Evaluasi atas Rancangan APBN 2012

Page 1

RAPBN 2012 MASIH KONSERVATIF DAN RESIDUAL, BELUM UNTUK SEMUA WARGA NEGARA ! Evaluasi atas Rancangan APBN 2012

Penulis | Abdul Waidl, Endah Sricahyani Sucipto, Yustinus Prastowo Penyunting | Mickael B. Hoelman, Sugeng Bahagijo


RAPBN 2012 MASIH KONSERVATIF DAN RESIDUAL, BELUM UNTUK SEMUA WARGA NEGARA !


Sangsi Pelanggaran

Pasal 72 UU No. 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta 1. Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp. 1.000.000,00 (Satu-Juta-Rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (Lima Milyar Rupiah) 2. Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu Ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)

ii


RAPBN 2012 MASIH KONSERVATIF DAN RESIDUAL, BELUM UNTUK SEMUA WARGA NEGARA ! Evaluasi Atas Rancangan APBN 2012 Oleh : Komisi Anggaran Independen (KAI)

Penulis | Abdul Waidl, Endah Sricahyani Sucipto, Yustinus Prastowo Penyunting | Mickael B. Hoelman, Sugeng Bahagijo


Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT) RAPBN 2012 masih konservatif dan residual, belum untuk semua warga negara ! evaluasi atas rancangan APBN 2012 / penyunting: Mickael B. Hoelman, Sugeng Bahagijo --- Jakarta : Yayasan Tifa, 2011 35 halaman+vi ; 25,5x18 cm2

ISBN 978-979-16226-8-4

Cetakan Pertama, November 2011

Penerbit Yayasan Tifa Jakarta - Indonesia Jln. Jaya Mandala II / 14E Menteng Dalam Jakarta Selatan 12870 Telp. (021) 829-2776, Fax (021) 837-83648 e-mail : public@tifafoundation.org Diterbitkan atas kerjasama dengan Komisi Anggaran Independen (KAI) Desain tata letak dan perwajahan : Ayoenk

iv


DAFTAR ISI KATA PENGANTAR

vii

Sekilas Tentang Komisi Anggaran Independen ( KAI )

1

Pengantar: Ringkasan Eksekutif

3

I.

II.

Pajak yang Konservatif: Pajak Tanpa Partisipasi Publik

9

Beban Berat Belanja Pegawai: Kapan APBN Untuk Semua?

15

III. Alokasi Belanja Sosial Residual: Mengorbankan Kaum Perempuan dan Anak

19

IV. Beban Utang: Memperkecil Kesejahteraan Masyarakat

29

Tentang Para Penulis dan Editor

35

v


Komisi Anggaran Independen Komisioner : ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ?

Ah Maftuchan Abdul Ghofur Binny Buchori Dadang Trisasongko Danang Widoyoko Ibrahim Fahmy Badoh KH Masdar F Masudi Masruchah Prasetyantoko Sugeng Bahagijo Teten Masduki Yuna Farhan Yanuar Rizky Zoemrotin K. Susilo

Badan Pengawas : ? ? ?

Fitri Sunarto Ridaya Laodengkowe Setyo Budiantoro

Konstituen : IBC, ICW, Lakpesdam NU, LAPAM, Perkumpulan Prakarsa, P3M, PWYP, Seknas FITRA

vi

Contact Persons :

Abdul Waidl Sekretaris Jenderal Komisi Anggaran Independen d/a Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M) Jln. Cililitan Kecil III/ 12 - Kramatjati, Jakarta Timur HP : +62-815-9878729 Email : waidl2020@yahoo.com

Mickael B. Hoelman Pengelola Program Demokrasi dan Tata Pemerintahan, Yayasan Tifa Jl. Jaya Mandala II No. 14 E Menteng Dalam, Jakarta Selatan 12870 Email : mbhoelman@tifafoundation.org


KATA PENGANTAR

Sejak 2009 lalu, Yayasan Tifa bersama–sama dengan Perkumpulan Prakarsa dan beberapa lembaga organisasi non–pemerintah yang peduli masalah anggaran, tata pemerintahan dan kesejahteraan sosial menginisiasi lahirnya Komisi Anggaran Independen (KAI). Ide komisi independen ini berangkat dari beberapa upaya yang telah dirintis sebelumnya baik lewat Koalisi Masyarakat Sipil untuk Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) maupun melalui forum–forum ad–hoc lainnya. Inisiasi komisi independen juga dilatarbelakangi oleh ketiadaan alternatif wacana, pendapat bahkan perdebatan di setiap pembahasan Rancangan APBN maupun manakala presiden sebagai kepala pemerintahan melaporkan kinerja anggaran kabinetnya kepada sidang para wakil rakyat di DPR. Di satu sisi, mandegnya fungsi pengawasan di parlemen telah membuat pembahasan anggaran lebih banyak didominasi oleh pertimbangan kepentingan politik ketimbang kesejahteraan untuk seluruh warga yang diwakilinya, sementara di lain sisi terlalu ekspansifnya perhatian berbagai kelompok masyarakat sipil, terutama kalangan lembaga–lembaga swadaya masyarakat sipil untuk “terjun” ke daerah telah membuat politik anggaran nasional seolah–olah sepi dari perhatian bahkan kritik. Kelahiran KAI sebagai komisi independen karenanya juga tidak luput dilepaskan dari keinginan besar meluruskan setir politik anggaran kepada orang banyak, kaum biasa, ibu bapak, tua muda warga negara Indonesia. Sudah semestinya peningkatan jumlah anggaran negara dalam kurun waktu satu dekade terakhir hendaknya diimbangi oleh perbaikan kualitas hidup warga negara setidaknya untuk sekedar menikmati barang publik seperti pendidikan, kesehatan, lapangan kerja, pendapatan hingga perlindungan pensiun yang layak. Sebagai sebuah entitas yang independen dari kepentingan–kepentingan politik, komisi ini bekerja dengan semua pihak dan pemangku kepentingan yang memiliki tujuan dan kepedulian yang sama dalam memperbaiki anggaran negara dan mewujudkan anggaran negara yang mampu menyejahterakan warga. Sejak 2010, secara berkala KAI memberikan laporan evaluasi kritis kepada publik atas kinerja anggaran negara. Pada tahun itu juga, KAI meluncurkan Laporan Tahunan atas APBN 2010. Laporan ini secara khusus menyoroti masih elitisnya anggaran negara dan minimnya perhatian dan akuntabilitas anggaran kepada warga negara. Di tahun ini, sebuah laporan kembali diluncurkan oleh KAI bersama–sama dengan Yayasan Tifa atas Evaluasi Rancangan APBN 2012. Laporan evaluasi menjadi semacam “pidato tandingan” atas Pidato Presiden pada Penyampaian RUU tentang APBN Tahun Anggaran 2012 beserta Nota Keuangannya di DPR 16 Agustus 2011 lalu. Secara ringkas laporan yang ada di hadapan saudara ini mengkritisi bahwa meski anggaran negara semakin membelendung hingga mencapai 1,4 Triliun rupiah (2012), namun anggaran untuk kesejahteraan sosial atau belanja sosial justru cenderung mandeg dan bahkan menurun; bersifat residual, remah–remah dan hanya terbatas bagi warga miskin. Selain itu, pada sisi tata kelola anggaran negara, Rancangan APBN 2012 tersebut masih saja belum dilindungi dengan sistem integritas demi mencegah salah urus, korupsi dan penyelewengan–penyelewengan anggaran lainnya.

vii


Masih banyak catatan kritis dan rekomendasi perbaikan yang dicermati serta diusulkan di dalam laporan KAI ini. Dalam kaitan itu, Yayasan Tifa memberikan apresiasi kepada seluruh komisioner Komisi Anggaran Independen, lembaga–lembaga anggotanya dan para pihak lain yang terkait di dalam proses penyusunan laporan ini. Kami berharap upaya ini dapat terus berjalan, tersebarluaskan serta mendorong perhatian lebih besar dari masyarakat sipil terhadap penilaian kinerja pemerintahnya. Secara khusus, harapan kami penilaian–penilaian tersebut dapat berkembang lebih maju, yakni memberikan dukungan pemecahan masalah bagi para perumus dan pengambil kebijakan. Akhir kata, mewakili Yayasan Tifa perkenankan saya mengucapkan selamat membaca laporan ini.

Mickael B. Hoelman Pengelola Program Demokrasi dan Tata Pemerintahan Yayasan Tifa

viii


Sekilas tentang Komisi Anggaran Independen ( KAI )

Komisi Anggaran Independen (KAI) merupakan sebuah komisi yang dibentuk dan beranggotakan unsur-unsur individu serta kelompok masyarakat sipil untuk memperjuangkan amanat konstitusi, khususnya Pasal 26h tentang hak setiap orang untuk hidup sejahtera serta pemenuhan hak-hak ekonomi, sosial budaya seperti yang termaktub dalam UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM dan UU No. 11 Tahun 2005 tentang Ratifikasi Kovenan Internasional Hak Ekonomi Sosial dan Budaya melalui praktik tata kelola anggaran Negara yang pro rakyat miskin, terbuka dan bertanggung gugat. Terbentuknya KAI diawali dengan keberadaan Kelompok Kerja (Pokja) KAI yang didirikan di Jakarta pada tanggal 19 Desember 2009 dalam acara Lokakarya Nasional Pertama Komisi Anggaran Independen yang diselenggarakan oleh Perkumpulan Prakarsa. Pokja merupakan perkumpulan atau koalisi organisasi-organisasi non pemerintah yang membentuk dan mendukung kerja-kerja Komisi Anggaran Independen. Beberapa organisasi pemrakarsa itu diantaranya ; Perkumpulan Prakarsa, Seknas FITRA, Publish What You Pay, Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat, Indonesia Corruption Watch, Lakpesdam NU, Lembaga Advokasi Pendidikan Anak Marginal serta Gerakan Anti Pemiskinan Rakyat Indonesia. Sebagai sebuah entitas yang independen dari kepentingan-kepentingan partai politik tertentu, komisi ini bekerja dengan seluruh pihak dan para pemangku kepentingan yang memiliki tujuan dan kepedulian yang sama dalam memperbaiki tata kelola anggaran negara dan mewujudkan anggaran negara yang mampu menyejahterakan warga. Secara berkala, Komisi Anggaran Independen memberikan laporan kepada publik tentang berbagai upaya yang telah dilakukan, capaian yang dihasilkan serta sumber daya yang telah digunakan. Inisiasi Komisi Anggaran Independen (KAI) berpijak dari beberapa hal: 1.

Bahwa anggaran belanja negara masih dikelola dengan buruk. Di satu sisi, peningkatan besaran anggaran belum membawa perubahan yang signifikan dalam belanja sosial bagi peningkatan kesejahteraan warga, misalnya saja pemenuhan hak kesehatan. Di sisi lain, belanja pegawai, birokrat dan pejabat publik justru meningkat pesat. Ini dapat dilihat pada belanja pegawai dalam APBN 2010 yang telah melampaui besaran Belanja Subsidi. 1


2.

Menyikapi permasalahan tersebut, muncul sebuah kebutuhan nyata untuk lebih mengoptimalkan peran kelompok masyarakat sipil guna mendorong tata kelola anggaran yang lebih baik dan menyejahterakan warga. Masih buruknya tata kelola anggaran menunjukkan bahwa sinergi dalam kerjasama beragam kelompok tersebut harus ditingkatkan.

3.

Sinergi kerja dan koherensi agenda karenanya sangat penting untuk memampukan masyarakat sipil memanfaatkan peluang-peluang politik yang ada guna membangun aliansi strategis dengan para pemangku kepentingan kunci dalam reformasi tata kelola anggaran.

Sejak tahun 2009, guna mewujudkan upaya perbaikan tata kelola anggaran tersebut, Komisi Anggaran Independen bekerja melalui dukungan Yayasan Tifa. Didirikan satu dasawarsa yang lalu, Yayasan Tifa bekerja untuk mempromosikan masyarakat terbuka di Indonesia; suatu masyarakat yang menghargai keberagaman, menjunjung tinggi aturan hukum, keadilan dan kesetaraan. Suatu komunitas dimana warganegara, pemerintah dan bisnis mendukung hak–hak individu, dan terutama hak–hak dan pandangan perempuan, kaum minoritas dan masyarakat terpinggirkan lainnya, serta memupuk solidaritas, dan tata pemerintahan yang baik. Yayasan Tifa melaksanakan misinya ini melalui dan bersama dengan masyarakat sipil.

2

RAPBN 2012 MASIH KONSERVATIF DAN RESIDUAL, BELUM UNTUK SEMUA WARGA NEGARA


PENGANTAR Ringkasan Eksekutif

Ringkasan Eksekutif

Ciri–ciri utama Rancangan APBN 2012 ?

Rancangan APBN 2012 semakin raksasa dan lebih dari cukup untuk membangun Indonesia. Besaran nominal belanja APBN 2012 dirancang berjumlah 1.418,497 Triliun rupiah.Angka ini sangat menjanjikan,JIKA, pemerintah memiliki kemauan untuk menaikkan derajat kesejahteraan dan keadilan pembangunan bagi rakyatnya.

