TUCZINE I S S U E X 2 0 1 6
GAMBAR BESAR
lepas dari neraka back to underground bantaeng, 17 april 2016
I embrace my desire to feel the rhythm, to feel connected enough to step aside and weep like a widow to feel inspired, to fathom the power, to witness the beauty, to bathe in the fountain, to swing on the spiral of our divinity and still be a human. Spiral Out. Keep Going. - “Lateralus”, Tool B A S A- B A S I R E D A K S I
ISSUE #10 X COVER
Tahun ini, Tax Underground Community menjejak usia delapan tahun. Sewindu yang diawali dengan mimpi-mimpi besar, lalu terjebak stagnasi dan belakangan menuju dekadensi. Setidaknya, kali ini, ide lama yang sempat padam dinyalakan kembali dan berhasil direalisasikan. Bekerja sama dengan Etalase Records, TUC merilis album Kompilasi Penolak Bala: Sewindu Dekadensi. Album kompilasi yang dibuat dalam format kaset dan diedar terbatas untuk kalangan sendiri ini disasar menjadi satu lagi legasi, serta digadang sebagai penanda eksistensi. Semoga tidak berakhir sampai di situ. Sehubungan dengan itu pula, dengan sisa-sisa hasrat yang masih kami miliki dan sokongan teman-teman sekalian, Tuczine X, dirilis. Seperti biasa, sebagian besar isinya basi. Tak mengapa. Setidaknya, kami memenuhi janji di tagline kami sendiri: majalah setahun sekali. Tak lupa, kami berterima kasih kepada kalian semua atas sumbangan ide, tulisan, kritik dan lainnya. Melalui mantra “spiral out, keep going”, Maynard James Keenan menantang pendengarnya untuk terus belajar, berkembang dan tidak berhenti. Tapi jika sesuatu yang dulu dikerjakan dengan penuh passion sekarang malah menjadi beban, buat apa diteruskan? Jangan menunggu edisi berikutnya.
TALENT SELLOUT CONFORMIST PHOTO M. ARCHARD T.J. DESIGN KANTORKU NERAKAKU ADV
COLLABORATORS
ARIEF HIDAYAT ADAM. DIDIK YANDIAWAN. MEIDIAWAN CESARIAN SYAH. ANDRIA SONHEDI. OLAP LINDEI DAMANIK. DAYU RIFANTO. MARDHANI MACHFUD RAMLI. GIGIH SANTRA WIRAWAN. AJI REBEL. RADEN ANDRIANA. ANNASZ GHOZALI. AKBAR SAPUTRA. DERRY MARSELANO. ACENG SUNARYA. ULY UGLY. HER DIST. MOCH. SYAECHUDIN. AYU PRIMA AKSARI. EARTH. RIDWAN FREDIAWAN. DANU ADISAPUTRA. I PUTU RYAN DESSAPTASOMA. AJAR REDINDRA ISLAMI. MUSTAFID AMNA. MUHAMMAD FAHMI. ADHI PAMUNGKAS. SAPTO SUPRIYANTO. CHRESNO DAROE WARSONO. KODEEN. MARAHA SUFITRA. IMANIA DIAH RACHMA. SARADDASI IMAGES USED IN THIS MAGAZINE ARE COURTESY OF THEIR RESPECTIVE OWNERS MAJALAH SETAHUN SEKALI JANGAN MENUNGGU EDISI BERIKUTNYA TUCZINE TUCZINE.TUMBLR.COM
we might be heretics but certainly not hypocrites MUNGKIN BID’AH JIKA MENYEBARKAN SESUATU YANG SEMESTINYA IDIOSINKRATIK. TAPI SETIDAKNYA KAMI BUKAN MUNAFIK. KAMI MASIH MENYUKAI PUBLISITAS.
CONTENTS
2 GAMBAR BESAR 4 BASA-BASI REDAKSI 5 CONTENTS WELCOME TO OUR CROWD TUC X ETALASE: 6 SEWINDU DEKADENSI ISSUE 8 MEMBUNUH HANTU KOMUNISME 9 AT THE PULSE OF PARANOIA INTERVIEW 10 GRIBS EVENT 12 MALAM ITU MILIKMU, RIL! OUR MUSIC 14 MENENGOK POST-ROCK 15 LAGU DAN ALBUM BERPENGARUH CHICK 16 IMANIA DIAH RACHMA SENTILAN CANDU PUBERTAS 17 DAN EJAKULASI DINI BERBAHAYA 18 PAKUMATI UP CLOSE 20 ARIEF HIDAYAT ADAM SCENE REPORT BANTAENG 22 BACK TO UNDERGROUND PENADAH LUDAH 24 THE YOUNGSTERS OF BLUES 26 KORN, KONSER PERTAMA SAYA 28 LESSONS IN LIFE, DEATH & VIOLENCE 29 THE ART OF REBELLION 30 UNDERGROUND DI MATAKU KINI 31 3,658 DAYS WAITING FOR GODOT
POINTS OF VIEW MENGAPRESIASI BAND DI PANGGUNG 32 MY LIST 15 FAVOURITE TOOL’S SONGS 36 GIG REPORT MARI KITA BERDANSKA 38 PESTA ROCK TANAH SULAWESI 42 GELEGAR KONSER TAIFUN 46 BERDANSKA DI SEMARANG 47 REVIEW 52 BOOK 68 MOVIE 74 MUSIC CLINIC MEMBEDAH LINE 6 POD HD400 84 GALERI YANG TERSISA DARI ROCK IN CELEBES 2015 MAKASSAR 86 WTF HIGHLY EDUCATED ROCK MUSICIANS 103 FREE ROAR TANGAN TERIKAT MULUT TERKUNCI 104 ERICH HARTMANN 106 KERJA 107 SEKS DAN TUHAN YANG KEHILANGAN PERAN 108 DOLANAN YANG MEMUGAR INGATAN 110 ANTAGA YANG TERLUPAKAN 112 MENGEJA MEMBACA MENULIS 115 ANDRIA’S NOTES THE KEEPER OF ALL KEYS 116 HALAMAN BELAKANG 118
WELCOME TO OUR CROWD
TUC X ETALASE :
SEWINDU DEKADENSI DI BALIK KOMPILASI YANG MENGENDAP BERTAHUN-TAHUN
oleh ARIEF HIDAYAT ADAM & DIDIK YANDIAWAN
AWALNYA sederhana. Beberapa dari kami adalah juga pemain drum, gitaris, penyanyi, dan pemain bass dari unit band-nya masing-masing. Beberapa bahkan telah memiliki album sendiri. Lantas idenya tercetus begitu saja: mengumpulkan materi band-band kami dalam sebuah proyek album kompilasi. Pemilihan materi dan hal lain terkait proyek kemudian kami eksekusi di ladang bermain online pasca forum Japra diberangus, Forum P2Humas dan Fordis Umum, juga melalui kanal milis DJP. Hasil yang terkumpul kemudian adalah 12 track dengan berbagai macam genre. Materi kemudian dikompilasi dan dilakukan mastering oleh Pak Herwin Endar Mulia Siregar. Saya masih ingat kala pak Herwin memberi saya CD kompilasi itu. Dia menggambarinya sepasang mata dengan aksen darah dan tulisan TUC bernuansa gotik. Keren sekali macam desain DIY gambar tulisan band di area belakang seragam sekolah anak SMA. Melaju ke fase selanjutnya, kami melakukan album hearing dan brainstorming mengenai produksi album. Mini gath itu kami lakukan di kediaman Galih. Saya masih ingat di sana masih hadir juga Alm. Pak Yahudi -God blessed his soul-. Kami menyepakati urutan track dan konsep album serta proses eksekusi selanjutnya. Namun apa lacur, ide-ide itu terberangus jiwa konformis kami yang lebih mendominasi. Materi yang siap liris itu mengendap selama lebih dari tujuh tahun. Tahun 2016, kemudian album ini dibangunkan kembali dengan materi yang diperbaharui. Kami menambah dan menghilangkan beberapa track atas dasar legalitas ide hak milik. Bersamaan dengan album ini, lahirlah juga Tuczine X. Saya mengamini arti “X” di Tuczine edisi ini bukan hanya bilangan sepuluh dalam romawi, tetapi juga merupakan simbol penolakan kami untuk berhenti bersenangsenang. Semoga album ini bisa mewakili testamen kami karena suatu hari akan ada orang yang melacak balik eksistensi TUC dan bisa menemukan album hebat ini. Catatan: di keluarga TUC, ini adalah album kedua yang dirancang dan diproduseri sendiri setelah sebelumnya pada 2012 Mustafid Amna telah mengeluarkan album kompilasi bawah tanah Banjarmasin Bersatu.
.
“ALBUM ini adalah tentang kita, tentang pergerakan yang semakin mendalam ke arah semangat underground yang rasional, balistik dan merekah. Adalah amunisi dan warisan kelak sebagai persiapan kematian kita untuk generasi-generasi baru TUC.” (Arief Hidayat Adam) Saya ingat betul dengan kutipan di atas yang dikutip dari salah satu artikel di Tuczine Edisi VI (Agustus 2011): Stay Together for the Sick. Artikel berjudul “Album Kompilasi TUC – Warisan untuk Generasi Setelah Kita” menceritakan tentang rencana besar TUC yang digagas oleh teman-teman di bawah komando Arief Hidayat Adam untuk membuat album kompilasi TUC. Idenya sederhana: mengumpulkan materi lagu multi genre dari lingkaran dalam TUC. Saat Tuczine VI terbit, progres pengumpulan lagu telah selesai. Beranjak satu edisi berikutnya, Tuczine Edisi 7 (Juli 2012): Last of the Sane menghadirkan iklan bergambar tengkorak menggigit mikrofon dengan kabel membentuk huruf TUC. Inilah propaganda pertama dalam bentuk iklan satu halaman di Tuczine. “Kami Selalu Lebih Banyak Bicara dari Kalian” adalah judul yang saat itu dipilih untuk mewakili album kompilasi tersebut. Dalam liputan gathering TUC dalam rangka ulang tahun ketiga, dilaporkan pula progres album oleh Bobby Durjana. Pak Herwin dan Mbak Uly berhasil mengerjakan mastering album dengan baik. Rekan-rekan puas dengan hasilnya, meski pada saat itu belum diputuskan judul album dan rencana distribusinya. Beberapa tahun kemudian, saya bergabung dengan TUC dan cukup antusias dengan semangat dan pemikiran teman-teman. Dalam sebuah kesempatan, di tengah pengumpulan materi Tuczine Edisi X, saya mengajukan ide lama yang masih punya bara untuk dikobarkan. Kompilasi TUC yang telah terkumpul harus segera dirilis, sebelum terjadi sesuatu terhadap kompilasi tersebut. Ide digulirkan melalui milis dan grup WhatsApp TUC. Respon dan reaksi cukup antusias, mulai dari pemilihan judul, format, lagu, urutan lagu, sampul, dan sebagainya. Hasil akhirnya adalah sebagai berikut. Pertama: judul album. Kompilasi TUC Volume I : Sewindu Dekadensi. Judul ini adalah usul dari Pak Andria Sonhedi. Judul ini paling pas dan mewakili perayaan ulang tahun TUC yang ke delapan.
Kedua: jumlah lagu. Dari seluruh lagu yang terkumpul, diadakan sesi dengar kembali. Hasilnya terpilih 14 lagu dari 18 lagu yang terkumpul. Dua lagu di antaranya adalah lagu baru dari Total Kepep berjudul “Lawan!!!” dan Nu Deja-Vu berjudul “In the End”. Sementara itu, kompilasi ini dengan berat hati tidak mengikutsertakan beberapa lagu hebat dari band lain, di antaranya Social Black Yelling dan Silentium. Hal ini sematamata karena penghormatan terhadap kedua band yang telah memiliki kontrak di masing-masing label. Jika dirilis empat atau lima tahun lalu, mungkin ceritanya akan berbeda. Ketiga: format album. Album disepakati dirilis dalam format kaset pita dengan tambahan kode unduh digital. Album diproduksi bersama oleh TUC dan Etalase Records sejumlah lima puluh keping. Kaset digandakan di Solo. Album ini tidak akan diproduksi lagi dalam format apapun. Keempat: Tim produksi. Album kompilasi diproduseri oleh Pak Ngurah Goya Yamadagni dan Bung Arief Hidayat Adam. Linear note oleh Pak Andria Sonhedi. Supervisi oleh Didik Yandiawan. Artwork oleh Kantorku Nerakaku Adv. Dukungan oleh seluruh anggota TUC, baik yang masih aktif maupun non-aktif. Kelima: sampul album. Artwork dikerjakan oleh Kantorku Nerakaku Adv. Terdiri dari dua artwork, yaitu “Doa” dan “Maung”. Warna yang dipilih adalah hitam-putih-merah, senada dengan warna Tuczine Edisi X. Sampul dan hologram digandakan di Jakarta. Keenam: finishing. Proses pencetakan sampul, pengemasan kaset, dan pencetakan zine dilakukan di Jakarta. Album kompilasi akan dilepas bersama Tuczine X edisi cetak. Seluruh keuntungan hasil penjualan kaset akan didonasikan ke WWF untuk konservasi Harimau Sumatera. Jika teman-teman membaca Tuczine Edisi X ini, kami memastikan bahwa saat ini satu paket zine dan kaset sudah berada di tangan kalian. Ini perjalanan yang luar biasa dan membahagiakan. Luar biasa karena rilisan kaset dan zine ini telah melewati berbagai ujian dan tantangan dari banyak aspek. Membahagiakan karena di usia sejauh ini kita masih bisa melakukan apa yang kita senangi dengan jiwa muda.
.
TUCZINE X I 7
ISSUE
MEMBUNUH HANTU KOMUNISME oleh MEIDIAWAN CESARIAN SYAH
SETELAH lama terlelap, tiba-tiba saja pekikan anti komunisme kembali nyaring terdengar. Sekelompok masyarakat hingga beberapa elit negara menyerukan jargon tentang bahaya laten komunisme yang mengancam kedaulatan negara. Salah satunya adalah Menteri Pertahanan, Ryamizard Ryacudu, yang mengungkapkan beredarnya isu komunisme dapat merusak persatuan. Padahal, jika dicermati, ketakutan yang muncul secara terstruktur ini sungguh tidak berdasar. Partai Komunis Indonesia sudah runtuh hingga akar-akarnya pasca pagebluk Gerakan 30 September 1965. Simpatisannya pun berada dalam represi negara selama hampir tiga generasi. Di pelbagai belahan dunia, tidak ada bentuk nyata negara yang bisa merepresentasikan ideologi komunisme secara utuh. Komunisme berubah menjadi hantu. Ideologi yang sudah mati dan tidak kasat mata itu ditakuti setengah mati. Makanya pelarangan atribut-atribut kiri, penutupan paksa diskusi, hingga razia buku dipandang sebagai bagian dari ancang-ancang kewaspadaan. Mereka tidak ingin komunisme bangkit dan menyebar. Ketakutan mereka persis seperti ketakutan kepada hantu. Ketakutan yang lebih mengutamakan penghindaran daripada pemahaman. Sikap ini muncul tak lain sebagai hasil dari narasi sejarah orde baru yang telah mengakar dan dilegitimasi selama puluhan tahun. Komunisme menjadi asosiasi kata atheis, keji, diktator, dan perilaku sadis. Maka, tak heran bila komunisme ditakuti serta dibenci setengah mati. Pemahaman atas komunisme pun berpangkal pada cerita-cerita semata, tanpa melacak ke teks-teks primer Marxisme ataupun materialisme. Tentu saja sikap seperti ini tidak bisa dibiarkan terus menerus. Indonesia sudah melewati fase reformasi yang berujung pada demokrasi yang lebih terbuka. Menakuti komunisme seperti menakuti hantu adalah sebuah kemunduran bagi 8 I TUCZINE X
demokrasi karena kini keran ilmu pengetahuan telah terbuka lebar-lebar. Layaknya hantu, komunisme tidak bisa dilenyapkan begitu saja. Begitu juga dengan isme-isme yang lain. Pemberangusan dan pelarangan tidak berarti apa-apa mengingat akses internet sudah masif dan literatur mengenai komunisme sangat mudah diperoleh. Pemberangusan dan pelarangan yang dilakukan aparat kepolisian dan TNI belakangan ini cuma terlihat sebagai praktik penindasan tanpa memberikan solusi. Rasa takut terletak jauh di dalam kepala. Untuk menaklukkannya, langkah utama yang harus dilakukan adalah dengan mendekonstruksi pemikiran. Alih-alih dianggap hantu, kembalikan saja komunisme kepada muruahnya sebagai sebuah ilmu. Tentu saja, dekonstruksi ini tidak bisa dilakukan serta-merta. Begitu pekatnya rasa takut kepada komunisme sehingga diperlukan adanya kehendak kolektif dari pemerintahan Jokowi dan seluruh elemen masyarakat untuk mengubah perspektif ihwal komunisme ini melalui bermacam cara. Pemerintahan Jokowi, sebagai pemegang tampuk kuasa, dapat menginisiasi usul pencabutan TAP MPRS No. XXV tahun 1966 tentang pembubaran Partai Komunis Indonesia dan larangan menyebarkan ajaran komunisme/marxismeleninisme. Hingga sekarang, Ketetapan MPRS ini adalah aturan pangkal dan pijakan segala carut-marut konstruksi persepsi publik mengenai keburukan komunisme. Melalui ketetapan ini, komunisme diubah bentuk dari ilmu pengetahuan biasa menjadi stigma mengenai kekejaman semata. Berpijak pada ketentuan ini pula, aparat kepolisian dan TNI melakukan pemberangusan dan pembredelan secara serampangan terhadap atribut-atribut, buku-buku, hingga diskusi-diskusi yang dianggap menyebarkan paham kiri. Pencabutan TAP MPRS tersebut menjadi penting dalam rangkaian upaya
untuk mengembalikan komunisme ke tempatnya semula sebagai sebuah ilmu. Pencabutan ketentuan itu juga membuka kemungkinan ikhtiar untuk mengkaji ulang pengetahuan tentang komunisme oleh siapa pun sehingga membuat perspektif terhadap komunisme tidak lagi dikuasai oleh penghakiman sepihak. Selain itu, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan juga bisa memperbarui kurikulum pendidikan mengenai komunisme dari bangku Sekolah Dasar. Selama ini, tafsir tunggal orde baru yang meletakkan komunisme sebagai biang kejahatan masih mendominasi narasi di beberapa mata pelajaran, terutama sejarah dan ekonomi. Komunisme, beserta paham induknya, Marxisme, tidak diberikan ruang untuk membela diri. Padahal, peran komunisme atau marxisme sebagai ilmu ekonomi adalah memberikan kritik yang kuat terhadap paham kapitalisme yang telah menjangkiti sendi perekonomian negara Indonesia. Ketiadaan marxisme justru membuat keringnya hubungan dialogal antar paham dan mendorong pengambilan kebijakan yang melulu berkiblat pada paham kapitalisme. Akses terhadap marxisme yang dibolehkan sejak dini juga membuat generasi masa depan bangsa terbebas dari stigmatisasi kosong sekaligus menjadi penyegaran keilmuan bagi masyarakat. Menghilangkan ketakutan kepada komunisme adalah proses mengaji ulang perspektif yang selama ini berjangkit. Komunisme tidak seharusnya dianggap sebagai hantu yang perlu ditakuti dan membuat kita lari terbirit-birit karenanya. Sebaliknya, komunisme adalah sebuah paham yang bisa didekati lalu dipelajari. Dengan pemahaman menyeluruh, pekik ketakutan masyarakat terhadap komunisme akan hilang. Seluruh pihak akan menginsyafi bahwa komunisme bukanlah hantu tanpa wujud nun sadis melainkan sebuah cabang ilmu pengetahuan yang kritis.
