Permasalahan Otonomi Khusus di Aceh dan Papua Sebuah Makalah Inisiatif Strategi
Penulis Iwan Dzulvan Amir, Imam Cahyono Penyunting Mickael B. Hoelman
Permasalahan Otonomi Khusus di Aceh dan Papua Sebuah Makalah Inisiatif Strategi
Sangsi Pelanggaran
Pasal 72 UU No. 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta 1. Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp. 1.000.000,00 (Satu-Juta-Rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (Lima Milyar Rupiah) 2. Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu Ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)
ii
Permasalahan Otonomi Khusus di Aceh dan Papua Sebuah Makalah Inisiatif Strategi Penyusun | Penyunting |
Iwan Dzulvan Amir, Imam Cahyono Mickael B. Hoelman
iii
Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT) Permasalahan Otonomi Khusus di Aceh dan Papua; Sebuah Makalah Inisiatif Strategi / Penyunting: Mickael B. Hoelman, --- Jakarta : Yayasan Tifa, 2011 57 halaman+xi ; 25,5x18 cm2
ISBN 978-979-16226-9-1
Cetakan Pertama, November 2011
Penerbit Yayasan Tifa Jakarta - Indonesia Jln. Jaya Mandala II / 14E Menteng Dalam Jakarta Selatan 12870 Telp. (021) 829-2776, Fax (021) 837-83648 e-mail : public@tifafoundation.org Desain tata letak dan perwajahan : Ayoenk
iv
Daftar Isi Daftar Isi Daftar Kotak dan Tabel Kata Pengantar Ringkasan Eksekutif Peta Aceh dan Papua
1 2
3
4
v vi vii ix xi
Pendahuluan
1
Satu Dekade Otonomi Khusus
7
2.1 Aceh Paska Proses Rehabilitasi dan Rekonstruksi 2.1.1 Maraknya Korupsi 2.1.2 Kemiskinan Berkelanjutan 2.1.3 Kontroversi Hukum Syari’ah 2.1.4 Rekonfigurasi Elit Politik
9 13 14 18 20
2.2 Papua Masih Membara 2.2.1 Konflik Primordial atau Sumberdaya? 2.2.2 Special Automoney? 2.2.3 Terpuruknya Pelayanan Publik 2.2.4 Rekonfigurasi Elit Politik
22 22 26 29 32
Tantangan dan Relevansi untuk Program
35
3.1 Akses untuk Keadilan dan Hak Asasi Manusia 3.2 Media dan Kebebasan Informasi 3.3 Demokrasi dan Tata Pemerintahan
35 39 41
Rekomendasi
49
Referensi
53
Lampiran : Profil Daerah Aceh Pofil Daerah Papua
56 57
v
Daftar Kotak dan Tabel Daftar Kotak : Kotak 1. Kotak 2. Kotak 3. Kotak 4. Kotak 5. Kotak 6. Kotak 7. Kotak 8. Kotak 9. Kotak 10. Kotak 11. Kotak 12. Kotak 13. Kotak 14. Kotak 15. Kotak 16. Kotak 17. Kotak 18. Kotak 19. Kotak 20. Kotak 21. Kotak 22. Kotak 23. Kotak 24. Kotak 25.
Paradigma Desentralisasi Pembentukan Daerah Otonom Rekonstruksi di Aceh Paska-Tsunami Lima Provinsi Terkorup, Semester I - 2010 Ekonomi Aceh Kemiskinan di Aceh (1993-2008) Pembangunan Aceh; APBD Aceh Pembangunan Aceh; Pendapatan Daerah Pembangunan Aceh; Perbandingan Belanja dan Pendapatan serta besaran Defisit (%) Provinsi Papua dari Penguasa ke Penguasa Ekonomi Papua dan Papua Barat Dana Perimbangan dalam UU No.21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Provinsi Papua Transfer Dana Papua dan Papua Barat Transfer Dana dari Pusat Kemiskinan di Papua dan Papua Barat (2000-2008) Indeks Pembangunan Manusia 2005-2008 Komposisi Kursi di DPR-RI Satu Dekade Otonomi Khusus Peta Wilayah Gerakan ALA/ABAS Basis Hukum untuk Qanun Isi Program dan Penyiaran Perbandingan GDP antara Aceh, Papua dan Papua Barat Tingkat Kemiskinan di Aceh, Papua Barat dan Papua ( 2000-2008 ) Kesenjangan Kemiskinan antara Desa dan Kota (%) Saran-saran Saran Spesifik terkait Daerah Otonomi Khusus
2 3 10 14 15 16 17 18 18 23 25 26 27 28 30 31 33 36 38 40 45 46 47 49 50
Daftar Tabel : Tabel 1. Tabel 2. Tabel 3. Tabel 4. Tabel 5. Tabel 6.
vi
Perbandingan Isi Undang-undang Otonomi Khusus Aceh dan Papua Komitmen Bantuan dan Realisasi Hasil Pemilu Legislatif (DPRA) di Aceh, 2009 Kerangka Mekanisme Manfaat di Lima Dimensi Kerangka Mekanisme Manfaat di Empat Tingkat Pemerintahan Distribusi Kemiskinan di Aceh, Papua Barat dan Papua ( 2005-2009 )
7 13 21 43 45 47
Kata Pengantar
S
ELAMA kurun waktu satu dekade berkarya di Indonesia, Yayasan TIFA telah mendukung ratusan inisiatif dari kelompok–kelompok masyarakat sipil di nusantara. Beberapa dari inisiatif tersebut berada di wilayah–wilayah dengan karakteristik yang istimewa, seperti di Aceh, Jogjakarta, Jakarta hingga Papua. Keterlibatan Tifa secara khusus di Aceh sejak satu tahun pemberlakuan otonomi khusus sebagian besar telah menyumbang kepada tercapainya perdamaian di Aceh, pemberdayaan kembali masyarakat paska tsunami, partisipasi perempuan di dalam politik hingga dialog–dialog baru mengenai arah pembangunan Aceh di masa depan (lihat Menuju Aceh Baru, Yayasan Tifa, 2010). Melalui kemitraannya dengan Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2P LIPI) pada tahun 2008, Yayasan TIFA telah memulai kembali pentingnya dialog–dialog bagi pembaruan agenda pembangunan masa depan di wilayah–wilayah dengan status otonomi khusus, terutama di Papua. Kekhususan atau keistimewaan di wilayah–wilayah ini memang berbeda antara satu dengan yang lain dan terhadap wilayah lainnya yang mendapatkan status otonomi umum. Asimetrisme wilayah–wilayah ini beragam mulai dari alasan untuk mempertahankan integritas nasional (regional questions), apresiasi sejarah dan budaya, kerangka manajemen resiko, penguatan kapasitas kemampuan pemerintahan lokal hingga daya ekonomi nasional (lihat Laporan Akhir JIP UGM, 2010). Meski begitu, hampir seluruhnya lahir dari proses–proses negosiasi politik ketimbang platform yang menjadi rujukan diskursus ketika memutuskan status khusus atau keistimewaan itu. Kondisi itu terutama terjadi di Aceh dan Papua. Paradoks Papua dan Aceh menggambarkan bagaimana kekayaan sumberdaya wilayah dan diskresi atas pengelolaan keuangan daerah pada praktiknya belum berhasil mengangkat kedua provinsi paling ujung di Indonesia ini untuk keluar dari jeratan kemiskinan. Masing–masing berada pada peringkat provinsi pertama dan keempat dalam tingkat kedalaman kemiskinan secara nasional dengan persentase jumlah penduduk miskin 28,7 persen di Aceh dan 39,26 persen di Papua atau hampir dua kali lipat dari angka nasional yang sebesar 16,58 persen (Bappenas, 2007). Ancaman salah urus menghantui wilayah–wilayah dengan status otonomi khusus, terutama di Aceh dan Papua. Banyak pihak khawatir pelaksanaan otonomi khusus yang telah berjalan selama satu dekade di kedua wilayah tersebut hanya berpeluang mewariskan konflik dan perebutan sumberdaya ketimbang kesejahteraan dan perlindungan hak–hak warga negara. Ide studi inventarisasi (stocktaking study) otonomi khusus lahir dari diskusi di kalangan internal staf program Yayasan Tifa pada pertengahan tahun 2010. Secara khusus, melalui kegiatan ini diharapkan tersedia deskripsi yang lebih jelas terhadap hasil–hasil studi evaluasi yang telah ada sebelumnya untuk menguatkan pengetahuan
vii
institusional Yayasan TIFA terhadap wilayah–wilayah dengan status otonomi khusus, terutama di Papua dan Aceh. Rangkaian kegiatan studi meliputi analisis situasional terhadap keterkaitan konteks kebijakan dan tantangan serta hambatan–hambatan terbaru yang dihadapi di kedua provinsi. Selanjutnya, analisis berupaya menjelaskan kontribusi dan sumbangan komparatif yang dapat diperankan oleh Yayasan TIFA. Dalam kaitan tersebut, kerangka kerja strategis dirumuskan yang melingkupi penjabaran tujuan, capaian, isu–isu utama serta wilayah target intervensi prioritas. Seluruh analisis diperhadapkan kepada tiga intevensi program utama di Yayasan TIFA, yakni; (i) akses untuk keadilan dan pemenuhan hak asasi manusia; (ii) media dan kebebasan informasi; serta (iii) demokrasi dan tata kelola pemerintahan. Hasil analisis diharapkan dapat memberikan ringkasan gambaran masing–masing lingkungan kontekstual yang dihadapi di kedua provinsi serta rekomendasi opsi yang dapat dipertimbangkan sebagai bagian dari intervensi program Yayasan TIFA. Hasil studi yang ada di hadapan saudara ini tentu saja masih banyak kekurangan. Hasil ini diharapkan dapat diperbaharui terutama dengan kajian berikutnya yang akan lebih banyak menyoroti peran lembaga–lembaga bantuan pembangunan di Aceh dan Papua. Akhir kata, selamat membaca hasil studi ini.
Mickael B. Hoelman Penyunting
viii
Ringkasan Eksekutif
Hampir satu dasawarsa otonomi khusus di Aceh dan Papua berjalan. Berbarengan dengan arus besar tuntutan desentralisasi, otonomi khusus pada hakikatnya merupakan status istimewa yang diberikan karena alasan-alasan “khusus� yang tidak dimiliki oleh daerah lainnya. Status ini memberi peluang lebih luas bagi daerah untuk mengelola, menata dan memajukan pembangunan di daerahnya. Perangkat hukum dan kebijakan pendukung lainnya kendati belum sempurna, telah dibentuk. Namun, sejauh ini, kinerja otonomi khusus di wilayah ujung timur dan ujung barat Republik Indonesia ini masih belum menunjukkan hasil-hasil yang menggembirakan. Sepanjang sembilan tahun pelaksanaan otonomi khusus salah urus. Satu-satunya perubahan mendasar yang terjadi hanyalah pada konstelasi politik lokal, sementara indikator lainnya masih saja stagnan. Sejauh ini, wajah otonomi khusus baik di Aceh dan Papua didominasi perebutan sumber daya baik politik maupun ekonomi. Isu otonomi khusus yang marak dibicarakan hanyalah soal besaran dana serta tuntutan pemekaran dari daerah induk. Secara politik, otonomi lebih dimaknai sebagai prosedur-prosedur pemerintahan ketimbang sebagai upaya untuk mencapai tujuan pembangunan. Agenda pembangunan dan kesejahteraan belum mendapat perhatian serius. Besaran dana melimpah yang digelontorkan pemerintah pusat setiap tahunnya, tidak berbanding lurus dengan perbaikan kualitas hidup masyarakat. Kinerja pembangunan untuk menyejahterakan warga di daerah belum mencapai hasil yang memuaskan. Alihalih berjalan efisien, pengelolaan pemerintahan dibarengi oleh maraknya korupsi dan angka persisten kemiskinan yang tinggi. Kendati berlainan, dalam beberapa hal, Aceh dan Papua memiliki karakteristik yang hampir sama. Latar belakang tuntutan otonomi khusus nyaris senada, hanya konteksnya saja yang berbeda. Jika Aceh telah memasuki era paska konflik, Papua masih berada dalam “zona merah� yang masih terus bergolak dan memerlukan strategi penanganan yang berbeda. Intensitas konflik di Papua masih tinggi dengan beragam aktor dan kompleksitas persoalan yang melingkupinya membuat perdamaian belum juga kunjung terwujud. Pada konteks demokratisasi, minimal dalam prosedur, rekonfigurasi elit politik baik di Aceh maupun Papua membuka angin segar sirkulasi kekuasaan. Perubahan ini bisa menjadi pisau bermata dua. Jika aktoraktor baru memiliki komitmen tinggi terhadap nilai-nilai perubahan maka jalan memajukan kesejahteraan rakyat akan terbuka lebar. Sebaliknya, jika elit-elit baru mengikuti jejak pendahulunya yang buruk, maka harapan warga akan segera kembali sirna. Menjadikan demokrasi sebagai jalan menyejahterakan warga, bagaimanapun, memerlukan dukungan konsisten dari berbagai pihak. Studi ini merupakan telaah pendahuluan (stocktaking I) untuk menginventarisasi situasi, masalah utama dan isu-isu strategis selama satu dekade pelaksanaan otonomi khusus di Aceh dan Papua. Studi ini akan ditindaklanjuti dengan studi berikutnya (stocktaking II) yang secara khusus akan mengumpulkan informasi bantuan-bantuan pembangunan (development assistance) di kedua wilayah terhadap masalah-masalah utama yang telah teridentifikasi sebelumnya.
ix
x
Aceh
Papua
INDONESIA
xi
Pendahuluan
Pendahuluan
I. Pendahuluan
SEPANJANG era 1990an hingga abad ke–21, desentralisasi populer di hampir setiap negara sebagai program reformasi sektor publik. Desentralisasi dipandang esensial untuk memfungsikan sebuah negara modern secara efektif. Berbarengan dengan gelombang demokratisasi dan dorongan tata kelola pemerintahan yang baik untuk pengentasan kemiskinan, Indonesia menjadi salah satu dari sekian negara yang menempatkan berbagai kebijakan untuk mengelaborasi serta mendalami mekanisme kelembagaan untuk perencanaan dan manajemen desentralisasi. Proses desentralisasi besar–besaran dimulai pada era presiden Habibie melalui UU 22/ 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Proses ini sebagian dikurangi di masa menjelang berakhirnya kepresidenan Megawati dengan merevisi pelaksanaan desentralisasi melalui UU 32/ 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Secara umum, ada tiga argumen yang senantiasa digunakan untuk menggarisbawahi pentingnya desentralisasi. Pertama, desentralisasi akan meningkatkan efisiensi alokasi sumber daya1 karena pemerintah di daerah lebih dekat dengan warga ketimbang pusat sehingga memiliki informasi yang cepat untuk merespon kebutuhan warga. Hal ini juga mendorong pemerintah daerah berkompetisi, mempromosikan keunggulan masing–masing yang pada akhirnya akan memacu inovasi2 dan kebijakan yang lebih progresif. Kedua, desentralisasi akan meningkatkan produktivitas melalui peningkatan akuntabilitas, pemberantasan korupsi dan peningkatan efektifitas pemerintah lokal. Seiring pemerintah daerah yang lebih dekat dengan masyarakat, maka peran warga menjadi penting dengan posisi tawar yang lebih kuat sehingga aksi dan partisipasinya senantiasa dipertimbangkan oleh pemerintah daerah, ketimbang pusat. Di satu sisi, kondisi ini telah meningkatkan legitimasi atas pemerintah daerah. Sementara di sisi lain, konsensus warga terhadap pilihan–pilihan kebijakan publik semakin terbuka lebih lebar. Kendati tidak ada jaminan memadai bahwa desentralisasi yang lebih luas bakal membawa dampak tatanan yang lebih demokratis sekaligus membawa manfaat pembangunan ekonomi yang lebih merata, namun tumbuh harapan besar bahwa proses perencanaan desentralisasi dan implementasinya akan semakin inklusif dan _______________________________ 1 2
Lihat Smith 2001. Lihat Grindle 2007.
1
Pendahuluan
partisipatoris; mengakomodasi kebutuhan warga miskin, mereka yang rentan serta kelompok–kelompok yang terpinggirkan. Desentralisasi diyakini memiliki potensi besar dalam mendorong perubahan kelembagaan yang lebih baik yang memberikan keuntungan sekaligus memberdayakan kelompok miskin. Bukan hal aneh jika isu–isu kunci desentralisasi tak lepas dari partisipasi warga, penganggaran yang partisipatif, kebutuhan informasi di daerah, akuntabilitas dan pengawasan di tingkat lokal. Disisi lain, argumen yang bertentangan dengan desentralisasi secara umum didasarkan pada dampaknya. Pada tingkat nasional, desentralisasi dipandang berpeluang melahirkan konflik, yakni benturan tujuan makro vs mikro ekonomi dimana pemerintah pusat seringkali enggan memberikan atau kehilangan seluruh otoritasnya kepada pemerintah daerah. Di tingkal lokal, muncul fenomena “elite capture resources”, yakni lahirnya raja–raja kecil di daerah yang menguasai sumber–sumber daya ekonomi dan menghalang–halangi kepentingan kelompok yang lebih lemah atau rentan serta membawa implikasi negatif terhadap upaya–upaya pengurangan kemiskinan dan pemberantasan korupsi. Namun, mengatakan desentralisasi semata hanya menguntungkan tanpa menunjukkan manfaat nyata bagi masyarakat lokal adalah sama halnya isapan jempol belaka. Pertanyaannya kemudian, apakah dampak–dampak positif desentralisasi telah terpenuhi setelah sekian lama diimplementasikan? Apakah masyarakat sudah memetik manfaatnya dengan maksimal? Tantangan yang juga tak terelakkan adalah bagaimana membuat desentralisasi bekerja dengan lebih baik.
Kotak 1. Paradigma Desentralisasi
Desentralisasi
Biaya Pemerintahan Menurun
Hubungan lebih dekat dengan masyarakat
Biaya yang dikembalikan meningkat
Demokratisasi, Partisipasi
Akuntabilitas
Lebih Transparan
Lebih Efisien
Keinginan memberi meningkat
Pelayanan lebih baik
Sumber : Smith, 2001
Pelaksanaan politik desentralisasi di Indonesia menguat sejak reformasi 1998. Fase ini tidak hanya sekadar periode koreksi, akan tetapi juga menjadi titik balik relasi di antara pusat dan daerah yang selama masa Orde Baru berjalan sangat sentralistik. Reformasi politik 1998 diikuti oleh lahirnya UU No.22/1999 yang memberikan kewenangan lebih luas bagi daerah untuk mengatur dan mengelola daerahnya sendiri hingga membuka
2
| Permasalahan Otonomi Khusus di Aceh dan Papua; sebuah makalah inisiatif strategi
Pendahuluan
peluang rekonfigurasi aktor politik yang lebih luas diantara elit di tingkat pusat maupun daerah. Politik desentralisasi yang dipilih merupakan kompromi terhadap ketidakpuasan daerah sekaligus respon pemerintah transisi (Habibie) untuk meredam disintegrasi hingga tuntutan–tuntuan pemisahan diri. Terbitnya UU No.32/2004 selanjutnya merupakan upaya merevisi dan memperbaiki sistem desentralisasi yang telah dijalankan. Di satu sisi, arus besar desentralisasi diikuti sejumlah daerah dengan berlomba–lomba memacu inovasi untuk lebih mendekatkan pelayanan pemerintah dengan rakyatnya. Berbagai program kebijakan populis kepala daerah seperti pendidikan murah, pelayanan kesehatan gratis, hingga berbagai kemudahan di dalam pelayanan publik terus bermunculan. Di sisi lain, merebaknya konflik elit politik yang berkepanjangan di tingkat lokal tidak saja menghambat jalannya penyelenggaraan pemerintahan namun juga mengabaikan pembangunan daerah yang berkualitas. Fenomena “elite capture”3 merupakan fakta tersendiri dimana politik daerah hanya didominasi oleh; pertarungan kepentingan partai politik di parlemen untuk mengendalikan sumber–sumberdaya daerah, kepentingan birokrasi untuk mengamankan ‘proyek pembangunan’, orientasi kepala daerah untuk mengamankan posisinya serta “genre politik kedaerahan” yang melegitimasi putra daerah sebagai pembawa agenda lokal.4
Kotak 2. Pembentukan Daerah Otonom 240
Provinsi ( Total : 33 )
220
Kabupaten/Kota ( Total : 524 )
209
200 180 160
JUMLAH
145 140 120 99
100 80 60 40
33 16
20 6 0
16
11
3
1950-1955
1956-1960
1
1961-1965
1966-1970
1
1971-1998
7
1999-2009
PERIODE Sumber: Diolah dari Djojosoekarto, (ed), 2008 dan Nota Keuangan dan APBN 2010
Pelaksanaan politik desentralisasi terus diwarnai oleh kontroversi pemekaran daerah yang meningkat pesat sejak 1999. Politik desentraliasi telah membagi-bagi daerah ke dalam daerah-daerah otonom baru baik pada level provinsi maupun kabupaten. Sejak pemberlakuan kebijakan desentralisasi hingga tahun 2009 jumlah daerah otonom telah _______________________________ 3 4
Lihat Chowdury dan Yamauchi 2010. Lihat UI 2009.
