PEREMPUAN Ayo Berpolitik, Jadilah Pemimpin Sebuah Cerita Bergambar
PEREMPUAN AYO BERPOLITIK, JADILAH PEMIMPIN Sebuah Cerita Bergambar
Shelly Adelina
Program Studi Kajian Wanita Program Pascasarjana Universitas Indonesia
TIFA Foundation
Perempuan : Ayo Berpolitik, Jadilah Pemimpin : Sebuah Cerita Bergambar Cetakan Pertama, Mei, 2008 Penerbit Program Studi Kajian Wanita UI Jl. Salemba Raya 4, Jakarta 10430 Telp. (021) 3160788, Fax.(021) 3907407 E-mail: pskwui@pacific.net.id
Editor : Kristi Poerwandari Cover, Ilustrasi & Tata Letak : Arya Pandu P.
Hak cipta dilindungi oleh undang-undang Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian Atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit
Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT) Adelina, Shelly Perempuan : ayo berpolitik, jadilah pemimpin : sebuah cerita bergambar /Shelly Adelina. -- Jakarta: UI. Program pascasarjana. Program Studi Kajian Wanita, 2008 3 + x + 152 hlm.; 21 cm. ISBN
I. II.
Judul Perempuan - Politik
iv
Prakata Minimnya jumlah perempuan di tampuk kekuasaan dan pengambil kebijakan publik adalah fakta yang memprihatinkan. Laporan PBB untuk Konferensi Dunia ke IV di Beijing tahun 1995 tentang perempuan, menyebutkan bahwa tidak ada satu pun bidang yang jurang kesetaraan antara perempuan dan laki-laki secara de jure maupun de facto-nya lebih besar daripada bidang pengambilan kebijakan publik. Perempuan politikus Indonesia tidak pelak lagi adalah kelompok yang kesulitan “menyeberangi� jurang kesetaraan itu. Mengapa? Sebab terbesar adalah kondisi tidak nyamannya perempuan menekuni dunia politik yang selama ini dianggap sebagai dunia kotor milik laki-laki. Konstruksi sosial sedemikian rupa menjadi menakutkan bagi perempuan dan tentu saja meminggirkan mereka, sehingga dengan sendirinya, politik secara signifikan diisi oleh lebih banyak kepentingan, representasi, dan cara pandang yang sangat maskulin. Yang lebih menyedihkan, rendahnya partisipasi perempuan di daerah selalu dijadikan alasan para elit parpol tentang mengapa mereka tidak bisa memenuhi kuota 30 persen bagi wakil perempuan di tingkat provinsi dan kabupaten/kota. Karenanya, satu hal penting untuk diperjuangkan adalah membangun kesadaran perempuan sebagai pelaku aktif demokrasi. Perempuan sebagai warganegara perlu merasa nyaman terlibat secara intens dalam proses politik yang berfungsi penting bagi upaya perbaikan kehidupan perempuan pada khususnya dan masyarakat umumnya. Kita bisa lihat bahwa rendahnya representasi perempuan misalnya dalam DPRD provinsi tidak berbeda dengan kondisi di tingkat nasional. Satu fakta pula, dalam hal keterwakilan politik perempuan, tidak terdapat perbedaan antara provinsi atau daerah yang berada di kawasan lebih maju (Indonesia bagian Barat) dengan provinsi atau daerah di kawasan tertinggal (Indonesia bagian Timur). Begitu pula, tidak tampak perbedaan berarti antara provinsi dengan mayoritas penduduk beragama Islam dan provinsi atau daerah yang penduduknya mayoritas non-muslim seperti Manado dan Bali. Persentase rata-rata perempuan dalam DPRD provinsi di Indonesia hanyalah 5,4 persen, jumlah yang lebih rendah jika dibandingkan dengan angka 11 persen perempuan di DPR tingkat nasional. Untuk sementara ini memang tidak mudah mendapatkan data kuantitatif dan kualitatif yang komprehensif mengenai representasi dan kekuatan peran perempuan politikus dan kader perempuan politik di tingkat kabupaten/kota (DPRD II). Sementara itu, DPRD di tingkat kabupaten/kota
v
justru merupakan ujung tombak dalam pengimplementasian otonomi daerah dan berperan strategis untuk menghasilkan kebijakan lokal yang berperspektif kesetaraan dan keadilan gender. Mereka juga merupakan aktor penentu alokasi Anggaran Pembangunan dan Belanja Daerah (APBD) yang selayaknya pula responsif gender. Bukan rahasia umum lagi bahwa rendahnya potensi rekrutmen perempuan politikus dalam parpol terjadi akibat miskinnya idealisme parpol dan mandeknya fungsi parpol sebagai wadah seleksi kepemimpinan publik. Sebagai wadah perjuangan kepentingan publik, parpol selayaknya memiliki pertautan idealisme dengan komponen masyarakat lainnya di luar bidang politik, seperti LSM, akademisi, dan kelompok profesional, yang pada gilirannya saling bersinergi untuk turut memengaruhi keputusan/kebijakan publik yang dihasilkan. Dalam rangka mengimplementasikan Tri Dharma Perguruan Tinggi (pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat), kami merasa penting terlibat di dalam proses menegakkan idealisme politik yang hakiki, yaitu cara mencapai tujuan demi kemaslahatan umat manusia. Dengan demikian, keterbatasan pengetahuan tentang bagaimana menjadi perempuan politikus yang handal dapat juga diberikan oleh komponen masyarakat di luar parpol (ketika parpol sering alpa melaksanakannya). Upaya membangun kesadaran bisa dilakukan dengan banyak hal, dan jalan yang kami pilih kali ini salah satunya adalah menggunakan media edukasi komik yang diharapkan akan lebih efektif dalam menarik minat membaca, mudah dipahami, mudah diserap, berpotensi melahirkan inspirasi, dan membangkitkan motivasi, serta mengandung pemberdayaan bagi para perempuan di berbagai pelosok tanah air yang dalam keseharian mereka belum terbiasa mengonsumsi bacaan “berat�, namum membutuhkan informasi dan sosialisasi. Komik juga merupakan produk yang “tidak habis pakai�, dapat dinikmati atau dimanfaatkan secara bersama-sama bergantian dari tangan ke tangan. Untuk itu komik ini lebih menonjolkan gambar penokohan yang berkesinambungan hingga akhir kisah. Buku berupa komik yang tidak bersifat komik seratus persen, kami yakini justru akan membawa pembaca lebih mengembangkan daya imajinasi, kemampuan berpikir kritis, namun juga rileks dalam menerima informasi dan sosialisasi. Penyampaian dengan gaya popular akan memudahkan pemahaman dan penghayatan pada pengetahuan yang ditransformasikan. Kami menyadari, hambatan yang harus dihadapi perempuan politikus, khususnya para caleg, tidak sesederhana seperti yang tertuang di atas kertas karena jauh lebih rumit, tetapi bukan berarti tidak mungkin
vi
diatasi. Harapan ideal adalah jika pencapaian keterwakilan perempuan bisa meraih angka 30 persen. Namun secara realistis, jika pencapaian bisa mendekati indikator ideal atau bergerak naik dari presentase keterwakilan perempuan yang ada sekarang (misalnya mencapai 20 persen), hal yang sewajarnya disyukuri untuk saat ini. Kami menyadari, membangun demokrasi tidak bisa dilakukan dalam “semalam”. Namun perlu diingat, demokrasi tanpa melibatkan perempuan dalam jumlah yang signifikan adalah demokrasi semu. Kehadiran buku komik ini pun dimaksudkan sebagai upaya mengimbangi perjuangan rekan-rekan dalam gerakan perempuan yang tak kenal lelah, militan, dan berhasil mendesak DPR RI untuk menyempurnakan payung hukum yang telah usang menjadi UU Parpol No.2/2008 dan UU Pemilu No.10/2008 agar kondusif bagi semua perempuan yang akan dan telah terlibat dalam lembaga-lembaga politik. Kami berharap semua partai politik tidak sekadar berjanji memenuhi kuota 30 persen bagi perempuan atau sebaliknya hanya mengeluh soal “stok” yang tidak memadai. Geliat pergerakan dan perjuangan menuju kehidupan perempuan yang lebih baik di negeri ini dan di seluruh dunia terus berlangsung. Begitu pula denyut kajian perempuan senantiasa hidup. Mudah-mudahan kehadiran buku komik sederhana ini mampu turut berkontribusi dalam proses perjuangan dan pengkajian. Bahwa karya ini mengandung banyak kekurangan, saya dengan serta-merta mengakuinya. Berkait dengan hal ini, saya ingin ikut yakin pada pemikiran filsuf Perancis, Jacques Derrida, bahwa begitu sebuah teks atau tulisan dipublikasikan, tidak ada lagi otoritas penuh dari penulisnya. Teks-teks telah menjadi milik publik, terbuka akan kritik dan interpretasi lain. Maka sebagai penulis, saya pun “timbul dan tenggelam”.
Salemba, Mei 2008
Shelly Adelina
vii
Ucapan Terima Kasih Penyusunan buku komik ini terselenggara berkat jasa dan dukungan dari banyak pihak. Saya haturkan terima kasih tiada hingga kepada Dr. Kristi Poerwandari, Ketua Program Studi Kajian WanitaProgram Pascasarjana UI, motivator dan penggagas awal komik ini. o Ani Soetjipto, MA, pengamat ahli perempuan politikus, dosen dan mentor saya yang tiada pernah putus. Dengan mbak Ani pertama kali saya berdiskusi tentang substansi komik ini. o Yeni Oktriani, Grant Officer TIFA Foundation o Tri Nugroho, Executive Director TIFA Foundation o Herriyadi, Project Officer TIFA Foundation o Para perempuan caleg gagal yang sudi membagi pengalaman untuk data empirik dalam penyusunan tesis (sebagian bahan pada komik ini berdasarkan tesis saya). Teriring doa dan harapan tulus, semoga pada pemilu mendatang, Anda semua berhasil menembus segala rintangan dengan gemilang. o Para model tersamar dari ilustrasi yang ada di komik ini. o Seluruh staf administrasi dan staf akademik Program Studi Kajian Wanita yang bahu-membahu bekerja sama mendukung saya. o
Semoga Allah SWT membalas budi baik mereka semua. Amien.
Penulis
viii
Daftar Isi Pengantar TIFA Foundation Prakata Ucapan Terima Kasih Bab 1 Perkenalan Latar Belakang Tokoh Mimpi dan Harapan Bab 2 Ketakutan Perempuan Pada Politik HAM dan Demokrasi Apa yang Dimaksud “Diskriminasi Terhadap Perempuan”? Bab 3 Membangun Demokrasi Melalui Partisipasi Perempuan di Bidang Politik Apa Itu Politik? The Personal Is Political Bab 4 Untuk Apa Perempuan Berpolitik? Bagaimana Perempuan Bisa Efektif Berpolitik? Isu Perempuan dan Perspektif Perempuan Bab 5 Kuota Bagi Perempuan Partai Politik Sebagai Lembaga Strategis Fungsi Partai Politik Bab 6 Menyikapi Hambatan Internal dan Eksternal Jika Suami “Cemburu” Budaya dan Tafsir Agama Elit Parpol “Setengah Hati” Mendukung Perempuan
ix
Bab 7 Mengukuhkan Potensi Membangun Konsensus Berkomunikasi, Mengorganisasikan Diri, dan Beraliansi Strategis Membangun Kepercayaan Konstituen dan Menyusun Agenda Kerja Bab 8 Menjadi Calon Legislatif Lengkapi Persyaratan Ketahui Kerja Tim Verifikasi Berkampanye Bab 9 Hari Pemilihan dan Penghitungan Siap Menang, Siap Kalah Memaknai Kegagalan Melangkah Ke Gedung Dewan Perwakilan Rakyat Senarai Bacaan Tentang Penulis
x
SATU PERKENALAN Ini kisah sukses perempuan-perempuan pemberani, yang berjuang untuk menjadi pengemban amanah rakyat, yang peduli pada nasib kaum tertindas, dan yang berorientasi pada keadilan dan kesetaraan. Juga kisah kegagalan perempuan lainnya yang pandai memetik hikmah dari kegagalannya. Ada lima tokoh utama dalam cerita bergambar ini. Dua orang perempuan calon legislatif (caleg) sukses, seorang perempuan caleg gagal, dan dua laki-laki suami dari dua caleg perempuan sukses.
LATAR BELAKANG TOKOH DANDANMAYA, -biasa dipanggil Bu Dandan, 34 tahun, ibu dua anak, pernah kuliah manajemen. Ia pengusaha kue kering yang cukup sukses karena kue-kue produksinya menyebar di berbagai toko, bahkan masuk ke gerai di beberapa mall terkemuka di kota-kota besar. Bu Dandan memimpin 35 orang pekerja di dapur besar samping rumahnya. Pada hari-hari libur atau akhir minggu, ruang depan rumahnya yang telah lama diubah fungsi menjadi toko kue, selalu ramai didatangi pembeli. Pada hari lain, para pekerjanya sibuk mendistribusikan kue ke toko-toko pelanggan. Bu Dandan bukan anggota partai politik, tetapi ia mempunyai beberapa sahabat politikus di ibu kota kabupaten Tumbumekar, tempatnya tinggal. Suami Dandanmaya bernama BULOLI, -panggilannya: Pak Bulol, 37,bekerja sebagai staf di sebuah hotel berbintang di kota tempat mereka tinggal. Jika sedang off dari tempat kerjanya, ia suka membantu meringankan kesibukan istrinya mengelola usaha.
1
Kalau soal urusan bisnis kue kering yang mendatangkan omset lumayan besar itu, sesibuk apapun istrinya, ia tidak pernah protes. Pak Bulol malah bangga dengan keberhasilan Bu Dandan karena istrinya itu telah membuat kehidupan ekonomi rumah tangga mereka kian makmur saja dari tahun ke tahun. Pemasukan uang dari istrinya jauh lebih besar dibandingkan gajinya sebagai staf di hotel, tapi Pak Bulol tidak merasa minder.
SMARADANA, lebih akrab disebut: Bu Smara, 36 tahun, ibu dua anak, perempuan anggota PARTAI MENGGAPAI MIMPI (PMM). Ia aktif sejak lima tahun terakhir. Di PMM, Bu Smara menjabat sebagai Ketua Departemen Perempuan. Bu Smara adalah perempuan yang tidak pernah absen berorganisasi sejak gadis. Ia terlibat mulai di organisasi pencak silat sampai majelis taklim. Jabatannya pun macam-macam, pernah sebagai seksi konsumsi sampai ketua. Ia paling suka wira-wiri. Siapa yang tidak kenal Bu Smara di kota kediamannya. Perempuan nan gesit, jarang berdiam diri -seolah punya cadangan energi bertong-tong inidigaet PMM, mulanya hanya sebagai anggota biasa. Bu Smara pun mau saja. Ia malah bangga kerena PMM merupakan partai besar dan berkuasa. Suami Smaradana, bernama PAYALAHLO, -biasa disapa: Pak Paya- 39 tahun, pedagang mobil bekas yang tidak
2
begitu jelas sikapnya. Kadang ia terlihat merestui kegiatan Bu Smara, kadang pula ia membuat Bu Smara merasa kedua kakinya seperti dibanduli barbel seratus kilogram ketika akan keluar dari pintu rumah mereka. Tidak jarang, ia terang-terangan menunjukkan rasa cemburu dan curiganya ketika orang-orang Partai Menggapai Mimpi berdiskusi hangat di ruang tamu rumah mereka. Pak Paya selalu mondar-mandir seperti satpam. Ia ogah diajak bergabung untuk berbincang. Ia bilang, ia ‘alergi’ pada politik. Tapi anehnya (di dalam hati kecilnya), Pak Paya bangga juga kalau melihat Bu Smara berseragam partai – blazer berwarna pink kinclongberdiri di samping pejabat-pejabat PMM yang juga sekaligus pejabat-pejabat pemerintahan daerah. TEGARITA, atau orang-orang memanggilnya “Bu Tegar”, 34 tahun, ibu dua anak, sehari-hari bekerja sebagai dosen di perguruan tinggi swasta di kotanya. Di luar kesibukan mengajar, Bu Tegar juga aktivis PARTAI KATA HATI KITA-KITA (Pahakiki). Ia menjabat sebagai bendahara di struktur Dewan Pengurus Cabang (DPC). Itu sebuah jabatan yang lumayan strategis dan dia satu-satunya perempuan. Maklum, ia sudah bergabung di Pahakiki lebih dari lima tahun. Bu Tegar memang perempuan cerdas yang pandai mengemukakan isi hati dan pikirannya, berwawasan luas, berani tampil, luwes, dan tentu saja sangat terpelajar. Bu Tegar telah bercerai dari suaminya beberapa tahun lampau. Ia hidup bersama dua anaknya.
3
Ada juga tokoh-tokoh lain yang akan “meramaikan” kisah ini. Silakan membaca dan semoga bisa dihayati.
MIMPI DAN HARAPAN Dalam dasawarsa menjelang berakhirnya abad 20 dan memasuki abad 21, banyak orang menetapkan masa tersebut menjadi dekade kepemimpinan perempuan. Sebuah keinginan yang tidak mengada-ada, karena mimpi dan harapan seperti ini sudah “diramalkan” pasangan penulis Amerika: John Naisbitt dan Patricia Aburdene di dalam buku mereka yang sangat laris berjudul Megatrends 2000, terbit tahun 1990. Ramalan keduanya tentang dekade kepemimpinan perempuan menggugah kita semua. Benarkah itu akan menjadi kenyataan atau hanya berwujud mimpi berkepanjangan...? Kira-kira apa pula yang dimaksud Pak Naisbitt dan Ibu Aburdene itu tentang kepemimpinan perempuan? Dari uraian di dalam buku mereka yang tidak dikutip dan dipaparkan secara rinci di sini, dapat dipahami bahwa yang mereka maksudkan dengan kepemimpinan perempuan adalah “kedudukan berkuasa dan berwewenang untuk mengambil keputusan yang akan memengaruhi kehidupan, pekerjaan, dan nasib banyak orang atau masyarakat”. Itu berarti kepemimpinan yang berlangsung di wilayah publik atau di luar rumah, bukan sekadar kepemimpinan di wilayah domestik atau di dalam rumah -wilayah yang sejak jaman baheula di setiap peradaban manusia seolah diwajibkan atau menjadi “hukum tak tertulis” untuk perempuan saja. Lebih dari 200 tahun gerakan perempuan telah mendorong kaum perempuan untuk menggedor pintu kekuasaan laki-laki. Saat ini, memang sudah banyak perempuan yang menjadi dokter, profesor, hakim, pengacara, jaksa, pengusaha, insinyur, ahli kimia, pekerja di pertambangan, atlit, guru, polisi, tentara, bahkan astronot. Tetapi kalau kita hanya bangga dan puas dengan jumlah perempuan pada profesi-profesi seperti itu, maka apa yang dimaksud Pak Naisbitt dan Ibu Aburdene di atas, belum tercapai. Kecuali para perempuan dokter, para ibu insinyur, dan ibu pengusaha misalnya juga mempunyai “kedudukan berkuasa dan berwewenang sebagai pemimpin atau wakil rakyat untuk ikut serta mengambil keputusan atau kebijakan yang akan menentukan nasib kita semua sebagai masyarakat”. Jadi, kedudukan berkuasa dan berwewenang perlu diraih oleh lebih banyak lagi perempuan
4
yang selama ini faktanya sangat minim berada pada wilayah itu. Untuk apa? Tidakkah cukup laki-laki saja yang berkuasa dan memiliki wewenang mengatur masyarakat? Sikap meragukan muncul melalui pertanyaan: kalau perempuan dilibatkan dalam struktur politik atau pengambil kebijakan publik, apakah mereka akan mampu?
Mengapa kita tidak berpikir sederhana saja. Jika perempuan mampu menjadi astronot seperti laki-laki, mengapa pula perempuan tidak mampu menerobos struktur kekuasaan untuk menjadi wakil rakyat? Apakah menjadi wakil rakyat atau kerennya disebut anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) merupakan sesuatu yang sangat sulit diwujudkan? Seberapa pentingkah perempuan menjadi wakil rakyat? Apa yang akan mereka perbuat di posisi itu? Mengapa para lelaki lebih berani “berebutan kursi� wakil rakyat? Apakah lebih banyak hambatan dan lebih sulit perjalanan menjadi wakil rakyat dibandingkan menjadi seorang profesor? Aristoteles bilang, “Jangan hanya percaya pada apa yang kau baca, marilah cari kebenarannya.� Nah, Bu Dandan, Bu Smara, dan Bu Tegar -tiga tokoh utama dalam kisah ini- adalah para perempuan yang berjuang meraih mimpi dan harapan, mencari kebenaran, dan memberi bukti dari sekadar ramalan dua penulis hebat di atas, sekalipun mereka tidak pernah membaca buku Megatrends 2000.
5
DUA
KETAKUTAN PEREMPUAN PADA POLITIK Apa-apaan sih Bu Smara itu... Keluar rumah terus urusannya ! Suami kok ditinggal-tinggal, nggak dipeduliin. Nanti kalau suaminya main serong, kawin lagi, baru kapok !!! Nyesel nggak berguna... ’Emang enak begitu ....!?�
Iya emang, lebih aman kita masakmemasak, kursus kecantikan, senam mengencangkan tubuh, atau jahit-menjahit toh ? Itu kan kegiatan yang pantas buat perempuan !? Apa sih sebenarnya yang kita cari? Saya mah nggak mau neko-neko lha ! Sssst........, ibu-ibu......,siapa mau ikutan senam seks ?!
Wiiih ...,boleh juga tuh..., tapi kalau aku sih, lebih baik membantu dan mendukung suami mencari nafkah tambahan. Biar kecil-kecilan, yang penting beras cukup, asap dapur mengepul, daaan... genting rumahku nggak bocor...! Ha...ha...ha...... Soal rapat-rapat nggak penting lha ! Apalagi politik-politikan, biarkan itu jadi urusan laki-laki saja. Suamiku juga maunya begitu. Paling penting bagi kita kan....menyenangkan hati suami, biar nggak ninggalin kita ! Ha...ha...ha.... 6
Sambil minum teh dan mengunyah aneka kue, sebelum gulungan kertas arisan dikocok... Politik itu bikin orang suka gontok-gontokan, bahkan sampai saling mencelakakan. Iya kan,... begitu kan ? Lihat tuh di India dan di Pakistan...... Dulu Indira Gandhi, sekarang Benazir Bhutto, pada ditembak mati !! Serem nggak sih ? Serem banget yah ? Hiii......Amitamit di Indonesia kayak begitu...... Lho. ......jeng ini bagaimana? Seperti nggak tahu aja......Di sini mah dimatiinnya di belakang layar...!! Nggak langsung tembak begitu doooong.....! Pake racun tauu...! Atau culik...., terus hilang begitu saja! Tibatiba muncul deh kambing hitamnya....ha....ha....ha....
Bodo ah......, mau seperti apa. Pokoknya....., politik itu biang kerok, titik !!!
Semua mengangguk-angguk, mengangkat pundak, menarik nafas kemudian menghembuskannya lagi dengan resah. Masing-masing terdiam, kemudian mengerutkan dahi...
7
“.....politik = kotor....” “.....politik = dunia laki-laki....” “.....politik = anarkhi....” “.....politik = kekerasan....” “.....politik = partai politik....” “.....politik = menghabiskan uang saja....” “.....politik.....OOH SERAAAAM....!!” POLITIK BAGI PEREMPUAN = MENAKUTKAN !!! = JAUHKAN SAJA !!!!
8
HAM DAN DEMOKRASI
Sementara itu di tempat yang lain. Bu Smara asyik berbincang dengan Bu Dandan. Jadi...bagaimana ? Bu Dandan mau kan mempertimbangkan ajakan saya ? Ayo toh, apa lagi sih yang diragukan ? Selama ini, suara saya di partai tidak pernah didengarkan. Teman-teman perempuan saya sedikit sekali di sana. Bapak-bapak itu maunya ocehan mereka saja yang diuntungkan. Saya capek. Boro-boro mereka mau mendengarkan dengan serius, saya bisa dapat kesempatan ngomong saja sudah bagus. Mereka sangat mendominasi karena jumlah mereka jauh lebih banyak. Padahal saya ingin memperjuangkan perbaikan nasib perempuan yang tertinggal dan selalu tertindas di daerah kita ini. Saya juga ingin ada peningkatan gizi dan sarana pendidikan anak-anak di sini. Tapiii...mereka bersikap seolah itu bukan urusan terpenting. Malah setiap saya mulai berbicara, mereka menyela dengan memuji penampilan saya. Rambut saya lha bagus, baju saya lha keren, suara saya dibilang merdu. Duh, mereka tuh tidak memperhatikan apa yang saya sampaikan! Huh... dasar payah ! Haaah...begitu ya? Menyebalkan banget sih bapak-bapak itu....! Iya, saya mengerti‌, tapi begini lho, saya ragu. Apakah saya sanggup toh Bu Smara? Lagi pula, kata orang, tak perlulah perempuan masuk partai politik, cukup kita ikut memilih di pemilu, itu tandanya kita sudah menjalani kehidupan yang demokratis kan? Memberikan suara di pemilu sudah cukuplah...bu.
9
Begini ya Bu Dandan....pemilihan umum yang bersifat terbuka, bebas, dan jujur memang merupakan inti dari demokrasi, yang masingmasing saling terkait dan tidak terpisahkan. Pemimpin atau anggota-anggota parlemen yang dihasilkan dari pemilihan umum bisa jadi terlihat demokratis. Tetapi Bu Dandan.., proses dan hasil demokrasi itu sendiri bisa menjadi tidak demokratis jika unsur keterwakilan atau representatif diabaikan. Demokrasi juga harus mengandung kesetaraan dan keadilan doong !
Aduuh, saya nggak ngerti nih maksud ibu‌Maaf ya‌
Ibu kan tahu, negeri kita ini sangat beragam masyarakatnya. Banyak kelompok yang berbeda agama, etnis, dan kelas sosial. Ada yang kaya, bahkan sangat banyak yang miskin. Dan di dalam kelompok yang miskin itulah terdapat banyak perempuan. Kalau jumlah keterwakilan perempuan sangat minim, maka wakil rakyat kita hanya akan didominasi oleh laki-laki yang sudah terbukti selama ini tidak punya perspektif, tidak sensitif, dan tidak responsif terhadap persoalan-persoalan perempuan yang merupakan bagian terbesar dari persoalan sosial. Apalagi bapak-bapak itu lebih banyak menjadi representasi dari orang-orang berduit saja.
10
Waduuh, kalau begitu‌.berat sekali perjuanganmu, Bu Smara‌ Saya bisa bayangkan, bagaimana susahnya kamu mendapat dukungan. Tapi, memangnya saya punya keistimewaan apa untuk terlibat dalam partai politik ? Saya cuma seorang perempuan pengusaha kue. Lagi pula....., apakah suami saya akan suka melihat saya sibuk-sibuk berpolitik ? Waktu saya pasti akan sangat banyak tersita. Kemudian, bagaimana pula dengan bisnis kue kering saya ? Apa nggak jadi berantakan nanti ? Belumbelum kepala saya sudah pusing nggak karuan nih Bu...
Nah, saya nggak mau begitu.
Ha...ha...ha..., tenang Bu Dandan...Saya kan tidak memaksa ibu. Semuanya silakan dipertimbangkan dulu. Saya juga nggak mau, gara-gara ibu ikut masuk parpol dengan saya, lantas semua kehidupan ibu yang sudah mapan dan tentram, malah jadi amburadul.
Iya saya tahu. Tetapi bu, saya juga mau mengingatkan bahwa tidak ada yang tidak bisa dikompromikan dan diatur dengan baik jika kita punya niat baik pula. Ibu Dandan telah sukses menjalankan bisnis yang melibatkan banyak karyawan, itu tandanya ibu berbakat jadi pemimpin. Makanya saya berminat mengajak ibu bergabung ke dalam partai politik.
11
Masak sih.....? Hmmm..... ngomong-ngomong tentang demokrasi itu tadi, saya baru menyadari, jangan-jangan banyak orang sekadar ikut memberikan suara atau mencoblos dalam pemilihan umum namun nggak ngerti maknanya, nggak ngerti bagaimana program yang ditawarkan calon wakil rakyat yang mereka pilih, nggak ngertilah apa itu hakekat demokrasi yang sesungguhnya. Kacau juga ya kalau asal coblos... Ya begitulah. Jangankan makna dari demokrasi dan hak azasi manusia pada umumnya, lha hak asasi perempuan itu apa, banyak di antara kita nggak paham kan ?
Waduuuh...gawat, jangan-jangan saya sendiri nggak menyadari hak asasi saya sebagai perempuan....
Naaah....ini dia‌.Sesungguhnya, setiap perempuan dijamin haknya dalam setiap aspek kehidupan, termasuk berpolitik, atas dasar persamaan dengan lelaki, yaitu hak untuk memilih dan dipilih, hak untuk berpartisipasi dalam perumusan kebijakan pemerintah dan implementasinya, hak untuk memegang jabatan dalam pemerintahan dan melaksanakan segala fungsi pemerintahan di semua tingkat. Kita juga berhak untuk berpartisipasi dalam organisasi-organisasi dan perkumpulanperkumpulan non-pemerintah yang berhubungan dengan kehidupan masyarakat dan politik negara. Bu..., aku nggak asal ngecap lho. hak-hak perempuan ini sudah tertera resmi dalam Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan atau singkatannya dalam bahasa Inggris itu...anu....CEDAW...
12
C E D A W !!
Apa...DAW ? Apaan tuh ?
Iya, apa itu artinya..? Lha itu tadi, Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan. Bahasa Inggrisnya, Convention the Elimination of all Form of Discrimination Againt Women. Jelas ?!? He..eh...Oke! Konvensi itu berlaku untuk perempuan di seluruh dunia ?
Tepat sekali bu Dandan! Konvensi itu sudah terbentuk dan dideklarasikan sejak tahun 1967 oleh Perserikatan Bangsa Bangsa. Bahkan pemerintah kita pun sudah meratifikasi atau mensahkannya menjadi Undang-Undang Republik Indonesia nomor 7 tahun 1984. Nah, berarti negara kita nggak ketinggalan kan soal pengakuan ini ?
Iya siih,...... tapiiii.....maaf ya, sepertinya‌, hmm‌pelaksanaan atau penerapannya bagaimana ?...Padahal....sudah disahkan sejak...haah..?... dua puluh empat tahun yang lampau kalau dihitung dari sekarang..! Sudah selama itu, tapi nasib sebagian besar perempuan masih menyedihkan.....! Nggak salah tuh ? “Waaaah, temanku yang satu ini memang cerdas !!
13
Jangan mengejek ‘gitu dong bu Smara...! Lha, saya baru tahu ada konvensi seperti itu dari ibu kok...
Makanya...., hmmmm...begini deh....sekalian saya kuliahin ya, mumpung ada waktu nih. Selain kita punya hak, tentu kita juga punya tanggung jawab dan kewajiban sebagai individu, sebagai anggota masyarakat, dan sebagai warganegara. Iya kan ? Sekarang, aku mau menjelaskan dulu soal hak. Ini penting, karena para perempuan selama ini cuma disadarkan tentang tanggung jawab dan kewajibannya melulu..., hakhaknya malah dikesampingkan !
Hehe...iya yaa...benar juga...
Karena saya ingin mengajak Bu Dandan bergabung dalam partai politik, saya akan fokus menjelaskan soal hak politik perempuan. Waaah, saya jadi semakin tertarik nih...
Sambil terpukau mendengarkan penjelasan rekannya, Bu Dandan berkata dalam hatinya...
14
.......Bu Smara ini...luar biasa !? Dari mana dia memperoleh pengetahuan sehebat ini? Andaikata lebih banyak lagi perempuan seperti dia......Ooh….Apakah aku bisa menjadi seperti dia?
Karena Bu Smaradana selalu aktif dalam banyak kegiatan sosial dan politik, ia menjadi sosok yang tidak asing lagi bagi kalangan “elit” maupun masyarakat biasa di lingkungannya dan berbagai organisasi. Kegemaran dan keaktifan telah membuahkan keseriusan dan kesungguhan dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawab yang dipikul. Atas dasar itulah Bu Smara “dilirik” dan ditawari PARTAI MENGGAPAI MIMPI untuk bergabung, kemudian memimpin Departemen Perempuan dalam parpol. Seolah tahu apa yang ada dalam pikiran temannya, Bu Smara melanjutkan “kuliahnya”...
