UNIVERSITAS INDONESIA
PEMBANGUNAN SOSIAL DI KOMUNITAS BERPAGAR STUDI PADA LINGKUNGAN PERMUKIMAN DI KAWASAN ALAM SUTERA TANGERANG SELATAN
DISERTASI
OLEH: YAYAT SUPRIATNA NPM: 1006784222
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK PROGRAM PASCA SARJANA SOSIOLOGI DEPARTEMEN SOSIOLOGI DEPOK 2014
i
UNIVERSITAS INDONESIA
PEMBANGUNAN SOSIAL DI KOMUNITAS BERPAGAR STUDI PADA LINGKUNGAN PERMUKIMAN DI KAWASAN ALAM SUTERA TANGERANG SELATAN
DISERTASI
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Guna Memperoleh Gelar Doktor Sosiologi
OLEH
YAYAT SUPRIATNA NPM: 1006784222
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK DEPARTEMEN SOSIOLOGI PROGRAM PASCA SARJANA SOSIOLOGI DEPOK DESEMBER 2012
ii
PERNYATAAN ORISINALITAS
Disertasi ini adalah hasil karya saya sendiri, dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk, telah saya nyatakan dengan benar
Nama
: YAYAT SUPRIATNA
NPM
: 1006784222
Tanda Tangan : Tanggal
: 27 Juni 2014
iii
HALAMAN PENGESAHAN
Disertasi ini diajukan oleh : Nama : Yayat Supriatna NPM : 1006784222 Program Studi : Sosiologi Judul Disertasi : Pembangunan Sosial Di Komunitas Berpagar, Studi Pada Lingkungan Permukiman Di Kawasan Alam Sutera – Tangerang Selatan.
Telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan Penguji dan diterima sebagai bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia. DEWAN PENGUJI
Ketua Sidang
: Dr. Arie Setiabudi Soesilo,M.Sc
(…………………... )
Promotor
: Prof. Dr. Paulus Wirutomo, M.Sc
(……........……….. )
Kopromotor
: Dr. der soz Rochman Achwan,MDS
(……………………)
Tim Penguji
: Dr. Riwanto Tirtosudarmo,MA (Esternal)
(……………………)
Dr. Linda Damayanti , MT (Internal )
(…………………... )
Prof. Dr. Dody Prayogo ,MPST (Internal)
(…………………... )
Raphaella D.Dwianto,MA,Ph.D (Internal ) (……………………)
Ditetapkan di : Depok Tanggal :
27 Juni 2014
iv
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya panjatkan kehadirat
Allah
SWT, karena atas berkat dan
rahmat-Nya, saya dapat menyelesaikan disertasi ini. Penulisan disertasi ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar Doktor Sosiologi pada Fakultas Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Departemen Sosiologi Program Pasca Sarjana Sosiologi Universitas Indonesia. Gagasan untuk menuliskan judul disertasi ini lahir dari kesempatan yang diberikan oleh pihak pengembang PT. Alam Sutera Realty Tbk, kepada penulis untuk menjadi Dewan Juri Community Award tahun 2011. Hasil temuan lapangan selama menjadi dewan juri menjadi bahan yang menarik untuk dikaji, karena mempertemukan suatu konsep pembangunan permukiman dengan konsep pembangunan sosial. Bagi penulis yang selama lebih dari 20 tahun menggeluti bidang perencanaan kota yang diwarnai unsur-unsur perencanaan fisik. Begitu belajar sosiologi seperti menemukan mata air kehidupan baru yang diyakini akan semakin memperkaya aspek perencanaan fisik dan sosial menjadi satu sinergi yang saling menguatkan. Selama belajar sosiologi penulis benar-benar merasa mendapatkan “pencerahan� yang selama ini hilang atau terasa kering ketika asyik menyusun perencanaan fisik tanpa memahami elemen-elemen sosial yang mempengaruhi kehidupan masyarakat, seperti struktur, kultur dan proses sosial didalamnya. Untuk ini penulis sangat berterima kasih kepada Bapak Profesor Dr. Paulus Wirutomo, selaku Promotor dan Bapak Dr.der.soz. Rochman Achwan, MDS selaku Ko Promotor yang telah membimbing dan membuka mata hati penulis tentang makna “manusia� dan inklusi sosial sebagai inti dari semua kegiatan pembangunan baik fisik, ekonomi, budaya dan lingkungan. Tanpa penghormatan dan penghargaan terhadap harkat dan martabat manusia
pembangunan tidak memberi
makna apa-apa kecuali sebatas angka atau benda semata. Atas proses pencerahan dan kesempatan mendapatkan bimbingan serta pendidikan program doktoral ini , saya menyadari betapa besar bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, dari masa perkuliahan sampai pada penyusunan disertasi ini. Oleh karena itu, saya mengucapkan terima kasih kepada:
v
(1)
Bapak Dr. Riwanto Tirtosudharmo,MA, Ibu Dr. Linda Damayanti MT, Bapak Prof.Dr. Dody Prayogo, M.PSt, Ibu Raphaella D.Dwianto,MA,Ph.D. yang telah memberikan masukan, bimbingan dan telaah yang kritis dari sisi sosiologi perkotaan.
(2)
Bapak Prof.Dr. Thoby Mutis, selaku Rektor Universitas Trisakti, Bapak. Ir.Ida Bagus Rabindra,MSP selaku Dekan FALTL Universitas Trisakti yang telah memberikan dukungan dan bantuan selama penulis menjalankan masa pendidikan.
(3)
Ibu Prof.Dr. Ir. Budhi Cahyati yang telah banyak memberikan semangat dan dorongan selama menempuh pendidikan.
(4)
Bapak Ir. Beny Benyamin Suharto, MSi, Ibu Ir.Anita S Wartaman,MSi, selaku ketua Jurusan dan Sekretaris Jurusan, Mbak Irma beserta rekan-rekan staf pengajar di Jurusan Teknik Planologi dan FALTL Universitas Trisakti.
(5)
Bapak Dr. Ir. Ernan Rustiadi, selaku Dekan Fakultas Pertanian IPB, Bapak Dr. Ir. Setiahadi dan Bapak Dr.Ir. Iskandar Lubis, selaku Ketua dan Sekretaris di Pusat Pengkajian Perencanaan dan Pengembangan Wilayah (P4W) – IPB Bogor, beserta rekan-rekan dan sahabat peneliti lainnya.
(6)
Para Pimpinan dan staf dari PT. Alam Sutera GRealty, Tbk serta para pengurus RT/ RW dan ASRC Perumahan Alam Sutera.sebagai nara sumber utama dalam penelitian ini;
(7)
Sahabatku Mas Yudo, teman dan sekaligus mentor yang mencerahkan dalam diskusi dan menajamkan hasil-hasil temuan lapangan serta rekan-rekan seangkatan tahun 2010, khususnya Mas Tantan yang banyak membantu dalam diskusi.
(8)
Untuk yang tercinta istriku Dra.Psi. Hj.Ela Elia Sari, anak-anaku Lukmanul Hakim dan Adinda Meidina Sari, ayahanda H.Sukarna Rais dan Ibu Mertua Hj.Een Djamiah yang telah banyak bersabar, mendoakan dan membantu selama ini.
(9)
Teman-teman dan sahabat di media yang banyak memberikan ruang ekspresi untuk menuangkan gagasan dan ide – ide pembangunan sosial diranah publik.
(10) Seluruh staf administrasi Departemen Sosiologi yang telah banyak membantu dalam menyelesaikan persyaratan administrasi. Akhir kata, saya berharap Allah SWT berkenan membalas segala kebaikan semua pihak yang telah membantu. Semoga disertasi ini membawa manfaat bagi pengembangan ilmu dan kesejahteraan masyarakat. Depok,27 Juni 2014 Penulis
vi
PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS Sebagai sivitas akademik Universitas Indonesia, saya yang bertanda tangan di bawah ini: Nama
: Yayat Supriatna
NPM
: 1006784222
Program Studi
: Pasca Sarjana Sosiologi
Departemen
: Sosiologi
Fakultas
: Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Jenis Karya
: Disertasi
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada Universitas Indonesia Hak Bebas Royalti Nonekslusif (Non Exlusive Royalty Free Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul:
Pembangunan Sosial Di Komunitas Berpagar ; Studi Pada Lingkungan Permukiman Di Kawasan Alam Sutera – Tangerang Selatan.
beserta perengkat yang ada (jika diperlukan). Dengan hak bebas royalti nonekslusif ini Universitas Indonesia berhak menyimpan, mengalih media/ format, mempublikasikan tugas akhir saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta. Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya. Dibuat di
: Depok
Pada tanggal :
Juli 2014
Yang menyatakan,
(Yayat Supriatna)
vii
ABSTRAK
Nama Program Studi Judul
: Yayat Supriatna : Sosiologi : Pembangunan Sosial Di Komunitas Berpagar Studi Pada Lingkungan Permukiman Di Kawasan Alam Sutera – Tangerang Selatan.
Penelitian ini bertujuan untuk memperkaya studi mengenai komunitas berpagar dari perspektif sosiologis. Dengan menggunakan analisa pembangunan sosial, terlihat bagaimana masyarakat di dalam gated community memiliki upaya yang sistematis untuk melakuan pembangunan sosial budaya. Mengambil tempat penelitian di Alam Sutra, entitas struktur yang begitu mendominasi dalam praktik sosial di dalam gated community. Dalam merespon itu penghuni melalui proses sosial berhasil menciptakan struktur baru melalui organisasi ketetanggaan untuk menciptakan struktur yang menjembatani. Perkembangan terbaru dalam studi ini menunjukan bagaimana proses sosial dapat menjadi elemen kunci dalam pembangunan sosial budaya di komunitas berpagar.
Kata Kunci : komunitas berpagar, pembangunan sosial, dominasi struktur, proses sosial
viii
ABSTRACT
Name Study Program Title
: Yayat Supriatna : Sociology : Social Development at Gated Community; Study Case At Neighborhood Alam Sutera
This research aims to enrich the study of the gated community from a sociological perspective. By using the analysis of social development, it looks how people in the gated community have a systematic effort to undergo a socio-cultural development. The study was taking place in Alam Sutra where the structure entity dominates the social practices within the gated community. In response, the residents through a social process successfully creating a new structure through neighborhood organization to create enabling structures. The latest development in this study showed how social processes can be a key element in the sociocultural development in the gated community. Keywords: gated community,, social development, structure dominates, social process
ix
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL …………………………………………………………. HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS.…………………...…….….. LEMBAR PENGESAHAN....……………………………………………….... KATA PENGANTAR........................................................................................ LEMBAR PERNYATAAN PESETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR.... ABSTRAK.......................................................................................................... ABSTRACT........................................................................................................ DAFTAR ISI....................................................................................................... DAFTAR GAMBAR.......................................................................................... DAFTAR TABEL............................................................................................... DAFTAR LAMPIRAN....................................................................................... 1.
2.
3.
PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang .............................................................................. 1.2 Permasalahan Penelitian ................................................................ 1.3 Pertanyaan Penelitian .................................................................... 1.4 Signifikasi Penelitian ..................................................................... 1.5 Tujuan Penelitian .......................................................................... 1.6 Lingkup Wilayah Studi ................................................................. 1.7 KeterbatasanStudi ......................................................................... TINJAUAN LITERATUR DAN KERANGKA TEORITIK 2.1 Pengertian Komunitas Berpagar .................................................. 2.2 Komunitas Berpagar sebagai Sub Sistem Pembangunan Kota Berkelanjutan ...................................................................... 2.3 Pembangunan Sosial Sebagai Pilar Pembangunan Kota Berkelanjutan .................................................................... 2.4 Struktur , Kultur dan Proses Sosial sebagai Elemen Pembangunan Sosial .......................................................................................... 2.4.1 Struktur.............................................................................. 2.4.2 Kultur ................................................................................ 2.4.3 Proses Sosial ..................................................................... 2.5 TeoriStrukturasiGiddensdan Pembangunan Sosial ......................... 2.5.1 DasarPemikiranTeoriStrukturasi ....................................... 2.5.2 Perpaduan Teori Strukturasi Giddens dengan Konsep Pembangunan Sosial ......................................................... METODE PENELITIAN 3.1 Model Penelitian.......................................................................... 3.2 Model Analisa Pembangunan Sosial ............................................ 3.3 Penetapan Lokasi Penelitian .......................................................
x
ii iii iv v vii viii ix x xiv xv xvi
1 5 7 8 9 10 10
11 16 24 31 32 35 39 42 42 57 60 61 64
3.4 3.5 3.6 3.7 3.8
Informan Penelitian ..................................................................... Peran Peneliti .............................................................................. Tahapan Pengumpulan Data ........................................................ Pelaksanaan Penelitian ................................................................. Jenis Data yang Dibutuhkan ........................................................ 3.8.1 Struktur ............................................................................ 3.8.2 Kultur .............................................................................. 3.8.3 Proses Sosial ................................................................... 3.9 Kendala Penelitian ....................................................................... 3.10 Analisa Data ................................................................................ 4.
65 66 67 70 72 72 73 74 74 75
PENGEMBANG : DOMINASI STRUKTUR DALAM KOMUNITAS BERPAGAR 4.1 SejarahAlam Sutra ..................................................................... 78 4.2 Visi dan Misi Perusahaan ............................................................ 84 4.3 Pengembang Perumahan sebagai Agency ................................... 89 4.4 Hubungan Perikatan Antara Pengembang dan Penghuni ............. 93 4.5 Peraturan Tata Tertib Pengelolaan Perumahan : Kuasa Pengembang TerhadapPenghuni ...................................................................... 98 4.5.1 Kewajiban Penghuni Untuk Membayar Iuran Pemeliharaan Lingkungan (IPL) ..................................... 101 4.5.2 Pengembang Sebagai Pengelola Tunggal Penyediaan Air Bersih.................................................... 104 4.5.3 Kewenangan Penuh Pengembang Dalam Keadaan Darurat ............................................................ 107 4.5.4 Pengembang Tidak Bertanggungjawab Atas Kehilangan dan Kerusakan ............................................. 110 4.5.5 Sanksi Hukuman bagi Penghuni yang Melanggar Aturan ........................................................................... 111 4.6 Ruang Sempit untuk Negara: Dominasi Pengembang ................... 113 4.6.1 Jaminan Layanan Sarana dan Prasarana oleh Pengembang ....... 113 4.6.2 Sengketa Hukum Antar Warga dengan Estate Management 117 4.7 Kesimpulan .................................................................................. 119
5. DINAMIKA KULTUR : PENANAMAN BUDAYA KOMUNITAS BERPAGAR DAN GAYA HIDUP EKSKLUSIF PENGHUNI 5.1 Sistem Kluster: Lokalisasi Dan Gaya Hidup di RuangPrivat .......... 122 5.1.1 Cluster Sutera Kirana ....................................................... 127 5.1.2 Cluster Griya Sutera......................................................... 130 5.1.3 Cluster Sutera Onyx ......................................................... 131 5.1.4 Cluster Sutera Telaga Biru ............................................... 134 5.2 Penghuni Elit: Kebutuhan Akan Ekslusifitas ................................. 136
xi
5.2.1 Sistem Keamanan Lingkungan ......................................... 5.2.2 PedagangKelilingDilarangMasuk ..................................... 5.2.3 SetiapPengunjungHarusDiawasi....................................... 5.3 Membangun Budaya Komunitas Berpagar : Dinamika Struktur Dan Kultur .................................................................................... 5.3.1 Upaya Membangun Nilai-nilai Kehidupan Bersama ......... 5.3.2 Mewujudkan Budaya Tertib Pemanfaatan Bangunan ........ 5.3.3 Mewujudkan Budaya Kebersihan dan Keindahan Lingkungan ...................................................................... 5.3.4 Mewujudkan Budaya Tertib Membangun dan Merenovasi Rumah. ............................................................................ 5.3.5 Mendorong Terjadinya Hubungan Interaksi Antar Penghuni .......................................................................... 5.3.6 Membangun Nilai-nilai Kenyamanan dan Keselamatan.... 5.3.7 Menjaga Toleransi Dalam Kehidupan Sosial, Keagamaan Dan Politik ....................................................................... 5.3.8 Membangun Budaya Tertib Berlalulintas ......................... 5.3.9 Nilai-nilai Sosial dalam Pemeliharaan Hewan Piaraan ...... 5.4 Menjaga Toleransi Antar Keyakinan dan Etnisitas Antar Penghuni ....................................................................................... 5.4.1 PraktekToleransi Di InstitusiGereja .................................. 5.4.2 MenghilangkanEksklusifitasEtnis .................................... 5.5 EkspresiPenghuni : AntaraKepatuhandanKontestasiPrestise ........ 5.6 Kesimpulan ................................................................................. 6.
KOMUNITAS BERPAGAR :KEHIDUPAN MASYARAKAT MINIM PROSES SOSIAL 6.1 Ketiadaan Ruang Dialog antara Penghuni dan Pengembang ......... 6.2 Kecemburuan Sosial Antar Penghuni ........................................... 6.3 Pembangunan Ruang Publik: Celah Untuk Membangun Interaksi Sosial ............................................................................ 6.4 Organisasi Ketetanggaan : Sarana Proses Sosial........................... 6.4.1 RT/RW: Organisasi Prosedural dan Sosial ....................... 6.4.2 ASRC sebagai Mediasi Penghuni dengan Pengembang.................................................................... 6.5 Kesimpulan .................................................................................
7. UPAYA PEMBANGUNAN SOSIAL DI KOMUNITAS BERPAGAR 7.1 Struktur Komunitas Berpagar : Dominasi Pengembang dan Penghuni yang Tak Berdaya ......................................................... 7.1.1 Pengembang : Pengganti Peran Negara di Komunitas… ...... 7.1.2 Peran Komunitas : Penghuni Tak Berdaya ……… ..............
xii
140 147 149 153 153 154 158 162 167 171 173 176 178 182 184 186 189 196
198 209 216 223 226 233 237
238 240 242
7.2 Pembangunan Sosial di Komunitas Berpagar : Analisa Struktur, Kultur dan Proses Sosial .............................................................. 7.2.1 Struktur ............................................................................ 7.2.2 Kultur ............................................................................. 7.2.3 Proses Sosial................................................................... 7.2.4 Kultur yang Distrukturkan .............................................. 7.2.5 Struktur yang Membudaya .............................................. 7.2.6 Proses yang Dibudayakan ............................................... 7.2.7 Kultur yang Diproses Kembali........................................ 7.2.8 Struktur yang Diproses ................................................... 7.2.9 Proses yang Distrukturkan .............................................. 7.3 Pembangunan Sosial Budaya Melalui Organisasi Ketetanggaan..... 8.
244 246 248 249 251 253 254 255 256 258 258
KESIMPULAN : PROSES SOSIAL SEBAGAI INTI PEMBANGUNAN SOSIAL BUDAYA 8.1 Pengembang : Struktur Lama Minim Proses Sosial ……… ........... 264 8.2 Organisasi Ketetanggaan : Agency dan Pembaruan Sruktur ........... 267 8.3 Dari Ekslusi Sosial ke Pembangunan Sosial: Perluasan Fungsi Proses Sosial dan Tuntutan Terhadap Nilai-nilai Ideal ................... 271 8.4 KontribusiTeoritik: 8.4.1 Kesadaran Diskursif sebagai Penggerak Dari Proses Sosial . 281 8.4.2 Konsep Struktur yang Membudaya dan Pengkayaan Strukturasi Giddens ………………………………………. 287 8.5 KontribusiPraktis : 8.5.1 Menghadirkan Keberadaan Negara ………… ...................... 289 8.5.2 Menuju Pengembang yang Menjembatani ............................ 290 8.5.3 Organisasi Ketetanggaan sebagai Pengelola yang Inklusif ……………………………… ................................... 292
DAFTAR REFERENSI LAMPIRAN
xiii
DAFTAR GAMBAR Gambar 1.1. Gambar 2.1. Gambar 2.2 Gambar 2.3 Gambar 2.4 Gambar 2.5 Gambar 2.6 Gambar2.7 Gambar 4.1 Gambar 4.2 Gambar 5.1 Gambar 5.2 Gambar 5.3 Gambar 5.4 Gambar 5.5 Gambar 5.6 Gambar 5.7 Gambar 5.8 Gambar 5.9 Gambar 5.10 Gambar 5.11 Gambar 5.12 Gambar 6.1 Gambar 6.2 Gambar 6.3 Gambar 6.4 Gambar 6.5 Gambar 7.1 Gambar 8.1 Gambar 8.2 Gambar 8.3 Gambar 8.4
Pengelolaan Komunitas Berpagar Model Gated Community di AmerikaSerikat Bentuk Zona Keamanan dengan Pemagaran di Komunitas Berpagar
7 12 15
Konsep Compact City
23 24 32 54
Sistem Pengembangan Compact City Elemen Pembangunan Sosial Gugus Prinsip Struktural dengan Praktek Sosial Skema Perpaduan Konsep Strukturasi Giddens dengan Konsep Pembangunan Sosial Peta Wilayah Administrasi Tangerang Selatan Peta RencanaTapak Pembangunan ‘AlamSutera’ Lingkungan Gated Community dan Fasilitas Layanan Lainnya Lingkungan Cluster Kirana Peta Cluster Sutera Kirana Peta Cluster Griya Sutera Fasilitas Sports Loungs Cluster Sutera Onyx Peta Cluster Sutera Onyx Perumahan Dilingkungan Sutera Telaga Biru Peta Cluster Telaga Biru Kartu Identitas Tamu BukuTamu Peralatan CCTV dan Petugas Keamanan Suasana Pengobatan Gratis Gereja Santo Laurensius Papan Informasi Tata Tertib Cluster Sutera Kirana Fasilitas Kolam Renang Di Cluster Sutera Onyx Mesjid Alam Sutera dan Mesjid Warga Kegiatan Sosial ASRC Anggota ASRC yang sering melakukan Obrolan& BBM Skema Struktur, Kultur dan Proses Didalam Komunitas Berpagar Skema Kewenangan Pengembang Strukturasi Baru dari Organisasi Ketetanggaan Matrik Proses Menuju Pembangunan Sosial yang Dilakukan Oleh Estate Managament dan Penghuni Skema Kesadaran Deskripsif Didalam Organisasi Ketetanggaan
xiv
58 79 82 126 128 129 130 132 133 134 135 141 142 150 185 203 210 221 223 235 246 265 269 272 284
DAFTAR TABEL Tabel 3.1
Pola Hubungan Antar Unsur Struktur, Kultur dan Proses
63
Tabel 4.2
Perkiraan Proporsi Penyerapan Tenagakerja di Kota Serpong thn 2005
83
Tabel 5.1
Komposisi Rumah yang Sudah Dihuni,Kavling dan Sedang dalam Proses PembangunanTahun 1994 – 2012
Tabel 5.2
Harga Lahan Untuk Rumah & Komersil di AlamSutera Tahun 1994 139 – 2011
Tabel 6.1
Jadwal Kegiatan Masjid Nur Asmaa UlHusna
Tabel 8.1
Matriks Dampak Dinamika Stuktur, Kultur, dan Proses Komunitas 274 Berpagar – Alam Sutera
xv
124
223
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran
DaftarInforman Yang Diwawancarai Dan Karakterisitiknya 305 1 1 HasilRingkasanWawancaradengan Nara Sumber 308 1 .
xvi
BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Globalisasi dan urbanisasi telah menjadi fenomena yang mempengaruhi
perkembangan kota- kota di negara maju maupun berkembang . Perkembangan kota pada era post-modern telah mengarah pada polarisasi secara spasial dan sosial
dengan semakin kuatnya gejala pertumbuhan permukiman
gated
community. Untuk kepentingan studi ini, penulis menggunakan istilah tersebut sebagai komunitas berpagar. Komunitas berpagar adalah suatu tipe bentuk permukiman yang memakai pagar keliling untuk mendefinisikan identitas sosial, gaya hidup, dan keamanan lingkungannya (Blakely dan Snyder 1997). Realitas ini merupakan ciri-ciri fragmentasi kota. Konsep fragmentasi kota tidak terlepas dari konsep segregasi baik secara ekonomi, sosial maupun budaya. Di Indonesia komunitas berpagar lebih dikenal dengan istilah
“cluster
perumahan�. Kemunculan dan perkembangan di Indonesia dan beberapa negara Asia merupakan hasil adopsi dari pola pembangunan perumahan di Amerika Serikat. Namun didalam prakteknya pola
komunitas berpagar ini lebih
dikembangkan dengan fungsi yang berbeda disesuaikan dengan kebutuhan gaya hidup (lifestyle), gengsi (prestige) dan keamanan lingkungan.1Sementara dibeberapa negara lainnya, konsep komunitas berpagar ini sudah dikembangkan menjadi sebuah ide baru dalam perencanaan permukiman
untuk merubah
lingkungan perkotaan pada abad 21. Keberadaan komunitas berpagar menurut Blakely dan Snyder (1997) adalah bagian dari perkembangan sub urbanisasi. Gejala ini muncul ketika pusat kota telah kehilangan posisinya sebagai tempat terkuat di dalam wilayah metropolis. Fenomena ini tidak hanya terlihat dalam hal pengembangan
1
Grant,J and Mittelsteadt,L 2004.�Types 0f Gated community�,Environmen and Planning B: Planning and Design.Vol 31.pp 913-930.
Universitas Indonesia
l2 perumahan, tetapi juga terjadi pada kegiatan industri, pertokoan komersial dan ritel, yang semakin berkembang ke area sub urban.
Komunitas berpagar saat ini telah dikembangkan oleh industri perumahan sebagai sebuah produk komoditas dagang. Semakin tingginya rasa kecemasan dimasyarakat akibat
gangguan keamanan, meningkatnya tindak kriminal dan
buruknya kualitas kenyamanan telah membuat komunitas berpagar semakin diminati dikalangan menengah keatas . Hasil dari penelitian di kota- kota yang memiliki tingkat kejadian kriminalitas yang cukup tinggi seperti Johannesburg di Afrika Selatan atau kota-kota di Amerika Selatan seperti di Brazil (Landman dan Schönteich, 2002) menunjukkan, adanya hubungan yang signifikan antara tingkat kriminalitas kota (urban crime) dengan keberadaan komunitas berpagar.
Tingginya pemberitaan terhadap peningkatan tindakan kriminal telah memunculkan
budaya ketakutan ( culture of fear). Kecemasan dapat menjadi
komoditas yang dijual kepada konsumen dengan penyediaan jasa keamanan lingkungan. Komunitas berpagar adalah produk untuk menjawab bentuk kecemasan yang dikemas dengan penyediaan tempat tinggal yang eksklusif . Bentuk yang dilakukan adalah dengan cara membatasi “orang dari luar” untuk masuk kedalam lingkungan . Keberadaan pagar dan
satuan pengamanan
dimaksudkan untuk membatasi atau menghalangi akses ke area residensial, komersial dan area public mereka lainnya (Blakely & Snyder, 1997). Sistem keamanan yang diciptakan merupakan cara untuk menciptakan defensible space untuk meminimalisir terjadinya tindak kriminal di komunitas berpagar. Layanan jasa keamanan dan kenyamanan telah mampu memenuhi kebutuhan kelas menengah atas untuk tinggal di komunitas berpagar. Penelitian Meyriana Kesuma (2008) di kawasan Serpong- Tangerang mengungkapkan komunitas berpagar sudah menjadi sebuah symbol dari security dan
exclusivity
untuk
mengakomodir
permintaan
konsumen.Akibatnya
pengembang yang cerdas dengan “kebutuhan pasar ”, mencoba untuk terus mempromosikan “nikmatnya” tinggal di komunitas berpagar . Keamanan dan kenyamanan adalah “ideal value” (nilai jual) dan menarik bagi siapapun yang Universitas Indonesia
3 semakin sibuk serta butuh rasa aman untuk melindungi keluarga dan keselamatan propertinya. Sehingga konsep marketing yang dikembangkan semakin mengikuti kaidah - kaidah maksimalisasi keuntungan bagi pengelolanya. Saat ini diwilayah Jabodetabek pertumbuhan komunitas berpagar sudah semakin pesat, beberapa lokasi besarnya berada di wilayah KotaTangerang Selatan. Di wilayah ini pertumbuhan bisnis property telah berkembang menjadi industri perumahan yang terbesar se - Jabodetabek. Jumlah pengembang yang berinvestasi hingga tahun 2012 telah
mencapai lebih dari 200 pengembang.
Salah satu pengembang besar yang ikut membangun komunitas berpagar
di
Tangerang Selatan adalah PT. Alam Sutera Goldland Tbk dengan luas kawasan mencapai 1000 hektar. Menurut peraturan pemerintah “pasar perumahan� yang mengelompok pada kelas menengah atas dengan pola
komunitas berpagar ini bertentangan
dengan ketentuan Undang Undang No. 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman. Didalam ketentuan UU ini Pemerintah mewajibkan pengembang untuk membangun perumahan dalam Satu Hamparan dengan Konsep Hunian Berimbang 3:2:1. Komposisi rumah yang dimaksud dengan 3:2:1 ini adalah perbandingan jumlah rumah sederhana (3), berbanding 2 (dua) rumah menengah berbanding 1 (satu) rumah mewah. Ketentuan lebih lanjut tentang hunian berimbang ini diatur lebih rinci didalam Peraturan Menteri Perumahan Rakyat Nomor 10 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Perumahan dan Kawasan Permukiman dengan Hunian Berimbang. Didalam peraturannya pengembang yang membangun perumahan persyaratan lokasinya diwajibkan pada satu hamparan atau tidak dalam satu hamparan. Kewajiban dalam satu hamparan dilaksanakan
pada bentuk
permukiman, lingkungan hunian dan kawasan permukiman sekurang-kurangnya untuk menampung 1.000 (seribu) rumah. Sementara yang tidak satu hamparan pada perumahan yang sekurang-kurangnya menampung 50 (lima puluh ) rumah. Maksud dari
kebijakan Hunian Berimbang yang dilakukan
oleh
pemerintah ditujukan sebagai cara untuk menjalankan mekanisme pembangunan Universitas Indonesia
l4 sosial. Harapan yang ingin dicapai dari pembangunan sosial adalah bagaimana mewujudkan pembangunan yang inklusif bagi semua lapisan masyarakat. Tujuan lainnya adalah menciptakan keserasian / keharmonian tempat bermukim baik secara sosial dan ekonomi. Didalam wacana pembangunan sosial, pemagaran dengan membangun tembok pemisah dikomunitas berpagar merupakan bentuk privatisasi ruang yang dapat memicu terjadinya fragmentasi dan disintegrasi sosial antar penghuni dan warga bukan penghuni. Saat ini pembentukan struktur kota yang didominasi komunitas berpagar telah menjadi model pembangunan sub urban di Indonesia.Komunitas berpagar diprediksikan akan menjadi fitur penting bagi pembentukan kota-kota di masa mendatang (Landman, 2000). Hal yang menjadi tantangan untuk mewujudkan pembangunan sosial di lingkungan perumahan ini adalah , apakah pemerintah memiliki kemampuan untuk ikut menata dan berperan didalam komunitas berpagar. Tanggung jawab siapakah masalah perumahan, Pemerintah, pengusaha atau seluruh masyarakat ? Bagaimana teknis pengelolaan pembangunannya ? Apakah diatur oleh negara atau melalui mekanisme pasar. Siapa pelaku sebenarnya ? Swasta sebebas-bebasnya, perusahaan negara atau pemerintah ? Bagaimana dengan peran
berbagai
kelompok masyarakat lainnya. Dilema atas pembangunan perumahan dengan pola komunitas berpagar membutuhkan
suatu
kajian
guna
menyempurnakan
arah
kebijakan
pembangunannya. Berbagai kritik telah banyak dilakukan terhadap pemerintah yang dianggap terlalu memberi banyak kelonggaran kepada pengembang untuk meraup keuntungan melalui komunitas berpagar. Pengembang saat ini memiliki kecukupan sumber dana baik dari dalam maupun luar negeri (melalui bursa saham) sehingga potensi untuk mendominasi penguasaan ruang/lahan semakin terbuka. Diperlukan penelitian yang lebih mendalam apakah komunitas berpagar merupakan suatu model permukiman yang mampu menjalankan
konsep
pembangunan sosial sebagaimana yang dijanjikan pengembang . Untuk
ini
dibutuhkan penelitian terhadap praktik pembangunan sosial dikomunitas berpagar,
Universitas Indonesia
5 khususnya pada komponen struktur, kultur dan proses sosial sebagai unsur-unsur dasar kehidupan sosial guna
memahami sejauhmana
inklusi sosial telah
terbangun dikomunitas berpagar. 1.2 Permasalahan Penelitian Penelitian ini bertolak dari dua pokok permasalahan yaitu permasalahan pada pihak pengembang, penghuni dan pada penggunaan konsep pembangunan sosial di komunitas berpagar.
Pertama, secara makro posisi pengembang sebagai agensi dari sistem kebijakan pembangunan perumahan akan terus menawarkan komunitas berpagar sebagai suatu cara untuk meningkatkan “quality of life� . Pengembang umumnya berkeberatan ketika harus mematuhi kebijakan Hunian Berimbang
3:2:1.
Peraturan ini menjadi kendala dan tidak menguntungkan bagi pengembang. Hunian Berimbang dalam satu hamparan adalah hal yang tidak rasional untuk dilakukan berdasarkan pertimbangan ekonomi. Secara sosial pengembang tidak yakin dapat menyatukan perbedaan kelas sosial. Pembangunan sosial merupakan hal yang sulit untuk dilakukan pada hunian berimbang.
Pengembang
membangun
komunitas berpagar sebagai pilihan lain
untuk merubah struktur kebijakan. Melalui kepemilikan
modal yang kuat,
pengembang yakin komunitas berpagar akan mampu memberikan
pelayanan
yang optimal dan menguntungkan penghuni dari sisi faktor keamanan, nilai properti , komunitas harmoni serta fasilitas yang lengkap. Dominasi kekuatan modal dan motif tindakan ekonomi dari pengembang akan sangat mewarnai pola interaksi diantara kedua agen. Apakah pola interaksi ini akan membuat posisi penghuni semakin tidak berdaya.
Lemahnya posisi negara dan minimnya kerjasama antar warga membuat struktur (regulasi) akan lebih didominasi
kepentingan
pemilik kapital .
Bagaimana dengan peran dari organisasi sosial masyarakat ? Penting untuk diketahui sejauhmana peran negara, organisasi masyarakat dan pengembang berinteraksi dan membawa dampak perubahan terhadap kehidupan sosial mereka. Universitas Indonesia
l6 Dinamika hubungan interaksi antar
penghuni dengan pengembang, menjadi
penting untuk didalami guna memahami bagaimana ideal value yang dianut oleh penghuni dan ideal value yang tertanam dalam peraturan tata tertib berhadapan dengan actual values yang dijalankan oleh pengembang. Perlu untuk diketahui bagaimana kekuatan struktur, kultur dan proses sosial
bekerja didalamnya.
Karena itu, menarik untuk diungkap bagaimana penghuni sebagai agensi yang telah memiliki pengetahuan dan kultur sendiri merespon kekuatan struktur yang dominan di komunitas berpagar.
Kedua ,pada sisi keilmuan konsep pembangunan sosial masih mencari bentuk kesepahaman dan konsistensi diantara kalangan ilmuwan, termasuk di Indonesia. Keberadaan komunitas berpagar memberikan indikasi masih adanya masalah pembangunan sosial dalam pembangunan perumahan. Posisi negara yang lemah ketika berhadapan dengan kekuatan kapital menjadi sebuah pertanyaan besar apakah negara mampu bertindak lebih diruang private. Dengan demikian, peran penelitian sosiologi menjadi penting untuk menyusun konsep pembangunan sosial yang mampu menjawab permasalahan ini. Untuk ini, perlu dilakukan refleksivitas untuk memahami permasalahan, karena prasyarat utama ilmu sosial adalah refleksivitas2.
Secara lebih lengkap
realitas yang dihadapi dalam pengelolaan
pembangunan komunitas berpagar dapat dilihat pada gambar 1.1 berikut ini :
2
Sesuai dengan Bourdieu, dalam refleksivitas, hal pertama yang mesti dilakukan seorang ilmuwan sosial adalah memahami posisinya dalam struktur masyarakat dengan mengarahkan metode analisisnya pada dirinya sendiri untuk mengetahui batasan-batasan sosial yang mengkondisikannya (Bourdieu 1994: 25, 27). Bertolak dari konsep Bourdieu tentang refleksivitas, bahwa ada hubungan yang kuat antara agen dan struktur yang saling berpengaruh satu sama lain. (“ ‌ there is a circular relationship between agents and structures as they are the cause and effect of one another. Dalam Bourdieu, P. 1977. The outline of a theory of practise. Cambridge: University Press).
Universitas Indonesia
7
Pengaruh budaya global membawa budaya “tinggal dikomunitas berpagar” sebagai gaya hidup baru kelas menengah atas. Komunitas berpagar menjadi trend dari pertumbuhan permukim an yang menggejala di diberbagai kota.
Struktur
Kultur
Komunitas berpagar secara aturan bertentangan dengan kebijakan Hunian Berimbang yang diatur UU No.1 tahun 2011 ttg Perumahan & Kawasan Permukiman. Komunitas berpagar merupakan bentuk struktur baru yg ditawarkan pengembang untuk meningkatkan “quality of life”.
Terjadi tuntutan “dialog” diantara penghuni dengan pihak pengembang terkait struktur aturan yang berlaku didalam komunitas berpagar.
Proses
Gambar 1.1 : Pengelolaan Komunitas Berpagar 1.3 Pertanyaan Penelitian Prinsip pembangunan sosial pada hakekatnya adalah menemukan dan mencipta suatu tatanan sosial baru (social forms) yang lebih menekankan pada pemerataan dalam pemberian sarana dan hak-hak manusia yang paling mendasar, seperti kesamaan memperoleh kesempatan, kebebasan menyatakan pendapat, keadilan, partisipasi dan beragam bentuk inklusi sosial lainnya 3. Upaya-upaya pencapaian pembangunan sosial dapat dilakukan dengan cara mengembangkan segenap potensi dari sumber-sumber energi sosial baru yang ada di masyarakat seperti melalui komitmen, gerakan sosial dan organisasi masyarakat atau melalui proses perubahan kebijakan. Untuk memahami secara sosiologis
fenomena komunitas berpagar
sebagai suatu perubahan sosial yang dapat diterima masyarakat secara positif dan dapat menghindari terbangunnya kehidupan sosial yang eksklusif. Maka haruslah dihasilkan suatu bentuk upaya pembangunan sosial yang sumber
energinya
3
Paulus,Wirutomo,2014, Sosiologi Untuk Jakarta ; Menuju Pembangunan Sosial Budaya, Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Jakarta (LPMJ), Jakarta.
Universitas Indonesia
l8 berasal dari masyarakat itu sendiri dengan cara memanfaatkan peranan struktur sosial ,kultur dan proses sosial sebagai dasar elemen pembangunan sosialnya. Berdasarkan hal diatas, maka pertanyaan penelitian didalam studi ini adalah : 1. Apakah terjadi praktik pembangunan sosial di dalam komunitas berpagar? Jika memang terjadi, bagaimanakah praktik pembangunan sosial di komunitas berpagar? Bagaimana dinamika kekuatan stukur, kultur, atau proses sosial bekerja didalamnya? Apakah dari dinamika tersebut berhasil membangun struktur sosial baru yang lebih inklusif ? 2. Bagaimana posisi negara didalam praktik pembangunan sosial di komunitas berpagar ? Dapatkah negara berperan diruang private yang didominasi oleh kekuatan modal swasta ? 3. Bagaimana dengan kekuatan dari organisasi masyarakat ? Apakah organisasi masyarakat dapat memperbaharui struktur? Ataukah organisasi masyarakat
hanya
sebagai
aktor pengganti fungsi tertentu
dari
pengembang ? Benarkah terjadi ‘reformasi’ struktural yang signifikan karena pengaruh dominasi modal.
1.4 Signifikasi Penelitian Ada dua manfaat yang dapat dihasilkan dari studi ini antara lain : 1. Manfaat akademis, secara sosiologis fenomena komunitas berpagar ini akan menjadi trend pembangunan perumahan diperkotaan dan menjadi masukan penting bagi teori pembangunan sosial yang menekankan pada perbaikan manusia dalam dimensi sosialnya. Fokus penelitian yang menekankan pada fenomena komunitas berpagar sebagai simbol identitas kelompok dan eksklusi sosial
merupakan kajian yang menarik dan
menambah kazanah sosiologis. Hasil kajian ini akan menambah sumber pengetahuan baru terhadap teori pembangunan sosial didalam ranah komunitas berpagar yang berkarakter Indonesia. Sehingga dapat ditemukan hal-hal yang sangat berbeda dengan kasus dinegara-negara lain. Sepengetahuan penulis, tidak banyak kajian pembangunan sosial yang membahas fenomena komunitas berpagar ini dari tiga unsur pendekatan struktur sosial, kultur dan proses sosial.
Universitas Indonesia
9 2. Secara praksis, studi ini memberikan alternatif solusi untuk kebijakan pembangunan sosial di bidang perumahan dan kawasan permukiman . Sebab hingga saat ini pola kebijakan pembangunan perumahan oleh pemerintah hanya dilakukan dalam dua pola pendekatan yaitu pembangunan perumahan formal dan informal. Pembangunan perumahan secara formal hanya diamanatkan kepada peran para pengembang dan keberhasilannya hanya diukur pada pencapaian
jumlah rumah yang
dibangun tanpa memperhatikan masalah sosial yang terjadi. Perlu adanya evaluasi terhadap implikasi dari kebijakan perumahan terhadap masalah sosial, khususnya pada masalah integrasi dan segregasi sosial. Peran struktur, kultur dan proses sosial sebagai elemen dasar kehidupan sosial diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan masukan dalam kerangka pembangunan sosial di kawasan Alam Sutera - Kota Tangerang Selatan.
1.5 Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk : 1. Mendeskripsikan implikasi dari program
dari
berbagai kebijakan, peraturan dan
pengembangmanajamen
pengembang Alam Sutera
yang
dijalankan
oleh
dari sudut pandang tiga elemen dasar
kehidupan sosial, yaitu struktur , kultural dan proses sosial. 2. Untuk
memahami
peran
pengembang
sebagai
menjalankan kebijakan dan aturan (struktur), (kultural) serta proses sosial dari korporasi
agensi
yang
nilai dan norma
kepada penghuni yang
tinggal di komunitas berpagar. Aspek ini akan mengkaji implikasi dari peraturan tata tertib, sistem nilai dan norma dari korporasi terhadap perkembangan kehidupan sosial masyarakat. 3. Untuk memahami upaya-upaya pembangunan sosial yang dilakukan oleh para aktor (pengembang dan penghuni) didalam lingkungan perumahan yang menggunakan pola komunitas berpagar.
Universitas Indonesia
l10 1.6 Lingkup Wilayah Studi : Wilayah studi
dalam penelitian ini adalah
perumahan di kawasan Permukiman Alam dikembangkan oleh PT.Alam Sutra
“kelompok� atau Cluster
Sutera yang dikelola
dan
Realty Tbk di Kota Tangerang Selatan.
Dipilihnya kawasan Alam Sutera, karena konsep pembangunannya sejak awal sudah menggunakan komunitas berpagar. Sementara komunitas berpagar atau kelompok (cluster) perumahan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah unit-unit komunitas yang dikelompokan didalam satuan jumlah rumah dengan kisaran jumlah antara 100 hingga 400 unit rumah. Cluster perumahan akan menjadi unit wilayah penelitian dengan pertimbangan praktek – praktek pembangunan sosial yang dimulai pada tingkat kelompok masyarakat sebagai basis terjadinya proses interaksi antara struktur, kultur dan proses sosial di tingkat kawasan permukiman. 1.7 Keterbatasan Studi Studi ini hanya meneliti lingkungan perumahan Alam Sutera di wilayah Kota Tangerang Selatan- Provinsi Banten. Sementara perkembangan komunitas berpagar telah banyak dilakukan oleh pengembang – pengembang lain di wilayah yang sama atau disekitar Jabodetabek. Dengan pertimbangan keterbatasan waktu dan biaya, representasi dari wilayah studi diharapkan dapat mencerminkan gambaran utuh tentang kondisi yang sama untuk beberapa lingkungan komunitas berpagar di wilayah kota Tangerang Selatan. Kekurangan lain dikaitkan dengan kebijakan pembangunan perumahan yang belum sepenuhnya dimiliki oleh Pemerintah Kota Tangerang yang relative masih baru terbentuk pada tahun 2008 dan belum memiliki perangkat organisasi penyelenggaraan dan sumberdaya yang lengkap. Ketimpangan secara kebijakan dan kelembagaan ini akan menyebabkan terputusnya sistem informasi tentang riwayat kebijakan pembangunan permukiman yang telah ditetapkan sebelumnya oleh wilayah induknya yaitu Kabupaten Tangerang. Kekurangan ini diharapkan dapat diatasi dengan memanfaatkan data-data sekunder yang didapat dari sumbersumber lain yang mengikuti rencana pembangunan perumahan di kawasan Alam Sutera.
Universitas Indonesia
11 BAB II TINJAUAN LITERATUR DAN KERANGKA TEORITIK
2.1 Pengertian Komunitas Berpagar Didalam teori pembangunan perumahan sistem cluster perumahan lebih umum dikenal dengan istilah gated community yang diterjemahkan dalam pengertian bahasa Indonesia sebagai komunitas berpagar. Konsep komunitas berpagar
pertama kali berkembang di Amerika Serikat dan mendapatkan
perhatian banyak kalangan, khususnya peneliti perumahan, perencana dan para developers. Pada tahun 1980-an jumlah hunian dengan konsep komunitas berpagar terus meningkat dan dimulai diteliti. Salah satu peneliti komunitas berpagar mendefinisikan komunitas berpagar sebagai area dengan akses yang dibatasi, yang membuat ruang public menjadi privat4. Disini akses dikontrol oleh penghalang fisik dengan batas pinggir semacam dinding atau pagar yang dilengkapi dengan area masuk yang juga berpagar dan dijaga ketat. Hasil workshop bisnis perumahan dengan tema Gated Community as a Global Phenomenon di Hamburg pada tahun 19995 didapatkan definisi umum mengenai komunitas berpagar itu sendiri yaitu sebuah bentuk komunitas perumahan yang memiliki karakteristik dinding dan pagar tertutup yang mengelilingi, tetapi
memiliki pintu masuk atau gerbang untuk mengontrol
siapapun yang masuk. Gated Community is a form of residential community sometimes characterized by a closed perimeter of walls and fences, but always containing controlled entrances for pedestrian, bicycles and auto mobiles6 Sementara untuk ukuran bentuk atau besaran dari komunitas berpagar juga berbeda-beda dan tidak terbatas. Beberapa komunitas berpagar diantaranya termasuk taman, golf course, bahkan pantai yang juga berada di dalam kawasan 4
Blakely & Snyder, Fortress America-gated community in United States – Washington DC 1997 Glasze, Georg and Gßnter Meyer (2000): Workshop Komunitas berpagar Global Expansion of a New Kind of Settlement. In: DAVO-Nachrichten N° 11: 17-20. 6 www.wiki-shorts.freestat.pl 5
11
Universitas Indonesia
l12 hunian komunitas berpagar. Di Amerika Serikat, komunitas berpagar secara umum di definisikan sebagai lingkungan permukiman yang disekililingnya dibatasi oleh pembatas, dimana pintu masuk menuju hunian tersebut terbatas, hanya untuk para penghuni dan tamu-tamu mereka.7 Berdasarkan definisi umum dari komunitas berpagar terdapat empat karakteristik fisik yang terdapat pada komunitas berpagar, yaitu ; (1) pintu masuk yang terkontrol/terjaga (control enterance), (2) dinding pemisah (walled territory) (3) komunitas internal yang terpisah dari area luar kawasan dan (4) ruang sosial di dalam kawasan komunitas berpagar dapat berbagi dengan hunian lainnya (tergabung). Beberapa peneliti lain, Sarah Blandy (2003) mendefinisikan komunitas berpagar memiliki ciri khusus yaitu pembatasan secara fisik kawasan huniannya sehingga tidak dapat diakses oleh non penghuni8. Selain itu juga termasuk adanya kawasan pembatasan secara legal untuk memasuki dan menggunakan property yang tersedia dalam kawasan tersebut bagi non penghuni.
Gambar 2.1 : Model Komunitas Berpagar di Amerika Serikat Sumber : www.seos-project.eu Sementara itu Rowland Atkinson & John Flint (2001) menjelaskan komunitas berpagar adalah lingkungan perumahan yang memiliki ciri khusus dalam huniannya yaitu memagari kawasan huniannya untuk menjaga diri dari resiko kejahatan dan hal-hal yang tidak diinginkan. Kawasan yang didiami oleh masyarakat berpagar ini dapat didefinisikan sebagai kompleks perumahan yang 7
Picket.JP (2000) American heritage Dictionary of The English Language Boston Sarah Blandy, Diane Lister, Rowland Atkinso, jhon Flint, Gated community : A Systematic Reiview of The Research Evidience.Sheffield Hallam University and University of Glasgow 2003. 8
Universitas Indonesia
13 ditemboki atau digerbangi oleh kawasan sekelilingnya dan memiliki control atau batasan pada akses yang dimilikinya yang ditandai dengan gerbang. 9 Derek
Fernandez
(2007)
melihat
komunitas
berpagar
adalah
“pemprivatisasian� ruang public atau ruang-ruang yang secara normal seharusnya dikendalikan oleh wewenang public. 10 Komunitas berpagar ini mengacu pada komunitas dimana penghuninya menggunakan sistem keamanan pribadi untuk menyediakan layanan keamanan pada area yang hanya termasuk wilayahnya. Hal ini seringkali terlihat sebagai suatu usaha untuk menghalangi atau mengatur ruang public secara privat11. Pengertian privat disini tergambarkan dari penghuni kompleks yang memisahkan diri dari dunia luar dengan menggunakan sejumlah tindakan pengamanan seperti penjagaan atau area dengan remotkontrol pada pintu masuk, pagar atau dinding. Mengapa komunitas berpagar menjadi pilihan tempat tinggal, menurut Blakely dan Snyder (2007) ada beberapa hal yang menjadi faktor daya tariknya,diantaranya : 1. Komunitas Gaya Hidup, dimana komunitas ini lebih mementingkan keamanan serta pemisahan aktivitas dan sarana yang berbeda dengan lingkungan sekitarnya. Karakter penghuni dari komunitas gaya hidup ini adalah tipe penyendiri, dan menyukai lingkungan yang sesuai dengan kebutuhan hoby atau minat sosialnya, seperti tinggal dirumah di kawasan padang golf, country club atau resort wisata dan kota-kota baru. 2. Komunitas Prestise,yang dilator belakangi oleh keinginan manusia untuk diakui ditengah-tengah masyarakat menjadi alasan utama sebagian orang untuk memilih tinggal dalam komunitas berpagar. Tumbuh kembangnya kompleks perumahan komunitas berpagar sering diidentikkan dengan status
9
Rowland Atkinson & john flint, Fortress UK ? Gated community, The Spasial Revolt of The Elites and Time Space ; Trajectories of Segregation, London 2001. 10 Derek John Fernandez ,Law & Reality: Gated and Guarded communities (GACOS) (Part I & 2)) 2007. 11 Ruang Publik adalah tempat dimana setiap orang memiliki hak untuk datang tanpa dilarang. Ruang public berhubungan dengan sesuatu yang bersifat umum atau komunal, dimana tidak ada pendiskrimanisian dan penguasaan oleh satu pihak tertentu (Wikipedia). Sementara Ruang Publik yang dimaksud secara umum pada sebuah kota, menurut Project for Public Spaces in New York tahun 1984, adalah bentuk ruang yang digunakan manusia secara bersama-sama berupa jalan, pedestrian, taman-taman, plaza, fasilitas transportasi umum (halte) dan museum.
Universitas Indonesia
l14 kekayaan (Roitman, 2005;12 Coy & Pohler, 2002).Bagi penghuni nampaknya rumah bukan lagi sekedar tempat bernaung melainkan sebagai simbol diri dan keluarga. Perumahan jenis ini menawarkan kemewahan, ekslusivitas tersendiri yang memiliki citra kemapanan, harga diri dan prestise. Beberapa penelitian sudah menunjukkan bahwa status sosial dan gengsi sangat berhubungan dengan pemilihan lokasi perumahan yang merupakan satu alasan orang ingin bermukim di sana (Blandy & Lister, 200513; Atkinson & Blandy, 2005; Roitman 2005: 308). Atkinson & Flint juga mengemukakan bahwa komunitas berpagar memiliki masalah yang sangat besar akibat eksklusivitasnya untuk dapat hidup sebagai bagian yang menyatu dengan masyarakat luas. Hal ini karena eksklusivitas ini akan menjadi suatu kerajaan dalam sebuah kota dan akan menciptakan konflik sosial antara masyarakat yang berpunya dan kelompok masyarakat menengah ke bawah.
Hal yang terkait pengaturan
lingkungan,di lingkungan komunitas berpagar ini juga mempunyai peraturan khusus
atau
consensus
(code
of
conduct)
bagi
warganya
untuk
mempertahankan eksklusivitas mereka (Blandy,2005). 3. Zona Keamanan, pilihan atas zona keamanan ini karena faktor ketakutan akan kejahatan dan masuknya orang-orang asing kedalam ranah pribadi. Komunitas berpagar dipilih karena dua pertimbangan, (1) faktor pemagaran sebagai upaya untuk melindungi property dan nilai property, (2) pemagaran sebagai benteng untuk melindungi lingkungan.Bagi masyarakat perkotaan yang terjangkiti oleh “budaya ketakutan” kompleks perumahan dengan tipe komunitas berpagar merupakan tempat untuk mencari perlindungan dari persoalan sosial, termasuk kejahatan (Durrington, 2006: 15014; Grant & Mittelsteadt, 200415: 914-915; Atkinson dkk, 2005). Sebagian lainnya menyatakan,lingkungan perumahan seperti ini biasanya aman, teratur dan dapat diprediksi (Atkinson & Blandy,
12
Roitman, S. (2005), “Who segregates whom? The analysis of a gated community in Mendoza, Argentina”, Housing Studies, Vol. 20 (2), pp. 303-321. http://www.tandfonline.com/doi/abs/10.1080 13 Blandy, S. and Lister, D. (2005) ‘Gated Communities: (Ne)gating Community Development?’ Housing Studies, 20:2, pp. 287 14 Durrington Development Brief Consultation Draf, 2006, Salisbury District Council Forward Planning and Transportation 15 Jill Grant and Lindsey Mittelsteadt,2004 Types of komunitas berpagar. Environment and Planning B: Planning
Universitas Indonesia
15 2005; Quintal & Thomspon, 2007: 103416). Karena itu di dalam komunitas berpagar semua aspek kehidupan warganya dapat dikuasai dan diatur.
Gambar 2.2 : Bentuk Zona Keamanan dengan Pemagaran di Komunitas Berpagar Sumber : www.seos-project.eu
Selain ketiga faktor diatas,fasilitas kelengkapan
yang disediakan oleh
kompleks perumahan menjadi salah satu unsur daya tarik lainnya. Di Amerika Serikat, kelengkapan fasilitas menjadi hal yang penting, misalnya fasilitas yang dibangun khusus, untuk orang yang sudah pensiun (Blakely & Snyder, dlm Grant
16
Dana Quintal and Susan Thompson,2007 Komunitas berpagar: The search for security, The Faculty of the Built Environment, The University of New South Wales
Universitas Indonesia
l16 & Mittelsteadt, 2004 ). Hal lainnya adalah kesamaan komunitas. Kasus di Afrika Selatan dinegara yang dahulunya terkenal dengan politik apartheid tetapi sejak terjadinya perubahan sistem politik
yang mengakui persamaan rasial, telah
mendorong kota-kotanya bertransformasi menjadi kota yang penuh dengan angka kejahatan. Untuk melindungi kelompok minoritas dari tindak kejahatan maka sistem pengamanan dalam areal hunian dibuat semakin tertutup. Kasus seperti ini sebenarnya banyak juga terjadi di kota-kota di Indonesia sejak kerusuhan Mei 1998 ketika permukiman kelompok minoritas mengalami penjarahan akibat kerusuhan sosial. Dari pembahasan secara teori dan praktek mengenai komunitas berpagar dapat disimpulkan keberadaan komunitas berpagar lebih didorong keinginan dari sekelompok komunitas tertentu untuk memisahkan diri dengan pertimbangan gaya hidup, faktor keamanan, kenyamanan dan ketertiban. Penelitian ini akan difokuskan untuk melihat bagaimana dinamika pembangunan sosial di dalam komunitas berpagar. Sehingga diharapkan dapat memberikan kontribusi praktis untuk menyusun kebijakan pembangunan kota berkelanjutan.
2.2
Komunitas
Berpagar
sebagai Sub Sistem Pembangunan
Kota
Berkelanjutan Secara makro kota merupakan bagian dari sistem kota global, dengansemua resiko dan manfaat yang terkandung, serta sebagai akibatglobalisasi dari kehidupan masyarakat yang semakin berubah17. Pengertian ini selanjutnya dilengkapi dengan kejelasan mikro, yaitu kota merupakan sistem dari beragam sarana fisik dan non fisik yang diadakan oleh dan untuk warga masyarakat, serta untuk merangsang dan memfasilitasi aktivitas, serta kreativitas warga, dalam mewujudkan cita- cita politik, sosial, ekonomi, kebudayaan dan lingkungan hidupnya.Kota membuka dan memberi peluang yang sama bagi semua lapisanmasyarakat dalam mencapai kehidupan yang sesuai dengan cita-citanya.
17
Kota global (juga disebut kota dunia) merupakan sebuah kota yang dianggap menjadi titik penting dalam sistem ekonomi global. Sebutan "kota global", lain dari megakota, diciptakan oleh Saskia Sassen untuk menyebut London, New York dan Tokyo dalam karya tahun 1991 The Global City
Universitas Indonesia
17 Menurut Bintarto (1981), dari segi geografis kota diartikan sebagai suatu sistim jaringan kehidupan yang ditandai dengan kepadatan penduduk yang tinggi dan diwarnai dengan strata ekonomiyang heterogen dan bercorak materialistis atau dapat pula diartikan sebagai bentang budayayang ditimbulkan oleh unsurunsur alami dan non alami dengan gejala-gejala pemusatan penduduk yang cukup besar dengan corak kehidupan yang bersifat heterogen dan materialistis dibandingkan dengan daerah dibelakangnya Menurut Sujarto (2004) dalam sistem pembangunan kota terdapat
dua
komponen sub sistem yaitu sub sistem substantive (perencanaan, ekonomi dan tata ruang) dan sub sistem territorial (wilayah, daerah atau kawasan).18Komunitas berpagar adalah bagian dari sub sistem kawasan. Kawasan adalah suatu wilayah teritorialyang didasarkan kepada batasan fungsional yaitu sebagai suatu wilayah yang mempunyai perwatakan tersendiri seperti kawasan pusat kota , perdagangan, permukiman, perkantoran dan rekreasi19. Komunitas berpagar saat ini
telah menjadi adalah fenomena yang
berkembang di seluruh dunia tidak hanya terbatas pada negara-negara maju . Komunitas berpagar memiliki potensi untuk mempengaruhi masa depan perkotaan di abad ke 21 dan menjadi paradigma baru untuk perencanaan kota dan desain perkotaan ( Karina Landman ,2000)20. Paradigma baru dalam konsep perencanaan pembangunan kota saat ini lebih menekankan pada konsep pembangunan kota berkelanjutan. Konsep ini tidak hanya menekankan arti pembangunan hanya dilakukan pada sub –sub sistem perencanaan atau bagianwilayah kota saja, tetapi lebih mengedepankan pada pendekatan holistik dan terpadu pada setiap unsur pembangunankota secara keseluruhan untuk saat ini dan selanjutnya. Hasil penelitian Karina Landman (2000) terhadap perkembangan komunitas berpagar,menggambarkan
beberapa bentuk keprihatinan kritis
terhadap perkembangan komunitas berpagar dan hasilnya menunjukkan potensi dampak negatif
terhadap
keberadaan
komunitas berpagar
pada
tujuan
18
Sujarto, Djoko. Modul Kuliah Pengantar Planologi, Penerbit ITB, 2004 Ibid 20 Karina Landman, Gated Community and Urban Sustainability : Taking A Closer Look at The Future, 2000) 19
Universitas Indonesia
l18 pembangunan kota berkelanjutan seperti berkelanjutan ekonomi perkotaan , masyarakat urban , kehidupan urban dan demokrasi perkotaan. Mengingat konsep kota berkelanjutan merupakan salah satu bagian dari perencanaan dan manajemen pembangunan kota , maka semua unsur yang terkait didalamnya harus dipertimbangkan . Komunitas berpagar adalah bagian dari subsistem wilayah pembangunan kota yang harus mendapatkan pertimbangan dan kajian yang cermat . Komunitas berpagar saat ini telah menjadi fenomena global dalam pembangunan kota-kota dunia. Pengertian pembangunan kota berkelanjutan secara prinsipil selaras dengan pengertian pembangunan berkelanjutan, dimana perspektif ruang difokuskan pada ruang perkotaan. Sebagaimana dinyatakan oleh Urban21 Conference (Berlin, July 2000), pembangunan kota berkelanjutan diartikan sebagai upaya meningkatkan kualitas kehidupan kota dan warganya tanpa menimbulkan beban bagi generasi yang akan datang akibat berkurangnya sumberdaya alam dan penurunan kualitas lingkungan21. Konsep sustainable development itu sendiri menurut Komisi Bruntland22, dari World Bank didefinisikan sebagai sebuah konsep pembangunan yang mewariskan modal-modal pembangunan berupa sumber daya manusia, kerekatan sosial, sumberdaya alam dan lingkungan, serta infrastruktur buatan manusia kepada generasi selanjutnya dengan jumlah yang sama sehingga mereka memiliki kesempatan membangun yang sama dengan generasi saat ini23. Melalui Program UN Habitat untuk “kota berkelanjutan� (sustainable cities) telah dirumuskan apa yang dimaksudkan dengan
kota berkelanjutan,
yaitu “ sustainable city is a city where achievements in sosial, economic, and
21
Habitat International Coalition , Documents, Declarations, Charters, Berlin Declaration On Urban Future, Declaration of The Official (governmental) Urban 21 Conference 6 July,2000 22 Berawal dari World Conservation Strategy (strategi komisi dunia) yang diterbitkan oleh United Nations Environment Programme (UNEP), International Union for Conservation of Nature and Natural Resources (IUCN), dan World Wildlife Fund (WWF) pada tahun 1980 yang memperkenalkan istilah Sustainable Development. UNEP menyelenggarakan sidang istimewa memperingati gerakan lingkungan dunia yang sudah berjalan selama 10 tahun (1972 – 1982) di Nairobi, Kenya. Dalam sidang terpilih sebagai ketua komisi yakni PM Norwegia Gro Harlem Brundtland 23 Serageldin Esmail (1995), Sustainability and the Wealth of Nations, Monitoring Environmental progress : A Report on Work in Progress ; Washington,DC 1996
Universitas Indonesia
19 physical development are
made
to
last”24. Dimana
indicator-indikator
kesuksesannya diukur pada hal-hal sebagai berikut ; 1. Efisiensi ekonomi dalam pembangunan kota dengan menggunakan sumber daya (termasuk sumber daya alam dan manusia). 2. Persamaan status sosial dalam distribusi keuntungan / manfaat pembangunan kota dan biaya pembangunan kota, dengan cara memberi perhatian yang lebih special pada kelompok masyarakat berpendapatan rendah. 3. Menghindari pengambilan sumberdaya untuk hal-hal yang tidak penting sebagai sebuah pilihan pembangunan masa depan. Sementara itu, seiring dengan
program yang telah dicanangkan UN
Habitat, Half and Pfeiffer (2000) telah dikembangkan gagasan “multiple sustainable” sebagai sebuah kunci dari dimensi aspek pembangunan kota berkelanjutan yang harus diaplikasikan disetiap kota, diantaranya ; (1) keberlanjutan ekonomi kota (2) keberlanjutan sosial kota (3) keberlanjutan hunian kota (4) keberlanjutan lingkungan kota (5) keberlanjutan akses kota (6) keberlanjutan kehidupan perkotaan (7) keberlanjutan demokrasi kota25. Untuk pembangunan kota di Indonesia sendiri, penyusunan indikatorindikator “sustainable development” sebenarnya telah dikembangkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup.26Indikator-indikator yang diusulkan diantaranya adalah ; (1) Indikator kualitas hidup yang terdiri dari kualitas hidup, pengembangan sumberdaya manusia, hak azasi manusia, serta kesetaraan gender, kondisi, kedudukan dan hak perempuan, (2) Indikator integritas sumberdaya yang dibagi menjadi sumberdaya alam dan sumberdaya buatan (prasarana), serta kondisi sumberdaya manusia dan sumberdaya sosial (3) Indikator mengenai penyelenggaraan kepemerintahan yang baik, dimana kapasitas sektor swasta dan masyarakat sipil menjadi indicator dalam konsep “sustainable development”. Hasil penelitian Landman (2000) , terkait hubungan antara perkembangan komunitas berpagar dan urban sustainability di Afrika Selatan, telah
24
UN Habitat, Urban Sustainability Concept : Sustainable cities Program,1994 Hall,P & U.Pfeiffer, Urban Future 21; A Global Agenda For Twenty-First century Cities, London 2000. 26 Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup; Indikator Pembangunan Berkelanjutan ; Upaya Mencapai Kehidupan yang Makin Berkualitas, Kerjasama Kantor Menteri Negara Lingkungan hidup dan Program Pembangunan PBB, Jakarta.2000. 25
Universitas Indonesia
l20 menghasilkan enam karakter yang menjadi indicator keberlanjutan pembangunan di lingkungan komunitas berpagar27. Keenam issue utama yang terkait dengan komunitas berpagar, antara lain ; 1. Sense of community Hasil beberapa studi international, menemukan indikasi bahwa keberdaaan komunitas berpagar dapat meningkatkan sekaligus mengurangi senses of community. Hasil penelitian di Afrika Selatan (Landman, 2000), menunjukan sebagian besar penghuni menyatakan komunitas berpagar telah meningkatkan sense of community mereka. Sementara dibeberapa tempat justru terjadi ketegangan dan permusuhan akibat tinggal di komunitas berpagar.
2. Safety and Security Issue safety and security, meliputi tiga aspek, yaitu reduction of crime, displacement of crime dan response time. Hasil penelitian Blakely & Snyder (1997), menemukan komunitas yang tinggal di zona keamanan yang ketat seperti di komunitas berpagar telah mengurangi tingkat kriminalitas. Sementara terkait issue crime displacement dibanyak kasus di Amerika, telah menimbulkan dampak negative terhadap urban sustainability khususnya untuk perencanaan spasial, seperti dampak manajemen kota dan fungsi dari lingkungan kota yang efektif. Pada kasus yang terkait dengan response time ini adalah adanya specific point sebagai rute yang paling cepat untuk diidentifikasi ketika terjadi kriminalitas di dalam lingkungan komunitas berpagar. Dibeberapa kasus dari hasil penelitian, para penghuni dapat memblokir rute tanpa memberitahu pihak berwajib ketika terjadi kasus kriminalitas. Sementara pada aspek safety, adalah munculnya rasa kenyamanan publik baik untuk penghuni dan bukan penghuni. Khususnya pada
pengembangan
mixed-use
dimana
hunian
terintegrasi
penggunaan fungsi yang lain seperti komersial dan fasilitas.
27
dengan
28
Karina Landman, Gated Community and Urban Sustainability : Taking A Closer Look at The Future, 2000) 28 Hall,P & U.Pfeiffer, Urban Future 21; A Global Agenda For Twenty-First century Cities, London 2000.
Universitas Indonesia
21 3. Social Exclusion Blakely & Snyder (1997) didalam penelitiannya, mengungkapkan dengan adanya gates (gerbang) dan wall (dinding), penghuni dapat terpisahkan dengan dunia luar, bukan hanya dari penghuni luar lingkungan mereka, tetapi juga suasana dan orang-orang yang menjadi tetangga mereka (neighbourhood). Komunitas berpagar dapat menciptakan jurang pemisah untuk berinteraksi dan kemungkinan menambah masalah dalam sebuah jaringan sosial yang dapat dilihat dari peluang aktivitas ekonomi dan sosial. Menurut Hall & Pfeifer, komunitas berpagar juga dapat menambah eksklusi sosial dan politik yang dapat menyentuh pada dimensi sustainability, seperti dinyatakannya “ A city that prospers economically, but fails to distribute the wealth with some degree of equity, runs the clear risk that is integrates into civil war between the haves and haves-nots, a war in which both sides are losers�29. Mengacu pada kondisi ini Landman (2000) menyatakan pertumbuhan komunitas berpagar tidak memberi subtitusi untuk sebuah kota, termasuk lingkungan didalam kota yang menciptakan lingkungannya sendiri tanpa mengintegrasikan dengan lingkungan sekitarnya. Komunitas berpagar juga memiliki potensi untuk menghalangi hak sesama penghuni dan mengganggu keberlanjutan kota dalam jangka waktu yang panjang. Komunitas berpagar hanya dapat diukur dari keberhasilannya untuk mengurangi kriminalitas dan ketidakstabilan keamanan didalam dan diluar lingkungan. 4.
Urban Fragmentation & Separation Komunitas berpagar secara fisik terpisah dengan lingkungan luar dan merupakan area yang spesifikyang menciptakan zona atau kantong tersendiri dengan akses yang terpisah dari struktur kota (urban fabric). Hasil penelitian di kota-kota Afrika Selatan ,pemisahan antara komunitas berpagar dengan lingkungan kota telah menimbulkan ketegangan sosial dan politik. Keberadaan komunitas berpagar, terhadap urban sustainability, terjadi pada kasus social coherence, sustainable urban acces dan sustainable urban life. Pada kasus lain terjadi peningkatan kepemilikan dan penggunaan mobil, seperti pada kasus kota-kota baru di pinggiran
29
Jakarta. Peningkatan
Ibid, p.23
Universitas Indonesia
l22 kepemilikan kendaraan telah mengurangi peluang dari keberlanjutan public transport system. Dalam konteks urban management & functioning, seperti tuntutan terhadap kualitas hidup perkotaan, keberadaan komunitas berpagar semakin dipertanyakan. 5.
Urban Planning & Management. Keberadaan komunitas berpagar sangat mempengaruhi issue perencanaan kota dan manjamen pengelolaan kota. Otoritas kewenangan lokal (pengembang) telah menutup akses bagi pelayanan lingkungan kota, karena telah terbentuk sistem regulasi yang mengikat antara penghuni dan pengelola. Ketidakaturan pembangunan komunitas berpagar telah menambah beban infrastruktur kota dalam bentuk kepadatan pergerakan dan ketidaknyamanan berlalu lintas. Hasil penelitian dibeberapa kota menunjukan efek negative dari keberadaan komunitas berpagar terhadap beban biaya pengelolaan kota dan semakin tingginya jaringan jalan yang dibutuhkan menimbulkan efek keberlanjutan dalam konteks ekonomi kota dan aksesibilitas.
6. Finacial Implication Developer yang mengelola komunitas berpagar mempunyai hak untuk mengelola “iuran lingkungan � atau semacam pajak retribusi kota yang bersifat privatisasi. Kondisi ini dapat menimbulkan dampak yang signifikan terhadap urban economic sustainability, karena hilangnya sumber pendapatan yang dapat mensubsidi areal perkotaan lainnya. Pengembang yang menggunakan komunitas berpagar, mengklaim bahwa penggunaan gate (gerbang) akan meningkatkan nilai property, tetapi biaya pengelolaan dibebankan kepada penghuni. Dalam penambahan beban biaya ini, bagi penghuni dengan pendapatan rendah dapat menimbulkan konflik dan menyebabkan loss of capital investment. Dari enam issue yang terkait hubungan antara komunitas berpagar dan pembangunan kota berkelanjutan, Landman (2000) berkeyakinan bahwa komunitas berpagar merupakan salah satu ide yang berpotensi untuk mentransform lingkungan perkotaan (urban environment) secara radikal. Penelitian Landman lainnya mengenai implikasi komunitas berpagar dan urban
Universitas Indonesia
23 sustainability di Enclosed Neighborhood di Afrika Selatan, adalah pengembangan compact mixed-use. Model Kota Kompak ( Compact City) telah menjadi solusi alternatif dari urban sprawl dimana kota kompak lebih menitikberatkan tentang intensifikasi kota, menciptakan batas pertumbuhan kota, pembangunan mixed-use, dan memfokuskan pada transportasi publik dan urban design.
Pengembangan
compact mixed-use saat ini telah marak berkembang di kota-kota di Indonesia yang dikembangkan dengan model komunitas berpagar. Permukiman Alam Sutera telah menggunakan konsep compact city sebagai cara untuk menjawab kebutuhan kota dimasa depan. Pilihan pada konsep compact mixed-use nodes ini dipilih karena dianggap mampu mengurangi aktivitas/perjalanan masyarakat dari satu tempat ke tempat lainnya. Konsep komunitas berpagar didalam compact mixed-use diharapkan akan mampu menciptakan lingkungan hunian yang lebih sustain(berkelanjutan) . Konsep compact mixed-used nodes, telah menjadi pilihan dalam konsep pembangunan kota di masa depan, karena lebih menekankan pada aspek efisiensi baik dari sisi pemilihan tempat tinggal, tempat bekerja dan kemudahan mobilitas. Seperti yang dapat dilihat pada gambar model dibawah ini.
Gambar 2.3 : Konsep Compact City
Universitas Indonesia
l24
Gambar 2.4 : Sistem Pengembangan Compact City
2.3 Pembangunan Sosial sebagai Pilar Pembangunan Kota Berkelanjutan Kata
berkelanjutan
dapat
diartikan
sebagai
pola
pembangunan
manusia.Pembangunan manusia dimaknai sebagai bentuk perluasan kebebasan dan kapabilitas orang untuk memiliki pilihan-pilihan hidup yang bernilai30. Makna dari pembangunan manusia lebih luas dari sekadar kebutuhan dasar.UNDP menekankan bahwa pembangunan manusia adalah proses untuk memperluas pilihan manusia. Diantara pilihan paling penting adalah harapan hidup, baik dari segi kuantitas (lamanya hidup) maupun kuantitas (tingkat kesehatan jasmani dan rohani). Manusia harus memiliki kemampuan untuk hidup secara layak. Pilihan lain yang tidak kalah penting adalah kekebasan politik yang bisa menjamin hak asasi dan harga diri manusia terealisasi dengan baik. Dalam Human Development Report tahun. 1995, PBB menyebutkan bahwa unsure essential dari paradigma “human development� adalah:
30
Laporan Indeks Pembangunan Manusia (UNDP) Tahun 2011
Universitas Indonesia
25 1. Produktivitas: manusia mampu meningkatkan produktivitasnya
dan
berpartisipasi penuh dalam proses kerja (employment). 2. Equity: manusia harus memperoleh kesempatan yang sama. Segala bentuk hambatan yang diskriminatif harus dilenyapkan 3. Sustainability: kesempatan pembengunan tidak hanya tersedia bagi generasi sekarang tetapi juga bagi generasi selanjutnya. 4. Empowerment: Pembangunan harus dilakukan oleh manusia mulai dari pengambilan keputusan sampai pelaksanaan. Untuk memahami model-model pembangunan yang diterapkan oleh suatu negara, Martin Staniland (1985) membuat kategorisasi kedalam empat orientasi, yang selanjutnya menjadi fokus utama ke arah mana pembangunan itu dijalankan oleh negara tersebut. Pertama, orthodox liberalism adalah bentuk pembangunan yang diterapkan
oleh
mengagungkan
negara konsep
yang
dalam
individualisme.
proses
pembangunannya
sangat
Konsep
ini menganggap
bahwa
masyarakat hanya sekedar sebagai agregasi dari sintesa seluruh kepentingan individu. Model ini biasa dipakai oleh negara-negara dengan sistem ekonomi kapitalisme. Kedua, social critique of liberalism, adalah respon dari model yang pertama. Pandangan ini menghujat konsep liberal-ortodoks yang seolah-olah menegasikan kepentingan sosial dalam pembangunan ekonomi. Menurut pandangan ini, model pembanginan yang pertama mengesankan bahwa kehidupan individu berada dalam isolasi dan ruang kosong. Karenanya, kepentingan sosial mesti disertakan dalam pembangunan ekonomi. Ketiga, economism perspektive, sepintas model ini mirip dengan liberal ortodoks. Perbedaannya adalah posisi kebijakan-kebijakan ekonomi dianggap sebagai segala-galanya. Kebijakan politik dan aktifitas kenegaraan lainnya harus ditentukan oleh tindakan-tindakan ekonomi. Keempat, policism perspektive. Menurutnya, justeru faktor-faktor politiklah yang mesti dominan dalam seluruh rangkaian kebijakan ekonomi. Sejak tahun 50 an - konsep “pembangunan� yang terlalu mengutamakan pertumbuhan ekonomi (growth oriented), telah menuai banyak kritik. Konsep ini
Universitas Indonesia
l26 dianggap
tidak
berhasil membangun harkat dan martabatmanusia
secara
“hakiki”31. Berdasarkan data agregat yang berskala dunia yang dibuat oleh PBB, mencatat bahwa pembangunan dengan model ini hanya menghasilkan pertumbuhan secara material, sehingga menimbulkan berbagai permasalahan diantaranya: (1) Tidak mampu menghasilkan lapangan kerja yang memadai (jobless growth).(2) Tidak mengenal belas kasihan (ruthless growth), karena cenderung menguntungkan sebagian orang saja, tetapi “menterlantarkan” lebih dari satu milyar orang di dunia ini yang hidup dibawah garis kemiskinan.(3) Tidak mengakar pada dinamika ekonomi masyarakat setempat, bahkan cenderung mencabut manusia dari akar budayanya (rootless growth).(4) Terlalu banyak ditentukan oleh para “pemimpin pembangunan” (tehnokrat), tetapi kurang mampu mendengar dan mengakomodasi aspirasi rakyat, terutama kaum perempuan (voiceless growth).(5) Tidak jelas masa depannya, karena telah merusak lingkungan dan “menghabiskan” sumberdaya yang tak dapat diperbarui sampai tingkat yang amat mengkhawatirkan (futureless growth). Pembangunan
yang
berorientasi
deterministik ini dikritik karena dianggap
pada
pertumbuhan dan
banyak mengandung
bersifat
kelemahan.
Ideologi pembangunan yang sering disebut sebagai “developmentalism”32saat ini dihadapkan dengan munculnya bentuk ideology pembangunan baru yang lebih banyak menggunakan istilah “pemberdayaan”. Konsep pembangunan
ini
mencoba menyeimbangkan aspek material dan ekonomis dengan aspek-aspek sosial-budaya33. 31
Paulus Wirutomo,(2011), Pembangunan Sosial Budaya, Studi Kasus Pembangunan Sosial Budaya di Lembata. 32 Arif Budiman (Gagasan Dasar Developmentalisme – Suryo Alfarizi, 2012) membagi teori pembangunan kedalam tiga kategori besar: yaitu modernisasi, dependensi, dan pasca-dependensi. Teori Modernisasi meletakkan faktor manusia dan budayanya yang dinilai sebagai elemen fundamental dalam proses pembangunan. Kategori ini dipelopori oleh orang-orang seperti: (1) Harrod Domar dengan konsep tabungan dan investasi (saving and investation), (2) Weber dengan tesis etika protestan dan semangat kapitalisme (The Protestan Ethics and The Spirit of Capitalism) (3) David McClelland dengan konsep kebutuhan berprestasi (Need of achievement), (4) WW. Rostow dengan lima tahap pertumbuhan ekonomi (the five stage of economic growth) (5) Alex Inkeles dan David Smith dengan konsep manusia modern, serta (6) Bert Hoselitz dengan konsepkonsep faktor-faktor non-ekonominya. 33 Secara teoritis, diskursus pembangunan memang acapkali dilandasi oleh perspektif berbeda, yang hal itu kemudian menimbulkan perdebatan sengit. Perdebatan teoritik ini dipandang sebagai sesuatu yang wajar karena ia bermula dari perbedaan paradigma atau sudut pandang yang berupa ruang, waktu sekaligus kepentingan yang berbeda pula. Tetapi meskipun paradigma yang digunakan untuk menjelaskan pembangunan tersebut berbeda, hal itu tetap tidak menghalangi
Universitas Indonesia
27 Paradigma pembangunan baru ini disebut sebagai Pembangunan yang “berpusat pada manusia” (People Centred Development). Ciri penting dari paradigma baru ini adalah “menempatkan manusia sebagai pusat (tujuan akhir)dari aktivitas pembangunan dan bukan hanya sebagai alat”34. Diantara kedua teori pembangunan tersebut terdapat pola perbedaan pendekatan diantara keduanya, antara lain: 1. Pendekatan developmentalisme lebih cederung bersifat makro dan banyak mengandalkan pada generalisasi, sehingga banyak menggunakan grand theories (teori besar yang berlaku
umum dan universal), sementara
pendekatan baru lebih percaya pada diferensiasi, sehingga lebih banyak menggunakan “middle range theory” (teori yang lebih spesifik) bahkan seringkali bekerja dengan mengandalkan pada “teori lokal” ( local knowledgesertalocal wisdom). 2. Pendekatan lama cenderung mengunakan konsep, indikator dan modelmodel yang dirancang dibelakang meja (unreflexive), sedangkan pendekatan baru menganggap pembangunan adalah suatu proses “social learning” yang terus menerus. Pembangunan memberikan feedback yang perlu ditanggapi, jadi sifatnya sifatnya harus “reflexive”. 3. Pendekatan
lama
cenderung
bersifat
sektoral,
mengkotakkan
pembangunan kedalam bidang ekonomi, sosial, politik, budaya dsb. Pendekatan seperti ini masih bersifat multi disiplin. Pendekatan baru lebih bersifat interdisiplin, intersektoral atau cross sektoral yakni berusaha untuk menjembatani “gap” antar sector dan berusaha mencari titik singgung dan titik temu antar bidang ilmu (embeddedness) sehingga menghasilkan cabang-cabang baru seperti ilmu ekonomi kelembagaan, sosiologi perekonomian, konsep social capital dsb. Pendekatan ini bersifat holistic. 4. Pendekatan lama menekankan pada perdebatan tentang aktor yang memainkan peran utama dalam pembangunan , menarik antar
pendekatan
sehinga muncul tarik
“state-led development”, “market-led
development” atau “society-led development”, sementara itu pendekatan penyimpulan yang menyatakan bahwa kajian pembangunan adalah kajian tentang perubahan sosial (social change).(Suryo Alfarizi, 2012) 34 Paulus Wirutomo,(2011), Pembangunan Sosial Budaya, Departemen Sosiologi UI
Universitas Indonesia
l28 baru lebih menitik beratkan pada sinergi antar kekuatan-kekuatan tersebut. Pendekatan baru melihat pembangunan sebagai “public action”. 5. Pendekatan lama cenderung mengasumsikan bahwa pembangunan akan menghasilkan masyarakat yang homogen diseluruh dunia. Pendekatan ini percaya bahwa semua kegiatan pembangunan akan bermuara pada suatu kondisi atau tujuan yang sama yaitu “modernisasi” bahkan “westernisasi” (seperti yang terjadi pada masyarakat “Barat”), sehingga pendekatan ini mengandalkan pada golongan yang kuat. Pendekatan ini melihat pembangunan sebagai bantuan kemanusiaan untuk menyembuhkan masyarakat yang sakit atau kekurangan. Pendekatan baru cenderung bersifat “seimbang” (balanced) antar berbagai kelompok atau golongan. Pendekatan ini melihat kemungkinan terjadinya “politics of difference”, adanya kemungkinan polarisasi didunia yang akan menghasilkan kontrak global antar bangsa di dunia ( Jan Pieterse, 2001). Pemikiran yang terkandung dalam konsep Pembangunan Berpusat Pada Manusia telah memberikan koreksi yang mendasar pada paradigma lama dan menunjukkan arah yang amat menjanjikan bagi pembangunan manusia dimasa depan. Akan tetapi pada kenyataannya proses perubahan paradigma tersebut tidak mudah dan masih banyak inkonsistensi yang terjadi. Perubahan paradigma bukan suatu hal yang mudah karena menyangkut perubahan mendasar “cara berpikir” manusia yang telah berlangsung cukup lama. Uraian diatas menunjukkan bahwa merubah paradigma pembangunan yang lama bukanlah pekerjaan mudah. Paradigma pembangunan yang baru harus merupakan pembangunan yang seimbang antara aspek ekonomi dengan aspek-aspek kehidupan manusia lainnya. Hal terpenting dari pembangunan aspek sosial-budaya adalah “nilai” yang membimbing pembangunan itu, misalnya nilai keadilan, kerukunan, kemandirian dsb. Pembangunan yang hanya berorientasi pada pertumbuhan jelas bukan merupakan pembangunan “yang sebenarnya” karena tidak ada substansi nilai-nilai yang menjadi acuannya. Teori lama perlu dikoreksi (Trickling-down effect, growth pole, basic human needs dsb.) digantikan dengan capacity building, sutainable
Universitas Indonesia
29 development, community based development dsb.Dominasi financial dan physical capital harus diimbangi dengan social capital dan cultural capital. Pembangunan sosial adalah proses pembangunan yang melibatkan manusia,
bukan benda.35 Tujuan utamanya adalah membangun harkat
kemanusiaan, sementara pembangunan fisik / kebendaan hanyalah akibat dan sarana
untuk
pencapaian
tujuan-tujuan
yang
bermuara
pada
manusia.
Pembangunan Sosial bukanlah pembangunan “individual”: artinya pembangunan sosial adalah menyangkut perbaikan bagi orang banyak, bukan perorangan atau sekelompok kecil orang. Pembangunan sosial adalah pembangunan yang dinikmati oleh masyarakat luas. Oleh karena itu masalah kesenjangan antar kelompok adalah suatu masalah sosial. Pembangunan sosial adalah suatu usaha untuk mengurangi kesenjangan tersebut. Prinsip pembangunan sosial adalah
menemukan dan mencipta suatu
tatanan sosial yang baru (social forms) yaitu dengan cara mengembangkan “sumber-sumber energi sosial yang baru”
36
.Pendekatan ini menyiratkan bahwa
suatuperubahan sosial yang dapat diterima masyarakat dan dapat “berkelanjutan” haruslah dihasilkan oleh energi yang berasal dari masyarakat itu sendiri.Bila kita gagal mengembangkan energi di masyarakat , maka kita akan menciptakan suatu “passive society” atau bahkan “parasitic society” dimana manusia tidak mampu mengembangkan makna yang berarti dan membanggakan dalam perannya didalam masyarakat (du Bois 2001). Perubahan yang ditargetkan oleh suatu pembangunan sosial adalah perubahan sosial. Yakni, perubahan pada norma dan nilai dalam pranata sosial yang menghasilkan pola interaksi,dan lebih dalam lagi pola hubungan sosial, baik diantara individu maupun di antara kelompok.Pembangunan sosial adalah suatu wujud ”inti” dari proses pembangunan untuk perbaikan manusia dalam dimensi "sosial"-nya. Perubahan yang hanya menguntungkan kelompok tertentu
dan
menciptakan kepincangan dan kesenjangan di dalam sistem bukanlah tujuan dari pembangunan sosial karena justru mengakibatkan mutu hubungan sosial atau interaksi sosial akan merosot. 35 36
Ibid Ibid ,-
Universitas Indonesia
l30 Manusia adalah obyek dan sekaligus subyek pembangunan sosial. Pembangunan kebendaan hanyalah akibat dan sarana untuk mencapai tujuantujuan yang bermuara pada manusia. Penekanan dari pembangunan sosial adalah pemerataan dalam pemberian sarana dan hak-hak manusia yang paling dasar seperti kesamaan memperoleh kesempatan, kebebasan menyatakan pendapat dan menentukan nasib sendiri, keadilan, partisipasi, demokrasi, dan sebagainya (inklusi sosial). �Pemisahan�
konsep pembangunan sosial dari konsep
pembangunan ekonomi tentu saja bukan dimaksudkan untuk mempertentangkan keduanya atau memisahkan pelaksanaannya atau bahkan melihat keduanya sebagai suatu pilihan yang mutually exclusive. Tetapi justru untuk saling menyeimbangkan dan melengkapi, sehingga gabungan perencanaan sosial, perencanan ekonomi, serta perencanaan fisik akan menjadi perencanaan pembangunan yang seimbang dan serasi. Dalam pembangunan sosial keikutsertaan atau partisipasi masyarakat bukan hanya sekedar merupakan suatu alat atau cara, tetapi merupakan bagian dari tujuan, karena dalam keikutsertaannya yang aktif dan kreatif itulah hakikat manusia sebagai mahluk yang memiliki aspirasi dan harga diri diwujudkan dan sekaligus ditingkatkan mutunya.Bila Pembangunan Sosial menekankan pada perubahan pola perilaku masyarakat, maka itu berarti pembangunan sosial harus diarahkan untuk meningkatkan kwalitas sistem nilai dan norma di dalam masyarakat. Secara sederhana pembangunan sosial juga dapat disebut sebagai pembangunan untuk semua, bukan pembangunan untuk individu atau sekelompok golongan atau lapisan masyarakat tertentu37. Makna pertumbuhan ekonomi yang tinggi akan berkurang bila hanya dinikmati oleh segelintir warga negara. Intinya adalah pembangunan sosial hendak meraih kemajuan dan kemakmuran bersama bukan kemajuan untuk sekelompok orang saja.Jadi pembangunan sosial adalah pembangunan yang menempatkan faktor kualitas hidup manusia diatas segalanya, bukan pencapaian angka, indicator makro dan pengukuran agregat semata.
37
Paulus Wirutomo,(2011), Pembangunan Sosial Budaya, Departemen Sosiologi UI
Universitas Indonesia
31 2.4 Struktur , Kultur dan Sosial.
Proses Sosial sebagai Elemen Pembangunan
Wujud pembangunan sosial adalah terletak pada praktek sosial pada semua elemen societal yang paling mendasar (secara sosiologis) yaitu struktur, kultur dan proses sosial. Usaha sistematis dan terencana untuk membangun ketiga elemen dasar societal inilah yang disebut sebagai Pembangunan Sosial38. Penjelasan teoritikal
dari ketiga elemen societal ini dibutuhkan agar konsep
pembangunan sosial yang disusun didalam penelitian ini dapat menjelaskan bagaimana peran dari masing elemen societal ini dapat dijelaskan peran dan fungsinya. Selain ketiga elemen penting tersebut , terdapat perpaduan atau irisan antar ketiga elemen sosial tersebut yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari konsep pembangunan sosial. Interaksi antar elemen-elemen dasar tersebut membentuk perpotongan, antara lain meliputi ; structured process (proses yang distrukturkan), processed structure ( struktur yang diproses), cultured process (proses yang dibudayakan), processed culture ( kultur yang diproses kembali), cultured structure (struktur yang membudaya) dan structured culture (kultur yang distrukturkan)39. Sementara konsep inklusi yang berada ditengah posisinya antar gabungan dari ketiga elemen societal ini adalah sebagai inti dari pembangunan sosial . Hal ini dimaksudkan agar arah tindakan/ perbuatan dan kebijakan dapat mengarah pada kehidupan yang lebih emansipatoris (setara) dan inklusif. Konsep inklusi mengacu pada “pemberian kesempatan pada semua warga masyarakat untuk memperoleh hak-hak dasar dan materi agar dapat berpartisipasi dalam segala aspek kehidupan bermasyarakat 40. Oleh karena itu pembangunan di bidang apapun (ekonomi, fisik, hukum, agama) harus berlandaskan pada pembangunan ketiga elemen dasar itu. 38
Paulus Wirutomo (2012), Sosiologi untuk Jakarta ;Menuju Pembangunan Sosial Budaya, Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Jakarta (LPMJ),Jakarta 39 40
Ibid Ibid ,(2011), Bahan Kuliah ,Pembangunan Sosial Budaya, Departemen Sosiologi UI
Universitas Indonesia
l32
Kultur yang Distrukturkan
Proses yang Distrukturkan
Struktur Struktur yang Membudaya
Struktur yang Diproses
Inklusi Sosial
Kultur
Kultur yang Diproses kembali
Proses
Proses yang Dibudayakan
Gambar 2.5 : Elemen Pembangunan Sosial
2.4.1 Struktur Struktur sosial merupakan salah satu konsep dasar dalam sosiologi dan teori-teori mengenai struktur sosial seringkali menekankan pada satu sisi dari dikotomi antara struktur dan tindakan. Konsep struktur sosial dikemukakan oleh Comte, Herbert Spencer dan Emile Durkheim untuk menggambarkan pola-pola tindakan sosial yang terorganisasi. Konsep ini menjadi gagasan inti bagi teori struktur fungsional yang membentuk mainstream sosiologi pada abad ke 20 an. Kata struktur menunjukan suatu aktivitas membangun sesuatu dan menghasilkan produk akhir yaitu membangun suatu tindakan. Konsep ini pada awalnya menunjuk pada bangunan fisik dan keseimbangan kekuatan fisik dari dalam yang memperlihatkan adanya solidaritas. Dari pemaknaan ini konsep struktur sosial kemudian diperluas pada hubungan-hubungan yang membentuk organism
Universitas Indonesia
33 biologis dan berbagai macam organ, berbagai macam batuan yang membentuk bumi dan susunan atom sampai molekul (Scott,2010). Pengertian struktur sosial dapat juga digambarkan
sebagai institusi-
institusi atau norma-norma yang dibangun dan digunakan sebagai pedoman bagi perilaku pelaku sosial. Struktur menjadi hal yang penting. sebagai penyebab tindakan seseorang atau organisasi sebagai bagian dari pedoman yang mendasari struktur dalam sebuah sistem sosial. Struktur sosial, memiliki banyak tipe yang dapat dilihat dengan cara menggambarkan dan menjelaskan berbagai pola yang bertahan dan berulang-ulang yang ditemukan dalam perilaku sosial dan berbagai elemen yang membentuk sistem sosial. Redfield (1963) menyatakan struktur sosial adalah sebuah istilah yang berdimensi luas, berliku-liku dan bercabang cabang seperti sebuah pohon dalam studi tentang sebuah komunitas. Durkheim melihat struktur sosial, sebagai representasi kolektif masyarakat yang mengatur harapan individu ke dalam lembaga sosial, yaitu norma sosial yang membatasi harapan individu terhadap orang lain. Lembaga- lembaga tersebut membentuk hubungan kolektif yang membawa inidvidu ke dalam hubungan diantara mereka serta tindakan mereka. Hubungan sosial tersebut dikelompokkan ke dalam urutan yang berbeda yang merupakan “bagian� dalam struktur masyarakat, terkait seperangkat hubungan sosial yang memiliki fungsi tertentu dalam kesatuan masyarakat. Pola-pola aktivitas sosial ini ditekankan melalui struktur kelembagaan dan hubunbgan struktur yang didasarkan pada sosiologi fungsional struktural. Sementara Parson (1960) mendefinisikan
struktur sosial sebagai
seperangkat hubungan yang relative stabil sebagai satu kesatuan yang menghasilkan bentuk orientasi tindakan yang bersifat normative. Tekanan yang diberikan Parson dalam struktur sosial ini adalah pada aspek kelembagaan yang dilihat sebagai sebuah kerangka masyakarat. Struktur sosial diartikan sebagai pola-pola normative apa yang dirasakan masyarakat sebagai sesuatu yang baik, sah menyangkut perilaku atau hubungan sosial yang diharapkan. Struktur sosial mengatur dan mengarahkan tindakan seseorang dengan mengembangkan standar norma-norma perilaku. Menurut Merton, standar norma-norma ini sebagai
Universitas Indonesia
l34 struktur budaya yang membawa penggambaran ini pada posisi fungsinalisme normative. Definisi lain tentang struktur sosial dikemukakan Radcliffe Brown (1968) yang menyatakan bahwa struktur sosial adalah keberlanjutan susunan orangorang dalam hubungan-hubungan yang dibatasi atau dikendalikan oleh institusiinstitusi, yaitu norma-norma atau pola-pola tingkah laku yang dibangun masyarakat. Selanjutnya Radcliffe Brwon, menyatakan bahwa struktur sosial adalah hubungan secara umum dan bentuk regular dari masyarakat. Struktur sosial tidak dapat diamati langsung, karena ia merupakan sebuah konsep abstrak. Hubungan antara struktur sosial dan
perilaku sosial dikemukakan oleh
Abercrombie (1988) dengan mendefinisikan struktur sosial sebagai pola berulang tentang perilaku sosial yang merujuk kepada keabadian dalam mengatur pola-pola hubungan antara unsure-unsur masyarakat yang membandingkan masyarakat dengan mesin dan organisasi. Didalam Encyclopedia of Social Science (2003), struktur sosial didefinisikan dalam tiga pengertian, (1) hubungan timbal balik satuan atau suatu kelompok dengan satuan atau kelompok lainnya, (2) sebagai pola-pola yang abadi dari tingkah laku para partisipan dalam sebuah sistem sosial dalam kaitannya dengan yang lain dan (3) sebagai norma-norma yang telah terinstitusionalisasi atau kerangka-kerangka pengetahuan yang terstruktur yang mendasari tindakantindakan para pelaku dalam sistem sosial. Keel (2007) menyatakan bahwa struktur sosial adalah sebuah cara tentang bagaimana masyarakat terorganisasikan ke dalam hubungan-hubungan yang dapat diprediksikan (diduga), pola-pola interaksi sosial yang mana manusia dapat memberikan respon satu sama lain. Sementara pengertian struktur sosial sebagai sebuah gagasan dari stratifikasi sosial yang dapat memberikan makna bahwa masyarakat itu terdiri dari strata yang berbeda, mendasarkan kepada ketidaksamaan sosial seperti ras, kelas dan jender. Perlakuan secara sosial terhadap seseorang dengan variasi struktur sosial dapat dipahami sebagai keterkaitan kedudukan mereka dalam strata sosial yang bervariasi.
Universitas Indonesia
35 Didalam penelitian ini penerapan konsep yang akan dipergunakan dalam kaitannya dengan peran struktur social terhadap wujud dari pembangunan sosial (Wirutomo: 2012) antara lain : 1. Konsep structural setting yang merupakan suatu kondisi struktur social yang relative mapan dan statis dari suatu masyarakat seperti
kondisi
“stratifikasi” dan “diferensiasi” . Arah pencapaian yang akan diraih struktur sosial baru
dari pembangunan sosial pada intinya
ditujukan
untuk memperbaiki kualitas dari “structural setting” ini yaitu membuat posisinya
menjadi lebih “equal” (tidak terlalu senjang), antara posisi
pengembang dengan penghuni komunitas berpagar. 2. Konsep structural element yang merupakan unsur dari struktur social. Dalam studi ini unsur structural yang paling memperoleh penekanan adalah “struktur kebijakan dan regulasi” dari peraturan yang diberlakukan pengembang diwilayah privasinya. Sebab dalam upaya memahami suatu usaha pembangunan sosial disuatu komunitas, unsur inilah yang paling memiliki “structural forces” (kekuatan structural) untuk melakukan perubahan sosial-budaya didalam masyarakat. 3. Konsep structural forces yang merupakan suatu kekuatan (yang mampu memaksa warga masyarakat) yang “dibentuk/direkayasa” oleh suatu unit yang memiliki kekuasaan yang dilakukan oleh pengembang. Struktur kebijakan dan regulasi efektif berlaku di masyarakat melalui proses “institusionalisasi”atau
pelembagaan
(dirumuskan,
diputuskan,
disosialisasikan dan diimplementasikan secara legal-formal sehingga memiliki kekuatan hukum).Studi ini akan menekankan pada struktur kebijakan dan regulasi sebagai “structural forces”. 2.4.2
Kultur Keragaman pengertian terhadap budaya menunjukkan adanya ambiguitas
atau perbedaan penafsiran. Dalam kajian antropologi, pengertian budaya umumnya mengacu kepada perilaku manusia. Sementara pada pengertian lainnya menganggap bahwa budaya itu lebih banyak tergantung pada wilayah makna yang ada dalam diri manusia atau abstraksi perilaku. Salah satu perdebatan tentang budaya adalah apakah budaya itu merupakan kebiasaan yang diwujudkan pada
Universitas Indonesia
l36 perilaku manusia sehari-hari ataukah berada dalam wilayah pemaknaan terhadap kehidupan yang mengendalikan manusia menjalani tingkah lakunya tersebut. Perdebatan lainnya juga berkaitan apakah budaya itu berkaitan dengan produkproduk yang dihasilkan manusia ataukah tingkat pengetahuan yang membuat manusia mampu mengatasi alam sehingga menghasilkan produk-produk kesenian dan teknologi. Dalam bahasa Indonesia, kata budaya berasal dari bahasa Sanskerta, buddhayah yang merupakan bentuk jamak dari buddhi atau sering diucapkan “budi�, yang berarti hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia. Sementara istilah budaya dalam bahasa Inggris, culture yang berasal dari bahasa latin cultura dari kata dasar colore yang artinya mengolah atau mengerjakan (to cultivate).
