Y
A
Y
A
S
A
N
Amrta Institute TIFA Foundation
Amrta Institute for water literacy
VALUASI AIR
VALUASI AIR
Oleh: WIJANTO HADIPURO Ahli pengelolaan Sumber Daya Air pada Amrta Institute for Water Literacy, dan staf pengajar pada program Magister Lingkungan dan Perkotaan Unika Sogijapranata Semarang
VALUASI LINGKUNGAN: KONSEP DAN TEORI
S
ejarah valuasi lingkungan, khususnya di Amerika Serikat, sebenarnya sangat terkait dengan proyek air. Tahun 1902 ketika Amerika mengeluarkan River and Harbour Act, undang-undang ini mengamanatkan pembentukan Board of Engineers untuk melakukan penilaian terhadap proyek-proyek navigasi. Dalam pelaksanaan penilaian, dewan insinyur ini diminta untuk mempertimbangkan manfaat komersial untuk diperbandingkan dengan biaya yang dikeluarkan. Tahun 1934 National Resources Board membentuk Komite Sumber Daya Air dan meminta komite ini untuk mengembangkan sistem distribusi biaya air yang adil dengan memasukkan juga perhitungan akuntansi sosial air. Tahun 1936 dengan Flood Control Act, 1946 dengan Subcommittee on Benefits and Costs of the Federal Inter-Agency River Basin Committee,
VALUASI AIR
dan tahun 1950 dengan publikasi Green Book yang berusaha mengkodifikasikan prinsipprinsip analisis biaya dan manfaat, adalah beberapa kegiatan tentang air lain yang terkait dengan valuasi lingkungan. Jadi, sebenarnya semua valuasi tersebut di atas sangat terkait dengan proyekproyek air. (Hanneman, 2006 hal. 6). Namun dalam perkembangannya valuasi air atau pemberian nilai moneter untuk air justru tertinggal dibandingkan dengan valuasi untuk barang lingkungan yang lain, seperti hutan atau udara bersih. Ada beberapa studi tentang valuasi air untuk kepentingan pemberian harga terhadap air untuk irigasi (Spellman, dkk., tanpa tahun; Latinopoulos, 2005; Ray, 2005) dan harga terhadap jasa air bersih (Guha, 2008; Whittington, dkk., 2002), namun hampir tidak ada studi tentang valuasi air secara komprehensif untuk kepentingan
1
ekstraksi baik air tanah maupun air permukaan. Dalam perkembangannya konsep dan penerapan valuasi air menjadi bagian dari kajian valuasi lingkungan. Ada beberapa versi pengelompokkan valuasi lingkungan seperti yang diungkap oleh Hufschmidt dkk (1983), Suparmoko dan Suparmoko (2000), dan Fauzi (2006). Pengelompokkan dan pembahasan yang cukup lengkap adalah yang dikemukakan oleh Hufschmidt dkk. (1983). Menurut Suparmoko dan Suparmoko (2000, hal. 104) dengan mengutip David W. Pearce dan Jeremy J. Wartford, World without End: Economics, Environment and Sustainable Development (1993, hal. 99-144) nilai suatu sumber daya alam dapat dibedakan menjadi nilai penggunaan (use value) dan nilai tanpa penggunaan (non use value) seperti digambarkan dalam Gambar 1. Nilai penggunaan dibedakan lagi menjadi nilai penggunaan langsung seperti nilai hasil pemanfaatan air, nilai penggunaan tidak langsung seperti nilai air untuk kepentingan rekreasi atau transportasi, nilai penggunaan pilihan seperti apakah akan mempergunakan air untuk kepentingan tertentu saat ini atau
untuk kepentingan lain di saat yang akan datang, dan nilai pewarisan khususnya untuk kepentingan generasi mendatang. Nilai pewarisan dapat berupa nilai penggunaan ataupun nilai tanpa penggunaan. Nilai tanpa penggunaan lain dan yang sering diabaikan adalah nilai keberadaan sumber daya air misalnya untuk mempertahankan keanekaragaman hayati. J i k a Fa u z i ( 2 0 0 6 , h a l . 2 1 3 ) membedakan teknik penilaian non-pasar sumber daya alam dan lingkungan ke dalam penilaian langsung (revealed Willingness to Pay) dan penilaian tidak langsung (survei) (expressed Willingness to Pay) seperti yang digambarkan dalam Gambar 2, maka Hufschmidt dkk. (1983, hal. 170-285) membedakan valuasi kualitas lingkungan ke dalam dua kelompok besar yaitu dari sisi manfaat dan dari sisi biaya (lihat Gambar 3). Penilaian dari sisi manfaat berarti bahwa biaya mudah dihitung tetapi manfaat suatu kegiatan yang terkait dengan lingkungan sulit dihitung. Sementara penilaian dari sisi biaya adalah sebaliknya: manfaatnya dianggap sama atau tidak perlu dihitung sementara biayanya sulit untuk dihitung.
Gambar 1 Use dan Non-Use Value Sumber Daya Air
Sumber Daya Air
Non-use value
Use value
Nilai penggunaan langsung
Hasil pemanfaatan air
Nilai penggunaan tak langsung
Nilai penggunaan pilihan (option)
Rekreasi dan transportasi air
Rekreasi individual di masa yang akan datang
Nilai pewarisan (Bequest)
Pemanfaatan oleh generasi akan datang
Nilai Keberadaan (existence)
Pelestarian Sumber Daya Hayati
Sumber: Dimodifiaksi dari Suparmoko dan Suparmoko (2000, hal. 104)
VALUASI AIR
2
Gambar 2 Klasifikasi Valuasi Non-Market Valuasi Non-Market Tidak Langsung (Revealed Willingness to Pay)
Langsung/Survei (Expressed Willingness to Pay)
Ă˜ Hedonic Pricing Ă˜ Travel Cost
Contingent Valuation Ă˜ Ă˜ Dichotomous Choice
Sumber: Diadaptasi dari Fauzi (2006, hal. 213)
Alinea berikut akan ber usaha menjelaskan tentang klasifikasi valuasi nonmarket menurut Fauzi. Tr a v e l C o s t M e t h o d b i a s a dipergunakan untuk menganalisis permintaan terhadap sarana rekreasi. Dengan mengetahui pola biaya yang dikeluarkan oleh konsumen yang mendatangi tempat rekreasi, dapat diperoleh nilai yang diberikan konsumen terhadap tempat rekreasi. Biasanya tempat rekreasi yang divaluasi berhubungan dengan alam dan lingkungan. Hedonic Pricing mengasumsikan bahwa semakin buruk lingkungan akan semakin mengurangi nilai suatu properti. Contoh sederhana adalah harga rumah yang semakin menurun akibat tanah ambles (land subsidence) atau rob (limpasan air pasang laut) di kawasan perumahan. Contingent Valuation Method sudah banyak diaplikasikan untuk menilai peningkatan kualitas layanan air bersih atau untuk menentukan harga air irigasi seperti telah disebutkan di atas. Penilaian dilakukan dengan mengukur kesediaan konsumen untuk membayar (Willingness to Pay atau WTP). Ada banyak cara untuk mengetahui kesediaan membayar konsumen: melalui tawar menawar (bidding game), pertanyaan terbuka tentang nilai suatu proyek lingkungan, payment card dimana responden diminta untuk menentukan kisaran nilai barang lingkungan
VALUASI AIR
yang ditunjukkan dalam kartu-kartu, dan dichotomous choice dimana responden diminta untuk memberikan pernyataan setuju atau tidak setuju terhadap suatu nilai moneter dari barang lingkungan. Sisi lain pengukuran nilai ekonomi dari WTP adalah Willingness to Accept (WTA). Jika WTP adalah jumlah maksimal seseorang mau membayar untuk menghindari terjadinya penurunan kualitas lingkungan, maka WTA adalah jumlah minimum pendapatan seseorang untuk mau menerima penurunan kualitas lingkungan. Besaran WTA bisa 2 sampai 5 kali lebih besar dibandingkan dengan WTP. Salah satu penyebab mendasar adalah dalam WTA responden memiliki sumber daya alam yang akan divaluasi. Seringkali responden menolak memberikan nilai terhadap sumber daya yang dia miliki karena dia menganggap bahwa sumber daya alam yang dimilikinya tidak bisa tergantikan. Akibatnya adalah terjadinya loss aversion dimana seseorang cenderung menghindari ker ugian deng an cara memberikan nilai yang lebih besar terhadap kerugian. Alinea berikut akan ber usaha menjelaskan klasifikasi valuasi lingkungan menurut Hufschmidt, dkk. Pendekatan pasar digunakan dengan mengandaikan barang lingkungan atau sumber daya dapat dinilai deng an menggunakan proksi barang yang memiliki
3
Gambar 3 Klasifikasi Metode Valuasi Lingkungan Metode Valuasi Lingkungan
Dari sisi manfaat
Nilai pasar
æ Produktivitas æ Human capital æ Oportunity cost
Input-0utput
Nilai pasar pengganti
æ Barang/jasa lingkungan yang dapat dipasarkan æ Property/land value æ Other land value æ Selisih upah
Program linier
Dari sisi biaya
Litigasi/ kompensasi
Teknik survai
Cost analysis