15
Itu gunanya kita mau aktif berorganisasi secara benar. Terus terang saja bu, saya dapat pengetahuan ini tidak dari bangku sekolah, tetapi dari pengalaman demi pengalaman di lapangan sebagai aktivis. Saya paham bahwa demokrasi itu menyangkut empat konsep, yaitu partisipasi, keterwakilan, keadilan, dan akuntabilitas.
Hak asasi manusia merupakan hak yang dimiliki setiap manusia karena laki-laki maupun perempuan adalah manusia. Hak asasi bertujuan memberikan kekuatan moral untuk menjamin dan melindungi martabat manusia berdasarkan hukum, bukan atas dasar kehendak, keadaan, ataupun kecenderungan politik tertentu. Ciri-ciri dari hak dan kebebasan tersebut adalah: o tidak dapat dicabut atau dibatalkan; o universal (berlaku umum); o saling terkait satu sama lain; o tidak dapat dipisah-pisahkan. Secara sederhana, dapat dikatakan bahwa setiap manusia memiliki sekaligus hak atas kebebasan, rasa aman, dan standar hidup yang layak. Dokumen hak asasi manusia abad 20 yang paling terkenal adalah Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) atau Universal Declaration of Human Rights (UDHR) yang diadopsi oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tahun 1948. Hak-hak itu mencakup lima bidang: sipil, politik, ekonomi, sosial, budaya, dan menjadi dasar yang mewajibkan setiap anggota masyarakat internasional untuk memenuhi kewajiban itu. Contohnya, hak untuk hidup, non-diskriminasi, perumahan dan tempat berteduh, perawatan kesehatan, pekerjaan, pendidikan, serta standar hidup layak. Lalu mengapa pula harus lahir CEDAW ? Apakah tidak cukup dengan DUHAM ? Sebagai undang-undang khusus, CEDAW selayaknya berguna dalam memberi contoh dan kontekstualisasi standar umum ke dalam situasi atau kelompok khusus. Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan atau CEDAW mengontekstualisasikan standar netral hak asasi manusia ke dalam situasi perempuan, bahwa di dunia ini banyak
16
sekali terjadi ketidakadilan berbasis gender. Perempuan adalah kelompok yang dirugikan selama ini karena tindak diskriminasi berdasarkan jenis kelamin. Di sinilah CEDAW lebih memberikan perhatian akan adanya tekanan sosial dan budaya pada perlakuan diskriminasi terhadap perempuan, dan dengan demikian memperluas aplikasi hak asasi manusia ke dalam ruang privat perempuan. Sumber dari dasar ketidakadilan terhadap perempuan ada di dalam keluarga, di tempat kerja, dan di dalam kehidupan publik/masyarakat sebagai akibat dari konstruksi sosial atau anggapan sosial dan budaya yang dibentuk/dibangun mengenai kemampuan dan peran perempuan. APA YANG DIMAKSUD “DISKRIMINASI TERHADAP PEREMPUAN”? CEDAW menegaskan diskriminasi terhadap perempuan sebagai berikut: “setiap pembedaan, pengucilan, atau pembatasan yang dibuat atas dasar jenis kelamin yang mempunyai pengaruh atau tujuan untuk mengurangi atau menghapuskan pengakuan, penikmatan, atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan-kebebasan pokok di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, sipil, atau apapun lainnya bagi kaum perempuan, terlepas dari status perkawinan mereka atas dasar persamaan hak laki-laki dan perempuan.” APA ITU DEMOKRASI? Fareed Zakaria, seorang editor majalah Newsweek Internasional yang juga analis politik dunia, dalam bukunya “Masa Depan Kebebasan” (2004) mencatat bahwa sekarang ini ada 119 negara yang meliputi 62 persen dari seluruh negara di dunia menjalankan demokrasi. Demokrasi telah berjalan lebih dari sekadar bentuk pemerintahan, namun juga telah menjadi suatu “jalan hidup” (a way of life ). Banyak orang sudah terbiasa dengan kata “demokrasi”. Sayangnya, konsep tentang demokrasi masih disalahpahami dan disalahgunakan ketika rezim-rezim totaliter dan diktator militer berusaha memperoleh dukungan rakyat dengan menempelkan label “demokrasi” pada diri mereka sendiri. Seorang ahli lain, Cincotta (2001) mengutip definisi demokrasi mulai dari pengertian menurut kamus yaitu pemerintahan oleh rakyat dengan kekuasaan tertinggi juga berada di tangan rakyat dan dijalankan langsung oleh mereka atau oleh wakil-wakil yang mereka pilih di bawah sistem pemilihan bebas, -sampai ucapan negarawan Amerika Serikat, Abraham Lincoln- yang mengatakan bahwa demokrasi adalah suatu
17
pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat, sebelum akhirnya ia mendefinisikan arti demokrasi sebagai seperangkat gagasan dan prinsip tentang kebebasan, tetapi juga mencakup seperangkat praktik dan prosedur yang terbentuk melalui sejarah panjang dan sering berliku-liku. Singkatnya, demokrasi adalah pelembagaan dari kebebasan. Konsep dasar dari demokrasi juga memberikan peluang bagi rakyat untuk mengevaluasi kinerja suatu pemerintahan melalui mekanisme pemilihan umum yang dilakukan secara periodik. Demokrasi terbagi dalam dua kategori, yaitu langsung dan perwakilan. Adapun bentuk umum dari demokrasi yang dianut banyak negara saat ini (termasuk Indonesia) adalah demokrasi perwakilan. Para warga memilih pejabat-pejabat untuk membuat keputusan politik (yang rumit), merumuskan undang-undang, dan menjalankan program untuk kepentingan umum. Yang terpenting kita pahami adalah bahwa semua demokrasi merupakan sistem di mana warganya bebas mengambil keputusan melalui kekuasaan mayoritas.Namun yang perlu digarisbawahi adalah fakta bahwa kekuasaan oleh mayoritas tidak selalu demokratis. Dalam masyarakat demokratis, kekuasaan mayoritas harus digandengkan dengan jaminan atas hak asasi manusia individu dan bertindak untuk melindungi hakhak minoritas. Pada kenyataannya, justru merekalah –kaum minoritasyang hak-haknya sering dipinggirkan atau kurang dipedulikan. Mereka adalah kelompok etnis tertentu, kelompok agama dan kepercayaan tertentu, kelompok manusia yang menyandang kecacatan (fisik dan mental), kelompok orang miskin-papa, kelompok homoseksual, orang-orang lansia, dan tentu saja kelompok perempuan serta anak-anak. Sekarang ini sudah saatnya kita perlu mempertanyakan dan “menggugat� kekuasaan mayoritas lelaki dalam partai politik, dewan perwakilan rakyat, juga lembaga-lembaga pemerintahan lainnya. Apakah demokrasi yang mereka terapkan telah melindungi dan mengadopsi kepentingan kaum minoritas seperti yang disebutkan di atas di mana kaum perempuan terdapat di dalamnya ?
18
KEKUATAN HUKUM YANG BISA MENDORONG HAK-HAK POLITIK PEREMPUAN MENUJU TERCAPAINYA KETERWAKILAN PEREMPUAN
♦ Pasal 27 UUD 1945 ♦ Konvensi Hak Politik Perempuan (New York) UU No.68/1958 ♦ Undang-Undang No.58/1967 tentang hak-hak politik perempuan ♦ Undang-Undang RI pasal 7/1984 tentang CEDAW
♦ Konvensi Beijing tahun 1995 tentang Kuota 30 persen ♦ ♦ ♦ ♦ ♦
♦
bagi perempuan Undang-Undang No.39/1999 tentang Hak Asasi Manusia Rekomendasi Umum No.25/1999 tentang Tindakan Khusus Sementara (affirmative action) Konvensi Beijing + 5 tahun 2000 tentang 50 persen perempuan Instruksi Presiden RI No.9/2000 tentang Pengarusutamaan Gender (gender mainstreaming) Undang-Undang Parpol RI No.2/2008 Undang-Undang Pemilu RI No.10/2008
19
TIGA MEMBANGUN DEMOKRASI MELALUI PARTISIPASI PEREMPUAN DI BIDANG POLITIK Pagi itu Bu Tegarita (Bu Tegar) sudah berada di ruang kantor Dewan Pengurus Cabang (DPC) PARTAI KATA HATI KITA-KITA (Pahakiki) di Kabupaten Tumbumekar.
Inilah deretan tugas Bu Tegar sebagai bendahara I parpol (bersama bendahara II):
• • • •
menyusun rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja (APB) partai; mengesahkan dokumen pelaksanaan anggaran; melakukan usaha-usaha untuk memperoleh dana yang akan dimasukkan ke dalam penerimaan partai; melaksanakan pemungutan uang pangkal dan iuran anggota partai yang telah ditetapkan peraturan partai;
20
• • •
•
menyusun laporan keuangan yang merupakan pertanggungjawaban pelaksanaan APB partai; menyusun rencana keuangan partai; menyampaikan laporan pertanggungjawaban APB partai di rapat kerja partai di tingkatannya dan pada akhir masa jabatan bersamaan dengan penyampaian pertanggungjawaban kepengurusan partai di tingkatannya; menerima, menyimpan, membayar/menyerahkan, menatausahakan, dan mempertanggungjawabkan uang dan surat berharga yang berada dalam pengelolaannya.
(Bendahara parpol di tingkat nasional bertanggungjawab dalam mengeluarkan prosedur yang mengatur teknis perencanaan APB parpol, neraca keuangan parpol, kode pengeluaran/pembelanjaan, penetapan standar formulir keuangan parpol, dan mekanisme pelaporan atas seluruh pengelolaan keuangan parpol) Bu Tegar memasuki tahun ke tiga menjabat bendahara parpol. Dua tahun sebelumnya -ketika mulai bergabung dengan Pahakiki- ia hanya sebagai anggota departemen. Ia telah menjalankan semua tugas sebaikbaiknya. Tahun mendatang ia bertekad menjadi calon legislatif untuk Dewan Perwakikan Rakyat Daerah (DPRD) tingkat kabupaten. Sebelum bergabung dengan Pahakiki, Bu Tegar yang meraih gelar magister (sarjana strata dua) ilmu politik adalah seorang aktivis Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dan organisasi perempuan muslim. Ia bersedia diajak bergabung dengan Pahakiki karena merasa tertarik menyelami dunia kepartaian secara praktis. Selain itu, Bu Tegar telah memiliki kedekatan hati dan pikiran dengan Pahakiki karena ia telah lama menjadi bagian dari organisasi perempuan muslim yang bernaung di bawah partai tersebut. Secara ideologi ia memang sejalan dengan partainya dan aspirasi politiknya selalu di Pahakiki. Siang itu seusai melaksanakan tugas-tugasnya, Bu Tegar menuju ke rumah seorang temannya. Ia sudah membuat janji dengan beberapa ibu anggota pengajian di kawasan tempat tinggalnya untuk membentuk kepanitiaan acara penyuluhan dan konsultasi gratis kesehatan reproduksi bagi perempuan-perempuan buruh sebuah pabrik rokok di Kabupaten Tumbumekar.
21
APA ITU POLITIK ? Nah ini dia orang yang ditunggu-tunggu. Mariii‌ ., Bu Tegar, silakan masuk. Apa kabar ? Kabar baik, ibu-ibu bagaimana kabar ? Maaf ya, saya kurang tepat waktu nih. Maklum, tadi masih banyak pekerjaan yang harus saya selesaikan di kantor parpol.
Nggak apa bu, kami masih menunggu beberapa ibu yang belum bisa meninggalkan rumah karena belum selesai mencuci pakaian dan piring kotor. Kasihan mereka, tak sanggup bayar pembantu. Ngomong-ngomong, kami kagum nih pada Bu Tegar. Kok ibu nggak takut sih jadi politikus ? Politik itu kan kotor dan menakutkan....Politik itu dunianya lelaki kan ...bu ?
Bu Tegar bergeleng-geleng seperti orang sedang tripping. Ia lalu mengernyitkan alis. Tibatiba wajahnya bersinar seperti ada bohlam menyala di balik kedua tulang pipinya. Sebenarnya, ia paling senang ditanya seperti itu. Waaah....sudah sering banget orang bilang politik itu kotor. Begini, biasanya kita akan menilai seperti itu karena kita tidak tahu makna politik yang hakiki. Yang kita tahu hanyalah tindakan-tindakan politis yang muncul ke permukaan dari pelaku-pelakunya. Dan tindakan-tindakan itulah yang kotor karena mengandung kecurangan, manipulasi, ketidakadilan, ketidakjujuran, kekerasan, dan sebagainya yang busuk-busuk deh ! Politik itu sendiri sesungguhnya mengandung kebajikan, kesejahteraan, alokasi, kebijakan, di samping juga pertarungan kepentingan.
22
Kepentingan apa sih Bu ?
Ya, kepentingan akan ide atau gagasan, program, dan agenda yang diperjuangkan untuk perbaikan nasib orang banyak.
Piere Bourdieu, seorang ahli dari Perancis, menyebutkan bahwa politik adalah suatu perjuangan demi gagasan-gagasan, khususnya gagasan-kekuasaan yang memberi kekuatan memobilisasi agar gagasan tersebut bisa masuk ke dalam mekanisme politik untuk diwujudkan. Politik juga berwujud konflik kepentingan (bukan konflik dalam pengertian fisik) dari setiap kelompok orang yang ingin memengaruhi atau menguasai distribusi sumber-sumber yang ada untuk kepentingan umat manusia.
Tapi bu...., kami masih merasa, tidak sesederhana itu kan pada praktiknya? Memang yang seharusnya wujud dari konflik kepentingan itu bukan berupa konflik fisik, tetapi pada kenyataannya justru sering sekali kekerasan fisik yang muncul. Lihat saja, wakil rakyat itu adu jotos di ruang sidang. Aduh bu, kami mah tidak berani ah ! Apalagi kami ini perempuan, bagaimana bisa percaya diri berhadapan dengan lelaki ? Di rumah saja kami tidak punya kekuatan mendebat suami sendiri, apalagi dengan lelaki lain di luar sana...! Menjadi pemimpin politik ? Duh...mimpi kali yaaa....
Betul itu, Bu Tegar! Kami ini tidak mengerti apa-apa tentang politik. Mendingan kami hidup saja tanpa ada politik-politikan ? Bukankah tanpa politik-politikan itu hidup kita malah jadi aman tentram ? Nggak akan ada lagi keributan dan kerusuhan-kerusuhan ?
23
Sesaat Bu Tegar tersenyum dan menghela nafas..., kemudian mendeham penuh wibawa sebelum melanjutkan penjelasannya. THE PERSONAL IS POLITICAL Bagi saya, politik adalah pengambilan keputusan yang bisa terjadi di mana saja, di luar dan di dalam rumah kita sendiri. Setiap hari, perempuan di seluruh dunia melakukan hal itu dalam kehidupan sehari-hari. Politik di tingkat formal maupun di lingkup rumah tangga pada hakekatnya adalah sama. Sorry ya, saya tidak mau memakai definisi politik hanya yang dirumuskan atau diteorikan oleh para ahli politik yang laki-laki karena mereka selalu menekankan perempuan tidak punya pengalaman politik ! Lho memangnya, bisa begitu bu? Ibu mau pakai pikiran ibu sendiri ? Apa nanti ibu nggak diserang laki-laki yang hebat-hebat itu ? Kok ibu berani-beraninya sih .....?!?
Hahaha...saya memang tidak suka menerima pemikiran yang kuno dan membosankan. Maksud saya begini, kita semua harus berani menentang pemikiran lama yang merugikan kita. Belum banyak orang yang berusaha untuk merubah pemikiran tentang politik. Perempuan harus menyadari bahwa banyak hal yang pribadi atau personal pun mengandung sifat dan makna politik. Maksud ibu bagaimana tuh ? Politik itu berlangsung dalam kehidupan dan tindakan kita sehari-hari lho ibu-ibu....! Politik itu adalah makan-minum. Maka sesungguhnya politik itu sangat bersahabat dengan perempuan. Kita bisa mengambil keputusan setiap hari dari yang sederhana sampai yang tersulit sekalipun. Keputusan itu sangat berbeda-beda. Bagi rumah tangga dengan uang yang terbatas, harus memilih antara membeli pesawat tv atau vitamin untuk anak-anak ? Itu merupakan tindakan mengambil keputusan yang sulit. Sama dengan presiden, gubernur, walikota, atau bupati yang akan mengambil keputusan apakah hari ini mau mengunjungi dan memberi perhatian pada anak-anak yang gedung sekolahnya akan ambruk, bahkan sudah hancur di sana-sini, atau dia lebih mau menerima kedatangan para pengusaha yang akan meminta persetujuan pembangunan sebuah mall mewah.
24
Haaaah...begitukah ?
Oooooh...., jadi sebetulnya setiap hari saya juga berpolitik toh ?
Waaaah...., kok jadi bisa sesederhana itu memahaminya? Apakah laki-laki juga sama berpikiran seperti itu? Boleh juga nih...Kalo begitu....Kenapa kita harus ketakutan pada politik selama ini ?
Jangan-jangan...kita ini dibodoh-bodohi saja sejak zaman dulu, supaya nggak mencampuri urusan lelaki, dan supaya lelaki saja yang punya kekuasaan mengambil keputusan penting. Akan merugikan kita kalau kepentingan yang diputuskan lebih berdasarkan sudut pandang laki-laki doang. Waduh..,waduh..,bagaimana nasib kita bisa berubah kalau begitu caranya....Laki-laki punya kekuasaan, kami perempuan memiliki tanggung jawab...Ooh...tidaaak...!
25
Para ibu di ruangan itu tersenyum-senyum pahit dan saling melempar pandang.
Jadi ibu-ibu...., kalau kita tahunya politik itu kotor, maka kita nggak boleh masuk ke sana karena takut terkotorkan. Nah, itu artinya, kita masih menggunakan definisi politik yang konvensional ! Akibatnya, perempuan menjadi mahluk yang pasrah, tidak berani menolak sesuatu yang bertentangan dengan hati nurani, selalu menerima tanpa protes, tanpa usaha, tanpa argumentasi, dan pemecahan masalah hanya datang dari satu arah. Yang rugi siapa ?
KITAAAAAAAA..........!!! Berargumentasi, berdebat, mengkritisi, dan menganalisis situasi, serta turut mencari solusi atas permasalahan bukanlah tindakan menginjakinjak lawan jenis lain atau suami sendiri. Kesadaran kritis politik perempuan harus dimulai dari dalam diri sendiri. Perempuan yang memiliki posisi tawar tinggi bukan berarti ia harus menguasai laki-laki. Membatasi gerak perempuan dengan alasan kewajiban yang harus mereka laksanakan hanya di ranah domestik sama dengan mengebiri potensi yang ada dalam diri mereka agar tidak bisa berkembang optimal untuk menjadi manusia yang seutuhnya. Hubungan sosial yang berciri hubungan kekuasaan yang tidak setara adalah hubungan politik. Berarti, dalam kehidupan rumah tangga sehari-hari, semua aktivitas yang berlangsung di dalamnya punya dimensi politik yang penting. Saat ini, hak-hak politik perempuan sudah banyak diakui, namun keberadaan hak-hak politik tersebut tidak serta-merta menjamin adanya pemerintahan/sistem politik yang demokratis ketika asas partisipasi, representasi (keterwakilan), dan akuntabilitas (pertanggungjawaban) diberi makna yang sesungguhnya. Di negeri kita ini contohnya, sebagian besar perempuan bahkan belum dapat membuat pilihan politiknya secara mandiri.
26
Dalam beberapa pemilu, banyak sekali pilihan perempuan lebih dipengaruhi atau bahkan ditentukan oleh suami, atasan, teman, keluarga, atau kelompok di sekitarnya. Betty Friedan, seorang pejuang hak-hak perempuan asal Amerika Serikat, dalam bukunya “The Second Stage� (1981) mengatakan bahwa jika seorang perempuan yang mempunyai kemampuan (tetapi) tidak mempergunakan energi dan kemampuannya di dalam usaha yang bermakna (yang mau tidak mau, berarti persaingan, karena selalu ada persaingan dalam setiap usaha serius di dalam masyarakat kita), ia akan memecah energinya dalam simptom neurotik, atau dalam tindakan yang tidak produktif, atau dalam “cinta� yang destruktif.
Memang menjadi ibu dalam masyarakat kita dipuji setinggi langit. Namun, banyak ibu dalam kehidupan nyata mengalami nasib yang buruk akibat kelebihan beban kerja, kurang tidur, dikasari suami, dan kurang darah karena sering melahirkan dan kurang makanan bergizi. Mereka tidak mendapat bantuan dari masyarakat, pemerintah, dan negara. Ibu-ibu sekalian yang nasibnya lebih baik di sini...., adakah keinginan menjadi bagian dari wakil rakyat agar bisa ikut serta membuat peraturan yang melindungi kaum kita yang nasibnya masih buruk itu ?
Semua saling melempar tatapan... Sebaiknya saya mau..., tapi saya belum percaya diri !
Saya mau, tetapi...caranya bagaimana... Pikir-pikir dulu deh...
Saya seharusnya malu kalau tidak mau‌ Saya kok selama ini memikirkan diri sendiri saja ya ? Saya tentu mau, tetapi suami saya....Mau nggak dia mendukung saya ? Siapa yang akan mengurus anak-anak di rumah ?
27
Bagi banyak perempuan, hubungan dengan anak-anak merupakan salah satu di antara hal yang paling berharga dalam kehidupan. Namun bagaimana caranya agar bisa menjadi manusia sekaligus ibu? Bagaimana caranya mengombinasikan antara menjadi ibu dengan menjadi warga negara, bekerja, dan berperan di ruang publik? Novelis Inggris, Mona Caird (1894) pernah menulis bahwa menjadi ibu dalam situasi sosial masyarakat merupakan tanda sekaligus cap dan merupakan alat sekaligus metode, untuk “mengikat� perempuan. Menjadi ibu merupakan rantai yang dikenakan pada darah dan daging perempuan yang bisa mengacaukan rasa kecintaan dan nalurinya. Sementara menjadi ayah merupakan hal yang berbeda. Tentu saja mengurus anak-anak itu penting –namun tidakkah hal itu juga penting buat laki-laki? Para perempuan tidak akan pernah bisa memainkan peran yang utuh dan berimbang di ranah publik sampai laki-laki mau melakukan hal yang sama dengan yang dikerjakan perempuan –yaitu memikul juga tanggung jawab penuh mereka dalam pengurusan anak dan pekerjaan rumah tangga!
Hening sesaat... Tiba-tiba... Bu Tegar ! Jadi, partisipasi politik itu nyatanya seperti apa ? Jelaskan sekali lagi dong bu..
Partisipasinya adalah ikut ambil bagian dalam mengambil keputusan sampai pada hal yang paling kecil sekalipun. Perhatikan saja, setiap hari seorang ibu harus mengambil keputusan untuk mengatur uang belanja keluarga, uang jajan anaknya, ongkos transportasi, bayar listrik, telepon, sampai membeli obat. Lhaa...itu semua saya yang melakukan.
Iya, saya juga !
28
Saya apalagi ! Suami mana mau tahu soal-soal itu. Padahal saya juga bekerja di luar rumah, menambah penghasilan untuk keluarga. Rasanya, capeknya saya dua kali lipat daripada capeknya suami saya. Siapa yang peduli pada saya... Kalau saya tidak mengurus semua itu, saya akan dihujat sebagai ibu yang berengsek, yang payah, yang nggak becus !
Bu Tegar menaikkan kedua alis matanya seraya mengembangkan senyum. .
Jadi sesungguhnya, The Personal is Political” atau “Yang Pribadi adalah Politis”. Berbagai penindasan, disadari atau tidak, yang terjadi di wilayah domestik, di dalam rumah tangga sendiri, bisa jadi juga penindasan yang berlangsung di wilayah publik, di tengah
Kalimat “The Personal is Political” pertama kali dimunculkan oleh Carol Hanisch dan dipublikasikan dalam “Notes from the Second Year” tahun 1970. Ungkapan ini kemudian menjadi slogan Feminisme Radikal untuk menekankan bahwa pembedaan antara lingkup publik dan pribadi adalah keliru. Laki-laki mendominasi perempuan dalam lingkup publik dan dalam waktu yang sama mereka juga mendominasi perempuan di rumah. Catharine MacKinnon, yang termasuk dalam deretan tokoh Feminisme Radikal, mengatakan bahwa slogan “The Personal is Political” mampu menciptakan hubungan langsung antara sosialisasi dan subjektivitas, sehingga jika kita mengetahui situasi politik perempuan berarti mengetahui kehidupan pribadi perempuan.
29
Azza Karam dalam artikelnya “Beijing + 5: Partisipasi Politik Perempuan: Tinjauan Strategi dan Kecenderungan” (tahun 2003) menulis bahwa dunia politik sering memandang rendah peran tradisional perempuan, yakni mengurus rumah tangga, sehingga mengabaikan kebutuhan sebagian besar perempuan yang aktif berpolitik untuk menyeimbangkan waktu antara tanggung jawab baru yang diemban dengan yang dibebankan oleh budaya lingkungannya. Karakteristik politik yang digambarkan sebagai “dunia kotor” sebagian timbul dari dikotomi publik-privat sebagai hanya sebuah tempat perlindungan dari tekanan luar. Sebelumnya, Rosemarrie Putnam Tong, penulis buku “Feminist Thought” (1989) bilang bahwa perbedaan antara apa yang disebut sebagai isu politik dan apa yang dikatakan sebagai isu perempuan sebagai sesuatu yang semu, karena tidak ada batasan antara kedua jenis isu tersebut. Sebaliknya, keduanya saling membentuk. Menurut saya nih ibu-ibu..., sebaiknya tidak ada pembatasan akses dan kesempatan terhadap perempuan, karena langkahlangkah politik formal sesungguhnya juga bisa berawal dari politik informal yang pada kenyataannya banyak dikendalikan oleh sosok perempuan. Saya berkeyakinan, politik di mana pun diberlakukan, tidaklah lepas dari kehidupan formal dan informal pelakunya. Isu-isu dan kebijakan yang diambil dalam dunia politik formal akan berimplikasi secara langsung maupun tidak pada seluruh kehidupan informal manusia.
Kalau begitu sudah bukan saatnya lagi dong memperlakukan kita ini, para perempuan, sebatas pemeran pendukung, diperintah untuk patuh dan menurut saja, hanya bertugas sebagai ‘istri’ atau ‘ibu’, dan mati-matian menjunjung tinggi peran laki-laki sebagai Tepat sekali !! Wah, ibu ini mulai ‘kepala keluarga’... berani berpikir bebas. Bagaimana pendapat yang lain?
30
Iya, menurut saya kalau hanya laki-laki yang diberi peluang sebesar-besarnya, dan perempuan selalu dipersempit ruang geraknya, itu akan membuat perempuan sulit mendapatkan keadilan di bidang pekerjaan, pendapatan, pinjaman usaha, pendidikan, dan akses ke lembaga pengambil kebijakan publik. Jadi kapan kita bisa berkembang seoptimal mungkin untuk menjadi manusia yang seutuhnya ?
Wah..wah..,ternyata di ruangan ini banyak bakat terpendam perempuan politikus...! Sayang banget kalau potensi ibu-ibu seperti ini hanya berakhir dan terkubur di dalam rumah.
Tanpa dikomando, semua bertepuk-tangan meriah. Beberapa ibu yang terlambat datang, mulai menggabungkan diri dibarengi wajah bertanya-tanya. Naaah, sudah lengkap. Sudah datang semua. Kita bisa mulai rapatnya ya ? Waah rugi yang datang terlambat, nggak dapat pencerahan. Hah, ada informasi apaan ? Kita nggak kebagian ? Yah nasib....gara-gara nggak punya pembantu...
31
EMPAT UNTUK APA PEREMPUAN BERPOLITIK? Di ruang makan keluarga.. Pak Bulol dan Bu Dandan sedang sarapan. Di tengah saat mengunyah nasi goreng telur yang sedap, Bu Dandan memulai pembicaraan (yang sejak semalaman dipendamnya, karena menunggu suasana tepat). Pak..., mau tambah lagi nasi gorengnya ?
Hmm...mau bu..., enak banget nasi goreng ini. Buatan ibu kan ?
Bukan pak..., buatan si Inem ! Dia kan memang sudah pintar bikin nasi goreng...
Jadiii....aku makan nasi goreng buatan pembantu lagi...?!
Pak Bulol mendadak cemberut. Air mukanya terlihat butek. Memangnya kenapa toh pak ? Dia bisa masak enak begini, yaa aku yang mengajarinya kok ! Menularkan kemahiran pada pembantu kan salah satu upayaku agar dia bisa mengurangi bebanku. Bapak nggak sayang ya sama aku ? Bapak lebih senang kalau badanku selalu bau asap dapur pagi-pagi begini ? Bukankah kita bisa tenang sarapan berdua seperti ini lebih enak,...daripada bapak makan sendirian, sementara aku masih ribet di dapur dan lusuh ! Hayo‌pilih mana ? Iya‌iya‌, tentu saja aku lebih suka kita bersama di meja makan, sayaaang....! Ya sudah, nasi gorengnya nggak penting lagi buatan siapa...
32
Nah begitu dong...Ngomongngomong nih pak..., hmm...
Bu Dandan berhenti sejenak sebelum mulai lagi berbicara. Paak..., aku mau masuk partai politik dan aku mau menjadi caleg...
Pak Bulol mendadak sontak berhenti mengunyah nasi gorengnya, berusaha menelannya, tapi seret, lalu ia mengangkat gelas, dan menenggak air putih dari dalamnya untuk mendorong masuk nasi yang masih setengah kunyahan. Karena begitu terburu-buru, ia pun tersedak dan terbatuk-batuk. Insiden kecil itu berlalu setelah Pak Bulol menarik napas dalam-dalam dan sekali lagi menenggak air putihnya. Apa aku tidak salah dengar bu ?
Tidak, pak. Telinga bapak masih berfungsi normal kan ?
Aduh, ibu ini apa-apaan sih ? Sejak kapan ibu punya pikiran mau bermain politik ? Untuk apa bu ? Apakah tidak cukup dengan segala yang sudah kita punya saat ini ? Bu..., sadarlah bu, menjadi politikus itu tidak gampang. Memangnya ibu sanggup apa ? Politik itu kejam bu, kejam !! Sebaiknya ibu berpikir sekali lagi. Aku nggak rela. Ibu bakalan sering pulang malam, sering keluar kota, sering rapat-rapat. Apalagi jadi caleg nanti berarti akan kampanye ke sana ke mari. Aku nggak melihat ada kepentingan yang berarti kalau ibu bergabung ke dalam parpol. Untuk apa ? Sudah, buang saja jauh-jauh niat konyol itu !! Untuk apa sih perempuan susah-susah masuk ke bidang politik ?
33
Yaa...yaa..., aku sudah bisa menyimpulkan, bapak tidak setuju ! Oke...oke...! Tapi, tidak setujunya kan sekarang. Aku akan menjadi caleg bukan besok, nanti.. tahun depan. Aku akan berproses lebih dulu. Dan selama masa itu, siapa tahu bapak berubah pikiran. Selama masa itu, aku akan tunjukkan pada bapak bahwa apa yang kulakukan merupakan hal yang sangat berarti bagiku, bagi kita, dan bagi orang banyak.
Aku tidak akan memaksa bapak atau siapapun untuk yakin saat ini dengan hal yang kulakukan. Aku tidak pernah mau melakukan sesuatu secara tiba-tiba. Sebelum membangun bisnis kue keringku hingga menjadi seperti sekarang ini, aku juga memulainya dari nol.
Aku menyadari itu pak..Tetapi, aku juga tahu apa yang harus seseorang lakukan ketika dirinya masuk ke dalam ‘hutan belantara’. Aku akan berusaha mencari sinar matahari di antara semak belukar belantara itu.
Ah itu hanya akan jadi janji dan ucapan belaka. Aku nggak yakin ! Bu..! Menjadi caleg itu mana bisa instant, memangnya kopi ? Sudahlah, ibu nggak usah gayagayaan mau jadi politikus !
Bisnis kue dan politik itu beda, bu ! Mana bisa ibu menyamakan begitu saja. Okelah, ibu sukses sebagai pengusaha, tetapi belum tentu ibu akan berhasil sebagai politikus. Ladangnya saja beda. Ah, ibu...ibu..., ibu hanya akan menjadi ‘anak bawang’ saja di parpol. Ibu masih nggak tahu apa-apa tentang peta politik di dalam parpol. Nanti ibu hanya akan jadi pecundang saja. Percaya deh sama aku.