Yayasan TIFA, Mei 2011 |
3
Pendahuluan
mencapai 524 daerah yang terdiri dari 33 provinsi, 398 kabupaten, dan 93 kota.5 Trend melesatnya pemekaran daerah ini akhirnya disikapi pemerintah dengan mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 78 Tahun 2007 tentang Tatacara Pembentukan, Penghapusan, dan Penggabungan Daerah yang memperketat syarat pembentukan daerah baru. Meski begitu, PP ini masih belum dapat membendung lonjakan pemekaran daerah. Sepanjang tahun 2008 hingga 2009 saja, terbentuk sebanyak 68 daerah otonom baru. Sejatinya, tidak ada yang salah dengan pembentukan daerah otonom baru sejauh tujuannya adalah demi meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan kualitas pelayanan serta pengembangan demokratisasi di tingkat lokal. Namun pemekaran yang tidak terkendali cenderung berdampak buruk bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Konsekuensinya, tidak hanya terhadap beban fiskal pemerintah pusat semata, akan tetapi juga memberi dampak bagi pembiayaan untuk daerah–daerah lainnya. Pemekaran yang terus bertambah tanpa disertai kapasitas dan kapabilitas daerah untuk mengelolanya tentu saja dapat sewaktu–waktu menjadi bumerang.
_______________________________ 5
4
Lihat Depkeu 2010a
| Permasalahan Otonomi Khusus di Aceh dan Papua; sebuah makalah inisiatif strategi
Yayasan TIFA, Mei 2011 |
5
Satu Dekade Otonomi Khusus
II. Satu Dekade Otonomi Khusus
Satu Dekade Otonomi Khusus
ACEH DAN PAPUA, dua provinsi yang berada di ujung barat dan ujung timur republik Indonesia sama–sama menyandang status daerah otonomi khusus karena “kekhususan” masing–masing. Karakteristik yang mendorong lahirnya otonomi khusus hampir senada, yakni tuntutan keadilan atas pengelolaan sumberdaya alam yang minim dinikmati daerah, namun lebih banyak dikeruk oleh pemerintah pusat. Daerah yang memiliki kekayaan alam berlimpah justru miskin dan terbelakang. Berbarengan, di daerah turut muncul keinginan kuat dari para pemimpin daerah untuk menjadi pelaku politik utama di daerah. Kedua wilayah tersebut memiliki sejarah panjang dengan gelombang pasang surut relasinya dengan Jakarta. Berbagai ketidakpuasan yang muncul dari kedua wilayah tersebut, bahkan tuntutan kemerdekaan, direspon Jakarta dengan memberikan status serta kewenangan istimewa yang tidak dimiliki oleh daerah lainnya. Otonomi khusus yang berlaku di Aceh dan Papua merupakan bentuk desentralisasi asimetris (asymmetrical decentralization) yakni desentralisasi luas baik secara politik, ekonomi, fiskal, dan administrasi, namun tidak seragam dengan wilayah lain dengan mempertimbangkan kekhususan masing–masing daerah. Berbagai aspek yang menjadi alasan bagi daerah yang menuntut desentralisasi asimetris antara lain pembiayaan, pelayanan publik, regulasi, historis, budaya, dan lain sebagainya. Model desentralisasi asimetris dijadikan pilihan untuk mengakomodasi kebhinekaan sebagai karakter lokal, persoalan politik regional dan ketidakmampuan kapasitas untuk menjalankan pemerintahan (ungovernability) baik lokus nasional maupun lokal. Secara umum asimetrisme dilatarbelakangi oleh empat faktor: 1) tantangan yang bersifat politik (regional question), 2) mengakomodasi keunikan budaya dan perbedaan alur kesejarahan, 3) tantangan untuk mengatasi ungovernability, dan 4) kawasan perbatasan.6
Tabel 1. Perbandingan Isi Undang-undang Otonomi Khusus Aceh dan Papua UU Otsus Provinsi Lain Jumlah Pasal
240 pasal (Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah) dan 18 amandemennya (Undang-Undang No. 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua)
UU Otsus Aceh ( UU No. 11/2001 ) 34 Pasal
UU Otsus Papua ( UU No. 21/2001 ) 79 Pasal
_______________________________ 6
Lihat UGM 2010.
7
Satu Dekade Otonomi Khusus
UU Otsus Provinsi Lain
8
UU Otsus Aceh ( UU No. 11/2001 )
UU Otsus Papua ( UU No. 21/2001 )
Penerimaan Dana Perimbangan dalam rangka Otonomi Khusus
Diatur terperinci oleh 110 pasal dalam Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah.
55% untuk pertambangan minyak bumi dan 40% untuk pertambangan gas alam selama delapan tahun sejak berlakunya UU ini.
Bagi hasil pajak: 1) Pajak Bumi dan Bangunan sebesar 90%; 2) Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan sebesar 80%; dan Pajak Penghasilan Orang Pribadi sebesar 20%. Bagi hasil sumber daya alam: 1) Kehutanan 80%; 2) Perikanan 80%; 3) Pertambangan umum 80%; 4) Pertambangan minyak bumi 70%; dan 5) Pertambangan gas alam 70%.
Kekhususan adat budaya
Tidak ada
Wali Nanggroe dan Tuba Nanggroe adalah lembaga yang merupakan simbol bagi pelestarian penyelenggaraan kehidupan adat, budaya, dan pemersatu masyarakat di Provinsi NAD.
Majelis Rakyat Papua (MRP) adalah representasi kultural orang asli Papua, yang memiliki wewenang tertentu dalam rangka perlindungan hak-hak orang asli Papua dengan berlandaskan pada penghormatan terhadap adat budaya, pemberdayaan perempuan, dan kerukunan hidup beragama. Kedudukan MRP lebih lanjut diatur melalui Peraturan Pemerintah.
Pemilihan gubernur dan wakil gubernur
Dipilih secara langsung melalui pemilihan yang demokratis, bebas, rahasia, jujur dan adil. Pemilihan dilaksanakan dan diawasi oleh Komisi Pengawas Pemilihan (KPU), yang masingmasing dibentuk oleh DPRD. Hasil pemilihan diserahkan pada DPRD dan disahkan. Semua ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah. Saat ini DPR RI sedang mewacanakan Rancangan Undang-Undang Pemilihan Gubernur untuk menggantikannya.
Sama seperti provinsi lain kecuali bahwa pemilihan dilaksanakan oleh Komisi Independen Pemilihan (KIP) dan diawasi oleh KPU, yang masing�masing dibentuk oleh DPR Aceh. Hasil pemilihan diserahkan pada DPR Aceh dan disahkan.
Yang dapat dipilih menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur adalah WNI orang asli Papua. Pemilihan dilakukan oleh DPRP. Tata cara pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur ditetapkan dengan Perdasus sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Peradilan “khusus�
Tidak ada
Peradilan Syariat Islam di Provinsi NAD sebagai bagian dari sistem peradilan nasional dilakukan oleh Mahkamah Syar'iyah yang bebas dari pengaruh pihak mana pun.
Peradilan adat adalah peradilan perdamaian di lingkungan masyarakat hukum adat, yang mempunyai kewenangan memeriksa dan mengadili sengketa perdata adat dan perkara pidana di antara para warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan. Pengadilan adat disusun menurut ketentuan hukum adat masyarakat hukum adat yang bersangkutan.
Partai politik
Hanya ada partai nasional yang lolos ambang pemilihan (electoral threshold) pada Pemilu sebelumnya.
Partai lokal dapat dibentuk dan telah mengikuti pemilihan umum pada 2009.
Penduduk Provinsi Papua dapat membentuk partai politik. Rekrutmen politik dilakukan dengan memprioritaskan masyarakat asli Papua. Partai wajib meminta pertimbangan kepada MRP dalam hal seleksi dan rekrutmen politik partainya masing-masing.
| Permasalahan Otonomi Khusus di Aceh dan Papua; sebuah makalah inisiatif strategi
UU Otsus Provinsi Lain
UU Otsus Aceh ( UU No. 11/2001 )
UU Otsus Papua ( UU No. 21/2001 )
Diatur dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, diperketat dalam UndangUndang Nomor 32 Tahun 2004, dan saat ini sedang moratorium pemekaran.
Tuntutan pemekaran provinsi ALA/ABAS hingga kini masih menjadi perdebatan
Pemekaran Provinsi Papua menjadi provinsi‐provinsi dilakukan atas persetujuan MRP dan DPRP setelah memperhatikan dengan sungguhsungguh kesatuan sosial-budaya, kesiapan sumberdaya manusia dan kemampuan ekonomi dan perkembangan di masa datang
Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi
Diatur dalam Undang-Undang No. 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, yang kemudian dibatalkan Mahkamah Konstitusi pada 4 Desember 2006. Saat ini masih diwacanakan.
Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi terus didorong oleh NGO lokal namun respon pemerintah daerah dan pemerintah pusat lamban.
Dalam rangka pemantapan persatuan dan kesatuan bangsa di Provinsi Papua dibentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR). Tugas KKR adalah: melakukan klarifikasi sejarah Papua untuk pemantapan persatuan dan kesatuan bangsa dalam NKRI; merumuskan dan menetapkan langkah-langkah rekonsiliasi.
Satu Dekade Otonomi Khusus
Pemekaran wilayah
Sumber: Dimodifikasi dari Working Paper PUSKAPOL UI
2.1 Aceh Paska Proses Rehabilitasi dan Rekonstruksi Otonomi khusus bagi Provinsi Aceh telah dimulai sejak akhir tahun 1950 melalui pengenaan status Daerah Istimewa sebagai upaya untuk meredam gejolak separatisme. Di dalam praktiknya, status ini hanya sebatas nama belaka dimana mekanisme pemerintahan provinsi masih sama seperti daerah–daerah lainnya. Seiring dengan meningkatnya konflik bersenjata pada awal tahun 2000, Aceh mendapatkan status khusus baru sebagai Nanggroe Aceh Darussalam pada 2002 dengan wewenang khusus untuk mengimplementasikan Syariat Islam. Melalui status tersebut, rancangan pembagian keuntungan baru pun dibuat oleh pemerintah pusat. Namun perubahan ini pun tidak cukup berhasil meredam konflik bersenjata. Gempa bumi dan tsunami yang mengguncang samudera Hindia pada 26 Desember 2004 telah menyebabkan kerusakan dan kerugian yang dahsyat di Aceh, baik dari segi ekonomi maupun kemanusiaan. Komunitas global dipimpin oleh pemerintah Indonesia, memobilisasi upaya–upaya rekonstruksi. Berbarengan dengan upaya itu, tercapailah perjanjian bersejarah yakni Nota Kesepahaman Helsinki antara Pemerintah Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Langkah ini selanjutnya diikuti dengan rancangan otonomi khusus baru melalui pembentukan Undang–Undang Pemerintahan Aceh (UUPA) pada tahun 2006. Nangroe Aceh Darussalam pun kembali diubah namanya menjadi Provinsi Aceh. Setelah 4 tahun upaya rekonstruksi, komunitas internasional dan pemerintah Indonesia akhirnya meninggalkan Aceh seiring dengan berakhirnya masa tugas Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) –lembaga yang bertugas untuk
Yayasan TIFA, Mei 2011 |
9
mengkoordinasikan bantuan di Aceh dan Nias, pada April 2009. Mereka meninggalkan perubahan–perubahan besar yang telah bertransformasi di Aceh secara cepat. Beberapa masalah sosio–ekonomi dan politik di Aceh dapat diatasi, beberapa masalah lainnya masih belum terselesaikan dan beberapa masalah baru tercipta.
Satu Dekade Otonomi Khusus
Pada periode rekonstruksi, sebanyak 435 NGO (termasuk 326 NGO internasional) dan 27 lembaga donor internasional (termasuk badan–badan PBB) terdaftar beroperasi di Aceh dengan nilai proyek sebesar US$6,4 milyar yang dialokasikan untuk 463 organisasi. Kendati hadir secara masif, lanskap rekonstruksi “secara moderat” terkonsentrasi terpisah antara program bantuan tsunami dan “paska–konflik”. Hasilnya, bantuan difokuskan pada bagian utara dan pantai timur Aceh dengan beberapa wilayah “paska–konflik” di wilayah pegunungan.
Kotak 3. Rekonstruksi di Aceh Paska-Tsunami Alokasi Dana Rekonstruksi :: Perumahan Transportasi Kesehatan Pemerintahan & admin. (tanah) Komunitas, budaya & agama Pendidikan Wiraswasta Air dan sanitasi Penanggulangan banjir & irigasi Perikanan Pertanian & peternakan Komunikasi Lingkungan hidup Infrastruktur lain Energi Perbankan & keuangan
Jumlah Proyek Rekonstruksi :: Energi Komunikasi Perbankan & keuangan Infrastruktur lain Lingkungan hidup Transportasi Pemerintahan & admin. (tanah) Penanggulangan banjir & irigasi Pertanian & peternakan Air dan sanitasi Perikanan Komunitas, budaya & agama Wiraswasta Perumahan Pendidikan Kesehatan
Sumber: Masyrafah and McKeon (2008: 15).
10
| Permasalahan Otonomi Khusus di Aceh dan Papua; sebuah makalah inisiatif strategi
Meski NGO berperan secara signifikan dan penting secara finansial untuk mendukung sektor sosial dan ekonomi, namun tidak banyak bantuan yang diberikan untuk sektor tata pemerintahan dan administrasi. Hanya sedikit NGO yang terlibat dalam sektor tata pemerintahan dan administrasi, yakni sekitar 3,11% dibandingkan dengan 6,49% lembaga donor.
Satu Dekade Otonomi Khusus
Rata–rata ukuran proyek untuk NGO jauh lebih kecil dari program–program pemerintah. Tidak termasuk proyek bantuan selama fase tanggap darurat, sekitar 2.192 proyek telah dilaksanakan, beberapa masih dalam tahap penulisan laporan hasil. Jika dihitung rata–rata, NGO mengelola sekitar 4 proyek dari lembaga donor sementara setiap lembaga donor mengelola 15 proyek. Sektor sosial menempati urutan jumlah proyek terbesar (839) dan juga menarik sebagian besar aktor–aktor pelaku rekonstruksi, meski sektor ini tidak menempati jumlah pendanaan terbesar. Barulah pada beberapa bulan sebelum masa operasi BRR berakhir, NGO mulai menyadari pentingnya upaya untuk mendukung pemerintah lokal pada beberapa bulan terakhir sebelum masa operasinya berakhir. Intensitas lobi untuk dukungan pemerintah baru mulai pada awal 2008. Aktivitas NGO sepanjang 2008 didominasi dengan aktivitas–aktivitas “peningkatan kapasitas” (seperti seminar, workshop, presentasi, pelatihan) pada level perangkat pemerintah kabupaten dan kecamatan hingga level pemimpin komunitas dimana proyek dilaksanakan. Sayang, upaya tersebut datang terlambat. Keluhan–keluhan para pihak di tingkat lokal meningkat terhadap prinsip–prinsip partisipasi penerima manfaat –hanya diwajibkan oleh lembaga internasional yang bekerja di Aceh pada tahap akhir fase rekonstruksi– seharusnya diimplementasikan sedini mungkin sejak 2005 atau pada awal fase 7 perencanaan. Selama puluhan tahun, posisi komunitas hanya ditempatkan sebagai stempel pada program yang dilaksanakan secara top–down. Mengundang partipasi penerima manfaat di fase final bukan saja tidak efektif akan tetapi bahkan merendahkan. Pendekatan berorientasi hasil di awal fase tanggap darurat terus dibawa hingga ke akhir fase rekonstruksi. Kelemahan ini secara konstan disebutkan di dalam beberapa laporan evaluasi tertulis untuk kalangan internal NGO internasional. Jika ingin jujur, posisi pemerintah lokal dan komunitas yang ditempatkan dalam posisi penerima bantuan secara pasif justru seringkali dikembangkan oleh organisasi internasional dan pemerintah pusat. BRR yang dibentuk untuk mencegah masalah–masalah yang muncul dari fragmentasi kerja bantuan secara massif sekaligus mengkoordinir bantuan serta melaksanakan program rekonstruksi dan rehabilitasi. Karenanya, ia juga mengorbankan keterlibatan pemerintah lokal dan komunitas. Hasilnya, ketika BRR dipuji oleh lembaga–lembaga internasional, pemimpin– pemimpin lokal secara umum menunjukkan rasa kesal terhadap proyek–proyek BRR. _______________________________ 7
Pendekatan partisipatif bukannya tanpa kritik. Aktor harus memahami keuntungan dan kerugian secara fundamental terhadap kebutuhan masing-masing. Penerima manfaat seringkali mencampur keduanya, hanya peduli pada kuantitas bantuan finansial ketimbang mengatasi kebutuhan jangka panjang. Dengan tidak peduli pentingnya proses partisipatif selama perencanaan, tidak semua penerima manfaat dapat mengerti benarbenar kebutuhannya sehingga seringkali hasilnya proyek yang sia-sia dan tidak berkelanjutan (Fengler 2007).
Yayasan TIFA, Mei 2011 |
11
Berbagai kritik muncul secara regular di media, demonstrasi oleh komunitas lokal dan minimnya kerjasama dengan pegawai pemerintah di tingkat lokal.8 Setelah 4 tahun beroperasi di Aceh, mandat BRR secara resmi berakhir pada 16 April 2009. Serah terima aset BRR diperkirakan mencapai Rp. 1,95 milyar (USD 170 juta). Dengan singkat, 4 tahun keberadaan BRR merupakan cerita kesuksesan. Mekanisme wajib oleh pemerintah untuk melacak informasi proyek NGO sangat penting untuk suksesnya proses rekonstruksi (Masyrafah and McKeon 2008: 2). Satu Dekade Otonomi Khusus
Lembaga baru selanjutnya dibentuk oleh pemerintah Provinsi yakni Badan Kesinambungan Rekonstruksi Aceh (BKRA), yang memulai tugasnya dengan melanjutkan program rekonstruksi Aceh paska BRR secara resmi ditutup. Struktur organisasi BKRA hampir sama dengan BRR. Berbeda dengan BRR yang dapat mengelola dan memiliki cakupan kewenangan yang luas seiring dengan besarnya dana yang dikelolanya, BKRA kurang mampu melakukan koordinasi, pemantauan dan evaluasi aktivitas rehabilitasi dan rekonstruksi sebagaimana yang diharapkan, yang diimplementasikan oleh beberapa kementerian dan pemerintah Aceh. Penutupan BRR dan pendirian BKRA, mengumumkan berakhirnya pula berbagai operasi dan perginya sebagian besar organisasi internasional. Tanpa BRR, organisasi internasional yang masih ingin berada di Aceh haruslah pula beroperasi di wilayah Indonesia lainnya, yang berarti juga harus berhadapan dengan berbagai lembaga pemerintah pengganti lainnya. Berbeda dengan operasi sebelumnya dimana bekerja dengan BRR berarti telah melewati sekian banyak rantai birokrasi. Selain itu, pekerja bantuan asing kini menghadapi kesulitan untuk bekerja secara legal di Aceh karena ijin 9 kerja yang dikeluarkan oleh BRR telah berakhir pada Agustus 2008 . Kecenderungan organisasi internasional untuk mengumumkan capaian-capaiannya sebagai bagian dari proses akuntabilitas sebuah konsep baru yang dikenalkan di Aceh, yang merupakan satu dari pemerintah provinsi paling korup di Indonesia dilihat oleh pemerintah (baik lokal maupun pusat) sebagai upaya “menepuk dada� dan menjadi sumber kecemburuan dan kebencian yang tersembunyi. Dalam beberapa bulan terakhir, kritik terhadap kegiatan NGO internasional di Aceh dari birokrasi pemerintahan kerap muncul di media. Sebagian besar kritik ditujukan kepada kendati dengan jumlah dana yang besar dalam rekonstruksi Aceh efektifitas dan capaian proyek-proyek NGO internasional tersebut di Aceh.
