PENYUSUN: TIM LP3Y LEMBAGA PENELITIAN PENDIDIKAN DAN PENERBITAN YOGYA dan TIFA FOUNDATION
KATA PENGANTAR
M JURNALISME DAN ETIKA PUBLIK Monografi dari Roundtable Discussion, Yogyakarta 13 Desember 2008 Kerjasama LP3Y-Tifa Foundation Š 2009 Lembaga Penelitian Pendidikan dan Penerbitan Yogya Penyusun: Tim LP3Y Cetakan I, Januari 2009
onografi ini disusun berdasarkan materi gagasan yang berkembang dalam pertemuan pada 13 Desember 2008 di Yogyakarta. Pertemuan yang diformat sebagai roundtable discussion membahas topik “Jurnalisme dan Etika Publik�, dilaksanakan Lembaga Penelitian Pendidikan dan Penerbitan Yogya dengan dukungan Tifa Foundation, dihadiri oleh sejumlah kalangan dengan latar belakang beragam, yaitu jurnalis senior, peneliti media, peneliti sosial dan kebijakan publik, dan pengajar etika. Harus kami akui, dengan keterbatasan waktu (6 jam) untuk mendiskusikan masalah yang serius, tentulah banyak hal yang tidak tersentuh. Berbagai aspek mengenai etika dalam kehidupan publik serta kerangka kerja dalam jurnalisme, memerlukan pembahasan lebih lanjut, karena belum sepenuhnya dapat dikupas secara terperinci dalam pertemuan tersebut. Namun dalam keterbatasan itu, pokok pikiran mendasar dalam pengembangan landasan dalam menghadapi isu-isu publik yang bermakna bagi jurnalis, kiranya telah dieksplorasi dengan serius oleh para peserta. Dengan terselenggaranya program ini, secara khusus kami perlu menyampaikan terimakasih kepada R. Kristiawan dari Tifa Foundation yang memberikan dukungan materil guna pelaksanaan, dan secara pribadi telah pula memberikan sumbangan pemikiran yang menjadi landasan konseptual untuk kegiatan ini. Adapun roundtable discussion berlangsung dengan efektif berkat partisipasi aktif dari peserta yang terdiri atas: 1. Agnes Aristiarini (Jurnalis, Jakarta) 2. Ashadi Siregar (LP3Y, Yogyakarta)
Lembaga Penelitian Pendidikan dan Penerbitan Yogya Jl. Kaliurang km 13,7 Gg. Banteng, Sleman Yogyakarta 55584 Telp. 62-274-896144 Fax: 62-274-896016 E-mail: lp3y@idola.net.id Website: www.lp3y.org
3. Daniel Dhakidae (Peneliti Sosial, Politik dan Media, Jakarta) 4. Dyah Hayu Rahmitasari (Pengajar Etika, Yogyakarta) 5. Hotman M. Siahaan (Peneliti Sosial, Surabaya) 6. Lambang Triyono (Peneliti Sosial, Yogyakarta) 7. Masduki (Jurnalis, Yogyakarta) 8. Masmimar Mangiang (Jurnalis, Jakarta)
iv
9. Muhajir Darwin (Peneliti Kebijakan Publik, Yogyakarta) 10. Novi Kurnia (Peneliti Media, Yogyakarta) 11. Rondang Pasaribu (LP3Y, Yogyakarta) 12. Saur M. Hutabarat (Jurnalis, Jakarta)
DAFTAR ISI
13. Slamet Riyadi Sabrawi (LP3Y, Yogyakarta) 14. Wisnu M. Adiputra (Peneliti Media, Yogyakarta) 15. Wisnu Tri Hanggoro (Peneliti Media, Semarang) Untuk antusiasme seluruh peserta kami haturkan ucapan terimakasih setulus hati. Selain itu dalam pelaksanaan teknis, roundtable discussion ini diselenggarakan dengan komite kerja program LP3Y: Penanggungjawab sidang dan program : Dedi H. Purwadi Sekretaris sidang dan program : Ismay Prihastuti Moderator sidang : Agoes Widhartono Atas kerja keras komite dalam persiapan sampai penyelenggaraan diskusi, dan disusul dalam waktu yang singkat untuk penyusunan hasil diskusi sampai terwujudnya monografi ini, kami sampaikan penghargaan dan terimakasih.
KATA PENGANTAR...................................................................................................................................... v
Yogyakarta 5 Januari 2009 Lembaga Penelitian Pendidikan dan Penerbitan Yogya
PENDAHULUAN.......................................................................................................................................... 1 BAB I RUANG PUBLIK: REALITAS DAN IDEALISASI ........................................................................................... 9 BAB II REALITAS PUBLIK DAN IDEALISASI JURNALISME................................................................................... 23 BAB III KERANGKA KERJA BAGI JURNALIS......................................................................................................... 33 PENUTUP................................................................................................................................................. 43
vi
vii
PENDAHULUAN
K
erja dalam jurnalisme pada dasarnya mengolah fakta menjadi informasi, dapat ditempatkan dalam 2 kelas, pertama: dalam level teknikalitas dengan kemampuan menemukan dan menuliskan fakta sesuai format dan struktur teks berita, biasa disebut sebagai proses reportase/liputan berita (news reporting/covering). Proses ini biasa disebut sebagai jurnalisme fakta. Kedua: dalam level analisis dengan kemampuan menulis/ membentuk teks sesuai dengan wacana (discourse) yang memiliki makna publik (public meaning), disebut sebagai proses analisis berita (news analysis), maka disebut sebagai proses jurnalisme makna. Pada level pertama secara teknis, proses jurnalisme terdiri dua tahap, pertama untuk memperoleh fakta, dan kedua menulis teks berita yang bernilai. Nilai dari suatu berita dapat bersifat pragmatis yaitu sesuai dengan keperluan bersifat teknis dari sisi media, dan dari sisi audiens. Kaidah teknis kelayakan informasi secara umum dirumuskan melalui sifat fakta seperti: berakibat (impact), nilai keuangan (currency), kewaktuan (timeliness), keterkemukaan (prominence), kedekatan (proximity), pertentangan (conflict), kebaruan (novelty), keganjilan (unusual), dan lainnya. Secara teknis sifat fakta digolongkan penting dan menarik, bertolak dari kepentingan khalayak. Suatu fakta dipandang penting jika memiliki nilai guna sosial, sedang menarik jika memenuhi nilai guna psikhis. Etika pada level ini mendasari operasi teknis jurnalistik dengan kinerja dan output pemberitaan dalam azas kecermatan faktual (accuracy), keseimbangan/ ketidak-berpihakan (balance/impartiality), dan kepantasan (fairness). Dari sisi lain, azas ini dapat dilihat sebagai proses untuk mencapai obyektivitas dan kebenaran (truthness). Output dari proses teknis ini berupa berita (hard/soft news) dan features / human interest story. Secara umum, setiap jurnalis dipandang telah melewati masalah teknikalitas. Kerja keredaksian diharapkan tidak lagi mengurusi standar kelayakan berita, teknis menulis dan etika jurnalisme. Lebih jauh saatnya memasuki operasi kerja yang bertujuan untuk menulis/membentuk teks sesuai dengan wacana (discourse) yang memiliki makna publik (public meaning) dalam berita analisis (news analysis). Proses ini biasa disebut sebagai
produksi makna dalam kehidupan publik. Di sini kerja jurnalisme bertolak dari asumsi bahwa kehidupan publik pada hakikatnya diisi oleh berbagai makna bersumber dari sumber-sumber kekuasaan yang berkompetisi untuk “menguasai” warga. Karenanya kerja jurnalisme tidak lagi sekadar mengidentifikasi nilai/kelayakan berita dari fakta, melainkan pengidentifikasian makna publik dari kehidupan publik. Fakta dipandang bernilai karena memiliki konteks terhadap makna yang dipilih. Dari sini media ikut sebagai faktor dalam kompetisi makna dalam kehidupan publik, sebab menawarkan makna di antara sekian banyak makna yang datang dari berbagai sumber kekuasaan. Etika pada level ini tidak lagi untuk operasi teknis, melainkan sebagai landasan moral dalam menghadapi fakta publik. Biasa disebut sebagai etika publik, pada hakikatnya sama halnya sebagai kaidah moral dari setiap orang yang memiliki peran (actor) dalam kehidupan publik. Reason dari good governance dalam penyelenggaraan pelayanan publik pada hakikatnya bergerak dalam lingkup etika semacam ini. Etika yang lazim dibicarakan di lingkungan media pers adalah etika jurnalisme. Ini berkaitan dengan upaya untuk memelihara landasan jurnalisme: obyektivitas dan kebenaran. Media pers pada dasarnya terdiri atas halaman keredaksian (editorial space) dan halaman komersial/iklan (commercial space). Kedua ranah ini harus jelas perbedaannya, sebab halaman keredaksian merupakan pemenuhan hak warga, sementara ruang komersial adalah untuk kepentingan permodalan (baik modal media sendiri maupun industri umum). Halaman keredaksian biasa dilihat sebagai ranah publik, yang didasari oleh kewajiban pengelola media untuk menjaga agar dapat menjadi zona netral yang menampung fakta publik. Sedangkan fakta publik hanya dapat diidentifikasi dari ruang publik (publicsphere) yang melahirkannya. Dengan perspektif ini maka pemahaman tentang ruang publik menjadi penting. Dalam istilah sehari-hari, gambaran tentang ruang publik ini disebut sebagai visi. Kerja profesional pada hakekatnya merupakan proses kerja yang menjembatani visi ke misi. Karenanya setiap pekerja media jurnalisme tidak hanya dituntut memiliki kompetensi teknis, tetapi yang lebih utama adalah kesadaran tentang ruang publik yang menjadi lahan bagi fakta yang akan dituainya. Sistem kepublikan merupakan tata aturan tentang bagaimana negara (state), pasar (market capitalism) dan masyarakat (society) menjadi ruang hidup bagi warga (public-sphere). Sistem ini akan berjalan jika didasari dan selalu mengacu kepada norma-norma hukum dalam konteks negara, dan nilai serta norma-norma sosial yang telah disepakati bersama (shared values) dalam konteks masyarakat. Fokus dalam dinamika kehidupan ini adalah masyarakat warga (civil society). Dalam menghadapi ruang publik dengan shared values yang jelas dan mapan, misi media pers adalah menjaga dan memeliharanya agar kehidupan di ruang publik dapat berlangsung. Sementara di ruang publik yang tidak memiliki acuan nilai bersama, misi media jurnalisme dengan sendirinya bukan menjaga, melainkan membentuk, yang dilakukan melalui halaman keredaksian. Untuk itu, kaum profesional di media pers perlu bertolak dari kebijakan keredaksian (editorial policy) untuk mewujudkan halaman keredaksian semacam itu. Dengan begitu menjaga halaman keredaksian sebagai zona
netral bukan berarti akan ikut arus, sebab setiap media pers sebagai suatu institusi sosial pada hahekatnya dihadirkan atas dasar visi dan misi. Dengan demikian, dalam menghadapi interaksi sosial sebagai suatu fakta di ruang publik, jurnalis dituntut untuk selalu mengkritisi apakah etika publik menyangkut batasan yang disepakati berdasarkan kaidah acuan nilai bersama dalam kehidupan publik, tetap menjadi acuan dalam interaksi tersebut. Mengembangkan wacana menyangkut etika di ruang publik melalui informasi tentang suatu realitas sosial yang disampaikan kepada publik, akan menumbuhkan kritisisme publik terhadap kesepakatan bersama dan penghayatan rasional tentang apa yang dianggap benar di ruang publik. Melalui wacana tersebut, publik diharapkan akan menemukan makna publik dari realitas sosial. Etika publik menjadi landasan tindakan profesional dari setiap pelaku (actor) sosial, yaitu person yang memiliki peran dalam kehidupan publik. Pelaku semacam ini biasa disebut sebagai public figur, karena kedudukan dan perannya yang signifikan bagi kehidupan publik. Luas dan cakupan sinifikansi dari peran sosial ini dengan sendirinya membawa tuntutan imperatif dengan tingkat acuan etika. Etika publik sebagaimana setiap idealisasi, adalah penggambaran cita-cita ideal kehidupan publik. Idealisasi ini pada tahap fundamental ditandai dengan warga secara personal yang menyadari hak-hak eksistensialnya, kemudian disusul tahap berikutnya hak untuk menilai setiap fakta yang disusul dengan penentuan keputusan bagi dirinya. Penghargaan atas hak warga semacam ini sebagai nilai kemanusiaan tertinggi. Untuk merealisasikannya diperlukan nilai rasionalitas (kemampuan membandingkan); kecerdasan (kemampuan berpikir dalam menilai); kebebasan (tidak dikendalikan kekuasaan di luar dirinya); dan netralitas (terbebas dari bias ideologi). Keempat nilai ini saling bertautan, sebagai dasar dalam setiap penilaian atas fakta dan kebenaran suatu makna publik. Sehingga dalam penilaian atas suatu fakta setiap person dapat menentukan apa yang menjadi makna publik, apa yang perlu dan pantas dijadikannya sebagai acuan nilai dalam kehidupan publiknya. Penilaian dan pilihan otentik atas makna publik ini ditandai terbebasnya warga dari dominasi atau hegemoni dari sumber-sumber kekuasaan yang menjalankan kepentingan subyektif institusionalnya. Idealisasi selamanya berhadapan dengan realitas, karenanya dapat diajukan setidaknya pertanyaan: •
Sejauh mana profesi dalam peran publik menjadikan etika publik sebagai landasan orientasi kerjanya?
•
Apakah profesi dalam peran publik menempatkan kehidupan publik (public life) dan kepentingan publik (public interest) sebagai orientasi kerjanya?
•
Adakah standar perilaku (code of conduct) profesi dalam peran publik yang dapat diidentifikasi sebagai pelaksanaan etika publik?
•
Apakah profesi jurnalisme dapat berperan dalam menjaga tegaknya etika dalam
idealisasi kehidupan publik? Ruang publik (public-sphere) secara ideal diartikan sebagai ruang di mana orang berkompetisi untuk menyampaikan sesuatu dan mendapat sesuatu. Dengan kata lain, ruang
publik merupakan arena yang netral dari berbagai macam kepentingan untuk berkompetisi. Tentu saja ruang publik bukanlah ruang yang di dalamnya terjadi interaksi antarpelaku tanpa satu acuan nilai bersama berupa etika publik. Diasumsikan di ruang publik selalu ada pers yang bebas, organisasi masyarakat, akademisi, dst, Mereka berkompetisi dalam public space. Salah satu asumsi di baliknya adalah ada ruang bebas di sana, di mana semua orang bisa berkompetisi. Artinya semua orang boleh bicara di televisi, menulis di koran, bicara di radio. Apakah kehidupan di ruang publik sudah mengikuti gambaran ideal tersebut? Atau apakah ada ruang publik di mana berlangsung kehidupan publik seperti yang digambarkan itu? Secara historis, masyarakat tradisional mempunyai ruang kehidupan sekaligus sebagai ruang publik. Ketika negara belum banyak turut campur urusan mereka, di sana orang boleh berdebat dan bertarung apapun idenya, tapi keputusannya mengikat semua orang. Ini bisa dilihat pada perkumpulan adat, pertemuan antar warga di balai desa, dan sebagainya. Sebagai contoh, di masyarakat Batak dan di masyarakat Minang ada satu ruang dimana seluruh perkara dibahas, dan semua keputusan mengikat bagi semua orang. Siapa saja bisa membuat perkara itu. Selain itu, ada juga tempat ketika kepentingan bersama disadari, maka konflik bisa diselesaikan. Katakanlah soal pasar, ini bicara di masyarakat Batak lagi. Apapun yang terjadi di kampung, sekalipun perang, maka ketika hari pasaran tidak boleh dilanjutkan, tidak boleh berperang. Kedua pihak harus melepaskan semua busur dan tombak, karena pasar ini kepentingan bersama. Setelah ditutup, boleh perang lagi. Artinya ada institusi yang harus dipakai untuk mengatur pola hubungan. Namun, sejarah juga mencatat bahwa perkembangan kehidupan di ruang publik tidak selalu menggembirakan. Semasa Orde Baru, kekuasaan negara justru digunakan untuk mengontrol, mencampuri, atau mengambil alih ruang publik. Lebih jauh dari itu, kekuasaan negara bahkan masuk ke ruang privat. Setelah era Orde Baru digantikan era reformasi, muncul harapan bahwa kehidupan ruang publik akan membaik. Harapan itu tidak terpenuhi, sebab yang terjadi adalah demokrasi yang meluber, demokrasi kebablasan. Berdasarkan pengamatan, perkembangan sedemikian menimbulkan krisis dalam kehidupan publik, karena kehilangan nilai. Tidak ada nilai sebagai acuan. Bertolak dari kerangka institusi kultural misalnya, kehidupan di ruang publik tidak lagi menawarkan nilai kultural, yang diwujudkan adalah kekuasaan melalui politik atau ekonomi. Perkembangan demikian menimbulkan keprihatinan. Dari situ muncul pertanyaan: Seperti apa idealisasi kehidupan di ruang publik? Kehidupan bersama di ruang publik sebagaimana disepakati bersama saat republik ini berdiri setelah merdeka dari kekuasaan penjajah, seharusnya tetap berlangsung dalam bingkai demokrasi. Demokrasi adalah pilihan untuk melakukan interaksi, dengan semangat anti diskriminasi, anti perbedaan. Sebab itu, pembicaraan tentang ruang publik harus dipandang sebagai kritik kebudayaan berlandaskan humanisme untuk membangun satu open society (masyarakat terbuka), yang intinya adalah tidak boleh ada orang memonopoli kebenaran dalam bentuk apapun.
