ANALISIS KEBERPIHAKAN KEBIJAKAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH TERHADAP WARGA MISKIN, KESETARAAN GENDER DAN PENERAPAN PRINSIP-PRINSIP GOOD GOVERNANCE
Ditulis oleh: Yenti Nurhidayat
Working Paper Seri Pengelolaan Keuangan Daerah no. 1
SANGGAR, Jaringan Untuk Demokrasi, Hak-Hak Publik dan Keadilan Sosial 2008
PENGANTAR Meskipun masih memiliki banyak kelemahan baik dari segi persfektif, substansi maupun proses, penerapan prinsip-prinsip good governance, keberpihakan terhadap warga miskin dan kesetaraan gender telah mulai mendapat perhatian pemerintah Indonesia. Hal ini ditandai dengan dikeluarkannya instrumen hukum dan kebijakan baik dalam pengelolaan pemerintahan maupun pengelolaan keuangan di tingkat pusat dan daerah. Pada hakikatya penyelenggaraan pemerintahan ditujukan bagi terciptanya fungsi pelayanan publik (publik service). Pemerintahan yang baik cenderung menciptakan terselenggaranya fungsi pelayanan publik yang baik pula. Sebaliknya pemerintahan yang buruk mengakibatkan fungsi pelayanan publik tidak akan dapat terlenggara dengan baik. Prinsip tata kelola pemerintahan yang baik, tidak hanya terbatas pada penggunaan peraturan perundang-undangan yang berlaku, melainkan dikembangkan dengan menerapkan prinsip-prinsip penyelenggaraan pemerintahan yang baik yang tidak hanya melibatkan pemerintah atau negara (state) semata, tetapi juga melibatkan intern birokrasi maupun ekstern birokrasi. Pelaksanaan prinsip-prinsip good governance, keberpihakan terhadap warga miskin dan kesetaraan gender bukan semata-mata mencakup relasi dalam pemerintahan saja akan tetapi juga mencakup relasi sinergis antara pasar, pemerintah dan masyarakat sipil. Jajaran kesejajaran ini mengandung arti akan pentingnya redefinisi peran dan hubungan ketiga institusi ini dalam pengelolaan sumber daya ekonomi, politik dan kebudayaan yang tersedia dalam masyarakat. Tulisan ini akan mencoba melihat sejauh mana keberpihakan kebijakan pengelolaan keuangan daerah terhadap warga miskin, kesetaraan gender dan penerapan prinsipprinsip good governance. Tulisan ini juga mencoba menegaskan bahwa nilai-nilai good governance, keberpihakan terhadap warga miskin dan kesetaraan gender akan tercermin dari pendekatan pembangunan yang meletakkan rakyat sebagai sumber kedaulatan sekaligus sebagai pengawas penyelenggaraan negara. Good Governance, keberpihakan terhadap warga miskin dan kesetaraan gender mensyaratkan adanya ruang bagi masyarakat untuk bisa terlibat dalam proses-proses pembangunan. Keterlibatan masyarakat ini membutuhkan transparansi atau keterbukaan informasi dari penyelenggara negara. Dengan keterbukaan ini kontrol sosial dan kontrol politik akan lebih terjamin. Ruang ini akan menjadi bangunan komunikasi bagi masyarakat dengan penyelenggara negara dalam proses pembangunan. Dengan adanya komunikasi dua arah, maka diharapkan tujuan negara seperti yang tercantum dalam pembukaan undang-undang dasar 1945 akan terwujud.
2
DAFTAR ISI PENGANTAR PENDAHULUAN o o o o o
Pengelolaan Daerah Dalam Konteks Desentralisasi di Indonesia Ruang Lingkup Pengelolaan Keuangan Daerah Pemetaan Aktor dan Proses Pengelolaan Keuangan Daerah Aspek Penting Dalam Pengelolaan Keuangan Daerah Kerangka Hukum Kebijakan di Indonesia
ANALISIS KEBERPIHAKAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH TERHADAP WARGA MISKIN, KESETARAAN GENDER DAN PENERAPAN PRINSIP-PRINSIP GOOD GOVERNANCE o o o o
Aspek Kunci Analisis Analisis Persfektif Pro Poor Dalam Pengelolaan Keuangan Daerah Analisis Persfektif Kesetaraan Gender Dalam Pengelolaan Keuangan Daerah Analisis Penerapan Prinsip Good Governance Dalam Pengelolaan Keuangan daerah
REKOMENDASI DAFTAR PUSTAKA CATATAN KAKI
3
PENDAHULUAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH DALAM KONTEKS DESENTRALISASI DI INDONESIA
Tahun 1999 membawa perubahan yang mendasar bagi sistim pemerintahan di Indonesia. Di tahun ini dikeluarkan 2 (dua) undang-undang yaitu Undang-Undang No 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang No.25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah. Kedua undang-undang ini kemudian telah merubah wajah pemerintahan di Indonesia dari semula yang bersifat sentralistik menjadi desentralistik. Selanjutnya kemudian pada tahun 2004 kedua undang-undang ini direvisi menjadi Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 dan UndangUndang No. 33 Tahun 2004. Namun sejak dimulainya kebijakan mengenai Desentralisasi ini, muncul satu keraguan besar tentang kesiapan Pemerintah Daerah dalam mengelola sistim pemerintahannya termasuk dalam mengelola keuangan daerahnya. Selama puluhan tahun, Pemerintah Daerah terbiasa hanya menjadi pelaksana teknis dari seluruh kebijakan pembangunan yang dirancang Pemerintah Pusat, kini diberi keleluasaan untuk merencanakan, mengatur dan melaksanakan sendiri proses pembangunan di daerahnya dengan hitungan dana yang tidak sedikit. Apakah Pemerintah Daerah mampu tetap bersikap ‘waras’ dengan besarnya kekuasaan dan besarnya uang yang dikelola?. Disisi lain, desentralisasi ini juga membuka peluang keterlibatan masyarakat yang lebih besar dalam setiap tahapan proses pembangunan. Dalam berbagai teori, desentralisasi dipercaya dapat mendekatkan pemerintah kepada rakyatnya (Meagher; 1999). Lebih jauh Ostrom, Schroeder, and Wynne (1993) menyebutkan bahwa dalam masyarakat yang majemuk secara etnis, regional, agama, dan sejarah- desentralisasi dipercaya dapat menghilangkan kendala dalam pengambilan keputusan, penerimaan publik atas keputusan pemerintah, dan memfasilitasi tindakan dan kerja sama kolektif. Ini terjadi karena kepercayaan yang besar, tindakan kolektif, dan keputusan yang memiliki legitimasi akan diperoleh dalam lingkungan yang lebih homogen. Dalam lingkungan yang benar –misalnya dalam situasi pemerintah transparan dan masyarakat sipil memiliki keleluasaan untuk beroperasi- desentralisasi akan meningkatkan akuntabilitas pegawai pemerintah dan mencegah berbagai bentuk korupsi. Desentralisasi dapat mendorong akuntabilitas dan mengurangi korupsi dalam pemerintahan karena pemerintah lokal lebih dekat dengan warganya, sehingga warga akan lebih hirau dengan tindakan pemerintah daerah. Sebagai dampak dari persaingan antar pemerintah daerah dalam menyediakan barang publik, akan mendorong disiplin dari aparatur pemerintah daerah, karena warga dapat memilih pelayanan publik yang lain. Pertanyaannya kemudian apakah instrumen hukum dan kebijakan yang menyertai kedua undang-undang diatas sudah cukup berpihak terhadap hak-hak publik ini.
4
RUANG LINGKUP PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH Desentralisasi merupakan bentuk pelimpahan kekuasaan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah secara otonom. Akan tetapi tidak semua urusan kemudian dilimpahkan kepada pemerintah daerah. Ada 6 (enam) hal yang tetap menjadi urusan pemerintah pusat : 1) politik luar negeri, 2) pertahanan, 3) keamanan, 4) Yustisi, 5) moneter dan fiskal nasional, dan 6) agama1. Sementara pemerintah daerah diberi kewenangan untuk menyelenggarakan semua urusan di tingkat daerah berdasarkan kriteria yang ditetapkan yang terdiri dari urusan wajib dan urusan pilihan. Pemerintah daerah sendiri dibagi atas dua yaitu pemerintah daerah propinsi yang secara garis hierarki merupakan wakil pemerintah pusat di daerah dan pemerintah daerah kabupaten dan kota yang bersifat otonom. Dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan di tingkat daerah ini terdapat sedikit perbedaan antara pemerintah propinsi dan pemerintah kabupaten-kota. Pemerintah daerah tingkat kabupaten-kota dapat secara otonom menyelenggarakan semua urusan yang didesentralisasikan kepada mereka selama berada dalam wilayah pemerintahannya sementara pemerintah propinsi baru memiliki kewenangan apabila sudah merupakan urusan yang melibatkan antar wilayah kabupaten-kota. Hal ini di satu sisi melemahkan peran pemerintah propinsi karena mereka tidak dapat terlibat lebih jauh dalam mempengaruhi kebijakan di tingkat kabupaten-kota. Urusan yang menjadi kewenangan pemerintah daerah meliputiç 1. Urusan wajib o
Perencanaan dan pengendalian pembangunan
o
Perencanaan, pemanfaatan dan pengawasan tata ruang
o
Penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat
o
Penyediaan sarana dan prasarana umum
o
Penanganan bidang kesehatan
o
Penyelenggaraan pendidikan dan alokasi sumberdaya manusia potensial
o
Penanggulangan masalah sosial
o
Pelayanan bidang ketenagakerjaan
o
Fasilitas pengembangan koperasi, usaha kecil dan menegah
o
Pengendalian lingkungan hidup
o
Pelayanan pertanahan
o
Pelayanan kependudukan dan catatan sipil
o
Pelayanan administrasi umum dan pemerintahan
o
Pelayanan administrasi penanaman modal
o
Penyelenggaraan kelayanan dasar lainnya
o
Urusan wajib lain yang diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan
5
2) Urusan pilihan merupakan urusan pemerintahan yang secara nyata ada dan berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan dan potensi unggulan daerah yang bersangkutan2 Pelimpahan urusan-urusan ini disertai dengan pelimpahan sumber pendanaan, pengalihan sarana dan prasarana, serta kepegawaian sesuai dengan urusan yang didesentralisasikan3. Dan inilah sebabnya pengelolaan keuangan daerah menjadi unsur yang sangat penting dalam pengelolaan pemerintahan daerah. Di dalam UU No. 33/2004, Keuangan Daerah merupakan semua hak dan kewajiban daerah dalam rangka penyelenggaraan pemerintah daerah yang dapat dinilai dengan uang termasuk di dalamnya segala bentuk kekayaan yang berhubungan dengan hak dan kewajiban daerah tersebut. Selanjutnya Pengelolaan Keuangan Daerah didefinisikan sebagai keseluruhan kegiatan yang meliputi perencanaan, pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan, pertanggungjawaban dan pengawasan keuangan daerah. Dalam undang-undang ini juga disebutkan bahwa ruang lingkup pengelolaan keuangan daerah meliputi: 1. hak daerah untuk memungut pajak dan retribusi daerah serta melakukan pinjaman 2. kewajiban daerah untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan daerah dan membayar tagihan pihak ketiga 3. penerimaan daerah 4. pengeluaran daerah 5. kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang, serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekeyaan yang dipisahkan pada perusahaan daerah 6. kekayaan pihak lain yang dikuasai oleh pemerintah daerah dalam rangka penyelenggaraan tugas pemerintahan daerah dan/atau kepentingan umum 4 Hak dan kewajiban daerah inilah yang kemudian dijabarkan dalam bentuk pendapatan, belanja dan pembiayaan daerah yang dikelola dalam sistem pengelolaan keuangan daerah.