_______________________________ 8
9
12
Hingga laporan ini disusun, untuk berbagai alasan (termasuk investigasi korupsi), setidaknya tiga kabupaten menolak untuk mengambil alih proyek BRR yang belum selesai termasuk mengambil alih aset-aset yang ditinggalkan oleh BRR. Hak-hak istimewa dalam berurusan dengan birokrasi yang dinikmati pekerja asing selama BRR beroperasi tidak bisa lagi didapat. Namun, beberapa organisasi internasional mengabaikan ketentuan itu dari dulu hingga sekarang. Sebagai contoh, ICRC beroperasi secara ilegal di Indonesia, termasuk di Aceh, tidak mengacuhkan perizinan sejak akhir 1970. Kasus seperti ini secara kumulatif menjauhkan pemerintah pusat dalam mendukung operasi lembaga internasional di Indonesia. Lihat Jakarta Post 2009; Jakarta Globe 2009.
| Permasalahan Otonomi Khusus di Aceh dan Papua; sebuah makalah inisiatif strategi
2.1.1 Maraknya Korupsi
Satu Dekade Otonomi Khusus
Sejak 2008 hingga kini, investigasi, tuntutan hukum dan demonstrasi meningkat secara signifikan dilakukan oleh kelompok–kelompok masyarakat sipil (CSO) lokal yang sebagian besar menaruh perhatian terhadap dugaan korupsi yang dilakukan baik oleh pemerintah maupun komunitas internasional. Sebagian besar tuntutan tersebut dapat dilihat sebagai inisiatif komunitas masyarakat yang mengambil alih tugas pemantauan dan evaluasi proyek–proyek rekonstruksi karena minimnya mekanisme akuntabilitas publik. Laporan pemantauan dan evaluasi seringkali dibuat untuk kepentingan internal ketimbang disampaikan ke masyarakat luas. Dalam 4 tahun terakhir, para pihak di tingkat lokal semakin sadar bahwa janji seringkali mudah berbeda dari komitmen dan fakta. Sayangnya, beberapa NGO internasional terlambat memisahkan dana tanggap darurat dari rekonstruksi dan proyek–proyek pembangunan (Fengler, 2007). Situasi ini bercampur dengan jurang yang lebar antara komitmen finansial dan pembayaran aktual dari sedemikian banyak dana bantuan terutama NGO dan donor (secara berurutan, hanya 53.68% dan 45.34% dari komitmen yang dicairkan). Meski sarat keluhan terhadap kualitas kerja, komitmen pemerintah ternyata jauh lebih baik (74.33% dari komitmen) terutama seiring dengan ketatnya pengawasan dan pengendalian keuangan. Total pencairan dana yang telah dijanjikan –yang hanya 53,78% dari dana yang dijanjikan– mengecewakan publik luas terutama masyarakat di tingkat lokal. Hasil akumulasi “ingkar janji” tersebut telah meningkatkan tekanan akuntabilitas publik terhadap aktivitas pemerintah dan NGO internasional.
Tabel 2. Komitmen Bantuan dan Realisasi Aid Commitment
Source of Fund
USD Million
% of Total
Fund Allocated USD Million
% of Total
Fund Disbursement % of Aid Commitment
USD Million
% of Total
% of Aid Commitment
GoI
2,228
28.68
2,228
34.66
100
1,656
39.64
74.33
NGOs
2,297
29.57
1,877
29.20
81.72
1,233
29.51
53.68
Donor Grants
2,843
36.60
2,324
36.15
81.74
1,289
30.85
45.34
400
5.15
-
0
0
-
0
0
7,768
100
6,429
100
82.76
4,178
100
53.78
Donor Loans
TOTAL
Sumber: Dikembangkan dari Masyrafah and McKeon (2008: 15).
Dalam beberapa kasus, minimnya komitmen diakibatkan karena minimnya pengalaman dan kompetensi ketimbang suap atau korupsi. Diantara 15 aktor papan atas dalam jumlah alokasi, NGO memiliki portofolio paling kecil yakni 15%. Namun, alokasi ini masih merupakan jumlah dana yang terbesar yang dikelola oleh NGO.Banyak NGO yang mengalami kesulitan bagaimana harus membelanjakan bantuannya ke dalam proyek–proyek yang telah direncanakan sebelumnya. Minimnya pengalaman dalam manajemen kontrak dan pengadaan barang dan jasa juga menyumbang kepada inefektifitas kinerja seiring dengan meningkatnya biaya. Hasilnya, tidak lebih dari sekedar karnaval proyek yang tertunda. Yayasan TIFA, Mei 2011 |
13
Kotak 4. Lima Provinsi Terkorup, Semester I - 2010
Jawa Tengah 14 kasus (16.28%)
Sumatera Utara 26 kasus (30.23%)
Aceh
Satu Dekade Otonomi Khusus
14 kasus (16.28%)
DKI Jakarta 16 kasus (18.6%)
Jawa Barat 16 kasus (18.6%)
Sumber: ICW 2010.
Besarnya dana yang mengalir untuk bantuan kemanusiaan di Aceh memang membuka peluang terjadinya penyimpangan dan korupsi. Namun, upaya pencegahan terhadap tindak korupsi atas bantuan bukannya tidak dilakukan. Lembaga donor dan NGO10 bekerja sama untuk memastikan bantuan–bantuan tersebut dapat tersalurkan secara adil. Penelusuran anggaran proyek rehabilitasi dan rekonstruksi pun dilakukan. Dari hasil studi yang dilakukan Gerak (2006), banyak masalah ditemukan di sejumlah daerah yang meliputi mark–up, pungutan liar, korupsi, praktik sub kontraktor, pemberian bantuan tidak tepat sasaran, pemotongan bantuan, dan pelaksanaan proyek yang tidak sesuai spesifikasi. Sebagian besar pelaksanaan proyek dinilai lamban, tidak terbuka, mengecewakan penerima manfaat serta tidak sesuai dengan prosedur atau mengindikasikan adanya penyimpangan dan korupsi. Di wilayah yang dijuluki Serambi Mekah dan Negeri Syariat, korupsi nampaknya dilakukan berjamaah.11 Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat bahwa selama semester pertama tahun 2010, Aceh menempati peringkat ke–4 provinsi dengan jumlah kasus korupsi tertinggi di 12 Indonesia. Survei tentang korupsi di Aceh juga telah dilakukan oleh Transparency International Indonesia dan hasilnya menunjukkan bahwa masalah korupsi berkaitan 13 erat dengan buruknya penegakan hukum yang tegas dan konsekuen.
2.1.2 Kemiskinan Berkelanjutan Sejak tahun 2008, Pemerintah pusat mengalokasikan Dana Otonomi Khusus untuk Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), dengan nilai setara 2 persen dari pagu DAU nasional selama 15 tahun. Mulai tahun ke–16 hingga tahun ke–20 jumlah alokasi ini menurun menjadi setara 1 persen dari pagu DAU nasional, sebagaimana diamanatkan _______________________________ 10
Lihat TII, ADB, OECD, 2005. Lihat Askhalani dkk, 2009. 12 Lihat Harian Aceh 2010. 13 Lihat TII 2010. 11
14
| Permasalahan Otonomi Khusus di Aceh dan Papua; sebuah makalah inisiatif strategi
oleh UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Dana otsus yang diterima Aceh pada tahun 2008 ialah sejumlah Rp 3,53 triliun dan meningkat pada tahun 2009 menjadi Rp 3,76 triliun. Untuk tahun 2010, berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan No 160/PMK 07/2009, anggaran untuk dana otsus Aceh sebesar Rp 3,8 triliun.
Satu Dekade Otonomi Khusus
Dana otonomi khusus, ditetapkan sebagaimana tertera di dalam UUPA, pada dasarnya dimaksudkan untuk mengejar ketertinggalan. Dana ini merupakan penerimaan Pemerintah Aceh yang ditujukan untuk membiayai pembangunan terutama pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur, pemberdayaan ekonomi rakyat, pengentasan kemiskinan, serta pendanaan pendidikan, sosial dan kesehatan. Pembiayaan pendanaan pendidikan dapat digunakan seperti untuk peningkatan kapasitas aparatur, tenaga pendidik, pemberian beasiswa dan kegiatan pendidikan lainnya sesuai dengan prioritas. Ditambah dengan sumber pendanaan lainnya seperti penerimaan bagi hasil migas, tentu saja total penerimaan Aceh per tahun bukanlah jumlah yang sedikit. Namun hal ini tidak lantas menjamin bakal berbanding lurusnya penerimaan tersebut terhadap kualitas pembangunan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Kotak 5. Ekonomi Aceh Perbankan | 1.3% Perdagangan, restaurant dan Hotel | 15.02%
Jasa | 12.91%
Pertanian | 21.22%
Air & Listrik| 0.2%
Transportasi dan Komunikasi | 5.21%
Konstruksi | 5.11% Manufaktur (Non-Migas)| 3.5%
Pertambangan (Migas) | 23.92%
Pertambangan (Non-Migas) | 0.9%
Manufaktur (Migas)| 10.71% Sumber: World Bank, 2008.
Pertumbuhan ekonomi di Aceh mengalami fluktuasi yang cukup tinggi karena fluktuasi ekspor hasil–hasil pertambangan. Sektor minyak dan gas menjadi penopang utama ekonomi Aceh, sebesar 23,9% (World Bank, 2008). Sektor pertanian menempati urutan kedua, sebesar 21,1%. Meski berada pada urutan kedua dan masih merupakan faktor penting bagi pertumbuhan ekonomi di Aceh, sektor pertanian tidak lagi diminati terutama oleh generasi muda. Berdasarkan Laporan Pencapaian Tujuan–Tujuan Pembangunan Milenium Indonesia 2007, angka kemiskinan di Aceh pada 1993 adalah 13,5%, dibawah rata–rata angka kemiskinan nasional 13,7% dan rata–rata provinsi 14,7%. Yayasan TIFA, Mei 2011 |
15
Namun pada tahun 2000, proporsi penduduk miskin tersebut meningkat signifikan 14 hingga 29,8%. Pada tahun 2006, angka kemiskinan Aceh mencapai 28,7 persen. Konflik bersenjata yang terjadi sejak 1990 ditengarai menyebabkan ekonomi menurun dan menjadi alasan di balik tingginya angka kemiskinan. 15
Satu Dekade Otonomi Khusus
Pada tahun 2004, indeks Keparahan Kemiskinan Indonesia 0,78 sementara Aceh 1,98. Angka ini merupakan posisi ketiga terburuk setelah Papua dan Gorontalo. Angka kematian anak pada tahun 2005 pun tergolong tinggi yakni 39 di atas rata–rata nasional yang berkisar 37.16 Barulah pada rentang waktu 2006 hingga 2008 mulai terjadi penurunan jumlah penduduk miskin, meski indikator–indikator lainnya belum menunjukkan tanda–tanda perbaikan yang berarti. Persentase penduduk miskin berturut–turut pada tahun 2006 adalah 28,28%, 2007 sebesar 26,65% dan 2008 mencapai 23,53 persen.17
Tingkat Kemiskinan ( % )
Kotak 6. Kemiskinan di Aceh ( 1993-2008 )
Sumber: Susenas, 2004
Menurut analisa anggaran yang dilakukan oleh GeRAK, ekonomi Aceh saat ini masih sangat bergantung kepada bantuan dari Pemerintah Pusat. Laporan Analisa GeRAK atas Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh (APBA) menunjukkan bahwa:
_______________________________ 14 15 16 17
16
Lihat Bappenas 2007. Op. Cit. Op. Cit. Lihat BPS 2009.
| Permasalahan Otonomi Khusus di Aceh dan Papua; sebuah makalah inisiatif strategi
Satu Dekade Otonomi Khusus
“dari tahun 2007–2010 terbukti bahwa pembangunan Aceh sangat bergantung kepada anggaran yang diberikan oleh pusat, dan jika ini terus terjadi secara turun temurun tanpa melihat dan mengkaji soal kemandirian anggaran Aceh terutama dengan mencari alternatif untuk mempercepat mencari dan mengumpulkan pendapatan asli Aceh secara utuh dapat dipastikan dalam kurun waktu 10 tahun ke depan Aceh akan mengalami kebangkrutan atas anggaran, sebab nominasi ketergantungan anggaran dari pusat rata–rata per tahun adalah sebesar 80%, dengan pembagian per tahun atas dana perimbangan (DAU dan DAK) sebesar 20–35% per tahun sementara atas dana pendapatan lain yang sah/otsus ketergantungannya sebesar 55–65% per tahun. […] Pemerintah Aceh belum pernah melakukan pengkajian secara menyeluruh terhadap upaya peningkatan atas Pendapatan Asli Aceh, sehingga secara rotasi rata–rata per tahun pemerintah Aceh hanya sanggup mengumpulkan pendapatan sebesar 10–20%, […] jika ini terus dibiarkan maka dapat dipastikan ke depan Aceh mengalami kesulitan dalam melakukan pembangunan secara berkala, sebab anggaran yang banyak yang diperoleh oleh provinsi Aceh saat ini terkesan sangat dipaksakan untuk segera dibelanjakan per tahun sehingga banyak dari total anggaran […] hampir rata–rata per tahun mengalami kebocoran yang 18 berujung kepada tindak pidana korupsi.” Jika analisa ini benar, maka baik Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Aceh perlu melakukan langkah–langkah untuk segera meningkatkan pendapatan daerah
Kotak 7. Pembangunan Aceh ; APBD Aceh TAHUN 2007
TAHUN 2008
TAHUN 2009
TAHUN 2010
49%
24%
27%
22%
51%
76%
Total Belanja : Rp 4.047.191.176.763,Penyerapan : Rp 3.137.787.319.344,- (77.53%)
Belanja Langsung
Total Belanja : Rp. 8.518.740.595.768,Penyerapan : Rp. 5.725.445.554.416,- (67.21%)
73%
Total Belanja : Rp. 9.791.344.121.604,Penyerapan : Rp. 4.993.585.502.018,- (51%)
78%
Total Belanja : Rp. 6.548.150.058.760,Penyerapan : N/A* *Belum ada perkiraan. Tender baru dilakukan bulan April 2010
Belanja Tidak Langsung
Sumber: Bappenas, 2010
_______________________________ 18
Lihat Askhalani 2010.
Yayasan TIFA, Mei 2011 |
17
Kotak 8. Pembangunan Aceh ; Pendapatan Daerah TAHUN 2007
21%
TAHUN 2008
TAHUN 2009
12%
18%
TAHUN 2010
12%
54%
14%
55% 34%
64%
33%
22%
Satu Dekade Otonomi Khusus
62%
Total Pendapatan : Rp. 3.165.343.682.173,-
Dana Perimbangan
Total Pendapatan Rp. 6.644.765.416.264,-
Pendapatan Asli Daerah
Total Pendapatan Rp. 6.732.212.000.000,-
Total Pendapatan Rp. 5,898,150,058,760,* perkiraan sementara
Lain2 Pendapatan Daerah yang Sah / Dana Otsus
Sumber: Bappenas, 2010
9.791,34
-45.44%
* perkiraan sementara : Defisit : Rp. 650 Milyar
5.898,15
-27.86%
* -11.02% 6.548,15
6.732,21
-28.20% 6.644,77
8.518,74
Belanja Daerah Total Pendapatan
3.165,34
11000 10500 10000 9500 9000 8500 8000 7500 7000 6500 6000 5500 5000 4500 4000 3500 3000 2500 2000 1500 1000
4.047,19
Rupiah ( x 1.000.000,- )
Kotak 9. Pembangunan Aceh ; Perbandingan Belanja dan Pendapatan serta besaran Defisit (%)
500 0
2007
2008
2009
2010
Sumber: Bappenas, 2010
2.1.3 Kontroversi Hukum Syari’ah Salah satu keistimewaan otonomi khusus di Aceh adalah membuat peraturan hukum yang sesuai dengan karakteristik daerah, serta menggunakan istilah–istilah daerah. Namun munculnya Perda syariah (qanun) di Aceh justru menimbulkan pro dan kontra dalam masyarakat. Sebagai upaya mendukung implementasi syariat Islam, pihak–pihak yang mendukung qanun bersikukuh bahwa peraturan harus dibuat berdasarkan nilai–nilai dan semangat Islami. Sementara pihak yang kontra menggugat beberapa qanun yang dibuat karena dianggap bertentangan tidak saja dengan kebutuhan masyarakat akan tetapi juga dengan hukum nasional.
18
| Permasalahan Otonomi Khusus di Aceh dan Papua; sebuah makalah inisiatif strategi
Sejak draft rancangan Qanun Jinayah (pidana) dan Qanun Hukum Acara Jinayah dirumuskan pemerintah dan dibahas oleh parlemen daerah, masyarakat sipil yang tergabung dalam Tim Perumus Draft Rancangan Qanun merasa dipinggirkan aspirasi dan partisipasinya. Kekhawatiran ini diperkuat dengan munculnya draf rancangan qanun yang lebih menitikberatkan pada semangat untuk menghukum secara kejam para pelanggar Qanun nantinya seperti hukum rajam sampai mati bagi pezina, ketimbang rasa keadilan. Beberapa hal mendasar dalam qanun jinayah dengan definisi yang multitafsir berpeluang merugikan masyarakat khususnya meminggirkan kaum perempuan ataupun beresiko mengkriminalkan orang–orang yang tidak bersalah. Satu Dekade Otonomi Khusus
Dari sisi perundangan, muatan rancangan qanun jinayah juga mengabaikan hak asasi warga negara dan berpotensi bertentangan dengan hukum nasional. Beberapa pasal di dalam qanun jinayah juga bertolak belakang dengan apa yang telah diatur dalam UU HAM, UU Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan, UU Pengesahan Konvenan Anti Penyiksaan, UU Perlindungan Anak, UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, UU tentang Hukum Acara Pidana, Kompilasi Hukum Islam dan Qanun Perlindungan Anak. Oleh karenanya, banyak kelompok masyarakat sipil menuntut untuk dikaji ulang. Dalam suasana pro dan kontra, Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) mengesahkan qanun ini pada 14 September 2009. Namun, pengesahan tersebut masih membawa kontroversi justru antara legislatif dengan eksekutif karena Gubernur belum juga mau menandatanganinya. Kondisi ini diperparah dengan perilaku aparat penegak hukum Polisi Syariah yang dalam kapasitasnya yang minim melakukan banyak pelanggaran. Kepastian hukum karenanya semakin mengundang tanda tanya. Belakangan, rancangan Qanun Pemerintah Aceh Tentang Program dan Isi Siaran Lembaga Penyiaran yang diusulkan Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Aceh kembali menggelisahkan insan pers setelah sekian lama tertunda lantaran penolakan dari berbagai pihak karena dinilai berpotensi menghambat kebebasan pers. Beberapa poin yang diatur dalam rancangan qanun (raqan) inisiatif KPID Aceh ini dianggap 19 sebagai upaya penyensoran terhadap lembaga penyiaran. Poin yang berpotensi menghambat kebebasan lembaga penyiaran dan pers termaktub Dalam pasal 12 ayat (1) dinyatakan, “Isi siaran dalam bentuk film, sinetron, iklan, program komedian, musik, klip video, program features/dokumenter, dan ilmu pengetahuan produksi dalam negeri, asing, dan lokal, yang bukan siaran langsung sebelum disiarkan oleh lembaga penyiaran wajib memperoleh tanda lulus sensor.� Kewajiban lulus sensor oleh Badan Sensor Film Daerah Aceh atau Badan Pembinaan Perfilman Daerah Aceh, berpotensi menghambat kebebasan lembaga penyiaran dan pers, bertentangan dengan UU No 40/1999. Hampir senasib dengan qanun jinayah, raqan penyiaran ini pun akhirnya kandas di tengah jalan karena masalah sepele; belum _______________________________ 19
Lihat Jakarta Globe 2010.
Yayasan TIFA, Mei 2011 |
19
Satu Dekade Otonomi Khusus
Hukum syariah di Aceh masih terkesan fokus kepada pengaturan ranah pribadi dan bukan publik. Kebijakan di tingkat kabupaten misalnya sangat superfisial individu dan mengabaikan isu–isu substantif. Di Aceh Barat, Bupati mencanangkan wajib busana muslim (lebih mentargetkan kaum perempuan) pada awal tahun ini, implementasinya masih dipertanyakan karena kurangnya pengawalan oleh penegak hukum. Hanya berselang beberapa bulan kemudian, terungkap kasus pemurtadan oleh kelompok 20 misionaris (sekitar 150 orang) di Aceh Barat. Kasus yang dianggap telah menampar Pemda Aceh Barat yang sedang giat–giatnya meng–kaffah–kan Islam di kabupaten ini menunjukkan lemahnya hubungan antara para penegak hukum syariah dengan masyarakatnya sendiri.
