YPSHK - TIFA
Kedermawanan Semu
Audit Sosial Program Bahteramas
YPSHK - TIFA
Kedermawanan Semu
Audit Sosial Program Bahteramas
YPSHK - TIFA
Kedermawanan Semu
Audit Sosial Program Bahteramas
KEDERMAWANAN SEMU Audit Sosial Program Bahteramas
i
YPSHK - TIFA
Kedermawanan Semu
Audit Sosial Program Bahteramas
Sanksi Pelanggaran Pasal 72: Undang-undang No.19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta 1. Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) 2. Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu Ciptaan atau barang hasil pelenggaran Hak Cipta atau Hak Terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
@ Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Diterbitkan oleh YPSHK bekerja sama dengan TIFA Foundation Kendari 2012
ii
YPSHK - TIFA
Kedermawanan Semu
Audit Sosial Program Bahteramas
KEDERMAWANAN SEMU Audit Sosial Program Bahteramas
Supriadin & Irfan ido
iii
Kedermawanan Semu
YPSHK - TIFA
Audit Sosial Program Bahteramas
KEDERMAWANAN SEMU Audit Sosial Program Bahteramas Penulis/Penyusun : Editor/Penyunting : Kata Pengantar : Desain Sampul : Tata Letak & Ilustrasi: Foto-Foto : Penerbit
Supriadin, Irfan Ido, & Tim YPSHK Joss Hasrul Yusuf Tallamma Arham Rasyid Arham Rasyid Dok. YPSHK
:
Perpustakaan Nasional:
Katalog Dalam Terbitan (KDT) Supriadin, Irfan Ido, dkk Kedermawanan Semu; Audit Sosial Program Bahteramas ISBN:
Cetakan Pertama: Februari 2012
iv
YPSHK - TIFA
Kedermawanan Semu
Audit Sosial Program Bahteramas
Kita harus berhenti menjadi anak kecil, Mengemis hak di ujung dermaga rapuh. Saatnya kita untuk tinggalkan dermaga, Berkaca pada cakrawala yang cerah dan jujur. Menepis buaian angin buritan politik gratis. Kita harus berhenti untuk terkesima Tampilan bahtera itu semu, Kedermawanan itu menipu, Karena kita tidak mungkin berlayar, Apalagi menggapai pulau kesejahteraan Pondok Bamboo Tepi sungai kadia Ipang De La Sora 13 – 01 - 2012
v
YPSHK - TIFA
vi
Kedermawanan Semu
Audit Sosial Program Bahteramas
Kedermawanan Semu
YPSHK - TIFA
Audit Sosial Program Bahteramas
DAFTAR ISI PUISI KATA PENGANTAR - DARI KETUA DEWAN PENGURUS YPSHK - DARI PENULIS - DARI EDITOR UCAPAN TERIMA KASIH DARI ACT.DIRECTOR Bagian I : Pendahuluan 1.1. Mengenal Audit Sosial Bahteramas a. Tujuan Audit Sosial b. Tahapan Audit Sosial 1.2. Cerita di Balik Program a. Assesment yang melelahkan b. Sepenggal kisah dari pelosok 1.3. Sulawesi Tenggara, dari masa ke masa Bagian II : Politik Lokal dan Mimpi Kesejahteraan 2.1. Janji surga “Tripilar Kedermawanan”, Kilas ba lik BAHTERAMAS 2.2. Tripilar Kedermawanan a. Cerita Usang Pemberdayaan (Analisis Audit Sosial Block Grant) b. Kesehatan Gratis , cerita yang menjanjikan c. Pintar itu mahal (Analisis Audit Sosial BOP) Bagian III : Sepenggal Kisah Kejahteraan yang tercerabut Desa-desa tertinggal Nyanyian Sunyi puloro Nelayan Perempuan Desa Buta Aksara Bagian IV : Pembelajaran dan Rekomendasi GALERI FOTO TENTANG PENULIS/PENYUSUN DAFTAR PUSTAKA
vii
YPSHK - TIFA
viii
Kedermawanan Semu
Audit Sosial Program Bahteramas
YPSHK - TIFA
Kedermawanan Semu
Audit Sosial Program Bahteramas
Pengantar Ketua Dewan Pengurus YPSHK
Sintesis Berbasis Kinerja dan Pengalaman Lapangan Segala puji dan syukur kami haturkan kepada Allah SWT, Tuhan YME atas segala rahmat yang telah diberikan kepada kami untuk menyelesaikan buku ini. Buku ini merupakan sintesis yang berbasis dari hasil kerja dan pengalaman lapangan antara staf YPSHK dan masyarakat yang terlibat dalam program Audit Sosial. Audit Sosial adalah sebuah pendekatan yang didefinisikan sebagai suatu proses sistematik untuk memperoleh dan mengevaluasi bukti secara objektif mengenai pernyataanpernyataan tentang capaian program-program pemerintah dan kejadian sosial untuk mengetahui kebersesuaiannya. Dengan demikian, Audit Sosial BAHTERAMAS merupakan kajian untuk melihat dan mengukur sejauhmana keberhasilan penampilan sosial dari program BAHTERAMAS yang menyatakan diri sebagai inisiatif dan terobosan baru pemerintah Provinsi Sulawesi Tenggara dalam menanggulangi kemiskinan dan memberdayakan masyarakat desa. Mendorong partisipasi rakyat dan mempromosikan keterbukaan informasi publik adalah dua tema penting yang tetap relevan untuk dibahas. Pendekatan Audit Sosial ini telah membuktikan bahwa masih terjadi kesenjangan antara pernyataan pemerintah dan suara-suara serta aspirasi masyarakat. ix
YPSHK - TIFA
Kedermawanan Semu
Audit Sosial Program Bahteramas
Kami mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada TIFA Foundation yang telah bersedia menjadi mitra YPSHK dalam program ini. Kami juga berterimakasih kepada mitra-mitra YPSHK, media cetak dan elektronik serta masyarakat desa yang telah berpartisipasi dalam program ini. Ucapan terimakasih yang tak terhingga juga kami sampaikan kepada Direktur Eksekutif TIFA Foundation dan sahabat kami Michael B. Hoelman yang tiada henti memberikan saran, kritikan dan selalu menjadi inspirasi bagi segenap staf YPSHK. Tak lupa saya mengucapkan terimakasih kepada seluruh staf YPSHK, juga kepada Yos Hasrul dan seluruh rekan-rekan kami yang telah menjadi bagian penting dalam perjalanan program ini. Kendari, 30 januari 2012 Yusuf Tallamma Ketua Dewan Pengurus YPSHK
x
Kedermawanan Semu
YPSHK - TIFA
Audit Sosial Program Bahteramas
Pengantar Penulis
Dedikasi Kepada Masyarakat Sumber Inspirasi dan Informasi BAHTERAMAS akronim dari bangun kesejahteraan masyarakat adalah label produk politik dari pasangan Calon Gubernur dan Wakil Gubernur Nur Alam dan Saleh Lasata (NuSa) yang laris manis dipasaran politik rakyat yang mengantarkan mereka ke kursi kekuasan Gubernur dan Wakil Gubernur terpilih Sulawesi Tenggara 20082013. Program BAHTERAMAS telah tertuang dalam Perda No. 7/2008 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Sulawesi Tenggara 2008-2013. BAHTERAMAS yang ditopang oleh tiga pilar utama program yaitu: (1) Bantuan Operasional Pendidikan (BOP); (2) Pembebasan Biaya Pengobatan (PBP), dan (3) Bantuan Keuangan (block grant). Program BAHTERAMAS bertujuan sebagai upaya untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat Sulawesi Tenggara pada tahun 2013. Setiap program dirancang untuk memecahkan masalah yang menyangkut kebutuhan masyarakat atau stakeholders secara berkesinambungan dan memiliki daya jangkau yang luas, tidak terbatas pada hasil-hasil yang dicapai sesaat. Artinya diperlukan penilaian terhadap suatu program secara berkesinambungan dan tidak terbatas pada pencapaian target-target yang dinyatakan dalam pernyataan tujuan, melainkan juga harus diukur pada ekspresi pencapaian dari perspektif masyarakat. Audit sosial dapat digunakan sebagai masukan dalam xi
YPSHK - TIFA
Kedermawanan Semu
Audit Sosial Program Bahteramas
melihat dan menilai hasil-hasil program pembangunan secara optimal, karena audit sosial mencakup penilaian aspek prosedur, pencapaian tujuan dan sekaligus penggambaran manfaat program secara komprehensif. Penulisan buku ini dimaksudkan untuk tujuan berbagi ilmu pengetahuan dengan khalayak umum, BUKAN MOTIF POLITIK yang berhubungan dengan pemilukada Gubernur dan Wakil Gubernur di tahun 2012, TAHUN POLITIK SULTRA. Buku ini adalah bagian terakhir (output) dari rangkaian program Audit Sosial kerjasama antara YPSHK Sultra dan Yayasan TIFA. Proses audit sosial dilaksanakan dari Desember 2010 sampai November 2011 di tiga kabupaten. Buku ini dijahit melalui FGD (Focus Discussion Group) oleh sebuah tim penulis/editor dari beragam latar belakang profesi yakni SupriadiN (NGO), Akademisi (Irfan Ido) dan Pers (Yos Hasrul). Diskusi proses penulisan berjalan sangat dinamis terutama ketika tim penulis akan menentukan judul buku. Ada tiga tawaran judul mencuat dalam diskusi, yaitu: (1) BAHTERAMAS MEMBUMIKAN KORUPSI, (2) KORUPSI MENGALIR SAMPAI KE DESA, dan (3) KEDERMAWANAN YANG MENIPU, (4) SEKEDAR KEDERMAWANAN. Setelah melalui diskusi dengan berbagai “pertimbangan” maka penulis bersepakat memberi judul buku ini “KEDERMAWANAN SEMU”. Kami para penulis memberikan penghargaan kepada Yayasan Tifa yang telah memberikan dukungan terhadap YPSHK Sultra memungkinkan buku ini hadir di tangan pembaca. Terima kasih pula kami sampaikan kepada tim peneliti yakni: Sitti Fatima (Kabupaten Kolaka), Abdul Haris (Buton Utara), Siiti Hermin (Kota Kendari), Hasidin Samada (Asisten Program) atas benang-benang data dan temuan lapangan yang sangat berharga sebagai bahan untuk kami jahit menjadi sebuah buku. xii
YPSHK - TIFA
Kedermawanan Semu
Audit Sosial Program Bahteramas
Buku ini kami dedikasikan kepada masyarakat yang menjadi sumber inspirasi dan informasi buku ini di Desa Ulunambo dan Waode Angkalo (Buton Utara); Kelurahan Punggalaka dan Petoaha (Kota Kendari); Desa Puubungan dan Touwa (Kabupaten Kolaka). Tentu banyak hal yang membuat kami sangat tertantang untuk menulis buku ini. Diantaranya adalah, audit sosial adalah sebuah tools yang baru diperkenalkan di bumi Sulawesi Tenggara. Menguraikannya dalam bentuk tulisan adalah kesempatan yang tidak terbilang harganya. Selain itu, jebakan-jebakan politik praktis yang sedang memanas di Sultra menjadikan tantangan tersendiri bagi kami untuk senantiasa menjaga independisi kami. Kami banyak berharap, sebagaimana ekspektasi dari banyak masyarakat Sultra. Buku ini dapat menjadi bacaan bagi berbagai stakeholder yang bermuara pada perbaikan menyeluruh program BAHTERAMAS, sehingga masyarakat betul-betul merasakan manfaatnya secara maksimal. Kami juga berharap bahwa, tools Audit Sosial dapat digunakan untuk menilai berbagai program, kebijakan dan anggaran Pemerintah Daerah di jazirah bumi Anoa. Pada akhirnya, kami berharap buku yang sederhana ini dapat menjadi acuan dan inspirasi kita semua untuk senantiasa berusaha menggapai hidup yang lebih baik.
Pondok Bamboo Kendari,
Januari 2012
Supriadin & Irfan Ido
xiii
Kedermawanan Semu
YPSHK - TIFA
Audit Sosial Program Bahteramas
Pengantar Editor
Audit Sosial yang Menemukan Fakta Mencengangkan Suatu ketika saya bertemu dengan kawan Supriadin dan Irfan Ido, keduanya adalah aktifis penggiat sosial dari LSM Yayasan Pusat Studi Hukum Kebijakan (YPSHK). Kami bertemu di sebuah rumah makan bernama pondok bamboo, tempat dimana para aktifis LSM selalu bertemu atau kongkow-kongkow berdiskusi untuk segala hal. Ini adalah pertemuan yang kesekian kalinya dalam rangka finalisasi pembuatan buku audit social program bahteramas milik pemerintah Provinsi Sulawesi Tenggara. Pada awalnya, buku ini kami beri judul “kedermawanan yang menipu”, namun setelah berdiskusi lebih jauh, akhirnya kami bersepakat untuk member judul “Kedermawanan Semu”. Sebelum memulai pekerjaan panjang ini, beberapa bulan silam, Supriadi menyodorkan saya setumpuk data hasil audit sosial program bahteramas hasil kerja warga desa di tiga kabupaten di Sulawesi Tenggara yang dijadikan sampel penelitian YPSHK. Saya juga memeriksa catatan perjalanan para distrik fasilitator serta resume hasil pertemuan antara warga masyarakat, para aktor program dan tim distrik fasilitator, yang merupakan rangkaian kegiatan round table discusion yang cukup alot dan melelahkan itu, sepanjang masa program penelitian berlangsung. Dari data hasil audit sosial Program Bahteramas yang dilakukan tim YPSHK menemukan fakta mencengangkan. Program Gubernur Sulawesi Tenggara Nur Alam ini xiv
YPSHK - TIFA
Kedermawanan Semu
Audit Sosial Program Bahteramas
ternyata hanya bagus di atas kertas. Fakta di lapangan inmplementasinya sangat buruk. YPSHK yang melakukan penelitian di tiga daerah penerima manfaat bahteramas yakni Kota Kendari, Kabupaten Kolaka dan Buton Utara sebagai daerah refresasi perkotaan, kabupaten dan daerah otonomi yang baru pemekaran. Selama satu tahun melalukan penelitian lapangan di daerah penerima manfaat dan berinteraksi dengan masyakakat ditemukan banyak kepincangan, terutama dalam hal eksistensi program bahteramas di lapangan. Program block grant misalnya, yang sejatinya program anggaram 100 juta rupiah untuk dana percepatan pembangunan desa tidak sepenuhnya dicairkan, faktanya belum ada satu pun desa yang cair utuh sampai 100 juta rupiah, melainkan hanya setengahnya yakni 50 juta rupiah saja. Bahkan ada satu desa di Kolaka , warganya justeru tidak mengetahui adanya program block grant terlebih saoal pencairan dana. Dari diskusi dengan para kepala desa di Buton Utara ternyata seluruh kades hanya menerima dana block grant anatara 40-50 juta per tahun dengan tanda tangan bukti kas tetap Rp 100 juta. Dan ini terjadi sejak pertama kali mereka menerima dana block grant, bahkan mereka menandatangani bukti kas kosong. Satu lagi bukti temuan korupsi dalam block grant. Proses pencairan dana yang sangat lamban dan bersifat kolektif menjadi ganjalan setiap desa untuk bisa sepenuhnya menerima dana block grant seperti yang sudah dijanjikan. Timbul kesan jika dana ini sudah di desain agar tidak sepenuhnya diberikan ke desa. Menurut aturan dalam juknis desa yang memenuhi criteria penerima dana block grant harus menunggu desa lain yang belum menuntaskan laporan keuangan atau desa
xv
YPSHK - TIFA
Kedermawanan Semu
Audit Sosial Program Bahteramas
dengan catatan laporan keuangan buruk. ini menjadi salah kendala lamanya proses pencairan dana block grant. Ratarata baru dapat dicairkan pada akhir tahun. Sementara untuk melanjutkan program di tahun berikutnya, desa tidak bisa mencairkan sisa dana tahun lalu. Desa yang seharusnya bisa cepat mencairkan terhalang harus menunggu desa lainnya. Demikian halnya, pelayanan kesehatan gratis masyarakat yang dijaminkan melalui kartu kesehatan bahteramas, di satiap sampel rumah sakit yang diteliti enggan mengklaim pasien pemegang kartu program bahteramas. Alasannya pencairan dana bahteramas panjang dan rumit. Bahkan biaya yang dikeluarkan selama proses pencairan dana, jauh lebih besar ketimbang biaya pengobatan itu sendiri. Banyak rumah sakit yang lebih memilih pasien jamkesmas karena pencairannya mudah dan cepat. Hal ini berbanding terbalik dengan pemegang kartu bahteramas. YPSHK juga menemukan buruknya pengelolaan program biaya operasional pendidikan (BOP) bahteramas yang seharunya bisa meringankan beban biaya pendidkan rakyat karena rakyat masih harus merogoh kocek untuk biaya pendidikan. Ada Sembilan item komponen biaya pendidikan dua item dikelola oleh diknas yakni buku pratik dan alat peraga dan tujuh lainnya dikelola oleh sekolah. Ada lagi orang tua siswa tidak mengetahui adanya dana BOP serta program BOP yang tidak melibatkan orang tua. Dan fatanya biaya pendidikan hingga kina masih saja tinggi. Dari audit bahteramas disimpulkan sejumlah kelemahan implementasi program bahteramas di lapangan diantaranya sosialisasi program yang masih minim di masyarakat. Lambannya pencairan dana program, system kolektif diterapkan dalam proses pengajuan, pencairan xvi
YPSHK - TIFA
Kedermawanan Semu
Audit Sosial Program Bahteramas
dana kian yang amburadul hingga memperpanjang proses dana program serta tidak efektifnya monitoring dan evaluasi program bahteramas. Desa-desa yang menjadi sampel penelitian masingmasing Kelurahan Petoaha dan Punggolaka untu wilayah Kota Kendari, Desa Towua dan Desa Puubunga untuk wilayah Kabupaten Kolaka serta Desa Ulunambo di Kecamatan Kulisusu dan Desa Angkalo di Kecamatan Bonegunu untuk wilayah penelitan Kabupaten Buton Utara. Keseluruhan sampel desa rata-rata berpenduduk miskin dengan persentase penerima manfaat bahteramas terbesar. Ada harapan dari hasil penelitian ini agar pemerintah segera melakukan perbaikan system pelayanan program ke masyrakat agar program bahteramas benar-benar menyentuh dan dapat dirasakan langsung para penerima manfaat program tersebut. Selamat membaca, semoga bermanfaat. Wassalam Pondok Bamboo, Kendari Joss Hasrul
xvii
YPSHK - TIFA
Kedermawanan Semu
Audit Sosial Program Bahteramas
Ucapan Terima Kasih dari Act. Director Seringkali kita mendengar ungkapan dari penyelenggara “masih untung dibantu, dari pada tidak sama sekali” atau yang lebih parah lagi adalah “masih untung dijanji, minimal ada yang bisa ditagih”. Ungkapan-ungkapan unik itu, melekat erat pada pemerintahan yang menganut paradigma pemerintah, bukan pelayan masyarakat. Penyelenggara Negara dalam hal ini pemerintah, tidak memposisikan dirinya sebagai entitas yang bertanggungjawab dan berkewajiban melayani, dan memenuhi hak-hak warganya. Segala hal yang dilakukan untuk warga, dipandang sebagai sebuah kedermawanan belaka. Paradigma keliru inilah yang memperburuk tata kelola, transparansi dan pertanggunggugatan pengelolaan program Bahteramas di Sulawesi Tenggara. Sehingga buku ini diberi judul “Kedermawanan Semu”, sebuah buku yang mengulas berbagai hal tentang program Bahteramas di Sulawesi Tenggara. Buku ini ditulis atas partisipasi banyak pihak, untuk itu saya ingin menyampaikan ucapan terimakasih sedalamdalamnya kepada : 1. Yayasan Tifa, terkhusus Saudara Mickael Boby Hoelman (Choky), atas segala bantuan, bimbingan dan perhatiannya kepada Yayasan Pengembangan Studi Hukum dan Kebijakan (YPSHK) Sultra. 2. Badan Pengurus YPSHK, saudara Yusuf Tallamma dan Sitti Zahara yang banyak memberikan masukan dalam pelaksanaan program Audit Sosial Bahteramas ini. xvii
YPSHK - TIFA
Kedermawanan Semu
Audit Sosial Program Bahteramas
3. Kawan-kawan penulis, Supriadin dan Irfan Ido yang dengan segenap waktu, tenaga dan fikirannya mewujudkan pengalaman perjalan program Audit Sosial Bahteramas ini menjadi sebuah buku 4. Kawan Joss Hasrul yang telah melakukan editing terhadap tulisan kawan-kawan. 5. Kawan-kawan Distric Fasilitator ; Abdul Haris, Sitti Hermin “Cimink” Tahir dan St. “Vety” Fatimah yang memberi input terhadap penulisan buku serta kawankawan staff program ; Rosmini, Hasidin Samada dan Torop Rudendi yang memberi kontribusi luar biasa terhadap proses pelaksanaan program hingga penyusunan buku ini Akhirnya saya berharap, semoga buku ini memberi manfaat bagi kita semua, Kendari, 2012 Yayasan Pengembangan Studi Hukum dan Kebijakan (YPSHK)- Sultra Desi Fajariana Act. Director
xviii
YPSHK - TIFA
Kedermawanan Semu
Audit Sosial Program Bahteramas
YPSHK - TIFA
Kedermawanan Semu
Audit Sosial Program Bahteramas
PENDAHULUAN “…. Menurut pemberitaan Koran, katanya Block Grant telah dimanfaatkan untuk membangun sarana dan prasarana di desa ya,…????” “…. Block Grant,..??? Kepala Desa Saja yang tau itu,… sebagai masyarakat kita tidak pernah diajak untuk membicarkan Block Grant itu”, “…. Lah itu kantor dan balai desa kelihatannya baru dibangun,… mungkin itu yang dihitung dalam pemecahan rekor MURI juga,…?? “…. Enak saja,… Balai dan kantor desa itu sudah ada sejak lama,… kalau pengecatannya mungkin bisa diklaim sebagai hasil kerjannya Blockgrant,.. itu juga tumpang tindih dengan ADD ataupun PNPM,…. Coba tanya,.. yang mana yang dikerja PNPM atau ADD,… pasti yang itu juga yang ditunjuk,….. pengawasannya kacau ini boss,… kelihatan sekali kalau program asal jadi,….” (wawancara dengan Daniel, tokoh masyarakat di Kabupaten Buton Utara)
1
YPSHK - TIFA
Kedermawanan Semu
Audit Sosial Program Bahteramas
1.1 Mengenal Audit Sosial Otonomi daerah telah memberikan kewenangan yang sedemikian besar bagi pemerintah daerah untuk merencanakan dan mengimplementasikan kebijakan, program dan anggaran sesuai dengan kebutuhan di daerah. Dengan kewenangan yang luas tersebut, pemerintah daerah diharapkan telah lebih peka dan lebih cepat dalam meretas persoalan terutama persoalan pemenuhan hak dasar rakyat. Seiring dengan meningkatnya kewenangan tersebut, transfer fiskal ke daerah juga semakin meningkat dari tahun ke tahun. Dengan semakin meningkatnya alokasi anggaran ke daerah, pemerintah daerah memiliki ruang dan kesempatan untuk membuat program dan mengalokasikan anggaran yang lebih berpihak kepada masyarakat. Namun pada kenyataannya pemerintah daerah cenderung tidak mampu mengelola sumberdaya anggaran yang tersedia tersebut dengan bijak sesuai tujuan, fungsi dan prinsip anggaran. Banyak kebijakan, program dan anggaran yang dijalankan oleh pemerintah daerah hanya berdasarkan “copy paste design�, sekedar memenuhi janji politik pada saat pemilihan kepala daerah atau sekedar menghabiskan anggaran. Kebutuhan dan aspirasi masyarakat menjadi terabaikan, program dan anggaran tumpang tindih dan tidak memberi manfaat bagi masyarakat. Walhasil, bukannya memberdayakan masyarakat, kebijakan, program dan anggaran justru melahirkan banyak persoalan seperti lahan korupsi bagi pejabat dan kroninya, menimbulkan ketergantungan di masyarakat, merusak semangat kemandirian di masyarakat dan bahkan menimbulkan masalah baru, berupa pemiskinan dan tercerabutnya masyarakat dari lingkungan sosial dan ekonomi.
2
YPSHK - TIFA
Kedermawanan Semu
Audit Sosial Program Bahteramas
Fakta-fakta tersebut bukan saja menjadi dasar untuk menuntut pemerintah untuk lebih tegas dalam memberantas korupsi di daerah namun juga melahirkan kesadaran telah pentingnya melakukan pengawasan dan evaluasi terhadap kinerja penganggaran di daerah. Pengawasan dan evaluasi anggaran ini bukannya tidak dilakukan dalam skema kebijakan penganggaran di indonesia. Secara normatif, fungsi pengawasan dan evaluasi keuangan daerah secara teknis dilakukan oleh institusi pengawasan internal (Inspektorat Daerah), dan pengawasan eksternal (BPK). Selain itu, sistem penganggaran di Indonesia juga memungkinkan adanya pengawasan yang dilakukan oleh DPRD. Bila Inspektorat Daerah dan BPK melakukan pengawasan dan juga pemeriksaan dari aspek teknis keuangan dan administratif, maka peran pengawasan DPR sebetulnya adalah pada tataran strategis dan politis. Namun, terdapat banyak kelemahan dari proses dan kinerja pengawasan yang selama ini terjadi, baik yang dilakukan oleh Inspektorat Daerah, BPK ataupun yang dilakukan oleh Legislatif. Terkait dengan pengawasan oleh DPRD, kelemahan-kelemahan tersebut diantaranya: Pertama, fungsi pengawasan yang dijalankan lebih cenderung berada pada tataran pengawasan teknis, sementara pengawasan strategis justru relatif terpinggir. Sementara untuk pengawasan politis, dalam kenyataannya banyak kasus pengawasan kinerja pemerintahan yang justru dilandasi oleh pertimbangan dan kalkulasi politik tanpa argumentasi dan rasionalisasi yang kuat. Kedua, minimnya komitmen anggota dewan terhadap rakyat yang diwakilinya. Bukannya menjalankan mandat publik untuk melakukan pengawasan dengan sebaik-baiknya, mereka justru lebih sering menjadi wakil partai sehingga kepentingan dan pertimbangan partai yang menjadi dasar dalam pelaksanaan fungsi pengawasan anggaran. Selain 3
YPSHK - TIFA
Kedermawanan Semu
Audit Sosial Program Bahteramas
itu, kalkulasi ekonomi para anggota dewan yang berhitung dengan modal politik dan ekonomi ketika pencalonan juga menjadikan motif balik modal (transaksional) menjadi tujuan daripada motif mendorong politik kesejahteraan rakyat. Ini berujung pada rendahnya kepercayaan publik terhadap moralitas dan sekaligus kinerja legislatif di tingkat daerah. Ketiga, minimnya kapasitas anggota dewan, tidak semua anggota dewan memiliki kecakapan dan kapabilitas yang memadai, termasuk dalam hal pengawasan anggaran. Sementara itu, kinerja pengawasan oleh Inspektorat Daerah dan BPK, yang walaupun secara normatif memiliki kewenangan dan secara teknis memiliki keunggulan dan kecakapan, namun fungsi pengawasan kedua lembaga ini juga masih menyisakan beberapa persoalan seperti: pertama, walaupun banyak temuan tentang kasus-kasus anggaran yang dihasilkan dari kinerja pengawasan ini, namun akses publik terhadap laporan audit yang dihasilkan masih sangat minim. Salah satu argumen yang sering dilontarkan adalah bahwa laporan ini menjadi bagian dari laporan pertanggungjawaban pemerintah kepada DPRD, sehingga bukanlah kewajiban lembaga seperti BPK untuk memberi ruang dan membuka akses bagi publik. Kedua, proses audit, terutama yang dilakukan oleh BPK bersifat sangat teknis dan juga tidak menyediakan ruang bagi keterlibatan publik secara luas. Kecakapan audit yang dikembangkan sangat mengandalkan kecakapan teknokratis menjadikan pengetahuan, pengalaman dan pengamatan masyarakat umum menjadi tidak terwadahi. Kelemahan terbesar dari mekanisme pengawasan yang dijalankan oleh DPRD, Inspektorat Daerah dan BPK adalah pengawasan tersebut hanya sampai memastikan apakah pos anggaran sudah dibelanjakan sesuai dengan anggaran atau tidak. Pengawasan ketiga insititusi ini tidak bisa menjelaskan, bagaimana anggaran dibelanjakan, dan apa sajakah output, outcome ataupun impact yang dihasilkan 4
YPSHK - TIFA
Kedermawanan Semu
Audit Sosial Program Bahteramas
sesuai dengan belanja (input) anggaran. Hal ini terjadi karena tujuan pemeriksaan (audit) yang dilakukan bukan dimaksudkan untuk mengukur kemanfaatan anggaran, tetapi menemukan jawaban apakah laporan pertanggungjawaban anggaran telah disajikan secara wajar ataukah tidak. Sebagai ilustrasi, pos anggaran yang dibelanjakan dengan bukti pendukung transaksi yang cukup dianggap berkinerja baik, walaupun bisa jadi kebijakan anggaran ini justru meningkatkan jumlah orang miskin. Selain itu, terdapat persoalan independensi, kolusi dan korupsi di dalam institusi pengawasan keuangan daerah. Dalam Social Audit Guide yang terbitkan Open Society Institute East Afrika (2008), Gikonyo menyatakan bahwa audit sosial adalah proses di mana anggota masyarakat berusaha untuk mengevaluasi seberapa baik sumber daya publik digunakan dalam meningkatkan kinerja. Mereka mengumpulkan data tentang nilai-nilai masyarakat, sosial keuntungan, modal sosial dan kualitas departemen/program yang nantinya telah dicocokkan dengan hasil dari audit sosial dilaksanakan di organisasi/tingkat departemen. Audit sosial di tingkat masyarakat juga memberikan kontribusi untuk pemberdayaan masyarakat, pemerataan, jaringan dan advokasi. Berkenan dengan hal tersebut diatas, YPSHK memandang penting untuk mempromosikan, memperluas dan menggunakan pendekatan audit sosial sebagai bagian dari gerakan advokasi anggaran di Sulawesi Tenggara. Audit Sosial ini telah berfokus pada Program BAHTERAMAS yang dicanangkan Gubernur Sulawesi Tenggara sejak pertengahan tahun 2007 dan mulai diimplementasikan sejak tahun anggaran 2008. Program ini adalah janji kampanye Gubernur saat Pemilihan Umum Kepala Daerah tahun 2007. Telah hampir empat tahun program BAHTERAMAS 5
YPSHK - TIFA
Kedermawanan Semu
Audit Sosial Program Bahteramas
berjalan, namun masyarakat belum merasakan banyak perubahan berarti. Pemantauan YPSHK terhadap Bantuan Biaya Pendidikan untuk jenjang sekolah SD hingga SMA misalnya, orang tua siswa termasuk keluarga miskin, masih saja dibebani berbagai pungutan oleh pihak sekolah dengan berbagai alasan terutama alasan keterbatasan biaya operasional sekolah. Sementara itu, Bantuan Biaya Kesehatan untuk masyarakat miskin ternyata belum juga bisa dinikmati sepenuhnya oleh masyarakat miskin. Masih banyak ditemukan masyarakat yang terpaksa membayar biaya pelayanan kesehatan di Rumah Sakit Umum Daerah yang nota bene adalah Rumah Sakit milik pemerintah daerah. Hal yang sama juga terjadi dengan Program Bantuan Pembangunan Desa, Kelurahan dan Kecamatan atau dikenal dengan Block Grant 100 juta/desa/kelurahan/ kecamatan di 12 kabupaten/kota. Dua tahun program ini berjalan, pemerintah provinsi telah mendistribusikan anggaran ke seluruh desa/kelurahan/kecamatan dengan total dana yang sudah sangat besar Selama dua tahun, hasil audit tahun 2009 dan 2010 terhadap APBD provinsi yang dilakukan BPK menemukan tidak kurang dari 39 Milyar dana Block Grant tidak bisa dipertanggungjawabkan oleh pemerintah provinsi. Selama dua tahun itu pula, BPK memberikan opini disclaimer terhadap laporan keuangan pemerintah provinsi terutama karena tidak jelasnya pengelolaan keuangan yang terkait dengan program BAHTERAMAS. Pemerintah Provinsi Sulawesi Tenggara pada dasarnya juga melakukan monitoring dan evaluasi terhadap pelaksanaan program BAHTERAMAS. Hasil monitoring tahun 2009 mencatat beberapa temuan penting atas pelaksanaan program ini. Pertama, temuan pada Program Pembebasan Operasional Pendidikan: i) adanya distribusi guru yang tidak seimbang sehingga insentif guru menjadi tidak sesuai 6
YPSHK - TIFA
Kedermawanan Semu
Audit Sosial Program Bahteramas
dengan jumlah nominal yang semestinya diterima berdasarkan juknis yang ada, ii) tenaga administrasi dan keuangan sekolah tidak tersedia atau belum pernah mengikuti bimbingan teknis sehingga laporan pertanggungjawaban keuangan tidak sesuai juknis, iii) Tim Teknis Kegiatan yang ada disetiap kabupaten/kota tidak berjalan efektif disebabkan tidak adanya dana khusus dari APBD Kabupaten/Kota, iv) sekolah-sekolah belum melibatkan guru dan komite sekolah dalam membahas Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Sekolah, v) data sekolah tidak akurat sehingga mempengaruhi pencairan dana, vi) pengelolaan dana tidak transparan utamanya oleh pihak Kepala Sekolah. Kedua, temuan pada Program Pembebasan Biaya Pengobatan: i) pendataan dan data base calon peserta tidak jelas atau tidak tersedia. Hal ini termasuk tidak adanya kriteria yang jelas untuk pendataan masyarakat yang berhak mendapatkan bantuan, ii) masih ada pemerintah Kabupaten/Kota yang memungut retribusi untuk pelayanan kesehatan. Pembebasan Biaya Pengobatan dianggap telah menurunkan potensi PAD pemerintah Kabupaten/Kota, iii) Tim Pengelola Program di Kabupaten/Kota tidak bekerja sebagaimana juknis yang ada, sehingga proses pendataan, verifikasi kepesertaan dan klaim tidak termonitor dengan baik, iv) tidak adanya kejelasan tentang sistem klaim biaya pengobatan pasien termasuk sistem rujukan disetiap jenjang pelayanan kesehatan, v) minimnya sosialisasi program menyebabkan banyak masyarakat yang tidak mengetahui program ini. Ketiga, Temuan tim monitoring pemerintah provinsi terhadap pelaksanaan Bantuan Keuangan Desa/ Kelurahan/Kecamatan: i) berdasarkan juknis yang ada penarikan dana harus dilakukan bersama antara Kepala Desa dan BPD atau Lurah dan LPM. Namun kenyataannya penarikan dana program ini hanya dilakukan oleh secara 7
YPSHK - TIFA
Kedermawanan Semu
Audit Sosial Program Bahteramas
sendiri-sendiri oleh Kepala Desa atau Ketua BPD atau Lurah atau Ketua LPM, ii) tidak ada cost sharing dari pemerintah Kabupaten/Kota termasuk tidak memberikan Dana Alokasi Desa sebagaimana diatur dalam PP 72 tahun 2005 dan Permendagri No. 37 tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Desa, iii) pemberian dana Block Grant menjadi tidak efektif disebabkan tidak semua desa memiliki RPJM Desa dan APBDesa, iv) dana Block Grant lebih banyak dihabiskan untuk pembangunan fisik sementara untuk pengembangan usaha ekonomi produktif di desa sangat minim, v) lemahnya pengelolaan dan pertanggung-jawaban keuangan oleh pemerintah desa/ kelurahan serta pengelolaan dana yang tidak transparan di desa. Berangkat dari hal tersebut diatas, maka YPSHK yang selama ini hanya berfokus melakukan kerja advokasi anggaran pada fase penyusunan dan penetapan anggaran, berinisiatif untuk mengembangkan pengalaman yang dimiliki tersebut dengan jalan melakukan pengawasan dan evaluasi terhadap pelaksanaan dan kinerja anggaran melalui pelibatan masyarakat atau dikenal dengan audit sosial. Audit sosial ini bertujuan untuk memantau dan memverifikasi klaim kinerja program dari pemerintah provinsi Sulawesi Tenggara khususnya Program BAHTERAMAS. Hasil Monitoring yang dilakukan oleh Pemerintah Provinsi hanya melihat dari aspek, manajamen, pengelolaan dan pengendalian program BAHTERAMAS dan belum sepenuhnya mampu mengungkap bagaimana dampak dari program tersebut bagi masyarakat desa. Hal ini terlihat dari tidak adanya pelibatan masyarakat khususnya masyarakat miskin dan perempuan di desa/kelurahan dalam pelaksanaan monitoring. Karena itu, sosial audit ini diharapkan telah menjadi second opinion bagi hasil monitoring yang dilakukan oleh pemerintah provinsi 8
YPSHK - TIFA
Kedermawanan Semu
Audit Sosial Program Bahteramas
Sulawesi Tenggara. Pada kajian ini, Audit Sosial didefinisikan sebagai suatu proses sistematik untuk memperoleh dan mengevaluasi bukti secara objektif mengenai pernyataanpernyataan tentang kegiatan-kegiatan Program BAHTERAMAS dan kejadian sosial untuk mengetahui kebersesuaiannya. Dengan demikian, Audit Sosial Program BAHTERAMAS merupakan kajian untuk melihat dan mengukur keberhasilan penampilan sosial dari program ini yang menyatakan diri sebagai proyek penanggulangan kemiskinan dan pemberdayaan masyarakat. Gagasan audit sosial yang telah dikembangkan melalui program ini adalah memastikan adanya penilaian terhadap kinerja anggaran daerah dengan studi kasus pada program BAHTERAMAS. Muatan kunci dari audit sosial ini adalah adanya penilaian dari masyarakat, khususnya mereka yang memiliki kemendesakan persoalan kebutuhan dasar yang perlu direspon anggaran. Mereka terutama kelompok masyarakat miskin dan kelompok marjinal, yang karena keterpinggiran mereka dalam struktur sosial politik, membuat mereka menjadi kelompok yang tidak nampak, dan tidak diperhitungkan. Sehingga walaupun mereka sangat lekat dengan problem-problem pengabaian hak dasar, tetapi mereka justru tidak mendapatkan benefit dari anggaran. Karenanya, program audit sosial ini telah memastikan adanya keterlibatan dari elemen-elemen masyarakat, terutama orang miskin, perempuan, lansia dan kelompok rentan dan marginal yang lain. Hasil audit sosial ini diharapkan telah menjadi sumber data dan argumen alternatif terhadap hasil audit dan pengawasan yang dibuat oleh lembaga pengawas pemerintah maupun DPRD. Selain itu, temuan dari audit sosial ini juga diharapkan telah menjadi acuan untuk 9
YPSHK - TIFA
Kedermawanan Semu
Audit Sosial Program Bahteramas
evaluasi dan perbaikan bagi program serupa di tahun selanjutnya. YPSHK memilih Audit Sosial Program BAHTERAMAS karena program-program seperti ini 窶電engan beragam nama dan model di berbagai daerah- selalu menjadi program populis yang menjadi ikon kampanye setiap calon Kepala Daerah saat pemilihan kepala daerah untuk menarik simpati dan dukungan pemilih. Karena menjadi janji saat pemilu kada, tidak segan-segan para Gubernur atau Bupati/ Walikota menggelontorkan APBD untuk membiayai program-program mereka setelah terpilih. Tetapi dalam pelaksanaannya seringkali ditemukan penggelontoran APBD tersebut terkesan hanya menjadi cara untuk mewujudkan janji kampanye dan cenderung menempatkan masyarakat hanya sebagai objek statis dan bahkan APBD digunakan sebagai alat politik untuk melanggengkan kekuasaan.