George Simmel, merujuk budaya sebagai : “The cultivation of
individuals through the agency of external forms wich have been objective in the course of history�41. Kajian dari Alfred Kroeber dan Clyde Kluchkhohn, yang melalukan kompilasi terhadap 164 definisi budaya, mengatakan bahwa budaya umumnya digunakan dalam tiga pengertian mendasar, antara lain sebagai berikut:42 1. Keunggulan cita rasa dan selera terhadap kesenian dan kemanusiaan yang biasanya disebut dengan kebudayaan tinggi (excellence of taste in the fine arts and humanities, also known as high culture). 2. Pola-pola pengetahuan manusia, kepercayaan dan kebiasaan yang terintegrasi yang tergantung pada kapasitas pemikiran simbolis dan pembelajaran sosial (an integrated of human knowledge, belief, and behavior that depends upon the capacity for symbolic thought and social learning). 3. Seperangkat tingkah laku, nilai, tujuan dan tindakan yang dialami bersama yang mencirikan terjadinya lembaga, organisasi dan kelompok ( the set of shared attitudes, values, goals, and practices that characterizes an institutution, organization or group). 41
Sociology of Culture, dalam http://en.wikipedia.org/wiki/sociology of culture Alfred Krober dan C.Kluckhohn, Culture : A Critical Review of Concepts and Definitions,(Cambridge,MA : Peabody Museum,1952). 42
Universitas Indonesia
37 Kebudayaan atau kultur sangat erat hubungannya dengan masyarakat. Melville J. Herskovits dan Bronislaw Malinowski43 mengemukakan bahwa segala sesuatu yang terdapat dalam masyarakat ditentukan oleh kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat itu sendiri. Istilah untuk pendapat itu adalah CulturalDeterminism. Sementara Herskovits memandang kultur sebagai sesuatu yang turun temurun dari satu generasi ke generasi yang lain, yang kemudian disebut sebagai superorganic. Menurut
Andreas
Eppink,
kebudayaan
mengandung
keseluruhan
pengertian nilai sosial,norma sosial, ilmu pengetahuan serta keseluruhan strukturstruktur sosial, religius, dan lain-lain, tambahan lagi segala pernyataan intelektual dan artistik yang menjadi ciri khas suatu masyarakat. Sementara itu Edward Burnett Tylor,mengungkapkan
kebudayaan merupakan keseluruhan yang
kompleks, yang di dalamnya terkandung pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan kemampuan-kemampuan lain yang didapat seseorang sebagai anggota masyarakat. Menurut Selo Soemardjan dan Soelaiman Soemardi, kebudayaan adalah sarana hasil karya, rasa, dan cipta masyarakat. Parson (1990) mendefinisikan sebagai symbol yang terpola, teratur dan yang menjadi orientasi aktor, aspek-aspek sistem kepribadian yang sudah terinternalisasikan dan pola pola yang sudah terlembagakan di dalam sistem sosial. Sementara Bourdieu 44melihat kultur seperti sejenis ekonomi atau pasar. Di pasar ini orang lebih memanfaatkan modal kultur ketimbang modal ekonomi. Modal ini sebagian besar adalah asal-usul kelas sosial dan pengalaman pendidikan mereka. Di pasar inilah orang menambah atau mengurangi modal dan membelanjakannya untuk meningkatkan atau kehilangan posisi mereka, dengan 43
Arnold, Matthew. 1869. Culture and Anarchy. New York: Macmillan. Third edition, 1882, available online. Retrieved: 2006-06-28. Barzilai, Gad. 2003. Communities and Law: Politics and Cultures of Legal Identities. University of Michigan Press. Boritt, Gabor S. 1994. Lincoln and the Economics of the American Dream. University of Illinois Press. ISBN 978-0-252-06445-6. Bourdieu, Pierre. 1977. Outline of a Theory of Practice. Cambridge University Press. ISBN 978-0-521-29164-4 44 Bourdieu, Pierre. 1977. Outline of a Theory of Practice. Cambridge University Press. ISBN 9780-521-29164-4
Universitas Indonesia
l38 demikian menyebabkan posisinya dalam ekonomi memburuk.Menurut Bourdieu, "lingkungan itu menawarkan peluang untuk mengejar kehormatan hampir tak habis-habisnya"(1984a:227).
Tujuan utamanya adalah "menjadi eksis dalam
ruang sosial, menduduki titik di mana dia menjadi individu dalam ruang sosial, adalah menjadi berbeda. Agar menjadi menonjol dalam ruang tersebut...dia diberi kategori persepsi, dengan skema peng-klasifikasian, dengan selera tertentu, yang mengizinkannya membuat perbedaan, mengetahui, membedakan" (Bourdieu, 1998:9). Terdapat hubungan dialektika antara sifat produk kultural atau selera. Perubahan barang-barang kultural menimbulkan perubahan selera, tetapi perubahan selera juga ada kemungkinan mengakibatkan perubahan produk kultural. Struktur lingkungan tak hanya memelihara hasrat konsumen atas produk kultural, tetapi juga menentukan apa yang akan diciptakan produsen untuk memuaskan selera konsumen Perubahan selera (Bourdieu menganggap semua bidang secara temporer) adalah akibat dari pertarungan antara kekuatan yang berlawanan, baik dalam lingkungan kultural (misalnya, pendukung mode lama versus mode baru) maupun dalam arena kelas (antara fraksi yang dominan versus yang didominasi di dalam kelas dominan). Tetapi, inti pertarungan terletak dalam sistem kelas dan pertarungan kultural. Misalnya, antara seniman dan intelektual adalah cerminan pertarungan tak berkesudahan antara fraksi yang berbeda dari kelas dominan untuk menentukan kultur seluruh dunia sosial. Pertentangan dalam struktur kelas mengondisikan pertentangan selera dan kebiasaan. Meski Bourdieu memberikan peran besar pada kelas sosial, ia menolak untuk mereduksi kelas sosial sematamata sebagai persoalan ekonomi atau hubungan produksi, tetapi memandang kelas sosial juga ditentukan oleh habitus. Dari berbagai definisi tersebut, maka didalam studi ini pengertian kultur dibatasi pada pengertian yang mencakup “rasa� yaitu segalam sistem kepercayaan, sistem nilai dan norma yang telah tertanam (internalized) didalam sistem kepribadian warga masyarakat sehingga tercermin dalam pola sikap (mental attitudes), pola perilaku (gaya hidup) kebiasaan masyarakat (folk ways), tradisi dan adat istiadat (customs). Kultur disini juga mencakup segala produk
Universitas Indonesia
39 fisik/tangible yang merupakan ekspresi dari tradisi/adat istiadat (budaya). Seperti halnya struktur, kultur juga mempunyai kekuatan koersif (memaksa) yang membedakannya adalah pada tingkat internalisasinya. 2.4.3
Proses Sosial Didalam kajian sosiologi, proses sosial secara garis besar dibagi dalam dua
bentuk, yaitu : (1) proses sosial asosiatif dan (2) proses sosial diasosiatif. Adapun proses sosial yang asosiatif dibagi kedalam tiga macam, yaitu (1) kerjasama (cooperation), (2) akomodasi (accommodation) dan (3) assimilasi (assimilation), sedangkan proses sosial yang disasosiatif juga dibagi kedalam tiga bentuk, yaitu (1) persaingan (competition),
(2)
kontravensi (contravention), dan (3)
pertentangan atau pertikaian (conflict) Proses sosial biasanya menghasilkan keadaan struktur sosial dan kultur yang sama sekali baru. Proses sosial menciptakan dan menghasilkan perubahan mendasar. Dengan mempergunakan istilah morphogenesis (Buckley, 1967: 58 – 66) hal ini dapat diterapkan terhadap semua jenis proses sosial. Proses morphogenesis ditemukan di semua prestasi peradaban, teknologi, kultur dan struktur sosial kehidupan manusia mulai dari masyarakat primitif purba hingga tingkat masyarakat industri modern. Proses morphogenesis ini harus dibedakan dari proses sosial yang hanya menghasilkan perubahan yang kurang radikal dan tanpa perubahan mendasar. Proses yang tak menghasilkan perubahan sama sekali itu, yang dikenal pula sebagai proses “reproduksi sederhana� (atau sebagai proses penggantian, penyesuaian, meyeimbangkan atau melestarikan) menghasilkan penerimaan kondisi yang sudah ada, mempertahankan status-quo serta menjaga kelangsungan hidup masyarakat dalam bentuk yang sama sekali tak berubah. Keadaan masyarakat seperti inilah yang menjadi sasaran perhatian penganut teori struktural-fungsional. Mereka terutama memusatkan perhatian pada persyaratan tercipta dan terpeliharanya stabilitas, keteraturan, keselarasan, kosensus, dan keseimbangan (Parsons, 1964). Hal penting yang perlu di perhatikan dalam semua perubahan sosial yang terjadi dalam kehidupan manusia adalah kesadaran mengenai perubahan itu sendiri di pihak orang yang terlibat, terutama kesadaran mengenai hasil yang Universitas Indonesia
l40 ditimbulkan oleh proses sosial itu (bdk. Sztompka, 1984b). Dengan memasukkan faktor subjektif ke dalam tipologi di atas, dapat dibedakan tiga jenis perubahan sebagai tipologi tambahan. Perbedaan ini mengabaikan tipologi sebelumnya yang dapat diperlakukan sebagai subkategori dari proses morphogenesis atau reproduksi45. 1. Proses sosial itu mungkin disadari, diduga dan diharapkan. Dengan menggunakan istilah Merton (1968) proses ini dapat disebut “proses yang kentara” (manifest). Contohnya antara lain perubahan UU lalu lintas mengurangi angka kecelakaan; privatisasi perdagangan eceran akan meningkatkan pasokan barang konsumsi. 2. Proses sosial itu mungkin tak disadari, atau tidak diduga dan tak diharapkan. Dengan mengikuti Merton, dapat
disebut “proses laten”.
Dalam hal ini perubahan itu sendiri dan hasilnya muncul secara mengagetkan dan tergantung pada penerimaan atau penolakannya. Contoh, sejak lama orang yang tidak menyadari kerusakan lingkungan yang ditimbulkan oleh industrialisasi. Yang disebut kesadaran lingkungan itu adalah fenomena yang relatif baru. 3. Orang yang mungkin menyadari proses sosial yang terjadi, menduga arahnya dan mengharapkan dampak, namun dalam kenyataannya semua dugaan itu ternyata keliru sama sekali. Proses sosial yang terjadi justru berlawanan dengan harapan mereka dan menimbulkan hasil yang sama sekali berlainan atau berlawanan dengan yang diharapkan semula. Dengan memakai istilah Merton dan Kendall (1944) kasus seperti ini dapat disebut “proses boomerang”. Salah satu kriteria utama yang membedakan diantara jenis-jenis proses sosial adalah faktor kausal yang menggerakkannya. Faktor penyebabnya adalah dari mana faktor kausal itu berasal: apakah dari dalam perubahan itu sendiri atau dari luarnya. Bila faktor penyebab itu berasal dari dalam, ia disebut “proses endogen” (dengan penyebab bersifat instrinsik atau melekat di dalam perubahan
45
Sztompka Piotr (2008), Sosiologi Perubahan Sosial, Prenada Jakarta.
Universitas Indonesia
41 itu). Bila penyebab perubahan berasal dari luar, disebut “proses eksogen” (penyebab eksternal atau ekstrinsik). Proses endogen mengembangkan potensi atau kecenderungan yang tercakup dalam self-adjustment, proses ini merespon tekanan, rangsangan dan tantangan yang datang dari luar. Masalah utama dalam membedakan antara proses endogen dan eksogen adalah penentuan batas dari apa yang termasuk “di dalam” dan apa yang termasuk “di luar” kehidupan sosial. Berdasarkan kriteria ini, perubahan rezim politik yang ditimbulkan akibat kemerosotan ekonomi dapat dipandang sebagai proses eksogen meski semuanya ini jelas terjadi di dalam masyarakat. Sekulerisasi kehidupan yang dipaksakan oleh sebuah rezim politik otokratis pun dapat dinilai sebagai proses endogen itu jelas berkaitan dengan tingkat analisis, dan berkaitan dengan jangka waktu kita melihat proses tertentu. Termasuk kerusakan lingkuang dapat mengubah pola konsumsi dan kehidupan sehari-hari seluruh penduduk. Di dalam kajian pembangunan komunitas menuju tatanan ikatan sosial yang baru bentuk-bentuk interaksi social akan menjadi inti dari “Proses Sosial”. Interaksi social adalah dinamika antara
aksi dan reaksi antar individu atau
kelompok baik secara fisik maupun secara simbolik (bahasa, ekspresi wajah, gerak tubuh dsb). Karena itu interaksi social umumnya bersifat ”kasat mata” (overt behavior), bisa diamati. Menurut aliran interaksionisme simbolik, interaksi social merupakan konsep yang sangat penting, karena melalui mekanisme inilah manusia satu sama lain berkomunikasi, bertukar makna, menciptakan makna, menginterpretasi makna sampai menciptakan kesepakatan makna. Interaksi merupakan ajang negosiasi antar actor sehingga menghasilkan keteraturan social. Karena interaksi pula suatu keteraturan social menjadi dinamis, memiliki potensi untuk berubah sejalan dengan aspirasi dan kepentingan para actor (“social order is a negotiated order”). Proses social merupakan suatu “ruang bebas” dimana manusia dapat “sementara” keluar dari kungkungan “struktur” dan “kultur” (Wirotomo: 2012). Proses sosial adalah sumber dari perubahan sosial. Bila masyarakat memberikan lebih banyak “ruang” bagi proses social (public sphere) maka masayarakat itu akan lebih dinamis, inovatif dan aktif, dibanding dengan masyarakat yang terlalu
Universitas Indonesia
l42 dikungkung oleh struktur regulasi yang ketat dan sewenag-wenang atau kultur yang sangat kolot dan fanatic atau fundamentalis. Dari uraian penjelasan diatas, maka definisi proses sosial dalam studi ini adalah segala tindakan/aktivitas/dinamika dari interaksi antar aktor-aktor sosial yang terjadi setiap saat. Kemudian bagaimana masing-masing aktor melalui peran (role) yang ada menjalankan fungsinya (role playing) tetapi juga mengadaptasi diri terhadap fungsi itu (role taking) ataupun secara aktif melakukan perubahan pada tatanan yang ada (role taking). Dinamika ini mengandung proses negoisasi antar pelaku untuk mencari suatu keteraturan baru. Hasil dari dinamika inilah yang diharapkan bisa menimbulkan perubahan-perubahan sosial (struktur dan kultural). Melalui proses sosial ini, individu, kelompok ataupun masyarakat dapat bernegoisasi untuk merubah atau mencari alternatif baru dari struktur maupun kultur yang sudah mengikatnya. 2.5 Teori Strukturasi Giddens dan Pembangunan Sosial 2.5.1
Dasar Pemikiran Teori Strukturasi Sejarah pemikiran ilmu sosial menurut Giddens (1984) dibentuk oleh
perdebatan dua kubu teoritis besar. Kubu pertama mengajukan prioritas pemikiran bahwa gejala keseluruhan diatas pengalaman pelaku perorangan (fungsionalisme, strukturalisme dan fungsionalisme-strukturalisme). Pemikiran kubu pertama ini diantaranya Karl Marx, Emile Durkheim, Talcott Parsons dan Louis Althusser. Sementara kubu kedua mengajukan pemikiran prioritas tindakan pelaku perorangan
diatas gejala keseluruhan. Kubu kedua ini terdiri dari beberapa
pemikiran fenomenologi, etnometodelogi dan psikoanalisis. Kumpulan kelompok pemikir kubu kedua ini diantaranya; Irving Goffman, Alfred Schuts, Harold garfinkel dan dalam hal tertentu juga Max Weber46. Dalam telaahnya, Giddens (1984) secara khusus menaruh perhatian pada masalah dualisme yang menggejala dalam teori ilmu-ilmu sosial. Dualisme itu berupa ketegangan antara subyektivisme dan obyektivisme antara voluntarisme dan determinisme, dualism antara individu dan masyarakat atau obyek dan subjek; 46
Anthony Giddens, The Constitution of Society : Outline of the Theory of Structuration, East Sussex : Polity Press, 1984.
Universitas Indonesia
43 sementara yang lainnya adalah dualism kognisi kesadaran/ ketidak sadaran47. Realitas sejarah menunjukkan kedua kubu besar dalam ilmu sosial tersebut terbelah secara ekstrem. Seperti pemikiran Parsons didalam fungsionalisme, misalnya, pelaku dan tindakan perorangan tidak lebih dari sekedar boneka atau robot dari peran-peran sosial. Sebaliknya dalam perspektif fenomenologi struktur cenderung menjadi sekadar lampiran dari pengalaman pribadi orang perorangan (Priyono, 2003;48). Menurut Giddens(1979) , The basic domain of study of the social sciences, according to the theory of structuration, is neither the experience of the individual actor, nor the existence of any form of social totality, but social practices ordered across space and time. Human social activities, like some self-reproducing items in nature, are recursive. That is to say, they are not brought into being by social actors but continually recreated by them via the very means where by they express themselves as actors. In and through their activities agents reproduce the conditions that make these activities possible.48. Giddens, memberikan gambaran bahwa tidak mungkin ada kediktatoran tanpa adanya tindakan otoriter seseorang atau beberapa dictator. Keterulangan “tindakan sosial” menunjukkan bahwa ada pola tetap yang berlaku, bukan sekali saja, melainkan berulang dalam lintas ruang dan waktu. Berdasarkan argumen diatas, maka Giddens menekankan bahwa perkara sentral ilmu sosial adalah hubungan antara “struktur” (structure) dan “pelaku” (agency). Karena gagasannya tentang hubungan antara strtuktur dan pelaku inilah, maka Giddens lebih dikenal dengan teori “strukturasinya” yang banyak diartikan sebagai proses terbentuknya sebuah struktur. Menurut Giddens (1984) struktur bisa menjadi faktor enabling meski juga bisa menjadi faktor enabling. Sebagaimana penjelasannya :
“The theory of structuration, thus formulated, rejects any differentiation of synchrony and diachrony or statics and dynamics. The identification of structure with constraint is also rejected ; structure is both enabling and contraining, and it is one of the specific tasks of social theory to study the
47
Ibid Anthony Giddens (1979) Central Problems in social Theory ; Action, Structure and Contradiction in Social Analysis , Berkeley and Los Angeles, University of California Press 48
Universitas Indonesia
l44 condition in the organization of social system that govern the interconnections between the two”49 Berdasarkan konsep, struktur adalah faktor enabling sekaligus contraining tersebut diatas, struktur karakteristik yang sama ikut serta didalam subyek (aktor) sebagaimana keikutsertaannya didalam obyek (masyarakat). Artinya, struktur membentuk “kepribadian” dan “masyarakat” secara terus menerus, sebagai akibat dari pemaknaan terhadap hasil tindakan yang tidak diharapkan maupun karena kondisi tindakan yang tidak diketahui atau disadari. Selanjutnya, Giddens memandang suatu masyarakat pada dasarnya secara terus menerus diproduksi oleh orang-orang yang berinteraksi dalam masyarakat itu sendiri. Suatu struktur sosial mengkonstitusi atau diproduksi oleh tindakan. Giddens berpendapat bahwa suatu struktur bukan semata-mata sebagai sumber kendala (constraints) bagi agensi, tetapi juga sekaligus sebagai peluang (enabling). Menurut Thompson (2003), problem relasi antara individu dan masyarakat atau antara tindakan dan struktur sosial, terletak pada inti teori sosial dan filsafat ilmu sosial, yang dalam beberapa pemikir teoritikus besar hingga kontemporer persoalan tersebut selalu muncul dan hanya dipecahkan dengan cara-cara yang sama. Beberapa pemecahan yang diambil biasanya dengan cara menitik beratkan pada satu istilah dengan cara mengabaikan yang lain50. Dalam pandangan Lull (1998) jika terlalu banyak penekanan pada struktur (parameter, pedoman ideologis dan budaya dominan), berarti hal ini terlalu membesar-besarkan dampak dari kendala sosial sehingga dunia tempat kita tinggal tampak seakan-akan amat dipengaruhi oleh lembaga-lembaga yang berada diluar kendali kita. Sebaliknya, jika perhatian terlalu banyak diberikan pada agen (kehendak, kreativitas dan kemampuan manusia yang jauh melebihi batas normal) dapat mengakibatkan peremehan secara naïf terhadap cara bagaimana parameter dan pedoman yang dominan mempengaruhi kita(Lull, 1998;203-204). Menurut Bernstein (1989), "tujuan fundamental dari teori strukturasi adalah
untuk
menjelaskan
hubungan
dialektika
dan
saling
pengaruh-
memengaruhi antara agen dan struktur". Dengan demikian, agen dan struktur tak 49 50
Ibid Thompson, John B,1984.Studies in the Theory of Ideology, University of California Press
Universitas Indonesia
45 dapat dipahami dalam keadaan saling terpisah satu sama lain; agen dan struktur ibarat dua sisi dari satu mata uang logam 51. Menurut Giddens, agen dan struktur adalah dwi rangkap. Seluruh tindakan sosial memerlukan struktur dan seluruh struktur memerlukan tindakan sosial. Agen dan struktur saling jalin menjalin tanpa terpisahkan dalam praktik atau aktivitas manusia. Didalam teori strukturasi oleh Giddens diikatkan oleh suatu label untuk meletakkan kepeduliannya dalam upaya mengembangkan suatu pemikiran ontologis bagi kepentingan pengkajian terhadap aktivitas sosial manusia. Giddens membedakan antara status ontologism dunia alamiah dan dunia sosial, sebagai dasar argument hermeneutika ganda pada kehidupan sosial. Menurut Giddens, “This is a mutual interpretive interplay between social science and those activities compose its subject matter-a double hermeneutic� (Giddens,1984:32-34). Menurut Miller (2003) ,konsep yang dikemukakan Giddens ini mengacu kepada cara-cara struktur dunia sosial yang dikonstruksikan mula-mula oleh agen manusia;sedangkan alam tidak demikian. Karena itu, harus dikenali pembedaan ontologism antara alam dan masyarakat. Dunia sosial harus dipandang sebagai struktur dan agen. Menurut Miller (2003) , posisi ontologis yang dikemukakan Giddens, mewakili posisi yang diambil oleh sejumlah teorisi kritis yang menekankan hubungan yang kompleks dan dialektis antara struktur dan agen .52Menurut Agger (2003) , teori sosial kritis menggambarkan hubungan antara struktur dan manusia secara dialektis. Meskipun struktur mengkondisikan
pengalaman sehari-hari,
pengetahuan tentang struktur dapat membantu masyarakat mengubah kondisi sosialnya. Teori sosial kritis membangun jembatan dialektis ini dengan menolak determinisme ekonomi53. Posisi ontologis yang dikemukakan Giddens, juga membawa implikasi penting bagi posisi aksiologis dikalangan teori kritis. Adanya dualitas struktur, 51
Richard J. Bernstein,(1989) The Restructuring of Social and Political Theory,University of Pennsylvania Press 52 Miller, Khaterine, 2003, Communication Theories ; Perspectives, Process, and Contexts, New York : McGraw-Hill. 53
Agger, Ben, 2003. Critical Social Theory ; An Introduction. Terjemahan (Teori Sosial Kritis : Kritik, Penerapan dan Implikasinya), Yogyakarta, Kreasi Wacana.
Universitas Indonesia
l46 maka secara aksiologis, teori kritis bersifat transformative dan emansipatoris, karena dialektika antara agen dan struktur memungkinkan agen menggunakan kekuasaan untuk mengubah struktur sosial (Miller, 2003:74). Usaha untuk merumuskan suatu penjelasan yang terpadu tentang agen manusia dan tuntutan struktur merupakan suatu usaha konseptual yang sangat pantas dipertimbangkan., terutama jika dikaitkan dengan studi tentang
hubungan ruang dan waktu.
Giddens mendefinisikan strukturisasi sebagai “the structuring of social relations across time and space, in virtue of duality of structure� (Giddens, 1984 :376). Teori strukturasi mengawinkan dua pandangan yang berseberangan dengan melihat hubungan dualitas antara struktur – agen dan dikaitkan dengan sentralitas waktu dan ruang. Waktu dan ruang yang biasanya dipahami sebagai arena atau panggung tindakan (stage), kemana kita masuk dan melalui mana kita keluar. Namun, Giddens menyatakan bahwa watu dan ruang bukanlah sebuah arena atau panggung tindakan melainkan sebuah unsur konstitutif tindakan dan pengorganisasian masyarakat. Artinya tanpa adanya ruang dan waktu, maka tidak akan terjadi tindakan. Giddens (1984) melihat sentralitas waktu dan ruang sebagai titik pusat yang menggerakkan teori strukturasi, ketika sentralitas waktu dan ruang menjadi kritik atas proses statis melawan dinamis, maupun stabilitas melawan perubahan. Tanpa adanya waktu dan ruang, maka tidak akan terjadi praktik sosial. Didalam teori strukturasi Giddens terdapat beberapa konsep penting yang dikemukakan Giddens, antara lain ; 1. Agen Didalam Teori Strukturasi
Giddens, memposisikan bahwa agen
manusia secara kontinu mereproduksi struktur sosial, artinya individu dapat melakukan perubahan atas struktur sosial. Agen dalam pemikiran Giddens, adalah kapasitas untuk membedakan atau dikenal juga sebagai kapasitas transformatif (Giddens, 1984: 14). Sementara itu menurut Barker (2005) Agencyis the capacity of individuals to act independently and to make their own free choices54. Agen
selalu terus menerus memonitor pemikiran dan
aktivitas mereka sendiri serta konteks sosial dan fisik mereka. Dalam upaya 54
Barker, Chris. 2005. Cultural Studies: Theory and Practice. London: Sage. ISBN 0-7619-4156-8 p448
Universitas Indonesia
47 mencari rasa aman aktor merasionalkan kehidupan mereka. Hal yang dimaksud dengan rasionalisasi adalah mengembangkan kebiasaan seharihari yang tak hanya memberikan perasaan aman kepada aktor, tetapi juga memungkinkan
mereka menghadapi kehidupan
sosial mereka secara
efisien. Aktor mempunyai motivasi untuk bertindak dan motivasi ini meliputi keinginan dan hasrat yang mendorong tindakan. Motivasi menyediakan rencana menyeluruh untuk bertindak, tetapi menurut Giddens sebagian besar tindakan kita tidak dimotivasi secara langsung. Sesuai penekanannya pada keagenan, Giddens memberikan kekuasaan besar terhadap
agen.
Menurutnya
agen
mempunyai
kemampuan
untuk
menciptakan pertentangan dalam kehidupan sosial dan bahkan ia lebih yakin lagi bahwa agen tak berarti apa-apa tanpa kekuasaan. Artinya aktor berhenti menjadi agen bila ia kehilangan kemampuan untuk menciptakan pertentangan. Giddens (1984) mengakui adanya paksaan atau pembatas terhadap aktor, tetapi hal ini tidak berarti bahwa aktor tidak mempunyai pilihan dan tidak mempunyai peluang untuk membuat pertentangan. Menurutnya kekuasaan secara
logis mendahului subjektivitas
karena tindakan
melibatkan kekuasaan atau kemampuan untuk mengubah situasi. Perubahan itu dapat terjadi bila agen dapat mengetahui gugus mana dalam sebuah struktur yang dapat dimasuki dan diubah, gugus tersebut antara lain gugus signifikasi, dominasi dan legitimasi. Jadi teori strukturasi Giddens memberikan kekuasaan kepada aktor dan tindakan. Kekuasaan melibatkan eksploitasi sumber daya. Sumberdaya merupakan perangkat sistem sosial yang terstruktur, digunakan dan direproduksi oleh agen yang mampu memahami selama interaksi. Resources are media through which power is exercised, as a routine element of the instantiation of conduct in social reproduction (Giddens, 1984:16). Sumberdaya terbagi dalam dua macam; sumberdaya otoritatif yang berasal dari koordinasi aktivitas agen manusia dan sumberdaya
Universitas Indonesia
l48 alokatif yang berasal dari kendali produk material atau aspek dunia yang alami. Dari uraian diatas dapat disimpulkan, bahwa agen memiliki kekuasaan yang dioperasionalkan melalui kapasitas transformative atas sumberdaya (otoritatif dan alokatif) yang dipusatkan oleh struktur siginifikasi dan legitimasi. Sumberdaya merupakan property sistem sosial yang terstruktur digunakan dan direproduksi oleh agen. Proses reproduksi struktur dalam praktek sosial akan terjadi ketika melibatkan faktor kesadaran individu. Giddens membedakan antara kesadaran diskursif dan kesadaran praktis. Kesadaran diskursif memerlukan kemampuan untuk melukiskan tindakan kita dalam kata-kata. Kesadaran praktis melibatkan tindakan yang dianggap aktor benar, tanpa mampu mengungkapkan dengan kata-kata tentang apa yang mereka lakukan. Tipe kesadaran praktis inilah yang sangat penting bagi teori strukturasi. Teori ini lebih memusatkan perhatian pada apa yang dilakukan aktor ketimbang apa yang dikatakannya. Melalui kesadaran praktis ini, kita membuat transisi halus dari agen ke agensi, yakni sesuatu yang sebenarnya dilakukan agen. Keagenan (agency) menyangkut kejadian yang dilakukan seorang individu, keagenan peran inidividu. Apapun yang telah terjadi, takkan menjadi struktur senadainya individu tidak mencampurinya (Giddens, 1984: 9). Giddens sangat menekankan arti penting keagenan (pengkritiknya mengatakan terlalu menekankan) (Barber,1991). Giddens, berupaya keras untuk memisahkan keagenan dari tujuan , karena ia ingin ingin menyatakan bahwa tindakan sering berakhir berbeda dari apa yang dimaksud semula. Dengan demikian, tindakan yang disengaja (dengan tujuan tertentu) sering mempunyai akibat yang tidak diharapkan. Gagasan tentang akibat yang tidak diharapkan ini berperan besar dalam teori strukturasi Giddens dan sangat penting untuk mengalihkan perhatian kita dari keagenan ketingkat sistem sosial. Perangkat konsep lain yang dikembangkan Giddens terkait peran aktor adalah dualism subjek-objek (Giddens; 1984 :164-165). Dualisme ini menurut Ramlan Surbakti (1995) pada dasarnya menyangkut orientasi
Universitas Indonesia
49 individu terhadap struktur. Orientasi individu terhadap struktur dapat dibedakan menjadi tiga pengelompokan. 55 a. Orientasi rutin-praktis, yaitu para aktor yang secara psikologis hanya mencari rasa aman dan berusaha menghindari akibat-akibat tindakan yang tidak disadari atau belum terbayangkan. Mereka ini hanya berperan sebagai penanggung beban struktur dan medium reproduksi struktur belaka. Sama sekali tidak ada upaya mempersoalkan, apalagi mengubah struktur tersebut. Orientasi seperti ini menempatkan dirinya sebagai objek dan objek. Sebagian besar rakyat pemilih di Indonesia mungkin termasuk kedalam kategori ini. b. Orientasi yang bersifat teoritis. Para aktor memiliki kemampuan memelihara jarak antara dirinya dan struktur masyarakat, sehingga ia memiliki pemahaman yang jelas antara tentang struktur itu dan merespon apa yang dilahirkan dan ditimpakan struktur kepadanya. Kelompok masyarakat yang dapat dikelompokan kedalam kategori ini ialah kelas menengah, kalangan terpelajar dan orang-orang yang telah menarik pelajaran dari pengalaman masa lalu mengenai struktur. c. Orientasi yang bersifat strategic-pemantauan. Para individu ini tidak hanya mampu memelihara jarak antara dirinya dan struktur, tetapi juga berkepentingan atas apa yang dilahirkan struktur (karena it uterus menerus
memantau
struktur)
sehingga
dengan
sigap
dapat
menanggapi struktur tersebut. Kelompok kelompok kepentingan seperti organisasi petani dan semacamnya termasuk dalam kategori ini. Karena mampu memelihara jarak antara dirinya (subjek) dan struktur (objek). Orientasi kedua dan ketiga cenderung melahirkan dualism subjek-objek (Surbakti,1995 : 51-52).
2. Struktur Giddens menetapkan struktur sebagai aturan dan sumberdaya yang secara berulang berimplikasi dalam reproduksi sosial. Structure referred generally to "rules and resources" and more specifically to "the 55
Ramlan Surbakti, menuliskannya dalam hasil penelitian, Hasil Pemilu 1992 dalam Perspektif Strukturasi. Laporan Hasil penelitian Fisipol Unair Surabaya, 1995.
Universitas Indonesia
l50 structuring properties allowing the 'binding' of time-space in social systems".These properties make it possible for similar social practices to exist
across time
and
space
and
that
lend
them
"systemic"
form(Giddens,1984). Semua property struktural sistem sosial merupakan medium dan hasil yang secara tidak tentu memenuhi aktivitas para aktor yang tersituasikan. Struktur hanya akan terwujud karena adanya aturan dan sumberdaya. Struktur itu sendiri tidak ada dalam ruang dan waktu. Fenomena sosial mempunyai kapasitas
yang cukup untuk menjadi
struktur. Giddens berpendapat bahwa struktur hanya ada di dalam dan melalui aktivitas agen manusia (Giddens; 1989). Struktur dalam dalam konsepsi Giddens ini berbeda pemaknaannya dengan struktur versi Durkheim yang lebih bersifat mengekang individu. Struktur dalam Giddens lebih bersifat memberdayakan, memungkinkan terjadinya praktek sosial. Giddens berupaya menghindarkan kesan bahwa struktur berada “diluar” atau “eksternal” terhadap tindakan aktor. Menurut Giddens, objektivitas struktur tidak bersifat eksternal tetapi melekat pada tindakan dan praktek sosial yang kita lakukan. Struktur bukanlah objek yang bersifat materil, melainkan sebuah skema yang muncul dalam praktek-praktek sosial. Giddens konsisten melihat struktur dalam kehidupan masyarakat sebagai sesuatu yang tidak lepas dari tindakan manusia yang berada di dalamnya, begitu pula sebaliknya. Mengenai hubungan antara struktur dan tindakan Gidden selanjutnya menyatakan sebagai berikut: “The social environments in which we exist to do not just consist of random assortments of events or actions – the are structured. There are underlying regularities in how people behave and in the relationships in which they stand with one another. To some degree it is helpful to picture the structural characteristics of societies as resembling the structure of a building. A building has walls, a floor and a roof, which together give it a particular “shape” of form. But the metaphore can be very misleading if applied too strictly. Social system are made up of human actions and relationships: what gives these their patterning is their repetition across periods of time and distances of space. Thus the ideas of social reproduction and structure are very closely related to one another in sociological analysis. We
Universitas Indonesia
51 should understand human societies to be like buildings that are at every moment being reconstructed by the very bricks that compose them. The actions of all of us are influenced by the structural characteristics of the societies in which we are brought up and live; at the same time, we recreate (and also to some extent alter) those structural characteristics in our actions”56 Menurut Thompson (2003), struktur yang dikemukakan Giddens dipahami dalam suatu kuasi mekanikal, kuasi visual, seperti beton-beton penyangga bangunan, kerangka badan atau pola-pola hubungan sosial57. Giddens, tidak menolak konotasi ini, dia tetap mempertahankan elemenelemen ini dengan apa yang dia maksud sebagai “sistem sosial”. Giddens mendefinisikan
“sistem
sosial”
sebagai
praktik
sosial
yang
dikembangkanbiakkan (reproduced) atau hubungan yang direproduksi antara aktor dan kolektivitas yang diorganisir sebagai praktik sosial tetap. (Giddens,1984: 17,25). Jadi gagasan tentang sistem sosial ini berasal dari pemusatan perhatian Giddens terhadap praktek sosial. Sistem
sosial
tidak
mempunyai
struktur,
tetapi
dapat
memperlihatkan cirri-ciri strturalnya. Struktur tidak dapat memunculkan dirinya sendiri dalam ruang dan waktu, tetapi dapat menjelma dalam sistem sosial, dalam bentuk praktek sosial yang direproduksi. Walaupun sistem sosial, dapat merupakan produk dari tindakan yang disengaja, tetapi menurut Giddens fokus perhatiannya lebih besar kepada fakta, bahwa sistem sosial merupakan konsekuensi yang tidak diharapkan dari tindakan manusia. Akibat yang tidak diharapkan ini dapat menjadi kondisi yang tidak dikenal dari tindakan dan menjadi umpan balik dari tindakan. Jadi struktur “serta merta” muncul dalam sistem sosial. Structure only exists in memory traces, the organic basis of human knowledgeablitiy, and as instantiated in action. (Giddens ;1984:17). Akibatnya , aturan dan sumberdaya menjelma dirinya sendiri baik ditingkat makro sistem sosial maupun ditingkat mikro berdasarkan kesadaran manusia.
56
Anthony Giddens. Sociology. Second Edition. Cambridge-UK: Polity Press. 1993, hlm. 18. Thompson, J.B. 2003. Analisis Ideologi ; Kritik Wacana Ideologi-ideologi Dunia, Penerjemah Haqqul Yaqin, Yogyakarta.IRCiSoD. 57
Universitas Indonesia
l52 Menurut Gingrich (2000), pengertian struktur dalam pandangan Giddens,mengacu kepada praktik yang terstruktur dalam garis-garis tertentu58, yaitu : a. Aturan procedural – bagaimana praktik dijalankan, etnometodologi menganalisis hal ini ; menerima dan memberi perjumpaan, aturan berbahasa, berjalan di kerumunan. b. Aturan moral – bentuk-bentuk yang layak dari penampilan tindakan sosial. Hukum apa yang boleh dan tidak boleh. Bukan yang paling bernilai, tapi merupakan cara yang layak untuk membawakan tindakan dan interaksi sosial. c. Sumberdaya material – alokasi sumberdaya di antara aktivitas dan anggota masyarakat. Alat-alat produksi, komoditas, pendapatan, barang-barang konsumsi dan modal. d. Sumberdaya otoritas. Organisasi formal, bagaimana waktu dan ruang diorganisasi, produksi dan reproduksi, moblitas sosial, legitimasi dan otoritas.
3. Dualitas Struktur Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya didalam teori strukturasi, struktur diartikan sebagai peraturan dan sumberdaya. Struktur dipandang
sebagai
pengikatan
ruang
penstrukturan dan
waktu
sifat-sifat
dalam
sistem
yang
memungkinkan
sosial,
sifat
yang
memungkinkan praktik sosial sejenis ada pada berbagai ruang dan waktu dan yang memberikan bentuk sistematik (Surbakti, 1995 :44-45). Giddens pada dasarnya menolak dualisme subjek dan objek, agensi dan struktur serta struktur dan proses, yang selama ini dipandang sebagai dualisme tersebut, oleh Giddens dikoreksi dengan memunculkan istilah dualitas. Dengan koreksi yang dimaksudkan itu, Giddens (1985;2) mengidami berakhirnya “imperalisme� yang saling berlawanan subjektivisme dan kutub objektivisme.
58
Gingrich (2000),Structuration Theory, University of Regina
Universitas Indonesia
antara kutub
53 Giddens (1979) mencoba menjelaskan makna dari dualitas struktur sebagai ; ...the essential recursiveness of social life, as constituted in social practices: structure is both medium and outcome of reproduction of practices. Structure enters simultaneously into the constitution of the agent and social practices, and 'exists' in the generating moments of this constitution59. Aktor merupakan hasil (outcome) dari struktur, tetapi aktor juga menjadi mediasi bagi pembentukan struktur baru. Struktur itu sendiri oleh Giddens dipandang sebagai aturan-aturan (rules) dan sumber-sumber (resources). Aturan-aturan dimaksud bisa bersifat konstitutif dan regulative, guna memberikan kerangka pemaknaan (interpretative scheme) dan norma. Adapun sumber menunjukkan pada distribusi alokatif (ekonomi) dan sumber otoritatif (politik), yang terkait secara langsung dengan power . Interaksi struktur sosial dan manusia dipecah kedalam tiga prinsip struktural yang menurut Giddens dimasukan dalam tiga gugus besar struktur,
yaitu
signification,
domination
dan
legitimation
yang
dihubungkan oleh hubungan modalitas (Giddens, 1979 ; 82 , 1984 : 2933). Struktur siginikasi atau penandaan berkomunikasi
dengan
menggunakan
terjadi ketika para aktor skema
interpretative
yang
menyangkut simbolik, pemaknaan , penyebutan dan wacana untuk membantu memahami interaksi. Pada waktu yang sama interaksi itu mereproduksi dan memodifikasi skema interpretative yang ditempelkan pada struktur sosial sebagai makna atau signifikasi. Sementara struktur dominasi mencakup penguasaan orang dan barang yang menghasilkan dan memproduksi struktur dominasi sosial dan kode moral (norma-norma) untuk membantu menentukan apa yang bisa dihukum dalam interaksi manusia yang secara iterative (berulang) menghasilkan struktur legitimasi atau pembenaran yang menyangkut schemata peraturan normative yang terungkap dalam tata hukum.
59
Giddens, A. (1979). Central problems in social theory: Action, structure, and contradiction in social analysis. Los Angeles, CA: University of California Press.
Universitas Indonesia
l54 Sebagai ilustrasi pada tataran praktek sosial, ketiga gugus prinsip struktural tersebut saling terkait satu dengan lainnya Dimensi tentang dualitas struktur tampak pada diagram berikut ini
Structure =
Signification
Interpretative Scheme Interpretasi
Modality =
Interaction
=
Communication
Domination
Facility
Power
Legitimat ion
Norm
Sanction
Gambar 2.6 Gugus Prinsip Struktural dengan Praktek Sosial Sumber : (Giddens,1984:29, 1979 :82) Jika dikaitkan dengan konsep kekuasaan, dualitas struktur dapat berfungsi sebagai alat analisis kehidupan sosial, terutama mengenai hubungan antara tindakan manusia dan struktur. Menurut Davis (1998) , karakteristik utama dari kekuasaan menurut pandangan strukturasionis antara lain; a. Kekuasaan sebagai bagian integral dari interaksi sosial (power as integration to social interaction). Setiap interaksi sosial selalu melibatkan kekuasaan, sehingga kekuasaan dapat diterapkan pada semua jenjang kehidupan sosial mulai yang sempit sampai yang luas. b. Kekuasaan adalah hal penting dalam diri manusia (power as intrinsic to human agency). Kekuasaan adalah kemampuan aktor untuk mempengaruhi dan mengintervensi serangkaian peristiwa, sehingga ia dapat mengubah jalannya peristiwa tersebut.
Universitas Indonesia
55 c. Kekuasaan adalah konsep relasional, termasuk hubungan otonomi dan ketergantuangan ( Power as reational concept, involving relations of otonomy and dependence). Kekuasaan bukan sekadar kapasitas
transformasi
aktor
untuk
mencapai
tujuannya,
melainkan juga konsep relasional. Ini berarti setiap aktor dapat mempengaruhi lingkungan dimana peristiwa interaksi itu terjadi, agar aktor lain memenuhi keinginannya. d. Kekuasaan bersifat membatasi juga memberikan kebebasan (power as contraining as well as enabling). Kekuasaan bergandengan
tangan
dengan
dominasi
yang
terstruktur.
Masyarakat tidak hanya mengintervensi jalannya interaksi, tetapi juga melakukan kontrol terhadap perilaku orang lain dengan sarana sanksi yang telah tersedia secara terstruktur. e. Kekuasaan sebagai proses (power as process). Hubungan dialektika antara aktor dan struktur tidaklah bersifat statis, tetapi secara kontinu melakukan produksi dan reproduksi lewat proses strukturasi. Dari uraian diatas, konsep Giddens tentang kekuasaan lebih berfokus pada bagaimana aktor-aktor yang terlibat dalam interaksi secara terus menerus dan rutin membangun, memelihara, mengubah dan mentransformasi hubungan-hubungan kekuasaan, baik pada level mikro maupun makro, mencakup dominasi dan subordinasi yang dibangun secara terus menerus dalam proses interaksi oleh faktor-faktor untuk memelihara kekuasaan (Davis, 1998). Jika kekuasaan dikaitkan dengan komunitas berpagar, penyebutan atau signifikasi pengembang sebagai institusi yang memiliki kekuasaan, pada gilirannya akan menyangkut prinsip struktural dominasi berupa kekuasaan pengembang untuk mengatur kehidupan penghuni.Sementara struktural legitimasi akan
memberikan sanksi kepada penghuni jika mereka
melanggar aturan yang telah ditetapkan.
Universitas Indonesia
l56 4. Konteks Ruang dan waktu Berkaitan dengan ruang dan waktu, dalam teori strukturasi Giddens memberi kritik
terhadap
beberapa
teori sosial
yang
cenderung
memperlakukan ruang dan waktu sebagai lingkungan (environment) tempat suatu tindakan sosial dilaksanakan ataupun sebagai salah satu faktor tidak tetap (Giddens, 1998; 140-141). Menurut Giddens, ruang dan waktu secara integral turut membentuk kegiatan sosial, sehingga teori strukturasi mengkorporasikan ruang waktu dalam jantung teori sosial. Jadi yang dimaksud dengan ruang (space) disini bukan sekedar fisik melainkan ruang sosial (social space), yaitu interaksi manusia dengan ruang fisik, seperti perdesaan dan perkotaan, tempat kerja dan tempat tinggal, pasar tradisional dan pasar swalayan besar, kampus dan kantor birokrasi. Hal yang dimaksud dengan waktu (time), disini bukan sekedar sejarah kronologis melainkan pengalaman belajar dari peristiwa masa lalu. Giddens dalam teori strukturasi mengemukakan ; “The structural properties of social system exist only in so far as form of social conduct are reproduced chronically across time and space. The structuration of institutions can be understood in terms of how it comes about that social activities become ‘stretched’ across wide spans of time space. (Giddens:xxi) Giddens melihat kegiatan sosial “mencengkram ruang-waktu” (bitting info space and time) serta berada pada akar pembentukan, baik subjek maupun objek. Suatu konsep fundamental dalam teori strukturasi adalah rutinitas (routinization), karena yang rutin adalah dasar kegiatan sosial hari demi hari. Istilah “hari demi hari” mengungkapkan dengan tepat sifat rutinitas yang diperoleh dalam kehidupan sosial selagi terentang melintasi ruang-waktu (Giddens, 1984: xii-xiii). Konsep waktu tidak bisa dipisahkan dengan konsep ruang. Karena kontekstualitas kehidupan sosial menyangkut keduanya baik waktu maupun ruang. Untuk memahami ruang, Giddens, lebih cenderung menggunakan konsep “memosisikan diri (positioning) ketimbang istilah status. Hal ini didasarkan karena status berkonotasi lebih statis, sedangkan Giddens mempersoalkan segi-segi proses yang sifatnya dinamis. Lebih
Universitas Indonesia
57 lanjut Giddens, mengatakan bahwa sangat penting menyadari posisi tubuh (positioning of the body) untuk memahami ruang. Tubuh
dipandang
sebagai tempat kedudukan diri yang aktif. Positioning here is a rich term. The body is positioned in the immediate circumstances of co presence in relation to others (Giddens, 1984). Dalam berbicara tentang ruang, Giddens juga mengartikan ruang lebih sebagai lokal (locale) daripada sebagai tempat (place). Dalam konteks tempat (place), Giddens menawarkan konsep regionalisasi (regionalization). Konsep regionalisasi menunjuk pada pola lokalisasi atau penzonaan aktivitas sosial sehari-hari dalam ruang waktu. Saat dirumah misalnya, terdapat ruang tamu, kamar tidur dan dapur. Berbagai ruang tersebut tidaklah sama penggunaan menyangkut wkatu penggunaannya, siapa yang menggunakan, untuk aktivitas apa digunakan, maupun tata cara menggunakannya. Ini suatu ilistrasi sederhana yang mengisyaratkan adanya regionalisasi atau adanya penzonaan aktivitas sosial sehari-hari dalam ruang waktu. Suatu regionalisasi bisa tergolong ‘kawasan pusat” (central region), kawasan pinggiran (peripheral region), tergantung kepada beberapa utama suatu aktivitas beserta seberapa besar curahan waktu pada lokal atau zona bersangkutan; bisa pula tergolong “kawasan depan” (front region) ataukah kawasan belakang (back region), bergantung pada sifat artikulas tersebut, apakah lebih “kedalam” ataukah “keluar” dan bisa pula tergolong “kawasan terbuka”(disclosure) ataukah “kawasan tertutup’ (enclosure), bergantung pada kadar keterbukaan/ ketertutupan zona bagi “pihak luar” (Giddens 1984: 19-13).
2.5.2
Perpaduan Teori Strukturasi Giddens dengan Konsep Pembangunan Sosial Sebelumnya sudah dijelaskan secara konfrehensif mengenai konsep
pembangunan sosial-budaya dan juga strukturasi Giddens. Ada beberapa persamaan dan perbedaan diantara keduanya dalam membahas fenomena sosial. Persamaannya yang mendasar ialah kedua konsep ini mencoba menggambarkan
Universitas Indonesia
l58 fenomena sosial secara holistik dengan keluar dari pemisahan mikro dan makro, agen maupun struktur. Walaupun dengan catatan, penjelasan mengenai struktur, kultur, dan proses tidak menggambarkan secara jelas mengenai agen. Begitu pula dalam pembahasan strukturasi Giddens tidak menggambarkan secara jelas mengenai kultur.
Kultur yg Distrukturkan
Proses yg Distrukturkan
Struktur Struktur yg Membudaya
Struktur yg Diproses
Strukturasi Giddens (Significan, Domination, Legitimat)
Kultur
Kultur yg Diproses Kembali
Proses
Proses yg Dibudayakan
Ruang, Waktu dan Praktik Sosial
Gambar 2.7 : Skema Perpaduan Konsep Strukturasi Giddens dengan Konsep Pembangunan Sosial Skema di atas menggambarkan bagaimana konsep pembangunan sosial budaya berrelasi dengan agen-strukturnya Giddens. Posisi teori strukturasi ditengah tiga elemen societal dimaksudkan untuk menggambarkan bagaimana praktik pembangunan sosial berjalan di komunitas berpagar. Melalui teori strukturasi Giddens diharapkan akan diketahui bagaimana peran dari ketiga gugus strukturasi (signification, domination, legitimate)
saling berinteraksi dengan
elemen kultur dan proses sosial. Penggunaan teori ini juga dimaksudkan untuk
Universitas Indonesia
59 mendapatkan gambaran bagaimana para agen dengan kesadaran praktis dan diskursifnya menjalankan perannya. Seperti diketahui bahwa Giddens dalam pembahasannya mengenai strukturasi tidak membahas mengenai kultur (culture) atau budaya, namun dalam pembahasannya mengenai gugus legitimasi ia menjelaskan bagaimana struktur pada tahap itu sudah mampu memberikan pengaruh kepada agen untuk patuh dan pada norma. Norma atau nilai merupakan hasil pengulangan praktik sosial yang sudah menjadi hal umum pada suatu ruang dan waktu. Dengan demikian, konsep mengenai kultur jika dijelaskan dengan menggunakan konsep strukturasi Giddens tidak lain ialah bagian dari struktur. Pada sisi yang lain, penjelasan mengenai agen di dalam proses sosial dapat juga dimaknai sebagai dinamika agen berada, yaitu saat mereka ada dalam kesadaran untuk menjaga jarak dengan struktur dan kultur. Dalam penjelasan ini, proses sosial menjadi entitas yang menentukan keberlangsungan struktur (dan kultur) bekerja. Sesuai dengan konseptualisasi Giddens mengenai agen, praktik sosial, serta ruang dan waktu sebagai satu konfigurasi yang dinamis, dengan catatan si agen memiliki kesadaran diskursif. Kesadaran untuk merefleksikan proses strukturasi yang sedang berjalan. Dengan demikian, maka merujuk pada skema di atas, proses sosial dapat berjalan atas dua bentuk kesadaran , yaitu kesadaran praktis dan diskursif. Proses sosial dengan kesadaran praktis menggambarkan bagaimana agen tidak menggunakan nalar dan otoritasnya untuk merefleksikan setiap praktik sosial yang berlangsung. Sehingga, proses penetrasi struktur dan kultur terhadap kesadaran agen terus berlangsung tanpa kritik. Di sisi lain, proses sosial dengan kesadaran diskursif akan menggambarkan bagaimana agen mampu merespon setiap tekanan struktur dan kultur yang terjadi di dalam praktik sosial. Dalam penjelasan Giddens, adanya kesadaran diskursif pada agen juga dapat berdampak pada perubahan struktur (dan kultur) yang berlangsung dalam praktik sosial yang ada. Upaya ini dijelaskan sebagai pembentukan struktur baru yang menjembatani (enabling) untuk menggantikan struktur (dan kultur)
yang mengekang
(constraint).
Universitas Indonesia
l60 BAB III METODE PENELITIAN
3.1 Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan metode kualitatif etnografi . Dasar pertimbangan yang melandasi mengapa memilih pendekatan ini, adalah makna penelitian etnografi yang dikemukan Creswell (2007), yaitu ” … describe how a cultural group works and to explore the beliefs, language, behaviours, and issues such as power, resistance, and dominance”. Pendapat lain dikemukakan
Hammersley dan Atkinson (1995) yang
menyatakan bahwa penelitian etnografi adalah : “…... a particular method or set of methods which in its most characteristic form… involves the ethnographer participating overtly or covertly in people’s daily lives for an extended period of time, watching what happens, listening to what is said, asking questions – in fact, collecting whatever data are available to throw light on the issues that are the focus of research”. Berbagai fenomena sosial yang menjadi perhatian dalam penelitian etnografi akan dapat ditemukan dalam studi ini, misalnya berkenaan dengan fenomena resistensi atau bentuk-bentuk
ketidaksetujuan yang dilakukan
sekelompok penghuni terhadap aturan-aturan dari peraturan tata tertib yang merugikan mereka. Sebagaimana diketahui pihak pengembang membuat aturan pengembang melalui peraturan tata tertib gunamengatur hubungan interaksi antara pengembang dan penghuni, serta hubungan antar sesama penghuni dan dengan warga sekitarnya. Pendalaman pemahaman terhadap pengaruh dari dominasi struktur dalam bentuk penerapan peraturan serta norma / nilai kultur dari korporasi terhadap tindakan atau
perilaku
penghuni dan diluar penghuni komunitas berpagar
membutuhkan penggalian informasi yang mendalam. Selain masalah struktur dan kultur, peran proses sosial sebagai bentuk praktik sosial untuk menegosiasikan kembali aturan yang berlaku perlu diamatai secara lebih mendalam.
Universitas Indonesia
60
61 Pada penelitian kualitatif, peneliti berusaha memahami subyek dari kerangka berpikirnya sendiri (Taylor & Bogdan; Creswell, 1994). Dengan demikian yang penting adalah pengalaman, pendapat , perasaan dan pengetahuan partisan (Patton;1990). Pelibatan peneliti yang mendalam dan cukup lama, dan mengobservasi kehidupan sehari-hari (daily activities) merupakan salah satu ciri penelitian etnografi (Creswell, 2007).Oleh karena itu semua perspektif menjadi bernilai bagi peneliti. Peneliti tidak melihat benar atau salah, namun semua data penting. Metode yang digunakan dalam pendekatan ini tidak kaku dan tidak terstandarisasi. Penelitian kualitatif sifatnya fleksibel, dalam arti kesesuainnya tergantung dari tujuan setiap penelitian. Walaupun demikian selalu ada pedoman untuk diikuti, tetapi bukan aturan yang mati (Cassel & Symon, 1994, Strauss, 1987). Jalannya penelitian dapat berubah sesuai dengan kebutuhan, situasi lapangan serta hipotesa-hipotesa yang muncul selama berlangsungnya penelitian tersebut. 3.2 Model Analisa Pembangunan Sosial Komunitas berpagar menjadi salah satu fenomena yang harus dihadapi dalam konteks kebijakan pembangunan kota yang berkelanjutan. Konsepsi pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan manusia untuk mendapatkan hak-haknya yang paling mendasar. Hal ini akan menjadi tantangan bagi setiap pengembangsebagai penyedia kebutuhanpublik apakah mampu mempraktekan konsep pembangunan sosial tanpa harusmengeksklusikan penghuni dan warga sekitarnya. Menjadi sebuah pertanyaan apakah elemen-elemen struktur, kultur dan proses sosial sebagai
dasar kekuatan praktik sosial telah mampu
diimplementasikan di komunitas berpagar. Arah pencapaian yang akan diraih didalam penelitian ini dari sisi analisa struktur adalah bagaimana kekuasaan dari pengembang didalam struktur sosial dapat memperbaiki kualitas dari “structural setting� sehingga membuat posisi antar antara penghuni dan pengembang menjadi lebih “equal� , lebih berkeadilan untuk terbangunnya suatu pengembang yang lebih menjembatani.
Tahap
selanjutnya adalah bagaimana peran dari Peraturan Tata Tertib sebagai structural
Universitas Indonesia
l62 force
apakah mampu merubah dan mengatur pola-pola hubungan sosial yang
lebih inklusif diantara pengembang , penghuni dan warga sekitarnya . Untuk analisa
kultur, seperti halnya struktur, adalah bagaimana
mendalami hubungan antara agen dan kultur sebagai suatu kekuatan koersif yang mampu untuk merubah pola tindakan/perilaku dari setiap pelaku untuk lebih terbuka memberi akses keadilan bagi mereka
yang selama ini tereksklusi.
Sebagaimana dikemukan Parson, kultur memiliki kekuatan utama yang mengikat sistem tindakan60. Kultur menengahi interaksi antar aktor, menginteraksikan kepribadian dan menyatukan sistem sosial. Kultur mempunyai kapasitas khusus untuk menjadi komponen sistem yang lain. Jadi didalam sistem sosial, sistem diwujudkan
dalam
norma
dan
nilai
dan
dalam
sistem
kepribadian
yangdiinternalisasikan oleh aktor. Untuk menganalisa peran dari proses sosial adalah bagaimana memahami segala tindakan dan aktivitas dari interaksi antar aktor-aktor social
dapat
menimbulkan perubahan-perubahan kecil yang bila berakumulasi dapat menghasilkan perubahan sosial (struktural maupun kultural). Proses sosial biasanya menghasilkan keadaan dan struktur sosial yang sama sekali baru. Penelitian ini akan menganalisa suatu model hubungan interaksi antar ketiga komponen, struktur, kultur dan proses sosial yang dikaitkan dengan kapasitas sistem sosial yang dikembangkan pengembang untuk mewujudkan pembangunan sosial yang lebih inklusif. Hubungan interaksi antar komponen ini menjadi penting,mengingat hubungan antar kultur dan struktur dapat saling mempengaruhi dan dapat merubah tatanan sosial yang ada. Sementara untuk merubah kondisi kultur mungkin masih memerlukan proses untuk melakukan perubahan (tergantung kepada tingkat internalisasinya). Penelitian ini juga akan mendalami bentuk- bentuk perpotongan diantara kekuatan hubungan diantara struktur sosial, kultur dan proses sosial yang dapat dikembangkan menjadi driving force untuk mencari bentuk baru didalam tatanan kehidupan sosial yang inklusif. Adapun komponen dari elemen sosial yang akan
60
Goerge Ritzer, DJ Goodman,dalam Modern Sociological Theory,6th Edition, Edisi terjemahan 2004.
Universitas Indonesia
63 didalami didalam penelitian ini bersumber dari elemen-elemen pembangunan sosial yang dikembangkan oleh Paulus Wirutomo (2014) antara lain dapat dilihat pada tabel berikut ini : Tabel. 3.1 Pola Hubungan Antar Unsur Struktur,Kultur & Proses61 Komponen
Struktur Kultur Proses
Struktur
Kultur
Proses
Struktur
Kultur yang Distrukturkan Kultur
Proses yang Distrukturkan Proses yang Dibudayakan Proses
Struktur yang Membudaya Struktur yang Diproses
Kultur yang Diproses kembali
1. Struktur adalah hubungan antara peraturan atau regulasi yang dibuat pengembang dalam mengatur kewenangan dan kekuasaan mereka atas penguasaan ruang yang mereka kelola ( komunitas berpagar) 2. Kultur yang Distrukturkan adalah elemen nilai-nilai kultural yang telah membudaya (terinternalisasi) dan kemudian diterima oleh struktur dan diundangkan atau dilembagakan untuk menjadi suatu aturan resmi yang diberlakukan oleh pengembang atau pemerintah. 3. Proses yang Distrukturkan
adalah pola interaksi baru di kalangan
masyarakat yang pada mulanya informal kemudian dianggap berguna oleh masyarakat dan kemudian oleh pengembang atau pemerintah dijadikan suatu kebijakan atau peraturan. 4. Struktur
yang Membudaya
adalah keadaan dimana suatu
undang-
undang atau peraturan yang dibuat oleh pemerintah atau pengembang yang telah terinternalisasi kedalam diri penghuni dan telah menjadi budaya. 5. Kultur
adalah nilai-nilai atau selera/minat
yang menjadi penanda
perbedaan dalam setiap tindakan atau perilaku sosial aktor. 6. Proses yang Dibudayakan
adalah pola interaksi sehari-hari di
masyarakat yang mulai berproses menjadi budaya. 61
Paulus Wirutomo (2014), Sosiologi untuk Jakarta ;Menuju Pembangunan Sosial Budaya, Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Jakarta (LPMJ),Jakarta ( hal :89-93)
Universitas Indonesia
l64 7. Struktur yang Diproses adalah suatu gejala dimana peraturan/kebijakan pemerintah atau pengembang, karena satu dan lain hal sedang menjadi sasaran “perwacanaan� oleh masyarakat, entah untuk didukung atau ditolak. 8. Kultur yang Diproses kembali adalah gejala dimana unsur-unsur budaya tradisional/nilai yang diajarkan
sedang menjadi sasaran “pewacanaan
kembali� (dinegosiasikan dan di nilai kembali oleh masyarakat, baik untuk tujuan yang menentang/menyimpang atau tujuan mendukung/menghargai. 9. Proses adalah proses dialektika kepentingan antar aktor dengan berbagai bentuk dinamikanya yang melibatkan warga. Proses dialektika ini dapat diyakini sebagai bentuk tindakan absah untuk menemukan suatu hakikat kebenaran.
3.3 Penetapan Lokasi Penelitian Lokasi penelitian ditetapkan dengan berbagai pertimbangan, antara lain; 1. Pemilihan Kawasan Permukiman Alam Sutera di Kecamatan Serpong Utara Kota Tangerang Selatan dilakukan dengan pertimbangan PT Alam Sutera Realty Tbk sejak awal pembangunannya sudah menggunakan konsep gated communty. Hal lain yang turut mendukung pemilihan lokasi penelitian adalah keterlibatan penulis, yang ikut didalam proses penyusunan Rencana Analisa Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) pembangunan Alam Sutera. Keterlibatan sejak awal pembangunan ini sangat membantu penulis untuk lebih mengenal lokasi dan sejarah pembangunan kawasan serta aktor-aktor utama yang sejak awal sudah terlibat dalam proses perencanaan dan kegiatan pembangunannya. 2. Pertimbangan lain yang cukup membantu penulis untuk lebih mengenal dan memahami situasi dan kondisi kehidupan sosial di perumahan Alam Sutera adalah kepercayaan yang diberikan oleh Pengembang PT. Alam Sutera kepada penulis untuk menjadi salah satu Dewan Juri Community Award tahun 2011. Kegiatan
Community
Award
Alam
Sutera,
adalah
kegiatan
yang
diselenggarakan oleh pengembang untuk menilai tingkat solidaritas sosial dan kreativitas penghuni yang tinggal dilingkungan perumahan.
Universitas Indonesia
65 3. Pemilihan lokasi juga didasarkan kepada tingkat perkembangan kawasan Alam Sutera. Saat ini di kawasan Alam Sutera telah tumbuh pesat menjadi salah satu kawasan strategis di Kota Tangerang Selatan. Semua proses percepatan
dan
pertumbuhan
kawasan
Alam
Sutera
akan
sangat
mempengaruhi peran dan posisi kawasan terhadap perkembangan kota dan kehidupan sosial masyarakat disekitarnya. 3.4 Informan Penelitian Subjek dari kegiatan penelitian adalah para aktor baik secara individu atau dari organisasi korporasi danorganisasi ketetanggaan serta diperkirakan
insitusi lain yang
mempunyai peran besar untuk memberikan gambaran tentang
pembangunan perumahan dan praktik pembangunan sosial .Adapun komposisi informan penelitian meliputi : 1. Informan yang terlibat sejak awal proses perencanaan, pembangunan kontruksi dan pengelolaan kawasan permukiman Alam Sutera. Para informan yang masuk sub kategori informan ini adalah para Direktur di PT.Alam
Sutera
Realty,
PengembangManager
dan
mantan
PengembangManager, Kepala Satuan Keamanan, staf atau karyawan dari perusahaan yang memegang posisi penting dan strategis di pengembang. 2. Informan
yang
menduduki
posisi
sebagai
pengurus
organisasi
ketetanggaan . Para informan yang masuk sub kategori ini adalah para tokoh dari pengurus RT/RW dan perhimpunan dari asosiasi penghuni ASRC (Alam Sutera Resident Community). 3. Warga penghuni komunitas berpagar yang tidak menduduki posisi sebagai pengurus organisasi ketetanggaan dan keagamaan. Para informan yang masuk dalam kategori ini adalah penghuni atau penyewa yang sudah lama dan baru menetap dikomunitas berpagar dan kawasan bisnis yang ada di lingkungan Alam Sutera. 4. Warga penghuni yang tinggal diluar komunitas berpagar. Para informan yang masuk kategori ini adalah tokoh masyarakat atau pengurus Rt/Rw diluar Alam Sutera, Pengojek, Pengurus Rumah Ibadah, Pedagang Keliling /pelaku usaha informal lain.
Universitas Indonesia
l66 5. Informan yang menduduki posisi sebagai pejabat dari unsur pemerintahan dan pengambil kebijakan di tingkat wilayah administrasi . Para informan yang masuk dalam kategori ini adalah para aktor dari unsur pemerintah daerah
meliputi pejabat Kelurahan , Kecamatan dan Kantor Walikota
Tangerang Selatan. 6. Informan
yang
memiliki
pengetahuan
dan
kebijakan di
sektor
pembangunan perumahan dan permukiman di tingkat pemerintahan pusat dan daerah serta para pengurus dari organisasi pengembang perumahan. Para informan yang masuk dalam kategori ini adalah pejabat di Kementerian Perumahan Rakyat, Badan Perencanaan Pembangunan, Dinas Statistik, Dinas Tata Ruang dan Permukiman, Asosiai Pengembang (REI dan APERSI), pengamat dan pemerhati kebijakan perumahan HUD ( Housing and Urban Development) dan perguruan tinggi.
3.5 Peran Peneliti Dalam penelitian ini, peneliti berusaha untuk memahami realitas, makna kejadian dan interaksi yang terjadi pada orang-orang yang tinggal didalam komunitas berpagar dalam situasi tertentu dan bagaimana hubungan mereka dengan struktur yang mengatur tindakan dan perilaku didalam lingkungan komunitas berpagar. Secara sosiologis, penelitian ini menggunakan perspektif verstehen, yakni menggali pemahaman dan tafsiran subyektif atas sikap dan interaksi orang-orang yang diwawancarai. Dalam penelitian verstehen peneliti berusaha masuk kedalam pemahaman informan dan komunitas yang diteliti dengan tetap menyadari latar belakang kultural maupun akademis peneliti sendiri. Melalui pendekatan ini diharapkan diperoleh integritas data dalam konteks pemahaman informan maupun komunitas yang diteliti maupun oleh peneliti sendiri. Sebagaimana yang seharusnya dilaksanakan dalam penelitian etnografi , maka peneliti akan melakukan observasi langsung di lapangan (first hand observastion)untukmengamati kehidupan sehari-hari (daily behaviour). Dengan demikian, peran peneliti sangat penting dan menjadi instrumen penelitian yang sangat mempengaruhi keseluruhan hasil dan kualitas dari penelitian. Peneliti
Universitas Indonesia
67 menyadari bahwa relasi yang terjalin selama melakukan penelitian akan memiliki dampak kepada bagaimana konstruksi sosial yang terbangun. Dampak ini diharapkan bisa dikendalikan karena fokus penelitian lebih kepada bagaimana konstruksi sosial yang ada saat ini dikonstruksi; bukan peneliti terlibat dalam konstruksi membangun kebijakan atau nilai-nilai yang baru. Dengan kata lain, peneliti lebih banyak menggali proses sebelum kehadiran peneliti. Dalam posisi sebagai instrumen penelitian, peneliti sendiri yang membuka akses ke lapangan, membangun relasi dengan informan, melakukan observasi dan mewawancarai informan, serta mempelajari berbagai dokumen yang berkaitan. Peneliti juga
mencatat, merekam dan menulis hasil wawancara, melakukan
pengkodean dan pengkategorian data, menganalisis data, menemukan pola dan kesalinghubungan antar data, serta menulis laporan penelitian. 3.6 Tahapan Pengumpulan Data Rentang waktu kegiatan penelitian ini sudah diawali sejak bulan Mei hingga Juli 2011 ketika pihak PT. Alam Sutera Realty Tbk meminta kepada penulis untuk menjadi Dewan Juri dalam kegiatan Alam Sutera Community Award. Data awal penelitian yang berhasil dikumpulkan selama hampir 3 (tiga) bulan penelitian dilapangan dijadikan sebagai data primer yang selanjutnya akan diolah kembali oleh penulis untuk disesuaikan dengan kebutuhan penelitian. Adapun beberapa tahapan proses pengumpulan datanya dilakukan sebagai berikut: 1. Inventarisasi data primer dan sekunder. Berbekal pengalaman sebagai peneliti pada jasa konsultan AMDAL Alam Sutera pada tahun 1995/1996 dan jabatan sebagai anggota Dewan Juri Alam Sutera Community Award 2011, menjadi modal dasar yang sangat berharga bagi penulis untuk mengenal lebih mendalam kondisi Alam Sutera. Pengenalan terhadap aktor-aktor
utama
didalam
organisasi
perusahaan
yang
terlibat
dikegiatanperencanaan, pembangunan dan pengelolaan kawasan sangat membantu penulis untuk lebih memahami kondisi internal Alam Sutera. Selain telah mengenal para aktor utama diinternal korporasi, data-data hasil wawancara dengan semua Pengurus RT dan RW selama pelaksanaan
Universitas Indonesia
l68 Alam Sutera Community Award, akan dijadikan sebagai data awal untuk memahami permasalahan yang terjadi dikomunitas berpagar. 2. Penjajakan lapangan. Pada tahap ini peneliti melakukan transect walk. Untuk mendapatkan gambaran dari situasi lapangan. Pada kondisi ini sudah dilakukan pencarian informasi yang lebih mendalam, khususnya dari kalangan pihak Pengembang terkait perkembangan terbaru di Alam Sutera dan informasi dari para pengurus Rt/Rw di komunitas berpagar. Melalui tahap konsultasi dengan pihak Pengembang Alam Sutera, diidentifikasikan aktor-aktor penting di tingkat korporasi dan masyarakat yang memiliki peran penting didalam pengelolaan kawasan Alam Sutera. 3. Wawancara sejarah perkembangan komunitas berpagar. Pada tahapan ini peneliti mencoba untuk melakukan pendalaman kembali terhadap sejarah perkembangan komunitas berpagar di Alam Sutera.
Peneliti akan
menggali kembali informasi yang telah didapat untuk dilakukan pengujian ulang. Prosesnya dilakukan dengan cara memanfaatkan hasil wawancara terdahulu dengan semua para pengurus Rt dan Rw disaat pelaksanaan Community Award. Kemudian dari hasil pengujian ulang ini
akan
dikonsultasikan kembali dengan pihak pengembang guna mendapatkan informasi terbaru. Selanjutnya dari konsultasi dengan pihak Pengembang dilakukan penggalian informasi yang lebih lengkap dari berbagai pihak. Manfaat dari kegiatan konsultasi yang dilakukan dengan pihak Pengembang adalah untuk menetapkan dan memilih kelompok organisasi ketetanggaan
atau kluster perumahan mana yang akan dipilih untuk
menjadi fokus dari kegiatan penelitian. Teknis pemilihan didasarkan pada pertimbangan (1) waktu pembangunan (2) ragam dan jumlah kegiatan sosial yang dilakukan pengurus RT dan RW (3) keaktifan pengurus organisasi ketetanggaan (5) bentuk dukungan warga terhadap kegiatan yang dilaksanakan pengurus RT dan RW. Informasi ini diharapkan dapat diperoleh dari, para direktur dan manajer di PT Alam Sutera, pengurus organsisasi ketetanggaan (RT/RW) ,pejabat di tingkat wilayah administrasi dan dinas-dinas terkait di Kota Tangerang Selatan, para pengurus dari organisasi pengembang, tokoh masyarakat
Universitas Indonesia
69 didalam komunitas berpagar dan warga diluar komunitas berpagar, pedagang keliling, pengojek, dan pelaku usaha lain disekitar Alam Sutera. 4. Wawancara mendalam. Pada tahap ini peneliti melakukan pengumpulan data secara lebih terarah sesuai dengan fokus pertanyaan penelitian yang ingin dijawab. Dalam tahapan ini peneliti mendapatkan sumber data atau informan yang kompeten. Pada tahapan ini, peneliti akan menggunakan teknik snow ball. Tahapan ini peneliti fokus pada pengembangan dari hasil ekplorasi data kepada fokus penelitian secara lebih mendalam. Tahapan ini sekaligus digunakan peneliti sebagai proses untuk klarifikasi dan verifikasi informasi sebagai proses untuk validasi informasi. 5. Melakukan wawancara sejarah hidup. Satu langkah penting dalam keseluruhan proses ini adalah mendapatkan gatekeeper, sebagaimana saran Creswell (2007), agar akses ke dalam masyarakat akan lebih mudah. Pada tahap ini peneliti melakukan pemilihan terhadap informan yang telah diwawancara untuk menjadi informan kunci.Pemilihan informan kunci ditetapkan berdasarkan kepada peran dari masing-masing tokoh ditiap level korporasi dan setiap jenis komunitas berpagar. Mengingat di Alam Sutera memiliki lebih dari 25 cluster komunitas berpagar, maka pemilihannya dilakukan dari tingkat keterlibatan informan kunci dalam memberikan pengaruh terhadap lingkungan internal dan eksternalnya. Peran ini didapat dari tingkat kewenangan, keluasan
dan kedalaman
informasi yang terkait pengembangmanejemen di Alam Sutera. Peneliti melakukan wawancara mendalam untuk menggali sejarah hidup dari beberapa informan kunci. Hal ini dilakukan untuk mendapatkan informasi mengenai peran yang dilakukan informan kunci di komunitas berpagar. Wawancara sejarah hidup yang dibuat dalam penelitian ini terkait dengan ; 1) tokoh yang terlibat dan menguasai sejarah awal dirintis dan berkembangnya komunitas berpagar. 2) tokoh yang terlibat dalam pengembangan kegiatan dan perubahan kebijakan pengembang di Alam Sutera. 6. Pada
beberapa
kali
kesempatan
peneliti
melakukan
participant
observation, dengan cara mengikuti secara langsung kegiatan informan
Universitas Indonesia
l70 dalam memperoleh bahan baku dari sumber utamanya, seperti dalam kegiatan-kegiatan sosial, diskusi dan kegiatan agama lainnya. Penelitian ini menggunakan teknik sirkuler dengan prosedur 3 (tiga) teknik, yaitu (1) studi dokumentasi, (2) observasi (3) wawancara mendalam. Keseluruhan proses penggalian informasi dilakukan dengan 2 (dua) tahap. Pertama, memanfaatkan hasil wawancara selama kegiatan Community Award dan yang kedua dengan cara melakukan kunjungan
diakhir pekan selama selama 3
tiga bulan secara rutin kepada setiap RT dan RW. Selain kunjungan rutin, dibuat kunjungan dengan perjanjian dengan informan dengan waktu yang telah diatur, khususnya dengan para informan dari korporasi. Dasar pertimbangan kunjungan diakhir pekan kepada para penghuni komunitas berpagar , disebabkan para penghuni adalah para pekerja yang sangat padat waktu dan umumnya bekerja di Jakarta atau di luar Tangerang Selatan. Peneliti dapat menangkap karakteristik pelaku-pelaku yang terlibat didalamnya, menangkap mekanisme peraturan tata tertib, nilai norma dan budaya yang digunakan dalam inter aksi sosial antar pengembang dan penghuni, serta diantara sesama penghuni dan warga sekitarnya di lokasi penelitian. 3.7 Pelaksanaan Penelitian . Bukan hal yang mudah untuk melakukan penelitian yang terkait dengan komunitas berpagar.Penelitian terhadap komunitas berpagarini masih sangat jarang dilakukan , walaupun berbagai praktek pembangunan komunitas berpagar telah berkembang pesat di berbagai kota-kota besar di Indonesia. Salah satu tantangan yang menarik untuk melakukan penelitian di komunitas berpagar adalah topik yang terkait dengan masalah pembangunan sosial. Mengingat topik pembangunan sosial ini masih sangat baru dan mulai diinisiasi oleh Prof. Paulus Wirutomo dari Departemen Sosiologi Universitas Indonesia, maka tantangan antara topik baru dan cara pendekatan ke komunitas berpagar yang relative tertutup ini menjadi dua hal yang sangat menantang. Kedua masalah ini menjadi tantangan tersendiri untuk peneliti, karena peneliti memiliki peluang untuk melakukan modifikasi antara
Universitas Indonesia
Teori Strukturasi Giddens dengan Konsep
71 Pembangunan Sosial dari Prof. Paulus Wirutomo di komunitas berpagar untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan dalam penelitian. Proses penelitian awal dibantu oleh salah seorang pengembangmanajer dari Alam Sutera yang memberikan kesempatan kepada penulis untuk memanfaatkan hasil penelitian dari komunitas berpagar untuk ditindaklanjuti sebagai riset untuk program pasca sarjana. Hasil hasil lapangan dan pengenalan kepada setiap pengurus RT/RW menjadi modal sosial untuk menjalin kontak dengan para penghuni. Terbangunnya rasa kepercayaan bahwa penelitian ini serius untuk menjadi kepentingan pengembang dan penghuni menjadi modal sosial terbangunnya kepercayaan antara penulis dengan setiap informan yang menjadi nara sumber penelitian. Tahap-tahap pelaksanaan penelitian ini akan dimulai dari menyusun rencana penelitian dengan memformulasikan pertanyaan penelitian, memilih lokasi, memutuskan siapa yang akan diobservasi dan dimana. Untuk memilih lokasi dilakukan dengan mempertimbangkan sejarah terbangunnya kluster perumahan (komunitas berpagar), kemudian tingkat hunian yang telah terisi dan aspek dinamika dari pengurus organisasi ketetanggaan. Pemilihan pada tingkat aktifitas ketetanggaan menjadi sangat penting, dengan mempertimbangkan aktor atau pengurus RT dan RW dimasing-masing komunitas berpagar. Berdasarkan informasi lapangan baik dari masyarakat maupun pengurus pengembang, tidak semua pengurus RT dan RW adalah pengurus-pengurus yang aktif.
Tingkat
keaktifan ini menjadi pertimbangan penting dengan melihat sejauh mana elemen proses sosial berjalan di masing-masing komunitas berpagar. Untuk mendapatkan akses ke lapangan, membangun hubungan (rapport), dan untuk membina relasi dengan informan, peneliti sangat dibantu oleh salah seorang mantan manajer pengembangdan pengurus dari kantor Pengembang Alam Sutera. Awal penelitian dimulai dengan melakukan kontak personal untuk membangun relasi. Hal ini penting dengan mempertimbangkan tingkat kepercayaan penghuni kepada peneliti. Pengenalan penghuni terhadap peneliti sebagai pengamat perkotaan turut membantu memudahkan mereka membina relasi dan menjalin kepercayaan terhadap tujuan penelitian. Informasi-informasi awal yang menggambarkan bentuk-bentuk keluhan dan harapan penghuni
Universitas Indonesia
l72 selanjutnya direkam serta dicatat bersamaan dengan hasil observasi lapangan . Hasil wawancara selanjutnya akan dianalisis sebagai bahan dasar untuk menulis laporan.
3.8 Jenis Data yang Dibutuhkan 3.8.1 Struktur Terkait dengan elemen struktur jenis-jenis data yang dibutuhkan meliputi kebijakan
pemerintahdan peraturan dari
pengembang
dalam pengelolaan
komunitas berpagar. Jenis-jenis informasi yang dibutuhkan untuk elemen struktur ini antara lain; 1. Proses penyusunan peraturan oleh pembuat kebijakan (pemerintah dan pengembang) terhadap komunitas berpagar. Penggalian informasi ini dilakukan melalui wawancara dan dengan mengkaji Peraturan tata tertib atau peraturan lainnya yang telah dibuat pengembang dengan tujuan untuk mempelajari konsep aturan ,nilai-nilai/ norma-norma yang menjadi dasar ideologi / kebudayaan dalam proses penyusunan peraturan-peraturan tersebut. 2. Persepsi dari para direktur /pimpinan perusahaan, staf pengembang dan petugas di level lebih rendah (pelaksana) secara berjenjang berkenaan dengan peraturan yang telah dikeluarkan oleh pengembang menyangkut strategi dan tujuan dari pembangunan komunitas berpagar
yang akan
dicapai sesuai dengan visi dan misi perusahaan. 3. Implementasi di lapangan, termasuk kemudahan (kebebasan) dan permasalahan (kendala) yang terjadi akibat penerapan peraturan tata tertib terutama berupa keharusan-keharusan yang harus ditaati dan dijalankan oleh penghuni. 4. Peran dari berbagai kekuatan dalam penguasaan sumber daya atau pengelolaan kawasan , misalnya tentang kepentingan pihak pengembang untuk mengatur kehidupan penghuni dan bagaimana dinamika dari aspirasi penghuni dan warga sekitarnya ditampung didalam aturan sampai dengan implementasinya di lapangan.
Universitas Indonesia
73 5. Bentuk keterlibatan berbagai pihak yang membentuk struktur
dan
memberi pengaruh terhadap perubahan peraturan oleh pengembang di komunitas berpagar. Hal ini merupakan latar belakang penjelas bagaimana peluang dan hambatan yang dimiliki warga didalam komunitas berpagar untuk mengakses berbagai hal di luar dirinya demi hak-hak pembangunan sosialnya. 6. Peluang dan keterbatasan akses yang berhubungan dengan hak-hak dasar kemanusiaan, mulai dari pemenuhan sarana dasar kehidupan, pemenuhan kebutuhan untuk mobilitas, sampai dengan pengakuan atas prinsip keadilan.
3.8.2
Kultur Terkait dengan pengembangan kultur (sistem kepercayaan, nilai dan
norma) yang mempunyai memiliki kekuatan pendorong pada sikap dan perilaku aktor, diantara adalah sebagai berikut : 1. Mengeksplorasi sejauhmana pihak
pengembang
memiliki prioritas
kebijakan pada nilai-nilai yang bersifat populis, seperti kesejahteraan warga, keadilan sosial, pemberdayaan hak azasi warga dan keberpihakan pada kelompok yang lemah. 2. Mengeksplorasi sistem nilai yang berkembang dikehidupan warga, baik didalam atau diluar lingkungan komunitas berpagar, yang memiliki nilai kebersamaan, kerukunan, keguyuban, kekerasan, agresivitas,kepedulian. 3. Mengeksplorasi sistem norma-norma yang berkembang dilingkungan pengembang, apakah norma yang dikembangkan lebih mengedepankan kepentingan pengembang atau sistem norma yang berdasarkan aturan hukum yang didasarkan kesepakatan bersama. 4. Mengeksplorasi bentuk perilaku yang berkembang diantara sesama penghuni dan warga diluar lingkungan terkait perubahan sikap dan perilaku untuk membangun kepedulian terhadap warga lain dan ikut serta dalam kegiatan bersama di komunitas.
Universitas Indonesia
l74 3.8.3
Proses Sosial Terkait
dengan
pengembangan
proses
sosial
(segala
tindakan/aktivitas/dinamika) dari interaksi antar aktor-aktor sosial yang terjadi setiap saat, antara lain : 1. Mengeksplorasi bagaimana masing-masing aktor melalui peran (role) yang ada menjalankan fungsinya (role playing), tetapi sekaligus juga mengadaptasi diri terhadap fungsi itu (role taking) ataupun secara aktif melakukan perubahan pada tatanan yang ada (role making). 2. Mengeksplorasi bagaimana proses negoisasi antar pelaku untuk mencari suatu keteraturan baru (social order is anegotiated order) dan bagaimana hasil negosisasi ini bisa menimbulkan perubahan-perubahan kecil yang bila berakumulasi bisa menghasilkan perubahan sosial (struktur maupun kultural). 3. Mengeksplorasi bagaimana melalui hasil dari proses sosial ini, individu, kelompok maupun masyarakat dapat memperoleh nilai-nilai kehidupan yang lebih baik dibandingkan dengan kondisi sebelum memilih tinggal dilingkungan Alam Sutera atau pihak pengembang yang melakukan perubahan karena adanya tuntutan dari masyarakat.
3.9 Kendala Penelitian Dalam kegiatan penelitian ini, peneliti mendapat beberapa kendala didalam kegiatan penelitian, antara lain; 1. Ketersediaan waktu atau kesulitan penghuni untuk memberikan waktu luang untuk dilakukan kegiatan wawancara. Hal lain yang cukup menjadi alasan
para
informan
untuk
dilakukan
wawancara
adalah
mempertanyakan apa maksud dari kegiatan penelitian ini. Dasar pertimbangan mereka jika hasil penelitian ini tidak memberikan gambaran yang nyata atau ada keberpihakan terhadap kepentingan pengembang, mereka enggan untuk memberikan informasi atau dukungan. Sementara sebagian penghuni lainnya cenderung memilih pasif, tidak bersedia memberikan tanggapan. Apalagi sebagian dari mereka merasa tidak bersedia mengkritisi kebijakan pengembang , dengan alasan jika
Universitas Indonesia
75 sudah membayar IPL dan kewajiban lainnya sudah selesai kewajibannya. Sementara jika ditanyakan masalah hubungan dengan tetangga sebelah rumah, lebih baik langsung mengadu ke pengembang untuk mendapatkan solusi atas konflik diantara penghuni didalam dan diluar lingkungan. 2. Sebagian warga merasa sangat riskan kalau rumahnya atau perilakunya diamati, karena mereka relatif jarang melakukan interaksi dengan tetangga diakibatkan faktor kesibukan masing-masing.
Hal lain adalah terkait
dengan pembangunan kawasan perumahan yang sudah berjalan hampir 20 tahun, banyak data yang sudah tidak lengkap. Penghuni rumah kadang sudah tidak jelas untuk dapat menceritakan riwayat tempat tinggalnya saat ini, karena mereka ada yang membeli melalui perantara atau broker.
3.10 Analisis Data Analisis data penelitian ini akan meliputi dua kegiatan, yaitu : 1. Melalui pengkodean data (koding) dan analisis data. Pengkodean mencakup kategorisasi data pertema, misalnya data tentang gaya hidup disusun dalam satu kelompok tema dan data tentang relasi dan jaringan sosial disusun kedalam tema yang lain. Melalui keterkaitan antar tema dan menggali secara lebih mendalam konsep-konsep yang berkaitan dengan tema tersebut (mis: gaya hidup & jaringan sosial) yang menempatkan mereka pada posisi dominan dalam ranah kehidupan sosial dalam komunitasnya. Hasil akhirnya adalah menyusun tema-tema kunci penelitian ini pada masing-masing kelompok pengkajian (pengelompokan data). Misalnya, tema gaya hidup dan jaringan sosial ini masuk dalam kajian tentang kultur masyarakat. Sementara tema kebijakan dan regulasi akan dikelompokkan pada komponen pembangunan struktur. 2. Setelah melakukan pengkodean, langkah selanjutnya adalah analisis data. Pada tahap ini peneliti berupaya melihat keterkaitan antara pertanyaan penelitian dengan data yang diperoleh serta konsep-konsep yang digunakan dalam penelitian ini. Data mengenai diferensiasi sosial (latar belakang pekerjaan aktor) dan pertanyaan tentang posisi obyektif para aktor dalam ranah kekuasaan di wilayahnya. Pendalaman terhadap data ini
Universitas Indonesia
l76 dilakukan berkali-kali dan bersifat dialektis (data - konsep-pertanyaan penelitian-data) hingga diperoleh kesimpulan akhir. Proses ini terus dilakukan sambil melakukan review data, mengecek pertanyaanpertanyaan penelitian. Dari hasil kesimpulan akhir ini, dapat diketahui berkembangnya suatu hipotesa, dan bagaimana mengujinya antara data yang tersedia dengan konsep yang telah disusun sebelumnya. Hal ini berarti data yang diperoleh memperkuat konsep atau memperkaya konsep atau data tersebut bertentangan dengan konsep, sehingga melahirkan konsep baru. Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam analisis data, adalah dalam proses mencari dan mendapatkan pola – polanya. Artinya data yang sudah dikumpulkan sudah merupakan variabel atau asumsi yang memang dicari oleh peneliti dan data – data ini dideskripsikan dan dianalisis asumsi – asumsi yang khusus. Selanjutnya bisa dicari faktor-faktor penyebab yang ada di data untuk kemudian mengidentifikasikan dampak – dampak yang muncul dari penyebab tersebut sebagai suatu kondisi pada setiap kejadian yang diteliti. Untuk melakukan validitasi data didalam penelitian ini, maka peneliti akan melakukan beberapa cara untuk melakukan validitasi data, antara lain; (1) memperpanjang
kehadiran dilapangan dan menetap dilingkungan disekitar
komunitas berpagar, sehingga dapat melakukan observasi yang lebih mendalam. Tindakan ini didasarkan pengalaman penulis yang pernah mendapatkan amanat dari salah satu pengembang besar untuk menjadi dewan juri penilai komunitas berpagar selama beberapa bulan
(2) melakukan triangulasi, baik metode,
sumberdata maupun teori, (3) melakukan verifikasi data yang ada sesuai dengan karakternya, mis: data yang bersumber dari media massa, hasil wawancara dan dari hasil penelitian. Selanjutnya juga dilakukan pengelompokan berdasarkan bobot akurasinya dan relevansi dengan topik penelitian. Untuk melakukan penyempurnaan akan dilakukan melalui pengecekan dan diskusi dengan pembimbing. (4) melakukan konformitas audit sesuai dengan hasil analisa dengan data hasil lapangan, dan melakukan audit serta interpretasi dengan informasi yang diperoleh dilapangan.
Universitas Indonesia
77 BAB IV PENGEMBANG : DOMINASI STRUKTUR DALAM KOMUNITAS BERPAGAR
Pengantar Bab ini menjelaskan bagaimana posisi pengembang Alam Sutra sebagai pengelola tunggal dari wilayah pemukiman Alam Sutra. Pengembang Alam Sutra bukan saja berfungsi sebagai penyedia perumahan, namun mereka juga memposisikan diri sebagai pengatur kehidupan sosial penghuni dengan menyediakan berbagai fasilitas umum yang dibutuhkan. Selain itu, melalui peraturan yang sudah disepakati antara kedua pihak (pengembang dan penghuni) saat perjanjian jual beli dilaksanakan, pengembang Alam Sutra menekankan begitu banyak aturan dan peraturan yang harus dipatuhi oleh semua penghuni. Tujuannya tak lain ialah agar terciptanya suasana kehidupan yang harmonis diantara para penghuni. Pengembang Alam Sutra sebagai bentuk signifikasi dalam konteks ini sudah menjadi kekuatan stuktural yang memiliki otoritas yang begitu kuat. Hal ini menjadi fenomena baru, karena pengembang Alam Sutra sebagai korporasi telah melampaui otoritas negara dalam mengatur kehidupan sosial bagi warga negara. Pengembang Alam Sutra tidak berhenti dengan hubungan jual beli fisik rumah, namun ia juga menjadikan kehidupan sosial antar penghuini sebagai komoditas yang melekat dengan penjualan perumahan. Kondisi ini disebabkan pengembang merupakan agency tunggal yang menyediakan berbagai kebutuhan penghuni yang mencakup fasilitas publik dalam satu wilayah yang dikuasai olehnya. Pengembang Alam Sutra kokoh menjadi satu-satunya kekuatan struktural yang memiliki otoritas tunggal yang mengatur kehidupan sosial penghuni perumahan. Pada sisi pembangunan sistem sosial, jika dilihat dari pendekatan Parsonian, pihak pengembang telah melakukan tahapan-tahap yang stategis untuk membuat sistem yang berjalan di komunitas berpagar dapat berlangsung secara baik.
77
Universitas Indonesia
l78
4.1 Sejarah Alam Sutra Di awal pembangunannya kawasan Alam Sutera berada didua wilayah administrasi yang meliputi Kota Tangerang dan Kabupaten Tangerang. Seiring dengan dinamika sosial, politik dan ekonomi pada tahun 2006 kawasan Alam Sutera
yang berada di wilayah Kecamatan Serpong Kabupaten Tangerang
statusnya berubah
menjadi bagian dari Kota Tangerang Selatan. Pemisahan
kawasan Alam Sutera dari Kabupaten Tangerang
terjadi setelah dilakukannya
pembentukan Kota Tangerang Selatan. Pembentukan Kota Tangerang Selatan ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Tangerang Nomor 28 Tahun 2006 tanggal 27 Desember 2006 tentang Persetujuan Pembentukan Kota Tangerang Selatan. Wilayah Kabupaten Tangerang, yang dimekarkan menjadi Kota Tangerang Selatan meliputi kecamatan Ciputat, Pamulang ,Serpong, Setu dan Pondok Aren atau lebih dikenal dengan akronim CIPASERA. Peta wilayah administrasi Tangerang Selatan dapat dilihat pada Gambar 4.1. Berdasarkan ketentuan UU No.26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang, setiap wilayah Kota diwilayahnya.
memiliki hak
untuk menetapkan kawasan
startegis
Kawasan Strategis Kota merupakan bagian wilayah kota yang
penataan ruangnya diprioritaskan karena mempunyai pengaruh sangat penting dalam lingkup pembangunan
kota di bidang ekonomi, sosial, budaya atau
lingkungan. Mengacu
kepada kriteria dan ketentuan yang telah diatur didalam
ketentuan peraturan yang berlaku. maka kawasan strategis kota didalam RTRW Kota Tangerang Selatan yang didasarkan kriteria dari pertumbuhan ekonomi meliputi kawasan perdagangan dan jasa adalah disepanjang jalan raya serpong, kawasan sekitar CBD Bumi Serpong Damai (Kecamatan Serpong), kawasan sekitar CBD Bintaro (Kecamatan Pondok Aren) (Kecamatan Serpong Utara).
Universitas Indonesia
dan Kawasan Alam Sutera
79
Untuk kawasan strategis kota yang sesuai dari sudut kepentingan sosial dan budaya wilayahnya meliputi kawasan pusat pemerintahan Kota Tangerang Gambar 4.1 : Peta Wilayah Administrasi Tangerang Selatan
Universitas Indonesia
l80 Selatan di Kecamatan Ciputat. Untuk kawasan strategis kota dari sudut kepentingan fungsi dan daya dukung lingkungan hidup wilayahnya
meliputi
Kawasan Situ Gintung. Pembangunan kawasan permukiman Alam Sutera, dimulai ketika PT Alfa Goldland Realty pada tahun 1984 berniat untuk membangun suatu permukiman mandiri dan terpadu. PT. Alfa Goldland Realty, adalah suatu badan usaha yang didirikan oleh The Ning King dan The Ning Kong pada tahun 1973. Dua taipan bersaudara ini merupakan pemilik Group Aryo Manunggal yang memiliki core business di bidang industry tekstil. Sebagai anak perusahaan Group Argo Manunggal proyek perumahan Alam Sutera dibawah pengelolaan oleh PT. Alfa Goldland Realty yang merupakan proyek perumahan pertama yang dikembangkan group ini. Tahap awal dari areal proyek perumahan Alam Sutera direncanakan diatas lahan seluas 700 ha, yang terletak di Desa Pakulonan, Desa Paku Alam dan Desa Pondok Jagung Kecamatan Serpong, Kabupaten Tangerang dan Kelurahan Panunggangan
Kecamatan Cipondoh, Kotamadya Tangerang, Provinsi Jawa
Barat.Pada saat pengusulan rencana pembangunan, wilayah administrasi Alam Sutera, masih bergabung dengan Provinsi Jawa Barat. Saat ini Kawasan Alam Sutera dibagi dalam dua wilayah administrasi yaitu Kota Tangerang dan Kota Tangerang Selatan. Wilayah yang berada di Kota Tangerang Selatan ini adalah bagian dari wilayah pemekaran dari Kabupaten Tangerang. Penelitian ini akan difokuskan pada kawasan perumahan yang berada di wilayah Tangerang Selatan. Dasar pertimbangannya adalah tahap pembangunan perumahannya sudah hampir selesai seluruhnya. Sementara untuk wilayah Kelurahan Panunggangan Kecamatan Cipondoh yang berada di wilayah Kota Tangerang belum sepenuhnya selesai dibangun oleh PT.Alam Sutera Goldland Realty Tbk. Kawasan yang
dikembangkan oleh PT. Alfa Goldland Realty, pada
awalnya merupakan bagian dari skenario pengembangan pembangunan wilayah di Botabek yang terletak di Tangerang yang meliputi wilayah kota dan kabupaten. Melalui Surat Keputusan kantor Pertanahan Kotamadya Tangerang No.460.04SK.051.P tentang Perpanjangan masa berlaku dan perubahan surat Gubernur KDH
Universitas Indonesia
81 Tk.I Jawa Barat tanggal 1 Februari 1984 Nomor : 593.82/SK.228/ AGR-DA/10484 dan Surat Keputusan Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Tangerang Nomor : 460.04.SK-058.P tentang masa berlakudan perubahan Gubenrnur.KDH
Tk.I
Jawa
Barat
tanggal
1
Surat keputu san
Februari
1984
Nomor.