2.1.4 Rekonfigurasi Elit Politik Seperti halnya kekhawatiran atas Pemilu 2004 oleh banyak pihak yang akan menimbulkan kekerasan meski akhirnya tidak terjadi, kekhawatiran terhadap Pemilu 2009 pun tidak menjadi kenyataan. Walau tidak sempurna di dalam pelaksanaannya, pesta demokrasi telah berjalan dengan damai. Hasilnya pun cukup mencengangkan. Untuk pertama kalinya, mantan kelompok dan anggota kelompok separatis GAM mengikuti pemilu serta menjadi pemenang mayoritas. Mereka muncul sebagai elit politik baru yang sangat berperan dalam menentukan wajah Aceh pada kurun waktu lima tahun ke depan. Pemilu 2009 merupakan proses penting yang menentukan keberlanjutan proses perdamaian di Aceh. Mantan anggota GAM ikut kontestasi politik baik dalam pemilihan legislatif di tingkat provinsi maupun kabupaten, melalui prosedur demokratis. Hal ini tidak lepas dari MoU Helsinki dan UUPA yang memungkinkan dibentuknya partai lokal. Partai Aceh (PA) yang merepresentasikan anggota GAM, menang telak baik di tingkat provinsi maupun kabupaten. Kemenangan PA dalam menarik pemilih terutama karena partai ini diharapkan dapat menjaga perdamaian. Pada level provinsi, Partai Aceh meraih 46 kursi dari 69 kursi yang diperebutkan. Hanya pada Daerah Pemilihan IV dan VII Partai Aceh mendapatkan kurang dari 50%. Sementara Partai Demokrat dan Partai Golkar berada di urutan kedua dan ketiga, masing–masing dengan 10 dan 8 kursi. Pada level kabupaten, Partai Aceh memenangkan 237 kursi dari total 645 kursi. Partai Aceh muncul sebagai partai terbesar di 16 dari 23 kabupaten di Aceh, dan di 7 daerah memenanginya secara mayoritas. Kemenangan di parlemen lokal ini jarang dicapai oleh partai politik lain di Indonesia. Kemenangan Partai Aceh tak lepas dari peran KPA (Komite Peralihan Aceh) transformasi organisasi GAM menjadi lembaga politik sebagai kekuatan penting yang 21 memiliki struktur hingga ke kampung-kampung. Hal ini, tentu saja, tidak dimiliki oleh _______________________________ 20 21
20
Lihat Sawang 2010. Lihat Palmer 2010.
| Permasalahan Otonomi Khusus di Aceh dan Papua; sebuah makalah inisiatif strategi
partai-partai lainnya baik partai lokal maupun partai nasional. Namun, fenomena ini sejatinya tidak mengejutkan karena hasil pemilu legislatif tidak jauh berbeda dengan hasil Pemilihan Gubernur Aceh yang dimenangkan oleh Irwandi Yusuf, salah seorang mantan tokoh GAM. Tabel 3. Hasil Pemilu Legislatif (DPRA) di Aceh, 2009 Kursi yang diraih pada Daerah Pemilihan
Partai II 31 Partai Demokrat
IV
V
VI
I
III
VIII
VII
Total
14
2
9
6
5
6
4
46
1
2
1
2
2
1
1
10
2
1
1
2
23 Partai Golongan Karya
1
7
1
2
9
Partai Amanat Nasional **
1
8
Partai Keadilan Sejahtera **
1
1
1
1
24 Partai Persatuan Pembangunan ** 7
1
1
Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia
1
1
36 Partai Daulat Atjeh * 15
Sub-Total
* Partai politik lokal ** Partai dengan platform religius
10
Satu Dekade Otonomi Khusus
39 Partai Aceh *
10
10
9
8
5
2
69
Sumber: KPU NAD, 2009
Para pemilih terlihat tidak lagi tertarik dengan partai-partai dengan platform religius yang hanya mampu meraih 4 kursi (5,8%). Meski statusnya sebagai provinsi yang melaksanakan syariat Islam, hasil Pemilu ini konsisten terhadap pola menurunnya dukungan bagi partai religius dalam 3 pemilu terakhir. Pemilih cenderung menginginkan pemerintah lokal agar tetap menjaga hubungan baik dengan pemerintah pusat sehingga mereka memilih 2 partai nasional yang berkontribusi mendukung proses perdamaian, yakni Partai Demokrat dan Golkar. Di tingkat lokal, terutama di pedesaan, pemilih lebih merefleksikan dan menguatkan 22 gaya politik patrimonial dalam demokrasi di Indonesia. Mereka cenderung lebih memilih individu ketimbang partai, sebagian dikarenakan balas budi atas apa yang sudah pernah diberikan calon sebelumnya ketimbang platform partai dan pilihan kebijakan yang ditawarkan oleh masing-masing calon. Kemenangan Partai Aceh tentu saja melahirkan rekonfigurasi elit politik baru di bumi Serambi Mekah. Dalam konteks otonomi khusus, elit politik baru akan sangat berperan ke depan. Kemenangan Partai Aceh juga dapat diartikan sebagai kekecewaan para mantan anggota separatis yang tidak lagi mengancam perdamaian dalam jangka pendek karena pemimpinnya kini berhasil memiliki kesempatan untuk mengatur jalannya pemerintahan. Keterwakilan Partai Aceh dan dominasinya baik di legislatif maupun eksekutif semestinya digunakan untuk memajukan tata pemerintahan otonomi khusus di Aceh dan bukan sekadar untuk mencari mencari kekuasaan dan keuntungan semata. _______________________________ 22
Op. Cit.
Yayasan TIFA, Mei 2011 |
21
2.2. Papua Masih Membara
Satu Dekade Otonomi Khusus
Sejarah Papua adalah perjalanan panjang yang berliku, keras seperti alamnya, elok dipuja karena eksotisme kebudayaan dan lingkungannya, ramai diberitakan karena kekerasan dan konflik perebutan harta yang terkandung di dalamnya, serta seringkali dilupakan segala nestapa penderitaannya. Sejak 1824, era pra-kemerdekaan Republik Indonesia hingga saat ini, Papua berulang kali berganti nama, beragam kebijakan dilahirkan guna mengurangi ketegangan–ketegangan itu, namun ia tetap bergolak. Bumi Cendrawasih masih jauh dari damai. Angka konflik masih tetap tinggi. Isu separatisme pun tak kunjung berhenti. Lahirnya UU No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua tak lain merupakan kompromi politik jalan tengah agar Papua dapat terus berada di dalam keutuhan NKRI sekaligus mengakomodasi tuntutan masyarakat lokal untuk dapat lebih leluasa mengatur daerahnya sendiri. UU No. 5 Tahun 2008 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua Barat menyusul dikeluarkan seiring dengan menguatnya tuntutan aspirasi masyarakat (baca: elit) lokal.
2.2.1 Konflik Primordial atau Sumberdaya? Kendati otonomi khusus Papua sudah diberlakukan sejak tahun 2001, isu separatisme dari Negara Kesatuan Republik Indonesia nyatanya masih saja terus bergulir. Hingga 2010, intensitas konflik dan kekerasan yang dilatarbelakangi ketidakpuasan dan upaya separatisme masih cukup tinggi, bahkan muncul gejala radikalisasi.23 Kebijakan Otonomi khusus yang dimaksudkan sebagai obat mujarab untuk meredam tuntutan sejumlah kalangan untuk merdeka, tak kunjung membuahkan hasil. Opsi “M” untuk merdeka dan “O” untuk otonomi senantiasa muncul dalam berbagai kesempatan meski otonomi khusus untuk Papua dan Papua Barat telah diimplementasikan. Banyak studi yang telah dilakukan untuk mengidentifikasi sekaligus mencari solusi krisis berkepanjangan yang terjadi di bumi Papua.24 Namun kompleksitas masalah yang demikian rumit membuat solusi yang disampaikan kerapkali tidak mampu menyelesaikan akar persoalan. Isu sejarah integrasi Papua ke wilayah NKRI dan identitas politik orang Papua, kekerasan politik dan pelanggaran HAM, gagalnya pembangunan di Papua dan inkonsistensi pemerintah dalam implementasi otonomi khusus serta marjinalisasi orang Papua masih menjadi tanda tanya besar dan memerlukan jawaban. Jika melihat kondisi lapangan, sengkarut masalah di bumi Cendrawasih yang kompleks diikuti oleh realitas yang tumpang tindih. Di Papua, sumber konflik dan kekerasan sangat beragam baik antara pemerintah dengan kelompok pro–kemerdekaan, diramaikan dengan persoalan tanah, perang antar suku, perjuangan kekuasaan politik 25 di tingkat lokal serta ketegangan antara pribumi dengan para pendatang. _______________________________ 23 24 25
22
LihatCGA 2010. Salah satunya, lihat Widjojo (2009) yang menawarkan Roadmap sebagai jalan Papua keluar dari krisis. Lihat kotak Aktor, Wacana dan Kepentingan dalam Konflik Papua.
| Permasalahan Otonomi Khusus di Aceh dan Papua; sebuah makalah inisiatif strategi
Kotak 10. Provinsi Papua dari Penguasa ke Penguasa
>> Era Presiden Soekarno 23 Agustus 1945. Enam hari setelah Proklamasi Kemerdekaan, Soekarno mendeklarasikan kesatuan Indonesia “Dari Sabang Sampai Merauke�. 15 November 1946. Dalam Perjanjian Linggarjati, Netherlands New Guinea tidak termasuk dalam wilayah RI. 16 Agustus 1956. Pihak RI membentuk pemerintahan provinsi otonom Irian Barat yang berkedudukan di Tidore. 1 Desember 1961. Oleh Belanda, Netherlands New Guinea diganti nama menjadi Papua Barat. 19 Desember 1961. Presiden Soekarno mengumumkan Tri Komando Rakyat (Trikora) untuk merebut Irian Barat. 15 Agustus 1962. Persetujuan New York, Belanda menyerahkan kekuasaan atas Papua Barat kepada Indonesia. 1 Oktober 1962. Badan PBB, The United Nation Temporary Executive Authority (UNTEA) mengambil alih pemerintahan dari Belanda. 1 Mei 1963. Penyerahan pemerintah atas Irian Barat dari UNTEA kepada pemerintah RI. Pembagian wilayah enam karesidenan peninggalan pemerintahan Hindia Belanda dipertahankan.
Era Presiden Abd. Wahid
Era Presiden BJ Habibie
Era Presiden Soeharto
1 Januari 2000. Di Jayapura, Presiden Abdurrahman Wahid meresmikan pergantian nama Provinsi Irian Jaya menjadi Provinsi Papua. 29 Mei-3 Juni 2000. Konggres Rakyat Papua menolak penyatuan Papua dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.
4 Oktober 1999 UU No 45/1999 tentang pembentukan Provinsi Irian Jaya Tengah dan Provinsi Irian Jaya Barat. Seminggu kemudian, dengan Dekrit No 327/1999 Presiden Habibie mengangkat Gubernur Irian jaya Tengah dan irian Jaya Barat. Dua keputusan ini ditolak DPRD Irian Jaya Barat. UU No 45/1999 lalu ditunda dan Dekrit No 327/1999 dibatalkan.
10 September 1969 Presiden Soeharto meresmikan 9 kabupaten di Provinsi Irian Barat dan meresmikan provinsi tersebut menjadi provinsi Indonesia yang ke-17 1 Maret 1973 Nama Irian Barat diubah menjadi Irian Jaya.
Satu Dekade Otonomi Khusus
Era Pra-kemerdekaan 17 Maret 1824. Perjanjian London. Belanda dan Inggris membagi wilayah Hindia. Belanda memperoleh Sumatera, Jawa, Maluku dan Netherlands New Guinea (New Guinea sebelah Barat). 1942-1944. Sebagian besar wilayah utara Netherlands New Guinea diduduki pasukan Jepang.
Era Presiden Susilo B.Yudhoyono
>> Era Presiden Megawati 21 November 2001. UU No 21/2001 tentang otonomi khusus bagi Provinsi Papua. 27 Januari 2003. Inpres No 1/2003 tentang percepatan Pelaksanaan UU No 45/1999 yang sempat tertunda.
23 Desember 2004. Majelis Rakyat Papua disahkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono 18 April 2007. Perubahan nama Provinsi Irian Jaya Barat menjadi Provinsi Papua Barat. 16 Mei 2007. Inpres No 5/2007 tentang Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat 16 April 2008. Terbitnya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No 1/2008 tentang Otonomi Khusus bagi Papua Barat 2008. Perppu No 1/2008 akhirnya di undangkan menjadi Undang-Undang No 35/2008.
Sumber : Laporan Jurnalistik KOMPAS. Ekspedisi TanahPapua (2009), dimodifikasi
Yayasan TIFA, Mei 2011 |
23
Meski intensitas kekerasan dan konflik sangat tinggi, namun aktor dan pelakunya seringkali sulit ditemukan dan diproses secara hukum. Dalam beberapa kasus, publik menilai, aparat keamanan kerap salah tangkap. Siapa dalang aksi kekerasan biasanya tidak jelas. Semakin tidak terjawab kekerasan berlangsung tanpa ada tindak lanjut yang memuaskan, masyarakat hanya bisa bertanya–tanya dalam keresahan, ketakutan dan kecemasan. “Perang pun tidak, damai pun tiada”, begitu kata orang Papua.
Satu Dekade Otonomi Khusus
Munculnya sebuah konflik tentu tidak lepas dari adanya pelaku dan kepentingan yang memotivasinya. Umumnya, studi yang dilakukan oleh kalangan pemerintah, akademisi dan ilmuwan seringkali malu–malu menempatkan PT Freeport Indonesia (PT FI) sebagai salah satu aktor penting di dalam konflik. Pemetaan aktor–aktor konflik yang dilakukan oleh Widjojo (2009) misalnya nyaris tidak mencatat secara tegas keterlibatan Freeport, perusahaan multinasional hingga perusahaan nasional yang beroperasi di Papua terhadap kisruh yang melanda. Hanya Wanggai (2009) yang secara jelas menegaskan pentingnya PTFI dan kontribusinya bagi pembangunan sosial ekonomi di tanah Papua. Sementara, pandangan dari LSM dan media umumnya sangat kritis terhadap perusahaan yang bermarkas di Amerika tersebut. Beberapa kalangan masyarakat sipil menilai, kekayaan sumber daya alam menjadi 26 pemicu konflik berdimensi HAM yang merupakan akar persoalan di Papua. Sejak Orde Baru, masyarakat asli Papua hanya menjadi penonton setia, menyaksikan perusahaan–perusahaan dari dalam dan luar negeri “merampas” dan kekayaan alam mereka. Perusahaan tersebut dengan leluasa menguasai hutan, laut dan sungai, bahkan mengeruk kekayaan alam dan mineral yang tersembunyi di dalamnya. Kekayaan sumberdaya alam Papua menjadi arena perebutan pengaruh diantara kekuatan–kekuatan ekonomi politik global maupun nasional. 27
Masyarakat Papua rentan terhadap kekerasan dari PT Freeport. Penggusuran suku Amungme dan Kamoro dari tanah dan perairan ulayat mereka dilakukan oleh aparat bersenjata RI untuk kepentingan para pemegang saham PT Freeport Indonesia (PTFI). Pemegang saham PTFI bukan hanya perusahaan luar negeri, terutama Freeport McMoRan dan Rio Tinto, namun juga perusahaan–perusahaan yang dekat dengan pusat kekuasaan di Jakarta28. Freeport–McMoRan Cooper and Gold Company mengoperasikan tambang emas terbesar dan tembaga kedua terbesar dunia di Grasberg dengan kepemilikan 91 persen saham pada PT Freeport Indonesia29 . Ironisnya, penduduk asli suku Amungme dan suku Kamoro yang tinggal di sekitar lokasi tambang hidup dalam kondisi yang berbeda. Ribuan ton limbah tailing dibuang setiap hari. Dampaknya terhadap daya dukung lingkungan pun tidak bisa dipandang _______________________________ 26
27 28
29
24
Kambai, Y (ed), 2007.; Crisis Group Asia Report No 39, Indonesia: Resources and Conflict in Papua, 13 September 2002, Crisis Group Asia Briefing No 66, Indonesian Papua: A local Perspective on the Conflict, 19 Juli 2007. Lihat Memoria Passionis di Papua Tahun, 2006. Aburizal Bakrie dan Taufik Kiemas termasuk nama-nama yang dekat dengan kekuasaan di Jakarta dan memiliki kepentingan di Freeport. Lihat Aditjondro dalam Kambai, Y (ed), 2007, Op. Cit. Lihat Vaughn 2006.
| Permasalahan Otonomi Khusus di Aceh dan Papua; sebuah makalah inisiatif strategi
sebelah mata. Kebun–kebun milik mati. Ikan sulit dicari karena tercemar polusi limbah. Keadaan ini berbeda dengan masa sebelum perusahaan raksasa itu beroperasi. Penduduk asli tidak hanya kehilangan sumber daya alam, akan tetapi juga kehilangan jati diri dan kebudayaannya. Keberadaan pertambangan mengubah segalanya. Konsumerisme menjadi realitas yang biasa. Kondisi ini diperparah oleh konflik–konflik bersenjata yang kian mengental: konflik antarsuku, serta konflik antara masyarakat dengan Freeport, terus terjadi di sekitar areal konsesi tambang.
Satu Dekade Otonomi Khusus
Perusahaan yang beroperasi di Papua Barat setiap tahunnya memanen keuntungan yang tidak sedikit. Perusahaan Inggris Rio Tinto PLC, setiap tahun mengadakan pertemuan tahunan di Westminster untuk membahas keuntungan operasi di Timika atau teluk Bintuni Papua Barat. Tahun 2007 saja mereka membukukan keuntungan senilai US$7.4 billion30. Sementara perusahaan minyak multinasional BP mengeruk keuntungan hingga US$17.29 billion31. BP juga memegang kendali operasi LNG Tangguh di teluk Bintuni. Keuntungan perusahaan tersebut kontras dengan kondisi masyarakat sekitar Teluk Bintuni yang tertinggal dalam indikator sosial ekonomi untuk ukuran Papua dan Papua Barat32. Kehidupan mereka bertolak–belakang dengan pundi–pundi yang diraih perusahaan–perusahaan tersebut. Perusahaan–perusahaan lain tidak ketinggalan mengumpulkan keuntungan dari kekayaan alam tanah Papua. Sejumlah nama besar seperti Bakrie Group, Genting Group, Kayu Lapis Indonesia Group, Korindo Group, Medco Group, Perkebunan Nusantara Group, Rajawali Group, Raja Garuda Mas Group, Sinar Mas Group dan masih banyak lagi yang lainnya, beramai–ramai menanamkan investasinya33 .
Kotak 11. Ekonomi Papua dan Papua Barat a. Papua
b. Papua Barat
Pemerintahan Transportasi dan Adminstrasi dan Komunikasi 5% Lain-lain ** 4% 3% Perdagangan, Restoran, Hotel 4%
Lain-lain ** 3% Manufaktur (terkait Pertambangan) 19%
Pertambangan (termasuk Migas) 17%
Konstruksi 4% Pemerintahan dan Adminstrasi 8%
Pertanian 11%
Pertambangan (termasuk Migas) 69%
Transportasi dan Komunikasi 7% Perdagangan, Restoran, Hotel 10%
Pertanian 27% Konstruksi 8%
Sumber: World Bank, 2009
_______________________________ 30 31 32 33
Lihat Down to Earth 2008. Op. Cit. Presentasi World Bank, Spending for Development in Papua, 2009. Lihat Gelder dan Spaargaren 2009.