Tujuan Audit Sosial Secara umum, program audit sosial bertujuan untuk perluasan dan pelembagaan audit sosial sebagai mekanisme pengawasan dan evaluasi terhadap kinerja kebijakan dan anggaran pemerintah. Secara khusus, program ini bertujuan untuk : (i) Membangun kapasitas masyarakat miskin dan marjinal untuk melakukan audit sosial terhadap berbagai kebijakan, program dan anggaran pemerintah; (ii) Perluasan inisiatif audit sosial oleh masyarakat miskin dan marjinal sebagai praktek evaluasi kinerja kebijakan, program dan anggaran pemerintah baik yang bersumber dari APBN, APBD maupun Third Party Program dan (iii) Mendorong agar mekanisme audit sosial sebagai pijakan pengawasan kebijakan, program dan anggaran oleh institusi pengawas di daerah khususnya oleh legislatif di daerah 10
YPSHK - TIFA
Kedermawanan Semu
Audit Sosial Program Bahteramas
Tahapan Audit Sosial Rangkaian audit sosial yang dilaksanakan selama satu tahun, sejak januari 2011 hingga desember 2011 untuk mengetahui bagaimana implementasi dan dampak program Bahteramas menurut persepsi atau pendapat masyarakat sebagai penerima manfaat. Karena audit sosial dilaksanakan pada tahun 2011, maka banyak informasi dan data yang disajikan merupakan data dan informasi tahun sebelumnya. Adapun tahapan program audit sosial adalah : 1. Asessment: kegiatan ini dilakukan bertujuan untuk: i) melakukan pemetaan kelompok masyarakat miskin dan marjinal yang potensial untuk dijadikan kelompok sasaran program, ii) memetakan persoalan pemenuhan hak dasar di masing-masing kelompok masyarakat, iii) mengidentifikasi aktor kunci di masyarakat yang telah dipilih sebagai tim inti untuk memfasilitasi audit sosial di setiap komunitas. YPSHK telah mengembangkan tools asessment serta matriks tentang kriteria lokasi dan kelompok masyarakat yang telah menjadi penerima manfaat langsung dari program ini. Beberapa –tetapi tidak terbatas pada- kriteria yang telah dipertimbangkan dalam menetapkan lokasi dan kelompok masyararakat tersebut diantaranya: tipologi wilayah daratan dan pesisir, mata pencaharian penduduk, etnis, tingkat kesejahteraan warga diukur dari indikator kemiskinan, individu potensial untuk menjadi tim inti di setiap komunitas. Kriteria-kriteria tersebut diharapkan telah mewakili beberapa karakterisitik wilayah maupun kelompok dan individu yang ada masyarakat yang telah menjadi sasaran program. Tahapan asessment telah dimulai dari: i) penyusunan matriks tentang kriteria lokasi dan pemilihan kelompok masyarakat lokasi sasaran program, ii) pelaksanaan 11
YPSHK - TIFA
Kedermawanan Semu
Audit Sosial Program Bahteramas
pemetaan persoalan pemenuhan hak dasar di kelompok masyarakat terpilih, iii) penentuan 3 orang tim inti di setiap komunitas, iv) penyusunan laporan hasil asessment. Tahapan asessment ini berlangsung selama 2 bulan. Asessment untuk pemetaan persoalan hak dasar dilakukan dengan cara kolekting dan analisis dokumen serta wawancara dengan masyarakat yang dipilih sebagai lokasi sasaran program. 2. Pengorganisasian Kelompok Masyarakat: kegiatan ini berupa pendampingan, pengorganisasian dan diskusidiskusi kelompok di tingkat komunitas. Pengorganisasian kelompok masyarakat dilaksanakan oleh tim inti di masingmasing komunitas bersama distrik fasilitator kabupaten/ kota. Setiap bulan distrik fasilitator bersama tim inti di masing-masing komunitas menyusun dan menyampaikan laporan perkembangan di masing-masing kelompok masyarakat. Pengorganisasian berlangsung setelah tim inti dan kelompok masyarakat yang telah menjadi sasaran program ditetapkan. Selama proses pengorganisasian, distrik fasilitator membentuk tim inti yang menggerakkan kelompok masyarakat di desa, mendiseminasikan informasi seputar issu anggaran, diseminasi program BAHTERAMAS, diseminasi tentang hak dasar warga negara serta issu-issu tentang partisipasi dan hak warga negara dalam mengawasi dan menilai kinerja program dan anggaran pemerintah. Pengorganisasian termasuk pula memfasilitasi pertemuan-pertemuan dan diskusi di setiap kelompok masyarakat. 3. Lokalatih Audit Sosial: kegiatan bertujuan untuk memberikan pengetahuan dasar kepada tim inti dari setiap kelompok masyarakat tentang: i) apa itu audit sosial dan apa pentingnya audit sosial, ii) Bagaimana masyarakat bisa melakukan audit sosial, iii) Peluang dan tantangan yang ada dalam melakukan audit sosial, iv) uji coba panduan audit sosial yang telah dikembangkan oleh TIFA dan mitra12
YPSHK - TIFA
Kedermawanan Semu
Audit Sosial Program Bahteramas
mitra TIFA. Kegiatan menghadirkan narasumber dan fasilitator dari YPSHK, GAPRI Jakarta, YKPM Makassar serta BPM Provinsi Sulawesi Tenggara. Kegiatan ini telah melahirkan: i) 18 orang tim inti audit sosial di 6 kelompok masyarakat di 3 kabupaten/kota di Sulawesi Tenggara yang siap memfasilitasi komunitasnya menggunakan panduan audit sosial dan ii) kesepakatan rencana dan tahapan kerja pelaksanaan audit sosial di masing-masing kelompok masyarakat. 4. Pelaksanaan Audit Sosial: kegiatan ini meliputi: i) diskusi komunitas, ii) analisa kebijakan program dan anggaran BAHTERAMAS, iii) pengumpulan data pelaksanaan anggaran BAHTERAMAS di komunitas, dan iv) analisa kinerja anggaran BAHTERAMAS di lokasilokasi sasaran program. Metode pelaksanaan melalui kajian dokumen, observasi, wawancara, studi kasus dan FGD bersama masyarakat. Selama proses pelaksanaan audit sosial, masyarakat didampingi oleh distrik fasilitator. Audit sosial ini telah mengkaji: 1) kelembagaan program BAHTERAMAS, 2) partisipasi masyarakat miskin dan marjinal termasuk perempuan, 3) bentuk kegiatan dan penerima manfaat dengan data terpilah, 4) dampak-dampak sosial kegiatan program BAHTERAMAS khususnya dampak program masyarakat termiskin di desa. 5. Diseminasi Hasil Audit: kegiatan ini bertujuan untuk menyebarluaskan laporan hasil audit yang dilakukan masyarakat atas program BAHTERAMAS melalui kampanye, publikasi dan dialog dengan pemerintah dan DPRD provinsi atas temuan hasil audit. Kegiatan telah dilakukan dalam bentuk dialog di radio lokal, briefing/ konferensi pers dan 2 diskusi reguler dengan media, LSM, Ormas, perguruan tinggi, Partai Politik, anggota DPRD dan BPM dan Inspektorat Daerah. 6. Pelembagaan Audit Sosial Di Daerah: pelembagaan bertujuan untuk mendorong digunakannya metode dan 13
YPSHK - TIFA
Kedermawanan Semu
Audit Sosial Program Bahteramas
hasil audit sosial dalam mekanisme pengawasan anggaran di daerah khususnya di DPRD. Kegiatan ini dilakukan dalam bentuk lobby dan hearing untuk mendorong DPRD agar menyusun rencana kerja dewan untuk menindaklanjuti temuan dan laporan hasil audit sosial oleh masyarakat. Lobby dan hearing oleh perwakilan masyarakat sasaran program dengan didampingi oleh distrik fasilitator dan staf program. 7. Monitoring: kegiatan ini dilakukan untuk memastikan agar hasil audit sosial ditindaklanjuti oleh pemerintah daerah, baik eksekutif maupun legislatif. Monitoring ini dilakukan dalam bentuk wawancara dengan masyarakat, wawancara dengan eksekutif dan legislatif, koleksi dokumen kebijakan yang terkait dengan ada tidaknya tindaklanjut atas temuan dan rekomendasi hasil audit sosial serta kliping dan koleksi pemberitaan media massa. Agar hasil-hasil audit sosial ditindaklanjuti secara serius oleh pemerintah, selama proses monitoring dirangkaikan dengan kegiatan-kegiatan advokasi dalam bentuk lobby, kampanye serta hearing. 8. Penerbitan Buku: sebagai bagian dari lesson-learned, YPSHK menerbitkan buku tentang Bunga Rampai Pengalaman selama menjalankan program.
14
YPSHK - TIFA
Kedermawanan Semu
Audit Sosial Program Bahteramas
1.2. Cerita di Balik Program Sepenggal Kisah dari Pelosok ST Fatimah nampak kelelahan. Peluh, memenuhi wajahnya yang bundar. Seharian sudah Ia harus bolak balik masuk kampung dengan motor sewaan, tepat pertengahan Januari 2011 silam. Kedatangan perempuan berjilbab di desa Towua untuk mengemban sebuah misi mencari aktor. Tapi jangan salah, ST Fatimah bukan hendak mencari aktor film, melainkan aktor kunci desa yang akan melakukan audit sosial Program Bahteramas. Sebuah program milik pemerintah Provinsi Sulawesi Tenggara. ST Fatimah sendiri adalah petugas Distrik Fasilitator Program Audit sosial Program Bahteramas Wilayah Kabupaten Kolaka, yang dibentuk Yayasan PSHK bekerjasama dengan Tifa Foundation. ST Fatimah yang akrab disapa Fetty terpaksa harus dibuat pusing tujuh keliling bolak-balik mencari pengganti aktor kunci ke desa, bahkan juga dengan ‘terpaksa’ mengganti desa rujukan karena dinilai tidak refresentatif untu dijadikan sampel. Seperti yang terjadi di Desa Towua. Dari sekian aktor kunci yang siap terpaksa harus mundur dengan berbagai alasan yang dibuat-buat. Kisah Fetty inilah adalah sepenggal kisah dari para ujung tombang audit social bahteramas dari lapangan jauh di pelosok pedesaan sana. Dimana para auditor harus sekuat tenaga mencari actor kunci demi mengurai problem program gratis ala pemerintah Sulawesi tenggara itu. Seperti dikisahkan para ujung tombak audit soisl, bahwa, mencari aktor kunci menjadi tantangan tersendiri dalam mengungkap pengeloaan program bahteramas di pedesaan. Bukan saja karena aktor kunci yang tidak siap dan merasa takut, tetapi juga adanya berbagai alasan 15
YPSHK - TIFA
Kedermawanan Semu
Audit Sosial Program Bahteramas
kesibukan mereka sebagai warga masyarakat dan rumah tangga mereka. Inilah yang dialami para Distrik Fasilitator yang mencari actor kunci pengelolaan program hingga ke pelosok dan berkali-kali mengganti aktor kunci yang mengundurkan diri. Keinginan masyarakat untuk bergabung karena selain sibuk, kedua karena tidak pernah mengikuti kegiatan, berani tampil dengan masyarakat untuk mengeluarkan pendapat. Untuk aktor kunci perempuan kesulitan yang dihadapi karena selain harus mendapatkan izin dari suami , sibuk mengurus rumah tangga juga menjadi alasan yang tak bisa diabaikan . Simaklah kisah para Fetty yang menjadi distrik fasilitator audit social di Kabupaten Kolaka. Dia menceritakan bagaimana lika-liku pencarian actor di desa dampingannya. “Di Desa Towua, Saya terpaksa harus dua kali mengganti aktor kunci. Keduanya adalah perempuan sehari-hari bertugas sebagai kader posyandu,�kata Fetty. Aktor pertama mundur dengan alasan sibuk dan tidak mendapatkan izin dari suami. Sedang aktor kedua mundur dengan alasan tidak memiliki pengalaman karena tidak pernah melakukan kegiatan sosial. Aktor tersebut juga mengaku merasa minder dan takut menjalankan program tidak memiliki kemampuan berorganisasi. DF merasakan kekecewaan dan rasa putus asa karena merasakan tidak ada lagi yang bisa memberikan bantuan, apalagi orang yang direkomendasikan oleh sekretaris desa tidak berminat atau tidak tertarik dengan kegiatan tersebut. Di tengah kekecewaan tersebut beruntung DF bertemu dengan ibu Marta yang merupakan aktor kunci yang memang aktif kegiatan social terutama dalam posyandu. Pertemuan ini difasilitasi oleh Pak Ansarullah, seorang aktor kunci bidang Block Grant. Beliau merekomendasikan Ibu marta dengan alasan salah satu kader posyandu yang aktif dalama kegiatan social dan cukup kritis di masyarakat. 16
YPSHK - TIFA
Kedermawanan Semu
Audit Sosial Program Bahteramas
Saat pertama kali bertemu ibu Marta yang didampingi suaminya, DF memberikan penjelasan tujuan dan kegiatan sebagai aktor kunci. Tak hanya di Desa Towua, DF juga merasakan kesulitan mencari actor kunci di desa Puubunga. Pertama bagi DF merasakan sdm yang minim karena warganya tingkat pemdidikan warga yang rendah (hanya tamat SMA), tidak memiliki pengalaman berorganisasi. DF bertemu seorang warga yang berpendidikan S1 dan dulunya seorang guru honorer di sebuah sekolah dasar. Saat ditawari menjadi aktor kunci, pria tersebut tidak tertarik dengan alasan sibuk dan khawatir kegiatan audit social akan mengganggu pekerjaannya sebagai pedagang. Di desa ini mencari aktor kunci pria jauh lebih sulit dibanding mencari aktor kunci perempuan, karena perempuan di desa tersebut lebih aktif dalam kegiatan social kemasyarakat dan banyak terlibat dalam kegiatan program pemberdayaan sejenis seperti Program PNPM Mandiri dan sejumlah kegiatan lainnya. Atas saran aktor kunci program BOP (Ibu Murni), akhirnya DF memutuskan mencari aktor kunci perempuan di desa itu, dan bertemu Ibu Siyam seorang kader posyandu. Saat bertemu dengan Ibu Siyam, DF sempat memberikan penjelasan tentang tujuan pencarian actor kunci tersebut. “Semula beliau menolak karena kegiatan audit sosial itu akan mengganggu kegiatan nya sebagai petani sawah. Apalagi jadwal panen padi yang segera akan tiba tahun ini. Saya lantas menjelaskan kepada Ibu Siam bahwa program audit social tersebut sedapat mungkin tidak akan mengganggu kegiatan panen padi,�kata ST. Fatimah yang juga disapa Fatty. Dalam pencarian actor kunci DF memang benarbenar harus bekerja ekstra, terautama terkait dalam menjelaskan soal jadwal kegiatan kepada setiap aktor kunci yang punya latar belakang pekerjaan berbeda-beda. “Syukurlah akhirnya Ibu Siyam akan yang semula kuatir dapat menerima tawaran menjadi aktor kunci untuk 17
YPSHK - TIFA
Kedermawanan Semu
Audit Sosial Program Bahteramas
Pembebas Biaya Pengobatan (PBP) Program Bahteramas. Aktor kunci nampaknya baru menyadari, jika tantangan dari menjadi informan itu cukup sulit dan juga memberikan pengaruh terhadap kehidupan bermasyarakat mereka sehari-hari. Kekuatiran atas intimidasi dari para pelaku program seperti pemerintah desa, setidaknya membuat actor kunci berpikir untuk menerima tawaran program audit sosial ini. Beruntunglah beberapa masyarakat yang secara sadar mau membagi informasi terkait lika-liku pengelolaan program bahteramas di desa mereka. Pencarian aktor juga dilakukan di Buton Utara. Di daerah ini DF terpaksa melakukan “pendekatan sacara adat� untuk mendapatkan para aktor kunci pilihan. Seperti halnya di Kabupaten Kolaka, para aktor ragu dan kurang merespon kehadiran Distrik Fasilitator, apalagi mau berbagi informasi tentang program-program Bahteramas di desa mereka. Sikap tidak peduli ini sempat membuat Abd Haris, petugas Distrik Fasilitator Buton Utara kebingungan. Haris terpaksa berulang-ulang berkonsultasi dengan sejumlah tokoh masyarakat desa untuk dapat masuk dan mencari aktor-aktor kunci di desa itu. Namun berbeda dengan di Kota Kendari yang cenderung mudah karena hampir semua actor kunci yang ditemui memiliki kemauan kuat untuk menjadi tenaga pengawas program pemerintah. Di Kelurahan pungolaka misalnya, DF melakukan pertemuan langsung dengan Bapak Abdul Wahid (53 thn), seorang pedagang keliling yang juga sebagai anggota Komite Sekolah di Kelurahan Punggolaka. Serta Bapak Tarif Galarang (56 Thn) seorang wakil dari LPM Kelurahan Punggolaka dan seorang mantan lurah di Punggolaka. Juga menemui Ibu Nurhana (43 thn), Ketua kader posyandu di Kelurahan Punggolaka. Diberkan rekomndasi bernama Ny. Amin sempat diminta dengan alasan dia hanya anggota kader posyandu yang tidak bisa memutuskan satu keputusan, sehingga saat itu Ny Amin 18
YPSHK - TIFA
Kedermawanan Semu
Audit Sosial Program Bahteramas
menawarkan kepada ibu-ibu dan ada tawaran permintaan dari YPSHK akan ada penelitian tentang program bahteramas dan reaksi ibu mereka nyatakan setuju. Beragam reaksi saat pertama kali DF memperkenalkan akan adanya program audit social ini. Seorang warga di Punggolaka bahkan, seorang Di kantor kelurahan itu banyak kebohongan Pak Burhan Butuh waktu dua minggu DF Kota kendari mendapatkan nama kunci. Pencarian aktor kunci di Kota Kendari ini cukup cepat dibanding dua kabupaten lainnya karena DF Kota Sitti Hermin Tahir cukup agresif . Di banding kelurahan punggolaka, mencari actor kunci di Kelurahan Petoaha jauh cukup sulit, jalur transporsi yang tidak ada dan harus naik perahu menuju rumah penduduk dan hanya ada transportasi ojek. “Saya harus menunggu lama untuk menjangkau rumah warga,”kata Ciming. Yang sangat lama mendapat persetujuan untuk menjadi aktor kunci pada kader posyandu dan LPM. Kalo kader posyandu saya bertemu lima orang, beragam alasan, pertama soal anak, urusan rumah tangga untuk bersama-sama melakukan program ini. Pilihan akhirnya jatuh pada ibu Nurdia karena mau belajar melakukan kegiatan audit social. “Untuk Pak David, karena di sana, sekolah hanya ada SD saja. Saya liat dia relawan di sekolah itu, semula saya kira dia seorang guru tetapi tenyata relawan,” Cimin mengaku bertemu dengan kepala sekolah. “Dia sempat mempertanyakan tentang tujuan kedatangan saya. Saya jelaskan bahwa saya mencari aktro kunci untuk program audit social bahteramas. Kepala sekolah sempat bertanya apakah audit berkaitan laporan sekolah. Saya bilang bukan untuk laporan audit laporan, tetapi berkaitan dengan perkembangan program bahteramas saat ini. Kepala sekolah pun menyetujui dan akhirnya beliau merekomendasikan nama Pak David dengan alasan David sangat bersemangat dengan program yang 19
YPSHK - TIFA
Kedermawanan Semu
Audit Sosial Program Bahteramas
demikian,”ungkap Ciming. Saat bertemu David, Ciming tidak lagi kesulitan untuk berkomunikasi dan menyatakan kesiapannya menjadi actor kunci. Dia minta penjelasan tentang actor kunci itu. Saya jelaskan tentang program ini aka nada actor lainnya, seperti program Bahteramas dan program PBP. Aktor kunci lainnya yakni Pak Agus. Pria yang sedikit ribet untuk bertemu. “Saya bertemu pak Agus atas petunjuk pak lurah dan ketua LPM. Saat itu Pak Agus sendiri baru bergabung di LPM Petoaha.”kata Ciming. Selama lima hari Ciming mengejar dan membujuk Agus untuk menjadi actor kunci. “Saya mencoba terus membangun komunikasi dan mengambil janji untuk bertemu di lokasi peternakan sapi. Tapi itu pun dia belum setuju. Bahkan Pak Agus sempat meninggalkan saya tanpa alasan yang jelas,”kata Ciming mengenang masa-masa pahit saat mencari actor kunci. Kelihatannya Agus trauma dengan kata audit sosial. Ia sempat bertanya apa yang mau diaudit karena semua ada pembangunan. Hubungan baru cair setelah Pak Agus dijelaskan tentang posisi program. “Kepada saya, pak Agus mengaku merasa risih bicara tentang audit dan baginya sesuatu yang menakutkan karena pekerjaan berat memeriksa keuangan. Sepanjang program ini butuh komunikasi yang intens dari seorang DF dan penjelasan yang detil tentang program. Kendala yang dihadapi para actor kunci itu meminta keterangan dari masyarakat, yang selalu acuh dan tidak peduli. Karena untuk melakukan FGD saja itu susah untuk meminta sehingga DF pun terkadang harus turun tangan untuk membantu actor kunci (bekerjasama) memfasilitasi pertemuan di lapangan. Sejauh ini intimidasi terhadap aktor kunci program audit sosial belum nampak. Dan para aktor kunci juga sudah terbiasa dengan kegiatan tersebut. DF tidak begitu kesulitan memberikan penjelasan tentang program audit social kepada ketiga aktor karena 20
YPSHK - TIFA
Kedermawanan Semu
Audit Sosial Program Bahteramas
sudah menjadi perhatian utama sang calon aktor. Bahkan pencarian aktor kunci di Kota Kendari boleh dikata cukup mudah dan para aktor yang dipilih menduduki posisi strategis di desa mereka, seperti aktoraktor kunci di Kelurahan Petoaha, DF menemui Bapak Agus Salim (38 thn) yang kini menjabat sebagai ketua LPM di Petoaha. Ada juga Bapak David (52 thn), Ketua Komite Sekolah di Kelurahan Petoaha, serta Ibu Nurdia (41 thn), seorang petani rumput laut di petoaha.
21
YPSHK - TIFA
Kedermawanan Semu
Audit Sosial Program Bahteramas
Asessment yang Melelahkan “Melakukan asessment tentu sesuatu yang melelahkan, Selain harus bersabar mencari actor kunci yang akan menjalankan program di desa juga harus berulangkali memberi penjelasan pada actor kunci. Tak cukup sampai disitu keterlibatan menganalisis data wilayah mutlak harus dilakukan untuk mengetahui peta wilayah yang akan didampingi. Ini yang pertama kali saya lakukan,�ungkap Siti Fatimah mengawali ceritanya. Jumat, 7 Januari 2011 silam, Saya mencoba mencari data terkait dua kecamatan. Langkah mencari buku Kolaka dalam angka menjadi pilihan pertama pekerjaan ini. Ini dilakukan dalam rangka menentukan kecamatan dan desa dampingan yang akan dijadikan lokasi audit sosial. Saya bersama tim YPSHK mempelajari data kependudukan kabupaten kolaka. Dari analisis ini tim memutuskan pilihan pada dua kecamatan yang akan menjadi lokasi dampingan selama program audit sosial berlangsung, yakni Kecamatan Wundulako dan Kecamatan Mowewe. Alasanya lokasi kecamatan yang dekat dengan ibukota kabupaten dan penduduknya telah merasakan hadirnya program Bahteramas. Dari data yang ada, kedua wilayah kecamatan ini memiliki karekteristik berbeda. KecamatanWundulako sebagian penduduknya tinggal di daerah pesisir laut dengan mata pencaharian sebagai nelayan dan petani rumput laut. Sedang penduduk di Kecamatan Mowewe lebih banyak bertani atau berkebun. Dalam statistik tercatat Kecamatan Wundulako memiliki 6 desa dan 5 kelurahan dengan jumlah penduduk 16.978 jiwa, laki-laki 8.655 jiwa dan perempuan 8.323 jiwa. Dari segi pendidikan Kecamatan Wundulako memiliki sekolah TK sebanyak 6 unit (swasta) dengan jumlah murid sebanyak 366 murid TK dan jumlah guru sebanyak 72 22
YPSHK - TIFA
Kedermawanan Semu
Audit Sosial Program Bahteramas
guru. SD 16 unit (negeri),166 guru SD, 2.824 siswa SD. Gedung SLTP sebanyak 5 unit (negeri),jumlah guru 64 orang dan jumlah murid sebanyak 1.160. Sementara gedung SLTA sebanyak3 unit ( 2 Negeri dan 1 swasta) dengan jumlah guru sebanyak 51 orang dan jumlah siswa sebanyak 858. Untuk fasilitas kesehatan Kecamatan Wundulako memiliki 1 puskesmas dan 3 puskesmas pembantu,15 posyandu dan 8 Bakesra. Jumlah tenaga kesehatan di kecamatan Wundulako, Dokter sebanyak 2 orang, perawat sebanyak 36 orang, bidan 14 orang, dan dukun bayi yang terlatih sebanyak 9 orang. Jumlah Jompo dan penyandang cacat di kecamatan Wundulako, jompo sebanyak 189 orang, cacat anggota badan 15 orang. Jumlah penyandang masalah kesejahteraan sosial di Kecamatan Wundulako, masyarakat terasing sebanyak 316 KK, anak terlantar (dalam panti) 38 anak, keluarga fakir miskin sebanyak 7.660, tunasusila 11 orang. Adapun Jumlah anak panti asuhan yang sedang mengikuti pendidikan di Kecamatan Wundulako SD 18 anak, SLTP 10 anak, dan SLTA 10 anak. Kecamatan Mowewe berjarak 30 Km dari ibukota Kabupaten Kolaka, di mana sebagian besar penduduknya bermata pencaharian sebagai petani (berkebun dan bersawah) dengan jumlah penduduk sebanyak 7.022 jiwa. Kecamatan Mowewe terdiri dari 5 desa dan 3 kelurahan, laki-laki 3.524 jiwa dan perempuan 3.498 jiwa. Dari segi pendidikan Kec.Mowewe memiliki sekolah TK sebanyak 6 unit (swasta) dengan jumlah murid sebanyak 179 murid TK dan jumlah guru sebanyak 23 guru.SD 9 unit (negeri),79 guru SD, 1.202 siswa SD. Gedung SLTP sebanyak 3 unit (negeri),jumlah guru 20 orang dan jumlah murid sebanyak 388, Gedung MTs (setingkat SLTP) 1 unit (swasta) dengan jumlah guru 14, dan jumlah murid 106 siswa. Gedung SLTA sebanyak 1 unit (negeri) dengan jumlah guru sebanyak 18 orang dan jumlah siswa sebanyak 345. 23
YPSHK - TIFA
Kedermawanan Semu
Audit Sosial Program Bahteramas
Dari segi fasilitas kesehatan di Kecamatan Mowewe memiliki 1 puskesmas dan 4 puskesmas pembantu, 16 posyandu dan 4 Bakesra. Jumlah tenaga kesehatan di kec. Mowewe adalah Dokter sebanyak 2 orang, perawat sebanyak 14 orang, bidan 7 orang, dan dukun bayi yang terlatih sebanyak 10 orang. Jumlah Jompo dan penyandang cacat di kecamatan Mowewe adalah, jompo sebanyak 120 orang, tuna netra 4 orang, cacat anggota badan 18 orang, cacat mental 7 orang. Jumlah penyandang masalahkesejahteraan sosial di kec.Mowewe adalah keluarga fakir miskin sebanyak 4.021 jiwa. Pada Januari 2011, Distrik Fasilitator (DF) mengunjungi Kecamatan Wundulako. ”Kami berharap bisa bertemu dengan salah satu staff kecamatan agar bisa mendapatkan informasi desa-desa apa yang termasuk di dalam kecamatan Wundulako dan bisa menentukan desa yang akan dijadikan desa dampingan,”cerita Fatimah. Saat itu Fatimah berharap bertemu dengan Camat Wundulako, yang menjadi sasaran aktor kunci. ”Namun beliau tidak berada di tempat,dan hanya bisa menemui Pak Jaddal,S.sos.M.si, yang kebetulan menjadi sekretaris camat. Jaddal merespon baik kehadiran kami dengan memberikan nama-nama desa yang termasuk dalam kecamatan wundulako, dan dari desa-desa itu beliau menyarankan mengambil Desa Sabiano atau desa Towua karena desa tersebut menurutnya desa yang penduduknya agak termarjinalkan dari desa-desa yang ada di kecamatan wundulako. DF memutuskan memilih Desa Towua yang terletak paling ujung dari Kecamatan Wundulako dan posisinya dekat pesisir pantai,”ungkapnya. Pada hari yang sama, DF memutuskan untuk ke kantor balai Desa Towua untuk bertemu kepala desa dan mencari informasi siapa-siapa calon 3 aktor kunci di desa tersebut. Transportasi ojek menjadi pilihan mengingat tidak adanya angkutan kota atau desa yang menuju desa tersebut selain ojek. ”Saya bertemu ibu Norma, Sekretaris Desa 24
YPSHK - TIFA
Kedermawanan Semu
Audit Sosial Program Bahteramas
Towua. Beliau merespon secara positif kehadiran Kami dan memberikan beberapa nama warga yang bisa membantu untuk aktor kunci,”kata Fatimah. Dari petunjuk yang ada, DF menuju Dusun Tiga, Desa Towua. ”Niatnya bertemu Kepala Dusun Tiga, Pak Ismail, beliau adalah salah satu calon aktor kunci. Tapi sayang Pak Ismail tidak berada di tempat karena sedang di kendari untuk satu urusan,”ujar Fatimah dengan wajah kecut. Tak patah arang, Fatimah segera bergegas ke Komite Sekolah yang juga target aktor kunci namun lagi-lagi orang yang dicari tidak berada di tempat. Fatimah terhenyak. Ia menarik napas dalam-dalam. ”Mencari aktor kunci audit sosial memang gampanggampang susah. Butuh kesabaran plus pandai-pandai mencari solusi alternatif adanya penolakan warga yang tidak bersedia menjadi aktor kunci. Jalan satu-satunya yakni dengan berkunjung di setiap rumah warga dan mencari informasi siapa kira-kira yang bersedia membantu dan dijadikan aktor kunci,”katanya, sambil tersenyum. Hari itu DF terpaksa kembali ke balai desa bertemu Ibu Norma, Sekretaris Desa. Fatimah kembali terlibat diskusi. Beruntung Ibu Norma membantu mengidentifikasi dan memberikan beberapa nama. Tidak mau berlama-lama Fatimah berpamitan. Ia kembali mencari tiga rumah warga itu, diantaranya Kepala Dusun Dua, Ketua Badan Perwakilan Desa (BPD) dan Pak Jamal, Ketua Kelompok Tani di Desa Towua. Beralasan sibuk dengan pekerjaan, Pak Jamal menolak. ”Urus BPD saja sudah membuat saya pusing,”ungkap Jamal pada Fatimah. Meski begitu, Pak Jamal tetap membantu menyodorkan tiga nama warga desa, yakni Ansarullah, Samsul Bakri dan Andarias. Ketiganya dikenal biasa mendampingi masyarakat satiap kegiatan masuk desa. Perjalanan melelahkan hari itu terbayar sudah, setelah Pak Ansarullah dan Pak Andarias bersedia menjadi aktor kunci. Ansarullah 25
YPSHK - TIFA
Kedermawanan Semu
Audit Sosial Program Bahteramas
adalah aparat desa yang membidangi dana pembangunan desa pada program Block Grant. Sedang Andarias aparat desa membidangi dana bantuan operasional pendidikan. Keduanya bersedia karena ingin mengetahui manfaat program Bahteramas di masyarakat. Dari keduanya, DF memperoleh informasi adanya bantuan program bahteramas untuk masyarakat nelayan berupa bantuan perahu. Keesokan harinya, DF kembali ke desa. Misi kali ini mencari Ketua Kader Posyandu ibu Martha. Tapi ibu Martha tidak berada di tempat. DF memutuskan mencari kader lain di posyandu. Mereka bertemu tiga kader, yakni Ibu Anti, Marlina, dan Ibu Sia. Dari ke tiga nama itu, DF hanya dapat menemukan ibu Sia di rumahnya. �Pagi itu Kami berdua banyak mengobrol tentang program posyandu. Bagaimana antusias warga yang cukup respon dengan timbang menimbang bayi. Meski banyak tahu informasi, namun, Ibu Sia tidak bersedia menjadi aktor dengan alasan tidak pintar dan sibuk mengurus keluarga,�kata Fatimah. Cemas bergelayut dibenak Fatimah. Hari itu, Ia kembali kendala. Dua aktor tidak bisa ditemui sama sekali. Harapan terakhir adalah ibu Anti, seorang petani rumput laut. Dengan berjalan kaki Fatimah dan rekannya menyusuri pematang tambak sejauh tiga ratus meter tempat ibu Anti mencuci rumput laut yang telah di panen dan akan di jemur. Saat bertemu Kami mencoba meyakinkan dan menjelaskan ke aktor kunci kalau kegiatan ini akan melatih aktor kunci sebelum melakukan audit sosial bahteramas. Untunglah, dari hasil bincang-bincang itu, ibu Anti bersedia dijadikan aktor kunci di bidang bantuan pengobatan gratis untuk masyarakat miskin,�ungkapnya. Mencari aktor kunci memang penuh liku dan harus penuh kesabaran. Itulah yang dirasakan Fatimah. Baru sehari mendapatkan Ibu Anti sebagai aktor kunci di Desa Towua, mendadak Ibu Anti mengundurkan diri dengan 26
YPSHK - TIFA
Kedermawanan Semu
Audit Sosial Program Bahteramas
alasan sibuk mengurus rumput laut. Mau tak mau kami harus mengganti Ibu Anti. Asessment aktor kunci pengganti di Desa Towua secepatnya kami lakukan kembali. Pengunduran diri ibu Anti tenntu pukulan berat buat DF. Mereka harus kembali ke Desa Towua mencari calon aktor kunci yang baru. �Kami menemui Ketua kader Posyandu Desa Towua Ibu Martha. Tapi hari itu ibu Martha tengah berada di kebun/sawah sehingga DF memutuskan untuk menemuinya pada malam hari. Saat bertemu kami menjelaskan tentang program audit sosial, Ibu Martha akhirnya bersedia membantu untuk dijadikan aktor kunci di bidang bantuan pengobatan gratis untuk masyarakat miskin di desa Towua,�kata Fatimah. Dari Kecamatan Wundulako, DF terus memperluas survey lokasi asessment untuk mencari aktor. Pada Selasa, 11 Januari 2011, kami mengunjungi lokasi yang akan dijadikan lokasi dampingan di Kecamatan Mowewe. Dari rumah menuju ke kantor kecamatan Mowewe dengan menggunakan mobil sewa. Hari itu, DF berharap bisa bertemu dengan camat atau staf kecamatan agar bisa mendapatkan informasi desa-desa apa yang termasuk di dalam kecamatan Mowewe dan bisa menentukan desa yang akan dijadikan desa dampingan. Namun, camat dan staf kecamatan tidak berada di kantor kerena semua berada di lapangan untuk bekerja bakti. Tidak bertemu aparat kecamatan, DF mengambil keputusan untuk bertanya ke masyarakat Mowewe mengenai Desa-desa yang yang ada di kecamatam Mowewe. Dari hasil perbincangan dengan salah satu warga, dari 5 desa yang ada di Mowewe. Rata-rata desa tersebut masih termasuk kategori desa tertinggal. �Dari desa 5 desa yang ada, kami memilih Desa UluMowewe sebagai desa yang akan diasessment untuk mencari 3 aktor kunci untuk berperan dalam kegiatan audit sosial bahteramas,�demikian Fatimah. 27
YPSHK - TIFA
Kedermawanan Semu
Audit Sosial Program Bahteramas
Hari menjelang siang, waktu tersisa kami melanjutkan asessment. DF langsung menuju kantor desa untuk bertemu kepala desa dan mencari informasi siapa-siapa calon 3 aktor kunci di desa UluMowewe. “Saat tiba balai desa kosong melompong, tidak ada staf yang bisa dijumpai. Bahkan balai desa sudah tertutup rapat. Konon kepala desa dan sekdes ada kegiatan di lapangan kecamatan Mowewe. Kami kemudian mendatangi rumah kades dan bertemu dengan istri kades. Kami juga menanyakan siapa nama kader posyandu di desa itu. Ibu kades memberitahu satu nama yakni ibu Haniah,�kata Fatimah. Dari rumah Kades, DF mencari rumah kader posyandu Ibu Haniah. Bertemu keduanya terlibat perbincangan. �Kami ingin mengajak ibu Haniah bersama-sama dengan dua warga Ulumowewe untuk melakukan pendampingan kegiatan audit sosial bahteramas,�. Awalnya ibu Haniah enggan untuk dilibatkan karena dengan alasan tidak tahu apa itu Bahteramas Apalagi Ia tidak memiliki pengalaman ikut kegiatan-kegiatan di luar kegiatan posyandu. Beruntung Ibu Haniah bersedia di jadikan aktor kunci di bidang bantuan pengobatan gratis untuk masyarakat miskin. Dari ibu Haniah, DF memperoleh dua nama untuk aktor kunci, yaitu Pak Nasir dan Pak Kasmin. Dari informasi itu DF ke rumah Pak Kasmin, tetapi Pak Kasmin berada di kebun untuk panen kakao. Dengan ditemani tetangga Pak Kasmin DF menuju kebun. Pak Kasmin sempat menolak dijadikan aktor kunci dengan alasan takut melakukan kegiatan yang berhubungan dengan program audit. Setelah DF menjelaskan garis besar dari program ini yakni untuk melihat dari sisi sosial, apakah program bahteramas yang telah berlangsung beberapa tahun punya manfaat bagi masyarakat, akhirnya Pak kasmin bersedia di jadikan aktor kunci dibidang bantuan Operasional pendidikan asalkan jadwal kegiatan tidak menggangu aktifitas sebagai petani. Ada beberapa hambatan mendapatkan aktor kunci di 28
YPSHK - TIFA
Kedermawanan Semu
Audit Sosial Program Bahteramas
daerah ini, dan dianggap sangat sulit karena masyarakat menganggap dirinya tidak mampu, bodoh dan tidak berpendidikan tinggi untuk melakukan kegiatan selain berkebun dan bersawah Sehingga upaya solusi yang dilakukan yakni memberi motivasi, kalau kegiatan ini akan memberi pengalaman baru untuk terjun ke masyarakat dan dari kegiatan ini masyarakat akan diberi pelatihan sebelum turun ke masyarakat. “Dari pertemuan dengan Pak Kasmin, beliau menyarankan untuk menemui pak Nasir untuk dijadikan aktor kunci,�. Hari menjelang malam, kegiatan asessment untuk mendapatkan aktor kunci kami lanjutkan keesokan harinya. Dengan agenda menemui Pak Nasir untuk dijadikan aktor kunci. Dengan menngunakan motor rental dari tempat menginap di Kecamatan Mowewe kami selaku DF menuju Desa UluMowewe untuk bertemu dengan Pak Nasir, tapi ternyata pak Nasir sudah ke kebun untuk membuatkan rumah kebun salah satu warga. DF meminta tolong ke istri pak Nasir agar mau mengantar ke kebun, dengan menggunakan motor rental DF dan Istri Pak Nasir menuju ke kebun. Ternyata motor tidak bisa sampai ke kebun karena harus melewati beberapa sawah milik warga. Kami memutuskan menyimpan motor di pekarangan rumah warga. Lalu berjalan kaki melewati hamparan sawah menuju kebun tempat Pak Nasir bekerja. Butuh setengah jam berjalan kaki, akhirnya bertemu dengan Pak Nasir. Di kebun kami berbincang panjang lebar. Pak Nasir sempat menanyakan apakah akan ada program bantuan dari pemerintah. Dari hasil perbincangan Pak Nasir sangat antusias untuk membantu melakukan audit sosial. Pak Nasir bersedia membantu dan dijadikan aktor kunci di bidang dana bantuan pembangunan desa/ block grant. Kondisi Topografi wilayah desa-desa di Kecamatan Mowewe yang sulit membuat DF mengambil keputusan darurat dengan mengganti lokasi assesment, dari lokasi 29
YPSHK - TIFA
Kedermawanan Semu
Audit Sosial Program Bahteramas
sebelumnya di Kecamatan Mowewe ke Kecamatan Baula. DF berpandangan pergantian disebakan faktor medan yang sangat sulit untuk menuju desa dampingan di Desa Ulumowewe. Sebelum memutuskan mengganti lokasi dampingan, pada Minggu 16 Januari 2011, kami mencoba menganalisis data kecamatan Baula untuk menentukan desa yang akan di asessment sebagai lokasi dampingan program. Membaca dan menulis beberapa data statistik kependudukan kecamatan Baula sesuatu yang wajib dari program audit sosial ini. Karena dari data kita akan mengetahui potensi daerah, khususnya ketersediaan infrastruktur yang ada di wilayah tersebut. Dari data yang ada diketahui jika mayoritas penduduk Kecamatan Baula bersawah dan berkebun. Ada juga yang menjadi buruh tani di lahan pertanian orang. Kecamatan Baula sendiri memiliki 8 desa dan 1 kelurahan dengan jumlah penduduk 8.753 jiwa, laki-laki 4.425 jiwa, perempuan 4.328 jiwa. Kecamatan ini memiliki gedung TK sebanyak 6 unit (swasta) dengan jumlah siswa 130, dan jumlah guru 40 orang. Sedangkan gedung SD sebanyak 12 unit (negeri),77 guru SD dan 1.570 murid SD. Gedung SLTP sebanyak 1 unit (negeri), dengan jumlah guru18 orang, siswa sebanyak 283 orang. Gedung MTS setingkat SLTP sebanyak 1 unit (swasta) dengan jumlah guru sebanyak 17 orang dan jumlah siswa 105. Gedung SLTA sebanyak 1 unit (negeri) dengan jumlah guru sebanyak 45 orang dan jumlah siswa sebanyak 650. Dari segi fasilitas kesehatan Kecamatan Baula memiliki 1 puskesmas dan 4 puskesmas pembantu, 11 Posyandu dan 6 Bakesra. Jumlah tenaga kesehatan di Kecamatan Baula, dokter 2 orang, perawat 29 orang, bidan 13 orang dan dukun bayi terlatih 10 orang. Jumlah jompo dan penyandang cacat di Kecamatan Baula jompo sebanyak 100 orang, tunanetra tidak ada, cacat anggota badan tidak ada dan cacat mental juga tidak ada. Jumlah penyandang masalah kesejahteraan sosial di 30
YPSHK - TIFA
Kedermawanan Semu
Audit Sosial Program Bahteramas
Kecamatan Baula keluarga fakir miskin sebanyak 6.612, anak terlantar (dalam panti) sebanyak 20 orang. Usai mengumpulkan data wilayah, kami melanjutkan asessment Desa Puubunga kecamatan Baula untuk menentukan 3 aktor kunci yang akan membantu DF untuk melakukan audit sosial bahteramas. Seperti sebelumnya, kami memulai pekerjaan dari rumah menuju lokasi asessment desa Puubunga. Dengan merental motor selama satu hari untuk mencari 3 aktor kunci. Distric Fasilitator langsung kerumah Kepala Desa, tetapi Kades sementara keluar daerah. Saya bertemu dengan ibu kades dan mengatakan pak Kades tengah berada di Makassar Sulawesi Selatan untuk sebuah urusan. Dari ibu kades saya mendapatkan informasi nama-nama yang bisa ditemui untuk dijadikan aktor kunci, mereka adalah Ibu Murni dan Ibu Siam. Usai bertemu dengan ibu Kades, DF menuju rumah Ibu Murni untuk menanyakan kesediaan menjadi aktor kunci. Syukurlah Ibu Murni bersedia untuk dijadikan aktor kunci di bidang Bantuan Operasional Pendidikan. Bahkan Ibu Murni sangat antusias untuk dijadikan aktor kunci. Ia mengatakan keterlibatannya dalam kegiatan audit sosial setidaknya dapat menambah pengalaman dan berharap akan bisa menambah teman diskusi. Dari rumah ibu Murni DF langsung menuju Ibu Siam (ketua kader posyandu), informasi dari anaknya d rumah, Ibu Siam lagi berada di sawah untuk masangki atau panen padi. Kami terpaksa membuat janji untuk datang hari senin kerumah ibu Siam. Keesokan harinya, kami melanjutan asessment di Desa Puubunga untuk mencari dua orang aktor kunci di desa ini. Saya berharap ada warga yang bisa membantu untuk dijadikan aktor kunci. Dengan menggunakan motor yang dirental DF di temani oleh ibu Murni (salah satu aktor kunci) berkunjung ke rumah Ibu Siam yang telah direkomendasikan oleh Ibu Kades untuk dijadikan aktor kunci. Saat bertemu dengan ibu Siam kami menjelaskan 31
YPSHK - TIFA
Kedermawanan Semu
Audit Sosial Program Bahteramas
maksud kedatangan kami dan menjelaskan ihwal program ini. Lalu mengajaknya untuk bergabung membantu menjalankan program audit sosial bahteramas di desanya. Semula ibu Siam ragu. ”Saya tidak mempunyai pengetahuan sedikit pun tentang apa itu programs Bahteramas, terutama bantuan pengobatan gratis untuk masyarakat miskin,”ujarnya. Namun karena ingin mengetahui lebih banyak apa itu bahteramas, Ibu Siam akhirnya bersedia dijadikan aktor kunci di bidang bantuan pengobatan gratis untuk masyarakat miskin. ”Saya akan berusaha mencobanya,”katanya Di Desa Puubunga, kami masih mencari satu aktor kunci lagi, terutama terkait dengan program block grant. Satu nama yang kami peroleh yakni Pak Nurdin. ”Apa itu audit sosial,”tanyanya. ”Saya menjelaskan jika progran audit sosial adalah hak individu masyarakat terhadap segala kegiatan yang dijalankan pemerintah,”kataku. Setelah mendengar panjang lebar penjelasan yang saya sampaikan akhirnya Nurdin bersedia. Tetapi sebelum sepeenuhnya menerima Ia perlu bertemu dengan Distrik Fasilitator dan dijadwalkan awal Februari 2011. “Saya ingat saat hari Selasa (18 Jan 2011), Hari masih pagi. Cuaca begitu cerah. Saya kembali ke Desa Towua dan desa Puubunga. Hari itu saya ke desa itu untuk memberitahukan ke aktor kunci tentang pertemuan yang akan dilakukan pada tgl 19-20 Februari antara koordinator program dan aktor kunci. Harapannya agar aktor kunci mengetahui jadwal petemuan dan akan ikut dalam pertemuan,”cerita Fety. Motor yang Fety tumpangi meluncur mulus menuju Desa Towua yang cukup terisolir itu, melewati jalan desa yang masih tahap perkerasan. Di desa itu saya mengunjungi masing-masing rumah aktor kunci dan bertemu langsung dengan mereka, kecuali ibu Martha yang masih berada di sawah. Saya hanya bertemu salaah satu anaknya dan menyampaikan pesan agar ibu Martha mengikuti 32
YPSHK - TIFA
Kedermawanan Semu
Audit Sosial Program Bahteramas
pertemuan yang akan diadakan tagl 19 di rumah salah satu aktor kunci Pak Ansarullah. Dari Desa Towua langsung menuju Desa Puubunga untuk menyampaikan jadwal pertemuan antara koordinator program dan tiga aktor kunci lainnya. Dari ke tiga aktor kunci cuma dua yang ditemui (ibu Murni dan ibu Siam) sedangkan Pak Nurdin tengah keluar kota. Dari pertemuan itu ktor kunci yang ditemui bersedia melakukan pertemuan karena ingin mengetahui lebih detail tentang program audit sosial agar mereka lebih paham tentang program audit sosial bahteramas. Saya memberi informasi terkait formula pertemuan antara koordinator program dengan para aktor kunci. �Kepada bapak ibu, kordinator program nantinya akan menjelaskan lebih rinci tentang apa tujuan program Audit sosial yang akan dilakukan. Tetapi sebelumnya saya selaku DF harus tetap berkoordinasi dengan aparat desa biar kegiatan audit sosial ini di ketahui oleh aparat desa dan masyarakat setempat,�jelasku.
