Notes
Tifa Notes on Indonesia
JANUARY 2010
Kebebasan Pers Dan Berpendapat
www.tifafoundation.org
Transparansi dan Akuntabilitas Fiskal
Human Rights & Justice
Citizenship Program
KEBEBASAN PERS DAN BERPENDAPAT “…putusan ini tidak berarti semata mata kemenangan majalah Time tapi juga kemenangan bagi kebebasan pers dan freedom of speech di Indonesia”
“…putusan ini tidak berarti semata mata kemenangan majalah Time tapi juga kemenangan bagi kebebasan pers dan freedom of speech di Indonesia,” ujar Todung Mulya Lubis, pengacara majalah Time menyambut keputusan Mahkamah Agung pada 16 April 2009 silam yang mengabulkan Peninjauan Kembali yang diajukan kliennya. Dengan dikabulkannya PK tersebut, majalah Time tidak perlu membayar ganti rugi sebesar Rp 1 triliun dan memasang iklan permintaan maaf di sejumlah media massa kepada keluarga Soeharto sebagaimana keputusan MA di tingkat kasasi pada tahun 2007 silam. Kalangan jurnalis di Indonesia menyambut gembira kemenangan Time karena dua hal. Pertama, keputusan tersebut memberi pengakuan terhadap Kode Etik Jurnalistik. Pemenuhan kode etik akan membebaskan jurnalis dari tuntutan pidana ataupun perdata. Kedua, pengakuan layanan Hak Jawab sebagai lembaga hukum. Pemberian Hak Jawab membebaskan pers dari dari tanggungjawab hukum perdata, jika ada pemberitaan yang mencemarkan nama orang.
Angin segar lainnya bagi kebebasan pers adalah adanya Surat Edaran Mahkamah Agung yang meminta hakim-hakim untuk memanggil saksi ahli dari Dewan Pers jika menyidangkan perkara-perkara yang terkait dengan pemberitaan di media massa. Tidak mengheran jika kemudian kondisi kebebasan pers dan berpendapat di Indonesia tetap lebih baik dibandingkan dengan negara-negara sekawasan di Asia Tenggara. Sekadar contoh, Filipina yang derajat kebebasan persnya terlindungi masih terbebani dengan tingginya kasus-kasus kekerasan atau pembunuhan terhadap wartawan. Pers di Malaysia dan Thailand masih berupaya mendapatkan kebebasan yang lebih besar karena masih berlakunya larangan pemberitaan hal-hal sensitif yang berkaitan dengan kerajaan. Ini masih diimbuhi dengan adanya kontrol akses di dunia maya. Meski demikian, kebebasan pers dan kebebasan berpendapat di Indonesia sebenarnya tetap berada dalam marabahaya. *** Liberalisasi politik 1999, membuka sekat-sekat yang selama ini menjadi
menghambat pers menjalankan fungsinya. Namun, dengan cepat pula kebebasan pers itu menghadapi tantangan. Secara fisik, tantangan itu datang dari kelompok-kelompok massa yang menunjukkan ketidakpuasannya terhadap pemberitaan media massa dengan menebar aksi-aksi anarkis, dari mulai ancaman, pendudukan hingga pengerusakan kantor redaksi. Termasuk di antaranya berupa upaya sadar menghambat jurnalis dalam menjalankan tugasnya. Secara simbolik, tantangan terhadap kebebasan pers datang dari berbagai kalangan, termasuk pemerintah, yang menilai kebebasan pers telah menjadi ‘kebablasan pers’. Persepsi ‘kebablasan’ ini untuk selanjutnya menjadi kata kunci bagi pihak-pihak yang ingin menyoal kebebasan pers, meski dengan menggunakan istilah yang berbeda-beda. Namun benang merahnya tetap sama: pers telah keluar dari koridornya, sehingga harus diatur ulang. Ini berbarengan dengan perubahan pendulum ancaman terhadap kebebasan pers. Meski aksi-aksi anarkis massa masih ada secara kasuistik, ancaman yang lebih besar dan menyegat datang dari kelompok
elit politik (pemerintah, pengusaha, militer) yang dengan piawai memanfaatkan celah-celah regulasi. Yakni, dengan apa yang disebut dengan ‘kriminalisasi pers’. Kriminalisasi ini pada intinya adalah mendakwa jurnalis telah melakukan pencemaran nama baik atau sekurang-kurangnya telah melakukan perbuatan tidak menyenangkan. Untuk menambah bobot ancaman itu, para elit ini kerap menyertainya dengan tuntutan perdata dengan jumlah yang sangat kentara ingin membangkrutkan dan atau mengakuisisi secara paksa. Kriminalisasi ini mendapat momentumnya karena banyak majelis hakim di berbagai pengadilan negeri sama sekali mengesampingkan UU Pokok Pers yang sejatinya bersifat lex spescialis tatkala menyidangkan perkara-perkara yang berkaitan dengan pemberitaan media massa. Sejalan dengan itu, ancaman kebebasan pers juga semakin nyata karena adanya regulasi-regulasi baru yang berisi pasal-pasal yang mendukung upaya kriminalisasi itu dan bahkan yang tersirat membuka peluang bagi terjadinya kembali pembreidelan pers.
Notes
January 2010
Mengikis Kebebasan Melalui UU
D
engan cepat UU No 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik menjadi momok baru. Tidak saja mengancam jurnalis, tetapi juga warga biasa.Maklum, dalam pasal ini ada pasal yang mengatur tentang pencemaran nama baik terkait akivitas di dunia maya. Meski begitu, sejatinya, pasal-pasal pencemaran nama baik sebenarnya juga bertebaran di berbagai regulasi. Di KUHP ada 14 pasal dengan hukuman pidana dan denda yang bervariasi (Pasal 142, Pasal 142 a, Pasal 143, Pasal 144, Pasal 154 a, Pasal 207, Pasal 310, Pasal 311, Pasal 315, Pasal 316, Pasal 317, Pasal 318, Pasal 320 dan Pasal 321). Ironisnya, dalam RKUHP baru, pasal-pasal pencemaran nama baik ini tidak juga berkurang. Di luar itu, ancaman dengan menggunakan sangkaan pencemaran nama baik masih ada pula di UU No 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran (Pasal 36 ayat (5) huruf a jo Pasal 57), di UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Pasal 78 huruf b jo Pasal 116) dan juga di UU No 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Presiden (Pasal 41 ayat (1) huruf c jo pasal 214). Menyadari hal ini, asosasi jurnalis yang dimotori
Aliansi Jurnalis Independen berupaya mendorong adanya revisi terhadap UU No 40/1999 tentang Pers. Tujuannya agar UU mengatur secara tegas bahwa delik pencemaran nama baik hanya perkara perdata dan larangan untuk menuntut ganti rugi dalam jumlah yang tidak wajar kepada pers dan atau jurnalis yang terbukti melakukan pencemaran nama baik. Usulan revisi UU Pokok Pers ditolak oleh kalangan Dewan Pers. Pasalnya, revisi tersebut dapat disusupi kepentingan dari pemerintah yang terlihat ingin bisa kembali mengontrol media massa, sebagaimana halnya pernah dinikmati rejim orde baru. Dilema yang sama juga dihadapi terkait adanya wacana untuk mengajukan revisi terhadap UU No 32 tahun 2002 tentang Penyiaran Revisi ini dimaksudkan untuk memperkuat posisi Komisi Penyiaran Indonesia dan memastikan pelaksanaan televisi berjejaring yang sekaligus membatasi siaran-siaran televisi yang berbasis di Jakarta. Masalahnya, revisi ini bisa mengundang kehadiran pasal-pasal yang memungkinkan pemerintah kembali mengontrol konten dan atau perijinan media elektronika. Patut dicatat, UU No 33/3009 tentang Perfilman yang mengejutkan banyak kalangan sineas karena
pembahasannya yang terkesan misterius. Tidak mengherankan pula jika UU ini sarat masalah. Dari mulai memberi ruang yang besar bagi pemerintah untuk mengatur hal-hal yang subtantif maupun yang teknis, pelembagaan sensor dengan cara pemotongan hingga keberadaan Badan Perfilman Indonesia (BPI) yang tidak jelas status dan kedudukannya. Ini masih diimbuhi dengan adanya berbagai aturan yang terkesan tumpang tindih karena sudah diatur oleh UU yang lain (hak cipta, monopoli dan pendistribusian). Dan, digenapi dengan berbagai aturan yang membatasi sineas untuk berkreasi dan membatasi pembuat film indie berkiprah karena adanya persyaratan kompetensi bagi pembuat film. Kebebasan pers dan kebebasan berpendapat (termasuk kebebasan memperoleh informasi) semakin tepat disebut terus-menerus dalam marabahaya karena dalam Prolegnas 2010 telah mencantumkan adanya UU Konvergensi Media. Selain tidak bakal menghilangkan pasal-pasal pencemaran nama baik, RUU ini ditengarai bakal menjadi ancaman serius bagi sekitar 1000 radio komunitas dan 12 TV komunitas yang kini masih beroperasi.