34
Ha..ha..ha.., ibu ini sok puitis...Begini saja bu, pada prinsipnya aku tidak setuju ibu masuk dalam aktivitas parpol, tetapi kalau ibu tetap ngotot melakukannya, masak aku harus mengikat dan mengurung ibu? Aku nggak akan bisa berbuat lain kecuali mendukung ibu. Pesanku hanyalah, ibu harus menanggung segala konsekuensinya. Kita lihat saja nanti !
Ucapan Pak Bulol membuat bingung Bu Dandan. Kalimat terakhir suaminya dalam perbincangan itu terasa mengandung ancaman, meski sangat halus. Namun Bu Dandan masih bersyukur, karena suaminya tidak seratus persen menghadang langkahnya. Ia masih diberi kesempatan untuk membuktikan kebaikan dari pilihannya. Bukankah itu sebuah peluang yang harus dimanfaatkan?
Hening sesaat di ruang keluarga. Tiba-tiba terdengar suara menyapa dari arah pintu masuk rumah. Bu Smara berdiri anggun dengan senyum sumringah.
Waah, ada tamu nih. Mari silakan masuk bu, saya sudah siap kok. Kita tidak terburuburu kan ? Masih ada waktu untuk minum teh dulu ya.. Bu Smara....Eeeh...iya, pak ini lho ada Bu Smara, ngobrol sini toh pak...
Bu Dandan berusaha secara halus menarik Pak Bulol menemui Bu Smara. Ia ingin memanfaatkan kehadiran Bu Smara untuk memberikan wawasan kepada suaminya tentang makna perempuan berpolitik. Saat ini Bu Dandan memang masih mengandalkan kemahiran Bu Smara yang lebih berpengalaman. Untung saja, suaminya bersedia bergabung di antara mereka, meski dengan senyum mengembang (yang dibuat-buat).
35
Apa kabar Pak Bulol? Wah lama nggak ketemu ya..
Ooooh, kabar baik bu...Waaah, ibu aktif terus ya di parpol ? Hebat! Ibu ini....luar biasa... Saya kagum...Saya kagum...
Ah Pak Bulol ini suka memuji-muji. Istri bapak kan juga hebat. Saya sangat kagum dengan Bu Dandan. Lihat saja, dia pengusaha sukses, dan sebentar lagi akan jadi politikus pula. Hebat kan pak? Bapak mustinya bangga punya istri seperti Bu Dandan...
Bu Dandan yang kembali dari dapur dengan nampan berisi cangkir teh dan sepiring pisang goreng, tersipu-sipu. Ia melemparkan ‘senyum terima kasih’ pada Bu Smara. Sementara itu Pak Bulol dengan susah payah berpura-pura ikut tersenyum. Di dalam hati, ia lumayan jengkel. .......kok Bu Smara ini sok yakin sih?....’Emangnya dia yang memberi ijin untuk istriku? Sok tau..!!!Aku nggak suka istriku jadi politikus seperti dia...Bah !...Bisa ngelunjak...!!!
36
Pak! Kenapa bengong begitu? Hehe...bapak mikirin aku jadi politikus ya ?
Iya Bu Smara..., terus terang saja, saya sendiri tidak tahu banyak tentang politik. Saya pikir, saya saja tidak mengerti, apalagi istri saya...Apa nggak konyol jadinya kalau kita berani-beranian masuk ke wilayah yang tidak kita kenal, lalu bertempur di dalamnya ?
Ha..ha..ha...., Pak Bulol...Kelihatannya kuatir ya? Mengkuatirkan istri itu tandanya cinta, ya kan ? Tapi kadangkadang, rasa kuatir itu bisa juga muncul karena kekurangtahuan dan kekurangpahaman. Maaf ya Pak Bulol...
Wah, kekuatiran bapak cukup beralasan. Saya memahami itu. Tapi jangan salah duga pak. Masak bapak tidak tahu selama ini Bu Dandan sudah aktif mempersiapkan dirinya? Dia sudah selalu saya ajak ke dalam kegiatan pendampingan terus-menerus oleh Lembaga Swadaya Masyarakat yang punya kepedulian di bidang peningkatan kesadaran berpolitik bagi perempuan. Bu Dandan juga sering ikut pelatihan kepemimpinan, mengenal organisasi perempuan dan organisasi masyarakat sipil lainnya untuk membangun jaringan, berlatih berbicara di depan publik, melakukan peningkatan pengetahuan dan kesadaran politik, juga kemampuan menganalisis, selain juga mempelajari berbagai isu-isu perempuan yang musti diperjuangkan. Lho memangnya selama ini Bu Dandan sering keluar rumah dengan saya, bapak kira ke mana? Ngerumpi doang ? Nggak lha yaaa...
37
Pak Bulol ternganga-nganga, seolah tidak percaya mendengar aktivitas istrinya selama ini. Yang ia tahu, istrinya keluar rumah cuma sibuksibuk urusan ‘perdagangan kue’. Oh...iya...hehe...iya..iya..saya tahu..,tapi...tapi...
Bu Smara ‘tancap gas’. Ia tidak peduli melihat Pak Bulol gelagapan. Maaf ya pak, selama ini Bu Dandan saya libatkan
Iya kan Bu ? Ini perlu karena di sana Bu Dandan
Bukankah begitu Pak Bulol ?
Pak Bulol mengangguk-anggukkan kepalanya tak berdaya. Jangan kira Bu Dadan tidak tahu-menahu tentang kondisi di dalam parpol yang akan ia masuki lho..! Ia tahu banyak dari saya. Saya selalu membagi informasi tentang internal parpol dengannya karena parpol saya yang akan ia masuki. Dan saya melakukan ini tidak hanya terhadap Bu Dandan, tetapi juga kepada ibu-ibu lain yang mau direkrut. Di Penguatan Jaringan Kerja Kelompok Perempuan dan LSM yang ada, orientasi berpolitik tidak diarahkan pada parpol tertentu. Mereka bebas memilih parpol yang sesuai dengan kecocokan hati nurani masing-masing karena pada dasarnya politik itu merupakan ‘alat’ bukan ‘tujuan’. Bagi kami, politik adalah alat untuk mencapai tujuan yang lebih besar yaitu memajukan kaum perempuan Indonesia, bukan tujuan individual belaka, bukan pula sekadar ‘menang-kalah’, tetapi bagaimana caranya membangun dan menumbuhkan sesuatu yang positif, memberikan pencerahan, dan keberlanjutan hal yang diperjuangkan sebagai perwujudan dari demokrasi.
38
Pak Bulol tak menyadari bahwa ia semakin mangap saat mendengarkan penjelasan Bu Smara. Waah...waaaah...,Bu Smara....hmmm....anu... begini...hmm....,saya malu...kalau saya...ti...tidak memberi jalan...un...un...tuk istri saya… Penjelasan ibu menyadarkan saya. Ya....kalau begitu, tidak ada alasan bagi saya untuk melarang-larang dia.
Sekarang Pak Bulol terdiam... .......aduh, aku ngomong apa sih ? Kok aku seperti tersihir begini ?.....Tapi, aku harus akui, benar juga yang Bu Smara katakan itu...Mantep banget dia ngomongnya.... Duh, aku harus ‘gimana nih ?......
Kali ini giliran Bu Dandan mulai menyela. Saya memang sudah lama memimpin bisnis kue, tetapi tetap saja kalau ada pertemuanpertemuan di luar, dulu itu saya nggak berani bicara, bahkan sekadar duduk di barisan depan, saya malu. Saya bingung bagaimana menyusun kalimat kalau harus berbicara ? Ngomong aja susah.....belepotan, apalagi berdebat. Sekarang sih ....hmm...boleh dicoba.....
Para laki-laki politikus –di partai politik maupun di parlemenmempunyai bahasa mereka sendiri yang berbeda, juga “budaya” mereka, serta karakter mereka yang cenderung suka mendominasi pembicaraan. Mereka pun memiliki “humor-humor” khusus laki-laki yang sangat seksis dan bersifat ofensif (serangan) bagi anggota parpol perempuan atau anggota parlemen perempuan. Maka kemampuan berpidato dan berdebat dengan teknik yang baik dapat membantu mengatasi ejekan-ejekan yang sudah biasa dilontarkan laki-laki di tempat itu. Contohnya, ketika pembahasan tentang Rancangan Undang-Undang Penghapusan Anti Kekerasan Dalam
39
Rumah Tangga (PKDRT) di DPR RI beberapa tahun lalu, laki-laki di sana sering mengejek anggota perempuan dengan “humor” melecehkan seperti ini, “lho, ibu-ibu ini bagaimana sih? Bukannya ibu-ibu senang dengan yang ‘keras-keras’?” Proses politik di parlemen banyak melibatkan negosiasi di mana berbagai kepentingan seharusnya bisa ditransformasikan dalam legislasi yang menguntungkan semua pihak. Maka, dalam situasi tersebut, power relation sangat mengemuka, tidak saja antarparpol tetapi juga antarindividu anggota parlemen. Nah, dalam relasi itulah perempuan parlemen sering menghadapi sikap-sikap tidak menyenangkan dari rekan mereka yang lakilaki secara sengaja maupun tidak. Disebut atau dijuluki “genderuwo”, “peyem”, dan sebagainya, yang disambung dengan tertawaan melecehkan saat seorang perempuan akan memulai berbicara, merupakan sesuatu yang tidak sepantasnya terjadi di ruang sidang DPR. Kita bisa belajar dari para perempuan politikus Inggris yang berhasil menggunakan media massa untuk menarik perhatian pada soal seksisme di parlemen mereka dengan cara mengungkapkan praktik-praktik melecehkan (terhadap perempuan )kepada media massa dan jurnalis lainnya yang memang selalu bersedia mengkritisi anggota-anggota parlemen atau politikus yang berperilaku buruk. Hasilnya adalah serangkaian pemberitaan pers dan siaran radio tentang perilaku seksis dan kekanak-kanakan anggota parlemen laki-laki. Masyarakat, yang sebelumnya tidak mengetahui, apalagi menyadari hal seperti itu, lalu mencela kelakuan para anggota paralemen mereka. Dan hal itu menjadi catatan buruk tersendiri yang akan memperkecil si anggota dewan memperoleh simpati masyarakat untuk dipilih lagi. Nah, begitulah Pak Bulol. Masak sih kita beraniberanian mau maju tempur ke medan laga tanpa senjata. Selain persiapan memperkuat atau memberdayakan diri sendiri, Bu Dandan dan teman-teman perempuan lain juga mempelajari berbagai kepedulian terhadap isu-isu seperti kesejahteraan keluarga, pendidikan, kesehatan, anti-kekerasan, ketenagakerjaan, dan lingkungan yang menjadi sangat sentral dalam seluruh keprihatinan dan perjuangan perempuan. Kami punya kekuatiran yang sangat beralasan karena selama ini para laki-laki pengambil kebijakan belum bisa diandalkan untuk secara tulus membela rakyat lemah dan perempuan secara adil.
40
Iya pak. Suara dan kebutuhan perempuan tidak mengemuka, seperti contohnya kebutuhan akan fasilitas kesehatan yang memadai untuk ibu hamil dan melahirkan, perawatan setelah melahirkan yang menyangkut juga sarana dan prasarana, serta transportasi menuju rumah sakit atau puskesmas, khususnya di pelosok-pelosok daerah. Bapak harus tahu ya pak, karena masih kurang optimalnya perhatian dan penanganan pada bidang ini, maka negeri kita mencatat Angka Kematian Ibu atau AKI paling tinggi di antara negara-negara se Asia Tenggara. Bayangkan saja, dari setiap seratus ribu kelahiran, ada tiga ratus tujuh ibu meninggal dunia saat melahirkan. Angka ini hasil survei nasional. Angka yang tinggi itu tidak turun-turun kisarannya. Apa nggak memprihatinkan kalau sebanyak itu ibu Indonesia tewas sia-sia ketika melahirkan
Itu baru satu contoh lho, belum yang lain-lainnya seperti masalah perempuan-perempuan yang menjadi tenaga kerja di luar negeri, ibu-ibu yang menjadi korban kekerasan di dalam rumah-tangganya sendiri, juga para perempuan dan anak-anak yang menjadi korban perdagangan manusia. Buaanyaaak banget pekerjaan rumah yang harus kita kerjakan bersama di dalam negeri ini. Ya Tuhan....
Pak Bulol termangu-mangu... Dari segi rendahnya kuantitas keterwakilan perempuan di parlemen atau DPR (di segala tingkatan) telah mengakibatkan tidak proporsionalnya jumlah perempuan yang duduk dalam keanggotaan Alat-Alat Kelengkapan Dewan seperti Komisi, Panitia Anggaran, Badan Legislasi (Baleg), dsb. Minimnya jumlah perempuan di parlemen secara tidak langsung juga memengaruhi asprirasi dan kepentingan kaum perempuan. Dengan komposisi yang sangat tidak imbang, maka perempuan anggota parlemen harus berjuang sangat keras agar suaranya bisa “didengar� dalam setiap rapat, baik intern maupun dengan pihak luar. Apalagi ketika sampai pada proses pengambilan keputusan, minimnya jumlah perempuan pada akhirnya “menenggelamkan� suara perempuan yang pada akhirnya berujung pada tidak terakomodasinya aspirasi dan kepentingan perempuan.
41
BAGAIMANA PEREMPUAN BISA EFEKTIF BERPOLITIK ? Ani Soetjipto, dosen politik pada Universitas Indonesia yang juga aktivis dan pengamat ahli hak-hak politik perempuan Indonesia, menyebutkan dalam bukunya “Politik Perempuan Bukan Gerhana� (2005) bahwa perempuan yang ambil bagian dalam partai politik selayaknya mendapat dukungan strategis dari partainya untuk memajukan isu perempuan dan merumuskan agenda kebijakan yang berperspektif perempuan. Hal tersebut bisa dilakukan secara simultan lewat berbagai cara, antara lain menurutnya sebagai berikut:
o Pelatihan kepekaan gender. Pelatihan ini pada dasarnya adalah pendidikan politik yang dapat digunakan untuk mengubah opini dan pandangan masyarakat tentang politik, selain merupakan proses pemberdayaan bagi perempuan untuk mengetahui hak-hak yang dimilikinya, serta bagaimana cara menggunakan hak-hak tersebut.
o Strategi untuk membawa “suara perempuan� masuk dalam organisasi atau partai politik bisa dilakukan dengan metode gender planning untuk melakukan analisis, memonitor, dan mengembangkan praktik-praktik organisasi yang sensitif terhadap kepentingan banyak perempuan. Untuk itu diperlukan kerja sama yang bersifat kooperatif dengan cara beraliansi dan berkoordinasi dalam mengambil keputusan.
o Hubungan dan komunikasi terbuka harus tetap dijalin dan dalam hal ini sangat bermanfaat bagi pertukaran ide dan sarana uji coba bagi penerapan strategi baru. Hal tersebut bisa dilakukan dengan lobbying, kampanye, dan advokasi yang bekerja sama dengan LSM, akademisi, maupun pemerintah.
o Kampanaye, penyediaan informasi, pelatihan kepemimpinan, dan keterampilan berpolitik, selayaknya diberikan secara aktif oleh partai politik untuk meningatkan partisipasi perempuan. Seminar, konferensi, dan pertukaran pandangan dengan cara mengundang politisi perempuan dari negara-negara lain diperlukan untuk bertukar pengalaman dan strategi. Selain itu yang terpenting adalah membentuk Kaukus Perempuan di Parlemen yang bersifat lintas partai dan lintas fraksi, serta bekerja atas dasar kepedulian pada masalah perempuan. Di banyak negara, Kaukus Perempuan
42
menjadi alat yang ampuh untuk mendesakkan kebijakan yang penting bagi perempuan.
o Organisasi dan aktivis perempuan perlu mengidentifikasi dan memberi dukungan nyata pada perempuan yang dianggap berkemampuan menjadi calon untuk menduduki jabatan-jabatan dan posisi strategis. Partai politik sebaiknya mengadopsi kebijakan afirmatif dengan menghapus cara-cara lama yang bersifat diskriminatif terhadap perempuan. Parpol juga sangat perlu mengalokasikan kedudukan politis kepada perempuan berdasarkan kuota dan kemampuan serta kecakapan mereka yang memungkinkan lebih banyak perempuan bisa terlibat dalam pengambilan keputusan dan tanggung jawab publik. Catatan: KAUKUS adalah lembaga politik yang terdiri atas tokoh politik antarparpol (bisa antarparpol di dalam parlemen atau di luar parlemen) yang merencanakan berbagai strategi, kebijakan, maupun program untuk kepentingan bersama. Itulah makanya kita, terutama perempuan politikus harus mempunyai kepekaan dan kemauan untuk memperjuangkan perubahan, selain juga punya pemahaman yang utuh tentang masalah yang dihadapi supaya bisa mengatasinya. Yang penting juga, kita harus bisa bekerja sama, baik dengan perempuan dan laki-laki. Kebiasaan-kebiasaan ngerumpi atau ngegosip yang nggak berguna sudah saatnya dibuanglah...ya Bu Dandan? Temanteman kita itu masiiiih aja hobi begituan di acara arisan. Waduuuh....kacau nih ibu-ibu kita....
Pak Bulol serta merta menyambar ucapan Bu Smara. Nah itu tuh ! Saya paling sebal, kalau ibu-ibu kumpul cuma berbagi cerita tentang sinetron yang ditonton atau negrumpiin artis ini selingkuh lha, artis itu kawin cerai lha !! Ya boleh sih ngomongin berita begitu, tapi sedikit aja dooong, jangan terlalu hot...dan jangan terlalu sering! Nanti jadi nggak punya fokus pada hal yang penting kan ?
43
Kedua ibu serempak tertawa membenarkan ucapan Pak Bulol Lho bapak ini nggak pernah memperhatikan ibu ya ? Sekarang ibu lebih banyak menyaksikan acara-acara di televisi yang bersifat diskusi atau talk show , debat ilmiah...cieee....! Ibu juga membaca berbagai artikel tentang isu yang berkembang di masyarakat, dan tentu saja beritaberita politik yang penting. Itu lho pak, ibu suka tuh nonton dialog interaktif.., apalagi pembawa acaranya guuanteng banget...! Loooooh....kok pembawa acaranya yang diperhatikan ?
Ya, ya, jangan kuatir Bu, pasti kusantap habis!....Silakan, Bu Smara, hati-hati di jalan lho ibu-ibu...
Bolehlah....pak, supaya lebih semangat nontonnya. Iya nggak Bu Smara ? Eeeeeh...... bu, kita keasyikan nih sampai lupa, kita harus berangkat kan ? Maaf ya pak, kami permisi, ada seminar yang diselenggarakan LSM “Perempuan Cintamani�. Aku akan kembali agak sore. Oh iya,....aku sudah minta Inem menyiapkan makan siang untuk bapak sesuai menu yang aku pilihkan, kesukaan bapak..
44
Lain di bibir, lain di hati Pak Bulol... Hmmm....semangat sekali perempuan-perempuan ini....Sok sibuk ! Lihat saja....apakah mereka akan berhasil ? Aku nggak yakin...
Terima kasih pak...Assalamualaikum... Wa’alaikunnasalam.....
APA ITU ISU PEREMPUAN DAN PERSPEKTIF PEREMPUAN? Agar perempuan bisa lebih efektif dalam berpolitik, maka pemahaman tentang apa yang dimaksud dengan isu-isu perempuan dan perspektif perempuan sangat penting menjadi dasar dari segala sikap dan tindakan politik yang diambil. Isu perempuan harus dipahami dengan baik, dan perspektif perempuan harus melekat pada perempuan politikus itu sendiri. ISU-ISU PEREMPUAN adalah isu-isu yang sangat mempunyai dampak langsung terhadap perempuan, apakah karena dampak biologis (misalnya pemeriksaan kanker payudara, pemeriksaan leher rahim atau alatalat reproduksi perempuan yang terkait dengan hak-hak kesehatan reproduksi perempuan), atau alasan-alasan sosial seperti kebijakan perawatan anak-anak, kebijakan untuk melindungi tenaga kerja perempuan di dalam dan di luar negeri yang pada faktanya sering mengalami penindasan berbasis gender, kekerasan fisik-mental-seks-ekonomi- yang juga berbasis gender, kerusakan lingkungan yang berdampak negatif langsung dan paling banyak menimpa perempuan dan anak. PERSPEKTIF PEREMPUAN adalah pandangan-pandangan perempuan (cara perempuan melihat) tentang semua perhatian politik.
45
Perempuan harus bisa melihat persoalan dengan cara menempatkan dirinya sebagai pihak yang dikorbankan (berempati), untuk kemudian berpihak kepada perempuan yang menjadi korban dan memikirkan cara untuk mengambil tindakan nyata bagi pembelaan. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa meskipun secara luas isu-isu yang sama adalah penting bagi kedua jenis kelamin, perspektif perempuan terhadap setiap isu berbeda dengan laki-laki. Sebuah penelitian yang pernah dilakukan di Inggris pada tahun 1996 menunjukkan, meski perempuan dan laki-laki mengedepankan isu-isu ekonomi, perempuan ternyata lebih berminat pada permasalahan kerja paruh waktu, upah yang rendah dan hak-hak pensiun, sementara laki-laki lebih tertarik pada permasalahan pengangguran. Kepentingan-kepentingan anggaran dan ekonomi, misalnya, bukan dan seharusnya tidak hanya dilihat sebagai perhatian laki-laki semata karena kepentingan-kepentingan ini memengaruhi setiap orang. Berkait dengan anggaran, maka perempuan politikus yang berperspektif perempuan akan menyoroti sejauh mana kebutuhan dan kepentingan perempuan telah dimasukkan dalam proses penganggaran? Sebaliknya, hal serupa dengan kesehatan, kesejahteraan sosial, dan pendidikan, tidak hanya memengaruhi perempuan. Menarik untuk dicatat bahwa persepsi terbatas tentang isu-isu sosial itu sebenarnya merupakan cermin dari hirarki politik lama yang sangat memuja “urusan-urusan eksternal� ketimbang kondisi internal warga negara –satu alasan mengapa perhatian tentang kewarganegaraan pantas diperhatikan wakil perempuan dan laki-laki. Perempuan politikus tentu saja perlu memiliki pengetahuan dan pemahaman tentang berbagai isu perempuan dan perspektif perempuan jika hanya untuk melihat separuh realitas yang lain agar menghasilkan keluaran (out put) yang berdampak menguntungkan golongan perempuan tertindas. Sangat baik apabila para politikus perempuan mau memanfaatkan kemauan baik dan pengetahuan para akademisi untuk merancang atau merevisi guna menyempurnakan kebijakan-kebijakan tentang misalnya masalah kekerasan dalam rumah tangga, perbudakan perempuan yang terselubung di dalam dunia kerja, perdagangan perempuan dan anak untuk komoditas seks, perawatan dan perlindungan terhadap anak dan para lansia serta kaum cacat, serta kesehatan perempuan. Para perempuan politikus di negara-negara yang keterwakilan perempuannya dalam parlemen (DPR) sudah melebihi jumlah 30 persen, seperti di Swedia, selalu mengadakan kesepakatan dengan melibatkan organisasi non-pemerintah (Lembaga Swadaya Masyarakat) dan para
46
akademisi dalam kerja mereka melanjutkan penanganan isu-isu perempuan melalui posisi dan agenda mereka masing-masing. LIMA MENGAPA DIPERLUKAN KUOTA BAGI PEREMPUAN ?
Pagi itu, di halaman depan kantor LSM “Perempuan Cintamani” –sebuah LSM yang bergerak di bidang pemberdayaan politik perempuan- di kabupaten Tumbumekar, telah dibentangkan tenda besar dan kursi-kursi untuk menampung peserta seminar bertajuk “KUOTA UNTUK PEREMPUAN POLITIKUS: BELAS KASIHAN ATAU HUTANG PERADABAN ?” Pada deret depan sudah tersusun rapi kursi berikut microphone untuk para pembicara dan moderator.
Panitia tampak mondar-mandir, sementara para peserta seminar telah berdatangan memenuhi deret-deret kursi yang disediakan. Menurut seorang panitia, tema kali itu terinspirasi oleh wacana yang dikedepankan dosen filsafat Universitas Indonesia –seorang laki-laki pro-feminis- pada sebuah koran ibu kota beberapa waktu lalu. Lagi pula, menurut mereka, tema itu sangat relevan dengan perjuangan meluruskan salah kaprah pemahaman kuota 30 persen buat perempuan. Bu Smara dan Bu Dandan pun telah tiba. Mereka bertemu dengan Bu Tegarita yang datang tergopoh-gopoh. Tiga ibu enerjik itu memilih deretan kursi di bagian depan. Sebelumnya, mereka menyempatkan bersalaman dengan ketua LSM “Perempuan Cintamani”, Bu
47
Gandasuli, yang hari itu bibirnya tak henti menyunggingkan senyum ramah ke segala penjuru.. Segera saja Bu Smara tidak bisa menyembunyikan rasa ingin tahunya.
Waaah, Ibu Gandasuli.... pesertanya penuh nih bu. Dari mana saja mereka ?
Oh ya, kami menyebar undangan ke masyarakat umum, ke anggota dan pengurus PKK, majelis taklim, ke anggota aktif dari DPC berbagai parpol yang ada di kota ini, juga DPD-nya, para pengusaha besar, bahkan pedagang kecil. Ada juga akademisi. Tentu saja kami juga mengundang jurnalis lokal. Memang penuh yang datang, syukurlah ibu-ibu sangat antusias. Ini pertanda baik bagi kita,....tapiii....saya agak kecewa nih Bu...
Lho kenapa Bu ?
Hmmm....lihat saja, yang datang kebanyakan perempuan. Kemana lakilakinya? Mereka tuh begitu, kalau diundang ke acara yang judulnya nyebut-nyebutin kata ‘perempuan’....mana mau datang. Mereka pikir, ‘ah sudahlah itu urusannya ibu-ibu’. Padahal kan acara ini penting bagi kedua jenis kelamin. Bagaimana kita bisa berhasil memperjuangkan nasib perempuan jika tanpa pemahaman dan dukungan dari laki-laki juga? Nanti mereka nggak ngerti yang sesungguhnya, tapi suka menjelek-jelekkan dengan sinis. Akh.....
48
Bu Smara, Bu Dandan, dan Bu Tegar mengangguk setuju. Mereka paham dengan kegelisahan Bu Gandasuli. Semua pembicara dan moderator telah hadir. Tepat pukul sepuluh pagi acara dimulai. Pembicara terdiri dari dua orang. Yang pertama Ibu Wardhana, seorang perempuan peneliti pada sebuah lembaga kajian politik perempuan universitas negeri, didatangkan dari ibu kota. Pembicara kedua, Bapak Fatur, seorang lelaki anggota DPR RI yang terlibat dalam perumusan revisi Paket Undang-Undang Politik RI. Bu Gandasuli boleh berbangga karena berhasil mendatangkan dua tokoh penting ke kota kecil mereka.
Kedua pembicara mempersembahkan materi yang sangat menarik dan membuat para peserta antusias mengacungkan jari untuk bertanya pada waktu diskusi. Penanya pertama... Nama saya Santi, dosen politik. Saya mau tanya pada Bu Wardhana. Apakah kuota tiga puluh persen yang dipatok untuk perempuan itu memiliki dasar yang kuat Bu? Jangan-jangan itu hanya memasung hak politik warga negara ! Menurut saya, yang penting diperkuat melalui undang-undang adalah kriteria, apakah seseorang itu pantas menjadi wakil rakyat atau tidak ? Terima kasih.....
49
Pertanyaan berikutnya... Saya Astuti, saya pengusaha batik. Pertanyaan saya ini sesungguhnya merupakan pertanyaan kebanyakan para lelaki yang tidak pernah bisa saya jawab. Pada kesempatan ini saya mohon kedua pembicara menjelaskan pada kami, yaitu mengapa harus dipatok tiga puluh persen? Mereka sering menantang, bukankah kita biarkan saja rakyat yang memilih. Berkompetisi sehatlah yang seharusnya diberlakukan. Jenis kelamin kan tidak penting, asalkan mengerti kemauan rakyatnya dan menjalankan amanah. Negeri kita membutuhkan orang-orang yang berdedikasi tinggi ! Begitu kata mereka. Saya bingung.....
Para pembicara mencatat dan mengumpulkan semua pertanyaan sebelum menjawabnya satu demi satu. Tiba-tiba seorang lelaki yang duduk di sudut, mengangkat sebelah tangannya tinggi-tinggi.
Nama saya Joko, saya pengusaha. Saya tidak begitu setuju dengan kuota-kuotaan. Yang dibutuhkan Indonesia bukanlah lakilaki atau perempuan. Kami butuh sosok yang berkualitas, anti KKN, dan bertanggungjawab. Tunjukkanlah bahwa memang kualitas calon wakil rakyat perempuan telah sama dengan yang lakilaki. Sistem kuota hanya akan menunjukkan bahwa ada pihak yang tidak 50 siap bersaing !
Jangan-jangan nanti para perempuan sama seperti badut politik lainnya yang terjun ke kancah politik praktis berebut kekuasaan dengan memanfaatkan isu diskriminasi gender sebagai kedok. Menurut saya, permintaan hak-hak istimewa seperti itu bukan solusi yang tepat karena tidak membuat bangsa ini dewasa secara politik. Jatah kursi yang diminta seperti itu akan menjadi bumerang dan jerat yang bisa mengusutkan perjuangan perempuan itu sendiri. Saya yakin, para srikandi Indonesia yang punya harga diri tidak mau dikasihani dengan cara begini. Kuota itu diskriminatif bagi laki-laki...! Terima kasih....
Masih belum puas dengan pertanyaan Pak Joko yang menggebu-gebu, sekarang giliran laki-laki berikutnya... Saya Abdullah, saya sependapat dengan saudara Joko tadi. Begini ya ibuibu....,kalau jatah-jatahan berupa kuota itu diberi angin, nanti jadi preseden buruk...., semua akan beranggapan....’wah kalau minta jatah...pasti dikasih kok !’ Bagaimana lembaga perwakilan rakyat akan menjadi sehat dan berkualitas ? Seharusnya para wakil rakyat itu datang dari orang-orang pilihan karena kualitas dan integritasnya, bukan karena faktor aturan gender. Apa itu gender ?!?
Bu Smara yang duduk di barisan depan mengernyitkan keningnya sambil memandang ke arah si penanya. .........Lho....bagaimana toh....kok dia malah nanya apa itu gender? Jangan-jangan dia nggak ngerti......Huh dasar bapak-bapak ini, yang datang sedikit, tapi giliran nanya.....berebut.....dan....ngotot sekali ?!.....
51
Tiba giliran para pembicara menjawab semua pertanyaan dan menjelaskan hal-hal yang dipahami secara salah tentang kuota 30 persen untuk perempuan di lembaga pengambil kebijakan publik.Bu Wardhana mendapat kesempatan lebih dulu. Terima kasih ibu dan bapak sekalian. Saya senang sekali karena pertanyaannya bagus-bagus ya? Kritis sekali. Hmmm....begini, saya akan menjawab semua pertanyaan sekaligus karena pada intinya semua sama mengarah kepada ketidaksetujuan pada adanya kuota tiga puluh persen itu. Saya ingin meluruskan pemahaman ibu dan bapak sekalian.
Sebagian besar peserta mengangguk. Di barisan depan, Bu Smara, Bu Tegar, dan Bu Dandan tampak berseri-seri. Kuota tiga puluh persen merupakan salah satu bentuk dari kebijakan affirmative action atau tindakan khusus sementara. Pengimplementasian kuota tersebut bukanlah tujuan akhir melainkan sarana atau alat untuk mencapai target yang lebih besar yaitu masyarakat yang demokratis. Adanya kuota itu tidak serta merta membuat perempuan tidurtiduran saja, tidak berbuat apa-apa lantas menjadi anggota wakil rakyat.............
...........Affirmative action atau tindakan khusus sementara bertujuan untuk memberikan peluang atau kesempatan pada kelompok-kelompok marjinal agar terintegrasi dengan masyarakat. Di negara lain contohnya India ada pembagian kasta, di Australia ada suku aborigin, dan bahkan di Amerika ada minoritas kulit hitam. Bila kelompok seperti ini tidak dibantu, tidak didukung, tidak dibela secara khusus, maka mereka yang dalam kehidupan sehari-hari sebagai
52
anggota masyarakat dan sebagai warga negara itu sudah terpinggirkan, akan terus tertinggal selama-lamanya. Nasib mereka selalu lebih buruk, dan mereka kesulitan mendapatkan akses di segala bidang kehidupan untuk bisa berkembang optimal sebagai manusia seutuhnya........