.
ISSUE
AT THE PULSE OF PARANOIA oleh ANDRIA SONHEDI
BEBERAPA waktu lalu saya membaca berita yang dibagikan teman bahwa aparat gabungan TNI-Polri menemukan lusinan kaos berlogo palu arit di Jakarta. Setelah saya lihat gambar kaos yang sedang dijembreng salah seorang aparat ternyata bergambar sampul album live Kreator yang berjudul At the Pulse of Kapitulation: Live in East Berlin 1990. Gambarnya adalah serombongan makhluk berwarna abu-abu meninggalkan gerbang dengan simbol palu arit di atasnya, di bawah pimpinan maskot grup Kreator (yang saya juga tak tahu dia berafiliasi ke mana). Dulunya Live in East Berlin direkam dengan format VHS dan sampulnya hanya bergambar sang gitaris, Mille Petroza, sedang di-shoot oleh kamera-
men. Pada tahun 2008 dibuatlah format DVD. Artwok sampul yang baru dikerjakan oleh seniman Andreas Marschall. Sehabis penyatuan kembali Jerman (Deutsche Wiedervereinigung) yang berlangsung pada tanggal 3 Oktober 1990 Kreator adalah grup heavy metal pertama yang menggelar konser di Berlin Timur atau mantan negara Jerman Timur yang berhaluan komunis. Itulah sebabnya sang seniman memilih ikon simbol partai komunis yang dia taruh di atas gerbang. Seperti dalam lirik lagu Slipknot, “you cannot kill what you did not create�, maka paham komunis dan paham-paham lain juga saya yakin tak bisa dibasmi. Saat ini sulit membedakan penggunaan lambang suatu paham politik atau relijius untuk propaganda dan mana yang
semata-mata untuk keperluan fashion. Sementara itu di luar negeri penggunaan simbol-simbol tadi sudah sangat lumrah karena tak pernah ada larangan. Apa yang jarang dipakai orang akan menjadikan sang pemakai jadi pusat perhatian. Di jaman Orde Baru dulu semua simbol-simbol partai komunis, apapun dan dari manapun karena bentuknya sama semua, adalah terlarang. Pernah ada yang menyerahkan gim Mortal Kombat karena ada gambar lambang partai komunis di salah satu dinding atau lantai ilustrasi gim yang kebetulan ber-setting wilayah Cina atau Rusia. Sebenarnya wajar untuk takut kepada sesuatu yang pernah memberi trauma pada masa lalu. Hampir semua negara di dunia pernah terjadi perang saudara karena perbedaan pilihan politik. Ada yang berhasil mentas tapi ada juga yang sampai saat ini tak bisa membebaskan diri dari prasangka buruk terhadap lawannya. Di negara kita tampaknya ada yang sengaja memposisikan diri sebagai pengawal negeri dalam membasmi trauma masa lalu. Melakukan usaha preventif tanpa melihat konteksnya. Hal itu memang lebih mudah dibandingkan harus memikirkan bagaimana mengentaskan kemiskinan dan meratakan kesenjangan sosial yang sudah lama ada. Membagikan ketakutan yang berlebihan hanya membuat tumbuhnya budaya kekerasan untuk mengusir ketakutan atau pseudoketakutan tadi. Pada kasus kaos Kreator bahkan tak ada keinginan dari para aparat untuk membuka internet untuk mencari info tentang At the Pulse of Kapitulation tadi. Lebih disayangkan lagi para pembagi berita juga hanya langsung membagikan sambil mengutuk paham komunis. Sesuatu hal yang memalukan untuk mereka yang bisa mengetahui berita tentang Allepo yang kabarnya tak diberitakan media itu. Paranoid sepertinya juga berpotensi melemahkan daya nalar.
.
TUCZINE X I 9
INTERVIEW
4gambar dipinjam dari javarockingland.com
ENTITAS musik glam rock terdepan asal Jakarta berisi Rezanov (vokal), Eben Andreas (gitar), Hugo (bass), dan Gaharaiden (drum) meluangkan waktu untuk menerima wawancara Tuczine di sela-sela kesibukan GRIBS di event Record Store Day Jakarta tiga tahun lalu. Thunder yang menggelegar di awal 2013 memekakkan telinga. Sulit untuk tidak menoleh dan mencari tahu seperti apa wujud rilisan termutakhir GRIBS. Apa makna lagu “Istana Ilusi�? Lalu apa koleksi dan ketertarikan musik para personel GRIBS yang tetap konsisten dengan gaya rambut gondrongnya? Berikut perbincangan kontributor kita DIDIK YANDIAWAN dengan GRIBS. Selamat sore, mas Rezanov. REZANOV: Sore! 10 I TUCZINE X
Bagaimana kabar teman-teman GRIBS? REZANOV: Luar biasa! Kami dari Tuczine mau ngobrol. Pertama, perihal rilisnya album Thunder. Jaraknya relatif lama sejak album perdana GRIBS, Gondrong Kribo Bersaudara. Bisa diceritakan prosesnya? REZANOV: Album ini memakan waktu lima tahun, soalnya GRIBS mengalami pergantian personil. Pertama, gitaris keluar. Kemudian Eben masuk. Begitu kami mau masuk studio lagi, pemain bass dan drum kami keluar. Akhirnya kami mendapat bantuan dari Hugo dan Gaharaiden. Baru lima bulan bergabung, GRIBS berani masuk studio rekaman dengan materi 7 lagu baru dan 4 lagu lama.
Proses rekaman album Thunder melibatkan produser atau temanteman GRIBS sendiri? GAHARAIDEN: Ya, melibatkan produser. Namanya Yuka Narendra. Produser album pertama GRIBS juga. Sebelum Thunder dirilis, GRIBS meluncurkan dua single via Soundcloud. Bagaimana pertimbangan pemilihan single tersebut? EBEN: Rame-rame sih, sebenarnya. Berdasarkan hasil diskusi personel, lagu mana yang paling bisa didengar oleh semua kalangan. Kami juga meminta pendapat dari pihak-pihak di luar personil. Kami perhatikan, artwork album Thunder sangat luar biasa. Dari cover ada konsep foto, dan di sleeve
GRIBS terdapat artwork dari setiap lagu. Pengerjaannya melibatkan siapa saja? HUGO: Artwork digarap bersama. Idenya dari kami dan produser juga. REZANOV: Konsep dari seniman semua. Kami sodorkan lagu, mereka yang menginterpretasikan. Bisa diceritakan perihal konten dan muatan lirik dari lagu yang menjadi single pertama, “Istana Ilusi”? REZANOV: Kalau kami ceritakan itu tentang apa nanti terbatas sudut pandangnya. Jadi, tidak meluaskan fantasi orangorang yang mendengar. Jadi, lebih baik silahkan diinterpretasikan sendiri saja. “Istana Ilusi” berbeda degan “Gir dan Belati” yang eksplisit tentang tawuran, ya? REZANOV: Betul. Ada satu lagu berjudul “Sampai Bertemu di Neraka”. Lagu itu mengajak orang ke neraka atau menghindari neraka? HUGO: Lagu itu menceritakan tentang kondisi saat ini. Jadi sudah banyak orangorang berdosa. GRIBS di lagu ini cuma ngasih dua pilihan: mau ikut ke neraka atau jangan ikut ke neraka. Kalau mau ikut ke neraka, silakan. Mau mesum, kek. Mau apa, kek. Sekarang banyak, kan cabe-cabean, mabok, dan sebagainya. Tapi kalau tidak mau terjerumus ke neraka, ya beribadahlah dengan baik. REZANOV: Kami memberi alternatif di situ. Kami bukannya mau sok benar. Kami juga orang-orang berdosa, tapi masih punya sisi baik.
GAHARAIDEN & REZANOV: Kami sudah nyampur-nyampur. Jadi, musik rock ’80-an. Neo glam metal atau neo heavy metal. Kami mencoba untuk membuat terobosan baru. Heavy metal tetapi lebih mutakhir. Di negara ini juga sudah jarang anak muda yang memainkannya. Jadi kehadiran album Thunder termasuk mengisi kekosongan pasokan genre ini ya? REZANOV: Betul. Terkait Record Store Day, tanggal perilisan album Thunder bersamaan dengan Record Store Day. Kami minta pendapat dari GRIBS mengenai perayaan Record Store Day di Indonesia seperti apa? REZANOV: Menurut gua, ini lebih dari sekedar hunting rilisan terbaru, rilisan yang unik, dan keren. Ada makna yang lebih penting di balik itu semua. Menurut gua ini lebih penting dari Hari Musik Nasional yang kita punya. Itu kan garing banget. Menurut gua, Record Store Day ini lebih cocok menjadi Hari Musik Nasional yang sesungguhnya. Selebrasi musik-musik berkualitas ada di sini. GAHARAIDEN: Menurut saya, Record Store Day ini adalah sebuah gerakan yang harus dibangkitkan lagi. Di sini saya melihat ada yang menjual vinyl, kaset, dan CD. Kalau bisa pergerakannya lebih banyak lagi di Indonesia. Karena mulai dari mendukung suatu karya dari band Indonesia, itu yang akan menimbulkan gagasan baru kepada generasi baru di bidang musik. Gerakan ini juga bagus untuk mengembalikan animo masyarakat untuk membeli CD.
Apa benang merah dari album Thunder, dari musik apakah tetap mengusung glam rock, hair rock, dan musik rock di era ’80-an? Atau ada influence dan gebrakan baru dari sisi musik? GAHARAIDEN: Ada heavy metal-nya.
HUGO: Record Store Day menurut saya menyelamatkan industri musik. Saat ini industri musik sudah hancur, terutama major label. Marak illegal download. Dengan adanya Record Store Day, mudahmudahan band-band indie bisa terbantu. Jadi, kalau bisa dari Sabang sampai Merauke ada acara ini.
Kecenderungannya ke band mana?
EBEN: Menurut gue ini bagus. Soalnya
di sini banyak orang yang bisa mencari musik-musik yang jarang diekspos media seperti televisi. Ada di sini semua. Jadi buat yang mau cari musiknya, bisa mencarinya di sini. Di antara personel GRIBS, siapa yang paling militan memburu koleksi musik? HUGO: Kalau saya film porno koleksinya. REZANOV, GAHARAIDEN: Eben! Terakhir, sekarang eranya musik digital. Penyedia layanan streaming musik sudah banyak. Strategi pemasaran album Thunder apakah sampai ke sana juga? Karena pola konsumsi pendengar musik di Indonesia harus dibuka. Go international yang sebenarnya di situ, kan? REZANOV: Kita harus mengikuti zaman. Zaman sekarang lebih unik. Berinteraksi dengan pendengar internasional sudah sangat mudah. Ini kesempatan bagi GRIBS dan Thunder untuk dikenal lebih luas. GAHARAIDEN: Saya sependapat dengan Rezanov. Kita tidak bisa melawan zaman, sehingga kita tidak menantang zaman itu, melainkan mengakali zaman. Sehingga untuk mendistribusikan album Thunder, kami membuka kerja sama. Jadi kami nggak kolot dengan perubahan. Kami menerima dan mengikuti caranya juga agar bisa didengar. HUGO: Kalau saya tidak sependapat dengan mereka berdua. Saya tidak suka musik digital. Saya suka distorsi. Begitu saja. [semua personel tertawa] EBEN: Menurut gue bagus. Sekarang sudah zamannya, jadi kami menyiasatinya seperti itu. Zaman dulu, lewat mana-mana mesti bayar dengan biaya tinggi. Sekarang lebih murah dan terjangkau. Terima kasih GRIBS atas wawancaranya. Sukses selalu! GRIBS: Sama-sama. Terima kasih kalendernya!
.