æ Bidding games
æ WTP
æ Pengeluaran preventif
æ Alokasi anggaran æ Trade-off games
æ Wawancara pilihan kuantitas
æ Biaya pengganti æ Proyek bayangan
Cost effectiveness
æ Discharge from individual plant æ Effects on human as receptor
æ Tanpa biaya æ Prioritas
æ Travel cost method
Sumber: Diadaptasi dari Hufschmidt, dkk. (1983)
Gambar 4. Valuasi Lingkungan dengan
harga pasar. Pendekatan produktivitas Pendekatan Produktivitas mengandaikan bahwa kualitas lingkungan merupakan salah satu faktor produksi. dengan program Sebagai contoh, perbaikan kualitas air irigasi hasil dapat dinilai dengan cara membandingkan produktivitas lahan pertanian dengan ton/ha program perbaikan kualitas air irigasi dan tanpa program perbaikan tersebut. Secara grafis pendekatan produktivitas dapat dilihat pada Gambar 4. Nilai program kualitas lingkungan diukur dengan cara menghitung tanpa program selisih produktivitas dengan program dan tanpa program. Kemudian hasilnya dikurangi waktu dengan biaya program perbaikan kualitas air ketidakhadiran kerja. bersih. 2. Kenaikan biaya pengobatan. Pendekatan pasar berikutnya adalah 3. Kenaikan biaya psikis. pendekatan human capital. Pendekatan ini Opportunity Cost digunakan untuk mengandaikan bahwa penurunan kualitas air menilai, misalnya, konservasi lahan menjadi bersih akan menghasilkan penurunan kualitas hutan alami untuk daerah tangkapan air. Cara kesehatan manusia. Ada 3 cara yang dapat menghitungnya adalah dengan menghitung dipergunakan untuk menghitung nilai pendapatan yang hilang akibat pemanfaatan penurunan kualitas air bersih baik sendirihutan seperti penebangan kayu jika sendiri ataupun kombinasi dari: konservasi hutan tetap dilakukan. Nilai hutan 1. Hilangnya penghasilan akibat alami untuk daerah tangkapan air sama kematian dini atau sakit atau
VALUASI AIR
4
dengan nilai semua komponen hutan yang dapat dimanfaatkan. Jika tidak ada barang yang secara langsung punya harga pasar yang dipergunakan untuk menghitung nilai lingkungan atau suatu sumber daya, maka harus dicari nilai pasar pengganti atau surrogate market value. Pendekatan barang atau jasa lingkungan yang dapat dipasarkan mengandaikan bahwa jasa lingkungan merupakan substitusi sempurna barang privat. Sebagai contoh, danau atau sungai dianggap merupakan substitusi sempurna dari kolam renang, sehingga usaha memperbaiki kualitas atau kuantitas air danau atau sungai sama dengan pendapatan yang diperoleh dari penjualan karcis kolam renang dikurangi dengan biaya program. Masalahnya adalah sangat sulit memperoleh substitusi yang sempurna. Property/Land Value dihitung dengan cara yang sama dengan hedonic pricing seperti yang telah dijelaskan di muka. Pendekatan ini mengandaikan ada hubungan antara karakteristik lingkungan dengan harga barang privat. Sebagai contoh, nilai tanah digunakan untuk memperkirakan manfaat program perbaikan kualitas lingkungan seperti program penanggulangan banjir baik banjir karena air hujan maupun air pasang laut, dan penurunan permukaan tanah. Other land value digunakan untuk penilaian manfaat pemeliharaan barang lingkungan untuk maksud pelestarian sejarah, pendidikan, kebudayaan, dan tujuan ilmiah seperti Borobudur, Taman Margawatwa Ujung Kulon, atau bisa juga untuk preservasi tanah resapan air. Manfaat program dihitung dengan cara menghitung opportunity cost ditambah dengan manfaat ekonomi. Manfaat ekonomi preservasi tanah resapan air adalah wildlife production, visual cultural effects, pasokan air, dan pengendali banjir. Manfaat ekonomi ini dapat dihitung dengan mempergunakan metoda WTP, misalnya. Selisih upah dipergunakan untuk menghitung beda upah untuk pekerjaan
VALUASI AIR
sejenis di dua tempat yang berbeda dimana yang satu kualitas lingkungannya baik sementara yang lain kualitas lingkungannya buruk. Asumsi yang dipakai adalah pasar tenaga kerja ada pada posisi perfect competitive equilibrium. Sebagai contoh, di Kota Semarang program perbaikan banjir dan rob di Kaligawe dihitung manfaatnya melalui perhitungan beda upah bagi pekerja yang bekerja di Kaligawe dengan pekerja yang bekerja di pekerjaan sejenis di tempat lain yang tidak pernah mengalami banjir dan atau rob. Metoda biaya perjalanan sudah dijelaskan di atas saat dibahas tentang travelling cost method. Sementara untuk litigasi atau kompensasi dipergunakan untuk menghitung akibat pencemaran air, misalnya, dengan cara menghitung ganti rugi atau kompensasi yang diberikan kepada korban pencemaran air yaitu sebesar nilai sekarang (present value) rata-rata keuntungan tahunan. Nilai sekarang mengandaikan ada nilai waktu uang, bahwa uang yang diterima setahun mendatang nilainya tidak sama dengan nilai uang yang sama yang diterima saat ini. Sebagai contoh, pendekatan litigasi dapat diterapkan untuk kasus pencemaran Kali Tapak oleh industri. Akibat pencemaran petani tambak udang dan bandeng di hilir Kali Tapak menderita kerugian akibat udang dan bandengnya mati oleh air yang tercemar. Pendekatan teknik survai sudah dibahas di atas pada pembahasan metode WTP dan WTA. Plihan kuantitas tanpa biaya dan prioritas ditujukan untuk mengatasi kelemahan pemberian nilai moneter terhadap suatu barang lingkungan atau sumber daya. Dalam pilihan kuantitas ada dua pilihan yang semuanya g ratis. Contohnya adalah perhitungan dampak air limbah produksi tahu. Responden diminta untuk memilih pengurangan dampak 90%nya, sebagai contoh, atau menerima penawaran sejumlah uang. Kondisi pertama 10 responden, misalnya, diminta memilih apakah akan memilih 90% pengurangan dampak atau uang sebesar Rp. 0 . Jika ke-10 responden memilih
5
VALUASI AIR
Nilai minimal kualitas lingkungan ditunjukkan jika penduduk tetap tinggal dan memasang tanggul atau meninggikan rumah. Area di bawah kurva permintaan untuk tanggul menunjukkan manfaat ekonomi total dari program penanggulan sungai (lihat Gambar 5). Gambar 5 Permintaan terhadap Program Penanggulan
Biaya tanggul
pilihan 90% pengurangan dampak, maka nilai uang dinaikkan sampai ke-10 responden memilih jumlah uang tertentu. Nilai maksimal uang yang dipilih merupakan nilai manfaat barang lingkungan, dalam hal ini air yang tidak tercemar limbah tahu. Teknik survai prioritas atau priority evaluator technique mengandaikan bahwa ada kondisi ekuilibrium antara manfaat marginal dengan harga. Intinya, responden, misalnya 99 orang, diminta untuk memilih salah satu level dari lima barang dimana salah satunya adalah barang lingkungan. Dengan batasan anggaran tertentu, harga barang lingkungan diubah-ubah sampai jumlah responden yang memilih untuk masing-masing level sama. Jika ada 3 level maka kondisi yang mencerminkan harga barang lingkungan terjadi saat sepertiga responden memilih masing-masing level dari 3 level pilihan. Dari sisi biaya khususnya cost analysis, ada 3 pendekatan yang dapat dipergunakan yaitu: pengeluaran preventif, biaya pengganti dan proyek bayangan. Pengeluaran preventif ditunjukkan dari kesediaan penduduk yang tinggal di bantaran sungai yang selalu banjir di musim penghujan untuk mengeluarkan biaya untuk mengurangi atau menghilangkan dampak pengaruh negatif banjir. Perkiraan nilai minimal individual terhadap kualitas lingkungan ditunjukkan dari data empirik tentang kesediaan mereka mengeluarkan biaya tersebut. Ada beberapa konsep yang harus dipertimbangkan dalam pendekatan ini yaitu: 1. Disutilitas akibat gangguan banjir. 2. Surplus konsumen yaitu kelebihan manfaat untuk tetap ting g al dibandingkan rumah disewakan atau dijual. Misal, biaya transportasi ke tempat kerja lebih murah jika tinggal di r umah yang sering banjir dibandingkan jika pindah. 3. Penurunan nilai rumah akibat banjir. 4. Biaya untuk pindah rumah. 5. Biaya penanggulangan banjir dengan meninggikan rumah atau memasang tanggul.