?

Rancangan APBN 2012 masih bertumpu pada kebijakan pajak konservatif, dimana penerimaan pajak rendah dengan sistem perpajakan yang masih belum adil. Persentase penerimaan pajak terhadap PDB (tax ratio) Indonesia masih berada di bawah Malaysia dan Thailand yang telah mencapai di atas 16 % PDB, Korea Selatan 24 %, atau tax ratio terendah anggota OECD, yakni Meksiko yang sebesar 17 %. Rata–rata tax ratio negara anggota OECD telah mencapai 34 % PDB. Untuk menjadi negara maju (developed country), Indonesia setidaknya memerlukan tax ratio sebesar 25–30% PDB atau jika mengacu UN Millenium Project dibutuhkan tax ratio 24% PDB. Grafik 1. Perbandingan Penerimaan Pajak dan Jenis Pajak terhadap Produk Domestik Bruto 13,30 12,42

12,25

11,98

11,88 11,03

6,23 3,71

2006

6,03 3,91

6,62 5,65 4,24

2007 2008 Penerimaan Pajak (tax ratio)

3,45

2009 PPh

5,79 4,19

2010 PPN

5,91 4,41

2011

Sumber : Kementerian Keuangan, diolah

?

Alokasi anggaran Belanja Pegawai pada Rancangan APBN 2012 semakin membelendung dan berpeluang membatasi Belanja Modal. Di tingkat Pusat, pada tahun 2006 alokasi untuk Belanja Pegawai sebesar 73,252 Triliun rupiah. Enam tahun kemudian alokasi untuk Belanja Pegawai membelendung hingga mencapai angka 215,725 Triliun rupiah. Sementara Belanja Modal, masing–masing hanya sebesar 54,952 Triliun rupiah (2006) dan 168,126 Triliun rupiah (2012). 3


Grafik 2. Perbandingan Belanja Modal dan Belanja Pegawai Ringkasan Eksekutif

450.000 400.000

(47.599)

350.000

(41.922)

Triliun Rupiah

300.000

215.725 250.000

182.874 200.000

(67.791) (51.798)

(40.057)

150.000

(26.136) (18.300)

100.000

127.669

112.829

148.078 168.126

90.425

73.252 140.953

50.000

54.952 0 2006 (LKPP)

80.287

64.289

72.773

75.871

2007 (LKPP)

2008 (LKPP)

2009 (LKPP)

Belanja Modal

Belanja Pegawai

2010 (LKPP)

2011 (APBNP)

2012 (RAPBN)

Selisih

Sumber : Kementerian Keuangan RI, Data Pokok APBN 2006-2012

?

Anggaran untuk Kesejahteraan Sosial atau Belanja Sosial cenderung mandeg dan menurun. Lagipula, besaran anggaran yang dialokasikan hanya dana sisa yang ada; bersifat residual, remah–remah dan terbatas bagi warga miskin. Dalam Rancangan APBN 2012, anggaran kesejahteraan sosial (KESOS) hanya dialokasikan sebesar Rp 73,16 Triliun (5,16%) yang disebarkan di berbagai program dan sektor. Angka ini jauh lebih kecil bila dibandingkan dengan anggaran belanja pegawai. Alokasi terbesar belanja sosial terdapat di lima program utama, yaitu: Bantuan Operasional Sekolah/ BOS (Rp 23,6 Triliun), Beras Miskin/ RASKIN (Rp 15,6 Triliun), Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat/ PNPM Mandiri (Rp 12,3 Triliun), Jaminan Kesehatan Masyarakat/ JAMKESMAS (Rp 5,9 Triliun) serta Program Keluarga Harapan/ PKH (Rp 2,1 Triliun). Grafik 3. Trend Persentase Anggaran Kesejahteraan Sosial 4% 3,39%

4% 2,96%

3% 3%

1,89%

2%

1,86% 1,66%

2%

1,31%

1,43%

1,39% 1,10%

1%

1,09%

0,84%

0,91%

0,76%

1,35%

1,01%

1,14%

1,32%

1,10%

1,07% 0,87%

1% 0% 2006

BOS

RASKIN

2007

BENCANA ALAM

2008

2009

JAMKESMAS

BEASISWA

2010

SLT/BLT/PKH

2011

PNPM

2012

KESEJAHTERAAN PETANI

Sumber : DIPA/RKA KL tahun 2006 - 2012

4

RAPBN 2012 MASIH KONSERVATIF DAN RESIDUAL, BELUM UNTUK SEMUA WARGA NEGARA


?

Ringkasan Eksekutif

Beban Pembayaran Utang semakin berat. Dalam Rancangan APBN 2012, total pembayaran bunga dan cicilan pokok utang luar negeri dianggarkan sebesar 170 Triliun (12% dari total belanja negara), posisinya jauh di atas belanja pemerintah pusat yang lain, seperti pada fungsi perlindungan sosial (5,26 Triliun), lingkungan hidup (10,6 Triliun), kesehatan (14,69 Triliun), perumahan dan fasilitas umum (26 Triliun), pertahanan (64,3 Triliun), pendidikan (95,6 Triliun) bahkan ekonomi (97,5 Triliun). Beban ini membuat APBN tidak lagi optimal sebagai pemicu pertumbuhan ekonomi, jaminan kesehatan serta akses pendidikan yang murah dan bermutu bagi warga. Tabel 1. Belanja Negara vs Belanja Utang (2006-2012) ( dalam Triliyun Rupiah ) Belanja Negara vs Bayar Utang

2006 LKPP

2007 LKPP

2008 LKPP

Belanja Negara Bayar Bunga Utang Dalam Negeri Luar Negeri

667.128,7 79.082,6 54.908,3 24.174,3

757.649,9 79.806,4 54.079,4 25.727,0

985.730,7 88.429,8 59,887,0 28.542,8

Cicilan Pokok Utang Luar Negeri Total Pembayaran Bunga dan Cicilan Pokok Utang

2010 LKPP

937.382,1 1.042.117,2 93.782,1 88.383,2 63.755,9 61.480,6 30.026,2 26.902,7

2011 APBN-P 1.320.751,3 106.583,8 76.613,7 29.970,1

2012 R-APBN 1.418.497,7 123.072,0 89.357,7 33.714,3

52.681,1

57.922,5

63.435,3

68.031,1

50.632,5

47.234,7

47.260,1

131.763,7 (19,75%)

137.728,9 (18,2%)

151.865,1 (15,4%)

161.813,2 (17,26%)

139.015,7 (13,34%)

153.818,5 (11,65%)

170.332,1 (12%) *

Sumber : Data Dirjen Pengelolaan Utang, diolah

?

2009 LKPP

* Persentase atas Total Belanja Negara

Rancangan APBN 2012 masih belum dilindungi dengan sistem integritas. Penerimaan Pajak dan pelaksanaan penggunaannya masih saja diwarnai oleh penyelewenangan, salah urus dan korupsi secara massif dalam kurun waktu lima tahun terakhir. Pada Rancangan APBN 2012, belum nampak cara, sistem dan mekanisme baru untuk mencegah dan mengurangi korupsi yang sistemik ini. Padahal, korupsi yang massif berdampak tidak saja pada berkurangnya penerimaan APBN, akan tetapi juga pada sisi realisasi anggaran dan efektivitas penggunaan anggaran yang rendah.

KOMISI ANGGARAN INDEPENDEN: Evaluasi Atas Rancangan APBN 2012

5


Ringkasan Eksekutif

REKOMENDASI-REKOMENDASI

6

1.

KAI merekomendasikan Pemerintah untuk menaikkan target penerimaan pajak. Target perolehan pajak diharapkan setidaknya dapat sejajar dengan Malaysia dan Thailand (16–17% PDB) dalam kurun waktu lima tahun mendatang untuk kemandirian fiskal dan kesejahteraan rakyat. Dalam kaitan tersebut, KAI memandang pentingnya dukungan politik terhadap otoritas perpajakan agar dapat melaksanakan fungsi pemungutan pajak dengan baik. Kendala terbesar dalam pemungutan pajak adalah ketersediaan data, informasi serta alat keterangan. Hal ini dapat diatasi dengan kemauan politik untuk melakukan kerjasama dari seluruh penyelenggara negara dan para pemangku kepentingan.

2.

KAI merekomendasikan Pemerintah dan DPR menetapkan transparansi target dan realisasi penerimaan pajak. Keterbukaan pemerintah dibutuhkan untuk memudahkan pengawasan dan partisipasi warganegara. Pemerintah diharapkan dapat menghitung dengan cermat jumlah potensi pajak dan kesenjangan pajak (tax gap) yang sebenarnya. Hasil perhitungan setiap tahun harus terbuka bagi akses publik.

3.

KAI merekomendasikan moratorium dan regulasi baru atas Belanja Pegawai. KAI mengusulkan penghentian remunerasi hingga pemerintah melaksanakan audit dan penilaian kinerja, penyederhanaan kementerian dan kelembagaan (termasuk lembaga non struktural) serta pembatasan maksimal alokasi belanja Pegawai di Pusat dan Daerah sebesar 40 persen. Pemerintah juga harus segera menerbitkan regulasi yang menetapkan rasio PNS dan reformulasi skema dana perimbangan yang memberikan insentif bagi daerah yang melakukan efisiensi jumlah pegawai dan disinsentif bagi terjadinya pemekaran daerah baru.

4.

KAI merekomendasikan peningkatan Belanja Sosial. Belanja sosial semestinya dinaikkan jika Indonesia hendak menyelamatkan kaum perempuan dan anak–anak. Kemiskinan dan kekerasan yang dialami oleh Jutaan kaum perempuan dan anak–anak tidak bisa diatasi hanya dengan alokasi dan program yang sifatnya residual. Besaran alokasi kesehatan dan pendidikan serta jaminan sosial harus setara dengan negara–negara lain10–15% atau minimal 3%PDB. Dalam kaitan itu, sudah waktunya bagi pemerintah untuk menyusun program–program pemberdayaan dan perlindungan bagi perempuan dan anak–anak secara lebih nyata, komprehensif dan berkelanJutan, sejajar dengan negara–negara berpendapatan menengah (middle income countries) lainnya.

5.

KAI mendesak penghentian utang baru dan merekomendasikan Pemerintah dan DPR untuk menetapkan batas maksimal pembayaran utang setiap tahun. KAI mengusulkan batas maksimal pembayaran beban utang dalam dan luar negeri dengan ketentuan dan kriteria sebagai berikut: (a) tidak melebihi belanja sosial; (b) tidak melebihi belanja modal dan barang (belanja pembangunan); dan (c) tidak melebihi 1,5 persen PDB.

RAPBN 2012 MASIH KONSERVATIF DAN RESIDUAL, BELUM UNTUK SEMUA WARGA NEGARA


KAI merekomendasikan segera dilakukan audit kelembagaan dan kinerja oleh KPK dan BPK guna memperoleh postur dan jumlah kementerian dan lembaga yang tepat. Korupsi yang sistematis dan melembaga tidak akan dapat dikurangi karena aktor pengguna anggaran (birokrasi dan elit politik) bertumpu kepada sistem, tata cara dan mekanisme birokrasi yang kuno serta rawan penyalahgunaan. Selama 50 tahun lebih, birokrasi Indonesia belum pernah diaudit dan ditata ulang berdasarkan penilaian yang terbaru. Audit juga diharapkan menghasilkan strategi dan arah bagi reformasi birokrasi.

7.

KAI merekomendasikan pembukaan akses publik terhadap SPT Pejabat Publik. Satu cara sederhana mencegah korupsi sistemik atas dana APBN 2012 mendatang adalah dengan jalan membuka akses publik kepada setiap SPT pejabat publik. Seluruh SPT pejabat publik harus dan wajib dibuka sejak SPT 2012/ 2013. Pejabat publik yang dimaksud meliputi (a) anggota Badan Anggaran DPR; (b) Presiden, Wakil Presiden, Ketua–ketua Fraksi di DPR dan Ketua Komisi di DPR; (c) Semua Pejabat Eselon I dan II di seluruh kementerian dan lembaga; (d) Semua Gubernur, Bupati, Walikota, Ketua DPRD di seluruh propinsi, kota dan kabupaten di Indonesia.

KOMISI ANGGARAN INDEPENDEN: Evaluasi Atas Rancangan APBN 2012

Ringkasan Eksekutif

6.

7


Ringkasan Eksekutif

8

RAPBN 2012 MASIH KONSERVATIF DAN RESIDUAL, BELUM UNTUK SEMUA WARGA NEGARA


BAGIAN PERTAMA

Pajak yang Konservatif : Pajak tanpa Partisipasi Publik

Pajak yang Konservatif; Pajak tanpa Partisipasi Publik

Kondisi Penerimaan Pajak 1.

Penerimaan pajak belum optimal, tercermin dari rendahnya tax ratio. Penerimaan perpajakan rata–rata memberikan kontribusi sebesar 69,4% terhadap penerimaan dalam negeri. Dalam APBN–P tahun 2011, penerimaan dalam negeri diperkirakan mencapai Rp 1.165,3 Triliun atau meningkat sebesar 17,4 % bila dibandingkan dengan realisasi tahun 2010. Penerimaan dalam negeri terutama berasal dari penerimaan perpajakan sebesar Rp 878,7 Triliun (75,4 %), dan sisanya berasal dari PNBP sebesar Rp 286,6 Triliun (24,6 %).

