Reportase - Jurnal Laporan Investigasi Edisi 04, November 2007

Page 1

REPORTASE edisi 04 November 2007

1


REPORTASE edisi 04 November 2007

Daftar Isi

Pengantar –––––––––––––––––––––––––3 Satu Juta Orang Pinggiran ––––––––––5 Benang Kusut Daftar Pemilih –––––– 9

REPORTASE REDAKSI EDISI 04

Yuliyanti Wartawan Radio Voice of Human Rights Poernomo G Ridho Wartawan Koran Tempo Alida Bahaweres Wartawan Majalah Gatra

Dagang Kursi

Riky Ferdianto Wartawan Koran Tempo

Berbungkus Sosialisasi ––––––––––––13

Istiqomatul Hayati Wartawan Koran Tempo Mustafa Silalahi Wartawan Koran Tempo

Hikayat Tiga Surat ––––––––––––––––19 Hilang Dalam Hitungan Detik––––––––23 Kabar Kabur Para Penyumbang –––––28

Dadan M Ramdan Wartawan Koran Monitor Depok Arif Kuswardono Wartawan Majalah Tempo Agustinus Eko Raharjo Wartawan Radio CVC Dwi Setyo Editor Kendra H. Paramita Ilustrator Cover

Kalau Tabloid Menggebrak Pilkada ––34

Muid Mularnoidin Desain Grafis

Jejak Bohir Jakarta Satu –––––––––– 40

AJI Jakarta: Jl. Prof. Dr. Soepomo No. 1 A, Kompl. Bier, Menteng Dalam Jakarta Selatan Telp. 021-70758626, Fax. 021-83702660, Email: ajijak@cbn.net.id, Website: www.aji-jakarta.org

Menggugat Janji Gubernur Jakarta ––50 2


REPORTASE edisi 04 November 2007

P

Mengungkap Sisi Lain Pilkada Jakarta

emilihan Gubernur Jakarta secara langsung untuk pertama kalinya dalam sejarah Republik ini sudah berakhir Agustus lalu. Di permukaan, banyak pihak memuji proses demokrasi yang berjalan baik, relatif aman dan tanpa bentrokan fisik antar pendukung kedua kandidat Gubernur. Kerelaan pasangan Adang Daradjatun-Dani Anwar yang langsung mengakui kekalahannya sehari setelah pemungutan suara berakhir, dipuji banyak pihak. Meski begitu, sejatinya ada banyak cerita di balik layar yang belum terungkap kepada khalayak. Pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Jakarta menjadi barometer kedewasaan berpolitik dan kematangan demokrasi di Indonesia. Sebagai ibukota negara, semua mata dan telinga berpusat ke Jakarta, selama pemilihan berlangsung. Meski belum sempurna, ada banyak pelajaran yang bisa dipetik. Ada banyak kesalahan dan kekurangan yang seyogyanya tidak diulangi di daerah lain. Hanya dengan begitu, pelaksanaan Pilkada yang sudah menjadi bagian dari proses demokrasi

Pengantar

Indonesia sejak 2004 lalu bisa bertambah baik seiring waktu dan benar-benar menjadi representasi kepentingan publik. Jurnal Reportase ini merupakan kumpulan liputan investigatif dan liputan mendalam yang dikerjakan sembilan jurnalis pemenang program Fellowship Peliputan Pilkada Jakarta yang diselenggarakan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta bekerja sama dengan Yayasan Tifa. Semua karya yang dimuat di jurnal ini sudah dipublikasikan sebelumnya di media tempat bekerja para jurnalis partisipan program ini. Lewat liputan-liputan para peserta program ini, Anda akan diajak menelisik lebih dalam apa yang terjadi di balik gegap gempita pelaksanaan Pilkada Jakarta. Yuliyanti, jurnalis perempuan radio Voice of Human Rights, mengajak kita untuk memikirkan nasib jutaan kaum miskin kota yang tidak mendapatkan hak pilihnya untuk ikut menentukan siapa pemimpin Jakarta periode 2007-2012. Dia terjun ke kampung-kampung paling kumuh di Ibukota dan menemukan kisah-kisah menyentuh para warga di

3


REPORTASE edisi 04 November 2007

sana. Poernomo Ridho, wartawan Koran Tempo, membawa kita lebih jauh lagi. Liputannya menjelaskan bahwa nasib jutaan kaum miskin kota yang tidak memperoleh hak pilihnya bukanlah sebuah fenomena yang terisolir. Hampir 20 persen dari 5,8 warga Jakarta yang memiliki hak pilih ternyata tidak terdaftar sebagai pemilih. Dengan telaten, Poernomo mencari siapa saja warga yang kehilangan hak pilih dan membuktikan bahwa tudingan sejumlah Lembaga Swadaya Masyarakat soal amburadulnya penetapan daftar pemilih tetap, ternyata cukup berdasar. Rach Alida Bahaweres mengungkap sisi lain dari proses penentuan kandidat kepala daerah di Jakarta. Sesuai undang-undang, partai politik memang memiliki kewenangan besar untuk menentukan siapa yang akan menjadi calon kepala daerah. Alida, wartawan Majalah Gatra ini, menemukan sejumlah oknum partai yang justru menyalahgunakan kewenangan itu dengan memperdagangkan tiket pencalonan menuju singgasana Jakarta Satu. Ricky Ferdianto dan Istiqomatul Hayati, keduanya jurnalis Koran Tempo, menelisik sisi pengadaan logistik Pilkada Jakarta. Pengadaan tinta, surat suara sampai bilik suara selalu menjadi ladang korupsi yang empuk dalam setiap penyelenggaraan pemilu. Sejumlah anggota Komisi Pemilihan Umum periode lalu meringkuk di balik terali besi akibat korupsi pengadaan logistik pemilu 2004 lalu. Ricky dan Isti menemukan indikasi skandal serupa berulang pada Pilkada Jakarta tahun ini. Mustafa Silalahi dan Arif Kuswardono, keduanya wartawan Tempo, meliput bagian paling rahasia dari penyelenggaraan pemilu dimanapun: dana kampanye. Mustafa memeriksa sahih tidaknya daftar para penyumbang dana kampanye untuk kandidat Gubernur

4

Jakarta. Sementara Arif melakukan investigasi yang lebih dalam, mengungkap siapa sebenarnya penyumbang terbesar sang Gubernur terpilih, Fauzi Bowo. Sementara Dadan Ramdan, wartawan koran lokal Monitor Depok, menyoroti penggunaan tabloid sebagai alat kampanye dan pembunuhan karakter oleh salahsatu kandidat. Rangkaian tulisan investigatif ini ditutup oleh sebuah reportase basah dari reporter radio CVC, Agustinus Eko Rahardjo. Jojo, demikian dia biasa dipanggil, menggugat keseriusan janji Gubernur Jakarta terpilih untuk menciptakan sebuah Jakarta untuk semua. Membaca kesembilan karya jurnalistik ini benarbenar memberi perspektif baru bagaimana sebuah proses demokrasi yang dielu-elukan banyak orang juga menyimpan skandal, cerita miring dan missmanajemen yang membuat gondok. Tentu harapan terbesar dari penerbitan jurnal ini adalah perbaikan dan penyempurnaan pelaksanaan pemilihan kepala daerah di masa mendatang. Hanya mereka yang berani mengakui kesalahan dan memperbaikinya yang punya potensi untuk menjadi bangsa yang demokratis, maju dan sejahtera. Sembilan jurnalis ini sudah menjalankan fungsinya sebagai anjing penjaga demokrasi. Mereka mengingatkan bahwa ada yang salah dalam proses demokrasi kita. Sekarang giliran para aktor demokrasi lain menjalankan fungsinya masing-masing demi kemashalatan publik dan masa depan negeri ini yang lebih baik. Jakarta, November 2007

Jajang Jamaludin Ketua AJI Jakarta


REPORTASE edisi 04 November 2007

Satu Juta Orang Pinggiran Yuliyanti

M

Wartawan Radio Voice of Human Rights

UARA Baru, Penjaringan, Jakarta Utara. Aminah dan Sindusiah sedang menanak nasi dengan kayu bakar. Dua perempuan separuh baya itu asyik memasak

dengan tungku yang dibuat seadanya, di sepetak tanah kosong persis di depan rumah kayu mereka. Ini bukan peristiwa dua atau tiga dekade lalu, ketika ekonomi Indonesia masih tertatih-tatih. Ini kejadian nyata yang terjadi Agustus lalu di pinggiran ibukota Indonesia, Jakarta. Sejak harga minyak tanah meroket awal tahun ini, Aminah dan Sindusiah saban hari memasak di pekarangan sempit seluas setengah meter persegi itu. Tak hanya memasak untuk keluarga masing-masing, dua ibu itu juga menyediakan makanan untuk warga lain di kampung itu. ”Dapur” dadakan mereka kini berubah menjadi dapur umum untuk kampung Kebun Tebu di Muara Baru itu. Saat ditanya mengapa memasak dengan menggunakan kayu bakar, Sindusiah mengaku tak punya uang untuk membeli gas elpiji. Sebulan sebelumnya, pemerintah memang membagikan tabung dan kompor gas sebagai bagian dari program konversi energi dari minyak tanah ke gas elpiji. ”Kalau dulu masih ada minyak tanah, saya bisa membeli setengah liter dulu untuk masak,” katanya masygul. ”Sekarang, kalau tidak punya Rp 15 ribu tidak bisa beli gas elpiji,” katanya. ***

DAPUR DADAKAN. Jadi dapur umum untuk warga kampung Kebun Tebu, Muara Baru

Sindusiah dan Aminah adalah bagian dari 5,8 juta penduduk Ibukota yang memiliki hak pilih pada

5


REPORTASE edisi 04 November 2007 Pemilihan Gubernur Jakarta, 8 Agustus lalu. Bagi mereka, Pilkada mungkin lebih penting ketimbang bagi pemilih lain dari kelompok masyarakat dengan kondisi ekonomi lebih mapan. Jika Sindusiah dan kawankawannya gagal mewarnai hasil akhir pemilihan itu, sulit memastikan kepentingan mereka —yang jumlahnya sampai 40 persen dari total populasi penduduk Jakarta— bisa terwakili. Ironisnya, kebanyakkan dari mereka justru tidak terdaftar sebagai pemilih di Ibukota. Dua pekan sebelum hari pencoblosan, sejumlah lembaga swadaya masyarakat sudah mengingatkan Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) Jakarta soal adanya warga Ibukota yang belum terdaftar sebagai pemilih. Jumlahnya diperkirakan mencapai ratusan ribu orang. Wardah Hafidz, Kordinator Urban Poor Consorsium (UPC), sebuah lembaga swadaya masyarakat yang peduli pada warga miskin perkotaan, bahkan menyodorkan angka yang lebih fantastis. Menurutnya ada 1,9 juta warga miskin di Jakarta yang tidak bisa menggunakan hak pilihnya menentukan Gubernur Ibu kota. Bagaimana penduduk sebanyak itu bisa kehilangan hak demokrasi yang paling mendasar itu? Penyebabnya sekilas terdengar sepele: mereka tidak punya dokumen kependudukan. ”Sebagian besar orang miskin di Jakarta tidak punya Kartu Tanda Penduduk,” kata Wardah prihatin. Bagi sebagian dari kita, memiliki KTP atau Kartu Keluarga mungkin bukan hal yang luar biasa. Beberapa orang bahkan punya KTP lebih dari satu biji. Karena itu, banyak orang tidak bisa membayangkan bahwa ada sekelompok orang yang tidak punya akses pada dokumen-dokumen kependudukan dasar semacam itu. Apalagi konsekuensi hukum dari ketiadaan dokumen sederhana semacam KTP itu ternyata amat panjang.

6

Di mata pemerintah daerah, kaum miskin kota yang tidak memiliki dokumen kependudukan yang sahih adalah penyerobot lahan belaka. Mereka dipandang sebagai warga kelas dua yang tidak punya hak politik. ”Seluruh hak sipil dan hak konstitusional mereka ikut hilang,” kata Wardah. Sejak lama Wardah berkampanye menantang anggapan itu. Menurutnya, warga miskin Ibukota memberikan kontribusi tidak sedikit untuk pendapatan Jakarta. ”Pemerintah DKI selalu mengatakan warga kampung di sini bukan warga Jakarta,” katanya merujuk pada kampung Aminah di Kebun Tebu, Penjaringan. Padahal, kata Wardah, semua warga kampung itu membeli kebutuhan pokok seperti rokok, sabun, dan shampo —yang tentu saja semuanya berpajak. ”Mereka berlangganan listrik yang juga berpajak,” kata Wardah lagi. Pajak itu masuk ke kas pemerintah daerah. Artinya, secara tidak langsung, warga miskin ibu kota menyumbang pada pendapatan Pemda DKI Jakarta. Meski menyumbang pada pendapatan daerah, pemerintah daerah masih enggan mengakui keberadaan banyak warga miskin kota. Pasalnya, ada soal lain yang masih mengganjal: status kepemilikan tanah yang ditempati warga miskin kota, seringkali tidak jelas. *** Kawasan Kebun Tebu, Penjaringan, Jakarta Utara memang tergolong daerah miskin. Di sana bermukim sekitar seribu keluarga. Mereka hidup berdempet-dempet dalam rumah panggung yang terbuat dari kayu triplek. Sebagian besar penduduk di sana hidup dari menjadi nelayan atau buruh pabrik. Sumber air bersih amat terbatas. Bau tak sedap membumbung di udara. Yang membuat miris, kawasan kumuh ini bertetangga langsung dengan kompleks perumahan mewah, Puri Mutiara.


REPORTASE edisi 04 November 2007 Meski tergolong miskin, menurut pengakuan warga kampung itu, mereka jarang sekali menerima bantuan dari pemerintah. Padahal ada bejibun program pemerintah yang ditujukan untuk warga seperti Aminah dan Sindusiah. Sebut saja pembagian beras murah, asuransi kesehatan, bantuan langsung tunai, dan sejenisnya. “Kalau pun dapat bantuan, tidak semua warga dapat,” kata seorang warga Kebun Tebu, Ecih. Ecih menilai sulitnya warga Kampung Kebun Tebu mendapat bantuan pemerintah terkait dengan tidak jelasnya status tanah yang ditempati warga kampung itu. Dinas Pekerjaan Umum DKI memang kabarnya mengklaim kembali sepetak tanah itu sebagai bagian dari perluasan Waduk Pluit.”Pemerintah menganggap tanah ini bukan milik kami,” katanya. ”Kami mau saja pindah, asalkan diberi tempat yang lebih baik tanpa harus membayar lagi,” kata Ecih pelan. Jika bantuan resmi pemerintah saja jarang mampir ke rumah Ecih, sulit mengharapkan warga kampung itu mendapat dokumen kependudukan, apalagi kartu pemilih.

tidak bisa memilih,” kata Wardah lagi. Saking bersemangatnya ingin ikut mencoblos, pada hari-h pemilihan 8 Agustus lalu, Ecih dan ratusan kawan-kawannya mendatangi Tempat Pemungutan Suara di kantor Kelurahan Penjaringan, Jakarta Utara. Mereka mendesak panitia pemilihan untuk mengijinkan mereka memberikan hak suaranya. Upaya ini kandas. *** Dari penelusuran di lapangan, ternyata ada lagi satu daerah pinggiran Ibukota yang menyimpan kisah tak kalah unik. Sebanyak 800 warga Tanah Merah,

*** Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi Sosial (LP3ES), akhir Agustus lalu, sempat merilis kabar kalau 22 persen dari warga Jakarta tidak terdaftar sebagai pemilih. Padahal mereka semua seharusnya memiliki hak pilih yang dilindungi konstitusi. Sangat mungkin warga Kebun Tebu ada di antara kelompok warga yang 22 persen ini. Wardah mengamini hasil penelitian itu. Jika angka 1,9 juta warga Ibukota kehilangan hak pilih seperti yang disebut Wardah itu akurat, jumlah pemilih sebesar itu tentu bisa jadi faktor signifikan yang menentukan pemenang pilkada. ”Sebetulnya ada jarak yang tipis antara yang menang dan yang

KAMPANYE. Sebuah bendera milik salah satu kandidat berkibar di gang kumuh Jakarta

7


REPORTASE edisi 04 November 2007 Kampung Beting, di Kelurahan Tugu Utara, Jakarta Utara, tidak terdaftar sebagai pemilih dalam Pilkada. Padahal mereka memiliki dokumen kependudukan berupa KTP yang sah. Ini membuat warga bingung. Pasalnya dalam pemilihan presiden pada 2004 lalu, mereka semua terdaftar sebagai pemilih. “Kalau pilkada ini memakai data Pemilu presiden, seharusnya semua warga di sini dapat kartu tanda pemilih,” kata Ricardo, seorang warga di sana. Apalagi, pada pemilihan raya 2004 silam, sebuah Tempat Pemungutan Suara juga didirikan pemerintah di kampung itu. Kawasan perkampungan Tanah Merah, Kampung Beting, Jakarta Utara, berdiri di atas lahan seluasnya 4,5 hektar. Kampung ini bersebelahan dengan Gedung Islamic Centre, yang dulu merupakan lokalisasi pekerja seks komersial tersohor, Kramat Tunggak. Sejak 1976, tanah ini dikuasai oleh PT Kortindo Karya untuk dijadikan kawasan niaga. Sempat terjadi sengketa antara warga dan pengusaha tersebut, namun warga kalah di pengadilan. ”Mahkamah Agung memutuskan tanah ini masih berstatus tanah milik negara,” kata Ricardo. Karena PT Kortindo Karya tidak bisa membebaskan tanah itu, perlahan-lahan semakin banyak warga yang cobacoba bermukim di sana. Mereka terutama berasal dari kampung-kampung di kawasan lokalisasi Kramat Tunggak, yang terusir saat rumah mereka digusur dan dijadikan Islamic Center. Dalam sekejap, lahan sengketa itu berubah menjadi perkampungan. Jumlah penduduknya mencapai 941 Kepala Keluarga. *** Ketua Komisi Pemilihan Umum Daerah DKI Jakarta Juri Ardiantoro mengakui ada banyak orang yang tidak terdaftar dalam daftar pemilih tetap Pilkada. ”Ini masalah serius,” katanya. Masalah serupa, kata dia, tidak hanya terjadi di Jakarta. ”Setiap pilkada di daerah manapun, masalah daftar pemilih selalu muncul,” katanya.

8

Sayangnya, menurut Juri, KPUD tidak punya tangan untuk menyelesaikan masalah ini. Pendataan pemilih memang bukan lagi urusan Komisi Pemilihan, melainkan Dinas Kependudukan Pemerintah Provinsi Jakarta. Saat saya menelusuri akar masalah ini ke Dinas Kependudukan, muncul masalah lain. Ternyata Dinas ini tidak bekerja sendirian. Mereka menugaskan Kantor Pelayanan Informasi untuk menghimpun data pemilih Pilkada dan memasukkannya dalam sebuah database. Menurut Juri, masalah mulai muncul di titik ini. Kesalahan yang sering terjadi seperti tidak akuratnya penulisan nama, tempat tinggal dan tanggal lahir seseorang, muncul karena ketidakcermatan pemasukan data di Kantor Pelayanan Informasi. ”Kami sebagai penyelenggara pemilu, menanggung akibat dari semrawutnya peraturan yang ada,” katanya masygul. Dia menawarkan agar KPUD kembali diberi wewenang menentukan daftar pemilih tetap. Kalau tidak, kata Juri, lembaga yang bertugas menyusun daftar itu haruslah memiliki sumber daya manusia dan infrastruktur teknologi yang kompeten. “Supaya akurasinya juga terjamin,” katanya. Pemerintah Jakarta sendiri tidak mau menanggung beban kesalahan sendiri. Lewat media, sejumlah pejabat Dinas Kependudukan menjelaskan bahwa data daftar pemilih tetap Pilkada DKI Jakarta memang berdasarkan data serupa pada Pemilihan Presiden 2004 lalu. Namun data itu diverifikasi ulang dengan menyerahkannya kepada para Ketua Rukun Tetangga. Mereka yang tidak punya KTP diminta untuk dicoret dari daftar. Menurut para pejabat Dinas Kependudukan, justru di tingkat RT dan RW-lah keruwetan terjadi. *** Masalah tentu tidak akan selesai jika semua pihak saling menuding. Kalau begini caranya, Sindusiah mungkin tetap tak akan punya hak pilih pada Pemilihan Umum 2009 depan.


REPORTASE edisi 04 November 2007

ANTRIAN PEMILIH. Suasana di salah satu TPS pada Pilkada Jakarta

Benang Kusut Daftar Pemilih

Poernomo G Ridho Wartawan Koran Tempo “Saya saja, bisa dapat tiga kartu pemilih.”