TUCZINE X I 11
EVENT
MALAM ITU MILIKMU, RIL! MERAYAKAN CHAIRIL ANWAR: CERAMAH, MUSIKALISASI, PEMBACAAN SAJAK TERAS GEDUNG TEMPO, JAKARTA 15 AGUSTUS 2016 oleh MEIDIAWAN CESARIAN SYAH TAK kurang dari sepuluh pejabat negara baik menteri, kapolri, gubernur, hingga bupati turut menyesaki teras Gedung Tempo di Palmerah. Chairil Anwar juga ada di sana, dalam bentuk poster yang kelak akan menjadi keramaian di media sosial (karena di poster itu Chairil dipisahkan dengan rokoknya, walaupun tangan Chairil masih memegang korek yang menyulutkan api, entah untuk apa). Di sisi lain, hampir 400 orang mendaftar untuk bisa mendapatkan undangan “Merayakan Chairil Anwar” sementara Tempo sendiri membatasi hanya 120 orang yang diperbolehkan hadir karena pelataran Gedung Tempo, tempat menghelat acara, tidak terlalu luas. Atensi tinggi muncul bisa jadi karena dua musabab: nama besar Chairil yang memukau dan line-up pengisi acara yang bukan main aduhainya. Dari kekasih mata Dian Sastro dan Reza Rahadian hingga menteri dan mantan menteri Kabinet Kerja seperti Sri Mulyani dan Anies Baswedan. Saya lari tergesa-gesa karena terlambat datang lebih kurang setengah jam dari jadwal acara. Mencari ojek sangat sulit, terlebih di hari yang sama armada sebuah perusahaan ojek daring pun sedang mogok. Ketika ojek akhirnya tersedia, jarum jam sudah menunjukkan pukul 18.45 (jadwal acara adalah pukul 18.30). Untunglah, acara belum dimulai saat saya menyeruak masuk halaman Tempo yang sudah penuh sesak itu, pikir 12 I TUCZINE X
saya. Ketika mendapati Adrian, pemain bass Efek Rumah Kaca, berlalu, saya pun baru menyadari bahwa dugaan saya tadi terlalu prematur. Acara telah dimulai dengan penampilan Efek Rumah Kaca yang membawakan beberapa lagu. Saya melongo saat Sakdiyah Ma’ruf, pembawa acara, mengucapkan terima kasih kepada Efek Rumah Kaca karena telah membuka rangkaian ceramah, musikalisasi puisi, dan pembacaan sajak tentang Chairil Anwar. Kurang ajar! saya memekik dalam hati. Efek Rumah Kaca ternyata saya lewatkan. Belakangan, setelah saya tahu Efek Rumah Kaca membawakan “Di Udara”, “Menjadi Indonesia”, “Desember”, dan “Merdeka”, kekecewaan saya bertambah lagi. Tapi kekecewaan saya belum berhenti di situ. Goenawan Mohamad (GM) yang setelahnya membacakan pidato kebudayaan tentang Chairil membuat saya sungguh kaku bosan. Saya malah berkeyakinan tulisan GM lebih kuat daripada cara bicaranya. Sungguh lebih baik jika, misalnya, naskah “Aku Mengembara ke Negeri Asing”, judul pidato kebudayaan GM malam itu, dibagikan saja lalu dibaca di rumah masing-masing. Urat kekecewaan saya barulah mengendur saat Sakdiyah, pemenang Vaclav Havel Prize for Creative Dissent tahun 2015 itu, mulai mengoceh dengan memasukkan sindiran-sindiran pada setiap pembaca puisi. Di saat ini, saya
merasa Sakdiyah berhasil memasukkan unsur-unsur politik sehingga humornya terdengar segar dan elit. Kewenangan sebagai pembawa acara dia manfaatkan betul untuk semena-mena menghukum “dosa-dosa” para penampil malam itu. “Menyaksikan secara langsung fit and proper test Bapak, kita bertanyatanya mengapa penyiar radio tidak masuk ke dalam CV (Curriculum Vitae) Bapak? Suara Bapak begitu renyah. Mudah-mudahan jadi kunci upaya deradikalisasi ya, Pak”. Pengantar Sakdiyah menyibak sedikit senyum saya. Kalimat itu ditujukan pada Tito Karnavian, sang Kapolri, yang malam itu membacakan larik-larik puisi patriotik “Diponegoro”. Walaupun penonton yang lain juga tersenyum cukup lebar mendengar pengantar dari Sakdiyah, tapi sambutan bagi Tito langsung tenggelam ketika Sakdiyah memanggil dua orang lainnya yang membacakan puisi bergiliran dengan Tito. Saya maklum saja mengingat dua nama lain adalah artis kesayangan pria Indonesia, Dian Sastro, dan “pahlawan” dalam silang sengkarut saham Freeport, Sudirman Said. Malam itu, Dian Sastro membacakan “Derai-Derai Cemara”. Selain wajah dan warna suaranya yang cantik, hampir tak ada lagi yang bisa saya nikmati dari penampilan Dian. Mungkin saya agak bermasalah dengan cara Dian membacakan naskah. Beberapa bulan sebelumnya, saya juga tidak begitu bisa menikmati kala
mendengarkan Dian membacakan “Surat dari Alina”, cerpen gubahan Seno Gumira Ajidarma, dalam sebuah acara di Galeri Indonesia Kaya. Setelahnya, Tito Karnavian, dengan nada khas amanat inspektur upacara, membacakan “Diponegoro”, sedangkan Sudirman Said membacakan sajak “Kepada Kawan”, yang membuat saya bernostalgia terhadap keresahan masa muda yang tak beralasan. Dalam periode setelahnya, ada Ana Mustamim yang membacakan “Kepada Peminta-minta”, lalu Rano Karno yang melisankan “Sajak Putih” dan “Rumahku”. “Saya kira saya membacakan dua sajak karena sajaknya pendek-pendek. Ternyata karena Sajak Putih ditulis saat Chairil belum menikah dan Rumahku ditulis setelahnya. Ini perjalanan cinta Chairil rupanya.” Rano Karno mencoba menarik garis hubung dari dua sajak yang akan ia bacakan. Periode itu ditutup oleh Reza Rahadian yang membacakan “Senja di Pelabuhan Kecil”, sajak yang ditulis Chairil kala berada di Cirebon. Setelah Dian Siswarini, Direktur Utama PT XL Axiata, dan Agus Rahardjo, Ketua KPK, membacakan “Malam di Pegunungan”, “Aku Berkisar antara Mereka, dan “Hukum”, Sakdiyah semakin mantap me-roast para pembaca puisi. Mulai dari Budi Karya Sumadi, Menteri Perhubungan yang baru saja diangkat menggantikan Ignatius Jonan, Anies Baswedan, Susi Pudjiastuti, hingga Sri Mulyani dibuat
bahan bercandaan. “Sedianya Bapak Budi Karya Sumadi akan membacakan puisi Chairil berjudul “Di Kereta”, tapi tidak jadi karena takut Bapak jadi teringat mantan.” Budi belum sempat menempati panggung, tapi Sakdiyah sudah menggelontorkan candaan lagi secara bertubi-tubi. Belum selesai candaan pertama, Sakdiyah menimpali lagi. “Jadi Pak Budi akan membacakan Persetujuan dengan Bung Karno. Atau paling tidak persetujuan dengan anak Bung Karno ya, Pak?”, gelegar tawa penonton sudah tak terhindarkan. “Nanti kalau tidak setuju jadi seperti Mas Anies (Baswedan)” . Saya sendiri tertawa lepas sambil mengagumi kecerdikan Sakdiyah meletakkan candaan sesuai situasi. Hal itu ia praktikkan pula saat menyambut Susi Pudjiastuti. “Bu Susi Pudjiastuti ini adalah bukti bahwa kita tidak perlu full day school.” Juga pada saat ia membacakan pengantar untuk Sri Mulyani. “Luar biasa ya, Ibu Sri Mulyani. Bertahun-tahun di Washington DC tapi paspor tetap satu.” Para pembaca puisi pun tak kalah lihai berkelit dan unjuk kebolehan melemparkan canda. Susi Pudjiastuti berseloroh bahwa satu-satunya puisi yang dia bacakan selama tiga tahun terakhir hanyalah hitung mundur angka dan seruan “Tenggelamkan”. Setelahnya, Sri Mulyani menutup manis dengan gurauangurauan khasnya. “Tadi kirain saya yang dapat
(puisi) “Penerimaan” soalnya Menteri Keuangan sedang rindu dengan penerimaan negara”, sontak ucapan Sri Mulyani membuat sekujur Gedung Tempo terbahak. Belum sempat reda, Sri Mulyani menambahkan seloroh. “Aku paling suka tuh akhirnya: dengan cermin pun aku tidak mau berbagi. Jadi bagi yang punya kewajiban pajak, segera bayar. Karena dengan cermin pun aku tak mau berbagi.” dua punchline Sri Mulyani menghantam betul perut saya untuk tergelak lepas. Sri Mulyani menjadi pembaca puisi terakhir malam itu dengan membacakan puisi “Aku Berada Kembali”, yang seakan menceritakan riwayatnya kembali mengabdi di Indonesia. Malam itu, saya mengutip Anies Baswedan, perayaan atas Chairil adalah bukti bahwa kata-kata bisa jadi senjata dan retorika bisa jadi kuasa. Jika wajah puas terpahat di sebagian besar penonton, maka mereka sebenarnya berbahagia bisa melebur bersama kelompok elit negeri merayakan kata-kata dan kuasa. Chairil yang dirayakan dalam dua sisi: ramai sekaligus sunyi, tergelak sekaligus terisak, tertawa sekaligus legawa, jadi pemantik api bahwa puisi juga bisa dirayakan, tidak membeku jadi manuskrip semata. Puisi bisu sebelum ada yang menyanyikan. Chairil pun mati jika tak ada yang mengabadikan. Malam itu, Chairil memperoleh semuanya. Kata-katanya bersuara. Puisinya diabadikan. Malam itu sungguh milikmu, Ril!
.
TUCZINE X I 13
OUR MUSIC
MENENGOK POST-ROCK oleh DIDIK YANDIAWAN
A style of music derived (obviously) from rock with heavy emphasis on dynamic contrast. Many post rock acts use singular themes in a song and build upon them harmonically and dynamically. Several post rock bands include Slint, Mogwai, Godspeed You! Black Emperor, Explosions in the Sky, and Tortoise. (Urban Dictionary) PENELUSURAN terhadap rekam jejak post-rock sebagai buah dari evolusi musik tidak akan ada habisnya. Sebagai sub-genre music rock, post-rock adalah sebuah perjalanan menuju petualangan musikal yang lebih eksploratif. Post-rock adalah jenis musik yang dibekali dengan kekhasan sekaligus ambiguitas dalam penggunaan instrumen dan produksi bebunyian. Terminologi post-rock pertama kali diperkenalkan oleh seorang jurnalis bernama Simon Reynolds. Setelah pertama kali menggunakan istilah “post-rock” pada pada surat kabar Melody Maker, Reynolds membumikan post-rock pada ulasan album Hex dari Bark Psychosis pada majalah Mojo di tahun 1994. Apa yang kita kenal sebagai post-rock di dua dekade terakhir adalah rangkaian dari titik-titik yang saling 14 I TUCZINE X
terhubung satu sama lain. Bark Psychosis menitiskan Slint. Slint menitiskan Mogwai. Mogwai menitiskan Explosion in the Sky dan sejumlah musisi berikutnya. Namun demikian, jika kita melihat lingkup lebih luas, post-rock adalah upaya dari sejumlah evolusi musik atas penamaan rock ‘n roll secara kaffah. Bagaimana post-rock lahir sebagai kompetitor terselubung sejumlah pembaruan musik alternatif di era ‘90-an, grunge misalnya, adalah sebuah paradigma baru dari penelusuran jejak-jejak musik. Sensasi dan sensibilitas adalah ruang jeda yang diperuntukkan bagi penikmat post-rock. Ini menjadi tidak mudah ketika kita berkutat pada kategorisasi post-rock pada playlist musik pada sejumlah penyedia musik. Gitar dalam post-rock menjadi penghubung musik yang tidak sehingar bingar musik rock pada umumnya yang mengedepankan riff maupun lick. Gitar justru menghasilkan tekstur suara selayaknya latar belakang dari sebuah objek dalam sebuah potret. Sesuatu yang dihasilkan dari deru reverb dan tremolo picking tidak serta merta membuat sebuah musik dikategorikan sebagai post-rock. Dinamika keras dan lembut, atau pelafalan vokal dengan vocoder pun tidak serta merta
membuat musiknya menjadi post-rock. Di sinilah unsur sensibilitas dan sensasi bermain. Selayaknya musik yang mengakar di pemujanya seperti metal, jazz, pop, dan jenis musik lainnya, post-rock dapat menyajikan ledakan-ledakan di kepala ketika kita menyimaknya dengan seksama. Pengaruh post-modernisme, krautrock, dan avant-garde sebagaimana digagas oleh The Velvet Underground hingga era Brian Eno bisa dibilang menjadi warisan yang sempurna atas kemunculan post-rock. Pengaruh experimental rock, ambient, dan drone-rock berupa kebisingan dan repetisi yang muncul di antara disonansi dan destruksi kerap muncul di sejumlah komposisi post-rock. Benarkah musisi sekaliber Neu!, Can, Talk Talk, Klaus Schulze, bahkan Public Image Ltd mempengaruhi postrock masa kini? Jika melihat karakter “cendekia” pada gagasan yang dikedepankan oleh para pengusung post-rock, jawabannya benar. Intimasi dan kedalaman dalam komposisi, tekstur, dan sensibilitas post-rock adalah imajinasi yang melampaui teknologi dan instrumen yang ada di eranya.
.
OUR MUSIC
LAGU DAN ALBUM POST-ROCK BERPENGARUH oleh DIDIK YANDIAWAN
ADA sejumlah lagu dan album yang menjadi referensi utama maupun referensi alternatif bagi siapa saja yang ingin menggali atau bahkan sekedar mencicipi post-rock. Daftar lagu dan album ini disusun untuk memberi petunjuk kongkrit mengenai wujud post-rock; bisa menjadi referensi utama, bisa juga tidak. Secara acak tanpa memperhatikan unsur pemeringkatan berdasarkan favoritisme maupun urutan alfabet, berikut ini adalah daftar 15 lagu dan album post-rock berpengaruh yang layak disimak oleh pecinta musik. 15 Lagu Post-Rock Terbaik Sepanjang Masa 1. “Don, Aman” - Slint (durasi 06:28, album Spiderland, rilis tahun 1991, label Touch and Go Records). 2. “Helicon 1” - Mogwai (durasi 06:00, album Ten Rapid, rilis tahun 1997, label Jetset Records). 3. “Djed” - Tortoise (durasi 20:57, album Millions Now Living Will Never Die, rilis tahun 1996, label Thrill Jockey). 4. “Steede Bonnet” - Tarentel (durasi 12:00, album From Bone to Satellite, rilis tahun 1999, label Temporary Residence Limited). 5. “A Little Distance” - Tristeza (durasi 05:54, album Spine and Sensory, rilis tahun 1999, label Makoto Recording). 6. “Smell Memory” - Múm (durasi 09:21, album Yesterday Was Dramatic, Today Is OK, rilis tahun 2000, label TMT Entertainment).
7. “Svefn-g-Englar” - Sigur Rós (durasi 10:04, album Ágætis Byrjun, rilis tahun 1999, label Bad Taste). 8. “Headphoneland: The Gangster Chapter” - Mice Parade (durasi 07:32, album The True Meaning of Boodleybaye, rilis tahun 1998, label Bubble Core Records). 9. “Look at That Car, It’s Full of Balloons” - A Minor Forest (durasi 08:37, album Inindependence, rilis tahun 1998, label Thrill Jockey). 10. “The Summer Ends” - American Football (durasi 04:46, album American Football, rilis tahun 1999, label Polyvinyl). 11. “First Breath After Coma” - Explosions in the Sky (durasi 09:34, album The Earth Is Not a Cold Dead Place, rilis tahun 2003, label Bella Union). 12. “Distant Shore” - Dirty Three (durasi 05:47, album Ocean Songs, rilis tahun 1998, label Touch and Go Records). 13. “Blaise Bailey Finnegan III” - Godspeed You! Black Emperor (durasi 17:45, album Slow Riot for New Zero Kanada, rilis tahun 1998, label Constellation/Kranky Records). 14. “Enjoy Your Worries You May Never Have Them Again” - The Books (durasi 04:06, album Though for Food, rilis tahun 2002, label Tomlab). 15. “They Move on Tracks of Never-Ending Light” - This Will Destroy You (durasi 06:56, album This Will Destroy You, rilis tahun 2008, label Magic Bullet Records).
15 Album Post-Rock Terbaik Sepanjang Masa 1. Spiderland - Slint (Label: Touch and Go, Rilis: 1991, Produser: Brian Paulson). 2. Hex - Bark Psychosis (Label: Circa/ Caroline, Rilis: 1994, Produser: Bark Psychosis). 3. Millions Now Living Will Never Die Tortoise (Label: Thrill Jockey, Rilis: 1996, Produser: Tortoise). 4. Ágætis Byrjun - Sigur Rós (Label: Bad Taste, Rilis: 1999, Produser: Ken Thomas). 5. The Sea and the Bells - Rachel’s (Label: Quarterstick, Rilis: 1996, Produser: Rachel’s). 6. The Tired Sounds of Stars of the Lid Stars of the Lid (Label: Kranky, Rilis: 2001, Produser: Brian Mc Bride & Adam Wiltzie). 7. The Earth Is Not a Cold Dead Place - Explosions in the Sky (Label: Temporary Residence/Bella Union, Rilis: 2003, Produser: John Congleton). 8. From Bone to Satellite - Tarentel (Label: Temporary Residence, Rilis: 1999, Produser: Tarentel). 9. Mogwai Young Team - Mogwai (Label: Chemikal Underground, Rilis: 1997, Produser: Paul Savage & Andy Miller). 10. Aerial M - Aerial M (Label: Domino, Rilis: 1997, Produser: David Pajo). 11. Laughing Stock - Talk Talk (Label: Verve/Polydor, Rilis: 1991, Produser: Tim Friese-Greene). 12. F#A#∞ - Godspeed You! Black Emperor (Label: Constellation/Kranky, Rilis: 1997, Produser: Don Wilkie, Ian Ilavski, & GSY!BE). 13. Ocean Songs - Dirty Three (Label: Touch and Go Records, Rilis: 1998, Produser: Steve Albini). 14. Soundtrack for the Blind - Swans (Label: Young God, Rilis: 1996, Produser: Swans/Michael Gira). 15. Walking Cloud and Deep Red Sky, Flag Fluttered and the Sun Shined - Mono (Label: Temporary Residence, Rilis: 2004, Produser: Steve Albini).
.
TUCZINE X I 15
CHICK
IMANIA DIAH RACHMA DARA kelahiran Cepu, Blora tahun 1998 ini sekarang menimba ilmu di Universitas Negeri Yogyakarta. Kota Cepu, salah satu kecamatan di Blora, sepertinya tak banyak yang tahu bila tokoh nasional Sekarmadji Maridjan Kartosuwiryo lahir di sana, sedangkan Blora seperti kebanyakan dari kita tahu adalah tempat asal penulis Pramoedya Ananta Toer. Berikut percakapan singkat kontributor kita, ANDRIA SONHEDI, dengan Imania. Apa pernah mengunjungi kediaman Pramoedya di Blora? Terus terang saya belum pernah, walaupun saya ingin sekali. Saya ingin mengunjungi rumahnya, yang walaupun saya tahu bahwa Pram lebih banyak menghabiskan masanya di penjara/pengasingan. Membaca bukunya jugakah? Tentu, beliau adalah salah satu idola saya dalam hal buku. Buku yang begitu legendaris dan masih melekat di ingatan saya: Bumi Manusia. Yang istimewa lagi buku karyanya masih saja relevan dibaca, diterapan dalam kehidupan sekarang ini. Seperti Anak Semua Bangsa, Rumah Kaca. 16 I TUCZINE X
Apa selama ini pernah menulis entah dimuat atau tidak di media manapun? Saya selain membaca juga menulis. Membaca adalah hal dasar, setelah membaca, kemudian ditulis (dalam bentuk media apapun) lalu dibaca kembali dalam bentuk tulisan baru. Baik cetak seperti koran atau online. Karena sehebat apapun otak kita dalam mengingat, tentu ada fase lupa. Dan tulisan adalah salah satu media pengingat tercanggih. Yang tidak akan tua dan tengelam karena waktu. Nama dan wajah kita bisa terlupakan begitu saja. Tapi bukan tulisan kita. Isi tulisan kita. Sebenarnya apa yang ingin dibagikan dari tulisan Anda? Yang jelas dalam tulisan saya yang dulu, sekarang dan nantinya harus ada unsur mencerdaskan tetapi bukan berarti menggurui. Saya tidak berhak untuk itu. Apapun yang saya lakukan ada di tahap pembelajaran dan berbagi informasi. Bebaskan informasi sebebas dan segratis udara. Kegiatan apa yang Anda anggap ekstrim tapi ingin melakukannya? Jurnalis. Saya suka jurnalisme karena memihak kebenaran, walaupun kebena-
ran yang hakiki cuma ada di atas langit. Dunia adalah palsu. Palsu. Dari buku Soe Hok Gie yang begitu melekat di ingatan saya. Terang saja ini lebih ekstrim ketimbang memanjat tebing. Kebenaran merupakan hal yang riskan untuk dipersoalkan. Karena bukan masalah tulisan yang termuat tapi juga karena opini publik yang terbentuk nantinya. Baik dari sisi negatif dan positif. Bagaimana menurut Anda, apa suatu tulisan/karya dari awal memang ditulis bukan untuk konsumsi pembaca umum? Contohnya puisi Wiji Thukul, buku Pramoedya, dll. Pasti ada maksud tersendiri, selain agar tidak salah tafsir dan membentuk opini publik baru yang melenceng dan lainlain. Walaupun yang sebenarnya bukan konsumsi publik seperti Catatan Seorang Demonstran, sebenarnya adalah konsumsi pribadi, (buku harian Soe Hok Gie), tapi setelah dipublikasikan begitu menarik minat pembaca dari segala generasi. Pun demikian dengan karya-karya penulis yang segaja diblokir oleh pemerintah. Yang setelah saya baca kembali tidak ada sangkut-pautnya dengan kegiatan kenegaraan, dan full sastra.
