Pembelajaran dari Lima Daerah

Page 1

Partisipasi, Reformasi Kelembagaan, dan Alokasi Anggaran:

pembelajaran dari Lima dAerah

ff

Ford Foundation


Partisipasi, Reformasi Kelembagaan, dan Alokasi Anggaran: pembelajaran dari lima dAerah Editor: Suhirman Tim Penulis: Ahmad Rifai, Putut Gunawan, Syamsul Bachry, Vera Kartika G (Konsorsium Solo), Mayadina Rahma Musfiroh (Lakpesdam NU Jepara), Zenni Muryaman (P3ML), Endah Sricahyani Sucipto (Fitra Seknas), Roy Prygina (Fitra Depok), Fridolin Berek (YSNI) Penyunting Bahasa: Wagiyo Ilustrator: Iwan Setiawan Cover dan Reka Letak: Prawoto Setra Cetakan pertama, Januari 2009 Diterbitkan oleh: Forum Pengembangan Partisipasi Masyarakat (FPPM) Jl. Guntursari I No. 29 Bandung 40264 Telp./Fax. 022-7309886 Email: forumppm@indo.net.id Penerbitan buku ini didukung oleh Yayasan Tifa, berdasarkan hasil penelitian mitra FPPM di Surakarta, Jepara, dan Sumedang (didukung Ford Foundation), serta penelitian di Depok dan Kupang (didukung Yayasan Tifa)

PERPUSTAKAAN NASIONAL: KATALOG DALAM TERBITAN (KDT) Partisipasi, Reformasi Kelembagaan, dan Alokasi Anggaran: Pembelajaran dari Lima Daerah Suhirman (ed) @ FPPM; 2008; xiv + 156; 15x23cm ISBN 978-602-8359-05-4

Dicetak oleh the_eksyezet@yahoo.co.id


kata pengantar Without the practice of civic virtue and without active participation by citizens in the life of community, the institutions of democracy, the market, the State 窶田ivil society as a whole- cannot operate in a sustainable way (Taskforce on Active Citizenship, 2007)

J

ika sebelumnya warga yang berusaha untuk terlibat ke dalam proses-proses pengambilan kebijakan kerap dituding sebagai intruder, maka setelah Orde Baru berlalu, Indonesia memasuki era yang lebih terbuka. Partisipasi warga dalam proses penyelenggaraan pemerintahan yang sebelumnya kerap dikooptasi oleh kontrol aparatus negara, kini menjadi sesuatu yang lumrah, sesuatu yang diakui dan sebenarnya memang melekat sebagai hak warga negara. Pasca sentralisasi Orde Baru, kebijakan, dan proses desentralisasi juga menyediakan kesempatan kepada publik untuk dapat berpartisipasi ke dalam proses pengambilan kebijakan yang selanjutnya diharapkan dapat mendorong pengembangan tata pemerintahan yang transparan dan akuntabel di tingkat provinsi dan kabupaten. Akses dan kontrol publik yang semakin dekat dapat berbanding lurus dengan peningkatan peran dan keterlibatan warga dalam forum pengambilan kebijakan yang kini berada di tingkat daerah. Kondisi seperti itu telah mendorong kemunculan berbagai inisiatif dari bawah, dari perspektif yang kadang berbeda: memajukan arus baru, di mana warga yang sadar secara aktif mengaktualisasikan hak-haknya untuk melibatkan diri ke dalam proses pengambilan keputusan publik. Inilah yang diharapkan akan dapat terus bergulir dan semakin membesar di kemudian hari. Kewarganegaraan aktif (active citizenship), suatu konsep di mana masyarakat tidak hanya memahami hak-haknya, namun juga mampu menggerakkan sumberdaya yang ada untuk memastikan ketersediaan perlindungan, penghormatan, dan pemenuhan hak-hak asasi warganegara.

iii


Buku yang ada di hadapan sidang pembaca ini diterbitkan untuk mendokumentasikan praktik-praktik partisipasi warga di lima daerah (Surakarta, Jepara, Sumedang, Depok, Kupang) sebagai bentuk aktualisasi aktif kesadaran terhadap hak warga untuk terlibat ke dalam proses pengambilan keputusan kebijakan, termasuk dalam penentuan anggaran. Beberapa praktiknya berupaya melembagakan partisipasi ke dalam kebijakan daerah, sementara di daerah yang lain, upaya untuk mendorong partisipasi warga juga dilakukan melalui jalan perbaikan penyelenggaraan forum-forum deliberatif, kemudian menghubungkannya dengan upaya perbaikan alokasi sumberdaya yang tersedia. Inilah sebagian cerita inspiratif yang lahir dari proses yang saat ini telah, tengah, dan akan terus berlangsung di 400-an lebih kabupaten/ kota, proses yang menghasilkan berbagai model dan terapan baru. Ke depan, dokumentasi tentang dimensi dan peran aktoraktor non-formal yang seringkali ikut menentukan di dalam proses pengambilan kebijakan kiranya patut untuk dituliskan –sesuatu yang masih kurang tergambar di dalam publikasi ini. Yayasan Tifa menyampaikan penghargaan kepada Forum Pengembangan Partisipasi Masyarakat/Studio Driya Media yang telah berhasil mengumpulkan serangkaian dokumentasi praktikpraktik kewarganegaraan yang aktif berpartisipasi ke dalam proses pengelolaan kebijakan daerah serta melakukan refleksi terhadap pengalaman dan pengetahuan yang telah didapatkan para penggiatnya. Penghargaan juga patut disampaikan kepada berbagai pihak, termasuk kepada lembaga-lembaga donor yang telah ikut berproses di lapangan dan berperan dalam mendukung inisiatif partisipasi warga di lima daerah ini. Kami berharap semoga buku ini dapat menjadi inspirasi bagi upaya serupa di daerah lainnya, untuk memperbanyak praktik-praktik kewarganegaraan aktif yang menuju kepada kondisi masyarakat terbuka yang semakin menguat di Indonesia.

Jakarta, Januari 2009

Tri Nugroho Direktur Eksekutif Yayasan Tifa iv


KATA PENGANTAR

Membangun Badan Pengetahuan Mengenai Civic Engagement dalam Tata Pemerintahan Lokal di Indonesia

P

artisipasi warga (civic engagement) merupakan istilah yang sering terdengar baik dalam jargon politik maupun dalam praktik pemerintahan di Indonesia. Namun sayang, konsep mengenai partisipasi warga masih jarang dielaborasi dengan baik. Hal ini berdampak juga terhadap praktik partisipasi warga. Sampai saat ini masih sedikit studi yang berusaha merefleksikan praktik-praktik partisipasi, baik oleh peneliti dari luar maupun oleh para praktisinya. Padahal pemahaman kritis mengenai konsep, konteks, dan praktik partisipasi sangat penting untuk membangun pengetahuan yang lengkap mengenai pembentukan konsep dan praktiknya. Buku ini bertujuan membahas praktik-praktik partisipasi warga dan reformasi kelembagaan untuk alokasi sumberdaya publik: dimulai dengan pembahasan mengenai konsep partisipasi dan konsekuensinya terhadap perubahan kelembagaan di tingkat lokal. Buku ini juga membahas praktik partisipasi untuk alokasi anggaran dalam konteks desentralisasi. Untuk membahas praktik di Indonesia, buku ini menyajikan hasil studi yang dilakukan di lima daerah. Di lima daerah ini berbagai aktor di tingkat lokal —NGO, komunitas, dan pemerintah daerah– telah mencoba menerapkan pendekatan partisipatif dengan isu, cara, dan kelembagaan yang berbeda. Kelima daerah yang dibahas dalam buku ini adalah:


1. Kota Surakarta yang fokus pada penguatan kelompokkelompok miskin yang berbasis profesi untuk terlibat dalam sumberdaya keuangan dan kebijakan publik; 2. Kabupaten Jepara yang fokus pada penguatan organisasi warga berbasis komunitas/spasial dan kelompok-kelompok keagamaan dalam mengembangkan isu-isu publik. Isu-isu publik yang dikembangkan dalam organisasi warga tersebut lalu diupayakan menjadi kebijakan publik; 3. Kabupaten Sumedang yang fokus pada reformasi hukum dan kelembagaan di tingkat kabupaten yang memungkinkan warga dapat berpartisipasi secara efektif dalam alokasi sumberdaya keuangan publik; 4. Kota Depok yang fokus pada isu pelibatan warga dalam pengelolaan sumber daya milik bersama (common pool resources) dalam hal ini pengelolaan danau kota (situ) dan pelibatan warga dalam pengelolaan pelayanan publik di bidang persampahan melalui upaya pengelolaan sampah berbasis komunitas kelurahan; 5. Kabupaten Kupang yang fokus pada upaya pelibatan masyarakat dalam mengembangkan sistem jaminan kesehatan daerah dan devolusi fiskal di tingkat desa melalui block grant. Kalau dikelompokkan berdasarkan isu, maka studi di lima daerah ini mencerminkan lima fenomena pengelolaan sumberdaya publik, yaitu: pengelolaan sumber daya bersama (common pool resources) yang sedang dalam posisi tragedi (tragedy of common); pengelolaan fenomena NIMB (not in back yard) yaitu persampahan di perkotaan; fenomena pemenuhan hak-hak dasar (kesehatan); alokasi anggaran melalui proses devolusi fiskal (block grant); dan konsolidasi kelembagaan untuk alokasi anggaran. Dengan menyajikan studi di berbagai lokasi dan fokus isu yang berbeda, diharapkan pembaca mendapatkan pemahaman awal mengenai bagaimana partisipasi diterapkan. Kelima studi kasus dilakukan dan ditulis langsung oleh para pelaku. Proses penulisannya melibatkan beberapa kali diskusi untuk mengembangkan kerangka kerja konseptual dalam menganalisis proses-proses yang telah terjadi. Dengan demikian proses penulisan ini —merujuk pada istilah yang dikemukakan oleh Donald Schuon– merupakan proses reflective practioner: para pelaku merefleksikan

vi


pengalamannya berdasarkan kerangka konseptual yang telah disepakati dalam diskusi. Melalui proses refleksi diri ini, para pelaku memproduksi pengetahuan sekaligus memperbaharui praktik mereka untuk perubahan di masa depan. Tentu saja buku ini tidak berniat menilai baik atau buruknya praktik partisipasi di satu daerah dibanding dengan daerah lain. Buku ini lebih ditujukan untuk bagaimana kerangka konsep mengenai partisipasi warga dipraktikkan di daerah dengan kondisi dan latar belakang sosial budaya yang berbeda. Editor menyampaikan terima kasih kepada para mitra yang telah mendukung pelaksanaan penelitian. Ucapan terima kasih disampaikan kepada: Widya P. Setyanto (Percik), Eddie B. Handono dan Farida Budi Utami (SDM), serta Ahmad Rifai, Putut Gunawan, Syamsul Bachri, dan Vera Kartika Giantari (Konsorsium Solo) yang melakukan penelitian di Surakarta; Yuna Farhan (Fitra Seknas), Slamet Luwihono (Percik), Badiul Hadi dan Mayadina Rahma Musfiroh (Lakpesdam NU Jepara) yang melakukan penelitian di Jepara; Rianingsih Djohani (SDM), Nandang Suherman dan Zenni Muryaman (P3ML), serta Arifiyanto (Sanggar) yang terlibat dalam penelitian di Sumedang. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada: Roy Prygina (Fitra Depok) dan Endah Sricahyani Sucipto (Fitra Seknas) yang melakukan penelitian di Depok; dan Fridolin Berek (YSNI), Zevan Aome dan Sarah Lerry Mboeik (PIAR) yang terlibat dalam penelitian di Kupang. Terima kasih untuk Wagiyo sebagai penyunting naskah dan proof reader; dan tentu saja Mbak Anik dan Mbak Ria yang terus-menerus mengingatkan editor untuk menyelesaikan buku ini. Akhirnya, ucapan terima kasih disampaikan kepada Ford Foundation yang mendukung pelaksanaan penelitian di Sumedang, Surakarta, dan Jepara, dan Yayasan Tifa yang mendukung penelitian di Depok dan Kupang, serta mendukung penerbitan buku ini. Bandung, Januari 2009 Suhirman Editor

vii


Daftar Istilah

viii

3P 4R-P ADD APBD Askesda Askeskin Bapeda Bappeda Bappenas BPD

: : : : : : : : : :

BPEM

:

BPKDK

:

BPS BUILD

: :

CDS CRC CSO CSSP DADU DAK Dapil DAU Depdagri

: : : : : : : : :

Perencanaan Pembangunan Partisipatif Reduce Reuse Recycle Replace Participation Alokasi Dana Desa Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Asuransi Kesehatan Daerah Asuransi Kesehatan Masyarakat Miskin Badan Perencanaan Daerah Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Badan Permusyawarahan Desa (Badan Perwakilan Desa) Bantuan Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Bantuan Pembangunan Kecamatan/Desa/ Kelurahan Badan Pusat Statistik Breakthrough Urban Initiative Local Development City Development Strategy Citizen Reports Card Civil Society Organizations Civil Society Strengthening Program Dana Alokasi Desa Umum Dana Alokasi Khusus Daerah Pemilihan Dana Alokasi Umum Departemen Dalam Negeri


Dewa DKI DKT DPRD EPG FDA FDM FGD FIK-Ornop

: : : : : : : : :

Fitra

:

FKIS FPPM

: :

FSDKS FUKOHA

: :

FW GGKG-Jangkar

: :

GTZ

:

IDT Inres IPGI

: : :

Depok Wacht Daerah Khusus Ibukota Diskusi Komunitas Terbatas Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Empowered Participatory Governance Forum Diskusi Alun-alun Forum Delegasi Musrenbang Focused Group Discussion Forum Informasi dan Komunikasi Organisasi Non Pemerintah Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran Forum Kajian Islam dan Sosial Forum Pengembangan Partisipasi Masyarakat Forum Study Demokrasi dan Keadilan Sosial Forum Ulama Kabupaten untuk Optimalisasi Hak atas Anggaran Forum Warga Gugus Kerja Good Governance Jaringan Advokasi Anggaran Deutsche Gesellschaft f端r Technische Zusammenarbeit/ German Technical Cooperation Inpres Desa Tertinggal Institute for Research and Empowerment Indonesian Partnership for Governance Inisiative

ix


Jabar Jaran JK3 KBA KIBBLA KK KKLDM

: : : : : : :

Km2 KOMPIP

: :

KTP : KUA : Lakspesdam-NU : LGSP LKMD LPM LPMK

: : : :

LPTP

:

LSM : 3 M : MoU : Mubes Raja : Musbangdus : Muscambang : Muskelbang : Muskotbang : Musrenbangcam : Musrenbangdes :

Jawa Barat Jaringan Advokasi Anggaran Jaminan Kesehatan Kabupaten Kupang Komunitas Belajar Anggaran Kesehatan Ibu, Bayi Baru Lahir, dan Anak Kepala Keluarga Kelompok Kajian Lembaga Demokrasi Masyarakat Kilometer Persegi Konsorsium Monitoring dan Pemberdayaan Institusi Publik Kartu Tanda Penduduk Kebijakan Umum Anggaran Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Nahdlatul Ulama Local Government Support Program Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa Lembaga Perwakilan Masyarakat Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Kelurahan Lembaga Pengembangan Teknologi Pedesaan Lembaga Swadaya Masyarakat Meter Kubik Memorandum of Understanding Musyawarah Besar Rakyat Jepara Musyawarah Pembangunan Dusun Musyawarah Kecamatan Membangun Musyawarah Kelurahan Membangun Musyawarah Kota Membangun Musyawarah Perencanaan Pembangunan Kecamatan Musyawarah Perencanaan Pembangunan Desa


Musrenbangkot : Musyawarah Perencanaan Pembangunan Kota MWC : Majelis Perwakilan Cabang NGO : Non-Government Organization NU : Nahdlatul Ulama Ormas : Organisasi Massa P3DT : Pembangunan Prasarana Pendukung Desa Tertinggal P3ML : Pusat Pengkajian dan Pengembangan Masyarakat Lokal P4D : Program Perencanaan Partisipatif Pembangunan Desa PAD : Pendapatan Asli Daerah Panggar : Panitia Anggaran Pattiro : Pusat Telaah dan Informasi Regional PBB : Pajak Bumi dan Bangunan PDIP : Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan PDM-DKE : Pemberdayaan Daerah Mengatasi Dampak Kemiskinan Pemda : Pemerintah Daerah Pemkab : Pemerintah Kabupaten Pemkot : Pemerintah Kota Perda : Peraturan Daerah PIAR : Pusat Informasi dan Advokasi Rakyat PIK : Pagu Indikatif Kecamatan Pilgub : Pemilihan Gubernur Pilkada : Pemilihan Kepala Daerah PI-SKPD : Pagu Indikatif SKPD PKB : Partai Kebangkitan Bangsa PKK : Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga PKL : Pedagang Kaki Lima PKS : Partai Keadilan Sejahtera PNS : Pegawai Negeri Sipil

xi


xii

Pokja PPA PPAS PPD PPK PPL PPM PRA PSK RAPBD

: : : : : : : : : :

Raperda Renja Renstra RKPD RPJM Desa

: : : : :

RPJM RT RW SC SEB Sipesat SK SKPD Spekham

: : : : : : : : :

SPKD TAPD TGT TKS CDS

: : : :

TKS

:

Kelompok Kerja Participatory Poverty Assessment Prioritas dan Plafon Anggaran Sementara Perencanaan dan Penganggaran Daerah Program Pengembangan Kecamatan Perda Penyiaran Publik Lokal Program Pemberdayaan Masyarakat Participatory Rural Apraisal Pekerja Seks Komersial Rancangan Anggaran dan Pendapatan Daerah Rancangan Peraturan Daerah Rencana Kerja Rencana Strategis Rencana Kerja Perangkat Daerah Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa Rencana Pembangunan Jangka Menengah Rukun Tetangga Rukun Warga Steering Committee Surat Edaran Bersama Sistem Pengelolaan Sampah Terpadu Surat Keputusan Satuan Kerja Perangkat Daerah. Solidaritas Perempuan Untuk Kemanusian dan Hak Asasi Manusia Strategi Pengentasan Kemiskinan Daerah Tim Anggaran Pemerintah Daerah Tim Gugus Tugas Tim Kerja Stakeholders City Development Strategy Tim Kerja Sukarela


UKM UNDP UPS USAID UU

: : : :

Usaha Kecil dan Menengah United Nations Development Programme Unit Pengolahan Sampah United States Agency for International Development : Undang-Undang

xiii


DAFTAR ISI Kata Pengantar: Kata Pengantar dari Yayasan Tifa ...................................................................... iii Membangun Badan Pengetahuan Mengenai Civic Engagement dalam Tata Pemerintahan Lokal di Indonesia Oleh: Suhirman ................................................................................................... v Daftar Istilah ....................................................................................................... viii Daftar Isi ............................................................................................................... xiv Bagian I - Prolog 1.

Partisipasi, Reformasi Kelembagaan, dan Alokasi Anggaran: Pembelajaran dari Lima Daerah Oleh: Suhirman .......................................................................................... 3

Bagian II - Studi Kasus 2.

Geliat Partisipasi Kelompok Sektoral: Studi Kasus Kota Surakarta Oleh: Ahmad Rifai, Putut Gunawan, Syamsul Bachry, dan Vera Kartika Giantari ........................................................................ 33

3.

Jalur Lain Partisipasi Warga: Studi Kasus Kabupaten Jepara Oleh: Mayadina Rahma Musfiroh ........................................................ 47

4.

Pelembagaan Partisipasi Warga: Studi Kasus Kabupaten ������������������ Sumedang Oleh: Zenni Muryaman ......................................................................... 67

5.

Menilai Derajat Partisipasi Warga: Studi Kasus Kota Depok Oleh: Endah Sricahyani Sucipto dan Roy Prygina ........................... 85

6.

Mengembalikan Hak Daulat Warga: Studi Kasus Kabupaten Kupang Oleh: Fridolin Berek ................................................................................. 107

Bagian III - Epilog 7.

Reformasi Kelembagaan, Produksi Pengetahuan, dan Tindakan Kolektif untuk Alokasi Anggaran Publik: Refleksi Pengalaman di Lima Daerah Oleh: Suhirman ........................................................................................ 129

Daftar Pustaka .................................................................................................. 143 Tentang Penulis ................................................................................................ 151 xiv


1

bagian i

PROLOG


Partisipasi, Reformasi Kelembagaan, dan Alokasi Anggaran: Pembelajaran dari lima Daerah


Bab 1

Partisipasi, Reformasi Kelembagaan, dan Alokasi Anggaran: Pembelajaran dari Lima Daerah Oleh: Suhirman

Partisipasi Warga

D

alam tulisan ini partisipasi warga didefinisikan sebagai ‘partisipasi langsung’ warga dalam pengambilan keputusan pada lembaga dan proses kepemerintahan (Gaventa dan Carlos Velderama; 2001). Definisi ini telah menempatkan konsep partisipasi warga berbeda dengan partisipasi politik yang lebih menekankan ‘representasi’ dan partisipasi sosial yang menempatkan partisipasi sebagai mobilisasi warga ‘di luar’ lembaga pemerintahan. Gaventa dan Valderama, menegaskan bahwa partisipasi warga telah mengalihkan konsep partisipasi “… dari sekadar kepedulian terhadap ‘penerima derma’ atau ‘kaum tersisih’ menuju ke suatu kepedulian dengan berbagai bentuk keikutsertaan warga dalam pembuatan kebijakan dan pengambilan keputusan di berbagai gelanggang kunci yang mempengaruhi kehidupan mereka”.

Lihat pembahasan John Gaventa dan Camilo Valderama: “Partisipasi, Kewargaan, dan Pemerintah Daerah”, kata pengantar buku Mewujudkan Partisipasi: Teknik Partisipasi Masyarakat untuk Abad 21, The British Council dan New Economics Foundation, 2001. ��������������������� Lihat Gaventa, opcit.


Partisipasi, Reformasi Kelembagaan, dan Alokasi Anggaran: Pembelajaran dari lima Daerah

Partisipasi warga dalam penyelenggaraan pemerintahan pada dasarnya dapat dibagi dalam tiga wilayah, yaitu: dalam pembuatan kebijakan; keputusan alokasi anggaran; dan praktik operasional kepemerintahanan dengan mendudukkan warga sebagai aktor kunci (Burns, Hambleton, dan Hogget, 1994:160-161). Dengan demikian maka partisipasi warga juga dapat diartikan sebagai ‘perluasan’ agenda masyarakat, di mana masyarakat dapat memobilisasi dan merumuskan tuntutannya dalam proses pemerintahan lokal. Ada beberapa perkembangan konsep dan asumsi dasar yang menjadi dasar bagi perluasan gagasan dan praktik partisipasi warga. Pertama, partisipasi merupakan hak politik yang melekat pada warga sebagaimana hak politik lainnya. Karena melekat, maka hak ini tidak hilang ketika ia memberikan mandat pada orang untuk duduk dalam lembaga pemerintahan. Pemberian mandat bersifat parsial, yaitu mendudukkan wakilnya untuk membahas dan memutuskan urusan publik di lembaga formal kenegaraan. Sedangkan hak politik –sebagai hak asasi manusiatetap melekat pada setiap individu yang bersangkutan. Untuk itu adalah hak setiap warga untuk: menjaga ruang publik dari intervensi negara; mengagregasikan persoalan dan berbagai kepentingan di ruang publik; merancang agenda publik; dan terus menerus mengawasi lembaga perwakilan dan pemerintahan agar bekerja sesuai dengan mandat yang diberikan. Kedua, partisipasi langsung dalam pengambilan keputusan mengenai kebijakan publik di lembaga-lembaga formal dapat

Beberapa gagasan penting mengenai: garis demarkasi antara sistem pemerintahan dan ruang publik; berbagai isu dan kelompok kepentingan di ruang publik; bagaimana isu di ruang publik merembes ke dalam sistem tata pemerintahan formal; serta peran ruang publik dalam merancang agenda dan mengontrol pemerintahan dapat disimak dalam Jurgen Habermas, Structural Transformation of the Public Sphere, 1989.


bagian i - prolog BAB 1 - Partisipasi, Reformasi Kelembagaan, dan Alokasi Anggaran: Pembelajaran dari Lima Daerah

menutupi kegagalan demokrasi perwakilan. Meskipun secara konsep sulit dibantah dan secara praktik diterapkan di hampir semua negara demokratis, demokrasi perwakilan masih menyisakan beberapa kelemahan. Sejauhmana orang yang dipilih dapat merepresentasikan kehendak masyarakat luas? Sejauhmana orang yang dipilih dan didudukkan dalam lembaga perwakilan dan pemerintahan menjalankan mandat pemilihnya? Bagaimana bentuk dan mekanisme pertanggungjawaban orang yang dipilih terhadap pemilihnya? Siapa yang menanggung akibat kesalahan keputusan publik dari wakil yang dipilih? Bagaimana jika orang yang dipilih ternyata mengkhianati mandatnya? Apakah orang/partai yang menjadi pemenang Pemilu dapat mengontrol birokrasi pemerintahan? Pertanyaan-pertanyaan tadi tidak dapat dijawab secara memuaskan oleh pendekatan demokrasi perwakilan. Karena itu, untuk keputusan-keputusan publik yang langsung berimplikasi pada kesejahteraan sosial eknomi, warga dilibatkan dalam formulasi dan pengambilan keputusan. Formulasi dan pengambilan keputusan kebijakan publik secara langsung dapat dipandang sebagai salah satu perwujudan demokrasi deliberatif atau salah satu langkah penting untuk mendemokrasikan demokrasi (democratizing democracy). Ketiga, menjadikan partisipasi menjadi lebih bermakna. Karena posisinya yang berada ‘di luar’ lembaga kepemerintahan, ������������������������������������������������������������������������������� Dalam ekonomi-politik dikenal beberapa kegagalan inheren dari sistem demokrasi perwakilan yang lebih dikenal dengan kegagalan pemerintah (government failure) yaitu kegagalan antar-waktu dan kegagalan sistem pemilihan (paradoks arrows), dan asimetri informasi (principal-agent theory).

Partai politik dalam mengusung isu cederung bersifat general sehingga seringkali gagal dalam memahami masalah publik tertentu secara akurat. Sedangkan masyarakat sipil –sering disebut dengan istilah single group isue- biasanya bekerja dalam satu isu spesifik secara detail dan cenderung responsif terhadap perubahan terutama untuk isu yang diusungnya. Dengan demikian maka pelibatan langsung masyarakat sipil dalam pengambilan kebijakan publik merupakan upaya yang sangat penting dalam mendemokrasikan demokrasi (democratizing democracy). Gagasan ini dapat dirujuk dalam Anthony Giddens, Runaway World: How Globalisation is Reshaping Our Lives, 1999.


Partisipasi, Reformasi Kelembagaan, dan Alokasi Anggaran: Pembelajaran dari lima Daerah

seringkali partisipasi sosial –yang melibatkan mobilisasi organisasi rakyat yang luas- tidak dapat mempengaruhi lembaga pemerintahan yang diberi mandat untuk merumuskan dan mengimplementasikan kebijakan publik. Seringkali terjadi ‘paralel discourse’ antara lembaga formal pemerintah dengan organisasi rakyat. Ini berarti kehendak rakyat tidak tercermin dalam formulasi dan implementasi kebijakan lembaga formal. Situasi ini seringkali menyebabkan masyarakat menjadi frustasi, dan partisipasi sebagai hal yang sia-sia. Partisipasi warga –yang melibatkan warga untuk secara luas berpartisipasi langsung dalam pengambilan keputusan publik- dapat mendorong partisipasi menjadi lebih bermakna. Keempat, partisipasi harus dilakukan secara sistemik bukan hal yang insidental. Dalam partisipasi politik, partisipasi yang memiliki arti biasanya hanya dilakukan dalam siklus peristiwa politik untuk memilih dan mendudukkan wakil rakyat (misalnya lima tahun sekali). Sedangkan dalam konsep partisipasi sosial, partisipasi dihubungkan dengan siklus proyek. Partisipasi warga memungkinkan warga terlibat secara sistemik dan terus-menerus dalam pengambilan keputusan publik. Kelima, partisipasi warga dapat meningkatkan kepercayaan publik terhadap penyelenggara dan lembaga pemerintahan. Demokratisasi dan desentralisasi di negara berkembang –termasuk Indonesia- terjadi dalam situasi kepercayaan masyarakat yang rendah terhadap penyelenggara dan lembaga pemerintahan. Kekecewaan terjadi baik karena kegagalan prosedur politik maupun karena responsivitas penyelenggara negara terhadap keluhan warga. Dengan melibatkan warga dalam proses pengambilan keputusan, maka diharapkan kepercayaan publik terhadap penyelenggara dan lembaga pemerintahan dapat terus ditingkatkan. Peningkatan kepercayaan warga ini dipercaya sebagai indikator penting bagi penguatan dukungan dan keabsahan pemerintahan yang berkuasa. Keenam, dalam konteks Indonesia, warga perlu didorong untuk terlibat dalam pengambilan keputusan dan pelaksanaan kebijakan


bagian i - prolog BAB 1 - Partisipasi, Reformasi Kelembagaan, dan Alokasi Anggaran: Pembelajaran dari Lima Daerah

publik secara langsung. Hal ini disebabkan selama 32 tahun masa pemerintahan rezim Orde Baru, masyarakat Indonesia ada dalam tatanan sistem pemerintahan yang –meminjam istilah O’ Donnel, Mohtar Mas’ud, dan A.S. Hikam- birokratis dan korporatis. Dalam tatanan ini seluruh kekuatan masyarakat ada dalam kontrol negara. Melalui kontrol yang sistemis terhadap kekuatan masyarakat sampai ke arus bawah, negara tampil sebagai kekuatan politik yang dominan. Negara memainkan peran kunci dan selalu mengoptimalkan kemampuan yang dimilikinya untuk mengatur hubungan sosial, menekan masyarakat, dan memiliki hak prerogratif untuk mengelola sumber daya. Negara dalam sistem birokratik otoriter dan korporatis menginvasi organisasi sosial formal maupun non-formal, sehingga masyarakat memiliki derajat homogenitas yang tinggi. Dalam ungkapan yang lebih ekstrem, birokrasi negara menjadi pemangsa kekuatan sosial di masyarakat. Kekuatan, kemandirian, dan kemajemukan masyarakat pun lumpuh. Untuk mengimbangi kekuatan birokrasi negara, maka diperlukan organisasi rakyat yang mandiri, cerdas, dan berorientasi pada kepentingan publik. Dalam konteks ini, partisipasi warga dapat dipandang sebagai salah satu instrumen pemberdayaan warga untuk mengimbangi kekuatan negara.

Partisipasi Warga dan Kebijakan Desentraliasi Desentralisasi dapat diartikan sebagai: ”… pengalihan kekuasaaan dan/atau wewenang untuk merencanakan, memutuskan, dan/atau mengelola fungsi publik, dari tingkat pemerintah yang lebih tinggi ke tingkat pemerintah yang lebih rendah” (Diane Conyers, 1990). Dalam tingkat tertentu, desentralisasi memungkinkan “… orangorang yang berwenang dalam institusi pada tingkat menengah dan atau daerah dipilih secara langsung dan tidak langsung lewat ��������� Gambaran Indonesia ���������������������������������������������������������� sebagai negara birokratik dan koorporatis lihat Muhammad ��������� A.S Hikam, Demokrasi dan Civil Society, Jakarta: LP3ES, 1996, Mohtar Mas’ud, Politik, Birokrasi, dan Pembangunan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998. Sedangkan kajian empirik mengenai melemahnya masyarakat sipil di tingkat desa akibat ekspansi pemerintahan birokratis dapat dilihat dalam K.D. Jackson, Political Power and Communications in Indonesia, 1978.


Partisipasi, Reformasi Kelembagaan, dan Alokasi Anggaran: Pembelajaran dari lima Daerah

pemungutan suara� (Manor, 1996). Saat desentralisasi terjadi dan bila demokratis, pemerintah pusat diminta memainkan peran baru serta membentuk hubungan baru dengan lembaga pemerintahan di tingkat lokal. Dewasa ini desentralisasi telah dipromosikan dan diimplementasikan di sejumlah besar negara demokratis. Gelombang desentralisasi ini dipercaya telah mengubah relasi antara negara dengan warganya. Meagher (1999) percaya bahwa desentralisasi dapat mendekatkan pemerintah dengan rakyatnya. Lebih jauh –dalam masyarakat yang majemuk secara etnis, regional, agama, dan sejarah- desentralisasi dipercaya dapat menghilangkan kendala dalam pengambilan keputusan, penerimaan publik atas keputusan pemerintah, dan memfasilitasi tindakan serta kerja sama kolektif. Itu terjadi karena kepercayaan yang besar, tindakan kolektif, dan keputusan yang memiliki legitimasi akan diperoleh dalam lingkungan yang lebih homogen. Dalam lingkungan yang benar –misalnya dalam situasi pemerintah transparan dan masyarakat sipil memiliki keleluasaan untuk beroperasi- desentralisasi akan meningkatkan akuntabilitas pegawai pemerintah dan mencegah berbagai bentuk korupsi. Desentralisasi dapat mendorong akuntabilitas dan mengurangi korupsi dalam pemerintahan karena pemerintah lokal lebih dekat dengan warganya, sehingga warga akan lebih hirau dengan tindakan pemerintah daerah (Ostrom, Schroeder, and Wynne 1993). Sebagai dampak dari persaingan antar-pemerintah daerah dalam menyediakan barang publik, disiplin dari aparatur pemerintah daerah akan mendorong, karena warga dapat memilih pelayanan publik yang lain. Meskipun janji-janji desentralisasi cukup mengesankan, studi yang dilakukan oleh Levaggi (2002) dan Kohl (2003) yang menghubungkan desentralisasi dengan devolusi fiskal cukup menarik perhatian. Rosella Levaggi (2002) mendiskusikan alokasi belanja publik di antara pelayanan yang berkompetisi.


bagian i - prolog BAB 1 - Partisipasi, Reformasi Kelembagaan, dan Alokasi Anggaran: Pembelajaran dari Lima Daerah

Beberapa negara seperti Italia menggunakan konsep kendala anggaran berganda, yaitu pada tingkat tinggi menempatkan belanja total dan alokasinya di antara pelayanan yang berkompetisi. Ini berbeda dengan negara lain yang hanya mendefinisikan anggaran secara total, sedangkan detail alokasi anggaran di tingkat lokal diserahkan kepada pemerintah daerah. Levaggi juga menjelaskan cara-cara yang berbeda dari struktur dan pilihan antara agen yang berkompetisi. Analisis Levaggi menunjukkan bahwa anggaran lebih ketat yang terjadi pada kendala anggaran berganda mungkin akan optimal: ini berarti otonomi dalam desentralisasi –dalam konteks alokasi sumberdaya keuangan- tidak selalu merupakan alternatif terbaik. Kesimpulan menarik kedua adalah bahwa desentralisasi memang memungkinkan pemerintah pusat untuk memperluas informasi kepada agensi di tingkat lokal. Namun dalam struktur insentif harus dirancang untuk menghindarkan kolusi di antara aktor nasional dan aktor lokal yang terlibat dalam transaksi. Kohl (2003), pada tahun 1994 melakukan studi empiris di Bolivia. Sebagai bagian dari kecenderungan global, Bolivia melakukan program desentralisasi yang ambisius: bukan hanya mentransfer dana dan kewajiban baru bagi pemerintahan lokal, tetapi juga memandatkan penganggaran partisipatif dan pengawasan oleh organisasi lokal. Kohl menyajikan penilaian atas program ini dengan fokus pada desentralisasi terhadap efisensi pemerintahan, pembangunan ekonomi, dan akuntabilitas politik. Kohl menunjukan bahwa pemerintah lokal dengan organisasi grass-root dan organisasi non-pemerintah yang kuat secara relatif berhasil mendorong proses desentralisasi yang demokratis, meskipun desentralisasi tidak mendorong pembangunan ekonomi. Kohl mencatat bahwa di banyak pemerintahan lokal, kebijakan desentralisasi telah menimbulkan perkubuan di antara elit lokal, menguatnya klientelisme, dan desentralisasi korupsi.


Partisipasi, Reformasi Kelembagaan, dan Alokasi Anggaran: Pembelajaran dari lima Daerah

Dalam konteks ini maka penting untuk melakukan advokasi demokratisasi anggaran untuk mendorong anggaran yang berpihak kepada kelompok miskin mulai dari tingkat lokal. Berbagai praktik di negara-negara lain juga menunjukkan bahwa demokratisasi anggaran yang berpihak kepada kelompok miskin lebih mungkin dilakukan di tingkat lokal. Meskipun demokratisasi anggaran sebaiknya dilakukan di tingkat lokal, tetapi di banyak negara –termasuk Indonesia- praktik anggaran daerah banyak dipengaruhi oleh faktor eksternal, yaitu kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat. Kebijakan di tingkat pusat yang sangat mempengaruhi proses dan substansi penganggaran daerah terutama adalah (1) kebijakan desentralisasi, (2) kebijakan pengelolaan keuangan daerah, (3) kebijakan sistem perencanaan, dan (4) kebijakan mengenai standar pelayanan minimal untuk pelayanan publik. Agar reformasi di tingkat daerah berhasil, maka keempat komponen kebijakan tadi harus menjadi perhatian dari program reformasi anggaran.

Gambar 1.1. Faktor Eksternal yang Berpengaruh pada Kelembagaan Perencanaan Daerah

10


bagian i - prolog BAB 1 - Partisipasi, Reformasi Kelembagaan, dan Alokasi Anggaran: Pembelajaran dari Lima Daerah

Andrew dan Jennifer (2007) menyatakan bahwa desentralisasi diusulkan oleh banyak lembaga internasional sebagai strategi untuk meningkatkan partisipasi publik. Organisasi dana seperti World Bank, menstimulasi proses desentralisasi di banyak negara dan berharap ini akan memproporsikan pemberdayaan warga, mengurangi korupsi, meningkatkan efisiensi, dan meningkatkan kualitas pelayanan publik. Omar Azfar (1999) menyebutkan bahwa partisipasi warga dalam penyedian jasa publik merupakan syarat penting bagi pelaksanaan pemerintahan yang baik di tingkat warga. Di sisi lain, partisipasi warga dalam kebijakan alokasi barang publik dan anggaran daerah juga akan lebih efektif di tingkat pemerintahan lokal. Heimans (2002) menyatakan bahwa partisipasi masyarakat sipil dalam manajemen belanja publik menjanjikan peningkatan outcome sosial dan ekonomi, sekaligus meningkatkan kepercayaan terhadap lembaga-lembaga publik. Penganggaran partisipatif tergantung pada tiga komponen stakeholders dalam penganggaran, yaitu pemerintah, masyarakat sipil, dan legislatif. Namun keberhasilan program penganggaran partisipatif biasanya terkait dengan komitmen dan kapasitas dari stakeholders ini. Karena itu Heimans menekankan arti peningkatan kapasitas stakeholders yang terlibat dalam penganggaran yang meliputi kapasitas kelembagaan, mengelola proses, mengelola waktu, dan mengelola aktor yang berperan di dalamnya. Meskipun desentralisasi dan partisipasi warga diterima secara luas sebagai instrumen penting bagi kesejahteraan, banyak studi yang bersikap kritis terhadap kesimpulan tersebut. Andrew dan Jennifer (2007) melakukan analisis komparatif mengenai hubungan antara desentralisasi dan partisipasi tingkat lokal di Brazil, Jepang, Rusia, dan Swedia. Analisis regresi multivariat dengan menggunakan data dari Proyek Demokrasi dan Pemerintahan Lokal dilakukan untuk menguji hipotesis mengenai ‘one size fits all’ dan ‘diversity in development’. Hasilnya menunjukan bahwa hipotesis kedua lebih mendekati kebenaran.

