetap untuk mengatasi problematika perumahan nasional kuncinya ada pada political will pemerintah,” tutupnya. SUMBER FOTO: ISTIMEWA
Kredit Triguna,
Dana Untuk Perumahan Swadaya
P
ernah mendengar pembiayaan dengan skema P2BPK (Pembangunan Perumahan Bertumpu pada Kelompok). Nah, skema kredit yang lahir pada masa Orde Baru tersebut tenggelam sejak krisis 1998. Skema P2BPK kehilangan pilar pentingnya, yaitu Kredit Triguna yang pinjamannya bagi kelompok perumahan swadaya. Kredit Triguna diterbitkan berdasarkan kondisi dan kebutuhan pendanaan golongan masyarakat berpenghasilan rendah (tidak tetap) untuk pemenuhan kebutuhan pembangunan perumahan dan pemukiman yang bertumpu pada kelompok (khususnya di perkotaan yang memiliki kepadatan penduduk tinggi). Nah, karena skim kredit tersebutlah BTN pernah dianugerahi penghargaan oleh PBB. Bappenas beberapa waktu lalu pernah mengupas hal itu dalam kelompok diskusi terbatas. Bagaimana menghidupkan kembali P2BPK atau menyiasati pengembangan perumahan swadaya di tengah kendala birokrasi pemerintahan? Ketika ditanya hal tersebut Maryono mengakui belum bisa menjawab. Tampaknya hal ini tak masuk pemikiran pemerintah. Tetapi jika sesuai konsep Nawacita, bolehlah rasanya kembali dicipta. Tetapi, entahlah..
23
Himawan Arief Sugoto, Direktur Utama Perum Perumnas
Wawancara
Tupoksi Perumnas Tetap, Membangun Rumah Bagi MBR
SUMBER FOTO: ISTIMEWA
P
Perumnas mulai mendapat perhatian kembali dan didorong menjadi pelaku utama penyediaan perumahan rakyat oleh pemerintah
erum Perumnas mengklaim sejak dulu selalu menyediakan dan membangun perumahan menengah bawah. “Dari dulu lembaga kami tidak pernah menyimpang. Dari dulu kami tidak bangun apartemen mewah atau rumah mewah. Dari dulu kami masih tetap menyediakan dan membangun perumahan menengah bawah, “ungkap Direktur Utama Perum perumnas, Himawan Arief Sugoto. Nah, jika kemudian ada tudingan kami ikut-ikutan latah mengikuti jejak pengembang swasta maka yang kami lakukan adalah memaksimalkan kembali peran dan fungsi Perum Perumnas. “Kalau dulu semua hal dibantu pemerintah, sekarang kami harus menjalankan aksi korporasi sendiri, “ jelasnya. Tupoksi Perumnas jelas katanya, fokus pada pembangunan rumah bagi MBR, tidak hanya ke pembangunan komersial. Dijelaskan aksi korporasi sendiri tersebut termasuk mencari lahan dan dana sendiri yang melibatkan berbagai investor. Tentu saja kata Himawan, dana yang didapat dari investor harus dikembalikan berikut profitnya. Perumnas, lanjut Himawan, mengerjakan proyek dengan skala ekonomi yang memadai dan memenuhi, paling tidak overhead perusahaan. Himawan menjelaskan tahun 2014 lalu pencapaian kinerja perusahaan melebihi target RKAP dengan pendapatan Rp.1,338 triliun dan laba Rp.135 milliar dengan jumlah pembangunan penyediaan rumah sebesar 14.250 unit. Pelaku Utama Program Sejuta Rumah Nah, pada tahun ini, sesuai dengan kemampuan perusahaan, Perumnas bertekad menjadi salah satu pelaku program Sejuta Rumah yang dicanangkan pemerintah. Hal itu sejalan dengan Penyertaan Modal Negara (PMN) yang didapat sebesar Rp.1 triliun. “Kami berterimakasih, akhirnya disetujui PMN Perumnas sebesar Rp.1 triliun. Ini darah segar setelah 22 tahun. Terlebih, Perumnas mulai mendapat perhatian kembali dan didorong menjadi pelaku utama penyediaan perumahan rakyat oleh pemerintah,” jelasnya.
24
Mengingat target pembangunan rumah sebanyak 36.000 unit dalam bentuk Rumah Susun Sederhana Milik, Pengelolaan Rusunawa, dan Rumah Sederhana serta Rumah Sederhana Tapak maka perusahaan memikirkan untuk melakukan beberapa langkah diantaranya mengupayakan pembiayaan tambahan lewat penjualan surat utang, pemanfaatan aset pemerintah hingga melakukan sinergi antarBUMN untuk memaksimalkan pencapaian target yang sudah ditetapkan pemerintah. “Idealnya anggaran yang dibutuhkan untuk membangun rumah sebanyak itu berkisar Rp.5,4 triliun. Dana Rp.1 triliun masih kurang, sehingga kami harus mencari alternatif pendanaan melalui pinjaman,’’ katanya. Mengacu pada usulan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat untuk memaksimalkan fungsi misi Perumnas menyediakan perumahan rakyat, maka setidaknya pemerintah perlu membuat beberapa aturan. Pertama, memperbaiki peratuan pemerintah tentang Perumnas yakni dengan menambahkan empat lingkup kerja, yaitu Perumnas diberi kesempatan menjadi “land bank” (bank tanah) dan tanah-tanah milik pemerintah, khususnya Kemenpupera bisa diserahkan kepada Perumnas dengan aturan yang ada untuk dapat dikembangkan bagi pembangunan perumahan MBR.. Kedua, Perumnas menjadi pengelola perumahan umum sehingga fungsinya tidak hanya membangun, tapi juga mengelola. Peran Perumnas sebagai Badan Pengelola Permukiman, katanya akan diperkuat. Peraturan Pemerintah No. 15/2004 tentang Perum Perumnas perlu direvisi, terutama Bab II mengenai penugasan - agar Perumnas memiliki kewenangan dan peran maksimal sebagai penyedia perumahan bagi MBR. Ketiga, Perumnas mengembangkan kawasan siap bangun (kasiba). Keempat, Perumnas menjadi “National Housing Development”. Jadi tidak hanya support finansial terhadap Perumnas, tapi juga bussines opportunity. Dengan demikian Perumnas bisa menjadi public housing provider yang benar-benar memiliki kewenangan dan peran maksimal.
Edisi 5 - 2015
Selamat dan Sukses
Pencanangan Program Sejuta Rumah dan HUT BTN ke 65 HUT REI ke 43 HUT Bapertarum PNS ke 22 Hari Otonomi Daerah ke 19
25
Laporan Utama Raharjo Adisusanto, Presiden Direktur PT Sarana Multigriya Financial
SMF, Juragannya Lembaga Penyalur KPR
Penyaluran dana SMF kepada lembaga penyalur KPR dikhususkan untuk pembiayaan rumah pertama bagi masyarakat berpenghasilan menengah ke bawah
P
emerintah optimis melalui sinergi yang baik antarinstitusi terkait, Program Sejuta Rumah akan sukses. Terkait koordinasi dan sinergi antarinstitusi yang menangani perumahan tersebut, peranan lembaga pembiayaan sekunder perumahan, PT Sarana Multigriya Finanancial (SMF), tentu tidak boleh ditinggalkan. SMF merupakan ujung tombak pendukung pembiayaan perumahan bagi lembaga penyalur Kredit Pemilikan Rumah (KPR) seperti perbankan dan multifinance. Ingat, 70 persen kepemilikan rumah dibeli melalui KPR. Raharjo Adisusanto, Presiden Direktur SMF, menyebutkan KPR dengan masa angsuran yang cukup panjang tetap menjadi pilihan sebagian besar rakyat Indonesia yang ingin memiliki rumah. Namun perbankan belum bisa memenuhi kebutuhan KPR yang sangat besar tersebut. Sebab, bagi perbankan sumber dana yang tersedia untuk membiayai KPR umumnya berjangka pendek. Diantaranya berasal dari tabungan, giro, deposito, dan sebagian dari obligasi. Itulah yang menimbulkan kesenjangan jangka waktu dalam mengelola arus dana untuk KPR Nah, SMF terang Rahardjo menjadi entitas yang mendukung pembiayaan tersebut, dengan mendorong terciptanya pasar primer yang efisien dan kuat. Dengan demikian, menjadi landasan berdirinya pasar sekunder serta mendorong bank penyalur KPR untuk melakukan efisiensi dengan cara menjual hak tagih KPRnya melalui transaksi sekuritisasi. Singkat kata, tugas SMF adalah memasilitasi penjualan tagihan KPR dari bank penyalur KPR kepada investor di pasar modal dalam bentuk Efek Beragun Aset (EBA). Aset SMF sendiri adalah portofolio KPR itu. Selain itu, SMF juga menerbitkan obligasi ke pasar modal untuk mendapatkan dana jangka panjang yang hasilnya disalurkan kepada bank untuk membiayai penyaluran KPR. Lewat sekuritisasi, bank mendapatkan dana berjangka menengah/ panjang dari pasar modal dengan tingkat bunga tetap (fixed rate). Sehingga, ketika disalurkan kepada masyarakat dalam bentuk KPR, perbankan diharapkan dapat memberikan pinjaman dengan suku bunga yang tetap sampai dengan jatuh tempo. “Sekarang, perbankan tidak berani memberikan pinjaman dengan suku bunga yang tetap sampai dengan jatuh tempo. Kalaupun perbankan berani mematok fixed rate, paling hanya setahun. Sehingga hal ini akan membebani masyarakat menengah ke bawah karena bunga bisa naik sewaktu-waktu. Padahal, jika terjadi kenaikan suku bunga, cicilan KPRnya akan melonjak,” tambahnya. Bagi masyarakat menengah bawah, naiknya cicilan itu akan sangat berpengaruh. Kalau suku bunganya tetap, cicilannya akan tetap sampai jatuh tempo. Misalnya cicilannya Rp.500 ribu per bulan, akan tetap sampai jatuh temponya, 15 tahun misalnya. Dengan adanya SMF, perbankan bisa meminjam dana dalam bentuk jangka panjang, tidak lagi jangka pendek. Sekarang, misalnya, ada program KPR FLPP bersubsidi. Program itu
26
SUMBER FOTO: ISTIMEWA
tingkat bunganya dipatok fixed sebesar 7,25 persen/tahun dengan jangka waktu kredit 20 tahun. Butuh Dukungan Otoritas Perbankan Tantangan untuk sekuritisasi, menurut Raharjo, perbankan hingga sekarang masih enggan melakukan sekuritisasi atas tagihan KPRnya. Mengapa? Karena kalau mereka melakukan sekuritisasi, maka tagihan KPRnya akan dikeluarkan dari pembukuan bank. Ini akan mengganggu pembukuan bank yang masih ingin mengejar pertumbuhan aset. Padahal, sekuritisasi tak harus menurunkan jumlah aset. Caranya, setelah portofolio KPRnya disekuritisasi, harus segera disalurkan kembali dalam bentuk KPR. “Itu yang selalu kami sosialisasikan kepada perbankan. Tetapi, mungkin sosialisasi saja tidak cukup. Kami juga memerlukan dukungan dari otoritas perbankan,” paparnya. Pada penyaluran pinjaman, ada lagi tantangannya. Perbankan masih lebih memilih sumber pendanaan dari tabungan dan deposito karena bunganya lebih murah dan lebih banyak jumlahnya. Ketiga adalah tantangan saat penerbitan surat utang atau obligasi. Sebenarnya obligasi SMF, kata Raharjo, diminati oleh investor di pasar modal dari kalangan institusi seperti asuransi, perbankan, dan beberapa perseroan. “Tantangannya beberapa investor masih menghendaki premi yang tinggi,” terangnya. Adapun perbankan yang telah bekerjasama dengan SMF antara lain Bank BTN, Bank DKI, Bank Nagari, Bank Muamalat, Bank Mandiri Syariah dan Bank BJB Syariah. Sementara itu, lembaga nonbank yang memanfaatkan pembiayaan perumahan sekunder yaitu MNC finance, Kredit plus dan Ciptadana. “Proporsi pembiayaan terbesar yaitu masih disalurkan kepada Bank BTN sebagai debitur melalui sistem sekuritisasi”, ujarnya Untuk tahun ini, Raharjo memprediksikan akan ada tambahan lembaga jasa keuangan yang tertarik bekerjasama dengan pembiayaan sekunder perumahan. Pasalnya, potensi pembiayaan perumahan masih sangat besar mengingat adanya kesenjangan antara permintaan dan pengadaan rumah apalagi ada program pembangunan sejuta rumah. “Ini peluang bagi lembaga penyalur yang ingin ikut program sejuta rumah,” cetus Rahardjo. Ke depan SMF berencana membuat anak perusahaan yang tugasnya menyalurkan KPR kepada MBR khususnya dalam bentuk kredit micro finance bagi pekerja di sektor informal. “Masih kami jajaki dan untuk itu akan menggandeng perusahaan asuransi,” pungkasnya.
Selamat dan Sukses
Edisi 5 - 2015
Pencanangan Program Sejuta Rumah dan
HUT BTN ke 65 HUT REI ke 43 HUT Bapertarum PNS ke 22 Hari Otonomi Daerah ke 19
Selamat dan Sukses
Pencanangan Program Sejuta Rumah & HUT BTN ke 65 HUT REI ke 43 HUT Bapertarum PNS ke 22 Hari Otonomi Daerah ke 19 27
Laporan Utama
Chavidz Ma’ruf, PT. Propernas Griya Utama
Bangun Rusunami untuk Program Sejuta Rumah
PT
. Propernas Griya Utama, anak usaha Perum Perumnas, yang berdiri sejak 2009, terus bergerak maju. Bahkan rencananya perseroan juga akan ikut melantai di Bursa Efek Indonesia (BEI), akhir 2015 mendatang. Saat itu, Propernas diharapkan sudah memiliki banyak aset untuk mendukung kinerja perusahaan. Namun demikian, Chavidz Ma’ruf, Direktur Utama Propernas, mengatakan, Propernas akan tetap berada di garda depan mendukung program pemerintah khususnya untuk penyedian rumah susun bersubsidi. “Program sejuta rumah sebagian berupa rumah susun sederhana milik. Nah Propernas ikut membangun rusunami. Salah satunya di Bekasi di proyek Sentraland Bekasi,” terangnya. Proyek tersebut berupa 5 menara yang merupakan mixed use development terdiri dari apartemen, rusunami, perkantoran, serta pusat perbelanjaan Proyek rusunami berikutnya di Jawa Tengah. Namanya Sentraland Semarang. Sama dengan di Bekasi, proyek yang berdiri di atas lahan seluas setengah hektar ini juga merupakan proyek campuran komersial dan rusunami. Untuk rusunami, jelas Chavidz, akan berjumlah sebanyak 526 unit dengan tiga tipe, yakni studio seluas 18 m2, 1 kamar tidur dengan luas 27 m2, dan 2 kamar tidur dengan luas 36 m2. Sayang, perihal harga, Chavidz masih tutup mulut. Alasannya masih menunggu regulasi dari pemerintah. Sebagai informasi harga jual rusunami di wilayah kota lama semarang adalah Rp 7,2 juta per m2. Propernas juga tengah menggarap perumahan yang tersebar di Jakarta Timur, Bekasi,
Tanjung, Kalimantan Selatan, dan Batu Ampar, Tarogong, Balikpapan. Semua proyek tersebut membidik pangsa pasar kelas menengah. Menurut Chavidz, meskipun baru seumur Jagung tetapi Propernas sudah mampu meraih omset lebih dari Rp.100 miliar dan menargetkan dalam tiga tahun ke depan menjadi Rp.1 triliun. “Propernas tetap berkomitmen menjadi mitra pemerintah menyediakan hunian yang terjangkau, termasuk menyukseskan program sejuta rumah,” pungkasnya.
Chavidz Sang Perintis
M
embangun budaya baru. Itulah tugas yang menurut Chavidz Ma’ruf, Direktur Utama PT. Propernas Griya Utama menjadi jalan nasibnya. Pengalaman sebagai babat alas alias perintis sering ia lakoni. Pertama, ketika diminta membesarkan perusahaan di Medan. Ketika sudah besar ia kemudian ditugaskan lagi ke Gresik. Begitulah seterusnya. Sampai akhirnya ia diminta membangun dan membesarkan anak usaha Perum Perumnas ini. Padahal tantangan membangun Propernas datang tepat 3 tahun sebelum ia pensiun. Menurutnya, ada tantangan tersendiri saat membesarkan perusahaan dari nol kemudian menjadi dewasa. “Saya masuk Perumnas itu 1981 sampai tiga tahun jelang pensiun, saya dipercaya membesarkan Propernas,” kenangnya. Kinerja yang cukup baik mengantarkan Chavidz mendapatkan beasiswa studi ke Belanda jurusan Teknik Lingkungan. Setelah menempuh studi ke Belanda, pria kelahiran 22 September 1955 itu dipanggil lagi untuk menempati ‘lahan’ baru. Tahun 1995, saya harus membuka Kota Baru di Griyo Rejo di Gresik Jawa Timur. SUMBER FOTO: ISTIMEWA
28
Edisi 5 - 2015 SUMBER FOTO: ISTIMEWA
Enam Tanya Kepada
“Kang DN” (Bupati Bandung) tentang Pemenuhan Hunian Rakyat
M
anakala Pemerintah Pusat (Kemen PU-Pera) mencanangkan Program Sejuta Rumah untuk Rakyat tahun 2015, kabupaten Bandung yang memiliki motto pada lambangnya REPEH RAPIH KERTARAHARDJA (suasana Kehidupan yang aman tenteram, rukun tertib dalam lingkungan yang bersih sehat dan asri dalam satu tatanan kehidupan yang sejahtera lahir batin secara seimbang, serasi, adil, merata) menyambut program tersebut dengan memadupadankannya dengan beberapa program strategis yang tengah digarap seperti pembangunan jalan Tol Soreang-Pasirkoja (SOROJA), Pembangunan Kota baru Tegalluar. Drs. H. Dadang Nasser SH.MiP., Bupati Bandung yang dikenal dengan panggilan akrab “Kang DN” mengandalkan benar konsep “SABILULUNGAN” dalam kiprahnya membangun Kabupaten Bandung (luas 1,7 juta km2, populasi penduduk 3,17 juta jiwa dengan tingkat kepadatan 1,8 ribu jiwa/km) termasuk konsep pemenuhan hunian rakyat, khususnya bagi MBR di kabupaten Bandung. Hasil kerja kerasnya menghasilkan penghargaan Adidaya Puritama tahun 2014. Berikut wawancara Endrawan Natawiria/EN (HUD Magz) dengan Kang DN :
EN : Sepertinya Kang DN mengandalkan benar konsep SABILULUNGAN sebagai konsep sukses pembangunan kabupaten Bandung. Bisa dijelaskan ? Kang DN :Secara praktis dan pragmatis “Sabilulungan” yang sudah mengurat mengakar dalam konsep budaya orang Sunda diterjemahkan sebagai “Gotong Royong” namun sebenarnya lebih dari itu, dalam konsep “Sabilulungan” terdapat maknasaling berbagi, saling mengasihi, saling memahami, saling memedulikan kepentingan antarelemen sosial dalam mewujudkan kesejahteraan bersama. EN : konkritnya penerapan konsep Sabilulungandalam pemenuhan hunian MBR di Kabupaten Bandung? Kang DN :Pemenuhan hunian rakyat tanpa menyiapkan lahan tentunya musykil dan mustahil. Oleh karena itu,kabupaten Bandung dengan angka backlog 50.174 unit telah menyiapkan land bank di 6 (enam) titik kecamatan kabupaten Bandung seperti di Cileunyi, Ciparay, Majalaya, Banjaran, Soreang dan Kutawaringin. Khusus untuk PNS kabupaten Bandung,data Bapertarum menunjukkan dari sekitar 23 ribu PNS di pemkab Bandung, 9.000 belum SUMBER FOTO: ISTIMEWA
29
filantropi yaitu para dermawan Priangan Planter. Maka terwujudlah Kampus THS (ITB sekarang), Gedung Socitet (Gedung Merdeka), Peneropongan Bintang Boscha dan masih banyak lagi. Kedermawanan yang bermanfaat bagi orang banyak seperti inilah yang selaras dengan konsep Sabilulungan. EN : Kementerian Dalam Negeri sedang mewacanakan pembebasan seluruh perijinan pembangunan rumah bersubsidi dan Kementerian Agraria dan Tata Ruang sedang bersiap menggodok aturan pembebasan BPHTB (Biaya Penerimaan Hak Tanah dan Bangunan) untuk rumah bersubsidi, Pemerintah Kabupaten Bandung siap melaksanakannya ? SUMBER FOTO: ISTIMEWA
memiliki rumah. Dengan program TBUM (Tambahan Bantuan Uang Muka)Bapertarum PNS hingga Rp.30 juta per PNS untuk semua golongan kepangkatan, maka harapan PNS di kabupaten Bandung yang belum memiliki rumah bisa terwujud.Demikian pula bagi MBR pekerja industri seperti di Rancaekek, Banjaran, Majalaya, saya berharap bisa membangun hunian bagi mereka dengan dukungan Program Pinjaman Uang Muka BPJS Ketenagakerjaan bagi para pekerja. Program pemenuhan rumah bagi MBR di kabupaten Bandung ini tentu saja harus melibatkan para pengembang perumahan,terbagi dalam beberapa zona agar pembangunan perumahan/hunian tidak hanya terpusat di ibu kota kabupaten, Soreang. Poin pentingnya, saya ingin melibatkan banyak pihak dalam pemenuhan hunian rakyat, lembaga jaminan sosial, investor (pengembang) termasuk para dermawan (filantrofi). Dengan konsep Sabilulungan ini pula, Pemerintah Kabupaten Bandung mengentaskan populasi Rumah Tidak Layak Huni (Rutilahu) dari 70.000 unit menjadi 30.000 unit. Semoga bisa tuntas pada masa akhir jabatan saya. EN : Banyak pemerhati perumahan yang mengkritisi bahwa tersendatnya “supply” perumahan MBR karena mahalnya perijinan di Pemda. Pendapat Kang DN ? Kang DN : di Pemda Kabupaten Bandung tidak ada penarifan perijinan pembangunan perumahan, dalam penerapan IMB pun terdapat perbedaan penerapan biaya antara rumah mewah, rumah menengah dan rumah sederhana bagi MBR. Jika ada biaya yang dikeluarkan untuk studi AMDAL, UKL/UPL, Andalalin, sesungguhnya untuk kenyamanan dan keamanan pengembang itu sendiri. Saya senang jika para pengusaha yang berkiprah di wilayah kabupaten Bandung memperoleh marjin yang baik, namun saya himbau agar mendukung pengembangan ekonomi kabupaten Bandung, baik berupa CSR untuk para UKM maupun sumbangan lain. Secara historis, pembangunan kabupaten Bandung ‘tempo doeloe’ banyak didukung para
30
Kang DN :Jika sudah merupakan ketentuan Pemerintah tentu kami siap melaksanakannya. EN : Dalam sebuah hasil polling sebuah lingkaran survei di Jawa Barat, Kang DN tidak menempati peringkat Kepala Daerah yang paling terkenal di Jawa Barat namun Kang DN tercatat sebagai Bupati yang menempati peringkat teratas dalam pemberitaan positif. Catatan lain menunjukkan bahwa Kang DN bukan tipe pemimpin “One Man Show” sehingga kebijakan Kang DN dipatuhi dan dilaksanakan hingga strata pegawai terendah. Apa itu juga karena konsep Sabilulungan ? Kang DN : Tentu saja, konsep Sabilulungan mengajarkan kebersamaan. Apa artinya kepemimpinan jika hanya sekedar konsep untuk mendukung pencitraan, yang majal dan tidak bisa diaplikasikan oleh para stafnya. Keberhasilan Pembangunan Kabupaten Bandung bukan ansich keberhasilan seorang Dadang Nasser tetapi keberhasilan seluruh stakeholder dan shareholder Pemerintah Kabupaten Bandung. Dalam hal pemenuhan hunian Rakyat, saya berharap upaya menekan angka backlog pun mendapat dukungan dari semua pihak. EN : Bagaimana kelanjutan pembangunan kotabaru Tegalluar ? Kang DN : Pembangunan kota baru Tegalluar sebagai satu konsep pembangunan kota yang terpadu, termasuk konsep hunian didalamnya, direncanakan akan berlanjut pada tahun ini. Pembangunan proyek strategis ini membutuhkan investasi 2,7 trilyun Rupiah dengan sumber pendanaan dari pemerintah dan swasta. Tentu saja bukan berarti tanpa hambatan dan memerlukan penyempurnaan. Realisasi pembangunan Kota Baru Tegalluar (KBT) yang berdampingan dengan “Techno Polis” kota Bandung ini akan meningkatkan competitiveness yang sehat bagi kabupaten Bandung. Endrawan Natawiria, pemerhati masalah perumahan, Sekjen DPP AP2ERSI, Wakil Ketua KADIN Kabupaten Bandung, tinggal di Bandung.
Edisi 5 - 2015
Ahmed Zaki Iskandar, B.Bus., SE, Bupati Kabupaten Tangerang
Kabupaten Tangerang, Berandanya Indonesia Program satu juta unit rumah bisa disinergikan dengan Gerakan Bersama Rakyat Atasi Kawasan Padat Kumuh dan Miskin (Gebrak Pakumis)
P
emerintah Kabupaten (Pemkab) Tangerang bersama pemerintah pusat dalam hal ini Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat bisa mensinergikan program Gerakan Bersama Rakyat Atasi Kawasan Padat Kumuh dan Miskin (Gebrak Pakumis) dengan program pembangunan satu juta unit rumah. Hal itu sebagai bentuk dukungan dan peran serta daerah dalam mengentaskan backlog perumahan, kawasan kumuh dan mengurangi kemiskinan. Hal itu dikemukakan oleh Ahmed Zaki Iskandar, B.Bus., SE, Bupati Kabupaten Tangerang ketika diminta pendapatnya tentang program pembangunan 1 juta rumah yang diluncurkan oleh Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat. “Kami sangat mendukung program 1 juta rumah. Cukup bagus karena di dalamnya juga melibatkan pemda. Program itu tujuannya hampir sama dengan Gebrak Pakumis yang kami luncurkan empat tahun lalu. Dan terbukti mampu mengurangi kawasan kumuh, mengurangi backlog perumahan melalui pembangunan fisik, sosial, dan ekonomi,“ terangnya. Gebrak Pakumis katanya merupakan gabungan Program
Kerjasama Pembangunan dengan Program SUMBE R FOTO : ISTIM EWA Lingkungan Sehat Perumahan. Kegiatannya berupa pelaksanaan penyusunan data base, pelatihan pengelola program stimulan dan penyaluran dana stimulan seperti bantuan stimulan perumahan swadaya, sertifikasi atas tanah, maupun program penanganan perumahan dan permukiman kumuh berbasis kawasan. “Fokus utama program ini adalah peningkatan kualitas rumah tidak layak huni dan penataan kawasan kumuh berbasiskan kebutuhan masyarakat.,” kata Zaki. Dijelaskannya, dalam program ini Pemda Tangerang mengutamakan inisiatif dan gerakan komunitas. “Kenyataan seperti disampaikan Bappenas, program formal hanya dapat menghasilkan 20 persen dari housing supply sedangkan sisanya dibangun sendiri oleh masyarakat atau komunitas melalui proses dan usaha informal. Harusnya program sejuta rumah arahnya juga kesana. Hasilnya bukan hanya 1 juta pertahun, tetapi bisa lebih,” sarannya. Ia mencontohkan usulan perlunya pengembangan kampung susun di kawasan padat penduduk perkampungan nelayan dan pekerja sektor informal. Perlu eksperimen kampung susun mixed use dengan mengembangkan cross subsidy, sehingga meringankan biaya yang ditanggung oleh masyarakat. Kampung susun itu diharapkan ikut mengembangkan peluang ekonomi rakyat sekitarnya. Pemerintah bisa membantu dengan pembangunan prasarana dan sarana umum, kemudahan administratif, serta akses perkreditan yang terjangkau oleh MBR. “Harus disadari bahwa pengembangan permukiman yang terjangkau oleh MBR harus menjadi prioritas dalam program pembangunan, karena itu secara langsung memperbaiki kawasan kumuh,” Pemda katanya tidak bisa memikirkan hal itu sendiri. Karena itu, ia mengajak para ahli, unsur perguruan tinggi, dan komunitas bergerak bersama. “Saya akan dukung sesuai kewenangan saya, jika kemudian ada pemikiran yang mampu mengurangi persoalan perumahan. Maklum, Tangerang itu adalah berandanya Indonesia. Orang turun dari pesawat yang dilihat pertama adalah Tangerang,” pungkasnya.
31 SUMBER FOTO: ISTIMEWA
Laporan Utama
Kota Wisata Batu Bangun Rumah Tanpa Program Perumahan
M
araknya pembangunan sejuta rumah yang dicanangkan Pemerintah Pusat nampaknya tidak membuat pemerintah kota Batu tertarik untuk membangun kawasan perumahan. Kota berpanorama pegunungan dan kawasan pertanian yang indah, serta terkenal dengan produk buah Apel ini tetap mempertahankan kawasan pertanian dan perkebunan. Walaupun tidak tertutup kemungkinan tumbuhnya kawasan permukiman baru, namun sepanjang 2014 sampai 2015 pemerintah kota Batu baru menerbitkan 80 unit ijin mendirikan bangunan rumah. Walikota Batu, Edi Rumpoko yang akrab di dipanggil ER, saat di temui di ruang dinasnya menegaskan bahwa di kota Batu tidak ada kebijakan untuk membuka perumahan. Berdasar sejarah, pembangunan permukiman baru didominasi rumah mewah. Bahkan program perumahan tidak masuk dalam program pemerintahan saat ini. ER tidak ingin kota Batu menjadi kota metropolitan yang padat penduduk, tetapi lebih diarahkan sebagai pusat agriwisata. Saat disinggung pembangunan perumahan yang ada, ER menjelaskan pembangunan tersebut hanya untuk memenuhi kebutuhan hunian masyarakat kota Batu sendiri dan bukan untuk pendatang. Kota Batu identik dengan pertanian dan perkebunan, sehingga kondisi ini tetap akan dipertahankan. Program agrowisata sebagai program unggulan yang terbukti dari jumlah pengunjung wisata yang sudah mencapai angka 4 juta setiap tahunnya SUMBER FOTO: ISTIMEWA Terkait hunian Pegawai Negeri Sipil (PNS), yang belum memiliki Rumah sendiri, ER baru angkat bicara tentang pembangunan perumahan yang sudah direncanakan. Didampingi Kepala Dinas Perumahan Ir. Budi Santoso, dikatakan bahwa pembangunan perumahan kota Batu hanya untuk memenuhi kebutuhan PNS Golongan Satu dan Golongan Dua serta khusus untuk mantan pejuang (veteran) yang masih hidup. Mengingat gaji PNS dan pensiunan Veteran sangat kecil, rumah yang akan di bangun di upayakan bisa terjangkau melalui bantuan subsidi
32
pemerintah. Perumahan yang akan di bangun masingmasing 75 unit untuk Veteran dan 2.000 unit untuk PNS yang dibangun secara bertahap. Rencana ini masih perlu dibicarakan dengan pihak DPRD, termasuk teknis pelaksanaan dan besarnya subsidi masih dalam kajian Dinas Perumahan dan dinas terkait lainnya. Bentuk bantuan berupa prasarana dan sarana umum, bebas biaya perijinan, biaya IMB, jaringan listrik dan air yang dapat menghemat biaya hingga 20% dari total proyek. Harga maksimal rumah Rp.115 juta per unit. Bantuan ini akan sangat membantu veteran dan PNS untuk dapat memiliki rumah. “Kalau pemerintah daerah tidak memberikan bantuan kepada PNS golongan satu dan dua … kapan mereka bisa punya rumah” kata ER, “yang terpenting kita bisa membuat mereka tertawa dan sejahtera”. Masih terkait perumahan, pemerintah kota wisata Batu juga mempunyai program hunian untuk masyarakat tidak mampu, berupa bedah Rumah yang pelaksanaannya dari nol hingga selesai. Rumah yang dibedah dirubuhkan dengan tanah dan dibangun kembali hingga selesai dan layak huni. Pada tahun 2014 target Bedah Rumah sebanyak 1.000 unit rumah bagi warga yang tidak mampu, dengan anggaran setiap rumah mencapai Rp.34.600.000,-. Namun dalam kenyataannya yang tercapai hanya 284 unit saja. Melihat kondisi tersebut untuk tahun 2015 target Bedah Rumah turun menjadi 700 unit rumah.
Edisi 55 -- 2015 2015 Edisi
Selamat dan Sukses
Pencanangan Program Sejuta Rumah dan
HUT BTN ke 65 HUT REI ke 43 HUT Bapertarum PNS ke 22 HariOtonomi OtonomiDaerah Daerahke ke19 19 Hari
33 15
Testimoni Eddy Hussy, Ketua Umum DPP REI (Dewan Pimpinan Pusat Real Estate Indonesia)
Belum Tampak Dukungan Nyata dari Pemerintah Daerah
R
EI sangat mengapresiasi program pemerintah membangun satu juta rumah dan kami anggota REI harus mendukungnya. Namun program tersebut harus dibarengi dengan kebijakan, terutama regulasinya dari pusat sampai ke daerah. Beberapa kebijakan, seperti perizinan yang membutuhkan waktu panjang dan biaya tinggi di daerah, serta konsep pengembang perumahan untuk kelas masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) menurut kami masih belum jelas. Kami mendapatkan informasi dari anggota, beberapa daerah mengeluhkan peran Pemda terkesan membiarkan pengembang mengusahakan sendiri penyediaan satu juta unit rumah tersebut. Kondisi itu jelas mengundang kekhawatiran mengingat lokasi pembangunannya di daerah dan memerlukan campur tangan Pemda khususnya dalam hal regulasi
Anton R Santoso, Ketua Umum APERSI (Asosiasi Pengembang Perumahan dan Permukiman Seluruh Indonesia)
K
ini yang diperlukan untuk menindaklanjuti program ini adalah pembiayaannya. Harus diakui kebutuhan hunian kita masih sangat tinggi, tapi pemerintah jangan hanya fokus pada pembangunan rumahnya saja, pembiayaannya juga harus dicukupi. Jangan sampai nanti rumahnya dibangun tapi tidak ada yang sanggup membeli. Untuk itu, pemerintah harus menjamin dana yang cukup untuk skema Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP). Selama skema pendanaannya cukup, Anton optimis rumah yang dibangun akan terserap. Pengembang sebagai institusi usaha pasti akan memerhatikan permintaan sebelum membangun proyeknya sehingga kalau tidak ada yang membeli pasti proyek tersebut tidak akan dibangun. Anggota APERSI akan membangun 66 ribu unit rumah bersubsidi. Lokasinya 50 persen di Jawa, selebihnya tersebar di Sulawesi Tenggara, Bangka Belitung, Tanjung Pinang, dan beberapa lokasi lain. Sebanyak 66 ribu unit itu siap untuk dibangun, kami tinggal menunggu pencanangan dari pemerintah. Harganya rata-rata Rp.110 juta-Rp.115 juta.
Feri Sandiyana, Ketua Umum AP2ERSI (Asosiasi Pengembang Perumahan Rakyat Seluruh Indonesia)
Jawa Barat Masih Penyuplai Terbesar
U
ntuk mendukung program satu juta rumah, AP2ERSI akan membangun 5.000-6.000 unit rumah tapak bersubsidi dari Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP). Target tersebut naik dari tahun lalu sekitar 25% dari 4.000 unit rumah tapak bersubsidi. Menurut kami pasar rumah bersubsidi sampai saat ini masih bagus. Atas kondisi itu, kami berani menambah target pembangunan dari tahun lalu.
34
Wilayah di Jabar misalnya masih menjadi penyangga pasar rumah tapak bersubsidi terutama di wilayah Bogor, Bekasi, Tangerang, dan Purwakarta. Adapun di kota Bandung rumah tapak sudah sulit dibangun karena ketidaktersediaan lahan sehingga tidak bisa dijual dibawah harga Rp.108 juta-Rp.115 juta rumah tapak per unit.
Hari Nugraha Nurjaman, Ketua IAPPI (Ikatan Ahli Pracetak dan Prategang Indonesia)
Harus Disusun Perencanaan dan Pendataan Secara Rinci
P
rogram sejuta rumah adalah salah satu program strategis infrastruktur dari pemerintahan Kabinet Kerja 2015-2019. Program ini didanai oleh berbagai komponen pembiayaan, yang salah satunya dari pengalihan subsidi bahan bakar minyak. Keberhasilan program ini menjadi sensitif karena menggunakan dana yang tadinya dinikmati seluruh rakyat secara langsung, sehingga dari segi kualitas haruslah terjamin dihasilkan produk perumahan yang baik. Industri pracetak dan prategang yang selama ini sudah mendukung pembangunan perumahan yang berkualitas, produksi massal dan cepat serta ekonomis, sangat mendukung program tersebut karena sangat sesuai dengan karakter industri ini. Agar program tersebut dapat dilakukan secara sistematik, disarankan agar pada awal progam dilakukan pendataan kebutuhan yang terinci, agar dapat disusun rencana pemenuhan kebutuhan per tahun sampai tahun 2019, baik jumlah maupun penyebaran dan juga skema pembiayaannya. Jika rencana kebutuhan tersebut sudah terdefinisi, maka industri pracetak dan prategang dapat merencanakan dengan tepat investasi yang diperlukan, baik teknologi, sentra produksi, peralatan dan sumber daya manusia untuk mendukung program tersebut.
P
Heroe Soelistiawan, Direktur Utama Bapertarum-PNS
emancangan tiang perdana program sejuta rumah akan digelar pada 30 April 2015 dengan konsep telekonferensi di delapan wilayah terpilih antara lain Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Banten, Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur, Kalimantan dan Sulawesi. Program sejuta rumah akan dibangun di 33 provinsi. Namun seremonialnya hanya digelar di 18 provinsi dengan melibatkan 240.000 unit rumah. Dari 18 provinsi yang digelar seremonial, hanya ada 8 wilayah terpilih untuk mewakili telekonferensi. Delapan wilayah terpilih itu merupakan kawasan yang paling siap bangun mulai dari tahapan perizinan hingga kondisi fisik wilayah. Siaran teleokonferensi itu yang nantinya menjadi bukti kepada publik bahwa pemerintah, pemda dan seluruh stakeholder, serius dengan program sejuta rumah. Pusat seremonial pemancangan tiang perdana akan dilakukan di Semarang, Jawa Tengah. Pemerintah akan membangun dua menara rumah susun sederhana sewa (rusunawa). Perhelatan tersebut sekaligus digelar dalam rangka menyambut hari buruh nasional pada 1 Mei mendatang. Acara di Semarang nanti akan diresmikan langsung oleh Presiden.
Edisi 5 - 2015
35
Testimoni
Sejuta Rumah, Dimata Pengusaha Pemerintah akan meluncurkan program sejuta rumah untuk rakyat pada April tahun ini. Namun sementara ini sebagian besar program tersebut hanya bisa dimanfaatkan oleh buruh, pegawai negeri sipil (PNS), polri, dan TNI dan pekerja yang berpenghasilan tetap. Bagaimana dengan pekerja di sektor informal. Berikut sumbang saran dari beberapa pengusaha perumahan. Endang Kawidjaja, Direktur Utama Delta Group
Sejuta Rumah untuk MBR Sektor Informal
P
rogram pembangunan sejuta rumah tentunya harus didukung badan usaha. Sebagai pengembang ini sebuah momentum untuk iklim usaha yang lebih baik. Pemerintah juga harus memperhatikan sisi suplai bagaimana mendorongnya. Kami berterimakasih konsumen sudah diberikan bunga 5 persen. Itu tentu sangat menarik tetapi kepastian dan percepatan dalam hal perizinan juga penting. Satu pekerjaan rumah pemerintah mengeksekusi program KPR untuk sektor informal. Selama ini hanya kurang dari 5 persen yang bisa KPR padahal konsumen yang bekerja di sektor informal adalah konsumen yang loyal. Boleh dibilang NPL mereka nyaris nol. Pemerintah harus memiliki program nyata jangan hanya wacana untuk membantu MBR yang bekerja di sektor informal. Untuk program sejuta rumah ini kita sangat antusias karena kita melihat koordinasi yang dilakukan oleh pemerintah semakin intens. Hanya perlu ditingkatkan kerja sama antara pemerintah pusat dan daerah sehingga perizinannya bisa lebih cepat dan murah.