N

ONO Anwar Makarim tak bisa menyembunyikan kekecewaannya. Kartu Tanda Penduduk dan Kartu Keluarga yang ia bawa ke tempat pemungutan suara sia-sia. Praktisi hukum terkenal ini tetap tak diperbolehkan

menggunakan hak politiknya dalam pemilihan kepala daerah DKI Jakarta Agustus lalu. Gara-garanya: dia tak punya kartu pemilih dan namanya tak tercantum dalam daftar pemilih tetap yang dikeluarkan oleh Komisi Pemilihan Umum Daerah Jakarta. Padahal, dalam 25 tahun terakhir, warga Jakarta Selatan ini tak pernah absen mencoblos. “Enam

9


REPORTASE edisi 04 November 2007 kali saya ikut pemilu tak pernah ada masalah,” ujarnya dengan nada masygul. Ternyata bukan hanya Nono yang kehilangan hak pilih. Sejumlah lembaga pemantau Pilkada DKI Jakarta yang digelar 8 Agustus lalu, mencatat sedikitnya 20 persen dari 5,8 juta penduduk Jakarta juga bernasib serupa: kehilangan hak pilihnya. Kekacauan pendaftaran pemilih yang berimplikasi pada hilangnya hak pilih warga ini seharusnya tidak terjadi jika saja pemerintah dan KPUD sebagai penyelenggara pemilu berkoordinasi lebih baik. Jadi dimana letak kesalahan mereka? *** Pengalaman Darius Yusuf, warga kelurahan Jati Padang, Jakarta Selatan, tak kalah janggal. Nama pria 61 tahun ini tak tercantum pada Daftar Pemilih Tetap. Anehnya, nama istri dan kedua anaknya justru masuk dalam daftar dan mendapat kartu pemilih. Petugas yang mengantar kartu pemilih kepada keluarga ini, tak kalah heran dan tak mempunyai jawaban atas kejadian aneh tapi nyata ini. Berdasarkan data Daftar Pemilih Tetap yang saya peroleh, pendataan pemilih di Kelurahan Jati Padang, Jakarta Selatan adalah salah satu yang paling semrawut di Ibukota. Dari satu rukun tetangga saja di Jati Padang, yakni RT 14/ RW 16, ada sekitar 50-an nama yang bermasalah. Sebagian tercatat dobel sebagai pemilih, sedangkan sisanya bahkan bukan warga setempat. Nama-nama tersebut saya nilai bermasalah karena ada yang mirip satu sama lain. Sebagian bahkan bernama sama hanya berbeda tanggal lahirnya. Saya menemukan ada Astri Lana dan Astriana di sana. Juga ada Dewi Ferawaty yang lahir di Jakarta, 23 Juli 1977 dan Dewi Ferawati, lahir di Jakarta, 22 Juli 1977. Selain hanya berbeda pada huruf belakangnya saja, tanggal lahir kedua perempuan ini

10

juga berbeda sehari. Lalu ada E. Murdwati yang lahir di Kulon Progo, 29 Januari 1968 dan E. Murdwianti lahir di kota yang sama namun tanggal dan tahunnya beda, 29 Oktober 1965. Selain ada nama-nama yang mirip, ketika dilakukan pengecekan di rukun tetangga tersebut, ternyata tak satupun yang mengenal nama E. Murdwati maupun Murdwianti. “Setahu saya nggak ada yang namanya seperti itu,” ujar Sulastri salah seorang warga. Ketua Rukun Tetangga 14 Kelurahan Jati Padang, Wandi, idem dito. “Memang nggak ada warga saya bernama Murdwati atau Murdwianti,” kata dia. Menurut Wandi, pendataan pemilih di RT-nya memang rada kacau. “Seperti benang kusut, saya sampai capek,” katanya. Karena kekacauan itu, menjelang hari pencoblosan, Wandi sampai harus bolak-balik ke Kelurahan Jati Padang untuk memperbaiki Daftar Pemilih Tetap di rukun tetangganya. “Lebih dari lima kali saya pergi ke sana,” ujar pria 45 tahun. Wandi mengaku tidak tahu mengapa puluhan nama pemilih yang bukan warganya terus muncul di daftar pemilih tetap yang diumumkan di Kelurahan. Padahal, semua nama itu sudah dicoretnya sampai berkali-kali. Jumlah nama bermasalah itu sampai lebih dari 50-an nama dari sekitar 400-an warga yang terdaftar sebagai pemilih di Tempat Pemungutan Suara di RT itu. Akibat daftar pemilih yang tidak jelas, pembagian kartu pemilih pun ikut kacau. Banyak kartu yang menyelip di rukun tetangga lain, bahkan di rukun warga lain. Bukan hanya itu, banyak kartu pemilih yang tidak jelas siapa orangnya dan terpaksa di kembalikan ke kelurahan. “Giliran nama dan alamatnya jelas, malah dapat kartunya yang dobel,” kata Wandi. Dia mengaku mendapat tiga kartu pemilih atas nama dirinya. Kartu dobel macam ini tentu rawan sekali dimanfaatkan untuk mencoblos lebih dari sekali. Menurut Kepala Sub Seksi Kelurahan Jati Padang, Muhamad, pendataan pemilih memang dilakukan


REPORTASE edisi 04 November 2007 KPUD, Kelurahan dan para Ketua RT di Jakarta. Awalnya, KPUD menyerahkan daftar pemilih pada Pemilihan Presiden 2004 kepada semua kelurahan. ”Kami hanya meneruskan data dari KPUD kepada semua Ketua RT,” katanya. ”Verifikasi dilakukan oleh ketua RT, karena mereka yang tahu kondisi warganya sendiri,” tambahnya kemudian. Setiap kartu pemilih yang tidak jelas, kata Muhamad, harus dikembalikan kepada KPUD melalui kelurahan masing-masing. *** Acak-adulnya Daftar Pemilih Tetap dan pembagian kartu pemilih adalah persoalan utama yang menodai pelaksanaan pilkada DKI Jakarta tahun ini. Empat hari setelah pencoblosan Agustus lalu, Panitia Pengawas Pilkada melansir 52 kasus yang berindikasi pelanggaran aturan pilkada. “Yang paling menonjol adalah banyaknya warga yang tidak terdaftar,” kata

Ketua Panwas Pilkada Jakarta, Jamaluddin F Hasyim. Dia menunjuk tumpukan kartu pemilih yang dikembalikan karena ketidakjelasan identitas yang tercantum di sana. Pernyataan Jamaluddin dibenarkan Wakil Koordinator lembaga pemantau Pilkada, Seven Strategic Studies, Aldrin Situmeang. Menurut dia, kekacauan daftar pemilih tidak hanya terjadi di satu lokasi, namun tersebar di sejumlah titik. Dia mencontohkan kasus serupa terjadi di RT 1/RW 1 Kelurahan Cipete Utara, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Di kawasan itu tercatat ada 30 kartu pemilih yang dikembalikan karena nama orang yang tertulis dalam kartu pemilih sudah meninggal. Selain itu, ada 47 kartu yang dikembalikan karena pemilih sudah pindah domisili serta beberapa kartu pemilih yang tidak jelas identitas warganya. “Kami punya semua buktinya,” ujar Aldrin. Dia lalu menunjukkan sebuah kartu pemilih milik

“Maaf sudah Almarhum!” M

enelusuri dan mengecek Daftar Pemilih Tetap yang tidak jelas alamatnya, ternyata susah-susah gampang. Susahnya, kadang beberapa lokasi rukun tetangga terletak di pelosok, yang hanya cukup dilalui satu motor, sehingga harus berjalan kaki keluar masuk gang sempit. Belum lagi bila nomor di RT tersebut tidak urut. Seperti di RT 14 Kelurahan Jati Padang, Jakarta Selatan. Gampangnya, bila sudah menemukan alamat yang dicari, semuanya akan menjadi terang. Si pemilik rumah atau tetangga kiri kanannya dengan rinci akan menjelaskan mengapa kartu pemilih mereka bermasalah. Persoalan akan jadi rumit jika nama pemilih yang dicari sama sekali tidak ada di RT yang dimaksud. Padahal nama si pemilih masih tercatat dalam Daftar Pemilih Tetap Pilkada Jakarta. “Banyak yang sudah pindah alamat,” ujar Wandi, Ketua RT 14 Kelurahan Jati Padang. Tak jarang pula, nama warga yang tercantum di daftar pemilih sama sekali tidak dikenal oleh warga setempat. Tak sedikit yang bahkan sudah meninggal dunia. Seperti Dono Sivani, warga Jalan Duri Pandan, Pulomas, Jakarta Timur. Meski sudah meninggal dua tahun lalu, nama Dono Sivani masih masuk dalam Daftar Pemilih Tetap. “Maaf mas Dono sudah almarhum,” ujar Umu, pembantu di rumah tersebut..

11


REPORTASE edisi 04 November 2007 seseorang bernama Aji Saptono yang beralamat di Jalan Nipah Raya, Kelurahan Cipete Utara, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Selain nama jalan itu, tak ada keterangan soal nomor rumah, dan nomor RT/RWnya. Juga ada kartu pemilih atas nama Mutaharotun dengan alamat Petogogan, Kelurahan Cipete Utara, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Juga tanpa nomor RT dan RW. Ketua RT 01, Keluruhan Cipete Utara, Khadafi, mengakui ada sekitar 30 persen kartu pemilih yang tidak jelas di wilayahnya. Seperti halnya Wandi, Khadafi mengembalikan semua kartu ini ke kelurahan.

terpilih, tak kalah sengit menangkis. ”Kalau soal itu, saya tidak ada urusan,” katanya.

*** Ketua KPUD DKI Jakarta Juri Ardiantoro mengakui kesemrawutan daftar pemilih ini. “Sistemnya yang salah,” ujarnya. Menurutnya, penggunaan data pemilih dalam pemilihan presiden 2004 yang diverifikasi melalui para Ketua Rukun Tetangga, tidak memperhitungkan kesibukan masing-masing ketua RT/RW. Padahal keterlambatan sedikit saja, bisa menutup peluang perbaikan daftar pemilih. Pasalnya jika tidak ada tanggapan maupun usul perbaikan dalam tiga hari setelah daftar pemilih tetap diumumkan, daftar pemilih tetap ini menjadi sah secara hukum. Model seperti ini menuntut partisipasi aktif warga untuk memastikan namanya terdaftar sebagai pemilih. ”Kalau warga tidak menanggapi pengumuman daftar pemilih, kami tidak punya kewenangan mengubahnya,” kata Juri. Siapa yang menangguk untung dari amburadulnya daftar pemilih tetap Pilkada Jakarta? Aldrin terangterangan menuding kubu salah satu kandidat. “Tapi kami sulit membuktikan tuduhan ini,” ujarnya pasrah. Kedua kubu kandidat pun menolak tudingan Aldrin. ”Justru sekitar 80 ribu kader kami tidak terdaftar,” ujar Ketua Partai Keadilan Sejahtera Jakarta, Triwisaksana. PKS adalah pendukung utama pasangan Adang Daradjatun-Dani Anwar. Fauzi Bowo, sang Gubernur

12

NYOBLOS. Beberapa pemilih tidak jelas identitasnya


REPORTASE edisi 04 November 2007

Dagang Kursi Berbungkus Sosialisasi Kursi calon gubernur diperdagangkan pengurus partai. Sayang sanksinya hanya peringatan. Alida Bahaweres Wartawan Majalah Gatra

E

atas sanksi yang dijatuhkan kepadanya. “Tanya ke Sekjen (Pramono Anung-red),� ucapnya singkat. Sekejap kemudian gagang telepon ditutup. Erico bukan sedang sakit gigi. Pria ini termasuk

Repro GATRA

RICO Sotarduga mendadak pelit bicara. Saat saya hubungi, Sekretaris Pengurus Daerah Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) DKI Jakarta tersebut merasa tak pelu membela diri

MAHAR. Sanksi teguran bagi pengurus partai yang terima mahar menjelang Pilkada DKI

13


REPORTASE edisi 04 November 2007 salah satu dari tiga orang fungsionaris PDIP DKI Jakarta yang dijatuhi sanksi oleh Pengurus Pusat partai Banteng moncong putih itu. Ketiganya terindikasi melakukan money politics saat Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Jakarta 8 Agustus lalu. Ia beruntung hanya menelan surat peringatan ringan. Selain Erico, ada dua orang pengurus teras PDIP Jakarta yang dijatuhi hukuman serupa. Mereka adalah Ketua dan Wakil Ketua PDIP Jakarta, Agung Iman Sumanto dan Audi Iskandar Zulkarnain Tambunan. Keduanya mendapat peringatan keras. Apabila sekali lagi terindikasi melakukan pelanggaran dalam bentuk apapun, keduanya bisa langsung dipecat dari keanggotaan partai. *** Awal Agustus lalu, PDI Perjuangan —beserta 19 partai politik lain yang tergabung dalam Koalisi Jakarta— memang sukses menempatkan pasangan

Fauzi Bowo dan Prijanto di puncak pemerintahan propinsi DKI Jakarta. Pasangan ini menyisihkan kandidat yang diusung Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Adang Daradjatun-Dani Anwar. Namun prosesi pemilihannya ternyata menyisakan skandal. Beberapa petinggi partai Banteng terindikasi melakukan komersialisasi penjaringan kandidat. Modusnya simpel: siapapun yang ingin mendapat tiket pencalonan dari partai itu harus menyetorkan segepok fulus. Begitu kabar busuk ini meruap, gonjang-ganjing pun melanda internal partai pemenang kedua Pemilu 2004 lalu ini. Wakil Ketua Pengurus Daerah PDIP Jakarta, Dhea Prakesa Yoedha, menjelaskan bahwa peringatan yang dijatuhkan terhadap ketiga pengurus PDIP Jakarta tersebut bermula dari laporan pengaduan yang masuk ke kantor pengurus pusat partai itu di Lenteng Agung, Jakarta Selatan. Komisi Disiplin yang dibentuk partai itu langsung mengendus dugaan terjadinya perdagangan kursi kandidat gubernur dan wakil

Menggugat Sang Robin Hood K

arir politik Agung Iman Sumanto dimulai sejak ia menjadi Dewan Pengurus PDI Kecamatan Pulogadung. “Agung itu seperti Robin Hood,” kata seorang sumber saya yang mengenal dekat pria itu. Sayangnya, “Dia juga mengambil keuntungan buat dirinya sendiri.” Agung yang kelahiran Madiun, Jawa Timur, lama dikenal sebagai operator pemenangan Gubernur Jakarta periode lalu, Sutiyoso. Saat itu, posisi Agung memang lumayan mentereng: Komandan Satuan Tugas PDI Perjuangan Jakarta.

14


REPORTASE edisi 04 November 2007 gubernur DKI periode 2007-2012. Partai yang dipimpin mantan Presiden Megawati Soekarnoputri itu merasa perlu bertindak cepat membersihkan nama mereka. Soalnya, “PDIP secara kelembagaan tidak pernah meminta uang mahar kepada kandidat yang maju melalui partai kami,” kata Dhea. Benarkah demikian? Sudah bukan rahasia lagi kalau banyak partai memanfaatkan para calon Gubernur yang sedang berebut tiket pencalonan untuk meraup duit sebanyak-banyaknya. Dituding seperti itu, Dhea tidak defensif. Dia mengakui pada saat sosialisasi para kandidat, banyak konstituen di beberapa kecamatan menyampaikan berbagai uneg-unegnya. Ada yang minta WC, mushala dan fasilitas publik lain di daerah mereka, segera diperbaiki. “Namun mereka sekadar meminta sumbangan, tanpa ada pemaksaan,” kata mantan wartawan harian Kompas ini. Ia mengaku tak menyangka pimpinan partainya sendiri ikut memperjualbelikan tiket pencalonan dengan nilai rupiah

yang membumbung tinggi. Tak mudah melacak kapan kabar tak sedap ini mulai bocor diketahui publik. Yang jelas, beberapa orang yang terlibat berusaha keras memendam ihwal kongkalikong busuk ini. Tapi tak lama. Pada awal Juli, sebulan menjelang hari-h pencoblosan, informasi soal adanya jual beli tiket PDIP sampai juga ke telinga Megawati. Saat memimpin rapat pengurus pusat yang membahas kasus ini, Mega kabarnya sempat menangis. “Susah payah membangun citra partai, kok malah ada kejadian seperti ini,” katanya sembari menitikkan air mata. Pengurus Pusat partai berlambang banteng gemuk ini lalu membentuk Komisi Disiplin. Anggotanya antara lain: Alexander Litaay (Keanggotaan dan Organisasi Bidang Internal), Firman Jaya Daeli (Wakil Sekretaris), Theo Syafei (Keamanan dan Fungsi Pemerintahan), Moerdaya Poo (Sumber Daya dan Dana) dan Hamka Haq (Agama dan Kerohanian). Tim yang total beranggotakan sebelas orang ini

Sejak lama nama Agung berbalut kontroversi. Kasus pungutan liar kursi Wakil Gubernur ini bukan aib pertama yang menyeret namanya. Dua tahun lalu, saat Agung menjabat sebagai Ketua DPRD DKI Jakarta, dia sempat dituding melakukan penggelapan dan penipuan uang sebesar Rp 1 miliar. Kasusnya bahkan sudah siap diadili di Pengadilan Negeri Jakarta Timur. Empat pengusaha mikrolet: Etty Mustam, Safruhan, Sukendar Yunus dan Cholil, mengaku menjadi korban penipuan Agung pada 2003. Mereka mengaku menyetorkan fulus kepada Agung dengan imbalan mendapatkan trayek angkutan di wilayah Jakarta. Tetapi trayek itu tidak pernah ada. Bukan Agung kalau tidak bisa berkelit. Tanpa ba bi bu, Agung mengembalikan duit Rp 300 juta kepada Etty dan menitipkan sisanya sebesar Rp 700 juta ke pengadilan. Tak berapa lama kemudian, para penggugat mencabut kasus itu. Agung pun melenggang. Audi Tambunan juga tak bersih dari masalah. “Tetapi dia mainnya lebih halus,” kata seorang sumber saya di lingkungan PDIP yang enggan menyebutkan namanya. Sepak terjang dua tokoh ini berbeda dengan Erico Sotarduga. Jejak rekam Erico relatif lebih bersih dari dua koleganya. Dia memang dikenal sudah tajir sejak lama. Selain punya showroom mentereng: Fatmawati Motor, Erico juga kabarnya memiliki dua stasiun pengisian bensin di Bogor dan Jakarta.

15


REPORTASE edisi 04 November 2007 segera bergerak. Dalam waktu dua minggu saja, tim ini telah meminta keterangan sepuluh pengurus teras Pengurus Daerah PDIP Jakarta. Setelah melakukan penilaian, tim tersebut menjatuhkan hukuman. Wujudnya berupa surat peringatan untuk tiga orang tersangka utama pelaku kasus ini: Agung, Audi dan Erico. *** Kasus politik dagang sapi ini mulai tercium publik setelah Juni lalu, beberapa kandidat yang gagal menjadi calon wakil gubernur, berteriak kencangkencang. Tanpa malu-malu, mereka mengaku diperas oleh panitia penjaringan calon gubernur dan wakil gubernur dari PDIP. Kepada saya, salah satu kandidat yang namanya tersisih dari posisi calon wakil gubernur, Djasri Marin, mengungkapkan hal itu. Mantan Panglima Kodam Wirabuana ini mengaku terlanjur merogoh kantongnya sedalam Rp 2,5 miliar. Hasilnya? Nol besar: namanya tenggelam begitu saja dari bursa calon. Saat ditemui, Djasri merinci bahwa pada awal masa penjaringan nama calon kepala daerah, dia dimintai Rp 30 juta-Rp 40 juta. Seiring dengan makin seringnya Djasri turun ke kantong-kantong pendukung Partai Banteng, permintaan duit terus meningkat hingga totalnya tak kurang dari Rp 2,5 milyar. “Terus-terang saja pengurus partai itu meminta uang. Untuk inilah, itulah” katanya dengan nada kesal. Jenderal kelahiran Payakumbuh, 30 September 1950 ini, menjelaskan, hampir setiap ada kegiatan partai Banteng, dia dimintai sumbangan. Sekali mengeluarkan uang antara Rp 10 juta hingga Rp 400 juta. Permintaan itu dilakukan melalui berbagai cara: bertemu langsung, lewat telepon bahkan pesan pendek. Semua uang yang diminta dia berikan tunai kepada pejabat partai bersangkutan tanpa diberikan kuitansi. Namun demikian ia mengaku memiliki catatan

16

pribadi mengenai besaran uang yang pernah ia keluarkan. “Saya kaget kok tiba-tiba uang saya habis banyak,” katanya. Ia mengisahkan, suatu kali saat bertemu dengan konstituen PDIP di tingkat kecamatan, ada pengurus yang terang-terangan meminta uang pendaftaran. “Si A sudah beri uang loh. Bapak mau bayar berapa,” kata Djasri menirukan permintaan pengurus partai tersebut. Djasri mengaku sempat geleng-geleng kepala keheranan. Pada kali yang lain, ia mengaku diajak bertemu dengan salah seorang pengurus partai di sebuah restoran elite di Jakarta. Dalam pertemuan itu, sang pengurus partai mengaku membutuhkan dana Rp 2,5 milyar untuk kepentingan partai. “Saya bilang nantilah saya pikirkan,” katanya. Setelah pertemuan itu selesai, orang tersebut kerap menghubunginya untuk menagih janji. “Saya ini sudah seperti sapi perah saja,” keluh mantan Staf Ahli Bidang Pembangunan Nasional di Lemhanas ini. Tak hanya Djasri yang diporotin. Pengalaman pahit juga dialami oleh Sarwono Kusumaatmadja. Anggota Dewan Perwakilan Daerah dari DKI Jakarta ini mengakui kebobolan hingga Rp 2 miliar. Fulus miliaran itu disebar kepada para pengurus partai hingga ke tingkat ranting di kecamatan. Setiap ranting mendapat Rp 2 juta untuk satu kali acara sosialiasi visi dan misi kandidat. Setiap partai rata-rata memiliki 44 pengurus kecamatan. Dan setiap kecamatan bisa meminta bagian “dana sosialiasi” sampai empat kali. Sarwono juga mengaku pernah dimintai dana secara khusus oleh seorang pengurus partai politik. Permintaan tersebut disampaikan bukan kepadanya, melainkan kepada tim suksesnya. “Mereka minta Rp 400 juta,” katanya. Kepada tim suksesnya, Sarwono meminta agar orang partai itu menemuinya langsung untuk menjelaskan keperluannya, namun orang itu tak menghubunginya lagi. Berbagai cara ditempuh oleh fungsionaris partai