11


Partisipasi, Reformasi Kelembagaan, dan Alokasi Anggaran: Pembelajaran dari lima Daerah

Ternyata dalam mempersepsi otonomi tergantung pada pertimbangan negara. Di Jepang misalnya, otonomi justru menurunkan kemauan pejabat publik untuk membuka partisipasi publik. Andrew dan Jennifer menyajikan data empiris untuk menolak kepercayaan yang meluas bahwa proses desentralisasi akan menghasilkan outcome yang sama tanpa mempertimbangkan konteks negara. Andrew dan Jennifer juga memberikan penilaian kritis kepada para praktisi yang ada dalam tekanan negara dana untuk mengimplementasikan proses desentraliasi tanpa pertimbangan yang matang terkait konteks dan kekuatan politik di negaranya. Ebdon (2004) mencatat bahwa meskipun didorong oleh para akademisi dan organisasi profesional, partisipasi warga dalam penganggaran partisipatif di tingkat lokal tidak merata. Ebdon melakukan analisis efektivitas mekanisme masukan warga dalam proses anggaran dengan studi kasus di dua kota di Kansas. Kajian ini menyimpulkan bahwa mekanisme masukan dari warga mempunyai efektifitas yang kecil, yaitu: hasil yang tidak jelas; kesulitan dalam penerapan; kendala politik; dan lingkungan. Masukan warga nampaknya hanya memiliki dampak yang kecil terhadap keputusan anggaran meskipun di dua kota tersebut proses partisipasi telah terlembaga. Namun demikian, Ebdon mencatat bahwa mekanisme input warga telah melayani dua tujuan yaitu: pendidikan politik warga dan dukungan untuk proposal khusus. Perdebatan mengenai manfaat partisipasi warga dalam penganggaran –yang masih mengundang perdebatan pro dan kontra yang luas- diumpamakan oleh Franklin dan Ebdon (2005) seperti orang buta yang menyentuh bermacam-macam bagian dari unta. Literatur yang luas menggunakan variabel yang beragam tetapi tidak terintegrasi dengan baik. Dengan demikian, gambaran itu tidak dilihat secara keseluruhan. Variabelvariabel memiliki nilai penjelasan yang kecil dan masih sangat sedikit uji sistematik dari berbagai hipotesis untuk area ini. Untuk mengelola kompleksitas yang disebabkan oleh variabel yang

12


bagian i - prolog BAB 1 - Partisipasi, Reformasi Kelembagaan, dan Alokasi Anggaran: Pembelajaran dari Lima Daerah

beragam, Franklin dan Ebdon menyarankan untuk menguji model sebab-akibat (causal model) dengan empat faktor yang berbeda (struktur, partisipan, proses, dan mekanisme) yang diperkirakan mempengaruhi partisipasi warga.

Paritisipasi Warga, Reformasi Kelembagaan, dan Kebijakan Publik Konsep mengenai partisipasi warga telah menempatkan partisipasi dalam wacana yang luas meliputi tata pemerintahan (governance) dan kebijakan publik. Dalam konteks tata pemerintahan, partisipasi dihubungkan dengan manajemen atau model kelembagaan yang mengatur hubungan antar-aktor yang saling bersaing dalam alokasi sumber daya dan kebijakan publik. M. Gottdiener (1987) menghubungkan partisipasi dengan sistem tata pemerintahan (governance) yang berpusat rakyat (society center) sebagai lawan dari tata pemerintahan yang berorietasi pada prinsip-prinsip manajemen (state manajerialism). Tata pemerintahan yang berpusat rakyat merupakan pilihan yang harus ditempuh untuk menjamin keberlanjutan demokrasi, pembangunan, dan keadilan sosial. Pilihan ini mengandung konsekuensi partisipasi masyarakat di satu sisi harus semakin menguat dan di sisi yang lain pemerintah harus mengambil peran sebagai wahana untuk menegosiasikan berbagai kepentingan masyarakat yang berbeda atau saling bertentangan. Partisipasi berarti mendorong proses belajar bersama, komunikasi yang seimbang dalam membahas persoalan publik, menjadikan kesepakatan warga sebagai sumber utama dalam pengambilan keputusan di tingkat politik formal, dan memberikan ruang yang cukup bagi rakyat untuk mengontrol keputusan publik agar dilaksanakan sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan. Dengan demikian, dalam tata pemerintahan partisipatif, wahana-wahana ������ Lihat M. ����������������������������������� Gottdiener dalam The Decline of Urban ������������������������������������� Politics: Political Theory and the Crisis of the Local State, 1987.

13


Partisipasi, Reformasi Kelembagaan, dan Alokasi Anggaran: Pembelajaran dari lima Daerah

yang dibuat merupakan ajang bagi aktor-aktor untuk saling memahami dan saling belajar. Dalam tata pemerintahan yang berpusat pada rakyat atau tata pemerintahan partisipatif, kebijakan ditempatkan sebagai proses sosial politik tempat warga menegosiasikan alokasi barang dan anggaran publik. Kebijakan bukan persoalan teknis yang dapat diselesaikan secara teknokratis oleh kelompok orang yang dipercaya untuk merumuskan itu (biasanya politisi, birokrat, atau akademisi). Kebijakan merupakan ruang bagi teknisi dan anggota masyarakat untuk melakukan interaksi dan menggabungkan pengetahuan. Karena itu kebijakan harus melibatkan pihak yang luas, dan agar dapat terlaksana maka kepentingan berbagai pihak (stakeholders) dikonfrontasi atau dinegosiasikan. Dalam perspektif ini partisipasi tidak dipandang sebagai cara melainkan tujuan. Guy Peters (1996), menghubungkan partisipasi dengan perkembangan berbagai model pemerintahan. Menurut Peter, partisipasi yang luas dapat tumbuh dalam tata pemerintahan partisipatif (participatory state) yang lebih menekankan negosiasi dan keterlibatan dalam proses pengambilan kebijakan ketimbang proses teknokrasi. Sebagai konsekuensinya, tata pemerintahan partisipatif mensyaratkan struktur kelembagaan yang bersifat flat dengan beragam unit pengambil keputusan. Konsolidasi gagasan dan kesepakatan antar-unit pengambil keputusan dilakukan dalam wahana-wahana yang dapat dikontrol oleh publik. Ini berbeda dengan tata pemerintahan teknokratis yang mensyaratkan struktur kelembagaan yang bersifat hierarkis di mana para teknokrat mengontrol pengambilan keputusan pada puncak struktur organisasi. Secara lebih operasional, Fong dan Wright (2002) mengekplorasi gagasan mengenai Empowered Participatory Governance (EPG) Untuk ������������������������������������������������������������������������� gagasan mengenai ruang-ruang publik sebagai wahana saling memahami dan saling belajar lihat Forester (1999), Patsy Haley (1999), dan Ines (2000). ������������������������������������������������������������ Lihat B. Guy Peters, The Future of Governing: Four Emerging Models, �������� University ����������� Press of Kansas, 1996.

14


bagian i - prolog BAB 1 - Partisipasi, Reformasi Kelembagaan, dan Alokasi Anggaran: Pembelajaran dari Lima Daerah

sebagai salah satu model tata pemerintahan. EPG memiliki tiga karakteristik. Pertama, fokus pada isu yang spesifik dan terukur (tangible). Kedua, pelibatan masyarakat yang bekepentingan dengan isu-isu publik yang akan berdampak pada mereka. Ketiga, pengembangan wahana musyawarah untuk memecahkan isu ini. Untuk mendukung kegiatan tersebut dibutuhkan reformasi kelembagaan yang mendasar. Pertama, devolusi dalam pengambilan keputusan kepada unit/kelembagaan lokal yang akan diperkuat: ini merupakan salah satu strategi praktis dalam pendalaman demokrasi. Kedua, penciptaan keterkaitan tanggung jawab, distribusi sumber daya, dan komunikasi yang menghubungkan setiap unit kepada pihak yang memiliki otoritas formal. Ketiga, pemanfaatan lembaga-lembaga pemerintahan untuk mendukung dan membimbing pemecahan masalah secara terdesentralisasi. Berdasarkan karakteristik tersebut, Fong dan Wright memasukan penganggaran partisipatif di Brazil sebagai salah satu penerapan EPG. Fong (2002) mengaitkan kerangka kerja kelembagaan partisipatif dengan tiga aspek penting demokrasi, yaitu legitimasi, keadilan, dan efektifitas pengambilan keputusan dalam wahana publik. Legitimasi berkaitan dengan jumlah partisipan yang terlibat dalam pengambilan keputusan publik. Keadilan berkaitan dengan ruang-ruang yang diberikan kepada warga untuk berdiskusi, mempertukarkan kepentingan, dan mengambil keputusan. Efektifitas berkaitan dengan sejauhmana keputusan yang ditetapkan dalam wahana publik menjadi keputusan langsung pejabat dan lembaga representasi. Karena itu, menurut Fong, kelembagaan yang mendukung partisipasi harus mampu mengakomodasi pihak-pihak yang berkepentingan dalam satu kebijakan, menyediakan ruang bagi pihak yang berkepentingan untuk saling berdialog dan mengambil keputusan, dan menjadikan keputusan yang telah diambil di ruang publik menjadi keputusan lembaga resmi pemerintahan.

15


Partisipasi, Reformasi Kelembagaan, dan Alokasi Anggaran: Pembelajaran dari lima Daerah

Partisipasi Warga dan Alokasi Anggaran Publik Alokasi sumber anggaran publik secara partisipatif dalam banyak literatur dikenal dengan istilah penganggaran partisipatif. Beberapa penulis mengenai penganggaran partisipatif umumnya berpendapat bahwa penganggaran partisipatif merupakan alternatif bagi model demokrasi liberal (Baiocchi, 2001; Avritzer, 2007; Sauza, 2007; Wainwright, 2003), strategi redistribusi yang demokratis (Santos, 1998; Souza, 2001; Snyder dan Baquero, 2006) dan salah satu penerapan model tata pemerintahan partisipatif (Wampler, 2000; Fong dan Wright, 2002). Avritzer (2007)menyatakan bahwa penganggaran partisipatif merupakan tantangan atas tiga asumsi konsep demokrasi liberal yang bersifat elitis. Pertama, konsep yang meluas dari tradisi demokrasi yang bersifat elitis: bahwa untuk mengkonsolidasi demokrasi maka harus dicegah bentuk-bentuk partisipasi secara langsung. Kedua, bentuk hierarki dari administrasi yang rasional hanya dapat dipenuhi oleh birokrasi yang terisolasi. Ketiga, bentuk-bentuk tindakan kolektif bertentangan dengan mobilisasi dan pelembagaan. Kebalikan dari asumsi tadi, Avritzer menyatakan: –sebagaimana ditujukan dalam banyak kasus- pertama, partisipasi langsung merupakan strategi yang efektif untuk konsolidasi demokrasi. Kedua, klaim rasionalitas dapat diperoleh melalui proses diskusi di antara kelompok masyarakat yang difasilitasi oleh birokrasi. Ketiga, hampir seluruh bentuk tindakan kolektif dari warga adalah demokratis dan dapat memproduksi rancangan kelembagaan baru yang partisipatif dan cocok dengan elemen budaya baru di dalam komunitas politik. Ketiga konsep tanding dari demokrasi elitis ini disebut oleh Alvritzer sebagai demokrasi deliberatif. Menurut Souza (2007), ada dua mekanisme untuk merancang peningkatan demokrasi deliberatif dalam praktik, yaitu penganggaran partisipatif dan komite komunitas. Menurut Souza, meskipun kapasitas pemerintahan lokal tidak sama dalam memperkuat warga, beberapa kemajuan telah dibuat melalui

16


bagian i - prolog BAB 1 - Partisipasi, Reformasi Kelembagaan, dan Alokasi Anggaran: Pembelajaran dari Lima Daerah

demokrasi deliberatif di tingkat lokal, meskipun keberlanjutan dari eksperimen ini belum jelas. Wainwright (2003), menunjukkan bahwa demokrasi liberal yang ditopang oleh ekonomi yang bersifat kapitalistik di banyak negara ternyata gagal memperbaiki kesejahteraan rakyat. Demokrasi liberal justru dituduh Wainwright sebagai kuda troya bagi kelompok elit kapitalis guna mendapatkan hak-hak istimewa untuk memapankan kepentingan mereka. Dalam demokrasi liberal, mengutip kata-kata Lula –Presiden Brazil- “... banyak orang yang bekerja lima sampai tujuh hari, tetapi mereka tidak dapat makan roti ...�. Dengan kata lain, demokrasi liberal mendukung ketimpangan pendapatan dan kesengsaraan rakyat. Sebagai alternatifnya Wainwrigt menawarkan demokrasi popular yaitu demokrasi yang menempatkan rakyat bukan hanya sebagai pemilih, tetapi juga sebagai pengambil kebijakan. Salah satu eksperimen bagi popular democracy adalah participatory budgeting, yaitu keterlibatan warga dalam alokasi sumberdaya keuangan. Wainwright mengidentifikasi faktor kunci bagi keberhasilan popular democracy yaitu keberadaan partai politik yang memiliki ideologi progresif, gerakan sosial yang solid, dan kepemimpinan yang memihak. Santos (1998) menghubungkan penganggaran partisipatif dengan redistribusi kekayaan yang adil secara demokratis. Dalam konteks redistribusi kekayaan, Santos menganalisis proses partisipasi anggaran sebagai proses redistribusi kekayaan dengan mempergunakan kerangka kerja efisiensi redistributif; akuntabilitas dan kualitas dari representasi dalam demokrasi partisipatoris; dan hubungan antara proses penganggaran partisipatif dengan lembaga legislatif yang memiliki legalitas formal dalam menyetujui anggaran. Souza (2001) berargumen bahwa meskipun beberapa klaim dan hasil yang berkaitan dengan eksperimen membutuhkan penelitian lebih lanjut, pengalaman partisipasi anggaran di dua kota di Brazil -Porto Alegre dan Belo Horizonte- telah membuat masyarakat 17


Partisipasi, Reformasi Kelembagaan, dan Alokasi Anggaran: Pembelajaran dari lima Daerah

miskin yang terabaikan dapat terlibat dalam memutuskan prioritas investasi di dalam komunitasnya. Sedangkan Snyder dan Buquero (2006) menghubungkan penganggaran partisipatif dengan usaha-usaha untuk memecahkan klientelisme dalam proses penganggaran yang menyebabkan kelompok-kelompok miskin tidak memiliki akses untuk terlibat dalam proses penganggaran. Snyder dan Buquero menuduh klientelisme sebagai penyebab utama dari ketimpangan alokasi anggaran. Wampler (2000), menghubungkan penganggaran partisipatif dengan gagasan mengenai tata pemerintahan partisipatoris. Menurut Wampler, demokrasi partisipasi berkaitan dengan dua hal, yaitu: (1) desain kelembagaan untuk para aktor dalam membentuk strategi dan pilihan politik, dan (2) desain untuk menghubungkan strategi dan pilihan politik para aktor terhadap outcome kebijakan. Berdasarkan studi yang dilakukan oleh UNDP (2000), lebih dari 300 pemerintah daerah telah menjalankan perencanaan dan penganggaran partisipatif. Kerangka hukum dan kelembagaan mengenai perencanaan dan penganggaran partisipatif di berbagai negara dapat berbeda-beda. Namun secara generik, penganggaran partisipatif dapat diartikan sebagai: “mekanisme (atau proses) melalui mana penduduk secara langsung memutuskan atau berkontribusi terhadap keputusan yang dibuat mengenai semua atau sebagian sumberdaya publik (termasuk anggaran) yang tersedia�. Dalam melakukan analisa terhadap praktik penganggaran partisipatif, literatur biasanya melihat dari beberapa perspektif. Pertama, menggambarkan kelembagaan untuk penganggaran partisipatif. Kedua, menggambarkan perluasan kelompokkelompok masyarakat dalam proses penganggaran. Ketiga, melihat dampak penganggaran partisipatif terhadap alokasi sumber daya dan tingkat pembayar pajak. 1.

18

Mekanisme kelembagaan penganggaran partisipatif. Menurut Jacobi (1999), proses penganggaran partisipatif


bagian i - prolog BAB 1 - Partisipasi, Reformasi Kelembagaan, dan Alokasi Anggaran: Pembelajaran dari Lima Daerah

terdiri atas tiga tahapan penting. Pertama, administrasi perkotaan untuk merancang prioritas investasi dan secara informal mendiskusikannya dengan warga di bagianbagian kota. Kedua, prioritas dilegitimasi oleh Forum Anggaran Kota melalui pertemuan formal yang melibatkan wakil warga dari bagian kota. Ketiga, rencana investasi dilaksanakan dengan kontrol dari Forum Warga Kota. Melalui mekanisme ini Melo dkk. (2001) berkesimpulan bahwa penganggaran partisipatif adalah salah satu pendekatan yang secara eksplisit menghubungkan proses pembuatan kebijakan kota yang bersifat formal dan top-down dengan proses informal dan bottom-up yang dibuat melalui proses negosiasi di tingkat komunitas. Siklus penganggaran partisipatif ini menurut Jacobi (1999) merupakan alat efektif untuk demokratisasi manajemen perkotaan, terutama dengan memecahkan pola lama relasi klientelisme, mempromosikan desentraliasi dalam pengambilan keputusan di tingkat kota, dan meningkatkan kontrol publik dalam kebijakan investasi perkotaan. 2.

Perluasan kelompok-kelompok masyarakat dalam proses penganggaran. Berdasarkan penelitian lapangan di Porto Alegre (Schneider dan Baquero, 2006), mekanisme yang terbuka dalam proses penganggaran telah memperluas partisipasi warga dalam proses penyusunan program pembangunan dan alokasi anggaran. Avritzer (2000) menekankan bahwa penganggaran partisipatif adalah salah satu bentuk musyawarah warga yang telah berhasil mengatasi keterbatasan kelembagaan demokrasi liberal yang elitis saat ini. Penganggaran partisipatif adalah proses musyawarah yang menjawab jarak antara elit politik dengan masyarakat dan merenovasi budaya publik. Penganggaran partisipatif menyediakan skenario politik dalam bentuk musyawarah warga yang secara langsung menjawab kendala demokrasi di wilayah kota dengan cara mengatasi

19


Partisipasi, Reformasi Kelembagaan, dan Alokasi Anggaran: Pembelajaran dari lima Daerah

kekosongan mekanisme kelembagaan dan memperluas budaya warga untuk merespon masalah spesifik . Penganggaran partisipasi adalah contoh yang sangat baik dalam hal pemanfaatan potensi demokrasi, yaitu dengan cara mentransformasi musyawarah informal sehingga berguna dalam kebijakan publik. Ia merupakan salah satu alternatif demokrasi di tingkat publik yang lebih luas di semua tingkat. Awalnya, nilai-nilai demokrasi ditransformasikan menjadi kebudayaan publik, kemudian ditransferkan dalam pembuatan kebijakan publik melalui desain kelembagaan yang inovatif. Desain kelembagaan yang inovatif merupakan komponen utama yang membuat budaya demokrasi menjadi lebih egaliter. Penganggaran partisipatif, menunjukkan bahwa realisasi demokrasi yang mendekati ideal membutuhkan usaha-usaha untuk meradikalkan aspek musyawarah dalam demokrasi. Terakhir, eksperimen partisipasi yang sangat sukses membutuhkan pertanyaan: dalam konteks apa ia dapat berhasil? Dalam hal ini Baiocchi berargumen bahwa tidak boleh melupakan kebutuhan untuk terus meningkatkannya dalam masyarakat yang demokratis. Ketiga masalah ini -penguatan warga, konteks, dan legitimasi- harus dijawab oleh lembaga yang menerapkan demokrasi deliberatif yang memberdayakan (empowered participatory democracy). 3.

20

Dampak penganggaran partisipatif terhadap alokasi sumber daya dan tingkat pembayar pajak. Literatur mengenai penganggaran partisipatif lebih banyak fokus pada analisis kelembagaan (prosedur) dan perluasan peran warga dalam pengambilan keputusan. Sangat sedikit analisis penganggaran partisipatif yang fokus pada analisis terhadap outcome penganggaran partisipatif baik terhadap masyarakat luas maupun terhadap pembayar pajak. Dari literatur yang sedikit tersebut Sausa, Schneider, dan Sauza dapat disebut sebagai pelopor untuk studi ini.


bagian i - prolog BAB 1 - Partisipasi, Reformasi Kelembagaan, dan Alokasi Anggaran: Pembelajaran dari Lima Daerah

Menurut Sausa (1998), penganggaran partisipatif merupakan satu ujicoba di perkotaan yang bertujuan untuk meredistribusi sumberdaya kota kepada kelompok sosial yang rentan. Karena itu Sausa menghubungkan partisipasi anggaran dengan alokasi sumber daya untuk pembiayaan sektor publik yang sangat dibutuhkan oleh kelompok miskin. Sausa juga menghubungkan penganggaran partisipatif dengan peningkatan akses kelompok miskin terhadap pelayanan dasar. Berdasarkan pada hasil analisis mengenai alokasi sumber daya, Schneider dan Baquero (2006) berkesimpulan bahwa proses partisipasi telah ‘merasionalisasi’ alokasi s u m b e r d aya . D a l a m p e n g a n g g a ra n p a r t i s i p at i f, alokasi sumberdaya keuangan telah melewati proses perdebatan yang luas sehingga dapat memenuhi kebutuhan secara optimum. Schneider dan Baquero juga menghubungkan penerapan penganggaran pajak daerah. Menurut Scheider dan Baquero, peningkatan pajak daerah berkaitan dengan penerapan penganggaran partisipatif. Alasannya adalah alokasi sumber daya melalui penganggaran partisipatif telah meningkatkan kepercayaan pembayar pajak sehingga meningkatkan keinginan untuk membayar pajak (willingness to pay) terhadap pemerintah. Sedangkan Souza (2001), menganalisis dampak penganggaran partisipatif terhadap perbaikan pelayanan publik yang dibutuhkan secara luas masyarakat seperti air bersih, sekolah, dan jalan. Literatur mengenai penganggaran partisipatif telah mencatat banyak sisi positif terhadap praktik penganggaran partisipatif baik di Brazil –sebagai rumah pertama praktik penganggaran partisipatif- maupun di berbagai tempat di seluruh dunia. Meskipun demikian, ada beberapa penulis yang bersikap kritis terhadap penganggaran partisipatif (Utzig, 1999) dan beberapa orang yang memberikan sinyal untuk berhati-hati dengan proses ini dalam konteks sosial politik yang berbeda (Wampler, 2000).

21


Partisipasi, Reformasi Kelembagaan, dan Alokasi Anggaran: Pembelajaran dari lima Daerah

Utzig (1999) menganalisis proses penganggaran partisipatif dengan menggunakan dua kriteria. Pertama, kerangka prinsipprinsip legitimasi dalam demokrasi. Kedua, kriteria kinerja administratif. Kedua kerangka kerja ini menurut Utzig sangat esensial untuk lebih memahami pengalaman, menganalisis kekuatan, dan menguji kemungkinan untuk menggunakan proses yang sama dalam pemerintahan lokal yang lain. Meskipun sepakat bahwa penganggaran partisipatif telah meningkatkan kualitas demokrasi substantif yaitu keputusan memiliki legitimasi yang kuat dari warga, tetapi Utzig meragukan penganggaran partisipatif telah meningkatkan kinerja administratif. Menurut Utzig, penganggaran partisipatif telah melahirkan kelembagaan yang komplek, rentan, dan penuh konflik sehingga masih dipertanyaakan kelangsungan sistem ini di masa depan –terutama jika dikaitkan dengan sistem administrasi yang efisien. Selanjutnya Utzig menekankan bahwa kelembagaan penganggaran partisipatif di Porto Alegre lahir dari kondisi yang spesifik atas konstelasi politik dan budaya masyarakatnya, sehingga kelembagaan ini tidak serta merta dapat diadopsi oleh pemerintahan lokal yang lain. Setelah menjelaskan kelembagaan, proses, waktu, dan aktor-aktor yang terlibat dalam penganggaran partisipatif, Brian Wampler (2000) berkesimpulan, bahwa sustainabilitas dan kesuksesan penganggaran partisipatif ditentukan oleh tiga faktor utama. Pertama, komitmen politik dari partai dan pemerintah yang berkuasa. Kedua, budaya warga (civic culture). Ketiga, birokrasi yang responsif. Meskipun turut mempromosikan penganggaran partisipatif, Wampler menekankan agar para imitator berfikir kritis mengenai kondisi-kondisi yang memungkinkan penganggaran partisipatif dapat bekerja secara efektif. Tantangan yang paling serius dari praktik penganggaran partisipatif datang dari Kota Porto Alegre sendiri sebagai ibu kota penganggaran partisipatif. Menurut Aaron Schneider (2007), krisis bermula ketika partai pekerja –sebagai inisiator penganggaran

22


bagian i - prolog BAB 1 - Partisipasi, Reformasi Kelembagaan, dan Alokasi Anggaran: Pembelajaran dari Lima Daerah

partisipatif- dikalahkan oleh koalisi partai-partai pesaingnya setelah selama 18 tahun berkuasa. Sekretaris pemerintah daerah yang baru dalam pidatonya sering menyatakan bahwa pendekatan teknokratis dan birokratis akan membuat alokasi anggaran akan lebih efisien. Data statistik mengenai kemiskinan akan menjadi rujukan utama ketimbang data hasil diskusi warga. Scheneider menyatakan bahwa pendekatan ini akan mereduksi peran warga dalam alokasi sumber daya, dan lebih menempatkan warga sebagai penerima manfaat. Meskipun klaim efektivitas dalam memerangi kemiskinan masih diragukan, penulis merasa yakin bahwa pendekatan ini akan mengubah kelembagaan dan budaya partisipasi warga dalam proses penganggaran. Tantangan lain bagi penganggaran partisipatif adalah perkembangan teknologi informasi. Oliveira dkk. (2003) mencatat bahwa hingga tahun 2001 kota-kota yang mempraktikkan penganggaran partisipatif belum menggunakan internet sebagai alat untuk memperluas dan mendorong proses penganggaran partisipatif. Inovasi mengenai penggunaan internet dilakukan oleh Kota Ipatinga dalam proses memilih prioritas dan alokasi anggaran untuk proyek lokal. Melalui internet, warga mendaftarkan prioritas mereka dan menelusuri penyediaan proyek-proyek publik. Hasil dari inovasi ini, menunjukkan peningkatan 44 sampai 125 persen dalam jumlah input warga terhadap prioritas anggaran. Dampaknya juga tampak untuk capaian yang baik di atas input tradisional. Partisipan orang muda tampaknya meningkat di dalam proses, sementara warga dengan pendidikan rendah juga menggunakan internet sebagai alat untuk mengatasi inklusi. Secara keseluruhan, penganggaran partisipatif yang interaktif melalui media internet di Ipatinga merupakan channel tambahan dalam hubungan antara negara dan masyarakat. Ini membuktikan bahwa ruang virtual menyediakan demokratisasi untuk partisipasi

23


Partisipasi, Reformasi Kelembagaan, dan Alokasi Anggaran: Pembelajaran dari lima Daerah

dan kontrol sosial. Partisipasi secara on-line telah memfasilitasi proses interaksi pada bagian-bagian tertentu penganggaran partisipatif meskipun keputusan final tetap terjadi di dalam pertemuan tatap muka. Pemanfaatan internet ini jika dilakukan secara intensif dan meluas tentu saja akan mengubah desain kelembagaan dari penganggaran partisipatif yang berimplikasi pada budaya warga. Tantangan ini, menurut Oliveira perlu dihadapi secara serius oleh para promotor penganggaran partisipatif.

Konteks Studi di Lima Daerah Memasuki Abad 21, Indonesia menghadapi serangkaian tantangan untuk mewujudkan demokrasi yang partisipatif sekaligus meningkatkan kesejahteraan dan mewujudkan keadilan. Tantangan ini telah dijawab dengan melakukan reformasi kelembagaan politik, membuka ruang-ruang untuk partisipasi politik dan kontrol sosial bagi masyarakat, membuka akses terhadap informasi publik, serta memperbaiki dan membuat mekanisme pengambilan keputusan yang lebih transparan. Di sisi lain pemerintah juga telah mengeluarkan paket-paket kebijakan desentralisasi. Dengan kebijakan desentrasilasi maka muncul asumsi bahwa fokus pengambilan keputusan akan lebih dekat kepada masyarakat. Dalam konteks ini, masyarakat memiliki kesempatan yang lebih besar untuk terlibat secara aktif dalam proses penyusunan kebijakan (misalnya penyusunan peraturan dan perencanaan daerah), keputusan alokasi anggaran, dan praktik operasional kepemerintahan (misalnya penyelenggaraan pelayanan publik). Pasca 1999-2008 terdapat dua level upaya mendorong partisipasi warga dalam tata pemerintahan untuk alokasi sumber daya publik. Pertama, upaya untuk mendorong kerangka hukum yang tegas yang memungkinkan partisipasi bekerja. Kedua, penciptaan praktik-praktik baru dalam tata pemerintahan lokal. Baik di tingkat peraturan maupun di tingkat praktik, upaya yang dilakukan oleh pejabat publik yang reform, NGO, dan aktivis gerakan sosial

24


bagian i - prolog BAB 1 - Partisipasi, Reformasi Kelembagaan, dan Alokasi Anggaran: Pembelajaran dari Lima Daerah

terutama adalah: 1) mendorong lembaga pemerintahan di tingkat lokal lebih responsif dan akuntabel; dan 2) mendorong pelibatan warga dalam pembuatan kebijakan, alokasi anggaran, dan praktik operasional kepemerintahan. Upaya itu dilakukan baik dengan cara menjadi watch-dog di luar pemerintahan dan atau dengan cara mempengaruhi langsung (civic engagement) proses penyusunan kebijakan, alokasi anggaran, dan praktik operasional kepemerintahan. Upaya untuk mendorong kerangka hukum dilakukan di tingkat nasional. Ada empat wahana partisipasi warga dalam pembuatan kebijakan, alokasi anggaran dan praktik operasional pemerintahan yang telah disediakan oleh instrumen hukum saat ini.10 Pertama, pembentukan lembaga representasi warga. Salah satu lembaga representasi partisipasi warga adalah Komite Sekolah dan Dewan Pendidikan.11 Berdasarkan UU No. 24/2007 daerah juga harus membentuk Komite/Dewan Penanggulangan Bencana. Sedangkan berdasarkan UU No. 14/2008, daerah harus membentuk Komite Keterbukaan Informasi Publik Daerah. Tugas komite dalam berbagai perundang-undangan sangat luas yaitu terlibat dalam proses perencanaan, penganggaran, dan pembuatan kebijakan. Dengan demikian, jika proses rekruitmen anggota komite di tingkat daerah ini dirancang dengan baik, maka memungkinkan warga yang mewakili kelompok kepentingan dapat masuk menjadi anggota. Bila proses pengambilan keputusan diperbaiki, komite juga dapat menjadi wahana untuk memperluas debat publik mengenai suatu isu yang berkaitan langsung dengan kehidupan masyarakat. Namun jika proses rekruitmen anggota dan proses pengambilan keputusan dalam komite tidak 10 Pembahasan yang rinci mengenai kerangka hukum dan kebijakan partisipasi warga sejak tahun 1999 sampai dengan tahun 2004 dapat dilihat dalam Suhirman, Kerangka Hukum dan Kebijakan Partisipasi Warga di Indonesia, FPPM 2004. 11 ��������������������������������������������������������������������������� Komite Sekolah dan Dewan Pendidikan sebagai wahana partisipasi warga dapat dilihat dalam UU No. 20/2003.

25


Partisipasi, Reformasi Kelembagaan, dan Alokasi Anggaran: Pembelajaran dari lima Daerah

demokratis, maka komite akan didominasi oleh elit-elit lokal yang tidak berkepentingan langsung dengan aspirasi warga. Titik krusial ini nampaknya yang akan menentukan masa depan komite sebagai wahana partisipasi warga. Kedua, adalah pengembangan forum-forum deliberatif/forum musyawarah. Ada dua forum deliberatif yang secara eksplisit disebutkan oleh instrumen hukum dan kebijakan di Indonesia yaitu konsultasi publik12, Musrenbang13, dan pengembangan jalurjalur khusus komunikasi untuk menampung aspirasi masyarakat miskin.14 Jika forum ini dapat dimanfaatkan untuk memobilisasi aspirasi dan kepentingan warga secara luas, maka forum ini diharapkan dapat menjadi wahana yang efektif dalam proses pendalaman demokrasi. Titik krusial dari forum ini adalah kapasitas warga dalam mengkonsolidasi kepentingan, kemampuan dalam mengelola forum, dan daya ikat keputusan forum terhadap eksekutif. Jika keputusan forum masih didominasi segelintir elit atau keputusan forum ini ternyata tidak digubris oleh pemerintah maka warga akan frustasi dan tidak berminat terhadap forum-forum yang telah ada. Kecenderungan telah ada, terutama dalam proses Musrenbang yang hasilnya tidak diakomodasi oleh pemerintah. Warga menjadi frustasi dan tidak melihat lagi manfaat untuk menghadiri forum Musrenbang. Ketiga, memperoleh informasi publik terutama yang berkaitan langsung dengan kepentingan mereka. Informasi publik sangat penting bagi kualitas dan efektivitas partisipasi. Karena itu perlu ditegaskan informasi apa yang dapat diakses oleh masyarakat serta kewajiban pemerintah untuk menyediakan data dan informasi tersebut. 12 �������������������������������������������������������������������������� Konsultasi publik sebagai mekanisme partisipasi warga dapat dilihat dalam UU ��� No. 7/2004 dan PP No. 8/2008. 13 Musrenbang ������������������������������������������������������������������������������ sebagai salah satu mekanisme partisipasi warga dapat dilihat dalam UU No. 25/2004 dan PP No. 8/2008. 14 ������������������������������������������������������������������������������ Kewajiban pemerintah daerah untuk mengembangkan jalur-jalur khusus komunikasi dengan masyarakat miskin dapat dilihat dalam PP No. 8/2008.

26


bagian i - prolog BAB 1 - Partisipasi, Reformasi Kelembagaan, dan Alokasi Anggaran: Pembelajaran dari Lima Daerah

Keempat, melaporkan berbagai penyimpangan dalam pelaksanaan program pembangunan. Bentuk partisipasi ini sangat penting sebagai umpan balik dari proses perencanaan, alokasi anggaran, dan penyediaan barang publik. Untuk itu perlu juga ditegaskan kepada siapa keluhan atau laporan disampaikan dan apa tindak lanjut dari pemerintah dalam menerima keluhan/laporan. Tanpa ketentuan lebih lanjut mengenai ketentuan tadi dapat dipastikan masyarakat akan apatis terhadap kinerja pembangunan karena tidak ada mekanisme penampung laporan/keluhan. Agar lebih sistematis, pemerintah daerah juga perlu didukung untuk menghimpun laporan atau keluhan secara sistematis. Citizen Report Card (CRC) adalah salah satu contoh yang telah diterapkan di banyak negara untuk menghimpun penilaian masyarakat terhadap kualitas pelayanan publik yang diterimanya. Salah satu karakter dari peraturan perundangan-undangan di Indonesia adalah pemberian diskresi yang luas kepada eksekutif untuk mengeluarkan kebijakan dalam bentuk peraturan pemerintah dan peraturan menteri untuk melaksanakan undang-undang. Karena itu partisipasi warga di dalam UU di Indonesia lebih banyak dinyatakan dalam bentuk norma dasar dan prinsip-prinsipnya saja. Implementasi –kelembagaan dan prosedur- partisipasi warga sangat ditentukan oleh peraturan pelaksanaan. Dalam banyak hal, seringkali peraturan pelaksanaan justru mereduksi konsep dan prasyarat dasar partisipasi warga. Karena itu, masa depan dari partisipasi warga di Indonesia sangat di tentukan oleh kerja-kerja lembaga donor, NGO, organisasi warga, aparatur pemerintah, dan partai politik yang pro terhadap demokrasi partisipatoris untuk medorong pelembagaan partisipasi warga, baik di tingkat lokal maupun nasional. Pada tataran praktik di tingkat lokal, partisipasi warga dalam tata pemerintahan dilakukan dengan memperbaiki proses-proses pengambilan keputusan dalam lembaga-lembaga pemerintahan daerah dengan cara: 1) mendorong ketersediaan kerangka hukum yang memberikan ruang pada masyarakat untuk terlibat dalam proses tata kepemerintahan; 2) mengembangkan praktik-praktik

27


Partisipasi, Reformasi Kelembagaan, dan Alokasi Anggaran: Pembelajaran dari lima Daerah

inovasi partisipasi warga dalam pembuatan kebijakan, alokasi anggaran, dan pelayanan publik, dan 3) mendorong pelembagaan partisipasi warga, baik melalui mekanisme perwakilan maupun melalui pengembangan forum-forum musyawarah. Upaya-upaya ini dimotori oleh pemerintahan yang reform, aktivis NGO lokal, lembaga-lembaga donor, atau pun oleh pemerintah daerah yang mempercayai bahwa partisipasi warga langsung dalam proses kepemerintahanan dapat meningkatkan kualitas pemerintahan di tingkat lokal.15 Dalam banyak kasus, cara ini berhasil meningkatkan partisipasi warga sekaligus juga responsivitas pemerintahan lokal. Namun dalam beberapa kasus aktivis NGO dan gerakan sosial masih menghadapi beberapa masalah di antaranya:

28

1.

Praktik-praktik partisipasi untuk penyusunan peraturan daerah, perencanaan, dan penyusunan program/kegiatan tahunan (Musrenbang) di daerah masih kaku dari segi waktu dan mekanistik dari segi proses;

2.

Minat kelompok miskin –yang selama ini menjadi concern NGO- untuk berpartisipasi rendah karena tidak ada kaitan langsung antara partisipasi dengan kebutuhan mereka yang nyata;

3.

Masyarakat luas belum memahami fungsi strategis dari wahana-wahana partisipasi yang ada, sehingga wahana tersebut lebih banyak diisi (captured) oleh kelompok elit lokal;

15 ������������������������������������������������������������������������������� NGO yang aktif dalam upaya-upaya ini sejak tahun 2000 terutama adalah jaringan kerja IPGI (Indonesian Partnership for Governance Inisitaive), Lakspesdam-NU, Pattiro yang bekerja di tingkat nasional dan beberapa NGO yang fokus di tingkat lokal seperti PIAR-Kupang dan FIK-Ornop Sulsel. Proyek donor yang aktif untuk isu ini terutama adalah GTZ-Promis, GTZ-SfDM, CSSP-USAID, dan Perform Project-USAID. Perkembangan kerangka hukum dan kebijakan partisipasi warga dan contoh-contoh pelembagaan partisipasi warga sampai tahun 2004 dapat dilihat dalam Suhirman. Kerangka Hukum dan Kebijakan Partisipasi Warga di Indonesia, FPPM, Bandung, 2004.


bagian i - prolog BAB 1 - Partisipasi, Reformasi Kelembagaan, dan Alokasi Anggaran: Pembelajaran dari Lima Daerah

4.

Mulai terjadi apatisme yang luas karena banyak prosesproses yang melibatkan partisipasi warga ternyata tidak membuahkan hasil yang jelas.16

Tantangan yang lebih mendasar dari strategi ini adalah tidak ada bukti yang signifikan mengenai hubungan peningkatan partisipasi dengan peningkatan pelayanan publik dan kesejahteraan masyarakat. Berbagai contoh sukses pemerintahan daerah justru dilakukan oleh pemimpin yang kuat dan berani mengambil risiko meskipun dalam prosesnya tidak melibatkan masyarakat.17 Masalah ini perlu dijawab oleh pihak-pihak yang mempromosikan partisipasi warga. Kekosongan terhadap jawaban ini dapat dijadikan legitimasi bagi pemerintah daerah dan berbagai pihak untuk meninggalkan pendekatan proses-proses pengambilan keputusan, alokasi anggaran, dan operasional pemerintahan dengan melibatkan masyarakat. [ ]

16 ��������������������������������������������������������������������������� Pesoalan-persoalan ini dapat ditelusuri dalam berbagai publikasi baik yang dipublikasikan oleh NGO yang bekerja di daerah mapun lembaga-lembaga donor yang bekerja di Indonesia. 17 ������������������������������������������������������������������������������ Contoh reformasi kelembagaan pemerintahan daerah yang dipuji berkaitan dengan peningkatan kesejahteraan misalnya Kabupaten Jembrana, Kabupaten Solok, dan Kabupaten Kebumen. Dalam ��������������������������������������������������������� ketiga kasus tersebut perubahan dilakukan langsung oleh kepala daerah tanpa melibatkan institusi-institusi warga.