Yayasan TIFA, Mei 2011 |
25
2.2.2 Special Automoney?
Satu Dekade Otonomi Khusus
Hampir satu dasawarsa Provinsi Papua menjalankan kebijakan pembangunan berdasarkan Undang-undang No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua. Selain sebagai jalan keluar politik, UU ini juga menegaskan keberpihakannya kepada penduduk asli Papua, selain tentu saja mengesahkan kucuran dana yang signifikan bagi pembangunan Papua. Namun, sekian tahun pelaksanaannya, ternyata kebijakan dalam kerangka otonomi khusus belum membawa perubahan yang signifikan bagi nasib rakyat asli Papua, khususnya pada bidang sosial ekonomi. Papua Barat yang didukung dengan UU No. 5 Tahun 2008 Tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua Barat, dengan usia yang masih bayi, nasibnya tak jauh berbeda. Kotak 12. Dana Perimbangan Dalam UU No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Provinsi Papua Dana Alokasi Khusus Penerimaan Khusus dalam rangka Otonomi Khusus Dana Tambahan dalam rangka Otonomi Khusus
ii )
Dana Alokasi Umum
i)
Pemprov Papua
Pemerintah Pusat
90% 80% 20%
10% 20% 80%
80% 80% 80% 70% 70%
20% 20% 20% 30% 30%
iii )
Bagi Hasil Pajak : Pajak Bumi dan Bangunan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan Pajak Penghasilan Orang Pribadi
iv )
DANA
i ) Ditetapkan sesuai perundang-undangan ii) Ditetapkan sesuai perundang-undangan dengan memberikan prioritas pada Provinsi Papua iii) Setara dengan 2% dari plafon DAU Nasional, terutama ditujukan untuk pendidikan dan kesehatan iv) Besarnya ditetapkan antara pemerintah dan DPR RI berdasarkan usulan provinsi pada setiap tahun anggaran, terutama ditujukan untuk infrastruktur
PERIMBANGAN
Bagi Hasil Sumberdaya Alam : Kehutanan Perikanan Pertambangan Umum Pertambangan Minyak Bumi Pertambangan Gas Alam
Sumber: Wanggai, 2009
Dari sisi anggaran, Undang–Undang Otonomi Khusus memberikan keistimewaan bagi Papua untuk mengelola dirinya sendiri. Dalam kisaran rupiah, dana yang diterima Papua tidaklah kecil. Untuk dana otonomi khusus saja, dari tahun ke tahun, angkanya meningkat secara signifikan. Transfer dana dari pemerintah pusat meningkat 600% secara riil dan 1300% secara nominal sejak tahun 2000 (Bank Dunia, 2009). Dibandingkan dengan provinsi–provinsi lainnya di Indonesia, warga Papua bisa dikatakan beruntung dalam hal pendanaan. Dalam 8 tahun terakhir, dana triliunan rupiah mengalir dari Jakarta ke Tanah Papua, baik ke Provinsi Papua maupun ke Provinsi Papua Barat. Dana tersebut berasal dari skema dana Kementerian/Lembaga (APBN), Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), Dana Otonomi Khusus, Dana Tambahan Otsus Infrastruktur, Dana Sarana dan Prasarana Pembangunan Papua Barat, Dana Bagi Hasil (DBH) Sumber Daya Alam, DBH Pajak serta Dana Penyesuaian (ad hoc). Pada tahun 2006, Provinsi Papua (provinsi dan kabupaten/kota) menerima Rp. 13 Triliun. Jumlah itu meningkat menjadi Rp 15,3 Triliun pada 2007 dan naik lagi hingga Rp 21,3 Triliun pada 2008. Sementara saudaranya yang lebih muda, Papua Barat
26
| Permasalahan Otonomi Khusus di Aceh dan Papua; sebuah makalah inisiatif strategi
menerima alokasi anggaran yang meningkat hampir dua kali lipat sepanjang kurun waktu 2006 hingga 2008. Pada tahun 2008, Papua Barat memperoleh alokasi sebesar Rp 7,9 Triliun. Angka ini lebih besar dari yang diterima pada tahun 2007 yakni sebesar Rp 5,1 Triliun atau tahun 2006 yang senilai Rp 4,1 Triliun (Bappenas, 2008 dalam Wanggai, 2009). Jadi, untuk tahun 2008 saja terdapat sekitar Rp 28 Triliun dana segar yang mengalir ke pulau Cendrawasih.
Kotak 13. Transfer Dana Papua dan Papua Barat Satu Dekade Otonomi Khusus
Sumber: World Bank, Spending for Development, 2009
Menurut Nota Keuangan dan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Perubahan tahun anggaran 2010 (RAPBN-P 2010), realisasi anggaran otonomi khusus dalam RAPBN–P tahun 2010 untuk Papua dan Papua Barat sebesar Rp 3.849,8 miliar, atau sama dengan pagunya dalam APBN tahun 2010. Jumlah tersebut setara 2 (dua) persen pagu Dana Alokasi Umum (DAU) secara nasional. Dana Otonomi Khusus tersebut dibagi untuk Provinsi Papua senilai Rp 2.694,9 miliar dan Provinsi Papua Barat sejumlah Rp 1.154,9 miliar. Kedua provinsi juga menerima Dana Tambahan Infrastruktur masing–masing sebesar Rp. 800 miliar dan Rp. 600 miliar, yang ditujukan untuk pendanaan pembangunan infrastruktur sesuai dengan ketentuan dalam 34 Undang–undang No. 35 Tahun 2008 . Alokasi Dana Otonomi Khusus ke provinsi, kabupaten, dan kota di Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat menggunakan basis penghitungan secara proporsional, 60% untuk kabupaten/kota dan 40% untuk provinsi sejak 2004. Dana tersebut diharapkan dapat menggerakkan roda pembangunan, pemerintahan dan pelayanan kemasyarakatan secara adil dan merata, yang dikelola dengan etika tata pemerintahan yang baik.
_______________________________ 34
Lihat Depkeu 2010b.
Yayasan TIFA, Mei 2011 |
27
Kotak 14. Transfer Dana dari Pusat PAPUA
24
21.3
Satu Dekade Otonomi Khusus
Rupiah ( x 1 triliyun )
22
PAPUA BARAT
20 18
15.3
16
13
14 12 10
7.9
8 6
4.1
4
5.1
2 0
2006
2007
2008 Sumber: Wanggai, 2009.
Sayangnya, tingginya alokasi anggaran ini baru mampu mendongkrak nasib pejabat ketimbang rakyat biasa. Pejabat di daerah suka jalan-jalan ke Jakarta dan kota-kota besar lainnya35. Upaya perbaikan nasib orang asli Papua dinilai masih minim. Menanggapi situasi tersebut, pada tahun 2006, Gubernur terpilih Papua Barnabas Suebu mencanangkan program Rencana Strategis Pemberdayaan Kampung (Respek) yang bertujuan untuk mengangkat rakyat Papua keluar dari kemiskinan, kebodohan, kelaparan dan keterbelakangan. Kebijakan ini termasuk memberikan kucuran dana Rp 100 juta untuk setiap kampung. Dengan adanya kucuran dana, sektor-sektor yang selama ini dianggap penting dan mendesak untuk dikembangkan seperti pemberdayaan masyarakat, pendidikan, kesehatan dan infrastruktur bisa mendapatkan perhatian khusus. Dana tersebut dikelola oleh masyarakat adat, kalangan agama dan pemerintah setempat dalam rangka meningkatkan kesejahteraan orang asli Papua36. Meski cukup fenomenal, efektifitas program ini pun masih diragukan keberhasilannya. Pelaksanaan otonomi khusus yang disusul dengan kebijakan pemekaran wilayah dituding menjadi biang keladi kegagalan pembangunan di Papua37. Para pejabat saling lempar tanggung jawab. Pemekaran yang memakan biaya cukup besar telah mengakibatkan dana otonomi khusus terkuras hanya untuk memenuhi kebutuhan birokrasi. Di saat bersamaan, pemekaran wilayah pada umumnya belum diikuti dengan upaya yang signifikan untuk mewujudkan pelayanan masyarakat. Beberapa laporan _______________________________ 35 36
37
28
Lihat Iry 2009 Inovasi daerah bukannya tidak ada, meski sangat terbatas. Sejak tahun 2001, Bupati Jayapura, Habel Melkias Suwae menerapkan Program Pemberdayaan Distrik dan Kampung. Dengan kebijakan ini, pemerintah kabupaten Jayapura memberikan kepercayaan kepada rakyat di distrik dan kampung untuk memikirkan dan membangun dirinya sendiri, menurut keputusannya sendiri, dengan menggunakan dana yang dialokasikan pemerintah kabupaten. Strategi pemberdayaan ini ditekankan tidak pada besarnya alokasi dana melainkan pada partisipasi masyarakat. Program ini kemudian bersinergi dengan program Respek di tingkat provinsi. Lihat Poli, W.I.M, dkk, 2008. Lihat Memoria Passionis, 2006
| Permasalahan Otonomi Khusus di Aceh dan Papua; sebuah makalah inisiatif strategi
menyebutkan sejumlah daerah pemekaran baru seperti kabupaten Keerom, pemerintahannya masih sibuk menyiapkan berbagai kantor pemerintah daerah seperti kantor Bupati, kantor DPRD serta kantor lembaga pemerintah daerah lainnya, sampai perumahan untuk pejabat pemerintah daerah (Kompas, 2008). Pelayanan masyarakat belum berjalan maksimal. Di Kabupaten Supiori yang merupakan wilayah hasil pemekaran dari Biak Numfor juga belum terdapat aktivitas pemerintahan yang layak.
Satu Dekade Otonomi Khusus
Dari 28 kabupaten pada tahun 2002, pemekaran telah meningkatkan jumlah kabupaten hingga 40 kabupaten pada tahun 2008 saja (Wanggai, 2009). Beberapa daerah, meski tidak siap masih saja berkeras menuntut pembentukan daerah otonom baru. Pemekaran wilayah tentu saja bukan sekadar soal dana. Dana yang besar tidak dapat menjadi jaminan untuk menyejahterakan rakyat. Sebaliknya, memekarkan wilayah tanpa disertai kesiapan yang memadai hanya berpeluang mengundang berbagai penyimpangan hingga berpotensi menyuburkan korupsi, kolusi dan nepotisme. Pengelolaan dana otsus Papua memang dipertanyakan oleh banyak pihak. Dalam laporan BPK (2009), disebutkan kelemahan–kelemahan yang mengakibatkan terjadinya penyimpangan terhadap ketaatan. Sistem pengendalian internal masih belum efektif khususnya prosedur kerja dan ketaatan belum sepenuhnya dilaksanakan. Banyak kasus penyimpangan terjadi mulai dari proyek fiktif, mark–up, hingga kelebihan pembayaran. Di beberapa kabupaten, penggunaan dana otsus tidak dapat dipertanggungjawabkan dari tahap perencanaan, administrasi hingga evaluasi. Bahkan 38 program Respek pun tidak seluruhnya sampai pada tujuannya .
2.2.3 Terpuruknya Pelayanan Publik Sejumlah permasalahan mendasar masih menyelimuti bumi Papua. Di bidang pendidikan, Papua masih jauh tertinggal dibandingkan kawasan Indonesia lainnya. Masih ada anak SMA yang belum bisa membedakan huruf K dengan W alias buta huruf (Kompas, 2008). Berbarengan, gaya hidup perkotaan kini menjadi tren. Ironisnya, di 39 daerah–daerah pedalaman perilaku ini pun sudah dianggap hal biasa . Pada tahun 2004, di Papua terdapat sekitar 6.160 kasus aborsi per-tahun yang dilakukan oleh pelajar dan mahasiswa. Adapun separo pelaku aborsi kebanyakan mereka yang berusia 40 17–24 tahun . Ini merupakan fakta yang mengenaskan. Meski otonomi khusus menekankan pentingnya sektor pendidikan dan kesehatan, dalam praktiknya, prioritas tersebut masih jauh dari harapan. Laporan Bank Dunia (2005) menyebutkan, anggaran belanja otonomi khusus meningkat hampir di semua sektor. Infrastruktur menempati pos pengeluaran tertinggi, disusul belanja pemerintah, pendidikan dan kesehatan. Pada tahun 2003, dana otonomi khusus untuk infrastruktur mencapai 29,8%, sementara pembiayaan total untuk pendidikan dan _______________________________ 38 39 40
Lihat BPK RI 2009. Lihat Memoria Passionis, 2008 Lihat TSSP 2005.
Yayasan TIFA, Mei 2011 |
29
kesehatan sebesar 28% terbagi antara 15,8% untuk pendidikan dan 12% untuk kesehatan41. Di Kabupaten Sorong, pemerintah daerah menghabiskan 79% dana otonomi khusus untuk belanja pemerintah tanpa disertai oleh laporan dan akuntabilitas yang jelas42 . Kotak 15. Kemiskinan di Papua dan Papua Barat (2000-2008) 50%
Tingkat Kemiskinan (%)
Satu Dekade Otonomi Khusus
45% 40%
Papua
35%
Papua Barat
30% 25% 20% 15%
Indonesia
10% 5% 0%
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
Sumber: World Bank, 2009
Laporan MDGs Indonesia (2007) menyebutkan kondisi Papua yang tidak menggembirakan. Pada 2004, indeks Kedalaman Kemiskinan Indonesia berada pada 2,89. Sedangkan Papua menempati posisi terburuk, yakni 10,56. Demikian halnya, Indeks Keparahan Kemiskinan Indonesia pada 2004 adalah 0,78, sementara Papua masih berada di kisaran 5,01. Di bidang pendidikan dasar, SD dan SMP pada 2006, Papua dan Papua Barat menjadi provinsi terendah bahkan ketimbang Sulut dan Gorontalo. Kondisi geografis yang terdiri dari pegunungan dan hutan menyulitkan anak–anak untuk dapat mengenyam pendidikan dasar. Di Papua jumlah anak–anak yang bisa menikmati pendidikan dasar baru sebesar 81,1% pada tahun 2006 dan 88,2% di Papua Barat. Sebagian besar anak tidak dapat menikmati bangku pendidikan dasar. Di bidang kesehatan tak kalah memprihatinkan ialah meningkat pesatnya kasus 43 HIV/AIDS yang telah menunjukkan tahapan “general epidemic” . Setidaknya, hingga akhir Juli 2007 jumlah orang yang hidup dengan HIV/AIDS di Papua telah mencapai 3.377 orang. Berdasarkan laporan Dinas Kesehatan Provinsi Papua, pada triwulan I 2009, jumlah kasus HIV/AIDS tercatat 4.745 kasus dengan proporsi kelompok umur terbesar adalah antara 20–29 tahun. Ini berarti, kelompok usia produktif menjadi sasaran potensial wabah tersebut. Kasus ini tidak hanya terjadi di wilayah perkotaan, akan tetapi juga sudah merambah ke wilayah pedalaman Papua. Penyebabnya tak lain adalah faktor kemiskinan dan tingkat pendidikan masyarakat yang rendah. _______________________________ 41 42 43
30
Lihat World Bank 2005. Op. Cit. Lihat UNAIDS 2008.
| Permasalahan Otonomi Khusus di Aceh dan Papua; sebuah makalah inisiatif strategi
Kasus wabah malaria juga masih saja tinggi, yakni sebanyak 38,449 kasus. Jumlah ini merupakan nomor 2 tertinggi setelah NTT. Sekitar 60 persen kasus malaria berasal dari Papua, Papua Barat dan NTT. Angka kematian ibu hamil pun tidak menggembirakan. Di Papua, pada tahun 2005 angka kematian ibu hamil mencapai 647 per 100 ribu kelahiran (Dekes, 2006). Tingginya angka ini dikarenakan minimnya sarana dan infrastruktur kesehatan seperti bantuan medis dan pelayanan dasar lainnya selama masa kehamilan.
Satu Dekade Otonomi Khusus
Sementara di Papua Barat, jumlah anak usia di bawah lima tahun yang menderita busung lapar mencapai angka 31,2% pada tahun 2006. Kasus Yahukimo beberapa waktu lalu merupakan contoh insiden kelaparan. Salah satu penyebabnya adalah peralihan makanan pokok penduduk lokal dari sagu menjadi nasi sebagai makanan utama padahal ketersediaan beras di wilayah ini masih sangat terbatas dan sebagian besar harus didatangkan dari luar daerah.
Kotak 16. Indeks Pembangunan Manusia 2005-2008 73 73 71 70 69 68 67 66 65 64 63 62 61 60 59
71.17 69.6 68.7
69
INDONESIA
70.1 70.76
Aceh
69.4 67.97 Papua Barat 66.1
64.8 64
63.7
Papua
62.8 62.1 60.9
2005
2006
2007
2008 Sumber: Kementerian PP&PA
Papua masih saja menjadi kawasan termiskin dan terpencil dibandingkan dengan kawasan–kawasan di Indonesia lainnya. Potret Papua tidak hanya tertinggal dalam pembangunan fisik akan tetapi juga manusianya. Berbagai tuntutan masyarakat kerap dianggap sebagai pemberontakan dan ditangani secara represif, ketimbang dilihat sebagai masukan untuk mencari jalan keluar terbaik. Masyarakat pun akhirnya enggan “buka mulut� karena takut dicap pemberontak. Akses terhadap informasi sejatinya berperan penting dalam perkembangan dan pembangunan Papua. Sebagai pilar keempat demokrasi, media memiliki peran penting dalam melakukan edukasi politik sekaligus menjadi alat penyeimbang kekuasan. Dalam kondisi konflik, media memiliki peran menyampaikan pesan perdamaian. Media juga memiliki peran strategis dalam meningkatkan kesadaran dan partisipasi publik serta mendorong proses pembangunan.
Yayasan TIFA, Mei 2011 |
31
Satu Dekade Otonomi Khusus
Di Papua, keberadaan media hanya dapat dinikmati oleh sebagian kecil masyarakat menengah atas yang umumnya tinggal di perkotaan. Dengan total jumlah penduduk tidak lebih dari tiga juta jiwa, sebagian besar masyarakat tinggal di daerah–daerah 44 pegunungan dan lembah–lembah pesisir . Hanya sebagian kecil saja yang berdomisili di perkotaan. Di kota, stasiun televisi yang ada pun terbatas. Akses terhadap informasi semakin minim. Televisi ternyata menjadi sumber utama informasi mengenai otonomi 45 khusus . Sedangkan media cetak dan radio menempati urutan kedua dan ketiga. Keberadaan tabloid seperti Suara Perempuan Papua menjadi alternatif sarana advokasi hak anak–anak dan perempuan yang mampu memberikan satu perspektif yang 46 langka . Dengan jurnalisme berperspektif gender, tabloid ini mengawal idealisme meningkatkan suara perempuan dalam pembangunan di bumi Papua.
2.2.4 Rekonfigurasi Elit Politik Demokratisasi dalam satu dekade terakhir telah memberikan lanskap baru bagi kehidupan politik di bumi Cendrawasih. Hingga saat ini, Papua masih berada dalam “zona merah” yang mendapatkan perlakuan dan perhatian khusus terutama lewat kehadiran militer meski wilayah ini bukanlah daerah resmi operasi militer. Upaya–upaya mobilisasi massa dan separatisme sama sekali tidak ditolerir oleh pemerintah pusat. Kebebasan berekspresi dan berorganisasi diawasi secara ketat47. Kebebasan berpolitik hanya diakomodir pemerintah Indonesia dalam konteks NKRI. Seperti di wilayah–wilayah lain di Indonesia, melalui Pemilu dan Pilkada, peluang kontestasi politik masih terbuka. Peluang ini benar–benar digunakan oleh elit politik dan birokrasi lokal untuk berkompetisi mengelola pemerintahan dan sumber daya. Hasil pemilu legislatif 2009 menunjukkan peta politik Papua yang bergerak secara dinamis seiring dengan perubahan kultur pilihan politik masyarakatnya. Tidak ada lagi kekuatan politik yang dominan yang dulu mencengkeram wilayah timur Indonesia (Kompas, 17/6/2009). Golkar mengukuhkan diri sebagai pemenang pemilu di Papua Barat. Sementara di Provinsi Papua, suara Golkar dan Partai Demokrat berimbang. Padahal, berturut–turut dalam tiga pemilu terakhir, Golkar terus menurun perolehan suaranya. Perubahan pilihan warga Papua terhadap partai politik untuk tingkat DPR ternyata ikut menentukan wajah wakil rakyat. Mayoritas calon anggota legislatif yang terpilih adalah wajah–wajah baru. Dari sepuluh kursi yang tersedia untuk daerah pemilihan Provinsi Papua, enam kursi berhasil diraih oleh tokoh–tokoh baru. Hanya empat kursi yang dapat dipertahankan oleh tokoh–tokoh lama yang duluan populer dan malang melintang di tingkat nasional. Dalam pemilu legislatif 2009, dua kali lipat wajah baru dari dataran tinggi menduduki kursi legislatif provinsi Papua di Jayapura. _______________________________ 44 45 46
47
32
Lihat Hikoyabi 2009. Lihat Djojosoekarto, ed, 2008. Eksistensi TSSP hingga sekarang merupakan sebuah gejala yang unik dan anomali di tengah sulitnya media untuk dapat bertahan hidup secara umum. Lihat Chauvel (2010) dalam Aspinall dan Meitzner (2010).
| Permasalahan Otonomi Khusus di Aceh dan Papua; sebuah makalah inisiatif strategi
Kotak 17. Komposisi Kursi di DPR RI
Partai Kebangkitan Bangsa 10%
Partai Hanura 10% Partai Golkar 30%
Partai Amanat Nasional 10%
Partai Golkar 66.67%
Satu Dekade Otonomi Khusus
PDI Perjuangan 10%
Partai Demokrat 33.33%
Partai Demokrat 30%
PAPUA ( Total: 10 Kursi )
PAPUA BARAT ( Total : 3 Kursi ) Sumber: KPU, 2009
Lanskap politik lokal diwarnai dengan perkembangan baru, yakni munculnya tokoh–tokoh dari pegunungan dalam panggung politik (Chauvel dalam Aspinall dan Mietzner, 2010). Mayoritas masyarakat Papua memang tinggal di wilayah dataran tinggi. Namun secara historis, jarang dari mereka yang menduduki jabatan–jabatan strategis di pemerintahan. Sementara posisi penting dalam pemerintahan didominasi oleh elit dari kawasan pantai. Dalam Pilkada Papua 2006, Barnabas Suaebu menang tipis 31,4% dari Lukas Enembe 29,6%, kandidat gubernur pertama yang berasal dari 48 dataran tinggi . Padahal, Lukas Enembe termasuk tokoh baru yang tidak terlalu dikenal dalam pentas politik. Sementara, tiga kandidat wakil gubernur lainnya berasal dari pegunungan, termasuk wakil Suaebu. Pada tahun 2007, Enembe memenangkan Pilkada Puncak Jaya dengan mengalahkan tokoh dari kepulauan. Wilayah pegunungan kerap diidentikkan sebagai basis pendukung kelompok– kelompok separatis. Tokoh–tokoh OPM sebagian besar berasal dari tempat ini, terutama Wamena yang merupakan pusat konflik antara kelompok separatis dengan pemerintah pusat. Kemenangan tokoh–tokoh baru dari pegunungan juga terjadi di beberapa kabupaten lainnya. Politik Papua kini tidak lagi dikuasai oleh elit dari Jayapura. Kultur Papua memang paternalistik dengan kuatnya tradisi lokal. Identitas dan loyalitas terhadap partai sering dipertanyakan seiring dengan fragmentasi politik yang beragam. Faktor etnisitas dan identitas nyatanya jauh lebih penting sebagai preferensi pemilih ketimbang platform atau program kebijakan yang ditawarkan oleh partai politik. Loyalitas kepada partai politik karenanya sangat kecil. Di sisi lain, dinamika politik lokal ini juga menunjukkan kecenderungan pemilih untuk mencoba hal–hal yang baru. _______________________________ 48
Lihat Chauvel 2010.