Dengan bingkai demokrasi, semua pihak mendapat kesempatan yang sama untuk berkompetisi di ruang publik. Yang kuat – lemah, yang pintar – bodoh, yang kaya – miskin, figur publik (public figure) – warga biasa (ordinary people), mayoritas – minoritas, dan seterusnya, semua mendapat kesempatan sama. Kompetisi yang berlangsung di ruang publik idealnya adalah kompetisi bebas (free competition). Kompetisi itu harus berlangsung dalam kompetisi yang fair – adil, jujur, terbuka, dan sportif – (fairness competition). Karena itu, agar ruang publik sebagai ruang di mana berlangsung kompetisi bebas dan fair menjadi satu institusi milik publik, ada dua persyaratan penting yang harus dipenuhi. Pertama, harus jelas batas antara ruang publik dan ruang privat. Kedua, harus ada etika publik yang dipertahankan sebagai acuan dalam berinteraksi. Adanya batas yang jelas antara ruang publik dan ruang privat perlu dipahami setiap pihak, untuk mencegah jangan sampai urusan privat masuk ke ruang publik dan sebaliknya. Sebagai contoh, kepentingan agama adalah kepentingan privat. Sebab itu, kepentingan agama tidak boleh masuk ke ruang publik untuk kemudian menjadi acuan di sana. Contoh lain, kasus perceraian atau selingkuh figur publik masuk ke ruang publik melalui media. Ini masalah besar, kepentingan masyarakat terganggu, sebab persoalan privat seharusnya tidak boleh masuk ke ruang publik. Ruang publik adalah milik publik. Tidak boleh ada pihak (individu atau kelompok) yang menganggap ruang publik sebagai miliknya di mana dia bisa berbuat sesuka hati. Tidak boleh ada pihak yang merasa berhak melarang pihak lain (individu atau kelompok) berada di ruang publik. Artinya tidak ada yang berhak mengontrol dan melarang itu karena dia bertumbuh dari bawah dan berdasarkan kebutuhan dalam konteks kepentingan masing-masing. Lantas, apa peran negara dilihat dalam konteks keberadaan ruang publik yang ideal? Sebagaimana dikemukakan di atas, secara ideal ruang publik adalah milik publik di mana berlangsung interaksi antar warga dalam kompetisi bebas dan fair untuk menyampaikan serta mendapat sesuatu. Diasumsikan bahwa kompetisi berlangsung dengan tetap mengacu kepada etika publik yang disepakati bersama. Karena ruang publik adalah milik publik, jelas negara tidak boleh ikut campur. Negara tidak boleh mengontrol ruang publik. Negara tidak boleh melarang keberadaan ruang publik. Negara tidak boleh menggunakan kekuasaan untuk memaksakan kebenaran negara sebagai nilai-nilai yang menjadi etika publik. Di tengah kompetisi bebas yang berlangsung di ruang publik, selalu ada kemungkinan muncul kecenderungan di antara pihak yang berkompetisi untuk mengutamakan kepentingan sendiri. Adanya kecenderungan pihak tertentu untuk mengutamakan kepentingan sendiri menyebabkan etika publik tidak lagi dijadikan acuan dalam berinteraksi di ruang publik. Yang terjadi kemudian adalah pemaksaan nilai dan kebenaran, pemaksaan kehendak. Dengan kata lain, ketika ada pihak yang berupaya melakukan hegemoni, dominasi, atau monopoli di ruang publik, seluruh nilai yang disepakati bersama sebagai acuan menjadi tidak berarti apa-apa. Dan apabila upaya itu berhasil, interaksi di ruang publik yang secara ideal merupakan kompetisi bebas dan fair itu akan terganggu, mengalami krisis, dan akan
ada kepentingan sebagian warga yang menjadi korban. Sebab masyarakat pada dasarnya tidak memiliki kekuatan pemaksa untuk mencegah pihak tertentu melakukan hegemoni, dominasi, atau monopoli. Maka, dalam kondisi seperti itulah secara ideal negara harus berperan. Negara, dengan kekuatan pemaksa yang dimilikinya, kekuatan mana diperoleh berdasarkan mandat yang diperoleh dari masyarakat, harus mencegah terjadinya hegemoni, dominasi, atau monopoli di ruang publik. Kompetisi di ruang publik harus dikembalikan ke relnya yang semula, yaitu berlangsung dengan menjadikan nilai yang disepakati sebagai acuan bersama. Untuk itu, negara haruslah berkompeten dan berwibawa, sekaligus beretika. Negara harus berkompeten dan berwibawa agar mampu mencegah upaya berbagai pihak yang hendak melakukan hegemoni, dominasi, atau monopoli di ruang publik. Dengan begitu negara tidak terpengaruh oleh pihak kepentingan yang hendak melakukan hegemoni, dominasi, atau monopoli di ruang publik. Seperti disebutkan, di tengah kompetisi yang berlangsung di ruang publik, selalu ada kecenderungan pihak kepentingan (kekuatan sosial, kekuatan kapital, dsb.) untuk mempengaruhi negara, dengan tujuan agar negara justru mendukung upaya pihak kepentingan tersebut dalam melakukan hegemoni, dominasi, atau monopoli di ruang publik. Sebagai contoh, di Mandailing, Natal, atasbatas sebuah kabupaten baru dalam konteks pemekaran wilayah ditentukan berdasarkan kepentingan marga. Negara menyetujui dan mensahkan kabupaten baru tersebut. Artinya, kepentingan etnik tertentu menggunakan kekuasaan negara untuk memaksakan kehendak. Bagaimana boleh, primordialisme menjadi dasar penyelenggaraan negara RI? Kemudian, negara sekaligus harus beretika, dengan tetap menghargai ruang publik sebagai milik publik. Ketika muncul kondisi yang menyebabkan masyarakat melemah karena tidak mempunyai alat pemaksa, maka kondisi itu tidak boleh dijadikan negara sebagai alasan untuk mengontrol, memaksakan kehendak, memaksakan kebenaran, atau bahkan mengambil alih ruang publik. Dalam kehidupan berdemokrasi, kompetisi di ruang publik merupakan proses yang terus berlangsung. Ruang publik adalah sesuatu yang historis, tidak pernah mandeg. Dinamika di ruang publik akan berlangsung secara ideal apabila terjadi keseimbangan antara kekuatan pasar (market), civil society, dan negara. Etika publik yang disepakati sebagai acuan bersama memungkinkan setiap pihak memiliki preferensi nilai dalam berinteraksi di ruang publik. Dengan demikian, kehidupan berdemokrasi tidak lagi dijalankan sebagai demokrasi prosedural, sekadar taat pada hukum. Melalui interaksi di ruang publik yang menjadikan etika publik yang disepakati bersama sebagai acuan, setiap pihak juga mengalami perkembangan etik dan moral secara proses. Adapun etika publik merupakan nilai-nilai yang menjadi acuan untuk berinteraksi di ruang publik. Etika publik harus muncul dari kesepakatan bersama ( bersifat bottomup dan tidak top down). Sebagai hasil kesepakatan bersama, maka etika publik ini bersifat mengikat dan menjadi acuan bagi semua pihak untuk berinteraksi di ruang publik. Dengan demikian, etika publik yang merupakan sekumpulan nilai-nilai sebagai hasil kesepakatan bersama, secara ideal haruslah terbebas dari nilai partikular. Karena itu, nilai partikular – dari kelompok sosial (social forces), kekuatan kapital (market), dsb. – tidak boleh masuk dan menjadi acuan di ruang publik Dan karena etika publik merupakan
hasil kesepakatan yang tumbuh dari bawah (bottom-up), memasukkan nilai-nilai partikular melalui kekuasaan negara (bersifat top-down) juga tidak dibenarkan. Dalam konteks itu, maka setiap kebijakan publik (public policy) harus berasal dari debat publik (public debates). Interaksi di ruang publik yang menjadikan etika publik sebagai acuan bersama dengan demikian merupakan persyaratan demi terbentuknya sikap saling mempercayai. Setiap pihak yang berinteraksi di ruang publik boleh yakin bahwa kepercayaannya terhadap pihak lain tidak akan diciderai. Dengan kata lain, interaksi di ruang publik harus berlangsung atas dasar tumbuhnya social trust, begitu pula political trust. Dalam konteks itu, etika publik haruslah menjadi orientasi nilai dan perilaku bagi setiap pihak. Dengan demikian setiap pihak akan mengakui dan menghargai keberadaan yang lain, menghormati hak yang lain. Penghayatan terhadap etika publik secara ideal akan mampu menahan diri (self regulation). Tidak ada yang boleh memaksakan kehendak. Tidak ada yang berhak memonopoli kebenaran. Demikianlah, etika publik menjadi landasan tindakan dari setiap pihak ketika berinteraksi di ruang publik, termasuk figur publik. Maka, figur publik yang mempunyai kelebihan tertentu idealnya tidak akan menggunakan kelebihan yang dimiliki untuk memaksakan kehendak atau melakukan eksploitasi terhadap warga biasa (ordinary people). Melainkan tetap menjunjung tinggi etika publik, dengan demikian memberi keteladanan. Untuk mewujudkan etika itu diperlukan nilai rasionalitas (kemampuan membandingkan); kecerdasan (kemampuan berpikir dalam menilai); kebebasan (tidak dikendalikan kekuasaan di luar dirinya); dan netralitas (terbebas dari bias ideologi). Keempat nilai ini saling bertautan, sebagai dasar dalam setiap penilaian atas fakta dan kebenaran suatu makna publik. Sehingga dalam penilaian atas suatu fakta setiap person dapat menentukan apa yang menjadi makna publik, apa yang perlu dan pantas dijadikannya sebagai acuan nilai dalam kehidupan publiknya. Penilaian dan pilihan otentik atas makna publik ini ditandai terbebasnya warga dari dominasi atau hegemoni dari sumber-sumber kekuasaan yang menjalankan kepentingan subyektif institusionalnya.
BAB I
RUANG PUBLIK: REALITAS DAN IDEALISASI
B
1. Ruang Publik: Privat. Pasar, dan Negara agaimana realitas ruang publik (public-sphere) di negeri ini dalam konteks penegakan etika publik? Apakah bersesuaian dengan yang diidealisasikan? Apakah para aktor yang berperan di ruang publik itu berperilaku dengan berlandaskan etika publik, atau malah menyimpanginya? Kondisi objektif ruang publik di negeri ini bisa dikatakan tengah dalam kelangkaan (scarcity) dari makna-makna yang mestinya bisa membuat bangsa ini kaya. Terlebih dalam makna demokrasi hal itu sangat penting. Perilaku para aktor di ruang publik, tak hanya warganegara melainkan juga negara, cenderung tidak bersesuaian dengan etika publik. Ruang publik saat ini diwarnai upaya monopoli nilai kebenaran oleh kekuatan sosial (social force) daripada mengisi ruang dalam kompetisi bebas dan fair, intervensi terhadap ruang privat dan ekposing dunia privat oleh berbagai aktor (negara, warga, kelompok sosial dan media), terjadinya social distrust daripada tumbuhnya social trust, irasionalitas yang lebih menonjol daripada rasionalitas dalam menyikapi fakta, masuk dan “diakuinya� kekuasaan partikular di ranah publik, kekerasan (fisik maupun psikis) yang makin dianggap menjadi kebenaran dalam menyikapi perbedaan, hingga negara yang tidak menjalankan perannya ketika kelompok-kelompok masyarakat menjalankan aksi polisionil yang sebenarnya ilegal. Semuanya itu cenderung menyimpangi bahkan mencederai etika publik. Kelangkaan makna ini terjadi akibat belum jelasnya identifikasi publik: siapa publik, bagaimana publik memosisikan dirinya di ruang publik dan nilai-nilai etika publik seperti apa yang harus menjadi acuan dalam interaksi. Ini sebagai akibat pergerakan dari situasi ruang publik semasa Orde Baru yang otoritarian ke jaman yang lebih baru, namun belum jelas arahnya. Kalau pun akan disebut transisi, tidak jelas juga batasnya: kapan dimulai dan kapan berakhir masa transisi itu. Ketidakjelasan ini bisa jadi andil dari kesalahan intelektual atau akademisi yang mengakui masa transisi.
Dulu publik merasa banyak didominasi oleh negara yang otoriter, masyarakat subordinatif, masyarakat diarah-arahkan, diminta bekerja keras. Saat itu orang tidak banyak bicara, tapi banyak bekerja dan memang diarahkan untuk demikian. Pembangunan menjadi sebuah nilai kebenaran yang harus dipegang teguh, karena ideologi pembangunanlah yang oleh negara dinilai paling benar dan itu harus menjadi nilai yang dianut warga negara. Publik dipenuhi dengan discourse pembangunan yang sebetulnya dari segi ekonomi bisa diterima, tapi karena publik banyak diarahkan, mungkin orang tidak puas dan banyak protes meskipun diam-diam. Saat itu ruang publik berikut nilai-nilainya hampir sepenuhnya milik kekuasaan negara melalui dominasi dan hegemoni. Nyaris tak ada nilai-nilai etika publik yang bisa ditawarkan atau dinegosiasikan oleh masyarakat, kecuali menerima dan menjalankan nilainilai yang ditentukan kekuasaan negara. Penawaran nilai-nilai di luar nilai yang dibawa oleh ideologi pembangunan dianggap sebagai subversif, antipembangunan. Dalam perkembangannya itu semua tiba-tiba hilang oleh reformasi 1998, publik menjadi terbuka sementara sebetulnya masyarakat belum siap memanfaatkan keterbukaan itu karena masyarakat sedang lari dari lorong dengan tertatih-tatih di mana masyarakat harus berhadap-hadapan dengan negara, kemudian tiba-tiba bisa berdiri sejajar dengan negara. Itu membuat masyarakat kehilangan momentum. Dalam situasi yang serba mendadak ini, masyarakat belum siap dengan nilai-nilai yang harus dianutnya dalam situasi baru. Bahkan, bisa dikatakan, masyarakat belum tahu nilai-nilai apa yang seharusnya dirumuskan dan dianut sebab sebelumnya bagi masyarakat hanya ada nilai yang disodorkan negara dalam ruang publiknya, bukan nilai bersama (shared values). Dalam kondisi perubahan yang tiba-tiba semacam itu, publik pun tak kunjung menemukan nilai yang bisa diacu bersama. Banyak statement figur publik yang arahnya belum jelas. Perubahan struktur ekonomi menyebabkan krisis, kesulitan hidup, dan semacamnya yang termanifes dengan banyaknya orang yang selalu berkeluh kesah, putus asa dan marah. Di sisi lain, terjadi kebingungan pemimpin untuk mengarahkan orang karena ketidakmampuannya. Kelas menengah, sebagaimana terjadi dalam setiap perubahan sejarah bangsa menjadi semacam motor pembentukan nilai-nilai baru, masih berkutat dengan pikiran bagaimana memenuhi kebutuhan dasarnya, masih dipenuhi persoalan ekonomi, sehingga ada kelas menengah yang putus asa dan kemudian tidak ada statement yang meaningfull dari orang yang diandaikan sudah melampaui tingkat tertentu (kelas bawah) itu. Pasar sendiri menimbulkan ketidakpastian luar biasa, dulu produksi diatur, sekarang bebas, orang yang kalah tentu menyuarakan dirinya ke publik, sementara oposisi lebih keras berjalan. Kekuasaan kapital bergerak lepas begitu saja tanpa kendali. Jadi publik memang terus bertarung namun tidak jelas bagaimana dan untuk tujuan apa. Media, yang diandaikan bisa mengatur lalu-lintas pertarungan di ruang publik dalam berwacana juga tidak jelas perannya. Dalam kondisi seperti itu masyarakat pun tak tahu tentang siapa sebetulnya yang memiliki ruang publik. Terlebih lagi, karena ruang privat pun (sebagai kebalikan dari ruang publik), sesungguhnya pernah – dan sampai batas tertentu kini pun masih – diambilalih oleh negara (Ingat: persoalan reproduksi diurusi negara melalui kekerasan dan hegemoni
pikiran dalam kasus KB, yang tidak hanya cara melainkan alatnya pun ditentukan negara). Situasi seperti itu menyebabkan public-sphere sebagaimana diidealisasikan tidak terbentuk. Dengan kata lain, ketika terjadi reformasi dan demokrasi yang meluber, tidak terjadi kritik budaya terhadap ruang publik. Saat itu masyarakat hanya berharap negara (sebagai manifestasi kekuasaan) kolaps dan ruang publik bebas. Dan bukan tak mungkin situasi kehidupan ruang publik di negeri ini juga merupakan manifestasi dari terjadinya semacam pergeseran pengertian tentang publik itu sendiri tapi pergeseran itu belum dipahami benar. Publik dalam pengertian lama menunjuk pada apapun yang dimiliki oleh negara, misalnya perusahaan publik, public television yaitu TVRI yang dibedakan dengan televisi swasta. Apapun yang state-owned itulah publik. Di luar itu, privat. Sementara sejak Juergen Habermas meluncurkan gagasan public-sphere, pengertian itu merujuk pada ruang. Yang selalu diasumsikan ada di public-sphere adalah pers yang bebas, organisasi masyarakat, akademisi, dst. Karena masyarakat tidak memiliki referensi seperti apa ruang publik yang bebas, maka kebebasan dalam mengisi ruang publik dimaknai bahwa semua bebas menggunakan etika masing-masing sembari berupaya mempertarungkannya agar etikanya menjadi nilai kebenaran yang dianut semua. Padahal, ruang bebas dalam pengertian public-sphere haruslah dimaknai sebagai wadah untuk membangun satu open society yang intinya adalah tidak boleh ada orang memonopoli kebenaran dalam bentuk apapun. Ini tidak ada di ruang publik negeri ini. Kehidupan bersama yang ideal adalah fungsi equilibrium antara state-market-civil society. Dominasi satu aktor adalah salah. Tapi ternyata tidak demikian. Selain ada upaya memonopoli kebenaran dari kekuatan sosial, terjadi pula krisis di ketiga sektor, state ada ketidakmampuan, masyarakat belum punya orientasi, di market ada banalitas yang luar biasa, opportunitas yang short term. Benar bahwa ruang publik telah banyak terbuka pasca Orde Baru, misal cafe, televisi, internet, komunitas-komunitas setempat dan keagamaan seperti Jaringan Islam Liberal, LkiS, yang menjadi institusi tempat orang berkumpul dan bebas berinteraksi. Begitu juga komunitas yang sudah terbentuk lama, seperti komunitas yang ada di desa dan perkampungan dan para pemuda yang juga bisa dilihat sebagai public-sphere seperti halnya tradisi menyebarkan informasi yang bebas namun dalam coverage yang lebih halus, lewat lelucon ala Jawa Timur tentang makanan atau politik dst. Itu tempat public-sphere juga, komunitas, ada pada bahasa dan adat istiadat sendiri. Dan keberadaannya tidak ada yang berhak mengontrol dan melarang, karena dia bertumpu dari bawah dan berdasar kebutuhan di konteks masing-masing. Secara tradisinal di negeri ini ada kehidupan publik yang betul-betul ruang publik. Ketika negara belum banyak turut campur urusan mereka, di sana orang boleh berdebat dan bertarung apapun idenya, tapi keputusannya mengikat semua orang. Negeri ini punya masyarakat tradisional yang demikian, tapi ini dihancurkan negara ketika ruang publiknya diambil. Di Sumatera Utara dan di masyarakat Minang ada satu ruang di mana seluruh perkara dibahas, dan semua keputusan mengikat bagi semua orang. Siapa saja bisa membuat perkara itu. Selain itu ada juga tempat ketika kepentingan bersama disadari,