Tabel 2. Perbandingan Penerimaan Pajak dan Jenis Pajak terhadap Produk Domestik Bruto ( dalam Triliyun Rupiah ) Uraian

2006

PDB

3.340

%PDB

2007

%PDB

3.950

2008 %PDB

2009 %PDB

2010 %PDB

4.952

5.614

6.253

2011 %PDB 7.006

Penerimaan Pajak*

409

12,25

491

12,42

659

13,3

619

11,03

743

11,88

Pph

208

6,23

238

6,03

328

6,62

317

5,65

362

5,79

414

5,91

PPN

124

3,71

155

3,91

201

4,24

194

3,45

262

4,19

309

4,41

Sumber: Kementerian Keuangan

839 11,98

*) Angka Tax Ratio

Secara nominal penerimaan pajak meningkat namun masih bersifat inkremental. Persentase penerimaan pajak terhadap PDB (tax ratio) tidak menunjukkan kenaikan signifikan, dimana Rancangan APBN 2012 mematok 12,6%. Meskipun tidak dapat dijadikan satu–satunya ukuran kinerja institusi perpajakan, tax ratio dapat menjadi petunjuk belum optimalnya pemungutan pajak di Indonesia. Artinya masih terdapat cukup besar potensi pajak yang belum dapat dipungut. Sebagaimana tampak dalam Tabel 1, tax ratio selama enam tahun terakhir tidak pernah melampaui 14%, bahkan mencapai angka tertinggi 13,3 % hanya pada tahun 2008 ketika sunset policy dilakukan. Angka tax ratio Indonesia masih berada di bawah Malaysia dan Thailand yang telah melampaui 16 %, Korea Selatan 24 %, atau tax ratio terendah anggota OECD Meksiko sebesar 17 %. Rata–rata tax ratio negara anggota OECD sendiri telah 9


mencapai 34 %. Untuk dapat menjadi negara maju (developed country), dibutuhkan tax ratio sebesar 25–30% atau jika mengacu kepada UN Millenium Project dibutuhkan tax ratio 24% (Bird: 2008).

Pajak yang Konservatif; Pajak tanpa Partisipasi Publik

2.

Struktur penerimaan pajak dalam Rancangan APBN 2012 belum mencerminkan keadilan. Struktur pokok penerimaan pajak dalam APBN terdapat dalam tabel 2. Dari struktur tersebut dapat segera ditengarai ketidakadilan dimana realisasi APBN 2006–2010 menunjukkan penerimaan PPh Pasal 21 (PPh pegawai/ karyawan) berada jauh di atas penerimaan PPh Pasal 25/29 Pribadi (non pegawai/karyawan). Pada tahun 2010 PPh Pasal 21 telah mencapai Rp 55,3 trilyun (18,6% dari total penerimaan pajak) sementara PPh Pasal 25/29 Pribadi (non pegawai/karyawan) hanya Rp 3,6 trilyun (1,2% dari total penerimaan pajak). Hal ini jelas tidak adil karena orang pribadi usahawan yang seharusnya masuk kategori individu kaya (high wealth individual) justru tidak memberikan sumbangan signifikan terhadap penerimaan pajak. Struktur pajak yang tidak adil juga terdapat dalam perbandingan realisasi PPh dan PPN 2006–2010 yang menunjukkan pertumbuhan penerimaan PPh relatif stagnan, sedangkan pertumbuhan penerimaan PPN relatif tinggi. Padahal PPh merupakan jenis pajak yang mencerminkan keadilan karena dipungut berdasarkan kemampuan membayar (ability to pay), sedangkan PPN adalah pajak konsumsi yang bersifat regresif dan bebannya ditanggung konsumen akhir dengan tidak memperhitungkan kemampuan membayar.

Tabel 3. Perbandingan Penerimaan PPh dan PPN terhadap Penerimaan Pajak ( dalam Triliyun Rupiah ) Uraian

2006

%

2007

%

%

2009

%

%

165

40

194

40

250

38

267

43

306

41

360

43

31

19

39

20

51

20

52

19

55

18

62

17

PPN

743

2011

PPh

PPh Badan

619

2010

409

PPh Pasal 25/29 OP

658

%

Penerimaan Pajak

PPh Pasal 21

490

2008

839

2

1,1

2

0,8

4

1,4

3

1,2

4

1,2

4

1

65

39

80

41

106

42

120

45

131

43

166

46

123

30

154

31

209

32

193

31

262

35

309

37

Sumber: Kementerian Keuangan (diolah)

Persentase PPh Pasal 21, PPh Pasal 25/29 Orang Pribadi, dan PPh Pasal 25/29 Badan dibandingkan terhadap penerimaan PPh

Besarnya penerimaan PPh Pasal 21 dibandingkan PPh Pasal 25/29 Orang Pribadi juga menunjukkan belum optimalnya pemungutan pajak karena PPh Pasal 21 didukung mekanisme pemotongan (withholding) oleh pemberi kerja sedangkan PPh Pasal 25/29 Orang Pribadi menganut asas self–assessment. Fakta bahwa pada tahun 2006 Sukanto Tanoto memiliki kekayaan senilai USD 2,8 Milyar dan asset perusahaan mencapai USD 22,3 Milyar atau 19 Juta kali pendapatan per kapita orang Indonesia USD 1.150, dan 40 orang terkaya Indonesia menguasai 6% kekayaan nasional (Leigh dan van der Eng:2010). Atau berdasarkan data Capgemini Consulting Technology Outsourcing – Asia Pasific Wealth Report 2010, pada tahun 2009 di Indonesia terdapat 24.000 orang dengan total kekayaan USD 80 Milyar, tetapi kontribusi setoran pajak 1000 orang kaya di KPP Wajib Pajak Orang Pribadi Kaya Jakarta tidak lebih dari Rp 750 Milyar setahun. Penerimaan PPh Pasal 25/29 Badan yang jauh lebih 10

RAPBN 2012 MASIH KONSERVATIF DAN RESIDUAL, BELUM UNTUK SEMUA WARGA NEGARA


tinggi dibandingkan penerimaan PPh Pasal 25/29 Orang Pribadi juga menunjukkan gejala tidak sehat di mana struktur penerimaan yang baik adalah PPh Orang Pribadi di atas PPh Badan. Ini merupakan cermin upaya penghindaran pajak yang dilakukan Wajib Pajak Orang Pribadi dengan memanfaatkan kelemahan aturan dan sistem perpajakan. Fakta ini menuntut upaya yang lebih keras, strategi yang lebih baik, dan rancangan kebijakan yang komprehensif untuk mengatasi ketimpangan dan memenuhi rasa keadilan bagi semua. Kebijakan Perpajakan dalam RAPBN 2012. Kebijakan perpajakan nasional masih berfokus pada fungsi budgetair yaitu mengisi kas negara dan tidak memperhatikan fungsi regulerend (mengatur). Langkah-langkah yang akan dilakukan Pemerintah juga masih bercorak teknokratik dan apolitis, yaitu hanya menjadi tugas dan tanggung jawab institusi teknis (Ditjen Pajak dan Ditjen Bea dan Cukai) dan belum melibatkan para pemangku kepentingan, termasuk memperhitungkan kontestasi kepentingan yang berpengaruh besar. Nota Keuangan dan RAPBN 2012 juga tidak menyajikan sebuah konstruksi kebijakan perpajakan yang komprehensif, terintegrasi, dan mendukung visi besar yaitu keadilan dan kesejahteraan sosial. Besarnya tax gap – yaitu selisih antara potensi pajak yang sebenarnya dibandingkan dengan pajak yang berhasil dipungutbelum dirumuskan dengan jelas. Bahkan target penerimaan pajak dan Sensus Pajak Nasional yang dilakukan pada 2011–2012 tidak mencantumkan besarnya potensi dan rencana realisasi pajak. Kebijakan belum dirumuskan dalam paradigma partisipatif–demokratik yang berpijak pada relasi warganegara wajib membayar pajak ke negara (dan negara memiliki hak memaksa), sebaliknya negara wajib memberikan pelayanan publik yang dibutuhkan warganegara (dan warganegara memiliki hak menuntut).

Pajak yang Konservatif; Pajak tanpa Partisipasi Publik

3.

Dampak Kebijakan Perpajakan yang Konservatif 1.

2.

3.

4.

Rendahnya tax ratio berarti hilangnya potensi penerimaan negara yang dapat digunakan sebagai sumber pembiayaan belanja sosial dan pembangunan infrastruktur. Jika menggunakan taksiran konservatif, tax gap yang terjadi sebesar 30–40% PDB dengan potensi pajak sekurang–kurangnya Rp 300 trilyun/tahun. Dari perspektif hak, warganegara terancam kehilangan redistribusi pendapatan berupa layanan publik yang berkualitas, jaminan sosial yang memadai, investasi kesejahteraan dan sebagainya. Pajak belum menjadi instrumen yang memungkinkan pembiayaan negara, penciptaan pemerataan, dan penguatan kapasitas negara, dalam bingkai relasi negara– warganegara yang demokratis (revenue–bargaining policy). Saat ini kinerja institusi perpajakan dianggap tercapai apabila target penerimaan yang dibebankan terpenuhi tanpa memperhatikan aspek keadilan, distribusi pendapatan, pemihakan kepada kaum miskin dan terpinggirkan maupun pencapaian indeks pembangunan manusia yang berkualitas. Potensi timbulnya delegitimasi tehadap pemerintah karena keterputusan kebijakan perpajakan yang menekankan besarnya penerimaan dengan minimnya alokasi APBN untuk pelayanan publik. Potensi timbulnya delegitimasi tehadap pemerintah karena keterputusan kebijakan perpajakan yang menekankan besarnya penerimaan dengan alokasi APBN untuk pelayanan publik. KOMISI ANGGARAN INDEPENDEN: Evaluasi Atas Rancangan APBN 2012

11


5.

Partisipasi masyarakat rendah. Rendahnya partisipasi warga negara itu tercermin dalam peningkatan jumlah wajib pajak dari 4,3 Juta pada tahun 2005 menjadi 20,4 Juta pada 2010 yang tidak dibarengi dengan tingkat kepatuhan pajak.

Pajak yang Konservatif; Pajak tanpa Partisipasi Publik

Rekomendasi 1.

2.

3.

4.

5.

12

Pentingnya dukungan politik bagi otoritas perpajakan agar dapat melaksanakan fungsi pemungutan dengan baik. Kendala terbesar dalam pemungutan pajak adalah ketersediaan data, informasi, dan alat keterangan. Hal ini dapat diatasi dengan kemauan politik untuk melakukan kerjasama di antara seluruh penyelenggara negara dan pemangku kepentingan. Transparansi target dan realisasi penerimaan pajak sehingga memudahkan pengawasan dan partisipasi warganegara. Hal ini memerlukan penghitungan yang cermat atas berapa sebenarnya jumlah potensi pajak dan tax gap yang ada. Optimalisasi pemungutan pajak. Optimalisasi hendaknya berfokus kepada potensi di sektor ekonomi bawah tanah (underground economy), di mana terdapat potensi pajak sekurang–kurangnya Rp 300 trilyun/ tahun. Dibutuhkan penghitungan potensi penerimaan pajak lainnya, diantaranya praktik transfer pricing yang menjadikan Indonesia sebagai pusat biaya (cost centre) dan diduga merugikan negara hingga ratusan trilyun rupiah, potensi PPh dari simpanan di bank yang pada 2010 telah mencapai Rp 2000 trilyun (LPS:2010), kepemilikan saham, non cash payment transaction, dll. Pemberlakuan pemungutan pajak dengan tarif efektif melalui sistem pengawasan yang baik terhadap sektor potensial –seperti pertambangan, industri pertanian, industri hasil hutan, finansial– hingga tercipta sistem administrasi yang baik. Kebijakan pemerintah harus lebih memperhatikan perempuan, anak, dan warganegara berpenghasilan rendah, termasuk insentif bagi pekerja yang memasuki usia tidak produktif agar dapat mengalokasikan biaya kesehatan dan pensiun, mengenakan pajak konsumsi yang tinggi – terhadap barang–barang yang merugikan kepentingan umum (rokok, minuman keras), barang yang hanya dikonsumsi kelompok HWI (High Wealth Individuals) dan HNWI (High Net–Worth Individuals), pengenaan disinsentif bagi perusahaan perusak lingkungan, pajak terhadap ekspor industri ekstraktif agar mendorong pengolahan di dalam negeri, hingga peruntukan pajak (earmarking tax) yang memastikan kontraprestasi pajak dinikmati warganegara, seperti alokasi langsung 10% penerimaan PPN untuk sektor pendidikan, pajak atas polusi udara/lingkungan, dll. Untuk mendorong transparansi juga perlu diperlakukan Surat Pemberitahuan (SPT) sebagai barang publik bagi calon pejabat publik. Meningkatkan kepatuhan wajib pajak dan menciptakan efek jera (detterent effect) melalui pemeriksaan/penyidikan wajib pajak yang terindikasi tindak pidana dengan proses pengidentifikasian dan pengawasan yang melibatkan pihak lain seperti Komisi Pemberantasan Korupsi, PPATK, kepolisian, kejaksaan, pemerintah daerah, lembaga keuangan internasional, serta pemangku kepentingan seperti LSM, asosiasi–asosiasi profesi, organisasi massa/ kemasyarakatan hingga serikat–serikat pekerja. Termasuk pula melakukan peningkatan kompetensi aparatur dan pemberian hukuman yang berat bagi aparatur yang menyalahgunakan kewenangan dan terbukti melakukan korupsi.

