ACEH BARU Membangun Masyarakat Terbuka di Nangroe Aceh Darussalam
PENYUSUN ANDI ACHDIAN SRI ARYANI HERMAINI PERMATA SURI HERYADI BASILISA DENGEN
| iii
Pengantar Yayasan Tifa
Aceh Baru menjadi kenyataan yang mewujud, baik dalam sistem perekonomian maupun sistem sosial politik Skenario Aceh Masa Depan: 2007-2017
P
2009 TELAH BERLANGSUNG DI NANGGROE ACEH Darussalam dalam damai. Partai Demokrat yang mengusung Presiden terpilih Susilo Bambang Yudhoyono memenangkan pemilihan di daerah pascakonflik tersebut. Sementara itu, Partai Aceh –salah satu partai lokal yang saat ini hanya dimungkinkan keberadaannya di wilayah otonomi khusus Aceh—menguasai mayoritas kursi di DPRA Provinsi Aceh. Partai Aceh yang didirikan oleh para mantan combatants –dan memiliki bendera berwarna merah yang mirip dengan simbol dan bendera Gerakan Aceh Merdeka—sesungguhnya telah memiliki kekuatan penuh untuk mengimplementasikan Helsinki Peace Accord yang ditandatangani 15 Agustus 2005. Perjuangan bersenjata yang beralih menjadi perjuangan politik, yang dipicu oleh bencana tsunami yang dahsyat, adalah suatu rangkaian pembelajaran yang penting bagi kemanusiaan dan bagi mulianya upaya perdamaian. Dalam terbitan kecil ini disajikan berbagai pendekatan, program dan kegiatan yang pernah dilakukan oleh masyarakat sipil, melalui kerjasama dengan Yayasan Tifa, dalam upaya mendorong upaya perEMILIHAN UMUM
iv |
damaian di wilayah Aceh yang dilanda konflik selama 30 tahun. Suatu upaya perdamaian yang dilakukan pada masa darurat militer, periode paska tsunami dan setelah perjanjian damai Helsinki, melalui promosi terus menerus pada nilai-nilai dan prinsip hak asasi manusia, demokrasi dan tata pemerintahan yang baik. Inilah rekam jejak Yayasan Tifa dan jaringan mitranya yang bekerja untuk Aceh. Yayasan Tifa mengucapkan terima kasih besar kepada the Royal Danish Embassy dan the Embassy of Finland, atas kepercayaan yang telah diberikan dalam mendukung agenda kerja masyarakat sipil di Aceh setelah tercapainya perdamaian Helsinki. Ucapan terima kasih juga kami haturkan kepada para pihak di Aceh, dan khususnya kepada mitra kerja Tifa yang telah bersama-sama menggulirkan inisiatifinisiatif penting menuju Aceh yang damai, demokratis, sejahtera dan kosmopolitan. Suatu Aceh Baru yang menjanjikan. n Desember 2009
TRI NUGROHO DIREKTUR EKSEKUTIF
| v
Daftar Isi
Pengantar iii Prolog 1 Perang, Pelanggaran HAM, dan Masyarakat Sipil Aceh 7 Gerakan Masyarakat Sipil dan Perdamaian Berkelanjutan di Aceh 15 Membangun Keadilan Transisional di Aceh 23
Good Governance dan Rekonstruksi Aceh Pasca-Konflik 33 Perempuan, Perang, dan Perdamaian Berkelanjutan di Aceh 39 Pemulihan Trauma Masyarakat 45 Epilog: Skenario Aceh Masa Depan 51 Galeri Partner 59
| 1
Prolog
L
INDONESIA PADA tahun 2009 ini: partisipasi partai politik lokal dalam perebutan kursi di parlemen Aceh. Partai-partai nasional seperti Partai Golkar, Partai Amanat Nasional dan Partai Bintang Reformasi (yang sebelumnya mendominasi kehidupan politik dalam badan legislatif di Aceh) menghadapi tantangan dengan keterlibatan aktivis-aktivis Partai Rakyat Aceh (PRA), Partai SIRA dan Partai Aceh dalam pemilihan umum anggota legislatif lokal. Momentum politik yang dijadwalkan berlangsung pada bulan April 2009, tidak dapat disangkal menjadi indikator penting kemajuan politik yang terjadi di propinsi paling barat Indonesia setelah selama beberapa dekade sebelumnya menjadi ajang konflik bersenjata yang panjang antara Pemerintah Republik Indonesia dan kekuatan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Slogan Aceh Baru —yang bergulir sejak perjanjian perdamaian Helsinki pada bulan Agustus 2005—dalam kaitan ini mendapatkan wujud yang nyata. Konflik bersenjata beralih menjadi pertarungan politik. Gerakan Aceh Merdeka mengubah diri menjadi sebuah partai EMBARAN BARU LAHIR DALAM SEJARAH POLITIK DI
2 | Menuju Aceh Baru Prolog
politik. Kekerasan dan perang di pelosok desa dan hutan beralih menjadi perdebatan di parlemen. Selama empat tahun menjalankan dan menjaga perdamaian, Pemerintah Republik Indonesia dan Rakyat Aceh membuktikan keberhasilan mewujudkan sejarah baru dalam mengatur kehidupan sosial, ekonomi, budaya dan politik masyarakat Aceh di masa depan. Bagaimanakah wujud keberhasilan itu saat ini bisa kita pahami? Buku kecil ini adalah sebuah rekaman yang mencatat beragam momentum yang mencoba memberikan jawaban dengan menelusuri ke belakang sepanjang satu dekade dalam sejarah Aceh untuk mendapatkan jejak-jejak kehidupan politik di Aceh sekarang ini. Upaya penelusuran ini tak terhindarkan juga membawa serangkaian pertanyaan lanjutan: Apa hal baru yang muncul dalam pengalaman konflik berkepanjangan di Aceh? Bagaimana unsur ‘kebaruan’ itu muncul dan bagaimana ia membentuk kehidupan sosial, politik, ekonomi dan
Prolog Menuju Aceh Baru
budaya Aceh kontemporer? Siapakah yang terlibat dalam proses kebaruan yang terjadi? Apa yang mereka pikirkan? Dan apa mereka sumbangkan dalam lingkup kehidupan masyarakat Aceh, nasional Indonesia maupun di luar Indonesia? Menjawab pertanyaan tersebut, buku kecil ini mengarahkan perhatiannya pada proses pembentukan kekuatan penting yang terus membentuk ‘kebaruan’ hingga sekarang ini: generasi muda Aceh —para mahasiswa dan kaum intelektual kampus serta kalangan santri dayah—yang menjalankan kiprah penting mereka sejak bergulirnya reformasi politik di Indonesia pada bulan Mei 1998. Secara sosiologis, asal-usul mereka dapat ditelusuri dalam kehidupan kampus-kampus dan dayah-dayah (pesantren) di Aceh memasuki paruh terakhir dekade 1990an. Dalam situasi politik yang menyebabkan setiap pihak harus memilih antara mendukung pemerintahan pusat Jakarta —diwakili oleh kalangan teknokrat yang dibentuk sejak dekade akhir 1970an—atau
| 3
4 | Menuju Aceh Baru Prolog
mendukung perlawanan yang dilakukan Gerakan Aceh Merdeka (GAM), maka peran yang dimainkan generasi muda Aceh pada dekade akhir 1990an berhasil memecah kebuntuan tersebut. Dibanding terjepit antara wacana mendukung kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan wacana kemerdekaan yang disuarakan oleh GAM, generasi baru terdidik ini menghidupkan wacana-wacana baru dalam masyarakat mereka, seperti penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM), demokrasi dalam pelaksanaan sistem politik, pemerintahan yang bebas dari korupsi dan pemberdayaan masyarakat (terutama kaum perempuan). Di sinilah ruang kebaruan terbentuk dan terus dibentuk. Apabila dalam periode-periode sebelumnya operasi-operasi militer yang dilakukan oleh pasukan TNI mendapatkan legitimasi kuat melalui doktrin mempertahankan kedaulatan NKRI —yang dengan demikian dapat menjadi alasan mengabaikan kenyataan jatuhnya korban tewas di kalangan penduduk sipil dan kekerasan terhadap perempuan—maka wacana baru HAM di Aceh bagaimanapun telah menjadi batu sandungan atas tindakan sewenang-wenang beragam operasi militer yang terjadi. Adalah berkat aksi dan pemikiran dari kelompok seperti ini —dan bukan GAM—maka
Prolog Menuju Aceh Baru
korban-korban di kalangan penduduk sipil Aceh dapat mengadukan persoalan mereka, untuk sekaligus ‘bersuara’. Sebutan bagi generasi ini —dan dengan cara demikian mereka mengidentifikasikan diri—adalah kelompok masyarakat sipil Aceh. Penggunaan istilah tersebut dalam bahasa akademis memang bermasalah. Tetapi bukan dalam cara seperti ini kita dapat memahami penyebutan istilah tersebut. Penamaan itu adalah sebuah istilah yang muncul dalam situasi yang mereka alami. Ia bukan sebuah konsep kering yang lahir belakangan —dan sekaligus berjarak dari situasi—sebagai bahan konsumsi kalangan akademisi untuk diperdebatkan kesahihannya. Adalah melalui penamaan tersebut mereka keluar dari jepitan pertentangan antara konsep kedaulatan NKRI dan kemerdekaan nasional Aceh yang melahirkan peperangan berkepanjangan. Dan adalah melalui penamaan tersebut mereka dapat membangun jalinan hubungan dengan gerakan-gerakan —yang dapat mendukung harapan dan cita-cita mereka—yang terjadi di Indonesia dan sekaligus luar Indonesia. Meskipun pada awalnya buku ini ditujukan untuk mencari ‘rangkaian pembelajaran’ dari Tifa Foundation —sejak keterlibatannya pada awal tahun 2002 sampai tahun 2008 dalam mendukung tercapaiannya perdamaian di Aceh—buku kecil ini pada akhirnya lebih menjadi sebuah cerita mengenai aksi dan pikiran kelompok masyarakat sipil di Aceh dan sumbangannya terhadap ‘kebaruan’ masyarakat Aceh sekarang. Keseluruhan uraiannya dengan demikian bukan lagi menceritakan tentang ‘intervensi-intervensi’ sebuah lembaga donor terhadap problem konflik di Aceh dan ‘keberhasilan-keberhasilannya’ sesuai dengan indikator pencapaian yang telah ditetapkan, tetapi lebih merupakan sebuah cerita tentang apa yang bergerak di Aceh dan situasi yang melahirkannya. Dalam semangat seperti inilah buku kecil ini diharap dapat memberikan pandangan mengenai kondisi Aceh kontemporer dan harapan-harapan —yang tidak pernah final sifatnya—tentang Aceh Baru di masa depan n
| 5
| 7
Perang, Pelanggaran HAM, dan Masyarakat Sipil Aceh
B
ACEH MUNCUL menjadi sebuah kekuatan baru yang menggeser konfigurasi konflik —yang sebelumnya terbungkus dalam isu separatisme dan mempertahankan kedaulatan negara—menjadi sebuah masalah berkait dengan pelanggaran HAM di Aceh? Dalam momentum seperti apakah kiprah mereka terwujud? Sebagian besar kepustakaan tentang Aceh saat ini telah menyinggung tentang bencana gelombang Tsunami pada bulan Desember 2004 sebagai titik tolak kemajuan yang tercapai di Aceh saat ini. Dalam beberapa segi, pandangan ini tidak dapat disalahkan. Suasana yang tercipta setelah bencana Tsunami menjadi dasar perhatian besar dunia internasional terhadap situasi di Aceh, dan juga ‘mempercepat’ kesediaan berunding antara pemerintah RI dan perwakilan GAM untuk menciptakan perdamaian di Aceh melalui kesepakatan Helsinki pada tanggal 15 Agustus 2005. Dan sumber daya yang mengalir ke Aceh, dalam bentuk dana bantuan dan beragam proyek pembangunan infrastruktur, memang terbukti menjadi dasar pertumbuhan luar biasa kelompok masyarakat sipil di Aceh —diwakili dalam bentuk AGAIMANAKAH KELOMPOK MASYARAKAT SIPIL DI
8 | Menuju Aceh Baru Perang, HAM, dan Masyarakat Sipil
organisasi-organisasi Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM)—yang tumbuh marak dalam periode ini. Namun, dengan memperhatikan bentuk aspirasi dan karakter mereka yang terlibat aktif dalam dinamika politik kontemporer Aceh, nampaknya kita perlu menarik satu dekade ke belakang untuk mendapatkan keutuhan mengenai sosok mereka saat ini. Momentum itu muncul dalam sebuah peristiwa yang menurut seorang sejarawan Aceh, Sulaiman Isa, disebut sebagai ‘pembangkangan sipil’, yang merujuk pada peristiwa ketika ribuan rakyat Aceh turun ke jalan pada tanggal 8 November 1999 dalam peristiwa Sidang Umum Masyarakat Pendukung Referendum (SU MPR), atau Pawai Referendum. Sulaiman menggambarkan bagaimana suasana yang terjadi dengan menuturkan: Puncak aksi mobilisasi massa untuk Pawai Referendum berlangsung di pekarangan Mesjid Raya Baiturrahman ... Pawai yang dihadiri dua ratusan ribu orang itu dikoordinir Presidium SIRA yang Panitiannya dipegang oleh Fashal Ridha. Upacara yang berlangsung dari jam 09.00 - 12.45 itu diisi dengan pidato dalam bahasa Aceh oleh M. Nazar, Koordinator SIRA, Tgk. H. Bulqani, Rabithah Taliban Aceh, Tgk. H. Nururuzzahiri Yahya, HUDA, Cut Nur Asikin, SPURA (Solidaritas Perempuan untuk Referendum Aceh), Farji M. Kasem, Mahasiswa, dan Drs. M Nasir Jamil, Pejabat Ketua DPRD I Aceh. ... Puncak dari upacara itu adalah pembukaan selubung billboard Referendum yang terbuat dari besi dan penaikan bendera putih bertuliskan Referendum.1
Uraian Sulaiman di sini memberikan gambaran yang cukup jelas tentang bagaimana unsur-unsur baru dalam masyarakat Aceh saat itu muncul ke permukaan melalui momentum Pawai Referendum sebagai awal ‘pembangkangan sipil’ di Aceh. Di sni kita mendapatkan awal perkembangan organisasi-organisasi seperti SIRA, HUDA, Rabithah
1.