33
YPSHK - TIFA
Kedermawanan Semu
Audit Sosial Program Bahteramas
Hari yang ditunggu tiba. Perjalanan dimulai dari kolaka. Pada rabu 19 Januari 2011 bersama-sama dengan koordinator program, kami menuju desa dampingan (Desa Towua). Menggunakan mobil, kami langsung ke rumah salah satu aktor kunci Pak Ansarullah, tempat akan diadakan pertemuan. Dalam pertemuan koordinator program memberikan penjelasan apa itu audit sosial, apa tujuan di adakan kegiatan audit sosial, memberikan gambaran tentang program audit sosial bahteramas. Apakah dengan adanya program bahteramas memberikan dampak bagi masyarakat Towua? Baik dampak positif ataupun negatif. Penjelasan ini diharapkan ada pemahaman yang lebih besar dari hasil pertemuan, di mana aktor kunci lebih paham akan program sosial bahteramas. Usai pertemuan kami memutuskan kembali ke Kolaka.
34
YPSHK - TIFA
Kedermawanan Semu
Audit Sosial Program Bahteramas
Pertemuan dilanjutkan keesokan harinya, saya kembali menuju Desa Puubunga dimana koordinator program akan melakukan pertemuan dan menjelaskan lebih rinci tentang apa tujuan program Audit sosial itu. Harapannya agar para aktor lebih paham tentang program audit sosial. Dari Kolaka, bersama-sama dengan koordinator program, kami menuju desa dampingan di Puubunga. Menggunakan mobil kami langsung ke rumah salah satu aktor kunci (ibu Siam) tempat akan diadakan pertemuan. Seperti halnya di Desa Towua, koordinator program memberikan penjelasan apa itu audit sosial, apa tujuan di adakan kegiatan audit sosial, memberikan gambaran tentang program audit sosial bahteramas.Apakah dengan adanya program bahteramas memberikan dampak bagi masyarakat Towua? Baik dampak positif ataupun negatif. Kalau berdampak positif apa manfaatnya, sedangkan berdampak negatif apa akibatnya
35
YPSHK - TIFA
Kedermawanan Semu
Audit Sosial Program Bahteramas
1.3. Sulawesi Tenggara dari Masa ke Masa Ada banyak cerita sejarah yang ditinggalkan para pemimpin daerah Sulawesi Tenggara sepanjang 47 tahun berdiri. Tertulis jelas dalam pernaskahan daerah, naskah pidato, dan sebagain tercatat dalam kolom-kolom media massa lokal. Masyarakat tergelitik melihat gedung-gedung peninggalan para penguasa-penguasa negeri ini sebelumnya, yang kini teronggok, tidak lagi diurus oleh penguasa berikutnya. Peninggalan-peninggalan buah dari kebijakan ini selayaknya disebut ‘sejarah kelam’ pembangunan Sulawesi Tenggara. Dalam libido kekuasaan, tak ada gubernur yang ingin disebut gagal dalam pemerintahannya. Tak ada pula gubernur yang hanya ingin memimpin satu periode. Yang lebih ingin adalah setiap gubernur harus punya prasasti dalam pembangunan di Sulawesi Tenggara. Jejak diri melalui ‘prasasti’ ini biasanya lebih dalam bentuk fisik. Harus ada yang kelihatan. Tanpa itu, seorang gubernur akan dianggap gagal. Jangan heran kalau siapapun yang memimpin Sultra selalu berusaha ada buah tangan yang monumental. Lihatlah bagaimana sisa-sisa bangunan yang masih berdiri hingga kini, tanpa bisa dimanfaatkan untuk kepentingan umum. Bangunan-bangunan itu dibangun dengan dana yang tidak sedikit. Dalam kalkulasi hitungan dana pembangunannya, maka bangunan itu bisa mencapai nilai puluhan bahkan ratusan milyaran rupiah. Bangunanbangunan ini dulunya diklaim sebagai ‘buah tangan’ dari orang-orang yang berkuasa, sebagai upaya meninggalkan jejak-jejak kekuasaan mereka, yang diklaim konon paling berhasil dibanding yang lain. Meninggalkan prasasti seperti gedung menjulang berbalut beton bertulang. 36
YPSHK - TIFA
Kedermawanan Semu
Audit Sosial Program Bahteramas
Ironisnya, tradisi meninggalkan jejak-jejak kekuasaan secara simbolik ini harus dibayar mahal oleh rakyat, karena pembangunan gedung-gedung itu berasal dari pajak keringat rakyat. Terhitung sangat sedikit pemimpinpemimpin masa lalu dan masa sekarang meninggalkan jejak kepemimpinan ‘berbalut’ program yang bisa memberi manfaat langsung bagi rakyat. Fase kekuasaan di negeri berjuluk ‘anoa’ ini di mulai kepemimpinan JA Wayong, seorang pria asal Manado. J. Wayong menjadi pejabat gubernur kurang lebih setahun (1964-1965) yang dikenal sebagai pemimpin peletak dasar pembangunan melalui langkah-langkah konsolidasi di bidang pemerintahan dan usaha memperbaiki kehidupan rakyat Sulawesi Tenggara kala itu. Lalu beralih La Ode Hadi (1965-1966), Brigjen Edy Sabara (1966-1978), Drs Abdullah Silondae (1978-1982), dan selanjutnya ke Gubernur Ir H Alala (1982-1992). Gubenur Ir H Alala berkuasa sepuluh tahun. Rakyat masih benar-benar ingat semboyan Gersamata yang merupakan akronim dari gerakan desa makmur merata yang bertumpu pada peningkatan produksi pertanian dalam arti masyarakat. Penyediaan dan peningkatan prasarana, sarana fisik dan sosial ekonomi. Pengembangan dan penerapan teknologi pedesaan. Peningkatan kualitas lingkungan hidup. Peningkatan kualitas hidup manusia/ masyarakat pedesaan. Ir H Alala dalam sebuah jurnal nasional ditasbihkan sebagai pemimpin yang meninggalkan jejak kekuasaan berbasis program. Sisa-sisa kejayaan gerakan ini masih nampak hingga sekarang di daerah kolaka, dimana rakyat kolaka hidup sejahtera dengan perkebunan kakao. Dalam tulisan di situs online kendari kita (www.kendarikita.com) wartawan senior Syahrir Lantoni, mencatat, bahwa, melihat ke belakang, ternyata mendiang Ir H Alala paling nyata dalam menampakkan karya 37
YPSHK - TIFA
Kedermawanan Semu
Audit Sosial Program Bahteramas
monumentalnya. Area eks STQ yang terletak di Jalan Abdullah Silondae adalah buah karya yang dimulai sejak pemerintahan almarhum Ir H Alala. Mesjid Agung Kendari juga lahir di bawah pemerintahan gubernur yang memimpin dua periode, periode 1982-1987 dan 19871992, ini. Kalau dua karya ini disebut monumental, gubernur yang lain mana? Almarhum Kaimoeddin, tidak terlihat monumental, tapi di periode dialah akses jalan-jalan di Kota Kendari mulai terbuka. Ketika Kaimoeddin memimpin di Kabupaten Muna, dia juga menancapkan satu bangunan bersejarah di sana, yaitu Stadion sepakbola Raha. Selepas Kaimoeddin, ada Gubernur Ali Mazi. Ada beberapa karya yang ditinggalkan oleh Ali Mazi, misalnya bandara Monginsidi disulap menjadi mewah dan besar, interiornya bagus dan kelihatan bahwa bandara itu sudah di atas standar. Tugu di area eks STQ sepertinya disebut-sebut juga buah tangan Ali Mazi. Ada pertanyaan, kalau tugu itu berdiri di areal eks STQ yang menjadi produk Ir H Alala, lantas apakah bisa disebut hasil kerja pemerintahan periode Ali Mazi (AM)? Anggaplah itu karya AM, timbul debat lagi, bukankah itu telah menghilangkan karya yang dibangun penduhulunya? Kalau suatu saat areal eks STQ itu masih digunakan untuk acara Seleksi Tilawatil Qur’an (STQ) tingkat nasional, bukankah area itu tidak berubah dan masih menjadi buah tangan Ir H Alala? Sepuluh tahun berkuasa, Ir H Alala akhirnya turun tahta digantikan Laode Kaimoeddin. Sejarah daerah ini pun mencatat, jika fase pembangunan fisik simbolik berbasis proyek inilah sesugguhnya dimulai dari era Gubernur Laode Kaimoeddin. Meninggalkan jejak pembangunan seperti infrastruktur seperti jalan raya dan sejumlah bangunan di Sulawesi Tenggara. Satu dasawarsa pengabdiannya Kaimoeddin 38
YPSHK - TIFA
Kedermawanan Semu
Audit Sosial Program Bahteramas
dengan program “empat sehat lima penyempurnaan” membangun sejumlah infrastruktur bangunan yang kini meninggalkan masalah. Sebutlah lokasi P2ID (Pusat Promosi Informasi Daerah) yang dibangun dengan dana ratusan miliar kini terbengkalai alias tidak terurus di pemerintahan berikutnya. Ali Mazi kemudian tampil menggantikan Kaimoeddin dengan mengusung semboyan Stelsel Masyarakat Sejahtera (SMS) yang memerintah Sultra selama satu periode yang kemudian digantikan oleh Nur Alam. Meski hanya lima tahun berkuasa, namun Ali Mazi mengklaim berhasil mewujudkan pembangunan yang ditandai symbol wujud bangunan. Bangunan tugu persatuan kokoh berdiri ditengah hamparan lahan ex STQ. Bangunan yang menghabiskan dana ratusan miliar itu, kini hanya teronggok seperti ‘batu nisan’ tanpa tersentuh lagi oleh pembangunan pemerintah berikutnya. Hanya satu periode memimpin, Nur Alam tampil menggantikan Ali Mazi, sebagian orang menganggap tampilnya Nur Alam akan membawa angin segar bagi kekuasaan daerah ini. Bukan saja di pilih langsung oleh rakyat melalui system pemilihan langsung, tetapi berkat embel-embel janji politik yang Ia lontarkan saat musim kampanye 2007 silam, yang konon akan mensejahterakan rakyat melalui program BAHTERAMAS. Program dengan tiga pilar ‘kedermawanan ala BAHTERAMAS merupakan program bangun kesejahteraan masyarakat berbasis program gratis kerakyatan, sekolah gratis, kesehatan gratis hingga bantuan biaya penguatan pemerintah desa. Sayang, kepemimpinan Nur Alam tetap saja “setali tiga uang” dengan pemimpin-pemimpin sebelumnya yang juga menerapkan konsep membangun ‘prasasti’ diri, dengan berusaha membangun mega proyek koroversial seperti program membangun jembatan BAHTERAMAS dan pembangunan masjid Al Alam di tengah teluk kendari, 39
YPSHK - TIFA
Kedermawanan Semu
Audit Sosial Program Bahteramas
yang menggelontorkan anggaran ratusan miliar rupiah. Mengapa Nur Alam ingin membangun masjid mewah terapung di Teluk Kendari? Bukankah sudah ada Masjid Agung Kendari yang cukup terkenal itu? Kalau Nur Alam ingin punya karya sendiri, tentu resitensinya cukup besar. Karena masjid megah di tengah Teluk Kendari luar biasa besar biayanya. Di saat bersamaan dibangun pula jembatan BAHTERAMAS di atasnya, maka anggaran yang dibutuhkan akan berlipat-lipat. Ini mengundang tanda tanya, mengejar prestasi ataukah mengejar prestise? Ingin ada karya monumental, Nur Alam seperti ingin mempertaruhkan kemampuannya. Dana Rp 700 miliar untuk membangun Jembatan BAHTERAMAS dikalkulasi bisa ditutupi dari berbagai sumber pendanaan, apakah utang/loan, hibah atau semacamnya. Apalagi dia sudah menghitung membangun jembatan seperti itu sangat mudah dikerjakan karena teknologi konstruksinya sudah tersedia. Masalahnya, jembatan ini dibangun atas motivasi apa? Multiplier efeknya seperti apa? Untuk jembatan, serapan ekonominya sebesar apa? Warga Kendari yang dari Kendari Beach ke Lapulu cukup menyeberang jembatan itu saja. Begitu pula sebaliknya. Memang kalau sebelumnya membuang banyak waktu dan biaya, kini ongkos ke seberang sudah murah. Rasa-rasanya memang cukup ekonomis. Teluk Kendari pun kelak akan tampak indah dengan warna warni tali temali jembatannnya. Utang Rp 700 miliar dari Tiongkok sebenarnya cukup mengundang perhatian. Gesekan dari proyek monumetal ini terasa sekali. Tender dua kali, pembebasan tanah hingga mencapai Rp 5 miliar cukup banyak memunculkan reaksi. Pikiran orang, utang sebesar itu dibayar pakai apa? Dari pajak? Dari hasil tambang? Atau uang dari hasil gali lobang tutup lobang APBD? Nur Alam pasti bisa 40
YPSHK - TIFA
Kedermawanan Semu
Audit Sosial Program Bahteramas
menghitung konsekuensi dari segala kebijakannya. Yang jadi problem, jembatan itu baru mulai dikebut tahun ini, atau terjadi di saat Sultra bersiap menggelar Pilkada Gubernur. Kita tidak tahu apa yang terjadi dengan proyek ini jika Nur Alam tidak terpilih lagi. Semua akan patah, karya besar yang dicita-citakan hanya tinggal di atas kertas. Satu periode kepemimpinan seorang gubernur tidaklah cukup untuk membangun infrastruktur penopang kesejahteraan sosial. Ali Mazi pun merasa tidak cukup dengan satu periode kepemimpinannya, sehingga dipastikan akan maju lagi. Ali Mazi masih punya obsesi membuat karya monumental menyusul karyanya Bandara Monginsidi. Kalau Ali Mazi saja yang sudah punya peninggalan masih ingin memimpin, tentu Nur Alam juga ingin menorehkan sejarah baru di Sultra. Tapi, sekali lagi, tidak cukup kalau hanya satu periode saja. Jalan pikiran Gubernur Nur Alam mungkin tidak ingin hasil pembangunannya hanya melanjutkan yang sudah ada sehingga dia pun harus membuat terobosan baru. Yang kita dengar Nur Alam tengah menyiapkan dua karya monumental. Yaitu Jembatan BAHTERAMAS, dan masjid raya terapung di tengah Teluk Kendari. Kalau dua ini jadi, maka luar biasa karya seorang Nur Alam. Selain itu, ada pula kebijakan dengan menyetujui pendirian hotel berbintang 15 lantai dengan ruangan super mewah. Empat puluh enam tahun sudah Sulawesi Tenggara mekar dan menikmati kemerdekaannya. Merdeka dalam arti Sulawesi Tenggara menjalankan roda otonomi sendiri dalam menentukan arah perjalanan pembangunannya. Namun nampaknya setiap gubernur masih mengarahkan kebijakan dan programnya sesuai ego pribadi, sebagaimana masa-masa dinasti kerajaan di masa lampau meninggalkan prasasti sebagai jejak kekuasaan di mata rakyat. 41
YPSHK - TIFA
Kedermawanan Semu
Audit Sosial Program Bahteramas
Dalam sejarahnya, Sulawesi Tenggara awalnya merupakan nama salah satu kabupaten di Provinsi Sulawesi Selatan dengan Bau-bau sebagai ibukota kabupaten. Sulawesi Tenggara ditetapkan sebagai Daerah Otonom berdasar Perpu No. 2 tahun 1964 Juncto UU No. 13 Tahun 1964. Pada awalnya terdiri atas 4 (empat) kabupaten, yaitu: Kabupaten Kendari, Kabupaten Kolaka, Kabupaten Muna dan Kabupaten Buton dengan Bau-bau sebagai ibukota provinsi. Namun, karena kesepakatan para pendirinya, ibukota provinsi berganti dan ditempatkan di Kendari. Kondisi geografi memang memungkinkan Kendari menjadi ibu kota provinsi berjuluk bumi anoa ini. Dalam berbagai dimensi Kendari dapat dikatakan sudah cukup tua. Di mulai saat itu, awal abad ke-19 dimana seorang Belanda bernama Vosmaer di tahun 1831, dalam perjalanan panjang berkunjung di Kendari. Kala itu Vosmaer sudah menyaksikan adanya tanda-tanda kegiatan ekonomi di daerah pesisir Kendari. Kendari sudah menjadi tempat penimbunan barang (pelabuhan transit) hasil bumi pedalaman dan sekitar teluk Tolo (Sulawesi tengah). Komoditi ini kemudian dikirim ke Makassar, kawasan barat nusantara hingga ke Singapura. Ketertarikannya pada kota ini, membuatnya menetap untuk sementara waktu. Ia lalu mendirikan Lodge (Loji=kantor dagang) di sisi utara teluk kendari. Satu tahun kemudian Vosmaer mendirikan rumah bagi raja Laiwoi yang bernama Tebau yang sebelumnya bermukim di wilayah Baruga. Semua sejarah itu didasari atas fakta pengakuan lisan maupun dokumentasi yang dilakukan Vosmaer pada tanggal 9 Mei 1831. Dari runtutan sejarah tersebut terungkap Kota kendari memang telah ada sejak awal abad 19. dan secara resmi menjadi ibukotra kerajaan Laiwoi di sekitar teluk tahun 42
YPSHK - TIFA
Kedermawanan Semu
Audit Sosial Program Bahteramas
1832. Kendari di masa Pemerintahan Kolonial Belanda merupakan ibu kota kewedanan dan pusat onder afdeling Laiwoi yang luas wilayahnya mencapai 31.420 kilo meter persegi. Sulawesi Tenggara pada zaman penjajahan hingga terbentuknya Kabupaten Sulawesi Tenggara pada tahun 1952 adalah suatu Afdeling, yaitu Afdeling Boeton Laiwoi dengan pusat Pemerintahannya di Bau-Bau. Afdeling Boeton Laiwui tersebut terdiri dari; Onder – Afdeling Boeton; Onder – Afdeling Muna dam Onder – Afdeling Laiwui. Onder – Afdeling Kolaka pada waktu itu berada di bawah Afdeling Luwu (Sulawesi Selatan), kemudian dengan Peraturan Pemerintah No. 34 Tahun 1952 Sulawesi Tenggara menjadi satu Kabupaten, yaitu Kabupaten Sulawesi Tenggara dengan ibu Kotanya Bau-Bau. Kabupaten Sulawesi Tenggara tersebut meliputi wilayahwilayah bekas Onder – Afdeling Boeton Laiwui serta bekas Onder Afdeling Kolaka dan menjadi bagian dari Provinsi Sulawesi Selatan Tenggara dengan Pusat Pemerintahannya di Makassar (Ujung Pandang). Selanjutnya dengan Undang-Undang No. 29 Tahun 1959 Kabupaten Sulawesi Tenggara dimekarkan menjadi empat Kabupaten Daerah Tingkat II, yaitu,Kabupaten Daerah Tingkat II Buton ibukotanya Bau-Bau, Kabupaten Daerah Tingkat II Muna ibukotanya Raha, Kabupaten Daerah Tingkat II Kendari ibukotanya Kendari, Kabupaten Daerah Tingkat II Kolaka ibukotanya Kolaka. Keempat Daerah Tingkat II tersebut merupakan bagian dari Provinsi Sulawesi Selatan dan Tenggara. Betapa sulitnya komunikasi perhubungan pada waktu itu antara Daerah Tingkat II se Sulawesi Selatan Tenggara dengan pusat Pemerintahan Provinsi di Ujung Pandang, sehingga 43
YPSHK - TIFA
Kedermawanan Semu
Audit Sosial Program Bahteramas
menghambat pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan maupun pelaksanaan tugas pembangunan. Disamping itu gangguan DI/TII pada saat itu sangat menghambat pelaksanaan tugas-tugas pembangunan utamanya di pedesaan. Daerah Sulawesi Tenggara terdiri dari wilayah daratan dan kepulauan yang cukup luas, mengandung berbagai hasil tambang yaitu aspal dan nikel, maupun sejumlah bahan galian lainya. Demikian pula potensi lahan pertanian cukup potensial untuk dikembangkan. Selain itu terdapat pula berbagai hasil hutan berupa rotan, damar serta berbagai hasil hutan lainya. Atas pertimbangan ini tokoh – tokoh masyarakat Sulawesi Tenggara, membentuk Panitia Penuntut Daerah Otonom Tingkat I Sulawesi Tenggara. Realisasi pembentukan Daerah Tingkat I Sulawesi Tenggara dilakukan pada tanggal 27 April 1964, yaitu pada waktu dilakukannya serah terima wilayah kekuasaan dari Gubernur Kepala Daerah Provinsi Sulawesi Selatan Tenggara, Kolonel Inf.A.A Rifai kepada Pejabat Gubernur Kepala Daerah Provinsi Sulawesi Tenggara, J. Wajong.Pada saat itu Provinsi Daerah Tingkat I Sulawesi Tenggara mulai berdiri sendiri terpisah dari Provinsi Daerah Tingkat I Sulawesi Selatan. Oleh karena itu tanggal 27 April 1964 adalah hari lahirnya Provinsi Daerah Tingkat I Sulawesi Tenggara yang setiap tahun diperingati.
44
YPSHK - TIFA
Kedermawanan Semu
Audit Sosial Program Bahteramas
45
YPSHK - TIFA
Kedermawanan Semu
Audit Sosial Program Bahteramas
POLITIK LOKAL DAN MIMPI KESEJAHTERAAN 2.1. Janji Surga “Tiga Pilar Kedermawanan�, Kilas balik BAHTERAMAS Dalam kampanye 2007 silam, Nur Alam begitu berapiapi. Dihadapan ribuan pendukungnya pria berkumis ini menjanjikan program jika kelak terpilih memimpin Sulawesi Tenggara. Tiga program yang diklaim akan mensejahterakan masyarakat tidak lain adalah Program BAHTERAMAS. BAHTERAMAS adalah singkatan dari bangun kesejahteraan masyakakat yang mencakup tiga pilar program utama, yakni; program pemberian dana hibah (Block Grant) sebesar Rp 100 juta per desa/kelurahan, program pembebasan biaya operasional pendidikan (BPOP) dan program pelayanan kesehatan gratis. Janji ini mendapat respon beragam, dari respon positif hingga bernada pesimistis. Hingar bingar kampanye itu telah berlalu, alhasil Nur Alam terpilih menjadi Gubernur Sulawesi Tenggara menggantikan Ali Mazi, SH. Program BAHTERAMAS 46
YPSHK - TIFA
Kedermawanan Semu
Audit Sosial Program Bahteramas
diluncurkan secara besar-besaran dan dihadiri langsung oleh Presiden SBY di bulan September 2008 silam. Kegiatan besar ini tak lain memuaskan ambisi Nur Alam untuk memenuhi janji politiknya. Dan tak terasa, tiga pilar program pemerintah provinsi ini telah berada ditahun ke empat. Namun menjelang akhir kepemimpinan Nur Alam itu, justeru tiga program kesejahteraan itu belum memberikan perubahan kesejahteraan yang berarti bagi rakyat Sulawesi Tenggara. Temuan dari kegiatan audit sosial di sejumlah daerah menunjukan, tiga program pemerintah daerah Sulawesi Tenggara ini, bukannya membawa angin perubahan untuk kesejahteraan masyarakat, tetapi menuai masalah dari hulu hingga ke hilir. Dari masalah teknis hingga terjadinya indikasi korupsi oleh oknum-oknum pelaksana program di lapangan. Buruknya penyelenggaraan program BAHTERAMAS itu menjadi perbincangan miring di masyarakat Temuan audit sosial di Kabupaten Kolaka, menunjukkan implementasi program masih sangat jauh dari harapan. Block Grant hanya menjadi arena tunggal pemerintah desa. Mulai dari tahapan sosialisai yang tidak dilakukan, perencanaan dan pelaksanaan yang tidak melibatkan masyarakat, hingga pertanggungjawaban yang tidak dilakukan sebagaimana mestinya. Kejadian ini jamak berlaku di Kabupaten Kolaka. Buton Utara dan kabupaten lainnya. Lalu bagaimana seharusnya pemerintah Kabupaten bertanggungjawab turut serta menyelamatkan keuangan Negara..?? Ditinjau dari kaidah program, pembagian tanggungjawab pemerintah Propinsi dan Kabupaten hingga saat ini tidak jelas, sehingga ketika hal itu terjadi maka tidak satupun kesalahan yang dilakukan oleh pemerintah kabupaten, karena secara keseluruhan, baik 47
YPSHK - TIFA
Kedermawanan Semu
Audit Sosial Program Bahteramas
kebijakan anggaran dan monitoring evaluasi adalah arena bermain Pemerintah Propinsi. Minimnya pengawasan program dari pencetus program menjadikan program ini benar-benar menjadi ‘lahan empuk’ para oknum pengelola untuk menggerogoti dana program, baik oknum pengelola program di tingkat provinsi hingga ke pengelola program di desa. Setidaknya hingga kini berdasarkan data BPMD, ada sekitar 300/ kelurahan desa, dari total 1909 desa/kelurahan di Sultra yang belum melaporkan pertanggungjawaban keuangan program Block Grant mereka. Ironisnya, kondisi ini berlangsung sejak program mulai diluncurkan Tahun 2008 silam, hingga kini. Pemerintah provinsi menggunakan skema pemberian bantuan dana hibah yang langsung disalurkan pada rekening desa. Skema ini sebenarnya telah lama lama dipraktikkan sebelumnya pada proyek community based yang dibiayai oleh lembaga donor internasional seperti yang dikelola LSM, namun dengan pertanggungjawaban yang cukup ketat dan dalam pengawasan yang serius. Beberapa tata kelola program ini juga menyentuh langsung ke masyarakat seperti pembangunan desa tertinggal dan tata kelola ekonomi berkelanjutan yang dikelola langsung oleh warga. Skema bantuan dana hibah dari lembagalembaga donor di alokasikan di sejumlah wilayah sebagai pilot project. Tak hanya praktik lama yang dikerjakan oleh LSM, program serupa juga telah dilakoni lebih dulu oleh pemerintah pusat, melalui berbagai embel-embel label kesejahteraan masyarakat. Sebutlah program Jaring Pengaman Sosial (JPS), Bantuan Langsung Tunai (BLT), PNPM Mandiri, yang ditopang dari dana APBN. Tak hanya itu, praktik serupa telah pula lebih dulu dipraktikkan sejumlah pemerintah daerah provinsi dan kabupaten di 48
YPSHK - TIFA
Kedermawanan Semu
Audit Sosial Program Bahteramas
Indonesia diantaranya, Provinsi Sumatera Selatan dan Sulawesi Selatan. Program-program ini juga ditopang anggaran daerah melalui APBD. Jadi Program BAHTERAMAS yang diagung-agungkan sebagian tim sukses dan pemerintah Sultra sesungguhnya bukanlah sesuatu yang baru yang menyentuh masyarakat kita. Pada tahun 2008, dari dana sebesar Rp 136.760.000.000 yang dikeluarkan Pemerintah Provinsi Sultra untuk program BAHTERAMAS, Rp 83,76 milyar diantaranya dialokasikan untuk membiayai program Block Grant. Dana sebesar ini konon dibagikan secara merata kepada 1909 desa/kelurahan dan 184 kecamatan Se Sultra dengan proporsi Rp 40 juta per desa/kelurahan/kecamatan. Nilai proporsi ini sempat dipertanyakan oleh berbagai pihak, karena janji Nur Alam pada kampanye 2007 silam, setiap desa/kelurahan seharusnya memperoleh bagian dana 100 juta rupiah. Pertanyaan ini terjawab setelah bagian Humas Pemerintah Provinsi Sultra menjelaskan bahwa penyediaan dana Block Grant pada tahun anggaran 2008 baru terjadi pada perubahan APBD Sultra tahun anggaran 2008. Pelaksanaan Block Grant sejak tahun 2008 telah menemui banyak kendala di lapangan. Banyak kepala desa/lurah memanfaatkan Block Grant untuk kepentingan pribadi sehingga program tersebut kurang berhasil manfaatnya di desa. Program dikelola secara tidak transparan dan tidak melibatkan warga secara utuh. Ini diketahui setelah pemerintah provinsi Sulawesi Tenggara melaksanakan monitoring dan evaluasi (monev) pelaksanaan program pada hampir seluruh desa/kelurahan di sultra akhir tahun anggaran 2008. Sekitar 300 desa/ kelurahan tidak sanggup menyampaikan laporan pertanggungjawaban keuangan. Berdasarkan hasil monev ini, maka penyaluran dana Block Grant pada tahun anggaran 2009, dilaksanakan secara selektif. terhadap desa-desa/kelurahan yang dianggap berhasil 49
YPSHK - TIFA
Kedermawanan Semu
Audit Sosial Program Bahteramas
memanfaatkan dana Block Grant, diberikan lagi dana tahap kedua sebesar 50 juta per desa/kelurahan. Itu pun dilaksanakan dalam dua termin, yakni, termin pertama Rp 25 juta, dan setelah dimasukkan laporan pertanggungjawaban keuangan, diberikan lagi dana termin kedua senilai Rp 25 juta. Total dana Block Grant yang disediakan dalam APBD Sultra Tahun Anggaran 2009 adalah sebesar Rp 201.225.344.000,-, yang berhasil diserap hanya sebesar Rp 70.729.016.875 atau sekitar 35,14 persen dari total dana yang disediakan. Serapan dana Block Grant sebesar Rp 70.729.016.875 dialokasikan langsung ke desa/kelurahan sebesar Rp 39.815.000.000 dan setiap kecamatan sebesar Rp 24.160.000.000, sisanya penyaluran dana Block Grant dilakukan melalui pemerintah kabupaten/kota dengan total dana alokasi sebesar Rp 6.754.016.875,-. Dengan demikian, terdapat sekitar 64,86 persen dari total dana Block Grant tahun anggaran 2009 yang tidak terpakai. Hal ini, seperti yang dikatakan Nur Alam dihadapan anggota DPRD Sultra pada tanggal 3 september 2010, disebabkan karena laporan pertanggungjawaban penggunaan dana dari beberapa desa/kelurahan belum disampaikan kepada Pemprov Sultra sehingga pencairan pada tahap berikutnya ditunda. Pada tahun anggaran 2010, program Block Grant kembali dikucurkan secara selektif pada desa-desa/ kelurahaan yang berhasil mengelola dana bantuan pada tahun anggaran 2009. Target alokasi dana sebesar Rp 100 juta per desa/kelurahan hingga tahun 2010 belum tercapai seluruhnya terkait dengan beberapa kendala teknis di lapangan. Meski demikian, pada berbagaai kesempatan Nur Alam selalu mengulangi komitmennya untuk memenuhi janji Rp 100 juta per desa/kelurahan itu dalam dua tahun sisa masa jabatan pertamanya. “Masih ada waktu dua tahun untuk menyelesaikan sisa janji yang 50
YPSHK - TIFA
Kedermawanan Semu
Audit Sosial Program Bahteramas
belum terselesaikan..,”kata Nur Alam setiap kali ditanya tentang masih adanya sejumlah desa yang belum menerima dana Block Grant secara penuh sebesar Rp 100 juta. Berbagai alasan ini tentu menimbulkan berbagai pertanyaan bagi masyarakat terutama para penerima maanfaat. Apakah pemerintah mau menerapkan program Block Grant untuk kesejahteraan, atau sebaliknya hanya sebagai gerakan ‘lompatan politik’ ala Nur Alam semata, dengan target pencitraan diri? Ironisnya pemprov belum punya data soal ‘prosentase’ keberhasilan. menurut hasil audit BPK, dari tiga pilar BAHTERAMAS (BOP, PBP dan Block-Grant), program block-grant diberi penilaian “kurang berhasil”. Inilah yang kemudian, menjadi alasan yang kuat untuk sebuah program revitalisasi block-grant yang saat ini sedang berjalan di tubuh Pemprov. Terlepas dari kekurang-berhasilan tersebut, selama ini block-grant telah berjalan di 1.909 desa/ kelurahan dan 184 kecamatan. Pada tahun 2011 ini, telah dicairkan tahap I untuk tiap desa/kelurahan sebesar Rp. 50 juta dari Rp. 100 juta yang direncanakan. Dalam kacamata pemerintah daerah, selama tiga tahun terakhir, telah cukup banyak outcome yang dihasilkan program Block Grant diantaranya adalah berdirinya berbagai fasilitas infrastruktur desa (balai, kantor, sanggar PKK, dll) yang dibangun dari dana bantuan pemerintah provinsi. Namun pada faktanya, infrastruktur yang dimaksud justeru telah lebih dulu ada dan dananya diserap dari berbagai bantuan berbeda seperti dana Alokasi Dana Desa (ADD), serta sebagian dana PNPM Mandiri. Jika menilik bantuan serupa yang masuk di desa selain dana Block Grant yang baru belakangan muncul, ada lebih dari belasan program bantuan, baik bantuan yang berasal dari inisiatif pemerintah kabupaten , program bantuan pemerintah 51
YPSHK - TIFA
Kedermawanan Semu
Audit Sosial Program Bahteramas
pusat hingga dana hibah dunia. Sebagai contoh bantuan pemerintah di Kabupaten Konawe Selatan misalnya ada yang namanya program Alokasi Dana Desa dengan jumlah bantuan 35 juta per desa yang riil diberikan dan juga disokong dengan laporan pertanggungjawaban kepala desa. Begitu pula yang dilakukan pemerintah Kabupaten Kolaka yang lebih dari tujuh tahun menerapkan program Gerbangmastra (Gerakan pembangunan masyarakat sejahtera) yang juga diklaim menyentuh kebutuhan dasar seluruh desa di Kolaka. Tak cukup itu saja, yang cukup dibanggakan pemerintah kolaka saat ini, adalah ketika berhasil mengembangkaan program bedah kecamatan. Artinya skema bantuan langsung Pemerintah Provinsi ke Desa/Kelurahan seperti program Block Grant yang diklaim pertama di Indonesia ini adalah bukan sesuatu yang baru, sebab berbagai bantuan berlabel bantuan desa, sesungguhnya sejak lama telah masuk di desa, terutama selama era reformasi berjalan. Sungguh disayangkan program BAHTERAMAS yang dibiayai melalui dana APBD yang besar belum menunjukkan hasil yang jelas. Tak cukup bagi pemerintah hanya mengucurkan program brilian, tanpa diikuti dengan keseriusan dalam menjalankannya. Jika tak ingin publik menuntut harapan besar pada program yang konon akan memberikan jalan kepada orang banyak, untuk ikut menikmati ‘kue’ pembangunan secara bersama-sama. Lemahnya pengawasan program dari pengelola semakin menambah momok buruk pada program BAHTERAMAS, terutama terkait dengan soal kapasitas pengelola, kapasitas penerima manfaat dan ditambah lagi adanya pola perilaku nakal dari oknum pemerintah di desa yang dalam praktiknya memonopoli pemanfaatan dana Block Grant. Kata ‘gagal’ memang sewajarnya disematkan pada diri Gubernur Nur Alam, selaku orang yang menelurkan 52
YPSHK - TIFA
Kedermawanan Semu
Audit Sosial Program Bahteramas
program, terlebih jika melihat tata kelola program BAHTERAMAS saat ini, program Block Grant misalnya, tidak kunjung dibenahi. Pikiran pada ‘keadilan universal’ yang dibayangkan Nur Alam, sebagaimana ditulis Yusran Taridala dalam buku “Meluruskan Niat Menabur Benih” dapat saja diraih bila ditopang dengan perangkat teknis yang memadai untuk menjalankan program BAHTERAMAS secara baik dan transparan. Bukan sebaliknya, program dijalankan dengan pertimbangan ‘politis’ semata dan kesan terburu-buru demi pencitraan diri. Maka tak salah jika dari awal sangat banyak orang ‘mencibir’ jika BAHTERAMAS hanya akan menjadi program ‘akal-akal’ pemerintah yang bertujuan melanggengkan kekuasaan berikutnya. Bukannya melahirkan program yang bisa mensejahterakan rakyat, melainkan tambah menyuburkan praktik-praktik budaya korupsi di level pengelola hingga masyarakat bawah. Kabar tidak sedap ini tentu bukan isapan jempol belaka. Indikasi korupsi paling mencolok saat begitu ramai diberitakan media massa lokal terkait dugaan ‘raibnya’ dana Rp 5 miliar rupiah dana Block Grant, Bulan Agustus 2010 silam. Kepala Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI Perwakilan Sulawesi Tenggara, Rochmadi Saptogiri yang mengungkapkan adanya dana Block Grant sebesar Rp 5 miliar mengendap di rekening pribadi Kepala Dinas Pendapatan Daerah (Kadispenda) Sulawesi Tenggara saat itu berpotensi untuk dikorupsi. “Dana ini tidak bisa dipertanggungjawabkan Kadispenda Sultra, sehingga potensi korupsinya sangat besar,” tegas Rochmadi. Ketika itu, Rochmadi, BPK sudah berkali-kali memanggil Kadispenda untuk menjelaskan pinjaman dana Rp 5 miliar itu, baik tersurat maupun lisan. Bahkan kata 53
YPSHK - TIFA
Kedermawanan Semu
Audit Sosial Program Bahteramas
Rochmadi, lewat Gubernur pun sudah pernah dilakukan BPK untuk melakukan pemanggilan, tetapi yang bersangkutan (Kadispenda) tidak pernah memenuhi undangan mempertanggungjawabkan dana pinjaman itu. “Kita tidak mengetahui secara jelas, untuk apa dana itu digunakan. Tidak ada penjelasan resmi, apakah untuk operasional Dispenda, atau mendukung kegiatan Pemda. Ini yang belum jelas. Jika uang itu digunakan untuk Pemda, maka pertanggungjawabannya harus jelas,� ungkapnya. Bahkan kata Rochmadi, BPK memiliki bukti kuitansi pinjaman dana Rp 5 miliar dari bendahara Block Grant. Cek itu dicairkan AN selaku Kadispenda di BPD Sulawesi Tenggara tertanggal 19 Februari 2010. Statusnya, memang dipinjam, tetapi alasan peminjaman itu tidak jelas sehingga diperkirakan dapat berpotensi korupsi. Kasus pinjaman dana Block Grant sempat menjadi polemik panjang dan mengundang reaksi keras dari berbagai kalangan di Sulawesi Tenggara seperti aktifis LSM hingga anggota DPRD Sulawesi Tenggara bersuara lantang memprotes tindakan Kadispenda tersebut. Kasus ini menggelinding bak bola api, yang kemudian menjadi headline pemberitaan media massa di Kendari (Harian Kendari Ekspres dan Kendari Pos). Begitu pula adanya dana yang belum dipertanggungjawabkan para kepala desa yang jumlahnya miliaran rupiah. Ini dapat dilihat dari pelaksanaan Block Grant sejak tahun 2008 telah menemui banyak kendala di lapangan. Banyak kepala desa/lurah ternyata memanfaatkan Block Grant untuk kepentingan pribadi sehingga program tersebut kurang berhasil di desa. dimana dikelola secara tidak transparan dan tidak melibatkan warga secara utuh. Ini diketahui setelah pemerintah provinsi Sulawesi Tenggara melaksanakan monitoring dan evaluasi (monev) pelaksanaan program pada hampir 54
YPSHK - TIFA
Kedermawanan Semu
Audit Sosial Program Bahteramas
seluruh desa/kelurahan di sultra akhir tahun anggaran 2008, dimana sekitar 300 desa/kelurahan diantaranya tidak sanggup menyampaikan laporan pertanggungjawaban keuangan. Ini dapat dicemati secara mendalam mengingat program BAHTERAMAS sendiri disusun berdasarkan kepentingan politik Nur Alam bersama tim suksesnya. Pengelolaan program memiliki beban politik yang cukup berat. DPRD merasa terpaksa menyetujui program yang dinilai salah kaprah itu. Ada kekuatiran, jika dewan bersikap kritis maka reaksi besar-besaran dari para pengelola program terutama kepala desa akan terjadi. Ada kekuatiran hilangnya basis perolehan suara para anggota dewan karena dianggap menghalangi program pro rakyat. Selain DPRD, beban politik juga lahir dari perbedaan kepentingan antara kepala daerah, misalnya antara gubernur dan bupati. Bupati dengan kekuasaan besar yang diberikan negera, dapat menjadi motor penggerak antipati terhadap program gubernur hingga ke masyarakat. Sesuatu yang lumrah jika pemerintah kebupaten terkesan tidak memberi dukungan penuh terhadap pelaksanaan program BAHTERAMAS. Bahkan jika ditinjau dari aspek politis, pemerintah kabupaten tidak berkepentingan terhadap kesuksesan bahkan berkepentingan terhadap kegagalan pelaksanaan program BAHTERAMAS. Jauh-jauh hari, salah seorang bupati telah menunjukkan rivalitasnya yang kuat terhadap keberlanjutan kepemimpinan Nur Alam. Keberhasilan program BAHTERAMAS merupakan jualan kampanye yang semakin mempopulerkan Nur Alam, dan tentu saja hal tersebut secara tidak langsung menjadi batu sandungan bagi peningkatan pencitraan bupati tersebut. Berbagai persinggungan kewenangan antara kepala daerah provinsi dan pemerintah kabupaten melahirkan perseteruan politik 55
YPSHK - TIFA
Kedermawanan Semu
Audit Sosial Program Bahteramas
hingga ke basis paling bawah, terlebih adalanya perbedaan warna politik dari masing-masing kepala daerah telah memperlebar jenjang berseberangannya para pemimpin daerah dan tentu saja menjadi tantangan terbesar bagi kelangsungan program BAHTERAMAS. Dari aspek yuridis BAHTERAMAS juga ternyata masih menyimpan banyak kejanggalan dan cenderung lemah. Hasid Pidansa, seorang anggota DPRD Propinsi Sulawesi Tenggara dari Fraksi PDIP menyatakan bahwa, sebenarnya sejak pembahasan RPJMD, BAHTERAMAS itu harus di tolak. Penolakan itu bukan didasarkan atas pertimbangan politik, tapi murni menggunakan pertimbangan hukum. Pasalnya BAHTERAMAS tidak memiliki pijakan regulasi yang kuat untuk menjadi RPJMD. Beberapa hal yang menjadi alasan penolakan itu adalah, pertama tiga pilar yang tercantum dalam BAHTERAMAS merupakan urusan yang menjadi urusan pemerintah propinsi dan kabupaten/ kota. Tumpang tindih kewenangan tersebut berpotensi terhadap simpangsiurnya kebijakan daerah propinsi dan kabupaten/kota. Hal lainnya adalah, RPJMD memuat visi-misi dan program, sedangkan BAHTERAMAS dengan tripilarnya dapat dikategorikan sebagai kegiatan, karena langsung memiliki nomenklatur anggaran. Hal tersebut tidak lazim dalam dokumen RPJMD. Ketidakmampuan DPRD menolak program atau mengkoreksi BAHTERAMAS karena takut di klaim sebagai entitas (bagian) yang tidak pro pada kesejahteraan rakyat, karena BAHTERAMAS telah berhasil menjadi bahan kampanye sebagai program yang pro rakyat. Masalah lain yang selalu melingkupi implementasi BAHTERAMAS adalah, pelanggaran di tingkat pelaksana oleh oknum kepala desa, kepala sekolah atau kepala puskesmas pada akhirnya tidak dapat ditindak secara administrasi kepegawaian atau sejenisnya oleh pememerintah propinsi, karena keseluruhan 56
YPSHK - TIFA
Kedermawanan Semu
Audit Sosial Program Bahteramas
penanggungjawab pelaksanaan tersebut adalah “anak buah” Bupati. Dalam sebuah kesempatan Nur Alam membantah jika tiga pilar program buatannya itu adalah kamuflase. “Tidak ada kamuflase. Pendidikan gratis, pelayanan kesehatan gratis ada porsinya masing-masing. Program nasional pendidikan gratis namanya BOS itu hanya memberi insentif SD dan SLTP. Sementara insentif guru belum ada disitu. Ada komponen kegiatan dari pendidikan gratis yang kemudian ditalangi BAHTERAMAS,”tegas Nur Alam. Yang tidak disentuh pusat, selanjutnya ditangani BAHTERAMAS. Dijelaskan lebih lanjut, tidak ada dana pusat yang menyentuh SLTA. Kalaupun ada hanya beberapa sekolah tertentu saja. “Jadi tidak ada kamuflase, yang betul adalah seluruh program pusat yang dijabarkan oleh daerah ditingkatkan kualitasnya, diperluas cakupannya sehingga ini lebih memberikan kepentingan bagi pelayanan masyarakat yang kita harapkan dari SD sampai SLTA”. Begitu pula soal kemungkinan tumpang tindih pada program kesehatan gratis. “Pengobatan gratis memang ada Askeskin, Jamkesmas, tapi dalam aplikasinya masih banyak masyarakat miskin yang tidak memperoleh,”ujarnya. Kedua, sistim pelayanannya cenderung menyulitkan karena birokrasinya panjang. Karena itu BAHTERAMAS dibutuhkan. “Dan faktanya memang banyak BAHTERAMAS yang sudah terbagi dan dimanfaatkan oleh masyarakat. Itu kurang lebih 80 ribu orang warga miskin. Termasuk dengan pemberian insentif sampai dengan Puskesmas se Sultra. Jadi APBD kita sudah menyiapkan sampai dengan Puskesmas.” “Jadi tidak ada kamuflase, yang ada adalah saling meningkatkan, memperkuat, dan memperluas program 57
YPSHK - TIFA
Kedermawanan Semu
Audit Sosial Program Bahteramas
nasional. Sebab dengan pola sinkronisasi dan intergasi ini akan menjadi efektif pola pembangunan kita. Kalau masingmasing membuat program sendiri-sendiri dan bias malah anggaran kita menjadi in-efisien, tidak bisa dimanfaatkan secara baik,”kuncinya. Baginya berbagai sorotan itu jadi masukan yang konstruktif untuk kita koreksi dan diperbaiki. Tapi yakinlah bahwa pemerintah provinsi mempunyai komitmen untuk memperbaiki kebijakan, menyiapkan regulasi dan mengajak seluruh aparatur yang terlibat agar seluruh fasilitas pemerintah itu bisa kita manfaatkan sebaik-baiknya,”kata Nur Alam disebuah terbitan harian Kendari Ekspres. Belum adanya upaya perbaikan system penyelenggaraan program, menjadikan program semakin amburadul ditingkat pelaksanaan. Maka tidak mengherankan jika program BAHTERAMAS kini menjadi pembicaraan ‘miring’ di masyarakat. Setidaknya ada beberapa alasan terjadinya dugaan indikasi korupsi program BAHTERAMAS ini. Pertama, minimnya pengawasan dari pengambil kebijakan secara teknis di tingkat provinsi dan dibiarkan tidak terurus. Kedua, kesan yang dimunculkan sejak awal, temasuk dari gubernur selaku pemilik program yang mengesankan program BAHTERAMAS adalah dana hibah tanpa perlu di pertanggungjawabkan. Political will pemerintah ini telah melahirkan pemahaman yang salah di masyarakat khususnya para pengelola program di pedesaan. Ketiga, program berlabel ‘gratis’ ini juga tidak diperkuat dengan system pengawasan dari masyarakat dan terkesan program ini hanya milik elit desa, yakni kepala desa selaku penanggung jawab pengelola sehingga terjadi peta konflik antara masyarakat penerima program dengan poengelola program. 58
YPSHK - TIFA
Kedermawanan Semu
Audit Sosial Program Bahteramas
Keempat, minimnya pelibatan para praktisi pengawas program BAHTERAMAS dari kelompok ke tiga seperti LSM dan lain-lain, membuat kinerja buruk pengelola program tidak terpantau secara serius. Tahun 2009 silam tim fasilitator pengawas pernah digagas, tetapi hanya berlangsung singkat, proses penyaringan tenaga pengawas tidak selektif dan kebanyakan bersumber dari para pengurus partai tertentu saja. Pemanfaatan tenaga pengawas juga tidak maksimal sebab biaya atau gaji tenaga fasilitator sangat minim. Saying seribu sayang, program BAHTERAMAS yang napasnya sungguh mulia ini, justeru tidak dikelola baik. Harapan bisa bermanfaat bagi masyarakat, justeru melahirkan salah kelola program yang memberi pembelajaran buruk bagi rakyat. Pola Korupsi Kolusi dan Nepotisme (KKN) kini makin tumbuh subur di masyarakat. Dengan kata lain, program BAHTERAMAS bukannya program solusi untuk perbaikan kesejahteraan kehidupan masyarakat, tetapi melanggengkan budaya korupsi hingga ke pedesaan.