REPORTASE edisi 04 November 2007 untuk membobol kocek kandidat yang mengincar posisi DKI 1 dan DKI 2. Sumber saya yang pernah bekerja menjadi tim sukses salah satu kandidat mengisahkan, PDIP bahkan melakukan lelang untuk menentukan siapa calon Gubernur mereka. Siapa berani membayar dengan nilai harga sekian, bisa langsung tanda tangan dan menjadi kandidat tetap dan satu-satunya. “Kalau nggak dibayar secepatnya, harga tiket bisa naik lagi,” ucapnya. Korban “penipuan” lainnya adalah Slamet Kirbiantoro. Mantan Panglima Komando Daerah Militer Jakarta Raya ini mengaku kebobolan Rp 1,25 milyar untuk membeli tiket kandidat wakil Gubernur Ibukota. Sayang meski sudah keluar duit banyak, tiket itu justru melayang ke orang lain. Kirbi, demikian purnawirawan mayor jenderal itu akrab disapa, mengaku setoran duitnya sebesar Rp 1 miliar diberikan kepada pengurus PDI DKI Jakarta pada Juni lalu. Uang itu, menurut pengakuan Kirbi, diserahkan langsung kepada salah satu pengurus partai. Sayangnya, penyerahan itu tidak disaksikan oleh siapapun, karena tidak diserahkan melalui bendahara. Tanda terima juga tidak ada. Kirbi mengaku tak segan mengucurkan uang sebanyak itu lantaran dijanjikan akan duduk sebagai kandidat satu-satunya wakil gubernur DKI, mendampingi Fauzi Bowo. Selain membayar kepada PDIP, Kirbi mengaku menggelontorkan dana kepada pengurus Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Besarnya Rp 1,25 miliar. Ketika saya mencoba menelisik lebih dalam pengalaman pahit Kirbi, sang jenderal berusaha bersembunyi. Nomor telepon genggamnya belakangan sering tidak aktif. Ketika saya menghubungi nomor telepon rumahnya, seorang stafnya mengatakan bahwa Kirbi tidak ada di tempat. “Bapak lagi di luar kota,” katanya. Tidak putus asa, saya mendatangi rumahnya di Griya Jaya, Cikeas Kavling 5, Tanjung Barat, Jakarta

Selatan. Sayangnya saya hanya disambut pria berpakaian safari. Saat saya menjelaskan maksud kedatangan saya, tanpa membuka pintu, pria tegap tersebut berkata “Tunggu sebentar, saya tanya dulu.” Tak lama kemudian ia kembali dengan jawaban pendek: Kirbi sedang tidak enak badan. *** Kehilangan duit miliaran, dan tidak jadi calon kepala daerah, tentu bagai sudah jatuh tertimpa tangga pula. Wajar jika sebagian besar korban merasa dikerjai habis-habisan. Djasri Marin mengaku tambah gondok karena samasekali tidak diberitahu ketika calon lain terpilih menjadi kandidat Wakil Gubernur dari PDIP. Djasri baru ngeh ketika seseorang memberi tahu ada Musyawarah Kerja Wilayah (Muskerwil) PDIP Jakarta, namun dirinya tidak diundang. “Saya kaget: kenapa ada Muskerwil dan saya tidak diberi tahu?” katanya. “Saya langsung punya firasat: ini pasti ada keputusan tertentu yang akan diambil.” Benar saja, keesokan harinya ia mendapat informasi bahwa PDIP memilih orang lain sebagai pendamping Fauzi Bowo. “Saya merasa didzalimi, dikhianati luar biasa,” ungkapnya. Dia mengaku telah melalui tahapan-tahapan yang ditetapkan oleh PDIP. Selama proses itu, telah banyak biaya yang ia keluarkan. Apalagi ia mengaku dari awal tidak pernah melamar untuk menjadi wakil Gubernur DKI Jakarta, melainkan dilamar oleh Fauzi Bowo. “Ini namanya diktator politik,” katanya. Meski murka, Djasri mengaku hanya bisa memendam kecewa. Tidak demikian halnya dengan Slamet Kirbiantoro. Merasa ditipu, ia kontan menagih uang yang terlanjur dia keluarkan. Kamis malam, pertengahan Juni lalu, sejumlah lakilaki berperawakan tinggi besar mendatangi kantor Pengurus Daerah PDI Perjuangan di Jalan Tebet Raya

17


REPORTASE edisi 04 November 2007 No 46 Jakarta Selatan. Mereka memaksa bertemu Ketua Umum PDIP Jakarta, Agung Imam Sumanto. Tanpa banyak bicara, rombongan yang dipimpin seorang debt collector tenar bernama Umar Kei itu, tersebut naik ke ruang kerja Agung di lantai tiga. Mereka membawa kertas tagihan berisi sejumlah angka yang harus dikembalikan Agung kepada Slamet Kirbiantoro. Masinton, salah seorang saksi mata, mengatakan salah satu dari mereka berteriak keras, “Agung, kalau ada apa-apa dengan saya, kamu yang tanggungjawab”. Tapi kubu Agung tak kalah sigap. Dia sudah menyiapkan gerombolan lain untuk menghalau rombongan Umar Kei. Tak ayal kedua kubu terlibat bentrokan. Sejak awal, sebagian memang sudah berbekal badik dan golok. Sempat terjadi kejar-kejaran hingga Wisma Tebet, satu kilometer dari kantor PDIP. Saleh (43 tahun), dari kubu penagih utang, mengalami luka bacokan serius. Kepada wartawan, Kirbi mengaku telah menyuruh orang menagih uang kepada Agung. Namun ia mengaku tak bertanggung jawab atas bentrokan yang terjadi. “Saya tidak tahu,” katanya. Wajar jika Kirbi sampai nekat mengerahkan kelompok penagih utang. Dibandingkan Djasri, dia selangkah lebih maju dalam kompetisi menuju kursi Wakil Gubernur Jakarta. Bayangkan saja, pada Maret lalu, jauh-jauh hari sebelum pencoblosan, Agung Imam Sumanto sudah memberi sinyal hijau untuk Slamet Kirbiantoro. “Inisial calon Wakil Gubernur PDIP adalah SK. Dia mantan Pangdam Jaya,” katanya ketika itu. Pengurus teras PDIP Jakarta lain, Audi Tambunan dan Erico Sotarduga, segendang sepenarian. Keduanya mengamini dukungan Agung terhadap Kirbi. Pengumuman kepagian itu sama sekali tidak ditunjang fakta. Saat itu, pengurus pusat PDIP belum mengeluarkan sikap resmi apapun soal calon Gubernur dan Wakil Gubernur mereka. Tidak heran, “janji” trio

18

Agung-Audi-Erico musnah ditelan waktu. Saat pengumuman calon jadi PDIP pada pertengahan Juni lalu, nama pasangan yang muncul adalah Fauzi BowoPrijanto. *** Pengamat politik Universitas Indonesia, Eko Prasodjo, menilai gejala komersialisasi Pilkada ini sudah masuk wilayah hukum pidana. Dosen hukum administrasi negara itu menegaskan tindakan partai politik yang menarik dana dari calon yang akan diusung adalah tidak etis. “Pungutan dengan dalih biaya sosialisasi hanya akal-akalan partai politik saja,” ungkapnya. Dia menilai, saat ini partai politik ibarat perusahaan yang dipakai untuk mencari duit. Aturan soal ini pun sudah demikian jelas. Sumbangan politik diatur dalam Undang-Undang No 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik. Pada pasal 18 ayat (1) tercantum bahwa sumbangan individu kepada partai politik paling banyak Rp 200 juta dalam waktu satu tahun. Sedangkan pada ayat (2) tertulis, sumbangan dari perusahaan atau badan usaha paling banyak senilai Rp 800 juta dalam waktu satu tahun. Pelanggaran atas ketentuan itu dikenai sanksi seperti tertulis pada pasal 28 ayat (1): setiap orang yang memberikan sumbangan kepada partai melebihi ketentuan pasal 18, diancam pidana kurungan paling singkat 2 bulan atau pidana denda Rp 200 juta. Pengurus partai politik yang menerima sumbangan bermasalah semacam itu diancam hukuman lebih berat lagi: pidana kurungan paling lama enam bulan atau denda Rp 500 juta. Prasodjo mendesak polisi mengambil alih penanganan kasus jual beli tiket pencalonan Pilkada ini. “Aparat hukum seharusnya turun tangan,” katanya.


REPORTASE edisi 04 November 2007

SURAT ITU. Inilah tiga surat yang menuding ada indikasi korupsi dalam pengadaan surat suara

Hikayat Tiga Surat Pengadaan surat suara kembali bermasalah. Kali ini tak ada yang masuk bui. Riky Ferdianto Wartawan Koran Tempo

A

KHIR Juli lalu, sebulan menjelang hari pemungutan suara pada Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Jakarta, tiga buah surat mendarat bertubi-tubi di meja Panitia Lelang Logistik Pilkada. Tak hanya ke panitia lelang, surat yang sama juga disampaikan ke Komisi Pemberantasan Korupsi. Pengirim surat itu, tiga perusahaan peserta lelang surat suara Pilkada Jakarta, kompak menggugat. Mereka

19


REPORTASE edisi 04 November 2007 menuding ada bau korupsi dalam pengadaan surat suara Pilkada Jakarta. Lelang logistik pemilihan umum di negeri ini tampaknya memang tak pernah lepas dari masalah. Sejak skandal korupsi Komisi Pemilihan Umum pada pemilihan raya 2004 silam, kasus-kasus serupa terus bermunculan tiada akhir. Kalau masih ingat, pengadaan surat suara, kotak suara sampai tinta pemilu pada Pemilu 2004 lalu terbukti dinodai korupsi. Hampir seluruh anggota KPU dijebloskan ke balik terali besi. Kasus paling mutakhir di Pilkada Jakarta dipicu oleh keputusan panitia lelang Juli lalu yang memenangkan PT Pura Barutama untuk pengadaan surat suara. Tiga perusahaan yang kalah tender, protes berat. Menurut mereka, spesifikasi kertas yang ditawarkan PT Pura jauh melenceng dari Berita Acara Penjelasan lelang. Apalagi, harga yang ditawarkan PT Pura pun dinilai terlalu mahal. Perusahaan milik negara itu membuka harga di angka Rp 4,8 miliar. Ini jauh lebih tinggi dari tawaran seluruh peserta lelang. Tiga peserta yang protes membuka harga di kisaran Rp 1,2 miliar. Selain dugaan korupsi, tudingan pemborosan anggaran negara pun menyeruak.

Induk Koperasi Kepolisian Negara Republik Indonesia (Inkoppol) pada hari berikutnya. Dalam surat gugatannya, Karatama menilai keputusan panitia ihwal calon pemenang tender cacat prosedur. Sebab, keputusan yang dibuat pada 9 Juli itu baru diumumkan lebih dari sepekan kemudian, pada 16 Juli. Keterlambatan waktu penayangan pengumuman otomatis menggugurkan kesempatan seluruh peserta tender untuk melayangkan gugatan. Karena gugatan hanya bisa dilancarkan kurang dari sepekan setelah keputusan tender diambil. Dalam suratnya, Direktur Utama Karatama, Winata Cahyadi, juga mempertanyakan tawaran harga versi PT Pura Barutama. Menurut Winata, tawaran itu tidak wajar dan terkesan memboroskan keuangan negara. Jika tawaran Karatama yang menang, kata dia, panitia bisa menghemat anggaran negara sampai Rp 2,7 miliar. Dari penelusuran saya, tidak hanya tawaran Karatama yang bisa menghemat harga. Tawaran harga perusahaan peserta tender lain, mulai PT Stacopa Raya, Percetakan Bali, sampai PT Inkoppol semuanya berada di kisaran Rp 1,2 miliar. ***

*** Rangkaian protes dan pro kontra seputar pengadaan surat suara Pilkada Jakarta dimulai awal Juli lalu. Saat itu Panitia Lelang logistik Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) Jakarta mengumumkan pemenang tender untuk pengadaan surat suara. Pengumuman itu menyatakan PT Pura Barutama sebagai pemenang lelang dengan tawaran Rp 4,8 miliar. Diikuti oleh PT Percetakan Bali dan PT Inkoppol yang keduanya menawar Rp 1,2 miliar. Keputusan itu segera menuai reaksi. Pada 18 Juli, PT Karsa Wira Utama (Karatama) melayangkan protes. Gugatan yang sama diajukan Perusahaan Umum Percetakan Negara Republik Indonesia (PNRI) dan

20

Dalam surat protesnya, Winata menjelaskan, potensi kerugian negara berawal dari ketidakpatuhan panitia pada Berita Acara Penjelasan Lelang maupun dokumen Rencana Kerja. Dua dokumen ini yang menjadi patokan peserta lelang dalam merumuskan tawaran produk dan harganya. Berdasarkan berita acara tersebut, panitia dan peserta rapat penentuan spesifikasi lelang sudah sepakat bahwa surat suara Pilkada Jakarta akan menggunakan kertas berjenis UV Dull dengan berat 80 gram. Kertas juga harus menampilkan logo KPUD Jakarta yang terukir secara transparan (watermark) dan dicetak dua muka dengan tinta sekuritas. “Itu kesepakatan terakhir. Tidak ada penjelasan lain setelah


REPORTASE edisi 04 November 2007 tak sesuai kesepakatan soal spesifikasi barang, penawaran PT Pura ini membawa implikasi lain yang tak kalah gawat: biaya pengadaan surat suara jadi menggelembung miliaran rupiah lebih mahal. ***

KANTOR KPUD. Tempat rapat pengadaan logistik

itu,” ujar sumber saya yang ikut menandatangani berita acara penjelasan lelang itu. Karena itu, dia kaget bukan kepalang ketika mengetahui tampilan kertas surat suara buatan PT Pura. Kertas yang ditawarkan PT Pura memiliki spesifikasi yang jauh lebih mewah. Di bagian luar, ada logo KPUD yang dicetak dalam bentuk hologram. Komponen sekuritas berupa pita selebar 1 sentimeter memanjang di sisi kiri kertas surat suara itu. Selain itu, di bagian tengah kertas ada rangkaian tulisan ”Pilkada DKI 2007” dalam skala amat kecil. Tulisan itu tercetak di atas pita halus yang ditanam laiknya benang pengaman pada uang kertas. Tak hanya itu, ketika diberi sinar ultra violet, logo Pemerintah Provinsi DKI dan KPUD yang tercetak samar dalam kertas akan memijarkan warna hijau seperti zat fosfor. Pokoknya mewah dan mentereng. Masalahnya, semua tambahan komponen itu sama sekali tidak merujuk kesepakatan panitia dan peserta lelang yang tercantum dalam Berita Acara Penjelasan Lelang. ”Ini jelas praktek pembangkangan panitia terhadap kesepakatan rapat,” kata sumber saya yang juga ikut lelang, dengan kesal. “Kalau panitia konsisten dengan kesepakatan awal, mestinya tawaran PT Pura Barutama itu gugur secara otomatis,” tambahnya. Selain

Sebelum pemenang lelang pengadaan surat suara Pilkada Jakarta diumumkan Juli lalu, Sekretaris Panitia Lelang, Ridwan M.D, sempat berusaha mengundang perusahaan-perusahaan peserta tender. PT Percetakan Bali, PT Stacopa Raya, PT Tuah Sakato (yang diwakili Stacopa) dan PT Inkoppol dihubungi melalui telepon. Namun, tak semua datang. PT Inkoppol misalnya, menolak hadir karena menganggap undangan itu tidak disampaikan secara formal. Dalam pertemuan tersebut, Ridwan dikabarkan blak-blakan buka kartu. Dia mengaku panitia lelang cenderung memilih PT Pura sebagai pemenang. Tidak hanya itu, “Ridwan juga menanyakan mengapa harga yang kami tawarkan begitu rendah,” ujar sumber saya yang hadir dalam pertemuan itu. “Anggaran ‘kan sudah ada, kenapa tidak dimanfaatkan?” ujar dia mengutip ucapan Ridwan. Ketika dikonfirmasi soal rapat gelap itu, Ridwan langsung naik pitam. Dia mengaku tidak pernah mengadakan pertemuan tersebut. “Itu fitnah,” ujarnya dengan nada tinggi. Dia juga menjelaskan, surat Keputusan Calon Pemenang Lelang Surat Suara telah terpampang di papan pengumuman di lantai dasar kantor KPUD sejak 9 Juli 2007, bukan 16 Juli seperti yang dituduh sejumlah peserta lelang yang kalah. Bagi panitia, kata Ridwan, penentuan pemenang tidak melulu soal rendahnya penawaran harga. Di luar itu,

21


REPORTASE edisi 04 November 2007 panitia juga mempertimbangkan kepemilikan dan kapasitas mesin cetak, peralatan lain seperti pemotong kertas, analisis harga satuan, dan pengalaman setiap perusahaan. “Kami menggunakan sistem merit yang merupakan akumulasi semua komponen penilaian,” ujarnya. Soal spesifikasi kertas yang berubah, Ridwan mengatakan tawaran itu sejalan dengan penjelasan tambahan dalam Berita Acara. “Di sana dijelaskan kalau setiap peserta lelang wajib melampirkan rincian spesifikasi pengaman yang akan digunakan,” kata dia. Dengan ketentuan itu, lanjutnya, setiap peserta tender boleh-boleh saja mengajukan spesifikasi tambahan yang menurut mereka paling baik. “Biar tidak ada yang memalsukan surat suara kita,” ujarnya. *** Kembali ke soal tiga surat protes di awal tulisan ini. Panitia Lelang mengaku hanya berminat menanggapi satu surat. “Hanya surat Inkoppol. Surat lain kami abaikan, karena dikirim setelah tenggat masa sanggah,” kata Ridwan sembari menunjukkan konsep surat jawaban yang dibuatnya pada 30 Juli lalu. Sayangnya, sampai akhir Agustus lalu, surat jawaban itu belum diterima Inkoppol. Juru bicara Komisi Pemberantasan Korupsi, Johan Budi SP, mengaku telah menerima salinan surat sanggahan dari tiga perusahaan yang kalah tender pengadaan surat suara itu. Dia mengatakan, surat itu kini sedang dipelajari oleh tim penyelidik. “Masih kami pelajari di mana letak pelanggaran hukum dan kerugian negaranya,” ujar Johan. Pelajaran dari ribut-ribut ini sederhana dan amat mendasar. Sebenarnya buat apa membuang uang negara sampai miliaran rupiah hanya untuk surat suara berpengaman berlapis? Bukankah semakin besar dana yang tersedia, semakin terbuka pula kemungkinan penyelewengannya? Kalau surat suara dibuat simpel dan murah, tuding-menuding seperti ini bisa jadi tak akan pernah muncul.

22

BERITA ACARA.Ini dokumen yang dipersoalkan peserta tender


REPORTASE edisi 04 November 2007

Hilang Dalam Hitungan Detik Istiqomatul Hayati Wartawan Koran Tempo

“Saya mencurigai ada korupsi.�

S

UNARTO Prawirosujanto berjalan sejauh 300 meter dari tempat pemungutan suara di Kelurahan Guntur ke rumahnya di Jalan Pati Unus 8, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Hari itu, 8 Agustus, ia mencoblos calon gubernur Jakarta pengganti Sutiyoso. Sebagai penanda sudah menjalankan hak pilihnya, kakek 80 tahun itu lalu mencelupkan kelingking kanannya ke sebuah botol tinta di ujung meja panitia pemungutan suara. Tinta berwarna ungu sepanjang dua centimeter langsung menutupi kuku dan buku jarinya. Setiba di rumah, terbersit sebuah gagasan di benaknya. Sunarto lalu mengambil empat wadah yang diisinya dengan empat larutan kimia berbeda. Wadah pertama berisi alkohol. Wadah kedua berisi pemutih pakaian. Sayangnya, ia menolak menyebut larutan kimia apa yang disiapkannya di wadah ketiga dan keempat. Setelah semua siap, kelingking tangannya yang bernoda tinta itu, dia celupkan ke wadah pertama. Sedikit luntur tapi tak hilang semua. Kemudian,

TINTA.Ada yang bisa hilang setelah dicelupkan ke pemutih pakaian

23


REPORTASE edisi 04 November 2007 kelingkingnya dicelupkan ke wadah kedua.... Ajaib! Dalam beberapa detik, noda tinta di jarinya langsung larut dan hilang tak berbekas. “Saya bahkan tak perlu menggosoknya.” Seketika larutan pemutih pakaian yang dipakainya sebagai tester itu, berubah warna menjadi biru. *** Sunarto bukan orang iseng yang tengah belajar ilmu kimia. Dia mantan Dirjen Farmasi Departemen Kesehatan periode 1966-1974 . Lima tahun kemudian, Sunarto menggenggam jabatan baru, Dirjen Pengawasan Obat dan Makanan pertama di negeri ini. Saat itu, urusan pengawasan obat dan makanan belum diserahkan kepada sebuah badan sendiri. Usai mengabdi di sana, ia lalu menjadi staf ahli menteri

kesehatan bidang farmasi sampai 1983. Eksperimen kecil Sunarto mendapat perhatian media. Apalagi kemudian terbukti, Sunarto tak sendirian. Aisyah, 36 tahun, warga RT 10/RW 6 Cipinang Muara, Jakarta Utara misalnya. Dia mengaku tak suka dengan penanda tinta di jarinya itu. Ia ingin menghilangkannya. “Saya gosok pakai abu gosok, eh langsung hilang,” katanya gembira. Si kembar Silvya dan Selly, 26 tahun, warga Jalan A3 No. 26 RT 01/RW 03 Cipinang Muara, bahkan tak perlu susah-susah menghilangkannya. “Kena air sabun saat mandi, eh langsung hilang sendiri.” Begitu pun Setiawan, 35 tahun, tenaga pemasaran kartu kredit, juga warga Cipinang Muara. Di kantornya, Setiawan terbiasa memeriksa kualitas tinta stempel. Karena itu, dia mengaku bisa langsung merasakan perbedaan kualitas tinta yang dipakai pada Pemilu

Mencari Pemain Tinta Sejati T

ak mudah menelusuri perusahaan tinta sidik jari yang mengikuti tender untuk pemilihan kepala daerah Jakarta. Dari lima perusahaan tinta yang memasukkan surat penawaran harga, hanya satu yang bisa dicek kebenarannya. PT Henka Indonesia, yang berlokasi di Kupang Indah XV - 14.a Surabaya ini, memenangkan tender tinta pemilihan kepala daerah di Kulon Progo, Yogyakarta. Pemiliknya bernama Tjuanta. Saya mendapatkan nomornya dari bagian penerangan Telkom. Berkali-kali ditelepon –baik pada jam kerja maupun di luar jam kerja— tak ada yang mengangkat. Tiga perusahaan lain, yakni CV Kharisma, PD Karya Indonesia, dan CV Bahtera Raya, bahkan tak bisa dilacak alamat dan nama pemiliknya. Saya berupaya mendapatkan alamat mereka di KPUD Jakarta. Sama saja: nol. “Susah nyari dokumennya, bercampur dengan ribuan dokumen di lantai lain,” kata salah seorang staf KPUD, menolak permintaan saya dengan halus. Yang janggal, dalam dokumen tender yang ditunjukkan Ridwan MD, Sekretaris Pengadaan Barang dan Jasa Pemilihan Kepala Daerah Jakarta, tak ditemukan alamat peserta lain kecuali alamat si pemenang, CV Tridaya Pratama. Saat saya pertama kali menghubungi CV Tridaya, Agustus lalu, gagang telpon diangkat seorang anak kecil. Dia sempat bingung ketika saya menanyakan ihwal perusahaan itu.