RAPBN 2012 MASIH KONSERVATIF DAN RESIDUAL, BELUM UNTUK SEMUA WARGA NEGARA


Subsidi BBM

Pajak yang Konservatif; Pajak tanpa Partisipasi Publik

Subsidi BBM pada Rancangan APBN 2012 mencapai Rp 129 trilyun atau naik sebesar Rp 47,3 trilyun dibandingkan dengan APBN 2011. Besarnya subsidi BBM yang melampaui subsidi di semua sektor lain tentu saja membebani APBN. Namun mencabut subsidi BBM dalam waktu dekat juga berbahaya karena dampaknya adalah inflasi yang tinggi dalam kurun waktu yang relatif lama yang secara langsung akan membebani rakyat dengan penghasilan rendah. Pemerintah karenanya harus merumuskan kebijakan yang tepat, baik kebijakan pengendalian subsidi maupun kebijakan menciptakan sumber energi alternatif terbarukan serta kebijakan pembangunan infrastruktur transportasi publik. Pemerintah secara berkala perlu melaksanakan audit terhadap subsidi BBM guna menghindari penyimpangan dalam penyaluran maupun penggelembungan (mark up) biaya subsidi BBM. Pembatasan subsidi BBM niscaya dilakukan karena pada praktiknya yang menikmati subsidi BBM adalah orang kaya (Tumiwa:2010). Kebijakan pembatasan dapat dilakukan dengan pembatasan subsidi hanya untuk angkutan umum, eliminasi penggunaan BBM bersubsidi untuk mobil dan motor pribadi secara bertahap disertai edukasi yang baik dan melibatkan para pemangku kepentingan, penyesuaian harga BBM bersubsidi, dan optimalisasi pemakaian energi terbarukan. Sedangkan pembangunan infrastruktur transportasi publik semestinya dilakukan dengan perencanaan yang berdasarkan pemihakan kepada kepentingan umum, pelaksanaan proyek yang transparan dan profesional serta evaluasi dan pemeliharaan yang baik.

KOMISI ANGGARAN INDEPENDEN: Evaluasi Atas Rancangan APBN 2012

13


Pajak yang Konservatif; Pajak tanpa Partisipasi Publik

14

RAPBN 2012 MASIH KONSERVATIF DAN RESIDUAL, BELUM UNTUK SEMUA WARGA NEGARA


BAGIAN KEDUA

Beban Berat Belanja Pegawai; Kapan APBN untuk Semua?

1.

Beban Berat Belanja Pegawai; Kapan APBN untuk Semua?

Alokasi anggaran Belanja Pegawai semakin membelendung dan berpeluang memperkecil porsi Belanja Modal dan Belanja Barang. Di tingkat Pusat, pada tahun 2006 anggaran yang disediakan untuk Belanja Pegawai sebesar 73,252 Triliun rupiah. Pada Rancangan APBN 2012, alokasi yang disediakan untuk Belanja Pegawai mencapai 215,725 Triliun rupiah. Hanya dalam waktu enam tahun, anggaran untuk Belanja Pegawai naik sebesar 142,473 Triliun rupiah. Besarnya kenaikan Belanja Pegawai ini jauh di atas alokasi Belanja Barang dan Belanja Modal yang hanya sebesar 138,482 Triliun dan 168,125 Triliun rupiah. Dalam banyak hal, minimnya belanja modal ini telah menyebabkan berbagai pembangunan dan kewajiban kesejahteraan warga yang langsung ditangani pemerintah pusat tidak tercapai. Di tingkat daerah, banyak APBD menunjukkan data yang lebih memprihatinkan. Dalam APBD 2011 terdapat 124 daerah yang belanja pegawainya melebihi 60% dan 16 daerah di antaranya bahkan mencapai 70%. Belanja pegawai terbesar di Kabupaten Demak mencapai 89%. Besarnya Belanja Pegawai ini menyebabkan melemahnya diskresi fiskal untuk kepentingan pembiayaan pembangunan dan pelayanan publik dasar seperti pendidikan, kesehatan, bahkan untuk kepentingan menumbuhkan ekonomi dan kesejahteraan warga.

Tabel 4. Dana Belanja Pegawai ( dalam Triliyun Rupiah ) 2006 (LKPP) 2007 (LKPP) 2008 (LKPP) 73,252

90,425

112,829

2009 (LKPP) 127,669

2010 (LKPP) 2011 (APBN-P) 2012 (RAPBN) 148,078

182,874

215,725

Sumber: Kementerian Keuangan RI, Data Pokok APBN 2006-2012

2.

Pemerintah belum memiliki desain rekrutmen pegawai negeri; rasio kelayakan jumlah serta standar kesejahteraan pegawai negeri. Ketidakjelasan desain kepegawaian tersebut justru dijawab pemerintah dengan kebijakan yang semakin membebani keuangan nasional dan daerah. Sejak 2006, pemerintah terus merekrut pegawai negeri, menaikkan gaji pegawai antara 5–20 persen, meningkatkan tunjangan struktural dan fungsional bahkan memberi gaji ke–13. Pemerintah juga memperluas program remunerasi sejak tahun 2007 dari tiga menjadi 14 kementerian/ lembaga. Pemerintah membentuk Lembaga Non Struktural (LNS) yang hingga 2010 berjumlah 76 buah. Pemerintah juga memberikan jaminan kesehatan secara khusus kepada PNS, 15


Menteri (JAMKESMEN), dan para pejabat utama setingkat Menteri (JAMKESTAMA). Kebijakan ini dilanjutkan dalam Rancangan APBN 2012, dan telah mendorong kebijakan Moratorium PNS yang semula dimaksudkan untuk mengurangi beban Belanja Pegawai justru menaikkan alokasi Belanja Pegawai hingga 32,8 Triliun rupiah, atau dari 182,874 Triliun pada APBN Perubahan 2011 menjadi 215,725 Triliun pada Rancangan APBN 2012. Tabel 5. Pertumbuhan Jumlah PNS 2005 s.d. Desember 2010 Tahun 2005 2006 2007 2008 2009 2010

Pria

% Pertumbuhan

2.131.674 2.144.320 2.292.555 2.257.408 2.455.269 2.460.283

0,06 0,59 6,91 - 1,53 8,76 0,2

Wanita

% Pertumbuhan

1.530.662 1.580.911 1.774.646 1.825.952 2.068.936 2.137.817

5,05 3,28 12,25 2,89 13,31 3,33

% Pertumbuhan

Jumlah 3.662,336 3.725.231 4.067.201 4.083.360 4.524.205 4.598.100

2,09 1,72 9,18 0,4 10,8 1,63

Sumber: Badan Kepegawaian Negara, www.bkn.go.id, diakses 19 September 2011

Beban Berat Belanja Pegawai; Kapan APBN untuk Semua?

3.

Pemerintah tidak memiliki batasan maksimal alokasi Belanja Pegawai dalam kebijakan anggaran nasional dan daerah. Ketiadaan batasan telah menyebabkan alokasi anggaran bisa semaunya dipakai untuk kepentingan Belanja Pegawai bahkan mengabaikan kepentingan yang lebih besar, yakni pelayanan dan peningkatan kesejahteraan warga. Hal ini misalnya tercermin dari besarnya persentase Belanja Pegawai yang mengalahkan Belanja Modal dan Belanja Barang.

Tabel 6. Belanja Pemerintah Pusat, 2006-2012 ( miliar rupiah ) Uraian

1. Belanja Pegawai a. Gaji dan Tunjangan b. Honorarium dan Vakasi c. Konstribusi Sosial

2. Belanja Barang

2006 LKPP

2007 LKPP

2008 LKPP

2009 LKPP

2011*) APBN-P

2012 RAPBN

73.252,3

90.425,0

112.829,9

43.067,9 6.426,2 23.758,3

50.343,5 11.531,7 28.549,8

67.760,7 7.765,9 37.303,3

70.653,7 8.496,0 48.520,0

80.990,3 14.334,3 52,753,5

47.181,9

54.511,4

55.963,5

80.667,9

97.596,8 142.825,9 138.482,4

127.669,7 148.078,1 182.874,9 215.725,1 89.736,8 31.024,9 62.113,3

104.935,7 41.614,9 69.174,5

3. Belanja Modal

54.951,9

64.288,7

72.772,5

75.870,8

80.287,1 140.952,5 168.125,9

4. Pembayaran Bunga Utang

79.082,6

79.806,4

88.429,8

93.782,1

88.383,2 106.583,8 123.072,0

54.908,3 24.174,3

54.079,4 25.727,0

59.887,0 28.542,8

63.755,9 30.026,2

61.480,6 29.902,7

107.431,8 150.214,5

275.291,4

a. Utang Dalam Negeri b. Utang Luar Negeri

5. Subsidi a. Energi b. Non-Energi

94.605,4 12.826,4

116.865,9 33.348,6

223.013,2 52.278,2

76.613,7 29.970,1

89.357,7 33.714,3

138.082,2 192.707,1 237.194,7 208.850,2 94.585,9 43.496,3

139.952,9 52.754,1

195.288,7 41.906,0

168.559,9 40.290,3

6. Belanja Hibah

-

-

-

-

70,0

404,9

1.796,7

7. Bantuan Sosial

40.708,6

49.756,3

57.740,8

73.813,6

68.611,1

81.810,4

63.572,0

40.708,6

49.756,3

57.740,8

73.813,6

68.611,1

4.000,0 77,810,5

4.000,0 59.572,0

37.423,1

15.621,2

30.328,1

38.926,2

21.673,0

15.596,2

34.512,6

37.423,1 -

15.621,2 -

30.328,1 -

38.926,2 -

21.673,0 -

4.718,7 10.877,4 -

15.846,4 14.486,0 4.180,2

440.032,1 504.623,4

693.356,0

a. Penanggulangan Bencana b. Bantuan Melalui K/L

8. Belanja Lain-lain a. Policy Measures b. Belanja Lainnya c. Penyesuaian Dana Pendidikan

Jumlah

628.812,4 697.406,4 908.243,4 954.136,8

Sumber: Kementerian Keuangan RI, Data Pokok APBN 2006-2012

16

2010 LKPP

RAPBN 2012 MASIH KONSERVATIF DAN RESIDUAL, BELUM UNTUK SEMUA WARGA NEGARA

*) Angka Sementara


Dampak Beban Berat Belanja Pegawai Menurunnya kapasitas fiskal (nasional dan daerah) untuk meningkatkan kesejahteraan warga, mendekatkan akses pendidikan yang murah dan berkualitas serta pelayanan kesehatan bermutu. Hal ini dapat dilihat dari rendahnya alokasi belanja jaminan kesehatan warga, keterjangkauan pendidikan untuk warga miskin dan terpinggirkan, serta pos penguatan ekonomi warga. Sementara alokasi untuk Belanja Pegawai sedemikian tinggi. Keadaan ini makin diperparah dengan daya serap APBN dan APBD untuk Belanja Modal yang juga rendah.

2.

Meningkatnya pendapatan pegawai negeri berpeluang mendorong ketergantungan warga pada rekrutmen negara. Keadaan seperti ini hanya akan meningkatkan sumbangan pertumbuhan ekonomi konsumtif dan menurunkan peluang ekonomi produktif. Keadaan ini juga akan mempertebal mental buruh ketimbang semangat kewirausahaan dan kemandirian. Pada saat pertumbuhan ekonomi riil warga masih rendah, keadaan pegawai negeri justru semakin sejahtera, hal demikian akan semakin menguatkan niat masyarakat untuk menjadi pegawai negeri. Seperti disebutkan dalam Nota Keuangan Rancangan APBN 2012, penghasilan dan kesejahteraan aparatur negara mengalami peningkatan, yang tercermin pada kenaikan upah bersih (setara harga beras) bagi Pegawai Negeri Sipil (PNS), pangkat terendah (golongan I/a tidak kawin) mengalami peningkatan dari sekitar Rp 1.000.000 dalam tahun 2006 (setara 214 Kg Beras) menjadi sekitar Rp 2.000.000 dalam tahun 2011 (setara 332 Kg Beras). Khusus bagi guru dengan pangkat terendah (golongan II/a tidak kawin) upah bersih mereka mengalami peningkatan dari sekitar Rp 1.315.000 dalam tahun 2006 (setara 314 Kg Beras) menjadi sekitar Rp 2.650.000 dalam tahun 2011 (setara 562 Kg Beras), sedangkan bagi anggota TNI/ Polri dengan pangkat terendah (Tamtama/ Bintara) upah bersihnya mengalami peningkatan dari sekitar Rp 1.584.000 dalam tahun 2006 (setara 412 Kg Beras) menjadi sekitar Rp 2.631.000 dalam tahun 2011 (setara 557 Kg Beras).