...Freedom of the Press and Expressions
Untuk adilnya, persepsi ‘kebablasan pers’ untuk sebagian juga disebabkan karena mutu jurnalistik yang rendah, bias dan penuh konflik kepentingan. Jika di awal reformasi, tren media sebagai corong partai politik sempat mengemuka, kini media sebagai corong pengusaha-politik menjadi sebuah persoalan baru yang tak kalah serius. Yang tak berubah hingga kini adalah berkecambahnya wartawan ‘bodrex’. Jika dulunya benar-benar WTS (wartawan tanpa surat kabar), kini mereka telah memiliki surat kabar. Hanya saja media itu sejatinya dicetak dalam jumlah amat terbatas, sekadar sebagai nomor bukti. *** Situasi kebebasan yang penuh marabahaya itu bisa dilihat lebih detail dari potret kebebasan pers dan berpendapat selama 2009 lalu, dimana upaya-upaya menghalangi kerja jurnalis (pelarangan peliputan, ancaman, kekerasan fisik hingga pembunuhan) masih berlangsung dan upaya membungkam suara warga masih terus berlanjut. Dalam laporan akhir tahunnya, Aliansi Jurnalis Independen Indonesia menyatakan selama 2009 telah terjadi 40 kasus kekerasan yang meliputi: pembunuhan (1 kasus),pemukulan (20 kasus), larangan meliput (4 kasus), tuntutan hukum (7 kasus), penyanderaan (2 kasus), intimidasi (1 kasus), demonstrasi (2 kasus), dan s ensor (2 kasus),
Dalam konteks kebebasan berpendapat, pelarangan terhadap buku dan film masih dilakukan tanpa melalui keputusan pengadilan. Lembaga Sensor Film, umpamanya, melarang pemutaran film Balibo tentang tewasnya lima wartawan Australia ketika meliput invasi Indonesia di Timor Timur, pada 1975 silam. Langkah ini diikuti dengan tindakan Kejaksaan Agung yang melarang peredaran lima buku menjelang berakhirnya tahun 2009. Kriminalisasi terhadap kebebasan berekspresi meluas juga kepada warga negara biasa berkat adanya UU No 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Yang membuat tambah gamang adalah besarnya ketidakpastian untuk terjerat. Cukup banyak pengguna internet yang membuat pernyataan-pernyataan yang terlihat dengan kesengajaan menyerang dan atau bisa dikateogrikan merusak merusak reputasi seseorang atau institusi, namun tak dikriminalkan. Sebaliknya, sebuah keluhan atau uneg-uneg yang dituangkan dalam sebuah email secara tak terduga bisa membuat seseorang menjadi tersangka sebagaimana dialami Prita Mulyasari yang diseret ke pengadilan oleh RS Omni Internasional. Dalam emailnya itu, Prita mengeluhkan dan mempertanyakan berbagai pelayanan medis yang diberikan rumah sakit tersebut kepada dirinya.
Tren yang semakin menguat adalah kriminalisasi terhadap pers ataupun warga biasa kini tak hanya dilakukan oleh pemerintah, tetapi juga dari korporasi dan kelompokkelompok sosial-keagamaan. Berbarengan dengan itu, kebebasan berekspresi yang besar juga memicu ekses-ekses yang tak mengenakan sehingga mendorong sebagian kalangan untuk mempertanyakan kembali kebergunaan kebebasan tersebut. Baik di level individu, asosiasi warga maupun pers, kebebasan berekspresi telah mendorong upaya-upaya sengaja menagguk keuntungan secara tidak wajar. Bila media mengumbar sensasi demi meningkatkan tiras dan rating, individu atau asoisasi warga mengumbar kebencian dan rasa permusuhan untuk memperkuat tujuan-tujuan politisnya. Situasinya tambah buruk karena munculnya fenomena persekutuan tidak suci antara pihak pengelola media massa dengan pemerintah daerah dan atau aktor demokrasi. Bentuknya berupa, pertama, berkembangnya sistem kontrak pemberitaan dengan kandidat pilkada. Dengan tarif tertentu, media menyepakati untuk tidak saja memberikan ruang untuk pemasangan iklan, tetapi juga melakukan blokade terhadap pemuatan berita-berita yang merugikan pihak pengkontrak dan atau memuat berita-berita yang tonenya negatif
bagi pesaing dari pemasang k ontrak. Kedua, berkembangnya barter iklan dengan berita. Sebagai konsekuensi memuat atau tidak memuat sebuah berita, media mendapatkan pemasangan iklan layanan sosial dan langganan dalam jumlah besar dari pemerintah daerah. Ketiga, berkembangnya pola seolah-olah media-earned. Dalam hal ini, penyelenggara dan jurnalis melakukan transaksi pemberitaan dengan kedok peliputan acara seminar, diskusi ataupun konferensi pers. Last not but least, struktur media massa yang cenderung oligopolis kian memperburuk kebebasan pers karena telah menjadi pagar kaca yang membatasi informasi yang bisa dipublikasikan. Kepentingan pemilik media, baik yang dituntun motif ideologi, akumlasi modal, relasi politik hingga persaingan bisnis secara efektif membatasi peristiwa apa saja yang bisa diberitakan oleh sebuah (jejaring) media dan bagaimana peristiwa tersebut dilaporkan. Jika tak ada upaya berkelanjutan untuk memperkuat kualitasnya, kebebasan berekspresi di Indoensia dipastikan akan mengalami kemunduran. Jika ini terjadi, maka akan menjadi disinsentif bagi negara-negara sekawasan untuk membuka melonggarkan pembatasan terhadap media dan atau warga negaranya.