24


REPORTASE edisi 04 November 2007 2004 dan tinta pilkada kali ini. “Yang sekarang kayak tinta stempel biasa,” katanya. Namun, suara tidak setuju juga membahana. Ketua Panitia Pemungutan Suara di Kelurahan Cipinang Muara, Saudi Hafidz, adalah satu diantaranya. “Kalau dibilang jelek, bohong besar,” kata dia, “Saya sampai harus mengeriknya supaya hilang.” Ketua Komisi Pemilihan Jakarta Juri Ardiantoro, idem ditto. “Sampai sekarang, di kuku masih ada tuh,” kata dia, sebulan setelah pencoblosan. Saya bahkan sempat ditantang untuk membuktikan sendiri daya tahan tinta pemilu ini di kantor Komisi Pemilihan Umum Daerah DKI Jakarta, akhir Agustus lalu. Di kantor KPUD, tinta di jari saya tak luruh meski dicuci berulangkali. Saya lalu membawa sampel tinta yang saya peroleh di KPUD, ke rumah Sunarto. Saya minta dia mengujinya

sekali lagi. Tak lama, hasilnya muncul. Tinta di jari saya ternyata larut saat dibersihkan dengan pemutih pakaian. Bagaimana mungkin? Mengapa hasil pengujiannya berbeda? Sunarto lalu menjelaskan bahwa tinta yang larut dalam pemutih pakaian adalah tinta yang tidak menggunakan perak nitrat. “Tinta ini nggak mungkin pakai perak nitrat,” kata Sunarto, menunjuk sampel tinta yang saya bawa, sambil tersenyum penuh arti. Dugaan korupsi kontan terbersit. Harga sebotol perak nitrat berukuran 25 gram bisa mencapai Rp 154 ribu. Bayangkan berapa dana yang berpotensi hilang jika tinta yang dibeli bukan tinta berkualitas prima seperti itu. Model perencanaan yang bolong-bolong seperti ini juga membuka lebar potensi korupsi. ***

”Papah, ada telepon nih,” katanya berteriak. Tak lama telepon itu berpindah tangan. “Oh ya, ini kantor sekaligus rumah,” kata si pria, yang belakangan mengaku bernama Asep Setia Mulyana, pemilik perusahaan itu. Saat itu, saya mengaku sebagai pemasok furnitur yang ingin menjalin hubungan bisnis. Padahal, saya sekadar ingin memastikan apakah benar perusahaan itu memproduksi tinta sidik jari. Kali berikutnya, saya menelepon dengan menyebutkan identitas asli. Yang menjawab seorang perempuan yang mengaku staf CV Dharma Armala Putra. “Ini juga kantor CV Tridaya Pratama. Hanya beda usaha,” kata perempuan itu. Jika CV Dharma adalah supplier alat-alat kesehatan, maka CV Tridaya Pratama memproduksi tinta sidik jari. “Kalau nggak salah sih memproduksi sendiri, saya juga kurang tahu banyak,” kata perempuan itu. Asep Setia Mulyana, 38 tahun, si pemilik perusahaan tinta itu, mengaku memang punya dua usaha. Dia mengaku membangun usaha tinta sidik jari pemilu karena tergiur gurihnya nilai tender. Kalau lagi ramai pesanan, “Sebulan omzetnya bisa 200 juta,”kata dia. Dia lalu menjelaskan, kalau usahanya ini dibangun bersama rekanannya, Abdul Muis. “Dia ahli kimia yang menjadi formulator tinta yang kami produksi,” kata Asep. Ia menjamin usahanya memproduksi sendiri. “Saya nggak mau mensubkontrak ke pihak lain karena bagusnya kualitas tinta saya,”ujarnya. Dalam proses tender di Jakarta, Asep menyangkal terlibat konspirasi dengan panitia lantaran hanya dia yang lolos ke tahap berikutnya. “Saya hanya mengandalkan data administrasi dan kualitas yang bagus,” kata Asep, “Kami menggunakan cara lurus.” Lurus? Bisa jadi. Hanya saja, ada satu cacat yang mengganggu: Badan Pemeriksa Keuangan Daerah Istimewa Yogyakarta yang mengaudit laporan keuangan pemilihan kepala daerah di Kabupaten Brebes, menyebut perusahaan Asep Setia Mulyana terpilih bukan lewat mekanisme tender, melainkan lewat penunjukan langsung. Mirip-mirip kemenangan CV Tridaya dalam lelang pengadaan tinta Pilkada Jakarta.

25


REPORTASE edisi 04 November 2007 Apa pentingnya sebuah tinta sidik jari yang punya daya tahan bagus bagi sukses tidaknya sebuah Pemilihan Umum? Wakil Koordinator Seven Strategic Studies, sebuah organisasi non-pemerintah yang memonitor pemilu, Aldrin Situmeang, mengkhawatirkan pencoblos bisa memilih dua kali, “Jika kualitas tintanya jelek.” Mungkin lantaran kekhawatiran itulah panitia pengadaan barang dan jasa KPUD Jakarta menyediakan dana cukup besar untuk pengadaan tinta pemilu. Total ada Rp 742,5 juta yang dialokasikan di anggaran Komisi Pemilu Jakarta. Dengan dana itu, pemenang tender harus menyediakan 27 ribu botol . Tiap tempat pemungutan suara akan mendapat dua botol tinta. Anggaran sebesar itu juga berarti setiap botol tinta dihargai Rp 18.300,“Itu terlalu mahal,” kata Frederik, sales marketing PT Brataco Chemica, yang menjual bahan-bahan kimia. Menurutnya, unsur kimia paling mahal dari spesifikasi tinta yang diminta KPUD Jakarta adalah perak nitrat. “Tapi harganya di tiap botol itu hanya Rp 4.928,-.” Karena itulah, kata David, Rp 18 ribu untuk sebotol tinta sudah sangat mahal. Apalagi jika dibandingkan tinta stempel yang harganya hanya Rp 6.500,- per botol. Sebenarnya selain menyediakan dana berlimpah, KPUD Jakarta juga memasang persyaratan ketat untuk menjamin tinta yang disediakan para peserta tender adalah tinta berkualitas paling prima. Dokumen spesifikasi tender mensyaratkan tinta yang boleh ditawarkan harus tinta berdaya tahan 3-4 hari. Pada dokumen Rencana Kerja dan SyaratSyarat KPUD Jakarta bertanggal 28 Mei 2007, tercantum syarat-syarat yang lebih spesifik: setiap botol tinta harus mengandung 2-4 persen perak nitrat dengan konsentrasi larutan di tiap botol berisi 40 cc adalah 65-70 persen dan zat warna

26

20-25 persen. Tawaran tender pengadaan tinta Pilkada di KPUD Jakarta menarik minat 34 perusahaan. Tapi, hanya lima perusahaan yang memasukkan Surat Penawaran Harga. Mereka adalah CV Kharisma, CV Tridaya Pratama, PD Karya Indonesia, PT Henka Indonesia, dan CV Bahtera Raya. Tidak mudah memang menembus babak pertama tender ini. Pasalnya, setiap perusahaan harus menawarkan produk tinta yang mereka buat sendiri. Ketentuan itu sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun 2003, yang mengisyaratkan peserta tender adalah perusahaan yang memproduksi sendiri produk yang mereka tawarkan. “Jadi sub-kontrak itu tidak boleh,”kata Arif Nur Alam, Sekretaris Jenderal Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra). Memasuki babak kedua, proses tender pengadaan tinta Pilkada ini mulai mengundang tanya. Dari lima perusahaan yang memasukkan Surat Penawaran Harga, panitia hanya meloloskan CV Tridaya Pratama dari Kuningan, Jawa Barat, ke babak selanjutnya. Siapa CV Tridaya ini? Direktur Utamanya, Asep Setia Mulyana, menjelaskan, meski usaha pengadaan tinta miliknya baru berdiri dua tahun lalu tapi sekarang dia sudah menyediakan tinta sidik jari kepada 30-an Komisi Pemilihan Umum Daerah. “Hampir semua Pilkada di Jawa Tengah, pakai tinta saya,” kata Asep setengah berpromosi. Ia menekankan perusahaannya mampu memproduksi sendiri tinta Pilkada. “Kalau ada job order, kami akan langsung bikin.” Bagaimana dengan yang tak lolos seleksi? Menurut Ridwan MD, sekretaris pengadaan barang dan jasa pada Pilkada Jakarta, mereka kalah karena dokumen administrasinya kurang mendukung. “Dokumen pajaknya nggak clear,” katanya. Mengapa panitia tender tak menunggu keempat perusahaan itu melengkapinya atau mengulang proses tender?


REPORTASE edisi 04 November 2007 Ridwan menolak. “Kami tidak mau, karena empat bermasalah, malah menggagalkan satu yang benar,” jawab Ridwan. ***

menyelenggarakan sebuah lelang yang fair dan transparan, seharusnya semua tender logistik Pilkada dilakukan jauh-jauh hari. Sehingga tidak ada lagi alasan ”mepet” untuk tidak memeriksa pabrik peserta lelang.

Lantaran tinggal satu peserta lelang yang tersisa, panitia menetapkan CV Tridaya Pratama yang beralamat di Dusun Wage RT 01/RW 01, Desa Sadamantra, Kecamatan Jalaksana, Kuningan itu, sebagai pemenang tender pengadaaan tinta Pilkada. Penetapan pemenang itu dilakukan KPUD Jakarta tanpa sekalipun memeriksa langsung kondisi CV Tridaya Pratama di Kuningan. “Waktunya nggak sempat,” Ridwan berkilah. Setelah jumlah pembelian diverifikasi panitia lelang, disepakati CV Tridaya akan menyediakan 23.680 botol tinta dengan nilai total pembelian plus pajak sebesar Rp 476.678.400,-. “Kami bisa menghemat lebih dari 30 persen anggaran,”kata Ridwan bangga. Hemat sih hemat, tapi banyak pihak menilai panitia lelang KPUD Jakarta seharusnya memberikan kesempatan kepada peserta lain untuk memperbaiki dokumen atau mengulangnya. Setidaknya, panitia harus memberikan pengumuman melalui media massa mengenai kekurangan dokumen administratif mereka. Yang lebih penting dari semua itu adalah jika KPUD ingin

27


REPORTASE edisi 04 November 2007

MARKAS. Sebuah rumah di jalan Proklamasi, Jakarta Pusat yang kabarnya jadi markas pendukung Fauzi Bowo

Kabar Kabur Para Penyumbang Sumber dana kampanye banyak yang tidak jelas. Komisi Pemilihan Umum tidak berbuat apa-apa.

Mustafa Silalahi Wartawan Koran Tempo

A

NDA boleh percaya atau tidak, pelaksanaan pemilihan gubernur, bupati dan walikota berkorelasi positif menggerakkan perekonomian daerah. Hitung saja

28

berapa ratus juta fulus yang disebar oleh para calon kepala daerah untuk meraih kursi idamannya. Pada masa kampanye saja, para kandidat sudah jor-joran menarik simpati calon pemilih. Mulai dari memasang


REPORTASE edisi 04 November 2007 spanduk di setiap sudut jalan, mencetak selebaran dan kaos untuk simpatisan, sampai memasang iklan di media massa. Hal yang sama terjadi juga dalam Pemilihan Kepala Daerah di Ibukota Jakarta, Agustus silam. Jumlah dana yang berputar selama Pilkada Jakarta diperkirakan mencapai miliaran rupiah. Pasangan Fauzi BowoPrijanto yang diusung PDI Perjuangan dan Golkar plus sejumlah partai lain dalam Koalisi Jakarta serta pasangan Adang Daradjatun-Dani Anwar, yang dijagokan Partai Keadilan Sejahtera, sama-sama bertarung habis-habisan. Bukan apa-apa. Banyak memang yang dipertaruhkan di sini. Memenangkan kursi Gubernur Ibukota, bagi partai politik dan kandidat yang diusungnya, menawarkan keuntungan-keuntungan politik, sosial dan ekonomi yang menggiurkan. Dari yang paling sederhana seperti kesempatan untuk menunjukkan kemampuan pengelolaan kota yang baik sebagai modal kampanye di daerah lain sampai menjadi batu loncatan untuk memenangkan pemilihan di tingkat nasional. Di sinilah persoalan mulai muncul. Dana yang digunakan untuk memenangkan Pilkada tentu tidak boleh berasal dari sumber gelap, yang kemudian digunakan oleh kelompok tertentu untuk “membeli” calon gubernur pilihan rakyat. Semua dana kampanye harus bisa dipertanggungjawabkan dan diumumkan secara terbuka kepada publik. Hanya dengan itu, publik bisa menilai sejauh mana kejujuran dan tanggung jawab Gubernur terpilih kepada massa pemilihnya. Dengan modal transparansi itu pula, setiap usaha untuk membajak kepala daerah, memaksakan kepentingan politik ekonomi sekelompok orang kepada sang pemenang Pilkada, bisa digagalkan. Nah, pertanyaannya sekarang tentu apakah dana kampanye pada Pilkada DKI Jakarta sudah memenuhi syarat keterbukaan dan akuntabilitas publik itu? Setelah pencoblosan berakhir pada 8 Agustus lalu,

Komisi Pemilihan Umum Daerah DKI Jakarta menugaskan kantor auditor publik Krisnawan dan Partner untuk memeriksa keuangan kedua kubu kandidat yang bertarung. Kantor auditor itu mencatat bahwa hasil sumbangan untuk kampanye pasangan Adang Daradjatun - Dani Anwar mencapai Rp 49,8 miliar. Sementara sumbangan dana kampanye untuk pasangan pemenang, Fauzi Bowo – Prijanto, mencapai Rp 46,8 miliar. Hasil audit akhir rekening dari kedua pasangan calon itu mencantumkan daftar nama dua ratusan penyumbang individu dan dua puluhan perusahaan swasta. Sesuai Pasal 85 ayat (5) Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, penyumbang perseorangan di atas Rp 2,5 juta dan instansi swasta, diwajibkan mencantumkan alamat dan identitas yang jelas. Jumlah sumbangan pun dibatasi: individu hanya boleh menyumbang maksimal Rp 50 juta sedangkan perusahaan maksimal menyumbang Rp 350 juta. Selain itu, dana sumbangan dari luar negeri dilarang dipakai. Dana dari pihak ketiga dari seberang itu harus dilaporkan lalu dikembalikan. “Jadi proses kampanye harus menggunakan uang yang jelas asal-usulnya,” kata anggota KPUD Jakarta, Muhammad Taufik. Menurutnya, dasar pemikiran aturan itu jelas. Negara ingin memastikan setiap rupiah yang dibelanjakan untuk kampanye adalah dana halal. Karena itu, setiap sumbangan –baik dari perorangan maupun perusahaan— harus jelas berasal dari siapa. “Kalau tidak jelas berasal dari siapa, maka si kandidat akan tersangkut masalah pidana dan itu bisa mengugurkan hasil pemilihan,” tambah Taufik. Aturan di atas kertas bisa saja ideal seperti itu. Tapi bagaimana dengan fakta di lapangan? Setelah mendapat daftar nama penyumbang perorangan dan perusahaan dalam Pilkada Jakarta lalu, saya menelusuri delapan dari puluhan perusahaan yang namanya ada dalam daftar itu. Kebetulan, hanya

29


REPORTASE edisi 04 November 2007 pasangan Fauzi-Prijanto yang mendapat sumbangan dana kampanye dari perusahaan swasta. Pasangan rivalnya, Adang-Dani, tercatat hanya menerima sumbangan perorangan. Hasil penelusuran saya mencengangkan: hanya tiga dari delapan perusahaan itu yang berhasil saya temukan. Ketiga perusahaan yang eksis dan mencantumkan alamat yang benar dalam daftar penyumbang dana kampanye adalah PT Graha Tunas Mekar, PT Abdi Teknologi Informatika, dan PT Mitra Abdi Solusi. Mereka rata-rata menyumbang Rp 300 juta sampai Rp 350 juta. Ketiganya memiliki kantor di alamat yang sesuai yang dilaporkan dalam hasil audit dan bidang pekerjaan yang jelas. Ketiga perusahaan itu berusaha di bidang properti dan pengadaan teknologi informasi. Nah, hasil penelusuran lima perusahaan yang lain benar-benar membuat kening berkerut. Ketika alamat kantor mereka yang tercantum di laporan auditor didatangi, tidak ada sedikit pun jejak mereka. Warga yang tinggal di kiri kanan alamat yang bersangkutan juga tidak mengenal perusahaan itu. Ajaib. Perusahaan pertama adalah PT Mandiri Eka Abadi, beralamat di Jalan Pakubuwono VI No. 8 Jakarta Selatan. Bolak balik saya lewati ruas jalan di kompleks perumahan mewah itu, tidak ada satu pun rumah yang bernomor 8 di sana. Secara acak, saya datangi rumah-rumah yang berdekatan dengan alamat kantor PT Mandiri, namun tak satu pun yang mengenali nama perusahaan ini. Bahkan pedagang rokok yang berjualan di dekat alamat itu pun mengaku tidak tahu menahu. Dia sempat menertawakan saya karena dianggap ngawur. “Rumah nomor delapan tidak ada di sini,” katanya sambil tertawa keras. Perusahaan kedua dan ketiga yang saya datangi beralamat di gedung yang sama: Menara Batavia, Jalan Kyai Haji Mas Mansyur, Jakarta Pusat. Kedua perusahaan itu adalah PT Suluh Dwipantara yang mengaku berada di lantai 32 dan PT Ghema Adhinusa Persada yang mencantumkan alamat di lantai 9.

30

Masing-masing menyumbang Rp 300 juta dan Rp 250 juta. Saya memutuskan naik ke lantai 32 gedung itu terlebih dahulu. Lantai itu adalah lantai tertinggi di Menara Batavia. Namun, sesampainya di sana, yang ada hanya klub pribadi dan sejumlah kantor perusahaan yang tidak mencantumkan namanya. Pengamanan di lantai itu lebih ketat dibandingkan lantailantai di bawahnya. Tak ada kesibukan kerja dan suasana kantoran di sana. Sepi. Lorong-lorong di antara ruangan hanya diterangi lampu temaram. Saat saya mencoba masuk ke salah satu kantor yang tidak berpapan nama, dua orang pria menghadang. Satu orang ber-seragam polisi dan satu lagi pria berbadan tegap, bersafari dan berambut cepak. Yang bersafari dengan ketus mengatakan PT Suluh Dwipantara tidak berkantor di sana. Sedangkan yang berseragam polisi membentak dan memerintahkan saya segera meninggalkan gedung itu. ”Kalau mau cari perusahaan itu, cari saja di Apartemen Batavia,” kata pria berseragam polisi itu. Apartemen yang disebutnya berjarak sekitar 400 meter dari Gedung Menara Batavia. Saya bergegas turun dan berhenti di lantai 9, berharap bisa menemukan PT Ghema Adhinusa Persada. Sayangnya, dari empat perusahaan yang berkantor di lantai itu, tidak ada nama perusahaan yang saya cari. Sejumlah karyawan yang saya tanyai juga tidak kenal dengan nama PT Ghema Adhinusa Persada. Setelah bertanya sana sini, akhirnya ada seorang karyawan senior, yang bekerja cukup lama di salah satu perusahaan di sana, yang mengaku pernah mengenal nama PT Ghema Adhinusa. Tapi menurutnya, perusahaan itu sudah lama tidak beroperasi lagi. ”Terakhir ada di sini, kalau tidak salah, pada 1998 lalu,” katanya. “Saya tidak tahu bidang pekerjaan perusahaan itu apa,” kata wanita yang tidak mau menyebutkan namanya itu.