33
Tantangan dan Relevansi
untuk Program
III. Tantangan dan Relevansi untuk Program
HAMPIR satu dasawarsa implementasi otonomi khusus di Aceh dan Papua, masih saja banyak masalah yang terjadi di sana–sini. Hal ini merupakan tantangan yang harus dipecahkan dan terus dicari jalan keluarnya agar otonomi khusus dapat terwujud seperti apa yang dicita–citakannya semula. Dari berbagai pustaka yang ditelaah, sebagian besar dari kajian–kajian tersebut mencoba mengatasi persoalan–persoalan tertentu secara spesifik. Tantangan & Relevansi untuk Program
Di Aceh, misalnya, sebagian besar isu mengarah pada persoalan bantuan, perda syariah dan korupsi, sementara pentingnya rekonsiliasi paska konflik nyaris tidak muncul ke permukaan. Sebaliknya, Papua masih sarat didominasi isu HAM, sementara persoalan media nyaris belum mendapatkan perhatian. Hasilnya masalah yang terkotak–kotak, seakan berdiri sendiri–sendiri. Padahal kompleksitas masalah yang terjadi selama pelaksanaan otonomi khusus saling berkaitan dan memerlukan sinergi beragam upaya pada isu–isu, tematik maupun sektor lainnya. Untuk itu, fokus tantangan akan dibahas ke dalam tiga isu utama, yakni (i) akses untuk keadilan dan hak asasi manusia, (ii) media dan kebebasan informasi, serta (iii) demokrasi dan tata kelola pemerintahan. Diharapkan pembagian isu ini menjadi “nilai lebih” sebagai pendekatan dalam rangka mendorong implementasi otonomi khusus yang lebih baik ke depan.
3.1. Akses untuk Keadilan dan Hak Asasi Manusia Hak-hak manusia sebagaimana termaktub dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, pada dasarnya merupakan hak-hak dasar warga negara yang harus dihormati, dilindungi dan dipenuhi oleh negara dan siapapun rezim yang berkuasa. Hak-hak kebebasan rakyat untuk (freedom to) berpendapat, berserikat dan berkumpul sehubungan dengan aktivitas politik atau hak-hak sipil dan politik (sipol) dijamin secara jelas dalam konstitusi. Penguasa dalam struktur pemerintahan tidak diperbolehkan untuk mengganggu atau mengintervensi aktivitas politik warga. Sementara hak–hak ekonomi, sosial dan budaya (ekosob) muncul seiring dengan meningkatnya tuntutan seputar pemenuhan hak rakyat, untuk terbebas dari (freedom from) segala perlakuan ketidakadilan dalam kehidupan. Negara dituntut untuk
35
berperan aktif dalam melindungi hak ekonomi agar warga terbebas dari kemiskinan, hak sosial agar warga terbebas dari segala bentuk diskriminasi maupun penindasan, dan hak budaya agar warga terbebas dari segala bentuk kebodohan. Indonesia telah meratifikasi Kovenan Internasional Hak–Hak Sipil dan Politik (International Convention on Civil and Political Rights) dalam UU No 12/2005. Demikian pula Kovenan Internasional tentang Hak–Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (International Convenant on Economic, Social and Cultural Rights) telah disahkan dalam UU No 11/2005. Namun hingga saat ini, berbagai bentuk pelanggaran terhadap hak sipol dan ekosob masih saja berlangsung.
Tantangan & Relevansi untuk Program
Di Aceh, upaya menjaga perdamaian paska konflik berkepanjangan menutup peluang untuk mengungkapkan berbagai bentuk pelanggaran HAM serius yang terjadi semasa konflik, terutama pada saat beroperasinya Daerah Operasi Militer (DOM). Upaya menyembuhkan luka masa lalu, mengungkap kebenaran dikhawatirkan hanya akan mengganggu proses perdamaian. Akibatnya, akses keadilan bagi korban belum juga bisa terpenuhi. Korban–korban yang mengalami trauma, tidak seketika sembuh dari luka dan traumanya. Sejumlah kalangan, terutama dari NGO berusaha untuk mendorong penuntasan berbagai kasus pelanggaran HAM sebagai bagian dari pengungkapan kebenaran dan jalan rekonsiliasi namun upaya–upaya ini masih jauh dari kenyataan.
Kotak 18. Satu Dekade Otonomi Khusus Aceh Isu
? ? ? ? ?
Korupsi Perda Syariah Kemiskinan Pemekaran Rekonfigurasi elit baru
? ? ? ? ? ?
Konflik Kemiskinan Dana Otsus Pemekaran Pelayanan publik Rekonfigurasi elit baru
Masalah
? ? ? ? ?
Kapasitas pemerintah Supremasi hukum Kemiskinan Partisipasi masyarakat Pemilihan umum
? ? ? ? ? ?
Konflik Kemiskinan Kapasitas pemerintah Partisipasi masyarakat Akses informasi Pemilihan umum
Implikasi
? Penyalahgunaan kewenangan ? Kepastian hukum ? Minimnya transparansi dan
akuntabilitas ? Lemahnya perencanaan dan
penganggaran ? Terpuruknya kesejahteraan ?
36
Papua
masyarakat Peluang perubahan pada elit baru
? Kekerasan ? Pelanggaran HAM ? Hilangnya kebebasan
berekspresi ? Marjinalisasi ? Terpuruknya layanan publik ? Minimnya transparansi dan
akuntabilitas ? Lemahnya perencanaan dan
penganggaran terpuruknya kesejahteraan masyarakat ? Peluang perubahan pada elit baru
| Permasalahan Otonomi Khusus di Aceh dan Papua; sebuah makalah inisiatif strategi
Munculnya beberapa Perda (qanun) di Aceh menimbulkan pro dan kontra karena dinilai bertentangan dengan prinsip keadilan dan kesetaraan, ataupun tumpang tindih dengan hukum nasional. Hingga saat ini, Undang–Undang Syariah (Qanun Jinayah) belum ditandatangani oleh pihak eksekutif, sehingga hukum nasional (KUHP) sesungguhnya masih menjadi acuan bagi sistem peradilan pidana. Meningkatnya kesadaran publik terhadap terhadap mekanisme UU Syariah terutama berhubungan dengan banyaknya pelanggaran atau penyalahgunaan kriminal yang dilakukan oleh Polisi Syariah. Selain itu, pemerintah daerah juga dinilai lamban dalam menyusun peraturan–peraturan lokal. Sepanjang kurun waktu tiga tahun, legislatur hanya mampu menghasilkan 20–30% dari target produk hukum yang harus dihasilkan dalam setahun.
Tantangan & Relevansi untuk Program
Kaum perempuan dan kelompok minoritas belum mendapatkan akses dan perlakuan yang setara. Sorotan terhadap isu–isu perempuan menjadi fokus utama selama proses rekonstruksi dan rehabilitasi karena kehadiran LSM internasional dan donor, namun memudar seiring dengan kepergian mereka dari Aceh. Dominasi nilai–nilai agama dan kultur patriarki yang kuat tidak memungkinkan perempuan untuk mendapatkan akses dan ruang yang lebih luas, terutama dalam politik dan partisipasi pembangunan. Isu–isu tentang perempuan cenderung dipandang sebagai produk impor dari Barat. Isu kelompok minoritas menyeruak seiring dengan tuntutan pemekaran provinsi Aceh Leuser Antara (ALA) dan Aceh Barat Selatan (ABAS) yang didominasi Suku Gayo dan Alas serta para transmigran dari Jawa. Semasa konflik, dukungan terhadap GAM di daerah tersebut sangat minim. Bagi para pihak yang kontra dengan ALA dan ABAS, tuntutan pemekaran ini dinilai sebagai upaya merusak perdamaian di Aceh. Namun, bagi kelompok yang mendukung, pemekaran ALA dan ABAS merupakan tuntutan yang harus direalisasikan, karena selama ini janji–janji Provinsi Aceh untuk memakmurkan dan menyejahterakan masyarakat ALA dan ABAS tidak kunjung terwujud. Daerah ini kaya akan sumber daya alam, namun masyarakatnya masih saja tertinggal. Tuntutan pembentukan Provinsi ABAS dan ALA pada dasarnya didukung Undang Undang yang berlaku, termasuk Pasal 5 dan 8 UU Pemerintahan Aceh. Rencana pembentukan Provinsi ABAS sudah dimulai sejak April 2003 dan Provinsi ALA sejak 1999, sehingga tidak ada kaitannya dengan Nota Kesepahaman Helsinki yang lahir 15 Agustus 2005. Gubernur Aceh, Irwandi Yusuf terang–terangan menentang tuntutan pemekaran karena program konservasi hutan yang berada di dalam wilayah ALA/ABAS. Tingginya angka kemiskinan menjadi tantangan besar bagi pemenuhan hak–hak ekosob. Pemerintah berkewajiban berupaya membebaskan warganya dari belenggu kemiskinan. Angka kemiskinan di Aceh yang masih relatif tinggi, menunjukkan masih belum maksimalnya upaya pemerintah dalam memenuhi kebutuhan hak dasar warganya. Meskipun kemiskinan dan ketertinggalan merupakan salah satu alasan pemerintah memperjuangkan otonomi khusus.
37
Kotak 19. Peta Wilayah Gerakan ALA/ABAS
Tantangan & Relevansi untuk Program
Peta 1. Area yang termasuk dalam provinsi baru ALA
Peta 2. Area yang termasuk dalam provinsi baru ABAS
Peta 3. Area provinsi NAD jika ALA dan ABAS dibentuk
Di Papua, kondisi pemenuhan HAM memerlukan perhatian yang lebih serius. Kendati pemerintah Indonesia tidak secara resmi menetapkan Papua sebagai daerah operasi militer, namun banyaknya personil keamanan menjadi fenomena sehari–hari. Angka kekerasan dan pelanggaran HAM masih tinggi dan tentu saja, diikuti oleh ketakutan dan trauma yang mendalam. Konflik tidak saja terjadi secara vertikal antara warga atau gerakan separatis dengan aparat keamanan, akan tetapi juga disertai oleh pertikaian horisontal. Konflik antar suku timbul tenggelam dengan intensitas yang cukup tinggi. Secara politik, terjadi realitas ganda di bumi Cendrawasih. Gerakan nasionalisme Papua ditekan habis–habisan. Sejauh terkait dengan isu separatisme, pemerintah pusat sama sekali tidak memberikan toleransi. Upaya menyampaikan pendapat, diskusi, berorganisasi atau bahkan mobilisasi massa, sama sekali tidak diberi ruang sedikitpun49. Namun, sebaliknya dalam prosedur demokratis, hak–hak sipil dan politik diwadahi melalui Pemilu dan Pilkada, meski tetap dengan pengawasan keamanan yang ketat. Tanpa ada upaya penyelesaian konflik yang jelas dan berkelanjutan, maka rakyat kecil rentan menjadi korban. Di Papua, kondisi pemenuhan hak ekosob masih sangat memprihatinkan dibandingkan dengan daerah–daerah lain di Indonesia. Mayoritas warga bumi Cendrawasih hidup dalam kemiskinan. Akses terhadap pendidikan, kesehatan dan pelayanan publik lainnya juga masih mengecewakan. Di saat bersamaan, perusahaan baik nasional _______________________________ 49
38
Human Rights Watch banyak mendokumentasikan kasus-kasus pelanggaran yang terjadi di Papua. Pada 2007, Human Rights Watch (2007) mencatat setidaknya 18 orang ditahan di penjara karena melakukan aksi menuntut kemerdekaan secara damai. Pada November 2009, Human Rights Watch (2009) memperkirakan lebih dari 170 orang masuk penjara karena aksi yang sama, terutama di Papua dan Maluku.
| Permasalahan Otonomi Khusus di Aceh dan Papua; sebuah makalah inisiatif strategi
maupun multinasional mendapatkan hak–hak istimewa mendulang kekayaan hasil–hasil bumi Papua. Konflik antara perusahaan dan warga lokal kerap terjadi, namun warga senantiasa menjadi pihak yang kalah. Hak–hak adat dan ulayat diterjang oleh perusahaan tanpa menghiraukan kearifan lokal dan daya dukung lingkungan. Secara khusus, kaum perempuan menjadi kelompok yang paling terpinggirkan. Masyarakat Papua merupakan rumpun Melanesia yang secara etnis, kultur dan sosial berbeda dengan mayoritas penduduk Indonesia umumnya yang berasal dari rumpun Melayu. Sebanyak 312 suku dan 250 bahasa yang tersebar merupakan salah satu kekayaan keragaman yang jarang dijumpai tandingannya di dunia. Namun, eksistensi masyarakat Papua sebagai rumpun Melanesia seakan diingkari oleh pemerintah Indonesia50 . Pendekatan pro–aktif dapat dilakukan dengan mempromosikan pentingnya pemahaman atas HAM melalui pendidikan bagi berbagai lapisan kelompok masyarakat. Mekanisme perlindungan hak asasi harus terus diperkuat melalui kerjasama dengan lembaga–lembaga terkait seperti kejaksaan, kehakiman, Komisi Hak Asasi Manusia, Komisi Ombudsman, ataupun media massa. Tantangan & Relevansi untuk Program
Untuk itu, dokumentasi terhadap berbagai kasus pelanggaran HAM di kedua wilayah tersebut menjadi penting dan perlu sebagai alat advokasi nantinya sembari terus melakukan lobi–lobi kepada pemerintah dan parlemen untuk perubahan kebijakan. Sejalan dengan itu, penguatan kapasitas bagi masyarakat sipil dan kelompok– kelompok pembela HAM sebaiknya ditingkatkan untuk memungkinkan adanya pemantauan, evaluasi dan advokasi terus menerus.
3.2. Media dan Kebebasan Informasi Dalam jagad modern, akses terhadap informasi dan media sangat dibutuhkan publik. Hak atas informasi sangat fundamental dalam kerangka negara demokratis. Tanpa akses informasi yang memadai, masyarakat tidak dapat berpartisipasi aktif dalam pengambilan kebijakan yang mendukung akuntabilitas dan transparansi pembangunan. Prinsip keterbukaan informasi diatur melalui Undang–Undang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP) No 14/2008 sebagai kewajiban penyelenggara negara. Melalui UU ini, masyarakat diharapkan dapat mengakses informasi terkait dengan hak–hak mereka. Di Aceh, media massa didominasi oleh media cetak. Beberapa media elektronik seperti televisi dan radio mengudara namun dengan jangkauannya yang terbatas. Dalam kurun waktu lima tahun terakhir, Aceh mengalami lompatan besar konsumsi media internet. Bencana tsunami pada 2004 membuat Aceh mudah diakses dan mengakses dunia luar. _______________________________ 50
Kejaksaan Tinggi Yogyakarta menarik buku berjudul Tenggelamnya Rumpun Melanesia: Pertarungan Politik NKRI di Papua Barat dari peredaran. Buku itu dianggap mengulas perjuangan politik ras Melanesia di Papua yang mengancam keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Lihat di http://www.vhrmedia.com/vhrnews/berita-detail.php?.g=news&.s=berita&.e=1586
39
Kebebasan berekspresi pun terbuka lebar. Masyarakat tidak lagi mendapat halangan untuk menyampaikan aspirasinya, mulai dari pamflet hingga blog digunakan untuk menyuarakan pendapat pribadi maupun pandangan–pandangan kelompok dan lembaga. Media massa pun semakin kritis terhadap pemerintah. Kondisi ini tentu sangat berbeda dengan situasi di masa konflik. Situasi ini merupakan periode pertumbuhan media paska sedemikian lama dikendalikan oleh pemerintah di masa konflik. Kapasitas jurnalis lokal memerlukan peningkatan keterampilan dan profesionalisme jurnalistik. Jaringan institusi pers pun masih perlu dibangun. Belakangan pemerintah Aceh nampaknya mulai terganggu oleh berbagai isu di media. Isu yang sedang hangat di Aceh saat ini adalah soal sensor. Pertama, Gubernur mengajukan gugatan hukum terhadap penulis, Renvanda (bukan nama asli) yang menulis cerita pendek berjudul “Surat Buat Darwati”51 di Harian Aceh, (3/1/10). Kebijakan redaksinya dinilai anti terhadap pemerintah ketimbang dengan kompetitornya, Serambi. Darwati adalah nama istri Gubernur.
Tantangan & Relevansi untuk Program
Kedua, rancangan qanun (raqan) Isi Program dan Penyiaran yang disebut Qanun Pers Islami. Draft qanun ini dikhawatirkan dijadikan alat menyensor aktivitas pers yang kritis terhadap pemerintah hanya dengan label “tidak Islami”. Meski terlambat cemas karena rancangan qanun sesungguhnya menggunakan argumen UU Pemerintah Aceh sendiri (Pasal 153 ayat 1), Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Banda Aceh mengecam
Kotak 20. Basis Hukum untuk Qanun Isi Program dan Penyiaran UU no.11/2006 Pasal 153 Ayat (1): Yang dimaksud dengan kewenangan dalam menetapkan ketentuan di bidang pers dan penyiaran adalah menjaga isi atau sirkulasi produk pers dan penyiaran untuk tidak bertentangan dengan nilai Islam.
Berbeda dengan Aceh, nasib Papua jauh berbeda. Media massa di Papua hanya dapat dinikmati oleh segelintir masyarakat kalangan menengah ke atas yang umumnya tinggal di perkotaan. Televisi menjadi sumber informasi utama diikuti oleh media cetak dan radio. Bila Aceh mengundang perhatian dunia internasional pasca bencana tsunami 2004, akses informasi untuk Papua masih minim, terlebih soal penegakan HAM. Medan Papua yang berat dan infrastruktur yang terbatas menuntut ongkos produksi media dan biaya operasional yang tinggi. Keadaan ini menyulitkan media lokal untuk bisa bertahan hidup dan menjamin kelangsungan produksinya. Gaji pekerja media yang relatif rendah, kontras dengan biaya hidup yang tinggi, apalagi ditambah dengan kondisi sosial politik yang rawan, membuat pekerja media harus senantiasa berhitung untuk menjalankan tugas jurnalistiknya di Papua.