..........Karena mereka merupakan bagian masyarakat yang minoritas, maka mereka tidak bisa berkompetisi bebas atau dalam bahasa Inggrisnya disebut free fair competition. Ini awal gagasannya. Tetapi orang terus mempertanyakannya apakah bentuk seperti affirmative action yang diwujudkan dengan kuota 30 persen itu demokratis? Yaaa....seperti pertanyaan-pertanyaan tadi. Karena orang mengganggap bahwa demokrasi hanyalah persoalan ‘kompetisi bebas’, yaitu siapa yang berkompeten maka dia yang harus menjadi wakil rakyat, lantas orang lupa, atau mungkin kurang paham, bahwa demokrasi juga harus diartikan sebagai representasi atau keterwakilan, juga kesetaraan. Kalau semua maunya ‘kompetisi bebas’ berarti hanya yang mayoritas, yang kuat, yang dominan, yang punya dana besar, yang akan menjadi wakil kita..........
.........Indonesia ini sebetulnya plural, masyarakatnya terdiri dari berbagai etnis dan banyak agama. Kalau semuanya harus ‘berkompetisi bebas’ atau free fair competition, bagaimana dengan suara mereka yang lain dan minoritas itu bisa terdengar? Ide affirmative action atau tindakan khusus sementara dalam bentuk kuota salah satunya adalah demi kelompok marjinal dapat ikut serta dalam proses politik..........
53
.........Jadi kalau kita bicara kuota tiga puluh persen itu, ibu dan bapak sekalian..., tidak bisa lepas dari pemahaman akan perlunya affirmative action yang merupakan kebijakan, peraturan atau program khusus yang bertujuan mempercepat persamaan posisi dan kondisi yang adil bagi kelompok-kelompok termarjinal di mana perempuan menjadi bagian yang besar di dalamnya. Perlu dicatat pula bahwa tindakan khusus ini bersifat ‘sementara’ lho! Jika kesetaraan dan keadilan telah dicapai, maka tidak perlu lagi ada kuota...........
.
..........Coba ibu dan bapak sekalian bayangkan....Dalam kehidupan sehari-hari saja perempuan dan laki-laki bebannya sudah berbeda kan? Bagaimana para perempuan, khususnya mereka yang telah berumahtangga, bisa berkompetisi secara bebas dengan bapak-bapak? Untuk bisa keluar rumah saja, mereka harus membereskan dulu urusan-urusan di dalam rumah, mulai dari urusan sekolah anak, kebersihan rumah, sampai makanan. Kalau mereka tidak melakukannya sendiri, paling tidak mereka harus mengatur pembagian kerja dengan pembantu. Belum lagi, setelah keluar rumah seharian, pulangnya pun mereka harus bertanggungjawab mengontrol tugas-tugas sekolah anak-anak, dan lain sebagainya. Nah, dengan keletihan akibat beban ganda bahkan multi ganda tersebut, bagaimana perempuan akan bisa berkompetisi bebas dengan bapak-bapak yang tidak digayuti soal-soal seperti itu. Jika diibaratkan lomba lari, startnya saja sudah beda, mana adil............
..........Sejarah membuktikan sudah terlalu lama kesempatan yang didapat perempuan sangatlah berbeda dengan laki-laki. Sejak dulu perempuan dibelakangkan bahkan tidak disertakan secara adil dalam gelanggang politik. Politikus laki-laki telah lebih dulu ‘melesat’ sejauh-jauhnya karena memang kesempatan emas selalu ‘dipersembahkan’ kepada mereka untuk meraih kemenangan. Diskriminatifkah jika sekarang perempuan meminta agar start itu disamakan dengan hanya mengajukan jatah 30 persen? Bahkan jumlah itu sebagai suatu kesetaraan masih belum layak.........
54
Kebijakan affirmative action bukan sama dengan kuota, karena kebijakan ini bukan hanya sekadar merupakan persentase tertentu. Kebijakan affirmative action mempunyai dua sasaran yaitu memberi dampak positif kepada suatu institusi agar lebih bijak memahami dan sekaligus mengeliminasi atau mengurangi bentuk rasisme di segala aspek dalam dunia kerja dan menghilangkan bias gender dalam segala kegiatannya. Pengenalan sistem kuota bagi perempuan menggambarkan lompatan kualitatif ke suatu kebijakan mengenai cara dan tujuan yang pasti. Kaum perempuan berharap karena efisiensinya yang relatif, besar harapan akan terjadinya peningatan dramatis dari representasi perempuan dengan menggunakan sistem ini. Namun faktanya, pada Pemilu 2004 tidak sesuai harapan. Malahan ketika gagasan tentang kuota dimunculkan, berbagai pertanyaan serius pun lahir, berkembang, bahkan ditolak oleh sebagian pihak, khususnya laki-laki.
Seorang ibu, mengacungkan tanya, diikuti seorang peserta lain. Mereka antusias berebutan ingin bertanya lagi. Apakah wakil perempuan pasti lebih baik, dan apakah pemilih perempuan pasti pilih perempuan juga ?
Kenapa hanya 30 persen, kenapa nggak 70 persen gituuh....?
Kali ini giliran Pak Fatur yang anggota DPR RI itu berusaha menjelaskan. Ibu dan bapak sekalian.....,hmm....begini, kuota bagi perempuan dalam dunia politik tidaklah bisa dianggap sebagai sebuah bentuk diskriminasi terhadap laki-laki. Karena secara faktual keterwakilan perempuan dalam parpol dan dewan perwakilan rakyat masih sangat rendah, maka diperlukan aturan khusus yang ‘menyimpang’ dari prinsip kesetaraan di konstitusi kita yang memang amat miskin perspektif gender.......
55
...........Aturan untuk perempuan aktivis parpol dengan perspektif gender itu seharusnya memang dirumuskan dalam Undang-Undang Parpol. Kita harus memberi penghargaan kepada perjuangan ibu-ibu dari gerakan perempuan yang tergabung dalam LSM, akademisi, anggota ormas, perempuan parpol, Kementerian Pemberdayaan Perempuan RI, serta beberapa perempuan yang berada di dalam parlemen, khususnya mereka yang terlibat dalam panitia kerja. Ibu-ibu yang militan itu telah sangat giat melakukan advokasi berupa lobby, hearing, kampanye, bahkan melakukan aksi damai turun ke jalan sampai akhirnya mereka berhasil mendesak kami di DPR untuk melakukan revisi atas Undang-Undang Parpol No.31 tahun 2002 menjadi Undang-Undang Parpol yang baru nomor 02 tahun 2008 khususnya pasal yang memuat secara tegas ketentuan wajib ada 30 persen perempuan di kepengurusan parpol, meski belum di setiap tingkatan. Kita juga berterimakasih pada para anggota dewan di pusat yang telah bekerja keras untuk mendengarkan aspirasi kelompok perempuan dengan menyusun aturan tentang keterwakilan 30 persen perempuan di parpol. Jadi saat ini bukan saatnya lagi mendebat soal kuota 30 persen itu karena kami sudah ketuk palu untuk menyetujuinya..! Begitu juga dengan Undang-Undang Pemilu.
..........Angka 30 persen bukanlah angka yang jatuh dari langit, tetapi angka yang dimunculkan berdasarkan riset di berbagai negara yang keterwakilan perempuan mereka lebih berimbang daripada di Indonesia. Tentu saja jumlah 30 persen itu selayaknya terdiri dari para perempuan yang dipilih karena memiliki komitmen untuk meningkatkan harkat dan martabat kaum tertindas, yang sebagian besar terdiri atas kaum perempuan. Angka 30 persen adalah batas kritis jumlah yang harus dipenuhi. Sudah terbukti di seluruh dunia bahwa negara yang keterwakilan perempuannya kurang dari 30 persen, perbaikan nasib perempuan dan kaum terpinggirkan tidak pernah dilakukan secara optimal. Sangat berbeda dengan negaranegara yang bahkan telah melampaui angka keterwakilan 30 persen itu..........
56
..........Inti dari tindakan pro aktif terhadap perempuan bukan untuk mengambil alih semua posisi lakilaki, tetapi menciptakan kondisi yang adil dan berimbang dalam kemitraan dua lawan jenis. Banyak perempuan di Indonesia memiliki kualitas sangat baik tetapi mereka tidak diberi kesempatan dan dukungan yang bisa mendorong mereka untuk dapat meraih posisi strategis...........
.........Ibu dan bapak sekalian..., harus saya akui bahwa proses pengambilan keputusan di dewan perwakilan rakyat sering harus diselesaikan dengan mekanisme voting atau pengumpulan suara terbanyak. Jika jumlah anggota perempuan dalam dewan kurang dari 30 persen, sebagus apapun kualifikasi individual mereka, akan sulit menghadang dominasi suara para laki-laki wakil rakyat yang tidak punya perspektif gender untuk meraih perubahan sebagaimana yang kita inginkan.......
.........Tentang wakil perempuan apakah lebih baik, saya pikir yang lebih baik itu bukan persoalan jenis kelaminnya. Bisa saja seorang wakil rakyat laki-laki lebih punya perspektif akan kesetaraan dan keadilan gender dibandingkan rekannya yang perempuan. Toh tidak terlalu berguna juga wakil rakyat perempuan tampil jika ia justru tidak berperspektif kesetaraan dan keadilan gender, atau tidak punya pemahaman mendalam tentang isu-isu perempuan yang harus diperjuangkan. Wakil rakyat perempuan juga harus punya kesadaran bahwa dalam menjalankan amanah, ia tidak semata memfokus pada warga perempuan tetapi pada keseluruhan tatanan bermasyarakat dan bernegara. Penghapusan ketidakadilan hanya bisa dicapai jika hal itu menjadi agenda bangsa.........
57
..........Logikanya, proses demokratisasi sangat bergantung pada pencapaian perjuangan menegakkan keadilan gender. Sebaliknya, keadilan gender hanya bisa tercapai kalau ada demokratisasi yang berawal dari dalam ruang domestik atau rumah tangga.......
Seorang peserta perempuan mengangkat tangan... Negara mana saja yang sukses menerapkan sistem kuota, dan bagaimana mereka meraihnya ?
Kali ini Bu Wardhana yang menjawab.
Swedia dan beberapa negara Skandinavia lainnya adalah contoh yang sangat baik dalam hal ini, dan sudah berlangsung lama. Di Swedia ada lho kebijakan yang begitu mendukung dan memperhatikan ibu-ibu hamil. Begini, di sana bapak-bapak diwajibkan mengambil cuti ketika istrinya melahirkan sampai sesudah melahirkan. Kepada si bapak, perusahaan wajib memberikan uang cuti dan cuti itu tidak boleh ditolak oleh si bapak atau suami. Maksudnya apa? Agar dalam situasi berat yang dihadapi istrinya saat melahirkan dan setelahnya, suaminya berada di sampingnya dan bisa membantu segala sesuatunya. Jadi aturan cuti tersebut benar-benar menekankan kewajiban seorang suami atas istrinya. Di sana upah atau gaji pembantu rumah tangga mahal sekali. Ini adalah contoh sebuah kebijakan properempuan dari negara yang keterwakilan perempuannya di parlemen telah mencapai sekitar empat puluh persen...........
58
.............Nah, ada sebuah negara yang berhasil mencapai jumlah keterwakilan perempuannya langsung sebesar 48 persen yaitu Rwanda. Fenomena Rwanda ini menggemparkan, begitu juga dengan Afrika Selatan. Hmmm....yang perlu diingat, setiap negara memiliki pengalaman berbeda, tidak bisa disamakan begitu saja dengan Indonesia. Swedia 20 tahun yang lalu, kondisinya sama dengan di sini, ibu-ibu urusannya hanya di wilayah domestik. Tetapi sekarang mereka telah berubah dan masyarakatnya sangat akomodatif terhadap konsep kesetaraan dan keadilan. Gerakan perempuan mereka kompak dan luar biasa tangguh. Di sana, parpol-parpol besarnya menjadi pelopor dalam mendukung tindakan afirmatif bagi perempuan yang kemudian diikuti oleh parpol lain........
.............Perancis sejak tahun 2002 memperkenalkan undang-undang yang menetapkan jumlah perwakilan perempuan di parlemen nasional dan daerah sebesar 50 persen. Di Afrika Selatan, kesuksesan itu didorong oleh adanya transisi politik yang membawa peluang untuk perubahan. Waktu itu partai African National Congress yang menjadi pemenang justru yang memelopori pengadopsian tindakan afirmatif dengan kuota. Di samping itu, kita juga bisa lihat bahwa sistem pemilihan umum yang diterapkan di sana juga mendorong upaya keterwakilan perempuan.
.............Jadi, kalau ada satu parpol besar yang kuat dan berani mengadopsi konsep tersebut, itu bisa sangat menguntungkan. Tindakan afirmatif ini kan bukan hanya untuk parpol tetapi juga untuk kebijakan publik secara umum dan dilakukan secara simultan. Bisa di eksekutif, di birokrasi, di judikatif, juga di pemerintahan lokal. Di Inggris, Partai Buruh menggunakan seluruh daftar perempuan untuk pencalonan di distrik-distrik pinggiran pilihan pada Pemilu tahun 1997 yang telah menyumbangkan peningkatan dua kali jumlah perempuan di parlemen negeri itu antara tahun 1992 dan 1997. Tindakan afirmatif dengan kuota juga diberlakukan di delapan negara Amerika Latin yaitu Brazil, Bolivia, Kosta Rika, Republik Dominika, Equador, Panama, Peru, dan Venezuela dengan meminta parpol menyediakan antara 20 sampai
40 persen kandidat perempuan. Bahkan Argentina telah menerapkan kuota wajib dengan memberikan 30 persen ‘nomor jadi’ bagi calon legislatif perempuan mereka. Luar biasa.......
59
Penanya terakhir, seorang mahasiswa... Kita sudah pernah punya perempuan presiden, perempuan gubernur, perempuan bupati, perempuanperempuan menteri, apakah posisi itu tidak cukup? Kenapa mereka tidak berhasil membawa perubahan yang berarti ?
Pak Fajar memberi kesempatan kepada Bu Wardhana menjawabnya. Yang harus kita lihat adalah jumlah sedikit para perempuan yang selama ini telah memperoleh posisi strategis dalam lembaga pengambil kebijakan publik, mulai dari anggota legislatif, presiden, gubernur, bupati, dan menteri itu masih belum mampu mengangkat permasalahan perempuan menjadi masalah yang prioritas jika dibandingkan dengan isu lainnya. Mereka memang perempuan pintar dan hebat. Tetapi pintar dan hebat saja tidak cukup jika tanpa dibarengi dengan kepekaan dan perspektif akan kesetaraan dan keadilan gender. Ini adalah salah satu syarat penting yang kita wanti-wantikan kepada calon-calon perempuan wakil rakyat mendatang. Kuota saja tidak cukup! Untuk apa kita pilih calon perempuan kalau si calon itu sendiri tidak punya ketertarikan serta tidak paham pada isu-isu perempuan ?
............Sebagai pemimpin rakyat seharusnya mereka bisa menggunakan otoritas yang dimiliki untuk mengadvokasi permasalahan perempuan, menaruh empati dan perhatian besar. Kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan, penindasan atas para perempuan pekerja migran yang sering menyebabkan kecatatan bahkan kematian,‌ ‌perdagangan perempuan dan anak atau trafficking adalah masalah politik, bukan semata-mata masalah privat yang dengan mudah kita tunjuk sebagai risiko atas pilihan profesi mereka........
60
............Ibu dan bapak sekalian, usaha kita meningkatkan keterwakilan politik perempuan berarti juga meningkatkan efektivitas mereka dalam memengaruhi keputusan-keputusan politik yang akan dapat menjamin hak-hak kelompok tertindas di mana sebagian besar perempuan berada di dalamnya. Selain itu, keterwakilan mereka dalam jumlah yang cukup diharapkan bisa ikut menentukan pengalokasian berbagai sumber daya yang ada untuk meningkatkan kualitas hidup manusia Indonesia.
Rocky Gerung, pengamat sosial dan politik yang juga dosen filsafat Universitas Indonesia, dalam sebuah seminar nasional yang diselenggarakan Kaukus Perempuan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPD) menyampaikan pernyataan keras (yang penuh dukungan terhadap perempuan) bahwa kuota 30 persen perempuan di parlemen adalah cicilan pembayaran atas utang peradaban terhadap perempuan. Utang yang tidak dibayar selama berabad-abad itu sekarang harus mulai dicicil, tanpa bunga. Ia juga menyadari, pekerjaan menagih hutang tersebut bukan pekerjaan mudah karena hutang itu berupa segala bentuk kekerasan yang menuju kepada diskriminasi di semua lini kehidupan, secara budaya, sosial, politik, dan ekonomi. Rocky juga mengatakan bahwa untuk menghapus diskriminasi itu, para perempuan harus mampu melompati tembok tebal yang menghadang yaitu tembok budaya dan ideologi patriarki, bahkan dari ruang yang paling pribadi yaitu rumah sendiri. Lapisan tembok lainnya tidak berdiri sendiri karena komponen budaya telah teraduk sempurna di setiap lini kehidupan. Untuk sampai ke medan lapang menuju garis awal yang sama memulai perjalanan politik di ruang publik bersama laki-laki merupakan perjalanan panjang dan penuh tantangan. Banyak perempuan yang kehilangan stamina di tengah jalan dan menyerah untuk melanjutkannya. Mereka menjadi lemah dalam intensitas dan mobilitas. Sementara itu, laki-laki politisi yang tidak mau berbagi kekuasaan politik di ruang publik dapat menyusun berbagai strategi untuk menghalangi langkah perempuan. Jadi diperlukan keberanian bersikap kritis, bertanggungjawab, loyalitas, dan strategi perempuan politikus untuk mengawasi mekanisme di dalam dan di luar parpol mereka masing-masing karena ketika para laki-laki politisi memberikan kursi kepada anggota perempuan untuk duduk di parlemen, toh sesungguhnya mereka
61
menginginkan secara substansial tidak mengganggu kekuasaan mereka (status quo). Ada kesejajaran maksud antara pendapat Rocky Gerung dan Jean Kirckpatrick, ahli politik, yang telah sejak lama mengingatkan dalam bukunya “Political Women” (1974) bahwa masyarakat tidak pernah melarang perempuan untuk berperan sebagai pencari nafkah. Laki-laki pun tidak melarang perempuan untuk berpartisipasi dalam politik, tetapi “hanya” merintangi upaya mereka untuk berpartisipasi dalam kekuasaan. DI MANA PEREMPUAN BISA BERPARTISIPASI EFEKTIF DALAM POLITIK ? Di sini tempat-tempatnya: ♦ ♦ ♦ ♦ ♦
♦ ♦
Partai Politik Parlemen (Dewan Perwakilan Rakyat di tingkat nasional, provinsi, kabupaten/kota) Birokrasi (Pemerintahan: eksekutif, yudikatif) Media massa Civil society, organisasi keagamaan Akademi (Dunia pendidikan) Dunia usaha (swasta) MENGAPA PARTAI POLITIK MERUPAKAN LEMBAGA YANG STRATEGIS BAGI PEREMPUAN?
Demokrasi merupakan suatu proses reformasi yang tiada akhir, yang harus diupayakan untuk bisa mencapai kesempurnaan, betapa pun sulitnya. Partai politik dan Dewan Perwakilan Rakyat (legislatif) adalah lembaga inti di semua negara demokrasi. Di banyak negara yang menyebut dirinya sebagai negara demokrasi justru sering terjadi rakyatnya kurang memahami makna keberadaan dua lembaga tersebut. Pada faktanya, badan legislatif dan kebanyakan partai politik sering tidak memiliki struktur-struktur yang representatif, lemah dalam menerapkan proses demokrasi, lemah sumber daya manusia, dan miskin dalam dana yang sangat dibutuhkan untuk dapat menjadi badan pembuat undangundang dan pengawas pemerintahan yang efektif, serta juga tidak memiliki keterwakilan yang pada akhirnya mengurangi legitimasinya. Tak ayal, kedua lembaga tersebut sering mendapat kritik pedas dari publik. Jika parlemen
62
dan partai politik tidak berfungsi dengan baik, maka demokrasi pun tidak dapat berproses dengan baik pula, malah berisiko “tergantikan� oleh sistem pemerintahan yang otoriter atau semi otoriter. APA FUNGSI PARPOL ? Parpol bisa menjadi salah satu elemen yang sangat sentral dalam demokrasi. Dalam teori maupun dalam pengalaman nyata, parpol dapat berfungsi sebagai “jembatan� antara masyarakat dan institusi-institusi negara. Parpol merupakan suatu organisasi yang berkarakter salah satunya adalah pencari kekuasaan agar bisa mengimplementasikan kebijakankebijakannya, menyuarakan berbagai aspirasi dan kepentingan yang ada dalam masyarakat. Untuk itu parpol membutuhkan sebanyak mungkin suara-suara yang mendukungnya. Melalui mekanisme ini pula, rakyat dapat menilai parpol mana yang paling mewakili aspirasi dan kepentingan politik mereka, untuk kemudian memutuskan memberikan dukungan, menyumbangkan suara bagi parpol tersebut. Jika aspirasi dan kepentingan politik khas perempuan hendak terangkat dan diperjuangkan dalam lembaga politik formal, maka parpol adalah alatnya dan pemilu merupakan mekanismenya. Partai politik merupakan jalur yang paling efektif dan dapat digunakan untuk meningkatkan jumlah keterwakilan perempuan secara signifikan. Parpol merupakan satu-satunya organisasi politik yang secara sah dapat ikut dalam pemilihan umum. Maka jelas pula, fungsi untuk peningkatan kapasitas perempuan politikus seharusnya ada pada parpol. Jika parpol menuntut caleg perempuannya harus berkualitas, itu artinya parpol pun sepatutnya melakukan kaderisasi promosi bagi perempuan untuk berkiprah di partai politiknya. Parpol pun hendaknya memfungsikan diri sebagai kawah candradimuka bagi kadernya dan lokomotif demokrasi yang menggerakkan terwujudnya kesetaraan dan keadilan gender. Kalau parpol diharapkan mewakili aspirasi dan kepentingan rakyat, maka pantas diartikan juga bahwa parpol mampu mengangkat aspirasi dan kepentingan perempuan. Namun pada faktanya, masih banyak kepentingan dan aspirasi perempuan parpol maupun konstituennya yang tidak terangkat jelas ke permukaan.
63
Sekembali dari acara seminar, Bu Smara dan Bu Dandan mampir di kantor Partai Menggapai Mimpi. Secara kebetulan mereka bertemu dengan Ketua DPC, Pak Sahari, yang amat ramah, kadang terkesan genit.
Kabar baik pak. Kami baru saja ikut seminar. Oh ya pak, masih ingat kan, ini Bu Dandan yang sudah bersedia bergabung dengan partai kita.
Bisakah kita ngobrol sebentar Pak? Apakah bapak ada waktu ? Ya bisa doooong......! Untuk ibu-ibu yang cuaantik-cuaantik ini mana mungkin saya tidak ada waktu.....Jangankan sebentar, lama juga saya mau. Ya Bu Dandan‌.?
Silakan duduk, apa yang bisa saya bantu ?
Waah...wah...dari manakah ibu-ibu ini ? Cantik-cantik sekali... Apa kabar ?
Oooo...yaa...., tentu saja saya ingat dengan ibu yang sangat cantik ini...he..he..he...
......Duh, kenapa pula yang diingat soal cantik? Apa nggak ada yang lebih penting di kepala Pak Sahari ini selain fisik perempuan? Apa dia pikir perempuan hanya senang dipuji karena kecantikkannya? Apa nggak ada cara memuji yang lain? Dasar........,huh, aku harus buktikan.....otakku juga berisi....! ..........Tuh kan..? Lagilagi....nyebutin cantik. Busyet, kayaknya lumayan ganjen nih bapak! Harus hati-hati.....,harus 64 hati-hati.....Dia nggak boleh dikasih angin, bisa ke-ge-er-an....
Kedua ibu hanya tersenyum ala kadarnya, karena mereka tidak ingin bereaksi berlebihan yang akan membuat Pak Sahari girang. Mereka berjalan tenang masuk ke ruang kerja ketua DPC. Begini pak, sebagai anggota baru, Bu Dandan ini secara jujur mengatakan bahwa dia belum terlalu yakin dengan parpol kita. Apakah parpol kita ini sudah benar-benar akomodatif terhadap berbagai persoalan perempuan, khususnya yang ada di kabupaten Tumbukmekar ini ?
........Waduuh, ternyata ibu ini nggak sekadar cantik! Dia kayaknya nggak mau cuma jadi kembang penghias! Aku harus hati-hati nih ! Yang seperti ini, jangan dibiarkan pergi....!
Betul sekali pak! Saya belum seratus persen sreg. Memang saya sudah bergabung, tetapi.....saya pikir.....bisa saja kan saya menjadi berubah pikiran kalau kenyataan di dalam parpol ini tidak sesuai dengan yang diomong-omongkan ?
Saya sudah mendengar banyak dari Bu Smara, tetapi saya perlu diyakinkan lagi tentang apakah aturan mainnya sudah kondusif, apakah berbagai kepentingan sudah diakomodasi....yaa paling tidak berpotensi untuk diakomodasi. Seberapa besar kemungkinan saya memperoleh posisi strategis di kepengurusan dan bagaimana aturan main untuk promosi kaderisasi? Apakah program partai ini jelas keberpihakannya pada perempuan dan apakah partai ini akan memperjuangkan saya dan perempuan lainnya? Saya tidak mau masuk parpol kalau hanya menjadi hiasan lho ...pak.
65
Hmmmm....yaa.....saya mengerti kekuatiran ibu. Harus saya akui, jarang lho , perempuan yang berani bersikap sejak awal seperti ibu ketika melangkah ke dalam parpol. Begini, memang tidak ada paksaan terhadap seseorang untuk bergabung ke dalam parpol. Mereka bebas untuk memutuskan masuk, tetap berada di dalamnya, atau berkendak keluar, jika memang merasa sudah tidak cocok lagi. Yang perlu saya tegaskan di sini adalah bahwa bekerja di parpol itu berarti berkeringat, bekerja untuk kepentingan masyarakat, membangun basis dukungan dari konstituen, membangun kepercayaan publik, memperjuangkan program yang menjadi kebutuhan masyarakat lewat partai dan kalau partai kami menang dalam pemilu maka program itu akan menjadi agenda strategis yang harus dilaksanakan. Tentu saja, ibu jangan malas dan merasa cape belajar. Bagaimana posisi perempuan di kepengurusan inti ?
Soal itu, jangan kuatir, karena hal itu sudah di atur dalam Undang-Undang Parpol yang baru bahwa kami harus memperhatikan sekurangkurangnya tiga puluh persen perempuan di dalamya. Ya kalau ibu memang mempunyai potensi lebih, loyalitas, dan sumbangan berharga bagi partai dibandingkan anggota lain, mengapa tidak ibu yang kami prioritaskan? Kami mencari perempuan-perempuan seperti ibu....
66
Nah Bu Dandan....., ibu sudah dengar sendiri kan dari bapak ketua? Saya menjadi saksi di sini, ha..ha..ha...Saya yakin sekali pak, Bu Dandan ini bisa ditingkatkan kemampuan dan skill politiknya. Saat ini kami bersama aktif membangun jejaring dengan beragam stakeholder, memperhatikan informasiinformasi terbaru bersama ibu-ibu lainnya juga.
Goood....goood....., kalau semua anggota perempuan kami seperti ibu-ibu ini, yaa...kami kan semakin nggak punya alasan menolak representasi perempuan.
Oh iya...iya...tentu..bu...!
Bu Dandan, anggota adalah basis sebuah parpol. Semakin banyak anggotanya, akan semakin kuat parpol kita karena akan semakin banyak ide, pendapat, kreatifitas, dan representasi. Semakin banyak anggota yang aktif dan banyak yang bersedia bekerja secara sukarela untuk parpol, maka kuatlah parpol tersebut. Untuk itulah kami harus berusaha menarik sebanyak mungkin anggota yang berpotensi seperti ibu dan merasa cocok dengan ideologi serta nilai-nilai dasar kami.
Tapiiii pak....., kader-kader yang ada sekarang ini menjadi tanggung jawab parpol lho! Kita jangan hanya maunya terima yang sudah matang dooong....Kita punya tugas merekrut, mendidik, dan melatih mereka, apalagi yang muda-muda itu... Pak Sahari, saya mau kehadiran saya dan teman-teman perempuan lainnya bukan sekadar untuk memenuhi kuota tiga puluh persen. Saya pun tidak mau dilibatkan setengah-setengah. Saya berjanji akan bekerja keras memberikan yang terbaik bagi parpol dan konstituen saya. Kami pun harus memikirkan bagaimana agar ibu puas dan setia menjadi anggota parpol kami. Akan tetapi, bukan hanya anggota, kami juga merekrut aktivis partai, fungsionaris partai, calon legislatif, dan staf profesional dari luar partai.
67
Bu Smara dan Bu Dandan mesem-mesem saja....
.........Apakah ini akan menjadi lip service lagi ?...........
Yang sering terjadi adalah lamaran dan tawaran parpol kepada para perempuan sering tidak didasarkan atas apresiasi parpol terhadap kaum perempuan, tetapi lebih kepada move politik untuk memperoleh simpati suara perempuan.
68
ENAM MENYIKAPI HAMBATAN INTERNAL DAN EKSTERNAL JIKA SUAMI “CEMBURU”
Jarum jam mengarah pada angka tiga. Siang menjelang sore itu udara di luar rumah sangat panas, tetapi masih kalah “hot” dari hati pak Payalahlo, suami Bu Smara. Ia gelisah, mondar-mandir di ruang tamu. Wajah Pak Paya kusam dan garis bibirnya membentuk huruf “U” terbalik. Ketika ditegur anaknya, ia malah menghardik, dan si anak pun ngacir. Tiba-tiba.... Assalamualaikum....pak..., aku pulang...., sedang apa ? Mana anak-anak...?
Wa’alaikunna salam....Ibu ini bagaimana toh ! Sudah sore begini baru pulang. Coba hitung, berapa jam sudah ibu keluar rumah sejak pagi ?
..........Wealaaaah..... kumat lagi nih cemburunya........Aku harus kalem......Sabaaar..., sabaaar.....
Lho..lho.., tenang dulu pak....Aku kan sudah bilang, hari ini ada acara seminar di LSM Perempuan Cintamani. Acaranya saja mulai jam sepuluh, selesai jam dua belas, dilanjutkan makan siang bersama. Dari sana aku dan Bu Dandan ke kantor DPC, ya wajarlah jam segini sampai rumah. Aku keluar rumah kan bukan mainmain, bapak tahu itu. Bukan baru hari ini aku aktif, tetapi Bapak seperti tidak bosan-bosannya menegur dan tidak juga mau mengerti.
69
Apa ibu tidak punya rasa bersalah meninggalkan rumah, aku, dan anak-anak terus-terusan? Rasanya, aku sudah cukup bersabar memberi kesempatan pada ibu, tetapi selalu saja ibu tidak peduli dengan kami. Memangnya ibu mau menjadi apa sih? Mau menjadi orang hebat yang berkuasa? Aku tidak suka ibu sibuk di partai politik. Orang-orang di parpol itu busuk semua. Bu...berapa kali aku harus bilang, sampai kapanpun laki-laki itu adalah pemimpin, bukan perempuan! Silakan ibu tanya pada ulama di mana saja !
Kalimat Pak Bulol berhamburan bagaikan keluar dari mitraliur. Bagian akhir dari rentetan ucapannya yang sedang marah itu membuat Bu Smara terbungkam dan terpojok. (“sampai kapanpun laki-laki itu adalah pemimpin, bukan perempuan!�). Sekuat hati, perempuan pejuang itu berupaya menenangkan diri, mendinginkan kepalanya, meski hatinya panas nggak karuan.
Ya Pak, sebentar....tenang dulu ya...Boleh kan aku ganti pakaian, mencuci muka, dan beristirahat dulu....Nanti boleh deh bapak lanjutkan ngomel. Kita sama-sama tenangkan diri dulu yaa.......