REPORTASE edisi 04 November 2007 Usaha saya untuk menemukan perusahaan keempat dan kelima juga berakhir di jalan buntu. Sama seperti dua perusahaan sebelumnya, kedua perusahaan ini, PT Trisigma Indonusa dan PT Pura Kencana juga berkantor di gedung yang sama, namun berbeda lantai. Mereka beralamat di Perumahan Pondok Indah PL II Blok BA-56, Jakarta Selatan. Perusahaan yang satu di lantai tiga sedangkan yang lain di lantai dua. Masingmasing menyumbang Rp 250 juta. Akhir Agustus lalu, saya berkeliling hampir satu jam di kawasan Pondok Indah untuk mencari alamat tersebut, tanpa hasil. Seorang petugas satpam di sana, juga mengangkat bahu. Ia terheran-heran dengan alamat yang saya sodorkan. “Rumah di sini paling akhir bernomor dua puluhan,” katanya. Apalagi di lokasi tersebut tidak dikenal sistem blok seperti yang tercantum di daftar penyumbang dana kampanye. “Nama perusahaan itu juga tidak kami kenal,” katanya. ***

MENARA BATAVIA. Sejumlah perusahaan penyumbang Fauzi beralamat di gedung ini

Keganjilan serupa muncul di daftar nama penyumbang individu. Tidak semua penyumbang mencantumkan alamat jelas dan spesifik. Banyak alamat penyumbang tidak mencantumkan nama jalan, nomor rumah bahkan di wilayah kelurahan atau kecamatan mana rumah si penyumbang berada. Walhasil, saya kesulitan ketika menguji silang alamat yang tertera di daftar penyumbang. Saya sampai mendatangi puluhan rumah yang tercantum di daftar penyumbang kubu Fauzi Bowo maupun Adang Daradjatun. Namun, mencari alamat rumah di daerah sepadat dan seluas Jakarta, dengan hanya bermodal nama dan nomor jalan, tentu bukan pekerjaan enteng. Salahsatu penyumbang perorangan dalam Pilkada Jakarta adalah seorang warga bernama Suleman. Alamatnya di Jalan Budimulia RT 008/010. Dia menyumbang Rp 40 juta untuk salahsatu kubu kandidat. Ketika saya mendatangi alamat itu, yang ada hanya

31


REPORTASE edisi 04 November 2007 sebuah wilayah pemukiman padat dengan gang-gang yang cukup dilalui sepeda motor. Rumah dengan alamat yang dimaksud tidak bisa ditemukan. Saya mencoba alamat penyumbang lain. Namanya Suryadi bin Rejo, menyumbang Rp 29 juta, dan hanya mencantumkan alamat Duri Baru RT 0015/005, Jakarta. Tidak berhasil. Alamat itu tidak dikenal di kawasan Duri Baru. Demikian juga rumah Basril, yang menyumbang Rp 27 juta. Alamatnya di Gang Kamboja, Mampang Prapatan, RT 010/003. Gagal dengan cara itu, saya lalu menelusuri alamat penyumbang dengan metode lain. Saya menghubungi jasa pelayanan 108 di Telkom. Dari 30 alamat yang saya tanyakan, hanya tiga rumah yang nomor teleponnya tercatat dan pemilik rumahnya sesuai dengan nama yang tercantum di daftar penyumbang. Sisanya, tidak terdaftar. Dan kalaupun ada, telepon saya nyasar ke rumah orang lain yang mengaku tidak pernah menyumbang sepeser pun untuk kandidat Gubernur Jakarta. *** Tim audit dari Krisnawan & Partner mengaku sudah melakukan verifikasi atas 56 penyumbang di kubu Adang-Dani dan 30 penyumbang kubu FauziPrijanto. Mereka mengaku menguji kebenaran penyumbang dengan menelepon dan mengirimkan surat kepada penyumbang. Hasilnya, 80 persen dari sampel yang mereka periksa, memang mengaku menyumbang. “Tidak ada yang aneh,” kata Budipracoyo, kordinator tim audit itu. Budi mengaku heran dengan temuan saya. Dia menjamin kantor auditnya sudah melakukan semua proses audit dengan benar. Tapi ketika ditanya soal sejumlah alamat penyumbang perorangan yang tidak lengkap, dia mengaku tidak tahu menahu. Menurutnya, seluruh sampel yang diperiksa auditor, sudah menggunakan alamat yang lengkap. Setelah didesak, akhirnya Budi mengaku tidak

32

mendatangi langsung alamat penyumbang atau memeriksa kesesuaian latar belakang pekerjaan penyumbang dengan jumlah dana yang mereka berikan. “Kami hanya berhak melakukan verifikasi soal benar atau tidaknya mereka menyumbang,” katanya. Atasan Budi, Krisnawan, bersikap lebih terbuka. Dia mengaku bisa saja ada perusahaan yang menyumbang di atas batas yang ditentukan. Caranya tidak sulit. Cukup menyalurkan sumbangan itu langsung ke partai atau kandidat. Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 06 Tahun 2007, sumbangan dari partai memang tidak dibatasi. “Kami tidak berwenang melakukan investigasi untuk mengetahui asal sumbangan. Itu bagian KPU dan Panitia Pengawas,” katanya. Namun anggota Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) DKI Jakarta, Muhammad Taufik, menolak mentah-mentah kemungkinan itu. Soal alamat perusahaan yang tidak jelas, dia punya argumen sendiri. Menurutnya, bisa saja semua perusahaan penyumbang masih menggunakan alamat kantor menurut akte pendirian yang lama. Karena itulah, ketika didatangi, perusahaan tersebut tidak berkantor di alamat perusahaan yang diserahkan ke KPUD. “Mungkin ketika perusahaannya berkembang, mereka pindah kantor,” katanya ringan. Dia menilai ketidakjelasan alamat perusahaan dan individu yang menyumbang dana kampanye adalah hal yang wajar. *** Awal November lalu, masalah ini akhirnya mencuat ke permukaan dan menjadi perhatian publik. Mantan Ketua DPD PDI Perjuangan Jakarta, Agung Imam Sumanto, melapor ke KPUD Jakarta soal sumbangan partainya untuk pasangan Fauzi-Prijanto sebesar Rp 7,053 miliar. Agung mengaku sumbangan itu tidak wajar dan berindikasi melanggar peraturan karena partainya tidak punya uang sebanyak itu. Terang-terangan, dia menduga sumbangan berasal dari sumber yang tidak


REPORTASE edisi 04 November 2007 jelas. “Karena itu pelantikan Fauzi-Prijanto harus dibatalkan,” katanya keras. Dari dokumen yang saya peroleh, ada 12 perusahaan yang tercatat menyumbangkan uangnya ke PDI Perjuangan. Bahkan salah satunya adalah perusahaan milik Pemda DKI Jakarta. Menariknya, seluruh perusahaan itu menyumbang dengan jumlah di atas batas yang ditentukan. Bahkan dua perusahaan tercatat menyumbang dengan nilai Rp 750 juta. Sekretaris Jenderal PDIP, Pramono Anung, langsung membantah isu tak sedap ini. Menurutnya, sumbangan dana dari partainya sudah sesuai prosedur. “Partai kami sendiri yang mengeluarkan uang untuk calon dengan jumlah yang sudah sesuai dengan ketentuan,” katanya. Pramono lalu menuding Agung melaporkan hal ini karena

tidak puas pada kebijakan partai. Agung memang diberhentikan dari posisinya sebagai Ketua PDIP Jakarta setelah dia dituduh menarik iuran tak resmi dari para calon wakil gubernur dari partai Banteng itu. Sayangnya, KPUD Jakarta menolak menanggapi laporan Agung. Setelah menerima laporan Agung, anggota KPUD Jakarta, Taufik, langsung mengambil kesimpulan: dokumen yang disampaikan Agung tidak bisa dipertanggungjawabkan secara hukum. ”Laporan itu tidak layak ditindak lanjuti,” katanya santai. Sang kepala daerah terpilih, Fauzi Bowo, juga enggan menanggapi isu-isu miring ini. Saat jumpa pers perdananya sebagai Gubernur Jakarta, akhir Oktober lalu, dia berujar pendek, ”Saya ingatkan, KPUD sudah menyatakan audit atas dana kampanye saya diterima. Jadi silahkan tanya ke mereka,” katanya

33


REPORTASE edisi 04 November 2007

Sebuah tabloid khusus diterbitkan jutaan eksemplar untuk kampanye hitam. Siapa di baliknya?

Kalau Tabloid Menggebrak Pilkada Dadan M Ramdan Wartawan Koran Monitor Depok

P

ERHELATAN akbar pemilihan Gubernur secara langsung yang untuk pertama kalinya diselenggarakan di Ibukota Jakarta usai sudah. Pasangan Fauzi Bowo-Prijanto melenggang ke tampuk

34

pimpinan Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta, mengalahkan pesaingnya Adang Daradjatun-Dani Anwar. Di balik begitu kompleks dan dinamisnya


REPORTASE edisi 04 November 2007 penyelenggaraan pemilihan kepala daerah Jakarta Agustus silam, keberadaan media cetak terbukti menjadi salah satu ujung tombak kampanye yang ampuh. Pengaruhnya bahkan bisa disejajarkan dengan pentingnya sebuah tim sukses yang solid dan efektif. Siapapun tahu pencitraan politik sangat efektif untuk menaikkan pamor atau menghancurkan pamor seorang aktor politik. Dalam konteks Pilkada DKI Jakarta, efektifnya pencitraan ini diwakili penerbitan tabloid Jakarta Untuk Semua oleh pendukung pasangan Fauzi-Prijanto. Selama masa kampanye sampai hari pencoblosan, tabloid unik ini menyita perhatian publik. Bagaimana tidak, Jakarta untuk Semua disebarkan secara massal dan gratis di seluruh wilayah Jakarta. Setiap kali terbit, tiga juta eksemplar tabloid ini disebar melalui jaringan agen plus loper yang amat luas. Yang menarik, meski korannya bisa dibaca di manamana, penerbit Jakarta untuk Semua tak mudah dilacak. Pasalnya, untuk menghindari gugatan tim sukses lawan, penerbit tabloid ini tidak terdaftar di Komisi Pemilihan Umum Daerah sebagai tim sukses resmi Fauzi Bowo. Penelusuran saya menemukan kalau tabloid Jakarta Untuk Semua dikelola redaksi yang dipimpin seorang mantan wartawan media terkemuka bernama Setiyardi Negara. Tabloid 32 halaman berwarna ini diterbitkan PT Senopati Media, yang beralamat di Jl Pondok Karya IX Blok I No 6 Mampang, Jakarta. Namun dari penelusuran lebih jauh di lapangan, muncul fakta lain yang lebih menarik. Rapat-rapat redaksi tabloid ini ternyata lebih sering diadakan di sebuah kantor milik pengusaha pertambangan, Djan Faridz, di Jl. Talang, Jakarta Pusat. Pengusaha ini dikenal dekat dengan sejumlah nama tenar, seperti Fauzi Bowo sendiri, Ketua Dewan Perwakilan Daerah Ginandjar Kartasasmita dan putri Soeharto, Siti Hardijanti Rukmana. ***

Dari pengamatan sekilas saja atas isi dan tampilan tabloid ini, ada kesan kuat, Jakarta untuk Semua memang hadir untuk kepentingan politik menjatuhkan reputasi pasangan Adang Daradjatun dan Dani Anwar, kandidat Gubernur Jakarta yang diusung Partai Keadilan Sejahtera (PKS) . Kampanye hitam (black campaign) melalui saluran media massa memang merupakan trend di gelanggang politik dunia. Di negara-negara yang demokrasinya sudah matang sekalipun, kampanye terhadap keburukan-keburukan lawan kerap jadi pilihan. Indonesia bukan pengecualian. Kampanye hitam tabloid Jakarta untuk Semua tergambar jelas dari pilihan berita dan foto yang dimuat dalam empat edisi media itu. Nyaris di setiap edisi, pasangan Adang-Dani menjadi bulan-bulanan kritik. Padahal kisah sukses Fauzi Bowo selama menjadi pejabat Pemda DKI diberi porsi amat besar. PKS, partai penyokong pasangan Adang-Dani, juga tak luput dari serangan. Partai Islam itu dikritik sering menclamencle. Terang saja, kehadiran tabloid Jakarta untuk Semua membuat kader-kader PKS pendukung Adang-Dani mencak-mencak. Buntutnya, pada 2 Agustus lalu, enam hari sebelum pencoblosan, Pengurus Daerah PKS DKI Jakarta secara resmi melaporkan Setiyardi Negara ke polisi. Pengaduan disampaikan oleh tim advokasi PKS yang dipimpin Agus Surya Prayitno Otto dan dilengkapi barang bukti berupa ribuan tabloid yang berhasil disita massa PKS. “Kasus ini sengaja kami serahkan kepada berwajib untuk diproses secara hukum,” katanya. Berita Jakarta untuk Semua yang paling merugikan PKS, menurut Agus, adalah pemuatan gambar wanita setengah telanjang disamping tulisan opini mengkritik partai itu. Kolom berjudul “PKS Yes, Adang No” itu dimuat pada edisi 3 tabloid Jakarta untuk Semua. Isinya antara lain begini, “Sayang sekali, sebagai partai, PKS tentu saja tidak berjenis kelamin.

35


REPORTASE edisi 04 November 2007 Kalaupun bergender, untuk saat ini tampaknya PKS juga bukan laki-laki.” “Kami menilai ada pelanggaran pidana berupa pencemaran nama baik dan perbuatan tidak menyenangkan,” kata Agus, seraya mengutip Pasal 310 dan 335 Kitab Undang Undang Hukum Pidana. Selain mengadukan pengelola tabloid ini ke polisi, kader PKS pendukung Adang-Dani juga merazia para loper yang menyebarkan Jakarta untuk Semua di sejumlah perempatan jalan. “Kami menemukan satu gudang tempat penyimpanan tabloid ini di Jakarta Timur. Di sana masih ada sekitar 5 ribu eksemplar tabloid,” kata Agus. Sementara itu, di Tanah Abang, Jakarta Pusat, juga ditemukan ada 20 ribu eksemplar tabloid Jakarta untuk Semua dan beberapa ribu eksemplar dari wilayah lain. “Jadi sedikitnya ada 30 ribu eksemplar yang berhasil diamankan dan dijadikan barang bukti,” kata Agus lagi. *** Kepada saya, Ketua Tim Kampanye Adang-Dhani, Igo Ilham, terang-terangan menilai tabloid Jakarta untuk Semua edisi 3 yang terbit akhir Juli lalu itu, telah menyerang, memfitnah dan mendzalimi PKS. “Tabloid itu bentuk lain dari black campaign dan character assasination terhadap lawan politik lewat media murah,” katanya dengan nada tinggi. Sampai laporan ini ditulis, polisi masih belum melimpahkan kasus ini kepada Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta. Kepala Bagian Humas Mabes Polri, Irjen Sisno Adiwinoto, mengaku aparat keamanan masih melakukan penyelidikan lebih lanjut. “Laporannya sudah masuk dan terus diproses,” katanya. Tudingan bahwa Jakarta untuk Semua telah melakukan kampanye hitam tidak hanya datang dari kubu PKS. Ketua Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP), Sarnyoto N Indro, bersikap senada. “Kami menemukan pelanggaran dari kubu Fauzi Bowo, soal

36

penggunaan tabloid yang dibagi-bagikan dan diselipkan melalui loper kepada masyarakat di jalan, mal dan rumah-rumah warga,” katanya. Menurut Sarnyoto, tabloid itu menjatuhkan citra PKS. Koordinator Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) DKI Jakarta, Anas Nasrullah, juga unjuk bicara. “Relawan kami menerima laporan dari warga Kelurahan Gandaria Selatan dan Kebayoran, soal adanya penyebaran tabloid Jakarta Untuk Semua dari rumah ke rumah,” katanya. Sayangnya, penerbitan media kampanye semacam ini bukanlah pelanggaran aturan pilkada. Karena itu, Panitia Pengawas Pilkada tak bisa turun tangan. Suhartono, mantan Ketua Panwasda DKI Jakarta, membenarkan. Menurutnya, kasus Jakarta Untuk Semua sudah masuk wilayah pidana umum. “Karena itu, kasus ini sebaiknya ditangani langsung pihak kepolisian,” katanya. Celah hukum yang dimanfaatkan penerbit tabloid ini cukup efektif. Suhartono mengakui, panitia pengawas pilkada tidak bisa memproses tuduhan kalau Jakarta Untuk Semua melakukan kampanye hitam. Pasalnya, tabloid itu bukan diterbitkan oleh tim sukses atau pasangan calon, melainkan pihak luar atau simpatisan dari salah satu kandidat. “Karena itu pelanggaran yang dilakukannya masuk pidana umum,” kata Suhartono. Angggota KPUD DKI Jakarta, Muflizar, segendang sepenarian. Dia mengaku lembaganya tidak bisa menindak dan memberi sanksi kepada pengelola Jakarta Untuk Semua, sebab tabloid itu dibuat bukan oleh tim kampanye atau pasangan calon.“Kegiatan itu sepenuhnya di luar kampanye. Kami hanya bisa menjatuhkan sanksi bila kampanye hitam itu dilakukan oleh tim kampanye atau pasangan calonnya sendiri,” kata Muflizar merujuk UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemda dan Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005. Karena itu, kata dia, langkah PKS yang melaporkan pengelola tabloid Jakarta untuk Semua


REPORTASE edisi 04 November 2007 ke polisi, sudah tepat. “Sekarang tinggal polisi yang bekerja membereskannya.” Tim kampanye Fauzi Bowo-Prijanto sendiri pagipagi sudah cuci tangan. Mereka menyangkal tudingan kalau tabloid itu diterbitkan oleh tim sukses pasangan Fauzi-Prijanto. Penerbitan tablod kontroversial itu, kata tim sukses Fauzi Bowo, merupakan inisiatif para simpatisan Fauzi. Karena itu, isinya pun di luar tanggung jawab tim sukses. “Tabloid itu bukan bagian kampanye. Jadi kami tidak terikat dan tidak bisa dimintai pertanggungjawaban,” ucap Ketua Tim Advokasi Kampanye Foke-Prijanto, Ahmad Yani. Sementara, Setiyardi Negara, Pemimpin Redaksi Jakarta Untuk Semua, tenang-tenang saja menanggapi pengaduan PKS ke Polda Metro Jaya. Saat ditemui, Presiden Direktur PT Senopati Media ini sedang bersuka cita lantarannya jagoannya, Fauzi Bowo, memenangkan Pilkada Jakarta. Setiyardi mengaku tak gentar menghadapi ancaman gugatan lantaran isi pemberitaan tabloid yang dipimpinnya sudah melalui mekanisme jurnalistik. Secara prinsip, kata dia, dalam mencari, mengumpulkan, menulis, dan menyiarkan berita, tabloidnya telah mengacu kepada kaidah-kaidah jurnalistik. Setiyardi lalu menunjuk mekanisme penentuan tema liputan yang diambil melalui sidang redaksi. Rapat itu, kata Setiyardi, selalu dihadiri pemimpin redaksi dan para redaktur. Masalahnya, seorang sumber terpercaya berbisik: kegiatan rapat redaksi tabloid itu beberapa kali diadakan di kantor milik pengusaha Djan Faridz di Jl Talang, Jakarta Pusat. Setiyardi cepat membantah informasi itu. Menurutnya, Djan Faridz tidak terlibat baik dalam pendanaan maupun keredaksian tabloid yang dikelolanya. Setelah proses penulisan dan editing, sambung Setiyardi, dialah yang melakukan pemeriksaan final sampai naskah siap naik cetak. “Jadi tidak ada yang salah,” katanya. Pola distribusi tabloid

ini, menurut Setiyardi, melalui kader partai pendukung Fauzi Bowo, juga agen distributor media di Ibukota. Mengenai isi berita yang dituduh PKS bermuatan pencemaran nama baik dan pembunuhan karakter, Setiyardi hanya tersenyum menanggapinya. “Masalahnya apa? Emang kenyataannya begitu kok. Orang harus tahu dan diberi tahu yang sebenarnya itu seperti apa.” Tanpa tedeng aling-aling, Setiyardi mengaku media yang dikelolanya adalah pendukung pasangan Fauzi Bowo-Prijanto. “Mas, dari namanya juga sudah kebaca kan kita mendukung siapa,” ucapnya penuh arti. Dia mengakui penerbitan media kampanye itu menghabiskan anggaran yang tidak sedikit. Selain untuk biaya cetak dan distribusi, biaya operasional redaksi dan peliputan juga menghabiskan anggaran cukup besar. Sayangnya Setiyardi menolak menjelaskan jumlah dana yang digunakan untuk menerbitkan tabloid itu. “Yah pokoknya banyaklah. Anda bisa hitung sendiri,” katanya. “Itu rahasia produksi,” kilahnya ketika didesak terus. Setiyardi lagi-lagi tak memberikan jawaban pasti saat ditanya darimana sumber dana penerbitan tabloid itu. “Ini bukan uang siapa-siapa, saya sendiri banyak keluar uang,” katanya. Dia terus terang mengaku berharap ada imbalan atas perjuangan dan pengorbanannya menerbitkan tabloid pendukung Fauzi Bowo. “Kalau ‘emang ada rezeki, masa sih saya nggak ngerasain,” ujarnya sambil tersenyum. Soal kolom editorial di tabloid Jakarta untuk Semua yang mengkritik PKS, Setiyardi menegaskan tulisan tersebut adalah opini yang menjadi sikap media yang dipimpinnya. “Sifatnya memang subjektif Ya suka-suka saja. Yang terpenting saya siap bertanggungjawab,” ujar Setiyardi yang sempat berkiprah di Majalah Tempo itu. “Kalau memang salah, saya siap dipenjara,” tandas Setiyardi yang mengaku pernah diperiksa polisi hampir lima jam dalam kasus pencemaran nama baik yang diadukan kader PKS.