Dr. M. Isa Sulaiman. Aceh Merdeka. Ideologi, Kepemimpinan dan Gerakan. Pustaka Al Kautsar, Jakarta. 2000. Hal. 141-14.
Perang, HAM, dan Masyarakat Sipil Menuju Aceh Baru
| 9
Taliban Aceh, SPURA dan juga aktivis mahasiswa yang dalam periode sekarang menjadi bagian penting dinamika politik lokal di Aceh, sekaligus membentuk unsur kebaruan masyarakat Aceh. Dan dalam kaitan ini pula kita mendapatkan sebuah titik tolak menguatnya wacana HAM sebagai sebuah bahasa politik yang semakin populer, baik di tingkat lokal maupun nasional, menggantikan jargon-jargon kemerdekaan, separatisme, kedaulatan negara yang merupakan istilah yang lekat dengan sejarah konflik sebelumnya antara pemerintah RI dan GAM. Menguatnya wacana HAM dalam berbicara tentang masalah Aceh bagaimanapun bukan tanpa landasan yang kuat. Sejak propinsi Nangroe Aceh Darussalam ditetapkan sebagai Daerah Operasi Militer (DOM) pada tahun 1989, wilayah itu telah menjadi ajang segala tindakan yang masuk dalam kategori pelanggaran HAM berat di Indonesia. Dalam perhitungan konservatif yang dikeluarkan secara resmi oleh pemerintah daerah Aceh, dinyatakan bahwa sekitar 871 orang tewas dibunuh dalam operasi-operasi militer TNI, 378 disebutkan hilang [dan kemudian tewas], serta 500 lainnya masih dalam status orang hilang. Perhitungan lain dalam penelitian independen menyebutkan bahwa sepanjang periode konflik (1976 - 2002), yang melibatkan di dalamnya 11 kali operasi militer yang dijalankan TNI, total korban yang tewas mencapai 12.000 orang. Rinciannya adalah 1.000 orang tewas sepanjang pelaksanaan DOM (1989-1992) dan 4500 dalam periode pelaksanaan darurat militer (1999-2002). Sisanya, sekitar 6.500 tewas sepanjang periode tujuh tahun konflik (1992-1999).2 Angka-angka belum termasuk mereka yang mengalami penyiksaan, pemerkosaan dan penahanan sewenang-wenang di kamp-kamp militer sepanjang periode pelaksanaan DOM. Kaum perempuan dan anak-anak adalah korban terbesar dalam sejarah konflik yang terjadi. Pada bulan Juli 1998, LSM-LSM Aceh melaporkan kepada tim pencari fakta dari DPR-RI tentang 600 perempuan Aceh yang telah diperkosa 2.
Tamara Rhenee Shie. “Disarming for Peace and Development for Aceh�, Unpublished Paper, December 2004. Hal. 17 & Laporan Monitoring Aceh Judicial Monitoring Institute (AJMI).
10 | Menuju Aceh Baru Perang, HAM, dan Masyarakat Sipil
oknum-oknum militer Indonesia selama tujuh tahun ke belakang selama pelaksanaan DOM. Penyelidikan Komnas HAM juga menyebutkan bahwa antara tahun 1989-1998, terdapat 3000 perempuan Aceh yang menjadi janda. Tidak mengherankan bila secara statistik, jumlah perempuan sebagai kepala keluarga di Aceh mencapai angka 12,3% melebihi angka rata-rata nasional Indonesia sebesar 8,3%. Perang yang berkepanjangan juga memberikan andil dalam keterbelakangan kemajuan sosial dan ekonomi Aceh. Dalam skala nasional, Aceh bukanlah wilayah miskin. Propinsi itu menempati posisi kelima dari segi segi kekayaan alam yang terkandung seperti minyak, gas alam, kayu dan
Darurat Militer dan Hancurnya Ruang Keadilan Pemberlakuan darurat militer menjadi landasan memudarnya tatanan hukum dan keadilan di Aceh. Penangkapan sewenang-wenang, penyiksaan dan hilangnya ruang keadilan menjadi bagian dalam sejarah ini. Lebih lanjut, seperti dilaporkan Aceh Judicial Monitoring Institute (AJMI), bentuk pelanggaran yang terkait dengan masalah ini adalah pengabaian hak tertuduh untuk didampingi penasehat hukum, intimidasi terhadap tertuduh dari aparat penyidik, dan tidak hadirnya saksisaksi dalam proses peradilan, dan pengadilan kilat atas tertuduh. Kenyataan seperti inilah-atau dalam istilah umum disebut sebagai unfair trial-yang menjadi ciri dari catatan sejarah pelaksanaan darurat militer di Aceh. AJMI mencatat bahwa sepanjang periode pemberlakuan darurat militer, sekitar 1242 telah ditangkap dengan tuduhan melakukan makar.
Sumber: Aceh Judicial Monitoring Institute (AJMI)
Perang, HAM, dan Masyarakat Sipil Menuju Aceh Baru
| 11
lahan pertanian dan perkebunan di antara propinsi-propinsi kaya lainnya di Indonesia. Seperlima dari jumlah ekspor minyak dan gas alam Indonesia juga keluar dari kandungan minyak dan gas alam di bumi Aceh yang bernilai sekitar US$ 1,3 Milyar.3 Ironisnya, angka statistik tahun 1999-2000 menyebutkan sekitar 10,15 % penduduk kota dan 16,30% penduduk desa hidup di bawah garis kemiskinan nasional Indonesia.4 Dalam konteks seperti ini maka wacana dan aksi kelompok masyarakat sipil Aceh mulai mendapatkan bentuk yang semakin kokoh dalam membuka dan mengisi ruang politik baru di wilayah itu. Melalui beragam investigasi, hasil pengaduan korban pelanggaran dan kemudian advokasi isu tersebut, kelompok masyarakat sipil Aceh menjadi juru bicara gigih untuk menarik perhatian publik nasional dan internasional tentang apa yang ‘sesungguhnya’ terjadi di balik serangkaian operasi militer pasukan TNI di Aceh. Momentum ‘pembangkangan sipil’ dengan demikian adalah dasar penting menguatnya peran kelompok masyarakat sipil dalam koridor sosial dan politik di Aceh sejak akhir tahun 1999. Seiring dengan beragam kebijakan yang lahir berkait dengan permasalahan Aceh dalam agenda politik nasional Indonesia pasca pembangkangan sipil di Aceh, terdapat sebuah rentang waktu yang memungkinkan pertumbuhan cepat kelompok masyarakat sipil di Aceh, khususnya sejak pemberlakuan Jeda Kemanusiaan di bawah Presiden Abdurrahman Wahid pada bulan Oktober 1999, dan penandatanganan kesepakatan penghentian permusuhan antara pasukan TNI dan GAM (Cessation of Hostilities Agreement, COHA) di Jenewa pada tanggal 9 Desember 2002. Tetapi, ruang gerak yang terbuka ini tidak berlangsung lama dengan lahirnya kebijakan baru di bawah Presiden Megawati
3.
4.
World Bank, “Promoting Peaceful Development in Aceh: An Informal Background Paper Prepared for the Preparatory Conference on Peace and Reconstruction in Aceh,” 3 December 2002. Lenard Milich, “Civil Society Breakdown: Food Security in the ‘New’ Indonesia,” Development 44, 4 (2001), p. 96.
12 | Menuju Aceh Baru Perang, HAM, dan Masyarakat Sipil
Soekarnoputri dengan pemberlakuan status Darurat Militer di Aceh pada tanggal 9 Mei 2003, dan menjadi Darurat Sipil memasuki tahun 2004. Sepanjang dua periode darurat ini, lembaga-lembaga hak asasi manusia di Aceh melaporkan bahwa dtemukan 290 kasus pelanggaran HAM yang meliputi 26 penduduk sipil tewas, 5 luka tembak, 90 kasus penangkapan sewenang-sewenang dan penculikan, 96 kasus penyiksaan, 6 kasus pelecehan seksual, dan 12 kasus perampasan harta benda penduduk sipil. Dalam proses seperti ini —meskipun mendapat tekanan besar sepanjang periode darurat militer dan sipil—kelompok masyarakat sipil di Aceh semakin mengukuhkan peran mereka. Beberapa hal ditunjukkan seperti melalui pembentukan sebuah komite yang menjadi
Perang, HAM, dan Masyarakat Sipil Menuju Aceh Baru
| 13
payung bagi kelompok masyarakat sipil mengupayakan proses perdamaian di Aceh melalui Support Committee for Human Rights in Aceh (SCHRA) tidak lama setelah Pawai Referendum berlangsung. Organisasi ini kemudian berperan sebagai jembatan komunikasi dan kampanye masalah-masalah pelanggaran HAM di Aceh di tingkat internasional, yang di dalamnya terdapat pula organisasi-organisasi LSM yang berbasis di Asia, Amerika, Eropa dan Australia. Pembentukan organisasi ini adalah respon terhadap upaya pemerintah baru Indonesia di bawah presiden Abdurrahman Wahid yang menggulirkan Jeda Kemanusiaan dan penghentian permusuhan di Aceh (Cessation of Hostilities Agreement, COHA) seiring dengan proses demokratisasi yang terjadi di Indonesia n
| 15
Gerakan Masyarakat Sipil dan Perdamaian Berkelanjutan di Aceh
D
ALAM BAGIAN TERDAHULU TELAH DISEBUTKAN TENTANG BAGAIMANA
kaitan kiprah kelompok masyarakat sipil di Aceh berhadapan dengan situasi perang berkepanjangan. Selanjutnya kita akan melihat langkahlangkah apa yang telah dilakukan kelompok masyarakat sipil di Aceh setelah mereka muncul menjadi kekuatan penting di luar institusiinstitusi yang ada setelah lahirnya tuntutan referendum di Aceh.