Ku
rv ap
er m in ta an
pe
na ng g
ul
an
Kuantitas tanggul
Metoda biaya pengganti dihitung dengan cara membandingkan biaya program dengan biaya yang harus dikeluarkan untuk memperbaiki. Contoh, pengembangan teknik pengolahan tanah di daerah atas untuk mencegah erosi. Dalam contoh ini, nilai kualitas lingkungan ditunjukkan dengan biaya yang nantinya muncul jika erosi terjadi seperti biaya pengurugan tanah dan penambahan nutrisi dikurangi dengan biaya program. Contoh lain adalah eksploitasi air tanah. Manfaat air tanah yang baik kondisinya ditunjukkan dengan cara menghitung biaya injeksi air tawar jika air tanah dieksploitasi sampai rusak. Proyek bayangan mengandaikan bahwa ada beberapa cara untuk menanggulangi satu masalah lingkungan. Misalnya untuk menanggulangi rob dapat dilakukan dengan membendung total dan membangun danau untuk pengganti rekreasi pantai, memperkuat bendungan lama sungai, atau bendung sebagian dan bangun kolamkolam retensi. Nilai kualitas lingkungan
6
ditunjukkan oleh biaya yang dikeluarkan untuk proyek bayangan yang dipilih. Efektivitas biaya untuk untuk mengurangi limbah dari suatu pabrik (cost effectiveness measures to reduce discharges from individual plants) dihitung dengan mempertimbangkan: efektivitas minimum yang disyaratkan untuk penanggulangan, biaya maksimum atau anggaran yang tersedia, resiko gagal dan tingkat penerimaan program. Gambar 6 menunjukkan 3 proyek penanggulangan rob dengan constraint biaya maksimum dan efektivitas minimum.
kegagalan mengendalikan rob adalah 0,1 atau prosentasi keberhasilannya 0,9; sementara bendung total reskio kegagalannya 0,001. Tingkat penerimaan masyarakat terhadap polder adalah 90%, sementara untuk bendung total adalah 20%. Proyek yang dipilih adalah polder karena hasil pengalian prosentase keberhasilan dengan tingkat penerimaan lebih tinggi dibandingkan dengan bendung total. Efek pada manusia sebagai reseptor, sebagai contohnya adalah adanya beberapa alter natif penang gulang an penyakit schistosomiasis atau penyakit yang
Gambar 6 Metode Efektivitas Biaya
A Efektivitas B Efektivitas minimum C
Biaya maksimum
Jika constraint-nya adalah efektivitas minimum dan biaya maksimum maka proyek A yang dipilih karena dengan kendala biaya yang ada (biaya tidak boleh melebihi batas biaya maksimum) diperoleh efektivitas minimum yang dipersyaratkan. Jika ada beberapa alternatif proyek yang memenuhi syarat, maka dapat dipergunakan pertimbangan resiko kegagalan dan penerimaan masyarakat terhadap proyek tersebut. Proyek yang dipilih adalah proyek yang menghasilkan prosentase keberhasilan dikalikan dengan tingkat penerimaan yang tertinggi. Sebagai contoh, polder resiko
VALUASI AIR
Biaya
diakibatkan siput. Tiga alternatinya adalah kurangi jumlah siput, modifikasi aktivitas manusia dan pengobatan. Proyek yang dipilih adalah yang mendatangkan manfaat terbesar. Selain metoda travelling cost tentunya dengan mengabaikan modifikasi metoda ini, semua metoda yang diungkap Hufschmidt dkk. relevan terhadap proyek-proyek lingkungan yang terkait dengan air. Sebelum sampai pada pilihan metoda yang cocok untuk valuasi air untuk kepentingan ekstraksi air tanah air permukaan, akan dibahas terlebih dahulu karakteristik khas air tanah dan air permukaan.
7
Air Permukaan dan Air Tanah dalam Valuasi Air Meskipun ada pada siklus hidrologi yang sama, manajemen air tanah sebaiknya dipisahkan dari manajemen air permukaan. Meskipun termasuk sumber daya yang dapat diperbaharui, air tanah merupakan sumber daya yang dapat habis dan rusak. Tidak seperti air permukaan, deplesi dan degradasi sistem air tanah tidak dapat dipulihkan secara sempurna dan oleh karenanya manajemen air tanah harus dilakukan dengan lebih hati-hati. Ada beberapa isu yang terkait dengan ekstraksi dan eksploitasi air tanah dan permukaan, yaitu isu keberlanjutan dan isu keadilan. Seperti diungkap di atas, karakteristik air permukaan dan air tanah berbeda sehingga meskipun isunya sama namun implikasi dan manajemennya berbeda. Untuk air permukaan isu keberlanjutan biasanya mengaitkan antara eksploitasi air permukaan dengan manajemen daerah tangkapan air, atau dengan perkataan lain bagaimana membuat pasokan air permukaan dapat berkelanjutan melalui manajemen
daerah tangkapan air yang baik. Oleh karena itu, isu keadilan juga biasanya terkait dengan masalah ini. Bagaimana kontribusi mereka yang mengeksploitasi air permukaan di bagian hilir kepada mereka yang melakukan konservasi di bagian hulu. Isu keadilan juga terkait dengan alokasi air, bagaimana alokasi air dapat dilakukan secara adil bagi seluruh penggunanya. Isu keberlanjutan dan keadilan pada kasus air tanah sedikit berbeda. Air tanah dapat berkelanjutan jika ekstraksinya dibatasi sebesar kemampuan pengisian kembali (recharg e capacity). Ar tinya, kalau keberlanjutan air permukaan titik fokusnya adalah pada manajemen daerah tangkapan air, maka titik fokus keberlanjutan air tanah lebih banyak pada ekstraksinya meskipun tanpa mengabaikan daerah tangkapan airnya. Isu keadilan untuk air tanah biasanya terkait dengan kemampuan teknologis dan ekonomis pengekstraksi. Mereka yang kaya dan punya teknologi cenderung akan memperoleh manfaat dari air tanah lebih dari mereka yang msikin dan tidak punya kemampuan teknologi ekstraksi.