Djaja Roeslim, Direktur Utama Putera Karyasindo Prakarsa Group
Harus Ada Dorongan Dan Insentif Bagi Pengusaha Kecil
S
ebagai pengusaha tentu kami sangat antusias dengan program pemerintah. Ini bentuk keberpihakan negara kepada masyarakatnya. Saya sebagai pengusaha turut mendukung upaya ini. Tentu banyak catatan yang sebaiknya diperhatikan Pemerintah. Harus ada dorongan dan insentif dari pemerintah bagi pengembang kecil dengan pemberian kredit konstruksi, dan kemudahan perizinan. Selain itu, pemerintah juga harus membantu dalam pengadaan lahan, karena para pengembang menengah ini punya cadangan lahan tidak besar. Jika dibantu pemerintah, pengembang siap membangun, terlebih di daerahdaerah yang akan dibangun infrastruktur. Penting juga diperhatikan era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) segera berlaku Desember tahun ini, semua pihak sudah seharusnya mempersiapkan diri menghadapinya, baik pemerintah, pengusaha dan masyarakat. MEA menjadi isu yang sangat sentral dan perlu mendapat perhatian lebih, baik oleh pemerintah, pelaku usaha dan masyarakat. MEA sudah di depan mata, kita memiliki banyak penduduk, jangan sampai hanya
36
menjadi pasar dan menonton saja, tetapi harus mampu bersaing. Khusus properti, harga di Batam jauh lebih murah dibandingkan Singapura, 40 kali lipat perbedaannya. Saat ini di Batam pasokan rumah bagi MBR sekitar 2.000-2.500 unit yang merupakan rumah FLPP. Pembangunan rumah FLPP sedikit karena keterbatasan lahan, itupun lokasinya berada di Tanjunguncang dan Tanjungpiayu.
Soelaeman Soemawinata, PT Alfa Goldland Realty
Tetapkan Struktur Pendapatan Masyarakat
P
rogram sejuta rumah tentu sangat dinantikan masyarakat dan pengembang di Banten. Masyarakat Banten merasakan kebutuhan rumah masih sulit terpenuhi. Ada kesenjangan. Untuk menutupi kesenjangan antara jumlah rumah terbangun dengan jumlah yang dibutuhkan atau backlog maka bisa dengan cara penetapan struktur pendapatan konsumen. Penetapan struktur pendapatan masyarakat dapat memberikan kejelasan atas tanggung jawab yang diemban seluruh stakeholder.“Kemampuan konsumen harus diklasifikasikan. Dengan begitu, akan terlihat mana peran yang dapat ditanggung oleh pengembang dalam mengurangi backlog, dan di mana peran pemerintah seharusnya. Solusi ini, berdasarkan pertimbangan tidak semua penduduk Indonesia mampu memenuhi seluruh persyaratan yang diberikan pihak perbankan ketika akan mengajukan pembiayaan perumahan. Persyaratan umum pihak perbankan, lanjutnya, mewajibkan seluruh konsumen yang akan mengajukan pembiayaan perumahan memiliki pekerjaan tetap. Sementara, tidak banyak bank yang menyediakan persyaratan pembiayaan perumahan untuk konsumen yang berwiraswasta. Oleh karena itu, ujarnya, harus dibentuk suatu regulasi umum yang membahas kriteria konsumen dengan profesi wiraswasta atau pekerjaan tidak tetap lainnya guna pengajuan pembiayaan perumahan kepada bank. SUMBER FOTO: ISTIMEWA
Edisi 5 - 2015
Jangan Bermimpi Bangun Rumah MBR, jika Kebijakannya Tidak Konsisten Dr. H. Taufik Iman Santoso, SH., Mhum.* Target sejuta rumah jangan sekedar ungkapan “political will”. Jika ingin terlaksana baik harus konsisten dan berjangka panjang.
R
encana pembangunan sejuta rumah oleh pemerintahan Jokowi –Jusuf Kalla akan memberikan dampak positif bagi pengembang. Jika pemerintah serius, kebijakan ini akan mampu mendorong peningkatan ekonomi nasional. Pembangunan rumah adalah lokomotif ekonomi karena akan menjalankan 100 kegiatan ekonomi lainnya. Hal itu akan menaikkan daya beli masyarakat. Kalau memang 1 juta rumah yang dibangun, akan ada 2 juta tenaga kerja yang terlibat dalam pembangunan perumahan. Asumsinya adalah 1 rumah diperlukan 5 tenaga kerja selama 5 bulan masa pembangunan per-unit. Namun, pemerintah mesti konsisten dengan apa yang dicanangkan. Dalam Pasal 54 UU No. 1/2011 dinyatakan bahwa pemerintah pusat dan pemerintah daerah wajib membantu pembangunan rumah buat kalangan masyarakat berpenghasilan rendah. Untuk itu, masing-masing pihak perlu secara konsisten melaksanakan dan menjamin hal berikut. Pemerintah Pusat Pola skim kredit, termasuk bantuan bunga dan besaran uang muka, harus berlaku dalam jangka panjang. Sering terjadi pemerintah dengan mudah merubahnya dan tidak peduli dengan kondisi pengembang yang telah membangun dan berinvestasi. Sebagai ilustrasi, penyiapan sebuah proyek rumah sederhana membutuhkan waktu 1 (satu) tahun. Dimulai dengan pembebasan tanah hingga perijinan. Perubahan skim akan berdampak pada keterlambatan penyelesaian proyek yang menyebabkan kerugian meningkatnya biaya bunga kredit kontruksi. Disamping itu, kebijakan perpajakan harus konsisten sesuai perundangan yang berlaku. Misalnya wajib pajak kalau membayar pajak tidak perlu menunggu validasi pemerintah karena sudah diatur dengan undang-undang dengan dasar NJOP atau harga transaksi dan metode pembayaran “full self assessment system”. Hal terpenting lainnya perlunya disiapkan skim khusus bagi masyarakat berpenghasilan informal seperti pedagang makanan, pedagang kaki lima (PKL), dan lain-lain yang sulit mendapat akses KPR.
Pemerintah Daerah Pembangunan perumahan ini menggunakan dana investasi swasta sehingga keuntungan menjadi tujuan utama. Namun dibutuhkan kemudahan dan bantuan pemerintah daerah seperti perijinan, IMB, sertifikat agar masyarakat dapat dengan mudah memperoleh akses pada kebijakan pemerintah pusat ini. Selain itu, pemerintah daerah perlu mendorong terjadinya sinergi seluruh pemangku kepentingan di daerah. Kemampuan masyarakat masih rendah sehingga dibutuhkan upaya memodifikasi tipe rumah tumbuh dengan luasan bangunan 21 m2 dan tanah 72 m2 sehingga memungkinkan harga rumah dapat bekisar Rp.100 juta. Pembelajaran Pembangunan perumahan TNI khusus purnawirawan dan pejuang Seroja di Cileungsi, Jonggol pada tahun 2011 dapat menjadi contoh upaya memberi akses perumahan kepada masyarakat yang tidak tuntas disebabkan perubahan kebijakan. Upaya ini dilakukan karena purnawirawan dan pejuang Serosa tidak mungkin memperoleh rumah dengan cara konvensional. Umur mereka sudah mencapai 60 tahun dan “take home pay’ gaji pensiunan hanya Rp.1,2 juta., Direncanakan harga rumah tipe 21 tanah 72m2 yang disediakan pada saat itu hanya Rp.45 juta, (harga pasar sudah Rp.60 juta). Untuk meringankan pembayaran bantuan uang muka (BUM) dari YKPP dan Kemenpera mencapai Rp.30 juta, belum termasuk bantuan prasarana dan sarana umum (PSU). Hal ini sangat membantu menurunkan cicilan menjadi sekitar Rp.150 ribu/bulan. Namun upaya ini tidak terlaksana karena kebijakannya berubah, dan skimnya berubah. Undang Undang Nomor 1 Tahun 2011 mensyaratkan tipe rumah minimal 36m2 (sebelum di judicial review ke MK), sehingga tercatat 200 unit tipe 2 tidak bisa terealisasi . Kemudian, subsidi uang muka dirubah menjadi subsidi bunga. Bubar semua yang direncanakan. Pembelajaran berharga ini menunjukkan bahwa konsistensi pemerintah dibutuhkan agar sebuah kebijakan dapat diimplementasikan dan berhasil. Perubahan kebijakan dapat berdampak negatif pada masyarakat dan juga pembangun perumahan. Kepercayaan terhadap konsistensi pemerintah harus di tumbuhkan. Kita semua harus paham, pekerjaan ini bukan keuntungan utama targetnya, tetapi juga tidak boleh buntung. *Pengembang, Pelaku Pembangunan Rumah Sederhana dari Group Kemitraan Realestat.
37
Selamat dan Sukses Pencanangan Program Sejuta Rumah & HUT BTN ke 65 HUT REI ke 43 HUT Bapertarum PNS ke 22 Hari Otonomi Daerah ke 19
38
Kontraktor dan Pengembang
Tulisan Khusus Edisi 5 - 2015
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2015-2019 Bidang Perumahan
R
encana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2015-2019 telah ditetapkan melalui Peraturan Presiden Nomor 2 Tahun 2015 pada tanggal 8 Januari 2015. RPJMN Tahun 2015-2019 yang bertemakan Indonesia yang Berdaulat, Mandiri dan Berkepribadian Berlandaskan Gotong Royong, terbagi dalam 3 (tiga) dokumen, yaitu (i) Buku I: Agenda Pembangunan Nasional; (ii) Buku II : Agenda Pembangunan Bidang, dan (iii) Buku III: Agenda Pembangunan Wilayah. Bidang perumahan dan kawasan permukiman menjadi bagian dari agenda keenam prioritas nasional yaitu Meningkatkan Produktivitas Rakyat dan Daya Saing di Pasar Internasional. Isu Pemenuhan hunian layak yang didukung oleh prasarana, sarana, dan utilitas yang memadai perlu mendapatkan perhatian khusus. Ketimpangan antara pasokan (supply) dan kebutuhan (demand) masih menjadi persoalan utama dalam penyediaan infrastruktur dasar khususnya bagi masyarakat berpendapatan rendah (MBR). Keterbatasan kapasitas pengembang (developer) yang belum didukung oleh regulasi yang bersifat insentif ditambah rendahnya keterjangkauan (affordability) MBR baik membangun atau membeli rumah menjadi salah satu penyebab utama masih banyaknya MBR yang belum tinggal di rumah layak huni. Hal tersebut berpotensi menyebabkan degradasi kualitas permukiman dan menciptakan permukiman kumuh baru. Terlebih dalam pembangunan perumahan khususnya di area perkotaan yang terkendala dengan proses pengadaan lahan. Fasilitasi penyediaan hunian layak bagi MBR selama tahun 2005-2013 seperti pembangunan rumah susun sederhana sewa, penyediaan prasarana dan sarana dasar, penyediaan Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) dan peningkatan kredit mikro perumahan masih belum tepat sasaran. Permasalahan tersebut semakin sulit karena kegiatan fasilitasi belum diiringi dengan penguatan peran pemerintah pusat dan pemerintah daerah sebagai enabler, melainkan lebih berperan sebagai developer yang umumnya akan lebih cepat dan efisien jika dilakukan oleh masyarakat dan pengembang (developer).
Sementara itu, kontribusi Badan Usaha Milik Negara (BUMN) seperti Perumnas dalam pembangunan rumah untuk MBR masih belum optimal dan dihadapkan pada persaingan dengan pengembang perumahan. Demikian halnya dengan Bank Tabungan Negara (BTN) dan Sarana Multigriya Finansial (SMF) yang diharapkan menjadi katalisator pembiayaan perumahan bagi MBR masih memerlukan tambahan likuiditas. Sasaran Pemerintah dalam 5 (lima) tahun mendatang telah mencanangkan beberapa sasaran prioritas, yaitu (a) terfasilitasinya penyediaan hunian layak dan terjangkau untuk 2,2 juta rumah tangga dari anggaran Pemerintah dalam menurunkan akumulasi kekurangan tempat tinggal khususnya masyarakat berpenghasilan rendah menjadi lima juta rumah tangga di tahun 2019 melalui: (i) penyediaan rumah umum untuk 900.000 rumah tangga yang didukung dengan penyaluran bantuan pembiayaan perumahan berupa Kredit Pemilikan Rumah (KPR) sejahtera tapak, KPR satuan rumah susun (sarusun), dan KPR sewa beli untuk sarusun, (ii) penyediaan rumah susun sewa untuk 550.000 rumah tangga, (iii) penyediaan KPR swadaya untuk 450.000 rumah tangga, (iv) bantuan stimulan pembangunan baru rumah swadaya untuk 250.000 rumah tangga, serta (v) pembangunan rumah khusus di daerah perbatasan, pasca bencana, dan pasca konflik untuk 50.000 rumah tangga; SUMBER ILL: ISTIMEWA
39
Tulisan Khusus (b) mendorong keswadayaan masyarakat dan dunia usaha dalam penyediaan tempat tinggal yang layak untuk 2,2 juta rumah tangga untuk mendukung penurunan angka kekurangan rumah; (c) peningkatan kualitas rumah tidak layak huni untuk 1,5 juta rumah tangga, termasuk dalam rangka penanganan kawasan permukiman kumuh. Kebijakan dan Strategi Dalam upaya mencapai sasaran prioritas tersebut, pemerintah akan meningkatkan akses masyarakat berpendapatan rendah terhadap hunian yang layak, aman, dan terjangkau serta didukung oleh penyediaan prasarana, sarana, dan utilitas yang memadai melalui strategi (a) peningkatan peran fasilitasi pemerintah dan pemerintah daerah dalam menyediakan hunian baru (sewa/milik) dan peningkatan kualitas hunian. Penyediaan hunian baru (sewa/milik) dilakukan berdasarkan sistem karir perumahan melalui pengembangan sistem pembiayaan perumahan nasional yang efektif dan efisien termasuk pengembangan subsidi uang muka, kredit mikro perumahan swadaya, bantuan stimulan, mempertajam program Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan, serta integrasi tabungan perumahan rakyat dalam sistem jaminan sosial nasional. Sementara peningkatan kualitas hunian dilakukan melalui penyediaan prasarana, sarana, dan utilitas, pembangunan kampung deret, serta bantuan stimulan dan/atau kredit mikro perbaikan rumah termasuk penanganan permukiman kumuh yang berbasis komunitas; (b) peningkatan tata kelola dan keterpaduan antara para pemangku kepentingan pembangunan perumahan melalui: (i) penguatan kapasitas pemerintah dan pemerintah daerah dalam memberdayakan pasar perumahan dengan mengembangkan regulasi yang efektif dan tidak mendistorsi pasar; (ii) penguatan peran lembaga keuangan (bank/non-bank); (iii) revitalisasi Perum Perumnas menjadi badan pelaksana pembangunan perumahan sekaligus pengelola Bank Tanah untuk perumahan; dan (iv) mendorong peran serta masyarakat dan dunia usaha dalam penyediaan perumahan. (c) peningkatan peran Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang terkait dengan penyediaan perumahan untuk MBR melalui: (i) peningkatan ekuitas Perum Perumnas dan Sarana Multigriya Finansial (SMF) salah satunya melalui Penyertaan Modal Negara (PMN); (ii) mendorong peran BTN yang lebih besar dalam pembangunan perumahan, serta (iii)
40
melakukan perpanjangan Peraturan Presiden tentang Pembiayaan Sekunder Perumahan terkait penyaluran pinjaman kepada penyalur Kredit Pemilikan Rumah (KPR) dengan sumber pendanaan dari pasar modal dengan dukungan pemerintah. (d) peningkatan efektifitas dan efisiensi manajemen lahan dan hunian di perkotaan melalui fasilitasi penyediaan rumah susun milik, fasilitas penyediaan dan revitalisasi rumah susun sewa, serta pengembangan instrumen pengelolaan lahan untuk perumahan seperti konsolidasi lahan (land consolidation), bank tanah (land banking), serta pemanfaatan lahan seperti lahan milik Negara, BUMN, swasta, dan masyarakat, tanah terlantar, serta tanah wakaf. (e) pengembangan sistem karir perumahan (housing career system) sebagai dasar penyelesaian backlog kepenghunian. (f ) pemanfaatan teknologi dan bahan bangunan yang aman dan murah serta pengembangan implementasi konsep rumah tumbuh (incremental housing). (g) penyediaan layanan air minum dan sanitasi layak yang terintegrasi dengan penyediaan dan pengembangan perumahan. (h) revitalisasi dan pengembangan industrialisasi perumahan. Regulasi dan Kelembagaan Dari sisi penyempurnaan regulasi, perlu dilakukan revisi terhadap Peraturan Pemerintah No. 15 Tahun 2004 tentang Perusahaan Umum (Perum) Pembangunan Perumahan Nasional. Penataan kelembagaan yang jelas dalam pembangunan perumahan berdasarkan fungsi dan kewenangan regulator dan operator, melalui: (i) Revitalisasi Perumnas sebagai badan pelaksana pembangunan perumahan sekaligus pengelola land banking untuk perumahan sebagai perwujudan amanat UU No. 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman pasal 40; (ii) penguatan BTN dan SMF serta penguatan lembaga keuangan baik Bank maupun Non-Bank sebagai katalisator pembiayaan perumahan; dan (iii) integrasi sektor perumahan dalam Sistem Jaminan Sosial Nasional. Penguatan fungsi dan kewenangan kelembagaan tersebut ditujukan untuk menghindari tumpang tindih fungsi dan kewenangan agar pembangunan perumahan dapat dilaksanakan dengan lebih efektif dan efisien (disarikan dari RPJMN Tahun 2015-2019 Buku I dan Buku II).
Edisi 5 - 2015
Penyelenggaraan Pembangunan Perumahan, Permukiman dan Perkotaan Sumbangan Pemikiran bagi Penyusunan RPJMN 2015-2019
Tulisan ini merupakan rangkuman dari hasil diskusi pada beberapa pertemuan yang diselenggarakan oleh Lembaga Pengkajian Pengembangan Perumahan dan Perkotaan Indonesia atau dikenal dengan HUD (Housing and Urban Development) Institute. Hasil diskusi ini telah disampaikan kepada pemerintah sebagai masukan dalam penyusunan RPJMN 2015-2019.
R
umah adalah salah satu hak dasar manusia sebagaimana tercantum dalam deklarasi hak asasi manusia dan UUD 1945 pasal 28H. Namun pada kenyataannya, Indonesia kini sedang mengalami krisis perumahan rakyat yang semakin akut. Angka kekurangan rumah (housing backlog) di Indonesia pada tahun 2014 ini diperkirakan mencapai sekitar 17,2 juta unit. Diperlukan berbagai terobosan dalam menangani kondisi ini. Setidaknya terdapat 3 (tiga) persoalan pokok urusan perumahan yaitu kelembagaan, pembiayaan, dan pertanahan. Persoalan kelembagaan dititikberatkan pada kapasitas dan kualitas kelembagaan yang menangani urusan perumahan, baik di tingkat pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Belum optimalnya peran lembaga penanggungjawab urusan perumahan di pusat (Kementerian Perumahan Rakyat) dalam menangani tugas penyiapan kebijakan (regulasi), pembinaan dan koordinasi dengan pemangku kepentingan perumahan, serta advokasi dan pendampingan terhadap masyarakat dalam penyelenggaraan perumahan, hingga peran akselerasi (intervensi) pemerintah dalam penyelenggaraan perumahan khususnya bagi MBR. Peran Kementerian Perumahan Rakyat terfokus pada pembangunan fisik saja, sehingga kurang terlihat berperan dalam menciptakan iklim kondusif bagi penyelenggaraan perumahan. Sistem pembiayaan yang merupakan kewenangan pemerintah pusat harus dapat dipayungi dengan dasar hukum yang kuat. Selain itu, persoalan pertanahan men-
jadi sangat penting ketika penyelenggaraan perumahan khususnya di perkotaan terbentur permasalahan kelangkaan dan mahalnya harga tanah. Disini pemerintah (pusat maupun daerah) harus mampu menyediakan tanah bagi penyelenggaraan perumahan melalui terobosan kebijakan bidang penyediaan tanah. Keberadaan UU Pokok Agraria No. 5/1960 perlu segera direvitalisasi, perlunya penyesuaian rezim agraria dengan rezim bangunan gedung sehingga penyediaan tanah bagi pembangunan perumahan khususnya MBR dapat terpenuhi. Selain ketiga aspek tersebut, terdapat faktor lain yang juga tidak boleh diabaikan menjadi kendala dalam urusan perumahan seperti perizinan, infrastruktur dan energi, perpajakan, teknologi dan bahan bangunan strategis, kemampuan dan perlindungan konsumen, dan faktor pemaduserasian peraturan perundang-undangan. Faktorfaktor tersebut perlu mendapat perhatian pemerintah agar penyelenggaraan perumahan khususnya bagi MBR dapat tercapai. Faktor perijinan, hingga saat ini masih menjadi penghambat dalam penyelenggaraan pembangunan perumahan rakyat di berbagai daerah. Berbagai macam dan mahalnya perijinan yang masih diterapkan banyak Pemda untuk pundi-pundi PAD menyebabkan pembangunan perumahan untuk rakyat (MBR) tidak efektif dan efisien. Faktor perpajakan, berkaitan dengan banyaknya dan tingginya pengenaan pajak pembangunan perumahan yang harus dibayar pengembang sehingga menimbul-
41
Tulisan Khusus kan ekonomi biaya tinggi dalam pembangunan perumahan sehingga harus dipikul masyarakat konsumen (MBR). Faktor infrastruktur, yaitu belum sepenuhnya Pemda menyediakan pembangunan prasarana dan sarana umum (PSU) baik jalan, drainase, persampahan, saluran air bersih, sambungan listrik maupun tempat terbuka hijau sebagai komponen dasar yang dibutuhkan masyarakat penghuni perumahan. Adanya permasalahan ini menjadikan beban bagi para pengembang yang akan berpartisipasi dalam penyediaan pembangunan perumahan rakyat terutama bagi MBR. Faktor teknik, teknologi, dan bahan bangunan strategis. Faktor ini masih menjadi penghambat dalam penyelenggaraan pembangunan perumahan rakyat bagi MBR. Belum digunakan teknik dan teknologi rancang bangun perumahan dan bahan bangunan yang dihasilkan PUSLITBANGKIM oleh para pengembang, sehingga menjadikan kualitas bangunan rumah kurang terjaga mutu dan cenderung menjadikan bangunan rumah bagi MBR cepat rusak dan harus berulangkali merenovasi rumah sehingga menyebabkan biaya pemeliharaan rumah menjadi mahal. Faktor kemampuan dan perlindungan konsumen, yaitu berkaitan dengan masih rendahnya kemampuan sosial ekonomi masyarakat yang menjadi tanggung jawab pemerintah akan pemenuhan kebutuhan perumahan yang layak dan terjangkau. Belum adanya asuransi bagi konsumen rumah pada MBR menyebabkan kepemilikan rumah terancam hilang karena dijual, kena bencana (kebakaran,dan lain-lain), dan disegel. Faktor pemaduserasian peraturan perundang-undangan. Faktor ini berkaitan dengan adanya berbagai peraturan di bidang perumahan yang tidak saling mendukung baik pada tingkat pemerintah pusat dan daerah maupun hubungan antara keduanya. Adanya hal ini menyebabkan implementasi kebijakan penyelenggaraan pembangunan perumahan bagi masyarakat khususnya MBR kurang dapat diwujudkan. Semua permasalahan di atas mengakibatkan timbulnya berbagai masalah turunan antara lain: 1. Angka backlog yang semakin tinggi; 2. Luasan permukiman kumuh yang terus bertambah; 3. Angka rumah tidak layak huni semakin tinggi;
42
4. Daya beli/cicil masyarakat berpenghasilan menengah bawah khususnya MBR semakin menurun; 5. Peraturan perundang-undangan yang tidak komprehensif dan saling tumpang tindih; 6. Minimnya keberpihakan pemda terhadap kebutuhan rumah bagi MBR di daerah; 7. Semakin maraknya perilaku rent seekers dalam pelaksanaan perizinan, pertanahan, pajak/retribusi, hunian berimbang dan kepenghunian; serta 8. Kebersamaan dan kemitraan antar pelaku penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman yang semakin turun dan tidak solid. Berbagai permasalahan krusial tersebut di atas yang saat ini mengindikasikan telah terjadi kondisi “DARURAT PERUMAHAN RAKYAT� di Indonesia. Pernyataan ini didasarkan pada 3 alasan yang sangat kuat dan mendasar yang diacu dari hasil beberapa kajian dan diskusi nasional yang diselenggarakan dalam beberapa tahun belakangan ini. Pertama, kenaikan angka backlog, luasan kawasan permukiman kumuh dan carut marut tata kelola penyelenggaraan pemenuhan kesejahteraan atas papan. Kedua, sistem evaluasi kinerja capaian pemerintah yang sampai saat ini didasarkan pada capaian output administratif dan serapan anggaran untuk mengejar status pemeriksaan berupa wajar tanpa pengecualian (WTP), dan bukan didasarkan pada capaian outcome solutif permasalahan bangsa. Ketiga, yang merupakan alasan utama adalah jangka waktu untuk memenuhi amanat UU No.1/2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman dan UU No 20/2011 tentang Rumah Susun dalam menjamin hak dasar atas papan serta target RPJPN 2005-2025 yang sesuai dengan target Millenium Development Goals (MGDs) sangat singkat dan dalam kondisi yang sampai saat ini tidak masuk dalam agenda prioritas kebijakan nasional (tulisan ini dibuat SUMBER ILL: ISTIMEWA sebelum RPJMN disahkan/ red.)serta belum dimilikinya peta jalan (roadmap) yang jelas dan operasional. Ketidakberlanjutan program pemerintah ini mengindikasikan tidak pernah terbangunnya sistem penyediaan perumahan (housing delivery system) secara komprehensif dan terintegrasi, sehingga lebih bisa menjamin target rumah yang layak dan terjangkau bagi seluruh rakyat sebagaimana diamanatkan pasal 28H ayat (1) UUD 1945.
Edisi 5 - 2015 Amanat Wakil Presiden Drs. Moh.Hatta pada Kongres Perumahan Rakyat di bulan Agustus 1950, yaitu bahwa cita-cita penyediaan perumahan rakyat dapat dicapai dalam kurun waktu setengah abad, pada dasarnya mengandung makna bukan hanya untuk mencapai setiap keluarga Indonesia tinggal di sebuah rumah layak huni, ataupun bukannya bermakna terbangunnya berjuta-juta rumah sederhana, namun itulah kurun waktu yang diperlukan untuk membangun suatu sistem penyediaan perumahan (housing delivery system) yang mantap dan responsif terhadap dinamika kebutuhan perumahan rakyat. Memperhatikan praktek penyelenggaraan perumahan yang dilakukan baik oleh pemerintah, masyarakat maupun pelaku usaha swasta, setidaknya terdapat 4 (empat) sistem atau bentuk penyediaan perumahan, yaitu: Perumahan Swadaya, Perumahan Umum, Perumahan Sosial dan Perumahan Komersial. Untuk itu, ke depan pemerintah perlu melakukan intervensi efektif melalui langkah-langkah sebagai berikut: 1. Komitmen dan Keberpihakan Negara Dalam konteks Indonesia, keberpihakan negara seharusnya didasari oleh tujuan merumahkan seluruh rakyat secara berkeadilan. Mereka yang paling tidak berdaya dalam pengadaan perumahan harus mendapatkan perhatian. Di negara yang berideologi Pancasila, seharusnya negara tidak memihak kepada salah satu moda penyediaan (komersial) yang hanya bisa diakses sekelompok orang saja. Negara harus memiliki komitmen dan keberpihakan pada seluruh golongan masyarakat. Mengembangkan semua moda penyediaan perumahan secara seimbang berarti memberdayakan pelaku dan membangun relasi antara semua pelaku. Ibarat transportasi, pemerintah menyediakan transportasi publik, namun bisa pula menyediakan transportasi privat yang sesuai kebutuhan dan ketentuan hukum. Memastikan tersedianya modal permenuhan perumahan rakyat khususnya kepada MBR merupakan wujud konkrit dari komitmen konstitusi dan hukum yang dirancang dalam suatu sistem penyediaan perumahan (housing delivery system). 2. Membangun Multi-Sistem Penyediaan Perumahan Kelompok yang paling tidak berdaya dalam pengadaan perumahan perlu mendapatkan perhatian dalam sistem multi-moda secara berkeseimbangan, baik di sektor publik, sektor sosial masyarakat, sektor swadaya masyarakat, maupun di sektor swasta (real estat). Membangun multisistem penyediaan perumahan sejalan dengan upaya untuk memberdayakan pasar perumahan secara komprehensif. Perumahan swadaya adalah moda penyediaan perumahan yang harus difasilitasi oleh pemerintah, karena paling
banyak (sekitar 85%) memroduksi perumahan rakyat. Upaya yang perlu dilakukan adalah membangun sistem yang dapat mempercepat formalisasi proses merumahkan rakyat (housing the people). Perumahan umum dan perumahan sosial adalah sistem penyelenggaraan perumahan yang dijalankan secara langsung oleh pemerintah, baik nasional maupun daerah. Jika perumahan umum menerapkan efisiensi fiskal, manajemen nilai lahan dan manajemen aset negara, maka perumahan sosial adalah bentuk subsidi tepat sasaran untuk menjangkau kelompok termiskin masyarakat kota. Sedangkan sistem perumahan komersial adalah semua praktik bisnis properti perumahan oleh pengembang swasta secara terorganisir yang perlu difasilitasi oleh pemerintah dalam rangka pengembangan iklim industri properti. Oleh karena itu, Pemerintah harus bisa membedakan posisi dan kebijakannya untuk menyelenggarakan perumahan rakyat atau rumah umum. 3. Program Nasional dan Daerah Percontohan Selain menyusun program perumahan umum, perumahan swadaya dan fasilitasi perumahan komersial, program nasional yang juga perlu diperkuat adalah pembiayaan perumahan. Penugasan dari pemerintah kepada Bank Tabungan Negara untuk membiayai kredit perumahan hendaknya diperkuat dengan meneguhkan BTN sebagai Bank Khusus untuk membiayai perumahan rakyat yang ditetapkan melalui kebijakan dari Bank Indonesia (BI). Pasal 118 UU PKP 1/2011 menyebutkan bahwa pemerintah dan pemerintah daerah mendorong pemberdayaan sistem pembiayaan perumahan rakyat untuk memastikan ketersediaan dana dan dana murah jangka panjang yang berkelanjutan untuk pemenuhan kebutuhan rumah, perumahan, permukiman, serta lingkungan hunian perkotaan dan perdesaan. Penguatan BTN dilakukan dengan memberi tugas untuk beroperasional langsung menghimpun dana dari masyarakat. Penguatan program nasional juga ditujukan untuk membina daerah dalam urusan perumahan rakyat. Memang disadari tidak semua daerah menghadapi masalah perumahan yang sama dan berkeinginan kuat mengembangkan program perumahan yang sistemik, kecuali beberapa kota yang sudah benar-benar merasakan kondisi darurat perumahan rakyat dan melihat adanya harapan melalui program terobosan. Untuk itu, Pemerintah perlu memilih beberapa daerah percontohan program perumahan rakyat khususnya di daerah perkotaan yang cepat tumbuh. Daerah percontohan yang sukses untuk selanjutnya dapat menjadi acuan (benchmarking) untuk direplikasi di daerah lainnya sembari membangun jejaring antarkota (city to city networks).
43
Tulisan Khusus 4. Peningkatan Kapasitas dan Sistem Kelembagaan Pengembangan kebijakan yang efektif perlu didukung kapasitas yang tinggi untuk mengelola kompleksitas masalah. Untuk itu, diperlukan upaya peningkatan kapasitas secara progresif baik di tingkat politik (legislatif ), pemerintah dan pemerintah daerah. Peningkatan kapasitas kelembagaan dapat dimulai dengan revitalisasi Jejaring Perumahan yang menjalankan bentuk koordinasi kebijakan. Pengembangan kebijakan perumahan rakyat di pusat perlu didukung oleh mekanisme koordinasi yang efektif melalui pemetaan multi kebijakan dan perumusan arah kebijakan strategis (kebijakan input, output dan pendukung). Pendekatan partisipatif harus dikedepankan sebagai pola kerja yang baru dalam konteks iklim yang demokratis, melalui pembuatan kesepakatan, rencana dan program bersama antara para-pihak. Kelembagaan perumahan rakyat perlu disusun secara sistematis untuk menjamin agar tidak terjadi eksploitasi dan spekulasi di pasar properti oleh sekelompok kecil pemilik modal besar. Selain itu, untuk menjamin terjadinya distribusi hak tanah dan properti kepada seluruh lapisan warga kota secara berkeadilan. Untuk itu, diperlukan penguatan di sektor komunitas masyarakat dan penguatan di sektor pelayanan publik secara serasi dan seimbang dengan sektor usaha swasta. Program-program pembangunan perumahan harus langsung dikendalikan oleh pemerintah (government driven) dengan mengerahkan kapasitas pengelolaan berbagai sumberdaya infrastruktur, perijinan, perencanaan maupun anggaran pembangunan. Untuk itu, diperlukan pembentukan (atau penunjukan) lembaga pemberdayaan komunitas, badan usaha milik negara (BUMN) dan badan usaha milik daerah (BUMD), baik dalam hal peremajaan kota maupun pembangunan area permukiman baru, yang didukung oleh pembangunan kota yang terpadu. Agenda penguatan Perumnas dan pengembangan Perumda menjadi agenda prioritas untuk mengatasi kesenjangan kekurangan tempat tinggal 15 juta unit. Berdasarkan UU No. 1/2011 tentang PKP, pemerintah mengemban tugas untuk membangun rumah umum dan melalui pendekatan government drivenhousing and urban development, Perumnas dan Perumda perlu direvitalisasi menjadi National Housing and Urban Development Corporation (NHUDC). Sebagai salah satu pilar kelembagaan pembiayaan pembangunan perumahan nasional, Bank BTN masih menghadapi tantangan dan problematika khususnya dalam penyaluran KPR bersubsidi. Hal ini disebabkan oleh semakin rendahnya daya beli masyarakat akibat harga lahan yang semakin mahal, ketersediaan sarana dan prasarana yang tidak memadai yang disebabkan oleh lokasi
44
permukiman yang terletak di kawasan pinggiran serta tunggakan kredit akibat semakin rendahnya kemampuan kewajiban mengangsur. Agenda penting kelembagaan untuk sistem perumahan swadaya adalah membentuk Baledaya Perumahan dan Perkotaan (Housing and Urban Resource Center) yang berwenang dan bertanggung-jawab dalam penyediaan perumahan swadaya berbasis komunitas. Baledaya Perumahan dan Perkotaan juga bertugas untuk memasilitasi dialog perumahan dan perkotaan melalui kegiatan forum yang dinamai Forum Perumahan dan Perkotaan. 5. Integrasi Bidang Perumahan dan Perkotaan (Housing and Urban Development atau HUD). Penyediaan perumahan dan penanganan permukiman kumuh perkotaan di tanah air selama ini masih menggunakan pendekatan proyek konstruksi fisik semata. Kota yang relatif berhasil menyediakan perumahan bagi seluruh lapisan warganya dan berhasil menghilangkan permukiman kumuh adalah bukti pengelolaan urbanisasi dan pembangunan kota yang berkelanjutan karena sudah mencapai tahapan keseimbangan urbanisasi (urbanization equilibrium). Menghadapi masalah penyediaan perumahan dan permukiman kumuh perkotaan tersebut, tidak dapat lagi mengandalkan pendekatan yang sektoral, melainkan harus memakai pendekatan pada skala kota atau City-wide Approach. Integrasi HUD ini perlu juga diiringi dengan pembelajaran strategis dari Jepang, Korea Selatan, Hongkong atau Singapura yang sudah dibangun sejak tahun 1960-an dan berakumulasi pada sistem penyediaan yang mantap. 6. Penerapan yang Konsekwen dan Konsisten Pemerintah Indonesia harus secara konsekwen menerapkan dan memantau pelaksanaan kebijakan dan strategi perumahan dan pembangunan kota di Indonesia. Untuk itu, diperlukan penyusunan pedoman pemantauan yang dilengkapi indikator yang signifikan untuk memantau perkembangan upaya pemenuhan hak dasar perumahan rakyat. Selanjutnya, pemantauan dan evaluasi pemenuhan hak dasar perumahan rakyat menjadi bahan pebelajaran bersama, baik antarsektor maupun antartingkatan pemerintahan. Ada beberapa perangkat yang harus segera disiapkan untuk keperluan penerapan yang konsekwen dan konsisten, yaitu perangkat evaluasi penganggaran dan pembiayaan perumahan rakyat, perangkat hasil penelitian dan pengembangan teknologi di bidang bangunan dan penataan kawasan perkotaan, dan perangkat peningkatan kapasitas institusi dan sumber daya manusia.
Sekmen Edisi 5 - 2015
Menuju Jati Diri Metropolitan Batam Mencari City Branding Batam Oleh Bambang S. Priyohadi
M
arie Elka Pangestu, ketika itu Menteri Parekraf membuat pernyataan menarik tentang kota Batam sebagaimana dirilis oleh Tempo, bahwa terdapat 3 kota yang menjadi tujuan wisatawan di Indonesia. Pertama, Bali yang menyerap 30% wisatawan asing, kemudian Jakarta dan Batam yang masing-masing menyerap 20% wisatawan mancanegara. Namun kunjungan yang terjadi di Batam adalah kunjungan akhir pekan. Apakah ini sebuah karunia ataukah ini sebuah malapetaka bagi Batam. Kalau melihat profil wisatawan ke Batam sebagian terbesar (lebih dari 70%) adalah wisatawan mingguan yang tujuan kedatangannya adalah menikmati kebebasan yang tidak mereka peroleh pada saat hari kerja. Alasan utamanya adalah di kota tempat tinggalnya, Singapura, terlalu dikungkung oleh peraturan dan denda. Senang atau sedih kita menemukan kondisi ini. Di satu sisi, kedatangan tersebut membawa rejeki bagi masyarakat Batam, namun disisi lain citra Batam adalah tempat ketidakteraturan, tempat bebas berbuat semaunya. Bahkan secara cynical bisa ditemui pernyataan “kota tempat buang ludah (maaf ) sembarangan�. Menjadi pertanyaan bagi kita semua, apakah kondisi ini bisa kita terima. Di sisi lain, marilah kita lihat bagaimana posisi Batam dalam perkembangan ekonomi nasional. Sejak dikeluarkannya Keputusan Presiden Nomor 74 Tahun 1971 telah terjadi pengembangan Batam yang pesat menjadi kota metropolitan dengan segala kompleksitasnya. Sebagai pengelola kawasan industri telah ditetapkan Badan Pengusahaan Kawasan Batam yang diperbarui terakhir dengan Peraturan Pemerintah No. 46 Tahun 2007. Untuk mengelola perkembangan perkotaannya, pada tahun 1999 ditetapkan melalui Undang-Undang Nomor 53 Tahun 1999 yang menetapkan Batam sebagai kotamadya. Kemudian melalui Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah menjadi Kota Batam. Dengan dua institusi yang mengelola kota Batam tersebut, warna kota menjadi sebuah pertanyaan besar. Bagaimana kita melihat kota Batam dalam konstelasi nasional. Dari tahun 2003 terlihat Kota Batam mempunyai kontribusi terhadap kemajuan nasional sangat berarti. Besaran kegiatan ekonomi kota Batam khususnya sektor non-migas cukup besar. Nilai ekspor non-migas kota Batam memberikan kontribusi 14% terhadap nilai ekspor
nasional. Kota Batam ternyata juga jawara dalam menyerap Penanaman Modal Asing (PMA). Nilai total PMA di kota Batam sebesar 11% dari keseluruhan Penanaman Modal Asing yang masuk ke Indonesia. Dengan adanya kedua kegiatan utama tersebut, tidaklah mengherankan kota Batam tumbuh pesat. Kota yang pada akhir tahun 2011, berpenduduk 1.056.701, naik setiap tahunnya sebesar 14%. Ini berarti setiap tahun kota Batam mendapat tambahan penduduk sebesar 148 ribu jiwa. Ini berarti, setiap tahun 29.600 perumahan baru perlu dipersiapkan. Namun karena keterbatasan lahan akibat banyaknya lahan yang tidak dimanfaatkan karena spekulasi oleh pengusaha pengembang, menyebabkan tumbuhnya rumah liar yang saat ini sudah melebihi 50.000 buah di lebih dari 51 titik. Kondisi ini lebih diperparah oleh adanya dualisme dalam pengelolaan kawasan kota Batam. Saat ini terdapat duplikasi antara Pemerintah Kota Batam dengan Badan Pengusahaan Kawasan Batam. Dampak dari duplikasi tersebut adalah penyediaan prasarana dan sarana perkotaan yang tidak menjawab kebutuhan kegiatan masyarakat. Demikian juga dengan masalah pengendalian pembangunan dan lingkungan. Sebagai akibatnya adalah perkembangan perkotaan yang tidak terkendali. Akibatnya muncul citra kota yang semakin tidak bersahabat baik terhadap investasi dan turisme. Dr. Jose Gamez, PhD dari University of North Carolina di Charlotte1 menyatakan bahwa tidak peka terhadap citra kota akan dapat berpengaruh pada perkembangan ekonomi kotanya. Dikatakan lebih lanjut bahwa banyak pemerintah kota yang terlambat mengantisipasi penurunan ekonomi perkotaannya karena tidak mampu mengatasi munculnya citra yang buruk dari kotanya. Hal ini perlu diantisipasi secara cepat karena pertumbuhan ekonomi kota Batam mengalami penurunan yang cukup tajam. Selain memang terdapat faktor duplikasi pengelolaan serta adanya keputusan Menteri Kehutanan tentang hutan lindung, masalah citra juga menjadi salah satu faktor yang perlu diperhatikan. Pada sekitar tahun 1980-1990an, masing-masing dae1. Julia Winfield-Pfefferkorn, THE BRANDING OF CITIES Exploring City Branding and the Importance of Brand Image, Graduate School of Syracuse Univesity Publication.