ASPEK PENTING DALAM PENGELOLAAN KEUANGAN DAEARH Di dalam konteks pengelolaan keuangan daerah, di dalam Permendagri No. 13 Tahun 2004 terdapat 4 (empat) aspek penting dalam pengelolaan keuangan daerah. 1. Aspek Yuridis yang meliputi: • secara tertib; dengan pengertian bahwa keuangan daerah harus dikelola secara tepat waktu dan tepat guna yang didukung dengan bukti-bukti administrasi yang dapat dipertanggungjawabkan • taat pada peraturan peundang-undangan; dengan pengertian bahwa pengelolaan kuangan daerah harus mengacu pada peraturan perundangundangan yang berlaku, 2. Aspek Ekonomis yang meliputi : • efektif; dengan pengertian bahwa pencapaian hasil program harus sesuai atau sebanding dengan target yang telah ditentukan,
6
•
efisien; dengan pengertian bahwa dengan penggunaan masukan terendah dapat menghasilkan keluaran yang maksimum, • ekonomis; dengan pengertian dengan tingkat harga terendah dapat menghasilkan masukan dengan kualitas dan kuantitas tertinggi, 3. Aspek good governance yang meliputi : • transparan dengan pengertian pengelolaan keuagan daerah harus menerapkan prinsip keterbukaan yang memungkinkan masyarakat untuk mengetahui dan mendapat akses informasi seluas-luasnya tentang keuangan daerah, • bertanggungjawab; dengan pengertian bahwa pemerintah daerah sebagai pengelola keuangan daerah harus mampu mempertanggungjawabkan pengelolaan dan pengendalian sumber daya dan pelaksanaan kebijakan yang dipercayakan kepadanya dalam rangka pencapaian tujuan yang ditetapkan, 4. Aspek Filosofis yang meliputi : • berkeadilan dengan pengertian bahwa pengelolaan keuangan daerah harus didasarkan pada keseimbangan distribusi kewenangan dan pendanaan dan atau keseimbangan distribusi hak dan kewajiban berdasarkan pertimbangan yang objektif, • kepatutan dengan pengertian bahwa pengelolaan keuangan daerah harus dilakukan berdasarkan tindakan atau suatu sikap yang dilakukan dengan wajar dan proporsional, • manfaat dengan pengetian bahwa pengelolaan keuangan daerah harus dilakukan dengan mengutamakan untuk pemenuhan kebutuhan masyarakat5 Secara umum ada beberapa aspek penting yang harus menjadi acuan dalam kebijakan pengelolaan keuangan daerah. Aspek ini menjadi penting untuk menjamin terwujudnya pengelolaan keuangan daerah yang lebih berkeadilan, dalam rangka mewujudkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat sebagaimana amanah pasal 23 dari konstitusi negara Republik Indonesia. Aspek ini meliputi:
1. Good Governance Good governance dimaknai secara terbuka dan beragam oleh banyak individu maupun Lembaga. ; Bank dunia memberi batasan Good Governance sebagai pelayanan publik yang efisien, sistem peradilan yang dapat diandalkan, serta pemerintahan yang bertanggungjawab pada publiknya. ; Komunitas Eropa merumuskannya sebagai pengelolaan kebijakan sosial ekonomi yang masuk akal, pengambilan keputusan yang demokratis, transparansi pemerintahan dan pertanggungjawaban keuangan yang memadai , penciptaan lingkungan yang bersahabat dengan pasar bagi pembangunan,
langkah-langkah untuk memerangi korupsi, penghargaan terhadap aturan hukum, penghargaan terhadap HAM, kebebasan pers dan kebebasan berekspresi. ; Sedangkan UNDP (1997) memberi pengertian Good Governance sebagai sebuah konsensus yang dicapai oleh pemerintah, warga negara dan sektor swasta bagi penyelenggaraan pemerintahan dalam sebuah negara. Hal ini merupakan sebuah dialog yang melibatkan seluruh partisipan.
7
Secara tegas UNDP mengidentifikasikan 6 karakteristik Good Governance : 1) partisipatif, 2) transparan, 3) efektif dan berkeadilan, 4) mempromosikan supremasi hukum, 5) memastikan bahwa prioritas sosial, ekonomi dan politik didasarkan pada konsensus dalam masyarakat, 6) memastikan bahwa suara penduduk miskin dan rentan didengarkan dalam pengambilan keputusan. Di Indonesia sendiri, dalam UU No.28/1999 pasal 3 dimuat tentang asas-asas penyelenggaraan pemerintahan yang baik (good governance). Meskipun kalau dilihat dari rinciannya konsep ini agak berbeda dengan konsep yang dikembangkan berbagai lembaga internasional6 Ada beberapa kondisi yang dapat dijadikan indikator dalam penerapan prinsipprinsip good governance dalam pengelolaan keuangan daerah. 1. Adanya kejelasan pembagian peran dan tanggung jawab yang meliputi: a. Pembagian peran dan tanggung jawab yang jelas antara pusat dan daerah b. Pembagian peran dan tanggung jawab yang jelas antara lembaga dan instansi pemerintahan daerah c. Pembagian peran dan tanggung jawab yang jelas antara pemerintahan daerah dengan warga. Pembagian peran dan tanggung jawab antara keseluruhan komponen ini merupakan langkah kunci untuk menerapkan prinsip-prinsip Good Governance dalam pengelolaan keuangan daerah. Dengan adanya pembagian peran dan tanggung jawab yang jelas ini maka masing-masing komponen akan memberikan dasar bagi akuntabilitas macam apa yang akan dirancang dan diimplementasikan dalam kebijakan pengelolaan keuangan yang akan disepakati. 2. Ketersediaan informasi bagi warga. Ketersediaan informasi bagi warga ini merupakan perwujudan penerapan prinsipprinsip Good Governance dalam pengelolaan keuangan daerah. Ketersediaan informasi bagi warga ini meliputi: a. Penyediaan informasi yang komprehensif tentang aktifitas pengelolaan keuangan. Warga harus dilengkapi dengan informasi penuh tentang pengelolaan keuangan baik yang telah terjadi, yang sedang berlangsung maupun tentang aktifitas keuangan proyek yang ditangani pemerintah. Informasi ini meliputi: ; Keseluruhan anggaran rutin ; Outturn dan prediksi anggaran ; Passiva, belanja pajak, perkiraan aktifitas keuangan ; Hutang dan asset ; Posisi gabungan (bagan) pemerintahan secara umum b. Kewajiban pemerintah terkait penyediaan informasi. Pemerintah harus membuat komitmen dan penjadualan dalam penyampaian informasi pengelolaan keuangan. Komitmen ini harus berupa kewajiban hukum pemerintah yang dituangkan dalam peraturan perundangan. Dan jadual penginformasian ini juga harus disebarluaskan kepada publik berikut nama contact person dari masing-masing kegiatan tersebut 3. Keterbukaan dalam proses perencanaan, pelaksanaan dan pelaporan anggaran. Keterbukaan dalam setiap proses perencanaan, pelaksanaan dan pelaporan anggaran sangat penting dalam penerapan prinsip-prinsip Good Governance.
8
Prinsip-prinsip dan kegiatan yang berkaitan dengan keterbukaan dalam setiap proses ini meliputi: a. Pendokumentasian anggaran. Pendokumentasian anggaran ini harus sesuai dengan tujuan kebijakan pengelolaan anggaran (tujuan kebijakan dan analisis keberlanjutan anggaran), kerangka kerja makroekonomi, kebijakan dasar anggaran dan dilengkapi dengan resiko-resiko utama anggaran yang teridentifikasi (termasuk varian dalam asumsi-asumsi ekonomi dan biaya-biaya yang tak terduga) b. Presentasi anggaran. Informasi tentang anggaran harus ditampilkan dalam cara yang dapat memfasilitasi analisis kebijakan dan mengedepankan akuntabilitas. Presentasi anggaran ini meliputi: ; Klasifikasi data. Data anggaran harus dilaporkan dalam bentuk gross basis, penerimaan, pengeluaran dan pembiayaan yang dibedakan dengan pengeluaran yang diklasifikasikan secara ekonomi, fungsional dan penggolongan administratif. Data tentang kegiatan extrabudgetary juga harus dilaporkan dengan cara yang sama. ; Program objectives. Pernyataan tentang tujuan yang akan dicapai oleh anggaran dalam program utama harus dinyatakan dengan jelas. ; Indikator posisi keuangan pemerintah. Keseimbangan keseluruhan dari pemerintahan yang umum harus menjadi indikator kesimpulan standar dari posisi keuangan pemerintahan. c. Mekanisme penetapan anggaran. Mekanisme penetapan anggaran, mekanisme pengawasan anggaran yang disetujui dan mekanisme pengumpulan pendapatan harus didefinisikan dengan jelas. Mekanisme ini meliputi: ; Sistem akuntansi. Sistem akuntansi yang digunakan haruslah sistem akuntansi yang komprehensif dan terintegrasi yang dapat memberikan dasar yang bisa dipercaya dalam menaksir tunggakan pembayaran. ; Usaha mendapatkan perbekalan dan penempatan tenaga kerja. Usaha ini haruslah terstandarisasi dan dapat diterima oleh semua kelompok. ; Pengawasan internal. Eksekusi anggaran haruslah diawasi secara internal dan prosedur pengawasan ini haruslah terbuka untuk ditinjau ulang. ; Administrasi pajak. Administrasi pajak nasional harus secara legal melindungi dari campur tangan politik dan dalam kegiatannya harus dilaporkan secara teratur. 4. Jaminan Integritas. Jaminan integritas ini sangatlah mendasar dalam bagi penerapan prinsip-prinsip Good Governance dalam pengelolaan keuangan daerah. Data keuangan yang dilaporkan oleh pemerintah harus sesuai dengan kriteria dasar sebagai bukti kualitas pemerintah dan kriteria ini harus dapat memberikan jaminan tentang integritas data bagi legislatif dan warga. Kriteria ini meliputi: a. Standar kualitas data. Data keuangan yang ada harus memenuhi standar kualitas data. Standar kualitas data ini meliputi: ; Data anggaran. Data anggaran ini harus merefleksikan tren pendapatan dan pengeluaran terkini atas dasar pengembangan makroekonomi dan komitmen politik yang baik. ; Dasar akuntansi. Penghitungan anggaran rutin harus mengindikasikan dasar-dasar akuntansi dan standar yang digunakan dalam mengkompilasi dan merepresentasikan data anggaran ; Jaminan kualitas data. Jaminan yang spesifik harus diberikan sebagai data keuangan yang berkualitas. Hal ini dapat terindikasi bilamana laporan
9
keuangan tersebut konsisten secara internal dan dapat dihubungkan dengan data-data terkait dari sumber lain. b. Penelitian publik. Informasi keuangan haruslah berdasarkan pada penelitian publik yang akurat. Penelitian publik yang akurat ini meliputi: ; Independens audit. Badan audit nasional atau lembaga serupa yang independen haruslah dilibatkan secara berkala untuk menyiapkan laporan bagi pengambil kebijakan dan warga tentang integritas laporan keuangan pemerintah. ; Assessment keuangan dan prediksi makroekonomi. Ahli-ahli independen harus diundang untuk melakukan penilaian terhadap prediksi makroekonomi yang mendasari prediksi keuangan dan mendasari semua asumsi lainnya. ; Integritas statistik keuangan. Sebuah lembaga statistik nasional haruslah disediakan bersamaan dengan lembaga independen lainnya untuk melakukan verifikasi kualitas data keuangan.