Gambar 7 Isu Penting dalam Pengelolaan Air Air
Air Tanah
Keberlanjutan
ĂŚ Ekstraksi = recharge capacity ĂŚ Keseimbangan hulu-hilir
VALUASI AIR
Air Permukaan
Keadilan
Kapasitas teknologis dan ekonomis pengekstraksi
Keberlanjutan Keseimbangan hulu-hilir
Keadilan ĂŚ Hulu-hilir ĂŚ Alokasi
8
Air tanah dan air permukaan juga punya karakteristik lain yang berbeda. Air tanah cenderung punya kualitas yang lebih baik, namun untuk mengekstraksinya diperlukan biaya yang besar. Sementara air permukaan kualitasnya biasanya tidak sebaik air tanah. Untuk mengeksploitasinya murah namun biaya untuk mengolah agar kualitasnya lebih baik cenderung sangat mahal. Akibat biaya ekstraksinya yang lebih besar, pengguna air tanah cenderung mengekstraksi sebanyak mungkin ag ar mereka tetap dapat mempertahankan hak mereka dan memperoleh manfaat yang sebesar-besarnya sebelum sumber daya ini habis. Ciri-ciri tersebut di atas membuat valuasi air untuk air permukaan dan air tanah berbeda. Pada kasus air tanah, valuasi air ditujukan agar ekstraksi air tanah menjadi tidak berlebihan: agar air yang diekstraksi tidak melebihi kemampuan pengisian kembali. Caranya adalah dengan membatasi ekstraksi oleh mereka yang mempunyai kemampuan teknologis dan ekonomis. Sementara pada kasus air permukaan, valuasi air ditujukan agar pemanfaat di bagian hilir dapat memberikan kontribusi kepada mereka yang menjaga daerah tangkapan air di bagian hulu dan agar alokasi adil. Ada 3 pendekatan yang dapat dipergunakan dalam valuasi air permukaan dan air tanah yaitu 1. pendekatan yang lebih mementingkan konservasi, 2. p e n d e k a t a n y a n g b e r u s a h a menyeimbangkan antara konservasi dan eksploitasi, dan 3. pendekatan yang lebih menekankan eksploitasi seperti untuk alasan pertumbuhan ekonomi. Pendekatan yang ber usaha menyeimbangkan eksploitasi dengan konservasi lebih kompleks dibandingkan dengan dua pendekatan yang lain. Diperlukan sistem informasi yang akurat tentang volume air yang tersedia, kemampuan yang dapat
VALUASI AIR
menjaga keberlanjutan, kebutuhan masingmasing pengguna, sumbangan air terhadap pertumbuhan sektor lain, sampai pada aspek hukum hak eksploitasi dan penegakan hukumnya. Implikasinya pada nilai air juga berbeda. Untuk pendekatan yang cenderung eksploitatif, nilai air dibuat serendah mungkin agar mampu mendorong pertumbuhan sektor lain. Sebaliknya untuk pendekatan konservasi. Nilai air dibuat setinggi mungkin agar pengguna cenderung untuk mengkonservasi air dengan cara mempergunakan air sehemat mungkin. Pendekatan keseimbangan tentunya ada di antara keduanya. Kebijakan Terkait dengan Valuasi Air di Indonesia Meskipun ada banyak aturan seperti UU No. 7 tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, UU No. 34 tahun 2000 tentang Pajak dan Retribusi Daerah, PP No. 42 tahun 2008 tentang Pengelolaan Sumber Daya Air, PP No. 43 tahun 2008 tentang Air Tanah, PP No. 65 tahun 2001 tentang Pajak Daerah, regulasi yang sangat terkait dan menyatakan nilai air secara eksplisit beberapa di antaranya adalah 1. Keputusan Menteri Energi dan S u m b e r D a y a M i n e r a l N o. 1451K/10/MEM/2000 tentang Pedoman Teknis Penyelenggaraan Tugas Pemerintahan di Bidang Pengelolaan Air Tanah khususnya Lampiran X dan berbagai Perda, dan Keputusan Gubernur seperti 2. Keputusan Gubernur Propinsi Jawa Tengah No. 5 tahun 2003 tentang Nilai Perolehan dan Harga Dasar Air untuk Menghitung Pajak Pengambilan Air Bawah Tanah yang dijabarkan lebih lanjut dalam Keputusan Kepala Dinas Pertambangan dan Energi Propinsi Jawa Tengah No. 1883/02/2003 tentang Petunjuk Teknis Perhitungan Nilai Perolehan Air dan Harga Dasar
9
Air Bawah Tanah, 3. Keputusan Gubernur Propinsi Jawa Barat No. 29 tahun 2002 tentang Tata Cara Perhitungan Harga Dasar Air sebagai Dasar Penetapan Nilai Perolehan Air (NPA) Air Bawah Tanah dan Air Permukaan yang dijabarkan dalam Keputusan Kepala Dinas Pertambangan dan Energi Propinsi Jawa Barat tentang Pedoman Teknis Pendataan, Perhitungan, Penetapan dan Pelaporan Nilai Perolehan Air (NPA) Air Bawah Tanah. Regulasi tentang nilai air permukaan ditemukan pada khususnya pengelolaan air permukaan yang dilakukan oleh Perusahaan Umum Jasa Tirta (PJT) seperti biaya jasa pengelolaan sumber daya air pada PJT I dan II dan Peraturan Daerah Propinsi serta berbagai keputusan Gubernur terkait. Untuk Propinsi Jawa Timur, misalnya Peraturan Daerah (Perda) Propinsi Jawa Timur No. 10 tahun 2007 tentang Perizinan Pengambilan dan Pemanfaatan Air Permukaan di Jawa Timur dan Perda Propinsi Jawa Timur No. 16 tahun 2001 tentang Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan. Dalam Perda Propinsi Jawa Timur No. 10 tahun 2007 disebutkan bahwa setiap pemegang izin pengambilan dan pemanfaatan air permukaan harus mengikuti ketentuan. Beberapa ketentuan di antaranya adalah membayar pajak kepada Pemerintah Propinsi dan membayar biaya jasa kepada PJT I. Untuk Propinsi Jawa Tengah, pajak pengambilan dan pemanfaatan air permukaan diatur melalui berbagai Perda seperti Perda No. 9 tahun 2002. Sesuai dengan PP No. 65 tahun 2001 tentang Pajak Daerah, tarif pajak air permukaan yang harus dibayarkan wajib pajak adalah sebesar 10% dari Nilai Perolehan Air. Sementara untuk air tanah tarif pajaknya adalah 20%. Untuk Kepulauan Riau, nilai perolehan air sebagai dasar penetapan pajak
VALUASI AIR
pengambilan dan pemanfaatan air bawah tanah dan air permukaan diatur dengan Peraturan Gubernur Kepulauan Riau No. 08 tahun 2006. Regulasi Air Bawah Tanah untuk NPA Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral No. 1451/10/MEN/2000 Lampiran X merupakan pedoman teknis yang harus diacu semua propinsi di Indonesia tentang pajak air bawah tanah. Meskipun demikian keputusan ini tidak selalu diacu atau tidak menghasilkan tarif pajak yang sama antar kabupaten atau kota dalam satu propinsi. Sesuai dengan UU No. 34 tahun 2000 tentang Pajak dan Retribusi Daerah Pasal 2, pajak pengambilan dan pemanfaatan air bawah tanah dan air permukaan merupakan pajak propinsi. Ada beberapa hal yang diperhitungkan dalam pajak air tanah menurut Keputusan Menteri tersebut. 1. Nilai Perolehan Air (NPA), yaitu nilai air tanah yang telah diambil dan dikenai pajak pemanfaatan yang besarnya sama dengan volume air yang diambil dikalikan dengan Harga Dasar Air. 2. Harga Dasar Air (HAD) adalah harga air tanah per satuan volume yang akan dikenai pajak pemanfaatan air tanah yang besarnya adalah sama dengan Harga Air Baku dikalikan dengan Faktor Nilai Air. 3. Harga Air Baku (HAB) adalah harga rata-rata air tanah per satuan volume di suatu daerah yang besarnya sama dengan Nilai Investasi untuk Mendapatkan Air Tanah dibagi dengan volume produksinya. Nilai investasi adalah harga eksploitasi yang terdiri dari biaya pembuatan sumur dan biaya operasionalnya selama umur ekonomis sumur tersebut. 4. Faktor Nilai Air (FNA) adalah suatu
10
bobot nilai dari Komponen Sumber Daya Alam dan Kompensasi Pe m u l i h a n , Pe r u n t u k a n d a n Pengelolaan yang besarnya ditentukan berdasarkan Subyek Kelompok P e n g g u n a A i r d a n Vo l u m e Pengambilannya yang Sifatnya Progresif. FNA diperoleh dari 60% kali bobot komponen sumber daya alam ditambah dengan 40% kali bobot komponen kompensasi. 5. Di dalam Komponen Sumber Daya Alam terdapat peringkat dan bobot. Namun yang digunakan dalam perhitungan adalah bobotnya. a. Air tanah kualitas baik dan ada sumber air alternatif air tanah, bobot 9. b. Air tanah kualitas baik dan tidak ada sumber air alternatif, bobot 4. c. Air tanah kualitas jelek, bobot 1. Komponen Sumber Daya Alam ini menyumbangkan 60% pada FNA, sehingga untuk perhitungan FNA seperti diungkapkan pada poin 4 di atas, bobot komponen sumber daya alam harus dikalikan dengan 60%. 6. Bobot Komponen Kompensasi seperti dikemukakan pada poin 4 d i t e n t u k a n b e r d a s a r s u by e k kelompok pengguna dan volume pengambilan yang sifatnya progresif, seperti digambarkan dalam Tabel 1
berikut. Komponen kompensasi ini menyumbangkan 40% pada FNA. Masalah keberlanjutan berdasarkan keputusan menteri ini di-cover oleh komponen sumber daya alam dan progresivitas bobot kompensasi untuk volume air tanah yang dimanfaatkan. Bobot besar (9) dalam komponen sumber daya alam menunjukkan bahwa jika ada alternatif pengguna dipersilahkan untuk mempergunakan alternatif air tanah yaitu air permukaan. Tujuannya agar pengguna didorong untuk melakukan konservasi air tanah. Demikan juga halnya dengan progresivitas bobot komponen kompensasi. Tujuannya adalah bahwa pengguna didorong berhemat sehingga air tanah tidak banyak hambur dalam pemanfaatannya. Masalah keadilan di-cover oleh besar nya bobot dalam komponen kompensasi. Bobot yang kecil (1) untuk non niaga dan yang paling besar (5) untuk industri ditujukan agar keadilan dapat dicapai. Industri besar yang punya kemampuan besar dengan bobot yang besar akan membayar NPA dan akhirnya pajak air tanah yang lebih besar. Pertanyaannya adalah apakah angkaangka dan bobot-bobot di atas benar-benar sudah mencer minkan keadilan dan mendorong keberlanjutan pemanfaatan air tanah? Studi yang dilakukan oleh Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian Institut Teknologi Bandung menyatakan bahwa ada beberapa kelemahan seperti yang akan diurai pada bagian sub judul berikut ini.