45
Sekmen rah telah mencoba untuk memberikan citra (branding) bagi wilayahnya. Namun citra yang dibuat dimaknai sebagai visi pembangunan kotanya. Masalahnya citra dan visi tidaklah sama. CEO’s for Cities2 menyampaikan bahwa terdapat kesalahpahaman tentang citra suatu kota. Suatu citra kota adalah bukan visi, city marketing atau logo semata. Pencitraan kota (City branding) adalah sebuah gambaran yang secara atributif mengekspresikan karakter kota, merek, afinitas, gaya dan kepribadian. Dalam city branding tersebut harus secara cerdas dan menyenangkan memberikan pesan tentang kota tersebut. City branding harus mampu memberikan diferensiasi terhadap kota lainnya. Dan yang terpenting, pencitraan kota harus mampu menginspirasi bagi siapapun untuk berkunjung, tinggal dan mempelajari lebih lanjut untuk bisa beraktivitas termasuk melaksanakan investasi dan melaksanakan kegiatan ekonomi di kota tersebut. Mengapa pencitraan kota menjadi demikian penting bagi kota seperti Batam yang sudah menjadi sebuah metropolitan baru. Pencitraan kota menjadi pengungkit karena kota sebagai pembangkit ekonomi dan budaya suatu wilayah atau negara menjadi titik sentral kompetisi dalam penarikan dana, keahlian di pasar dunia. Pasar dunia yang semakin kompetitip memerlukan usaha maksimal agar dapat menonjolkan dan mengomunikasikan kotanya sebagai tempat yang unik dan menguntungkan untuk dapat menjadi tempat usaha atau tempat berkunjung. Hal ini hanya bisa terjadi bila terdapat citra yang kuat. Siapa yang memiliki citra yang kuat akan lebih mudah menjual produk dan jasanya dan menarik masyarakat maupun investasi dari pasar dunia. Sampai saat ini, kota di Indonesia masih belum mampu menghasilkan city brand. Kota-kota sedang cenderung membuat citra bagi kotanya.3 tetapi kadang hanya tagline maupun logo yang tidak mempunyai makna dalam. Bahkan hal yang ditemui berbeda dengan bayangan yang dijanjikan dalam pencitraan kota. Misal, suatu kota memberikan tag line “enjoy�. Namun kondisinya sangat berlawanan. Inilah yang menyebabkan pencitraan kota tidak mampu memberikan dorongan positip bagi kotanya. Bila kita melihat lebih jauh sebenarnya banyak manfaat yang bisa diperoleh dengan pencitraan kota yang benar. Pencitraan kota yang kuat akan mampu merubah persepsi masyarakat terhadap kota bercitra buruk menjadi baik atau paling tidak mampu memahami kondisi yang ada. Kasus kota Chiang May adalah kasus yang menarik dalam pencitraan kota yang mampu memberikan pemahaman terhadap kondisi yang buruk tersebut menjadi sebuah kondisi yang menarik. Contoh pencitraan pasar tradisional di Chiang May yang justru menjual kekumuhannya sebagai daya tarik. Disini yang diperlukan
46
adalah bagaimana menemukan nilai yang dapat menjembatani kondisi dengan harapan pasar. Citra kota juga bermanfaat bagi masyarakat kotanya dalam menciptakan visi bersama tentang kota tersebut. Dengan adanya pencitraan kota tersebut, setiap masyarakat yang ada di kota tersebut maupun masyarakat yang berhubungan dengan kota tersebut mempunyai satu visi. Contoh yang paling jelas adalah Singapura. Visi Singapura sebagai kota modern yang bersih telah mampu menciptakan setiap orang yang datang ke Singapura berubah sikap sehingga mengikuti visi tersebut. Orang Indonesia yang terbiasa dengan ketidak disiplinan mendadak menjadi seorang yang taat saat berada di Singapura. Inilah bentuk kekuatan pencitraan suatu kota. Citra kota itu sendiri akan dapat menjadi pendorong bagi siapapun untuk mengikuti apa yang diharapkan dan digambarkan dalam citra tersebut. Sehingga secara konsisten citra akan menjadi representasi secara konsisten dari masyarakat dan siapapun yang terkait dengan kota tersebut. Citra kota yang kuat juga akan menciptakan dan meningkatkan kesadaran lokal, regional dan pasar global tentang posisinya. Keunikan dari kota yang terekspresikan dalam citra kota akan mampu memberikan gambaran posisi kota itu secara lokal, regional maupun global. Dan yang terakhir, citra kota yang kuat akan mampu merubah stereotip yang tidak menguntungkan tentang kota tersebut menjadi menarik. Dalam kaitan dengan perubahan tersebut harus secara hati-hati penentuan strateginya. Perubahan yang terlalu besar tidak bisa dilaksanakan dalam satu masa yang pendek, dibutuhkan adanya tahapan untuk mencapai identitas kota yang diharapkan. Chicago melakukan perubahan dari brand image yang ada ke brand identity yang aspiratif melalui beberapa tahapan. Namun dengan kondisi itu, Chicago yang semula dipahami sebagai kota penjahat menjadi kota yang sangat positip bagi potensi perkembangan usaha karena banyaknya tenaga ahli dan manajer handal kelas dunia. Bagaimana dengan kota Batam. Sebagai metropolitan baru yang menghadapi beberapa permasalahan, sebuah citra kota yang kuat perlu segera dibuat. Akankah kita membiarkan brand image sebagai tempat buang sampah dari warga Singapura. Atau dipahami sebagai lokasinya rumah liar dengan segudang permasalahannya. Atau kita bisa membayangkan kota Batam yang modern yang mampu bersaing dengan Johor Baru, atau bahkan mampu bersaing dengan Singapura. 2. CEOs for Cities Branding Your City, publication. 3. Mohammad Narotama, http://mohamad-r-narotama.blogspot.com/2013/09/city-branding-sedangngetren.html
Edisi 5 - 2015
Menuju Metropolitan Batam
Tinjauan Aspek Pengelolaan Perkotaan Oleh Ir. Dadang Sumantri Muchtar
B
eberapa orang terluka akibat tembakan gas air mata dan pukulan dari aparat keamanan dalam kerusuhan yang terjadi di Kota Batam pada Rabu 23 Oktober 2013. Majalah Tempo online menyampaikan polisi menghalau ribuan orang. Mereka mendesak Badan Pengusahaan Batam untuk mengukuhkan lahan Tanjung Uma seluas 108 hektar sebagai wilayah Kampung Tua. Alasan yang dikemukakan warga Tanjung Uma adalah lahan tersebut merupakan warkat (surat kepemilikan harta) dari Kerajaan Johor Riau Lingga pada tahun 1917 sebagai pemberian dari pemerintah Hindia-Belanda pada tahun 1930. Menurut mereka, pada tahun 1970 lahan tersebut diambil paksa oleh pemerintah dan hanya mengakui luas Kampung Tua 24 hektar. Pada kesempatan lain, sebulan sebelum itu, mantan Presiden BJ Habibie menyatakan menyesal melihat perkembangan kota Batam saat ini. Dalam majalan Tempo yang sama pada tanggal 30 September 2013 mantan Presiden BJ Habibie menyatakan menyesal dan meminta maaf karena lupa membuat undang-undang tentang daerah Industri di Batam. Secara spesifik BJ Habibie menyampaikan “Saya enggak sempat buat Undang-Undang tentang Batam ketika jabat Presiden�. Dampak dari kekosongan pengaturan Batam secara lengkap adalah pola pengelolaan perkotaan Batam yang tidak akomodatif terhadap pertumbuhan ekonomi pada saat ini. Rencana pemerintah yang membuat Batam sebagai salah satu pusat industri nasional untuk bersaing dengan negara lain menjadi tidak terpenuhi. BJ Habibie menyampaikan lebih lanjut bahwa permasalahan mendasar adalah karena ketidak jelasan pola pengelolaan perkotaan kota Batam. Selain masalah pengelolaan kota, tumpang tindih peraturan yang berkaitan dengan pengembangan kota Batam juga berpengaruh pada penurunan perkembangan ekonomi Batam. Salah satunya adalah tumpang tindih kebijakan antara Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: 463/MENHUT-II/2013 tentang Hutan Lindung di Kepri, termasuk di Batam dengan pengembangan yang sudah dilakukan oleh BP Batam untuk industri dan perumahan rakyat. Menghadapi kota Batam yang mempunyai kecepatan pertumbuhan penduduk tertinggi ketiga di Indonesia,
jelas memerlukan penanganan pengelolaan yang khusus. Apalagi dengan jumlah penduduk diatas 1 juta jiwa, kota Batam telah menjadi kota Metro baru yang jelas berbeda dibandingkan perkotaan besar lainnya. Kompleksitas permasalahan di kota Batam lebih besar lagi karena bentuk kota yang tersebar di 3 pulau besar dan beberapa pulau kecil di 12 kecamatan. Bila dilihat lebih lanjut bagaimana kota Batam menyongsong perkembangan kotanya, dapat ditemukenali adanya berbagai permasalahan terkait pengelolaan perkotaan. Faktor yang paling mendasar adalah adanya duplikasi dalam pengelolaan perkotaan. Pertama adalah Badan Pengusahaan Kawasan Batam yang terakhir dikukuhkan melalui Peraturan Pemerintah No. 46 Tahun 2007. Keberadaan Badan Pengusahaan Kawasan Batam itu sendiri merupakan sebuah perjalanan panjang sejak dikeluarkannya Keputusan Presiden Nomor 74 Tahun 1971. Peraturan pemerintah tersebut memberikan kewenangan bagi badan untuk melakukan pengelolaan dalam rangka pengusahaan kawasan. Namun pada tempat yang sama, pada tahun 1999 telah ditetapkan Pemerintah Kota Batam melalui Undang-Undang Nomor 53 Tahun 1999. Adanya dua peraturan yang mengatur pada obyek yang sama menciptakan permasalahan dalam pengelolaan. Beberapa contoh duplikasi antara lain (i) tumpang tindih dalam perencanaan dan pengendalian pembangunan kota Batam. Saat ini ijin prinsip dan fatwa planologi untuk pemanfaatan lahan diterbitkan oleh Badan Pengusahaan Kawasan Batam sementara Ijin Mendirikan Bangunan diterbitkan oleh Pemerintah Kota Batam. Dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 secara jelas ditentukan bahwa Pemerintah Daerah dalam hal ini Pemerintah Kota bertanggung jawab dalam pengendalian pembangunan. Posisi Pemerintah Kota yang hanya berwenang menerbitkan IMB jelas akan mengurangi kemampuan pemerintah kota dalam mengendalikan pembangunan perkotaan. Pemerintah kota hanya dapat memberikan pengarahan terhadap tertib bangunan saja; (ii) perencanaan tata ruang. Sesuai Undang-Undang No. 26 Tahun 2004 tentang Penataan Ruang, pemerintah kota mempunyai kewajiban untuk menyusun Rencana Tata Ruang Wilayah. Melaksanakan Undang-undang tersebut, Pemerintah Kota Batam telah melaksanakan penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Batam. Namun ber-
47
Sekmen dasarkan PP No. 46 Tahun 2007, pemerintah kota tidak memiliki kewenangan dalam pengawasan tata ruang di wilayah kota Batam. Ini berarti Pemerintah Kota Batam tidak memiliki kewenangan dalam pemberian ijin pemanfaatan lahan yang saat ini dipegang oleh Badan Pengusahaan Kawasan Batam. Sebagai dampak dari kondisi ini adalah ketidak seimbangan dalam pemanfaatan lahan dan yang terburuk adalah ketidakmampuan Pemerintah Kota dalam mengendalikan pembangunan liar, sesuatu yang sangat berbahaya bagi kelangsungan Kota Batam yang mempunyai lahan terbatas. (iii) Adanya kewenangan terhadap pemberian ijin prinsip dan fatwa planologi pada Badan Pengusahaan Kawasan Batam berpengaruh pada permasalahan lingkungan. Pengendalian lingkungan yang pelaksanaannya melalui pembuatan analisis dampak lingkungan bagi investor yang akan melaksanakan pembangunan sifatnya harus melekat pada pemberian ijin prinsip/fatwa planologi. Pemerintah Kota Batam tidak dapat melaksanakan pengawasan dan pengendalian dampak lingkungan karena ijin prinsip tersebut dikeluarkan oleh BP Batam. Sebagai akibatnya, pengerukan bukit dan reklamasi pantai menjadi tidak terkendali sama sekali. Di sisi lain, reklamasi pantai yang dilaksanakan oleh investor tersebut sebenarnya melanggar undang-undang pembentukan wilayah. Sebagaimana diketahui bahwa Undang-Undang Nomor 53 Tahun 1999 telah menetapkan batas wilayah berdasarkan bentuk pantai saat penetapan. Dengan adanya penambahan lahan akibat reklamasi, maka terjadi perubahan bentuk wilayah. Hal ini jelas harus diatur kembali dengan perubahan undang-undang tentang pembentukan wilayah. Oleh karena itu, pemberian ijin prinsip yang bersifat merubah bentuk wilayah harus dilakukan dengan sangat hati-hati. Dalam hal ini, mengingat bahwa BP Batam lebih bersifat melaksanakan pengusahaan yang artinya lebih berorientasi pada penciptaan pendapatan, jelas permasalahan batas wilayah tersebut tidak menjadikan prioritas perhatian. (iv) Disamping permasalahan diatas, ditemui juga permasalahan penyediaan sarana dan prasarana umum. Karena kedua institusi merasa memiliki kewenangan dalam melaksanakan prasarana dan sarana perkotaan, sehingga ditemui adanya ketidak serasian dalam penyediaan prasarana. Hal ini dikarenakan tidak terdapat pembagian wewenang yang jelas tentang jenis dan bentuk penyediaan prasarana dan sarana perkotaan. Hasilnya adalah prasarana dan sarana yang sudah dibangun oleh masing-masing institusi ini sering tidak sinkron dan sebagai akibatnya adalah prasarana dan sarana menjadi tidak berfungsi sebagaimana seharusnya. Saat ini masyarakat dibebani 2 (dua) jenis pungutan terkait dengan lahan dan bangunan. Pungutan pertama
48
SUMBER FOTO: ISTIMEWA
adalah Pajak Bumi dan Bangunan yang dikenakan berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994. Namun selain pungutan tersebut, masyarakat juga mendapat beban Uang Wajib Tahunan Otorita (UWTO). Pungutan ini dilindungi melalui Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2007 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam maupun Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1973 tentang Daerah Industri Pulau Batam. Saat ini ijin penanaman modal dan retribusi investasi baik untuk kegiatan industri maupun bidang lainnya berada pada BP Batam. Sementara Pemerintah Kota Batam tidak dapat bertindak lebih jauh terkait dengan investasi. Terdapat beberapa permasalahan disini. Pertama, pemerintah kota tidak mampu mengendalikan dan bahkan mendorong untuk melaksanakan percepatan dalam pembangunan ekonomi di kota Batam melalui sektor investasi. Terdapat kesenjangan antara usaha mendorong perkembangan ekonomi kota dengan pengendalian. Implikasi lebih lanjut adalah penyediaan fasilitas bagi kegiatan investasi juga tidak dapat berjalan sempurna karena pemerintah kota tidak mengetahui kebutuhan dari investor, padahal pemerintah kota yang bertanggung jawab dalam memenuhi kebutuhan masyarakat dan kegiatan yang ada di kota tersebut. Kedua, ketidak mampuan pemerintah kota dalam mengendalikan pemberian ijin akan berdampak pada munculnya permasalahan lingkungan. Ketiga, dengan tidak adanya akses terhadap retribusi maka kemampuan pemerintah kota dalam melayani kegiatan ekonomi menjadi lebih terbatas.
Edisi 5 - 2015 Selain permasalahan tersebut, masih perlu diantisipasi beberapa hal yang menjadi potensi permasalahan kedepan. Potensi permasalahan kedepan tersebut antara lain: 1. Pengaturan Ruang dalam bumi. Dengan keterbatasan lahan di Kota Batam, serta dengan melihat posisi Batam yang relatif dekat dengan Singapura, jelas pembangunan ruang bawah tanah akan menjadi pilihan paling rasional di masa depan. Namun saat ini, pengaturan ruang dalam bumi belum diantisipasi. 2. Pengelolaan Pedagang K-5 Pedagang kaki lima saat ini ditanganisecara sporadis. Ruang bagi pedagang ini belum diatur dengan baik sehingga muncul kawasan kumuh pada lebih dari 50 titik di kota Batam.. 3. Revitalitasi/Peremajaan Kawasan Lama, Setelah era reformasi, bermunculan kawasan yang terabaikan akibat dari melemahnya kegiatan ekonomi dibutuhkan upaya revitalisasi kawaasan tersebut. 4. Pengelolaan lahan perkotaan, stabilisasi harga lahan Lahan yang tidak termanfaatkan banyak ditemui se-
mentara di tempat lain terjadi penumpukan yang berlebihan karena adanya investor yang mendiamkan lahan untuk tujuan spekulatip. Di lain pihak, alokasi lahan menjadi kewenangan BP Batam. Dengan demikian, koordinasi dengan Pemerintah Kota Batam untuk mengatasi ini menjadi suatu keniscayaan, sehingga diharapkan harga tanah akan bisa ditekan. 5. Pengelolaan aspek Sosial Budaya, polarisasi penduduk menurut budaya yang berakibat pada konflik Saat ini sudah muncul adanya kelompok-kelompok dan lingkungan yang berbasis etnis. Bahkan pergesekan antarkelompok etnis sudah terjadi. Untuk itu, dalam menghadapi kota Batam yang akan semakin metropolis jelas permasalahan polarisasi masyarakat berdasar kelompok etnis harus dihindarkan. Diperlukan pembauran dengan menciptakan simpul kontak antaretnis yang bersifat cair. Dengan menangani permasalahan-permasalahan diatas, kota Batam akan lebih siap menjadi Metropolitan Baru di Sumatera Timur.
49
Pendapat
“Strategi Merumahkan Rakyat:
Meningkatkan Pasokan, Memampukan Akses� Assoc.Prof.DR.Ir. Budi Prayitno, M.Eng Kepala PUSPERKIM UGM, Pusat Kajian Perumahan dan Pengembangan Perkotaan Teknik Arsitektur Universitas Gadjah Mada
Prolog ada hakikatnya, kebutuhan rumah atau papan merupakan salah satu indikator dalam tolok ukur penilaian tingkat kesejahteraan individu maupun masyarakat. Kesejahteraan bukanlah hal yang mudah untuk dicapai karena indikator dari kesejahteraan seseorang berbeda. Namun demikian, rumah dapat menjadi sumber penilaian kesejahteraan masyarakat. Dalam konteks negara, indikator kesejahteraan terkadang masih hanya terfokus pada capaian pembangunan yang dilihat dari sisi ekonomi saja seperti pendapatan. Akan tetapi, fenomena tersebut mengindikasikan bahwa pertumbuhan ekonomi cenderung akan selalu diikuti dengan semakin timpangnya distribusi pendapatan yang berdampak pada disparitas “si kaya dan si miskin�. Ketimpangan distribusi pendapatan masyarakat Indonesia dapat terlihat dengan mudah dari jumlah angka backlog perumahan. Indonesia mengalami permasalahan yang tak kunjung reda yaitu peningkatan setiap tahunnya angka backlog perumahan. Dilematis antara kemauan dengan realitas yang ada sehingga belum mampu menyeimbangkan antara pasokan dan permintaan kebutuhan perumahan. Hal ini tampak dari program ambisius yang dicanangkan dan digebrakkan oleh pemerintah melalui Program Sejuta Rumah dan Program 100.0.100. Kemampuan pemerintah pusat yang hanya 98.000 unit hunian setiap tahunnya dan 34.000 unit hunian oleh Perumnas setiap tahunnya merupakan sebuah gambaran nyata yang tidak realistis terhadap target sejuta rumah dalam satu tahun dan upaya perwujudan program 100-0-100. Sehingga sebagian besar angka unit huniannya diserahkan kewajibannya kepada mitra pembangunan baik pelaku penye-
P
50
lenggara sektor lain seperti badan penyelenggara jaminan sosial serta lembaga-lembaga korporasi baik dibawah BUMN maupun swasta serta masyarakat. Di sisi lain, pemerintah juga dituntut untuk mengembangkan data penyebaran backlog perumahan yang berpotensi untuk mendiagnosis kebutuhan perumahan di tiap wilayah. Hal tersebut akan berguna sebagai database yang dapat diacu oleh pemerintah daerah dan sektor swasta jika diperlukan dalam membantu penyediaan perumahan bagi MBR. Data tersebut nantinya akan tersusun dalam satu laporan kajian mengenai housing needs assessment (HNA) yang mengakomodasi kebutuhan perumahan di Indonesia di berbagai daerah. HNA nantinya dapat menjadi acuan dalam menyusun rekomendasi kebijakan penyediaan perumahan yang sesuai dengan tingkat keterjangkauan dan ketersediaan perumahan. Tingkat keterjangkauan masyarakat juga dilihat dari kapasitas dana yang dimiliki sehingga pemerintah mengetahui benar kemampuan daya beli masyarakat terhadap harga jual rumah layak huni. Permasalahan keterjangkauan ini terkait dengan adanya mekanisme pasar yang tidak mampu dikendalikan oleh pemerintah. Imbasnya, harga rumah dan tanah beserta komponen lainnya mengalami kenaikan setiap tahunnya. Pemerintah melalui kebijakan pembiayaan perumahan seperti FLPP, belum pula memberikan hasil yang diharapkan. Hal ini karena belum terserapnya dana FLPP MBR yang disebabkan oleh berbagai faktor, seperti administrasi perbankan yang tidak tanggap terhadap MBR, penetapan besaran uang muka dan suku bunga yang masih dianggap tinggi, dan pembangunan perumahan KPR FLPP yang umumnya jauh dari pusat kegiatan atau aksesibilitasnya kurang. Oleh sebab kerumitan permasalahan perumahan di Indonesia, diperlukan agenda penyediaan perumahan bagi MBR secara strategis dan akseleratif. Salah satunya adalah merencanakan upaya pemberdayaan kemitraan dengan konsep co-benefit dalam meningkatkan pasokan dan me-
Edisi 5 - 2015 mampukan akses terhadap sumber daya perumahan. Keuntungan yang didapat adalah masing-masing pemangku kepentingan mengalami keuntungan dari aksi penyelenggaraan perumahan bagi MBR baik pemerintah pusat maupun daerah, pengembang, maupun oleh masyarakat itu sendiri. Untuk menyukseskan kebijakan penyediaan perumahan bagi MBR, perlu adanya dukungan political will. Namun demikian, political will yang sangat kuat untuk menyelesaikan masalah perumahan masih kurang didukung naskah teknokratiknya. Pemahaman teknokratis untuk mengukur kapasitas sistemik pasokan maupun pemahaman teknokratis untuk mengukur tingkat keterjangkauan dan kapasitas sistemik “mengakses� sumberdaya perumahan merupakan prasyarat mutlak yang harus dilakukan dalam mengawal kebijakan Program Sejuta Rumah dan Program 100.0.100. Untuk itu, political will yang ada momentumnya saat ini harus didukung penuh sehingga mampu mewujudkan tujuan negara yaitu kesejahteraan termasuk kesejahteraan atas papan sebagaimana yang telah diamanatkan dalam Pembukaan UUD 1945. Peranan Negara dalam Mewujudkan Kesejahteraan atas Papan Indonesia merupakan salah satu negara yang berkonsepkan pada welfare state dengan mengacu Pembukaan UUD 1945 Alinea 4. Atas dasar inilah, negara seharusnya hadir dan menjamin terhadap kesejahteraan masyarakat di berbagai bidang termasuk perumahan. Dengan mengacu pada UU No. 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial, upaya penyediaan akses pelayanan perumahan dan permukiman sebagai bentuk aksi menanggulangi kemiskinan. Akan tetapi, masuknya era kapitalisme yang membebaskan kekuatan pasar menyebabkan ketidakpastian MBR untuk mendapatkan rumah sebagai jaminan hak bermukim. Hak bermukim sudah menjadi hak asasi manusia dan hak dasar yang telah dilindungi dan wajib terpenuhi bukan merupakan hak prerogatif dari warga negara. Hal ini juga berhubungan erat dalam dokumen kepranataan yang ada bahwa rumah beserta tanah merupakan barang sosial yang digunakan untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Oleh sebab itu, negara dituntut untuk hadir dan menjamin hak bermukim sehingga tidak melepas rumah dan tanah sebagai barang komoditas. Jaminan di sini seharusnya terintegrasi dengan UU No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Standar Nasional sehingga benar-benar membuat negara beritikad dalam memberikan jaminan hak bermukim terutama MBR, baik formal maupun informal. Baik di kota maupun di desa, umumnya perumahan yang ada diselenggarakan secara keswadayaan. Meski de-
mikian masih banyak pula, masyarakat yang lebih memilih skim FLPP sebagai moda dalam memenuhi kebutuhan papannya. Pemerintah memang berusaha untuk membantu masyarakat dalam membangun perumahan swadaya. Namun berdasarkan pengalaman dari program pembangunan perumahan swadaya, aksi tersebut justru menimbulkan adanya charity chain baik dari pemerintah daerah maupun masyarakat karena hanya bergantung pada donasi dari pemerintah saja. Meskipun membantu dalam menyelenggarakan penyediaan perumahan bagi MBR, akan tetapi skim yang digunakan dianggap tidak mampu memandirikan daerah sehingga dibutuhkan inovasi program lainnya dalam penyediaan perumahan bagi MBR. Atas dasar permasalahan di atas, negara sebaiknya berperan untuk tidak melepaskan rumah dan tanah ke mekanisme pasar maupun ke sistem keswadayaan perumahan. Akan tetapi, negara seharusnya menyiapkan kepranataan yang kondusif untuk menjamin hak bermukim bagi MBR di kota dan di desa. Hal ini ditujukan agar setiap kebijakan penyelenggaraan perumahan tidak terkendala pada konflik regulasi. Secara normatif, perlu usaha memaduserasikan produk-produk peraturan perundangan baik secara hirarkis maupun sektoral seperti UU No. 23 Tahun 2014 yang notabene muatannya tidak sejalan dengan muatan UU PKP dan UU Rumah Susun terkait dengan urusan wajib penyelenggaraan perumahan di daerah. Negara juga hadir sebagai layanan publik kepada masyarakat sesuai dengan tujuan kehadiran negara. Dalam urusan perumahan, negara menjadi aktor utama yang berkewajiban dalam menyelenggarakan perumahan sesuai dengan UU No. 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman. Kehadiran negara menjadi penentu dalam menentukan bagaimana penyusunan skim pembiayaan, skim penyediaan tanah, skim penguatan pemerintah daerah, skim memerankan swasta, skim memperkuat akses keswadayaan masyarakat terhadap sumber daya perumahan? Pada dasarnya dalam mengatasi permasalahan perumahan yang belum pro rakyat akibat dari kekuatan pasar, dibutuhkan intervensi negara melalui peranan pemerintah. Negara menciptakan regulasi iklim yang kondusif dan kepastian hukum. Kehadiran negara sangat diperlukan dalam penyiapan kepranataan yang efektif dalam membagi peran antarsektor. Kepranataan tersebut, nantinya akan mampu menjadi acuan bagi setiap pemangku kepentingan yang ada. Hal ini menjadi urgensi untuk mengoordinasikan dan mengendalikan lintas sektor dan pelaku dalam mewujudkan kesejahteraan papan secara efektif. Keberhasilan dalam kebijakan menyediakan perumahan bagi MBR, tentu sangat dipengaruhi oleh bagaimana kondisi hubungan antarsektor.
51
Pendapat Selain disebutkan di atas, intervensi negara juga menyasar kepada masyarakat khususnya MBR yang mengharapkan kemerataan keadilan dalam mendapatkan kesejahteraan atas papan. Beberapa langkah yang dapat dilakukan oleh negara, antara lain kemudahan dalam mengakses perumahan, bantuan atau insentif baik rumah maupun komponennya, bantuan stimulan, subsidi/FLPP, dan sebagainya dengan dasar bahwa rumah sebagai basic need. Memberdayakan Pemerintah Daerah Dengan adanya UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, kewenangan menyelenggarakan perumahan seyogyanya menjadi milik pemerintah daerah. Meski demikian, ditemukan kejanggalan mengenai urusan wajib daerah sebagai pengemban penyelenggara perumahan. Dalam muatan dijelaskan bahwa pembagian peran penyelenggara perumahan merupakan urusan wajib bagi pemerintah daerah namun di dalam penjelasan terdapat limitasi penyelenggaraan perumahan. Jelas hal ini menjadi suatu kondisi yang memicu terjadinya tumpang tindih dan saling melempar kewenangan dalam sektor publik terutama hubungan vertikal. Di saat dilematis terjadi di dalam substansi UU No. 23 Tahun 2004, ternyata UU No. 1 Tahun 2011 dan PP No. 38 Tahun 2007 menjadi regulasi yang mendukung pemerintah daerah dalam menangani permasalahan perumahan. Hal ini seharusnya disambut dengan baik karena ada pembagian tugas antara pemerintah dengan pemerintah daerah dalam menyediakan rumah layak huni bagi MBR. Permasalahannya adalah belum semua daerah mampu menyediakan perumahan. Oleh sebab itu, perlu kajian mengenai asimetrik desentralisasi yaitu kewenangan daerah di era desentralisasi yang berdasarkan kemampuan di daerah. Sektor mana yang tidak mampu dijalankan oleh pemerintah daerah nantinya akan dikembalikan kepada pemerintah atau pemerintah pusat secara khusus meningkatkan kapasitas daerah agar mampu mentransfer apa yang menjadi kehendak dari pemerintah. Memberdayakan pemerintah daerah menjadi salah satu prasyarat yang harus dipenuhi untuk memastikan keberhasilan strategi merumahkan rakyat. Pemberdayaan pemerintah daerah ini perlu dilakukan dimana secara empiris pemerintah daerah cenderung menghadapi problema rendahnya kapasitas institusi. Pemberdayaan pemerintah daerah memungkinkan terbentuknya penguatan posisi tawar (bargaining position) sehingga mampu menjalankan tugas dan fungsi yang sama dengan berbagai aktor lain dalam upaya akseleratif pemenuhan kesejahteraan papan dengan lebih berkesinambungan. Menguatkan peran pemerintah daerah, meskipun dalam kenyataannya terjadi ketidaksinkronan antara
52
UU PKP dan UU Rusun dengan UU Pemerintahan Daerah, tetap menjadi kebutuhan yang mendesak. Pemberdayaan pemerintah daerah memberikan solusi untuk memperkuat kemitraan dalam pengelolaan perumahan. Urgensi pemberdayaan pemerintah daerah sangat terkait dengan proses desentralisasi yang saat ini berlangsung. Pemerintah daerah merupakan aktor yang berperan sebagai pihak yang secara langsung terlibat dalam kontak pelayanan publik dengan masyarakat kelompok sasaran. Dengan demikian, bila pemerintah daerah memiliki kecakapan kapasitas yang memadai, terbentuk potensi yang lebih besar untuk menyesuaikan peningkatan pasokan dengan kebutuhan dasar masyarakat kelompok sasaran khususnya tentang hak bermukim warga negara. Political will dan kesadaran untuk pemberdayaan pemerintah daerah perlu diarusutamakan dengan dasar pemikiran bahwa strategi merumahkan rakyat untuk pemenuhan kesejahteraan papan dan hak bermukim bukan sekedar proses belas kasihan yang mengandalkan pembentukan pemberdayaan masyarakat kelompok sasaran semata. Lebih daripada itu, strategi merumahkan rakyat sangat membutuhkan penguatan pasokan rumah layak huni yang salah satu upayanya dapat diwujudkan melalui pemberdayaan pemerintah daerah di bidang tata kelola perumahan. Dengan menggali potensi melalui upaya memberdayakan pemerintah daerah maka penyelenggaraan perumahan akan lebih mudah dilaksanakan seperti penguatan akses terhadap sumber daya perumahan swadaya dan penyediaan lahan untuk pembangunan perumahan semacam bank tanah. Di sisi lain, pemerintah daerah akan lebih berpeluang besar dalam menata ruang yang akan terintegrasi dengan perumahan melalui rencana strategis daerah seperti Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) melalui kewenangan perijinan sebagai “alat pengendali pembangunan bukan sumber pendapatan pembangunan�. Pembagian Peran Kelembagaan Mengingat bidang perumahan merupakan sesuatu yang membutuhkan proses pengelolaan yang berbasis kemitraan, pembagian peran kelembagaan dari masingmasing pemangku kepentingan yang terlibat di dalamnya sangat mutlak diperlukan. Pembagian peran secara efektif dari pilar regulator (pemerintah pusat dengan pemerintah daerah), operator atau penyedia (Perumnas), dan pembiayaan (lembaga perbankan dan lembaga non perbankan). Bila ketiga pilar mampu berkolaborasi maka permasalahan pasar perumahan yang tidak efektif, akan teratasi. Pada pilar regulator, pemerintah berperan sebagai regulator, enabler, dan koordinator terhadap krisis perumahan rakyat. Pemerintah akan bersinergi dengan pemerintah daerah dengan masing-masing tugas pokok dan
Edisi 5 - 2015 fungsinya sesuai dengan regulasi pembagian peran. Sementara pada pilar penyedia diselenggarakan oleh Perumnas yang seharusnya diperkuat terlebih dahulu mengenai kewenangannya seperti badan otoritas perumahan milik Singapura (Housing Development Board/HDB). Di bawah naungan BUMN, Perumnas dapat berfungsi sebagai badan penyelenggara korporasi dengan kewenangan berperan sebagai bank tanah, pengelola perumahan murah, pengembang kawasan siap bangun dan badan pengembang perumahan umum nasional. Untuk mempercepat penyediaan perumahan bagi MBR, Perumnas dapat berbagi peran dengan sektor swasta sebagaimana yang telah dilakukan oleh Filipina dan Malaysia. Konsep hunian berimbang 1:2:3 setidaknya mampu menjadi alternatif dalam menyediakan perumahan bagi MBR yang tentu saja masih dibutuhkan intervensi dari pemerintah seperti pembebasan Pajak Pertambahan Nilai (PPN), pembangunan infrastruktur, dan kemudahan perizinan. Demikian pula, penguatan Bank Tabungan Negara sebagai bank khusus pembiayaan perumahan serta penguatan lembaga pembiayaan perumahan dengan skim pendanaan melalui pasar sekunder seperti PT. Sarana Multi Griya Finansial (PT. SMF) maupun dengan skim pendanaan dari sistem keuangan mikro semacam koperasi mutlak harus dilakukan secara serius dan tuntas. Tidak hanya berhenti pada penyepakatan dan pembentukan lembaganya saja tetapi benar-benar harus dikawal sampai berjalan secara efektif. Pembagian peranan antara ketiga pilar bermanfaat untuk memberikan kejelasan tugas dan fungsi setiap aktor, serta meminimalisir kemungkinan terjadinya konflik kepentingan dan tumpang tindih kinerja institusional dalam tata kelola bidang perumahan tersebut. Untuk itulah, perlu adanya skim dalam meminimalisasi saratnya egosentrisme antarpengambil kebijakan yang dituangkan dalam perundang-undangan atau setingkat peraturan pemerintah. Penguatan dan penjelasan regulasi merupakan dokumen yang sangat dibutuhkan pra pembentukan kemitraan. Hal ini karena setiap pembagian peran membutuhkan dasar kebijakan yang secara formal harus diatur dan dijelaskan dalam sebuah regulasi. Penguatan dan kejelasan regulasi ini memberikan kepastian hukum dan menjadi kontrak sosial-politik bagi setiap aktor yang terlibat dan berperan dalam upaya pemenuhan kesejahteraan papan dan hak bermukim warga Negara. Pembagian peran ini memiliki nilai penting mengingat, bidang perumahan tidak bisa diserahkan ke keswadayaan dan mitra pengembang saja, tetapi harus melalui upaya penguatan kepranataan (regulasi dan tata kelola kelembagaan) yang efektif. Dalam hal ini, kemitraan dengan menggunakan prinsip co-benefit yang saling memberikan nilai manfaat menjadi konsep pendekatannya.
Epilog Indonesia merupakan negara yang dibentuk dengan maksud menjadi negara kesejahteraan sesuai dengan amanat konstitusional untuk menjamin hak dasar dari warganya. Oleh sebab itu, perlu upaya penyiapan mekanisme perlindungan yang efektif bagi MBR yang selama ini mengalami kesulitan mengakses rumah yang layak huni. Sebagai pengemban perwujudan kesejahteraan umum, negara memiliki tiga kewajiban penting, diantaranya: kewajiban menghormati, kewajiban melindungi, dan kewajiban memenuhi. Mengingat urgensi isu perumahan yang ada, negara seharusnya mengendalikan atau bahkan mengambil alih kembali sektor perumahan dan tanah dari mekanisme pasar. Atas dasar kesejahteraan umum, negara diberikan kewenangan dalam mengalihfungsikan kembali fungsi ekonomi perumahan dan tanah menjadi fungsi sosial sebagaimana yang tertera dalam perundang-undangan seperti UU No. 12 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum. Di sisi lain, pemerintah perlu mengagendakan kebijakan perumahan yang inovatif, akseleratif, dan solutif sebagai bentuk tanggungjawab terhadap kebutuhan papan bagi MBR. Salah satu upayanya adalah menyusun grand design dan peta jalan program sejuta rumah dan 100.0.100 yang disusun dengan perencanaan jangka panjang. Tidak cukup hanya melalui penyiapan rencana aksi teknis yang diikuti dengan regulasi serta didukung dengan kemauan politik ( political will ) tetapi benar-benar harus disiapkan secara matang dan terukur melalui kajian teknokratis yang akurat dan cepat untuk menjamin terlaksananya program secara efektif. Mengingat keterbatasan kapasitas yang dimiliki oleh pemerintah dalam menyelenggarakan perumahan, diperlukan perencanaan pemberdayaan kemitraan baik dengan pihak swasta maupun dengan masyarakat. Pemberdayaan kemitraan tersebut tentu dengan menggunakan konsep co-benefit agar masing-masing pemangku kepentingan mendapatkan keuntungan. Capaian tersebut, menuntut terhadap pembagian peran yang efektif dari berbagai pilar (regulator, penyedia, pembiayaan) serta masyarakat. Hal ini dikarenakan perumahan merupakan bidang yang kompleks dan harus diposisikan sebagai sistem yang utuh dan bukan sektoral. Sehingga fungsi koordinasi kebijakan dalam bentuk sinergi dan coproduksi lintas pemangku kewajiban perumahan rakyat mutlak harus dilakukan. Untuk menguatkan dan kejelasan pembagian peranan dari berbagai pilar tersebut maka dibutuhkan payung hukum semacam perundang-undang yang efektif.
53
Pendapat
Menggapai Langit Lupa Landasan Oleh Parwoto*
P
enanganan perumahan di kota-kota merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari strategi menyeluruh penanganan perumahan di Indonesia yang lebih berorientasi pasokan yang juga merupakan perwujudan dari strategi dasar pembangunan Indonesia yang mendudukkan pemerintah sebagai “service provider” (pengaruh dari the notion of welfare state). Di sisi lain, pembangunan perumahan perkotaan juga tidak dapat dipisahkan dari strategi pembangunan kotanya sendiri yang pada dasarnya masih diwarnai oleh dikotomi penanganan antara kawasan yang terencana/mapan dan yang tidak terencana/tumbuh spontan sebagai implikasi berkepanjangan dari dikotomi kebijakan penanganan kota sebelum kemerdekaan yang secara administrasi memisahkan wilayah kota menjadi dua, “the official city” (kota resmi) pada umumnya sepanjang jalan utama, dimana tanah dibeli dan dikoversikan dalam bentuk hak-hak Barat yang kemudian juga dikenal sebagai “bebouwdekom” (built up area/ wilayah terbangun) dan secara administrasi berada di dalam yurisdiksi pemerintahan kota. Konsekuensinya menerima banyak sekali subsidi khususnya dalam menyediakan pelayanan prasarana. Sedangkan wilayah kota lainnya disebut “inlandse gemeenten” (permukiman mandiri penduduk asli), dimana sebagian besar masyarakat atau penduduk asli tinggal dan mengembangkan lingkungan mereka berdasarkan hukum adat tanpa dukungan pemerintah kota sebab tidak dianggap sebagai bagian wilayah kota yang juga disebut “kampung” dan berada dibawah yurisdiksi pemerintahan kabupaten Jadi secara umum dapat dikatakan bahwa perumahan untuk masyarakat berpenghasilan rendah di kota besar sejak sebelum kemerdekaan tumbuh dalam bentuk permukiman spontan yang lebih dikenal sebagai kampung2) yang pada umumnya terletak di belakang dari bangunan gedung yang telah diatur penataannya yang sebelum kemerdekaan dikenal sebagai wilayah terbangun. Sementara itu, pertumbuhan penduduk perkotaan yang relatif cepat diikuti juga dengan meningkatnya konsentrasi kemiskinan ternyata melampaui kapasitas manajemen kota. Indonesia menjadi saksi bisu terhadap kecepatan urbanisasi yang terjadi, antara tahun 1990 sampai dengan 2010
54
penduduk perkotaan Indonesia berkembang dua kali lebih dari 56 juta jiwa menjadi 128 juta jiwa. Rata rata penduduk perkotaan antara tahun 2000 sampai dengan 2010 tumbuh dengan 2,75% per tahun dan diproyeksikan akan mencapai 66,6% penduduk di perkotaan pada tahun 20353) Disamping itu, kemiskinan di perkotaan meskipun menurun tetapi masih banyak warga kota yang hidup dibawah garis kemiskinan. Antara tahun 2004 sampai 2012 kemiskinan perkotaan menurun hanya 0,75 juta jiwa (6,5%) dari 11,40 juta menjadi 10,65 juta jiwa, bandingkan dengan kondisi di perdesaan pada tahun yang sama menurun 6,31 juta jiwa (25%) yaitu dari 24,8 jiwa menjadi 18,49 juta jiwa Pesatnya migrasi dan sulitnya menurunkan angka kemiskinan di perkotaan mengindikasikan lemahnya manajemen kota dalam menangani migrasi desa-kota sehingga pada gilirannya maraklah kawasan kumuh di kota besar. Para pendatang yang pada umumnya berpenghasilan rendah dalam ketidak hadiran negara telah berupaya sekuat tenaga untuk merumahkan diri mereka dengan sebaikbaiknya. Sayangnya berbagai hambatan dan kekurangan yang dihadapi oleh para migran akhirnya menghasilkan unit hunian yang secara teknis dianggap oleh pemerintah tidak layak. Data BPS menunjukkan bahwa 7,9 juta unit rumah dinyatakan tidak layak khususnya terkait dengan atap, lantai dinding yang membutuhkan perbaikan. SUMBER FOTO: ISTIMEWA
2) Kampung dalam hal ini adalah kawasan perumahan yang dibangun secara swadaya oleh masyarakat penghuninya sebagai lingkungan multiguna (hunian, tempat kerja, dan lainnya). 3) Proyeksi Penduduk Indonesia 2010-2035, BPS 2013.