29


Partisipasi, Reformasi Kelembagaan, dan Alokasi Anggaran: Pembelajaran dari lima Daerah

30


bagian i - prolog BAB 1 - Partisipasi, Reformasi Kelembagaan, dan Alokasi Anggaran: Pembelajaran dari Lima Daerah

2

bagian ii

STUDI KASUS 31


Partisipasi, Reformasi Kelembagaan, dan Alokasi Anggaran: Pembelajaran dari lima Daerah

32


Bab 2

Geliat Partisipasi Kelompok Sektoral: Studi Kasus Kota Surakarta Oleh : Ahmad Rifai, Putut Gunawan, Syamsul Bachry, dan Vera Kartika Giantari*

Pengantar

K

ota Surakarta –atau dikenal pula dengan sebutan Kota Solo- berada di lintasan strategis jalur selatan Jawa yang menghubungan Jakarta dan Surabaya. Kota Surakarta dikelilingi wilayah hinterland: Sukoharjo dan Wonogiri di selatan; Klaten di barat daya; Boyolali di utara; Karanganyar di timur, dan Sragen di timur laut. ������������������������������������� Dengan posisi seperti itu, maka Kota Surakarta menjadi pusat pertemuan perdagangan barang dan jasa yang strategis. Kota Surakarta memiliki luas wilayah 44 km 2 dengan jumlah penduduk tetap mencapai 561.509 jiwa, dan fluktuasi hunian sirkuler mencapai 1,2 juta jiwa pada siang hari. Dengan kondisi seperti itu, maka Surakarta menjadi kota kecil yang padat dan riuh dengan pelbagai kegiatan ekonomi. Kota Surakarta terdiri atas 5 kecamatan dan 51 kelurahan. Berdasarkan data dari Pemerintah Kota Surakarta, dari jumlah

33


Partisipasi, Reformasi Kelembagaan, dan Alokasi Anggaran: Pembelajaran dari lima Daerah

penduduk sebanyak 561.509 jiwa, terdapat jumlah penduduk miskin sebanyak 104.766 jiwa atau 29.199 kepala keluarga (2007). Jumlah penduduk miskin ini mengalami peningkatan 15.251 jiwa dari tahun 2006 sebesar 89.515 jiwa. Penduduk Surakarta selain ada yang bermatapencaharian sebagai buruh, pedagang, dan pegawai, ada juga yang bekerja di sektor informal (Surakarta dalam Angka, BPS Surakarta, 2006). Sejak pemberlakuan Otonomi Daerah melalui UU Nomor 22 Tahun 1999, sebagaimana kota-kota lainnya di Indonesia, Surakarta memperoleh berkah desentralisasi kekuasaan –terutama untuk mengatur urusan pemerintahan daerah. Dalam hal ini Kota Surakarta setidaknya mempunyai kontrol langsung terhadap pengelolaan urusan publik seperti kesehatan, pendidikan, pelayanan sosial, dan administrasi pertanahan. Upaya untuk mendongkrak pendapatan daerah juga dilakukan agar mampu membiayai kebutuhan pelayanan publik di daerah. Tercatat PAD Kota Surakarta pada tahun 2001 sebesar Rp 35,6 miliar; 2002 sebesar Rp 44,9 miliar; 2003 sebesar Rp 54,8 miliar; 2004 sebesar Rp 53,5 miliar; 2005 sebesar Rp 62,6 miliar; 2006 sebesar Rp. 74,9 miliar; dan 2007 sebesar Rp 86,3 miliar. Sedangkan pada tahun 2008, PAD Kota Surakarta mencapai Rp 95 miliar. Dari tahun ke tahun APBD Kota Surakarta mengalami peningkatan. APBD tahun 2001 mencapai Rp 206,3 miliar; 2002 mencapai Rp 206,7 miliar; 2003 mencapai Rp 347,5 miliar; 2004 mencapai Rp 358,2 miliar; 2005 mencapai Rp 366 miliar; 2006 mencapai Rp 496,1 miliar; 2007 mencapai Rp 590,1 miliar. Sedangkan data tahun 2008 tercatat APBD Kota Surakarta sebesar Rp 686,9 miliar. Setelah otonomi diberlakukan, yang menjadi catatan penting proses demokrasi lokal di Surakarta bukanlah pundi-pundi anggaran yang bergelimang, namun dinamika proses demokrasi yang terjadi. Kelompok civil society berupaya mengintegralisasi nilai-nilai demok rasi dalam konteks local governance (pemerintahan lokal). Partisipasi segenap stakeholders dalam

34


bagian ii - studi kasus BAB 2 - Geliat Partisipasi Kelompok Sektoral: Studi Kasus Kota Surakarta

menentukan kebijakan pembangunan daerah yang menjadi nilai penting di sini.

Menyambut Otonomi Merayakan Partisipasi Inisiatif mengembangkan mekanisme partisipasi warga sebenarnya telah ada sebelum Undang Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah diberlakukan. Namun, tidak dapat disangkal bahwa Undang Undang Nomor 22 Tahun 1999 telah memperluas eskalasi gerakan aktivis NGO untuk mendorong tata pemerintahan yang baik sekaligus juga mewujudkan kesejahteraan di tingkat lokal. Sejak tahun 1999, organisasi non-pemerintah dan kelompok masyarakat sipil bergiat mengembangkan diskursus tentang peran serta masyarakat, sekaligus menggalang dan mengorganisisr kelompok-kelompok masyarakat marjinal. Dialog informal yang setiap malam berkembang di Warung Hik pun terseret ke dalam fokus isu tersebut. Peran LSM sebagai organisasi non-pemerintah yang dikenal banyak memberikan kontribusi dalam mendinamisasi isu-isu penting di kalangan grass-root, dan mengembangkan sebuah forum sebagai quasia task force dengan nama Forum Study Demokrasi dan Keadilan Sosial (FSDKS). Pada saat bersamaan, kalangan NGO yang diprakarsai oleh Lembaga Pengembangan Teknologi Pedesaan (LPTP) mengembangkan program rangkaian lokakarya dengan tema otonomi daerah, desentralisasi, dan keuangan daerah. Dua titik pusat lingkaran inisiasi awal tersebut kemudian bertemu pada Januari 2000 untuk mengembangkan kerangka aksi yang lebih tegas, dengan melibatkan stakeholders yang lebih luas dalam rangka merespon isu otonomi daerah. Sebagai tindak lanjut, terbentuk sebuah forum sinergis CSO/NGO/akademisi/birokrasi yang merupakan tindak lanjut dari forum FSDKS yang diperluas dengan melibatkan stakeholders yang lebih luas dan difasilitasi oleh LPTP.

35


Partisipasi, Reformasi Kelembagaan, dan Alokasi Anggaran: Pembelajaran dari lima Daerah

Sinergi ini menghasilkan studi bersama tentang lembaga demokrasi di tingkat kelurahan (Kelompok Kajian Lembaga Demokrasi Masyarakat/KKLDM) yang kemudian bersama Kantor Bandes Pemkot Surakarta, seluruh camat, dan unsur LKMD menyelenggarakan forum assessment bersama masyarakat di 51 kelurahan, dan menghasilkan konsensus penyusunan Perda lembaga tingkat kelurahan pengganti LKMD. Pada saat yang sama, beberapa inisiasi lanjutan mulai bermunculan, sementara pengorganisasian masyarakat basis dengan memanfaatkan peluang kerangka legal sebagaimana diatur dalam UU No. 22/1999 terus dikembangkan oleh banyak pihak. Peraturan Daerah (Perda) yang mengatur Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Kelurahan (LPMK) kemudian diterbitkan untuk mengatur tata cara pemilihan pengurus dan tata kerja LPMK yang lebih melibatkan representasi masyarakat, serta pemisahan kepengurusan LPMK dari struktur kelurahan.

Faktor Eksternal Intervensi dari luar mulai memberikan penguatan terhadap dinamika lokal yang terjadi pada tahun 2000 dan ditandai dengan keberadaan Konsorsium Monitoring dan Pemberdayaan Institusi Publik (KOMPIP) yang didirikan oleh tiga NGO: Gita Pertiwi, Leskap, dan Inres, yang mendapatkan dukungan pendanaan dari The Ford Foundation. Konsorsium ini memfokuskan diri pada pengorganisasian kelompok sektoral dan pengembangan forum warga di Boyolali (Forabi) dan Sragen (Formas). Pendekatan yang dikembangkan adalah keterlibatan forum multi-stakeholders yang terorganisir sebagai representasi masyarakat sipil untuk turut melibatkan diri dalam penyelenggaraan tata permintahanan daerah sesuai mandat Undang Undang Nomor 22 Tahun 1999. Pada kurun waktu yang hampir sama, intervensi dari luar –juga mendapatkan dukungan dari The Ford Foundation- dikembangkan dengan isu kemitraan kritis guna memperdalam proses-proses 36


bagian ii - studi kasus BAB 2 - Geliat Partisipasi Kelompok Sektoral: Studi Kasus Kota Surakarta

tata pemerintahan lokal dengan cara mengembangkan kerjasama multi-pihak antara Pemerintah Kota Surakarta, perguruan tinggi, dan LSM. Pemerintah Kota Surakarta direpresentasikan oleh Ketua Bapeda, Drs. Qomarudin MM; Universitas Sebelas Maret sebagai representasi masyarakat akademik diwakili oleh Pembantu Rektor III UNS, Drs. Totok Sarsito SU, MA; dan kalangan NGO yang diwakili oleh Agus Dody Sugiartoto dari Gita Pertiwi. Aktivitas ini difasilitasi oleh Juni Thamrin selaku anggota board Akatiga. Kerjasama kemitraan tersebut dilembagakan dalam wadah IPGI (Indonesian Partnership on Local Governance Initiative) Solo sebagai bagian dari jaringan IPGI yang ada di tiga kota, selain Bandung dan Dumai. IPGI memfokuskan diri pada pengembangan mekanisme perencanaan pembangunan partisipatif yang mulai diujicobakan pada tahun 2001. Ada dua uji coba yang dilakukan oleh IPGI Solo, yaitu musyawarah perencanaan pembangunan dan devolusi fiskal dalam bentuk blockgrant bagi kelurahan. Gagasan untuk memperbaiki mekanisme perencanaan pembangunan ini berangkat dari beberapa asumsi sebagai berikut: 1.

Mandat partisipasi warga dalam Undang Undang Nomor 22 Tahun 1999;

2.

Fakta bahwa model perencanaan dengan pendekatan topdown menyebabkan sasaran pembangunan tidak tepat;

3.

Perlu pelembagaan partisipasi untuk menampung minat partisipasi masyarakat dalam proses tata pemerintahan.

Pada tahun 2000, juga muncul intervensi serupa dari pihak luar yaitu program Breakthrough Urban Initiative Local Development (BUILD) dari UNDP-Depdagri. Program ini fokus pada isu efisisensi pelayanan publik dan partisipasi masyarakat. Selain mengembangkan reformasi di bidang pelayanan publik –terutama perizinan, BUILD juga memperkuat proses pengembangan mekanisme perencanaan partisipatif melalui fasilitasi pelatihan fasilitator kelurahan.

37


Partisipasi, Reformasi Kelembagaan, dan Alokasi Anggaran: Pembelajaran dari lima Daerah

Penguatan yang dilakukan oleh IPGI Solo dan BUILD melalui pelatihan fasilitator kelurahan dan pendampingan, menghasilkan model penyelenggaraan musyawarah perencanaan yang lebih baik –terutama jika dilihat dari kuantitas warga yang terlibat, antusiasme menyampaikan aspirasi, serta hasil-hasil yang dikemukakan. Meskipun demikian, proses ini masih menghadapi tantangan keterbatasan sumber daya dan kemampuan pemerintah kota dalam mengakomodasikan usulan-usulan warga. Ini dibuktikan dengan banyak usulan yang tidak terealisasi pada tahun anggaran berjalan. Untuk mengatasi masalah tersebut, pada tahun anggaran 2001, Bapeda bersama Bagian Pemerintah Daerah mengembangkan formula pendistribusian dana blockgrant kelurahan dengan menggunakan parameter luas wilayah, jumlah penduduk, jumlah penduduk miskin, dan pengumpulan PBB. Alokasi dana blockgrant ini dialokasikan untuk membiayai usulan-usulan warga yang bersifat mikro, dan pelaksanaannya dikembangkan dengan swadaya gotong-royong masyarakat. Pada tahap pertama diberlakukan quota batas bawah: seluruh dana dibagi rata, dan sisanya dibagi berdasar formula menggunakan sejumlah parameter. Karena kerumitan dalam menerapkan formula, mulai tahun 2006 quota batas bawah ditiadakan dan dana blockgrant tampaknya dibagi sama rata untuk tiap kelurahan. Sebagai kelanjutan dari program BUILD, pada tahun 2003 UNDP memperkenalkan program City Development Strategy (CDS) yang secara khusus diorientasikan untuk memperkuat keterlibatan kelompok sektoral dalam proses perencanaan partisipatif. Tim Kerja Sukarela (TKS) yang difasilitasi CDS mengembangkan metode Participatory Rural Apraisal (PRA) dan Participatory Poverty Assessment (PPA) yang menghasilkan gambaran menyeluruh mengenai permasalahan yang dihadapi masyarakat Surakarta.

38


bagian ii - studi kasus BAB 2 - Geliat Partisipasi Kelompok Sektoral: Studi Kasus Kota Surakarta

Hasil assessment ini tidak secara langsung direspon oleh Pemkot, tetapi dikemudian hari diwujudkan dalam pelbagai kebijakan program yang dianggap pro-poor, misalnya: 1.

Taman Anak Cerdas (sekolah plus yang semuanya gratis dan didirikan di perkampungan warga miskin);

2.

Program Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat Surakarta (asuransi kesehatan dengan premi Rp 1.000 per tahun);

3.

Penggantian biaya rumah sakit total untuk warga yang membawa keterangan tidak mampu dari kelurahan;

4.

Penggantian klaim biaya kesehatan 50 persen untuk warga yang dinyatakan mampu;

5.

Program renovasi rumah tidak layak huni dan penataan kampung kumuh bersubsidi.

Keterlibatan Kelompok Sektoral Peran serta komunitas sektoral dalam perencanaan pembangunan menjadi diskursus yang menyita banyak perhatian di Surakarta. Sebelum Perencanaan Pembangunan Par tisipatif (3P) didengungkan, Kota Surakarta telah mengakomodir partisipasi kelompok sektoral perkotaan seperti kelompok PKL, kelompok pengemudi becak, kelompok pedagang pasar tradisional, kelompok pedagang asongan, kelompok pengamen, dan juga kelompok pekerja seks komersial dalam proses proses musyawarah perencanaan pembangunan. Bisa dikatakan bahwa Kota Surakarta menjadi ikon pelibatan kelompok sektoral dalam perencanaan pembangunan. Periode tahun 2002, ada sebuah catatan menarik tentang pelibatan kelompok sektoral dalam proses perencanaan melalui penerbitan SK Walikota 410/45-A/I/2002. Walaupun pada praktiknya, saluran pratisipasi mereka masih melalui TKS CDS (Tim Kerja Stakeholders City Development Strategy) yang belum bisa merepresentasikan aspirasi semua komunitas sektoral.

39


Partisipasi, Reformasi Kelembagaan, dan Alokasi Anggaran: Pembelajaran dari lima Daerah

Setelah proses yang dilakukan TKS CDS menghasilkan tiga concern isu: persoalan masyarakat marjinal, isu konflik sosial, dan tata ruang kota, pemerintah berupaya melibatkan kelompok sektoral dalam proses Muskelbang (musyawarah kelurahan), Muscambang (musyawarah kecamatan) dan Muskotbang (musyawarah kota) melalui SK Walikota Nomor 8 Tahun 2003. Namun proses partisipasi kelompok sektoral ini menemui kendala karena pelibatan mereka yang hanya di Muskelbang dan tidak melalui pra-Muskel sehingga cukup membatasi ruang aspirasi mereka. Sedang di tingkat Muskotbang, kelompok sektoral juga belum mengikuti proses secara maksimal karena keterbatasan peran mereka dalam forum tersebut. Perubahan signifikan justru terjadi pada periode tahun 2004 melalui SK Walikota Nomor 3 Tahun 2004 tentang Pedoman Penyelenggaran dan Petunjuk Teknis Muskelbang, Muscambang, dan Muskotbang. Keterlibatan kelompok sektoral dimulai lebih dini dengan mengadakan Focused Group Discussion (FGD) di tingkat komunitas. Hasil yang diperoleh melalui FGD bisa langsung disinkronkan dengan SKPD terkait, tanpa melalui proses di teritorial. Sejumlah pelaksanaan FGD kemudian difasilitasi oleh masingmasing LSM pendamping komunitas. Aktivitas ini berhasil menumbuhkan semangat berpartisipasi di level komunitas sektoral perkotaan, seperti komunitas PKL, pengemudi becak, asongan, difabel, juru parkir, pedagang pasar tradisional, pengamen, dan Pekerja Seks Komersial (PSK). Pada proses perencanaan untuk anggaran tahun 2004, putaran kelibatan kelompok sektoral dimulai dengan memfasilitasi diskusi kelompok terbatas di tingkat komunitas oleh pelbagai LSM pendamping di bawah koordinasi Bapeda dan Tim SC pelaksana Musrenbang. Diskusi-diskusi kelompok yang diselenggarakan terkait dengan hal ini di antaranya dapat dilihat pada Tabel 2.1.

40


bagian ii - studi kasus BAB 2 - Geliat Partisipasi Kelompok Sektoral: Studi Kasus Kota Surakarta

Tabel 2.1. Dikusi Kelompok Sektoral dan LSM Pendamping untuk Perencanaan Partisipatif Kelompok Sektoral

LSM Pendamping

Pedagang Kaki Lima Buruh anak Becak Pengamen Parkir Perempuan Difable

Leskap Sari Sekolah Warga Mandiri Inres P3S Spekham Lampu, Talenta, Interaksi

Berdasarkan hasil diskusi komunitas tersebut, selanjutnya Bapeda melakukan diskusi sinkronisasi, yang kemudian dilanjutkan dengan Diskusi Kelompok Terbatas (DKT). Hasil DKT merupakan input dasar untuk penyusunan program sektoral yang diolah melalui Forum SKPD, yang hasilnya kemudian diintegrasikan ke dalam forum Musrenbang kota. Keterlibatan kelompok sektoral di Surakarta dapat terlihat pada Gambar 2.1. Gambar 2.1. Partisipasi Kelompok Sektoral dalam Perencanaan Daerah Musrenbangkot

TAPD

Forum SKPD

Sinkronisasi dengan SKPD Terkait

SKPD - SKPD

Bappeda

Diskusi Komunitas Terbatas (DKT)

Diskusi Komunitas Terbatas (DKT)

Diskusi Komunitas Terbatas (DKT)

41


Partisipasi, Reformasi Kelembagaan, dan Alokasi Anggaran: Pembelajaran dari lima Daerah

Dinamika Partisipasi Kelompok Sektoral Pasca-SEB Kehadiran SEB Mendagri dan Meneg PPN/Kepala Bappenas No. 259/M.PPN/I/2005 mempunyai pengaruh terhadap dinamika partisipasi di tingkat lokal, khususnya di Kota Surakarta. SEB secara langsung mendeligitimasi mekanisme partisipasi kelompok sektoral. Pertama, SEB memunculkan term Musrenbangkel, Musrenbangcam, dan Musrenbangkot yang menggantikan Muskelbang, Muscambang, dan Muskotbang. Istilah ini cenderung membawa paradigma baru yang menyatakan bahwa proses yang dijalankan hanya sebatas perencanaan, bukan pelibatan masyarakat dalam proses pembangunan secara luas yang mencakup pelaksanaan dan evaluasi. Kedua, SEB mengatur dan menentukan peserta Musrenbang yang justru membatasi ruang gerak inovasi pelibatan sebanyak mungkin stakeholders pembangunan. Ketiga, proses perencanaan yang diatur melalui mekanisme Musrenbang kelurahan, kecamatan, dan kota semakin memasung ruang gerak kelompok sektoral: kelompok tidak bisa langsung mengusung aspirasi lewat SKPD di tingkat kota, tapi harus melalui kelurahan yang justru tidak memberi ruang kepada aspirasi mereka. Di Kota Surakarta, SEB ditindaklanjuti dengan penerbitan Peraturan Walikota Nomor 6 Tahun 2005. Pada prinsipnya, sistem yang berjalan di Kota Surakarta tidak begitu terpengaruh oleh perubahan istilah dalam perencanaan tersebut (Handayani, 2006;75-76). Ruang partisipasi kelompok sektoral masih diberi ruang melalui mekanisme Diskusi Komunitas Terbatas (DKT) dan Forum SKPD, walaupun ditekankan agar kelompok sektoral juga berpartisipasi melalui kelurahan masing-masing. Namun, fakta di lapangan menunjukkan kelompok sektoral merespon dengan tidak begitu antusias mekanisme ini. Ini terlihat dari penurunan intensitas dan kualitas partisipasi kelompok sektoral, baik di forum kelurahan maupun diskusi komunitas terbatas.

42


bagian ii - studi kasus BAB 2 - Geliat Partisipasi Kelompok Sektoral: Studi Kasus Kota Surakarta

Dalam praktik ada beberapa penyebab yang menimbulkan proses partisipasi di tingkat kelompok sektoral cenderung melemah. Pertama, SEB telah merampas hak partisipasi kelompok sektoral, karena proses yang dianggap legitimate adalah yang melalui Musrenbangkel, sedangkan diskusi komunitas terbatas belum mendapat jaminan secara tegas. Kedua, komunitas kurang responsif terhadap proses perencanaan pembangunan. Kendala yang muncul juga karena komunitas masih sangat tergantung pada lembaga pendamping untuk merespons proses perencanaan yang berlangsung. Ketiga, masyarakat kelurahan masih tidak kooperatif terhadap kehadiran kelompok sektoral di Musrenbangkel (basis teritorial dan KTP menjadi alasan). Hal ini disebabkan usulan yang diajukan oleh kelompok sektoral sering kali berbenturan (sama) dengan usulan dari organisasi kewilayahan. Misalnya pengamen dan karang taruna sama-sama mengusulkan bantuan alat musik. Benturan ini menyebabkan kelompok sektoral tidak diundang untuk mengikuti pertemuan. Keempat, dalam menentukan wakil kelurahan yang berangkat ke Musrenbangcam, kelompok sektoral tidak pernah menang dalam mekanisme voting. Hal ini disebabkan kelompok sektoral yang hadir dalam Musrenbangkel hanya beberapa orang saja dan harus berhadapan dengan perwakilan teritorial yang cenderung mendominasi forum. Kelima, usulan yang terdaftar di kecamatan seringkali merupakan list usulan yang tidak bervisi. Tidak ada kesempatan bagi kelompok sektoral untuk menganalisis dan merevisi rumusan. Selain itu kesepakatan yang berlaku adalah usulan bisa dikurangi tapi tidak bisa ditambah atau diganti. Keenam, karena usulan terlalu banyak, maka banyak usulan yang tidak pernah terakomodasi. Hal ini menyebabkan komunitas sektoral jenuh dan enggan menghadiri lagi forum Musrenbang. Beberapa ketua komunitas sektoral menyampaikan perasaannya

43


Partisipasi, Reformasi Kelembagaan, dan Alokasi Anggaran: Pembelajaran dari lima Daerah

karena mereka tidak mampu lagi menanggung banyak pertanyaan dari anggota mereka soal realisasi usulan-usulan mereka terdahulu. Seperti yang dialami oleh Bayu dari kelompok pengamen Pesta. “Saya sudah ikut Musrenbang sejak tiga tahun lalu, tapi setiap saya kumpul dengan teman-teman, saya selalu tidak bisa menjawab pertanyaan kapan usulan itu terwujud. Saya kemudian menjadi merasa terbebani, sehingga malas untuk datang lagi ke Musrenbang,� ujarnya. Pertanyaan yang muncul kemudian, “Apakah tidak ada usulan warga yang direalisasikan oleh pemerintah?�. Pertanyaan ini layak diajukan jika dikaitkan dengan fakta bahwa banyak kebijakan pemerintah saat ini yang cukup membantu upaya menyelesaikan problem masyarakat. Misalnya: penataan PKL, sekolah plus, dan juga revitalisasi pasar tradisional. Analisis berikut ini bisa menjadi penjelasan sementara mengenai perencanaan partisipatif dan praktik pembangunan yang terjadi di Kota Surakarta. Pertama, masyarakat berproses dalam Musrenbang sudah cukup lama, yaitu sejak tahun 2000. Usulan-usulan yang dibawa adalah usulan program yang seringkali meminta jawaban untuk segera direalisasi. Padahal dalam APBD, usulan-usulan itu belum bisa direalisasikan. Sebagai contoh, berbagai usulan soal penataan PKL sudah didengungkan warga di Muskotbang sejak tahun 2000, namun usulan tersebut tidak segera terealisasi. Baru pada tahun 2006 usulan tersebut direalisasikan melalui relokasi berbagai pusat PKL, seperti di Banjarsari dan Manahan. Kedua, hal ini lebih dikarenakan ego pemerintah kota yang menganggap bahwa domain program adalah milik pemerintah. Usulan-usulan dari warga sengaja ditunda karena masih ada usulan dari SKPD yang dinilai lebih mendesak untuk direalisasikan, dan secara bertahap usulan dari warga diakomodasi menjadi program dari dinas. Hal ini tampak dari beberapa usulan warga yang sebelumnya tidak diakomodasi, kemudian diusulkan kembali oleh SKPD tanpa diperdebatkan lagi apakah itu usulan warga atau 44


bagian ii - studi kasus BAB 2 - Geliat Partisipasi Kelompok Sektoral: Studi Kasus Kota Surakarta

SKPD. Warga juga tidak acuh bahwa usulan tersebut merupakan bagian dari usulan mereka. Terlepas dari penjelasan tadi, ada kesimpulan sementara bahwa berbagai usulan dalam proses perencanaan partisipatif ternyata tidak sepenuhnya gagal dan tereliminir. Ada proses agregasi yang muncul dalam kebijakan makro kota yang ujungnya adalah pelayanan bagi warga. Tidak bisa dipungkiri bahwa penataan PKL adalah proses akumulasi yang panjang dan berujung pada beberapa relokasi yang diklaim berawal dari inisiatif walikota. Demikian juga dengan kebijakan sekolah plus, meskipun baru diimplementasi pada tahun 2007, bibit aspirasi tentang sekolah gratis telah didengungkan sejak lama, baik melalui forum Musrenbang ataupun forum aspirasi lainnya.

Rekomendasi Semua fakta tadi membawa kita pada satu kesimpulan bahwa proses perencanaan dan penganggaran partisipatif di Kota Surakarta merupakan perwujudan dari proses demokrasi yang sedang berjalan dan berupaya menemukan bentuk ideal. Untuk meningkatkan kualitas proses perencanaan dan penganggaran tersebut, beberapa hal perlu dilakukan. Pertama, agar kelompok sektoral tidak kalah bersaing dengan kewilayahan, mereka harus hadir dalam diskusi-diskusi yang difasilitasi oleh SKPD. Untuk itu kelompok sektoral harus mampu menyusun kebutuhan kelompok atau organisasi. Kelompok sektoral juga perlu wakil yang mampu menyuarakan usulan program tersebut kepada SKPD dan DPRD, sekaligus mengawal atau mensinkronkan hasil usulan program di Forum SKPD, Muskotbang, sampai pembahasan RAPBD. Kedua, kelompok sektoral harus diberi kesempatan untuk hadir dan terlibat dalam Musrenbang kecamatan karena keberadaan dan persoalan mereka lintas-kelurahan. Misalnya keberadaan PKL secara individu mereka berdomisili di satu kelurahan tetapi aktivitas bekerja mereka bisa lintas-kelurahan. Penanganan 45


Partisipasi, Reformasi Kelembagaan, dan Alokasi Anggaran: Pembelajaran dari lima Daerah

persoalan sektoral juga akan lebih komprehensif bila dilakukan di tingkat kecamatan atau kota, tergantung keberadaan kelompok sektoral tersebut. Ketiga, dibutuhkan fasilitator masyarakat yang mampu mengintegrasikan kebutuhan sektor dengan kebutuhan kewilayahan. Fasilitator masyarak at ber fungsi untuk mengkristalkan usulan-usulan kelompok masyarakat –baik sektor maupun kewilayahan- agar menjadi sebuah usulan yang terintegrasi. Fasilitator kemudian mengkomunikasikan kepada para pihak pemangku kepentingan, seperti pihak kelurahan, LPMK, dan kelompok-kelompok sektoral. Fasilitator berasal dari masyarakat atau NGO yang memiliki waktu dan kompetensi untuk berdiskusi dan menyusun kebutuhan bersama masyarakat. Perlu sebuah tim untuk mengawal hasil keputusan Musrenbang. Tim ini berfungsi untuk memastikan bahwa hal-hal yang diputuskan di Musrenbang terakomodasi dalam RAPBD. Tim ini bertugas melakukan konfirmasi dan klarifikasi, baik kepada pihak eksekutif maupun legislatif. Tim Angggaran Pembangunan Daerah bisa menggunakan tim ini untuk menjelaskan mengapa hasil keputusan Musrenbang ditolak atau tidak diakomodasi di RAPBD. Untuk memayungi tim ini, dibutuhkan sebuah regulasi, misalnya SK Walikota.

*) Ahmad Rifai: Mantan Direktur Eksekutif Institute For Research and Empowerment (Inres Surakarta), sekarang Office Manager Konsorsium Solo untuk Anggaran Pro-Rakyat; Putut Gunawan: Direktur Indeks Surakarta sekaligus Koordinator Sekretariat Nasional Kaukus 17++; Syamsul Bachry: Direktur Leskap Surakarta dan Koordinor Forum Anggota Konsorsium Solo untuk Anggaran Pro Rakyat; Vera Kartika Giantari: Direktur Solidaritas Perempuan untuk Kemanusian dan Hak Asasi Manusia (Spekham).

46


Bab 3

Jalur Lain Partisipasi Warga: Studi Kasus Kabupaten Jepara Oleh : Mayadina Rahma Musfiroh (Lakspesdam NU – Jepara)

Pengantar

K

abupaten Jepara secara administrasi terbagi menjadi 16 wilayah kecamatan, 182 desa, dan 11 kelurahan. Jepara mempunyai luas wilayah 100.413.189 Ha atau 1.004,13 km 2 dengan jumlah penduduk kurang lebih 1.059.638 jiwa (tahun 2006). Komposisi penduduk Kabupaten Jepara terdiri atas kelompok Pra-sejahtera sejumlah 102.582 KK, Sejahtera I sejumlah 41.325 KK, Sejahtera II sejumlah 36.637 KK, Sejahtera III sejumlah 61.857 KK, dan Plus sejumlah 23.875 KK. Kabupaten Jepara bukan daerah yang mandiri secara fiskal. Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kabupaten Jepara sejak empat tahun terakhir (2004-2007) hanya memberikan konstribusi sekitar 25-28 persen dari total pendapatan. Sementara, sekitar 72-77 persen kebutuhan fiskal Jepara ditopang oleh DAU dan DAK Bahkan, PAD Kabupaten Jepara sempat mengalami penurunan pada tahun 2006 sekitar Rp 1 miliar, atau turun sebesar 2 persen dibanding tahun 2005. Proporsi PAD Jepara terus mengalami trend penurunan dari tahun ke tahun. Hal ini cukup ironi jika dibandingkan dengan potensi Kabupaten Jepara yang secara geografis memiliki 47


Partisipasi, Reformasi Kelembagaan, dan Alokasi Anggaran: Pembelajaran dari lima Daerah

daerah pegunungan dan kepulauan, serta lapangan pekerjaan Jepara yang didominasi oleh sektor indutri, perdagangan, dan pertanian. Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kabupaten Jepara ditopang oleh sektor kesehatan. Sektor kesehatan dijadikan idola untuk mendongkrak PAD dan memberikan konstribusi sebesar 39 persen (Rp 20 miliar) pada tahun 2006, dan meningkat menjadi 42 persen (Rp 22 miliar) pada tahun 2007. Pemkab Jepara menunjukkkan keberpihakan terhadap pelayanan dasar warga, seperti pendidikan dan kesehatan, dengan memberikan porsi anggaran yang relatif besar dalam kebijakan alokasi anggarannya. Bidang pendidikan mendapat alokasi anggaran hingga 40 persen dari total anggaran, dan alokasi untuk kesehatan mencapai 10 persen. Sementara ������������������������ pertanian dan kelautan/perikanan mendapat porsi rata-rata 1 persen. Namun demikian, dari 40 persen belanja pendidikan, alokasi untuk belanja langsung hanya 10 persen (atau hanya 7,8 persen setelah dikurangi DAK). Meski secara agregat kebijakan alokasi anggaran cukup besar, namun alokasi belanja langsung yang minim untuk pendidikan menunjukan efektivitas alokasi anggaran yang berorientasi pada problem solving. Pasalnya, tahun 2006 Angka Partisipasi Kasar untuk tingkat dasar dan menengah pada tahun 2006 (sumber BPS Jateng) masih sebesar 95,28 persen. Seharusnya, Pemda lebih memfokuskan kebijakan alokasi anggaran pendidikan pada belanja program kegiatan, khususnya dalam program program Wajib Belajar 9 tahun. Hal yang sama terjadi pada sektor kesehatan –dari 10 persen yang dialokasikan- hanya 6 persen yang bersifat langsung (atau hanya berkisar 5 persen setelah dikurangi DAK). Bahkan setelah dikurangi restribusi kesehatan, alokasi anggaran hanya tersisa 2 persen. Artinya, konstribusi pemerintah daerah terhadap sektor kesehatan masih jauh dari memadai. Itu juga terlihat dari data BPS pada tahun 2006 yang menunjukkan angka gizi buruk sebesar 3,29 persen dan gizi kurang 14,39 persen. 48


bagian ii - studi kasus BAB 3 - Jalur Lain Partisipasi Warga: Studi Kasus Kabupaten Jepara

Kebijakan alokasi anggaran yang minim terhadap 2 (dua) layanan dasar ini menggambarkan Pemda belum berupaya memformulasikan anggaran yang berpihak pada rakyat miskin –dengan angka kemiskinan yang masih 104.000 jiwa atau 9,8 persen (BPS Jateng 2005). ����������������������������������� Sektor pertanian dan kelautan juga belum mendapatkan perhatian yang memadai dari Pemda Jepara. Padahal kedua sektor ini merupakan, sektor ketiga terbesar setelah industri dan perdagangan, yang menyediakan lapangan pekerjaan bagi warga Jepara.

Potret Umum Perencanaan Penganggaran Dalam rangk a mewujudk an proses perencanaan dan penganggaran daerah yang partisipatif, Pemerintah Kabupaten Jepara melaksanakan Musrenbang mulai dari tingkat desa, kecamatan, sampai tingkat kabupaten. Musrenbang ini merupakan instrumen pelibatan masyarakat dalam proses penyusunan perencanaan pembangunan di daerah. Untuk mendukung proses ini, Bupati Jepara mengeluarkan Keputusan Bupati Jepara No. 050/1038 Tahun 2007 tentang Pembentukan Tim Koordinator Kecamatan dan Tim Pendamping Desa/Kelurahan untuk Penjaringan Aspirasi Masyarakat dalam Rangka Musyawarah Perencanaan Pembangunan Kabupaten Jepara Tahun 2007. Berdasarkan Keputusan Bupati Jepara, wahana terpenting partisipasi masyarakat adalah Musrenbangdes, Musrenbangcam, dan Forum SKPD. Musrenbangdes adalah ruang utama untuk partisipasi masyarakat karena memungkinkan masyarakat di tingkat grass-root terlibat dalam perencanaan dan penganggaran daerah. Namun pada pelaksanaannya ada beberapa hal yang menyebabkan Musrenbangdes tidak efektif, di antaranya: 1.

Media publikasi Musrenbangdes yang digunakan adalah surat undangan terbatas yang ditandatangani oleh petinggi (kepala desa/lurah). Sebagai akibatnya, peserta Musrenbangdes terbatas anggota masyarakat yang menerima undangan dari

49


Partisipasi, Reformasi Kelembagaan, dan Alokasi Anggaran: Pembelajaran dari lima Daerah

petinggi desa, yaitu perangkat desa, Ketua RT, Ketua RW, Ketua PKK, BPD, dan orang-orang ‘dekat’ kepala desa, serta beberapa orang tokoh masyarakat. Dari sisi jumlah, peserta Musrenbangdes berkisar antara 30-40 orang; 2.

Secara normatif tahap persiapan Musrenbang desa/kelurahan harus diawali dengan pra-Musrenbang, yaitu berupa musyawarah atau rembug masyarakat di tingkat dusun/RW dan kelompok masyarakat (seperti kelompok tani, nelayan, dan profesi). Namun dalam praktik, sebagian besar desa di Jepara tidak melakukannya. Akibatnya daftar usulan yang dibawa peserta tidak berasal dari masyarakat paling bawah;

3.

Waktu pelaksanaan Musrenbangdes juga sangat terbatas, yaitu hanya satu hari. Waktu yang singkat tersebut menyebabkan Musrenbangdes hanya menjadi ajang pertemuan untuk melegalisasikan draf rencana kerja desa/kelurahan yang telah disusun oleh perangkat desa sebelumnya;

4.

Secara umum, pemahaman masyarakat keliru dalam mengartikan Musrenbangdes. Banyak petinggi yang mengartikan Musrenbangdes sebagai forum perencanaan kegiatan desa untuk mengalokasikan dana perimbangan desa (ADD);

5.

Ketidakpahaman, baik penyelenggara maupun masyarakat, terhadap seluk-beluk Musrenbangdes berdampak pada ketidaktersediaan data-data penting yang menjadi bahan Musrenbangdes;

6.

Peserta seringkali hanya aktif penyampaian daftar (list) kegiatan sehingga dirasa kurang optimal. Lagi pula daftar usulan yang disampaikan oleh masyarakat desa itu seringkali hanya didasarkan pada apa yang dilihat di desa, dan bukan berdasarkan pembicaraan pada pra-Musrenbangdes yang benar-benar merupakan kebutuhan riil masyarakat.

Surat Edaran Bupati Jepara juga berisi keharusan keterlibatan utusan SKPD pada penyelenggaraan Musyawarah Perencanaan

50


bagian ii - studi kasus BAB 3 - Jalur Lain Partisipasi Warga: Studi Kasus Kabupaten Jepara

Pembangunan Kecamatan (Musrenbangcam). Keterlibatan utusan SKPD dimaksudkan untuk dapat memberikan paparan teknis tentang kegiatan yang telah dan sedang dilaksanakan, selain memaparkan rencana strategis masing-masing SKPD. Hal yang tidak kalah penting adalah Pemerintah Kabupaten Jepara melibatkan CSO dalam pendampingan Musrenbang desa dan Musrenbang kecamatan. ����������18 Keterlibatan CSO ini telah memberikan warna baru bagi pengembangan partisipasi masyarakat Jepara, yaitu ada peningkatan pemahaman masyarakat tentang alur teknis Musrenbang. Sikap kritis juga ditunjukkan pada tahun 2007. Beberapa aktivis NGO dan koordinator pendamping Musrenbang kecamatan melakukan walk out.19 Kalangan NGO merasa bahwa peran serta NGO, Ormas, dan koordinator pendamping kecamatan dalam proses perencanaan pembangunan daerah belum dianggap sebagai mitra. Mereka justru dianggap sebagai ”lawan” SKPD dan ”lawan” pemerintah daerah. Selain itu, ada juga sejumlah NGO dan organisasi kemahasiswaan yang menolak bergabung dalam aliansi BappedaLSM di arena Musrenbang itu.20

18 ���������������������������������������������������������������������� Dalam rangka pembentukan Tim Koordinator Kecamatan dan Tim Pendamping Desa/Kelurahan untuk Penjaringan Aspirasi Masyarakat dalam Rangka Musrenbangkab Jepara 2007, Bupati Jepara mengeluarkan Keputusan Bupati Jepara No. 050/1038 Tahun 2007, pada tanggal 26 Maret 2007. Dalam SK Bupati tersebut dibentuk Tim Koordinator Kecamatan yang terdiri atas 14 koordinator dan 86 pendamping desa. 19 Walk out dari beberapa LSM dari acara Musrenbang kabupaten ini dipicu oleh hanya sedikit usulan masyarakat yang diakomodasi dalam Rancangan Musrenbang sebagai dasar kegiatan pembangunan tahun 2008. Setelah aksi walk out ini sejumlah LSM dan Koordinator Pendamping Kecamatan membuat pernyataan bersama yang isinya antara lain: menuntut segera dilakukan perbaikan serius sistem perencanaan anggaran, terutama peningkatan kapasitas SDM di SKPD; dan menolak draf Musrenbangkab karena Pemkab Jepara tidak menghargai partisipasi masyarakat dalam proses perencanaan pembangunan, serta tidak adanya keberpihakan Pemkab Jepara kepada masyarakat. 20 Lihat juga, “Musrenbang, Bappeda Gandeng LSM”, Suara Merdeka, 21 Desember 2005. Selanjutnya alasan penolakan tersebut secara umum adalah adanya ketidakyakinan dari NGO-NGO tersebut bahwa usulan dari desa akan benarbenar murni kebutuhan paling prioritas dari masyarakat.