.
SENTILAN
CANDU PUBERTAS DAN EJAKULASI DINI
“
oleh MOCH. SYAECHUDDIN
Auto-sharelink tanpa peduli, forward kabar tanpa bersabar dan tersadar, apakah itu nyata atau hanya onggokan sampah berbentuk kata-kata mutiara atau sekedar comot istilah agama. DUA tahun berlalu dan masih saja tetap begitu. Desis tanpa bias. Aum tanpa taring. Gaung tanpa makna. Nyinyir nyindir karena beda lambang segi lima, beda gambar wajah berpeci hitam miring semiring otak pengulum gegap gempita retorika. Retorika lima tahunan yang lebih banyak pesta memakan bangkai saudara. Bahkan sudah lupa jikalau pernah bersaudara. Kau tunjukkan padaku lubang surga yang begitu sempit, yang hanya muat untuk segolongan kalian saja. Kau berikan padaku peta satu arah dan hanya satu-satunya jalan menuju Roma. Padahal aku lebih suka di sini saja. Bercumbu dengan turunan Andalusia. Berkhidmad dengan selongsong peluru yang meninggalkan aroma sangit bekasan sakit, legit sisaan jerit, di antara hamparan hijau petuah tetua tentang menghormati yang berbeda, menghargai yang lebih tua, dan mendengarkan kebenaran meskipun itu hanya lolongan serigala. “Pilihlah jalan itu, lewati lorong itu, atau semua ini jadi salahmu!” Aku kena candu. Kamu kena candu. Kita semua kena candu. Candu karena baru tahu. Puber dan ejakulasi akan keramaian yang orang-orang bilang
itu demokrasi. Auto-sharelink tanpa peduli, forward kabar tanpa bersabar dan tersadar, apakah itu nyata atau hanya onggokan sampah berbentuk katakata mutiara atau sekedar comot istilah agama. Toleransi hanya makin terkikis sikap egois dan skeptis. Yang terdengar hanya “tol, tol dan tol!”, “dasar tolol!”, dan kata-kata kotol! Sudah dua tahun kita terjerembab dalam kenikmatan ejakulasi tanpa cairan. Kering-kerontang tanpa kelembaban. Perih menusuk masuk tanpa lenguh kenikmatan. Gersang tanpa kedamaian. Kita asyik dengan menunjuk hidung orang. Saat ditunjukkan sebuah kebenaran, seolah itu semua ada pada kita. Saat ditunjukkan suatu kesalahan, maka semua itu ada padanya. Tujuan kita sama: kita ingin bahagia. Sayangnya kita mengeluarkannya terlalu cepat, kawan. Ejakulasi saat menjelek-jelekkan pilihan orang. Muncrat saat debat dan beda pendapat. Berpeluh bukan karena lenguh, tapi karena keluh dan caci pencitraan. Mau sampai kapan kawan? Tidakkah lelah?
.
TUCZINE X I 17
B E R B A H AYA
PAKUMATI PAKUMATI, yang dimotori oleh Thongad (bass), Asi Siregar (gitar) dan Lukman Capunx (vokal), merupakan salah satu pionir pergerakan musik bawah tanah di Pematang Siantar. Mereka meyakini bahwa band yang mereka besarkan kurang lebih selama enam tahun ini mampu menjadi salah satu contoh how to be the real extreme band in underground system dengan benar. Keyakinan tersebut beriring harapan: mereka mampu memberikan doping dan pencerahan kepada temanteman lainnya untuk terpacu, bersemangat serta serius dalam bermain musik bawah tanah. Berikut obrolan kontributor kita, OLAP LINDEI DAMANIK, dengan Thongad, Asi, Lukman dan Janter (road manager).
Boleh sedikit ceritain gak tentang sejarah band ini? THONGAD: Waduh! Kalau kita bahas tentang sejarah lagi kita gak cukup ngabisin kopi segelas dong. Kita harus minum kopi di sini seminggulah, hahahaha!!! Kita sudah pernah ulas tentang Pakumati secara historikal, walaupun cuma di media sosial. Nanti bisa dicek di akun facebook saya. Yang pasti formasi saat ini adalah formasi yang ke-delapan setelah Pakumati mulai ngeband di tahun 2010. 18 I TUCZINE X
Apa kegiatan para personil selain di Pakumati? THONGAD: Pada dasarnya sih gak semua orang bisa terjun 100% di scene metal, bahkan menghabiskan seluruh hidupnya untuk dunia ini. Di pulau Jawa sekalipun yang begitu besar scene-nya mungkin bisa terhitung hanya beberapa orang yang benar-benar berani menyerahkan hidup seluruhnya untuk ini semua. Termasuk aku juga bukanlah orang yang berani untuk menghabiskan seluruhnya untuk metal. Namun metal ini adalah bagian dari hidup aku, maka dari itu juga aku punya kegiatan yang membantu aku untuk bisa membagi tanggung jawabku untuk keluarga, dan tanggung jawab untuk Pakumati. Aku punya usaha distro UGD Merch. Aku merilis clothing-an. Di sisi lain juga aku punya usaha ternak lele, haha. LUKMAN: Kalau aku juga punya kegiatan yang bisa membagi waktuku untuk Pakumati. Aku punya warung kopi juga untuk membantu kegiatanku untuk di Pakumati. ASI: Kalau aku memang punya kegiatan di samping Pakumati. Itu, yah aku masih pure di dunia musik. Aku punya Distorsi Record. Usaha recording yang sudah aku jalankan. Aku juga jualan alat musik.
Artinya sih aku memang betul-betul kerja di industri musik. Kenapa Pakumati disebut Bataknese death metal? Dan kalau sudah denger kalimat “rittik mate makhutur� sudah pasti disebut Pakumati? THONGAD: Nah, kalau ditanya kita death metal apa sih? Sebenarnya kami juga gak tahu kami death metal apa. Biarkan kalian yang mendengarkanlah menspesifikasikan kami itu death metal apa. Yang jelas kami juga pernah bermain sebrutal mungkin kayak Dying Fetus. Kita juga pernah mainin musik slamming. Tapi itulah masa kita mencari jati diri dan pada akhirnya yah, kita nyamannya ya bermain death metal. ASI: Kalau kami dulu pernah bermain sebrutal mungkin yah semakin memasuki era saat ini kami juga ingin bisa bermain musik sedewasa mungkinlah, Bang. Gak cuma mikirin ego kita sendiri untuk kelihatan sebahaya mungkin di stage. Tapi kami juga inginnya gimana mereka yang mendengarkan kami bermain bisa menikmati dan memahami apa yang kami mainkan. Pokoknya gimana kami enak dan pendengar juga enaklah. Terus gimana dengan sebutan Bataknese death metal dan kalimat “rittik mate makhutur�? THONGAD: Jadi begini, kenapa kita disebut Bataknese death metal awalnya sih waktu itu aku iseng-iseng bongkar dokumen jaman tak enak ketemulah surat-surat peninggalan dulu. Karena dulu belum jamannya internet masih
Sejak itu kami berani mengatakan kami adalah Bataknese death metal. ASI: Begitu juga nanti, Bang untuk materi album ke-tiga. Apapun ceritanya, kami bakal tetap merilis lagu dengan unsur Batak meskipun sedikit modern nantinya.
pakai surat menyurat untuk komunikasi. Ya, pada saat itu masih pakai suratlah untuk komunikasi sama Roy Death Vomit, Andyan Gorust. Masih ada itu suratnya. Jelek-jelek lagi tulisannya, masih lebih bagus tulisanku, hahahaha. Nah setelah iseng bongkar surat-surat itu ketemulah surat dari Irink Pargochy. Pada saat itu dia masih main sama Disaster. Di surat itu ada kalimat “rittik mate makhutur”. Dulu, Irink bilang itu adalah genre. Kalau orang tanya genrenya apa, ya dijawab “rittik mate makhutur”, si gila mati bergetar. Sebenarnya sih itu untuk mengatakan death metal. Setelah itu aku hubungi Irink yang kebetulan masih di Jogja untuk minta izin pakai kalimat itu untuk materi lagu. Eh, si Irink ngasih. Langsung saja kami susun materi lagu dengan judul “Rittik Mate Makhutur”. Tahu-tahunya kami berhasil memberi nyawa untuk kalimat itu. Si Irink agak-agak menyesal ngijinin dulu kalau tahu-tahunya itu bisa jadi keren sebesar kayak sekarang ini, hahaha. Karena “rittik mate makhutur” itu dari bahasa Batak, ya dari situlah kami memberanikan untuk mengatakan bahwa kami itu Bataknese death metal. Sebenarnya pada saat itu bukan Pakumati yang terlebih dahulu mengusung tema Batak. Ada temanteman dari Zorbotus dan Kumal, yang lebih dahulu. Tapi mungkin karena kami sudah berkomitmen untuk mengusung etnik Batak ya kami lebih concern dan langsung menyelesaikan beberapa materi dengan unsur Batak. Sementara mungkin juga teman-teman Zorbotus concern dengan lagu-lagu modern mereka. Ya sisanya mungkin kami lebih sedikit beruntunglah.
Sekarang kita beralih ke album “Gondang Hamatean”. Setelah saya mendengarkan lagu-lagu di album tersebut ada hal-hal yang menarik. Pada track “Intro”, instrumennya seperti gondang simalungun. Di track “I Tano Batak” ada beberapa kalimat Batak Pak-Pak seperti “I tano Batak hita manyorah”. Nah, itu kenapa? THONGAD: Untuk itu sebenarnya simpel saja. Kami gak mau mengklasifikasikan bahwasanya kami itu adalah Batak ini, Batak itu. Yang kami tahu Batak itu adalah Toba, Karo, Mandailing, Pak-Pak dan Simalungun. Kami mau mengkomplekskan unsur Batak tersebut dalam Pakumati. Kami tidak tahu banyak tentang Batak tapi kami adalah bagian dari mereka. Kami mau melestarikan dan tetap mempertahankan budaya itu dengan cara kami, karena kami semua adalah keturunan yang lahir dari Batak. Kita sama-sama tahu bahwa di launching album “Gondang Hamatean” itu adalah penampilan terakhir dari Andhi Lala, pemain drum. Gimana perasaan kalian dengan kejadian itu? THONGAD: Sebenarnya sih hal ini sudah aku tahu seminggu sebelum kita launching album “Gondang Hamatean”. Dan ini belum aku kasih tahu ke Asi dan Lukman. Cuma Janter (road manager) yang aku kasih tahu. Alasannya, ya aku gak mau mood mereka terganggu. Tapi aku tetap profesional untuk tetap gila pada waktu launching kemarin walaupun sebenarnya aku memang betul-betul sedih dengan keputusan keluarnya Andhi. Ada suatu waktu dia bilang bahwa launching album ke-2 ini adalah utang terakhir dia buat Pakumati. Dia sudah buat keputusan yang bulat untuk hijrah dan tidak bisa lagi bekerja di Pakumati. Ya, secara aku yang paling dekat dengan dia jadi aku tahu betul apa yang terjadi dan gak bisa juga aku paksain kehendakku. Tapi kita tetap hajar jalanan terus kok walaupun tanpa dia. LUKMAN: Hari terakhir dia bilang untuk gak bisa jalan sama Pakumati jujur aku langsung drop. Pada saat itu aku lemas dan mau bilang “kau yang ngajak aku untuk gabung dengan Pakumati, tapi
malah kau yang keluar”. Bagaimanapun aku sudah cinta sama band ini dan terus ribak. ASI: Yang kita rasain sama sedih sebenarnya. Tapi aku sudah bilang, sekian banyak aku main dengan orang lain, buat aku band-ku itu hanya Pakumati. Jadi hajar jalanan teruslah. Sekalipun tanpa Andhi Lala Pakumati tetap hajar jalanan terus yah sampai mampus? THONGAD: Iya pasti. Bahkan kalau bisa kami inginnya semakin bahaya, hahahaha. Kita tinggalkan yang sedih-sedih tadi. Terus apa langkah berikutnya dari Pakumati untuk menguatkan citra band ini? Boleh dijawab sama road manager-nya. JANTER: Jadi begini, Bang. Kalau aku pribadi yah terlepas dari menjalankan tugasku bersama Pakumati aku berharap dengan semua pergerakan yang sudah dilakukan Pakumati sampai menuju selesainya launching album ke-2 mereka, aku berharap ini semua bisa jadi doping dan awareness buat perkembangan scene di kota ini. Jadi mereka bisa lihat pergerakan yang benar itu adalah seperti Pakumati. Kalau untuk menguatkan citra Pakumati kami sudah susun program untuk menguatkannya dengan perjalanan tur album yang mudah-mudahan pada Agustus nanti kita bisa sampai ke Asia Tenggara. Saat ini kita sedang melakukan negosiasi untuk itu. Di samping itu juga kami ingin merilis merchandise yang lebih lengkap lagi. Saat ini masih itu saja, tapi kami juga masih berdiskusi untuk fresh idea yang akan kami kerjakan untuk membuat Pakumati ini lebih menarik. So guys, stay tuned and wait for us. Pakumati telah melahirkan sebuah mini album “Rittik Mate Makhutur” dan baru saja merilis album penuh pertama mereka “Gondang Hamatean” pada April lalu. Dalam dua album tersebut Thongad dan kawan-kawan mengenalkan kultur dan tradisi Batak lewat tema lirik dan instrumen yang kental. Ini sekali lagi membuktikan bahwa musik bawah tanah bisa beriring selaras dengan budaya lokal yang memang semestinya dilestarikan. Terima kasih dan respek kepada Pakumati dan Hamatean Crew. Kalian membuat banyak orang tidak kehilangan kepercayaan akan masa depan skena bawah tanah di Pematang Siantar dan Sumatera Utara, dan tentu saja, Indonesia. Hajar terus!
.
TUCZINE X I 19
UP CLOSE
ARIEF HIDAYAT ADAM oleh DAYU RIFANTO
IA BEKERJA sebagai account representative di Kantor Pelayanan Pajak Pratama Cilegon. Sepertinya STAN untuknya lebih cocok menjadi Sekolah Tinggi Astronomi Negara: ia adalah lulusan STAN tetapi lebih dikenal sebagai astronomer amatir di Banten. Astronomer amatir? Aip, begitu panggilan akrabnya, menyukai dunia astronomi sejak kecil karena saat Sekolah Dasar ia sempat melihat meteor dan saat Sekolah Menengah Pertama ia merasa pernah melihat UFO! Kejadian puluhan tahun silam ini terasa begitu membekas pada dirinya, sehingga dari pengembaraan mencari jati diri, mencari pekerjaan, mencari passion akhirnya bermuara pada tahun 2010. Awalnya, di bawah nama The Adam Sun Foundation, sendirian ia “meracuni” anak-anak di Banten dengan kesenangan belajar astronomi dan membaca dengan tiga kegiatan atau sebut saja project: Galileo Junior, Dream Trigger dan SpreadTheBook. Kegiatan-kegiatan ini bertujuan memupuk kecintaan anak-anak pada ilmu pengetahuan dan astronomi dengan menyebarkan buku-buku ke berbagai titik edukasi di Banten dan mengajak mereka bermain sambil belajar dalam sains terapan yang menyenangkan. Dengan tujuan untuk menyebarkan semangat belajar dan kecintaan pada ilmu pengetahuan secara lebih luas, bersama temanteman dari berbagai simpul komunitas di Banten Aip menggagas Banten Science Day. Banten Science Day yang pertama digelar pada 2013 di Anyer.
Selain sebagai astronomer amatir dan pendidik, Aip adalah juga pemain drum, rapper, scenester, salah satu penggagas Tuczine, pemain debus merangkap dukun, penggemar teori konspirasi, penyiar radio, pegawai pajak, dan saat ini seorang suami dan ayah. Bagaimana membagi waktunya? “Di tengah beragam kesibukan yang berkelindan, membagi waktu sepertinya mengalir saja, tidak pernah bikin jadwaljadwal tertentu dan malah mengharapkan banyak kejutan. Saya sangat bersyukur bahwa keluarga sangat mendukung. Sepertinya kalau tidak ada kendala waktu, misal rotasi bumi lebih dari 24 jam, saya mau jadi presiden sekaligus astronot,” jawabnya lugas. Saat dimintai tips bagi orang yang memiliki banyak ide, tapi tidak berani eksekusi, dengan asyik Aip menjawab mungkin orang tersebut perlu mendengar lagu yang cadas agar adrenalin mudah memuncak dan efeknya tidak ragu membuat gebrakan dalam gerakan. Dan tentang semangat belajar yang perlu terus dipelihara, Aip punya kredo: “kalian boleh saja berhenti sekolah, tapi tidak boleh berhenti belajar!” Sepakat!
.