37


REPORTASE edisi 04 November 2007 Mengenai pemuatan foto wanita berbusana minim di dekat berita tentang PKS, dia menuturkan hal itu terkait isi pesan dalam tulisannya. Editorial tersebut mengkritik sikap PKS yang tidak konsisten soal hiburan malam di Ibukota. “Mestinya kritik tersebut dijadikan bahan introspeksi bukannya bersikap anarkis yang malah merusak citra partai mereka sendiri,” kata Setiyardi. Rubrik surat pembaca yang memuat pengakuan kader PKS yang mengkritik pasangan Adang-Dani, menurut Setiyardi, juga otentik. Dia mempersilahkan siapa saja membuktikan kalau penulis surat pembaca itu fiktif. Begitupun berita Jakarta untuk Semua yang memuat pernyataan Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat yang merupakan pendiri PKS, Hidayat Nurwahid. Di tabloid itu, Hidayat ditulis pernah berjanji akan mengubah tempat-tempat hiburan malam di Jakarta menjadi tempat hiburan alternatif seperti nasyid. “Wawancara itu sempat dimuat di majalah Tempo, malahan saya sendiri yang mewawancarai Hidayat Nurwahid ketika itu,” katanya. Pernyataan Hidayat itu dimuat lagi di tabloidnya, kata Setiyardi, karena bertolak belakang dengan pernyataan Adang Daradjatun yang menjamin tidak akan menutup tempat hiburan malam jika dirinya terpilih sebagai Gubernur DKI Jakarta. *** Dari penelusuran saya di lapangan, para agen dan loper koran mendapat bayaran lumayan untuk menyebarkan tabloid ini selama masa kampanye dan menjelang pelaksanaan pencoblosan. Jaringan loper dan pengecer dimanfaatkan maksimal untuk menyebarkan tabloid tersebut di titik-titik strategis Jakarta. Hal itu diakui sendiri oleh Setiyardi Negara. Dia mengaku biaya distribusi Tabloid Jakarta untuk Semua cukup besar. Sayangnya, lagi-lagi dia tidak bersedia menyebutkan berapa. “Itu rahasia perusahaan. Pokoknya banyaklah. Dicetak satu juta eksemplar dan

38

dibagikan gratis ke seluruh wilayah Jakarta,” katanya. Setiyardi menjelaskan distribusi tabloid Jakarta untuk Semua dilakukan melalui kerjasama dengan Yayasan Loper Indonesia (YLI). Dari Yayasan itu lalu disebarkan melalui jaringan agen di seluruh wilayah DKI Jakarta dan sekitarnya. Barangkali inilah pertama kalinya sebuah tabloid kampanye disebarkan seperti media umum. Umumnya, media semacam ini disebarkan melewati jaringan tim sukses atau partai-partai pendukung. Dengan disebarkan secara gratis di jalan-jalan dan langsung ke rumah warga, distribusi tabloid ini memang menjadi sangat luas. Bahkan tepat pada hari pencoblosan 8 Agustus lalu, para agen dan loper juga dimanfaatkan untuk melakukan ‘serangan fajar’. Dini hari sebelum warga berduyun-duyun mendatangi TPS, secara serentak tabloid ini diedarkan melalui agen-agen ke rumahrumah pemilih, bersama koran langganan mereka. Dari hasil penelusuran di lapangan, ditemukan bahwa para loper membagi-bagikan tabloid Jakarta untuk Semua dengan imbalan Rp 200,- per eksemplar. Sayangnya, keterlibatan agen dan loper dalam penyebaran tabloid ini berujung tindak kekerasan terhadap jaringan distribusi media ini. Pada tanggal 1 Agustus lalu, salah satu distributor media ini, Liston Agency, yang beralamat di Jalan Raden Intan, Duren Sawit, Jakarta Timur, digerudug puluhan kader dan simpatisan PKS. Kantor agen koran itu memang hanya berjarak seratus meter dari GOR Senam, tempat tim Adang Daradjatun berkampanye pada hari itu. Puluhan ribu eksemplar tabloid yang ditemukan di sana, kemudian disita massa pendukung PKS. Pemilik Liston Agency, Liston Hasiholan Simarmata, mengaku tidak terlibat pembuatan tabloid itu. Agennya, kata Liston, hanya menjual koran. Dia menjelaskan, para agennya menyebar 182 loper untuk menyebarkan tabloid Jakarta untuk Semua di Duren Sawit, Pangkalan Jati, Cakung, Bambu, Pondokgede, Kranji,


REPORTASE edisi 04 November 2007 sampai Bekasi dan sekitarnya. “Pada saat edisi pertama terbit, kami dapat kiriman 10 ribu eksemplar, edisi kedua sebanyak 20 ribu eksemplar, edisi ketiga sebanyak 40 ribu eksemplar, dan edisi keempat, yang terakhir, 100 ribu eksemplar,” katanya. Dari pembayaran Rp 200,- per eksemplar untuk jasa distribusi tabloid tersebut, Liston mengaku mengambil untung Rp 50,- per eksemplar. Sisanya Rp150,- diberikan ke loper dan pengecer. Liston juga mengaku tidak ada perjanjian tertulis antara penerbit dan agen seperti halnya perjanjian kerjasama distribusi koran umum lainnya. “Semestinya sih ada kontrak perjanjiannya, tapi saya belum sempat ngurus yang begituan,” katanya polos. “Yang penting mereka berani bayar, kita langsung kerja. Prinsipnya kita kerja nyari untung, bukan buntung,” tandasnya ringan. Dari mana kader PKS tahu Liston Agency adalah distributor tabloid pendukung Fauzi Bowo? Adil, seorang loper koran yang bekerja disana, menuturkan saat membagi-bagikan tabloid Jakarta Untuk Semua bersama kawan-kawannya di kawasan Jakarta Timur, seseorang tiba-tiba mendekatinya. Pria tak dikenal itu meminta Adil membawanya kepada pemilik agen koran dimana ia memperoleh tabloid Jakarta untuk Semua. Saat itu, Adil mengaku sedang membagikan tabloid itu ke semua penumpang angkutan umum. “Saya sih nggak tahu itu koran apaan. Saya hanya menjalankan tugas si bos dan dapat bayaran,” tuturnya. Adil mengaku memperoleh imbalan Rp 25 ribu sehari sebagai jasa menyebarkan tabloid Jakarta untuk Semua. Taufik, yang juga berprofesi sama dengan Adil, menceritakan semua loper koran rata-rata mendapatkan uang tambahan Rp 25 ribu. “Waktu itu aku lagi nggak jualan, tapi temen-temen cerita kalau mereka dapat Rp 25 ribu dari si bos buat membagibagikan tabloid itu gratis ke siapa saja yang lewat di jalan,” tuturnya.

Ditemui terpisah, Ketua Yayasan Loper Indonesia, Laris Naibaho, mengakui yayasannya turut andil dalam mendistribusikan tabloid Jakarta Untuk Semua di wilayah Jakarta dan sekitarnya. Yayasannya, kata Laris, mendapat bayaran untuk jasa distribusi yang mereka berikan. Untuk setiap edisi tabloid Jakarta untuk Semua, Yayasan Loper Indonesia menerima tiga juta eksemplar tabloid yang selanjutnya didistribusikan melalui agen yang tergabung dalam jaringan loper mereka. “Sedikitnya ada 6 ribu loper yang mendistribusikannya,” katanya. Imbalan jasa distribusi yang lebih besar dibandingkan dengan yang diberikan koran umum, menurut Laris, mendorong mereka menerima tawaran kerja sama itu. “Namanya juga agen, kerjaannya ya tukang nyebarin koran. Tidak penting siapa dan di mana dibuatnya, kita edarin aja. Masa bodoh isinya gimana, ‘kan bukan tanggungjawab agen. Yang penting dibayar,” tegas dia. Pada akhirnya, Tabloid Jakarta Untuk Semua tidak hanya mendatangkan laba bagi wartawan yang membuatnya, agen dan loper-loper yang menyebarkannya, tapi juga untuk pasangan kandidat Fauzi Bowo-Prijanto yang akhirnya memenangkan pemilihan Gubernur Ibukota, awal Agustus silam.

39


REPORTASE edisi 04 November 2007

Jejak Bohir Jakarta Satu Pasangan Fauzi Bowo – Prijanto menggunakan seorang pengusaha untuk mengongkosi kampanye mereka. Kolusi pengusaha dengan pembuat kebijakan? Arif Kuswardono

P

Wartawan Majalah Tempo

ADA akhir Juli lalu, ketika hari merambat malam, Djan Faridz masih bertahan di kantor Dewan Pimpinan Daerah PDI Perjuangan di daerah Tebet, Jakarta Selatan. Ia datang menagih surat. “Pokoknya saya minta duit kampanye ini diatasnamakan partai,” katanya pada petinggi daerah partai berlambang kerbau liar itu, beberapa hari sebelumnya.

Sedari siang, tak ada orang yang mau meladeni pria keturunan Betawi dan Pakistan itu. “Ada perintah dari DPP untuk tak menggubris permintaannya,” kata Agung Imam Sumanto, Ketua PDIP Jakarta. Karena permintaan Djan tergolong berat. Yakni agar dana kampanye Fauzi Bowo – Prijanto, pasangan calon gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta, sejumlah Rp. 7,035 miliar diberi cap sebagai sumbangan PDIP

DILANTIK. Pasangan Fauzi Bowo-Prijanto dilantik menjadi gubernur dan wakil gubernur Jakarta, Oktober 2007

40


REPORTASE edisi 04 November 2007 Jakarta. Lengkap dengan perincian asal sumbangan dan pengeluarannya. Surat diperlukan untuk laporan dana kampanye pasangan tersebut ke Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) Jakarta yang sudah memasuki deadline penyerahan. “Tidak bisa, kami nggak punya duit dan pengeluaran segede itu,” kata Agung pada Djan Faridz. Lagipula dua pekan sebelumnya, Badan Pemeriksa Keuangan menyatakan PDIP Jakarta lolos audit. Menurut hasil audit itu, kekayaan PDIP Jakarta cuma Rp 260 juta, hasil sumbangan Anggaran Pembangunan dan Belanja Daerah. “Masak bisa tibatiba punya miliaran. Malah diguyu tengu (ditertawai kutu ayam—),” lanjutnya menolak. Agung takut, bisabisa PDIP Jakarta malah dituduh melakukan manipulasi keuangan. Akhirnya, Agung dan sejumlah pengurus kunci memilih kabur dari kantor. Bosan diperlakukan sebagai tamu haram, Djan rupanya naik darah. Ia bertengkar dengan Adi Wijaya alias Aming, bendahara PDIP Jakarta, yang berkeras menolak. “Emang berapa banyak nama yang mau dipakai. Siapa sih yang bisa nyumbang di PDIP?” kata Aming. “Siapa sajalah, seharusnya elu ‘kan bisa bikin,” teriak Djan Faridz. Tanpa laporan keuangan yang jelas, pencalonan Foke —sapaan Fauzi Bowo— dan Prijanto bisa dibatalkan KPUD. Padahal hari pencoblosan 8 Agustus sudah di depan mata. Pertengkaran itu kemudian ditengahi oleh Adang Ruchiatna, Ketua Tim 11 PDIP— yang ditugasi DPP PDIP membantu kampanye pasangan Foke – Prijanto, yang kebetulan datang ke Tebet. Adang menawarkan jalan tengah. “Soal surat kok jadi masalah. Sudah buat saja, terserah nanti bisa terima atau tidak,” katanya pada Adi. Adi menawar perintah Adang. “Surat harus ada dokumen pendukungnya. Bagimana caranya?” kata Adi. “Nggak masalah, bisa atas nama perusahaan gue,” kata Djan. Pria 58 tahun itu segera menelpon stafnya untuk membuat dan mengirim bukti tersebut

dengan faksimili ke kantor PDIP Jakarta. “Tidak bisa fotokopi. Harus ada bukti pengeluaran yang asli,” kata Adi mencoba menolak lagi. Akhirnya bukti asli pengeluaran itu lalu dikirim via kurir ke Tebet. “Nah itu kan ada dasar-dasar penyumbangnya,” kata Adang pada sejumlah pengurus PDIP Jakarta, dengan senyum lega. Bukti-bukti yang dimaksud Adang ternyata hanya berupa tanda terima resmi pemesanan barang dan order pekerjaan yang sudah tertulis atas nama ‘Partai PDIP’. Padahal, partai tak pernah memesan atau memberi pekerjaan tersebut. Misalnya saja, ada tanda terima spanduk, umbulumbul dan stiker dari Pelangi Neon Service di Kemayoran sebesar Rp 319, 2 juta. Atau kwitansi dari Karnos Film untuk biaya kampanye TV Fauzi Bowo – Prijanto sebesar Rp 5,7 miliar. Ada juga kwitansi dari perusahaan dengan logo PY, tanpa alamat, berisi tanda terima pembuatan kaos Fauzi Bowo – Prijanto senilai Rp 676,2 juta. Total pengeluaran mencapai Rp 7,035 miliar. Sementara bukti sumbangan, hanya berupa daftar sumbangan dalam list berjudul cash flow dari 14 perusahaan dengan alamat kantornya. Nilainya Rp 7,050 miliar. Walau bukti sumbangan dan pengeluaran itu sudah di tangan, Adi tetap ogah tanda tangan. “Semua surat resmi hanya Ketua dan Sekretaris yang bisa tanda tangan,” katanya. Padahal Agung dan Erico Sotarduga, Sekretaris PDIP Jakarta, sudah kabur menghindar. Surat itu akhirnya diteken juga pada jam 2 dini hari. Isinya laporan sumbangan dalam bentuk non cash dari PDIP Jakarta selama masa kampanye, dari 21 Juli sampai 4 Agustus. Penandatangannya Mohamad Asyikin Kaharuddien (Wakil Ketua Bidang Buruh, Tani dan Nelayan) dan Gembong Wardono (Wakil Sekretaris Bidang Internal). Menurut praktek persuratan di PDIP, surat itu sebenarnya tidak sah. Tapi, surat itu akhirnya dibawa juga oleh Djan Faridz dan menjadi bukti pengeluaran

41


REPORTASE edisi 04 November 2007 Cakrawira Bumimandala menyumbang Rp 500 juta. dana kampanye pasangan Foke – Prijanto ke tim audit Hanya PT. Karunia Abadi Sejahtera dan PT. Makmur independen yang ditunjuk KPUD Jakarta. Nah, Jaya Serasi yang mematuhi ketentuan. “Ada sejumlah belakangan surat yang sama diserahkan Agung Imam pelanggaran serius. Saya minta KPUD membatalkan Sumanto ke KPUD Jakarta. Agung yang Juli lalu dipecat pelantikan Fauzi Bowo – Prijanto,” kata Agung saat dari jabatannya sebagai Ketua PDIP Jakarta karena menyerahkan bukti tersebut, 4 Oktober lalu. tersangkut kasus ‘setoran mahar’ calon gubernur Sayangnya, laporan Agung sudah patah di jalan. Slamet Kirbiyantoro, membawa surat itu untuk Menurut M. Taufik, Ketua Pokja Kampanye KPUD membuktikan telah terjadi manipulasi laporan dana Jakarta, laporan dana kampanye pasangan Fauzi kampanye pilkada. Bowo – Prijanto sudah diaudit. Pelanggaran serius yang “Hasilnya tak ada masalah,” dimaksud Agung, selain soal katanya. Pengaduan Agung cerita ‘asal muasal’ laporan hanyalah konflik internal partai sumbangan PDIP Jakarta, yang coba dibawa keluar. adalah daftar penyumbang. “Semua bukti yang diajukan Dalam daftar penyumbang adalah bahan-bahan yang yang diserah-kan Djan sudah diklarifikasi oleh KPUD. Faridz, tercatat nama sejumlah Jadi tidak ada yang baru,” Badan Usaha Milik Daerah. jelasnya. Adapun jumlah “PT. Jakarta Realty dan PT. sumbangan yang mencapai Melawai Jaya Realty miliaran rupiah dari PDIP Jakarta sebagian sahamnya milik juga dianggapnya wajar. “Partai Pemda DKI,” jelas Agung. itu sama dengan kandidat. Tidak Padahal dalam ketentuan ada batas sumbangan,” jelasnya. pilkada, partai dilarang Adapun PDIP sendiri, menerima sumbangan dari menutup diri ketika dikonfirmasi BUMD. mengenai surat laporan Selain itu, beberapa sumbangan hasil ‘tekanan’ dari sumbangan juga melebihi Djan Faridz. “Saya nggak tahu,” batas minimal yang diijinkan kata Adi Wijaya. Adapun Asyikien untuk perusahaan, yakni Rp dan Gembong menghindar. 350 juta. Dari 14 perusahaan, “Silakan tanya DPP saja, saya 12 diantaranya menyumbang dilarang berkomentar,” kilah melebihi batas. PT. Jakarta mereka. Sekjen PDIP Pramono Realty dan PT. Surya Gading Anung juga membantah ada Mas Sakti menyetor masingmanipulasi dana kampanye masing Rp 750 juta. pasangan Fauzi Bowo – Prijanto. Selebihnya, seperti PT. Multi “Tidak ada manipulasi, Artha Pratama, PT. Citra POSTER. Satu selebaran kampanye kandidat semuanya terang,” katanya. Gemilang Nusantara, PT. gubernur

42


REPORTASE edisi 04 November 2007 Pengurus Pusat PDIP, kata Pramono, telah menunjuk penanggung jawab kampanye pilkada di DKI. “Tanggung jawabnya ada di Tim 11. Bukan Agung,” kata Pramono pada saya, 4 Oktober lalu. Adang Ruchiatna, Ketua Tim 11, membantah semua cerita Agung. “Dia itu tidak tahu menahu. Dia tidak ada saat kejadian, tiga hari kabur tanpa bisa dihubungi,” jelas mantan Pangdam Udayana yang sekarang menjadi Pelaksana Jabatan Sementara (Pjs) Ketua DPD PDIP Jakarta ini. Menurut Adang, surat PDIP Jakarta itu sah. “Tidak ada masalah siapapun yang tanda tangan,” katanya.