Edisi 5 - 2015 Meningkatnya kebutuhan perumahan tersebut selain di atasi oleh masyarakat sendiri, pemerintah pun sudah sejak awal Repelita I telah merintis pengembangan rumah sederhana di beberapa kota besar yang dikenal dengan program P1000. Konsep rumah sederhana ini kemudian pada Repelita II diterapkan secara masal, dimulai oleh Perumnas dan pada awal tahun 80-an baru mulai dirintis pembangunan rumah susun sederhana di Jakarta. Pola penyediaan perumahan ini merupakan aplikasi dari strategi pembangunan dengan pendekatan pasokan. Strategi ini menitik beratkan ketersediaan perumahan di pasaran pada kemampuan si penyedia yang dalam hal ini adalah Pemerintah dan pengembang swasta sebagai mitra kerja sedangkan masyarakat hanya dilihat sebagai obyek yang tidak berdaya yang sekaligus dilihat sebagai pasar yang empuk yang harus menerima apa yang sudah disediakan oleh sang “penyedia”. Dalam rangka menekan harga rumah yang terus naik agar tetap terjangkau oleh kelompok sasaran maka strategi pembangunan yang berorientasi pasokan ini memilih mengurangi mutu bangunan dan luas baik bangunan maupun pekarangan. Dari luas lantai T70 ke T54, T36, T21, T18, T12 sampai dengan T0 atau yang dikenal dengan KSB (kaveling siap bangun). Luas pekarangan yang dianggap layakpun bergeser dari 90 m2 ke 72m2, 60m2 sampai dengan 54m2. Bila hal inipun ternyata belum mampu dijangkau oleh kelompok sasaran (masyarakat penghasilan rendah) maka ditempuhlah sistem subsidi yang secara luas diterapkan dalam bentuk subsidi bunga KPR (Kredit Pemilikan Rumah). Hal ini sepertinya logis karena strategi pembangunan tersebut di atas pada dasarnya melihat rumah sebagai produk yang dapat diproduksi secara besar-besaran untuk menutup kesenjangan antara kebutuhan rumah dan ketersediaan rumah, dan atau sebagai benda sosial yang harus diproduksi besar-besaran untuk dialokasikan khususnya bagi kelompok masyarakat berpenghasilan rendah dan miskin, sebagai upaya jalan pintas untuk mengoreksi disparitas sosial ekonomi. Pola ini meletakkan Pemerintah beserta kerabat kerjanya, sektor swasta formal, sebagai tokoh sentral dan penentu dalam seluruh proses pembangunan (bertumpu pada pemerintah). Sering kali untuk memperkuat/mendukung sudut pandang ini penyediaan rumah melalui pola ini juga didudukkan sebagai alat pengarah untuk mengatur tata ruang pertumbuhan ekonomi. Meskipun demikian ternyata pola ini hanya mampu memenuhi kurang dari 15% dari pertambahan kebutuhan rumah di Indonesia bila dikaitkan dengan kelompok sasaran yang harus dicapai yaitu masyarakat penghasilan rendah,
sehingga lebih dari 85% pertambahan kebutuhan perumahan khususnya untuk masyarakat yang berpenghasilan rendah harus dipenuhi melalui pola penyediaan perumahan secara informal oleh masyarakat sendiri 4). Sementara itu dgn alasan backlog yang berlarut-larut, RPJMN 2015-2019 mengamanatkan penyediaan rumah baru 4,4 juta unit rumah dan peningkatan kualitas hunian sejumlah 3,4 juta unit. Dalam hal ini RPJMN sudah lebih maju dengan memberikan indikasi keterlibatan masyarakat melalui struktur pembiayaannya dengan 2,2 juta unit didanai oleh dana keswadayaan masyarakat, BUMN, swasta, dan lainnya. Pendekatan yang diterapkan masih tetap pasokan5) meskipun bukti lapangan justru menunjukkan hal yang sebaliknya berupa 85% lebih rumah dibangun melalui pola swakelola. Silahkan perhatikan di kota kecil ketika pengembanga perumahan tidak ada, tetap saja masyarakat tidak tinggal di alam terbuka tapi tetap tinggal dirumah yang dibangun secara swakelola6) oleh penghuninya Akhir akhir ini malah dicanangkan penyediaan satu juta unit rumah per tahun yang kemudian dikoreksi oleh KemenPUPERA menjadi hanya 603.516 unit pertahun dengan melibatkan Pemerintah, PERUMNAS, Pengembang, BPJS Ketenagakerjaan dan Pemda. Masyarakat sebagai pemasok terbesar justeru tidak dilibatkan. Padahal kemampuan sektor formal dalam menyediakan rumah bagi masyarakat penghasilan rendah masih sangat lemah. Salah satu indikasi adalah dengan melihat pemanfaatan FLPP (Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan) yang disediakan dalam RPJMN 2010 - 2014. Melalui penyediaan FLPP tersebut diharapkan dapat memberikan subsidi untuk 1.350.000 unit rumah untuk masyarakat penghasilan rendah tetapi realitanya hanya mencapai 370.251 unit. Dari sini terlihat kemampuan sektor formal untuk memroduksi dan daya serap pasar per tahun adalah sekitar 74 ribu unit. Jadi jelas persoalannya bukan hanya kemampuan memroduksi tetapi juga kemampuan pasar menyerap. Bila kemampuan produksi lebih besar dari apa yang dapat diserap maka yang terjadi adalah sisa produksi tersebut masuk pasar komersial dan menjadi obyek komersialisasi yang melambungkan harga rumah yang pada gilirannya akan merampas hak masyarakat penghasilan rendah untuk tinggal di rumah yang layak sehingga menjauhkan cita cita UUD 45 khususnya pasal 28. Pertanyaannya: Apakah niat membangun sejuta rumah ini realitis atau sekedar Ilusi? Untuk menjawab ini kita harus memahami dahulu karakteristik pola pasokan dan swakelola 4) Raymond J Struyk, Michael L Hoffman, Harold M Katsura, The market For Shelter in Indonesian Cities, 1990 5) Prof Hasan Poerbo menamai pola pasokan ini sebagai supply side oriented approach 6) John Turner menyebutnya self governning housing development
55
Pendapat Pasokan Versus Swakelola Sampai kapan Indonesia akan belajar setelah berbagai kegagalan dan juga sudah diperingatkan oleh PBB lima belas tahun yang lalu melalui suatu resolusi PBB dan alasan yang mendorong resolusi itu terjadi sebenarnya sudah terjadi di Indonesia (lihat Boks 1). Ironisnya kita secara lantang menyebutkan menganut “enabling strategy” dan tiap tahun melaporkan ke UN-Habitat tentang kemajuan penerapannya tetapi program kita secara resmi justru mendorong penerapan pasokan. Pola pasokan adalah pola penyediaan perumahan yang menitik beratkan pada pola pikir dan kemampuan penyedia/pemasok yaitu pemerintah dan mitra kerjanya untuk membangun atau memroduksi rumah. Persoalan yang ingin dijawab adalah kelangkaan rumah atau sering disebut sebagai “housing backlog”. Pola ini melihat rumah sebagai produk yang dapat diproduksi secara besar besaran oleh pemerintah dan mitra kerjanya (para pengembang). Pola ini juga menekankan nilai tukar sehingga segala sesuatu terkait dengan harga rumah akan sangat diperhatikan, seperti misalnya kosmetik rumah dan surat/legalitas rumah. Pola ini juga memisahkan antara fungsi produksi dan fungsi kebutuhan masing-masing berada di pihak yang berbeda. Sedangkan pola swakelola (self-governing housing development) fungsi produksi dan kebutuhan dapat saja berada dalam satu tangan yaitu penghuni atau calon penghuni yang membangun rumahnya secara bertahap sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya, dalam pikirannya hanya ada satu kata hemat. Pola ini memanfaatkan sumberdaya pribadi dan sangat menekankan nilai guna sehingga segala sesuatu yang terkait dengan fungsi dan kegunaan rumah menjadi perhatian utama seperti kedekatan dengan tempat mencari nafkah, luas ruangan yang mampu diadakan, pilihan bahan bangunan, dan lainnya. Sementara itu, kosmetik rumah dan legalitas kurang penting sejauh fungsi rumah untuk menunjang kehidupan dan penghidupan keluarga dapat dilaksanakan. Dengen demikian perkembangan rumahnya adalah cermin dari perkembangan sosial ekonominya. Tidak semua yang melakukan pola swakelola ini adalah masyarakat yang tidak mampu sehingga mampu menggalang berbagai sumberdaya yang dibutuhkan untuk menghasilkan bangunan yang sesuai dengan standar yang berlaku. Sedangkan bagi masyarakat berpenghasilan rendah yang serba pas-pasan tidak semua sumberdaya yang dibutuhkan untuk membangun rumah yang layak dapat mereka raih. Akibatnya masyarakat penghasilan rendah dengan segala keterbatasannya harus puas dengan mendapat unit hunian kalau tidak dapat disebut rumah sebagai hasil dari konflik kepentingan yang rumit antarberbagai kepentingan 7) Commision on Human Settlements resolution 10/16 of April 1987 on the effect of external debt of developing countries and their ability to raise the fund needed to solve the housing problems of homeless up to the year 2000
56
Boks 1 Pada tanggal 20 Desember 1988, GSS 2000 (Global Strategy for Shelter to the year 2000) disepakati dan dicanangkan sebagai Resolusi PBB No 43/181, yang kemudian dikenal sebagai Enabling Strategy. Salah satu pertimbangan dicanangkannya Resolusi tersebut adalah kekhawatiran dari negara anggota PBB terhadap membengkaknya hutang luar negeri negara berkembang yang banyak digunakan untuk sektor perumahan dan permukiman dan rendahnya kemampuan negara berkembang sendiri untuk menggalang dana dalam rangka memecahkan permasalahan perumahan bagi masyarakat miskin atau yang tidak memiliki rumah (homeless), yang juga telah diingatkan oleh Komisi Permukiman (Commision on Human Settlements) PBB melalui Resolusi No 10/16/16 April 1987)
sehingga diperoleh unit hunian yang sesuai dengan pola hidupnya meskipun untuk itu akan banyak pengorbanan dan pelanggaran aturan yang terpaksa dijalani. Dalam kondisi seperti ini peluang apa saja yang seyogya diambil untuk mencapai rencana satu juga rumah (603.516 unit) Beberapa Peluang Emas yang Terlupa Posisi masyarakat di berbagai kebijakan selalu dilihat sebagai yang lemah, tak berdaya dan harus dilayani atau malah disebut sebagai sumber persoalan. Hanya ketika GBHN masih ada posisi masyarakat secara eksplisit dinyatakan sebagai “subyek pembangunan” sehingga tidak mengagetkan bahwa pendekatan yang saat ini digunakan adalah pendekatan “pasokan”. Padahal berbagai belahan dunia telah membuktikan potensi masyarakat yang dahsyat termasuk di Indonesia pada pemilu 2014 yang baru lalu. Seyogyanya hal ini tidak dengan mudah dilupakan khususnya oleh para Menteri Kabinet Kerja. Penulis sangat yakin bahwa dengan sedikit fasilitasi masyarakat akan banyak sekali membantu pemerintah menyelesaikan berbagai persoalan bangsa termasuk persoalan perumahan, contoh ketika tsunami Aceh, pola rekonstruksi ala Rekompak dengan melibatkan kelompok sasaran sebagai pelaku utama telah menyelesaikan tidak saja membangun rumah tetapi juga peletakan sesuai tapak
Edisi 5 - 2015 masing-masing pemilik, sementara yang dibangun dengan pola pasokan hanya cepat membangun tetapi tidak jelas tapak dan siapa kelompok sasarannya menyisakan banyak persoalan sampai sekarang. Pola Rekompak ini kemudian direplikasi saat pasca gempa di DIY dan hasilnya 320 ribu rumah dibangun kembali atau direhabilitasi dalam waktu kurang dari 2 tahun tanpa konflik yang berarti. Mari kita lihat lebih lanjut peluang apa saja yang dapat diperankan masyarakat. 1) Menggandakan unit hunian Untuk itu harus kita sepakati terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan unit hunian disini, yaitu bagian dari rumah sebagai unit terpisah dan memiliki dapur sendiri. Berdasarkan laporan BPS Indonesia memiliki 64 juta dan rata-rata anggota rumah tangga adalah 3,9 orang maka bila ditawarkan bahwa tiap rumah tangga yang mampu menggandakan unit huniannya akan diberikan bantuan teknik, perijinan/legal dan dibebaskan PBB (Pajak Bumi dan Bangunan) selama 3 tahun pasti banyak yang berminat. Bila hanya 50% adalah rumah tangga di perkotaan maka ada 32 juta rumah tangga diperkotaan dan bila hanya 20% dari rumah tangga di perkotaan tersebut menanggapi maka akan diperoleh tambahan hunian sebanyak 6,4 juta unit dalam waktu kurang dari satu tahun atau sama dengan 1,28 juta unit hunian per tahun dalam lima tahun dengan dana yang harus dikeluarkan pemerintah relatif kecil. Oleh karena sejak 2014 PBB sudah menjadi penghasilan daerah maka perlu dipikirkan kompensasinya, misalnya berbasis kinerja sehingga pemerintah daerah akan secara aktif terlibat sebab ini menjadi bagian dari kinerja daerah. Kelebihan pola ini dengan ditawarkan secara acak kesemua rumah tangga di Indonesia maka yang akan menanggapi pasti melihat ada pasarnya, sehingga unit hunian yang dibangunnya pasti tidak kosong. Harga sewa/kontrak dapat ditetapkan dari awal misalnya maksimum X Rupiah yang akan dapat diberikan bantuan tersebut di atas, sehingga rumah tangga yang akan ikut program ini tahu seluruh konsekuensinya termasuk berapa investasi yang masih layak atau masih memberikan untung. 2) Menggalang modal sosial yang telah dibangun Beberapa program pemberdayaan telah meletakkan landasan yang kuat untuk memulai program berbasis masyarakat dan salah satunya adalah program penanggulangan kemiskinan perkotaan. Saat ini program penanggulangan kemiskinan perkotaan sudah bekerja di 11.066 kelurahan di perkotaan dan mereka memiliki berbagai aset dalam bentuk (i) data primer seperti keluarga miskin, rumah tidak layak huni, kelangkaan air minum dan sanitasi, (ii) lembaga pimpinan kolektif masyarakat (BKM/LKM) di 11.066 kelurahan, (iii) sumberdaya manusia 113.055 orang anggota pimpinan kolektif BKM/
LKM, 80 orang konsultan dari berbagai disiplin ilmu di tingkat nasional, 569 orang konsultan di tingkat propinsi, 1.300 orang konsultan yang berfungsi sebagai koordinator kota/ kabupaten dan 6.654 orang fasilitator yang mendampingi kelurahan. Bila struktur yang telah terbangun ini diminta mendata berapa keluarga kurang mampu atau miskin yang membutuhan rumah di tiap kelurahan maka dalam waktu kurang satu bulan data pasti sudah tersedia dan kalau kemudian diminta untuk tiap kelurahan menyelesaikan kebutuhan rumah warga miskinnya dengan diberikan bantuan teknik, pengadaan tanah dan dana maka selebihnya masyarakat dapat menyelenggarakannya dalam waktu singkat dan semuanya tepat sasaran serta tidak ada rumah yang tidak dihuni karena dibangun bersama calon penghuni. Saat ini program penanggulangan kemiskinan juga sudah merambah ke penataan lingkungan permukiman berbasis komunitas (PLPBK/Neigbourhood Development) dalam upaya antisipasi pertumbuhan penduduk. Pola ini sudah diterapkan di lebih dari 200 kota dan mencoba menata ulang lingkungan perumahan yang sudah tidak cocok lagi dengan pola kehidupan dan penghidupan masyarakatnya, Pembangunan lingkungan dalam hal ini hanya dilihat sebagai wahana masyarakat dapat menjalankan hajat hidup mereka dengan lebih baik. Persoalannya hanya akan terjadi di kota metropolitan yang kekurangan rumah tersebut harus dipenuhi dengan membangun vertikal atau rumah susun yang sudah seharusnya diurus oleh Pemerintah Daerah. Untuk ini, penulis mengusulkan penyediaan rumah sosial yang dapat disewa warga masyarakat dengan harga murah dan tidak boleh dimiliki, Rumah sosial ini haruslah dikelola Pemerintah Daerah di lokasi strategis Keuntungaan pola ini adalah dapat dengan segera dilakukan dan pembangunan lebih merupakan pelayanan bukan bisnis. 3) Koperasi perumahan Saat ini Indonesia tidak memiliki koperasi perumahan yang handal padahal koperasi koperasi lain tumbuh dengan subur. Niat membangun perumahan ini juga dapat dilihat sebagai peluang untuk membangun koperasi perumahan yang handal di Indonesia. Dimulai dengan koperasi karyawan, dikeluarkan peraturan agar tiap perusahaan dengan karyawan lebih dari 100 orang harus membentuk koperasi perumahan karyawan dengan dukungan perusahaan dalam bentuk dukungan dana untuk pengadaan lahan dan konstruksi. Kemudian tiap rumah yang jadi dihipotekkan atas nama karyawan yang bersangkutan sehingga mendapat dana segar kembali untuk melanjutkan pembangunan (lihat Box 2). Keuntungan pola ini adalah karyawan tidak dapat ditekan oleh perusahaan misalnya dengan mencabut hak menghuni rumah dinas. Dana bantuan dari perusahaan
57
Pendapat sebagai modal awal dapat diminimumkan dengan pola hipotek berantai. Seluruh cicilan dilakukan antara karyawan yang bersangkutan dengan bank dan dijamin perusahaan melalui potongan gaji. Bank komersial akan lebih tertarik karena ada jaminan dari perusahaan. Bila ini telah melembaga, dapat dikembangkan koperasi perumahan untuk warga masyarakat umum. Hal ini penting karena masyarakat selalu perlu contoh. Koperasi perumahan ini primernya harus dikembangkan berbasis wilayah administrasi, misalnya kelurahan sehingga cukup mudah dikendalikan oleh para anggotanya karena dalam skala kelurahan akan memudahkan organisasi tatap muka dan transparansi dapat digalang lebih nyata. Organisasi sekundernya/pusat koperasi dapat ditingkat kecamatan dan organisasi Induk di tingkat kota atau kabupaten sehingga gerakan koperasi perumahan ini harus menjadi gerakan “rakyat dan pemerintah daerah”, sehingga dapat disebut sebagai gerakan daerah. Di tingkat nasional cukup dibentuk federasi dari koperasi daerah. Pemerintah Daerah dapat bertindak sebagai Pembina dan sekaligus wasit terhadap kemungkinan penyimpangan yang dapat terjadi. Tantangan Ketiga usulan tersebut diatas hanya sebagian kecil dari upaya menggalang potensi masyarakat untuk perumahan yang intinya memromosikan pembangunan perumahan berbasis komunitas8). Agar gerakan pembangunan dari, oleh dan untuk masyarakat dapat berjalan lancar perlu dibangun situasi yang kondusif antara lain: 1) Stop komersialisasi. Kesulitan masyarakat khususnya masyarakat penghasilan rendah adalah melambungnya berbagai harga sumberdaya perumahan, seperti lahan, harga bahan bangunan, termasuk harga rumah jadi. Bila rumah memang diakui sebagai salah satu kebutuhan dasar manusia maka sudah seharusnya pemerintah mematok harga khususnya untuk rumah dengan luas lantai dan luas lahan tertentu misalnya lantai 45 m2 dan lahan 90 m2. Harus tersedia lokasi di tiap kota yang harga tanah dan bangunannya dikendalikan ketat. 2) Penyediaan lahan perkotaan murah. Caranya antara lain berupa (i) prioritas untuk membeli lahan perkotaan adalah pemerintah dan pemerintah hanya membayar sesuai NJOP. Bila pemerintah menyatakan tidak akan membeli maka baru dapat dijual ke umum. (ii) menuntut kembali kewajiban pengembang untuk menyediakan 20% lahan yang dibebaskan untuk perumahan masyarakat penghasilan rendah (iii) memutihkan tanah terlantar yang sudah atau be8) Perlu disepakati terlebih dahulu bahwa pembangunan perumahan memang mutlak diperlukan disamping untuk memenuhi kebutuhan juga untuk menggerakkan sektor ril karena pembangun perumahan selalu memberi backward and forwad effect. Artinya setiap pembangunan perumahan akan menggerakkan ratusan kegiatan ekonomi terkait, seperti produksi berbagai macam bahan bangunan dan lapangan kerja.
58
S
Boks 2
ejak awal tahun 1980, desakan kebutuhan perumahan bagi karyawan RS St Borromeus mulai terasa setelah banyak karyawan yang terpaksa menyewa/mengontrak rumah meminjam uang ke manajemen rumah sakit maupun ke koperasi. Menanggapi hal tersebut sejak awal tahun 1980 Koperasi Kredit Borromeus telah mengambil inisiatif dengan membuka pinjaman khusus perumahan baik untuk menyewa, mengontrak, memperbaiki maupun membeli lahan. Keterbatasan kemampuan Kopdit dalam mengakumulasi dana telah menyebabkan cakupan pelayanan program ini menjadi sangat terbatas. Pada awal 1983 mulai dirintis program perumahan yang lebih menyeluruh melibatkan pihak manajemen rumah sakit, pengurus Perhimpunan St Borromeus dan bekerja sama dengan Pusat Litbang Pemukiman, Badan Litbang Pekerjaan Umum. Langkah pertama yang dilakukan program ini adalah pendataan melalui sistem survai sendiri (community self survey). Dari survey ini diperoleh data bahwa dari 1200 karyawan RS St. Borromeus dan RS St Yusuf ada 400 karyawan yang tinggal di rumah sewa/kontrak/ikut orang tua/kondisi rumahnya sangat memprihatinkan (liar, kumuh). Untuk menangani kasus ini maka dibentuklah Panitia Perumahan oleh Kopdit Borromeus didukung oleh pihak manajemen maupun pengurus Himpunan dan didampingi oleh Pusat Litbang Pemukiman, Badan Litbang Pekerjaan Umum. Program ini mencoba memanfaatkan KPR BTN yang sudah ada pada saat itu dengan pola hipotek berantai dengan debitur adalah kelompok yang dalam hal ini adalah Koperasi Kredit Borromeus. Model ini telah dipilih sebagai salah satu program pembangunan perumahan yang inovatif dan mendapatkan penghargaan oleh Habitat Negeri Belanda.
lum dimanfaatkan oleh warga agar digunakan oleh warga masyarakat untuk membangun perumahan dengan dasar hukum yang jelas. 3) Jentrifikasi. Untuk mencegah jentrifikasi terjadi, maka berbagai hunian yang dibangun dengan memanfaatkan berbagai subsidi dari pemerintah tidak dapat dijual langsung tetapi harus dikembalikan ke pemerintah dan semua dokumennya di bedakan sehingga (seperti mobil AX) bila dijual dibawah tangan dan pemilik baru ingin melakukan balik nama maka dikenakan denda yang cukup besar. 4) Pemerintah Daerah sebagai nahkoda. Menegaskan bahwa urusan perumahan adalah urusan daerah dan membangun berbagai mekanisme dan pendanaan yang mendudukkan Pemerintah Daerah sebagai nahkoda. Tantangan selanjutnya terkait dengan warisan pola pasokan yang perlu selalu harus diwaspadai :
Edisi 5 - 2015 5) Sikap pelaku pembangunan. Secara umum, para pelaku pembangunan belum siap dan memahami perubahan peran yang seharusnya mereka lakukan oleh sebab pola pikir yang masih diwarnai oleh paradigma lama yang melihat posisi pemerintah sebagai penguasa dan penyedia dan masyarakat adalah pihak yang lemah, tidak berdaya, tidak dapat diandalkan dan hanya pantas untuk menerima saja. Hal ini seringkali justru terjadi oleh sebab pudarnya nilai-nilai luhur yang seharusnya disandang oleh mahluk yang menyandang martabat manusia. Pihak masyarakat sudah terlalu lama dan terbiasa ditentukan oleh pihak lain dan menerima hasil dari pihak lain sehingga mereka menjadi tidak peka dan apatis. Tidak menganggap perlu mengorganisasi diri untuk menyelesaikan persoalan yang tidak mereka rasakan. Lebih suka menerima, mengambil dari pada memberi. Pihak pemerintah baik perangkat pusat maupun daerah tidak siap menghadapi perubahan peran yang sangat mendasar ini. Mereka yang tadinya berkuasa memutuskan/ menentukan sekarang harus berbagi kekuasaan dan merelakan pihak lain (kelompok masyarakat) untuk mengambil keputusan malah harus memasilitasi masyarakat untuk dapat mengambil keputusan yang tepat. Baik secara mental maupun metodologi, perangkat pemerintah belum siap. Lebih suka memerintah dari pada melayani Pihak swasta yang tadinya menguasai posisi strategik dalam mengusai sumber daya kunci untuk keuntungan mereka sendiri sekarang tidak mungkin lagi sehingga ada ketidak-relaan dalam melepaskan posisi kunci mereka. Lebih suka mengambil kalau perlu merampok secara prosedural dari pada memberi.
Pihak lembaga nirlaba termasuk dalam hal ini para konsultan pembangunan dan lembaga swadaya masyarakat yang juga masih lebih banyak memberikan advokasi ketimbang bekerja bersama masyarakat menyelesaikan berbagai permasalahan mereka yang sangat kompleks yang justru memerlukan profesionalisme yang tinggi dengan tingkat kepiawaian yang tinggi pula. Malah sering kali lebih suka mengejar popularitas diri ketimbang melayani masyarakat. 6) Pola Kelembagaan Sesuai dengan arus utama model pembangunan yang menerapkan pendekatan pasokan, maka bentuk kelembagaan (organisasi, aturan main, tata peran) diciptakan untuk mendukung model pembangunan dengan pendekatan pasokan yang jelas tidak sesuai dengan kelembagaan yang dibutuhkan untuk melaksanakan model pembangunan berbasis komunitas atau swakelola. Hal ini terlihat dengan jelas bahwa berbagai aturan main untuk mendapatkan sumberdaya kunci masih sangat bias ke sektor formal yang menjadi kelembagaan andalan model pembangunan dengan pendekatan pasokan sehingga sulit sekali bagi masyarakat miskin dan sektor informal untuk mendapatkan akses ke bank misalnya, ditambah lagi dengan pola pikir pelaku bank yang masih menganut paradigma lama yang melihat martabat dalam kaitan dengan kepemilikan material. Kedua hal tersebut di atas menjadi penyebab utama terjadinya bias-bias dalam menentukan prioritas pembangunan, kelompok sasaran dan rangkaiannya yang tentu saja berdampak pada alokasi sumberdaya yang dibutuhkan, sehingga terciptalah serangkaian hambatan yang sistemik dan jalin menjalin. *Pegiat pembangunan berbasis komunitas.
SUMBER FOTO: ISTIMEWA
59
Pendapat
Perencanaan, Pelaksanaan dan Pengendalian Pembangunan Perumahan Rakyat* Danang Priatmodjo Jurusan Arsitektur - Universitas Tarumanagara Pengantar UD 1945 mengamanatkan: “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan” (Pasal 28H Ayat 1). Kenyataannya, baik di wilayah perkotaan maupun di wilayah perdesaan, masih banyak warga masyarakat yang tinggal di rumah yang tidak layak huni. Bila dibandingkan dengan capaian kemajuan di bidang pendidikan dan kesehatan, bidang perumahan rakyat tampak jauh tertinggal. Kiranya ini menjadi tugas kita bersama untuk mengupayakan agar seluruh anak bangsa bisa tinggal di rumah yang layak. Rumah adalah simpul kehidupan manusia. Di dalam rumah terjadi proses kebudayaan, pewarisan nilai dari generasi tua ke generasi muda. Regenerasi manusia dimulai dari dalam rumah, sehingga rumah harus memenuhi syarat kelayakan. Rumah yang tidak layak (dari segi ukuran, penghawaan, penerangan, kelengkapan ruangan dan sarana) akan berakibat tidak sempurnanya proses kehidupan di dalamnya. Kesehatan raga dan kesehatan jiwa menjadi taruhan bagi para penghuni rumah yang tidak memenuhi syarat. Sebagai contoh, wabah muntaber dan ISPA (infeksi saluran pernafasan atas) sering menimpa para penghuni kawasan kumuh yang rumah dan lingkungannya tidak sehat. Contoh yang lebih menyedihkan adalah kasus perkosaan oleh ayah kandung terhadap putrinya ternyata sering terjadi di rumah petak yang sempit. Fakta ini hendaknya menjadi cambuk bagi kita untuk bekerja lebih keras mengupayakan pemenuhan kebutuhan perumahan rakyat. Pergeseran bidang-bidang yang terkait dengan perumahan rakyat di pemerintahan baru – yaitu integrasi perumahan rakyat ke Kementerian Pekerjaan Umum serta penggabungan bidang tata ruang dan agraria menjadi satu kementerian – merupakan momentum untuk meningkat-
U
60
kan upaya tersebut. Berada di Kementerian PU menjadikan bidang perumahan rakyat dekat dengan bidang cipta karya dan bina marga yang dibutuhkan dalam penyediaan perangkat rancang-bangun dan infrastruktur perumahan. Keberadaan bidang tata ruang dan bidang agraria di bawah satu atap akan lebih memberikan jaminan alokasi tanah di perkotaan maupun perdesaan untuk pemenuhan kebutuhan perumahan rakyat. Pemenuhan Kebutuhan Perumahan Rakyat Bila piramida strata sosial dibagi secara sederhana menjadi 5 (lima) golongan, kita akan mendapatkan golongan: (i) atas; (ii) menengah-atas; (iii) menengah; (iv) menengah-bawah; dan (v) bawah. Strata sosial ini merupakan cerminan dari tingkat penghasilan, baik menyangkut besaran maupun keajegan (penghasilan tetap atau tidak tetap). Upaya pemenuhan kebutuhan perumahan rakyat difokuskan untuk golongan bawah dan menengah-bawah, dengan asumsi ketiga golongan lainnya mampu memenuhi kebutuhan rumahnya sendiri. Seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk yang dapat dikategorikan sebagai “miskin”, maka tuntutan penyediaan perumahan rakyat SUMBER ILL: ISTIMEWA akan semakin tinggi. Sejarah mencatat bahwa pada pertengahan tahun 1950 hampir semua kota di Indonesia membangun perumahan rakyat. Ini merupakan tidak lanjut diselenggarakannya Kongres Perumahan Rakyat tahun 1950 dan pembentukan Jawatan Perumahan Rakyat pada tahun 1952. Perumahan rakyat generasi pertama ini rupanya tidak berlanjut. Generasi berikutnya baru muncul seperempat abad kemudian, ketika Kabinet tahun 1978 terdapat pos Menteri Muda Urusan Perumahan Rakyat (lima tahun kemudian menjadi Menteri Negara Perumahan Rakyat). Sejak akhir tahun 1970 sampai dengan tahun 1990an, penyediaan perumahan rakyat melimpah. Perum Perumnas dan para pengembang membangun perumahan untuk
Edisi 5 - 2015 masyarakat berpenghasilan rendah (MBR), difasilitasi dengan kredit pemilikan rumah (KPR) untuk jangka waktu 15-20 tahun dengan bunga yang rendah (subsidi bunga diberikan oleh negara). KPR ini disalurkan melalui Bank Tabungan Negara (BTN), sehingga ketika itu perumahan rakyat dikenal dengan nama “perumahan Perumnas” atau “perumahan BTN”. Dapat dikatakan era tersebut adalah “masa kejayaan” penyediaan perumahan rakyat. Pada masa tersebut banyak rakyat kecil (termasuk pegawai rendahan sekelas office boy) yang tidak pernah bermimpi bisa punya rumah akhirnya bisa memiliki rumah. Namun fasilitas KPR ini hanya menjangkau golongan yang memiliki pekerjaan tetap. Kalangan MBR yang bekerja di sektor informal dan penghasilannya tidak tetap tidak punya akses untuk mendapatkan KPR. Bagi mereka disediakan rumah sewa atau rumah-susun sewa (di kota besar), yang jumlah pasokannya tidak mencukupi kebutuhan. Akibatnya, di wilayah perkotaan terbentuk kawasan hunian padat yang cenderung kumuh. Sungguh ironis, meski kebutuhan perumahan rakyat belum tercukupi, di era reformasi pos Kementerian Perumahan Rakyat di Kabinet tahun 1999 justru dihapus. Perum Perumnas dan Bank BTN kehilangan peran sebagai ujung tombak penyedia perumahan rakyat, karena keduanya dikategorikan sebagai BUMN yang harus berorientasi kepada keuntungan. Pegawai rendahan semakin sulit untuk bisa punya rumah, karena harus membeli dengan harga pasar – dan membayar bunga kredit tanpa subsidi – yang tidak terjangkau oleh mereka. Demikian juga MBR yang jumlahnya semakin meningkat, masih tetap menghuni rumah petak yang sempit sesuai dengan tarif sewa yang mampu dibayarnya. Sekali lagi, saat ini adalah momentum untuk mengembalikan “masa kejayaan” penyediaan perumahan rakyat. Perum Perumnas dan Bank BTN harus dikembalikan fungsinya sebagai perangkat penyediaan perumahan rakyat. Sebagai bagian dari kegiatan social housing, keduanya harus memiliki misi sosial, jangan dibebani tugas sebagai pengumpul pendapatan negara. Perencanaan Pembangunan Perumahan Rakyat Mengambil momentum susunan pemerintahan yang baru, tata ruang kawasan perkotaan harus memastikan adanya alokasi lahan untuk perumahan bagi masyarakat golongan menengah-bawah dan golongan bawah (MBR). Saat ini, dengan mekanisme pasar, kawasan tengah kota habis dikuasai oleh para pengembang besar. Lahan seluas puluhan sampai ratusan hektar semua dibangun untuk
fasilitas bisnis/komersial dan hunian kelas atas, tanpa menyisakan bagian lahan untuk hunian kelas bawah. Rakyat kecil semakin terpinggirkan. Kita memiliki dua perangkat pengaturan untuk mengamankan penyediaan hunian bagi masyarakat kelas menengah-bawah dan bawah, namun kedua peraturan tersebut selama ini tidak optimal direalisasikan. Kedua peraturan dimaksud adalah: (1) Peraturan tentang Kasiba dan Lisiba Berdiri Sendiri (PP No. 80/1999) (2) Peraturan tentang Hunian Berimbang (UU No. 1/2011 dan Permenpera No. 10/2012) Penyediaan lahan PP No. 80/1999 mengamanatkan kepada pemerintah kabupaten/kota untuk menyiapkan Kasiba (kawasan siap bangun) yang terdiri atas satu atau lebih Lisiba (lingkungan siap bangun), atau Lisiba BS (Lisiba yang berdiri sendiri). Lahan skala besar yang dilengkapi jaringan primer dan sekunder prasarana lingkungan ini akan berfungsi sebagai “bank tanah” yang bisa menjamin masyarakat berpenghasilan rendah bisa tinggal di rumah yang layak, karena harga tanah tidak dilipatgandakan oleh para spekulan tanah. Kementerian Agraria dan Tata Ruang dapat memberikan fasilitasi serta arahan bagi pemerintah kabupaten/kota untuk merealisasikan penyediaan Kasiba dan Lisiba BS. Bila hal ini bisa terwujud, akan lebih mudah melakukan pemenuhan kebutuhan perumahan rakyat melalui berbagai program seperti penyediaan kaveling tanah matang, pembangunan rumah sederhana (sewa atau milik), serta rumah susun sederhana (sewa atau milik). Pengaturan kehidupan sosial yang serasi Peraturan tentang hunian berimbang semula (SKB 3 Menteri Tahun 1992) berupa penetapan formula 1 : 3 : 6, yaitu kewajiban bagi pengembang setiap membangun 1 rumah mewah harus disertai dengan pembangunan 3 rumah menengah dan 6 rumah sederhana. Peraturan ini lalu dikukuhkan dalam UU No. 1/2011 dengan menyebutkan hal normatif, sedang penetapan angkanya didelegasikan ke Peraturan Menteri. Kemudian melalui Permenpera No. 10/2012 ditetapkan angka 1 : 2 : 3. Perubahan angka ini patut disayangkan, karena melemahkan perlindungan ketersediaan hunian bagi masyarakat berpenghasilan rendah. Dapat dipahami apabila keberatan para pengembang atas peraturan hunian berimbang ini didasari oleh pertimbangan bisnis (apabila ternyata merugikan), namun tidak bisa
61
Pendapat diterima bila alasannya akan membangun hunian eksklusif yang “tidak mau berdekatan” dengan “rumah-rumah orang miskin”. Konsep hunian berimbang ini justru bertujuan untuk menjaga keserasian sosial melalui hidup berdampingan antara warga masyarakat dari berbagai strata sosial dalam satu lingkungan hunian. Telah terbukti, pada kasus kerusuhan massal tahun 1998 yang lalu, hunian-hunian eksklusif mengalami penjarahan, sedang hunian-hunian yang heterogen selamat. Tidak berarti kita membenarkan penjarahan, tetapi pembentukan kantong perumahan mewah terbukti menimbulkan segregasi kaya-miskin yang bermuara pada kehidupan sosial yang tidak sehat. Tuntutan untuk menghadirkan hunian “bercampur” ini merupakan kesadaran yang bersifat universal, sebagaimana tercermin dalam gerakan “New Urbanism” – yaitu gerakan pembaruan dalam konsep perancangan/penataan kota – yang mulai marak di awal tahun 1980an dan kemudian dikukuhkan dalam “Charter of the New Urbanism” (1993). Butir ke-4 dari 10 (sepuluh) butir prinsip New Urbanism adalah “Mixed Housing” yang dideskripsikan sebagai: A range of types, sizes and prices in closer proximity. Seluruh dunia sudah menyerukan perlunya hidup berdampingan antara berbagai strata sosial, maka kita harus lebih bersungguh-sungguh melaksanakan peraturan tentang hunian berimbang. Pembentukan kota yang kompak, arahan hunian vertikal Kasiba dan Lisiba BS idealnya dibangun di kawasan dalam kota untuk menghindari terjadinya sprawl yang menimbulkan banyak kerugian, antara lain tergusurnya lahan pertanian yang produktif, pemborosan prasarana dan sarana kota, serta terjadinya arus ulang-alik yang berakibat terjadinya kepadatan lalu lintas. Lokasi di dalam kota juga memperpendek jarak antara rumah dan tempat bekerja, sehingga menghemat biaya transportasi. Bagi kota-kota yang padat penduduk, Kasiba dan Lisiba BS hendaknya diarahkan untuk pembangunan rumah susun, kombinasi antara sewa dan milik. Hal ini diperlukan agar penggunaan lahan kota lebih efisien – dengan menaikkan intensitas bangunan – dan menjaga agar kota tidak semakin melebar (kembali, menghindari sprawl). Pembangunan secara vertikal juga membuka peluang untuk menghadirkan ruang terbuka hijau (RTH) lebih banyak daripada kondisi sekarang yang dipadati bangunan rendah. Peraturan tentang hunian berimbang pun harus bisa diterapkan untuk hunian vertikal. Baik rumah mewah, rumah menengah, maupun rumah sederhana harus dapat diwujudkan dalam bentuk rumah susun. Bila tinggal di kota besar yang padat, MBR tidak punya pilihan lain kecuali