593.82/SK.228/AGR-DA/104-84 tentang Persetujuan Lokasi dan Ijin Pembebasan Tanah seluas Âą 700 ha terletak di Kelurahan Panunggangan Kecamatan Cipondoh Kotamadya Tangerang dan Desa Pondok Jagung dan Desa Pakulonan, Kecamatan Serpong kabupaten Dati II Tangerang. Berdasarkan dua surat ijin yang telah diberikan kepada PT. Alfa Goldland Realty, maka proses pembebasan lahan di ketiga wilayah kelurahan dan desa ini dimulai.Dari kajian sosial yang diperoleh melalui dokumen Amdal tahun 1996 1997
saat awal rencana pembangunan
perumahan Alam Sutera, perilaku
penduduk setempat di tiga desa wilayah studi pada pada umumnya masih tampak akrab dengan kebiasaan yang ada diperkampungan pinggiran kota. Kombinasi perilaku tradisional dan modern saling mengisi dan diwujudkan
dalam
bentuk
keakraban
pergaulan.
Walaupun
sebagian
masyarakatnya telah banyak dipengaruhi oleh kehidupan di kota, namun jalinan hubungan sosial antar penduduk asli dan pendatang semakin menjadi erat setelah ada hubungan ekonomi yang saling menguntungkan. Pemuka masyarakat sebagai pengayom diantara anggota masyarakat masih cukup disegani. Kondisi ini terlihat pada dukungan dan kepercayaan anggota masyarakat terhadap tokoh setempat dalam menyelesaikan berbagai permasalahan yang berkaitan dengan kepentingan bersama, khususnya terkait masalah pembebasan tanah. Konflik antar anggota komunitas relative jarang terjadi. Gejala ketidakeratan antar anggota komunitas mulai terjadi setelah munculnya beberapa masalah yang berasal dari luar lingkungan mereka.
Universitas Indonesia
l82
Gambar 4.2 : Peta Rencana Tapak Pembangunan ‘Alam Sutera’ Sejak dimulainya rencana pembangunan dan pembebasan tanah yang dilakukan PT. Alfa Goldland Realty, harapan terjadinya proses mobilitas sosial menjadi suatu gejala yang berkembang dimasyarakat di ketiga desa tersebut. Keinginan akan semakin meningkatnya pendapatan dan naiknya status sosial dari hasil ganti rugi menjadi tumpuan yang diharapkan. Dari hasil kajian Amdal yang dilakukan melalui survey dampak sosial ekonomi,harapan tertinggi terjadinya mobilitas sosial muncul dari kelompok responden yang sebagain besar (75%) bekerja diluar sector pertanian62. Sementara sebagian penduduk yang tinggal 62
Kajian dampak sosial budaya menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari poroses prakonstruksi hingga pasca konstruksi, yang dilakukan secara terintegratif bersama bidang lainnya. Lihat bab. Rona Lingkungan Awal kawasan Alam Sutera.
Universitas Indonesia
83 diluar tapak perencanaan (54%) menyatakan bahwa pembangunan tersebut akan membuka akses usaha baru ( bidang jasa, kerajinan dan industry rumah tangga). Dari 66 % responden yang menyatakan mengetahui adanya pembangunan Alam Sutera, 54 % diantaranya menyatakan keinginan dan harapan untuk dapat bekerja di proyek tersebut. Pada tahap awal pembangunan ini kesempatan kerja lebih banyak terisi oleh tenaga kerja dari luar wilayah di sekitar pembangunan Alam Sutera. Alasan dipekerjakannya tenaga kerja dari luar daerah ini karena disebabkan upah yang relative lebih murah dan adanya jaminan keterampilan yang dimiliki pekerja. Sementara kesempatan kerja penduduk ;lokal pada umumnya bekerja setelah pekerjaan konstruksi selesai dan kegiatan permukiman dan ekonomi setempat mulai bergerak tumbuh. Sebagian
posisi untuk tenaga keamanan dan jasa
pemeliharaan kebersihan lingkungan Alam sutera diisi oleh penduduk lokal.
No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
Tabel 4.2 Perkiraan Proporsi Penyerapan Tenaga di Kota Serpong thn 2005 Kegiatan Ekonomi Perkotaan Jumlah Tenaga Kerja % Jiwa Industri 6,30 11.020 Penelitian dan Teknologi 11,00 19.240 Pendidikan 1,80 3.150 Pusat Kota Primer (CBD) 46,10 80.630 Pusat Kota Sekunder 11,80 20.690 Rekreasi 1,00 1.750 Pemerintahan 2,70 4.720 Pertanian 5,50 9.620 Lain – lain 13.80 24.130 Jumlah 100,00 174.900
Sumber : RUTR Kab. Dati II Tangerang, 1994 Bergesernya perubahan dominasi tenaga kerja dari sektor pertanian ke non pertanian akan menjadi penciri kawasan Alam Sutera dan Kota Tangerang Selatan di masa yang akan datang. Hal didapat dari hasil evaluasi terhadap Rencana Tata Ruang Kabupaten Tangerang tahun 1994 disaat awal wilayah Kota Serpong mulai mengalami
perubahan
peruntukan
lahannya
berubah
menjadi
kawasan
permukiman dalam skala besar. Pergeseran struktur ekonomi di wilayah permukiman Alam Sutera ini menandakan bahwa peluang kerja di luar sektor pertanian semakin meningkat.
Universitas Indonesia
l84 4.2 Visi dan Misi Perusahaan. Sebagai suatu badan usaha yang bergerak dibidang property, PT Alam Sutera Realty Tbk (Terbuka) ingin tampil sebagai pengembang yang terkemuka di Indonesia. Wujud dan impian sebagai pengembang yang terkemuka ingin diwujudkan oleh PT. Alam Sutera dengan cara bagaimana membangun suatu standar permukiman dengan kualitas yang terbaik dan terdapat kehidupan sosial yang harmoni didalamnya. Harapan atau cita-cita ini selalu ingin ditampilkan atau dipromosikan melalui iklan-iklan produknya pada media televisi nasional (ditayangkan pada jam-jam utama waktu siaran/prime time). Selain pada media televisi, promosi juga dilakukan di radio atau media surat kabar nasional dengan iklan sehalaman penuh63. Promosi secara besar-besaran dengan keinginan untuk selalu tampil secara prima melaui symbol-simbol yang eksklusif di ranah usaha bidang property yang semakin ketat kontestasinya, adalah sebuah cara yang dilakukan oleh PT. Alam Sutera untuk mempertahankan citranya (secara simbolik) sebagai pengembang kelas atas. Citra sebagai pengembang besar dan terkemuka adalah bagian dari visi dan misi yang ingin diraih PT Alam Sutera Realty Tbk. Perusahaan ini didirikan pada tanggal 03 November 1993 dengan nama PT Adhiutama Manunggal oleh Harjanto Tirtohadiguno beserta keluarga besarnya. Pada saat didirikan kegiatan usahanya lebih banyak
fokus
bergerak dibidang tekstil dan selanjutnya
melakukan pengembangan usaha di bidang property seiring dengan dinamika perkembangan ekonomi Indonesia pada tahun 1990 an. Harapan yang ingin diraih dan diwujudkan oleh PT. Alam Sutera Realty Tbk, sesuai dengan citacitanya antara lain ;
4.2.1 Visi Menjadi pengembang properti nasional
yang
terkemuka
dengan
mengutamakan peningkatan nilai tambah bagi seluruh pemangku kepentingan.
63
PT. Alam Sutera RealtyTbk, selalu memanfaatkan Media Surat Kabar Harian Kompas atau media terkemuka lainnya dalam melakukan promosi. Iklan ditayangkan dalam satu halaman penuh, disertai konsep masterplan dan petikan hasil wawancara dengan Direktur Marketing yang menceritakan titik awal pertumbuhan dan prestasi yang sudah diraih.
Universitas Indonesia
85 4.2.2 Misi 1. Bagi pelanggan, kami memberikan pelayanan prima dan produk inovatif yang berkualitas dalam membangun komunitas yang nyaman, aman dan sehat. 2. Bagi karyawan, kami memberi kesempatan berkembang dan menciptakan lingkungan kerja yang profesional berbasis nilai budaya perusahaan dimana setiap karyawan dapat merealisasikan potensinya dan meningkatkan produktivitas perusahaan. 3. Bagi pemegang saham, kami membangun tata kelola yang pruden yang menjaga kesinambungan pertumbuhan perusahaan. 4. Bagi mitra usaha, kami menjalin hubungan kerja sama yang saling menguntungkan dan berkelanjutan. 5. Kami memaksimalkan potensi setiap properti yang dikembangkan melalui pengembangan terintegrasi untuk member
nilai return yang tinggi bagi
pemangku kepentingan. Jika visi dan misi yang akan dijalankan dikaitkan
dengan tujuan dari
pembangunan kawasan perumahan di Kawasan Alam Sutera, maka hal-hal yang ingin diwujudkan antara lain : 1. Menciptakan infrastruktur yang berkualitas di dalam kawasan. 2. Melakukan diversifikasi usaha dengan membangun properti yang akan mendatangkan pendapatan sewa. 3. Menjaga dan meningkatkan nilai properti yang dikembangkan Perusahaan secara berkesinambungan. 4. Menjaga serta meningkatkan kualitas produk dan kepuasan pelanggan. Sesuai dengan visi dan misi yang dijalankan, cita-cita yang ingin dihadirkan oleh PT. Alam Sutera adalah tampil sebagai pengembang yang terbaik dengan kualitas dan standar produk perumahannya yang menampilkan nilai-nilai kehidupan yang harmoni.
Kalimat
“harmoni kehidupan� adalah nilai-nilai
kehidupan yang dicita-citakan akan dibangun oleh pengembang. Nilai-nilai ini secara terus menerus mereka wacanakan melalui promosi yang
melekatkan
nama “Alam Sutera dan Harmoni Kehidupan� sebagi suatu kesatuan yang tidak Universitas Indonesia
l86 terpisahkan. Pemaknaan
kalimat “harmoni kehidupan�
dijelaskan kepada
penulis oleh nara sumber A1. Penulis mengenal A1 pada saat penulis bertindak sebagai anggota tim ahli dari Konsultan Perencana lingkungan yang
menyusun
kajian Analisa Dampak Lingkungan (Amdal) pembangunan Alam Sutera. Posisi
beliau saat itu adalah
Koordinator Tenaga Ahli yang
merencanakan masterplan Alam Sutera. Posisi A1 saat ini berkedudukan sebagai Direktur Marketing. Dari latar belakang
pengalaman dan posisi strategis yang
dimiliki A1 menurut pengamatan penulis beliau sangat memahami dan ikut mengalami bagaimana dinamika proses perkembangan
yang terjadi di Alam
Sutera. Jika dihitung sejak masa kerja A1 sudah lebih dari 20 tahun
terlibat
didalam perencanaan dan pembangunan Alam Sutera. Visinya kita pingin Alam Sutera menjadi leading property di Indonesia. Dari misinya kita harus membuat produk yang inovatif, kita bisa inovatif harus didukung oleh pesertanya (perusahaan,penghuni, pemanfaat lainnya) , kita harus peka kepada kebutuhan pemakai, Kita menjalankan behavioral analisis karena gini, kita ingin tahu siapakah market kita ? Kita ingin buat produk, siapakah yang beli produk kita. Market itu harus kita pelajari mulai dia bangun tidur hingga dia bobo lagi..nanti akan ketemu tiga hal yang menjadi penting‌karena itu terbukti itu penting.
Tiga hal penting yang dimaksud oleh A1 tersebut antara lain; Pertama, adalah nama Alam Sutera : Alam Sutera, kita kembangkan karena basis usaha kita awalnya adalah tekstil. Kedua adalah Sutera sebagai produk tekstil dengan kualitas terbaik, jadi sama dengan isinya. Sutera berwarna warni, halus mengalir dan sutera adalah sebuah produk alam. Bukan sintetis. Sutera adalah konsep, yang kita buatkan adalah wadahnya. Bukan graha sutera,tapi yang kita ciptakan adalah Alam sutera. Ketiga adalah Ruangnya, sebagai wadahnya bagi kehidupan. Itulah filosofinya, filosofinya kita buatkan menjadi logo. Waktu membuat logonya, sutera begitu pentingnya kita buatkan lambang kupu-kupu. Kupukupu ini adalah kupu sutera. Kupu itu elek lho‌aku maunya gold, yang mencerminkan beriman dan makin lama makin langka dan itu pasti yang akan diperebutkan. Itu yang aku inginkan. Terus jadilah Alam Sutera residential dan life style community.
Visi dan misi perusahaan yang ingin tampil sebagai yang terbaik dalam menyediakan kebutuhan dasar masyarakat , menjadi ideology atau payung dalam setiap implementasi program-program yang dikembangkan selanjutnya. Nara sumber A1, memberikan gambaran bahwa membuat rencana atau siteplan adalah Universitas Indonesia
87 hal yang mudah, tetapi bagaimana mengembangkan program –program pengembangan itu adalah hal yang lebih penting. Kemampuan menciptakan program atau proyek – proyek kegiatan yang inovatif dapat menjadi daya tarik mengapa orang tertarik untuk tinggal atau menetap dalam suatu lokasi perumahan. Pentingnya program dengan rencana kegiatan kawasan yang mendukung tumbuh kembangnya suatu komunitas yang sehat adalah misi yang harus dijalankan oleh korporasi. Selanjutnya A1 menjelaskan arti penting dari program tersebut :
Bikin produk masterplan semua orang bisa, yang tidak bisa adalah bagaiamana membuat program. Program itu adalah nyawa, semua orang bisa membuat rencana tapi bagaimana membangun kehidupan itu adalah lebih penting. Maka itu butuh satu suara dalam satu tim. Magnetnya apa supaya orang mau datang jauh-jauh ke Alam Sutera..apa daya tariknya. Daya tarik yang dikembangkan dalam konsepsi Alam Sutera adalah terbangunnya kehidupan yang harmoni serta
didukung dengan kualitas
lingkungan yang dapat menciptakan suasana keharmonian tersebut. Bagi pihak Alam Sutera janji didalam promosi tidak sepenuhnya memberikan bahwa semua
rencana
jaminan
yang mereka tawarkan sepenuhnya akan terwujud.
Menurut A1, pihak Alam Sutera hanya memberikan pilihan-pilihan kepada setiap calon pembeli, bahwa kehidupan mereka akan lebih baik jika memilih tinggal di kawasan Alam Sutera. Pernyataan ini disampaikan kembali oleh yang bersangkutan :
Saya tidak pernah memberikan garansi, tapi saya tunjukkan rencana saya. Saya tidak pernah mengatakan you have the better living here, tapi I am creating something, tapi jika anda anggap itu the better choice, its your choice. Secara legal saya tidak mengatakan, tapi itu penting juga, tapi saya tidak mengatakan secara langsung , anda tinggal disini akan lebih baik. Mengapa saya tidak berani menyatakan demikian, karena standar hidup setiap orang lain-lain. Pilihan – pilihan produk yang ditawarkan pihak Alam Sutera kepada setiap calon pembeli adalah membangun kreatifitas baru yang membuat orang merasa nyaman dan aman untuk bertempat tinggal di kawasan ini. Semakin menarik dan semakin lengkap fasilitas layanan kepada penghuni membuat mereka akhirnya akan betah dan mencintai tempat tinggalnya. Hal ini yang menurut A1 menjadi
Universitas Indonesia
l88 faktor kunci, sebab tanpa adanya rasa kecintaan dan menarik atau tidaknya Alam Sutera ini bagi penghuninya, akan menjadi faktor utama apakah sebuah konsep dari pengembang akan didukung oleh masyarakatnya: Ini adalah developing activity. Kami creating suatu aktifity, maka semakin cinta kita akan tempat tinggal kita. Akibatnya apa..setiap orang yang punya duit lebih dia akan beli rumah yang lebih besar di Alam Sutera. Jadi kekuatan warga luar biasa. Itu terbaca dalam development kita selanjutnya. Alam Sutera saat ini telah menjadi kawasan yang tumbuh pesat di Tangerang Selatan dan menjadi salah satu pilihan menarik untuk menjadi tempat tinggal atau pilihan investasi bagi masyarakat. Kuatnya daya serap produk yang ditawarkan pihak Alam Sutera, kepada masyarakat ditunjukkan dengan semakin diperluasnya areal pembangunan kawasan. Pada awal berdirinya kawasan ini hanya
dikembangkan
seluas
700
hektar,
tetapi
pada
saat
ini
areal
pembangunannya telah diperluas hingga mencapai 1000 hektar. Dari data penjualan yang dikeluarkan pihak pengembang hampir sebagian kluster lama sudah sold out dan yang baru sudah terjual sebagian besar sudah terjual. Setelah keberhasilan untuk membangun kawasan permukiman di wilayah Kecamatan Serpong,
saat
ini
juga
PT.Alam
Sutera
telah
melakukan
pengembangan yang lebih luas dengan membangun kawasan baru di wilayah Kabupaten Tangerang dengan nama perumahan Suvarna Sutera. Sementara untuk wilayah diluar Pulau Jawa, pembangunan terbesar dilakukan di wilayah Pulau Bali, khususnya di kawasan Patung Garuda Wisnu Kencana. Konsep pengembangan berbasis lingkungan alam dan diharmonisasikan dengan nilai-nilai adat masyarakat setempat. Dengan demikian, Alam Sutra sebagai sebuah korporasi berhasil beradaptasi (adaptation) dengan sistem regulasi yang ada terkait dengan bisnis pengembangan perumahan. Adaptasi menjadi modal awal sehingga Alam Sutra dapat mengembangkan komunitas berpagar sebagai produk perumahan yang tidak hanya mengedepankan lokasi, arsitektur, dan kondisi alam, namun juga menwarkan harmoni kehidupan dengan pengelolaan sistem sosial yang terpadu.
Universitas Indonesia
89 4.3 Pengembang Perumahan sebagai Agency Dalam perspektif strukturasi Giddens, pengembang perumahan sebagai pengelola perumahan Alam Sutra dapat dikonsepsikan sebagai agency. Berbeda dengan mekanisme yang ada dipemukiman yang ada kompleks perumahan biasa yang tidak mengikat penghuni dengan aturan bisnis semata. Pengembang Perumahan Alam Sutra selain memiliki hubungan jual-beli, juga memiliki perikatan dalam jangka panjang. Hal ini dipahami karena, managemen Alam Sutra memiliki visi dan misi yang mencakup aspek kenyamanan dari semua penghuni. Dengan demikian, pengembang perumahan menerapkan norma-norma (norms) yang harus dipatuhi oleh semua penghuni. Pengembang perumahan tidak serta merta membuat norma-norma tersebut pada masa awal pengembangan Alam Sutra. Peran pengembang perumahan Alam Sutra mengalami perkembangan dari waktu ke waktu. Mulai dari pengembang perumahan biasa, hingga kini membuat pengembang yang mengatur penghuni perumahan Alam Sutra sesuai dengan visi dan misi perusahaan yang mengedepankan kenyamanan dengan jargon ‘harmoni kehidupan’. Awalnya, Pengembang perumahan Alam Sutra masih mengikuti mekanisme sesuai dengan Peraturan SKB (Surat Keputusan Bersama) Tiga Menteri tentang Konsep Hunian Berimbang 1:3:6 (1 rumah mewah, 3 rumah menengah dan; 6 rumah sederhana). Namun, dengan perkembangan waktu dan peluang bisnis maka pengembang kini menjadikan perumahan Alam Sutra sebagai perumahan berkelas yang hanya diperuntukan bagi kelompok ekonomi atas. Hal ini dikarenakan adanya upaya pengembangan bisnis perumahan yang bukan saja mengedepankan penjualan fisik, namun juga psikologis dan sosiologis. Manajemen properti yang bertanggungjawab dalam pengelolaan kawasan perumahan dikenal dengan istilah “estate management�. Fungsi estate management tidak hanya sebatas pengelolaan fisik lingkungan tetapi juga mengelola lingkungan secara psikologis, seperti rasa aman, nyaman, dan ketertiban. Pengelolaan secara psikologis meliputi keamanan lingkungan, penerangan di dalam lingkungan, dan tersedianya fasilitas di kompleks perumahan, baik fasilitas sosial maupun fasilitas umum. Pengembang yang mengembangkan perumahan , pada akhirnya suatu saat akan membuat suatu
Universitas Indonesia
l90 keputusan apakah perumahan tersebut akan diserahkan pada warga untuk dikelola lebih lanjut atau tetap dikelola sendiri oleh manajemen property. Keberadaan pengembang menjadi hal penting, karena dapat berdampak pada nilai (value) perumahan itu sendiri. Nilai (value) perumahan dapat terjadi karena penilaian konsumen dan masyarakat yang dikaitkan
dengan kinerja,
konsistensi dan lingkungan perumahan tersebut yang diciptakan oleh pihak pengembang maupun oleh warga pada perumahan tersebut sendiri. Mengingat pembangunan perumahan adalah kegiatan yang terkait dengan aspek yang cukup luas dan mencakup berbagai bidang, sehingga pengembang didalam mengelola perumahan harus memahami kebutuhan penghuni terkait dengan layanan purna jualnya. Sehingga diperlukan kemampuan untuk melihat dan mengantisipasi timbulnya perkembangan dan perubahan terutama dalam hal pemenuhan pelayanan serta fasilitas pendukung pengembangan kawasan perumahan. Di sebagian besar pengembang, tugas pokok estate management pada dasarnya berkutat mengurusi masalah-masalah utama seperti keamanan, kebersihan, dan penataan lingkungan. Estate management dasarnya adalah pengelolaan suatu kawasan perumahan yang mencakup ketersediaan berbagai fasilitas dan layanan meliputi fasilitas umum dan fasilitas sosial seperti lapangan olahraga, sekolah, dan tempat ibadah. Lebih jauh lagi, hal yang menjadi kewenangan manajemen pengembangadalah ketersediaan fasilitas keamanan, kebersihan, dan sampah, pengendalian banjir dan kebakaran, infrastruktur, air minum dan lainnya untuk kepentingan penghuninya. Dilingkungan Alam Sutera kelembagaan yang bertanggungjawab untuk pengelolaan lingkungan adalah Township Management. Manajer Township Management atau pengelola kawasan bertanggung jawab untuk memastikan bahwa seluruh warga Alam Sutera dapat hidup dengan nyaman, aman, dan tenteram melalui pengelolaan dan penataan lingkungan secara berkesinambungan di seluruh kawasan Alam Sutera. Sebagai institusi yang diberi mandat oleh pihak perusahaan untuk menjalankan fungsi pengembang, didalam fungsi pelayanannya dibagi pada beberapa kelompok bidang kerja antara lain ;
Universitas Indonesia
91 1. Front Office
Mempunyai tugas dan tanggungjawab untuk melayani : Pembayaran IPL (Iuran Pemeliharaan Lingkungan), pembayaran iuran bulanan air bersih, pemasangan saluran air bersih, memberikan informasi mengenai township management dan regulasinya, pendaftaran atau registrasi pemesanan tempat atau pemakaian ruang
di Club House, menerima dan
menangani berbagai keluhan warga terkait dengan perawatan lingkungan pasca serah terima. 2. Serah Terima
Mempunyai tugas dan tanggungjawab untuk ; Membantu proses serah-terima Kavling, Rumah, Ruko dan Fasilitas umum lainnya ke pihak-pihak yang bersangkutan, melakukan tindakan atau pemberi bantuan /asistensi pada pembuatan atau pengurusan Ijin Mendirikan Bangunan (IMB), membantu atau memberikan bantuan/asistensi pada proses pendaftaran listrik, telepon, dan kabel siar serta penerimaan dan pengelolaan keluhan atas rumah/ruko setelah serah-terima. 3. Pengelolaan dan Pemeliharaan Lingkungan
Mempunyai tugas dan tanggungjawab untuk : 
Pekerjaan atau kegiatan yang terkait dengan bidang infrastruktur & bidang teknik sipil, yang meliputi, perbaikan jalan lingkungan, pemeliharaan atau pembangunan tembok pembatas, pemeliharaan atau pembangunan pagar lingkungan, pemeliharaan pos jaga dan pekerjaan pemeliharaan lainnya.

Melakukan
perawatan saluran pembuangan air bersih di lingkungan
kluster perumahan maupun kawasan disekitarnya dan 
Melakukan perawatan dan pemeliharaan rumah-rumah ready stock
4. Mechanical & Electrical,
Mempunyai tugas dan bertanggung jawab atas perawatan dan pemeliharaan lampu
Penerangan Jalan Umum
pemeliharaan penunjang
(PJU),
melakukan perawatan
dan
lampu taman & pos jaga, melakukan perawatan fasilitas lain : seperti kolam air mancur, signage, dan rambu-rambu
lainnya.
Universitas Indonesia
l92 5. Landscape
Mempunyai tugas dan bertanggungjawab untuk melakukan perawatan dan pemeliharaan taman dan fasilitas CPG, perawatan dan pemeliharaan lapangan olahraga
di cluster-cluster
perumahan,
melakukan perawatan
dan
pemeliharaan rumput dan pohon di kavling & berm serta bertanggungjawab atas perawatan lansekap lingkungan Perumahan Alam Sutera
6. Kebersihan,
Mempunyai tugas dan sampah
rumah
bertanggung jawab atas didalam tangga,
pengangkatan
pengangkutan
sampah
taman
lingkungan/CPG/Lapangan olahraga dan menjaga kebersihan jalan umum dan lingkungan. 7. Keamanan
Divisi Keamanan bertanggung jawab atas keamanan selama 24 jam atas emua cluster dan kawasan sekitar perumahan Alam Sutera. Dalam menjalankan fungsi dan tanggungjawabnya pihak keamanan harus
mengkoordinasi
pelaksanaan kegiatan penjagaan keamanan lingkungan dengan pihak-pihak terkait seperti : •
Arhanud dan Kepolisian Serpong
• Pengamanan lokal (Pamlok) •
Kuli-kuli angkut sekitar Serpong
8. Water Treatment Plant (WTP)
Divisi Water Treatment Plant bertanggung jawab atas: •
Pengujian akurasi perhitungan tagihan rekening air bersih
•
Pengujian kualitas air bersih
•
Penggantian meter air yang telah dinilai tidak layak dan atau rusak
•
Penggantian pipa dinas ataupun sarana lainnya yang rusak. Untuk memberikan kemudahan pelayanan terhadap setiap kebutuhan
bantuan, seperti untuk pengaduan, pembayaran atau kegiatan asistensi pengurusan perijinan dan pemasangan peralatan instalasi lainnya. Pihak Alam Sutera
Universitas Indonesia
93 Township management membuka layanan kepada masyarakat setiap hari kerja, dengan jam operasional kantor64 adalah sebagai berikut :
Setiap hari Senin sampai dengan jumat dimulai pukul : 09.00 – 15.00 wib
Setiap hari Sabtu dimulai pukul : 09.00 – 11.00 wib
Setiap hari Minggu dimulai pukul :09.00 – 11.00 wib Bentuk layanan kepada masyarakat dilaksanakan di kantor Pengembang
yang terletak didalam lingkungan kawasan. Untuk sistem
pembayaran Iuran
Pengelolaan Lingkungan atau kewajiban pembayaran lainnya, pihak pengembang bekerjasama dengan beberapa institusi perbankan, guna memudahkan warga untuk melakukan transaksinya. Bukti transaksi selanjutnya dapat diserahkan kepada pihak pengembanguntuk menjadi bahan laporan kewajiban warga sebagaimana ketentuan yang telah diatur didalam peraturan tata tertib.
4.4 Hubungan Perikatan Antara Pengembang dan Penghuni Pada saat awal akan terjadinya proses transaksi antara pihak pengembang dan calon pembeli, kedua belah pihak harus membuat suatu kesepakatan untuk dilakukannya suatu perikatan jual beli antara pihak pengembang dan calon penghuni. Untuk membuat kesepakatan sesuai dengan ketentuan peraturan yang berlaku maka keduanya harus membuat perjanjian yang disebut dengan Perjanjian Pengikatan Jual Beli (“PPJB”). Alam Sutera sebagai pihak penjual berkewajiban untuk mempersiapkan dokumen SPPJB sebagai bagian dari kelengkapan adminsitrasi yang harus dipenuhi oleh pihak pengembang. Surat Perjanjian Pengikatan Jual Beli (SPPJB) pada dasarnya adalah perjanjian untuk membeli properti, (misalnya: tanah, rumah, unit apartemen, dan lain-lain) dimana penjual berjanji pada suatu saat yang ditentukan akan menjual tanahnya kepada pembeli dan pembeli berjanji pada suatu saat yang ditentukan akan membeli tanah dari penjual. Mengingat bentuk dasar dari PPJB adalah Perjanjian, maka bentuk kesepakatan yang dibuat harus sesuai dengan ketentuan 64
Ketentuan-ketentuan yang terkait jam pelayanan operasional yang diberikan oleh pengembang kepada penghuni selalu dievaluasi dan dilakukan penyesuaian sesuai aturan jam kerja yang berlaku di PengembangManajamen.
Universitas Indonesia
l94 tentang syarat sahnya perjanjian yang terdapat di dalam Pasal 1320 Kitab UndangUndang Hukum Perdata (KUH Perdata)65. Menurut ketentuan dari Pasal 1320 KUH Perdata, syarat sah nya suatu perjanjian dibagi ke dalam 2 (dua) syarat, yaitu syarat subjektif dan syarat objektif. Untuk syarat objektif terdiri dari : 1. Kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya Berdasarkan syarat ketentuan pertama, antara pihak Alam Sutera sebagai pihak penyedia barang dan jasa harus memberikan gambaran objektif terhadap produk yang mereka tawarkan kepada setiap calon pembeli. Gambaran objektif dari desain bangunan dan bentuk fasilitas serta jasa pelayanan lingkungan yang akan diberikan menjadi dasar bagi pengembang untuk menjual produknya kepada para calon pembeli. Jika pihak calon pembeli menyatakan minat dan keinginannya, maka syarat-syarat ketentuan penjualan akan diberikan oleh pihak Alam Sutera kepada calon pembeli. Sistem pembelian rumah dapat dilakukan dengan sistem kredit kepemilikan rumah yang diberikan oleh pihak perbankan atau dilakukan pembelian secara tunai jika pembeli ingin membeli secara langsung. Bila kedua belah pihak telah sepakat untuk melakukan transaksi jual beli, maka syarat-syarat kesepakatan untuk melakukan transaksi jual beli harus ditandatangani sebagai bentuk perjanjian untuk melakukan perikatan. 2.
Kecakapan untuk membuat perikatan. Mengacu kepada ketentuan kedua, perihal kecakapan untuk membuat perikatan, maka sebagai pengembang pihak Alam Sutera wajib untuk memberikan gambaran atau bentuk lembaran perjanjian yang harus disepakati bersama. Isi surat perjanjian harus benar-benar disepakati dan dipahami terkait ketentuan dan syarat hak serta kewajiban yang harus dipenuhi oleh masing-masing pihak. Kecakapan dalam membuat lembar perikatan menjadi hal penting guna menghindari terjadinya konflik diantara kedua belah pihak.
65
Sumber : http://www.hukumproperti.com/tag/ppjb/
Universitas Indonesia
95 Kesalahpahaman atau ketidak tahuan atas ketentuan yang bersifat teknis harus dapat dijelaskan oleh pengembang.
Berdasarkan syarat ketentuan pertama, antara pihak Alam Sutera sebagai pihak penyedia barang dan jasa harus memberikan gambaran objektif terhadap produk yang mereka tawarkan kepada setiap calon pembeli. Gambaran objektif dari desain bangunan dan bentuk fasilitas serta jasa pelayanan lingkungan yang akan diberikan menjadi dasar bagi pengembang untuk menjual produknya kepada para calon pembeli. Jika pihak calon pembeli menyatakan minat dan keinginannya, maka syarat-syarat ketentuan penjualan akan diberikan oleh pihak Alam Sutera kepada calon pembeli. Sistem pembelian rumah dapat dilakukan dengan sistem kredit kepemilikan rumah yang diberikan oleh pihak perbankan atau dilakukan pembelian secara tunai jika pembeli ingin membeli secara langsung. Bila kedua belah pihak telah sepakat untuk melakukan transaksi jual beli, maka syarat-syarat kesepakatan untuk melakukan transaksi jual beli harus ditandatangani sebagai bentuk perjanjian untuk melakukan perikatan. Butir-butir ketentuan yang menyangkut kewajiban, kemufakatan atau penyelesaian konflik harus dapat dijelaskan seawal mungkin, guna menghindari timbulnya multi tafsir atas pasal-pasal atau ketentuan yang mengatur didalamnya. Adapun hal – hal yang menjadi prinsip dasar mengenai Perikatan Perjanjian Jual Beli antara lain : 1. Uraian obyek pengikatan jual – beli, meliputi : a. Luas bangunan disertai dengan gambar arsitektur dan gambar spesifikasi teknis b. Lokasi tanah sesuai dengan pencantuman nomor kavling c. Mengenai luas tanah beserta perizinannya. 2. Kewajiban dan jaminan penjual Pihak penjual wajib membangun dan menyerahkan unit rumah / kavling sesuai dengan yang ditawarkan kepada pembeli, sehingga PPJB menjadi pegangan hukum untuk pembeli. 3. Kewajiban bagi pembeli Kewajiban pembeli adalah membayar cicilan rumah / kavling dan sanksi
Universitas Indonesia
l96 dari keterlambatan berupa denda. Keputusan Menteri Negara Perumahan Rakyat Nomor 9 Tahun 1995 menjelaskan bahwa besar denda keterlambatan adalah 2/1000 dari jumlah angsuran per hari keterlambatan. Dibuatnya Surat Perjanjian Perikatan Jual Beli (SPPJB) antara penghuni dan pengembang merupakan salah satu bentuk kekuatan hukum sekaligus jaminan hukum pada saat pembelian rumah. Kektentuan hukum ditetapkannya SPPJB diatur berdasarkan Surat Keputusan Menteri Negara Perumahan Rakyat Nomor 9 Tahun 1995, yang secara garis besar berisikan : 1. Pihak yang melakukan kesepakatan. 2. Kewajiban bagi penjual. 3. Uraian obyek pengikatan jual-beli. 4. Jaminan penjual. 5. Waktu serah terima bangunan. 6. Pemeliharaan bangunan. 7. Penggunaan bangunan. 8. Pengalihan hak. 9. Pembatalan pengikatan. 10. Penyelesaian Perselisihan. Selain membuat kesepakatan transaksi jual beli, didalam Lampiran Dokumen SPPJB yang ditandatangani kedua belah pihak, juga harus ditandatangani Lembaran Perjanjian tentang Ketentuan-ketentuan dan Syaratsyarat Perjanjian Tata Tertib dan Pengelolaan (Peraturan tata tertib) Permukiman Alam Sutera. Lampiran Peraturan tata tertib Alam Sutera, wajib ditandatangani oleh tiga pihak, yaitu Pembeli, Pengelola (Pengembang) dan Pengembang66. Lembaran kesepakatan ini akan menjadi dasar kemufakatan diantara ketiga pihak untuk saling memahami terkait masalah Hak dan Kewajiban yang harus dijalankan masing-masing pihak didalam tata kelola lingkungan di Permukiman Alam Sutera. 66
Didalam Lampiran Peraturan tata tertib, terdapat halaman-halaman yang harus ditandatangani semua pihak, untuk semua ketentuan-ketentuan yang memiliki keterikan yang bersifat khusus, mulai dari hal-hal yang umum hingga masalah teknis dan kewajiban pembayaran Iuran Pengelolaan Lingkungan.
Universitas Indonesia
97 Didalam Lampiran I isi dari Lembaran Perjanjian, dijelaskan perihal maksud dan tujuan dari ketentuan yang dibuat oleh pihak pengembang tentang peraturan tata tertib. Arahan-arahan yang diharapkan terkait dengan nilai-nilai yang dijalankan pihak pengembang, melalui visi dan misi perusahaan. Selanjutnya juga dijelaskan tentang pengertian, siapa yang dimaksudkan dengan pengembang, pengelola, pembeli/pemilik, kaveling dan juga batas kepemilikan. Pada ketentuan-ketentuan selanjutnya diatur hal-hal yang terkait dengan tata aturan terhadap masalah kebersihan, kerapihan, keindahan dan pemanfaatan kavling serta bangunan
untuk masing-masing jenis penggunaan. Didalam
peraturan tata tertib juga hal-hal yang terkait dengan tata perilaku penghuni, mulai dari masalah budaya berperilaku lalu lintas, sikap dan perilaku untuk menjaga lingkungan,
hubungan kekerabatan dan masalah kebiasaan menjalankan
kehidupan sosial, agama dan politik serta terkait konflik akibat hubungan interaksi antar penghuni. Pada lembaran selanjutnya diatur masalah-masalah yang terkait dengan ketentuan-ketentuan masalah renovasi pada bangunan rumah dan komersial, mulai tata aturan teknis dan desain, pengaturan kebersihan selama pekerjaan konstruksi dan tata aturan keamanan lingkungan selama pekerjaan proyek renovasi, khususnya larangan pekerja untuk menginap dilingkungan perumahan. Pengaturan terakhir adalah perihal masalah pelayanan dan biaya pemeliharaan lingkungan yang harus dipenuhi dan dibayarkan oleh penghuni kepada pihak pengembang. Dari semua ketentuan yang diatur didalam lampiran peraturan tata tertib, semua ketentuan memiliki aturan sanksi hukuman bagi semua penghuni, kontraktor, atau aktor-aktor lainnya yang memiliki hubungan keterkaitan langsung atau tidak langsung dengan pihak pengembang. Semua aturan sanksi baik denda ataupun penghentian layanan diberikan atau dijatuhkan oleh pihak pengembang. Dalam perspektif Parsonian, upaya Alam Sutra untuk mengatur penghuni secara detail merupakan upaya goal attainment, atau pencapaian tujuan. Pihak Alam Sutra dengan pengembang sama-sama bersepakat untuk menaati setiap hak dan kewajibannya untuk menciptakan kehidupan di dalam komunitas berpagar yang teratur dan penuh harmoni. Sayangnya, dalam hal pembuatan perikatan yang
Universitas Indonesia
l98 disebut sebagai ‘peraturan tata tertib’ ini pihak penghuni tidak diajak untuk bermusyawarah untuk menentukan poin perpoin yang ada di dalam draf tersebut. Pihak Alam Sutra memposisikan dirinya sebagai pembuat struktur yang memiliki kuasa untuk mengatur keseluruhan hal teknis maupun yang berkaitan dengan sitem sosial yang berlangsung di dalam komunitas berpagar.
4.5 Peraturan Tata Tertib Pengelolaan Rumah : Kuasa Pengembang Terhadap Penghuni Peraturan tata tertib pengelolaan rumah (estate regulation) adalah struktur dalam bentuk aturan yang dibuat oleh pengembang untuk mengarahkan tindakan penghuni atau pihak-pihak yang mempunyai keterkaitan secara langsung atau tidak langsung dengan berbagai bentuk kegiatan di kawasan Alam Sutera. Sebagaimana diketahui komunitas berpagar adalah konsep kluster perumahan yang sengaja didesain
dan dikembangkan oleh pengembang
sebagai zona
komunitas yang cenderung sangat tertutup dan tidak terbuka untuk semua pihak yang tidak memiliki kepentingan dengan penghuni. Sesuai dengan visi dan misi yang ingin dicapai oleh PT Alam Sutera Realty Tbk, terkait dengan pembangunan cluster perumahan di kawasan Alam Sutera adalah mewujudkan kawasan permukiman yang mencerminkan tingkat perencanaan komunitas yang tertinggi dan terbaik di Indonesia. Untuk mewujudkan harapan tersebut maka pengembang menjalankan “peraturan tata tertib� sebagai struktur atau ketentuan hukum untuk mengatur tindakan para penghuni dilingkungan perumahannya. Peraturan tata tertib yang dibuat pengembang ini dimaksudkan agar visi dan misi perusahaan yang dimasukkan didalam aturan peraturan tata tertib dapat dipatuhi dan ditaati oleh setiap penghuni. Ketaatan penghuni terhadap peraturan tata tertib diharapkandapat mewujudkan suasana lingkungan Alam Sutera yang selalu terpelihara, tertib, nyaman, teratur, bersih, aman dan tenteram. Suasana harmoni kehidupan yang seperti ini dapat menjadi daya tarik tersendiri bagi para penghuni maupun calon pembeli lainnya 67.
67
Pernyataan ini didapatkan dari dokumen Peraturan tata tertib yang dimuat di lembar halaman utama dari syarat – syarat ketentuan yang harus dipahami oleh setiap calon pembeli.
Universitas Indonesia
99 Peraturan yang dicantumkan di dalam peraturan tata tertib ini merupakan ketentuan mengenai tata kelola lingkungan yang disusun dengan standard tinggi dan menjadi bahan rujukan yang harus disepakati oleh para calon penghuni atau pembeli. Aturan ini dibuat untuk memberikan kesadaran praktis akan tata cara yang harus penghuni hadapi jika mereka akan bertempat tinggal di kawasan Alam Sutera. Tata kelola lingkungan dengan standard tinggi yang dimaksudkan oleh PT. Alam Sutera adalah, tata aturan bangunan dan lingkungan yang mengikuti kaidah-kaidah kenyamanan, keselamatan dan keamanan penghuni. Syarat-syarat tata kelola kegiatan yang diatur
mengacu kepada upaya pencapaian kualitas
kehidupan yang lebih baik. Tata kelola yang diterapkan mengatur dan menjamin terwujudnya kualitas pembangunan yang beragam dan berciri khas, tetapi tetap melindungi dan meningkatkan investasi serta kepentingan setiap individu. Penjelasan ini disampaikan A1 yang pada saat awal pembangunan bertindak sebagai manajener perencanaan pembangunan ; Pengembang hanya mengatur fisik..sama jenis kegiatannya. Misalnya ada orang beli kavling, kavlingnya mau dibangun harus ada catatannya. Kalau sudah ada warga disitu bangunnya hanya boleh sampai jam lima sore. Lebih dari itu tidak boleh. Tukang yang boleh bekerja disitu maksimum lima orang dan harus terdaftar. Lebih dari itu tidak boleh. Pengembang itu mengatur operasional (SOP) nya bagaimana . Tidak mengatur yang tinggal mesti siapa. Jadi itu bahasa terselubungnya kita sebagai regulator kawasan. Melalui peraturan tata tertib, PT Alam Sutera ingin membangun kesadaran praktis kepada setiap penghuni tentang arti penting suatu disiplin berperilaku didalam lingkungan perumahan.
Menurut pihak pengembang dengan disiplin
yang baik, maka investasi masing-masing individu dapat dilindungi dan berkembang. Jika kesadaran praktis untuk disiplin ini terbentuk, maka dikesadaran praktis inilah yang membentuk apa yang dinamakan Giddens sebagai ‘rasa aman ontologis’ . Jika kesadaran praktis ini rendah maka akan muncul ‘kecemasan ontologis’. Rasa aman ontologis menurut, Herry Priyono (2001) ini biasanya dapat digambarkan kepada orang yang pindah ke suatu tempat dengan bahasa baru dan
Universitas Indonesia
l100 cara hidup baru. Hal-hal baru yang diatur didalam peraturan tata tertib tersebut diharapkan
sudah menjadi bagian dari pengetahuan instingtif dari setiap orang
yang tinggal dilingkungan perumahan . Dengan diketahui peraturan tata tertib, penghuni
telah memiliki rasa aman ontologis tentang bagaimana menjalani
rutinitas di tempat baru tersebut . Tujuan lain yang ingin dicapai oleh PT Alam Sutera dengan peraturan tata tertib adalah terbangunnya suatu sistem sosial dengan norma dan
nilai-nilai
kedisiplinan serta kebersamaan bagi semua pihak untuk merajut harmoni kehidupan dengan mematuhi peraturan ini. Jika peraturan peraturan tata tertib ini dijalankan sepenuhnya oleh setiap penghuni, maka pihak pengembang memberikan suatu janji akan
memberikan jaminan bahwa dikawasan Alam
Sutera68 ini akan : 1. Terbentuknya suasana lingkungan hunian dengan identitas yang jelas. 2. Terwujudnya lingkungan yang bersih dan hijau dengan begitu pula rasa aman dari gangguan kriminalitas maupun dari lalu lintas kendaraan yang terlalu cepat terutama bagi para penghuni/anak-anak. 3. Nilai property akan meningkat dengan baik.
Didalam prakteknya ketentuan peraturan tata tertib ini berlaku untuk tiga jenis pembelian, yaitu pembelian rumah tinggal, pembelian unit bangunan komersial (kantor/toko) serta pembelian
kavling (lahan kosong) yang tidak
dibangun oleh pemiliknya. Kepada setiap calon pembeli atau mereka yang sudah bersedia untuk membeli satuan unit bangunan dan lahan yang dibangun oleh PT.Alam Sutera Realty Tbk, diharuskan menandatangani Lembaran Peraturan tata tertib. Penandatanganan ini dilakukan bersamaan dengan Surat Perjanjian Jual Beli (SPJB) antara calon penghuni dan pengembang. Dua surat perjanjian ini menjadi dasar kesepakatan antara calon pembeli dan pengembang tentang beberapa ketentuan aturan yang menjadi pedoman terhadap hal-hal sebagai berikut : 68
Didalam lembaran halaman pertama Ketentuan Peraturan tata tertib ini pengembang menuliskan jaminan- jaminan apa yang akan terwujud jika kepatuhan dan ketaatan terhadap peraturan ini sepenuhnya dijalankan oleh setiap penghuni.
Universitas Indonesia
101 1. Pengaturan terhadap jenis –jenis kegiatan yang diperkenankan dan yang tidak diperkenankan di dalam kawasan Alam Sutera. 2. Peraturan terhadap ketentuan jika
akan melakukan modifikasi
bangunan yang akan dilaksanakan oleh pembeli/owner. 3. Pengaturan terhadap jenis-jenis
bentuk
kegiatan operasional atau
melakukan pengembangan kegiatan di kawasan, terutama dalam hal tata tertib, keamanan, kebersihan, tata cara berlalu lintas dan pemeliharaan lingkungan. Kesepakatan antara penghuni atau pembeli dengan pihak Alam Sutera, menjadi hal penting menurut nara sumber A3, yang bertindak sebagai manajer estate hampir enam tahun (2006-2012). Dasar pertimbangannya adalah membangun suatu hubungan keharmonisan antara penghuni dan pihak pengembang;
Seperti kita punya iklan di media tentang “Harmoni Kehidupan�. Kita punya aturan bertujuan untuk membangun harmoni kehidupan di Alam Sutera. Maka pada saat serah terima, pembelian kavling atau rumah. Kita dan calon penghuni atau pembeli menandatangani peraturan tata tertib itu secara bersama-sama. Hal yang sangat menarik dan menunjukkan kuatnya dominasi pengembang dalam kesepakatan perjanjian ini terkait dengan dinamika perkembangan waktu dan kebutuhan serta niat untuk perbaikan. Maka peraturan ini dapat disempurnakan oleh pihak Alam Sutera
tanpa pemberitahuan terlebih dahulu.
Peraturan dirubah disesuaikan dengan kebutuhan yang diperlukan. Adanya surat perjanjian atau kesepakatan antara penjual dan pembeli ini menjadi landasan bagi kedua pihak untuk membangun suatu konsensus akan ditaati dan dipatuhinya setiap ketentuan oleh setiap penghuni dan terpenuhinya kewajiban pengembang untuk mewujudkan janji-janjinya. 4.5.1
Kewajiban
Penghuni
Untuk
Membayar
Iuran
Pemeliharaan
Lingkungan (IPL) Sebagai bentuk legitimasi pengembang Alam Sutera atas penguasaan ruang, kepada penghuni setiap bulan diharuskan membayar kewajiban membayar biaya perawatan dan pengembangan kawasan Alam Sutera yang telah ditetapkan
Universitas Indonesia
l102 oleh pengembang.
Pembayaran
pengembang setiap bulannya
yang dilakukan oleh penghuni kepada
meliputi biaya-biaya perawatan jalan umum,
penerangan umum, taman umum, pembuangan sampah umum dan air limbah serta keamanan kawasan Alam Sutera termasuk didalamnya pajak-pajak yang timbul atas tagihan tersebut (apabila ada). Biaya-biaya yang harus dibayar oleh penghuni kepada pengembang untuk perawatan dan pengelolaan kawasan Alam Sutera disebut dengan “Iuran Pemeliharaan Lingkungan/IPL”. Besarnya Iuran Pengelolaan Lingkungan berbeda-beda setiap unit kavling tergantung dari luasnya unit kavling. Luas unit kavling yang dimaksudkan oleh pengembang adalah luas kavling yang tertera didalam Surat Perjanjian Pengikatan Jula Beli Tanah dan Bangunan (SPPJB). Besarnya iuran tergantung ketentuan dan aturan yang disesuaikan. Artinya tariff IPL sewaktu-waktu akan berubah. Sebagai contoh pada kisaran waktu tertentu besarnya tarif yang ditetapkan didalam perjanjian adalah Rp.750/m2 luas tanah/bulan. Iuran tersebut dibayar selama 6 bulan sekaligus dan dibayar dimuka pada saat serah terima. Setiap keterlambatan dikenai pembayaran bunga sebesar 3 % setiap bulannya. Jika keterlambatan pembayaran IPL berlarut-larut hingga melebihi waktu 3 (tiga) bulan, maka kepada penghuni selain dikenai sanksi –sanksi keuangan, juga akan dilakukan sanksi berupa pencabutan layanan air bersih (meter air). Pembayaran Iuran Pemeliharaan Lingkungan (IPL) dimulai sejak tanggal serah terima hunian atau kavling kepada penghuni dan dianggap penghuni telah menerimanya.
Besarnya biaya yang harus dibyarakan sudah ditentukan sejak
awal hunian diserah terimakan. Pengembang atas kewenangan sebagai pengelola kawasan sewaktu-waktu dapat berubah iuran pemeliharaan lingkungan (IPL) tanpa adanya pemberitahuan terlebih dahulu kepada para penghuni. akan tetapi perubahan tersebut akan dilakukan dengan tarif yang wajar didasarkan kepada adanya kenaikan iuran-iuran tersebut. Bagi para penghuni yang baru
pertama kali tinggal dilingkungan
perumahan baru, penjelasan terhadap pembayaran IPL ini harus dijelaskan, mengapa kewajiban ini harus dipenuhi. Salah seorang nara sumber dari pihak pengembang mencoba memberi penjelasan : “ kenapa sih kita harus bayar IPL, IPL itu untuk apa ?” IPL itu kan sebenarnya seperti kita membayar service cash kalau di apartment. Tapi Universitas Indonesia
103 sebenarnya kenapa service cash itu ada, karena memang dilingkungan itu kan kita yang menikmati. Sehingga kalau kita menikmati lingkungan itu memang sudah sesuai dengan standar yang udah kita lihat. Maka itu menjadi alasan, mengapa kita memilih alam sutera, awalnya kan begitu. Pertama kita kalau beli rumah di Alam Sutera yang kita lihat kan lingkungannya. Lingkungannya bersih, tertata blablabla... . Untuk itu kan harus ‘you have to pay something to get’. Jadi, tidak mungkin itu terjadi tanpa aturan.Bagi sebagian warga kewajiban membayar IPL adalah suatu hal yang dianggap sudah sewajarnya harus mereka terima dan laksanakan. Ada beberapa tanggapan warga terhadap kewajiban IPL dilingkungan Alam Sutera, salah satunya mencoba menanggapi ketentuan besaran IPL yang berlaku di Alam Sutera. Sebagai penghuni kami memahami kewajiban kami untuk membayar IPL, tetapi kadang kami suka memperbandingkan IPL ditempat lain. Disini kami anggap agak lebih mahal‌. (warga Kluster) Pada umumnya kondisi seperti ini menurut Giddens sudah menjadi kesadaran praktis. Kondisi dimana mereka tidak perlu menanyakan kembali terhadap kewajiban yang sudah seharusnya mereka penuhi. Warga mulai menggunakan kesadaran diskursifnya ketika, ada hal-hal yang terkait pelayanan tidak dipenuhi oleh pengembang. Complain atas ketidakpuasan layanan menjadi hal yang sangat sensitive terhadap hubungan interaksi diantara pengembang dengan penghuni. Hal ini terungkap dari pernyataan manajer pengembang terkait complain dari warga terhadap pembayaran IPL. Selama ini saya sampaikan kepada staf yang ada di depan maupun custumer . Jika ada yang complain karena sudah merasa membayar IPL, kita harus liat dulu. Komplainnya seperti apa ? Jika komplainnya itu masih diranah estate, maka apa respon yang kita berikan. Kalau tidak ya, kita lepas.(wawancara dengan A4, 6 februari 2013). Selain membayar kewajiban IPL, penghuni juga dikenai biaya-biaya pemasangan utilitas lain yang akan menjadi beban penghuni serta iuran biayabiaya lainnya (jika
hal ini ada) dibayarkan langsung kepada pengelola (atau
perusahaan lain yang ditunjuk) sesuai ketentuan-ketentuan yang telah tercantum didalam lampiran I dari surat perjanjian yang harus disepakati oleh penghuni didalam pengembang regulation. Biaya iuran, ketentuan pelayanan dan pembayaran iuran akan diatur dalam ketentuan tersendiri dan wajib disetujui dan ditandatangai oleh pembeli/penghuni.
Universitas Indonesia
l104 4.5.2 Pengembang Sebagai Pengelola Tunggal Penyediaan Air Bersih Semua sarana air di Alam Sutera dibangun dengan sistem water treatment plan (WTP) yang dikelola sendiri oleh pengembang. Penyediaan fasilitas air yang optimal akan menjadi bagian dari strategi layanan kepada penghuni yang rata-rata merupakan kelompok sosial kelas menengah keatas. Bagi pihak pengembang Alam Sutera, konsumen mereka yang rata-rata memiliki kemampuan ekonomi yang cukup baik dan serta terdidik sering menuntut kualitas standar pelayanan yang prima sebagai garansi yang harus diberikan kepada mereka. Hal ini terkait dengan masalah “selera� kelas menengah atas, sebagaimana diungkapkan Direktur Marketing PT Alam Sutera; Orang kaya itu tidak mau keliatan dari luar, dan saya waktu menjual kepada mereka, saya tidak akan mengatakan bapak beli disini saja. Tetapi saya akan bilang pak, saya sedang merencanakan sesuatu yang baru disini, tapi saya pingin air saya nanti saya test di laboratorium Scofindo, tingkat forbilitynya sangat baik. Terus dia akan bilang pasti kamu minta saya tinggal disitu ya..Tapi saya kan nggak tahu bagaimana rencana bapak, tapi kalau bapak berada disitu saya merasa terhormat..Ya..nggak lama kemudian dia jadi membeli.(wawancara dengan A1, tanggal 16 januari 2013). Penyediaan fasilitas air, juga akan menjadi bagian dari otoritas kekuasaan yang dimiliki oleh pengembang untuk memberikan sanksi kepada penghuni, jika terjadi masalah terkait pembayaran IPL atau penyalahgunaan bangunan. Pemanfaatan sarana air sebagai mekanisme kontrol dan pemberian sanksi terhadap setiap tindakan yang menyimpang dari penghuni merupakan bentuk legitimasi pengembang kepada para penghuni yang tinggal di komunitas berpagar. Unit pelayanan dan pengelolaan air bersih di kawasan Alam Sutera perwujudannya
dilakukan dengan membangun Water Treatment Plan (WTP)
untuk melayani kebutuhan air bersih warga. Unit pengelola WTP ini bekerjasama dengan pihak Pengembang atas nama PT Alam Sutera Goldland Realty memiliki hak dan kewenangan dalam melakukan pengelolaan, pelayanan air bersih untuk dimanfaatkan oleh umum dan seluruh kawasan atau area Perumahan Alam Sutera, area komersial khususnya. Prasarana alat pengukur penggunaan air berupa Meter Air yang dipasang di rumah, toko, atau unit fasilitas lainnya merupakan milik daripada pengelola WTP, tidak dapat dipindah atau diganti tanpa ijin dari pihak WTP. Atas dasar Universitas Indonesia
105 status kepemilikan tersebut pihak
pengelola WTP berhak untuk mengganti,
mengubah atau memindah meter air tanpa persetujuan dari pemilik/pembeli. Kepada setiap pembeli atau pemilik berkewajiban untuk memelihara meter air dan mentaati seluruh ketentuan yang berlaku serta tanggung jawab atas kerusakan dan atau kehilangan rangkaian pipa layanan . Setiap pembeli atau pemilik rumah berhak untuk meminta penggantian meter air yang telah dinilai tidak layak dan atau rusak, tanpa adanya biaya tambahan. Pihak pengelola WTP juga memiliki kewenangan untuk melakukan pemutusan sementara sambungan langganan (SL) yang merupakan bentuk sanksi yang dikenakan kepada pelanggan. Tindakan pemutusan sambungan langganan untuk sementara waktu oleh pengelola WTP, dengan cara penyegelan, dilakukan apabila : 1. Pelanggan mempunyai tunggakan rekening air selama 1 (satu) bulan. 2. Pelanggan tidak menggunakan air selama 3 (tiga) bulan berturut-turut. 3. Pelanggan menyalahi ketentuan penggunaan dan peruntukan golongan pelangganan. Pemutusan sementara dapat disambung kembali setelah pelanggan melunasi tunggakan dan denda-denda dan atau membuat surat pernyataan untuk tidak mengulangi kesalahan yang dibuat. Bagi pelanggan yang tidak memenuhi kewajiban sampai jangka waktu pemutusan sementara akan dilakukan pemutusan tetap. Adanya ketentuan untuk ini memberikan gambaran kekuatan legitimasi pihak pengembang kepada penghuni. Paksaan untuk mentaati semua ketentuan disebabkan penguasaan sumberdaya air sepenuhnya berada didalam kewenangan pihak pengembang. Selain keputusan sementara yang ditentukan oleh pihak pengelola, pemutusan sementara dapat dilakukan atas permintaan pelanggan secara tertulis untuk jangka waktu tertentu dan penyambungan kembali dapat dilakukan setiap saat. Pihak pengelola WTP dapat melakukan pemutusan tetap atau permanen kepada para penghuni atau pelanggan dilingkungan Alam Sutera. Hal ini dapat dilakukan apabila : 1. Pihak pelanggan mempunyai tunggakan rekening air selama 2 (dua) bulan berturut-turut.
Universitas Indonesia
l106 2. Pihak pelanggan memasang rangkaian pipa lain yang dihubungkan dengan pipa dinas tanpa melalui meter air. 3. Pihak pelanggan tidak memenuhi kewajiban sampai jangka waktu pemutusan sementara. 4. Merusak, merubah letak dan atau ukuran rangkaian pipa dinas tanpa ijin. 5. Pelanggan pernah dikenakan sanksi pemutusan sementara 2 (dua)kali dalam 1 (satu) tahun. Sambungan kepada pihak pelanggan akan dipasangkan kembali setelah pihak pelanggan melunasi tunggakan dan atau denda-denda serta membayar biaya pemasangan baru.Didalam perakteknya sistem pengelolaan dan layanan air bersih, yang sepenuhnya dikuasai dan dimiliki oleh WTP Alam Sutera, membuat warga tidak memiliki pilihan lain untuk memenuhi kebutuhan air bersihnya selain melalui layanan yang telah disediakan pihak pengembang. Adanya larangan terhadap pengambilan air tanah atau pembuatan sumur artesis (deep weel) membuat tingkat ketergantungan penghuni terhadap pemakaian air dari WTP Alam Sutera sangat tinggi. Selain adanya unsur penguasaan tunggal atas layanan air, masalah pemeliharaan atau perawatan Meter Air serta jaringan perpipaan di dalam rumah juga menjadi tanggungjwab warga. Setiap kerusakan atau kehilangan air harus menjadi tanggung jawab untuk mengganti biaya kerugiannya. Dalam praktek sistem layanan ini, ada beberapa
warga yang merasa
dirugikan, seperti yang disampaikan nara sumber B5 yang tinggal di Kluster Delima.
…pada waktu itu, terjadi kebocoran air didasar lantai rumah saya. Kan saya tidak tahu, siapa yang memasang, mungkin kontraktor yang bangun rumah. Air yang bocor cukup banyak, eh..tetap saja saya yang harus nanggung biaya kebocorannya. Nggak bisa protes..wong pipanya ada didalam rumah saya.. Didalam aturan peraturan tata tertib juga diatur ketentuan perihal jika terjadi perubahan status atas kepemilikan bangunan. Pemilik baru berkewajiban untuk
mendaftarkan perubahan nama pelanggan (balik nama), agar dapat
mengetahui lebih lanjut tentang peraturan yang berlaku. Ketentuan ini
Universitas Indonesia
107 dimaksudkan agar setiap pelanggan “berkewajiban� untuk memahami dan mentaati ketentuan perihal “hak dan kewajibannya� untuk mendapatkan layanan air bersih. 4.5.3 Kewenangan Penuh Pengembang Dalam Keadaan Darurat Untuk menghadapi kondisi kondisi darurat atau kejadian bencana di lingkungan perumahan, peraturan tata tertib
Alam Sutera, memberikan
kewenangan sepenuhnya kepada pihak pengembang atau kepada petugas-petugas yang bekerja untuk pengembang untuk dapat memasuki hunian penghuni tanpa izin ataupun pemberitahuan terlebih dahulu. Kewenangan atau hak yang diberikan untuk memasuki hunian itu berlaku baik untuk
hunian dalam keadaan
berpenghuni, hunian tanpa penghuni atau ditinggalkan kosong oleh penghuninya. Keadaan darurat atau kejadian bencana yang dimaksud didalam ketentuan peraturan tata tertib Alam Sutera tersebut adalah bilamana terdapat kobaran api (kebakaran) atau bencana alam lainnya di dalam hunian, dihalaman hunian, atau hunian penghuni lainnya yang bersebelahan. Selain masalah kebakaran, kondisi darurat juga termasuk jika terjadi keributan/perkelahian, atau terjadi tindak kejadian lain yang dicurigai sebagai perbuatan tindak pidana/kejahatan. Bentuk tindakan intervensi untuk memasuki hunian tanpa terlebih dahulu meminta persetujuan dari penghuni atau pembeli, memberikan gambaran kewenangan yang luas kepada pihak pengembang untuk melakukan tindakan pencegahan atau penanggulangan keadaan darurat. Alasan yang diberikan pihak pengembang, terkait ketentuan ini didasarkan, otoritas ruang di kawasan Alam Sutera, harus dijaga dan dilindungi dari berbagai bentuk ancaman atau gangguan yang dapat menimbulkan kerugian materi atau jiwa diakibatkan kejadian bencana .Didalam prakteknya sebagian besar penghuni menyetujui ketentuan tersebut dan tidak merasa berkebaratan dengan aturan yang berlaku. Tetapi dalam beberapa hal, ketentuan ini masih dikeluhkan oleh sebagian penghuni, khususnya bagi mereka yang bertempat tinggal di kluster Griya Sutera, Sutera Onix dan Sutera Olympia. Warga yang tinggal ditiga kluster ini mengeluh karena dilingkungan mereka sering mengalami kejadian banjir atau genangan akibat tersumbatnya sistem drainase. Beberapa warga yang sering mengalami genangan, terutama di kluster Griya Sutera, mengeluhkan lambatnya tindakan penanganan yang
Universitas Indonesia
l108 dilakukan pengembang untuk membantu warga. Kejadian atas peristiwa ini disampaikan oleh nara sumber C2 yang menjabat sebagai RW di lingkungan Pondok Pakulonan yang letak perumahannya berdekatan dengan Sutera Onik dan Griya Sutera.
Seperti kejadian banjir kemarin pak, akibat banjir itu kita langsung terkena dampaknya juga. Sebelah sana yang lebih parah (sambil menunjuk kearah Griya Sutera..). Akhirnya kita gabungan langsung maju barengbareng, duduk bersama, gabungan antara RW dikomplek sini . Komplek ini yang pertamalah , terus Griya Hijau, Griya Sutera. Bergabungnya
beberapa pengurus RW diluar kawasan yang menjadi
tanggungjawab pengelolaan Alam Sutera, menurut bapak Waluyo, disebabkan lingkungan mereka tidak dapat dipisahkan dengan sistem tata kelola lingkungan yang menjadi tanggung jawab Alam Sutera. Lingkungan perumahan yang mereka tempati saat ini, dahulunya dibangun oleh pihak Alam Sutera. Saat ini perumahan Pondok Pakulonan sudah tidak termasuk didalam tanggungjawab manajemen pihak Alam Sutera. Kronologis tindakan warga atas peristiwa kejadian banjir dilingkungan Alam Sutera ini dijelaskan oleh C2 :
Pada saat itu kita yang langsung turun, tapi saya konteknya Griya Sutera dulu, karena yang kena langsung Griya Sutera. Kemudian RW yang ada di Sutera Onik, kita kontak saja, gabung saja sama dengan tokoh-tokoh yang lain ngobrol langsung dan sore langsung serbu kantor pengelola. Hasil yang didapat dari pertemuan yang dilakukan antara warga dan pihak Alam Sutera, menurut penjelasan pihak manajemen, banjir yang terjadi bukan semata-mata kesalahan dari pihak Alam Sutera. Kejadian banjir atau genangan yang sudah cukup lama terjadi di beberapa lingkungan tersebut, akibat ditutupnya saluran drainase oleh pihak pengembang lain. Pengembang yang dimaksudkan oleh pihak Alam Sutera, adalah Perumahan Bintaro. Menurut informasi yang didapat warga, sebenarnya sudah lama terjadi perseteruan diantara dua pengembang ini terkait dengan
tata kelola sistem drainase. Penjelasan atas
perseteruan ini juga disampaikan oleh nara sumber A4 , yang menjabat sebagai pengembangmanajer di Alam Sutera ;
Universitas Indonesia
109 Masalah lain adalah dengan perumahan Duta Bintaro, aduhhhh‌aduhh..kalau saya liat ini secara politis..saya nggak tahu bagaimana historinya, mereka itu sampai menutup akses saluran air pembuangan umum. Ini bukan saluran dari Alam Sutera. Itu sebenarnya salurannya sambung menyambung..itu mereka tutup. Itu menjadi salah satu faktor penyebab terjadinya banjir di lingkungan kami di Griya Sutera dan Griya Onix . Untuk mengatasi masalah banjir diwaktu yang akan datang, pihak pengembang telah melakukan antisipasi dengan menyediakan beberapa mesin pompa air untuk menghadapi kondisi darurat. Sementara usaha untuk menyelesaikan konflik yang terjadi diantara dua pengembang, pihak Alam Sutera telah melakukan beberapa kali pertemuan dengan beberapa pihak yang memiliki otoritas untuk menyelesaikannya. Menurut A4 untuk penyelesaian masalah banjir ini, mereka sudah melakukan usaha pendekatan dengan pemerintah daerah.
Masalah ini sudah sampai pada tingkat walikota, disampaikan ke pak Wahidin, ke DPRD, sudah sangat politis pak. Ini juga sebenarnya terkait masalah otonomi daerah. Antara Wahidin (Walikota Tangerang) dan Airin (Walikota Tangerang Selatan) secara politikkan ada friksi. Duta Bintaro itu..kan masuk Tangerang Kota, kalau sini Tangerang Selatan (Griya Sutera). Upaya –upaya yang telah dilakukan manajemen Alam Sutera, disampaikan kepada warga bertujuan untuk menjelaskan posisi dan tanggungjawab pengelola untuk tetap mempertahankan kualitas kenyamanan lingkungan. Sulitnya beberapa penyelesaian atas masalah yang terjadi, menurut pihak manajemen, disebabkan adanya peran aktor lain yang kapasitasnya diluar kewenangan pihak Alam Sutera untuk menuntaskannya.
4.5.4 Pengembang Tidak Bertanggungjawab Atas Kehilangan dan Kerusakan Untuk melindungi dan menjaga aset kepemilikan barang pribadi, seperti rumah atau kendaraan pribadi dari kehilangan atau kerusakan, pihak pengembang
Universitas Indonesia
l110 lebih mewajibkan tindakan aktif warga sebagai upaya pencegahan.Pihak manajemen tidak bertanggung jawab terhadap kehilangan atau kerusakan atau musnahnya benda-benda milik penghuni yang disebabkan oleh kebakaran, kecurian, perampokan atau bencana alam lainnya. Penghuni sangat dilanjurkan untuk mengasuransikan bangunan dan seluruh benda miliknya untuk jenis asuransi kebakaran ataupun kehilangan/kerusakan, hal itu dapat memberikan rasa tenteram dan akan dapat menutup biaya ganti rugi bilamana terjadi kebakaran atas bangunan maupun kehilangan/kerusakan benda-benda milik pembeli/penghuni. Demi menghindari terjadinya kejadian kebakaran, maka upaya pencegahan dilakukan dengan memperketat setiap tindakan atau kegiatan warga yang dapat mengundang bahaya terjadinya kebakaran di lingkungan perumahan. Penjelasan ini disampaikan oleh nara sumber A4 :
Selama itu tidak mengganggu lingkungan dan tidak ada complain dari tetangga kiri kanan dan belakang, itu silahkan. Contoh: warung kelontong yang jualan kebutuhan sehari-hari sabun minyak dan segala macam. Tidak ada masalah, tetapi ada juga yang berbahaya, misalnya BAKERY, itu kan berbahaya. Buka bakery dia bikin oven di rumah, jika terjadi sesuatu ada yang meledak, kan berbahaya. Kalau rumahnya sendiri sih nggak apa-apa, kalau kena rumah sebelahnya kan berbahaya. Himbauan atau larangan disampaikan kepada warga oleh pengembang, demi pertimbangan keselamatan penghuni. Walaupun pihak manajemen telah menyediakan tenaga keamanan didalam lingkungan, tetapi celah pencurian atau perampokan tetap bisa saja terjadi. Beberapa kejadian pencurian pernah dilaporkan warga kepada pengembang. Tetapi menurut catatan pihak keamanan peristiwa kejadian, disebabkan lingkungan rumah dalam keadaan tidak berpenghuni dan pencuri masuk dengan berpura-pura menjadi tamu atau anggota keluarga. Menurut salah seorang nara sumber, faktor kejadian pencurian atau orang lain masuk kedalam lingkungan, disebabkan kesalahan mereka sendiri.
Jadi gini contohnya ; mereka punya pembantu, misalnya pembantunya mau beli apa kebelakang, ya sudahlah. Kadang-kadang pemilik rumahnya suka mencorage pembantunya untuk “ ya sudahlah kamu manjat saja pakai tangga�. Ada beberapa kejadian seperti itu. Securitynya kan jadi bolong,
Universitas Indonesia
111 kadang-kadang kita tidak tahu banyak kejadian ini ada yang kehilangan. Akhirnya mereka sadar mereka tidak lakukan itu lagi. Itu pasti learning by doing juga. Orang selalu again sesuatu yang menurut mereka tidak nyaman, dia pasti again. “Ah gue nggak nyaman dengan aturan loe itu, gue mau buat aturan sendiri�. Akibat kelalaian atau kejadian seperti ini, pihak pengembang beberapa kali mengingatkan kepada para penghuni, bahwa kehilangan barang akibat kelalaian penghuni tidak akan ditanggung pihak pengembang. Ketentuan ini juga merupakan suatu bentuk tindakan preventif atau pencegahan agar setiap warga memiliki rasa tanggungjawab bersama untuk menjaga keamanan lingkungan.
4.5.5 Sanksi Hukuman bagi Penghuni yang Melanggar Aturan Hal yang paling penting untuk menegakan dan menjalankan setiap aturan atau ketentuan yang dicantumkan didalam peraturan tata tertib adalah bentuk pemberian sanksi terhadap setiap
pelanggaran dari surat perjanjian antara
penghuni dan pengembang. Bagi pihak pengembangketaatan penghuni untuk memenuhi kewajiban yang tercantum didalam peraturan estate, menjadi kata kunci bagi terbangunnya suatu sistem sosial didalam lingkungan komunitas berpagar. Jika penghuni tidak mentaati sebagian atau seluruh ketentuan-ketentuan dan syarat-syarat dalam Perjanjian Peraturan Tata Tertib dan Pengelolaan Hunian ini, maka pihak pengembang dapat memberikan sanksi berupa pemutusan saluran penyambungan air bersih, pengangkutan sampah dan meminta kepada instansi pemerintah yang berwenang untuk memutuskan saluran listrik dan telepon. Segala biaya-biaya yang timbul sehubungan dengan pemutusan hal-hal tersebut di atas adalah menjadi beban/tanggungan dan wajib dibayar oleh penghuni. Pengelola dan/atau instansi pemerintah yang berwenang akan menyambung kembali saluran air bersih, listrik, dan telepon setelah penghuni memenuhi ketentuan-ketentuan dan syarat-syarat dalam Perjanjian Tata Tertib dan Pengelolaan Hunian atas beban dan biaya dari penghuni sendiri. Jika pihak penghuni merasa dirugikan baik secara materil dan non materil akibat tindakan pengembang, penghuni tidak dapat menuntut pihak pengembang untuk memberikan
tuntutan ganti rugi akan segala kerugian yang ditimbulkan
Universitas Indonesia
l112 akibat dari pemutusan secara sepihak tersebut. Dasar ketentuan ini dicantumkan didalam salah satu pasal didalam peraturan tata tertib yang membebaskan pihak pengembang dari tuntutan warga. Dominannya posisi pengembangdidalam masalah pemberian sanksi, didasarkan pertimbangan, jika dilakukan pembiaran atau penghuni lalai memenuhi kewajiban tersebut, akan membangun kultur malas atau tidak disiplin. Bagi pihak pengembang, disiplin adalah kultur yang ingin dibangun didalam lingkungan perumahan Alam Sutera. Tanpa adanya disiplin, maka sulit untuk membangun suatu kawasan yang berkualitas, nyaman dan aman. Penjelasan ini diberikan oleh nara sumber A1, selaku Direktur Marketing di PT Alam Sutera Tbk: Kalau tidak mau hidup teratur ya jangan beli. Kan itu masalah kebebasan pilihan. Mereka kan akan liat, kan . Alam sutera seperti ini, tidak ada kata memaksa yang ada adalah kata “welcomeâ€?‌gitu lho. Saya juga punya hak untuk tidak menjual. Kalau ada orang datang..lalu berkata begini begitu..dalam prosesnya saya akan liat apakah dia akan mengganggu rencana atau kehidupan kita atau tidak. Teman-tetap teman, tapi kalau mengganggu, ya lebih bagus tidak usah beli.
Bagi
sebagian
penghuni
aturan-aturan
yang
ditetapkan
didalam
pengembang, kadang tidak menjadi perhatian mereka pada saat melakukan pembelian. Menurut beberapa nara sumber yang ditemui penulis mengapa banyak warga yang tidak memperhatikan aturan yang memberikan sanksi yang mengikat kepada mereka. Jawaban yang diberikan pada umumnya hampir sama, seperti halnya yang diungkapkan oleh nara sumber A4. Kembali saya tegaskan, semua orang jika melihat setumpuk kertas, dia akan langsung teken. Biasanya seperti itu. Tetapi setiap marketing atau legal, saat terjadi AJB (Akte Jual Beli) selalu mengingatkan konsekuensi hukum dari setiap isi perjanjian yang dibuat. Demikian juga pada saat serah terima, selalu dibacakan hal-hal yang penting-penting saja. Tetapi seperti kelemahan setiap orang Indonesia, termasuk di Alam Sutera. Regulation just regulation..(aturan ya tinggal aturan).. Kalau ditempat negara-negara yang sudah mapan, ada orang-orang khusus yang membacakan. Point perpoint, paham bapak ibu ada pertanyaan. Tidak ada..lanjut‌lanjut dan tiap halaman paraf pak.
Universitas Indonesia
113 Jika ditanya apakah ada bentuk tindak lanjut yang dilakukan untuk mengatasi segala bentuk aturan hukum dari peraturan tata tertib, maka nara sumber yang sama menceritakan lebih lanjut kepada penulis ; Ada-ada..pak, kita melakukan pendekatan. Kita pro aktif, bahkan ada Rt/Rw yang saya akui cukup bagus melakukan pendekatan…bahkan ada yang membuat summary, ada juga yang sekedar disimpan, ada juga yang tidak peduli. Sebagian warga sebenarnya tahu ada peraturan tata tertib, tapi ada yang merasa selama saya tidak melanggar..ya sudah. Sehingga merasa tidak perlu tahu secara detail. Kelemahan atas bentuk pemahaman atau ketidak pedulian atas isi surat perjanjian yang dibuat antara penghuni dan pihak Alam Sutera, menjadi salah satu faktor penyebab lemahnya posisi penghuni atas segala bentuk ketentuan aturan hukum yang dibuat oleh pihak pengembang.
4.6 Ruang Sempit untuk Negara: Dominasi Pengembang 4.6.1 Jaminan Layanan Sarana dan Prasarana oleh Pengembang Seiring dengan dinamika ekonomi dunia, globalisasi kapitalisme bertujuan untuk meminimalkan peran negara dan menonjolkan peran swasta melalui sistem pasar, dengan menerapkan pendekatan efisiensi dan efetifitas untuk melancarkan tiga tujuan utamanya, yaitu ; deregulasi, liberalisasi dan privatisasi. 69Ujung dari semua upaya itu akan bermuara pada pengikisan segala bentuk campur tangan negara dalam mengurus ekonomi (kesejahteraan) rakyatnya, untuk digantikan oleh sistem pasar.70 PT. Alam Sutera sebagai badan usaha swasta yang sudah terdaftar di Bursa Efek Jakarta , semakin mendorong keinginan untuk memperluas layanan usaha kepada masyarakat dengan menggiring kapasitas usahanya dengan dukungan modal secara lebih terbuka. Sebagai badan usaha yang sudah terdaftar di pasar bursa, kepemilikan saham perusahaan akan sangat dipengaruh oleh arus modal yang bermain di tingkat pasar bursa internasional. Sehingga kemampuan menjual gagasan dan ide untuk menaikkan nilai saham perusahaan akan sangat mempengaruhi kinerja yang telah dilakukan selama ini. 69 70
Bonnie Setiawan (2001) Menggugat Globalisasi, Jakarta INFID dan IGJ. Ibid,
Universitas Indonesia
l114 Tingkat keberhasilan usaha yang telah dilakukan selama ini menurut pihak perusahaan telah membuat nilai saham perusahaan dalam posisi harga yang cukup kuat dan menarik investor dari waktu ke waktu. Menurut pihak perusahaan kenaikan nilai saham ini tidak pernah direkayasa. Hal ini dikemukakan oleh nara sumber A1 ; Sebagai perusahaan pengembang kami tidak mau merekayasa, atau menggoreng-goreng saham isitilahnya. Artinya apa yang kami iklankan dimedia masa adalah fakta dilapangan. Silahkan masyarakat untuk menilainya, keberhasilan kami adalah hasil kerja keras Berdasarkan hasil pengamatan dan penilaian masyarakat, pernyataan dari pengembang dapat dibuktikan dengan pertumbuhan kawasan yang semakin pesat dan didukung dengan kelengkapan infrastruktur kota yang secara mandiri dibangun dandilengkapi oleh PT Alam Sutera. Akibat keberhasilan iniakhirnya Pemerintah Kota Tangerang Selatan menetapkan kawasan ini sebagai salah satu kawasan strategis kota didalam RTRW Kota Tahun 2011-2030. Setelah
kawasan ini ditetapkan
sebagai pusat pertumbuhan baru di
Tangerang Selatan oleh pemerintah Kota Tangerang Selatan,keberhasilan lain yang juga telah diraih Alam Sutera adalah mendapatkan penghargaan ; The Best Listed Property in Property and Building Construction Sector
dalam ajang
Investor Award 2009 oleh Investor Magazine. Kemudian prestasi sebagai The best Master Plan - FIABCI melalui kompetisi BNI Prix D’excellence Award 2009 – oleh The Indonesia Real PengembangFederation) dan juga mendapatkan The Best Performing Listed Company
melalui ajang Investor Award 2010 oleh
Investor Magazine71. Sebagai pengembang, PT. Alam Sutra berkeinginan membangun kawasan permukimannyabukan
hanyasebatas
layanan
untuk
kegiatan
perumahan.
Pengembang juga menyediakan berbagai fasilitas umum yang dibutuhkan oleh para penghuni dan juga masyarakat sekitarnya dalam konteks layanan skala perkotaan nasional dan international. Melalui prinsip I Stay Here, I Grow Up Here and I Succes HereAlam Sutera telah berusaha untuk menyediakan beragam
71
Company Profile PT. Alam Sutera Realty Tbk dalam bentuk executive yang diterbitkan 2012.
Universitas Indonesia
115 unsur sarana dan prasarana demi mendukung tumbuh kembangnya suatu kehidupan sosial ekonomi suatu kawasan. Kemampuan dan usaha untuk merealisasikan visi dan misi korporasi dilakukan dengan cara menyediakan berbagai sarana
yang dibutuhkan
masyarakat.Dimulai dari sarana pendidikan dengan dibangunnya SD, SLTP dan SLTA Santa Lorensia. Kemudian penyediaan Gedung Balai Pertemuan, Klub House , Pusat Keolahragaan, Rumah Sakit Omni International dan Universitas Bina Nusantara . Layanan kelengkapan dan jaminan kualitas sarana serta prasarana di Alam Sutera ini disampaikan oleh A1, yang berkedudukan sebagai Direktur Marketing : Lihatlah sekolah Santa Laurencia, ada 2300 jumlah muridnya, posisioningnya tidak paling tinggi, tapi masih ada Binus disana, dia ditengah. Jadi masuk nasional kelas school. Saya lengkapi fasilitas disini. Didalam prakteknya ketersediaan sarana pendidikan yang baik serta didukung keamanan dan kenyamanan lingkungan ,manfaat ketersediaannya sangat dirasakan oleh masyarakat. Hal ini diungkapkan oleh salah seorang warga yang menjadi nara sumber, yaitu bapakB2, yang merasakan nilai manfaat dari standar pelayanan lingkungan yang diberikan pihak Alam Sutera; Lingkungan disini bagus pak. Untuk perkembangan anak anak disini bagus karena aktivitas mereka, istilahnya tidak ada yang menyimpang. Nggak ada narkoba, merokok, itu nggak ada. Dari tahun1999 karena saya yang ngalamin, anak saya masih kecil-kecil sampai sekarang yang sepantaran dia dan diatas dikit. Udah ada yang kerjanya lumayan, ada yang kerja di Afrika. Jadi aktivitas anak-anak disini saya liatin, kalau saya pulang kerja, saya liatin gimana. Sekarang anak saya yang nomor 3 saya bisa liatin terus perkembangannya. Kemudahan adanya tempat tinggal yang dekat lokasi pendidikan anak, menjadi alasan dan pertimbangan bagi beberapa warga untuk memilih untuk tinggal di Alam Sutera. Kesan ini tampak dari penjelasan yang berikutnya yang disampaikan bapak B2 ;
Universitas Indonesia
l116 Kalau bisa dibilang keamanan Alam Sutera, ya bisa dibilang bagus lah pak. Tadinya mereka melihat sekolahan, banyak dulu yang memilih tinggal disini karena anak mereka sekolah di Santa Laurencia. Kalau lihat Santa Laurencia itu menjadi favorite itu karena lingkungan nya bagus. Terus kalau liat anak yang sma itu sekolah sampai jam 4. Jadi bagi orang tua pekerja yang dua-duanya tidak dirumah itu senang sekali sekolah disini, pulang sampai rumah orang tua sudah dirumah, terjamin. Daripada rumah disana mending tinggal disini, lingkungannya asri lagi. Untuk menyempurnakan konsep rencana pengembang kawasan yang disinergikan dengan dinamika kebutuhan tempat tinggal, tempat usaha dan bekerja dalam suatu kawasan yang terpadu (mix used) saat ini di kawasan bisnis Alam Sutera telah terbangun Hotel dengan 171 kamar (operasional pertengahan 2013), Shopping Mal Alam Sutera seluas 23 hektar dan Mal Living World, Gedung Jakarta International Convention and Exhibition Center, Gedung Perkantoran Alam Sutera setinggi 18 lantai, Blok Apartemen dan pusat jajanan kuliner Flavor Bliss, seluas 6,5 hektar. Penyebutan nama PT. Alam Sutera Goldland Realty, Tbk sebagai pengembang besar sebanding dengan kelengkapan sarana dan prasarana yang mereka dibangun. Infrastruktur kawasan dibangun dengan kelengkapan sarana dan prasarana yang kualitasnya rata-rata diatas pengembang lainnya. Salah satu kesan yang muncul dari kelengkapan sarana yang menggambarkan kekuatan finansial pengembang adalah kemampuannya untuk membuat jalan akses (keluarmasuk) dari lingkungan perumahan langsung
ke jalan tol Jakarta – Merak.
Kemampuan membangun akses jalan tol dengan anggaran yang cukup besar ini memberikan kesan bahwa pengembang mampu memberikan layanan yang lebih baik kepada setiap penghuni dan warga sekitarnya. Jaringan jalan akses tol saat ini, telah dimanfaatkan oleh sebahagian besar warga yang tinggal di kawasan Serpong dan Kota Tangerang Selatan. Selain ketersediaan jarinngan akses jalan tol. dukungan jaringan infrastruktur untuk jalan dilingkungan perumahan yang cukup besar dengan ROW ( bentang lebar jalan) 60 , 47 dan 36 untuk jalan arteri primer dan ROW 26 untuk kolektor primer, semakin memberi makna atau penanda bahwa
pengembang mampu
secara mandiri untuk melengkapi dan meningkatkan infrastruktur lingkungannya secara lebih baik dibandingkan pengembang lain di wilayah Tangerang Selatan.
Universitas Indonesia
117 Pemanfaatan jalan arteri primer Alam Sutera, saat ini sudah sepenuhnya dipergunakan oleh warga masyarakat baik yang ada didalam atau diluar Alam Sutera. Belajar dari model pembangunan yang dilakukan oleh pengembang lain di wilayah Jabodetabek, kontribusi Alam Sutera untuk menambah ruas panjang jalan di Kota Tangerang Selatan, terasa sangat signifikan dengan dinamika kebutuhan pertumbuhan kota. Saat ini jalan raya Serpong yang menjadi urat nadi pergerakan di kawasan Serpong sudah semakin padat dan bertambah macet. Selain itu, sebagaimana sudah dibahas sebelumnya kebutuhan listrik dan air penghuni juga sudah diatur satu pintu melalui pengembang. Dengan demikian, para penghuni tidak perlu berurusan dengan PLN dan PAM sebagai alat negara (BUMN) yang bertugas mengelola kebutuhan itu. Dalam konteks ini, para penghuni Alam Sutra sebagai komunitas berpagar, bukan saja memiliki hubungan yang terbatas dengan warga sekitar wilayah pemukiman mereka, namun juga memiliki hubungan yang sangat terbatas dengan negara yang memiliki peran sebagai penyedia dan pengelola sarana dan prasarana publik. Penghuni Alam Sutra sebagai pemilik perumahan di wilayah pengembangan tersebut setidaknya hanya memiliki dua perkara yang mengharuskan mereka terhubung dengan negara, yaitu urusan administratif dan kependudukan serta masalah sengketa hukum.
4.6.2 Sengketa Hukum Antar Warga dengan Pengembang Untuk menyelesaikan masalah jika terjadi perselisihan atau perbedaan pendapat di antara penghuni dengan pihak estate managmnet atau diantara para penghuni sendiri yang mungkin timbul akibat dari isi maupun pelaksanaan dari perjanjian. Maka langkah pertama yang diatur didalam ketentuan peraturan tata tertib, adalah dengan cara musyawarah diantara para pihak untuk mencapai kata sepakat. Jika secara musyawarah tidak dapat menyelesaikan perselisihan atau perbedaan pendapat diantara para pihak, maka para pihak yang terlibat dalam sengketa
dapat sepakat untuk menyelesaikan melalui Pengadilan Negeri di
Tangerang. Penetapan
pilihan
melalui
Pengadilan
Negeri
Tangerang
telah
dicantumkan didalam ketentuan Peraturan tata tertib dengan dasar pertimbangan
Universitas Indonesia
l118 pada aspek
domisili hukum yang umum. Pencatatan berkas perkara akan
dilakukan pada Kantor Panitera Pengadilan Negeri Tangerang. Didalam praktek penyelesaian terhjadap
kasus-kasus pengaduan atau
keberatan yang dilakukan penghuni terhadap pihak estate. Atau pada kasus-kasus sengketa atas konflik diantara para penghuni, pihak pengembang lebih berharap pada penyelesaian kasus secara musyawarah. Menurut pihak estate, kasus didalam tata kelola lingkungan perumahan lebih bersifat “konflik managemen� dibandingkan pada masalah pidana atau perdata. Penyelesaian konflik dengan cara musyawarah cenderung dinilai lebih positif dibandingkan dengan cara melalui proses pengadilan yang memakan waktu dan biaya. Sisi positif dengan cara musyawarah lebih banyak manfaat, sebagai bentuk dari kemampuan bagaimana mengelola konflik secara lebih sehat. Hal ini di jelaskan oleh nara sumber A1, dari beragam pengalalaman yang dialami dalam menata perselisihan di lingkungan perumahan Alam Sutera;
Maaf saya kadang-kadang nggak mau tahu, apa yang dibicarakan atau yang dikesankan orang. Kalau ada masalah didalam kawasan itu kita namakan “konflik managmenet� dan saya yakin dengan adanya konflik management akan membuat hidup lebih hidup. saya mengalami bagaimana saya dimaki-maki dan disidang oleh warga waktu saat terjadinya resesi..kami bertemu di Santa Lurenscia, ada 1200 warga kita bertemu dan berdialog. Tapi saya salut sama owner saya, mungkin dia paling sabar. Mungkin karena dia begitu membuat saya betah disini.
Dalam berbagai pratek penyelesaian atas konflik, hingga saat ini belum terjadi ada konflik yang terkait dengan manajemen tata kelola lingkungan yang dibawa keranah pengadilan. Kemauan pihak pengembang untuk melakukan musyawarah menjadi jalan pilihan untuk menyelesaikan kasus-kasus sengketa dan perselihan di lingkungan Alam Sutera ataupun dengan warga sekitarnya. Bagi beberapa yang merasa hak-haknya diabaikan dan segenap usahanya untuk meminta pertanggungjawaban pihak perusahaan merasa diabaikan, biasanya memilih jalan lain, seperti menuliskan pengaduaannya melalui media sosial atau surat pembaca di surat kabar nasional. Menurut pihak pengembang, ada kemungkinan
penghuni
enggan
melakukan
proses
hukum,
sebab
itu
membutuhkan waktu yang lama dan biaya yang cukup besar. Sehingga dengan Universitas Indonesia
119 cara menulis di media masa, dia ingin masalahnya diperhatikan dan mendapatkan solusi dari pihak pengembang. Sementara tanggapan dari perusahaan, sederhana saja sebagaimana diungkapkan oleh nara sumber A1 ;
Kami tidak pernah memaksa orang untuk memilih tinggal di Alam Sutera, kalau suka dan cocok dengan lingkungannya silahkan, tetapi kalau merasa tidak cocok ya silahkan tidak membeli. Intinya kami ingin membangun keharmonian antara Alam Sutera dengan penghuninya.
4.7 Kesimpulan Paparan yang disajikan didalam bab ini memberikan gambaran tentang dualitas antara struktur dan tindakan di komunitas berpagar yang melibatkan sarana-sarana
(medium)
.
Gugus
signifikasi
“Pengembang�sebagai satu-satunya penguasa
melibatkan
wacana
yang mengelola komunitas
berpagar. Salah satu wujud kekuasaan kepada penghuni adanya keharusan untuk membuat perjanjian jual beli dan perjanjian untuk mematuhi peraturan tata tertib sebagai prasyarat tinggal di komunitas berpagar. Wacana sebagai penguasa ruang atau agency yang mengelola komunitas berpagar akan terus direproduksi bagi siapa saja yang berkepentingan dengan lingkungan mereka. Pengembang Alam Sutra bertindak sebagai agency yang memiliki otoritas penuh dalam pengelolaan komunitas berpagar dengan menerapkan banyak aturan yang harus dipenuhi oleh penghuni. Struktur sebagai hasil keterulangan praktek sosial di komunitas berpagar dalam hal gugus signifikasi terbentuk melalui pengulangan bahwa penghuni komunitas berpagar harus taat untuk mematuhi semua ketentuan dan ketetapan yang telah disepakati di peraturan tata tertib. Wacana “pengembang� sebagai pengelola komunitas berpagar terus direproduksi sehingga menjadi kokoh dan membentuk sebuah struktur bahwa ketaatan dan disiplin terhadap peraturan tata tertib adalah prasyarat untuk tinggal di komunitas berpagar. Karena itu semua bentuk tingkah laku penghuni tidak lepas dari wacana pengembang. Gugus dominasi pada pratek sosial dikomunitas berpagar didorong dalam wujud pemahaman dan pengertian dari setiap penghuni terhadap peraturan tata tertib ketika masuk kedalam struktur. Bagi setiap calon penghuni baru sebelum
Universitas Indonesia
l120 tinggal di komunitas berpagar harus memiliki makna yang sama dengan penghuni-penghuni sebelumnya tentang tindakan apa yang mesti dilakukan ditempat baru tersebut. Sehingga setiap penghuni baru harus memiliki signifikasi tentang pengembang sebagai struktur dominasi dikomunitas berpagar sebagai praktek sosial. Pada bab berikutnya akan dibahas bagaimana relasi antara pihak pengembang dengan penghuni Alam Sutra terkait penanaman nilai-nilai budaya komunitas berpagar. Dengan kekuatan struktural, pihak pengembang yang mendominasi praktik sosial di dalam komunitas berpagar akan menggunakan kekuasaanya kepada penghuni untuk menerima nilai-nilai atau budaya korporasi. Melalui peraturan tata tertib, pihak pengembang
akan menanamkan nilai
“harmoni kehidupan� sebagai nilai budaya bersama. Dalam perspektif pengembang, hal ini dilakukan dalam upaya mewujudkan harmoni antar penghuni yang memiliki latar belakang berbeda satu sama lain.
Universitas Indonesia
121 BAB V DINAMIKA KULTUR : PENANAMAN BUDAYA KOMUNITAS BERPAGAR DAN GAYA HIDUP EKSLUSIF PENGHUNI
Pengantar Bab ini akan menjelaskan bagaimana dinamika kultur di dalam komunitas berpagar merupakan proses dialektis antara kekuatan struktur pengembang untuk mengatur penghuni melalui peraturan tata tertib dengan kultur yang inheren di dalam masing-masing penghuni. Praktik sosial di dalam komunitas berpagar sejauh ini tidak memiliki persinggungan yang terlalu jauh antara kekuatan struktural yang ada dengan kultur tiap-tiap individu. Hal ini dipahami karena, peraturan yang dibuat oleh pengembang disandarkan pada kenyamanan serta keamaanan para penghuni, sehingga sebagai kelompok ekonomi mengengah atas kebutuhan akan huninan yang privat sudah terwadahi. Dalam pendekatan struktural, pengembang Alam Sutra melalui konsep ‘harmoni kehidupan’ menekankan pentingnya kultur bertoleransi antar penghuni. Harmoni dijadikan nilai (value) yang mendasari kehidupan sosial di dalam komunitas berpagar. Sehingga setiap kekuatan struktural termaktub di dalam peraturan tata tertib memiliki legitimasi ini. Selain melalui jalur struktural, melalui ruang publik yang ada di dalam Alam Sutra, secara konsisten menerapkan kultur ini. Sehingga semua penghuni harus tunduk dan taat kepada setiap aturan yang sudah disepakati bersama itu. Di sisi lain, dinamika kehidupan privat yang dilangsungkan di dalam komunitas berpagar pada akhirnya juga berdampak terhadap kehidupan sosial antar penghuni serta antar penghuni dengan non penghuni. Nilai ekslusifitas Alam Sutra melekat pada penghuninya, hal inilah yang memacu tiap-tiap penghuni untuk mengonsumsi barang dan jasa yang juga kelas atas. Kondisi ini memiliki dampak signifikan dengan semakin besarnya gap kultural antara penghuni Alam Sutra dengan non penghuni yang berada di sekitarnya. Selain itu, diantara penghuni pun terjadi kontestasi prestis yang disandarkan pada simbol-simbol ekonomi yang berdasarkan tingkat konsumsi.
121
Universitas Indonesia
l122 5.1 Sistem Kluster: Lokalisasi dan Gaya Hidup di Ruang Privat Ide untuk membangun rumah dengan menggunakan
konsep kluster
(komunitas berpagar) di lingkungan Alam Sutera dapat digambarkan sebagai bentuk tidak terdistribusinya kapital secara merata dan adanya perbedaan habitus diantara kelompok penghuni. Konsep hunian berimbang 3:2:1 yang pada awalnya diterapkan
dengan pola rumah
1:3:6, mencerminkan tiga tipe kapital yang
berbeda, satu rumah mewah, tiga rumah menengah dan enam sederhana. Komposisi rumah 1:3:6 dapat menggambarkan suatu pemikiran Bourdieu tentang masyarakat yang
merupakan cerminan dari kumpulan antar ranah yang
membentuk ruang sosial (social sphare). Artinya masyarakat bukanlah sesuatu yang memiliki status hubungan yang serba teratur dan harmonis sebagaimana yang dibayangkan oleh kaum strukturalis. Sebaliknya masyarakat adalah sesuatu yang dinamis karena dia merupakan cerminan dari pertarungan antar agen untuk memperkuat posisi masing-masing. Posisi kapital yang berbeda antar pemilik rumah menghasilkan habitus yang berbeda pula. Uraian teori yang dikemukan Bourdieu diatas mendasari uraian yang dikemukan oleh nara sumber A1, yang menempati posisi sebagai Planning Manager pada saat pembangunan Alam Sutera dimulai. Nara sumber A1 dan timnya sudah menyadari perlunya suatu tata kelola lingkungan perumahan yang terpisah untuk suatu kelas sosial yang berbeda diantara penghuninya. Saat ini A1 menempati posisi sebagai Direktur Marketing di PT.Alam Sutera Realty Tbk, dan memberikan alasan mengapa Alam Sutera
menggunakan konsep kluster
(komunitas berpagar) yang menjadi pilihan mereka:
Semua itukan ada wadahnya, tidak mungkin dalam satu wadah ada yang tipe 36 atau tipe 1000 meter. Gaya hidupnya saja sudah berbeda, bahkan dreamnyapun berbeda. Visi dan misi tiap keluarga saja sudah berbeda. Akhirnya kami berpikir..yuk..yuk, mari kita buat tipe kluster.� Gagasan untuk menggunakan konsep kluster, di kawasan Alam Sutera di mulai pada tahun 1992. PT. Alfa Goldland Realty (saat ini sudah berganti menjadi PT.Alam Sutera Realty,Tbk) ketika itu meng-higher Master Planner dari Amerika Serikat. Tenaga ahli konsultan perencana dari Amerika Serikat ini memberikan
Universitas Indonesia
123 saran kepada pengembang, untuk menggunakan konsep kluster (komunitas berpagar) dengan pertimbangan konsep ini sudah semakin pesat berkembangkan di Amerika Serikat72. Gejala komunitas berpagar mulai diketahui sejak tahun 1980-an, ketika jutaan keluarga di Amerika telah tinggal dilingkungan perumahan seperti ini (Blakely and Snyder, 1997). Menurut Blakely and Snyder, meningkatnya gejala rumah dengan konsep kluster (komunitas berpagar) di Amerika Serikat ini telah menjadi tradisi untuk menciptakan ruang sosial melalui batas-batas fisik. Didalam komunitas ini, pagar dipakai bukan saja sebagai sarana untuk mendefinisikan teritori kepemilikan individual namun juga dipakai untuk mendefinisikan pengelompokan masyarakat tertentu. Ide yang ingin dikembangkan dengan konsep ini adalah adanya perbedaan pendekatan dalam pengertian umum bahwa komunitas terbentuk melalui proses sosial, sementara komunitas berpagar (komunitas berpagar) adalah satu bentuk “rekayasa spasial” dalam menciptakan komunitas. Gagasan Master Planner dari Amerika Serikat dikonsultasikan
dengan
pemilik
perusahaan
yang
ini, selanjutnya diwakili
Harjanto
Tirtohadiguno, selaku Komisaris (menantu dari The Ning King, pemilik perusahaan) dan tim perencana dari pengembang. Mengingat konsep kluster gaya Amerika
merupakan sesuatu hal yang baru, tim perencanaan memberikan
masukan dengan “nilai-nilai lokal” guna mengadaptasikan konsep kluster dengan kondisi di Indonesia. Alasan pertimbangannya, menurut nara sumber A2, selaku Direktur Pembangunan antara lain;
….. waktu kita membangun komunitas ( perumahan alam sutera) ini kan, kita dikenal sebagai para “pendekar-pendekar” idealis yang kadang disebut tidak mengenal karakter kawasan, karena kita terlalu menitik beratkan pada kawasan hijau. Kita (Alam Sutera) selalu diidentikan dengan kawasan hijau, jalannya lebar, dan segala macam. Kalau kita gali lebih dalam kita tidaklah seperti itu. Kita juga menyesuaikan perencanaanperencanaan dengan kondisi yang berkembang waktu itu. Karena kita tidak memiliki mentor, maka kita menggali dari berbagai literatureliteratur yang ada di luar negeri, selain itu kita juga memadukan dengan perencanaan lokal juga. Bapak tahukan yang “mempopulerkan cluster system” kan kita sejak tahun 1994. Sebenarnya cluster itu kan 72
Meyriana Kesuma, Studi Mengenai Komunitas berpagar dan dampaknya terhadap lingkungan fisik dan sosial. Magister Teknik perencanaan Universitas Tarumanegara, 2008.