Tabel 1 Bobot Komponen Kompensasi
No 1 2 3 4 5
Subyek Kelompok Pengguna Non Niaga Niaga Kecil Industri Kecil Niaga Besar Industri Besar
VALUASI AIR
0-50 m3
51-500 m3
5011000 m3
10012500 m3
1 2 3 4 5
1,1 2,2 3,3 4,4 5,5
1,2 2,4 3,6 4,8 6,0
1,3 2,6 3,9 5,2 6,5
Ă˜ 2500 m3 1,4 2,8 4,5 5,6 7,0
11
Usaha yang Telah Dilakukan untuk Perbaikan Kebijakan Valuasi Air Tanah Seperti dikemukakan di atas Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian Institut Teknologi Bandung mencoba untuk melakukan penilaian atas pajak air tanah dalam rangka konservasi. Ada beberapa temuan yang menarik yaitu: 1. Formula pajak air tanah cukup kaku atau tidak cukup adaptif mengantisipasi perubahan dan gejolak harga yang terjadi di pasar. Hanya komponen HAB saja yang terbuka terhadap perubahan dan gejolak harga di pasar. Namun demikian karena umur instalasi pengambil air tanah dapat bertahan cukup lama, maka hal ini membuat komponen ini juga tidak dapat mendongkrak kenaikan pajak air tanah yang signifikan seiring dengan kenaikan harga-harga di pasar. 2. Akibat selanjutnya adalah pajak air tanah terlalu murah. Keadaan ini menyebabkan hilangnya fungsi pajak air tanah sebagai instrumen kontrol dalam konservasi air tanah. 3. Komponen kompensasi pemulihan akibat pengambilan air tanah seperti penurunan muka air tanah, salinasi akibat intrusi air laut, amblesan tanah dan pencemaran air tanah, sangat sulit ditentukan karena parameter yang terlibat sangat banyak dan seringkali terdapat komponen yang intangible. Komponen kompensasi dalam kenyataannya jarang direalisasikan dan benar-benar dialokasikan untuk perbaikan kerusakan lingkungan tersebut di atas. 4. Karena harga air permukaan dan harga air bersih terbuka dan adaptif terhadap harga pasar, sebagai akibatnya harga air tanah seringkali jauh lebih rendah dibanding dengan
VALUASI AIR
harga air permukaan dan air bersih. Akibatnya pengguna lebih suka mempergunakan air tanah. Hal ini menjadi penyebab krisis air tanah di hampir semua kota besar. Usulan perbaikan dari Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian Institut Teknologi Bandung adalah bahwa Harga Dasar Air sebaiknya ditetapkan sama dengan ongkos pemulihan lingkungan dengan sumur injeksi. Dengan kedalaman rata-rata sumur injeksi di Cekungan Air Tanah Bndung sekitar 150 m, kapasitas injeksi sumur 20 m3, umur sumur 10 tahun, kapasitas sumur selama 10 tahun adalah 73.000 m3, biaya pembuatan sumur injeksi Rp. 150 juta, biaya perawatan dan penyusutan Rp. 60 juta, dan air baku untuk injeksi mempergunakan air PDAM dengan harga Rp. 9.600/m3, maka total ongkos pemulihan adalah (Rp. 150 juta + Rp. 60 3 3 juta)/73.000 m + Rp. 9.600 = Rp. 12.476/m . 3 Angka Rp. 12.476/m merupakan Harga Air Baku yang diusulkan untuk Cekungan Air Tanah Bandung. Usulan ini sudah jauh lebih baik dibandingkan dengan perhitungan sesuai dengan Keputusan Menteri Energi Sumber Daya Mineral No. 1451 K/10/MEM/2000. Melalui PP No. 43 tahun 2008 sebenarnya pemerintah sudah satu langkah lebih maju. Dalam PP tersebut Pasal 84 ayat (5) dinyatakan bahwa hasil penerimaan biaya jasa pengelolaan air tanah merupakan Penerimaan Negara Bukan Pajak. Menurut UU No. 20 tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak Pasal 8 dinyatakan bahwa sebagian dana dapat digunakan untuk kegiatan tertentu yang berkaitan dengan jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak tersebut oleh instansi yang bersangkutan. Kegiatan tersebut meliputi, salah satunya adalah pelestarian sumber daya alam. Artinya ada jaminan, meskipun tidak seluruh dana pajak air tanah, bahwa sebagian penerimaan pajak air tanah dapat digunakan langsung oleh instansi terkait dalam hal ini Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral untuk
12
kegiatan konservasi. Hal ini berbeda jika kategorinya adalah penerimaan negara dari pajak. Seluruh dana masuk ke dalam APBN atau APBD dan instansi terkait tidak punya kewenangan langsung untuk memanfaatkan dana tersebut untuk kepentingan konservasi sumber daya seperti air tanah, misalnya. Regulasi Air Permukaan untuk NPA Meskipun ada beberapa kelemahan namun regulasi air tanah jauh lebih baik dibandingkan dengan regulasi air permukaan. PJT II, misalnya menerapkan tarif air permukaan untuk industri sebesar Rp. 50 /m3, sedangkan untuk PDAM sebesar Rp. 45 /m3, dan untuk PAM DKI Jakarta sebesar Rp. 122 /m3. Tidak jelas apa dasar pengenaan tarif tersebut. Contoh yang lain adalah Peraturan Gubernur Kepulauan Riau No. 08 tahun 2006. Dalam Pasal 3 Peraturan Gubernur tersebut dinyatakan bahwa nilai perolehan air permukaan yang digunakan oleh Pertamina dan para kontraktornya untuk kegiatan industri pertambangan minyak dan gas bumi
3
ditetapkan sebesar Rp. 100/m . Sementara PLN untuk kegiatan pembangkit tenaga listrik ditetapkan sebesar Rp. 60 per kwh. Untuk PDAM nilai perolehan air permukaannya adalah sebesar Rp. 100/m3. Sementara menurut Perda Jawa Barat No. 16 tahun 2002 nilai perolehan air permukaan ditetapkan sebesar Rp. 500/ m3. Studi yang dilakukan di Kanal Tarum Barat dan PJT II menunjukkan bahwa dengan tarif air permukaan seperti yang dikemukakan di atas, yaitu Rp. 50 untuk industri, Rp. 45 untuk PDAM Karawang dan Bekasi, Rp. 122 untuk PAM Jaya serta Rp. 0 per m3 untuk petani, kecenderungannya adalah bahwa PJT II ber usaha untuk memaksimalkan pendapatan dengan mengalokasikan air lebih banyak kepada mereka yang membayar. Tabel 2 dan 3 berikut menunjukkan kecenderungan kenaikan pendapatan PJT II. Sementara Tabel 4 menunjukkan kecenderungan alokasi air kepada petani yang cenderung menurun terus dan alokasi kepada non petani (yang nota bene membayar tarif air) yang cenderung meningkat terus. Pendapatan Tahun
Jumlah (Rp)
1990
25.450.329.000
1991
28.707.554.000
1992
35.297.003.000
1993
38.261.696.000
1994
39.738.721.631
1995
40.124.539.000
1996
44.361.266.000
1997
58.472.536.000
1998
81.572.260.547
1999
82.485.573.939
Tabel 2 Pendapatan PJT II
2000
104.865.573.939
1990-2001
2001
127.942.946.948 Sumber: PJT II, 2002
VALUASI AIR
13
Tabel 3 Rencana Pendapatan PJT II 2009 - 2013 (dalam juta rupiah)
No Pendapatan 1 2 3 4
Penjualan Listrik Penjualan Jasa Air Penjualan Jasa Pariwisata Jasa Lainnya Jumlah
2009
2010