59
YPSHK - TIFA
Kedermawanan Semu
Audit Sosial Program Bahteramas
2.2. Tripilar Kedermawanan a. Cerita Usang Pemberdayaan (Analisis Audit Sosial Block Grant) Harun, Ketua LPM Desa Anggoroboti, Kabupaten Konawe Selatan hanya bisa gigit jari saat berseteru dengan kepala desanya. Ia meminta pertanggungjawaban dana Block Grant tapi urung dilakukan kepala desa. Ia berkalikali melaporkan ke aparat pengelola Block Grant di kantor Pemberdayaan Masyarakat Desa Provinsi Sulawesi Tenggara untuk melakukan intervensi kebijakan, tapi selalu saja ‘mental’ tak ditindaklanjuti. “Mau bagaimana lagi, sejak pertama program masuk 2008 lalu, Saya sudah lapor tapi tidak ada tindak lanjut,”keluhnya. Cerita di atas merupakan satu dari sekian banyak realitas cerita buruknya pengelolaan Block Grant di desadesa di Sulawesi Tenggara. Sangat banyak cerita miring yang kini beredar luas di masyarakat yang berdampak pada buruknya citra tata kelola program pemerintahan Nur Alam tersebut. Banyak cerita tentang desa yang mengklaim hasil kerja Block Grant hanya berupa rehabilitasi balai kelurahan. Namun saat diteliti ternyata rehabilitasi kantor desa itu hasil pekerjaan dari program serupa yang masuk di desa seperti Alokasi Dana Desa (ADD) dari pemerintah kabupaten. Demikian pula pekerjaan jalan usaha tani yang merupakan hasil pekerjaan dari program PMPM Mandiri diklaim sebagian oknum desa sebagai buah pekerjaan program Block Grant.
60
YPSHK - TIFA
Kedermawanan Semu
Audit Sosial Program Bahteramas
Belum lagi cerita perilaku para elit desa yang menggunakan dana Block Grant untuk foya-foya dengan masuk keluar kafe remang-remang usai pencairan dana Block Grant. Cerita di salah satu desa di Kecamatan Wiwirano Kabupaten Konawe Utara misalnya, seorang kepala desa yang kehabisan dana terpaksa menggadaikan pasir dan semen dari program Block Grant di desanya untuk menebus utang di sebuah kafe remang-remang. Dan masih banyak lagi cerita miris seputar tata kelola Block Grant. Akumulasi persoalan menjadi wacana yang terus didorong oleh sebagain besar masyarakat desa khususnya kelompok-kelompok kritis di desa agar tata kelola Block Grant diperbaiki. Mereka secara suka rela berbagi informasi tentang buruknya pengelolaan program Block Grant di desa mereka. Inilah rangkaian cerita miris dari program BAHTERAMAS yang diluncurkan Gubernur Sulawesi Tenggara, Nur Alam. Dengan tiga pilar utamanya, tidak saja menimbulkan perdebatan dikalangan pemerintah dan masyarakat tetapi juga sekaligus menyita energi dan anggaran daerah yang cukup besar. Alokasi anggaran yang besar ini terutama ditujukan untuk dana bantuan pembangunan desa yang selanjutnya disebut Block Grant bagi seluruh desa, kelurahan dan kecamatan di Sulawesi Tenggara. Berdasarkan estimasi yang ada, penyaluran Block Grant ini menyedot anggaran sebesar 212 Milyar rupiah atau sekitar 20% dari total APBD tahunan provinsi Sulawesi Tenggara. Akan tetapi, besarnya jumlah dana tersebut masih menimbulkan polemik di masyarakat dan bahkan akhir-akhir ini berpotensi mengalami kegagalan sistemik. Program ini sudah berjalan masuk ditahun ke empat, namun konseptor program bersama pemerintah provinsi melakukan perubahan mendasar dalam hal mekanisme dan prosedur penyaluran dan pengelolaan dana. 61
YPSHK - TIFA
Kedermawanan Semu
Audit Sosial Program Bahteramas
Perubahan secara mendadak ini tentu saja menimbulkan pertanyaan dan kebingungan tidak saja di masyarakat namun juga di instansi pemerintah yang ditugaskan untuk mengelola program ini. Perubahan konsep secara tiba-tiba juga melahirkan pertanyaan bagaimana mungkin pemerintah provinsi menggunakan dana publik yang sedemikain besar tanpa didukung oleh konsep yang memadai. Yang lebih mengherankan, perubahan konsep ini dilakukan secara tiba-tiba tanpa adanya evaluasi menyeluruh terhadap program yang telah dan sedang berjalan. Kita pun patut menduga bahwa program ini tidak saja gagal dalam membangun konsep namun juga gagal dalam mengembangkan indikator-indikator keberhasilan yang terukur. Aspek lain yang juga menjadi krusial dalam program ini adalah lemahnya komitmen, peran serta dan dukungan dari pemerintah kabupaten dan kota. Meskipun sudah memasuki tahun kedua, koordinasi antar pemerintah provinsi dan kabupaten dan kota tidak berjalan maksimal. Munculnya kesan lepas tanggung-jawab, pengabaian dan bahkan resistensi dari pemerintah kabupaten dan kota menunjukkan kegagalan pemerintah provinsi dalam mentransformasi program ini dari program yang sekedar berdimensi politik menjadi populis. Kegagalan koordinasi yang berlangsung terus menerus akan berujung pada delegitimasi posisi dan peran pemerintah provinsi dalam menjalankan kebijakan dan program-programnya. Sangat disayangkan, meskipun nyata-nyata program Block Grant ini mengalami potensi kegagalan yang mendasar, akan tetapi konseptor program ini dan pemerintah provinsi masih saja enggan untuk melakukan konsultasi publik. Konsultasi yang selama ini dilakukan bersifat terbatas dan hanya berlangsung di ruang-ruang birokrasi dan hanya melibatkan para konseptor program yang juga menjabat sebagai tim ahli Gubernur. Hal ini 62
YPSHK - TIFA
Kedermawanan Semu
Audit Sosial Program Bahteramas
bukan saja bertentangan dengan prinsip-prinsip keterbukaan namun juga menunjukkan adanya pengabaian terhadap hak masyarakat untuk berpartisipasi dan melakukan pengawasan terhadap pemerintah. Carutmarutnya program ini juga menunjukkan kegagalan pemerintah provinsi dalam membangun legitimasi publik sebagai elemen dasar bagi keberlanjutan pembangunan dan bahkan ujung-ujungnya mengarah pada citra negatif pemimpin daerah. Program ini sejatinya memiliki tujuan yang sangat strategis bagi percepatan dan pemerataan pembangunan dan kesejahteraan di daerah. Akan tetapi program yang baik ini tidaklah cukup tanpa didukung oleh konsep yang baik dan kemampuan untuk mengimplementasikan konsep tersebut. Disinilah pentingnya untuk mengukur sejauhmana dan dampak apa saja yang akan terjadi sebagai akibat program ini sehingga kita dapat mengantisipasinya sejak dini. Sebagai perbandingan, hasil riset yang dilakukan oleh IRE Jogjakarta mengungkapkan analisis menarik mengenai pola pembangunan desa melalui mekanisme transfer fiskal keuangan sejak INPRES maupun DPD Bangdes. Kesimpulannya, transfer fiskal pada masa lalu ternyata melahirkan berbagai masalah yang berdimensi kasuistik dan mengalami bias. Karakteristik transfer dana yang selama ini dipraktekkan melahirkan dampak negatif terhadap masyarakat desa dan terutama bagi elit desa. Karakteristik pengelolaan anggaran yang terpusat, prosedur yang rumit, cenderung mendikte serta tidak mempertimbangkan konteks kebutuhan orang desa maupun karakteristik tiap desa akhirnya melahirkan ketergantungan desa kepada pemerintah supradesa. Kemandirian desa, partisipasi, gotong royong, swadaya dan prakarsa orang desa berjalan secara formal-prosedural. Masyarakat desa dimobilisasi tanpa pemberdayaan. Pada 63
YPSHK - TIFA
Kedermawanan Semu
Audit Sosial Program Bahteramas
akhirnya, nilai dan identitas lokal orang desa tercerabut habis dan digantikan oleh nilai dan identitas negara yang mengusung prinsip modernitas dalam mengembangkan desa. Anggaran Block Grant untuk kegiatan-kegiatan yang sebagian besar hanya bersifat konsumtif dan bukan untuk tujuan investasi menyebabkan masyarakat desa diarahkan menjadi konsumtif. Dana yang disalurkan ke desa tidak berputar di desa tetapi kembali ke kota dan bahkan ke luar daerah (capital flight). Transfer fiskal secara besar-besaran yang dilakukan dalam waktu yang bersamaan ke desadesa justru berpotensi menimbulkan inflasi namun tidak memberi dampak bagi kesejahteraan warga desa itu sendiri. Implikasi-implikasi ini kelihatannya tidak pernah di potret atau dipertimbangkan oleh konseptor program ini dan oleh pemerintah provinsi. Kita patut was-was jika dana publik yang sedemikian besarnya dikelola secara serampangan dan diputuskan hanya oleh segelintir orang. Maka sudah selayaknya pemerintah provinsi mau membuka diri dan membuka ruang dialog dan debat dengan seluruh komponen warga. Pada akhirnya, program ini sejatinya juga menjadi milik seluruh warga dan tidak disusun hanya di atas meja kerja di dalam ruangan yang jauh dari partisipasi dan kontrol public. Dalam program audit sosial BAHTERAMAS, terekam jejak buruk pengelolaan Block Grant di hampir seluruh desa. Tahap sosialisasi hingga realisasi program hampir sebagian besar dihinggapi masalah. Program Block Grant di Desa Puubunga merupakan contoh paling gamblang carut marutnya pengelolaan Block Grant di pedesaan. Sejumlah fakta menunjukkan sejak tahun 2008 Desa Puubunga medapatkan dana Block Grant hanya sebesar Rp 40 juta Tahun 2008 yang digunakan untuk renovasi balai pertemuan, dan tahun 2009 justeru dananya tidak dicairkan tanpa alasan yang jelas. Barulah tahun 2010 64
YPSHK - TIFA
Kedermawanan Semu
Audit Sosial Program Bahteramas
kembali cair sebesar Rp 50 juta dan digunakan merenovasi kantor desa Puubunga. Banyak kepala desa yang merasa risih untuk berkomentar seputar pengelolaan Block Grant di desa. Kepala Desa Puubunga salah satunya. Meski begitu, Ia menjelaskan seadanya jika telah menjalankan program BAHTERAMAS sesuai amanah, setransparan mungkin dengan masyarakat Desa Puubunga. Kades menjalankan mekanisme dana Block Grant sesuai dengan petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis. Termasuk melakukan kegiatan sosialisasi ke masyarakat serta melibatkan mereka dalam pengelolaan dana Block Grant. Pernyataan kepala desa tersebut ternyata berbeda dengan pengakuan warga. hal ini dapat dilihat dari hasil fokus grouf discussion bersama bersama masyarakat (tokoh masyarakat, guru-guru, ketua RT, ketua BPD, kader posyandu dan kader PKK) semua peserta FGD mengatakan mereka sama sekali tidak mengetahui tentang Block Grant, bahkan mereka tidak tahu kalau desa mereka mendapatkan bantuan dana Block Grant, mereka tidak tahu kalau renovasi balai desa dan kantor desa itu menggunakan anggaran dana Block Grant. Bahkan peserta FGD dengan tegas mengatakan tidak ada keterlibatan masyarakat dalam pengeloalaan dana Block Grant di desa mereka. Peserta FGD juga baru mengetahui kalau selama ini ada bendahara Block Grant, tapi justeru bendahara Block Grant tidak pernah memegang uang, Ia hanya bertanda tangan di saat pelaporan. Begitupula dengan Ketua LPM, hanya tanda tangan saat pengambilan uang dan tanda tangan laporan yang telah jadi. Termasuk tidak adanya tahap perencanaan yang dilakukan di desa. Padahal tahap perencanaan program adalah tahap yang sangat penting karena menyangkut berhasil tidaknya sebuah program berjalan. Demikian pula program 65
YPSHK - TIFA
Kedermawanan Semu
Audit Sosial Program Bahteramas
pemerintah terkait BAHTERAMAS Block Grant sebagaimana diatur Dalam peraturan Daertah nomor 7 tahun 2008 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Propinsi Sulawesi Tenggara Tahun 2008-2013, disebutkan adanya program Desentralisasi Fiscal/Bantuan Keuangan bagi Desa Kelurahan dan Kecamatan. Hingga pelaksanaan program memasuki tahun ke empat, namun kelemahan-kelemahan masih juga turut menyertainya. Hasil Monitoring dan Evaluasi Tim BAHTERAMAS Provinsi dan Tim Monitoring Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintahan Desa Provinsi Sulawesi Tenggara juga menemukan beberapa permasalahan, antara lain; proses perencanaan dan penganggaran belum berjalan dengan baik sesuai yang diharapkan dalam Permendagri nomor 66 Tahun 2007 tentang Perencanan Pembangunan desa. Sehingga terkesan rencana kegiatan yang dibuat hanya kepentingan kelompok tertentu atau Kepala Daerah/Lurah masih mendominasi pemanfaatan dana. Tim pengelola kegiatan belum diberdayakan dengan baik dan belum mengacu pada Permendagri No. 5 Tahun 2007. Rencana kegiatan Pembangunan Tahunan bukan Implementasi Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJM Desa). Usulan kegiatan belum di padukan dengan hasil-hasil musrembang desa/kelurahan/ kecamatan sehingga kurang mengakomodir aspirasi masyarakat. Laporan pertanggungjawaban penggunaan dana belum dilaksanakan dengan baik. Kecamatan belum maksimal dalam melakukan pembinaan terhadap pelaksanaan kegiatan di Desa dan Kelurahan. Serta pembinaan dan monev belum terkoordinasi dengan baik antara pemerintah provinsi dan kabupaten/kota. Monitoring versi pemerintah ini tidak jauh berbeda dengan temuan-temuan di lapangan dari audit sosial 66
YPSHK - TIFA
Kedermawanan Semu
Audit Sosial Program Bahteramas
BAHTERAMAS. Banyak permasalahan terutama penyelenggaraan di tingkat penyelenggaraan Block Grant. Para aktor kunci program audit BAHTERAMAS di tiga kabupaten/kota memastikan jika tahap perencanaan balock grant tidak berjalan sesuai juknis. Para aktor kunci mengaku tidak pernah sekali pun mengikuti tahap perencanaan program Block Grant, sehingga banyak sekali persoalan mendasar masyarakat pedesaan yang tidak tersentuh. Tahap perencanaan hanya dilakukan kepala desa dan perangkatnya, yang tidak melibatkan warga. Bahkan LPM di beberapa desa ada yang tidak dilibatkan. Demikian pula tahap sosialisasi Block Grant di tiga kabupaten Kota kendari, Kabupaten Kolaka dan Buton Utara kurang berjalan baik sebagaimana diatur dalam petunjuk teknis. Berdasarkan informasi aktor kunci sosialisasi di tiga kabupaten terlihat betapa lemahnya upaya sosialisasi Block Grant di tingkat desa terutama soal penyediaan layanan sosialisasi. Beberapa aktor desa mengaku jika sosialisasi kurang berjalan maksimal. Sosialisasi Block Grant dilakukan langsung oleh petugas dari BPMD dan dihadiri SKPD terkait, serta ikuti oleh berbagai kalangan di desa dan kecamatan ini tidak menjelaskan secara tuntas tentang arah dan kebijakan penyelanggaraan Block Grant. Dari rangkaian hasil audit sosial yang dilakukan para aktor kunci di tiga kabupaten/kota di Sulawesi Tenggara menunjukkan program pemerintah ini belum menunjukkan progress yang berarti terutama ditingkat pengelolaan. Sejatinya program Block Grant dapat memberikan solusi kesejahteraan buat masyarakat pedesaan. Namun faktanya program ini melahirkan banyak persoalan baru seperti konflik antar aparat desa dan masyarakat. Perseteruan tentang usulan pekerjaan yang prosesnya tidak melibatkan masyarakat menjadi pembicaraan sehari-hari masyakarat. Lemahnya pengawasan melahirkan antipati masyarakat 67
YPSHK - TIFA
Kedermawanan Semu
Audit Sosial Program Bahteramas
terhadap program Block Grant dihampir seluruh pedesaan di Sulawesi Tenggara. Sebagaimana dijelaskan dalam petunjuk pelaksanaan program Block Grant, bahwa dana Block Grant yang dialokasikan kepada pemerintah desa, kelurahan dan kecamatan merupakan wujud nyata perhatian Pemerintah Provinsi Sulawesi Tenggara dalam mempercepat peningkatan kapasitas dan kesejahteraan masyarakat. Dalam program ini, akan tumbuh dan berkembang partisipasi masyarakat dan seluruh komponen pemerintah desa dan kelurahan melalui perencanaan partisi patif. Selain itu masyarakat dan komponen lainya juga akan terlibat langsung dalam program ini, mulai dari proses perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan program. Peningkatan kapasitas aparat pemerintah harus menjadi perhatian semua pihak melalui pembinaan yang teratur dan berkesinambungan. Karena itu dalam pelaksanan perlu diikuti dengan sosialisasi yang memadai, penguatan sisitem administrasi di desa, kelurahan dan kecamatan, peningkatan sumber daya manusia dan kegiatan-kegiatan lainya yang dapat berdampak baik terhadap program ini. Tahapan-tahapan yang dilalui oleh kelurahan/desa adalah dengan mengusulkan proposal yang akan diverifikasi oleh kasi PMD di kecamatan selanjutnya proposal tersebut dimasukkan di BPMD kabupaten untuk kembali di verifikasi oleh Kepala Bidang Pemerintah Desa agar tidak terjadi tumpang tindih kegiatan yang diajukan. Setelah proposal yang telah diverifikasi BPMD kota/ kabupaten, maka dimasukkan ke BPM -Provinsi bidang pemerintah desa, kemudian dibuatkan rekomendasi yang di ajukan ke biro keuangan Sekretariat daerah Provinsi Sultra. Selanjutnya kepala desa/lurah dapat melakukan pencairan dana ke Bank yang ditunjuk. 68
YPSHK - TIFA
Kedermawanan Semu
Audit Sosial Program Bahteramas
Sampling yang diambil di tiga kabupaten/kota (Kota Kendari, kabupaten Kolaka dan Kabupaten Buton Utara) memperlihatkan betapa amburadulnya pengelolaan program Block Grant tersebut di lapangan. Mulai dari tahap sosialisasi, perencanaan, penyelenggaraan, sasaran, tata cara pelaksanaan, pelibatan maysrakat, asas manfaat hingga pertanggung jawaban program yang tidak menunjukkan progres peningkatan kesejahteraan rakyat sebagaimana diharapkan. Dalam road show Fokus Group Diskusi (FGD) yang digelar YPSHK benar-benar membuka mata kita saat pengakuan polos masyarakat yang menilai buruknya tata kelola program Block Grant di daerah mereka. Di Kelurahan Punggolaka, Kota Kendari, misalnya, terungkap berbagai permasalahan terkait pengelolaan program Block Grant. Warga peserta FGD menyatakan, mengetahui adanya program Block Grant melalui iklan radio dan televisi lokal, namun masyarakat tidak dilibatkan dalam sosialisasi program Block Grant yang diselenggarakan di pihak pemerintah kelurahan. Warga hanya diundang Pemerintah Kelurahan jika ada kerja bakti. Hal yang serupa terjadi di Kelurahan Petoaha. Pada tahap sosialisasi Block Grant seluruh peserta FGD laki-laki dan perempuan menyatakan sosialisasi program Block Grant pernah dilakukan dan membahas pembuatan jalan setapak nelayan. Masyarakat mengetahui program dana Block Grant melalui media massa cetak dan elektronik. Bahkan warga hanya mengetahui besaran bantuan dana sebesar Rp. 100 juta untuk setiap kelurahan, tapi tak pernah mengetahui dana yang dimaksud itu turun ke daerah mereka atau tidak. Di Kelurahan Punggolaka seluruh peserta FGD lakilaki maupun perempuan menyatakan, bahwa mereka tidak dilibatkan pada proses perencanaan Block Grant. Mereka 69
YPSHK - TIFA
Kedermawanan Semu
Audit Sosial Program Bahteramas
baru mengetahui, saat Pemerintah Kelurahan menjelaskan pada warga bahwa dana pembuatan jalan setapak nelayan bersumber dari Block Grant Demikian pula, pada tahap penyelenggaraan program Block Grant, warga dan anggota LPM di Kelurahan Punggolaka tidak dilibatkan untuk menjadi panitia penyelenggara kegiatan. Kondisi yang sama juga terjadi di Kelurahan Petoaha, seluruh peserta FGD menyatakan penyelenggaraan program Block Grant dilakukan oleh LPM, tetapi anggota LPM tidak pernah memberikan informasi kepada warga. Di kelurahan ini penyelenggaraan program Block Grant dilakukan oleh kelurahan dibantu oleh LPM (periode lama). Demikian pula untuk tahap perencanaan program dilakukan oleh kelurahan dan LPM. Warga kelurahan punggolaka mengetahui jika sasaran program blok grant di tujukan kepada masyarakat yang ada di kelurahan. Namun sayangnya warga tidak pernah dilibatkan dalam proses perencanaan. Hal ini berdampak pada penentuan sasaran program, yang dilakukan secara sepihak oleh pemeritah kelurahan. Misalnya pengalihan program pembangunan dueker desa menjadi program renovasi kantor kelurahan, dilakukan tanpa pemberitahuan awal pada warga. Hal serupa terjadi di Kelurahan Petoaha. Pada umumnya warga tidak mengetahui sasaran program blok grant itu? Dan ditujukan untuk siapa? Informasi yang diperoleh warga bersumber dari media. Pertanggungjawaban program Block Grant di kelurahan Punggolaka dilakukan oleh Kelurahan. Tanpa melibatkan LPM apalagi masyarakat secara umum. Dana Block Grant yang diketahui dari iklan adalah 100 juta tetapi yang cair untuk keluharan punggolaka tidak 100 juta, hanya sekitar 50 jutaan yang dialokasikan untuk 70
YPSHK - TIFA
Kedermawanan Semu
Audit Sosial Program Bahteramas
renovasi kantor kelurahan. Seluruh peserta dalam FGD menyatakan bahwa hasil/ manfaat program blok grant tidak ada karena dari tahun ke tahun tidak ada yang perubahan, termasuk pembangunan sarana fasilitas umum. Sesungguhnya pembangunan fisik seperti pembuatan jalan setapak dilakukan melalui program P2KP. Berbeda dengan pernyataan warga, Syamsuddin mengaku, jika dalam pelaksanaan kegiatan Block Grant selalu melalui pantauan atau pengawasan dari masyarakat sekitar, baik melalui proses perencanaan juga proses pelaksanaannya. Pengawasan yang masyarakat lakukan dengan cara sama-sama memantau bagaimana prose pembangunan renovasi kantor kelurahan. Lurah Petoaha, La Badi SE, menjelaskan, tahap sosialisasi program Block Grant dilakukan oleh BPM Provinsi ke kelurahan, sedangkan kecamatan hanya melalui Kasi Pemberdayaan sebagai tingkat koordinasi. Selanjutnya La Badi mengakui, perencanaan program di kelurahan yang dia pimpin tidak sesuai dengan petunjuk teknis, karena buku panduan petunjuk teknis diberikan setelah perencanaan dibuat. Meski begitu peruntukan dana program sesuai dengan tujuan awal, yaitu untuk pemberdayaan masyarakat. Ia juga mengaku bahwa proses perencanaan melibatkan RT/RW dan tokoh masyarakat serta kelompok perempuan. Selanjutnya BPM melalukan penilaian secara umum. Namun karena pengajuan bersifat kolektif, maka apabila salah satu kelurahan terlambat mengajukan perencanaan, maka akan berdampak pada keterlambatan pencairan dana semua kelurahan di Kota Kendari. Sebelum kegiatan Block Grant, Inspektorat melakukan pelatihan pembuatan laporan keuangan. Masing-masing kelurahan mengikutsertakan perwakilan staf keuangan 71
YPSHK - TIFA
Kedermawanan Semu
Audit Sosial Program Bahteramas
dari kelurahan setempat untuk diajarkan bagaimana membuat pembukuan sederhana. Sementara itu, masyarakat desa Ulunambo Kabupaten Buton Utara menyatakan bahwa sosialisasi program Block Grant pernah di lakukan oleh pemerintah desa, namun belum efektif sebab hanya sebagian kecil yang mengetahui. Penyusunan perencanaan program (proposal) tidak melibatkan masyarakat. Pihak yang dilibatkan hanya LPM, sedangkan BPD hanya menyetui proposal yang sudah di buat. Alasan ketua BPD menandatangani proposal yang ada demi menyelamatkan anggaran untuk pembangunan desa. Kalau tidak di setujui maka dana tersebut tidak akan di cairkan. Sehingga BPD menyetujui proposal yang di usulkan sekalipun seragam dengan desa-desa yang lainnya (copi paste design). Hal yang sama disampaikan masyarakat di desa Waode Angkalo. Sosialisasi hanya terbatas pada aparat desa selaku pelaksana kegiatan, sementara LPM yang seharusnya menjadi Tim Pelaksana Kegiatan (TPK) dan BPD sebagai pengawas kegiatan belum berfungsi sebagaimana mestinya. Ketua BPD pernah terlibat dalam penyusunan proposal namun setelah anggaran di cairkan, ketua BPD tersebut tidak di libatkan lagi. Selama ini yang melaksanakan semua program adalah pemerintah desa tanpa melibatkan masyarakat secara menyeluruh. Drs H Tony Herbiansyah Msi, yang menjabat Kepala Badan Pemberdayaan Masyarakat Desa (BPMD) Sulawesi Tenggara ketika itu, sebagaimana dilansir Harian Kendari Ekspres, medio Februari 2009 silam, di bawah terik matahari meninjau langsung realisasi penggunaan dana Block Grant tahun 2008 di setiap Desa/Kelurahan se- Kecamatan Pondidaha. Sebagai wujud tanggung jawab kepada masyarakat, mantan Wakil Bupati Konawe ini melisting satu persatu Desa/Kelurahan di Kecamatan Pondidaha 72
YPSHK - TIFA
Kedermawanan Semu
Audit Sosial Program Bahteramas
penerima kucuran dana pemberdayaan tersebut, mulai dari Desa Tirawuta yang membangun balai desa dengan konstruksi bangunan dua lantai, menyusul Desa Hongoa, Desa Lalodangge yang juga membangun balai desa, Desa Wonua Mandara yang membangun drainase dan sejumlah desa-desa lain di Kecamatan Pondidaha. Dalam perjalananya di setiap desa se-Kecamatan Pondidaha ketika itu, Tony memberikan apresiaasi sekaligus masukan dan kritikan kepada para kepala desa/kelurahan yang membangun fasilitas umum menggunakan dana Block Grant. Misalnya, Desa Tirawuta yang merencanakan pembangunan gedung balai desa dengan konstruksi dua lantai. Pola pembangunn seperti itu kata Tony patut dicontoh karena pembangunannya mengutamakan skala prioritas di desa itu dan orientasinya jangka panjang sehingga bisa dinikmati masyarakat dalam waktu cukup lama. Tony juga memuji pembangunan Posyandu di Desa Mumondowu yang benar-benar bisa menjawab kebutuhan masyarakat dan kualitas bangunannya dapat bertahan lama. Namun demikian Tony juga sedikit memberi kritikan pedas dan teguran kepada sejumlah Kades. Misalnya Kades Wonua Mandara, Asia Liambo merencanakan pembangunan drainase sepanjang 140 meter, dibanding membenahi gedung balai desa Wonua Mandara yang tampak kumuh. “Kalau bangun drainase itu sudah mengambil tugas pemerintah kabupaten. Utamakan dulu yang prioritas. Gedung balai desanya kan kelihatan kumuh, kenapa bukan itu dulu yang dibenahi,� tegur Tony. Kritikan serupa juga dialamatkan kepada Kades Lalodangge, Dedi Supriadi yang membangun balai desa menggunakan kayu-kayu yang kurang berkualitas (kayu kelapa) sebagai konstruksi bangunan. “Kalau kondisi 73
YPSHK - TIFA
Kedermawanan Semu
Audit Sosial Program Bahteramas
kayunya seperti ini,bangunannya tidak akan bertahan lama, satu dua tahun sudah dimakan rayap. Kita harapkan dana Block Grant ini bisa digunakan untuk membangun bangunan yang paling dibutuhkan masyarakat setempat dan bertahan lama dan bisa menjadi kenang-kenangan untuk generasi mendatang, bukan hanya untuk menggugurkan kewajiban,” pungkasnya. Tony mengklaim, jika realisasi penggunaan dana Block Grant tahun 2008 berjalan sangat baik dan lancar sesuai dengan harapan Pemerintah Provinsi. Penggunaan dana tersebut kata Tony sudah dimanfaatkan untuk menjawab kebutuhan masyarakat di desa tersebut. “Jadi dana Block Grant itu bukan untuk kepala desa tapi untuk menjawab kebutuhan masyarakat desa di seluruh Sultra,” tandasnya. Indikator keberhasilan penggunaan dana Block Grant tahun 2008, kata dia, sangat jelas terlihat dari penyelesaian bangunan yang hampir rampung 100 persen. “Setiap desa rata-rata membangun Balai Desa. Dengan menggunakan dana hanya Rp 33.500.000,- bangunan yang mereka bangun sudah rampung di atas 90 persen,”ujarnya. Dengan keberhasilan tersebut, pemerintah provinsi kembali mengucurkan dana Block Grant tahun 2009 untuk melanjutkan pembangunan di desa. “Dalam membangun kita lakukan secara bertahap,’ujarnya.