2. Keberpihakan Terhadap Warga Miskin Keberpihakan terhadap warga miskin merupakan aspek terpenting lainnya dalam pengelolaan keuangan daerah. Beberapa waktu belakangan ini sejumlah daerah sudah mulai mendisain kebijakan yang lebih memihak kepada warga miskin. Kemiskinan dan orang miskin bukanlah persoalan pembangunan akan tetapi merupakan persoalan pemenuhan hak asasi manusia yang merupakan kewajiban dan tanggung jawab negara untuk memenuhinya. Sehingga sangat penting untuk mengedepankan persepsi dan kepentingan kaum miskin itu sendiri dalam menilai situasi dan kondisi kemiskinan mereka dalam proses pemenuhan hak tersebut. Di dalam dokumen Strategi Nasional Penanggulangan Kemiskinan (SNPK), kemiskinan dipandang sebagai kondisi dimana seseorang atau sekelompok orang baik laki-laki maupun perempuan tidak terpenuhi hak-hak dasarnya secara layak untuk menempuh dan mengembangkan kehidupan yang bermartabat. Dari pendekatan ini ditemukan bahwa: 1) setiap manusia memiliki hak dasar sama antara laki-laki dan perempuan, 2) kemiskinan bukan hanya persoalan ekonomi semata akan tetapi lebih jauh menyangkut pemenuhan hak-hak dasar dan perlakuan yang tidak diskriminatif bagi setiap orang. Hak-hak dasar ini meliputi: hak terpenuhinya pangan, kesehatan, pendidikan, pekerjaan, perumahan, air bersih, pertanahan, sumberdaya alam dan lingkungan hidup, rasa aman dari perlakukan atau ancaman tindak kekerasan dan hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan sosial, ekonomi dan politik. Dokumen Strategi Nasional Penanggulangan Kemiskinan (SNPK) ini merupakan sebuah dokumen yang memuat tentang Strategi, Kebijakan dan Rencana Aksi untuk mempercepat pencapaian tujuan dan sasaran penanggulangan kemiskinan. Dokumen ini merupakan produk dari Komite Penanggulangan Kemiskinan yang dikoordinasikan di bawah Kementrian Koordinator Bidang Kesra, dimana secara hukum kurang kuat posisi ikatnya dibandingkan instrumen hukum dan kebijakan lainnya. Menyadari hal ini, nampaknya pihak kementrian berusaha mensiasati dengan mengintegrasikannya ke dalam dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah
10
Nasional (RPJMN) yang secara hukum harus menjadi acuan dalam penyusunan kebijakan pembangunan di tingkat daerah. Di dalam konteks pengelolaan keuangan daerah, keberpihakan terhadap warga miskin ini tercermin dari program-program, kegiatan yang disusun dan pelibatan masyarakat miskin dalam proses pengelolaan keuangan daerahnya. Keberpihakan ini lebih dikenal dengan istilah anggaran yang pro-poor. Prinsip-prinsip anggaran yang pro poor meliputi: 1. transparan, akuntabel dan partisipatif dalam setiap prosesnya 2. mengunakan prinsip keadilan anggaran (efisien, efektif, ekonomis dan equity/berkeadilan) 3. berbasiskan pada ukuran kinerja dimana setiap program, proyek, kegiatan harus mempunyai indikator yang jelas dan terukur. Untuk itu diperlukan beberapa prasyarat: 1. adanya kehendak politik yang kuat 2. adanya iklim yang mendukung 3. adanya tata pemerintahan yang baik 4. adanya pertumbuhan ekonomi yang memihak warga miskin 5. adanya rejim pemerintahan yang berkarakter memihak warga miskin
3. Kesetaraan Gender Isu tentang kesetaraan gender secara khusus mulai mendapat perhatian sekitar tahun 1994 dalam Konferensi Dunia tentang Kependudukan dan Pembangunan yang berlangsung di Kairo yang kemudian berlanjut pada tahun 1995 pada Konferensi Perempuan Sedunia di Beijing. Kedua konferensi ini menekankan pentingnya pemberdayaan perempuan dan terwujudnya keadilan dan kesetaraan gender sebagai pra-syarat bagi terlaksananya pembangunan manusia yang adil, menyeluruh dan berkelanjutan. Keadilan gender didefinisikan sebagai perlakuan yang adil terhadap perempuan dan laki-laki. Adil artinya, kedua jenis kelamin ini diperlakukan sesuai dengan masalah, kebutuhan dan kepentingan masing-masing kelompok. Untuk itu diyakini bahwa baik perumusan kebijakan, beserta program-program yang akan dikembangkan harus dilakukan dengan mengunakan analisis gender. Ada beberapa upaya untuk mengintegrasikan analisis gender dalam kebijakan pengelolaan keuangan daerah yang akan berdampak pada penanggulangan kemiskinan: 4. Memperhatikan perbedaan pengalaman kemiskinan laki-laki dan perempuan sehingga dapat diidentifikasi sebab-sebab terjadinya kemiskinan dan dampak yang ditimbulkannya 5. Seberapa besar ketimpangan dalam akses dan kontrol antara laki-laki dan perempuan terhadap ekonomi, sosial, budaya dan politik 6. Melihat bagaimana pembagian peran domestik dan publik antara laki-laki dan perempuan mempengaruhi tingkat partisipasi perempuan di sektor publik
11
Di dalam analisis gender diperlukan indikator-indikator gender. Indikator gender ini baru dapat diperoleh jika tersedia data statistik terpilah menurut jenis kelamin di berbagai bidang kehidupan seperti kesehatan, pendidikan, lapangan pekerjaan, upah, promosi jabatan, status sebagai pekerja dan sebagainya. Di dalam Inpres No.9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan gender ditekankan tentang pentingnya pengarusutamaan gender untuk mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik. Diperlukan beberapa prasyarat untuk mewujudkan keberpihakan terhadap kesetaraan gender dalam pengelolaan keuangan daerah. 1. kemauan politik dan kemimpinan 2. kerangka kerja kebijakan 3. struktur, mekanisme dan proses kelembagaan 4. sumber daya manusia yang sadar, peka dan responsif gender
KERANGKA HUKUM DAN KEBIJAKAN DI INDONESIA Berdasarkan Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, ada lima jenis instrumen hukum yang berlaku di Indonesia yaitu: 1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Penganti Undang-Undang; 3. Peraturan Pemerintah; 4. Peraturan Presiden; 5. Peraturan Daerah yang terdiri dari: a. Peraturan daerah propinsi; b. Peraturan daerah kabupaten/kota, dan; c. Peraturan desa Kelima instrumen hukum tersebut bersifat hierarki, artinya peraturan yang lebih rendah akan mengikat jika diperintahkan atau berkesesuaian dengan peraturan yang lebih tinggi. Selain kelima peraturan perundang-undangan tersebut, juga terdapat instrumen kebijakan yang dapat dikategorikan sebagai kebijakan eksekutif yang meliputi kebijakan menteri, surat edaran menteri, peraturan gubernur, dan peraturan bupati/walikota. Kebijakan tersebut biasanya berupa keputusan yang dibuat oleh eksekutif untuk melaksanakan beberapa ketentuan yang telah ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan namun sayangnya instrumen kebijakan ini cenderung kurang memiliki kekuatan dalam tingkat implementasinya7
Penelusuran terhadap instrumen hukum di Indonesia menunjukan bahwa isu-isu good governance, keberpihakan terhadap warga miskin dan kesetaraan gender masih sangat sedikit diadopsi dalam peraturan perundang-undangan. Dalam beberapa instrumen hukum yang memuat isu-isu ini sebagai nilai, di dalam tataran pelaksanaannya cenderung tidak tampak. Pelaksanaannya sangat tergantung pada aktor-aktor yang terlibat terutama eksekutif dalam hal ini kepala daerahnya.
12
ANALISIS KEBERPIHAKAN KEBIJAKAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH TERHADAP WARGA MISKIN, KESETARAAN GENDER DAN PENERAPAN PRINSIP-PRINSIP GOOD GOVERNANCE Diatas telah disinggung bahwa Pengelolaan Keuangan Daerah merupakan keseluruhan kegiatan yang meliputi: 1. Desentralisasi pengelolaan keuangan daerah 2. Perencanaan dan penganggaran 3. Pengelolaan pendapatan 4. Pengelolaan belanja 5. Pengelolaan pembiayaan 6. Pengalolaan asset 7. Pelaporan dan audit keuangan 8. Pengawasan pengelolaan keuangan daerah Tulisan ini akan mencoba mengupas sejauh mana keberpihak kebijakan pengelolaan keuangan daerah di Indonesia terhadap pemenuhan hak warga miskin, kesetaraan gender dan penerapan prinsip’prinsip good governance. Konsep-konsep kunci yang digunakan dalam analisis ini adalah sebagai berikut: Tabel 1 Konsep Kunci Yang Digunakan KONSEP KUNCI Pengelolaan keuangan daerah
Pro-poor (dalam pengelolaan keuangan)
DEFINISI OPERASIONAL Kegiatan pengelolaan keuangan daerah yang mencakup kegiatan-kegiatan berikut: 1. Perencanaan (perumusan RPJPD, RPJMD, dan RKPD) 2. Pengangaran (penyusunan dan pengesahan APBD) 3. Pelaksanaan APBD 4. Akuntansi, pelaporan, dan pertanggungjawaban 5. Pengendalian internal dan pengawasan eksternal [Pemeriksaan laporan keuangan/ dan audit) Perspektif pengelolaan keuangan yang mengupayakan peningkatan kesejahteraan warga miskin. Warga miskin didefinisikan sebagai kelompok warga
PENGGUNAAN KONSEP DALAM ANALISIS
Apakah kebijakan keuangan daerah mendukung: Upaya peningkatan pendapatan warga miskin Upaya meringankan biaya akses ke pelayanan dasar Upaya meringankan/ membebaskan
13
yang pendapatannya tidak mencukupi untuk membuat mereka mampu mengakses pemenuhan hak dasar mereka. Bank Dunia mendefinisikan pendapatan yang tidak mencukupi tersebut dengan besaran ”kurang dari 2 dolar sehari”.