Notes
January 2010
Yang Terjerat, Yang Dilarang Sepanjang 2009, muncul sejumlah kasus kriminalisasi oleh pengguna internet. Di antaranya adalah: Ujang Romansyah, pelajar, Bogor. Ujang dituduh mencemarkan nama baik Felly, pengguna Facebook lain, karena pesan di wall. Muhammad Iqbal, pegawai honorer di Dinas Kehutanan Lampung, dilaporkan sekretaris Dinas Kehutanan Lampung, Veronica Bertha, ke polisi pada 2 Juli 2009 karena pesan di Facebook. Iqbal dilaporkan karena mengirimkan pesan di wall Belinda, seorang pegawai honorer di instansi yang sama. Imbar Ismail, Anggota DPRD Sulsel. Imbar di dilaporkan ke polisi karena telah mengirim pesan ke inbox Facebook milik Dewi Riasari Zainuddin, seorang dokter gigi di Bandung, Jawa Barat. Kata-kata dalam pesan Imbar dinilai mengandung penghinaan karena dianggap tidak pantas. Luna Maya, seorang artis, was reported by an infotainment journalist dilaporkan ke polisi oleh
pekerja infotainment pada 15 Desember 2009. Luna dituduh mencemarkan nama gara-gara pernyataannya di akun microblogging Twitter.com miliknya. Pada 2009, ada sejumlah buku yang dilarang beredar, yaitu: 1. “Dalih Pembunuhan Massal Gerakan 30 September dan Kudeta Soeharto” karangan John Rosa; 2. “Suara Gereja Bagi Umat Tertindas: Penderitaan, Tetesan Darah dan Cucuran Air Mata Umat Tuhan di Papua Barat Harus Diakhiri”, karya Cocratez Sofyan Yoman; 3. “Lekra Tak Membakar Buku: Suara Senyap Lembar Kebudayaan Harian Rakjat 1950-1965”, karangan Rhoma Dwi Aria Yuliantri dan Muhidin M Dahlan;
^/!@ {$-\**> / ? #
4. “Enam Jalan Menuju Tuhan”, karya Darmawan MM, 5. “Mengungkap Misteri Keberagaman Agama”, karangan Drs H Syahrudin Ahmad
Tabel/boks: Data RSF, FH, kasus-kasus di dunia maya dan data konglomerasi media Tabel: Kebebasan Berekspresi dan Keyakinan Negara
Rank
Score
2009
2008
2007
2009
2008
2007
East Timor
74
65
-
16
13,75
27,00
Indonesia
101
111
100
28.5
27,00
30,50
Cambodia
117
126
85
35,50
25,33
Philippines
122
139
128
38.5
45,00
44,75
Thailand
130
124
135
44
34,50
53,50
Malaysia
131
132
124
44.25
39,50
41,00
Singapore
133
144
141
45
49,00
56,00
Brunei
155
-
-
63.5
-
-
Vietnam
166
168
162
81,67
86,17
79,25
Laos
169
164
161
92,00
70,00
75,00
Burma
171
170
164
102,67
94,38
96,17
Sumber: Reporters Sans Frontières
Notes
January 2010
Tabel: Press Freedom Index: Asean
Negara
PR
CL
Status
D
Brunei
6
5
NF
6
Cambodia
6
5
NF
10
East Timor
3
4
PF
12
Indonesia
2
3
F
12
Laos
7
6
NF
4
Malaysia
4
4
PF
8
Philippines
4
3
PF
14
Singapore
5
4
PF
9
Thailand
6
4
PF
9
Vietnam
7
5
NF
5
Sumber: Freedom House
PR=political right, CL= civil liberty NF= not freedom, PF=partial freedom, F=freedom D= Freedom of Expression and Belief
Konglomerat Media Massa di Indonesia Media Group
Leader of the Group
Newspaper
Magazine/ Tabloid
Radio Station
Television Station
Cyber Media
Other Businesses
Kompas Gramedia Group
Jakob Oetama, Agung Adiprasetyo
Kompas, Jakarta Post, Warta Kota and other 11 local paper
37 magazine and tabloids. 5 book publishers.
Sonora Radio and Otomotion Radio
- (Currently building Kompas TV)
Kompas.com, Kompas Cyber Media
Hotels, Printing House, Promotion Agencies, University,
MNC (Media Nusantara Citra)
Hary Tanoesoedibjo
Seputar Indonesia (Sindo)
Genie, Mom & Kiddie, Realita, Trust Magazine
Trijaya FM, Radio Dangdut TPI, ARH Global, Women Radio
RCTI, Global TV, TPI, Indovision (cable television)
Okezone
IT business
Jawa Pos Group
Dahlan Iskan
Jawa Pos, Fajar, Riau Pos, Rakyat Merdeka and other 90 newspaper in the region
23 weeklies
Fajar FM in Makassar
JTV (JawaPos TV) in Surabaya and other 3 local stations (Pekan Baru, Batam, Makassar)
-
Travel bureau, power house
Hard Rock FM (in Bandung, Jakarta, Bali and Surabaya), MTV Sky (in Jakarta and Bandung)
O’Channel (has been taken over by SCTV)
-
Holder of several international boutique brand
Mugi Reka Aditama (MRA)
Dian Muljani Soedarjo
-
Cosmopolitan, Harper’s Bazaar, Esquire, FHM, Good House Keeping, and other 10 magazine (most franchised magazine)
Bali Post Group
Satria Narada
Bali Post, Suluh Indonesia and 2 other newspaper
Tokoh tabloid
-
Bali TV and 8 local television stations
Bali Post, Bisnis Bali
-
Mahaka Media Group
Erick Tohir
Republika, Harian Indonesia (in Mandarin language)
Golf Digest Magazine, Arena, Parents Indonesia, A+ magazine
Radio JakFM
Jak TV, TV One (join with Bakrie Group)
-
Entertainment, outdoor advertisement
Femina Group
Pia Alisjahbana, Mirta Kartohadiprodjo
-
Femina, Gadis, Ayahbunda, Dewi and other 10 magazine
Radio U-FM
-
-
Production house
Bakrie Group
Anindya Bakrie
-
-
-
ANTV, TV One
Viva News
Property, mining, Crude Palm Oil
Lippo Group
James Riady
Jakarta Globe, Investor Daily, Suara Pembaruan
Investor magazine, Globe Asia, Campus Asia
-
-
-
Property, Hospital, Education, Insurance
Notes
January 2010
What Tifa had Done… 2004
1. Disahkannya UU Penyiaran. Tifa terlibat aktif dalam proses advokasi ini, dan berhasil memastikan pasal-pasal yang mengakomodir eksistensi radio komunitas diakomodir. Tifa, guna mendorong adokasi ini, berhasil menginisiasi Jaringan Radio Komunitas Indonesia (JRKI), yang merupakan asosiasi bagi radio komunitas di Indonesia, yang masih hidup sampai saat ini. 2. Banyaknya kriminalisasi yang menghadang pers, --pada saat ini Tempo sedang menghadapi tuntutan pidana dan perdata melawan Tommy Winata--, menimbulkan keprihatinan mendalam. Sebuah Kolokium Internasional yang diselenggarakan Yayasan Aksara dengan dukungan OSI, Tifa, World Bank, Partnership for Governance Reform dan Dutch Embassy, berhasil menggalang opini yang luas tentang ancaman kriminalisasi pers di Indonesia. Tifa, secara mandiri dan bekerjasama dengan AJI, secara khusus juga berupaya menggalang dukungan terhadap kasus Tempo; dari mulai kampanye damai, penggalangan opini lewat berbagai talkshow di media, dan penggalangan solidaritas dari kalangan media. Pada saat itu, empat media nasional: Suara Pembaruan, Bisnis Indonesia, The Jakarta Post dan Koran Tempo memuat iklan penolakan kriminalisais pers secara gratis sebagai bentuk solidaritas. Republika, memilih menempatkan kolom khusus membicarakan kasus Tempo dan wacana dekriminalisasi Pers, dengan iklan penolakan tersebut sebagai ilustrasi. 3. Tifa mendukung upaya LBH Pers, mengadvokasi Peraturan MA tentang penyelesaian sengketa Pers. Meski tidak tercapai, namun MA mengeluarkan Surat Edaran yang isinya anjuran penyelesaian sengketa pers melalui mediasi (di Dewan Pers). Proses pengadilan menjadi alternative terakhir dalam penyelesaian sengketa Pers.
2006 2008
1. Bekerjasama dengan Dewan Pers dan AJI, Tifa berhasil mendorong diadopsinya Kode Etik Jurnalistik (KEJ) sebagai hasil revisi Kode Etik Wartawan Indonesia (KEWI). KEJ ini memberikan peluang baru untuk menumbuhkan media massa yang menghormati prinsip-prinsip jurnalisme dan menjunjung tinggi kebenaran.