Universitas Indonesia
l124 generik..kan, di buku teori manapun ada. Tapi kita harus ingat, bahwa sebagai developer, yang mempopulerkan istilah cluster-cluster sejak tahun 1994 itu adalah kita. Alam Sutera saat ini telah mengembangkan satu cluster besar dimana di dalam cluster tersebut juga terdapat sub-sub cluster yang terdiri dari 150 sampai 300 unit rumah dengan satu pintu gerbang yang menjadi akses utama penghuni untuk keluar - masuk dengan tujuan menjamin keamanan dan kenyamanan para warganya. Pada akhir tahun 2012 jumlah rumah yang telah selesai dibangun dan sedang dalam proses penyelesaian telah mencapai 29 cluster yang tersebar dalam 4 wilayah kelurahan di wilayah Tangerang Selatan yang meliputi Kelurahan Pondok Jagung, Pondok Jagung Timur, Pakulonan dan Paku Alam. Adapun komposisi rumah yang sudah dihuni, tidak dihuni, kavling, dan sedang dalam proses pembangunan dapat dilihat pada tabel berikut ini : Tabel 5.1 Komposisi Rumah yang Sudah Dihuni, Tidak Dihuni, Kavling, dan Sedang Dalam Proses Pembangunan Tahun 1994 s/d 2012 No
Nama Cluster
Dihuni
Kosong
Dalam Pembangunan
Kavling
Total
1
Sutera Amarylis
41
1
1
22
65
2
Sutera Asri
43
0
7
110
160
3
Sutera Buana
38
3
8
116
165
4
Sutera Cemara
135
9
6
37
187
5
Sutera Delima
211
48
5
13
277
6
Sutera Elok
140
17
3
8
168
7
Sutera Flamboyan
265
31
2
12
310
8
Sutera Gardenia
-
-
-
-
0
9
Sutera Harmoni
203
27
4
55
289
10 Sutera Intan
138
7
3
23
171
11 Sutera Jelita
-
-
-
-
0
12 Sutera Jelita Ext
-
-
-
-
0
13 Sutera Kirana
375
27
9
36
447
14 Sutera Lavender
55
4
6
67
132
15 Sutera Lavender
19
1
3
38
61
Universitas Indonesia
125
No
(Lanjutan Tabel 5.1) Kavling Total
Dihuni
Kosong
Dalam Pembangunan
74
3
4
46
127
17 Sutera Magnolia
113
10
2
137
262
18 Sutera Narada
10
1
2
30
43
19 Sutera Riviera
13
3
4
61
81
20 Sutera Telaga
0
0
5
47
52
21 Biru
257
49
4
23
333
22 Sutera Danau Biru
262
31
5
61
359
23 Griya Sutera
172
27
14
156
369
24 Sutera Feronia
152
60
7
272
491
25 Sutera Olivia
62
55
10
142
269
26 Sutera Onyx
-
-
-
-
0
27 Sutera Palma
-
49
11
37
97
28 Sutera Palymyra
-
63
11
24
98
29 Sutera Renata
-
-
-
-
0
16
Nama Cluster
Park
30 Alba Sutera Aurora Sutera Renata Sumber : Data Alam Sutera 2012
Konsep cluster yang ada di Alam Sutera merupakan satu grup cluster besar yang di dalamnya terdapat beberapa cluster dengan sistem satu gerbang masuk. Karakteristik komunitas berpagar di masing-masing cluster pun berbeda.
Dari
kondisi komunitas berpagar yang ada di kawasan hunian Alam Sutera di dapati bahwa kontrol keluar – masuk orang yang lebih terkontrol karena dengan sistem satu gerbang masuk dan satu gerbang keluar terdapat sistem keamanan yang terintegrasi antara dua pintu
tersebut. Dengan sistem cluster besar yang
dipisahkan dari lingkungan luar, hunian komunitas berpagar di Alam Sutera terlihat lebih eksklusif, meskipun di dalam cluster besar tersebut terdapat beberapa tipe hunian bagi kalangan menengah dan menengah atas. Untuk kondisi tembok pembatas antar cluster di Alam Sutera dibuat dengan menggunakan
tembok
Universitas Indonesia
l126 pendek, tetapi untuk pembatas dengan lingkungan hunian luar, dibatasi dengan tembok besar dan tinggi sehingga lebih aman.
Gambar 5.1 : Lingkungan Komunitas berpagar dan Fasilitas Layanan Lainnya
Untuk pembatas kawasan Alam Sutera sendiri cukup unik, dimana Kawasan Alam Sutera memotong infrastruktur jalan bagi lingkungan hunian luar. Dari lokasi dapat terlihat tembok pembatas yang cukup tinggi di sebelah barat dengan kawat besi untuk memisahkan dengan lingkungan hunian luar sedangkan di sebelah selatan terdapat tembok sedang yang memisahkan hunian dengan lingkungan kawasan Alam Sutera. Hal yang sangat kontras dapat dirasakan dari pembatas tersebut. Hal ini juga dapat menimbulkan potensi dampak dari komunitas berpagar terhadap lingkungan perkotaan. Untuk kondisi komunitas berpagar di kawasan hunian Alam Sutera terkait dengan skala makro kota/kawasan Serpong dapat terlihat dari lokasi hunian komunitas berpagar yang berada di depan Jalan Raya Serpong. Dengan konsep
Universitas Indonesia
127 satu pintu gerbang (sistem one gated access) dengan desain main public road dan seluruh rumah yang menghadap ke main public road tersebut, dapat dikatakan bahwa komunitas berpagar yang ada di Alam Sutera merupakan bagian yang terpisah dengan fungsi kota. Karena terpisah dengan bangunan – bangunan komersial yang berada di sepanjang Jalan Raya Serpong. Kondisi komunitas berpagar yang berada dalam satu group cluster besar ini cukup menjadikan komunitas berpagar ini sebagai exclusive and service estate. Kedudukan komunitas berpagar terhadap pengembangan Alam Sutera sendiri cukup jelas terlihat adanya pemisahan dengan pengembangan lainnya. Meskipun tidak terkait dengan pengembangan tahap selanjutnya dikarenakan dari hampir 5.000 unit rumah yang ada di cluster Alam Sutera telah 90% tetapi hunian komunitas berpagar di group cluster besar ini memberikan kontribusi terhadap pengembangan komersial di kawasan Alam Sutera. Sehingga akan terjadi perkembangan kawasan yang dapat diintegrasikan dengan pengembangan kota khususnya pengembangan kawasan Kecamatan Serpong dan Serpong Utara. Berikut ini terdapat beberapa tipe karakter dari masing-masing cluster perumahan yang ada di lingkungan permukiman Alam Sutera. 5.1.1
Cluster Sutera Kirana Kelompok lingkungan perumahan (cluster) Sutera Kirana adalah salah satu
lingkungan perumahan yang pertama kali dijual oleh pihak pengembang PT Alam Sutera Realty Tbk kepada masyarakat. Awal penjualan dilakukan pada tahun 1994 – 1996, saat kawasan ini mulai dibangun. Lingkungan Sutera Kirana menarik untuk dijadikan salah satu objek lokasi kajian yang mendapatkan perhatian khusus. Perhatian diberikan didasarkan komposisi jumlah penghuni yang hampir lebih dari 90 persen sudah berpenghuni. Sementara sisa bangunan lainnya sudah ada penghuni atau pembelinya, tetapi tidak dijadikan sebagai tempat tinggal dengan pertimbangan tertentu. Alasan yang dikemukakan biasanya untuk investasi atau pemilik masih belum berkenan untuk pindah dengan pertimbangan tertentu.
Universitas Indonesia
l128
Gambar 5.2 Lingkungan Cluster Kirana
Cluster Sutera Kirana adalah motor penggerak untuk berbagai kegiatan yang ada dilingkungan Alam Sutera. Kegiatan yang paling menonjol adalah kegiatan Bazar Tahunan yang diselenggarakan dalam rangka Hari Kemerdekaan 17 Agustus. Komposisi jumlah rumah tipe kecil tapi mewah dalam skala harga menjadi daya tarik bagi kegiatan lingkungan. Kehidupan dilingkungan Sutera Kirana, didukung dengan kehadiran tokoh-tokoh masyarakat yang cukup aktif dan menjadi pelopor bagi kegiatan didalam lingkungan dan masyarakat sekitarnya. Sutera Kirana memiliki jumlah penghuni yang cukup besar, sehingga setiap kegiatan yang diselenggarakan diantara warga akan menarik perhatian bagi kelompok perumahan lainnya untuk bergabung, sehingga menambah semarak acara yang diselenggarakan oleh warganya. Hal lain yang menjadi masalah diawal pembangunan kelompok perumahan ini adalah tidak tersedianya sarana failitas sosial dan umum bagi penghuninya didalam lingkungan tempat tinggal mereka.
Universitas Indonesia
129
Gambar 5.3 Peta Cluster Sutera Kirana
Didalam lingkungan cluster kirana terdapat lebih dari 11 blok lingkungan perumahan, dengan tipe perumahan skala besar mengisi ruang tengah dengan tampak muka berupa jalan utama didalam lingkungan. Pada saat akan melakukan kegiatan keluar masuk semua aktifitas warga akan melalui pintu utama (sistem one gated access), sehingga memudahkan kontrol dari petugas keamanan untuk memonitor keluar masuk orang. Tipe-tipe rumah besar pada umumnya dilindungi atau apit oleh tipe-tipe rumah kecil, sehingga terkesan dalam posisi yang nyaman. Didalam lingkungan ada tiga komposisi tipe rumah besar, sedang dan kecil disesuaikan dengan luas areal lahan rumah masing-masing. Pada tipe-tipe rumah kecil kepadatan antar bangunan cukup tinggi, sehingga terdapat kecenderungan pola aktifitas penghuninya berada diluar rumah. Kondisi ini berbanding terbalik dengan tipe rumah besar yang cenderung lebih tertutup.
Universitas Indonesia
l130 5.1.2
Cluster Griya Sutera Lingkungan perumahan (cluster) Griya Sutera, adalah kelompok
perumahan yang didominasi oleh tipe perumahan untuk kalangan menengah. Tipe pengelompokan rumah cenderung homogen dimana dilingkungan perumahan ini tidak ada tipe rumah- rumah besar dan mewah, seperti di cluster perumahan lainnya. Rumah-rumah dilingkungan ini pada umumnya lebih sederhana dari sisi desain atau komposisi bentuk rancangannya. Hal yang menonjol dan berbeda dengan cluster lainnya rumah-rumah disini pada umumnya membuat pagar pengamanan sendiri yang sebenarnya dilarang didalam ketentuan yang telah ditetatpkan dalam peraturan tata tertib.
Gambar : 5.4 Peta Cluster Griya Sutera
Kecenderungan dibangunnya rumah-rumah dengan sistem pemagaran sendiri-sendiri, disebabkan kelompok perumahan Griya Sutera, jika dilihat dari letak lokasinya berada dalam lingkup kawasan yang agak terpisah dengan tipetipe perumahan yang lebih besar. Lokasi Griya Sutera sebenarnya lebih dekat dengan kelompok rumah-rumah sederhana (Pondok Pakulonan) atau Griya Hijau yang sedikit lebih terbuka dalam hubungan interaksi dengan penduduk lokal. Griya Sutera, tidak terletak pada jalur utama jalan lingkungan kawasan perumahan
Universitas Indonesia
131 Alam Sutera. Lokasinya agak sedikit tertutup dan terletak di pojok kawasan. Hal lain yang sampai saat ini dikeluhkan warga yang tinggal di lingkungan ini adalah masalah genangan air atau kejadian banjir yang cukup parah di saat musim penghujan. Salah satu penyebab kejadian adalah posisi tata kelola sistem drainase lingkungan ini bermasalah dengan perumahan dari Bintaro yang menutup sistem tata drainase dari Alam Sutera. Kondisi ini yang menjadi penyebab konflik berkepanjangan antar pengembang dan penghuni. Solusi yang dilakukan pihak pengembang saat ini adalah dengan menyediakan sistem pompa air jika terjadi hujan besar guna menghindar terjadi banjir dilingkungan Griya Sutera. Saat ini dilingkungan Griya Sutera dikelola oleh pengurus RT dan RW yang cukup aktif untuk melakukan beberapa kegiatan bersama dan didukung oleh kapasitas aktor (ketua RW) yang masih muda energik dan memiliki kapasitas untuk membuat sistem tata manajemen administrasi RT/RW yang lebih terbuka dan dan cukup informative untuk dipahami dan diikuti oleh warganya.
5.1.3
Cluster Sutera Onyx Cluster perumahan Sutera Onyx adalah tipe generasi baru dari kelompok
perumahan yang mulai dibangun ketika kawasan Alam Sutera mulai berkembang dan sudah mulai ramai dengan berbagai aktifitas permukimannya. Perumahan ini mulai di kembangkan pada awal tahun 2002 an dan sudah mulai dihuni pada tahun 2006. Komposisi rumah tidak jauh dengan tipe kelompok perumahan lainnya, dimana dalam satu cluster perumahan terdapat tiga kelompok rumah, besar, sedang dan kecil. Tetapi katergorisasi ini konsep 3:2:1 ini lebih mengacu pada kualitas tipe bangunan dan luas areal yang berbeda dengan konsep 3:2:1 yang diacu oleh pemerintah.
Universitas Indonesia
l132
G
Gambar 5.5. Fasilitas Sports Loungs – Cluster Sutera Onyx
Rumah-rumah di cluster Sutera Onyx, tetap sulit untuk dijangkau oleh kalangan menengah bawah, mengingat harganya cukup tinggi dengan standar perumahan yang cukup ketat dengan aturan bangunan. Harga rumah di Sutera Onyx, cenderung lebih mahal dibandingkan kelompom perumahan lain yang telah dibangun oleh pengembang Alam Sutera. Salah satu kelebihan lingkungan Sutera Onyx adalah kelengkapan fasilitas lingkungan yang cukup mewah untuk kebutuhan sosial dan olahraga lainnya. Perumahan Sutera Onyx memiliki “Club House�, yang didalam perbincangan sehari-hari diantara pengurus RT/RW se Alam Sutera, sering menimbulkan kecemburuan sosial. Jika kelompok perumahan lain, tidak dibangunkan fasilitas sosial dan olahraganya, maka untuk perumahan Sutera Onyx pihak pengembang telah menyediakan sarana dan prasarana ini sebagai
bentuk
layanan
kepada
para
penghuninya.
Sebagai
bentuk
kompensasinya, harga rumah di Cluster Sutera Onyx relative lebih mahal dibandingkan kelompok perumahan lain. Bagi pihak pengembang, penyediaan fasilitas ini adalah bagian dari strategi marketing perumahan yang terus mengalami perubahan seiring permintaan pasar yang terus menuntut adanya
Universitas Indonesia
133 kelengkapan fasilitas lingkungan sebagai bentuk strategi meningkatkan daya jual rumah.
Gambar 5.6 Peta Cluster Sutera Onyx Hal lain yang membuat daya tarik Sutera Onyx, berbeda dengan lokasi perumahan lainnya adalah letak lokasi perumahan yang berada pada kawasan bisnis perkantoran dan pusat jasa perdagangan kawasan Alam Sutera. Pintu utama perumahan ini berhadapan dengan jalan utama kawasan Alam Sutera dan terhubungkan langsung dengan akses menuju jalan tol Jakarta Merak. Letak posisi yang strategis ini mendorong pengembang lebih mengedepankan sisi strategi marketing untuk membangun tipe-tipe rumah yang lebih besar dalam luasan luas tanah dan tipe bangunan. Pada jalan-jalan utama di lingkungan perumahan lebih didominasi oleh rumah-rumah tipe besar, sehingga lebih terkesan sepi tapi hijau dengan kerindangan pepohonan. Kelompok perumahan Cluster Sutera Onyx, mempunyai posisi yang cukup berpegaruh terhadap tata kelola lingkungan di Alam Sutera. Pengurus RT/RW di Sutera Onyx, dipimpin oleh seorang tokoh masyarakat yang cukup aktif, seorang
Universitas Indonesia
l134 pendidik, dan tenaga konsultan yang menguasai bidang konstruksi. Latar belakang sosial ini yang syarat dengan pengalaman akademis dan praktek ini membuat, tata kelola Sutera Onyx, sedikit berbeda dengan lingkungan lainnya. Pihak pengurus beberapa kali menolak “diperintah� pihak pengembang Alam Sutera, karena sering menggugat aturan pengembang tidak tepat dan tidak konsisten. Sehingga dalam beberapa hal pengurus RT/RW Sutera Onyx, berani membuat aturan-aturan tambahan didalam ketentuan pengembang yang telah dibuat dan ditetapkan oleh pihak Alam Sutera.
5.1.4
Sutera Telaga Biru Kelompok perumahan Cluster Sutera Telaga
Biru, adalah kelompok
perumahan yang dibangun dan disediakan untuk kelompok sosial kelas atas. Lokasinya sangat eksklusif berada pada tepian danau, dengan tipe-tipe rumah besar dan luasannya rata-rata untuk seribu meter. Kelompok rumah dengan tipe dan luasan seperti ini, relative lebih sepi dan sangat tertutup dalam hubungan interaksi sosial antar penghuni maupun dengan lingkungan sekitarnya. Kepengurusan RT dan RW nya masih menginduk ke kelompok kluster perumahan lain, disebabkan komposisi jumlah penghuninya belum dapat dibentuk suatu RW.
Gambar : 5.7 Perumahan di Lingkungan Sutera Telaga Biru
Universitas Indonesia
135
Gambar : 5.8 Peta Cluster Telaga Biru
Dalam beberapa kali survey awal, dapat dikatakan sulit untuk melakukan pendekatan khusus untuk melakukan peninjauan lapangan. Salah satu faktor kendala adalah pertanyaan petugas keamanan yang akan menanyakan maksud dan tujuan untuk memasuki lingkungan Sutera Telaga Biru. Secara hubungan sosial dapat dikatakan warga dilingkungan ini minim melakukan hubungan interaksi diantara penghuni atau dengan lingkungan sosial sekitarnya disebabkan status sosialnya yang cukup tinggi sehingga sulit menjelaskan kepada petugas keamanan dasar alasan mengapa kita harus bertemu dengan mereka. Rumah dengan jumlah yang sangat terbatas dan membatasi jarak interaksi dengan rumah – rumah lainnya, mengharuskan setiap tamu harus membuat komitmen terlebih dahulu dengan pemilik rumah untuk melakukan kunjungan. Dalam kajian ini penulis sangat memanfaatkan pengalaman sebagai juri Community Award yang dilakuka pihak Alam Sutera untuk menggali informasi secara lebih mendalam tentang kehidupan sosial dikalangan penghuni rumah dengan tipe-tipe besar dan berada dilingkungan alam yang sangat asri.
Universitas Indonesia
l136 5.2 Penghuni Elite: Kebutuhan Akan Ekslusifitas Orientasi pelayanan barang dan jasa yang diberikan pengembang lebih diperuntukan bagi kelompok kelas sosial menengah ke atas. Fakta sosial ini dapat terlihat dalam bentuk penyediaan rumah dengan tipe rumah mewah dan menengah disertai
kelengkapan sistem keamanan yang tertutup dan terpisah
dengan lingkungan sekitarnya. Realitas ini semakin menambah kesan, bahwa untuk tinggal dan menetap di Alam Sutera hanya dapat dijangkau oleh mereka yang memiliki kemampuan ekonomi yang sudah mulai mapan dan berkecukupan. Gambaran kesenjangan ini dapat ditangkap secara sekilas oleh siapapun baik dari kalangan awam ataupun kesan yang muncul dari para penghuni terhadap gejala eksklusi sosial yang terjadi dilapangan. Harga rumah yang relatif tinggi dan dikelola dengan secara tertutup melalui sistem
keamanan yang ketat secara
sekilas sudah memberi gambaran adanya segregasi sosial . Didalam suatu diskusi, gejala segregasi sosial ini dibantah oleh salah seorang pimpinan dari Direktur Pembangunan Alam Sutera, bapak A2 . Alam Sutera tetap berkomitmen membangun golongan yang tidak mampu dengan membangun rumah-rumah tipe kecil untuk golongan menengah kebawah akan tetapi saat ini tipe rumah kecil dan sederhana tersebut memang sudah tidak kami bangun. Manajemen pengelolaan juga sudah kami lepas dan telah diserahkan sepenuhnya kepada para penghuni melalui pengurus Rt dan Rw. Manajemen Alam Sutera saat ini hanya focus mengelola tipe rumah menengah keatas. Perubahan konsep pengelolaan dilakukan setelah pihak pengembang melakukan evaluasi terhadap masterplan dan program-program yang dijalankan. Pada awal rencananya didalam kawasan akan dibangun sebuah lapangan golf, sebagai ikon untuk daya tarik kawasan. Akan tetapi didalam proses selanjutnya konsep lapangan golf ditinggalkan, dengan alasan tidak menguntungkan. Menurut A1, sebagai Direktur Marketing, dasar pertimbangannya disebabkan sebagian besar pengembang di sekitar Alam Sutera sudah membangun lapangan golf. Faktor pertimbangan lainnya adalah jumlah pemain golf sangat terbatas. Jika jumlah lapangan golf terlalu banyak di suatu kawasan hal ini tidak akan menguntungkan bagi pihak pengelolanya untuk menggantikan areal lapangan golf,
Universitas Indonesia
137 maka sebagian bentang alam yang sudah mengalami proses cut and fill akan dimanfaatkan untuk perumahan dengan konsep kluster atau komunitas berpagar. Melalui konsep komunitas berpagar ini, Alam Sutera bermaksud membangun suatu struktur kehidupan baru dilingkungannya. Konsep perumahan dengan model komunitas berpagar atau kluster ini akan lebih sesuai untuk dikembangkan pada tipe
rumah besar dan sedang serta cocok bagi kebutuhan kelas menengah
keatas. Bagi pihak pengembang ini adalah suatu pilihan usaha. Alam Sutera sebagai korporasi harus untung dan berkembang kegiatan usahanya. Jika pilihan usaha jatuh dengan cara mencari keuntungan melalui penjualan rumah mewah dan menengah maka ini adalah realitas atau suatu keharusan. Pasar perumahan saat ini sulit untuk berpihak pada
pilihan tipe
rumah kecil dan sederhana.
Meskipun pada awal pembangunannya Alam Sutera sudah menjalankan isi dari Peraturan SKB (Surat Keputusan Bersama) Tiga Menteri tentang Konsep Hunian Berimbang (1:3:6) tetapi pada prakteknya konsep ini tidak sepenuhnya dijalankan. Kalau bicara mengenai Alam Sutera, sebenarnya kita masih menganut ketentuan dari Menteri Perumahan Rakyat, mengenai konsep 1:3:6 ( 1 rumah mewah, 3 menengah, dan 6 sederhana), sekarangkan konsepnya sudah dirubah menjadi 1:2:3. Cuman konteksnya kita bukan untuk rumah “Murah dan Sederhana�. Tapi sebenarnya tipe rumah yang kita bangun adalah tipe kecil, kita bicara seperti itu. Didalam praktek strukturasinya, penyediaan rumah-rumah tipe kecil dan sederhana (Tipe 6) bagi golongan menengah ke bawah ini sebagai syarat awal. Rumah-rumah tipe kecil menjadi daya tarik dan
hanya dijadikan
dijadikan pemancing untuk
daya dorong (pull and push factor) untuk tumbuh
kembangnya suatu komunitas baru di atas hamparan yang masih sepi. Menurut pengalaman penulis, yang pernah bekerja sebagai tenaga ahli perencana perkotaan, tipe-tipe rumah kecil ini sangat dibutuhkan oleh pengembang untuk melindungi keberadaan rumah tipe besar dan menengah. Rumah-rumah tipe kecil ditempatkan di kawasan yang berbatasan dengan perkampungan penduduk atau di pojok kawasan. Seiring dengan semakin ramainya kawasan, maka rumahrumah besar dan menengah dengan konsep kluster (komunitas berpagar) mulai menyusul untuk dibangun.Jadi bisa diibaratkan tidak ada pengembang yang berani
Universitas Indonesia
l138 mengambil resiko untuk membangun rumah mewah, jika kawasan sekitarnya masih sepi dan minim prasarana. Lingkungan Alam Sutera yang tertata rapi, teratur, mewah dan kesan tertutup menambahkan kesan adanya jarak antara penghuni yang tinggal didalam dan diluar perumahan. Harga rumah yang cukup mahal dan ketatnya pengaturan yang diberlakukan melalui peraturan tata tertib, semakin memperkuat kesan hanya mereka yang mau diatur dan hidup teratur yang dapat bertempat tinggal di lingkungan ini. Reaksi dan tanggapan beragam muncul dari beberapa warga yang telah lama tinggal dan menetap di Alam Sutera menanggapi beberapa kegiatan pengembang yang telah mempromosikan perumahan mereka, sebagai lingkungan kelas menengah atas dan berkesan mewah, diantaranya dari nara sumber B2 , pengurus RW di di Kluster Kirana; Iya untuk sekarang kesannya eksklusif pak, jika ditanya tinggal dimana? Alam sutera. Wah rumahnya‌hebat. Dia kan masuknya dari depan, wah adem.kesannya itu ya mewah. Selain bapak Ahmad, beberapa narasumber lainnya memberi tanggapan yang hampir sama. Hal diungkapkan nara sumber B1 pengurus Alam Sutera Resident Community (ASRC) yang mendukung pernyataan B2 ; Ya mereka sekarang tidak melihat kita sebelah mata lagi. Wah rumahnya disana..ya ( maksudnya:Alam Sutera). Kesan terhadap Alam Sutera sebagai lingkungan yang asri dan nyaman serta lingkungannya terdiri dari kelas sosial menengah keatas menjadi faktor daya tarik untuk pindah. Salah seorang warga, B4 yang menjadi pengurus RW di Kluster Sutera Delima, memberikan alasan kepindahannya ke Alam Sutera. Sebelumnya saya tinggal di perumahan Bonang di Karawaci. Saya pindah kesini, yah disini suasananya lebik enak, nyaman terus asri. Orang luar awal ngeliatnya eksklusif. Awalnya kita juga melihat ada kesan seperti itu. Istilahnya kayak rumah dibentengi, gituh. Kan orang luar nggak bisa masuk sembarangan, jadi kesan eksklusifnya cuman disitu aja‌. Jadi orang nggak bisa masuk sembarang.
Universitas Indonesia
139 Kesan eksklusif dan mahal juga muncul kembali dari nara sumber B1, yang merupakan sekelompok warga yang pertama-tama mulai tinggal di Alam Sutera. Saya masuk sini tahun 1997. Tahun 1994 sebenarnya saya sudah berada disekitar sini tapi belum masuk. Dulu sih..kawasan sini nggak eksklusif. Apalagi tahun 1997 sampai tahun 2007, kalau ditanya orang ngapain lu tinggal di Alam Sutera‌ jauh bener dari Jakarta, tempat jin buang anak. Tapi kalau sekarang sih nggak, sudah mulai ramai, banyak perkantoran, jadi kalau ditanya orang tinggal dimana, Alam Sutera. Wah hebat bener, enak ‌mahal donk. Padahal sih nggak mahal kan kita dulu belinya sudah lama. Dinamika kenaikan harga rumah dan bangunan komersil selama hampir 17 tahun dapat dilihat pada tabel 5.2 berikut ini. Tabel.5.2 Harga Lahan Untuk Rumah & Komersil di Alam Sutera Tahun 1994 – 2011 Tahun
Harga Tanah Harga Tanah Untuk Untuk Rumah Komersial (Satuan Meter) (Satuan Meter) 1994 300.000 400.000 1995 400.000 500.000 1996 500.000 550.000 1997 550.000 650.000 1998 550.000 700.000 1999 550.000 800.000 2000 600.000 900.000 2001 700.000 900.000 2002 850.000 1.000.000 2003 950.000 1.100.000 2004 1.050.000 1.200.000 2005 1.100.000 1.350.000 2006 1.200.000 1.500.000 2007 1.300.000 1.700.000 2008 2.500.000 3.000.000 2009 3.300.000 4.400.000 2010 3.800.000 6.500.000 2011 5.600.000 7.500.000 Sumber data : Company Profile PT.Alam Sutera Realty,Tbk 2012 Kesan Alam Sutera sebagai kawasan eksklusif dan mahal serta hanya bisa dinikmati oleh kelompok menengah keatas semakin dibuktikan dengan gaya hidup dan perilaku warganya yang cenderung sangat konsumtif untuk mempergunakan produk-produk yang mahal dan tersedianya fasilitas pendukung Universitas Indonesia
l140 untuk kehidupan kelas menengah keatas. Kesan ini disampaikan kembali oleh nara sumber B1, yang menceritakan pengalaman kehidupan keseharian warga disekitar rumahnya ; Banyak-banyak tempat yang bagus-bagus, mahal-mahal, bayangkan rumah yang kecil aja harganya sudah sampai 1,5 milyar. Luas bangunan 90 meter.. aja, sudah 1,2 milyar. Sudah cukup mapan..lah. Kesannya Alam Sutera itu teratur, jalannnya bagus-bagus, lebar-lebar nggak kaya di BSD, disini banyak mal-mal, dekat-dekat lagi, ada Flavor Bliss yang terkenal, Informa, Ace hardware. Dan sebenarnya yang paling bikin eksklusif adalah harganya..pak. Harga tanah per meternya aja sekarang sudah 11 juta permeter. Kalau dibandingkan dengan Gading (maksudnya perumahan Gading Serpong), masih hebatan sini, lokasi rumahnya bagus-bagus, ada kantor BCA, kesannya hebat-hebat..lah. Kelengkapan sarana dan faslitas yang cukup mewah dan terkesan eksklusif menurut nara sumber juga terkait dengan gaya hidup warga yang tinggal di Alam Sutera. Anak-anaknya juga .. terpengaruh, anak-anak disini kan kalau makan suka ke Mal, sepedanya mahal-mahal, sekolahnya di Lorensia, kemana-mana bawa Ipad, BB, kesannya disini begitu . Disini biaya hidup lebih mahal dari Jakarta. Beli sayur disini lebih mahal, kalau di Jakarta bisa 5 ribu, kalau ke pasar delapan disini bisa 8 ribu. Anak-anak disini sudah kebiasaan, apa-apa ke mal, habisnya disini ke mal cukup jalan kaki. Mal deket disini. Makan – minum aja mereka sudah 20.000,- itu paling murah. Kelengkapan sarana dan prasarana kawasan yang cukup mewah disertai dengan gaya kehidupan warga Alam Sutera yang cenderung konsumtif dengan produk-produk barang menengah keatas, menjadi bukti bahwa lingkungan Alam Sutra agak sulit untuk dimasuki atau dijadikan tempat tinggal bagi kelas menengah bawah.
5.2.1
Sistem Keamanan Lingkungan Untuk menciptakan kenyamanan dan rasa aman kepada setiap penghuni,
pihak pengembang Alam Sutera mengatur sistem keamanan lingkungan dengan menggunakan satu pintu gerbang utama untuk mengawasi atau memantau keluar masuk orang dan barang di setiap kluster perumahan. Didepan pintu gerbang utama ada penjagaan dari petugas keamanan pengelola yang akan memeriksa semua tamu/penghuni apakah mereka Universitas Indonesia
memiliki stiker atau tanda pengenal
141 sebagai penghuni atau tamu yang akan masuk dan keluar dari lingkungan perumahan. Sementara untuk melindungi dan memisahkan kluster perumahan dengan lingkungan sekitarnya
pihak pengembang melakukan pemagaran
disekeliling perumahan dengan tembok setinggi lebih kurang dua meter.
Gambar 5.9 : Kartu Identitas Tamu
Kepada setiap tamu atau penghuni yang tidak memiliki stiker akan diminta untuk meninggalkan kartu identitas/pengenal (KTP/SIM/Passport) kepada petugas di gerbang utama sebelum memasuki kawasa hunian. Diberlakukannya kewajiban untuk memiliki stiker sebagai tanda pengenal, menjadi suatu keharusan tanpa melihat apakah dia penghuni atau tamu. Jika ada tamu yang tidak jelas maksud dan tujuannya, atau baru pertama kali masuk kedalam lingkungan komunitas berpagar, maka pihak keamanan berhak untuk bertanya atau menahan tamu didepan pintu utama. Pihak keamanan akan mengkonfirmasi kepada siapa tamu akan melakukan kunjungan, dan jika dianggap mendesak pihak keamanan akan menghubungi pemilik rumah apakah mengenal tamu yang akan berkunjung. Diterapkannya sistem satu pintu, melalui gerbang utama dimaksudkan untuk memudahkan sistem pengawasan kepada siapapun yang akan masuk ataupun keluar dari komunitas berpagar. Berdasarkan ketentuan yang diatur didalam peraturan tata tertib kepada setiap penghuni diharuskan untuk menyerahkan Formulir Rencana Pindah dan
Universitas Indonesia
l142
Gambar : 5.10. Buku Tamu
Formulir
Permohonan
Kartu
Tanda
Penghuni/Pengenal
kepada
pengembang. Formulir rencana pindah, adalah surat pengisian untuk memberikan konfirmasi kepada pengelola perihal kepindahan penghuni dari luar lingkungan Alam Sutera untuk masuk ke lingkungan komunitas berpagar. Melalui surat rencana pindah, maka penghuni selanjutnya akan tercatat sebagai pemukim resmi dan mendapatkan kartu tanda penghuni. Kartu Tanda Penghuni akan diberikan dalam bentuk stiker pengenal untuk kendaraan melalui permintaan tertulis kepada pengembang. Pihak pengembang juga melakukan pengawasan dan pencegahan pada jenis kendaraan yang keluar masuk lingkungan, khususnya pada kendaraan kontraktor
yang
melakukan
kegiatan
pembangunan
atau
renovasi
rumah.Pengaturan yang diberlakukan adalah pembatasan atau pelarangan terhadap jenis atau bentuk kendaraan tertentu yang diperkenankan masuk lokasi perumahan. Peraturan tata tertib melarang jenis kendaraan
angkutan yang
bermuatan lebih dari 8 (delapan) ton untuk diperbolehkan memasuki kawasan hunian. Kemudian adanya pelarangan bahwa sesudah jam 18.00 WIB tidak ada lagi kegiatan bongkar muat dan angkutan barang di kawasan Alam Sutera. Untuk
menjaga pemeliharaan jalan lingkungan pihak pengembang
memberikan kewenangan penuh kepada petugas keamanan untuk menolak atau tidak memberi ijin masuk kepada kendaraan material yang akan menuju ke lokasi pembangunan. Ijin masuk hanya bisa diberikan setelah ada rekomendasi dari Universitas Indonesia
143 pihak pengelola.Jika ada jenis kendaraan pribadi atau pick up (box) yang mencurigakan isi muatannya, maka pihak petugas keamanan diperkenankan untuk melakukan pemeriksaan terhadap isi muatannya.Pemeriksaan ini dilakukan untuk mencegah
terjadinya
tindakan
pencurian
atau
perampokan
dengan
mempergunakan kendaraan pribadi atau box. Demi menghindari terjadinya peristiwa pencurian atau perampokan pihak pengembang menyediakan petugas-petugas keamanan yang siap bertugas selama 24 jam. Pola pengamanan lingkungan dilakukan dengan sistem pengamanan terpadu di seluruh kawasan Alam Sutera. Untuk menghindari tindakan pencurian, kepada penghuni dihimbau untuk selalu memperhatikan kondisi rumah jika dalam keadaan
kosong tanpa penghuni. Rumah sebaiknya
harus dalam keadaan
terkunci bila ditinggal pergi. Selain menghimbau kepada setiap penghuni untuk selalu menjaga keamanan rumah tinggal. Ketentuan lain yang diatur didalam peraturan tata tertib adalah bagi setiap pemilik kendaraan baik dari penghuni atau tamunya yang menginap harus dalam keadaan terkunci. Dilarang meninggalkan barang berharga didalam kendaraan bila ditinggalkan pemiliknya. Selain menempatkan petugas keamanan didepan pintu gerbang masuk, setiap lingkungan perumahan juga menyediakan sistem pengamanannya dengan mempergunakan CCTV. Alat pemantau atau pengawasan lingkungan ini pada umumnya disediakan secara swadaya oleh pengurus RT / RW. Penyediaan alat CCTV pada beberapa lokasi juga disediakan oleh pengembang sebagai bagian dari sistem pengamanan lingkungan. Kepada setiap penghuni , pengembang melalui petugas keamanan selalu mengingatkan bahwa jika terjadi sesuatu kejadian gangguan keamanan yang mengakibatkan kerusakan, kehilangan, atau musnahnya benda-benda milik penghuni ataupun tamunya, di lingkungan perumahan. Maka pihak pengembang sama sekali tidak akan bertanggung jawab terhadap semua kehilangan, kerusakan, atau musnahnya benda-benda tersebut. Alasan yang selalu menjadi pertimbangan dari pihak pengembang, itu ranahnya milik pribadi. Sehingga tidak ada kewajiban pengembanguntuk melakukan ganti kerugian, kecuali jika penghuini memiliki jaminan asuransi yang dikelola secara pribadi.
Universitas Indonesia
l144 Akibat dari sistem pengamaman lingkungan yang demikian ketat, sudah memberikan kesan bahwa akan terasa sulit bagi pihak-pihak dari luar lingkungan perumahan untuk mendapatkan kemudahan melakukan interaksi dengan penghuni, jika tidak dimediasi oleh pihak keamanan. Petugas keamanan akan menjadi faktor pembatas (constrain) dalam setiap inter aksi antara penghuni dengan pihak luar penghuni atau diantara penghuni sendiri. Contoh terjadi ketika antar penghuni akan melakukan kegiatan di kluster lain.Jika warga sudah saling mengenal dengan petugas keamanan maka pihak keamanan akan memberikan toleransi karena dianggap masih sesama warga Alam Sutera. Seharusnya petugas melakukan pemeriksaan kepada siapapun tanpa kecuali ketika akan keluar masuk lingkungan perumahan. Hal ini disampaikan oleh Kepala Satuan Keamanan Alam Sutera, bapak A6 ; Kalo ada yang mau belanja justru itu yang jadi masalah . Seharusnya..kan tidak boleh tapi telanjur dia langganan disituh .Yah selama ini selagi masih ada ditoleransi , kita kasih toleransi. Istilah kita yang masuk itu tetangga sebelah bukan orang jauh pak. Sebab kita mau larang , kita kenal dengan orang itu pak ,susah pak. Kalau nggak kenal ngga bisa digituhkan. Dan tujuanya apa sih kan cuma belanja pak. Kalau mau ikut aturan silahkan “tinggal KTPâ€? nya atau cuma ditulis nama doang kalo kita kenal orangnya ,makanya kalau mau ditegakkan aturanya yang gimana yah‌.? Hal yang sama juga terjadi ketika ada warga lokal yang berprofesi sebagai pengojek nekat keluar masuk tanpa ijin dengan alasan untuk membantu mengakut material bangunan atau barang pindahan. Pengojek menguntit masuk mengikuti mobil pindahan atau material milik penghuni sejak dari luar lingkungan perumahan. Informasi yang didapat dari warga, sebenarnya mereka berniat ingin memeras penghuni baru. Hal ini terungkap dari keterangan ketua RW Sutera Kirana, yang sudah beberapa kali menegur pengojek yang menguntit barang pindahan warga ke dalam lingkungan perumahan ; Saya mohon kalau ada warga yang melakukan renovasi, kamu jangan minta harga seenaknya. Kalau dikasih sepuluh ribu, ya silahkan ambil..jangan maksa dan minta harga seenaknya. Saya suka negur mereka, kamu kan suka ngojek didepan ya, jadi tiap hari masih suka ketemu. jadi jangan maksa, saya mohon. Petugas keamanan atau satuan pengaman yang bertugas dipintu gerbang pada umumnya sungkan untuk menegur terhadap para pengojek yang menguntit
Universitas Indonesia
145 masuk kedalam lingkungan. Kejadian ini sering terjadi pada kluster perumahan lama yang sudah padat penghuninya. Petugas dan pengojek pada umumnya sudah saling mengenal, sehingga telah terbentuk pola relasi sosial yang sudah saling mempercayai. Apalagi jika mengingat diantara mereka ada yang bertetangga sebagai teman atau sahabat diperkampungan disekitar Alam Sutera. Jika hal ini ditanyakan mengapa bisa terjadi, salah satu alasan yang dikemukan oleh B2 , Ketua RW Sutera Kirana, antara lain ; Kita sudah pernah bilang sama petugas sekuritinya pak, tapi nggak ada yang berani, sebabnya petugas sekuritinya sudah setiap hari ketemu sama dia pak. Apalagi pengojeknya orang dari kampung dibelakang sini, namanya kampung Dongkal. Tindakan petugas keamanan akan berbeda jika melihat ada kendaraan tamu yang dicurigai maksud dan kedatangannya. Petugas yang curiga terhadap tamu
atau orang yang tidak
dikenal biasanya mengikuti kendaraan tamu.
Kendaraan tamu akan terus diawasi apakah akan menuju rumah yang dituju sesuai pertanyaan yang diajukan oleh petugas di pintu gerbang utama ketika akan masuk kedalam lingkunganperumahan. Tindakan pemantauan dengan cara mengikuti tamu yang mencurigakan dilakukan dengan pertimbangan keselamatan penghuni. Hal ini dijelaskan kembali oleh bapak A6 , yang bertindak sebagai Kepala Keamanan Lingkungan Alam Sutera; Kami lakukan karena takut terjadi apa-apa. Kita kan sering lihat ditivi istilahnya ijinnya mau bertamu tau-taunya sampai disana nikam orang. Jadi kalo orang itu kita curiga, sama orang itu kita ikutin sampai kita lihat udah salaman.. Udah ngobrol baru tinggal sama anggota kita. Bagi penulis sendiri yang mencoba untuk ikut masuk kedalam lingkungan kluster Alam Sutera mengalami hal yang sama. Karena dianggap sebagai tamu dan tidak mengenal siapa yang harus dikunjungi, maka pihak keamanan menanyakan, maksud tujuannya mau kesiapa? Berbeda dengan pengalaman penulis ketika berkunjung ke lingkungan perumahan ditempat lain, dengan tipe kluster di sekitar Jabodetabek. Petugas keamanan cukup memberikan kartu tamu atau kartu kunjungan tanpa bertanya akan berkunjung ke rumah siapa. Untuk kemudahan berkunjung selama waktu penelitian, penulis mencoba untuk membuat “perjanjian� dengan beberapa nara sumber. Adanya perjanjian Universitas Indonesia
l146 dengan beberapa nara sumber maka petugas keamanan tidak banyak bertanya lagi. Sesekali mereka suka bertanya, apakah sudah tahu tidak letak lokasi rumahnya. Jika kita tidak tahu, maka mereka bersedia menjadi penunjuk jalan ke lokasi yang dituju. Hal lain yang terkait dengan sistem keamanan adalah pembatasan waktu berkunjung, walaupun ini bisa menjadi bahan perdebatan antara penghuni dan petugas keamanan. tetapi berdasarkan informasi yang didapat dari Kepala keamanan Alam Sutera, petugas keamanan juga melakukan peneguran jika ada tamu sudah melebih batas waktu untuk bertamau. Kecuali jika penghuni memberitahukan bahwa ada tamu yang menginap dirumah yang bersangkutan. Sistem keamanan yang cukup ketat ini, dengan cara membatasi pola hubungan interaksi dengan lingkungan sekitar
bagi beberapa warga sangat
membantu menciptakan rasa aman dan nyaman buat mereka bertempat tinggal. Minimnya data kasus pencurian atau kejahatan lainnya yang terjadi di Alam Sutera, membuat nama Alam Sutera cukup diminati sebagai pilihan tempat tinggal. Sebagian warga mengungkapkan pendapat mereka terhadap sistem aturan keamanan yang dibuat pihak estate; Saya merasa sangat terbantu dengan sistem keamanan seperti ini, minimal kami tidak terlalu cemas meninggalkan rumah dan anak-anak. Keamanan membuat kami lebih tenang bekerja, apalagi sebagian dari penghuni disini bekerja di Jakarta. Pertimbangan atas rasa aman dan nyaman terlihat menjadi pilihan utama bagi setiap penghuni untuk menetapkan pilihan tinggal di Alam Sutera. Dari beberapa kali wawancara yang dilakukan terhadap nara sumber di beberapa kluster, mereka merasa aman, karena perumahan ini tertutup dengan lingkungan sekitarnya. Bebas dari keluar masuk kendaraan dan ada aturan kecepatan lalu lintas, sehingga membuat anak-anak nyaman untuk beraktifitas di ruang terbuka. Gejala esklusi sosial yang menarik akibat sistem keamanan lingkungan yang dibuat oleh PT Alam Sutera adalah bagi warga yang berada didalam lingkungan perumahan mendapatkan sistem keamanan dan perlindungan yang membuat kehidupan penghuni semakin aman dan nyaman. Sementara bagi warga yang tinggal disekitar perumahan, aktifitasnya terasa semakin dibatasi akibat adanya tembok pembatas dan munculnya gejala fragmentasi yang membuat
Universitas Indonesia
147 mereka merasa tertekan akibat adanya dominasi kekuasaan ruang yang mengatur kehidupan mereka.
5.2.2
Pedagang Keliling Dilarang Masuk Tidak seperti dilingkungan perumahan lain73 yang juga menggunakan
sistem cluster. Untuk menjaga keamanan dan ketertiban didalam lingkungan perumahan, pihak Alam Sutera tidak mengijinkan adanya pedagang keliling (usaha informal) dari luar untuk masuk ke lingkungan perumahan. Pedagang kecil , seperti tukang sayur, pedagang baso atau pedagang roti dicegah untuk tidak memasuki area perumahan. Pengecualian hanya diberikan kepada tukang roti, tetapi dengan catatan pedagang roti yang diizinkan untuk masuk adalah pedagang roti yang terregister. Pertimbangan pihak Alam Sutera, dengan cara melakukan register adalah untuk menjaga kualitas layanan yang prima. Pedagang roti harus dari usaha dagang yang sudah mempunyai nama dan kualitas produk yang terjamin. Pelarangan adanya usaha kecil masuk lingkungan Alam Sutera dimaksudkan
untuk melindungi penghuni dari gangguan kenyamanan dan
keamanan. Alam Sutera menjalankan prinsip keamanan yang tinggi untuk tidak secara mudah memberikan izin bagi siapapun untuk memasuki area mereka. Tidak seperti dilingkungan perumahan lain
yang lebih bersifat terbuka dimana
pedagang bebas untuk keluar masuk, maka Alam Sutera membuat zona tertutup bagi pedagang. Jika para pedagang dizinkan untuk masuk dikhawatirkan akan menimbulkan gangguan terhadap keamanan lingkungan. Pedagang keliling yang tidak jelas identitasnya dan tidak mempunyai jadwal kegiatan usaha waktu yang pasti, dianggap akan merusak tata lingkungan, khususnya terhadap masalah kebersihan. Kebiasaan membuang sisa dagangan atau kemasan makanan tidak pada tempatnya dikhawatirkan akan membuat lingkungan semakin kotor. Pelarangan pedagang yang keluar masuk lingkungan Alam Sutera, pada awalnya diprotes oleh para penghuni yang merasa hak-hak mereka untuk 73
Perbandingan ini penulis lakukan dengan melihat sistem cluster diperumahan Kota Wisata Cibubur- Kabupaten Bogor yang juga menggunakan sistem cluster dengan keamanan satu pintu, tetap mengijinkan pedagang keliling (tukang sayur & kebutuhan rumah tangga) yang menggunakan motor dan mobil pickup terbuka, berkeliling secara bebas untuk memasuki lingkungan perumahan.
Universitas Indonesia
l148 mendapatkan kemudahan belanja dihambat oleh kepentingan pengembang. Protes disampaikan langsung kepada pengelola, sebagaimana diceritakan A1, sebagai Direktur Marketing PT. Alam Sutera ; Pada waktu dibuat konsep kluster, banyak sekali yang kesel. Tukang sayur, tukang baso pada nggak boleh masuk. Akhirnya saya juga kasian sama mereka. Semua tukang sayur saya pool di satu titik. Tukang sayur disitu‌lama lama penghuni ada juga yang protes (kurang ajar..dalam hati) gue harus jalan ke situ Lik‌? Terus aku bilang gini‌(sambil aku pegang tangannya tangan warga yg protes). Bu ..umur ibu berapa sekarang kulit bagus ..toh, ibu mau punya otot..jalan toh dikit, biar tidak jadi gemuk,..nanti kalau suami nggak perhatian lagi..lalu selingkuh..malah nyalah-nyalahkan suami. Jadi aku paksa‌mereka jalan, sehingga terciptalah keluarga-keluarga yang seperti ini. Keputusan manajemen untuk melarang pedagang masuk keperumahan didukung oleh Kepala Keamanan Alam Sutera bapak A6. Banyaknya pedagang akan menyulitkan pihak keamanan untuk memantau setiap orang, mengingat jumlah tenaga keamanan sangat terbatas. Disini kalau sudah terlalu banyak yang jualan, seperti di Kirana itu, sudah sulit kita melarangnya. Ini kan menghambat, maksudnya sudah menambah beban security pak. Kalau banyak yang jualan banyak sekali orang keluar masuk setiap saat, orangnya itu-itu lagi.
Kebijakan menutup lingkungan dari perumahan dari kegiatan ekonomi informal, merupakan bagian otoritas korporasi atas penguasaan ruang private Alam Sutera. Ruang dikelola dengan standar keamanan yang ketat untuk menghindari adanya kejadian pencurian atau gangguan keamanan yang akan menurunkan citra perusahaan. Setiap potensi gangguan keamanan dan kenyamanan diusahakan untuk dicegah sedini mungkin. Bagi sebagian warga lainnya, sikap mereka pada umumnya setuju dengan adanya pembatasan atau pelarangan bagi pedagang dari luar yang ingin masuk. Sikap ini diungkapkan dari beberapa warga yang sempat dimintai pendapatnya perihal pembatasan larangan masuk bagi pedagang dari luar ;
Sebenarnya, kami juga merasa kurang tenang jika ada orang yang suka keluar masuk dengan tujuan tidak jelas. Apalagi kalau kami melihat orang dari luar yang suka belanja kedalam lingkungan, jangan-jangan dia mau ngincar-ngincar rumah kita..ya curiga aja. Universitas Indonesia
149
Dari pihak pengembang sebenarnya tidak menutup sepenuhnya akses bagi pedagang dari luar untuk masuk kedalam kawasan. Bagi mereka yang terregistrasi seperti tukang roti, serta memiliki track record yang cukup baik tidak ada masalah. Ijin diberikan hanya pada kalangan tertentu yang dianggap sudah professional dalam menjalankan usahanya. Minimal tukang roti atau pedagang lain yang sudah memiliki nama dan sudah terdaftar didalam manejemen Alam Sutera.
5.2.3
Setiap Pengunjung Harus Diawasi. Sistem prosedur keamanan Alam Sutera mengatur sistem keluar masuk
orang kedalam kluster perumahan dengan syarat harus meninggalkan identitas. Syarat ini diberlakukan saat memasuki lingkungan komunitas berpagar (kluster). Setiap pengunjung yang akan masuk harus mempunyai ID untuk bisa masuk. Untuk penghuni tetap sudah memiliki auto card tersendiri. Model auto card atau kartu warna warni dibuat dan didesain sesuai dengan ketentuan yang berlaku disetiap kluster. Beberapa kluster saat ini sudah menggunakan CCTV di pintu gerbang yang biaya pemasangannya dibebankan kepada anggaran masing-masing RW. Pemasangan CCTV dianggap sangat membantu untuk memantau setiap kondisi blok lingkungan bangunan.Jika ada tamu atau kerabat
yang akan
berkunjung tetapi tidak memiliki identitas yang jelas, maka tamu yang bersangkutan harus menunggu sampai adanya klarifikasi dari pihak pemilik rumah. Pihak keamanan akan membantu tamu untuk mendapatkan kepastian apakah pemilik rumah ada ditempat atau tidak. Menurut petugas keamanan tamu biasanya tetap ditahan dulu sambil dihubungin keluarga yang mau dituju bener nggak ini saudaranya . Prosedur ini disampaikan bapak A6, Kepala Satuan Keamanan Alam Sutera ;
Yah biasanya ada teleponnya . Kalau enggak ada telpon anggota kita jalan ketempat kerumah yang dimaksud untuk menyampaikan tamunya ada disini. Apakah bener ini katanya keluarganya. Jika itu keluarganya, maka yang bersangkutan datang ke pos pengamanan. Jadi betul betul diawasi dan dibatasi
Universitas Indonesia
l150
Setiap tamu atau pihak dari luar yang hendak masuk ke lingkungan perumahan sesuai dengan prosedur harus ditanyakan maksud dan tujuan. Untuk mendapatkan kepastian apakah tamu sudah melakukan perjanjian dengan tuan rumah, pihak keamanan akan bertanya sudah memiliki janji atau tidak. Jika tamu dianggap mencurigakan, maka akan dilakukan pengawalan. Tindakan pengawalan adalah upaya preventif untuk mencegah setiap potensi kejahatan. Pengawalan adalah bagian dari standar prosedur operasional yang harus dijalankan. Mekanisme seperti ini disampaikan kembali oleh narasumber yang bersangkutan ; Iya ini kita lakukan karena takut terjadi apa-apa kan. Kita sering lihat ditivi istilahnya ijinnya mau bertamu, tau-taunya sampai disana nikam orang. Jadi kalo orang itu kita curiga sama orang itu kita ikutin sampai kita lihat udah salaman.. udah ngobrol baru ditinggal sama anggota kita.
Gambar :5.11 Peralatan CCTV dan Petugas Keamanan Tingginya tingkat kecurigaan terhadap tamu atau orang asing yang masuk kelingkungan perumahan dirasakan cukup tinggi oleh penulis. Pada saat melakukan wawancara dengan pengurus RW di salah satu kluster dalam kegiatan Community Award, mereka telah membangun sistem keamanan sendiri74. Sekretaris RW yang kebetulan seorang ahli programmer computer, telah merancang sistem untuk mengidentifikasikan siapa saja warga yang tinggal 74
Sistem didesain oleh sekretaris RW, setelah ada peristiwa kehilangan sepeda anak yang diletakkan di halaman rumah. Peristiwa ini menjadi faktor penyebab warga harus membentuk RW dan RT, guna mengkonsolidasikan sistem tata lingkungan mereka.
Universitas Indonesia
151 dilingkungan mereka. Warga diharuskan menyerah foto identitas diri dan akan diberi nomor PIN sendiri. Sementara untuk kendaraan pribadi seperti mobil akan di foto dan dicatat plat nomornya untuk dimasukkan dalam data base RW. Untuk pembantu rumah tangga yang sering keluar masuk akan diberi kartu identitas merah untuk keluar dan hijau untuk tanda masuk. Jika ditanya apa alasan mengapa sampai harus membuat sistem yang demikian detail. Sekretaris RW memberikan alasan sebagai berikut : Saya kan orang yang cukup sibuk, dan meninggalkan anak-anak dan rumah sepanjang hari. Bagaimana saya bisa merasakan tenang bekerja, kalau situasi dan kondisi rumah tidak aman. Sistem yang saya desain minimal bisa membuat saya merasa nyaman untuk bekerja.
Sementara bagi warga disekitar perumahan Alam Sutera, sistem keamanan perumahan yang dilakukan pengembang dengan cara membangun pagar pembatas setinggi lebih dari 2 meter membuat sebagian aktifitas mereka merasa dibatasi. Pembangunan tembok pembatas antara lingkungan warga dan perumahan setinggi 2 meter, menghadirkan istilah baru bagi warga dengan menyebut tembok pembatas Alam Sutera dengan istilah “Tembok Berlin”
75
. Ketika ditanyakan
kepada salah seorang tokoh masyarakat yang tinggal disekitar perumahan darimana asal usul nama “Tembok Berlin’, dia coba menjelaskannya ; Istilah “Tembok Berlin”..mah, sumbernye dari masyarakat. Biasanye itu..tuh, tukang ojek yang suke nyebut-nyebut Tembok Berlin. Katanye, kalau Tembok Berlin maksudnya, kagak bisa lewat dan kagak bisa ngeliat kemane-mane. Selain munculnya istilah “Tembok Berlin” yang mengadopsi kisah pemisahan antara Kota Berlin Barat dan Timur di negara Jerman. Bentuk segregasi ruang yang mendorong arah pembangunan perumahan semakin eksklusif adalah semakin minimnya hubungan interaksi antara penghuni Alam Sutera dengan warga sekitarnya. Sistem keamanan yang ketat membuat warga enggan berhubungan dengan warga yang memiliki status sosial yang lebih tinggi dari mereka. Bagi sebagian warga jika tidak ada urusan penting yang terkait 75
Istilah tembok berlin secara tidak sengaja muncul dari pembicaraan antara penulis dengan seorang tukang ojek ketika penulis bertanya tentang arah jalan menuju satu kluster perumahan. Istilah ini diperdalam ketika bertemu dengan beberapa nara sumber lain dan ternayata sudah berkembang menjadi suatu wacana tentang pemisahan ruang antara lingkungan Alam Sutera dengan perumahan penduduk.
Universitas Indonesia
l152 dengan penghuni yang tinggal di Alam Sutera, mereka berusaha untuk hindari. Situasi ini tampak ketika penulis bertanya kepada bapak C1 , tokoh masyarakat di Kampung Dongkal, yang letaknya berdampingan dengan kawasan Alam Sutera.
Ngapain kita dateng kesono, kenal aja kagak ama mereka. Rasanya kagak mungkin orang-orang kecil kayak kite ini punya urusan ame mereka, ribet. Masuknya ketat, ditanya macem-macem lagi ama satpamnya. Ketatnya pengawasan terhadap siapapun yang keluar masuk kluster tidak hanya kepada warga biasa, kepada pihak kepolisian yang melakukan tugaspun tetap dilakukan pengawasan. Suatu peristiwa sempat hampir terjadi bentrok antara keamanan lingkungan dengan petugas kepolisian yang tidak mentaati aturan peraturan tata tertib. Peristiwa ini diceritakan kembali oleh bapak A6;
Kita sendiri saja pernah dengan polisi ribut dengan sembilan orang polisi. Gara-gara dia mau masuk ngerasa sebagai petugas juga. Anggota kita dengan peraturan yang ada meminta petugas polisi untuk menunjukan identitasnya. Saya tahu kalau dia polisi tapikan kita tahudia polisi setelah identitasnya ditunjukin. Kita baru yakin, jangan sampe polisinya gadungan harusnya kan begitu. Mereka merasa tersinggung dan marah, kenapa sebegitu ketatnya setiap orang yang akan masuk harus diperiksa seperti itu.Kitakan engga mau kecolongan. Mekanisme peraturan keamanan yang demikian ketat di Alam Sutera, sering ditambah dengan aturan-aturan tambahan yang dikeluarkan oleh setiap RT dan RW. Petugas keamanan yang tidak menjalankan tugasnya sesuai dengan prosedur yang telah ditetapkan dapat ditegur oleh pengurus RW dan dilaporkan kepada pengembang untuk dipindahkan atau ditukar. Kesan keamanan yang ketat dan bersifat eksklusif ini bagi setiap pengunjung membawa kesan merasa diawasi, karena harus mengikuti prosedur yang telah ditetapkan. Tetapi bagi pihak keamanan kesan eksklusif ini dibantah, dengan alasan bahwa peraturan ini dijalankan secara sebenarnya. Kesan itu mungkin muncul karena setiap orang yang akan berkunjung merasa ditekan harus membuka identitasnya dan menjelaskan maksud serta tujuan datang ke lingkungan perumahan di Alam Sutera.
Universitas Indonesia
153 5.3 Membangun Budaya Komunitas Berpagar: Dinamika Struktur dan Kultur 5.3.1 Upaya Menanamkan Nilai-nilai Kehidupan Bersama Pembangunan fisik dalam keberagaman bentuk dan jenis
didalamnya
tidak dimaknai sekedar bangunan fisik tanpa makna pembangunan manusia didalamnya. Sejatinya pembangunan fisik menghasilkan pembangunan sosial yang lebih baik. Pembangunan sosial pada maknanya adalah membangun manusia sebagai esensi utama yang akan menerima manfaatkan pembangunan. Jika makna pembangunan tidak memperhatikan pertimbangan unsur manusia , maka harapan terbangunnya suatu tatanan kehidupan sosial yang mengedepankan sisi keadilan, keharmonisan dan kebersamaan tidak akan terbentuk dalam proses selanjutnya. Atas dasar pertimbangan tersebut, didalam pengamatan yang dilakukan oleh penulis dicoba untuk didalami apakah makna dibalik kebijakan pembangunan fisik yang telah dilakukan oleh PT. Alam Sutera. Kerangka
dasar kebijakan
pembangunan fisik yang dilakukan Alam Sutera dicoba untuk dijelaskan
oleh
nara sumber A2 sebagai Direktur Pembangunan ; Bagi saya pengembangan fisik itu adalah pengembangan dari konsep sosial ekonomi dan lingkungan. Fisikkan yang terlihat, padahal dibalik itu kita punya banyak pertimbangan – pertimbangan sosial. Ya pertimbangan ekonomi dan finansial itu sudah pasti. Tapi itu kan result dari suatu perusahaan, tapi efek sosialnya kan kita harus pertimbangkan. Kerangka dasar pembangunan sosial dicanangkan dan dikembangkan sebagai aturan-aturan dan ketentuan fisik bangunan dan tata kelola lingkungan bertujuan demi terbangunnya nilai-nilai kemanusiaan. Harapan yang akan diraih dari kebijakan pembangunan fisik yang terkait dengan sarana dan prasarana lingkungan di Alam Sutera dijelaskan kembali oleh nara sumber A2 ; Tujuan utamanya untuk menyelamatkan lingkungan, sebenarnya !Mohon maaf bukannya kita tidak percaya kepada pemerintah daerah, tapi itu lebih menunjukkan tanggung jawab kita untuk memberikan layanan yang terbaik kita kepada para penghuni. Selanjutnya yang bersangkutan menambahkan; Filosofi Alam Suteranya pasti A1 sudah memberi tahu., Nah, orang kadang ,melihat Alam Sutera dibangun dari sisi fisik dan lingkungan,
Universitas Indonesia
l154 padahal didalamnya jika kita gali lagi lebih lanjut, itu ada “sisi sosial� yang kita bangun. Sesuai dengan karakter hidup bangsa Indonesia.
Esensi yang diharapkan dari penerapan kebijakan peraturan tata tertib ini adalah terbangunnya kehidupan komunitas yang berbasis kepada nilai-nilai kehidupan bersama. Menurut nara sumber, basis toleransi kehidupan antar penghuni akan menjadi indicator yang harus dibangun dari setiap aturan yang dikeluarkan oleh aturan yang ada didalam peraturan tata tertib. Untuk mendukung pernyataan diatas terdapat beberapa uraian dari praktek peraturan tata tertib yang terkait dengan pengaturan fisik pembangunan dan dimaknai oleh pihak pengembang mengandung aspek-aspek nilai-nilai kehidupan bersama.
5.3.2 Mewujudkan Budaya Tertib Pemanfaatan Bangunan. Mengacu kepada ketentuan peraturan perundang-undangan pemanfaatan rumah, satuan rumah susun, unit apartemen harus dipergunakan hanya sebagai tempat tinggal (hunian). Ketentuan ini diatur sesuai dengan Undang-Undang No. 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Pemukiman yang saat ini sudah direvisi dengan Undang-undang No.1 tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman. Atas landasan ketentuan UU tersebut, maka didalam
ketentuan
Peraturan tata tertib yang dikeluarkan oleh pengembang kepada penghuni adalah melarang menggunakan hunian atau tempat tinggal sebagai tempat usaha. Tujuan yang ingin diwujudkan dengan mencantumkan larangan ini, selain sebagai amanat UU juga terkait dengan visi dan misi perusahaan yang ingin membangun kehidupan komunitas yang nyaman dan aman serta harmonis secara sosial. Janji didalam visi dan misi perusahaan kepada para konsumen atau penghuni sepertinya telah menjadi nilai-nilai pengembang untuk terus menjaga dan
mempertahankan agar fungsi rumah dan kawasan tidak mengalami
perubahan atau mengalami alih fungsi terhadap pemanfaatan bangunannya. Tujuan lain yang ingin diharapkan dari ketentuan ini adalah untuk menghindari terjadinya konflik sosial diantara penghuni, seperti masalah gangguan keamanan dan kenyamanan. Ganggungan keamanan dikhawatirkan muncul akibat dampak kegiatan usaha yang berindikasi negative seperti perbuatan
Universitas Indonesia
155 mesum, penyimpanan barang terlarang seperti narkoba dan benda-benda yang dilarang undang-undang. Sementara kegiatan yang
berbahaya terhadap
keselamatan bersama, antara lain untuk kegiatan yang mempergunakan bahanbahan yang mudah terbakar atau meledak. Masalah kenyamanan akibat ganggunan suara atau kebisingan akibat kegiatan usaha, akan menjadi akar konflik antar penghuni. Untuk mengendalikan terjadinya bentuk pelanggaran terhadap perubahan fungsi bangunan, peraturan tata tertib sejak awal tidak mengijinkan atau melarang rumah untuk menjadi tempat usaha. Bentuk-bentuk usaha yang dilarang untuk dibuka atau dikembangkan dilingkungan cluster perumahan antara lain usaha untuk membuat warung , kios atau toko atau sejenisnya, rumah makan, catering, agen koran dan majalah, bar, kantor, tempat parktek dokter, sinshe, tabib, panti pijat, atau segala jenis usaha dalam bentuk apapun. Semua bentuk usaha komersial dalam skala besar atau kecil dilarang untuk dikembangkan sebagai bentuk usaha ekonomi. Alam Sutera melarang semua bentuk perubahan alih fungsi bangunan. Semua hunian harus berfungsi sebagaimana mestinya sesuai dengan persetujuan bersama antara pengembang dengan penghuni hunian dan tidak diperkenankan untuk dipergunakan sebagai tempat judi, mabuk-mabukan, perbuatan asusila, atau segala macam perbuatan yang melanggar hukum atau peraturan pemerintah atau kesusilaan pada umumnya. Sikap pengembang terhadap kegiatan-kegiatan yang berbau asusila atau kegiatan menyimpang lainnya terkesan sangat kuat. Hal ini sesuai
dengan
ketentuan aturan yang dibuat dalam perjanjian jual beli. Didalam salah satu ketentuan dinyatakan bahwa jika ditemukan adanya kegiatan yang melanggar hukum , pihak pengembang dapat mengembalikan kefungsi awal lagi sebagai hunian. Penjelasan ini disampaikan oleh A1; Kalau akan membangun bisnis, kami memberikan pilihan dan tawaran. Dalam kontrak SPPJB (Surat Perjanjian Pengikatan Jual Beli)..Dilarang membuat untuk membuat tempat maksiat..jika ditemukan developer diberi kewenangan untuk membeli kembali dengan harga lama. Pokoknya jika ada ditemukan pijet-pijet, kalau macem-macem tak beli. Kalau tidak sesuai dengan value aku bisa tarik lagi. (wawancara dengan A1 tanggal 16 Januari 2013)
Universitas Indonesia
l156 Selain larangan untuk kegiatan asusila atau kegiatan yang melanggar hukum lainnya, kepada semua hunian juga tidak diperkenankan untuk digunakan sebagai tempat penyimpanan barang (gudang), gudang bahan-bahan yang mudah terbakar dan meledak, seperti petasan, bensin, minyak tanah, oli/pelumas, gas dan lain-lain. Adanya larangan penggunaan rumah
untuk kegiatan usaha atau
menyimpan bahan – bahan yang mudah terbakar dimaksudkan untuk mencegah terjadinya bahaya kebakaran atau bencana lingkungan lainnya. Hal ini yang menjadi alasan mengapa pengembangmanajamen sangat membatasi atau melarang setiap adanya permohonan warga yang ingin membuka usaha. Kondisi ini terungkap dari pernyataan seorang nara sumber seorang warga dan juga menjabat sebagai sebagai manajer pengembang;
Kemarin juga ada yang mau usaha bakery, tapi sudah saya bilang tempat usahanya sudah disediakan ditempat atau kantong-kantong usaha, seperti di kios Indomaret. Ya tapi itu tadi pak‌dilarang ngenyel..ngajak berantem. Saya cuma bilang, oke mau buka bakery, panggang-panggangan silahkan. Saya bertindak sebagai warga dan sebagai estate. Kalau sebagai pengembangsaya akan menghimbau, untuk pindah ketempat usaha yang telah disediakan, kalau tidak maka harus buat surat pernyataan kalau terjadi apa-apa siap bertanggungjawab penuh terhadap tetangga kiri-kanan belakang..(wawancara dengan manajer pengembangmanajmen ,bapak A4, tanggal 6 Februari 2013). Didalam prakteknya, ternyata perubahan alih fungsi bangunan untuk menjadi tempat usaha masih banyak terjadi dibeberapa kluster lama. Beberapa warga memberikan alasan atau pertimbangan mengapa mereka sampai membuka tempat usaha dilingkungan perumahan. Hal ini diungkapkan oleh salah seorang nara sumber lain, B1yang juga seorang aktivis Alam Sutera Resident Community;
Kalau mengenai peraturan tata tertib sejak awalkan mereka sudah buat, Dimulai sejak penjualan tahun 1994, 1997, bahkan tahun 2000 juga sudah ada. Cuma dalam perjalanannya ada juga yang keluar dari peraturan tata tertib, misalnya ada yang dagang, buka toko. Dalam perjalanan mungkin ada aja warga yang kehilangan pekerjaan, misalnya pada tahun 1998 pada saat terjadinya krisis waktu itu. Dan kondisi disini belum berkembang seperti saat ini, maka boleh tuh dagang. Buka-buka toko, itu nggak bisa dilarang. Jadi ada aja dari peraturan tata tertib yang keluar dari garisnya. (wawancara dengan bapak RM, tanggal Februari 2013).
Universitas Indonesia
157 Dikalangan pengurus RT dan RW masalah perubahan fungsi bangunan menjadi tempat usaha, menjadi bahan perdebatan tersendiri. Hampir sebagian pengurus RT dan RW sepakat untuk tetap mempertahankan fungsi rumah sebagai tempat tinggal dan bukan menjadi tempat usaha. Mereka sepakat untuk tetap konsisten dengan aturan peraturan tata tertib, dikecualikan hanya pada kondisi krisis ekonomi pada tahun 1998. Pengurus RT dan RW sepakat untuk membantu menjalankan aturan mengenai permalasahan kegiatan usaha di tempat tinggal. Hal ini dikemukakan seorang nara sumber yang menjabat RW di satu kluster perumahan di lingkungan Alam Sutera. Jadi tugas RW ini..kan hanya membantu untuk kelurahan, seperti ngurus ktp. Sementara RT membantu kepada warganya, kalau pengembangkemana aja. Keinginan kita kan kayak pedagang yang didalam sini atau yang mengadakan tempat les privat didalam lingkungan ini, pengembangyang seharusnya bertindak, bukannya kita. Kita pernah ngelarang. Warga itu kan ngontrak, dia mau jualan disini, ya saya ngamukngamuk, ya saya tolak. Kecuali kamu punya rumah disini, ya nggak apa apa. Tapi kalau ada orang ngontrak disini, jualan disini, kan bikin ribet aja‌(wawancara dengan Pengurus RW, bapak B2, tanggal Maret 2013). Untuk menjaga estetika dan keharmonisan tata letak bangunan ,penghuni tidak diperbolehkan merubah (dengan menambah atau mengurangi) desain luar (tampak depan, samping, belakang dan atas/atap) serta merubah warna bangunan tanpa persetujuan dari Pengelola. Pengelola melarang penghuni utuk merubah warna bangunan, guna menghindari kesan semrawut dan merusak nilai lingkungan. Pernyataan ini dikemukakan salah seorang nara sumber A3 yang sudah cukup lama menjadi manajer di pengembang. Jadi gini pak, pertama tentunya nilai lingkungannya, lingkungan yang seperti itu kan sepertinya akan menjadikan strata sosial kita jadi lebih naik. Kenapa saya ngomong gitu, karena penghuni sini banyak yang pindahan dari Jakarta Barat yang lingkungannya itu tidak tertata atau ‘ruwet’, bahkan di daerah-daerah kota itu yang benar-benar lingkungan yang tidak layak untuk ditinggali ketika sampai disini semua diatur tapi mereka yang menjadi “ Oh, ternyata hidup seperti ini, itu OKâ€? sehingga secara sosial itu merubah kebiasaan mereka.. Untuk menjaga keterbukaan ruang dan tidak terlihat adanya sekat bangunan, pengembangmanajamen juga mengharuskan kepada penghuni untuk wajib memelihara area halaman di dalam kavlingnya dan ruang di atas area
Universitas Indonesia
l158 tersebut tidak boleh ditutup/dibangun. Apabila penghuni ingin mendirikan pergola atau penutup atap di area drive away (tempat parkir mobil) di depan bangunan hunian tersebut harus dikonsultasikan terlebih dahulu dengan pihak pengelola. Ketentuan di atas dikecualikan apabila dengan adanya persetujuan dari pengelola dan/atau pihak-pihak lain yang berkepentingan/berwenang. Persetujuan yang dimaksudkan didalam ketentuan ini antara lain, adalah jika tetangganya merasa tidak berkeberatan. Setiap perubahan bangunan, mesti dilakukan kesepakatan terlebih dahulu diantara penghuni untuk mencegah terjadinya konflik. 5.3.3 Mewujudkan Budaya Kebersihan dan Keindahan Lingkungan Sebagaimana visi dan misi dari PT. Alam Sutera Realty Tbk, untuk membangun standar lingkungan dengan kualitas tinggi. Maka salah satu ketentuan yang harus ditaati dan dipatuhi oleh penghuni adalah kewajiban untuk menjaga kebersihan lingkungan perumahan. Pengembang sebagai aktor pelaksana atas penguasaan ruang komunitas dilingkungan perumahan mewajibkan kepada para pembeli atau penghuni untuk senantiasa menjaga dan memelihara kerapihan serta keindahan hunian. Melalui ketentuan ini pihak Alam Sutera ingin menanamkan kultur atau budaya kebersihan dan cinta lingkungan sebagai syarat terbangunnya kehidupan yang harmoni untuk menjaga keseimbangan alam. Ketentuan ini tidak hanya diberlakukan kepada unit-unit rumah yang sudah dihuni, tetapi berlaku juga bagi unit bangunan atau lahan
yang tidak
ditempati oleh penghuninya. Lahan rumah yang kosong atau unit rumah yang tidak ditempati tetap harus dipelihara atau dijaga kebersihannya oleh pemiliknya. Walaupun dalam perawatan yang terkait dengan pemeliharaan halaman akan ditangani oleh petugas kebersihan dari pengembang, tetapi tanggungjawab pembiayaan tetap harus ditanggung pemilik dengan beban biaya sendiri. Pembayaran beban ini dilakukan melalui Iuran Pemeliharaan Lingkungan (IPL) Salah satu bentuk kewajiban yang harus ditaati oleh penghuni adalah tata cara pembuangan sampah rumah tangga atau sampah pepohonan (dedaunan). Sampah harus dibuang pada tempat sampah pada lokasi yang telah ditentukan oleh pengelola. Penghuni dilarang keras untuk membuat tempat sampah sendiri atau membuang sampah secara sembarangan. Petugas pengembang yang diwakili oleh satuan pengamanan akan menegur atau petugas sampah yang tidak
Universitas Indonesia
159 menjalankan tugasnya akan diberi sanksi oleh pengembang. Kebijakan ini diberlakukan dengan harapan akan muncul kesadaran baru atau kultur baru bagi warga di lingkungan Alam Sutera. Hal ini seperti ini dijelaskan oleh nara sumber A1; Secara kultur, mereka tidak sadar, bahwa kita yang menggerakkan. Contoh, kalau lihat lingkungan rumah, adakah tempat sampah ? Saya nggak bikin tempat sampah di lingkungan perumahan. Alasannya adalah, saya memerintahkan orang-orang saya mengambil sampah di jam-jam tertentu. Jika sampai sampah ada yang masih tertinggal di depan, kan gampang tinggal pecat aja‌.kasih SP 1, SP 2. Maksudnya sudah jelas, saya sampaikan ke warga. Sampah dikeluarkan nanti pada jam sekian akan diambil, kalau tidak diambil harus ada sanksinya. Sementara bentuk pengelolaan atau tata letak sampah serta sistem pengawasan yang dilakukan oleh Pengembangmanajamen, dijelaskan kembali oleh nara sumber tersebut, diantaranya ; Tempat sampahnya saya jadikan satu pool dengan tiang yang ada nomornya. Dibalik tiang itu saya taruh perkerasan, sampah harus masuk kantong plastic. Pada jam –jam tertentu dilakukan sidak, control itu harus ada. Kalau jam segitu ada sampah kan gampang diliat. Sekarangkan gampang..tinggal naik mobil..deng..deng..deng..lho koq ada sampah. Nah opsinya ada dua yang naruh sampah telat, atau jam ambil sampahnya telat. Kalau ada yg telat, kita panggil pengurus RT dan RW, kenapa nih masih ada yang telat. Pertama, kedua masih ditolerir, tapi lama-lama harus kena sanksi. Kayak gitu-gitu silahkan..cek apakah masih ada sampah sekarang. Setiap peraturan tata tertib harus ada law enforcement. Tetapi gaya ngomongnya kepada warga harus tetap dengan senyum dan menghormati mereka. Respon masyarakat terhadap aturan masalah kebersihan dan estetika lingkungan ini mendapatkan
dukungan
yang positif dari beberapa warga.
Walaupun didalam prakteknya masalah kebersihan sudah ada petugas kebersihan yang disiapkan oleh pengembang, tetapi jika ada sampah yang tidak terangkut mereka suka melakukan protes. Penghuni protes jika sampah telat diangkut oleh petugas atau jika ada sampah dari sisa pembangunan rumah yang tidak dikelola dengan baik oleh pihak kontraktornya. Aktor-aktor yang paling aktif melakukan protes jika terjadi keterlambatan atau kelalaian dalam pengelolaan kebersihan adalah para pengurus RT dan RW. Mereka adalah institusi sosial yang mendapatkan
mandat
untuk
melakukan
gugatan
kepada
pihak
Universitas Indonesia
l160 pengembangmanajamen jika terjadi kesalahan dalam pengelolaan sampah dilingkungan perumahan. Jadwal pengambilan sampah yang sudah diatur estate, memberikan pembelajaran atau arahan bertindak bagi para pembantu rumah tangga atau warga lainnya kapan waktunya mereka harus membuang sampah. Adanya pemisahan sampah kering atau dedaunan dan sampah rumah tangga, membuat warga dapat memilah-milah dimana harus membuang sampah dedaunan atau pohon dan dimana harus membuang sampah rumah tangga. Hal ini disampaikan oleh beberapa warga yang menjadi nara sumber; Kita tahu pak dimana harus membuang sampah, tetapi kesulitannya adalah beberapa sampah dedaunan atau pepohonan itu dibuang di kavling kosong. Jika nanti pemiliknya ingin memakai, itu pengembangharus menyiapkan tempat sampah baru dong.. Selain pengaturan masalah sampah, hal lain yang diatur di peraturan tata tertib, terkait dengan estetika lingkungan adalah ketentuan yang melarang para penghuni untuk memasang papan reklame (billboard/spanduk) untuk kepentingan profesi atau bentuk-bentuk promosi kegiatan lainnya di kawasan hunian dan areal bisnis Alam Sutera. Menurut pengembang terlalu banyaknya pemasangan sepanduk tanpa aturan yang jelas akan merusak estetika lingkungan. Pengembang sangat ketat terhadap setiap pemasangan sepanduk yang ditempatkan tidak pada tempatnya. Spanduk-spanduk seperti itu akan dicopot dan dibersihkan. Hal ini diungkapkan oleh nara sumber A4, yang bertindak sebagai manajer pengembang Alam Sutera,;.. Seperti contoh, tadi pak... Dia pasang sepanduknya mulai nonjol kedepan, misalnya untuk kebaktian natal..begini-begini, Nah saya kadang-kadang merasa kecolongan juga pak..! Lalu ada owner (pemilik perusahaan) lewat..�apa-apaan tuh ada spanduk seperti itu�.
Peristiwa yang sama juga dialami oleh para pengurus RW atau organisasi paguyuban warga lainnya, ketika akan melakukan kegiatan dilingkungan Alam Sutera. Jika tidak memahami peraturan tata tertib atau tidak mengetahui tata aturan. Maka spanduk-spanduk mereka akan ditertibkan oleh tim keamanan lingkungan. Hal ini diungkapkan oleh bapak B2 pengurus RW di Kluster Kirana ;
Universitas Indonesia
161 Kami bermaksud mau mengadakan kegiatan donor darah. Tadinya saya sudah berusaha mencari lokasi yang aman dan tidak melanggar aturan. Malam-malam saya pasang sepanduk dekat pintu gerbang masuk. Saya kira ini lokasi sudah diluar kawasan, dan spanduk ini dapat terlihat oleh semua warga yang keluar masuk. Eh‌nggak taunya saya dapat laporan pagi-pagi spanduknya sudah hilang pak‌nggak tahu tuh..siapa yang nertibkan‌
Kegiatan lingkungan.
lain yang juga Kepada
dilarang agar
setiap
penghuni
tidak mengganggu estetika tidak
diijinkan
untuk
menggantung/menjemur pakaian atau benda-benda lainnya di halaman depan, di muka jendela, balkon ataupun di sekitar atap yang dapat dilihat dari arah muka. Pelarangan ini menurut pengembang menjadi
penting karena terkait cara
penempatan jemuran pakaian agar tidak merusak suasana lingkungan. Adapun alasan dan pertimbangan pelarangan ini diberikan oleh nara sumber A3, yang pada saat penjelasan ini disampaikan sudah lagi tidak menjabat sebagai manajer estate. Tetapi beliau memiliki banyak catatan tentang
kegiatan warga yang
terkait tata keindahan lingkungan ini ; .....bisa bapak bayangkan, lingkungan kelas menengah ke atas dengan standar rumah yang lumayan mahal, tiba-tiba dirusak dengan pemandangan pakaian dalam yang kurang pas untuk ditampilkan di depan umum. Hal ini kan terkait dengan hal-hal yang sangat pribadi‌
Selain masalah penempatan jemuran pakaian, penghuni juga dilarang untuk menaruh barang-barang milik pribadi di luar “batas kepemilikan�. Barangbarang ini pada umumnya terkait kelengkapan rumah tangga atau kendaraan serta perangkat kepemilikan lainnya, yang tidak dibenarkan untuk diletakkan di ruang publik. Barang-barang rongsokan atau sisa bongkaran untuk renovasi dibatasi penempatannya. Pemasangan antenna, TV atau penangkal petir atau antena lainnya untuk kepentingan bangunan, hanya dibenarkan di halaman belakang hunian sehingga tidak mengganggu estetika lingkungan dan tidak mengganggu tetangga. Hunian yang bukan unit ruko dilarang dipakai untuk usaha dalam bentuk apapun juga. Bagi sebagian warga pengaturan terkait estetika lingkungan cukup menimbulkan masalah, khususnya bagi mereka yang tinggal di tipe-tipe rumah
Universitas Indonesia
l162 kecil dengan halaman yang sangat terbatas.
Beberapa warga mengeluhkan
kesulitan yang mereka hadapi. Saya kesulitan dengan aturan yang terlalu ketat, khususnya masalah jemuran pakaian. Bagaimana saya bisa menjemur pakaian, wong rumah saya aja..udah tipe kecil. Halaman terbatas, jemur didalam nggak bisa cepet kering, satu-satunya cara ya jemurnya depan rumah. Selanjutnya beberapa nara sumber lainnya, menceritakan pengalamannya ; Kalau yang punya rumah besar sih nggak masalah, tapi kami ini yang kecil kalau nyimpan barang bekas aja sudah cukup sulit, nggak punya gudang. Jadi barang bekas kita taruh diteras, kalau dirumah sudah numpuk semua. Apalagi rumahnya nggak bisa rombak lagi. Didalam hunian perumahan dengan konsep kluster dimana pola pengelompokan rumah dibagi berdasarkan tipe rumah besar, sedang dan kecil. Ketentuan-ketentuan estetika terkait tata cara penempatan barang bekas dan pribadi di ranah publik, masih menimbulkan permasalahan terkait areal bangunan dan halaman yang terbatas. Bagi beberapa warga, menempatkan jemuran di tepi jalan
lingkungan perumahan kecil,
seharusnya
cukup
dimaklumi oleh
pengembang. Masalah barang bekas dan jemuran di pinggir jalan, bukan hal penting yang harus diributkan. Buat penghuni, jemuran dilingkungan rumah kecil dapat dimaklumi, dibandingkan rumah tipe besar. Untuk tipe-tipe perumahan di kluster lama, dinamika pelanggaran atas aturan estetika sudah tidak merupakan masalah, karena semua warga memaklumi kondisi dan situasinya berbeda dengan tipe-tipe rumah baru di kluster yang lebih mahal.
5.3.4
Mewujudkan Budaya Tertib Membangun dan Merenovasi Rumah. Salah satu syarat dan ketentuan apabila setelah dilakukan serah terima
lahan dan bangunan kepada
penghuni dan pemilik bangunanyang hendak
membangun atau merubah bagian dalam bangunan serta bersifat mengganggu struktur dan utilitas bangunan kepada yang bersangkutan akan dikenai terlebih dahulu ijin tertulis dari pengelola dan/atau pihak lain yang berkepentingan . Kepada penghuni atau pemilik bangunan tersebut diberikan kewajiban untuk
Universitas Indonesia
163 membayar uang Jaminan Lingkungan76 dan tidak berbunga kepada pengelola. Besarnya uang jaminan lingkungan tersebut berbeda pada setiap ukuran kavlingnya. Untuk luas tanah kurang dari 2.000 m2,77 besarnya uang jaminan adalah Rp.5.000.000, sementara untuk areal lahan yang luasnya lebih dari 2.000 m2 besarnya uang jaminan adalah Rp. 7.500.000. Selain membayar kewajiban uang Jaminan Lingkungan, pihak penghuni juga dikenai uang kebersihan dan keamanan selama masa konstruksinya sebesar Rp.500.000,- per bulan diluar pembayaran IPL. Uang jaminan tersebut akan dikembalikan kepada penghuni dan akan diperhitungkan oleh pihak pengembang terhadap biaya-biaya yang timbul bila ada terjadinya kerusakan selama masa pembangunan. Pengaturan ketentuan yang mengatur
tentang besarnya jumlah uang
jaminan yang dikeluarkan oleh pengelola (pengembang) kepada pemilik bangunan dapat berubah sewaktu-waktu tanpa adanya pemberitahuan terlebih dahulu. Kenaikan besarnya jumlah uang akan diperhitungkan dengan besarnya jumlah kenaikan atau perubahan nilai barang yang dikaitkan dengan jenis konstruksi bangunan. Untuk mempermudah pekerjaan renovasi, maka pihak pengelola akan membantu pengurusan perijinan yang diperlukan dengan biaya ditanggung oleh penghuni. Adanya ketentuan harus menyediakan uang jaminan kepada pengembang bagi setiap penghuni yang akan melakukan renovasi bangunan, dimaksudkan sebagai jaminan jika didalam pekerjaan renovasi berdampak terhadap kerusakan fasilitas atau sarana dan prasarana lingkungan yang telah dibangun oleh pengembang. Kewajiban untuk menyediakan uang jaminan kepada pihak pengembangini, dimaksudkan agar setiap penghuni memiliki rasa tanggungjawab ikut menjaga kenyamanan dan kelestarian lingkungan. Pengembang ingin menanamkan nilai bahwa jika membangun tidak harus sampai merusak lingkungan. Jika melakukan kerusakan setiap penghuni harus bertanggungjawab untuk melakukan pemulihan atau perbaikan kembali atas kerusakan yang telah ditimbulkan. Uang jaminan semata-mata dijadikan sebagai “garansi� agar setiap 76
Besarnya uang jaminan lingkungan ini sewaktuwaktu mengalami perubahan disesuaikan dengan kondisi dan situasi serta kebijakan yang berlaku didalam sistem manajamen PT. Alam Sutera. 77 Besarnya uang jaminan ini, didapat di dalam lembaran perjanjian yang dibuat pada masa kepemimpinan ibu Esti sebagai manajer pengembanghingga akhir tahun 2012. Saat ini ketentuan uang jaminan tersebut masih dalam kewenangan kebijakan estate.
Universitas Indonesia
l164 penghuni tidak lari dari tanggungjawab, jika melakukan suatu kesalahan atau perbuatan yang telah mengganggu kenyamanan lingkungan. Besarnya uang jaminan ditentukan berdasarkan aturan yang berlaku dan telah ditetapkan oleh pengembang. Jika dianggap selama proses pembangunan atau renovasi bangunan tidak terjadi hal-hal yang membuat kerusakan sarana dan prasarana yang menjadi tanggung jawab pengembang, maka uang jaminan akan dikembalikan kepada pemiliknya / penghuni. Menanggapi perubahan atau bentuk bangunan yang dilakukan dengan cara merenovasi rumah, didalam prakteknya sering menimbulkan konflik diantara penghuni. Pihak pengembang, meminta kepada setiap penghuni harus memiliki surat persetujuan tetangga sebagai dasar pemberian ijin. Persyaratan persetujuan dari
tetangga sengaja diatur oleh pengembang, guna menghindari terjadinya
konflik. Dari beberapa keterangan warga yang tidak ingin disebut namanya , mengungkapkan benturan kepentingan ini kadangkala sering menimbulkan ketegangan diantara warga jika pihak yang melakukan renovasi rumah tidak menjalankan kewajiban sepenuhnya ; Ada warga yang marah-marah pak, karena kontraktor yang bangun rumah suka membuang puing sisa bangunan tidak pada tempatnya. Kadang kala kita suka ribut, kalau sisa-sisa bahan itu jika tidak dibuang suka menjadi sarang tikus, kitakan perlu waspada aja.
Persyaratan tetangga sengaja harus dicantumkan jika ada warga yang mengajukan Ijin Mendirikan Bangunan (IMB), sebagai syarat keluarnya izin HO (gangguan). Bagi pihak pengembang, jika warga depan, kiri kanan dan belakang sudah menyetujui rencana renovasi atau pembangunan rumah yang diajukan oleh penghuni maka tidak ada hak pengembanguntuk mencegah, kecuali jika dalam proses permohonan tersebut ada yang menyimpang dari ketentuan yang berlaku. Untuk mengawasi setiap pekerjaan yang dilakukan oleh kontraktor dan tenaga tukang-tukang yang melaksanakan pekerjaan pembangunan atau perubahan serta renovasi bagian dalam bangunan penghuni di dalam lingkungan komunitas berpagar hanya diperkenankan untuk bekerja dari jam 07.00 WIB sampai dengan jam 18.00 WIB pada hari kerja. Jika pekerjaan tersebut harus ditunggui untuk keamanan dan menghindari adanya pencurian atau kehilangan bahan dan
Universitas Indonesia
165 peralatan, tenaga tukang atau orang yang diperbolehkan tinggal atau menjaga hunian tersebut maksimum hanya 2 (dua) orang dengan terlebih dahulu melaporkan dan mendapat ijin tertulis dari pengelola. Tanpa izin tertulis dari pengelola, kendaraan yang memasok bahan bangunan tidak diperkenankan memasuki lokasi. . Segala macam bentuk sampah, puing, barang-barang bekas lainnya, serta bahan (material) yang dihasilkan dan dipergunakan untuk pekerjaan perubahan bagian dalam bangunan harus segera dibersihkan dan dirapihkan setiap hari selesai bekerja. Segala bentuk sampah, puing, dan barang-barang bekas lainnya harus dibuang oleh kontraktor yang mengerjakannya di luar wilayah lingkungan Alam Sutera dan atas tanggungan biaya penghuni dan/atau kontraktor. Apabila penghuni tidak mentaati peraturan, pengelola berhak memindahkan segala bentuk sampah, puing-puing dan barang-barang bekas lainnya dan biaya tersebut ditanggung oleh penghuni yang akan dibebankan pada biaya perawatan dan pengembangan
yang
disebut
“iuran�,
dan
atau
dipotong
dari
uang
jaminan.Bentuk ketentuan lain yang juga diatur oleh peraturan tata tertib adalah penempatan tiang bendera diatur oleh pengelola. Penghuni wajib menyelesaikan bangunan dalam waktu 2 (dua) tahun sejak awal dimulainya pembangunan atas unit kavling yang dimilikinya. Apabila dalam waktu 2 (dua) tahun sejak batas waktu membangun yang telah ditentukan penghuni
masih
belum
membangun
dan
atau
belum
menyelesaikan
pembangunannya, maka pihak pengembang berhak membeli kembali kavling tersebut. Ketentuan-ketentuan tentang renovasi bangunan dibuat terpisah didalam peraturan tata tertib dalam bentuk lampiran II. Lembar lampiran tersebut wajib ditandatangani oleh setiap penghuni dan pembeli. Sementara ketentuan-ketentuan tentang prosedur dan persyaratan-persyaratan membangunan dibuat terpisah dalam bentuk lampiran III dan lampiran tersebut wajib ditandatangani oleh pembeli/penghuni. Untuk ketentuan-ketentuan yang mengatur tentang Pelayanan dan Biaya Pemeliharaan Lingkungan dibuat terpisah dalam bentuk lampiran IV dan lampiran tersebut wajib ditandatangani oleh pembeli/penghuni.
Universitas Indonesia
l166 Diberlakukannya ketentuan tentang tata cara membangun dan merenovasi rumah ini dibuat dengan pertimbangan untuk menjaga kebersihan, keindahan ,keamanan dan kenyamanan lingkungan. Setiap tenaga lapangan atau tukang harus diberikan identitas yang jelas, sehingga tidak akan menimbulkan kecurigaan adanya orang asing didalam lingkungan komunitas berpagar. Setiap kontraktor diharuskan berkoordinasi dengan RT dan RW setempat. Banyaknya para pekerja dari luar lingkungan ini, menimbulkan perasaan curiga atau cemas karena adanya orang asing disekitar lingkungan mereka dirasakan mengganggu keamanan dan kenyamanan penghuni. Hal ini diungkapkan oleh seorang warga ; Didepan rumah saya kan ada rumah yang baru dibangun. Itu tukangtukangnya selalu melihat –lihat ke arah rumah saya setiap pagi. Saya kan merasa tidak nyaman, apalagi saya punya anak gadis, kalau terjadi apa-apa dengan saya dan anak gadis saya siapa yang harus bertanggungjawab‌(wawancara dengan seorang ibu rumah tangga yang menjadi pengurus RT di salah satu kluster). Untuk sebagian warga ketentuan yang dibuat pengembang terkait aturan renovasi atau pembangunan rumah baru dianggap tidak lengkap dan merugikan penghuni. Upaya untuk menyempurnakan ketentuan pembangunan atau renovasi rumah dilakukan salah seorang RW di kluster Sutera Onyx, saudara B3. Bagi B3, aturan itu merugikan penghuni, maka atas dasar pertimbangan teknis, sebagai seorang yang berpendidikan teknik dan memiliki pengalaman sebagai konsultan pembangunan. Maka B3 membuat ketentuan tersendiri perihal tata aturan pembangunan atau renovasi rumah diluar ketentuan yang telah ditetapkankan Peraturan tata tertib. Pengurus RW di Kluster Onyx ini mengeluarkan ketentuan kepada setiap penghuni yang akan melaksanakan pembangunan rumah baru/renovasi rumah, dikenai kewajiban untuk mengajukan ijin kepada warga dan Estate, dengan prosedur sebagai berikut : 1. Minta Formulir Pengajuan Ijin Pelaksanaan Pekerjaan dan Formulir Ijin Warga di kantor Pengembang 2. Mengisi data warga/kontraktor berikut rincian pekerjaan renovasi dan minta ijin/tanda tangan kepada : tetangga kiri, kanan, belakang (isi kavling jika masih berupa tanah kosong), dan dari Ketua RT dan Ketua RW
Universitas Indonesia
167 3. Mematuhi ketentuan waktu kerja,yaitu hari Senin s/d Sabtu dari pk. 07:00 – 18:00. 4. Kendaraan material dilarang masuk sebelum pk. 07:00 atau setelah pk. 16:00. 5. Tidak diperkenankan kerja lembur dengan alasan apapun. 6. Tukang/pekerja yang menginap maksimum 2 (dua) orang dan wajib didaftarkan kepada Satpam di Pos Keamanan. 7. Dilarang bekerja dan/atau menempatkan material melewati batas kavling. 8. Dilarang membuang sampah di lokasi kavling yang masih kosong dan 9. Sampah Puing Bangunan wajib dibuang secara berkala, tidak lebih dari 2 (dua) hari. Bentuk inisiatif dari nara sumber B3 sebagai pengurus RW ini adalah sebagai bentuk respon atas ketentuan peraturan tata tertib yang dikeluarkan oleh pengembang. Kesadaran diskursif yang muncul dari peran aktif Ketua RW Kluster Onyx ini, dengan membuat aturan baru dilingkungan internal mereka, dilakukan dengan pertimbangan ada beberapa ketentuan dari aturan yang dibuat oleh pengembang harus disempurnakan. Adanya inisiatif dari beberapa pengurus RT dan RW untuk membuat ketentuan yang lebih mengikat diinternal lingkungan, karena dalam prakteknya para kontraktor lebih mengikuti aturan peraturan tata tertib. Sementara pertimbangan kepentingan warga yang berada di lokasi kegiatan mereka tidak diperhatikan kontraktor, disebabkan ikatan kerja mereka lebih diikat dengan kepentingan pemilik bangunan dan manajemen estate.