10
11
maka konflik bisa diselesaikan, orang bisa menyadari. Katakanlah soal pasar, ini bicara di sebuah kampung di Sumatera Utara, apapun yang terjadi di kampung, sekalipun perang, maka ketika hari pasaran tidak boleh dilanjutkan, tidak boleh berperang. Kedua pihak harus melepaskan semua busur dan tombak, karena pasar ini kepentingan bersama. Setelah pasar ditutup, boleh perang lagi. Artinya masih ada institusi yang harus dipakai untuk mengatur pola hubungan. Bahwa memang dalam sejarah kepentingan publik diambil oleh negara ini sudah dilakukan sejak kolonialisme. Akan tetapi, apakah ruang publik yang terbatas itu kemudian tumbuh menjadi sebuah ruang publik yang menjadi wadah untuk membangun sebuah open society? Ternyata belum. Menarik dicermati bahwa belakangan ini muncul AMAN, Asosiasi Masyarakat Adat Nusantara. Apakah itu tanda bahwa ruang publik tradisional ini hidup? Belum tentu. Karena menghidupkan kembali aristokrasi lokal ini mungkin penting, tapi belum tentu dari segi public-sphere. AMAN, ini jadi perkara ketika negara atas nama politik --ini kalau bisa dikatakan ruang publik-- tiba-tiba dipakai untuk menguatkan lagi garis etnis dalam politik. Ada indikasi, bahwa AMAN lebih bertujuan politik praktis jangka pendek, yaitu menggalang kekuatan massa berbasis etnis untuk mendukung pencalonan raja Keraton Yogyakarta, Sri Sultan HB X, menjadi presiden pada Pemilu 2009. Begitu pula seluruh soal pemekaran wilayah, yang ternyata berada dalam garis etnis. Pemekaran wilayah ini, eksplisit maupun tersirat, menggunakan ruang negara yang harusnya melepaskan batas itu, dan itu disahkan. Beberapa contoh pemekaran wilayah berlatarbelakang etnis: Di Mandailing Natal Lubis Mangkuti bikin daerah sendiri, kelak setiap marga bikin kabupaten sendiri dan ini sudah mulai terjadi. Tujuan pemekaran daerah, sesungguhnya sebagai antitesa sentralisme, dengan harapan dengan pemekaran akan terjadi kesejahteraan. Tapi belum ada studi, berapa daerah pemekaran yang menjadi sejahtera. Hampir tidak ada. Malah terjadi pemerosotan yang luar biasa. Ada satu-dua daerah otonom baru yang ekonominya tumbuh, tapi dibandingkan dengan ratusan yang baru tidak ada artinya. Padahal ke depan diperkirakan ada 600 kabupaten baru, sedangkan provinsi bisa jadi 60 dari yang sekarang 33. Kalau batas etnisitas lagi yang digunakan untuk politik (pemekaran wilayah), ten-tu tidak bisa dimengerti sebab negara sebagai sebuah kekuasaan untuk melindungi kepentingan seluruh warga negara, justru berubah menjadi kekuasaan untuk kepentingan partikular, dalam hal ini etnisitas. Ini bukan karena adanya dominasi Islam. Pada saat batas politik etnis terjadi, syari’ah masuk. Saat mereka menguasai satu daerah, bisa saja syari’ah kemudian masuk. Contohnya di Padang Sidempuan, yang tiba-tiba saja ada aturan yang melarang peredaran minuman keras (masuknya nilai yang dibawa syariah), padahal secara historis ini telah menjadi bagian dari kultur tradisional masyarakat setempat dengan minum tuwak. Bahwa realitas ini tidak dilihat sebagai fakta penting oleh media. Media tidak menunjukkan makna apapun di balik bermunculannya kabupaten atau provinsi baru – yang biasanya diikuti pembatasan dalam pemilihan pemimpin, seperti adanya keharusan putra daerah sebagai bupati atau gubernur – dalam konteks kehidupan ruang publik.
Dalam kaitannya dengan ruang publik yang seharusnya historis, muncul pula fakta lain terkait dengan realitas a historis. Contohnya, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) selalu meminta khilafah. Ini sesuatu yang tiba-tiba muncul, a historis. Namun ini dianggap harus ada di sini. Kalau yang dilakukan adalah mencoba mengambil batas etnis atau sub etnis untuk menguatkan kekuatan lama, ini mungkin (walaupun ruang publik tidak membuka ruang bagi nilai-nilai primordial untuk memonopoli). Tapi ini tidak, yang lama hilang kemudian muncul menggunakan kekuatan politik, lalu muncul yang a historis sebagai pedoman untuk interaksi dalam kehidupan kenegaraan. Tidak atau belum dipahaminya nilai-nilai dalam mengisi ruang publik, juga termanifes dalam intervensi ke ruang privat oleh aktor-aktor di ruang publik negeri ini, baik negara, kekuasaan kapital maupun warga negara secara perorangan maupun kekuatan sosial. Ada semacam ketidakjelasan atas mana ranah privat dan publik yang melatarbelakangi itu. Termasuk di media, walaupun tidak seluruhnya. Kasus rekaman Artalyta Suryani dan jaksa di Kejaksaan Agung dalam kasus suap BLBI yang dalam waktu singkat menjadi ringtone telepon seluler (ruang privat), video dari telepon seluler perselingkuhan anggota DPR (dunia privat) yang dalam waktu singkat masuk ke MMS tiap telepon seluler (dunia privat), merupakan sebagian kecil dari persoalan tersebut: bahwa ruang publik diisi oleh para aktor yang tidak atau belum memahami adanya pemisahan antara ruang publik dengan ruang privat. Sebab, sebelumnya ketika negara masuk dan menguasai ruang privat warga negara, dimaknai sebagai kebenaran (akibat dominasi dan hegemoni kekuasaan negara yang otoriter). Media pun, sebagai bagian dari masyarakat, seakan-akan tidak bisa membedakan mana yang pantas diberitakan dan tidak, terkait hal-hal yang menyangkut urusan privat. Soal video porno selalu diberitakan siapa yang ada di sana, bukan bahwa beritanya adalah itu soal privat yang tidak seharusnya dimasuki dan orang yang ada di dalamnya seharusnya dilindungi, tidak dipasang gambarnya. Kemudian isu selebritis yang kena narkoba, yang dikedepankan selalu personalnya, bukan pasar narkoba yang masuk dengan cepat tanpa memperhatikan selebriti atau tidak, termasuk anak-anak sekolah yang diberi permen isi narkoba, tapi dilarikan ke individu artis yang dicari kejelekannya ketika jatuh. Boleh jadi hal itu merupakan manifestasi dari masyarakat negeri ini yang tidak memiliki tradisi untuk membedakan dengan jelas antara ruang privat dan publik. Di desa, contohnya, kalau seseorang punya rumah dan halaman luas tidak boleh dipagari, tetangga harus bisa lewat, kalau tidak dikasih jalan pemilik halaman tersebut bisa dikucilkan. Tapi kalau di Amerika atau Eropa, tanah pribadi ada pagar dan orang lain tidak bisa masuk tanpa izin, kalau memaksa masuk melanggar hukum dan negara bisa bertindak. Kemudian, berkaitan dengan hak publik atas jalan. Ketika pemilik rumah di pinggir jalan punya hajat mantenan, maka publik yang harus mengalah, jalannya ditutup. Jadi hak privat harus diakui sebagai hak publik, dan hak publik bisa menjadi perluasan hak privat, hal ini yang bisa berujung kepada korupsi, tapi juga bisa berujung ke media yang tidak setia dengan nilai itu. Temasuk nilai agama, ini nilai privat atau publik? UU Pornografi itu sebetulnya privat, porno atau tidak itu berbeda antara semua orang, tapi itu dipublikkan, dijadikan dasar.
12
13
Akibat lebih jauh dari tidak adanya nilai yang secara tegas membedakan hak saya dan hak orang lain serta hak publik, masyarakat tidak punya definisi yang jelas tentang nilai publik. Bahkan, negara sebagai pihak yang diberi kuasa oleh warga negara untuk menyelenggarakan kepentingan warga negara pun pada akhirnya berada dalam posisi sama dengan warga, nyaris tak bisa membedakan mana ranah privat yang tidak boleh diintervensi dan mana ranah publik yang negara boleh masuk ke dalamnya. Bukan sebaliknya, negara melindungi hak-hak privat warga negara dari intervensi kekuasaan dan pihak manapun. Ini tidak jauh berbeda dengan kondisi masa Orde Baru ketika negara memasuki urusan yang sangat privat, yaitu intervensi pada program KB. Negara, saat itu, menciptakan ketakutan massal di warga negara daripada memberikan pilihan rasional bagi warganya untuk memilih atau tidak memilih cara mengelola urusan reproduksi yang sejatinya merupakan hak privat. Berbagai peristiwa masuknya state apparatus ke ranah privat menunjukkan hal itu. Sebut saja di antaranya Satpol PP (representasi negara) dan guru menindaklanjuti dengan berlebihan kabar maraknya peredaran video porno melalui handphone, dengan masuk ke sekolah dan merazia handphone, bahkan dilakukan ketika anak-anak tengah belajar. Padahal handphone ini bukan barang publik. Kemudian, berulangkali kasus penggerebekan kamarkamar hotel (ruang privat) oleh Satpol PP didampingi polisi untuk merazia pasangan lakilaki - perempuan (persoalan privat) yang bukan suami-istri dengan argumen perzinaan (moralitas agama). Ini sama dengan yang dilakukan kelompok-kelompok masyarakat yang dengan legitimasi moralitas melakukan aksi polisionil, melakukan sweeping ke kamarkamar hotel mencari pasangan bukan suami-istri menjelang Bulan Ramadhan sementara negara tidak bertindak apapun untuk melindungi warga yang jadi sasaran sweeping, sembari menindak secara hukum para pelaku sweeping. Padahal dalam ruang publik, penggunaan kekuasaan dalam kehidupan publik secara fisik selain oleh state apparatus dalam kehidupan publik dipandang sebagai kekerasan yang bersifat ilegal.
2. Nilai Publik: Kompetisi dan Rasionalitas Ruang publik mempersyaratkan semua aktor yang berada di dalamnya boleh berkompetisi secara bebas namun fair, tidak saling mendominasi maupun memonopoli nilai. Yang terjadi justru menunjukkan adanya kecenderungan perilaku kekuatan sosial (social forces) yang berupaya memonopoli nilai dan menguasai ruang publik itu. Ini berlangsung tatkala negara “kolaps�, sementara warga belum siap untuk bagaimana menempatkan/ memposisikan diri di ruang publik. Bahkan upaya memonopoli ruang publik juga berangkat dari dunia privat. Jika dulu yang menguasai ruang publik dan dunia privat adalah negara, kini kekuatan sosial (social forces) yang memaksakan nilai-nilai yang berasal dari ideologi masing-masing. UU Pornografi (sebelumnya RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi) adalah contoh pemaksaan nilai dari sebuah kekuatan sosial tertentu ke tengah publik. Aktor yang berperan di sini adalah kelompok sosial di luar dan di dalam parlemen. Realitas ini sekaligus menunjukkan bahwa kebijakan publik tidak lahir dari sebuah proses public debate yang didasari nilai-nilai yang menghargai rasionalitas, kecerdasan, netralitas dan kebebasan. Padahal, seharusnya
kebijakan publik lahir dari kebutuhan bersama yang dirumuskan bersama melalui proses pengujian bersama oleh publik. Dalam banyak kesempatan upaya menggolkan undangundang tersebut muncul melalui cara-cara pemaksaan yang dikemas dalam forum dengar pendapat. Faktanya, yang terjadi adalah sosialisasi atas draft. Adapun forum-forum tersebut tidak lebih hanya sebagai alat justifikasi bahwa produk kebijakan publik itu sudah melalui proses diskusi publik. Keberatan-keberatan berbagai pihak dilawan dengan pelabelan negatif yang bisa ditafsirkan sebagai melawan kekuatan dan nilai kebenaran mayoritas, bukan melalui debat yang rasional-cerdas, bebas-netral. Artinya, di sini terjadi pemaksaan kehendak oleh sekelompok orang atas kelompok lain. Ini jauh dari nilai-nilai dalam etika publik yang meninggikan dialog rasional. Akibat dari itu terjadilah apa yang seharusnya tidak terjadi dalam kehidupan bernegara: tiga gubernur menolak undang-undang tersebut, padahal undang-undang merupakan produk legal-formal hukum positif yang berlaku di ruang publik bernama negara dan gubernur merupakan state apparatus di daerah. Di balik itu, dalam konteks UU Pornografi satu hal fundamental harus dicermati. Bahwa undang-undang tersebut menyiratkan kebaikan orang ditentukan oleh negara, tingkah laku etis itu ditentukan UU. Tentu ini menimbulkan pertanyaan, orang baik itu hanya karena mengikuti peraturan atau karena dia memang baik? Dalam konteks UU Pornografi penting untuk menekankan itu. Perdebatan bahwa kebaikan itu tidak hanya ditentukan oleh ketaatan pada hukum, tapi pada perkembangan etik dan moral mereka secara proses. Kalau tidak bisa mengambil itu, maka kekerasan yang terjadi. Terbukti di Solo ada beberapa pasal tertentu yang digunakan garis keras untuk membubarkan kesenian. Itu perusakan etik. Artinya masyarakat diajari untuk melakukan kekerasan. Tapi, UU Pornografi pun bisa dilihat sebagai hasil dari pasca otoritarianisme. Negara masuk kalau tidak ada kesepakatan. Fenomenanya, yang menolak Timur yang mendukung Barat. Ini jadi particular, yang jika diterus-teruskan akan memecah belah Indonesia. Perda Syariah di Aceh, Perda larangan keluar malam bagi perempuan di Sumatera Barat, merupakan contoh lain sebagai produk hukum yang muncul dari dorongan kekuatan sosial yang menginginkan diterapkannya nilai-nilai kelompok di kehidupan publik, melalui kekuasaan negara. Pemberlakuan perda larangan keluar malam bagi perempuan di Sumatera Barat, bahkan sekaligus merupakan bentuk lain dari intervensi negara terhadap kehidupan privat warga negara. Seharusnya, jika ideologinya adalah untuk melindungi perempuan, maka yang harus dilakukan negara adalah menciptakan situasi aman bagi warga negara. Ini wujud dari pemenuhan atas hak asasi warga negara. Persoalan ini memang tak lepas dari digunakannya kekuasaan negara oleh salah satu kekuatan sosial berbasis agama yang ingin memonopoli nilai-nilai di ruang publik dengan moralitasnya. Contoh-contoh tersebut menunjukkan bahwa social forces-lah yang menentukan public ethics. Padahal public ethics adalah suatu meaning yang diletakkan dalam hukum. Dari situasi ini, hukum lahir dari kekuasaan kelompok bukan dari hasil dialog atau debat publik sebagaimana seharusnya terjadi. Perilaku aktor-aktor dari kekuatan sosial seperti ini juga bisa dikatakan banyak menyimpangi etika publik yang menekankan penghargaan terhadap rasionalitas dan kecerdasan, kebebasan dan netralitas person dalam menilai realitas. Pengadilan massa
14
15
adalah salah satu manifestasi lain lagi dari penyimpangan itu. Bagi media yang ingin membela hak-hak publik, ini menjadi persoalan berat. Alih-alih melakukan dialog, sebagaimana diidealisasikan dalam masyarakat demokratis yang menghargai rasionalitas-kecerdasan, netralitas-kebebasan, upaya memonopoli nilai di ruang publik dilakukan melalui pengadilan massa oleh kelompok-kelompok dari kekuatan sosial yang memaksakan nilai-nilai tersebut. Salah satu sasarannya adalah media yang mencoba membela hak-hak publik atas upaya monopoli itu. Sebuah media cetak di Jakarta didatangi massa dengan membawa-bawa nama Tuhan, bukan argumen logis, ketika media tersebut banyak menyoroti RUU Pornografi. Media tersebut menilai RUU ini pandangan mayoritas untuk mengatur pandangan semua orang, termasuk minoritas. Penilaian media ini dianggap tendensius berlatarbelakang perbedaan agama. Bagi media, pengadilan massa saat ini tak jauh berbeda menakutkannya dengan masa ketika Soeharto berkuasa (saat itu, kritik terhadap nilai yang dibawa negara dinilai sebagai perlawanan). Realitas ruang publik yang mengalami kelangkaan nilai etika makin kuat tatkala kekuatan sosial yang berebut ruang publik itu bergerak dengan membawa ideologi kekerasan sebagai kebenaran dalam menyelesaikan persoalan dalam kehidupan publik. Dan ideologi kekerasan ini cenderung menjadi kebenaran yang diakui dalam interaksi sosial, karena negara seakan-akan membiarkan kekerasan sosial terus terjadi padahal negara diberi kewenangan untuk mencegah melalui kekuasaan legal yang diberi oleh warga negara. Dalam konteks kekerasan, ada contoh lain, yaitu ketika massa FBR (Front Betawi Rembug) mengambil salah satu petinggi perusahaan leasing karena petinggi perusahaan leasing itu menarik kendaraan pimpinan FBR. Ada polisi di sana (representasi negara) namun mereka diam saja. Artinya, negara tidak melindungi, sekaligus membiarkan kekerasan berlangsung. Media juga tidak menunjukkan bahwa itu salah. Kekerasan pun merambah dunia pendidikan, bahkan dilakukan para pendidik dalam menyikapi persoalan. Banyak guru di SD yang dengan mudah menempeleng siswa. Ada jawaban hipotesis tentang ini, guru tidak bisa menjelaskan kepada muridnya yang lebih pandai karena si murid sudah diajari lebih banyak oleh orang tuanya. Sama dengan suami yang tidak bisa menghadapi istri yang lebih pintar, akhirnya dia main pukul. Banyak guru tidak sanggup lagi menjawab pertanyaan murid, muridnya sudah traveling kemana-mana dengan ayah ibunya, gurunya belum. Kemungkinan, ini juga berakar pada kebijakan publik. Ketika pada akhirnya UU Pornografi, yang muncul dari keinginan kekuatan sosial, disahkan maka prinsip public-sphere pun disimpangi termasuk oleh negara. Prinsip dalam public-sphere tidak boleh ada satu kebijakan partikular menjadi public policy. Kebijakan publik haruslah berasal dari debat publik yang tentu saja harus didasari oleh nilai-nilai etik kepublikan.. Dalam konteks ini pula, apa yang dilakukan MUI yang memfatwakan dan memberlakukan secara publik pelarangan Islam Pluralis termasuk penyimpangan prinsip kepublikan. Sebab, pelarangan terhadap aktivitas warga negara yang bersifat publik merupakan bagian dari tindakan legal-formal, dan itu ada dalam kewenangan negara melalui perangkat hukumnya. Namun, dalam hal ini negara juga sama-sama menyimpangi prinsip kepublikan, karena negara membiarkan fatwa itu.