TUCZINE X I 21
SCENE REPORT
BANTAENG BACK TO UNDERGROUND oleh SARADDASI
SEPERTI di hampir setiap akhir pekan sejak tugas di Bantaeng, rutinitas saya adalah: jumat sore berangkat ke Makassar, lalu siang hari minggunya balik ke Bantaeng. Sedikit bersyukur dengan pilihan saya untuk balik minggu siang, alihalih minggu malam seperti kebanyakan rekan-rekan. Karena kalau tidak demikian, saya melewatkan sebuah hajatan yang langka, bahkan tidak pernah saya jumpai selama tiga tahun saya di sini: pertunjukan musik bawah tanah! Jadilah saya, pada hari minggu 17 April lalu, terkaget-kaget dan sedikit tidak percaya demi menyaksikan puluhan orang (anak-anak kecil, remaja tanggung, juga yang bangkotan) berpakaian hitamhitam tumpah di lapangan tenis dekat tempat tinggal saya, bergumul di depan panggung kecil, mengangguk-angguk dan bertubrukan mengikuti gemuruh blastbeat dan growl vocal yang, saya yakin, membuat warga sekitar bengong bercampur heran bercampur gemas bercampur penasaran bercampur doa: semoga turun hujan dan ini semua segera berakhir. Tajuk acaranya keren: Back to Underground - Pagelaran Musick Underground Anti Narkoba dan Kekerasan. Saya mafhum, untuk membuat acara seperti ini tidak mudah, utamanya dalam hal perizinan dan sponsor, maka sepertinya perlu ditambahkan embel-embel seperti di atas. Apalagi, acaranya digelar di dekat markas Polres, dan kabarnya dibuka oleh perwakilan dari Polres dan Pemerintah Daerah. Di poster yang dipajang saya melihat nama belasan band. Sebagian asli Bantaeng, sebagian lagi dari Makassar. Saya cukup familiar dengan beberapa di antaranya. Karena digelar sejak pukul 10.00 pagi, saya melewatkan sebagian besar penampil, termasuk Pocong, aksi black metal legendaris dari Makassar, juga Cerebral Vomit, aksi death metal senior asli Bantaeng. Saya hanya sempat menyaksikan satu band sebelum rehat maghrib: Anatomy yang tampil berlima,
memainkan sekira 3-4 lagu berirama death metal tanpa canggung dan cukup apik memicu semangat di depan panggung. Potongan vokalisnya mengingatkan saya pada vokalis SBY yang, kalau tidak salah, pada hari yang sama tampil di Hammersonic di Jakarta. Kelar rehat, dan setelah ditambah penerangan seperlunya, panggung dijejak oleh Kiblat, aksi black metal dari Makassar. Saya sempat melihat persiapan mereka berdandan corpsepaint dan mengenakan spike berbagai model dan ukuran di samping panggung. Ternyata gimmick black metal ribet juga. Tapi sepertinya terbayar lunas setelah usaha mereka menakuti, atau membuat ngeri, penonton selama kurang lebih 20 menit berbuah. Kami haus black metal. Berikutnya tampil Kemenyan. Masih dari Makassar, masih black metal. Kami benar-benar haus black metal. Kemenyan yang merupakan bagian dari Makassar Metal Syndicate dan tahun lalu ikut berpartisipasi di Rock in Celebes ini memainkan sekira 4-5 lima lagu yang empat di antaranya menceritakan pengalaman sang vokalis selama mendekam di neraka: “Setan Neraka”, “Neraka Pendosa”, “Neraka Permanen” dan satu lagi saya lupa. Pokoknya ada kata ‘neraka’ di judulnya. Selaras dengan introduksi dari mereka sendiri, Kemenyan hadir menghitamkan jiwa kalian dengan lagu-lagu bernuansa kegelapan neraka yang abadi. Hellyeah 666!!!! Lepas dari neraka, panggung kemudian diambil alih Ritual. Aksi thrash metal asli Makassar yang senantiasa menyentil kultur lokal di skena bawah tanah Makassar dan Sulawesi Selatan di lagulagu mereka. Sebelum ini, kali terakhir saya melihat penampilan mereka adalah di Makassar Bersatu #1 pada 2012. Sebagai penampil terakhir, mereka tentu saja pol-polan menghajar penonton yang sepertinya memang menunggu mereka. Saya perhatikan, dibanding yang lain, lagu-lagu yang dimainkan Ritual paling banyak
memancing sing-a-long. Lagipula, siapa yang sing-a-long di lagu black metal? Aksi Ritual berlangsung sekira setengah jam, yang mereka isi dengan beberapa lagu yang sanggup menghentak, di antaranya “Baso’ Anak Metal”, “Apaji…!!!” dan sebuah cover Sepultura, “Arise”. Penampilan pol-polan Ritual sekalian menutup satu malam paling underground di Bantaeng dalam beberapa tahun terakhir. Back to Underground ini setidaknya menghapus dahaga metalheads Bantaeng yang sudah lama menantikan pagelaran musik bawah tanah yang, dari sedikit dokumentasi yang saya temukan kemudian, terakhir digelar pada 2008! Meskipun kecil dibanding kota-kota lain di Sulawesi Selatan, skena bawah tanah Bantaeng sebenarnya tidak boleh dipandang remeh. Pada awal hingga pertengahan 2000-an, di kota ini ada komunitas bawah tanah yang solid bernama Schizophrenic Sufferor Society, berisikan beberapa band berbahaya di Sulawesi Selatan saat itu semisal Cerebral Vomit, Sceleton Corpse, Trovatory, Autopsy, Dyspepsia dan Funeral Ultimatium. Komunitas ini juga sempat melahirkan beberapa gelaran musik bawah tanah berseri, di antaranya Altar of Madness, Total Noise, Bantaeng Mengamuk dan Bantaeng Metal Fest. Sayang sekali, dalam beberapa tahun terakhir, sebagian besar band di atas bubar akibat berbagai sebab, mengakibatkan kevakuman dan kekosongan di skena bawah tanah kota ini. Bantaeng Underground Society (BUGS) yang menggagas acara ini sepertinya adalah kelanjutan dari Schizophrenic Sufferor Society. Kehadiran BUGS diharapkan mampu memicu skena bawah tanah Bantaeng untuk kembali menggeliat. Dari yang saya dengar, Back to Underground hanya pemantik awal dari gelaran lebih besar yang sedang dipersiapkan. Gelaran yang dimaksudkan untuk sepenuhnya mengembalikan Bantaeng ke bawah tanah. Semoga. Maju terus!
.
TUCZINE X I 23
PENADAH LUDAH
THE YOUNGSTERS OF BLUES oleh MARDHANI MACHFUD RAMLI Blues is the roots, everything else is just the fruits. BEGITU kata Willie Dixon, bagaimana blues sejak dulu dianggap sebagai akar dari segala musik modern. Sejak Robert Johnson mempopulerkan delta blues lalu merangkak ke kota dan electrified sehingga lahirlah Chicago blues hingga dimainkan oleh orang kulit putih dari Clapton hingga Steve Ray Vaughan, blues tetaplah sebuah fondasi, blues dengan kesederhanaannya tetaplah tak lekang dimakan usia. Bluenote akan tetap terdengar di setiap notasi musik modern yang Anda dengarkan sekarang, dari Jimi Hendrix sampai Beyonce, dari Led Zeppelin sampai Ed Sheeran. Jauh melompat ke masa kini, apakah blues sudah mati? Setelah Eric Clapton semakin termakan usia dan tidak lagi sesakit dahulu hingga hembusan nafas terakhir Steve Ray Vaughan akibat kecelakaan helikopter, dan mangkatnya BB King beberapa waktu yang lalu, apakah generasi blues heroes telah usai? Seperti generasi rock shredder yang mulai dilupakan orang? Tentu saja tidak, Buddy Guy masih menyabet Grammy di usianya yang sudah menginjak 80 tahun. Lalu pertanyaan yang timbul kemudian adalah: siapakah blues heroes di generasi gadget ini? Mari kita mulai dengan Joe Bonamassa. Joe Bonamassa dikenal sebagai blues prodigy. Pertama kali memainkan gitar saat masih berusia 4 tahun dan di usia 12 tahun menjadi musisi pembuka konser BB King. Masa remajanya dihabiskan dengan ngeband bersama putera musisi Miles Davis, dan hingga sekarang 24 I TUCZINE X
telah menelurkan 12 album. Pada tahun 2009 Joe Bonamassa dipercaya mengisi instrumen gitar di band hard rock Black Country Communion yang digawangi oleh Glenn Hughes (eks Deep Purple) dan Derek Sherinian (eks Dream Theatre). Berikutnya adalah gitaris ganteng yang membuat wanita (dan sebagian pria) tergila-gila, John Mayer. Siapa yang tidak kenal dengan si playboy bergitar yang lahir di Connecticut dan pernah mengambil studi di Berklee College Music di Boston, Amerika ini. Pertama kali memperkenalkan diri pada tahun 2003 dengan album Room for Square namun pertama kali mempertunjukkan kelihaiannya bermain musik blues pada tahun 2005 pada album live bersama John Mayer Trio berjudul TRY. Tidak tanggung-tanggung, musisi yang diajaknya berkolaborasi di album tersebut, Steve Jordan dan Pino Palladino, memiliki jam terbang tinggi bersama Eric Clapton, The Who, Jeff Beck, dan sederetan musisi legendaris lainnya. John Mayer dikenal sebagai pembawa ruh Steve Ray Vaughan kembali ke dunia, hanya saja dikemas dengan unsur pop dan jazz yang kental, sehingga lebih bisa diterima oleh pendengar. Eksplorasi yang luas di bidang musik tanpa berbatas genre adalah salah satu kelebihan yang dimiliki oleh John Mayer, tanpa harus menyebut kerupawanannya. Slide guitar, instrumen unik berbentuk pipa berbahan metal (atau kaca) sering dijumpai di scene musik delta blues. Derek Trucks adalah salah satu musisi blues yang menggunakan slide dan berhasil membawa instrumen yang satu ini ke level yang lebih liar. Derek Trucks
adalah hasil didikan The Allman Brothers Band, hingga tidak heran jika warna musik white blues begitu kental mengalir dalam darahnya. Konon nama “Derek� sendiri terinspirasi dari nama Derek and The Dominos milik Eric Clapton. Salah satu pencapaian terbesarnya adalah Grammy yang disabetnya pada tahun 2011 bersama Derek Trucks Band. Sejak Steve Ray Vaughan dengan Texas blues-nya populer, blues seakan bertransformasi ke arah virtuosoic, dengan lick-lick gitar yang semakin rumit dan cepat. Setelah beliau wafat, bermunculan blues heroes baru dengan tipe permainan yang sama, virtuosoic. Kenny Wayne Sherperd adalah salah satunya. Dari permainannya sangat jelas pengaruh Steve Ray Vaughan dan bahkan Jimi Hendrix di situ. Menantu Mel Gibson ini pertama kali merasakan panggung pada umur 13 tahun hingga sampai saat ini sudah 7 album yang dirilisnya. Walaupun hingga saat ini masih didominasi oleh musisi kulit putih, Eric Gales, seorang pria kulit hitam bertangan kidal membuktikan bahwa blues masihlah tetap milik black people. Gitaris yang juga seorang rapper ini juga dikenal dengan nama Rawg Dawg dan Lil E. Albert King dan Jimi Hendrix, dua gitaris negro bertangan kidal adalah inspirasi Eric Gales, sangat terlihat jelas dari tipe permainannya. Pada tahun 2004, Eric dipercaya sebagai salah satu artis yang memberikan penghormatan kepada Jimi Hendrix dalam album Power of Soul: Tribute to Jimi Hendrix bersama dengan Carlos Santana, Prince, Earth Wind and Fire, Eric Clapton, dan deretan musisi ternama lainnya.
Untuk mempercantik daftar ini, tidak ada salahnya saya memasukkan nama Ana Popovic ke dalamnya. Perempuan cantik asal Serbia ini pernah menjadi bintang tamu di ajang Jakarta International Blues Festival tahun 2010 lalu. Jebolan Amsterdam Music School ini pertama kali memulai karirnya pada tahun 1999 hingga sekarang. Album triloginya rilis pada bulan Mei lalu, berkolaborasi dengan musisi blues muda lainnya seperti Joe Bonamassa dan Robert Randolph. Sebagai penutup, saya akan membahas musisi blues pendatang baru yang lagi happening saat ini, Gary Clark Jr. Musisi muda kelahiran Texas ini bisa dibilang membawa warna baru dalam scene musik blues dunia. Warna vokalnya yang khas dibalut dengan distorsi gitar yang meraung-raung adalah ciri khasnya, bisa kita dengar di lagu “Grinder”
yang bernuansa blues kental dengan pendekatan sound modern, seolah olah blues dibangkitkan lagi dengan warna yang jauh berbeda. Gary Clark Jr. juga mempopulerkan kembali penggunaan fuzz yang sempat tenar di era ’60-an dulu. Pertama kali berkecimpung di dunia musik pada tahun 2004 hingga tahun 2012 dikontrak oleh Warner Bros dan hinga saat ini telah menelurkan 2 album bersama perusahaan rekaman raksasa tersebut. Diorbitkan oleh Clifford Antony, orang yang sama yang telah menemukan bakat Steve Ray Vaughan dan Jimmie Ray Vaughan, sehingga Gary Clark Jr. berada di jalur yang tepat dalam menempa bakatnya di bidang musik. Gary Clark Jr. juga hadir sebagai kameo dalam film Chef dan turut mengambil peran dalam band Miles Davis di film Miles Ahead. Nama-nama di atas adalah
sedikit dari demikian banyaknya benih benih baru di dunia musik blues, yang membuat blues terus hidup dan bernyawa, terus menjadi akar yang kokoh, yang sampai sekarang semakin diminati oleh pendengar musik dunia dan juga tanah air. Berbicara tentang industi musik dalam negeri, kehadiran musisi musisi blues lokal juga sedikit banyak mengambil peran penting dalam menghidupkan kembali musik blues di tanah air. Gugun Blues Shelter, Rama Satria Claproth, Ginda Bestari, Adrian Adioetomo, adalah nama-nama local blues heroes yang turut memperkenalkan tradisi blues ke dalam masyarakat dengan kultur pop melayu. So, blues is still alive. it’s just like an old man in a boy’s skin, as Clapton said.
.