3.

Setiap kenaikan pendapatan pegawai negeri selalu memicu inflasi. Rancangan APBN 2012 yang memberikan kenaikan 10 persen gaji pokok pegawai negeri, berpeluang besar menaikkan inflasi. Alih–alih menguntungkan warga, inflasi justru semakin menurunkan tingkat daya beli warga. Keadaan seperti ini jelas tidak menguntungkan bagi pertumbuhan ekonomi dan mengurangi peluang peningkatan kesejahteraan warga.

Beban Berat Belanja Pegawai; Kapan APBN untuk Semua?

1.

Rekomendasi ke Depan 1.

Penghentian Remunerasi hingga Pemerintah melaksanakan audit dan penilaian kinerja serta kelembagaan Kementerian dan Lembaga Pemerintah dengan tujuan pokok perbaikan radikal terhadap mutu pelayanan pegawai kepada warga dan mengurangi tingkat korupsi. Terungkapnya kasus Gayus dan Hakim Imas merupakan indikator bahwa remunerasi tidak cukup efektif mengurangi korupsi dan meningkatkan pelayanan kepada warga. Pemberian remunerasi seharusnya diikuti dengan peningkatan produktivitas pegawai dan perbaikan mutu pelayanan KOMISI ANGGARAN INDEPENDEN: Evaluasi Atas Rancangan APBN 2012

17


Beban Berat Belanja Pegawai; Kapan APBN untuk Semua?

publik. Pegawai yang tidak produktif dan tidak kompeten, akibat sistem rekruitmen yang masih sarat KKN, serta pejabat yang memiliki harta tidak wajar harus dipangkas. Hasil pemangkasan selanjutnya dapat dikonversi untuk menutupi tambahan penghasilan. Hasilnya dapat merampingkan (efektif) birokrasi dan menghemat biaya (efisien).

18

2.

Penyederhanaan Lembaga Non-Struktural dan Kementerian. Reformasi birokrasi idealnya dimulai dari atas dan diawali dengan konsep makro yang jelas. Ada banyak kementerian seperti kementerian sosial hingga kementerian informasi dan teknologi yang sebenarnya tidak memerlukan departemen khusus dan dapat digabungkan dengan kementerian lain. Kementerian Pertanian dan Kehutanan juga tidak terlalu dibutuhkan dan fungsinya dapat dijalankan lewat pembagian urusan daerah. Pengurangan lembaga dan kementerian sudah pasti akan mengurangi banyak dana Belanja Pegawai.

3.

Menghapus PPh PNS yang selama ini ditanggung oleh negara. APBN telah memberikan fasilitas dan menaikkan kesejahteraan aparat negara. Jumlah alokasi anggaran untuk belanja pegawai negeri sudah sangat besar. Karena itu, demi menjaga kepantasan, keadilan, dan mengurangi beban tanggungan pemerintah, maka PPh PNS pantas untuk dicabut.

4.

Pemerintah harus menyusun regulasi yang menetapkan rasio PNS, memberi batasan maksimal alokasi Belanja Pegawai per tahun dalam APBN dan APBD, serta merumuskan skema dana perimbangan yang memberikan insentif bagi daerah yang melakukan efisiensi jumlah pegawai dan disisentif bagi terjadinya pemekaran daerah baru. Rasio jumlah pegawai dapat mempertimbangkan variabel jumlah penduduk, kondisi geografis, kemampuan keuangan hingga fungsi pelayanan urusan daerah. Mengacu kepada perbandingan negara sebaya seperti Brazil yang menetapkan batasan maksimal Belanja Pegawai yang tidak melebihi 48 persen, maka Indonesia dapat mempertimbangkan batasan setara 40 persen belanja pegawai dalam APBN dan APBD terhadap total biaya pembangunan. Sedangkan reformulasi skema dana perimbangan diharapkan menjadi ganjaran bagi daerah yang melakukan efisiensi jumlah pegawai dan memberi hukuman kepada daerah yang menaikkan jumlah pegawai dan alokasi Belanja Pegawai yang melebihi ketentuan ambang batas yang telah ditetapkan sebelumnya.

RAPBN 2012 MASIH KONSERVATIF DAN RESIDUAL, BELUM UNTUK SEMUA WARGA NEGARA


BAGIAN KETIGA

Alokasi Belanja Sosial Residual; Mengorbankan Kaum Perempuan dan Anak

1. Politik Kesejahteraan Sosial: Beban Ganda Kemiskinan Kebijakan penganggaran kesejahteraan sosial di Indonesia sebenarnya dapat dilihat di dalam UU No.11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial, yang mulai terlihat mengarah kepada model penganggaran residual seperti yang dipraktikkan di negara–negara maritim kepulauan di Eropa (anglo saxon). Penganggaran residual membawa ciri penyelenggaraan jaminan sosial yang lebih diprioritaskan kepada kelompok rentan (rakyat miskin, cacat, pengangguran). Di luar kelompok tersebut, jaminan sosial tetap diselenggarakan, namun penganggarannya tidak lagi dibebankan kepada Negara, namun diserahkan dan harus ditanggung secara bersama–sama antara pemerintah, swasta dan pekerja. 1

Alokasi Belanja Sosial Residual; Mengorbankan Kaum Perempuan & Anak

Penganggaran kesejahteraan sosial seperti ini memang hampir mirip seperti yang diselenggarakan di Jepang, yang memadukan prinsip–prinsip dalam sistem asuransi sosial dan bantuan sosial. Meskipun sistem pendanaan dilakukan berdasarkan pembagian silang antar penduduk (sharing across population), pemerintah tetap terlibat baik dalam pengaturan, pengawasan maupun pendanaannya. Pola pendanaan bersama antara pemerintah, pihak swasta (usaha) dan masyarakat ini sebenarnya telah lama menggejala di berbagai negara menjelang abad 21 seperti yang dilaporkan oleh Japan Ministry of Health, Labour, and Welfare (MHLW) (1999: 4): Social security is a mechanism basically created for income redistribution and mutual assistance based on the idea of individual independence and support by the social solidarity of people… A regional welfare system comprised of multiple layers of “self–support”, “mutual support” dan “public support” for the entire society to support welfare including families, regional organizations, companies, and the national and local governments based on the independence of each citizen.

Perubahan menuju pengganggaran residual ini sebenarnya bertentangan dengan mandat konstitusi yang mengamanatkan kesejahteraan sosial menjadi tanggung jawab negara sepenuhnya. Dalam banyak hal, perubahan ini dipengaruhi oleh alasan

1

Lihat Undang–Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional. 19


ketidakmampuan negara dalam penyediaan anggaran yang dibutuhkan (keterbatasan anggaran). Dengan alasan itu pulalah, pemerintah kemudian mencoba melepaskan sebagian tanggung–jawabnya dengan cara hanya memberikan kesejahteraan sosial (jaminan sosial khususnya) kepada warga miskin saja. Perubahan paradigma penganggaran kesejahteraan sosial demikian akhirnya membawa dampak berubahnya politik penganggaran kesejahteraan sosial di Indonesia. Berbagai subsidi yang tidak spesifik untuk rakyat miskin, khususnya subsidi energi (BBM dan listrik) dihapuskan secara bertahap. Kebijakan penghapusan ini telah dimulai sejak tahun 2008 lalu, dengan menurunkan persentase subsidi energi dari 26,56% pada tahun 2007 menjadi 22,62% di tahun 2008. Bahkan pada tahun berikutnya (2009) prosentasenya hanya tinggal 10,09% saja. Sayangnya (atau untungnya) di tahun 2010 terjadi lonjakan harga minyak bumi yang sempat tak terkendali, sehingga kebijakan penghapusan subsidi energi sempat tersendat, karena pemerintah mau tidak mau harus menyesuaikan anggaran subsidi energi dengan kenaikan harga minyak bumi. Itulah kenapa pada tahun 2010 subsidi energi sempat naik menjadi 13,82% dan kembali naik menjadi 15,22% pada 2011. Namun karena sejak awal kenaikan tersebut berangkat dari “keterpaksaan” (bukan kebijakan), menjadi wajar jika pada tahun 2012 pemerintah kembali menurunkannya menjadi 11,89% seiring dengan kecenderungan harga minyak bumi yang mulai kembali stabil.

Alokasi Belanja Sosial Residual; Mengorbankan Kaum Perempuan & Anak

Grafik 4. Kecenderungan Subsidi Energi 2006-2012 ( Milyar Rupiah )

Sumber: APBN tahun 2006 - 2012

Penurunan kembali belanja subsidi energi 2012 adalah kembalinya pemerintah kepada komitmen awal untuk menghapus subsidi–subsidi yang tidak spesifik rakyat miskin dalam rangka penerapan kesejahteraan sosial residual. Kebijakan yang sudah pasti berakibat semakin miskinnya rakyat miskin karena arus inflasi. Namun pemerintah kembali berjanji dan menjamin akan merealokasi pemangkasan anggaran subsidi untuk bantuan–bantuan sosial bagi rakyat miskin, sehingga mereka terhindar dari dampak inflasi dengan memperbesar anggaran kesejahteraan sosial non subsidi. Sayangnya, jaminan pemerintah ini masih lebih banyak bersifat lip services daripada bukti nyatanya. Karena selama 5 (lima) tahun terakhir anggaran kesejahteraan sosial 20

RAPBN 2012 MASIH KONSERVATIF DAN RESIDUAL, BELUM UNTUK SEMUA WARGA NEGARA


tetap tidak mengalami peningkatan berarti, cenderung stagnan bahkan menurun. Fakta konkrit, ketika pemerintah mencabut sebagian subsidi BBM pada tahun 2008 seharusnya anggaran kesejahteraan sosial naik karena mendapatkan tambahan anggaran dari hasil realokasi pengurangan subsidi. Kenyataannya malah turun begitu tajam dari 8,02% pada tahun 2007 menjadi 4,32% saja pada tahun 2008. Dan saat ini (2012) kebijakan ini diulangi lagi oleh Pemerintah. Jika pada tahun 2011 anggaran kesos mulai membaik menjadi 5,56%, tahun 2012 kembali diturunkan menjadi 5,16%. Grafik 5. Kecenderungan Anggaran Kesos Lintas Sektor (Non-Subsidi ) 2006 - 2012

Sumber: DIPA/ RKA KL tahun 2006 -

Alokasi Belanja Sosial Residual; Mengorbankan Kaum Perempuan & Anak

Begitu pula dengan berbagai subsidi spesifik rakyat miskin (subsidi pangan, pupuk, benih, minyak goreng, kedelai dan kredit program) yang terkait langsung dengan nasib kesejahteraan sosial rakyat miskin, yang seharusnya tetap dipertahankan ternyata juga dipangkas oleh pemerintah. Ini terlihat dari turunnya anggaran subsidi non energi dari 4,67% (Rp 57,4 Triliun) pada tahun 2011 menjadi 2,84% (Rp 40,3 Triliun) pada tahun 2012. Bahkan saat pemerintah mencabut subsidi BBM 2008, yang seharusnya dikompensasi dengan naiknya subsidi non energi, justru ikut turun dari 5,3% menjadi 4,64%. Satu–satunya kenaikan subsidi non energi hanya terjadi di tahun 2010 menjadi 5,5%, setelah itu terus turun. Bahkan subsidi minyak goreng dan kedelai telah dihapus sejak tahun 2008 lalu.

Grafik 6. Kecenderungan Subsidi Non-Energi 2006 - 2012 ( Milyar Rupiah )

Sumber: APBN tahun 2006 – 2012 KOMISI ANGGARAN INDEPENDEN: Evaluasi Atas Rancangan APBN 2012

21


Jika mengacu kepada UU No.11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial, program kesejahteraan sosial di Indonesia terbagi ke dalam 4 (empat) bidang, yaitu: perlindungan sosial (social security), jaminan sosial (social insurance), pemberdayaan sosial (social assistance), dan rehabilitasi sosial (social rehabilitation). Dalam Rancangan APBN 2012, anggaran kesejahteraan sosial (KESOS) dari keempat bidang di atas total alokasinya hanya sebesar Rp 73,16 Triliun (5,16%), tersebar di berbagai program dan sektor (lihat grafik 5). Prosentase ini memang jauh lebih kecil jika dibandingkan dengan anggaran bagi kesejahteraan pegawai yang di tahun yang sama dialokasikan mencapai 15,12%. Alokasi anggaran KESOS terbesar berada di lima program utama, yakni: BOS (Rp 23,6 Triliun), RASKIN (Rp 15,6 Triliun), PNPM (Rp 12,3 Triliun), JAMKESMAS (Rp 5,9 Triliun) dan PKH (Rp 2,1 Triliun). Ironisnya secara keseluruhan, anggaran–anggaran KESOS pada R–APBN 2012 hampir semuanya mengalami penurunan persentase. Hanya program BOS dan PKH saja yang mengalami kenaikan, itupun tidak signifikan (lihat grafik 7).