74
YPSHK - TIFA
Kedermawanan Semu
Audit Sosial Program Bahteramas
Aroma Amis Pengelolaan Block Grant Carut marut pengelolaan Block Grant di desa memang seolah tak pernah ada habisnya. Berbagai persoalan menggelayut seiring berjalannya program Pemerintah Provinsi Sulawesi Tenggara di desa. Perseteruan antara kepala desa, unsur desa dan masyarakat menjadi buah berita sehari-hari. Baik muncul di media massa maupun pembicaraan dari mulut kemulut oleh masyarakat itu sendiri. Bantuan Rp 100 juta per desa/kelurahan, termasuk salah satu visi dan misi pasangan gubernur Nur Alam Saleh Lasata (Nusa) sebelum menjadi gubernur. Ketika pasangan ini menjadi pimpinan daerah, maka otomatis visi dan misi itu harus masuk RPJMD yang menjadi rujukan dalam membahas APBD Sultra kurun waktu 2008-2013. Yang menjadi catatan, sampai dengan bulan ke tujuh tahun 2009, bantuan Rp 100 juta per desa/kelurahan itu belum dicairkan. Padahal bantuan yang diberikan dalam bentuk program Block Grant itu sudah dibahas di APBD 2009. Bahkan kesepakatan DPRD dan Pemprov Sultra, bantuan diberikan secara bertahap, tiap tiga bukan sekali. Total setiap triwulan sebanyak Rp 25 juta. La Pili, anggota DPRD Sultra asal PKS pernah meminta Pemprov Sultra segera mencairkan bantuan Rp 100 juta per desa itu. Ia megatakan, bantuan tersebut adalah hak masyarakat, sebab sudah menjadi kesepakatan antara Pemda dengan DPRD Sultra. “Tidak ada alasan menunda pencairan dana bantuan Rp 100 juta per desa, karena ini sudah kesepakatan bersama,� ujarnya. Ketua Fraksi PKS DPRD Sultra ini mengungkapkan, mengapa dana bantuan desa Rp 100 juta, masih dikalahkan 75
YPSHK - TIFA
Kedermawanan Semu
Audit Sosial Program Bahteramas
oleh perjalanan dinas dari eksekutif. Catatan yang dia dapat, menunjukkan fakta bahwa perjalanan eksekutif lebih banyak jika dibanding pencairan bantuan desa.”Saya melihat lebih banyak perjalanan dinas eksekutif dibanding memberikan bantuan Rp 100 juta per desa,” jelasnya. Menurutnya, Pemprov tidak boleh menahan dana bantuan desa/kelurahan, karena dana tersebut merupakan hak masyarakat “Coba saja tengok di desa-desa, mereka selalu mempertanyakan kapan realisasi bantuan Rp 100 juta per desa” ungkap La Pili dalam wawancara dengan media massa. Pernyataan itu langsung di jawab Gubernur Sultra Nur Alam. Ia mengatakan bantuan Rp 100 juta per desa tidak ditahan, tetapi sedang merancang format baru, bagaimana model penggunaan anggaran itu. “Fokusnya nanti pemberdayaan masyarakat. Jadi bukan lagi Kepala Desa atau Lurah yang mengendalikan anggaran, tetapi dikelola secara bersama,” ujarnya. Nur Alam menghimbau agar dana Block Grant dialokasikan untuk pemberdayaan masyarakat. Jika sebuah desa fokus pada ternak kambing atau sapi, maka modal itu kita berikan untuk pengembangan ternak. Begitu juga dengan desa lain yang fokus perikanan, maka dana itu kata Nur Alam akan diberikan untuk penguatan modal juga.”Jadi bukan menahan anggaran, tetapi kita ganti sistimnya (cluster). Jika Block Grant desa, sebelumnya banyak kebentuk fisik, maka dalam cluster baru, dikembangkan dalam model lain, misalnya pemberdayaan ekonomi masyarakat desa,” ujarnya seperti dilansir Harian Kendari Ekspres. Banyaknya masalah yang muncul saat pencairan 2008 lalu diantaranya; dominasi Kades dan Lurah masih sangat kuat dalam penggunaan anggaran, dan pertanggungjawaban penggunaan dana Block Grant belum 76
YPSHK - TIFA
Kedermawanan Semu
Audit Sosial Program Bahteramas
terlaksana sesuai Petunjuk Pelaksanaan (Juklak) dan Petunjuk Teknis (Juknis). Kepala BPKAD Kabupaten Muna Zakaruddin Saga SE MSi mengungkapkan banyak persoalan yang muncul dalam pengelolaan Block Grant desa Rp 100 juta per tahun, diakibatkan belum adanya regulasi yang jelas dan belum adanya kesepahaman antara Pemerintah Provinsi (Pemprov) dengan Pemerintah Kabupaten (Pemkab). Secara umum pengelolaan keuangan di tingkat desa menjadi tidak terarah, karena dana disalurkan sebelum desa menetapkan Rancangan Anggaran dan Pendapatan dan Belanja Desa (RAPBDes). Padahal sesuai PP Nomor 27 tahun 2003 harusnya penyaluran anggaran seperti itu setelah desa menetapkan APBDes. “Jika kita mengacu pada PP tersebut berarti penyaluran dana Block Grant desa telah bertentangan. Saya tidak tahu apakah aparat Pemprov sadar dengan hal itu atau tidak. Makanya tidak mengherankan jika saat ini tidak jelas penggunaan dana yang diterima dari Block Grant, dan sejumlah kepala desa diperiksa kejaksaan,” kata Zakaruddin kepada koran Kendari Ekpres Senin (7/6/ 2010). Masalah lain yang diungkapkan Zakaruddin adalah masalah pemotongan dana Block Grant untuk BPR, karena regulasinya hingga saat ini belum ada sehingga bisa memperjelas posisi kepala desa dalam BPR yang dibentuk itu. “Sekarang ini posisi Kades menjadi pemegang saham di BPR itu, tapi berapa nilai dan jumlah lembar sahamnya, sama sekali tidak jelas” kata Zakaruddin. Bahkan persoalan pemotongan anggaran Block Grant juga diungkapkan Zakaruddin. Dia menyebutkan bahwa dana Block Grant yang diterima desa rata-rata telah dipotong dari PMD Provinsi, diantaranya untuk pembelian lemari buku Rp 2 juta, lalu pelatihan ESQ dan untuk harga 77
YPSHK - TIFA
Kedermawanan Semu
Audit Sosial Program Bahteramas
koran. Namun walaupun tidak ikut ESQ juga tetap dipotong dan koran juga tidak sampai ke tangan kades. “Lemari diadakan di Kendari lalu yang bertanggungjawab Kades, kan kasian Kadesnya. Padahal, jika lemari itu dibeli di Raha mungkin harganya hanya Rp 600 ribu, sudah dengan jati kualitas baik,” ujarnya. Zakaruddin menyatakan, masalah penyaluran dana Block Grant diketahui Zakaruddin setelah keluhan-keluhan para Kades penerima dana Block Grant. Lebih jauh ia mengungkapkan masalah hubungan antara Pemprov dengan Pemkab dalam pengelolaan Block Grant tidak jelas. “Harusnya sejak awal program ini digagas Pemprov mengundang semua Pemkab dan Pemkot untuk duduk bersama lalu membicarakan apa peran dan fungsi masingmasing, sehingga tidak terkesan jalan sendiri atau Pemprov memerintah Pemkab,” katanya. Ironisnya saat ini muncul pernyataan dari Pemprov bahwa Pemkab tidak membantu dalam program BAHTERAMAS. Padahal persoalannya, katanya, karena tidak ada pembagian tugas dan wewenang yang jelas.”Waktu Pemprov memanggil para kades untuk menerima dana, tidak pernah ada koordinasi dengan Pemkab. Lalu Pemkab yang mau disalahkan setelah programnya tidak beres itu namanya tidak fair,” katanya. Sejumlah Kepala Desa mengeluhkan proses pencairan dana Block Grant yang masih berbelit-belit. Banyaknya tete bengek dalam verifikasi administrasi membuat kepala desa merasa dipersulit untuk mendapatkan dana tersebut. Mereka harus bolak-balik antara kampung dan Kendari. Begitulah keluhan kepala desa yang diterima Wakil Ketua DPRD Sultra, La Pili, melalui reses baru-baru ini di Kabupaten Muna. Sejatinya setiap kepala desa mendapat dana Block Grant Rp 100 juta per desa per tahun dengan empat termen pencairan. Setiap termen Rp 25 juta. Tapi 78
YPSHK - TIFA
Kedermawanan Semu
Audit Sosial Program Bahteramas
berdasarkan keluhan para kepala desa di lapangan, dana yang diterima dalam dua tahun terakhir ini hanya Rp 50 juta. “Jika memang keluhan para kepala desa ini benar adanya, yang kemudian pertanyaan adalah dana yang dianggarkan selama ini melalui APBD mengendap dimana, dialirkan kemana. Ataukah memang tidak ada uangnya karena PAD kita tidak tercapai,” tanya La Pili. Menurutnya, masalah ini harus ditelusuri, sebab jika dirata-ratakan 50 persen tidak disalurkan selama dua tahun, berarti ada sekitar Rp 300 miliar yang mengendap dengan perkiraan Rp 150 miliar lebih per tahun yang tidak tersalur. Karena, menurut La Pili, pemerintah daerah melalui persetujuan DPRD menggelontorkan anggaran untuk Block Grant itu kurang lebih Rp 150 miliar setiap tahun. “Sehingga kalau dua tahun berarti ada sekitar 300 miliar lebih uang itu tertahan. Nah ini kemudian yang harus dituntaskan,” katanya. Belum maksimalnya penerimaan dana Block Grant ini lebih disebabkan karena verifikasi yang berbelit-belit dan menyusahkan mereka. Kedepan, kata La Pili, akan buatkan sebuah sistem agar proses verifikasi proposal sebagai syarat untuk mendapatkan dana tersebut tidak serumit seperti sekarang. “Kita akan usulkan, supaya itu dipermudah, tidak lagi misalnya bolak-balik ke BPMD Provinsi. Kasian mereka, kalau dari Wakatobi langsung ke Kendari atau dari Kolaka Utara ke Kendari hanya karena sedikit permasalahan proposal mereka harus kembali lagi, ini kan menyulitkan mereka,” ujarnya. Alangkah bagusnya kalau verifikasi administrasi itu diserahkan ke BPMD Kabupaten/Kota supaya para Kades 79
YPSHK - TIFA
Kedermawanan Semu
Audit Sosial Program Bahteramas
tidak pulang pergi dari desa ke Kendari. “Begitu kendalanya. Menurut pengakuan mereka sampai merasakan begitu susahnya proses pencairan dana Block Grant,” tambahnya. Di parlemen, carut marut pengelolaan program Block Grant disuarakan begitu lantang, menjadi pembicaraan secara serius para wakil rakyat. Ini dapat dilihat saat aliran dana program Block Grant masuk ke rekening Ali Nur, Kepala Dispenda Provinsi Sulawesi Tenggara sebesar Rp 5 milyar. Kontan tindakan Ali Nur ini memantik rekasi keras Anggota DPRD Sultra, La Ode Ndoloma yang meminta gubernur memecat Kepala Dinas Pendapatan Daerah (Kadispenda) Sultra Ali Nur, menyusul temuan BPK RI bahwa yang bersangkutan menyimpan dana Block Grant sebesar Rp 5 Milyar dalam rekening pribadi dan tidak bisa dipertangungjawabkan.”Kepala Dinas seperti ini, tidak bisa dipertahankan. Sebaiknya, gubernur tidak mengakomodir lagi orang-orang seperti ini. Lebih baik dia di non job saja,” kata Ndoloma, kepada media massa, Jumat (20/8/2010) Ndoloma menuding Kadispenda Sultra Ali Nur tidak profesional dalam bekerja. Harusnya, dana Block Grant untuk bantuan desa, tidak boleh dimasukan dalam rekening pribadi. Gubernur harus tegas terhadap kepala dinas yang tidak profesional.”Orang-orang atau kepala dinas seperti Kadispenda, sebaiknya diganti secepatnya,” tegas Ketua Komisi II DPRD Sulawesi Tenggara itu. Mantan Kepala Dinas Kehutanan Sulawesi Tenggara itu, mendorong agar DPRD Sultra, melakukan audiensi dengan BPK RI perwakilan Sultra dan melibatkan seluruh anggota DPRD Sulawesi Tenggara, terutama yang masuk dalam Panitia Kerja (Panja) DPRD Sultra yang menindaklanjuti temuan BPK. 80
YPSHK - TIFA
Kedermawanan Semu
Audit Sosial Program Bahteramas
Selain menemukan dana Block Grant sebesar Rp 5 Milyar dalam rekening pribadi Kepala Dinas Pendapatan Sultra Ali Nur, yang tidak bisa dipertanggungjawabkan, BPK RI Perwakilan Sultra juga menemukan Rp 41 Milyar dana Block Grant belum dipertanggungjawabkan desa, kelurahan dan kecamatan. Kepala BPK RI Perwakilan Sultra Rochmadi Saptogari mengatakan, dana sebesar itu akumulasi dari pemberian dana Block Grant tahun 2008 dan 2009" Tahun 2008, dari total dana Block Grant yang disalurkan sebesar Rp 70 Milyar, dana yang belum dipertangungjawabkan desa, kelurahan dan kecamatan sebesar Rp 28 Milyar. Sedangkan 2009, dari 64 Milyar yang disalurkan, 13,1 Milyar belum dipertangungjawabkan,” jelasnya. Dewan Pimpinan Wilayah (DPW) Jaringan Nusantara Sulawesi Tenggara minta penengak hukum mengusut peminjaman dana Block Grant. Berikut penyimpanan anggaran pemerintah ke rekening bank swasta. “Kami menduga ada high conspiration untuk sengaja mengendapkan uang rakyat. Kalau saja BPK tidak menemukan uang itu, mungkin saja uang tersebut akan dibagi-bagi. Sungguh sangat disayangkan seolah-olah kekuasaan itu milik pribadi,” kata Ketua Umum DPW Jaringan Nusantara Sultra, Hasidin Samada, Selasa (7/9). Negara ini dikelolah atas mandat rakyat yang setiap penyelenggaraan pemerintahan, termasuk tata kelolah keuangan, didasarkan pada kaidah-kaidah kepentingan publik bukan kepentingan pribadi. Tindakan salah satu pejabat tersebut terindikasi ingin menjadikan uang rakyat menjadi milik pribadi. “Coba bayangkan berapa bunga bank dari uang itu, hal seperti ini yang mendorong pemerintahan bisa korup,” kata Hasidin Samada. 81
YPSHK - TIFA
Kedermawanan Semu
Audit Sosial Program Bahteramas
Dalam UU RI Nomor 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara Pasal 3 ayat 1 (Satu) ditegaskan bahwa Keuangan Negara dikelola secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif, transparan, dan bertanggung jawab dengan memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan. Hasil audit BPK dan tambahan data dari DPRD Sultra bisa menjadi bukti awal bagi penengak hukum untuk menyelidikinya. Tertuang pada UU RI No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, salah satu tugas penegak hukum melakukan tindakan preventif agar tidak terjadi penyelewengan keuangan negara. “Kalaupun uang itu sudah dikembalikan tidak mengurangi pelanggarannya, karena dari awal yang bersangkutan sudah ada niat. Uang itu sebetulnya bisa menjadi temuan dan bukti tindak pidana korupsi,� kata Hasidin Samada. Menjadi penting untuk diusut guna memberikan penjelasan hukum kepada masyarakat yang selama ini apatis terhadap pengelolan kekuasaan yang cenderung monoton. DPRD Sultra diminta tidak hanya getol menyuarakan di media massa namun melaporkan kepejabat yang bersangkutan di Kejaksaan. Dewan memiliki sejumlah privilege. Program Block Grant merupakan program dari realisasi janji politik Nur Alam sejatinya dinikmati masyarakat sebagai realitas tetapi makna keesermawanan tercerabut oleh tingkah para pengolola yang setengah hati menjalankan program tersebut.
82
YPSHK - TIFA
Kedermawanan Semu
Audit Sosial Program Bahteramas
Persfektif Hak Alokasi Dana Desa Vs Persfektif Kedermawanan Block Grant Kalau “airmata� diserahkan kepada nagari, tetapi kalau “mata air� diambil oleh kabupaten, demikian sentilan Suara Wali Nagari Kabupaten Solok Sumatera Barat tentang kondisi pergesekan antara kepetingan antara pemerintah daerah dan pusat,. Sejak diluncurkan 2008 silam, Program BAHTERAMAS dengan tiga pilar utamanya menjadi program pemerintah provinsi yang paling banyak menyita perhatian masyarakat. Meskipun BAHTERAMAS mengusung tiga pilar utama, namun alokasi anggaran sebesar 100 juta untuk setiap desa dan kelurahan adalah program yang paling banyak menyita perhatian. Meskipun demikian, perdebatan seputar dana blockgrant yang total jumlahnya cukup besar tersebut hanya terjadi seputar kapan dana tersebut akan di transfer ke desa. Tidak banyak yang mempertanyakan bagaimana mendudukkan dana blockgrant tersebut dalam konteks kedudukan dan kewenangan desa di era otonomi daerah dan apa implikasi-implikasi yang mungkin saja akan muncul di kemudian hari. Belakangan ini wacana otonomi desa terus bergulir bak air bah, dan kian menguat menyusul lahirnya UU No. 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah, yang selanjutnya direvisi melalui UU N0. 32 tahun 2004. Meski UU No. 32 tahun 2004 oleh berbagai pihak dinilai sebagai kemunduran pengaturan tentang desa, tetapi gaung otonomi desa semakin menguat. Dokumen resmi kebijakan pemerintah daerah pada umumnya juga mengusung tema-tema pengembangan otonomi desa. Argumentasi pokok yang mendasarinya adalah desa bisa berkembang, maju dan sejahtera jika desa mempunyai otonomi. Seiring makin 83
YPSHK - TIFA
Kedermawanan Semu
Audit Sosial Program Bahteramas
menguatnya otonomi desa dengan segala kedudukan dan kewenangan yang dilekatkan kepada desa, transfer fiskal ke desa juga semakin meningkat. Prakarsa alokasi anggaran ke desa sebenarnya telah berlangsung sejak tahun dekade 1969, dimulai dengan bantuan desa (subsidi desa) yang disalurkan oleh BRI melalui Instruksi Presiden (INPRES). Dalam implementasinya, bantuan desa dari pemerintah pusat dialokasikan berdasarkan jumlah desa dan subsidi per desa. Pada tahun anggaran 1999/2000, dana pembangunan desa terintegrasi dalam wilayah kekuasaan kabupaten melalui Dana Pembangunan Daerah (DPD). Sejak saat itu, alokasi anggaran untuk program pembangunan desa meningkat dari tahun ke tahun seiring dengan meningkatnya pendapatan negara dan diberlakukannya desentralisasi. Sebagai perbandingan, APBN untuk tahun 2000 mengalokasikan Dana Pembangunan Desa sebesar 9 juta rupiah setiap desa/kelurahan. Setiap tahun APBN juga mengalokasikan dana pembinaan untuk kegiatan perencanaan, pengendalian dan evaluasi yang meliputi: a). Dana Pembinaan Desa di tingkat Propinsi rata-rata sebesar Rp.90.000 x jumlah desa di Propinsi tersebut. b). Dana Pembinaan Desa di tingkat Kabupaten ratarata sebesar Rp.100.000 x jumlah desa di Kabupaten tersebut. c). Dana Pembinaan Desa di tingkat Kecamatan ratarata sebesar Rp.450.000 x jumlah desa di Kecamatan tersebut, dan d). Untuk Kecamatan yang mempunyai desa terpencil mendapat tambahan dana pembinaan rata-rata sebesar Rp.200.000 untuk tiap desa terpencil.
84
YPSHK - TIFA
Kedermawanan Semu
Audit Sosial Program Bahteramas
APBN juga mengalokasikan dana langsung per desa yang digunakan untuk pelayanan masyarakat, PKK anak dan remaja serta dana lain-lain per desa yang nilainya berkisar puluhan juta per desa/kelurahan. Selain itu, anggaran yang bersumber dari pemerintah pusat, transfer fiskal ke desa desa juga diperoleh dari proyek berbagai departemen maupun dari dana utang seperti PNPM Mandiri.Sejak munculnya UU No. 22 tahun 1999 yang selanjutnya direvisi melalui UU N0.32 tahun 2004 dan dikeluarkannya PP 72 tahun 2005, alokasi anggaran yang dimiliki kabupaten beserta wewenang pengelolaannya sebagian mulai diserahkan ke desa. Dalam PP tersebut, diatur bahwa sumber-sumber pendapatan desa meliputi, pertama; pendapatan Asli Desa (terserah kebijakan desa itu sendiri), berupa: Hasil usaha desa, Hasil kekayaan desa, hasil swadaya dan partisipasi, hasil gotong royong dan lain-lain pendapatan desa dari usaha yang sah. Kedua; dana Perimbangan desa yang diberikan kepada desa sebagai Alokasi Dana Desa (ADD), yang bersumber dari: a) Penerimaan Pajak Daerah (minimal 10%), b) Retribusi Tertentu Daerah (sebagian), c) Dana Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah (minimal 10% APBD Kabupaten setelah dikurangi belanja pegawai) dan: d) Dana Alokasi Khusus Desa (DAK). Dan yang terakhir berupa hibah, sumbangan dan pendapatan lain-lain yang sah. Selain anggaran yang ditujukan untuk mendukung pembangunan di desa, aparatur desa juga mendapat porsi tunjangan anggaran yang cukup memadai. PP Nomor 72 Tahun 2005 dan SE Mendagri No.140/537/SE tahun 2006 mengatur penghasilan tetap Kepala Desa dan Perangkat Desa paling sedikit sama dengan Upah Minimum Regional Kabupaten.
85
YPSHK - TIFA
Kedermawanan Semu
Audit Sosial Program Bahteramas
Sumber dan besaran anggaran yang disebutkan diatas menunjukkan bahwa selama ini desa telah mendapat alokasi anggaran dari pemerintah pusat. Masalahnya, tidak semua pemerintah desa mendapatkan hak mereka tersebut, dan tidak semua pemerintah kabupaten melaksanakan kewajibannya untuk mengalokasikan anggaran kepada desa. Hak desa untuk mendapatkan Dana Perimbangan Desa sebagai Alokasi Dana Desa tidak dijalankan oleh hampir seluruh kabupaten di Sulawesi Tenggara. Berdasarkan catatan yang ada, terdapat 3 kabupaten yang menyatakan telah merealisasikan ADD kepada desa. Namun, setelah di cek dengan seksama, jumlah dan alokasinya tidak sesuai dengan perintah PP 72 tahun 2005. Beberapa kabupaten mensiasati kewajibannya untuk memberikan ADD dengan memanipulasi nomenklatur anggaran atau mengkompensasinya dengan beragam proyek ke desa yang dikontrol oleh dinas sektoral. Di kabupaten Muna lebih ironis lagi. Hak desa untuk mengelola kekayaan desa sebagai sumber PAD Desa yang dilindungi dengan peraturan perundang-undangan justru dihalang-halangi dan bahkan melahirkan konflik sebagaimana terjadi di desa Wakumoro saat hari raya Idul Fitri, 2009 silam. Situasi dilematis dan konfliktual antara pemerintah kabupaten dan pemerintah desa sebagai akibat dari dijalankannya otonomi setengah hati. Dengan berlakunya UU 32 tahun tahun 2004 dan PP 72 tahun 2005 serta berbagai kebijakan yang menyertainya, maka suka atau tidak suka, pemerintah kabupaten wajib untuk menyerahkan sebagian kewenangan dan memberikan alokasi anggaran sebagai wujud dari otonomi desa. Saat ini pemerintah kabupaten masih enggan untuk melimpahkan sebagian kewenangannya kepada desa. Keengganan pemerintah kabupaten untuk melimpahkan kewenangannya tersebut paling tidak disebabkan adanya ketakukan bahwa kontrol, dominasi dan legitimasi 86
YPSHK - TIFA
Kedermawanan Semu
Audit Sosial Program Bahteramas
pemerintah kabupaten terhadap pemerintah desa akan berkurang, dan kedua, ketidakrelaan untuk membagi alokasi anggaran kepada desa. Desentralisasi fiscal setidaknya berdampak pada; Pertama, memulihkan kewenangan generik (asli) desa dan mendistribusikan kewenangan kepada desa guna menciptakan keleluasaan dan kekebalan desa terhadap pemerintah supradesa. Kedua, devolusi perencanaan desa yang memastikan desa sebagai entitas lokal yang mempunyai perencanaan sendiri (village self planning) untuk mengelola pemerintahan dan pembangunan yang telah menjadi domain desa. Ketiga, menegaskan hak desa untuk mendapatkan Dana Perimbangan Desa dalam bentuk Alokasi Dana Desa. Keempat, menjalankan tiga skema desentralisasi (politik, pembangunan, keuangan) yang konsisten dengan membuat kebijakan kabupaten yang responsif desa. Kelima, merubah cara pandang dan tindakan yang dominatif (tidak percaya, meremehkan, menjadikan objek) terhadap desa menjadi transformatif (mempercayai, menghargai dan menantang). Keenam, membangun basis demokrasi desa dengan mendemokratiskan negara, mendemokratiskan masyarakat politik dan memperkuat masyarakat sipil. Ketujuh, memperkuat kapasitas desa dalam menjalankan fungsi pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakat. Kedelapan, memperkuat basis ekonomi di desa. Kesembilan, memperkuat suara desa melalui asosiasi desa, jaringan antar desa dan jaringan dengan perguruan tinggi maupun NGO. Inilah yang menjadi kontradiksi fakta dan Janji lama yang pernah diucapkan Nur Alam, saat menuju kursi panas gubernur Sulawesi Tenggara. Ia berkeinginan besar merealisasikan gagasan memberikan Alokasi Dana Desa sebesar 100 juta per desa. Gagasan ini terbit pertama kali di Harian Kendari Ekspres, Kamis 25 oktober 2007. Lantas 87
YPSHK - TIFA
Kedermawanan Semu
Audit Sosial Program Bahteramas
mungkinkah, alokasi dana 100 juta per desa diwujudkan? Sebagaimana dijelaskan di awal, Mungkin UU No 32/ 2004 dan PP No 72/2005 tentang desa telah memberikan hak pada desa untuk mengelola pemerintahan yang otonom dengan didukung Alokasi Dana Desa (ADD) untuk membiayai kegiatan pemerintahan dan pembangunan di desa. Dengan memanfaatkan ADD, desa bisa berperan lebih aktif dalam mengerakkan pembangunan masyarakat desa. ADD juga dapat dijadikan sebagai instrumen percepatan pembangunan di desa. Perhatian lebih kepada pemerintahan desa dimaksudkan untuk oftimalisasi pelayanan publik, karena pemerintahan yang terdekat dengan masyarakat adalah pemerintahan desa Tugas pembangunan bukan lagi semata-mata bertumpu pada kebijakan pemerintahan daerah kabupaten/ Kota tetapi demi percepatan pembangunan, maka distribusi otorisasi pembangunan penting untuk dilakukan. Langkah ini dilakukan bukan untuk mengurangi wewenang pemerintah kota/kabupaten atas pembangun, tetapi lebih lanjut diterjemahkan sebagai upaya perpanjangan tangan pemerintah kabupaten/kota yang selanjutnya diharapkan membantu tercapainya tujuan pembangunan Implementasi ADD juga diharapkan sebagai langkah untuk mengeliminir kesalahan-kesalahan program pembangunan. Seringkalai terjadi kesalahan program pembangunan yang disebabkan perbedaan kebutuhan pembangunan dan kebijakan program pembangunan. Dengan ADD, maka inisiatif pembangunan yang berasal dari pemerintah desa selayaknya direncanakan dan dilaksanakan oleh desa itu sendiri. Dengan demikian tidak ditemui lagi program pembangunan yang salah sasaran. Sebelum lebih jauh membicarakan ADD, ada baiknya jika kita mengenal sekilas tentang Alokasi Dana Desa. 88
YPSHK - TIFA
Kedermawanan Semu
Audit Sosial Program Bahteramas
ADD adalah dana yang diberikan kepada desa yang berasal dari dana perimbangan keuangan pemerintah pusat dan daerah yang diterima oleh kabupaten/kota (Pasal 1 ayat 11, PP 72/2005). Alokasi Dana Desa dimaksudkan untuk membiayai program Pemerintahan Desa dalam melaksanakan kegiatan pemerintahan dan pemberdayaan masyarakat (Surat edaran Mendagri tentang Petunjuk Pelaksanaan ADD No. 140/640/SJ). Dengan demikian dapat pula dikatakan bahwa ADD merupakan hak desa sebagaimana pemerintah daerah kabupaten/kota memiliki hak untuk memperoleh anggaran DAU (Dana Alokasi Umum) dan DAK (Dana Alokasi Khusus) dari Pemerintah Pusat. Selanjutnya diterjemahkan bahwa Pemberian Alokasi Dana Desa merupakan wujud dari pemenuhan hak desa untuk menyelenggarakan otonominya agar tumbuh dan berkembang mengikuti pertumbuhan dari desa itu sendiri berdasarkan keanekaragaman, partisipasi, otonomi asli, demokratisasi dan pemberdayaan masyarakat. ADD dilaksanakan dengan berapa tujuan diantaranya, 1) meningkatkan penyelenggaraan pemerintahan desa dalam melaksanakan pelayanan pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan sesuai kewenangannya; 2) meningkatkan kemampuan lembaga kemasyarakatan di desa dalam perencanaan, pelaksanaan dan pengendalian pembangunan secara partisipatif sesuai dengan potensi desa; 3) meningkatkan pemerataan pendapatan, kesempatan bekerja dan kesempatan berusaha bagi masyarakat desa dan mendorong peningkatan swadaya gotong royong masyarakat desa. Pelaksanaan ADD memberikan manfaat baik bagi kabupaten/kota maupun pada desa itu sendiri. Beberapa manfaat yang dapat diperoleh oleh Kabupaten/Kota adalah, pertama, Kabupaten/Kota dapat menghemat tenaga untuk memberikan desa mengelola otonominya, 89
YPSHK - TIFA
Kedermawanan Semu
Audit Sosial Program Bahteramas
tanpa terus bergantung kepada kabupaten/kota, kedua, kabupaten/kota bisa lebih berkonsentrasi meneruskan pembangunan pelayanan publik untuk skala luas yang jauh lebih strategis dan lebih bermanfaat untuk jangka panjang. Sedangkan bagi pemerintah desa, ADD dapat menghemat biaya pembangunan, karena desa dapat mengelola sendiri proyek pembangunannya dan hasilhasilnya dapat dipelihara secara baik demi keberlanjutannya. Tiap-tiap desa memperoleh pemerataan pembangunan dan kepastian anggaran untuk belanja operasional desa dan untuk meningkatkan pelayanan bagi masyarakat. Selain itu, desa juga dapat menangani secara cepat permasalahan yang dihadapinya, tanpa menunggu lama datangnya program dari pemerintah daerah kabupaten/ kota. ADD juga dapat mendorong terciptanya demokrasi di desa. ADD dapat melatih masyarakat dan pemerintah desa untuk bekerjasama, memunculkan kepercayaan antara pemerintah desa dan masayarakat desa, dan mendorong adanya kesukarelaan masyarakat desa untuk membangun dan memelihara desanya. Masyarakat juga mempunyai kesempatan untuk melakukan pengawasan langsung dan menekan terjadinya penyimpangan. Dengan partisipasi semua pihak, maka kesejahteraan kelompok perempuan, anak-anak, petani, nelayan, orang miskin dan lain-lain dapat tercapai. ADD adalah amanah yang harus dilaksanakan, pelaksanaan ADD secara umum berlandaskan pada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2000 tentang Perubahan atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (Pasal 2A ayat (2) dan ayat (4); Pasal 18 ayat (5) dan (6) , UU No.32/2004 Tentang Pemerintahan 90
YPSHK - TIFA
Kedermawanan Semu
Audit Sosial Program Bahteramas
Daerah pasal 212 ayat (3) huruf b & c, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, PP Nomor 65 Tahun 2001 tentang Pajak Daerah (Pasal 78 ayat 1,2,3). PP Nomor 66 Tahun 2001 tentang Retribusi Daerah (Pasal 15 ayat (1), (2), (3)). PP No.72/2005 Tentang Desa (Pasal 68 ayat 1 huruf c), Surat Edaran Mendagri No. 140/640/SJ tertanggal 22 Maret 2005 Tentang Pedoman ADD yang ditujukan kepada pemerintah kabupaten/kota, Surat Edaran Mendagri No.140/286/SJ tertanggal 17 Februari 2006 tentang Pelaksanaan ADD, Surat Edaran Mendagri No. 140/1841/ SJ tertanggal 17 Agustus 2006 tentang perintah penyediaan ADD kepada Propinsi (evaluator) dan kabupaten/kota sebagai pelaksana. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 4 tahun 2007 tentang Pedoman Pengelolaan Kekayaan Desa Surat Edaran Mendagri No 140/161/SJ tahun 2007 tentang Pedoman Umum Pengelolaan Keuangan Desa. Surat Edaran Bersama Mendagri dan Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas No 0008/M.PPN/01/2007 tentang Petunjuk Teknis Penyelengaraan Musrenbang tahun 2007 ( I huruf E. 1.a) Pelaksanakan ADD, harus memenuhi prinsip-prinsip, diantaranya adalah pengelolaan keuangan ADD merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari pengelolaan keuangan desa dalam APBDesa, seluruh kegiatan yang didanai oleh ADD direncanakan, dilaksanakan dan dievaluasi secara terbuka dengan melibatkan seluruh unsur masyarakat di desa, seluruh kegiatan harus dapat dipertanggungjawabkan secara administratif, teknis dan hukum dan ADD dilaksanakan dengan menggunakan prinsip hemat, terarah dan terkendali. Implementasi ADD bukan berarti menggugurkan kewajiban pemerintah kabupaten/kota, karena kapasitas sumberdaya pembangunan, baik anggaran maupun sumberdaya manusia didesa tetap belum memadai untuk 91
YPSHK - TIFA
Kedermawanan Semu
Audit Sosial Program Bahteramas
melakukan program pembangunan. Intervensi dalam bentuk pendampingan dan penguatan kapasitas dari pemerintah kabupaten/kota terhadap desa menjadi sangat penting untuk dilakukan. Perlu diketahui bahwa ADD berbeda dengan bantuan. ADD adalah hak pemerintah desa pada pemerintah kabupaten/kota. Sumber pendanaan ADD diperoleh dari Dana Alokasi Umum (DAU) di tingkat Kabupaten/Kota. Sebagaimana pasal 1 ayat (11) PP 72 tahun 2005 menyebutkan bahwa, ”Alokasi Dana Desa adalah dana yang dialokasikan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota untuk desa, yang bersumber dari bagian dana perimbangan keuangan pusat dan daerah yang diterima oleh Kabupaten/ Kota”. Pasal tersebut secara jelas menjawab bahwa kebijakan tentang ADD adalah wewenang pemerintah Kabupaten/ Kota dan bukan pemerintah propinsi. Lebih lanjut berdasarkan Peraturan Pemerintah No 72 tahun 2005 pasal 68 ayat 1 huruf c, menyebutkan bahwa ”sumber angaran untuk ADD berasal dari APBD Kabupaten/Kota. Komponen APBD yang dialokasikan sekurang-kurangnya 10 % bagian dari dana perimbangan keuangan pusat dan daerah”. Selanjutnya dinyatakan bahwa ADD terdiri dari dua jenis, yaitu ADD minimal (60 % dari total ADD ) dan ADD proporsinal (40 % dari total ADD). ADD minimal besarnya merata antar desa dalam satu kabupaten/kota, sedangkan ADD proporsional, pengalokasiannya berbeda berdasarkan berbagai variabel, yaitu Varibel Utama adalah variabel yang ditentukan dan berlaku secara nasional, yaitu: (a) Kemiskinan; (b) Pendidikan; (c) Kesehatan; dan (d) Keterjangkauan desa. Sedangkan Variabel Tambahan, adalah variabel yang ditentukan oleh daerah misalnya : (a) Luas Wilayah; (b) Jumlah Penduduk; dan (c) Potensi Ekonomi.
92
YPSHK - TIFA
Kedermawanan Semu
Audit Sosial Program Bahteramas
Dengan demikian jelaslah bahwa ADD tidak dapat diberikan secara merata, melainkan bervariasi berdasarkan variabel tersebut. Penentuan besarnya alokasi ADD mempunyai rumus yang baku. Pemerintah daerah mempunyai ruang berinovasi pada aspek pembobotan variabel tersebut diatas. Berdasarkan Surat edaran Mendagri Nomor 140/ 640/SJ mengungkapkan bahwa Gubernur diperintahkan untuk memfasilitasi pelaksanaan ADD pada masing-masing wilayah kabupaten/kota dalam wilayah propinsinya. Selain itu, pemerintah propinsi diberi tanggungjawab sebagai evaluator pelaksanaan ADD di kabupaten/kota. Jadi jelaslah bahwa hak untuk mengeksekusi alokasi dan besaran ADD ada pada pemerintah Kabupaten/kota. Sehingga dapat dikatakan bahwa Gubernur tidak berhak untuk menjanjikan alokasi dan besaran ADD. Namun demikian, janji yang disampaikan kandidat gubernur dapat pula dimaknai sebagai bantuan kepada pemerintah desa, dengan berbagai catatan, yaitu, apa yang dijanjikan tidak dapat dikategorikan sebagai Alokasi Dana Desa, tetapi bantuan pada pemerintah desa sebagimana pasal 68 ayat (1) huruf d. Bahwa pemerintah desa dapat menerima bantuan dari pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota dalam rangka pelaksanaan urusan pemerintahan. Gubernur Sulawei Tenggara dalam beberapa kesempatan kerap meminta kepala desa dan lurah yang jumlahnya 1.909 desa/kelurahan yang belum memiliki sarana pemerintahan seperti kantor desa/kelurahan agar diprioritaskan untuk diadakan. Karenanya hingga saat ini masih ada kades yang berkantor di rumah pribadinya. Inilah yang diungkapkan Nur Alam pada pertama kali acara Bimbingan Teknis Pengelolaan dana Block Grant bagi kades dan lurah, Ketua Lembaga Pemberdayaan Masyarakat 93
YPSHK - TIFA
Kedermawanan Semu
Audit Sosial Program Bahteramas
(LPM) se Sultra yang berlangsung di Grand Awani Kota Kendari, awal Desember 2008 silam. Pembekalan gubernur ini diliput hampir semua media massa local di Kendari dan dimuat pada keesokan harinya. Di hadapan media, Gubernur Nur Alam menegaskan jika program Block Grant bukanlah perencanaan bagi-bagi hadiah, tapi Block Grant adalah uang rakyat yang harus dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya untuk mempercepat proses pembangunan di desa. “Untuk itu dari dana Block Grant kami alokasikan 10 persen untuk biaya administrasi dan 90 persen untuk pembangunan infrastruktur terutama untuk sektor ekonomi produktif,” ujarnya. Pada kesempatan itu Gubernur juga meminta agar dalam pelaksanaan kegiatan Block Grant senantiasa melibatkan masyarakat dengan sistem swadaya, bahkan untuk tahun 2009 mendatang kegiatan Block Grant lebih difokuskan pada pemberdayaan ekonomi produktif yang langsung menyentuh pertumbuhan ekonomi masyarakat.”Karena itu kades harus benar-benar memilih secara selektif kegiatan yang prioritas dan jangan sekalikali menggunakan dana ini bukan pada tempatnya. Hindari kegiatan dengan laporan fiktif, rekayasa ataupun mengadaada,” pintanya. Fakta-fakta lapangan program BAHTERAMAS memang tak berjalan mulus seperti yang diharapkan sang gubernur. Mei 2010 Nur Alam kelihatan berang dengan adanya tudingan banyak pihak soal BAHTERAMAS yang dianggap kamuflase dari program pendidikan gratis, pelayanan kesehatan gratis yang diluncurkan pemerintah pusat termasuk memabantah tuduhan Block Grant gagal. “Sorotan itu jadi masukan yang konstruktif untuk kita koreksi, untuk kita perbaiki. Tapi yakinlah bahwa pemerintah provinsi mempunyai komitmen untuk memperbaiki kebijakan, meniyiapkan regulasi dan 94
YPSHK - TIFA
Kedermawanan Semu
Audit Sosial Program Bahteramas
mengajak seluruh aparatur yang terlibat agar seluruh fasilitas pemerintah itu bisa kita manfaatkan sebaikbaiknya,� kata Nur Alam seperti dilansir harian Kendari Ekspres.