TUCZINE X I 25
PENADAH LUDAH
KORN, KONSER PERTAMA SAYA oleh GIGIH SANTRA WIRAWAN SAYA lahir dan besar di Semarang. Tahun 1999 saya masuk ke SMA 5 Semarang. Di situlah saya mendapatkan ilham dan mulai suka dengan musik-musik beraliran alternatif dan underground. Meskipun Semarang adalah kota kecil dibandingkan Jakarta tapi menurut saya skena underground di Semarang tidak kalah dengan yang ada di Jakarta. Bahkan pergerakan arus bawah saya rasakan lebih kuat di Semarang. Hal itu bisa dilihat dengan jumlah studio musik dan jumlah konser atau festival musik yang lebih mudah dijumpai di Semarang. Hampir setiap kampus dan SMA mengadakan konser kecil-kecilan, minimal setahun sekali. Kelemahannya adalah mereka belum mampu membayar band-band yang sudah punya nama, sehingga konser-konser biasanya hanya diisi oleh band-band indie lokal. Tahun 2002 saya pindah ke Jakarta. Tahun berikutnya ada kabar bahwa salah satu band yang paling digemari anak-anak tahun ‘90-an, Korn, akan mengadakan konser di Jakarta dalam rangka tur Asia untuk promosi album terbaru mereka Take a Look in the Mirror. Orangorang bilang band yang mengisi telinga para remaja pertengahan ‘90-an sampai 2000-an seperti Korn, Slipknot, Deftones, Drowning Pool, Godsmack, Limp Bizkit, Disturbed, Marilyn Manson, Mudvayne, Rammstein, Soulfly, Ultraspank, dan lainlain disebut nu metal. Ciri khasnya adalah musik metal dipadu dengan suara growl, rap dan sedikit hiphop atau DJ. Kadang ada juga yang menyebut musik ini dengan hip metal. Korn sendiri dianggap salah satu band yang pertama kali mempopulerkan genre ini. Oleh karena itulah 26 I TUCZINE X
semua anak muda saat itu kenal dengan yang namanya Korn. Korn dibentuk pada tahun 1993. Sebelum Take a Look in the Mirror, Korn sudah merilis lima album yaitu Korn, Life Is Peachy, Follow the Leader, Issues dan Untouchables. Saya rasa banyak yang masih menyimpan kaset dari albumalbum tersebut sampai sekarang. Saat itu lagu-lagu mereka sangat akrab di telinga para remaja laki-laki misalnya “Blind”, “A.D.I.D.A.S”, “Freak on a Leash”, “Falling Away from Me”, “Here to Stay”, dll. Lagu-lagu tersebut sungguh klasik untuk didengarkan kembali. Salah satu ciri khas musik Korn adalah suara bass Reginald “Fieldy” Arvizu. Fieldy tidak membetot bass seperti mayoritas pemain bass, dia memukul (slapping) bass-nya dan suara senar bass yang “dihajar” itu hanya ada di musik Korn. Album Take a Look in the Mirror dirilis akhir 2003, oleh karena itu mereka mempromosikan dengan mengadakan tur, salah satunya ke Asia, termasuk Jakarta. Saat itu personilnya masih asli: Jonathan Davis, Fieldy, James “Munky”, Brian “Head” Welch dan pemain drum penyayang keluarga David Silveria, yang sekarang sudah mengundurkan diri. Beberapa single dari album ini yang dibuatkan video klip adalah “Right Now”, “Did My Time”, dan “Y’All Want a Single”. Jadi tiga lagu itu sangat sering diputar di TV untuk mengiklankan konser Korn di Jakarta. Lagu lain yang saya suka di antaranya yaitu, sayangnya tidak ada. Saya lebih suka lagu-lagu dari album-album sebelumnya. Tapi tiga lagu yang disebut tadi cukup enak dinikmati. Jadi hari konser tersebut adalah
tanggal 5 Februari 2004, bertempat di PRJ, Kemayoran. Ini akan jadi pengalaman pertama saya nonton band terkenal, sekaligus pengalaman pertama nonton konser besar, sekaligus pengalaman pertama Korn konser di Indonesia. Saat itu saya dalam posisi menganggur menunggu penempatan sehingga masalah waktu tidak ada kendala. Ada sih kendala yaitu uang dan lokasi. Karena saya belum kerja otomatis belum punya uang untuk membeli tiket yang seharga Rp.200.000. Sumpah, saat itu saya merasa jumlah itu termasuk besar, sekarang baru berpikir kok murah sekali ya harga konser band sekelas Korn. Masalah lokasi, saya baru beberapa bulan di Jakarta, itupun hanya sekitaran Bintaro-Ceger, jadi saya tidak tahu Kemayoran itu di mana. Untung pacar saya anak Jakarta, ya meskipun dia juga tidak tahu di mana itu Kemayoran tapi dia tahu kalau ada bis dari Blok M yang sepertinya bisa menuju ke sana. Jadi beberapa hari sebelum hari H, kami survei ke PRJ, harus naik apa saja ke sana. Pacar saya (yang sekarang jadi istri) hanya mengantar survei, tidak ikut nonton konser. Datanglah hari yang dinantikan. Tiket sudah di tangan. Lokasi sudah ada gambaran, meskipun akhirnya bertanyatanya juga di perjalanan. Lagu-lagu dari album yang sedang dipromosikan sudah hafal. Sedikit masalah adalah kaos yang akan dipakai ke konser besar itu. Saya bukan anak manja yang sedikit-sedikit minta dibelikan sesuatu kepada orang tua. Jadi, meskipun saya di SMA anak metal tapi saya sama sekali tidak punya kaos metal, apalagi kaos Korn. Akhirnya saya pakai kaos SMA pacar saya. Warnanya
4gambar dipinjam dari metalinjecton.net
hitam, lengan panjang, ukurannya besar, ada gambar tengkoraknya. Pas lah pikir saya. Ternyata nanti di PRJ ada yang mengenali kaos ini. Dia teman sekelas pacar saya di SMA yang juga penggemar Korn. Sudah begitu kaosnya ada nama masing-masing siswa, agak malulah saya kaosnya bertuliskan “Rahma”. Saya sampai di lokasi PRJ tepat pukul 12 siang. Sudah banyak metalhead berpakaian hitam-hitam yang datang. Poster Korn di mana-mana. “Right Now”, “Did My Time”, dan “Y’All Want a Single” diputar berkali-kali. Poster Djarum Super dan Java Musikindo juga terpampang di mana-mana. Tapi gerbang masih ditutup, katanya masih lama bukanya. Ya sudah saya makan dan sholat dulu (waktu itu masih rajin). Lalu setelah itu sudah pada mengantri masuk, saya juga mengantri. Kebanyakan yang datang anak-anak Jakarta. Saya baru tahu mereka kalau bercanda itu rasis dan keterlaluan. Meskipun antrian sudah panjang dan sesak tapi gerbang belum juga dibuka. Meskipun kebelet pipis tapi saya tahan demi mendapat tempat moshing yang enak. Akhirnya gerbang dibuka dan saya berhasil mendapat tempat di deretan paling depan. Yes!! Tapi akhirnya tidak tahan juga, saya ke toilet dulu dan pas kembali sudah tidak bisa lagi ke deret depan. Arena konser dibagi dua area, festival depan dan belakang. Saya beli yang festival depan. Panggungnya sangat megah. Layar besar ada di kanan-kiri panggung. Sound system-nya luar biasa banyak. Efek lampu dan asapnya keren sekali. Sungguh memikat hati saya waktu itu. Di gerbang, banyak gesper metal yang dicopot petugas. Di sini pengamanannya
berlapis-lapis. Baru sekali saya nonton konser dengan keamanan seketat itu (ya iyalah, nonton konser juga baru sekali ini). Konser dibuka oleh /rif, salah satu band besar Indonesia. Itu adalah pertama kali /rif tampil dengan gitaris Ovie, menggantikan Deni yang keluar. Sayangnya para penonton tidak menunjukkan respek. Mereka teriak-teriak menyuruh /rif segera menyelesaikan lagu-lagu mereka dan turun karena tidak sabar ingin menyaksikan Korn. Akhirnya /rif selesai. Peralatan panggung mereka digeser. Dan digantikan dengan peralatan panggung milik Korn, termasuk drum set David Silveria yang banyak banget (padahal menurut saya tidak dipakai), dan juga, ini dia, tiang mik khas milik Jonathan Davis yang diberi nama “The Bitch”. Penonton pun menggila! Tepat pukul 20.30 konser dimulai. Perut saya yang lapar melilit hilang seketika saat kelima personel Korn masuk ke panggung. Well, they are Korn, they are here, and I’m watching them live! Perasaan yang tidak tergambarkan saat itu. Kalau sekarang sih sudah biasa nonton band besar. Di panggung Davis, Mungky, Head, dan Fieldy senantiasa berjingkrakjingkrak di setiap tembang yang mereka lantunkan, tanpa mengurangi atau mengganggu sedikit pun harmoninasi musik yang mereka bawakan. Tingkah polah para personel tentu saja diikuti oleh para pecintanya. Tidak ada yang memegang smartphone-nya (seperti sekarang ini). Semuanya berdansa, semua bernyanyi, semuanya headbanging di dalam moshpit yang liar. Lagu pertama dari album terbaru: “Right Now”. Lagu kedua juga dari album baru: “Did My Time”. Lagu
ketiga: “Freak on a Leash”. Dan penonton pun menggila lagi. Saya tidak hafal persis lagu-lagu yang dibawakan, tapi seingat saya semua lagu yang populer ikut dibawakan dengan kemarahan yang membahana serta membakar semangat penonton lain untuk moshing dan bodysurfing. Sekitar 3 jam konser tersebut berlangsung. Badan seperti mau hancur. Capek, letih, sakit semua karena moshing, padahal belum makan. Rasanya mau pingsan. Akhirnya makan dulu. Pukul 23.00, saya mau pulang, tapi ternyata sudah tidakk ada bis umum. Setelah tanyatanya orang, saya jalan dulu ke jalanan yang lebih besar bersama beberapa penonton lain. Dapatlah bis menuju ke Blok M. Saking capeknya saya ketiduran di bis dan dibangunkan kernet sesampainya di Blok M. Dari blok M, untung masih ada bis terakhir ke arah Bintaro, dan saya ketiduran lagi sampai ujung trayek, yang artinya terlewat jauh. Akhirnya balik lagi numpang mikrolet yang sebenarnya sudah tidak menarik penumpang. Saya sampai kos pukul 02.00. Badan sakit semua, tapi hati luar biasa senang. Pengalaman yang tidak terlupakan.
.
TUCZINE X I 27
PENADAH LUDAH
LESSONS IN LIFE, DEATH & VIOLENCE oleh ANDRIA SONHEDI KEPALA Kantor saya berpamitan di usianya yang kurang sebulan menjelang pensiunnya di usia 58 tahun. Gangguan kesehatan terutama mata beliau yang pemulihannya sangat lambat pasca pengobatan serta komplikasi penyakit lainnya adalah penyebab utama keputusan beliau untuk berhenti. Semangat beliau untuk bekerja dan tetap beribadah sempat membuatnya bertahan. Tapi akhirnya memang hanya beliau sendiri tahu sampai mana batasnya. Semacam kalimat di lagu “A Tout le Monde�-nya Megadeth: “saya cinta kalian tapi saya harus pergi�. Sebelumnya, 21 April, Prince, musisi Afro-Amerika setaraf Michael Jackson, meninggal mendadak di studionya karena sakit. Pada 10 Januari 2016 David Bowie musisi pendobrak yang hanya dikenal generasai tua kita juga meninggal karena kanker di usia 69 tahun. Pada 28 Desember 2015 meninggal pula Lemmy Kilmister pendiri Motorhead. Mereka tak seberuntung kepala kantor saya yang masih bisa berpamitan. Mungkin sedikit persamaan dengan kepala kantor saya adalah para almarhum tadi masih tetap aktif dalam pekerjaannya: bermusik. Outstanding in their field. Saya tidak tahu apakah nantinya Justin Bieber masih kuat melakukan tur dan membuat lagu sampai usia 70 tahun seperti David Bowie atau Lemmy. Sebulan sebelum meninggal Lemmy baru saja menyelesaikan tur untuk album baru Motorhead. David Bowie baru menyelesaikan album di akhir tahun 2015. Les Paul, gitaris sekaligus pionir gitar listrik modern malah masih bisa ikut show di usianya yang 93 tahun. Setahun kemudian dia meninggal. 28 I TUCZINE X
Another lesson in violence Beruntunglah dokter yang memberikan pendapatnya saat di akhir 2015 Lemmy Kilmister terdiagnosis kanker. Sang dokter memberi perkiraan hidup 2 hingga 6 bulan kepada sang pendiri Motorhead. Dokter itu lebih beruntung lagi karena dua hari sejak kankernya terdiagnosis, Lemmy meninggal dalam tidurnya. Syukurlah Lemmy bukan orang yang berangasan yang kemudian mengancam mati sang dokter, pun para penggemar beratnya tidak melabrak sang dokter karena telah memberi harapan palsu pada sang Godfather of Rock. Setidaknya mempertanyakan keabsahan ijazah dokter maupun izin prakteknya sekalian. Kebalikan dengan pendapat manajerenya yang ingin menyembunyikan masalah kesehatan Lemmy hingga waktunya sudah dekat, Lemmy sendiri yang baru berulang tahun ke-70 di bulan Desember 2015 justru ingin agar segera diumumkan di awal 2016. Beberapa teman dekat dipanggil untuk persiapan konferensi pers, termasuk Ozzy Osbourne yang bersiap berangkat ke rumah Lemmy, namun Lemmy sudah keburu pergi. Beberapa waktu lalu rekan seinstansi saya tak seberuntung dokternya Lemmy, dia tewas di tangan pengusaha yang gelap mata karena puyeng harus membayar miliaran rupiah berdasar surat ketetapan pajak kurang bayar (SKPKB). Alih-alih membuat konferensi pers untuk menunjukkan bahwa dia adalah Wajib Pajak yang patuh dan sedang didzolimi, dia justru menghabisi petugas yang menyampaikan surat paksa yang memang sesuai dengan peraturan pajak yang berlaku. Rekan saya hanya menjalankan tugas-
nya sebagai jurusita pajak karena sang pengusaha yang adalah wajib pajak tidak membayar sampai dengan jangka waktu yang telah ditetapkan. Sepertinya sat-saat ini pelajaran kekerasan sering muncul di beritaberita baik TV atau media sosial. Ada yang murni membela haknya, namun banyak juga yang semata-mata karena ingin segera menuntaskan masalah yang dia atau mereka anggap akarnya ada pada pihak lawan sengketa. Terkadang pihak yang mengeras tadi tak pernah menyadari bahwa sumber masalahnya justru dari ketakpedulian mereka pada aturan yang telah mereka sepakati atau sudah ada sebelumnya. Mereka butuh pengakuan bahwa apa yang telah mereka lakukan selama ini walau menyimpang adalah suatu kewajaran. Mereka memposisikan sebagai orang yang tidak tahu (penghalus istilah bodoh) dan bila mereka berhadapan dengan Pemerintah maka Pemerintah dianggap tak pernah mengajari mereka. Mereka abai dengan konsekuensi logis yang berhubungan dengan pekerjaan namun terus menganggap sebagai korban semata. Bila kita tak bisa berhitung belajarlah berhitung atau carilah orang yang bisa diupah untuk menghitung. Agama pun menyatakan bahwa Allah menaikkan derajat orang yang berilmu. Berdasarkan pengakuan Ozzy Osbourne selama ini Lemmy selalu membawa buku ke manapun dia pergi. Lemmy memang bukan orang yang berpendidikan tinggi namun dia mau belajar baik dari buku maupun dari kehidupan yang dia arungi.
.
PENADAH LUDAH
THE ART OF REBELLION oleh ANDRIA SONHEDI COVER song adalah versi baru dari rekaman sebelumnya yang dirilis secara komersial oleh artis lain. Versi baru bisa berarti cuma penyanyinya yang baru namun mengikuti aransemen yang sama atau bisa juga aransemennya berubah total. Semua itu tergantung bagaimana cara sang artis memasukkan gayanya serta bagaimana cara pandang dia atau mereka (ini jikalau yang melakukan adalah grup) bagaimana seharusnya lagu tadi dinyanyikan. Beberapa cover song benar-benar diproduksi ulang secara komersil dan beberapa lagi hanya ditampilkan di situs-situs dan akun pribadi dalam media sosial sebagai bentuk kecintaan terhadap artis yang membawakan lagu tersebut dalam versi aslinya. Maklum royalti untuk perekaman lagu-lagu tadi akan masuk ke pencipta atau penampil aslinya. Cover song telah banyak dilakukan oleh para musisi baik amatir maupun profesional. Ada juga yang meng-cover lagu yang populer untuk dipakai sebagai jalan bagi seorang artis atau penyanyi baru untuk meningkatkan popularitasnya secara lebih cepat. Album Diver Down dari Van Halen di tahun 1982 adalah salah satu contoh. Dari 12 lagu di album itu 5 di antaranya adalah lagu milik musisi lain. Saat itu Van Halen sedang merangkak menuju puncak, sehingga memainkan
lagu-lagu yang sudah dikenal orang akan menambah penggemar baru mereka. Selain itu David Lee Roth sang vokalis merasa kalau meng-cover lagu-lagu pop akan mempercepat langkah mereka menuju ketenaran. Dalam industri musik mungkin pernah membaca istilah rekaman bootleg. Bootleg adalah istilah untuk menyebut rekaman audio atau video dari rekaman yang tidak resmi dirilis oleh artis atau di bawah otoritas hukum lainnya. Setahu saya rekaman bootleg yang sering diperjual belikan adalah rekaman yang diambil saat artis tadi melangsungkan konser. Tidak semua artis mendapat kesempatan untuk membuat rekaman konsernya secara live. Di sisi lain banyak penggemar berat artis tadi ingin mempunyai koleksi lagu atau rekaman gambar mereka saat
konser. Beberapa dari bootleger membagi gratis karya bootleg mereka sebagian lagi memanfaatkan kesempatan mendapatkan uang dari penjualan rekaman tadi. Kebanyakan karena memakai peralatan seadanya maka hasil rekaman suara atau gambar tidak terlalu baik. Beberapa waktu lalu beberapa kenalan saya di Facebook menunjukkan hasil karya mereka membuat kaset kopian atau istilah mereka “gilingan� dari album-album yang tidak pernah diproduksi di Indonesia kala industri kaset pita sedang berjaya. Mereka membuat kaset untuk menyenangkan diri mereka tanpa ada keinginan untuk membarter atau menjualnya secara massal. Oleh karena itu saya justru menyebut karya mereka adalah semacam cover song tadi. Mereka tak mengubah lagunya namun merubah tampilan cover kaset menjadi sesuai yang ada dalam impian mereka selama ini. Bersyukurlah sekarang karena dengan maraknya teknologi internet dan cetak digital maka impian teman-teman saya tadi bisa kesampaian. Bagi saya pun, sebagai penggemar kaset terutama cover-nya, apa yang mereka lakukan bisa disebut karya seni.
.
TUCZINE X I 29
PENADAH LUDAH
UNDERGROUND DI MATAKU KINI oleh OLAP LINDEI DAMANIK SEMINGGU lalu saya menghadiri sebuah pesta pernikahan di salah satu pelosok tanah Batak. Pernikahan seorang teman yang berprofesi sebagai panggorga seni ukiran kayu, batu, dan media lain dengan motif ornamen khas Batak Toba. Menjadi menarik ketika beliau ini menyelenggarakan prosesi pernikahannya dengan sesuatu yang tidak lazim di masa sekarang, khususnya di prosesi adat Batak. Alih-alih menggunakan organ tunggal atau kombinasinya dengan instrumen tradisional, beliau ini malah full menggunakan instrumen tradisional: gondang sabangunan. Satu set instrumen tradisional yang terdiri dari gondang (perkusi), ogung (gong), dan sarune (alat musik tiup). Padahal di masa sekarang hal seperti ini teramat langka untuk dijumpai, bahkan di tanah Batak! Tapi teman ini mampu mewujudkan impiannya, menikah dengan cara yang dia inginkan, bukan dengan cara yang lazim dilakukan orang kebanyakan. Dan pada akhirnya prosesi pernikahan itu sendiri terasa begitu khusyuk, berkharisma dan sedikit terasa eksotis juga kalau tidak bisa dibilang mistis. Di masa lalu hal ini begitu mainstream, begitu underground kini. Butuh energi yang besar untuk berdiri di sisi lain dari kelaziman, meski mungkin tidak seberat menentang kezaliman. Namun melakukannya dengan penuh keyakinan dan kebahagiaan menjadi satu hal yang membuat kita bisa melihat orang-orang unik, orang-orang yang berbeda, cara berpikir beda, dan mewarnai hidup dengan cara berbeda pulak. Orang-orang itu mendeskripsikan seperti apa berpikir underground, menjadikan dunia terlihat menjadi semakin 30 I TUCZINE X
menarik. Underground, kata ini pulak yang mengawali terbentuknya sebuah komunitas aneh, dan sangat tidak lazim di keseharian profesional kita. Namanya komunitas, kita mendapatkan banyak hal darinya, dan terkadang harus memberi sesuatu juga. Itu siklus yang lazim, dan tidak perlu ditentang. Begitulah seharusnya, begitulah keindahannya. Komunitas kecil ini sendiri telah membawa dunia yang lebih besar dalam kehidupan yang aku jalani, dunia yang sangat besar. Tapi kini apakah dunia underground berkembang dengan semangat kebersamaan, care each other? Inilah yang mengkhawatirkan, karena kepedulian untuk itu semakin menipis. Atau memang di setiap sisi kehidupan begitu? Seharusnya underground bisa menjadi model komunitas yang baik, saling mendukung antar semua elemen bahkan dengan pihak di luar underground itu sendiri. Realitanya, meski berada dalam lingkup underground, perjuangan itu malah terkotak-kotak, bahkan beberapa nyaris berseberangan. Batasan-batasan yang terbangun semakin membuatnya memburuk, antar genre, antar generasi. Macam-macamlah. Sebagian yang memiliki akses informasi menyimpannya untuk diri sendiri atau kelompoknya, bahkan tidak membuka ruang diskusi yang cukup untuk berbagi tentang kondisi dan tantangan terkini. Sementara di sisi lain makin banyak pertunjukan raksasa di Indonesia. Penontonnya ramai, bukan, banyak! Indikator bagus dan membanggakan, skena underground semakin ramai massanya. Sebut saja Hammersonic, Rock in Solo, Bandung Berisik dan lainnya. Bahkan band papan atas Indonesia se-
makin mendunia. Burgerkill, Jasad, Noxa. Bisa dibilang industri skena underground Indonesia sedang berada dalam titik yang bagus. Jakarta, Bandung atau secara umum Pulau Jawa mungkin tidak ada masalah dengan perkembangan komunitas underground, tapi bagaimana dengan di luar Jawa? Untuk contoh terkecil, skena underground Pematang Siantar, kotaku. Berbanding terbalik dengan pertumbuhan pertunjukan-pertunjukan raksasa tadi, di sini justru semakin langka ditemui. Sementara di sisi lain cafe-cafe dengan live music bertebaran seperti jamur di musim bertebar. Tapi ternyata hal itu juga tidak mempunyai efek yang nyata terhadap skena underground. Di masa lalu, skena tidak lazim ini justru mempunyai jaringan komunitas yang lebih kuat dari yang ada hari ini. Tapi sebuah harapan kembali muncul ketika seminggu yang lalu sekelompok anak muda bersama-sama membuat gig kecil sebagai ajang silaturahmi musik indie, underground. Gig yang melepaskan sekat-sekat genre, meskipun sayangnya saat itu tidak terlihat penampilan bandband senior, tapi tetap saja itu sebuah gig yang bagus, menyenangkan! Ini bisa saja menjadi sebuah awal baru dalam perkembangan skena underground lokal. Sebuah impian yang wajar jika berharap gig seperti ini semakin meningkat intensitas dan kualitasnya. Karena kita tidak rela skena ini mundur. Tidak bisa. Tidak boleh! Itulah underground di mataku kini, bagaimana dari matamu?