Alokasi Belanja Sosial Residual; Mengorbankan Kaum Perempuan & Anak

Grafik 7. Kecenderungan Persentase Anggaran Kesos 2006 - 2012

Sumber: DIPA/ RKA KL tahun 2006 - 2012

22

RAPBN 2012 MASIH KONSERVATIF DAN RESIDUAL, BELUM UNTUK SEMUA WARGA NEGARA


Program Beras Miskin misalnya, yang awalnya di tahun 2011 masih mendapatkan alokasi Rp 16,2 Triliun (1,32%), pada tahun 2012 diturunkan menjadi Rp 15,6 Triliun, yang digunakan untuk melindungi 17,3 Juta orang miskin. Padahal pada tahun 2008 cakupan RASKIN telah mencapai 19,1 Juta orang miskin. Sayangnya wilayah cakupan RASKIN ini terus menurun hingga tahun 2012, meski angka kemiskinan di Indonesia dalam lima tahun terakhir tidak mengalami penurunan yang berarti, sehingga tidak semestinya alokasi anggaran dan cakupan RASKIN justru diperkecil. Begitu pula dengan program JAMKESMAS, dalam Rancangan APBN 2012 juga diturunkan dari Rp 6,3 Triliun (pada tahun 2011) menjadi Rp 5,9 Triliun. Penurunan ini tentu akan semakin mempersulit rakyat miskin dalam memperoleh akses kesehatan. Sebab dengan Rp 5,9 Triliun tersebut setiap orang miskin hanya akan mendapat alokasi Rp 6.435 per bulannya. Jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan asuransi kesehatan yang dimiliki PNS, TNI dan Polri yang telah mencapai Rp 35 ribu per bulannya. Program–program kesejahteraan sosial yang berada di bawah Kementerian Sosial (KEMENSOS) juga tidak ada bedanya. Satu–satunya program jaminan sosial yang ditangani Kemensos adalah Bantuan Tunai Bersyarat dan Asuransi Kesejahteraan Sosial (ASKESOS). Bantuan Tunai Bersyarat diperuntukkan bagi rumah tangga sangat miskin dengan total anggaran Rp 2,1 Triliun. Program tersebut saat ini dikenal dengan Program Keluarga Harapan (PKH). Program ini pun hanya mampu menjangkau 1,5 Juta rumah tangga saja dengan alokasi tidak lebih dari Rp 100 ribu per bulan. Begitu pula dengan ASKESOS, dengan anggaran yang hanya sebesar Rp 30 Milyar, KEMENSOS hanya bisa menargetkan ASKESOS bagi 50.800 jiwa saja.

Alokasi Belanja Sosial Residual; Mengorbankan Kaum Perempuan & Anak

Di luar itu, KEMENSOS memang masih memiliki satu program bantuan sosial lainnya yaitu pemberian modal usaha kepada warga miskin yang digabung ke dalam kelompok–kelompok usaha bersama (KUBE). Untuk tahun 2012, anggaran KUBE direncanakan sebesar Rp 218,1 Milyar dan diperuntukkan bagi 9.311 kelompok fakir miskin. Selebihnya, program kesejahteraan sosial KEMENSOS masih tetap setia dengan paradigma lama yang memandang warga miskin dengan profesi pengemis, gelandangan, PSK sebagai penyakit sosial yang perlu direhabilitasi. Itu sebabnya pula, KEMENSOS masih mempertahankan Direktorat Jenderal (DITJEN) yang khusus menangani rehabilitasi. Dalam praktiknya, program rehabilitasi sosial seringkali berjalan beriringan dengan program–program ketenteraman dan ketertiban umum (penggusuran dan penertiban). Rehabilitasi sosial dilakukan melalui pembinaan, penyuluhan dan pemberian keterampilan di panti–panti sosial. Anggarannya tergolong cukup besar karena mencapai 930,4 Milyar jika dibandingkan dengan program pemberdayaan sosial dan penanggulangan kemiskinan yang hanya sebesar Rp 754,8 Milyar. Dari perbandingan angka ini pula dapat dibaca bahwa pemerintah ternyata lebih memilih prioritas penertiban (baca: penggarukan) pengemis, gelandangan dan PSK ketimbang memberikan bantuan dan perlindungan sosial kepada mereka sebagai kelompok rentan. Kesejahteraan Sosial Residual: Beban Ganda Kemiskian. Meskipun Indonesia secara formal tidak menganut sistem negara kesejahteraan, secara substansial, konstitusinya (Pasal 28C; Pasal 28Hdan Pasal 34) mengamanatkan bahwa jaminan sosial pada dasarnya merupakan hak–hak rakyat yang harus dipenuhi oleh negara (Suharto, 2001a; 2001b; 2001c; 2002). Dengan demikian, jika Indonesia akan KOMISI ANGGARAN INDEPENDEN: Evaluasi Atas Rancangan APBN 2012

23


mengembangkan jaminan sosial yang berbasis masyarakat, negara tidak boleh mengabaikan atau menyerahkan begitu saja sistem ini kepada rakyat. Karena, selain negara pada dasarnya merupakan representasi rakyat, dimanapun di seluruh negara, bidang kesejahteraan dan pelayanan sosial merupakan domain dimana peran dan kontribusi negara masih dominan. Model penganggaran kesejahteraan residual yang sedang dicoba dipraktikkan saat ini; yang hanya memprioritaskan kesejahtearan sosial kepada rakyat miskin, seharusnya diikuti dengan jaminan pemenuhan hak–hak sosial, ekonomi, kesehatan dan pendidikan bagi warga miskin. Dalam praktiknya, ternyata pemerintah masih saja belum mampu memenuhinya. Anggaran kesejahteraan sosial bagi rakyat miskin tetap kecil dan terbatas. Akibatnya, pencabutan subsidi BBM sebagai bagian dari kebijakan penganggaran kesejahteraan residual justru semakin memiskinkan warga miskin. Di satu sisi, warga miskin terbebani dengan dicabutnya subsidi BBM yang berdampak pada inflasi, sementara di sisi yang lain anggaran yang seharusnya mampu mencakup kesejahteraan sosial mereka tetap terbatas. Kalaupun terjadi peningkatan, jumlahnya tetap tidak sebanding dengan laju inflasi.

2. Penganggaran Kesejahteraan Perempuan dan Anak: Politik Anggaran tanpa Kehendak Politik Baik. Penganggaran kesejahteraan perempuan dan anak (di luar anggaran kesehatan ibu dan anak) jika dilihat dari prosentasenya terhadap total belanja APBN selalu berada di bawah 0,5%, dan itupun sebagian besar dipergunakan guna menekan laju pertumbuhan penduduk (program Keluarga Berencana) ketimbang ditujukan untuk program–program perlindungan maupun pemberdayaan perempuan dan anak miskin.

Alokasi Belanja Sosial Residual; Mengorbankan Kaum Perempuan & Anak

Grafik 8. Kecenderungan Anggaran Kesejahteraan Perempuan dan Anak

Sumber: DIPA/ RKA KL tahun 2006 - 2012

Jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya (2011), anggaran kesejahteraan sosial secara nominal memang naik dari Rp 4,83 Triliun menjadi Rp Rp 5,40 Triliun, namun secara prosentase terhadap total belanja jumlah ini justru turun dari 0,39% menjadi 0,38%.

24

RAPBN 2012 MASIH KONSERVATIF DAN RESIDUAL, BELUM UNTUK SEMUA WARGA NEGARA


Ketimpangan Jender di Indonesia dan Penganggarannya. Dalam konstruksi budaya patriarkhi, kelompok perempuan selalu menjadi kelompok termiskin dari rakyat miskin, karena selain termiskinkan oleh kebijakan, mereka juga termiskinkan oleh stereotip dan sistem budaya yang masih memandang mereka sebagai subordinat laki–laki sehingga termarjinalkan dari segala akses sumberdaya. Konstruksi budaya patriarki ini telah membawa dampak ketimpangan jender yang berlarut–larut. Berdasarkan data BPS 2000, perbedaan kemampuan membaca menulis antara laki–laki dan perempuan di Indonesia masih tinggi dengan perbandingan 56,9% : 88,1%. Ketimpangan ini secara tidak langsung telah memberikan konstribusi kepada timpangnya perbandingan laki–laki dan perempuan yang bekerja di sektor informal dengan perbandingan 29,6% : 39,2%. Ketimpangan jender yang mengakibatkan tertinggalnya kaum perempuan terhadap laki–laki di Indonesia ternyata tidak pernah disikapi serius oleh pemerintah. Hal ini dapat terlihat dari berbagai program peningkatan kesejahteraan perempuan yang anggarannya lebih banyak dihabiskan untuk program Keluarga Berencana (KB) saja. Program–program yang bersifat pemberdayaan perempuan dan anak, serta pelayanan sosial selalu mendapatkan prosentase yang kecil (lihat grafik 9). Grafik 9. Kecenderungan Anggaran kesejahteraan Perempuan dan Anak (Lintas Sektor) 2006 –2012

Alokasi Belanja Sosial Residual; Mengorbankan Kaum Perempuan & Anak

Sumber: DIPA/ RKA KL tahun 2006 - 2012

Program pemberdayaan perempuan yang disusun oleh pemerintah pun, di samping anggarannya begitu kecil, juga sebatas kepada program pengarusutamaan jender di setiap kementerian/ lembaga. Hal ini berlangsung terus menerus selama bertahun– tahun sejak jaman Orde Baru. Akibatnya hampir tidak ada satu pun program yang benar–benar memberdayakan perempuan dan anak (yang tidak sebatas pengarusutamaan) selama ini diklaim berhasil dalam APBN. KOMISI ANGGARAN INDEPENDEN: Evaluasi Atas Rancangan APBN 2012

25


Dalam hal perlindungan kepada perempuan misalnya, berdasarkan temuan Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (KOMNAS PEREMPUAN), angka kekerasan terhadap perempuan yang dilaporkan setiap tahun masih tinggi. Pada tahun 2010 saja, dilaporkan terdapat 105.103 kasus kekerasan, jauh lebih tinggi dibandingkan dengan data kasus yang terjadi di tahun 2007 yang sebanyak 34.665 kasus. Namun, hampir tidak ada anggaran untuk memberikan perlindungan bagi perempuan terhadap kekerasan ini. Dalam Rancangan APBN 2012, program khusus perlindungan perempuan hanya menyediakan anggaran sebesar Rp 9,7 Milyar dan itupun sebagian besar (Rp 6,3 Milyar) akan digunakan untuk menutupi biaya kantor KOMNAS PEREMPUAN. Praktis, hanya tersedia anggaran sejumlah Rp 3,4 Milyar saja yang dapat digunakan oleh KOMNAS PEREMPUAN untuk melaksanakan program perlindungan selama tahun 2012. Padahal program–program perlindungan yang menjadi tanggung–jawab KOMNAS PEREMPUAN begitu luas mencakup advokasi kebijakan, pencegahan dan penanggulangan kekerasan terhadap perempuan, pengaduan dan dokumentasi aduan kekerasan hingga pemberian konseling bagi perempuan korban kekerasan. Tidak sebandingnya anggaran perlindungan dengan tugas dan tanggung–jawab KOMNAS PEREMPUAN tersebut telah membuat kebijakan dan kegiatan perlindungan terhadap perempuan terancam lumpuh karena ketiadaan anggaran. Begitu pula halnya dalam perlindungan anak. Dari anggaran sebesar Rp 38,6 Milyar di Kantor Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (MENEG PP & PA), sebagian besar habis digunakan di internal kementerian saja untuk harmonisasi kebijakan perlindungan anak. Sehingga Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) juga harus mengalami nasib yang sama seperti KOMNAS PEREMPUAN, tidak mampu bergerak karena ketiadaan anggaran.

Alokasi Belanja Sosial Residual; Mengorbankan Kaum Perempuan & Anak

Penganggaran Kesehatan Ibu dan Anak. Selain kekerasan terhadap perempuan dan anak, persoalan ancaman kematian karena rendahnya derajat dan akses kesehatan mengakibatkan angka kematian ibu dan anak masih tinggi. Sampai tahun 2010, angka kematian ibu masih mencapai 228 dari 1.000 proses persalinan. Begitu pula dengan angka kematian anak masih mencapai 35 per 1000 kelahiran hidup. Angka ini hampir lima kali lipat dibandingkan dengan angka kematian bayi di Malaysia, dua kali lipat dibandingkan Thailand dan 1,3 kali lipat dibandingkan Philipina. Belum lagi kasus gizi buruk yang pada tahun 2010 saja masih tercatat 4,1 Juta kasus gizi buruk yang terdeteksi. Di dalam Rancangan APBN 2012, dari Rp 28,8 Triliun anggaran Kementerian Kesehatan (KEMENKES), anggaran yang langsung digunakan untuk penanggulangan kematian ibu dan bayi dititipkan ke dalam program JAMKESMAS dalam bentuk Jaminan Persalinan (JAMPERSAL) sebesar 1,6 Triliun. JAMPERSAL tersebut diperuntukkan bagi ibu miskin yang belum terjangkau dalam JAMKESMAS. Sayangnya program JAMPERSAL ini baru meliputi 10 klaim saja (yang berarti baru mencakup 10 kabupaten/ kota). Sementara untuk penanggulangan kasus kurang gizi dan gizi buruk, penganggarannya dimasukkan ke dalam bagian program bina gizi dan kesehatan ibu dan anak dengan total anggaran Rp 2 Triliun. Meski jumlahnya lumayan besar, sayangnya sebagian besar program ini anggarannya masih digunakan untuk kebutuhan sosialisasi dan layanan perkantoran saja. Anggaran yang benar–benar digunakan langsung untuk perbaikan gizi hanya terdapat di sub–program pengadaan

26

RAPBN 2012 MASIH KONSERVATIF DAN RESIDUAL, BELUM UNTUK SEMUA WARGA NEGARA


makanan tambahan sebesar Rp 37 Milyar dan pelatihan bagi tenaga kesehatan sebesar Rp 13,3 Milyar.