MEMBONGKAR KETERTUTUPAN Ketertutupan adalah cara efektif bagi militer Indonesia untuk mempermudah segala tindakan mereka dalam memerangi GAM—termasuk segala tindakan seperti teror, penculikan, pembunuhan sewenangwenang, pelecehan seksual terhadap kaum perempuan dan lainnya. Tindakan ini lebih tegas diwujudkan dalam kebijakan Presiden Megawati Sukarnoputri yang mengeluarkan aturan No. 43/2003 pada 16 Juni 2003 yang berisi ‘pengaturan’ terhadap kegiatan warga negara asing, lembaga swadaya masyarakat dan jurnalis di Aceh. Di sini terlihat
16 | Menuju Aceh Baru Masyarakat Sipil dan Perdamaian Berkelanjutan
Agenda Kerja Membongkar Ketertutupan Rangkaian kegiatan yang dilakukan dalam agenda kerja ini meliputi konsolidasi organisasi-organisasi masyarakat sipil di Aceh yang dilakukan oleh Acehnese Civil Society Task Force (ACSTF) pada tahun 2002, pembentukan jaringan kerja yang menghubungkan aktivis-aktivis perdamaian Aceh dengan kalangan jurnalis dalam upaya memperluas diseminasi masalah konflik Aceh (dilakukan oleh Voice of Human Rights, VHR), serangkaian kegiatan advokasi dan kampanye tingkat nasional dan internasional melalui berbagai aktivitas dan medium, seperti konferensi internasional mengenai masalah Aceh di Kuala Lumpur (2002); kampanye dan roadshow di kampus-kampus dan ruang publik di Jakarta yang melibatkan beberapa organisasi seperti Institut Ungu, Aliansi Sipil untuk Perdamaian Aceh; dan kegiatan-kegiatan seni-budaya yang diharapkan dapat memancing perhatian publik tentang masalah yang Aceh sepanjang periode 20022004. Satu agenda tambahan yang penting dalam membongkar ketertutupan ini adalah pembentukan kantor penghubung bantuan hukum di Jakarta yang menghubungkan aktivisi-aktivis HAM di Aceh dengan organisasi-organisasi bantuan hukum di Jakarta seperti PBHI dan lainnya.
bagaimana pemerintah Indonesia secara sistematis selalu mencoba menjadikan Aceh dalam selubung ketertutupan dari perhatian masyarakat Indonesia dan dunia internasional. Dalam kaitan ini inisiatif membuka ketertutupan di Aceh terhadap pandangan publik di Indonesia dan dunia internasional menjadi sebuah langkah yang strategis. Rangkaian kegiatan yang dilakukan organisasi masyarakat sipil di Aceh atas dukungan Yayasan Tifa merentang sejak dimulainya kesepakatan damai yang gagal pada 2002 sampai dengan pemberlakuan darurat militer dan darurat sipil di Aceh sampai tahun 2004.
PEMBELAAN DAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT Bagaimanapun, upaya membongkar ketertutupan masyarakat Aceh dari dunia luar tidak akan cukup tanpa adanya dukungan kekuatan di
Masyarakat Sipil dan Perdamaian Berkelanjutan Menuju Aceh Baru
| 17
dalam masyarakat Aceh dalam memperjuangkan keadilan dan peningkatan martabat kemanusiaan mereka. Sejak tahun 2003, Yayasan Tifa mendukung inisiatif pembentukan Pos Bantuan HAM di Aceh yang pada awalnya bergerak di wilayah Aceh Timur yang pada saat itu menjadi pusat kekerasan dan konflik. Tugas utama dari PB HAM ini adalah membantu masyarakat yang mengalami tindak kekerasan, dan pelanggaran HAM untuk memperoleh bantuan pendampingan dan pembelaan hukum dengan cepat dan mudah serta perawatan medis dan konseling. Selain itu PB HAM juga berfungsi dalam mengumpulkan data-data tindak kekerarasan dan pelanggaran HAM. Pada umumnya kegiatannya mencakup kegiatan litigasi dan nonlitigasi untuk kasuskasus kekerasan dengan cakupan wilayah kerja di yaitu Kabupaten Aceh Timur dan Kabupaten Tamiang. Tidak kalah penting adalah upaya membentuk jaringan sukarelawan pemantau HAM dari kalangan
Pembangunan Kantor Penghubung Aceh di Jakarta Dalam kerangka mendukung proses perdamaian dan penegakan HAM di Aceh pada tahun 2003 Yayasan Tifa mendukung salah satu organisasi yang bergerak untuk isu hak asasi manusia di level nasional, Imparsial, untuk membentuk kantor penghubung Aceh di Jakarta. Dalam hal ini Imparsial bekerja sama dengan ALORAC (Aliansi Ornop Aceh). Kantor ini bertujuan salah satunya untuk mendukung kampanye dan advokasi Aceh di Jakarta dalam hak ketersediaan data awal terhadap situasi keamanan di Aceh. Beberapa kegiatan utamanya adalah pengumpulan data dan informasi, diplomat briefing, road show ke pemerintah, pembuatan briefing paper, dan konferensi pers. Inisiatif ini kemudian bergulir menjadi pembentukan Aceh Working Group. AWG yang di masa depan menjadi wadah untuk advokasi kasus pelanggaran HAM di Aceh di level nasional beranggotakan beberapa organisasi HAM di Jakarta dan Aceh yang peduli pada persoalan pelanggaran HAM di Aceh, yaitu Imparsial, Kontras, Elsam, HRWG, AJMI, Koalisi NGO HAM.
18 | Menuju Aceh Baru Masyarakat Sipil dan Perdamaian Berkelanjutan
warga. Pekerjaan ini dilakukan PB HAM dengan bekerja sama dengan institusi pemerintahan lokal untuk mendorong langkah-langkah kongkrit menghentikan kekerasan dan pelanggaran HAM terhadap warga masyarakat.
PEMANTAUAN PELANGGARAN HAM DAN PROSES PERADILAN DI ACEH Situasi konflik yang terjadi di Aceh secara langsung telah menyebabkan terabaikannya hak-hak sipil warga-negara. Dan lingkup pelanggaran ini paling menonjol dalam kaitan bagaimana masyarakat mendapatkan keadilan. Dalam kaitan ini, Yayasan Tifa memberikan dukungan kepada Aceh Judicial Monitoring Institute yang melakukan agenda monitor-
Masyarakat Sipil dan Perdamaian Berkelanjutan Menuju Aceh Baru
| 19
Unfair Trial di Aceh Pekerjaan AJMI dalam melakukan monitoring terhadap proses peradilan di Aceh telah memberikan beberapa informasi penting berkaitan dengan ragam bentuk pelanggaran yang terjadi. Pada periode pertama investigasi dan monitoring kasus makar terdapat sejumlah 195 kasus unfair trial di wilayah Aceh Timur, Lhokseumawe, Biereuen, Pidie, Aceh Besar dan Banda Aceh. Untuk monitoring kasus penyiksaan (torture) terdapat 22 korban yang didampingi diantaranya korban peluru nyasar, pemukulan, penembakan penganiayaan, peledakan bom dan penangkapan. Pada periode selanjutnya sampai Agustus 2004 terdapat peningkatan angka unfair trial untuk kasus makar menjadi 213 kasus di wilayah yang sama. Kasus penyiksaan meningkat menjadi 69 kasus. Di sini kita mendapatkan gambaran tentang bagaimana rusaknya tatanan keadilan yang mewarnai periode konflik di Aceh sampai kemudian tercapainya perjanjian damai pada tahun 2005.
ing proses berjalannya sistem keadilan di Aceh. Untuk menjalankan agenda ini ada beberapa hal yang dilakukan oleh AJMI yaitu melakukan pemantauan di tempat penahanan seperti pos TNI dan kepolisian, lembaga pemasyarakatan, dan pusat-pusat pembinaan anggota GAM dan orang-orang yang dituduh GAM. Selain ke tempat penahanan monitoring juga dilakukan di lembaga peradilan. Wilayah pelaksanaan monitoring dan investigasi meliputi Banda Aceh, Jantho (Aceh Besar), Sigli (Pidie), Bireun (Aceh Jeumpa), Lhok Seumawe (Aceh Utara) dan Langsa (Aceh Timur). Alasan pemilihan daerah ini karena di wilayah ini jumlah orang dengan tuduhan makar sangat banyak yang ditangkap dan diadili. Wilayah Aceh Timur, Aceh Utara, Pidie, dan Aceh Besar merupakan daerah dengan tingkat intensitas kekerasan relatif tinggi dibandingkan daerah lain.
20 | Menuju Aceh Baru Masyarakat Sipil dan Perdamaian Berkelanjutan
Titik Rawan Unfair Trial di Aceh 1.
2.
3.
4.
Pengabaian hak tertuduh untuk didampingi penasihat hukum. AJMI menyebutkan hampir 60 persen dari kasuskasus dengan tuduhan makar tidak didampingi penasihat hukum pada proses penyidikan. Bahkan, ada pula yang tidak didampingi di depan persidangan ataupun didampingi tapi tidak melakukan pembelaan yang maksimal. Aparat penegak hukum menekan tertuduh untuk tidak meminta dampingan penasihat hukum. Aparat penengak hukum, Polisi dan Jaksa dengan sengaja menekan para terdakwa makar untuk tidak menggunakan jasa penasihat hukum dalam proses pemeriksaan, penyidikan dan peradilan. Ironisnya, hakim membenarkan tindakan tersebut di depan persidangan. Dan karena tidak didampingi penasihat hukum, maka kerap terjadi intimidasi serta penyiksaan yang dilakukan oleh penyidik (kepolisian) Tidak menghadirkan kesaksian. Jaksa Penuntut Umum (JPU) jarang menghadirkan saksi-saksi yang berkaitan dengan kasus tuduhan makar. Alasan yang dipakai adalah saksi tidak berada di tempat atau tidak diketahui keberadaannya. Umumnya keterangan saksi dibacakan dalam persidangan. Tindakan ini sangat merugikan terdakwa, karena terdakwa tidak bisa secara langsung mendapat keterangan yang berkaitan dengan tuduhan kepadanya. Kalaupun dihadirkan, pihak kepolisian memilih saksi yang hanya untuk memastikan bahwa tersangka memang anggota GAM. Terjadinya pengadilan kilat. Pengadilan sejenis ini dilakukan dengan alasan efektivitas waktu. Kerap persidangan hanya dilakukan tiga kali, kemudian langsung diputuskan hukuman. Bahkan, pernah putusan hakim diambil dalam satu kali sidang. Proses peradilan sama sekali tidak mengikuti aturan perundang-undangan. Dalam KUHAP, suatu proses persidangan paling tidak memenuhi 10 (sepuluh) tahapan mulai dari penuntutan sampai pada vonis. Dan praktek ini dirasa sangat merugikan terdakwa, padahal dalam aturan hukum ada hak-hak yang bisa dipergunakan oleh tersangka dan hak ini dilindungi hukum.
Masyarakat Sipil dan Perdamaian Berkelanjutan Menuju Aceh Baru
| 21
PENGEMBANGAN SISTEM INFORMASI PELANGGARAN HAM DI ACEH Tersedianya informasi yang akurat dan dapat dipercaya adalah unsur penting dalam menjalankan agenda-agenda kerja masyarakat sipil di Aceh dalam memperjuangkan perdamaian dan penegakan HAM di Aceh. Dalam kaitan ini, Yayasan Tifa telah mendukung Aceh Support Group (ASG) untuk melakukan investigasi dan verifikasi terhadap informasi-informasi berkait dengan kasus-kasus pelanggaran HAM yang terjadi sepanjang periode darurat militer dan sipil. Temuan ASG menunjukkan bahwa pada masa 100 hari pemberlakukan darurat sipil ditemukan 290 kasus pelanggaran HAM yang meliputi 26 orang tewas, 5 luka tembak, 90 orang ditangkap atau diculik, 96 penyiksaan, 6 pelecehan seksual, dan 12 mengalami perampasan harta benda. Menurut ASG data ini masih membutuhkan verifikasi khusunya oleh Komnas HAM mengingat relawan ASG mengalami kesulitan di lapangan karena ketatnya pengawasan militer dan milisi n
| 23
Membangun Keadilan Transisional di Aceh
P
15 AGUSTUS 2005, PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA dan wakil GAM menandatangani kesepakatan damai di Helsinki. Ini adalah era baru bagi kekuatan masyarakat sipil di Aceh dalam menjalankan inisiatif-inisiatif mereka. Dalam periode ini, kiprah mereka dilakukan dalam ruang yang lebih terbuka dan demokratis sesuai dengan semangat yang tercantum dalam butir-butir perjanjian Helsinki. Bagaimanapun, bukan tidak terdapat masalah dalam kaitan ini. Sisasisa prasangka lama, ketidakjelasan dalam menjalankan agenda perdamaian dan bentuk-bentuk baru yang diharapkan dapat membangun Aceh Baru bergulir dalam era ini. Titik beratnya adalah proses pelembagaan pranata-pranata baru yang diharapkan dapat menjadi tonggak pendukung bagi tercapainya cita-cita Aceh Baru yang demokratis, adil dan sejahtera. Sepanjang periode 2005-2007, Yayasan Tifa telah melakukan serangkaian inisiatif dengan kelompok masyarakat sipil di Aceh dalam upaya membangun lembaga-lembaga baru yang sesuai dengan semangat perdamaian dan pembangunan berkelanjutan di Aceh. ADA TANGGAL
24 | Menuju Aceh Baru Membangun Keadilan Transisional
REFORMASI HUKUM Upaya reformasi bidang hukum dilakukan Yayasan Tifa dengan AJMI dalam bentuk pemantauan sistem peradilan di Aceh pasca penandatanganan perjanjian damai. Tujuan utamanya adalah membangun sebuah kerangka dasar pengetahuan apakah sudah berjalan sesuai dengan semestinya dan berorientasi pada perlindungan hak-hak warga, dan kemudian bagaimana sistem itu dijalankan. Selanjutnya inisiatif
Membangun Keadilan Transisional Menuju Aceh Baru
| 25
berkait dengan reformasi bidang hukum ini adalah pengembangan wacana membangun pranata adat yang memungkinkan terciptanya mekanisme hukum baru yang dapat memberikan keadilan bagi masyarakat. Dan terakhir adalah memperluas akses keadilan bagi masyarakat pencari keadilan yang seringkali terbentur oleh mahalnya biaya perkara dan mekanisme peradilan yang panjang dan bertele-tele. Inisiatif yang berhasil digulirkan dalam kaitan ini adalah proses
26 | Menuju Aceh Baru Membangun Keadilan Transisional
pemantauan pengadilan di Aceh setelah periode damai. Aspek pentingnya adalah berkait dengan pelaksanaan syariat Isla di Aceh sesuai dengan Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Aceh. Setelah itu dikeluarkan Qanun Nomor 5 Tahun 2000 tentang Pelaksanaan Syariat Islam, yang pada akhirnya mengubah ketentuan hukum yang berlaku di Aceh. AJMI melakukan pemantauan dan verifikasi data mahkamah syariah dilakukan atas empat qanun syariat Islam yang meliputi qanun tentang aqidah, ibadah, dan syiar Islam, khalwat, maisir, dan khamar. Jangkauan wilayahnya adalah Banda Aceh, Aceh Besar, Aceh Timur, dan Aceh Utara.