174.578,61 193.906,73
2011
2012
2013
213.367,79
248.761,46
295.571,84
83.517,20
99.034,23
119.426,48
133.451,85
139.953,46
9.499,85
10.854,27
11.958,76
13.434,33
15.105,13
12.444,85
13.176,63
13.952,88
14.776,22
15.649,86
280.040,51
316.771,86 358.695,72 410.423,86 466.280,30
Tabel 4 Neraca Air Tarum Barat (Juta m3)
Non Irigasi Tahun
Irigasi
PAM DKI
1998 1.795,03 431,97 1999 1.590,68 400,42 2000 1.753,74 403,96 2001 1.736,78 415,02 2002 1.764,31 417,64 2003 1.521,92 437,90 2004 1.602,32 460,41 2005 1.607,13 465,94 2006 1.476,40 465,37 2007 1.411,89 442,74 Sumber: PJT II (2008)
VALUASI AIR
PDAM Karawang Industri dan Bekasi 9,26 15,03 14,28 19,64 23.51 29,76 31,97 37,41 40,29 50,79
37,88 26,28 31,34 32,53 45,63 55,15 60,48 64,94 149,68 87,70
14
Sampai saat ini sepengetahuan penulis belum ada usaha untuk melakukan studi apakah nilai perolehan air permukaan atau tarif air permukaan seperti tersebut di atas sudah tepat dalam hal keberlanjutan pengelolaan air permukaan dan keadilan alokasi ataukah belum. Kasus PJT II dimana kecenderungan alokasi air yang terus menurun untuk petani dapat mengakibatkan ketidakadilan alokasi jika tidak dilakukan langkah-langkah pencegahannya. Banyaknya bencana akibat air akibat tidak dipeliharanya dengan baik daerah tangkapan air di daerah hulu mengindikasikan bahwa keberlanjutan pengelolaan air permukaan sedang menghadapi masalah yang besar. Evaluasi dan perbaikan nilai perolehan air permukaan, alokasi air permukaan dan penggunaan dana eksploitasi air permukaan untuk pemeliharaan daerah tangkapan air di daerah hulu merupakan hal yang mendesak untuk dilakukan. Kontribusi Paper Ini Pembahasan valuasi lingkungan pada sub bab pertama paper ini menunjukkan bahwa sebenarnya ada banyak cara yang dapat dipergunakan untuk memberikan valuasi terhadap air, baik air tanah maupun air permukaan, untuk kepentingan ekstraksi air. Bagian penting kedua yang disumbangkan paper ini adalah tentang konsep keberlanjutan dan keadilan dalam ekstraksi air tanah dan permukaan. Sementara sumbangan ketiga adalah terkait dengan pendekatan yang dapat dipergunakan dalam valuasi air yaitu pendekatan konser vasi, pendekatan keseimbangan antara konservasi dan eksploitasi, dan pendekatan yang lebih menekankan eksploitasi. Air Bawah Tanah Metoda valuasi lingkungan yang dipakai oleh tim dari Fakultas Ilmu dan Rekayasa Kebumian Institut Teknologi
VALUASI AIR
Bandung adalah metoda Biaya Pengganti. Sementara pendekatan yang dipergunakan oleh tim adalah pendekatan konservasi, meskipun tidak semua aspek konservasi sudah ter-cover dalam usulan perbaikan seperti tersebut di atas. Sebagai contoh, aspek kerusakan lingkungan amblesan tanah (land subsidence), penurunan muka air tanah, dan aspek kelangkaan air tanah akibat intrusi air laut belum ter-cover dalam usulan perbaikan. Untuk kedua hal terakhir paling tidak sampai efek penyuntikan air tawar dapat efektif mengatasi masalah penurunan muka air tanah dan intrusi air laut. Demikian juga belum tercover aspek keadilan khususnya jika air tanah dieksploitasi untuk diperjualbelikan seperti yang terjadi dengan air minum dalam kemasan dan air minum isi ulang. Selama ini air minum dalam kemasan masuk dalam kategori industri. Laporan penelitian Amrta Institute Pemantauan Pendapatan (Revenue Watch) Sektor Sumber Daya Air untuk Optimalisasi Layanan Publik di Indonesia menunjukkan bahwa produsen air minum dalam kemasan Aqua dapat menjual air dalam botol seharga Rp. 1,5 juta per meter kubik. Fakta seperti ini jelas bertentangan dengan rasa keadilan dan juga dapat membahayakan keberlanjutan karena menurut Keputusan Menteri ESDM tersebut di atas bobot tertinggi hanya 7 untuk volume ekstraksi berapa pun di atas 2500 m3. Padahal pada tahun 2004 saja ijin yang dimiliki oleh produsen air minum dalam kemasan merek Aqua di Klaten adalah sebesar 18 liter per detik. Fakta pada saat yang sama produsen Aqua ini menyedot sampai 86 liter per detik. Apa yang sudah diusulkan oleh tim dari Fakultas Ilmu dan Rekayasa Kebumian Institut Teknologi Bandung dan yang sudah dicapai oleh Departemen ESDM melalui PP No. 43 tahun 2008 yang mengkategorikan pajak air tanah ke dalam Penerimaan Negara Bukan Pajak sudah merupakan kemajuan yang sangat berarti. Namun, ada beberapa perbaikan yang perlu dilakukan khususnya untuk menyempurnakan usulan tim dari Fakultas Ilmu dan Rekayasa Kebumian
15
Institut Teknologi Bandung tersebut. Per tama, bahwa ker usakan lingkungan yang tangible yang tidak dapat dipulihkan dengan sumur injeksi adalah amblesan tanah. Oleh karena itu, perlu dibandingkan antara nilai pajak yang disumbangkan oleh nilai komponen sumber daya alam dengan biaya pengganti kerusakan lingkungan amblesan tanah. Penurunan Nilai Jual Objek Pajak dapat menjadi indikator yang dipergunakan sebagai pembanding. Jika ternyata sumbangan pajak untuk biaya pengganti kerusakan lingkungan amblesan tanah tidak sesuai, maka bobot komponen sumber daya alam harus diperbaiki. Kedua, untuk memenuhi syarat aspek keadilan perlu dibuat kategori khusus kelompok pengguna yang memperjualbelikan air seperti industri air minum dalam kemasan dan air minum isi ulang. Bobot komponen kompensasi dapat diperoleh dengan merasiokan harga air minum dalam kemasan yang dijual dengan harga air PDAM. Sebagai contoh kasus PT Tirta Investama yang memproduksi air minum dalam kemasan Aqua. Data dari penelitian Amrta Institute menunjukkan bahwa pada tahun 2005 rata-rata produksi Aqua adalah 53 juta liter air minum dalam kemasan atau 53.000 m3 air. Rata-rata pendapatan per bulan untuk tahun yang sama adalah Rp. 40 milyar. Dengan asumsi Harga Air Baku untuk Cekungan Air Tanah daerah Klaten sama dengan Harga Air Baku Cekungan Air Tanah Bandung yaitu sebesar Rp. 12. 476/m3. Bobot komponen kompensasi dihitung dengan merasiokan harga jual air Aqua dengan air PDAM, misalkan saja harga air PDAM Rp. 9.600 per m3, dan menurut penelitian Amrta harga jual Aqua pada tahun 2005 adalah Rp. 1,5 juta per m3; maka bobot komponen kompensasi adalah Rp. 1,5 juta/Rp. 9.600 yaitu 156 atau dibulatkan menjadi 150. Karena pengguna air Aqua ada pada lokasi dimana ada sumber air alternatif maka bobot komponen sumber daya alam adalah 9.