Pro kesetaraan gender (dalam pengelolaan keuangan)
Transparansi
Partisipasi
Akuntabilitas
Perspektif pengelolaan keuangan yang mengupayakan kesempatan dan dampak yang sama kepada laki-laki dan perempuan. Prinsip keterbukaan dalam pengelolaan keuangan daerah
Prinsip pelibatan publik dalam berbagai kegiatan pengelolaan keuangan daerah Prinsip dipertanggungjawabkannya semua kegiatan pengelolaan keuangan daerah kepada pemerintahan yang berwenang dan kepada publik
warga miskin dari berbagai kebijakan pembayaran pajak/ retribusi/ biaya pelayanan Upaya melindungi kesejahteraan warga melalui pengaturan kegiatan swasta dalam melakukan hubungan kerja dengan warga, menetapkan harga atas barang dan jasa, dan pengelolaan kegiatan produksi agar tidak memunculkan dampak lingkungan yang memperburuk kesejahteraan warga di sekitarnya Upaya efisiensi biaya birokrasi Upaya pencegahan dan penangan korupsi/ kolusi dalam pengelolaan keuangan dan penyelenggaraan pelayanan publik Upaya untuk meningkatkan partisipasi warga miskin dalam berbagai kegiatan pengelolaan keuangan daerah Apakah kebijakan pengelolaan keuangan sudah mendukung adanya kesempatan dan dampak yang sama di antara laki-laki dan perempuan, dalam semua kegiatan pengelolaan keuangan daerah Apakah kebijakan sudah mendukung: dilakukannya pengungkapan informasi keuangan daerah kepada publik, dimudahkannya akses peblik kepada informasi keuangan daerah Apakah kebijakan sudah mendukung pelibatan warga dalam berbagai kegiatan pengelolaan keuangan daerah Apakah kebijakan sudah mendukung dilaksanakannya prinsip pencatatan, pelaporan, pengawasan, dan pertanggungjawaban keuangan daerah yang menjamin ketercapaian tujuan, efektivitas dan efisiensi pengelolaan keuangan.
Selanjutnya kebijakan yang dianalisis dapat dilihat pada tabel 2 Tabel 2 Daftar Kebijakan Yang Dianalisis KEBIJAKAN
SUBSTANSI KEBIJAKAN
Kebijakan yang mengatur aspek desentralisasi pengelolaan keuangan daerah UU 32/2004 tentang Kewenangan yang sepenuhnya dimiliki oleh Pemerintah pusat pemerintahan daerah Hubungan luar negeri Pertahanan Keamanan Kehakiman
14
Kebijakan moneter dan fiskal Urusan agamaan Kriteria yang digunakan untuk penugasan fungsi-fungsi pemerintahan ke daerah. Kriteria ini mencakup: Ekternalitas: ongkos eksternal (ongkos dari aktivitas yang dilakukan oleh warga luar daerah) dan manfaat eksternal (manfaat yang dinikmati oleh warga luar daerah) harus mampu diinternalisasi dalam penugasan fungsi-fungsi daerah. Akuntabilitas. Tanggung jawab pelaksanaan fungsi daerah dapat dipertegas untuk menjamin bahwa outcome dapat dihasilkan pada tingkatan tertentu dari pemerintahan Efisiensi. Pelimpahan fungsi harus mempertimbangkan efisiensi. Urusan wajib dan urusan pilihan yang dimandatkan ke berbagai tingkatan pemerintahan. UU 33/ 2004 tentang Melarang Pemda untuk menetapkan tarif yang dapat pembagian keuangan menghambat mobilitas orang, barang, dan jasa serta antara Pusat dan Daerah menghambat arus eksport dan import Pemerintah daerah dinyatakan memiliki kewenangan untuk menggali pendapatan melalui: pajak, retrinusi, dan lain-lain pendapatan yang sah Pemerintah Pusat mentransfer dana penyeimbang untuk mengatasi kesenjangan fiskal horizontal (antar daerah) maupun kesenjangan fiskal vertikal (antar berbagai tingkatan pemerintahan). Dana penyeimbang ini terdiri dari DAU, DAK, serta bagi hasil pajak dan sumber daya alam. Jumlah DAU ditetapkan sebesar 26% dari pendapatan bersih nasional sejak tahun 2008 dan seterusnya. DAU merupakan transfer yang ditujukan untuk mengatasi kesenjangan fiskal. Alokasi dasar yang dipenuhi adalah alokasi untuk gaji staff Pemda Kebijakan yang mengatur perencanaan dan penganggaran UU 17/2003 UU ini mengatur secara umum proses penganggaran pemerintah pusat dan daerah. UU ini juga menyatakan bahwa proses penganggaran di daerah harus sejalan dengan proses perencanaan di daerah (pasal 17 dan 18) UU 25/2004 UU ini mengatur proses perencanaan di daerah, berikut berbagai dokumen yang dibutuhkan dan dihasilkan. UU ini menstandarkan dokumen-dokumen perencanaan di setiap tingkatan pemerintahan. UU ini juga berupaya mengintegrasikan dokumen perencanaan Pusat dan Daerah. PP 40/2006 PP ini menstandarkan proses penulisan dokumen perencanaan di tiap tingkatan pemerintah PP 39/ 2006 PP ini mengatur sistem monev untuk perencanaan dan pelaksanaan pembangunan PP 3/ 2007 PP ini menstandarisasi format laporan Pemda ke Pusat, laporan pertanggungjawan pemda ke DPRD, dan informasi yang harus dibuka ke publik. PP 38/ 2007 PP ini mengatur kewenangan belanja antara pemerintah pusat, propinsi, dan kabupaten/ kota. PP 41/ 2007 PP ini mengatur kepelmbagaan pemdam terutama menyangkut struktur SKPD. Pengatura ini akan mempengaruhi kualitas pelayanan publik PP 65/ 2005 tentang Mengatur SPM untuk penyelenggaraan pelayanan publik SPM PP 58/2005 Kedua regulasi ini memperkenalkan anggaran berbasis kinerja dan Permen 13/ 2006 kerangka MTEF. PP 8/ 2007 PP ini mengatur tahapan, tata cara penyusunan, pengendalian, dan
15
evaluasi pelaksanaan rencana pembangunan daerah SE Mendagri no Mengatur petunjuk perumusan RPJPD dan RPJMD 050/2020/SJ SEB Bappenas dan Mengatur prosedur pelaksanaan Musyawarah Perencanaan Mendagri Pelaksanaan Pembangunan Musrenbang Tahun 2007 Kebijakan yang mengatur pengelolaan pendapatan UU 33/ 2004 Mengatur jenis-jenis pendapatan yang sah untuk dikelola daerah UU 34/2004 tentang Mengatur jenis pajak dan prinsip pajak yang layak untuk dikelola, pajak daerah yang harus dipenuhi daerah Undang-undang Nomor Mengatur pengawasan pajak dan retribusi daerah 34 Tahun 2000 Kebijakan yang mengatur pengelolaan belanja UU 32/2004 Mengatur pembagian urusan wajib dan pilihan yang akan menentukan alokasi belanja daerah UU 33/2004 Mengatur jenis belanja yang akan dibiayai oleh dana transfer dari Pemerintah Pusat dan dana daerah PP 58/ 2005 Prosedur pengelolaan keuangan, dari mulai perencanaan sampai evaluasi; termasuk perencanaan belanja PP 65/ 2005 Mengatur SPM bagi penyelenggaraan pelayanan publik. Regulasi ini sangat menetukan kebijakan alokasi belanja Pemda Kepmendagri 100.05Pembentukan tim konsultasi persiapan SPM 76/2007 PP 38/2007 Pembagian kewenangan antara pemerintah pusat, propinsi, dan kabupaten/ kota. Kebijakan tentang pembagian kewenangan akan sangat menentukan kebijakan alokasi belanja. Kebijakan yang mengatur pengelolaan pembiayaan UU 17/2003 Pasal 23 dalam UU ini mengatur penyaluran pinjaman atau grant yang diterima oleh Pusat ke daerah atau ke BUMN dan BUMD UU 32/2004 Pasal 169-171 dalam UU ini mengatur sumber-sumber pinjaman yang dapat diakses oleh Pemda. UU 33/ 2004 Bab 7, pasal 49-65 dalam UU ini mengatur: Jumlah maksimum pinjaman’Tipe dan term untuk pinjaman daerah Penggunaan pinjaman Syarat dan prosedur pinjaman daerah Obligasi daerah Pelaporan pinjaman daerah
PP 23/2003 PP 54/ 2005 PP 2/ 2006
PP 39/2007 Permenkeu 52/PMK.010/2006 Permenkeu 53/ PMK.010/2006 Permenkeu 45/PMK.02/2006 BAPPENAS PER.005/M.PPN/06/2006 PP 54/2005
UU ini melarang peminjaman langsung oleh daerah. Daerah dapat meminjam dari pusat melalui 2 tahapam mekanisme pinjaman Kontrol terhadap defisit kumulatif dari anggaran nasional dan pinjaman nasional Membahas tipe-tipe pinjaman yang dapat diakses daerah Pengelolaan utang dan grant, dan penyalurannya ke Pemda. Prosedur dan pengelolaan pinjaman luar negeri (subsidiary loan agreement scheme) Mengatur pengelolaan keuangan nasional dan lokal Mengatur administrasi dan penyaluran grant ke daerah Mengatur administrasi dan penyaluran pinjaman luar negeri ke daerah Mengatur Juknis pelaksnaan monioring terhadap defisit anggaran dan pinjaman lokal Administrasi perencanaan, pengajua proposal, dan penilaian kegaitan yang didanai oleh grant atau pinjaman Mengatur pendanaan bridging selama masa konstruksi
16
UU 33/2004 pasal 55 dan 57 Kebijakan yang mengatur pengelolaan asset Kedua regulasi ini mengatur pengelolaan asset daerah PP ini mengharuskan daerah untuk mengintegrasikan pengelolaan asset ke dalam perencanaan daerah, karena pengelolaan asset akan menentukan pengelolaan anggaran daerah UU 1/2004 Mengatur pengelolaan perbendaharasn negara Kebijakan yang mengatur akuntansi dan pelaporan PP 105/2005 tentang PP ini mewajibkan Pemda untuk menyiapkan laporan-laporan pengelolaan keuangan berikut: daerah Balance sheet PP 6/2006 Kepmendagri 17/2007
Kepmendagri 29/2002
UU 17/2003
Keppres 84/2004 Diperbaharui dengan Keppres 84/2005 Permenkeu 308/KMK.012/2002
UU 32/ 2004 PP 24/2005 PP 58/2005
Laporan realisasi anggaran
Laporan arus kas