PEMBENTUKAN KOMISI KEBENARAN DAN REKONSILIASI (KKR) Satu bagian penting yang menjadi mandat bagi pelaksanaan perdamai-
Penerbitan Buku
Menengok Sikap Intelektual Aceh Sejarah Aceh dari masa kolonial sampai global ini adalah perjuangan melawan kekuasaan yang tiran. Kini, perdamaian telah datang lewat MoU Helsinki. Namun perjalanan Aceh menuju perdamaian tidaklah mudah. Empat buah buku yang ditulis Otto Syamsudin Ishak: Dari Maaf ke Panik Aceh 1, Dari Maaf ke Panik Aceh 2, Dari Maaf ke Panik Aceh 3, dan Percakapan dengan Aceh, yang diterbitkan oleh Yayasan Tifa, bekerjasama dengan LSPP merupakan informasi sejarah yang penting, menangkap penggalan perjalanan Aceh menuju perdamaian. Ditulis oleh penulis yang hidup dekat dengan peristiwa, buku ini menghadirkan sikap seorang intelektual Aceh, melihat kondisi Aceh pada kurun waktu 2002-2005. Dari sini kita bisa membaca bagaimana kepentingan bisnis global dan kepentingan politik nasional bisa saling bahu membahu melawan kepentingan rakyat Aceh. Dan bagaimana sikap kosmopolitan: sikap dan cara pikir terbuka dan mau melibatkan pihak lain untuk mencari jalan keluar dari masalah, menjadi pendorong perdamaian di Aceh, melawan sempitnya pemikiran kaum domestik yang menutup rapat semua persoalan, dan menawarkan kekerasan sebagai jalan.
Membangun Keadilan Transisional Menuju Aceh Baru
an di Aceh adalah pembentukan lembaga Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Dalam kaitan ini, organisasi-organisasi masyarakat sipil di Aceh telah mencoba memberikan alternatif kepada pemerintahan yang baru terbentuk di Aceh tentang bagaimana seharusnya mekanisme keadilan transisional itu dilakukan, dan termasuk proses pelembagaannya. Pada tahap pertama, masyarakat sipil di Aceh telah memberikan
| 27
Pengembangan HURIDOCS Sebagai bagian dari membangun tatanan baru dalam proses transisional, Yayasan Tifa mendukung pembentukan sistem informasi pelanggaran HAM di Aceh sesuai standar baku HURIDOCS. Dalam hal ini Yayasan Tifa memberikan asistensi teknis dan in house training untuk staf dokumentasi Koalisi NGO HAM agar bisa melakukan pendataan yang baik terhadap kasus-kasus yang terjadi. Sampai saat ini Koalisi NGO HAM berhasil mengumpulkan sekitar 5.000 kasus pelanggaran HAM, 1.200 di antaranya telah diverifikasi dan secara terus menerus diperbarui dan disempurnakan. Saat ini Koalisi NGO HAM sedang memfokuskan pendataan pada masa darurat sipil.
Media, Seni dan Budaya dan Perubahan Selain memanfaatkan peran ulama sebagai corong ke masyarakat bawah, Yayasan Tifa juga mendorong komunitas budayawan Aceh untuk mempromosikan KKR ke akar rumput dengan menggunakan medium budaya. Untuk itu Yayasan Tifa mendorong Komunitas Tikar Pandan pada semester kedua 2007 mensosialisasikan KKR melalui diskusi, pemutaran film, pameran seni dan budaya, serta festival rakyat berjudul “Suara dari Tubuh Korban�, diadakan di Banda Aceh dan dihadiri oleh ribuan masyarakat. Festival ini menampilkan terstimoni dan art perfomance dari korban-korban pelanggaran HAM di Aceh. Sejalan dengan itu, di level nasional Yayasan Tifa mendukung KONTRAS melakukan kampanye kesadaran publik tentang persoalan Aceh dengan memanfaatkan media massa, baik cetak maupun elektronik nasional. Tema tentang KKR disebarkan di majalah berita nasional TEMPO dan melalui serangkaian diskusi di radio 68H. Tak hanya itu sosialisasi KKR juga dilakukan melalui penerbitan buku dan paket informasi bilingual tentang KKR Aceh.
28 | Menuju Aceh Baru Membangun Keadilan Transisional
Penguatan Organisasi Korban Pelanggaran HAM untuk Perdamaian yang Berkelanjutan Sebagai bagian dalam upaya membangun tatanan baru pasca-konflik, agenda penguatan masyarakat tetap menjadi prioritas penting bagi kalangan masyarakat sipil di Aceh. Dalam kaitan ini, Yayasan Tifa telah memberikan dukungan bagi Koalisi NGO HAM Aceh yang sepanjang tahun 2006-2008untuk mendorong upaya-upaya pengungkapan kebenaran seperti yang dimandatkan dalam MoU Helsinki yaitu terbentuknya Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi dan Pengadilan HAM. Untuk mendukung terwujudnya pengungkapan kebenaran di Aceh Koalisi NGO HAM melakukan serangkaian kegiatan yaitu penguatan organisasi korban dan kampanye tentang pelanggaran HAM di Aceh agar masyarakat tidak lupa akan peristiwa kelam yang pernah terjadi di Aceh dan harus diketahui mengapa dan siapa pelakunya. Penguatan organisasi korban dilakukan di sepuluh wilayah di Aceh yaitu Pidie, Aceh Utara, Aceh Timur, Bireun, Aceh Tengah, Aceh Besar, Nagan Raya Aceh Barat, Aceh Barat Daya, dan Aceh Selatan. Hasil agenda kerja ini adalah terbentuknya organisasi korban di 10 kabupaten/kota di NAD dan terbentuknya organisasi korban seAceh yang diberi nama SPKP HAM. SPKP HAM melaksanakan kongres korban, mengumpulkan seluruh korban pelanggaran HAM di Aceh dan melakukan deklarasi pada 23-24 Juli 2007. Dalam kongres ini para korban mendesak perlunya segera pengungkapan kebenaran dan pengadilan atas pelanggaran HAM di Aceh. Inisiatif para korban ini mendapatkan dukungan dari Gubernur NAD yang menyatakan dukungannya pada proses pengungkapan kebenaran di Aceh.
Membangun Keadilan Transisional Menuju Aceh Baru
| 29
seubah draft KKR versi masyarakat yang disusun berdasarkan serangkaian konsultasi publik di berbagai kota di Aceh, melibatkan partisipasi masyarakat dan organisasi-organisasi sosial dan politik di Aceh.
KAUM ULAMA ACEH DAN GERAKAN MASYARAKAT SIPIL ACEH Dalam sejarahnya, Aceh yang sangat kental dengan budaya Islam, menempatkan ulama dalam posisi yang sangat terhormat. Pada zaman kerajaan Aceh Darussalam, peran ulama bukan hanya sekadar berdakwah dan menyebarkan ilmu agama, namun mereka juga memikul tanggung jawab yang berat sebagai penasihat dan pendamping para raja. Mereka merupakan tempai berdiskusi, meminta nasehat dan mengesahkan sesuatu oleh para raja. Tidak heran kalau kejayaan pemerintahan kerajaan di Aceh sangat tergantung kepada kebijaksanaan dan peranan ulama sebagai pendamping raja. Yayasan Tifa memandang bahwa Ulama adalah bagian strategis dalam proses perubahan yang terjadi di Aceh, dan kaitan mereka dengan gerakan masyarakat sipil yang dipelopori oleh kalangan terdidik perkotaan menjadi sangat penting.
Ulama dan Perdamaian Aceh Gagasan ini kemudian dituangkan dalam sebuah agenda konsolidasi elemen masyarakat sipil yang melibatkan peran kaum ulama di Aceh dalam arah perubahan tersebut. Langkah yang dilakukan adalah silaturahmi Ulama Dayah Nangroe Aceh Darussalam pun digelar. Acara ini diselenggarakan Tifa bekerjasam dengan RTA, Rabithah Taliban Aceh, organisasi santri dayah yang ada di Aceh. Berlangsung selama dua hari, 8-9 April 2005, di Kampus Universitas Syah Kuala, Aceh, forum ini merupakan wadah bagi ulama Nangroe Aceh untuk memikirkan, terlibat dan berperan aktif dalam keseluruhan proses pembangun Aceh baru pasca tsunami dan konflik berkepanjangan. Agendanya, selain mengkritisi rancangan cetak biru, juga mendorong upaya perdamaian antara pemerintah RI dan GAM.
30 | Menuju Aceh Baru Membangun Keadilan Transisional
Ulama dan KKR di Aceh Bersama kelompok masyarakat sipil Aceh, Yayasan Tifa telah mendukung inisiatif yang dilakukan Himpunan Ulama Dayah (HUDA) melakukan sosialisasi KKR untuk para ulama. Sosialisasi tahap pertama dilakukan pada bulan September 2007 mengambil momen sebelum Ramadhan. Kebiasaan di Aceh, para ulama akan intensif turun ke masyarakat untuk melakukan ceramah pada bulan Ramadhan, sehingga momen pelatihan yang diadakan sebelumnya dirasa sangat tepat. Hasil dari pelatihan ini adalah adanya ceramah tentang KKR di desa-desa pada bulan Ramadhan dan sepanjang Desember 2007. Upaya ini pada akhirnya mampu meluaskan informasi tentang KKR ke masyarakat di level akar rumput. Berangkat dari keberhasilan sosialisasi putaran pertama, Yayasan Tifa kembali mendukung HUDA pada Desember 2007 untuk melakukan sosialisasi tahap kedua untuk 80 orang ulama jaringan HUDA di 16 kabupaten/kota di Aceh yang belum terjangkau pada pelatihan pertama. Pelatihan ini melibatkan berbagai pembicara dari kalangan LSM di Banda Aceh, Komnas HAM, dan perwakilan dari direktorat jenderal hukum dan HAM.