VALUASI AIR
Perhitungan Faktor Nilai Air adalah sbb.: 3 Volume 0-50 m Komponen Sumber Daya Alam = 9 x 0,6 = 5,4 Komponen Kompensasi = 150 x 0,4 = 60 Jumlah Faktor Nilai = 65,4 Volume 51-500 m3 Komponen Sumber Daya Alam = 9 x 0,6 = 5,4 Komponen Kompensasi = 165 x 0,4 = 66 Jumlah Faktor Nilai = 71,4 Volume 501-1000 m3 Komponen Sumber Daya Alam = 9 x 0,6 = 5,4 Komponen Kompensasi = 180 x 0,4 = 72 Jumlah Faktor Nilai = 77,4 Volume 1001-2500 m3 Komponen Sumber Daya Alam = 9 x 0,6 = 5,4 Komponen Kompensasi = 195 x 0,4 = 78 Jumlah Faktor Nilai = 83,4 3 Volume 2501-53.000 m Komponen Sumber Daya Alam = 9 x 0,6 = 5,4 Komponen Kompensasi = 210 x 0,4 = 84 Jumlah Faktor Nilai = 89,4 Perhitungan Nilai Perolehan Air adalah sbb.: Volume x Harga Dasar Air atau Volume x Faktor Nilai Air x Harga Air Baku, sehingga 3 Volume 0-50 m = 50 x 65,4 x Rp. 12.476 = Rp. 40.796.520 Volume 51-500 m3 = 450 x 71,4 x Rp. 12.476 = Rp. 400.853.880 Volume 501-1000 m3 = 500 x 77,4 x Rp. 12.476 = Rp. 482.821.200 Volume 1001-2500 m3 = 1500 x 83,4 x Rp. 12.476 = Rp. 1.560.747.600 Volume 2501-53.000 m3 = 50.500 x 89,4 x Rp. 12.476 = Rp. 56.325.397.200 Nilai Perolehan Air = Rp. 58.810.616.400
16
Pajak pemanfaatan air tanah = 20% x NPA = Rp. 11.762.123.280. Pajak ini jika dibandingkan dengan rata-rata pendapatan sebesar Rp. 40 milyar sebulan, cukup wajar dan berimbang. Pendekatan di atas adalah pendekatan konservasi. Jika yang dipergunakan adalah pendekatan keseimbangan antara konservasi dan ekstraksi maka diperlukan dua data penting yaitu kemampuan pengisian kembali air tanah dan persediaan air tanah yang ada dalam satu cekungan air tanah. Jika dua data penting ini diketahui maka eksploitasi air tanah dibatasi hanya pada kemampuan pengisian kembalinya. Kuota ini harus dijaga melalui proses perijinan eksploitasi air tanah. Pajak yang diperoleh dari eksploitasi air tanah sebesar kuota tersebut harus mampu menjaga agar kemampuan pengisian kembali tidak berkurang. Artinya pajak dari nilai perolehan air total minimal sama dengan biaya menjaga kemampuan pengisian kembali. Pendekatan ketiga yang mementingkan pertumbuhan ekonomi tentunya mendasarkan diri pada kontribusi air tanah kepada sektor yang paling berperan dalam pertumbuhan ekonomi. Prioritas diberikan kepada sektor yang memberikan kontribusi pada pertumbuhan ekonomi. Sampai batas tertentu Keputusan Gubernur Jawa Tengah No. 5 tahun 2003 tentang Nilai Perolehan dan Harga Dasar Air untuk Menghitung Pajak Pengambilan Air Bawah Tanah, khususnya Pasal 5 '‌ guna mendorong pengembangan dunia usaha yang mengambil ABT baik dalam proses produksi maupun sebagai bahan baku, pengenaan Pajak ABT diberikan keringanan sebesar 70% (tujuh puluh persen) ‌', termasuk dalam kategori ini. Sayangnya Keputusan tersebut tidak menyatakan prioritas alokasi jika ada ketidakseimbangan antara permintaan dengan penawaran. Air Permukaan Belajar dari kasus air tanah,
VALUASI AIR
pendapatan pemerintah dari pajak air permukaan seharusnya juga dikategorikan ke dalam Penerimaan Negara Bukan Pajak. Tujuannya agar ada jaminan bahwa penerimaan dari pajak air permukaan dapat digunakan untuk kepentingan konservasi, khususnya untuk konser vasi daerah tangkapan air di hulu. Berkaitan dengan aspek keadilan alokasi air permukaan, penggunaan air permukaan sebaiknya dibedakan ke dalam dua kategori yaitu penggunaan konsumtif dan penggunaan non konsumtif. Penggunaan non konsumtif artinya air yang diambil dari suatu sumber, misalnya sungai, dikembalikan ke sumber semula atau ke bagian hilir dari sungai tersebut. Banyak penggunaan air oleh industri untuk tujuan pendinginan (cooling) dan air untuk pembangkit listrik adalah beberapa contoh yang dapat dimasukkan ke dalam kategori ini. Termasuk juga penggunaan air oleh industri dimana industri pengguna dapat menjamin bahwa air yang telah digunakan akan dikembalikan ke sumber semula dengan kuantitas dan kualitas yang minimal sama. Pembangunan instalasi pengolahan limbah cair yang dapat menjamin kualitas air yang telah diolah punya kualitas sama dengan air yang diambil juga dapat dimasukkan ke dalam kategori ini. Penggunaan konsumtif berarti bahwa air dipergunakan sedemikian rupa sehingga tidak dapat dipergunakan kembali baik karena tidak dikembalikan ke sumber semula atau karena kuantitas dan kualitasnya menjadi menurun. Kuantitas menurun karena ada penguapan atau dikonsumsi sehingga menjadi bagian dari suatu produk, sementara kualitasnya menurun misalnya karena polusi. Air untuk kepentingan irigasi pertanian termasuk ke dalam kategori penggunaan konsumtif yang terbesar. Penggunaan air permukaan non konsumtif tidak akan berpengaruh banyak pada keadilan alokasi air permukaan. Berbeda hanlnya dengan penggunaan konsumtif. Hanya saja pembedaan penggunaan
17
air permukaan bukan satu-satunya kriteria yang dapat digunakan untuk mengadopsi konsep keadilan alokasi air permukaan. Kriteria lain yang dapat digunakan adalah pemihakan, seperti pemihakan kepada pemenuhan kebutuhan pokok sehari-hari dan pertanian rakyat seperti yang tercantum dalam UU No. 7 tahun 2004 tentang Sumber Daya Air. Pemihakan kepada pertanian rakyat dapat diartikan bahwa prioritas alokasi air permukaan adalah untuk kepentingan pertanian rakyat. Jika kedua konsep tersebut digunakan: pembedaan penggunaan dan pemihakan, maka alokasi air yang adil adalah alokasi untuk penggunaan non konsumtif dan untuk pemenuhan kebutuhan pokok serta untuk pertanian rakyat. Aplikasinya secara nyata adalah dengan memberikan prioritas alokasi dan dengan tidak membebankan pajak air permukaan untuk kegiatan yang termasuk dalam tiga jenis kategori yaitu penggunaan non konsumtif, pemenuhan kebutuhan pokok dan pertanian rakyat. Penggunaan non konsumtif perlu dibebani pajak jika penggunaan tersebut membuat pihak-pihak lain dirugikan. Misalnya karena aliran sungai dibelokkan maka pengguna di sekitarnya dapat saja tergang gu. Dengan tidak membebankan pajak air permukaan untuk kepentingan industri yang dapat mengolah air sehingga kuantitas dan kualitasnya tetap, dapat menjadi insentif bagi industri untuk mengelola limbah cairnya dengan baik. Masalahnya bagaimana menghitung nilai perolehan air permukaan untuk kepentingan konsumtif di luar pemenuhan kebutuhan pokok sehari-hari dan pertanian rakyat? Air pemukaan termasuk sumber daya yang dapat diperbaharui. Keberlanjutannya adalah dengan menjaga kualitas, kuantitas dan kontinuitas pasokan. Prinsip dasar penghitungan harga perolehan air permukaan adalah bahwa besarnya biaya untuk menjaga kualitas, kuantitas dan kontinuitas pasokan harus dapat di-cover dari pajak air permukaan. Pe n e r a p a n p e r h i t u n g a n n i l a i perolehan air permukaan sangat tergantung
VALUASI AIR