5.3.5 Mendorong Terjadinya Hubungan Interaksi Antar Penghuni. Konsep rumah tanpa pagar yang dikembangkan PT. Alam Sutera Tbk didalam lingkungan yang tertutup (komunitas berpagar) dimaksudkan untuk menghindari adanya sekat ruang pemisah antar penghuni. Walaupun kesan diluarnya seperti tertutup, tetapi rumah-rumah yang ada didalam tidak ada pagar pemisah. Rumah-rumah di dalam lingkungan komunitas berpagar, tidak diijinkan adanya pagar pemisah. Hal ini dimaskudkan untuk memudahkan pola hubungan interaksi sosial antar penghuni. Kecenderungan sikap untuk menutup diri atau tidak peduli dengan tetangga dengan memasang tembok pemisah antar rumah
Universitas Indonesia
l168 sejak awal perencanaan Alam Sutera tidak diperbolehkan. Pengembang mencoba membangun kawasan baru ini sebagai basis terbangunnya kehidupan komunitas. Menurut A2, sebagai Direktur Pembangunan, membangun Alam Sutera bukan sekedar berbicara tentang aspek lingkungannya tetapi bagaimana membangun kehidupan suatu komunitas. Kalau cerita, tentang Alam Sutera dari aspek masterplan dan lingkungan, kita cerita bagaimana Alam Sutera ini dibangun, bukan cerita masalah “pelestarian lingkungan.” Tetapi “bagaimana membangun komunitas”. Jadi kita bicara selalu adalah “development as a community”. Bukan “development as a commodity”. Itukan suatu gejala trend dari para developer saat ini ‘yang selalu mengatakan “membangun rumah adalah suatu komoditas penjualan”. Berbasis kepada konsepsi perumahan adalah sebuah kehidupan komunitas, konsep kluster perumahan yang dikembangkan Alam Sutera dicoba untuk menghindari muncul sikap atau perilaku yang individualis. Didalam ketentuan yang diatur didalam peraturan tata tertib, sudah tercantum ketentuan yang tidak membenarkan adanya pagar pembatas antar rumah. Alasan dan pertimbangan yang melarang rumah berpagar didalam lingkungan komunitas berpagar (kluster) menurut nara sumber A1 antara lain ; Waktu saya bikin kluster sistem saya tidak ingin hidupnya orang pada individualis. Jadi dalam konsepnya saya buat didalamnya tanpa pagar. Berapa banyak pak jaman dulu orang mau membeli rumah tanpa pager. Yang ada hanya Villa Duta (di Kota Bogor) yang dulu yang tanpa pagar. Jadi aku lihat bagus ya…jadi saya buat tipe rumah dari tipe kecil hingga tipe besar. Semuanya tanpa pagar. Rumah kecil tanpa pager, ada nerobosnerobos privacy-privacy, jadi yang satu punya ayam. Ayamnya terbang ke tetangga yang tetangganya nggak terima. Maka jadilah estateku (Alam Sutera) sebagai penengah di “Republik Indonesia”. Konsep rumah tanpa pagar juga dimaksudkan untuk menghindari terjadinya pemborosan anggaran yang harus dikeluarkan masyarakat untuk membuat pagar disetiap rumahnya. Mengingat secara sistem keamanan, faktor keselamatan penghuni dari gangguan pencurian atau tindakan criminal sudah diantisipasi dengan membuat tembok tinggi disekeliling kluster. Sehingga dengan demikian tidak diperlukan lagi biaya tambahan untuk melindungi setiap rumah. Prinsip efisiensi biaya secara tidak langsung dapat mengurangi biaya perawatan atau pemeliharaan,misalnya untuk pengecatan atau perbaikan pagar. Menurut
Universitas Indonesia
169 bapak A2, konsep rumah tanpa pagar berguna untuk membantu masyarakat dari sikap boros dan membantu mengurangi sikap untuk menutup diri diantara penghuni. Dulu sekali orang menganggap sistem kluster itu adalah untuk orangorang kaya, eksklusif dan berkesan itu mahal. Secara kesan mahal itu bagus itu memang ada, tapi secara biaya itu belum tentu. Bapak bisa bayangkan tidak kalau kita membangun pagar disetiap rumah, itu costnya berapa, dibandingkan dengan membuat pagar secara keseluruhan. Itu jauh lebih murah. Menurut pihak pengelola, nilai-nilai efisiensi dan tumbuh kembangnya paguyuban kekerabatan suatu saat akan terbangun, jika saatnya masyarakat akan mengelola lingkungannya secara mandiri. Kesan tinggal di lingkungan kluster selalu identik dengan biaya hidup mahal, ingin dirubah di Alam Sutera. Hitungan secara sosial ekonomis diperkirakan kebijakan ini akan membantu kehidupan penghuni untuk hidup secara lebih mandiri dalam tata kelola lingkungannya. Kalau bapak jumlahkan, jumlah pager-pager ada lebih dari 300 rumah, kalkulasikan aja dengan jumlah pager yang cuma satu begitu. Boleh dihitung itu minimal sama atau lebih murah dibandingkan dengan pager keseluruhan. Orang berkesan itu lebih mahal. Nah itu ekses dari biaya, nah ekses kepada lingkungan adalah jalan kita kesannya lebar. Jadi tidak ada barier tertentu. nah itu kesan-kesan terhadap kondisi fisik dan lingkungan. Nah selanjutnya, orang juga lupa bahwa kluster itu bersifat mahal darimananya , padahal kita sudah memberi pelajaran kepada penghuni, kalau nanti suatu saat kita tidak mengembangkan daerah ini lagi. Kita harus memberikan pengelolaan secara mandiri kepada para penghuni. Artinya apa dengan sistem kluster itu, penghuni bisa membuat suatu sistem paguyuban penghuni. Sikap penolakan dari para penghuni terhadap konsep rumah tanpa pagar, diharapkan semakin menurun dan kesadaran untuk tidak membuat pagar di masing-masing rumah dapat dihindari. Kesan terhadap konsep rumah tanpa pagar ini diminati dan didukung oleh para penghuni, hal ini dinyatakan oleh nara sumber A4 ; Bagi saya rumah tanpa pagar itu mendatangkan rasa aman, kita tidak perlu pagar lagi didalam lingkungan yang sudah dipagar. Dan yang kedua untuk lingkungan sekitarnya itu lebih akrab. Saya melihat model cluster tanpa pagar, membuat sekat-sekat sosial itu menjadi terbuka.Sebab kalau saya bandingkan dengan komplek-komplek yang menggunakan pagar, jenis pagarnya nggak seragam. Ada yang pagarnya pendek dan ada yang Universitas Indonesia
l170 pagarnya setinggi mungkin. Ada yang pagarnya masih keliatan dalamnya, bahkan ada yang sudah punya pagar masih menggunakan penghalang lagi. Jadi betul-betul eksklusif, eksklusif maksudnya adalah para penghuninya menarik diri dari dunia luar. Jadi begitu pulang langsung menutup diri. Dukungan lain juga datang dari beberapa pengurus RT dan RW di beberapa kluster perumahan di Alam Sutera. Bentuk dukungan diantara pemberitahuan kepada pengembang jika ditemukan adanya pelanggaran oleh warga yang membuat pagar dirumahnya sendiri. Kebijakan rumah tanpa pagar sepertinya sudah terinternalisasi didalam konsep kehidupan budaya diantara para penghuni. Kondisi ini disampaikan nara sumber B2, sebagai pengurus RW di Kluster Kirana.
Kadang saya dulu pernah liat ada pelanggaran, contohnya saat membangun rumah, sebetulnya gak boleh dipagar kedepan, ya kita kasih tau ke estate. “Eh ini loh ada pelanggaran ini coba kamu tindak�. Beberapa warga lainnya sependapat dengan kebijakan rumah tanpa pagar, bahkan pengawasannya harus benar-benar diperketat agar tidak merusak tata lingkungan di Alam Sutera. Sebagai pengurus RW di kluster Sutera Delima, nara sumber B4 juga sudah mewanti-wanti warganya agar tidak memasang pagar dihalaman rumahnya. Yah, istilahnya kaya rumah dibentengin, gituh. Kan orang luar engga bisa masuk sembarangan, jadi kesan ekslusifnya cuman di situ saja. Jadi, orang engga bisa masuk sembarangan. Kemungkinan di daerah Tanggerang ini, hanya Alam Sultra yang pertama kali menggunakan system Cluster. Yang pertama kali di luar Alam Sutra, ada juga tuh di Kelapa Gading. Dahulu, ada, tetapi sekarang sudah rusak sistem cluster nya karena keamanan engga terjaga. Begitu satu pasang pager, semua pasang pager. Hilang sudah kesan bahwa itu system Cluster. Makanya, saya disini wanti-wanti. Tidak satupun warga, ada yang boleh pasang pager. Itu harus bener-bener diketatin. Sementara bagi kelompok komunitas yang lebih besar lagi, khususnya diantara anggota Alam Sutera Resident Community (ASRC), konsep rumah tanpa pagar ini dianggap lebih baik dengan konsep rumah yang dibangun diluar lingkungan Alam Sutera. Walaupun kesannya agak tertutup dari luar, tetapi desain yang terbuka dan tidak ada sekat pemisah antar rumah membuat warga merasa lebih
Universitas Indonesia
171 mudah mengenal tetangganya. Kemudahan dan kenyamanan seperti ini disampaikan oleh nara sumber B1 , salah seorang aktifis di ASRC. Menurut saya, lingkungan di Alam Sutera, antar warga cukup baik. Sosialisasi antar penghuni cukup baik ketimbang memiliki rumah di tengah kota. Di pinggir jalan itu, terkesan masing masing warga engga kenal tetangga. Kalau di sini, boleh bilang hampir kenal semua warga. Malah antar tetangga, antar kluster aja hampir sering ketemu. Kita membentuk ASRC untuk bertemu dan ngobrol.Jadi sekarang, warga antar Cluster, lebih nyaman sosialisasinya ketimbang rumah yang berada di jalan raya dan membuat pagar sendiri sendiri. Kesannya masing masing warga engga kenal. Kegiatan mereka lakukan di dalam rumah saja. Jadi, kita saling engga membaur. Boleh dibilang, kalo tetangga berantem, kita baru denger dari ibu ibu. Rumah tanpa pagar, sebagai struktur kebijakan yang dipaksakan kepada para penghuni ternyata mendapatkan respon yang positif didalam dinamika internalnya guna menghindari terjadinya kesenjangan interaksi diantara warga. Walaupun pada beberapa kluster perumahan lama kasus-kasus kecil masih terjadi pelanggaran, tetapi secara keseluruhan dukungan positif yang diberikan masyarakat terhadap desain rumah tangga pagar telah mampu mengurangi terjadinya kesan eksklusif diantara sesama penghuni.
5.3.6 Membangun Nilai-nilai Kenyamanan dan Keselamatan Pengaturan lain yang harus ditaati dan dipatuhi didalam lingkungan komunitas berpagar adalah ketentuan yang tidak memperkenankan kepada para penghuni, pembeli atau tamunya untuk melakukan tindakan-tindakan yang dapat menimbulkan gangguan terhadap lingkungan. Bentuk – bentuk gangguan lingkungan yang dimaksudkan antara lain bau yang menyengat atau tidak sedap, membakar sampah, membuat keributan atau mengadakan aktivitas yang mengganggu tetangga. Penghuni juga dilarang untuk menyimpan benda-benda terlarang atau bahan-bahan yang mudah meledak menurut ketentuan undangundang.
Larangan
terhadap kegiatan-kegiatan ini dimaksudkan agar setiap
penghuni harus menyadari setiap dampak dari rencana tindakannya tidak menimbulkan protes dari tetangga dikiri, kanan, depan atau belakang. Konsep rumah tanpa pagar dan saling menempel antar tembok rumah, dianggap sensitif terhadap unsure-unsur
bau, asap, kebisingan dan gangguan lingkungan Universitas Indonesia
l172 lainnya.Jika penghuni secara sengaja atau mungkin disebabkan kelalaian dianggap mengganggu dan melakukan pelanggaran terhadap tata tertib, maka pihak yang merasa dirugikan atau terganggu akibat aktifitas tersebut dapat melaporkannya kepada petugas keamanan pengelola. Didalam prakteknya, beberapa kejadian akibat tidak ditaatinya ketentuan peraturan tata tertib ini telah menimbulkan konflik
diantara penghuni yang
merasa terganggu akibat aktifitas beberapa warga yang mengganggu kenyamanan lingkungan. Pengalaman atas kejadian yang seperti ini pernah dialami oleh salah seorang nara sumber yang tinggal di Kluster Delima, Tetangga saya itu tidak tahu diri..!!! Dengan alasan dia mengejar ingin cepat-cepat pindah dan masuk kerumah. Dia grinda untuk kandang anjingnya hingga jam sepuluh malam, saya tegur langsung. Saya tegurnya bukan dengan tegur halus..pak. “Hey..kamu tau nggak ini jam berapa ? (ekspresi marah‌). Saya punya anak lagi tidur, saya nggak pake basabasi, pake bahasa halus,..Hey..hey..hey..aja gitu. Dia bilang saya terburuburu, tapi saya tidak peduli. Ini sudah jam berapa? Saya lepas status saya itu sebagai estate, tapi waktu itu saya belum di Pengembang (kantor pengelola). Besoknya masih ngenyel, saya telepon ke sekuriti, jam setengah sepuluh malam satu regu sekuriti datang. Menstop kegiatannya, dia celingak-celinguk, siapa yang nelpon ke sekuriti. Saya liatin aja dari jendela..
Konsep rumah yang didesain dengan model “kopel� atau rumah deret secara berdampingan membuat jarak rumah antar penghuni begitu dekat. Jarak yang terlalu dekat, membuat sensitifitas suara atau bau apapun sangat mudah mengganggu lingkungan sekitarnya. Aturan pengembangterkait pembatasan untuk kegiatan yang mudah menimbulkan ganggungan lingkungan, dimaksudkan oleh pihak pengembang untuk menjaga kenyamanan dan mencegah terjadinya konflik antar penghuni. Etika kehidupan berinteraksi antar tetangga, diatur dalam batasanbatasan normative yang dapat ditolerir oleh setiap ketentuan peraturan tata tertib. Selain adanya larangan terhadap kegiatan yang mudah menimbulkan gangguan suara atau bau yang menyengat, kepada para pembeli atau penghuni dan tamunya tidak diperkenankan untuk menyimpan benda-benda terlarang dan bahan-bahan yang sifatnya mudah meledak menurut ketentuan undang-undang ataupun peraturan pemerintah lainnya. Larangan ini dimaksudkan agar rumah
Universitas Indonesia
173 tinggal tidak dimanfaatkan untuk hal-hal yang dapat membahayakan kehidupan bersama. Salah satu bentuk larangan ini, adalah rumah tidak diperkenankan sebagai gudang untuk penyimpanan tabung gas elpiji atau kegiatan bakery. Untuk mencegah pemanfaatan rumah tinggal sebagai tempat penyimpanan benda-benda terlarang, seperti narkoba atau zat adiktif lainnya. Pihak pengembang melakukan pemantauan terhadap kegiatan-kegiatan yang mencurigakan yag dilakukan para penghuni. Pihak keamanan menyadari, walaupun pengawasan dan pemantauan yang dilakukan terhadap keamanan lingkungan cukup rutin dilakukan, akan tetapi tetap saja terjadi kejadian yang menyimpang dengan aturan, khususnya terhadap pemanfaatan zat berbahaya. Hal ini diungkapkan kembali oleh kepala keamanan lingkungan Alam Sutera, bapak A6. Kadang kadang kita sudah ketat penjagaan pasti ada saja warga yang gunain fasilitas tempat tinggalnya untuk kegiatan yang seharusnya dilarang didalam. Contohnya adanya narkoba atau apa saja yang segalanya kadang-kadang masuk . Disini pernah ada kejadian kaya gituh tapi alhamdulillah dia engga sampe lama gituh terus ketauan. Kepada penghuni di setiap kluster perumahan pihak pengembang selalu mengingatkan bahwa bentuk perbuatan baik yang disengaja atau disebabkan kelalaian serta dianggap sebagai bentuk pelanggaran terhadap aturan tata tertib, akan segera ditindak oleh pihak pengembang melalui petugas satuan keamanan lingkungan. Apabila pembeli atau penghuni merasa terganggu oleh tetangganya dengan adanya kegiatan-kegiatan yang menggangu lingkungan tersebut maka dipersilahkan untuk melaporkan kepada petugas keamanan pengelola yang terdekat atau melalui nomor telepon gawat darurat (emergency) yang disediakan oleh pengembang. 5.3.7 Menjaga Toleransi Dalam Kehidupan Sosial, Keagamaan dan Politik Sesuai dengan visi pengembang untuk mewujudkan lingkungan yang harmoni dan
menjaga sikap toleransi diantara penghuni guna
memelihara
ikatan sosial yang baik.Maka ketentuan peraturan tata tertib memperhatikan situasi
sangat
ketenangan, ketertiban lingkungan serta privasi setiap
penghuni sebagai sesuatu yang ketentuan peraturan tata tertib
harus dijaga dan dipelihara. Berdasarkan apabila penghuni hendak menyelenggarakan
Universitas Indonesia
l174 kegiatan sosial yang melibatkan lebih dari 10 (sepuluh) peserta, atau melakukan kegiatan
lainnya
yang
dapat mengganggu
ketentraman
para
penghuni
lainnya,diberikan kewajiban harus melaporkan secara tertulis kepada petugas keamanan dan pengembang selambat-selambatnya 3 (tiga) hari sebelum kegiatan dimulai. Pelaporan ini dianggap penting karena dikhawatirkan acara tersebut akan menimbulkan
adanya bunyi-bunyian dari pengeras suara dan
menggunakan
sarana lingkungan milik umum. Pihak Alam Sutera, tidak akan memberi ijin jika kegiatan tersebut akan membuat kenyamanan penghuni terganggu. Persetujuan dari pengembang untuk kegiatan seperti itu akan diberikan secara tertulis, tanpa harus mengurangi kewajiban penghuni untuk mendapatkan ijin dari tetangga kiri, kanan, belakang dan pihak-pihak lain yang berhak dan berwenang. Ketentuan ini mengharuskan setiap penghuni untuk selalu melaporkan rencana kegiatannya kepada pengembang dan kepada semua tetangganya yang diperkirakan akan terganggu dengan kegiatan yang akan diselenggarakan. Untuk mencegah terjadinya kegiatan yang dapat mengganggu ketenangan lingkungan, pihak pengembang berhak melarang dan membubarkan segala kegiatan penghuni atau para pembeli/owner yang dapat memancing unsure-unsur “SARA�(Suku, Agama, Ras, dan Antar Golongan) . Jika sudah dikategorikan meresahkan lingkungan, pihak pengembang akan menyerahkan penanganannya kepada pihak yang berwajib. Menurut pihak pengelola keamanan Alam Sutera, didalam prakteknya pengaturan
terhadap acara-acara keagamaan atau sosial sudah
dijalankan
dengansesuai aturan peraturan tata tertib. Pihak keamanan atau pengembang menyatakan
tidak ada pembatasan terhadap setiap kegiatan aktifitas warga.
Ketentuan aturan dari pengembang hanya meminta setiap warga untuk selalu melaporkan kepada petugas keamanan dan kantor pengembang. Ketentuan ini sepenuhnya dijalankan oleh petugas keamanan yang selalu memantau aktifitas ibadah penghuni dilingkungan perumahan. Situasi seperti ini disampaikan bapak A6, yang bertindak sebagai kepala penanggungjawab keamanan. Kalau kegiatan keagamaan itu boleh, tapi harus melalui ijin estate. Dan kalau tempat tinggal jangan terlalu lama-lama dijadikan kayak tempat ibadah itu engga boleh. Harus sesuai dengan surat ijinnya. Kalau orang mau beribadah mingguan misalnya..ya harus ke gereja.
Universitas Indonesia
175 Selain penyelenggaraan ibadah agama yang dipantau kegiatannya oleh satuan pengamanan. Penyelenggaraan kegiatan masyarakat lainnya seperti kegiatan politik yang tidak sesuai dengan peraturan pemerintah atau kegiatan yang sama sekali tidak mendapatkan izin dari aparat pemerintah, dilarang untuk dilakukan di kawasan Alam Sutera. Apabila hal itu terjadi, petugas keamanan dan pengembang akan melakukan tindakan pengamanan preventif. Jika kondisinya sudah dianggap
meresahkan ketenangan masyarakat, pihak pengembang
selanjutnya akan menyerahkan masalahnya kepada pihak yang berwajib. Kegiatan kampanye politik seperti pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) atau sosialisasi kegiatan Pemilu lainnya dapat diselenggarakan dengan seizin petugas keamanan dan pengembangmenajemen. Pemasangan poster atau sepanduk politik tidak dibenarkan ditempatkan disembarang tempat sebagaimana ketentuan peraturan tata tertib tentang estetika lingkungan. Pengalaman praktek terhadap pembatasan kegiaatan-kegiatan kampanye dan pengawasan terhadap sosialisasi jadwal Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) sangat dirasakan panitia penyelenggara pemilihan umum tingkat kecamatan. Tata cara pengawasan dan pemantauan yang demikian ketat yang dilakukan oleh petugas keamanan lingkungan Alam Sutera, dijelaskan oleh A6 ; Yah disini bukannya engga boleh kampanye, tapi ya harus ijin dulu.. dong pak. Kalau engga pake ijin yah, sama kita tolong harus dikomunikasikan. Soalnya kalau pelaksanaan kampanye atau dari kejadian dari berita-berita yang berkembang didaerah sini , kita bisa gawat lagi pak.. Mangkanya pintar-pintar kita dengan mereka. Kita sampaikan kalau memang mau masang spanduk atau poster ,bukan kita ngelarang tapi ijin dulu dong. Kalau engga saya tetap akan melarang gituh ajah …saya kan sebagai kemanan. Ketatnya pengaturan terhadap penyelenggaraan kegiatan politik, juga dialami oleh bapak Waluyo, yang bertindak sebagai petugas KPU untuk Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Walikota Tangerang. Sebagai pengurus RW diperumahan Pondok Pakulonan, yang bertetangga dengan Alam Sutera, beliau merasakan bahwa pengembang Alam Sutera sangat ketat dalam memantau kegiatan politik. Hal ini diungkapkan nara sumber C2, sewaktu pelaksanaan Pilkada Walikota Tangerang Selatan.
Universitas Indonesia
l176 Kalau bahasa kita, “ketat aturan masuk�. Seperti saya waktu itu pegang KPU Pemilihan Pilkada Tangsel ya.., Saya istilahnya ingin memberikan informasi dengan cara woro-woro masuk ke komplek. Ya .. itu diantara daerah yang paling sulit untuk dimasuki, memang Alam Sutera . Kita harus memberikan surat ijin dulu kekantor pihak pengembang.. kalau dapat baru boleh , wong saya tidak bermaksud mencuri .. Saya itu tugas lho.. melaksanakan tugas KPU memberi informasi kepada masyarakat diikutin pak .. sama satpamnya. Ya sudah ikutin saja , wong .. saya nggak ngapa- ngapain .. Peraturan tata tertib yang ditetapkan Alam Sutera untuk kegiatan sosial dan politik, memberikan rambu-rambu kepada penghuni untuk tidak menjadi kawasan perumahan sebagai ranah kontestasi adu kepentingan antar kelompok masyarakat. Menurut pihak pengembang, sebaiknya lingkungan perumahan bebas dari kegiatan – kegiatan yang dapat menimbulkan konflik sosial
diantara para
penghuninya. Terdapat kecenderungan kawasan disini terkesan anti terhadap kegiatan politik praktis. Hal ini tercermin, pada saat pelaksaanaan Pilkada Walikota Tangerang, dapat dikatakan Alam Sutera bersih dari segala bentuk poster atau spanduk kandidat calon walikota.
5.3.8 Membangun Budaya Tertib Berlalulintas Untuk menjaga ketertiban serta pemeliharaan sarana dan prasarana jalan lingkungan, pihak pengembang mewajibkan ketentuan
untuk mentaati semua
aturan rambu-rambu lalu lintas yang terdapat di kawasan Alam Sutera. Ketentuan ini berlaku baik untuk kegiatan berkendaraan didalam lingkungan kluster hunian atau jalur-jalur jalan utama yang melayani lingkungan . Kecepatan kendaraan di dalam kluster dibatasi guna menjaga keselamatan anak-anak yang bermain sepeda atau kegiatan olahraga lainnya. Pembatasan kecepatan kendaraan tidak dilakukan dengan membuat polisi tidur, karena dianggap mengganggu kenyamanan berkendara. Perbaikan kerusakan yang terjadi di area lingkungan hunian pada fasilitas umum seperti taman, signages, papan reklame dan sebagainya yang disebabkan oleh penghuni atau tamu penghuni karena kecelakaan lalu lintas dan kerusakan-kerusakan lainnya akan menjadi beban pennghuni. Setiap kendaraan penghuni atau tamu penghuni yang parkir di kawasan lingkungan Alam Sutera tidak memperbolehkan menghalangi jalan masuk ke
Universitas Indonesia
177 lingkungan Alam Sutera atau pemilik kavling lainnya (tetangga), kecuali sudah diijinkan oleh pemilik kavling yang bersangkutan atau parkir sedemikian rupa sehingga dapat menghambat atau mengganggu arus lalu lintas umum di kawasan lingkungan Alam Sutera. Pengaturan terhadap areal parkir kendaraan ini, menjadi hal penting karena rata-rata jumlah kendaraan yang dimiliki oleh penghuni dapat lebih dari satu. Gejala kepemilikan mobil lebih dari satu atau dua ini ditimbulkan karena kawasan Alam Sutera saat ini belum dilayani oleh layanan angkutan publik. Para penghuni pada umumnya bekerja jauh dari tempat tinggalnya, seperti di Jakarta dan sekitarnya. Pihak estate, melarang membuat atau menambah carport baru kepada setiap penghuni. Kepemilikan kendaraan yang lebih dari satu dan kebutuhan areal parkir ini, sering menimbulkan konflik antar penghuni, karena merasa ada hak-hak mereka merasa diambil atau diganggu oleh penghuni lainnya. Hal ini terungkap sebagaimana dikatakan oleh B2, Ketua RW di Kluster Sutera Kirana. Disini kalau parkir mobil bahasa komunikasinya menggunakan klakson , ya kadang-kadang itu kan orang nggak tau siapa yang diklakson. Kalau ada tamu kalau parkir ya jangan jangan terlalu mepet..lah. kayak didepan sini agak kesulitan. Kan banyak orang cuek disini. Kalau tamu ya mundurlah dua tiga kali pasti masih bisa keluar, kalau bisa agak tengah sedikit. Tapi kalau sudah buru-buru sama yang depan sini udah pada nggak mau negur tuh‌ Menurut ketentuan peraturan tata tertib, kendaraan penghuni hanya diijinkan parkir di jalan umum atau di luar batas kepemilikannya atau di kavling kosong yang belum terbangun. Penempatan parkir tidak dibenarkan mengganggu kepentingan umum. Jika memperhatikan status sosial dan tingkat modal budaya yang dimiliki, akar konflik penempatan parkir kendaraan ini sering menimbulkan pertengkaran antar tetangga, seperti diungkap seorang staf pengembang yang diminta penghuni untuk menegur tetangganya; Wah sulit..pak, kadang ada warga yang keras kepala, sampai-sampai dia memasang penggaris atau batas dilarang melintas kepada mobil tetangganya. Dipenggaris ditulisnya, yang melanggar orang gila,..ya tetangga sebelahnya yang mengadu kepada pengembang kita sarankan untuk sabar aja‌ya bu ..!!
Universitas Indonesia
l178 Peraturan tata tertib
tidak memperkenankan penghuni untuk mencuci
mobil di luar batas kepemilikan hunian miliknya dan wajib mengalirkan aliran air pembuangannya langsung ke selokan di depan unit kavling bangunannya masingmasing. Ketentuan-ketentuan ini perlu diatur oleh pengembang, dimana warga diperkenankan untuk parkir, mencuci mobil dan areal untuk menyimpan kendaraan-kendaraan mereka lainnya. Hal ini menjadi masalah
serius sebab
dengan pertimbangan peningkatan status sosial ekonomi dari setiap penghuni mendorong mereka untuk membeli
moda transportasi baru. Rata-rata penghuni
di kluster Alam Sutera memiliki lebih dari dua (2) kendaraan pribadi, baik sebagai symbol status sosial atau kebutuhan untuk mobilitas anggota keluarga yang semakin bertambah
5.3.9 Nilai-nilai Sosial dalam Pemeliharaan Hewan Piaraan Hewan peliharaan sudah menjadi
kultur dari kehidupan manusia.
Hubungan antara manusia dan hewan piaraan sudah melekat menjadi suatu keyakinan, bahwa hewan piaraan sudah menjadi sahabat sejati bagi pemiliknya. Masalah yang sering menjadi akar konflik di perumahan Alam Sutera adalah tata etika cara merawat hewan peliharaan. Untuk mengatur masalah hewan pemeliharaan ini, pihak pengembang mewajibkan kepada setiap penghuni memiliki hewan peliharaan seperti kucing, anjing, dan burung atau unggas, diwajibkan untuk tidak membiarkan hewan peliharaannya berkeliaran. Larangan hewan piaraan yang dibiarkan bebas menurut ketentuan peraturan tata tertib memungkinkan hewan piaraan dapat mengganggu atau membahayakan para penghuni lainnya atau akan membuang kotoran di sembarang tempat. Didalam prakteknya ketentuan cara merawat hewan piaraan yang seharusnya dirawat dan dikandangi, masih saja tampak berkeliaraan di lingkungan perumahan. Beberapa warga yang berkeberatan dengan kondisi seperti ini melakukan protes kepada pengembang. Mereka melakukan protes karena begitu banyaknya kotoran hewan khsusunya anjing yang bertebaran dihalaman para tetangga. Banyaknya kotoran anjing yang bertebaran ini
akibat tidak
dipeliharanya hewan piaraan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Hal seperti ini dikeluhkan B2, yang menjabat sebagai ketua RW di Sutera Kirana,;
Universitas Indonesia
179 Saya kan ketua RW, masak halaman rumah saya diberakin kotoran anjing orang lain. Apalagi saya tidak memeliharanya‌ Selain masalah kotoran hewan piaraan yang membuat tidak nyamannya beberapa penghuni, mempermasalahkan suara anjing yang sedang birahi yang terus menggonggong. Gangguan suara anjing ini sering menimbulkan konflik diantara warga. Beberapa warga mengadukan masalah gangguan suara anjing ini kepada pengembangmanajamen. Pengaduan seperti ini sering muncul sulitnya diantara penghuni untuk
akibat
membangun hubungan komunikasi dan
interaksi sosial diantara mereka . Kondisi seperti ini, dikemukakan oleh salah seorang nara sumber yang bekerja di pengembang ; Banyak pak yang dikeluhkan mereka, anjing tetangganya begini-begitu, menggonggong sangat keras. Ya, saya bilang tegurlah, anda kan punya mulut . Tegurlah tetangga anda!! Masak anjing tetangga menggonggong terus‌ anda harus lapor ke estate..!! Jika saya nggak kenal sama yang melapor ke saya. Saya akan bilang bawa aja golok, atau bukan saya bermaksud menghina etnis tertentu‌Panggil ..aja..Batak, culik anjingnya, selesai masalah.
Untuk mencegah terjadinya pencurian atau kehilangan terhadap hewan piaraan, pengembang menyarankan kepada setiap pemiliknya, agar hewan peliharaan yang mereka miliki
agar
diberi tanda pengenal atau peneng.
Himbauan atas ketentuan ini dicantumkan didalam ketentuan peraturan tata tertib, karena pihak pengembang dari PT Alam Sutera tidak bertanggung jawab atas keselamatan hewan-hewan yang dimiliki penghuni. Kewajiban lain yang terkait dengan ketentuan hewan peliharaan adalah kepada setiap pemilik hewan piaraan diwajibkan untuk melakukan tindakan
vaksinasi (rabies dll) supaya tidak
membahayakan lingkungan dan tidak diijinkan bebas berkeliaran di lingkungan cluster. Kewajiban lain yang harus diperhatikan penghuni terhadap hewan peliharaan mereka ,adalah apabila hewan tersebut melakukan perbuatan yang membahayakan orang lain atau melukai orang lain. Maka kerugian yang ditimbulkan terhadap orang lain
yang diakibatkan oleh hewan peliharaan
penghuni, biayanya pengobatannya sepenuhnya
menjadi tanggung jawab
penghuni. Gangguan terhadap adanya ancaman gigitan dari hewan piaraan yang Universitas Indonesia
l180 lepas dan tidak jelas siapa pemiliknya sering dikeluhkan oleh beberapa penghuni. Bahkan sebagian penghuni berkeyakinan anjing-anjing yang dilepas karena pemiliknya bersikap tidak peduli. Hal ini diceritakan kembali oleh nara sumber yang menjadi penannggung jawab pengembang ; Sama halnya dengan tetangga saya, banyak sekali yang piara anjing.Ada yang satu pelihara anjingnya benar-benar dirawat, bahkan dalam jarak segini pun..(menunjuk kira2 ada satu meter) tidak bau. Kandangnya bersih, tidak bau segala macem.Dia betul-betul bisa miara anjingnya, tidak menggonggong segala macem‌anjingnya herder besar. Ada juga yang kurang ajar..anjingnya dibiarkan kemana-mana, berak dimana-mana, kencing dimana-mana. Nah saya lakukan pendekatan persuasive..tadi anjing mu berak dihalaman saya. Dia jawab‌lho itu kan biasa anjing‌lho itu bukan kebiasaan, tapi yang punya yang kurang ajar..langsung saya naik‌(emosi..) Nah inilah masalahnya..pak, Untuk mencegah agar jumlah anjing atau hewan peliharaan tidak bertambah banyak dan semakin mengganggu kenyamanan lingkungan. Didalam peraturan tata tertib diatur ketentuan setiap penghuni dilarang memelihara lebih dari tiga (3) ekor hewan peliharaan. Jenis hewan peliharaan ini meliputi kucing, anjing dan hewan-hewan sejenisnya. Ketentuan ini didalam prakteknya sering banyak dilanggar. Banyak penghuni yang tidak melaporkan jumlah hewan yang mereka pelihara. Beberapa pengaduan yang diterima pengembang, disebutkan ada penghuni yang memelihara hewan peliharaan, seperti kucing yang jumlahnya lebih dari 30 ekor. Warga yang merasa dirugikan akibat kejadian ini, melaporkan bahwa dia merasa tidak nyaman karena jika saatnya jam pemberian makan kepada hewan piaraan, lingkungan rumahnya sudah mirip seperti kandang peternakan. Padahal didalam ketentuan
yang diatur oleh pihak pengembangmanajamen didalam
peraturan tata tertib penghuni dilarang untuk beternak hewan-hewan yang dapat digolongkan sebagai hewan ternak atau mungkin hewan yang dapat mengganggu lingkungan sekitarnya. Hewan-hewan yang dilarang dipelihara untuk diternakan tidak terbatas pada ayam, jenis-jenis unggas yang untuk diperjual belikan, kambing, kerbau dan lain-lain, tetapi juga terhadap hewan-hewan piaraan yang diperkirakan akan menimbulkan bau/suara yang sangat mengganggu tetangga. Didalam praktek ditemukannya
kegiatan peternakan dilingkungan
perumahan, disebabkan masih banyaknya lahan / kavling kosong yang tidak Universitas Indonesia
181 dimanfaatkan atau tidak segera dibangun menjadi rumah oleh pemiliknya. Lahan kosong ini dimanfaatkan oleh sebagian warga disekitarnya untuk mengisi waktu senggangnya dengan cara menanam umbi-umbian dan memelihara hewan ternak. Situasi seperti ini diceritakan nara sumber A5, seorang staf di pengembang yang sering menerima komplain dari penghuni kluster akibat kejadian seperti ini; Biasanya kavling kosong yang dimanfaatin..pak, ya ditanami singkong, pisang, kadang-kadang malah dibuat jadi kandang ayam..ada sih pak beberapa. Malah kadang-kadang ada kambing suka ditaroh disitu. Pemilik lahannya sih nggak tau..Cuma tetangganya aja yang marah-marah lapor kemari..jadi yang kontrol piaraan ayam mereka ya pake tetangganya‌yang marah-marah kesini. Untuk mengendalikan jumlah hewan-hewan yang dipelihara secara berlebihan oleh para penghuni, atau jika penghuni dianggap lalai atau tidak mampu menjaganya dengan baik maka pihak pengembangmanajemn baik sendiri maupun
bersama
petugas
Dinas
Peternakan
setempat
berhak
untuk
menindak/menyita hewan pelliharaan yang tidak sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan. Bentuk-bentuk tindakan yang pernah dilakukan pengembang, terhadap hewan piaraan ini menurut pihak pengembang antara lain dengan cara memberikan surat teguran terhadap setiap kali dan menangkap hewan-hewan tersebut untuk diambil oleh pihak pengembang. Kita kadang-kadang suka nangkepin kucing-kucing liar atau yang ada di perumahan. Seperti waktu itu ada yang jumlahnya melebihi aturan, tapi kita juga bingung..pak. Kucing-kucingnya mau ditaruh dimana, kita nggak punya kandang. Hal lain yang menyulitkan bagi pengembang terkait dengan hewan pemeliharaan disampaikan oleh petugas lapangannya; Sulit pak untuk menegurnya, sebab yang punya kucing orangnya tinggal sendirian. Dia tidak menikah, sepertinya kesepian. Jadi mungkin kucingkucing itu menjadi teman atau anggota keluarganya kali. Apalagi kalau tetangga sebelahnya sudah marah-marah ke estate, masak loe..kagak bisa beresin itu orang.
Universitas Indonesia
l182 Untuk menanggapi keluhan-keluhan warga terkait hewan peliharaan yang dapat menimbulkan konflik, pihak pengembangmeminta bantuan dari para pengurus RT atau RW untuk membantu menyelesaikan masalahnya secara bermusyawarah. 5.4 Menjaga Toleransi Antar Keyakinan dan Etnisitas Antar Penghuni Komposisi keharmonian yang diterapkan dalam kebijakan (peraturan tata tertib) dan bentuk sarana ibadah yang tersedia, secara langsung dan tidak langsung turut mendukung tumbuh kembangnya suasana harmoni dan toleransi dalam kehidupan sosial bersama. Suasana seperti ini dikemukakan nara sumber B2seorang muslim yang menjabat RW di Kluster Kirana, dimana mayoritas warganya adalah penganut Katolik. Saya membuka komunikasi pak makanya saya menjaga toleransi,misalnya kan disini agama yang mayoritasnya Katolik. Jadi saya sempatin sisipin bicara, jadi kita sedikit sedikit pendekatan biar tidak terjadi apa-apa. Dan kebetulan sekali warga katolik membantu, jadi saya bilang saya dibantu bukan saya sendirian melaksanakan tugas ini kan walaupun dipilih kita harus beriringan. Kayak kemaren kayak Idul Fitri atau Idul Adha security saya suruh sholat karena merekakan mayoritas muslim. Dan saya minta warga katolik nunggu 2 jam sampai 3 jam, dia senang‌ Prinisip-prinsip untuk menjaga
keharmonisan diantara perbedaan
keyakinan juga dilakukan oleh bapak B3 ketua RW di kluster Sutera Onix. Bapak B3 adalah seorang penganut Katolik yang taat menjalankan ibadah, dan memiliki latar belakang keluarga Muslim dari ayah serta Katolik dari ibunya seorang wanita keturunan. Sebagai pimpinan wilayah dan penganut Katolik yang saleh, dia mencoba menjaga keseimbangan hubungan sosial diantara keragaman keyakinan warga yang dipimpinnya. Saya juga waktu masuk kesini, sadar sepenuhnya bahwa memang disini yang dominan adalah Nonpri dan yang beragama agama Katolik yang paling mayoritas. Karena keberadaan sekolah (Santa Laurencia) sama gereja yang ada di situ, banyak yang menarik kesana. Tapi saya pengen ingin memastikan bahwa disini semua yang ada di sini punya hak yang sama. Selanjutnya nara sumber B3 sebagai ketua Rw setempat, mencoba mempraktekkan kebijakan rasa keadilan atas hak yang sama bagi semua warga dia terapkan dalam kepemimpinan di tingkat RW. Universitas Indonesia
183 Dan itu coba jadi kita terapkan, bagaimana kita bertenggang rasa dengan semuanya. Makanya saya orang yang pertama-tama mengucapkan Selamat Natal, Selamat Idulfitri. Demikian juga dengan yang Budha sama Hindu juga saya ucapkan selamat Hari Raya Nyepi. Saya sama yang Hindu kayak ya belum ada warganya.Tapi pokoknya kita harus mulai dari situ itu, nggak ada perbedaan di situ. Dan kedua kita coba, saya juga waktu itu belakangan baru belajar dari teman-teman yang Budha kalau yang Budha itu mereka banyak istilahnya tidak makan-makanan yang berjiwa. Praktek untuk memahami keyakinan atau kebiasaan kebudayaan dari keyakinan yang berbeda di coba dijalankan pak B3, khususnya pada beberapa kasus yang terjadi dan cukup mengganggu keamanan dan kenyamanan lingkungan ; Kejadian seperti itu, pernah kemarin ada ular pak. Kita bawa pawang ular dari daerah Bogor Ciomas , Pawang itu dibawa atau dipanggil oleh Pengembang dan terus pawang nawarin supaya ularnya nggak kemari lagi, istilahnya dia memastikan untuk bikin kayak pengorbanan untuk persembelihan. Saya bilang saya harus katakan warga kami yang Budha kemungkinan akan keberatan karena ada pengorbanan di situ. Kalau cuman tanaman buah-buahan gak masalah tapi,kalau ada pengorbanan seperti ini saya minta maaf. Terpaksa saya tolak permintaan bapak, tapi alasan saya kita menjaga keharmonian. Alasan itu saya umumkan bahwa kita harus menjaga perasaan semua yang ada di sini. Semua setara dan sama tidak ada yang di berlakukan berbeda. Bentuk praktek lain yang dijalankan warga dalam menjaga keharmonian dalam hubungan sosial antar penghuni di Kluster Onix dan beberapa kluster lainnya dilakukan pada saat memasuki bulan Ramadhan atau bulan Puasa. Antara penganut agama Katolik dan Muslim diminta bergabung untuk mengikuti acara berbuka puasa bersama. Awalnya acara-acara seperti ini dirasakan cukup berat bagi mereka yang mungkin belum memahami maknanya. Suasana seperti ini diceritakan kembali oleh bapak Daniel ; Kita yang coba selalu dan inikan bagi mereka yang banyak Cainis ( Etnis Cina) yang sangat kuat itu pada bingung.Koq ada acara berbuka puasa bersama gitu ? Kadang-kadang pertama mereka begitu, akhirnya mereka bisa gabung.Saya minta warga yang muslim memimpin doa dan sebagainya dan selalu habis buka puasa kita ngobrol tujuannya saya jelaskan kita kepengen merangkul warga baru,pengen komunitas kita berkembang juga. Kan bagi anda yang baru datang, anda nggak saya harus kenal dengan siapa anda nggak tahu. Tapi disini anda bisa ketemu dan anda bisa tahu.
Universitas Indonesia
l184 5.4.1 Praktek Toleransi Di Institusi Gereja Mengingat jumlah mayoritas penghuni perumahan adalah warga yang beragama Katolik, maka warga yang terhimpun didalam Paroki Santo Laurensius, mengarahkan warganya yang tergabung didalam kelompok-kelompok untuk membaktikan diri bagi sesama lewat beberapa program rutin. Salah satu program rutin yang selalu dijalankan adalah , pemeriksaan kesehatan gratis tiap Minggu.Tim medis yang melakukan pemeriksaan dan pengobatan adalah warga Paroki Santo Laurensius.78 Setiap hari minggu dimulai
pukul 09.00, warga
masyarakat dari berbagai latar belakang diterima berobat di Paroki ini tanpa dipungut biaya. Masyarakat yang berada di luar kompleks Perumahan Alam Sutera, seperti masyarakat Kampung Dongkal dan Kampung Kandang Sapi, juga memanfaatkan pelayanan ini.Kepedulian terhadap lingkungan hidup juga menjadi perhatian paroki ini. Selain melakukan kegiatan pemeriksaan kesehatan gratis, Dewan Paroki juga mendorong umat Katolik untuk mengurangi sampah. Kegiatan ini tidak hanya dilakukan melalui himbauan, tetapi diwujudkan juga dalam praktek kegiatan peribadatan. Ketika ada rapat dewan atau acara lain yang diadakan di gereja, umat tidak diperbolehkan menyediakan fasilitas minum air kemasan. Melalui Sekretaris I Dewan Paroki, Y. Bayu Samodro, dikemukan latar belakang mengapa tindakan seperti ini harus dilakukan : “Hal ini kami lakukan agar tidak ada sampah kemasan air mineral. Kami bisa membawa botol air minum dari rumah. Jika rapat dan air botol habis, kami bisa mengisinya kembali melalui galon-galon air mineral yang tersedia di beberapa sudut ruangan gereja. Penggunaan styrofoam sebagai pembungkus makanan juga tidak diperbolehkan di gereja ini.Pembungkus makanan harus dari bahan yang bisa didaur ulang, misalnya kardus,� Bentuk – bentuk kegiatan peduli lingkungan yang dilakukan oleh warga Paroki Santo Laurensius dimaksudkan untuk menghindari kesan eksklusif dari Gereja Santo Laurensius. Mengingat bentuk bangunannya yang megah bisa menimbulkan kesan eksklusif dan kurang membuka diri terhadap lingkungan 78
http://www.hidupkatolik.com/2012/03/21/dari-simbol-arsitektur-ke-karya-nyata
Universitas Indonesia
185 sekitar. Bapak Andre Budi Waryawan sebagai pengurus dari Dewan Paroki, menepis anggapan ini ; “Bentuk gereja seperti ini bukan dimaksudkan untuk bermewah-mewah. Kami ingin membangun gedung gereja seperti aslinya Eropa dan bukan gedung yang bernuansa inkulturatif seperti umumnya bentuk gereja saat ini,�
Gambar 5.12 : Suasana pengobatan gratis - Gereja Santo Laurensius.
Menurut Andre Budi Waryawan, bentuk Gereja Laurensius justru akan terlihat berbeda, jika dibangun dengan gaya inkulturatif. Makna hakekat dari kultur gereja asli Eropa ingin ditampilkan untuk lebih mendekatkan nuansa kehidupan gerejani yang sebenarnya.
Hal yang menjadi pertimbangan pihak
paroki antara lain ; “Bentuk rumah-rumah yang ada di Perumahan Alam Sutera ini minimalis modern, sehingga bentuk inkulturatif seperti joglo kurang cocok diterapkan di sini,� Secara hirarki sosial pihak Paroki juga mencoba menghilangkan kesan Gereja Laurensius hanya untuk kalangan sosial menengah ke atas. Melihat gedung gereja yang megah dan berada di lingkungan perumahan menengah ke atas dan mayoritas merupakan warga keturunan, menimbulkan kesan bahwa gereja ini hanya untuk kalangan tertentu. Menurut
Bayu Samodro sebagai Sekretaris I Dewan Paroki
gereja
mencoba menghilangkan kesan eksklusif tersebut ;
Universitas Indonesia
l186 Umat paroki kami, juga ada yang bekerja sebagai buruh. Mereka pun kami ajak bersama-sama untuk berkarya demi paroki. Misalnya, ketika tidak ada tenaga yang menangani perparkiran di paroki ini, kami minta bantuan mereka.Demikian juga dengan kegiatan-kegiatan lain.� Dewan paroki mengharapkan, tidak ada jurang pemisah antara warga yang mampu secara ekonomi dan tidak. “Semuanya mempunyai kekuatan sendirisendiri untuk memberikan yang terbaik bagi kelangsungan paroki,� Kebiasaan untuk menjalin harmoni sosial yang saling menghormati setiap keyakinan, menjadi dasar kebutuhan bagi terbangunnya ketahanan sosial dilingkungan perumahan.Membangun kepercayaan antar kelompok melalui kebijakan dan praktek yang telah dijalankan oleh komunitas warga Alam Sutera telah menjadi kebiasaan baru yang terus dicoba untuk dijalankan demi terjalinnya kerukunan antar umat beragama. 5.4.2 Menghilangkan Eksklusifitas Etnis Kesan yang muncul bahwa yang tinggal di lingkungan perumahan Alam Sutera, merupakan sebuah “getto� bagi sekumpulan komunitas etnis Cina, tidak dapat ditutupi dengan realitas yang terjadi dilapangan. Bagi warga yang tinggal di Kampung Dongkal yang merupakan penduduk asli dari Kelurahan Pondok Jagung Timur, keberadaan etnis Cina di Alam Sutera bukan merupakan suatu masalah. Berdasarkan latar belakang sejarahnya warga asli penduduk di kawasan Alam Sutera terdiri dari dua kelompok besar yaitu Suku Betawi Tangerang dan Cina Benteng79. Sebutan Cina Benteng diberikan bagi cina-cina peranakan, sebagaimana disampaikan bapak C3 , sebagai Lurah Pondok Jagung Timur ; Banyak Betawi.. ada juga cina-cina peranakan, cina-cina kampung disini sekarang masih ada cina-cina kampung sini masih ada.., kalau perumahankan pendatang cinanya, banyakan di perumahan cinanya pendatang. Bagi C3, sebagai Lurah di Kelurahan Pondok Jagung Timur, penggolongan warga etnis Cina, di wilayahnya hanya terbagi dalam dua kelompok, Etnis Cina orang kampung asli dan Etnis Cina pendatang yang tinggal di perumahan. Gambaran tentang kehidupan warga etnis Cina asli terlihat dari beberapa peninggalan rumah keluarga dalam bentuk arsitektur bangunan Cina asli 79
Istilah Cina benteng, menurut Kepala Kelurahan pondok jagung Timur H. Maksum, merupakan nama yang diberikan bagi Cina peranakan yang asli tangerang.
Universitas Indonesia
187 masa lalu. Gambaran kemiskinan masih melekat pada warga Etnis Cina yang tinggal diperkampungan penduduk. Berdasarkan hasil wawancara dengan Lurah Pondok Jagung Timur, hampir sebagian dari mereka bekerja sebagai petani karena memiliki tanah yang cukup luas. Tetapi realitas yang terjadi saat ini hampir sebagian lahan-lahan yang mereka miliki sudah banyak yang dijual dan sebagian lagi sudah dirubah menjadi tempat rumah kontrakan bagi pekerja yang mencari kehidupan disekitar Alam Sutera. Sementara bagi etnis Cina yang menempati perumahan, seperti halnya di Alam Sutera, mayoritas mereka sebagian besar adalah kelompok pendatang. Menurut hasil wawancara yang dilakukan dengan beberapa warga dan pengurus Rw serta pihak pengembang, sebagian besar mereka dulu tinggal di wilayah Jakarta Barat dan pindahan dari kawasan Kota. Semenjak peristiwa Mei 1998, gelombang perpindahan semakin meningkat seiring dengan menurunnya rasa aman bagi kelompok etnis Cina. Pilihan lain yang mendorong perpindahan adalah fasilitas pendidikan dan layanan publik yang semakin menarik di kawasan Alam Sutera. Sebagai kelompok dengan etnis terbesar yang dominan di lingkungan Alam Sutera, kesan Alam Sutera sebagai “getto� atau “kampung� bagi etnis Cina, cukup terasa. Secara sosial ekonomi, hanya kelompok kelas menengah seperti mereka yang rata-rata cukup mampu untuk membeli rumah di Alam Sutera. Realitas seperti ini bagi bapak A2 sebagai Direktur pembangunan Alam Sutera bukanlah suatu masalah yang serius, sebab dalam praktek kehidupan sosial mereka sudah sangat berbaur ; Etnis itu sudah sangat tidak berarti disini. Orang-orang Cina/Tionghoa, sudah sangat berbaur disini. Mau jadi RT lagi , pergi ke kelurahan gitu. Waktu kejadian tahun 1998, paling nyata tuh, waktu kerusuhan. Dia ikut ngeronda gitu, apa gitu. Itu kan bukan nilai eksklusif sebenarnya. Dia datang ngegiring orang datang ke kecamatan untuk E-KTP misalnya. Di kumpulin di estate, pak E-KTP, gini-gini, yah ! Siap pak.., jadi kadang saya suka tertawa..tapi sebenarnya bangga, suka tersenyum pada saat yang beretnis Tionghoa, atau orang Cina itu berbicara seperti orang betawi dengan pak Lurah gitu. Kuatnya konsensus bagi kelompok etnis Cina untuk berbaur dan menghilangkan kesan eksklusif tidak bisa berbaur dengan penduduk sekitarnya secara perlahan tapi pasti sudah mulai berubah dengan semakin banyaknya Universitas Indonesia
l188 kegiatan sosial yang dilakukan penghuni Alam Sutera untuk membantu warga setempat. Bagi bapak A2 yang beretnis Sunda dan muslim serta merangkap sebagai Ketua DKM Mesjid Nur Almaulhusnah, menyikapi sikapnya yang kritis, terkait masalah etnis Cina. Jadi saya itu sangat menentang istilah “keturunan� atau ini “pribumi�. Buat saya, etnis cina itu, seperti kita orang Sunda,orang Jawa. Jadi saya nggak pernah mengatakan ini orang pribumi, ini orang cina. Jadi saya melihatnya ini orang melayu, ini orang cina, jadi saya selalu mengistilahkan seperti itu..pak. jadi saya suka bilang, saya bukan orang pribumi, saya orang Indonesia, orang jawa, sunda, dan nggak ada orang cina. Saya juga nggak apa-apa dipanggil orang cina. Lu ..orang cina..! Gitu..kan, tapi saya nggak apa-apa, tapi saya orang sunda. Bukan saya orang pribumi, bukan. Saya selalu mengatakan kita adalah bagian dari suku yang ada di Indonesia. Didalam prakteknya hubungan interaksi sosial diantara yang tinggal dilingkungan perumahan Alam Sutera dan warga yang tinggal di wilayah sekitarnya, dicoba dibangun dengan menjalin kegiatan bersama. Menurut pengakuan bapak Haji Maksum, sebagai Lurah yang sudah cukup lama menjabat di Pondok Jagung sejak tahun 2001, hingga saat ini tidak dirasakan adanya hal-hal yang mengganggu proses interaksi antara warga yang tinggal didalam dan diluar perumahan. Kesan yang tampak bahwa mereka tidak mau berbaur atau tidak mau mengurus lingkungannya dicoba dibantah oleh bapak C1; Semuanya baik semua .., masalah hubungan antara kelurahan dan warga itu semuanya baik akrab begitu, tidak ada masalah. Walaupun ada masalah ya.. biasalah namanya manusia ya.. Kadang- kadang masalah keluarga juga bisa tapi semua pada umumnya menghargai saya sebagai kepala kelurahan. RW nya juga sering kesini .. sering kerja bareng, saya kalau ada acara-acara sering diundang mereka. Begitulah semua baik-baik saja tidak ada permasalahan sebetulnya. Kalau ada masalah administrasi kita selesaikan sesuai dengan aturan dan walau bagaimanapun juga saya sebagai pelayan .. mereka minta surat keterangan, masalah KTP, KK kan dikeluarkan disini.. kita layani dan tidak ada masalah.. biasalah Pak. Keterbukaan dan pembauran yang dilakukan oleh sebagian warga yang tinggal di Alam Sutera, walaupun hanya terbatas diwakili oleh para pengurus RtRw turut membantu menghilangkan kesan eksklusif bahwa tidak semua etnis Cina tidak peduli terhadap lingkungan sekitarnya. Peran mereka untuk aktif duduk
Universitas Indonesia
189 dalam jabatan-jabatan publik sebagai pengurus Rt dan Rw, menghilangkan kesan ingin selalu dilayani dan tidak peduli dengan lingkungan. Ketertutupan lingkungan perumahan, sudah dicoba dibongkar dengan membuka hubungan interaktif dengan warga dan pemerintahan setempat melalui program-program pemerintah, seperti pembuatan E-KTP.
5.5 Ekspresi Penghuni: Antara Kepatuhan dan Kontestasi Prestise Pada setiap awal pembelian rumah atau tempat untuk kegiatan usaha dikawasan
Alam Sutera, pihak pengembang sudah menekankan kepada setiap
calon pembeli, bahwa mereka harus mentaati ketentuan peraturan tata tertib yang berlaku sebagai pedoman untuk menjaga ketertiban lingkungan.
Menurut
pengakuan pihak pengembang Alam Sutera, untuk membangun budaya menjaga ketertiban lingkungan
tidaklah semudah seperti apa yang tertulis didalam
aturannya. Latar belakang sosial ekonomi dan budaya yang berbeda diantara penghuni membuat sikap dan pola perilaku
ada yang tidak sejalan dengan
ketentuan yang berlaku. Mengacu pada hasil kajian terhadap pendekatan struktur dan kultur yang telah dikemukan diawal pembahasan, terdapat banyak alasan dan pertimbangan yang dikemukakan penghuni, mengapa ada sebagian dari mereka
yang
berperilaku tidak sejalan dengan ketentuan peraturan tata tertib. Bagi sebagian penghuni ada yang mengungkapkan unsur kesengajaannya karena menganggap nilai dan norma yang ditanamkan pengembang sebagai ikatan yang dianggap tidak menguntungkan bagi kepentingan
pribadi. Sementara
penghuni
lainnya
menyatakan ketidaktahuan dan ketidak mengertian mereka terhadap isi peraturan tata tertib karena merasa tidak pernah disosialisasikan. Proses sosialisasi terhadap isi dari peraturan tata tertib merupakan bagian dari mekanisme
pembelajaran
yang
seharusnya
dijalankan oleh pihak
pengembang. Akan tetapi keharusan ini menurut sebagian besar nara sumber yang diwawancarai tidak sepenuhnya dijalankan oleh pengembang. Menurut Charlotte Buehler (1968) proses sosialisasi sangat perlu untuk dilakukan sebagai suatu kegiatan yang akan membantu individu-individu untuk belajar dan menyesuaikan diri, serta belajar bagaimana cara hidup dan berpikir didalam kelompoknya
Universitas Indonesia
l190 sehingga ia dapat berperan dan berfungsi. Hal yang sama dikemukakan Bruce J Cohen80 yang menyatakan sosialisasi dapat menjadi suatu proses yang dapat membantu manusia untuk mempelajari tata cara kehidupan dalam masyarakat, memperoleh kepribadian dan membangun kapasitasnya agar berfungsi dengan baik sebagai individu maupun sebagai anggota suatu kelompok. Secara fakta dilapangan tidak seluruhnya anggota komunitas atau penghuni yang tinggal diperumahan mentaati ketentuan yang telah ditetapkan. Tetapi secara realitas upaya-upaya yang telah dilakukan Alam Sutera,telah berhasil membangun kultur kesadaran penghuni untuk taat aturan, sehingga tingkat kepatuhan menjadi sebuah produk budaya yang menghasilkan tradisi baru dalam berperilaku. Menurut pengakuan nara sumber A3 kondisi kepatuhan warganya antara lain; Dari tingkat kepatuhannya rasanya 70 % mengikuti dan 30 % yang lain, mereka punya ide yang cross the line tapi itu juga harus didengar kenapa mereka begitu, Cuma kalau sudah kelewatan, dalam batas-batas tertentu kita tidak bisa mengikuti karena kita juga punya aturan. So far mereka sih OK, artinya secara menyeluruh mereka mengikuti, benar-benar mengikuti aturan itu. Jadi, saya melihat developer lain tanpa pagar. Di developer lain itu akhirnya dipagari juga, tapi disini tidak begitu. Bentuk kesulitan yang dihadapi pengembang didalam menanamkan nilainilai keteraturan adalah keragaman norma-norma masyarakat yang tinggal di lingkungan Alam Sutera. Keragaman ini menimbulkan banyak perbedaan, antara satu norma yang membolehkan serta norma lain yang melarang. Keadaan ini sering menimbulkan pertentangan diantara penghuni, sebab ada sebagian penghuni yang menganggap perilakunya tidak bertentangan dengan norma aturan yang ada, sementara menganggap apa yang dilakukan warga tersebut bertentangan dengan ketentuan yang berlaku. Kondisi latar belakang sosial yang berbeda diantara penghuni, membuat kemampuan pengembang berkurang kemampuan kontrol sosialnya dalam menjalankan peran dan fungsinya. Hal ini diakui oleh A3, sebagai penanggung jawab pengembangmanajamen yang sudah cukup lama di Alam Sutera. Cukup berat untuk melakukan upaya menanamkan nilai-nilai baru kepada setiap penghuni.
80
Idianto M, Sosiologi, Erlangga , Jakarta 2004.
Universitas Indonesia
191 Jadi gini pak, pertama tentunya nilai lingkungannya, lingkungan itu kan seperti menjadi ukuran bagi strata sosial jadi lebih naik status sosialnya. Kenapa saya ngomong gitu, karena penghuni sini banyak yang pindahan dari Jakarta Barat yang lingkungannya itu tidak tertata atau ‘ruwet’. Bahkan di daerah-daerah kota itu yang benar-benar lingkungan yang tidak layak untuk ditinggali. Ketika sampai disini semua diatur tapi mereka yang menjadi kaget. “ Oh, ternyata hidup seperti ini, itu OK” sehingga secara sosial itu merubah, merubah cara dia seperti melakukan kegiatan seharihari yang tadinya dia nggak care seperti melihat sampah, tapi karena dia care melihat lingkungan yang bersih, dia juga ada rasa segan “tetangga gue ko bersih banget masa gue mau ngotorin” otomatis itu jadi terarah . Nilai-nilai
keteraturan
yang
ditanamkan
pengembang,
ternyata
memberikan nilai positif terhadap kehidupan warga. Keteraturan dan kedisiplinan yang ditanamkan oleh pengembangmanejemen Alam Sutera, ternyata menjadi nilai jual yang positif bagi pengembang untuk meningkatkan daya tarik usahanya. Kompetisi yang ketat diantara pengembang ternyata menjadi nilai atau value tersendiri bagi siapapun untuk memilih yang terbaik bagi pilihan tempat tinggalnya, termasuk diantara pengembang itu sendiri. Hal ini dijelaskan kembali oleh nara sumber A3, terkait ketertarikan seorang Direktur dari pengembang lainnya yang tertarik untuk tinggal di Alam Sutera. Dari sisi developer, saya banyak bertemu dengan developer lain, seperti dari Bakrie. Tapi sebetulnya mereka justru senang kamu punya development. Bahkan Direkturnya Lippo juga tinggal disini. “Ko bapak mau tinggal disini ? Kenapa tidak di Lippo saja ?” “Enggak saya lebih senang development kamu”. Kita punya development itu kita selalu memikirkan, kenapa saya juga senang kerja disini, kita mengembangkan suatu lingkungan tapi kita juga bertanggung jawab terhadap perkembangan. Jadi kita kita juga memikirkan nantinya bagaimana ? Nanti kalo orang yang tinggal disini, dia akan feeling like what, itu yang kita pikirkan. Jadi bukan udah deh kita buat gini jadi biar lingkungan yang ngatur. Jadi, kita mau seluruh Alam Sutera itu punya culture yang sama. Proses sosialisasi terus dilakukan oleh pengembang untuk menanamkan nilai-nilai keteraturan. Walaupun dalam praktek menjalakan aturan norma ini, sering mendapatkan kritik dari penghuni yang tidak setuju dengan aturan – aturan yang demikian ketat, dan berkesan agak represif, tetapi secara positif proses sosialisasi yang dilakukan dengan cara mengingatkan warga telah memberikan kesan terciptanya tertib sosial.
Universitas Indonesia
l192 Hal ini diakui oleh beberapa penghuni yang merasakan nilai manfaat yang mereka terima selama bertempat tinggal di Alam Sutera. Munculnya sikap kepatuhan warga Alam Sutera bisa muncul disebabkan faktor kepatuhan secara rasional. Kepatuhan secara rasional adalah kepatuhan yang dilandasi oleh pertimbangan untung rugi, misalnya apakah kepatuhan kepada peraturan tata tertib memberi manfaat keuntungan buat mereka. Dalam kondisi ini terlihat jika pihak pengembang mampu menunjukkan manfaat dari peraturan tata tertib yang mereka buat (seperti tertib bangunan, tata aturan kegiatan usaha dirumah, tata aturan sistem keamanan), dan dalam prakteknya ternyata sebagian penghuni secara rational dapat digolongkan sebagai warga yang mampu bersifat cukup kompromis untuk menerima ketentuan yang sudah ditetapkan. Kehidupan masyarakat disini ini sangat
berorientasi kearah budaya
konsumtif. Gaya konsumerisme mereka merupakan cara untuk menunjukan status sosialnya, membantu integrasi ke dalam kelompok dan afirmasi nilai. Munculnya masyarakat konsumeris mempengaruhi warga untuk tidak terlalu tertarik pada masalah solidaritas. Melemahnya solidaritas disertai semakin tergerus normanorma kebersamaan karena pertimbangan logika ekonomi membuat masyarakat semakin tersekat dengan sisi kepentingan pribadi. Masyarakat yang menekankan pada orientasi
ekonomi merupakan
masyarakat yang hanya kenal pada satu pola hubungan , yaitu bertarung dalam kompetisi. Masyarakat seperti ini menjadi arena dimana kelompok-kelompok bertarung tanpa ada
yang menengahi. Ruang publik identik dengan pasar.
Pragmatisme cenderung mengesampingkan dialog untuk mencari solusi. Nilai makna norma dan moral cenderung tidak diperhitungkan kecuali sebagai alat legitimasi. Atas nama kepentingan umum, kenyamanan dan keamanan sekelompok warga atau individu dapat memaksakan kehendak untuk menutup atau mematikan usaha yang sedang dikembangkan penghuni. Pola hubungan interaksi diantara penghuni Alam Sutera saat ini semakin diwarnai oleh pola kompetisi dengan menjadikan simbol-simbol ekonomi sebagai alat untuk mendominasi ruang publik. Konflik yang terjadi diantara penghuni lebih disebabkan oleh faktor dominasi penguasaan ruang oleh sekelompok penghuni yang memiliki kekuatan modal ekonomi. Eksklusi sosial terjadi ketika
Universitas Indonesia
193 masalah selera atau cita rasa dipaksakan untuk berhadapan dengan aturan tata lingkungan yang sudah memberikan pembatasan. Peraturan tata tertib sebagai bentuk pengendalian tata lingkungan sering dilanggar oleh pemilik kapital yang lebih kuat. Dominasi kelompok yang memiliki modal ekonomi yang kuat menimbulkan benturan dengan mereka yang memiliki keterbatasan. Realitas ini diceritakan nara sumber A3 ketika menjabat manajer pengembangdari tahun 2006 sampai tahun 2012. Satu contoh pak, ada konflik antar tetangga. Ada yang bangun rumah 4 lantai, kiri kanannya tidak setuju. Kenapa ada bangunan setinggi itu di cluster ini, seakan-akan dia mau melihat kita semua. Tetangga sebelahnya langsung melapor ke Tata Kota, akhirnya orang pemerintahan datang kesini. Satpol PP sampai datang dan menyetop pembangunan itu, yang tentunya berkoordinasi dengan Pengembang. Kita pasti mendukung tindakan tersebut karena itu salah. Akhirnya bangunan itu terbengkalai, dia juga ngerasa ya sudah. Maka bangunan ditinggali begitu saja. Konflik terhadap masalah estetika bentuk bangunan yang diprotes tetangga sebelah rumah tidak hanya dialami pada masa kepemimpinan A3.
Ketika
kepemimpinan pengembang beralih kepada A4 , masalah selera keindahan yang tidak sesuai dengan habitus penghuni sering
menjadi akar konflik diantara
mereka. Ada satu kluster yang rada aneh..pak. Tetangganya tanahnya kosong ingin membangun, dia complain karena tampak depannya tidak seperti itu. Lha..saya bilang apa hak anda. Kalau anda nggak mau anda pindah..jujur pak , saya ngomong begitu.Selama dia tidak membangun tujuh lantai apa hak anda untuk melarang. Mau temboknya warna pelangi, ya terserah dia. Kalau tidak suka ya jangan dilihat. Sampai batas tertentu saya terpaksa harus keras pak. Jadi saya jelaskan kalau sudah masuk ranah pribadi itu saya lepas.
Masalah lain yang terkait dengan kekuatan modal ekonomi adalah dominasi pemakaian jalan umum untuk kepentingan parkir kendaraan pribadi. Minimnya
lebar jalan di lingkungan perumahan dan semakin banyaknya
kepemilikan kendaraan pribadi menjadikan ranah ini menjadi areal konflik antar penghuni. Pemilik kendaraan yang
lebih dari dua
cenderung mendominai
pemakaian jalan.Akar permasalahan menurut A1, Direktur Marketing Alam Sutera adalah ruang yang terbatas.
Universitas Indonesia
l194 Disini orang punya “carport� tidak punya garasi, tetapi punya mobilnya tiga. Terus dia liat tetangganya kerja, mobil lainnya dia parkir di carportnya tetangga. Tetangganya tahu, langsung ngamuk..itu lah yang kita atur cukup lama. Ya lumayan 18 tahun. Ruang yang terbatas membuat persepsi penghuni terhadap penguasaan ruang private semakin meluas. Bagi sebagian warga, jalan didepan rumahnya adalah ranah pribadi yang tidak boleh dimanfaatkan pihak lain tanpa seizin pemilik rumah. Persepsi ini terbentuk karena tidak ada pihak yang mampu menengahi akar konflik, sehingga setiap pemilik modal ekonomi terkuat cenderung lebih menguasai ruang. Fenomena ini diceritakan nara sumber B5 pengurus RW yang tinggal di Kluster Gardenia. Didalam cluster kan tidak ada lalu lintas umum. Hal itu yang mungkin membangun persepsi bahwa ini hak gue gitu loh. Sehingga kadang-kadang kalau ada orang parkir didepan rumahnya cenderungnya marah. Rumah saya kan di Gardinia itu hanya ada dua jalan yang bisa tiga mobil. Rumah yang lainnya tipe rumahnya kecil-kecil jadi jalannya hanya pas untuk dua mobil jadi kalau parkir begini (saling nutup). Kalau nggak ada toleransi orang susah lewat, nah itu saya yang jadi RT pun sering pusing karena masalah itu. Tingkat kesejahteraan penghuni yang semakin meningkat mendorong mobilitas sosial di Alam Sutera semakin tinggi. Kesejahteraan menjadi kekuatan pendorong bagi setiap penghuni untuk semakin eksis dalam
ruang sosial,
sehingga membuat mereka ingin berbeda dengan cara melakukan kekerasan simbolik terhadap sebagian penghuni lainnya. Kontestasi prestise yang terjadi diantara penghuni Alam Sutra ternyata tidak mampu direspon oleh pengembang dengan baik. Pada satu sisi, pengembang menerapkan berbagai aturan secara ketat kepada sebagain besar penghuni, namun bagi penghuni yang memiliki modal sosial dan modal ekonomi sangat besar terkesan pengembang mengizinkan mereka untuk melanggar setiap aturan yang berlaku. Pengembang memberikan hak-hak istimewa (privilege) yang dimiliki oleh sekelompok orang atau warga yang dibenarkan untuk melanggar aturan yang telah ditetapkan oleh peraturan tata tertib. Hak – hak istimewa atau privilege ini, sebenarnya tidak diatur didalam ketentuan peraturan tata tertib.
Universitas Indonesia
195 Didalam peraturan tata tertib semua hak dan kewajiban warga adalah sama. Penyimpangan terjadi dalam praktek lebih disebabkan faktor status sosial oknum penghuni dilingkungan perumahan. Melalui simbol-simbol organisasi tertentu atau jabatan politik / kekuasaan sekelompok warga sepertinya leluasa untuk melanggar peraturan. Pihak pengembang tidak berani untuk memberikan sanksi yang tegas. Selain dengan membawa nama organisasi atau jabatan yang melekat, hak-hak-hak istimewa juga melekat pada mereka yang mengaku sebagai “teman” atau “kerabat” dari pemilik perusahaan. Kepada mereka yang merasa memiliki hak-hak istimewa ini pelanggarannya sulit untuk ditegur atau diberi sanksi.
Pengakuaan
ini
dikemukan
A4,
yang
menjabat
sebagai
pengembangmanajer. Misalnya back up saya Jenderal ini, parpol ini. Selain parpol ada lagi yang keliatan ingin menonjol, yaitu Ormas. Ya kalau disini, saya kira tidak ada ormasnya. Tapi kita ketahui ada beberapa Ormas yang cukup dikenal. Ya ormas yang agak sedikit berbau preman atau ormas yang agak sedikit berbau radikal. Wah itu pak gayanya luar biasa. Terus yang lain adalah mereka yang mempunyai Kepangkatan di instansi tertentu…bisa juga yang Berbaju Hijau atau bisa juga yang di Kepolisian . Nah itu yang biasabisanya begitu..pak. Dalam beberapa kasus, pemilik hak-hak istimewa ini merasa tidak peduli dengan segenap ketentuan yang telah diatur di peraturan tata tertib. Pihak pengembang merasa kesulitan dengan kekuatan modal ekonomi atau politik yang mereka miliki. Keyakinan bahwa segala sesuatu bisa diatur dengan modal kekuasaan dan ekonomi, terbukti dapat mereka praktekan, walaupun ada terguran yang diberikan. Penjelasan lebih lanjut dari A4, memberikan gambaran bagaimana bentuk ketidakpedulian mereka atas aturan yang telah disepakati bersama. Pada umumnya mereka tidak peduli..kita cuma bisa ngomong. Bukan maksud saya ingin curhat..pak..! Sebagai contoh, mereka sudah membangun, pengembangtidak punya otoritas untuk membongkar. Kalau misalkan pengembangmelaporkan ke instansi terkait.Instansi terkait datang dan apa yang terjadi ..kasih (sambil tangannya memberi..tanda “uang”) ..masalah selesai. Lalu mereka tinggal pergi, toh bagi instansi tidak pengaruh apa-apa. Nah kalau sudah begini..kan repot..pak.
Universitas Indonesia
l196 Bagi warga lainnya, kejadian seperti ini menimbulkan rasa ketidakadilan. Protes yang disampaikan ke
estate, tidak memuaskan mereka, sebab
pengembangdianggap tidak berani bertindak dan membiarkan penghuni yang seperti ini dibolehkan melanggar aturan. Warga menganggap pengembangtakut jika berhadapan dengan mereka yang memiliki kekuasaan atau memiliki modal ekonomi serta kekerabatan. Sementara dipihak pengembangtidak berani bertindak, karena penghuni berani melawan dengan membawa segenap atribut modal yang dimilikinya. Jika konflik menajam biasanya pihak pengembang mengalah, karena penghuni dianggap bersikap masa bodoh. Dia ini yang gebrak duluan ..nah dalam sisi negatif ya itu tadi unjuk-unjuk kekuasaan, pamer-pamer kekuasaan‌pamer-pamer kekuatan. Kadangkadang dia cuek‌nggak mau tau. Peraturan yang ada dilanggar-langgar aja‌wah banyak pak. Kami paling pusing di pengembangkalau ada warga mau buat IMB ingin bangun. Sudah mau bangun kita liat ini melanggar. Diatas kertas dia urus IMB di instansi lain, IMB keluar. Kenyataanya dia lebih jauh dari IMB. Jujur ngomong saya nggak bisa ngatur orang seperti ini. Dia merasa punya power atau previlage..previlage negative..and so what‌ gitu. Kalau saya mau bangun gini mau apa kalian .Biasanya suka begitu. Aktor-aktor yang memiliki modal politik, kekuasaan atau ekonomi di perumahan Alam Sutera sangat memanfaatkan posisi sosial mereka, untuk mengubah atau mengatur ketentuan yang berlaku. Status sosial mereka yang cukup dominan membuat petugas-petugas pengawas bangunan atau lingkungan tidak mampu berbuat banyak untuk merubah kondisi dan situasi yang seperti ini.
5.6 Kesimpulan Dinamika kultural di dalam komunitas berpagar Alam Sutra memiliki persinggungan antara kultur yang inhern dengan penghuni dengan kultur yang dipaksakan oleh pihak pengembang. Di ruang publik, penghuni menunjukan bagaimana mereka sebagai kelas menengah yang memilki modal dan tingkat pendidikan yang memadai, untuk mampu hidup dengan nilai-nilai toleransi, kepedulian, ketertiban dan kebersihan. Pada sisi yang lain, penekanan kultur komunitas berpagar melalui kekuatan struktur (peraturan tata tertib) ternyata masih tidak mampu untuk mewujudkan nilai harmoni yang menjadi visi perusahaan. Walaupun untuk beberapa kalangan penghuni masih ada yang Universitas Indonesia
197 mencoba
konsisten
untuk
menjalankan
aturan.
Hal
ini
disebabkan
ketidakmampuan pihak pengembang berlaku konsisten dalam menerapkan aturanyang mereka buat sendiri. Sebagai korporasi, penegakan kultur dan aturan itu tidak dilakukan sepenuh hati, hal ini dipahami karena orientasi korporasi yang menekankan pada keuntungan semata. Selain masalah tersebut bagi beberapa penghuni yang memiliki kekuatan modal budaya dan ekonomi yang cukup kuat (besar) dapat melanggengkan kultur individunya tanpa menghiraukan kepentingan bersama. Hal ini ini yang menimbulkan praktek eksklusi sosial. Struktur
pengembang
yang
dominatif
ternyata
tidak
efektif
mengembangkan kultur di dalam komunitas berpagar. Hal ini dipahami karena tidak adanya pelibatan penghuni dalam setiap pembuatan kesepakatan yang ada di dalam komunitas berpagar. Pada penjelasan berikutnya akan dijelaskan bagaimana terjadinya upaya perubahan struktural yang dilakukan oleh penghuni, yang selama ini tidak dilibatkan secara aktif oleh pihak pengembang untuk mengelola sistem sosial yang mereka hidup di dalamnya.
Universitas Indonesia
l198 BAB VI KOMUNITAS BERPAGAR: KEHIDUPAN MASYARAKAT MINIM PROSES SOSIAL
Pengantar Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, perumahan di kawasan permukiman Alam Sutra menerapkan sistem cluster (komunitas berpagar). Secara sosial, sistem cluster dapat membuat penghuni terpisah secara fisik dengan masyarakat lain disekitarnya. Selain itu, mekanisme ini juga menjadikan pengembang memiliki wewenang penuh atas pengelolaan
perumahan sehingga berdampak secara
langsung terhadap kehidupan sosial penghuni. Kuatnya struktur dominasi dari pengembang membuat minimnya proses sosial di komunitas berpagar. Dalam bab ini akan dijelaskan bagaimana
implikasi kehidupan
dikomunitas berpagar atas peraturan tata tertib yang diterapkan oleh pengembang. Ada dua hal yang ingin diungkapkan, pertama penghuni komunitas berpagar dalam perkembanganya merasa tak berdaya dihadapan pengembang. Sebagian besar penghuni tidak memiliki posisi tawar untuk melakukan negosisasi atas aturan yang begitu ketat yang ada pada peraturan tata tertib.
Hal ini
memunculkan protes-protes kecil penghuni atas peraturan tata tertib dalam upaya memperbaiki struktur regulasi tersebut. Kedua, komunitas berpagar sebagai makhluk sosial merasakan ada kebutuhan untuk membangun proses sosial diantara mereka. Adanya permasalahan sosial antar penghuni serta antara penghuni dan pengembangmanegament menjadi pemicu munculnya kerjasama, dialog, partisipasi ataupun membangun kesepakatan diantara mereka.
6.1 Ketiadaan Ruang Dialog antara Penghuni dan Pengembang Didalam
proses strukturasi praktek relasi sosial diantara pihak
pengembang dan pihak warga, yang sebagian besar diwakili oleh para pengurus RT dan RW, merasa masih adanya kesenjangan antara apa yang dijanjikan dengan praktek yang sebenarnya. Warga menganggap pengembang sebagai aktor utama yang menguasai ruang kegiatan, kurang memberikan perhatian terhadap
kepentingan
Universitas Indonesia
warga.
Dalam
198
beberapa
event
kegiatan
yang
199 diselenggarakan
warga, dukungan yang diberikan pihak pengembangtidak
sepenuhnya diberikan. Kesan tersebut diungkapkan oleh para informan yang tergabung didalam ASRC (Alam Sutera Resident Community) ; Keliatan pengembangkita kalau melihat RT RW bergabung, si pengembang itu keliatanya kaya takut. Setiap ada event ajah dia bantunya setengah –setengah pak, kalo engga digebrak baru.Saya sudah bilang sama teman teman kita tidak untuk melawan dia kalo kita ngelawan dia, saya gak repot untuk ngelawan dia sendiri-sendiri .Saya di (Kluster) Kirana jika saya minta perbaikan,saya datang sendiri.
Kurangnya perhatian pengembang yang dikeluhkan warga adalah pada pemeliharaan sarana dan prasarana lingkungan. Jika terjadi kerusakan jalan, lampu penerangan, saluran air mampet atau adanya gangguan binatang melata (ular), maka realisasi waktu penyelesaiannya dianggap terlalu lama. Tidak semua warga dapat menerima alasan atau pertimbangan estate, mengapa layanan tidak segera diberikan. Sebagian warga beranggapan jika sudah membayar IPL (Iuran Pengelolaan Lingkungan), kewajiban mereka sudah selesai, sesuai isi perjanjian di peraturan tata tertib. Mereka pada umumnya kurang setuju jika pihak RT atau RW mengambil inisiatif meminta sumbangan kepada warga untuk mengatasi masalah kerusakan sarana. Kejadian seperti ini diceritakan nara sumber B5, yang menjabat RW di Sutera Gardenia. Nah.. kadang-kadang kebijakannya juga kurang nih pak . Kurang apa.. kurang bisa diterima secara logika. Misal pengaspalan ya.. ini sekarang manajer yang baru bagus pak.. kalau dulu manajer yang lama itu lucu. Pengaspalan dicluster itu dikaitkan dengan .. warga yang tidak membayar IPL (Iuran Pemeliharaan Lingkungan). Saya waktu itu sempat sih berdebat “Bu kan yang tidak bayar inikan minoritas, kenapa yang mayoritas ini jadi gak dapet gitu�, kalau misalnya mau ekstrim yang nggak bayar didepan rumahnya jangan diaspal deh.. misalnya.. bolong-bolong gitu kan, Nah itu kebijakan yang menurut saya gak baik.
Keluhan atas lambatnya layanan pengembangdisampaikan juga oleh bapak B2
sebagai RW Kirana, yang menurut pengakuannya sudah sering
menggebrak-gebrak meja layanan di kantor estate. Ini yang agak lambat pengembangitu kalau ada kerusakan, kerusakan jalan dan pos jaga. Kemarin pas saya telpon nggak diangkat, makanya saya bilang pengembangtuh ggak bisa ditelpon. Kita datangin dan tungguin, ayo orangnya mana. Listrik saya ini sudah berapa kali mati ya, saya Universitas Indonesia
l200 diemin satu minggu, dua minggu dia gak ada reaksi. Akhirya oke kapan mau kerjain, siang ini saya tunggu. Emang harus diuber- uber, kalau tidak dia cuek. Menanggapi sikap warga yang menilai pengembangkurang peduli terhadap aktifitas yang dilakukan warga, tidak sepenuhnya dibenarkan oleh pihak pengembang. Baik A3 yang telah cukup lama menjadi Direktur Pengembang, maupun penggantinya A4 sama-sama memiliki persepsi yang sama menanggapi situasi seperti ini ; Ya, mbok seharusnya warga juga mengerti. Mereka harus bisa pisahkan antara masalah pribadi atau perseorangan dengan masalah tata lingkungan. Pengembangkan bekerja pada koridor aturan yang telah ditetapkan, jadi kami tidak bisa masuk kedalam persoalan-persoalan pribadi mereka. Pengembangjuga punya keterbatasan, tidak semua masalah harus diselesaikan oleh pengembang.
Bagi sebagian warga pernyataan pengembangtersebut, tidak memuaskan mereka. bagi beberapa pengurus RT dan RW, bukan itu yang mereka protes, yang warga inginkan sekedar kepedulian atau bantuan fasilitas untuk mendukung kegiatan mereka atau masalah yang harus mereka pecahkan ; Maksud kami perhatianlah, sekiranya kami melakukan kegiatan sosial seperti donor darah, ya ada bantuan atau fasilitas yang bisa dibantu. Minimal ada staf atau anggota dari pengembang yang mau hadir atau mendampingi kegiatan yang kami lakukan. Jadi jika kami memiliki kebutuhan yang memerlukan dukungan pengembangbisa kami langsung sampaikan.
Adanya kesenjangan komunikasi antara pengembangdan warga serta batasan aturan yang lebih menekankan kewajiban kepada penghuni, membuat ruang gerak mereka sepertinya dibatasi. Pengembang terkesan hanya ingin menangani hal-hal yang formal dan sudah diatur didalam ketentuan peraturan tata tertib. Sementara bagi warga, cara pendekatan pengembangyang terlalu formal membuat mereka kurang terperhatikan. Dalam persepsi mereka jika pengembang dan warga merupakan satu kesatuan, sebaiknya pengembang juga mau peduli dengan apa yang mereka lakukan. Pada sisi lain, kesenjangan komunikasi antara pengembang dengan penghuni bukan hanya terjadi dalam setiap even yang diselenggarakan oleh RT-
Universitas Indonesia
201 RW. Dalam proses komunikasi yang terkait dengan permasalahan penerapan peraturan tata tertib menjadi masalah yang serius diantara penghuni dan pengembang. Menurut pendapat beberapa pengurus RT dan RW, yang diwawancari oleh penulis, minimnya proses sosialisasi peraturan tata tertib yang dilakukan oleh pihak pengembang sempat menimbulkan hubungan kritis diantara pihak penghuni dan pengembang. Situasi kritis tersebut muncul ketika saat awalnya para penghuni mulai tinggal di perumahan Alam Sutera. Sikap kritis dari penghuni disebabkan adanya penilaian terhadap inkonsistensi pengembang dalam
menjalankan
peraturan.
Hal
yang
lain
ketidakpahaman atau ketidaktahuan penghuni dan
dimunculkan
akibat
kontraktor terhadap isi
peraturan. Protes demi protes muncul dari penghuni karena banyak kontraktor yang membangun rumah bertindak tidak sesuai aturan. Situasi konflik seperti ini terjadi ketika ada penghuni yang awalnya hanya membeli kavling (tanah siap bangun) mulai membangun rumahnya. Beberapa penghuni yang sudah lama menetap mengeluhkan tindakan para kontraktor yang melanggar aturan jam kerja,
meletakan besi bangunan
dan bahan bangunan lainnya
tidak pada
tempatnya, sehingga membuat tingkat rasa aman dan kenyamanan penghuni menjadi tertanggu. Keluhan yang paling sering dikemukakan terkait cara membuangan sisa bahan bangunan. Pihak penghuni menuding, kontraktor atau pembeli yang membangun rumahnya tidak paham peraturan tata tertib. Protes ini disampaikan nara sumber B3, pengurus RW dari Sutera Onyx ; You sudah siapkan peraturan tata tertib kenapa nggak disosialisasikan, karena tidak semua warga paham terjhadap peraturan tata tertib. Diakui oleh para pengurus RW dan RT di Alam Sutera masalah sosialisasi peraturan tata tertib adalah pangkal masalahnya. Pada umumnya penghuni pada saat transaksi jual beli rumah hanya main tandatangan saja tanpa
pernah
membaca atau memahami apa isi dari peraturan tata tertib, akibatnya banyak warga yang tidak memahami peraturan tata tertib. Akibat kondisi sosial yang seperti ini beberapa pengurus RT dan RW, mengambil inisiatif untuk melakukan tindakan pendampingan dengan cara melakukan sosialisasi terhadap ketentuan yang tercantum didalam peraturan tata tertib. .
Universitas Indonesia
l202 Kita buat SOP, jika dilihat dari formatnya sih sudah bagus,tapi implementasinya rendah. Implementasi itu kan ada dua level, yang pertama kita tahu isinya dulu, dengan cara melakukan education, jika tidak berjalan barulah funismentnya masuk. Inti dari tindakan proses sosial yang dilakukan oleh pengurus RT/RW adalah membantu pengembang Alam Sutera melakukan sosialisasi. Dokumen peraturan tata tertib, yang dianggap terlalu tebal dan sangat bersifat teknis karena penuh gambar
tidak memungkin setiap orang untuk mudah membacanya.
Lembaran-lembaran peraturan tata tertib tersebut selanjutnya
disimpulkan
menjadi dua lembar oleh pengurus RW di kluster Sutera Onyx. Sementara di lingkungan kluster Sutera Kirana dank luster lainnya dibuatkan menjadi sebuah papan informasi di pintu gerbang keluar masuk lingkungan perumahan. Pengurus RW Sutera Onyx, membuat ringkasan peraturan tata tertib menjadi dua halaman, bolak balik. Selain membuat ringkasan peraturan tata tertib oleh RW Sutera Onyx, pengurus RT/RW di lingkungan lainnya masing masing
membuat
sosialisasi degan caranya masing-masing. Kita tidak menjalankan peraturan tata tertib, tetapi melakukan soalisasi peraturan tata tertib sekaligus mensosialisasikan kebijakan internal kita juga, seperti tamu wajib lapor 24 jam dan pemasangan stiker. Kegiatan sosialisasi peraturan tata tertib merupakan suatu bentuk proses sosial sebagai bentuk koreksi atas tindakan pihak pengelola yang dianggap tidak memenuhi kewajibannya. Sebagaimana diketahui proses sosialisasi dilakukan oleh dua pihak, yaitu (1) pihak yang melakukan sosialisasi dan (2) pihak yang disosialisasikan. Bagi sebagian pengurus RT dan RW, konflik diantara mereka dengan pengurus pengembang, disebabkan pihak pengelola tidak melakukan sosialisasi peraturan tata tertib. Minimnya sosialisasi dan rendahnya tingkat pemahaman inilah yang dianggap menjadi akar terganggunya keteraturan sosial yang ingin dibangun bersama. Pihak kontraktor dan pemilik rumah yang akan membangun dianggap tidak disiplin, sehingga teguran dari pengurus RT atau keluhan warga sering muncul ke pihak pengembang. Kevakuman terhadap peran institusi yang seharusnya bertanggungjawab dalam menjalankan kewajiban, saat ini perannya diambil alih oleh pihak pengurus RT dan RW.
Universitas Indonesia
203
Gambar : 6.1 Papan Informasi Peraturan Tata Tertib Cluster Sutera Kirana Bagi pihak pengembang hal ini dianggap sebagai sebuah terobosan positif, guna menanamkan nilai dan norma aturan yang harus ditaai oleh penghuni. Hal ini diakui oleh A3, sebagai mantan dari manajer estate, karena dianggap membantu tugas-tugas manajemen yang masih kekurangan anggota untuk melakukan pelayanan lingkungan. Dulu ditempat saya ada bagian tata lingkungan, untuk melakukan pendampingan dan menerima keluhan warga terkait sistem pengelolaan dari manajemen. Tetapi karena luasnya areal dan terbatasnya SDM kami, sehingga banyaknya keluhan dari warga,yang tidak tertampung oleh kita. Salah satu bentuk manfaat dari kegiatan sosialisasi oleh pengurus RT dan RW adalah terbangunnya kemampuan diri sendiri untuk semakin dewasa dan pematangan diri kepribadian dan kelompok untuk menerima nilai-nilai baru sebagai nilai bersama yang menjadi panduan dalam melakukan interaksi diantara penghuni dan pengembang serta warga sekitarnya. Proses pembelajaran yang terus menerus dilakukan diharapkan menjadi dasar terjadinya proses internalisasi sebaga bentuk penerimaan proses sosialisasi. Didalam proses strukturasinya praktek mekanisme pengawasan yang dijalankan oleh Alam Sutera menurut sebagian warga tidak sepenuhnya dijalankan secara konsekuen. Menurut pihak pengembang, tidak dijalankannya kewajiban ini tidak semata-mata disebabkan kondisi objektif dari pihak pengembang yang tidak ingin melaksanakannya. Kondisinya
lebih disebabkan faktor situasional dan
Universitas Indonesia
l204 masih diberikannya batas toleransi oleh pihak pengembang terhadap berbagai pelanggaran yang terjadi, khususnya kepada warga yang tinggal di kluster perumahan lama. Implikasi dari masih diberikannya batas toleransi dan terjadinya pelanggaran seperti ini dianggap sebagian warga sebagai wujud inkonsistensi Alam Sutera dalam menjalankan aturan. Akibatnya inkonsistensi pengembang, beberapa penghuni ada yang merasa terganggu dan dirugikan. Menurut pendapat sebagian warga, petugas pengawas dilapangan sering membiarkan begitu saja, jika terjadi pelanggaran. Penghuni yang melanggar norma atau aturan dari peraturan tata tertib sepertinya terlepas dari sanksi yang seharusnya dijatuhkan. Keluhan seperti ini disampaikan oleh nara sumber B1, pengurus ASRC yang telah cukup lama tinggal di Alam Sutera. Kalau mengenai peraturan tata tertib sejak awalkan mereka sudah buat. Sejak penjualan pertama pada tahun 1994, 1997, bahkan tahun 2000 juga sudah ada. Cuma dalam perjalanannya ada juga yang keluar dari peraturan tata tertib, misalnya ada yang dagang, buka toko. Dalam perjalanan mungkin ada aja warga yang kehilangan pekerjaan, misalnya pada tahun 1998 pada saat terjadinya krisis waktu itu. Dan kondisi disini belum berkembang seperti saat ini, maka boleh tuh dagang. Buka-buka toko, itu nggak bisa dilarang. Jadi ada aja dari peraturan tata tertib yang keluar dari garisnya. Yang pelihara binatang misalnya, anjing tidak boleh dilepas, harus dikawal. Ada aja warga yang melepas piaraannya. Nah kalau kita lapor estate, pengembangmau ngambil tindakan juga bingung mungkin. Ditangkapkah atau bagaimanakah. Kita sebagai warga juga tidak senang toh kalau ada binatang piaraan kelayapan, nanti buang kotoran ditempat kita. Menggongong, mengganggu kita yang mau naik sepeda tiap pagi. Apakah yang gini-gini tanggung jawab RT, pengelola, warga, atau estatenya. Pengembangjuga agak ragu-ragu kalau mau ambil tindakan. Kalau ada hal-hal yang rusak pun..menurut warga tindakan pengembangjuga relative lama.
Kejadian pelanggaran yang dibiarkan oleh pihak pengembang, disikapi sebagian warga dengan sikap
tidak peduli.Sebagian merasa bosen untuk
mengomentari atau menanggapi, karena memiliki keyakinan pengembang pasti lama meresponnya. Sementara bagi sebagian lainnya memiliki keyakinan pengembangpasti tidak akan peduli. Jadi percuma saja kalau mau protes. Bagi mereka asal pelanggaran tersebut tidak terlalu mengganggu dan merugikan privasi kehidupan atau kepentingan mereka, mengapa harus diributkan ? Apalagi posisi dan peran pengembang dalam persepsi warga masih memiliki kelemahan
Universitas Indonesia
205 didalam pengawasan disebabkan adanya keterbatasan jumlah petugas. Kondisi ini dijelaskan kembali oleh nara sumber tersebut; Banyak juga warga yang melanggar aturan, misalnya halaman tidak boleh dibangun, mereka bangun, ya keluar dari aturan-aturan. Tetapi selama tetangganya tidak complain, ya silahkan aja. Jadi banyak juga dibeberapa kluster, banyak yang melanggar. Tetapi mungkin karena pengembangkekurangan tenaga ya ? Mestinya bagaimana..ya jadi terabaikan. Minimnya tindakan estate, membuat beberapa pengurus RW merasa kecewa dan dirugikan. Bentuk kekecewaan ini disampaikan oleh nara sumber B2 pengurus RW Sutera Kirana, nara sumber B3 pengurus RW di Sutera Onix dan nara sumber B4 pengurus RW di Sutera Delima secara bersama-sama di dalam suatu acara Forum Group Discusion (FGD) antara penulis dengan para pengurus ASRC ; Mengapa orang berani melanggar pak?Pertama saya liat sosialisasi tidak dilakukan. Kalau kita sudah melakukan serah terima , kita kan dapat peraturan tata tertib yang harus kita tandatangani. Tapi kan yang penting buat pengembang cuma tandatangan ajah dan mengingatkan kalau anda membangun, anda nggak boleh gini nggak boleh gitu . Sosialisasinya enggak ada, kemudian satpamnya kalau dalam pelaksanaan tugas pengawasan itu enggak akan pernah negur karena ditips sama kontraktornya. Bukan cuman itu aja, kalau kita mau ngebangun dan majuin gambar kan harusdibawa ke estate, itu nggak bakalan dinilai atau dievaluasi sama mereka. Asal tetangga tandatangan,pengurus RT dan RW juga sudah tandatangan yasudah selesai. Kalau masalah gambar RT dan RW engga berhak untuk negur, itu kan warga kita juga.Kalau kita engga jadi RT RW otomatis kita akan jadi warga juga. Jangan RT dan RW dibenturin sama warganya. Kita prinsipnya tidak masalah dengan peraturan tata tertib, hanya penegakannya dan pemerataannya. Pernyataan yang lebih keras, sempat dikemukakan oleh nara sumber B3. Bagi kalangan pengembang atau warga di lingkungan Alam Sutera,khususnya di kluster Sutera Onix, bapak B3 dikenal sebagai tokoh RW yang paling sering protes dan paling keras untuk menentang inkonsistensi peraturan tata tertib. Bapak B3 ini , adalah tokoh RW yang menolak lingkungannya kluster Sutera Onix untuk dinilai atau diwajibkan untuk mengikuti kegiatan Alam Sutera Communitas Award pada tahun 2011. Bapak B3 menolak dengan alasan Alam Sutera tidak konsisten menegakan aturan. Bahkan dengan sangat terbuka dia memasang
Universitas Indonesia
l206 spanduk di gerbang masuk Kluster Sutera Onix, dengan tulisan “ Kluster Sutera Onix, Menolak Communitas Award”.81 Pada saat dilakukan penelitian, penulis mencoba melakukan pendekatan dengan yang bersangkutan. Dari hasil interaksi selama penelitian, ternyata dibalik kekerasan sikap dan tindakannya, penulis dapat memahami bahwa dibalik semua sikap kritisnya yang muncul terhadap pengembanglebih
disebabkan
latar
belakang sosial, pendidikan dan profesinya. Bapak B3 adalah seorang lulusan dari program Strata Dua (S2) bidang
Teknik Sipil dan profesinya sebagai
seorang dosen perguruan tinggi. Sikap kritis, muncul karena yang bersangkutan dahulunya adalah aktifis kemasyarakatan. Kepeduliannya kepada kepentingan masyarakat mendorong sikap dan tindakannya lebih kritis untuk menyikapi segala bentuk ketidakadilan atas hubungan interaksi diantara penghuni dan pengembang. Dalam suatu wawancara bapak B3
mengungkap uneg-unegnya terhadap
pelaksanaan peraturan tata tertib : Peraturan tata tertib itu macan ompong, jika dilaksanakan tanpa penegakan hukum. Jika bapak mau bukti, saya bisa tunjukkan bentuk-bentuk pelanggaran yang terjadi di Sutera Onix. Pihak pengembangtidak membudayakan bagaimana menegakan peraturan tata tertib. Maka saya bilang, blak-blakan udah nggak usah ikutan aja lomba yang kemarin..percuma. Hadiahnya juga palsu..maka saya ucapin selamat kepada kluster yang menang. Dan mereka bilang nggak dapat duit, hanya dapet fasilitas. Kata saya kalau gitu nipu dong..seharusnya membangun fasilitas sosial itu kan kewajiban pengembang.