62
tinggal di rumah susun. Untuk itu, diperlukan pendidikan dan pelatihan agar mereka siap menghuni rumah vertikal dengan segala tatacaranya. Pembiayaan Hal paling pelik dalam pembangunan perumahan rakyat adalah pembiayaan. Alokasi dana APBN maupun APBD untuk perumahan rakyat jauh dari mencukupi kebutuhan. Perlu dicarikan upaya kreatif menggali sumber dana untuk membangun perumahan rakyat. Subsidi silang adalah salah satu cara. Bila kembali ke piramida strata sosial di atas, maka golongan atas dan menengah atas ketika membeli rumah harus dipungut sekian persen subsidi untuk golongan bawah dan menengah-bawah. Golongan menengah adalah batas keseimbangan, tidak perlu disubsidi namun juga tidak bisa memberikan subsidi. Peraturan tentang hunian berimbang bila dipandang dari segi pembiayaan juga merupakan penerapan pola subsidi silang ini. Bagi pemilik kendaraan bermotor dikenakan peraturan pajak progresif, apakah hal serupa tidak bisa diterapkan bagi pemilik tanah dan bangunan? PBB untuk tanah/ rumah ke dua dan seterusnya dikalikan koefisien sekian persen, lalu hasil PBB progresif ini disalurkan sebagai subsidi perumahan rakyat. Program perumahan rakyat di kota besar terkendala oleh harga tanah yang mahal. Sementara orang- kaya berinvestasi dengan membeli tanah. Bila penimbun sembako bisa dipidanakan, mengapa “penimbun” tanah di kawasan perkotaan tidak dinyatakan bersalah? Kementerian Agraria dan Tata Ruang perlu memikirkan pembatasan kepemilikan tanah di kawasan perkotaan, guna mengendalikan harga tanah. Andalan terakhir adalah menaikkan secara signifikan alokasi anggaran perumahan rakyat di APBN. Sebagian dari hasil pengalihan subsidi BBM perlu disalurkan untuk pembiayaan perumahan rakyat. Bila penggelontoran dana dapat dilakukan untuk bidang pendidikan dan bidang kesehatan, maka bidang perumahan rakyat perlu mendapat penggelontoran serupa. Akhir-akhir ini pemerintah membanggakan adanya “Kartu Indonesia Pintar” dan “Kartu Indonesia Sehat”. Kiranya tidak berlebihan bila kita meminta pemerintah mengeluarkan satu kartu lagi, yaitu “Kartu Indonesia Mapan”, yang menjamin setiap keluarga di republik ini tinggal di rumah yang layak. Perencanaan kawasan dan bangunan Semboyan pengembangan properti (i) lokasi, (ii) lokasi, (iii) lokasi, hendaknya juga diterapkan dalam perencanaan kawasan perumahan rakyat. Selama ini perumahan rakyat dicarikan lokasi yang jauh di luar kota agar harga tanahnya murah. Pendekatannya seperti menempatkan toilet di pusat perbelanjaan: dicarikan tempat di sudut yang tidak
Edisi 5 - 2015 laku dijual. Ini mengakibatkan para penghuni kehilangan banyak waktu, tenaga dan biaya untuk perjalanan dari rumah ke tempat bekerja dan sebaliknya. MBR yang bekerja di sektor informal tidak bisa menghuni perumahan yang lokasinya jauh dari tempat mereka mencari nafkah. MBR harus dirumahkan di pusat kegiatan dengan peluang memperoleh pekerjaan (berjualan, sebagai buruh, dan lainnya) yang tinggi. Sebagai gambaran, pemerintah kota Kuala Lumpur mampu membersihkan kawasan rumah kumuh di seluruh wilayah kota dalam waktu lima tahun (2000-2005). Rumah susun setinggi 8 sampai 17 lantai dibangun di atas kawasan kumuh tadi. Pada masa pembangunan, warga direlokasi sementara. Warga kemudian dirumahkan di unit rumah susun (luas lantai tiap unit 60 m2) dengan membayar sewa setara Rp.300.000,- per bulan. Sebelum menghuni, kepada warga diberikan kursus dan pelatihan tatacara kehidupan di rumah susun. Bangunan perumahan rakyat (baik landed houses maupun rumah susun) harus memenuhi syarat rumah tinggal dan layak. Besaran luas unit rumah harus memungkinkan terjadinya kehidupan keluarga yang sehat lahir dan batin. Bila kita masih berkutat pada angka minimal 25-30 m2, Malaysia sudah mematok angka 60 m2, dengan 3 kamar tidur dan 2 “tandas� (kamar mandi/WC). Bangunan harus simpel, dalam arti pemeliharaannya mudah. Kita menyaksikan banyak perumahan rakyat (terutama rumah susun) yang dalam waktu beberapa tahun telah mejadi sangat kumuh karena para penghuninya tidak mampu memelihara. Pelaksanaan Pembangunan Perumahan Rakyat Aspek teknis pelaksanaan pembangunan Berdasar pengalaman selama ini, pelaksanaan pembangunan perumahan rakyat tidak banyak menghadapi kendala kecuali masalah pembiayaan. Dari segi teknis pembangunan, perkembangan bahan bangunan dan sistem konstruksi memungkinkan untuk membangun berbagai tipe perumahan, baik rumah tapak maupun rumah susun. Puslitbang Permukiman di Bandung selalu menghasilkan temuan baru yang sangat membantu upaya pembangunan perumahan rakyat. Setiap kabupaten/kota perlu didorong untuk membangun industri kecil pemasok bahan bangunan perumahan, sehingga harga bangunan perumahan rakyat bisa lebih murah dan sekaligus tercipta lapangan pekerjaan bagi warga kabupaten/kota yang bersangkutan. Aspek kelembagaan pelaksana pembangunan Kini saatnya memperbaiki kekeliruan di masa lalu. Instansi pemerintah yang berfungsi sebagai pembuat kebi-
jakan hendaknya tidak mengambil peran sebagai pengembang. Realisasi pengembangan seyogyanya dikembalikan ke Perum Perumnas (dengan merevisi penugasannya) serta kepada para pengembang yang memiliki komitmen untuk membantu pembangunan perumahan rakyat. Fungsi perbankan yang menyalurkan KPR murah seperti BTN di masa lalu perlu dihidupkan, apakah dengan mengembalikan peran Bank BTN atau menunjuk bank lain. Selain itu, kerjasama antara otoritas perumahan rakyat di tingkat nasional dengan pemerintah kabupaten/kota sangat diperlukan guna memastikan program pembangunan perumahan rakyat berjalan semestinya di semua daerah. Bila semua perangkat kelembagaan telah bersinergi, kita bisa berharap masa kejayaan penyediaan perumahan rakyat akan kembali, dan semua MBR bisa tinggal di rumah yang layak. SUMBER FOTO: ISTIMEWA Pengendalian Pembangunan Perumahan Rakyat Pengendalian ketepatan sasaran Pembangunan perumahan rakyat perlu dikendalikan sejak awal, ketika kelompok sasaran calon penghuni ditetapkan. Telah menjadi rahasia umum, bahwa subsidi perumahan rakyat banyak yang tidak tepat sasaran. Hak menghuni rumah susun sewa banyak yang dialihkan di bawah tangan. Dengan telah ditertibkannya sistem administrasi kependudukan, sehingga setiap orang mempunyai satu NIK (Nomor Induk Kependudukan), mestinya salah sasaran penghuni/pembeli unit perumahan rakyat tidak lagi terjadi. Data kependudukan ini bisa dicocokkan dengan data pembayar PBB. Bila seseorang telah memiliki rumah (yang layak) masih mengambil jatah rakyat kecil yang tidak punya rumah, mestinya orang tersebut dapat dipidanakan. Perlu dibuat landasan hukum untuk mengatur hal ini, yang harus disepakati oleh calon penyewa/ pembeli unit perumahan rakyat dengan menandatangani surat pernyataan dan surat perjanjian. Pengendalian ketepatan subsidi pasca huni Sebagai penerima subsidi, para penghuni perumahan rakyat – baik sewa maupun milik – tidak berhak mengalihkan hak sewa atau hak kepemilikan. Kenyataannya, hak sewa banyak yang dialihkan (di bawah tangan), sedang pengalihan hak milik bahkan tidak dilarang. Untuk mengendalikan pengalihan hak sewa secara ilegal, diperlukan pengawasan yang ketat oleh petugas-petugas yang memiliki integritas, sehingga penyerobotan hak calon penyewa lain (yang lebih membutuhkan) tidak terjadi. Ketika kondisi ekonominya sudah mengalami kema-
63
Pendapat juan – ditengarai misalnya dengan memiliki mobil berharga mahal – penghuni perumahan rakyat sewa mestinya pindah dan memberikan hak penghunian kepada orang lain yang lebih membutuhkan. Hal ini memerlukan kesadaran dari penghuni yang bersangkutan, dan perlu didukung peraturan yang harus dijalankan dengan ketat. Bagi pembeli unit perumahan rakyat (rumah tapak atau rumah susun), perlu diberikan batasan waktu (misalnya 15 atau 20 tahun) tidak boleh menjual unit rumahnya kepada orang lain. Bila di dalam batas waktu tersebut kondisi ekonominya membaik dan ia mampu membeli rumah yang lebih layak, maka ia harus menjual kembali kepada negara (c.q. instansi pengelola perumahan rakyat). Negara akan menjual lagi unit rumah tersebut kepada orang yang membutuhkan (yang memenuhi syarat untuk memperoleh subsidi). Pengendalian ketertiban dan kebersihan bangunan dan lingkungan Kekumuhan di lingkungan hunian perumahan rakyat terjadi terutama karena dua hal. Pertama, karena kondisi ekonomi penghuni yang terbatas sehingga tidak mampu melakukan pemeliharaan bangunan dan lingkungan dengan semestinya. Kedua, para penghuni berperilaku tidak tertib dengan membuat konstruksi tambahan di dalam unit maupun di ruang bersama. Pada rumah susun, perubahan atau penambahan konstruksi yang dilakukan oleh penghuni atau pemilik suatu unit bisa membahayakan, karena berpengaruh pada kekuatan bangunan secara keseluruhan. Untuk penyebab yang pertama, agaknya masih diperlukan subsidi tambahan guna membantu pemeliharaan bangunan dan lingkungan. Nampaknya kebutuhan tambahan dana ini tidak bisa dihindari, bila diinginkan lingkungan perumahan rakyat tidak berkembang menjadi kawasan kumuh. Untuk penyebab yang kedua, diperlukan pengawasan yang ketat dari otoritas pengelola lingkungan, disertai sanksi yang tegas bagi penghuni yang melanggar peraturan. Kondisi bangunan dan lingkungan yang bersih-rapi diperlukan untuk keserasian wajah kota pada umumnya, dan secara khusus dibutuhkan agar bisa memiliki martabat ketika “bersanding” dengan bangunan hunian dengan kelas menengah dan hunian mewah pada kawasan hunian
64
berimbang. Para pengembang tentu tidak lagi enggan mematuhi peraturan tentang hunian berimbang bila dijamin perumahan rakyat tidak tumbuh menjadi lingkungan kumuh. Kesiapan perangkat pengaturan, kelembagaan dan personil yang memadai Untuk dapat mengendalikan ketepatan sasaran subsidi – baik pada proses seleksi calon penghuni (penyewa atau pembeli) maupun pada masa pasca huni – serta mengendalikan ketertiban dan kebersihan, diperlukan perangkat peraturan yang cukup rinci disertai dengan sanksi pidana. Selain itu, diperlukan kelembagaan di tingkat kabupaten/ kota serta tingkat lingkungan hunian yang melakukan pengawasan sehari-hari dan memastikan semua aturan ditaati oleh para penghuni. Kedua hal tersebut bukan merupakan hal baru, karena perangkat yang sudah dirintis sejak tahun 1950an dan kemudian lebih dikembangkan lagi sejak akhir tahun 1970 sudah terbukti mampu menyelenggarakan pembangunan perumahan rakyat. Hanya diperlukan penyempurnaan untuk “menambal” kekurangan yang masih ada. Perangkat pengaturan dan perangkat kelembagaan tidak ada artinya bila dioperasikan oleh personil yang tidak sejalan. Lembaga pengelola tingkat kabupaten/kota dan tingkat lingkungan hunian harus diisi oleh personil yang tidak saja memiliki kapabilitas untuk mengelola, melainkan juga punya integritas. Jangan sampai (atau jangan lagi) terjadi para “penghuni nakal” bekerjasama dengan “pengelola nakal” melakukan pelanggaran atas aturan persyaratan kepenghunian maupun tatacara penghunian. Penutup Momentum sekarang hendaknya tidak disia-siakan. Kementerian Agraria dan Tata Ruang diharapkan mulai bergerak untuk mengamankan lahan perkotaan agar tidak dikuasai sepenuhnya oleh para pengembang besar, dan agar kebutuhan rakyat kecil untuk bisa tinggal di rumah yang layak dapat terpenuhi. Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat diharapkan memanfaatkan potensi pengembangan infrastruktur dan pengembangan keciptakaryaan untuk melaksanakan percepatan pembangunan perumahan rakyat. Bolehlah kita berharap sebentar lagi akan terbit “Kartu Indonesia Mapan” untuk melengkapi “Kartu Indonesia Pintar” dan “Kartu Indonesia Sehat” yang telah bergulir dan terbukti mampu memberikan pertolongan pada rakyat kecil yang membutuhkan. *Disampaikan pada acara FGD Percepatan Pembangunan Perumahan Rakyat Skala Besar melalui Kasiba dan HUT KE 4 The HUD Institute di Jakarta tanggal 14 Januari 2015
Save Perumahan MBR
Edisi 5 - 2015
SUMBER FOTO: ISTIMEWA
dan Program Sejuta Rumah Drs. Nur Salim, M.Si.
B
elakangan ini, media sosial dan media massa nasional gencar mewartakan kata “Save” yang ditujukan baik kepada perorangan ataupun institusi tertentu yang dipandang perlu untuk diperhatikan karena adanya kondisi atau perlakuan negatif dari pihak lain. “Save Haji Lulung”, “Save A-Hok”, “Save KPK”, “Save Polri”, dan sebagainya adalah beberapa kata yang tidak asing lagi bagi publik dan bahkan hal tersebut menjadi trending topic pemberitaan banyak media massa. Kata “Save” yang berarti “Selamatkan” itu merupakan opini publik yang muncul berdasarkan persepsi dan kepentingan individu atau kelompok masyarakat guna mengajak publik turut membela terhadap apa dan siapa yang perlu diselamatkan. Di balik semua itu, ironinya adalah masalah perumahan bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) yang telah lama masuk dalam kategori “Darurat Perumahan Rakyat”, hingga saat ini masih terkesan kurang mendapat perhatian serius dari stakeholders perumahan dan sepi dari pemberitaan media massa. Bahkan, warta perumahan di media massa lebih banyak memamerkan komoditi perumahan mewah bagi masyarakat kelas menengah atas dan meminggirkan isu penting perumahan bagi masyarakat miskin. Padahal, bila pemenuhan kebutuhan rumah bagi MBR tidak tercapai jelas melanggar UUD 1945 Pasal 28 H ayat 1 dan kegagalannya telah terbukti membawa dampak negatif berupa degradasi lingkungan, perluasan lingkungan kumuh perkotaan, masyarakat menghuni rumah tidak layak serta perilaku kriminal para penghuninya. Semua ini bila tidak ditangani secara serius oleh pemerintah dimungkinkan akan mengancam dan menggoyahkan stabilitas keamanan nasional. Kehadiran Program Sejuta Rumah pada era Pemerintahan Jokowi-JK dengan leading sector-nya Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (KPU-PR) setidaknya tetap membawa rasa aman akan adanya harapan
perhatian pemerintah terhadap pemenuhan kebutuhan rumah yang layak, terjangkau dan berkelanjutan bagi MBR. Diharapkan program ini tidak bernasib seperti sebelumnya yang bersifat sloganistik ketimbang benar-benar mampu “Save Perumahan MBR”. Bagaimanakah arah kebijakan Program Sejuta Rumah? Kendala-kendala apakah yang menjadi faktor keberhasilan dan kegagalan implementasi program tersebut? dan kondisi kebijakan apa yang harus diciptakan pemerintah bagi keberhasilan Program Sejuta Rumah sehingga dapat menyelamatkan MBR dalam mendapatkan hak perumahan yang layak, terjangkau dan berkelanjutan yang dijamin konstitusi? Darurat Perumahan MBR Rezim pemerintahan manapun yang mendapat amanat rakyat untuk memerintah, termasuk Pemerintah JokowiJK, dalam kebijakan papan atau rumah harus menjalankan amanat UUD 1945 Pasal 28 H ayat 1 yang berbunyi ”Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapat lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”. Pemerintah harus mewujudkan amanat UU No. 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman dan UU No. 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun yaitu menyelenggarakan kebutuhan perumahan yang layak, terjangkau, dan berkelanjutan bagi MBR. Pekerjaan rumah bagi Pemerintahan Jokowi-JK dalam pembangunan perumahan bagi MBR sangat berat. Pemerintah menghadapi situasi “Darurat Perumahan MBR” yang ditunjukkan dari semakin meningkatnya backlog perumahan. Menurut data BPS, tahun 2013 tercatat backlog pemilikan 13,6 juta dan backlog penghunian mencapai 7,6 juta. Sementara, Direktur Utama PT Sarana Multigriya Finansial (Persero), Adisusanto (2015) menyebutkan backlog perumahan mencapai 15 juta unit. Angka backlog yang cenderung naik itu menandakan penyediaan rumah bagi MBR dalam kondisi kritis. Gambaran lebih nyata adanya
65
Pendapat “Darurat Perumahan MBR” diungkapkan oleh Prayitno (2013), dalam tulisannya berjudul “Darurat Kebijakan Perumahan Rakyat”, berupa (i) pemerintah sampai saat ini belum pernah mempunyai ‘grand design’, peta jalan (‘road map’) dan metoda pembacaan yang cerdas dan efektif terhadap keterjangkauan dari sasaran penerima manfaat kewajiban pemenuhan kesejahteraan atas papan, (ii) lembaga pembiayaan yang seharusnya berbasis pada pemenuhan kesejahteraan sosial saat ini dicampuradukkan dengan lembaga pembiayaan berbasis mekanisme pasar (lembaga perbankan komersial), (iii) kelembagaan kebijakan perumahan saat ini ditangani oleh 19 kementerian/lembaga dengan pembagian peran yang tidak jelas, dan (iv) pemenuhan tanah sebagai tempat berpijaknya hunian bagi warga miskin dan masyarakat berpenghasilan rendah baik secara milik, sewa ataupun secara cuma-cuma saat ini menjadi kendala yang sangat serius. Dampak darurat kebijakan perumahan rakyat memunculkan beberapa kondisi negatif yang tak diinginkan, yaitu (i) ego sektoral beberapa institusi pembangunan perumahan, (ii) pembangunan perumahan kurang berpihak pada MBR, (iii) pencapaian target pengurangan backlog perumahan MBR tak tercapai, (iv) biaya tinggi perumahan MBR, (v) kualitas perumahan MBR rendah, (vi) peningkatan luas wilayah permukiman kumuh perkotaan, dan (vii) peningkatan perilaku kriminal penghuni permukiman kumuh. Dampak negatif pembangunan perumahan rakyat yang belum teratasi, seharusnya menjadi pembelajaran positif bagi pemerintah dalam merumuskan dan mengimplementasikan kebijakan pembangunan perumahan rakyat yang berpihak pada rakyat miskin (pro poor). Oleh karena itu, Program Sejuta Rumah yang dilaksanakan mulai bulan April 2015 harus mendapat dukungan political will pemerintah yang kuat dengan mempertimbangkan program ini menjadi harapan yang dinanti hasilnya oleh MBR. Di samping itu, program ini akan menjadi sarana pembuktian publik terhadap janji pemerintahan Jokowi-JK seperti yang dinyatakan dalam salah satu dari sembilan program Nawacita-nya, yaitu”Menghadirkan kembali negara untuk melindungi segenap bangsa dan memberikan rasa aman pada seluruh warga negara .......”, termasuk perlindungan dan memberikan rasa aman MBR atas dipenuhinya hak memperoleh perumahan yang layak, terjangkau, dan berkelanjutan. Program Sejuta Rumah: Sebuah harapan bagi MBR? Pemerintah telah menyelenggarakan berbagai program pembangunan perumahan bagi masyarakat miskin, diantaranya (i) Satu Rumah Sehat untuk Satu Keluarga, (ii)
66
Gerakan Nasional Perumahan dan Permukiman Sehat, (iii) Gerakan Nasional Pengembangan Sejuta Rumah – GNPSR , (iv) Gerakan Pengentasan Permukiman Kumuh – GENTAKUMUH, dan (v) Program 1.000 Tower dan Program 350.000 Rusunawa Pekerja di perkotaan. Namun harus diakui bahwa implementasi program tersebut belum memenuhi harapan masyarakat, khususnya MBR. Program Sejuta Rumah yang digagas oleh kabinet kerja Pemerintahan Jokowi-JK ditunggu realisasinya oleh MBR. Mereka mengharapkan agar kinerjanya tidak bernasib seperti program perumahan rakyat sebelumnya. Menyimak nama program yang bersifat kuantitas “Sejuta Rumah”, sangat jelas program ini tak lain ditujukan untuk mengurangi backlog perumahan. Jadi, harapannya program ini dapat menghasilkan capaian dua kali lipat lebih dari 400.000 unit rumah bagi MBR yang mampu disediakan oleh pemerintah sebelumnya. Program Sejuta Rumah juga memiliki nilai strategis politis bila dilihat dari latar belakangnya. Program ini lahir untuk mewujudkan visi-misi yang tertuang dalam Nawacita Jokowi-JK yaitu adanya kehadiran negara di tengah rakyat untuk memberi pelayanan serta menyediakan fasilitas agar gerak aktifitas masyarakat semakin bertumbuh ke arah yang lebih baik serta lebih menyejahterahkan. Mungkinkah Program Sejuta Rumah dapat memenuhi harapan MBR? Jawabannya ya jika menyimak pernyataan Menteri PU-PR, Hadimulyo (2015) tentang konsep dan strategi implementasi programnya. Dijelaskan bahwa program ini akan meliputi 600 ribu unit MBR yang akan dibangun dengan dana APBN Kementerian PU-PR, maupun FLPP Kementerian Keuangan. Selain itu, melibatkan juga Perum Perumnas, Bapertarum, BPJS, REI, yang akan mendanai pembangunan sekitar 500 ribu unit. Sedang Pemda akan membangun 30 ribu unit. Demikian pula, untuk implementasi Program Sejuta Rumah Pemerintah Pusat mengajak seluruh gubernur, bupati, dan walikota untuk membantu menyiapkan tanah. Menurut rencana, seribu unit rumah rakyat yang akan dibangun di 13 Provinsi ini akan groundbreaking April 2015. Beberapa pihak meragukan keberhasilan Program Sejuta Rumah walaupun disiapkan tambahan anggaran tahun 2015 sebesar 30 triliun Rupiah. Pembangunan 1 juta rumah membutuhkan 50 triliun Rupiah sehingga dengan dana hanya 30 triliun rupiah diperkirakan baru akan dapat terwujud 60 persen pembangunan rumah bagi MBR. Bahkan, menurut Parwoto (2015) dalam acara “Diskusi Penyediaan Swadaya Bagi MBR Non Formal dan Masyarakat Miskin Kota” yang diselenggarakan oleh The HUD Insti-
Edisi 5 - 2015 tute, sangat sulit menyediakan sejuta rumah bila tetap dilakukan pemerintah dengan pendekatan pasokan (formal). Terlepas dari keraguan berbagai pihak, dukungan terhadap program ini tetap kuat. Terbukti dari dukungan berbagai asosiasi pengembang seperti APERNAS (Asosiasi Pengembang Rumah Sederhana Sehat), AP2ERSI (Asosiasi Perhimpunan Penghuni Rusun Indonesia), ASPERA (Asosiasi Perumahan Tentara) dan ASPPRIN (Asosiasi Pengembang Perumahan Rakyat Indonesia). Dengan konsepsi dan strategi implementasi Program Sejuta Rumah tersebut apabila dilakukan dengan dukungan political will yang kuat dari pemerintah pusat dan daerah, dukungan dunia usaha, masyarakat, dan segala kendala yang mucul dapat diatasi dengan baik niscaya program ini akan dapat memenuhi harapan MBR. Kendala Program Sejuta Rumah Untuk mewujudkan “Save Perumahan MBR� sangat dibutuhkan sikap optimisme pada setiap penyelenggara pembangunan perumahan rakyat. Mulyono (2015) menyatakan bahwa Program Sejuta Rumah yang dicanangkan pemerintah dapat mempercepat penyelesaian masalah backlog perumahan nasional serta memiliki multiplier effect yang positif bagi industri properti dan turunannya (Mulyono, 2015). Sementara Ketua Umum DPP REI, Edddy Hussy (2015) menyatakan bahwa “Kami mendukung dan optimistis program sejuta unit rumah bagi MBR akan bisa dikejar. Namun, kami juga minta pemerintah sebagai regulator betul-betul memiliki political will yang jelas terkait dengan penyediaan hak bermukim sesuai dengan amanat konstitusi,� ujar Eddy Adanya optimisme stakeholders perumahan memang sangat diperlukan untuk mendukung semangat kerja Kabinet Kerja Pemerintahan Jokowi-JK dalam Program Sejuta Rumah-nya. Akan tetapi, pemerintah harus mampu mengatasi sejumlah permasalahan yang menjadi kendala dalam pembangunan perumahan rakyat, yaitu (i) perizinan, (ii) pertanahan, (iii) pembiayaan, (iv) infrastruktur dan energi, (v) perpajakan, (vi) teknik, teknologi dan bahan bangunan strategis, (vii) kemampuan dan perlindungan konsumen, dan (viii) pemaduserasian peraturan perundang-undangan. (Zulfi Syarif, 2011). Sedangkan Ketua Umum DPP REI (Hussy, 2015) menyebutkan beberapa kendala yang harus dihadapi yaitu permasalahan : (i) lahan, (ii) pembiayaan, (iii) suku bunga, (iv) infrastruktur, dan (v) perizinan. Terobosan kebijakan bidang perumahan rakyat Pemerintahan SBY, seperti pembebasan Pajak BPHTB, bantuan kredit FLPP, dan sebagainya serta kebijakan Pemerintahan Jakowi-JK, seperti penyatuan Kemen-PU dan Kemenpera
menjadi KPUPR (one gate policy), rencana penghapusan PBB, kebijakan penyederhanaan prosedur perijinan, dan sebagainya, memungkinkan untuk mengatasi permasalahan yang menjadi kendala utama dalam implementasi Program Sejuta Rumah. Namun, kendala yang masih sulit diatasi adalah ketersediaan tanah, tingginya suku bunga, perizinan, peraturan perundangan dan kelembagaan. Tanah untuk pembangunan rumah MBR di perkotaan sangat mahal dan terbatas sehingga menyulitkan pengembang dalam menyediakan rumah bagi MBR. Suku bunga bank yang cenderung tinggi sampai saat ini masih tetap mempersempit akses MBR dalam membeli rumah yang disediakan pemerintah. Perizinan yang rumit dan mahal hingga saat ini tetap mempersulit pengembang dalam penyediaan rumah MBR yang low cost economy. Demikian pula, masalah peraturan perundangan yang tidak serasi dan saling bertentangan tetap menjadi kendala bagi pemerintah dalam pembangunan rumah MBR. Kendala kelembagaan yang dihadapi pemerintah yaitu kelemahan dalam koordinasi. Mengatasi kendala dilaksanakan dengan menerapkan tata kelola pembangunan perumahan rakyat efektif, efisien dan berkeadilan sesuai dengan prinsip good governance dalam pembangunan perumahan rakyat. Di sinilah masalah isu keadilan pelayanan dalam pembangunan perumahan bagi MBR harus dikedepankan sesuai dengan isu administrasi negara baru (kontemporer) seperti yang dinyatakan oleh Frederickson (1988), yaitu (i) bagaimanakah kita dapat menyediakan pelayanan yang lebih baik dengan sumber-sumber daya yang tersedia (efisiensi)?, (ii) bagimanakah kita dapat mempertahankan tingkat pelayanan kita sembari membelanjakan lebih sedikit uang (ekonomi)? dan (iii) adakah pelayanan ini meningkatkan keadilan sosial ? Mewujudan Perumahan MBR melalui Program Sejuta Rumah Untuk tidak mengulang kegagalan dalam pembangunan perumahan sebelumnya, Kabinet Kerja Pemerintahan Jakowi-JK melalui Program Sejuta Rumah harus benarbenar bekerja merumahkan MBR. Dengan modal kepercayaan rakyat yang diperoleh melalui Pemilu, pemerintahan Jokowi-JK lewat Kementerian PU dan Perumahan Rakyat harus mampu menjabarkan program politiknya di bidang pembangunan perumahan rakyat yang strategis, nyata, bermanfaat dan berpihak pada rakyat miskin, khususnya MBR. Di samping itu, pemerintahan ini harus mampu mewujudkan good governance dalam bidang penyelenggaraan pembangunan perumahan rakyat serta harus mampu
67
Pendapat mengatasi berbagai kendala yang dihadapi. Beberapa solusi kebijakan yang dapat dilakukan oleh Pemerintahan Jakowi-JK agar Program Sejuta Rumah dapat mewujudkan pemenuhan kebutuhan rumah yang layak, terjangkau, dan berkelanjutan bagi MBR, antara lain: 1. Kebijakan pembiayaan perumahan Kebijakan pembiayaan dengan perancangan subsidi dalam bentuk jaminan kesejahteraan sosial dengan memanfaatkan sumber dana murah jangka panjang harus segera dijadikan skema pembiayaan utama. Rintisan kajian tentang tabungan perumahan nasional yang sudah dilakukan pemerintah dan merupakan amanah UndangUndang No 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman harus segera dikawal lebih lanjut dalam bentuk regulasi Peraturan Pemerintah. Tekait dengan hal ini, kebijakan fasilitas kredit melalui FLPP yang pernah dicabut dan kini diberlakukan lagi, khususnya untuk FLPP Perumahan Swadaya akan mempercepat pemenuhan kebutuhan rumah bagi MBR. 2. Kebijakan redistribusi penguasaan dan pengadaan tanah Kebijakan ini dapat dilakukan pemerintah dengan : a. Redistribusi penguasaan tanah secara berkeadilan harus segera dilakukan. Paradigma dominasi penguasaan tanah yang berorientasi pada pemanfaatan tanah sebagai komoditas harus segera dikendalikan dengan melakukan “dekomodifikasi� penguasaan tanah untuk kepentingan publik dan dikembalikan ke hakekatnya sebagai fungsi sosial sesuai amanat Undang-Undang Pokok Agraria termasuk di antaranya untuk pemenuhan hak dasar atas papan. b. Penyediaan tanah guna mewujudkan land banking dengan menerapkan kebijakan konsolidasi tanah dan memanfaatkan dan membeli tanah-tanah milik negara terutama di daerah untuk kepentingan pembangunan perumahan bagi MBR. 3. Kebijakan pembangunan rusunawa perkotaan Pemerintah perlu melaksanakan kebijakan pembangunan rumah susun sewa (rusunawa) bagi masyarakat MBR perkotaan yang tidak memiliki pendapatan tetap dan pekerja penglaju (commuter), dengan tetap melanjutkan pembangunan rumah susun milik (rusunami) bagi MBR perkotaan. Kebijakan pembangunan rusunawa ini dapat ditempuh dengan kerjasama pemerintah dengan pemerintah daerah, PT. Jamsotek, pengembang dan pemilik perusahaan yang banyak memiliki pekerja penglaju. 4. Kebijakan pemberian insentif dan kemudahan perizinan Kebijakan pemberian insentif dan kemudahan perizinan dapat dilakukan oleh pemerintah dengan : a. Meningkatkan pemberian insentif bantuan keuang-
68
an lewat kebijakan dana alokasi khusus (dana dekonsentrasi) kepada pemerintah daerah yang memiliki komitmen yang tinggi dalam pembangunan rumah MBR. Demikian juga, pemerintah perlu menerapkan kebijakan pemberian insentif berupa kredit bagi pengembang kecil agar mampu turut serta dalam pembangunan rumah bagi MBR. b. Menerapkan kebijakan pemberian insentif berupa bantuan dana kredit/hibah bergulir kepada masyarakat MBR pemilik tanah di perkotaan sehingga mereka baik secara individu ataupun kelompok mampu melaksanakan pembangunan rumah secara swadaya. Model pembangunan perumahan bertumpu pada kelompok (P2BPK) masih relevan untuk diterapkan kembali dalam Program Sejuta Rumah. c. Menerapkan kebijakan penyederhaan prosedur pelayanan dan e-government dalam sistem pelayanan publik bidang pembangunan perumahan yang memungkinkan dunia usaha dan masyarakat mampu menyelenggarakan pembangunan perumahan bagi MBR yang mudah dan tidak terbebani biaya perizinan yang mahal. 5. Kebijakan pembangunan infrastruktur perumahan perkotaan Pemerintah daerah baik provinsi maupun kabupaten/ kota harus melaksanakan pembangunan infrastruktur perumahan yang telah menjadi urusan wajibnya. Pembangunan infrastruktur perumahan tersebut di antaranya meliputi pengadaan jalan, drainase, air bersih, instalasi jaringan listrik, tempat pengumpulan dan pengolahan sampah, dan fasilitas sosial lainnya. 6. Kebijakan pemanfaatan tata ruang perkotaan Pemerintah menetapkan peruntukan ruang bagi perumahan rakyat, khususnya MBR, dan mengawasinya secara tegas. Hal ini dirasakan penting dan mendesak karena selama ini pemanfaatan ruang cenderung untuk kepentingan masyarakat kelas menengah atas ketimbang untuk perumahan MBR. 7. Kebijakan pengembangan perumahan swadaya Perumahan swadaya perlu memperoleh perhatian dengan mempertimbangkan kenyataan bahwa 71% masyarakat menyediakan rumahnya sendiri. Oleh karenanya, anggaran perumahan sewajarnya dialokasikan untuk perumahan swadaya dengan menerapkan program-program yang terbukti sudah berhasil seperti P2BPK, Kasiba-Lisiba dan program-program stimulan. 8. Kebijakan pembangunan rumah bagi masyarakat miskin perkotaan Pembangunan rumah bagi masyarakat miskin harus dilakukan oleh pemerintah berupa pembangunan rumah
Edisi 5 - 2015 sewa, rumah deret, dan lainnya. Pentingnya kebijakan ini berdasar pertimbangan masih banyaknya anggota masyarakat yang tidak memiliki penghasilan tetap. 9. Kebijakan penataan kelembagaan pemerintah Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat yang baru saja terbentuk memungkinkan terwujudnya one gate policy, sehingga penyelenggaraan perumahan yang efektif, efisien, dan berkeadilan dapat terlaksana. Hal ini berarti KPUPR menjadi satu-satunya lembaga yang mempunyai tugas, fungsi dan kewenangan dalam pembangunan perumahan rakyat. Hal ini penting dalam rangka mewujudkan good governance dalam pembangunan perumahan rakyat. 10. Kebijakan reformasi peraturan perundangan Masih banyak peraturan perundangan yang tidak terpadu dan serasi sehingga mempersulit pelaksanaan fungsi perencanaan, pengawasan dan koordinasi implementasi pembangunan perumahan rakyat serta menimbulkan ego sektoral antarlembaga, sehingga kebijakan pemaduserasian perundang-undangan di bidang perumahan mendesak untuk dilakukan oleh pemerintah. Upaya ini dapat ditempuh dengan reformasi peraturan perundangan baik melalui judicial review, revisi maupun melalui pembuatan peraturan perundangan baru.
Penutup Keberadaan Program Sejuta Rumah oleh Pemerintahan Jakowi-JK tetap memberikan angin segar bagi MBR dalam upayanya memenuhi kebutuhannya akan rumah yang layak, terjangkau dan berkelanjutan. Kementerian PU dan Perumahan Rakyat sebagai leading sector-nya dalam skema one gate policy, memungkinkan kebijakan pembangunan perumahan dapat diterapkan secara jelas, terarah, bermanfaat, dan berpihak pada kepentingan masyarakat menengah ke bawah, khususnya MBR. Namun mewujudkan Program Sejuta Rumah ini tidak mudah mempertimbangkan banyak kendala seperti ketersediaan tanah, pembiayaan, perizinan, dan sebagainya. Hanya dengan political will yang kuat dari Pemerintahan Jakowi-JK maka visi dan misi program Nawacita di bidang pembangunan perumahan MBR dapat terwujud. Kerjasama yang baik antara pemerintah dengan seluruh stakeholders pembangunan perumahan menjadi suatu keniscayaan. Tapi menurut penulis yang jauh lebih penting adalah �Keberhasilan Program Sejuta Rumah sangat ditentukan sejauhmana pemerintah mau dan mampu mendengar serta melaksanakan apa yang dimaui rakyat, terutama MBR�. Drs. Nur Salim, MSi, Dosen FISIP Program S1 dan S2 pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Jurusan Ilmu Administrasi Publik Universitas 17 Agustus 1945 Semarang.