51


Partisipasi, Reformasi Kelembagaan, dan Alokasi Anggaran: Pembelajaran dari lima Daerah

Forum SKPD dalam rangka penyusunan rencana kerja (Renja) dan rencana kerja dan anggaran (RKA) merupakan forum strategis untuk memasukan usulan yang berbasis teritorial –Musrenbangdes dan Musrenbangcam- menjadi usulan SKPD yang merupakan bahan utama penyusunan RAPBD. Namun dalam penyelenggaraan Forum SKPD masih terdapat sejumlah kelemahan. Misalnya: publikasi hanya lewat undangan, peserta didominasi pemerintah, dan basis argumentasi penentuan kegiatan tidak jelas. Kehadiran perwakilan masyarakat dalam Forum SKPD seharusnya dapat menjembatani kepentingan antara masyarakat grassroot dengan pemerintah –karena ekskutif dan legislatif masih belum mempunyai good will dan kemampuan untuk melibatkan masyarakat secara lebih luas. Namun mereka menganggap Forum SKPD merupakan forum yang menjadi kewenangannya, sehingga masyarakat dianggap tidak perlu terlibat langsung dalam forumforum tersebut karena dalam pembahasan RAPBD masyarakat telah diwakili oleh DPRD. Selain penyerapan aspirasi masyarakat melalui Musrenbang, bupati juga melakukan penyerapan aspirasi informal. Penyerapan aspirasi informal ini terjadi bukan pada tahap perencanaan, tetapi sebagai bagian dari implementasi anggaran. Dalam anggaran di Kabupaten Jepara, terdapat anggaran-anggaran yang implementasinya merupakan hak prerogatif bupati. Dalam hal ini bupati diberi kewenangan untuk membelanjakan anggaran yang kegiatannya belum ditetapkan, baik bentuk, sasaran, maupun tempat. Kegiatan terkait dengan hal ini dilakukan melalui: 1.

52

Safari jumat. Setiap Jumat, bupati melakukan shalat jumat ke mesjid yang tersebar di desa-desa. Dari kegiatan ini terjaring aspirasi pembangunan, meskipun seringkali berupa kegiatan pembangunan fisik, seperti bantuan untuk membangun atau renovasi mesjid atau mushola yang membutuhkan biaya di bawah Rp 10 juta;


bagian ii - studi kasus BAB 3 - Jalur Lain Partisipasi Warga: Studi Kasus Kabupaten Jepara

2.

Krida pertanian. Kegiatan ini dilakukan setiap Sabtu. Bupati mengajak dinas-dinas terkait untuk keliling desa. Dalam kegiatan ini juga sering dijaring aspirasi masyarakat desa secara langsung berkitan dengan pembangunan pertanian dan sarana prasarana di desa;

3.

Dialog interaktif. Dialog ini sifatnya temporer dan dilakukan melalui radio satu bulan sekali. •

Terkait dengan hal itu, di Jepara memang ada kebijakan bagi bupati untuk membantu langsung masyarakat yang membutuhkan. Kebijakan ini biasanya dikenakan terhadap aspirasi yang membutuhkan anggaran kecil, misalnya Rp 2 juta sampai maksimal Rp 10 juta. Aspirasi seperti ini biasanya langsung dibantu tanpa diperlukan perencanaan terlebih dahulu. Anggaran yang sifatnya merupakan hak prerogatif bupati ini biasanya dinikmati oleh kelompok miskin di desa.

Sebelumnya, kegiatan yang bersifat “karitatif ” ini memang dianggarkan terlebih dahulu secara makro tetapi belum sampai pada bentuk dan tempat kegiatan. Anggaran jenis ini oleh sebagian kalangan DPRD disebut sebagai anggaran politik bupati. Apabila anggaran yang diperlukan untuk setiap kegiatan besar (di atas Rp 10 juta), maka biasanya akan dianggarkan dahulu lewat mekanisme perencanaan penganggaran. Akibat dari kebijakan tersebut, banyak anggota DPRD yang meminta “jatah” yang sama untuk melakukan kegiatan seperti yang dilakukan bupati.

Pemetaan Aktor dan Dinamika Politik Perencanaan dan Penganggaran Daerah (PPD) merupakan arena konstelasi kepentingan. Idealnya semua kepentingan akan bermuara pada satu titik yaitu kepentingan masyarakat. Dengan demikian proses PPD hendaknya dipahami sebagai upaya menterjemahkan kebutuhan masyarakat yang beragam ke dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). 53


Partisipasi, Reformasi Kelembagaan, dan Alokasi Anggaran: Pembelajaran dari lima Daerah

Dalam proses PPD di Jepara terjadi persaingan politik dan kepentingan di antara para aktor seperti yang dideskripsikan dalam paparan berikut. 1.

Dominasi ekskutif dalam PPD. Proses Musrenbang mulai dari tingkat desa sampai kabupaten di Jepara secara normatif dapat dikatakan berjalan lancar. Dari Musrenbangdes, masyarakat –dengan fasilitasi pendamping yang dibentuk oleh Bupati Jepara- pada umumnya berhasil menyusun dokumen Rencana Pembangunan Desa yang di dalamnya berisi prioritas kegiatan pembangunan skala desa, meskipun sebagian besar usulan masih bersifat fisik.21 Hal yang paling menentukan nasib usulan masyarakat adalah tahap perumusan/pengintegrasian usulan masyarakat sebagai hasil dari Musrenbang dan usulan SKPD di Forum SKPD yang dikoordinasi oleh Bappeda. Dalam Forum SKPD ini terjadi kecenderungan dominasi para kepala dinas yang memperjuangkan usulan kegiatan masing-masing dinas. Ketidakseimbangan kekuatan politik antara SKPD dengan masyarakat ini telah mewarnai setiap proses Musrenbang. Di luar proses tersebut, penetapan hasil kegiatan sebenarnya ditetapkan oleh bupati. Dengan kata lain berbagai usulan melalui jalur formal seperti Musrenbang dan Forum SKPD tidak cukup mempengaruhi proses perencanaan apalagi penganggaran. Oleh karena itu, biasanya masyarakat melalui tokoh-tokohnya, DPRD, bahkan SKPD menempuh jalur-jalur lain yang sifatnya informal melalui lobby-lobby langsung dengan pengambil keputusan atau orang-orang yang dekat dengan bupati.

21 Berdasarkan informasi dari seorang aktivis dari PC Lakpesdam NU Jepara, Bupati menilai banyak usulan masyarakat yang tidak bisa diterjemahkan oleh ekskutif sehingga tidak diakomodasi dalam APBD. Di sini terjadi perbedaan ”bahasa”, antara ”bahasa” masyarakat dengan ”bahasa” pemerintah, yang sulit dijadikan dasar bagi proses pengambilan kesepakatan.

54


bagian ii - studi kasus BAB 3 - Jalur Lain Partisipasi Warga: Studi Kasus Kabupaten Jepara

Dinamika proses lobby ini kadang juga terjadi pada hubungan antara tokoh masyarakat dengan eksekutif (di SKPD) untuk memastikan programnya disetujui dalam perencanaan dan melakukan lobby dengan DPRD untuk memastikan usulan mereka diloloskan dalam proses penganggaran (RAPBD). Lobby-lobby ini tidak hanya terjadi di antara masyarakat dengan ekskutif atau legislatif, tetapi juga antara eskutif (SKPD) dengan bupati dan anggota DPRD dengan bupati. 2. Implementasi peran DPRD: Praktik pragmatisme kekuasaan. Dalam proses perencanaan DPRD diberi ruang untuk mengekspresikan perannya sebagai wakil rakyat dan diharapkan dapat menyuarakan kepentingan rakyat. Untuk itu DPRD diberi wahana untuk menyerap aspirasi masyarakat melalui apa yang disebut jaring aspirasi masyarakat (Jaring Asmara) yang didanai APBD.

Namun, Jaring Asmara seringkali hanya dimanfaatkan oleh sebagian anggota DPRD sebagai sarana politik pencitraan diri dan partai politiknya. Di sisi lain, hasil Jaring Asmara tidak menjadi bagian strategis yang terumuskan dalam RAPBD. Dalam perjalanan waktu, karena eksekutif memandang tidak efektif, pada anggaran 2007 Jaring Asmara ditiadakan.

Sebagai gantinya, setiap anggota DPRD memperoleh tunjangan komunikasi (TKI) untuk menjalin komunikasi dengan konstituennya. Namun dalam perkembangannya TKI ini pada umumnya justru tidak dimanfaatkan sebagaimana mestinya, dan hanya dimanfaatkan sebagai tambahan gaji anggota DPRD.22

Dalam praktiknya, DPRD Kabupaten Jepara belum melaksanakan fungsi anggaran secara optimal. Upaya ke arah pelaksanaan fungsi anggaran sudah dilakukan, tetapi seringkali kandas dan tidak diakomodasi oleh eksekutif. Hal

22 Wawancara dengan Nurochman anggota Fraksi PKB dan Anggota Komisi C DPRD Kabupaten Jepara, pada tanggal 9 Desember 2007.

55


Partisipasi, Reformasi Kelembagaan, dan Alokasi Anggaran: Pembelajaran dari lima Daerah

ini misalnya ditunjukkan melalui sikap kritis DPRD, sedangkan eksekutif tidak mengakomodasi secara baik usulan perubahan anggaran yang diajukan DPRD.

Eksekutif selain menguasai perencanaan (terutama SKPD), juga menguasai penganggaran di daerah. Sementara itu, secara formal DPRD belum mempunyai “taring” untuk menghadapi kekuatan ekskutif. Hal itu dimungkinkan karena pemahaman anggota DPRD terhadap substansi penganggaran sangat lemah. Sementara itu regulasi baru tentang perencanaan dan penganggaran daerah dan revisi terhadap regulasi lama terus terjadi. Ini juga mengakibatkan peran DPRD tidak optimal, atau bahkan tidak berfungsi.

Banyak anggota DPRD yang tidak berpikir kritis, dan lebih berpikir pragmatis. Untuk persoalan menyangkut anggaran, mereka lebih terbiasa mengusung “budaya” lobby atau “bargaining” (tawar menawar atau perundingan) dengan ekskutif. Dalam realisasi pembahasan anggaran hampir tidak pernah dilakukan pembicaraan dalam forum pendahuluan antara eksekutif dan DPRD.

Kalaupun ada, forum tersebut tidak optimal karena seringkali diagendakan dalam waktu yang sempit. Bahan untuk pembahasan pun baru dibagikan sehari sebelum pelaksanaan. Mengingat bahannya yang banyak, secara umum anggota DPRD malas untuk membaca secara detail, apalagi mengkritisinya. Dari pengalaman selama ini, seolaholah naskah dari ekskutif bersifat final dan sulit untuk diubah. Dalam kondisi seperti itu, ekskutif seringkali tidak mengakomodasi usulan-usulan yang ada, kalau pun ada jumlahnya sangat sedikit 23.

Upaya memainkan “psikologis” anggota DPRD juga sering dilakukan eksekutif. Misalnya dalam pembahasan KUA,

23 Wawancara dengan Nurochman anggota Fraksi PKB dan Anggota Komisi C DPRD Kabupaten Jepara, pada tanggal 9 Desember 2007.

56


bagian ii - studi kasus BAB 3 - Jalur Lain Partisipasi Warga: Studi Kasus Kabupaten Jepara

TAPD (Tim Anggaran Pemerintah Daerah) seringkali diikuti oleh banyak elite ekskutif yang pandai berargumentasi. Ketidakseimbangan jumlah antara anggota DPRD (anggota komisi) dan ekskutif tersebut dirasakan oleh anggota DPRD sebagai bentuk “pengeroyokan�. 3.

LSM: Aktor Pendorong Pertisipasi Masyarakat. Dari semua aktor yang ada, LSM merupakan aktor pendorong optimalisasi partisipasi dalam PPD. Di antara LSM yang berminat dalam proses PPD terdapat Lakpesdam NU Cabang Jepara. Lakpesdam mulai menaruh perhatian terhadap perencanaan penganggaran sejak tahun 2001 melalui keterlibatan Lakpesdam sebagai fasilitator P4D.

Perubahan mendasar yang terjadi dari advokasi anggaran yang dilakukan Lakspedam NU di antaranya adalah muncul keinginan dari para kepala desa mengundang masyarakat untuk dillibatkan dalam Musrenbang. Masyarakat juga mulai disadarkan mengenai arti penting kehadiran dan keterlibatan mereka dalam Musrenbang. Strategi ini dipandang cukup berhasil dari sisi proses. Namun jika dilihat dari sisi hasil, produk Musrenbang ternyata masih belum terakomodasi secara signifikan dalam APBD.

Kelompok grass-root yang terlibat dalam Musrenbang di antaranya adalah Ormas, forum warga, petani, dan nelayan. Dilihat dari karakteristiknya, selain kelompok sektoral juga hadir perwakilan dari kelompok lintas-sektoral. Dalam Musrenbang, mereka aktif menyampaikan usulan kegiatan –meskipun pada awalnya usulan yang diajukan masih bersifat fisik. Namun dalam perkembangannya, mereka tidak hanya menyampaikan usulan fisik, dan mulai mengajukan usulan non-fisik. Misalnya mengusulkan peningkatan kesejahteraan guru madrasah.

Pelibatan LSM dalam PPD juga merupakan cikal bakal pembentukan forum-forum warga dan gerakan peduli anggaran pada ormas Islam (terutama NU) di Jepara. Forum 57


Partisipasi, Reformasi Kelembagaan, dan Alokasi Anggaran: Pembelajaran dari lima Daerah

warga dan gerakan peduli anggaran yang dimaksudkan itu di antaranya adalah: a. Forum Warga. Kelahiran Forum Warga dimulai melalui Program Perencanaan Partisipatif Pembangunan Desa (P4D) yang diinisiasi PP Lakpesdam bekerjasama dengan PC Lakpesdam Jepara. Forum Warga telah ada di Jepara sejak tahun 2001.

Pada mulanya, forum warga berada di 4 kecamatan ( Pe c a n g a a n , K e d u n g, B ate a l i t , K e l i n g ) . D a l a m perkembangannya, forum warga mengalami fase pergerakan yang cukup dinamis –selain ada beberapa forum warga yang mengalami ’penurunan stamina’ akibat persoalan internal maupun eksternal’. Perjalanan FW antara tahun 2001-2008 dapat terlihat dalam Tabel 3.1.

b. FUKOHA. Forum Ulama Kabupaten untuk Optimalisasi Hak atas Anggaran (FUKOHA) adalah forum komunikasi ulama yang bersifat terbuka dan plural, serta tempat elemen ulama (pengurus Majelis Perwakilan Cabang/ MWC) berkumpul. FUKOHA mencerminkan keragaman pihak yang memiliki orientasi berbeda-beda. Kemunculan FUKOHA berasal dari halaqoh (forum diskusi yang diselenggarakan untuk memberikan pemahaman kepada para ulama tentang isu-isu anggaran). FUKOHA merupakan salah satu bentuk konsolidasi ulama untuk isu-isu anggaran. FUKOHA juga memiliki ikatan historis dengan jamiyah NU (kelompok-kelompok yang menjadi basisnya). FUKOHA merupakan bentuk alternatif untuk mempengaruhi institusi secara lebih luas dan mempengaruhi kebijakan publik.

58

FUKOHA memiliki fungsi mendorong perwujudan ruang partisipasi masyarakat –khususnya jamiyah Nahdlatul Ulama- dalam proses perencanaan penganggaran daerah. FUKOHA merupakan forum komunikasi ulama kabupaten dan beranggotakan Ketua Tanfidiyah MWC NU di 14 kecamatan yang tersebar di Kabupaten Jepara.


Aktivitas

Capacity building fasilitator

Regrouping warga sipil

• Terlibat aktif dalam mengawal substansi Raperda partisipasi masyarakat

• Monitoring transparansi pengelolaan anggaran desa

• Advokasi dan pendampingan persoalan warga desa

• Dialog publik tingkat desa/ kecamatan/kabupaten

Sebagai respon atas dinamika sosial politik yang terjadi di desa pada awal forum warga terbentuk

Kerusakan institusi pemerintah dan distrust warga atas institusi pemerintah

Latarbelakang

(Masalah yang ingin dijawab)

Perluasan Ruang Pa��������� rtisipasi

Tahap 2 2003-2004

Pengorganisasian

Tahap 1 2001-2002

Tahapan

Tahap

Musyawarah Besar Rakyat Jepara pada bulan Desember tahun 2005 merupakan perpaduan antara praktik partisipasi lintas-sektor, wilayah, dan partisipan

• Rembug warga Jepara

• Penguatan kelompok sektoral; kelompok perempuan, kelompok nelayan, jaringan petani

• Warga masih ter-eksklusi dari proses pembuatan kebijakan khususnya proses penganggaran

• Arena partisipasi warga terbatas pada domain perencanaan saja

• Posisi warga dalam pembuatan kebijakan daerah lemah

• Partisipasi masyarakat bergerak sangat lambat • Persoalan warga sektoral maupun spasial disuarakan sebatas pada area desa, kecamatan, dan kabupaten secara fragmented

Gerakan Sadar Anggaran & Penguatan FW Sektoral

Tahap 4 2006-sekarang

Forum Deliberatif (Mubes Raja I)

Tahap 3 2005-2006

Tabel 3.1. Metamorfosa Gerakan Forum Warga

bagian ii - studi kasus BAB 3 - Jalur Lain Partisipasi Warga: Studi Kasus Kabupaten Jepara

59


60

Perubahan yang Terjadi

Tahapan

Tahap

Lahir FW desa

• Ada perubahan cara pandang masyarakat terhadap realitas sosial

• Merasakan manfaat berkelompok dan berserikat

• T��������������� umbuh kelompok terorganisir

Pengorganisasian

Tahap 1 2001-2002

• Menguat akses politik warga. Hal ini ditandai dengan kehadiran SKPD terkait yang diundang dalam dialog-dialog publik yang dilakukan oleh FW

• Ada perubahan relasi sosial (elit dan grass-root)

• Tercipta alternatif ruang publik partisipatif

Perluasan Ruang Pa��������� rtisipasi

Tahap 2 2003-2004

• Muncul pemahaman bahwa perencanaan yang diinisiasi warga secara independen sah secara hukum dan dilindungi undang-undang

• Menguat tradisi musyawarah dan partisipasi masyarakat

Forum Deliberatif (Mubes Raja I)

Tahap 3 2005-2006

• Warga dapat mengawasi langsung alokasi anggaran pada sektor-sektor terkait dan kepentingannya (pertanian, kelautan, UKM)

• Warga memahami seluk beluk penganggaran daerah

• Perubahan model gerakan FW dari berbasis wilayah menuju berbasis Isu sektoral (tani, nelayan, dan perempuan pesisir)

Gerakan Sadar Anggaran & Penguatan FW Sektoral

Tahap 4 2006-sekarang

Partisipasi, Reformasi Kelembagaan, dan Alokasi Anggaran: Pembelajaran dari lima Daerah


bagian ii - studi kasus BAB 3 - Jalur Lain Partisipasi Warga: Studi Kasus Kabupaten Jepara

c. KBA. Komunitas Belajar Anggaran (KBA) adalah bagian dari organ Lakpesdam NU Jepara. Komunitas ini memiliki fungsi dan tugas pokok melakukan kajian, telaah, dan analisa terhadap dokumen-dokumen anggaran pemerintah daerah.

Pembentukan KBA difasilitasi Lakpesdam pada tahun 2006. Komunitas ini berbasis kalangan kampus (mahasiswa) dan Ormas kepemudaan. Secara rutin (setiap bulan) KBA, bersamasama dengan elemen masyarakat, melakukan pembelajaran bersama dengan tujuan mendorong masyarakat untuk melek persoalan anggaran.

d. Jaran. Jaran adalah singkatan dari Jaringan Advokasi Anggaran. Jaringan ini terbentuk tahun 2006 dan difasilitasi oleh Lakpesdam. Jaringan ini terbentuk sebagai konsensus pertemuan lintas-lembaga yang diselenggarakan oleh Lakpesdam bekerjasama dengan LGSP.

Jaran memiliki tugas dan fungsi pokok melakukan advokasi pada masyarakat terkait isu-isu perencanaan dan penganggaran daerah. Jaran beranggotakan NGO, kelompok profesi, dan individu yang concern terhadap isu anggaran.

Wahana Alternatif Partisipasi Masyarakat 1.

Mubes. Pada tahun 2005 FW bersama dengan Lakpesdam menggagas forum deliberatif di tingkat kabupaten yang dinamakan Musyawarah Besar Rakyat Jepara sebagai salah satu bentuk eksperimentasi demokrasi dan wacana tanding bagi mekanisme demokrasi yang dibakukan secara formal (Musrenbang). Ada tujuh masalah publik yang dibahas yaitu: pendidikan, kesehatan, lingkungan, ekonomi-pertanian, industri-buruh, kelautan, dan hukum. Dari forum ini lahir 129 butir rekomendasi yang ditujukan kepada pemerintah, berupa usulan kebijakan dan anggaran. Sampai ������������������� saat ini 20 persen rekomendasi telah terealisasi dalam APBD.

61


Partisipasi, Reformasi Kelembagaan, dan Alokasi Anggaran: Pembelajaran dari lima Daerah

2.

Rembug warga. Rembug warga merupakan ajang untuk mempertemukan pikiran-pikiran warga tentang berbagai hal menyangkut kebijakan, tata kelola pemerintahan, dan persoalan anggaran. Selain itu, rembug warga menjadi arena untuk mendiskusikan hal-hal yang berkaitan dengan pengorganisasian dan aturan main organisasi warga. Kegiatan rembug yang diikuti 150 peserta ini dilakukan awal tahun 2008 dan menghasilkan aturan main internal Forum Warga serta analisa kebijakan dan RAPBD 2008.

3.

Halaqoh anggaran. Halaqoh merupakan forum yang digagas Lakpesdam NU Jepara dalam usaha mengimplementasikan program advokasi anggaran. Kata halaqoh diambil dari bahasa Arab yang berarti putaran. Selanjutnya dalam implementasinya, halaqoh dikonsepkan sebagai bentuk kegiatan yang berkelanjutan. Halaqoh merupakan bentuk pemberdayaan, pembelajaran, dan advokasi anggaran dalam proses perencanaan penganggaran daerah. Halaqoh berbentuk diskusi bersama yang berbasis para ulama NU di tingkat Majelis Wakil Cabang (MWC). Halaqoh dilaksanakan oleh PC Lakpesdam NU sebanyak 4 (empat) kali. Halaqoh pertama dilakukan di distrik Jepara Kota dengan fokus kajian sektor pendidikan. Halaqoh kedua dilakukan di distrik Kecamatan Welahan dengan fokus isu sektor pertanian. Halaqoh ketiga dilaksanakan di distrik Bangsri dengan fokus isu sektor kelautan dan perikanan. Pelaksanaan halaqoh diakhiri dengan pertemuan yang dihadiri seluruh peserta halaqoh di tiga distrik pada pelaksanaan halaqoh kabupaten. Dalam halaqoh diperoleh rumusan bersama mengenai pembentukan forum bersama ulama yang concern terhadap isu anggaran. Sebagai tindak lanjutnya, maka terbentuklah Forum Ulama Kabupaten untuk Optimalisasi Hak atas Anggaran (FUKOHA).

62


bagian ii - studi kasus BAB 3 - Jalur Lain Partisipasi Warga: Studi Kasus Kabupaten Jepara

4. Diskusi kajian. Diskusi ini merupakan bagian dari ruang alternatif bagi warga dalam memberikan pengawasan (kontrol) terhadap pemerintah daerah dalam perencanaan penganggaran, penyusunan, penetapan, dan pelaksanaan pengalokasian APBD. Forum diskusi ini lebih intensif dilakukan oleh Lakpesdam dan KBA bersama dengan seluruh komunitas Lakpesdam (nelayan, praktisi pendidikan, petani, kelompok perempuan, pelajar), NGO, eksekutif, dan legislatif. Forum kajian ini dilaksanakan sebagai bentuk aktivitas bulanan (Diskusi Padang Bulan). Forum ini berjalan sejak tahun 2001 dan lebih intensif menelaah soal PPD mulai tahun 2006. �������������������� Kajian-kajian lebih fokus pada penelusuran alokasi anggaran untuk masyarakat miskin. Sebelum pelaksanaan, rencana diskusi biasanya dipublikasikan melalui media. Sedangkan hasil kajian dari forum ini dipublikasikan melalui pemberitaan media, baik elektronik maupun cetak. Bentuk dari diskusi ini adalah talk show radio, dialog publik, audiensi dengan dinas terkait, DPRD, serta pemerintah daerah. 5. Bahtsul Masail. Bahtsul masail pada prinsipnya tidak jauh beda dengan halaqoh, akan tetapi forum ini menggunakan pendekatan kultural pesantren. Ini dimungkinkan karena hampir mayoritas penduduk nahdliyin adalah santri, sehingga basis dari forum ini adalah gerakan pemberdayaan dan pembelajaran serta advokasi ala pesantren.

Kajian yang dilakukan lebih banyak mengunakan referensi kitab salaf, seperti alokasi APBD dalam konsep Islam adalah 40 persen untuk amil dan 60 persen untuk ummat. Dengan demikian, tinjauan keadilan lebih condong pada perspektif syari’at. NGO yang melakukan pendeketan ala pesantren ini adalah Forum Kajian Islam dan Sosial (FKIS).

63


Partisipasi, Reformasi Kelembagaan, dan Alokasi Anggaran: Pembelajaran dari lima Daerah

Kesimpulan dan Rekomendasi Berdasarkan paparan tadi, maka ada beberapa kesimpulan penting yang dapat menggambarkan dinamika PPD di Kabupaten Jepara, yaitu: 1.

Permasalahan Musrenbang di Kabupaten Jepara adalah permasalahan klasik yang pada umumnya dialami daerah lain. Musrenbang masih dianggap sebagai event dan prosedur formal ketimbang sebagai instrumen pendalaman demokrasi yang dapat menjadi penentu arah kebijakan alokasi anggaran yang sesuai dengan preferensi warganya;

2.

Kerangka kebijakan dan kelembagaan partisipasi warga dalam formulasi anggaran di Jepara masih belum memadai. Meskipun demikian, desakan warga dan proses reflektif kegagalan Musrenbang mulai disadari dengan mengeluarkan regulasi perencanaan di Jepara;

3.

Wahana informal partisipasi warga Jepara, seperti forum warga, FUKOHA, KBA merupakan alternatif cukup efektif di tengah saluran aspirasi warga yang tersumbat melalui mekanisme Musrenbang. Sekitar 15-20 persen hasil Mubes diakomodasi dalam kebijakan alokasi anggaran;

4.

Keberhasilan Forum Warga di Jepara sebagai wahana partisipasi warga tidak terlepas dari peran eksternal Lakpesdam NU melalui fasilitatornya dalam melakukan pengorganisasian atau re-grouping warga.

Untuk memperbaiki kualitas PPD di masa mendatang, maka langkah-langkah penting yang harus segera dilakukan terutama adalah: 1.

64

Musyawarah besar, forum warga, FUKOHA, dan KBA sebagai media partisipasi warga dalam mempengaruhi pengambilan kebijakan dikhawatirkan akan mengalami fase penurunan dan kejenuhan jika dalam waktu dekat warga tidak memperoleh insentif dari partisipasi yang dilakukannya. Selain itu,


bagian ii - studi kasus BAB 3 - Jalur Lain Partisipasi Warga: Studi Kasus Kabupaten Jepara

perlu dirumuskan ruang prosedur dan kelembagaan yang memberikan jaminan partisipasi dalam forum warga. Rekomendasi yang dihasilkan Mubes dapat diakomodasi dalam kebijakan alokasi anggaran; 2.

Pengorganisasi forum warga yang telah mengalami empat fase telah melahirkan kelompok warga yang sadar akan hakhak politik, partisipasi aktif, dan kesadaran kritis. Namun, kapasitas birokrasi dan political will pemerintah daerah belum membuka ruang ini dan bisa menjadi pemicu kejenuhan warga. Oleh karenanya, perlu dikembangkan advokasi ke dalam birokrasi dan legislatif melalui technical assistance atau engagement dalam penganggaran;

3.

Sekitar 15-20 persen hasil Mubes diakomodasi dalam kebijakan alokasi anggaran, namun potret kebijakan alokasi anggaran Kabupaten Jepara belum mencerminkan keberpihakan terhadap pemenuhan hak dasar warga dan mengakselerasi ekonomi keluarga. Oleh karenanya, Mubes perlu melihat kebijakan anggaranyang eksis sebagai salah satu landasan rumusan rekomendasi Mubes;

4.

Forum warga perlu memperluas domain intervensi pada setiap tahapan penganggaran. Intervensi terhadap performance pelayanan publik dan tracking pelaksanaan anggaran merupakan wilayah intervensi strategis mengingat basis forum warga yang luas. [ ]

65


Partisipasi, Reformasi Kelembagaan, dan Alokasi Anggaran: Pembelajaran dari lima Daerah

66


Bab 4

Pelembagaan Partisipasi Warga: Studi Kasus Kabupaten Sumedang Oleh : Zenni Muryaman (P3ML)

Pengantar

K

abupaten Sumedang mempunyai luas wilayah 152.220 km2. Pemerintahan Kabupaten Sumedang membagi wilayahnya menjadi 26 kecamatan, 7 kelurahan, dan 270 desa. Dari 270 desa, 146 termasuk desa swadaya (54, 28%), 122 desa swakarya (45,35%), dan 1 desa swasembada (0,37%). Dari tahun ke tahun, penduduk di kabupaten ini terus bertambah. Pada tahun 2005 jumlah penduduk Kabupaten Sumedang berjumlah 1.045.823 jiwa. Pada tahun 2006 meningkat menjadi 1.060.099 jiwa. Pada tahun 2007 jumlah penduduk di kabupaten ini mencapai 1.091.674 jiwa. Pada tahun 2007 APBD Kabupaten Sumedang bernilai Rp 801,7 miliar. Jumlah sebesar itu di antaranya diperoleh dari Pendapatan Asli Daerah (PAD) sebesar Rp 74 miliar. APBD Kabupaten Sumedang mendapat dukungan Dana Alokasi Umum (DAU) sebesar Rp 551 miliar dan Dana Alokasi Khusus sebesesar Rp 43,7 miliar.

67


Partisipasi, Reformasi Kelembagaan, dan Alokasi Anggaran: Pembelajaran dari lima Daerah

Pada tahun 2008 APBD Kabupaten Sumedang mencapai Rp 856 m ���������������������������������������� i l i a r���������������������������������� . Pe n d a p a t a n A s l i D a e r a h m e n c a p a i Rp 78,5 miliar������������������������������������������� ������������������������������������������������� . Dana Alokasi Umum yang diserahkan kepada Pemkab Sumedang mencapai Rp 608,9 miliar. Sedangkan Dana Alokasi Khusus yang diterima Kabupaten Sumedang besarannya sama dengan tahun sebelumnya, yaitu Rp 43,7 miliar.

Aktor Perencanaan dan Penganggaran Daerah Prakarsa Perencanaan dan Penganggaran Daerah (PPD) partisipatif di Kabupaten Sumedang tidak dapat dipisahkan dari keberadaan Forum Jatinangor. Sejak tahun 2001, forum ini terlibat sebagai peserta dalam proses perencanaan, mulai dari tingkat desa, kecamatan, dan kabupaten. Harapannya adalah agar dapat memperbaiki beberapa kekurangan dalam proses PPD. Kekurangan itu di antaranya adalah partisipasi masyarakat yang rendah, ketertutupan pihak eksekutif dan legislatif, serta tidak mengakomodasi usulan program dan kegiatan dari masyarakat. Dalam perkembangannnya Forum Jatinangor ini kemudian bermetamorfosis menjadi Pusat Pengkajian dan Pengembangan Masyarakat Lokal (P3ML), dan berkantor di Sumedang. Keterlibatan para aktor dan peristiwa-peristiwa penting dalam PPD dalam rentang waktu tahun 2001-2008 dapat dilihat dalam Tabel 4.1.

68


bagian ii - studi kasus BAB 4 - Pelembagaan Partisipasi Warga: Studi Kasus Kabupaten Sumedang

Tabel 4.1. Aktivitas Aktor/Pelaku PPD di Kabupaten Sumedang Tahun

2001

Aktivitas Aktor/Pelaku PPD di Kabupaten Sumedang Forum Jatinangor menjadikan arena Musrenbang sebagai proses untuk: • Membangun jejaring sesama aktivis warga dan CSO/LSM • Membangun komunikasi dengan pemda (eksekutif dan legislatif ) • Meningkatkan kapasitas individu dan lembaga. Pada masa itu, kalangan legislatif masih bersifat sangat tertutup dan tidak membuka ruang komunikasi dengan kalangan CSO.

2002

DPRD mulai membuka ruang untuk masyarakat dengan melakukan “hearing terbatas” (masyarakat yg diundang bersifat selektif yaitu orang-orang yang dikenal DPRD) untuk membahas suatu isu.

2003

• Pemilihan kepala daerah Kabupaten Sumedang melalui wakil rakyat di DPRD memenangkan Don Murdono (PDIP) untuk menjadi bupati terpilih. • Forum Diskusi Alun-alun (FDA) terbentuk.

2005

• Masyarakat semakin terlibat dalam proses perencanaan di Sumedang. Hal ini didorong oleh penerbitan payung hukum perencanaan (UU No. 25/2004). Masyarakat yang terlibat dalam perencanaan semakin variatif (misalnya delegasi warga, Ormas, LSM, dan perguruan tinggi) baik yang diundang maupun mendaftarkan diri. • Anggota DPRD dari Daerah Pemilihan (Dapil) terlibat dalam forum Musrenbang kecamatan sehingga semakin mendorong keterbukaan kalangan legislatif. • Pemkab Sumedang menerbitkan Peraturan Daerah Nomor 12 Tahun 2005 tentang Retribusi Pelayanan Administrasi Kependudukan dan Akta Catatan Sipil. Perda ini menetapkan bahwa pembuatan KTP, KK, dan akta kelahiran tidak dipungut biaya.

2006

• CSO/LSM melakukan proses advokasi penyusunan Perda tentang proses perencanaan dan penganggaran di Kabupaten Sumedang. • Hubungan antara CSO/LSM dan Bappeda serta DPRD semakin berkembang. • Pemkab Sumedang menjalankan Program Bedah Rumah dan Program Gakin Produktif. • Pemkab Sumedang menerbitkan Peraturan Daerah Nomor 8 Tahun 2006 tentang Pelayanan Kesehatan di Unit Pelaksana Teknis Dinas Pusat Kesehatan Masyarakat pada Dinas Kesehatan Kabupaten Sumedang.

69


Partisipasi, Reformasi Kelembagaan, dan Alokasi Anggaran: Pembelajaran dari lima Daerah

Tahun

Aktivitas Aktor/Pelaku PPD di Kabupaten Sumedang

2007

• Pemkab Sumedang menerbitkan Perda Nomor 1 Tahun 2007 yang mendorong proses pembentukan Forum Delegasi Musrenbang (FDM). • Pemkab Sumedang mulai menerapkan konsep Pagu Indikatif Kecamatan. • Pemkab Sumendang melaksanakan Program Puskesmas Gratis. • CSO/LSM bersama aktor PPD lain mengembangkan Raperda tentang KIBBLA.

2008

• FDM periode 2008-2009 terbentuk. Penguatan FDM dilakukan P3ML dan mitra jaringannya. • Pemkab Sumedang melakukan pembenahan terhadap penerapan konsep PIK. • Pilkada langsung di Kabupaten Sumedang, yang waktunya bersamaan dengan Pilgub Jabar, kembali mengantarkan Don Murdono menjadi Bupati Sumedang. • Pemkab Sumedang menerbitkan Perda KIBBLA pada 2 Juni. • Pemkab Sumedang menerbitkan Perda Penyiaran Publik Lokal (PPL) pada 2 Juni.

Kerangka Hukum PPD Partisipatif 1.

Regulasi PPD. Aktor yang terpenting dalam proses perubahan kebijakan PPD adalah DPRD. Dengan melibatkan partisipasi masyarakat, DPRD menginisiasi pembentukan Perda Perencanaan dan Penganggaran Daerah di Kabupaten Sumedang. Akhirnya, Pemkab Sumedang menerbitkan Peraturan Daerah No. 1 Tahun 2007 tentang Prosedur Perencanaan dan Penganggaran Daerah di Kabupaten Sumedang sebagai landasan hukum proses perencanaan penganggaran di Kabupaten Sumedang. Perda ini merupakan salah satu jawaban terhadap trend perencanaan dan penganggaran di era otonomi daerah di Indonesia yang menuntut agar proses-proses penyelenggaraan pemerintahan dilakukan secara partisipatif, transparan, dan akuntabel24.

24 Penerbitan Perda ini tidak lepas dari peran-peran masyarakat sebagai efek yang timbul dari keran partisipasi masyarakat yang dibuka oleh pihak eksekutif dan legislatif.

70


bagian ii - studi kasus BAB 4 - Pelembagaan Partisipasi Warga: Studi Kasus Kabupaten Sumedang

2.

Lembaga dan prosedur PPD. Prosedur atau proses perencanaan (Musrenbang) di Kabupaten Sumedang adalah sebagai berikut25: a. Proses penyepakatan antara bupati dan DPRD mengenai pagu indikatif sebagai patokan batas maksimal anggaran yang diberikan kepada SKPD dirinci berdasarkan plafon anggaran sektoral26 dan plafon anggaran kecamatan27. Penyepakatan ini berbentuk MoU antara Bupati Sumedang dan Ketua DPRD; b. Musrenbang desa merupakan tahap pertama dalam penyusunan perencanaan tahunan di Kabupaten Sumedang. Musrenbang desa menghasilkan keluaran berupa daftar usulan kegiatan masyarakat yang dibagi dalam dua kategori, yaitu program pembangunan skala desa yang akan didanai oleh dana alokasi untuk desa (DADU) dan program pembangunan yang menjadi tanggung jawab SKPD. Program ini akan dibawa oleh tiga orang delegasi Musrenbang desa yang dipilih di antara peserta Musrenbang desa untuk kemudian dibahas dalam Musrenbang di tingkat kecamatan; c. Musrenbang kecamatan dilakukan untuk menyusun usulan kegiatan kecamatan yang menjadi prioritas dan kebutuhan strategis di tingkat kecamatan dengan memperhatikan Pagu Indikatif Kecamatan (PIK) sebagai patokan batas maksimal anggaran yang diberikan kepada

25 Tentang praktik perencanaan (Musrenbang) di Kabupaten Sumedang mulai dari tingkat desa, kecamatan, Forum SKPD, sampai kabupaten dapat dilihat dalam laporan “Studi Analisis Praktik dan Dinamika Penyelenggaraan Musrenbang di Daerah (Kabupaten Sumedang)� oleh Tim FPPM dan didukung GTLF-FF. 26 Pagu Indikatif Sektoral adalah sejumlah patokan batas maksimal anggaran yang diberikan kepada SKPD dan penentuan alokasinya ditentukan oleh mekanisme teknokratik SKPD dengan berdasarkan pada kebutuhan dan prioritas program. 27 Pagu Indikatif Kecamatan (PIK) adalah sejumlah patokan batas maksimal anggaran yang diberikan kepada kecamatan yang penentuan alokasi belanjanya ditentukan oleh mekanisme partisipatif melalui Musrenbang kecamatan dengan berdasarkan kebutuhan dan prioritas program.

71


Partisipasi, Reformasi Kelembagaan, dan Alokasi Anggaran: Pembelajaran dari lima Daerah

SKPD. Penentuan alokasi belanjanya ditentukan oleh mekanisme partisipatif melalui Musrenbang kecamatan. Rata-rata PIK setiap kecamatan di Kabupaten Sumedang sekitar Rp 1 miliar; d. Forum SKPD merupakan pertemuan untuk menyortir hasil kompilasi usulan kecamatan yang masuk ke sektor yang menjadi bidang kerja SKPD bersangkutan. Dinas penyelenggara memaparkan rancangan Renja SKPD yang berisi kompilasi daftar usulan kegiatan dari dinas bersangkutan dan kecamatan –yang dikelompokkan menurut bidang-bidang di SKPD. e. Pada saat persiapan, tim teknis di internal SKPD bertugas mengkompilasi/merekapitulasi seluruh usulan kegiatan kecamatan yang ada dalam sektor kewenangannya. Usulan-usulan tersebut digabungkan dengan usulan kegiatan yang ada dalam Renja SKPD. Keluarannya adalah daftar kegiatan yang merupakan gabungan dari kegiatan yang ada dalam Renja SKPD dan usulan kegiatan yang berasal dari kecamatan; f. Musrenbangkab merupakan forum untuk melakukan rasionalisasi Renja/usulan kegiatan SKPD. Rasionalisasi lebih ditekankan kepada kesesuaian jumlah usulan dengan pagu indikatif SKPD. Renja yang sudah sesuai dengan pagu indikatifnya (misal Dinas Kesehatan) tidak banyak mengalami perubahan. Musrenbangkab dilakukan selama 1 hari penuh. Perdebatan pada sesi ini lebih pada penentuan kegiatan yang akan diajukan ke tingkat provinsi atau pusat. g. Untuk menyelenggarakan Musrenbang kabupaten, Bappeda dituntut oleh regulasi untuk menyiapkan dokumen Rancangan Awal RKPD. Rancangan awal ini dibahas dalam sebuah forum pembahasan Rancangan Awal RKPD yang diselenggarakan di internal Bappeda secara informal. Tim internal mengkompilasi Renja SKPD 72


bagian ii - studi kasus BAB 4 - Pelembagaan Partisipasi Warga: Studi Kasus Kabupaten Sumedang

ke dalam dokumen Rancangan RKPD. Sebelumnya Bappeda menyesuaikan usulan dari PIK dan SKPD yang akan menjadi eksekutornya. ������������������������������������������������������� Proses perencanaan di Kabupaten Sumedang dapat dilihat dalam Gambar 4.1.