Kehidupan di ruang publik yang mengalami kelangkaan nilai-nilai etika terlihat pula secara kasat mata dalam kehidupan politik yang melibatkan perilaku para aktor di bidang politik atau mereka yang akan mengambil peran dalam kekuasaan negara, masyarakat dan kekuatan kapital. Demokrasi yang diharapkan muncul sebagai ruh di ruang publik kerap hanya dijadikan atas nama, sementara realitasnya menunjukkan perilaku yang menyimpangi prinsip-prinsip demokrasi. Kehidupan yang seharusnya dilandasi social trust, yang muncul malah sebaliknya, yaitu social distrust. Komunikasi politik yang seharusnya didasari rasionalitas dengan mendorong munculnya sikap menghargai kecerdasan, yang mengemuka justru irasionalitas. Fakta publik berupa bertebarannya spanduk/baliho berisi gambar kandidat anggota legislatif maupun eksekutif yang hanya menampilkan sosok dan teks tanpa makna, seperti “Pilihlah saya, muda, berani�, “Kami rela tidak menjadi anggota DPR, yang penting ikut Gus Dur�, tidak menawarkan apa pun bagi publik. Tak ada penawaran program yang bisa direspon secara rasional oleh publik dari teks semacam itu, kecuali menjual keberanian dan sentimen emosional. Contoh kecil itu menunjukkan bahwa wacana politik kurang meaningfull dalam arti publik hanya diminta meladeni orang yang tampil dalam spanduknya. Sebab, tak jelas apa yang ingin mereka katakan. Mungkin, komunikasi politik semacam ini juga mencerminkan kondisi publik yang suka pada orang-orang yang besar, tegas, macho, seperti halnya dalam beberapa taraf juga suka pemimpin yang lembut. Jadi lebih ke soal appearance atau citra, bukan kepada apa yang akan dan bisa mereka lakukan. Mengapa publik lebih suka yang demikian, mungkin karena masyarakat juga dibuat agar merasa kecil, powerless, lalu tergantung pada pemimpin. Kondisi seperti ini, jika diterus-teruskan akan memasukkan kehidupan bangsa ke otoritarianisme baru. Seharusnya, kehidupan politik memunculkan figur pemimpin yang kecil tapi rasional, pemimpin yang tidak menciptakan ilusi tapi bisa mengkerangkai masyarakat. Perilaku aktor politik semacam itu, yang hanya menjual citra dan ilusi, tidak mendorong terbentuknya publik yang rasional-cerdas. Boleh jadi kondisi seperti ini akibat sirkulasi elit yang lebih cepat setelah reformasi sementara nilai-nilai yang membentuk ruang publik, termasuk di dalamnya etika politik, belum dipahami baik oleh masyarakat maupun mereka yang menjadi aktor dalam kehidupan politik. Perubahan political etik local yang muncul setelah adanya Pilkada, umpamanya, jelas menuntut kesiapan dari semua aktor. Namun, etika seperti apa yang seharusnya dihayati dalam situasi baru pascaperubahan belum dipahami. Orang yang dulunya tidak disiapkan untuk politik jenis apapun, tiba-tiba karena diperlukan atau karena partai dia masuk ke lingkaran pergantian elite, tanpa memiliki atau menghayati nilai etik baik etika publik maupun etika politik. Sebuah cerita dari daerah berkaitan dengan perilaku elit pasca kejatuhan Soeharto bisa menjadi contoh. Ada satu peristiwa di daerah yang mungkin bisa ditangkap dari segi etika politik karena mencakup referensi bagaimana mereka berpolitik dan hubungannya dengan nilai. Ketika demokrasi dibuka, aktor elit lokal punya perasaan cemas, terutama elit lokal lama yang sudah mapan. Ujung-ujungnya untuk mengamankan kecemasan itu dia menggunakan agama dan etnis untuk mengamankan posisinya. Elit baru ingin mengubah ini, fenomena naiknya PDI P dan turunnya Golkar di beberapa tempat sebetulnya
16
17
menunjukkan fenomena ini dibelakangnya, ada pertarungan antara elit dan konflik di daerah itu karena perilaku aktor yang cemas akan masa depannya lalu kemudian memobilisasi etnis dan agama. Itulah publik kita. Ada anomali atau mungkin kegamangan dalam ruang publik. Di satu sisi kita hidup bersama, bernegara, tapi dengan bingkai demokrasi yang menguat adalah partikularisme. Bingkainya demokrasi, itu adalah pilihan kita untuk melakukan interaksi, dengan semangat anti diskriminasi, perbedaan, tapi yang muncul adalah pemaksaan nilai partikular atas nama agama atau atas nama etnis terhadap pihak lain. Ini yang terjadi di Papua, isu putra daerah muncul padahal demokrasi membuka sebuah ruang yang fair, di sana tidak bisa, atas nama demokrasi harus putra daerah. Kalau di Aceh punya UU Syari’ah berdasarkan UU Otsus, maka Papua minta UU Injil, ini lebih konyol lagi. Dua-duanya ahistoris dalam konteks kita bernegara. Lalu bagaimana mau menyatakan kita bisa membuat bangunan yang kuat? Demokrasi sebagaimana disyaratkan menjadi salah satu prinsip kehidupan di ruang publik, belum ditemukan dalam ruang publik negeri ini, meskipun tahun 2004 ada fenomena yang menarik. Perilaku politik tahun 2004, itulah kebebasan yang ada selama ini, tidak ada kerusuhan, manipulasi relatif tidak mencolok, orang agak puas. Tapi masuk ke 2009 orang agak pesimis lagi. Soal otoritarianisme kita juga belum puas. Elite lama yang butuh panutan politik tiba-tiba berhadapan dengan adanya kebebasan, dan kebebasan bisa membawa orang pada kebingungan tersendiri untuk preferensi nilai. Memaknai demokrasi yang ada sekarang juga butuh preferensi nilai. Dalam kaitannya dengan etika politik, apakah perilaku elite yang mencerminkan nilai seperti sekarang sudah demokratis? Lalu kita mengeluh demokrasi tidak bermakna, terlalu prosedural, dst. Publik di tingkat lokal mencerminkan proses transisi seperti itu: dari dulu dengan etika politik panutan, dari otoritarian menuju ke etik politik yang mau kebebasan tapi belum menemukan fondasi values yang harus mereka anut. Itu problem yang dihadapi sekarang. Ini pertarungan soal values. Lalu ada perbenturan antara kebebasan dan manipulasi politik sebagai ekspresi otoritarianisme baru daripada kebebasan politik. Sementara demokrasi sangat menjunjung tinggi transparansi. Di situ muncul pertarungan. Inilah realitas di ruang publik negeri ini, ada contested arena, tidak hanya antar aktor, tapi antar-values juga. Ini salah satu gambaran. Gambar yang agak baru adalah desentralisasi, ketika pemerintah lokal mendapat otoritas yang lebih besar mereka menggunakan otonominya dengan semaunya sendiri. Itu perilaku elit politik lokal yang menggelisahkan. Misalnya ada laporan yang mengatakan tentang adanya shadow state, perkumpulan yang sangat eksklusif dan menjadi tempat pengambilan keputusan politik. Itu berarti, bukan di dalam parlemen orang berdebat, bukan dalam Rakerda ekspresi politik demokrasi ditunjukkan. Tapi decision making muncul dari arena di luar negara yang mempertemukan pemodal dan partai. Semacam lobi. Itu sphere tertentu yang tidak terbuka. Dari segi public, itu public seperti apa? Di level komunitas terlihat kelompok partikular berdasarkan etnis dan agama semakin kuat karena kesulitan ekonomi. Di kelas menengah, anak muda yang sangat skeptis, dalam arti mereka sadar akan tidak bergunanya politik ini lalu ke cafe dan mendiskusikan masalah mereka dengan bebas. Mungkin ada yang merindukan sphere yang liberal, membicarakan
pemikiran produktif, dst. Jadi ada mozaik yang banyak, shadow state, anak muda di cafe dengan gayanya sendiri. Sebetulnya mereka kreatif dan bisa menggunakan media dan internet dengan luar biasa. Tapi di komunitas massa, yang terlihat menyedihkan sekali, pembagian daging kurban saja sampai berebut. Publik yang massa itu demikian. Setelah ditelusuri ternyata ada yang sebagian dijual lagi dagingnya. Di komunitas massa, kita melihat interaksi agama dan pasar. Sampai kurban pun jadi pasar. Orang yang sulit masih ditabrak dengan krisis ekonomi, tidak ada harapan dari elit, sering ditipu dan susah terus. Karena itu Prabowo cepat populer karena dia langsung bagi-bagi motor dan uang ke banyak orang. Itu potret di tingkat massa, orang yang terkena krisis cukup lama, tidak percaya lagi kepada pemimpinnya, hanya pemimpin yang bisa langsung memberi yang dipercaya. Itu etik yang menyedihkan sekali, lalu bagaimana kita bicara demokrasi dalam etik yang demikian? Dalam situasi seperti ini yang paling dibutuhkan adalah demokrasi yang produktif, meaningfull dan bisa menyelesaikan masalah yang ada. Sebab, kalau elit hanya memanfaatkan kesulitan rakyat lalu bagaimana masa depan demokrasi di negeri ini? Pertarungannya juga cukup berat dengan leadership yang demikian. Soal leadership itu sejatinya ada kurikulumnya, ada etik yang spesifik dalam leadership. Jaman dulu orangtuanya leader anaknya leader, itu ada kurikulumnya sementara kurikulum leadership sekarang tidak ada di partai politik. Berkaitan dengan prinsip bahwa public-sphere adalah kompetisi bebas yang mensyaratkan harus ada fair competition, realitas dalam berdemokrasi sekarang hal itu tidak ada. Ketika demokrasi dibikin sedemikian rupa, justru defisit karena dibajak kepentingan elit dan pragmatisme uang. Ini demokrasi sembako. Pertarungan dalam public-sphere tidak fair. Selama begitu agak susah. Syarat untuk peluang public-sphere yang dibayangkan adalah masyarakat terbuka, di mana seluruh institusi yang ada tidak berhak memonopoli kebenaran. Kedua harus ada fair competition di public-sphere. Yang terjadi sekarang demokrasi hitung-hitungan, voting, itu tidak dalam konteks penghargaan untuk minoritas. Memprihatinkan, bahwa rekruitmen pemimpin berlangsung dalam proses yang seperti itu. Akibatnya demokrasi saat ini gagal menghadirkan kepemimpinan yang baik. Dengan demokrasi seperti ini preman bisa jadi kepala daerah. Misalnya di Tapanuli Utara, raja togel jadi Bupati. Katakanlah di Gresik, seorang kyai yang tidak pernah keluar pondok harus memimpin sebuah Kabupaten, dan ini dua periode. Ini atas nama demokrasi. Calon walikota, kalau tidak dari dunia proyek ya dari dunia kegelapan itu. Lalu semua orang mengambil manfaat, kalau rakyat disuruh kampanye mereka minta imbalan. Kalau tidak ada sembako, tidak jalan. Di tingkat atas juga demikian, kalau ke pesantren tidak ada bisyaroh/upeti maka tidak jalan. Karena itu patronase dalam konteks kyai dan santri itu hancur, bagaimana santri mau berpanutan kalau kyai juga plin-plan, hari ini berdoa untuk si A, besok berdoa untuk si B. Ini soal dukungan dan rakyat melihat itu. Dalam konteks demokrasi ini orang mengambil kesempatan untuk kepentingan masing-masing. Kalau ada kaos diterima saja, urusan nyoblos itu lain lagi. Jadi ada pembajakan atas demokrasi oleh kapital. Bisa dibayangkan kalau pilihan kepala desa, kalau tidak bisa meng-upgrade, di-downgrade. Ada istilah serangan fajarlah, dst. Belum lagi banyak sekali kasus pemilihan kepala daerah yang menang adalah penjudi. Ternyata itu
18
19
tradisi yang luar biasa di Jawa, yaitu kuatnya peran para botoh. Itulah yang terjadi sekarang: saling adu kekuatan, kalau tidak selesai satu putaran, dibuat dua putaran. Ada ruangruang pemaksaan dalam ruang partikularisme tadi, ruang itu diambil untuk memaksakan demokrasi. Harusnya dihargai, bukan soal otot-ototan.. Kondisi makin berbahaya lagi karena premanisme agama masuk ke politik, tidak bisa dihadang. Lebih memprihatinkan, saat ini terjadi pula situasi di mana masyarakat tidak punya social trust. Tidak ada political trust sama sekali kepada partai. Bagaimana bisa membentuk publicsphere tanpa social trust? Di tingkat grass root semacam itu yang terjadi. Negeri ini sekarang sedang mengalami krisis keteladanan sekaligus krisis kepercayaan, dalam masyarakat kita tidak adanya kepercayaan satu dengan yang lain. Ketika trust di masyarakat tidak ada, bagaimana mungkin ada kesepakatan menjalankan etika yang sama. Tak mengherankan jika kemudian dalam Pilkada terjadi kecenderungan lebih banyak golputnya, karena calon pemimpinnya di mata masyarakat adalah preman yang menjadi politisi. Ketika yang masuk ke dunia politik itu dari kalangan perguruan tinggi, ketidakpercayaan pun tetap sama karena kelakuan mereka sama dengan pemimpin jalanan. Tidak mudah memang bagi seseorang yang biasa melakukan analisis tiba-tiba harus membuat keputusan politik. Ini makin menyulitkan dalam membuat satu etika publik, penghargaan pada kesamaan martabat manusia. Ketika orang tidak percaya parpol, lalu kalau ada calon independen pasti dipilih. Tapi ternyata keluar dari mulut harimau masuk ke mulut biaya, calon independen juga mahal. KTPnya harus 20% dari jumlah penduduk, akhirnya 1 KTP dihargai Rp 10.000. Ini terjadi di Kediri dan ada calon yang dibiayai sebuah perusahaan rokok untuk menjadi Walikota. Ketika ada calon independen yang maju dan sudah habis banyak ternyata tidak menang. Baru di Sumatera ada satu calon independen yang menang. Di tengah situasi kelangkaan (scarcity) etika yang dibutuhkan dalam membangun sebuah ruang publik yang diidealisasikan, ada kenyataan lain yang mungkin makin menjauhkan nilai-nilai etik dalam kehidupan di ruang publik. Kenyataan ini justru lahir di lingkungan yang dipersiapkan untuk membangun peradaban, yaitu perguruan tinggi. Ada apatisme mahasiswa ketika berbicara tentang etika. Mereka berkecenderungan untuk beranggapan bahwa mereka sedang mempelajari sesuatu yang utopis di kampus. Bagi mereka, adalah kesia-siaan mempelajari sesuatu yang utopis, sesuatu yang tidak ada di dunia nyata. Pemetaan masalah ini bukan hal penting. Padahal mereka kelak akan menjalankan peran publik ketika mengisi ruang-ruang kekuasaan (negara, kapital, warga) yang akan berkompetisi di ruang publik. Pertanyaan penting dari semua realitas penyimpangan itu adalah, apakah penyimpangan dianggap normal? Kalau penyimpangan dianggap normal, otomatis kita menemukan seluruh wacana tentang fakta publik yang menggambarkan abnormalitas buat orang yang rasional. Karena hanya orang irasional yang bisa menganggap sesuatu yang menyimpang itu normal karena dia tidak punya alat ukur lain untuk menilai situasi publicsphere. Lalu, bagaimana membangun sebuah public-sphere sebagaimana diidealisasikan dari kondisi seperti itu? Jelas, para pelaku atau aktor yang memiliki peran publik merupakan sasaran yang perlu mendapat pemahaman atau kesadaran tentang public-sphere di mana dia memiliki peran. Dalam konteks pendidikan kebijakan publik, etika publik juga relevan.