70
Setelah suasana reda sejenak, Bu Smara menghampiri Pak Paya yang masih saja cemberut bermuram durja... Oke pak...., aku bingung, setelah sekian lama aku aktif di parpol, kenapa bapak masih saja mempersoalkannya. Apa yang sebetulnya bapak kuatirkan dan takutkan dari aktivitasku selama ini ? Karena sekarang dan dulu berbeda. Aku melihat ibu sekarang semakin menggila saja. Frekuensi keluar rumah semakin tinggi. Dan aku perhatikan, posisimu semakin kuat di parpol itu. Tadinya kukira ibu hanya iseng-iseng mengisi waktu luang, tetapi nyatanya ibu kebablasan. Apa jadinya keluarga kita kalau ibu sudah benar-benar menjadi wakil rakyat yang super sibuk itu? Rapat sampai larut malam, ke luar kota berhari-hari, ke luar negeri malah, trus...kumpul dengan banyak laki-laki. Lantas bagaimana dengan aku ?
Ya ampuun bapak...., perjuanganku di dunia politik bukan sekadar untuk menjadi orang yang berkuasa, atau yang mengendalikan perintah saja. Aku ingin menjadi orang yang pantas dan mampu diembani amanah rakyat, menjalankannnya untuk kesejehteraan banyak orang. Anak-anak kita kan sudah besar, mereka sudah bisa mengurus keperluan mereka sendiri. Dan itu adalah hasil dari kerja sama kita kan ? Tugas mengasuh dan membesarkan mereka bukan hanya tugasku sendiri. Yang penting sekarang bukan kuantitas waktu tetapi kualitas dari hubungan kita dengan mereka. 71
Lantas bagaimana dengan rapat parpol yang malam-malam itu dan di sekelilingmu kebanyakan laki-laki? Apa kata para tetangga? Mereka selama ini sudah mencap kamu perempuan yang suka pergi pagi pulang tengah malam, tidak suka mengurus keluarga, tukang protes segala !! Aku risih mendengarnya...Mau ditaruh di mana mukaku, bu ?!
Lho....pak, memangnya aku melakukan hal negatif apa? Kondisi di parpol memang kurang kondusif bagi kami anggota perempuan. Itu kenyataannya. Tidak jarang rapat dimulai jam sembilan malam. Bagaimana pun kami anggota perempuan harus mengikutinya. Kalau kami pulang sebelum waktunya, akibatnya kami tidak tahu perkembangan rapat yang menyangkut hal-hal penting dan strategis. Kalau kami tidak bisa ikut terlibat dan memonitor, kami tidak akan tahu apa yang terjadi di menitmenit akhir rapat yang menentukan. Situasi itu bisa dimanfaatkan mereka yang mayoritas anggota laki-laki untuk mengambil keputusan-keputusan penting yang menguntungkan mereka saja. Kami yang minoritas ini kalau tidak bekerja keras dan terlibat aktif maka tidak akan ada pengakuan dan penghargaan bagi kami, pak...., mengertilah. Jika bukan kami yang memperjuangkan nasib perempuan, siapa lagi? Bapakbapak di parpol itu mana mau peduli. Kalau kami mau pulang, mereka akan berkata, ya silakan pulang, ‘gi deh sana !
Kan aku sudah bilang, persaingan di parpol itu keras, tapi ibu nekad saja, ya rasakanlah !
Duh..., seharusnya bapak mendukung ibu, bukan malah nyukurin kayak gitu ! Lagi pula apa iya aku tidak mengurus keluarga ? Aku sudah mendelegasikan urusan teknis di dalam rumah kepada orang yang bisa aku percaya dan mereka melaksanakannya dengan baik. Aku tetap berhubungan pakai handphone dengan anak-anak selagi di luar rumah. Di rumah pun aku tetap menyempatkan peduli pada mereka. Kepada mereka sudah ibu berikan pemahaman tentang jenis aktivitas ibu. Kalau mereka saja mau mendukungku, kenapa bapak tidak, dan kenapa omongan orang lain lebih bapak pedulikan ? 72
BUDAYA DAN TAFSIR AGAMA Keterlibatan perempuan dalam dunia politik bukanlah dimaksudkan untuk menjatuhkan, menurunkan, atau merebut kekuasaan dari tangan lakilaki, melainkan dimaksudkan agar menjadi mitra sejajar laki-laki. Sayangnya, dalam masyarakat muslim ada sebuah penafsiran dan pemahaman teks Al Qur’an yang bisa membuat kaum perempuan merasa terpojok, mengkeret, dan terdiam tiada daya. Salah satunya yaitu tentang QS.an-Nisa (4):34 yang menyebutkan: “Laki-laki adalah qawwam atas perempuan, dikarenakan Allah telah melebihkan sebagian mereka atas sebagian yang lain dan karena mereka (laki-laki) memberikan nafkah dari harta mereka.” Para mufassir menyatakan bahwa qawwam berarti pemimpin, pelindung, penanggung-jawab, pendidik, dan pengatur. Kelebihan yang dimiliki laki-laki atas perempuan yaitu akal dan fisik, lebih berani, lebih tegas. Dan kelebihan-kelebihan itu –menurut penafsiran mereka- bersifat fitri, alami, serta kodrati. Atas dasar pemahaman ini maka perempuan dianggap kurang layak menduduki posisi-posisi kekuasaan publik dan politik. Namun penafsiran dan pemahaman yang bersifat sangat manusiawi itu pada faktanya telah banyak terbantahkan dalam sejarah perjalanan manusia itu sendiri. Realitas sosial telah membuktikan bahwa banyak perempuan di muka bumi ini mampu melakukan tugas-tugas yang selama ini dianggap hanya bisa dilakukan oleh laki-laki. Lalu, benarkah yang dimaksudkan Al Qur’an pada hakikinya seperti yang ditafsirkan para mufassir (yang nota bene para laki-laki)? Apa yang dianggap alamiah dan kodrat dari sifat laki-laki itu sesungguhnya adalah produk konstruksi (bangunan) sosial dan budaya yang sengaja diciptakan manusia. Kyai Husein Muhammad, pemimpin Pondok Pesantren Darut Tauhid Arjawinangun, Cirebon, yang juga anggota komisioner Komnas Perempuan, dan aktif di Yayasan Puan Amal Hayati, menjabarkan dalam bukunya “Fiqih Perempuan” (2001) bahwa kita hidup di dunia yang tidak lagi bergerak dalam kemapanan dan stagnansi. Ada dialektika yang bergerak terus-menerus, dari kehidupan nomaden menuju kehidupan yang berperadaban, dari kerangka berpikir tradisionalis ke
73
berpikir rasionalis, dari pandangan tekstualis ke pandangan subtansialis, dari ketertutupan menuju keterbukaan, dan seterusnya. Kyai Husein –kyai pembela perempuan- mempertanyakan bagaimana kita harus menyikapi QS.an-Nisa (4):34 seperti yang disebutkan di atas ? Ia mengatakan bahwa dalam wacana pemikiran fiqh, maka ayat tersebut harus dipahami sebagai bersifat sosiologis dan kontekstual. Posisi perempuan yang ditempatkan sebagai subordinat (direndahkan) dari laki-laki sesungguhnya muncul dan lahir dari sebuah bangunan (konstruksi) masyarakat atau peradaban patriarki sebelum Islam datang. Pada masyarakat kala itu, perempuan tidak diberikan kesempatan untuk mengaktualisasikan diri dan berperan dalam posisi-posisi yang menentukan. Ayat Al Qur’an yang menempatkan perempuan pada posisi seperti itu di tengah masyarakat “jahiliyah” pada masa itu adalah tepat dan maslahat. Ayat-ayat Al Qur’an diturunkan Allah berdasarkan langkah-langkah tertentu yang strategis dan dilakukan secara gradual, evolusi, tidak revolusi. Oleh karena itu, akan menjadi kesalahan besar jika manusia selalu ingin memosisikan perempuan dalam setting budaya seperti zaman kegelapan dulu ke dalam setting sosial dan budaya saat ini. Artinya, perempuan dalam masyarakat modern tidak selalu bisa diperlakukan sama secara hukum sebagaimana yang diberikan kepada masyarakat masa lalu (yang ketika sebuah ayat diturunkan masih berada dalam situasi jahili). Yang menjadi tuntutan Al Qur’an adalah kemaslahatan dan keadilan, yaitu suatu keadaan ketika kita mampu memosisikan sesuatu secara proporsional dan kontekstual. Maka QS.an-Nisa (4):34 tidak lain merupakan bentuk atau petunjuk mengenai penerapan kemaslahatan pada situasi dan kondisi riil yang terjadi pada saat ayat itu diturunkan. Kenyataan sosial pada masa kini, sekali lagi, menunjukkan fakta-fakta bahwa kehebatan laki-laki dan kelemahan perempuan dari sisi intelektual dan profesi terus digugat dan diruntuhkan, meski tangan-tangan hegemonik laki-laki –secara sadar atau tidak- tetap berupaya mempertahankan superioritas dirinya. Kehebatan intelektual dan profesi merupakan dua hal yang menjadi syarat bagi diraihnya jabatan kepemimpinan dalam berbagai wilayah, domestik maupun publik. Tentu saja, jika perempuan telah mampu membuktikan kapasitasnya dalam hal intelektual dan profesi, maka seharusnya terbuka kesempatan luas bagi perempuan untuk menduduki posisi-posisi kepemimpinan publik. Kyai Husein tidak sendirian dalam membela hak-hak perempuan. Pejuang lain, salah satunya seorang perempuan Indonesia yang tergolong sangat berani dan vokal adalah Prof. Dr. Musdah Mulia, MA, APU, terusmenerus menguatkan kaumnya untuk tidak ragu melangkah dan menjadi pemimpin di ranah publik. Ia senantiasa membekali para perempuan dengan
74
pengetahuan teologi Islamnya yang sangat dalam. Musdah Mulia mengatakan bahwa pada tataran normatif umumnya para ulama sepakat menempatkan perempuan setara dengan laki-laki, yakni dalam posisi sebagai manusia, ciptaan, sekaligus hamba Allah SWT yang memiliki kemerdekaan penuh untuk melakukan ibadah, sama dengan laki-laki. Perempuan diakui memiliki sejumlah hak dan kewajiban, di antaranya hak untuk menikmati hasil usahanya, hak untuk meningkatkan kualitas dirinya melalui peningkatan ilmu dan takwa, serta kewajiban untuk melakukan amar ma’ruf nahi munkar menuju terciptanya masyarakat damai dan sejahtera. Akan tetapi, ironisnya, ketika pola relasi laki-laki-perempuan itu ditarik ke dalam tataran operasional yang bersifat praktis, muncul perdebatan panjang, sepanjang sejarah peradaban manusia itu sendiri. Secara normatif hak-hak itu diakui, tetapi pada penerapannya sering tidaklah sama. Ada upaya yang dibangun secara sistematis untuk menghadang laju langkah perempuan ke wilayah publik di “dataran-dataran yang tinggi�. Kita tahu, daya dan potensi dalam diri perempuan berkembang tidak terbendung lagi masa kini sebagai konsekuensi dari upaya peningkatan ilmu, aktivitas, serta kepedulian perempuan dalam beramal dan melakukan amar ma’ruf nahi munkar. Pada gilirannya, hal itu memberi peluang untuk meraih kedudukan dan jabatan tinggi di masyarakat, seperti jabatan hakim, jaksa, anggota parlemen, menteri, bahkan presiden. Di sinilah kemudian muncul persoalan mengenai keabsahan kepemimpinan perempuan secara teologis. Mari kita renungkan kembali salah satu contoh ayat yang dipaparkan Kyai Husein seperti di atas. Pada hakekatnya, agama selain menekankan aspek ibadah (hubungan manusia dengan Tuhan), juga memberi penekanan yang kuat pada aspek muamalat (hubungan antarmanusia). Pada aspek yang kedua inilah, dalam masyarakat kita, perempuan kerap diperlakukan tidak adil. Atas nama agama maka hak-hak ekonomi dan politik mereka dipasung. Kepentingan politis laki-laki telah meracuni penafsiran ayat-ayat suci, hadits, dan semangat moral dari sebuah kitab suci. Bias-bias patriarkisme –bahkan sering tidak disadari- terlanjur mengakar dalam sebagian besar masyarakat dunia, ironisnya terlebih pada masyarakat di negara yang mengakui diri sebagai masyarakat religius. Diperlukan keberanian moral untuk merekonstruksi pemikiran tentang perempuan dalam agama.
75
Selain penafsiran agama yang sering bias, tradisi masyarakat dan budaya pun tak jarang menjadi padanan yang dipaksakan, kemudian diinternalisasikan ke dalam benak setiap generasi. Bahwa peran perempuan sepantasnya hanyalah di ruang privat atau domestik. Bahkan dalam masa reformasi sekarang ini, dikotomi konsep ruang publik-privat masih juga mendominasi masyarakat Indonesia yang menyebabkan perempuan Indonesia harus berhadapan dengan praktik diskriminasi, marginalisasi, dan subordinasi di tengah panggung politik (parpol, proses pemilu legislatif, pilkada, pilkades, pilkadus, eksekutif, yudikatif, dan lembaga-lembaga lain). Norma budaya tradisional yang mengakar tentang peran “layak� perempuan, mengakibatkan sebagian besar perempuan setengah hati melangkah aktif di bidang politik (pengambil kebijakan publik). Banyak pula di antara mereka yang masuk dalam kancah politik dengan dibanduli peran multi ganda yaitu sebagai ibu rumah tangga, istri, perempuan berkarier, dan pencari nafkah utama. Peran yang bertumpuk tersebut telah menyebabkan aktivis perempuan tidak mempunyai intensitas dan mobilitas setinggi aktivis politik laki-laki.
76
ELIT PARPOL “SETENGAH HATI” MENDUKUNG PEREMPUAN Departemen Perempuan Tanpa Otoritas Siang itu, Bu Smara, Bu Dandan, dan Bu Tegar makan siang bersama di restoran ayam goreng kegemaran mereka. Ketiganya menyadari, waktu persiapan menjelang pemilihan umum legislatif tinggal setahun. Meski berbeda parpol, Bu Smara dan Bu Tegar tetap menjalin persahabatan. Kedua ibu ini menyadari bahwa persaudaraan dan persahabatan sesama perempuan mengandung kekuatan penuh yang bisa memperbaiki nasib kaum mereka yang tertindas. Jikalau kaum perempuan bersatu di dalam perjuangan, maka mereka akan menjadi sebuah gerakan militan yang berdaya dobrak sangat kuat dan tak terbendung. Para feminis menyebutnya “sisterhood is powerfull”. Bu Tegar berujar seraya mengunyah daging ayam goreng dan nasi putih hangat.
77
Sebenarnya posisi saya cukup kondusif sebagai bendahara parpol. Tetapi saya menyadari, tradisi yang ada dalam parpol saya adalah tradisi yang terbentuk dari sebuah budaya yang sangat memuja low profile. Artinya, ketika kita mempunyai atau melihat ada faktor-faktor kesempatan, kita tidak musti merebut itu sebagai sebuah peluang, tetapi kita lebih harus melihatnya......di bagian mana kira-kira kita pas dan kemudian semua orang akan mengatakan, “ya di situ tidak akan merugikan banyak orang!� .Dan kemudian orang-orang di dalam partai akan menjadi lebih senang terhadap kita. Menurut saya, itu adalah stereotip dari sebuah budaya terhadap perempuan. Yaaa....tentu saja merugikan. Dan itu saya rasakan sejak awal saya bergabung di partai saya.... Ya...begitulah ! Dengan keadaan seperti itu, saya berusaha tetap bekerja keras agar saya diakui. Selain itu, saya menganggap laki-laki dalam partai saya sebagai teman. Saya memilih melakukan gerakan yang persuasif, tidak mau agresif. Ya, saya harus menyusun strategi sendiri, menyesuaikan diri dengan keadaan kan ? Begitu nggak Bu Smara ?
Hmmm berarti...., kesempatan yang ada harus diartikan tidak sebagai peluang, tetapi harus dipertimbangkan apakah lingkungan menyetujui atau merestui ? Waduuh....begitu ya kondisi di parpol Bu Tegar ?
Betul sekali Bu Tegar ! Saya memang diletakkan di Departemen Perempuan, bahkan menjadi ketua. Tapi, apa daya, departemen ini dibuat tetap bergantung soal keputusan pada level pengurus harian. Saya maunya, kalau kami punya program yang bagus, yang strategis, parpol mendukunglah. Faktanya, otoritas mengambil keputusan pun tidak ada pada saya.
78
Hahaha....di parpol saya juga begitu. Departemen Perempuan hanya mengurus perempuan saja, dan tidak ada apresiasi pejabat tinggi parpol terhadap departemen tersebut. Coba tanyakan kepada teman-teman perempuan di parpol-parpol lain, yah...sama saja deh! Keberadaan kita tidak dianggap! Sebenarnya kan sayang, karena sebenarnya banyak hal yang bisa dilakukan di situ, malah jadi mandul. Susah juga sih kalau tidak didukung. Mau bikin kegiatan kaderisasi misalnya, kita harus mencari dana ke sana ke mari, susahnya minta ampun. Elit parpol kita mana peduli ?!!
Pembentukan Departemen Perempuan dalam parpol seharusnya berperan antara lain: o sebagai forum untuk mendiskusikan masalah-masalah khusus yang dihadapi perempuan dalam melaksanakan aktivitas partai; o mengorgansisasi di tingkat akar rumput terutama perempuan dengan tingkat pendidikan rendah, sehingga mereka sadar akan hak politik dan hak sipil mereka dan mau berpartisipasi dalam kehidupan politik; o menyiapkan perempuan ikut serta dalam pemilu (memilih dan dipilih); o melatih perempuan untuk menjadi kandidat partai di berbagai tingktan (lokal, provinsi, dan nasional). Pelatihan mencakup sistem pemilu, kampanye, berhubungan dengan media, dst; o menjalin jaringan kerja (network)untuk mendukung kandidat perempuan dalam pemilu dan anggota legislatif perempuan yang terpilih.(Ani Soetjipto, 2005) Jadi, kalau begitu......parpol-parpol itu meletakkan anggota perempuan dalam departemen perempuan hanya untuk mendukung kebijakan parpol dan mendulang suara bagi parpol saat pemilu? Lha, peran yang seungguhnya dari deparatemen perempuan tidak terwujud kalau begitu. Bu Smara....Bu Tegar.....kok mau sih dibegitukan ?
Dua ibu saling berpandangan, nggak bisa menjawab. Bu Tegar berusaha menjelaskan.
79
Memang....payah banget !! Bayangkan, di parpol saya, departemen perempuan banyak melakukan aktivitas silaturohim, pengajian, dan kegiatan sosial. Sekilas aktivitas parpol jadi kelihatan ya ? Tetapi sesungguhnya, yang dilakukan perempuan itu tidak sebanding dengan kesempatan yang kami dapat di dalam parpol. Lihat saja pada pemilupemilu lalu, kesempatan dan akses yang diberikan kepada aktivis perempuan tidak maksimal kok ! Departemen yang katanya mengurus masalah dan kepentingan perempuan itu justru tidak memperjuangkan perempuan, suara perempuan di dalamnya tidak signifikan. Mereka tenggelam dalam hiruk pikuk dominasi suara laki-laki.
Mengadakan atau membentuk Departemen Perempuan dalam parpol tanpa memberikan otoritas kepada para pejabatnya, maka sama dengan tidak memberi peluang bagi kemampuan memobilisasi sumber daya manusia maupun uang untuk memperoleh hasil yang diinginkan. Departemen Perempuan tanpa otoritas tidak akan pernah memperoleh hasil yang berbanding lurus antara kegiatan dengan kesempatan dan akses bagi aktivis perempuan dalam parpol.
Jabatan Struktural Parpol Didominasi Laki-Laki
Sambil menyantap hidangan, Bu Dandan menyerap perbincangan yang berisi pengalaman penuh harga dari kedua temannya yang lebih berpengalaman. Ketua umum parpol saya pernah mengeluarkan sebuah instruksi harian yang salah satu isinya mengharuskan penyertaan perempuan dalam penyusunan komposisi pengurus Dewan Pimpinan Cabang. Katanya, penyertaan kader-kader perempuan dan laki-laki haruslah satu banding lima. Namun apa kenyataannya? Di tingkat pelaksanaan, instruksi itu tetap tidak mampu mengakomodasi kebutuhan peningkatan representasi politik perempuan dalam kepengurusan DPC.
Kira-kira apa penyebabnya, Bu Smara ?
80
Yah, karena parpol saya ternyata masih menetapkan komposisi pengurus DPC sebagaimana yang tertuang dalam AD/ART parpol yang tidak ada secara spesifik menyebut aturan tentang hak dan kesempatan anggota perempuannya. Di sisi lain parpol tidak mempunyai mekanisme pengawasan untuk pelaksanaan instruksi dari DPP ke seluruh jajaran struktural parpol. Dari pengalaman itu, tidak sulit menyimpulkan bahwa aturan pokok parpol dalam AD/ART merupakan kunci utama yang menentukan bisa atau tidaknya perempuan mendapatkan kesempatan secara legal formal untuk berpartisipasi secara adil dengan laki-laki. Budaya politik yang sangat didominasi kepentingan laki-laki akan semakin mengakar karena parpol tidak mencantumkan aturan yang lebih memungkinkan peningkatan peran politik perempuan dalam aturan dasar parpol.
Aduuuuh....begitu amat sih...!! Menyebalkan banget..!!
Kalau di parpol saya, memang ada kriteria bagi setiap kader parpol untuk menempati jabatan-jabatan pengurus, misalnya mempunyai massa minimal seribu orang, berkontribusi pada partai berupa barang atau uang, keaktifan yang ditandai dengan keikutsertaan dalam kegiatan-kegiatan, dan tingkat pendidikan. Tetapi tetap saja hak prerogatif ada di tangan ketua Dewan Pengurus yang sering banget pertimbangannya tidak mengikuti aturan yang terbuka, transparan, dan adil. Tetep aja KKN. Apalagi kita perempuan, ya berjejer di garis pinggir saja. Cape deeee......!!
81
Iya...sama ! Lha, mau tidak mau, orang yang punya watak seperti saya pada akhirnya memang harus dipinggirkan. Saya hanya menjadi ketua departemen, saya nggak bisa tembus sampai ke pengurusan inti karena saya tidak mampu melakukan pendekatan kepada big boss partai. Saya paling ogah kalau harus sungkem-sungkem gitu lho. Males banget !
Bu Dandan penasaran...
Tapiiii.....memang harus kita akui juga, secara menyeluruh sumber daya perempuan di parpol masih sangat kurang. Kebanyakan perempuan enggan kalau disuruh agresif, misalnya berebut jabatan, berebut kursi di pemilu, dan sebagainya. Perempuan tuh nggak mau tunjuk tangan, maunya ditunjuk. .!
Jadi, kita harus melakukan apa teman ?
Salah satu cara meruntuhkan gaya maskulin dalam parpol adalah dengan menghadirkan perempuan dalam jumlah berarti di posisi penentu kebijakan. Dengan demikian, perempuan akan mempunyai kekuatan memainkan posisinya sebagai manusia yang mandiri, dan mampu menelurkan kebijakan yang sepenuhnya memihak kepada golongan perempuan tertindas. Kehadiran perempuan dalam jumlah signifikan di panggung politik akan lebih dekat dengan prinsip saling menghormati, berkolaborasi, dan menghasilkan konsensus.
82
Kalau kita harus menunggu saja kemauan dan ketulusan para petinggi parpol, maka mimpi dan harapan kita akan sulit menjadi kenyataan. Saya kepikiran nih, bagaimana kalau kita secara berkesinambungan melakukan peningkatan kapasitas para kader perempuan lintas parpol, minimal yang ada di kabupaten kita?
Bergerak membutuhkan dana. Dari mana Kita bisa dapat uang, Bu ?
Kita juga harus mendekati wartawan Bu, agar mereka lebih banyak menulis tentang kita, dan mengkritisi kinerja serta implementasi fungsi parpol. Bukankah Undang-Undang Parpol terbaru yang nomor 2 tahun 2008 itu sudah menetapkan aturan persentase keterwakilan perempuan sekurangkurangnya tiga puluh persen di tingkat kabupaten dan kota? Bahkan di tingkat nasional aturan itu bersifat wajib! Parpol memang harus lebih banyak disorot agar masyarakat bisa lebih mudah melakukan penilaian sebelum memilih nanti. Bukan begitu Bu Smara ? Kita bekerja sama dengan LSM yang dipimpin Bu Gandasuli. Biar dia yang membuat proposal untuk mencari dana bagi penyelenggaraannya ke lembaga donor. Bu Gandasuli itu kan mahir bikin proposal. Hmmm....,tapi kegiatan seperti ini harus menjaring kader perempuan dari semua parpol yang ada. Kita sangat membutuhkan peningkatan kapasitas yang benar-benar terarah kan? Sudahlah, kalau parpol kita kurang memperhatikan hal-hal seperti ini, apa boleh buat, kita mencari sendiri. Bagaimana, setuju?
83
Yah...yah...begitu... Betul...bu Dandan ! Untuk mengubah budaya dan sistem yang tidak kondusif dalam parpol, kita membutuhkan power. Kalau jumlah kita masih saja minoritas di dalamnya, kita nggak akan pernah punya kekuatan untuk melakukan perubahan yang bermakna.
Kita harus mencari dukungan publik, dukungan dari civil society organization, media massa, akademisi, organisasi massa keagamaan yang besar-besar itu lho, juga para birokrat, dan.....keluarga kita sendiri ! Saya berusaha terus membangun kekuatan yang ada di dalam diri sendiri. Buat saya, diri saya adalah keluarga saya. Itu akan menghapus segala rintangan yang ada di luar sana. Bagaimana perempuan bisa terbang bebas untuk maju kalau pasangan kita reseh ?!
Ha..ha..ha..ha.......itu yang pertama kali harus kita hadapi...!! Saya tahu, suami saya itu, di dalam hatinya merasa takut tersaingi. Ia kuatir posisinya akan tergeser sebagai yang orang berkuasa di rumah. Saya juga tahu, kalau selama ini ia mau mengantar ke sana-sini, itu lebih karena ia ingin mengawasi. Setiap saya ada kegiatan di luar kota, duh..HP saya berdering terus hampir setiap jam. Ada juga rasa tidak senangnya terhadap temanteman saya yang juga aktif. Kalau kami sedang diskusi di rumah, ia mondar-mandir seperti satpam..! Nyebelin nggak sih ?
Ha..ha..ha..Lha iya lhaaaa.....nyebelin yang kayak ‘gitu..!!
84
Kita harus berbagi secara proporsional dengan suami. Urusan domestik kan bukan hanya tanggung jawab perempuan. Payahnya, di masyarakat kita peran itu dibakukan. Ini yang membuat kita sulit bersaing dengan laki-laki. Mereka bisa masa bodoh dengan urusan rumah, fokus pada urusan luar rumah. Mereka bilang tugas ibu di rumah adalah kodrat. Bagaimana kita bisa mengejar persamaan dengan laki-laki kalau kita selalu harus lebih dulu pontang-panting melaksanakan ‘kodrat’ di rumah, sementara laki-laki bisa ngacir begitu saja mengejar mimpinya.
Kita mau saja dibodohi sejak dulu. Kodrat itu kan pemberian Tuhan yang tidak dapat dipertukarkan, tidak dapat diubah oleh manusia. Kodrat perempuan hanyalah punya rahim, menstruasi, mengandung, melahirkan, dan menyusui. Itulah kodrat, karena hal itu tidak bisa dipertukarkan dengan laki-laki sampai dunia kiamat. Tetapi berperan mengurus rumah tangga itu adalah konstruksi sosial dan budaya. Itu adalah peran yang bisa kita pertukarkan antara perempuan dan laki-laki. Bisa diaturlah! Mana ada kodrat seperti itu! Al Qur’an saja tidak menyebutkan pembagian peran laki-laki dan perempuan dengan dikotomi publikprivat kan ? Hebat Bu Tegar ! Semua perempuan harus menyadari itu. Kalau tidak, mereka hanya menerima saja nasib ‘dikodratkan’ buatan manusia. Yang membedakan hanyalah kadar ‘kadaluwarsanya’
Maaaaksud... Bu Smara…?? He..he..., maksud saya, perempuan kan punya sel telur. Nah, sel telur itu seperti susu dalam kemasan, ada waktu kadaluwarsanya, sementara sperma laki-laki seperti minuman anggur dalam botol, bisa bertahan sangat lama dan sampai tua pun masih dapat digunakan. Tetapi inilah tanda kasih sayang Tuhan yang tak terhingga pada mahlukNya khususnya kaum perempuan. Bayangkan saja, kalau sampai nenek-nenek, kita masih bisa hamil, apa nggak kepayahan dan betapa menderitanya kita ? Iya kan ? Ha..ha...ha...”
Ha...ha...ha....benar banget......!
85
Tidak Pernah Ada Dukungan Dana Dari Parpol
Bu Smara..., Bu Tegar..., ngomong-ngomong.....saya kuatir.... apakah uang saya cukup ya untuk semua biaya operasional yang akan saya tempuh nanti? Kalau saya kekurangan uang bagaimana ?
Ini dia pertanyaan yang paling sulit dijawab oleh kedua ibu yang meski telah memiliki pengalaman lebih lama dari Bu Dandan, tetap saja gagap kalau harus menjelaskannya. Dalam “Women in Parliament Beyond Number”, Azza Karam (1999) menegaskan bahwa meskipun partai-partai politik memiliki sumber-sumber untuk menyelenggarakan kampanye pemilihan, perempuan tidak memperoleh keuntungan dari sumber-sumber itu. Parpol tidak pernah memberi dukungan dana yang memadai untuk kandidat perempuan. Pernyataan di atas bisa dikaitkan dengan UU Pemilu RI yang menyebutkan bahwa sumber dana kampanye bagi partai dan calon legislatif sebenarnya terbuka luas. Dana bisa berasal dari perorangan yang merupakan simpatisan, kerabat, kolega, atau siapa saja yang mendukung pencalonan. Selain itu, dana juga bisa berasal dari badan-badan swasta seperti perusahaan, perseroan, dan lain-lain. Namun masalahnya, partai tidak mau “rugi”. Mereka berkeberatan menempatkan perempuan pada “nomor urut jadi” di daerah pemilihan yang merupakan basis parpol, jika si caleg (perempuan) tersebut tidak memiliki sokongan dana yang memadai bagi parpolnya. Berarti nomor urut bisa dilelang. Dan mereka yang sanggup memenangkan “pelelangan” itu adalah mayoritas caleg laki-laki. Kenapa ? Karena laki-laki lebih memiliki akses dan kontrol terhadap sumber-sumber dana.
86
Sebenarnya dana kampanye itu untuk apa saja sih Bu ? Smara?�
Kita bisa melakukan penggalangan dana kampanye. Sekali lagi kita harus bekerja sama dengan LSM untuk meminta bantuan dari lembaga donor yang ada. Calon legislatif yang berada dalam parpol mapan sekalipun dan didukung oleh organisasi yang mengakar, bukan berarti tidak memerlukan banyak uang atau dana
Dana kampanye sangat kita butuhkan untuk biaya operasional, untuk memobilisasi dukungan massa. Ingat lho, biaya operasional!! Bukan biaya nyogok sana-sini, bukan biaya untuk beli kaos, beli kerudung, beli sarung, atau bagibagi lembaran duit lima puluh ribuan, dan sebagainya. Mulai sekarang, rakyat harus dididik untuk memilih wakil berdasarkan program yang ditawarkan, bukan berdasarkan kebutuhan sesaat. Ini memang tidak mudah Bu Dandan...Kita perempuan menghadapi kendala penggalangan dana yang tidak sistematis.
Upaya menghimpun dana menjadi perkara sulit dan paling tidak disukai dalam karier perempuan politikus. Hal ini dipertegas oleh Cantor dan Bernay (1992) bahwa bagaimana pun fundraising penting dilakukan untuk bisa mewujudkan kampanye yang berhasil. Memang ada kekuatiran di benak para caleg perempuan tentang seberapa besar mereka harus “membalas jasa� kepada para donatur yang memiliki kepentingan tertentu. Itu sebabnya, para caleg perempuan lebih berharap ada cara lain yang lebih baik daripada menerima donasi (yang mengharapkan balas jasa) seperti itu.