Gambar 4.1. Proses Perencanaan (Musrenbang) di Kabupaten Sumedang Penyempurnaan & Penetapan Rancangan RKPD

Perbup RKPD

Musrenbang Kabupaten Tahunan

Hasil Musrenbang Tahunan

Rancangan Awal Renja SKPD

Forum SKPD

Rancangan Renja SKPD

Nota Kesepakatan Pagu Indikatif

Musrenbang Kecamatan

Usulan Kegiatan Wilayah Kecamatan

Musrenbang Desa

Usulan Kegiatan Masyarakat Desa

Rancangan RKPD

73


Partisipasi, Reformasi Kelembagaan, dan Alokasi Anggaran: Pembelajaran dari lima Daerah

3. Ruang Partisipasi dalam PPD di Kabupaten Sumedang. Perda Nomor 1 Tahun 2007 tentang Prosedur Perencanaan dan Penganggaran Daerah di Kabupaten Sumedang, mengakomodasi kerangka partisipasi masyarakat dalam konteks Musrenbang, mulai dari tingkat desa/kelurahan, kecamatan, Forum SKPD, sampai Musrenbang kabupaten.

Partisipasi masyarakat juga dilibatkan dalam menetapkan besaran Pagu Indikatif Kecamatan (PIK) untuk seluruh kecamatan di Sumedang. Asumsinya, kehadiran PIK akan menambah motivasi masyarakat untuk ikut terlibat dalam proses Musrenbang. Dengan demikian maka akan memberikan nuansa baru ke arah pemikiran yang rasional dan proporsional dalam proses dan mekanisme perencanaan28.

Perda Nomor 1 Tahun 2007 juga memungkinkan konsultasi publik menjadi mekanisme partisipatif untuk proses di luar forum Musrenbang. Selain itu, Perda ini juga menginisiasi hal baru melalui pelembagaan sebuah forum bersama bagi delegasi sektoral ataupun kewilayahan yang berfungsi mengawasi proses penganggaran pasca-perencanaan yang diberi nama Forum Delegasi Musrenbang (FDM). Sebagian besar anggota FDM adalah warga yang mewakili kecamatan yang dipilih di dalam forum Musrenbang kecamatan. Dengan demikian terdapat 26 orang dari 26 kecamatan yang menjadi anggota FDM.

Inovasi PPD di Kabupaten Sumedang Menyimak proses PPD di Kabupaten Sumedang, maka dapat disimpulkan bahwa ada 2 hal penting yang menjadi inovasi dalam PPD di Kabupaten Sumedang, yaitu Pagu Indikatif Kewilayahan/ Kecamatan (PIK) dan Forum Delegasi Musrenbang. 28 Indikator Perencanaan Penganggaran Daerah Kabupaten Sumedang, 2007, halaman 48. Pemaparan tentang PIK dapat dilihat pada Bab V.

74


bagian ii - studi kasus BAB 4 - Pelembagaan Partisipasi Warga: Studi Kasus Kabupaten Sumedang

1.

Pagu Indikatif Kewilayahan/Kecamatan. Dalam Perda No. 1 Tahun 2007, yang dimaksud PIK adalah sejumlah patokan batas maksimal anggaran yang diberikan kepada SKPD, yang penentuan alokasi belanjanya ditentukan oleh mekanisme partisipatif melalui Musrenbang kecamatan dengan berdasarkan kepada kebutuhan dan prioritas program. Tujuan PIK adalah untuk memberikan arah terhadap pendistribusian belanja APBD yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat tiap desa dan kecamatan. Manfaat �������������������� PIK adalah: a. Belanja APBD tidak didefinisikan sepihak oleh Pemda dan DPRD, tetapi dalam porsi terbatas oleh masyarakat; b. Ada kepastian bahwa setiap usulan kecamatan akan didanai jika tidak melebihi pagu indikatif tersebut. Selain PIK dikenal juga istilah Pagu Indikatif SKPD (PISKPD). Yang dimaksud dengan Pagu Indikatif SKPD yaitu sejumlah patokan batas maksimal anggaran belanja (APBD) untuk masing-masing SKPD, yang penentuan alokasi belanjanya ditentukan oleh mekanisme teknokratis SKPD dan Forum SKPD partisipatif, dengan berdasarkan kepada prioritas program yang terdapat dalam dokumen Rencana Strategis (Renstra) SKPD. Usulan belanja desa dan wilayah kecamatan yang telah sesuai dengan pagu indikatifnya, akan diakomodasi dalam Rencana Kerja dan Anggaran SKPD. Hal ini akan disesuaikan dengan kewenangan yang dimiliki masing-masing SKPD untuk setiap urusan pembangunan yang diusulkan kecamatan. Gabungan antara PIK dan PI SKPD akan disusun dalam sebuah dokumen menjadi Rencana Kerja (Renja) SKPD. Dengan demikian, yang diajukan ke forum Musrenbang kabupaten adalah Renja SKPD yang nantinya akan di di gabung dengan SKPD lainnya membentuk RKPD.

75


Partisipasi, Reformasi Kelembagaan, dan Alokasi Anggaran: Pembelajaran dari lima Daerah

PIK ditentukan berdasarkan beberapa cara: a. Mengikuti pola alokasi sebelumnya (historis). Ini adalah cara yang paling gampang tetapi paling keliru. Cara ini paling gampang karena hanya perlu mengidentifikasi alokasi APBD tahun yang lalu di setiap kecamatan untuk semua SKPD. Dinilai paling keliru karena tidak melihat perkembangan dan perubahan struktur APBD yang selalu berubah; b. Kesepakatan politik. Cara ini rumit, tetapi punya daya ikat yang kuat kepada semua elemen di kabupaten. Dinilai rumit karena harus melibatkan kesepakatan dari stakeholders eksekutif, legislatif, dan berbagai komponen masyarakat. Ketiga komponen utama ini memiliki klaim masing-masing tentang hak dalam menentukan APBD. Jelas sekali akan sangat berliku mencari kesepakatan seperti ini.

Namun kelemahannya adalah seringkali kesepakatan politik tidak didasarkan perhitungan teknis tentang kebutuhan pembangunan di wilayah kecamatan tersebut. Kesepakatan politik lebih didasarkan kepada unsur-unsur subyektif. Misalnya kedekatan anggota legislatif dengan suatu wilayah yang menjadi basis politiknya. Cara ������������� seperti ini juga tidak disarankan;

c. Formula kebutuhan fiskal wilayah. Cara ini adalah cara yang paling tepat, tetapi membutuhkan dukungan data yang akurat dan terbaru (up to date). Cara ini pada dasarnya ingin menghitung besaran kebutuhan fiskal suatu kecamatan. Yang dimaksud kebutuhan fiskal adalah sejumlah APBD yang diperlukan untuk meningkatkan pembangunan di kecamatan tersebut. Untuk dapat mengetahui kebutuhan fiskal wilayah kecamatan, maka harus tersedia data yang menggambarkan kondisi pembangunan di daerah tersebut. Oleh karena itu, maka cara ini menjadi cara yang penuh tantangan dalam hal memenuhi kebutuhan data.

76


bagian ii - studi kasus BAB 4 - Pelembagaan Partisipasi Warga: Studi Kasus Kabupaten Sumedang

Tabel 4.2. Kewenangan FDM menurut Perda Nomor 1 Tahun 2007 Pasal

Deskripsi

Pelaksana

Pasal 1 Angka 23

Dokumen Hasil Musrenbang Tahunan Kabupaten adalah dokumen yang disusun setiap tahun oleh Forum Delegasi Musrenbang dan SKPD, di bawah koordinasi Bappeda, serta berfungsi sebagai bahan utama dalam penyusunan Rencana Kerja Pemerintah Daerah

Bappeda

Pasal 14 Ayat (2)

Musrenbang Jangka Panjang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pasal ini, diikuti oleh unsur-unsur penyelenggara pemerintah daerah, DPRD, Forum Delegasi Musrenbang, unsur masyarakat lainnya, perwakilan Bappeda Provinsi serta Kementerian/Lembaga terkait

Bappeda

Pasal 30 Ayat (5)

Dalam pembahasan rancangan KUA sebagaimana dimaksud ayat (4) DPRD menyelenggarakan konsultasi publik untuk mendapat masukan dari masyarakat khususnya Forum Delegasi Musrenbang dan unsur stakeholders lainnya.

DPRD

Pasal 31 Ayat (5)

Dalam pembahasan rancangan PPAS sebagaimana dimaksud ayat (4) (empat) DPRD menyelenggarakan konsultasi publik untuk mendapat masukan dari masyarakat khususnya Forum Delegasi Musrenbang dan unsur stakeholders lainnya.

DPRD

Pasal 36 Ayat (5)

Dalam pembahasan rancangan peraturan daerah tentang APBD sebagaimana dimaksud ayat (1) DPRD menyelenggarakan konsultasi publik untuk mendapat masukan dari masyarakat khususnya Forum Delegasi Musrenbang dan unsure stakeholders lainnya

DPRD

Pasal 40 Ayat (3)

Pembahasan perubahan APBD membuka ruang konsultasi publik secara terbuka dan mengundang masyarakat khususnya Forum Delegasi Musrenbang

DPRD

77


Partisipasi, Reformasi Kelembagaan, dan Alokasi Anggaran: Pembelajaran dari lima Daerah

2. Forum Delegasi Musrenbang (FDM). Forum Delegasi Musrenbang (FDM) merupakan pelembagaan keterwakilan masyarakat dalam proses penganggaran berdasarkan Perda Nomor 1 Tahun 2007. FDM beranggotakan delegasi sektoral maupun kewilayahan yang berfungsi mengawasi proses penganggaran paska perencanaan setiap tahunnya (pascaMusrenbang kabupaten) sampai penyusunan dokumen RKPD dan APBD. Tabel. 4.3 Daftar Kriteria/Aspek Partisipasi di Kabupaten Sumedang • Ada pelibatan komponen-komponen masyarakat Kriteria partisipasi yang sudah berjalan di Kabupaten Sumedang:

• Sudah melibatkan tokoh-tokoh masyarakat (perwakilan tokoh) termasuk tokoh RT, RW, dan Pemuda • Ada payung hukum yang jelas (Perda No. 1/2007) • Alur proses perencanaan sudah cukup baik • Alur proses yang bottom-up • Proses belum sebanding dengan kualitas hasil (output) • Musrenbang hanya sebatas kegiatan yang menggugurkan kewajiban aturan, waktu kurang, proses hanya formalitas • Model perencanaan partisipatif (Musrenbang) kurang familiar di warga desa sehingga mana mungkin partisipasi bisa berjalan dengan baik

Kriteria partisipatif yang belum/tidak berjalan adalah:

• Hasil Musrenbang tidak sesuai dengan usulan masyarakat mayoritas/kebutuhan desa • Tidak ada ruh • Masyarakat desa belum memahami prioritas program • Pemerintah desa belum bisa menentukan mekanisme dan prioritas program bagi desa karena informasi yang dimiliki kurang • Standar/parameter prioritas usulan belum jelas • Usulan/rancangan anggaran yang disetujui mayoritas bukan berdasar pada kebutuhan yang diajukan masyarakat, melainkan berdasar pada kepentingan politik legislatif dan eksekutif

78


bagian ii - studi kasus BAB 4 - Pelembagaan Partisipasi Warga: Studi Kasus Kabupaten Sumedang

• Ada image dalam pelaksanaan Musrenbang bahwa, “Ini ada uang maka kita buat perencanaan program ini-itu tanpa dibarengi dengan skala prioritas.”. Dengan demikian, kesan yang timbul dalam Musrenbang adalah mengenai aspek pendanaan saja • Tidak partisipatif dalam penentuan akhir program dan kegiatan dalam proses penganggaran • Keluaran (output) dikalahkan oleh ‘tangan ghaib’ • Batasan keterwakilan di Musrenbang belum jelas Kriteria partisipatif yang belum/tidak berjalan adalah:

• Kehadiran tidak representatif dan hanya sekadar mengejar kuota saja • Masyarakat masih belum memahami arti penting Musrenbang, yang dapat dilihat dari keterwakilan di dalam kehadiran ketika Musrenbang serta ada sikap kompromi yang tinggi • Masyarakat tidak dapat mengajukan tawaran program bagi desanya, karena program sudah ditentukan terlebih dahulu • Musrenbang desa lebih cenderung sekadar mengusulkan program ke kecamatan • Ada pandangan ‘bagi jatah’ antara kecamatan dan desa terutama ketika pembahasan PIK • Yang dihasilkan Musrenbang desa bukan output ideal yaitu program-program yang mengakomodasi semua kepentingan masyarakat desa.

Pokok-Pokok Penting Pembelajaran Pada sebuah diskusi dengan kalangan CSO/LSM muncul pertanyaan tentang tingkat partisipasi dalam proses perencanaan dan penganggaran di Kabupaten Sumedang sudah partisipatif. Ternyata dalam rentang nilai 1 hingga 10, jawaban atas pertanyaan itu rata-rata berada di level 5.1. Cara menentukan nilai ini adalah dengan mendaftar alasan-alasan yang menentukan apa saja kriteria/aspek partisipasi dalam proses perencanaan penganggaran di Kabupaten Sumedang yang sudah/belum berjalan. Ternyata daftar kriteria/aspek partisipasi yang belum berjalan lebih banyak.

79


Partisipasi, Reformasi Kelembagaan, dan Alokasi Anggaran: Pembelajaran dari lima Daerah

Berdasarkan diskusi ini, pengertian partisipasi dalam perencanaan dan penganggaran ternyata berbeda. Partisipasi dalam perencanaan merupakan suatu musyawarah yang pengambilan keputusannya dapat diambil bersama. Karena itu, hal-hal yang harus diperhatikan dalam perencanaan (Musrenbang) adalah: •

Bebas dominasi (antara lain dominasi laki-laki, orang tua, dan kalangan pemerintah/birokrat). Artinya semua peserta mampu berperan serta aktif;

Tercipta ruang publik yang bebas di tingkat lokal untuk mengembangkan dialog yang bebas dominasi;

Pengambilan keputusan bersama;

Mencerminkan kebutuhan semua pihak (representatif ) dari semua kelompok;

Melibatkan banyak orang;

Persamaan hak bicara dan ide;

Peran aktif masyarakat dari semua lapisan;

Kesadaran masyarakat untuk ikut terlibat;

Prinsip rekruitmen peserta yang memungkinkan pelaksanaan Musrenbang yang partisipatif;

Sosialisasi yang bisa membangun kesadaran masyarakat tentang arti penting Musrenbang;

Penguatan kapasitas masyarakat;

Prinsip bebas aktif;

Keterwakilan semua golongan, kelompok umur, wilayah, dan sektor/urusan;

Kemampuan untuk memperoleh dan menggunakan informasi di antara peserta;

Kualitas hasil (output) yang baik;

Musrenbang dapat dikatakan partisipatif jika melahirkan ‘kontrak politik’ antara masyarakat dan pemerintah.

Pengertian partisipatif dalam proses penganggaran yaitu suatu mekanisme hearing (dengar pendapat umum) dan konsultasi

80


bagian ii - studi kasus BAB 4 - Pelembagaan Partisipasi Warga: Studi Kasus Kabupaten Sumedang

publik mengenai penganggaran yang dilakukan oleh Panitia Anggaran DPRD di setiap proses tahapan penganggaran. Namun pada pelaksanaannya, hearing atau konsultasi publik hanya dilakukan pada saat KUA/PPAS saja. Secara umum, proses penganggaran di Sumedang dapat dikatakan partisipatif ketika ukurannya adalah interaksi. Namun ketika dilihat dari segi kualitas/ hasil maka kriteria partisipatif masih jauh. Hearing lebih cenderung dijadikan sebagai ajang untuk mendengar saja, namun belum tentu gagasan yang ada diakomodasi dalam keputusan.

Penutup Pemberlakuan Perda Nomor 1 Tahun 2007 tentang Prosedur Perencanaan dan Penganggaran Daerah di Kabupaten Sumedang telah mengubah wajah Kabupaten Sumedang. Banyak pihak datang dan belajar ke Kabupaten Sumedang untuk dapat mendorong perencanaan dan penganggaran yang partisipatif. Terlebih ketika Perda tersebut juga melembagakan dua komponen baru dalam proses perencanaan dan penganggaran, yaitu FDM dan PIK. Namun demikian, benarkah Kabupaten Sumedang telah melakukan perencanaan dan penganggaran yang partisipatif baik pada proses maupun pelaksanaannya? Dari sisi partisipasi, keberadaan FDM –sebagai media pengawas proses dan pelaksanaan penganggaran- dan PIK –sebagai media pendorong partisipasi masyarakat di tingkat kecamatanmerupakan nilai besar yang dimiliki oleh Kabupaten Sumedang untuk dapat menjalankan proses perencanaan penganggaran yang partisipatif. Namun keberadaan kedua hal tersebut perlu terus diperhatikan dan didorong agar tidak menjadi bumerang bagi proses partisipatif yang sedang digalang dan terus diperjuangkan di Kabupaten Sumedang. Pelembagaan FDM sebagai sebuah institusi yang harus ada sesuai dengan amanat Perda Nomor 1 Tahun 2007 merupakan sebuah proses untuk membuka ruang publik dalam kerangka perencanaan penganggaran. Terdapat dua cara bagi seseorang

81


Partisipasi, Reformasi Kelembagaan, dan Alokasi Anggaran: Pembelajaran dari lima Daerah

untuk menjadi anggota FDM: (1) sebagai delegasi kewilayahan yang dipilih dari delegasi masyarakat tingkat kecamatan yang sebelumnya dipilih dari delegasi masyarakat tingkat desa; (2) sebagai delegasi sektoral yang dipilih dari forum SKPD di tiap-tiap SKPD. Anggota FDM terpilih kemudian harus dilibatkan dalam konsultasi publik tentang pembahasan rancangan KUA, PPAS dan APBD yang diselenggarakan oleh DPRD. Di awal keterlibatannya, pelibatan FDM dalam mekanisme penganggaran baru sebatas ikut-serta dalam konsultasi publik yang diselenggarakan DPRD. FDM belum dapat mengikuti seluruh proses pembahasan KUA, PPAS, dan APBD yang merupakan kewenangan dari pemerintah daerah (TAPD) dan DPRD (Panggar). FDM juga belum memiliki suara dalam proses pengambilan keputusan di arena penganggaran daerah. Sementara itu, walaupun telah menjadi salah satu unsur penting dalam peraturan daerah ternyata dalam penerapannya, PIK belum mendapat dukungan dari pihak pemerintahan daerah, —khususnya legislatif– agar dapat dilaksanakan sesuai dengan konsep awalnya. Selain itu perlu juga dipikirkan tentang proses transformasi informasi kepada masyarakat tentang pelaksanaan anggaran di Kabupaten Sumedang sebagai alat percepatan bagi perwujudan perencanaan penganggaran yang partisipatif. Misalnya melalui forum-forum yang telah menjadi budaya di masyarakat seperti minggon (pertemuan mingguan di desa-desa di Kabupaten Sumedang), forum kader kesehatan, atau membuat inovasi baru sebagai media pembelajaran bagi masyarakat –seperti melalui media massa. Sedangkan kerangka perencanaan penganggaran yang pro-poor dan responsif jender sepertinya perlu menunggu waktu lebih lama agar dapat menjadi kenyataan di Kabupaten Sumedang. Walaupun perencanaan penganggaran menghasilkan program dan kegiatan yang pro-poor dan responsif jender, hal tersebut tampaknya lebih merupakan inisiatif dari pihak-pihak tertentu dan 82


bagian ii - studi kasus BAB 4 - Pelembagaan Partisipasi Warga: Studi Kasus Kabupaten Sumedang

belum lahir dari mekanisme perencanaan-penganggaran daerah yang dilaksanakan setiap tahunnya. Kerangka perencanaan-penganggaran yang pro-poor tidak hanya mensyaratkan program dan kegiatan yang berpihak langsung kepada masyarakat miskin. Namun juga sedapat mungkin hal itu juga melibatkan masyarakat miskin dalam prosesnya, sehingga dapat mengarah langsung kepada kebutuhan kelompok tersebut dan menjadi salah satu proses pembelajaran. Sejalan dengan perencanaan penganggaran yang pro-poor, kerangka perencanaan penganggaran yang reseponsif jender pun perlu mendapat perhatian khusus. Keterlibatan kelompok perempuan dalam proses perencanaan penganggaran di Kabupaten Sumedang tergolong sangat minim baik dari sisi kuantitas maupun kualitas. Hal ini dapat dilihat dari jumlah keterlibatan perempuan yang masih sedikit dalam proses Musrenbang setiap tahunnya. Bila pun ada, hampir tidak ada usulan dari kelompok perempuan yang masuk dalam proses Musrenbang tersebut. Usulan program dan kegiatan yang dihasilkan Musrenbang pada setiap tahunnya pun belum memberi keberpihakan yang cukup bagi pengakomodasian kepentingan perempuan dalam program pembangunan di Kabupaten Sumedang. Hal ini dapat dilihat dari jumlah program dan kegiatan khusus bagi kelompok perempuan yang masih minim dalam APBD Kabupaten Sumedang. Akhirnya, kerangka partisipasi yang telah dan terus berkembang di Kabupaten Sumedang pasca-Perda No.1/2007 memang telah membuat percepatan bagi perwujudan perencanaan penganggaran daerah yang par tisipatif di Kabupaten Sumedang. Namun hal itu ternyata belum memberi efek yang signifikan terhadap percepatan pengentasan kemiskinan dan pengarusutamaan jender –yang merupakan salah satu tujuan pembangunan melalui mekanisme perencanaan penganggaran daerah. [ ]

83


Partisipasi, Reformasi Kelembagaan, dan Alokasi Anggaran: Pembelajaran dari lima Daerah

84


Bab 5

Menilai Derajat Partisipasi Warga: Studi Kasus Kota Depok Oleh : Endah Sricahyani Sucipto (Fitra Seknas) dan Roy Prygina (Fitra Depok)

Pengantar

K

ota Depok berada di sebelah selatan Provinsi DKI Jakarta. Jumlah penduduk Kota Depok pada tahun 2005 mencapai 1.374.522 jiwa. Luas wilayahnya cukup besar untuk sebuah kota, yaitu 200,29 km2, dengan tingkat kepadatan penduduk 6.863 jiwa/km2.

Sebagai salah satu kota besar, Kota Depok menghadapi dua masalah utama yaitu sampah dan pengelolaan situ. Terkait masalah sampah, Kota Depok bahkan pernah ditempatkan sebagai salah satu kota terkotor di Indonesia. Timbulan sampah cenderung meningkat dari tahun ke tahun, seiring dengan pencemaran lingkungan yang juga semakin meningkat, sehingga mengancam kualitas kesehatan masyarakat. Belum lagi estetika kota yang rusak karena tertutupi oleh sampah. Berdasarkan data Pemkot Depok, pada tahun 2005 jumlah timbulan sampah perhari sebesar 3.000 m 3, sedangkan yang mampu terangkut hanya sebanyak 1.320 m3 (44%). Pada tahun 2006, jumlah volume sampah meningkat menjadi 3.200 m3 perhari dan volume yang terangkut hanya sebanyak 1.752 m3 (54,74%).29 29 ����������������������������������������� Kebijakan Umum Anggaran 2008 Kota Depok.

85


Partisipasi, Reformasi Kelembagaan, dan Alokasi Anggaran: Pembelajaran dari lima Daerah

Masalah krusial kedua yang dihadapi masyarakat Kota Depok adalah ancaman bencana banjir. Dari tahun ke tahun volume banjir cenderung meningkat dan meluas sehingga korban bencana di wilayah pemukiman semakin meluas pula. Berdasarkan data dari Pemkot Depok, banjir itu di antaranya disebabkan keberadaan situ yang belum termanfaatkan sebagai kawasan resapan air dan partisipasi masyarakat dalam penanganan masalah banjir masih relatif kurang.30 Menghadapi kedua permasalahan tersebut Pemkot Depok telah mengeluarkan dua program unggulan untuk mengatasi penumpukan sampah dan banjir, yaitu Sistem Pengelolaan Sampah Terpadu (Sipesat) dan pengendalian banjir melalui pelestarian dan pemanfaatan fungsi situ. Kedua program ini diklaim menggunakan pola partisipatif. Dalam program Sipesat, konsep yang dikembangkan Pemkot Depok adalah mengenalkan prinsip pengelolaan 4R-P: reduce (mengurangi), reuse (menggunakan kembali), recycle (mendaur ulang), replace (mengganti barang berpotensi sampah dengan bahan yang di-recycle), dan participation (pelibatan masyarakat). Proses daur ulang dilakukan dengan cara mengolah sampah menjadi bahan yang bermanfaat, seperti kompos, briket, dan energi listrik.31 Dalam praktiknya, program Sipesat lebih banyak dilakukan dengan memadukan dua konsep pengelolaan, yaitu mereduksi sampah dan membangun partisipasi. Konsep reduksi mengacu pada sistem pereduksian sampah dan mengolahnya menjadi kompos. Sampah yang bisa dijadikan kompos hanyalah sampah organik. Untuk itu dibutuhkan upaya pemilahan sampah terlebih dahulu sebelum mengolahnya menjadi kompos. Untuk menjalankan pemilahan itu Walikota Depok kemudian memunculkan sebuah gagasan untuk melibatkan partisipasi seluruh masyarakat Kota Depok. Model

30 � Ibid. 31 ������������ Nurmahmudi, Op.Cit.

86


bagian ii - studi kasus BAB 5 - Menilai Derajat Partisipasi Warga: Studi Kasus Kota Depok

partisipasi yang digagas Pemkot Depok adalah mengajak masyarakat untuk bersama-sama melakukan kegiatan pemilahan sampah organik dan non-organik. Di dalam program pelestarian dan pemanfaatan fungsi situ, Pemkot Depok telah melaksanakannya sejak tahun 1999. Hal itu diwujudkan dengan membentuk Kelompok Kerja Pengendalian, Pengamanan, dan Pelestarian Fungsi Situ-Situ (Pokja Situ) melalui Keputusan Walikota No. 821.29/71/Kpts/Huk/1999. Dalam perkembangan berikutnya (tahun 2005) keanggotaan Pokja Situ direkstrukturisasi atas dorongan konsorsium LSM bernama Gugus Kerja Good Governance Jaringan Advokasi Anggaran (GGKGJangkar) yang ikut terlibat aktif dalam kerja advokasi pelestarian situ di Kota Depok. Keanggotaan Pokja Situ yang awalnya kebanyakan diisi oleh pejabat dan PNS Pemkot Depok kemudian digantikan dan diisi unsur-unsur masyarakat murni agar lebih efektif dan partisipatif. Tugas dan fungsi Pokja Situ adalah menyelenggarakan perencanaan, pelaksanaan, pengendalian, dan evaluasi pengelolaan situ-situ di Kota Depok, menyelenggarakan rehabilitasi, konservasi, penertiban, pengamanan, pemeliharaan dan pemberdayaan fungsi situ-situ secara tepat, serta berdaya guna dan berhasil guna.32 Kedua program Pemkot Depok tersebut dinilai telah berhasil mengatasi permasalahan sampah dan pelestarian situ di Kota Depok pola-pola partisipatif, dari awal sampai pada saat realisasi program. Fenomena ini menarik untuk diketahui, terutama mengenai sejauhmana tingkat dan derajat partisipasi masyarakat yang dibangun dan terbangun, serta seperti apa pola dan bentuk partisipasi masyarakat.

32 ���������������������������������������������������������������������� Laporan Status Lingkungan Hidup Daerah Kota Depok Tahun 2006, hal. 23.

87


Partisipasi, Reformasi Kelembagaan, dan Alokasi Anggaran: Pembelajaran dari lima Daerah

Regulasi dan Praktik Perencanaan Penganggaran Partisipatif Kota Depok tidak mengeluarkan regulasi yang mengatur secara khusus partisipasi masyarakat dalam proses pembuatan kebijakan dan anggaran. Partisipasi masyarakat hanya diatur secara tersirat di dalam Peraturan Daerah (Perda) Kota Depok Nomor 1 Tahun 2003 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah. Di dalamnya dinyatakan bahwa dalam rangka menyiapkan penyusunan APBD, DPRD, dan pemerintah daerah diwajibkan melaksanakan proses penjaringan aspirasi masyarakat dengan berpedoman pada rencana strategis (Renstra) daerah. Hasil penyaringan aspirasi tersebut akan dijadikan pedoman untuk menetapkan arah dan kebijakan umum APBD.33 Sebelum APBD dibahas dan ditetapkan melalui Perda, DPRD juga diwajibkan untuk mensosialisasikan RAPBD kepada masyarakat agar mendapatkan masukan terlebih dahulu. Hasil masukan tersebut akan dijadikan bahan kajian dalam penyempurnaan Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang APBD yang akan dilampirkan dan didokumentasikan dalam Perda tersebut.34 Pelembagaan partisipasi warga dalam perencanaan dan peganggaran di Kota Depok selanjutnya merujuk pada regulasi nasional, yaitu Surat Edaran Bersama (SEB) Mendagri dan Meneg BUMN No.1181/M/PPN/02/2006 yang memberikan ruang kepada seluruh masyarakat untuk berpartisipasi melalui forum musyawarah rencana pembangunan (Musrenbang) mulai dari desa/kelurahan, kecamatan, sampai kabupaten/kota. Di dalam Musrenbang tersebut, setiap masyarakat dapat menyampaikan usulan dan program-program untuk dibahas dan nantinya disusun berdasarkan skala prioritas kebutuhan masyarakat. Dalam praktiknya, berdasarkan pengalaman Fitra Depok selama melakukan advokasi pengawalan Musrenbang, proses ini 33 Pasal 30 34 ���������������������� Pasal 32 dan Pasal 90

88


bagian ii - studi kasus BAB 5 - Menilai Derajat Partisipasi Warga: Studi Kasus Kota Depok

cenderung tidak efektif dan derajat partisipasi yang sangat rendah. Penyebabnya karena telah terjadi kegagalan proses partisipasi sejak tahap awal. Tidak ada satu pun RT yang melaksanakan forum pra-Musrenbang dalam rangka menyerap aspirasi dan tuntutan masyarakat di masing-masing RT. Akibatnya ruang partisipasi menjadi tertutup, padahal level ini sangat penting dan menentukan sebagai embrio kemunculan gagasan dari masyarakat. Begitu pula di tingkat RW, sebagian besar RW juga tidak melaksanakan kegiatan pra-Musrenbang di wilayahnya. Memang masih terdapat beberapa RW yang melaksanakannya, namun peserta yang diundang hanya terbatas pengurus RT, tanpa melibatkan unsur masyarakat lainnya. Begitu pula yang terjadi di tingkat Musrenbang kelurahan, para peserta yang diundang oleh panitia hanyalah para pengurus RW. Dengan kualitas Musrenbang yang demikian, sudah dapat dipastikan tidak akan ada usulan dan gagasan yang murni digali dan disampaikan oleh masyarakat karena ruang partisipasi telah terputus sejak awal. Dari hasil penelitian, memang terlihat belum ada upaya dan komitmen serius dari pihak Pemkot Depok untuk memperbaiki kualitas Musrenbang yang derajat partisipasinya masih rendah. Bahkan terlihat kesan memandang remeh arti penting partisipasi masyarakat di dalam perencanaan, penyusunan kebijakan, dan anggaran. Sebagian elit Depok, terutama yang berada di level kelurahan, masih memandang masyarakat sebagai obyek yang tidak dibutuhkan partisipasinya, bahkan di tingkat perencanaan. Masyarakat masih dinilai belum memiliki kemampuan yang cukup untuk mengenal, menetapkan prioritas, dan menterjemahkan kebutuhan mereka dalam pembangunan. Oleh karena itu, mereka menganggap bagaimana pun tetap pemerintah yang harus menjadi aktor dominan dalam tahap perencanaan, penyusunan, serta penetapan arah kebijakan dan anggaran, termasuk dalam menetapkan skala prioritas kebutuhan masyarakat di dalam Musrenbang. Akibatnya forum Musrenbang dijalankan sebatas 89


Partisipasi, Reformasi Kelembagaan, dan Alokasi Anggaran: Pembelajaran dari lima Daerah

kegiatan formalitas untuk memenuhi ketentuan perundangundangan, tanpa diimbangi kesungguhan untuk menggali gagasan dan aspirasi masyarakat. Forum Musrenbang lebih cenderung bersifat sosialisasi dan penyuluhan daripada sharing dan assesment. Dalam beberapa kasus, pola Musrenbang demikian berimplikasi pada pengamputasian proses partisipasi. Partisipasi masyarakat dalam kebijakan dan anggaran —yang seharusnya dibangun sejak tahap awal perencanaan– dipotong dan baru dimulai pada tahap pelaksanaan (realisasi) program. Hal ini dapat dilihat secara jelas dalam kasus Sipesat. Wacana dan gagasan tentang pengelolaan sampah tidak dirintis dan digali dari masyarakat melalui forum-forum Musrenbang, namun bergulir terbatas di level elit kekuasaan. Bahkan ketika gagasan Sipesat dicetuskan oleh Walikota Depok, gagasan tersebut tidak pernah didiskusikan dengan masyarakat untuk memperkaya gagasan. Dengan demikian partisipasi pada tahap perencanaan sama sekali tidak terbangun. Partisipasi baru mulai terlihat ketika Sipesat telah menjadi salah satu prioritas program pembangunan di Kota Depok yang ditetapkan dalam RPJMD 2006-2011 –itu pun kebetulan sistem pengelolaan sampah menuntut adanya kerjasama dengan masyarakat. Partisipasi tersebut kemudian diterjemahkan dengan melibatkan masyarakat sebagai bagian dari pelaksana program pengelolaan sampah terpadu. Dalam hal ini dengan cara memberikan tugas dan tanggung jawab memilah sampah di level rumah tangga. Begitu pula dalam kasus situ. Awalnya program pelestarian situ merupakan program dari pemerintah pusat melalui Instruksi Mendagri Nomor 14 Tahun 1998 tentang Pembinaan dan Pengelolaan Situ-situ di Wilayah Jabodetabek. Penerbitan surat instruksi tersebut dilatarbelakangi penurunan fungsi situ yang berimplikasi pada bencana banjir di berbagai wilayah, termasuk di DKI Jakarta.

90


bagian ii - studi kasus BAB 5 - Menilai Derajat Partisipasi Warga: Studi Kasus Kota Depok

Situ lebih banyak dikenal sebagai daerah resapan air yang memiliki fungsi pokok pengendalian banjir. Di wilayah Jabotabek, situ memiliki peran yang sangat penting dalam menjaga volume air agar tidak meningkat dan menimbulkan banjir, khususnya di wilayah hilir (DKI Jakarta). Di kawasan Jabodetabek tercatat masih terdapat 198 situ –baik alami maupun buatan- yang tersebar secara merata. Dari jumlah tersebut, sebanyak 134 situ (68%) dalam keadaan rusak dan hanya 42 situ (20%) yang berada dalam kondisi baik. Sementara sebanyak sembilan situ (4,5%) telah terkonversi menjadi pemukiman atau bangunan lain. Selain itu ada dua situ hilang atau tidak jelas keberadaannya.35 Khusus di Kota Depok, dari 30 situ yang ada, diperkirakan sebanyak 28 situ berada dalam kondisi kritis. Hal tersebut selain karena endapan gulma, teratai liar, dan tumbuhan enceng gondok yang menutup permukaan air, disebabkan juga ulah penduduk yang memanfaatkan situ sebagai empang dan pemukiman. Sementara para pengembang juga banyak memakai lahan rawa dan situ untuk pembangunan real estate. Misalnya di Rawa Denok yang di atasnya kemudian berdiri perumahan Griya Pancoran Mas, dan di Rawa Buta yang di bekas lahannya berdiri komplek perumahan BDNI.36 Untuk menindaklanjuti instruksi Mendagri tersebut, Pemkot Depok akhirnya membentuk Kelompok Kerja (Pokja) Situ melalui Keputusan Walikota Depok Nomor 821.29/71/Kpts/Huk/1999 dengan tugas pokok: menyelenggarakan perencanaan, pelaksanaan, pengendalian, dan evaluasi pengelolaan situ-situ; serta menyelenggarakan rehabilitasi, konservasi, penertiban, pengamanan, pemeliharaan, dan pemberdayaan fungsi-fungsi situ secara tepat melalui pemberdayaan masyarakat. Namun dalam perkembangannya pembentukan Pokja Situ tidak efektif. Penyebabnya karena keanggotaan Situ sebagian besar diisi

35 USAID dan LGSP, Profil Kelompok Kerja (Pokja) Situ Kota Depok, hal 6. 36 Ibid, hal 7.

91


Partisipasi, Reformasi Kelembagaan, dan Alokasi Anggaran: Pembelajaran dari lima Daerah

pejabat dari dinas di lingkungan Pemerintahan Kota Depok, camat, dan lurah yang telah memiliki tugas dan pekerjaannya sendiri berkaitan dengan profesinya sebagai PNS. Akibatnya kerja-kerja pengelolaan situ menjadi telantar karena dinomorduakan oleh para pejabat itu. Sebagian besar Pokja Situ dalam kurun waktu 1999 sampai tahun 2005 cenderung stagnan. Kalau pun terdapat program-program pelestarian situ seperti pengerukan dan penurapan, kerja-kerja tersebut murni atas inisiatif pemerintah, baik pemerintah pusat maupun Pemkot Depok tanpa melibatkan partisipasi masyarakat. Penempatan aparat pemerintah dalam Pokja Situ itu dikarenakan ada anggapan yang menyebutkan bahwa hanya PNS yang paling rasional dan memungkinkan untuk menjalankan tugas-tugas pengelolaan dan pelestarian situ, dan tidak mungkin melibatkan masyarakat. Walaupun disadari hal tersebut merupakan tanggung jawab bersama antara pemerintah dan masyarakat, bentuk pelibatan masyarakat tidak ditempatkan dalam level Pokja Situ karena tingkat kesadaran masyarakat terhadap kelestarian situ masih dipandang rendah. Bahkan masyarakat dituding sebagai aktor utama yang menyebabkan situ di berbagai wilayah di Kota Depok menjadi kritis, baik karena tindakan-tindakan reclaiming maupun pengkonversian situ secara liar menjadi lahan pemukiman, sawah, dan tambak/empang. Oleh karena itu, tugas berat yang diberikan kepada Pokja Situ saat itu adalah berupaya membangun dan meningkatkan kesadaran dan pengetahuan masyarakat akan peran penting situ, serta mengajak mereka untuk ikut bertanggungjawab dalam mengelola situ. Namun ternyata tugas-tugas tersebut gagal karena selain karena Pokja Situ vakum, arti penting pengelolaan situ juga tidak tersampaikan ke masyarakat dengan baik. Hal itu disebabkan pemerintah tidak pernah berupaya mendalami kebutuhan-kebutuhan masyarakat sekitar situ untuk kemudian diintegrasikan dengan program pelestarian situ. Akibatnya masyarakat merasa tidak mendapatkan manfaat yang dapat

92


bagian ii - studi kasus BAB 5 - Menilai Derajat Partisipasi Warga: Studi Kasus Kota Depok

dirasakan secara langsung dengan ikut mengelola dan melestarikan situ, baik berupa kerja bakti penurapan maupun pengerukan situ. Adalah masyarakat sekitar Situ Sawangan yang pada akhirnya mampu mengintegrasikan kebutuhan masyarakat dengan program pelestarian situ. Hal itu dilakukan dengan cara mengembangkan bibit tanaman hias di sekitar bibir situ sehingga mengubah kawasan situ menjadi taman yang cukup indah. Nilai estetika yang muncul dari tanaman hias yang ditanam di sekitar situ telah memunculkan daya tarik masyarakat untuk datang dan menjadikannya sebagai sarana rekreasi. Pemanfaatan situ sebagai sarana rekreasi tersebut secara tidak langsung telah memberikan manfaat dan keuntungan tersendiri bagi masyarakat di sekitar Situ Sawangan. Berbagai kegiatan ekonomi pun mulai berkembang seiring dengan semakin banyak masyarakat yang datang berekreasi. Gagasan masyarakat Situ Sawangan tersebut memang sangat menarik untuk dianalisis. Kesadaran dan partisipasi masyarakat dalam pelestarian situ justru lahir secara alami dari masyarakat, tanpa terpengaruh dengan ada atau tidaknya program dan alokasi anggaran pelestarian situ dari pemerintah. Gagasan ini juga secara tidak langsung telah mematahkan tesis yang menyatakan upaya pelestarian situ akan selalu berkontradiksi dengan kebutuhan ekonomi masyarakat sekitar situ. Asumsi tersebut didasarkan pada satu pandangan bahwa di satu sisi pelestarian situ dibutuhkan untuk konservasi, cadangan air, dan pengendali banjir. Sedangkan di sisi lain kebutuhan ekonomi masyarakat memaksa untuk mengkonversi situ menjadi pemukiman, sawah, dan tambak ikan. Jika demikian, sampai kapan pun upaya pelestarian situ tidak akan pernah berjalan efektif karena akan terus berbenturan dengan kebutuhan ekonomi masyarakat sekitar situ. Asumsi itu berhasil dipatahkan oleh masyarakat Situ Sawangan. Pelestarian situ dan kebutuhan ekonomi masyarakat ternyata 93


Partisipasi, Reformasi Kelembagaan, dan Alokasi Anggaran: Pembelajaran dari lima Daerah

mampu disinergikan dalam hubungan simbiosis mutualisme (saling menguntungkan) dengan mengembangkan pemanfaatan situ sebagai sarana rekreasi. Dengan pola seperti yang dibangun di Sawangan maka pelestarian situ dapat berjalan secara alami. Masyarakat akan membangun kesadarannya sendiri karena merasa ikut berkepentingan atas kelestarian situ sebagai salah satu matapencaharian mereka. Gagasan masyarakat sekitar Situ Sawangan akhirnya ditangkap dan coba dikembangkan oleh dua NGO Depok yang concern di bidang lingkungan hidup: Forum Depok Sehat dan Depok Wacht (Dewa). Pola pemanfaatan situ di Sawangan akhirnya menjadi sumber inspirasi untuk menyusun sebuah program pelestarian situ dengan cara menjadikan situ sebagai obyek wisata berwawasan lingkungan (agrowisata) seperti yang dilakukan masyarakat Sawangan. Dalam penyusunan program tersebut, Forum Depok Sehat dan Depok Wacht menggunakan konsorsium NGO yang telah ada sebelumnya, yaitu Gugus Kerja untuk Good Governance Jaringan Advokasi Anggaran (GKGG-Jangkar)37 untuk lebih memperkuat kerja-kerja advokasi pelestarian situ yang dilaksanakan kemudian. Rencana program pelestarian situ yang disusun Jangkar tersebut dalam perkembangannya mendapatkan dukungan pendanaan Local Governance Support Program-USAID. Kerja-kerja yang dilakukan Jangkar untuk memperluas ide pemanfaatan situ sebagai obyek wisata dilakukan di 19 (sembilan belas) lokasi situ.