3. Rekomendasi Politik penganggaran kesejahteraan sosial residual dengan menghapus segala subsidi bersifat umum harus diikuti dengan pemenuhan anggaran kesejahteraan sosial bagi warga miskin di dalam APBN. Prioritas pertama yang harus dipenuhi negara adalah terpenuhinya hak–hak dasar (ekonomi, pendidikan dan kesehatan) warga miskin. Hak–hak dasar seyogyanya lebih banyak difokuskan kepada jaminan sosial di bidang pendidikan dan kesehatan ketimbang bantuan–bantuan sosial yang bersifat karitatif. Kalaupun dipertahankan, seharusnya kebijakan tersebut sudah mulai beranjak dari karitatif mengarah kepada upaya–upaya membangun kemandirian ekonomi warga miskin. Bantuan sosial bersifat pemberdayaan ekonomi tentunya juga hanya bisa berlaku efektif bila disertai dukungan perlindungan usaha bagi warga miskin.

?

Anggaran kesejahteraan sosial di Rancangan APBN 2012 prosentasenya masih relatif kecil yaitu 19,9% (Rp 282 Triliun). Idealnya, dengan konstitusi yang mengamanatkan kesejahteraan sosial sebagai tanggung jawab negara, maka belanja kesejahteraan sosial seyogyanya berada di kisaran 30–50%. Kisaran prosentase ini sebenarnya masuk akal dan pernah dicapai Pemerintah pada tahun 2007 dengan total belanja 42,2%. Sebagai perbandingan, di Selandia Baru yang selama ini kerap dijadikan rujukan pemerintah dalam penganggaran kesejahteraan sosial residual, prosentase anggaran KESOS bahkan bisa mencapai 39%. Sebaliknya jika pola kebijakan dan praktik penganggaran kesejahteraan sosial residual yang usang ini senantiasa dipertahankan maka hanya akan memperparah tingkat kemiskinan warga miskin.

?

Anggaran kesejahteraan perempuan seharusnya tidak lagi stagnan pada upaya pengarusutamaan jender saja. Sudah waktunya bagi pemerintah untuk menyusun program–program pemberdayaan perempuan dalam kerangka pemenuhan hak–hak ekonomi, pendidikan dan kesehatan yang lebih baik. Dengan demikian, cara pandang pemerintah dalam memandang urusan perempuan dan anak tidak lagi sebatas program KB saja, yang sesungguhnya tidak berkaitan dengan hak perempuan, kecuali sebatas memaksa perempuan menjadi obyek kontrasepsi ketimbang laki–laki.

KOMISI ANGGARAN INDEPENDEN: Evaluasi Atas Rancangan APBN 2012

Alokasi Belanja Sosial Residual; Mengorbankan Kaum Perempuan & Anak

?

27


Alokasi Belanja Sosial Residual; Mengorbankan Kaum Perempuan & Anak

28

RAPBN 2012 MASIH KONSERVATIF DAN RESIDUAL, BELUM UNTUK SEMUA WARGA NEGARA


Beban Utang; Memperkecil kesejahteraan Masyarakat

BAGIAN KEEMPAT

Beban Utang: Memperkecil Kesejahteraan Masyarakat

Kondisi Kritis Utang 1.

Utang Indonesia kian membengkak dan beban utang perkapita juga meningkat. Dalam kurun waktu 2006–2011 utang luar dan dalam negeri mengalami kenaikan dari 1.302 Triliun menjadi 1.734 Triliun rupiah (per 31 Juli 2011). Jika tercatat sampai Juli 2011 jumlah penduduk Indonesia sebesar 241 Juta jiwa (prediksi BKKBN), maka masing–masing orang penduduk Indonesia harus menanggung beban utang sebesar 7,2 Juta rupiah. Sementara Rancangan APBN 2012 belum menunjukkan tanda–tanda pemerintah untuk mengurangi utang.

Tabel 7. Daftar Utang Pemerintah Republik Indonesia, 2006 - 2011 Tahun Pinjaman Surat Berharga Negara Total Utang Pemerintah Pusat

2006 559 743

2007 43% 57%

1,302 100%

586 803

42% 58%

1,389 100%

( Dalam Triliyun Rupiah dan % )

2008 730 906

2009 45% 55%

1,636 100%

611 979

2010 38% 62%

1,591 100%

612 1,064

2011+ 37% 63%

1,677 100%

591 1,143

34% 66%

1,734 100%

Sumber: Dirjen Pengelolaan Utang Kemenkeu, Perkembangan Utang Negara (Pinjaman dan Surat Berharga Negara), Edisi Agustus 2011

2.

Pemerintah seperti kecanduan utang dan terlampau bersemangat menarik utang baru sehingga melebihi kebutuhan bayar utang lama dan membiayai hal lain non utang. Utang baru selalu lebih besar dari kebutuhan membayar bunga dan cicilan pokok utang lama. Bila kebijakan utang terus menerus demikian, maka utang Indonesia tidak akan pernah lunas sampai kiamat. Seperti pada tahun 2008 dan 2010, untuk menutup pembiayaan defisit, bayar utang, non utang yang jumlahnya mencapai 115,58 Triliun dan 203,54 Triliun, pemerintah telah menarik utang baru sebesar 176,5 Triliun dan 222,8 Triliun. Untuk tahun 2009 dan 2011, jumlah utang baru jauh di atas kebutuhan pembayaran utang lama. Utang baru mencapai 207,2 Triliun dan 273,287 Triliun, sedangkan pembayaran utang lama berjumlah 123,3 Triliun dan 146,2 Triliun.

29


Beban Utang; Memperkecil kesejahteraan Masyarakat

Tabel 8. Kecenderungan pembiayaan utang baru 2008 Kebutuhan Pembiayaan Defisit Pembayaran Utang Jatuh Tempo dan Buyback Surat Berharga Negara Pembayaran Cicilan Pokok Pinjaman Luar Negeri Penerusan Pinjaman

Pembiayaan Non Utang Dana Investasi Pemerintah & Restrukturisasi BUMN Dana Pengembangan Pendidikan Nasional Pinjaman kepada PT. PLN Kewajiban Penjaminan

2009

2010

2011+

(115,579) (4,121) (108,958)

(224,292) (88,619) (123,279)

(203,538) (46,846) (135,893)

(286,867) (124,657) (146,243)

(40,333) (63,435) (5,189)

(49,067) (68,031) (6,181)

(76,532) (50,633) (8,729)

(86,700) (47,818) (11,725)

(2,500)

(12,395)

(20,799)

(15,968)

(2,500) -

(12,395) -

(12,299) (1,000) (7,500)

(13,932) (1,000)

195,529 176,468

248,257 207,200

248,243 222,822

286,867 273,287

126,249

148,538

167,634

213,354

86,932 39,317

101,736 46,802

142,593 25,041

-

50,219

58,662

54,795

58,933

30,100 14,929 5,189

28,938 23,544 6,181

28,975 17,091 8,729

19,813 27,396 11,725

(1,036)

Sumber Pembiayaan Utang Penerbitan SBN, Bruto Penerbitan SBN Domestik Penerbitan SBN Valas

Penarikan Pinjaman Luar Negeri Pinjaman Program Pinjaman Proyek untuk K/L Pinjaman Proyek untuk Penerusan Pinjaman

Penarikan Pinjaman Dalam Negeri

Non Utang Privatisasi dan Penjualan Aset Program Restrukturisasi Perbankan Dalam Negeri

Kelebihan/(Kekurangan) Pembiayaan Net Cash Flow Pembiayaan Surat Berharga Negara Pinjaman Luar Negeri Pinjaman Dalam Negeri Non Utang

-

-

394

1,000

19,061

41,057

25,421

13,580

2,902 16,159

41,057

3,232 22,189

923 12,657

79,950 89,261 85,916 (13.217) 16,561

23,965 111,256 99,442 (16,848) 28,662

44,706 91,552 91,102 (4,566) 394 4,622

(0) 124,656 126,654 (609) 1,000 (2,388)

Catatan : APBN 2008-2010 PAN/LKPP Audited * APBN 2011

Disisi lain, utang baru yang ditarik selalu rendah tingkat penyerapannya bahkan tidak dapat terserap seluruhnya. Pinjaman yang dicairkan (disbursement) selalu saja berada di bawah nilai komitmen yang disepakati (net commitment), dan utang yang dimanfaatkan selalu di bawah yang dicairkan (undisbursement). Seperti tahun 2011, terdapat 228,2 Milyar dollar utang luar negeri yang disepakati (net commitment). Namun, yang dicairkan hanya sebesar 217,3 Milyar dollar (disbursement). Dari jumlah tersebut, tersisa 10,9 Milyar dollar utang yang tidak dimanfaatkan. Padahal utang dalam kategori net commitment telah mewajibkan pembayaran fee walaupun tidak semuanya dicairkan, sementara utang yang dicairkan mengharuskan pembayaran bunga meskipun tidak seluruhnya dimanfaatkan. Tabel 9.

Tingkat Penyerapan Utang (2006-2011)

TAHUN :

2006

2007

2008

2009

2010

2011

Net Commitment

170.7

181.7

201.1

205.5

219.4

228.2

Disbursement

161.4

172.1

189.6

194.7

208.0

217.3

9.3

9.7

11.6

10.8

11.4

10.9

Undisbursed

Net Commitment = jumlah pinjaman yang disepakati

Disbursement = jumlah pinjaman yang dicairkan

Sumber: Dirjen Pengelolaan Utang Kemenkeu, Perkembangan Utang Negara (Pinjaman dan Surat Berharga Negara), Edisi Agustus 2011

30

( Miliar USD )

RAPBN 2012 MASIH KONSERVATIF DAN RESIDUAL, BELUM UNTUK SEMUA WARGA NEGARA


Pemerintah sebenarnya tidak perlu menarik utang baru. Hal ini didasari pada dua hal. Pertama, daya serap APBN terutama Belanja Modal yang senantiasa rendah. Daya serap APBN pada kuartal 1–3 selalu lebih rendah dari target realisasi. Penyerapan akan terjadi besar–besaran terutama di kuartal keempat akhir tahun. Bila penyerapan terjadi sejak awal tahun, maka peluang untuk mengangkat pertumbuhan ekonomi akan sangat besar. Sebagai contoh dalam APBN 2010 daya serap Belanja Modal hanya 84,49 persen (80,29 Triliun dari alokasi 95,02 Triliun). Pada tahun 2011, hingga 15 September 2011, Belanja Modal baru terserap sekitar 30 persen dari total pagu anggaran senilai Rp. 136,87 Triliun (APBNP 2011). Hal ini telah mendorong surplus APBN 2011 sampai September yang mencapai 74,3 Triliun. Kedua, tingginya Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SILPA) APBN setiap tahun. Tercatat pada tahun 2008 SILPA mencapai 51,3 Triliun (versi pemerintah dan 79,95 Triliun versi BPK), tahun 2009 mencapai 38 Triliun, dan tahun 2010 sebesar 47 Triliun. Bila daya serap APBN dibuat normal sesuai kompetensi tiap kementerian/ lembaga (tidak ada penggenjotan di kuartal IV atau akhir tahun), maka kemungkinan daya serap APBN hanya berkisar 85 persen dan lagi–lagi menyisakan SILPA yang cukup besar. Dibarengi dengan efisiensi belanja, termasuk mengurangi belanja remunerasi, maka APBN dapat lebih optimal tanpa memerlukan tambahan utang baru.

Beban Utang; Memperkecil kesejahteraan Masyarakat

3.

Dampak Pengelolaan Utang Tidak Efisien 1.