Membangun Keadilan Transisional Menuju Aceh Baru
| 31
Ulama Aceh kemudian merekomendasikan, agar Presiden RI menjalankan amanat TAP MPR yang berkaitan dengan penyelesaian masalah Aceh secara damai dan bermartabat, termasuk menjalankan UU No 44/99 dan UU No.18/2001 secara konstiten dan konsekuen. MPR, DPD dan DPR RI juga dituntut untuk selalu mengawasi implementasi kedua UU tersebut secara sungguh-sungguh. Disisi lain ulama Aceh meminta agar Bupati/Walikota di NAD melakukan reformasi APBD sehingga lebih berpihak kepada rakyat. Guna mendorong partisipasi yang lebih luas, ulama Aceh menyerukan agar setiap lapisan masyarakat NAD mendukung pembangunan Aceh Baru, dan menghimbau agar pemerintah, baik pusat maupun pemerintah daerah NAD menyusun strategi pembangunan dan pelaksanaannya dengan berdasarkan pada kepentingan umat. Dan tentu saja, pemerintah diharapkan bisa menjadi pemerintah yang berakhlakul karimah, atau, lebih populernya, berpegang pada prinsip-prinsip good governance. Dalam agenda ini, Yayasan Tifa juga mendorong kerjasama antara ulama Aceh dan kelompok masyarakat sipil untuk terlibat dalam proses perdamaian, seperti tertuang dalam pesan perdamaian yang termaktub dalam taushiyah silaturahmi ulama-ulama dayah NAD inilah yang kemudian dibawa ketika Abu Panthon, Ketua Ulama Dayah Aceh, bersama empat ulama lainnya menemui Yusuf Kalla, di Jakarta, dan juga perwakilan GAM di Penang Malaysia. Dan ketika MoU Helsinski ditanda tangani, kerjasama kalangan Ulama dengan kelompok masyarakat sipil berkembang dalam upaya membangun tatanan kelembagaan keadilan transisional melalui pembentukan KKR n
| 33
Good Governance dan Rekonstruksi Aceh Pasca-Konflik
M
HAM ADALAH PERSOALAN YANG paling menonjol sepanjang periode konflik di Aceh, tetapi bagaimana membangun sebuah tatanan pemerintahan yang bersih dan bertanggungjawab telah menjadi perhatian kelompok masyarakat sipil di Aceh sejak periode darurat militer dan darurat sipil. Dalam kaitan ini kemudian lahir serangkaian inisiatif yang bertujuan membangun tatanan pemerintahan yang efisien, bebas korupsi dan bertanggungjawab terhadap publik. ESKIPUN PERSOALAN PELANGGARAN
GERAKAN ANTI-KORUPSI DI ACEH Inisiatif menggulirkan tatanan pemerintahan yang bersih dan bertanggungjawab digulirkan bersama organisasi masyarakat sipil di Aceh dengan titik tolak bahwa status otonomi khusus setelah UU No 18 tahun 2001 membutuhkan partisipasi publik untuk menciptakan tata pemerintahan yang bersih dan transparan, yang memberikan kesempatan luas bagi partisipasi publik. Kebijakan semestinya menciptakan kese-
34 | Menuju Aceh Baru Good Governance dan Rekonstruksi
jahteraan rakyat, terlindunginya hak asasi manusia dan tegaknya hukum yang adil dan tidak memihak. Selama periode 2002 sampai 2004, organisasi masyarakat sipil di Aceh telah memulai melalui kegiatan-kegiatan peningkatan kapasitas masyarakat, monitoring DPRD dan kampanye publik telah dilaksanakan yang tujuannya membersihkan tatanan pemerintahan dari unsur korupsi. Salah satu catatan penting yang dilakukan adalah mengangkat kasus korupsi Gubernur Abdullah Puteh dan juga di DPRD. Kasus-kasus tersebut terangkat ke berbagai media di tingkat lokal dan nasional, memperoleh perhatian dari pejabat-pejabat publik di tingkat nasional yang berkaitan dengan penanganan korupsi dan kinerja pejabat, serta memperoleh tambahan kekuatan dari jaringan aktivis di tingkat nasional. Media coverage sangat meluas secara nasional di media cetak Kompas, Gatra, Tempo, Koran Tempo, Harian Sinar Harapan, Harian
Good Governance dan Rekonstruksi Menuju Aceh Baru
| 35
Suara Pembaharuan, The Jakarta Post, Media Indonsia, Republika dan media elektronik TV-7, Trans TV, RCTI, TPI, SCTV, TVRI, Metro TV. Aktivis SAMAK yakni J Kamal Farza tampil dalam beberapa dialog khusus di TVRI dan METRO-TV. Di tingkat lokal, media seperti Serambi Indonesia dan Waspada, memperoleh materi untuk isu korupsi di DPRD dan Pemerintah Daerah yang publikasinya bermanfaat membangun kekritisan masyarakat. Kamal Farza (Koordinator SAMAK) menjadi figur kuat untuk anti-korupsi, juga beberapa aktivis lain dengan dukungan jaringan WALHI, Koalisi NGO HAM, YASMA, YAB, SORAK, CCDE dan JARI Indonesia. Selain kalangan mahasiswa, sikap anti-korupsi juga muncul dari Forum Komunikasi Guru yang menyoroti anggaran buat guru dalam konteks peningkatan kualitas pendidikan; dan Forum Silaturahmi Mahasiswa Aceh yang mengkritisi kasus bagi-bagi uang
36 | Menuju Aceh Baru Good Governance dan Rekonstruksi
untuk seluruh anggota DPRD. Sikap kritis tersebut terus bergulir, juga dalam bentuk demonstrasi dan protes untuk penolakan utang luar negeri karena kekhawatiran menjadai ladang korupsi baru. Demikian juga terhadap kasus-kasus korupsi dana proyek pemerintah tahun 2002 dan money politic dalam proses suksesi pejabat. Beberapa kasus penting korupsi yang melibatkan Gubernur Abdullah Puteh menjadi pemberitaan di media lokal dan nasional. Tuntutan agar KPKPN (Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara) juga Itjen Depdagri, Kejaksaan Agung, BPK serta BPKP untuk memerika Abdullah Puteh sangat kuat diberitakan. Atas dasar kasus korupsi tersebut SAMAK mengajukan petisi agar Presiden Megawati memberhentikan Abdullah Puteh sebagai Gubernur NAD. Untuk agenda ini, SAMAK menjalin jaringan demgam GERAK Indonesia, Gerakan Rakyat Anti Korupsi yang merupakan gabungan 38 organisasi. Kasuskasus utama yang diungkap adalah politik uang dalam pemilihan Gubernur tahun 2002, korupsi dana APBD tahun 2000-2001 sebesar
Jaringan Pemantauan DPRD Salah satu agenda penting berkait dengan pemberdayaan masyarakat yang melek anggaran adalah serangkaian agenda pemberdayaan bagi masyarakat oleh kelompok masyarakat sipil. Hasil yang tercapai sepanjang periode program mereka mencakup: 1. Pembentukan simpul pemantauan DPRD di tingkat Propinsi Nangroe Aceh Darussalan di Banda Aceh. 2. Komunitas Pemantauan DPRD terbentuk di 6 (enam) kabupaten/ kota (Banda Aceh, Singkil, Simeuleu, Aceh Utara dan Aceh Timur). Masing-masing bertempat di pos di sekretariat SAMAK, beranggotakan aktivis, jurnalis, dan relawan. 3. Hasil pemantauan: Laporan dan matriks monitoring sidang-sidang dan perilaku anggota DPRD.
Good Governance dan Rekonstruksi Menuju Aceh Baru
| 37
19M, penilapan dana kemanusiaan Aceh tahun 2001 sebesar 1,1 triliun, penyimpangan dana pembelian helikopter anti peluru sebesar 12,6 milyar, penyembunyian harta kekayaan Abdullah Puteh di tiga perusahaan, dan sumbangan Pemda kepada lembaga swadaya masyarakat yang dikelola istri Gubernur Linda Poernomo.
PARTISIPASI PUBLIK DAN PEMANTUAN KEBIJAKAN ANGGARAN Terkait sisi negatif korupsi di Aceh yang lebih luas dari sekedar inefisiensi anggaran, bersama organisasi masyarakat di Aceh Yayasan Tifa mengembangkan dua isu penting dalam politik anggaran. Pertama, anggaran Aceh besar tetapi tidak memperbaiki kondisi rakyat. Data menyebutkan ada 1 juta rakyat miskin di Aceh, tetapi dana tersebut sama sekali tidak meningkatkan kualitas hidup baik kesehatan maupun pendidikan. Kedua, tidak ada political will untuk membuat sistem transparansi dalam pengelolaan dana, juga pertanggungjawabannya. Korupsi di jajaran Pemda juga merupakan penyebab konflik di NAD. Apabila anggaran benar-benar sampai kepada masyarakat, maka kehidupan masyarakat akan lebih baik, dan tentunya tindak kekerasan akan bisa diturunkan n
| 39
Perempuan, Perang, dan Perdamaian Berkelanjutan di Aceh
P
ACEH ADALAH KORBAN PERTAMA DARI KONFLIK ANTARA pemerintah Indonesia dan GAM. Dalam upaya mendukung penguatan masyarakat sipil di Aceh, Yayasan Tifa telah menempatkan agenda pelibatan perempuan sebagai bagian penting program dan kegiatannya bersama organisasi-organisasi masyarakat sipil di Aceh. Rentang kegiatan mencakup pendidikan kesadaran gender di dalam masyarakat Aceh, dukungan perluasan akses perempuan dalam politik dan peran perempuan dalam proses perdamaian di Aceh. EREMPUAN
PENGUATAN PEREMPUAN DAN PERAN POLITIK MEREKA Tifa bekerjasama dengan MISPI melakukan pendidikan dan pengorganisasian yang sensitif gender di kelompok-kelompok pengajian perempuan di tiga kabupaten kota: Banda Aceh, Aceh Besar, Pidie dan Sabang. Program ini diselenggarakan pada tahun 2006-2007, dengan durasi program 8 bulan (Agustus 2006-April 2007). Selain pemahaman
40 | Menuju Aceh Baru Judul Bab
mengenai perspektif gender di dalam komunitas pengajian ini, program ini didorong untuk melahirkan tokoh-tokoh perempuan di tingkat komunitas, yang bisa secara aktif memainkan perannya, sekaligus melakukan penguatan kelompok, sehingga kelompok yang didampingi bisa terus mengembangkan diri meski program telah berakhir. MISPI memulai programnya dengan menyusun modul pelatihan. Modul ini dijadikan panduan dalam melakukan pelatihan kepada kelompok pengajian. Modul yang diberi tajuk Mutiara Ilmu ini berisi materi tentang kekerasan dalam rumah tangga dan kesetaraan dengan laki-laki. Selain modul, MISPI juga menyusun sebuah buku saku tentang gender. Yang menarik, materi tentang gender ini ditempelkan dalam buku Yasin, yang selalu dibawa dan dibaca. Dua ribu buku saku yang disebarkan laris manis. Bahkan, saking banyaknya permintaan, MISPI terpaksa mencetak kembali buku saku tersebut. 1.800 buku tersebut disebarkan ke 36 kelompok pengajian, sisanya didistribusikan kepada organisasi mitra plus perpustakaan. Antusiasme kelompok pengajian pun mulai muncul. Terbukti, kelompok pengajian perempuan ini secara swadaya mulai mengorganisir penggajian dan memasukkan bahasan-bahasan yang berspektif gender dalam materi pengajiannya. Di akhir tahun pertama ada 400 perempuan dari kelompok pengajian yang dididik dan didampingi secara intensif. Mereka mendapatkan pengetahuan baru tentang berbagai macam isu, dari mulai kekerasan, kesetaraan, perlindungan anak, sampai fardhu Ain dan kifayah dalam kaitannya dengan nilai perdamaian dalam Islam. Di akhir program paling tidak ada 30 kelompok pengajian yang mulai mendapatkan pemahaman mengenai gender dan Islam. Tifa kembali melanjutkan kerjasamanya dengan MISPI di tahun 2007. Dengan jangka waktu program yang lebih pendek, yaitu hanya 7 bulan (Juni-Desember 2007). Pada tahun kedua ini, program lebih menitikberatkan pada pendampingan kelompok pengajian di lima kecamatan di Kota Banda Aceh dan Aceh besar. Selain itu, guna menjamin keberlangsungan gagasan pasca program berakhir, pada tahun
Judul Bab Menuju Aceh Baru
| 41
kedua, program ini fokus pada upaya mendidik Community Organizer (CO) lokal. Mereka adalah perempuan yang dianggap potensial yang dipilih dari kelompok pengajian di 3 kecamatan di Banda Aceh dan Aceh Besar. Mereka inilah yang akan melanjutkan gagasan di komunitasnya masing-masing. Seiring dengan perkembangan tersebut, kini sudah ada tokoh-tokoh perempuan yang muncul dari kelompok pengajian yang duduk di tuhapeut/tuhadelapan, forum adat yang sangat berpengaruh di tingkat gampong. Proses pemilihan tuhapeut/ tuhadelapan yang dilakukan secara langsung semakin mengukuhkan legitimasi mereka. Dalam arus yang sama, MISPI menjalankan agenda program “Pendidikan Politik bagi Kelompok Pengajian Perempuan�. Program yang dijalankan menjelang Pemilu 2004 ini berdurasi 6 bulan (7 November 2003 - April 2004). Melalui serangkaian ToT Partisipasi Politik Perempuan yang dihasilkan MISPI, tokoh-tokoh dalam kelompok pengajian perempuan didorong untuk memahami tentang esensi Pemilu, dan konsekuensinya bagi perempuan. Materi yang diberikan berkisar antara partisipasi politik perempuan, Pemilu di Indonesia, dan Pengenalan terhadap sistem Pemilu 2004, yang berbeda dengan pemilu sebelumnya. Diharapkan, pemahaman ini bisa ditularkan kepada anggota kelompok pengajian lain, dan bisa berkontribusi pada peningkatan partisipasi perempuan yang lebih besar di dalam politik. Paling tidak, perempuan bisa tampil sebagai pemilih cerdas, dan bisa mendorong lahirnya perempuan pemimpin baru di Aceh. Dari program ini, MISPI mendidik paling tidak 300 perempuan, dari lima kabupaten/ kota: Pidie, Aceh Barat, Banda Aceh, Aceh Besar dan Aceh Singkil. Pelatihan ini disambut antusias, dari hasil evaluasi yang dilakukan MISPI, paling tidak 90% memahami tentang apa yang dimaksud dengan pemilu, dan juga bagaimana partisipasi politik perempuan disalurkan, termasuk pentingnya perempuan tampil dan duduk sebagai pengambil kebijakan atau mempengaruhi pengambil kebijakan. Bahkan para peserta merasa butuh untuk ikut serta dalam pelatihan Pendidikan Politik dan Kepemimpinan Perempuan.