37 Gugus Kerja untuk Good Governance Jangkar adalah konsorsium NGO yang dibentuk pada tahun 2005 dan terdiri atas 9 NGO: LIPP, LP2MAS, Dewa, Forum Depok Sehat, Fitra Depok, PPK Madani, Kapal Perempuan Depok, KPI, dan Bismi. Gugus Kerja Jangkar memiliki sejumlah rencana aksi tahunan yang terbagi dalam tiga kategori kegiatan besar: pengorganisasian rakyat, advokasi kebijakan, dan pemantauan masyarakat dalam rangka gerakan anti-korupsi. Isu strategis yang diwacanakan Jangkar pada tahun 2006 adalah peningkatan pelayanan publik dan peran serta masyarakat dalam pengelolaan situ di Kota Depok.

94


bagian ii - studi kasus BAB 5 - Menilai Derajat Partisipasi Warga: Studi Kasus Kota Depok

Derajat Partisipasi Pengelolaan Sampah dan Situ 1.

Kasus Program Sistem Pengelolaan Sampah Terpadu Dalam program Sistem Pengelolaan Sampah Terpadu (Sipesat), derajat partisipasi masyarakat cenderung rendah, karena partisipasi baru dimulai pada tahapan realisasi program. Forum Musrenbang yang sebenarnya dapat dijadikan sebagai wahana partisipasi urun-rembug untuk menyelesaikan persoalan sampah, sama sekali tidak dimanfaatkan oleh Pemkot Depok. Wahana partisipasi warga mulai dibangun oleh Pemkot Depok pada saat Sipesat telah selesai pada tataran konsep untuk diarahkan ke tingkat pelaksanaan program. Dalam hal ini, Pemkot memanfaatkan Musrenbang di seluruh kelurahan sebagai wahana untuk mensosialisasikan rencana program. Konsep partisipasi Sipesat disusun dengan memadukan dua konsep pengelolaan, yaitu mereduksi dan membangun partisipasi. ���������������������������������������������� Konsep reduksi dilakukan dengan cara mengolah sampah organik menjadi kompos. Pemilahan sampah organik dan non-organik dijalankan dengan melibatkan partisipasi seluruh masyarakat Kota Depok. Model partisipasi yang dikehendaki adalah membiasakan masyarakat untuk langsung memilah sampahnya ke dalam dua tempat, yaitu tempat sampah organik (misal sisa sayuran dan nasi) dan tempat sampah non-organik (misal plastik, kayu, dan besi). Untuk itu akan disediakan tempat penampungan sampah di tiap-tiap lingkungan masyarakat yang juga telah terpilah/terpisah. Sebagai langkah awal, program yang dilakukan oleh Pemkot Depok adalah rencana pembangunan pilot project Sipesat dan sosialisasi ke seluruh lapisan masyarakat dalam rangka membangun kesadaran. Dalam rangka efektivitas sosialisasi Sipesat, Pemkot Depok melalui Dinas Kebersihan dan Lingkungan Hidup membangun kerjasama dengan NGO yang concern terhadap isu lingkungan hidup di Kota Depok seperti 95


Partisipasi, Reformasi Kelembagaan, dan Alokasi Anggaran: Pembelajaran dari lima Daerah

Forum Depok Sehat, tokoh masyarakat, dan ulama untuk menjadi bagian dalam tim sosialisasi. Sasaran sosialisasi adalah elemen-elemen masyarakat yang dipandang potensial dan mampu menggerakkan masyarakat, misalnya kelompok PKK, majelis ta’lim, dan karang taruna. Ketiga elemen tersebut paling tidak dinilai telah memiliki pengalaman yang cukup panjang dalam berbagai kegiatan sosial yang melibatkan masyarakat secara langsung. Dalam elemen-elemen tersebut akan dicetak kader-kader (team leader) yang bertugas membangun kesadaran masyarakat sekaligus menggerakkannya dalam kegiatan pemilahan sampah. Untuk membangun pilot project (proyek percontohan) Sipesat, Pemkot Depok membangun kerjasama secara langsung dengan masyarakat yang diwakili oleh Lembaga Perwakilan Masyarakat (LPM) sebagai lembaga perwakilan warga di tingkat kelurahan. Menurut mantan Kepala Seksi Kebersihan dan Lingkungan, Komaruddin, pemilihan unsur LPM didasarkan pada dua pertimbangan pokok. Pertama LPM merupakan representasi (wakil) masyarakat di masingmasing kelurahan. Pelibatan LPM ini merupakan wujud konsistensi terhadap konsep partisipasi masyarakat yang dikembangkan Pemkot Depok. Kedua, rencana pembangunan Unit Pengolahan Sampah (UPS) memang akan dipusatkan di tiap-tiap kelurahan, sehingga LPM Kelurahan sangat dibutuhkan keterlibatannya. LPM yang dipilih sebagai lokasi percontohan adalah LPM Kelurahan Tugu Asri. LPM Tugu Asri dinilai paling siap untuk melaksanakan pilot project Sipesat dibandingkan dengan LPM lainnya di Kota Depok. Kesiapan tersebut dilihat dari tingkat kesadaran masyarakat Tugu Asri yang telah terbangun. Selain itu, telah tersedia lokasi tanah yang dapat dijadikan sebagai tempat pengolahan sampah (tanah Fasilitas Sosial-Fasilitas Umum yang dikelola Pemkot Depok). Sedangkan berdasar

96


bagian ii - studi kasus BAB 5 - Menilai Derajat Partisipasi Warga: Studi Kasus Kota Depok

pengamatan di lapangan, Kelurahan Tugu Asri rata-rata dihuni oleh masyarakat yang memiliki tingkat ekonomi menengah ke atas, bahkan Walikota Depok juga tinggal di wilayah Kelurahan Tugu Asri. Pelibatan LPM juga merupakan bagian dari cara yang dilakukan Pemkot Depok untuk mencairkan dana APBD bagi program Sipesat. Pada saat itu (2006) program Sipesat belum menjadi bagian dari program resmi Kota Depok sehingga di dalam APBD 2006 tidak ada anggarannya. Satu-satunya peluang untuk mengambil dana dari APBD hanyalah dari pos dana bencana alam yang akan dicairkan dalam bentuk dana stimulan. Namun syaratnya harus ada permintaan dari masyarakat secara langsung. Oleh karena itu untuk pendanaan Sipesat, Pemkot Depok harus membangun kerjasama dengan LPM. Bentuk kerjasamanya adalah dengan menyerahkan pelaksanaan (pengelolaan) pilot project Sipesat kepada LPM yang ditunjuk. Selanjutnya LPM yang ditunjuk dapat mengajukan proposal pencairan dana untuk program Sipesat kepada Pemkot Depok. Total dana stimulan yang dicairkan untuk LPM Tugu Asri adalah sebesar Rp 111 juta dan dipergunakan untuk biaya operasional pengelolaan sampah. Secara umum gagasan program Sipesat mendapatkan banyak dukungan di tingkat masyarakat setelah ada proses sosialisasi yang dilakukan oleh Dinas Kebersihan dan Lingkungan Hidup di berbagai seminar dan Musrenbang. Namun banyak juga masyarakat yang menolak karena khawatir akan terganggu bau busuk sampah jika lokasi pengolahan sampah ditempatkan di lingkungan mereka. Di tingkatan elit, respon terhadap program Sipesat cenderung lebih rumit karena bercampur aduk dengan konflik pascaPilkada. Pada awalnya, gagasan Sipesat tidak didukung, bahkan tidak disetujui oleh sebagian besar anggota DPRD

97


Partisipasi, Reformasi Kelembagaan, dan Alokasi Anggaran: Pembelajaran dari lima Daerah

Kota Depok –kecuali yang berasal dari Fraksi PKS. Bentuk ketidak-setujuan tersebut ditunjukkan dengan tidak mendukung program Sipesat untuk masuk menjadi salah satu program di dalam APBD 2007. Dalam APBD Perubahan 2007, program Sipesat juga masih ditolak dengan alasan program tersebut masih perlu dikaji lebih dalam lagi. Alokasi dana pun kemudian diubah untuk program kajian dengan alokasi anggaran Rp 150 juta. Itu pun gagal dicairkan karena APBD-P 2007 terlambat disahkan (baru disahkan bulan November 2007) karena memang sengaja diulur-ulur oleh DPRD Kota Depok. Alasan penolakan DPRD (non-Fraksi PKS) sebenarnya lebih bersifat politis. Menurut mereka program Sipesat dinilai sangat “berbau” Nurmahmudi. Selama proses sosialisasi, baik di tingkat masyarakat, media massa, dan daerah-daerah, walikota sengaja membangun opini untuk memunculkan sebuah asumsi publik bahwa Sipesat adalah karya dan gagasan pribadi Nurmahmudi (Walikota) yang notabene adalah kader PKS. Akibatnya Sipesat bagi kelompok oposisi dipandang tidak lebih sebagai bentuk kampanye untuk mengharumkan nama Nurmahmudi dan partainya sendiri. Akhirnya di dalam pembahasan R-APBD 2008 gagasan Sipesat disetujui menjadi program Pemkot Depok setelah ada “kompromi politik” antara walikota dan DPRD. Kompromi politiknya adalah nama Sipesat harus diganti menjadi program UPS (Unit Pengolahan Sampah). Pengubahan nama tersebut oleh kelompok oposisi di DPRD dinilai penting agar program pengolahan sampah di Kota Depok dapat berjalan secara fair tanpa perlu lagi ada claim dari walikota bahwa Sipesat adalah gagasan pribadi. Di dalam APBD 2008 telah disetujui alokasi anggaran sebesar Rp 120 miliar yang akan digunakan untuk pengadaan alat (mesin) pengolah sampah sebanyak 20 unit, masing-masing unit seharga Rp 300 juta. Sisanya digunakan untuk biaya 98


bagian ii - studi kasus BAB 5 - Menilai Derajat Partisipasi Warga: Studi Kasus Kota Depok

operasional alat, juga sebesar Rp 300 juta per-unit. Namun sampai penelitian ini selesai dilaksanakan, APBD 2008 Kota Depok masih belum disahkan. 2. Kasus Program Pelestarian Situ Partisipasi masyarakat dalam isu pelestarian situ mulai terbangun ketika konsorsium NGO Depok yang tergabung dalam Jangkar mulai melakukan kerja-kerja advokasi pelestarian situ. Partisipasi tersebut didasarkan pada sebuah ide pemanfaatan situ sebagai obyek wisata alam seperti yang dikembangkan oleh masyarakat Situ Sawangan. Konsep tersebut memang belum pernah tergali dan tersampaikan ke wilayah pengambil kebijakan karena tidak ada upaya dari masyarakat Sawangan untuk menjadikannya sebagai suatu proyek percontohan. Selain itu, kondisi Situ Sawangan yang cukup baik membuat masyarakat Sawangan merasa tidak terlalu membutuhkan bantuan anggaran dari pemerintah untuk meningkatkan kualitas fasilitas publik di sekitar situ sehingga mempunyai daya tarik lebih di mata wisatawan. Akibatnya, perkembangan situ yang telah menjadi obyek wisata belum pernah disampaikan di dalam forum partisipatif (Musrenbang) sehingga tidak sampai terekspos ke tingkat yang lebih luas. Akhirnya program-program lingkungan hidup di Kota Depok yang berkaitan dengan pengelolaan situ masih terbatas pada ide-ide yang terfokus pada perbaikan fisik yang bersifat pelestarian belaka, belum menyentuh pada program-program pengembangan pariwisata. Di luar Sawangan, khususnya di masyarakat sekitar situ lainnya, proses partisipasi dalam pelestarian situ –terutama di tahap usulan perencanaan, hampir dikatakan tidak ada. Penyebabnya karena masyarakat tidak melihat ada manfaat dari pelestarian situ di wilayahnya sehingga tidak masuk dalam usulan kebutuhan masyarakat. Justru sebaliknya, atas dasar tuntutan ekonomi membuat masyarakat melakukan 99


Partisipasi, Reformasi Kelembagaan, dan Alokasi Anggaran: Pembelajaran dari lima Daerah

inovasi yang bersifat naluriah dengan memanfaatkan (mengkonversi) situ sebagai lahan sawah, pemukiman, dan tambak ikan. M a s ya ra k at s e b e n a r nya m e nya d a r i j i k a t i n d a k a n pengkonversian situ tersebut merupakan tindakan yang salah karena mengancam kelestarian dan keberadaan situ sebagai sumber resapan air. Namun lilitan ekonomi akibat kemiskinan membuat masyarakat tidak memiliki pilihan lain selain menjadikan situ sebagai lahan ekonomi mereka. Itu yang menyebabkan program pelestarian situ yang disosialisasikan dalam Musrenbang oleh pemerintah tidak mendapatkan respon sama sekali dari masyarakat sekitar situ. Jangkar memulai proses partisipasi dalam pengelolaan situ dengan cara masuk ke tengah masyarakat di sembilan belas situ yang tersebar di wilayah Depok. Isu yang dibawa dalam pelestarian situ adalah pemanfaatan situ sebagai obyek wisata untuk memenuhi kebutuhan ekonomi masyarakat sekitar situ. Situ Sawangan dijadikan sebagai contoh sukses untuk strategi ini. Proses partisipasi dibangun melalui penyadaran terhadap warga dan kontrol terhadap kebijakan. Upaya penyadaran dilakukan dengan cara membangun diskusi komunitas serta dialog dengan masyarakat secara langsung. Materi diskusi yang dikembangkan oleh Jangkar mencakup pemberian pemahaman kepada masyarakat tentang arti penting Musrenbang sebagai sarana bagi masyarakat dalam mengajukan gagasan, aspirasi, dan tuntutannya agar arah pembangunan dan kebijakan anggaran Kota Depok bisa lebih berpihak kepada mereka. Dengan materi tersebut diharapkan akan lahir kesadaran masyarakat atas anggaran sehinga mau berperan serta dalam setiap perencanaan anggaran yang dimulai dari forum Musrenbang. Di tengah-tengah diskusi, Jangkar juga melakukan berbagai assesment terhadap kemiskinan untuk mengidentifikasi kebutuhan mendasar (basic need) masyarakat sekitar situ. 100


bagian ii - studi kasus BAB 5 - Menilai Derajat Partisipasi Warga: Studi Kasus Kota Depok

Hasil indentifikasi tersebut kemudian diklasifikasi ke beberapa sektor seperti pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur ekonomi. Pasca-identifikasi, Jangkar mengajak masyarakat bersama-sama untuk merumuskan program alternatif –yang nantinya akan disampaikan dalam Musrenbang- yang dinilai berpeluang mengentaskan kemiskinan. Salah satunya sengaja didorong untuk memunculkan usulan program pemanfaatan situ sebagai obyek wisata dengan mengambil contoh Situ Sawangan. Namun sebelumnya, masyarakat telah terlebih dahulu diajak diskusi tentang persoalan kelestarian situ yang seringkali berbenturan dengan kebutuhan ekonomi masyarakat. Diskusi ini diarahkan untuk memunculkan kesimpulan bahwa ternyata situ tetap bisa dimanfaatkan tanpa harus mengkonversinya menjadi lahan sawah ataupun tambak ikan, tetapi bisa juga dengan mengembangkannya sebagai obyek wisata tanpa harus mengganggu kelestarian situ. Untuk lebih menjamin kualitas partisipasi masyarakat dalam Musrenbang, sekaligus sebagai kontrol terhadap proses Musrenbang, Jangkar juga melakukan langkah-langkah intervensi dengan cara ikut hadir mengawal Musrenbang di setiap tingkatan. Jangkar menilai pengawalan tersebut sangat diperlukan untuk menjaga keseimbangan forum mengingat kapasitas masyarakat dan pemerintah tidak sejajar. Keterbatasan pengetahuan masyarakat menjadi titik lemah masyarakat yang seringkali membuat Musrenbang berjalan timpang dan didominasi pihak pemerintah. Sebagai hasilnya, di berbagai Musrenbang kelurahan mulai muncul usulan program pemanfaatan situ sebagai obyek wisata yang dijadikan sebagai salah satu kebijakan program Pemkot Depok. Masyarakat juga mulai berani menuntut pengalokasian anggaran yang lebih dalam program-program situ yang selama ini diberikan oleh pemerintah. Jika awalnya program pelestarian situ hanya sebatas perbaikan sarana

101


Partisipasi, Reformasi Kelembagaan, dan Alokasi Anggaran: Pembelajaran dari lima Daerah

fisik berupa penurapan dan pengerukan, masyarakat sudah mulai meminta alokasi anggaran untuk penambahan fasilitas-fasilitas wisata seperti pengadaan bibit ikan untuk pemancingan dan pengadaan perahu sampan sebagai sarana rekreasi. Masyarakat juga meminta alokasi anggaran yang lebih untuk perbaikan infrastruktur fisik khususnya untuk pembuatan dan perbaikan jalan (pengaspalan) di sekitar situ, pembuatan jogging track dan penanaman pohon untuk memperindah situ. Langkah-langkah advokasi lain yang dilakukan Jangkar dalam upaya memperdalam partisipasi masyarakat adalah dengan jalan memotong jalur penyaluran aspirasi dan tuntutan masyarakat. Awalnya saluran partisipasi hanya terfokus pada Musrenbang yang bertingkat dan membutuhkan waktu yang cukup panjang. Jangkar kemudian memotong jalur penyaluran dengan jalan mengadakan hearing langsung dengan eksekutif dan legislatif. Melalui hearing tersebut diharapkan usulan-usulan masyarakat dapat langsung diterima oleh pemegang kebijakan tanpa perlu lagi diperumit oleh birokrasi seperti di dalam mekanisme Musrenbang. Keberhasilan Jangkar yang paling menonjol dalam pembangunan partisipasi masyarakat adalah restrukturisasi Pokja Situ dan menggantikan keanggotaan Pokja dengan unsur-unsur masyarakat murni. Dalam perkembangannya, Pokja Situ yang dibentuk ulang oleh Jangkar tersebut ternyata cukup efektif dalam meningkatkan derajat partisipasi masyarakat karena Pokja Situ mampu menjadi leader dalam gerakan-gerakan advokasi pelestarian situ selanjutnya. Bahkan dalam perkembangannya, Pokja Situ telah mampu membangun jaringan sendiri baik dengan pemerintah, media massa, maupun NGO. Jika diukur dari produk kebijakan, capaian kerja advokasi yang dilakukan Jangkar telah berhasil melahirkan kesepakatan bersama antara Pemkot Depok dan Jangkar (mewakili

102


bagian ii - studi kasus BAB 5 - Menilai Derajat Partisipasi Warga: Studi Kasus Kota Depok

masyarakat) yang dituangkan dalam Surat Kesepakatan Kerjasama Nomor 006/002/2005 tertanggal 5 Oktober 2005 yang isinya bersepakat menjalankan program bersama untuk meningkatkan kinerja pemerintahan, partisipasi masyarakat, transparansi dan akuntabilitas serta penyediaan pelayanan di Kota Depok yang salah satu prioritasnya adalah pemanfaatan situ, danau, dan sungai sebagai obyek wisata berwawasan lingkungan (wisata agro). Atas kesepakatan kerjasama tersebut, akhirnya programprogram pelestarian situ melalui pemanfaatan sebagai obyek wisata alam mulai teralokasikan di dalam APBD. Di dalam APBD Kota Depok, kerja advokasi Jangkar dalam pelestarian situ telah dituangkan dalam Pos Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan dalam Program Pengelolaan Situ Berbasis Masyarakat. Untuk tahun 2007, alokasi pengelolaan situ sebesar Rp 107,63 juta untuk Situ Bahar yang terletak di Kelurahan Sukamaju, Kecamatan Sukmajaya. Program-program yang telah dilaksanakan antara lain: pembersihan situ, perbaikan jalan sekitar situ, pembuatan bando dan papan larangan, pengadaan paving block dan pengadaan bibit tanaman. Untuk tahun 2008 alokasi pengelolaan situ masih sama dengan alokasi di tahun 2007 yaitu Rp 107,63 juta, namun lokasi situ difokuskan ke Situ Sawangan yang terletak di Kelurahan Sawangan, Kecamatan Sawangan. �������������������������������������������� Program-programnya antara lain: pembersihan situ, perbaikan jalan sekitar situ, pembuatan bando, dan pengadaan bahan baku bangunan.

Belajar dari Proses Partisipasi Kota Depok Dari hasil penelitian di Kota Depok dapat diketahui jika model partisipasi yang dibangun dalam forum Musrenbang Kota Depok ternyata masih mengandung beberapa kelemahan yang membuat derajat partisipasi masyarakat masih rendah. Beberapa penyebabnya antara lain:

103


Partisipasi, Reformasi Kelembagaan, dan Alokasi Anggaran: Pembelajaran dari lima Daerah

1.

Bagi masyarakat, forum Musrenbang adalah pengalaman baru untuk terlibat dalam proses perencanaan kebijakan dan anggaran, sehingga masih dibutuhkan waktu untuk membangun rasa percaya diri mereka agar berani dan kritis dalam menyampaikan pendapat, gagasan, dan aspirasinya. Namun pemerintah (Pemkot Depok) sepertinya tidak (mau) memahami persoalan ini sehingga di dalam forum Musrenbang, pemerintah masih bersifat hegemonik dan arogan sehingga masyarakat semakin minder dan takut untuk menyampaikan pendapat dan gagasannya.38 Akibatnya forum Musrenbang berjalan secara timpang dan lebih mirip forum sosialisasi program daripada forum penggalian aspirasi;

2.

Tingkat kesadaran terhadap arti penting partisipasi masyarakat dalam Musrenbang masih sangat rendah, khususnya mulai dari kelurahan hingga tingkat di bawahnya. Masih banyak pandangan yang menyatakan bahwa partisipasi masyarakat dalam proses perencanaan sebenarnya tidak perlu dilaksanakan karena masyarakat dinilai tidak akan mampu menyusun program-program pembangunan. Oleh karena itu pembangunan partisipasi masyarakat di Kota Depok menjadi tertutup karena telah diamputasi sejak pra-Musrenbang RT/RW sampai Musrenbang kelurahan, yaitu dengan tidak melibatkan masyarakat secara langsung di dalamnya;

3.

Forum Musrenbang tidak pernah diakhiri dengan pembuatan kesepakatan besama antara pemerintah dan masyarakat. Akibatnya forum musrenbang lebih cenderung bersifat konsultatif. Tidak ada keharusan dari pemerintah untuk menindaklanjutinya dalam program kebijakan dan anggaran. Tidak ada sanksi jika usulan masyarakat tidak diteruskan kecuali moral dan etik.

Dengan demikian potensi usulan-usulan masyarakat hilang ketika memasuki lingkar kekuasaan sangat besar. Model seperti ini harus 38 Diangkat dari pengalaman JANGKAR selama melakukan pengawalan musrenbang dalam kerja-kerja advokasi pelestarian situ.

104


bagian ii - studi kasus BAB 5 - Menilai Derajat Partisipasi Warga: Studi Kasus Kota Depok

diakui sama sekali tidak partisipatif karena tidak ada aturan yang memaksa pemerintah untuk memenuhi tuntutan dan aspirasi yang berasal dari masyarakatnya. Bagi internal Pemkot Depok, pada umumnya konsep partisipasi masih lebih banyak diartikan sebagai upaya pelibatan masyarakat dalam pelaksanaan program. Partisipasi yang seharusnya dimulai dari proses perencanaan dipotong langsung pada realisasi program. Dalam menyusun rencana-rencana program, gagasan lebih banyak dicetuskan, didiskusikan, dan diselesaikan di wilayah elit. Musrenbang hanyalah alat sosialisasi program yang telah dicetuskan. Tidak terlihat ada upaya mengajak sharing dan urunrembug masyarakat dalam memecahkan persoalan-persoalan publik untuk kemudian diterjemahkan pada solusi program. Jika menggunakan bahasa sederhana “masyarakat tinggal terima jadi, urusan konsep diserahkan sepenuhnya kepada pemerintah sehingga tidak perlu ada partisipasi�. Forum-forum diskusi publik yang dikemas dalam bentuk-bentuk hearing atau audiensi dengan pemerintah ternyata lebih efektif dalam membuka dan meningkatkan derajat partisipasi masyarakat dibandingkan dengan metode partisipasi yang dikembangkan dalam Musrenbang. Kelebihan-kelebihan tersebut antara lain: 1.

Masyarakat bisa langsung menyampaikan tuntutannya di tingkatan tertinggi. Berbeda dengan Musrenbang yang harus diusulkan secara bertingkat mulai dari tahap pra-Musrenbang RT sampai Musrenbang kota, yang justru membuat banyak usulan masyarakat hilang dan tidak tersampaikan pada saat memasuki tahap pembahasan anggaran;

2.

Masyarakat memiliki ruang dan kesempatan yang cukup luas dalam menyampaikan berbagai tuntutan dan persoalan karena terfokus pada satu atau dua isu saja, berbeda dengan Musrenbang yang langsung membahas semua sektor;

3.

Pemerintah tidak lagi sebagai pihak penyampai program seperti yang dilakukan di dalam Musrenbang, tetapi lebih

105


Partisipasi, Reformasi Kelembagaan, dan Alokasi Anggaran: Pembelajaran dari lima Daerah

banyak menjadi pendengar dan penyerap dari setiap tuntutan dan aspirasi yang disampaikan oleh masyarakat. Masyarakat pun memiliki keberanian untuk berbicara lebih panjang disertai argumen dan berbagai rasionalisasi yang terkait dengan tuntutannya; 4.

Kesempatan untuk bernegosiasi lebih terbuka karena ada argumen dan rasionalisasi yang mendasari tuntutan dari masyarakat. Pemerintah mau tidak mau harus menyampaikan responnya disertai rasionalisasi pula. Pada saat itulah negosiasi berjalan sampai berada pada titik yang dapat mempertemukan antara tuntutan masyarakat dan kebijakan yang dikeluarkan pemerintah.

Di tengah proses pembelajaran masyarakat berpartisipasi dalam proses pembangunan, peranan NGO ataupun CSO lain yang concern terhadap penganggaran partisipatif ternyata masih sangat dibutuhkan untuk membantu masyarakat dalam membangun kesadarannya akan hak-haknya atas anggaran. Selain itu masih diperlukan upaya pemberdayaan masyarakat mengenai segala hal yang berkait dengan anggaran untuk membangun pola pikir kritis di tengah masyarakat. Peran NGO masih sangat menentukan peningkatan derajat partisipasi masyarakat. Dari hasil penelitian di Kota Depok, juga ketahui bahwa ternyata tidak semua isu kebijakan publik yang bisa diarahkan pada upaya pembangunan partisipasi masyarakat. Untuk Kota Depok contohnya, dalam membangun kesadaran partisipasi masyarakat terkait penanganan sampah dan pelestarian situ menghadapi kendala besar karena kedua isu tersebut tidak berkaitan langsung dengan kebutuhan dasar masyarakat. Wajar jika kemudian proses membangun partisipasi dengan menggunakan isu kebijakan publik ini (sampah dan pelestarian situ) sangat sulit dikembangkan di tengah masyarakat. Itu dimungkinkan karena masyarakat tidak dapat mengkaitkan antara manfaat kedua isu tersebut dengan kebutuhan dasar mereka. [ ]

106


Bab 6

Mengembalikan Hak Daulat Warga: Studi Kasus Kabupaten Kupang Oleh : Fridolin Berek (YSNI)

Pengantar

K

abupaten Kupang adalah salah satu kabupaten dari 20 kabupaten/kota yang berada di Provinsi Nusa Tengara Timur. Wilayah Kabupaten Kupang terdiri atas 27 pulau, dengan luas wilayah daratan 5.898,22 km2. Pada tahun 2006, jumlah penduduk Kabupaten Kupang mencapai 383.608 jiwa, dengan rata-rata kepadatan penduduk 62 jiwa/km2.

Dalam sistem pemerintahan, hampir setiap tahun Kabupaten Kupang melakukan pemekaran. Pemekaran itu dilakukan baik di tingkat kecamatan maupun tingkat desa/kelurahan. Berdasarkan data BPS Kabupaten Kupang pada tahun 2007, secara administratif Kabupaten Kupang terbagai ke dalam 29 kecamatan, 218 desa dan 22 kelurahan, 948 dusun, 1.640 rukun warga, dan 3.438 rukun tetangga. Sejak tahun 2005, pemerintah Kabupaten Kupang telah menetapkan satu isu sentral yakni Pemberdayaan Masyarakat dengan filosofi “Memulai dari apa yang ada dan apa yang dimiliki oleh masyarakat�. Isu sentral dalam Renstra ini, secara terus menerus dijadikan isu strategis pertama dalam RKPD sejak 2006.

107


Partisipasi, Reformasi Kelembagaan, dan Alokasi Anggaran: Pembelajaran dari lima Daerah

Dinamika Perencanaan dan Penganggaran Daerah Salah satu mekanisme perwujudan partisipasi dalam proses perencanaan-penganggaran adalah penyelenggaran Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) yang partisipatif. Pada umumnya masyarakat Kabupaten Kupang mengenal Musrenbang. Mereka bahkan terlibat dalam Musbangdus dan Musrenbang desa. Pada pelaksanaan Musrenbang kecamatan, peserta yang hadir adalah wakil masyarakat dari setiap desa. Sedangkan peserta Musrenbang kabupaten adalah perwakilan dari tiap kecamatan. Berikut ini adalah catatan umum pelaksanaan Musrenbang tahun 2007 di Kabupaten Kupang39: 1.

Musbangdus. Musbangdus dilaksanakan di semua dusun di Kabupaten Kupang. Mekanisme Musbangdus dilaksanakan secara informal dan disesuaikan dengan karakteristik lokal di masing-masing dusun. Pelaksanaannya dijadwalkan pada awal hingga pertengahan bulan Januari. Namun demikian, tidak ada catatan yang lengkap mengenai hasil Musbangdus. Akibatnya sulit untuk menelusuri usulan Musbangdus yang diakomodasi dalam Musrenbang desa dan kecamatan, apalagi di tingkat kabupaten. Pelaksanaan Musbangdus tidak semata-mata dilaksanakan dalam konteks penyusunan rencana pembangunan daerah, tetapi juga untuk menyelesaikan masalah pembangunan di tingkat dusun. Pembangunan tingkat dusun merupakan bentuk kegiatan-kegiatan sosial yang menunjukkan tingkat partisipasi nyata dari warga dusun. Partisipasi di tingkat dusun tidak hanya pada saat rapat dusun, tetapi juga dalam pelaksanan dan evaluasi kegiatan pembangunan dusun. Meski tidak ada model perencanaan pembangunan dusun tetapi secara kultural masyarakat Kabupaten Kupang terbiasa

39 Diolah dari berbagai diskusi informal

108


bagian ii - studi kasus BAB 6 - Mengembalikan Hak Daulat Warga: Studi Kasus Kabupaten Kupang

mengadakan pertemuan warga untuk membicarakan halhal yang terkait dengan kebutuhan di tingkat dusun. Selain kepala dusun sebagai penyelenggara Musbangdus, peserta yang hadir adalah seluruh ketua RT/RW, tokoh masyarakat, tokoh agama, kelompok perempuan (ibu-ibu), kelompok pemuda, kelompok tani/nelayan, dan pengusaha; 2. Musrenbang desa. Hampir semua desa di Kabupaten Kupang belum memiliki RPJM Desa. Gagasan penyusunan RPJM Desa belum berkembang di Kabupaten Kupang. Akibatnya, Musrenbang desa cenderung tidak terkait dengan rencana pembangunan di tingkat kecamatan atau kabupaten. Hal ini diungkap oleh warga desa, bahwa mereka tidak mengetahui apa yang menjadi prioritas di tingkat kecamatan/kabupaten sehingga usulan dari desa tidak terealisasi.

Warga mengakui bahwa secara teknokratik belum ada fasilitator pembangunan desa yang dapat membantu warga menyusun rencana pembangunan desa yang berkualitas. Akibatnya, Musrenbang di tingkat desa juga masih cenderung menghasilikan usulan semata. Padahal Musrenbang desa diharapkan dapat menghasilkan satu dokumen perencanaan desa pada satu tahun anggaran.

Seperti pelaksanaan Musbangdus, tidak ada dokumentasi yang baik mengenai hasil Musrenbang desa. Padahal semestinya Musrenbang desa menghasilkan dokumen yang berisikan usulan rencana pembangunan yang dapat dilaksanakan secara mandiri di tingkat desa dan usulan yang dibawa ke tingkat kecamatan agar didanai oleh APBD.

Selain dihadiri kepala desa sebagai penyelenggara, peserta yang hadir dalam Musrenbang desa adalah para kepala dusun, perwakilan perempuan, kelompok masyarakat, tokoh pemuda, dan tokoh agama;

3. Musrenbang kecamatan. Hampir semua kecamatan di Kabupaten Kupang melaksanakan Musrenbang kecamatan

109


Partisipasi, Reformasi Kelembagaan, dan Alokasi Anggaran: Pembelajaran dari lima Daerah

sesuai jadwal yang ditetapkan pemerintah. Secara teknis, pelaksanaan Musrenbang kecamatan belum ideal. Bukan saja karena pelaksanaannya yang hanya sehari di tiap kecamatan, tetapi proses teknis pelaksanaan Musrenbang belum mampu membantu masyarakat untuk menghasilkan sebuah rencana pembangunan kecamatan yang utuh.

Meski demikian, selama pelaksanaan Musrenbang kecamatan, semua anggota DPRD terlibat sebagai peserta sekaligus pemantau Musrenbang kecamatan di masing-masing kecamatan yang menjadi daerah pemilihannya. Hal ini merupakan bagian dari pelaksanaan fungsi pengawasan yang melekat pada setiap anggota DPR.

Selain itu, kehadiran anggota dewan pada saat Musrenbang kecamatan akan membantu mereka dalam menyerap aspirasi masyarakat secara langsung. Dengan demikian, pada saat pembahasan untuk penetapan anggaran di tingkat legislatif, masing-masing anggota dewan —terutama panitia anggaran– betul-betul mengetahui mana usulan warga di tingkat kecamatan dan mana usulan SKPD; termasuk juga usulan yang diterima dan yang ditolak (Sumber: Yusuf Lado, Anggota DPRD Kabupaten Kupang).

Selain anggota DPRD dan camat yang bertindak sebagai penyelenggara, Musrenbang kecamatan juga dihadiri perwakilan dari setiap desa, tim dari Bappeda, Bagian Pemberdayaan Masyarakat, tokoh masyarakat, dan tokoh agama;

4. Musrenbang kabupaten. Tujuan Musrenbang kabupaten adalah untuk mensinergikan usulan kegiatan prioritas dari tingkat kecamatan dengan program dan kegiatan di setiap unit kerja di tingkat kabupaten. Hasil Musrenbang kabupaten menjadi bahan penyusunan Rencana Kerja Pembangunan Daerah (RKPD) dan Rencana Kerja (Renja) SKPD.

110


bagian ii - studi kasus BAB 6 - Mengembalikan Hak Daulat Warga: Studi Kasus Kabupaten Kupang

Musrenbang kabupaten dihadir oleh perwakilan dari Pemkab Kupang (dalam hal ini diwakili Bappeda) sebagai penyelenggara, perwakilan dari setiap kecamatan, SKPD, dunia usaha, asosiasi profesi, LSM, tokoh agama, tokoh masyarakat, dan organisasi profesi.

Di luar mekanisme musrenbang belum ada wahana partisipasi lain yang lebih luas. Meski beberapa warga mengatakan selalu menghadiri pertemuan di tingkat kecamatan, baik yang terjadwal maupun tidak terjadwal, mereka mengakui belum pernah mendatangi salah satu kantor dinas di Kabupaten Kupang untuk menyampaikan aspirasi. Warga mengakui bahwa mereka tidak tahu tentang mekanisme Forum SKPD dan instansi pemerintahan belum pernah melibatkan warga dalam penyusunan rencana kerja40. Akibatnya, seringkali usulan warga dalam Musrenbang tidak terealisasi karena usulan lebih didominasi oleh program SKPD.

Inovasi Kebijakan Daerah 1.

Jaminan Kesehatan Kabupaten Kupang (JK3). Jaminan Kesehatan Kabupaten Kupang (JK3) merupakan kebijakan yang ditujukan untuk meningkatkan akses dan mutu pelayananan kesehatan kepada seluruh masyarakat terutama bagi kalangan miskin dan tidak mampu, agar tercapai derajat kesehatan masyarakat yang optimal, secara efektif, efisien dan berkesinambungan. 41 Kebijakan ini dilaksanakan dalam upaya mempercepat pencapain visi pembangunan kesehatan kabupaten yaitu “...terwujudnya masyarakat Kabupaten Kupang yang sehat tahun 2010 (Sumber: Renstra Dinas Kesehatan, 2005-2009, halaman 3). Program ini didasarkan pada fakta bahwa derajat kesehatan masyarakat Kabupaten Kupang masih rendah. Hal ini dapat

40 Diskusi Informal dengan warga Desa Oesusu, 15 Maret 2008 41 ����������������������������������������������������������������������� Sambutan Bupati Kupang pada saat peluncuran program. 22 Februari 2007

111


Partisipasi, Reformasi Kelembagaan, dan Alokasi Anggaran: Pembelajaran dari lima Daerah

dilihat dari beberapa hal. Antara lain angka kematian ibu melahirkan masih tinggi (302 per 100.000 kelahiran hidup), angka kematian bayi masih tinggi (15,1 per 1.000 kelahiran hidup), kejadian penyakit yang berpotensi wabah seperti malaria, infeksi pernapasan akut, dan diare masih tinggi, serta kejadian gizi buruk masih tinggi (33,2%). Secara kelembagaan pelaksana program JK3 adalah Dinas Kesehatan dan Puskesmas sebagai unit pelayanan masyarakat. Namun di masa depan, JK3 akan dikelola oleh sebuah badan pengelola independen, terutama dalam hal Asuransi Kesehatan Daerah (Askesda). 2. Dana Rebutan.