Selanjutnya bapak B3 melengkapi pernyataannya, dengan usulan bahwa setiap RW atau kluster dapat membuat peraturan sendiri untuk menegakan peraturan tata tertib;
Iya bagi saya sekarang,saya bilang ajah gini anda buat peraturan...ya, kalau tidak di tegakkan secara kosisten lalu ngapain bikin peraturan.Saya bilang begitu ajah. .hmmm…Kalau begitu kita peraturan sendiri-sendiri aja tiaptiap Kluster kan, begitu pak. Iya,iya…saya orangnya lebih baik bikinnya sedikit tapi jalan dari pada anda bikin tebel-tebel tapi gak ada yang jalan.ya…ya…ngapain kan. Saya juga bantu perusahaan-perusahaan kan 81
Catatan ini didapat penulis saat diminta Pengembang Alam Sutera untuk menjadi Dewan Juri, penilaian terhadap lingkungan kluster perumahan di Alam sutera. Saat itu penulis tidak dapat berhubungan langsung dengan bapak Daniel, karena tim pendamping menyarankan untuk tidak bertemu, demi menghindari konflik terbuka.
Universitas Indonesia
207 pak untuk consulting banyak mereka memberi file value intergriti,alisty dan sebagainya.Saya cuma nanya yang aktuel jalan yang mana sih.ha‌ha‌ha‌Ditulis gede-gede tapi,implemented yang mana ? Saya orangnya fokusnya pada implementasi karena menurut saya banyak yang nggak jalan di lapangan.Implementasinya bermasalah‌!!
Menanggapi keluhan-keluhan penghuni atas inkonsistensi pengembang, pihak Alam Sutera menyatakan tidak semuanya apa yang dikatakan bapak B3 benar terjadi. Walaupun ada protes atas inkonsistensi, menurut Pengembang itu hanya dari beberapa orang saja yang klusternya tidak mau diatur oleh peraturan tata tertib. Sementara bentuk toleransi yang diberikan pengembang atas beberapa kasus pelanggaran lebih disebabkan bentuk pelanggaran yang tidak bersifat ekstrem. Apabila pelanggaran itu bersifat kecil dan tidak seberapa berarti, maka biasanya para petugas lapangan (Satpam)
akan bersikap toleran saja. Kalau
pelanggarannya ringan-ringan saja, petugas terlihat akan mengacuhkan saja. Hal ini terjadi karena pihak keamanan dan warga sudah saling mengenal. Contoh bentuk kelonggaran atas aturan ketat yang mewajibkan setiap orang yang keluar masuk antar kluster harus menunjukkan KTP masih diberikan toleransi kemudahan. Pendapat ini ini dikemukakan oleh bapak A6, yang bertindak sebagai Kepala Keamanan dilingkungan Alam Sutera; Yah selama ini masih ada toleransi. Toleransi yang kita maksudkan disini toleransi untuk tetangga sebelah warga bukan orang jauh pak. Kalau kita mau larang tapi kita kenal dengan orang itu pak , jadi susah pak karena kenal, jadi ngga bisa digitukan. Dan tujuanya juga cuma mau belanja pak. Kalau mau ikut aturan silahkan “tinggalkan KTP nya, kalu tidak cuma ditulis nama doang kalau kita kenal orangnya .Makanya kalau mau ditegakkan aturanya gimana yah‌.?
Untuk menegakkan aturan peraturan tata tertib di Alam Sutera, menurut pihak pengembang, memang memiliki beberapa kendala. Luasnya wilayah yang harus dipantau dan terbatasnya jumlah tenaga keamanan dan pengawas bangunan membuat mereka kesulitan untuk menegakkan aturan. Hal ini disampaikan oleh A3, yang pernah menjabat sebagai manajer pengembangselama 6 (enam) tahun di Alam Sutera ;
Universitas Indonesia
l208 Memang agak susahnya gini, ini kan masalah sumber daya. Aturan ada, tugas jelas, dijalankan atau tidak itukan terhadap kontrol. Jadi Kontroling itu memang sulit, waktu saya di pengembangterus terang kekurangan orang disaat itu untuk mengontrol , sehingga waktu itu saya membuat Tata Lingkungan. Tata lingkungan itu sifatnya lebih mengontrol peraturan tata tertib itu dijalankan atau tidak. Unit Tata Lingkungan itu untuk mengawasi tata lingkungan Alam Sutera apakah sesuai tidak dengan aturan yang sudah dibuat. Dan saya dengar saat ini unit pelaksana teknisnya sudah tidak ada dan sudah diserahkan ke Security, saya juga tidak mengerti. Karena menurut saya Security bukan kapabilitas mengontrol , karena mereka punya tugas lain. Dia lebih ke keamanan bukan ke aturan peraturan tata tertib. Kalau peraturan tata tertib kan banyak aturannya tuh pak, dari aturan lingkungan, kebersihan, landscape dan keamanan. Kalau keamanan saya rasa agak kurang tepat, saya nggak tau, itu mungkin dari kebijakan pengembang yang baru. Jadi, akhirnya saya tidak tahu nih , saya banyak dengar sekarang ini agak tidak terkontrol juga. Dari pembangunan yang tidak sesuai dengan aturan yang akhirnya tidak terkontrol. Itu memang kembali ke SDMnya. Dihapuskannya Unit Tata Lingkungan di Kantor Pengembang Alam Sutera, serta diserahkannya pelaksana teknis lingkungan ke pihak keamanan berimplikasi kepada perubahan sistem pengawasan dilingkungan Alam Sutera. Peran satuan keamanan (Satpam) saat ini mendapatkan tugas tambahan untuk melakukan pengawasan terhadap aturan Tata Lingkungan . Sistem manajemen yang berubah inilah yang menurut A3, menjadi celah bagi penghuni untuk melakukan komplain atas inkonsistensi Alam Sutera dalam menjalankan peraturan tata tertib. Besarnya ruang lingkup tugas dan dibutuhkannya keahlian yang handal, menjadi suatu masalah jika pihak Alam Sutera tidak segera melakukan pembenahan. Saran ini disampaikan A3 , ketika menyikapi kritik warga terhadap peraturan tata tertib ; Pertama, orangnya kurang, yang kedua kemampuan individu. Kalau orangnya kurang tapi kemampuannya cukup, sebetulnya sih masih bisa tercover masalahnya. Ini kan skillnya masih kurang, kemudian jumlah personilnya juga kurang, sementara area terus bertambah. Jadi saya pernah bilang ini kalau tidak cepet-cepet orangnya tidak ditambah, sementara skill juga tidak bertambah menurut saya ini akan kacau. Karena kita kan sekarang makin bergerak kearah utara itu lebih banyak bisnis districk. Itukan masalahnya banyak juga‌.
Universitas Indonesia
209 Kondisi internal pengembang yang belum optimal, merupakan salah satu faktor masalah tidak dijalankannya beberapa kewajiban Alam Sutera untuk menegakkan aturan. Petugas keamanan yang ditempatkan sebagai ujung tombak dalam menegakkan aturan, menghadapi kendala keterampilan untuk menghadapi situasi sosial dengan dinamika kepentingan individu yang tinggi. Penghuni dengan status sosial yang lebih tinggi cenderung sering menghakimi ketidakmampuan
petugas,
dengan
meminta
kepada
pengembanguntuk
memindahkan petugas Satpam yang dianggap tidak becus dalam menjalankan tugasnya. Sementara bagi pihak-pihak yang merasa dirugikan akibat peraturan tata tertib yang tidak dijalankan, cenderung sering bertindak kasar kepada petugas layanan publik di kantor pengembang.
6.2
Kecemburuan Sosial antar Penghuni Secara stratifikasi sosial kedudukan kelompok strata sosial menengah
bawah sulit untuk mendapatkan layanan prima secara berkeadilan dilingkungan perumahan yang didominasi kelompok menengah keatas. Perbedaan pelayanan lebih cenderung disikapi kepada kapasitas kemampuan ekonomi dan karakter kehidupan sosial yang berbeda. Penyediaan rumah-rumah tipe kecil oleh pihak pengembang pada awal pembangunan Alam Sutera, dianggap sebagai upaya untuk memenuhi syarat-syarat yang diminta oleh pemerintah melalui SK Bersama Tiga Menteri tentang Kewajiban Pengembang untuk membangun dengan konsep 1 : 3 : 6. Konsep 1 berarti untuk rumah mewah, konsep 3 untuk rumah menengah,dan konsep 6 untuk rumah sederhana. Tetapi saat ini didalam prakteknya beberapa kelompok rumah-rumah tipe kecil dengan konsep 6 saat ini sudah dilepas manajemen pengelolaannya oleh pihak pengembang.
Universitas Indonesia
l210
Gambar 6.2 : Fasilitas Kolam Renang di Cluster Sutera Onyx
Pengembang masih memiliki interpretasi yang berbeda terkait makna atas rumah tipe kecil. Rumah tipe kecil dalam persepsi pengembang bukan didefinisikan sebagai rumah murah dan sederhana. Pengelompokan tipe rumah kecil di Alam Sutera tidak identik dengan rumah sederhana untuk kalangan bawah. Hal ini dijelaskan nara sumber A2, Direktur Pembangunan Alam Sutera; Secara kebijakan pemerintahnya kita sama. Kalau bicara mengenai Alam Sutera, sebenarnya kita masih menganut ketentuan dari Menteri Perumahan Rakyat, mengenai konsep 1:3:6 (1 rumah mewah, 3 menengah, dan 6 sederhana), sekarangkan konsepnya sudah dirubah menjadi 1:2:3. Cuman konteksnya kita bukan untuk rumah “Murah dan Sederhana�. Tapi sebenarnya tipe rumah yang kita bangun adalah tipe kecil, kita bicara seperti itu.
Kecil dalam pengertian Alam Sutera tidak identik murah, tetapi bangunan kecil dengan harga yang disesuaikan dengan lingkungan Alam Sutera. Menurut keterangan bapak Ahmad, dilingkungan Kluster Kirana, tipe-tipe kecil dilingkungan mereka terdiri dari rumah yang luas bangunannya berukuran 6 x 17 = 72 meter , 10 x 17 meter = 170 meter, 10 x 20 meter = 200 meter. Dilingkungan Sutera Kirana, luas terbesar adalah 200 meter dan yang terkecil tipe 72 meter. Sehingga kategori tipe rumah 3 x 7 meter = 21 meter, 3 x 9 = 27 meter, 6 x 6 =36 meter atau 5 x 9 = 45 meter, tidak masuk kategori yang dikelola manajemen
Universitas Indonesia
211 Alam Sutera. Sebagian besar rumah-rumah tipe kecil berada diluar tanggungjawab Alam Sutera. Walaupun dalam tahap awal rumah-rumah kecil ini bagian dari pembangunan yang dilakukan PT.Alpha Golden Estate, cikal bakal PT. Alam Sutera Goldland Tbk. Kondisi ini dipertanyakan oleh nara sumber C2, RW di Perumahan Pondok Pakulonan.
Justru itu sampai sekarang masih tanda tanya, kalau bahasanya diwebsite secara geografis wilayah ini masuk Alam Sutra. Tetapi saat ini area ini diblok oleh Alam Sutra dan justru saya bertanya kenapa di blok. Apakah karena dulu pengembangnya Alpha kemudian dilanjutkan Alam Sutera. Padahal Alam Sutera standar bangunan awalnya rumah sederhana seperti ini. Upaya –upaya untuk memperjelas siapa
yang bertanggungjawab dan
bagaimana tata kelola lingkungan di Pondok Pakulonan dan Griya Hijau yang bersatu dalam lingkup wilayah binaan Alam Sutera, sempat menjadi bahan pertanyaan bagi pengurus RW setempat. Saya tanyakan sampai sekarang belum ada jawaban yang pasti.. jadi gimana ya Pak. Padahal kantor pengelola Alam Sutra kalau ada perlu suka bertanya kepada kami. Sampai tahun 2005 saya masih melapor ke situ dan bahkan sampai sekarang kadang kami juga suka masih melapor. Padahal kami sampai sekarang juga nggak terdaftar membayar IPL (Iuran Pengelolaan Lingkungan). Tapi secara pelaporan diakui jadi membuat kami bingung juga. Inisiatif warga untuk mengintegrasikan pengelolaan lingkungan pernah disampaikan kepada pihak pengembang Alam Sutera, tetapi respon yang didapat tidak mendapatkan jawaban yang pasti bahkan cenderung medorong warga untuk mengelola lingkungan sendiri. Saat itu dulu pernah juga ditanyakan, karena dianggap orang kecil mungkin gak ada kontribusinya. Saya tanya IPL berapa .. ya . gak jelas ? Dia juga gak mau menurunkan, coba mau menurunkan akan saya sisoalisasikan ke masyarakat. Ya bahasanya kita diabaikan‌lah. Jadi kita cari pengelolaan sendiri. Beberapa warga merasa mulai tidak mendapatkan perhatian menjelang perumahan di Pondok Pakulonan mulai terjual habis. Sesuai ketentuan yang berlaku secara umum dalam tata aturan pembangunan perumahan, jika seluruh perumahan sudah sepenuhnya terjual, maka tanggung jawab pengelolaan akan
Universitas Indonesia
l212 diserahkan kepada warga. Beberapa warga menceritakan proses pelepasan manajemen lingkungan untuk Pondok Pakulonan dan Griya Hijau.
Ya sekitar 5 – 7 tahun setelah tinggal disini, jadi sebelum perumahan disini terjual habis masih terperhatikan. Jadi fungsi intinya begitu selama pemasaran masih berlangsung masih di perhatikan, setelah sudah terjual habis selamat tinggal. Tidak ada sama sekali informasi, setelah itu gak ada gandeng renteng untuk gimana enaknya berhubung kita ikut konteks administrasi pengelola Alam Sutera atau mau dikelola sendiri itu gak ada. Menanggapi pola manajemen yang berbeda antara lingkungan kluster Alam Sutera dan perumahan tipe kecil dan sederhana. Pihak manajemen, mengungkapkan bahwa setiap pengelola lingkungan itu memiliki batas-batas ukuran yang berbeda. Sulit mensinerginakan standar kualitas tinggi yang diterapkan manajemen Alam Sutera, untuk diberlakukan pada kelompok masyarakat menengah bawah. Pembangunan rumah kecil pada awalnya dicoba untuk diterapkan guna mengikuti kebijakan pemerintah, tetapi kondisi ini dalam realitasnya sulit untuk diterapkan dengan kondisi pasar perumahan yang terus berubah. Tuntutan pasar mengharuskan pengembang mampu secara kreatif. Realitas ini disampaikan nara sumber A1, sebagai Direktur Marketing Alam Sutera. Kita ingin tumbuhkan disini yang smart growth. Smart growth itu apa..? Kita mengeluarkan peraturan tata tertib, dimana didalamnya ada building codes, ada lansekap codes, itu kita harus tahu apa yang kita harapkan 10 tahun yang akan datang. Apa yang terjadi 20 thn yang akan datang. Jadi waktu kita buat planning development, kita sudah tahu mana yang mau kita jual (lepas) mana yang mau kita tahan. Kita tahan itu akan menjadi landmark kita. Itu menjadi penting supaya ada kepercayaan warga kepada kita.
Kebijakan melepas kelompok perumahan kecil dan sederhana yang pada awalnya bagian dari Alam Sutera,memberikan indikasi bahwa Pondok Pakulonan dan Griya Hijau suatu manajamennya akan diserahkan
kepada masyarakat.
Skenario ini sudah disusun sejak awal pembangunan, karena tidak menjadi bagian dari landmark Alam Sutera yang memiliki standard lingkungan
tinggi dan
jaminan kehidupan yang lebih baik. Kebijakan yang tidak disampaikan secara terbuka kepada pembeli ini, secara tidak langsung menunjukkan adanya Universitas Indonesia
213 kesenjangan cara pelayanan antara kelompok perumahan menengah atas dan bawah. Mengacu kepada ketentuan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 1987, tentang Penyerahan Prasarana Lingkungan, Utilitas Umum, dan Fasilitas Sosial, termuat definisi akan fasilitas sosial, yaitu ; fasilitas yang dibutuhkan masyarakat dalam lingkungan permukiman yang meliputi fasilitas: kesehatan, pendidikan, perbelanjaan dan niaga, peribadatan, rekresi/budaya, olahraga dan taman bermain, pemerintah & pelayanan umum serta pemakaman umum. Kewajiban penyediaan fasilitas sosial atau umum adalah bagian dari kewajiban pengembang untuk memenuhi kebutuhan penghuni lingkungan perumahan.
Menurut Healey (1991), dengan model pendekatan institusinya
menjelaskan bahwa proses produksi perumahan dan fasilitas sosialnya merupakan hasil keputusan dari sejumlah aktor yang berperan dan terikat dalam suatu hubungan kekuasaan satu dengan lainnya dalam proses pembangunan tersebut. Analisis pengadaan perumahan dan fasilitasnya yang dibangun oleh developer juga dapat dilihat berdasarkan kepentingan ekonomi yang sangat dominan dari sistem produksi perumahan dan fasilitasnya. Hal ini sangat beralasan mengingat adanya azas-azas pengembang perumahan yang lebih berorientasi profit. Kebijakan penyediaan
fasilitas sosial perumahan tidak terlepas dari
kebijakan yang mengacu kepada ketentuaan yang berlaku. Pemerintah mengeluarkan peraturan dan standar-standar yang mengatur pengadaan fasilitas sosial dalam suatu lingkungan perumahan, yaitu : Keputusan Menteri Pekerjaan Umum No. 20/KPTS/1986 tanggal 16 Mei 1986, tentang Pedoman Teknis Pembangunan Perumahan Sederhana Tidak Bersusun, Keputusan Menteri PU No. 378/KPTS/1987, menyatakan tentang Petunjuk Perencanaan Kawasan Perumahan Kota dan Permendagri No. 1 Tahun 1987 dan Inmendagri No. 30 Tahun 1990 tentang Penyerahan Prasarana Lingkungan, Utilitas Umum dan Fasilitas Sosial Perumahan Kepada Pemerintah Daerah. Untuk sebagian warga yang pertama kali membeli rumah di kluster – kluster lama di Alam Sutera, mengeluhkan tindakan pengembang yang tidak menyediakan fasilitas sosial di lingkungan mereka. Penghuni sering mengalami
Universitas Indonesia
l214 kesulitan untuk melakukan kegiatan-kegiatan bersama. Pengembang dianggap tidak bertanggungjawab, karena tidak menyediakan kebutuhan penghuni
fasilitas sosial untuk
seperti gedung pertemuan warga dan sarana olah raga.
Warga yang tinggal di kluster lama, sering memperbandingkan situasi layanan dan
fasilitas yang berbeda dengan kluster perumahan baru. Pada kluster
perumahan
baru
kelengkapan
kebutuhan
bersama
warga
sudah
lebih
dipersiapkan. Kondisi ini tidak dipungkiri oleh pihak pengembang sebagaimana disampaikan nara sumber A3 dari pengembang. Tapi memang mungkin bagi mereka yang tinggal di cluster baru fasilitasnya jauh lebih baik, itu kan tidak bisa dipungkiri. Namanya juga development, kita kan makin belajar, yang kurang yang kita perbaiki. Mereka juga harus paham itu. Dulu mereka beli dengan angka berapa‌? Beberapa warga mengkritisi mengapa Kluster Sutera Onix lebih lengkap fasilitasnya ada kolam renang, klub house dan fasilitas bermain anak-anak. Apakah karena kluster Sutera Onix itu kluster baru yang lebih mahal sehingga fasilitasnya lebih baik dibandingkan dengan yang lainnya. Bagi sebagian warga yang tinggal di Onix, mengatakan warga lainnya nggak perlu cemburu, soalnya dulunya mereka membelikan dengan harga yang lebih murah. Kalau membeli di Sutera Onix dengan kondisi sekarang tentunya harganya lebih mahal dan tentu ada tambahan fasilitas. Pendapat ini sempat terlontar oleh B3, sembari bercanda kepada teman-teman segroup ASRC ;
Kalau yang lain enggak usah cemburulah, soalnya dulu belinya pada murah,kalau yang mau belinya di Onix ya tentunya harganya agak lebih mahal. Jika dilihat fakta yang berkembang dilapangan, dapat dikatakan rata-rata kelompok perumahan lama tidak memiliki fasilitas sebaik apa yang dibangun di kluster Sutera Onix atau Kluster rumah lainnya. Pada intinya warga berharap dapat memiliki fasilitas untuk tempat berkumpul atau berinteraksi dimana bangunannya disediakan oleh pengembang. Saat ini warga yang tinggal di kluster lama harus secara swadaya mengeluarkan biaya sendiri-sendiri. Kondisi ini disampaikan bapak B2 sebagai pengurus RW di Sutera Kirana, yang mencoba mengajak warganya untuk membuat fasilitas bersama ;
Universitas Indonesia
215 “Pak ayo kita bikin organisasi yang kira kira positif untuk di Kirana . Ya sudah kita bangun lapangan voli, tapi lahanya mana ? Kita waktu itu ada acara 17 Agustus per RT. Udah maen RT 1 lawan RT 2 pak, tapi maen pake kavling orang. Giliran kita mau final , orang itu mau membangun dan mau digali. Saya bilang jangan dulu digali pak, disini nanti kamu nggak bakal betah karena warga yang maen. Oke katanya, saya gali sebagai syarat ajah deh pak. Selesai itu langsung saya cari lahan yang saya punya untuk fasos fasum yang mana ini. Kebetulan saya liat disituh ada fasum, saya sikat gituh ajah, saya ambil aja pak. Langsung kita ribut pak, waktu saya ambil . Estatenya tuh marah marah. Komandan satpamnya itu bilang nggak boleh dibangun. Kita tetep bentuk terus, kita kasih surat ke estate. Akhirnya terjadi konflik, katanya tidak boleh di cor , kadung kata saya kita cor aja dua lapis 15 senti.
Penyediaan fasilitas sosial menjadi kebutuhan penting untuk mendukung tumbuh kembangnya suatu komunitas. Hubungan interaksi antar warga dan kebutuhan ruang bermain anak menjadi hal yang penting untuk difasilitasi oleh pihak pengembang atau komunitas. Pengalaman sulitnya mencari ruang terbuka atau lahan bermain bagi kebutuhan keluarga disampaikan kembali oleh bapak B2 sebagai pengurus RW di Sutera Kirana. Karena gini, kita punya anak .Waktu saya baru punya anak dua, saya bilang sama anak saya kita mau maen dimana ? Masa mau diluar, diklaster kita engga ada sama sekali mainan untuk anak anak, enggak ada kegiatan ? Setelah kita bangun kita minta sama warga pak Rp.200.000, perkepala keluarga. Kebetulan warganya sudah banyak juga, waktu itu kita bangun udah ada kurang lebih empat (4) RT, ada 200 keluarga lebih lah.Kita minta minimum Rp. 250.000,-terkumpul kurang lebih 50.pak. Bangunan itu biaya 60 juta lebih. Akhirnya itu RT yang 15 orang sama Rwnya 18 orang, tarikin lagi pak. Saya sendiri kena 600 ribuan karena apa ? Niat untuk anak anak kita, supaya jalan kemana mana kita bisa ngawasin anak anaknya maen disini . Ya alhamdulilah anak-anak yang kita bangun sekarang jadi dokter pak ? Tidak ada istilahnya narkoba itu yang saya takutin Ketidakjelasan lahan yang akan dipergunakan untuk fasilitas sosial di kluster perumahan lama, menjadi bahan pertanyaan yang disampaikan warga kepada pengelola. Beberapa areal lahan kosong yang terdapat dilingkungan perumahan, sering dipertanyakan, apakah ini untuk fasos fasum atau tidak. Tiada kejelasan Alam Sutera mengundang tanda tanya, bahkan niatan untuk memanfaatkan tanpa koordinasi dengan pengembang . Beragam permintaan sudah disampaikan kepada pengembang , tetapi respon dari pihak pengembang Universitas Indonesia
l216 cenderung sangat lama. Pengalaman membahas fasos fasum bersama warga ini disampaikan oleh A3, mantan manajer estate.
Jadi dulu pernah begini, ini kan satu contoh..ya pak. Di Cluster Cemara, Delima, Elok, Flamboyan sampai ke Kirana. Mereka waktu itu kita kumpulin,waktu itu kita kan punya lahan nih didepan bisa difungsikan, silahkan. Dibangunlah itu tempat lapangan basket. Kita kan sebagai pengembang sudah memberikan lahan. Nah kita minta dong kontribusi dari warga karena ini adalah fasilitas tambahan, yang bisa kami berikan adalah ini. Lahan saya bangunin lapangan basket, nah kalo mau membangun balai untuk pertemuan, ya silahkan tapi itu tolong kontribusi dari warga. Mungkin kita akan bantu dari kontraktornya. Udah waktu itu, tapi akhirnya berhenti dari warganya juga, lapangan basket sudah jadi. Terus akhirnya ribut kok lapangan basketnya dikasih ke orang luar. Kita sudah kasih ya harusnya manage dong, jangan semuanya harus etate lakukan. Harus saling berbagi antar warga, kesulitan kita disitu.
Bagi sebagian warga penyediaan fasilitas sosial adalah tanggungjawab pengembang. Dasar pertimbangannya adalah ada aturan hukum yang mengatur. Realitas itu mereka sandingkan dengan pembangunan kluster perumahan yang baru yang lebih lengkap fasilitasnya. Sementara pihak pengembang tetap meminta kontribusi warga untuk melengkapi sarana lingkungan kebutuhan warga. Pertimbangan kluster lama, menjadi faktor hitungan bagi pengembang, karena sulit menghitung ulang kembali nilai fasilitas sosial sebagai beban yang harus ditanggung pengembang. Jika fasilitas sosial dibangun dilokasi baru, maka harga jual rumah sudah termasuk nilai aset sosial yang sudah disediakan oleh pihak pengembang.
6.3 Pembangunan Ruang Publik: Celah Untuk Membangun Interaksi Sosial Implementasi dari Masterplan Kawasan Alam Sutera, adalah terbentuknya zona ruang untuk penghuni dan zona ruang untuk masyarakat. Zona ruang untuk penghuni berupa ruang privat yang tidak bisa dimasuki oleh warga dari luar tanpa melewati pengawasan dari petugas keamanan. Sistem komunitas berpagar yang diciptakan pengembang dimaksudkan untuk melindungi ruang kehidupan sosial penghuni dari interaksi yang terbuka dengan lingkungan sekitarnya. Didalam lingkungan komunitas berpagar dengan model kluster ini, masing-masing
Universitas Indonesia
217 kelompok akan membentuk komunitas sendiri-sendiri berdasarkan segregasi sosial ekonomi masing-masing penghuninya. Untuk menghindari sekat-sekat sosial pengembang Alam Sutera tidak diperkenankan adanya sistem pemagaran pada setiap rumah sehingga pola ruang interaksi dapat terbentuk tanpa adanya halangan fisik berupa pagar rumah. Sistem lingkungan seperti ini membentuk zona private menjadi lebih terbuka dan lebih dekat bagi penghuni untuk melakukan interaksi antar tetangga. Sementara zona ruang publik adalah kawasan Alam Sutera yang terbuka untuk semua strata sosial dan masyarakat umum tanpa ada batasan. Zona inilah yang dijadikan sebagai zona untuk ruang negosisasi berupa sarana jalan umum,taman terbuka, fasilitas olaharaga, pusat jajanan kuliner, pasar modern, sarana pendidikan dan bisnis usaha lainnya. Konsep pembagian ruang dalam dua jenis pemanfaatan ini, dimaksudkan untuk mengurangi tingkat eksklusifitas yang tinggi antara lingkungan perumahan Alam Sutera (komunitas berpagar) dengan warga sekitarnya. Kondisi ini dijelaskan oleh nara sumber A2. Nah, itu bisa terlihat dari sisi siteplannya sudah sangat kelihatan banget..pak. Kalau didalam kluster “definitif� itu untuk penghuni. Kalau di luar kluster “siapapun boleh masuk�. Seperti Flavor Bliss, misalnya. Mau ke Sekolah Lorensia atau kalau mau ke Mesjid Nur Al Asmaa Ul Husna. Pokoknya yang diluar kluster itu, adalah untuk kepentingan umum, kayak Indomaret yang ada di selatan itu silahkan, itu untuk kepentingan umum. Tetapi yang didalam kluster itu kita jadikan untuk kepentingan penghuni. Jadi secara plan, buat kita itu sudah jelas, sebenarnya. Pola pembagian ruang privat dan publik yang terbentuk seperti ini, semakin mempertegas bahwa kebijakan struktur yang dimaksud adalah untuk membangun kehidupan komunitas berbasis kelompok perumahan. Zona ini tertutup untuk semua aktifitas publik, sementara fungsi pelayanan dari pengembang difokuskan bagaimana memberikan ruang yang aman dan nyaman bagi penghuni untuk melakukan aktifitas kesehariannya tanpa diliputi perasaan cemas. Ruang publik yang berada pada kawasan yang lebih terbuka, sengaja didesain oleh pengembang sebagai ruang negoisasi untuk mengurangi konflik baik berupa konflik sosial, psikologi dan fisik. Ruang publik inilah yang dapat membantu menjadi ruang negoisasi dan mampu mengeliminir potensi konflik
Universitas Indonesia
l218 yang ada.82Melalui ruang publik seperti ini pihak Alam Sutera, mencoba menyatukan komunitas-komunitas yang berbeda, sehingga terjadi keseimbangan yang harmonis antara kelas menengah (rumah menengah) dan komunitas kelas atas (rumah mewah) dan masyarakat sekitarnya. Sejak awal pembangunannya Alam Sutera, sudah menekankan visi dan misi pembangunannya pada prinsip “Harmoni Kehidupan”. Prinsip ini dijabarkan dalam ketentuan peraturan tata tertib, yang menjadi landasan hukum bagi pengembang untuk memberikan arahan dan tindakan sanksi hukuman bagi setiap pelanggaran demi menjaga keseimbangan sosial diantara perbedaan keyakinan dan etnisitas
penghuni . Untuk mencegah terjadinya kegiatan yang dapat
mengganggu ketenangan lingkungan, pihak pengembang berhak melarang dan membubarkan segala kegiatan penghuni atau para pembeli/owner yang dapat memancing unsur-unsur “SARA”(Suku, Agama, Ras, dan Antar Golongan) . Jika sudah dikategorikan meresahkan lingkungan, pihak pengembang
akan
menyerahkan penanganannya kepada pihak yang berwajib. Berdasarkan data mengenai jumlah dan komposisi penduduk
yang
83
didasarkan kepada agama dan etnis , sebagian besar penghuni yang tinggal di Alam Sutera adalah penganut agama Katholik dan warga keturunan. Komposisi jumlah penganut agama Katolik diperkirakan mencapai lebih dari 60 persen dari total penghuni84. Besarnya jumlah penganut Katholik di lingkungan ini, dicerminkan juga ketersediaan sarana pendidikan dan ibadah Katolik yang cukup besar, seperti Sekolah SD,SMP dan SMA serta Gereja Katolik Santa Laurencia. Komposisi dan keragaman keyakinan jumlah penganut Katolik disini, tidak
yang didominasi oleh besarnya
membuat Alam Sutera harus menjadi
lingkungan Katolik yang eksklusif. Diinternal pimpinan perusahaan, visi toleransi dan harmoni kehidupan diantara perbedaan keyakinan, telah menjadi pedoman 82
Retno Hastijanti, “Sisi Lain” Hunian Berimbang dalam Satu Hamparan. Inforum, Media Komunikasi Komunitas Perumahan, Edisi II tahun 2011. 83 Data ini merupakan prakiraan jumlah yang diberikan oleh pihak Pengembang dan Pengurus RtRw setempat berdasarkan hasil wawancara. Pihak pengembangdan pengurus RtRw tidak memberikan jumlah data secara terinci, sebab akumulasi secara keseluruhan ada di tingkat Kecamatan. Data ini hanya didasarkan prakiraan berdasarkan banyaknya kegiatan keagamaan dan aktifitas sosial yang dikelola oleh komunitas keagamaan. 84 Komposisi jumlah didasarkan data yang informasinya diterima dari para Ketua RW di lingkungan perumahan.
Universitas Indonesia
219 kebijakan perusahaan untuk selalu memperhatikan keseimbangan kehidupan bersama. Langkah-langkah ini harus menjadi acuan dalam setiap penyusunan rencana dan program. Hal tercermin dari apa yang dikemukan Lia Sukoco, sebagai salah seorang pimpinan perusahaan. Sebagai seorang wanita muslim, pengurus DKM Mesjid Alam Sutera dan bersuamikan seorang keturunan, perbedaan ini menjadi sebuah kekuatan untuk membangun suatu budaya toleransi . Kultur budaya toleransi
tercermin dari
sikap pimpinan perusahaan dalam
melihat perbedaan. Suasana seperti ini diceritakan nara sumber A1 ; Yang menciptakan nama Alam Sutera ini adalah Pak Haryanto Hartohadituno, dia mantunya Pak The Ning King (pemilik perusahaan) yang memberikan authority penuh kepada para direksinya adalah pak Haryanto. Dia tahu sekali apa bagusnya..kalau bisa dia dikloning bagus sekali, tapi dia orangnya nggak mau tampil. Dia yang memberikan kebijakan dalam Alam Sutera. Maka orang kayak dia harus diperhatikan. Agamanya Katolik, kalau dia melihat orang tidak melihat dari agamanya. Bahkan dia bilang seharusnya di KTP nggak perlu ada pencantuman agama. Menurut dia setiap orang harus dianggap orang. Kalimat “setiap orang harus dianggap orang�
yang dikemukan pak
Haryanto, adalah sebuah bentuk penghargaan dan pengakuan terhadap eksistensi diri setiap orang maupun kelompok. Perencanaan dan desain bangunan di Alam Sutera diusahakan agar memperhatikan setiap keyakinan dan kebiasaan yang berlaku di masyarakat. Bagi A1, sebagai seorang perencana dan pernah sebagai penanggungjawab pembangunan fasilitas publik, sempat mengingatkan hal tersebut kepada
kontraktor
yang sedang
membangun Pasar
8,
untuk
memperhatikan hal – hal kecil, tetapi sensisitif. Saya pisahkan pedagang babi dan sapi. Air yang di pedagang babi saya pisahkan ke tempat lain. Harus beda..kepada yang Islam – islam gue bila ingin lihat..ya aliran airnya, beda-bedakan. Gawat..lho kalau nggak dijelasin. Sementara untuk menyeimbangkan komposisi ketersediaan sarana dan prasarana kebutuhan beribadah, maka jumlah rumah ibadah yang dibangun akan disesuaikan dengan kebutuhan jamaahnya. Mengingat jika sarana ibadah yang dibangun hanya untuk kepentingan warga Alam Sutera, maka nilai manfaatnya dirasakan tidak akan begitu besar. Maka kebijakan perusahaan adalah membuat sarana beribadah yang dapat dipergunakan oleh pegawai perkantoran dan warga
Universitas Indonesia
l220 disekitar perumahan Alam Sutera. Pemikiran dan konsep ini seperti ini dikemukakan A2, Direktur Pembangunan Alam Sutera sekaligus ketua DKM Mesjid Nur Asmaulhusnah. Nah, sampai gitunya kita sudah pikirkan. Masjid lebih besar, dibangun lebih dulu,kan gitu-gitu sudah kita pikirkan, mesjidnya besar 1,5 hektar. Gereja, 8000 meter, bangunan mesjid lebih besar, tapi kalau kita liat bangunan gereja kan lebih tinggi. Itu hal-hal seperti itu, saya nggak tahu apakah developer lain juga melakukan hal-hal yang sedetail itu. Begitulah kita menanamkan nilai-nilai sosial, demikianlah gambarannya‌kira-kira. Bagi pihak Alam Sutera menempatkan posisi Gereja Santa Laurencia di tengah permukiman, dimaksudkan untuk menghindari kesan eksklusif atau bentuk penonjolan identitas agama tertentu secara terbuka kepada lingkungan sekitarnya. Mengingat warga disekitar lingkungan perumahan merupakan warga yang beragama Islam, maka bentuk-bentuk identitas bangunan rumah ibadah dilindungi dengan tanaman-tanaman pelindung sehingga terkesan tidak mencolok dan alami. Kondisi alami dan cara penempatan didalam lingkungan yang mayoritas pemeluknya berada dekat atau didalam perumahan memberikan kesan nyaman bagi setiap warga untuk melakukan ibadahnya. Hingga saat ini tidak ada terdengar adanya konflik antara penghuni dengan warga sekitarnya terkait masalah-masalah kehidupan beragama. Bagi beberapa kalangan masyarakat yang melihat posisi dan keberadaan Mesjid Nur Asmaa Ul Husna (Cahaya dari Sifat-sifat Tuhan) yang dibangun Alam Sutera dipastikan menimbulkan persepsi adanya kontestasi, antara mesjid milik pengembang dan mesjid milik warga. Mengapa harus ada dua mesjid yang sebenarnya pemanfaatannya tidak optimal jika sekedar hanya untuk dipakai sebagai sarana ibadah. Dihadapan Mesjid Alam Sutera yang cukup megah dan besar terdapat Mesjid Al Fatah milik warga kampung Dongkal Pondok Jagung.
Universitas Indonesia
221
Mesjid Al Fatah – Warga Dongkal
Mesjid Nur Almaul Husna- Alam Sutera
Gambar 6.3 : Mesjid Alam Sutera dan Mesjid Warga
Kedua mesjid dalam posisi berhadap-hadap dalam jarak kurang dari 20 meter dan hanya dipisahkan oleh keberadaan jalan Bhayangkara yang merupakan jalan akses menuju kawasan Bintaro. Bila ada kegiatan Sholat Jumat, kesan kedua mesjid saling mengintervensi dengan pengeras suara dan sangat jelas mempengaruhi kekhusukan ibadah para jamaahnya. Kesan bahwa keduanya memiliki kelompok jemaah yang berbeda terlihat saat melihat komposisi jemaah yang satu dari kalangan pekerja formal dan satu dari kalangan warga disekitar perkampungan. Mesjid Alam Sutera lebih banyak diisi oleh karyawan dan pekerja, sementara Mesjid Al Fatah diisi oleh warga setempat. Mesjid Al Fatah sudah sejak lama didirikan, bahkan menurut bapak Haji Sukma pengurus Dewan Kemakmuran Mesjid (DKM). Mesjid Al Fatah berdiri seiring perkembangan sejarah Kampung Dongkal di Kelurahan Pondok Jagung. Keberadaan mesjid merupakan bagian dari sejarah perkembangan masyarakat yang tinggal di sekitar Alam Sutera. Sementara Mesjid Nur Asmaa Ul Husna, didirikan oleh pengembang Alam Sutera pada tahun 2005. Adapun latar belakang mengapa mesjid didirikan diperbatasan dan dihadapkan pada keberadaan mesjid yang sudah terbangun sebelumnya, nara sumber A2 sebagai pengurus DKM Mesjid Alam Sutera dan Direktur Pembangunan memberi pertimbangan sebagai berikut ; Mesjid kita tempatkan lokasinya didaerah feri-ferial, antara kluster dengan komunitas penduduk setempat. Itu adalah untuk pencampuran, pencampuran media sosial antara kita dengan mereka. Yang kedua, kalau dalam istilah Islamkan, mesjid tidak boleh kosong..pak. Saya (Soleman)
Universitas Indonesia
l222 kan ketua DKMnya disitu jadi mesjid tidak boleh kosong. Jadi itu amanat dari orang tua saya. Jadi bukan kita bermaksud meremehkan orang-orang kampung, merekakan bekerja disekitar tempat tinggal mereka. Pertimbangan lain menurut beliau antara lain ; Kita tempat lokasinya ditempat yang sangat strategis, untuk persimpangan lalu lintas. Jadi dia itu (mesjid) selalu welcome, terhadap siapapun yang dari luar. Sementara tanggapan warga yang diwakilkan kepada bapak C2, pengurus RW di Pondok Pakulonan, menanggapinya ; Nggak masalah meski mesjid banyak berjajar yang penting rukun, Respon positif warga setempat disikapi secara positif oleh pengurus DKM Mesjid Alam Sutera, yang menyediakan fasilitas kelengkapan dari sarana yang tersedia untuk mendukung pelayanan kepada warga setempat.
Selain untuk
kegiatan hari-hari besar agama, keberadaan mesjid juga dimanfaatkan untuk menjadi sarana pendidikan agama dan juga kegiatan – kegiatan sosial lainnya, seperti ruang pertemuan yang berada di lantai dasar mesjid. Bagi sebagian warga keberadaan dua mesjid dalam area yang bersama, tidak mencerminkan adanya gap sosial. Hal ini senada dengan harapan yang ingin dibangun oleh nara sumber A1, sebagai Direktur Marketing ; Antara lingkungan masih ada kesenjangan, saya tidak bisa kuasai, karena saya bukan regulater besar..saya bikin mesjid dan saya ada areal relokasi bagi penduduk yang tanahnya saya beli.. Hal lain yang didapat A1 dari hubungan dengan lingkungan setempat ; Aku sekarang jadi pengekspor ustad-ustad dari kampung sini untuk jadi imam Sholat Jumat di halaman parkiran Mal. Tapi aku ingetin, kalau ceramah nggak boleh ngomong jelek-jelikin, kalau macem-macem kita putus kontrak. Kenapa aku berani ngomong gitu, karena gini-gini aku pengurus mesjid juga.. Dalam upaya memanfaatkan sarana ibadah yang telah dibangun, secara rutin pihak DKM Mesjid Alam Sutera telah menyusun program kegiatan rutin selama satu minggu sebagai panduan bagi warga untuk mengisi kegiatannya. Ada banyak kegiatan yang dilangsungkan oleh DKM Masjid khususnya kegiatan pengajian untuk anak-anak yang diselenggarakan rutin pada sore hari sejak Senin Universitas Indonesia
223 sampai Jumat. Selain itu juga ada beberapa kajian untuk orang dewasa sebagaimana terlihat di dalam tabel berikut ini.
Tabel 6.1 : Jadwal Kegiatan Masjid Nur Asmaa Ul Husna
6.4 Organisasi Ketetanggaan: Sarana Proses Sosial Jika mengacu kepada ketentuan yang berlaku di dalam peraturan tata tertib, pihak pengembang tidak mencampuri kehidupan organisasi sosial masyarakat di tingkat lingkungan. Pihak pengembang hanya fokus mengatur tata kelola lingkungan yang terkait dari masalah keamanan hingga ketentuan tata cara memelihara lingkungan.Kehidupan organisasi sosial kemasyarakatan sangat tergantung inisiatif yang dilakukan oleh warga.
Gambar : 6.4 Kegiatan Sosial ASRC
Sesuai dengan visi pengembang untuk mewujudkan lingkungan yang harmoni dan
menjaga sikap toleransi diantara penghuni guna
memelihara
ikatan sosial yang baik.Maka ketentuan peraturan tata tertib
sangat
Universitas Indonesia
l224 memperhatikan situasi
ketenangan, ketertiban lingkungan serta privasi setiap
penghuni sebagai sesuatu yang ketentuan peraturan tata tertib
harus dijaga dan dipelihara. Berdasarkan apabila penghuni hendak menyelenggarakan
kegiatan sosial yang melibatkan lebih dari 10 (sepuluh) peserta, atau melakukan kegiatan
lainnya
yang
dapat mengganggu
ketentraman
para
penghuni
lainnya,diberikan kewajiban harus melaporkan secara tertulis kepada petugas keamanan dan pengembang selambat-selambatnya 3 (tiga) hari sebelum kegiatan dimulai. Pelaporan ini dianggap penting karena dikhawatirkan acara tersebut akan menimbulkan
adanya bunyi-bunyian dari pengeras suara dan
menggunakan
sarana lingkungan milik umum. Pihak Alam Sutera, tidak akan memberi ijin jika kegiatan tersebut akan membuat kenyamanan penghuni terganggu. Persetujuan dari pengembang untuk kegiatan seperti itu akan diberikan secara tertulis, tanpa harus mengurangi kewajiban penghuni untuk mendapatkan ijin dari tetangga kiri, kanan, belakang dan pihak-pihak lain yang berhak dan berwenang. Ketentuan ini mengharuskan setiap penghuni untuk selalu melaporkan rencana kegiatannya kepada pengembang dan kepada semua tetangganya yang diperkirakan akan terganggu dengan kegiatan yang akan diselenggarakan. Untuk mencegah terjadinya kegiatan yang dapat mengganggu ketenangan lingkungan, pihak pengembang berhak melarang dan membubarkan segala kegiatan penghuni atau para pembeli/owner yang dapat memancing unsur-unsur “SARA�(Suku, Agama, Ras, dan Antar Golongan) . Jika sudah dikategorikan meresahkan lingkungan, pihak pengembang akan menyerahkan penanganannya kepada pihak yang berwajib. Menurut pihak pengelola keamanan Alam Sutera, didalam prakteknya pengaturan
terhadap acara-acara keagamaan atau sosial sudah
dijalankan
dengansesuai aturan peraturan tata tertib. Pihak keamanan atau pengembang menyatakan
tidak ada pembatasan terhadap setiap kegiatan aktifitas warga.
Ketentuan aturan dari pengembang hanya meminta setiap warga untuk selalu melaporkan kepada petugas keamanan dan kantor pengembang. Ketentuan ini sepenuhnya dijalankan oleh petugas keamanan yang selalu memantau aktifitas ibadah penghuni dilingkungan perumahan. Situasi seperti ini disampaikan bapak A6, yang bertindak sebagai kepala penanggungjawab keamanan.
Universitas Indonesia
225 Kalau kegiatan keagamaan itu boleh, tapi harus melalui ijin estate. Dan kalau tempat tinggal jangan terlalu lama-lama dijadikan kayak tempat ibadah itu engga boleh. Harus sesuai dengan surat ijinnya. Kalau orang mau beribadah mingguan misalnya..ya harus ke gereja.
Selain penyelenggaraan ibadah agama yang dipantau kegiatannya oleh satuan pengamanan. Penyelenggaraan kegiatan masyarakat lainnya seperti kegiatan politik yang tidak sesuai dengan peraturan pemerintah atau kegiatan yang sama sekali tidak mendapatkan izin dari aparat pemerintah, dilarang untuk dilakukan di kawasan Alam Sutera. Apabila hal itu terjadi, petugas keamanan dan pengembang akan melakukan tindakan pengamanan preventif. Jika kondisinya sudah dianggap
meresahkan ketenangan masyarakat, pihak pengembang
selanjutnya akan menyerahkan masalahnya kepada pihak yang berwajib. Kegiatan kampanye politik seperti pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) atau sosialisasi kegiatan Pemilu lainnya dapat diselenggarakan dengan seizin petugas keamanan dan pengembangmenajemen. Pemasangan poster atau sepanduk politik tidak dibenarkan ditempatkan disembarang tempat sebagaimana ketentuan peraturan tata tertib tentang estetika lingkungan. Pengalaman praktek terhadap pembatasan kegiaatan-kegiatan kampanye dan pengawasan terhadap sosialisasi jadwal Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) sangat dirasakan panitia penyelenggara pemilihan umum tingkat kecamatan. Tata cara pengawasan dan pemantauan yang demikian ketat yang dilakukan oleh petugas keamanan lingkungan Alam Sutera, dijelaskan oleh bapak A6 ; Yah disini bukannya engga boleh kampanye, tapi ya harus ijin dulu.. dong pak. Kalau engga pake ijin yah, sama kita tolong harus dikomunikasikan. Soalnya kalau pelaksanaan kampanye atau dari kejadian dari berita-berita yang berkembang didaerah sini , kita bisa gawat lagi pak.. Mangkanya pintar-pintar kita dengan mereka. Kita sampaikan kalau memang mau masang spanduk atau poster ,bukan kita ngelarang tapi ijin dulu dong. Kalau engga saya tetap akan melarang gituh ajah …saya kan sebagai kemanan. Ketatnya pengaturan terhadap penyelenggaraan kegiatan politik, juga dialami oleh bapak C2, yang bertindak sebagai petugas KPU untuk Pemilihan Kepala Daerah
(Pilkada)
Walikota
Tangerang.
Sebagai pengurus RW
diperumahan Pondok Pakulonan, yang bertetangga dengan Alam Sutera, beliau
Universitas Indonesia
l226 merasakan bahwa pengembang Alam Sutera sangat ketat dalam memantau kegiatan politik. Hal ini diungkapkan C2, sewaktu pelaksanaan Pilkada Walikota Tangerang Selatan. Kalau bahasa kita, “ketat aturan masuk�. Seperti saya waktu itu pegang KPU Pemilihan Pilkada Tangsel ya.., Saya istilahnya ingin memberikan informasi dengan cara woro-woro masuk ke komplek. Ya .. itu diantara daerah yang paling sulit untuk dimasuki, memang Alam Sutera . Kita harus memberikan surat ijin dulu kekantor pihak pengembang.. kalau dapat baru boleh, wong saya tidak bermaksud mencuri .. Saya itu tugas lho.. melaksanakan tugas KPU memberi informasi kepada masyarakat diikutin pak .. sama satpamnya. Ya sudah ikutin saja , wong .. saya nggak ngapa- ngapain .. Peraturan tata tertib yang ditetapkan Alam Sutera untuk kegiatan sosial dan politik, memberikan rambu-rambu kepada penghuni untuk tidak menjadi kawasan perumahan sebagai ranah kontestasi adu kepentingan antar kelompok masyarakat. Menurut pihak pengembang, sebaiknya lingkungan perumahan bebas dari kegiatan – kegiatan yang dapat menimbulkan konflik sosial
diantara para
penghuninya. Terdapat kecenderungan kawasan disini terkesan anti terhadap kegiatan politik praktis. Hal ini tercermin, pada saat pelaksaanaan Pilkada Walikota Tangerang, dapat dikatakan Alam Sutera bersih dari segala bentuk poster atau spanduk kandidat calon walikota.
6.4.1 RT/RW: Organisasi Prosedural dan Sosial Ditengah aturan yang ketat mengenai perkumpulan sosial di lingkungan Alam
Sutra,
dengan
adanya
keperluan
untuk
mengurus
administrasi
kependudukan maka warga menginisiasi berdirinya organisasi ketetanggan yaitu RT dan RW. Sejarah terbentuknya kepengurusan RT/RW di Alam Sutera, lebih dipengaruhi
oleh
masalah
kebutuhan
layanan
disistem
administrasi
kependudukan. Ketika para penghuni mulai bertempat tinggal di lingkungan Alam Sutera, pada umumnya mereka hanya berbekal surat Kartu Tanda Pengenal Kependudukan (KTP). Bahkan ada warga yang pindah tanpa dibekali surat keterangan pindah atau dokumen kependudukan lainnya. Sementara dilokasi yang baru di lingkungan Alam Sutera sama sekali belum terbentuk adanya kepengurusan RT/RW. Beberapa penduduk yang baru tinggal pada saat awal
Universitas Indonesia
227 pindah, dihimbau untuk langsung mengurus KTP ke kelurahan dengan bergabung dengan RT/RW yang ada diperkampungan. Kondisi ini secara sosiologis sangat memberatkan bagi para pendatang baru, karena adanya perbedaan secara stratifikasi sosial, kebudayaan dan masalah etnisitas. Akibat permasalahan dibidang administrasi kependudukan ini, beberapa warga yang ingin membuat KTP baru sesuai domisili dihimbau harus membuat kepengurusan RT/RW yang baru. Menurut pihak kelurahan, pembentukan RT/RW harus didasarkan kepada
kebutuhan dari warga. Bagi mereka yang
pernah merasakan kesulitan, seperti bapak B3 sempat menceritakan bagaimana dia membentuk RT/RW baru dilingkungan Sutera Onix ;
Kumpulin aja warganya, siapkan surat- surat permohonannya, nanti didukung oleh Kelurahan. Rt /Rw harus dari inisiatif warga, tidak boleh ada intervensi dari pihak pengembang. Berdasarkan ketentuan
minimal, 40 rumah sudah harus ada satu
kepengurusan RT. Di Alam Sutera, pihak pengembang menghimbau warga sebaiknya membentuk kepengurusan RT/RW berdasarkan jumlah rumah/kavling. Sebagai contoh, jika di Kluster Sutera Onix terdapat 465 rumah/kavling, maka minimal di lingkungan mereka terdapat 10 RT. Walaupun saat itu baru hanya terdapat 50 rumah, tetapi mereka sudah mencoba bentuk 5 RT dan 1 RW. Pembentukan RT dibatasi jumlahnya karena berdasarkan praktek mereka males untuk menjadi ketua RT dan RW. Proses awal pembentukan RT/RW lebih banyak melalui milis dan didalam pembahasan masalah sehari-hari mereka juga lebih banyak menggunakan milis group RT/RW. Kontak langsung jarang dilakukan, dikecualikan jika ada warga baru yang dipaksa harus melaporkan diri dan tidak boleh diwakilkan oleh orang lain. Ini cara yang dilakukan oleh beberapa pengurus RT/RW agar warga baru mau mengenalkan dirinya kepada lingkungan . Hal ini diungkapkan kembali oleh bapak B3 kepada para ketua RT dilingkungannya ;
Saya wajibkan setiap warga untuk datang melapor, kalau yang datang pembantunya saya suruh tolak. Kepada semua ketua RT, saya bilang kalau yang datang pembantunya suruh pulang saja.
Universitas Indonesia
l228 Didalam kehidupan berorganisasi terkait keberlanjutan kepengurusan RT/RW adalah masalah regenerasi. Pada umumnya sangat sedikit warga yang tertarik menjadi pengurus RT/RW. Jarang ada warga yang bersedia karena menjadi pengurus RT/RW lebih banyak dianggap menjadi beban atau pengabdian dibandingkan
keuntungan
dari
sisi
kepentingan
ekonomi.
Berdasarkan
pengalaman yang didapat penulis, saat melakukan wawancara dengan hampir seluruh pengurus RT/RW dalam rangka kegiatan Community Award 85, para nara sumber mengeluhkan masalahnya ; Saya ini keliatannya sudah nasib harus menjadi pengurus RT seumur hidup. Saya sudah beberapa kali menjabat, tetapi setiap akan melakukan serah terima RT, tidak ada yang mau. Bahkan saya dianggap paling pas untuk menjabat terus. Kepengurusan RT/RW sepertinya menjadi dilema organisasi
untuk
dibeberapa lingkungan perumahan formal di kawasan perkotaan. Perubahan sosial yang terjadi saat ini, membawa implikasi pada krisis kepemimpinan di tingkat organisasi RT/RW. Beberapa warga yang dihubungi penulis mengakui, sulit mencari aktor-aktor yang mampu menganyomi kehidupan sosial diantara mereka, karena sedikitnya warga yang mau tampil mengelola kehidupan bersama diantara mereka. Salah satu bentuk proses sosial yang melahirkan dinamika pembangunan sosial adalah tingkat partisipasi warga untuk mengikuti kegiatan yang diselenggarakan oleh pihak pengembang ataupun dari pihak pengurus RT/RW. Para pengurus RT/RW di Alam Sutera senantiasa berharap agar setiap penghuni memiliki rasa kebersamaan, hidup tolong menolong dan saling bekerja sama, serta tidak melakukan tindakan yang dapat merugikan orang lain. Begitu halnya dalam melaksanakan kewajiban sebagai anggota masyarakat setiap penghuni diminta untuk dapat berpartisipasi dalam kegiatan masyarakat sebagai unsur yang tak dapat dipisahkan dalam proses pembangunan sosial itu sendiri. Sebagaimana dikemukakan Ach. Wazir Ws (1999: 29) partisipasi dapat diartikan sebagai wujud keterlibatan seseorang secara sadar ke dalam interaksi 85
Hasil wawancara ini masih ada dalam catatan penulis, karena tenggang waktu penelitian dengan kegiatan Community Award Alam Sutera waktunya tidak terlalu lama. Wawancara dilakukan pada Juli hingga Oktober tahun 2011, sementara awal penelitian dilakukan pada tahun 2012.
Universitas Indonesia
229 sosial didalam situasi tertentu. Dengan pengertian itu, seseorang bisa berpartisipasi bila ia menemukan dirinya dengan atau dalam kelompok, melalui berbagai proses berbagi dengan orang lain dalam hal nilai, tradisi, perasaan, kesetiaan, kepatuhan dan tanggungjawab bersama. Sementara itu menurut Isbandi (2007: 27) partisipasi dapat merupakan suatu bentuk keikutsertaan masyarakat dalam proses pengidentifikasian masalah dan potensi yang ada di masyarakat, pemilihan dan pengambilan keputusan tentang alternatif solusi untuk menangani masalah, pelaksanaan upaya mengatasi masalah, dan keterlibatan masyarakat dalam proses mengevaluasi perubahan yang terjadi. Walapun didalam tata kelola lingkungan sudah terbentuk suatu badan pengelola yang bertanggung jawab terhadap pemeliharaan lingkungan, akan tetapi didalam praktek sosialnya masih terdapat beberapa permasalahan yang menuntut peran aktif dari para penghuninya. Di dalam Forum Group Diskusi (FGD) yang dilaksanakan bersama ASRC (Alam Sutera Resident Community) dan beberapa tokoh masyarakat setempat, mereka sangat menyayangkan sikap pengembang yang kurang melakukan pendekatan terhadap komunitas penghuni. Sementara diantara penghuni terdapat dua cara pandang yang berbeda terhadap lingkungan tempat tinggalnya. Sikap yang pertama adalah mereka yang memilih cenderung lebih baik bersikap pasif dan tinggal mengikuti saja ketentuan peraturan tata tertib.Bagi mereka yang pasif, ketentuan Surat Perjanjian Jual Beli (SPJB) dan Lampiran Peraturan tata tertib adalah hal final yang tidak perlu dibicarakan atau diwacanakan lagi. Bentuk perjanjian ini adalah resiko pilihan yang harus siap ditanggung sebagai konsekuensi atas pembelian rumah di Alam Sutera. Bagi mereka dengan membayar kewajiban Iuran Pengelolaan Lingkungan (IPL) berarti masalah hak dan kewajiban dengan pihak pengelola sudah selesai. Pengembang lebih penting dibandingkan peran pengurus RT/RW. Pengembang dianggap lebih bertanggungjawab dengan masalah keamanan dan
kenyamanan penghuni,
dibandingkan dengan pihak RT dan RW. Situasi seperti ini disampaikan disampaikan A2, selaku mantan manajer pengembang; “Sudah ada yang mengatur, kenapa harus repot-repot lagi, kami tidak punya waktu untuk itu�
Universitas Indonesia
l230
Bagi mereka yang jarang terlibat aktif dalam pergaulan sosial, urusan dengan pihak pengembang dirasakan lebih efektif untuk menyelesaikan masalah yang mereka hadapi. Melalui mekanisme pembayaran IPL warga dapat menyatakan sikapnya dibandingkan
secara
lebih terbuka
kepada
pihak
pengembang
pengurus RT atau RW. Semua bentuk komplain dapat secara
langsung disampaikan dan minta segera diproses karena pengembang memiliki kekuasaan dibandingkan RT/RW. Tuntutan dapat segera diproses jika warga tidak memiliki masalah dengan sistem pembayaran IPLnya. Sikap pasif seperti ini dapat disimplikasikan sebagai sikap dari sebagian mayoritas penghuni. Bagi mereka alasannya sangat sederhana dengan pertimbangan kesibukan dan tidak ingin membuang waktu yang dianggap tidak efektif, ketidakhadiran adalah hal biasa dilingkungan ini, seperti diungkapkan oleh salah seorang nara sumber ; Bukan nggak peduli, mungkin mereka pada sibuk, jadi mereka lebih banyak menunggu..nggak mau terlalu sibuk. Sementara nara sumber lainnya mengungkapkan ; Kegiatan mereka lakukan di dalam rumah saja. Jadi, kita saling engga membaur. Boleh dibilang, kalo tetangga berantem, kita baru denger dari ibu ibu.
Kelompok kedua, adalah para aktor yang cenderung memilih lebih aktif untuk berkecimpung dalam kehidupan sosial masyarakat. Posisi mereka biasanya menempatkan dirinya sebagai tokoh masyarakat didalam forum-forum kegiatan komunitas. Bagi mereka yang cenderung aktif, peraturan tata tertib adalah medium yang harus terus menerus dievaluasi dan diawasi pelaksanaannya oleh warga. Tidak ada hal yang final sebelum terjadinya praktek sosial yang benar dalam menjalankan peraturan tata tertib. Adapun alasan yang dikemukakan oleh mereka yang aktif dalam kehidupan komunitas, menurut bapak B1 salah satu pertimbangannya adalah ; Prinsipnyakan begini. Alam Sutera sudah bagus, maka kita juga pingin dilihat..warganya juga bagus. Jadi nilainya kan sama, jadi jangan sampai Alam Suteranya bagus‌eh warganya nggak bagus..kan bagaimana ?
Universitas Indonesia
231 Sementara bagi bapak B2 , yang dikenal sebagai sesepuh dikalangan para ketua RW, mengemukakan pertimbangannya sebagai berikut : Waktu saya pindah ke Kirana (kluster), saya liat warganya cuek-cuek saja gitu, lalu saya pikirin gimana caranya supaya mereka mau bersatu. Bagi warga yang sering aktif berharap melalui kegiatan sosial yang sering dilakukan, akan mampu melahirkan bentuk-bentuk solidaritas, kepedulian dan rasa kebersamaan yang tinggi. Minimnya kegiatan-kegiatan sosial yang diselenggarakan oleh pihak pengembang, mendorong pihak penghuni untuk kembali menghidupkan hubungan sosial diantara mereka dan warga sekitarnya, seperti kegitan berikut ini; 1. Kegiatan Bazar Hari Kemerdekaan Kegiatan ini pada awalnya diinisiasi oleh warga yang tinggal di lingkungan Sutera
Kirana.
Kegiatan bazar
diselenggarakan guna
memperingati hari Kemerdekaan RI. Untuk lingkungan Alam Sutera, lingkungan Sutera Kirana sering menjadi pelopor untuk kegiatan warga. Faktor utama disebabkan lingkungan mereka sudah memiliki jumlah penghuni yang sudah cukup banyak. Selain jumlah penghuni yang sudah ramai, faktor lainnya sebagai penggerak adalah kekuatan dari para aktor yang menjadi pengurus RT/RW. Kegiatan di Sutera Kirana, ternyata mampu mengundang kehadiran dan partisipasi dari warga lainnya di lingkungan Alam Sutera. Setiap tahunnya kegiatan seperti ini terus dilakukan, kecuali pada saat jika menjelang hariKemerdekaan bertepatan dengan bulan puasa. Untuk tahun 2012 dan 2013 kegiatan ini tidak bisa dihadirkan kembali. Adapun latar belakang munculnya kegiatan seperti
menurut
bapak B2
sebagai ketua RW ; Awalnya saya hanya ingin mendampingi, tetapi kalau saya lihat tingkat sosialisasi warganya agak lumayan tinggi, maka saya bikin pertama kali KIBAR (Kirana Bazaar). Berhasil, tuh. Setiap tahun yang kami mengadakan bazar dan hanya Kirana yang bazarnya bukan ecek-ecek. Bazar
dipergunakan
oleh
pengurus
RT/RW
sebagai
wadah
silaturahmi. Untuk menarik dukungan dan partisipasi warga, maka dalam setiap kegiatan bazaar diusahakan adanya stand-stand penjualan yang
Universitas Indonesia
l232 menarik disertai dengan pemberian hadiah-hadiah sebagai daya tarik agar penghuni atau warga lainnya diluar kluster dapat berpartisipasi untuk mau hadir didalam arena bazaar. Selain bazar Hari kemerdekaan, warga lainnya juga melakukan kegiatan yang sama seperti kegiatan Sunday Market, sebagai sarana berkumpul dan saling mengenal. Bagi pengurus perhimpunan ASRC (Alam Sutera Resident Community), B1 mengungkapkan ; Kalau tidak ada bazaar, mungkin warganya akan cuek dan nggak saling kenal. Jadi setiap ada bazaar kita berharap dapat saling mempererat kebersamaan. Contoh yang diberikan Sutera Kirana, memberi pengaruh pada kelompok masyarakat lainnya dengan melakukan hal yang sama, tetapi dalam lingkup yang lebih kecil disesuaikan dengan jumlah warga dimasing-masing kluster. 2. Kegiatan Bantuan Sosial Untuk mengurangi terjadinya kesenjangan sosial yang semakin tinggi diantara penghuni Alam Sutera dan warga sekitarnya, salah satunya cara untuk mengatasinya adalah dengan cara meningkatkan hubungan yang lebih terorganisir melalui pemberian bantuan kepada anggota keamanan, petugas kebersihan dan warga yang bertempat tinggal disekitar Alam Sutera. Pemberian bantuan difasilitasi oleh para pengurus RT/RW yang dilakukan pada hari-hari besar keagamaan seperi Hari Raya Idulfitri dan Hari Raya Qurban. Bentuk bantuan kepada masyarakat diberikan dalam bentuk santunan Tunjangan Hari Raya (THR) dan daging kurban dari warga muslim yang tinggal di Alam Sutera. Bentuk bantuan lain yang diberikan kepada lingkungan sekitar adalah pemberian bantuan dalam bentuk perangkat computer kepada Kelurahan Pondok Jagung, untuk mendukung sistem administrasi pemerintahan. Secara organisasi pengurus RT/RW selalu berusaha untuk menghimbau warga perumahan untuk berpartisipasi dalam kegiatan sosial yang mereka lakukan. Nilai manfaat yang dirasakan, adalah pada saat terjadinya kerusuhan masal pada tanggal 13-14 Mei 1998, ketika Jakarta dilanda kerusuhan sosial, warga setempat berbaur bersama untuk menjaga lingkungan mereka.
Universitas Indonesia
233 6.4.2 ASRC sebagai Mediasi Penghuni dengan Pengembang Sebagaimana proses pembentukan kepengurusan RT dan RW di Alam Sutera, sejarah terbentuknya komunitas Alam Sutera Resident Community (ASRC) diinisiasi oleh beberapa aktor yang menjadi aktifis dimasyarakat. Alam Sutera Resident Community (ASRC) adalah organisasi informal yang dibentuk oleh warga perumahan untuk menjadi wadah berhimpun dan bertukar informasi untuk membangun kegiatan bersama di kawasan Alam Sutera. Terbentuknya organisasi ini dimulai ketika sering terjadi obrolan secara informal di warung kopi dan terbentuknya grup BBM (Blackberry Messenger) yang
mengawali
terbentuknya komunitas warga Alam Sutera ini. Proses terbentuknya diawali ketika warga dari beberapa cluster Alam Sutera sering kumpul-kumpul di Regis Cafe, di Taman Jajan (Indomaret) Alam Sutera di seberang Marketing Office Alam Sutera. Menurut B1 atau yang sering dipanggil XY sebagai penggagas mengungkapkan: “Awalnya beberapa rekan kumpul-kumpul, lalu pikir-pikir bagaimana kalau kita coba bikin wadah untuk warga,” Dari hasil kegiatan obrolan diwarung kopi tersebut berlanjut menjadi grup BBM dengan nama Alam Sutera Resident Community (ASRC). Selanjutnya menurut Purnomo Nugroho, selaku Ketua ASRC, yang tinggal di Sutera Jelita, menjelaskan ; “Dari grup BBM ini muncul ide untuk membentuk wadah kegiatan sosial dan olahraga bagi seluruh warga cluster se-Alam Sutera dan perlu ditindaklanjuti dengan kopi darat,” Aksi selanjutnya dari diskusi-diskusi yang sering dilakukan di BBM, mereka pun menggelar kopi darat (kopdar) pertama di Sports Lounge Sutera Onyx pada 30 September 2011. Dalam kopdar tersebut, hadir perwakilan dari 9 cluster Alam Sutera, yakni Sutera Asri, Cemara, Delima, Flamboyan, Feronia, Jelita, Kirana, Narada, dan Onyx. Beberapa perwakilan cluster yang hadir juga menjabat sebagai Ketua RW atau Ketua RT di kompleksnya masing-masing.Dari kopdar tersebut, ditunjuklah Purnomo atau akrab disapa Nunu menjadi Ketua ASRC. ASRC pun sepakat untuk menggelar kegiatan sosial kemasyarakatan, olahraga, dan seni atau budaya sebagai fokus kegiatan utama komunitas ini.
Universitas Indonesia
l234 Selanjutnya Nunu, selaku ketua ASRC menejelaskan tentang positioning ASRC terhadap Pengembang Alam Sutera ; “Kopi darat pertama juga menghasilkan kesepakatan bahwa ASRC adalah murni inisiatif warga, dari, oleh, dan untuk warga, dan independen, yang berarti bahwa ASRC tidak berada di bawah manajemen Alam Sutera,� Ada yang unik pada pendirian komunitas ini. ASRC sengaja mengambil angka 11 sebagai angka bersejarah dalam pembentukannya. Pada 11 November 2011, pukul 11.00 menjadi kelahiran ASRC sekaligus peresmian terbentuknya kepengurusan. Syukuran dengan tumpengan secara sederhana digelar di Sports Lounge Sutera Onyx saat itu.Kegiatan pertama mereka adalah donor darah yang berlangsung di Taman Jajan Alam Sutera. Donor darah sudah dilakukan dua kali pada bulan November 2011 dan Februari 2012. Kegiatan sosial ini pun akan dilakukan rutin tiap tiga bulan sekali. Kegiatan ASRC saat ini secara perlahan mulai menggandeng cluster lain yang sebelumnya belum tergabung. Anggota yang bergabung dengan ASRC sekitar 30 orang. Menurut Reginaldi, saat ini sudah ada anggota yang mewakili 16 cluster dari 22 cluster yang ada di Alam Sutera. Komunitas ini ditujukan untuk mempererat hubungan antarwarga di Alam Sutera. Mereka ingin ada paguyuban warga agar bisa menjalin hubungan yang baik antarwarga. Harapan ini ingin diwujudkan oleh warga, karena mereka mengalami kesulitan untuk mendapatkan wadah bagi mempererat hubungan kekeluargaan antarwarga, merajut harmoni kehidupan, dan warga bersatu demi keamanan bersama. Sebagaimana dijelaskan diawalnya, wadah ASRC ini dibentuk karena mereka melihat tidak ada niat dari pihak pengembang untuk mewadahi kegiatan sosial mereka. Sementara bagi pihak pengembang, menanggapi munculnya ASRC sebagai hal yang biasa dalam kehidupan sosial masyarakat. Menurut salah seorang nara sumber penting di pengembang, mengungkapkan tanggapannya ; Itu sih menurut saya dinamika ya, masing- masingkan punya ekspresi apa yang mau dikeluarkan fine-fine saja. Yang penting masing-masing punya keinginan apa, mari kita duduk sama-sama, kita mau buat apa.
Universitas Indonesia
235 Kesenjangan hubungan antara pihak pengelola dan penghuni, ingin dijembatani oleh sebagian warga melalui wadah ASRC. Beberapa konflik akibat miskominikasi ingin dijembatani oleh kelompok komunitas ini, tanpa harus mengintervensi pada kasus-kasus yang bersifat pribadi. Para pengurus menginginkan, hal-hal yang dibahas di ASRC, tidak terkait kasus pada masingmasing kluster, tetapi bersifat umum, seperti membangun kegiatan bersama antar kluster dan membahas penanganan masalah berbasis kepentingan bersama, bukan pribadi atau kelompok kluster tertentu. Suasana kehidupan berdemokrasi cenderung lebih pasif. Warga cenderung lebih bersifat apolitis untuk mau terlibat aktif dalam kegiatan politik praktis. Walaupun didalam lingkungan mereka ada warga yang menjadi aktifis parpol, namun sebagian warga jarang mau terlibat dengan kegiatan politik praktis dibandingkan dengan kehidupan sosial warganya. Fakta ini didukung pada saat pelaksanaan Pilkada Walikota Tangerang Selatan, karena pihak Alam Sutera membatasi kegiatan politik dilingkungan perumahan, maka praktis proses pemilihan kepala daerah ini rendah gaungnya di lingkungan Alam Sutera. Adanya larangan pemasangan spanduk, baliho, stiker atau lambang-lambang partai politiknya membuat suasana kehidupan politik tidak mendapatkan respon yang tinggi dari warga yang tinggal didalam lingkungan. Warga cenderung bersifat pragmatis, apa yang bisa lakukan untuk mendapatkan kegiatan usaha atau bisnis yang baik itu adalah hal yang lebih penting dibandingkan memikirkan masalah politik yang tidak banyak memberikan perubahan sosial bagi kehidupan mereka.
Gambar 6.5 : Anggota ASRC yang sering melakukan Obrolan dan BBM
Universitas Indonesia
l236 Fakta sosial yang menunjukan masyarakat enggak membahas masalah politis, terlihat ketika penulis melakukan pengamatan di pusat-pusat kegiatan masyarakat, seperti di Flavouer Bliss, Pasar Delapan, Klub House atau kegiatan kegiatan sosial mereka. Sebagian warga mengemukakan uneg-unegnya : Emangnya orang-orang partai itu bisa bantu apa buat kita. Terlalu banyak ngomong dan minim bukti. Kalau kita pingin yang jelas-jelas aja, pingin bukti apa yg sudah mereka perbuat.. Sikap untuk menghindari untuk berkonflik secara terbuka juga muncul diantara para pengurus ASRC. Seorang pengurus yang cukup aktif mengingatkan : ASRC tidak mengurus masalah internal dari masing-masing kluster. Kita hanya akan bergerak pada kegiatan-kegiatan sosial, tidak terkait dengan masalah konflik internal antara warga kluster dengan pengembang. Jika masalahnya sudah menjadi masalah disemua kluster, barulah kami mencoba membahasnya. Untuk mengajak semua warga terlibat aktif dalam kegiatan bermasyarakat juga bukan hal yang mudah, dengan berbagai alasan kesibukan dan pekerjaan banyak warga yang mengindar atau menolak hadir jika diajak bergabung dalam kegiatan sosial atau kemasyarakatan. Berat pak, kalau kita harus mengetuk atau menegur satu persatu.Kan itu masalah pribadi, jadi kita hanya bisa menghimbau atau mengajaklah, biar kegiatan kita ini lebih ramai. Sehingga kegiatan kita tidak terkesan eksklusif hanya didominasi oleh yang itu-itu juga. ASRC sebagai organisasi informal diluar organisasi keagamaan dan komunitas hobi yang berkembang di antara penghuni merupakan satu-satunya wadah bagi kegiatan warga di lingkungan Alam Sutera. Peran organisasi ini sebagai motor penggerak kegiatan demokrasi, hanya sebatas pada kegiatan sosial. Diluar kegiatan sosial, masyarakat tidak mudah ikut berpartisasipasi. Sebagai sebuah kehidupan sosial baru, lingkungan perumahan Alam Sutera belum mampu menumbuhkan ikatan solidaritas atas dasar kepentingan ideologi politik. Kegiatan kehidupan masyarakat hanya sebatas rutinitas kehidupan formal yang jarang berada dirumah atau tinggal dilingkungan. Aktifitas sosial hanya dapat berjalan pada hari-hari libur atau perayaan hari kemerdekaan dan hari besar keagamaan.
Universitas Indonesia
237 Daya tarik kegiatan politik tidak mengakar dilingkungan komunitas perumahan, disebabkan pertimbangan rasionalitas dan kepentingan ekonomi yang lebih mendominasi kehidupan sehari-hari.
6.5 Kesimpulan Organisasi ketetanggan baik RT/RW mapun ASRC hadir sebagai upaya membangun interaksi antar penghuni di dalam komunitas berpagar. Struktur pengembang yang begitu dominan, tidak memberikan ruang bagi penghuni untuk terlibat untuk menentukan bagaimana sistem sosial dan praktik sosial di dalam komunitas berpagar. Malah, pembangunan struktural yang seharusnya menuju pada pembangunan yang berbasiskan nilai harmoni, pada faktanya malah terjadi peminggiran hak-hak penghuni. Dalam konteks inilah organisasi keketanggan menguatkan diri untuk membuat sistem sosial dan praktik sosialnya sendiri, lepas dari dominasi kultural pengembang. Organisasi ketetanggaan ini bertindak sebagai media untuk membentuk ruang negoisasi antara warga dengan pihak pengembang. Pada penjelasan berikutnya, akan dijelaskan bagaimana
organisasi
ketetanggaan yang sesungguhnya bagian lain dari pengembang yang mampu untuk mewujudkan pembangunan sosial budaya. Hal ini dipahami karena dengan adanya organisasi ketetanggaan telah mampu membangun ruang interaksi diantara penghuni untuk menciptakan ruang sosial atau proses sosial di dalam komunitas berpagar. Kasus di dalam komunitas berpagar Alam Sutra menggambarkan bagaimana adanya ruang yang besar untuk proses sosial pada gilirannya akan menciptakan pembangunan sosial budaya itu sendiri.
Universitas Indonesia
l238 BAB VII UPAYA PEMBANGUNAN SOSIAL DI KOMUNITAS BERPAGAR
Pengantar Bab ini akan menjelaskan bagaimana dinamika kehidupan sosial di komunitas berpagar sebagai fenomena baru di dalam masyarakat perkotaan. Dengan menggunakan perspektif pembangunan sosial yang di dalamnya terdapat tiga unsur yaitu struktur, kultur, dan proses terlihat pada praktik sosial di komunitas berpagar. Eksternalitas tindakan yang keluar dari peraturan tata tertib yang dilakukan oleh pihak pengembang membuat pembangunan sosial tidak terwujud. Pendekatan struktural yang dominan yang dikedepankan oleh pihak pengembang justru malah menghambat (constrainting) penghuni dalam praktik sosial. Dengan pendekatan pembangunan sosial diketahui upaya pembangunan sosial justru secara perlahan mulai dilakukan oleh organisasi ketetanggaan, terutama ASRC. Hal ini dipahami karena, sebagai penghuni di dalam komunitas berpagar yang minim proses sosial, kebutuhan akan interaksi sosial yang merupakan ruang bagi proses sosial adalah hal yang tidak dapat dibendung. Sehingga, organisasi ketetanggaan dioptimalkan secara massif oleh beberapa penghuni yang memiliki kesadaran diskursif untuk membangun kehidupan sosuial budaya di lingkungan komunitas berpagar Alam Sutra.
7.1 Struktur Komunitas Berpagar : Dominasi Pengembang dan Penghuni yang Tak Berdaya Pengembang merupakan aktor utama yang memiliki kewenangan struktural di dalam komunitas berpagar Alam Sutra. Dalam bab-bab sebelumnya sudah digambarkan bagaimana, kekuatan struktural tersebut terlihat pada dua hal. Pertama, pengembang memiliki dokumen hukum peraturan tata tertib yang mengatur secara detail kehidupan sosial penghuni. Kemudian, pada sisi lain pengembang juga memiliki aparatur yang bertugas untuk menegakan setiap butir-
Universitas Indonesia
238
239 butir yang ada di dalam peraturan tata tertib. Aparatur tersebut diantaranya ialah satpam, petugas kebun, serta petugas kebersihan. Melalui pelolaan dari dana IPL yang dibayarkan oleh semua penghuni, peraturan tata tertib dapat mempekerjakan banyak orang untuk menciptakan kehidupan yang harmoni di Alam Sutra. Kondisi ini diharapkan dapat menjaga kondisi perumahan di Alam Sutra tetap terjaga baik lingkungan dan juga keharmonisan antar penghuni. Standar pelayanan yang diberikan oleh pihak pengembang kepada penghuni Alam Sutra sangatlah tinggi, hal ini juga sesuai dengan biaya IPL yang juga nilainya relatif tinggi. Pengembang memiliki beberapa divisi yang mengatur secara spesifik pelayanan terhadap semua penghuni. Mulai dari petugas yang mengatur taman, kebersihan, penyediaan air, perawatan fisik dan listrik, dan juga tentunya bidang keamanan. Para pekerja ini, selain memiliki standar pelayanan yang tinggi terhadap para penghuni juga memiliki kewenangan teknis untuk menjalankan tugas sesuai dengan peraturan tata tertib. Dengan demikian, bila ada penghuni yang melanggar ketentuan itu, mereka dapat menggunakan kewenangan tersebut untuk menegur atau bahkan memberikan sangsi. Sehingga relasi yang terbangun antara penguni dengan aparatur pengembang terjadi hubungan yang setara dan timbal balik dalam upaya menciptakan hubungan sosial dan kondisi lingkungan di Alam Sutra yang harmonis. Hal ini membuktikan bagaimana pengembang secara serius mencoba mengejawantahkan visi misi perusahaan untuk menciptakan suasana harmoni di dalam kehidupan komunitas berpagar Alam Sutra.
Dalam sudut pandang
pengembang, penerapan peraturan tata tertib merupakan nilai jual Alam Sutra sebagai pengembang perumahan. Hal ini dipahami, dengan semakin ketatnya persaingan di dalam bisnis pengembang perumahan Alam Sutra perlu menonjolkan sisi itu untuk eksis menjadi pengembang perumahan terdepan yang mampu menciptakan suasana aman, nyaman, dan ekslusif. Dalam pelaksanaan peraturan tata tertib memunculkan permasalahan baru antara pihak pengembang dengan penghuni. Menurut para penghuni, respon pengembang dalam mengurusi permasalahan yang ada terkait kondisi lingkungan sangat lambat. Jika terjadi kerusakan jalan, lampu penerangan, saluran air mampet
Universitas Indonesia
l240 atau
adanya
gangguan binatang melata
penyelesaiannya dianggap terlalu lama. alasan
(ular),
maka
realisasi waktu
Tidak semua warga dapat menerima
atau pertimbangan estate, mengapa layanan tidak segera diberikan.
Sebagian warga beranggapan jika sudah membayar IPL (Iuran Pengelolaan Lingkungan), kewajiban mereka sudah selesai, sesuai isi perjanjian di peraturan tata tertib. Hal ini dipahami karena pengembangmemposisikan diri sebagai pihak yang bertanggungjawab atas pengelolaan yang ada. Di sisi lain, para penghuni pun demikian, dengan pembayaran IPL mereka sudah merasa tidak perlu lagi mengurusi semua persoalan yang ada di lingkungannya. Sehingga, para penghuni merasa harus mendapatkan pelayanan yang cepat dalam pengentasan masalah lingkungan yang berdampak langsung atas permasalahan yang dihadapi. Dengan luasnya areal kerja dari pihak pengembang, dapat dipastikan pelayanan yang diberikan tidak akan maksimal. Apalagi rasio antara penghuni dan petugas teknis pelayanan sangat tidak sebanding. Kondisi ini tentunya berdampak signifikan terhadap ketegangan antara kedua belah pihak, penghuni dan pengembang.
7.1.1
Pengembang : Pengganti Peran Negara Di Komunitas Kedudukan pengembang Alam Sutra di komunitas berpagar memiliki tiga
peran. Pertama ; pihak pengembang melalui estate manajemen sebagai kepanjangtangan dari perusahaan memiliki tugas untuk menghimpun dana dari para penghuni untuk mendapatkan profit. Kedua ; konsekuensi atas menghimpun dana dari penghuni, pengembang memiliki tugas memberikan pelayanan bagi para penghuni, mulai dari pelayanan pengelolaan lingkungan, pengelolaan kebersihan, serta pengelolaan pelayanan keamanan. Kemudian, ketiga pihak pengembang pada saat yang sama juga memiliki fungsi sebagai intitusi hukum yang bertanggungjawab untuk menegakan peraturan tata tertib serta hak penuh untuk memberikan sangsi untuk penghuni jika melanggar peraturan yang telah tertulis di dalam peraturan tata tertib. Dengan demikian, sebagai korporasi pengembang Alam Sutra memiliki peran dan fungsi sebagaimana negara (state) di dalam komunitas berpagar . Melalui peraturan tata tertib yang dianggap sebagai kontrak ekonomi sekaligus
Universitas Indonesia
241 kontrak sosial, pengembang memiliki kekuatan struktural yang penuh di dalam lingkup komunitas berpagar. Namun disayangkan, dalam praktiknya, peran pengembang sebagai institusi pelayanan publik serta institusi penegak hukum di dalam komunitas berpagar tidak berjalan dengan baik. Di sisi lain, pengembang sebagai pihak yang berhak menghimpun dana dari para penghuni dapat berjalan secara rutin. Dalam praktik seperti ini terjadi eskternalitas tindakan. Pengembang dianggap hanya bertindak dari sisi positif hanya untuk kepentingan korporasi saja dengan melupakan kewajibannya untuk melayani masyarakat. Dalam konteks inilah, praktik esklusi sosial terjadi di dalam komunitas berpagar. Pengembang tidak memberikan pelayanan yang dijanjikan serta tidak menegakan hukum sesuai dengan pengembang yang dibuat sendiri oleh institusi tersebut. Dalam pembahasan sebelumnya, digambarkan bagaimana ketegangan antara pihak penghuni dengan pengembang terus berlangsung. Secara individual penghuni kerap melayangkan protes terbuka terhadap pihak pengembang karena tidak puas atas pelayanan yang diberikan. Protes penghuni yang dialamatkan kepada pihak pengembang sebagian besar dikarenakan permasalahan tata lingkungan. Para penghuni beranggapan bahwa pengembang tidak konsisten dalam menegakan peraturan tata tertib terkait permasalahan itu. Padahal, dalam kehidupan komunitas berpagar, pelanggaran tata lingkungan sangat berdampak terhadap harmonisasi antar penghuni. Tidak adanya saluran langsung untuk memecahkan permasalahan antar penghuni ini, menyebabkan layangan protes kepada pengembang perihal tata lingkungan intensitasnya semakin meningkat. Kondisi ini direspon negatif oleh pengembang. Setiap keluhan dan protes tidak ditanggapi dengan pelayanan yang baik. Malah, pihak pengembang tidak memiliki itikad baik untuk memperbaiki pelayanan untuk mengentaskan permasalahan tata lingkungan. Belakangan, pihak pengembang menghapuskan divisi tata kelola dan menggabungkannya dengan divisi keamanan. Tumpang tindih peran tenaga keamanan menjadi petugas tata lingkungan menjadi blunder bagi pihak pengembang. Hal ini terbukti dengan semakin mengerucutnya konflik antara pihak pengembang dengan para penghuni.
Universitas Indonesia
l242 Dalam konteks ini, terlihat bagaimana terjadi ketidakseimbangan antara visi yang dibangun oleh pihak pengembang Alam Sutra dengan implementasi peraturan tata tertib. Pihak pengembang hanya mengandalkan kekuatan strukturalnya dalam upaya menciptakan visi perusahaan, tanpa melibatkan peran serta dari para penghuni. Hal ini dipahami karena cara pandang pengembang dalam memandang penghuni lebih menekankan aspek bisnis. Dalam artian para penghuni hanya dilihat sebagai sumber pendapatan perusahaan. Selain itu juga, pihak pengembang menjadikan hubungan sosial yang terbatas, disiplin dan di bawah pengawasan sebagai bahan promosi yang dianggap efektif untuk menjadikan Alam Sutra pengembang terdepan yang mampu mewujudkan harmoni yang di dalamnya terdapat elemen hubungan antar penghuni.
7.1.2 Peran Komunitas : Penghuni Tak Berdaya Sebagai korporasi yang berwatak mencari keuntungan, eksternalitas tindakan yang seharusnya dijalankan sesuai dengan peraturan tata tertib terus terakumulasi. Pihak pengembang juga memiliki peran untuk menindak setiap pelanggaran yang melanggar norma / nilai komunitas berpagar pada penghuni yang
memiliki posisi lemah. Tetapi
seakan-akan tidak berdaya dihadapan
penghuni yang memiliki kekuatan ekonomi tinggi. Pembedaan lingkungan perumahan Alam Sutra yang diatur berdasarkan besar dan kecilnya bangunan sesungguhnya juga merepresentasikan kekuatan ekonomi dari penghuni. Pengembang begitu powerful dalam menghadapi penghuni yang tidak memiliki kekuatan ekonomi tetapi sebaliknya tidak memiliki kekuatan berarti ketika berhadapan dengan penghuni yang memiliki kekuatan ekonomi atau politik. Inkonsistensi pelayanan publik serta penegakan hukum yang dilakukan oleh pihak pengembang merupakan bentuk esklusi sosial terhadap penghuni yang tidak memiliki kekuatan ekonomi tinggi.
Ekslusi sosial yang dilakukan oleh
pihak pengembang kepada penghuni yang tidak memiliki kekuatan ekonomi merupakan bentuk pelanggaran hak-hak penghuni. Karena walaupun memiliki kekuatan ekonomi dan bentuk serta ukuran yang berbeda-beda, sesungguhnya semua penghuni memiliki kewajiban yang sama untuk menegakan peraturan tata tertib. Di sisi lain, pihak penghuni pun tanpa melihat latar belakang ekonominya
Universitas Indonesia
243 memiliki hak yang sama untuk mendapatkan pelayanan dari pihak pengembang tanpa terkecuali. Pada konteks inilah, pengembang telah melakukan pelanggaran atas hak-hak penghuni yang sudah ditandatangani secara bersama dan dibuat sendiri oleh institusi itu. Kemudian, pengembang dengan kuasa penuhnya dapat mengeluarkan penghuni yang dianggap menyalahi aturan (melanggar norma sosial). Pengeluaran penghuni merupakan keputusan yang paling akhir, jika ada penghuni yang menurut pengembang sulit diatur dan banyak melanggar. Keputusan ini tidak memiliki dampak ekonomis bagi pihak pengembang, karena menurut hitunghitungan ekonomis justru harga jual rumah dan lahan dari waktu terus meningkat. Dengan demikian, pihak pengembang semakin memiliki otoritas struktural yang semakin kuat. Harga jual lahan dan rumah di wilayah Alam Sutra yang terus meningkat dari waktu ke waktu dimanfaatkan oleh pihak pengembangmanagament sebagai daya tawar yang ampuh dalam menghadapi penghuni. Dengan demikian, walaupun pihak pengembangmenyadari adanya masalah dalam implementasi peraturan tata tertib kemudian pihak penghuni kerap melakukan protes, namun karena nilai investasi yang semakin tinggi itu berhasil dioptimalkan sebagai salah satu kekuatan dari pengembang, upaya memperbaiki implementasi penerapan peraturan tata tertib tidak lagi menjadi agenda yang strategis. Determinasi motif ekonomi dalam penyediaan perumahan sekaligus pengelolaan lingkungan komunitas berpagar oleh pengembang Alam Sutra memperlihatkan bagaimana sesungguhnya eklusi sosial terjadi secara berlapislapis. Pertama, bahwa identifikasi perumahan sebagai hak dasar manusia yang harus dijamin oleh pemerintah (state) dalam konteks ini, terlihat sekali bagaimana pihak pengembang tidak menghiraukan SKB Tiga menteri dan UU Perumahan yang merekomendasikan para pengembang perumahan untuk membangun rumah dengan azas perimbangan dalam satu hamparan. Pengembang Alam Sutra dengan kekuatan modal yang besar menyadari bahwa peran penyediaan rumah murah bukanlah
tanggungjawabnya
sebagai
korporasi.
Tanggungjawab
tersebut
merupakan tugas negara untuk memenuhi kawajibanya sebagai penyelenggara negara. Namun dalam konteks ini, dengan sudah dibuatnya lembar negara yang
Universitas Indonesia
l244 berkekuatan hukum, negara dalam hal ini telah lalai untuk mengawasi dan menegakan undang undang perumahan. Dengan demikian, pembangunan perumahan dengan konsep komunitas berpagar sebagaimana yang dikembangkan oleh Alam Sutra merupakan bentuk esklusi sosial atas penyediaan perumahan bagi kelas menengah ke bawah. Kedua, pihak pengembang sebagai pihak yang bertanggungjawab untuk melayani semua penghuni di dalam komunitas berpagar sebagaimana yang tertuang dalam perikatan antara penghuni dan pengelola yaitu peraturan tata tertib ternyata tidak menjalankannya secara konsisten. Pengembang hanya memiliki kekuatan struktural terhadap kelompok penghuni yang tidak memiliki kekuatan ekonomi dan politik yang besar. Permasalahan ini cukup serius, karena pihak pengembang sebagai korporasi dan pengembang di wilayah Alam Sutra telah mentasbihkan dirinya sebagai kekuatan struktural yang peran dan fungsinya menyerupai negara
di dalam lingkup komunitas berpagar. Namun dalam
implementasinya, terjadi pembedaan pelayanan dan penegakan hukum diantara penghuni berdasarkan kekuatan ekonomi yang dimiliki oleh penghuni. Kondisi ini dapat dipastikan merupakan bentuk ekslusi sosial yang dilakukan oleh pengembang terhadap kelompok penghuni yang tidak memiliki kekuatan ekonomi.
7.2 Praktik Pembangunan Sosial di Komunitas Berpagar : Analisa Struktur, Kultur dan Proses Sosial Bagian ini akan menjelaskan bagaimana dinamika kehidupan yang terjadi di dalam komunitas berpagar Alam Sutra. Sesungguhnya jika dilihat dari keberadaan aktor/agen yang berada pada lingkup komunitas berpagar hanya ada dua yaitu; pengembang dengan penghuni. Namun, dengan pendekatan pembangunan sosial, analisa mengenai kehidupan sosial yang terjadi tidak hanya sesederhana itu. Analisa struktur, kultur dan proses sosial memberikan sudut pandang yang lebih konfrehensif mengenai dinamika masyarakat yang terjadi di Alam Sutra. Dalam bab-bab sebelumnya sudah dijelaskan secara rinci analisa struktur, kultur dan proses di dalam kehidupan komunitas berpagar Alam Sutra.
Universitas Indonesia
245 Pembahasan ini akan secara detail menjelaskan bagaimana kaitan antara tiga pilar struktur, kultur dan proses. Berdasarkan analisa tersebut, diketahui kehidupan di dalam komunitas berpagar sangatlah
minim proses sosial, baik pada sisi
horizontal sesama penghuni, maupun vertikal yaitu interaksi antara penghuni dan pengembang. Minimnya proses sosial di dalam komunitas berpagar memang sudah lekat dengan kultur para penghuni maupun rancang bangun lingkungan di Alam Sutra yang dibuat oleh pihak pengembang. Namun, karena ada masalah di dalam implementasi peraturan tata tertib oleh pihak pengembang yang menyangkut keharmonisan hubungan antar penghuni, menyebabkan intensitas interaksi sosial antar penghuni meningkat. Proses sosial antar penghuni terus bergulir dan pada tahap berikutnya mereka melalui organisasi ketetanggaan mencoba melakukan pembangunan sosial budaya di dalam lingkungan komunitas berpagar Alam Sutra. Berikut ini akan dijelaskan lebih lanjut analisa mengenai pembangunan sosial yang terjadi di Alam Sutra dengan pendekatan pembangunan sosial. Mulai dari analisa sturktur, kultur, dan proses serta kaitan antara keduanya. Secara visual analisa ini dapat dilihat pada skema pembangunan sosial di bawah ini. Skema tersebut mencoba menggambarkan dinamika kehidupan pada komunitas berpagar di lingkungan Alam Sutra.
Universitas Indonesia
l246
Komunitas Berpagar
Pengembang 6 A
C 6
kegiatan
ASRC
1
sosial
fasilitas Publik
2
RT/RW Keterangan: A. Struktur B. Kultur C. Proses 1. Kultur yg Distrukturkan 2. Struktur yg Membudaya 3. Proses yg Dibudayakan 4. Kultur yg Diproses kembali 5. Stuktur yg Diproses 6. Proses yg Distrukturkan
1
4 3
4
penghuni
penghuni
2
C
penghuni
B
Gambar :7.1 Skema Struktur, Kultur, dan Proses di Dalam Komunitas berpagar
Gambar :7.1 Skema Struktur, Kultur, dan Proses di Dalam Komunitas berpagar
7.2.1 Struktur Pembahasan mengenai stuktur sudah dibahas mendalam di dalam bab IV.Diketahui bahwa dalam lingkup komunitas berpagar di Alam Sutra, pengembang menjadi satu-satunya stuktur yang memiliki otoritas mengikat terhadap penghuni. Di dalam komunitas berpagar, kekuatan stuktural negara tidak mendapatkan tempat. Hal ini dimaknai karena pengembang memiliki kuasa yang dominan. Pengembang memiliki hak penuh karena semua sarana dan prasarana yang disediakan untuk penghuni merupakan atas modal dari pengembang. Selain itu, penyediaan fasilitas publik yang lainnya seperti air, listrik, dan keamanan pun sudah langsung ditangani oleh pihak pengembang. Sehingga, kekuatan struktural negara hanya terlihat pada pencatatan sipil serta masalah sengketa antar penghuni jika sudah tidak bisa diselesaikan melalui mediasi dari pengembang.
Universitas Indonesia
Komunitas Eskternal
peraturan tata tertib
5
247 Dari kajian ini diketahui otoritas yang dimiliki oleh pengembang sangatlah besar. Walaupun sesungguhnya, penghuni sebagai konsumen seharusnya memiliki daya tawar yang tinggi karena merekalah yang menjadi sumber keuntungan dari pengembang. Dalam kasus Alam Sutra, dengan sisi strategis lokasi perumahan dan nilai investasi yang terus meningkat, pengembang tidak menjadikan penghuni memiliki ruang negosiasi. Hal ini dikeranakan pihak pengembang optimis dengan pasar perumahan kelas atas yang terus naik. “Jika tidak mau ikut aturan silahkan keluar karena masih banyak yang lain yang mau beli (menjadi penghuni)�, logika itulah yang dikembangkan oleh pihak pengembang. Dengan kuasa yang besar itulah, pengembang mengeluarkan peraturan untuk penghuni yang dinamakan dengan peraturan tata tertib. Peraturan tata tertib mengatur detail fisik, kultur, dan juga proses sosial dari setiap penghuni. Selain memiliki draf yang berkekuatan hukum, pihak pengembang juga memiliki aparatur yang menjadi ujung tombak pelayanan sekaligus penegak aturan yang tertulis di dalam peraturan tata tertib. Oleh karenanya, dalam relasi sosial di dalam komunitas berpagar, aparatur-aparatur inilah yang kerap berinteraksi langsung dengan para penghuni dalam upaya mengimplementasikan peraturan tata tertib. Awalnya, peraturan tata tertib tidak mendapat banyak tentangan, karena memang sesuai dengan kultur yang berkembang pada setiap penghuni. Namun karena adanya inkonsistensi dalam penerapannya, hal inilah yang menjadi awal munculnya upaya mengimbangi kekuatan struktural dari pengembang dalam penerapan peraturan tata tertib. Dalam penjelasan berikutnya akan dijelaskan lebih detail bagaimana upaya penghuni merespon peraturan tata tertib sebagai suatu draf yang mengikat dan memilliki kekuatan struktural.
