iTifa Notes on Indonesia

Page 1

Notes

Tifa Notes on Indonesia

JANUARY 2010

Kebebasan Pers Dan Berpendapat

www.tifafoundation.org

Transparansi dan Akuntabilitas Fiskal

Human Rights & Justice

Citizenship Program

KEBEBASAN PERS DAN BERPENDAPAT “…putusan ini tidak berarti semata mata ­kemenangan majalah Time tapi juga kemenangan bagi kebebasan pers dan freedom of speech di Indonesia”

“…putusan ini tidak berarti semata mata kemenangan majalah Time tapi juga ­kemenangan bagi kebebasan pers dan ­freedom of speech di Indonesia,” ujar ­Todung Mulya Lubis, pengacara majalah Time menyambut keputusan Mahkamah Agung pada 16 April 2009 silam yang ­mengabulkan Peninjauan Kembali yang diajukan kliennya. Dengan dikabulkannya PK tersebut, ­majalah Time tidak perlu membayar ganti rugi sebesar Rp 1 triliun dan memasang iklan permintaan maaf di sejumlah media massa kepada keluarga Soeharto ­sebagaimana keputusan MA di tingkat kasasi pada tahun 2007 silam. Kalangan jurnalis di Indonesia ­menyambut gembira kemenangan Time karena dua hal. Pertama, keputusan tersebut memberi pengakuan terhadap Kode Etik Jurnalistik. Pemenuhan kode etik akan ­membebaskan jurnalis dari tuntutan pidana ataupun perdata. Kedua, pengakuan layanan Hak Jawab sebagai lembaga hukum. ­Pemberian Hak Jawab membebaskan pers dari dari ­tanggungjawab hukum perdata, jika ada pemberitaan yang mencemarkan nama orang.

Angin segar lainnya bagi kebebasan pers adalah adanya Surat Edaran ­Mahkamah Agung yang meminta hakim-hakim untuk memanggil saksi ahli dari Dewan Pers jika menyidangkan perkara-perkara yang terkait dengan pemberitaan di media massa. Tidak mengheran jika kemudian ­kondisi kebebasan pers dan berpendapat di ­Indonesia tetap lebih baik dibandingkan dengan negara-negara sekawasan di Asia Tenggara. Sekadar contoh, Filipina yang ­derajat kebebasan persnya terlindungi masih ­terbebani dengan tingginya kasus-kasus kekerasan atau pembunuhan terhadap wartawan. Pers di Malaysia dan Thailand masih berupaya mendapatkan kebebasan yang lebih besar karena masih ­berlakunya larangan pemberitaan hal-hal sensitif yang berkaitan dengan kerajaan. Ini masih ­diimbuhi dengan adanya kontrol akses di dunia maya. Meski demikian, kebebasan pers dan kebebasan berpendapat di ­Indonesia ­sebenarnya tetap berada dalam ­marabahaya. *** Liberalisasi politik 1999, membuka sekat-sekat yang selama ini menjadi

menghambat pers menjalankan fungsinya. ­Namun, dengan cepat pula kebebasan pers itu menghadapi tantangan. Secara fisik, tantangan itu datang dari kelompok-kelompok massa yang ­menunjukkan ketidakpuasannya terhadap pemberitaan media massa dengan ­menebar aksi-aksi anarkis, dari mulai ancaman, pendudukan hingga pengerusakan ­kantor redaksi. Termasuk di antaranya berupa upaya sadar menghambat jurnalis dalam menjalankan tugasnya. Secara simbolik, tantangan terhadap kebebasan pers datang dari berbagai ­kalangan, termasuk pemerintah, yang menilai ­kebebasan pers telah menjadi ‘­kebablasan pers’. Persepsi ‘kebablasan’ ini untuk ­selanjutnya menjadi kata kunci bagi ­pihak-pihak yang ingin menyoal ­kebebasan pers, meski dengan menggunakan ­istilah yang ­berbeda-beda. Namun benang ­merahnya tetap sama: pers telah keluar dari koridornya, sehingga harus diatur ulang. Ini berbarengan dengan perubahan ­pendulum ancaman terhadap kebebasan pers. Meski aksi-aksi anarkis massa masih ada secara kasuistik, ancaman yang lebih besar dan menyegat datang dari ­kelompok

elit politik (pemerintah, pengusaha, ­militer) yang dengan piawai ­memanfaatkan celah-celah regulasi. Yakni, dengan apa yang disebut dengan ‘kriminalisasi pers’. Kriminalisasi ini pada ­intinya ­adalah mendakwa jurnalis telah ­melakukan ­pencemaran nama baik atau ­sekurang-kurangnya telah melakukan perbuatan tidak menyenangkan. Untuk menambah bobot ancaman itu, para elit ini ­kerap menyertainya dengan ­tuntutan ­perdata dengan jumlah yang sangat ­kentara ingin membangkrutkan dan atau ­mengakuisisi secara paksa. Kriminalisasi ini mendapat ­momentumnya karena banyak ­majelis ­hakim di berbagai pengadilan negeri sama sekali mengesampingkan UU Pokok Pers yang sejatinya bersifat lex ­spescialis ­tatkala ­menyidangkan perkara-perkara yang berkaitan dengan pemberitaan media massa. Sejalan dengan itu, ancaman ­kebebasan pers juga semakin nyata ­karena ­adanya ­regulasi-regulasi baru yang ­berisi ­pasal-pasal yang mendukung upaya ­kriminalisasi itu dan bahkan yang tersirat membuka peluang bagi terjadinya kembali pembreidelan pers.


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.