_______________________________ 51
40
Lihat artikel di http://blog.harian-aceh.com/surat-buat-darwati.jsp/comment-page-2
| Permasalahan Otonomi Khusus di Aceh dan Papua; sebuah makalah inisiatif strategi
Pemberitaan tentang peristiwa kekerasan di Papua mulai dari kasus penembakan di PT Freeport, kelaparan di Yakuhimo hingga penangkapan orang–orang yang mengibarkan bendera Bintang Kejora timbul tenggelam. Informasi semacam ini masih kalah jumlahnya bila dibandingkan dengan materi pemberitaan yang lain. Karenanya, penting kiranya mendorong peran media untuk bisa terus memasok informasi secara kontinyu. Jurnalis menjadi ujung tombak media di Papua. Eksistensi media lokal di Aceh dan Papua harus terus diperkuat. Media yang profesional merupakan komponen penting dalam menjaga kelangsungan demokrasi. Sebagai kekuatan keempat (fourth estate), media merupakan penjaga gawang demokrasi, penyeimbang kepentingan umum sekaligus pengawas pemegang kekuasaan. Dengan fungsinya yang menyebarluaskan informasi, media memberikan sumbangan positif terhadap upaya memajukan tata kelola pemerintahan yang terbuka dan bertanggung–gugat. Media juga dapat menjadi peredam konflik di dalam masyarakat manakala pemberitaan–pemberitaannya dilandasi standar profesional, sumber daya keuangan yang memadai dan kepatuhan kepada kode etik jurnalistik. Media dapat berkontribusi dalam rekonsiliasi masyarakat, mengubah persepsi yang salah dan membangun rasa saling pengertian. Tantangan & Relevansi untuk Program
Selain media konvensional, musik, film, seni dan sastra merupakan media non konvensional yang memiliki peran strategis dalam masyarakat yang majemuk. Musik, tarian dan film yang umumnya dipentaskan sebagai hiburan, sejatinya merupakan saluran komunikasi tersendiri. Kesenian dan kesusasteraan juga menyampaikan pesan–pesan kemanusiaan yang memiliki implikasi sosial, memuat nilai–nilai toleransi serta hubungan antar masyarakat. Di Papua yang masyarakatnya majemuk, media non-konvensional dapat digunakan sebagai ruang interaksi bagi masyarakat untuk berkumpul berdasarkan kesamaan kepentingan dan saling menghargai. Musik, film, seni dan sastra bisa membangun fondasi kesamaan berpijak, memfasilitasi hubungan antar masyarakat, membangun kepercayaan dan kesadaran bersama, serta sebagai upaya meredam konflik. Sedangkan media konvensional, seperti televisi, media cetak dan radio, dapat memperluas program–program yang berisi dialog sebagai jalan penyelesaian masalah, ketimbang kekerasan.
3.3. Demokrasi dan Tata Pemerintahan Kendati praktik desentralisasi sangat beragam, tergantung situasi dan kondisi yang tidak sama sekaligus dengan capaian yang beragam, namun secara umum terdapat pola yang sama. Grindle (2007) mencatat empat proposisi tersebut yakni (i) kompetisi kinerja politik dalam pemilihan umum, (ii) inovasi daerah dari para pemimpinnya, (iii) modernisasi dalam sektor pelayanan publik dan (iv) aktivisme masyarakat sipil dalam mendukung akuntabilitas. Dalam konteks Aceh dan Papua, proposisi Grindle tidak dapat digunakan seluruhnya dikarenakan; pertama, kompetisi kinerja politik dalam pemilihan umum masih
41
mengikuti kecenderungan patrimonial seperti di wilayah–wilayah Indonesia pada umumnya. Preferensi pemilih dalam menentukan pilihannya belum ditentukan oleh pilihan rasional, prestasi atau program–program yang ditawarkan oleh calon, akan tetapi lebih disebabkan oleh faktor lain seperti primordialisme atau balas budi52. Harus diakui, secara prosedur minimal, pemilihan umum baik pemilu legislatif, presiden dan pemilihan kepala daerah memang berjalan relatif lancar. Meskipun, kapasitas institusi penyelenggara KPU seringkali mendapat gugatan dari masyarakat setempat karena banyak kekacauan yang terjadi di sana–sini. Di Aceh, kekerasan secara sporadis terjadi menjelang pemilu 2009 namun tidak berpengaruh besar terhadap proses perdamaian. Sementara di Papua, intensitas kekerasan masih cukup tinggi.
Tantangan & Relevansi untuk Program
Penandatanganan Nota Kesepahaman Helsinki tidak hanya menciptakan proses perdamaian yang kondusif namun juga turut membuka peluang berdirinya partai lokal. Meski Partai Aceh menempati posisi mayoritas di parlemen maupun eksekutif, dominasi tersebut belum tentu menjadi dukungan penuh bagi gubernur untuk mengimplementasikan kebijakan publik. Selain itu, seperti wajah parlemen umumnya, anggota parlemen baru Aceh masih belum berpengalaman dalam mengelola pemerintahan. Kinerja partai politik nasional di kedua daerah pun layak dipertanyakan. Jika di Aceh, Partai Aceh menang telak karena pendiriannya memiliki sejarah tersendiri, maka di Papua kondisinya sangat cair. Loyalitas pemilih ataupun kader partai justru sangat lemah. Kedua, sejauh ini belum nampak inovasi kebijakan dalam pelaksanaan otonomi khusus. Gagasan, program, keahlian dalam kepemimpinan dan pilihan–pilihan kebijakan yang strategis, nampaknya belum digunakan secara optimal untuk mendorong reformasi kebijakan. Di Papua, Gubernur Suaebu mencoba membuat terobosan untuk membangun Papua Baru dengan program Respek. Namun program ini pun tidak luput dari masalah korupsi, sebagaimana dilaporkan BPK. Hasilnya, diakui oleh Suaebu sendiri, belum maksimal. Di Aceh kurang lebih senada. Gubernur Irwandi mencanangkan program inovasi Aceh Green. Ketegangan muncul antara Gubernur dengan beberapa Bupati dalam pengelolaan dan bagi hasil sumber daya khususnya yang berkaitan dengan dana otonomi khusus. Munculnya Gerakan ALA/ABAS tak lepas dari kontrol atas penguasaan sumberdaya hutan. Kondisi ini diperburuk dengan ulah beberapa oknum mantan pemimpin GAM yang memburu rente komisi di proyek–proyek pemerintah daerah. Rekonfigurasi aktor–aktor baru semestinya membuka peluang lebar bagi daerah untuk melakukan lebih banyak terobosan. Payung hukum, otonomi khusus memberikan peluang luas bagi para pemimpin lokal untuk melakukan inovasi demi memajukan _______________________________ 52
42
Lihat Palmer dan Chauvel dalam Aspinall dan Mietzner 2010.
| Permasalahan Otonomi Khusus di Aceh dan Papua; sebuah makalah inisiatif strategi
daerahnya. Namun ibarat pedang bermata dua, aktor–aktor baru bisa pula berperilaku seperti para pendahulunya, atau bahkan lebih buruk karena minimnya pengetahuan, keahlian dan pengalaman dalam mengelola pemerintahan. Untuk itu, mengawal aktor–aktor baru dalam kepemimpinannya membutuhkan kerjasama yang kuat dari berbagai pihak. Ketiga, belum nampak kinerja untuk membangun kapasitas, reorganisasi kelembagaan, dan mendesain kembali kebijakan agar pelayanan publik dapat ditingkatkan menjadi lebih baik. Hampir satu dasawarsa Otonomi Khusus, tata kelola pemerintahan masih belum berjalan efektif. Birokrasi yang relatif baru cenderung mengedepankan apologi, belum membawa pengetahuan yang memadai dalam perencanaan dan pembangunan daerah. Padahal dana yang diberikan tidak sedikit dan seringkali lebih banyak dihabiskan untuk kepentingan birokrasi sendiri. Terbitnya Undang–undang No. 21 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik yang menegaskan partisipasi masyarakat dalam pembuatan kebijakan belum dapat diimplementasikan dengan baik.
Tantangan & Relevansi untuk Program
Keempat, kesamaan di Aceh dan Papua terlihat dari aktivisme kelompok–kelompok masyarakat sipil dalam mendorong akuntabilitas. Masyarakat semakin sadar bahwa otonomi khusus merupakan peluang besar untuk memajukan daerah. Masyarakat mulai aktif menuntut hak–hak mereka sebagai warga negara dan janji–janji otonomi khusus yang tak kunjung membuahkan hasil yang memadai. Meski persoalan otonomi khusus cukup kompleks, namun dimensinya dapat dibedah menjadi lima pokok utama, yakni; (i) desentralisasi fiskal, (ii) desentralisasi sektoral, (iii) manajemen sumber daya alam dan lingkungan, (iv) politik lokal, struktur dan kelembagaan, serta (v) pembangunan ekonomi dan pengentasan kemiskinan.
Tabel 4. Kerangka Mekanisme Manfaat di Lima Dimensi Efisiensi Meningkat
Tatakelola Pemerintahan Lebih Baik
Aceh
+
+
o
Papua
o
o
+
Aceh
+
+
o
Papua
o
o
o
Manajemen sumber daya alam dan lingkungan
Aceh
o
o
o
Papua
o
o
o
Politik lokal, struktur dan proses kelembagaan
Aceh
o
o
+
Papua
+
o
+
Pembangunan ekonomi lokal dan pengentasan kemiskinan
Aceh
+
o
+
Papua
o
o
o
Desentralisasi Fiskal
Desentralisasi Sektoral
Keterangan : ++ sangat positif - sangat negatif
Kesetaraan Meningkat
+ positif o stagnan - - negatif
43
Dengan kerangka di atas, kita dapat membaca kinerja otonomi khusus di Aceh dan Papua53. Sulit dipungkiri, apa yang terjadi di Aceh dan Papua merupakan anomali. Sejauh ini, tidak banyak yang bisa dibanggakan sebagai capaian otonomi khusus di kedua wilayah istimewa tersebut. Pertama, proses desentralisasi fiskal di masa otonomi khusus relatif tidak menemui masalah hukum dengan pemerintah pusat. Dalam besaran nominal, Aceh dan Papua menerima bagian yang signifikan dibandingkan daerah lain di Indonesia. Kendala memang selalu ada misalnya terlambatnya jadwal transfer keuangan dari pemerintah pusat.
Tantangan & Relevansi untuk Program
Kedua, desentralisasi sektoral merupakan transfer kewenangan pengambilan kebijakan pada sektor–sektor pelayanan publik yang spesifik dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah terutama lembaga di tingkat lokal yang secara mandiri mengelolanya. Sektor tersebut antara lain menyangkut penyediaan infrastruktur, pelayanan kesehatan, pendidikan dasar, air bersih, sanitasi dan lain–lainnnya sesuai dengan kebutuhan daerah. Karut–marut pelayanan sektor publik di Aceh dan Papua menunjukkan desentralisasi sektoral masih belum berjalan optimal dan memberikan manfaat bagi masyarakat luas. Ketiga, partisipasi publik secara luas dalam tata kelola pemerintahan termasuk upaya–upaya untuk menjaga daya dukung lingkungan seperti hutan, tanah dan perairan juga masih minim. Sebaliknya, warga asli Papua justru makin tercerabut dari alam lingkungannya terutama dengan beroperasinya perusahaan multinasional maupun nasional. Di Aceh, pengelolaan sumberdaya alam menjadi rebutan upaya pemekaran provinsi ALA/ABAS kontroversial dengan proyek Gubernur untuk pengelolaan hutan. Keempat, desentralisasi politik tidak semata melakukan transfer kewenangan, tanggung jawab dan sumber daya secara vertikal dari pusat ke daerah. Lebih dari itu, desentralisasi diharapkan mampu mengembangkan jaringan horisontal antara pemerintah dengan pemerintah maupun antara pemerintah dengan aktor–aktor non pemerintah seperti kalangan bisnis dan masyarakat sipil. Kerjasama ini penting untuk memobilisasi sumber daya bagi pembangunan daerah setempat, mendorong akuntabilitas politik lokal serta memantau kinerja pemerintahan. Desentralisasi politik di Aceh dan Papua terkesan sekedar transfer kewenangan dari elit pusat kepada elit daerah. Munculnya elit–elit baru di provinsi ujung barat dan ujung timur Indonesia itu sejatinya membuka peluang transformasi yang lebih besar. Sayangnya, kecenderungan tradisi patron dan budaya demokrasi patrimonial telah menghalang–halangi peluang _______________________________ 53
44
Kinerja otonomi khusus dapat diukur baik secara kualitas maupun kuantitas. Penilaian yang digunakan oleh penulis dilakukan secara kualitatif dengan menganalisisnya dari studi literatur yang ada. Hasilnya akan lebih valid jika dilakukan cross-check dengan penerima manfaat otonomi khusus secara langsung dan dengan menggunakan metodologi yang lebih ketat. Survei persepsi publik terhadap otonomi khusus Papua yang dilakukan Kemitraan untuk Reformasi Tata Kelola Pemerintahan (Partnership for Governance Reform) menghasilkan temuan senada. Berkenaan dengan pelaksanaan otonomi khusus, 81,63% responden menjawab tidak puas dan kurang puas, 16,3% menjawab cukup puas, sementara hanya 2% yang menjawab puas.
| Permasalahan Otonomi Khusus di Aceh dan Papua; sebuah makalah inisiatif strategi
Kelima, melalui otonomi khusus, daerah dapat menentukan arah dan nasibnya sendiri. Pemerintah daerah menjadi pemain utama dalam menyediakan kebutuhan publik sekaligus memfasilitasi aktor–aktor yang lain, dunia usaha, pekerja, dan LSM agar dapat lebih produktif. Daerah sendiri pula yang menentukan jalannya pembangunan dan upaya–upaya untuk meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan. Keberhasilan daerah tergantung kepada bagaimana pemerintahnya mampu memobilisasi warga, swasta dan lembaga non-profit untuk bersinergi dalam menjalankan pembangunan. Secara moderat, penilaian otonomi khusus di wilayah–wilayah ini adalah ada kinerja, namun masih jauh dari apa yang diharapkan.
Tantangan & Relevansi untuk Program
Keenam, skala pemekaran memiliki pengaruh langsung terhadap hasil–hasil otonomi khusus. Pemekaran di skala kabupaten masih mempunyai kesempatan berhasil yang lebih besar daripada skala provinsi. Kecemasan akan munculnya raja–raja kecil di tingkat kabupaten memang ada dan terbukti, namun ada pula kasus–kasus dimana kabupaten yang dimekarkan berhasil meningkatkan kesejahteraan daerahnya. Capaian–capaian ini terkait dengan derajat keikutsertaan langsung masyarakat. Tentu saja semakin tinggi tingkat pemerintahan, semakin besar jarak masyarakat dengan para pemimpin dan wakil–wakilnya. Prinsip demokrasi keterwakilan ini berdampak langsung kepada tingkat kesuksesan implementasi program pembangunan kesejahteraan apapun.
Tabel 5. Kerangka Mekanisme Manfaat di Empat Tingkat Pemerintahan
Pemekaran Desa Pemekaran Kecamatan Pemekaran Kabupaten Pemekaran Provinsi
Efisiensi Meningkat
Tatakelola Pemerintahan Lebih Baik
Kesetaraan Meningkat
++ + + –
++ + o -
+ o o o
Keterangan : ++ sangat positif + positif
o stagnan
- sangat negatif
- - negatif
GDP Regional per-Kapita ( Rp Juta )
Kotak 21. Perbandingan GDP antara Aceh, Papua dan Papua Barat
Sumber: World Bank, 2009
45
Baik Aceh maupun Papua sama–sama memiliki kinerja kepemimpinan tingkat provinsi yang memburuk setelah dilaksanakannya otonomi khusus. Kesenjangan sosial–ekonomi masyarakatnya tidak membaik secepat yang diharapkan. Meski ukuran pendapatan ketiga provinsi tersebut berada di atas pendapatan rata–rata nasional (lihat kotak di atas). Agar tata pemerintahan bisa berjalan lebih efektif, pemerintah dan warga masyarakat diharapkan dapat; (i) meningkatkan akuntabilitas sistem pemerintahan, (ii) mendorong partisipasi publik dan memastikan seluruh warga mendapatkan hak dan pelayanan memadai yang sama, (iii) mendorong aktor–aktor baru dan forum–forum warga yang dapat menjadi saluran dialogis antara masyarakat dengan pemerintah sekaligus media untuk menilai kinerja pemerintahan. Harapan pelaksanaan otonomi khusus tidak lepas dari keinginan mulia upaya pengentasan kemiskinan, peningkatan kesejahteraan dan pembangunan berkelanjutan yang memihak warga miskin, kaum rentan dan mereka yang terpinggirkan.
Tingkat Kemiskinan ( % )
Tantangan & Relevansi untuk Program
Kotak 22. Tingkat Kemiskinan di Aceh, Papua Barat dan Papua (2000-2008)
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
Sumber: World Bank, 2009
Kemiskinan di Aceh, Papua Barat dan Papua memang kelihatannya menurun dalam beberapa tahun terakhir ini akibat pertumbuhan ekonomi ( lihat Kotak-22 ). Disatu sisi, pertumbuhan merupakan hal yang baik. Di lain pihak, masalah kesenjangan kemiskinan antara daerah perkotaan dan perdesaan menjadi semakin penting. Jika dilihat dari Kotak-23, terdapat perbedaan antara pengurangan tingkat kemiskinan yang terjadi di ketiga provinsi. Kesenjangan kemiskinan antara perdesaan dan perkotaan di Aceh menurun selama enam tahun terakhir, sementara di Papua Barat dan Papua, kesenjangan ini justru meningkat. Keadaan ini mengindikasikan bahwa kebijakan ekonomi di Papua Barat dan Papua masih belum berpihak kepada masyarakat di pedalaman dan masih berfokus kepada perkotaan. Dalam jangka
46
| Permasalahan Otonomi Khusus di Aceh dan Papua; sebuah makalah inisiatif strategi
panjang, kesenjangan hanya akan mempolarisasi masyarakat dengan status miskin–kaya yang semakin identik dengan desa–kota. Pengentasan kemiskinan dan pemenuhan hak–hak dasar kini berada di tangan pemerintah daerah yang jaraknya sangat dekat dengan warga. Cita–cita otonomi khusus di Aceh dan Papua niscaya terwujud bila pemerintah daerah mau bekerja lebih keras dan membuka diri untuk bekerja sama dengan berbagai lapisan masyarakat.
Tabel 6. Distribusi Kemiskinan di Aceh, Papua Barat dan Papua (2005-2009) a. Jumlah dalam Ribuan (x1000) Aceh
TAHUN
Kota
Papua Barat
Desa
Kota
Kota+Desa
Desa
Papua
Kota+Desa
Kota
Desa
53.00
975.20
1,028.20
Kota+Desa
2005
222.90
943.50
1,166.40
2006
226.90
922.80
1,149.70
13.30
270.80
284.10
39.40
777.30
816.70
2007
281.80
864.90
1,083.70
11.00
255.80
266.80
35.40
758.00
793.40
2008
195.82
763.88
959.70
9.48
237.02
246.50
31.65
701.50
733.15
2009
182.19
710.68
892.86
8.55
248.29
256.84
28.19
732.16
760.35
Tantangan & Relevansi untuk Program
b. Presentase (%) dari Populasi Aceh
TAHUN
Kota
Papua Barat
Desa
Kota
Kota+Desa
Desa
Papua
Kota+Desa
Kota
Desa
Kota+Desa
2005
19.04
32.60
28.69
9.23
50.16
40.83
2006
19.22
31.98
28.28
8.42
51.17
41.34
8.71
51.31
41.52
2007
18.68
29.87
26.65
7.14
48.82
39.31
7.97
50.47
40.78
2008
16.67
26.30
23.53
5.93
43.74
35.12
7.02
45.96
37.08
2009
15.44
24.37
21.80
5.22
44.71
35.71
6.10
46.81
37.50
Sumber: Diolah dari Susenas 2005-2009
Kotak 23. Kesenjangan Kemiskinan Antara Desa dan Kota (%) 110 100 89.69
90
90.64 90.35
91.75 91.08
92.31
91.37
93.34
92.58
80 70
%
60
61.78
60.53
59.19
59.19
50.85
50 40 30 20 10 0
2005 Aceh
2006 Papua Barat
2007
2008
2009
Papua
Sumber: Diolah dari Susenas 2005-2009
47
Rekomendasi
IV. Rekomendasi
BERDASARKAN uraian–uraian sebelumnya, maka beberapa sumbang saran layak dipertimbangkan sebagaimana dapat dilihat pada kotak di bawah.