.
PENADAH LUDAH
3,658 DAYS WAITING FOR GODOT oleh SARADDASI SAAT itu hari sabtu, 7 Mei 2016. Saya sedang di depan komputer mencoba bekerja, dan dilanda kebosanan. Kebosanan akan musik yang saya dengar belakangan yang itu-itu saja. Saya mencari-cari di player, lalu entah bagaimana kemudian berakhir di 10,000 Days, album terakhir Tool. Sudah cukup lama lagu-lagu Tool tidak ada di daftar main saya. Saya bahkan hampir lupa pada mereka! Yang kemudian terasa seperti kebetulan yang aneh, ternyata 10,000 Days dirilis pada 2 Mei 2006, tepat 10 tahun 5 hari, atau 3.658 hari pada hari sabtu itu. Sudah 10 tahun rupanya. Lalu semua memori tentang Tool meruak, dan jadilah sepanjang hari itu “Vicarious”, “10,000 Days”, “Rosetta Stoned”, “Right in Two” dan lainnya berputar berulang-ulang di player dan benak saya. Saya terlambat mengenal Tool. Saya baru mengenal mereka setelah 10,000 Days. Tidak tepat pada Mei 2006 tadi, tapi beberapa bulan kemudian. Saya ingat pertama mendengar album itu, kening saya mengernyit. Saya tidak langsung suka dan butuh beberapa kali menyimak untuk kemudian menikmatinya. Maklum, waktu itu saya sedang gandrung pada semua yang berisik dan cepat: hardcore, metalcore, grindcore dan seterusnya. Tapi waktu kemudian membuktikan, di saat hardcore, metalcore, grindcore dan seterusnya sepertinya mulai repetitif dan membosankan seiring pertambahan usia, lagu-lagu Tool justru semakin nyaman di kuping. Saya mengenal Tool dari belakang. Setelah nyaman dengan 10,000 Days, saya kemudian menelusuri albumalbum sebelumnya: Lateralus (2001), Æni-
ma (1996), Undertow (1993) serta Opiate (1992). Ada baiknya juga sebenarnya. Saya jadi bisa merasakan progresi musikalitas mereka setelah menyimak dari album ke album. Tool didirikan pada 1990 oleh Danny Carey (drum), Adam Jones (gitar) dan Maynard James Keenan (vokal). Mereka lalu mengajak Paul D’Amour (bass) yang kemudian digantikan Justin Chancellor pada 1995, satu-satunya perubahan lineup mereka sampai saat ini. Rilisan-rilisan awal mereka jelas sekali menunjukkan arus musik di era itu. Mini album Opiate serta debut album penuh Undertow pekat dengan sound alternative rock dan pengaruh grunge. Kasar, meledak-ledak, heavy, straight forward. Tapi keunikan, atau keanehan, Maynard dkk sudah bisa dirasakan lewat konsep Undertow yang gelap dan nihilistik. Awal dari perubahan Tool menjadi seperti yang terdengar di 10,000 Days sepertinya dimulai di Ænima. Di album penuh kedua itu mereka mulai menulis lagu berdurasi panjang, mencampurkan semua yang ada di kepala mereka, bereksperimen dan meramunya menjadi rekaman progresif yang rumit namun juga tidak berat. Setidaknya itu yang saya rasakan di lagu terakhir “Third Eye”. Semua kemudian menjadi sempurna lima tahun kemudian di Lateralus yang banyak disebut sebagai album terbaik mereka. Sementara 10,000 Days hanya melanjutkan, atau mengulangi, apa yang sudah ada di Lateralus. Berbicara Tool adalah berbicara empat orang musisi jenius yang membuat dan melihat musik sebagai seni. Seni yang ekspresif dan hidup. Berempat, mereka menciptakan visi mereka masing-
masing yang seringkali bertolak belakang, kemudian digodok bersama, disatukan menjadi seni, tidak hanya dalam urusan sound, tapi juga konsep yang lebih besar, seperti packaging, video, tema dan lirik, bahkan attitude misterius atau malah mistis, yang semua itu kemudian menjadi brand tersendiri. Brand besar, unik, aneh, misterius bernama Tool. Di kalangan fans mereka, seperti band besar lain, Tool sudah menjadi kultus. Apapun mengenai mereka dipebincangkan. Lirik-lirik Maynard yang banyak sekali berisi metafora dan makna-makna tersembunyi terus digali, didiskusikan atau diperdebatkan. Mereka tidak merilis apapun selama sepuluh tahun terakhir, di sela-sela itu mereka melakukan konser yang menandakan mereka tidak vakum atau bubar, selama itu mereka juga lebih banyak diam, tapi sepertinya jumlah fans mereka justru terus tumbuh. Mereka betulan telah menjadi berhala. Tahun 2006 beralih ke 2007, 2008 dan seterusnya, saya dan juga banyak lainnya terus menunggu kelanjutan 10,000 Days. Saya terus menunggu sampai titik di mana saya bahkan sampai lupa pernah menunggu, hingga teringat kembali pada tanggal 7 Mei tadi. Bisa jadi menunggu album baru Tool adalah betulan seperti dalam drama Waiting for Godot: penuh kesia-siaan dan berakhir konyol. Bisa juga penantian itu akan berakhir baik dalam waktu dekat setelah membaca isyarat-isyarat positif dari Maynard dkk dan antusiasme banyak fans belakangan ini. Saya tidak ingin terlalu optimis dulu, sebab mereka adalah Tool, yang hanya peduli pada mencipta seni, bukan menyenangkan fans.
.
TUCZINE X I 31
POINTS OF VIEW
MENGAPRESIASI BAND DI PANGGUNG Berawal dari sebuah foto di Instagram yang diberi komentar pedas, Polisi Skena lahir dan memancing sahut-sahutan pro-kontra berujung bully yang masif dan tiada habis. Serupa lingkaran setan akhirnya. Meski memang terkesan otoritatif (atau songong), kita tidak sedang ingin membahas Sang Polisi di sini. Toh itu sudah basi. Tapi menjadi menarik, ada diskusi seru yang bisa digulirkan. Bagaimana sih sebaiknya kita berlaku saat menonton konser? Bagaimana kita mengapresiasi band yang sedang tampil di atas panggung? Berikut pendapat beberapa kawan TUC.
DIDIK YANDIAWAN “Gaya menonton konser harus disesuaikan dengan band yang ditonton dan seberapa dekat penonton dengan musiknya. Kalau saya, jika suka dengan band secara konten dan visual, musiknya enerjik, saya selalu bergabung di baris depan dengan penonton yang enerjik juga. Supaya intensitas dan energi terjaga dengan orang-orang antusias. Sebaliknya, kalau saya baru tahu band-nya padahal enerjik musiknya, saya mundur dari garis depan, kasih kesempatan buat yang lebih tahu musiknya. Atau kalau musiknya tidak memancing buat gerak, minimal saya ikuti lagunya dari tengah atau belakang. Polisi skena itu sebenarnya muncul sebagai kekhawatiran seseorang yang peduli sama satu konsep pertunjukan yang utuh. Menurut saya aksi panggung band yang keren, ya harusnya diisi sama penonton yang keren secara attitude juga. Ketika konser berlangsung, sebaiknya hindari hal-hal yang mengganggu, contohnya ngerumpi, berbicara, mengambil dokumentasi sepanjang konser. Ketika lagu dimainkan sampai encore selesai, pertemanan saya hanya dengan band yang ada di panggung. Gaya apresiasi ya sesuai dengan musik band-nya. Metal ya ikut moshpit, headbang, syukur syukur bisa diving. Folk ya anteng sambil bernyanyi. Dangdut ya goyang jempol sambil bawa botol. Hehehe.“ 32 I TUCZINE X
AJI REBEL “Cara setiap penonton untuk mengapresiasi band yang dia tonton itu beda-beda. Saya kalau nonton metal malah lebih sering melipat tangan, kecuali nonton Lamb of God, Metallica dan Iron Maiden, karena saya pengen merhatiin drummernya. Minimal bisa nyolong skill sedikit. Intinya, orang yang cuma terdiam waktu nonton konser (konser apapun itu) bukan berarti dia tidak mengapresiasi band yang tampil. Malah bisa jadi apresiasinya lebih besar daripada yang sekedar jingkrak-jingkrak doang.” PEMADAM KELAPARAN “Saya flashback ke medio di mana geliat do-it-yourself scene dengan beragam genre kala itu bukanlah sebuah arus kegemaran trendi. Ketika para personil band masih mempunyai dua ayah: satu ayah ideologi dan satu ayah biologis. Paparan ayah pertamalah yang menjadi penarik simpul ideologi band serta kemasannya yang bersifat kolektif. Tak hanya bedebah isme, dan musikalitasnya, media penyampaiannya pun keluar batas. Di sinilah peran skena bertanggung jawab masif atas keberlangsungan ide para band. Skena merupakan sebuah lingkaran yang padanya kita bisa belajar banyak tentang menghargai musik dan isme yang dikisahkan. Lalu polisi skena itu apa pasal? Poseur itu tinggal dinyanyikan saja
lagu himne “Menyatir Poseur”-nya Runtah, “Poseur”-nya Milisi Kecoa, atau “Usir Para Jagoan”-nya Full of Hate. Lalat, efektif, edukatif, masif! Ya, poseur di-sing-along-in di sepanjang skena itu apa pasal? Kondisinya berbeda dengan skena “minuman ringan” sekarang ketika band tersaji layaknya minuman ringan. Siap saji di manapun, kapanpun, atas permintaan share profit, tanpa pelengkap isme. Well polisi skena masih tetap harus ada? Toh beberapa dari mereka (kita) datang bukan untuk melahap isme, kita hanya came, watch, then go home. Saya menyikapi munculnya fashion police (baca: polisi skena) toh skenanya saja bukan skena underground kok, sejak kapan musisi underground jadi pengamat fashion? Sikap polisi skena ini, (bila faktanya orang dengan muka STNK itu menikmati konser) sama halnya melarang suporter sepakbola untuk mendukung klubnya dengan cara yang berbeda dengan suporter lain, padahal hooligan dan casual berbeda cara. Saya malah menyikapi polisi skena itu sebagai polisi poseur, match steward. Scene steward. Harusnya pakai rompi.” RADEN ANDRIANA “Kalau buat saya sih ya suka-suka sendirilah. Betul itu tiap orang punya cara sendiri buat menikmati konser. Mau
moshing, cuma terdiam, sambil coli atau main sama perek juga terserah. Karena buat saya, kalau sudah datang ke satu konser (yang bayar loh), artinya dia sudah mau mengorbankan waktu dan duit untuk menikmati musik yang dia sukai. Itu harusnya juga dihargai sama musisinya.” ANNASZ GOZALI “Saya nonton Incubus terakhir malah sambil merem. Keenakan sama lagunya. Jangan lihat dari gaya orang nonton deh. Lihat bagaimana dia menikmatinya saja. Output-nya kan macam-macam, ada yang musti pecicilan, ada yang anteng, ada yang cukup merem saja. Tapi yang jelas dari ekspresi mukanya kan bisa tahu kalau tuh orang memang sedang dalam fase menikmati. Beda kalau out of focus sama band yang sedang ditontonnya, itu jelas dia tidak sedang menikmati sajian yang dihidangkan.” OLAP LINDEI DAMANIK “Sepanjang tidak rusuh, biarkanlah orang menikmati konser dengan caranya masing-masing. Itu yang utama. Meskipun seharusnya penampilan sebuah band, terutama yang non-mainstream, layak mendapat respek yang seharusnya. Kenapa? Karena mereka tampil karena idealisme. Paling tidak penampilan mereka bukan tentang uang saja. Sepantasnya diberi respek. Di sisi lain, polisi skena
bisa diterima, tapi terkadang jadi kontra produktif juga. Siapa sih yang pantas mengurusi cara orang menikmati musik?” AKBAR SAPUTRA “Menurut saya sih, sikap penonton itu hak mereka bersikap seperti apa. Musik itu kan karya seni, seni itu dinikmati dengan perasaan, dengan hati, jadi sah saja penonton anteng. Mungkin polisi skena sudah terpaku bahwa setiap penikmat musik harus sesuai dengan mazhab musik tersebut (baca: sikap dominan penggemarnya). Jadi kesimpulan saya, dangdut tidak harus goyang, rock tidak mesti jingkrak, dan ska tidak mesti pogo.” DERRY MARSELANO “Mengapresiasi band yang sedang tampil, asal tidak sibuk sama gadget atau sibuk sendiri, kayaknya oke-oke saja. Walaupun kadang kalau tampil di panggung inginnya pada jejingkrakan atau bergoyang minimal mengangguk-angguk macam mengerti apa yang sedang dibawakan. Tapi kadang orang menonton punya cara sendiri buat menikmati konser. Contohnya kapan hari saat lagi pogo-pogo ada teman yang diam sambil serius memperhatikan pemain trombon band yang lagi tampil, salahkah? Apa lebih keren yang pogo dari diam serius? Kan tidak juga. Menonton konser itu sebaiknya, pertama beli tiket kalau memang
Polisi skena itu sebenarnya muncul sebagai kekhawatiran seseorang yang peduli sama satu konsep pertunjukan yang utuh. masuknya pakai tiket. Jangan menjebol pintu, kecuali terpaksa sekali hahaha. Kalau bisa beli minuman atau makanan di sana. Jangan berniat merusuh. Berhatihati saat moshing dan sejenisnya. Kalau tersenggol tanpa sengaja ya jangan emosi. Kalau jaman sekarang pada sibuk ber-gadget ria, asal sepantasnya saja. Kalau kamu lagi foto-foto terus ada yang menyenggol gadget-mu terus jatuh, bukan salah siapa-siapa dah itu.” ACENG SUNARYA “Nonton konser itu enaknya ikut larut. Baik larut menikmati musik, atau dalam pergumulan di pit. Bagaimana penampilnya juga bawa suasana crowd sih.” TUCZINE X I 33
Menghadiri konser itu sudah wujud apresiasi. Meluangkan waktu yang mungkin bisa untuk coli, making love, atau kenikmatan lainnya. ULY UGLY “Nonton konser musik mah bebas-bebas saja kali. Tidak usah diatur-atur. Yang penting nikmati musik dan suasananya. Asal jangan ganggu orang lain. Khususnya yang sering selfie sampai menutupi pandangan orang. Tapi kalau menurutku yang pecinta kerusuhan, posisi menonton harusnya paling depan dekat idola, sekalian bisa rusuh ramai-ramai sama yang lain. Kapan lagi kan? Hal seperti ini yang tidak bisa didapatkan dari mendengar CD doang.” HER_DIST “Idealnya, posisi saat menonton konser itu di area sound terbaik bisa didengar, yaitu di tengah depan panggung, tidak terlalu dekat, tidak terlalu jauh dari panggung. Itu untuk penikmat sound.” MOCH. SYAECHUDIN “Seperti halnya kemerdekaan, hak untuk menikmati sesuatu, dan bagaimana cara menikmatinya tidak harus sama. Jika penonton hanya terdiam, band-nya (mungkin) kurang bisa menghidupkan semua penonton. Atau memang si penonton 34 I TUCZINE X
gaya menikmatinya seperti itu. Menikmati musik tidak harus lompat-lompat, moshing, atau goyang pantat kan? Menghadiri konser itu sudah wujud apresiasi. Meluangkan waktu yang mungkin bisa untuk coli, making love, atau kenikmatan lainnya. Tapi dia rela datang, antri dan bahkan membayar. Jika kita ingin dihargai dengan cara kita, jangan berseni. Karena seni itu tidak dibatasi. Kitalah yang menciptakan batas itu. Batas yang diciptakan oleh mayoritas, atau komunitas.” AYU PRIMA AKSARI “Polisi skena mungkin merupakan saudaranya pamong praja. Seringkali benar, tapi juga seringkali menggunakan cara yang kurang cantik. Konser itu untuk dinikmati, bukan untuk dibikin ribet. Pastikan kalian bersenang-senang tanpa mengganggu kesenangan orang lain. Apresiasilah band yang tampil dengan lensa mata kalian, bukan dengan lensa kamera. Nikmati dengan segenap panca indera.” EARTH “Aku termasuk orang yang bisa mendengarkan musik hingar dalam diam, merem. Asyik saja tuh. Tidak ada hukumnya wajib mendengarkan metal harus dengan bertingkah polah kayak orang kesurupan.” RIDWAN FREDIAWAN “Ketika mengetahui polisi skena ini yang terlintas di benak saya adalah, hey you know what, sekarang bukan cuma pemusik yang dikelompokkan, tapi juga penontonnya. Sekarang menikmati musik juga harus diatur! Sebagai, yah bolehlah dibilang penikmat musik baik itu mendengarkan atau memainkan alatnya waktu masih gabung di Neowax, saya bisalah mengerti kenapa fenomena polisi skena itu timbul. Kalau ditanya itu boleh atau tidak, saya akan bilang: itu semua
terjadi karena orang sekarang cenderung rigid. Ya kaku. Kaku terhadap semua hal, termasuk, ya, menikmati konser. Di tahun 2000-an di Bandung, banyak acara musik baik skala kecil atau besar dihelat, saat itu saya tidak kepikiran kalau orang mau mengomentari penontonnya. Bebas-bebas saja, terserah menikmatinya mau bagaimana. It’s depend on how you wanna get your feeling about those music. Atau bisa juga tergantung band-band yang tampil. Ekstrimnya, kalau shoegaze yang pasti kelihatan penonton duduk atau yang seperti si pemuda berbaju biru yang dikomentari si polisi skena. Toh tidak semua band ingin para penontonnya meluapkan euforia secara berlebihan. Eddie Vedder dalam konser Pearl Jam sering memperingati penonton atau bahkan mengusir mereka yang euforianya terlalu berlebihan sehingga mungkin mengganggu penonton lain. Setiap orang berhak menikmati musik, selama haknya tidak menggangu hak orang lain.” DANU ADISAPUTRA “Ya okelah dengan perkembangan teknologi bisa mengambil foto atau merekam video. Tapi sangat perlu menghargai penonton lain, khususnya penikmat dan pecinta sejati band yang sedang tampil. Fotografer resmi saja cuma diijinkan mengambil foto di beberapa lagu awal.” I PUTU RYAN DESSAPTASOMA “Tergantung band-nya dan si penonton kenal atau tidak sama yang ditonton. Kalau lagunya sudah familiar di kuping ya wajar joget-joget ikut irama. Kalau band baru dengar ya wajar sih bengong ngeliatin. Tapi kalau memang enak ya minimal manggut-manggutlah.” AJAR REDINDRA ISLAMI “Polisi skena itu F*I dalam bentuk lain.”