1. Rating Publik terhadap tayangan TV swasta telah berhasil menjadi alternatif dari rating yang biasa dibuat AGB Nielsen. Rating Publik Alternatif, yang didukung Tifa melalui Yayasan SET ini, memberikan penilaian tidak hanya berdasarkan jumlah penonton tapi juga kualitas siaran dan keadaban publik. Langkah ini dilakukan untuk memberikan perspektif baru bagi masyarakat, pekerja TV, dan pengiklan dalam melihat program. 2. Setelah lima tahun melakukan advokasi, akhirnya UU Keterbukaan Informasi Publik (Freedom of Information) disahkan. Tifa mendukung upaya ini sejak tahun 2004, dan kembali intensif di tahun 2008. UU ini telah mewajibkan badan publik, termasuk pemerintah,untuk menyediakan akses terhadap informasi yang dibutuhkan oleh public. UU ini membuka peluang transparansi dan keterbukaan yang lebih besar, dan memberikan amunisi baru bagi advokasi masyarakat sipil untuk berbagai isu.
Notes
January 2010
TRANSPARANSI DAN AKUNTABILITAS FISKAL D
ari sisi anggaran, Indonesia disebut World Bank sebagai negara terdesentralisir di kawasan Asia Tenggara. Tidak sulit untuk menunjukkan buktinya. Tengoklah, umpamanya, transfer dana APBN ke daerah yang melonjak dua kali lipat dalam lima tahun terakhir ini. Bila pada 2005 berjumlah Rp 150,5 triliun, pada 2010 jumlah dana yang ditransfer itu mencapai Rp 309,8 triliun. Meski demikian, dari sisi proporsi besaran transfer terhadap APBN jumlah dana yang ditransfer ini tak mengalami pelonjakan yang berarti (29,5% pada 2005 menjadi 30,7% pada 2010). Tidak mengherankan jika sejumlah ekonom dan politisi beranggapan, transfer dana itu masih harus ditingkatkan hingga mendekati 60%-70% dari APBN. Pasalnya, transfer dana sejatinya merupakan konsekuensi diberlakukannya
otonomi daerah pada 2001, setelah diundangkan dua tahun sebelumnya. Otonomi daerah ini melimpahkan banyak kewenangan pemerintah pusat kepada daerah, terkecuali untuk urusan (a) politik luar negeri; (b) pertahanan keamanan; (c) peradilan; (d) moneter dan fiskal; (e) agama; dan (f) kewenangan di bidang lainnya. Selebihnya, pemerintah daerah mempunyai ruang yang cukup besar, tak terkecuali dalam urusan pengelolaan keuangan dan sumber daya alam. Bersamaan dengan mengalirnya dana ke daerah, tuntutan agar pemerintah daerah lebih transparan dan akuntabel pun semakin menguat. *** Dalam hal keterbukaan anggaran, Indonesia dinilai lebih baik dibandingkan dengan sejumlah negara sekawasan di Asia Tenggara (kecuali Singapura). Meski begitu, tetap dianggap belum memadai.
Audit Sosial Terhadap PNPM Mandiri Presiden Susilo Bambang Yudhoyono gusar ketika mengetahui ada walikota dan bupati yang menolak program Progam Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri. “Saya tidak habis pikir. Katanya ada bupati yang menolak PNPM. PNPM itu sudah berjalan 3 tahun ini, dua tahun efektif, program negara, memberikan Rp 3 milyar tiap kecamatan mulai tahun depan untuk rakyat. Mengapa ditolak? Jelaskan pada saya, jelaskan pada rakyat dari kabupaten yang bersangkutan,” kata Presiden SBY ketika membuka Munas V Kadin, Desember 2008 silam. Di mata pemerintah, PNPM adalah progam yang berhasil. Lebih daripada itu, PNPM diyakini bersifat partisipatoris (dislogankan dengan kalimat: dari, untuk dan oleh rakyat) serta tidak sekadar karikatif (dilustrasikan dengan adanya tahapan: memberi ikan, memberi pancing, memiliki pancing dan perahu). Permasalahannya, penerima manfaat program belum tentu merasakan dan atau menilainya seperti itu. Ketidaksepahaman itu bahkan juga terjadi di antara pejabat pemerintah sebagaimana diutarakan sendiri
oleh Presiden SBY. Pertanyaannya kemudian, bagaimana klaim-klaim kebijakan dan atau program pemerintah bisa dibuktikan berdasarkan perspektif penerima manfaat ? Sejak tahun anggaran 2009, TIFA mendukung GAPRI, sebuah jaringan anti–pemiskinan,untuk melaksanakan audit sosial terhadap PNPM Mandiri. Audit Sosial PNPM Mandiri merupakan penelitian yang akan mengukur seberapa jauh intervensi programatik dalam PNPM Mandiri menolong kelompokkelompok miskin keluar dari kemiskinan. Melalui audit sosial ini, diharapkan aspek dinamis dari masyarakat dapat dikenali untuk mengungkap tingkat kedalaman kemiskinan yang terjadi. Selain itu, melalui audit sosial ini juga diharapkan dapat diketahui mengapa beberapa program PNPM Mandiri belum berhasil mendorong pelibatan masyarakat marginal dalam pengambilan keputusan. Audit sosial ini diselenggarakan di 15 desa / kelurahan lokasi proyek PNPM Mandiri yang tersebar di 5 regio, yakni Sumatera (3 lokasi), Jawa-Bali (5 lokasi), Sulawesi (2 lokasi), Kalimantan (2 lokasi) dan NTT-NTB-
Maluku-Papua (3 lokasi). Kerjasama kemitraan ini merupakan tahap awal bagi pondasi praktik–praktik pengawasan mandiri oleh warga ke depan. Dukungan kemitraan direncanakan akan dilanjutkan di tahun 2010 dengan perhatian di level desa seiring dengan meningkatnya transfer fiskal dari p emerintah kabupaten bagi pemerintah desa. Audit sosial merupakan ruang deliberasi bagi warga untuk menilai sendiri akuntabilitas, efektivitas dan kesesuaian program-program pemerintah dibandingkan dengan kebutuhan-kebutuhannya. Ruang deliberasi itu di masa-masa yang akan datang akan lebih terbuka seiring dengan berlakunya Undang– Undang 14 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik per 30 April 2010. UU ini akan memungkinkan warga memperoleh informasi laporan keuangan pemerintah secara lebih mendalam, sekaligus menyingkirkan skeptisme atas minimnya dampak–dampak perubahan yang bisa dihasilkan dari suatu kerja–kerja audit sosial. (*/)
Notes Pasalnya, menurut Open Budget Index 2008, keterbukaan tersebut hanya bersifat sebagian saja sehingga menyulitkan bagi warganya untuk meminta pertanggungjwaban atas penggunaan dana milik publik. Yang cukup mencolok, Indonesia sama sekali tidak menyediakan “citizen budget” atau semacam presentasi tentang rencana dan laporan keuangan yang bisa dipahami orang awam. Dengan tidak bermaksud mengesampingkan berbagai upaya perbaikan dan pencapaian yang telah ada, pelaksanaan transparansi fiskal di Indonesia tak berlebihan jika dinilai masih ‘setengah hati’. Hal itu terlihat dari masih banyaknya regulasi tentang peran dan tanggung jawab lembaga pemerintahan yang multitafsir, terbatasnya akses terhadap data keuangan, masih artifisialnya pelibatan masyarakat dalam penyusunan, pelaksaanaan maupun pelaporan keuangan dan masih tingginya keraguan terhadap data yang digunakan. Transparansi fiskal setengah hati memungkinkan penyelenggara pemerintahan, baik di pusat dan lebihlebih di daerah, bertindak ugal-ugalan alias bertindak korup. Ini dimungkinkan karena mereka memahami dengan pasti bahwa pertanggungjawaban yang harus diberikan bisa sangat terbatas (baca:formalistik), kalau tak mau disebut ala kadarnya. Salah satu buktinya adalah hanya 4 Laporan Keuangan Pemerintah Daerah untuk tahun anggaran 2008 yang mendapat penilaian Wajar Tanpa Syarat dari BPK. Meski begitu, pejabat-pejabat pemerintah daerah tak merasa khawatir atau terganggu. Pasalnya, tak ada sanksi yang tegas dan
January 2010
jelas bagi mereka. Padahal, akibat buruknya laporan keuangan tersebut, pemerintah pusat mengalami kesulitan untuk mengetahui secara baik tentang aktifitas fiskal yang dilakukan oleh pemda. Informasi ini dibutuhkan karena sekurang-kurangnya dalam anggaran pemda terdapat dana perimbangan daerah yang dialirkan pemerintah pusat kepada pemda-pemda. Keugal-ugalan itu terjadi baik pada sisi penerimaan anggaran (sebagaiman terlihat, misalnya, dari rajinnya menciptakan berbagai jenis pungutan) maupun dari sisi pengeluaran (sebagaimana terlihat, misalnya, dari penetapan mobil dinas yang super mewah hingga pembuatan proyekproyek yang sifatnya ‘mercu suar’ belaka). Konsekuensi logisnya, pelayanan publik memburuk, termasuk di dalamnya infrastruktur dasar yang tak terurus (utamanya jalan dan irigasi). Ini masih diimbuhi dengan rumitnya perijinan usaha yang menyebabkan investor hengkang dan atau enggan menanamkan modalnya. Bagi daerah-daerah yang berlimpahan sumber daya alam, terjadi ekskalasi kerusakan alam yang massif. Meski demikian, tetap tak terjadi perbaikan k ualitas hidup masyarakat di daerah itu. Singkatnya, Indonesia menjadi negara yang berdaya saing rendah sekaligus tidak sejahtera. Salah satunya dicerminkan dari masih tingginya tingkat kemiskinan. Implikasi turunannya jadi terasa mengerikan. Di dalam negeri, hal ini akan memicu reaksi sebagian kalangan untuk mempertanyakan kembali jalan demokrasi yang sudah ditempuh.