SUMBER ILL: ISTIMEWA
69
Pendapat
Dari Bank Tanah Menuju Kota yang Inklusif oleh Jehansyah Siregar
A
da hal yang menarik ketika wacana bank tanah mulai disuarakan oleh kalangan pengembang perumahan akhir-akhir ini. Biasanya wacana ini selalu diangkat oleh pihak pemerintah, khususnya oleh Menteri Perumahan Rakyat. Di dalam pemberitaan disebutkan bahwa kalangan pengembang meminta pemerintah segera membentuk lembaga khusus yang menangani bank tanah untuk kepentingan hunian bagi masyarakat berpenghasilan rendah (Bisnis Indonesia, 8 Maret 2013). Perkembangan Kebijakan Tanah untuk Perumahan Sejak PELITA-I (1969-1974), pengadaan tanah untuk perumahan sudah menjadi perhatian melalui program penyiapan. Bahkan pada PELITA-II (1974-1979) sudah dijalankan program pengadaan tanah matang (site and services) untuk mendukung pembangunan perumahan rakyat. Pada masa ini Perumnas mendapat penugasan untuk membangun 73.000 rumah sederhana, rumah inti dan kapling tanah matang. Memasuki PELITA-III, sejak tahun 1980-an, pembangunan perumahan dan permukiman meningkat pesat seiring perkembangan ekonomi, industri dan perkotaan. Bisnis properti semakin maju dan peran pengembang swasta semakin signifikan. Namun kemajuan ini tidak diikuti peningkatan peran pemerintah, khususnya peran strategis dan kapasitas pengembang milik negara. Akibatnya tanah semakin dikuasai oleh segelintir pengembang swasta bermodal besar. Sejak masa itu, masalah tanah di kawasan perkotaan kemudian berubah menjadi komoditi pasar yang semakin sulit dikendalikan. Artinya, selama sekitar 30 tahun ini,
70
pemerintah belum memiliki strategi dan program yang efektif untuk mengembalikan kebijakan tanah untuk perumahan rakyat kepada jalurnya semula. Belum ada strategi dan sistem kepranataan yang bisa membangun sinergi antara pelaku publik, swasta dan masyarakat. Akhirnya semua pihak terus menerus terbelit di dalam iklim pembangunan tanpa sistem penyediaan tanah dan perumahan yang memadai. Namun sejak era reformasi para pengembang mulai mengalami kesulitan, karena banyak sekali pihak yang bermain dalam soal tanah. Bisa dipahami, di dalam iklim demokratisasi dan tata-kelola yang lebih terdesentralisasi, kiat-kiat penguasaan tanah tidak bisa lagi dijalankan seperti pada masa Orde Baru. Oleh karena itu, wacana bank tanah dari kalangan pengembang pada dasarnya adalah sinyal bahwa keadaan di lapangan sudah tidak tertahankan lagi. Jika segelintir pengembang merasa tenang karena memiliki banyak tanah, namun tidak demikian nasib ribuan pengembang lainnya. Kebijakan dan Strategi yang Jelas Keadaan tak bersistem ini bisa menjelaskan mengapa himbauan Menteri Perumahan Rakyat agar Pemerintah Daerah menyediakan tanah untuk perumahan rakyat sulit dilaksanakan. Demikian juga langkah mengadakan tanah untuk pengadaan rumah susun dalam rangka penataan permukiman kumuh seperti menemui jalan buntu. Keadaan ini tidak dapat dibiarkan terus. Kucuran anggaran puluhan triliun tanpa manfaat yang optimal berarti beban fiskal anggaran negara setiap tahunnya. Untuk itu, pemerintah bersama perwakilan rakyat harus segera menetapkan kebijakan yang terpadu serta membangun sistem penyediaan tanah yang melembaga di bidang perumahan rakyat,
Edisi 5 - 2015
SUMBER FOTO: ISTIMEWA
kawasan permukiman dan perkotaan. Di dalam konteks kebijakan pemerintah ini, wacana bank tanah dapat diartikan sebagai tuntutan agar pemerintah segera mengembangkan berbagai skenario pemanfaatan ruang secara aktif, bukan hanya membuat gambar rencana tata ruang, mengurus perijinan dan menjalankan proyek tahunan. Pemerintah secara lintas sektor dan bersama pemerintah daerah harus memiliki berbagai sistem dan mekanisme dalam penggunaan dan pengendalian tanah, pengendalian harga tanah, pembatasan pemilikan tanah yang berlebihan, pemanfaatan tanah terlantar, dan penguasaan dan pengelolaan tanah untuk pembangunan perumahan rakyat dan kawasan permukiman. Bank Tanah dan Kota Inklusif Bank tanah adalah simpul dari penataan kebijakan pengelolaan tanah perkotaan, membuka aksesibilitas tanah untuk perumahan, menuju jaminan bermukim bagi semua (security of tenure for all people). Perwujudannya adalah berbagai bentuk skema penyediaan tanah yang terpadu dengan pembangunan infrastruktur dan fasilitas perkotaan. Dengan demikian, bank tanah adalah salah satu instrumen penting dari integrasi pembangunan perumahan, permukiman dan perkotaan menuju kota inklusif dan berkelanjutan. Pengembangan sistem bank tanah tidak bisa berdiri sendiri, melainkan harus ditempatkan sebagai bagian dari strategi menuju kota inklusif, dengan akses SUMBER FOTO: ISTIMEWA tanah/perumahan menjadi salah satu elemen pokoknya. Untuk menjalankan strategi ini, pemerintah perlu melakukan langkah strategis dan melembaga. Pertama, pemerintah tidak bisa hanya mengandalkan perbaikan titik permukiman kumuh, penyediaan rumah susun sederhana tanpa sistem penyediaan, dan menyerahkan penyediaan rumah tapak sederhana pada mekanisme pasar. Pemerintah perlu memiliki strategi perumahan yang menggunakan pendekatan penanganan pada skala kota (city-
wide approach) dengan target menuju kota tanpa permukiman kumuh. Kedua, fenomena tingginya angka kekurangan rumah (housing backlog) dan pertumbuhan permukiman kumuh tidak terlepas dari pembiaran yang lama dari peran pemerintah dalam sektor perumahan dan permukiman kota. Absennya peran negara ini ditandai oleh komodifikasi dan privatisasi pelayanan kota dan pembiaran segregasi pasar tanah/rumah antara yang formal dan informal. Tindakan pembiaran sama artinya dengan menutup akses. Untuk itu, pemerintah harus segera membuka akses kepada tanah/rumah melalui peningkatan peran pemerintah di sektor perumahan dan permukiman secara aktif di lapangan. Di dalam konteks inilah diperlukan pengadaan bank tanah sebagai salah satu instrumen yang harus dimainkan pemerintah. Ketika terjadi kelemahan yang akut dalam pengendalian pembangunan, tindakan yang harus diambil adalah memperkuat peran aktif pemerintah melalui penguasaan lahan, pengembangan infrastruktur terpadu dan mengelola pelibatan pihak swasta dan masyarakat secara transparan dan akuntabel. Mekanisme Bank Tanah Mekanisme bank tanah adalah langkah formalisasi tanah yang harus dijalankan secara simultan dengan proses pengembangan multi-sistem penyediaan perumahan, khususnya sistem perumahan umum dan perumahan swadaya berbasis pemberdayaan komunitas. Di dalamnya termasuk formalisasi permukiman informal kumuh melalui skema resettlement. Tanpa penataan sistem penyediaan, bank tanah hanya akan menambah suplai pasar tanah yang tetap akan menderek harga tanah dan meninggalkan warga berpendapatan rendah dan miskin yang tidak mampu menjangkaunya. Lebih jauh, pengertian bank tanah bukanlah sebatas membeli dan menyimpan banyak tanah, melainkan harus dijalankan melalui penataan lahan kota serta pengembangan area baru secara terencana. Untuk itu pemerintah perlu menyiapkan landasan regulasi yang mengatur lembaga yang diberi kewenangan dan kapasitas tata kelolanya. Untuk kepentingan penataan kota pusat kegiatan nasional di 8 (delapan) kawasan metropolitan, pemerintah sebaiknya merevitalisasi peran dan kapasitas Perumnas yang didukung revisi Peraturan Pemerintah tentang Kawasan Siap Bangun dan Lingkungan Siap Bangun (PP 80/1990). Sedangkan di kota besar dan sedang pemerintah daerah dapat meniru pola yang sama pada tingkatan daerah dengan menetapkan perda dan membentuk semacam Perumda (perusahaan umum daerah).
71
Selamat dan Sukses Pencanangan Program Sejuta Rumah &
HUT BTN ke 65 HUT REI ke 43 HUT Bapertarum PNS ke 22 Hari Otonomi Daerah ke 19
Selamat dan Sukses
Pencanangan Program Sejuta Rumah & HUT BTN ke 65 HUT REI ke 43 HUT Bapertarum PNS ke 22 Hari Otonomi Daerah ke 19 72
Edisi 5 - 2015
Revitalisasi Kasiba:
Mendorong Perumahan Umum atau tetap Memfasilitasi Perumahan Komersial? M. Jehansyah Siregar, Ph.D
(Disampaikan pada acara FGD Percepatan Pembangunan Perumahan Rakyat Skala Besar Melalui Kasiba dan HUT KE 4 The HUD Institute, Hotel Ambhara, Jakarta Selatan, Rabu, 14 Januari 2015)
B
erbicara mengenai skema pengembangan permukiman yang dinamai Kasiba atau Kawasan Siap Bangun, seringkali akhirnya terbawa pada hal-hal seperti: berapa hektar luas sebuah kawasan Kasiba? Berapa jumlah rumah yang dibangun dalam sebuah Kasiba? Apa bedanya kawasan dan lingkungan dalam perbedaan Kasiba dan Lisiba? Kasiba harus sesuai Tata Ruang. Apakah harus dilengkapi prasarana primer saja atau sekunder juga? Ataupun, bagaimana prosedur perizinan di dalam mengurus proses pembangunan Kasiba? Pembicaraan akhirnya terbawa pada hal-hal teknis dalam pengembangan lahan (land development). Isu-isu yang muncul seperti ini mencerminkan masih kuatnya pendekatan lama dan konsep Kasiba yang belum dipahami sebagai alternatif dalam pengembangan permukiman. Jika mengamati pengertian di dalam UU No. 4 tahun 1992 tentang Perumahan dan Permukiman, yang kemudian ditindaklanjuti dengan PP No. 80 tahun 1999 tentang Kasiba, hanya berfokus pada definisi sbb (pasal 1 butir 8): Kasiba atau Kawasan Siap Bangun adalah sebidang tanah yang fisiknya telah dipersiapkan untuk pembangunan perumahan dan permukiman skala besar yang terbagi dalam satu lingkungan siap bangun atau lebih yang pelaksanaannya dilakukan secara bertahap dengan terlebih dahulu dilengkapi dengan jaringan primer dan sekunder prasarana lingkungan sesuai dengan rencana tata ruang lingkungan yang ditetapkan oleh Kepala Daerah dan memenuhi persyaratan pembakuan pelayanan prasarana dan sarana lingkungan. Sedang di dalam Undang-undang No.1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman, definisinya (pasal 1 butir 15): Kawasan siap bangun yang selanjutnya disebut Kasiba adalah sebidang tanah yang fisiknya serta prasarana, sarana, dan utilitas umumnya telah dipersiapkan untuk pembangunan lingkungan hunian skala besar sesuai dengan rencana tata ruang. Dari perspektif housing delivery system, dengan hanya bertumpu pada definisi teknis seperti di atas, praktek pengembangan permukiman ternyata tidak beranjak dari
fasilitasi perumahan komersial. Berkembang dan menguatnya perumahan komersial dalam pengadaan perumahan di tanah air dan semakin melemahnya kapasitas organisasi pemerintah dalam operasional pengembangan kawasan, akhirnya membelokkan skema KASIBA menjadi sebatas konsep lain dari pembangunan permukiman skala besar oleh pengembang properti. Adanya distorsi atas konsep Kasiba membuat praktek pengembangan permukiman tetap berjalan sebagai “business as usual”, dimana ada pengembang sebagai kelompok kepentingan penguasaan tanah, ada pemerintah sebagai penguasa perizinan, dan ada seperangkat peraturan yang dijadikan pedoman. Fenomena inilah yang menjelaskan mengapa konsep Kasiba tidak pernah berkembang dan jadi seperti dibonsai dan disimpan saja di laci yang berdebu sejak tahun 1992. Padahal ruh Kasiba yang sebenarnya adalah seperti yang ditetapkan dalam PP 80 tahun 1999 pasal 3, yang menyebutkan: (1) Pengelolaan Kasiba dilakukan oleh Pemerintah yang penyelenggaraannya dilaksanakan oleh Badan Pengelola. (2) Badan Pengelola sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa: a. Badan Usaha Milik Negara; b. badan lain yang dibentuk oleh Pemerintah, yang bertugas sebagai pengelola Kasiba termasuk Badan Usaha Milik Daerah. Namun pada prakteknya, tidak ada pelaksanaan Kasiba yang berjalan dan menghasilkan permukiman yang berkembang secara berkualitas. Dua proyek percontohan pengembangan permukiman skala besar di Martubung (dekat Medan) dan Driyorejo (dekat Surabaya) bisa dikatakan gagal jika dibandingkan permukiman lainnya yang berkembang lebih cepat dan berkualitas. Bisa dikatakan tidak ada perubahan yang terjadi sejak UU 4/1992 dan PP 80/1999 ditetapkan. RUH KASIBA ini seperti tetap bersemayam di dalam rahim ibu pertiwi sambil menyaksikan hiruk pikuk fasilitasi perizinan bagi pengembang swasta yang tetap berlangsung sebagai business as usual. Kinilah saatnya konsep Kasiba dimurnikan kembali sebagai langkah strategis untuk mengejar penyediaan pe-
73
Pendapat rumahan rakyat yang telah semakin jauh tertinggal (housing backlog mencapai 15 juta). Setidaknya ada dua dasar pertimbangan yang membuat Kasiba sangat relevan saat ini, yaitu: Pertama, era pemerintahan baru yang membawa visi dan misi untuk memperkuat kehadiran negara dalam merumahkan rakyat. Hal ini menempatkan Kasiba yang harus dipelopori negara menjadi sangat relevan. Revitalisasi konsep Kasiba adalah wujud tanggungjawab negara untuk secara progresif memenuhi hak dasar perumahan bagi warganya. Kedua, revitalisasi skema Kasiba sangat relevan dengan konsep rumah umum (pasal 21 UU No.1/2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman) yang diselenggarakan untuk memenuhi kebutuhan rumah bagi MBR dan mendapatkan kemudahan dari Pemerintah. Artinya, revitalisasi Kasiba sejalan dengan memajukan kebijakan perumahan umum (Public Housing Policy) yang perlu segera disusun dan dibina secara memadai dan sistematis pula. Perumahan umum (public housing) adalah pilar penting penyediaan perumahan yang tidak kunjung berkembang di tanah air dalam konteks penguatan multi-sistem penyediaan perumahan secara utuh (exellencing multi housing delivery systems). Pilihan politik yang mensyaratkan hadirnya negara menjadi sumber legitimasi awal kebijakan perumahan umum, untuk segera hadir secara nyata dan bisa dirasakan masyarakat luas. Upaya merevitalisasi Kasiba haruslah diletakkan di dalam kerangka penguatan peran negara untuk meregulasi secara riil praktek pemanfaatan ruang dan pola infrastruktur penyediaan perumahan dan kawasan permukiman melalui penerapan prinsip: 1. Penyediaan KASIBA secara langsung (Direct Provision). Berbagai pengaturan tata ruang dan proses perizinan pembangunan permukiman kepada pengembang swasta telah terbukti tidak menghasilkan sistem penyediaan yang efektif dan pola tata ruang permukiman yang berkelanjutan dan melembaga. Kucuran APBN setiap tahun untuk penyediaan infrastruktur hanya menghabiskan anggaran negara tanpa hasil berupa pola dan struktur ruang yang berkualitas dan berkeadilan. Bentuk intervensi pemerintah yang paling efektif dalam penyediaan kasiba adalah tetap melalui penyediaan secara langsung oleh negara. Sehingga memberikan kejelasan keluaran yang dapat langsung dirasakan oleh masyarakat dan dinilai kinerjanya. Masyarakat akan mudah membedakan, mana KASIBA oleh pemerintah dan mana yang bukan. Sedangkan pilihan melalui fasilitasi perizinan kepada swasta seperti praktek konvensional selama ini hanya menghasilkan permukiman untuk kelompok ekonomi tertentu saja.
74
Namun begitu penyediaan KASIBA secara langsung juga bukan tanpa resiko. Pengerahan berbagai bentuk sumberdaya kunci ini sangat rentan penyelewengan. Oleh karena itu harus dikelola secara seksama, melibatkan kapasitas manajemen yang tinggi, serta pengawasan integritas yang ketat (integrity pact) dan berbagai sistem lainnya termasuk di dalam pengendalian spekulasi tanah dengan mendirikan land speculation report center. 2. KASIBA untuk semua golongan masyarakat. Prinsip ini sekaligus menjadikannya sebagai wahana tumbuhnya kelas menengah perkotaan. Banyak kegagalan penyediaan perumahan dan kawasan permukiman karena ketidakjelasan kelompok sasaran selain melihat kemampuan ekonominya. Begitu juga dalam tahap pembuatan rencana tapak kawasan permukiman dan kapasitas pengelolaannya, seringkali akhirnya menciptakan kawasan permukiman yang elitis dan eksklusif sehingga menghasilkan yang disebut sebagai gated community. Namun penyediaan KASIBA justru harus bertumpu pada aspek penting keadilan ini. Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa penerapan Kasiba secara sungguh-sungguh akan lebih efektif dibanding aturan HUNIAN BERIMBANG yang pada dasarnya masih bertumpu pada fasilitas sistem perumahan komersil. KASIBA adalah wadah pembelajaran bagi berbagai golongan masyarakat yang menetap di dalam lingkungan permukiman yang nyaman, harmonis dan berkeadilan. Bahkan, kalangan menengah-atas pun, sebenarnya tidak perlu dibatasi dalam lingkungan eksklusif. Inilah suatu tatanan permukiman efisien dan sangat mendukung pola kehidupan masyarakat madani yang moderen dan berkelanjutan. 3. Menjalankan Kasiba melalui sistem penyediaan yang utuh. Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana mewujudkan rumusan PP 80 di atas, bahwa “pengelolaan Kasiba dilakukan oleh Pemerintah yang penyelenggaraannya dilaksanakan oleh Badan Pengelola�. Memerhatikan tantangan dalam menghadirkan peran negara, maka diperlukan komitmen sungguh-sungguh dari pemerintah untuk penyediaan kasiba yang baik. Penyediaan kasiba bukan hanya kemasan baru dari praktek lama memasilitasi bisnis properti. Penyediaan kasiba bukanlah pula sebatas soal anggaran dan pengadaan konstruksi infrastruktur permukiman. Melainkan, penyediaan kasiba perlu dijalankan melalui sistem yang utuh. Untuk itu, konsep Kasiba harus segera disusun dan dibina secara memadai dan sistemik, yang meliputi: lembaga otoritas yang menetapkan ketentuan pengadaan kasiba, membangun jejaring kerjasama dengan pihak yang terlibat, mekanisme penyediaan tanah dan penataan ruang kawasan, pola dan struktur pemanfaatan tanah dan penghunian (sewa dan hak pakai jangka panjang), pola tata kelola lingkungan, sistem peraturan perundang-undangan dan sistem pembiayaan dan kelembagaannya.
Edisi 5 - 2015
Penataan Ruang Perkotaan:
Menjamin Hak Bermukim bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah1 Dadang Rukmana, Direktur Perkotaan, Direktorat Jenderal Penataan Ruang, Kementerian Pekerjaan Umum Penataan Ruang dan Penyediaan Perumahan Masyarakat Berpenghasilan Rendah: Perspektif Teoritis
P
enataan ruang secara teoritis memiliki peran yang besar terhadap mekanisme penyediaan perumahan, termasuk perumahan bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR). Hal ini antara lain disebabkan oleh karena sistem penataan ruang secara umum banyak berurusan dengan masalah redistribusi lokasi rumah tangga dan bisnis (Cullingworth, 1999). Kasus Inggris menunjukkan bahwa kebijakan yang dikembangkan untuk menahan laju pertumbuhan kota dan menyalurkan pembangunan ke kota baru telah terbukti memiliki pengaruh yang signifikan terhadap sistem perumahan (Jones dan Watkins, 2009). Penataan ruang tidak hanya mengatur penggunaan lahan bagi perumahan, juga keterkaitan antara kawasan perumahan tersebut dengan kawasan lainnya, serta infrastruktur pendukung yang dibutuhkan. Penyediaan perumahan bagi MBR berbeda-beda di setiap negara, baik dari perspektif tempat maupun waktu. Selain memberikan subsidi pada penyewa ataupun pemilik properti yang menyewakan perumahannya pada MBR, sebagian besar negara di dunia fokus pada penyediaan public housing untuk mengatasi masalah ketersediaan perumahan bagi masyarakat berpenghasilan rendah. Untuk lingkup Asia, dua negara yang dianggap cukup sukses dalam penyelenggaraan public housing adalah Hongkong dan Singapura. Pada tahun 2012, sekitar 30% dari 2,1 juta penduduk Hongkong tinggal di rumah susun publik yang disewakan. Adapun di Singapura, public housing dikelola oleh Housing and Development Board (HDB) dan dikenal sebagai HDB flat. Saat ini, sekitar 80% dari penduduk Singapura tinggal di HDB flat ini. Hal menarik adalah kasus Perancis yaitu public housing MBR dikenal sebagai Habitation Ă Loyer ModĂŠrĂŠ (HLM) atau perumahan sewa murah. Hampir separuh dari pasar sewa rumah murah dikuasai oleh HLM. Terkait dengan penataan ruang kota dan penyediaan rumah untuk MBR di kawasan perkotaan, Undang-Undang tentang Solidaritas dan Revitalisasi Perkotaan
(La loi de SolidaritĂŠ et Renouvellement Urbain) yang ditetapkan pada 13 Desember tahun 2000 mengamanatkan bahwa untuk kota besar, paling tidak 20% dari perumahan yang ada diperuntukkan untuk HLM. Permasalahan Penyediaan Perumahan MBR di Indonesia Menurut data Kementerian Perumahan Rakyat, backlog perumahan dari tahun ke tahun terus meningkat. Sampai tahun 2013 jumlahnya diperkirakan telah mencapai angka 15 juta unit. Bahkan Indonesia Property Watch (IPW), memperkirakan mencapai 21,7 juta unit. Padahal tahun sebelumnya angka tersebut hanya mencapai 13,6 juta unit. Kondisi ini dapat memicu terjadinya krisis perumahan. Krisis perumahan ini di tahun mendatang akan terjadi apabila tingginya permintaan masyarakat akan kebutuhan tempat tinggal tidak ditangani secara serius. Jika krisis perumahan ini terjadi, akan timbul dampak negatif, antara lain menurunnya kualitas hidup masyarakat Indonesia. Rumah yang layak huni merupakan kebutuhan primer bagi masyarakat, karena merupakan pintu masuk bagi seseorang untuk mendapatkan kesehatan, pekerjaan, pendidikan, dan kebebasan berekspresi. Hal ini juga untuk mencegah semakin bertambahnya kawasan hunian kumuh, sehingga penyediaan pasokan rumah untuk MBR menjadi sebuah keniscayaan. Perlu dilakukan kerjasama antara pemerintah, pengembang perumahan, dan perbankan untuk secara bersama menyediakan perumahan bagi MBR. Kerjasama penyediaan rumah murah antara pemerintah dengan pihak swasta merupakan suatu terobosan mengatasi kesenjangan antara permintaan dan pasokan kebutuhan perumahan. Kerjasama Pemerintah dengan pengembang perumahan, yaitu mengajak dan mendorong para pengembang untuk terus membangun perumahan bagi MBR dengan memberikan insentif dan subsidi bagi para pengembang dalam meningkatkan jumlah pembangunan perumahan bagi MBR. Adapun kerjasama pemerintah dengan perbankan dapat berupa program kredit kepemilikan rumah murah
75
Pendapat bagi MBR. Saat ini, Pemerintah bersama dengan beberapa lembaga perbankan memiliki program penyediaan rumah layak huni bagi MBR melalui Program Kredit Perumahan Rakyat Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan KPRFLPP. Melalui program ini diharapkan dapat mewujudkan penyediaan perumahan layak huni secara merata dan makin berkeadilan, dan memberikan kemudahan akses bagi MBR untuk mendapatkan perumahan yang layak huni. MBR, menunggu implementasi dan operasionalisasi dari seluruh kebijakan pemerintah baik dalam bentuk program maupun kegiatan nyata untuk terwujudnya rumah murah dan terjangkau. Kerjasama dari seluruh pemangku kepentingan bidang perumahan dan kawasan permukiman, baik Pemerintah, pemerintah daerah, pengembang, perbankan dan masyarakat umum sangat dibutuhkan untuk mendukung peningkatan kesejahteraan masyarakat. Peran Penataan Ruang Perkotaan dalam Penyediaan Perumahan bagi MBR di Indonesia Undang-Undang Penataan Ruang mengatur pembagian pola ruang menjadi kawasan lindung dan kawasan budi daya. Kawasan budi daya adalah wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama untuk dibudidayakan, termasuk di dalamnya adalah kawasan perumahan. Di dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Kota, sesuai dengan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 17/PRT/M/2009 tentang Pedoman Penyusunan RTRW Kota, diatur kebijakan spasial kawasan perumahan, yang meliputi kawasan perumahan dengan kepadatan tinggi, perumahan dengan kepadatan sedang, dan perumahan dengan kepadatan rendah. Dengan kata lain, penyediaan perumahan harus mengacu pada rencana tata ruang wilayah. Hal ini ditegaskan kembali di dalam UU No.1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman, Pasal 38 ayat (4), yakni pembangunan rumah dan perumahan harus dilakukan sesuai dengan rencana tata ruang wilayah. Selanjutnya, di dalam Rencana Detail Tata Ruang Kota (RDTRK), sesuai dengan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 20/PRT/M/2011 tentang Pedoman Penyusunan RDTR Kota, peruntukan untuk perumahan tersebut dapat dirinci lebih lanjut ke dalam rumah susun, rumah kopel, rumah deret, rumah tunggal, rumah taman, dan sebagainya. Selain itu, zona perumahan dapat dirinci berdasarkan kekhususan jenis perumahan, yakni perumahan tradisional, rumah sederhana/sangat sederhana, rumah sosial, dan rumah singgah. Di dalam RDTRK, klasifikasi zona dan sub zona di kawasan budi daya meliputi zona perumahan dengan sub zona perumahan kepadatan sangat tinggi, kepadatan tinggi, kepadatan sedang, kepadatan rendah, dan kepadatan sangat rendah. Di dalam sub zona kepadatan sangat tinggi itulah diatur mengenai apartemen atau rumah susun, yang dapat merupakan salah satu bentuk perumahan bagi masyarakat
76
berpenghasilan rendah perkotaan. Kedua pedoman tersebut merupakan acuan umum dalam penyusunan RTRW Kota dan RDTR Kota. Secara spesifik, UU No.20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun menjelaskan bahwa penyediaan rumah susun, yang didalamnya termasuk rumah susun bagi MBR, dilakukan dengan dasar kebijakan spasial yang diarahkan di dalam RTRWK dan rencana rinci (termasuk RDTRK). Pasal 13 ayat (3) UU tersebut menyebutkan bahwa penetapan zonasi dan lokasi pembangunan rumah susun harus dilakukan sesuai dengan ketentuan rencana tata ruang wilayah kabupaten/kota. Khusus untuk daerah yang belum memiliki RTRW, Pasal 13 ayat (4) mengatur bahwa gubernur atau walikota/bupati dengan persetujuan DPRD menetapkan zonasi dan lokasi pembangunan rumah susun umum, rumah susun khusus, dan rumah susun negara dengan mempertimbangkan daya dukung dan daya tampung lingkungan. Sedangkan untuk wilayah Provinsi DKI Jakarta, Pasal 13 ayat (5) menjelaskan bahwa penetapan zonasi dan lokasi pembangunan rumah susun dilakukan sesuai dengan ketentuan Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi DKI Jakarta. Khusus untuk Wilayah DKI Jakarta, Perda Provinsi DKI Jakarta No.1/2012 tentang RTRW DKI Jakarta 2030, dalam Pasal 81 ayat (4) nya dijelaskan bahwa pengembangan perumahan vertikal atau rumah susun, termasuk untuk MBR, dilakukan melalui peremajaan kota secara terpadu dilengkapi Ruang Terbuka Hijau (RTH), fasilitas umum, dan fasilitas sosial. Dengan demikian, penataan ruang kota memiliki peran yang signifikan dalam penyediaan perumahan masyarakat berpenghasilan rendah. Rencana tata ruang wilayah kota dan rencana rincinya seharusnya memuat landasan alokasi ruang bagi penyediaan perumahan untuk MBR tersebut. Kebijakan di Masa yang Akan Datang Penataan ruang kota di Indonesia memiliki peran sangat penting sebagai basis kebijakan spasial dalam penyediaan perumahan, termasuk perumahan untuk MBR. Selain itu, pemenuhan kebutuhan perumahan MBR secara kuantitatif dan kualitatif perlu didukung dengan pemenuhan kebutuhan infrastruktur penunjang, baik sanitasi, air bersih, maupun koneksitasnya dengan transportasi masal yang handal, aman, nyaman, dan terjangkau. Peran ini juga dilaksanakan melalui penataan ruang kota. Namun demikian, kebijakan lebih lanjut, seperti pemberian subsidi bagi transportasi massal untuk MBR perlu untuk dilakukan. Masyarakat berpenghasilan rendah, tidak hanya perlu dijamin hak nya dalam mendapatkan ruang hidup yang layak namun juga dalam mencapai ruang produksi ekonominya. Sekali lagi, penataan ruang dapat berperan lebih jauh dalam penyediaan perumahan masyarakat berpenghasilan rendah ini sekaligus penyediaan infrastruktur pendukungnya secara terintegrasi.
Edisi 5 - 2015
Sinkronisasi Kepranataan Perumahan Rakyat di Era Otonomi Daerah Assoc. Prof. DR. Eng. Ir. Budi Prayitno,
Kepala Pusat Kajian Perumahan dan Pengembangan Perkotaan Universitas Gadjah Mada Berbagi Peran alam penyelenggaraan otonomi daerah, pemerintah daerah memiliki peran yang sangat strategis karena menjadi ujung tombak peran dan kehadiran negara guna memenuhi kebutuhan masyarakat. Tidak bisa dipungkiri bahwa pemerintah daerah yang notabene terlibat interaksi dan menjadi representasi kondisi masyarakat lokal merupakan pihak yang sangat paham dengan dinamika masyarakat akar rumput tersebut. Sudah selayaknya pada era otonomi daerah, pemerintah daerah senantiasa dikuatkan perannya. UU No. 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman dan UU No. 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun dapat digunakan sebagai wadah untuk memasilitasi peran pemerintah daerah di bidang perumahan. Hal ini mendesak dilakukan karena adanya transformasi wewenang pemerintah daerah atas bidang perumahan pada UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah. Perlu adanya pemahaman dan penyesuaian kelembagaan sebagai langkah pendukung proses akselerasi pemenuhan kesejahteraan papan pada era otonomi daerah ini. Pada dasarnya bidang perumahan merupakan aspek yang membutuhkan penanganan secara kemitraan. Oleh karena itu, era otonomi daerah senantiasa menjadi momentum lahirnya ekspektasi publik mengenai kemampuan pemerintah daerah untuk bergerak sebagai motor dan kunci keberhasilan pencapaian target. Peran kemitraan pemerintah daerah dengan pemerintah pusat, sektor swasta dan masyarakat perlu disokong oleh kejelasan dan kepastian hukum, khususnya dalam hal hak kepemilikan tanah serta bangunan.
D
Sinkronisasi Kepranataan Peralihan regulasi otonomi daerah dari UU No. 32 Tahun 2004 ke UU No. 23 Tahun 2014 telah membawa konsekuensi logis berupa transformasi peran pemerintah daerah di bidang perumahan. Jika pada UU No. 32 Tahun 2004 diatur bahwa pemerintah daerah menjalankan urusan di bidang perumahan sebagai urusan wajib daerah, maka pada UU No. 23 Tahun 2014 bidang perumahan tidak lagi berstatus sebagai urusan wajib daerah. Kondisi ini membuat diperlukan adanya proteksi bagi pemerintah daerah khususnya dalam menerima program pemerintah pusat dan bentuk pertanggungjawabannya. Terkait hal ini, sinkronisasi kepranataan menjadi solusi kebijakan.
Sinkronisasi kepranataan pengelolaan perumahan harus mengedepankan semangat penguatan peran pemerintah daerah. Terdapat 2 (dua) manfaat dalam upaya penguatan peran pemerintah daerah dalam bidang perumahan di era desentralisasi. Pertama, secara internal penguatan peran pemerintah daerah mendorong terciptanya modernisasi institusional yang dapat diterjemahkan sebagai reformasi birokrasi lokal. Hal ini memberikan kesempatan nyata bagi pemerintah daerah untuk menjadi trigger yang senantiasa mampu berinovasi terhadap berbagai kompleksitas problema pengelolaan perumahan. Kedua, secara eksternal penguatan peran pemerintah daerah merupakan suatu bentuk peningkatan posisi tawar dalam kemitraan pengelolaan perumahan sehingga terjadi relasi yang sejajar antara pemerintah daerah dengan pemangku kepentingan. Penguatan Peran Pemerintah Daerah Penguatan peran pemerintah daerah merupakan bentuk kehadiran negara yang efektif. Pelepasan tanggungjawab pemenuhan kesejahteraan papan baik ke “mekanisme pasar� maupun ke “keswadayaan masyarakat� merupakan bentuk pengingkaran terhadap makna kehadiran negara. Oleh karena itu, penguatan peran pemerintah daerah di bidang perumahan harus didukung. Belajar dari pengalaman penyelenggaraan otonomi daerah di negara kesejahteraan (welfare state) seperti Norwegia dan Denmark, terpenuhinya hak bermukim dan kesejahteraan papan selalu diawali oleh penguatan peran pemerintah daerahnya. Penguatan peran pemerintah daerah melalui terakomodasinya bidang perumahan sebagai urusan wajib pemerintah daerah. Penguatan peran pemerintah daerah, telah membuat pemerintah daerah (flyke dan kommune) di Norwegia dan Denmark mampu berperan sebagai penyelenggara pelayanan publik bagi masyarakat lokal. Secara empiris, penyelenggaraan Program Sejuta Rumah dan Program 100-0-100 merupakan sebuah momentum yang tepat untuk mengimplementasikan penguatan peran pemerintah daerah. Mewujudkan percepatan pemenuhan hak bermukim dan kesejahteraan papan nasional sangat membutuhkan peran pemerintah daerah. Melalui proses penguatan peran, berbagai limitasi kewenangan, tugas pokok dan fungsi pemerintah daerah di bidang perumahan akan dapat teratasi. Selain itu, penguatan peran pemerintah daerah juga menjadi momentum pelaksanaan kemitraan yang lebih solid antarpemangku kepentingan serta memungkinkan pemerintah daerah untuk lebih inovatif melakukan diskresi kebijakan pro pemenuhan kebutuhan perumahan.
77
Selamat dan Sukses
Pencanangan Program Sejuta Rumah dan
HUT BTN ke 65 HUT REI ke 43 HUT Bapertarum PNS ke 22 Hari Otonomi Daerah ke 19
78
Edisi 5 - 2015
DPD REI
KHUSUS BATAM
DPD REI JAWA BARAT
DPD REI BANTEN
Selamat dan Sukses Pencanangan Program Sejuta Rumah dan
HUT BTN ke 65 HUT Bapertarum PNS ke 22 Hari Otonomi Daerah ke 19
79
Pendapat
Penyiapan Sumberdaya Manusia dalam Pembangunan Permukiman dan Perumahan,
Keniscayaan yang Terabaikan
Oleh Ir. M. Nazief L. Siddik, MBA
D
ibanding tahun 1970-an, saat Pemerintah Orde Baru melalui Repelitanya mulai menempatkan Permukiman dan Perumahan sebagai salah satu program prioritas, saat ini memang telah banyak kemajuan yang dicapai. Namun sampai tahun 2014 kebanyakan kita masih berkutat pada berbagai wacana dan pendekatan menyangkut kebijakan, visi, misi, strategi dan regulasi, serta tugas dan kewenangan, kelembagaan, tata ruang dan aspek pembiayaan. Agaknya kita lupa, bahwa semua itu bisa menjadi siasia tanpa Sumberdaya Manusia (SDM) yang mumpuni dalam jumlah yang cukup, kualitas yang handal dan pola penyebaran yang proporsional dan merata, baik di lingkungan Pemerintah Pusat/Daerah, BUMN/BUMD, Lembaga Keuangan, Konsultan, penilai dan pengembang (para pelaku ekonomi). Sementara di kancah perdagangan bebas dunia saat ini banyak Negara telah melaksanakan penyiapan SDM, baik dalam jajaran manajemen dan tenaga ahli, maupun pada tenaga terampil lapangannya. Melalui berbagai program pendidikan, pengkajian, pelatihan dan pengembangan yang sistematik, komprehensif dan berkesinambungan. Mereka tentu jauh lebih siap untuk menyongsong dan mengambil peran strategis dalam Masyarakat Ekonomi Asia (MEA), sementara SDM kita bagaimana? Besarnya peluang bisnis dalam pembangunan permukiman dan perumahan rakyat ini, telah mulai dapat dimanfaatkan oleh para pelaku ekonomi nasional, baik bidang jasa konsultasi, dan profesi pendukung (Notaris, Penilai, Arsitek, dan lainnya), maupun pengusaha pengembang, industri produk alat dan bahan bangunan, beserta pemasok/
80
distributornya. Namun semua kegiatan tersebut masih berjalan alamiah dan dilaksanakan belum secara maksimal. Celah bisnis itulah yang kemudian mulai dimasuki oleh para pelaku bisnis global yang datang dari berbagai Negara yang dalam berbagai hal sudah jauh lebih siap. Peran para pengusaha dan profesional asing dalam kegiatan pembangunan permukiman dan perumahan Nasional, semakin hari, terus semakin berkembang dan mulai menggeser secara perlahan peran para pengembang lokal atau Nasional. Adagium lama bahwa sebuah aktifitas bisnis harus didukung oleh setidaknya 3 M (Manajemen, Modal dan Manusia) agaknya sudah lama kita ketahui, namun untuk mengimplementasikannya didalam suatu paket kebijakan yang komprehensif dan melaksanakannya secara objektif sistematis, konsisten, efisien dan efektif agaknya masih menjadi mimpi besar kita. Khusus dalam penyiapan SDM pembangunan permukiman dan perumahan Nasional, Indonesia nampak belum melakukan langkah-langkah kebijakan, strategi dan rencana aksi yang jelas, meskipun dalam hal visi dan misi kita, hal ini sudah cukup jelas. Beberapa pertanyaan seperti: Siapakah yang layak untuk memimpin institusi dan lembaga pemerintahan, mendirikan dan menjalankan bisnis pemukiman dan perumahan? Apa saja persyaratan yang ditetapkan didalam penerbitan izin, klasifikasi usaha, izin lokasi, dan lain-lain? Siapa saja yang berpeluang bekerja di sektor ini? Apa persyaratan bagi seorang profesional, apa saja keahlian yang harus dimilikinya, apa ada pelatihan dan sertifikasi yang perlu mereka ikuti? Siapa yang akan memberi penilaian, penghargaan atau bahkan sanksi? Bahkan, termasuk golongan atau jenis apakah usaha yang menjadi-
Edisi 5 - 2015 kan permukiman dan perumahan ini sebagai bisnis utamanya? Lalu siapa atau lembaga manakah seharusnya yang tepat untuk menjadi induk dan memiliki otoritas bila terjadi sesuatu yang tidak sesuai dengan kebijakan, undangundang, peraturan dan prosedur yang sudah berlaku. Agaknya belum semua pertanyaan di atas dapat dijawab dengan baik dan tuntas meskipun secara parsial kita sudah mulai dapat mengatasinya, sementara dalam hitungan bulan mau tidak mau, siap atau tidak siap semua pelaku ekonomi nasional bidang pembangunan permukiman dan perumahan ini harus masuk kedalam lingkungan Masyarakat Ekonomi Asean (MEA). Untuk itu semua, pihak yang terkait dalam kegiatan pembangunan permukiman dan perumahan Nasional, harus sudah meninggalkan berbagai perdebatan, perbedaan dan pendekatan yang tidak begitu substansial dan secara sadar mulai mengulurkan tangan kepada pemangku kepentingan lain untuk bergandengan dan melangkah bersama dalam kebijakan, strategi, regulasi, misi dan program aksi yang lebih jelas, sistematis terukur dan efektif. Salah satu dari hal substantial tersebut adalah pentingnya program pelatihan dan pengembangan SDM yang berusaha atau bekerja pada bidang permukiman dan perumahan nasional, melalui berbagai upaya dan aktifitas pendidikan, pelatihan dan pengembangan SDM secara lebih sistematis dan komprehensif. Dengan demikian, pada masa mendatang Indonesia memiliki SDM yang memiliki nilai pengetahuan, kualitas profesional dan integritas kebangsaan yang mumpuni dan mampu bertahan, berkembang dan menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Menyadari kompleksitas permasalahan dalam penyiapan SDM handal dengan tingkat profesional, integritas dan
wilayah. Patut diingat negeri ini masih memiliki beban backlog perumahan lebih dari 13 juta unit. Untuk membantu program dan percepatan dari kegiatan penyiapan, pembinaan dan pengembangan SDM terkait dengan keberhasilan pembangunan permukiman dan perumahan Nasional inilah HUD (Housing and Urban Development) Institute hendak dikembangkan melalui kegiatan pendidikan, pelatihan, penelitian dan pengembangan permukiman dan perumahan yang akan memulai kegiatan penuhnya pada kwartal pertama tahun 2015 ini. Disamping melaksanakan program-program yang bersifat mandiri, juga siap untuk bekerjasama dengan lembaga/institusi/instansi pemerintah, maupun institusi bisnis, baik di lingkungan BUMN/BUMD, maupun perusahaan yang menjadikan pemukiman dan perumahan sebagai bidang usahanya. Untuk menetapkan tingkat dan kualifikasi keahlian, keterampilan, serta standar kinerja yang harus dicapai peserta program, HUD akan bekerjasama dengan lembaga kepemerintahan yang berwenang dan akan menerbitkan sertifikasi, baik untuk jenis keahlian maupun keterampilan terkait program dan usaha permukiman dan perumahan dimaksud. Indonesia masih membutuhkan ribuan tenaga profesional siap pakai antara lain pada bidang kegiatan seperti regulator dan perizinan, surveyor, pengkajian ekonomi dan kelayakan, kajian tata ruang dan lingkungan, perencana teknis, disain produk dan manajemen industri material bangunan, manajemen proyek, pengawas lapangan, administrasi dan keuangan, pemasaran dan penjualan, hukum properti, operator proyek dan lainnya. Belum lagi pada tim pendukung, seperti analis kredit, penilai, notaris, arsitek, teknik sipil, elektrikal, interior, lansekap.
standar kinerja yang lebih tinggi ini tentunya diperlukan kerjasama berbagai pihak yang terkait dengan melibatkan semaksimal mungkin para pemangku kepentingan yang ada. Tidak saja dari kalangan pemerintahan, tetapi juga para pengusaha dan pelaku ekonomi, serta para profesional dan masyarakat luas, khususnya Masyarakat Berpendapatan Rendah (MBR) yang dalam kenyataannya masih memerlukan jutaan rumah sehat siap huni di berbagai
Untuk itu HUD segera menyelenggarakan program kegiatan pendidikan, pelatihan dan sertifikasi keahlian serta keterampilan pada bidang-bidang yang terkait erat dengan pelaksanaan pembangunan permukiman dan perumahan Nasional di atas, baik bagi peserta profesional dan perorangan, maupun bagi peserta kolektif secara kelembagaan atau kerjasama program dalam bentuk in-house training perusahaan.