Catatan atas keterangan realisasi anggaran Regulasi ini menyediakan Juknis persiapan, pelaksanaaan, dan pelaporan anggaran. PP ini mengatasi kesulitan implementasi PP 105, akibat kebanyakan Pemda tidak memiliki sistem akuntansi. Kepmen ini melegalisasi sistem akuntansi untuk Pemda: Sistem penerimaan kas Sistem pengeluaran kas Sistem transaksi non-kas PP ini juga menstandarisasi pelaporan keuangan, sebelum ada estándar akuntansi. Mengatur pengelolaan keuangan di tingkat nasional dan daerah. Menstandarisasi proses dan format pengelolaan dan pelaporan keuangan. (laporan keuangan diatur oleh pasal 31). PP ini juga memandatkan kepada pemerintah pusat untuk membangun standard akuntansi.Untuk itu, dibentuk Komite standard yang bersifat independen, dan dibentuk dengan regulasi pemerintah (Keppres). Pembentukan Komite untuk Standard Akuntansi Pemerintah (memperkuat posisi KSAP yang dibentuk oleh Depkeu) Pembentukan Komite Standar Akuntansi untuk Pemerintah Pusat dan Daerah. Komite ini telah menghasilkan PSAP 01 s/d 11 1. penyajian laporan keuangan 2. Laporan relaisasi anggaran 3. Laporan arus kas 4. Catatan atas laporan keuangan 5. Akuntansi inventory 6. Akuntansi investasi 7. Akuntansi asset tetap 8. Akuntansi konstruksi dalam proses pembangunan 9. Akuntansi hutang 10. Perubahan dalam akuntansi 11. Konsolidasi laporan keuangan UU ini juga mengatur laporan keuangan yang harus disusun Pemda Mengatur standard akuntansi pemerintah PP ini menyajikan juknis bagi Pemda untuk membangun sistem akuntansi melakui penyediaan: Prosedur akuntansi penerimaan kas Prosedur akuntansi pengeluaran kas Prosedur akuntansi asset Prosedur akuntansi transaksi non-kas
17
Kepmendagri 13/2006
UU no 15 Tahun 2004 PP 8 2008 PP 3 tahun 2007 PP 6 tahun 2208
PP ini memandatkan ketua SKPD untuk melaksanakan prosedur akuntansi untuk transaksi keuangan, asset, hutang dan ekuitas. Laporan diserahkan ke kepala daerah melalui PPKD. PPKD akan membuat laporan konsolidasi Permen ini menyajikan juknis untuk membangun sistem akuntansi daerah Kebijakan yang mengatur pengawasan Mengatur Pemeriksaan atas pengelolaan keuangan negara Mengatur tahapan dan tata cara evaluasi pelaksanaan pembangunan daerah Mengatur laporan penyelenggaraan pemerintah daerah Mengatur pedoman evaluasi penyelenggaraan pemerintahan daerah
Analisis Perspektif Pro-Poor dalam Pengelolaan Keuangan Daerah Secara umum, perspektif pro-poor dalam berbagai kebijakan pengelolaan keuangan daerah tidak mendapatkan pembahasan yang signifikan. Berbagai kebijakan yang mengatur desentralisasi pengelolaan keuangan tidak secara eksplisit memandatkan upaya pengentasan kemiskinan. Pembagian urusan Pemerintahan secara proporsional antara pemerintah pusat, pemerintahan daerah propinsi dan pemerintahan daerah kabupaten/kota dilakukan dengan tujuan untuk mendekatkan pengambilan keputusan dalam pelayanan publik ke masyarakat. Untuk itu, menjamin akses masyarakat terhadap pelayanan tersebut juga disusun peraturan pemerintah tentang pedoman penyusunan estĂĄndar pelayanan minimal (PP No. 65/2004), yang berujuan untuk: (1) menjamin hak masyarakat untuk menerima suatu pelayanan dasar dari Pemerintahan Daerah dengan mutu tertentu; (2) menjadi alat untuk menentukan jumlah anggaran yang dibutuhkan untuk menyediakan suatu pelayanan dasar, sehingga SPM dapat menjadi dasar menentukan kebutuhan pembiayaan daerah; (3) menjadi landasan dalam menentukan perimbangan keuangan dan/atau bantuan lain yang lebih adil dan transparan; (4) menjadi dasar dalam menentukan anggaran kinerja berbasis manajemen kinerja. SPM dapat dijadikan dasar dalam alokasi anggaran daerah dengan tujuan yang lebih terukur. SPM dapat menjadi alat untuk meningkatkan akuntabilitas Pemerintahan Daerah terhadap masyarakat. Sebaliknya, masyarakat dapat mengukuru sejauhmana Pemerintahan Daerah dapat memenuhi kewajibannya dalam menyediakan pelayanan publik; (5) memperjelas tugas pokok Pemerintahan Daerah dan mendorong terwujudnya checks and balances yang efektif; (6) mendorong transparansi dan partisipasi masyarakat dalam proses penyelenggaraan Pemerintahan Daerah. Pembagian urusan diatur melalui undang-undang no. 32 /2004. dan PP 38/ 2007 tentang pembagian urusan. Kriteria yang digunakan dalam pembagian urusan pemerintahan adalah eksternalitas, akuntabilitas dan efisiensi. Kriteria eksternalitas digunakan karena tingkat pemerintahan yang berwenang atas suatu urusan pemerintahan ditentukan oleh jangkauan dampak yang diakibatkan dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan tersebut. Kriteria Akuntabilitas digunakan untuk mencegah terjadinya tumpang tindih pengakuan atau klaim atas dampak tersebut, dimana tingkat pemerintahan yang paling dekat dengan dampak yang
18
timbul adalah yang paling berwenang untuk menyelenggarakan urusan Pemerintahan tersebut. Kriteria efisiensi digunakan untuk menjaga agar penyelenggaraan urusan pemerintahan sedapat mungkin mencapai skala ekonomis. Dari segi mandat, urusan yang menjadi kewenangan daerah dibagi menjadi urusan wajib dan urusan pilihan. Urusan pemerintahan wajib adalah urusan pemerintahan yang wajib diselenggarakan oleh pemerintahan daerah yang terkait dengan pelayanan dasar (basic services) bagi masyarakat. Urusan pemerintahan yang bersifat pilihan adalah urusan pemerintahan yang diprioritaskan oleh pemerintahan daerah untuk diselenggarakan yang terkait dengan upaya mengembangkan potensi unggulan (core competence) yang menjadi kekhasan daerah. Prioritas penyelenggaraan urusan pemerintahan difokuskan pada urusan wajib dan urusan pilihan untuk kesejahteraan masyarakat. Untuk tingkat operasional, urusan wajib dan pilihan diturunkan ke dalam Peraturan Daerah, yang akan menentukan prioritas dalam perencanaan, struktur organisasi perangkat daerah, dan anggaran belanja pemerintah daerah. Untuk mengatur pelaksanaan PP PP Tentang pembagian urusan tersebut Tentang SPM Pembagian Urusan (No. 65/2004) (N0. ‌‌‌..) pemerintah membuat aturan tentang norma, standar, prosedur, Tim DPOD Koordinasi dan kriteria sebagai acuan. Fungsi lain dari aturan tersebut adalah untuk menilai suatu urusan Peraturan Menteri pemerintahan yang menjadi Tentang SPM (No. 65/2004) kewenangan daerah mampu diselenggarakan oleh Perarturan Daerah Pemerintahan daerah yang Tentang Rencana Pencapaian SPM bersangkutan. Jika pemerintahan daerah belum memenuhi norma, Perencanaan dan standar, ataupun kriteria yang Penganggaran Daerah ditentukan, maka kewenangan untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan tersebut dapat ditunda sampai dengan pemerintahan daerah yang bersangkutan mampu memenuhi persyaratan yang ditentukan oleh Pemerintah. Pelaksanaan urusan pemerintahan yang belum mampu dilaksanakan oleh pemerintahan daerah akan dilaksanakan oleh pemerintahan pada tingkatan di atasnya. Norma, standar, prosedur, dan kriteria tersebut juga merupakan acuan bagi pemerintah lebih atas untuk melakukan pengawasan, pembinaan dan peningkatan kapasitas bagi pemerintah daerah. Meskipun dalam dalam undang-undang 32/2004 telah dijelaskan berbagai urusan yang dimandatkan peleksanaanya ke daerah, akan tetapi masih banyak programprogram yang secara langsung dikelola oleh departemen (pemerintah pusat). Dalam implementasi terdapat beberapa inkonsistensi, antara lain: (i) inkonsistensi akibat pengelolaan urusan yang telah disesentralisasikan ke daerah oleh pemerintah pusat ; (ii) inkonsistensi akibat pengelolaan urusan yang menjadi tanggung jawab pemerintah pusat atau propinsi oleh daerah tanpa tugas pembantuan, sebagai contoh: pemerintah kabupaten terpaksa mengalokasikan sebagian APBD mereka untuk
19
memperbaiki jalan propinsi Masalah Deskripsi dan nasional yang melalui Inkonsistensi dalam Meskipun telah ditetapkan dalam UU 32 beberapa urusan yang daerah mereka karena pengelolaan urusan dilimpahkan ke daerah, akan tetapi atas alasan kepentingan protes rakyat terhadap yang didesentralisasikan nasional beberapa departemen mengelola langsung programke daerah. program yang bersifat bantuan langsung meskipun telah kondisi jalan yang buruk dinyatakan sebagai urusan yang dilimpahkan ke daerah. dinilai mengancam posisi Inkonsistensi dalam Meskipun jalur lintas daerah menjadi tanggung jawab propinsi atau pusat, seringkali kelambanan dalam memperbaiki kondisi politik mereka, sementara pengelolaan urusan yang merupakan jalan yang rusak menyebabkan pemerintah daerah mendapatkan walupun mereka telah tanggung jawab kritik dari warga. Beberapa kepala daerah akhirnya melakukan perbaikan melalui APBD, meskipun kegiatan tersebut merupakan mengajukan usulan ke pemerintah propinsi atau pusat. urusan pemerintah pusat atau propinsi. pemerintah propinsi dan Membiayai kegiatan Lembaga yudikatif tidak terkena kebijakan desentralisasi, pusat, perbaikan belum instansi vertikal melalui sehingga disebut sebagai instansi vertikal. Dalam praktek, pemerintah daerah masih sering mengeluarkan belanja daerah juga direalisasikan. Contoh APBD untuk membiayai kegiatan instansi vertikal. lain adalah perbaikan Konflik kepentingan Karena departemen agama tidak didesentralisasikan, maka saluran irigasi primer dans antara daerah dan lembaga pendidikan yang berada di bawahnya tidak dapat memperoleh bantuan dana dari APBD, meskipun mengambil sekunder yang menjadi departemen agama dalam pelayanan peran pelayanan pendidikan bagi warga lokal. wewenang propinsi. pendidikan. Meskipun telah mengajukan usulan ke pemerintah propinsi dan pusat, perbaikan