b. Kesehatan Gratis, Cerita Yang Menjanjikan Banyak pertanyaan dan keraguan seputar program kesehatan gratis di Sulawesi Tenggara. Benarkah program tersebut sudah berjalan baik? Benarkah tidak ada lagi pungutan di Puskesmas, di Rumah Sakit, khususnya itemitem yang digratiskan? Pertanyaan-pertanyaan itu wajar dikemukakan, karena rakyat sudah terlalu sering diberi ‘angin surga’, tetapi hampir tidak ada realisasinya, atau jika ada, biasanya tidak sesuai yang diharapkan. Maka ketika duet Nur Alam– Saleh Lasata menjadikan kesehatan gratis sebagai jualan politiknya saat kampanye pemilihan Gubernur-Wakil Gubernur beberapa tahun silam, banyak yang ragu dan curiga, bahkan tidak sedikit yang mencibir. Sebelum membahas lebih jauh tentang program kesehatan gratis di Sulawesi Tenggara, ada baiknya kita pahami terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan kesehatan gratis. Kesehatan gratis atau pelayanan kesehatan gratis, yaitu semua pelayanan kesehatan dasar di Puskesmas dan jaringannya, serta pelayanan kesehatan rujukan di kelas tiga Rumah Sakit atau Balai Kesehatan milik pemerintah (pusat dan daerah) tidak dipungut biaya dan obat yang diberikan menggunakan obat generik (formularium). Semangat dalam program kesehatan gratis, adalah, tidak boleh ada masyarakat Sulawesi Tenggara yang tidak berobat kalau sakit, hanya gara-gara tidak 95
YPSHK - TIFA
Kedermawanan Semu
Audit Sosial Program Bahteramas
punya uang. Maka beruntunglah masyarakat Sulawesi Tenggara yang dapat memperoleh pelayanan kesehatan dasar secara gratis, terutama bagi masyarakat kurang mampu, karena pemerintah provinsi serta seluruh pemerintah kabupaten dan kota sudah melaksanakan program kesehatan gratis. Meskipun kesehatan gratis merupakan perintah UUD 1945 dan beberapa UU, tetapi tampaknya tak mudah merealisasikannya. Maka bisa dimaklumi kalau penerapannya di lapangan juga harus bertahap, serta butuh penyesuaian di sana-sini. Yang perlu digarisbawahi adalah perlunya political will atau kemauan politik dari Pemprov Sulawesi Tenggara untuk memberikan akses pelayanan kesehatan dasar kepada masyarakat Sulawesi Tenggara, khususnya bagi kalangan kurang mampu. Hasil audit sosial di dua kabupaten dan satu kota, mengungkapkan fakta bahwa sesungguhnya masih banyak hal yang perlu dibenahi dalam implementasi program PBP. Belum disepakatinya share dana dan kewajiban serta kewenangan antar Pemerintah Propinsi dan Kabupaten menjadi kendala dalam hal kordinasi kerja. Sementara itu, di level implementasi, masyarakat memaknai kata gratis benar-benar sebagai gratis secara keseluruhan. Padahal, item yang digratiskan sudah jelas, dan tidak tertutup bagi masyarakat untuk turut berpartisipasi. Selanjutnya, program tersebut hendaknya dibarengi dengan peningkatan kualitas fasilitas dan layanan kesehatan, karena kesehatan gratis tidak berarti jika tidak ditunjang dengan fasilitas yang memadai dan layanan yang bermutu. ***
96
YPSHK - TIFA
Kedermawanan Semu
Audit Sosial Program Bahteramas
SIAPA yang tidak mau mendapat pelayanan kesehatan gratis…? Bagi mereka yang berduit pun yang berobat kemanapun dengan biaya mahal sekalipun, takut jatuh miskin karena sakit. Apalagi bagi rakyat yang hidup pas-pasan akan bertambah pusing jika keluarganya jatuh sakit. Belum lagi kalau penyakit yang diderita butuh penanganan medis yang mahal. Kesehatan itu mahal sekalipun disandingkan dengan emas dan permata. Dalam konteks pelayanan kesehatan gratis di Sulawesi Tenggara, hampir sebagian besar dinas kesehatan daerah mengeluhkan soal anggaran kesehatan gratis itu. Memang ada rumusan yang digunakan untuk menganggarkan budget anggaran bagi warga sakit, namun istilah ‘’kapitasi’’ itu kadang meleset dari yang diperhitungkan. Maka yang terjadi adalah divisit anggaran untuk kesehatan gratis. Berbeda dengan hitungan dalam hal pendidikan gratis yang jumlah siswanya sudah dapat dipastikan menerima subsidi pendidikan, tapi pada pelayanan kesehatan gratis justeru warga sakit yang datang ke puskesmas dan dirujuk kerumah sakit sulit diprediksi. Kadang sedikit, tapi malah sering tiba-tiba membludak. Ini belum lagi bila di suatu daerah terjadi wabah penyakit yang menyebabkan lebih banyak pasien lagi yang berobat. Tak heran jika puskesmas dan rumah sakit ada yang harus kehabisan obat dan sebagainya. Inilah dilema kesehatan gratis itu, ketika pasien terpaksa mendapat pelayanan terbatas dan pulang dengan membawa obat generik. Fenomena lain yang biasa terjadi, ketika kepuasaan pelayanan medis dan para medis menjadi sesuatu yang ‘’mahal’’ bagi pasien gratis. Sehingga wajar kalau dikatakan kesehatan gratis itu murah tapi sekaligus mahal dari sisi anggaran biaya. 97
YPSHK - TIFA
Kedermawanan Semu
Audit Sosial Program Bahteramas
Program Kesehatan Gratis Pemprov Sulawesi Tenggara ini memang menelan anggaran sangat besar. Selain pelayanan obat dan peralatan yang sudah ditetapkan, jasa dokter dan para medis juga tidak menggunakan dana yang sedikit. Ini karena kata ‘’gratis� itu tidak bisa dikonotasikan semuanya gratis, tapi gratis itu juga ada batasannya. Yang gratis itu untuk kamar kelas tiga dan obatnya generik. Kalau sudah pengobatan sakit jantung, cuci darah atau bedah diluar hitungan gratis lagi, Memang, sudah digariskan bagi para pasien yang berobat dan menginap di kamar kelas tiga tidak dibenarkan untuk membayar apapun. Itu karena sudah menjadi tanggungan pemerintah. Soal pembiayaan kesehatan gratis memang menjadi bermacam masalah bagi sejumlah daerah di Sulawesi Tenggara. Mulai dari kecukupannya sampai pada alokasi dan pembelanjaannya untuk sektor kesehatan, hitungannya pun harus akurat. Berapa besar alokasi anggaran, apakah biaya kesehatan itu cukup, apakah biaya tersebut sudah digunakan secara efektif dan efisien, sejauh mana realisasinya, dan hambatan serta kendala apa yang dialami? Pemerintah Provinsi Sulawesi Tenggara misalnya. Meskipun tidak menggunakan dana pusat namun program kesehatan gratis di daerah ini boleh dikatakan berhasil dengan strategi dan konsep kiat yang diterapkan. Pemrov Sulawesi Tenggara memiliki komitmen menggagas dan melaksanakan program pelayanan kesehatan. Salah satu item program BAHTERAMAS yang dikenal dengan Pembebasan Biaya Pengobatan (PBP) ditujukan untuk memberikan kemudahan kepada masyarakat sultra, khususnya rakyat miskin, dalam mengakses pelayanan kesehaatan yang paripurna di rumah sakit umum daerah (RSUD) Provinsi dan RSAUD kabupaten/kota se sultra. 98
YPSHK - TIFA
Kedermawanan Semu
Audit Sosial Program Bahteramas
Pada Peraturan Gubernur Nomor 23 tahun 2008 yang kemudian direvisi dengan peraturan Gubernur Nomor 41 tahun 2009, program pengobatan gratis ditujukan secara khusus untuk memberikan jaminan pelayanan kesehatan rawat dan rawat inap tingkat pertama di puskesmas, serta pelayanan kesehatan rujukan dari puskesmas ke RSUD Provinsi, RSUD kabupaten/kota Se Sultra serta rumah sakit jiwa Kendari. Program pembebasan biaya pengobatan BAHTERAMAS diarahkan untuk menyentuh kepentingan masyarakat miskin yang belum memiliki aneka jenis kartu jaminan kesehatan yang ada selama ini, seperti askes, jamsostek, Asabri, jamkesmas dan lain-lain. Pada tahun 2008, Nur Alam mengeluarkan surat edaran gubernur Sultra Nomor 440/445 tanggal 29 Agustus 2008 tentang pelaksanaan pelayanan kesehatan di RSUD Provinsi Sultra, terhitung sejak tanggal 1 september 2008. Pelayanan kesehatan di di RSUD Provinsi ini menggunakan dana revolving sebesar Rp 8 milyar yang antara lain dialokasikan untuk melayani pengobatan gratis pada 1.983 pasien rawat jalan dan 446 pasien rawat inap. Pada tahun anggaraan 2009, sesuai surat Gubernur Sultra Nomor 440/3375 tertanggal 11 Agustus 2009, Pemerintah Provinsi Sulawesi Tenggara memberikan pelayanan kesehatan gratis di RSUD kabupaten/kota se sultra sejak tanggal 1 Juli 2009, yakni setelah data base kepesertaan program diterima oleh pusat pelayanan kesehatan rumah sakit dimasing-masing kabupaten/kota Se Sultra. Dengan cara ini, maka setiap warga masyarakat yang memiliki kartu kepersertaan BAHTERAMAS dapat memperoleh pelayanankesehataan gratis di Puskesmas berupa rawat jalan dan rawat inap tingkat pertama. Jika memerlukan perawatan lanjutan di RSUD kabupaten / kota atau RSUD provinsi Sultra atau RSJ Kendari, warga yang memerlukan bantuan pengobatan harus dapat 99
YPSHK - TIFA
Kedermawanan Semu
Audit Sosial Program Bahteramas
menunjukkan surat rujukan dari dokter puskesmas setempat. Pada tahun anggaran 2011, sasaran program pembebasan pengobatan BAHTERAMAS diarahkan pada 89.112 jiwa warga miskin yang tersebar secara merata pada 12 kabupaten/kota se Sultra. Data dinas kesehatan Provinsi Sultra menyebutkan bahwa hingga akhir desember 2009, jumlah pasien yang dilayani di berbagai rumah sakit di Sultra dengan menggunakan fasilitas program pembebasan biaya pengobataan BAHTERAMAS adalah sebanyak 2.702 orang yang terdiri dari 1.641 pasien rawat jalan dan 431 pasien rawat inap. Jumlah pasien terbanyak terdapat di RSUD Provinsi (sebagai pusat rujukan pelayanan kesehatan tertinggi di Sultra), yakni sebesar 1.429 pasien, terdiri 1.175 pasien rawat jalan dan 254 pasien rawat inap. Pada tahun anggaran 2009, jumlah dana klaim yang disiapkan oleh Pemprov Sultra adalah sebesar Rp.3.227.376.000. Namun sayang program PBP tidak semulus dibayangkan pemerintah, masih banyak kendala yang dialami dalam pelaksanaannya. Di kabupaten Buton Utara misalnya, para petugas puskesmas memilih tidak menjalankan program PBP dengan alasan nilai klaim biaya berobat tidak sebanding dengan biaya transportasi mengurus klaim ke dinas kesehatan provinsi di Kota Kendari. Petugas lebih memilih menggunakan program kesehatan gratis yang sudah ada misalnya program Jamkesmas yang diluncurkan pemerintah pusat. Pelayanan gratis itu bahkan untuk rawat jalan, inap sampai ruang perawatan kelas 2, serta jaminan operasi kecuali operasi plastik. Pelayanan juga menyentuh bagi warga yang berada di daerah terpencil. Gubernur Nur Alam mengakui alasan mengapa dana kesehatan gratis provinsi belum memadai karena belum adanya singkronisasi di tataran pelaksana dalam hal ini 100
YPSHK - TIFA
Kedermawanan Semu
Audit Sosial Program Bahteramas
petugas di bawahnya. Dana yang dikelola dapat digunakan berdasarkan inovasi-inovasi tersendiri yang dapat di atur oleh pemerintah kabupaten/kota secara transparan dan akuntable. Kondisi obyektif di hampir semua kabupaten dengan angka kemiskinan yang tinggi, berdampak pada rendahnya akses masyarakat terhadap kesehatan. Sebesar apapun biaya kesehatan yang diberikan tidak akan pernah cukup apabila dalam mengalokasikan dan membelanjakan anggaran kesehatan itu tidak tepat dan efektif. Persoalan lain dialami sejumlah kabupaten yang terbilang maju pelayanan rumah sakitnya. Sebut saja misalnya kota kendari dimana banyak pasien rujukan dari kabupaten tetangga bahkan dari jauh yang diterima di rumah sakit ini. Kabupaten Kolaka dan Buton Utara, misalnya, punya persoalan tersendiri menyangkut jangkauan pelayanan karena banyak penduduk di ke empat daerah ini yang tinggal terpencil jauh dari pusat pelayanan. Kendati demikian mereka tetap mendapat pelayanan kesehatan gratis yang sama. Dalam teori dan praktik kadang tidak seiring. Tapi indikator keberhasilan program pelayanan kesehatan gratis dapat dilihat dengan meningkatnya akses masyarakat untuk datang memeriksakan kesehatannya di puskesmas yang kian meningkat. Dari data di 12 kabupaten umumnya terlihat peningkatan kunjungan pasien yang datang berobat di puskesmas. Bahkan daerah berusaha mendekatkan akses daerah terpencil dan perbatasan, sehingga masyarakat mendapat pelayanan kesehatan murah, aman, dan cepat namun berkualitas. Tapi bagaimanapun layanan gratis itu harus juga dijelaskan ke masyarakat secara detail supaya diketahui item mana saja yang bisa dinikmati gratis. Beberapa kepala dinas juga mengakui meningkatnya kunjungan ibu hamil yang datang ke puskesmas atau 101
YPSHK - TIFA
Kedermawanan Semu
Audit Sosial Program Bahteramas
bidan desa untuk memeriksakan kehamilannya. Misalnya yang biasanya datang memeriksakan kehamilannya di puskesmas hanya 10 orang, namun dengan adanya kesehatan gratis meningkat sampai 20 orang setiap minggu. Artinya ada peningkatan 100%. Ini juga terkait kesadaran masyarakat yang mulai membaik tentang pentingnya hidup sehat. Dimana-mana kesehatan gratis telah menjadi ‘’jualan politik� yang sedang trend. Tapi apapun alasannya, program kesehatan gratis sebuah langkah positif dan sangat diharapkan rakyat karena menjadi sebuah kebutuhan yang hakiki. Pemerataan tenaga kesehatan di setiap daerah juga masih menjadi kendala, sehingga sering muncul disparitas antar beberapa wilayah yang ada, sehingga pelayanan kesehatan masih memprihatinkan bagi daerah-daerah terpencil. Di sisi lain, penggunaan anggaran memang cukup besar dan perlu kehati-hatian. Beberapa kadis kesehatan dan kepala rumah sakit di daerah malah mengusulkan mekanisme subsidi yang hanya menjamin pelayanan kesehatan di tingkat dasar dialihkan kepada model subsidi silang yang luas antara penduduk melalui pengembangan sistem asuransi/jaminan kesehatan (Askes). Askes memang ahlinya dalam urusan ini, namun seperti yang fakta yang ada bahwa tidak bisa dipungkiri Askes juga mengejar provit. Karena, seperti diungkapkan seorang peneliti bahwa kebijakan memberikan subsidi hanya pada pelayanan kesehatan tingkat dasar secara luas pada seluruh lapisan masyarakat adalah bertentangan dengan prinsipprinsip equity egaliter dalam bidang kesehatan. Mekanisme subsidi yang hanya menjamin pelayanan kesehatan di tingkat dasar harus dialihkan kepada model subsidi silang yang luas. Subsidi pelayanan kesehatan dasar kepada penduduk non-gakin dapat dialihkan untuk 102
YPSHK - TIFA
Kedermawanan Semu
Audit Sosial Program Bahteramas
mensubsidi pelayanan lanjutan atau mensubsidi premi jaminan kesehatan komprehensif bagi kelompok penduduk keluarga miskin. Mungkin itulah yang menyebabkan kesehatan gratis kita masih terbatas, dan juga tak mudah untuk mengimplementasikannya. Pelayanan kesehatan gratis itu masih ditanggung sepenuhnya oleh pemerintah provinsi dan daerah. Istilah yang sedikit membingungkan ‘’murah tapi sekaligus mahal� demikianlah yang dihadapi rakyat kita.
103
YPSHK - TIFA
Kedermawanan Semu
Audit Sosial Program Bahteramas
c. Pintar Itu Mahal (Analisis Auidt Sosial terhadap Program BOP) Beban Biaya dari yang (katanya) Gratis Rida (34 tahun) seorang ibu rumah tangga di Kota Kendari merasa gundah. Anaknya yang baru duduk di bangku sekolah dasar merengek meminta membeli buku. Ia kaget setelah mendengar harga buku mencapai Rp 70 ribu. Permintaan ini atas suruhan guru di sekolah. Harga buku mencapai puluhan ribu rupiah ini tentu saja mencekik leher para orang tua murid, jika dihitung-hitung penghasilan ibu Rida yang seorang PNS rendahan tentu tidak sebanding dengan biaya pendidikan anaknya menelan dana satu juta rupiah untuk setiap bulan. Seorang ibu lainnya di kawasan kota lama juga mengeluhkan sekolah anaknya mematok angka pembelian buku yang gila-gilaan mencapai 300 ribu rupiah untuk beberapa buah buku. Dan pembelian buku ini tanpa kompromi dengan orang tua murid. Mas’ud warga di Kelurahan Puwatu juga bercerita panjang lebar tentang lika-liku biaya sekolah yang terjadi saat ini. Anaknya yang baru mendaftar di sebuah sekolah negeri di Puwatu harus membayar biaya masuk sekolah sebesar Rp 185 ribu. “Saya hanya heran kok untuk masuk harus membayar lagi, setahu saya pungutan untuk pendaftaran sekolah sudah tidak ada,” katanya Mas’ud heran. Tak hanya itu Ia juga masih ingat saat memprotes anaknya tidak memperoleh bantuan dana BOS untuk sebesar Rp 48 ribu, padahal hampir seluruh murid-murid telah menerima. “Saat itu saya pertanyakan kepada kepala sekolah soal ketidakadilan itu tapi tidak digubris, barulah 104
YPSHK - TIFA
Kedermawanan Semu
Audit Sosial Program Bahteramas
setelah saya ancam akan melaporkan ke dinas baru bantuan diberikan. Itu pun setelah diberikan seorang guru mendatangi saya untuk meminta bagian dari dana BOS yang diberikan dalam jumlah tak seberapa itu,� kata Mas’ud. Kondisi praktik jual beli buku ini bukan rahasia lagi. Bahkan sudah dilakukan dengan terang-terangan karena dianggap ‘legal’ menjadi lahan bisnis sekolah dan pihak penerbit. Penerbit yang masuk rata-rata dari Jakarta menjalin kerjasama dengan oknum-oknum di sekolah. Penerbit biasanya mengajukan nilai harga buku tertinggi, dan oknum sekolah mendapat persen dari penjualan buku tersebut. Parahnya, beberapa sekolah juga diberikan keleluasaan mematok harga sesuka hati. Harga buku yang dijual ke murid atau siswa bisa dua kali lipat dari harga normal. Penjualan buku ke siswa ini tentu saja melanggar aturan, khususnya peraturan menteri pendidikan nasional. Dan penjulan buku kepada siswa /murid dapat dikategorikan pungutan liar alias korupsi. Apalagi pemerintah telah memberikan solusi kepada sekolah berupa pemberian bantuan pemerintah yang dituangkan dalam program pendidikan gratis seperti Biaya Operasional Sekolah (BOS) yang merupakan program pemerintah pusat. Dan ditambah lagi dengan diluncurkannya program yang merupakan kebijakan pemerintah daerah. Di Sulawesi Tenggara pemerintah daerah Sulawesi tenggara tiga tahun belakangan meluncurkan program Biaya Operasional Pendidikan (BOP) dari program BAHTERAMAS. Baik program BOS maupun BOP semua mematok item pembiayaan pendidikan, seperti pembiayaan untuk pengadaan buku bagi siswa hingga insentif para guru. Dalam petunjuk pelaksanaan program BOP BAHTERAMAS misalnya, terdapat Komponen biaya operasional pendidikan untuk memenuhi standar 105
YPSHK - TIFA
Kedermawanan Semu
Audit Sosial Program Bahteramas
pelayanan minimum pada satuan pendidikan jenjang pendidikan Dasar dan Menengah meliputi: Pendaftaran siswa baru, Pengadaan/penggadaan Buku teks, bahan ajar dan Lembar Kerja Siswa (LKS); Pemberian Isentif Guru; Pengembangan profesi guru; Pembiayaan perpustakaan dan administrasi sekolah; Pembiayaan kegiatan EkstraKulikuler; Pengadaan alat peraga dan praktikum Laboratorium; Pembiayaan ujian sekolah dan ulangan; dan Perawatan ringan. Program BOP BAHTERAMAS sendiri diberikan dalam rangka mewujudkan visi dan misi pemerintahan Daerah Propinsi Sulawesi Tenggara sebagaimana tercantum dalam Rancangan Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Propinsi Sulawesi Tenggara tahun 2008-2013, maka pengembangan kualitas Sumberdaya Manusia ditetapkan sebagai agenda pertama dari 5 (lima) agenda pembangunan Daerah Tahun 2008-2013. Napas dari program ini sebenarnya tidak jauh berbeda dengan program pemerintah yang sudah ada seperti program BOS yang bertujuan pengembangan kualitas sumber daya manusia. Program BOP di Sulawesi Tenggara diarahkan untuk memenuhi hak-hak dasar masyarakat dibidang pendidikan dalam rangka terciptanya masyarakat yang berkualitas, baik intelektual, emosional, spiritual, fisik maupun kualitas teknisnya yang berorientasi pada pengembangan produktifitas. Hal ini sesuai dengan amanat Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang menyatakan bahwa “Pemerintah dan Pemerinttah Daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan, serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi, dan masyarakat berkewajiban memberikan dukungan sumber daya dalam penyelenggaraan pendidikan�.
106
YPSHK - TIFA
Kedermawanan Semu
Audit Sosial Program Bahteramas
Salah satu kebijakan pemerintah provinsi untuk mencapai visi dan misi tersebut adalah “Pembebasan Biaya Operasional Pendidikan� pada jenjang Pendidikan Dasar dan menengah. Peraturan pemerintah No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Pendidikan Nasional, menyatakan bahwa pembiayaan pendidikan terdiri atas biaya investasi, biaya operasi, dan biaya personal. Biaya investasi meliputi biaya penyediaan sarana dan prasarana, pembangunan sumber daya manusia, dan modal kerja tetap. Biaya operasi satuan pendidikan meliputi gaji pendidik dan tenaga kependidikan, bahan atau peralatan habis pakai, dan biaya operasi pendidikan tak lansung berupa daya, air, jasa telekomunikasi, prasarana tramsportasi, konsumsi, pajak dan lain-lainnya. Biaya personal meliputi biaya pendidikan yang harus dikeluarkan oleh peserta didik untuk bisa mengikuti proses pembelajaran, antara lain pakaian, transport, buku pribadi, peralatan alat tulis dan biaya pribadi lainya. Pembahasan biaya operasional pendidikan sebagai mana dimaksud adalah membebaskan dan/atau meringankan beban masyarakat terhadap biaya operasional pendidikan. Kebijakan pembebasan Biaya Operasional Pendidikan (BOP) pada masyarakat Sulawesi Tenggara pada usia sekolah jenjang pendidikan dasar dan menengah dapat menempuh pendidikan yang bermutu. Dengan demikian tidak ada alasan bagi penduduk usia sekolah jenjang pendidikan dasar dan menengah untuk tidak menempuh pendidikan hanya kerena alasan ekonomi orang tua yang lemah/tidak mampu. Pembebasan biaya operasional pendidikan sebagai mana dimaksud, juga ditujukan untuk memberikan kepastian kepada masyarakat dalam hal ini orang tua/wali siswa, atas biaya yang diperlukan untuk mendapatkan pelayanan pendidikan minimal berdasarkan standar nasional pendidikan. 107
YPSHK - TIFA
Kedermawanan Semu
Audit Sosial Program Bahteramas
Dalam kalkulasi biaya kesejahteraan guru yang merupakan PNS fungsional saat ini hasil penelitian sudah jauh lebih baik alias lebih sejahtera. Sebulan saja guru yang telah lolos sertifikasi bisa memperoleh dana berkisar 6-8 juta rupiah melampaui gaji PNS struktural seperti pegawai kelurahan. Namun kenyataannya, tingkat kesejahteraan guru itu bukanlah jaminan hilangnya praktik-praktik kotor oknum sekolah. Keheranan banyak pihak memang ada benarnya, guruguru yang lima tahun belakangan memperjuangkan hakhak kesejahteraan kini sudah dipenuhi oleh pemerintah. Ini dimulai dari kenaikan gaji guru, kenaikan biaya tunjangan hingga adanya kebijakan sertifikasi untuk para guru di Indonesia. Namun ironisnya perbaikan nasib guru ini tak sejalan dengan baiknya mutu pendidikan kita. Beberapa guru masih sibuk berbisnis di sekolah dari maraknya penjualan buku pada murid. Program-program ini seolah tidak menghalangi oknum-oknum melakukan ‘pungutan’ di sekolah.
108
YPSHK - TIFA
Kedermawanan Semu
Audit Sosial Program Bahteramas
Guru Berbisnis Banyaknya sumbangan iuaran yang sudah menjurus pada pemaksaan di sekolah sangat disayangkan banyak kalangan. Jika dulu pasukan Umar Bakri hanya menggunakan sepeda atau sepeda motor kini para guru sudah banyak memiliki mobil sendiri untuk kesekolah mereka. Bahkan ada juga berbisnis mobil atau usaha lain yang lebih memadai. Dinas Pendidikan Nasional Sulawesi Tenggara (Diknas Sultra) menyayangkan adanya pungutan liar yang kerap terjadi di sekolah-sekolah menjelang penerimaan siswasiswi baru. Kepala Dinas pendidikan nasional Sulawesi Tenggara, Drs. Damsid, M.Si mengungkapkan, maraknya pungutan liar ini membuat Bantuan Operasional Pendidikan (BOP) menjadi tidak berarti, padahal terdapat sembilan item yang menjadi tanggungan BOP. “Kalau memang pihak sekolah terus-menerus melakukan pungutan liar seperti ini, maka kami bisa saja mencabut item BOP yang dilakukan pungutan liar oleh pihak sekolah,” tegas Damsid dikantornya, Rabu (20/7) dilasir media lokal. Damsid mengungkapkan, sanksi pencabutan BOP ini bukanlah hal yang main-main jika pihak sekolah tidak mengindahkan peraturan yang ada. “Saya juga heran, padahal sekolah itu harusnya bisa gratis, sudah banyak bantuan yang diberikan baik itu BOP maupun BOS, kenapa harus ada pungutan lagi,”ungkapnya kesal. Sanksi yang akan diberikan kepada setiap sekolah yang melakukan pelanggaran seperti ini bisa dalam bentuk teguran keras, tetapi jika memang pihak sekolah tidak mengindahkan hal tersebut, maka pihaknya akan menghentikan dana BOP untuk sementara waktu. “Kita hentikan sementara saja 109
YPSHK - TIFA
Kedermawanan Semu
Audit Sosial Program Bahteramas
supaya ada efek jeranya,� tukasnya. Bagi Damsid, kejadian seperti ini telah menjadi perhatian serius Diknas sebab sepengetahuannya pungutan semacam ini masuk dalam BOP dan tidak seharusnya pungutan diberlakukan. Adapun sembilan item yang masuk dalam pembiayaan BOP, antara lain, penerimaan siswa baru, pengadaan buku pengayaan dan buku referensi, pengembangan profesi guru, pemberian insentif guru, pembiayaan perpustakaan dan administrasi sekolah, pembiayaan ekstra kurikuler, pengadaan alat laboratorium IPA/alat praktik, pembiayaan ujian sekolah dan ulangan umum serta perawatan ringan sekolah. “Setahu saya, pungutan tidak boleh dilakukan sepeserpun karena seluruh item pembiayaan yang dibutuhkan oleh pihak sekolah sudah dialokasikan melalui BOP�.
110
YPSHK - TIFA
Kedermawanan Semu
Audit Sosial Program Bahteramas
Mirisnya Pendidikan Kita Suasana belajar di salah satu SMU di Kecamatan Ranommeeto, Kabupaten Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara memang tak senyaman sekolah-sekolah lain di daerah ini. Setiap hari siswa-siswanya belajar dengan menggunakan kursi tanpa meja belajar yang memadai. Meja yang seharusnya disediakan pihak sekolah hingga kini tidak tersedia, padahal orang tua murid telah dibebankan biaya untuk pengadaan setiap tahunnya. Sejumlah siswa di sekolah tersebut mengeluhkan tidak adanya meja di sekolah mereka, tapi pihak sekolah belum juga menyediakan meja bagi mereka. Pihak sekolah mengaku belum adanya meja dan kursi akibat belum adanya ada buat membeli peralatan sekolah meja dan kursi di sekolah tersebut. Sementara itu, kasus pemungutan liar di salah satu SMU favorit di Kendari juga terjadi, “Kutipan” atau pungutan dana sebesar 3 juta rupiah dibebankan kepada setiap siswa yang masuk “lewat jendela” Kutipan dana itu biasanya dengan dalih dana pembangunan. Pada Sekolah vaforit yang lain, keluhan sejumlah orang tua murid pindahan juga disuarakan. Mereka harus membayar hingga 7 juta rupiah per siswa. Ini kebijakan kepala sekolah yang mengutip dana sebesar itu. Ada banyak kasus yang terjadi tapi orang tua murid di buat tak berdaya. “Secara psikologis orang tau murid yang tak mau secara terang-terangan bercerita, tapi sebenarnya mereka sangat kesal,” kata pengamat psikologis. Adanya ketergantungan antara orang tua murid dengan sekolah yang menjadi tujuan menimba ilmu anak-anak mereka yang tidak mau dilanggar. Bahkan keluhan ini bisa terdengar keras saat obrolan antara orang tua murid di waktu santai. 111
YPSHK - TIFA
Kedermawanan Semu
Audit Sosial Program Bahteramas
Komisi 3 DPRD Kota Kendari, Sulawesi Tenggara, yang membidangi masalah pendidikan menegaskan akan mengawasi dan memantau masalah pungutan liar yang diduga marak terjadi pada setiap penerimaan siswa baru baik tingkat SMP maupun SMA. “Pihak sekolah dilarang keras melakukan berbagai pungutan dalam bentuk apapun pada penerimaan siswa baru,” tegas anggota Komisi 3, Muhammad Yahya. Menurut Yahya, pungutan tidak saja hanya merusak reputasi dunia pendidikan tetapi juga membuka perluang adanya korupsi termasuk membebani setiap calon siswa. “penerimaan siswa baru yang di lakukan pihak sekolah sudah memiliki anggaran tersendiri baik melalui biaya operasional sekolah dari pemerintah pusat maupun biaya operasional pendidikan dari pemerintah daerah,” terangnya. Karena itu, orang tua siswa di harapkan ikut berperan aktif melakukan pengawasan dengan melapor ke dinas terkait maupun dewan bila menemukan adanya pungutan yang di lakukan pihak sekolah. Kepala Dinas Pendidikan Nasional (Diknas) Kota kendari, Sulawesi Tenggara, Kasman Arifin, menegaskan pengambilan ijazah bagi para lulusan SMP dan SMA sederajat tidak dipungut biaya sepeserpun. Penegasan ini dikeluarkan menyusul adanya kekhawatiran sejumlah siswa dan orang tua siswa tidak mampu, terkait adanya pungutan biaya saat mengambil ijazah. “Perlu saya tegaskan, kami tidak pernah mengeluarkan edaran baik lisan maupun tulisan untuk memungut biaya sepeserpun ketika para alumni mengambil ijasah untuk tingkat SMP dan SMA sederajat karena semuanya itu sudah ditanggung dari dana Biaya Operasional Pendidikan (BOP),” tegas Kasman. 112
YPSHK - TIFA
Kedermawanan Semu
Audit Sosial Program Bahteramas
Kasman memahami, bantuan yang bersumber dari BOP memang terbatas, namun untuk pengambilan ijazah sudah termasuk didalamnya dengan besaran antara Rp. 1000 hingga Rp. 3000, sehingga tidak dibenarkan kalau ada pungutan liar. Agar pungutan liar ini tidak terjadi, Diknas telah berkoordinasi dengan pihak kepala sekolah SMP dan SMA sederajat yang tersebar diseluruh Kota Kendari. “jika ada sekolah yang kedapatan melakukan pungutan liar, tentu akan kita beri sanksi berupa teguran keras�. Walau demikian, Diknas tetap mentolerir kalau antara komite dan sekolah memiliki kesepakatan untuk menerapkan biaya dalam pengambilan ijazah. “kalau ada kesepakatan antara pihak komite sekolah itu tidak apa-apa yang penting jangan memaksa dan harus transparan,� tandasnya. Sementara itu, di salah satu SMA di kabupaten Konawe Selatan, karena diduga korupsi dan melakukan pungutan liar (pungli), ratusan pelajar Sekolah Menengah Atas Negeri ini berunjukrasa menuntut kepala sekolah mereka dicopot dan segera mundur dari jabatannya. Dengan membentang beragam spanduk dan pamlet berisi tuntutan, para pelajar menggelar unjukrasa dihalaman sekolah. Selain meneriakkan yel-yel, para pelajar juga menggelar aksi orasi secara bergantian. Aksi ini sebagai bentuk protes dan reaksi kekecewaan para pelajar atas kebijakan kepala sekolah yang dinilai merugikan para pelajar. Pasalnya para pelajar selama ini kerap dipungut biaya dengan dalih untuk membiayai perbaikan infrastruktur sekolah, internet sekolah namun pada kenyataannya dana yang mereka bayarkan tidak jelas juntrungannya. “Selama ini kami selalu menyetor uang ke pihak sekolah 113
YPSHK - TIFA
Kedermawanan Semu
Audit Sosial Program Bahteramas
senilai ratusan ribu rupiah perorang, tapi apa hasilnya, jangankan perbaikan gedung sekolah, WC sekolah saja tidak berfungsi dan kursi belajar yang kami gunakan masih menggunakan kursi plastik� Kata salah seorang siswa kelas 3. Dengan kondisi ini, para pelajar menuding adanya dugaan pungutan liar (pungli) dan indikasi korupsi atas dana yang mereka bayarkan. Karena itu para pelajar menuntut kepala sekolah dicopot dan segera menanggalkan jabatan. Kepala Sekolah pun menepis tudingan anak didiknya itu. Selanjutnya menjelaskan, sebelum menarik sumbangan dari siswa, pihaknya telah sepakat dengan pengurus komite sekolah. Tidak terima dengan tudingan tersebut, kepala sekolah meminta aparat kepolisian untuk membuktikan tuduhan dari para siswanya tersebut. “Saya yakin bukan kalian (siswa), tapi ada semacam roh yang masuk pada kalian (siswa) untuk memberikan kekuatan menyampaikan informasi seperti itu, jadi mari kita buktikan, kapan salah saya akan tuntut pengembalian nama baik saya� tegas nya mengancam balik siswanya. Ancaman tersebut tidak membuat takut ratusan siswa yang berunjuk rasa. Usai dialog bersama kepala sekolah, ratusan siswa kemudian membubarkan diri. Namun mereka berjanji, jika tuntutan mereka tidak segera dipenuhi, ratusan siswa akan menggelar aksi mogok belajar. Komite sekolah yang diharapkan menjembatani perjuangan pendidikan murah ternyata dibuat tidak berdaya. Banyak kebijakan sekolah yang berbau pungutan liar pun tidak dapat diperjuangkan. Masalahnya, banyak ketua komite sekolah yang ditunjuk juga tidak bisa berbuat banyak untuk memperjuangkan nasib orang tua murid yang tidak mampu, bahkan sebagian oknum ketua komite 114
YPSHK - TIFA
Kedermawanan Semu
Audit Sosial Program Bahteramas
diduga telah ikut ‘bermain’ dan ‘menikmati’ perilaku korup para oknum di sekolah. Kita tentu masih ingat kasus unjuk rasa ribuan siswa di salah satu SMP Negeri terkemuka di Kota Kendari yang menuntut kepala sekolahnya untuk mundur dari jabatannnya. Saat itu sang kepala sekolah dituding telah mempraktikkan pola-pola korupsi di sekolah. Gerakan siswa ini sebagaian besar diduga ditunggangi oleh guruguru yang juga lebih dulu kesal dengan perilaku kepala sekolah. Aksi siswa ini berlangsung untuk beberapa hari, bahkan telah menganggu jadwal belajar para siswa karena adanya ancaman mogok dari dewan guru yang juga menuntut pemberhentian kepala sekolah kepada dinas pendidikan. Guru sempat melakukan unjuk rasa ke DPRD Kota kendari menyampaikan aspirasi mereka. Sementara itu, kasus seorang anak sekolah dasar negeri di kendari barat tiba-tiba mengeluarkan pernyataan mengejutkan. Saat orang tua murid mempertanyakan penggantian kepala sekolah. “Kepala sekolahku sudah diganti, katanya dia korupsi,” kata siswa kelas empat tersebut. Aroma korupsi di sekolah itu telah lama beredar di kalangan guru dan akhirnya ‘bocor’ di telinga muridmurid sekolah itu. Namun dugaan korupsi kepala sekolah hanya berakhir dengan pemberian sanksi berupa pencopotan dan sang oknum kembali menjadi guru biasa di sekolah yang sama.
115
Kedermawanan Semu
YPSHK - TIFA
Audit Sosial Program Bahteramas
SEPENGGAL KISAH, KESEJAHTERAAN YANG TERCERABUT Desa-Desa Tertinggal Matahari pagi baru saja menyembul dari ufuk timur. Kokok ayam kampung terdengar merdu hingga jauh ke pelosok. Pagi itu kesibukan nampak sebuah rumah reot di Desa Bondoala. Pak Ndondo (70 tahun) duduk berselonjor di beranda rumahnya. Ia sibuk membuat atap berbahan daun sagu yang akan dijualnya. Matanya yang mulai redup berusaha dibuka lebar-lebar, agar bisa melihat jahitan-jahitan benang yang melingkari bambu kecil diujung atap. Ndondo seolah tak peduli dengan sakit asma akut yang dideritanya 15 tahun belakangan. Ia masih saja sibuk menyelesaikan atap meski dengan tertatih-tatih. Sementara, isterinya Werahima (60 tahun) nampak sibuk menghidupkan api di dapur rumahnya. Ia mengisi air termos dan membuatkan kopi untuk suaminya. Kehidupan keluarga Pak Ndondo di Desa Bondoala memang terbilang serba kekurangan, himpitan ekonomi 116
YPSHK - TIFA
Kedermawanan Semu
Audit Sosial Program Bahteramas
membuat keluarga kecil ini harus bekerja keras membanting tulang guna menghidupi keluarga. Ndondo yang renta hanya bisa pasrah, Ia tak mampu untuk berobat ke dokter meski penyakit asma yang dideritanya kian parah. �Saya tidak lagi mampu berjalan jauh menuju puskesmas. Selama saya hanya mengandalkan dukun sebagai alernatif pengobatan,�kata Ndondo pasrah. Desa Bondoala sebuah desa kecil di Kabupaten Konawe. Desa ini berada di balik bukit yang sebenarnya bisa ditempuh dengan kendaraan roda dua maupun roda empat. Desa yang secara geografis cukup dekat dengan wilayah administratif Kota kendari. Ke arah timur kurang lebih 7 KM saja. Namun karena berada di wilayah Konawe maka jadilah ke dua desa ini terisolir dan dapat dikategori sangat miskin. Tidak adanya perhatian pemerintah menjadikan desa ini sangat terbelakang baik dari ekonomi, kesehatan hingga pendidikan. Soal fasilitas kesehatan dan pendidikan jangan ditanya. Jauh dari harapan. Ada satu puskesmas pembantu (Pustu) yang terletak di tengah desa, tapi sayang tidak berfungsi maksimal. Petugas kesehatan hanya datang sebulan sekali. “Itu pun kadang telat,� kata Rahim seorang warga. Desa Bondoala berbatasan langsung dengan Desa Puuloro. Selama puluhan tahun kedua desa dikenal sebagai desa penghasil rotan dan kemiri terbaik di daerah Kabupaten Konawe. Bahkan sumber daya alam kayukayuan pun melimpah di desa ini. Sepintas melihat sumber daya alam yang melimpah ruah itu, maka seharusnya masyarakat desa puuloro dan bondoala hidup sejahtera. Namun ironi mendera warga. Krisis kondisi ekonomi yang melanda negara telah membawa dampak serius pada tingkat pendapatan masyarakat setempat. Naiknya harga kebutuhan pokok memukul kehidupan ekonomi masyarakat pedesaan khususnya di Desa Puuloro dan Desa Bondoala. 117
YPSHK - TIFA
Kedermawanan Semu
Audit Sosial Program Bahteramas
Kondisi ini berdampak pada pelayanan mutu kesehatan dan pendidikan masyarakat yang berada di titik terendah. Selama puluhan tahun masyarakat Desa PuuloroBondoala sama sekali tidak mendapat pelayanan kesehatan maksimal. Untuk berobat masyarakat masih mengandalkan puskesmas sampara yang jauhnya mencapai 12 kilometer. Beban Biaya kesehatan di puskesmas terkadang membuat warga kampung berpikir untuk berobat. Apalagi masyarakat terkadang dibebani harus membeli obat. Masyarakat sama sekali tidak mengerti tentang hak mereka untuk mendapatkan biaya kesehatan gratis. Yang membuat masyarakat kian sengsara adalah akses transportasi dari desa menuju puskesmas sangat buruk, sehingga masyarakat berpikir dua kali untuk berobat ke puskesmas. Mereka harus melalui medan berlumpur. Butuh dua jam menggunakan kendaraan bermotor tiba di daerah itu, sebab seluruh jalan rusak parah mirip kubangan kerbau. Sehingga masyarakat memutuskan untuk mencari pengobatan alternatif melalui dukun kampung. Pemerintah desa yang diharap sebagai motor penggerak pelayanan masyarakat pun tidak dapat diandalkan warga. Pemerintah desa tidak pernah melakukan sosialisasi program jaminan kesehatan gratis pada masyarakat. Masyarakat desa justeru baru tau setelah sejumlah aktifis LSM mulai masuk ke desa dan memberitahukan adanya program kesehatan gratis bagi masyarakat. Kalau melihat kesehatan dan pendidikan sebagai hak dasar, maka negara wajib memberikan pelayanan tersebut pada masyarakat. Pemerintah harus melakukan pemberian jaminan kesehatan dan pendidikan memadai dan dengan harga terjangkau buat masyarakat. Namun ternyata dalam pelayanan masih ditemukan banyak kendala, misalnya pengurusan program kesehatan dan pendidikan yang 118
YPSHK - TIFA
Kedermawanan Semu
Audit Sosial Program Bahteramas
berbelit-belit. Belum lagi diskriminasi pelayanan antara masyarakat miskin dan masyarakat kaya. Sebuah contoh ironi dapat kita lihat kondisi pelayanan kesehatan di Desa Lalimbue Jaya, Kecamatan Kapoiala, Kabupaten Konawe. Polindes yang di bangun tahun 1995 kini sudah tidak dapat digunakan. Hal ini menyebabkan masyarakat desa terlambat diberi tindakan penanganan kesehatan. Kondisi pelayanan yang buruk ini berimbas pada kondisi kesehatan masyarakat terutama masyarakat yang membutuhkan tindakan pelayanan yang cepat seperti ibu hamil yang akan melahirkan. Di desa ini jarak antara puskesmas dan desa kurang lebih 20 KM. Jangkauannya semakin jauh karena ditempuh dengan perahu katinting. “Kami harap dinas terkait memikirkan agar polindes sekarang yang tidak layak supaya diperbaiki/ rehabilitasi dan bidannya harus menetap di desa kami,�kata Aburaera, Kepala Desa Lalimbue Jaya. Pemerintah nampaknya masih kurang serius menangani kesehatan dan pendidikan. Infrastruktur yang terbatas banyak mengalami kerusakan parah, ditambah lagi kurangnya tenaga di unit-unit pelayanan yang harusnya sangat dekat dengan masyarakat misalnya bidan desa. Hal tersebut mengakibatkan warga desa tidak mendapatkan pelayanan secara memadai. Dari fakta lapangan menunjukkan banyaknya tenaga kesehatan yang tidak bekerja maksimal disebabkan berbagai faktor, diantaranya infrastruktur jalan desa yang rusak parah dan hingga kini belum diperbaiki. Saatnya pemerintah memberi perioritas pembangunan desa serta memberikan alternatif pelayanan sektor kesehatan di desa-desa terpencil. Misalnya dengan melatih dukun beranak di kampung, agar bisa memberikan tindakan penyelamatan pada ibuibu hamil yang mau melahirkan di desa.