Di mata negara sekawasan, fakta ini akan menguatkan sikap mereka untuk tetap tidak demokratis. *** Kabar baiknya, peluang untuk mendorong adanya transparansi dan akuntabilitas anggaran yang lebih subtantif masih cukup terbuka. Dari sisi regulasi, misalnya, ada UU No 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik yang akan berlaku mulai April 2010 ini. Berdasarkan UU ini, hak warga untuk mendapatkan informasi dari badan-badan publik dikukuhkan. UU KIP menjadi strategis karena menggenapi sejumlah UU yang sudah ada sebelumnya, yakni, Undang–undang tentang Anti Korupsi, KPK, Perlindungan Saksi dan Undang–undang tentang Tindak Pidana Pencucian Uang. Selain itu juga masih ada UU No 21 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik. UU ini nenegaskan keharusan adanya partisipasi masyarakat dalam pembuatan kebijakan. Dari sisi penggerak, studi IBP (2009) menunjukkan bahwa Indonesia merupakan negara yang memiliki paling banyak kelompok–kelompok pengadvokasi anggaran. Hanya saja, gerakan advokasi anggaran memang belum mampu bertansformasi menjadi gerakan sosial atau instrumen advokasi bagi warganya. Kelompok-kelompok ini memusatkan perhatian kepada aspek pelembagaan partisipasi, pengawasan penerimaan negara, pelacakan belanja, literasi anggaran serta anti–korupsi. Termasuk di dalamnya menyingkap bias-bias pada anggaran, dari mulai gender hingga keberpihakan kepada kelompok miskin.
Terkait itu, kehadiran lembaga-lembaga swadaya masyarakat internasional dan dan lembaga-lembaga keuangan dan donor juga memberi efek yang spesifik. Fokusnya pada upaya penguatan kapasitas dan partisipasi masyarakat, menjadikan kehadiran NGO Internasional lebih memastikan lagi adanya tekanan-tekanan dari bawh untuk membuat pemerintah semakin tanggap dan bertanggung-gugat terhadap kebutuhan-kebutuhan warganya. Sementara itu, fokusnya pada upaya peningkatan kapasitas aparat birokrasi dengan strategi insentif dan intervensi mendalam, menjadikan kehadiran lembaga keuangan dan donor berperan penting dalam mendorong desain perubahan r egulasi. Untuk memperbaiki kualitas transparansi dan akuntabilitas fiskal di Indonesia, Yayasan Tifa berfokus pada program-program yang mendorong terwujudnya penguatan kapasitas anggaran pemerintah, baik di sisi penerimaan m aupun p engeluaran. Dari sisi penerimaan, isu utamanya adalah bagaimana memperbaiki pendapatan pemda dari aktivitas pemanfaatan sumber daya alam atau industri ekstratif yang sedang berlangsung. Berbagai analisis menunjukkan, terdapat banyak lubang-lubang bisa dimanfaatkan pihak yang mendapat konsesi untuk membayar pajak dan retribusi yang lebih sedikit dari yang semestinya. Dari sisi pengeluaran, Tifa sependapat dengan pandangan yang menyatakan isu utamanya saat ini adalah memastikan efektivitas pengeluaran yang ditunjukkan dari ketepatan (prioritas) sasaran dan kebermanfaatan dari sisi penerima manfaat. ***
Dana Transfer APBN ke Daerah 2005 – 2010 (dalam miliar rupiah)
2010
Notes
January 2010
Prosentase Dana Transfer Terhadap APBN 2005 - 2010 36% 34% 32% 30% 28% 26% Sumber: http://www.fiskal.depkeu.go.id
Prosentase DAU Terhadap Dana Transfer 2005 - 2010
TRANSFER KE DAERAH, 2005–2010 (dalam miliar rupiah) 2005
2006
2007
2008
2009
2010
LKPP
LKPP
LKPP
LKPP
LKPP
RAPBN
I
DANA PERIMBANGAN
143,221.3
222,130.6
243,967.1
278,714.6
285,317.1
292,979.6
A
Dana Bagi Hasil
50,479.2
64,900.3
62,941.9
78,420.2
74,083.4
76,586.1
B
Dana Alokasi Umum
88,765.4
145,664.2
164,787.4
179,507.1
186,414.1
195,805.6
C
Dana Alokasi Khusus
3,976.7
11,566.1
16,237.8
20,787.3
24,819.6
20,587.9
II
DANA OTONOMI KHUSUS DAN PENYESUAIAN
7,242.6
4,049.3
9,296.0
13,718.8
24,255.2
16,818.0
A
Dana Otonomi Khusus
1,775.3
3,488.3
4,045.7
7,510.3
9,526.6
8,878.0
B
Dana Penyesuaian
5,467.3
561.1
5,250.3
6,208.5
14,728.6
7,940.0
JUMLAH
150,463.9
226,179.9
253,263.1
292,433.5
309,572.3
309,797.6
Sumber: http://www.fiskal.depkeu.go.id
Notes
January 2010
60 50 40 30 20 10
The Global Competitiveness Index: Asean Negara
Rank
Score
2009
2008
2007
2006
Singapore
5
7
5.3
5.45
Malaysia
21
21
5.04
5.1
Thailand
34
28
4.6
47
Brunei
39
-
4.54
-
Indonesia
55
54
4.25
4.24
Viet Nam
70
68
4.1
4.04
Philippines
71
71
4.09
3.99
Cambodia
109
110
353
3.48
Timor-Leste
129
127
3.15
3.2
Sumber: World Economic Forum
Tabel: CPI: Score dan Rangking Negara-Negara Asean Negara
Score CPI
Rank
2009
2008
2007
2006
2009
2008
2007
2006
Singapore
9.3
9.2
9.3
9.4
3
4
4
5
Malaysia
4.5
5.1
5.1
5.0
56
47
43
44
Thailand
3.4
3.5
3.3
3.6
84
80
84
63
Vietnam
2.7
2.7
2.6
2.6
120
121
123
111
Indonesia
2.8
2.6
2.3
2.4
111
126
143
130
Philippines
2.4
2.3
2.5
2.5
139
141
131
121
Timor-Leste
2.2
2.2
2.6
2.6
146
145
123
111
Laos
2.0
2.0
1.9
2.6
158
151
168
111
Cambodia
2.0
1.8
2.0
2.1
158
166
162
151
Myanmar
1.4
1.3
1.4
1.9
178
178
179
160
Source: Transparency Internasional
Notes
January 2010
Human Right and Justice
P
erkembangan penegakkan Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia dalam 10 tahun menunjukkan kecenderungan yang saling menegasikan. Di sisi regulasi, berderet aturan hukum dibuat untuk memastikan penegakan HAM. Pencapaian yang paling bernilai tentu saja terjadi ketika normanorma hak asasi manusia diintegrasikan dalam konstitusi (Amandemen kedua UUD 45). Pilar penting lain yang perlu disebut secara khusus adalah adanya UU No 39/1999 tentang Hak Asasi manusia dan UU No 26/2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Setelah sempat mandek, Indonesia akhirnya meratifikasi dua konvenan utama, hak sipol dan hak ekosob. Ini menggenapi berbagai ratifikasi lain yang ditanda tangani sebelum dan sesudahnya. Internasional Di antaranya Convention on the Elimination of All Forms of Racial Discrimination 1965, Convention Against Torture (CAT) dan juga konvensi yang terkait ILO, seperti Convention No. 138 Concerning Minimum Age for Admission to Employment, Convention No. 111 Concerning Discrimination in Respect of Employment and Occupation dan Convention No. 182 Concerning The Prohibition and Immediate Action for The Elimination of The Worst Forms of Child Labour. Meski begitu, dalam perkembangan berikutnya, produksi regulasi yang