Etika publik dalam konteks keberadaan dia di public-sphere, bukan sekedar etika di kantor, yaitu etika yang menumbuhkan kesadaran eksistensial dia di public-sphere, karena dialah pelakunya. Hal serupa juga perlu diajarkan kepada para mahasiswa kalau mereka memang diarahkan agar memiliki orientasi terhadap public-sphere. Tentu saja, media, para jurnalis, termasuk sasaran strategis. Sebab media merupakan salah satu agen dalam pembentukan nilai-nilai etika publik. Bahwa ketika media hanya menjadi agen yang meneruskan atau justru mereproduksi makna penyimpangan etika publik, maka penyimpangan etika publik akan terus terjadi dan penyimpangan menjadi sebuah kebenaran.
20
21
BAB II
REALITAS PUBLIK DAN IDEALISASI JURNALISME
D
1. Fakta: Sensasi dan Makna alam kondisi ruang publik yang tengah mengalami krisis etika publik, termasuk krisis kepercayaan dan keteladanan, jurnalisme diharapkan berperan menegakkan etika publik sesuai fungsi imperatifnya yaitu untuk mendidik dan mencerahkan. Terlebih lagi, sampai saat ini media (sebagai produk jurnalisme) masih menjadi salah satu acuan masyarakat untuk membantu mereka memaknai realitas. Alih-alih memenuhi harapan tersebut, realitas menunjukkan bahwa media bukan hanya larut dalam krisis, media seakan-akan justru memperkuat berbagai perilaku yang meniyimpangi etika publik. Media, jurnalisme, cenderung hanya mereproduksi makna atas realitas publik yang justru dinilai menjauh atau bahkan banyak menyimpangi etika publik yang diidealisasikan. Akibatnya, selain krisis etika di ruang publik tak teratasi, para aktor di ruang publik tidak merasa bahwa perilaku mereka tidak berkesuaian atau menyimpangi etika publik bahkan apa yang terjadi di ruang publik saat ini dianggap benar adanya.a as Media Betapa media berada dalam pusaran krisis, bisa dicermati dari bagaimana media tidak bisa membedakan antara ruang privat dan ruang publik sehingga memperlakukan ruang privat sebagai komoditas sekaligus tidak menganggap sebuah persoalan ketika negara melakukan intervensi ke ruang privat. Media dengan ringannya menyajikan konflik sekadar barang dagangan dengan prinsip “yang penting laku� tidak untuk menunjukkan makna. Media negeri ini juga terus-menerus mereproduksi fakta kekerasan yang dilakukan berbagi aktor di ruang publik tanpa sikap kritis, pada sisi lain media tak berdaya menghadapi tekanan kekuatan massa tak ubahnya dengan ketundukan media kepada logika waktu pendek. Selain itu, media hanya memproduksi makna usang dengan melakukan framing yang itu-itu saja dari waktu ke waktu; terbelenggu pada newsworthiness tanpa bisa memberi ruang bagi humanworthiness, tidak memproduksi makna atas realitas ruang publik sehingga bisa mencerahkan, dan yang lebih mendasar lagi menyangkut sikap profesional jurnalis terutama berkaitan dengan penghayatan dan penegakan etika profesi.
23
Konflik, sebagaimana halnya seks dan kriminalitas, bagi jurnalisme memang menyenangkan dan mempunyai nilai tinggi, menjadi barang dagangan yang laku dijual. Itulah yang sedang dianut oleh pers sekarang. Namun, yang menjadi persoalan adalah fakta konflik, seks dan kriminalitas, disajikan telanjang dan lebih menonjolkan sensasinya. Teksteks jurnalisme semacam ini tidak menghasilkan makna publik yang bisa menjadi wacana. Orang tidak lagi melihat persoalan-persoalan yang mendasar di ruang publik. Ini memang bicara tentang bagaimana media memperlakukan fakta: ada kecenderungan untuk melakukan komodifikasi fakta secara berlebihan sehingga meninggalkan nilai publik. Dalam sebuah diskusi poligami di stasiun televisi, misalnya, isinya hanya diadu antara mereka yang pro dan kontra dengan keras. Setting diskusi diciptakan seperti itu. Penontonnya juga dikondisikan demikian, bukan dengan menguji nalar (rasionalitas) tapi menguji emosi. Di televisi juga ada debat soal rokok, bukan antara ahli kesehatan, tapi antara MUI yang akan bilang haram dengan beberapa kiai NU yang menolak. Konflik yang ditampilkan di sana adalah komoditas tanpa ada tujuan sebenarnya apa yang ingin dicapai dari pemberitaan seperti itu. Komodifikasi fakta seperti itu,yang hanya menjual konflik semata sebagai daya tarik sensasionalitas, akhirnya menyebabkan publik hanya menangkap sensasi dari konflik tersebut, bukan makna dari persoalan. Lebih dari itu, publik tidak mendapat pembelajaran dari sebuah debat yang tidak dilandasi cara-cara yang mengedepankan rasionalitas. Yang diperoleh publik adalah pembenaran atas prinsip siapa kuat (bersuara) dialah pemenangnya. Langsung maupun tidak langsung ini menjadi nilai yang kemudian diterapkan dalam interaksi di ruang publik ketika terjadi konflik atau perbedaan pendapat. Komodifikasi yang cenderung berlebihan, juga telah mengabaikan penghargaan terhadap kehidupan privat. Realitas jurnalisme saat ini disesaki oleh kecenderungan dimasukinya wilayah privat sebagai bahan eksploitasi media. Tak bisa dimungkiri, memang, seluruh dinamika yang ada sangat menguntungkan. Karena yang selalu ditawarkan dalam nilai berita adalah konflik dan sensasi. Wilayah privat seseorang yang semestinya tidak boleh dimasuki oleh pers, telah dikomodifikasi sedemikian rupa. Sekarang hal seperti itu bagi jurnalisme dianggap sebagai sesuatu yang normal dan bahkan dieksploitasi. Sebetulnya apa hak bagi jurnalis memajang berita menyangkut perkara pribadi di medianya. Media telah membawa dunia privat orang lalu memasukkannya ke ruang publik.. Persoalan privat, misalnya urusan cerai seseorang, sejatinya bukan persoalan penting bagi kehidupan publik. Namun, kenyataan itu sekarang menjadi lain. Media justru begitu menggebu memasuki urusan privat yang sejatinya bukan merupakan tugas pokok media Soal hubungan seks, misalnya, itu mungkin bermasalah, tapi belum tentu layak diberitakan. Memang, secara nilai berita, dalam peristiwa itu ada konflik dan ada sensasionalitas yang selalu menarik orang untuk ingin tahu. Di sana mengandung voyourisme, keinginan untuk melihat kehidupan privat orang lain. Ini juga yang menjadi dasar keberadaan media. Soal video porno selalu diberitakan siapa yang ada di sana. Bukan beritanya mengatakan bahwa itu soal privat yang tidak seharusnya dimasuki dan orang yang ada di dalamnya seharusnya dilindungi, dengan tidak memasang gambarnya. Berita isu selebriti yang terjerat narkoba, yang dikedepankan selalu personalnya, bukan pasar narkoba yang masuk dengan cepat tanpa memperhatikan selebriti atau tidak,
termasuk anak-anak sekolah yang diberi permen berisi narkoba, tapi dilarikan ke individu artis yang dicari-cari kejelekannya ketika dia jatuh. Jika unsur privatnya yang terus-menerus diangkat para jurnalis, masyarakat tidak melihat makna penting fakta artis terjerat narkoba bagi kehidupan mereka bahwa kehidupan mereka makin terancam oleh narkoba. Masyarakat hanya mendapat penghiburan, bukan pemahaman terhadap persoalan. Realitas ini sebetulnya sekaligus mencerminkan bahwa ada semacam ketidaktahuan mana ranah privat dan publik, mana yang pantas diberitakan dan tidak. Sebetulnya ada ruang publik yang tidak boleh diganggu, tapi kemudian itu menjadi kepentingan modal dan tidak ada kritik budaya. Media tidak lagi mampu melihat apa beda wilayah privat dan wilayah publik. Media tidak mampu membentuk nilai-nilai ketika wilayah yang semestinya tidak boleh dimasuki, justru dijual kepada khalayak. Padahal, saat ini wacana publik sedang kehilangan nilai. Akarnya, boleh jadi ada di masyarakat yang tidak memiliki tradisi untuk membedakan dengan jelas antara ruang privat dan publik. Akibat lebih jauh dari tidak bisa membedakan mana ranah publik dan fakta publik dan mana ranah privat dan fakta prifat yang tidak boleh dimasuki, jurnalisme Indonesia saat ini tidak menganggap persoalan besar ketika petugas Satpol PP atau polisi, memasuki kamar-kamar hotel dan menangkapi pasangan lawan jenis bukan suami istri. Jurnalis sudah cukup bila memberitakan, bahkan menayangkannya secara detil, proses razia tersebut. Media tidak memberi informasi kepada publik bahwa sesungguhnya telah terjadi tindak kekerasan yang dilakukan negara melalui Satpol PP atau polisi itu. Sebaliknya, media memperkuat hal itu. Lebih dari itu, yang terjadi adalah negara melalui aparatusnya (Satpol PP atau polisi) juga telah melakukan intervensi ke ruang dan kehidupan privat warga negara. Sesuatu yang bukan hanya menyimpangi etika publik, tapi juga melanggar privasi. Manakala intervensi ke ranah privat oleh negara seperti ini direproduksi, dan reproduksi dilakukan terus menerus, oleh para jurnalis, maka di masyarakat terjadi pemaknaan bahwa tindakan seperti itu tidak menyimpangi etika apapun. Terjadi pembenaran ketika siapapun melakukan hal serupa. Masyarakat tidak menganggap sebagai perilaku yang menyimpangi etika publik ketika mereka mengintervensi ruang-ruang privat, termasuk dengan cara-cara kekerasan sambil membawa ideologi kelompok, sebab mereka seakanakan mendapat legitimasi dari media. Bukankah media, sebagai institusi sosial (selain institusi bisnis) juga melakukan hal serupa? Boleh jadi, komodifikasi seperti itu akibat tekanan mekanisme pasar. Dalam mekanisme pasar ada mimetisme, dalam arti semua media massa akhirnya ikut-ikutan. Kalau satu media menulis atau menayangkan sebuah kasus, maka yang lain juga memberitakan itu. Kalau tidak ikut-ikutan, khawatir akan ditinggalkan pembaca atau penonton. Ini murni logika dagang. Memang hal itu bisa terjadi, karena mimetisme atau karena logika waktu pendek yang membuat persaingan. Sehingga semua yang spektakuler dan sensasional menjadi ramuan. Memang tidak dapat dipungkiri media saat ini harus bersaing ketat, terutama ketika teknologi membuat semua bisa menjadi real time. Hal-hal ini memunculkan logika waktu pendek, semua harus serba cepat, instan, menarik perhatian orang. Akhirnya jatuh ke berita yang sensasional dan spektakuler.
24
25
Pergeseran framing berkaitan eksposing dunia privat dari infotainment yang sepenuhnya hiburan ke tayangan berita biasa juga mengisyaratkan hal itu. Media selalu menjadi penghakim dengan bahasa moralitas atau religius. Tayangan infotainment bahkan sudah memberi justifikasi dan menjadi hakim dengan gaya sangat berlebihan. Selain ada kelangkaan makna dan pengulangan atau keusangan makna, fenomenanya adalah distorsi makna. Substansi akan dikurangi oleh media dan distorsi sampai ke publik. Tapi, publik tidak kritis dan yang ditangkap adalah apa yang dimunculkan saja. Akhirnya ada pembodohan massal dan distorsi makna terus menerus terjadi. Namun, mengacu pada persoalan tersebut, jika ada berita artis yang dipukuli di rumahnya, perlu dipertanyakan ulang. Apakah hal itu merupakan ranah privat atau ranah publik? Meski, pada kenyataannya berita-berita seperti itu bisa melambungkan oplah koran dalam waktu singkat, apakah argumen “harus serba cepat� harus pula melanggar hak-hak privat? Mimetisme tentu saja bukan hal yang buruk. Namun, manakala perilaku ikut-ikutan ini hanya menjual sensasi atau konflik, bahkan sama-sama melanggari ruang privat, maka publik pun makin mendapat legitimasi yang makin kuat bahwa berbagai perilaku yang melanggar etika publik tersebut bukan sebuah penyimpangan, melainkan sesuatu yang normal. Dalam memberitakan fakta kekerasan di ruang publik, realitas menunjukkan bahwa media hanya berperan mereproduksi makna ideologi kekerasan. Ideologi kekerasan terjadi karena para aktor tidak memiliki rasionalitas. Semestinya media memberi pemahaman kepada publik soal hilangnya rasionalitas itu, bukan hanya menjadi penerus fakta semata, sehingga justru memperkuat tindak kekerasan itu.