112

Pengembangan Program Pemberdayaan Masyarakat (PPM) atau biasa disebut dana rebutan merupakan bentuk devolusi fiskal yang nyata. Kewenangan pengelolaan sumberdaya publik (anggaran) diberikan langsung kepada masyarakat. Bentuk devolusi fiskal ini merupakan pengembangan model Alokasi Dana Desa. Pemerintah menetapkan plafon untuk kelompok masyarakat di tingkat desa/kelurahan dan dusun/ lingkungan.

Masyarakat diberikan kewenangan untuk mengakses dan mengelola langsung dana pembangunan dengan terlebih dahulu mengikuti proses seleksi yang bertingkat. Proses seleksi yang bertingkat mulai dari tingkat RT/RW, dusun, desa/ kelurahan, kecamatan, hingga tingkat kabupaten merupakan sebuah sistem yang dikembangkan dengan sengaja untuk menjamin tidak terjadi KKN dalam proses seleksi usulan kegiatan warga.

Bersamaan dengan upaya perumusan Strategi Pengentasan Kemiskinan Daerah (SPKD), program pemberdayaan masyarakat Kabupaten Kupang tahun 2007 langsung diarahkan pada pengembangan ekonomi masyarakat. Model yang digunakan adalah bantuan modal usaha. Bantuan ini


bagian ii - studi kasus BAB 6 - Mengembalikan Hak Daulat Warga: Studi Kasus Kabupaten Kupang

secara prinsip diperuntukkan guna membiayai kegiatan ekonomi produktif berskala mikro berdasarkan potensi dan karakteristik daerah sebagai produk unggulan daerah.

Usaha tersebut dilakukan oleh kelompok masyarakat di setiap RT dalam rangka meningkatkan perekonomian masyarakat. Dalam hal ini terdapat tiga kriteria yang jadikan bahan pertimbangan dalam menentukan jenis usaha, yaitu ada potensi desa yang siap dikembangkan, ada peluang pasar, dan memiliki karakteristik wilayah/daerah.

Pada tahun 2007, jumlah dana yang dialokasikan untuk pelaksanaan program Bantuan Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat adalah Rp 22,75 miliar untuk 888 dusun dan 22 kelurahan (masing-masing Rp 25 juta untuk setiap RT pemenang di tingkat dusun dan kelurahan) atau sekitar 13,13% total belanja publik pemerintah Kabupaten Kupang.

Proses Civic Engagement dalam Inovasi Daerah 1.

Civic Engagement dalam Kebijakan JK3 Gagasan tentang Jaminan Kesehatan Kabupaten Kupang bermula dari cita-cita mendekatkan pelayanan kesehatan kepada masyarakat. Cita-citanya bermula dari desakan masyarakat sipil. Salah satu kelompok masyarakat sipil yang cukup berperan mendesakkan gagasan ini adalah PIAR Kupang. Desakan ini cukup beralasan, mengingat derajat kesehatan masyarakat Kabupaten Kupang masih tergolong rendah. Meski secara internal, pemerintah Kabupaten Kupang sudah mulai melakukan perbaikan sejak tahun 1998. Proses pemunculan gagasan JK3 adalah melalui serangkaian diskusi dan seminar yang juga menghadirkan Pemerintah Kabupaten Jembrana. Selanjutnya pemerintah Kabupaten Kupang melakukan studi banding dan menyusun konsep pengembangan program. Secara sederhana, proses pemunculan gagasan tentang JK3 dapat digambarkan dalam Gambar 6.1. 113


Partisipasi, Reformasi Kelembagaan, dan Alokasi Anggaran: Pembelajaran dari lima Daerah

Skema 6.1.

Gambar 6.1. Genesis Gagasan JK3 Genesis Gagasan JK3* Pusat Pengaduan Masyarakat

PIAR sebagai Intermediary Group

Public Voices

Didengar oleh pihak legislatif

Kajian PPA Kab. Kupang

Komitmen bupati

Kebijakan JK3

Political Action

Dilaksanakan oleh pemerintah

*) Diolah dari berbagai sumber

Komunikasi untuk pengembangan gagasan ini dilakukan oleh PIAR sebagai aktor pertama, dan oleh Bupati Kupang (Ibrahim Agustinus Medah) sebagai aktor berpengaruh dan memiliki kewenangan/otoritas. PIAR melakukan sosialisasi dan mendorong penyebaran gagasan melalui kegiatankegiatan pendampingan dan pemberdayaan masyarakat. Sedangkan bupati menggunakan hierarki birokrasi untuk melakukan sosialisasi. Salah satu faktor yang menjadi kekuatan PIAR dalam menciptakan wahana untuk mempengaruhi kebijakan anggaran di Kabupaten Kupang adalah kedekatan dengan media masa dan kelompok-kelompok gereja. Di hampir setiap kegiatan PIAR yang melibatkan publik, harian Pos Kupang dan Timor Expres selalu hadir untuk meliput dan menyampaikan hasil-hasil pembahasan, baik FGD, seminar, lokakarya, maupun aksi masa (demonstrasi) yang diorganisir PIAR. Kegiatan-kegiatan diskusi komunitas dan diskusi kampung yang dilakukan dalam kerangka pengorganisasian warga untuk advokasi hak-hak dasar sering dilakukan di aula gereja. Dengan demikian, secara kultural kegiatan tersebut mendapatkan dukungan dari jemaat yang merupakan warga masyarakat di berbagai level pemerintahan. 114


bagian ii - studi kasus BAB 6 - Mengembalikan Hak Daulat Warga: Studi Kasus Kabupaten Kupang

Sekilas PIAR

S

ejak berdiri, PIAR fokus pada kerja advokasi hak-hak warga. Selama bertahuntahun, PIAR menggunakan strategi non-kooperatif dengan pemerintah, melakukan pengorganisasian warga, dan mengembangkan pusat pengaduan masyarakat. Berbagai pengaduan warga kemudian ditangani baik melalui kerja-kerja litigasi maupun non-litigasi. Secara khusus, PIAR juga menyuarakan secara lebih massal (voicing) pengaduan-pengaduan masyarakat baik kepada legislatif maupun pemerintah. Bahkan terkadang, berhadap-hadapan dengan lembaga peradilan untuk membela hak warga. Peran ini membuahkan kepercayaan warga yang tinggi terhadap PIAR. Tahun 2005, PIAR melakukan refleksi internal. Salah satu hasil refleksi tersebut menunjukan bahwa pada kenyataan kerja-kerja “konfrontatif� tidak selamanya berdampak pada perbaikan sistem di internal birokrasi. Oleh karena itu, perlu ada pengayaan strategi advokasi. Bentuk pengayaan yang dimaksud adalah tetap melakukan pengorganisasian dan pembelaan hak-hak warga, sembari secara perlahan mendesakkan agenda perubahan ke dalam birokrasi pemerintahan. Upaya mendesakkan agenda perubahan ini ditempuh melalui pengembangan program yang melibatkan pemerintah sejak awal perencanaan, pelaksanaan, hingga evaluasi program. Salah satu program yang dapat dibangun secara partisipati adalah menyusun Strategi Pengentasan Kemiskinan Daerah. Strategi Pengentasan Kemiskinan Daerah di satu sisi merupakan kewajiban pemerintah dan di pihak lain merupakan fokus isu advokasi PIAR. Oleh karena itu kegiatan Participatory Poverty Assesment (PPA) dijadikan pintu awal untuk membangun kerangka perubahan kebijakan yang lebih berpihak pada masyarakat, terutama kalangan miskin. Berdasarkan kajian PPA, problem kemiskinan di Kabupaten Kupang terkait dengan layanan pendidikan, kesehatan, air bersih, dan kesejahteraan keluarga. Sintesis PPA Kabupaten Kupang menjelaskan bahwa kebutuhan terhadap pendidikan dan kesehatan menjadi hal penting. Warga miskin di Kabupaten Kupang menyatakan bahwa jika ada jaminan kesehatan dari pemerintah, maka mereka memiliki cukup kemampuan untuk mengupayakan pemenuhan kebutuhan sehari-hari (bekerja). Harapan ini kemudian dijadikan agenda aksi PIAR dalam mendesakkan gagasan perubahan pelayanan kesehatan, baik melalui legislatif maupun kepada eksekutif. Pada saat yang bersamaan, pemerintah Kabupaten Kupang menyambut baik gagasan tersebut. Bukan saja karena pemerintah dilibatkan sejak perencanaan program, tetapi juga secara internal upaya untuk melakukan reformasi pelayanan publik sudah menjadi perhatian pemerintah. Komitmen pemerintah dibuktikan dengan penyusunan Juknis Program Jaminan Kesehatan Kabupaten Kupang. Juknis ini disusun bersama-sama oleh berbagai kelompok setelah pemerintah melakukan studi banding ke Jembrana. Studi banding ke Jembrana dan Kabupaten Badung di Bali, dilakukan setelah beberapa kali dilakukan seminar, diskusi, dan lokakarya tentang proses pembangunan dan pelayaan publik yang berorientasi pada upaya pemenuhan hak-hak dasar warga. Sejak Januari 2007, Bupati Kabupaten Kupang menginstruksikan kepada seluruh satuan kerja perangkat daerah yang terkait dengan pelayanan kesehatan untuk membebaskan warga masyarakat Kabupaten Kupang dari retribusi kesehatan di Puskesmas. Pembebasan retribusi di Puskesmas merupakan titik awal pelaksanaan program JK3. Selanjutnya, pada bulan Februari-Maret 2007, pemerintah Kabupaten Kupang melakukan serangkaian diskusi dan lokakarya sampai tersusunnya Juknis pelaksanaan program Jaminan Kesehatan Kabupaten Kupang (JK3).

115


Partisipasi, Reformasi Kelembagaan, dan Alokasi Anggaran: Pembelajaran dari lima Daerah

Secara umum, masyarakat menyambut baik program JK3. Meski demikian, sebagian warga menyatakan bahwa sosialisasi program yang dilakukan pemerintah kurang optimal karena hanya dilakukan di tingkat kecamatan melalui pertemuan formal. Warga mengatakan bahwa sosialisasi program lebih banyak dilakukan oleh PIAR karena lebih sering berada di masyarakat. Masyarakat pun menginginkan program ini terus dijalankan, terlepas siapa pun kepala daerahnya. Oleh karena itu warga mengusulkan agar ditetapkan Perda tentang Jaminan Kesehatan Kabupaten Kupang, bahkan lebih khusus tentang Asuransi Kesehatan Daerah (Sumber:Notulensi FGD Warga, 10 Maret 2008). Beberapa aktor kunci yang menggagas dan mengembangan program JK3 antara lain PIAR, DPRD, bupati, Dinas Kesehatan, Kepala Puskesmas, camat, dan kepala desa. Peran dan tindakan strategis masing-masing aktor dalam pengembangan program JK3 dapat dilihat pada Tabel 6.1. Untuk sementara ini, kelembagaan pengelolaan JK3 belum ditetapkan. Gagasan awal yang sudah dimunculkan adalah Badan Pengelola JK3 atau di masa depan bisa menjadi sebuah perusahaan daerah. Pembahasan mengenai hal ini merupakan tanggung jawab Tim Gugus Tugas (TGT). Tim Gugus Tugas ini terdiri atas berbagai komponen masyarakat, termasuk LSM, dalam hal ini PIAR. Keterlibatan PIAR ke dalam TGT merupakan bagian dari strategi melakukan pengawalan terhadap gagasan mendesakkan perbaikan pelayanan kesehatan di Kabupaten Kupang, yang telah dimulai sejak 2006. Pilihan strategi berkolaborasi dengan pemerintah ini membuahkan hasil menarik. Model jaminan kesehatan mulai terakomodasi dalam kebijakan perencanaan-penganggaran pada tahun anggaran 2007. Padahal wacana ini baru dimunculkan pada bulan Oktober 2006 menjelang proses perencanaan anggaran 2007 selesai. Akibatnya, meskipun JK3 oleh bupati dinyatakan mulai dilaksanakan pada Januari 2007, sesungguhnya belum ada 116


bagian ii - studi kasus BAB 6 - Mengembalikan Hak Daulat Warga: Studi Kasus Kabupaten Kupang

dana yang dicairkan dari APBD hingga perubahan APBD 2007. Bahkan hingga akhir 2007, Puskesmas masih menggunakan dana Askeskin untuk menjamin pengobatan gratis bagi penerima Askesda (Sumber: Lery Mboik, Direktur PIAR). Meski demikian, pembebasan retribusi Puskesmas (Puskesmas Gratis) sebagai perwujudan kebijakan JK3 sudah mulai dijalankan pada Januari 2007. Beberapa faktor yang mempengaruhi kesuksesan program JK3 antara lain: a. Komitmen, keberanian, dan ketegasan Bupati Kupang untuk memberlakukan kebijakan JK3 sebagai terobosan perbaikan pelayanan kesehatan bagi masyarakat; b. Perangkat birokrasi yang patuh pada pimpinan; c. DPRD yang mendukung penuh kebijakan kepala daerah; d. Warga antusias dan mendukung kebijakan JK3, meski hampir semua warga hanya mengetahui salah satu jenis program JK3 yaitu Puskesmas Gratis; e. Keberadaan LSM sebagai intermediary group yang melakukan penguatan dan pendampingan warga serta melakukan asistensi dan konsultasi kepada pemerintah. 2. Civic Engagement dalam Dana Rebutan Dana Rebutan mulai dikenal oleh masyarakat Kabupaten Kupang pada tahun 2007 melalui pelaksanaan program Bantuan Pemberdayaan Ekonomi Kemasyarakatan (BPEM). Disebut dana rebutan karena ada sejumlah dana yang bersumber dari APBD yang langsung dialokasikan untuk pelaksanaan kegiatan pembangunan di tingkat dusun. Kegiatan ini diajukan oleh individu atau kelompok di setiap RT/RW dalam satu dusun kemudian diseleksi mulai dari tingkat desa, kecamatan, hingga dinyatakan lolos oleh tim di tingkat kabupaten. Program BPEM pada tahun 2007 merupakan pembaharauan berbagai program pemberdayaan masyarakat yang sudah dilaksanakan sejak puluhan tahun di Kupang. Mulai dari program IDT, PDM-DKE, Padat Karya, P3DT, NTAADP, dan Program Pengembangan Kecamatan (PPK). 117


Partisipasi, Reformasi Kelembagaan, dan Alokasi Anggaran: Pembelajaran dari lima Daerah

Tabel 6.1. Peran Aktor Kunci JK3 No.

Aktor Kunci

Peran

Menyampaikan tuntutan kepada DPRD dan pemerintah serta memfasilitasi pertemuan multi-stakeholders dalam diskusi, seminar, dan lokakarya tentang pelaksanaan pembangunan berbasis hak-hak dasar warga

1.

PIAR

Kelompok intermediary yang melakukan public voicing tentang pemenuhan hak-hak dasar warga

2.

Bupati Kupang

Pengambil kebijakan tertinggi dalam struktur pemerintah kabupaten

Menetapkan dan menginstruksikan pelaksanaan kebijakan dan program-program JK3 mulai bulan Januari 2007

3.

DPRD Kabupaten Kupang

Legalisasi dan pengawasan pelaksanaan kebijakan

Mengesahkan dan mendukung pelaksanaan kebijakan Bupati Kupang serta melakukan pengawasan langsung pelaksanaan program JK3

4.

Dinas Kesehatan

Penanggung jawab pelaksana programprogram JK3

Menyusun petunjuk teknis pelaksanan program JK3

5.

Kepala Puskesmas

Pelaksana teknis program-program JK3, terutama Askesda

Mengatur mekanisme program, pengelolaan keuangan, dan pertanggungjawaban keuangan program

6.

Camat

Sosialisasi program JK3 di tingkat kecamatan

Mengumpulkan para kepala desa, tokoh masyarakat dan tokoh agama untuk pelaksanaan sosialisasi tentang JK3

7.

Kepala desa

Sosialisasi program JK3 di tingkat desa

Menyebarkan informasi tentang JK3 kepada masyarakat desa

Warga masyarakat

Mendukung pelaksanaan program JK3

Mengubah pola pengobatan dengan memanfaatkan Puskesmas dan rumah sakit secara cepat ketika terserang penyakit

8.

Sumber: Diolah dari berbagai informasi

118

Tindakan Strategis


bagian ii - studi kasus BAB 6 - Mengembalikan Hak Daulat Warga: Studi Kasus Kabupaten Kupang

Melalui berbagai kajian, penyesuaian, dan pengorganisasian, pada tahun 2006 Pemerintah Kabupaten Kupang menetapkan Pola Pemberdayaan Masyarakat Kabupaten Kabupaten Kupang. Keputusan tesebut ditetapkan melalui Surat Keputusan Bupati No. 338/SKEP/HK/2006 tentang Petunjuk Pelaksanaan Program Pemberdayaan Masyarakat Kabupaten Kupang Tahun 2006 dan Surat Keputusan Bupati No. 339/ SKEP/HK/2006 tentang Petunjuk Pelaksanaan Bantuan Pembangunan Kecamatan/Desa/Kelurahan (BPKDK) Kabupaten Kupang tahun 2006. Selanjutnya pada tahun 2007, BPKDK diganti menjadi BPEM melalui Surat Keputusan Bupati No. 135/SKEP/HK/2007 tentang Petunjuk Pelaksanaan Bantuan Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat (BPEM) Kabupaten Kupang Tahun 2007. BPEM merupakan sebuah inovasi program yang bersumber dari internal pemerintah. Oleh karena itu saluran komunikasi yang digunakan adalah mekanisme sosialisasi program yang dilakukan melalui pertemuan formal di tingkat kecamatan dan desa. Meski secara umum, masyarakat mendukung pelaksanaan program BPEM, namun terdapat beberapa kelemahan42 yang perlu diperbaiki, antara lain: a. Pencairan anggaran tidak tepat waktu sesuai proposal; b. Sosialisasi program tidak merata kepada masyarakat; c. Masyarakat tidak mendapat pelatihan secara teknik untuk membuat proposal; d. Belum ada publikasi mengenai kelompok yang mendapat dana rebutan. Di masa depan ini harus dipublikasikan agar memudahkan masyarakat melakukan pengontrolan; e. Program dana rebutan belum dikuatkan secara hukum dalam bentuk Perda; f. Persyaratan yang berbelit sehingga dinilai akan mempersulit masyarakat. 42 ������������������������������������������������������������������� Notulensi FGD Warga tanggal 10 Maret 2008 di Aula Kecamatan Kupang Timur

119


Partisipasi, Reformasi Kelembagaan, dan Alokasi Anggaran: Pembelajaran dari lima Daerah

Prosedur dan mekanisme program pemberdayaan masyarakat didesain oleh pemerintah sejalan dengan proses Musrenbang. Dengan demikian Musrenbang menjadi ruang partisipasi warga yang nyata dalam merumuskan dan menetapkan program pembangunan, terutama di tingkat RT, dusun, dan desa atau kelurahan. Secara singkat, tingkat partisipasi warga dalam berbagai tahapan pengembangan program pemberdayaan masyarakat di Kabupaten Kupang dapat dilihat dalam Tabel 6.2.

Tabel 6.2. Matriks Kualitas Partisipasi Warga dalam Tahapan Program Pemberdayaan Masyarakat (Kasus Studi: Dana PEM 2007) Tahapan Program

120

Kualitas Partisipasi Warga Konsultasi

Keputusan Bersama

Perencanaan

Masyarakat mendapatkan informasi yang jelas tentang Dana Rebutan

Masyarakat dapat melakukan konsultasi dengan berbagai pihak dalam menyusun rencana pengembangan usaha

Jenis usaha yang diajukan oleh Pokmas merupakan hasil keputusan bersama di tiap RT

Penetapan

Masyarakat mendapatkan informasi tentang usulan yang dilanjutkan ke tingkat desa, kecamatan, hingga kabupaten

Masyarakat tidak diberi kesempatan untuk mempertanyakan mengapa sebuah usulan kegiatan bisa lolos dan tidak lolos seleksi di tingkat kabupaten

Keputusan meloloskan usulan usaha yang diajukan oleh Pokmas merupakan kewenangan TKPBPEM Kabupaten

Informasi


bagian ii - studi kasus BAB 6 - Mengembalikan Hak Daulat Warga: Studi Kasus Kabupaten Kupang

Tahapan Program

Kualitas Partisipasi Warga Informasi

Konsultasi

Keputusan Bersama

Selama pelaksanaan kegiatan, Pokmas dibina oleh TKPBPEM desa dan kecamatan

Seluruh keputusan tentang bagaimana mengelola usaha merupakan kewenangan pihak pengusul baik kelompok maupun perorangan anggota Pokmas

Pelaksanaan

Pengumuman tentang Pokmas yang mendapatkan bantuan Dana PEM tidak disampaikan secara terbuka baik di tingkat kabupaten, kecamatan, maupun tingkat desa

Monitoring dan Evaluasi

Tidak ada informasi tentang hasil monitoring dan evaluasi yang dilkukan oleh pihak eksternal

Monitoring dan evaluasi internal dilakukan oleh anggota Pokmas

Pemeriksaan

Informasi tentang hasil pemeriksaan pengelolaan dana PEM disampaikan secara terbuka. Dengan demikian upaya yang mengarah pada penyelewengan dana bisa dicegah sejak dini

Pemeriksaan dilakukan oleh atasan langsung masing-masing TKP-BPEM secara berjenjang

121


Partisipasi, Reformasi Kelembagaan, dan Alokasi Anggaran: Pembelajaran dari lima Daerah

Tahapan Program

Kualitas Partisipasi Warga Informasi

Konsultasi Meski ada format pelaporan yang telah disediakan, warga mengakui masih butuh konsultasi. Penugasan pihak perguruan tinggi dalam pelaksanaan Monev belum memberi kontribusi pada perbaikan proses pelaporan perkembangan usaha Pokmas

Pelaporan

Informasi tentang program Dana Rebutan disebarkan oleh berbagai kalangan baik pemerintah maupun masyarakat. Pelestarian/

Informasi yang lebih akurat disampaiakan oleh Pokmas atau anggota Pokmas yang pernah atau sedang mengelola Dana PEM sehingga masyarakat mengetahui manfaat program

Anggota Pokmas atau Pokmas yang mendapatkan bantuan Dana PEM menjadi tempat belajar bagi warga sekitar

Sumber: Diolah dari berbagai data dan informasi

122

Keputusan Bersama

Laporan dibuat oleh Pokmas dan disampaikan kepada Ketua RT selanjutnya kepada bupati secara berjenjang melalui Kepala dusun, kepala desa/lurah, dan camat

Upaya mendorong keberlanjutan program bantuan Dana PEM menjadi kepentingan bersama semua anggota masyarakat


bagian ii - studi kasus BAB 6 - Mengembalikan Hak Daulat Warga: Studi Kasus Kabupaten Kupang

Pembelajaran 1.

Pembelajaran dari Program JK3 Secara praktis program JK3 memberi manfaat yang nyata pada masyarakat. Pelayanan gratis di Puskesmas berdampak pada peningkatan jumlah kunjungan masyarakat yang memerlukan pengobatan ke Puskesmas dan rumah sakit. Ini merupakan dampak positif terhadap perilaku masyarakat. Dampak positif lain dari JK3 adalah perbaikan kualitas tenaga medis dan mendorong perbaikan pelayanan di Puskesmas. Peningkatan kualitas tenaga medis ini terjadi secara alami karena ada insentif tambahan bagi para tenaga medis yang memberikan pelayanan kepada masyarakat di luar jam kerja dan ada tambahan insentif berdasarkan kriteria tempat tugas. Perbaikan pelayanan di Puskesmas juga terjadi karena ada mekanisme pengaduan warga yang dibuka kepada publik.

2. Pembelajaran dari Dana Rebutan

Secara praktis program pemberdayaan ekonomi masyarakat desa bermanfaat untuk menciptakan lapangan pekerjaan, mengembangkan ekonomi masyarakat yang berdasarkan potensi dan karakteristik daerah sebagai produk unggulan, dan menciptakan masyarakat mandiri.

Secara politis, bantuan pemberdayaan ekonomi berdampak pada peningkatan daya inisiasi masyarakat dan peningkatan kemampuan masyarakat yang dilakukan dengan cara memberikan kesempatan masyarakat untuk merencanakan, melaksanakan, mengawasi, dan mengevaluasi setiap pekerjaan yang dilaksanakan. Selain itu pemerintah memberi ruang dan sumber daya bagi masyarakat untuk mengenali dan menyelesaikan permasalahan, mengorganisir, dan memanfaatkan potensi yang ada, serta meningkatkan anggaran publik yang pro-poor dan pro-job –terutama yang mendukung pemenuhan kebutuhan dasar yakni pendidikan, kesehatan, dan ekonomi. 123


Partisipasi, Reformasi Kelembagaan, dan Alokasi Anggaran: Pembelajaran dari lima Daerah

Setiap kebijakan pembangunan dilaksanakan dengan memberi penekanan pada otonomi masyarakat untuk merencanakan, melaksanakan, dan mengevaluasinya. Masyarakat didorong untuk melaksanakan berbagai kegiatan pembangunan dengan menekankan pada prinsip padat karya, bukan padat modal.

Selain hal-hal tadi, ada beberapa catatan penting yang diperoleh dari pelaksanaan BPEM pada tahun 200743, yaitu: a. Penyediaan akses kredit/modal usaha kepada satu dari dua Pokmas pada setiap dusun (desa) atau kelurahan akan menjawab persoalan di desa. Misalnya kelangkaan alat tukar, tingkat bunga perbankan (praktik ijon) yang tinggi, dan kesulitan pemasaran barang dan jasa desa. Tantangan terbesar yang dihadapi adalah dalam mempertahankan dan meningkatkan sirkulasi uang dalam komunitas, mencegah uang mengalir ke komunitas luar, dan mencegah penimbunan uang pada individu tertentu yang menyebabkan uang menjadi berbunga. Kredit ini diberikan tanpa bunga, namun disertai dengan kewajiban untuk mengembalikannya kepada pemerintah setelah 12 (dua belas) bulan. Namun pengalaman menunjukan bahwa anggota Pokmas penerima bantuan kredit cenderung menyalahgunakan kredit yang diterima. Mereka beralasan bahwa kredit tersebut milik pemerintah dan pemerintah tidak akan menempuh jalur hukum bila terjadi ‘kredit macet’; b. Kompetisi merupakan kata kunci baru yang menjiwai keseluruhan kebijakan. Kecenderungan ’kredit macet’ berkaitan dengan ketiadaan peer-pressure, keterbatasan pengetahuan pemerintah terhadap jenis dan kelayakan

43 �������������������������������������������������������������������� Sumber: Jotje Adoe. Kepala Bappeda Kabupaten Kupang pada Lokakarya Nasional Seri Pertama: “Rencana Aksi Penanggulangan Kemiskinan” di Kabupaten Manggarai, NTT, pada tanggal 3-5 September 2007)

124


bagian ii - studi kasus BAB 6 - Mengembalikan Hak Daulat Warga: Studi Kasus Kabupaten Kupang

usaha yang hendak dilaksanakan, dan terutama kekurangan kepemilikan sebagai akibat dari pemaksaan pemberian kredit. Pengalaman memperlihatkan bahwa penetapan batas minimal alokasi kredit kepada setiap desa/Pokmas menyebabkan beberapa anggota masyarakat ’kebanjiran kredit’ sehingga merupakan beban baru dan bahkan mendorong penyalahgunaan kredit oleh pihak tertentu. Oleh karena itu pemberian kredit melalui BPEM tidak hanya didasarkan pada tingkat kemampuan riil kelompok, tetapi juga ditentukan dari keseriusan kelompok untuk memperoleh kredit –yang terlihat dari kelayakan usaha yang diajukan dan kesadaran bahwa untuk memperoleh bantuan kredit disyaratkan ketersediaan sebuah usulan kegiatan kelompok yang lebih baik dibandingan usulan kegiatan dari kelompok lainnya dan usulan kegiatan dari tahun sebelumnya. Tujuan kompetisi adalah untuk mendorong pembelajaran yang terus-menerus tanpa mengorbankan kerjasama; c. Kebijakan BPEM memperpendek siklus perencanaanpenganggaran, memberi kepastian kepada masyarakat dan meningkatkan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah. Dibandingkan dengan siklus perencanaan-penganggaran APBD, maka siklus BPEM jauh lebih pendek karena tidak harus melalui tahapan-tahapan musyawarah pembangunan pada tingkat desa, kecamatan, dan kabupaten. Besaran alokasi anggaran publik untuk BPEM adalah pasti sehingga dinamika politis pada level pemerintah daerah tidak akan mempengaruhi alokasi sumberdaya publik untuk BPEM. Bagi masyarakat hal ini akan meningkatkan sumber daya yang mereka miliki dan terutama meningkatkan otonomi dan kepercayaan, baik itu terhadap diri sendiri maupun terhadap pemerintah daerah. Tantangan yang harus

125


Partisipasi, Reformasi Kelembagaan, dan Alokasi Anggaran: Pembelajaran dari lima Daerah

dijawab adalah memastikan partisipasi dan tranparansi terjadi sehingga kepercayaan masyarakat tidak akan berkurang karena terjadi praktik-praktik yang tidak normatif. [ ]

126


bagian i - prolog BAB 1 - Partisipasi, Reformasi Kelembagaan, dan Alokasi Anggaran: Pembelajaran dari Lima Daerah

3

bagian iii

EPILOG 127


Partisipasi, Reformasi Kelembagaan, dan Alokasi Anggaran: Pembelajaran dari lima Daerah

128


Bab 7

Reformasi Kelembagaan, Produksi Pengetahuan, dan Tindakan Kolektif untuk Alokasi Anggaran: Refleksi Pengalaman di Lima Daerah Oleh : Suhirman

Karakteristik di Lima Daerah

M

eskipun dalam konteks dan jalur yang berbeda, ada beberapa karakteristik yang sama dari lima daerah studi dalam alokasi anggaran.

1.

Kelembagaan untuk alokasi anggaran berorientasi atau setidak-tidaknya menghargai proses pelibatan publik dalam wahana dialog. Pada tahap awal, program, dan alokasi anggaran memang diusulkan oleh sedikit aktor (kepala daerah, NGO, dan kepala SKPD). Kemudian program dan alokasi anggaran yang diusulkan tersebut diajukan kepada forum yang lebih luas. Dialog untuk menguji kelayakan dan penyesuaian program dan alokasi anggaran dibahas di dalam forum tersebut untuk kemudian disetujui/ditolak. Kesepakatan dalam forum lalu ditindaklanjuti secara formal. Jika kelembagaan formal (pembahasan dengan DPRD) menyetujui usulan program/alokasi anggaran, maka program dan anggaran dapat dialokasikan untuk selanjutnya ditindaklanjuti dengan implementasi. Karena proses penyusunan program dan alokasi anggaran melibatkan

129


Partisipasi, Reformasi Kelembagaan, dan Alokasi Anggaran: Pembelajaran dari lima Daerah

warga, maka warga terlibat secara aktif dalam monitoring program dan alokasi anggaran tersebut. 2.

Intensitas dialog dan proses pembelajaran yang berbeda. Untuk isu sektoral dan terfokus –misalnya: pengelolaan situ, jaminan sosial, dan pengelolaan sampah- diskusi diantara aktor yang berkepentingan sangat intens. Dalam intensitas dialog yang tinggi pengetahuan publik mengenai satu isu juga dapat diproduksi dan diverifikasi dengan baik. Sebaliknya untuk konsolidasi anggaran yang lebih kompleks dan terjadwal secara rigid –misalnya Musrenbang- proses dialog tidak terjadi secara intens. Sangat sedikit terjadi pertukaran dan reproduksi pengetahuan dalam forum-forum seperti ini. Bahkan dalam beberapa kasus forum-forum ini lebih bersifat seremonial. Karena itu kerangka hukum yang jelas, informasi, dan devolusi anggaran untuk menjamin agar forum konsolidasi anggaran bermakna menjadi sangat penting.

3.

Keberhasilan penganggaran partisipatif sangat ditentukan oleh tindakan kolektif yang terjadi antara warga, pemerintah dan DPRD. Tindakan kolektif ini dibentuk baik melalui intensitas dialog –seperti untuk isu sektoral- maupun kerangka hukum yang menjamin keabsahan keputusan dalam satu forum. Karena itu keberhasilan penganggaran partisipatif sangat ditentukan oleh tiga hal. Pertama, adanya organisasi warga yang sadar terhadap hak-haknya atas anggaran dan berani memperjuangkan hak-haknya tersebut melalui forum-forum pembahasan anggaran baik yang diinisasi oleh negara maupun yang diinisiasi sendiri. Kedua, adanya kerangka hukum yang menjamin baik keterlibatan organisasi warga maupun daya ikat keputusan yang dibuat dalam forum-forum dialog. Ketiga, komitmen politik dari kepala daerah dan DPRD dalam memperjuangkan hak-hak publik melalui forum-forum dialog.

130


bagian iii - epilog BAB 7 - Reformasi Kelembagaan, Produksi Pengetahuan,dan Tindakan Kolektif untuk Alokasi Anggaran Publik: Refleksi Pengalaman di Lima Daerah

Proses kelembagaan untuk penganggaran partisipatif dan ruang-ruang yang sangat berpengaruh di dalamnya dibandingkan dengan penganggaran konvensional dapat dilihat dalam Gambar 7.1. Gambar 7.1. Perbandingan Prosedur Penganggaran Partisipatif dan Penganggaran Konvensional Penganggaran Partisipatif

Penganggaran Konvensional

Fakta/Isu

Inisiatif Aktor

Fakta/Isu

Dialog

Keputusan S1

S2

S3

Rencana

Rencana

Implementas

Implementasi

Dampak

Dampak

S4

Berorientasi pada Substansi

Kesepakatan

Evaluasi

Implementasi

Evaluasi

dampak Berorientasi pada Aktor

Pada Gambar 7.1, tampak bahwa pengelolaan dialog dan pembentukan kesepakatan merupakan tahap yang sangat mempengaruhi efektivitas penganggaran partisipatif. Ini berbeda dengan penganggaran konvensional yang keberhasilannya ditentukan oleh kemampuan mengumpulkan fakta/isu dan pengolahan isu tersebut sehingga menjadi satu keputusan.

131


Partisipasi, Reformasi Kelembagaan, dan Alokasi Anggaran: Pembelajaran dari lima Daerah

Perbandingan Karakteristik Lima Daerah Studi Dalam studi di lima daerah, para penulis telah sepakat untuk menganalisis lima aspek yaitu: 1.

Faktor–faktor yang berpengaruh dalam kelembagaan dan penganggaran partisipatif. Untuk aspek ini terutama yang dianalisa adalah karakteristik dari isu yang menjadi tema partisipasi, kerangka persepsi dari para aktor terhadap isu, kapasitas, relasi kekuasaan, dan karakteristik dari para aktor yang terlibat dalam wahana partisipasi;

2.

Pengelolaan wahana diskusi yang mencakup proses dialog, pembuatan kesepakatan dan pembentukan tindakan kolektif. Dalam hal ini akan dilihat bentuk, proses, metode, waktu dan kapasitas aktor dalam mengelola wahana diskusi sebagai inti dari penganggaran partisipatif;

3.

Refleksi para aktor terhadap faktor-faktor yang berpengaruh. Proses refleksi ini dilakukan melalui diskusi kelompok terfokus (focus group discussion) antara penulis dengan para aktor yang terlibat dalam penganggaran partisipatif;

4.

Outcome, terutama terhadap peningkatan kapasitas individu dan kolektif. Peningkatan kapasitas individu mencakup penambahan pengetahuan dan keterampilan. Sedangkan peningkatan kapasitas kolektif mencakup kepemimpinan, kohesivitas kelompok, dan pengelolaan jaringan organisasi dalam meningkatkan posisi tawar terhadap kelompok lain dan melakukan advokasi untuk alokasi anggaran publik;

5.

Dampak partisipasi terhadap alokasi anggaran publik. Dalam hal ini akan dilihat sejauhmana kesepakatan yang dibentuk dalam forum-forum dialog berujung pada alokasi anggaran yang persetujuannya dilakukan dalam lembaga politik di tingkat lokal.

Berdasarkan hasil analisis kelima aspek tersebut, tampak perbedaaan karakteristik di lima lokasi studi. Perbedaan yang

132


bagian iii - epilog BAB 7 - Reformasi Kelembagaan, Produksi Pengetahuan,dan Tindakan Kolektif untuk Alokasi Anggaran Publik: Refleksi Pengalaman di Lima Daerah

utama adalah untuk isu spesifik dan isu konsolidasi anggaran. Untuk isu spesifik, karena bersifat tunggal maka kepentingan aktor lebih jelas dan wahana pembentukan kesepakatan dan tindakan kolektif lebih mudah dikelola. �������������������� Hal ini menyebabkan outcome dan output dari proses partisipasi dapat diidentifikasi dengan jelas. Ini berbeda dengan konsolidasi anggaran yang lebih luas. Untuk isu ini aktor bersifat beragam, kepentingan sulit diverifikasi, dan pembentukan kesepakatan sulit ditemukan. Hal itu menyebabkan outcome dan output juga lebih sulit untuk didefinisikan. Perbandingan hasil studi di lima daerah dapat dilihat dalam Tabel 7.1.