*** Kasak-kusuk atas peran Djan Faridz dalam kampanye Fauzi Bowo sebenarnya sudah lama muncul. Pengusaha keturunan Betawi –Pakistan ini disebut mendanai kampanye pasangan Fauzi Bowo – Prijanto dalam jumlah yang bisa membuat mata melotot. Peran sentral Djan bahkan terlihat jelas di puncak kesibukan kampanye pada Pilkada Agustus lalu. Kantor perusahaannya—yang dikenal sebagai gedung Vatech (Voest Alpine Technology) di Jalan Talang 3 Pegangsaan Jakarta Pusat— ramai didatangi orangorang partai. Kesibukan macam itu hampir berlangsung sepanjang 24 jam selama masa kampanye. Spanduk dukungan pada Fauzi Bowo – Prijanto bahkan dipasang di halaman parkirnya. Padahal secara resmi, Tim Sukses Fauzi Bowo dan Prijanto berkantor di Jalan Diponegoro 63 Jakarta Pusat, kantor pusat Fauzi Bowo Centre (FBC). Satu tempat lagi, yakni sebuah kantor di Jalan Proklamasi 43 Jakarta Pusat, khusus dijadikan tempat para pimpinan partai anggota Koalisi Jakarta berkumpul. Kantor yang ditempati PT. Pola Dwipa ini tak lain dan tak bukan, juga milik Djan Faridz. Kantor Jalan Talang kerap disebut kantor

logistik.”Kalau urusan logistik, jatahnya diatur dari sana,” jelas seorang anggota tim sukses kampanye Foke – Prijanto dari Partai Golkar. Urusan logistik itu mencakup apa saja, dari soal atribut kampanye, kaos, spanduk, poster bahkan hingga tabloid Jakarta Untuk Semua. “Rapat-rapat kegiatan kampanye bahkan harus saya ikuti di sana,” jelasnya. Di kalangan wartawan, kantor itu juga dikenal sebagai tempat pencairan uang. “Cukup bawa bukti muat atau tayang, kita bisa dapat duit,” kata Bang Plintir —ini nama samaran—seorang wartawan bodrex alias tukang menerima amplop yang biasa mangkal di Balai Kota Jakarta. Liputan Fauzi Bowo – Prijanto, sebelum dan selama kampanye, akan dibayar sesuai ukuran pemuatannya. Berita media cetak antara Rp 250 ribu – Rp. 500 ribu. “Kalau teve dihargai tinggi, bisa sampai Rp. 1,5 juta,” jelas Bang Plintir. Tak cuma kampanye, kebutuhan ‘ongkos politik’ pasangan Fauzi Bowo dan Prijanto diduga memang besar. Dibandingkan saingannya —pasangan Adang Daradjatun dan Dani Anwar yang menaiki ‘perahu’ Partai Keadilan Sejahtera— pasangan Foke dan Prijanto harus ‘sewa perahu’ koalisi 19 partai politik yang disebut Koalisi Jakarta. Pilar koalisi ini adalah empat partai dengan suara terbanyak di DPRD Jakarta: Partai Demokrat, Partai Golkar, PDI Perjuangan dan Partai Persatuan Pembangunan. Plus tambahan 15 partai lain, mulai PKB, PAN, PDS, Partai Pelopor, Partai Patriot, Partai Bintang Reformasi, sampai Partai Persatuan Demokrasi Kebangsaan (PDK). Menurut seorang anggota tim sukses Foke – Prijanto dari PDI Perjuangan, strategi menggaet banyak partai dipilih setelah mencermati kemenangan PKS dalam pemilihan kepala daerah Depok dan Bekasi. Di kedua daerah itu, beberapa pasangan calon berlaga. Hasilnya pasangan Nurmahmudi Ismail – Yuyun Wirasaputra unggul di Depok dan pasangan Sa’duddin – Darip Mulyana menang di Bekasi. “Jika ada lebih dari dua pasangan calon, bisa dipastikan

43


REPORTASE edisi 04 November 2007 PKS menang di Jakarta,” jelas mantan anggota Mega Center ini. PKS dinilai sudah punya ‘modal awal’ yang solid, yakni kader fanatiknya. Walau jumlah kader ini cuma sekitar 20 persen dari pemilih, tapi dengan banyaknya calon, suara pemilih menjadi terpecah. Ditambah tingginya angka golongan putih dan suara mengambang, bisa dipastikan hanya dengan sedikit limpahan suara saja, PKS unggul. “Ini yang sengaja kita hindari di Jakarta,” jelasnya. Jelas ongkos ‘sewa perahu’ pasangan Fauzi – Prijanto amat mahal. Belum lagi ditambah ongkos

kampanye terselubung, yang juga banyak dituduhkan ke alamat kubu Foke sebelum masa pencalonan. Seperti iklan televisi mengenai hari ulang tahun Jakarta di sejumlah teve swasta. Juga iklan anti narkoba yang dipasang di berbagai tempat. Semuanya memasang foto Fauzi Bowo. Kampanye dini itu, menurut Centre for Electoral Reform (Cetro), amat mungkin diongkosi dana resmi Pemda DKI Jakarta. “Kalau terbukti, seharusnya pencalonannya ditolak,” ungkap Hadar Gumay, Direktur Eksekutif Cetro. Kubu Foke sendiri membantah hal ini. Fauzi Bowo saat itu memang Ketua Panitia

Langkah Kuda Pengusaha Setrum N

ama pria keturunan Betawi Pakistan ini tiba-tiba saja melejit. Pemicunya adalah pengumuman Agung Imam Sumanto, mantan Ketua DPD PDI Perjuangan Jakarta, yang dengan blak-blakan menuding Djan Faridz sebagai otak di balik pendanaan kampanye Fausi Bowo – Prijanto. Pria lulusan Jerman ini mula-mula dikenal sebagai pengusaha rekanan PLN. Ia mengageni Voest Alpine Tech (VaTech), sebuah perusahaan turbin listrik dari Jerman. Kini bisnisnya sudah merambah ke daerah dan bidang yang lain. Sebuah perusahaan energi di Australia, bahkan dikabarkan dimiliki sahamnya oleh PT. Priamanaya Djan Internasional, ‘kapal induk’ usaha milik Djan Faridz. “Dia punya bakat dekat dengan pejabat. Makanya bisnisnya cepat berkembang,” kata sumber saya, yang masih kolega dekat sang pengusaha. Sejumlah menteri pertambangan dan energi, mulai dari Ginandjar Kartasasmita, IB Sudjana bahkan Purnomo Yusgiantoro disebut dekat Djan Faridz. Menurut seorang sumber penulis, Djan tak segan obral hadiah. Seorang menteri tambang dan energi diberi sebuah rumah di kawasan elit Jakarta Selatan. Pada masa Menteri Pertambangan IB Sudjana, ia juga tercatat sebagai sponsor pembangunan patung Garuda Wisnu Kencana. Sebuah proyek landmark di Bali yang dipimpin IB Sudjana. Saat itu, ia berperan mengkoordinir sumbangan dari para pengusaha listrik. Pada masa Orde Baru, ia pernah dikenal dekat dengan Siti Hardiyanti Rukmana alias Mbak Tutut, putri sulung mantan presiden Soeharto. Mereka berdua berkongsi dalam proyek listrik swasta Tanjung Jati B yang berkapasitas 2x600 MW. Ia juga menggarap proyek geothermal Sibayak di Sumatra Utara berkekuatan 120 MW. Era berganti, justru kiprah pria 58 tahun ini makin melejit. Bisnis listrik masih tetap ditekuni. PT. Priamanaya saat ini tercatat menguasai 50 persen saham konsorsium Zelan-Priamanaya-Tronoh dalam proyek pembangunan PLTU di Rembang bernilai US$ 555 juta. Adapun sisanya dibagi antara dua

44


REPORTASE edisi 04 November 2007 HUT Jakarta dan juga Ketua BNN Jakarta. Tidak jelas, panjar ‘sewa perahu’ yang dibayar Fauzi Bowo dan Prijanto pada partai-partai pendukungnya. Namun pada sejumlah partai pendukung Fauzi Bowo – Prijanto, Djan Faridz disebutsebut pernah menjanjikan bantuan motor dan mobil untuk cabang-cabang mereka. Ihwal bantuan motor ini diakui oleh Agung Imam Sumanto. “Janjinya akan ada motor untuk tiap pengurus ranting, mobil untuk pengurus cabang. Juga ada sumbangan ambulans,” jelasnya. Bantuan motor bermerek Yamaha Vega itu akhirnya benar-benar disampaikan Adang Ruchiatna

selaku Ketua Barisan Serba Guna (Baguna) PDIP pada rapat pengurus PDIP se-Jakarta, di tengahtengah masa kampanye Juli lalu. Janji itu tentu butuh duit luar biasa. Bagaimana tidak, di Jakarta saja ada 267 ranting tingkat kelurahan dan 6 cabang. Untuk motor saja, jika satu motor seharga Rp 9 juta diperlukan dana Rp 2,4 miliar. Tapi tampaknya kubu sang calon siap dengan kantong tebal. Bantuan berupa 10 mobil KIA Carens dan puluhan sepeda motor akhirnya diserahkan ke DPP. “Diatasnamakan sumbangan Ibu Mega,” kata Agung. Sumbangan mobil ini diakui oleh juru bicara PDIP

anggota kongsi dari Malaysia : Zelan Bhd dan Tronoh. Pembangkit berkapasitas 2x316 megawatt ini dijadwalkan beroperasi secara komersial pada 2009. Priamanaya juga mendapat konsesi untuk menggarap PLTU Baturaja berkapasitas 2x100 MW. Bisnis baja belakangan disebut-sebut menarik minat Djan. “Kami telah menginvestasikan US$ 25 juta untuk membangun pabrik baja berkapasitas 250 ribu ton,” kata Djan Faridz pada Harian Bisnis Indonesia, tahun lalu. Pabrik itu rencananya akan beroperasi tahun 2008. Saat itu, ia mengaku sudah mengantongi ijin kuasa pertambangan seluas 100 ribu hektar di Kalimantan Tengah di lahan yang mengandung batu bara dan bijih besi. Namun tambang duit Djan sebenarnya ada di Jakarta. Saat ini, Priamanaya diketahui memiliki beberapa proyek properti di Jakarta. Langkah bisnis di sektor yang konon paling cepat menangguk untung itu dimulai dengan merenovasi Blok A Pasar Tanah Abang yang terbakar habis awal 2003. Blok tersebut kemudian direnovasi menjadi pasar modern 12 lantai dengan kucuran duit APBD Jakarta. Priya Djan, anak Faridz, diserahi pengelolaan pasar bernilai sekitar Rp. 600 miliar ini. Sukses menangani pembangunan pasar dengan 8 ribu kios itu, Djan Faridz kemudian bergabung dengan Agung Podomoro Group dalam konsorsium PT. Putra Pratama Sukses yang dipercaya Pemda DKI Jakarta membangun Blok B, C, D dan E di pasar tekstil terbesar di Asia Tenggara tersebut. Sebagai permulaan proyek renovasi Blok B saja menelan anggaran Rp. 350 miliar. Kelak areal seluas 1,2 hektar ini akan terisi 5 ribu kios. Masih bersama kelompok Agung Podomoro Group, Priamanaya juga membentuk perusahaan patungan PT. Cakrawira Bumimandala yang membangun pusat perbelanjaan Season City di kawasan Latumeten, Jakarta Barat. Pusat perbelanjaan seluas 5,5 hektar senilai Rp 1,2 triliun ini diharapkan selesai tahun 2009. Berupa sebuah kawasan terpadu yang menyediakan 1.500 apartemen dan sekitar 3 ribu unit trade mall dan ruko. Mungkin karena itulah, Djan merasa perlu mengamankan bisnisnya di Jakarta dengan mensponsori pasangan kandidat gubernur. Bahkan tak hanya itu, kabarnya ia sudah ancang-ancang mendukung Sutiyoso, sang mantan gubernur Jakarta, bertarung di pemilihan presiden tahun 2009. Komentar Djan Fraidz ? “Ah, nggak ada urusan,” katanya.

45


REPORTASE edisi 04 November 2007 Jakarta, Dhea Prakesa Yoedha. “Memang ada sumbangan motor dan ambulans. Jumlahnya sekitar seratusan untuk ranting dan cabang,” katanya. Sumbangan itu diserahkan Juli lalu, sebelum kampanye pilkada. Mengenai asal sumbangan, Dhea mengaku tidak tahu. “Setahu saya dari DPP,” katanya. Cabang sebuah partai berlambang agama yang dibentuk semasa Orde Baru juga dikabarkan menerima sumbangan serupa. Hanya jumlahnya lebih sedikit. Partai itu mendapat lima mobil Honda Jazz dan dua Kijang Innova. Sementara cabang sebuah partai yang pernah berkuasa, disebut mendapat KIA Carnival dan Innova untuk semua pengurus cabangnya. Sayangnya, tak ada pengurus partai politik itu yang mau memberikan konfirmasi. *** Kejanggalan keuangan kubu Fauzi Bowo tak berhenti sampai di sana. Awal Juli lalu, ketika rekening dana kampanye dibuka sehari setelah pencalonan Foke - Prijanto diterima KPUD Jakarta, Tim Sukses pasangan tersebut mencatat saldo awal Rp 4,5 juta. Lalu tiba-tiba, dalam hitungan hari, muncul sumbangan Rp. 9,9 miliar. Duit itu diaku sebagai sumbangan pribadi Fauzi Bowo. Padahal pada tahun 2001, Fauzi Bowo melaporkan ke Komisi Pemberantasan Korupsi, ‘hanya’ memiliki kekayaan Rp 15,13 miliar dan US$ 167 ribu. Artinya Fauzi ‘rela’ menyumbangkan sekitar 60 persen hartanya untuk kampanye. Sungguh pengorbanan luar biasa untuk seorang pegawai negeri. Pundi-pundi Tim Sukses Foke bertambah setelah lima partai pendukung Foke – Prijanto masing-masing menyumbang Rp 500 juta atau total Rp 2,5 miliar. Sumbangan terbesar berupa cash didapat dari sumbangan perorangan dengan nilai total Rp 13,9 miliar. Sedangkan untuk non cash berasal dari sumbangan partai politik atau gabungan partai politik sebesar Rp 13,04 miliar.

46

Sumbangan non cash partai-partai ini cukup menggelitik. Dalam laporan final dana kampanye tim sukses yang dibuat KPUD Jakarta, pasangan Adang – Dani Anwar sama sekali tak mendapat sumbangan non cash dari kubu PKS. Sebaliknya Fuazi Bowo – Prijanto seperti mendapat ‘durian runtuh’. Apa yang sebenarnya terjadi? Menurut orang dekat Djan Faridz, ini hasil kerja tim Jalan Talang. “Dia kan pengusaha kawakan, tahulah siasat mengatur duit,” jelas sumber ini. Pembelian barang dan logistik langsung ditangani dari Jalan Talang. Dengan demikian pengeluaran bisa dikontrol. Partai-partai tinggal membagi saja atau membuat tanda terima. Persis yang dialami PDIP Jakarta. Cara ini juga nampak misalnya dalam penerbitan tabloid gratis Jakarta Untuk Semua. Tabloid ini dibuat sendiri oleh tim Talang. Isi tabloid ini melulu adalah black campaign terselubung. Media ini sengaja mengunggulkan Foke – Prijanto dan ‘menjatuhkan’ Adang. Semua ongkos penerbitan tabloid Jakarta untuk Semua ditanggung Djan Faridz. Bahkan bos PT. Priamanaya Djan Internasional ini merekrut Setiyardi Negara, seorang mantan wartawan profesional untuk mengelola tabloid ‘dadakan’ itu. Setiyardi yang pernah bekerja di majalah Tempo, kini membuat sebuah perusahaan sendiri: PT. Senopati Media. Perusahaan itulah yang disebut sebagai penerbit Jakarta untuk Semua. “Kita membuatnya di Jalan Talang. Isinya bahkan dikontrol langsung oleh Djan Faridz,” kata seorang wartawan tabloid ini. Dari penelusuran di lapangan, saya menemukan kalau tabloid ini dicetak di PT. Temprina, percetakan milik kelompok Jawa Pos di Jakarta. Manajemen percetakan itu langsung mengaku. “Kami memang terima order tiga kali cetak,” kata Yuniarto, manajer marketing PT Temprina. Cetak pertama dari tabloid 32 halaman full color tersebut berjumlah 360 ribu eksemplar. Kemudian cetak kedua sebanyak 750 ribu


REPORTASE edisi 04 November 2007 eksemplar dan terakhir sebanyak 420 ribu eksemplar. Totalnya mencapai 1,530 juta eksemplar. Namun Yuniarto menolak menyebut total ongkos cetak media tersebut. “Tagihannya ke Jalan Talang, tapi bagian keuangan kami yang mengurus,” katanya. Menurut perhitungan kasar saya, bila satu tabloid memakan ongkos Rp 1.500,- saja, maka total biaya cetak tabloid Jakarta untuk Semua mencapai Rp. 2,29 miliar. Sebagai perbandingan, tabloid-tabloid di bawah Group Jawa Pos, seperti Koki, Nyata dan Ototrend, ongkos cetaknya rata-rata mencapai Rp 1.900,- sampai Rp 2.000,-. Jumlah halaman tabloid ini jauh lebih banyak. Dalam penelusuran saya, saya juga menemukan kalau dana pencetakan Jakarta untuk Semua sama sekali tidak dilaporkan ke KPUD. *** Setiyardi Negara bersikeras menyatakan tabloid tersebut memang bukan diterbitkan oleh Fauzi Bowo Centre. Melainkan diterbitkan oleh simpatisan Foke. “Sebagai simpatisan kan boleh-boleh saja

mendukung,” katanya. Pria asal Lampung ini mengakui bahwa tabloid itu diterbitkan oleh Djan Faridz. “ Beliau kan termasuk simpatisan juga,” jelasnya. Penggarapan tabloid itu, menurut Setiyardi, dilakukan Senopati Media sepenuhnya. “Kami kerjakan di kantor kami di Mampang,” jelasnya. Namun untuk soal pembayaran cetak, Setiyardi mengaku bukan dia yang mengurus. “Saya hanya menunjuk percetakannya saja,” jelasnya. Pembayarnya ? “Ada orang di Jalan Talang yang mengatur,” akunya. Tabloid Jakarta untuk Semua disebarkan ke partai-partai anggota Koalisi Jakarta. “Kami menerimanya dari Fauzi Bowo Centre,” kata Dhea Prakesa Yoedha, Humas PDIP Jakarta pada penulis. PDIP menerima semua materi kampanye dari kantor Tim Sukses Fauzi Bowo dan Prijanto tersebut. “Kami semua terima dalam bentuk materi,” jelasnya. Selain tabloid Jakarta untuk Semua, menurut sejumlah sumber saya, Djan juga mengongkosi kegiatan-kegiatan lain. “Ada sembako murah dan dapur umum,” jelas sumber saya di Partai Golkar. Rapat-rapat kegiatan tersebut pun dilakukan di Jalan

RESMI. Fauzi Bowo Center resminya bermarkas di Jl. Diponegoro, Menteng, Jakarta Pusat

47


REPORTASE edisi 04 November 2007 Talang No. 3 Pegangsaan Jakarta Pusat, kantor Djan Faridz. Mantan Ketua PDIP Jakarta, Agung Imam Sumanto mengakui, Koalisi Jakarta pernah mengirimkan proposal sembako murah dan dapur umum ke Jalan Talang. “Kami ajukan untuk 87 titik,” jelasnya. Namun hampir separuhnya dicoret. “Hanya 43 titik yang disetujui oleh Djan Faridz,” jelas dia. Dimana rapat pembagian sembako itu dilakukan ? “Saya ditelepon Djan Faridz untuk datang ke Talang. Katanya ada yang perlu dibicarakan soal pembagian sembako,” aku Agung. *** Mengingat perannya yang luar biasa, sebenarnya apa kedudukan Djan Faridz bagi Tim Sukses Fauzi Bowo? “Kita tidak punya hubungan kerja dengan mereka. Tim Talang adalah prakarsa masyarakat di luar koordinasi Tim Sukses,” kata Ryaas Rasyid, Ketua Tim Sukses Fauzi Bowo. Meski tidak punya hubungan, tim Fauzi Bowo Center kerap menerima sumbangan dari Jalan Talang. “Kadang mereka antar tabloid, spanduk dan poster,” kata Ryaas. Bantuan itu kemudian dibagikan ke kantong-kantong pendukung Fauzi Bowo. Ketua Umum Partai Demokrasi Kebangsaan ini mengaku tak tahu apakah sumbangan partai atau gabungan partai sejatinya berasal dari duit Djan Faridz. “Saya hanya mengurusi soal strategi saja,” jelasnya. Yang ia tahu, sumbangan partai ada yang berasal dari fund raising. “Masing-masing partai mengumpulkan sumbangan dari kadernya,” jelasnya. Duit itulah yang dipakai untuk menyumbang Tim Sukses. Jika mengacu pada undang-undang, sebagai pribadi, Djan Faridz sebenarnya hanya bisa menyumbang maksimal Rp 50 juta. Jika sumbangan itu atas nama perusahaan, semisal PT. Priamanaya, pun maksimal sebesar Rp 350 juta. Diluar jumlah itu, tentulah dia terancam terkena pasal politik uang dalam

48

pilkada. “Itu perkara pidana. Sanksinya, sama seperti penyuapan. Baik yang memberi atau menerima dikenai pidana,” kata Arbi Sanit, pengamat politik. Fauzi Bowo sendiri mengakui kenal Djan Faridz. “Dia wakil saya di NU Jakarta,” katanya. Ketika ditanya seberapa kenal, pria berkumis ini memilih diam saja. Sarjana teknik lulusan Universitas Braunschweig, Jerman ini, menolak mengomentari peran Djan Faridz yang disebut sebagai bohir di belakang kampanyenya. Menurut pria 59 tahun ini, dana kampanyenya sudah diaudit oleh KPUD dan dinyatakan lolos. Tidak ada nama Djan Faridz disitu. “Saya tidak akan berkomentar. Silakan saja bertanya pada KPUD,” katanya pada saya. Djan Faridz sendiri ketika dihubungi mengaku senang dikonfirmasi. “Sebagai pengusaha, saya senang siapapun yang terpilih. Pengusaha harus netral,” kata pria 58 tahun ini. Pengusaha listrik yang juga alumni Jerman ini mengaku tidak terlibat dengan urusan pilkada. “Nggak ada urusan,” katanya singkat sembari tertawa. Meski kemudian, ia menjawab beberapa pertanyaan saya, namun banyak keterangannya yang diminta off the record. *** Menurut Didik Supriyanto, mantan anggota Panitia Pengawas Pemilu, undang-undang yang ada lemah mengatur praktek dan saksi money politics. Berdasarkan aktor dan wilayah operasinya, mantan aktivis mahasiswa ini membagi politik uang dalam empat kelompok. Pertama, transaksi antara elit ekonomi (pemilik uang) dengan pasangan calon yang akan menjadi pengambil kebijakan/keputusan politik pasca pilkada. Kedua, transaksi antara pasangan calon dengan partai politik yang mempunyai hak untuk mencalonkan. Ketiga, transaksi antara pasangan calon dan tim kampanye dengan penyelenggara pilkada yang berwenang menghitung perolehan suara. Dan kategori keempat, adalah transaksi antara calon dan tim kampanye dengan


REPORTASE edisi 04 November 2007 massa pemilih (pembelian suara/political buying). Undang-undang sudah menentukan aturan penggalangan dana kampanye pilkada, baik yang berasal dari perorangan maupun perusahaan swasta. Pasal 83 Ayat (3) UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah hanya mengatur pembatasan sumbangan dana kampanye perseorangan maksimal Rp 50 juta dan perusahaan swasta maksimal Rp 350 juta. Pula melarang pasangan calon dan tim kampanye untuk menerima dana dari pihak asing, penyumbang yang tak jelas identitasnya dan BUMN/BUMD [Pasal 85 ayat (1) UU 32/2004]. Hubungan antara pasangan Foke – Prijanto dengan Djan Faridz, menurut alumnus Universitas Gajah Mada tersebut, termasuk kategori pertama. Hubungan tersebut bisa ‘digelapkan’ karena ada banyak celah untuk mengakali aturan tersebut. Dan partai politik atau pasangan calon sudah kerap melakukannya. Transaksi ekonomi pengusaha dan pejabat ini ‘mulus’ karena partai politik yang mencalonkan dan pasangan calon tidak dikenai pembatasan sumbangan dana kampanye. Sumbangan-sumbangan dari pihak lain bisa disalurkan lewat kedua pihak tersebut. “Ketentuan pembatasan dana kampanye juga mudah diakali. Dengan mengatasnamakan sumbangan kepada orang/perusahaan lain sehingga perorangan/perusahaan tetap bisa menyumbang lebih banyak dari batas maksimal,” jelas Didik yang kini menjabat Wakil Pemimpin Redaksi portal Detik.Com. Sedangkan mengenai uang tanda jadi pencalonan, dana penggerakkan mesin partai, atau

dana operasional kampanye, semuanya berasal dari setoran para calon dan tim kampanye kepada partai atau gabungan partai yang mencalonkan. Para politisi menyebut soal ini adalah urusan internal dan bagian dari ongkos politik, bukan politik uang. UU Nomor 32 Tahun 2004 sama sakali tidak memuat ketentuan untuk menjerat transaksi tersebut. “Sejak dulu, partai-partai memang tidak mau diatur dalam soal dana,” jelas Didik. Kolusi macam ini amat berbahaya. Pola hubungan segitiga pengusaha – partai politik – pejabat publik akan menghasilkan shadow government. “Pemerintahan yang sebenarnya dikontrol oleh pengusaha. Terutama yang berperan memberi dana pencalonan,” kata Didik. Dan itulah motif sebenarnya kenapa pengusaha mau terlibat politik.