87
Pada kenyataannya, kaum perempuan sendiri kurang memberi dukungan kepada caleg perempuan secara finansial. Kita berharap, dengan bertambahnya jumlah perempuan yang kian memperoleh posisi mapan di bidang bisnis akan mampu dan rela memberikan dukungan dan sumbangan besar secara finansial kepada caleg-caleg perempuan berpotensi yang sedang melakukan perjuangan untuk menjadi wakil rakyat. Selain itu, Kaukus Perempuan Politik –baik yang berada di parlemen amupun di luar parlemen- perlu membuka komunikasi dan melaksanakan dialog berkelanjutan dengan jaringan perempuan di luar parpol yang terdiri atas organisasi perempuan, akademisi, media massa, dan kelompok strategis lainnya. Organisasi perempuan dan LSM bisa berperan penting dalam membangun dukungan bagi kandidat perempuan, termasuk dukungan dalam menggalang dana. Organisasi-organisasi perempuan inilah yang dapat mengambil peran dalam pembangunan karakter kepemimpinan perempuan, membangun dukungan massa, dan membuka akses bagi caleg perempuan untuk menjadi tokoh politik yang penuh percaya diri tampil di depan masyarakat. Perlu diyakinkan pula bahwa organisasi perempuan memiliki legitimasi sosial dan formal, serta memiliki jaringan secara geografis yang akan membantu caleg perempuan, terutama di masa kampanye.
Bu Tegar menyela.. Kekuatan lain itu apa, Bu Tegar ?
Bu Smara masih ingat, teman kita Bu Santila ? Pada pemilu lalu ia sampai harus merelakan tabungan pribadi, menjual mobil pribadi, menggadaikan sertifikat tanah, dan menggalang bantuan dana juga dari teman-teman dekat ? Namun ia gagal karena mekanisme yang tidak fair. Jadi Bu Dandan, menurut saya, uang memang penting, tetapi itu bukan satu-satunya faktor penentu. Ada juga teman kita yang tidak mengeluarkan dana sebesar yang dikeluarkan orang lain, tetapi bisa berhasil lolos memenangkan pemilihan karena ia memiliki kekuatan lain.
88
Hmm.....begini, jauh-jauh hari kita harus sudah membina hubungan dengan konstituen di Daerah Pemilihan yang menjadi basis dari parpol kita, memperhatikan masalah dan kebutuhan mereka, menyerap berbagai aspirasi mereka. Kemudian, membina hubungan di dalam parpol, khususnya dengan para pengambil keputusan, melakukan persuasi dan negosisasi secara positif untuk merebut nomor jadi di daerah pemilihan yang sudah kita bina sebelumnya itu. Yang juga sangat penting adalah menyusun agenda program kita sebagai caleg serta mengatur tim kampanye yang efektif dan efisien. Oya, kita harus senantiasa bersikap waspada agar nomor urut kita tidak digeser-geser ke nomor yang tidak menguntungkan atau kita dipindahkan begitu saja ke daerah pemilihan yang sulit, hingga akhirnya kita hanya menjadi pengumpul suara belaka. Hari gini....saya nggak mau lagi dibegitukan..... Dibegitukan bagaimana ? Yaaah, masak cuma dijadikan vote getter......!! Itu loh‌pengumpul suara doang ! Curang.. Be-Te nggak sih‌?!
89
TUJUH MENGUKUHKAN POTENSI Telah beberapa bulan lamanya, tiga ibu pemberani -Bu Smara, Bu Tegar, dan Bu Dandan- jarang saling berjumpa. Sesuai ikrar bertiga di sebuah rumah makan beberapa waktu lalu, mereka berusaha menyambangi dan melakukan pendekatan kepada masyarakat di daerah binaan masing-masing setelah lebih dulu berkonsultasi dengan pimpinan di parpol mereka. Ketiga ibu ini akan berjuang meraih kursi di DPRD tingkat Kabupaten/Kota. Tiga kecamatan itu juga yang akan mereka ajukan dan negosiasikan sebagai daerah pemilihan (DP) mereka. Bu Smara berkonsentrasi di Kecamatan Sumberasih, Bu Tegar di Kecamatan Tanahsubur, dan Bu Dandan memilih Kecamatan Kertasari. Ketiganya bergerak di masing-masing kecamatan setelah lebih dulu memperoleh masukan penting dari hasil kajian Pusat Studi Perempuan dan Gender di perguruan tinggi yang ada di ibukota provinsi mereka. Berdasarkan data dan hasil penelitian pusat studi, mereka lebih mudah mengenal langsung permasalahan yang ada di kecamatan yang bersangkutan, untuk kemudian menyusun agenda dan strategi bagi penanganannya.
90
SENSITIFITAS, PERSPEKTIF, DAN KEBERPIHAKAN Suatu pagi di Kecamatan Sumberasih‌ Bu Smara berhadap-hadapan dengan kelompok ibu yang mengaku telah kehilangan kontak dengan anak-anak gadis mereka sejak keberangkatan untuk bekerja ke luar negeri. Kecamatan Sumberasih ternyata selama ini merupakan kantung pengiriman tenaga kerja perempuan ke luar negeri. Memang banyak di antara mereka yang benar-benar telah bekerja di negara-negara seperti Saudi Arabia, Malaysia, dan Hong Kong. Tetapi tidak sedikit pula yang tiada kabar berita sejak hari keberangkatan mereka. Para orangtua yang kebingungan itu tidak tahu harus berbuat apa dan harus pasrah karena ternyata mereka menyadari telah terlibat hutang yang tiada putus kepada pihak-pihak yang semula mengaku sebagai penyalur resmi. Trafficking in person atau perdagangan manusia (khususnya perempuan dan anak) terutama untuk komoditi seksual telah menjadi masalah yang serius di Kecamatan Sumberasih. Bu Smara sangat prihatin dan peduli pada kondisi tersebut. Beberapa kali ia melangsungkan seminar tentang trafficking yang kemudian ia tindaklanjutkan dengan membentuk kelompok-kelompok kecil di kecamatan tersebut yang bertugas memantau terus masalah yang tidak ringan tersebut.
........Aku juga harus memperhatikan permasalahan akses dan modal perempuan yang sangat kecil. Mereka sulit masuk ke dalam sektor usaha berskala besar. Ekses yang timbul kemudian adalah trafficking, kekerasan dalam rumah tangga, juga terjebaknya perempuan dalam pelacuran.....
91
Menyadari kondisi itu di daerah binaannya, maka Bu Smara menetapkan program mengatasi kemiskinan struktural akan menjadi agendanya pada kampanye pemilu mendatang. Ia bertekad akan memberdayakan perempuan pada sektor industri kecil di masyarakat dengan tidak sekadar melihat kepada perempuan, meski sasaran sesungguhnya adalah perempuan. Sementara itu di Kecamatan Tanahsubur... Bu Tegar berhadapan dengan fakta tingginya Angka Kematian Ibu (AKI) yang disebabkan oleh rendahnya pemahaman, perhatian, pelayanan, dan penanganan persoalan kesehatan reproduksi perempuan. Akses dan hak perempuan pada pelayanan kesehatan masih sangat memprihatinkan di Kecamatan Tanahsubur. Selain itu, Bu Tegar juga mendapatkan kenyataan masih rendahnya tingkat pendidikan anak perempuan. Rata-rata mereka hanya mengenyam pendidikan paling tinggi sampai SLTP, setelah itu mereka harus bekerja untuk mendukung perekonomian keluarga. Paling banyak dari mereka bekerja sebagai buruh di pabrik, menjadi pembantu rumah tangga di kota, juga menjadi tenaga kerja di luar negeri dengan jenis pekerjaan sebatas pembantu rumah tangga juga. Anak laki-laki lebih diprioritaskan mendapatkan akses ke pendidikan yang lebih tinggi, sementara anak perempuan dihadapkan pada pilihan terbatas, yaitu bekerja atau menikah saja, suka atau tidak suka ia pada calon suami yang disodorkan orangtua. Maka yang terlihat oleh Bu Tegar adalah semakin tinggi jenjang pendidikan, semakin habis jumlah anak perempuan di jenjang itu. ........Aku harus memprioritaskan agenda tentang akses dan hak perempuan pada pelayanan kesehatan reproduksi yang memadai, juga akses ke pendidikan yang sama bagi anak perempuan dan anak laki-laki........Untuk itu, aku juga akan berjuang untuk mendapatkan alokasi anggaran yang lebih besar di bidang ini.......Aku pun akan lebih banyak memperhatikan nasib petani di daerah ini. Daerah ini tanahnya subur, sumber daya alam hayati melimpah. Sebagian besar penduduk hidup mengandalkan pertanian, tetapi mereka selalu miskin. Kata orang Jawa, negeri kita gemah ripah loh jinawi, kata orang luar negeri, Indonesia ini punya keanekaragaman hayati sangat tinggi, kata grup band Koes Plus, negeri kita “kolam susu� , bahkan “tongkat kayu dan batu jadi tanaman�. Tapi.....kok rakyat di pedesaan tetap saja hidup miskin?......
92
Di Kecamatan Kertasari... Bu Dandan berhadapan dengan persoalan yang tidak jauh berbeda, berkisar pada angka melek huruf, partisipasi murid perempuan, relevansi tingkat pendidikan dan kasus kekerasan, rendahnya penghasilan perempuan, diskriminasi pasar kerja, dan rumah tangga miskin. Bu Dandan menemukan kenyataan bahwa berbagai dimensi kemiskinan yang menimpa sebagian besar perempuan di kecamatan itu adalah karena rendahnya posisi tawar mereka di dalam keluarga dan masyarakat, budaya yang menindas, diskriminasi di ruang publik, dan tidak pedulinya negara dalam menelurkan kebijakan-kebijakan yang bermanfaat mengangkat perempuan dari kemiskinan. Kondisi miskin inilah yang menyebabkan perempuan-perempuan terpaksa mencari kerja di rantau. Berbarengan meningginya gelombang perempuan bekerja ke luar negeri adalah naiknya angka perdagangan perempuan dan anak (trafficking).
......Kemiskinan tidak lahir dengan sendirinya, juga tidak muncul bukan tanpa sebab. Orang-orang miskin itu muncul bukan karena mereka malas atau tidak mau bekerja keras. Mereka menjadi miskin karena dibuat miskin oleh struktur ekonomi, politik, sosial, dan sistem yang tidak adil. Mereka memang sengaja dilestarikan untuk tetap miskin. Mereka menjadi kaum yang sengaja ditindas. Apun yang aku perbuat, tidak akan berhasil tanpa menyusun program dan tindakan yang memihak kepada mereka. Kepada para perempuan harus lebih diberikan sosialisasi untuk pemahaman, kemudahan akses ke sumber daya ekonomi, pemilikan tanah, informasi, dan pasar kerja........
93
MEMBANGUN KONSENSUS Sangatlah penting membangun konsensus bahwa caleg haruslah mereka yang mewakili kepentingan konstituennya/kepentingan semua perempuan dan organisasi masyarakat lainnya. Caleg ditempatkan di antara parpol dan konstituennya, berperan sebagai jembatan sehingga kepentingan masyarakat dapat disuarakan melalui platform dan agenda politik parpol mereka masing-masing. Situasi politik di Indonesia menunjukkan bahwa hubungan antara caleg dengan konstituennya masih sangat lemah. Konstituen tidak mengenal caleg mereka dan juga tidak mengetahui siapa yang akan mewakili mereka dalam parlemen (Dewan Perwakilan Rakyat). Peran otoriter dan dominan dari parpol telah membuat kenyataan yang sulit bagi caleg untuk memiliki perilaku independen, karena mereka sangat tergantung pada parpol untuk memperoleh posisi dalam parlemen. Pengalaman selama ini menunjukkan bahwa parpol memang kurang memberikan kepedulian pada kepentingan rakyat. Berbagai keputusan yang diambil diarahkan untuk kepentingan jangka pendek, mempertahankan kekuasaan, dan membela kelompok tertentu yang justru sudah banyak diuntungkan. Sebagian besar masyarakat menjadi apatis terhadap parpol. Salah satu cara terbaik untuk membangun dan mengembalikan kepercayaan masyarakat adalah dengan melakukan konsensus atau akad politik atau kontrak politik antara caleg perempuan dan masyarakat pemilih untuk memastikan bahwa pemilihan umum dilaksanakan secara jujur dan adil. Kontrak politik dilaksanakan guna membuat caleg perempuan memperoleh kepercayaan pemilih sekaligus memberdayakan masyarakat untuk memahami hak-hak politiknya. Sudah saatnya caleg perempuan berani membuat akad politik dengan berbagai organisasi masyarakat buruh, nelayan, petani, pengrajin, pedagang kecil, dan sebagainya untuk memperjuangkan kepentingan kelompok ini. Komitmen yang dibuat bersama juga harus selalu dievaluasi dalam forum yang periodik, termasuk untuk mencari jalan bagi pemecahan masalah yang tidak tertangani. Evaluasi juga bertujuan untuk menerapkan sangsi bagi pelanggaran komitmen yang disebarluaskan ke tengah masyarakat yang akan dilanjutkan dengan penarikan dukungan.
94
LEBIH BANYAK BERKOMUNIKASI, MENGORGANISASIKAN DIRI DAN BERALIANSI STRATEGIS Penting bagi perempuan untuk mengorganisasikan diri ke dalam kelompok-kelompok kepentingan, baik di dalam dan di luar parpol guna mendapatkan pengalaman berharga dan meraih suatu landasan wewenang yang terbangun dalam meraih cita-cita menuju lembaga legislatif. Kelompok-kelompok profesional seperti asosiasi perempuan dokter, pengacara, insinyur, pengusaha, pedagang, dan lain-lain profesi, serta kelompok-kelompok politik, juga LSM, dapat memainkan peran penting sebagai satu dasar perekrutan bagi kandidat perempuan. Kualifikasi perempuan dari segi pendidikan dan kemandirian ekonomi akan lebih terlihat di organisasi-organisasi seperti di atas.
Aliansi Strategis
Akademisi
PKK
Organisasi Profesi
Fatayat NU Muslimat NU Aisiyah WKRI, dll org berbasis agama
Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM)
SPSI HKTI PGRI, dll ormas
Undang: Birokrat/eksekutif, legislatif, dan parpol
95
Di suatu kesempatan setelah beberapa waktu masing-masing sibuk mempersiapkan daerah binaan, Bu Smara, Bu Dandan, dan Bu Tegar berkumpul lagi. Bu Dandan yang pertama menyampaikan uneg-uneg. Sekarang saya tahu, sistem pendukung dan basis dukungan bagi kaum dan kelompok perempuan menjadi kendala besar kita. Ini bisa menghambat partisipasi banyak Begitulah Bu...., kondisi itu terkait perempuan. dengan tidak adanya satu organisasi yang bisa benar-benar berperan mengakomodasi pembentukan basis dukungan bagi kita. Ditambah lagi lemahnya koordinasi antarkelompok yang bergerak dalam urusan gender, menyebabkan masih rendahnya tingkat kesiapan perempuan dalam menyambut pemilu.
96
BEBERAPA ORGANISASI PENDUKUNG PENGUATAN PEREMPUAN DALAM POLITIK ♦ Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) ♦ Gerakan Pemberdayaan Swara Perempuan (GPSP) ♦ Kaukus Perempuan Politik Indonesia (KPPI) ♦ Centre for Electoral Reform (CETRO)
♦ Pusat Pemberdayaan Perempuan Dalam Politik (PD Pol) ♦ Centre for Indonesian Women Empowerment in Politic (CIWEP) ♦ LBH APIK ♦ Solidaritas Perempuan (SP) ♦ Kalyanamitra ♦ Muslimat NU ♦ Fatayat NU ♦ Aisyiah
97
MEMBANGUN KEPERCAYAAN KONSTITUEN DAN MENYUSUN AGENDA KERJA Kita sama-sama sudah melihat bagaimana kondisi masyarakat di masing-masing kecamatan yang mulai kita bina. Jadi sekarang, kita harus membangun platform dan agenda kerja yang jelas, fokus pada apa yang ingin kita perjuangkan jika terpilih sebagai wakil rakyat nanti.
Benar Bu Smara. Program kerja itu sangat penting karena selama ini kita perempuan selalu dilecehkan sebagai sosok-sosok yang kualitasnya rendah, tidak mampu berpikir secara strategis, kurang cerdas, dan sebagainya. Padahal, bagaimana cara membuat dan menyusun agenda kerja itu, ya kita sendiri yang harus berpikir keras. Apakah parpol pernah melatih kita untuk itu ? Bukankah agenda kerja kita harus sesuai dan sejalan dengan agenda kerja parpol serta berada tidak keluar dari kerangka ideologi parpol ?
98
Ideolgi parpol seharusnya menjadi suatu sistem nilai yang berdampak pada cara berpikir dan menyelesaikan persoalan. Lemahnya ideologi parpol memberi efek sikap pragmatis pada parpol. Tidak mengherankan jika konstituennya menjadi lebih pragmatis dan punya kecenderungan memilih figur berdasarkan kedekatan, kemasyuran, punya kekuatan uang dan sumbangannya. Konstituen di Indonesia –seperti umumnya di negara-negara berkembang- kurang mau tahu bahkan tidak peduli dengan program dan agenda kerja parpol serta calegnya. Hubungan antara pemilih dan yang dipilih telah terjebak pada pola “hubungan jual-beli�. Untuk mendapatkan suara dalam pemilu, parpol “membeli� konstituen lewat uang, sembako, kaos, kerudung, kupiah, pembangunan masjid, pembangunan jalan, jembatan, dan sebagainya pada masa menjelang dan saat kampanye. Pasca pemilu, bukannya anggota dewan membuat desain keputusan politik yang merupakan terjemahan dari aspirasi dan kepentingan konstituennya, mereka malah terjebak memberikan bantuan dan sumbangan yang bersifat karitatif (bantuan barang dan uang) yang berbiaya tinggi. Harus diakui bahwa parpol-parpol yang ada selama ini belum mampu mengatur, mengelaborasi, dan mendesain pola mengenai bagaimana membangun hubungan dengan konstituen. Hubungan dengan konstituen menjadi bersifat individu, tidak sistemik, dan tidak komprehensif. Parpol hanya menggunakan konstituen untuk kepentingan jangka pendek, yakni pengumpulan suara dalam pemilu, alat legitimasi, alat mobilisasi untuk merebut dan mempertahankan kekuasaan. Konstituen berada dalam posisi subordinat dengan arah hubungan satu arah, yaitu dari parpol ke konstituen saja. Oya Bu Dandan, kita harus mendirikan pos komunikasi konstituen lho di daerah binaan kita yang akan menjadi daerah pemilihan nanti. Pos itu akan memudahkan konstituen kita jika ingin berhubungan dengan kita.
99
Iya, iya, saya setuju sekali! Di pos itulah kita akan melakukan kunjungan dan pertemuan rutin secara terbuka. Mereka bisa bertatap muka langsung dengan kita...Hmmm....selain itu, saya dapat kabar dari seorang teman bahwa kita dapat memanfaatkan radio komunitas untuk menyosialisasikan program kita dalam bentuk percakapan interaktif. Isu yang dibahas dalam radio komunitas itu biasanya isu-isu yang sangat khas di komunitas atau desa terkait. Jadi misalnya, nggak akan ada isu kemacetan di kota besar yang dibahas di sana karena dianggap tidak relevan dengan persoalan mendesak mereka. Justru lewat percakapan interaktif di radio itu kita bisa menangkap problem-problem krusial yang harus segera mendapat perhatian untuk ditangani di komunitas yang bersangkutan. Kemudian kita harus menentukan prioritas.
Ooh....itu bagus sekali...!! Saya mau deh memanfaatkan media seperti radio komunitas itu. Sebaiknya melalui media itu pula kita informasikan tentang apa saja yang akan dan sedang kita lakukan berkait dengan kebutuhan mereka.
Ok, nanti saya kenalkan Bu Smara dan Bu Tegar dengan teman saya yang mengelola radio komunitas itu ya...
100
Contoh Bentuk-Bentuk Pengelolaan Hubungan Parpol dengan Konstituen SASARAN
PRAKONDISI FAKTOR DOMINAN
Buruh Industri
Nelayan
Pengusaha/ HKTI
Kelompok Tani
Santri
Kelompok Marginal Perkotaan
Lobby pimpinan buruh Ekonomi dan emosi
Silaturahmi
Lobi
Silaturahmi
Lobi kyai
Lobi Pimpinan Kelompok
Ekonomi dan emosi
Ekonomi dan gagasan
Ekonomi dan emosi
Senti-men, emosi
Ekonomi dan emosi
Pragmatis
Pragmatis
Taktis
Pragmatis
Taktis
Pragmatis
Dialog, kerjasama, hiburan Upah, hak buruh umum, hak buruh perempuan Massa terorganisasi
Dialog, hiburan
Lokakarya
Dialog, hiburan
Dialog, hiburan
Koperasi, harga murah, prasarana dan sarana Massa terorganisasi
Koperasi, harga pupuk, hasil tani Tidak beroposisi
Harga pupuk, koperasi, lahan dan lingkungan Massa terorganisasi
Dialog, kegiatan keagamaan Persamaan status pendidikan
Simpatisan
Simpatisan
Opini
Petugas pemilu
Petugas pemilu
Buruh Merdeka
Nelayan Sejahtera
SIFAT TRANSAKSI SARANA ISU/MATERI
AGENDA PARPOL
Tidak beroposisi
Koperasi, lahan tinggal, lapangan kerja Massa terorganisasi
Simpatisan
Opini
Simpatisan
Meneruskan opini di media
Petugas pemilu
Meneruskan opini di media
Petugas pemilu
Tani Makmur
Tani Makmur
Santri Modern
Usaha Mandiri
TARGET TARGET LANJUTAN NAMA PROGRAM
Diolah dari “Konsolidasi Demokrasi�, Forum Komunikasi Partai Politik dan Politisi untuk Reformasi, 2005.
101
DELAPAN MENJADI CALON LEGISLATIF Tibalah saat-saat menentukan bagi Bu Smara, Bu Tegar, dan Bu Dandan, yaitu seleksi bakal calon legislatif di tingkat DPRD Kabupaten. Penetapan caleg dilakukan oleh DPC parpol masing-masing melalui tim verifikasi yang dibentuk.
LENGKAPI PERSYARATAN Ada beberapa kriteria bakal calon anggota legislatif yang dapat dijaring (di tingkat DPR, DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota) berdasarkan peraturan parpol. Hal ini yang harus diperhatikan oleh para bakal caleg perempuan. Beberapa kejadian di pemilu yang lalu menunjukkan banyak bakal caleg perempuan yang lalai dan “terpeleset” pada prasyarat dan syarat administrasi. Prasyarat dan syarat-sayarat itu adalah sebagai berikut:
Baca dengan teliti Undang-Undang Politik yang terkait (khususnya UU Pemilu No.10/2008 dan UU Parpol No.2/2008)
Pahami sisem pemilu dengan benar, khususnya yang diberlakukan sesuai UU Pemilu No.10/2008
Pencalonan dibuktikan dengan kartu tanda anggota parpol yang asli
Menyerahkan biodata, ijazah asli, sertifikat kelulusan kaderisasi yang dilaksanakan oleh parpol (syarat lulus kaderisasi ini tergantung kondisi internal parpol), serta riwayat pengabdian dalam parpol.
Mengisi formulir rekrutmen bakal calon legislatif parpol yang disediakan oleh pengurus parpol
Menyerahkan bukti-bukti yang dipandang dapat menunjukkan kesetiaan, kemampuan, pengabdian, dan kedisiplinan terhadap parpol
Tidak sedang kena sangsi organisasi
102

Tidak terlibat masalah narkoba secara langsung maupun tidak langsung
KETAHUI KERJA TIM VERIFIKASI Proses seleksi yang dilakukan parpol harus menjamin transparansi atas dasar kriteria yang mereka tetapkan. Setiap pengurus parpol pada masingmasing tingkatan memiliki kewenangan di dalam penyaringan. Ketentuannya adalah sebagai berikut:
o Tugas tim verifikasi bakal calon anggota legislatif adalah meneliti kebenaran dan keabsahan atau seluruh kelengkapan persyaratan bakal calon anggota legislatif sebagaimana diatur dalam UU Pemilu No.10/2008, anggaran rumah tangga, dan peraturan partai yang mengatur mekanisme rekrutmen calon. o
Tim verifikasi bakal calon anggota legislatif bertanggung-jawab terhadap struktural parpol pada tingkatannya, dan mengumumkan hasil verifikasi yang dilakukan pada rapat kerja parpol.
o Tim verifikasi bakal calon anggota DPRD Kabupaten/Kota menyampaikan hasil kerjanya kepada DPC parpol untuk diajukan sebagai bakal calon anggota DPRD Kabupaten/Kota di rakercab. o
Tim verifikasi terdiri atas seorang ketua merangkap anggota, seorang sekretaris merangkap anggota, dan sekurang-kurangnya 5 orang anggota.
o
Seluruh anggota tim verifikasi 60 persen ditetapkan oleh struktural parpol satu tingkat di bawahnya, dan 40 persen ditetapkan oleh struktural parpol sesuai dengan tingkatan lembaga legislatif.
Prosedur selanjutnya: RAPAT KERJA PARPOL o
Dilangsungkan Rapat Kerja Cabang, Rapat Kerja Daerah, dan Rapat Kerja Nasional yang diadakan untuk menyaring bakal calon yang telah diverifikasi oleh tim verifikasi.
o Rapat Kerja Cabang dihadiri pengurus harian parpol di tingkat Kabupaten/Kota, ketua pengurus parpol di tingkat kecamatan (PAC) karena jabatannya (ex officio), serta dua orang anggota dan atau pengurus yang dipilih dan ditetapkan dalam rapat PAC.
103
o Rapat Kerja Daerah dihadiri oleh pengurus DPD parpol, ketua DPC karena jabatannya (ex officio), serta dua orang pengurus dewan pimpinan cabang yang dipilih dan ditetapkan dalam rapat DPC.
o Rapat Kerja Nasional dihadiri oleh pengurus DPP parpol, ketua DPD karena jabatannya (ex officio), serta dua orang dewan pimpinan daerah yang dipilih dan ditetapkan dalam rapat DPD. PENGAMBILAN KEPUTUSAN o
Pengambilan keputusan dilakukan dalam Rakercab, Rakerda, dan rakernas yang ditempuh melalui jalan musyawarah untuk mencapai mufakat.
o
Jika tidak tercapai kata mufakat, putusan diambil berdasarkan suara terbanyak.
o Seluruh peserta yang hadir dalam Rakercab, Rakerda, dan Rakernas memiliki hak suara dengan ketentuan satu peserta satu suara. Pagi itu matahari bersinar cerah. Di kantor Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten Tumbumekar, Bu Dandan menatap cermat nomor urut caleg yang tertera di papan pengumuman.
104
Tiba-tiba matanya terbelalak dan sebelah tangannya menutup mulutnya yang ternganga karena tak percaya menghadapi fakta di hadapannya. Ia buru-buru merogoh HP di dalam tasnya, lalu memencet nomor yang ia kehendaki. Aduuuuh........saya kecewa banget ! Bagaimana bisa nomor urut saya terjun bebas ke nomor urut tiga ? Bukankah kesepakatan bersama di parpol menempatkan saya di nomor satu? Kok jadinya di nomor tiga ? Bagaimana kalau jumlah suara saya tidak berhasil mencapai Bilangan Pembagi Pemilih, Berat sekali ini‌.?! Saya harus berbuat apa ? Haloooo.......? Bu Smara.....? Ya.....saya.....sudah di KPU Kabupaten nih.....Waduh Bu, gawat ! Saya kaget sekali ini Bu....!
105
Tenang Bu Dandan......, tenang dulu. Saya akan ke KPU juga, dari situ ayo kita sama-sama ke DPC. Saya akan segera ke sana....tunggu ya Bu...., sabar ya....Ngomong-ngomong, bagaimana nomor urut dan daerah pemilihan saya ? Digeser jugakah ?
Iyaa....saya juga mengerti. Ya sudah, saya berangkat nih....Sampai ketemu di sana.
..........Aduuuuh, apa-apaan ini......?!? Permainan apa pula ini....?1? Berengsek amat sih ! ........Dari dulu nggak berubah.......!!! Bagaimana orang bisa suka masuk parpol kalau seperti ini ?........
Setelah Bu Dandan menutup HP-nya, tiba-tiba Bu Tegar sudah berdiri di sampingnya. Ia menyapa Bu Dandan sejenak, kemudian buru-buru mencermati nama, nomor urut, dan Daerah Pemilihannya. Beberapa detik kemudian, sesungging senyum mengembang menghias wajahnya. Matanya berbinar-binar gembira. Bu Tegar segera menghampiri Bu Dandan yang sedang duduk dengan wajah muram.
106
Yang ditanya mengangguk lesu...
Nomor urut saya. Saya tahu, nomor urut tiga di DP itu, mungkin jadi tapi mungkin juga nggak jadi. Mengapa mereka tidak berbicara lebih dulu untuk meminta pertimbangan saya ? Bu Tegar..., apakah saya harus protes ? Kalau protes saya tidak digubris, apakah lebih baik saya mengundurkan diri saja dari pencalonan ini ?
Terima kasih Bu Tegar.... Hmm, Bu Smara dalam perjalanan ke sini. Dia sudah saya kabarkan lewat telepon tadi. Nah itu dia datang....! Bu Smaraaa...!!
Hai Bu Dandan........Kenapa sedih? Ada kabar buruk? Apa yang terjadi? Nomor urutmu atau daerah pemilihanmu di geser ?
Hmmm......sebaiknya jangan mengambil keputusan pada menit-menit ini. Ibu harus mendinginkan kepala sejenak supaya bisa berpikir dengan jernih dan mengambil tindakan yang bijak. Sebagai teman dan sesama caleg, saya mengerti perasaan ibu. Simpati saya untuk ibu, dan saya akan membantu sebatas yang bisa saya perbuat. Di mana Bu Smara ?
Wah maaf, harus menunggu saya. Jadi kita ke DPC ?
107
Bu Dandan mengangguk dan bergegas. Kedua ibu dari Partai Menggapai Mimpi itu berpamitan pada Bu Tegar. Mereka meninggalkan kantor KPU Kabupaten Tumbumekar. Di DPC Partai Menggapai Mimpi... Suasana hiruk pikuk. Para caleg berkumpul. Ada yang gembira, ada yang kecewa, ada yang penasaran, ada juga yang menyerah dan menarik diri begitu saja. Mereka menolak turun ke medan kampanye karena nomor urut dan daerah pemilihan (dapil) yang tidak memberi harapan. Kedua ibu tiba-tiba sudah menerobos masuk ke ruang kerja ketua DPC. Bu Smara menjelaskan permasalahan yang menimpa rekannya kepada sang ketua yang tidak kalah kusut wajahnya karena harus berhadapan dengan banyak pemerotes. Begini Bu Dandan......, tenang dulu ya....Pada pemilu lalu, parpol kami mendapat dua kursi di daerah pemilihan itu. Jadi ibu tinggal menambahkan suara sedikit lagi dan kita bisa dapat tiga kursi. Ibu bisa menang kok.
Buat saya bukan hanya itu persoalannya, tetapi kenapa kenyataan yang dihadapkan kepada saya tidak sesuai dengan kesepakatan sebelumnya ? Apa kelebihan dua orang yang menggeser nomor urut saya ?
........Bah ! Mudah sekali dia bicara...! Menambah suara sedikit lagi ? Sedikit seberapa ?......’Emang gampang apa ???.......
Hmmm....maaf sekali Bu kalau saya harus mengatakan hal ini. Terus terang saja, dua orang laki-laki di nomor satu dan dua itu adalah mereka yang sudah berkontribusi besar bagi parpol.....Sebagai orang lama, mereka tidak terima diletakkan di bawah nomor urut ibu walaupun sudah saya katakan ibu adalah seorang perempuan berpotensi. Mereka tidak peduli.
108
Apa ?! Kontribusi apa Pak ? Bukankah saya juga sudah berkontrubusi menyosialisasikan program parpol, membangun kepercayaan konstituen, membina hubungan dengan mereka, meyakinkan mereka, dan sebagainya. Empat bulan saya turun ke lapangan, sehari tiga kali saya sosialisasi ke masyarakat. Bukankah semua tindakan dan aktivitas di daerah binaan saya itu mengeluarkan dana dan pengorbanan yang tidak kecil? Apa sebenarnya yang lebih dihargai di partai ini? Satu lagi protes saya pak, mengapa mekanisme penempatan nomor urut kemudian menjadi tidak transparan? Kapan proses penggeseran nomor itu terjadi? Apa janji bapak dulu ketika kami mulai bergabung?�
Pak Sahari, Ketua DPC, melayangkan tawaran lain. Kalau ibu tetap ingin ditempatkan pada nomor urut satu.....bisa saja, tetapi pindah daerah pemilihan. Bagaimana kalau di Kecamatan Tengkalang ?