ertentangan dengan semangat HAM b justru tak kalah gencarnya dibuat. Dari mulai UU No 27/1999 tentang Perubahan KUHP yang berkaitan dengan Keamanan Negara, UU No 11 Tahun 2008 tentang ITE hingga maraknya Perda-Perda Syariah yang mengesahkan adanya diskriminasi, untuk menyebut beberapa contohnya. Begitupun dengan soal penyelidikan pelanggaran HAM. Pada awalnya, terlihat komitmen kuat dari pemerintah untuk menuntaskannya. Kasus-kasus yang mendapat prioritas di antaranya kerusuhan Mei 1998, kerusuhan Timor Leste pasca jajak pendapat, kekerasaan di masa DOM Aceh, Peristiwa berdarah Tandjung Priok, Konflik Maluku, Konflik Sampit, Penyerangan kantor pusat PDI dan belakangan juga pembunuhan terhadap pegiat HAM, Munir. Berseberangan dengan semangat pada awalnya, penyelidikan itu tidak pernah beranjak lebih jauh lagi. Kalaupun akhirnya ada yang sampai ke pengadilan, yang terkena hukuman hanyalah pelaksana teknis lapangan. Bahkan, tak sedikit yang melenggang bebas. Kecenderungan ini terus berlanjut terhadap beberapa kasus lain. Sebagai catatan, ada kecenderungan untuk tak mengutak-atik lagi kasus-kasus yang terjadi pada era 1960-1970-an, Dalam politik sehari-hari, penegasian dalam penegakan HAM amat mudah ditemukan. Penggusuran paksa, perampasan tanah, hilangnya lapangan kerja, pengabaian terhadap hak adat/ komunitas dan berbagai praktik
iskriminatif terhadap kelompokd kelompok komunitas seolah-olah hanyalah soal biasa yang tak terkait dengan penegakkan hak asasi manusia. Ada semacam pembiasan seolah-olah HAM hanya terkait dengan soal-soal kekerasan dan atau pembunuhan, dan tak terkait jika menyangkut urusan ekonomi atau budaya. *** Di masa-masa yang akan datang, negasi ini akan terus berlangsung. Ini terutama sekali disebabkan oleh, pertama, ketidaksinkronan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Sungguhpun yang pertama memiliki komitmen dan rencana kerja yang jelas, selalu terbuka kemungkinan mengalami hambatan dan perlawanan karena penguasa-penguasa di daerah memiliki logika politik yang berbeda, di mana mereka lebih mudah untuk melakukan pelanggaran HAM dengan memainkan sentimen etnis, agama, ras ataupun kelas sosial. Kedua, ketiknyambungan antara regulasi. Buruknya penyusunan perundang-undangan di parlemen yang kerap diwarnai politik dagang sapi amat rentan menghasilkan berbagai UU yang saling bertentangan. Termasuk pula adanya peraturan-peraturan di bawah UU yang mengeliminasi aturan hukum di atasnya. Ketiga, bangkit dan menguatnya kelompok-kelompok konservatif keagamaan akan bertemu dengan kecenderungan praktik pembiaran yang dilakukan pemerintah. Sebagai akibatnya, komunitas minoritas selalu berada dalam kondisi terancam dan tak mendapat perlindungan yang memadai manakala mengalami kekerasan fisik
ataupun simbolik. roninya, klausul HAM justru akan dijadikan tameng untuk membenarkan praktik pembiaran aparat pemerintah terhadap aksi-aksi yang dilakukan para pelanggar HAM Keempat, adanya kecenderungan pengabaian terhadap adanya pelanggaran, pilih kasih dalam menangani pelanggaran HAM dan atau sekaligus kriminalisasi terhadap pegiat-pegiat HAM. Ini terjadi karena terjadinya konflik kepentingan di antara elit politik yang beridentitas ganda, entah itu ‘pengusaha yang politikus’ ataupun dari ‘politikus yang berbisnis”. Meskipun demikian, harus pula dicatat adanya peluang-peluang untuk memastikan pemenuhan hak asasi yang lebih baik berkat adanya UU Keterbukaan Informasi Publik yang mulai berlaku pada April 2010 ini, adanya RUU Bantuan Hukum yang telah menjadi prioritas prolegnas, bersamaan dengan Perubahan UU Penempatan & Perlindungan Tenaga Kerja Luar Negeri, RUU KUHAP, dan RUU KUHP. Dalam konteks yang seperti itu, Tifa memandang situasi yang paling berbahaya akan dialami kelompok masyarakat yang rentan dan marginal. Yang termasuk dalam kategori ini adalah komunitas minoritas agama, minoritas etnis, termasuk masyarakat adat, minoritas orientasi seksual, Perempuan, Anak, Korban pelanggaran HAM dan kejahatan serius dan Different ability. Karena itu, Tifa akan memfokuskan progamnya untuk membangun lingkungan yang memperkuat masyarakat sipil, terutama kelompok rentan dan marjinal agar mendapatkan kesetaraan dan keadilan.
Notes
January 2010
Akses Terhadap Keadilan “Jika aparat penegak hukum punya hati nurani, sebenarnya kasus seperti ini tidak perlu masuk ke meja hijau,” Muslih Bambang Lukmono, Hakim Pengadilan Negeri Purwokerto. MINAH (55 tahun), warga Ajibarang, Purwokerto, Jawa Tengah, harus menjalani persidangan di PN Purwokerta karena mencuri 3 buah kakao seharga Rp 30.000,- dari lahan perkebunan sebuah perusahaan swasta yang berbatasan dengan lahan miliknya. Ketiga kakao tersebut sudah dikembalikan dan ia pun sudah minta maaf. Namun, kasusnya tetap bergulir ke pengadilan. Setiap kali mengikuti persidangan, Minah mengeluarkan biaya Rp 50 ribu, untuk ongkos naik ojek, angkutan umum dan makan selama dalam perjalanan. Karena tak punya uang, ia bahkan pernah diberi ongkos oleh Jaksa Penuntut Umum. Muslih Bambang Lukmono, ketua majelis hakim, menjatuhi hukuman penjara 1 bulan 15 hari dengan masa percobaan 3 bulan. Ketika membacakan keputusannya, nada suara Bambang dilaporkan tersendat-sendat menahan isak. Minah tak sendirian. Ada banyak kasus yang mirip. Kasus Minah adalah penanda yang kuat tentang sulitnya rakyat biasa mengapai keadilan. Tak mengherankan jika banyak warga Indonesia yang menjauhi pengadilan.