81
Pendapat
Penguatan Peran Perumnas sebagai
National Housing and Urban Development Corporation (NHUDC) M. Jehansyah Siregar, Ph.D
P
erusahaan Umum Pembangunan Perumahan Nasional (Perum Perumnas atau biasa disebut Perumnas), adalah perusahaan publik yang bergerak di bidang pembangunan perumahan dan permukiman di Indonesia yang didirikan pada tanggal 18 Juli 1974 berdasarkan PP No.29/1974. Pada saat yang bersamaan ada tiga lembaga pilar yang dibentuk, yaitu PERUMNAS, BKPN (kemudian dibentuk Kementerian Muda Perumahan Rakyat), dan BTN yang diberi tugas sebagai bank perumahan. Sebagai wujud peran dan tanggungjawab negara dalam pembangunan perumahan, ketiga lembaga pilar memainkan peran yang cukup sentral. Pengalaman yang sama terjadi di Jepang dengan Japan Housing Corporation sejak 1950-an dan di Singapura dengan Housing Development Board sejak 1960-an. Dengan demikian, Indonesia sebenarnya tidak terlalu tertinggal pada saat itu (1970-an) dengan didirikannya Perumnas. Namun di dalam perjalanannya ternyata Perumnas jauh tertinggal dibanding dua perusahaan publik yang sama di negara-negara tetangga tersebut, bahkan Perumnas justru semakin menurun kapasitas dan aset-asetnya. Ketika didirikan tahun 1974, Perumnas sebenarnya diarahkan untuk melayani kebutuhan perumahan rakyat, mengembangkan aset negara, menyelenggarakan kegiatan produktif, dan menerapkan kebijakan perumahan dari pe-
82
merintah. Perumnas ditantang untuk memerhatikan prinsip affordability dan cost recovery sekaligus. Namun setelah terjadi perubahan kebijakan BUMN, Perumnas dibebani pula sebagai perusahaan pencetak laba. Akhirnya kinerja Perumnas semakin menurun jika dibanding dengan para pengembang anggota REI (Real Estate Indonesia) Kebutuhan perumahan khususnya di perkotaan semakin bertambah seiring urbanisasi yang cepat. Namun kinerja Perumnas tidak kunjung mampu menjawab tantangan terpenuhinya rumah bagi seluruh rakyat secara layak. Meskipun jumlah rumah yang dibangun semakin banyak, aset dan modal semakin besar dan neraca keuangan yang sehat, semuanya ini tidak memadai jika Perumnas belum mampu menunjukkan titik terang terpenuhinya rumah layak untuk seluruh rakyat. Artinya, Perumnas belum kunjung mampu mewujudkan tanggungjawab negara untuk memenuhi hak dasar rakyatnya. Oleh karena itu, reformasi Perumnas menuntut evaluasi arah kebijakan pembangunan perumahan secara konsisten, termasuk pola manajemen hingga kapasitas organisasi dan sumber daya manusianya. Memerhatikan pengalaman dari negara-negara maju di Asia (Jepang, Korea Selatan dan Singapura), maka keberadaan suatu lembaga publik seperti Perumnas sangatlah diperlukan dan perlu diperkuat sebagai National Housing and Urban Development Corporation (NHUDC) dengan tujuan-tujuan sebagai berikut:
Edisi 5 - 2015 (1) Menciptakan iklim kebijakan yang stabil untuk reformasi sektor perumahan dan permukiman. Adanya peran baru Perumnas sebagai NHUDC merupakan langkah strategis reformasi sektor perumahan yang secara jangka panjang dapat menjamin terciptanya iklim kebijakan yang stabil. (2) Meningkatkan sinergi sumberdaya input (tanah, infrastruktur dan biaya) dan koordinasi pengelolaan program (perencanaan, pelaksanaan dan pengelolaan) di bawah satu atap lembaga pelaksana sebagai badan usaha. (3) Pemupukan sumberdaya kunci pembangunan perumahan dan pengembangan permukiman. Badan usaha publik di bidang perumahan yang melaksanakan misi pemenuhan perumahan rakyat secara berkeadilan harus didukung oleh sumberdaya kunci yang semakin terpupuk, meliputi tanah, infrastruktur dan bangunan. (4) Menciptakan pasar perumahan di sektor publik yang dikelola dengan terkendali. Adanya pasokan perumahan publik secara memadai yang merespon kebutuhan kelas menengah dan bawah khususnya di perkotaan, pada gilirannya akan membangun mekanisme pasokan dan permintaan yang memiliki ketahanan terhadap tekanan spekulasi pasar properti. (5) Agen untuk membangun kelas menengah masyarakat perkotaan. Pola pengelolaan perumahan publik oleh NHUDC ini berfokus pada penguatan kelas menengah, pola hunian campuran (mix-strata settlements) untuk menghindari terjadinya segregasi sosial, sekaligus wadah pula bagi pemberdayaan kelas penghasilan rendah menuju kelas menengah perkotaan. (6) NHUDC berperan dalam integrasi sosial. Merebaknya segregasi sosial akibat pembangunan kompleks perumahan yang eksklusif terjadi karena tidak didukung struktur ruang permukiman yang terencana. Moda perumahan komersial di dalam suatu kawasan skala besar akhirnya mengelompokkan masyarakat berdasarkan kemampuan sosial ekonominya secara terkotak-kotak. Perumahan sebagai instrumen strategis untuk integrasi sosial tidak dapat lagi dijalankan melalui dokumen regulasi semata, melainkan perlu secara aktif meregulasi praktek pembangunan fisik dan pengelolaan di lapangan. Keberadaan NHUDC sangatlah vital sebagai perusahaan publik yang menjalankan misi untuk membangun integrasi sosial yang utuh dan kuat di tengah masyarakat. (7) NHUDC sebagai simpul multi-moda penyediaan perumahan. Kebijakan perumahan publik menemui
kegagalan dikarenakan kebijakan perumahan yang tidak komprehensif dan terfragmentasi. Sebagai pelaksana moda perumahan publik yang berperan sebagai simpul multi-moda perumahan (publik, komersial, swadaya dan sosial), NHUDC menjalin berbagai bentuk kemitraan strategis dengan para pelaku lainnya. (8) NHUDC sebagai pengendali pengadaan tanah untuk perumahan. Pelaksanaan kawasan dan lingkungan siap bangun (kasiba dan lisiba) belum berjalan dengan baik. Padahal sudah ditegaskan pengelolaan kawasan siap bangun dilakukan oleh badan usaha milik negara. Untuk itu, NHUDC dalam menjalankan perannya yang baru perlu segera mengembangkan kapasitas dan peran sebagai pengendali penyediaan tanah melalui skema kasiba dan lisiba seperti disebut di atas. (9) NHUDC menuju manajemen finansial yang produktif di sektor perumahan. Manajemen finansial dari sebuah perusahaan publik adalah salah satu aspek penting dalam pengelolaan anggaran negara. Dengan demikian, Perumnas sebagai NHUDC memiliki arti penting dalam pengelolaan dana-dana publik di sektor perumahan rakyat melalui manajemen finansial yang akuntabel dan transparan. Demikianlah pentingnya Perumnas untuk didorong sebagai NHUDC dalam rangka mewujudkan program 1(satu) juta rumah di tanah air. Lebih jauh, di antara multi-moda penyediaan perumahan, moda perumahan publik (public housing) merupakan sistem penyediaan perumahan yang harus terus dikembangkan dengan baik. Pendirian Perumnas pada tahun 1974 sebenarnya adalah tonggak perumahan publik di tanah air. Untuk itu, Perumnas perlu segera direformasi untuk secara simultan membangun Sistem Penyediaan Perumahan Publik yang komprehensif. Baik sebagai bagian dari visi jangka panjang untuk terpenuhinya kebutuhan perumahan rakyat dan terciptanya lingkungan permukiman yang berkualitas, juga dari sisi keterpaduan penyediaan prasarana dan sarana dasar permukiman yang memenuhi SNI dan SPM, perwujudan skema permukiman skala besar (kasiba-lisiba), pengelolaan kelompok sasaran secara tepat sasaran, kapasitas kelembagaan, hingga pengembangan mekanisme pembiayaan investasi jangka panjang. Kini Perumnas berada di persimpangan jalan, antara berperan sebagai agen pembangunan yang membawa misi negara di bidang perumahan rakyat ataukah sebagai korporasi pencetak laba dengan bersaing bersama-sama para pengembang lainnya yang memang bertujuan mencari keuntungan.
83
Pendapat
Pengelolaan Pembangunan di Daerah:
Profesionalisme atau ala Kadarnya?
Fany Wedahuditama*
I
Kondisi Pengelolaan Pembangunan di Daerah: Pembangunan ala Kadarnya? Melihat kembali pengelolaan pembangunan di daerah, khususnya untuk bidang yang terkait dengan pelayanan publik, pertanyaan yang selalu muncul adalah mengapa pelayanan publik yang dikelola oleh pemerintah daerah selalu dinilai tidak memuaskan oleh masyarakat? Begitu pula dengan implementasi dan penegakan hukum yang ujung-ujungnya hanya sebatas wacana untuk dilakukan? Apa yang menyebabkan hal ini terus terjadi tanpa ada perubahan yang nyata dan signifikan? Banyak contoh sederhana yang kita rasakan sehari-hari. Mulai dari sulitnya pengurusan KTP, sertifikat tanah, SIM, STNK, BPKB, dan IMB, minimnya akses terhadap layanan air minum dan sanitasi, pengelolaan ruang publik yang buruk, sampai pada banjir tahunan, kemacetan yang meningkat, minimnya akses terhadap ketenagalistrikan, dan lain sebagainya. Permasalahan pembangunan di daerah berputar di sekitar isu yang sama dari tahun ke tahun. Dari hasil pengamatan dan pengalaman saya selama ini, ternyata paling tidak terdapat tiga hal yang menjadi faktor penyebab, yaitu:
jinkanlah saya memprovokasi anda melalui artikel singkat ini. Beberapa waktu lalu, saya berdiskusi panjang dengan teman yang menjabat sebagai Kepala Bidang Fisik dan Prasarana di kabupaten Pringsewu, provinsi Lampung. Pertanyaan dari teman saya sederhana sekali, yaitu bagaimana inovasi pembangunan di daerah bisa ditingkatkan? Jawaban saya, spontan dan sederhana juga, adalah dengan merubah model pemerintahan yang ada dengan model corporate governance. Dari situ, kami berdiskusi panjang sampai warung makan tempat kami berdiskusi harus tutup dan memaksa kami untuk menyudahi diskusi tersebut. Diskusi tersebut membuat saya memikirkan model pemerintahan yang selama ini kita laksanakan. Apakah benar pemerintah daerah harus melaksanakan semua hal? Apakah ini alasannya kita harus merekrut pegawai Negeri Sipil yang luar biasa banyak jumlahnya untuk melakukan berbagai hal seperti mengelola TPA, mengelola ruang publik, mengelola kendaraan operasional, mengelola situs pariwisata, mengelola Rumah Sakit Umum Daerah, dan a. Pembangunan di daerah dikelola dengan pola berbagai pelayanan publik lainnya? Menurut saya hal ini ketergantungan pusat-daerah. Di satu sisi, terlepas dari tidak tepat. Pemerintah daerah seharusnya fokus pada pengembangan regulasi dan kelembagaan, perencanaan pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah, sampai pembangunan, pengembangan kerangka pendanaan (crea- saat ini pemerintah pusat masih terlalu “memanjakan� tive financing), monitoring dan evaluasi, serta penegakan pemerintah daerah dalam melaksanakan pembangunan di daerahnya. Banyak urusan wajib SUMBER FOTO: ISTIMEWA peraturan. Selebihnya dapat dikerpemerintah daerah yang sampai saat jasamakan dengan pihak non-pemerini masih dibantu oleh pemerintah intah melalui berbagai mekanisme pusat, mulai dari pelayanan air mikerjasama. Menurut saya, inilah num dan sanitasi, perumahan, ketemakna praktis dari corporate governnagalistrikan, kesehatan masyarakat, ance. Doing business NOT ONLY efpendidikan, dan lain sebagainya. Hal fectively and efficiently, BUT ALSO ini menyebabkan pemerintah daerah innovatively. Kondisi saat ini bahkan tidak akan pernah siap untuk manbelum menunjukkan pembangunan diri, sesuai dengan tujuan dari otoyang efektif dan efisien, apalagi inovatif. Untuk itu, mari kita lihat fakta Masalah Banjir yang terus menerus meng- nomi daerah. Berbagai mekanisme insentif, seperti DAK, Hibah air midi lapangan. hantui masyarakat
84
Edisi 5 - 2015 num dan sanitasi, dan lain sebagainya, dikembangkan untuk memotivasi pemerintah daerah dalam mengemban mandatnya. Alhasil, yang terjadi adalah pemerintah daerah yang semakin tergantung dengan pemerintah pusat. Di sisi lain, terdapat kengganan pemerintah pusat untuk melepaskan fungsi pembangunan sepenuhnya kepada pemerintah daerah, dan mulai fokus pada fungsi pengaturan, pembinaan dan pengawasan (turbinwas). Hal ini disebabkan adanya kekuatiran pemerintah pusat terkait dengan kapasitas pemerintah daerah dalam melaksanakan pembangunan. Ini seperti kasus telur dan ayam. Namun tidak harus seperti itu. Sudah saatnya pemerintah pusat mulai menata kembali strateginya untuk memberdayakan pemerintah daerah. Sudah terlalu sering kita mendengar permasalahan mengenai kesadaran pemerintah daerah yang rendah dan sebagainya. Pemerintah Pusat juga perlu berinovasi! b. Anggapan bahwa semua pembangunan di daerah harus dilaksanakan sepenuhnya oleh pemerintah daerah. Tanpa disadari, anggapan ini menyebabkan pola pengelolaan pembangunan di daerah kurang mempertimbangkan potensi pihak non-pemerintah dalam mendukung pelaksanaan pembangunan. Semua pembangunan dan pengelolaan hasil pembangunan seolah-olah harus dilakukan oleh pemerintah daerah. Dampaknya, struktur birokrasi menjadi semakin gemuk, dan beban biaya rutin SUMBER FOTO: ISTIMEWA menjadi semakin besar. Parahnya, meningkatnya biaya rutin tersebut tidak diimbangi dengan peningkatan penerimaan daerah, sehingga ke depan diperkirakan biaya rutin pemerintah daerah, khususnya belanja pegawai, dapat mencapai Pemeliharaan jalan yang buruk. 70%; c. Bukan ahlinya. Mengelola pembangunan di daerah tidak secara otomatis mengharuskan pemerintah daerah menjadi ahli dalam segala hal. Namun demikian, praktek di daerah selama ini semua hal ditangani oleh pemerintah daerah. Pemerintah daerah mengelola sendiri pariwisata, atau tempat pemrosesan akhir (TPA), waduk, terminal angkutan umum, dan lain sebagainya. Seringkali hasilnya justru tidak sesuai harapan. Disaat pengelolaan tersebut dituntut untuk bisa menguntungkan baik secara ekonomi maupun sosial, kenyataannya malah sebaliknya. Pemerintah daerah sebenarnya mengetahui kondisi ini, namun seperti yang disampaikan pada poin sebelumnya,
anggapan bahwa semua hal harus dilakukan oleh Pemerintah daerah menyebabkan kebuntuan inovasi dalam mengelola pembangunan di daerah. Hal ini belum ditambah dengan adanya tuntutan masyarakat bahwa semua pelayanan publik tersebut juga harus tetap berjalan. Pengelolaan pembangunan di daerah yang dibayangi oleh ketiga hal di atas, seiring dengan berjalannya waktu mulai “diterima� oleh masyarakat, dan pemerintah daerah pun merasa kondisi ini dirasakan cukup. Sesekali terjadi demonstrasi dari masyarakat dianggap sudah biasa. Tetapi, apakah kondisi ini harus dibiarkan? Apakah pengelolaan pembangunan ini selamanya akan dilakukan dengan model ala kadarnya? Kita perlu inovasi dan keberanian untuk merubah situasi ini. Untuk itu, mari kita lihat beberapa hal yang dapat kita lakukan ke depan. Dari Sekedar Governance ke Good Corporate Governance Berbicara mengenai inovasi, pertanyaannya adalah mengapa susah sekali inovasi ini dikembangkan? Mengapa suatu daerah dapat berinovasi dengan mudah, tetapi mengapa sulit sekali dikembangkan di daerah lain? Bagi saya, inovasi itu dapat lebih mudah berkembang jika mindset pengelolaan pembangunan didasarkan pada prinsip korporasi. Sebelum anda protes, mari kita lihat contoh kota mati yang banyak tersebar di beberapa negara bagian di Amerika. Ada banyak hal yang menyebabkan suatu kota menjadi kota mati di Amerika. Kasus yang sering terjadi adalah karena kota tersebut sebenarnya tidak didirikan secara khusus, namun lebih dikarenakan adanya kegiatan pertambangan yang seiring berjalannya waktu, berkembang menjadi kota. Namun karena basis berdirinya kota tersebut adalah pertambangan, sehingga pada titik tertentu, kegiatan pertambangan sebagai kegiatan utama akan selesai. Jika dalam perkembangannya kota tersebut mengembangkan kegiatan utama lainnya, ada kemungkinan kota tersebut dapat bertahan. Tetapi jika tidak, maka kota tersebut akan ditinggalkan. Kasus kota mati lainnya adalah kota yang mati karena pengelolaannya tidak sehat. Layanan publik yang tidak prima, penyelenggaraan pembangunan yang amburadul, sehingga kota tersebut secara finansial tidak mungkin dipertahankan. Kata-kata “secara finasial� tidak dapat dipertahankan disini perlu mendapatkan perhatian. Makna dari kata tersebut adalah pengelolaan suatu kota atau daerah didasarkan pada prinsip korporasi, yaitu profesionalisme, disiplin keuangan, business plan kota yang layak, institutional arrangement yang efektif dan efisien, kerangka regulasi yang kondusif dan kerangka pendanaan yang efektif menjadi pilar utama pengelolaan pembangunan kota
85
Pendapat tersebut. Tidak ada pola ketergantungan dari pemerintahan yang lebih tinggi. Dukungan diberikan hanya untuk hal-hal yang mendasar, dan terdapat BATASAN YANG JELAS peran dan dukungan pemerintahan yang lebih tinggi dapat diberikan. Kita seharusnya bisa belajar banyak dari fenomena kota mati ini. Terdapat konsekuensi yang harus ditanggung pada saat kita menjalankan pembangunan dengan sistem desentralisasi dan otonomi daerah, tetapi tidak disertai dengan disiplin melakukan setiap persyaratan yang ada di dalamnya. Penyusunan dan pelaksanaan prioritas pembangunan di daerah yang tidak tepat, ketergantungan pada dukungan pusat, ketidakprofesionalan dalam melaksanakan pelayanan publik, dan lain sebagainya, memiliki konsekuensi. Korps Pegawai Negeri Sipil sebagai penggerak pembangunan merupakan “perusahaan/korporasi” yang terbesar di suatu negara atau suatu wilayah. Jika “perusahaan” ini tidak disiplin dalam hal profesionalisme, keuangan, perencanaan, monitoring dan evaluasi, secara ekonomi perusahaan, perusahaan ini seharusnya sudah bisa dinyatakan pailit sejak lama. Untuk mencegah hal ini terus berlangsung, dalam jangka pendek, terdapat beberapa hal penting yang perlu dilaksanakan, yaitu: a. Penerapan Good Corporate Governance sebagai ganti dari model ketergantungan Pusat-Daerah. Pemerintah pusat harus mulai mengembangkan dan memberlakukan pengelolaan pembangunan di daerah berdasarkan prinsip good corporate governance, lengkap beserta sanksi administrasinya. Pemerintah pusat juga sudah harus mem-
SUMBER FOTO: ISTIMEWA
Taman Bungkul Surabaya yang dikelola dengan profesional.
86
batasi dukungan yang dapat diberikan. Local Governments have received enough, if not too many, carrots; it’s time to know that the stick does exist. Sekiranya terdapat daerah yang tidak memiliki business plan yang baik, serta mendukung target pembangunan nasional, khususnya untuk pemenuhan layanan dasar, maka sanksi administrasi, mulai dari pengambilalihan beberapa kewenangan daerah untuk dialihkan ke pemerintah provinsi, sampai pada merger dengan kabupaten/kota lainnya, atau bahkan dibiarkan menjadi kota mati, dapat diterapkan. Pernyataan bahwa hal ini sulit dilakukan karena adanya kepentingan ini dan itu baik di pusat maupun di daerah seharusnya bukan masalah. Mungkin masalah bagi orang yang punya kepentingan. Tetapi di sini kita berbicara mengenai kepentingan masyarakat umum. Jadi kita tidak perlu lagi dibebani masalah kepentingan segelintir orang. b. Pengelolaan pembangunan di daerah yang profesional: “Secerdik ular, setulus merpati”. Dengan diterapkannya prinsip good corporate governance, maka pemerintah daerah “dipaksa” untuk menata kembali tupoksinya dalam mengelola pembangunan. Pemerintah daerah dapat mulai fokus terhadap pengembangan regulasi dan kelembagaan, perencanaan pembangunan, pengembangan kerangka pendanaan (creative financing), monitoring dan evaluasi, serta penegakan peraturan. Pemerintah daerah harus menyusun kembali strategi pembangunan infrastruktur dan pengelolaan sarana dan prasarananya agar dapat dikerjasamakan dengan pihak lain yang memiliki expertise dibidangnya. Pemerintah daerah sendiri dapat mulai mengasah keahliannya dalam pengembangan peraturan yang tidak tumpang tindih ataupun bertentangan; Menata kembali sistem birokrasinya agar lebih ramping, efektif dan efisien; Menyusun business plan, bukan sekedar rencana pembangunan daerah yang tidak memliki greget; Menjalin kerjasama dengan swasta dalam pelayanan publik dengan sistem bagi hasil yang saling menguntungkan; Meningkatkan prakarsa swasta melalui sosialisasi rencana bisnis pemerintah, sehingga pihak swasta, melalui kacamata bisnisnya, dapat melihat berbagai peluang yang dapat diwujudkan dengan adanya rencana bisnis pemerintah tersebut; dan lain sebagainya. Intinya, dengan prinsip korporasi, maka pemerintah daerah dapat melihat berbagai potensi daerah sebagai sesuatu yang memiliki nilai jual, dan nilai tambah yang besar jika pengelolaannya dilakukan layaknya sebuah perusahaan. Contohnya adalah pembangunan taman kota. Dulu pembangunan taman kota hanya sekedar lahan yang ditanami pohon besar. Tetapi dari kacamata corporate governance, taman kota itu bisa disulap menjadi botanic garden yang dapat memberikan pendapatan asli daerah, dan pengelo-
Edisi 5 - 2015
SUMBER FOTO: ISTIMEWA
laannya dapat dilakukan oleh pihak swasta yang profesional. Di satu sisi pemerintah mendapatkan tambahan PAD dan ruang publik, di sisi lain pemerintah secara terencana dapat mengurangi jumlah PNS yang tadinya ditugaskan untuk mengelola taman kota. Jadi, nilai tambahnya besar. Nilai tambah ini hanya dapat dilihat jika pemerintah daerah menerapkan prinsip Corporate Governance. c. Mengembangkan Human Resource Capital untuk peningkatan profesionalisme PNS. Sebagus apapun kendaraan anda, jika mental pengemudinya adalah mental supir metromini, maka kendaraan tersebut tidak akan pernah bisa dimanfaatkan secara optimal. Sama dengan perdebatan yang saat ini sedang berlangsung mengenai siapa presiden yang baik untuk Indonesia. Sehebat apapun presidennya, ibarat seorang Michael Schumacher yang diminta mengendarai Bajaj. Mau jalan seberapa cepat? Sistem birokrasi di Indonesia adalah sistem yang, menurut saya, sangat mengerikan. High cost, ineffective, inefficient and immortal. Ya benar, istilah anak jaman sekarang, gak ada matinya. Namun hampir selama tiga puluh tahun (PNS era 30 tahun setelah kemerdekaan masih memiliki integritas yang cukup tinggi) dalam kondisi seperti ini, tidak terdapat perubahan yang signifikan. Urusan utama pembangunan bukanlah infrastruktur atau perekonomian atau teknologi dan lain sebagainya, urusan pembangunan adalah orang. Our business is people. Development is about facilitating people’s development. Oleh karena itu, nasib masyarakat ada ditangan pemerintah daerah yang ujung-ujungnya adalah PNS. Kalau kualitas PNS masih tetap seperti ini, maka nasib masyarakat juga tidak akan berubah jauh. Untuk itu profesionalisme PNS harus
ditingkatkan secara drastis. Hal ini bisa dimulai dengan mulai mengembangkan Human Resource Capital Division dalam setiap organisasi pemerintahan di daerah. Disebut Human Resource Capital, karena setiap perekrutan PNS, pada dasarnya adalah sebuah investasi pemerintah dalam bentuk orang. Jika kita sebut human resource saja, maka secara tidak sadar, kita akan memperlakukan PNS yang kita rekrut sebagai barang habis pakai. Tidak ada upaya untuk mengembangkan kapasitas orang yang sudah direkrut. Astra adalah salah satu perusahaan yang memiliki Human Resources Capital Division yang kuat. Karena bagi perusahaan Astra, investasi sesungguhnya bukanlah pada produk yang akan dijual, tetapi pada orang yang direkrut dan dibina. Tanpa sumber daya manusia yang kompeten dan profesional, tidak ada produk yang dapat diproduksi ataupun dijual. Pemerintah daerah harus bisa berpikir seperti itu. Artinya pusat juga harus mulai paham mengenai hal ini, untuk kemudian dapat mulai merevisi berbagai peraturan perundangan yang dirasakan dapat memasilitasi terjadinya hal itu di tingkat daerah. Masih banyak hal yang dapat dilakukan dalam jangka pendek, namun ketiga hal di atas mungkin sudah bisa memberikan ide dasar bagaimana pengelolaan pembangunan dapat dilaksanakan lebih baik melalui penerapan prinsip good corporate governance. Inti dari prinsip ini adalah manfaat untuk masyarakat yang sebesar-besarnya melalui pengelolaan pembangunan yang profesional. Bukan pembangunan yang ala kadarnya. Salam. * Penulis adalah staf Bappeda Kabupaten Nganjuk yang diperbantukan di Direktorat Pemukiman dan Perumahan Bappenas.
87
88
Edisi 5 - 2015
Selamat dan Sukses
Pencanangan Program Sejuta Rumah &
HUT BTN ke 65 HUT REI ke 43 HUT Bapertarum PNS ke 22 Hari Otonomi Daerah ke 19
Selamat dan Sukses Pencanangan Program Sejuta Rumah &
HUT BTN ke 65 HUT REI ke 43 HUT Bapertarum PNS ke 22 Hari Otonomi Daerah ke 19 89
Konsep
Tanah Wakaf untuk Perumahan Rakyat Ira Lubis, Sheny D. Puspita, Rizqi Luthfiana Direktorat Perumahan dan Permukiman, Bappenas
L
ahan untuk perumahan semakin sulit. Padahal, lahan merupakan syarat utama untuk membangun perumahan. Komponen lahan diperkirakan menyumbang lebih dari 30 persen dari keseluruhan harga rumah. Dengan semakin tingginya harga lahan, harga hunian juga semakin tinggi. Pada akhirnya, hunian yang layak semakin tidak terjangkau, khususnya bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) di perkotaan. Solusi untuk kondisi ini diperlukan jika kita ingin mewujudkan semua keluarga Indonesia menghuni rumah yang layak dan terjangkau. Kita mempunyai tanah wakaf yang luasnya mencapai 4.1 juta m2 atau setara dengan wilayah Singapura. Lokasi tanah wakaf tersebar di 435.035 lokasi di seluruh Indonesia.Tanah wakaf harus mulai dipandang sebagai potensi besar untuk penyediaan lahan bagi perumahan rakyat. Terdapat 2 (dua) hal yang mendasari potensi ini. Pertama, pemanfaatan tanah wakaf ini didukung oleh dasar hukum. Hukum positif Indonesia berupa UU No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf dan UU No. 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun menyebutkan bahwa pendayagunaan tanah wakaf untuk perumahan sangat dimungkinkan. Kedua, keberlanjutan pemanfaatan lahan untuk perumahan bagi MBR dapat lebih terjamin. Hal ini karena kepemilikan tanah wakaf tidak bisa dialihkan atau dijual serta alih fungsi pemanfaatan tanah wakaf memerlukan prosedur yang lebih ketat dibandingkan tanah milik perseorangan. Meskipun memiliki potensi yang besar, pendayagunaan tanah wakaf untuk perumahan di Indonesia belum banyak disentuh. Selama ini, tanah wakaf lebih banyak dimanfaatkan untuk pembangunan masjid, sekolah, pondok pesantren, kuburan dan peruntukan lainnya yang dipandang berkontribusi langsung pada kemaslahatan umat. Belum banyak pihak yang memandang bahwa penyediaan hunian layak pada tanah wakaf dapat berkontribusi pada kemaslahatan umat. Padahal meningkatkan kondisi hunian bagi MBR mempunyai dampak yang cukup signifikan bagi kesejahteraan mereka. Selain itu, meskipun prinsip wakaf produktif mulai banyak diterapkan, penyediaan hunian layak
90
SUMBER FOTO: ISTIMEWA
pada tanah wakaf juga belum dapat dilihat sebagai salah satu bentuk implementasi wakaf produktif. Masih kurangnya lembaga profesional dalam pengelolaan wakaf produktif menjadi tantangan tersendiri dalam pengembangan wakaf produktif. Justru, pendayagunaan wakaf untuk perumahan sudah dilakukan di Singapura. Majlis Ugama Islam Singapura (MUIS) sebagai pengelola wakaf membentuk Wakaf Real Estate Singapura (WAREES). Sebagai kontraktor, WARESS berperan untuk memaksimalkan aset wakaf, khususnya untuk sektor properti. Dalam pengelolaannya, sebagian aset wakaf dikembangkan secara komersial dan sebagian hasil keuntungan yang didapatkan digunakan kembali untuk memelihara aset wakaf. Melihat potensi tanah wakaf di Indonesia serta pengalaman di Singapura, Bappenas sedang mengembangkan model pendayagunaan tanah wakaf untuk pembangunan perumahan rakyat. Model ini dikembangkan bersama dengan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (Kementerian PU-PR), Kementerian Agama, Perum Perumnas, Badan Wakaf Indonesia, dan Dompet Dhuafa. Konsep dasar yang melandasi pengembangan model tersebut adalah penyediaan hunian untuk MBR melalui mekanisme wakaf produktif sesuai dengan prinsip syariah. Mekanisme wakaf produktif dalam memastikan manfaat bagi kemaslahatan umat diproyeksikan dapat tercapai, sebagaimana estimasi yang tertera pada tabel 1. Dengan asumsi dilakukan pembangunan rumah susun sewa delapan tingkat yang terdiri dari 192 unit hunian dengan biaya sewa Rp.200.000 per bulan dan 55 unit komersial dengan
Edisi 5 - 2015 biaya sewa Rp.500.000 per bulan. Pendapatan dari sewa serta jaminan keberlanjutan pengelolaan. Perlu adanya tersebut dapat menutupi total biaya pengelolaan rumah pembekalan awal kepada nadzhir terkait bentuk pengelosusun tersebut. Sementara ‘keuntungan’ dari wakaf produk- laan paska konstruksi yang dapat menjamin kehandalan tif dapat menjadi modal dalam melakukan aktivitas lain gedung dan prinsip wakaf produktif. Karena bentuk medemi kepentingan umat. kanisme pengelolaan tersebut menjadi prasyarat dalam Untuk mewujudkan mekanisme tersebut, membutuh- mekanisme pengalihan aset dari Pemerintah Pusat kepada kan usaha yang membuka partisipasi dan kolaborasi dari nadzhir. Beberapa alternatif skema pengelolaan antara lain: berbagai pihak, dengan skema awal sebagai berikut, per- a) nadzhir sepenuhnya bertindak sebagai pengelola, b) tama, penentuan lokasi tanah wakaf yang potensial diten- nadzhir menunjuk pihak ketiga (outsourcing) sebagai petukan oleh kriteria yang disepakati bersama, antara lain ngelola, c) nadzhir bekerjasama dengan nadzhir profesional kesesuaian peruntukan lahan dengan tata ruang, status (seperti Dompet Dhuafa), d) serta nadzhir memberikan hak tanah wakaf, dan status nadzhir. Kedua, tipologi hunian pengelolaan kepada Pemerintah Daerah atau Perumnas. yang akan dibangun berupa rumah susun yang Tabel. Estimasi mekanisme wakaf produktif terdiri dari unit hunian dan unit komersial. KeA. Pendapatan tiga, skema penghunian rumah susun dapat Sewa unit hunian Rp 200.000 x 12 bulan x 192 unit Rp 460.800.000 berbentuk sewa, sewa-beli, dan milik selama 60 tahun dengan bukti kepemilikan berupa SerSewa unit kios Rp 500.000 x 12 bulan x 55 unit Rp 330.000.000 tifikat Kepemilikan Bangunan Gedung (SKBG) Total Rp 790.800.000 satuan unit rumah susun. Keempat, pengeloB. Pengeluaran laan rumah susun akan dilakukan secara profePengurus Rp 3.000.000 x 12 bulan x 8 orang Rp 288.000.000 sional, sehingga pendapatan dari penyewaan/ Utilitas bersama Rp 5.000.000 x 12 bulan Rp 60.000.000 penjualan unit hunian/komersial dapat dimanMaintenance gedung 1% x Rp 35,8 miliar Rp 358.000.000 faatkan untuk pengelolaan bangunan atau peTotal Rp 706.000.000 manfaatan wakaf lainnya untuk kesejahteraan Selisih (A-B) Rp 84.800.000 umat. Sumber : Data perhitunganBappenas, 2015 Pengembangan model pendayagunaan tanah wakaf ini masih berlanjut. Terdapat tiga isu utama yang Ketiga, peraturan operasional dari Kementerian PU-PR perlu didiskusikan dan ditindaklanjuti antara lain: Pertama, diperlukan sebagai ruang gerak dan dasar hukum dalam bentuk kerjasama yang dapat mewadahi “kepentingan� implementasi wakaf produktif. Beberapa komponen yang antara Kementerian PU-PR, Pemerintah Daerah, dan nadzhir perlu dimasukkan dalam aturan tersebut antara lain skema perlu dirumuskan. Salah satu komponen yang diatur ada- peruntukan campuran (untuk hunian dan komersial), tilah mekanisme penghunian yang dapat memastikan pen- pologi rusun, bentuk serah terima aset, bentuk pengelolaan capaian target penyediaan hunian oleh pemerintah dapat serta penghunian rusun. terpenuhi tanpa mengesampingkan kesejahteraan nadzhir Model pendayagunaan tanah wakaf diharapkan menjadan kemaslahatan umat. Selain itu, penentuan harga sewa di solusi penyediaan hunian bagi MBR. Kedepannya, model baik unit hunian maupun komersial akan mempertimbang- ini akan menjadi program nasional yang didukung penuh kan aspek keterjangkauan serta faktor kekakuan harga (price oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah, swasta dan stickiness) dalam sepuluh tahun mendatang. masyarakat.Tidak hanya melalui APBN, pendanaan sumber Kedua, mekanisme aset bangunan dari pemerintah lainnya juga akan dioptimalkan, antara lain pendanaan dari pusat kepada nadzhir membutuhkan mekanisme khusus BUMN, swasta, wakaf tunai, sukuk dan lain-lain. SUMBER FOTO: ISTIMEWA
91
Selamat dan Sukses
Pencanangan Program Sejuta Rumah &
HUT BTN ke 65 HUT REI ke 43 HUT Bapertarum PNS ke 22 Hari Otonomi Daerah ke 19
92
Profil Edisi 5 - 2015
SUMBER FOTO-FOTO: PORTAL PETARUNG
S
alah satu isu utama dalam penyelenggaraan penataan ruang saat ini adalah masih rendahnya pemahaman para pemangku kepentingan terhadap berbagai aspek penyelenggaraan penataan ruang. Dibutuhkan upaya bersama, tidak hanya pemerintah tetapi seluruh elemen penyelenggara penataan ruang untuk mengomunikasikan hal mendasar terkait penataan ruang. Salah satu contoh keterlibatan elemen masyarakat dalam upaya meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap pentingnya tata ruang dapat ditemui di Yogyakarta. Komunitas ini memilih nama Pemuda Tata Ruang (PETARUNG). Diinisiasi oleh 15 mahasiswa Magister Perencanaan Kota dan Daerah Universitas Gajah Mada (MPKD-UGM) pada tahun 2012, dimaksudkan untuk menyatukan kekuatan para pemuda yang peduli terhadap perkembangan wilayah dan kota di Yogyakarta dan Indonesia. Selain itu, keberadaan PETARUNG diharapkan dapat memberi sumbangsih bagi meningkatnya kesadaran masyarakat akan pentingnya penataan ruang. Secara resmi, PETARUNG didirikan pada tanggal 20 Desember 2012 Visi utama PETARUNG ialah memasyarakatkan tata ruang dan menata ruang untuk masyarakat. Strateginya mencakup (i) melakukan riset dan
diskusi yang berkaitan dengan penataan ruang; (ii) menyebarkan isu dan menjaring opini masyarakat mengenai penataan ruang melalui jaringan media; (iii) melakukan sosialisasi isu penataan ruang kepada masyarakat; (iv) membangun kepedulian ruang melalui program pemberdayaan masyarakat; (v) menjalin kemitraan dengan berbagai pihak untuk mewujudkan kesadaran masyarakat tentang peran penting penataan ruang. PETARUNG terlibat aktif dalam upaya membangun kesadaran masyarakat. Terbukti dari keterlibatan aktif mereka dalam media sosial baik situs, maupun twitter. Situs PETARUNG yang beralamat di pemudatataruang.org terlihat cukup menarik dan menggambarkan aktifitas PETARUNG selama ini. Bahkan aktifitas mereka terlihat lebih aktif melalui twitter (https://twitter.com/petarungkota). PETARUNG juga terlihat pernah menerbitkan buletin berjudul BATARA (Buletin Tata Ruang) pada tahun 2013. Walaupun kemudian tidak berlanjut. Keberadaan Pemuda Tata Ruang yang dikenal sebagai PETARUNG di Yogyakarta ini dapat menjadi contoh keterlibatan pemangku kepentingan di luar pemerintah dalam upaya peningkatan kesadaran masyarakat terhadap pentingnya tata ruang. Pemerintah dan pemerintah daerah seyogyanya menjadikan komunitas seperti PETARUNG ini sebagai mitra kerja. Dengan demikian, upaya yang telah diinisiasi oleh masyarakat tetap berkelanjutan (OM)
93
Agenda
H
Hari Bumi
April. Idenya berasal dari seorang senator Amerika Serikat dari Wisconsin, Gaylord Nelson yang menyaksikan betapa kotor dan cemarnya bumi oleh ulah manusia. Gaylord mengambil prakarsa untuk mencurahkan satu
bergabungnya generasi pe(bagian terbesar adalah pelajar, mahasiswa, sarjana) yang terkenal sebagai hak-hak sipil yang radikal. Sebuah perkawinan antara pem-
Gagasan Nelson mendapat dukungan yang mencengangkan dari masyarakat sipil. Dukungan ini terus membesar dan memuncak dengan menggelar peringatan HARI BUMI yang monumental pertama kali pada tanggal 22 April tahun orang turun ke jalan pada tanggal tersebut. Mereka berdi New York dengan
Hari Bumi yang pertama ini di Amerika Serikat merupakan untuk mendesak masuk isu lingkungan sebagai agenda tetap nasional. Kini peringatan Hari Bumi telah menjadi sebuah periskan diri dalam jaringan global masyarakat sipil untuk Hari Bumi yakni
dan San Fransisco. Menurut berbagai analisis, ledakan ini muncul karena
Hari Lingkungan Hidup
H
ari Lingkungan Hidup Sedunia pertama kali dicetus-
rangkaian kegiatan lingkungan dari dua tahun sebeson menyaksikan betapa kotor dan cemarnya bumi oleh ulah manusia. Ia mengambil prakarsa bersama dengan LSM untuk
mencurahkan satu hari bagi usaha penyelamatan bumi dari kerusakan. Hari Lingkungan didasarkan dari Konferensi PBB mengenai Lingkungan hidup yang diselenggarakan pada dalam konferensi tersebut dengan hadirnya Prof. Emil Salim yang pada saat itu menjabat sebagai Kepala Bappenas. (OM)
SUMBER FOTO: ISTIMEWA
Kaitan Hari Bumi dan Hari Lingkungan Hidup
D
i Indonesia, Hari Bumi 22 April masih kurang dikenal dibandingkan Hari Lingkungan Hidup tanggal 5 Juni. Secara prinsip tidak ada perbedaan mendasar antara Hari Bumi dan Hari Lingkungan Hidup. Hari Bumi diprakarsai oleh masyarakat dan diperingati terutama oleh LSM lingkungan. Hari Lingkungan Hidup bersifat lebih resmi dan diperingati oleh pemerintah dan masyarakat. Tujuan keduanya sama yaitu menggugah kepedulian manusia dan masyarakat pada lingkungan hidup.
94
Edisi 5 - 2015
Hari Air Dunia 22 Maret 2015
“Water and Sustainable Development” “Air dan Pembangunan Berkelanjutan” Manusia Butuh Air
H
ari Air Dunia atau World Water Day merupakan peringatan yang ditujukan untuk menarik perhatian masyarakat dunia akan pentingnya air bagi kehidupan serta untuk melindungi pengelolaan sumber daya air secara berkelanjutan. Setiap tahun peringatan Hari Air Dunia memiliki tema dan logo tersendiri yang ditetapkan PBB. Hari Air Sedunia dicetuskan kali pertama saat digelar United Nations Conference on Environment and Development (UNCED) atau Konferensi Bumi oleh PBB di Rio de Janeiro pada tahun 1992. Pada Sidang Umum PBB ke-47 pada tanggal 22 Desember 1992, secara resmi diluncurkan Resolusi Nomor 147/1993 yang menetapkan peringatan Hari Air Dunia setiap tanggal 22 Maret dan diperingati pertama kali tahun 1993. Pada tahun 2015, PBB menetapkan tema “Water and Sustainable Development“ (Air dan Pembangunan Berkelanjutan) yang menyoroti pentingnya air dalam agenda pembangunan berkelanjutan.