42 | Menuju Aceh Baru Judul Bab
MENDORONG KELOMPOK MASYARAKAT SIPIL YANG SENSITIF GENDER Tifa memandang perlu untuk mendorong kelompok masyarakat sipil yang lebih sensitif gender. Dengan demikian, Tifa berharap, program yang diimplementasikan NGOs memberdayakan, tidak hanya laki-laki, tapi juga perempuan. Untuk mendorong gender mainstreaming di kalangan NGO, Tifa bekerjasama dengan KKTGA (Kelompok Kerja Transformasi Gender Aceh). Program tahun pertama berdurasi 6 bulan (Oktober 2006 - Februari 2007), sedang tahun kedua, berdurasi 8 bulan (Mei-Desember 2007). Tugas pertama KKTGA adalah meningkatkan kapasitas personal aktivis dan pengambil kebijakan di NGO lokal dengan isu kesetaraan gender, termasuk memasyarakatkan issu kesetaraan gender pada pengambil kebijakan dan aktivis NGO lokal di Provinsi NAD. Pada tahun pertama, strategi ini dilakukan dengan menyusun ulang modul pelatihan gender, yang dimiliki oleh KKTGA, yang menjadi panduan dalam melakukan pelatihan gender mainstreaming bagi para aktivis NGO. Hal ini dirasa penting, karena dari need assessment yang dilakukan terlihat bahwa pemahaman tentang konsep gender mainstreaming di dalam organisasi masih sangat lemah. Berbekal modul ini, KKTGA pun melatih 85 orang peserta. Pada tahun kedua, KKTGA menyusun modul lanjutan soal Analisis Gender, plus mendorong organisasi merapikan perangkat organisasinya supaya lebih sensitif gender. Pelatihan difokuskan bagi anggota KKTGA dan mitra Tifa di Aceh.
TRAUMA HEALING DAN PERDAMAIAN BERKELANJUTAN Program ini dimulai dengan mendidik warga untuk menjadi fasilitator komunitas. Uniknya, mereka yang dianggap berpotensi, dan mengikuti diskusi komunitas yang dilakukan RPUK secara intensif, kemudian dipilih secara langsung warga, untuk menjadi fasilitator komunitas.
Judul Bab Menuju Aceh Baru
| 43
Mereka yang bekerja secara sukarela inipun secara penuh mendapat dukungan warga, plus akuntabilitas, dan keberlanjutannya pun terjaga. Jadi tak heran, kalau banyak diantara fasilitator komunitas yang sudah memiliki perspektif perdamaian bisa dengan mudah duduk di tuhapeut, tuhadelapan, institusi formal di pedesaan yang cukup berpengaruh di level desa dan kecamatan. Mereka pulalah yang dibekali pengetahuan tentang bagaimana melakukan pemulihan trauma psikososial, sehingga bersama-sama dengan pihak lain, bisa ikut menangani kasus-kasus psikososial yang ada di komunitasnya. Aparat pemerintahan pemerintahan di tingkat kecamatan, TNI, Kepolisian dan BRA (Badan Reintegrasi Aceh), juga ikut dilibatkan dalam program. Dialog antara komunitas dengan masing-masing otoritas pun terus dilakukan. Sayangnya, semua otoritas mengamini tidak perlunya MoU komunitas dibuat. Bagi mereka, MoU Helsinski sudah cukup untuk menjaga perdamaian. Apalagi muncul kekhawatiran akan adanya pihak yang salah menafsirkan, dan menghindarkan tumpang tindihnya perjanjian perdamaian n
| 45
Pemulihan Trauma Masyarakat
K
NAD SEJAK 1999-2005 TELAH MENIMBULKAN kejadian traumatis di kalangan masyarakat. Survey WHO dan Dinas Kesehatan Propinsi NAD di 11 kabupaten menunjukkan baghwa 25,7% masyarakat Aceh mengalami gangguan depresi secara episodik, 10,9% mengalami gangguan depresi berulang, 18,4% mengalami gangguan panik, dan 51,1% menderita gangguan jiwa. Situasi tersebut diperparah dengan bencana gempa bumi dan tsunami. Diperkirakan 128,803 jiwa meninggal dunia, 37,066 jiwa dinyatakan hilang dan 529,219 orang menjadi pengungsi. Sebagian korban dalah korban konflik atau berada di daerah basis konflik. Kondisi ini bisa mengakibatkan warga tidak dapat secara normal berperilaku, mengungkapkan emosi, perasaan, pikiran, yang akibatnya tidak dapat optimal dalam kehidupan sehari-hari. Dalam kaitan ini, muncul apa yang disebut siklus kekerasan cyle of violence, di mana korban akan menjadi pelaku kekerasan di kemudian hari. Di sinilah kita melihat hasil dari konflik berkepanjangan di Aceh: ketakutan, teror dan trauma, khususnya bagi penduduk yang tinggal di kampung-kampung tempat operasi-operasi militer terjadi. Kekerasan ONFLIK BERSENJATA DI
46 | Menuju Aceh Baru Pemulihan Trauma Masyarakat
Perdamaian di Tingkat Kampung Salah satu model bekerjanya proses trauma healing di tingkat masyarakat adalah menciptakan mekanisme yang dapat membangun rasa saling percaya di antara kelompok-kelompok masyarakat yang bertikai. Pengalaman ini terjadi dalam inisiatif yang dilakukan RPUK di desa Alue Mirah, Kabupaten Aceh Timur yang sempat menjadi ajang kekerasan dan teror sepanjang periode konflik. Ketika agenda program trauma healing untuk masyarakat dimulai pada tahun 2001, para aktivis RPUK menemukan bahwa bangunan-bangunan publik dalam kondisi setengah rusak akibat peperangan. Mayoritas penduduk yang bermukim di sana adalah perempuan dan anak-anak. Kaum laki-lakinya melarikan diri ke hutan dan bergabung dengan GAM. Bermodalkan genset, relawan perempuan untuk kemanusiaan (RPUK) pun masuk ke desa ini. Sedikit demi sedikit mereka mendorong upaya pemulihan sosial akibat konflik, plus mendorong perdamaian di tingkat lokal. Upaya pemulihan ini kemudian ditunjang dengan upaya penerapan sistem rujukan psikososial, yang melibatkan banyak pihak, dari mulai polisi sampai rumah sakit. Seiring dengan hawa perdamaian yang berhembus seiring dengan ditanda tanganinya MoU Helsinski, RPUK kemudian berinisiatif untuk mereplikasi MoU Helsinski di tingkat lokal. Lewat upaya dialog yang panjang, warga desa Alue Mirah, dengan dukungan RPUK, berhasil menggagas MoU Perdamaian di tingkat komunitas, yang ditandangani oleh pikah TNI, GAM, dan aparat desa. Isinya sederhana, kewajiban untuk menjaga perdamaian, dan larangan untuk melakukan hal-hal yang bisa memicu konflik. Agenda perdamaian versi masyarakat ini pada akhirnya menjadi alat efektif dalam membangun kembali kehidupan bersama pascakonflik. Butir-butir perjanjian yang tertera di selembar kertas menjadi dasar bagi warga untuk merasa aman dalam beraktivitas, sekaligus waspada terhadap provokasi. Beberapa upaya provokasi berhasil digagalkan. Aparat pemerintah, TNI dan GAM pun kemudian sama-sama menghormati MoU tersebut. Pada tahap selanjutnya, RPUK mendidik warga desa untuk menjadi fasilitator perdamaian, yang diharapkan mampu mendeteksi potensi konflik, plus menjadi kelompok pendukung upaya pemulihan psikososial dalam agenda trauma-healing.
Pemulihan Trauma Masyarakat Menuju Aceh Baru
| 47
pada akhirnya melahirkan kekerasan. Sebuah tantangan terbesar dalam situasi pasca-konflik adalah bagaimana kemudian trauma dan luka lama akibat kekerasan dan teror yang dialami masyarakat dapat dipulihkan? Agenda program Trauma Healing bagi masyarakat korban di Aceh adalah salah satu jawabannya. Kegiatan ini dimulai melalui kerjasama Yayasan Tifa bekerjasama dengan Relawan Perempuan Untuk Kemanusian (RPUK) sejak tahun 2001 sampai dengan akhir tahun 2008.