2. Posisi Media Jurnalisme Ketika terjadi peristiwa keributan di ruang sidang pengadilan yang melibatkan massa FPI, media hanya memberitakan fakta tersebut tanpa memberi makna apapun. Padahal, sudah jelas tindakan membuat keributan di ruang sidang merupakan countempt of court, penghinaan terhadap pengadilan. Pemaparan fakta tanpa sikap kritis ini, akan menyodorkan makna kepada khalayak bahwa perilaku kekerasan di ruang sidang, terlebih lagi pada saat sidang berjalan, bukan sebuah persoalan. Begitu pula ketika sekelompok orang yang menamakan diri FBR mengambil paksa pimpinan sebuah perusahaan leasing sepeda motor, karena perusahaan tersebut menarik sepeda motor (kredit) pimpinan FBR, dan polisi hanya diam, akan dimaknai oleh khalayak sebagai perilaku yang legal. Sebab, media tidak menunjukkan adanya ketidakberesan dalam fakta publik itu, yakni negara tidak mencegah (membiarkan) tindakan massa sembari melindungi melindungi pemimpin perusahaan leasing. Padahal hanya negara -- karena mandat dari warganegara -- yang punya kewenangan melakukan tindakan legal dengan kekuasaan fisik maupun administratif. Di luar negara, ilegal. Masih dalam realitas media menyikapi fakta kekerasan yang sekadar mereproduksi fakta dengan makna yang dibawa kelompok, terjadi ketika sebuah suratkabar besar di Jakarta didatangi massa yang marah-marah sambil membawa-bawa nama Tuhan, untuk memprotes suratkabar tersebut. Menurut pengelola suratkabar ini, massa marah karena
medianya kerap menilai RUU Anti Pornografi sebagai pandangan mayoritas untuk mengatur pandangan semua orang, termasuk minoritas. Tak ada argumen rasional dalam protes tersebut, sebaliknya yang muncul adalah tudingan bahwa suratkabar tersebut memang tendensius karena dinilai sebagai suratkabar milik kelompok minoritas (dalam agama) yang tidak setuju dengan suara mayoritas (juga dalam agama) dari mana sekelompok orang itu berasal. Yang penting digarisbawahi dalam konteks realitas media melihat perilaku aktor-aktor di ruang publik yaitu tidak ada media lain yang menunjukkan pembelaan terhadap suratkabar tersebut. Bahwa, suratkabar itu mengalami tekanan massa karena menyampaikan perbedaan pandangan. Media lain juga tidak menunjukkan ke publik bahwa perilaku massa tersebut tidak bisa dibenarkan dalam konteks etika publik. Dari itu publik mendapat makna bahwa kekerasan adalah jalan menyikapi perbedaan pendapat, menekan dengan kekerasan secara psikis maupun fisik dibenarkan demi mempertahankan nilai yang dianut kelompok. Pengadilan massa seperti dihadapi suratkabar tersebut menambah persoalan bagi jurnalis di tengah belum selesainya soal persaingan dan idealisme. Setelah reformasi dan Orde Baru tumbang, sebetulnya sudah tidak ada ketakutan lagi pers ditutup. Tapi sekarang ada pengadilan massa yang berat. Yang dihadapi media pers suratkabar sekarang adalah social forces. Ketika kekerasan merambah dunia pendidikan seperti kembali maraknya perilaku kasar pendidik menyikapi persoalan siswa, misalnya makin seringnya terjadi guru menempeleng siswa, jurnalis berhenti pada memberitakan fakta tersebut. Lagi-lagi ini hanya berkutat pada unsur konflik dan sensasi. Publik tidak mendapat makna apapun dari fenomena tersebut; mengapa terjadi demikian, apa yang sesungguhnya terjadi dalam relasi antara pendidik dengan siswa. Jurnalis tidak mencoba untuk mencari jawaban hipotesis tentang itu sehingga menemukan makna, sesuatu yang berarti dari fakta publik macam itu. Menghadapi fakta publik terkait perilaku aktor di kehidupan politik, media juga tidak banyak berbeda. Media hanya meneruskan makna yang disodorkan mereka. Padahal, dengan sikap kritis berbekal nalar dan menggunakan kecerdasan dengan sikap netral (bebas dari bias kepentingan ideologi), jurnalis bisa memproduksi makna lain daripada yang disodorkan para aktor politik itu. Bertebarannya spanduk dan baliho calon kepala daerah maupun calon anggota legislatif di berbagai sudut kota, oleh media hanya dilihat secara fisik sebagai polusi visual. Jurnalis tidak mengkritisi teks yang justru sebagian besar tidak bermakna apa-apa bagi kehidupan publik, kecuali menjual citra fisik. Fenomena pemekaran wilayah (kabupaten atau provinsi) yang di berbagai tempat sarat dengan kepentingan partikular-etnisitas, oleh media hanya ditampilkan sebagai peristiwa administratif belaka. Tidak dilihat sebagai persoalan besar bahwa hal itu menunjukkan dimanfaatkannya kekuasaan negara untuk kepentingan etnis. Isu putra daerah menjelang pemilihan kepala pemerintahan, tidak dilihat dan dimaknai oleh media sebagai pengingkaran prinsip demokrasi yang membuka ruang bagi siapapun. Jurnalis yang cenderung lebih suka memberitakan aktivitas birokrat dan pengusaha daripada persoalan masyarakat marginal dan miskin menjadi bagian lain dari potret rea-
26
27
litas media, terutama di tingkat lokal. Ini ada hubungannya dengan penghasilan para jurnalis. Wartawan lokal cenderung mendekat ke pihak yang memungkinkan bisa menghasilkan tambahan pendapatan, misalnya birokrat atau pengusaha lokal. Hasilnya, hanya berita tentang merekalah yang masuk. Hal itu melahirkan keluhan bagi redaktur koran lokal. Bagaimana mau memasukkan berita bagus kalau isinya hanya penandatanganan atau bupati yang pergi ke mana, lantas meresmikan apa. Bagi sebagian pemilik perusahaan suratkabar, akan dikatakan bahwa hal itu adalah bisnis. Mereka akan mengatakan tidak perlulah berpikir ideal, yang penting bagaimana tulisan bisa menguntungkan untuk bisnis. Kalangan miskin, yang sesungguhnya memang bukan pembaca media, hanya “ada� ketika mereka menjadi bagian dari persoalan kriminalitas atau nasib buruk. Televisi mendekati mereka pada saat mereka dijadikan hiburan yang membuat penonton menangis dan membuat rating naik. Realitas media juga menunjukkan adanya keusangan pada dirinya dan pada makna yang diproduksinya. Menurut seorang jurnalis senior, jika saat ini dilakukan riset kecil-kecilan tentang apa yang disajikan televisi dan suratkabar maka akan ditemukan bahwa narasumber yang muncul adalah yang itu-itu saja. Pada akhirnya, media hanya memproduksi makna usang. Terjadi keusangan intelektualisme narasumber, tapi media atau jurnalis, sesungguhnya sudah lebih dulu usang. Tiap hari media memproduksi keusangan. Jika khalayak membaca editorial di sebuah koran sekarang dibandingkan dengan tiga bulan lalu, akan ditemukan argumentasi yang hanya copy-paste. Perdebatan yang disorot hanya persoalannya yang baru sehingga perlu kebijakan baru, tapi secara filosofis dan pemaknaan akan sama saja. Jurnalis senior tersebut juga mengakui ketika format suratkabar diubah mengecil, tugas memproduksi makna menjadi lebih berat dan lebih susah karena itu memerlukan intelektualitas baru di kalangan jurnalis. Sementara intelektualitas baru itu belum menjadi bagian dari jurnalis. Maka, bisa dipahami jika orang tidak membaca koran, karena ada keusangan intelektualisme namun hal itu diproduksi terus. Hal itu ditambah lagi dengan makin sempitnya waktu masyarakat untuk membaca koran. Berdasar hasil hasil survey pembaca diketahui, mereka hanya membaca koran pagi hari tidak lebih dari 30 menit, siang hanya 40 menit, malam 50 menit. Tidak ada yang membaca selama satu jam. Mungkin hanya membaca judul, kalau judulnya menarik maka membaca lead, kalau menarik baru diteruskan ke body textnya. Tidak akan membaca semua kecuali kalau ada interest pribadi. Oplah stagnan dan jam membaca yang makin singkat membuat media dalam posisi dilematis. Ini sekaligus menjadi tantangan bagaimana agar jurnalis mampu mengadirkan makna dari realitas namun tetap tidak terlewatkan oleh pembaca. Dari dunia jurnalisme, kegelisahan sebenarnya sudah lama timbul. Munculnya gagasan precision jurnalism atau jurnalisme presisi, sebetulnya karena ingin memberi peran lebih pada jurnalisme untuk menceritakan ke masyarakat dengan akal sehat. Tapi kemudian dirusak oleh perkembangan masyarakat sekarang, politik, budaya, dan sebagainya. Selain soal keusangan dan perubahan perilaku pembaca, realitas media juga tak lepas dari masalah yang menyangkut etika profesi. Selama ini, etika jurnalistik atau kode etik
jurnalistik sudah dimiliki hampir semua asosiasi jurnalis atau media news room. Yang belum jelas adalah etika normatif dari etika jurnalistik yang dibuat. Dengan pemahaman seperti in, menjadi jelas mengapa etika jurnalistik hanya berlaku di atas kertas, karena pembacaannya hanya tekstual, tanpa introduksi etika publiknya seperti apa. Jadi ada urgensi yang harus dipikirkan tentang bagaimana sejatinya rumusan etika publik yang menjadi nilai bersama yang bisa diacu kembali untuk merumuskan etika jurnalistik yang baru, meskipun dewan pers sudah membuat yang baru tapi itu belum operasional, belum ada code of conduct-nya. Dalam sebuah konferensi yang diselenggarakan asosiasi jurnalis AJI, yang banyak dibicarakan justru soal pragmatis, misalnya pertanyaan adakah mereka kena PHK akibat dampak krisis global. Seorang peserta diskusi mengemukakan, persoalan etika jurnalistik nyaris tersisih dari pembahasan konferensi tersebut. Para jurnalis kini seperti kejar target: dengan tugas liputan sehari sekian, akhir bulan sekian. Sehingga sulit membayangkan mereka bisa menyediakan diri untuk refleksi atau melakukan upaya untuk menghargai profesi mereka. Dari sekian banyak jurnalis berapa gelintir yang mau membaca kode etiknya? Dari beberapa gelintir yang membaca itu berapa gelintir yang memahaminya? Seandainya pernah membaca pun, penafsirannya juga berbeda. Dalam hal menerima amplop saja, wartawan satu dan lain saja berbeda-beda. Ada yang mengatakan tidak masalah, ada yang menolak. Wartawan satu dan lain memahami berbeda, padahal sudah jelas hal ini dicantumkan dalam kode etik. Kalau dirunut ke hulu, tampaknya realitas media, khususnya yang berkaitan dengan perilaku jurnalis, bukan sesuatu yang terjadi tiba-tiba. Ada prakondisi dan itu antara lain berawal di perguruan tinggi. Sejak awal para jurnalis itu sudah mempunyai akar yang boleh dikatakan tidak sehat. Seorang pengajar ilmu komunikasi mengungkapkan, di bangku kuliah, etika komunikasi memang diajarkan secara mandiri dan semua yang menyangkut etika komunikasi harus disodorkan secara keseluruhan. Namun mereka yang mempersiapkan diri hendak terjun total ke dunia jurnalisme mengatakan, mereka merasa tidak perlu belajar etika. Mempelajari sesuatu yang utopis, yang tidak ada di dunia nyata, hanya kesia-siaan. Mereka merasa pemetaan masalah menyangkut etika tidak terlalu perlu. Meskipun realitas media pesimis seperti itu, tentunya tetap dituntut jurnalis bisa menjalankan peran dan tugasnya terutama untuk bisa menjernihkan ruang publik yang makin keruh dan bagaimana memberi makna pada pertarungan di ruang publik. Sebab, tugas media jurnalisme memang memproduksi makna. Apalagi kondisi objektif menunjukkan media masih menjadi acuan masyarakat dalam bertindak dan berperilaku. Dengan demikian, makna apa yang disodorkan media atas realitas di ruang publik, makna itu pula yang ditangkap masyarakat untuk menafsirkan dan menyikapi kehidupan di ruang publiknya. Namun agar bisa menghasilkan makna dari realitas di kehidupan publik saat jurnalis tak lagi memadai jika hanya berbekal etika profesi. Secara sederhana etika jurnalistik hanya membatasi agar wartawan tidak begini dan tidak begitu. Padahal pertanyaan besarnya adalah bertanya, “mengapa wartawan tidak begini dan tidak begitu?� Jurnalis juga perlu memahami dan menghayati etika publik. Dengan begitu jurnalis bisa melihat apakah perilaku para aktor di ruang publik telah menggunakan etika publik sebagai acuan dalam
28
29
berinteraksi atau sebaliknya, justru menyimpangi bahkan mencederai etika publik. Untuk membereskan media ada yang melihat etika jurnalistik, tapi tentu saja ini tidak cukup, Ketika muncul pertarungan antara idealisme dan bisnis, ini bukan hal yang harus dipertentangkan. Suratkabar memang menjadi institusi sosial di satu sisi dan institusi bisnis di sisi lain. Justru yang seharusnya perlu dikritisi adalah bagaimana suratkabar melihat substansi persoalan di tengah kehidupan masyarakat. Bagaimana merekonstruksi fakta sehingga publik punya kesadaran di mana akar persoalannya. Oleh karena terjadi pergeseran di ruang publik atau ruang publik itu bergeser maka pemahaman tentang news-worthy juga berubah. Perubahannya seperti apa? Itu pertanyaan besar bagi jurnalis. Kalau diasumsikan soal teknis, memang sudah selesai. Tapi, memilih angle, memilih perspektif, masih persoalan besar. News worthy yang kini berubah kini perlu didekati dengan human worthiness. Di sana akan muncul banyak persoalan yang bisa diungkap, tapi tetap dalam kerangka ideal media, yakni memberi makna, mengedepankan rasionalitas dan kecerdasan, berada di ruang otonom sesuai nilai kebebasan serta tetap berdiri di zona netral dalam pengertian bebas dari bias ideologi. Barangkali, menyangkut news-worthiness, adalah soal bagaimana mendekati human worthiness. Dengan segala macam persoalan yang dihadapi, bisa tragedinya, atau antusiasmenya, juga harapannya. Banyak perisitiwa atau fakta yang perlu dilihat human worthiness dengan segala kelebihan dan kekurangan fakta itu, yang penting pembaca, pada akhirnya bisa mengambil makna. Makna ini sangat penting karena ini bukan tanggungjawab jurnalis semata, tapi juga tanggungjawab orang tersebut. Meaningfull artinya fungsional dan bermakna. Tingkatannya juga bermacam-macam, orang juga berbeda-beda. Karena nilai itu hierarkis juga, ada yang universal yang diagungkan semua orang, ini kadang ada di media, ada juga nilai yang particular dan melekat dalam kelompok, umur, di bagian tertentu. Dengan demikian, orang akan memilih makna dengan sendirinya, fungsional dan menjadi acuan. Jika orang meluangkan waktu 20 menit untuk membaca koran, itu artinya koran jadi penting sekali. Karena dia akan mulai berpikir sejak dia membaca koran pagi itu.. Untuk menjawab harapan itu, persoalannya adalah bagaimana harus melatih generasi baru jurnalis untuk memahami pertarungan yang makin kompleks dan mengalami krisis ini? Itu menjadi tantangan tersendiri agar media mempunyai pasukan yang memang sudah disiapkan, terutama agar mampu memotret persoalan dengan jeli, jelas, terpilih dan terpilah, jernih dalam melihat dan cerdas dalam memilih agar ruang publik tidak makin keruh. Agar media jurnalisme bisa memproduksi teks sesuai dengan wacana yang memilki makna publik, sehingga bisa memenuhi tujuan jurnalisme itu sendiri yang didedikasikan bagi kemanusiaan, langkah awal adalah bekerja lebih jauh dari sekadar berkutatan dengan kerja teknis. Namun bukan berarti jurnalis mengabaikan kerja teknis ini. Sebab, bagaimana pun juga penguasaan atas kerja teknis, termasuk menjaga etika profesi, menjadi dasar profesionalisme. Dalam upaya ikut menegakkan idealisasi etika publik demi terwujudnya kehidupan publik yang diidealisasikan, sejak awal jurnalis harus memahami bahwa kerja jurnalisme
bertolak dari asumsi bahwa kehidupan publik pada hakikatnya diisi oleh berbagai makna bersumber dari sumber-sumber kekuasaan yang berkompetisi untuk “menguasai� warga. Karenanya kerja jurnalisme tidak lagi sekadar mengidentifikasi nilai/kelayakan berita dari fakta, melainkan pengidentifikasian makna publik dari kehidupan publik. Pada saat jurnalis melihat fenomena kekerasan oleh kelompok sosial tertentu terhadap kelompok atau pihak lain yang berbeda pandangan, jurnalis level ini tidak lagi berhenti pada tataran melihatnya sebagai fakta yang memenuhi kelayakan berita (news worthy) karena di situ ada unsur konflik. Jurnalis harus melihatnya ke sebalik fakta sosial tersebut, apa makna dari interaksi tersebut, apa konteksnya dalam kehidupan publik. Apakah perilaku seperti itu berkesuaian dengan etika publik? Dengan pemaknaan seperti ini jurnalis bisa membantu proses pembelajaran di masyarakat dalam memaknai fakta sosial seperti itu, tidak sekadar tahu bahwa ada pihak yang bertikai, apalagi kemudian ikut membenarkan nilai-nilai yang dipaksakan kelompok yang satu ke kelompok lainnya, tanpa dasar rasionalitas dalam menilai. Ketika jurnalis melihat fenomena atau fakta satpol PP atau polisi melakukan razia ke kamar-kamar hotel/losmen untuk mencari pasangan bukan suami istri, jurnalis level ini tidak berhenti pada pemberitaan peristiwa itu yang seakan-akan menunjukkan bahwa tindakan itu benar. Dengan melihat ke sebalik fakta, jurnalis bisa memetakan siapa aktor pada peristiwa tersebut dan bagaimana perilaku mereka: bahwa di situ ada negara yang direpresentasikan satpol PP atau polisi, di situ ada warga negara yang tengah berinteraksi dalam ranah privat, di dalam fakta itu ada kamar hotel yang merupakan ruang privat (private place), dalam peristiwa itu pula ideologi partikular-moral (berbasis salah satu agama) digunakan untuk menjadi dasar perilaku negara. Dengan pemetaan seperti ini jurnalis bisa memperhadapkan fakta sosial tersebut dengan etika publik bahwa negara hanya boleh mengurusi hal-hal yang berkaitan dengan kehidupan publik, bahwa negara tidak boleh mencampuri urusan privat warga negara apalagi sampai melanggar privacy, bahwa nilai-nilai kelompok (partikular) tidak boleh dijadikan kebijakan negara untuk urusan publik. Dari sini jurnalis bisa menunjukkan makna kepada masyarakat bahwa negara telah melanggar etika publik, bahkan melanggar hak asasi warganegara terkait kehidupan privatnya. Fakta, dalam kerja pembentukan makna ini, dipandang bernilai karena memiliki konteks terhadap makna yang dipilih. Dari sini media ikut sebagai faktor dalam kompetisi makna dalam kehidupan publik, sebab menawarkan makna di antara sekian banyak makna yang datang dari berbagai sumber kekuasaan. Dalam dua contoh di atas, makna berasal dari kekuatan sosial (social force) dan negara (state). Di ruang publik, kedua kekuatan itu terus bertarung untuk menjadikan nilai yang dianut masing-masing dijadikan acuan nilai oleh semua orang. Ketika dalam kerja pembentukan makna ini etika disebut-sebut, maka yang dimaksud bukan lagi etika untuk operasi teknis, melainkan sebagai landasan moral dalam menghadapi fakta publik. Ini yang disebut sebagai etika publik, yang pada hakikatnya sama halnya sebagai kaidah moral dari setiap orang yang memiliki peran (actor) dalam kehidupan publik.
30
31
Agar jurnalis dapat melakukan kerja-kerja pembentukan makna publik, jurnalis dituntut bertolak dari 4 aspek pokok, yaitu (1) pilihan atas fakta dalam kehidupan publik; (2) kesadaran atas etika/idealisasi kehidupan publik, (3) adanya perspektif dalam menghadapi fakta, dan (4) bagaimana melakukan framing atas fakta di kehidupan publik. Keempat aspek ini diperlukan bagi jurnalis untuk mengidentifikasi aktor-aktor dari setiap peristiwa atau fakta publik dan mengidentifikasi perilaku masing-masing aktor dalam peristiwa/ fenomena dilihat dalam konteks etika publik.