Kotak 24. Saran-saran Lokal
Nasional
Lokal-Nasional
Strategi
? Supply-Demand Side
? Supply-Demand Side
? Supply-Demand Side
Isu Pokok
? Pelayanan Publik
? Anggaran Pro Kaum Miskin
? Dialog dan Rekonsiliasi
? Pengurangan Kemiskinan
? Pengurangan Kemiskinan
? Pemantauan Hak Sipol dan
? Reformasi Tata
Ekosob
Pemerintahan
Papua ? Target MDGs ? Pengurangan Kemiskinan
? Partisipasi masyarakat
? Akses informasi
? Reformasi tata pemerintah
? Promosi hak Ekosob
? Supremasi hukum
Pendekatan
? Penguatan kapasitas dan ?
? ?
Cakupan Wilayah
? Kabupaten/Kota Terpilih
? Perubahan kebijakan ? Riset, kampanye media dan
formulasi kebijakan ? Pengembangan Jaringan CSO-CBO
? Penguatan kapasitas dan
Perubahan kebijakan ? Riset, kampanye media
dan formulasi kebijakan ? Membangun Jaringan
Rekomendasi
?
perubahan kebijakan Riset, kampanye media dan formulasi kebijakan Participatory Governance Penguatan CSO-CBO Pengembangan Jaringan CSO-CBO
CSO-CBO
? Provinsi Terpilih
? Wilayah Terpilih
Dukungan di wilayah–wilayah dengan status otonomi khusus dapat dikembangkan sebagai cross–cutting isu pada pokok program yang saling bersinergi yakni di antara program (i) Akses untuk Keadilan dan Pemenuhan HAM, (ii) Media dan Kebebasan Informasi, serta (iii) Demokrasi dan Tata Pemerintahan. Berikut adalah beberapa saran untuk program yang dapat dijalankan di daerah–daerah otonomi khusus.
49
Kotak 25. Saran Spesifik terkait Daerah Otonomi Khusus ACEH Akses untuk Keadilan dan Pemenuhan HAM
Media dan Kebebasan Informasi
PAPUA
? Peningkatan mutu pendidikan
? Peningkatan mutu pendidikan dasar
menengah dan tinggi ? Menjamin akses hukum untuk masyarakat ? Mempromosikan keadilan gender
? Menjamin akses hukum untuk
? Pers yang bertanggung-jawab
? Meningkatkan akses masyarakat ke
? Kepemilikan media yang anti-
masyarakat ? Mempromosikan keadilan gender
media
monopoli
Demokrasi dan Tata Pemerintahan
? Peningkatan kapasitas PNS
? Peningkatan kapasitas PNS
? Keterbukaan informasi
? Keterbukaan informasi
? Wacana bersama pemerintah dan
? Wacana bersama pemerintah dan
masyarakat sipil ? Mengurangi dominasi wacana hukum syariah dan lebih mendorong meningkatkan sinergi tingkat provinsi dan Pusat
masyarakat sipil ? Mengurangi pendekatan keamanan
dalam penyelesaian masalah
Rekomendasi
Ada beberapa catatan untuk pengembangan isu otonomi khusus yang perlu dipertimbangkan pada saat perencanaan, antara lain:
50
a.
Mengintegrasikan pendekatan berbasis hak (rights–based approach), dengan memperhatikan hubungan antara proses, strategi serta tujuan dalam pelaksanaan otonomi khusus. Pengukuran hasil (outcomes) tidak sekadar terhadap warga yang memiliki berbagai hak, melainkan juga terhadap pihak–pihak yang memiliki kewajiban untuk menjamin hak–hak tersebut harus dipenuhi.
b.
Sinergi ketiga program dapat menjadi niche jika diperankan dengan baik. Otonomi khusus digunakan sebagai titik pijak (common ground) lintas program. Secara proaktif, misalnya, pentingnya otonomi khusus di Aceh dan Papua dapat disebarluaskan melalui edukasi antara lain dalam pendidikan HAM, literasi media, literasi anggaran dan pendidikan politik. Contoh sinergi lainnya, menyelenggarakan media briefing untuk menginformasikan perkembangan Aceh dan Papua terkait tiga program tersebut secara kontinyu.
c.
Kendati relasi dengan aktor–aktor pemerintah tidak bisa dielakkan, program– program yang akan dilaksanakan nanti hendaknya senantiasa menempatkan masyarakat sipil sebagai mitra utama dan pemerintah sebagai mitra kritis.
d.
Secara khusus untuk Aceh, modal terbesar pembangunan saat ini adalah kondisi keamanan yang relatif membaik, lokasi geografis yang strategis, dan sumber daya alam yang masih cukup tersedia. Pertumbuhan ekonomi di Aceh dihambat oleh
| Permasalahan Otonomi Khusus di Aceh dan Papua; sebuah makalah inisiatif strategi
e.
Secara khusus di Aceh, tantangan terbesar yang mungkin dihadapi adalah kapasitas elit politik daerah. Selain itu, kalangan LSM juga masih belum bisa mempercayai atau membantu pemerintah daerahnya. Masing–masing aktor di Aceh masih bekerja sendiri–sendiri dengan minim upaya untuk saling berbagi dan bekerja sama. Kepercayaan antar–sesama masyarakat juga masih rendah akibat konflik yang berkepanjangan.
f.
Untuk Papua dengan kompleksitas masalah dan kondisinya yang memprihatinkan, strategi teknokratis yang umumnya top–down terbukti sejauh ini belum efektif. Oleh karenanya, strategi–strategi kebudayaan perlu dielaborasi dan dikembangkan . Dialog sebagai salah satu upaya solusi konflik dapat dilakukan dalam konteks kebudayaan dengan mempertimbangkan masyarakat Papua yang majemuk.
g.
Secara khusus di Papua, tantangan terbesar yang mungkin dihadapi adalah keberadaan militer dan intelejen. Tuntutan demiliterisasi biasanya mendapat perlawanan cukup keras dari aparat keamanan. Meski begitu, kendala ini dapat dikelola bila pihak Jakarta bisa diajak berdialog untuk mengatasi persoalan Papua secara damai.
Rekomendasi
51
52
| Permasalahan Otonomi Khusus di Aceh dan Papua; sebuah makalah inisiatif strategi
Referensi ACARP. 2007. The Acehnese Gampong Three Years On: Assessing Local Capacity and Reconstruction Assistance in Post-tsunami Aceh. ACARP Final Report. December 2007. Banda Aceh: Aceh Community Assistance Research Project. Aceh Habitat Club. 2006. Hak Pemilikan atas Tanah. Jakarta: Aceh Habitat Club. Amir, Iwan Dzulvan. 2007. ALA and ABAS: Challenge or Opportunity? Policy and Advocacy Unit Working Paper. Banda Aceh: Oxfam International. Askhalani dkk, 2009. Korupsi di Negeri Syariat: Catatan Jaringan GeRAK Aceh. Banda Aceh: GeRAK Aceh. Askhalani. 2010. “Anggaran Pembangunan Aceh Sangat Bergantung Pada Bantuan Pusat: Dipastikan 10 Tahun Ke depan Aceh Akan Bangkrut� dalam WAA News, 26/03/2010. URL: http://www.waaaceh.org/2010/03/analisa-apba-tahun-2007-2010-anggaran-pembangunan-aceh-sangatbergantung-pada-bantuan-pusat-%E2%80%9Cdipastikan-10-tahun-ke-depan-aceh-akanbangkrut%E2%80%9D/. BAPPENAS; UN. 2007. Report on The Achievement of Millennium Development Goals Indonesia 2007. Jakarta: Badan Perencanaan Pembangunan Nasional & United Nations. BPK RI. 2009. Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester I Tahun 2009, September 2009. Jakarta: Badan Pemeriksa Keuangan. BPS RI. 2010. Perkembangan Beberapa Indikator Utama Sosial Ekonomi Indonesia, Oktober 2009. Jakarta: BPS. Badan Pusat Statistik. Chauvel, R. 2010. Electoral Politics and Democratic Freedoms in Papua, dalam Aspinall E. dan Mietzner, M, 2010. Problems of Democratization in Indonesia: Elections, Institutions and Society. Singapore: ISEAS. Chowdury, S. and Futoshi Yamauchi, Has Decentralization Led to Elite Capture or Reflection of Majority Preference? Emprical Study of Growth, Poverty Reductionin Indonesia Farms, The Role of Space, Infrastructure and Human Capital and Impacts of Financial Crisis, JICA-RI Working Paper, 2010. CGA. 2002. Indonesia: Resources and Conflict in Papua, Crisis Group Asia Report No 39, 13 September 2002. _____. 2007. Indonesian Papua: A local Perspective on the Conflict, Crisis Group Asia Briefing No 66, 19 Juli 2007. _____. 2010. Radicalization and Dialogue in Papua, Crisis Group Asia Report No 188, 11 Maret 2010. Depkeu. 2010a. Nota Keuangan dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2010, Republik Indonesia. Jakarta: Departemen Keuangan RI. _____. 2010b. Nota Keuangan dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan Tahun Anggaran 2010, Republik Indonesia. Jakarta: Departemen Keuangan RI. Djojosoekarto, Agung, Rudiarto Sumarwoto, Cucu Surjaman (ed), 2008, Grand Strategy Penataan Daerah 2025: Bunga Rampai Wacana. Jakarta: Kemitraan. _____. 2008. Kinerja Otonomi Khusus Papua. Jakarta: Kemitraan. Down to earth, 2008. Companies lining up to profit, Newsletter No. 76-77, Mei 2008 Economist. 2005. Special Report: Asia's tsunami: the impact. January 2005. London: The Economist Intelligence Unit. Fengler, William. 2007. Tracking Financial Flows after Disaster. Jakarta: The World Bank Indonesia.
53
Gelder, Jan Willem van and Petra Spaargaren, 2009. Financing of Oil Palm Plantation in Papua: a Research Paper prepared for Sawith Watch, 9 September 2009. Gerak; Yayasan TIFA. 2006. Budget Tracking Aceh Rehabilitation and Reconstruction. Jakarta: Gerak; Yayasan TIFA. Gerak; UNDP; Kemitraan; UE. 2009. Korupsi di Negeri Syariat. Jakarta: Gerak. Grindle, Merilee S., 2007. Going Local: Decentralization, Democratization and the Promise of Good Governance. New Jersey: Princeton University Press. Ihsan, Ahya. 2007. Analisis Pengeluaran Publik Aceh: Pengeluaran Untuk Rekonstruksi dan Pengentasan Kemiskinan, Powerpoint presentation. Economic Recovery Seminar Series, Banda Aceh, 31 Januari 2007. Banda Aceh: World Bank. Imparsial. 2004. Rekonstruksi Negara Melalui Kebijakan Darurat di Aceh. 3 November 2004. Jakarta: Imparsial. Harian Aceh. 2010. “Urusan Korupsi, Sumut Peringkat Pertama Disusul Jabar dan DKI Jakarta” di Harian Sumut, Kamis, 5/8/2010. URL: http://infokorupsi.com/id/korupsi. php?ac=6868&l=urusan-korupsisumut-peringkat-pertama-disusul-jabar-dan-dki-jakarta Hikoyabi, Hana. 2009. Peran dan Kondisi Media di Tanah Papua. Sebuah makalah. Human Rights Watch. 2007. Protest and punishment: political prisoners in Papua, 20 Februari. http://www.hrw.org/en/reports/2007/02/20/protest-and-punishment-0. _____. 2009. Indonesia release Papuan flag-raisers, 18 November. http:www.hrg.org/en/news/2009 11/18/Indonesia-release-papua-flag-raisers. Iry, Ans Gregory da., 2009. Dari Papua Meneropong Indonesia. Jakarta: Grasindo. ISEAS. 2003. Indonesia's Population: Ethnicity and Religion in a Changing Political Landscape. Singapore: Institute of Southeast Asian Studies. Kompas, 2008. Ekspedisi Tanah Papua: Laporan Jurnalistik Kompas. Terasing di Pulau Sendiri. Jakarta: Kompas. Jakarta Post. 2009. “ICRC Closing Its Offices in Papua and Aceh” dalam The Jakarta Post, 25 April 2009. Jakarta Globe. 2009. “ICRC Papua Branch Office Was Illegal, Ministry Says” dalam The Jakarta Globe, 24 April 2009. _____. 2010. “Aceh Broadcast Censorship Plan Rankles Critics” dalam The Jakarta Globe, 1 Maret 2010. Kambai, Y (ed), 2007. Perlawanan Kaki Telanjang: 25 Tahun Gerakan Masyarakat Sipil di Papua. Jayapura: Foker LSM Papua. Kemitraan. 2007. Pelajaran dari Yogya dan Aceh dalam Kapasitas Tata Kelola Resiko Bencana. Jakarta: Kemitraan. Kontras. 2004. Mempertimbangkan Pemilu Aceh di bawah Darurat Militer. Jakarta: Kontras. Lab Sosio UI; Yayasan TIFA. 2009. Shaping the Future of Aceh. Jakarta: Yayasan TIFA. _____. 2009. Skenario Aceh Masa Depan 2007 – 2017. Jakarta: Yayasan TIFA. Masyrafah, Harry. McKeon, Jock MJA. 2008. Post-Tsunami Aid Effectiveness in Aceh: Proliferation and Coordination in Reconstruction. The Brookings Global Economy and Development Working Paper Series. Washington DC: Wolfensohn Center for Development and The Brookings Institute. Memoria Passionis di Papua Tahun 2006, Seri Memoria Passionis No. 19. Jakarta: SKP Jayapura. Moore, David (ed). 2007. The World Bank: Development, Poverty, Hegemony. Natal: University of KwaZuluNatal Press.
54
| Permasalahan Otonomi Khusus di Aceh dan Papua; sebuah makalah inisiatif strategi
Palmer, Blair, 2010. Services Rendered: Peace, Patronage and Post-Conflict Elections in Aceh, dalam Edward Aspinall and Marcus Mietzner, (ed) 2010. Problems of Democratization in Indonesia: Elections, Institutions and Society. Singapore: ISEAS. Polda NAD; Kemitraan; UNDP. 2006. The Polda NAD Blueprint. Jakarta: UNDP. Poli, W.I.M, dkk, 2008. Suara Hati yang Memberdayakan: Gagasan Pemberdayaan Masyarakat di Kabupaten Jayapura. Makassar: Identitas, Universitas Hasanuddin. PUSKAPOL FISIP UI. 2009. Mencari Model Hubungan Pusat dan Daerah: Refleksi Otonomi Khusus di Papua, Aceh dan Yogyakarta. Working Paper. 23 February 2009 draft. Depok: Pusat Kajian Politik, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Indonesia. Sawang, Sofyan S. 2010. “Pemurtadan di Negeri Tasawuf” di Serambi, 24/7/2010. URL: http://www. serambinews.com/news/view/35555/pemurtadan-di-negeri-tasawuf Smith, Lawrence D., 2001. Reform and Decentralization of Agricultural Services: A Policy Framework. FAO Agricultural Policy Economic Development Series 7. Rome: FAO. Tempo. 2010. “Rancangan Qanun Penyiaran Dinilai Hambat Pers” dalam Tempointeraktif.com, 1/3/2010. TI; OECD; ADB. 2005. Upaya Pencegahan Tindak Korupsi dalam Kegiatan Bantuan Tsunami. Jakarta: Transparency International. TI. 2010. Survei Barometer Korupsi Aceh. Jakarta: Transparency International. Tifa. 2005. Aceh Social Reconstruction (ASRA). Rapid assessment report, 28 June-7 July 2005. Jakarta: Yayasan Tifa. TSPP. 2005. “Memberdayakan Orang Papua: Laporan Utama” dalam Tabloid Suara Perempuan Papua 20042005. UGM. 2010. Program Pengembangan Assymetrical Decentralization Sebagai Model Pengelolaan Hubungan Pusat-Daerah Di Indonesia, Draf Laporan Akhir, Yogyakarta: Jurusan Ilmu Pemerintahan UGM. UI, 2009, Mencari Model Hubungan Pusat dan Daerah: Refleksi Otonomi Khusus di Papua, Aceh dan Yogyakarta. Working Paper Pusat Kajian Politik (PUSKAPOL) UI. Depok: Universitas Indonesia. UNAIDS, 2008. Fact Sheet, 2008. Vaughn, Bruce. 2006. Papua, Indonesia: Issues for Congress, CRS Report for Congress, January 19, 2006. Wanggai, Velix. V, 2009. New Deal for Papua, Menata Kembali Papua Dengan Hati. Jakarta: Indonesia Press dan The Irian Instute. Widjojo, Muridan S. 2009. Papua Road Map: Negotiating the Past, Improving the Present and Securing the Future. Jakarta: LIPI, Yayasan TIFA dan Yayasan Obor Indonesia. World Bank, 2005. Papua Public Expenditure Analysis: Regional Finance and Service Delivery in Indonesia's Most Remote Region. Jakarta: The World Bank. _____. 2008. Aceh Poverty Assessment 2008: The Impact Of The Conflict, The Tsunami and Reconstruction on Poverty in Aceh. Jakarta: The World Bank. _____. 2008. Aceh Economic Update. October 2008 edition. Update compiled by World Bank, Multi-Donor Fund and Bank Indonesia. Banda Aceh: World Bank. _____. 2008. World Bank News: Aceh Economy Slows Down as Reconstruction Effort comes to an end. URL: https://www.thebenche.com/forum/world-business/1679-world-bank-news-aceh-economy-slowsdown-reconstruction-effort-comes-end.html. _____. 2009. Spending for Development in Papua, 2009. Sebuah presentasi. _____. 2009. Investing in the Future of Papua & West Papua: Infrastructure for Sustainable Development.
55
Lampiran A. Profil Daerah ACEH
Lokasi Dasar hukum
: :
Tanggal penting : Ibukota Gubernur Luas Populasi54
: : : :
Kepadatan Kabupaten Kotamadya Kecamatan Desa Suku55
: :
Agama Bahasa56
: :
: : :
1º 40' - 6º 30' N, 94º 40' - 98º 30' W UU RI No. 24/1956, UU RI No. 44/1999, UU RI No. 18/2001, UU RI No. 11/2006 (UUPA atau LoGA) 7 December 1959 (berdiri), 4 December 1977 (berdirinya GAM), 15 August 2006 (perjanjian damai) Banda Aceh (dahulu Koetaradja) drh. Irwandi Yusuf, M.Sc.. 55,390 km² 2,621,271 (1980), 2,903,425 (1990), 3,409,900 (2000), 4,010,865 (2005), dan 4,664,987 (2009) 76/km² 18 5 227 5,862 Aceh (50.32%), Jawa (15.87%), Gayo (11.46%), Alas (3.89%), Singkil (2.55%), Simeulue (2.47%), Batak (2.26%), Minangkabau (1.09%), lainnya (10.09%) Islam (99.85%), Kristen (0.15%) Aceh, Tamiang, Gayo, Alas, Kluet, Jamee, Pakpak, Singkil, Sigulai, Lekon, Devayan, Haloban, Nias, Bahasa Indonesia.
_______________________________ 54
Lihat file di URL: http://www.nad.go.id/uploadfiles/PENDUDUK/PENDUDUKBULANJUNI_08.pdf Lihat ISEAS 2003. 56 Lihat URL: http://www.waspada.co.id/index.php?option=com_content&view=article&id=6474:aceh-gelar-kongresbahasa-daerah&catid=13:aceh&Itemid=26 dan URL: http://www.rakyataceh.com/index.php?open= view&newsid=3337 55
56
| Permasalahan Otonomi Khusus di Aceh dan Papua; sebuah makalah inisiatif strategi
B. Profil Daerah PAPUA
Lokasi Basis hukum
: :
Tanggal penting Ibukota Gubernur Luas Populasi Kepadatan Kabupaten Kotamadya Kecamatan Suku
: : : : : : : : : :
Agama
:
Bahasa
:
9º 20' - 0º 10' N, 134º 10' - 141º 10' W 1969 Act of Free Choice, Undang-Undang Nomor 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua 1 Mei 1963 Jayapura Barnabas Suebu 309,934.4 km² (sesudah pemekaran) 2,930,000 (2002) 9/km² 27 2 214 Tahun 2002, Papua (52%): suku Aitinyo, suku Aefak, suku Asmat, suku Agast, suku Dani, suku Ayamaru, suku Mandacan, suku Biak, suku Serui; Non-Papua (48%): Jawa, Makassar, Batak, Manado, Aborijin, Huli, Dayak, IndonesiaAustralia Protestant (51,2%), Katolik (25,42%), Islam (20%), Hindu (3%), Buddha (0,13%) Bahasa Indonesia, dan 268 bahasa lokal
57
YAYASAN TIFA Jl. Jaya Mandala II No. 14E, Menteng Dalam Jakarta Pusat 12870 - INDONESIA Ph. +62 (21) 829-2776 | Fax. +62 (21) 837-836-48 e-mail to : public@tifafoundation.org www.tifafoundation.org