Survey yang dilakukan Bank Dunia (2008) tentang peradilan non-negara di Indonesia, misalnya, menyebutkan bahwa hanya 2,1% responden yang pernah berhubungan dengan pengadilan selama dua tahun terakhir. Lebih jauh lagi, hanya 34,2% yang percaya terhadap keadilan formal, lainnya tidak percaya (24,3%) dan tak beropini (41,5%). Keengganan untuk berperkara di pengadilan tak hanya dikarenakan biayanya yang mahal, tetapi juga karena kuatnya persepsi bahwa aparat hukum cenderung bermental korup. Pameo yang masih terus dipercaya sebagian masyarakat, “Jika melapor kepada polisi karena kehilangan ayam, sang pelapor malah akan kehilangan sapi.” Persepsi ini selaras dengan survei Global Corruption Barameter 2007. Menurut survei ini, Lembaga kepolisian mendapatkan skor tertinggi dengan nilai indeks 4,2 disusul lembaga peradilan (dan DPR) yang indeksnya 4,1. Semakin tinggi indeks, semakin dipersepsikan terkorup. Di antara negara kawasan yang dijadikan sampel, indeks Indonesia terhadap kedua institusi ini adalah yang tertinggi. ***
MINIMNYA akses terhadap keadilan s ejatinya merupakan problem yang nyaris klasik bagi Indonesia. Rentetan liberalisasi dan demokratisasi politik rupanya tak banyak mengubah keadaan. Meski jumlah advokat meningkat tinggi ketimbang dekade 1970-an (saat ini berjumlah 20,400 orang) dan hanya sedikit yang tergerak dan bersedia melayani masyarakat pencari keadilan dari kalangan miskin, marginal dan terlebih kepada mereka yang berada di lokasi terpencil. Meski ada berbagai perbaikan regulasi dan adanya lembaga pengawas eksternal, aparat hukum diketahui masih kerap mempraktikan jual-beli perkara dengan berbagai modus yang makin canggih dari waktu ke waktu. Meski akses terhadap informasi mengenai peradilan dan hak asasi manusia jauh lebih mudah diperoleh, pengetahuan masyarakat terhadap hukum nyatanya belum banyak berubah. Memang terdapat kesadaran di kalangan pemerintah bahwa akses keadilan bisa mempercepat proses pengentasan kemiskinan. Hanya saja, kesadaran itu berhenti pada tataran retorik dan formalistik.
2007
Corruption’s impact on different sectors and institutions
Sumber: GCB 2007
Untuk memperbaiki akses masyarakat miskin, marginal dan yang berada di daerah terpencil, Yayasan Tifa sejak tiga tahun lalu telah mendukung program yang menghasilkan paralegal berbasis komunitas. Komunitas yang dimaksud adalah organisasi-organisasi rakyat yang sedang memperjuangkan hak-hak ekonomi, sosial dan budayanya. Dengan begitu, program ini sekaligus merupakan upaya sadar untuk mentransformasi korban menjadi pejuang hukum. Tantangan ke depannya adalah, pertama, memperbanyak persebaran paralegal di berbagai daerah mengingat hambatan geografis dan keterbatasan jumlah advokat yang berkecimpung di lembaga-lembaga bantuan hukum yang sudah ada di Indonesia. Kedua, memperkuat legitimasi kehadiran paralegal dihadapan aparat penegak hukum. Bagi kelompok-kelompok masyarakat miskin, marginal dan atau berada di daerah-daerah terpencil, paralegal adalah orang yang tercepat untuk mendampingi dan termudah untuk diakses ketika dirinya berhadapan dengan aparat hukum
Notes
January 2010
Pengadilan yang Berlebihan Mencuri tetap mencuri biarpun barang yan dicuri nilainya tak seberapa. Namun, seandainya aparat hukum lebih memakai hati nurani, penahanan dan peradilan terhadap pelaku-pelaku pencurian ringan tak perlu terjadi. Berikut beberapa kasus peradilan yang dapat disebut b erlebih-lebihan: Pencurian Sebutir Semangka
Suyanto dan Kholil diajukan ke PN Kota Kediri (Jatim) dengan dakwaan mencuri sebuah semangka. Majelis hakim memutuskan hukuman percobaan 15 hari. Sebelumnya, kedua terdakwa sempat menjalani tahanan selama 2 bulan lebih selama masa pemeriksaan.
Pencurian Sabun dan Kacang Ijo
Rasjo (77 tahun) dijatuhi hukuman vonis 12 hari dengan masa percobaan satu bulan oleh PN Sember (Cirebon, Jawa Barat) karena mencuri dua potong sabun dan sebungkus kacaang hijau senilai Rp 13.450,-. Di gerai sebuah minimarket. Dalam persidangan terungkap, Rasjo Rasjo sudah membayar biaya ganti rugi 10 kali lipat dengan nilai Rp 134.500. Rasjo menduga ganti rugi itu dibayarkan kepala desanya kepada polisi.
Pencurian Sengon
Ponjo (64 tahun) dijatuhi hukuman penjara 75 hari oleh Pengadilan Negeri Lumajang karena menebang dan mengambil sebatang pohon sengon jenis tekik di lahan milik Perhutani. Ponjo mengaku tidak mengetahui adanya larangan menebang pohon di lahan yang dikuasai Perhutani tersebut.
Pencurian Bola Lampu
Pencurian Sekarung Kapuk
Masinih (27 tahun) berserta 3 kerabatnya (Juwono (16), Sri Suratmi (25), dan Manise (39) diajukan ke PN Batang dengan dakwaan mencuri kapuk seberat 14 kg seharga Rp 15.000 di salah satu lahan perkebunan milik PT Segayung. Akibat proses persidangan ini, Masinih terpaksa mengagunkan rumah dan tanah untuk biaya selama mengkuti persidangan. Menurut Manisih, pencurian itu dilakukan karena dirinya tak kuasa mendengar rengekan anaknya yang minta uang saku untuk sekolah.
Pencurian Lima Batang Jagung
Parto (51) diajukan ke PN Situbondo (Jatim) dengan dakwaan mencuri lima batang jagung di sawah milik Supardi. Nilai kerugian Supardi Rp 10 ribu. Kelima jagung itu diakunyaakan dipakai untuk tambahan pakan sapi miliknya. Ia mengaku khilaf karena ketika itu kebetulan sedang menyabit rumput di sawah milik Supardi. Selama persidangan, Parto tak didampingi pengacara.
Pencurian Kue
Sulfiana, 35, buruh pabrik rokok PT United Tobacco Processing Indonesia dijatuhi hukuman satu bulan penjara masa percobaan dua bulan oleh Negeri Bangil Kabupaten Pasuruan (Jatim) karena mencuri k udapan senilai Rp 19.000. Kudapan itu adalah roti yang seharusnya dibagikan Sulfiana kepada para buruh. Sulfiana bersikeras menolak tuduhan tersebut karena ia tak merasa mencuri. Pasalnya, ketika pembagian berlangsung terjadi rebutan sesama buruh dan seorang buruh belakangan mengaku tak mendapat roti pembagian tersebut. Jika menerima hukuman ini, Sulfiana terancam bakal dipecat dari tempatnya bekerja.
Wayut, 35 tahun, yang sehariu-hari berprofesi sebagai tukang becak, diajukan ke PN Tanjugkarang, (Lampung) dengan dakwaan mencuri tiga buah lampu berukuran masin-masin 50 watt yang terpasang di pangkalan kayu di dekat rumahnya. Wayut terancam hukuman tujuh tahun penjara Pencurian itu dilakukan karena tidak mampu membeli lampu untuk menerangi rumahnya. Saat ini, Wayut dititipkan di Rumah Tahanan Wayhuwi, Bandar Lampung.
Pencurian 3 Tandan Sawit
Samsinur Butar-butar (35) warga Desa Buntu Pagar Kec Tinggi Raja Asahan, Adi (30) dan Acin (33) diajukan ke dari Pengadilan Negeri Tanjungbalai dengan dakwaan mencuri 4 tandan sawit di lahan perkebunan PT AAG Gunung Melayu. Samsinur berkeras menolak dakwaan karena tandan sawit itu diakunya diambil dari lahan warisan ayahnya.