BAB III
KERANGKA KERJA BAGI JURNALIS
K
1. Fakta dalam Kehidupan Publik ehidupan publik merupakan manifestasi dari sistem kepublikan yang merupakan tata aturan tentang bagaimana negara (state) dan masyarakat (society) secara bersama-sama menjalankan kehidupan bagi warga. Sistem ini akan berjalan jika didasari dan selalu mengacu kepada norma-norma hukum dalam konteks negara, dan nilai serta norma-norma sosial yang telah disepakati bersama (shared values) dalam konteks masyarakat. Fokus dalam kehidupan ini adalah masyarakat warga (civil society). Dalam sistem tersebut ada pihak yang disebut negara dan publik. Negara ditempatkan sebagai pihak yang diberi kekuasaan untuk menyelenggarakan/menjalankan fungsi hukum dan kebijakan dan pelayanan bagi warga. Asumsi dalm penyelenggaraan kekuasaan negara adalah untuk menjamin hak dan kepentingan warga. Adapun publik merupakan pihak yang memberi kuasa kepada negara untuk menyelenggarakan atau menjalankan fungsi tersebut demi kepentingannya. Karenanya publik dapat dilihat dri basisnya yaitu kehidupan dalam konteks negara (public life), diikuti dengan kepentingannya (public interest), yaitu kepentingan warga dalam kehidupan yang berkaitan dengan negara. Dari sini dikenal isu publik (public issue) yaitu kepentingan warga dalam konteks kehidupan publik yang diaktualisasi atau diartikulasikan melalui berbagai aktivitas sosial. Kehidupan publik ini berada dalam sebuah ruang abstrak bernama public sphere (ruang publik). Public sphere/ruang publik pada dasarnya suatu kondisi/situasi bertemu dan berinteraksinya publik dengan negara, berlangsung dalam ruang fisik (public space) dan ruang non fisik/sistem kepublikan (public system). Dalam hal ini, negara ditempatkan sebagai pihak yang diberi kuasa untuk melayani kepentingan/ kebutuhan masyarakat/ publik. Secara ideal, ruang publik diharapkan dapat menjadi zona bebas dan netral yang di dalamnya berlangsung dinamika kehidupan warga secara personal/ individu, yang
32
33
bersih/terbebas dari kekuasaan negara, pasar dan kolektivisme (komunalisme). Dengan kata lain, idealisasi kehidupan publik adalah pada kehidupan warga masyarakat, dalam proses interaksi personal atas dasar kultural. Ciri dari interaksi semacam ini berdasarkan keberadaan person yang memiliki otonomi dan independensi. Interaksi sosial ditandai dengan posisi personal dalam tawar menawar (negosiasi) dalam proses diskusi publik (public discussion) atas dasar rasionalitas dan kecerdasan, bukan atas dasar kekerasan dalam dominasi dan hegemoni (kekuatan fisik maupun psikologis). Kekerasan dapat terjadi secara personal, atau institusional oleh negara maupun kuasi negara dalam masyarakat. Disini lahir fungsi imperatif media pers, sebagai perpanjangan/ekstensi dari ruang publik tersebut. Negara sebagai kekuasaan bersifat tunggal dengan kewenangan yang bersumber dari warga, karenanya kekuasaan negara bersifat ‘legitimate’. Legitimasi kekuasaan negara menjadi penting sebagai dasar bagi pelaku/penyelenggara kekuasaaan negara (state apparatus) guna pengaturan kehidupan publik. Penyelenggaraan kekuasaan pada dasarnya dengan 2 cara, fisik dan non-fisik. Secara fisik adalah kekerasan oleh negara bersifat legal sepanjang sesuai dengan hukum nasional maupun internasional / universal. Ini berupa tindakan polisional dalam masa damai, dan militer pada darurat militer dan perang. Penyelenggaraan kekuasaan secara non-fisik dengan tindakan administratif. Kesemua penyelenggaraan kekuasaan negara berlandaskan dan dalam kerangka hukum (konstitusi, undang-undang, dan kebijakan publik). Penggunaan kekuasaan dalam kehidupan publik secara fisik selain oleh state apparatus dalam kehidupan publik, dipandang sebagai kekerasan bersifat ilegal. Kekuatan dalam masyarakat yang mengambil alih peran state apparatus dalam mengatur kehidupan publik, tidak dapat diterima. Di luar wilayah negara, yaitu dalam masyarakat berupa interaksi sosial dan transaksi ekonomi, hanya dimungkinkan melalui norma etis. Pengaturan kehidupan warga hanya dimungkinkan melalui pengaruh pada alam pikiran, untuk membentuk penerimaan atas suatu norma etis. Disini penting pemahaman tentang masyarakat warga (civil society). Dalam praktek kehidupan publik, berlangsung tarik menarik antara negara (state) dan masyarakat (society). Civil society pada dasarnya diwujudkan dalam 2 sisi, pertama berkurangnya peran negara dalam memerintah (government) dengan penggunaan kekuasaan fisik, dan semakin besar peran mengurus (governance) melalui pelayanan publik (public services) bagi warga. Pada sisi kedua, membesarnya peran institusi masyarakat dalam dinamika politik, dan semakin banyak warga masuk ke dalam institusi negara. Dengan begitu birokrasi negara akan lebih berperan dalam operasi pelayanan publik, dan institusi negara digerakkan pejabat temporer dari masyarakat yang mengeluarkan hukum dan kebijakan publik untuk kepentingan warga. Wilayah negara (bersifat politis) dan masyarakat (bersifat sosiologis), ditandai dengan perbedaan norma dan penerapannya. Hukum dan kebijakan publik dari institusi negara, dan etika sosial dari institusi sosial, masing-masing menjadi sumber norma bagi warga dalam tertib sosial (social order). Jika proses sosial dalam landasan etika sosial dapat menciptakan tertib sosial, dengan sendirinya tidak diperlukan peran negara. Sebaliknya banyaknya konflik di antara warga yang tidak dapat diselesaikan dalam kerangka masyarakat,
harus diselesaikan dalam kerangka negara, menunjukkan gagalnya proses negosiasi yang menjadi ciri pokok dalam civil society. Legitimasi kekuasaan negara berasal dari warga. Dari sini setiap warga harus bebas dari tekanan dari dari kekuasaan di luar dirinya, dalam bersikap, berpendapat dan menilai dan menentukan keberadaannya dalam kehidupan publik. Begitu pula dengan peniadaan hirarki, setiap warga memiliki posisi yang sama untuk bisa berpartisipasi secara; tidak ada dominasi berdasarkan tingkatan atau status sosial. Kualitas partisipasi didasarkan pada komitmen bersama untuk selalu mengedepankan logika rasionalitas. Dengan kata lain, kehidupan publik didasari oleh sikap rasional dan kritis yang memungkinkan setiap orang memiliki kesempatan yang sama untuk berpartisipasi dan menggunakan kemampuan berkomunikasi sebagai kekuatan dalam berargumentasi (bukan kekuatan fisik atau kekuasaan politik maupun ekonomi). Penyelenggaraan atas fungsi negara didasarkan pada konstitusi yang selanjutnya diturunkan dalam berbagai bentuk perundang-undangan, berbagai peraturan (kebijakan publik)yang (seharusnya) bersifat untuk kepentingan warga. Adapun konstitusi dan turunannya didasari oleh nilai-nilai yang disepakati bersama oleh publik sebagai warga negara. Adapun mekanisme penyelenggaraan kepentingan publik ini terwujud melalui proses pembuatan undang-undang dan turunannya berupa kebijakan publik, pelaksanaan kebijakan publik, pengawasan atas pelaksanaan kebijakan publik, penegakan hukum atas pelaksanaan kebijakan publik. Agar penyelenggaraan kepentingan publik itu berjalan dan sepenuhnya memenuhi kepentingan warga maka penyelenggaraannya harus dibangun dengan prinsip transparansi dan akuntabilitas publik. Konsekuensinya berupa pengakuan adanya hak warga untuk untuk mengetahui apapun yang dikerjakan pejabat negara (pejabat publik). Sebaliknya, kewajiban amanah yaitu pejabat publik mempertanggung-jawabkan kerjanya secara terbuka, guna memenuhi hak warga/publik tersebut. Idealisasi ini tidak mudah terwujud, sebab public sphere bukanlah ruang steril sehingga warga secara otomatis dapat mewujudkan kepentingannya. Pada dasarnya berlangsung dominasi dan hegemoni dari kekuasaan atas makna publik. Makna publik (public meaning) yaitu apa yang dianggap benar karenanya menjadi acuan dalam kehidupan publik.). Dengan dominasi (berlangsung secara fisik) dan hegemoni (melalui komunikasi) kekuasaan sebagai sumber makna publik menentukan apa yang menjadi acuan bagi warga dalam kehidupan publik. Dengan begitu warga tidak memiliki otonomi dan kebebasan dalam atas hak dan kepentingan otentiknya. Bagaimana kehidupan di ruang publik berlangsung terwujud melalui apa yang disebut fakta publik. Ini yang bisa dilihat jurnalis. Fakta publik merupakan fakta kehidupan sosial yang berkonteks dengan kehidupan di ruang publik. Output jurnalismenya berupa teks yang mempunyai nilai penting (significance) bagi kepentingan publik (public interest). Fakta kehidupan orang per orang yang tidak berkonteks dengan kehidupan di ruang publik merupakan fakta privat. Fakta privat yang yang memiliki aspek kemenarikan dan dipandang bernilai secara kultural, biasa dioleh sebagai teks berita human interest.
34
35
Fakta apa saja yang bisa dikategorikan fakta publik? Antara lain dapat dilihat melalui: •
Fakta yang berkaitan dengan Penyelenggaraan Pelayanan Publik
•
Fakta yang berkaitan dengan pelaksanaan nilai-nilai kemanusiaan
•
Fakta yang berkaitan dengan anomali kehidupan publik
•
Fakta yang berkaitan dengan penetrasi kekuasaan kapital
•
Fakta yang Berkelindan dengan kekuasaan negara
•
Fakta yang berkaitan dengan penetrasi kekuasaan negara
2. Etika / Idealisasi dalam Kehidupan Publik Mengembangkan wacana menyangkut etika di ruang publik melalui informasi tentang suatu realitas sosial yang disampaikan kepada publik, akan menumbuhkan kritisisme publik terhadap kesepakatan bersama dan penghayatan rasional tentang apa yang dianggap benar di ruang publik. Melalui wacana tersebut, publik diharapkan akan menemukan makna publik dari realitas sosial. Untuk itu, jurnalis dapat mengajukan sejumlah pertanyaan berikut: Apakah ruang kebebasan dan netralitas dijaga dengan menjauhkan dominasi dan monopoli dari kekuasan negara dan pasar atau kekuatan memaksa dalam masyarakat? Apakah rasionalitas dan kecerdasan dijalankan dengan mengembangkan kultur toleransi dan anti kekerasan dalam interaksi sosial? Apakah orientasi terhadap nilai kemanusiaan diwujudkan melalui wacana publik yang relevan dalam memerangi konstruksi sosial yang merugikan hak azasi? Idealisasi ruang publik yang menjadi landasan etika kepublikan adalah penghargaan atas nilai kemanusiaan. Dengan begitu kebenaran yang tertinggi adalah hak atas keberadaan manusia secara personal / individual dan pilihannya dalam kelompok secara otonom. Artinya, tidak ada kekuasaan di luar dirinya menetapkan pilihannya baik dalam kehidupan personal maupun kelompok. Ini hanya dapat terwujud manakala ada jaminan bagi kebebasan dan netralitas, sekaligus setiap person dapat menjalankan penilaian atas fakta, bertolak dari rasionalitas dan kecerdasan dalam menghadapi makna publik. Etika publik sebagaimana setiap idealisasi, adalah penggambaran cita-cita ideal kehidupan publik. Idealisasi ini pada tahap fundamental ditandai dengan warga secara personal yang menyadari hak-hak eksistensialnya, kemudian disusul tahap berikutnya hak untuk menilai setiap fakta yang disusul dengan penentuan keputusan bagi dirinya. Penghargaan atas hak warga semacam ini sebagai nilai kemanusiaan tertinggi. Untuk merealisasikannya diperlukan nilai rasionalitas (kemampuan membandingkan); kecerdasan (kemampuan berpikir dalam menilai); kebebasan (tidak dikendalikan kekuasaan di luar dirinya); dan netralitas (terbebas dari bias ideologi). Secara umum etika publik bertolak dari nilai rasionalitas dalam menghadapi realitas di satu sisi dan di sisi lain intensi untuk menjaga rasionalitas khalayak. Dengan rasionalitas yang dimilikinya, jurnalis selalu mempertanyakan kebenaran setiap fakta dari realitas sosial yang dihadapi. Sikap mempertanyakan kebenaran setiap fakta itu akan tercermin melalui pilihan fakta dalam informasi yang disampaikan kepada publik. Publik diajak mempertanyakan kebenaran setiap fakta dari suatu realitas. Melalui upaya itu, jurnalis turut menjaga rasionalitas publik.
36
Rasionalitas yang mendasari suatu tindakan dapat dilihat melalui sejauh mana tindakan itu dilakukan atas dasar pemahaman yang benar terhadap masalah yang dihadapi, serta apakah tindakan dilakukan berdasarkan pertimbangan atas pengaruh tindakan itu terhadap kepentingan orang lain (merugikan atau tidak, diterima atau ditolak). Dengan demikian, dalam interaksi sosial di ruang publik, rasionalitas sekaligus menjadi dasar untuk memahami keberadaan pihak lain, hak maupun rasionalitas kebenaran yang dimilikinya. Rasionalitas tumbuh dalam penghayatan nilai bersama (shared values) di ruang publik tentang hak warga. Sebaliknya, tindakan yang berdasarkan emosi, mitos, prasangka, atau pengaruh maupun tekanan pihak lain, merupakan tindakan tanpa rasionalitas. Dalam interaksi sosial, tanpa rasionalitas akan sulit mengakui maupun memahami keberadaan, hak dan rasionalitas kebenaran pihak lain. Tindakan tanpa rasionalitas sekaligus menunjukkan sikap yang tidak menghayati nilai bersama di ruang publik tentang hak warga. Dari sisi jurnalis, rasionalitas dan akal sehat merupakan landasan untuk mengkritisi kebenaran atas fakta yang menyangkut pihak yang berinteraksi. Dengan kata lain, mengkritisi rasionalitas yang mendasari tindakan setiap pihak dalam interaksi itu. Pada sisi lain, kecerdasan dibangun melalui daya kritis terhadap realitas sosial. Dalam realitas sosial, berlangsung interakasi sosial yang ditandai dengan posisi personal dalam tawar menawar (negosiasi) dalam proses diskusi publik. Dalam proses tawar menawar tersebut, kecerdasaan bisa dilihat dengan mempertanyakan sejauh mana rasionalitas dan akal sehat dijadikan landasan dalam menyikapi posisi masing-masing pihak yang berinteraksi. Rasionalitas dan akal sehat menjadi dasar untuk memahami posisi sendiri, di sisi lain untuk memahami posisi yang lain. Mengandalkan kekerasan (kekuatan fisik maupun psikologis) dalam proses tawar menawar, jelas tidak menunjukkan kecerdasan. Demikianlah selalu dapat dikritisi apakah kecerdasan menjadi landasan atau tidak dalam interaksi sosial antara pihak yang berbeda: kuat dan lemah, mayoritas dan minoritas, kaya dan miskin, dan sebagainya. Kebebasan pada dasarnya mengandung dua dimensi, bebas dari kekuasaan luar, dan bebas untuk melakukan tindakan tertentu. Sudah tentu kebebasan ini (dari dan untuk) memiliki batasan yang disepakati berdasarkan kaidah acuan nilai bersama dalam kehidupan publik. Kebebasan dari kekuasan luar berarti tidak ada pengaruh atau tekanan dari kekuasaan luar (kekuasaan negara, pasar, dan kolektivisme) yang membatasi kehidupan warga di ruang publik. Perbedaan yang ditemukan dalam interaksi sosial tidak menjadi hambatan bagi setiap warga yang berbeda untuk menjalani kehidupan di ruang publik. Kebebasan untuk melakukan tindakan tertentu mengacu kepada pengertian adanya independensi dan otonomi untuk bertindak. Setiap tindakan dilakukan atas dasar rasionalitas dan akal sehat yang mengacu kepada nilai bersama dalam kehidupan publik, tidak dipengaruhi oleh kekuasaan luar. Sebaliknya pula, warga hanya dapat menilai fakta dan menentukan pilihannya atas makna publik jika memiliki netralitas, yaitu bertolak dari sikap yang bersih dari bias ideologi. Ideologi menjadikan person bersikap “true believer”, karenanya tidak netral dalam menghadapi kebenaran dari suatu fakta. Terbebas dari bias ideologi menjadikan
37
person dapat sepenuhnya menghadapi fakta dan makna publik atas dasar rasionalitas dan kecerdasan, bukan karena fanatisme.