saluran irigasi belum juga terlaksana. Akhirnya pemerintah Kabupaten terpaksa menggunakan anggaran mereka untuk perbaikan akibat protes warga dan ancaman penurunan produktivitas ekonomi lokal; (iii) inkonsistensi dalam hal pembiayaan—dimana pemeritah daerah membiayai kegiatan instansi vertikal yang ada di daerah melalui APBD. Hal lain, adanya fungsi-fungsi yang overlap antara urusan yang telah didesentralisasikan ke daerah dengan urusan yang ditetapkan sebagai tanggung jawab pusat, terutama untuk kegiatan yang terkait dengan departemen agama. Beberapa daerah mengalokasikan bantuan untuk kegiatan sekolah yang berbasis agama (misal beberapa madrasah negeri) dengan alasan intitusi tersebut juga berperan penting dalam meningkatkan akses masyarakat terhadap pendidikan, meskipun secara formal institusi tersebut menjadi tanggung jawab departemen agama yang tidak masuk dalam sektor yang didesentralisasikan ke daerah8. Dalam kaitannya dengan perspektif pro-poor, UU 32/ 2004 pasal 167 hanya menyatakan bahwa belanja daerah diprioritaskan untuk melindungi dan meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat dalam upaya memenuhi kewajiban daerah. Perlindungan dan peningkatan kualitas kehiduoan masyarakat diwujudkan dlm bentuk peningkatan pelayanan dasar (pendidikan, penyediaan fasilitas kesehatan, fasos dan fasum yang layak, serta mengembangkan sistem jaminan sosial. Secara kebijakan, di tingkat nasional, penanggulangan kemiskinan dituangkan ke dalam kebijakan Strategi Nasional Penanggulangan Kemiskinan (SNPK). Di tingkat nasional, SNPK telah dinyatakan diakomodir ke dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Nasional. Artinya, SNPK telah menjadi bagian dari rencana jangka menengah daerah. RPJM Nasional, secara normatif akan menjadi rujukan bagi penyusunan RPJMD (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah). Akan tetapi, daerah juga dimandatkan untuk menyusun dokumen SPKD (Strategi Pengentasan Kemiskinan Daerah). SPKD merupakan rencana strategis (jangka menengah) pengentasan kemiskinan di daerah, sesuai dengan masalah dan kebutuhan daerah. Masalahnya, sampai saat ini, SPKD belum mendapatkan mandat untuk diakomodir ke dalam RPJMD daerah. Padahal, bagi daerah, pengentasan kemiskinan yang sesuai dengan konteks daerah adalah SPKD. Sehingga, walaupun merujuk pada RPJM
20
Nasional, tanpa memiliki RPJMD yang mengakomodir SPKD, daerah akan tetap kehilangan orientasi pengentasan kemiskinan dalam pengelolaan pembangunan dan pengelolaan keuangan daerah. Regulasi yang mengatur perencanaan dan penganggaran tidak secara spesifik mengatur agar perencanaan mulai dari tingkat desa sampai dengan kabupaten merujuk pada dokumen SPKD. Indikator kinerja yang menggambarkan indikator keberhasilan pengentasan kemiskinan belum terumuskan dan terakodir dalam dokumen RKA (Rencana Kerja dan Anggaran) dan DPA (Daftar Pelaksanaan Anggaran) kelembagaan SKPD (Satuan Kerja Perangkat Daerah/ Dinas-Dinas daerah. Semua permasalahan tadi bermuara pada tidak konsistennya perencanaan dan penganggaran. Program yang direncanakan sering tidak Konsistensi perencanaan dan penganggaran merupakan prasyarat penting bagi terjaminnya perspektif pro-poor dalam perencanaan dan penganggaran. Secara teoretik, konsistensi antara perencanaan dan penganggaran dapat dijaga dengan 1) penerapan pendekatan anggaran berbasis kinerja; 2) penerapan pendakatan kerangka pengeluaran jangka menengah (MTEF/ Mid Term Expenditure Framework). Penerapan kedua pendekatan ini masih dalam tahap perumusan dan pembahasan Permendagri tentang Perencanaan dan Penganggaran Terpadu. Dokumen Standard Pelayanan Minimal dalam Penyelenggaraan publik sesungguhnya merupakan dokumen yang sangat penting untuk menjaga agar tahap pelaksanaan dalam pengelolaan keuangan tetap beroroentasi pada prinsip-prinsip pro-poor. Pemerintah Indonesia telah menerbitkan suatu peraturan pemerintah no. 65/2005 tentang pedoman penyusunan standar pelayanan minimal (SPM). Standar pelayanan minimal adalah ketentuan mengenai jenis dan mutu pelayanan dasar yang merupakan urusan wajib daerah yang berhak diperoleh setiap warga secara minimal. Untuk urusan pemerintahan lainnya, pemerintah daerah mengembangkan dan menerapkan standar/indikator kinerja. Dalam perturan pemerintah tentang penyusunan SPM tersebut dinyatakan bahwa setiap Departemen dan Lembaga Pemerintah Non Departemen diharuskan menyusun suatu peraturan menteri tentang SPM. Untuk itu akan dibentuk tim koordinasi untuk perumusan SPM oleh masing-masing departemen dan lembaga pemerintah non departemen. Tim koordinasi dipimpin oleh menteri dalam negeri, dan melakukan konsultasi dengan Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah (DPOD). Peraturan Menteri yang telah ditetapkan, akan menjadi acuan pemerintah daerah untuk menyusun rencana pencapain target SPM di daerah dengan payung hukum Peraturan Daerah (Perda). Meskipun peraturan pemerintah no. 65/2005 tentang pedoman penyusunan standar pelayanan minimal telah diterbitkan, akan tetapi praktis belum semua departemen dan lembaga pemerintah non departemen menyiapkan peraturan menteri tentang standar pelayanan minimal tersebut, dan implikasinya adalah belum semua daerah akan menyiapkan peraturan daerah tentang pencapaian target standar pelayanan minimal tersebut. Kondisi ini akan menyebakan perencanaan dan penganggaran di daerah diperkirakan masih akan terjadi diskresi yang dipengaruhi oleh kepentingan politik lokal daripada pertimbangan rasional pemenuhan kebutuhan akan pelayanan dasar bagi warga. Di bidang pengelolaan pendapatan, regulasi yang ada memang menyatakan bahwa pajak daerah harus memenuhi antara lain prinsip: 1) tidak mencipatakan ekonomi biaya tinggi, dan 2) mempertimbangkan keadilan dan pemerataan. Akan tetapi
21
regulasi lebih rinci tentang bagaimana menetapkan pajak yang melindungi warga miskin, yang dipungut secara adil dan merata nyaris tidak tersedia. Mekanisme evaluasi dan sanksi bagi adanya pajak-pajak yang merugikan warga miskin juga belum secara tegas diatur. Pengawasan terhadap pajak daerah lemah. Tim review dari Mendagri dan Menkeu belum efektif menjalankan fungsi pengawasan. Lewis (2003), berdasarkan data dari Departemen Keuangan mengungkapkan bahwa pada 2000-2002 916 regulasi pajak daerah terbit. Sekitar 406 diantaranya direview oleh Tim Review, dan 113 ternyata ditolak. Data tim independent dari KPPOD 2000-pertengahan 2005, ada draft 6456 perda pajak dan retribusi daerah diajukan ke tim. 448 dibatalkan oleh pemerintah pusat. Akan tetapi alasan pembatalan ini, termasuk apakah pembatalan berkaitan dengan tidak adilnya pajak yang dipungut di daerah tidak secara jelas disampaikan kepada publik. Regulasi mengenai pajak saat ini, belum secara rinci mengatur instrument dan mekanisme untuk menentukan objek pajak, mekanisme panaksiran nilai pajak, dan mekanisme pemungutan yang menjamin bahwa warga kaya akan ditarik lebih banyak dari warga miskin, dan bukan sebaliknya. Regulasi yang ada belum secara jelas mengatur mekanisme pembebasan/ peringanan pajak pada kelompok miskin dan rentan. Regulasi yang ada juga belum mengatur secara jelas agar pajak menjadi instrument insentif agar pihak swasta melindungi/ memberi pekerjaan kepada kelompok miskin dan rentan. Regulasi soal pembiayaan menyisakan beberapa pesoalan. Pertama, pembiayaan melalui DAU disinyalir belum memacu daerah untuk meningkatkan fungsi pelayanan dan pengentasan kemiskinan di daerah; untuk meningkatkan pendapatan guna meningkatkan kapasitas pembiayaan bagi pelayanan Pemda; dan untuk memeratakan kemampuan pembiayaan bagi penyediaan pelayanan publik di berbagai daerah. DAU belum memberi insentif kepada daerah untuk meningkatkan fungsi pelayanan dan pengentasan kemiskinan di daerah. Hal ini disebabkan karena DAU (Dana Alokasi Umum) lebih difokuskan untuk membayar gaji birokrasi daripada membiayai kebutuhan pelayanan. Semakin besar kebutuhan gaji akan membuat perolehan DAU daerah semakin besar. Akibatnya Pemda tidak termotivasi untuk mengurangi jumlah pegawai mereka. Perhitungan besaran DAU yang akan diterima daerah disinyalir tidak memberi insentif kepada Pemda untuk memperolah pendapatan yang lebih tinggi. Padahal pendapatan daerah yang tinggi sangat dibutuhkan untuk membuat daerah mampu membiayai fungsi pelayanan dan pengentasan kemiskinan di daerah. Pemda menjadi tidak termotivasi untuk memperolah pendapatan daerah yang tinggi, karena semakin tinggi PAD akan membuat penerimaan DAU semakin rendah. DAU belum sepenuhnya berhasil mendorong pemerataan penyediaan layanan publik. Hal ini disebabkan karena fungsi utama DAU sebagai instrument untuk mengatasi kesenjangan fiskal daerah belum terpenuhi. Perhitungan DAU belum memperhitungkan semua pendapatan daerah. Contoh shared taxes dan revenue dari propinsi belum diperhitungkan. Sehingga, daerah-daerah yang memiliki kapasitas fiskal lebih tinggi karena pendapatan-pendapatan yang tidak diperhitungkan tadi; mungkin mendapatkan DAU lebih besar.