pada pendekatan yang akan dipergunakan: apakah akan menekankan pada konservasi, keseimbangan antara konservasi dan eksploitasi, ataukah lebih mementingkan pertumbuhan ekonomi. Jika pendekatan yang dipergunakan adalah konservasi, maka setiap kegiatan yang mengubah kualitas, kuantitas dan kontinuitas pasokan air permukaan akan dikenakan pajak yang besarnya minimal sama dengan biaya pemulihan akibat kegiatan tersebut. Jika yang berubah adalah kualitasnya maka besarnya emisi atau polutan akan menentukan besanya pajak air permukaan. Artinya harga perolehan air permukaannya dengan standar tarif 10% adalah 10 kali besarnya biaya pemulihan. Jika pendekatannya adalah keseimbangan maka standar yang digunakan adalah standar ambient. Standar ambient adalah sebuah level yang tidak boleh dilewati untuk suatu polutan dalam satu lingkungan tertentu (Field dan Field, 2006). Konsekuensinya adalah bahwa harus diketahui bagaimana emisi atau polutan dari berbagai sumber di sungai, misalnya, akan berpengaruh pada standar ambient. Jika emisi atau polutan tidak memberikan dampak yang berakibat standar ambient terlewati maka pembuang emisi atau polutan tidak perlu dikenai pajak. Jika berpengaruh, baru pajak dikenakan yang besarnya adalah sama dengan biaya yang dikeluarkan untuk mengontrol emisi atau polutan yang membuat standar ambient terlewati. Demikian juga halnya dengan aktivitas yang berpengaruh pada kuantitas air. Jika berkurangnya kuantitas air akibat eksploitasi tidak berpengaruh negatif, maka aktivitas tersebut tidak perlu dikenakan pajak. Jika berpengaruh negatif maka besarnya pajak adalah sama dengan biaya untuk mempertahankan kuantitas air minimal. Kontinuitas pasokan berkaitan antara kepentingan hulu dan hilir. Kontinitas pasokan sangat dipengaruhi oleh konservasi daerah tangkapan air. Konservasi daerah tangkapan air identik dengan biaya. Biaya konservasi daerah tangkapan air minimal
18
harus dapat di-cover dari pajak air permukaan dan pajak air tanah. Jika masyarakat yang tinggal di daerah tangkapan air punya peran dalam konservasi, maka pajak yang diperoleh dipergunakan sebagai kompensasi bagi aktivitas masyarakat di daerah tangkapan air yang melakukan konservasi daerah tangkapan air. Termasuk di dalamnya jika daerah konservasi terletak di daerah administratif yang berbeda. Pendekatan yang menekankan pertumbuhan ekonomi, akan mengalokasikan air permukaan pada kegiatan yang dapat menghasilkan pertumbuhan ekonomi. Jika perlu aktivitas eksploitasi air permukaan tidak perlu dikenakan pajak. Kegiatan yang menjadi prioitas jika pasokan terbatas adalah kegiatan yang paling besar kontribusinya pada pertumbuhan ekonomi. Yang Masih Harus Dilakukan untuk Melengkapi Paper Ini Ada beberapa hal yang harus dilengkapi untuk merekomendasikan nilai perolehan air yang lebih lengkap: 1. Aplikasi untuk sampai pada suatu nilai perolehan air baik tanah ataupun permukaan masih memerlukan kajian yang bersifat interdisiplin khususnya tentang hal teknis terkait dengan ke b e r l a n j u t a n a i r t a n a h d a n permukaan dan kontribusi keduanya pada pertumbuhan ekonomi. Satu daerah cekungan air tanah dan satu daerah aliran sungai tentunya berbeda dengan daerah cekungan air tanah
VALUASI AIR
atau daerah aliran sungai lain, sehingga studi kasus akan sangat spesifik untuk satu daerah cekungan air tanah atau daerah aliran sungai. 2. Melakukan penelitian lapangan, misalnya, di daerah Kelurahan Tanjung Mas Semarang tentang biaya yang dikeluarkan penduduk di sekitar Tanjung Mas untuk mengatasi masalah amblesan tanah. Hasilnya dibandingkan dengan perhitungan sesuai dengan Keputusan Menteri ESDM. Tujuannya untuk evaluasi apakah bobot komponen sumber daya alam dalam keputusan tersebut sudah tepat atau belum. 3. Melakukan penelitian lapangan di daerah Gunung Kidul Yogyakarta untuk mengetahui dampak kelangkaan air pada kehidupan. Tujuan untuk mengembangkan penerapan biaya kelangkaan pada nilai air. 4. Melakukan penelitian lapangan terhadap perhitungan nilai air menur ut harga pasar yang dikembangkan oleh masyarakat Samin atau Sedulur Sikep dan membandingkannya dengan konsep valuasi lingkungan berdasar harga pasar. Diharapkan dengan langkah di atas dapat diperoleh rekomendasi perhitungan harga air yang baik dan lengkap baik untuk air tanah maupun air permukaan.
19
Referensi
Amrta Institute (2007). Pemantauan Pendapatan (Revenue Watch) Sektor Sumber Daya Air untuk Optimalisasi Layanan Publik di Indonesia. Fauzi, A. (2006). Ekonomi Sumber Daya Alam dan Lingkungan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Field, B.C. dan M.K. Field (2006). Environmental Economics an Introduction. Boston: McGraw-Hill Irwin. Guha, S. (2008). Valuation of Clean Water Supply by Willingness to Pay Method in a Developing Nation: A Case Study in Calcutta, India. Hanneman, W.M. (2006). The Economic Conception of Water Dalam P.P. Rogers, M.R. Llamas, dan L. Martinez-Cortina (eds) Water Crisis: Myth or Reality? Taylor & Francis, hal. 61-91. Hufschmidt, M.M., D.E. James, A.D. Meister, B.T. Bower, dan J.A. Dixon (1983). Environment, Natural Systems, and Development An Economic Valuation Guide. Baltimore: the John Hopkins University Press. Institut Teknologi Bandung Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian (tanpa tahun). Penilaian atas Pajak Air Tanah dalam Rangka Konservasi. Bandung: Institut Teknologi Bandung Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian. Keputusan Gubernur Propinsi Jawa Barat Nomor 29 tahun 2002 tentang Tata Cara Perhitungan Harga Dasar Air sebagai Dasar Penetapan Nilai Perolehan Air (NPA) Air Bawah Tanah dan Air Permukaan. Keputusan Gubernur Propinsi Jawa Tengah Nomor 5 tahun 2003 tentang Nilai
VALUASI AIR
Perolehan dan Harga Dasar Air untuk Menghitung Pajak Pengambilan Air Bawah Tanah. Keputusan Kepala Dinas Pertambangan dan Energi Propinsi Jawa Barat tentang Pedoman Teknis Pendataan, Perhitungan, Penetapan dan Pelaporan Nilai Perolehan Air (NPA) Air Bawah Tanah. Keputusan Kepala Dinas Pertambangan dan Energi Propinsi Jawa Tengah Nomor 1883/02/2003 tentang Petunjuk Teknis Perhitungan Nilai Perolehan Air dan Harga Dasar Air Bawah Tanah. Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor: 1451 K/10 MEM/2000 tanggal 3 November tahun 2000 tentang Pedoman Teknis Penyelenggaraan Tugas Pemerintahan di Bidang Pengelolaan Air Tanah. Latinopoulos, P. (2005). Valuation and Pricing of Irrigation Water: An Analysis in Greek Agricultural Areas. Dalam Global NEST Journal Vol. 7 No. 3, hal. 323-335. Peraturan Daerah Propinsi Jawa Tengah Nomor 9 tahun 2002 tentang Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Permukaan Nama dan Obyek Pajak. Peraturan Daerah Propinsi Jawa Timur Nomor 10 tahun 2007 tentang Perizinan Pengambilan dan Pemanfaatan Air Permukaan di Jawa Timur. Peraturan Daerah Propinsi Jawa Timur Nomor 16 tahun 2001 tentang Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan. Peraturan Gubernur Kepulauan Riau Nomor 08 tahun 2006 tentang Nilai Perolehan Air sebagai Dasar Penetapan Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan.
20
Peraturan Pemerintah Nomor 42 tahun 2008 tentang Pengelolaan Sumber Daya Air. Peraturan Pemerintah Nomor 43 tahun 2008 tentang Air Tanah. Peraturan Pemerintah Nomor 65 tahun 2001 tentang Pajak Daerah. Ray, I. (2005). 'Get the Price Right' Water Prices and Irrigation Efficiency. Dalam Economic and Political Weekly 13 Agustus 2005. Spellman, S., S. Farolfi, S. Perret, L. D'haese, dan M. D'haese (tanpa tahun). Irrigation Water Value at Small-scale Schemes: Evidence from the North West Province, South Africa. Suparmoko, M. dan M.R. Suparmoko
VALUASI AIR
(2000). Ekonomi Lingkungan. Yogyakarta: BPFE. Undang-Undang Nomor 20 tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak. Undang-Undang Nomor 34 tahun 2000 tentang Perubahan Atas UndangUndang Republik Indonesia Nomor 18 tahun 1997 tentang Pajak dan retribusi Daerah. Undang-Undang Nomor 7 tahun 2004 tentang Sumber Daya Air. Whittington, D. (2002). Behavioral Studies of the Domestic Demand for Water Services in Africa: A Reply to Stephen Merrett. Dalam Water Policy 4, hal. 83-88.
21