119
YPSHK - TIFA
Kedermawanan Semu
Audit Sosial Program Bahteramas
Pelayanan kesehatan di sejumlah desa di Kabupaten Konawe masih jauh dari harapan. Akuntabiltas Pengelolaan anggaran kesehatan yang dikelola pemerintah melalui dinas kesehatan kabupaten konawe umumnya tidak transparan. Hal ini berdampak pada pelayanan kesehatan masyarakat di pedesaan. Padahal pemerintah telah mengkampanyekan pembebasan biaya kesehatan bagi masyarakat miskin melalui sejumlah program, diantaranya program asuransi kesehatan bagi masyarakat miskin (askeskin) hingga kemudian berubah menjadi Jaminan Kesehatan Masyarakat, serta pemberian bantuan kesehatan gratis dari program BAHTERAMAS. Program kesehatan gratis seyogyanya dinikmati masyarakat secara merata dan berkesinambungan. Masyarakat berhak untuk menikmati mutu kesehatan yang berkualitas dan sudah menjadi kewajiban pemerintah untuk memberikan pelayanan kesehatan yang bermutu pada masyarakatnya. Namun harapan masyarakat menikmati jaminan kesehatan sama sekali belum terealisasi sepenuhnya. Peran pemerintah yang diharapkan bisa memberikan peran nampaknya belum maksimal sebagai pelayan masyarakat. Hal ini terbukti dengan masih banyaknya warga yang hingga kini belum mendapatkan pelayanan kesehatan gratis tersebut. Krisis ekonomi yang mendera negara juga telah membawa dampak serius pada tingkat pendapatan masyarakat. Naiknya harga kebutuhan pokok memukul kehidupan ekonomi masyarakat di pedesaan. Kondisi ini berdampak pada mutu kesehatan masyarakat yang berada di titik terendah. Selama puluhan tahun masyarakat Desa Puuloro sama sekali tidak mendapat pelayanan kesehatan maksimal. Untuk berobat masyarakat masih mengandalkan puskesmas sampara yang jauhnya mencapai 12 kilo meter. Beban biaya kesehatan di puskesmas terkadang membuat warga kampung berpikir untuk berobat. Masyarakat sama 120
YPSHK - TIFA
Kedermawanan Semu
Audit Sosial Program Bahteramas
sekali tidak mengerti tentang hak mereka untuk mendapatkan biaya kesehatan gratis. Yang membuat masyarakat kian sengsara adalah akses transportasi dari desa menuju puskesmas yang buruk, membuat masyarakat berpikir dua kali untuk berobat ke puskesmas. Desa Bondoala, Lalimbue Jaya, Puuloro tentu saja tiga dari potret buramnya pembangunan ribuan pendesaan di Sulawesi tenaggara dari dulu hingga kini. Data pemerintah provinsi Sulawesi Tenggara mencatat sebanyak 732 desa (51,6 persen) di Sulawesi Tenggara masih termasuk dalam kategori daerah tertinggal. Desadesa itu tersebar di 12 Kabupaten/kota. Umumnya, desadesa tersebut berada di kepulauan atau pedalaman, sehingga tak terjangkau infrastruktur. Dari data Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Sultra tahun 2010, dari 732 desa tertinggal tersebut, 82 desa di antaranya masuk kategori sangat tertinggal. Hanya tiga daerah di Sultra yang tak masuk kategori tertinggal, yakni Kota Kendari, Kota Bau-Bau, dan Kabupaten Kolaka. Indikator ketertinggalan memakai 14 parameter dari Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal. Di antara parameter itu adalah ketersediaan jaringan listrik, jalan, air bersih, fasilitas kesehatan, komunikasi, dan mata pencaharian. Kondisi desa tertinggal atau sangat tertinggal di Sultra didominasi ketiadaan jalan yang layak, listrik, maupun air bersih. Kepala Bidang Ekonomi Bappeda Sultra Muhamad Faizal mengatakan, ketertinggalan desa-desa di Sultra disebabkan wilayah seluas 3,8 juta hektar atau 119 persen dari luas Jawa Tengah, hanya diisi penduduk sebanyak 2,2 juta jiwa (6,8 persen populasi Jateng). “Penduduk yang sedikit itu tersebar di wilayah-wilayah kepulauan hingga pelosok-pelosok daratan,� kata Faizal saat ditemui di 121
YPSHK - TIFA
Kedermawanan Semu
Audit Sosial Program Bahteramas
Kendari, Jumat (25/2/2011). Persebaran penduduk dalam wilayah yang luas itu menimbulkan masalah pembangunan infrastruktur yang membutuhkan biaya besar. Adapun anggaran pemerintah daerah sangat terbatas. Faizal mengatakan, APBD Provinsi Sultra pada tahun 2011 hanya Rp 1,2 triliun, sementara total gabungan APBD seluruh 12 kabupaten/kota di Sultra hanya sekitar Rp 7 triliun. (kompas.com) Dalam rangka memberdayakan masyarakat, pemerintah terus bekerja keras membangun daerah tertinggal. Hal itu antara lain dilakukan Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal (KPDT). Ujung tombak eksekutif yang khusus menangani kawasan terbelakang ini, berupaya membangun Kabupaten tertinggal. Hal tersebut dimaksudkan agar masyarakat setempat segera teren-tas dari stigma tertinggal. Upaya yang dilakukan untuk meningkatkan masyarakat tertinggal adalah dengan membuka akses transportasi dan membangun infrastruktur. Sebab, salah satu faktor utama yang menyebabkan desa di tingkat kabupaten menjadi tertinggal adalah karena minimnya infrastruktur. Secara umum ada dua hal utama yang menyebabkan daerah menjadi tertinggal, yaitu faktor masyarakat dan wilayah. Dari sisi masyarakat, antara lain karena masyarakat belum memiliki penghasilan, belum mengenyam pendidikan yang layak dan tidak memiliki keahlian. Sementara dari sisi wilayah, misalnya, suatu daerah belum produktif, banyak lahan terlantar yang belum dapat dikembangkan. Pemerintah berkomitmen untuk menyelesaikan persoalan tersebut, namun juga diperlukan kesadaran masyarakat.
122
YPSHK - TIFA
Kedermawanan Semu
Audit Sosial Program Bahteramas
Besarnya persentase kerusakan infrastruktur jalan darat milik kabupaten dan Propinsi Sulawesi Tenggara ditengarai penyebab lambannya laju pembangunan dan menjadi penyebab keterisoliaran daerah-daerah yang minim fasilitas prasarana jalan darat itu. Dari 732 desa tertinggal atau 25 persen dari 2000-an desa di 12 kabupaten/kota yang berada di Sulawesi tenggara, perlu menjadi prioritas perbaikan kesejahteraannya. Salah satunya, dengan menerapkan berbagai program pemberdayaan masyarakat dan perbaikan sarana infrastruktur. Ungkapan itu, masih tergiang jelas di telinga masyarakat Sulawesi Tnggara , manakala Menteri Negera Pembangunan Daerah Tertinggal (Meneg PDT) Lukman Edy, berkunjungan ke Sultra berapa waktu lalu. Bagi Lukman Eddy, penyebab ketertinggalan tersebut masih didominasi persoalan minimnya ketersediaan infrastruktur jalan yang menghubungkan ke daerah-daerah tersebut dengan dunia luar. Pemerintah melalui Kementerian PDT akan melaksanakan program mengatasi persoalan daerah tertinggal dan kemiskinan melalui pembangunan infrastruktur pedesaan, pemberdayaan ekonomi masyarakat dan program lainnya, dengan menyediakan dana bersumber dari APBN. Sedangkan kondisi di beberapa daerah yang mengalami kondisi serupa tidak jauh berbeda. Kehidupan warga yang dominan di wilayah kepulauan, kehidupannya masih memprihatinkan. Hal itu diperkuat dengan pernyataan Nur Alam, Gubernur Sultra bahwa kondisi umum daerah Sultra, di sektor infrastruktur jalan daratnya, lebih dari 173 kilometer jalan milik Negara yang ada mengalami kerusakan. Sehingga diperlukan adanya upaya-upaya perbaikan untuk mengentaskan persoalan kemiskinan dan perekonomian di sana. 123
YPSHK - TIFA
Kedermawanan Semu
Audit Sosial Program Bahteramas
Dari 732 desa tertinggal tersebut, 82 desa di antaranya masuk kategori sangat tertinggal, dengan jumlah populasi penduduk yang mendiami daerah-daerah itu sekira 213.911 jiwa, yang lebih didominasi di wilayah-wilayah kepulauan. Keterbelakangan masyarakat di sana, lebih terfokus disebabkan minimnya akses transportasi, pendidikan dan kesehatan. Pemkab Buton Utara menyadari sepenuhnya permasalahan yang krusial itu. Namun, lagi-lagi alasan ketersediaan anggaran menjadi kendala utama di sana. Sebenarnya Pemerintah Kabupaten Buton Utara telah melaksanakan program pembangunan ke wilayah terisolir. Dan, upaya melakukan peningkatan perekonomian masyarakatnya. Namun, masih menghadapi kendala. Yakni, keterbatasan dana untuk pembangunan infrastruktur jalan darat. Serta peningkatan mutu pendidikan dan kesehatan juga belum sepenuhnya dapat terpenuhi.
124
YPSHK - TIFA
Kedermawanan Semu
Audit Sosial Program Bahteramas
Nyanyian Sunyi puloro, Dukun Pilihan Si Miskin Wanita tua itu mencoba berkosentrasi penuh. Matanya terpejam. Mulutnya terus komat-kamit. Ia seperti meniupniup sesuatu di piring berisi air putih. Tiupan itu berisi doadoa yang diyakini mujarab. Air putih yang telah diberi mantera itu lalu diberikan pada pasien untuk diminum. “Air ini telah diberi doa-doa agar pasien ini sembuh” katanya. Ya, Dialah Wemana (60 tahun) dukun kampung tersohor di Desa Puuloro, Kecamatan Sampara, Kabupaten Konawe. Tak cukup dengan memberi air putih berisi mantera. Wemana juga memberi tambahan pemijatan gratis pada pasien. Bermodal minyak tawon, perempuan beranak lima itu memijat-mijat bagian tubuh pasien yang terasa sakit. “Biasanya pasien patah tulang banyak yang datang” katanya. Hari itu Wemana memang tengah sibuk melayani para pasien di rumahnya. Ia melayani pasien di ruang tamu berukuran sedang. Sebagian besar dari mereka adalah anak-anak korban patah tulang dan sebagian lagi ibu hamil untuk memeriksa kondisi mereka. Selain membuka praktik di rumahnya, Wemana juga biasa mendapat job panggilan ke rumah-rumah warga. Perlakuan khusus ini hanya diberikan pada pasien hamil. “Umumnya mereka tidak lagi bisa berjalan jauh. Maka saya harus mendatangi mereka,” kata Wemana. Namun, seiring waktu, tenaga yang mulai berkurang serta umur Wemana yang mulai uzur terkadang, Ia tidak lagi mampu melayani seluruh permintaan pasien. “Saya juga kadang sedih tidak bisa melayani semua permintaan” katanya. Saat menjalankan profesi, Wemana mengaku tidak membebani pasien dengan uang. Namun ada saja pasien 125
YPSHK - TIFA
Kedermawanan Semu
Audit Sosial Program Bahteramas
yang merasa iba padanya.“Terkadang ada yang berbaik hati memberi makanan dan sedikit uang,� katanya. Profesi dukun baginya bukanlah hal baru. Sudah hampir tiga puluh tahun Ia menjalani profesi sebagai dukun di desanya. Pasiennya beragam dari anak-anak hingga lanjut usia. Dulu ibu Wemana juga seorang dukun. Saat ibunya meninggal, Wemana pun melanjutkan tradisi dukun kampung. Ia semakin tergerak di saat tidak adanya jaminan pelayanan kesehatan di desanya. Wemana memang menikmati profesinya dengan suka rela. Ia mengaku murni menjalankan tugas kemanusiaan itu semampu yang ia bisa. Desa Puuloro sendiri adalah sebuah desa kecil di Kabupaten Konawe. Desa ini berada di balik bukit yang sebenarnya bisa ditempuh dengan kendaraan roda dua maupun roda empat. Desa Puuloro bertetangga dengan Desa Bondoala yang secara geografis cukup dekat dengan wilayah administratif Kota kendari. Ke arah timur kurang lebih 7 KM saja. Ke dua desa berada di wilayah administrasi Kabupaten Konawe, maka jadilah ke dua desa ini terisolir dan dapat dikategori sangat miskin. Tidak adanya perhatian pemerintah menjadikan desa ini sangat terbelakang baik dari ekonomi, kesehatan hingga pendidikan. Soal fasilitas kesehatan dan pendidikan jangan ditanya. Jauh dari harapan. Ada satu puskesmas pembantu (Pustu) yang terletak di tengah desa, tapi sayang tidak berfungsi maksimal. Petugas kesehatan hanya datang sebulan sekali. “Itu pun kadang telat,� kata Rahim warga Desa Puuloro. Selebihnya warga terpaksa harus gigit jari dan terpaksa memanfaatkan jasa dukun kampung untuk berobat. Tak hanya harus melayani pasien di desa puuloro, Wemana juga harus melayani Desa Bondoala, desa tetangga.
126
YPSHK - TIFA
Kedermawanan Semu
Audit Sosial Program Bahteramas
Wemana mengaku prihatin dengan kondisi pelayanan kesehatan warga. ““Hidup kami susah di sini, untuk berobat terpaksa kami harus ke puskesmas yang jaraknya 12 KM di kecamatan,” ungkapnya. Keprihatinan yang sama juga diungkapkan Puto (50 tahun), mantan Kepala Desa Puuloro. Ia mengaku, saat masih menjabat kepala desa kondisi pelayanan kesehatan masyarakat benar-benar memprihatinkan. Jarangnya petugas kesehatan yang datang berdampak buruk pada kesehatan warganya. Data pemerintah desa Puuloro Tahun 2009, tercatat ada 12 warga khususnya perempuan hamil meninggal dunia karena tidak adanya pelayanan medis. Kondisi infrastruktur jalan yang ruak berat menjadikan dua desa ini menjadi terisolir. Saat musim kampanye pilkada baik pemilihan bupati maupun gubernur, warga desa kerap di bisiki ‘angin surga’ berupa janji-janji perbaikan jalan desa. Tapi faktanya saat terpilih baik bupati maupun gubernur tidak pernah merealisasikan janji mereka. “Kami sudah kenyang dengan janji tapi tidak ada buktinya” kata mantan Kepala Desa Puuloro itu. Kondisi jalan yang rusak berat inilah yang menjadi problem berimbasnya segala permasalahan di desa mereka. Jalan rusak membuat akses dari kecamatan ke desa terputus total. Terlebih Saat hujan turun, kendaraan roda dua yang harusnya ditempuh dalam waktu hitungan menit, kini bisa berjam-jam lamanya. Disepanjang jalan badan jalan dipenuhi lumpur tebal dan licin. Butuh kehati-hatian pengendara melewati jalan.
127
YPSHK - TIFA
Kedermawanan Semu
Audit Sosial Program Bahteramas
Nelayan Perempuan Itu Kini Memulung Sampah Sinaria, nama perempuan muda itu. Tubuhnya yang kecil lagi kurus tak menghalanginya mendayung di atas sampan kecil menjelajahi teluk kendari, Sulawesi Tenggara, suatu Sabtu pagi di Medio Mei 2011 Silam. Bukan ikan, udang, mutiara atau kekayaan laut pada umumnya yang Ia cari melainkan sampah yang mengapung di laut yang dikumpul. Ya, Sinaria adalah satu di antara warga di perkampungan miskin nelayan di Kampung Tanjung Perak, Kelurahan Petoaha, Kecamatan Abeli, Kota Kendari yang sejak beberapa tahun terakhir mencari penghidupan dari menggumpulkan sampah di laut. Hal yang tentu belum lazim, utamanya di kota lulo ini. Selama ini kampung nelayan identik dengan penghasilan ikan namun tidak demikian kampung yang dihuni masyarakat bajo pesisir ini justeru kini identik dengan kampung pemulung. Sebagain besar warganya, khususnya anak-anak dan orang tua lanjut usia, kini menjadi pemulung laut, termasuk Sinaria. Perempuan yang lahir dan besar di pesisir itu mungkin juga merasa lebih �nyaman� dengan lingkungan laut ketimbang daratan. Pekerjaan tak ringan dan penuh tantangan itu terpaksa dilakoni Sinariah sejak sekitar tujuh tahun terakhir. Apalagi sejak ditinggal pergi suaminya setahun silam. Ia bersama adiknya Sumiana, mau tidak mau harus bisa menghidupi diri sendiri. Itu terpaksa dilakoni karena untuk menjadi nelayan seperti kebanyakan warga khususnya lelaki di kampungnya, Sinariah tak punya keterampilan maupun peralatan. Apalagi Ia sama sekali tidak memiliki 128
YPSHK - TIFA
Kedermawanan Semu
Audit Sosial Program Bahteramas
sumber penghidupan lain seperti warga lainnya yang memiliki areal rumput laut. Memulung di laut mulai dijalani Sinaria setelah melihat beberapa tetangganya yang lebih dulu melakukannya dan terbukti bisa memperoleh penghasilan tambahan lumayan untuk menutupi kebutuhan sehari-hari. Peluang itu semakin besar karena setiap hari sampah selalu �terhampar� di teluk. Sampah-sampah itu merupakan buangan langsung dari warga yang beraktivitas di sepanjang teluk atau terbawa aliran sungai yang bermuara di sana. Maka setiap hari Sinariah dan adiknya turun ke laut saat matahari mulai bersinar, sekitar pukul lima pagi. Ia menjelajahi teluk seluas 1236 hektar itu dengan sampan dayung sepanjang dua meter. Bersama adiknya, mereka menyisir pesisir tempat dimana banyak sampah plastik terdampar. Kedua kakak beradik ini mengumpulkan sampak plastik yang terbawa oleh air pasang. Sampah plastik mereka muat ke dalam perahu kecil peninggalan kedua orang tuanya. Dengan tangannya, Ia memunguti berbagai gelas kemasan air mineral, botol sampho, pecahan ember ataupun botol minuman kaleng yang mengapung di perairan. Satu per satu sampah berbahan plastik, logam, besi ataupun tembaga itu dinaikkan ke sampan. Tidak seluruh sampah dipungut, melainkan hanya keempat macam bahan itu yang laku dijual. Untuk memenuhi sampan itu biasanya dibutuhkan waktu hingga tengah hari. Sinaria mengaku dalam sehari Ia bisa mengumpulkan sampah plastik sebanyak 10 kilogram yang dijual dengan harga 1.500 rupiah perkilogramnya kepada seorang kerabat yang kebetulan menjadi pengumpul barang bekas 129
YPSHK - TIFA
Kedermawanan Semu
Audit Sosial Program Bahteramas
di desanya. Atas jerih payah dan usaha kerasnya itu, Sinaria bisa memperoleh uang bervariasi dari Rp 5000 hingga Rp.20.000 untuk sekali memulung. Jika masih ada sisa tenaga, Sinariah bisa melanjutkan lagi memulung pada sore hari. Di satu sisi, apa yang dilakukan para pemulung laut itu telah turut membantu mengurangi permasalahan sampah di Teluk Kendari. Namun di sisi lain, Sinariah merasa miris dengan kenyataan bahwa sudah sedemikian besarnya masalah lingkungan hidup di teluk sehingga memunculkan fenomena pemulung laut tersebut. Diperkirakan endapan sampah di teluk kendari saat ini telah mencapai 54 juta meter kubik atau 70 persen dari kapasitas tampung maksimal teluk. Jika endapan ini tak tertangani diperkirakam dalam 10 tahun mendatang teluk akan penuh tertutup sedimen. Endapan setara dengan muatan sekitar 10 juta truk pasir itu sebagian besar disumbang sedimentasi alami dari sungai-sungai yang bermuara di teluk. Namun limbah rumah tangga dan berbagai macam sampah tak bisa disangkal juga turut menyumbang kerusakan. Bagi sebagian warga, sampah-sampah itu menjadi berkah tersendiri. Berkah yang membantu mereka untuk bisa sekadar bertahan dari getirnya kemiskinan dan minimnya bantuan pemerintah. Ironisnya banyaknya program berbau pemberdayaan masyarakat dan penguatan ekonomi sama sekali tidak menyentuh warga nelayan di Petoaha. Jangan mendapat bantuan, untuk masuk dalam skema program bantuan pun nampaknya warga belum mendapatkan ruang dari program pemerintah seperti bahteramas, PPM Mandiri dan masih banyak lagi program yang kini dicanangkan pemerintah. Dalam diskusi regular audit sosial program 130
YPSHK - TIFA
Kedermawanan Semu
Audit Sosial Program Bahteramas
BAHTERAMAS Pemerintah Kelurahan Petoaha mengaku di tahun 2011 ini baru akan memasukkan sentuhan bantuan program bahteramas pada masyarakat nelayan di pesisir petoaha.
Cerita Pilu dari Kampung Buta Aksara Hari beranjak siang, kala Raniah (27) dengan bertelanjang kaki, menggendong buah hatinya menuju kebun singkong tak jauh dari rumahnya. Warga Desa Lantagi, Kecamatan Ereke, Kabupaten Buton Utara, Sulawesi Tenggara ini tak pusing dengan sengatan matahari, demi memanen singkong untuk menu makan siang. Kebun singkong milik Raniah memang tidak seberapa luas, seukuran dua lapangan bulu tangkis saja. Tak seperti kebun singkong pada umumnya yang ditanam di tanah gembur, singkong milik Raniah di tanam dicelah-celah dan di atas bebatuan. Umumnya topograpi tanah di daerah kepulauan yang tandus dan berbatu-batu, memaksa petani setempat harus pandai-pandai mensiasati pola tanam. demi bertahan hidup. Struktur tanah yang demikian itu membuat tumbuhan sulit berkembang. “Kita mau tanam apa disini tidak ada yang bisa tumbuh selain hanya ubi saja,� ujar Raniah seraya mengusap keringat dan peluh diwajahnya. Wajahnya sedikit berbinar, setelah berhasil memanen sepuluh potong singkong, secepatnya Ia berlalu dari kebun dan kembali ke rumah untuk memasaknya. Kehidupan di desa Lantagi memang jauh dari sejahtera. Hampir semua rumah hanya terbuat dari dinding 131
YPSHK - TIFA
Kedermawanan Semu
Audit Sosial Program Bahteramas
kayu dan beratap rumbia. Potret ini tergambar jelas dari kehidupan keluarga Raniah. Dapur rumahnya bahkan nyaris tak berdinding. Warga pun harus mengkonsumsi singkong, sebagai menu hidup sehari-hari. Raniah yang dikaruniahi seorang anak laki-laki, merupakan satu dari 100 kepala keluarga yang hidup serba terbatas. Udin (30), lelaki yang ia nikahi sejak tiga tahun silam, sudah tak bersamanya lagi dan terpaksa harus meninggalkan kampung itu lantaran tidak kuat menjalani kerasnya hidup serba terbatas. Udin memilih menitipkan istri dan buah hatinya demi merantau dan menjadi buruh kasar di Kota Ambon, Maluku. Sejak saat itu, Raniah pun harus berjuang sendiri menjadi tulang punggung keluarga untuk membesarkan sang buah hati mereka, walau sesekali harus ditopang oleh kedua orang tuanya yang sudah mulai berusia lanjut. Soal penghasilan, Raniah sedikit malu-malu menceritakan jika dalam sebulan ia hanya punya pendapatan tak kurang dari Rp. 100 ribu. Pendapatan itu bersumber dari kreatifitasnya menanak ubi untuk kemudian dijual kepada warga lainnya. Walau begitu, penghasilan itu tak bisa ia andalkan, apalagi untuk sekedar membeli beras dan susu bagi anak semata wayangnya. “Kita mau dapat uang darimana disini, lapangan kerja tidak ada, kita hanya bisa makan ubi saja karena tidak ada yang lain,�ujarnya. Di Desa Lantagi, tidak banyak warga yang pernah mengecap pendidikan. Raniah sedikit beruntung bisa mengecap pendidikan walau hanya tamat SMA. Ia bahkan sempat beberapa kali ikut test untuk masuk perguruan tinggi, namun nasibnya kurang mujur dan selalu tidak lulus sehingga ia pun memutuskan untuk kembali dan bertahan didesa itu hingga akhirnya bertemu jodoh. “Kalau saya hitung-hitung, jumlah warga yang pernah sekolah 132
YPSHK - TIFA
Kedermawanan Semu
Audit Sosial Program Bahteramas
disini jumlahnya tidak banyak, mungkin tidak cukup 10 orang,� terangnya. Dengan kondisi ini, tidak heran sebagian besar warga yang sudah hidup berpuluh-puluh tahun di desa itu, ratarata menderita buta hurup dan tak bisa baca dan tulis. Warga yang tidak bisa berbahasa Indonesia pun sangat mudah dijumpai. Selain letak geografis perkampungan itu yang termarjinal, tempat tinggal warga didesa itu juga sangat memilukan. Kebanyakan warga harus tinggal di rumah-rumah gubuk seadanya yang hanya beratap dan berdinding daun rumbia atau daun sagu. Jika musim penghujan, warga pun harus siap-siap basah karena kondisi atap rumah yang bocor. Untuk bisa bertahan hidup warga diperkampungan ini hanya bisa mengandalkan usaha tani Singkong yang ditanam diatas bebatuan dan sesekali menjadi nelayan. “Kalau ada yang sakit tidak ada yang pernah ke puskesmas atau rumah sakit, tetapi diobati secara tradisonal,� Raniah menambahkan. Sejauh ini pemerintah daerah setempat belum mampu mengatasi kemelut hidup yang mendera warga di perkampungan itu. Padahal, desa ini sudah puluhan tahun dihuni oleh penduduk. Sebelum Buton Utara mekar menjadi kabupaten pada tahun 2007 lalu, Desa Lantagi yang berada di wilayah Kecamatan Ereke, secara administratif berada didalam pemerintahan Kabupaten Muna. Jangankan tersentuh rencana pemerintah, untuk ditengok saja oleh pejabat pemerintah tidak pernah mereka alami. Setelah Buton Utara dimekarkan menjadi Kabupaten tersendiri, warga setempat pun menaruh harapan besar untuk bisa memperbaiki tarap hidup, namun harapan itu rupanya masih sebatas ilusi. “Selama ini kami tidak pernah mendapat bantuan dari pemerintah, kalau pun ada paling hanya beras dan itu paling-paling hanya sekali dalam setahun. Sebenarnya 133
YPSHK - TIFA
Kedermawanan Semu
Audit Sosial Program Bahteramas
warga disini mau bekerja, tetapi mau kerja apa juga tidak ada lapangan kerja,�terang Raniah. Melihat realitas itu, dibawah pimpinan Bupati Buton Utara, Ridwan Zakariah, pemerintah kabupaten Buton Utara kini berencana merelokasi warga diperkampungan itu kelokasi baru yang dianggap lebih layak. Hasil pendataan awal, sedikitnya terdapat 50 KK didesa itu akan segera direlokasi. Pemerintah juga kini tengah menggagas program pemberdayaan guna memfasilitasi warga dalam bentuk modal usaha berskala kecil termasuk membuka akses dan ketersediaan lapangan kerja baru. “Untuk tahap pertama kami sudah data sekitar 50 KK untuk relokasi kelokasi yang sudah kami persiapkan agar mereka bisa hidup layak, paling tidak mereka bisa bercocok tanam dan menjadi nelayan dengan harapan warga bisa memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari,�kata Ridwan Zakariah. Apapun bentuknya, pemerintah daerah setempat kini dituntut untuk membuka mata dan lebih peka terhadap nasib warganya. Konstitusi UUD 1945 mengamanahkan, pemerintah bertanggung jawab sepenuhnya terhadap rakyatnya untuk mendapatkan hak hidup yang layak dan mendapatkan pendidikan. Tidak pada tempatnya kemiskinan yang mendera warga di Desa Lantagi dibiarkan apalagi sampai membuat masa depan anak-anak menjadi suram hanya karena didera buta hurup, tidak bisa baca tulis sampai-sampai tidak bisa berbahasa Indonesia. Seperti diketahui, Kabupaten Buton Utara adalah sebuah kabupaten di provinsi Sulawesi Tenggara, Indonesia. Ibukotanya adalah Buranga. Kabupaten ini dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2007, pada tanggal 2 Januari 2007. Dalam catatan statistik Buton Utara merupakan kawasan yang kaya sumberdaya alam. Terutama bahan tambang dan hasil perkebunan di wilayah 134
YPSHK - TIFA
Kedermawanan Semu
Audit Sosial Program Bahteramas
yang meliputi Kecamatan Wakorumba, Kambowa, Bonegunu, Kulisusu Barat, Kulisusu Utara dan Kulisusu itu, diprediksi dapat menggenjot PAD. Dari aspal, minyak bumi, emas dan konon uranium. Semuanya butuh klarifikasi lebih jauh. Kekayaan alam juga melimpah dalam sektor kehutanan. Lihatlah bagimana daerah ini memiliki hasil hutan seeprti jati, damar, dan rotan. Dalam perjalanan ke Buton Utara nampak jejak hutan jati yang cukup besar disepanjang jalan kawasan Kecamatan Bonegunu dan Kambowa. Informasi yang diperoleh, jati yang diperkirakan berumur dua tahun ini milik masyarakat dan beberapa pejabat di Buton Utara. Mereka memanfaatkan lahan tidur dan menyulapnya menjadi kebun hutan jati. Sebuah upaya yang baik demi melestarikan bumi dari kekeringan. Beberapa warga tertarik menanam jati karena harganya yang lumayan baik. Data harga jati dipasaran Indonesia mencapai Rp 15 juta per kubik. Sebuah harga yang lumayan menggiurkan,sehingga membuat masyarakat berlomba menanam jati. Jika kita melihat peta, posisi Buton Utara berada di daratan Pulau Muna. Seperti diketahui jati merupakan produk hutan yang paling banyak ditemukan di daratan pulau ini. Tak heran Muna pun mendapat julukan daerah jati. Sayang julukan itu kini memudar seiring dengan rusaknya seluruh kawasan hutan jati akibat kebijakan eksploitasi pemerintah kabupaten sehingga menimbulkan maraknya penjarahan kawasan hutan jati oleh masyarakat. Beruntunglah ‘virus’ pola kebijakan eksploitatif hasil hutan ini tidak berlanjut ke daerah Buton Utara, setelah tahun 2007 lalu, Buton Utara berhasil ‘memerdekakan diri’ dari Kabupaten Muna membentuk daerah otonomi sendiri. “Seandainnya daerah kami tidak mekar, maka tidak akan pernah tau nasibnya kini,”kata Bambang, salah satu warga Buton Utara. 135
YPSHK - TIFA
Kedermawanan Semu
Audit Sosial Program Bahteramas
Data yang dilansir Dinas Kehutanan Provinsi Sultra setidaknya terdapat 2,6 juta hektar kawasan hutan. dari luasan tersebut terdapat sekitar 633.431 hektar kawasan hutan produksi. Sedang kawasan hutan lindung mencapai 1,061 juta hektar. Dari jumlah tersebut, berdasarkan peta kawasan yang telah ditata batas, maka di Buton Utara menjadi daerah yang paling banyak terdapat kawasan hutan lindung. pasalnya dalam daftar statistik kehutanan Sultra, setiap kecamatan di daerah ini terdapat kawasan hutan lindung. Tantangan dimasa otonomi ini bukan tidak mungkin akan bernasib sama seperti daerah pemekaran lain di Sultra. Syahwat politik para penguasa, mau tidak mau bisa menjadi faktor utama untuk menguras sumber daya alam daerah. Berdasarkan fakta daerah pemekaran di Indonesia, hampir sebagian besar daerah pemekaran, rata-rata memaksimalkan potensi sumber daya alam mereka untuk digarap habis. Ironsinya pengelolaannya pun terkadang tidak membawa keseimbangan antara upaya mengeruk sumber daya alam ketimbang melestarikannya. Lihatlah potret berapa pemerintah kabupaten berlomba-lomba ke luar negeri dengan dalih mencari investor untuk ‘menjual potensi tambang daerah kepada investor. Parahnya, keuntungan yang diperoleh darah pun tak sebanding dengan kerusakan yang ditimbulkan. Kondisi yang sama berpotensi besar akan terjadi di Buton Utara. Dalam rekaman media massa di Sultra, beberapa kali pemerintah berencana bekerja sama dengan sejumlah investor asing untuk mengelola potensi sumberdaya alam di daerah ini. Namun kuatnya penolakan masyarakat masih mampu mengimbangi ambisi pemerintah mengeksploitasi potensi alam ini. Sebelum mekar pun penolakan masyarakat pada investor sudah lantang disuarakan. Bahkan dalam catatan masyarakat pernah mengusir tim survey dari PT GeoService Jakarta, investor 136
YPSHK - TIFA
Kedermawanan Semu
Audit Sosial Program Bahteramas
yang akan melakukan penelitian tentang potensi aspal di Kecamatan Kulisusu. Padahal PT Sido Prosper Indokarbon (SPI) bekerjasama dengan investor dari Hongkong dan Beijing telah memiliki Kuasa Pertambangan (KP) yang dikeluarkan oleh pemerintah Kabupaten Muna�. Begitu pula PT SPI juga telah merencanakan membangun pabrik di tiga wilayah potensi aspal dan membuat jalan dari Kecamatan Kambowa dan Kulisusu. Namun, meski begitu pemerintah tak dapat sepenuhnya disalahkan. Melihat konsekwensi pemekaran maka mau tak mau pemerintah dituntut untuk memberkan kesejahteraan bagi rakyatnya. Dalam teori clean goverment, pemerintah yang bersih adalah pemerintah memiliki niat membangun daerah dengan adil dan transparan. Arti transparansi dalam konteks ini tentulah transparansi dalam mengelola pemerintahan dan anggaran keuangan daerah. Keuangan dapat pula diartikan yang diperoleh dari sumber yang jelas dari anggaran APBN hingga anggaran asli daerah. PAD inilah yang dapat diterjemahkan diperoleh dari potensi pajak dan pengelolaan sumber daya alam. Namun untuk mengharapkan terciptanya clean goverment inilah yang masih sangat sulit diharap di era saat ini. Dalam catatan statistik, Buton Utara merupakan kawasan yang kaya sumberdaya alam. Buton Utara memiliki banyak potensi bahan tambang. Dari aspal, minyak bumi, emas dan konon uranium. Harus jujur pula diakui, jika benar kandungan sumber daya alam ini ada, maka Buton Utara menjadi daerah yang paling kaya dibanding seluruh daerah kabupaten di Sultra. Betapa tidak dalam bayangan ke depan, kandungan deposit aspal, nikel dan emas saja maka akan diperoleh angka triliunan rupiah yang akan diperoleh daerah ini. Setidaknya ‘diperut’ Buton Utara terdapat kandungan potensi yang dapat memakmurkan rakyat buton utara hingga beratus bahkan 137
YPSHK - TIFA
Kedermawanan Semu
Audit Sosial Program Bahteramas
ribuan tahun mendatang. Sebaliknya jika dikelola secara buruk maka bukan tidak mungkin daerah ini akan mejadi daerah terbelakang bahkan menjadi daerah yang terus dilanda bencana alam. Karena itu butuh kejujuran dari pemerintahan yang berkuasa di tanah Buton Utara memaksimalkan potensi sumber daya alam ini.
138
YPSHK - TIFA
Kedermawanan Semu
Audit Sosial Program Bahteramas
PEMBELAJARAN & REKOMENDASI Undang-Undang Dasar 1945 telah menjelaskan secara eksplisit bahwa tujuan bernegara yakni meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Hal ini menegaskan bahwa manusia adalah tujuan akhir dari pembangunan. Tolak ukur pembangunan, dengan demikian, tidak lain adalah terpenuhinya hak sipil hak politik dan sekaligus hak ekonomi,sosial, budaya setiap warga Negara yang kemudian diturunkan dengan berbagai produk hukum dari sebagai payung untuk melindungi, memenuhi dan menghargai hak warga Negara. Mandat Negara yang dipersonifikasikan oleh organ-organ pemerintah tertuang dalam UU, PP hingga perda provinsi maupun kabupaten/ kota untuk merealisasikan kewajiban Negara untuk melindungi (to protect), memenuhi (to fullfil), menghargai (to respect) dan memajukan (to promote). Pemasaran produk politik (visi-misi) dengan label “BAHTERAMAS� dari pasangan Calon Gubernur dan Wakil Gubernur Nur Alam dan Saleh Lasata (NuSa) ternyata laris manis dipasaran politik rakyat, dimana memicu ekspektasi rakyat Sulawesi Tenggara yang membarternya dengan mencoblos pasangan ini sehingga mampu memenangkan perebutan kursi kekuasan Gubernur dan 139
YPSHK - TIFA
Kedermawanan Semu
Audit Sosial Program Bahteramas
Wakil Gubernur terpilih pada pemilihan umum kepala daerah (pemilukada) secara langsung yang pertama dalam sejarah suksesi gubernur di Sulawesi Tenggara. Sejak tahun 2008, Program BAHTERAMAS telah tertuang dalam Perda No. 7/2008 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Sulawesi Tenggara 2008-2013. BAHTERAMAS yang ditopang oleh tiga pilar utama program yaitu: (1) Bantuan Operasional Pendidikan (BOP) mulai dari tingkat sekolah dasar hingga menengah ke atas; (2) Pembebasan Biaya Pengobatan (PBP) hingga pelayanan kelas III di RSUD Provinsi dan RSUD Kabupaten/Kota, dan (3) Bantuan Keuangan (block grant) untuk kecamatan, desa/kelurahan. Program BAHTERAMAS bertujuan sebagai upaya untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat Sulawesi Tenggara pada tahun 2013. Kesejahteraan masyarakat (society welfare) yang dapat terwujud melalui proses perubahan sosial yang direncanakan (social of planned change) baik waktunya, pola biayanya, kelompok sasarannya. Harapan utama masyarakat Sultra pada program BAHTERAMAS melalui proses perubahan sosial adalah mendapatkan manfaat optimal baik manfaat sosial maupun ekonomi, yang ditujukan untuk diri mereka dan lingkungan. Program BAHTERAMAS bukan sebuah bentuk “kedermawanan politik� dari pasangan Nur Alam dan Saleh Lasata melainkan bentuk kewajiban dan tanggung jawab dari Negara melalui gubernur dan wakil gubernur untuk memenuhi hak-hak ekonomi, sosial dan budaya (Ekosob) masyarakat Sulawesi Tenggara. Seperti halnya, program-program kesehatan dan pendidikan gratis yang dibanggakan oleh Gubernur, Bupati dan Walikota di wilayah lain sesungguhnya merupakan kewajiban dari 140
YPSHK - TIFA
Kedermawanan Semu
Audit Sosial Program Bahteramas
mandat konstitusi yang berlaku secara universal. Tidak ada yang luar biasa, karena keberhasilan tersebut merupakan bentuk pelaksanaan kewajiban dari perintah konstitusi. Jikalau pelaksanaan BAHTERAMAS gagal memenuhi hak ekosob masyarakat maka Pemerintahan Nur Alam Saleh Lasata bisa dikategorikan melakukan pelanggaran terhadap kewajibannya, atau gagal melaksanakan perintah konstitusi dalam pemenuhan hakhak ekosob masyarakat. Hak adalah sesuatu yang melekat pada seseorang karena ia terlahirkan sebagai manusia. Tidak mengenal status sosial dan kelas sosial kaya dan miskin. Kepemilikan hak itu akan membuka jalan pada seseorang untuk hidup lebih bermartabat sebagai manusia. Hak (right) memiiki konteks yang berkait langsung dengan martabat manusia, sedangkan kebutuhan dasar (basic needs) menunjuk pada makna pencapaian kesejahteraan (Suryadi, dkk., 2008). Kewajiban Pemerintah terhadap pendidikan dan kesehatan yang merupakan mandat konstitusi tersebut tertuang dalam UU 1945 hasil amandemen adalah sebagai berikut: (1) Pasal 28 H ayat 1: “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan bathin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayan kesehatan. (2) Pasal 31 ayat 1: “Tiap-tiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan. (3) Pasal 34 ayat 3: “Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan pelayanan umum. Mandat yang disebutkan dalam UUD 1945 hasil amandemen di atas, telah memperkuat kewajiban pemenuhan hak dasar melalui ratifikasi konvenan Hak 141
YPSHK - TIFA
Kedermawanan Semu
Audit Sosial Program Bahteramas
Ekonomi Sosial Budaya (Ekosob) (The International Convenant on Economic, Social and Cultural Rihgts) PBB. Ini bentuk pengakuan pemerintah Indonesia sekaligus dijadikan acuan standar pemenuhan hak pendidikan dan kesehatan yang secara resmi dinyatakan oleh Pemerintah Indonesia pada tanggal 28 Oktober 2005 ketika pemerintah meratifikasi konvenan ekosob melalui UU Nomor 11 Tahun 2005. Konvenan Internasional tentang Hak Ekosob pasal 13 menyebutkan secara jelas bahwa pendidikan warga negara yang harus terpenuhi adalah : a) Pendidikan dasar harus diwajibkan dan tersedia secara cuma-cuma bagi semua orang b) Pendidikan lanjutan dalam berbagai bentuknya termasuk pendidikan teknik dan kejuaruan tingkat menengah, harus tersedia secara umum dan terbuka bagi semua orang dengan segala cara yang layak dan khususnya menerapkan pendidikan cumacuma secara bertahap. c) Pendidikan tingkat tinggi harus dapat dicapai oleh siapan pun juga, berdasarkan kapasitas, dengan cara-cara yang layak, dan khususnya menerapkan pendidikan cuma-cuma secara bertahap. d) Pendidikan dasar harus sedapat mungkin didorong atau diintensifkan bagi orang orang yang belum pernah menerima atau menyelesaikan keseluruhan periode pendidikan dasar mereka e) Pengembangan suatu sistem sekolah pada semua tingkat harus diupayaka secara aktif, suatu system beasiswa yang memadai harus dibentuk, dan kondisi-kondisi material staf pengajar harus ditingkatkan secara berkelanjutan.
142
YPSHK - TIFA
Kedermawanan Semu
Audit Sosial Program Bahteramas
Di sisi lain, hak warga negara terhadap layanan kesehatan, tertuang dalam Konvenan Internasional tentang Hak Ekosob pada pasal 12 ayat dua, yaitu: a)
Ketentuan untuk menurunkan tingkat kematian bayi saat kelahiran dan kematian bayi serta perkembangan ank secara sehat
b)
Perbaikan semua aspek kebersihan lingkungan dan industri
c)
Pencegahan, pengobatan, dan pengendalian epidemi, endemi serta penyakit yang timbul di lingkungan kerja dan penyakit-penyakit lainnya;
d)
Penciptaan kondisi-kondisi yang akan menjamin semua pelayanan dan perhatian medis dikala sakit.