Tema Hari Air Dunia 1994: Caring for Our Water Resources is Everyone’s Business (Peduli akan Sumberdaya Air adalah Urusan Setiap Orang) 1995: Water and Woman (Wanita dan Air) 1996: Water for Thirsty City (Air untuk Kota-kota yang Kehausan) 1997: The World’s Water: is There Enough? (Air Dunia: Cukupkah?) 1998: Groundwater – the Invisible Resource (Air Tanah Sumber Daya yang Tak Terlihat) 1999: Everyone Lives Downstream (Setiap Orang Tinggal di Bagian Hilir) 2000: Water for 21st Century (Air untuk Abad ke-21) 2001: Water for Health (Air untuk Kesehatan) 2002: Water for Development (Air untuk Pembangunan) 2003: Water for Future (Air untuk Masa Depan) 2004: Water and Disasters (Air dan Bencana) 2005: Water for Life (Air untuk Hidup) 2006: Water and Culture (Air untuk Budaya) 2007: Coping with Water Scarcity (Mengatasi Kelangkaan Air) 2008: Sanitation (Sanitasi) 2009: Waters Shared Opportunities (Air Bersama, Peluang Bersama) 2010: Clean Water for a Healty World (Air Bersih Untuk Dunia Sehat) 2011: Water for Cities, Responding to The Urban Challenge (Air Perkotaan dan Tantangannya) 2012: Water and Food Security (Air dan Ketahanan Pangan) 2013: International Years of Water Cooperation (Tahun Kerjasama Air Internasional) 2014: Water and Energy (Air dan Energi) sumber: http://www.unwater.org/worldwaterday
Air adalah syarat utama pembangunan keberlanjutan. Sumberdaya air, dan layanannya mendukung pengurangan kemiskinan, pertumbuhan ekonomi, dan keberlanjutan lingkungan. Mulai dari makanan dan ketersediaan energi untuk kesehatan lingkungan dan manusia, air berkontribusi memperbaiki kehidupan sosial, dan memengaruhi milyaran kehidupan manusia Air adalah kesehatan. Air faktor penting bagi kesehatan manusia. Manusia bisa hidup tanpa makanan berhari-hari tapi hanya bisa hidup sehari tanpa air. Air penting bagi keselamatan manusia. Mencuci tangan cara terbaik menghilangkan bakteri dan menghindari penyebarannya. Air adalah alam. Ketersediaan air bergantung pada keberfungsian ekosistem. Mengenali siklus air menjadi penting untuk mencapai pengelolaan air berkelanjutan. Kenyataannya, air belum dipandang bernilai penting dalam pelaksanaan pembangunan. Sehingga terjadi degradasi ekosistem dan ketidakberlanjutan sumberdaya air. Air adalah urbanisasi. Setiap minggu, sejuta penduduk dunia berpindah ke kota. Pada saat anda selesai membaca artikel ini, 4 penduduk dunia telah berpindah ke kota. Sekitar 93% urbanisasi terjadi di Negara berkembang. Sekitar 2,5 milyar penduduk dunia akan berpindah ke kota sampai tahun 2050. Dibutuhkan tambahan air yang sangat banyak untuk memenuhi kebutuhan domestik penduduk perkotaan. Air adalah industri. Lebih banyak air digunakan untuk menghasilkan sebuah mobil daripada mengisi sebuah kolam renang. Setiap industri membutuhkan air. Sekitar 10 liter air dibutuhkan untuk menghasilkan selembar kertas. Sementara dibutuhkan 91 liter air untuk menghasilkan 500 gram plastik. Air adalah energi. Keduanya tidak terpisahkan. Air dan energi adalah mitra alamiah. Air dibutuhkan ubtuk menghasilkan energy. Sebaliknya energi dibutuhkan untuk mendistribusikan air. Sekitar 80% pembangkit listrik dihasilkan dari ‘thermal electricity’. Air dipanaskan untuk menghasilkan uap untuk menjalankan pembangkit listrik. Air adalah Makanan Menghasilkan 1 kilo beras dibutuhkan 3.500 liter air. Sementara dibutuhkan 15.000 liter air untuk 1 kilo daging sapi. Dibutuhkan 100 liter air untuk menghasilkan 1 kalori. Pertanian merupakan pengguna air terbesar, mencapai 70% dari seluruh kebutuhan air dunia. Air adalah kesetaraan. Setiap hari wanita khususnya di Negara berkembang menghabiskan 200 jam untuk mencari dan mengangkut air, yang berarti menghabiskan sekitar 25% dari waktunya. Wanita kehilangan peluang memanfaatkan waktunya untuk kegiatan yang lebih produktif. (OM)
95
Agenda
Puncak Peringatan HUT REI ke-43 di Pontianak
“Bersatu Menapak Indonesia Baru” R eal Estat Indonesia (REI) menggelar peringatan HUT REI ke-43 tahun di Pontianak, Kalimantan Barat. Acara yang berlangsung selama empat hari (20-23/3) yang diisi dengan berbagai kegiatan ini mengusung tema “Bersatu Menapak Indonesia Baru”. “REI mendukung program pemerintah baru dalam bidang pembangunan perumahan rakyat dan kawasan permukiman. Pemerintah sebagai regulator juga diharapkan untuk serius dan betul-betul memiliki political will yang jelas terkait penyediaan hak bermukim, sesuai amanat konstitusi,” ujar Eddy Hussy, Ketua Umum DPP REI. Lebih lanjut Eddy mengatakan, pemerintah baru diharapkan dapat menyatukan kebijakan pusat dengan daerah atau satu daerah dengan daerah lainnya. “Apabila telah bersatu akan terjadi sinkronisasi regulasi demi terciptanya tujuan pembangunan perumahan dan kawasan permukiman bisa terjadi semakin baik di masa mendatang,” kata Eddy. REI menargetkan akan berkontribusi untuk pembangunan sejuta rumah yang dicanangkan pemerintah sebesar 217.725 rumah tapak dan 30.000 rumah susun untuk tahun 2015 Sementara itu Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (Menpupera) Basuki Hadimuljono kembali menegaskan pentingnya peran serta seluruh pemangku kepentingan terkait perumahan untuk menyukseskan Program Sejuta Rumah ini, salah satunya adalah dari sektor swasta. “Program Sejuta Rumah tidak akan bisa terwujud bila tidak ada sinergi dari stakeholder yang bersatu untuk merealisasikannya. Karena itu peran pengembang yang tergabung di asosiasi Real Estat Indonesia (REI) menjadi sangat penting,” ujar Basuki di depan pengembang. Salah satu program yang dikeluarkan pemerintah untuk mempercepat realisasi pembangunan sejuta rumah per tahun ini antara lain bantuan uang muka sebesar Rp.4 juta per orang, subsidi bunga melalui skema fasilitas likuiditas pembiayaan
SUMBER FOTO-FOTO: HUDMAGZ
2
3 96
perumahan (FLPP) sehingga masyarakat hanya membayar bunga KPR 5 persen (sebelumnya 7,25 persen), juga uang muka yang hanya 1 persen dari sebelumnya 5 persen. Pemerintah sendiri menargetkan akan membangun sebanyak 600 ribu untuk tahun ini khusus untuk kalangan masyarakat berpenghasilan rendah (MBR). Basuki berharap anggaran untuk ini sudah bisa dicairkan sehingga ground breaking sejuta rumah bisa segera dilakukan pada awal bulan April 2015. “Untuk bantuan uang muka pemerintah sudah menganggarkan Rp.220 miliar dari APBN-P 2015. Melalui kemudahan ini semoga kalangan MBR bisa lebih mudah mengakses rumah yang layak. Kami juga sedang menunggu revisi PP untuk Perumnas yang dikembalikan ke fungsi awalnya untuk penyediaan hunian kalangan MBR. Nantinya tanah-tanah idle milik kementerian akan kita serahkan ke Perumnas untuk dibangun hunian murah,” imbuhnya. Foto 1: Puncak Perayaan HUT REI ditandai dengan pemotongan tumpeng oleh Gubernur Kalimantan Barat disaksikan oleh Kemenpupera, Ketum DPP REI dan segenap pengurus DPP dan DPD REI seluruh Indonesia Foto 2: Menpupera menyampaikan sambutannya diantara pengurus DPP dan DPD REI seluruh Indonesia. Foto 3: Sekretaris Jenderal DPP REI, Hari Raharta didampingi Ketua Umum DPP.
1
Edisi 5 - 2015
SUMBER FOTO-FOTO: HUDMAGZ
Dua Menteri Kabinet Kerja Hadiri Peringatan HUD Institute Ke-4
A
da yang berbeda dari peringatan hari lahir ke-4 Lembaga Pengkajian Pengembangan Perumahan dan Kawasan Perkotaan Indonesia (LPP3I) atau lebih dikenal dengan nama The Housing and Urban Development (HUD) Institute pada Rabu (14/1/15). Kegiatan yang diisi dengan diskusi nasional tersebut dihadiri oleh dua orang Menteri Kabinet Kerja. Mereka adalah Adrinof Chaniago, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) dan Basuki Hadimuljono, Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat. Pada kesempatan tersebut juga hadir sejumlah mantan menteri perumahan rakyat, yaitu M. Yusuf Asy’ari, dan Theo Sambuaga. Turut hadir pula Ahmed Zaki Iskandar (Bupati Tangerang), Direktur Perumnas, serta sejumlah pemangku kepentingan terkait seperti perbankan, asosiasi, dan lainlain. Dalam sambutannya, Adrinof mengatakan bahwa besarnya angka kekurangan pasokan rumah di Indonesia saat ini sangat memprihatinkan. “Harus cepat ada terobosan. Tidak boleh berlarut-larut,” ucapnya. Menurutnya, apabila pemerintah gagal menyiapkan
perumahan untuk rakyat, ini salah satu indikator kegagalan pembangunan pemerintah saat ini. Sementara itu, Basuki meminta HUD tetap memberikan kajian yang bernas bagi seluruh kelompok sasaran masyarakat. “Apa yang sebaiknya dilakukan pemerintah, HUD jauh lebih paham karena diisi oleh sumberdaya yang memang sudah berpengalaman. Kasih kami input dan bersama-sama kita bangun rumah untuk seluruh rakyat,” pintanya.
97
Serba Serbi
5 Kota Terbersih di Dunia 2015
T
ingginya angka polusi dan kurangnya ruang terbuka hijau, membuat tempat tinggal yang kita cintai jadi kurang nyaman ditambah dengan macet makin menambah keruwetan di Ibukota. Jakarta sebagai ibu kota negara harus berlajar dari kota-kota modern yang mampu menunjang aktifitas masyarakatnya namun tetap menjaga kebersihan lingkungan. Tingkat kesadaran tertinggi untuk selalu menjaga kebersihan harus dimulai dari diri sendiri, hal ini akan menimbulkan pola hidup sehat dan menambah tingkat kesejahteraan di masyarakat. Berikut adalah 5 kota terbersih di dunia 2015;
Minneapolis
Minneapolis – Amerika Serikat
Minneapolis dinobatkan sebagai kota terbersih di Amerika Serikat oleh majalah Forbes. Kota ini pemerintahnya menerapkan larangan merokok di tempat umum sehingga penduduknya dapat bernafas lega dan tetap sehat tanpa gangguan asap rokok. Pemerintah juga membangun jalur sepeda untuk mengurangi jumlah kendaraan sehingga mengurangi polusi udara, tanaman hijau juga banyak tumbuh dan kerap dimanfaatkan untuk bersantai bagi warganya. Kota ini juga memiiliki fasilitas danau dan kolam ikan di taman-taman kota.
SUMBER FOTO-FOTO: ISTIMEWA
Calgary
Calgary – Canada
Ada di peringkat pertama, Calgary merupakan kota yang terletak di antara pegunungan dan sungai. Tak heran apabila udara disana terkenal sejuk dan segar, serta tingkat polusi yang rendah disana membuat kota ini sangat layak untuk dihuni. Kota yang berpenduduk 1 juta jiwa ini merupakan kota industri penghasil limbah industri namun karena program pemerintah dan kesadaran yang tinggi akan kebersihan pada masyarakatnya membuat kota ini dinobatkan menjadi kota terbersih no. 1 didunia.
Kobe
Kobe – Jepang
Jepang terkenal dengan budaya disiplin dan dan memiliki rasa tanggung jawab yang tinggi dan banyak kota di negara tersebut yang mempunyai lingkungan yang bersih dan sehat. Kobe merupakan kota besar di Jepang yang memiliki drainase terbaik didunia, yang hasil pembuangan limbahnya tidak dibuang ke sungai melainkan ke sebuah penampungan saluran khusus. Sistem ini membuat aliran sungai tetap terjaga bersih. Meskipun disibukkan dengan pekerjaan penduduk kota ini tetap diajarkan untuk mengapresiasi dan menjaga tanah mereka. Tak heran Kobe masuk kedalam 5 besar kota terbersih didunia.
Kopenhagen – Denmark
Honolulu
Honolulu – Hawai
Di no 2 terdapat di kepulauan Hawai tepatnya di kota Honolulu, merupakan objek wisata yang terkenal akan pariwisatanya. Honolulu berhasil menjaga kebersihan sehingga banyak wisatawan yang datang kesana. Hal ini dapat terlihat dari banyaknya tumbuhan hijau dan bunga-bunga indah yang ditanam di penjuru kota membuat kota ini memiliki pemandangan spektakuler dan masuk kedalam salah satu kota terbersih didunia. Pemerintah disana juga menyediakan tempat sampah hampir di seluruh sudut kota dan membangun sistem pembuangan sampah yang baik.
Kopenhagen menjadi salah satu pusat kota budaya di Denmark, selain menjadi kota paling hijau di dunia kota ini juga mendapat predikat kota terbersih di Eropa. Hal tersebut berdasarkan hasil survey yang dilakukan secara pro aktif dari wisatawan berbagai dunia. Kopenhagen termasuk kedalam kota terstruktur dengan baik dan nilai layanan paling tinggi, kesadaran pemerintah dan masyarakat setempat untuk selalu menjaga kota tetap bersih dan terbebas dari polusi. Hal ini dapat dilihat dari kebiasaan penduduknya yang lebih memilih bersepeda atau berjalan kaki untuk beraktifitas. Copnhagen Demikian info terkait 5 kota terbersih didunia 2015 . Semoga kota tercinta kita meniru kotakota tersebut dan kita sebagai masyrakat khususnya yang berada di Jakarta dapat selalu sadar akan kebersihan lingkungan dan menjaga udara kota terbebas dari polusi udara. (OM) sumber: http://bisnisando.com
98
Serba Serbi Edisi 5 - 2015 SUMBER FOTO-FOTO: ISTIMEWA
6. Moskow, Rusia
1. Jakarta, Indonesia
Ibukota Indonesia ini dinobatkan sebagai kota termacet di dunia. Rata-rata setiap tahunnya pengemudi kendaraan di Jakarta mengalami 33.240 start-stop alias kemacetan. Catatan ini tidak mengherankan mengingat pembangunan infrastruktur tidak sebanding dengan pertumbuhan populasi kendaraan yang saat ini menurut Polda Metro mencapai 21 juta di Jakarta.
2. Istanbul, Turki
Ibukota Turki kebanjiran 30.000 mobil baru setiap bulan. Menurut data statistik, satu dari lima orang di Istanbul memiliki kendaraan bermotor. Tidak heran kota metropolitan di antara dua benua ini menduduki peringkat kedua dalam daftar kota termacet di dunia. Selama setahun setiap pengemudi di Istanbul harus berhenti sebanyak 32.520 kali karena kemacetan.
Kecepatan rata-rata kendaraan di Moskow tercatat maksimal 3 kilometer/jam. Serupa dengan Jakarta, ibukota Rusia ini kewalahan menghadapi ledakan pembelian kendaraan yang melonjak dalam satu dekade terakhir. Kendati memiliki sistem transportasi yang memadai, Moskow tertinggal dalam urusan pembangunan infrastruktur. Menurut pemerintah kota, ruas jalan yang ada cuma mampu menampung 30% kendaraan.
7. Roma, Italia
Sejak bertahun-tahun kota Roma di Italia mencoba mengatasi masalah lalulintas berupa minimnya jumlah transportasi publik dan rasio kendaraan bermotor per kapita yang tertinggi kedua di Italia. Negeri di selatan Eropa itu sendiri tercatat sebagai negara dengan tingkat kepadatan kendaraan tertinggi di dunia. Terdapat nyaris 600 kendaraan bermotor untuk setiap 1.000 penduduk Italia.
8. Bangkok, Thailand
Kebijakan bekas PM Takhsin Shinawatra yang memangkas pajak buat pembeli kendaraan baru turut menambah runyamnya kondisi lalulintas di Bangkok. Sejauh ini kota berpenduduk sekitar 14 juta jiwa itu memiliki hampir delapan juta kendaraan. Castrol Index mengklaim setiap pengemudi di Bangkok menghabiskan 36 persen dari waktu perjalanan terjebak di tengah kemacetan.
9. Guadalajara, Meksiko.
3. Mexico City, Meksiko
Sebanyak empat juta kendaraan bermotor lalu lalang di kota Mexico City setiap harinya. Tidak heran jika kota ini juga dianggap sebagai salah satu kota dengan polusi udara terburuk di dunia. Dalam Castrol Index, pengemudi di Mexico City mengalami 30.840 stop dan start setiap tahun.
Menurut Castrol Index, pengemudi di Guadalajara mengalami 24.840 start-stops per tahun. Artinya lebih dari 30% waktu perjalanan dihabiskan di tengah kemacetan. Guadalajara mencatat rasio kepemilikan kendaraan terbesar di Meksiko. Tercatat satu dari empat orang di kota ini memiliki mobil atau motor. SUMBER FOTO-FOTO: ISTIMEWA
4. Surabaya, Indonesia
Surabaya mencatat 4,5 juta kendaraan dengan penambahan sekitar 17.000 kendaraan baru setiap bulannya. Penyebab kemacetan terbesar di ibukota provinsi Jawa Timur ini adalah motor yang jumlahnya mencapai 3,6 juta unit. Jika melihat pertumbuhan jumlah populasi kendaraan yang mencapai 209.000 unit per tahun, dalam lima tahun ke depan situasi lalulintas Surabaya akan memasuki kondisi kritis.
5. St. Petersburg, Rusia
St. Petersburg sejatinya memiliki sistem transportasi publik yang sangat memadai. Sekitar 2,5 juta penumpang tercatat menggunakan layanan kereta bawah tanah, Metro, setiap harinya. Dengan jumlah penduduk yang berkisar lima juta, angka tersebut sebenarnya sudah sangat baik. Tapi tingginya angka lalulintas pegawai yang tinggal di luar kota membuat padat jalan di St. Petersburg
10. Buenos Aires, Argentina
Dari tiga juta penduduk Buenos Aires, tercatat dua juta kendaraan yang berlalu lalang di jantung kota setiap harinya. Castrol Index mengklaim setiap pengemudi di ibukota Argentina ini mengalami 23.760 start-stops setiap tahunnya. (OM, dari berbagai sumber)
99
Selamat dan Sukses Pencanangan Program Sejuta Rumah &
HUT BTN ke 65 HUT REI ke 43 HUT Bapertarum PNS ke 22 Hari Otonomi Daerah ke 19
100
Hukum Edisi 5 - 2015
Bank Tanah untuk Perumahan Rakyat S
SUMBER FOTO-FOTO: ISTIMEWA
elain makhluk sosial (zoon politicon), kodrati manusia tukan/penggunaan (use), persediaan (reservation), pemeliadalah “makhluk bermukim”, menempati ruang dan haraan (maintenance), hubungan hukum orang dengan tatempat tinggal. Selagi hunian tempat tinggal alias nah, perbuatan hukum mengenai tanah [vide Prof.Dr.AP. rumah bertumpu di tanah, maka tanah menjadi ihwal ter- Parlindungan,SH., “Komentar atas UUPA”]. Pada asaspenting dalam perumahan rakyat. Namun, de facto, tanah nya Negara bukan pemilik tanah. Prinsip itu berasal dari mahal dan terjerembab ke dalam mekanisme pasar yang Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 bahwa “Bumi dan air dan gagal. Khususnya di perkotaan dan kawasan komersil, har- kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh ga tanah melambung. Kapitalisasi nilai tanah melampaui negara ...”. Itulah dasar HMN dalam UUPA. rasionalitas hukum penawaran permintaan. Ada spekulasi Dengan HMN itu, menciptakan wewenang untuk: (1) dan “gorengan” harga yang nir-etis. Mengatur dan menyelenggarakan penyelenggaraan perunAkibatnya, eskalasi harga rumah rakyat dan rumah ko- tukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, mersil tidak terkendali. Apalagi belum ada badan penyangga air dan ruang angkasa. (2) Menentukan dan mengatur penyedia pasokan rumah rakyat, seperti Bulog menyangga hubungan-hubungan hukum antara orang dengan bumi, ketersediaan dan harga sembako. Karenanya perlu penye- air dan ruang angkasa, (3) Menentukan dan mengatur diaan tanah untuk kepentingan perumahan rakyat. Bank hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan pertanah untuk perumahan rakyat mutlak diperlukan. buatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan Ihwal hukum tanah, pasti bertemali Undang-Undang ruang angkasa. Pokok Agraria (UUPA). Hukum yang mengatur pertaJika merujuk Pasal 14 ayat (1) UUPA, terdapat penahan, bertumpu pada “aturan pokok” yang diagungkan rintah membuat rencana umum persediaan, peruntusebagai pemutus hegemoni hukum agraria (agrarish wet) kan, dan penggunaan tanah, yakni: (1) untuk keperluan produk kolonial Hindia Belanda. Apa ihwal yang membe- negara, (2) untuk keperluan peribadatan, (3) untuk keperdakan UUPA dengan Agrarish Wet buatan Belanda? luan pusat-pusat kehidupan masyarakat, sosial, kebudayHal penting UUPA yang membedakan aan, dan lain-lain kesejahteraan, (4) untuk dengan prinsip penguasaan tanah zaman keperluan memperkembangkan produksi Di asuh oleh penjajahan adalah konsep Hak Menguasai pertanian, peternakan, dan perikanan dan Muhammad Joni Negara (HMN). Dengan HMN memberi yang sejalan dengan itu, (5) untuk keperManaging Partner wewenang mengatur (regulate; bestemming), luan memperkembangkan industri, transLaw Office Joni & Tanamas, dan menyelenggarakan (execution). migrasi dan pertambangan. Email: mhjonilaw@gmail.com Mengatur apa? Mengatur ihwal perunMari periksa. Kua yuridis formal Pasal
101
Hukum 14 ayat (1) UUPA, tidak eksplisit menyebut persediaan, peruntukan, dan penggunaan tanah untuk perumahan dan permukiman. Oleh karena itu, beralasan jika harmonisasi norma yang menambahkan persediaan, peruntukan, dan penggunaan tanah untuk perumahan dan permukiman. Dasarnya mengacu Pasal 28H ayat (1) UUD 1945. Hal ini untuk mengisi/melengkapi ketentuan Pasal 14 ayat (1) UUPA yang hanya menyebut “keperluan negara”, mesti dimaknai termasuk keperluan negara untuk perumahan rakyat. Pun demikian bisa diharmonisasi ke dalam norma/frasa “untuk keperluan pusat kehidupan masyarakat” dan norma/frasa “untuk keperluan memperkembangkan industri”, dalam hal ini industri properti. Di luar ketentuan Pasal 14 UUPA, harmonisasi itu berguna melengkapi/sinkronisasi UU No.2/2012 (Pasal 10). Urgensi Bank Tanah Gagasan pembentukan kelembagaan bank tanah sebagai institusi penyedia tanah untuk perumahan rakyat, harus melegalisasi persediaan tanah untuk perumahan rakyat. Walaupun tidak dinormakan eksplisit dalam Pasal 141 UUPA, namun secara substansi hukum tidak ada halangan karena dapat merujuk ketentuan Pasal 105 UU No.1 /2011 (“UU PKP”). Karena itu sangat beralasan jika menambahkan frasa “wajib” bagi negara menyediakan tanah untuk perumahan rakyat dalam ketentuan Pasal 105 ayat (1) UU PKP. Agar konsisten dengan frasa “wajib” dalam Pasal 54 ayat (1) UU PKP yang berbunyi “Pemerintah wajib memenuhi kebutuhan rumah bagi MBR”.
102
Mengapa wajib penyediaan tanah untuk perumahan rakyat? Itu amanat Pasal 28H ayat (1) UUD 1945. Juga, Pasal 40 UU Nomor 39/1999 menegaskan hak bertempat tinggal sebagai HAM. Lebih tegas lagi, Pasal 54 ayat (2) UU PKP mewajibkan pemerintah dan/atau pemda memberi bantuan dan kemudahan. Digenapkan ayat (3) yang menerakan secara limitatif kemudahan dan/atau bantuan bagi MBR, termasuk: (f ) penyediaan tanah. Pengaturan lebih lanjut mengenai penyediaan tanah untuk PKP diatur dalam Bab IX Penyediaan Tanah. Selain alasan yuridis konstitusional, juga adanya alasan sosiologis bahwa saat ini sudah dalam keadaan darurat perumahan rakyat, angka backlog mencapai 15 juta dan 3,4 juta unit rumah tidak layak huni. Penyediaan tanah untuk perumahan rakyat memiliki justifikasi yang kuat. Landasan konstitusionalnya mengacu Pasal 28H ayat (1), Pasal 33 ayat (3) UUD 1945. Secara normatif, dasarnya bisa dipakai Pasal 54 ayat (3) huruf f, Pasal 105 UU PKP, dan Pasal 10 huruf o UU No. 2/2012, walaupun hanya untuk rumah MBR status sewa. Karenanya sudah banyak dasar hukum untuk membuat lembaga publik bank tanah untuk perumahan rakyat. Kewenangan siapa? Bank tanah itu salah satu ihtiar melaksanakan kewajiban pemerintah dan pemda menyediakan rumah bagi MBR. Pengadaannya dilakukan Pemerintah, dengan status kepemilikannya oleh Pemerintah Pusat dan Pemda (Pasal 11 ayat (1) UU No.2/2012), atau BUMN (Pasal 11 ayat (2) UU No.2/2012). Tak hanya menguasai tanah, namun bisa berkembang pada mandat lebih rinci yang untuk mengatasi backlog dan dekomoditifikasi tanah. Untuk maksud itu, Bank Tanah bisa dikemas menjalankan fungsi penghimpun tanah (land keeper), pengaman tanah (land warantee), pengendali penguasaan tanah (land purchaser), pengelola tanah (land management), penilai tanah (land appraisal), penyalur tanah (land distributor), dan tentunya pengendali harga tanah. Bahkan diberikan hak prioritas membeli tanah (preemption rights) seperti di Prancis. Preemption rights itu juga diamini Parwoto, pakar perumahan komunitas. Untuk keperluan itu, sumber tanah bisa dari tanah terlantar, tanah aset pemerintah dan pemda, tanah fasos/ fasum atau PSU, tanah ex-kewajiban redistribusi pengembang perumahan, tanah aset BUMN/BUMD, tanah sitaan, ataupun dengan pengadaan tanah. Siapkah pemerintah menyegerakan lembaga publik Bank Tanah? Yang pasti RPJMN 2015-2019 sudah memasukkan pembentukan kelembagaan bank tanah. Termasuk bank tanah untuk perumahan rakyat. “Bank tanah segera dimulai tahun 2015 ini”, demikian Menteri Ferry Mursyidan Baldan. Untuk dekomoditifikasi tanah yang tidak rasional.
Info Buku
Bank Tanah B
erkaca pada pengalaman pelaksanaan pembangunan bagi kepentingan umum skala besar, salah satu kendala utama adalah ketersediaan tanah. Banyak proyek pemerintah skala besar, sebut saja diantaranya jalan tol, dan waduk, yang terbengkalai karena kesulitan dalam pembebasan tanah. Pemerintah telah menerbitkan UU Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah untuk Pembangunan bagi Kepentingan Umum berikut peraturan turunannya yang ternyata juga belum dapat menyelesaikan keseluruhan masalah. Akar masalah adalah bahwa regulasi yang ada masih bersifat reaktif. Jadi penyediaan tanah masih bersifat jangka pendek, sehingga mengundang terjadinya spekulasi tanah oleh pihak lain. Untuk itu, alternatif lain perlu dipertimbangkan, berupa konsep Bank Tanah. Konsep ini menjadi menarik karena bersifat jangka panjang, menyediakan tanah jauh mendahului dimulainya pelaksanaan kegiatan pembangunan bagi kepentingan umum. Selain itu, manfaat dari penerapan Bank Tanah diantaranya menjadi sarana pemanfaatan tanah secara efisien. Konsep Bank Tanah secara resmi telah menjadi kebijakan pemerintah sebagaimana tercantum dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2015-2019 terkait subbidang Pertanahan. Bahkan telah dengan jelas dicantumkan bentuk regulasi dan lembaga pengelolanya. Namun konsep Bank Tanah masih belum sepenuhnya dipahami. Kehadiran buku dengan judul yang singkat ini seperti menjadi jawaban terhadap upaya memahami Bank Tanah secara lebih baik. Pemahaman pembaca setidaknya akan menjadi lebih baik melalui penjelasan tentang konsep pembebasan tanah, konsep dan urgensi Bank Tanah, manfaat Bank Tanah, pengelolaan Bank Tanah, sumber Tanah Bank Tanah. Selain itu, keterkaitan dengan tata ruang menjadi bagian yang menarik. Disamping juga pengalaman penerapan Bank Tanah di mancanegara bisa membantu lebih memahami penerapan Bank Tanah di Indonesia. Hal menarik dari materi buku ini adalah keyakinan penulis bahwa konsep Bank Tanah dapat dilaksanakan di Indonesia. Keyakinan penulis ini dilandasi pemahaman bahwa Bank Tanah di Indonesia memiliki landasan sosiologis, fiSUMBER FOTO: ISTIMEWA
Edisi 5 - 2015 Judul: Bank Tanah Penulis: Bernhard Limbong Penerbit: Margaretha Pustaka Cetakan: Pertama Juni 2013 Tebal: xxiv + 392 halaman ISBN: 978-602-18773-1-9
losofi ideologis dan konstitusional bahwa tanah menyangkut hajat hidup orang banyak dan hak dasar rakyat. Selain itu, pemerintah mempunyai kewenangan mengatur tata ruang wilayah dan nasional. Selain juga bahwa fungsi, tujuan dan manfaat Bank Tanah sangat positif sebagai instrumen menata penguasaan dan pemanfaatan tanah di Indonesia yang selama ini masih menunjukkan ketimpangan. Penerapan Bank Tanah di Indonesia dapat dilaksanakan melalui 3 (tiga) model yang dapat dilaksanakan yaitu (i) Bank Tanah umum publik yang ditujukan untuk kepentingan pembangunan di masa depan yang bersifat umum, ber skala luas, dan nirlaba. Dicontohkan misalnya untuk pengendalian bencana alam, pertahanan Negara, pengembangan kota, rekonstruksi dan relokasi warga, perluasan lahan pertanian dan reforma agraria; (ii) Bank Tanah khusus publik berskala lebih kecil berorientasi layanan publik sekaligus orientasi laba. Dicontohkan infrastruktur, transportasi, perkebunan, kawasan industri, dan perumahan murah bersubsidi; (iii) bank tanah swasta berorientasi laba. Tentu saja, keberhasilan penerapan Bank Tanah akan sangat tergantung pada political will pemerintah untuk menelorkan regulasi dan kebijakan terutama menyangkut kelembagaan, kewenangan dan pembiayaan Bank Tanah. Namun menyimak visi, misi, kebijakan, dan strategi Pemerintah saat ini, sepertinya perwujudan Bank Tanah di Indonesia tinggal menunggu waktu. Salah satu quick win pemerintah pada tahun 2015 adalah diterbitkannya Perpres tentang Bank Tanah. Selain itu, salah satu indikator kinerja subbidang pertanahan adalah terbentuknya Badan Layanan Umum (BLU) Bank Tanah sebagai lembaga pengelola Bank Tanah. Hal yang sedikit mengganggu bahwa kekurangan dari konsep Bank Tanah tidak secara eksplisit dijelaskan. Tapi terlepas dari itu semua, buku ini sangat membantu memahami Bank Tanah, bahkan meningkatkan keyakinan bahwa Bank Tanah dapat diterapkan di Indonesia. (OM). Data Penulis Dr. Bernhard Limbong S.SOS, S.H., M.H., menamatkan S1 Hukum di Bandung dan S1 Administrasi Negara di Jakarta. Meraih Magister Hukum Bisnis sekaligus memperoleh gelar Doktor Ilmu Hukum (Pertanahan) di Universitas Pajajaran Bandung.
103
Info Regulasi
U
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
ndang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang diundangkan pada tanggal 2 Oktober 2014 telah merubah secara mendasar hubungan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Dengan diberlakukannya UU baru ini, dalam masa 2 (dua) tahun kedepan seluruh perubahan dan peraturan pelaksanaan yang diatur dalam UU No. 23 Tahun 2014 harus ditetapkan. Perubahan mendasar dalam UU No. 23 Tahun 2014 adalah ditetapkannya Urusan Wajib dan Urusan Pilihan untuk Pemerintah Daerah, dan pola hubungan Urusan Konkuren antara Pemerintah Pusat, Provinsi dan Kabupaten/Kota. Penetapan urusan ini diletakkan dalam Lampiran UU No. 23 Tahun 2014 sehingga menjadi bagian tidak terpisahkan, sementara pada UU No. 32 Tahun 2004 ditetapkan melalui PP No. 38 Tahun 2007 yang mengatur hubungan Pemerintah Pusat, Provinsi dan Daerah. Secara garis besar, pengaturan urusan pemerintahan dalam UU 23/2014 terbagi dalam 3 (tiga) bagian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu (i) Urusan Pemerintahan Absolut adalah Urusan Pemerintahan yang sepenuhnya menjadi kewenangan Pemerintah Pusat, seperti politik luar negeri; pertahanan keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional; dan agama; (ii) Urusan Pemerintahan Konkuren adalah urusan pemerintahan yang dibagi antara Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah provinsi dan Pemerintah Daerah kabupaten/kota. Urusan pemerintahan konkuren yang diserahkan ke Daerah inilah menjadi dasar pelaksanaan Otonomi Daerah. Urusan Konkuren dibagi menjadi Urusan Wajib dan Urusan Pilihan. Urusan wajib terdiri dari Pelayanan Dasar dan Non Pelayanan Dasar. Urusan pemerintahan Wajib dan menjadi Pelayanan Dasar ada 6 (enam) urusan, yaitu: pendidikan; kesehatan; pekerjaan umum dan penataan ruang; perumahan rakyat dan kawasan permukiman; ketenteraman, ketertiban umum, dan pelindungan masyarakat; dan sosial (psl 12). Urusan wajib diatur dengan menggunakan skala prioritas bahwa urusan wajib yang berkaitan dengan pelayanan dasar diprioritaskan pelaksanaannya sebagaimana diatur dalam pasal 18 ayat 1. (iii) Urusan Umum adalah urusan yang menjadi urusan pemerintahan baik di Pusat, Provinsi atau Kabupaten/ Kota, seperti: penanganan konflik, pembinaan kebangsaan, koordinasi tugas antarinstansi Pemerintah, dan lain-lain. Urusan Pertanahan Bidang pertanahan dalam Undang-undang No. 23 Tahun 2014 masuk kedalam urusan pemerintahan konkuren yang pembagian urusannya dibagi kepada Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi,
104
dan Pemerintah Kabupaten/Kota. Urusan Pertanahan masuk kedalam urusan konkuren wajib yang bersifat non pelayanan dasar yang wajib dilaksanakan oleh semua daerah. Urusan pertanahan dibagi dalam 9 (sembilan) sub urusan. Pembagian kewenangan sub urusan izin lokasi, sengketa tanah garapan, ganti kerugian dan santunan tanah untuk pembangunan, subyek dan obyek redistribusi tanah serta ganti kerugian tanah kelebihan maksimum dan tanah absentee, dan penggunaan tanah bersifat sama antara Pemerintah Pusat, Provinsi dan Kabupaten/ Kota. Perbedaannya hanya bahwa pemerintah pusat menangani lintas provinsi, pemerintah provinsi menangani lintas kabupaten, dan pemerintah kabupaten/kota menangani daerahnya sendiri. Khusus sub urusan pengadaan tanah untuk kepentingan umum, pemerintah daerah kabupaten/kota tidak mempunyai kewenangan, sementara pemerintah pusat berwenang dalam pelaksanaan pengadaan tanah dan pemerintah provinsi pada penetapan lokasi tanah untuk kepentingan provinsi. Terkait sub urusan tanah ulayat dan sub urusan tanah kosong, pemerintah pusat tidak mempunyai kewenangan. Sementara pemerintah provinsi berwenang menetapkan tanah ulayat, menyelesaikan masalah tanah kosong, dan inventarisasi dan pemanfaatan tanah kosong lintas kabupaten/ kota. Pemerintah kabupaten/kota mempunyai kewenangan yang sama tapi sebatas daerahnya saja. Menyangkut sub urusan izin membuka tanah, kewenangan hanya dipunyai oleh pemerintah kabupaten/kota. Urusan Perumahan Urusan perumahan masuk kedalam kategori urusan Pemerintah Konkuren yang wajib dan bersifat pelayanan dasar. Pelaksanaan pemerintahan bidang perumahan berpedoman pada standar pelayanan minimal yang ditetapkan oleh pemerintah pusat. Dalam bidang perumahan, pemerintah memberikan pelayanan dalam hal penyediaan perumahan, sertifikasi, penataan kawasan permukiman, penyediaan sarana, prasarana, fasilitas umum di lingkungan permukiman. Perbedaan mendasar kewenangan antara pemerintah pusat dengan pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota dalam sub urusan perumahan adalah (i) pemerintah pusat menyediakan rumah bagi MBR, dan mengembangkan sistem pembiayaan perumahan bagi MBR; (ii) pemerintah kabupaten/kota menerbitkan izin pembangunan dan pengembangan perumahan dan menerbitkan sertifikat kepemilikan bangunan gedung. Sementara penyediaan dan rehabilitasi rumah korban bencana dan fasilitasi penyediaan rumah bagi masyarakat yang terkena relokasi program pemerintah menjadi kewenangan masingmasing sesuai jurisdiksinya (nasional, lintas kabupaten/kota dan kabupaten/kota).
Situs Edisi 5 - 2015
Portal Tata Ruang dan Pertanahan (Portal TRP) www.tataruangpertanahan.com
Kenyataan masih sangat kurangnya sumber informasi dalam jaringan (daring/internet) terkait tata ruang dan pertanahan yang kemudian mendorong Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan Bappenas untuk mengembangkan Portal Tata Ruang dan Pertanahan. Portal ini secara umum menyediakan informasi kegiatan pemangku kepentingan, kliping berita, kumpulan publikasi, dan peraturan perundang-undangan terkait tata ruang dan pertanahan. Melalui portal ini juga kita dapat mendaftar ke milis TRP yang merupakan forum komunikasi pemangku kepentingan tata ruang dan pertanahan (https://groups.google. com/d/forum/ tata-ruang-dan-pertanahan). Hal yang paling menarik dari portal ini adalah kliping berita tata ruang dan pertanahan yang ditayangkan setiap hari.
Badan Koordinasi Penataan Ruang Nasional (BKPRN) www.v2.bkprn.org
Badan Koordinasi Penataan Ruang Nasional (BKPRN) merupakan badan yang dibentuk melalui Keputusan Presiden Nomor 4 Tahun 2009 dengan fungsi utama diantaranya melaksanakan koordinasi dalam penyiapan kebijakan penataan ruang nasional, penyusunan peraturan perundang-undangan, dan pemantauan pelaksanaan RTRWN. Sebagai sebuah badan dengan fungsi yang demikian penting, dibutuhkan situs resmi yang menjadi media berinteraksi dengan pemangku kepentingan. Sekretariat BKPRN sejauh ini telah mengembangkan situs BKPRN yang menyediakan berita kegiatan, produk, data dan informasi, galeri, serta kliping berita. Termasuk juga jadwal kegiatan BKPRN baik yang telah berlalu maupun dalam rencana. Tampilannya terkesan kaku dan formal namun mudah dijelajahi. Dalam kolom Anggota BKPRN terdapat link kementerian/lembaga anggota dan mitra BKPRN.
Badan Informasi Geospasial (BIG) www.bakosurtanal.go.id
Bakosurtanal (Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional) yang sekarang berganti nama menjadi Badan Informasi Geospasial (BIG) menyediakan informasi terkini terkait pemetaan melalui situs ini. Walaupun situs ini merupakan situs pemerintah tetapi kesan tersebut menjadi sirna ketika menjelajahi kolom produk. Tersedia beragam peta mulai dari peta kelautan, peta tematik, peta rupabumi, dan sebagainya. Bahkan kita dapat mengeksplorasi beragam produk peta tersebut. Beberapa jenis peta dapat diperoleh secara cuma-cuma. Tidak percaya? silahkan diakses langsung (OM).
105
Selamat dan Sukses Pencanangan Program Sejuta Rumah &
HUT BTN ke 65 HUT REI ke 43 HUT Bapertarum PNS ke 22 Hari Otonomi Daerah ke 19
106
Edisi 5 - 2015
107
108