3. Pengembangan Perspektif dalam Menghadapi Fakta Publik Perspektif memberikan cara pandang atas realitas. Secara sederhana perspektif dapat dikembangkan melalui kesadaran akan posisi warga. Dapat dimulai dari melihat dipenuhi-tidaknya hak-hak publik; ada - tidaknya pelanggaran hak-hak publik dalam hal: berpolitik dan menyalurkan aspirasi politik, mengemukakan pendapat dan kritik secara bebas tanpa tekanan dari kekuatan manapun, berserikat dan berkumpul, pemenuhan hak ekonomi, rasa aman (dari kekerasan fisik dan psikis oleh negara maupun kekuatan lain), keadilan, bebas dari diskriminasi dan stigmatisasi (oleh negara maupun kelompok), hidup sehat, mendapatkan pendidikan yang baik; hak untuk mendapatkan akses informasi dan pelayanan publik; bebas dari tekanan dan paksaan untuk menerima atau mengikuti ideologi atau kebenaran kelompok tertentu. Lebih jauh, dalam kehidupan publik ada yang disebut kepentingan publik. Kepentingan publik dapat disebut sebagai implementasi atas hak. Kepentingan ini ada bersifat otomatis harus diperoleh (given), dan yang harus diupayakan sendiri. Kepentingan bersifat ‘given’ seperti hak untuk hidup dan eksistensi secara fisik adalah bersifat asasi, karenanya kepentingan untuk hidup, otomatis harus diperoleh setiap person/ individu. Dalam kaitan dengan hak bersifat ‘given’ ini negara berfungsi untuk menjamin hak dan kepentingan warga baik dalam kehidupan publik (public-sphere) maupun dalam kehidupan privat (private-sphere). Tentu saja, untuk bisa mengidentifikasi aktor dan perilaku aktor dalam kehidupan publik dalam kerja pembentukan makna, jurnalis perlu mengetahui siapa yang disebut publik. Secara diametral, publik tentu saja bukan negara. Publik adalah individu yang menjadi warga yang secara bersama-sama memberi kuasa kepada negara untuk menyelenggarakan kepentingan mereka. Publik bisa berwujud orang-perorang, maupun institusi, kelompokkelompok sosial, kelompok-kelompok politik, kelompok keagamaan, kelompok profesi, kelompok minat, dalam entitas kesukuan atau ras. Secara sosiologis, publik dapat dibedakan atas dasar kesamaan kepentingan. Karenanya pengelompokan sosiologis ada yang terbentuk secara kongkrit sebagai asosiasi sosial, tetapi dapat bersifat abstrak ditandai dengan kepentingan secara personal. Sebagaimana disebut dalam pembahasan kepentingan publik, adapun kepentingan pada dasarnya hanya dimungkinkan jika hak personal dijamin negara dalam kehidupan publik. Kepentingan personal dalam lingkup kehidupan publik sebagai dasar dalam melihat publik secara kategoris. Dalam kenyataan kehidupan di ruang publik, publik sesungguhnya merupakan masyarakat majemuk yang ditandai perbedaan-perbedaan, seperti perbedaan kelas sosialekonomi, perbedaan kepemilikan akses, perbedaan berdasarkan populasi, perbedaan kemampuan menguasai sumberdaya (alam maupun manusia), perbedaan latarbelakang pendidikan, perbedaan berdasarkan geografis, perbedaan berdasarkan seks, perbedaan berdasarkan usia.
38
Dari posisi warga dengan hak-hak dan kepentingannya ini dapat dihadapkan dengan berbagai pola realitas dalam kehidupan publik. Antara lain: •
Bermunculannya kekerasan kolektif untuk mendesakkan keyakinan maupun pendapat baik terhadap negara maupun kelompok lain yang berbeda; ekslusivisme suku sementara kebangsaan diakui sebagai nilai bersama; penggunaan simbolsimbol dan mempertunjukan perilaku militerisme di kalangan sipil untuk menekan secara fisik maupun psikis kelompok lain maupun menjaga tertib sosial; tertib sosial yang terwujud hanya karena ketakutan terhadap kekuasaan fisik negara yang dipersonifikasi melalui tentara, polisi, kamtib, satpol PP, bahkan patung polisi, bukan karena acuan nilai bersama. Ketika kekuasaan fisik negara itu tidak hadir, tertib sosial pun ditinggalkan.
•
Kekuasan kapital/pasar (dalam lingkup global, nasional, lokal) bisa berdiri sendiri maupun berkolusi dengan kekuasan politik dalam menguasai kehidupan publik demi kepentingan kapital/pasar tersebut.
•
Memaksa atau secara halus mendorong pembuat kebijakan publik untuk membuat kebijakan publik yang menguntungkan aparatus mereka;
•
Penggunaan aparatus negara untuk memunculkan wacana yang memihak kepada pasar/kapital
•
Penggunaan aparatus negara untuk secara langsung menghadapi publik dan membela kepentingan pemilik kapital
•
Kekuasaan (negara) selalu berkecenderungan 1. untuk korup (power tends to corrupt); 2. Mendominasi publik dan menghegemoni wacana di kehidupan publik. Kecenderungan ini demi mempertahankan dan memperbesar penguasaan atas
sumberdaya (ekonomi, politik) untuk kepentingan (penyelenggara) negara. Pola realitas yang menunjukkan penyimpangan dari idealisasi kehidupan publik merupakan penggerak/dinamik dari berbagai fakta publik yang muncul. Dengan kata lain, suatu fakta dalam kehidupan publik, perlu dilihat, apakah berada dalam pola realitas penyimpangan tertentu.
4. Framing Framing menjadi metode bagi jurnalis dalam menghadapi isu publik. Pendekatan analisis berita (news analysis) diterapkan pada kasus dan fenomena. Mengingat bahwa kasus dan fenomena bukan sebagai peristiwa tunggal, maka dalam mengidentifikasinya tidak sesederhana dalam liputan berita (news reporting). Disini jurnalis berada dalam proses penetapan bagian fakta yang akan diambil sebagai materi teks, dikenal sebagai metode framing (pembingkaian). Framing mengandung maksud (intention) dan tujuan (aim) bersifat pragmatis. Yaitu bertolak dari kebijakan keredaksian (editorial policy) yang mendasari kerja keredaksian di kantornya (newsroom management), atau bisa juga berasal dari kecencerungan sikap/ preferensi dari jurnalis saat menghadapi fakta. Intensi yang umum dengan langkah framing adalah, agar setiap bahan dapat dipilah dan dipilih secara tepat, sebab dapat ditempatkan dalam frame yang sudah ditentukan. Ibarat dalam membangun gedung, tukang memasang 39
bata setelah ada kerangka bangunan. Dengan kerangka ini bentuk bangunan dapat diwujudkan. Setiap upaya rekonstruksi suatu fakta pada hakekatnya memerlukan adanya framing, agar bahan-bahan dapat diorganisasikan sebagai suatu struktur format teks. Disini dituntut kejujuran jurnalis dalam menghadapi fakta. Bahwa fakta direkonstruksikan secara obyektif, tidak dipengaruhi oleh subyektivitas dari jurnalis. Karenanya kebijakan keredaksian pada setiap media jurnalisme dituntut untuk mengedepankan kepentingan publik, bukan kepentingan subyektif media maupun jurnalisnya. Disini framing bersifat pragmatis baik bersifat subyektif (kepentingan media, jurnalis, atau narasumber berita) maupun obyektif (kepentingan publik). Pada level kerja menghadapi kasus dan fenomena dalam mewujudkan format teks yang mengandung makna publik, jurnalis tidak lagi sekadar meliput, sebab berada pada tingkat analisis. Jurnalis yang hendak membuat berita analisis (news analysis), harus memahami apa dan bagaimana framing digunakan. Mengapa? Framing yaitu membingkai materi dari fakta yang diproyeksikan mengandung makna publik. Karena, dengan framing yang tepat, makna publik yang hendak diwacanakan bisa dengan jelas dan segera ditangkap atau dimaknai khalayak. Dalam metode framing diperlukan perspektif atau landasan konseptual dalam menganalisis fakta. Perspektif merupakan konteks dari fakta (kasus dan fenomena)m dan konteks hanya bersifat implisit, yaitu hanya dibenak penulis saat melihat fakta. Sedang yang diwujudkan sebagai teks adalah fakta yang dideskripsikan dengan memilih bagianbagian fakta yang dipandang dapat ditempatkan dalam konteks tersebut. Ketika bicara tentang fakta, harus ditekankan bahwa pertama fakta tidak pernah diskret semata-mata. Jurnalisme konvensional selalu melihat fakta berdiri sendiri dan itu dideskripsikan dengan 5W + H. Pada level kerja menghadapi kasus dan fenomena dalam mewujudkan format teks yang mengandung makna publik, jurnalis tidak hanya sekadar meliput, tetapi pada tingkat analisis. Jurnalis yang hendak membuat berita analisis (news analysis) harus memahami apa dan bagaimana framing digunakan. Mengapa? Framing yaitu membingkai materi dari fakta yang diproyeksikan mengandung makna publik. Karena dengan framing yang tepat, makna publik yang hendak diwacanakan bisa dengan jelas dan segera ditangkap. Dalam metode framing diperlukan perspektif atau landasan konseptual dalam menganalisis fakta. Perspektif merupakan konteks dari fakta, dan konteks hanya bersifat implisit yaitu hanya ada dibenak penulis saat melihat fakta. Sedang diwujud sebagai teks adalah fakta yang dideskripsikan dengan memilih bagian-bagian fakta yang dipandang dapat ditempatkan dalam konteks tersebut. Fakta selalu berada dalam rentang proses dan fakta selalu memiliki kontinuitas. Karena itu makna dilihat dalam time series-nya. Ketika terjadi perubahan dari fakta ke fakta, saat itulah makna ditemukan. Itu salah satu cara untuk menemukan makna. Sebagai contoh seorang caleg (calon legislatif) yang mempromosikan diri melalui balihonya. Ketika muncul diskret dengan balihonya, hanya semata itu. Padahal dirinya tidak seperti itu, dia punya kontinuitas dari masa lalu hingga sekarang. Itulah salah satu cara yang bisa dilihat dari sisi fakta demi fakta yang beralih.
Ruang fisik itu sebagai satu cara melihat bahwa fakta memiliki ruang kontekstual. Saat ini ada upaya mencari ruang bagi berbagai fakta. Bisa dilihat melalui ruang dalam konteks negara, lalu diceritakan negara yang semu, dan itu menjadi ruang. Atau ketika bicara ruang negara, fakta otonomi misalnya, berarti melihat ideologi yang menggerakkan perilaku person-person. Urutannya adalah ruang, fakta, person. Person selalu memiliki nilai tertentu dan perilaku ini didiskusikan wartawan. Kalau tidak dipahami nilainya, maka jurnalis menganggap perilaku itu normal saja. Ada perilaku yang dilandasi oleh atavisme di dunia modern, tapi wartawan tidak mampu menangkap sifat perilaku semacam itu. Kasus contoh agama, ideologi apa yang menggerakkannya? Ada dua ideologi, pertama ideologi kekerasan. Ini luar biasa kalau dikaji sebagai ideologi yang menggerakkan sesuatu, baik elit maupun massanya. Ideologi ini yang umumnya menggerakkan manusia Indonesia di ruang publik, melalui Satpolnya dan direspon dengan PKL. PKL merasa dia tidak akan menjadi fakta kalau tidak berlaku kekerasan. Kedua, ideologi penyuapan. Semua dengan mentalitas seperti itu. Sampai di fakta agama pun semua orang merasa sudah harus diduitkan. Kasus pembagian daging pada hari raya kurban yang ternyata dijual oleh warga disebakan karena seluruh hidup diliputi oleh ideologi penyuapan. Seperti hal yang terbesar dilakukan SBY melalui pembagian BLT. Makna-makna inilah yang muncul. Pertama akan muncul ruang dimana perilaku itu muncul dan muncul ideologi yang menggerakkan. Bagaimana media mensikapi kondisi ruang publik tersebut. Pertama, dengan adanya ideologi kekerasan dan penyuapan yang terjadi di ruang publik, semestinya media bertindak dengan menunjukkan bahwa ideologi tersebut tidak dibenarkan untuk mewujudkan etika kepublikan. Kedua, media semestinya tidak ikut arus dengan hanya memberitakan fakta atau peristiwa semata, melainkan harus memberikan suatu wacana agar publik menemukan makna tentang adanya pelanggaran yang terjadi di ruang publik. Ketiga, media semestinya mampu memberi kontribusi tentang apa-apa yang diidealisasikan di ruang publik sebagaimana setiap idealiasi adalah penggambaran cita-cita ideal kehidupan publik. Dalam kondisi apapun, idealnya kode etik untuk publik dan media sangat penting. Sementara, di ruang puiblik yang tidak memiliki acauan nilai bersama, misi media jurnalisme dengan sendirinya bukan menjaga, melainkan membentuk, yang dilakukan melalui halaman keredaksian. Untuk itu, kaum profesional media pers perlu bertolak dari kebijakan keredaksian (editorial policy) untuk mewujudkan halaman keredaksian semacam itu. Dengan begitu menjaga halaman keredaksian sebagai zona netral, bukan berarti akan ikut arus. Sebab setiap media pers sebagai suatu institusi sosial pada hakekatnya dihadirkan atas dasar visi dan misi. Di tengah terjadinya dinamika sosial dan perebutan kekuasaan ini, apa yang sesungguhnya harus dilakukan oleh media? Mengingat fungsi pers, yakni mendidik, menghibur dan memberikan informasi, dari ketiga fungsi ini bisa dibuat perpotongan dengan semua persoalan tadi. Termasuk menciptakan perdebatan publik agar menghasilkan kualitas kebijakan publik yang baik. Namun yang lebih diingat oleh jurnalis bahwa pemahaman tentang etika publik dan realitas publik ini perlu diketahui dengan tepat.
40
41
PENUTUP
M
anakala kita bermaksud membicarakan pelajaran tentang public-sphere kepada pengelola media, pada dasarnya kita mengajak untuk melihat fakta dengan cara berbeda dengan buku-buku teks jurnalisme yang selama ini beredar di lingkungan pendidikan. Mengidentifikasi fakta dengan cara konvensional sudah biasa dilakukan, apa yang bernilai bagi media (newsworthy), tentulah sudah kenyang dilahap oleh para wartawan pada level technicallities kerjanya. Jurnalisme konvensional selalu melihat fakta berdiri sendiri dan dideskripsikan dengan 5W + H. Pola semacam ini secara teknis berguna untuk peliputan konvensional. Fakta dinilai dengan ukuran kelayakan berita, sebagai domain sendiri (discrete); kalaupun berkelanjutan berkaitan dengan domain fakta semula, yang berikut adalah sebagai fakta baru. Penyampaian lanjutan fakta sebagai berita berkelanjutan (follow-up news) bersifat kronologis. Sebagai fakta discrete bersifat fragmentasi, hanya memberi tahu kejadian, tidak menjelaskan “duduknya perkara�. Sekarang kita coba tinggalkan, dengan menawarkan cara lain. Pada saat bicara tentang fakta, harus ditekankan bahwa fakta tidak pernah berdiri sendiri. Untuk penulisan berita dengan pemaknaan, fakta dilihat dengan 2 cara. Pertama, fakta berada dalam rentang proses. Fakta bermakna selalu memiliki kontinuitas. Karena itu makna dilihat dalam time seriesnya. Ketika terjadi perubahan dari fakta ke fakta berikutya, saat itulah makna ditemukan. Itu salah satu cara untuk menemukan makna, sebab pada hakikatnya fakta tidak bersifat diskrit. Fakta seorang caleg menjelang pemilu misalnya, ketika muncul dengan balihonya sebagai suatu fakta diskrit, baginya sudah bernilai. Padahal dirinya tidak seperti itu, dia punya kontinuitas dari masa lalu, sekarang sampai seterusnya, itu bisa dilihat dari sisi fakta demi fakta yang beralih. Itu satu cara. Cara kedua adalah fakta memiliki sifat yang kontekstual, sebab suatu fakta tidak pernah berada di ruang hampa. Paling sederhana fakta ada di ruang publik fisik. Misalnya di jalan raya yang selalu padat, tiba-tiba keadaan sepi, maka fakta “kendaraan jarang� itu bermakna. Sebaliknya jalan yang sepi tiba-tiba macet, ini menjadi satu fakta dan fakta itu bermakna. Sebaliknya di ruang yang sudah setiap hari macet, mau diceritakan macet lagi,
43
tidak ada maknanya. Dengan begitu ruang publik fisik sebagai satu cara melihat bahwa fakta memiliki ruang kontekstual. Seluruh yang dibicarakan dalam roundtable discussion adalah upaya mengidentifikasi ruang bagi berbagai fakta. Kita melihat ruang dalam konteks negara, baik resmi maupun masyarakat melalui kelompok sebagai negara semu (quasi) dengan mengambil alih peran negara. Ketika bicara ruang negara, fakta otonomi misalnya, berarti kita akan melihat ideologi yang menggerakkan perilaku person-person. Urutannya begitu: ruang, fakta, person, person dengan perilaku yang digerakkan nilai (“ideologi�) tertentu. Dengan kata lain, setiap fakta ada melalui perilaku yang digerakkan nilai, dan setiap fakta berada dalam ruang publik tertentu. Apakah perilaku dari suatu fakta “mengusik� seorang jurnalis? Kalau tidak dipahami konteks dari suatu perilaku, maka dia menganggap perilaku itu normal saja. Sebagai contoh, ada perilaku yang dilandasi oleh atavisme di dunia modern, seperti primordialisme dalam perilaku person pada fakta otonomi dalam lingkup negara modern. Atau dapat dilihat: agama sebagai ruang, kemudian ideologi apa yang menggerakkan perilaku para aktornya? Dengan begitu konteks dari setiap fakta adalah rentangan nilai/ideologi ke ruang publiknya. Dari sini dapat diproyeksikan, ruang publik dimana perilaku itu muncul dan ideologi yang menggerakkan perilaku. Dengan pembahasan dalam roundtable discussion ini, kiranya persoalan-persoalan yang ada bukan hanya relevan bagi wartawan. Kiranya kerangka konseptual yang dikembangkan, dapat pula ditujukan kepada aktor publik lain, kalau kita ingin mengajak aktor yang punya peran publik dan kita ingin keluar dari keadaaan krisis ini. Kita perlu menawarkan suatu peta permasalahan dalam kehidupan publik, guna mengingatkan kepada idealisasi ruang publik di satu sisi, dan di sisi lain agar kebebasan yang dimiliki dapat digunakan dengan nilai rasional. Dengan begitu pemahaman tentang etika atau idealisasi ruang publik dan ideologi rasionalitas dapat menjadi landasan pendidikan kepublikan.
44