Untuk memperoleh deskripsi nyata sejauh mana program BAHTERAMAS dapat memenuhi harapan utama masyarakat (pemenuhan hak-hak ekosob), maka pendekatan audit sosial terhadap program BAHTERAMAS merupakan sebuah keniscayaan. Audit sosial dapat digunakan sebagai masukan dalam melihat dan menilai hasil-hasil program pembangunan secara optimal, karena audit sosial mencakup penilai aspek prosedur, pencapaian tujuan dan sekaligus penggambaran manfaat program secara komprehensif (Muljono, P., dkk, 2007).
143
YPSHK - TIFA
Kedermawanan Semu
Audit Sosial Program Bahteramas
Dampak, Masih Jauh Panggang Dari Api Secara keseluruhan, hasil audit sosial Program BAHTERAMAS yang dilakukan oleh YPSHK Sultra menjahit sebuah fakta bahwa program BAHTERAMAS yang merupakan kewajiban konstitusional pemenuhan hak-hak pendidikan, kesehatan dan ekonomi (bantuan block grant) Pemerintahan Provinsi Sulawesi Tenggara belum signifikan meningkatkan kesejahteraan masyarakat di Sultra. Espektasi masyarakat Sultra terhadap program BAHTERAMAS sangat besar. Namun espektasi tersebut sampai sat ini masih belum berwujud. Masyarakat masih belum merasakan manfaat program secara optimal. “Masih Jauh Panggang Dari Api� demikianlah kondisi implementasi dan dampak program BAHTERAMAS. Fakta yang termuat dalam data yang dirilis oleh BPS Sultra (2011) menyatakan bahwa jumlah penduduk miskin yang ada di Sultra dari Bulan Maret sampai September 2011 mengalami kenaikan sebesar 0,05 persen Political will dan action will dari Pasangan Nur Alam dan Saleh Lasata dalam Program Bantuan Operasional Pendidikan (BOP) dan Pembebasan Biaya Pengobatan (PBP) telah realisiasikan dengan mengalokasikan anggaran BOP dan PBP dalam APBD tahun 2008-2010. Biaya Operasional yang ditanggung dalam program BOP meliputi 9 (sembilan) komponen, yakni; pendaftaran siswa baru, pengadaan buku teks, bahan ajar LKS, pemberian insentif guru, pengembangan profesi guru, pembiayaan perpustakaan dan administrasi sekolah, kegiatan ekstra kurikuler, pengadaan alat peraga dan bahan praktikum laboratorium, pembiayaan ujian sekolah dan ulangan, serta perawatan ringan sekolah. 144
YPSHK - TIFA
Kedermawanan Semu
Audit Sosial Program Bahteramas
Akan tetapi masih banyak sekolah-sekolah yang menarik biaya dari murid untuk membiayai komponen yang telah dibiayai oleh BOP tersebut. Salah kaprah semakin melebar ketika ada persepsi masyarakat bahwa BOP menggratiskan seluruh item biaya pendidikan. Melalui PBP, pemerintah berusaha menjamin kesehatan masyarakatnya tanpa membedakan strata ekonomi dan memberi pelayanan mulai dari pustu, puskesmas sampai rumah sakit, maupun dokter keluarga. Program Pembebasan Biaya Pengobatan (PBP) belum dirasakan dan diakses seluruh masyarakat di Sulawesi Tenggara. Hanya masyarakat yang bermukim di pusatpusat pemerintahan (core area) atau terjangkau dengan fasilitas kesehatan (pustu, puskesmas dan rumah sakit) saja yang dapat menikmati. Sementara masyarakat yang bermukim di desa-desa terpencil (hinterland area) yang jauh dari fasilitas kesehatan belum dapat menikmati manfaat dari program PBP tersebut. Komponen transportasi mengakibatkan biaya kesehatan menjadi lebih besar. Program PBP cenderung kurang mendapat dukungan dari Pemerintah Kabupaten/Kota. Di kabupaten Buton Utara misalnya, para petugas puskesmas memilih tidak menjalankan program PBP dengan alasan nilai klaim biaya berobat tidak sebanding dengan biaya transportasi mengurus klaim ke dinas kesehatan provinsi di Kota Kendari. Petugas lebih memilih menggunakan program kesehatan gratis yang sudah ada misalnya program Jamkesmas yang diluncurkan pemerintah pusat. Selain itu, banyak masyarakat miskin yang tidak terdaftar sebagai peserta PBP-BAHTERAMAS. Sistim pendataan yang tidak tepat mengakibatkan terabaikannya hak-hak warga khususnya kaum miskin dan marginal. Semestinya, program PBP dapat dirasakan manfaatnya bagi seluruh masyarakat sampai di desa terpencil sekalipun. 145
YPSHK - TIFA
Kedermawanan Semu
Audit Sosial Program Bahteramas
Ketika masyarakat miskin tidak mendapatkan hak pelayanan kesehatan dari pemerintah akhirnya tetap memilih berobat ke “Dukun Desa” sebagai sosulinya. Program pembebasan biaya pengobatan ternyata tidak cukup jika tidak dibarengi dengan ketersediaan fasilitas layanan kesehatan yang memadai dan mudah dijangkau. Karena fakta menunjukkan bahwa, item biaya transportasi untuk menjangkau fasilitas layanan kesehatan seringkali melebihi biaya kesehatan yang digratiskan oleh pemerintah. Eksistensi program block grant selama 3 tahun (20082010) belum memberi manfaat sosial dan ekonomi bagi masyarakat desa/kelurahan secara maksimal. Tujuan alokasi bantuan dana block grant untuk mempercepat kesejahteraan melalui pemberdayaan ekonomi lokal dan peningkatan infrastruktur ekonomi desa/kelurahan ibarat “menggantang asap atau menegakkan benang basah”. Sebagian besar Pemerintah Desa (Kepala Desa/Lurah) di Sulawesi Tenggara memanfaatkan block grant untuk merenovasi kantor desa/kelurahan. Hasilnya yang sangat “fantastis” adalah pencapaian sebuah prestise award dari Museum Rekor Indonesia (MURI) berupa pemecahan rekor nasional tentang renovasi kantor desa kelurahan terbanyak di Indonesia. Bantuan dana Block Grant dominan digunakan oleh Kepala Desa/Lurah untuk perbaikan fisik dan perlengkapan kantor desa/lurah, sementara untuk peningkatan fasilitas sarana dan prasarana sosial dan ekonomi masyarakat di pedesaaan sangat minim bahkan tidak ada sama sekali pada beberapa desa. Alih-alih program tersebut memberikan stimulus terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat, justru menimbulkan perubahan sosial ke arah yang negatif berupa konflik antar pemerintah desa dan masyarakat. Mulai dari konflik usulan pekerjaan, pengelolaan kegiatan yang tidak 146
YPSHK - TIFA
Kedermawanan Semu
Audit Sosial Program Bahteramas
transparan dan cenderung kolutif hingga pertanggungjawaban yang tidak dilakukan menjadi sajian sehari-hari pengelolaan Block Grant. Fenomena tersebut melahirkan antipati masyarakat di hampir seluruh pedesaan di Sulawesi Tenggara. Mekanisme yang berbelit-belit dan kualitas pelayanan yang belum optimal dari institusi pengelola block grant mulai dari tingkat provinsi hingga desa/kelurahan memperburuk implementasi program.
147
YPSHK - TIFA
Kedermawanan Semu
Audit Sosial Program Bahteramas
Beberapa hal yang menyebabkan Program BAHTERAMAS Pemerintahan Nur Alam - Saleh Lasata belum berdampak secara sistemik terhadap masyarakat Sulawesi Tenggara didesripsikan berikut ini.
Dangkalnya Partisipasi, Buruknya Transparansi Besarnya alokasi anggaran APBD Provinsi Sulawesi Tenggara dari tahun 2009-2011 untuk kepentingan program BAHTERAMAS ternyata tidak disertai dengan evaluasi keberhasilan yang terukur. Hingga kini tidak ada sebuah mekanisme yang baku yang dapat digunakan semua pihak untuk menakar keberhasilan BAHTERAMAS secara akuntabel. Rendahnya partisipasi warga memberi kontribusi yang besar dalam kegagalan pengelolaan program tersebut. Colleta dan Kayam (1987) mengatakan bahwa banyak pembangunan di Indonesia yang telah dilakukan melalui berbagai program, namun keberhasilannya belum sepadan dengan investasi karena antara lain kurang memperhatikan partisipasi masyarakat. Dangkalnya partisipasi masyakarat dalam program BAHTERAMAS disebabkan oleh mekanisme atau prosedur partisipasi yang setengah hati dari Pemerintah Propvinsi Sultra. Substansi Petunjuk Teknik Operasional (PTO) Block Grant belum merinci secara jelas mekanisme dan prosedur yang harus dilalui untuk menjamin partisipasi warga tersebut, misalnya partisipasi masyarakat dalam sosialisasi, perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi. PTO yang merinci dengan jelas mekanisme partisipasi tersebut dapat menghindari multitafsir dari masing-masing pihak.
148
YPSHK - TIFA
Kedermawanan Semu
Audit Sosial Program Bahteramas
Beberapa temuan audit sosial yang mendeskripsikan bahwa dangkalnya keterlibatan masyarakat terjadi pada pendataan masyarakat miskin untuk PBP. Demikian pula pada hampir seluruh rangkaian program Block Grant. Ironisnya, LPM yang seharusnya menjadi Tim Pelaksana Kegiatan (TPK) dan BPD sebagai pengawas kegiatan belum berfungsi sebagaimana mestinya. Masyarakat khususnya kaum miskin dan perempuan tidak dilibatkan dalam pengambalian keputusan sehingga kegiatan yang dilakukan seringkali tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat Dangkalnya keterlibatan masyarakat dalam siklus manajemen program BAHTERAMAS khususnya Block Grant disebabkan oleh keengganan Pemerintah Provinsi dan Desa/Kelurahan untuk melibatkan masyarakat setempat. Pemerintah seringkali beranggapan bahwa masyarakat yang kritis adalah ancaman bagi kelancaran proses program. Daripada repot-repot menfasilitasi partisipasi dan berhubungan dengan kekritisan masyarakat, pemerintah lebih suka mengambil langkah “aman� dengan tidak melibatkan masyarakat. Hal ini terasa ironis di tengah arus demokras. Peran serta masyarakat mestinya dimanfaatkan secara maksimal untuk menggali persoalan-persoalan pembangunan. Hambatan-hambatan keterlibatan masyarakat bukan hanya berkait dengan mekanisme atau prosedur yang setengah hati. Hambatan itu juga disebabkan oleh rendahnya transparansi implementasinya program BAHTERAMAS. Rendahnya transparansi ditunjukkan dengan tidak tersosialisasinya program dengan baik. Masyarakat tidak mengetahui perencanaan, pelaksanaan dan berapa besar anggaran program dan realisasi anggaran.
149
YPSHK - TIFA
Kedermawanan Semu
Audit Sosial Program Bahteramas
Pengelolaan Tidak Efektif, Lemahnya Jaminan Regulasi Dangkalnya keterlibatan stakeholder dan transparansi yang buruk di atas mendorong tidak efektifnya dalam pengelolaan program BAHTERAMAS. Hubungan antar pihak yang berkepentingan terhadap program BAHTERAMAS tidak berjalan dengan baik. Fenomena ini dipicu oleh kekuatan peran dan pengaruh pemerintah provinsi dan elit desa yang sangat dominan (powerfull), sementara masyarakat tidak memiliki kekuatan dan hanya sebagai sasaran pasif program (powerless). Belum ada political will dan action will dari pemerintah provinsi dan elit desa untuk mendistribusikan dominasi peran dan pengaruh kepada masyarakat. Gejala ini dalam konteks pemberdayaan (empowerment) adalah pandangan Zero Sum. Artinya ada ketakutan dari pemerintah provinsi dan elit desa ketika mendistribusikan peran dan pengaruhnya kepada masyarakat maka akan mengurangi kuantitas peran dan pengaruh tersebut dalam progam BAHTERMAS. Padahal jika pemerintah provinsi dan elit desa memiliki pandangan positive sum maka akan menambah peran dan pengaruh mereka yang bersumber dari masyarakat sehingga tujuan program dapat tercapai secara optimal. Oleh karena itu, Pemerintah Provinsi Sultra sudah seharusnya melakukan pemberdayaan (empowerment) bukan terus melakukan pembodohan pengkerdilan agar masyarakat pasif dan hanya pasrah menerima apapun kebijakan program pemerintah provinsi.
150
YPSHK - TIFA
Kedermawanan Semu
Audit Sosial Program Bahteramas
Badan Pemberdayaan Masyarakat Desa (BPMD) Provinsi Sulawesi Tenggara sebagai institute leading untuk melakukan program bantuan dana Block Grant justru “mempersulit� pengurusan pencairan dana dengan mengeluarkan Petunjuk Teknis Operasional (PTO) yang tidak sederhana. Hal ini sangat menyulitkan bagi pemerintah desa (tidak termasuk kelurahan) dalam membuat proposal dan laporan dana Block Grant. Kesulitan ini terjadi karena terbatasnya kapasitas pemerintah desa sebagai pengelola dana Block Grant di tingkat desa. Ironisnya, justru melahirkan percaloan pembuatan proposal dan laporan oleh “oknum-oknum� di BPMD Provinsi Sultra. Dalam konteks memperkuat transparansi dalam implementasi program BAHTERAMAS, semestinya ada jalur pengaduan berupa posko/lembaga pengaduan bagi masyarakat dan stakeholder lainnya untuk memberikan saran, tanggapan dan gugatan terhadap program BAHTERAMAS. Akan tetapi, sampai saat ini posko/ lembaga pengaduan itu tidak dibentuk oleh Pemerintah Provinsi. Masalah krusial dalam pelaksanaan program BAHTERAMAS adalah lemahnya komitmen, peran serta dan dukungan dari pemerintah kabupaten dan kota. Meskipun sudah memasuki tahun ketiga, koordinasi antar pemerintah provinsi dan kabupaten dan kota tidak berjalan maksimal. Munculnya kesan lepas tanggung-jawab, pengabaian dan bahkan resistensi dari pemerintah kabupaten dan kota menunjukkan kegagalan pemerintah provinsi dalam mentransformasi program ini dari program yang sekedar berdimensi politik menjadi populis. Kegagalan koordinasi yang berlangsung terus menerus bisa berujung pada delegitimasi posisi dan peran pemerintah provinsi dalam menjalankan kebijakan dan programprogramnya. Ini salah satu konsekuensi dari pemberlakuan 151
YPSHK - TIFA
Kedermawanan Semu
Audit Sosial Program Bahteramas
otonomi daerah di tingkat kabupaten/kota (UU 32/2004) Kesulitan berkoordinasi dengan kabupaten/kota karena tidak memiliki hubungan hierarki antar pemerintahan. Pemerintah provinsi kehilangan perannya sebagai intermediate government (perantara pemerintahan) dan pemerintah kabupaten/kota mengabaikan pemerintah provinsi. Ada peluang agar pemerintah kabupaten/kota dapat mendukung program BAHTERAMAS yakni melalui komunikasi dan konsolidasi yang lebih intensif. Namun warna politik memberi kontribusi untuk menghambat upaya kordinatif tersebut. Pada saat program BAHTERAMAS mulai dilaksanakan dan mulai dianggarkan dalam APBD, konfigurasi partai politik Bupati/Walikota didominasi oleh Partai Golkar, PPP, dan PDI Perjuangan. Sementara itu, Nur Alam (Gubernur Sultra) adalah Ketua DPW PAN Provinsi Sultra. Adanya perbedaan partai politik ini diduga menjadi salah satu hambatan bagi Nur Alam-Saleh Lasata dalam membangun komunikasi dalam implementasi program BAHTERAMAS di Kabupaten/Kota. Ada kekhawatiran para bupati/walikota bahwa jika mendukung program BAHTERAMAS dengan kebijakan maka secara tidak langsung akan membesarkan PAN dan kesuksesan rezim permerintahan Nur Alam-Saleh Lasata. Kelemahan ini mulai disadari oleh Nur Alam dengan melakukan konsolidasi dan ekspansi politik PAN dalam pemilukada Kabupaten/Kota untuk mengusung kader atau non kader partai merebut kekuasaan eksekutif (Bupati/ Walikota). Hasilnya, sampai tahun 2011 ini PAN telah memiliki 2 bupati (Buton Utara dan Bombana), 1 Walikota (Kendari), dan 1 Wakil Bupati (Kolaka) serta menjadi partai pengusung untuk Bupati terpilih (Muna dan Wakatobi).
152
YPSHK - TIFA
Kedermawanan Semu
Audit Sosial Program Bahteramas
Pengelolaan yang tidak efektif juga disebabkan oleh jaminan regulasi secara holistik yang mengatur implementasi program BAHTERAMAS di kabupaten/kota belum ada. Ada beberapa regulasi “parsial” berupa Peraturan Gubernur (Pergub) yang berkaitan dengan program BAHTERAMAS yaitu: (a) Peraturan Gubernur Sultra No. 41/2009 tentang Program Pembebasan Biaya Pengobatan; (2) Peraturan Gubernur Sultra tentang tentang Pembebasan Biaya Operasional Pendidikan untuk Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah. Regulasi parsial berupa pergub ini tidak memilik kekuatan hukum untuk “memaksa” bupati/walikota untuk melaksanakan dan menyukseskan program ini. Sementara itu, pembuatan regulasi holistik misalnya peraturan daerah sangat tidak dimungkinkan karena menurut anggota DPRD Sultra, program BAHTERAMAS ini hanya sebuah “KEGIATAN” yang tidak mungkin di buat Perda. Bercermin pada kasus serupa di Provinsi Sulawesi Selatan, untuk melaksanakan program Visi Misi Gubernur terpilih Yasin Limpo yang tertuang dalam RPJMD di kabupaten/kota, maka dibuat regulasi dalam bentuk Momerandum Of Understanding (MOU) antara pemerintah provinsi dan kabupaten/kota. Ada sharing dana yang disepakati oleh Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota untuk menanggung dana pendidikan dan kesehatan, misalnya 40% dialokasikan oleh Pemererintah Provinsi dan 60 % di tanggung oleh Pemerintah Kabupaten/Kota.
153
YPSHK - TIFA
Kedermawanan Semu
Audit Sosial Program Bahteramas
Pembelajaran & Rekomendasi Implementasi Program BAHTERAMAS belum berjalan secara maksimal dalam konteks tata kelola (governance) selama kurun waktu tahun 2008-2010. Tata kelola merupakan suatu kondisi yang menjamin adanya proses kesejajaran, kesamaan, kohesi, dan keseimbangan peran, serta adanya saling mengontrol yang dilakukan oleh komponen terkait. Sulistyani (2004) memberi contoh bahwa UNDP (United Nations Development Program) mendeskripsikan adanya 6 indikator untuk kesuksesan tata kelola yang baik yaitu: (1) mengikutsertakan semua; (2) transparan dan bertanggung jawab; (3) efektif dan adil; (4) menjamin supremasi hukum; (5) menjamin bahwa prioritas politik, sosial, dan ekonomi didasarkan pada konsensus masyarakat; dan (6) memperhatikan yang paling lemah dalam pengambilan keputusan. Fenomena tidak optimalnya tata kelola program BAHTERAMAS terutama program bantuan dana (Block Grant) mendorong pemikiran beberapa stakeholder dalam Evaluasi Program BAHTERAMAS Bersama Komunitas agar ke depan program BAHTERAMAS perlu dintegrasikan dengan program pemberdayaan sejenis (PNPM) Mandiri dan atau pengelolaan block grant dapat mengikuti konsep PNPM Mandiri dengan basis perencanaan dan pertanggung jawaban dari masyarakat. Kewajiban negara melalui Pemerintah Propinsi Sulawesi Tenggara untuk memenuhi hak ekonomi dan sosial budaya (kesehatan dan pendidikan). Ketika terjadi suatu permasalahan, pemerintah harus segera mengambil langkah-langkah dan tindakan yang layak, termasuk tindakan legislasi. Pemerintahpun dituntut untuk segera merealisasi secara progresif atas hak tersebut. Hal itu bisa 154
YPSHK - TIFA
Kedermawanan Semu
Audit Sosial Program Bahteramas
dilakukan dengan mengupayakan sampai batas maksimum dari sumberdaya yang tersedia. Pemerintah mempunyai tugas khusus berkaitan dengan kewajiban mengenai tindakan (obligation of conduct). Pemerintah harus melakukan tindakan yang diperhitungkan dengan cermat demi dipenuhinya hak dasar. Pemerintah juga mempunyai kewajiban mengenai hasil (obligation of result), yaitu mampu mencapai target tertentu guna memenuhi standar subtansif secara terinci. Selain itu, Pemerintah mempunyai kewajiban dasar minimum (minimum core obligation). Negara harus menjamin terpenuhinya tingkat esensial minimum atas hak dasar. Hal itu harus dilakukan sesegra mungkin dan tidak boleh melakukan penundaan atas terpenuhinya hak tersebut. Misalnya pemenuhan hak masyarakat atas pendidikan dan kesehatan (Palupi, 2008, Bahagijo 2007). Kini, sudah hampir empat tahun, program BAHTERAMAS ini berjalan. Ke depan, sejauhmana dampak sosial dan ekonomi dari program ini bagi masyarakat mesti terus dievaluasi melalui pendekatan audit sosial. Audit sosial terhadap program BAHTERAMAS ini adalah bentuk kepedulian masyarakat (society sense) untuk melakukan studi dan advokasi terhadap kebijakankebijakan pemerintah di Sulawesi Tenggara yang menyangkut hak dan kewajiban masyarakat (publik). Audit sosial ini menyarankan beberapa rekomendasi guna mencapai tujuan kebijakan yang telah ditempuh oleh Pemerintah Provinsi Sulawesi Tenggara. Rekomendasirekomendasi dari hasil audit sosial ini adalah: a) Pemerintah Provinsi Sulawesi Tenggara perlu membuat regulasi tentang pelaksanaan Tri Pilar Program BAHTERAMAS yang subtansinya harus memuat bagaimana mekanisme program yang harus melibatkan masyarakat mulai dari pelaksanaan 155
YPSHK - TIFA
Kedermawanan Semu
Audit Sosial Program Bahteramas
sampai ke tingkat pengawasan. b) Perbaikan Petunjuk Teknis Operasional (PTO) yang mengatur secara detail prinsip-prinsip dan mekanisme kerja, serta pertanggungjawaban program. c) Momerandum Of Understanding (MOU) antara Pemerintah Provinsi Sulawesi Tenggara dengan seluruh Pemerintah Kabupaten/Kota mengenai fungsi dan tanggungjawab masing-masing. d) Penambahan quota Pembebasan Biaya Pengobatan (PBP) BAHTERAMAS. e) Pemerintah Provinsi Sulawesi Tenggara selayaknya memberikan penjelasan kepada publik melalui media tentang sumber dana program BAHTERAMAS dan rincian perhitungan anggaran yang digunakan. f) Peningkatan kapasitas pengelola blok grant dalam bentuk pelatihan dan diskusi reguler. g) Pelibatan masyarakat, pemuda kelompok termajinalkan, dan kelompok perempuan dalam pengelolaan program BAHTERAMAS. h) Pendekatan pemanfaatan dana block grant harus berbasis potensi sumberdaya desa/kelurahan dan Alokasi dana block grant perdesa dialokasikan secara proporsional berdasarkan rencana kebutuhan desa/kelurahan.
156
YPSHK - TIFA
Kedermawanan Semu
Audit Sosial Program Bahteramas
Galeri Foto Kegiatan
157
YPSHK - TIFA
Kedermawanan Semu
Audit Sosial Program Bahteramas
Assesment Kota Kendari (Musrembang di Kel.Petoaha Kec.Abeli)
Antusias Peserta Assesment Kota Kendari
158
YPSHK - TIFA
Kedermawanan Semu
Audit Sosial Program Bahteramas
Assesment Kabupaten Kolaka
Assesment Kabupaten Buton Utara
159
YPSHK - TIFA
Kedermawanan Semu
Audit Sosial Program Bahteramas
Diskusi Implementasi Program Bahteramas
Breefing Media Audit Sosial Program Bahteramas
160
YPSHK - TIFA
Kedermawanan Semu
Audit Sosial Program Bahteramas
Hearing dengan DPRD Prop. Sultra
Lokalatih Audit Sosial Program Bahteramas
161
Kedermawanan Semu
YPSHK - TIFA
Audit Sosial Program Bahteramas
Evaluasi bersama Komunitas Program
Audit Sosial Bahteramas
Seminar Hasil Audit Sosial Program Bahteramas
162
YPSHK - TIFA
Kedermawanan Semu
Audit Sosial Program Bahteramas
Tentang Penulis/Penyusun
163
YPSHK - TIFA
Kedermawanan Semu
Audit Sosial Program Bahteramas
Supriadin Lahir di Jakarta pada tanggal 27 Pebruari 1976, selanjutnya menamatkan Sekolah Dasar di SDN Onewila Kecamatan ranomeeto, SMPN Ranomeeto dan SMAN Angkasa. Pada tahun 2000 menamatkan Sarjana Pertanian di Fakultas Pertanian Universitas Haluoleo. Hidup dalam keluarga sederhana, menjadikan Supriadin kecil telah diajar mandiri sejak umur belia. Selaras dengan kemandirian yang diajarkan oleh kedua orang tuanya, yaitu Abdul Latif dan Nariyah, Supriadin tumbuh menjadi aktivis NGO dan juga menggeluti dunia wirausaha. Aktif menjalankan beberapa program dibawah Yayasan Pengembangan Studi Hukum dan Kebijakan (YPSHK) Sultra, memprakarsai dan mendirikan beberapa lembaga yang konsern dalam mendorong terwujudnya pemerintahan yang bersih dan berwibawa. Aktif menulis artikel di beberapa media, dan menjadi peneliti, khususnya untuk perbaikan perencanaan, kebijakan, anggaran dan layanan publik.
Irfan Ido, SP. M.Si. Lahir di Raha pada tanggal 16 pebruari 1975, menamatkan sekolah dasar di SDN 1 Raha, MTsN Raha, dan SMAN 1 Raha di Kabupaten Muna Sulawesi Tenggara. Pada tahun 2001 menyelesaikan pendidikan Sarjana Pertanian di Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Haluoleo di Kota Kendari. Selanjutnya, penulis menyelesaikan pendidikan pascasarjana (S2) Ilmu Perencanaan Wilayah di Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor tahun 2010. Sejak November 2011, penulis melanjutkan pendidikan program Doktoral Ilmu Pertanian di Pascasarjana Universitas Haluoleo di Kota Kendari. Penulis adalah anak terakhir dari tujuh bersaudara dari pasangan (alm) La Ode Ido dan Wa OdeFahimu. Dalam perjalanan hidup, Penulis berusaha melawan stigma yang telah berkembang bahwa anak terakhir (bungsu) adalah anak manja dan tidak mandiri, dan berhasil menunjukkan bahwa stigma itu tidak terjadi pada semua orang. Tahun 2008, penulis menikahi Asyriani, S.Pt., M.Si. Selama menjadi mahasiswa (S1) penulis aktif di lembaga mahasiswa baik tingkat fakultas, universitas dan nasional. Pernah menjadi Ketua Umum Unit Kegiatan Seni Unhalu tahun 1999-2000 dan Koordinator Nasional BPMN Ikatan Senat mahasiswa Pertanian Indonesia tahun 1999-2001. Tahun 2002, bermodalkan kemampuan membaca puisi dan orasi penulis serta tentu saja kemampaun akademik, poenulis memutuskan untuk mengabdi ke dunia kampus (akademik). Pengabdian membuahkan hasil dengan diangkat sebagai Dosen Tetap pada Jurusan Agribisnis Faperta Universitas Haluoleo
164
YPSHK - TIFA
Kedermawanan Semu
Audit Sosial Program Bahteramas
sejak tahun januari 2005 sampai sekarang. Disamping berprofesi sebagai dosen, penulis juga aktif di dunia NGO baik dalam diskusi maupun membantu pelaksanaan program, salah satunya Yayasan Studi Pengembangan Hukum dan Kebijakan Sulawesi Tenggara. Penulis menyukai “dunia sastra� dan dunia akademik. Dua dunia ini di padukan untuk memasuki pintu dunia kebenaran yang logis dan estetis. Aktif menulis dan membaca puisi pada berbagai even dan perlombaan. Aktif menulis karya ilmiah pada beberapa jurnal yang berhubungan dengan Tri Dharma Pergurunan Tinggi. Dan juga aktif menulis artikel dan opini pada beberapa media cetak (harian) di Sulawesi Tenggara. Penulis memiliki motto hidup: mengalir seperti air untuk kehidupan manusia!!!
Desi Fajariana Merupakan putri ke-3 dari 3 bersaudara dari bapak Mohammad Shaleh dan Siti Chotimah, Lahir di kota kecil di Jawa timur, yaitu Situbondo, pada hari rabu tanggal 27 Desember 1978. Selain Situbondo sebagai kota penghasil gula, juga dikenal sebagai kota santri yang memberikan kesempatan pada setiap anak untuk dapat mengemyam mendidikan informal. Setelah lulus dari pendidikan formal di SMUN 1 situbondo, melanjutkan pendidikan di Fakultas pertanian, jurusan hortikultura universitas Brawijaya Malang. Semasa mahasiswa aktif dalam berbagai organisasi dan kegiatan kemahasiswaan baik tingkat local, regional maupun internasional. Disini banyak membuka wawasan, jaringan dan pengalaman tentang bagaimana kondisi social masyarakat, bagaimana berintegrasi dengan masyarakat dan bagaimana mengelola sebuah jaringan sosial. Tahun 2005, berimigrasi ke Sulawesi Tenggara tepatnya di Kota kendari. Di Kota inilah mulai bergabung dengan NGO yang dimulai dari Aliansi Perempuan (ALPEN) Sultra. Disini banyak belajar tentang bagaimana advokasi terhadap Hak-hak Perempuan khususnya membela serta memperjuangkan hak-hak perempuan, menghapus segala bentuk kekerasan, diskriminasi dan eksploitasi terhadap perempuan. Adapun kegiatan yang pernah diikuti yaitu sebagai pendamping dalam program “Perempuan dan Hutan�, dimana program ini bertujuan untuk menginisiasi peran perempuan dalam pelestarian SDA dengan lokasi Konawe Selatan, selain itu juga aktif sebagai assisten pendamping advokasi untuk inisiasi Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) dengan membentuk Jaringan Perempuan Usaha Kecil (JARPUK) dengan bidang usaha abon ikan, krupuk ikan dan pedagang informal. Sejak tahun 2006, bergabung di Yayasan Pengembangan Studi Hukum dan Kebijakan (YPSHK) Sultra untuk staf keuangan, aktif terlibat dalam beberapa survey serta aktif dalam pengelolaan program yang terkait untuk mewujudkan gerakan pengawasan pembangunan berbasis komunitas yang memiliki akses dan kontrol, menghormati HAM, Hukum dan Pluralisme.
165
YPSHK - TIFA
Kedermawanan Semu
Audit Sosial Program Bahteramas
Yusuf Tallamma Lahir di Nanggala pada tanggal 23 Oktober. Menempuh Pendidikan Dasar dan menengah di SD Wundulako, SMP Wundulako dan SPP/SPMA Wawotobi. Tahun 2002 menamatkan kuliah di Fakultas Pertanian Universitas Haluoleo Kendari. Selama mahasiswa aktif berorganisasi baik di lembaga eksternal maupun internal kampus diantaranya Mantan Wakil Ketua SMPT Unhalu, Mantan Ketum HIMAGRO Faperta Unhalu, Pengurus HMI Cab. Kendari dan WALHI Sultra. Selain itu ikut mendirikan beberapa LSM seperti LBH Kendari dan YPSHK Sultra. Selain berorganisasi, juga seringkali menulis beberapa artikel di media cetak lokal serta menulis beberapa panduan maupun hasil penelitian diantaranya sistem pertanian tradisional masyarakat Moronene di HukaEa-LaEa, dampak perkebunan sawit PTPN XIV terhadap masyarakat Asera Konawe Utara, respon masyarakat terhadap alih fungsi Pulau Bahubulu Lasolo menjadi kawasan pertambangan PT. Antam Tbk, panduan monitoring anggaran serta panduan monitoring dan advokasi pengadaan barang dan jasa.
Joss Hasrul Joss Hasrul lahir di Kendari 35 tahun silam. Tepatnya 26 Agustus 1976. Terlahir dari pasangan (Alm) Bapak H. Muchsini P BA, ayahnya dan Sarlina Ambelino ibunya. Semenjak kecil sudah menetap di sebuah kampung kecil, Punggaluku, Konawe Selatan. Saat itu ayahnya menjadi lurah selama 12 tahun (sejak tahun 1984-1996 ), sedang ibunya bekerja sebagai PNS di Kecamatan Laiena. Hasrul adalah anak ke dua dari lima bersaudara. Seperti saudara-saudaranya yang lain Hasrul menamatkan seluruh jenjang pendidikan dasar hingga menengah di Punggaluku. Sekolah dasar diselesaikan di SD Negeri 1 Punggaluku dan melanjutkan ke SMP Negeri Ambesea hingga tamat. Kemudian masuk ke SMA Negeri Lainea hingga tamat di tahun 1991. Setamat dari sekolah menengah umum kemudian Hasrul melanjutkan kuliah di Universitas Haluoleo (Unhalu) dan menamatkan di jenjang sarjana muda teknik Unhalu sambil terlibat dalam organisasi pers mahasiswa dan organisasi pencinta alam. Dalam proses selanjutnya, usai menamatkan diri bangku kuliah, Hasrul mulai bekerja secara profesional sebagai seorang wartawan. Tercatat sejumlah media massa pernah disumbangkan buah pikirannya dalam bentuk artikel diantaranya bekerja di Tabloid Pro Demokrasi Tahun 1997-1999, bekerja di Koran Harian Kendari Ekspres tahun 1999 – 2004, menjadi Koresponden Media Luar Negeri Van Zorge (Media Report Belanda) 2006-2007 dan Harian The
166
YPSHK - TIFA
Kedermawanan Semu
Audit Sosial Program Bahteramas
Jakarta Post tahun 2004-2007. Dan terakhir bekerja sebagai Koreponden Trans TV wilayah Sulawesi Tenggara hingga kini. Selanjutnya mendirikan sejumlah media alternatif berupa Koran mingguan altenatif �JEJAk� dan Radio Komunitas Green News yang kini beroperasi di Konawe Selatan. Tak hanya bekerja profesional sebagai wartawan, Hasrul juga terlibat dalam kegiatan organisasi kemasyarakatan diantaranya sebagai Direktur Lembaga Studi Pers Sulawesi Tenggara (LSP SUltra), Koordinator Green Press (Perkumpulan Wartawan Lingkungan), dan Koordinator Regional Information Comunication (RIC) se Sulawesi untuk Sektor Kehutanan. Juga terlibat dalam inisiasi advokasi rakyat dengan koalisi berbagai LSM di Kendari untuk isu-isu pelanggaran HAM dan demokratisasi. Pada kurun tahun 2005 -2006, bersama elemen LSM dan kelompok tani pelestari hutan ikut ambil bagian dalam mendorong lahirnya produk peraturan daerah yakni Peraturan Daerah (Perda) Pengelolaan Sumber Daya Alam (PSDA) dan kehutanan berbasis masyarakat serta mendorong lahirnya Perda Tahura Nipa-nipa dan Popalia di Kota Kendari. Serta menjadi mediator komunikasi informasi media pada pengelolaan hutan rakyat (Social Forestry) di Konawe Selatan yang tergabung dalam Jaringan untuk Hutan dan Koperasi Hutan Jaya Lestari (KHJL) Dalam aktifitas sosial politik dan partispasi pada daerah Hasrul bersama elemen pemuda dan tokoh masyarakat di Kabupaten Konawe Selatan menjadi salah satu penggagas lahirnya aspirasi pemekaran daerah Konawe Selatan menjadi daerah otonom. Dan ditunjuk menjadi tim nenilai dan perumus Logo daerah Konawe Selatan mewakili unsur Pers.
St.Fatimah (Fetty) Lahir di Kolaka, 26 Juli 1979 anak ke lima dari delapan bersaudara dari pasangan (Alm) H.Baedjuri dan Hj.Pahisah.Tamat SDN 3 Laloeha Kolaka tahun 1991, MTsN Kolaka tahun 1994, SMU 1 Kolaka tahun 1997 dan menyelesaikan Strata 1 di Universitas Kaluoleo pada tahun 2005. Selama di perkuliahan aktiv di organisasi pencinta alam ( MAHACALA UNHALU). Sebelum bergabung di YPSHK tahun 2010,aktif di LePMIL selama 3 tahun sebagai fasilitator dan pendampingan terhadap kelompok tani yang membuka lahan perkebunan di kawasan Tahura Murhum. Di Lembaga YPSHK terlibat dalam program audit social program Bahteramas untuk wilayah Kab. Kolaka (Desa Towua dan Desa Puubunga) di mana dalam program tersebut aktif dalam melakukan pendampingan untuk melihat dampak dan manfaat dari 3 pilar program Bahteramas (Block Grant, Bantuan Operasional Pendidikan , dan Pembebasab Biaya Pengobatan). Program Bahteramas merupakan program dari pemerintah provinsi Sulawesi tenggara.
167
YPSHK - TIFA
Kedermawanan Semu
Audit Sosial Program Bahteramas
St Hermin Tahir Lahir di Raha, 11 Juli 1981 anak dari Bapak Muh Tahir K dan Ibu Hj Habasiah merupakan anak pertama dari empat bersaudara. Tamat SD No 6 Raha tahun 1993, SMP 1 Raha tahun 1996, SMU 1 tahun 1999 dan menyelesaikan Strata 1 Universitas Haluoleo pada tahun 2004. bergabung di lembaga YPSHK sejak tahun 2008 yang sebelumnya pernah bekerja di Walhi Sultra selama 3 tahun. Selama di YPSHK aktif dalam menjalankan program advokasi tentang pendidikan dan kesehatan, terakhir terlibat dalam program audit social program Bahtramas yang dilakukan oleh YPSHK dan TIFA,dalam program tersebut aktif dalam melakukan dampingan untuk melihat dampak dan manfaat dari 3 pilar program bahtramas ( blok grant, BOP dan PBP) yang dikeluarkan oleh pemerintah Provinsi Sultra.
Abdul Haris Lahir di Lasora, 19 Agustus 1984 anak dari Bapak Abdul Hafid dan Ibu Waode Mohiza (Alm) merupakan anak ke enam dari enam bersaudara. Tamat SD Lasora tahun 1997, SMP 1Kulisusu tahun 2000, SMU 1 kulisusu tahun 2003, dan menyelesaikan Strata 1 Universitas Haluoleo pada tahun 2008. bergabung di lembaga YPSHK sejak tahun 2011. Selama di YPSHK aktif dalam menjalankan program advokasi tentang pendidikan dan kesehatan, terlibat dalam program audit social program Bahteramas yang dilakukan oleh YPSHK dan TIFA,dalam program tersebut aktif melakukan pendampingan untuk melihat dampak dan manfaat dari 3 pilar program bahtramas ( blok grant, BOP dan PBP) yang dikeluarkan oleh pemerintah provinsi sultra.
168
YPSHK - TIFA
Kedermawanan Semu
Audit Sosial Program Bahteramas
169
YPSHK - TIFA
Kedermawanan Semu
Audit Sosial Program Bahteramas
Daftar Pustaka Bahagijo, Sugeng. 2007. Ketidakmauan atau ketidakmapuan: Memikirkan Indikator bagi Pemenuhan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya. Makalah. Colletta, Nat J dan Umar Kayam. 1987. Kebudayaan dan Pembangunan. Yayasan Obor Indonesia. FAO. 1991. Participatory Monitoring and Evalution. RAPA Bangkok – Thailand. 51pp. Muljono, P., dkk, 2007. Pengembangan Sistem Audit Sosial untuk Mengevaluasi Kinerja Layanan Pemberdayaan Sosial. Sodalitiy: Jurnal Transdisiplin Sosiologi, Komunikasi dan Ekologi Manusia. Vol. 01, No. 03. IPB Bogor. Palupi, Sri, 2008. Problem dan Tantangan dalam Akses Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya. Makalah Sulistyani. A. T. (Editor), 2004. Memahami Good Governance dalam Perspektif Sumberdaya Manusia. Penerbit Gava Media. Yogyakarta Sumardi, Mulyanto dan Hans Dieter Evers. 1982. Kemiskinan dan Kebutuhan Pokok. CV. Rajawali dan YIIS. Jakarta. Suryadi dkk, 2008 Pendekatan Berbasis Hak dalam Strategi Penanggulangan Kemiskinan (Makalah). Undang-undang Republik Indonesia Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Undang Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2005 tantang Ratifikasi Konvenan Ekonomi, Sosial, Budaya.
YPSHK - TIFA
Kedermawanan Semu
Audit Sosial Program Bahteramas
YPSHK - TIFA
Kedermawanan Semu
Audit Sosial Program Bahteramas
“…. Menurut pemberitaan Koran, katanya Block Grant telah dimanfaatkan untuk membangun sarana dan prasarana di desa ya,…????” “…. Block Grant,..??? Kepala Desa Saja yang tau itu,… sebagai masyarakat kita tidak pernah diajak untuk membicarkan Block Grant itu”, “…. Lah itu kantor dan balai desa kelihatannya baru dibangun,… mungkin itu yang dihitung dalam pemecahan rekor MURI juga,…?? “…. Enak saja,… Balai dan kantor desa itu sudah ada sejak lama,… kalau pengecatannya mungkin bisa diklaim sebagai hasil kerjannya Blockgrant,.. itu juga tumpang tindih dengan ADD ataupun PNPM,…. Coba tanya,.. yang mana yang dikerja PNPM atau ADD,… pasti yang itu juga yang ditunjuk,….. pengawasannya kacau ini boss,… kelihatan sekali kalau program asal jadi,….” (wawancara dengan Daniel, tokoh masyarakat di Kabupaten Buton Utara)