Pencurian 3 Batang Kayu
Suyono (36), seorang buruh tani asal Desa Nglebur, Kecamatan Kedungpring, Lamongan diajukan ke PN Lamongan (Jatim) dengan dakwaan mencuri tiga batang kayu bahan baku kertas senilai Rp 80 ribu yang berada di lahan pertanian milik KPH Mojokerto. Jpu menuntutnya 8 bulan penjara, subsider 3 bulan kurungan. Suyono mengakui perbuatannya karena terdesak kebutuhan hendak membangun gubuk kecil di samping rumah mertuanya
Notes
January 2010
Citizenship Program D
ALAM ukuran yang terbatas sebagaimana ditunjukkan Freedom Index, Indonesia adalah satu-satunya negara yang dikategorikan sebagai “bebas” di Asia Tenggara. Sungguhpun begitu, ada banyak catatan kecil yang harus diberikan. Saat ini, Indonesia dihadapkan pada kenyataan terancam gagal menghadirkan pemerintah yang efisen, menumbuhkan partisipasi yang subtantif dan peneguhan demokrasi sebagai ‘aturan main’ bersama. Kegagalan ini menyebabkan wajah demokrasi di Indonesia dinilai tak konsisten. Dalam konteks relasi antar warga negara, inkonsistensi demokrasi terlihat jelas dalam urusan kebebasan beragama. Melebihi pertengkaran ideologi (yang tercermin dari penggelembungan wacana “anti-neolib”) atau pun persengketaan etnik (yang sifatnya lebih laten dan lokal), pertengkaran agama (baik antar pemeluk agama maupun di antara sesama pemeluk satu agama) jauh lebih mudah mendorong sentimen publik yang pada gilirannya menyudutkan kelompok-kelompok minoritas. Tidak mengejutkan jika kemudian Religious Freedom in the World 2008 memberi Indonesia skor 5 dari 7 (1-3=bebas, 6-7= tidak bebas). Dalam analisisnya dikatakan, rendahnya kebebasan agama ini lebih disebabkan kurang pedulinya pemerintah dan kurang berkembangnya pemahaman masyarakat mengenai hak-hak untuk bebas memilih kepercayaan. Hal yang sama ditunjukkan oleh Legatum Prosperty Index 2008 yang menilai Indonesia lemah dalam upaya membangun dukungan social dari sisi kebebasan beragama, namun kuat dari sisi keyakinan beragama. Panel yang disusun Deplu AS menempatkan Indonesia sebagai negara yang perlu mendapat pengawasan karena peringkatnya dalam daftar Countries Particular Concern (CPC) 2008 tidak berubah. Daftar ini mengindentifikasi negara-negara yang yang menolerir atau melakukan pengekangan terhadap kebebasan beragama. *** SECARA politik, berkembang keyakinan telah terjadinya under-representation. Secara terbuka, perasaan ini dikumandangkan oleh kelompok-kelompok yang disebut sebagai “Islam Politik”. Yang tidak terbuka, persepsi yang sama sejatinya juga menjadi ‘kegusaran bersama’ di kalangan kelompok-kelompok minoritas adat, etnik dan agama. Oleh kalangan politisi, ‘kegusaran bersama’ ini celakanya kerap diplintir untuk mendulang suara, baik pada pemilihan
l egislatif, presiden ataupun kepala daerah maupun tatkala terjadi kontestasi memperebutkan penguasaan sumber daya alam di sebuah wilayah. Ketika identitas-identitas dimobilisasi sewacara tidak wajar, selalu terbuka kemungkinan memperkeras potensi konflik yang sejatinya banyak disebabkan faktorfaktor lain, terutama sekali ekonomi. Potensi konflik mudah meruyak karena kuatnya internalisasi prasangka. Ironinya, prasangka ini lebih mudah berkembang subur berkat adanya jaminan kebebasan berpendapat, berorganisasi maupun pers. Berkecambahnya prasangka menjadikan keberagaman di Indonesia lebih sebagai beban. Terlebih, keberagaman tersebut jauh lebih kompleks ketimbang yang dihadapi negara-negara tetangga seperti Singapura, Malaysia, Filipina ataupun Thailand. Dalam konteks ini, Yayasan Tifa telah dan akan terus mendukung program-program yang mendorong terwujudnya pencakupan (inklusivitas), baik dari sisi politik, ekonomi, sosial maupun budaya. Dasar pokok inklusivitas itu dibingkai dalam tema membatinkan dan meneguhkan demokrasi yang memberi ruang yang besar terhadap perspektif lokal dan sekaligus mampu menyingkirkan secara efektif keabsahan untuk melakukan kekerasaan. Secara khusus, pada tahun 2010, Tifa bekerjasama dengan Kementerian Hukum dan HAM akan mengkaji ulang berbagai UU dan peraturan agar memenuhi ketentuan Konvensi Penghapusan Semua Bentuk Diskriminasi Rasial. Terkait itu, Tifa juga mendukung NGO yang akan melakukan pengumpulkan bukti-bukti dan praktik diskriminasi dalam pelayanan publik seperti pengurusan KTP, Akte Kelahiran maupun Surat Nikah. Kegiatan ini akan dilangsungkan di lima kota, termasuk Jakarta, Jayapura and Banda Aceh. Selain itu, Tifa bekerjasama dengan Kementerian Agama, Tifa akan melanjutkan program pengenalan metode pembelajaran kritis untuk para guru agama Islam. Di luar itu, Tifa juga mendukung pengembangan early warning system untuk mencegah dan mengatasi konflik agama, etnik dan rasial. Sebagai tambahannya, Tifa memfokuskannya di wilayah-wilayah yang kaya sumber daya alam seperti gas, minyak dan bahan tambang. Tifa menyakini, hadirnya inklusivitas akan menjadikan keberagaman sebagai aset yang berharga bagi Indonesia untuk mengembangkan demokrasi dan sekaligus meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya.
Secara khusus, pada tahun 2010, Tifa bekerjasama dengan Kementerian Hukum dan HAM akan mengkaji ulang berbagai UU dan peraturan agar memenuhi k etentuan Konvensi Penghapusan Semua Bentuk Diskriminasi Rasial.
Freedom Index 2008 Country
PR
CL
Status
Indonesia
2
3
F
East Timor
3
4
PF
Malaysia
4
4
PF
Philippines
4
3
PF
Singapore
5
4
PF
Thailand
6
4
PF
Brunei
6
5
NF
Cambodia
6
5
NF
Laos
7
6
NF
Vietnam
7
5
NF
Sumber: Legatum Institute
PR = political right; CL = civil liberties F = Freedom PF = Partial Freedom NF = Not Freedom
Notes
January 2010
LEGATUM PROSPERITY INDEX TABLE 2008 Builds Social Support via religon freedom
via religion belief
Thailand
-1
-
Malaysia
-12
-
Indonesia
-11
13
Philippines
7
11
Singapore
-15
4
Cambodia
10
-
Vietnam
-17
-11
Brunei
6
5
Cambodia
6
5
Laos
7
6
Vietnam
7
5
Sumber: Legatum Institute
DEMOCRACY INDEX Rank
County
Index
Category
47
Timor-Leste
7.22
Flawed democracy
54
Thailand
6.81
Flawed democracy
68
Malaysia
6.36
Flawed democracy
69
Indonesia
6.34
Flawed democracy
77
Philippines
6.12
Flawed democracy
82
Singapore
5.89
Hybrid regime
102
Cambodia
4.87
Hybrid regime
149
Vietnam
2.53
Authoritarian regime
Socialist republic, Single-party communist state
157
Laos
2.1
Authoritarian regime
Socialist republic, Single-party communist state
163
Myanmar
1.77
Authoritarian regime
Military junta (de facto Military Dictatorship)
Type of government
Sumber: Economist Intelligence Unit’s Democracy Index 2008
Jl. Jaya Mandala II No. 14E Menteng Dalam Jakarta, 12870 Indonesia Tel : (62) 021 829 2776 Fax : (62) 021 837 83648 public@tifafoundation.org www.tifafoundation.org
Notes
Tifa Notes on Indonesia