22
Kedua, pembiayaan dari DAK juga disinyalir belum terkait erat dengan upaya pengentasan kemiskinan. Prioritas DAK belum terumuskan. Semua sektor ingin punya DAK. Mengaitkan prioritas dengan MDGs dan MSS masih sulit untuk dilakukan. penyaluran DAK disinyalir belum secara normatif dimandatkan untuk didasarkan pada data kebutuhan pembangunan infrastruktur di daerah. Hal ini mengakibatkan, seringkali DAK disalurkan ke daerah-daerah yang relatif memiliki infrastruktur pelayanan dasar yang relatif cukup lengkap. Keharusan daerah untuk menyertakan dana pendamping sebesar 10% dari nilai projek, di tengah ketidakpastian dan keterlambatan informasi mengenai DAK; mempersulit daerah untuk melakukan perencanaan pembangunan infrastruktur pelayanan publik di daerah jangka menengah dan jangka panjang. Kemampuan DAK untuk membiayai kebutuhan investasi multi tahun masih dipertanyakan. Norma-norma yang mengatur pembiayaan dari hutang sejauh ini lebih banyak mengatur soal besaran hutang yang diijinkan dan mekanisme untuk mengakses pembiayaan dari hutang. Metode untuk mengukur kelayakan suatu proyek untuk didanai dengan hutang belum tersedia dalam format yang dapat menyertakan partisipasi publik baik dalam perencanaan maupun dalam evaluasi. Hal ini akan menyulitkan publik untuk mengetahui apakah keputusan untuk memilih pembiayaan melalui hutang akan berdampak pada pengentasan kemiskinan dan penciptaan kesejahteraan. Regulasi mengenai Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) lebih banyak menekankan aspek jenis layanan, pola pendanaan, sistem tarif, dan struktur organisasi pengelola BUMD. Aspek perlindungan konsumen, terutama perlindungan akses warga miskin terhadap pelayanan-pelayanan vital yang dikelola oleh BUMD disinyalir masih sangat kurang.
Analisis Perspektif Pro-Kesetaraan Gender Dalam Pengelolaan Keuangan Daerah Perspektif pro-kesetaraan gender dalam berbagai kebijakan pengelolaan keuangan daerah masih sangat sulit untuk ditemukan. Di tingkat nasional, kebijakan yang ada adalah kebijakan yang mengatur pengarusutamaan gender dalam pengelolaan pembangunan di daerah. Sayangnya, kebijakan ini belum mampu mengintegrasikan perspektif kesetaraan gender ke dalam formulasi perencanaan pembangunan, kebijakan alokasi, perumusan target dan indikator kinerja dalam RPJMD, Renstra SKPD (Rencana Strategis Satuan Kerja Perangkat Daerah), RKPD (Rencana Kerja Pemerintah Daerah), RKA dan DPA SKPD. Formulasi perencanaan pembangunan terutama terhambat oleh belum dimandatkannya penyediaan dan pemanfaatan data terpilah berdasarkan gender, sebagai dasar perencanaan. Padahal, kondisi eksisting kesetaraan gender dan proyeksi dampak program terhadap laki-laki dan perempuan sangat ditentukan oleh ketersediaan data terpilah. Partisipasi perempuan dalam berbagai tahapan perencanaan pembangunan secara normatif telah mulai didorong. Misalnya dengan ketentuan agar anggota delegasi Musrenbang tingkat desa dan kabupaten paling tidak diwakili oleh perempuan dalam jumlah yang seimbang. Akan tetapi, berbagai tindakan afirmatif untuk memberi insentif pada perempuan guna menghadiri forumforum perencanaan dan penganggaran kurang mendapat tempat dalam regulasi.
23
Regulasi di bidang pengelolaan pendapatan baru mengatur prinsip keadilan dan pemerataan. Akan tetapi, mandat untuk mengevaluasi dampak pungutan pajak pada laki-laki dan perempuan tidak ditemukan dalam berbagai regulasi. Pada tahap pelaksanaan perencanaan dan penganggaran, disain kelembagaan penyelenggaraan pelayanan publik dan pelaksanaan program pembangunan akan menjadi isu penting yang menentukan apakah suatu layanan/ program dapat diakses secara setara oleh laki-laki dan perempuan. Penyusunan ToR pelaksanaan prgram dan audit kelembagaan pelayanan publik sampai saat ini belum diatur sebagai kegiatan yang harus merujuk pada pengarusutamaan gender. Persoalan blind gender dalam perencanaan memunculkan dampak pada kesulitan untuk memonitor dan mengeavaluasi dampak program pembangunan terhadap lakilaki dan perempuan.
Analisis Penerapan Prinsip Good Governance Dalam Pengelolaan Keuangan Daerah Penerapan prinsip good governance dalam pengelolaan keuangan daerah merupakan prinsip yang sangat penting. Prinsip transparansi penting untuk menyeimbangkan penguasaan warga dan pemerintah terhadap informasi pengelolaan keuangan yang berdampak pada tingkat kesejahteraan warga. Prinsip partisipasi penting untuk menjamin pengambilan keputusan menyangkut pengelolaan keuangan yang berdampak pada kesejahteraan mereka mencerminkan preferensi dan kebutuhan mereka. Prinsip akuntabilitas penting untuk membuat hasil akhir pelaksanaan pengelolaan keuangan dinilai tingkat keberhasilannya oleh publik sebagai pihak yang paling menerima dampak pelaksanaan pengelolaan keuangan daerah. Dengan demikian, penerapan prinsip good governance dalam pengelolaan keuangan daerah akan menjamin pengelolaan keuangan daerah ditujukan untuk mendukung penciptaan kesejahteraan dan pengentasan kemiskinan warga, tanpa dihambat oleh inefisiensi, korupsi dan kolusi. Setelah menganalisis berbagai kebijakan pengelolaan keuangan daerah sebagaimana dirinci dalam tabel 2, maka ringkasan berbagai kekosongan regulasi guna mendorong penerapan prinsip good governance dalam pengelolaan keuangan daerah dapat dilihat pada tabel 3 berikut. Tabel 3 Kekosongan Regulasi Mengenai Penerapan Prinsip Good Governance Dalam Pengelolaan Keuangan Daerah ASPEK GOOD GOVERNANCE
Transparansi
9
ASPEK PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH
KEKOSONGAN REGULASI MENGENAI PENERAPAN PRINSIP GOOD GOVERNANCE DALAM PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH
Pembagian peran dan kewenangan dalam pengelolaan
Kewajiban pemerintah untuk membuka akses publik pada informasi: ƒ Hubungan kelembagaan pemerintah dengan bank daerah: ž dukungan pendanaan dari pemerintah kepada Bank
24
keuangan daerah
Daerah dukungan pembiayaan dari Bank Daerah terhadap kegiatan dan aktivitas Pemda ¾ Sejauh mana Pemerintah memiliki kewenangan terhadap pengambilan keputusan pada Bank Daerah (keputusan untuk memberi pinjaman dengan bunga di bawah harga pasar, kebijakan untuk memberi pinjaman ke sektor tertentu di luar pertimbangan pasar komersial) Berbagai subsidi dan dukungan yang diberikan Pemda kepada lembaga non-keuangan, agar menghasilkan barang dan jasa di bawah harga yang dibutuhkan untuk cost recovery lembaga tersebut Regulasi yang dibuat untuk mengatur aktivitas perusahaan swasta Jenis usaha, bidang gerak, dan tujuan usaha dari perusahaan swasta di mana pemerintah menyertakan modalnya Kepemikan modal pemerintah di perusahaan swasta perusahaan swasta di mana pemerintah menyertakan modalnya Keuangan, kinerja, dan predikisi resiko perusahaan swasta di mana pemerintah menyertakan modalnya Komposisi kepemilikan dan peran pemerintah dalam pengambilan keputusan di perusahaan swasta di mana pemerintah menyertakan modalnya Insentif yang diterima staff pemerintah yang duduk dalam board perusahaan awasta, di mana mereka menyertakan modalnya ¾
Pengelolaan pendapatan
Jamina ketersediaan dan kemudahan akses atas informasi mengenai
Perencanaan dan
Perolehan Dana Bagi Hasil, dan waktu penyalurannya ke daerah Pos-pos belanja yang dibiayai oleh hutang di daerah, berikut kelayakan program/ belanja tersebut untuk dibiayai melalui hutang Sumber-sumber dana hibah yang mereka peroleh, peruntukkan dan pengelolaan dana-dana hibah tersebut Rasionalitas penetapan pajak, dan dampak pemungutan pajak kepada warga Tata cara penilaian menilai potensi dan besaran pajak, untuk menghindari negosiasi yang tidak sehat dengan petugas pajak tata cara pemungutan, tata cara pengadministrasian, biaya pengadministrasian pajak, serta peruntukkan pajak berupa upah pungut dan lain lain insentif untuk instansi pemungut Hak-hak pembayar pajak Standar etik pemungut pajak Rasionalitas penetapan retribusi, dan dampak pemungutan retribusi kepada warga Metode menghitung ongkos pelayanan, yang menjadi dasar perhitungan retribusi (termasuk Sistem subsidi yang diberlakukan untuk menutupi ongkos pelayanan) Rekening dan Perkembangan perolehan dari retribusi yang dapat dipantau oleh warga Jaminan ketersediaan dan kemudahan akses atas informasi mengenai:
25
penganggaran Dokumen perencanaan dan penganggaran, mulai dari RPJPD, RPJMD, Renstra SKPD, draft RKPD, KUA, PPAS, PPA, RKA, APBD, APBD, perubahan APBD, dan LKPJ Sistem insentif dan sanksi bagi Pemda yang menyediakan dan tidak menyediakan informasi perencanaan dan penganggaran yang dibutuhkan untuk mendukung proses-proses Musrenbang; dalam format yang mudah dibaca. Sistem insentif dan sanksi bagi Pemda yang memberikan dan tidak memberikan informasi tentang hasil forum pembahasan KUA, PPAS, PPA, RKA, APBD, APBD, perubahan APBD, dan pertanggungjawaban LKPJ; kepada para anggota delegasi kabupaten dan kalangan publik lainnya. Pelaksanaan (pengadaan barang dan jasa, pelayanan publik, dan pelaksanaan program
Jaminan ketersediaan dan kemudahan akses atas informasi mengenai: Prosedur pengadaan barang dan jasa Besaran harga perkiraan sendiri Kriteria pemenang tahap prakualifikasi dan kualifikasi tender Lokasi, waktu, dan spesifikasi projek yang dilaksanakan oleh pemenang lelang
Pengelolaan asset
Penjadwalan yang jelas dalam penyampaian informasi tentang aset daerah. Informasi tersebut haruslah komprehensif tentang jenis dan jumlah aset yang dimiliki, kondisi aset daerah bahkan tentang proses pengelolaan aset. Seringkali masyarakat tidak pernah diberi tahu tentang kekayaan daerah baik jumlah yang pernah ada, yang sudah dihapus (diputihkan) dan yang akan diadakan. Bahkan secara internal pun data (inventaris) tentang aset yang dimiliki oleh satu satuan kerja tidak tercatat dengan rapi. Ketidakjelasan informasi tentang jenis dan jumlah aset yang dimiliki termasuk kondisi fisik dapat menyulitkan dalam proses perencanaan untuk pengadaan aset karena tidak ada dasar pertimbangan yang valid dalam menyusun rencana pengadaan barang (modal). Kejelasan status kepemilikan asset Transparansi mengenai sistem pengaturan rekening pemerintah Transparansi mengenai sistem Penyelesaian kerugian negara Informasi mengenai asset-asset yang sedang didayagunakan sebagai sumber pendapatan daerah Informasi mengenai prosedur privatisasi asset daerah