.......Heh....yang penting tidak melanggar aturan UU Pemilu.....bahwa untuk setiap 3 orang bakal caleg dalam nomor urut terdapat sekurang-kurangnya satu orang perempuan bakal caleg....Nggak salah kan aku ?........
109
Bu Dandan terdiam sejenak, lalu melayangkan pandang ke rekannya. Bu Smara mendelik dan menggelengkan kepala dengan kencang. Jangan Bu ! Jangan ! Itu bukan daerah basis massa partai kita. Itu basisnya Pahakiki. Nggak mungkin ! Berat ! Apalagi dalam hitungan waktu yang tersisa sedikit ini.
Kalau begitu, saya tidak siap dipindahkan. Biaya yang telah saya keluarkan akan percuma. Saya mau nomor urut saya dikembalikan ke nomor satu di dapil semula !
Ibarat nasi sudah menjadi bubur. Penempatan nomor urut yang sudah diumumkan di KPU Kabupaten itu tidak bisa diubah lagi. Namun upaya Bu Dandan melakukan protes langsung itu sedikitnya bisa mengurangi rasa sesak di dalam dadanya. Ia telah berani bersuara, meski suaranya bernada sumbang bagi parpolnya. Hari itu walau tidak menyatakan mundur dari pencalegan, Bu Dandan merasakan kebimbangan besar di dalam hatinya. Ia juga menyadari, sebagai “pendatang baru� di panggung politik dengan membawa semangat dan mengusung idealisme, ternyata belum dianggap “penting� oleh parpolnya. Ia harus menerima digeser semena-mena. Sambil melangkah pulang, Bu Dandan terus bercakap-cakap dalam dirinya sendiri. Sepanjang perjalanan, ia berusaha memungut kembali serpihanserpihan hatinya, membangun lagi tekad, dan menyulut ulang obor semangat yang pernah ia ayun-ayunkan di hadapan konstituennya. Ya..konstituennya....!! Wajah merekalah yang kini menggayut di pelupuk matanya. Wajah yang menggantungkan asa. Bu Dandan tidak punya pilihan yang lebih baik. Ia memutuskan tetap maju berkampanye sebagai caleg bernomor urut 3, meski mungkin saja ia menanggung mission impossible. Ia teringat, ketika keluar dari ruang ketua tadi, Bu Smara sempat berbisik,
110
Yaaa......pantes aja..! Ada yang memberi tahu saya tadi, Bu. Begini, caleg laki-laki yang menggeser nomor urut ibu itu ternyata tokoh-tokoh parpol yang sudah ditolak di beberapa daerah karena reputasinya buruk. Nah, karena sudah tidak diterima di mana-mana, masuklah keduanya ke daerah pemilihanmu yang menurutnya okeh punya. Untuk ukuran provinsi ini, dapil itu sudah kuat karena merupakan basis massa parpol kita kan ? Selain itu, mereka nggak rela dirimu yang di nomor satu. Mereka bilang begini, “heh siapa itu Dandanmaya, orang baru kok mau di nomor satu ! Perempuan pula ! “ Mereka lantas melakukan ‘pendekatan’ kepada ketua.
Huuh, tapi kedua orang itu tidak pernah melakukan pembinaan di Kertasari, saya tahu banget Bu ! Enak saja mereka...
........Aku tahu, ini bukan saatnya mundur......Aku harus membuktikan ! Bukankah aku didukung oleh masyarakat di Kecamatan Kertasari ? Kita buktikan, siapa yang paling kuat di lapisan bawah ? Aku tahu, mereka -laki-laki caleg nomor 1 dan 2 itu- tidak pernah turun ke sana. Mereka tidak kenal daerah itu. Mereka tidak punya keterikatan apa-apa dengan masyarakat di sana. Aku yakin, aku lebih punya pengaruh. Aku akan buktikan kekuatanku! Aku harus mendapat suara lebih besar dari mereka, meski aku hanya diletakkan di nomor tiga ! Toh kiamat belum tiba !!.....
Sistem pemilu memainkan peranan penting dalam sebuah sistem politik, terutama untuk mendorong pembangunan struktur, sekaligus budaya politik. Sistem pemilu bisa menjadi sebuah instrumen politik yang paling
111
gampang dimanipulasi, juga dapat membentuk sistem kepartaian dan memengaruhi representasi atau keterwakilan. Ada tiga tipe dasar dari klasifikasi sistem pemilu: 1. Sistem mayoritas/pluralitas (Majoritarian/Plurality). Untuk dapat terpilih dalam suatu daerah pemilihan (distrik), seorang calon atau beberapa orang calon harus memenangkan: a) jumlah terbesar dari suara yang sah, atau b) dalam beberapa varian, mayoritas dari suara yang sah yang terdapat dalam distrik tersebut. 2. Sistem Representasi Proporsional (RP) Dengan menggunakan distrik-distrik wakil jamak, jumlah wakil yang terpilih dari suatu distrik ditentukan oleh jumlah suara sah yang diraih oleh partai atau calon peserta pemilu dalam distrik tersebut. 3. Sistem Semi Proporsional (Digunakan di Indonesia) Sistem ini memungkinkan beberapa perwakilan yang potensial dari partai-partai atau calon-calon yang bukan merupakan pemenang dengan jumlah suara terbanyak dalam suatu daerah pemilihan, tetapi tidak dengan sengaja menghasilkan perwakilan sesuai dengan proporsi dari suara sah yang diraih oleh setiap partai atau calon. (International Foundation for Elections System, http:/www.aceproject.org)
Dalam teori, sistem pemilihan yang PROPORSIONAL adalah sistem yang bisa memberi peningkatan representasi perempuan karena mengakomodasikan kepentingan kelompok dan pluralisme masyarakat. Dengan sistem ini, partai berkepentingan menyusun kandidat untuk kepentingan berbagai kelompok yang berbeda dan sektor masyarakat yang beragam, yang mungkin membantu menarik pemilih untuk partainya. Sedangkan dalam sistem DISTRIK, karena sifat persaingan adalah zero zoom, maka kandidat perempuan harus berkompetisi dengan kandidat lakilaki (yang selama ini kita ketahui selalu menjadi mayoritas dalam partai). Sering ketika harus menominasikan perempuan, pengurus dan penguasa partai harus berhitung banyak untuk mendapatkan kandidat tunggal yang bisa diandalkan sebagai penarik yang luas bagi pemilih. Perempuan (dalam kondisi sekarang) masih lebih sulit dipilih menjadi kandidat dalam sistem distrik. Dalam penerapannya, satu dari beberapa kelemahan sistem pemilu PROPORSIONAL adalah memberikan kedudukan kuat kepada pimpinan parpol melalui sistem daftar untuk menentukan daftar caleg akhir. Hal tersebut memberi peluang munculnya nepotisme dan koncoisme (cronyism).
112
Menurut Miriam Budiardjo (1998), kelemahan tersebut bisa diatasi dengan kesadaran pengurus parpol bahwa daftar caleg yang disusun menjelang pemilu itu haruslah berisi orang yang betul-betul akrab dengan masalah yang dihadapi daerah yang diwakilinya untuk kemudian memperjuangkan kepentingan mereka di parlemen. Namun cara tersebut tidak juga dijalankan oleh pengurus parpol (di segala tingkatan) karena banyak kepentingan lain yang dikedepankan, dan politik uang (money politic) lebih berperan.
“Politik Uang” bentuknya tidak terlihat, tetapi aromanya tercium Memang bukan hal yang melanggar aturan jika penentuan akhir nomor urut pencalegan dilakukan oleh pimpinan parpol. Persoalannya adalah dalam pelaksanaan atau realitanya, para pimpinan parpol tidak mampu atau “sulit” melepaskan diri dari nepotisme, koncoisme, dan “pelelangan” nomor urut. Kondisi tersebut memperparah kecenderungan laki-laki memasuki arena politik atau daerah pemilihan dalam kampanye agar berkuasa dan berpengaruh dengan cara “menginjak” orang lain. Yang lebih mengkuatirkan, jika cara-cara seperti itu terus dibudayakan, maka bukan tidak mungkin para perempuan yang frustrasi bisa terseret arus, memilih cara yang berkarakter maskulin pula (seperti contoh yang mereka lihat). Perlu diketahui oleh para caleg bahwa sistem PROPORSIONAL yang diterapkan di Indonesia saat ini memiliki persyaratan yaitu untuk memenangkan pemilihan menjadi anggota legislatif bukan semata dari banyaknya jumlah suara yang berhasil dikumpulkan tetapi juga hasrus bisa melampaui Bilangan Pembagi Pemilih (BPP) sebesar 30 persen sebagaimana yang tertuang dalam UU Pemilu No.10/2008. Meski jumlah suara caleg terhitung paling besar dari kandidat di nomor urut lain, namun jika ia gagal mencapai 30 persen BPP, maka penentuan pemenang dikembalikan ke nomor urut satu pada daftar calon di Daerah Pemilihan (DP) yang bersangkutan.
113
Kekuatan dan Kelemahan Sistem Pemilu Proporsional (Murni) Proporsional (murni) Kekuatan
Kelemahan
Multy member constituency dengan provinsi sebagai daerah pemilihan Perolehan suara masyarakat yang diperoleh setiap parpol sesuai dengan prosentase kursi. Tidak ada distorsi.
Representatif, karena juga memberi
Kurang mendorong parpol-parpol untuk berintegrasi satu sama lain Mempermudah fragmentasi parpol dan berdirinya parpol baru. Banyaknya parpol yang bersaing, mempersulit satu parpol mencapai mayoritas. Memberi dukungan kuat kepada piminan parpol untuk menentukan wakilnya di parlemen melalui sistem daftar nomor urut (list system). Wakil yang terpilih kurang erat
kesempatan kepada partai kecil dan minoritas
hubungannya dengan konstituen, tetapi
untuk memperoleh kursi dalam parlemen.
lebih erat dengan parpolnya.
Demokratis, karena setiap suara dihitung dan suara yang hilang terbatas.
Dikutip dari Ani Soetjipto dalam “Perempuan di Parlemen�, 2000.
Bu Dandan memasuki pekarangan rumahnya dengan perasaan berkecamuk. Bagaimana memberitahu hal pahit itu kepada suaminya dan apa katanya pula? Bukankah suaminya itu sejak awal kurang menyetujui langkahnya? ........Kalau aku tetap maju sebagai caleg dengan nomor urut yang tidak pasti itu, apakah ia akan mendukungku? Atau malah ia akan lebih gigih menhalangiku dan membanting habis kepercayaan diriku? Jangan-jangan.....di akan menyalahkan aku habis-habisan karena telah mengeluarkan uang banyak dengan sia-sia.
Pak.....Paaak....., Bapak di mana? Aku pulang nih....!
Ya Bu.....ada apa sih? Tumben ‘manggil-manggil kayak ‘gitu. Ada apa...?
114
Saat menatap wajah suaminya, Bu Dandan bukannya berbicara, ia malah berlari ke kamar, menutup pintu, menelungkupkan diri di atas tempat tidur dan membenamkan wajahnya ke bantal. Saat itu juga tangisnya tumpah, dan air matanya berlelehan. Pak Bulol terheran-heran, apalagi kedua anak mereka. Bertiga mereka mendekati sang ibu yang sedang tak kuasa membendung air mata kekecewaan. Pak Bulol meraih istrinya kemudian memeluknya. Ia biarkan Bu Dandan menumpahkan semua rasa kecewa dan gundah yang berkecamuk di dada sejak pagi. Kedua anak mereka pun ikut memeluk, berupaya menenangkan. Setelah tangisan reda, Bu Dandan pelan-pelan menyampaikan masalahnya, didengarkan suami dan anak-anak tercinta. Sudahlah Bu....., kita hadapi ini bersama-sama. Aku dan anak-anak akan tetap mendukung apapun keputusan Ibu. Sekalipun aku tidak begitu suka ibu masuk ke dunia politik, tapi kan aku tidak pernah melarang. Dengan kondisi seperti sekarang ini, aku hanya ingin mengingatkan,...... ibu harus siap menghadapi kekalahan agar nanti tidak terasa terlalu pahit !
.........Ya Tuhan..., aku nggak tega melihatnya. Masak aku harus menjatuhkan mentalnya lagi dalam kondisi seperti itu. Bagaimana pun ia adalah istriku yang harus selalu kudukung. Bukankah ia telah bekerja keras selama ini membangun bisnis yang membuat kehidupan kami menjadi mapan? Aku harus menghargai dia. Kalau dia sampai down, bisa berabe semua..........
115
Terima kasih Pak. Kata-kata bapak telah membantu membangun kembali kekuatan dalam diriku...
........Aku adalah bagian dari keluargaku. Kekuatanku ada di dalam diriku bersama keluargaku. Ini akan menghapus segala rintangan di luar sana. Memang tidak mudah menjadi perempuan politikus........
116
Selain nomor urut digeser begitu saja, hal-hal lain yang bisa menimpa caleg adalah:
♦ Nama hilang ♦ Daerah Pemilihan (DP) dipindah ke tempat yang sulit (bukan basis parpol atau daerah “merah”) ♦ Tidak mendapat dukungan dari parpol
♦ Politik uang (money politic) ♦ Pembunuhan karakter (character assasination) ♦ Teror dan sabotase di tengah kampanye ♦ Mati langkah karena kehabisan dana ♦ Black campaign ♦ Rivalitas caleg sesama parpol
♦ Rivalitas sesama perempuan caleg ♦ Suara hilang saat penghitungan
117
BERKAMPANYE Menghadapi Sabotase Bu Smara telah melakukan kampanye dalam berbagai bentuk, mulai dari menggunakan radio komunitas, sampai berdialog dengan kelompok tani di kecamatan Sumberasih. Memasuki putaran terakhir, ia akan melakukan orasi pada kampanye terbuka di sebuah lapangan sepakbola kecamatan itu. Beberapa minggu sebelumnya, Bu Smara sudah menyiapkan leaflet, spanduk, umbulumbul, dan menghubungi wartawan lokal. Malam sebelum hari pelaksanaan, tiba-tiba seorang anggota tim suksesnya tergopoh-gopoh datang membawa kabar buruk. Bu Smara....., gawat Bu.....Ini benar-benar gawat. Keterlaluan..!!
Serius Bu. Semua atribut kampanye dan panggung kita porak-poranda. Hancur... Kami belum tahu Bu....
Apanya yang gawat...? Apa yang keterlaluan....? Kamu bikin jantung saya mau copot nih! Ada apaan sih? Jangan becanda kamu!
Haaah ? Kenapa bisa begitu ? Siapa yang melakukan ?! Aduuuh.....’gimana nih ! Jadwal kampanye kita besok pagi. Perbuatan jahat siapa ini ?
118
Seluruh tubuh Bu Smara gemetaran. Wajahnya pucat pasi karena hatinya dijalari rasa cemas luar biasa. Otaknya pun kalut. Perempuan yang sehari-hari selalu tampil percaya diri itu terduduk lemas. Ia sadar, tak punya waktu cukup untuk menyiapkan ulang apa saja yang dihancurkan itu agar kembali seperti kondisi semula. Ia pun harus menanggung kerugian moril dan materil yang tidak kecil. Tetapi......, ia akan lebih rugi lagi jika kampanye terbuka itu dibatalkan. Lalu bagaimana?
.......Sungguh, sebuah persaingan yang tidak sehat. Ini tindakan kriminal yang mengotori proses demokratisasi..........
Malam itu juga berkumpul teman-teman Bu Smara dari LSM Perempuan Cintamani yang selalu mendukungnya. Mereka hadir membesarkan hati Bu Smara, menjaga semangatnya, dan membantu mencari jalan keluar dari permasalahan. Atribut-atribut memang telah dibakar dan panggung kampanye diporakporandakan. Tetapi semua itu hanyalah benda mati, sementara “ruh� atau “nyawa� dari sebuah perjuangan tetap hidup dalam kondisi apapun.
119
Maka keesokan paginya, Bu Smara bersama tim sukses dan anggota berbagai LSM perempuan yang mendukungnya tetap melangkah dengan kepala tegak, menuju ke lapangan kampanye dalam kondisi apa-adanya. Di tengah situasi berantakan itu, tanpa diduga, masyarakat Kecamatan Sumberasih malah berduyun-duyun dan berbondong-bondong memenuhi lapangan. Kabar tentang penghancuran dan pembakaran atribut Bu Smara membuat mereka ingin menyaksikan langsung situasinya. Mereka tampak ingin memberikan simpati dan mengutuk perbuatan pengecut itu. Begitu pula media massa berdatangan dari berbagai penjuru jalan. Semua campur aduk menjadi satu, berebutan ingin melihat dan mendekati sosok caleg perempuan yang mengalami penzaliman itu. Bu Gandasuli, Ketua Yayasan Perempuan Cintamani, berbisik ke telinga rekannya....
Bu Smara‌! Lihat...! Ini hikmah di balik musibah kita. Lihat, banyak sekali manusia. Lapangan ini malah lebih penuh dari perhitungan kita sebelum penghancuran. Ibu harus bisa memanfaatkan situasi ini. Sebagai orang yang dirugikan, dicurangi, dan ditindas, ibu akan memperoleh simpati masyarakat Sumberasih. Pendukung ibu akan semakin kuat mendukung, dan yang tadinya tidak mendukung......, bisa saja menaruh simpati untuk beralih.....Bisa saja kan ? Ayo Bu......maju terus !!!
Bu Smara tercenung sesaat. Tatapannya mengarah ke tengah lapangan yang telah dipenuhi manusia. Ia melihat para pendukungnya tetap setia membawa atribut yang mereka punya, mengenakan kaos parpol dan meneriakkan namanya berulangulang secara kompak.
120
“SMARA....!! SMARA....!! SMARA...!! HIDUP SMARA....!!” Dan sebuah spanduk dibentangkan segerombolan ibu-ibu...
Bu Smara merasa bagaikan mendapat infus darah segar di tengah situasi itu. Ia yang tadinya sempat shock dan lunglai bagai “disedot vampir”, kini menaiki panggung darurat yang menghadap ke tengah lapangan diiringi wajah berbinar dan bersemu merah. Dengan suara bergetar ia memulai orasinya..... Ibu-ibu, bapak-bapak, adik-adik, dan anak-anakku sekalian...... Hari ini kita berkumpul dengan perasaan yang bercampur aduk....! Foto mb yuni Kita gembira karena berada bersama-sama dalam semangat, dalam gairah, mb pesta demokrasi yang bisa merayakan orasi kehidupan kita sebagai ‘menyehatkan’ warga negara. Kita bersama sedang dalam proses menuju ke keadilan dan kesetaraan, tetapi.......kita juga sedih dan kecewa karena seperti ibu-ibu dan bapak-bapak sekalian saksikan hari ini........., ada pihak-pihak yang tidak suka berkompetisi secara sehat. Ada pihak yang maunya berlaku curang......, bertindak anarkis.......membakar....dan menghancurkan....Tapi kita tidak boleh mundur sejengkal pun !!
121
Massa membalas dengan teriakan...
“Hidup Smara......Hidup Wakil Rakyat Kita...!!” “Pilih Smara..!! Pilih Smara.....!! Pilih Saja Wakil yang Bersih!!!” “Tangkaaaap pelaku ........Adili.......!!!”
Ibu-ibu, bapak-bapak, hadirin sekalian........ Biarlah perkara tadi malam menjadi urusan pihak yang berwajib. Saya sudah melaporkan kejadian semalam kepada mereka. Saya menunggu proses menuju ke penegakan hukum demi keadilan. Biarkan peristiwa itu menjadi bagian dari sejarah kita di kecamatan ini. Kita tidak akan melupakannya, tetapi kita tidak boleh menyimpan dendam atasnya. Dendam hanya akan melahirkan tindakan balasan yang sama jahatnya. Hari ini, mari kita alihkan saja fokus kita kepada program-program yang akan saya laksanakan demi perbaikan dan peningkatan taraf kehidupan masyarakat Sumberasih yang saya kasihi.......
Massa berteriak riuh rendah dan suasana semakin hangat seiring meningginya mentari. Lagi, sekelompok ibu-ibu, mengacungacungkan poster Bu Smara dalam balutan seragam partainya....
122
Saya mendapatkan fakta di kecamatan kita ini adalah sempitnya lapangan kerja yang menyebabkan banyak anak-anak perempuan dikirim untuk bekerja ke luar negeri, bahkan banyak yang terjebak menjadi korban trafiking. Kita harus memerangi trafiking dengan lebih dulu memperkuat kondisi perekonomian kita di kecamatan ini. Perekonomian kita selama ini dikuasai oleh para pengusaha besar. Mari sama-sama kita berjuang mengambil alih peran itu dengan Koperasi Usaha Kecil dan Menengah. Harus ada kebijakan yang memberikan peluang sebesar-besarnya untuk membuka jaringan dan akses modal. Pemerintah harus memberikan dukungan penuh. Pemberian kredit mikro bagi kalangan koperasi pengusaha kecil akan dapat meningkatkan taraf kesejahteraan masyarakat dan mewujudkan kemandirian ekonomi berbasis kerakyatan..........
............Saya tahu kredit memang sudah pernah disalurkan, namun lemahnya kontrol sosial di lapangan, proses administrasi yang masih acak-acakan, kondisi perbankan yang tidak sehat, terbatasnya sumber daya dalam penanganan kredit, dan seringnya kesalahpahaman dalam komunikasi di lapangan merupakan problem besar yang harus kita atasi segera. Begitu pula dengan program kredit usaha kecil yang kita kenal dengan KUK perbankan sebesar 20 persen dari total kredit yang dikucurkan pemerintah selama ini masih juga tidak optimal penyalurannya. Ini harus kita benahi.............
123
............Tahun delapan puluhan kita pernah memiliki “Bank Desa”, mirip dengan Grameen Bank yang sukses di Bangladesh dan menyebar di seluruh dunia berkat pendirinya yang juga tokoh penerima nobel terkenal, Muhammad Yunus. Kalau Grameen Bank bisa eksis sampai sekarang, mengapa “Bank Desa” kita tidak ? Itu karena pemerintah telah melahirkan kebijakan yang tidak memihak kepada “Bank Desa” dan mematikan begitu saja tanpa bisa memberikan solusi. Ketika itu mereka mematok modal perbankan minimal 50 juta rupiah, sementara “Bank Desa” rata-rata bermodal kurang dari 50 juta rupiah. “Bank Desa” mati. Hal ini yang tidak pernah dilakukan Muhammad Yunus dengan “Bank Kaum Miskin”nya di Bangladesh. Lembaga kredit mikro di tingkat pedesaan itu ia mampukan dan berdayakan untuk penguatan ekonomi petani dan sektor ekonomi pedesaan pada umumnya. Kalau saya terpilih menjadi anggota dewan perwakilan rakyat, sektor ini yang akan saya perkuat lebih dulu. Saya paham bahwa dampak terparah kemiskinan dipikul lebih banyak oleh kaum perempuan. Maka program kredit mikro akan saya fokuskan terutama untuk perempuan. Kalau perempuan di kecamatan ini sudah bisa mandiri secara ekonomi, untuk apa lagi mereka pergi jauh-jauh menjadi TKW ke negeri orang ?........
............Untuk bisa bergerak, saya pun akan berjuang melahirkan kebijakan anggaran yang berkeadilan gender. Artinya, Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah yang dibuat harus responsif terhadap kebutuhan perempuan dan laki-laki secara proporsional dan dapat diimplementasikan dengan baik.....
Tepuk tangan dan teriakan lepas membahana, membumbung tinggi ke angkasa yang luas nan bebas... Hari itu menjadi milik Bu Smara...
124
Teror dan Diskriminasi Mendapat nomor urut satu di Daerah Pemilihan yang sudah dibina sejak lama, masih juga belum menjadi jaminan bahwa semua proses kampanye akan berlangsung lancar tanpa hambatan. Justru posisinya di nomor satu itu menyebabkan Bu Tegar “digoyang� oleh rival laki-laki sesama parpolnya yang berada di nomor urut dua. Sebetulnya sangatlah pantas Bu Tegar mendapat nomor jadi itu mengingat posisi strategisnya dalam struktur parpol sebagai bendahara, dan masa pengabdiannya yang terbilang tidak sebentar dalam parpol. Namun ketidakmampuan dan ketidakpercayaan diri pihak lain mengejawantah menjadi tindakan tercela. Sejak awal Bu Tegar sudah berupaya mengantisipasi stereotipi seorang janda cerai. Ia menyadari, status pribadinya bisa menjadi alasan pihak tertentu untuk menyudutkan dirinya. Bu Tegar pun memahami, untuk mencapai tujuan besarnya, ia tidak bisa bekerja sendirian. Maka ia mengangkat seorang penasehat pribadi dari luar Kabupaten Tumbumekar yang berpengalaman dan memiliki kemampuan di atas rata-rata caleg dalam perjuangan politik. Bu Tegar sangat kuatir bahwa kekuatan finansial pihak lawan bisa saja meluluhlantakkan semua usahanya. Untuk itu ia membutuhkan dukungan orang-orang yang handal. Sampai suatu hari anggota tim Bu Tegar membawa kabar.... Bu....., mereka memblokir daerahdaerah yang akan kita masuki. Penguruspengurus di kecamatan tidak akan membukakan pintu buat kita.
Lho, kok bisa ?
Saya dapat informasi, pengurus-pengurus di kecamatan itu diberi sepeda motor seorang satu....!!
125
Haah ??? Gilaa....!! Ini yang saya kuatirkan. Sekarang mereka menyerang dengan kemampuan materi mereka...!!
Bu.....,kita sudah ada jadwal kampanye bersama dengan seluruh caleg Pahakiki di Kecamatan Tanahsubur. Saya kuatir, pendukung kita akan dihalang-halangi masuk.
Bu Tegar berdiskusi dengan penasehat pribadinya, mencari jalan keluar. Tiba-tiba, telepon genggamnya bergetar. Sebuah SMS masuk. Setelah membukanya, Bu Tegar lumayan terkejut. Isinya sebagai berikut...
“Ular perempuan! Nggak tahu diri! Jangan harap akan selamat hidup kalau terus mau maju jadi anggota dewan!!” SMS berikutnya dari nomor tidak dikenal itu datang bertubi-tubi....
“Kamu nggak bisa berpolitik! Nggak usah ikut-ikutan!” “Modal kamu apa? Kamu kan janda!” “Sampai kapan pun kamu nggak akan bisa menang. Kami tahu kamu cerai karena selingkuh!!” 126
Tetapi... Tidak hanya teror yang mampir di telepon genggam Bu Tegar. Dukungan pun lebih banyak lagi. Maka teror SMS itu menjadi tidak ada artinya sama sekali bagi Bu Tegar. Ia tidak pernah terpancing untuk menanggapinya, malah menjadikan SMS gelap itu sebagai bahan guyonan bersama anggota timnya sehari-hari di masa kampanye. Yang ia kuatirkan, jika SMS atau apapun bentuk edaran yang berisi materi menyudutkan status kejandaannya disebarkan secara luas dan masyarakat termakan provokasi itu. Ketika tiba juga waktu “kampanye bersama� caleg Pahakiki secara terbuka di sebuah lapangan, hal yang menjadi kekuatiran anggota tim Bu Tegar menjadi kenyataan. Pendukung-pendukung Bu Tegar yang memakai kaos bergambar dirinya, dihadang masuk ke daerah atau ke sekitar panggung kampanye. Yang paling mengejutkan adalah bentangan sebuah spanduk besar bertuliskan:
Cara itu lumayan menjatuhkan mental Bu Tegar dan anggota timnya. Ia sangat marah karena pihak lawan telah dengan terangterangan mendiskriminasikan dan melecehkan dirinya. Penasehat pribadinya mendapatkan ide yang masih bisa menyelamatkan mereka. Bu Tegar disarankan berbicara dengan ketua DPC Pahakiki setempat.
127
Ini tindakan curang luar biasa dan pelecehan terhadap status saya sebagai perempuan. Okelah, para pengurus itu menolak saya, tetapi masyarakat sebetulnya tidak begitu. Mereka yang meminta saya. Jadi sekarang biarkan saya masuk melalui jalur pengajian, organisasi masyarakat dan berbagai LSM. Mereka jangan coba-coba menghalangi lagi kampanye saya di situ.
Silakan saja Bu....kami mendukung cara itu. Sebaiknya persoalan ini jangan dibesar-besarkan ya Bu, karena kurang baik buat citra parpol ke luar. Ingat lho Bu, jangan diekspos ke media massa ....!
........Heh !!.....Ternyata nggak ada gunanya aku melapor.......!!!
Pengaduan permasalahannya ke pengurus parpol, tidak mendapatkan respon sebagaimana yang diharapkan, dan parpol tidak melakukan sangsi apapun atas tindakan tercela anggotanya yang lain itu. Bu Tegar merasa sangat kecewa. Ia mangkel luar biasa! Meski menyadari kalah secara finansial, Bu Tegar ingin membuktikan bahwa ia lebih kuat secara bathin. Ia laksanakan kampanye dengan kerelaan dan memberikan berbagai bentuk pengorbanan. Ia menyadari masyarakat binaannya sudah mengenalnya dalam tempo yang lama. Mereka punya saling keterikatan bathin, dan saling mengenal secara dekat. Ini modal
128
yang sangat penting bagi seorang caleg. Dalam sebuah percakapannya dengan beberapa jurnalis lokal, ia bertutur.... Saya bahagia melihat respon masyarakat. Saya pun ada perasaan, ada empati, melihat ibu-ibu antusias. Melihat mereka menerima saya dengan tangan terbuka sungguh merupakan suatu kegembiraan yang luar biasa, meski saya datang tidak membawa apa-apa. Saya hanya membawa diri saya ketemu mereka. Ini memberikan sesuatu yang berharga bagi diri saya sendiri. Nilainya tidak bisa ditukar dengan dana yang saya keluarkan untuk kampanye ini. Kepasrahan saya muncul untuk menghadapi apapun di depan nanti....
Di hadapan ibu-ibu pengajian atau majelis taklim dan organisasiorganisasi kemasyarakatan lainnya, Bu Tegar memaparkan dengan gamblang program-programnya. Hadirin sekalian...., kita berhadapan dengan fakta banyaknya ibu-ibu yang harus kehilangan nyawa saat melahirkan di daerah ini. Memenuhi hak reproduksi perempuan adalah kewajiban negara, sesuai dengan komitmen pemerintah terhadap ditetapkannya Undang-Undang Nomor Tujuh Tahun 1984. Kalau saya terpilih mewakili masyarakat di sini, maka yang akan saya perjuangkan adalah alokasi dana yang memadai agar kita dapat melangsungkan berbagai bentuk kegiatan sampai pada pelatihan pemenuhan hak reproduksi perempuan. Saya akan lebih memperhatikan jaminan pelayanan kesehatan bagi perempuan, jaminan pelayanan Keluarga Berencana, pemberian pelayanan cuma-cuma bagi pelayanan selama kehamilan, persalinan, dan sesudah persalinan, serta pemberian gizi yang cukup selama masa kehamilan dan menyusui. Satu lagi, akses yang lancar menuju ke pusat-pusat kesehatan agar ibu hamil terutama yang akan segera melahirkan tidak kesulitan tiba di tempat penanganan......
129
......... Saya juga akan lebih memperhatikan nasib pekerja perempuan yang sedang hamil agar tidak ada sangsi pemecatan atas dasar kehamilan atau cuti hamil dan diskriminasi dalam pemberhentian atas dasar status perkawinan. Para perempuan hamil selayaknya mendapatkan cuti hamil dengan bayaran atau dengan tunjangan sosial yang sebanding, tanpa ia harus kehilangan pekerjaan semula. Harus pula ada larangan menempatkan perempuan pada posisi-posisi kerja yang bisa mengancam keselamatan diri dan janinnya. Yang terpenting pula yaitu mendidik para pelayan kesehatan publik menjadi lebih peka gender........