7.2.2
Kultur Komunitas berpagar merupakan gambaran masyarakat perkotaan. Kultur
yang terbangun diantara penghuni bukan disandarkan pada nilai-nilai keagamaan atau adat istiadat yang biasa berkembang di suatu wilayah. Namun, kultur yang berkembang dan dianut akibat proses kerja/aktifitas ekonomi yang semakin maju. Alam Sutra merupakan hunian bagi masyarakat kelas menengah atas jika ditinjau dari segi pendapatan dan pengeluaranya. Dengan demikian, mereka memiliki
Universitas Indonesia
l248 standar kehidupan yang berbeda dengan kelompok masyarakat yang lain terkait kehidupan privat, kenyamanan dan keamanan. Nilai toleransi atau harmoni kehidupan antar penghuni menjadi titik tekan pengembang bagi kehidupan yang dilangsungkan di Alam Sutra. Nilai ini pun sesungguhnya sudah terinternalisasi dengan baik dikalangan penghuni karena mereka sebagian besar memiliki tingkat pendidikan dan tingkat ekonomi yang tinggi. Hal ini pun tercermin dari kegiatan yang dilaksanakan oleh organisasi ketetanggaan yang diinisiasi oleh warga, tidak ada sedikit pun yang menyentuh hal-hal yang dapat merusak hubungan sosial terutama yang berbau SARA. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa nilai toleransi merupakan budaya yang sudah terinternaliasi dengan baik dikalangan penghuni dan dikuatkan oleh kekuatan sturktural yang tertuang di dalam peraturan tata tertib. Dalam bab V dibahas bagaimana ekslusifitas menjadi nilai yang berkembang pada komunitas berpagar di Alam Sutra. Membatasi hubungan sosial atau interaksi sosial dengan penghuni lainnya walaupun lokasi rumah mereka berdekatan merupakan konsekuensi dari ikatan sosial profesional yang lebih mengedepankan interaksi sosial berdasarkan hubungan-hubungan kerja. Dengan demikian, interaksi antar penghuni di wilayah Alam Sutra sangat minim terjadi. Fenomena ini pun didukung dengan sistem keamanan dan sistem sosial yang dibangun oleh peraturan tata tertib, meminimalisasi konflik antar penghuni dengan berbagai aturan yang ada. Ruang kultural penghuni baru dapat diekpresikan melalui kegiatan keagamaan yang dilangsungkan di rumah-rumah ibadah. Hal ini dipahami karena di dalam agama banyak terkandung nilai-nilai yang mengikat para umatnya. Sehingga selain kegiatan ritual ibadah, kegiatan di masjid dan gereja juga terdapat berbagai kegiatan sosial yang ditujukan untuk warga sekitar Alam Sutra. Institusi agama yang terwadahi di rumah-rumah ibadah cukup menekankan pentingnya berbagi kepada sesama, apalagi kebanyakan penghuni di Alam Sutra merupakan kelompok masyarakat yang memiliki kecukupan ekonomi.
Universitas Indonesia
249 7.2.3
Proses Sosial Dinamika kehidupan di dalam komunitas berpagar menjadi suatu
fenomena yang tak biasa terjadi pada suatu komunitas ketetanggan. Meski tinggal di suatu tempat yang berdekatan, namun hubungan sosial diantara penghuni tidak terjalin. Hal ini dipahami karena para penghuni merupakan kelompok masyarakat yang memiliki tingkat ekonomi dan status sosial yang tinggi. Mereka memiliki cara pandang yang berbeda dengan kelompok masyarakat lain mengenai rumah sebagai tempat tinggal. Dari pembahasan sebelumnya, diketahui bahwa privatisasi ruang, khususnya rumah, memang menjadi kebutuhan bagi para penghuni di Alam Sutra. Dengan kondisi yang terjaga, aman, dan nyaman mereka dapat menjadikan rumah sebagai tempat melepas lelah, bercengkarama dengan keluarga serta bekerja tanpa ada gangguan dari pihak manapun, termasuk tetangga mereka sendiri. Oleh karenanya, proses sosial antar penghuni di pemukiman komunitas berpagar, termasuk yang terjadi di Alam Sutra sangat minim sekali. Dalam konteks pemukiman di Alam Sutra, komunitas berpagar dapat dibedakan ke dalam beberapa kelompok pemukiman. Pengembang membuat beberapa kluster yang memiliki beberapa perbedaan, seperti luas bangunan, lokasi, dan berbagai fasilitas penunjang yang disediakan. Perbedaan-perbedaan itu tentunya terkait erat dengan harga jual serta ongkos pengelolaan yang harus dikeluarkan oleh penghuni. Dengan demikian, setiap kluster yang dihuni dapat mengidentifikasi tingkat ekonomi sang penghuni. Semakin elit kluster yang dihuni, maka semakin elit juga penghuninya. Dalam bab VI sudah dijelaskan bagaimana proses sosial yang terjadi antar penghuni Alam Sutra sangat minim. Namun, sebagai makhluk sosial interaksi sesama manusia merupakan kebutuhan dan keniscayaan. Dengan konteks struktural dan kultural yang ada, para penghuni Alam Sutra tetap terkoneksi satu sama lain walaupun dalam lokasi dan tempat yang sangat terbatas. Dapat diidentifikasi proses sosial antar penghuni terjadi di tiga situasi (lihat poin c dalam skema), yaitu proses sosial antar penghuni di dalam satu kluster, proses sosial yang terjadi di fasilitas publik, serta proses sosial yang terjadi di dalam organisasi ketetanggan.
Universitas Indonesia
l250 Pertama, proses sosial antar penghuni Alam Sutra lebih sering terjadi dilakukan oleh penghuni kluster Kirana atau kluster-kluster lama yang tinggi jumlah penghuninya. Bentuk proses sosial yang dilakukan lebih bersifat asosiatif, seperti melakukan kerjasama, akomodasi dan asimilasi. Bentuk kerjasama yang rutin dilakukan adalah KIBAR atau Kirana Bazar setiap menjelang Hari Kemerdekaan. Kluster Kirana memiliki penghuni yang paling banyak diantara kluster yang lain, yaitu berjumlah 375 penghuni (KK). Sebagai klaster awal yang dibangun oleh Alam Sutra, kluster ini dapat dikatakan sebagai kluster yang berpenghuni pada level ekonomi paling bawah diantara yang lainnya. Selain Bazar, kegiatan lain adalah membangun fasilitas umum untuk kebutuhan penghuni. Dengan kondisi tersebut, kluster Kirana menjadi cikal bakal terbentuknya kegiatan bersama antar penghuni, baik yang terwadahi oleh organisasi RT/RW dan ASRC maupun yang hanya terselenggara tanpa ada bentuk organisasi yang permanen. Pembentukan ASRC juga diinisiasi oleh kelompok penghuni yang berasal dari kluster ini. Kedua, proses sosial yang terjadi di fasilitas-fasilitas publik yang dibuat oleh pengembang di lingkungan Alam Sutra. Bentuk proses sosial yang dilakukan pada wacana kerjasama usaha atau kegiatan sosial. Pasar, sekolah, dan rumah ibadah merupakan tempat yang menjadi titik temu para penghuni Alam Sutra. Dalam penjelasan sebelumnya, diketahui rumah ibadah merupakan tempat yang memungkinkan adanya interaksi sosial antar penghuni dalam waktu yang rutin. Dengan demikian, terbentuklah satu kesatuan kelompok keagamaan yang memiliki ikatan sosial yang cukup kuat. Gereja dan Masjid yang dibangun oleh pengembang Alam Sutra menjadi sarana penyatuan penghuni dengan kegiatankegiatan keagamaan dan kegiatan-kegiatan sosial dalam bentuk layanan bencana atau musibah, serta bantuan untuk hari-hari besar agama. Bahkan, di dalam institusi Gereja Santa Laurensia sudah terbentuk kegiatan-kegiatan sosial yang digerakan oleh penghuni Alam Sutra. Proses Sosial di fasilitas publik, seperti sebelumnya dibahas, juga berdampak pada pembentukan kultur karena di dalamnya ada ajaran dan nilai, norma yang terinternalisasi oleh para penghuni dengan adanya kegiatan keagamaan.
Universitas Indonesia
251 Ketiga, proses sosial juga terjadi pada organisasi ketetanggaan yang ada di lingkungan Alam Sutra. RT/RW dan ASRC merupakan organisasi ketetanggaan yang dibentuk atas inisiatif warga. Bentuk proses sosial yang dilakukan dalam dua bentuk kegiatan asosiatif dan disasosiatif. Proses sosial disasosiatif dikaitkan dengan protes atau konflik dengan pengembang. Bentuk proses sosial akomodatif dalam bentuk mencari kompromi merupakan hal yang rutin dijalankan oleh RT/RW dan ASRC. Dua organisasi ketetanggaan ini memiliki latar historis pembentukan yang berebeda. RT/RW
terbentuk
karena
adanya
kebutuhan
administrasi
dan
kependudukan yang mesti terkait dengan negara, sedangkan ASRC terbentuk karena adanya kebutuhan akan interaksi sosial antar penghuni akibat begitu banyaknya permasalahan antar penghuni, serta permasalahan antar penghui dengan pihak pengembang. Walaupun ASRC tidak diikuti oleh masyoritas penghuni, namun organisasi ini cukup efektif untuk menyuarakan kepentingan penghuni atas permasalahan yang terjadi dengan pihak pengembang. ASRC bergerak lebih jauh dari itu, kini organisasi ini memiliki kegiatan rutin yang bukan saja menjadi sarana proses sosial, bahkan sudah memiliki kegiatan rutin yang mengikat anggotanya.
7.2.4
Kultur yang Distrukturkan Peraturan tata tertib yang ditandatangani pihak penjual dan pembeli, dalam
hal ini pengembang dan penghuni memiliki hubungan yang mengikat diantara keduanya. Dalam hal ini pengembang memiliki kekuatan struktural yang mencoba menerapkan berbagai sistem nilai budaya komunitas berpagar yang terkandung di dalam visi dan misi perusahaan. Penerapan peraturan tata tertib bukan tanpa perhitungan dan analisa yang kuat. Peraturan tata tertib merupakan sistem nilai budaya komunitas berpagar yang dianggap sesuai oleh pengembang dengan kehidupan sosial para penghuninya. Hal ini terbukti dengan
minimnya
pelanggaran serta protes atas penerapan itu pada masa awal pemberlakuan pengembang. Masalah utamanya ialah implementasi peraturan tata tertib yang dianggap oleh para penghuni tidak konsisten.
Universitas Indonesia
l252 Kultur yang distrukturkan merupakan penjelasan mengenai relasi antara struktur dengan kultur. Analisa ini mencoba menjelaskan bagaimana kekuatan struktural mampu menanamkan nilai kultural bagi masyarakat, dalam hal ini yang terjadi di dalam komunitas berpagar. Di dalam bab IV sudah digambarkan lebih detail bagaimana peraturan tata tertib mencoba mengatur setiap detail kehidupan sosial antar penghuni, seperti budaya kebersihan (larangan membuang sampah sembarangan), mendorong interaksi antar penghuni (larangan pembuatan pagar), budaya tertib lingkungan (larangan membuat kegaduhan), serta nilai-nilai sosial mengenai binatang peliharaan. Semua aturan yang mengandung nilai-nilai budaya komunitas berpagar tersebut termuat secara detail di dalam peraturan tata tertib dalam upaya membentuk interaksi antar tetangga yang tidak saling menggangu. Aturan tersebut mencoba menanamkan prinsip nilai toleransi antar sesama tetangga. Peraturan tata tertib sebagai draf hukum, juga dilengkapi dengan aparatur pelayanan yang bersentuhan langsung dengan para penghuni di dalam komunitas berpagar. Dengan demikian, maka proses kultur yang distrukturkan dipandu oleh para aparatur pengembang yang bekerja diberbagai bidang, seperti pelayanan keamanan, tata lingkungan, kebersihan, dan pelayanan teknis. Salah satu contoh yang diterapkan oleh pihak pengembang dalam menanamkan kedisiplinan dan cinta lingkungan ialah melalui mekanisme pembuangan sampah. Pihak pengembang telah mengatur pembuangan sampah rumah tangga di lingkungan Alam Sutra dari segi waktu dan jenis sampah yang harus dibuang. Jika petugas sampah datang ke masing-masing kluster namun para penghuni tidak mengikuti aturan pembuangan sampah, maka petugas kebersihan berhak meninggalkan dan menolak sampah yang tidak sesuai aturan. Dalam konteks ini, berdasarkan peraturan tata tertib, pihak pengembang merupakan institusi yang memiliki wewenang tunggal untuk menertibkan penghuni yang dianggap melanggar setiap ketentuan tersebut. Dengan demikian, pengembang memiliki kekuatan struktural yang cukup besar untuk menerapkan sistem nilai yang terkandung di dalam peraturan tata tertib. Namun karena jumlah penghuni yang cukup banyak serta banyaknya aduan yang dilayangkan kepada pengembang, menyebabkan banyak permasalahan yang tidak dapat diselesaikan
Universitas Indonesia
253 oleh mereka. Hal inilah yang memunculkan gelombang protes bertubi-tubi penghuni kepada pihak pengembang.
7.2.5
Struktur yang Membudaya Penjelasan dalam bagian struktur yang membudaya ini mencoba melihat
respon para penghuni atas pemberlakuan
peraturan tata tertib oleh pihak
pengembang. Sebagaimana sudah dijelaskan sebelumnya, bahwa nilai yang terkandung di dalam peraturan tata tertib sesungguhnya sudah inheren dengan nilai yang ada pada penghuni Alam Sutra. Dengan demikian, sebagian besar penghuni sesungguhnya mematuhi setiap aturan yang ada di dalam peraturan tata tertib. Dengan latar belakang ekonomi kelas menengah atas, para penghuni alam sutra sesungguhnya memiliki pandangan bahwa rumah ialah tempat istirahat dan berkumpul dengan keluarga. Sehingga aktifitas berlebihan dengan tetangga maupun aktifitas yang dapat mengganggu secara sadar mereka hindari. Namun permasalah muncul saat pengembang tidak mampu menindak beberapa penghuni yang kerap melanggar aturan tersebut. Pengembang tidak berdaya dalam menghadapi penghuni yang memiliki modal ekonomi dan modal sosial cukup besar yang kerap melanggar aturan yang ada. Dalam konteks inilah, peraturan tata tertib tidak lagi dianggap menjadi nilai/kultur yang mengikat diantara mereka. Masalah utama ialah inkonsistensi penerapan peraturan tata tertib. Sehingga sebagian besar penghuni menganggap bahwa peraturan tata tertib tidak memiliki kekuatan mengikat lagi, karena terlalu sering dan banyaknya pelanggaran yang dilakukan dan tanpa adanya penindakan atas kesalahan tersebut. Namun perlu diketahui bahwa tidak semua nilai-nilai yang ada di dalam peraturan tata
tertib
mengalami
penolakan
ditengah-tengah
komunitas
berpagar.
Permasalahan yang kerap muncul ialah mengenai perubahan bentuk bangunan yang tentunya berdampak terhadap kehidupan ketetanggan. Pada sisi yang lain, seperti nilai toleransi dan menjaga lingkungan perumahan tetap dipertahankan oleh sebagian besar penghuni.
Universitas Indonesia
l254 7.2.6
Proses yang Dibudayakan Proses yang dibudayakan
merupakan analisa yang menjelaskan
perpotongan antara proses dan kultur. Secara spesifik relasi ini menggambarkan bagaimana proses sosial mampu dikembangkan menjadi kultur di dalam masyarakat. Dalam skema digambarkan bagaimana relasi ini terjadi saat para penghuni Alam Sutra membentuk dan menjalankan organisasi ketetanggaan. Organisasi ketetanggaan tersebut ialah RT dan RW serta ASRC. RT-RW serta ASRC merupakan organisasi bentukan penghuni Alam Sutra yang awalnya dimotori oleh kelompok penghuni di kluster Kirana. Pembentukan organisasi ketetanggaan ini merupakan respon atas kebutuhan mereka atas pencatatan sipil serta interaksi sosial antar penghuni. Dalam hal ini interaksi antar penghuni menjadi kebutuhan yang nyata setelah begitu banyaknya permasalahan yang berkembang ditengah-tengah masyarakat. Di dalam organisasi ketetanggaan terbentuklah budaya baru dalam upaya mengentaskan setiap permasalahan yang ada diantara para penghuni. Musyawarah merupakan
nilai kultural yang terbentuk di dalam organisasi ketetanggaan
tersebut. Setiap ada permasalahan yang muncul melalui organisasi ketetanggaan, diuraikan dan diselesaikan satu persatu melalui proses yang melibatkan beberapa perwakilan penghuni. Mengenai upaya menghidupkan kembali peraturan tata tertib misalnya, salah satu RW akhirnya membuat intisari dari dokumen hukum tersebut sehingga lebih sederhana dan mudah dimengerti dan dipahami. Intisari dari peraturan tata tertib itu akhirnya disepakati kembali untuk diterapkan di dalam masyarakat di kluster tersebut. Di sisi lain, ASRC merupakan organisasi ketetanggan yang melampaui spasial. Organisasi ini dibentuk dari obrolan-obrolan ringan di grup Black-Barry. Adanya kebutuhan untuk membuat kegiatan yang mengatas namakan penghuni Alam Sutra dengan memanfaatkan fasilitas yang disediakan oleh pengembang. Akhirnya organisasi ini pun terbentuk dengan anggota yang memiliki latar belakang kluster beragam. Organisasi terbentuk secara informal dan menjadi wadah aktifitas sosial dari warga Alam Sutra. Aktifitas yang dilangsungkan di dalam ASRC melanjutkan nilai kultural yang ada pada diri masing-masing penghuni yaitu rasa berbagi dan saling toleransi. Walaupun tidak menggunakan
Universitas Indonesia
255 kekuatan struktural, namun organisasi ini efektif untuk mengekspresikan nilainilai kultural warga yang selama ini tidak mendapatkan saluran dari kekuatan struktural pengembang.
7.2.7
Kultur yang Diproses Kembali Analisa berikutnya ialah kultur yang diproses kembali, yaitu irisan dari
kultur dan proses sosial di dalam suatu masyarakat. Di dalam dinamika kehidupan sosial di dalam komunitas berpagar, kultur yang diproses kembali dapat dilihat dari keterbukaan masyarakat untuk mendiskusikan kultur-kultur yang sedang berkembang di dalam masyarakat itu sendiri. Dalam konteks ini sesungguhnya analisa kultur yang diproses kembali tidak jauh berbeda dengan penjelasan proses sosial itu sendiri, karena kultur melekat yang dibahas merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari masyarakat. Di dalam skema kehidupan sosial komunitas berpagar yang terjadi di Alam Sutra, kultur yang diproses kembali digambarkan dengan angka 4 (empat). Fasilitas publik terutama rumah-rumah ibadah serta organisasi ketetanggan sebagai arena berkumpul warga kerap menjadi ajang untuk bertukar pikiran antar anggota yang notabenenya ialah bagian dari komunitas berpagar. Diskusi-diskusi kecil yang mewarnai setiap kegiatan yang melibatkan orang banyak selalu memunculkan ide-ide baru, baik untuk membuat kegiatan atau hanya merevisi kegiatan yang sudah mereka jalankan. Hal-hal yang sederhana ini pada akhirnya akan menjadi jembatan dari proses terbentuknya budaya baru. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, terbentuknya ASRC merupakan hasil dari obrolan kecil para penghuni terutama yang sudah tergabung di dalam kepengurusan RT-RW di lingkup Alam Sutra. Kemudian juga diselenggarakannya berbagai kegiatan sosial di Gereja Santa Laurensia merupakan hasil diskusi dari para jemaat. Dengan demikian, kultur yang diproses kembali merupakan hal yang sederhana namun memiliki dampak yang signifikan. Kultur yang diproses kembali hanya dimungkinkan terjadi didalam sebuah organisasi maupun kelompok sosial yang sudah memiliki kedekatan satu sama lainnya. Pengurus RT-RW serta jemaat gereja merupakan
Universitas Indonesia
l256 kelompok sosial yang sudah saling kenal mengenal dan memiliki intensitas interaksi sosial yang tinggi, sehingga kultur yang diproses kembali dapat terjadi.
7.2.8
Struktur yang Diproses Relasi antara pengembang dan penghuni Alam Sutra memiliki memiliki
cerita yang cukup panjang. Mulai dari aktifitas individual dalam upaya menuntut hak atas pelayanan yang terjadi kurang memuaskan untuk dirinya sendiri maupun yang dilakukan secara terorganisir dengan isu yang lebih luas. Aktifitas inilah yang dinamakan struktur yang diproses, yaitu upaya masyarakat menegosiasikan aturan yang sudah memiliki kekuatan struktural. Dalam hal ini, struktur yang diproses yang dilakukan secara perorangan oleh penghuni mengalami jalan buntu karena pengembang tidak merespon dengan baik setiap aduan dan keluhan yang dilakukan oleh mereka. Pada tahap selanjutnya, setelah terbentuknya organisasi ketetanggaan posisi tawar penghuni lebih diperhatikan. Salah satu peristiwa yang menggambarkan bagaimana upaya menuntut pengembang untuk menegakan kembali peraturan tata tertib demi kenyamanan bersama yang dilakukan oleh pengurus RW, akhirnya membuahkan hasil dengan dibuatnya ringkasan peraturan tata tertib menjadi dua lembar saja oleh pengurus RW di kluster Onyx. Menurut perspektif Giddens, struktur yang diproses hanya dapat dilangsungkan oleh agency yang memiliki kesadaran diskursif. Karena perlu diketahui tidak semua penghuni memiliki sikap yang demikian. Sebagian penghuni menganggap peraturan tata tertib merupakan keputusan yang sudah final dan tidak perlu dipertanyakan dan didiskusikan kembali. Dalam hal ini proses sosial yang terjadi di dalam organisasi ketetanggan secara signifikan telah memberikan perluasan kesadaran diskursif diantara para penghuni sehingga mereka mampu melakukan kritik sosial kepada pengembang sebagai kekuatan struktural di dalam komunitas berpagar Alam Sutra. Dengan demikian, penghuni melalui organisasi ketetanggan dapat meninjau ulang setiap produk struktural dalam hal ini peraturan tata tertib untuk diperbaharui agar tidak menghambat keharmonisan kehidupan di lingkungan Alam Sutra. Dalam proses ini, sesungguhnya dapat diidentifikasi beberapa aktor yang memiliki kesadaran diskrusif secara massif mempengaruhi penghuni lain untuk
Universitas Indonesia
257 melakukan negosiasi dengan pihak pengembang. Para penghuni ini menyadari bahwa processed structure hanya bisa dilakukan dengan kekuatan komunal. Dengan terbentuknya ASRC, organisasi yang tidak mengurusi kegiatan prosedural memungkinkan proses sosial terjadi secara intensif. Tentunya, proses sosial yang berulang ini memiliki kekuatan yang secara simbolik menjadi kekuatan struktural lain yang mengimbangi kekuatan pengembang.
7.2.9
Proses yang Distrukturkan Analisa terakhir adalah proses yang distrukturkan, yaitu respon dari
kekuatan struktural dalam hal ini pengembang terhadap proses sosial yang dilangsungkan oleh penghuni (dalam hal ini yang melalui organisasi ketetanggaan). Sejauh ini pihak pengembang sebagai pemilik otoritas di komunitas berpagar, sama sekai tidak memiliki itikad untuk membuka ruang dialog dengan para penghuni. Bahkan dalam protes-protes yang dilayangkan secara intensif dan masif oleh para penghuni tidak semua direspon dengan baik oleh pihak pengembang. Hal ini terlihat dengan upaya pengembangmenanggapi protes tersebut, pihak pengembang justru malah meniadakan divisi tata lingkungan yang kerap menjadi sarana protes warga. Pihak pengembang dalam upaya mengurangi intensitas protes mengambil tindakan dengan menjadikan divisi keamanan yang bertanggungjawab dalam mengurusi permasalahan yang terkait dengan tata lingkungan. Pengembang sebagai pemiliki otoritas tunggal di dalam lingkup komunitas berpagar Alam Sutra mendukung setiap kegiatan yang dilaksanakan oleh RT-RW dan ASRC. Walaupun dukungan tersebut tidak begitu optimal, namun dengan tidak diganggunya aktifitas mereka merupakan suatu bentuk afirmasi pihak pengembang terhadap kegiatan-kegiatan yang diselenggarakan oleh organisasi ketetanggan. Bahkan, dalam beberapa kegiatan, pihak pengembang pun mengirimkan utusan untuk hadir sebagai perwakilan dari intitusi tersebut. Dalam
dinamika
hubungan
antara
organisasi
ketetanggaan
dan
pengembang yang sesungguh sudah terjadi cukup intens, pihak pengembang tidak begitu merespon baik setiap proses sosial yang ada. Pihak pengembang tidak begitu menghiraukan letupan-letupan protes yang dilayangkan ke intitusinya
Universitas Indonesia
l258 secara bertubi-tubi oleh penghuni. Ruang dialog pun tidak dibuka secara luas, selama ini pihak pengembang tidak mau repot untuk menanggapi setiap keinginan penghuni Alam Sutra. Kondisi inilah yang pada akhirnya semakin menguatkan peran organisasi ketetanggan dalam mengatasi setiap permasalahan yang terjadi di dalam komunitas berpagar. Kemudian juga, pada sisi organisasi ketetanggaan baik RT-RW maupun ASRC telah berubah menjadi kekuatan struktural yang signifikan. Organisasi tersebut walaupun merupakan organisasi yang dibentuk oleh mereka sendiri, dengan struktur organisasi yang ada telah memberikan kekuatan struktural kepada pengurus organisasi. Dengan demikian, kegiatan-kegiatan yang dibuat oleh ASRC seperti donor darah dan kegiatan gathering lainnya merupakan bentuk kekuatan struktural yang mengikat semua anggota untuk terlibat dan berpartisipasi dalam kegiatan itu.
7.3 Pembangunan Sosial Budaya Melalui Organisasi Ketetanggaan Penjelasan sebelumnya menggambarkan bagaimana praktik esklusi sosial terjadi dialam komunitas berpagar Alam Sutra. Esklusi sosial terjadi disini tidak semata-mata karena pihak pengembang tidak memberlakukan peraturan tata tertib secara konsisten. Akan tetapi konteks eksklusi yang terjadi bersifat lebih luas dengan
tidak diberikannya hak-hak penghuni untuk dapat menjalankan
aspirasinya dan terbuka ruang dialog antara pengembang dan penghuni. Dominasi struktur hanya menempatkan posisi kebenaran hanya pada pihak pengembang sehingga memunculkan adanya kritik dan protes dari sebagian penghuni. Bagi pihak penghuni, nilai manfaat yang didapat pihak pengembang dari hasil dana IPL (Iuran Pengelolaan Lingkungan) ternyata dalam pelayanan kepada penghuni tidak sesuai dengan harapan dan dianggap tidak berjalan secara adil. Dalam kondisi seperti itu, pihak pengembang juga tidak membuka ruang dialog dengan penghuni untuk memperbaiki kehidupan sosial di lingkungan Alam Sutra. Di dalam konteks ekslusi sosial itulah, penghuni melalui organisasi ketetanggaan melakukan berbagai upaya pemecahan masalah yang mereka hadapi. Di dalam skema struktur, kultur, dan proses diketahui bagaimana organisasi ketetanggaan memainkan peran penting di dalam pembangunan sosial budaya di
Universitas Indonesia
259 lingkungan komunitas berpagar Alam Sutra. Hal ini dipahami karena sebagai organisasi yang menghimpun penghuni Alam Sutra, organisasi ketetanggaan ini memiliki orientasi kegiatan yang menekankan adanya keseimbangan ketiga elemen tersebut. Kondisi ini merupakan respon dan anti tesis dari pemberlakukan peraturan tata tertib oleh pihak pengembang yang terlalu menekankan pada sisi struktural semata. Organisasi ketetanggaan yang dimaksudkan dalam pembahasan ini ialah RT-RW dan juga ASRC. Kedua organisasi tersebut memiliki latar historis yang jauh berbeda. Di dalam bab VI sudah dijelaskan mengenai detail latar historis pembentukan organisasi ketetanggaan ini. RT-RW merupakan organisasi ketetanggaan yang pertama dan merupakan bentukan warga untuk merespon adanya kebutuhan administrasi-kependudukan sebagai warga negara. Fakta ini menunjukan bagaimana mekanisme kehidupan sosial di Alam Sutra yang dirancang oleh pihak pengembang, ternyata tidak memperhatikan kebutuhan ini. Kelalaian pihak pengembang mengenai pentingnya proses sosial dan organisasi sosial ini sesungguhnya sudah dirasakan lama, namun sayangnya pihak pengembang tidak merespon dengan baik dengan kebijakan-kebijakan yang membuka ruang dialog dengan penghuni untuk memfasilitasi kebutuhan akan proses sosial antar warga. Dalam praktiknya, fungsi RT-RW hanya berfungsi sebagai sarana warga untuk mengakses kebutuhan administratif-kependudukan semata. Hanya sebagian pengurus RT-RW yang mampu menggerakan warganya untuk membuat kegiatankegiatan sosial antar warga. Dengan demikian, ketua RT-RW memiliki peran dominan untuk membuat kegiatan-kegiatan yang dapat meningkatkan intensitas proses sosial diantara warga Alam Sutra. Diketahui, karena kepengurusan RT-RW disandarkan kepada lokalitas wilayah pemukiman, maka aktifitas yang diselenggarakan pun terbatas. Kluster Kirana merupakan salah satu kluster yang paling aktif untuk membuat kegiatan sosial seperti bakti sosial serta bazar. Kegiatan-kegiatan ini tentunya menjadi sarana yang efektif melangsungkan interaksi antar penghuni dan juga antara penghuni dengan penduduk lain yang berada di luar wilayah Alam Sutra.
Universitas Indonesia
l260 Tidak cukup melalui saluran RT-RW, beberapa pengurus RT-RW dan penghuni lain pada penghujung tahun 2011 membentuk ASRC. ASRC merupakan wadah bersama penghuni Alam Sutra yang menghubungkan semua kluster-kluster yang ada. Organisasi ini berkomitmen untuk membuat kegiatan sosial rutin, yaitu donor darah bagi para anggotanya. Dengan kegiatan sosial itu, mereka menyadari bahwa ada beberapa keuntungan yang mereka peroleh yaitu solidaritas sosial antar penghuni sekaligus membantu orang lain yang membutuhkan. Dengan dua jenis organisasi ketetanggaan ini para penghuni di dalam komunitas berpagar Alam Sutra semakin memiliki sarana untuk berinteraksi sesama mereka. Proses sosial yang berjalan semakin intensif diantara para pengurus organisasi sosial ini pada tahap selanjutnya mencoba merumuskan bagaimana relasi yang harus dijalankan dengan pihak pengembang. Terutama di dalam RT/RW ada peran yang tumpang tindih antara pengembang dengan organisasi tersebut mengenai tata kelola lingkungan di wilayah Alam Sutra. Secara struktural, pengembang memiliki otoritas penuh atas ini, namun dengan eksistensi organisasi ketetanggan ini maka beberapa permasalahan terkait tata lingkungan di beberapa kluster dapat diselesaikan secara bersama melalui musyawarah yang difasilitasi oleh pengurus RT/RW. Beberapa warga ada yang masih mengganggap otoritas pengembang yang lebih legal, sedangkan organisasi ketetanggaan tidak memiliki otoritas hukum. Namun, ada juga yang sebaliknya yang menganggap memecahkan permasalahan melalui organisasi ketetanggaan lebih efektif dibandingkan melalui pengembang yang dianggap tidak responsif dan bergerak lambat. Adanya perbedaan pendapat mengenai hal ini menyebabkan ASRC sebagai organisasi ketetanggaan yang memiliki legitimasi di kalangan penghuni Alam Sutra akhirnya memutuskan untuk hanya merespon permasalahan ditingkat warga yang sudah menjadi kepentingan bersama, bukan kepentingan individual, untuk disampaikan kepada pihak pengembang. Dengan demikian, pihak ASRC lebih banyak fokus pada kegiatan-kegiatan yang bersifat sosial dan gathering saja. Walaupun begitu, dengan intensitas interaksi sosial yang intens diantara para anggota ASRC yang kini berjumlah sekitar 30 orang anggota dan mewakili sebagian besar kluster yang ada di lingkungan Alam Sutra perlahan menjadi
Universitas Indonesia
261 kekuatan yang semakin besar. ASRC yang dimotori oleh para aktor yang cukup kritis dan memiliki kesadaran diskursif yang tinggi, perlahan-lahan semakin mengurangi ketergantungan struktural terhadap pengembang. Kini para penghuni jika memiliki permasalahan dilingkup
ketetanggaan akan
lebih
sering
menggunakan mekanisme musyawarah yang didampingi oleh pengurus RT-RW. Dengan demikian, para penghuni kini dapat menyelesaikan permasalahanpermasalahan mereka secara mandiri, yang pada waktu yang sama kekuatan struktural pengembang dalam mengelola kehidupan sosial penghuni semakin berkurang. Di dalam skema struktur, kultur, dan proses, diketahui bagaimana organisasi ketetanggaan memainkan peran yang cukup signifikan. Mulai dari proses sosial, proses yang distrukturkan,
struktur yang diproses, proses yang
dibudayakan, dan kultur yang diproses kembali. Hal ini membuktikan bagaimana organisasi ketetanggaan yang bermula dari proses sosial pada tahap selanjutnya memiliki kekuatan kultural dan struktural. Kegiatan sosial yang menjadi inti dari organisasi ketetanggaan khususnya ASRC, secara signifikan mempengaruhi kultur anggota dan juga penghuni Alam Sutra secara luas. Misalnya, donor darah yang rutin diselenggarakan oleh ASRC dipahami oleh sebagian besar anggota sebagai sarana untuk hidup sehat. Karena donor darah secara rutin dari tinjauan medis memiliki dampak signifikan terhadap kesehatan. Dengan demikian, proses sosial yang berlangsung di Alam Sutra menumbuhkan kultur untuk peduli kepada kesehatan dan menekankan pola hidup sehat. Kemudian terkait struktur, organisasi ketetanggaan memiliki kekuatan penyeimbang untuk menghadapi pengembang yang memiliki otortitas penuh untuk mengatur kehidupan sosial para penghuni di lingkungan Alam Sutra. Pengurus RT-RW serta ASRC dengan legitimasi yang begitu kuat diberikan oleh para penghuni semakin memiliki wewenang untuk mengatur kehidupan komunitas berpagar Alam Sutra. Kegiatan-kegiatan sosial yang dijalankan organisasi ini pada akhirnya menjadi kekuatan struktural baru yang menjadi sandaran bagi para penghuni. Organisasi ketetanggaan, baik RT-RW maupun ASRC dalam dinamika kehidupan sosial di komunitas berpagar telah melakukan pembangunan sosial.
Universitas Indonesia
l262 Melalu proses sosial, kultur dan struktur yang melekat di dalam organisasi sosial terus dibicarakan dan didiskusikan. Dengan demikian, struktur maupun kultur mengalami proses sosial yang berkelanjutkan, sehingga akan akan mengarahakan dua entitas yang memiliki kekuatan mengikat dari luar dan dalam itu sesuai dengan hasil dialog dengan sebagian besar anggota komunitas berpagar. Dalam perpektif Giddens, kekuatan struktural yang melekat pada organisasi ketetanggan merupakan struktur yang menjembatani (enabling).
Universitas Indonesia
263 BAB VIII KESIMPULAN PROSES SOSIAL SEBAGAI INTI PEMBANGUNAN SOSIAL BUDAYA
Pengantar Bab terakhir ini sebagai kesimpulan akan menjelaskan kontribusi teoritis dan praktis dari hasil penelitian ini. Dengan memadukan pendekatan pembangunan sosial budaya dan strukturasi Giddens, dalam paparan sebelumnya sudah menjelaskan bagaimana kehidupan sosial di komunitas berpagar dianalisa dengan pendekatan struktur, kultur, dan proses serta irisan antara ketiga elemen tersebut. Dalam pembahasan selanjutnya, kehidupan di dalam komunitas berpagar akan dianalisa dari perspektif strukturasi Giddens. Sebelumnya, penggunaan analisa stukturasi ini belum begitu detail digunakan. Pembahasan ini melihat bagaimana kehidupan sosial di dalam komunitas berpagar sebagai praktik sosial yang melibatkan dua agency yaitu penghuni dan juga pengembang. Dengan pendekatan strukturasi ini akan dijelaskan bagaimana penghuni sebagai pihak yang tereklusi, dengan kesadaran diskursif yang dimiliki beberapa anggotanya akhirnya mampu membuat struktur baru, sebagai upaya menciptakan praktik sosial yang lebih baik. Dalam perspektif Giddens, upaya tersebut merupakan peralihan dari strukur yang menghambat (constraint), menuju struktur yang menjembatani atau memfasilitasi (enabling) praktik sosial yang diproduksi dan direproduksi oleh para penghuni komunitas berpagar. Dengan demikian, secara teoritis penelitian ini telah berkontribusi untuk memadukan dua pendekatan sosiologis yang sesungguhnya saling melengkapi. Kontribusi tersebut ialah memberikan penjelasan kesadaran diskursif yang dimiliki oleh beberapa penghuni yang kemudian diwadahi dengan organisasi ketetanggaan merupakan inti dari proses sosial. Hal ini dipahami, karena dengan kesadaran diskursif tersebut, maka aktifitas bersama yang diwadahi di dalam organisasi ketetanggaan dapat melakukan aktifitas struktur yang diproses dan kultur yang diproses kembali dalam upaya melakukan pembaharuan struktur. Tanpa kesadaran diskursif, tentunya proses sosial tersebut tidak dapat diimplementasikan.
Universitas Indonesia
l264 Kontribusi lain yang diberikan dari hasil penelitian ini adalah sumbangan konsep pembangunan sosial melalui
Struktur
Membudaya yang berhasil
memperkaya Teori Strukturasi Giddens yang selama ini tidak membahas kultur dalam teori strukturasi. Melalui hasil perpaduan dari dua konsep ini terdapat keterkaitan antara struktur dan kultur. Struktur (melalui gugus legitimasi) sudah mampu memberi pengaruh kepada agen untuk patuh terhadap norma. Norma merupakan hasil pengulangan praktik sosial yang sudah menjadi hal umum pada ruang dan waktu. Kemudian, secara praktis, penelitian ini merekomendasikan bagaimana menghadirkan peran negara dalam ruang private, untuk melindungi penghuni dan membantu proses penguatan kapasitasnya dalam proses pembangunan sosial. Sementara kepada pihak pengembang perumahan direkomendasikan agar dapat memberikan sarana fisik maupun sosial yang memungkinkan proses sosial terjadi seperti fasilitas publik dan mendukung terbentuknya organisasi ketetanggaan yang dapat menjadi mitra dalam menciptakan kehidupan sosial yang dinamis dan enabling untuk berbagai praktik sosial yang dilangsungkan oleh para penghuni komunitas berpagar. Demikian juga halnya dengan organisasi ketetanggaan sebagai kekuatan unsur masyarakat dalam struktur baru, dapat diberi peran untuk bertindak sebagai pengelola lingkungan perumahan berdasarkan ketentuan peraturan pemerintah. Terbuka ruang untuk pengelolaan lingkungan perumahan yang lebih inklusif.
8.1 Pengembang : Struktur Lama Minim Proses Sosial. Dalam perspektif strukturasi Giddens,
Alam Sutera sebagai pengelola
perumahan dapat dikonsepsikan sebagai agency. Sebagai agency PT. Alam Sutra memiliki kesadaran diskursif atas pemberlakuan aturan SKB Tiga Menteri yang mengharuskan pembangunan perumahan berimbang. Dengan kesadaran diskursif, pengembang Alam Sutra mengubah makna atas aturan tersebut. Hunian Alam Sutra tetap merupakan perumahan yang elit dan menjangkan pasar kelas mengengah atas semata dengan harga jual yang cukup tinggi. Hanya saja, ia memberikan beberapa tipe kluster mulai dari tipe yang kecil hingga yang besar. Hal ini dipahami karena pengembang memiliki orientasi profit, sehingga setiap
Universitas Indonesia
265 struktur yang dianggap menghambat selalu ada jalan untuk dimaknai ulang dan dinegosiasikan. Sebagai agency, Alam Sutera juga berbeda dalam pengelolaan lingkungan perumahannya. Hubungan interaksi pengembang dan penghuni diikat oleh suatu perjanjian jual beli dan tata kelola lingkungan (peraturan tata tertib). Pengembang Perumahan Alam Sutra selain memiliki hubungan jual-beli, juga memiliki perikatan hukum dan tata nilai dalam jangka panjang. Hal ini dipahami karena, managemen Alam Sutra memiliki visi dan misi yang mencakup aspek kenyamanan dari semua penghuni. Dengan demikian, pengembang perumahan menerapkan norma-norma (norms) budaya komunitas berpagar yang harus dipatuhi oleh semua penghuni. Dalam praktik sosialnyanya, pengembang memiliki kuasa yang begitu besar yang bukan saja mengatur keamanan dan kenyamanan lingkungan, bahkan aturan mengenai bangunan, hubungan ketetanggan, dan juga hubungan sosial yang lebih luas. Dengan dasar peraturan tata tertib yang sudah ditandatangani oleh semua penghuni, walaupun kerap tanpa kesadaran, pengembang memiliki berbagai macam hak pengaturan atas para penghuni. Gambaran kekuatan struktural pengembang dapat dilihat pada bagan di bawah ini.
Signification Pengembang
Domination Penguasaan Wilayah
Modality
Interpretative Scheme Sepakat Diatur Pengembang
Facility Kekuasaan & Kewenangan, Kepemilikan
Norm Aturan Tata Lingkungan
Interaction
Communication Perjanjian Jual Beli
Power Mengatur Penghuni
Sanction Sanksi Hukum
Structure
Legitimation Peraturan tata tertib
Gambar 8.1 Struktur Kewenangan Pengembang
Universitas Indonesia
l266 Dari skema di atas, diketahui bahwa peraturan tata tertib memiliki kekuasaan yang cukup besar. Bukan saja berhak untuk mengatur, bahkan pengembang memiliki kewenangan untuk menghukum atau memberikan sangsi kepada penghuni yang dianggap melanggar kesepakatan. Peraturan tata tertib yang telah ditandatangani oleh estat management dan semua penghuni menjadi legitimasi yang absah untuk memantapkan keberadaan pengembangmanangemen untuk menjadi pengatur tunggal dalam kehidupan sosial yang dijalani oleh para penghuni. Para penghuni yang sebagian besar tidak sempat membaca dan tidak memahami secara detail isi dari peraturan tata tertib pada awalnya hanya mengikuti
setiap
aturan yang ada.
Secara
berangsur-angsur
munculah
ketidakpuasan beberapa penghuni atas kekuatan struktural yang dimiliki oleh pengembang dalam kehidupan sosial mereka. Hanya sebagian penghuni yang memiliki kesadaran diskursif yang berani untuk melakukan pengaduan bahkan protes terhadap pengembang yang kekuatan strukturnya cenderung mengekang (constraint) bagi para penghuni. Ketidakpuasan tersebut semakin besar karena secara rutin para penghuni diwajibkan untuk membayar iuran pengelolaan lingkungan (IPL) yang besaranya berbeda-beda pada setiap kluster. Namun, dalam praktiknya pengembang tidak memberikan pelayanan yang memadai dan memuaskan. Di sisi lain, jika ada keterlambatan
pambayaran
IPL,
pengembang
bertindak
cepat
untuk
memberlakukan sangsi bagi penghuni tersebut. Inilah yang menjadi pemicu ketidakpuasan yang dialami oleh para penghuni. Bentuk ketidakpuasan yang dilakukan oleh penghuni diwujudkan dalam bentuk protes yang dilakukan baik secara langsung atau dengan melaporkan keluh kesah mereka ke media masa atau media sosial. Minimnya respon yang diberikan pengembang membuat penghuni mulai mempertimbangkan untuk membentuk struktur baru yang lebih aspiratif guna menampung segenap keluh kesah atau aspirasi warga. Struktur sosial baru diharapkan akan lebih bersifat transformative dan fleksibel dan akan digunakan oleh penghuni untuk menciptakan praktik sosial baru . Intinya sebagian dari
Universitas Indonesia
267 mereka berharap adanya ruang untuk proses sosial yang lebih terbuka dari pihak pengembang.
8.2 Organisasi Ketetanggaan : Agency dan Pembaruan Struktur Jika ditelaah dengan menggunakan analisa strukturasi Giddens dapat terlihat bagaimana praktik sosial di dalam komunitas berpagar mengalami perubahan
yang
signifikan
semenjak
adanya
organisasi
ketetanggaan.
Sebelumnya, pengembang menjadi satu-satunya struktur yang mendominasi para penghuni dengan perjanjian mengikat melalui peraturan tata tertib. Praktik sosial yang terjadi dalam konteks ini menggambarkan bagaimana para penghuni mengikuti saja setiap aturan yang tertulis di dalam peraturan tata tertib. Proses dialogis yang mandeg, membuat para penghuni memunculkan sikap pengabaian atas pemberlakuan peraturan tata tertib tersebut. Secara massif semakin banyak terjadi pelanggaran khususnya yang terkait dengan kehidupan bertetangga di lingkup kluster. Kondisi ini tentunya menyebabkan berbagai masalah-masalah sosial pada lingkup hubungan ketetanggan. Oleh karenanya, organisasi ketetanggan yang awalnya dibentuk hanya untuk menjadi saranan prosedural untuk mengakses kebutuhan pencatatan sipil mendapatkan tugas baru untuk mengentaskan setiap permasalahan yang berkembang di wilayah operasionalnya. RT-RW kini bukan saja menjadi lembaga prosedural, namun menambah fungsinya untuk menjadi sarana dialogis antar penghuni untuk mendapatkan solusi dari permasalahan yang berkembang. RT/RW memainkan peran penting sebagai media bagi penanganan konflik antar warga. Secara formal pengembang tidak bertanggungjawab secara sosial jika terjadi konflik antar warga. Kedudukan pengembang hanya terkait relasi hubungan formal
antar penghuni dengan
pengembang dan tidak terkait dengan masalah hubungan antar sesama penghuni. Pengembang sama sekali lepas tanggung jawab jika sudah masuk keranah pribadi. Seperti diketahui bahwa atas dasar inisiatif dari pengurus RW di kluster Onyx, akhirnya kini penghuni dimudahkan untuk mendapatkan informasi mengenai aturan-aturan apa yang berlaku di dalam komunitas berpagar. Bahkan, dalam kelanjutanya pengurus RT dan RW berhak untuk menegur satpam jika
Universitas Indonesia
l268 terjadi pendiaman atas pelanggaran yang terjadi. Beberapa satpam bahkan sudah dikeluarkan oleh pengembang atas saran dari pengurus RT dan RW karena dianggap lalai dalam menjalankan tugasnya. Massifnya kesadaran diskursif penghuni atas praktik sosial yang selama ini berlangsung, menyebabkan beberapa aktor yang aktif di dalam kepengurusan RT dan RW untuk membentuk ASRC. Awalnya ASRC dibentuk untuk menjadi wadah yang menghubungkan kesenjangan relasi antara pihak pengelola dan penghuni. Beberapa konflik akibat miskominikasi ingin dijembatani oleh kelompok komunitas ini, tanpa harus mengintervensi pada kasus-kasus yang bersifat pribadi. Para pengurus menginginkan, hal-hal yang dibahas di ASRC, tidak terkait kasus pada masing- masing kluster, tetapi bersifat umum, seperti membangun kegiatan bersama antar kluster dan membahas penanganan masalah berbasis kepentingan bersama, bukan pribadi atau kelompok kluster tertentu. Dalam perkembangan ini penghuni yang terhimpun dalam organisasi ketetanggan baik RT dan RW serta ASRC telah memperbaharui praktik sosial yang terjadi di dalam komunitas berpagar Alam Sutra. Kekurangan dari struktur pengembang yang dominan sedikit-demi sedikit mulai diambil alih atau dikoreksi oleh organisasi ketetanggaan. Hal ini dipahami karena pengembang sering tidak responsif dalam menangani setiap permasalahan yang ada, dan dianggap hanya mencari keuntungan atas penghuni semata. Pengurus organisasi ketetanggan kini memiliki kekuatan struktural baru untuk menjadi penyeimbang dalam kehidupan sosial di dalam komunitas berpagar. Kondisi tersebut tercermin pada skema strukturasi penghuni di bawah ini.
Universitas Indonesia
269
Structure
Modality
Interaction
Signification organisasi ketetanggan
Domination
Legitimation kesepakatan anggota
otoritas atas anggota
Interpretative Scheme kesepakatan bersama
Facility Dukungan Komunitas berpagar
Norm kehidupan yg harmoni
Communication musyawarah
Power membuat aturan
Sanction sangsi sosial
Gambar 8.2 Struktur Baru dari Organisasi Ketetanggaan
Dari skema di atas, diketahui bahwa peran organisasi ketetanggaan sudah mulai memiliki kekuatan stuktural atas penghuni. Struktur baru ini sebenarnya belum mampu untuk menggantikan dominasi pengembang. Masih dibutuhkan waktu yang cukup lama untuk mampu menggantikan posisi pengembang. Struktur baru lebih memfasilitasi kegiatan-kegiatan sosial atau masalah – masalah aktual yang sedang dihadapi masyarakat, yang selama ini tidak terlalu banyak disentuh oleh pengembang. Organisasi ketetanggaan belum sanggup untuk menangani semua permasalahan yang ada di dalam komunitas berpagar . Dalam perspektif Giddens, dapat dilihat bagaimana ruang dan waktu sebagai arena berlangsungnya praktik sosial memunculkan strukturasi baru. Pengembang, sebagai kekuatan struktural lama yang menghambat mulai digantikan oleh kekuatan struktural baru yang datangnya dari organisasi ketetanggaan yang membolehkan atau memfasilitiasi (enabling) tiap-tiap penghuni Alam Sutra. Praktik sosial yang baru, yang menjadikan organisasi ketetanggaan sebagai struktur merupakan proses dialektik para penghuni yang memiliki kesadaran diskursif untuk membuat struktur baru yang lebih memfasilitasi kebutuhan mereka. Hal ini dipahami karena pengembangmanagemen sebagai struktur yang lama, tidak membuka proses sosial antara penghuni dengan institusi tersebut.
Universitas Indonesia
l270 Sehingga struktur pengembangmanegement tidak lagi mampu menampung berbagai praktik sosial yang terjadi di dalam komunitas berpagar. Hal ini terbukti dengan adanya berbagai kegiatan sosial yang diselenggarakan oleh organisasi ketetanggan, yang memiliki dua fungsi sekaligus. Pertama, kegiatan sosial mewadahi interaksi antar penghuni Alam Sutra yang selama ini sangat minim melakukan proses sosial. Kemudian, yang berikutnya, kegiatan sosial juga upaya untuk menghidupkan nilai-nilai kultural yaitu saling berbagi antara penghuni Alam Sutra yang sebagian besar memiliki tingkat ekonomi yang tinggi terhadap komunitas lain yang kurang beruntung. Dengan adanya mekanisme musyawarah dalam pengambilan keputusan di dalam organisasi ketetanggaan. Proses sosial tersebut memungkinkan adanya dialektika diantara para penghuni yang sudah memiliki kesadaran diskursif. Oleh karenanya, keberadaan struktur yang enabling memungkinkan adanya proses dialogis dalam upaya pembenahan dan perbaikan struktur tersebut. Sehingga, antusiasme komunitas berpagar Alam Sutra yang terdiri dari berbagai kluster menyambut baik terbentuknya ASRC yang kini anggotanya semakin banyak dan beragam latar belakang klusternya. Keberadaan pengembang, sebagai otoritas lama masih eksis dengan kekuatan strukturalnya. Namun, peran-perannya mulai berkurang dalam mengatur kehidupan sosial di dalam komunitas berpagar. Penggunaan kekuatan struktural pengembang kini lebih banyak beropreasi dalam lingkup keamanan dan kenyamanan lingkungan saja. Sedangkan untuk legitimasinya dalam mengatur kehidupan sosial para penghuni sudah semakin jauh berkurang, digantikan dengan peran organisasi ketetanggan. Pada sisi lain, organisasi ketetanggaan dengan legitimasi yang semakin menguat juga memiliki posisi tawar yang signifikan terhadap pengembang. Organisasi ketetanggaan semakin menguatkan suara penghuni yang biasanya disampaikan secara orang per orang kini menjadi satu kesatuan yang padu. Hal ini tentunya berdampak terhadap respon yang dilakukan oleh pihak pengembang dalam menanggapi keluhan yang disampaikan melalui organisasi ketetanggaan. Dengan demikian, selain menjadi kekuatan struktural baru yang memiliki legitimasi untuk mengatur kehidupan sosial di dalam komunitas berpagar,
Universitas Indonesia
271 organisasi ketetanggan juga memiliki fungsi sebagai pressure group (kelompok penekan) atas dominasi yang dimiliki oleh pengembang. Sehingga sangat dimungkinkan, struktur pengembang yang dianggap mengambat dalam kehidupan sosial di dalam komunitas berpagar akan hilang sama sekali dan digantikan oleh struktur organisasi ketetanggan yang dirasakan oleh para penghuni lebih enabling.
8.3 Dari Ekslusi Sosial ke Pembangunan Sosial: Perluasan Fungsi Proses Sosial dan Tuntutan Terhadap Nilai-nilai Ideal Dalam penjelasan sebelumnya, diketahui bagaimana sesungguhnya pengembang berupaya menerapkan nilai-nilai/norma-norma harmoni kehidupan diantara penghuni melalui peraturan tata tertib. Di dalam peraturan tata tertib mengatur secara detail mengenai budaya tinggal di komunitas berpagar, terkait budaya tertib pemanfaatan bangunan, sikap penghuni, dan juga hubungan sosial antar penghuni. Konstruksi pendekatan struktual dan kultural yang dilakukan oleh pihak pengembang tergambar jelas dengan penggunaan analisa struktural Parsonian. Sayangnya, pihak pengembang tidak menjalankan peraturan tata tertib secara konsisten, dengan sendirinya nilai dan norma yang seharunya melakukan fungsi perawatan tidak dapat terjadi. Pembagian kluster yang berdasarkan kekuatan finansial penghuni pada satu sisi menjadi keuntungan bagi pengembang untuk mengatur penghuni berdasarkan tingkat ekonominya. Namun pada sisi yang lain, hal ini justru menimbulkan
masalah
kecemburuan
antar
penghuni,
karena
perhatian
pengembangcenderung diutamakan kepada cluster elit atau cluster yang baru dibangun. Penghuni lama merasa tidak mendapatkan perhatian sepenuhnya. Kultur individual penghuni yang berbeda satu sama lain, dipengaruhi oleh tingkat ekonominya. Hal ini sesuai dengan penjelasan Bourdieu (1992) dalam suatu ranah (field), habitus yang di dalamnya terdapat modal ekonomi dan modal kultural mempengaruhi tindakan sosial agen. Oleh karenanya, di dalam lingkup komunitas berpagar, kontestasi prestise antar penghuni menjadi hal yang tidak bisa dihindarkan. Inkonsistensi pihak pengembang dalam menindak pelanggaran yang dilakukan oleh pihak penghuni yang memiliki modal kultural dan modal ekonomi yang tinggi menjadi masalah besar dalam upaya menciptakan toleransi. Universitas Indonesia
l272 Hal ini diperparah dengan adanya kekecewaan yang besar terhadap pengembang di beberapa penghuni di kluster yang lain karena minimnya respon atas komplain yang mereka ajukan. Pada level inilah pengembang telah melakukan praktik eklusi sosial. Esklusi tersebut dialami oleh penghuni yang tidak memiliki modal kultural dan modal ekonomi yang tinggi. Pengembang tidak menyediakan pelayanan yang baik kepada semua penghuni. Sifat korporasi yang berorientasi profit menjadi masalah ketika diterapkan dalam upaya pembangunan struktur di dalam komunitas berpagar. Padahal, setiap penghuni yang tinggal di semua jenis kluster memiliki kewajiban yang sama untuk membayar berbagai iuran wajib kepada pihak pengembang.
Penghuni
Pengembang
Gambar : 8.3 Matrik proses menuju “pembangunan sosial “ yang dilakukan oleh Pengembang dan Penghuni Eskternalitas tindakan yang dilakukan pengembang dalam mengelola komunitas berpagar Alam Sutra menyebabkan ketiadaan struktur yang menjadi sandaran. Eksternalitas tindakan yang hanya menguntungkan sisi kepentingan pengembang dan sekelompok orang di komunitas berpagar telah menimbulkan anomali terhadap nilai-nilai ideal (inklusi/ harmoni) yang menjadi kesepakatan bersama. Anomali ini membuat setiap individu penghuni lebih menonjolkan
Universitas Indonesia
273 modal kultural dan ekonominya. Kali ini kontestasi bukan hanya antar kelompok kluster, namun juga antar penghuni di satu kluster. Pertentangan antar tetangga ini membuat adanya upaya penyelesaian konflik secara bersama. Di beberapa tempat, ketua RT/RW berhasil menginisiasi upaya konsolidasi antar penghuni. Contohnya, di Kluster Onyx, RT/RW disana membuat ringkasan dari peraturan tata tertib untuk ditegakan kembali. Kondisi ini membuat semua pihak di dalam kluster tersebut berupaya menaati peraturan tersebut. Upaya untuk menaati peraturan adalah suatu tuntutan akan nilai-nilai ideal yang harus dijalankan oleh penghuni dan pengembang sebagai cara untuk membangun toleransi dan harmoni sosial. Dalam hal ini dapat dilihat bagaimana toleransi dan harmoni kehidupan sebagai nilai kultural yang dijunjung dan diharapkan diejawantahkan di dalam kehidupan bermasyarakat di dalam komunitas berpagar Alam Sutra melalui pengembang ternyata tidak membuahkan hasil. Di sisi lain, toleransi sebagai kultur yang kondusif, saling menghargai antar penghuni baru bisa dilalui melalui proses yang panjang. Dengan demikian, dapat dilihat bagaimana upaya mewujudkan toleransi dan harmoni (nilai-nilai ideal) kehidupan sosial ternyata muncul dari proses sosial antar penghuni. Pendekatan pengembang yang terlalu menekankan aspek struktural ternyata tidak mampu membuat hubungan saling menghargai tercipta di dalam komunitas berpagar. Berikut ini matrik dampak dari dinamika antar elemen struktur, kultur, dan proses dalam konteks pembangunan sosial di komunitas berpagar Alam Sutra.
Universitas Indonesia
l274 Tabel : 8.1 Matriks Dampak Dinamika Stuktur, Kultur, dan Proses Di Komunitas berpagar – Alam Sutera Komponen Pembangunan Sosial Struktur
Sifat Dampak yang Terjadi
Kultur
Eksklusi/Inklusi
Kultur yang Distrukturkan
Ekslusi
Struktur yang Membudaya
Eksklusi/Inklusi
Proses
Inklusi
Proses yang Dibudayakan
Inklusi
Kultur yang Diproses Kembali
Inklusi
Struktur yang Diproses
Inklusi
Proses yang Distrukturkan
Inklusi
Eksklusi/Inklusi
1. Struktur Jika melihat matrik di atas dan juga matrik struktur, kultur, proses di dalam komunitas berpagar dapat dilihat bagaimana ekslusi sosial melalui pendekatan struktural yang dilakukan oleh pengembang menjadi pemicu pembentukan struktur baru yang lebih enabling dan juga inklusif. Namun perlu diperhatikan, bahwa tidak semua kekuatan struktural pengembang memberikan dampak negatif, atau ekslusi sosial. Pada sisi yang lain, pembangunan fasilitas publik yang strategis dan nyaman mendorong terciptanya proses sosial diantara penghuni. Tentunya, kepekaan pihak pengembang menyediakan fasilitas publik bagi penghuni harus diapresiasi sebagai kekuatan struktural yang bersifat inklusif.
2. Kultur Sebagaimana struktur, kultur juga memiliki dampak ekslusi sekaligus inklusi. Kultur sebagai kekuatan yang terinternalisasi dan tercermin di dalam pola tingkah laku para penghuni, mempengaruhi pola interkasi yang terjadi di dalam komunitas berpagar
Alam Sutra. Sebelum terjadi proses sosial,
masing-masing penghuni komunitas berpagar Alam Sutra mengedepankan kekuatan modal kultural dan modal ekonominya. Hal ini disebabkan karena
Universitas Indonesia
275 kekuatan struktur pengembang ternyata tidak mampu mengatur tiap-tiap penghuni secara rinci, walaupun sesungguhnya peraturan tata tertib sudah sangat detail membahas peraturan bertetangga di Alam Sutra. Dalam tahap ini, kultur kelompok penghuni yang memiliki modal ekonomi tinggi yang melanggar ketetapan stuktural pengembang telah menciptakan esklusi sosial terhadap kelompok penghuni yang modal ekonominya lebih rendah. Intensitas interaksi sosial antar penghuni yang semakin tinggi, menyebabkan
diperlukannya
upaya
bersama
untuk
menyelesaikan
permasalahan yang terjadi antar penghuni. Melalui organisasi ketetanggan RT/RW dan juga ASRC maka proses sosial antar penghuni semakin intensif. Musyawarah antar penghuni akhirnya berhasil membuat kesepakatan baru antar penghuni, khususnya di beberapa kluster yang lebih padat. Kini setiap penghuni dapat mengukur setiap tindakan sosialnya agar tidak melanggar kontrak sosial yang sudah ditetapkan. Toleransi dan harmoni sebagai nilai bersama untuk menciptakan hubungan ketetanggaan yang baik secara perlahan kini sudah menjadi kultur yang terinternalisasi pada masing-masing penghuni komunitas berpagar Alam Sutra. Bahkan, melalui organisasi ketetanggaan yang ada mereka pun menginisiasi kegiatan sosial untuk membantu meringankan beban masyarakat di luar komunitas berpagar Alam Sutra.
3. Kultur yang Distrukturkan Kultur yang distrukturkan sebagai kelanjutan dari kekuatan struktural pengembang, memaksakan nilai-nilai budaya komunitas berpagar melalui peraturan tata tertib kepada penghuni. Walaupun nilai dan isi yang terkandung di dalam peraturan tata tertib sesungguhnya mencerminkan upaya menciptakan kehidupan yang harmonis, namun karena adanya inkonsistensi pihak pengembang dalam penegakannya, maka komponen ini mengarah pada praktik esklusi sosial. Hal ini dipahami, karena pihak pengembang hanya menegakan nilai-nilai budaya komunitas berpagar secara konsisten bila menyangkut kepentingan korporasi saja, sedangkan dalam masalah yang
Universitas Indonesia
l276 berkembang di dalam pelayanan dan hubungan ketetanggaan upaya penyelesaian masalah yang dilakukan sangatlah lemah.
4. Struktur yang Membudaya Dalam kondisi pengembang yang semakin kehilangan reputasi dalam menjalankan kekuatan strukturalnya, maka ada dua jenis penghuni yang mengekpresikan “struktur yang membudaya�. Kelompok pertama ialah mereka yang konsisten menjalankan setiap aturan yang ada di dalam pengembangmanegement, khususnya mengenai permasalahan yang berkaitan dengan hubungan ketetanggaan. Kepatuhan terhadap aturan yang terdapat di dalam peraturan tata tertib bagi kelompok ini ialah dalam upaya menjaga hubungan yang baik dengan tetangga. Hal ini merupakan eskpresi yang menunjukan sikap inklusif penghuni terhadap penghuni yang lain. Di sisi lain, ada kelompok penghuni yang memanfaatkan longgarnya penegakan aturan di dalam peraturan tata tertib dengan melanggar aturan yang berkaitan dengan hubungan antar tetangga. Penghuni kelompok ini menggunakan kuasanya, yang
bersumber
pada
kekuatan
ekonomi
dan
kulturalnya
untuk
melanggengkan kultur individualnya tanpa menghiraukan kepentingan bersama. Tentunya, kelompok ini telah melakukan praktik esklusi sosial, mementingkan kepentingan pribadinya dibandingkan kepentingan bersama di dalam lingkup komunitas berpagar.
5. Proses Proses sosial sebagai akumulasi interaksi antar penghuni memainkan peran penting dalam menciptakan kehidupan yang inklusif. Di tengah kekuatan struktur yang melekat pada pengembang dan kekuatan kultural yang terdapat pada masing-masing individu, proses sosial mengalami perluasan peran dalam upaya menemukan kehidupan bertetangga yang harmonis di dalam komunitas berpagar Alam Sutra. Pemberlakukan peraturan tata tertib yang tidak melibatkan aspirasi penghuni serta minimnya sosialisasi yang dilakukan, menyebabkan proses sosial tidak difasilitasi oleh pihak pengembang. Di sisi lain, aktifitas ketetanggaan bersama pun sangat minim,
Universitas Indonesia
277 penghuni komunitas berpagar Alam Sutra tidak terbiasa melakukan interkasi sosial ataupun negosiasi antar penghuni. Hal ini dipahami karena, struktur dan kultur memaksa mereka untuk tidak terintegrasi sebagai satu kesatuan masyarakat sebagaimana yang terjadi di komunitas ketetanggan lain. Proses sosial merupakan situasi saat penghuni keluar dari himpitan struktur dan kultur. Komponen ini ditandai dengan terjadinya interaksi antar penghuni di dalam komunitas berpagar. Selama ini, proses sosial di dalam kehidupan komunitas berpagar Alam Sutra sangat minim terjadi. Hal ini dipahami karena aktifitas penghuni lebih banyak terjadi di dalam rumah atau internal keluarga. Proses sosial antar penghuni diidentifikasi massif terjadi di beberapa fasilitas umum yang terdapat di lingkungan Alam Sutra, seperti sarana pendidikan, pasar, pusat perbelanjaan,restoran, sarana olahraga dan sarana peribadatan. Permasalahan ketetanggaan yang semakin intens terjadi, memaksa penghuni untuk berinteraksi dan bernegosiasi. Melalui upaya dari beberapa pengurus RT/RW, permasalahan tersebut dimusyawarahkan untuk dicarikan jalan keluar yang diterima oleh semua pihak. Proses sosial yang berlangsung di dalam upaya pembentukan kontrak sosial antar penghuni, disadari sebagi cara
yang
efektif
dibandingkan
mengandalkan
kekuatan
struktural
pengembang. Sehingga, beberapa aktor di dalam komunitas berpagar mencoba mengupayakan penguatan proses sosial bukan saja untuk menyelesaikan permasalahan yang berkembang antar penghuni, namun juga dalam upaya menjembatani para penghuni dengan pihak pengembang.
6. Proses yang Dibudayakan, Dalam
matrik skema struktur, kultur, dan proses di dalam
komunitas berpagar, organisasi ketetanggaan memainkan peran utama dalam perluasan fungsi proses sosial. Melalui komponen “proses yang dibudayakan� , para penghuni menginisiasi revitalisasi peran RT/RW serta pembentukan ASRC. Dengan organisasi ketetanggaan ini berlangsung lebih banyak komponen yang bersumber dan bermuara kepada proses sosial. Simultan dengan komponen tersebut, beberapa aktor yang sudah terkoneksi melalui
Universitas Indonesia
l278 sarana organisasi ketetanggaan, fasilitas publik, dan juga jejaring sosial di dunia maya, menghidupkan budaya untuk menjadikan proses sosial sebagai suatu kultur baru diantara mereka. Kini, diskusi, musyawarah, tukar ide dan informasi menjadi bagian yang dianggap penting di kalangan penghuni, sehingga melalui organisasi ketetanggaan, baik RT/RW dan ASRC serta sekolah dan fasilitas umum terciptalah kultur baru, kultur keterbukaan yang menjadikan interaksi sosial sebagai inti dari upaya membangun kehidupan bersama yang harmonis. Komponen inilah yang disebut dengan “kultur yang diproses kembali�.
7. Kultur yang Diproses Kembali. Selain berupaya menyelesaikan masalah internal antar penghuni, organisasi ketetanggaan pada perkembangannya juga menjadi penghubung antara penghuni dengan pengembang. Sebelum adanya ASRC, penghuni sebagai satu kesatuan masyarakat hanya dianggap sebagai bagian-bagian yang tidak terintegrasi. Hal ini menyebabkan posisi penghuni jika dihadapkan dengan nilai-nilai kultur (korporasi) yang diatur oleh kekuatan struktur pengembang tidak memiliki kekuatan yang berarti, kecuali penghuni tersebut secara individual memiliki kekuatan modal kultural dan modal ekonomi yang besar.
Dengan
adanya
ASRC,
penghuni
memiliki
kekuatan
yang
diperhitungkan sebagai perwakilan kepentingan warga. Salah satu fungsi ASRC ialah meninjau dan mengkritisi kembali setiap nilai-nilai budaya komunitas berpagar
dari pihak pengembangmanegement yang
dianggap
merugikan kepentingan penghuni secara umum serta menyebabkan terjadinya praktik esklusi sosial. Sehingga, dengan menguatnya peran organisasi ketetanggaan menyebabkan munculnya kegiatan “struktur yang diproses�, yaitu upaya menegosiasikan setiap produk struktural yang dibuat oleh pengembangmanangement.
8.
Struktur yang Diproses Struktur yang diproses� merupakan upaya dari beberapa penghuni baik yang tergabung dengan organisasi ketetanggaan maupun secara pribadi untuk
Universitas Indonesia
279 berhadapan langsung dengan pihak pengembang. Hal ini dilakukan untuk menegosiasikan setiap produk struktural yang dianggap merugikan mereka. Di dalam komunitas berpagar Alam Sutra, tahap ini terjadi pada level yang tinggi, karena pihak penghuni sudah ada yang mau dan mampu untuk menyanyakan langsung kepada pihak pengembang. Kondisi ini menandakan bahwa penghuni sudah mengetahui hak-haknya sebagai penghuni di dalam komunitas berpagar atau yang dalam bahasa Giddens disebut sudah memiliki ‘kesadaran diskursif”. Pendidikan, pengalaman budaya dan status sosial ekonomi menjadi dasar kompetensi untuk menjadi “power” untuk berani melakukan protes atau negosisasi. Sehingga mereka memiliki dasar untuk melakukan protes atas pelayanan yang selama ini jauh dari harapan. Tentunya sebelum sampai pada level ini, “struktur yang diproses” hanya terjadi di dalam obrolan ringan antar tetangga membahas ketidakpuasan mereka atas pelayanan yang diberikan oleh pengembang.
9. Proses yang Distrukturkan Pada tahap selanjutnya, adalah output dari upaya menegosiasikan kepentingan penghuni melalui organisasi ketetanggaan kepada pengembang. “Proses yang distrukturkan “, merupakan respon pengembang sebagai pemilik otoritas struktural di lingkungan komunitas berpagar Alam Sutra. Dalam hal ini, respon baik yang diberikan oleh pihak pengembang mulai terlihat. Salah satunya ialah, pihak pengembang kini memberikan perhatian dan dukungan dalam setiap kegiatan yang dilangsungkan oleh ASRC walaupun dalam proporsi yang masih minim. Namun, hal ini sudah menjadi sinyalemen positif untuk menciptakan kehidupan yang inklusif di dalam komunitas berpagar Alam Sutra. “Proses yang distrukturkan”, juga terjadi di dalam setiap program kerja yang dilangsungkan oleh ASRC maupun RT/RW. Dengan suka rela setiap anggota organisasi ketetanggaan tersebut mengerjakan setiap kegiatan yang didasarkan atas keputusan mereka sendiri. Tingkat kesertaan dan kesukarelaan dalam program ini tentunya berbeda dengan yang diinisiasi oleh pihak pengembang, yang hanya mengandalkan kekuatan struktural.
Universitas Indonesia
l280 Dengan demikian, berdasarkan paparan di atas diketahui begitu besarnya peran proses sosial dalam upaya menciptakan kehidupan yang inklusif. Struktur dan kultur sebagai komponen yang memiliki kuasa atas individu walau dalam bentuk yang berbeda, sama-sama memiliki potensi menciptakan kondisi ekslusif maupun inklusif. Ketiadaan proses sosial yang menjembatani berbagai aktor dalam
lingkup
komunitas
berpagar,
menyebabkan
struktur
dan
kultur
menyebabkan berlangsungnya praktik ekslusi sosial di dalam lingkungan tersebut. Melalui proses yang panjang, pembangunan proses sosial di dalam komunitas berpagar ternyata memberikan dampak yang signifikan dalam upaya menciptakan kehidupan yang inklusif, yang juga dapat diartikan sebagai kehidupan yang harmonis ataupun kehidupan yang penuh nilai toleransi. Dalam kasus komunitas berpagar Alam Sutra, pembangunan sosial budaya yang menekankan aspek struktural cenderung gagal menciptakan kondisi yang diharapkan oleh pengembang. Hal ini dikarenakan tidak adanya penyertaan penghuni sebagai parter dalam menciptakan kehidupan yang harmonis. Mengandaikan penghuni hanya sebagai objek atas kekuatan struktural pada giliranya akan menciptakan ekslusi sosial dan membuat hubungan ketetanggaan tidak kondusif. Penghuni komunitas berpagar yang sebagian besar merupakan kelompok ekonomi menengah atas dan juga tingkat pendidikan yang tinggi sudah selayaknya dijadikan mitra untuk menciptakan kehidupan yang harmonis dan penuh nilai toleransi, karena sebagian bessar mereka sudah memiliki kesadaran diskursif. Perluasan fungsi proses sosial sebagai upaya menyelesaikan masalah yang dihadapi oleh para penghuni, menjadi titik balik dalam mewujudkan inkusifitas dikalangan mereka sendiri. Proses sosial melalui organsiasi ketetanggaan yang menekankan kebersamaan, secara simultan menciptakan kesadaran diskursif sekaligus upaya memperbaharui struktur yang lebih menjembatani. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa proses sosial merupakan inti dari pembangunan
sosial
budaya.
Karena
proses
sosial
dengan
sendirinya
menyembantani kepentingan semua pihak sekaligus upaya membentuk kontrak sosial yang diterima sebagai oleh semua pihak untuk kepentingan bersama.
Universitas Indonesia
281 8.4 Kontribusi Teoritik: 8.4.1
Kesadaran Diskursif sebagai Penggerak dari Proses Sosial Penelitian ini menggunakan pendekatan strukturasi Giddens sekaligus
pendekatan pembangunan sosial budaya. Kedua pendekatan ini sama-sama memiliki analisa yang detail dan menyeluruh mengenai ranah makro, messo, dan juga mikro dalam kajian sosiologi. Dalam penelitian ini digagas bagaimana kedua pendekatan digunakan secara bersamaan dan menghasilkan hasil analisa yang saling melengkapi dalam membahas komunitas berpagar. Namun, dari penjelasan Giddens mengenai struktur yang digambarkan memiliki signifikasi, dominasi, dan legitimasi tidak dipisahkan antara struktur dan kultur. Penjelasan ini penting karena akan melihat kekuatan yang bersumber dari luar (struktur) maupun yang berasal dari dalam/inheren di dalam agen (kultur). Walaupun dalam kelangsungan proses sosial dikomunitas berpagar juga menghasilkan perubahan signifikan terhadap sturktur dan kultur melalui organisasi ketetanggaan tetapi perubahan kultur sesungguhnya tidak terjadi secara menyeluruh. Perubahan kultur hanya dialami oleh mereka yang tergabung di dalam ASRC, karena selain mereka sudah memiliki kesadaran diskursif, mereka secara rutin melakukan proses sosial sesama mereka untuk mengerjakan beberapa kegiatan sosial. Sedangkan bagi penghuni komunitas berpagar yang lain perubahan kultural tidak terjadi. Di sisi lain, perubahan struktural seperti pemberlakuan kembali peraturan tata tertib yang dilaksanakan oleh RT-RW di kluster Onyx misalnya secara signifikan mengatur semua penghuni yang ada di lingkungan kluster tersebut tanpa kecuali. Kemudian,
dalam
penjelasan
Giddens
mengenai
praktik
sosial
memberikan penjelasan bagaimana dalam dinamika hubungan agen dan struktur terdapat beberapa jenis kesadaran. Dalam penelitian ini, diketahui penjelasan Giddens mengenai kesadaran agen memberikan gambaran mengenai bagaimana penghuni komunitas berpagar, sebagai agen memiliki respon yang berbeda-beda menghadapi stuktur yang dimainkan oleh pengembang. Agen yang memiliki kesadaran diskursif-lah yang pada praktik sosial mencoba membangun struktur baru melalui organisasi ketetanggaan, RT-RW dan juga ASRC. Sedangkan dalam Universitas Indonesia
l282 tinjauan struktur, kultur, dan proses tidak dijelaskan secara rinci bagaimana “struktur yang diproses� bisa dilangsungkan. Dengan demikian, diketahui hanya penghuni yang memiliki kesadaran diskursif yang melakukan protes dan juga membentuk ASRC untuk memperbaiki kehidupan sosial di komunitas berpagar Alam Sutra. Hal ini dipahami karena sebagai satu-satunya pengendali kuasa di dalam komunitas berpagar, pengembang tidak memberikan ruang untuk berlangsungnya pembentukan (produksi) dan pengembangan (reproduksi) praktik sosial baru. Kondisi ini telah mematikan potensi penghuni komunitas berpagar (agen) dalam upaya tersebut. Dengan demikian, praktik sosial yang sesuai dengan peraturan tata tertib yang penuh dikendalikan oleh pengembang berlangsung cukup lama tanpa ada upaya-upaya signifikan dari penghuni. Para penghuni yang memiliki kesadaran diskurif yang memiliki kekampuan reflektif dalam melihat institusi komunitas berpagar mengoptimalkan organisasi ketetanggaan untuk memproduksi dan mereproduksi praktik sosial baru. Menurut John Dewey (1933) kemampuan reflektif adalah kemampuan individu di dalam menyeleksi
pengetahuan yang pernah diperolehnya, yang
relevan dengan tujuan pemecahan masalah, serta memanfaatkannya secara efektif di dalam memecahkan masalahnya86. Dewey , menunjukkan bahwa berpikir reflektif adalah, gigih, dan berhati-hati pertimbangan aktif keyakinan atau bentuk seharusnya pengetahuan, dari alasan yang mendukung bahwa pengetahuan, dan kesimpulan yang lebih lanjut untuk pengetahuan yang mengarah. Kesadaran diskursif, menurut Giddens (1984), berarti kemampuan membahasakan sesuatu. Tidak sadar dalam teori psikoanalisis memiliki pengertian sebaliknya, ketidakmampuan memberikan ungkapan verbal terhadap tindakan. Tidak sadar merujuk pada cara-cara mengingat yang tidak mampu diakses langsung oleh si agen karena adanya sejenis “penghalang� negative yang merintangi ketergabungan langsungnya dengan introspeksi dan mawas diri dan terlebih lagi dengan kesadaran diskursif. Apabila seseorang agen ingin mencapai sesuatu tujuan, ia harus dapat memecahkan masalah yang menghambatnya. Apabila agen dapat menemukan 86
Dikutip dari Reflektive Thingking,John Dewey, Model Pembelajaran , http://pascasarjanapaiuinsgd.blogspot.com/2011/04/berfikir-reflektif-dari-john-dewey.html
Universitas Indonesia
283 cara- cara untuk mengatasi hambatan yang ada, dan akhirnya dapat mencapai tujuan yang diharapkan, maka berarti individu sudah melakukan berpikir reflektif. Upaya ini bukan sesuatu hal yang mudah untuk dilakukan di komunitas berpagar, karena harus berhadapan dengan struktur yang memiliki signifikansi, dominasi, dan legitimasi yang mapan. Ruang dan waktu sebagai konteks berlangsungnya praktik sosial juga terlihat memberikan penjelasan yang detail untuk melihat bagaimana struktur yang direproduksi oleh pengembang berangur-angsung berkurang pengaruhnya terhadap penghuni. Inkonsistensi yang telah berlangsung lama dan terakumulasi pada suatu waktu telah menyuburkan kesadaran diskursif penghuni. Kebutuhan untuk mengganti dominasi struktur yang dikembangkan oleh pengembang dirasa telah menghambat (constraint) praktik sosial dan dan mengganggu rasa keadilan penghuni, sehingga kebutuhan akan sturktur yang memfasilitasi (enabling) pun semakin menguat melaui wadah organisasi ketetanggaan. Proses sosial yang terimplementasi dalam interaksi sosial dan interrelasi sosial memang terjadi disetiap kehidupan sosial suatu komunitas. Hal ini dipahami karena kebutuhan akan komunikasi antar anggota komunitas merupakan kebutuhan yang tidak bisa dihindari. Tetapi dalam dinamika pembangunan sosial budaya, ada irisan antara struktur, kultur dan proses. Penjelasan mengenai komunitas berpagar Alam Sutra yang diuraikan sebelumnya memberikan gambaran bagaiman hanya sedikit penghuni yang memiliki kemampuan untuk melakukan “struktur yang diproses” dan “kultur yang diproses kembali”. Di dalam skema struktur, kultur, dan proses yang dijelaskan di bab sebelumnya, diketahui hanya organisasi ketetanggan yang dapat melakukan “struktur yang diproses”, walaupun ada juga beberapa penghuni yang melakukan protes melalui jalur perseorangan. Namun efektifitas terlihat bagaimana proses tersebut lebih efektif jika dilangsungkan melalui organisasi ketetanggaan. Dalam penelitian ini digambarkan bagaimana organisasi ketetanggaan menjadi saluran yang penting dalam proses sosial di dalam komunitas berpagar Alam Sutra. Organisasi ketetanggaan dalam skema sebelumnya dijelaskan memiliki kemampuan untuk melakukan dua proses sosial penting yaitu, “ struktur yang diproses” dan “kultur yang diproses kembali” dalam upaya pembangunan
Universitas Indonesia
l284 sosial di dalam komunitas berpagar. Selain itu dalam tinjauan sturkturasi Giddens, diketahui bagaimana ada suatu upaya sistematis dari penghuni untuk membangun kehidupan sosial yang lebih baik di dalam komunitas berpagar Alam Sutra. Organisasi ketetanggaan dapat melakukan dua proses sosial tersebut karena dapat melakukan produksi dan reproduksi praktik sosial sebagaimana skema di bawah ini.
•kesadaran diskursif
RT-RW •kesadaran diskursif •produksi praktik sosial
•kesadaran diskursif •produksi praktik sosial •reproduksi praktik sosial
individu
ASRC
Gambar 8.4 : Skema Kesadaran diskursif di dalam Organisasi Ketetanggaan Sumber: Diolah dari data penelitian
Skema di atas menggambarkan bagaimana proses terbentuknya struktur baru ditengah-tengah kuasa struktur pengembang yang mengekslusi dan menghambat (constraint). Dalam rentang ruang dan waktu, diketahui skema di atas memperlihatkan bagaimana upaya penghuni secara simultan dilakukan dalam upaya membentuk stuktur yang memfasilitasi (enabling). Protes-protes individual yang dilakukan oleh penghuni, yang juga dapat diklasifikasikan sebagai aktifitas “struktur yang diproses” terus berlangsung sebagai upaya untuk mendapatkan pelayanan yang baik dan sesuai dengan peraturan tata tertib. Kemudian, karena tidak ada respon yang memuaskan dari pihak pengembang, karena keterlambatan pelayanan serta inkonsistensi dalam implementasi peraturan tata tertib, maka beberapa penghuni yang memiliki kesadaran diskursif menggunakan wadah RTRW untuk memproduksi praktik sosial yang baru. Di beberapa RT-RW pemberlakuan stuktur baru untuk memfasilitasi praktik sosial yang baru berjalan cukup baik yang dengan sendirinya menggeser otoritas dari pengembang. Tidak cukup sampai disitu, para penghuni yang memiliki kesadaran diskursif baik yang
Universitas Indonesia
285 tergabung di dalam kepengurusan RT-RW maupun tidak tergabung membentuk ASRC sebagai wadah yang lebih luas menjangkau komunitas berpagar tanpa tersekat spasial. Melalui wadah ASRC inilah, selain pengembangan kesadaran diskursif diantara penghuni terbentuk produksi praktik sosial baru, kemudian juga berlangsung reproduksi praktik sosial. ASRC dengan keanggotaan yang lebih luas mampu mengembangkan praktik sosial diantara penghuni di Alam Sutra. Proses ini dapat berlangsung karena semua anggota di dalam ASRC mengkampanyekan praktik sosial yang baru, melalui kegiatan bersama dan kegiatan sosial yang rutin. Berbeda dengan praktik sosial yang dijalankan pada organisasi ketetanggaan RTRW yang hanya diproduksi oleh sebagian anggota saja, karena terbatasnya kepengurusan di dalam organisasi tersebut. Kesadaran diskursif penghuni dalam skema ini menjadi elemen penting untuk terbentuknya proses sosial yang dapat menjangkau struktur dan kultur yang ada di dalam komunitas berpagar, sehingga aktifitas “struktur yang diproses” dan “kultur yang diproses kembali” dapat dilangsungkan. Walaupun pengembang sebagai kekuatan struktural yang memiliki kewenangan formal untuk membuat aturan baku tidak merespon dengan baik. Namun, dengan bantuan dari perspektif stukturasi Giddens, diketahui para penghuni melalui organisasi ketetanggaan telah mampu membuat struktur baru yang bersandingan dengan struktur pengembang. Menurut Giddens, sebagaimana diungkapkan oleh Satrio Arsimunandar (2008) perubahan (change) struktur bisa terjadi jika semakin banyak aktor/agen yang mengadopsi kesadaran diskursif. Yaitu, manakala si agen “mengambil jarak” dari struktur, dan melakukan sesuatu tindakan dengan mencari makna/nilai dari tindakannya tersebut87. Hasilnya bisa berupa tindakan yang menyimpang dari rutinitas atau kemapanan, dan praktis telah mengubah struktur tersebut. Perubahan juga bisa terjadi karena konsekuensi dari tindakan, yang hasilnya sebenarnya tidak diniatkan sebelumnya (unintended consequences). Perubahanperubahan ini dapat dihubungkan dengan pemikiran Merton (1936) tentang
87
http://satrioarismunandar6.blogspot.com/2008/11/perubahan-struktur-menurut-teori.html
Universitas Indonesia
l286 Unanticipated
Consequences.88
Tindakan mempunyai akibat,
baik
yang
diharapkan maupun yang tidak diharapkan. Meski setiap orang menyadari akibat yang diharapkan. Unintended consequences ini mungkin secara sistematis menjadi umpan balik, ke arah kondisi-kondisi yang tidak diketahui bagi munculnya tindakan-tindakan lain lebih jauh. Dalam kasus unintended consequences ini, bukan adanya atau tidakadanya niat (intensi) yang penting. Namun, adanya kompetensi atau kapabilitas di pihak si agen untuk melakukan perubahan. Jadi, hal ini sebenarnya berkaitan dengan kuasa atau power. Giddens menekankan pentingnya power, yang merupakan sarana mencapai tujuan, dan karenanya terlibat secara langsung dalam tindakan-tindakan setiap orang. Power adalah kapasitas transformatif seseorang untuk mengubah dunia sosial dan material. Dengan demikian, kontribusi teoritik dalam penelitian ini menjelaskan bagaimana kesadaran diskursif memainkan peran penting dalam proses sosial dalam konsepsi pembangunan sosial budaya. Perlu digaris-bawahi bahwa para penghuni komunitas berpagar Alam Sutra yang dapat dipastikan semuanya merupakan kelas menengah baik ditinjau dari segi ekonomi dan tingkat pendidikannya tentunya kesadaran diskursif merupakan sesuatu yang melekat. Pendidikan yang relative tinggi dan status sosial ekonomi yang mapan merupakan unsur kompetensi dan kapabilitas yang dianggap mampu untuk melakukan transformasi atau perubahan. Sehingga dengan dengan sendirinya, struktur yang diproduksi dan direproduksi oleh pihak pengembang yang dianggap menghambat praktik sosial mereka dengan sendirinya akan mendapatkan perlawanan. Skema di atas belum tentu dapat terjadi di dalam komunitas lainya, yang jumlah kelas menengahnya belum begitu banyak. Selanjutnya, dalam penelitian ini juga diperoleh skema perpaduan antara teori strukturasi Giddens dengan konsep Pembangunan Sosial. Pada penelitian sebelumnya, Hardjosoekarto dan Wirutomo (2011) yang juga menggunakan analisa konsep yang sama begitu menekankan analisa struktur sebagai entitas 88
Merton, Robert K. (December 1936). "The Unanticipated Consequences of Purposive Social Action". American Sociological Review 1 (6): 894–904. doi:10.2307/2084615. ISSN 0003-1224. JSTOR 2084615
Universitas Indonesia
287 utama dalam Pembangunan Sosial. Dalam penelitian ini, justru proses sosial yang menjadi entitas utama dalam mendorong terciptanya Pembangunan Sosial. Kemudian berikutnya, dengan menggunakan teori Giddens, penjelasan proses sosial sebagai entitas dalam pembangunan sosial pun semakin terlihat jelas. Proses sosial menjadi jembatan antara kesadaran agen dengan praktik sosial. Temuan ini sekaligus
mempertegas bahwa proses sosial merupakan ruang
berkesadaran agen, keluar dari tekanan stuktur dan kultur. Penelitian ini memberikan sumbangan terhadap konsep pembangunan sosial yang diperkenalkan Wirutomo (2010), yang dalam penjelasan sebelumnya memberikan pemaparan lebih lanjut mengenai proses sosial. Apalagi dalam pendekatan konsep tersebut juga belum memposisikan keberadaan agen dalam dinamika hubungan struktur, kultur, dan proses.
8.4.2
Konsep Struktur yang Membudaya dan
Pengkayaan Strukturasi
Giddens Sebagaimana dijelaskan didalam kerangka teori, konsep pembangunan sosial bukanlah merupakan suatu teori. Tetapi merupakan suatu hasil dari temuan dari kemampuan imajinasi sosiologi Wirutomo (2010) untuk menggambarkan praktik pembangunan sosial pada semua elemen societal yang paling mendasar yaitu struktur, kultur dan proses sosial. Jika konsep ini dipadukan dengan Teori Strukturasi Giddens, maka skemanya akan menggambarkan bagaimana konsep pembangunan sosial budaya berelasi dengan konsep agen-strukturnya Giddens. Seperti diketahui bahwa Giddens dalam pembahasannya mengenai strukturasi tidak membahas mengenai kultur (culture) atau budaya. Namun dalam pembahasannya mengenai gugus legitimasi ia menjelaskan bagaimana struktur pada tahap itu sudah mampu memberikan pengaruh kepada agen untuk patuh dan pada norma. Norma merupakan bentuk nilai-nilai yang dihasilkan dari kekuatan struktur. Norma merupakan hasil pengulangan praktik sosial yang sudah menjadi hal umum pada suatu ruang dan waktu. Dengan demikian, konsep mengenai kultur jika dijelaskan dengan menggunakan konsep strukturasi Giddens tidak lain
Universitas Indonesia
l288 ialah bagian dari struktur. Struktur yang membudaya ini secara jelas merupakan suatu hasil dari perpaduan antara elemen Struktur dan Kultur. Kontribusi teoritik dari hasil penelitian ini adalah temuan dari dua jenis perilaku penghuni yang mengekspresikan “struktur yang membudayakan�. Kelompok pertama ialah mereka yang konsisten menjalankan setiap aturan (norma/nilai) yang ada di dalam peraturan tata tertib, khususnya mengenai permasalahan yang berkaitan dengan hubungan ketetanggaan. Kepatuhan terhadap aturan yang terdapat di dalam peraturan tata tertib bagi kelompok ini ialah dalam upaya untuk menjaga hubungan yang baik dengan tetangga. Hal ini merupakan eskpresi yang menunjukan sikap inklusif penghuni terhadap penghuni yang lain yang dihasilkan dari kekuatan struktur. Kekuatan struktur telah berhasil menanamkan nilai-nilai budaya dari korporasi untuk dijadikan sebagai nilai-nilai kehidupan bersama. Posisi aktor dalam hal ini dapat menerima norma-norma korporasi karena secara inheren nilai-nilai korporasi masih selaras dengan nilainilai yang diyakini oleh para aktor. Sementara disisi lain, ada kelompok penghuni yang memiliki kekuatan kultur untuk melawan norma-norma dari struktur. Norma-norma yang ditanamkan korporasi belum mampu membuat aktor patuh. Penghuni kelompok ini menggunakan kuasanya, yang bersumber pada kekuatan ekonomi dan kulturalnya untuk melanggengkan kultur individualnya tanpa menghiraukan kepentingan bersama. Dari kelompok ini menunjukan bahwa struktur tidak membudaya. Struktur yang membudaya, jelas merupakan suatu bentuk kontribusi untuk memperkaya teori strukturasi dari pemikiran yang berhasil dikembangkan melalui konsep pembangunan sosial. Kontribusi dari hasil penelitian ini diharapkan memberikan
manfaat
akademis
pembangunan sosial selanjutnya.
Universitas Indonesia
untuk
dikembangkan
pada
penelitian
289 8.5 Kontribusi Praktis 8.5.1 Menghadirkan Keberadaan Negara Seperti sudah diuraikan sebelumnya, posisi negara dikomunitas berpagar telah digantikan oleh pengembang. Pengembang menggantikan posisi negara atas nama penguasaan dan pengelolaan ruang secara private. Pengembang menguasai ruang karena kekuatan modal dan
pemilik investasi yang dilindungi oleh
kekuatan struktur (regulasi). Jaminan Hak Guna Usaha (HGU) dan Hak Guna Bangunan (HGB)
yang diberikan oleh negara semakin memperkuat posisi
pengembang sebagai pengelola kawasan. Jaminan negara telah merubah pengelolaan
ruang publik
menjadi ruang privat, sehingga memberikan hak
otoritas bagi pengembang untuk mengatur lingkungan secara mandiri. Untuk melakukan proses pembangunan sosial menuju perubahan dari komunitas biasa menjadi komunitas berpagar yang lebih inklusif, maka kehadiran negara sangat dibutuhkan. Negara ( melalui Pemerintah Pusat & Daerah) dengan kekuasaan politik, hukum dan ekonomi dibutuhkan kehadirannya untuk membantu mempercepat pembangunan sosial menuju perubahan dan pembaruan struktur
yang
lebih
inklusif.
Peran
negara
dibutuhkan
untuk
dapat
mengaktualisasikan potensi masyarakat, mendorong prakarsa masyarakat dan kapasitas masyarakat. Negara dibutuhkan kehadirannya untuk mendampingi posisi masyarakat yang lemah ketika berhadapan dengan kekuatan struktur yang kaya modal. Kehadiran
negara
untuk
pembangunan
sosial
dibutuhkan
untuk
melindungi warga, dari tiga bahaya besar akibat tekanan kekuatan pasar (Bonni Setiawan,2001). Pertama, dihilangkannya atau tidak dijalankannya keketentuan sejumlah aturan, sistem dan mekanisme negara (dalam arti positif) yang menjadi alat untuk menjamin agar pelayanan kepada masyarakat dapat dipenuhi. Kedua, berkaitan dengan peran negara sebagai mediator pertikaian. Negara merupakan hasil kontrak politik antar warga negara, lewat proses-proses politik yang disepakati bersama, negara adalah institusi administratif yang bertanggungjawab mengurus rakyatnya. Ketiga, ketika sistem pasar mengambil alih tanggungjawab negara sebagaimana sekarang sudah terjadi, kepastian kehidupan manusia akan
Universitas Indonesia
l290 kehilangan pijakan. Para neoliberal yang memuja sistem pasar percaya bahwa hanya sistem pasar bebas (liberalisasi) yang bisa menggairakan kehidupan ekonomi. Kehadiran negara dibutuhkan, karena negara harus menjadi suatu mekanisme untuk mendistribusikan kekayaan, hak/perlindungan dan fasilitas. Pasar tidak akan pernah bisa beroperasi untuk menghilangkan ketimpangan dan ketidakadilan dalam masyarakat, sebaliknya justru pasar beroperasi dengan caracara yang berlawanan dengan kaidah-kaidah pembangunan sosial. 8.5.2
Menuju Pengembang yang Menjembatani Pembangunan perumahan yang dilakukan oleh pengembang sudah
menjadi aktifitas yang biasa. Dengan kekuatan modal, pihak pengembang bukan saja mencari keuntungan dari hasil penyediaan rumah namun juga dalam pengelolaan lingkungan fisik maupun sosial. Sebagaimana yang dilakukan oleh pengembang Alam Sutra, yang mencoba menjadikan kehidupan sosial yang ‘harmoni’ sebagai trademark yang menawarkan komunitas berpagar yang elit, nyaman, dan penuh toleransi. Namun perlu diperhatikan bahwa sebagian besar pengembang, termasuk Alam Sutra dalam kajian ini melakukan kesalahan dalam pembangunan sosial budaya yang ditujukan bagi penghuninya. Kontrak sosial yang dibuat sebagai perjanjian jual beli antara penghuni dan pihak pengembang ternyata tidak menjadikan unsur proses sosial sebagai suatu kebutuhan. Dalam hal kasus komunitas berpagar Alam Sutra, diketahui bagaimana peraturan tata tertib yang merupakan
kontrak
sosial
antara
penghuni
dan
pengembang
terlalu
mengedepankan kekuatan struktural dari pihak pengembang. Sehingga dalam implementasinya banyak masalah yang disebabkan kurangnya ruang dialog atau proses sosial yang disediakan oleh pihak pengembang. Apalagi sebagaimana yang sudah dibahas sebelumnya, sebagian besar atau malah bisa disebut semua penghuni komunitas berpagar Alam Sutra merupakan kelas menengah. Dengan demikian, sebagian besar mereka memiliki kesadaran diskursif yang tinggi. Kasus komunitas berpagar Alam Sutra menjelaskan bagaimana, dengan sedikitnya proses sosial yang tersedia di dalam kehidupan
Universitas Indonesia
291 mereka, pada akhirnya kebutuhan untuk melangsungkan kehidupan yang lebih baik sesuai dengan keinginan bersama terbentuk melalui organisasi ketetanggaan. Walaupun konteks kehidupan sosial di dalam komunitas berpagar memiliki perbedaan yang signifikan dengan kehiduapan sosial pada komunitas yang lain. Namun kebutuhan akan organisasi ketetanggaan tetap dibutuhkan dalam upaya menjalin interaksi antar penghuni. Hal ini terbukti dengan tidak dimuatnya aturan mengenai organisasi ketetanggaan namun para penghuni komunitas berpagar Alam Sutra tetap membutuhkan RT-RW dan juga ASRC untuk interaksi sosial sekaligus melakukan kegiatan-kegiatan bersama baik yang ditujukan untuk kalangan internal maupun eksternal. Studi yang dilakukan oleh Yosihara dan Dwianto (2003) menjelaskan bagaimana organisasi ketetanggaan di perkotaan Jepang dengan anggota organisasi yang merupakan kelas menengah memiliki fungsi bukan hanya sebagai organisasi struktural-administratif. Chonakai sebagai organisasi ketetanggan di sana memiliki inisiatif untuk melakukan pemberdayaan masyarakat dengan berbagai macam cara. Salah satunya ialah dengan melakukan kegiatan pemisahan sampah yang dikelola oleh organisasi tersebut. Dalam studi tersebut, digambarkan bagaimana di Indonesia juga ada banyak upaya komunitas yang memiliki kelas menengah menyelenggarakan kegiatan-kegiatan
yang
konstruktif melalui
organisasi ketetanggaan. Walaupun peran struktural negara sangat terbatas di dalam komunitas berpagar, pada sisi adminsitratif-kependudukan, setiap hunian termasuk yang dibangun
oleh
pengembang
sudah
selayaknya
memfasilitasi
organisasi
ketetanggan, khususnya RT-RW. Hal ini dipahami karena dalam studi ini telah dibuktikan bagaimana kebutuhan administratif-kependudukan memang menjadi kebutuhan yang tidak bisa dihindari. Oleh karenanya, keberadaan organisasi ketetanggaan perlu diberikan kesempatan untuk melakukan berbagai kegiatan baik yang berkaitan dengan administrasi-kependudukan mapun kegiatan bersama oleh pihak pengembang sebagai upaya menciptakan proses sosial diantara penghuni komunitas berpagar. Berdasarkan studi tersebut, sudah selayaknya pengembang Alam Sutra dan juga pengembang perumahan yang lain memberikan peluang yang lebih besar
Universitas Indonesia
l292 bagi para penghuni untuk mengembangkan organisasi ketetanggaan. Dalam bahasa Giddens, pengembang perumahan harus menyiapkan kontrak sosial yang menjembatani berbagai kepentingan penghuni. Struktur yang dibangun harus mewadahi aspirasi praktik sosial yang dinamis dan terus berkembang dikalangan penghuni. Dengan demikian, pihak pengembang bukan hanya menjadikan para penghuni komunitas berpagar sebagai pihak yang harus diatur ataupun dimintai iuran semata. Namun, penghuni melalui organisasi ketetanggaan dijadikan mitra untuk menjalankan pembangunan sosial budaya yang menekankan pada terbukanya proses sosial diantara penghuni serta penghuni dengan pihak pengembang.