Pelaporan, audit, dan pengawasan keuangan
Jaminan ketersediaan dan kemudahan akses atas informasi mengenai: Kriteria kinerja yang digunakan dalam evaluasi kinerja pemerintah kota/ kabupaten yang didayagunakan sebagai alat bantu perencanaan dan alat perbaikan kualitas pelayanan publik dan pemerintahan Mekanisme yang menjamin akses warga terhadap dokumen laporan pengelolaan keuangan di daerah Terbentuknya sistem informasi keuangan daerah yang
26
handal dan dapat diakses, dipahami dengan mudah, serta dimanfaatkan oleh publik Akuntabilitas
Pembagian peran dan kewenangan dalam pengelolaan keuangan daerah
Mekanisme pengawasan terhadap Bank Daerah Mekanisme pemantauan dan pengawasan terhadap berbagai subsidi yang diberikan ke lembaga non pemerintah untuk menghasilkan barang dan jasa publik agar lebih terjangkau publik Mekanisme pengawasan kegiatan penyertaan modal pemerintah pada perusahaan swasta
Pengelolaan pendapatan
Jaminan ketersediaan: Mekanisme perselisihan mengenai pengendalian sumber daya dengan Pemda lain atau dengan Pemerintah Pusat (belum jelas) Mekanisme pemantauan atas pos-pos yang dibiayai oleh hutang, yang dapat melibatkan publik/ pemmantau independen Mekanisme pamantauan peruntukkan dan pengelolaan dana-dana hibah; baik yang dilakukan Pemerintahan Pusat maupun oleh publik/ pemantau independen Mekanisme sanksi yang efektif terhadap pengawasan DAK. Berabagi studi mensinyalir bahwa Hanya 10% daerah yang melaporkan penggunaan DAK di daerah mereka Prosedur pengaduan yang mudah diakses oleh warga terkait pajak daerah yang tidak memenuhi kriteria pajak yang baik Prosedur penyelesaian perselisihan pajak Sistem insentif pajak bagi lembaga swasta yang memberikan pelayanan publik secara lebih akuntabel. Sistem pembagian peran yang proporsional kepada DPRD, agar mereka dapat mereview dan mengesahkan pajak daerah Sistem Penegakan hukum bagi para pelanggar ketentuan pajak, termasuk mekanisme koordinasi yang egfektif dengan lembaga peradilan Sistem jaminan kerahasiaan wajib pajak yang jelas dan tidak tumpang tindih dengan prinsip transparansi dalam pengelolaan pajak Metode menghitung ongkos pelayanan, yang mendukung sistem penetapan tarif retribusi yang rasional Sistem penatausahaan retribusi yang memungkinkan warga dapat memantau perkembangan besaran penerimaan retribusi dari warga
Perencanaan dan penganggaran
Sistem insentif dan sanksi bagi Pemda yang menyediakan dan tidak menyediakan data yang cukup serta analisis yang diperlukan dalam rumusan RPJPD dan RPJMD Sistem insentif dan sanksi bagi Pemda yang merumuskan atau tidak merumuskan indikator kinerja, kerangka pengeluaran jangka menengah, target pencapaian SPM, perhitungan unit cost pelayanan, pagu indikatif bagi kegiatan pembangunan kewilayahan dan sektoral, serta Standard Analisis Belanja Sistem insentif dan sanksi bagi Pemda yang merumuskan atau tidak merumuskan Adanya mekanisme bagi keterlibatan ekspert independent yang dapat memeriksa ketepatan asumsi
27
fiskal dan proyeksi fiskal dalam beragai rumusan perencanaan pemerintah daerah
Partisipasi
Pengelolaan belanja
Mandat untuk mengembangan metodologi penghitungan kebutuhan pembiayaan SPM Pengujian feasibilitas dan affordability dari pencaaian SPM
Pelaksanaan (pengadaan barang dan jasa, pelayanan publik, dan pelaksanaan program Pengelolaan asset
Mandat untuk melibatkan tim independen dalam proses pengadaan barang dan jasa Mandat untuk mengembangkan metode dan pelaksanaan monitoring-evaluasi partisipatif terhadap penyelenggaraan pelayanan publik dan pelaksanaan program
Pelaporan dan audit dan pengawasan keuangan
Ketersediaan prosedur evaluasi kinerja pemerintah kota/ kabupaten yang didayagunakan sebagai alat bantu perencanaan dan alat perbaikan kualitas pelayanan publik dan pemerintahan Mekanisme untuk menjamin ketepatan asumsi dan proyeksi fiskal Sistem insentif san sanksi untuk memacu pelaporan pengelolaan keuangan di daerah Terbentuknya sistem informasi keuangan daerah yang handal dan dapat diakses/ dimafaatkan oleh publik Tersedianya mekanisme untuk mencegah pemborosan
Pengelolaan pendapatan
Jamina akses bagi partisipasi warga untuk:
Pendayagunaan asset sebagai sumber pendapatan Pemeliharaan asset secara layak, terutama asset-asset yang dibangun mellaui pembiayaan DAK Prosedur melakukan privatisasi asset yang tidak menimbulkan kerugian bagi daerah Pengaturan rekening pemerintah, yang memudahkan kontrol atas pengelolaan asset dan sumber daya publik Penyelesaian kerugian negara yang tidak menimbulkan kerugian bagi daerah
Berpartisipasi dalam forum-forum perumusan dan evaluasi kebijakan perpajakan. Berpartisipasi dalam memantau pelaksanaan pemungutan pajak, dan mengadukan berbagai permasalahan melalui mekanisme pengaduan Perencanaan dan penganggaran
Pelaksanaan (pengadaan barang dan jasa, pelayanan publik, dan pelaksanaan program
Berpartisipasi dalam forum-forum perencanaan dan penganggaran pasca Musrenbang Kabupaten Berpartisipasi dalam berbagai skema penjaringan aspirasi warga di luar Musrenbang Berpartisipasi dalam keanggotaan organisasi perwakilan warga, atau organisasi independent lainnya untuk mempengaruhi kebijakan dan praktik perencanaan dan penganggaran Berpartisipasi dalam perumusan dan evaluasi kebijakan pengadaan barang dan jasa Berpartisipasi menjadi peserta tender Berpartisipasi dalam berbagai organisasi independent yang turut serta memantau pelaksanaan pengadaan barang dan jasa Berpartisipasi dalam pelaksanaan program
28
pembangunan Berpartisipasi dalam berbagai skema monitoring dan pengukuran kinerja partisipatif atas penyelenggaraan pelayanan publik dan program
Pengelolaan asset
Berpartisipasi dalam perumusan dan evaluasi kebijakan pengelolaan asset Berpartisipasi dalam memantau asset daerah, dan mengadukan berbagai permasalahan melalui mekanisme pengaduan
Pelaporan dan audit, dan pengawasan keuangan
Berpartisipasi dalam keanggotaan organisasi independent lainnya untuk turut serta memantau kinerja keuangan daerah
REKOMENDASI Berdasarkan penelusuran terhadap berbagai instrumen hukum dan kebijakan tentang pengelolaan keuangan daerah terlihat bahwa persoalan good governance, keberpihakan terhadap warga miskin dan kesetaraan gender ini belum banyak diakomodir. Hal ini, di satu sisi membuka peluang untuk masyarakat agar dapat lebih aktif terlibat namun di sisi lain juga memperlemah posisi masyarakat. Akibatnya persoalan good penerapan prinsip’prinsip good governance, keberpihakan terhadap warga miskin dan kesetaraan gender ini menjadi sangat tergantung pada kondisi politik dan aktor yang berperan di tingkat daerah. Untuk itu perlu dilakukan beberapa hal. Pertama, dalam reformasi sistem hukum di Indonesia ternyata masih ada satu agenda besar yang tertinggal yaitu melakukan reformasi pada UU yang mengatur mengenai organisasi kemasyarakatan. UU mengenai organisasi kemasyarakat perlu segera direvisi agar memberikan dasar hukum yang kuat untuk menjamin kebebasan warga dalam membentuk organisasi warga yang mandiri. UU ini harus membuka peluang bagi terjadinya keberagaman organisasi baik di tingkat spasial maupun sektoral. Perlu juga dijelaskan mengenai peran organisasi warga dalam formulasi, implementasi, dan monitoring kebijakan publik baik di tingkat spasial maupun di tingkat sektoral. Kedua, perlunya instrumen hukum dan kebijakan yang lebih jelas mengatur tentang aksesibilitas data dan informasi bagi publik. Instrumen hukum ini sangat penting ntuk mempertegas tentang hak publik untuk mendapatkan informasi yang jelas dan lengkap tentang pengelolaan keuangan daerah. Ketiga, salah satu aspek penting dari pembuatan instrumen hukum dan kebijkan mengenai partisipasi warga adalah bagaimana agar partisipasi warga berkorelasi dengan keadilan sosial, baik keadilan antar pendapatan, keadilan spasial maupun keadilan gender. Instrumen hukum dan kebijakan yang ada saat ini –selain SEB mengenai Musrenbang- tidak mengaitkan partisipasi dengan keadilan. Untuk itu, dalam konteks inivasi praktek partisipasi warga, perlu difikirkan agar peningkatan
29
partisipasi warga berkorelasi positif terutama dengan terciptanya keadilan antar pendapatan dan keadilan gender. Ini penting, karena secara konseptual partisipasi warga harus berdampak langsung pada terciptanya keadilan sosial dan keadilan jender.
DAFTAR BACAAN •
Suhirman, Kerangka Hukum dan Kebijakan Partisipasi Warga di Indonesia
•
Komite Penanggulangan Kemiskinan
•
Sri Mastuti, dkk; Anggaran Respnsif Gender;Konsep dan Aplikasi, CIBA 2007
•
Kumpulan Modul Pendidikan Poltik Anggaran Bagi Warga; BIGS 2006
•
Perencanaan dan Penganggaran Partisipatif untuk Good Governance, FPPM 2006
•
Hyman; Public Finance, 2006
•
Stock Taking On Indonesia’s Recent Desentralization Reforms; DRSP 2006
•
Jeni Klugman, ed, A Source Book For Poverty Reduction Strategies, World Bank 2002
•
MANUAL ON FISCAL TRANSPARENCY,Fiscal Affairs Department, International Monetary Fund
Kemiskinan;
Strategi
Nasional
penanggulangan
CATATAN KAKI 1
Pasal 10 ayat 3 UU. No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Pasal 14 ayat ayat 1 dan 2 UU No.32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah 3 Pasal 12 ayat 1 UU. No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah 4 Permendagri No.13 Tahun 2006 pasal 2 5 Ibid, pasal 4 6 Pengertian mengenai asas-asas penyelenggaraan pemerintahan yang baik ini dapat dilihat dari Penjelasan Pasal 3 UU No.28/1999. 2
7 8
Pembahasan pembagian wewenang dan urusan dikutip dari tulisan “Pembagian Urusan dan Standard Pelayanan Minimal”, Ahmad Alamsyah Saragih, 2006. Tulisan ini tidak dipublikasikan, dan merupakan bagian tulisan yang turut membangun proses diskusi dalam studi Stock Taking on Decentralization, DRSP, 2006. 9 Kekosongan regulasi dalam aspek transparansi sebagian besar diidentifikasi dengan menggunakan manual on fiscal transparency, IMF, ….
30