PENGEMBANGAN SISTEM RUJUKAN PEMULIHAN TRAUMA RPUK dalam aktivitasnya telah mengembangkan sebuah inovasi pengembangan sistem referal trauma healing psikososial di Aceh. Prinsip dasarnya adalah pemulihan sosial dari situasi konflik harus bersifat holistik. Cakupannya dimulai dari pemahaman atas kesehatan mental (misalnya melalui penyediaan psychiatric nurses di puskesmas, psikiater di RS Daerah, dan di BPKJ (Badan Pelayanan kesehatan jiwa) para korban konflik, dilanjutkan kemudian dengan pengembangan pusat-pusat trauma-healing bagi korban konflik yang bekerja di tingkat rumah sakit sampai dengan tingkat komunitas. Dengan demikian, proses pemulihan melibatkan banyak aspek. Di tingkat masyarakat terdapat sejumlah aktivis atau fasilitator pemulihan trauma yang berperan melakukan identifikasi, pendampingan dan pelayanan awal terhadap korban. Selanjutnya, para fasilitator memberikan rujukan kepada para korban apakah perlu pelayanan intensif yang tersedia di rumah sakit atau pusat layanan di tingkat kabupaten dan propinsi, atau kemudian para fasilitator membantu proses pemberdayaan korban melalui pelibatan mereka dalam upaya pemulihan dan penguatan korban lainnya. Di sinilah bekerjanya sistem trauma-healing. Selain mengatasi trauma individu, pemulihan psikososial dilakuakn untuk memutus rantai kekerasana, mencegahnya beralihnya posisi korban menjadi pe-
48 | Menuju Aceh Baru Pemulihan Trauma Masyarakat
laku kekerasan dan memudahkan melakukan rekonsiliasi pasca konflik yang sesungguhnya di masyarakat. Upaya pemulihan harus melibatkan masyarakat. Selain karena tenaga kesehatan tak sebanding dengan jumlah korban yang harus ditangani, konflik yang terjadi adalah peristiwa kolektif, sehingga langka-langkah kolektif juga perlu dilakukan dalam upaya pemulihannya. Pelibatan masyarakat yang lebih besar juga memungkinkan adanya integrasi dengan kearifan lokal dan tradisi, dalam mengatasi rasa berkabung, membangun langkah bersama dan menandai perubahan. Selain self recovery, community recovery perlu dilakukan. Dalam kaitan ini kita bisa melihat tentang penting peran masyarakat sebagai sistem pendukung bagi bekerjanya sistem pemulihan
Pemulihan Trauma Masyarakat Menuju Aceh Baru
| 49
trauma. Selain para fasilitator profesional yang memiliki keahlian dalam mengatasi trauma di dalam masyarakat, dibutuhkan pula para fasilitator yang bekerja di tingkat komunitas yang mengembangkan kelompok-kelompok pendukung bagi para korban, yang sekaligus menjadi rujukan awal bagi para korban untuk mendapatkan konseling. Di samping kegiatan konseling secara individual, kelompok pendukung juga berperan penting dalam mengorganisir korban untuk lebih aktif dalam kegiatan kemasyarakat melalui diskusi, pengajian, seni (didong, syair, lagu, musik-musik tradisional), olah raga dan kegiatan-kegiatan ketrampilan (menyulam, merajut dll). Dalam kaitan ini sifat holistik trauma-healing di sebuah wilayah konflik dapat dilakukan n
| 51
Epilog Skenario Aceh Masa Depan
P
ERDAMAIAN ADALAH TITIK AWAL MEMBANGUN MASYARAKAT BARU DI
Aceh. Kesepakatan damai antara pemerintah Republik Indonesia dan GAM di Helsinki pada tanggal 15 Agustus 2005 bukanlah titik akhir dari konflik berkepanjangan di Aceh sejak tiga dekade lalu. Ia merupakan pintu gerbang yang membuka langkah-langkah baru dalam mewujudkan cita-cita ideal tentang bagaimana membangun sebuah masyarakat baru yang selama beberapa dekade terjerat oleh konflik berlarutlarut. Oleh karena itu, perdamaian adalah titik awal dari serangkaian inisiatif dan kebijakan yang harus dijalankan oleh pemerintah Indonesia pada tingkat nasional, atas dasar inisiatif-inisiatif bersama secara luas yang melibatkan seluruh unsur masyarakat di Aceh, untuk kemudian menjadi sebuah langkah kebijakan yang dapat diterapkan sesuai dengan dinamika kehidupan sosial, politik, budaya dan ekonomi masyarakat Aceh sekarang ini. Perdamaian yang terjadi di Aceh adalah modal nasional dalam membangun kerangka Indonesia Baru di masa depan. Dalam skala yang lebih luas, adalah keliru menempatkan proses perdamaian yang
52 | Menuju Aceh Baru Epilog
terjadi di Aceh sebagai sebuah pengalaman yang terjadi di satu wilayah Indonesia semata. Pemerintah Indonesia dalam kaitan ini telah menjalankan sebuah eksperimen yang sesungguhnya dapat menjadi pelajaran terbaik membangun sebuah tatanan masyarakat masa depan di berbagai tempat di Indonesia, terutama di wilayah-wilayah yang saat ini masih berada dalam situasi konflik. Perdamaian di Helsinki pada tahun 2005 pada satu sisi telah berhasil menanamkan sebuah landasan bagi terbentuknya Aceh Baru, tetapi di sisi lain, ia juga harus menjadi keberhasilan dalam membangun Indonesia Baru. Dengan demikian, perdamaian itu harus dipandang sebagai sebuah aset nasional dalam membangun masyarakat Indonesia yang demokratis, toleran, sejahtera dan berkeadilan. Seperti yang telah dijelaskan dalam uraian di dalam laporan ini, setelah tercapainya kesepakatan damai Helsinki, upaya penyelesaian masalah pelanggaran HAM di masa lalu melalui pembentukan KKR di Aceh, telah mendorong Yayasan Tifa untuk bekerjasama dengan partner-partner di Aceh (Koalisi NGO HAM, Aceh Judicial Monitoring Institute, Relawan Perempuan untuk Kemanusian. Yayasan Tifa juga telah membangun kerjasama dengan Himpunan Ulama Dayah Aceh, Rabithah Taliban Aceh, dan Tikar Pandan) untuk menjalankan serangkaian agenda program mulai dari sosialisasi dan diseminasi agenda KKR, perumusan draft alternatif status hukum KKR, pelatihan dokumentasi dan pengembangan sistem database pelanggaran HAM sampai rangkaian aktivitas kebudayaan yang ditujukan membangkitkan kesadaran masyarakat dan pemerintah Aceh tentang pentingnya agenda KKR dijalankan sesuai dengan mandat MoU Helsinki. Begitu juga dengan upaya mendorong peran perempuan dan akuntabilitas pemerintahan dalam proses transisi di Aceh. Dalam agenda berkait dengan peran perempuan, Tifa telah menjalankan agenda penguatan dan pengarusutamaan gender di tingkat komunitas sampai dengan para pembuat kebijakan di Aceh yang dilakukan oleh Mitra Sejati Perempuan Indonesia (MISPI) dan Kelompok Kerja Transformasi Gender Aceh (KKTGA). Sedangkan agenda promosi transparansi
Epilog Menuju Aceh Baru
ACEH LAMA
| 53
54 | Menuju Aceh Baru Epilog
ACEH LAMA
Epilog Menuju Aceh Baru
ACEH BENCANA
| 55
56 | Menuju Aceh Baru Epilog
ACEH BARU
Epilog Menuju Aceh Baru
| 57
dan akuntabilitas pemerintahan baru Aceh telah dilakukan melalui serangkaian aktivitas bersama SORAK dan GERAK dalam melakukan pengawasan dan pendidikan terhadap masyarakat dalam upaya meningkatkan akuntabilitas pemerintahan Aceh, khususnya berkait dengan alokasi dana rekonstruksi dan rehabilitasi yang berjalan di Aceh sekarang ini. Sebuah pembelajaran penting dari seluruh agenda kerja yang dilakukan Yayasan Tifa di Aceh telah menunjukkan bahwa kelompokkelompok masyarakat sipil di Aceh, baik sepanjang periode konflik maupun setelah tercapainya perdamaian, terbukti telah memainkan peran strategis dalam mengusung dan menjaga proses perdamaian yang sekarang berlangsung. Perhatian terhadap masalah-masalah penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu, perhatian terhadap peran perempuan dan bagaimana tata-pemerintahan lokal diatur, seperti tercantum dalam butir-butir kesepakatan damai di Helsinki, menunjukkan pengaruh dan sumbangan pemikiran dan aksi kelompok masyarakat sipil di Aceh dalam proses perdamaian tersebut. Bagaimanapun, agenda-agenda program tersebut belum mencukupi kebutuhan berjalannya sebuah proses perubahan menuju masyarakat baru dalam proses transisi yang sedang berjalan. Dalam kaitan ini Yayasan Tifa menawarkan sebuah agenda kerja pengembangan skenario masa depan Aceh. Pada satu sisi, skenario ini hasil pengolahan pemikiran dari kelompok-kelompok masyarakat sipil, akademisi, pejabat pemerintahan di Aceh yang berusaha memberikan rumusan yang dimulai pada bulan November 2007, dan kemudian disosialisasikan pada tingkat propinsi dan regional di Aceh sejak awal tahun 2008. Disinilah terdapat komitmen Yayasan Tifa menjadikan untuk tetap menjaga posisi strategis dan menjadikan kelompok-kelompok masyarakat sipil di Aceh menjadi “komunitas politik� aktif sebagai agen pembaharuan bagi terbentuknya masyarakat Aceh yang toleran, adil, menghargai perempuan dan demokratis, sesuai dengan visi dan misi Yayasan Tifa dalam membangun masyarakat terbuka di Indonesia. Bagaimanapun, inisiatif menggulirkan scenario building Aceh masa
58 | Menuju Aceh Baru Epilog
depan masih terbatas dalam lingkup kerja kalangan masyarakat sipil di Aceh. Membangun masa depan Aceh jelas tidak akan berarti banyak tanpa adanya dukungan dari berbagai pihak yang dapat membantu perluasan inisiatif dari kalangan masyarakat sipil di Aceh menjadi agenda bersama menuju Aceh Baru. Harapannya adalah pemerintah daerah Nangroe Aceh Darussalam dapat mengambil alih tanggungjawab tersebut serta menjadikan gagasan pemikiran dalam skenario masa depan Aceh sebagai bagian dari agenda pelaksanaan pemerintahan dengan tujuan akhir tercapainya masyarakat yang makmur sejahtera, demokratis dan adil. Di luar konteks Aceh, inisiatif seperti ini diharapkan juga dapat menjadi kerangka acuan bagi kekuatan-kekuatan masyarakat sipil lainnya di Indonesia dalam menata sebuah proses pembaharuan dari sebuah masyarakat yang terkoyak akibat konflik dan kekerasan berkepanjangan. Jadi, dengan sebuah titik tolak yang berangkat di wilayah Aceh, dan disinilah harapan terwujudnya masyarakat terbuka dapat terealisasikan n
Galeri Partner
60 | Menuju Aceh Baru Galeri Partner n
Gerakan Anti Korupsi (GeRAK) Aceh
Alamat
Telepon E-mail
Jalan Desa Lamgugob, Lorong Durian No 7 Lamgugob, Kecamatan Syiah Kuala Kota Banda Aceh 23111 (0651) 7412967 antikorupsiaceh@yahoo.com
GeRAK Aceh digagas pada tanggal 29 November 2003, sedangkan pengurusan Akta pendirian/Status hukum dilakukan pada tanggal 3 Desember 2004. Perhatian kerja GeRAK berfokus pada: a. Peningkatan peran serta masyarakat dalam kegiatan advokasi anti Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) serta mendorong terwujudnya transparansi dan akuntabilitas penggunaan anggaran publik di Provinsi NAD. b. Mempercepat terwujudnya tata pemerintahan yang baik (Good Governance) di Provinsi NAD. c. Analisis anggaran guna mendorong pelibatan publik dan transparansi terhadap pengelolaan keuangan daerah. d. Lahirnya komunitas Pemantau Anggaran ditingkat Masyarakat. Susunan Pengurus Koordinator Akhiruddin Mahjuddin, SE.Ak Manajer Program dan Evaluasi Arman Fauzi Manajer Administrasi & Keuangan Hemma Marlenny, SE.Ak Kepala Divisi Monitoring & Investigasi Abdillah SHI Kepala Divisi Advokasi & Kampanye Bambang Antariksa, SH Kepala Divisi Riset & Analisis Data Abdullah Abdul Muthaleb Staf Divisi Riset & Analisis Data Elly Musliyati, SH Staf Divisi Advokasi & Kampanye Maria Ulfa, SHI Askhalani, SHI Staf Divisi Monitoring & Investigasi Rizalihadi, A.Md Staf Administrasi & Keuangan Riwandi Kasir Aldilla Andiana Umri, SE. Ak Kepala Rumah Tangga Evan Nanda
Galeri Partner Menuju Aceh Baru n
| 61
Mitra Sejati Perempuan Indonesia (MiSPI)
Alamat Telepon E-mail
Jl. Tgk. Daud Beureueh No. 3, Simpang Lima Banda Aceh 23122 (0651) 7411503 mispi@telkom.net
MISPI berdiripada tanggal 20 Agustus 1998 di Banda Aceh yang bertujuan untuk memberdayakan perempuan dalam hubungan kemanusiaan yang adil dan merata. Perhatian utama MISPI adalah: - Kajian-kajian yang objektif terhadap kebijakan-kebijakan pembangunan yang rentan dan berdampak ketidakadilan gender bagi perempuan - Meningkatkan sumber daya perempuan melalui berbagai pelatihan dan pendidikan kritis - Penguatan kelompok basis Susunan Pengurus Direktur Eksekutif Syarifah Rahmatillah Koord. Pengembangan Kelembagaan Zainora Staf Admistrasi, Informasi dan Dokumentasi Suryani Koordinator/Pelaksana Keuangan Dewi Sulastri Staff Keuangan Samsidar Divisi Penguatan Kelompok Basis Hasni Divisi Riset dan Kajian Kebijakan Siti Murni Divisi Informasi dan Hukum Melta Variza, SH Konsultan Hukum/Pengacara Marlianita Dahlia Farida Para legal MiSPI berjumlah 14 orang