8.5.3 Organisasi Ketetanggaan sebagai Pengelola yang Inklusif Mengacu kepada ketentuan Peraturan Menteri Dalam Negeri No.9 tahun 2009 tentang Pedoman Penyerahan Prasarana, Sarana dan Utilitas Perumahan dan Permukiman Di Daerah. Terbuka peluang bagi organisasi ketetanggaan untuk menjadi
pengelolaa
komunitas
berpagar.
Peluang
pengelolaan
tersebut
sebelumnya sudah diatur sejak tahun 1987 melalui Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 1987 tentang Penyerahan Prasarana Lingkungan, Utilitas Umum dan Fasilitas Sosial Perumahan kepada Pemerintah Daerah. Tujuan dari kebijakan pemerintah ini dimaksudkan untuk menjamin keberlanjutan pemeliharaan dan pengelolaan prasarana, sarana, dan utilitas di lingkungan permumikan. Sebagaimana diketahui kewajiban pengembang dalam pengelolaan kawasan perumahan berakhir ketika semua unit rumah dan fasilitas pendukungnya telah terjual habis atau telah diserah terimakan dari pihak pengembang kepada pemerintah daerah. Setelah dilakukan serah terima kepada pemerintah daerah, langkah selanjutnya yang dilakukan oleh pemerintah adalah menyerahkan
pengelolaannya
kepada
masyarakat
untuk
melanjutkan
pemeliharaannya. Dari berbagai hasil studi dan praktek pengelolaan kawasan permukiman yang sudah diserahkan pengelolaan kepada pemerintah daerah dan masyarakat, terdapat beberapa model pengelolaannya. Pada tingkat wilayah kabupaten atau kota yang memiliki keterbatasan anggaran , maka tidak semua pemerintah daerah
Universitas Indonesia
293 atau organisasi ketetanggaannya mampu melakukan perawatan secara optimal. Pada kelompok lingkungan perumahan tipe sederhana, pada umumnya tata kelola sangat tergantung kepada bantuan dari pihak pemerintah. Jika pihak pemerintah memiliki kapasitas anggaran yang mencukupi maka kualitas sarana dan prasarana lingkungan dapat dipelihara secara optimal. Sebaliknya jika pemerintah memiliki keterbatasan maka anggaran pemeliharaannya sangat tergantung kepada swadaya masyarakat. Sementara
pada lingkungan perumahan menengah keatas kondisi
pengelolaannya lebih terjaga dan terpelihara. Tuntutan kebutuhan berdasarkan nilai-nilai budaya kelas menengah atas menuntut standar pelayanan yang maksimal. Sehingga banyak pengembang perumahan kelas menengah ke atas (komunitas berpagar) yang tidak bersedia menyerahkan pemeliharaannya kepada pemerintah
daerah.
Pengembang
selanjutnya
mendirikan
unit
usaha
“pengembang” sebagai bentuk jaminan layanan purna jual kepada konsumen. Konsepnya adalah keberlanjutan pengelolaan
yang tetap dikelola oleh
pengembang melalui pengembang. Bentuk lain pengelolaan pengembang oleh masyarakat adalah “kluster mandiri” sebagai bentuk swakelola lingkungan oleh penghuni. Model pengelolaan seperti ini sudah banyak berkembang diberbagai lingkungan perumahan komunitas berpagar, walaupun belum sepenuhnya berkembang secara merata. Jika masyarakat menilai bahwa mereka mampu mengelola pengembang secara swakelola dan mandiri, maka pertimbangan untuk menyerahkan pengelolaan kepada penghuni merupakan salah satu cara terbaik untuk menumbuhkan semangat berkomunitas dilingkungan perumahan. Berdasarkan hasil studi ini perlu dipertimbangkan kapasitas dan kapabilitas organisasi ketetanggaan di lingkungan Alam Sutera untuk dapat mengelola komunitas berpagar secara lebih inklusif dimasa depan. Kesadaran akan kemandirian dan sudah terbangunnya bentuk kepedulian sebagai
wujud
pembangunan sosial yang sudah dijalankan membuka ruang bagi “organisasi ketetanggaan” untuk mengelola komunitas berpagar. Wujud kesepakatan pengelolaan ini dapat dilakukan berdasarkan musyawarah antara warga sebagai penghuni dan pengembang sebagai pengelola. Jika pihak pengembang melihat
Universitas Indonesia
l294 bahwa masyarakat telah mampu secara mandiri untuk mengelola lingkungannya maka terbuka ruang bagi organisasi ketetanggaan untuk membangun komunitas berpagar dengan struktur, kultur dan proses sosial yang lebih inklusif. Perubahan struktur yang sudah dibentuk dan dijalankan oleh ASRC melalui proses sosial dapat dijadikan sebagai titik awal pengelolaan kawasan oleh masyarakat yang dapat didukung oleh pemerintah daerah. Selain bekerja sama dengan pemerintah daerah, pengembang yang dikelola organisasi ketetanggaan dapat dijalankan melalui program kemitraan. Kerjasama melalui kemitraan ini penting karena dijalankan melalui asas kesetaraan sebagai prinsip dasar dari pembangunan sosial.
Universitas Indonesia
295 DAFTAR REFERENSI
Adi, Isbandi Rukminto. 2008. Intervensi Komunitas: Pengembangan Masyarakat Sebagai Upaya Pemberdayaan Masyarakat. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Agger, Ben, 2003. Critical Social Theory ; An Introduction. Terjemahan (Teori Sosial Kritis : Kritik, Penerapan dan Implikasinya), Yogyakarta, Kreasi Wacana Alfarizi, Suryo, 2012, Gagasan Dasar Developmentalisme, Jakarta Atkinson, R. and Blandy, S. 2005, ‘Introduction: International Perspectives on The New Enclavism and the Rise of Gated Communities’, Guest editorial, Housing Studies Barker, Chris, 2011, Cultural Studies, Teori dan Praktik, Edisi Ketujuh Kreasi Wacana Yogyakarta. Bellah, Robert N. et all. 1992, “The Good Society” Vintage Books, New York. Berger, Peter and Thomas Luckman. 1979. The Sosial Construction of Reality: A Treative in The Sociology of Knowledge. Penguin Book, New York Bernstein,Richard J. 1989. The Restructuring of Social and Political Theory,University of Pennsylvania Press Blandy, S Lister,D. Astkinson, R and Flint 2003 ; Gated Communities : (NE) Gating Community Development. Blakely, E. J. and M. G. Snyder. 1997. Fortress America, Gatted Community in the United States. Washington and Cambridge (Mass.): Brooking Institute Press and Lincoln Institute of Land Policy. ------------, 1995 Fortress Communities: The Walling and Gating of American Suburbs (Land Lines Article), Land Lines: September 1995, Volume 7, Number 5 Bourdieu, Pierre. 1977. Outline of a Theory of Practice. Cambridge University Press. ISBN 978-0-521-29164-4 Bourdieu, Pierre 2011, Edisi terjemahan, Uraian dan Pemikiran, Kreasi Wacana, Yogyakarta Buckley, Walter Frederick , 1967, Sociology and Modern Systems Theory. Prentice Hall
Universitas Indonesia
l296 Castells, Manuel 2002, Cities Social Theory, Blackwell Publisher Inc, Massachusetts. Coy M, Pöhler M, 2002, "Gated Communities in Latin American megacities: case studies in Brazil and Argentina" Environment and Planning B: Planning and Design29(3) 355 – 370 Creswell, John W ,2010,Edisi Terjemahan , Research Design, Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif dan Mixed, Pustaka Pelajar Yogyakarta Dana Quintal and Susan Thompson,2007 Gated Communities : The search for security, The Faculty of the Built Environment, The University of New South Wales Du Bois, W. E. B , 2004 The Damnation of Women. In Henry Louis Gates, Jr., and Nellie Y. McKay The Norton Anthology of African American Literatur New York: ----------, William and R.Dean Wright (2001), Applying Sociology : Making a Better Wolrd. Boston : Allyn and Bacon. Etzioni, Amitai, 1993, The Spirit of Community, The Reinvention of America Society, Touchstone, New York. Giddens, A. 1979. Central problems in social theory: Action, structure, and contradiction in social analysis. Los Angeles, CA: University of California Press. ----------- 1984. The constitution of society: Outline of the theory of structuration. Cambridge: Polity Press. ISBN 0-520-05728-7. ----------- & Jonathan Turner, 2008, Social Theory Today, Terjemahan Pustaka Pelajar Yogyakarta. ----------- 2009, Problematika Utama Dalam Teori Sosial, Aksi, Struktur dan Kontradiksi Dalam Analisis Sosial, Edisi Terjemahan Pustaka Pelajar Yogyakarta.
------------(2010), Teori Strukturasi, Dasar-Dasar Pembentukan Struktur Sosial Masyarakat ( The Constitution of Society : Outline of the Theory of Structuration), Terjemahan . Pustaka Belajar – Yogyakarta. Gordon B, Davis,1990, Management Information System, Washington Blackwell, Business. Glasze G. dan Meyer G. 2000, ‘Workshop Gated Community – Global Expansion of a New Kind of Settlement.’DAVO-Nachrichten No 11.
Universitas Indonesia
297 Harker Richard, Cheelen Mahar dan Chris Wilkes, 2009, Habitus x Modal + Ranah = Praktik, Jalasutera, Yogyakarta. Herry Priyono,B. 2003, Anthony Giddens, Suatu Pengantar, Jakarta Kepustakaan Populer Gramedia. Jill Grant and Lindsey Mittelsteadt,2004 . Types of gated communities. Environment and Planning B: Planning Landman, Karina ,2000, Gated Community & Urban Sustainability : Take A Closer Look At The Future : CSIR Building & Construction Technology.Pretoria South Africa Leisch, H. ,2002, ‘Gated Community in Indonesia.’ Cities, 19: 5, hal.341-350. Maharika, dkk. (2006). Manuskrip Laporan RUT Komunitas berpagar di Yogyakarta, belum dipublikasikan. Menristek RI. Miller, Khaterine, 2003, Communication Theories ; Perspectives, Process, and Contexts, New York : McGraw-Hill. Parson, Talcott ,1964, The Social System,collier-Macmillan, Canada Pieterse, Jan Nederveen ,2001 Reconstructions, Sage
Development Theory: Deconstructions/
Polanyi, Karl ,2003, Transformasi Besar, Asal usul politik dan Ekonomi Zaman Sekarang, Pustaka Pelajar Yogyakarta Picket.JP ,2000, American Heritage ,Dictionary of The English Language Boston Prasetyantoko A,dkk ,2012, Pembangunan Inklusif, Prospek dan Tantangan Indonesia, LP3ES Jakarta Purwono. ,2004, ‘Studi Implikasi Spasial dan Sosial Perkembangan gated Community dan Prospek Penatalaksanaan Ruangnya,Studi Kasus Yogyakarta.’ Dalam Maharika dkk. Lemlit UniversitasIslam Indonesia. Radcliffe-Brown. 1998. On Social Structure. Journal of the Anthropological Institute of Great Britain and Ireland 70(1): 3. Ritzer,
Royal
George. 1996. Sociological Theory. Mc-Graw Hill Publication International. Edisi Keempat.
Ritzer, George dan Doughlas J Goodman. 2008. Teori Sosiologi: Dari Teori Sosiologi Klasik sampai Perkembangan Mutakhir Teori Sosial Postmodern. Penerbit Kreasi Wacana, Yogyakarta. Judul Asli: Sociological Theory. Penerjemah: Nurhadi.
Universitas Indonesia
l298 ---------, 2010, Teori Sosiologi Modern (Modern Sociological Theory,6th Edition), terjemahan : Kencana Jakarta Ritzer, George dan Barry Smart,2011, Handbook, Teori Sosial , Nusa MediaJakarta. Roitman, S. 2005, “Who segregates whom? The analysis of a gated community in Mendoza, Argentina”, Housing Studies, Vol. 20 (2), pp. 303-321. http://www.tandfonline.com/doi/abs/10.1080 Ronald, Fergusson F. and Dickens T William.1999, Urban Problems and Community Development. Washington,DC Brooking Institution Press. Rowland Atkinson & John Flint (2001), Fortress UK ? Gated Community, The Spatial Revolt of The Elites and Time Space , Trjaectories of segregation. Migley, James. 1995. Social Development: The Developmental Perspective in Social Welfare. London:Sage Publications Ltd. Martono, Nanang (2011), Sosiologi Perubahan Sosial, Perspektif Klasik, Modern, Posmodern dan Poskolonial, Rajawali Pers-Jakarta Maliki, Zainuddin ,2012, Rekonstruksi Teori Sosial Modern, Gajahmada University Press Margaretha, Selu Kushendrawati ,2011, Hiperrealitas dan Ruang Publik, Sebuah Analisis Cultural Studies, Penaku Jakarta. Merton, Robert K. (December 1936). "The Unanticipated Consequences of Purposive Social Action". American Sociological Review 1 (6): 894–904. doi:10.2307/2084615. ISSN 0003-1224. JSTOR 2084615 Kesuma Meyriana, 2008, Studi Mengenai Gated Community dan Dampaknya Terhadap Lingkungan Fisik dan Sosial, Tesis Magister Teknik Perencanaan Universitas Tarumanegara. Kusno, Abidin , 2012 Politik Ekonomi Perumahan Rakyat dan Utopia Jakarta , Penerbit Ombak, Yogyakarta. Lull,James 1995, Media, Communication, Culture : A Global Aprroach, England ; Basil blackwell Publisher. ---------,1998. Media, Komunikasi, Kebudayaan ; Suatu Pendekatan Global, Jakarta ; Yayasan Obor Indonesia. Sarah Blandy, Diane Lister, Rowland Atkinso, jhon Flint, Gated Community : A Systematic Reiview of The Research Evidience.Sheffield Hallam University and University of Glasgow 2003
Universitas Indonesia
299 Sztompka Piotr ,2008, Sosiologi Perubahan Sosial,Terjemahan, Prenada Jakarta. Scott,John ,2011, Jakarta.
Sosiologi The Key Concepts.Terjemahan , Rajawali Pers,
Staniland, Martin, 1985 What Is Political Economy ; A Study of Social Theory and Underdevelopment , New Haven, CT: Yale University Press Suwardi, Sandi Hasan (2011), Pengantar Cultural Studies, Ar Ruzz Media Yogyakarta Thomas W. Sanchez, Robert E. Lang, & Dawn M. Dhavale, 2004, Security versus Status? A First Look at the Census’s Komunitas berpagar Data Thompson, John B,1984.Studies in the Theory of Ideology, California Press
University of
--------, 2003. Analisa Ideologi ; Kritik ; Kritik Wacana Ideologi-ideologi Dunia, Penerjemah Haqqul Yaqin, Yogyakarta ; IRCiSOD. W. Richard Goe dan Sean Noonan, “The Sociology of Community” dalam buku 21st Century Sociology Vol I, 2007: 457. Wirutomo, Paulus, 2012. Sosiologi Untuk Jakarta : Menuju Pembangunan Sosial Budaya, Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Jakarta. ----------, et all 2010 General Design for Socio Cultural Development at Depok City, An Unpublished Research Report Widyanto,AB 2002. Problematika Modernitas Dalam kerangka Sosiologi Kebudayaan, Georg Simmel. Yayasan Adikarya-Ikapi dan Ford Foundation. Undang-Undang / Peraturan-peraturan/Dokumen Lainnya Undang-Undang No.1 Tahun 2011 tentang Perumahan & Kawasan Permukiman. Undang-Undang No.26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang Peraturan Pemerintah No.15 Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang Surat Keputusan Bersama (SKB) No.648-384/1992, No.739/ KPTS/1992, No.09/KPTS/1992 tentang Pedoman Pembangunan Perumahan dan Permukiman dengan Lingkungan Hunian Berimbang Keputusan Menteri Perumahan No.10 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Perumahan dan Kawasan Permukiman dengan Hunian Berimbang.
Universitas Indonesia
l300 Peraturan Menteri Dalam Negeri No.9 tahun 2009 tentang Pedoman Penyerahan Prasarana, Sarana dan Utilitas Perumahan dan Permukiman Di Daerah Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 1987 tentang Penyerahan Prasarana Lingkungan, Utilitas Umum dan Fasilitas Sosial Perumahan. UNDP ,1995, Human Development Report 1995, New York: Oxford University Press. UNDP ,1997, Human Development Report 1997, New York: Oxford University Press. Dokumen Rencana Peraturan Daerah Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Tangerang Selatan 2011-2031. Dokumen Analisa Dampak Lingkungan (Amdal) Regional Pembangunan Kawasan Alam Sutera – PT. Alfa Goldland Realty – Kab. Dati II Tangerang/Provinsi Jawa Barat 1997. Kota Tangerang Selatan Dalam Angka 2012
Jurnal , Majalah dan Surat Kabar Evan McKenzie, 2003, Common-Interest Housing in the Communities of
Tomorrow, Housing Policy Debate · Volume 14, Issues 1 and 2 © Fannie Mae Foundation 2003. All Rights Reserved. Majalah Prisma, Volume 31 tahun 2012, Kelas Menengah Indonesia, Apa yang Baru. Grant,J and Mittelsteadt,L 2004.”Types of Gated Community”,Environmen and Planning B: Jurnal Planning and Design.Vol 31.pp 913-930. Hogan, Trevor and Christopher Houston. 2002, ‘Corporate Cities:Urban Gateways or Gated Community Against the City?: The Case of Lippo City, Jakarta.’ Dalam Critical Perspectives on Cities in Southeast Asia, editor: Tim Bunnell, Lisa Drummond and Ho KongChong. Tokyo: Brill Academic Publishers.Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Vol. 13, Nomor 2, November 2009 Karnaji, 2011, Sektor Informal Kota : Analisis Teori Strukturasi Giddens ( Kasus Pedagang Pasar Keputran Kota Surabaya), Departemen Sosiologi, Fisip, Universitas Airlangga Surabaya. Landman, Karina, Gated Communities in South Africa: The Challenge for Spatial Planning and Land Use Management , The Town Planning Review , Vol. 75, No. 2, 2002
Universitas Indonesia
301 Derajad S. Widhyharto 2009, Gated Community: Antara Inovasi Sosial dan Ketegangan Sosial (Studi Kasus Komunitas berpagar di Propinsi D.I Yogyakarta, Indonesia). Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Volume 13, Nomor 2, November 2009 (204-230) ISSN 1410-4946 Dewantari, Raphaella, D,2012, Teori Ruang dalam Sosiologi Perkotaan; Sebuah Pendekatan Baru. Jurnal Sosiologi Masyarakat, Volume 17 Januari 2012, Wirutomo, Paulus et all ,2013, Mencari Makna Pembangunan Sosial : Studi Kasus Sektor Informal di Solo. Jurnal Sosiologi Masyarakat Vol. 18. No.1 Januari 2013 ----------,Social Development Policies on Informal Sector in Solo, International Journal of Administrative Science & Organization, Bisnis & Birokrasi, Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi, Volume 18 Number 2, 2011 Winarso, Haryo dan Khairina Sari, Maulien, Jurnal Perencanaan Wilayah 2007, Transformasi Sosial Ekonomi Masyarakat Peri-Urban Di sekitar Pengembangan Lahan Skala Besar : kasus Bumi Serpong Damai Harian Kompas, Masterplan Kunci Segala Kenyamanan , Inspiratoal Properti, Rabu 12 Desember 2012 Harian Kompas , Arogansi "Gated-Community" Oktober 2000
di Kota Kita, Minggu 29
Universitas Indonesia
l302
UNIVERSITAS INDONESIA
VERBATIM HASIL WAWANCARA DATA DISERTASI
PEMBANGUNAN SOSIAL DI KOMUNITAS BERPAGAR STUDI PADA LINGKUNGAN PERMUKIMAN DI KAWASAN ALAM SUTERA TANGERANG SELATAN
OLEH Oleh:YAYAT SUPRIATNA 1006784222
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK DEPARTEMEN SOSIOLOGI PROGRAM PASCA SARJANA SOSIOLOGI DEPOK DESEMBER 2013
Universitas Indonesia
303 Daftar Informan Yang Diwawancarai Dan Karakterisitiknya
Nama 1. A1.
2. A2
3. A3
4. A 4
5. A 5
6. A 6
Posisi /Jabatan Direktur Marketing PT.Alam Sutera Goldland Tbk
Karakteristik Narasumber Terlibat aktif sejak perencanaan pembangunan kawasan Alam Sutera. Bertindak sebagai Koordinator team perencanaan. Pengajar bidang lansekap dan pembangunan perkotaan. Sangat memahami riwayat perubahan konsep Masterplan Alam Sutera. Energik, penuh ide-ide dan memiliki daya kreatif yang kuat dan menjadi konseptor dasar peraturan tata tertib dan pengembang. Terlibat aktif sejak perencanaan pembangunan kawasan Alam Sutera dan menjadi team ahli dalam perencanaan Masterplan. Bertanggung jawab dalam pembangunan perumahan dan sarana serta prasarana lingkungan.
Direktur Pembangunan PT. Alam Sutera Goldland Tbk dan Merangkap Ketua DKM Mesjid Asmaulhusna Alam Sutera. Manajer Pengembang Bertindak sebagai pengembang Alam Sutera 2006manajer selama hampir enam tahun. 2012 Sangat berpengalaman dalam menangani berbagai konflik dengan penghuni dan warga sekitar. Pencetus ide Community Award Alam Sutera tahun 2011. Manajer Pengembang Memiliki posisi yang menarik, sebagai Alam Sutera 2013 sd penghuni Kluster Perumahan Alam sekarang. Sutera sekaligus sebagai manajer Estate. Staf Tata Lingkungan Bertanggungjawab dalam pengurusan – Pengembang complain dari penghuni terhadap kondisi rumah yang telah dibangun Alam Sutera (via) Kontraktor yang telah ditunjuk untuk melaksanakan pembangunan. Kepala Keamanan Bertanggungjawab dalam menjaga Alam Sutera keamanan lingkungan Alam Sutera. Memiliki anggota keamanan hampir 500 anggota satuan pengamanan.Saat ini masih menjalani posisi jabatan sebagai perwira pertama pada Kodam Jaya.
Universitas Indonesia
l304 7. B 1
8. B 2
9. B 3
10. B 4
11. B 5
12. C 1
13. C 2
14. C 3
15. C 4
16. C 5
Ketua RT 001 Sutera Cemara - Inisiator Pembentukan ASRC dan pengurus ASRC
Menjadi inisiator dalam pembentukan ASRC dan mengorganisir kegiatankegiatan masyarakat antar kluster. Memiliki usaha kafe tempat kumpul warga secara informal. Ketua RW 007 Sutera Menjadi tokoh penggerak dilingkungan Kirana dan Aktifis Sutera Kirana dan telah banyak ASRC melakukan pembangunan sarana lingkungan warga Ketua RW 008 Sutera Menjadi tokoh penggerak dilingkungan Onyx dan aktifis Sutera Onix. Banyak berperan aktif ASRC dalam melakukan pembenahan aturan yang berlaku di lingkungan kluster. Membuat aturan tambahan dan menolak untuk ikut serta dalam Community Award yang diselenggarakan oleh Alam Sutera. Ketua RW 10 Sutera Menjadi tokoh penggerak di Delima dan Aktifis lingkungan Sutera Delima. Aktifis ASRC organisasi keagamaan dilingkungan perumahan. Ketua RT 002 Sutera Menjadi tokoh penggerak di Gardenia dan Aktifis Lingkungan Sutera Gardenia dan ASRC aktifis kegiatan keagamaan. Tokoh Masyarakat, Menjadi tokoh masyarakat di wilayah Ketua DKM Mesjid kampung Dongkal yang berbatasan dengan perumahan Alam Sutera. Ketua RW Pondok Penduduk yang pertama kali tinggal di Pakulonan rumah tipe kecil yang dibangun oleh Alam Sutera. Mantan pengurus SPSI Tangerang, Tim Sukses Airin dalam Pilkada Tangerang Selatan. Lurah Pondok Jagung Tokoh Masyarakat yang mengikuti Timur proses pembebasan tanah, memimpin wilayah administrasi dalam lingkup dua starata sosial yang berbeda (lingkungan Alam Sutera dan diluar Alam Sutera). Pedagang – Pasar Pedagang yang mengisi lapak di Pasar Delapan Delapan. Dahulunya adalah pembantu pemilik usaha, saat ini telah memiliki lapak usaha sendiri. Pedagang – Pasar Pedagang sayuran yang mengisi lapak Delapan di pasar Delapan. Dahulunya adalah karyawan Pabrik Surya Toto – perusahaan kramik sanitasi.
Universitas Indonesia
305 17. D 1
Pengurus REI Pusat bidang Ketataruangan.
18. D 2
Mantan Deputy Bidang Perumahan Formal – Kemenpera dan ketua Housing and Urban Development.
Menduduki jabatan sebagai seorang Direktur di Sentul City. Bertindak sebagai nara sumber terkait kebijakan bidang perumahan. Memiliki pengalaman dalam menyusun kebijakan pembangunan perumahan secara nasional dan saat ini banyak terlibat dalam merumuskan masukan terhadap kebijakan pembangunan perumahan melalui LSM.
Universitas Indonesia
l306 Hasil Ringkasan Wawancara dengan Nara Sumber Penjelasan: -
Paparan berikut berisi hasil wawancara yang sudah ditulis ulang (secondary
notes),
dimana
hasil-hasil
wawancara
juga
telah
dikelompokkan atas berbagai kesamaan topik. Informasi yang dicatat sudah diseleksi, dan yang dipandang cukup relevan saja. -
Beberapa nara sumber telah diwawancarai beberapa kali, terutama mereka yang dipandang tokoh kunci dalam konteks studi.
-
Selain catatan hasil wawancara, juga disertakan berupa catatan reflektif peneliti sendiri yakni yang ditulis secara italic.
Nara Sumber Posisi Hari /Tanggal Tempat
: A1 : Direktur Marketing PT.Alam Sutera Goldland Tbk : Rabu/ 16 Januari 2013 : Kantor Marketing PT. Alam Sutera
Visi Alam Sutera : 1. Visinya kita pingin Alam Sutera menjadi leading property di Indonesia. Dari misinya kita harus membuat produk yang inovatif, kita bisa inovatif harus didukung oleh pesertanya (perusahaan,penghuni, pemanfaat lainnya) , kita harus peka kepada kebutuhan pemakai, Kita menjalankan behavioral analisis karena gini, kita ingin tahu siapakah market kita ? Kita ingin buat produk, siapakah yang beli produk kita. Market itu harus kita pelajari mulai dia bangun tidur hingga dia bobo lagi..nanti akan ketemu tiga hal yang menjadi penting‌karena itu terbukti itu penting. 2. Pertama, adalah nama Alam Sutera : Alam Sutera, kita kembangkan karena basis usaha kita awalnya adalah tekstil. Kedua adalah Sutera sebagai produk tekstil dengan kualitas terbaik, jadi sama dengan isinya. Sutera berwarna warni, halus mengalir dan sutera adalah sebuah produk alam. Bukan sintetis. Sutera adalah konsep, yang kita buatkan adalah wadahnya. Bukan graha sutera,tapi yang kita ciptakan adalah Alam sutera. Ketiga adalah Ruangnya, sebagai wadahnya bagi kehidupan. Itulah filosofinya, filosofinya kita buatkan menjadi logo. Waktu membuat logonya, sutera begitu pentingnya kita buatkan lambang kupu-kupu. Kupu-kupu ini adalah kupu sutera. Kupu itu elek lho‌aku maunya gold, yang mencerminkan beriman dan makin lama makin langka dan itu pasti yang akan diperebutkan. Itu yang aku inginkan. Terus jadilah Alam Sutera residential dan life style community. Universitas Indonesia
307 3. Bikin produk masterplan semua orang bisa, yang tidak bisa adalah bagaiamana membuat program. Program itu adalah nyawa, semua orang bisa membuat rencana tapi bagaimana membangun kehidupan itu adalah lebih penting. Maka itu butuh satu suara dalam satu tim. Magnetnya apa supaya orang mau datang jauh-jauh ke Alam Sutera..apa daya tariknya. 4. Saya tidak pernah memberikan garansi, tapi saya tunjukkan rencana saya. Saya tidak pernah mengatakan you have the better living here, tapi I am creating something, tapi jika anda anggap itu the better choice, its your choice. Secara legal saya tidak mengatakan, tapi itu penting juga, tapi saya tidak mengatakan secara langsung , anda tinggal disini akan lebih baik. Mengapa saya tidak berani menyatakan demikian, karena standar hidup setiap orang lain-lain. 5. Ini adalah developing activity. Kami creating suatu aktifity, maka semakin cinta kita akan tempat tinggal kita. Akibatnya apa..setiap orang yang punya duit lebih dia akan beli rumah yang lebih besar di Alam Sutera. Jadi kekuatan warga luar biasa. Itu terbaca dalam development kita selanjutnya. Isu-isu yang terkait dengan struktur : 6. Pengembang hanya mengatur fisik..sama jenis kegiatannya. Misalnya ada orang beli kavling, kavlingnya mau dibangun harus ada catatannya. Kalau sudah ada warga disitu bangunnya hanya boleh sampai jam lima sore. Lebih dari itu tidak boleh. Tukang yang boleh bekerja disitu maksimum lima orang dan harus terdaftar. Lebih dari itu tidak boleh. Pengembangitu mengatur operasional (SOP) nya bagaimana . Tidak mengatur yang tinggal mesti siapa. Jadi itu bahasa terselubungnya kita sebagai regulator kawasan. 7. “ kenapa sih kita harus bayar IPL, IPL itu untuk apa ?” IPL itu kan sebenarnya seperti kita membayar service cash kalau di apartment. Tapi sebenarnya kenapa service cash itu ada, karena memang dilingkungan itu kan kita yang menikmati.Sehingga kalau kita menikmati lingkungan itu memang sudah sesuai dengan standar yang udah kita lihat. Maka itu menjadi alasan, mengapa kita memilih alam sutera, awalnya kan begitu. Pertama kita kalau beli rumah di Alam Sutera yang kita lihat kan lingkungannya. Lingkungannya bersih, tertata blablabla... . Untuk itu kan harus ‘you have to pay something to get’. Jadi, tidak mungkin itu terjadi tanpa aturan.Bagi sebagian warga kewajiban membayar IPL adalah suatu hal yang dianggap sudah sewajarnya harus mereka terima dan laksanakan. 8. Kalau tidak mau hidup teratur ya jangan beli. Kan itu masalah kebebasan pilihan. Mereka kan akan liat, kan . Alam sutera seperti ini, tidak ada kata memaksa yang ada adalah kata “welcome”…gitu lho. Saya juga punya hak untuk tidak menjual. Kalau ada orang datang..lalu berkata begini begitu..dalam prosesnya saya akan liat apakah dia akan mengganggu rencana atau kehidupan kita atau tidak. Teman-tetap teman, tapi kalau mengganggu, ya lebih bagus tidak usah beli. Universitas Indonesia
l308 9. Maaf saya kadang-kadang nggak mau tahu, apa yang dibicarakan atau yang dikesankan orang. Kalau ada masalah didalam kawasan itu kita namakan “konflik managmenet� dan saya yakin dengan adanya konflik management akan membuat hidup lebih hidup. saya mengalami bagaimana saya dimakimaki dan disidang oleh warga waktu saat terjadinya resesi..kami bertemu di Santa Lurenscia, ada 1200 warga kita bertemu dan berdialog. Tapi saya salut sama owner saya, mungkin dia paling sabar. Mungkin karena dia begitu membuat saya betah disini.. 10. Tempat sampahnya saya jadikan satu pool dengan tiang yang ada nomornya. Dibalik tiang itu saya taruh perkerasan, sampah harus masuk kantong plastic. Pada jam –jam tertentu dilakukan sidak, control itu harus ada. Kalau jam segitu ada sampah kan gampang diliat. Sekarangkan gampang..tinggal naik mobil..deng..deng..deng..lho koq ada sampah. Nah opsinya ada dua yang naruh sampah telat, atau jam ambil sampahnya telat. Kalau ada yg telat, kita panggil pengurus RT dan RW, kenapa nih masih ada yang telat. Pertama, kedua masih ditolerir, tapi lama-lama harus kena sanksi. Kayak gitu-gitu silahkan..cek apakah masih ada sampah sekarang. Setiap peraturan tata tertib harus ada law enforcement. Tetapi gaya ngomongnya kepada warga harus tetap dengan senyum dan menghormati mereka. Isu-isu yang terkait masalah kultur : 11. Orang kaya itu tidak mau keliatan dari luar, dan saya waktu menjual kepada mereka, saya tidak akan mengatakan bapak beli disini saja. Tetapi saya akan bilang pak, saya sedang merencanakan sesuatu yang baru disini, tapi saya pingin air saya nanti saya test di laboratorium Scofindo, tingkat forbilitynya sangat baik. Terus dia akan bilang pasti kamu minta saya tinggal disitu ya..Tapi saya kan nggak tahu bagaimana rencana bapak, tapi kalau bapak berada disitu saya merasa terhormat..Ya..nggak lama kemudian dia jadi membeli. 12. Semua itukan ada wadahnya, tidak mungkin dalam satu wadah ada yang tipe 36 atau tipe 1000 meter. Gaya hidupnya saja sudah berbeda, bahkan dreamnyapun berbeda. Visi dan misi tiap keluarga saja sudah berbeda. Akhirnya kami berpikir..yuk..yuk, mari kita buat tipe kluster.� 13. Kalau akan membangun bisnis, kami memberikan pilihan dan tawaran. Dalam kontrak SPPJB (Surat Perjanjian Pengikatan Jual Beli)..Dilarang membuat untuk membuat tempat maksiat..jika ditemukan developer diberi kewenangan untuk membeli kembali dengan harga lama. Pokoknya jika ada ditemukan pijet-pijet . kalau macem-macem tak beli. Kalau tidak sesuai dengan value aku bisa tarik lagi. 14. Secara kultur, mereka tidak sadar, bahwa kita yang menggerakkan. Contoh, kalau lihat lingkungan rumah, adakah tempat sampah ? Saya nggak bikin tempat sampah di lingkungan perumahan. Alasannya adalah, saya
Universitas Indonesia
309 memerintahkan orang-orang saya mengambil sampah di jam-jam tertentu. Jika sampai sampah ada yang masih tertinggal di depan, kan gampang tinggal pecat aja‌.kasih SP 1, SP 2. Maksudnya sudah jelas, saya sampaikan ke warga. Sampah dikeluarkan nanti pada jam sekian akan diambil, kalau tidak diambil harus ada sanksinya. Isu-isu yang terkait proses sosial : 15. Waktu saya bikin kluster sistem saya tidak ingin hidupnya orang pada individulis. Jadi dalam konsepnya saya buat didalamnya tanpa pagar. Berapa banyak pak jaman dulu orang mau membeli rumah tanpa pager. Yang ada hanya Villa Duta (di Kota Bogor) yang dulu yang tanpa pagar. Jadi aku lihat bagus ya‌jadi saya buat tipe rumah dari tipe kecil hingga tipe besar. Semuanya tanpa pagar. Rumah kecil tanpa pager, ada nerobos-nerobos privacy-privacy,. 16. Kita ingin tumbuhkan disini yang smart growth. Smart growth itu apa..? Kita mengeluarkan peraturan tata tertib, dimana didalamnya ada building codes, ada lansekap codes, itu kita harus tahu apa yang kita harapkan 10 tahun yang akan datang. Apa yang terjadi 20 thn yang akan datang. Jadi waktu kita buat planning development, kita sudah tahu mana yang mau kita jual (lepas) mana yang mau kita tahan. Kita tahan itu akan menjadi landmark kita. Itu menjadi penting supaya ada kepercayaan warga kepada kita. Isu-isu yang terkait pembangunan sosial : 17. Yang menciptakan nama Alam Sutera ini adalah Pak Haryanto Hartohadituno, dia mantunya Pak The Ning King (pemilik perusahaan) yang memberikan authority penuh kepada para direksinya adalah pak Haryanto. Dia tahu sekali apa bagusnya..kalau bisa dia dikloning bagus sekali, tapi dia orangnya nggak mau tampil. Dia yang memberikan kebijakan dalam Alam Sutera. Maka orang kayak dia harus diperhatikan. Agamanya Katolik, kalau dia melihat orang tidak melihat dari agamanya. Bahkan dia bilang seharusnya di KTP nggak perlu ada pencantuman agama. Menurut dia setiap orang harus dianggap orang. 18. Saya pisahkan pedagang babi dan sapi. Air yang di pedagang babi saya pisahkan ke tempat lain. Harus beda..kepada yang Islam – islam gue bila ingin lihat..ya aliran airnya, beda-bedakan. Gawat..lho kalau nggak dijelasin. 19. Aku sekarang jadi pengekspor ustad-ustad dari kampung sini untuk jadi imam Sholat Jumat di halaman parkiran Mal. Tapi aku ingetin, kalau ceramah nggak boleh ngomong jelek-jelikin, kalau macem-macem kita putus kontrak. Kenapa aku berani ngomong gitu, karena gini-gini aku pengurus mesjid juga..
Universitas Indonesia
l310 Nara Sumber Posisi Tanggal Tempat Tower
:A2 : Direktur Pembangunan PT. Alam Sutera Goldland Tbk dan Merangkap Ketua DKM Mesjid Asmaulhusna Alam Sutera. : 28 Februari 2013 : Ruang Rapat Teknis PT. Alam Sutera – Gedung Alam Sutera
Isu-isu yang terkait pembangunan sosial : 1. Waktu kita membangun komunitas ( perumahan alam sutera) ini kan, kita dikenal sebagai para “pendekar-pendekar” idealis yang kadang disebut tidak mengenal karakter kawasan, karena kita terlalu menitik beratkan pada kawasan hijau. Kita (Alam Sutera) selalu diidentikan dengan kawasan hijau, jalannya lebar, dan segala macam. Kalau kita gali lebih dalam kita tidaklah seperti itu. Kita juga menyesuaikan perencanaan-perencanaan dengan kondisi yang berkembang waktu itu. Karena kita tidak memiliki mentor, maka kita menggali dari berbagai literature-literatur yang ada di luar negeri, selain itu kita juga memadukan dengan perencanaan lokal juga. Bapak tahukan yang “mempopulerkan cluster system” kan kita sejak tahun 1994. Sebenarnya cluster itu kan generik..kan, di buku teori manapun ada. Tapi kita harus ingat, bahwa sebagai developer, yang mempopulerkan istilah cluster-cluster sejak tahun 1994 itu adalah kita. 2. Alam Sutera tetap berkomitmen membangun golongan yang tidak mampu dengan membangun rumah-rumah tipe kecil untuk golongan menengah kebawah akan tetapi saat ini tipe rumah kecil dan sederhana tersebut memang sudah tidak kami bangun. Manajemen pengelolaan juga sudah kami lepas dan telah diserahkan sepenuhnya kepada para penghuni melalui pengurus Rt dan Rw. Manajemen Alam Sutera saat ini hanya focus mengelola tipe rumah menengah keatas. 3. Kalau bicara mengenai Alam Sutera, sebenarnya kita masih menganut ketentuan dari Menteri Perumahan Rakyat, mengenai konsep 1:3:6 ( 1 rumah mewah, 3 menengah, dan 6 sederhana), sekarangkan konsepnya sudah dirubah menjadi 1:2:3. Cuman konteksnya kita bukan untuk rumah “Murah dan Sederhana”. Tapi sebenarnya tipe rumah yang kita bangun adalah tipe kecil, kita bicara seperti itu. 4. Bagi saya pengembangan fisik itu adalah pengembangan dari konsep sosial ekonomi dan lingkungan. Fisikkan yang terlihat, padahal dibalik itu kita punya banyak pertimbangan – pertimbangan sosial. Ya pertimbangan ekonomi dan finansial itu sudah pasti. Tapi itu kan result dari suatu perusahaan, tapi efek sosialnya kan kita harus pertimbangkan. 5. Tujuan utamanya untuk menyelamatkan lingkungan, sebenarnya !Mohon maaf bukannya kita tidak percaya kepada pemerintah daerah, tapi itu lebih
Universitas Indonesia
311 menunjukkan tanggung jawab kita untuk memberikan layanan yang terbaik kita kepada para penghuni. 6. Filosofi Alam Suteranya pasti Bu Lia sudah memberi tahu., Nah, orang kadang ,melihat Alam Sutera dibangun dari sisi fisik dan lingkungan, padahal didalamnya jika kita gali lagi lebih lanjut, itu ada “sisi sosial” yang kita bangun. Sesuai dengan karakter hidup bangsa Indonesia. 7. Kalau cerita, tentang Alam Sutera dari aspek masterplan dan lingkungan, kita cerita bagaimana Alam Sutera ini dibangun, bukan cerita masalah “pelestarian lingkungan.” Tetapi “bagaimana membangun komunitas”. Jadi kita bicara selalu adalah “development as a community”. Bukan “development as a commodity”. Itukan suatu gejala trend dari para developer saat ini ‘yang selalu mengatakan “membangun rumah adalah suatu komoditas penjualan”. 8. Dulu sekali orang menganggap sistem kluster itu adalah untuk orang-orang kaya, eksklusif dan berkesan itu mahal. Secara kesan mahal itu bagus itu memang ada, tapi secara biaya itu belum tentu. Bapak bisa bayangkan tidak kalau kita membangun pagar disetiap rumah, itu costnya berapa, dibandingkan dengan membuat pagar secara keseluruhan. Itu jauh lebih murah. 9. Kalau bapak jumlahkan, jumlah pager-pager ada lebih dari 300 rumah, kalkulasikan aja dengan jumlah pager yang cuma satu begitu. Boleh dihitung itu minimal sama atau lebih murah dibandingkan dengan pager keseluruhan. Orang berkesan itu lebih mahal. Nah itu ekses dari biaya, nah ekses kepada lingkungan adalah jalan kita kesannya lebar. Jadi tidak ada barier tertentu. nah itu kesan-kesan terhadap kondisi fisik dan lingkungan. Nah selanjutnya, orang juga lupa bahwa kluster itu bersifat mahal darimananya , padahal kita sudah memberi pelajaran kepada penghuni, kalau nanti suatu saat kita tidak mengembangkan daerah ini lagi. Kita harus memberikan pengelolaan secara mandiri kepada para penghuni. Artinya apa dengan sistem kluster itu, penghuni bisa membuat suatu sistem paguyuban penghuni. 10. Etnis itu sudah sangat tidak berarti disini. Orang-orang Cina/Tionghoa, sudah sangat berbaur disini. Mau jadi RT lagi , pergi ke kelurahan gitu. Waktu kejadian tahun 1998, paling nyata tuh, waktu kerusuhan. Dia ikut ngeronda gitu, apa gitu. Itu kan bukan nilai eksklusif sebenarnya. Dia datang ngegiring orang datang ke kecamatan untuk E-KTP misalnya. Di kumpulin di estate, pak E-KTP, gini-gini, yah ! Siap pak.., jadi kadang saya suka tertawa..tapi sebenarnya bangga, suka tersenyum pada saat yang beretnis Tionghoa, atau orang Cina itu berbicara seperti orang Betawi dengan pak Lurah gitu. 11. Jadi saya itu sangat menentang istilah “keturunan” atau ini “pribumi”.Buat saya, etnis cina itu, seperti kita orang Sunda,orang Jawa. Jadi saya nggak pernah mengatakan ini orang pribumi, ini orang cina. Jadi saya melihatnya ini orang melayu, ini orang cina, jadi saya selalu mengistilahkan seperti itu..pak. jadi saya suka bilang, saya bukan orang pribumi, saya orang Indonesia, orang jawa, sunda, dan nggak ada orang cina. Saya juga nggak apa-
Universitas Indonesia
l312 apa dipanggil orang cina. Lu ..orang cina..! Gitu..kan, tapi saya nggak apa-apa, tapi saya orang sunda. Bukan saya orang pribumi, bukan. Saya selalu mengatakan kita adalah bagian dari suku yang ada di Indonesia. 12. Nah, itu bisa terlihat dari sisi siteplannya sudah sangat kelihatan banget..pak. Kalau didalam kluster “definitifâ€? itu untuk penghuni. Kalau di luar kluster “siapapun boleh masukâ€?. Seperti Flavor Bliss, misalnya. Mau ke Sekolah Lorensia atau kalau mau ke Mesjid Nur Al Asmaa Ul Husna. Pokoknya yang diluar kluster itu, adalah untuk kepentingan umum, kayak Indomaret yang ada di selatan itu silahkan, itu untuk kepentingan umum. Tetapi yang didalam kluster itu kita jadikan untuk kepentingan penghuni. Jadi secara plan, buat kita itu sudah jelas, sebenarnya. 13. Nah, sampai gitunya kita sudah pikirkan. Masjid lebih besar, dibangun lebih dulu,kan gitu-gitu sudah kita pikirkan, mesjidnya besar 1,5 hektar. Gereja, 8000 meter, bangunan mesjid lebih besar, tapi kalau kita liat bangunan gereja kan lebih tinggi. Itu hal-hal seperti itu, saya nggak tahu apakah developer lain juga melakukan hal-hal yang sedetail itu. Begitulah kita menanamkan nilainilai sosial, demikianlah gambarannya‌kira-kira. 14. Mesjid kita tempatkan lokasinya didaerah feri-ferial, antara kluster dengan komunitas penduduk setempat. Itu adalah untuk pencampuran, pencampuran media sosial antara kita dengan mereka. Yang kedua, kalau dalam istilah Islamkan, mesjid tidak boleh kosong..pak. Saya (Soleman) kan ketua DKMnya disitu jadi mesjid tidak boleh kosong. Jadi itu amanat dari orang tua saya. Jadi bukan kita bermaksud meremehkan orang-orang kampung, merekakan bekerja disekitar tempat tinggal mereka. 15. Kita tempat lokasinya ditempat yang sangat strategis, untuk persimpangan lalu lintas. Jadi dia itu (mesjid) selalu welcome, terhadap siapapun yang dari luar.
Universitas Indonesia
313 Nara Sumber : A 3 Posisi : Manajer Pengembang Alam Sutera 2006-2012 Tanggal : 27 Maret 2013 Tempat : Gedung Klub House – PT Alam Sutera. Isu-isu terkait masalah struktur : 1. Seperti kita punya iklan di media tentang “Harmoni Kehidupan”. Kita punya aturan bertujuan untuk membangun harmoni kehidupan di Alam Sutera. Maka pada saat serah terima, pembelian kavling atau rumah. Kita dan calon penghuni atau pembeli menandatangani peraturan tata tertib itu secara bersama-sama. 2. Jadi gini contohnya ; mereka punya pembantu, misalnya pembantunya mau beli apa kebelakang, ya sudahlah. Kadang-kadang pemilik rumahnya suka mencorage pembantunya untuk “ ya sudahlah kamu manjat saja pakai tangga”. Ada beberapa kejadian seperti itu. Securitynya kan jadi bolong, kadangkadang kita tidak tahu banyak kejadian ini ada yang kehilangan. Akhirnya mereka sadar mereka tidak lakukan itu lagi. Itu pasti learning by doing juga. Orang selalu again sesuatu yang menurut mereka tidak nyaman, dia pasti again. “Ah gue nggak nyaman dengan aturan loe itu, gue mau buat aturan sendiri”. 3. Memang agak susahnya gini, ini kan masalah sumber daya. Aturan ada, tugas jelas, dijalankan atau tidak itukan terhadap kontrol. Jadi Kontroling itu memang sulit, waktu saya di pengembangterus terang kekurangan orang disaat itu untuk mengontrol , sehingga waktu itu saya membuat Tata Lingkungan. Tata lingkungan itu sifatnya lebih mengontrol peraturan tata tertib itu dijalankan atau tidak.
Isu-isu terkait pembangunan kultur : 4. Jadi gini pak, pertama tentunya nilai lingkungannya, lingkungan yang seperti itu kan sepertinya akan menjadikan strata sosial kita jadi lebih naik. Kenapa saya ngomong gitu, karena penghuni sini banyak yang pindahan dari Jakarta Barat yang lingkungannya itu tidak tertata atau ‘ruwet’, bahkan di daerahdaerah kota itu yang benar-benar lingkungan yang tidak layak untuk ditinggali ketika sampai disini semua diatur tapi mereka yang menjadi “ Oh, ternyata hidup seperti ini, itu OK” sehingga secara sosial itu merubah kebiasaan mereka... 5. Dari tingkat kepatuhannya rasanya 70 % mengikuti dan 30 % yang lain, mereka punya ide yang cross the line tapi itu juga harus didengar kenapa mereka begitu, Cuma kalau sudah kelewatan, dalam batas-batas tertentu kita tidak bisa mengikuti karena kita juga punya aturan. So far mereka sih OK, artinya secara menyeluruh mereka mengikuti, benar-benar mengikuti aturan
Universitas Indonesia
l314 itu. Jadi, saya melihat developer lain tanpa pagar. Di developer lain itu akhirnya dipagari juga, tapi disini tidak begitu. (wawancara dengan bu Esti) 6. Dari sisi developer, saya banyak bertemu dengan developer lain, seperti dari Bakrie. Tapi sebetulnya mereka justru senang kamu punya development. Bahkan Direkturnya Lippo juga tinggal disini. “Ko bapak mau tinggal disini ? Kenapa tidak di Lippo saja ?” “Enggak saya lebih senang development kamu”. Kita punya development itu kita selalu memikirkan, kenapa saya juga senang kerja disini, kita mengembangkan suatu lingkungan tapi kita juga bertanggung jawab terhadap perkembangan. Jadi kita kita juga memikirkan nantinya bagaimana ? Nanti kalo orang yang tinggal disini, dia akan feeling like what, itu yang kita pikirkan. Jadi bukan udah deh kita buat gini jadi biar lingkungan yang ngatur. Jadi, kita mau seluruh Alam Sutera itu punya culture yang sama. Isu-isu terkait masalah proses sosial : 7. Dulu ditempat saya ada bagian tata lingkungan, untuk melakukan pendampingan dan menerima keluhan warga terkait sistem pengelolaan dari manajemen. Tetapi karena luasnya areal dan terbatasnya SDM kami, sehingga banyaknya keluhan dari warga,yang tidak tertampung oleh kita. 8. Pertama, orangnya kurang, yang kedua kemampuan individu. Kalau orangnya kurang tapi kemampuannya cukup, sebetulnya sih masih bisa tercover masalahnya. Ini kan skillnya masih kurang, kemudian jumlah personilnya juga kurang, sementara area terus bertambah. Jadi saya pernah bilang ini kalau tidak cepet-cepet orangnya tidak ditambah, sementara skill juga tidak bertambah menurut saya ini akan kacau. Karena kita kan sekarang makin bergerak kearah utara itu lebih banyak bisnis districk. Itukan masalahnya banyak juga…. 9. Tapi memang mungkin bagi mereka yang tinggal di cluster baru fasilitasnya jauh lebih baik, itu kan tidak bisa dipungkiri. Namanya juga development, kita kan makin belajar, yang kurang yang kita perbaiki. Mereka juga harus paham itu. Dulu mereka beli dengan angka berapa…? 10. Jadi dulu pernah begini, ini kan satu contoh..ya pak. Di Cluster Cemara, Delima, Elok, Flamboyan sampai ke Kirana. Mereka waktu itu kita kumpulin,waktu itu kita kan punya lahan nih didepan bisa difungsikan, silahkan. Dibangunlah itu tempat lapangan basket. Kita kan sebagai pengembang sudah memberikan lahan. Nah kita minta dong kontribusi dari warga karena ini adalah fasilitas tambahan, yang bisa kami berikan adalah ini. Lahan saya bangunin lapangan basket, nah kalo mau membangun balai untuk pertemuan, ya silahkan tapi itu tolong kontribusi dari warga. Mungkin kita akan bantu dari kontraktornya. Udah waktu itu, tapi akhirnya berhenti dari warganya juga, lapangan basket sudah jadi. Terus akhirnya ribut kok lapangan basketnya dikasih ke orang luar. Kita sudah kasih ya harusnya manage dong,
Universitas Indonesia
315 jangan semuanya harus etate lakukan. Harus saling berbagi antar warga, kesulitan kita disitu. 11. Itu sih menurut saya dinamika ya, masing- masingkan punya ekspresi apa yang mau dikeluarkan fine-fine saja. Yang penting masing-masing punya keinginan apa, mari kita duduk sama-sama, kita mau buat apa. Isu-isu yang terkait pembangunan sosial : 12. Satu contoh pak, ada konflik antar tetangga. Ada yang bangun rumah 4 lantai, kiri kanannya tidak setuju. Kenapa ada bangunan setinggi itu di cluster ini, seakan-akan dia mau melihat kita semua. Tetangga sebelahnya langsung melapor ke Tata Kota, akhirnya orang pemerintahan datang kesini. Satpol PP sampai datang dan menyetop pembangunan itu, yang tentunya berkoordinasi dengan Pengembang. Kita pasti mendukung tindakan tersebut karena itu salah. Akhirnya bangunan itu terbengkalai, dia juga ngerasa ya sudah. Maka bangunan ditinggali begitu saja. 13. .....bisa bapak bayangkan, lingkungan kelas menengah ke atas dengan standar rumah yang lumayan mahal, tiba-tiba dirusak dengan pemandangan pakaian dalam yang kurang pas untuk ditampilkan di depan umum. Hal ini kan terkait dengan hal-hal yang sangat pribadi‌ 14. “Sudah ada yang mengatur, kenapa harus repot-repot lagi, kami tidak punya waktu untuk ituâ€?
Universitas Indonesia
l316 Nara Sumber : A 4 Posisi : Manajer Pengembang Alam Sutera 2013 sd sekarang. Tanggal : 6 Februari 2013 Tempat : Kantor Pengembangt Isu-isu terkait masalah struktur : 1. Selama ini saya sampaikan kepada staf yang ada di depan maupun custumer .
2.
3.
4.
5.
6.
Jika ada yang complain karena sudah merasa membayar IPL, kita harus liat dulu. Komplainnya seperti apa ? Jika komplainnya itu masih diranah estate, maka apa respon yang kita berikan. Kalau tidak ya, kita lepas. Masalah lain adalah dengan perumahan Duta Bintaro, aduhhhh…aduhh..kalau saya liat ini secara politis..saya nggak tahu bagaimana historinya, mereka itu sampai menutup akses saluran air pembuangan umum. Ini bukan saluran dari Alam Sutera. Itu sebenarnya salurannya sambung menyambung..itu mereka tutup. Itu menjadi salah satu faktor penyebab terjadinya banjir di lingkungan kami di Griya Sutera dan Griya Onix Masalah ini sudah sampai pada tingkat walikota, disampaikan ke pak Wahidin, ke DPRD, sudah sangat politis pak.Ini juga sebenarnya terkait masalah otonomi daerah. Antara Wahidin (Walikota Tangerang) dan Airin (Walikota Tangerang Selatan) secara politikkan ada friksi. Duta Bintaro itu..kan masuk Tangerang Kota, kalau sini Tangerang Selatan (Griya Sutera). Tetangga saya itu tidak tahu diri..!!! Dengan alasan dia mengejar ingin cepatcepat pindah dan masuk kerumah. Dia grinda untuk kandang anjingnya hingga jam sepuluh malam, saya tegur langsung. Saya tegurnya bukan dengan tegur halus..pak. “Hey..kamu tau nggak ini jam berapa ? (ekspresi marah…). Saya punya anak lagi tidur, saya nggak pake basa-basi, pake bahasa halus,..Hey..hey..hey..aja gitu. Dia bilang saya terburu-buru, tapi saya tidak peduli. Ini sudah jam berapa? Saya lepas status saya itu sebagai estate, tapi waktu itu saya belum di Pengembang (kantor pengelola). Besoknya masih ngenyel, saya telepon ke sekuriti, jam setengah sepuluh malam satu regu sekuriti datang. Menstop kegiatannya, dia celingak-celinguk, siapa yang nelpon ke sekuriti. Saya liatin aja dari jendela.. Banyak pak yang dikeluhkan mereka, anjing tetangganya begini-begitu, menggonggong sangat keras. Ya, saya bilang tegurlah, anda kan punya mulut . Tegurlah tetangga anda!! Masak anjing tetangga menggonggong terus… anda harus lapor ke estate..!! Jika saya nggak kenal sama yang melapor ke saya. Saya akan bilang bawa aja golok, atau bukan saya bermaksud menghina etnis tertentu…Panggil ..aja..Batak, culik anjingnya, selesai masalah. Sama halnya dengan tetangga saya, banyak sekali yang piara anjing.Ada yang satu pelihara anjingnya benar-benar dirawat, bahkan dalam jarak segini pun..(menunjuk kira2 ada satu meter) tidak bau. Kandangnya bersih, tidak bau segala macem.Dia betul-betul bisa miara anjingnya, tidak menggonggong
Universitas Indonesia
317
7.
8.
9.
10.
11.
segala macem…anjingnya herder besar. Ada juga yang kurang ajar..anjingnya dibiarkan kemana-mana, berak dimana-mana, kencing dimana-mana. Nah saya lakukan pendekatan persuasive..tadi anjing mu berak dihalaman saya. Dia jawab…lho itu kan biasa anjing…lho itu bukan kebiasaan, tapi yang punya yang kurang ajar..langsung saya naik…(emosi..) Nah inilah masalahnya..pak, Ada satu kluster yang rada aneh..pak. Tetangganya tanahnya kosong ingin membangun, dia complain karena tampak depannya tidak seperti itu. Lha..saya bilang apa hak anda. Kalau anda nggak mau anda pindah..jujur pak , saya ngomong begitu.Selama dia tidak membangun tujuh lantai apa hak anda untuk melarang. Mau temboknya warna pelangi, ya terserah dia. Kalau tidak suka ya jangan dilihat. Sampai batas tertentu saya terpaksa harus keras pak. Jadi saya jelaskan kalau sudah masuk ranah pribadi itu saya lepas Pada umumnya mereka tidak peduli..kita cuma bisa ngomong. Bukan maksud saya ingin curhat..pak..! Sebagai contoh, mereka sudah membangun, pengembangtidak punya otoritas untuk membongkar. Kalau misalkan pengembangmelaporkan ke instansi terkait.Instansi terkait datang dan apa yang terjadi ..kasih (sambil tangannya memberi..tanda “uang”) ..masalah selesai. Lalu mereka tinggal pergi, toh bagi instansi tidak pengaruh apa-apa. Nah kalau sudah begini..kan repot..pak. Dia ini yang gebrak duluan nah dalam sisi negatif ya itu tadi unjuk-unjuk kekuasaan, pamer-pamer kekuasaan…pamer-pamer kekuatan. Kadangkadang dia cuek…nggak mau tau. Peraturan yang ada dilanggar-langgar aja…wah banyak pak. Kami paling pusing di pengembangkalau ada warga mau buat IMB ingin bangun. Sudah mau bangun kita liat ini melanggar. Diatas kertas dia urus IMB di instansi lain, IMB keluar. Kenyataanya dia lebih jauh dari IMB. Jujur ngomong saya nggak bisa ngatur orang seperti ini. Dia merasa punya power atau previlage..previlage negative..and so what… gitu. Kalau saya mau bangun gini mau apa kalian .Biasanya suka begitu. Selama itu tidak mengganggu lingkungan dan tidak ada complain dari tetangga kiri kanan dan belakang, itu silahkan. Contoh: warung kelontong yang jualan kebutuhan sehari-hari sabun minyak dan segala macam. Tidak ada masalah, tetapi ada juga yang berbahaya, misalnya BAKERY, itu kan berbahaya. Buka bakery dia bikin oven di rumah, jika terjadi sesuatu ada yang meledak, kan berbahaya. Kalau rumahnya sendiri sih nggak apa-apa, kalau kena rumah sebelahnya kan berbahaya. Kembali saya tegaskan, semua orang jika melihat setumpuk kertas, dia akan langsung teken. Biasanya seperti itu. Tetapi setiap marketing atau legal, saat terjadi AJB (Akte Jual Beli) selalu mengingatkan konsekuensi hukum dari setiap isi perjanjian yang dibuat. Demikian juga pada saat serah terima, selalu dibacakan hal-hal yang penting-penting saja. Tetapi seperti kelemahan setiap orang Indonesia, termasuk di Alam Sutera. Regulation just regulation..(aturan
Universitas Indonesia
l318 ya tinggal aturan).. Kalau ditempat negara-negara yang sudah mapan, ada orang-orang khusus yang membacakan. Point perpoint, paham bapak ibu ada pertanyaan. Tidak ada..lanjut‌lanjut dan tiap halaman paraf pak. 12. Ada-ada..pak, kita melakukan pendekatan. Kita pro aktif, bahkan ada Rt/Rw yang saya akui cukup bagus melakukan pendekatan‌bahkan ada yang membuat summary, ada juga yang sekedar disimpan, ada juga yang tidak peduli. Sebagian warga sebenarnya tahu ada peraturan tata tertib, tapi ada yang merasa selama saya tidak melanggar..ya sudah. Sehingga merasa tidak perlu tahu secara detail. 13. Kemarin juga ada yang mau usaha bakery, tapi sudah saya bilang tempat usahanya sudah disediakan ditempat atau kantong-kantong usaha, seperti di kios Indomaret. Ya tapi itu tadi pak‌dilarang ngenyel..ngajak berantem. Saya cuma bilang, oke mau buka bakery, panggang-panggangan silahkan. Saya bertindak sebagai warga dan sebagai estate. Kalau sebagai pengembangsaya akan menghimbau, untuk pindah ketempat usaha yang telah disediakan, kalau tidak maka harus buat surat pernyataan kalau terjadi apa-apa siap bertanggungjawab penuh terhadap tetangga kiri-kanan belakang. 14. Seperti contoh, tadi pak... Dia pasang sepanduknya mulai nonjol kedepan, misalnya untuk kebaktian natal..begini-begini, Nah saya kadang-kadang merasa kecolongan juga pak..! Lalu ada owner (pemilik perusahaan) lewat..�apa-apaan tuh ada spanduk seperti itu�. Isu yang terkait pembangunan sosial : 15. Bagi saya rumah tanpa pagar itu mendatangkan rasa aman, kita tidak perlu pagar lagi didalam lingkungan yang sudah dipagar. Dan yang kedua untuk lingkungan sekitarnya itu lebih akrab. Saya melihat model cluster tanpa pagar, membuat sekat-sekat sosial itu menjadi terbuka.Sebab kalau saya bandingkan dengan komplek-komplek yang menggunakan pagar, jenis pagarnya nggak seragam. Ada yang pagarnya pendek dan ada yang pagarnya setinggi mungkin. Ada yang pagarnya masih keliatan dalamnya, bahkan ada yang sudah punya pagar masih menggunakan penghalang lagi. Jadi betul-betul eksklusif, eksklusif maksudnya adalah para penghuninya menarik diri dari dunia luar. Jadi begitu pulang langsung menutup diri. Proses sosial : 16. Ya, mbok seharusnya warga juga mengerti. Mereka harus bisa pisahkan antara masalah pribadi atau perseorangan dengan masalah tata lingkungan. Pengembangkan bekerja pada koridor aturan yang telah ditetapkan, jadi kami tidak bisa masuk kedalam persoalan-persoalan pribadi mereka. Pengembangjuga punya keterbatasan, tidak semua masalah harus diselesaikan oleh pengembang.
Universitas Indonesia
319 Nara Sumber : A 5 Posisi Tanggal Tempat
: Staf Tata Lingkungan – Pengembang : 1 Februari 2013 : Kantor Pengembang – Alam Sutera
Isu-isu terkait masalah interaksi sosial : 1. Wah sulit..pak, kadang ada warga yang keras kepala, sampai-sampai dia memasang penggaris atau batas dilarang melintas kepada mobil tetangganya. Dipenggaris ditulisnya, yang melanggar orang gila,..ya tetangga sebelahnya yang mengadu kepada pengembang kita sarankan untuk sabar aja…ya bu ..!! 2. Biasanya kavling kosong yang dimanfaatin..pak, ya ditanami singkong, pisang, kadang-kadang malah dibuat jadi kandang ayam..ada sih pak beberapa. Malah kadang-kadang ada kambing suka ditaroh disitu. Pemilik lahannya sih nggak tau..Cuma tetangganya aja yang marah-marah lapor kemari..jadi yang kontrol piaraan ayam mereka ya pake tetangganya…yang marah-marah kesini. 3. Sulit pak untuk menegurnya, sebab yang punya kucing orangnya tinggal sendirian. Dia tidak menikah, sepertinya kesepian. Jadi mungkin kucingkucing itu menjadi teman atau anggota keluarganya kali. Apalagi kalau tetangga sebelahnya sudah marah-marah ke estate, masak loe..kagak bisa beresin itu orang. Isu-isu yang terkait masalah struktur : 4. Kita kadang-kadang suka nangkepin kucing-kucing liar atau yang ada di perumahan. Seperti waktu itu ada yang jumlahnya melebihi aturan, tapi kita juga bingung..pak. Kucing-kucingnya mau ditaruh dimana, kita nggak punya kandang. Nara Sumber : A 6 Posisi : Kepala Keamanan Alam Sutera Tanggal : 15 Maret 2013 Tempat : Kantor Pengembang Alam Sutera Isu-isu yang terkait masalah struktur : 1. Kalo ada yang mau belanja justru itu yang jadi masalah . Seharusnya..kan tidak boleh tapi telanjur dia langganan disituh .Yah selama ini selagi masih ada ditoleransi , kita kasih toleransi. Istilah kita yang masuk itu tetangga sebelah bukan orang jauh pak. Sebab kita mau larang , kita kenal dengan orang itu pak ,susah pak. Kalau nggak kenal ngga bisa digituhkan. Dan tujuanya apa sih kan cuma belanja pak. Kalau mau ikut aturan silahkan “tinggal KTP” nya atau cuma ditulis nama doang kalo kita kenal orangnya ,makanya kalau mau ditegakkan aturanya yang gimana yah….?
Universitas Indonesia
l320 2. Kami lakukan karena takut terjadi apa-apa. Kita kan sering lihat ditivi istilahnya ijinnya mau bertamu tau-taunya sampai disana nikam orang. Jadi kalo orang itu kita curiga, sama orang itu kita ikutin sampai kita lihat udah salaman.. Udah ngobrol baru tinggal sama anggota kita. 3. Disini kalau sudah terlalu banyak yang jualan, seperti di Kirana itu, sudah sulit kita melarangnya. Ini kan menghambat, maksudnya sudah menambah beban security pak. Kalau banyak yang jualan banyak sekali orang keluar masuk setiap saat, orangnya itu-itu lagi. 4. Yah biasanya ada teleponnya . Kalau enggak ada telpon anggota kita jalan ketempat kerumah yang dimaksud untuk menyampaikan tamunya ada disini. Apakah bener ini katanya keluarganya. Jika itu keluarganya, maka yang bersangkutan datang ke pos pengamanan. Jadi betul betul diawasi dan dibatasi 5. Kita sendiri saja pernah dengan polisi ribut dengan sembilan orang polisi. Gara-gara dia mau masuk ngerasa sebagai petugas juga. Anggota kita dengan peraturan yang ada meminta petugas polisi untuk menunjukan identitasnya. Saya tahu kalau dia polisi tapikan kita tahudia polisi setelah identitasnya ditunjukin. Kita baru yakin, jangan sampe polisinya gadungan harusnya kan begitu. Mereka merasa tersinggung dan marah, kenapa sebegituketatnya setiap orang yang akan masuk harus diperiksa seperti itu.Kitakan engga mau kecolongan. 6. Kadang kadang kita sudah ketat penjagaan pasti ada saja warga yang gunain fasilitas tempat tinggalnya untuk kegiatan yang seharusnya dilarang didalam. Contohnya adanya narkoba atau apa saja yang segalanya kadang-kadang masuk . Disini pernah ada kejadian kaya gituh tapi alhamdulillah dia engga sampe lama gituh terus ketauan. 7. Kalau kegiatan keagamaan itu boleh, tapi harus melalui ijin estate. Dan kalau tempat tinggal jangan terlalu lama-lama dijadikan kayak tempat ibadah itu engga boleh. Harus sesuai dengan surat ijinnya. Kalau orang mau beribadah mingguan misalnya..ya harus ke gereja. 8. Yah disini bukannya engga boleh kampanye, tapi ya harus ijin dulu.. dong pak. Kalau engga pake ijin yah, sama kita tolong harus dikomunikasikan. Soalnya kalau pelaksanaan kampanye atau dari kejadian dari berita-berita yang berkembang didaerah sini , kita bisa gawat lagi pak.. Mangkanya pintar-pintar kita dengan mereka. Kita sampaikan kalau memang mau masang spanduk atau poster ,bukan kita ngelarang tapi ijin dulu dong. Kalau engga saya tetap akan melarang gituh ajah …saya kan sebagai kemanan. Isu-isu masalah pembangunan sosial : 9. Yah selama ini masih ada toleransi. Toleransi yang kita maksudkan disini toleransi untuk tetangga sebelah warga bukan orang jauh
Universitas Indonesia
321 pak.Kalau kita mau larang tapi kita kenal dengan orang itu pak , jadi susah pak karena kenal, jadi ngga bisa digitukan. Dan tujuanya juga cuma mau belanja pak. Kalau mau ikut aturan silahkan “tinggalkan KTP nya, kalu tidak cuma ditulis nama doang kalau kita kenal orangnya .Makanya kalau mau ditegakkan aturanya gimana yah‌.? 10. Bukan nggak peduli, mungkin mereka pada sibuk, jadi mereka lebih banyak menunggu..nggak mau terlalu sibuk.
Universitas Indonesia
l322 Nara Sumber : B 1 Posisi : Ketua RT 001 Sutera Cemara Inisiator Pembentukan ASRC dan pengurus ASRC Tanggal Pertemuan : 2 dan 9 Februari 1013 Tempat : Klub House Alam Sutera Isu-isu terkait masalah struktur : 1. Kalau mengenai peraturan tata tertib sejak awalkan mereka sudah buat, Dimulai sejak penjualan tahun 1994, 1997, bahkan tahun 2000 juga sudah ada. Cuma dalam perjalanannya ada juga yang keluar dari peraturan tata tertib, misalnya ada yang dagang, buka toko. Dalam perjalanan mungkin ada aja warga yang kehilangan pekerjaan, misalnya pada tahun 1998 pada saat terjadinya krisis waktu itu. Dan kondisi disini belum berkembang seperti saat ini, maka boleh tuh dagang. Buka-buka toko, itu nggak bisa dilarang. Jadi ada aja dari peraturan tata tertib yang keluar dari garisnya. Isu-isu terkait masalah kultur : 2. Ya mereka sekarang tidak melihat kita sebelah mata lagi. Wah rumahnya disana..ya ( maksudnya: Alam Sutera). 3. Saya masuk sini tahun 1997. Tahun 1994 sebenarnya saya sudah berada disekitar sini tapi belum masuk. Dulu sih..kawasan sini nggak eksklusif. Apalagi tahun 1997 sampai tahun 2007, kalau ditanya orang ngapain lu tinggal di Alam Sutera‌ jauh bener dari Jakarta, tempat jin buang anak. Tapi kalau sekarang sih nggak, sudah mulai ramai, banyak perkantoran, jadi kalau ditanya orang tinggal dimana, Alam Sutera. Wah hebat bener, enak ‌mahal donk. Padahal sih nggak mahal kan kita dulu belinya sudah lama. 4. Banyak-banyak tempat yang bagus-bagus, mahal-mahal, bayangkan rumah yang kecil aja harganya sudah sampai 1,5 milyar. Luas bangunan 90 meter.. aja, sudah 1,2 milyar. Sudah cukup mapan..lah. Kesannya Alam Sutera itu teratur, jalannnya bagus-bagus, lebar-lebar nggak kaya di BSD, disini banyak mal-mal, dekat-dekat lagi, ada Flavor Bliss yang terkenal, Informa, Ace hardware. Dan sebenarnya yang paling bikin eksklusif adalah harganya..pak. Harga tanah per meternya aja sekarang sudah 11 juta permeter. Kalau dibandingkan dengan Gading (maksudnya perumahan Gading Serpong), masih hebatan sini, lokasi rumahnya bagus-bagus, ada kantor BCA, kesannya hebat-hebat..lah. 5. Anak-anaknya juga .. terpengaruh, anak-anak disini kan kalau makan suka ke Mal, sepedanya mahal-mahal, sekolahnya di Lorensia, kemana-mana bawa Ipad, BB, kesannya disini begitu . Disini biaya hidup lebih mahal dari Jakarta. Beli sayur disini lebih mahal, kalau di Jakarta bisa 5 ribu, kalau ke pasar delapan disini bisa 8 ribu. Anak-anak disini sudah
Universitas Indonesia
323 kebiasaan, apa-apa ke mal, habisnya disini ke mal cukup jalan kaki. Mal deket disini. Makan – minum aja mereka sudah 20.000,- itu paling murah. Isu-Isu Masalah Proses Sosial : 6. Jadi ada aja dari peraturan tata tertib yang keluar dari garisnya. Yang pelihara binatang misalnya, anjing tidak boleh dilepas, harus dikawal. Ada aja warga yang melepas piaraannya. Nah kalau kita lapor estate, pengembangmau ngambil tindakan juga bingung mungkin. Ditangkapkah atau bagaimanakah. Kita sebagai warga juga tidak senang toh kalau ada binatang piaraan kelayapan, nanti buang kotoran ditempat kita. Menggongong, mengganggu kita yang mau naik sepeda tiap pagi. Apakah yang gini-gini tanggung jawab RT, pengelola, warga, atau estatenya. Pengembangjuga agak ragu-ragu kalau mau ambil tindakan. Kalau ada hal-hal yang rusak pun..menurut warga tindakan pengembangjuga relative lama. 7. Banyak juga warga yang melanggar aturan, misalnya halaman tidak boleh dibangun, mereka bangun, ya keluar dari aturan-aturan. Tetapi selama tetangganya tidak complain, ya silahkan aja. Jadi banyak juga dibeberapa kluster, banyak yang melanggar. Tetapi mungkin karena pengembangkekurangan tenaga ya ? Mestinya bagaimana..ya jadi terabaikan. 8. Prinsipnyakan begini. Alam Sutera sudah bagus, maka kita juga pingin dilihat..warganya juga bagus. Jadi nilainya kan sama, jadi jangan sampai Alam Suteranya bagus‌eh warganya nggak bagus..kan bagaimana ? 9. Kalau tidak ada bazaar, mungkin warganya akan cuek dan nggak saling kenal. Jadi setiap ada bazaar kita berharap dapat saling mempererat kebersamaan. 10. “Awalnya beberapa rekan kumpul-kumpul, lalu pikir-pikir bagaimana kalau kita coba bikin wadah untuk warga,â€? 11. ASRC tidak mengurus masalah internal dari masing-masing kluster. Kita hanya akan bergerak pada kegiatan-kegiatan sosial, tidak terkait dengan masalah konflik internal antara warga kluster dengan pengembang. Jika masalahnya sudah menjadi masalah disemua kluster, barulah kami mencoba membahasnya.
Universitas Indonesia
l324 Nara Sumber : B 2 Posisi : Ketua RW 007 Sutera Kirana dan aktifis ASRC Tanggal Pertemuan : 7 Maret 2013 Tempat : (1) Klub House Alam Sutera (2) Kediaman Pribadi (3) Plaza Parkir Flavour Bliss Isu –isu masalah struktur : 1. Lingkungan disini bagus pak. Untuk perkembangan anak anak disini bagus karena aktivitas mereka, istilahnya tidak ada yang menyimpang. Nggak ada narkoba, merokok, itu nggak ada. Dari tahun1999 karena saya yang ngalamin, anak saya masih kecil-kecil sampai sekarang yang sepantaran dia dan diatas dikit. Udah ada yang kerjanya lumayan, ada yang kerja di Afrika. Jadi aktivitas anak-anak disini saya liatin, kalau saya pulang kerja, saya liatin gimana. Sekarang anak saya yang nomor 3 saya bisa liatin terus perkembangannya. 2. Kalau bisa dibilang keamanan Alam Sutera, ya bisa dibilang bagus lah pak. Tadinya mereka melihat sekolahan, banyak dulu yang memilih tinggal disini karena anak mereka sekolah di Santa Laurencia. Kalau lihat Santa Laurencia itu menjadi favorite itu karena lingkungan nya bagus. Terus kalau liat anak yang sma itu sekolah sampai jam 4. Jadi bagi orang tua pekerja yang dua-duanya tidak dirumah itu senang sekali sekolah disini, pulang sampai rumah orang tua sudah dirumah, terjamin. Daripada rumah disana mending tinggal disini, lingkungannya asri lagi. 3. Kami bermaksud mau mengadakan kegiatan donor darah. Tadinya saya sudah berusaha mencari lokasi yang aman dan tidak melanggar aturan. Malam-malam saya pasang sepanduk dekat pintu gerbang masuk. Saya kira ini lokasi sudah diluar kawasan, dan spanduk ini dapat terlihat oleh semua warga yang keluar masuk. Eh‌nggak taunya saya dapat laporan pagi-pagi spanduknya sudah hilang pak‌nggak tahu tuh..siapa yang nertibkan‌ Isu-isu masalah pembangunan sosial : 4. Iya untuk sekarang kesannya eksklusif pak, jika ditanya tinggal dimana? Alam sutera. Wah rumahnya‌hebat. Dia kan masuknya dari depan, wah adem.kesannya itu ya mewah. 5. Saya mohon kalau ada warga yang melakukan renovasi, kamu jangan minta harga seenaknya. Kalau dikasih sepuluh ribu, ya silahkan ambil..jangan maksa dan minta harga seenaknya. Saya suka negur mereka, kamu kan suka ngojek didepan ya, jadi tiap hari masih suka ketemu. jadi jangan maksa, saya mohon. 6. Kita sudah pernah bilang sama petugas sekuritinya pak, tapi nggak ada yang berani, sebabnya petugas sekuritinya sudah setiap hari ketemu sama
Universitas Indonesia
325 dia pak. Apalagi pengojeknya orang dari kampung dibelakang sini, namanya kampung Dongkal. 7. Jadi tugas RW ini..kan hanya membantu untuk kelurahan, seperti ngurus ktp. Sementara RT membantu kepada warganya, kalau pengembangkemana aja. Keinginan kita kan kayak pedagang yang didalam sini atau yang mengadakan tempat les privat didalam lingkungan ini, pengembangyang seharusnya bertindak, bukannya kita. Kita pernah ngelarang. Warga itu kan ngontrak, dia mau jualan disini, ya saya ngamukngamuk, ya saya tolak. Kecuali kamu punya rumah disini, ya nggak apa apa. Tapi kalau ada orang ngontrak disini, jualan disini, kan bikin ribet aja. 8. Kadang saya dulu pernah liat ada pelanggaran, contohnya saat membangun rumah, sebetulnya gak boleh dipagar ke depan, ya kita kasih tau ke estate. “Eh ini loh ada pelanggaran ini coba kamu tindak”. 9. Disini kalau parkir mobil bahasa komunikasinya menggunakan klakson , ya kadang-kadang itu kan orang nggak tau siapa yang diklakson. Kalau ada tamu kalau parkir ya jangan jangan terlalu mepet..lah. kayak didepan sini agak kesulitan. Kan banyak orang cuek disini. Kalau tamu ya mundurlah dua tiga kali pasti masih bisa keluar, kalau bisa agak tengah sedikit. Tapi kalau sudah buru-buru sama yang depan sini udah pada nggak mau negur tuh… 10. Saya kan ketua RW, masak halaman rumah saya diberakin kotoran anjing orang lain. Apalagi saya tidak memeliharanya… 11. Saya membuka komunikasi pak makanya saya menjaga toleransi,misalnya kan disini agama yang mayoritasnya Katolik. Jadi saya sempatin sisipin bicara, jadi kita sedikit sedikit pendekatan biar tidak terjadi apa-apa. Dan kebetulan sekali warga katolik membantu, jadi saya bilang saya dibantu bukan saya sendirian melaksanakan tugas ini kan walaupun dipilih kita harus beriringan. Kayak kemaren kayak Idul Fitri atau Idul Adha security saya suruh sholat karena merekakan mayoritas muslim. Dan saya minta warga katolik nunggu 2 jam sampai 3 jam, dia senang… 12. Saya juga waktu masuk kesini, sadar sepenuhnya bahwa memang disini yang dominan adalah Nonpri dan yang beragama agama Katolik yang paling mayoritas. Karena keberadaan sekolah (Santa Laurencia) sama gereja yang ada di situ, banyak yang menarik kesana. Tapi saya pengen ingin memastikan bahwa disini semua yang ada di sini punya hak yang sama. Isu-isu masalah proses sosial : 13. Keliatan pengembangkita kalau melihat RT RW bergabung, si pengembang itu keliatanya kaya takut. Setiap ada event ajah dia bantunya setengah –setengah pak, kalo engga digebrak baru.Saya sudah bilang sama teman teman kita tidak untuk melawan dia kalo kita ngelawan dia, saya
Universitas Indonesia
l326 gak repot untuk ngelawan dia sendiri-sendiri .Saya di (Kluster) Kirana jika saya minta perbaikan,saya datang sendiri. 14. Ini yang agak lambat pengembangitu kalau ada kerusakan, kerusakan jalan dan pos jaga. Kemarin pas saya telpon nggak diangkat, makanya saya bilang pengembangtuh ggak bisa ditelpon. Kita datangin dan tungguin, ayo orangnya mana. Listrik saya ini sudah berapa kali mati ya, saya diemin satu minggu, dua minggu dia gak ada reaksi. Akhirya oke kapan mau kerjain, siang ini saya tunggu. Emang harus diuber- uber, kalau tidak dia cuek. 15. “Pak ayo kita bikin organisasi yang kira kira positif untuk di Kirana . Ya sudah kita bangun lapangan voli, tapi lahanya mana ? Kita waktu itu ada acara 17 Agustus per RT. Udah maen RT 1 lawan RT 2 pak, tapi maen pake kavling orang. Giliran kita mau final , orang itu mau membangun dan mau digali. Saya bilang jangan dulu digali pak, disini nanti kamu nggak bakal betah karena warga yang maen. Oke katanya, saya gali sebagai syarat ajah deh pak. Selesai itu langsung saya cari lahan yang saya punya untuk fasos fasum yang mana ini. Kebetulan saya liat disituh ada fasum, saya sikat gituh ajah, saya ambil aja pak. Langsung kita ribut pak, waktu saya ambil . Estatenya tuh marah marah. Komandan satpamnya itu bilang nggak boleh dibangun. Kita tetep bentuk terus, kita kasih surat ke estate. Akhirnya terjadi konflik, katanya tidak boleh di cor , kadung kata saya kita cor aja dua lapis 15 senti. 16. Karena gini, kita punya anak .Waktu saya baru punya anak dua, saya bilang sama anak saya kita mau maen dimana ? Masa mau diluar, diklaster kita engga ada sama sekali mainan untuk anak anak, enggak ada kegiatan ? Setelah kita bangun kita minta sama warga pak Rp.200.000, perkepala keluarga. Kebetulan warganya sudah banyak juga, waktu itu kita bangun udah ada kurang lebih empat (4) RT, ada 200 keluarga lebih lah.Kita minta minimum Rp. 250.000,-terkumpul kurang lebih 50.pak. Bangunan itu biaya 60 juta lebih. Akhirnya itu RT yang 15 orang sama RWnya 18 orang, tarikin lagi pak. Saya sendiri kena 600 ribuan karena apa ? Niat untuk anak anak kita, supaya jalan kemana mana kita bisa ngawasin anak anaknya maen disini . Ya alhamdulilah anak-anak yang kita bangun sekarang jadi dokter pak ? Tidak ada istilahnya narkoba itu yang saya takutin 17. Waktu saya pindah ke Kirana (kluster), saya liat warganya cuek-cuek saja gitu, lalu saya pikirin gimana caranya supaya mereka mau bersatu.
Universitas Indonesia
327 Nara sumber :B3 Posisi : Ketua RW 008 Sutera Onyx dan aktifis ASRC Tanggal Pertemuan : 9 Februari, 16 Maret dan 6 April 2013 Tempat Pertemuan : (1) Klub House Alam Sutera (2) Kediaman Pribadi (3) Plaza Parkir Flavour Bliss Isu-isu masalah struktur : 1. Kumpulin aja warganya, siapkan surat- surat permohonannya, nanti didukung oleh Kelurahan. RT/RW harus dari inisiatif warga, tidak boleh ada intervensi dari pihak pengembang. 2. Saya wajibkan setiap warga untuk datang melapor, kalau yang datang pembantunya saya suruh tolak. Kepada semua ketua RT, saya bilang kalau yang datang pembantunya suruh pulang saja. 3. Ada warga yang marah-marah pak, karena kontraktor yang bangun rumah suka membuang puing sisa bangunan tidak pada tempatnya. Kadang kala kita suka ribut, kalau sisa-sisa bahan itu jika tidak dibuang suka menjadi sarang tikus, kitakan perlu waspada aja. 4. Peraturan tata tertib itu macan ompong, jika dilaksanakan tanpa penegakan hukum. Jika bapak mau bukti, saya bisa tunjukkan bentukbentuk pelanggaran yang terjadi di Sutera Onix. Pihak pengembangtidak membudayakan bagaimana menegakan peraturan tata tertib. Maka saya bilang, blak-blakan udah nggak usah ikutan aja lomba yang kemarin..percuma. Hadiahnya juga palsu..maka saya ucapin selamat kepada kluster yang menang. Dan mereka bilang nggak dapat duit, hanya dapet fasilitas. Kata saya kalau gitu nipu dong..seharusnya membangun fasilitas sosial itu kan kewajiban pengembang. 5. Iya bagi saya sekarang,saya bilang ajah gini anda buat peraturan...ya, kalau tidak di tegakkan secara kosisten lalu ngapain bikin peraturan.Saya bilang begitu ajah. .hmmm…Kalau begitu kita peraturan sendiri-sendiri aja tiaptiap Kluster kan, begitu pak. Iya,iya…saya orangnya lebih baik bikinnya sedikit tapi jalan dari pada anda bikin tebel-tebel tapi gak ada yang jalan.ya…ya…ngapain kan. Saya juga bantu perusahaan-perusahaan kan pak untuk consulting banyak mereka memberi file value intergriti,alisty dan sebagainya.Saya cuma nanya yang aktuel jalan yang mana sih.ha…ha…ha…Ditulis gede-gede tapi,implemented yang mana ? Saya orangnya fokusnya pada implementasi karena menurut saya banyak yang nggak jalan di lapangan.Implementasinya bermasalah…!! 6. Dan itu coba jadi kita terapkan, bagaimana kita bertenggang rasa dengan semuanya. Makanya saya orang yang pertama-tama mengucapkan Selamat Natal, Selamat Idulfitri. Demikian juga dengan yang Budha sama Hindu juga saya ucapkan selamat Hari Raya Nyepi. Saya sama yang Hindu kayak ya belum ada warganya.Tapi pokoknya kita harus mulai dari situ
Universitas Indonesia
l328 itu, nggak ada perbedaan di situ. Dan kedua kita coba, saya juga waktu itu belakangan baru belajar dari teman-teman yang Budha kalau yang Budha itu mereka banyak istilahnya tidak makan-makanan yang berjiwa. 7. Kejadian seperti itu, pernah kemarin ada ular pak. Kita bawa pawang ular dari daerah Bogor Ciomas , Pawang itu dibawa atau dipanggil oleh Pengembang dan terus pawang nawarin supaya ularnya nggak kemari lagi, istilahnya dia memastikan untuk bikin kayak pengorbanan untuk persembelihan. Saya bilang saya harus katakan warga kami yang Budha kemungkinan akan keberatan karena ada pengorbanan di situ. Kalau cuman tanaman buah-buahan gak masalah tapi,kalau ada pengorbanan seperti ini saya minta maaf. Terpaksa saya tolak permintaan bapak, tapi alasan saya kita menjaga keharmonian. Alasan itu saya umumkan bahwa kita harus menjaga perasaan semua yang ada di sini. Semua setara dan sama tidak ada yang di berlakukan berbeda. 8. Kita yang coba selalu dan inikan bagi mereka yang banyak Cainis ( Etnis Cina) yang sangat kuat itu pada bingung.Koq ada acara berbuka puasa bersama gitu ? Kadang-kadang pertama mereka begitu, akhirnya mereka bisa gabung.Saya minta warga yang muslim memimpin doa dan sebagainya dan selalu habis buka puasa kita ngobrol tujuannya saya jelaskan kita kepengen merangkul warga baru,pengen komunitas kita berkembang juga. Kan bagi anda yang baru datang, anda nggak saya harus kenal dengan siapa anda nggak tahu. Tapi disini anda bisa ketemu dan anda bisa tahu. 9. Kita buat SOP, jika dilihat dari formatnya sih sudah bagus,tapi implementasinya rendah. Implementasi itu kan ada dua level, yang pertama kita tahu isinya dulu, dengan cara melakukan education, jika tidak berjalan barulah funismentnya masuk. 10. Kalau yang lain enggak usah cemburulah, soalnya dulu belinya pada murah, kalau yang mau belinya di Onix ya tentunya harganya agak lebih mahal. Isu-isu masalah Proses sosial : 11. Maksud kami perhatianlah, sekiranya kami melakukan kegiatan sosial seperti donor darah, ya ada bantuan atau fasilitas yang bisa dibantu. Minimal ada staf atau anggota dari pengembang yang mau hadir atau mendampingi kegiatan yang kami lakukan. Jadi jika kami memiliki kebutuhan yang memerlukan dukungan pengembangbisa kami langsung sampaikan. 12. You sudah siapkan peraturan tata tertib kenapa nggak disosialisasikan, karena tidak semua warga paham terhadap peraturan tata tertib
Universitas Indonesia
329 Nara Sumber : B3 Posisi : Ketua RW 10 Sutera Delima dan Aktifis ASRC Tanggal Pertemuan : 9 Februari 2013 Tempat : Klub House Alam Sutera Isu-isu pembangunan sosial : 1. Sebelumnya saya tinggal di perumahan Bonang di Karawaci. Saya pindah kesini, yah disini suasananya lebik enak, nyaman terus asri. Orang luar awal ngeliatnya eksklusif. Awalnya kita juga melihat ada kesan seperti itu. Istilahnya kayak rumah dibentengi, gituh. Kan orang luar nggak bisa masuk sembarangan, jadi kesan eksklusifnya cuman disitu aja‌. Jadi orang nggak bisa masuk sembarang. Masalah proses sosial : 2. Menurut saya, lingkungan di Alam Sutera, antar warga cukup baik. Sosialisasi antar penghuni cukup baik ketimbang memiliki rumah di tengah kota. Di pinggir jalan itu, terkesan masing masing warga engga kenal tetangga. Kalau di sini, boleh bilang hampir kenal semua warga. Malah antar tetangga, antar kluster aja hampir sering ketemu. Kita membentuk ASRC untuk bertemu dan ngobrol.Jadi sekarang, warga antar Cluster, lebih nyaman sosialisasinya ketimbang rumah yang berada di jalan raya dan membuat pagar sendiri sendiri. Kesannya masing masing warga engga kenal. Kegiatan mereka lakukan di dalam rumah saja. Jadi, kita saling engga membaur. Boleh dibilang, kalo tetangga berantem, kita baru denger dari ibu ibu. 3. Mengapa orang berani melanggar pak?Pertama saya liat sosialisasi tidak dilakukan. Kalau kita sudah melakukan serah terima , kita kan dapat peraturan tata tertib yang harus kita tandatangani. Tapi kan yang penting buat pengembang cuma tandatangan ajah dan mengingatkan kalau anda membangun, anda nggak boleh gini nggak boleh gitu . Sosialisasinya enggak ada, kemudian satpamnya kalau dalam pelaksanaan tugas pengawasan itu enggak akan pernah negur karena ditips sama kontraktornya. Bukan cuman itu aja, kalau kita mau ngebangun dan majuin gambar kan harusdibawa ke estate, itu nggak bakalan dinilai atau dievaluasi sama mereka. Asal tetangga tandatangan,pengurus RT dan RW juga sudah tandatangan yasudah selesai. Kalau masalah gambar RT dan RW engga berhak untuk negur, itu kan warga kita juga.Kalau kita engga jadi RT RW otomatis kita akan jadi warga juga. Jangan RT dan RW dibenturin sama warganya. Kita prinsipnya tidak masalah dengan peraturan tata tertib, hanya penegakannya dan pemerataannya.
Universitas Indonesia
l330 Nara Sumber : B 5 Posisi : Ketua RT 002 Sutera Gardenia dan Aktifis ASRC Tanggal Pertemuan : 6 April 2013 Tempat Pertemuan : Plaza Parkir Flavour Bliss Isu masalah pembangunan sosial : 1. …pada waktu itu, terjadi kebocoran air didasar lantai rumah saya. Kan saya tidak tahu, siapa yang memasang, mungkin kontraktor yang bangun rumah. Air yang bocor cukup banyak, eh..tetap saja saya yang harus nanggung biaya kebocorannya. Nggak bisa protes..wong pipanya ada didalam rumah saya.. 2. Didalam cluster kan tidak ada lalu lintas umum. Hal itu yang mungkin membangun persepsi bahwa ini hak gue gitu loh. Sehingga kadangkadang kalau ada orang parkir didepan rumahnya cenderungnya marah. Rumah saya kan di Gardinia itu hanya ada dua jalan yang bisa tiga mobil. Rumah yang lainnya tipe rumahnya kecil-kecil jadi jalannya hanya pas untuk dua mobil jadi kalau parkir begini (saling nutup). Kalau nggak ada toleransi orang susah lewat, nah itu saya yang jadi RT pun sering pusing karena masalah itu. 3. Nah.. kadang-kadang kebijakannya juga kurang nih pak . Kurang apa.. kurang bisa diterima secara logika. Misal pengaspalan ya.. ini sekarang manajer yang baru bagus pak.. kalau dulu manajer yang lama itu lucu. Pengaspalan dicluster itu dikaitkan dengan .. warga yang tidak membayar IPL (Iuran Pemeliharaan Lingkungan). Saya waktu itu sempat sih berdebat “Bu kan yang tidak bayar inikan minoritas, kenapa yang mayoritas ini jadi gak dapet gitu”, kalau misalnya mau ekstrim yang nggak bayar didepan rumahnya jangan diaspal deh.. misalnya.. bolong-bolong gitu kan, Nah itu kebijakan yang menurut saya gak baik.
Nara Sumber : C 1 Posisi : Tokoh Masyarakat, Ketua DKM Mesjid Al Fatah Pondok jagung Tanggal Pertemuan : 15 Februari 2013 Tempat : Kediaman Pribadi Isu-isu masalah pembangunan sosial : 1. Istilah “Tembok Berlin”..mah, sumbernye dari masyarakat. Biasanye itu..tuh, tukang ojek yang suke nyebut-nyebut Tembok Berlin. Katanye, kalau Tembok Berlin maksudnya, kagak bisa lewat dan kagak bisa ngeliat kemane-mane.
Universitas Indonesia
331 2. Ngapain kita dateng kesono, kenal aja kagak ama mereka. Rasanya kagak mungkin orang-orang kecil kayak kite ini punya urusan ame mereka, ribet. Masuknya ketat, ditanya macem-macem lagi ama satpamnya.
Nara Sumber : C 2 Posisi : Ketua RW Pondok Pakulonan Tanggal Pertemuan : 21 Maret 2013 Tempat : Kediaman Pribadi Isu-isu masalah pembangunan sosial 1. Seperti kejadian banjir kemarin pak, akibat banjir itu kita langsung terkena dampaknya juga. Sebelah sana yang lebih parah (sambil menunjuk kearah Griya Sutera..). Akhirnya kita gabungan langsung maju barengbareng, duduk bersama, gabungan antara RW dikomplek sini . Komplek ini yang pertamalah , terus Griya Hijau, Griya Sutera. 2. Pada saat itu kita yang langsung turun, tapi saya konteknya Griya Sutera dulu, karena yang kena langsung Griya Sutera. Kemudian RW yang ada di Sutera Onik, kita kontak saja, gabung saja sama dengan tokoh-tokoh yang lain ngobrol langsung dan sore langsung serbu kantor pengelola. 3. Kalau bahasa kita, “ketat aturan masuk�. Seperti saya waktu itu pegang KPU Pemilihan Pilkada Tangsel ya.., Saya istilahnya ingin memberikan informasi dengan cara woro-woro masuk ke komplek. Ya .. itu diantara daerah yang paling sulit untuk dimasuki, memang Alam Sutera . Kita harus memberikan surat ijin dulu kekantor pihak pengembang.. kalau dapat baru boleh , wong saya tidak bermaksud mencuri .. Saya itu tugas lho.. melaksanakan tugas KPU memberi informasi kepada masyarakat diikutin pak .. sama satpamnya. Ya sudah ikutin saja , wong .. saya nggak ngapa- ngapain .. 4. Justru itu sampai sekarang masih tanda tanya, kalau bahasanya diwebsite secara geografis wilayah ini masuk Alam Sutra. Tetapi saat ini area ini diblok oleh Alam Sutra dan justru saya bertanya kenapa di blok. Apakah karena dulu pengembangnya Alpha kemudian dilanjutkan Alam Sutera. Padahal Alam Sutera standar bangunan awalnya rumah sederhana seperti ini. 5. Saya tanyakan sampai sekarang belum ada jawaban yang pasti.. jadi gimana ya Pak. Padahal kantor pengelola Alam Sutra kalau ada perlu suka bertanya kepada kami. Sampai tahun 2005 saya masih melapor ke situ dan bahkan sampai sekarang kadang kami juga suka masih melapor. Padahal kami sampai sekarang juga nggak terdaftar membayar IPL (Iuran Pengelolaan Lingkungan). Tapi secara pelaporan diakui jadi membuat kami bingung juga.
Universitas Indonesia
l332 6. Saat itu dulu pernah juga ditanyakan, karena dianggap orang kecil mungkin gak ada kontribusinya. Saya tanya IPL berapa .. ya . gak jelas ? Dia juga gak mau menurunkan, coba mau menurunkan akan saya sisoalisasikan ke masyarakat. Ya bahasanya kita diabaikan‌lah. Jadi kita cari pengelolaan sendiri. 7. Ya sekitar 5 – 7 tahun setelah tinggal disini, jadi sebelum perumahan disini terjual habis masih terperhatikan. Jadi fungsi intinya begitu selama pemasaran masih berlangsung masih di perhatikan, setelah sudah terjual habis selamat tinggal. Tidak ada sama sekali informasi, setelah itu gak ada gandeng renteng untuk gimana enaknya berhubung kita ikut konteks administrasi pengelola Alam Sutera atau mau dikelola sendiri itu gak ada. Nara Sumber : C 3 Posisi : Lurah Pondok Jagung Timur Tanggal Pertemuan : 19 Februari 2013 Tempat ; Kantor Kelurahan Isu-isu terkait masalah struktur. Semuanya baik semua .., masalah hubungan antara kelurahan dan warga itu semuanya baik akrab begitu, tidak ada masalah. Walaupun ada masalah ya.. biasalah namanya manusia ya.. Kadang- kadang masalah keluarga juga bisa tapi semua pada umumnya menghargai saya sebagai kepala kelurahan. RW nya juga sering kesini .. sering kerja bareng, saya kalau ada acara-acara sering diundang mereka. Begitulah semua baik-baik saja tidak ada permasalahan sebetulnya. Kalau ada masalah administrasi kita selesaikan sesuai dengan aturan dan walau bagaimanapun juga saya sebagai pelayan .. mereka minta surat keterangan, masalah KTP, KK kan dikeluarkan disini.. kita layani dan tidak ada masalah.. biasalah Pak.
Universitas Indonesia