...........Ibu-ibu sahabat saya, hak reproduksi tidak dapat dipisahkan dari hak kesehatan reproduksi karena hak reproduksi juga berarti hak untuk menempuh kehidupan reproduksi secara sehat. Dengan demikian, kesehatan reproduksi itu tidak terbatas hanya pada kesehatan saat hamil, melahirkan, dan menyusui, namun juga berkesinambungan dengan kondisi kesehatan reproduksi seseorang sejak kecil, masa pertumbuhan, hingga dewasa. Maka perhatian dan perlindungan harus diberikan sejak kecil. Anak-anak dan remaja sangat perlu mendapatkan pendidikan kesehatan reproduksi dan kesehatan seksual. Saya ingin bekerja sama dengan sekolah-sekolah yang ada di kabupaten dan kecamatan untuk mulai menerapkan pemberian pemahaman atau pemaparan yang benar tentang kesehatan reproduksi sehingga sikap dan tingkah laku remaja pun akan lebih bertanggungjawab terhadap tubuh dan kesehatan reproduksinya. Perlu juga dibangun klinik-klinik kesehatan reproduksi yang mudah diakses anggota masyarakat yang tak berpunya. 130
Bu Dandan akhirnya tidak memperoleh kesempatan berkampanye terbuka bersama caleg-caleg separtainya. Maka ia gigih bergerilya meski cara itu membuatnya lebih letih dan lebih memakan waktu. Namun, antusias dan respon konstituennya dapat lebih ia rasakan. Sekali waktu dalam kampanye berbentuk dialog, ia mendapat tuntutan dari seorang laki-laki. Bu Tegar, sudahlah jangan banyak janji ! Berikan saja kami aspal dan semen untuk membangun jalan, dan uang ! Ya, kami butuh uang saat ini. Caleg biasanya cuma bisa menebar janji, nanti kalau sudah terpilih, lupa semua dengan janjinya ! Makanya, kami minta itu semua, aspal, semen, uang sekarang, bukan nanti !!
Bu Tegar sempat terperangah, tak menyangka akan “ditodong� seperti itu. Saya mengerti kebutuhan bapak dan masyarakat di sini. Membangun jalan memang penting dan saya setuju dengan kehendak bapak karena jalanan yang teraspal mulus akan memudahkan masyarakat mencapai tempat-tempat tujuan penting dan memperlancar gerak roda perekonomian. Ibu-ibu hamil yang akan melahirkan, orang sakit, anakanak sekolah, juga para pedagang akan tiba dengan lancar di tempat tujuan mereka. Dalam waktu dekat saya akan mengupayakannya. Hidup Bu Tegar...!!! Hidup...!! Kita bangun jalan !! Bagaimana dengan uang tunainya ?
Saya bukan caleg yang suka membagibagikan uang tunai, pak. Uang saya berbentuk program jangka pendek dan jangka panjang yang akan memperbaiki kualitas hidup masyarakat di kecamatan ini. Kalau terpilih nanti, tentu saja saudarasaudara sekalian bisa tetap menuntut semua program itu pada saya. Saya putri daerah sini, saya tidak akan ke mana-mana. Janji bagi saya adalah hutang. Saya masih punya rasa malu jika tidak melunaskan ‘hutang’ saya pada pemilih saya. Jadi, bapak jangan kuatir...Coba diingat-ingat dalam pemilupemilu lalu, bukankah mereka yang membagibagikan uang pada saat kampanye justru mereka yang kemudian ternyata tidak punya program dan tak peduli lagi pada kalian setelah pemilu? Mereka sibuk mengumpulkan balik modal. Hayoooo......benar nggak ?!?
131
Serangan Menjelang Fajar
Bu Dandan berkeliling dari desa ke desa di Kabupaten Kertasari di mana caleg laki-laki bernomor urut 1 dan 2 tidak pernah datangi. Ia rela menembus dusun-dusun yang terletak di balik-balik gunung dan sulit dijangkau. Inilah kesempatan Bu Dandan mengetahui bahwa ternyata di balik pemandangan pepohonan lebat nan hijau di bukitbukit itu terdapat kehidupan yang sering tidak tersentuh pembangunan. Melalui radio komunitas, ia telah berupaya melakukan kampanye dan selalu mendapat respon luar biasa. Sama seperti Bu Tegar, Bu Dandan pun harus berhadapan dengan kekuatan finansial dua caleg laki-laki di nomor urut atas. Namun tekadnya tidak pernah surut. Ia malah menghubungi dua caleg bernomor urut di atasnya itu untuk bersama-sama membangun jaringan di daerah pemilihan mereka. Dengan posisinya di nomor urut 3, Bu Dandan melakukan prediksi dengan logika. Ia tahu bahwa tanpa bekerja sama ia akan kesulitan untuk menang. Awalnya, kedua caleg laki-laki di atasnya setuju. Namun, ketika masuk masa kampanye, mereka tidak pernah muncul untuk turun berkampanye. Keduanya tidak menunjukkan sikap kooperatif, sementara Bu Dandan harus berhadapan juga dengan kekuatan caleg dari parpol lain. Malahan dalam forum-forum raker parpol setempat, ketua DPC dengan terus terang memberi penekanan agar suara untuk DPC Kabupaten Tumbumekar yang berasal dari Kecamatan Kertasari diarahkan ke caleg bernomor urut 1. Tindakan itu membuat Bu Dandan sakit hati. Sebagai caleg, ia merasa telah didiskriminasi secara frontal. Namun sekali lagi, Bu Dandan justru menjadi terobsesi membuktikan kemampuan meraih suara lebih banyak dari kedua caleg di atasnya untuk bisa mencapai syarat Bilangan Pembagi Pemilih (BPP). Di atas kertas, Bu Dandan telah memperoleh dukungan dari Karang Taruna banyak desa, ibu-ibu PKK yang kompak, para kepala dusun dan warganya yang kebanyakan petani, majelis taklim, pedagang di pasar-pasar tradisonal, juga LKMD. Sampai pada lewat tengah malam
132
(menjelang fajar) sebelum pencoblosan pagi harinya, Bu Dandan didatangi sekelompok pemuda Desa “Anginan� yang melobbynya.
Apakah ibu mau menanggung setengah biaya dari tawaran parpol lain sebesar tujuh juta rupiah ?
Waaah, untuk apa uang sebanyak itu ? Kami perlu untuk modal membuka kios voucher telepon seluler dan seragam kesebelasan sepakbola desa kami, Bu‌
Bu Dandan tertegun...
.......Waaaaah......apa-apaan lagi....? Kacau nih anak muda kayak gini.......Mereka gunakan masa kampanye pemilu untuk meraih kebutuhan kelompok mereka yang segelintir.......Kalau tidak kuturuti, aku akan kehilangan suara dari mereka, pasti! Tapiiii.......berapa sih jumlah mereka? Kesebelasan sepak bola.....tidak lebih dari 20 orang dengan pelatih dan pemain cadangannya. Hmmm......nggak penting! Moralku dan moral mereka...., itu lebih penting! Gila aja kalo diikutin...........Enggak lha yiauuw...
Adik-adik....., terus terang saja, sejak memasuki minggu tenang, saya sudah kehabisan dana. Namun saya justru bersyukur sudah tidak punya uang lagi, karena berarti sampai hari ini saya bisa mempertahankan kemurnian dari perjuangan saya. Besok pagi kita akan berpesta demokrasi. Saya hanya bisa berpesan pada kalian, mari kita gunakan hak pilih kita berdasarkan kata hati yang paling dalam.
133
..........Busyet......jangankan sampai lewat tengah malam terakhir ini, bahkan sejak putaran kedua masa kampanye sesungguhnya aku sudah kehabisan dana ! Huuuh.....’udah hari gini masih “ditodong”, sama anak muda lagi !.....Cek..cek..cek.....
Soal kehabisan dana, bukan problem Bu Dandan seorang. Suatu kali, ketika ia merasa seolah “mati langkah” karena tidak punya uang lagi, pergilah ia ke kantor DPC dengan maksud mengeluhkan kondisi itu, dan siapa tahu ada yang bisa meringankannya dari parpol. Biaya operasional tidaklah kecil. Ternyata, setibanya di sana sudah berkumpul ibu-ibu lain yang datang dengan keluhan sama, kehabisan dana, termasuk Bu Smara, seniornya. Semuanya pulang dengan “tangan kosong”. (Memangnya, parpol mau bantu ngasih duit?) Tiada jalan selain melakukan tambal sulam.
Bu Dandan, saya terpaksa menjual dan menggadai barang-barang berharga yang saya punya. Anting, kalung, gelang emas sampai BPKB motor pun tergadai.
Ya masih bagus begitu lha. Hehe…asalkan bukan harga diri yang digadai kan, bu ?
134
SEMBILAN HARI PEMILIHAN DAN PENGHITUNGAN Siap Menang, Siap Kalah
Pada waktu mulai berkiprah, Bu Smara, Bu Tegar, bahkan Bu Dandan yang lebih “junior� adalah “anak bawang� di panggung politik. Walau demikian, penampilan mereka sangat mengesankan. Mereka mau mempelajari sendi-sendi pokok kampanye secara mandiri, menggerakkan organisasi kecil kampanye, juga berinteraksi dengan orang-orang yang terlibat dalam kampanye. Mereka telah membuktikan kemampuan mereka sebagai komunikator yang baik untuk pendekatan-pendekatan tertentu, dan peka pada persoalanpersoalan sosial yang seolah membungkus kehidupan kaum perempuan. Pemungutan suara berlangsung lancar. Penduduk yang sudah mendafarkan diri berbondong-bondong bergantian melaksanakan hak pilih mereka, memberikan suara bagi wakil yang mereka percayai dengan harapan akan ada perubahan demi perbaikan nasib ke depan. Pemungutan suara memang berlangsung lancar, namun tidak demikian dengan penghitungannya....Bu Tegar bernasib sial. Ia mengalami manipulasi penghitungan suara. Ia dan timnya menunggu dan memantau penghitungan suara dengan penuh kecemasan dari waktu ke waktu. Saksi yang mereka pekerjakan, beralih ke caleg lain yang menawarkan pembayaran jasa lebih besar. Anggota tim Bu Tegar melaporkan...
.
Aneh sekali Bu, pada beberapa TPS suara ibu sangat banyak ! Tapi kok di KPU hasilnya lain.
135
Ini buktinya infrastruktur kita tidak siap. Saksi kita ke mana ? Kita harus berhadapan dengan kekuatan uang. Sangat mungkin ada permainan kotor di bawah.
Bu...., kami perkirakan manipulasi suara terjadi di kecamatan menuju ke kabupaten. Ketika penghitungan pada malam hari setelah dari TPS-TPS, suara dibawa ke kecamatan untuk direkab. Jumlah suara milik ibu yang direkab dengan yang diumumkan di KPU kabupaten ternyata berbeda! Ada selisih lima ribu suara.
Yaa....saya curiga sekali ada kepentingan dari pengurus DPC yang mengarah untuk caleg tertentu. Bisa jadi mereka, para pengurus yang merasa sudah diberi materi,uang, dan difasilitasi habis-habisan oleh caleg itu, kuatir kalau sampai caleg bersangkutan tidak menang. Maka sangat mungkin angka yang ada diutak-atik sedemikian rupa dan saya korbannya.
Dari menit ke menit hingga jam demi jam berlalu, Bu Tegar pelanpelan mulai merasa pesimis ketika jumlah suaranya tidak bergerak naik sebagaimana harapannya. Bayangan kursi DPRD Kabupaten kian menjauh dari angannya. Ia berusaha tegar –seperti nama pemberian orangtuanya- dan tampil tenang meski hatinya remuk redam. Menjelang saat-saat akhir penghitungan, datanglah seorang utusan dari sebuah parpol lain -parpol kecil tentunya- yang “menawarkan� sekitar 4000 suara kepada Bu Tegar. Parpol kami sudah tidak mungkin lolos karena jumlah suara kami sangat kecil. Lebih berguna kalau kami jual kepada ibu kan ? Kami tahu ibu masih kekurangan suara. Tentu ibu sanggup mengakses dengan sepuluh ribu satu suara. Kalau ibu tidak mau, akan kami tawarkan kepada caleg lain yang mau.
136
........Ya Tuhan.....sekuat apapun keinginanku menjadi wakil rakyat....bukan begini caranya.......Kalau aku mau mencari empat puluh juta rupiah dengan cara apapun untuk membeli suara itu.......jika perlu berhutang......atau menggadaikan sertifikat rumahku.......bisa saja......,lalu kubeli suara itu........dan aku jadi anggota DPRD ! Ya, anggota dewan yang terhormat ! Tapi...., aku telah membohongi diriku sendiri !! Padahal selama ini aku sudah berjuang sedemikian beratnya....Tidak..!! Tidak...!! Oh..tidak..!!
Bu Tegar menolak membeli suara itu. Ia memilih menerima kenyataan bahwa kegagalannya kali ini hanyalah kesuksesan yang tertunda! Moral telah menjadi pemenang pada peperangan yang berkecamuk dalam bathin Bu Tegar sebagai caleg. Sekuat-kuat ambisi, perjuangan, dan kepentingannya meraih kursi jabatan di DPRD Kabupaten, ternyata masih bisa dikalahkan oleh kesadarannya untuk menjaga kredibilitas moralnya sebagai manusia. Ia sadar, bertanding berarti siap menang, dan siap juga menelan kekalahan. Beberapa tokoh parpol di pusat yang mengenalnya, menyarankan Bu Tegar agar menelusuri suaranya yang hilang banyak itu. Maka dengan dorongan semangat itu, ia kembali turun ke lapangan, namun hanya berhasil menemukan 1500 suara, selebihnya entah ke mana. Tim Bu Tegar pun terus bahu-membahu tanpa kenal lelah bekerja keras mengusut kehilangan itu, namun tak berhasil juga.
137
Sementara itu...di tempat lain...
Di banyak TPS di daerah pemilihannya, Bu Dandan ternyata memperoleh 75 persen suara. Sedangkan di beberapa TPS lainnya, ia hanya memperoleh sekitar 10 persen suara. Bu Dandan berusaha untuk pasrah. Hatinya ketar-ketir menunggu penghitungan suara akhir. Namun yang pasti, ia tidak segalau saat menerima kenyataan diletakkan di nomor urut 3. Bu Dandan telah lebih siap menghadapi apapun kenyataan yang terjadi pada pemilu ini. Toh ia telah berjuang dengan maksimal, melakukan segala daya dan upaya yang dimiliki. ......Ya Tuhan, sesungguhnya yang kurisaukan bukanlah semata-mata kegagalan menjadi anggota dewan. Tetapi, aku merasa kuatir akan berkurangnya jumlah wakil perempuan yang mau memperjuangkan kebijakan yang berpihak kepada rakyat lemah dan perempuan di pedesaan. Aku ingin berbuat lebih daripada sekadar menjadi seorang pengusaha makanan seperti yang selama ini kulakukan......Tuhanku Yang Maha Adil dan Maha Penyayang......,kuatkanlah hamba menerima kenyataan apapun yang Kau berikan.......
Pak Buloli ikut cemas memantau hasil pengumpulan suara istrinya. Ia mencoba menenangkan.
Ibu tenang dan sabar ya..., pengitungan belum usai. Mudahmudahan ibu mendapat tambahan berarti dari TPS-TPS lain yang suaranya belum selesai dihitung. Kita pasrahkan kepada Tuhan.
138
Iya Pak, sejak tadi di dalam hati, aku berbicara terus dengan Tuhan kok. Pak, apapun yang terjadi, aku berjanji tidak akan menyurutkan langkahku untuk terus memperjuangkan nasib orang-orang tertindas. Kakiku kadung basah pak...., sudah sekalian aku akan nyebur ! Kalau gagal kali ini, aku akan tetap berpolitik, berjuang di luar parlemen juga bisa.
Sesuatu yang pada awalnya hanya berupa mimpi dan harapan bagi Bu Dandan ternyata telah berubah menjadi kenyataan. Pada penghitungan akhir, Bu Dandan mengumpulkan suara sangat tinggi dan berhasil melampaui hitungan 30 persen Bilangan Pembagi Pemilih (BPP) sebagaimana ketentuan dalam UU Pemilu RI. Sementara itu, suara caleg nomor urut 1 dan 2 di atasnya tertinggal jauh di bawah perolehan suara Bu Dandan yang berada di nomor urut 3. Dengan demikian, Partai Menggapai Mimpi memperoleh 3 kursi di Daerah Pemilihan itu, dan Bu Dandan pun berhasil menggapai kursi legislatif Kabupaten Tumbumekar. Air mata Bu Dandan berlelehan karena haru. Ini air mata keduanya. Jika yang pertama ia menangis karena kecewa dan galau, kini ia berlinang karena keberhasilan yang terasa bagaikan mukjizat. Kelelahan fisik dan psikis yang dialami Bu Dandan sejak sebelum dan
Rasanya.....aku masih nggak percaya ibu bisa menang juga akhirnya. Terima kasih Tuhan. Selamat ya Bu...!
139
selama masa kampanye kini sirna. Pak Bulol pun ikut terharu dan suka cita seraya memeluk istrinya dengan bangga. Bapak sudah mendukungku di saat yang berat. Terima kasih ya Pak...! Aku bersyukur dan gembira. Tapi aku sadar apa arti semua ini pak. Bagiku, tantangan dan kendala makin terlihat di depan sana. Aku harus melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar. Tak ada lain.
.......Istriku memang perempuan hebat. Sejak dulu ia adalah pekerja keras yang pantang mundur......Tidak ada kata putus asa dalam kamusnya. Aku bangga padanya....
Bagaimana nasib Bu Smaradana...? Tak perlu ditanya lagi....Ia adalah bintang kampanye Partai Menggapai Mimpi yang tak terkalahkan. Sejak awal ia memang dijagokan. Siapa yang tak kenal Smaradana? Ia sangat populer. Maka, dengan posisi di nomor urut 1, berlaga di daerah pemilihan berbasis parpol, memiliki banyak pengikut setia sejak lama, menjual program unggulan yang realistis, dan punya kharisma....., ia pun melaju mulus memasuki
140
gedung dewan perwakilan rakyat! Serangan anarkis yang coba dilakukan saingannya, ditepis Bu Smara tanpa kesulitan berarti.
MEMAKNAI KEGAGALAN Pagi itu Bu Dandan dan Bu Smara telah hadir di kantor KPU Kabupaten Tumbumekar. Mereka berpelukan erat. Di tempat itu kedua ibu yang telah berjuang gigih, menerima hasil resmi penghitungan suara masing-masing. Suka cita memancar jelas dari wajah keduanya sampai tiba-tiba...... Bu Tegar telah berdiri dengan tenang di hadapan mereka seraya menjulurkan tangannya dengan hangat. Bu Dandan dan Bu Smara pun menyambut tak kalah hangat, mencium pipi, lantas merangkul Bu Tegar, memberikan simpati mendalam atas kegagalannya. Sesaat tak ada kata-kata yang keluar. Bu Tegar yang kemudian memulai berujar, Kekalahan ini bukan akhir dari segalanya kan ? Dan bukan aib, karena saya telah memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk memilih. Jadi, pasti ada yang kalah dan ada yang menang. Bagi saya, jati diri seorang caleg tidak akan berubah setelah ia menang atau setelah ia kalah. Yaaaah......., bukankah begitu Bu Smara ?
Tentu Bu Tegar ! Sejak dulu kita sudah belajar bagaimana memaknai sebuah kegagalan. Kalimat tadi hanya mungkin keluar dari bibir seorang perempuan sekuatmu. Saya bisa merasakan apa yang Bu Tegar rasakan.
141
Perasaan saya memang remuk redam, saya sempat shock karena diperlakukan tidak adil. Tetapi saya tidak akan meninggalkan arena politik, apalagi kabur dari realitas kehidupan. Mental saya adalah mental aktivis. Saya tidak ingin berhitung berapa materi dan pengorbanan yang telah saya keluarkan. Lebih baik saya melihat kebahagiaan yang selama ini saya terima, juga berbagai kesempatan dan kepuasan yang telah saya peroleh. Saya punya banyak teman berharga. Keberkawanan itu sesuatu yang paling mahal.
Ya Bu Dandan, kita telah sama-sama mendapatkan pengalaman berharga dan benar-benar tahu sekarang bagaimana caranya mempertahankan nilai-nilai yang hakiki dalam perjuangan. Kalau kita tidak maju bertempur seperti kemarin, kita tidak akan pernah bisa tahu seberapa besar suara yang mendukung, juga tak akan pernah bisa mengukur kekuatan kita sendiri, serta tak akan pernah tahu pula bagaimana respon konstituen.
Saya harus tetap menimba ilmu dari Bu Tegar.
Tentu saja, pengalaman menjadi caleg adalah sebuah lompatan hidup. Saya tidak melihat kegagalan sebagai hal yang merugikan seratus persen, karena dalam hidup ini memang ada harga yang harus dibayar.
142
Sebuah pelajaran dan pengetahuan yang sangat berharga. Benar-benar pengalaman yang sangat mahal.
Melangkah Ke Gedung Dewan Perwakilan Rakyat, Menjadi Anggota yang Berkualitas Setelah semalaman hujan turun lebat, pelangi muncul menandai pagi yang cerah. Langit membiru dengan semburat merah melengkapi keindahan hari itu. Bu Smara dan Bu Dandan hadir memenuhi gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Mereka siap dilantik bersama anggota legislatif terpilih lainnya. Pak Paya dan Pak Bulol turut mendampingi istri tercinta dengan berbalur rasa bangga.
Kini.. DANDANMAYA, seorang perempuan pendatang baru yang berpotensi, pembawa idealisme dan gagasan yang berpihak pada kaum lemah, telah
143
bergabung! Ia ditempatkan pembangunan infrastruktur.
di
Komisi
C
yang
membidangi
SMARADANA, seorang perempuan politikus berpengalaman, pejuang, dan pengusung kesetaraan, datang memperkuat barisan perempuan. Ia bertugas di Komisi yang membidangi perekonomian dan perdagangan. Jauh di depan sana, masih merintang hambatan dalam perjalanan panjang berliku, tetapi bukan tanpa harapan. Melalui lembaga yang sangat strategis ini, perempuan bisa menghasilkan gerakan baru yang mengarah kepada perwujudan masyarakat yang adil dan setara gender. Apa yang bisa dilakukan perempuan di parlemen dan bagaimana mereka bisa memengaruhi kebijakan akan tercermin dalam:
• • •
cara berpikir, berbicara, bertindak selalu untuk dan atas nama rakyat; tetap berkomunikasi dan berkoordinasi dengan gerakan perempuan; serta bersikap dan bertindak secara transparan dan bertanggungjawab.
144
KISAH SELESAI SAMPAI DI SINI
TETAPI PERJUANGAN SELANJUTNYA DARI PARA PEREMPUAN YANG MIRIP DIPERANKAN TIGA TOKOH DALAM KOMIK INI BELUM AKAN SELESAI DALAM WAKTU SINGKAT
SEMOGA AKAN LEBIH BANYAK LAGI PEREMPUAN PEMBERANI YANG MEMPUNYAI VISI DAN MISI MEMPERJUANGKAN KEADILAN DAN KESETARAAN GENDER DI TEMPAT SEMUA KEBIJAKAN PUBLIK BERMUARA…
145
146
SENARAI BACAAN Adelina, S. (2004). Hambatan Calon Legislatif Perempuan Dalam Partai dan Sistem Politik Menuju Lembaga Legislatif. Studi Kasus: Kegagalan Calon Legislatif Perempuan Dalam Pemilu 2004. Jakarta: Program Studi Kajian Wanita, Program Pascasarjana, Universitas Indonesia (tesis magister tidak dipublikasikan) Al-Arief, M. (2001). Pemilihan presiden Amerika Serikat tahun 2000: suatu kritik Terhadap demokrasi Amerika. Jurnal Studi Amerika Vol.VIII, Januari-Juni 2001, 38—45. Jakarta: Pusat Kajian Wilayah Amerika Universitas Indonesia Bacchi, C.L. (1999). Women, policy, and politics, the construction of policy problems. London: Sage Publication Ltd Bates, U.Et al. (1995). Women’s realities women’s choices-an introduction to women’s studies. New York: Oxford University Press Budiardjo, M. (1998). Menggapai kedaulatan rakyat. Jakarta: Penerbit Mizan Cantor, D.W & Bernay, T. (1992). Women in power: the secret of leadership. Boston: Houghton Mifflin Company Cincotta, H. (2001). What is democracy? (Terj. B. Prayitno). Washington DC: DoS. (Terbitan asli 2001) Clayton, S.D & Crosby, F.J. (1994). Justice, gender, and affirmative action. Michigan: The University of Michigan Press Dahlerup, D. (2002). Menggunakan kuota untuk meningkatkan representasi politik perempuan. Dalam J. Ballington, S.K. Rajasingham, (Eds.), Women in parliament beyond numbers, (h. 114—121). (Terj.A.Syams). Stockholm: Internasional IDEA. (Terbitan asli 1998) D’Amico, F & Beckham, P. R. (1995). Women in world politics. London: Bergin & Carvey Dowding, K. (1996). Power. Minneapolis: University of Minnesota Press Fatah, E.S. (2004). Caleg selebriti perempuan: dari perlengkapan ke pelaku politik. Jurnal Perempuan 34, 49—64. Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan
147
Friedan, B. (1981). The second stage. New York: Summit Books ---------- (2004). Hak azasi perempuan instrumen hukum untuk mewujudkan Keadilan gender. (Ed. Ke-1) Jakarta: Pusat Kajian Wanita dan Gender Universitas Indonesia & Yayasan Obor Indonesia Haryatmoko. (2003). Etika politik & kekuasaan. Jakarta: Penerbit Buku Kompas Humm, M. (2002). Ensiklopedia feminisme. (Terj. M. Rahayu). Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru Johnson, P. (2001).Partai politik dan konsolidasi demokrasi di Indonesia. Dalam Panduan parlemen Indonesia. Jakarta: Yayasan API Karam, A. (2003). Beijing + 5: partisipasi politik perempuan: tinjauan strategi dan Kecenderungan. Dalam L.H. Banarjee & S. Troop, (Eds.), Partisipasi politik perempuan dan tata pemerintahan yang baik: tantangan abad 21, (h.15—26). (Terj. PATTIRO). New York: UNDP. (Terbitan asli 2003) ----------- (2001). Keterwakilan perempuan dan sistem pemilihan umum, proseding Seminar internasional. Jakarta: MNPP & National Democratic Institute Kirkpatrick, J. (1974). Political women. New York: Basic Book Publ ---------- (2005). Konsolidasi Demokrasi. Kompilasi Hasil Workshop, Pertemuan Kerja Rutin dan Pertemuan Nasional. Jakarta: Forum Politisi Lukes, S. (Ed). (1986). Power. Oxford: Basil Blackwell Ltd Mernisi, F. (1997). Menengok kontroversi peran wanita dalam politik. (Terj.M.M. Abadi). Surabaya: Dunia Ilmu Michels, R. (1962). Political parties, a sociological study of the oligarchial tendencies of modern democracy. London: The Free Press, a Division of Macmillan Publishing Co., Inc Muhammad, H. K.H. (2001). Fiqh perempuan. Yogyakarta: LkiS Mulia, S. M & Farida, A. (2005). Perempuan & politik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama Mulia, S. M. (2007). Menuju Kemandirian Politik Perempuan. Jakarta: Kibar Press
148
Naisbitt, J. & Aburdene, P. (1990). Megatrends 2000. (Terj. F.X. Budijanto). Jakarta: Binarupa Aksara ----------- (2003). Partisipasi politik perempuan dan tata pemerintahan yang baik: Tantangan abad 21. (Terj. PATTIRO, 2003. New York: UNDP). Jakarta: UNDP Indonesia ----------- (2000). Penilaian demokratisasi di Indonesia. Jakarta: International IDEA Randal, V. (1982). Women in politics. New York: St. Martin’s Press Inc Saraswati, T. (2004). Agenda perjuangan politik perempuan melalui paarlemen. Jurnal Perempuan 35, 31—41. Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan Saptari, R. & Holzner, B. (1997). Perempuan kerja dan perubahan sosial. Jakarta: Penerbit PT Pustaka Utama Grafiti Seda, F.S.S.E. (2002). Sistem rekrutmen anggota legislatif dan pemilihan di Indonesia. Dalam. J. Ballington, S.K. Rajasingham, (Eds.), Women in parliament beyond numbers, (h.93—100). (Terj.A. Syams). Stockholm: International IDEA. (Terbitan asli 1998) Setyowati, E., Et al, (2003). Bagaimana undang-undang dibuat. Jakarta: Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia Shanti, B. (2001). Kuota perempuan di parlemen: jalan menuju kesetaraan politik. Jurnal Perempuan 19, 19—37. Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan Shevedova, N. (2002). Kendala-kendala terhadap partisipasi perempuan. Dalam J. Ballington, S.K. Rajasingham, (Eds.), Women in parliament beyond numbers, (h.20—40). (Terj. A.Syams). Stockholm: International IDEA (Terbitan asli 1998) Soetjipto, A. (2004). Affirmative action: menuju masyarakat demokratis. Jurnal Perempuan 34, 113—119. Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan Soetjipto, A. (2005). Politik perempuan bukan gerhana. Jakarta: Penerbit Buku Kompas Subiyantoro, E.B. (2004). Keterwakilan perempuan dalam politik: masih menjadi kabar burung. Jurnal Perempuan 34, 69—81. Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan
149
Subono, N.I. (2003). Perempuan dan partisipasi politik. Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan Susiana, S. (Ed). (2003). Pemilu 2004, analisis politik, hukum, dan ekonomi. Jakarta: Pusat Pengkajian dan Pelayanan Informasi Sekretariat Jenderal DPR RI Tim Litbang Kompas. (2004). Partai-partai politik, ideologi dan program 2004— 2009. Jakarta: Penerbit Buku Kompas Tim Litbang Kompas. (2004). Wajah DPR dan DPD 2004—2009. Jakarta: Penerbit Buku Kompas Tong, R.P. (2004). Feminist thought: a more comprehensive introduction. (Terj. A.P. Prabasmoro). Colorado: Westview Press. (Terbitan asli 1998) Wardani, S.B.E. (1999). Aspirasi perempuan anggota parlemen terhadap pemberdayaan politik perempuan. Jakarta: IDEA International dan YJP Wijaksana, M.B. (Ed). (2004). Modul perempuan untuk politik. Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan Zakaria, F. (2004), Masa depan kebebasan. Penyimpangan demokrasi di Amerika dan Negara lain. (Terj. A. Lukman). Jakarta: PT. Ina Publikatama
150
TENTANG PENULIS Shelly Adelina, lahir di Medan 26 Juni 1963, lulus dari Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (IISIP) Jurusan Jurnalistik, Lenteng Agung, Jakarta, tahun 1989. Meraih gelar Magister Science dengan predikat cum laude dari Program Studi Kajian Wanita (Women’s Studies) Universitas Indonesia dengan tesis berjudul: “Hambatan Calon Legislatif Perempuan Dalam Partai dan Sistem Politik Menuju Lembaga Legislatif. Studi Kasus: Kegagalan Calon Legislatif Perempuan dalam Pemilu 2004”. Pernah bekerja sebagai jurnalis di media massa perempuan, paling lama sebagai redaktur senior bidang crime reporting di Tabloid Wanita Indonesia. Setelah lulus dari Program Studi Kajian Wanita UI, ia direkrut menjadi staf akademik, dan saat ini menjabat sebagai Sekretaris Program Studi Kajian Wanita, Program Pascasarjana UI, serta menjadi tenaga pengajar pada mata kuliah ”Teori-Teori Feminis”. Shelly juga mengampu mata kuliah ”Teori Komunikasi 2” di Universitas Indonusa Esa Unggul Jakarta dan membimbing penulisan skripsi mahasiswa. Ia menaruh minat pada jurnalisme investigasi, analisis wacana, dan hak-hak perempuan politikus. Dalam advokasi untuk mewujudkan keterwakilan perempuan yang memadai di parlemen dan di lembaga pengambil kebijakan publik lainnya, ia bergabung bersama banyak rekan dari berbagai LSM, ormas, dan individu dalam Aliansi Masyarakat Sipil Untuk Revisi Undang-Undang Politik (Ansipol). Bersama Tita Marlita, ia menyusun buku ”Perempuan Pejuang Menitipkan Pesan” yang diterbitkan dalam rangka memperingati HUT kemerdekaan RI ke 62 dan 80 tahun Prof.Dr.Saparinah Sadli (2007). Shelly masuk dalam ”Database Profil Perempuan Potensial untuk Pencalonan Legislatif” yang disusun Puska Gender dan Seksualitas FISIP UI (2008). Ia bisa dihubungi melalui email: shellyadelina@gmail.com atau shelly.adelina@ui.edu
151