133


134

Kabupaten Sumedang

• Devolusi anggaran ke Desa (Dadu) • Kepastian plafon alokasi anggaran untuk diputuskan di tingkat kecamatan • Informasi mengenai program dan prioritas pembangunan dari inisiator

Ada perubahan persepsi yang mendasar mengani fungsi anggaran sejak devolusi dan plafon kecamatan diterapkan

Kriteria

Karakteristik isu

Kerangka Persepsi para aktor yang terlibat dalam dialog

Kabupaten Jepara

• Tidak ada informasi mengenai plafon dana untuk kelurahan, kecamatan dan sektor • Tidak ada penyerahan keputusan • Tidak ada informasi mengenai program dan prioritas pembangunan dari inisiator Ada perubahan persepsi yang mendasar mengenai fungsi anggaran sejak berpartisipasi dalam diskusi

• Tidak ada informasi mengenai plafon dana untuk kelurahan, kecamatan, dan sektor • Tidak ada penyerahan keputusan • Tidak ada informasi mengenai program dan prioritas pembangunan dari inisiator Ada perubahan persepsi yang mendasar mengenai fungsi anggaran sejak berpartisipasi dalam diskusi

Faktor/Isu yang Berpengaruh

Kota Surakarta

Tabel 7.1. Perbandingan Lima Lokasi Studi

• Isu dibangun dari masalah riil yang dihadapi oleh masyarakat luas (Jaminan Kesehatan dan Pembangunan Pedesaan) • Program dan alokasi anggaran dibangun melalui proses diskusi

Ada perubahan persepsi yang mendasar mengenai fungsi anggaran sejak berpartisipasi dalam diskusi

Ada perubahan persepsi yang mendasar mengenai fungsi anggaran sejak berpartisipasi dalam diskusi

Kabupaten Kupang

• Isu dibangun dari masalah riil yang dihadapi oleh masyarakat luas (Pengelolaan situ dan sampah) • Program dan alokasi anggaran dibangun melalui proses diskusi

Kota Depok

Partisipasi, Reformasi Kelembagaan, dan Alokasi Anggaran: Pembelajaran dari lima Daerah


Peserta forum bersifat voluntary dengan mandat

Peserta forum bersifat voluntary dengan mandat dari anggota yang diwakilinya (komunitas, organisasi keagamaan, pemimpin agama) Aktor terpisah antara pemerintah dengan masyarakat Aktor masyarakat secara voluntary hadir

Peserta forum bersifat voluntary dengan mandat dari anggota yang diwakilinya (komunitas dan sektoral) Aktor terdiri atas masyarakat, pegawai, dan fasilitator Aktor masyarakat secara voluntary hadir

Peserta forum dialog umumnya pemimpin formal yang hadir karena jabatannya

• Aktor terdiri atas masyarakat, DPRD, pegawai, dan fasilitator • Aktor diundang karena jabatan formal

Kapasitas

Relasi kekuasaan

Karakteristik aktor

Aktor terdiri atas masyarakat, pegawai, dan fasilitator Aktor masyarakat secara voluntary hadir

Musyawarah melibatkan kelompok yang berkepentingan dengan isu

Musyawarah melibatkan masyarakat pedesaan, aktivis, dan pemimpin keagamaan

Musyawarah melibatkan masyarakat luas baik berbasis spasial maupun sektoral

Kota Depok

Musyawarah secara serius baru dilaksanakan 2 x dengan kecenderungan jumlah dan dinamika peserta yang meningkat

Kabupaten Jepara

Kota Surakarta

Kabupaten Sumedang

Kriteria

Aktor terdiri atas masyarakat, pegawai, dan fasilitator Aktor masyarakat secara voluntary hadir

Peserta forum bersifat voluntary dengan mandat

Musyawarah melibatkan kelompok yang berkepentingan dengan isu

Kabupaten Kupang

bagian iii - epilog BAB 7 - Reformasi Kelembagaan, Produksi Pengetahuan,dan Tindakan Kolektif untuk Alokasi Anggaran Publik: Refleksi Pengalaman di Lima Daerah

135


136 Proses dialog terjadi secara terpisah: • Pemerintah: Musrenbang • Masyarakat: Mubes Forum Warga

Ada dua versi proposal yang akan diajukan ke bupati dan DPRD

Kesepakatan diambil berdasarkan permufakatan dengan catatan program belum tentu terdanai karena ketidakpastian alokasi anggaran

Fasilitator/NGO melakukan advokasi untuk menjamin hasil musyawarah dijalankan

Kesepakatan diambil berdasarkan permufakatan dengan kepastian program dan alokasi anggaran

• Dibentuk FDM untuk mengawal pembahasan anggaran di DPRD • Telah ada rencanarencana kerja untuk implementasi jika anggaran dimuat dalam APBD

Proses dialog

Kesepakatan

Tindakan kolektif

Dibentuk tim untuk advokasi anggaran ke Bupati dan DPRD

Pengelolaan Wahana Partisipasi

• Dialog dipandu fasilitator • Pembahasan program tiap delegasi

Kabupaten Jepara

• Dialog dipandu fasilitator • Informasi inisiatif versi pemerintah diajukan • Besaran plafon anggaran dan tujuannya disampaikan • Pembahasan program tiap delegasi

Kota Surakarta

Kabupaten Sumedang

Kriteria

Tindakan kolektif terjadi pada aktoraktor yang memiliki kepentingan konkrit terhadap isu

Kesepakatan diambil secara mufakat melalui forum diskusi dan disahkan melalui keputusan politik

Dialog terjadi secara intensif untuk membahasan isu (tanpa ada batasan siklus waktu)

Kota Depok

Tindakan kolektif terjadi pada aktoraktor yang memiliki kepentingan konkrit terhadap isu

Kesepakatan diambil secara mufakat melalui forum diskusi dan disahkan melalui keputusan politik

Dialog terjadi secara intensif untuk membahasan isu (tanpa ada batasan siklus waktu)

Kabupaten Kupang

Partisipasi, Reformasi Kelembagaan, dan Alokasi Anggaran: Pembelajaran dari lima Daerah


Kabupaten Jepara

Ada penilaian kritis mengenai prosedur musyawarah (mengapa harus berbasis spasial?)

Ada pergeseran pemahaman mengenai penyediaan barang publik berdasarkan skala dan konsekuensinya terhadap pengambilan keputusan dan alokasi anggaran

Karakteristik dari isu yang direncanakan

Kerangka persepsi

Ada penilaian kritis mengenai efektifitas dari forum musyawarah diluar pemerintah daerah

Ada kritik terhadap ketidakpastian anggaran yang dapat menurunkan minat peserta musyawarah

Proses Belajar Melalui Reflekasi

Kota Surakarta

Ada kritik terhadap ketidakpastian anggaran yang dapat menurunkan minat peserta musyawarah

Kabupaten Sumedang

Devolusi anggaran dan pemberian kekuasaan dalam pengambilan keputusan umumnya memuaskan peserta diskusi

Kriteria

Ada penilaian kritis mengenai peran NGO yang terlalu dominan dikaitkan dengan keberlanjutan reformasi.

Ada penilaian kritis mengenai pendalaman partisipasi dan demokrasi dalam pengelolaan sumber daya bersama dan pengelolaan pelayanan publik

Ada penilaian kritis mengenai pendalaman partisipasi dan demokrasi dalam pengelolaan sumber daya bersama dan pengelolaan pelayanan publik

Kabupaten Kupang

Ada kritik mengenai hubungan antara program dengan pencarian popilaritas dan dukungan terhadap kepala daerah

Kota Depok

bagian iii - epilog BAB 7 - Reformasi Kelembagaan, Produksi Pengetahuan,dan Tindakan Kolektif untuk Alokasi Anggaran Publik: Refleksi Pengalaman di Lima Daerah

137


138

Ada peningkatan kapasitas aktor dalam memahami dan mengkritisi isu-isu publik

Relasi kekuasaan

Aktor

Ada peningkatan kapasitas aktor dalam memahami dan mengkritisi isu-isu publik

Ada peningkatan kapasitas aktor dalam memahami dan mengkritisi isu-isu publik

Ada peningkatan kapasitas aktor dalam memahami dan mengkritisi isuisu publik

Ada pertanyaanpertanyaan mengenai dasardasar legitimasi dan representasi para aktor dan alternatif pebaikannya

Ada pertanyaanpertanyaan mengenai dasardasar legitimasi dan representasi para aktor dan alternatif pebaikannya

Ada pertanyaanpertanyaan mengenai dasar-dasar legitimasi dan representasi para aktor dan alternatif pebaikannya

Ada pertanyaanpertanyaan mengenai dasar-dasar legitimasi dan representasi para aktor dan alternatif pebaikannya

Kapasitas aktor

Outcome

Ada identifikasi mengenai kepentingan politik, strategi tindakan, dan keahlian yang diperlukan dalam proses dialog

Ada identifikasi mengenai tindakan dan keahlian yang diperlukan dalam proses dialog

Ada identifikasi mengenai tindakan dan keahlian yang diperlukan dalam proses dialog

Ada identifikasi mengenai tindakan dan keahlian yang diperlukan dalam proses dialog

Kota Depok

Kabupaten Jepara

Kota Surakarta

Kabupaten Sumedang

Kriteria

Ada peningkatan kapasitas aktor dalam memahami dan mengkritisi isu-isu publik

Ada pertanyaanpertanyaan mengenai dasar-dasar legitimasi dan representasi para aktor dan alternatif pebaikannya

Ada identifikasi mengenai tindakan dan keahlian yang diperlukan dalam proses dialog

Kabupaten Kupang

Partisipasi, Reformasi Kelembagaan, dan Alokasi Anggaran: Pembelajaran dari lima Daerah


Ada forum FDM

• Alokasi APBD 2008 lebih kecil dari yang direncanakan karena kesalahan persepsi • Untuk alokasi APBD 2009 berkali-kali Pemerintah dan DPRD menyatakan tidak akan memotongnya(?)

Komposisi alokasi anggaran

Kabupaten Sumedang

Kolektif

Kriteria

Ada forum untuk mengawal usulan warga

Kabupaten Jepara

Ada kekecewaan karena program yang telah disepakati dalam anggaran tidak teralokasi

Ada kekecewaan karena program yang telah disepakati dalam anggaran tidak teralokasi

Dampak

Ada kelompokkelompok sektoral yang mandiri

Kota Surakarta

Ada kelompokkelompok sektoral yang mandiri

Program dan alokasi anggaran dapat terlaksana

Ada peningkatan kapasitas NGO dalam memfasilitasi kebijakan Ada peningkatan kapastias komunitas dalam merumuskskan pembangunan desa

Program dan alokasi anggaran dapat terlaksana

Kabupaten Kupang

Kota Depok

bagian iii - epilog BAB 7 - Reformasi Kelembagaan, Produksi Pengetahuan,dan Tindakan Kolektif untuk Alokasi Anggaran Publik: Refleksi Pengalaman di Lima Daerah

139


Partisipasi, Reformasi Kelembagaan, dan Alokasi Anggaran: Pembelajaran dari lima Daerah

Penutup Dari paparan mengenai penerapan partisipasi, reformasi kelembagaan dan alokasi anggaran di lima lokasi studi maka ada beberapa hal penting yang bisa pelajari.

140

1.

Dalam konteks pemerintah daerah di Indonesia, partisipasi warga telah diterapkan untuk isu yang beragam. Pemilihan isu untuk partisipasi warga sangat menentukan jalur yang partisipasi yang digunakan beserta wahana kelembagaan yang terbentuk. Ini menunjukkan bahwa konteks lokal sangat penting untuk diperhatikan manakala gagasan dan kelembagaan partisipasi dicoba untuk didifusikan dalam tatanan sosial, politik, dan kebudayaan Indonesia.

2.

Perubahan dapat terjadi secara nyata bila dilakukan langsung pada dua level yaitu level kerangka hukum dan level aktor. Pada level kerangka hukum perlu dikembangkan kerangka hukum yang menjamin keterbukaan informasi publik, menjamin akses warga untuk berpartisipasi sejak tingkat awal, pengambilan keputusan, implementasi dan monitoring, mengakui organisasi warga, dan mekanisme untuk turut memantau pengambilan keputusan di lembaga-lembaga formal. Sedangkan di level aktor, adanya organisasi warga yang aktif –baik berbasis komunitas maupun berbasis fungsi- dan adanya gerakan sosial merupakan prasyarat bagi terjadinya dialog yang konstruktif dalam wahana publik.

3.

Perubahan hanya terjadi bila ada kolaborasi yang konstruktif di antara para aktor yang terlibat. ���������������������� Salah satu aktor yang sangat penting dalam perubahan adalah kepala daerah dan anggota DPRD. Karena itu upaya-upaya untuk mendorong kelembagaan partisipasi dalam anggaran publik tidak bisa melepaskan peran mereka. Harus diakui bahwa tindakan kolektif dalam konteks kelembagaan publik hanya dapat terbentuk jika kedua aktor tersebut terlibat di dalamnya.


bagian iii - epilog BAB 7 - Reformasi Kelembagaan, Produksi Pengetahuan,dan Tindakan Kolektif untuk Alokasi Anggaran Publik: Refleksi Pengalaman di Lima Daerah

4.

Studi di lima daerah mengungkapkan peran lembaga intermediary –NGO- dalam mendorong proses-proses partisipasi, reformasi kelembagaan, dan alokasi anggaran masih dominan. Lembaga ini biasanya diisi oleh kelas menengah daerah dengan pendidikan di atas rata-rata warga. Dalam konteks difusi inovasi identifikasi kelompok ini sangat penting, karena melalui kelompo inilah gagasan dapat direproduksi dan diimplementasikan sesuai dengan konteks lokal.

5.

Peran lembaga eksternal –terutama donor dan jaringan kerja NGO nasional- juga tampak dalam studi di lima daerah ini. Tidak dapat dipungkiri, kehadiran lembaga donor tentu saja bisa konstruktif dalam memproduksi gagasan-gagasan baru. Yang perlu diingat adalah bahwa kehadiran lembaga donor di suatu daerah pasti bersifat sementara. Karena itu, perlu dipikirkan skema-skema reformasi tanpa mengandalkan sumber daya dari lembaga donor.

Tentu saja, sekali lagi perlu ditegaskan, kelima kasus ini harus ditempatkan dalam konteks Indonesia di mana kebijakan desentralisasi masih belum kokoh, devolusi fiskal ke daerah masih rendah (di banyak daerah Dana Alokasi Khusus masih lebih besar dari PAD), kapasitas daerah dalam mendanai pemerintahan masih rendah (kurang dari 30%), dan struktur politik lokal masih berubah-ubah. Pertimbangan ini penting untuk diperhatikan manakala hasil studi ini dibandingkan dengan studi-studi di negara lain. [ ]

141


Partisipasi, Reformasi Kelembagaan, dan Alokasi Anggaran: Pembelajaran dari lima Daerah

142


daftar pustaka

DAFTAR PUSTAKA

Fischer, Frank, Reframing Public Policy: Discursive Politics and Deliberative Practices, Oxford: Oxford University Press, 2003. Fong, Archun dan Eric Olin Wright, Deepening Democracy: Institutional Innovations in Empowered Participatory Governance, Verso: London, 2002. Gunning, Patrick, Understanding Democracy: An introduction to Public Choice, 2002, in http://www.fortunecity.com/ meltingpot/barclay/212/votehtm/cont.htm Habermas, Jurgen, Legitimation Crisis, Beacon Press; Boston, 1975. Habermas, Jurgen, The Theory of Communicative Action, Beacon Press: Boston, 1984. Habermas, Jurgen, The Structural Transformation of the Public Sphere: An Inquiry into a Category of Bourgeois Society, Beacon Press: Boston, 1989. Hailey, P., Collaborative Planning, Shaping Places in Fragmented Societies, MacMillan Press: London, 1997. McCarthy, Thomas, The Critical Theory of Jurgen Habermas. The MIT Press: Massachusetts, 1982. Rossen, Harvey S, Public Finance, McGraw-Hill Higher Education: New York, 2006. Wainwright, Hilary, Reclaim the State: Experiments in Popular Democracy, Vero: London, 2003. Wampler, Brian, Private Executives, Legislative Brokers, and Participatory Publics: Building Local Democracy in Brazil. PhD Dissertation. The University of Texas at Austin, 2000, disponibile sul sito www.democraciaparticipativa.org.

143


Partisipasi, Reformasi Kelembagaan, dan Alokasi Anggaran: Pembelajaran dari lima Daerah

Wampler, Brian, A Guide to Participatory Budgeting, 2000 diakses dari situs www.internationalbudget.org. Wood, Terence, Participatory Democracy in Porto Alegre and Belo Horizonte. Phd. thesis in Victoria University of Wellington, Wellington, New Zealand, 2004. Wildavsky, Aaron, Budgeting and Governing. Transaction Publisher: London, 2001. Wortjer, Johan, Consensus Planning: The Relevance of Communicative Planning Theory in Dusth Infrastructure Development, Ashgate: Singapore, 2000. UNDP. Citizen Participation and Pro-poor Budgeting, Department of Economic and Social Affairs, Division for Public Administration and Development Management, 2005. Bahan bacaan lain: Abers, Rebecca, Practicing Radical Democracy Lessons from Brazil. Paper dipresentasikan dalam Workshop: Insurgent Planning Practices - Perugia, Italy, 21-27 Juni 1998. Abers, Rebecca, Overcoming the Dilemmas of Participatory Democracy: The Participatory Budget Policy in Porto Alegre, Brazil. Paper dipresentasikan dalam International Congress of the Latin American Studies Association ke XXII, Miami, Florida, 16-18 Maret 2000. Alexander, Jennifer, “A New Ethics of The Budgetary Process” dalam Journal of Administration & Society, 32: 542, 1999. Andrew, Christina W., Michiel S. De Vries. Jennifer, “����� High Expectations, Varying Outcomes: Decentralization and Participation” dalam Journal of������������������������� International Review of Administrative Sciences, 73: 424, 2007. ����� Avritzer, Leonardo, Modes of Democratic Deliberation: Theoretical Remarks on Participatory budgeting in Brazil, di download tanggal 24 Desember 2007 di situs http://www.ces.fe.uc. pt/emancipa/research/en/texs.html.

144


daftar pustaka

Avritzer Leonardo, Public Deliberation at The Local Level: Participatory Budgeting in Brazil. Paper dipresentasikan dalam Konferensi Experiments for Deliberative Democracy, Wisconsin: USA, 2000. Baiocchi, Giampaolo, “Participation, Activism and Politics: The Porto Alegre Experiment and Deliberative Democratic Theory” dalam. Journal of Politics & Society, Vol. 29 No. 1, 43-72, 2001. Boordeaux, Carolyn, “��������������������������������������������� Do Legislatures Matter in Budgetary Reform?” dalam Public Budgeting & Finance, Spring 2006��. Ebdon, Carol dan Aimee Franklin, “Searching for a Role for Citizen in the Budget Process” dalam Journal of Public Budgeting & Finance, Spring 2004. Edward, Mary M., “Public Finance in Planning Education and Practice” dalam Journal of Planning Education and Research, Vol. 27, No. 2, 217-227, 2007. Fischer, Frank, “���������������������������������������������������� Beyond Empiricism: Policy Inquiry In Postpositivist Perspective” dalam ���������������������� Policy Studies Journal, Vol. 26, No.1: 129-146, Spring 1998�. Flyvberg, B. 2002. “����������������������������������������� Bringing Power to Planning Research: One Researcher’s Praxis Story” dalam Journal of Planning Education and Research, Vol. 21, No.4: 353-366, Summer 2002. Forester, John P. dan Guy ���������������������������������������� B. Adams. “Budgetary Reform Through Organizational Learning: Toward an Organizational Theory of Budgeting” dalam� Administration & Society; 28: 466, 1997. Fozzard, Adrian, The Basic Budgeting Problem: Approaches to Resource Allocation in the Public Sector and their Implications for Pro-Poor Budgeting. Working Paper 147, Centre for Aid and Public Expenditure, Overseas Development Institute: London, 2001. Franklin, Aimee L dan Carol Ebdon, “����������������������������� Are we All Touching the Same Camel?: Exploring a Model of Participation in Budgeting” dalam The American Review of Public Administration, 35: 168, 2005.� ������

145


Partisipasi, Reformasi Kelembagaan, dan Alokasi Anggaran: Pembelajaran dari lima Daerah

Gaventa, John dan Camilo Valderama: “Partisipasi, Kewargaan, dan Pemerintah Daerah”, dalam Mewujudkan Partisipasi: Teknik Partisipasi Masyarakat untuk Abad 21, The British Council dan New Economics Foundation, 2001. Hagen, Terje P., Rune J. Sorensen and Oyvind Norli, “Bargaining Strength in Budgetary Processes: The Impact of Institutional Procedures” dalam Journal of Theoretical Politics, 8: 41-63, 1996. Heimans, Jeremy, Strengthening Participation in Public Expenditure Management: Policy Recommendations For Key Stakeholders, OECD Development Centre, 2002. Innes, J.e. Planning Through Consensus-Building, A New View of The Comprehensive Planning Ideal, IURD Working Paper 626, University of California: Berkeley, 1994. Innes, J.E., “Planning Theory’s Emerging Paradigm: Communicative Action and Interactive Practice” dalam Journal of Planning Education and Research, 14 (3): 183-189, 1995. Innes, J.E., “Planning through Consensus Building: A New View of the Comprehensive Planning Ideal” dalam Journal of the American Planning Association, 62 (4): 460-472, 1996. Innes, J.E. D.E. Booher, Evaluating consensus-building: making dreams into realities, paper presented at the AESOP congress, May 1997. Nijmagen: Nederland, 1997. Jacobi, Pedro, Challenging Traditional Participation in Brazil: The Goals of Participatory Budgeting. Working Paper No. 32, Woodrow Wilson International Center for Scholars Washington, 1999. Justice, Jonathan B., “E-Government as an Instrument of Fiscal Accountability and Responsiveness: Do the Best Practitioners Employ the Best Practices?” dalam The American Review of Public Administration, 2006. Kaufman, Jason, “Rent-Seeking And Municipal Social Spending: Data From America’s Early Urban-Industrial Age” dalam Urban Affairs Review, 39: 552, 2004.

146


daftar pustaka

Kelly,������������������������������������������������������ ����������������������������������������������������� Janet M., “A Century of Public Budgeting Reform: The ������ "Key" Question” dalam Journal of Administration & Society, 37: 89, 2005. Kohl,����������������������������������������������������������� Benjamin, “����������������������������������������������� Democratizing Decentralization in Bolivia: The Law of Popular Participation” dalam Journal of Planning Education and Research, 23: 153, 2003. Lavalle, Adrián Gurza, Peter P. Houtzager, and Graziela Castello, In Whose Name? Political Representation and Civil Organizations in Brazil IDS Working Paper 249, First Published by the Institute of Development Studies in June 2005. Levaggi, Rosella, “Decentralized Budgeting Procedures for Public Expenditure” dalam Public Finance Review, 30: 273, 2002. Melo, Marcus, Flávio Rezende dan Cátia Lubambo an., Urban Governance, Accountability and Poverty: The Politics of Participatory Budgeting in Recife, Brazil. Working Paper 27, The Department for International Development (DFID), 2001. Najjar, George K, “Social Systems Delimitation and Allocative Mechanisms: Perspectives on Budgeting for Development” dalam Administration & Society, 9: 495, 1978. Oliveira, Fernanda Martinez de., Jose Carlos Vaz, dan Winthrop Carty, Internet Use and Citizen Participation in Local Government: Ipatinga’s Interactive Participatory Budgeting, Public Management and Citizenship Program, Getulio Vargas Foundation (Brazil), Polis Institute (Brazil), and Institute of Democratic Governance and Innovation, Harvard University (US), 2003. Robinson, Mark, Budget Analysis and Policy Advocacy: The Role of Nongovernmental Public Action, IDS Working Paper 279, September 2006. Pinto, Rogerio ��������������������������������������������������������� F., “Public Sector Budgeting: A Public Economics and a Public Administration Approach” dalam International Review of Administrative Sciences, 47: 27, 1980. ����� Santos, Boaventura de Sousa, “Participatory Budgeting in Porto Alegre: Toward a Redistributive Democracy” dalam Journal of Politics & Society, Vol. 26, No. 4, 461-510, 1998.

147


Partisipasi, Reformasi Kelembagaan, dan Alokasi Anggaran: Pembelajaran dari lima Daerah

Schneider, Aaron and Marcelo Baquero, S Get What You Want, Give What You Can: Embedded Public Finance in Porto Alegre. IDS Working Paper No. 266, Mei 2006. Schneider, Aaron, Crisis in the Home of Participatory Budgeting: Technical Accuracy and Hierarchy, Cidade, Porto Alegre: Brazil, 2007. Silverman,������������������������������������������������������ ����������������������������������������������������� Eli B., “Public Budgeting and Public Administration: Enter the Legislature” dalam� Public Finance Review, 2: 472, 1974�. Snyder, James C., “Perencanaan Fiskal dan Penetapan Anggaran” dalam Perencanaan Kota. Erlangga: Jakarta, 1988. Souza, Celina, “Participatory Budgeting in Brazilian Cities: Limits and Possibilities in Building Democratic Institution” dalam Journal of Environment & Urbanization 13 (2): 159-184, 2001. Souza, Celina, “Local Democratization in Brazil: Strengths and Dilemmas of Deliberative Democracy” dalam Palgrave Macmillan Journals, Palgrave Macmillan Ltd., Houndmills, Basingstoke, Hampshire, RG216XS, England, 2007. www.palgrave-journals.com/development/journal/v50/ n1/full/1100338a.html#bib14. Utzig, Josè Eduardo, Participatory Budgeting of Porto Alegre: A Discussion in The Light of The Principle of Legitimacy and of The Criterion of Governance Performance, Democracia Participativa: Porto Alegre-Brazil, 1999. Sumber lain:

148

Instruksi Mendagri No. 14 Tahun 1998 tentang Pembinaan dan Pengelolaan Situ-situ di Wilayah Jabodetabek

Peraturan Daerah Kabupaten Sumedang No. 1 Tahun 2007 tentang Prosedur Perencanaan dan Penganggaran Daerah di Kabupaten Sumedang

Peraturan Daerah Kabupaten Sumedang No. 12 Tahun 2005 tentang Retribusi Pelayanan Administrasi Kependudukan dan Akta Catatan Sipil


daftar pustaka

Peraturan Daerah Kabupaten Sumedang No. 8 Tahun 2006 tentang Pelayanan Kesehatan di Unit Pelaksana Teknis Dinas Pusat Kesehatan Masyarakat pada Dinas Kesehatan Kabupaten Sumedang.

Peraturan Daerah Kota Depok Nomor 1 Tahun 2003 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah

Peratuan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2008

Peraturan Walikota Surakarta Nomor 6 Tahun 2005

RPJMD Depok 2006-2011

Surat Edaran Bersama Mendagri dan Meneg BUMN No.1181/ M/PPN/02/2006

Surat Edaran Bersama Mendagri dan Meneg PPN/Kepala Bappenas No. 259/M.PPN/I/2005

Surat Keputusan Bupati Jepara No. 050/1038 Tahun 2007 tentang Pembentukan Tim Koordinator Kecamatan dan Tim Pendamping Desa/Kelurahan untuk Penjaringan Aspirasi Masyarakat dalam Rangka Musyawarah Perencanaan Pembangunan Kabupaten Jepara Tahun 2007

Surat Keputusan Bupati Kupang No. 135/SKEP/HK/2007 tentang Petunjuk Pelaksanaan Bantuan Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat (BPEM) Kabupaten Kupang Tahun 2007.

Surat Keputusan Bupati Kupang No. 338/SKEP/HK/2006 tentang Petunjuk Pelaksanaan Program Pemberdayaan Masyarakat Kabupaten Kupang Tahun 2006

Surat Keputusan Bupati Kupang No. 339/SKEP/HK/2006 tentang Petunjuk Pelaksanaan Bantuan Pembangunan Kecamatan/Desa/Kelurahan (BPKDK) Kabupaten Kupang tahun 2006.

Surat Keputusan Walikota Depok No. 821.29/71/Kpts/Huk/1999 Kelompok Kerja (Pokja) Situ melalui

Surat Keputusan Walikota Surakarta No. 3 Tahun 2004 tentang Pedoman Penyelenggaran dan Petunjuk Teknis Muskelbang, Muscambang, dan Muskotbang.

149


Partisipasi, Reformasi Kelembagaan, dan Alokasi Anggaran: Pembelajaran dari lima Daerah

150

Surat Keputusan Walikota Surakarta No. 410/45-A/I/2002.

Surat Keputusan Walikota Surakarta No. 8 Tahun 2003.

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003

Undang-Undang Nomor�������������� ������������������� 25 Tahun 2004

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004

Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007

Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008


daftar pustaka

TENTANG PENULIS

Suhirman Dosen beberapa mata kuliah pada Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota SAPPK ITB ini seorang Magister Studi Pembangunan dari ITB. Ia aktif di dunia NGO dan tercatat sebagai Komite Pengarah Forum Pengembangan Partisipasi Masyarakat (FPPM) dan Perkumpulan Sanggar: Jaringan Kerja untuk Demokrasi, Hak-hak Publik, dan Keadilan Sosial. Ayah dua putri ini juga terlibat sebagai konsultan untuk beberapa aktivitas program di GTZ-Promis NT, GTZ-GLG, DRSP-USAID, dan Kemitraan untuk Pembaharuan Tata Pemerintahan yang Baik. Sejumlah paper dan buku telah ditulis Sarjana Antropologi dan Sarjana Hukum dari Universitas Padjadjaran ini, antara lain: Bila Warga Menilai: Potret Pelayanan Publik di Kota Bandung (2004), Kerangka Hukum dan Kebijakan Mengenai Partisipasi Warga di Indonesia (2004), Kerangka Hukum Perencanaan dan Penganggaran Daerah di Indonesia (2006), Politik Ekonomi Perijinan (2006), Recent Decentralization Policy in Indonesia (2006), Mapping Key Actors in Banda Aceh Development after Tsunami (2007), dan Manual Citizen Report Cards: Monitoring Pelayanan Publik oleh Warga (2008). Ia kini sedang menempuh Program S-3 di bidang Perencanaan Wilayah dan Kota di ITB dengan konsentrasi penelitian Proses Belajar Sosial dalam Perencanaan Komunikatif. Sempat menjadi Visiting Scholar di Universitas Nagoya, Jepang, untuk studi bencana pada tahun 2007. Pada tahun 2008, ia mengikuti program sandwich untuk penelitian doktor di Rijk University of Groningen, Belanda. Ahmad Rifai Ia menyelesaikan studi magister dan mendapat gelar MA di International Islamic Studies (IIS) Konsentrasi Social Works kerjasama UIN Yogyakarta dan McGill University of Montreal Canada dengan tesis berjudul Conflict on Public Space Occupation: The Study

151


Partisipasi, Reformasi Kelembagaan, dan Alokasi Anggaran: Pembelajaran dari lima Daerah

on Multi-Stakeholders Approach in Managing Pedagang Kakilima in Surakarta, pada tahun 2007. Pai –begitu biasa dia di sapa- sempat bergabung dengan KOMPIP Surakarta, dan sejak 2005 ditunjuk menjadi Direktur Eksekutif Institute for Research and Empowering Society (INRES) Surakarta. Sarjana Sastra Inggris, Universitas Negeri Sebelas Maret Surakarta (UNS) ini memperdalam Bahasa Inggris di IALF Bali dan memperoleh kesempatan untuk mengikuti kursus selama 3 bulan di McGill Montreal Canada. Pada tahun 2008, ia menjadi peserta seminar dan training di Academy for Leadership di Gummersbach Jerman untuk tema Local Government and Civil Society. Saat ini, dia aktif sebagai Kepala Sekretariat Konsorsium Solo. Putut Gunawan Laki-laki yang dilahirkan di Wonogiri tahun 1964 ini pernah kuliah di Fakultas Teknik Sipil Untag, Semarang. Sembari bergabung sebagai volunter pekerja lapangan untuk Kelompok Studi Bantuan Hukum (KSBH) Yogyakarta tentang bantuan hukum struktural non litigatif, ia belajar Ekonomi Pembangunan melalui Program Universitas Terbuka Belajar. Mantan Redaktur Harian Bernas ini juga pernah tercatat sebagai peserta program studi non reguler Penelitian dan Pemberdayaan Masyarakat Jurusan Sosiologi FISIP UNS. Mantan koordinator pelaksana harian Indonesian Partnership on Local Government Inisiative (IPGI) Solo ini adalah pendiri Sekolah Warga Mandiri, sebuah komunitas belajar aktif di level grassroot. Koordinator OC Seknas Kaukus 17++ ini pernah belajar dalam studi perbandingan lapangan di Philipina. Peserta Third Country Training Program (TCTP) IV – Asia-Pacifik Training Program on Poverty Alleviation ini berkesempatan mengikuti Political Communication Strategy Training Program pada International Academy for Leadership (IAF), di Gummersbach, Germany, 2008. Partisipan pertemuan Asia-Europe People Forum di Hanoi (2004), Helsinki (2006), dan Beijing (2008) ini juga telah menerbitkan beberapa buku. Di antaranya adalah Menjadikan Wayang Enak Dipandang (1997) dan Kumpulan Pengalaman Baik tentang Otonomi Daerah: Model Perencanaan Pembangunan Partisipatif di Kota Solo. Selain itu, ia juga editor untuk buku Meretas Siklus Kecacatan, Realitas yang Terabaikan (2005). 152


tentang penulis

Syamsul Bachri Lulusan Bidang Studi Ilmu Sejarah Fakultas Sastra Universitas Sebelas Maret ini dilahirkan di Kota Solo tahun 1973. Sejak duduk di bangku kuliah sudah aktif di berbagai kelompok studi, kajian-kajian keilmuan, dan penelitian. Hasil penelitiannya di antaranya adalah: Dinamika Kepartaian dan Perbandingan Pemilu Multi-Partai tahun 1955, 1971, dan 1999 di Kota Solo (1999); Pemetaan dan Dinamika Stakeholders di Kabupaten Sragen (2000); Pemetaan Keluarga Miskin Berbasis Rukun Tetangga: Studi Kasus Tiga Desa di Kabupaten Boyolali (2003), dan Kepuasan Masyarakat terhadap Institusi Pelayanan Publik di Kabupaten Sragen (2003). Untuk saat ini aktif di Lembaga Studi & Advokasi Kebijakan Publik (LeSKAP) dan Konsorsium Pro-poor Budget di Solo. Vera Kartika Giantari Lulusan Fakultas Hukum Universitas Negeri Sebelas Maret (UNS) ini sempat menjadi advokat. Beberapa kasus ditanganinya, termasuk kasus yang dialami Paridah binti Abbas, isteri terpidana mati Bom Bali. Meski demikian, mantan Ketua Senat Mahasiswa FH UNS itu memilih memberikan pendampingan terhadap kaumnya yang mengalami kekerasan di luar ranah hukum. Penguatan peran kaum perempuan melalui pembentukan komunitas, memfasilitasi ibu-ibu untuk berpartisipasi di wilayah publik, serta pembelaan hak-hak perempuan dianggap lebih memiliki makna strategis dibandingkan menjadi pengacara praktik. Berbagai pelatihan, seminar, dan pertemuan para pegiat perempuan dalam berbagai level diikutinya baik sebagai peserta maupun fasilitator atau narasumber. Sejak 2006, perempuan yang berulang tahun setiap tanggal 20 September ini didaulat menjadi ketua pelaksana harian pada Solidaritas Perempuan untuk Kemanusiaan dan Hak Asasi Manusia (Spekham). ���������������������������������������� Organisasi ini memfokuskan perhatiannya pada isu-isu perempuan. Mayadina Rahma Musfiroh Perempuan ini lahir di Jepara pada tahun 1979 dan dibesarkan dalam tradisi pesantren yang kental. Ketika masih tercatat sebagai mahasiswa pada Bidang Studi Hukum Islam (Akhwal AsySyakhshiyah) di Institut Islam Nahdlatul Ulama Jepara, ia aktif dalam 153


Partisipasi, Reformasi Kelembagaan, dan Alokasi Anggaran: Pembelajaran dari lima Daerah

sayap organisasi NU, Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia. Ia menginisiasi pendirian Forum Kajian Jender, yang concern terhadap isu jender dan penguatan perempuan di kalangan mahasiswa. Diawal kepengurusannya sebagai Direktur Lakpesdam NU Jepara, mantan Ketua Umum PMII Jepara ini diberi mandat sebagai Koordinator Pokja Penyelenggara Musyawarah Besar Rakyat Jepara I tahun 2005. Hafidz Qur’an ini sempat mewakili Lakpesdam NU untuk menghadiri Asean Europe Meeting (Asem People Forum V) di Hanoi Vietnam, dan kini sedang menempuh Studi S2 Konsentrasi Ilmu Tafsir di Institut Ilmu Al Qur’an Ciputat Jakarta. Zenni Muryaman Sarjana Pertanian dari Universitas Winaya Mukti (UNWIM) ini aktif di dunia LSM sejak duduk di bangku kuliah. Keterlibatannya dalam kerja-kerja advokasi anggaran dan pelayanan publik, baik sebagai aktivis LSM, fasilitator, maupun konsultan semakin intensif sejak tahun 2005. Kabupaten Sumedang adalah lokasi kerja-kerja advokasinya bersama dengan Sekjen Forum Diskusi Alun-Alun ini. Ayah dua anak ini juga terlibat dalam Survey Transparansi Anggaran Daerah (TAD) yang diselenggarakan Bandung Institute of Governance Studies (BIGS). Namanya tercatat sebagai fasilitator kecamatan di Rancakalong untuk program PPK–IPM dan fasilitator berbagai kegiatan Musrenbang baik untuk Musrenbang tahunan, RPJMD, maupun RPJPD. Pemimpin Umum/Pemimpin Redaksi Koran Sumedang ini juga bertanggung jawab sebagai sekretaris pada Pusat Pengkajian dan Pengembangan Masyarakat Lokal (P3ML), Sumedang. ���������������������������������������������� Bersama P3ML ia turut menginisiasi penerbitan sejumlah Perda di Sumedang. Termasuk di dalamnya Perda No. 3 Tahun 2008 tentang Kesehatan Ibu, Bayi Baru Lahir, Anak (KIBBLA). Endah Sricahyani Sucipto Lulusan Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang, Jawa Timur ini lahir di Kediri tahun 1980. Ketika masih tercatat sebagai mahasiswa ia sempat menjadi reporter untuk majalah kampus. Perempuan yang lebih dikenal sebagai Yenny Sucipto ini terjun di bidang penelitian dan pengembangan sumberdaya manusia

154


tentang penulis

sejak tahun 2002 dan aktif juga dalam berbagai penerbitan buku di Lembaga Penerbitan Buku Kijaru di Malang (2003 – 2004). Kepala Unit Resource Centre Fitra-Seknas ini berpengalaman menjadi fasilitator pelatihan analisis gender budget serta pro poor budgeting di berbagai wilayah di Indonesia. Beberapa tulisannya yang telah diterbitkan antara lain: Membangun Gerakan Pro Poor Budget, “Menggugat Keberpihakan Anggaran Daerah” dalam buku Inovasi Demokratisasi Penganggaran Daerah, “Regulasi Anggaran Penyelenggaraan Pemilu” dalam buku Politik Anggaran KPU/D, Menuju Perubahan Kebijakan Anggaran Responsif Gender, Belajar dari Tanah Mandar, Implementasi Kebijakan Dalam Anggaran Responsif Gender, Kenaikan BBM: Liberalisasi dan Eksploitasi. Roy Prygina Laki-laki ini lahir di Jakarta tahun 1980. Memperoleh gelar sarjana dalam Sarjana Teknik Elektro di Universitas Ibn Khaldun (IUKA)Bogor. Aktivitasnya dalam kerja-kerja NGO bemula ketika ia menjadi Koordinator Lokal Pusat Study Pengembangan Kawasan (PSPK) dalam gerakan Transfaransi Anggaran Kota Depok. Pada tahun 2006 ia tergabung dalam Tim Good Governance Task Force (GGTF) Kota Depok yang melakukan pendampingan dan fasilitasi terhadap Forum Warga Peduli Setu Kota Depok. Koordinator ������������������ FitraDepok ini juga tercatat sebagai team leader pada Gugus Kerja Good Governance (GKGG) Jaringan Advokasi dan Transparansi Anggaran (Jangkar) Kota Depok. Bersama GKGG Jangkar, ia memfasilitasi Program Advokasi Pemberdayaan Masyarakat Sekitar Situ bekerjasama dengan Pemerintah Kota Depok, memfasilitasi diskusi interaktif dan pelatihan pengomposan sampah skala rumah tangga, memfasilitasi kegiatan kampanye pengelolaan sampah dalam skala rumah tangga dan memfasilitasi penguatan Forum Warga Peduli Situ di Depok. Saat ini ia sedang menyelesaikan kuliah Magister Manajemen di Universitas Suryadarma Konsentrasi Manajemen Publik. Fridolin Berek Lelaki kelahiran Atambua, NTT tahun 1973 ini mendapat gelar kesarjanaan dalam bidang Perencanaan Wilayah dan Kota dari

155


Partisipasi, Reformasi Kelembagaan, dan Alokasi Anggaran: Pembelajaran dari lima Daerah

Universitas Winaya Mukti Bandung. Sejak mahasiswa ia sudah aktif berorganisasi. Kiprah mantan Sekjen Kesatuan Pergerakan Mahasiswa Bandung ini aktif di dunia LSM semenjak menjadi Kepala Bidang Penelitan dan Pengembangan pada Yayasan Pusat Pengkajian Data dan Informasi (P2ID) tahun 2001. Ia sempat pula bergabung dengan Bandung Institute of Governance Studies (BIGS) dan menjadi Koordinator Divisi Investigasi dan Advokasi West Java Corruption Watch (WJCW). Koordinator Forum Fasilitator Perencanaan dan Penganggaran Partisipatif Jawa Barat ini aktif memfasilitasi berbagai pelatihan dalam bidang anti-korupsi, analisis anggaran, dan reformasi pelayanan publik Ia terlibat juga dalam sejumlah penulisan buku dan modul pelatihan, di antaranya: Kumpulan Modul Pendidikan Politik Anggaran Bagi Warga (2006), Komik Pendidikan Rakyat Anti Korupsi (2004), dan Advokasi Terpadu Anti Korupsi (2004). Wagiyo Dunia tulis-menulis tampaknya tidak bisa jauh dari kesehariannya. Sempat menjadi jurnalis untuk sebuah surat kabar harian yang terbit di Bandung, pemegang gelar Sarjana Sosial dari Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi (Stikom) Bandung ini kini tercatat sebagai Staf Publikasi dan Dokumentasi pada Forum Pengembangan Partisipasi Masyarakat. Laki-laki yang lahir di Bandung pada tahun 1975 ini terbiasa untuk mengamati dan memperbaiki struktur kalimat dan tata bahasa pada setiap buku, modul, dan cetakan lainnya yang diterbitkan FPPM. Dia juga terlibat dalam penyusunan sejumlah modul yang diterbitkan lembaga lain. Di antaranya adalah modul bahan ajar untuk peserta didik Program Paket B yang diterbitkan Departemen Pendidikan Nasional dan modul Skema Tindak Peningkatan Pelayanan yang diterbitkan LGSP. [ ]

156


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.