n
Aceh Judicial Monitoring Institute
Alamat Telefax
Jln. Ateuk Jawo/27 - Kampong Ateuk, Banda Aceh (0651) 27432
Aceh Judicial Monitoring Institute didirikan pertengahan Juli 2003, tepat 2
62 | Menuju Aceh Baru Galeri Partner
bulan pemberlakuan status Darurat Militer di Aceh, operasi pengejaran terhadap orang-orang yang diduga terlibat dalam organisasi Gerakan Aceh Merdeka (GAM) kian marak. Visi Mendorong Terwujudnya system hukum yang berpihak kepada nilai keadilan bagi masyarakat dengan menghormati prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia (HAM) dan demokratisasi. Program Strategis a. Monitoring Sistem Peradilan di Aceh Melakukan monitoring terhadap system peradilan di Aceh, guna memastikan proses peradilan berjalan sebagaimana mestinya, dan masyarakat mendapatkan akses terhadap keadilan. b. Mendorong Proses Pembaharuan Hukum (Judiciary Sector Reform) - melakukan kajian-kajian terhadap kebijakan-kebijakan hukum yang lahir agar memiliki perspektif HAM dan keadilan. - memperkuat fungsi kontrol masyarakat terhadap proses peradilan - melakukan transformasi terhadap agenda pembaharuan hukum, HAM, politik, dan demokrasi. c. Pembentukan Pustaka Hukum AJMI memainkan peran untuk mengumpulkan data-data tentang Politik, Hukum, HAM dan Demokrasi termasuk proses perdamaian, perubahan sosial, dan proses Rekonstruksi Hukum paska bencana dan Konflik. Data-data tersebut dapat menjadi referensi kajian bagi masyarakat pengguna lainnya. d. Penerbitan Hasil-hasil kajian, konsep, dan riset yang dilakukan akademisi yang bernaung dalam AJMI diterbitkan dalam versi buku, berisi hasil kajian, konsep dan riset komprehensif dilakukan AJMI, serta dalam bentuk artikel-artikel akademisi di luar AJMI yang relevan dengan misi lembaga. Susunan Pengurus Direktur Rufriadi, SH Deputi Direktur Hendra Budian Manager Operasional Mulyadi Syarif
Galeri Partner Menuju Aceh Baru
| 63
Manager Keuangan Jamaliah Mahmud ADM Rahma, Amd Kepala Divisi Investigasi & Monitoring Agusta, MT Kepala Divisi Kajian Alfi Syahrin, SH Kepala Divisi Data & Informasi Sufriadi, Amd Staf Pendukung Program Yusmanidar, Musliadi Ka. RT Al Imran
n
Kelompok Kerja Transformasi Gender Aceh (KKTGA)
Alamat Telepon
Jl. Malaya No.1 (Samping Hotel Aceh Barat) Peunayong, Banda Aceh (0651)7408922
Lahir tanggal 15 Oktober 1995, KKTGA adalah sebuah jaringan yang bergerak pada isu gender. Anggota KKTGA terdiri dari LSM dan individu-individu yang memiliki komitmen untuk menegakkan keadilan gender. Kegiatan utama KKTGA bertujuan untuk mencapai Keadilan Gender yang merupakan suatu konstruksi sosial yang mengatur hak, kewajiban, peranan, tanggung jawab dan harapan antara perempuan dan laki-laki. Kami berusaha untuk : - Meningkatkan kapasitas dan kemampuan anggota dalam mewujudkan keadilan gender. - Bersama-sama dengan anggota mensosialisasikan keadilan gender. - Meningkatkan jaringan kerjasama dengan berbagai mitra yang mendukung keadilan gender. - Mengupayakan perubahan kebijakan yang tidak mendukung keadilan gender. Susunan Pengurus Dewan Pengurus Nursiti, S.H Sumiati Khairiah Atini Nurul Sekretaris Eksekutif Tasmiati Emsa, S.H
64 | Menuju Aceh Baru Galeri Partner
Staf Eksekutif
n
Bungsu Nurbaiti, M.Pd Syukriah Fahdriani, S.P Dwi Satria Pratama Zaini Surya, S.Pd
Erlita Zahara Putri Nofriza, S.Si Leni Agustia Munira, S.Pd. Munawir Abdul Azis
Koalisi NGO HAM Aceh
Koalisi NGO HAM Aceh yang berdiri pada tanggal 7 Agustus 1998 adalah lembaga nirlaba, non partisan, serta memiliki mandat untuk membangun aliansi dengan NGO Regional, Nasional maupun Internasional. Koalisi NGO HAM merupakan kumpulan LSM Aceh yang peduli terhadap penegakan HAM di Aceh. Didirikan oleh 13 organisasi non-pemerintah yang ada di Aceh, dan mempunyai 27 anggota (termasuk lembaga pendiri). Masing-masing lembaga anggota bekerja pada konsentrasi isu yang berbeda, di antaranya: lingkungan, perempuan, anak, pemberdayaan ekonomi masyarakat dan bantuan hukum. Dari perbedaan isu tersebut, para lembaga pendiri bertekad untuk membangun Koalisi NGO HAM sebagai gerakan advokasi HAM secara bersamasama, dengan kegiatan melakukan advokasi terhadap korban pelanggaran HAM di Aceh. Tujuan 1. Untuk menjadi sistem pendukung terhadap kerja-kerja advokasi HAM yang dilakukan oleh NGO di Aceh. 2. Untuk menjadi kelompok penekan demi penegakan HAM dan perubahan tatanan sosial politik di Aceh. 3. membangun aliansi ditingkat nasional dan internasional. 4. Untuk menentukan isu besar kerja advokasi HAM di Aceh. Susunan Pengurus Direktur Eksekutif Faisal Hadi Deputi Direktur/Program Manager Jehalim Bangun Manager Kampanye Kurdinar Manager Informasi dan Data Muhammad Isa
Galeri Partner Menuju Aceh Baru
| 65
Staf Analisi Kebijakan Mashudi Staf Publikasi dan Networking/Website Aryos Staf Investigasi dan Emergency Jumiran Staf Data & Informasi Musliadi Staf Perpustakaan & Dokumentasi Putri Manager Keuangan Surna Lastri Staf Pembukuan Devi Surita Staf Kasir Amyas Sekretaris/Adm Nana Daryana Office Boy Muji Siswanto
n
Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Banda Aceh
Alamat
Jln. Elang Timur Lr. Teuku Lampoh Bungong No. 12A Desa Blang Cut, Kecamatan Lueng Bata, Banda Aceh
LBH Banda Aceh berdiri pada bulan September 1995 dengan nama LBH Project Base Aceh berdasarkan mandat Dewan Pengurus YLBHI. LBH Banda Aceh dibentuk untuk menjawab kondisi politik yang berberkembang dalam masa pemberlakuan status Daerah Operasi Militer (DOM) pada saat itu dengan banyaknya kasus-kasus penangkapan, penculikan dan pembunuhan di luar proses hukum terhadap masyarakat yang dituduh terlibat dan mendukung separatis. YLBHI yang ikut terlibat dalam menangani kasus-kasus tersebut harus mengirimkan pengacara dari kantor-kantor LBH yang berkantor di luar Aceh. Pengiriman pengacara dari luar Aceh tersebut sangat tidak efisien dan tidak efektif dalam melakukan advokasi yang lebih strategis serta jangka panjang. Alasan tersebut menjadi basis analisis bagi YLBHI untuk membentuk LBH Project Base Aceh untuk melakukan program-program YLBHI di Aceh dengan isu khusus yang di batasi pada Civil and Political Right (Hak Sipil Politik). Susunan Pengurus Direktur Afridal Darmi, SH, LL.M Deputi Dir. Bid. Internal Kamaruddin S.H Deputi Dir. Bid. Operasional M. Jully Fuady S.H
66 | Menuju Aceh Baru Galeri Partner
Manajer Keuangan Nurul Maulida, A.Md Ka. Unit Data Dikumentasi Ari Aseandi Staf Dokumentasi Asri Rahayu Adm dan Sekretariatan Leli Susanti Vollunteer berjumlah 11 orang
n
Tim Relawan Perempuan untuk Kemanusiaan (RPUK)
Sekretariat Jl. Perada I no. 40, Perada Banda Aceh Telepon (0651) 7410624 E-mail tim_rpuk@yahoo.co.id RPUK berdiri pada tanggal 2 Juni 1999 saat IDP's mulai ada di Aceh. Fokus kegiatan RPUK adalah mendampingi perempuan dan anak IDP's di seluruh Aceh baik korban konflik maupun korban bencana alam. Program Kerja Program Pemulihan Ekonomi untuk Perempuan. Program Pendidikan Alternatif untuk anak Program Pemulihan Psikososial untuk anak. Program Respon emergency untuk perempuan dan anak. Susunan Pengurus Lembaga ini berbentuk perkumpulan yang seluruh anggotanya adalah perempuan yang peduli pada masalah-masalah kemanusiaan yang berjumlah 48 orang. Khairani Arifin sebagai Sekretaris Jenderal.
n
Ikatan Santri Dayah Naggroe Aceh Darussalam (Rabithah Thaliban Aceh)
Sektretariat pengurus besar RTA terletak di Banda Aceh, memiliki cabangcabang organisasi yang tesebar di 20 kabupaten di NAD, yaitu; Banda Aceh,
Galeri Partner Menuju Aceh Baru
| 67
Aceh Besar, Pidie, Bireun, Aceh Utara, Lhokseumawe, Aceh Timur, Langsa, Aceh Tengah, Bener Meriah, Singkil, Aceh Selatan, Aceh Barat, Aceh Jaya, Aceh Barat Daya, Nagan Raya, Tamiang, Gayo Lues, Aceh Tenggara, Sabang. Tiaptiap cabang menjangkau seluruh santri di dayah-dayah sebagai konstituen utamanya. RTA adalah organisasi masyarakat (ormas) yang didirikan oleh sejumlah mahasiswa berlatar belakang santri (alumni dayah/pesantren) pada tanggal 7 April 1999. Kelahirannya disemangati oleh keinginan besar untuk melanjutkan dan mengembangkan peran-peran dayah dalam bidang gerakan sosialkeagamaan di Nanggroe Aceh Darussalam (NAD). Nilai-nilai ajaran islam ahlus sunah waljama'ah diyakini sebagai kekuatan sosial-kultural yang membentuk karakter masyarakat aceh yang ditransformasikan melalui dayahdayah yang tesebar luas di seluruh penjuru NAD, serta senantiasa relevan merespon perkembangan kehidupan dunia dari waktu ke waktu. Kegiatan sebelum gampa dan tsunami diantaranya; mendata dayah-dayah se-NAD; melakukan kegiatan dakwah baik secara langsung dalam manyarakat melalui majlis-majlis ta'lim maupun dalam bentuk pelatihan-pelatihah dai se-NAD; asistensi dan pembinaan kependidikan di dayah-dayah; mendirikan dayah; mengembangkan kreativitas santri menulis karya ilmiah, qira'atul kutub se-NAD; serta kegiatan sosial lain seperti rehabilitasi anak yatim dan resolusi konflik. Sebelum gempa dan tsunami, anggota Ikatan Santri Dayah NAD tercacat sebanyak 75.000 orang santri. Sebagian terbesar anggota terdiri dari santrisantri senior yang tersebar di 500 dayah se-NAD. Sebagian besar yang lain adalah mahasiswa alumni-alumni dayah. Kekuatan ini sangat efektif untuk mengorganisir kegiatan-kegiatan emergency dan rehabilitasi anak.
n
Solidaritas Masyarakat Anti Korupsi (SAMAK)
Alamat Telepon
Jl. HM. Daud Beureu'eh 86 Jambotape, Banda Aceh (0651) 7410134
SAMAK berdiri pada tanggal 3 November 1999. Tujuan utamanya adalah mendorong pembentukan dan pemberdayaan basis-basis masyarakat gerakan
68 | Menuju Aceh Baru Galeri Partner
antikorupsi di tingkat grass root pada daerah-daerah strategis yang rawan tindak pidana korupsi. Selain itu, SAMAK memiliki perhatian untuk mendorong terwujudnya public governance untuk menuju tata pemerintahan yang baik dan dan bersih dari korupsi. Susunan Pengurus Muhammad Saefudin
n
Solidaritas Gerakan Anti Korupsi (SoRAK) Aceh
Alamat Telepon Situs
Jl. Belibis, Lorong Kamboja No. 2-A, Labui, Ateuk Pahlawan - BANDA ACEH 23241 (0651) 637383 www.sorak-aceh.or.id
Solidaritas Gerakan Anti Korupsi (SoRAK) Aceh yang didirikan oleh beberapa komponen masyarakat dengan beragam profesi, yang terdiri dari akademisi, akuntan publik, dan pemerhati masalah Anti Korupsi dan Tata Pemerintahan. Secara resmi Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Solidaritas Gerakan Anti Korupsi (SoRAK) Aceh dicatatkan pada Notaris Munir, S.H. pada tanggal 14 Maret 2001 dengan Akte Notaris Nomor 39 Tahun 2001 yang kemudian dirubah Badan Hukum menjadi Yayasan Solidaritas Gerakan Anti Korupsi (SoRAK) Aceh yang dicatatkan pada Notaris Munir, S.H. pada tanggal 13 November 2003 dengan Akte Notaris Nomor 25 Tahun 2003 dan telah didaftarkan pada Kantor Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia dengan Nomor Registrasi W1.HK.08.06-04 pada hari Kamis tanggal 11 Desember 2003. Visi Terwujudnya masyarakat yang berbudaya anti korupsi dan memiliki sistem birokrasi yang bersih, berkeadilan dan demokratis. Misi 1. Meningkatkan kontrol sosial dari masyarakat. 2. Meningkatkan birokrasi yang bersih, efesien dan efektif.
Galeri Partner Menuju Aceh Baru
3. Meningkatkan kepatuha hukum semua elemen masyarakat. 4. Menciptakan transparansi dan akuntabilitas dana-dana publik. Susunan Pengurus Koordinator Miswar Fuady Manager Administrasi dan Keuangan Salwa Nida Manager Program dan Monev. Firdaus D. Nyak Idin Kadiv. Investigasi dan Advokasi T. Anwarsyah Kadiv. Kampanye dan Pendidikan Publik Liza Dayani Kadiv. Data dan Dokumentasi T. Wildansyah Sekretaris Kantor Mahrizazuhri Kasir Kemalahayati Web Master Hendra Lesmana Staf Pendukung Cut Hendra Irawan Vera Suzanna Samsiar Meliani Dumma Kepala Rumah Tangga Darmansyah Putra Tim Analisis Sesuai Kebutuhan Tim Peneliti Sesuai Kebutuhan
| 69