Utang menjadi beban berat fiskal dan mengurangi diskresi pembangunan dan pelayanan untuk warga. Seperti pada Rancangan APBN 2012, total pembayaran bunga dan cicilan pokok utang luar negeri sebesar 170 Triliun (12% dari total belanja negara), posisinya jauh berada di atas belanja pemerintah pusat seperti pada fungsi pertahanan (64,3 Triliun), ekonomi (97,5 Triliun), lingkungan hidup (10,6 Triliun), perumahan dan fasilitas umum (26 Triliun), kesehatan (14,69 Triliun), pendidikan (95,6 Triliun), perlindungan sosial (5,26 Triliun). Keadaan ini juga berpeluang menjadi beban sehingga APBN tidak lagi optimal sebagai pemicu pertumbuhan ekonomi, jaminan kesehatan, dan akses pendidikan yang murah dan bermutu bagi warga. Tabel 10. Belanja Negara vs BelanjaUtang (2006-2012) Belanja Negara vs Bayar Utang

2006 LKPP

2007 LKPP

2008 LKPP

Belanja Negara Bayar Bunga Utang Dalam Negeri Luar Negeri

667.128,7 79.082,6 54.908,3 24.174,3

757.649,9 79.806,4 54.079,4 25.727,0

985.730,7 88.429,8 59,887,0 28.542,8

Cicilan Pokok Utang Luar Negeri Total Pembayaran Bunga dan Cicilan Pokok Utang

2009 LKPP

2010 LKPP

937.382,1 1.042.117,2 93.782,1 88.383,2 63.755,9 61.480,6 30.026,2 26.902,7

1.320.751,3 106.583,8 76.613,7 29.970,1

2012 R-APBN 1.418.497,7 123.072,0 89.357,7 33.714,3

52.681,1

57.922,5

63.435,3

68.031,1

50.632,5

47.234,7

47.260,1

131.763,7 (19,75%)

137.728,9 (18,2%)

151.865,1 (15,4%)

161.813,2 (17,26%)

139.015,7 (13,34%)

153.818,5 (11,65%)

170.332,1 (12%)

Sumber: Dirjen Pengelolaan Utang Kemenkeu, Perkembangan Utang Negara (Pinjaman dan Surat Berharga Negara), Edisi Agustus 2011

2

2011 APBN-P

*

* Persentase atas Total Belanja Negara

Utang memperbesar potensi intervensi asing terhadap kebijakan sehingga pembangunan makin sulit dilaksanakan secara mandiri. Besarnya utang dalam dan luar negeri dan kebijakan untuk terus menerus mengutang merupakan kebijakan simplistis, pragmatis, menandakan minimnya kreativitas cara mengelola anggaran KOMISI ANGGARAN INDEPENDEN: Evaluasi Atas Rancangan APBN 2012

31


Beban Utang; Memperkecil kesejahteraan Masyarakat

negara yang lebih efektif dan efisien, yang pada akhirnya mempersempit kemampuan untuk menumbuhkan ekonomi dan kesejahteraan warga secara mandiri. Utang juga merupakan tanda malasnya pemerintah dalam mencari alternatif pembiayaan yang mandiri. 3.

Utang memperbesar peluang terjadinya kolusi karena kelebihan kue pembiayaan APBN. Peluang kolusi terjadi sejak dari negosiasi utang baru melalui imbalan (fee) dari pemberi utang. Ketersediaan dana utang baru yang melebihi kebutuhan membayar utang lama juga bermakna ketersediaan kue uang yang berpotensi dikorupsi.

Rekomendasi Pengelolaan Utang

32

1.

STOP Utang Baru, optimalkan pendapatan, dan efisiensi pengeluaran untuk membiayai pembangunan. Pemerintah bersama Dewan Perwakilan Rakyat harus serius memikirkan cara mengatasi masalah defisit baik melalui upaya menguatkan sumber pendanaan dalam negeri lewat pengelolaan sumber daya alam yang mandiri, atau melakukan penghematan dan mengurangi peluang pemborosan belanja negara. Bila optimalisasi sumber daya alam yang dipilih, maka hal ini akan memerlukan upaya revisi kebijakan. Ada banyak perundang–undangan yang saat ini tidak menguntungkan kepentingan nasional yang harus dirombak, seperti Undang–undang Migas No. 22 Tahun 2001, Undang–undang No. 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara (MINERBA) yang tidak mengatur pentingnya DMO (Domestic Market Obligation) bagi kepentingan nasional, maupun Undang–undang No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal yang membebaskan kepemilikan asing di sektor tambang hingga 95 persen.

2.

Rekayasa keuangan terhadap utang lama. Terhadap utang lama, bila mengikuti ketentuan bunga yang berlaku, maka Indonesia akan terus mengalami penurunan kapasitas fiskal yang disebabkan oleh beban bunga utang dan cicilan pokok utang. Seperti sudah diuraikan sebelumnya di atas, rasanya sudah tidak masuk akal utang baru Indonesia berada jauh di atas kewajiban membayar bunga dan cicilan utang lama. Jadi, sekedar untuk “gali lubang tutup lubang” saja. Indonesia sudah tidak mungkin mampu melunasi semua utang. Dalam posisi demikian, rasanya nyaris tidak mungkin bagi Indonesia untuk melunasi utang kecuali Pemerintah berupaya melakukan terobosan radikal, yang bukan sekedar penjadwalan ulang. Penghapusan utang (debt cancellation) patut dipertimbangkan sebagai jalan keluar terutama terhadap beban utang luar negeri. Dan bila bukan upaya tersebut yang dipilih, setidaknya harus ada upaya yang lebih serius untuk mengurangi pokok utang melalui berbagai bentuk rekayasa keuangan seperti restrukturisasi utang melalui upaya merubah utang menjadi penyertaan modal (debt to equity swap) atau pengurangan jumlah utang (debt stock) melalui jalan arbitrase internasional.

3.

Pemerintah juga harus mengembangkan indikator tambahan sebagai pertimbangan pengelolaan utang. Bila mengacu kepada standar IMF, maka Indonesia masuk dalam kategori aman dalam pengelolaan utang, karena rasio utang terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) masih berada di bawah 30 persen. Akan tetapi, jumlah utang yang belum dilunasi (outstanding) tidak hanya dilihat dengan

RAPBN 2012 MASIH KONSERVATIF DAN RESIDUAL, BELUM UNTUK SEMUA WARGA NEGARA


KOMISI ANGGARAN INDEPENDEN: Evaluasi Atas Rancangan APBN 2012

Beban Utang; Memperkecil kesejahteraan Masyarakat

rasio terhadap PDB, karena rasio utang (debt ratio) mengabaikan fakta bahwa pembayaran utang membawa konsekuensi terhadap penurunan pelayanan negara terhadap warga. Setiap rupiah yang dibayarkan ke utang, sesungguhnya dapat didistribusikan bagi pencapaian kesehatan dan akses pendidikan warga yang bermutu. Selain itu, tingkat keamanan utang juga harus mempertimbangkan dari rasio antara kewajiban pembayaran pokok dan bunga utang (debt services) terhadap penerimaan pajak atau penerimaan APBN. Ini yang kerap disebut sebagai debt service ratio to fiscal revenues (DSRFR). Jika rasio ini diperbandingkan, maka data di atas sebelumnya menunjukkan bahwa Indonesia tidak pantas lagi untuk menarik utang baru. Alih–alih, Indonesia sangat membutuhkan (badly need) terobosan kebijakan untuk mendapatkan alternatif pembiayaan selain utang. Karenanya, kebijakan anggaran hendaknya disusun berdasarkan kemampuan pendapatan yang sudah dioptimalkan dan mempertimbangkan masak–masak asas efektivitas dan efisiensi program. Bila Pemerintah hanya mampu membayar bunga utang dan sekedar mengalihkan utang luar negeri ke dalam utang dalam negeri, sebaiknya Pemerintah perlu berpikir keras bagaimana berhenti mengutang sembari terus melakukan pembangunan.

33


Beban Utang; Memperkecil kesejahteraan Masyarakat

34

RAPBN 2012 MASIH KONSERVATIF DAN RESIDUAL, BELUM UNTUK SEMUA WARGA NEGARA


TENTANG PARA PENULIS DAN EDITOR Abdul Waidl, berpengalaman dalam kajian analisis dan advokasi anggaran di tingkat daerah dan nasional. Beberapa publikasinya antara lain; “Konflik dan Kerjasama Antar Daerah” (Jakarta: LIPI, 2004); “Korupsi di Negeri Kaum Beragama” (Jakarta: P3M–Partnership, 2006); “Modul Advokasi Anggaran Berbasis Ormas Islam” (Jakarta: Seknas Fitra–The Asia Foundation, 2007); “Mendahulukan Si Miskin Buku Sumber Bagi Anggaran Pro Rakyat” (Jogjakarta: LKiS dan Prakarsa, 2008); dan “Anggaran Pro Kaum Miskin Sebuah Upaya Menyejahterakan Masyarakat” (Jakarta: LP3ES, 2010). Pernah berkiprah di P3M (Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat) dan Perkumpulan Prakarsa. Sempat dipercaya menjadi Badan Pelaksana Bidang Pengembangan Metodelogi Partisipatif di FPPM (Forum Pengembangan Partisipasi Masyarakat) dan menjadi Direktur Eksekutif PP LAKPESDAM NU sebelum terpilih sebagai Sekretaris Jenderal Komisi Anggaran Independen (KAI). Menamatkan sarjana dari Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sunan Kalijaga Jogjakarta pada tahun 1999 dan saat ini sedang menempuh studi lanjutan di The Islamic College, Jakarta. Endah Sricahyani Sucipto, saat ini aktif di Sekretariat Nasional FITRA (Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran) sebagai Direktur Resource Center. Yenny –begitu ia akrab disapa, sering terlibat dalam kajian dan penelitian analisis anggaran. Sebelum bergabung dengan FITRA, ia aktif berkarya di Koalisi Anti Utang sebagai staff riset dan kajian. Lulusan Universitas Brawijaya Malang ini belakangan lumayan sering keluar masuk daerah menjadi pelatih, fasilitator, konsultan maupun peneliti. Beberapa publikasinya antara lain; “Inovasi Partisipasi Pembelajaran di 5 Daerah” (Bandung: co–author, FPPM–TIFA, 2009); “Mendorong Akuntabilitas Pembiayaan Pemilu dan Transparansi Anggaran KPU/ KPUD” (Jakarta: co–author, FITRA–DRSP, 2009); dan “Studi Dampak Advokasi Gender Budget di Polewali Mandar dan Kota Palu” (Jakarta: FITRA–CIDA–TAF, 2008). Yustinus Prastowo, pendiri Enforce Advisory Indonesia ini cukup berpengalaman di bidang perpajakan. Selain aktif sebagai Peneliti Senior di Center for Finance and Taxation Studies, Jakarta ia juga rajin menjadi instruktur dan pembicara di lokakarya maupun seminar–seminar tentang Perpajakan. Beberapa karya publikasinya antara lain; “Manfaat dan Risiko Memiliki NPWP” (Jakarta: Penebar Swadaya Publishing, 2009); “Panduan Lengkap Pajak” (Jakarta: Penebar Swadaya Publishing, 2009); dan “Buku Pintar Menghitung Pajak” (Jakarta: Penebar Swadaya Publishing, 2011). Jebolan STAN dan pemegang Magister Filsafat dari Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta ini berpengalaman menjadi Pemeriksa Pajak pada Direktorat Jenderal Pajak Departemen Keuangan RI (1997–2002), Kuasa Pemerintah pada Sengketa Utang Negara/ Pejabat Sita Pajak Negara di Departemen Keuangan RI (2002–2007) dan terakhir ia menjabat sebagai Tenaga Fungsional pada Direktorat Jenderal Pajak Departemen Keuangan RI (2007–2011). Mickael B. Hoelman, pernah berkiprah di masa awal berdirinya ICW (Indonesia Corruption Watch). Berpengalaman bekerja pada Department for International Development (seperti Bappenas pemerintah Inggris Raya), menjadi penasihat advokasi dan tata pemerintahan kantor Oxfam Inggris Raya untuk perwakilan Indonesia dan saat ini dipercaya mengelola Program Demokrasi dan Tata Pemerintahan di Yayasan Tifa. Menamatkan sarjana di bidang ekonomi dan studi lanjutan pada disiplin ilmu politik. Sugeng Bahagijo, berpengalaman dalam kajian–kajian analisis kebijakan sosial. Beberapa publikasinya antara lain; “Mimpi Negara Kesejahteraan: Telaah Dinamika Peran Negara dalam Produksi dan Alokasi Kesejahteraan” (Jakarta: co–author, LP3ES, 2006) dan “Globalisasi Menghempas Indonesia” (Jakarta: editor, LP3ES, 2006). Mantan Deputy Director INFID (International NGO Forum on Indonesian Development) pada kurun waktu 2002–2004 dan Asociate Director Perkumpulan Prakarsa (2005–2009). Ia juga pernah menjadi penasihat teknis untuk Deputy Menteri Bappenas Urusan Otonomi dan Kerjasama Daerah (2004–2005) serta penasihat kebijakan Menkokesra (2006–2007). Selain aktif menulis, saat ini ia dipercaya menjadi Direktur Eksekutif KID (Komunitas Indonesia untuk Demokrasi).

35


YAYASAN TIFA Jl. Jaya Mandala II No. 14E, Menteng Dalam Jakarta Pusat 12870 - INDONESIA Ph. +62 (21) 829-2776 | Fax. +62 (21) 837-836-48 e-mail to : public@tifafoundation.org www.tifafoundation.org

ISBN 978-979-16226-8-4


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.