49


REPORTASE edisi 04 November 2007

Menggugat Janji Gubernur Jakarta Fasilitas publik belum dirancang untuk semua warga. Para difabel merasa Jakarta bukan untuk mereka.

Agustinus Eko Raharjo Wartawan Radio CVC

T

IDAK mudah menjadi seorang penyandang cacat –atau lebih tepat disebut difabel (dari kata “people with different ability”) di tengah belantara Jakarta. Mereka seperti jadi bagian yang terlupakan dari deru mesin besar bernama Ibukota. Ketika warga lain terus melaju, para difabel di Jakarta berjuang untuk bertahan dan menang dalam perjuangan hidup mereka masing-masing. Ketidakadilan macam ini pantas digugat. Difabel adalah warga Jakarta juga. Apalagi Fauzi Bowo, sang Gubernur Jakarta yang baru terpilih Agustus lalu, meneriakkan janji “Jakarta untuk Semua” saat dia berkampanye menuju kursi Jakarta Satu. Benarkah janji itu bisa diwujudkan? Jaka Anom Ahmad Yusuf, 31 tahun, adalah pekerja sebuah organisasi non-pemerintah yang sejak sebelas tahun lalu mengalami gangguan retinitis pigmentosa, sehingga penglihatannya berkurang hingga 80 persen. Dia lahir dan besar di Ibukota. Namun sampai sekarang dia merasa Jakarta belum benar-benar memperhatikan kebutuhan warga seperti dirinya. Tengoklah pengalaman Jaka, yang suatu pagi, Agustus lalu, hendak menuju Perpustakaan

50

SULIT. Model tangga di halte bus way menyulitkan difabel


REPORTASE edisi 04 November 2007 Departemen Pendidikan Nasional di kawasan Sudirman, Jakarta Pusat, dari rumahnya di Rawamangun, Jakarta Timur. Untuk mengetahui bagaimana tidak ramahnya fasilitas publik di kota ini untuk para difabel, saya menemani perjalanan Jaka hari itu. Sejak melangkah keluar rumah, pria yang lebih akrab disapa Jack ini, langsung mengeluarkan tongkat dengan panjang sekitar satu meter, yang biasa disebutnya “tongkat putih”. “Tongkat putih ini berfungsi sebagai detektor, yang akan menunjukkan kepada saya mana titik aman untuk berpijak. Jadi, kalau saya akan melangkah ke kiri, maka tongkat ini harus saya ayunkan ke kiri juga,” kata Jack. Kesulitan pertama yang dihadapinya berkaitan dengan struktur jalan di kebanyakan kampung Jakarta yang tidak rata. “Di jalan yang tidak memiliki trotoar seperti ini, saya sering kehilangan arah karena tidak bisa mendeteksi di mana posisi saya,” kata Jack. Bukan hanya arsitektur fisik bangunan-bangunan di permukiman yang tak ramah. Perilaku penyedia jasa layanan publik pun kerap belum memberikan kenyamanan untuk para difabel. Jack mengaku merasakannya pada saat menunggu kendaraan umum. “Saat menunggu bis, sepertinya para kenek menghindari penumpang seperti saya,” katanya. Tapi, ada yang lucu. “Begitu saya berhasil naik, kebanyakan dari

mereka tak mau dibayar. Jadinya, seperti ada social reward,” katanya sambil terbahak. Para difabel tentu tidak menuntut perlakuan istimewa seperti itu. “Kami tak mau diperlakukan karena kasihan. Kami hanya ingin mendapat penghargaan sebagai bagian dari masyarakat, yang tidak berbeda dengan orang-orang lain,” kata Jack. Kesulitan utama kedua Jack hari itu, adalah banyaknya jembatan penyeberangan yang tidak didesain untuk membantu difabel. “Beberapa jembatan penyeberangan di Jakarta digunakan sebagai tempat berdagang, sehingga mengganggu kenyamanan orang lain,” urainya. Tak hanya itu, hampir tidak ada lampu pengatur lalu-lintas di ibukota yang memberikan sinyal suara bagi kaum tunanetra. Sinyal itu penting agar mereka tahu kapan saat menyeberang yang tepat. “Di Bandung dan beberapa kota lain di luar negeri, lampu pengatur lalu lintas dilengkapi lagu atau bunyi-bunyian lain. Sehingga kami tahu, kapan lampu berwarna merah atau hijau menyala,” paparnya. *** Problem mengakses layanan publik juga dialami Herman Wahidin, 30 tahun, seorang pengguna kursi roda yang mengalami spinal cord injury sejak dua tahun lalu. Manajer Sistem Informasi di Medikaloka Health Care, sebuah klinik kesehatan swasta di kawasan Kuningan ini, harus menggunakan mobil dan sopir pribadi sebagai sarana menuju tempat kerjanya di Kuningan, Jakarta Selatan, dari rumahnya di kawasan Gajah Mada, Jakarta Barat. Karena berbagai kesulitan mendapat akses layanan publik, Herman mengaku belum pernah mengecap layanan Trans Jakarta. “Ingin sih, tapi bagaimana lagi? Ke trotoar aja susah, belum lagi kultur penumpang angkutan umum di Jakarta yang sering berdesak-desakan untuk mendapat tempat duduk,”

51


REPORTASE edisi 04 November 2007 ungkapnya sambil mengangkat bahu. Herman bermimpi Jakarta di bawah pemerintahan yang baru dapat bersikap lebih beradab terhadap kaum difabel. Jika itu dipenuhi, para difabel dapat hidup mandiri tanpa harus bergantung kepada orang lain. “Peraturan perundangan yang ada harus diterapkan secara konsekuen. Kalau orang mau bangun gedung baru, harus diperiksa benar apakah gedung itu sudah memenuhi kelayakan bagi kelompok difabel juga. Begitupula untuk layanan angkutan umum,” katanya panjang lebar. *** Indonesia sebenarnya memiliki lebih dari sepuluh peraturan perundang-undangan yang memberi perhatian khusus bagi para difabel di negara ini. Sebut saja Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat dan Peraturan Pemerintah RI Nomor 43 Tahun 1998 tentang Upaya Peningkatan Kesejahteraan Sosial Penyandang Cacat. Persoalannya, mengapa setumpuk peraturan itu tidak pernah diterapkan dengan sungguh-sungguh? “Aturannya sudah lebih dari cukup, tapi aplikasinya belum. Baik secara kuantitas, apalagi kualitas,” kata Ketua Umum Persatuan Penyandang Cacat Indonesia, Siswadi kepada saya. Padahal, menurut Siswadi, jumlah penduduk difabel di Indonesia tidaklah sedikit. Hanya saja, ibarat gunung es, angka yang selama ini muncul, barulah permukaannya saja. “Departemen Sosial memperkirakan rata-rata ada 3-11 persen penduduk dari sebuah wilayah yang merupakan difabel. Kalau Jakarta penduduknya 10 juta saja, artinya ada sekitar 300 ribu orang di sini yang difabel,” katanya. Jika pemerintah belum bisa diandalkan, bagaimana dengan para anggota parlemen? Ketika saya berkunjung ke Gedung Dewan Perwakilan Rakyat di Senayan, Jakarta Pusat, para wakil rakyat ini mengaku gelisah dengan fakta yang saya sodorkan. Saya tegaskan kepada mereka bahwa berbagai fasilitas dan layanan umum di Indonesia belum mendukung mobilitas

52

para difabel di negeri ini. Pada rapat dengar pendapat umum dengan belasan organisasi difabel, Juni lalu, Wakil Ketua Komisi Sosial, Ahmad Farhan Hamid, menyatakan bahwa DPR mendukung peningkatan aksesibiltas bagi para difabel. Program ini kelak harus meliputi perbaikan akses pada sektor pelayanan publik, seperti fasilitas kesehatan, pendidikan, dan tenaga kerja. “Kami juga mendukung penambahan anggaran untuk itu,” kata legislator dari Fraksi Partai Amanat Nasional ini. ***

FASILITAS. Kendaraan umum tidak memberi fasilitas untuk p

Sayangnya, saat saya mencoba mendesak apa yang akan dilakukan Jakarta dalam waktu dekat untuk mengatasi masalah ini, Gubernur baru Jakarta, Fauzi Bowo, buru-buru mengaku tidak berani menjanjikan apa-apa. “Baru pada awal 2008, saya akan memperketat perizinan bagi gedung-gedung yang baru dibangun,” katanya. Dia berharap seluruh bangunan


REPORTASE edisi 04 November 2007 di Jakarta akan mempunyai fasilitas untuk mengakomodasi kepentingan difabel. Okelah, kalau mempersiapkan seluruh kota untuk ramah pada difabel dirasakan sebagai program yang sulit, bagaimana dengan bus Transjakarta. Bagaimana kesiapan jalur khusus bus ini mengakomodasi kepentingan para difabel? Ditanya seperti itu, Foke — begitu panggilan akrabnya— berkilah cepat. “Ente kira itu ramp (plat khusus yang dipakai untuk jembatan penyebarangan di busway, sehingga tidak ada undakundakan anak tangga—) tidak mengakomodasi kepentingan mereka?” katanya dengan nada tinggi.

enyandang cacat

Sayangnya, Foke juga tidak hafal berapa persen Anggaran Pembangunan dan Belanja Jakarta yang akan dia alokasikan untuk kepentingan para difabel di Ibukota. “Kita sudah berusaha, tapi barangkali memang masih ada kekurangan di sana-sini,” ujarnya lagi. ***

Gubernur Fauzi Bowo boleh saja sesumbar semua halte busway telah dilengkapi dengan ramp. Namun kenyataannya tidak seindah itu. Saya memeriksa satu demi satu semua halte bus Transjakarta di ibukota. Tengok halte busway di Sawah Besar, Mangga Besar, Olimo, Pal Putih, Kuningan Madya Aini, Rawa Selatan, dan Utan Kayu. Di sana, jembatan penyeberangan tidak dilengkapi ramp untuk para difabel, melainkan masih berupa undak-undakan tangga model lama. Ini jelas membuat keinginan pengguna kursi roda untuk dapat sampai ke pintu masuk bus Transjakarta menjadi mustahil. Ada juga halte busway yang masih setengahsetengah, alias satu sisi menggunakan ramp, sedangkan sisi lain masih menggunakan tangga dengan undak-undakan beton. Tidak percaya? Lihat saja Halte Depkes, Karet Kuningan, GOR Sumantri, Setiabudi Utara, Cempaka Tengah, Pasar Cempaka Putih, Rumah Sakit Islam, dan Pasar Genjing. Bahkan halte bus Transjakarta di Harmoni, Jakarta Pusat, halte sentral untuk sejumlah jalur busway, tidak sepenuhnya dilengkapi ramp untuk pengguna kursi roda. Penderitaan para difabel di Harmoni tak berhenti sampai disana. Anggaplah, mereka lolos dari rintangan pertama, para pengguna kursi roda tidak akan bisa melewati halangan berikutnya. Difabel berkursi roda tidak bisa memasuki koridor antara loket dan tempat pemberhentian bus, karena ada putaran pembatas yang akan menghalangi kursi roda mereka lewat. Sampai kapan para difabel Indonesia harus menunggu untuk dapat hidup mandiri di kota yang super sibuk ini? Kapan Jakarta bisa ramah pada difabel? Jawabannya terpulang pada realisasi janji Gubernur dan Wakil Gubernur terpilih, Fauzi Bowo dan Prijanto. Jangan sampai Jack, Herman, Siswadi dan kawan-kawannya, merasa Jakarta bukan untuk semua.

53


REPORTASE edisi 04 November 2007

Profil Penulis

YULIYANTI Lulusan Universitas Negeri Jakarta jatuh cinta pada dunia jurnalistik sejak masih duduk di bangku kuliah, mengaku menjadi wartawan adalah mimpinya sejak bangku sekolah menengah. Lahir di Jakarta 12 juni 1977. Sebelum di VHR pernah menjadi reporter di majalah canting. Ibu satu anak ini amat tertarik meliput isu-isu sosial kemasyarakatan terutama yang melibatkan upaya mengangkat kehidupan kaum miskin kota. Tempatnya bekerja sekarang, Radio Voice of Human Rights, memberinya banyak peluang untuk mewujudkan keberpihakannya itu. Dia mengaku mengikuti program fellowship investigasi Pilkada ini karena banyak sisi yang menarik untuk di sampaikan pada khalayak, terutama berkaitan realita dan kebijakan Daerah Khusus Ibukota yang masih belum menyentuh masyarakat secara menyeluruh.

POERNOMO GONTHA RIDHO Di antara teman-temannya, Poernomo lebih akrab disapa Edo. Lulusan Fakultas Ilmu Sosial dan Politik jurusan Hubungan Internasional Universitas Padjajaran ini memulai karir jurnalistiknya di Majalah Tempo. Kini, dia menjadi redaktur halaman di Koran Tempo. Dia banyak meliput isuisu politik dan hukum. Salah satu pengalaman jurnalistiknya yang paling berkesan adalah meliput darurat sipil dan tsunami di Aceh. Pertengahan 2007 lalu, Ayah satu anak ini sempat terbang ke Selandia Baru mewakili Indonesia untuk sebuah media exchange program yang diadakan pemerintah Selandia Baru bagi para jurnalis Asia.

54

RACH ALIDA BAHAWERES Lahir di Sidoarjo, 21 Maret 1984, Rach Alida Bahaweres mengawali karir jurnalistiknya dengan menjadi freelancer di Tabloid Wisata ‘Jatim News’. Lantas pada semester tujuh ia mulai bergabung di Majalah Mingguan GATRA sebagai koresponden biro Surabaya, Jawa Timur. Anak pertama dari dua bersaudara ini mengaku tertarik mendalami dunia jurnalistik sejak duduk di bangku SLTA. Tak heran, ia lantas memilih untuk kuliah di Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi-Almamater Wartawan Surabaya (STIKOSAAWS). Saat duduk di bangku kuliah, ia pernah menjadi Pemimpin Redaksi media Internal STIKOSA-AWS ‘Estudio’ serta Redaktur Pelaksana ‘Acta Surya’. Ia juga pernah menjabat sebagai Ketua Badan Legislatif Mahasiswa (BLM) dan Divisi Organisasi HImpunan Mahasiswa Penggemar Fotografi (HIMMARFI) Selain aktif menulis berita, Alida-nama panggilannyamenjadi pengurus Divisi Perempuan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia. Dia baru saja menyelesaikan tugasnya sebagai Project Officer (PO) ‘Penghargaan AJIUNICEF untuk Karya Jurnalistik Terbaik tentang Anak’. Terkait fellowship PIlkada AJI Jakarta, Alida mendorong agar kegiatan ini dilaksanakan dengan rutin. “Agar memaju wartawan menghasilkan karya jurnalistik yang berkualitas,” katanya.

RIKY FERDIANTO Pria berkulit ”sawo kematengan” ini lahir dari orang tua berdarah Minang di Jakarta 27 tahun silam. Alumni Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada ini gemar membaca buku novel, sosial dan kajian budaya. Semasa kuliah, ia sempat aktif di berbagai organisasi ekstra maupun intra universiter. Ketertarikan dibidang jurnalistik mulai muncul ketika ia bergabung di Badan Penerbitan Pers Mahasiswa, Balairung, UGM. Saking aktifnya, ia rela menelantarkan bangku kuliahya untuk beberapa semester. Pengalaman itu jugalah yang mungkin mengantarkannya sebagai reporter diharian Koran Tempo. Berbagai medan liputan telah ia alami, mulai dari liputan hukum, bisnis, hingga kriminal. Pengalaman jurnalistik paling berkesan ia alami ketika mewawancarai dugaan skandal


REPORTASE edisi 04 November 2007 permainan uang Menteri Riset dan Teknologi, Kusmayanto Kadiman. Saat ini ia tercatat sebagai anggota aktif di Aliansi Jurnalis Independen Jakarta.

ISTIQOMATUL HAYATI Redaktur halaman Koran Tempo ini sudah banyak makan asam garam investigasi jurnalistik. Dia pernah terbang ke Taiwan seorang diri selama sepekan untuk mengikuti jejak perempuanperempuan dari Tangerang, Banten, yang diperistri oleh pria Taiwan. Pada pemilu 2004 lalu, ibu satu anak ini juga memenangkan fellowship dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI) untuk melakukan investigasi Pilkada. Kerjakerasnya mengungkap konglikong seputar pengadaan kertas suara berbuah manis. Sejumlah anggota KPU periode itu kini meringkuk di penjara.

MUSTAFA SILALAHI Ketertarikannya pada dunia jurnalistik dipicu oleh kegemarannya mengungkap fakta di balik cerita. Khususnya persoalan sosial politik di sekitarnya. Selain itu, pria berusia 28 tahun ini juga tak pernah segan menghabiskan waktu berjam-jam untuk berbicara dengan sumber-sumber beritanya, berusaha untuk menggali informasi menarik. Lulusan Ilmu Komuni-kasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara ini bekerja di Koran Tempo sejak Desember 2005. Pengalaman jurnalistiknya yang paling berkesan sejauh ini adalah saat berjibaku menahan hujan dan dinginnya malam ketika melakukan pengintaian rumah salah seorang calo senjata. Mantan aktifis kampus ini tertarik mengikuti program fellowship investigasi Pilkada Jakarta ini karena keinginannya mengungkap fakta betapa para kandidat menggunakan segala cara untuk menjadi pemenang. DADAN M. RAMDAN Pria berambut gondrong ini adalah salah satu wartawan andalan koran Monitor Depok. Di koran itu, dia menjadi salah satu redaktur halaman. Dadan tertarik mengikuti program fellowship investigasi Pilkada Jakarta ini setelah menjadi

peserta training jurnalistik yang juga diadakan AJI, Juli lalu di Wisma Makara UI Depok. Lulusan Fakultas Ilmu Komunikasi, Universitas Islam Bandung ini menjadi wartawan sejak empat tahun lalu. Karirnya dimulai dengan menjadi reporter sosial budaya untuk Majalah Cleopatra di Bandung, Jawa Barat.

ARIF KUSWARDONO Wartawan Majalah Tempo ini dua kali memenangkan penghargaan ”Apresiasi Jurnalis Jakarta” untuk kategori jurnalis media cetak terbaik pada 2006 dan 2007 lalu. Selain itu, lulusan Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang ini juga dua kali memenangkan penghargaan Anugerah Adiwarta Sampoerna untuk artikel politik terbaik se-Indonesia. Arif memulai karir jurnalistiknya sebagai koresponden Majalah Forum Keadilan di Semarang, Jawa Tengah. Pada 1998, dia pindah ke Jakarta dan bergabung dengan Majalah Tempo yang terbit kembali pasca reformasi. Saat ditanya bagaimana kesannya terlibat dalam fellowship peliputan investigatif Pilkada Jakarta, dia hanya berujar pendek, ”Saya belum puas membaca karya saya sendiri.”

AGUSTINUS EKO RAHARDJO Pria 30 tahun ini lebih akrab dipanggil Jojo. Dia lulusan Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga, Surabaya. Pertama kali mengenal dunia jurnalisme delapan tahun lalu saat menjadi reporter Radio Salvatore (kini Radio Sonora Surabaya) pada 1999 silam, saat masih duduk di bangku kuliah. Jojo sempat menjadi koresponden Tempo di Surabaya, sebelum pindah ke Jakarta dan bekerja sebagai reporter Radio CVC Australia. Sejak awal menjadi wartawan, pria yang baru saja menjadi ayah ini, sudah tertarik pada tema-tema human interest. Pengalamannya meliput bencana tsunami di Aceh, 2004 lalu, amat berbekas.

55


REPORTASE edisi 04 November 2007

56


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.