POINTS OF VIEW MUSTAFID AMNA “Bagaimana sebaiknya datang ke konser, pertama, jangan bawa senjata tajam. Kalau kamu bawa sudah pasti tidak boleh masuk, meski kamu sudah beli tiket. Kedua, kalau mau dapat sound yang bagus, cari posisi dekat soundman. Biasanya di tengah. Ketiga, jangan bawa pisang. Walaupun pisang bisa mengembalikan kekuatan sehabis moshing, tapi kulitnya bisa berbahaya karena bisa membuat orang terpeleset saat moshing. Keempat, jangan bawa pacar, apalagi pacar orang. Memangnya kamu mau pacaran atau menonton band kesayangan? Ajak teman komunitas saja. Setiap orang punya cara sendiri untuk mengapresiasi band yang sedang tampil. Ada yang moshing, ada yang ikut bernyanyi. Kalau saya sih tergantung band-nya. Mestinya mereka lebih interaktif, pasti kita yang nonton juga ikutan aktif.” MUHAMMAD FAHMI “Tentang polisi skena: kurang kerjaan sampai mengurusi pakaian orang dan bagaimana menonton live music.” ADHI PAMUNGKAS “Polisi ini muncul karena kebutuhan. Karena gigs mulai tidak aman, ada korban, baik penonton maupun artisnya. Menurut saya, apa yang sudah terjadi dan sempat ramai kok tidak worth ya. It’s like they discuss something they don’t really need. Atau mungkin media sosial sudah seperti itu. Ekspresi setiap orang berbeda-beda, tidak bisa dihakimi dari gerak-gerik saat menonton konser. Saat penampil sekelas Metallica lalu penonton cuma loncatloncat seolah sedang mendengarkan Limp Bizkit, tidak ada masalah waktu itu. Saya sendiri kalau menonton konser lebih sering diam. Enjoying every sound they created. Mau itu Mocca, Burgerkill atau The S.I.G.I.T. Terkait apresiasi ke band, cukup datang ke konser mereka itu sudah apresiasi besar untuk band-band cutting edge seperti mereka. Kesimpulannya, tidak usah lebay kali ya.” MEIDIAWAN CESARIAN SYAH “Polisi skena sepertinya sedang ingin bermain tuhan. Ia meminta orang melakukan ini itu atau tidak melakukan ini itu dengan sebuah alasan yang terlalu diada-adakan. Bukankan kita memiliki kebebasan, termasuk kebebasan untuk memilih bagaimana cara kita menikmati konser? Mungkin ada yang sibuk bersendiri bersepi-sepi dan ada yang membaur suka
Jangan bawa pisang. Walaupun pisang bisa mengembalikan kekuatan sehabis moshing, tapi kulitnya bisa berbahaya. Bisa membuat orang terpeleset. ria. Tapi di mana letak masalahnya? Saya menyukai perbedaan sebagaimana tuhan juga mencintainya. Seperti sebaik-baiknya umat adalah mereka yang datang ke tempat peribadatan, sebaik-baiknya penikmat konser adalah mereka yang datang menyaksikan idolanya di panggung. Bukan mengoleksi lagu bajakan saja.” SAPTO SUPRIYANTO “Menurut saya, dalam level tertentu polisi skena itu ada benarnya juga. Jadi saat menonton konser, sebaiknya penonton melihat siapa yang tampil dan bagaimana umumnya komunitas penggemar bereaksi atas penampilan artis tersebut. Dengan reaksi yang sama atau seragam akan menambah keseruan dari konser itu sendiri. Tapi hal itu sebaiknya muncul dari diri sendiri sebagai penikmat konser, bukan dari orang lain yang memaksakan kehendak dengan menjadi polisi skena.” CHRESNO DAROE WARSONO “Aku tidak setuju dengan apa yang ditulis si jurnalis itu. Bagiku sah sah saja bagi setiap orang untuk berperilaku apapun saat menikmati konser. Aku sendiri (mungkin) seperti si pemuda berbaju biru itu. Saat menonton konser, aku justru lebih banyak diam untuk melihat penampilan, gaya bermain si musisi dan sesekali ikut bersenandung atau tepuk tangan. Mungkin pandanganku kebalikan dari jurnalis itu. Kalau mau joget (baca: moshing, headbanging) di rumah juga bisa, sambil mendengarkan audionya atau nonton videonya. Justru di konser itu kita bisa melihat aksi musisi secara langsung dan merasakan gejolak ruang yang sama dengan musisi. Itu yang akan kurang terasa saat kita kalap joget-jogetan. Mungkin saat menonton konser di tahun ’90-an (Sepultura, Metallica, Bon Jovi, Def Leppard) aku masih ikut nyanyinyanyi, tapi tidak joget. Setelah 2000-an (Deep Purple, Mr. Big) aku lebih banyak diam dan menikmati gaya musisinya. Mungkin juga karena usia. Aku merasa si jurnalis tidak konsisten. Dia menilai begitu pada si pemuda berbaju biru, sementara dia justru tidak menikmati konser itu, tapi malah menikmati perilaku si pemuda.”
GIGIH SANTRA WIRAWAN “Perilaku yang baik saat menonton konser dan bagaimana mengapresiasi band: pertama, bernyanyilah. Percuma kamu datang ke konser kalau kamu tidak tahu lagu band yang sedang manggung. Artinya, kamu cuma ingin terlihat keren datang ke konser. Atau kamu cuma ingin pamer di media sosial kalau kamu pernah nonton konser. Beri apresiasi pada band yang sedangan tampil dengan bernyanyi bersama mereka. Kedua, jangan merekam. Merekam mereka manggung lalu membagikan ke publik itu bisa berarti melanggar hak cipta. Selain itu, kamu tidak menghargai mereka bermusik karena malah sibuk dengan urusan gadget. Ketiga, berdansalah. Berdansa, bergoyang dan melompatlah. Nikmati suasana yang tidak setiap hari bisa kamu rasakan. Lepas semua beban, bebaskan pikiran dan biarkan emosi dari lagu yang dibawakan di atas panggung menguasai dirimu. Mari bertabrakan, mari dorong-dorongan, mari berteriak. Mumpung banyak temannya. Keempat, ikuti perintah dari atas panggung. Musisi yang karyanya sudah mendunia pasti bukan musisi biasa. Jadi ya tidak masalah kalau kita mengikuti apa yang diminta, misal; “teriaklah”, “melompatlah”, “buatlah lingkaran”, dan lain-lain. Kecuali kalau mereka arogan atau perintahnya aneh-aneh ya jangan diikuti. Lain halnya kalau kamu tidak paham apa yang mereka perintahkan. Kelima, ini tidak berhubungan langsung dengan konser, tapi merupakan bentuk apresiasi yang paling bagus. Belilah karya mereka yang asli, jangan yang bajakan. Beda dengan band-band luar yang sudah mapan, band-band Indonesia berjuang keras untuk bertahan. Tidak banyak yang bisa mereka lakukan untuk mendapat uang. Jadi kalau kamu suka karya mereka, belilah yang asli, jangan unduh yang gratisan atau salin punya teman. Demikian pula dengan merchandise, sebisa mungkin beli dari toko yang memang mereka kelola, atau paling tidak hasilnya masuk ke mereka.”
.
TUCZINE X I 35
MY LIST
15 FAVOURITE TOOL’S SONGS oleh SARADDASI
JIKA ada yang lebih lama dan siasia dari menunggu Godot, itu adalah menunggu Tool merilis album lagi. Terakhir merilis 10,000 Days pada 2006, Maynard James Keenan dan kawan-kawan terus memancing antusiasme ketika mengisyaratkan akan album berikutnya. Mereka selalu muncul dalam daftar awal tahunan most awaited album of the year. Sampai sepuluh tahun berlalu, isyarat tinggal isyarat. Album baru mereka adalah betulan Godot dan menantinya mungkin adalah kesia-siaan. Sambil menunggu, saya mengisi waktu dengan, semoga ini tidak sia-sia, melihat-lihat kembali dan menikmati lagu-lagu lama mereka yang selalu cocok untuk dinikmati kapanpun, di manapun, dan memuatnya dalam daftar ‘terfavorit’. Dalam perjalanannya selama kira-kira 25 tahun, Tool telah merilis sebuah demo, 72826 (1991); sebuah mini album, Opiate (1992); empat album penuh, Undertow (1993), Ænima (1996), Lateralus (2001) dan 10,000 Days (2006); serta sebuah live album, Salival (2000). Total semua rilisan ini memuat sekira 69 lagu. Tidak mudah memilih 15 lagu saja dari jumlah sebanyak itu. Apalagi ini adalah Tool yang, seperti kita tahu, setiap lagunya memiliki keunikan, hook dan momen tersendiri. Demikian, ada beberapa yang membekas lama di benak dan bertahan lama dan berulang-ulang di daftar main. Tentu saja daftar berikut ini adalah menurut kuping saya yang awam.
15
“Third Eye” / Ænima “Third Eye”, lagu terakhir di Ænima, adalah awal dari transformasi Tool menjadi apa yang kita kenal di Lateralus dan 10,000 Days. Jika kita mengesampingkan “Disgustipated”, dengan durasi 15 menit 49 detik yang sebagian besarnya hanya 36 I TUCZINE X
berisi keheningan, lagu ini adalah lagu studio Tool dengan durasi paling panjang: 13 menit 48 detik. Durasi sepanjang itu diisi beragam eksperimen dan unjuk skill, yang menjadi sempurna lima tahun kemudian.
14
“Sober” / Undertow Merupakan salah satu lagu Tool yang paling sederhana. Seperti juga keseluruhan album Undertow dan Opiate yang kentara sekali masih terpengaruh grunge dan alternative rock, lagu ini menunjukkan Tool sebelum bertransfomasi sepenuhnya di Lateralus. Ditulis di bawah, atau tentang, pengaruh LSD, “Sober” merupakan anthem para fans dari generasi awal.
13
“Vicarious” / 10,000 Days Meskipun lirik track pembuka 10,000 Days ini simpel dan paling gampang dimengerti di antara lagu-lagu Tool, musiknya tetap kompleks. Saya suka betotan bass Justin Chancellor yang beradu harmonis dengan ketukan drum Danny Carey, membentuk wall of sound yang solid, memberikan kebebasan pada Adam Jones dengan gitarnya, juga pada Maynard dan vokalnya.
12
“Opiate” / Opiate “Opiate” adalah asal mula Tool. Empat anak muda yang bersemangat memainkan musik cadas di bawah paparan grunge tanpa lupa menancapkan ciri khas mereka sendiri. Lagu ini memuat salah satu lirik Tool yang paling ofensif, di mana mereka menjejalkan tuhan dan surga dengan kalimat “we both want to rape you” dalam teriakan yang menganggu dan penuh ancaman.
11
“Ticks & Leeches” / Lateralus “Ticks & Leeches” memamerkan kehandalan Danny Carey di belakang drum setnya lewat gebukan yang bertenaga dan rancak. Lagu ini sekalian menjadi salah satu lagu Tool yang paling cadas, agresif dan straight forward. Hal ini semakin menonjol karena lagu ini terdapat di album Lateralus yang eksperimental, progresif atau njlimet.
10
“Rosetta Stoned” / 10,000 Days “Rosetta Stoned” terdengar seperti track yang lupa dimasukkan di Lateralus. Sebagai salah satu lagu tunggal dengan durasi yang panjang, 11 menit 11 detik, lagu ini adalah yang paling kompleks dan eksprimental di 10,000 Days. Berisi kalimat “Me! The chosen one. They chose me!!!! And I didn’t even graduate from fuckin’ high school!!” dalam liriknya yang panjang, Maynard dkk menyindir para penggemar mereka sendiri, dan tetap dipuja karenanya!
9
“Stinkfist” / Ænima Lagu yang membuka Ænima ini memperlihatkan Tool yang akan mulai bertransformasi. Salah satu yang paling kentara di lagu ini adalah vokalisasi Maynard yang bervariasi, hal yang akan banyak ditemui di lagu-lagu dan album-album berikutnya. Punch di lagu ini adalah bagian chorus yang ekspresif dan menggelegak setelah verses yang tenang.
8
“Eulogy” / Ænima Merupakan track kedua di Ænima, “Eulogy” bisa sekalian dianggap sebagai kelanjutan dari “Stinkfist”. Pola verses tenang-chorus eksresif kedua lagu inipun
hampir serupa. Tapi saya paling suka bagian liriknya yang bisa diterjemahkan, seperti judulnya, sebagai eulogi atau malah sarkasme bagi para martir: “we wish you well / you told us how you weren’t afraid to die / well then, so long / don’t cry, or feel too down / not all martyrs see divinity / but at least you tried”.
7
“The Grudge” / Lateralus Di tiga album terakhir mereka, Tool selalu tepat dalam menyusun track list, utamanya dalam menempatkan lagu yang pas sebagai track pembuka. “Stinkfist” dan “Vicarious” di Ænima dan 10,000 Days, dan lagu ini di Lateralus. Seperti diniatkan dengan kuat sebagai peringatan apa yang akan terjadi berikutnya. Well, “The Grudge” adalah awal dari kemegahan yang menyesaki Lateralus.
6
“Reflection” / Lateralus Lagu ini sebenarnya adalah bagian kedua dari apa yang sering dianggap trilogi di Lateralus: “Disposition”, “Reflection” dan “Triad”, track ke-10, 11 dan 12. Meskipun ketiga lagu ini bagusnya dinikmati secara berurutan laiknya sebuah trilogi, “Reflection” tetap bisa dinikmati secara terpisah, dan karena menurut kuping saya sedikit lebih menonjol dari dua lainnya, saya menyebutkannya sendirian saja di daftar ini. “Reflection” yang didominasi bunyi perkusi dan vokal lirih adalah salah satu lagu Tool yang paling pelan, tapi pesan dalam liriknya adalah salah satu yang paling jelas, kuat dan positif.
5
“Wings for Marie (Pt 1)” & “10,000 Days (Wings Pt 2)” / 10,000 Days Meskipun disebutkan terpisah dalam track list, sesungguhnya dua lagu ini adalah
satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Keduanya adalah persembahan personal dan sentimentil dari Maynard kepada ibu tirinya, Judith Marie, yang terserang stroke pada 1976 dan meninggal kurang lebih 10.000 hari kemudian pada 2003. Di samping kekuatan vokal Maynard yang emosional, tiga personil lainnya turut memberikan sumbangsihnya masing-masing, yang kemudian menciptakan 17 menit paling mencekam sekaligus mengharukan dalam diskografi Tool.
4
“Lateralus” / Lateralus Transformasi Tool yang, menurut saya, dimulai di “Third Eye”, sempurna di Lateralus. Dan lagu ini adalah monumennya. Saya tidak mengerti matematika, tapi dari yang umum diketahui, lagu ini mengaplikasikan sekuens Fibonacci ke dalam struktur musik dan liriknya. Menghadirkan pengalaman menikmati musik yang tidak biasa, mind-blowing dan, sedikit berlebihan, transendental. Awal tahun ini, “Lateralus” disebut sebagai the greatest metal song released so far in the 21st century oleh salah satu portal musik kenamaan. Saya sepakat.
3
“Schism” / Lateralus Seperti “Lateralus”, “Schism” termasuk dalam kumpulan lagu-lagu Tool yang paling kompleks dalam struktur musiknya yang secara konstan bergantian dari yang biasa ke yang njlimet dan seterusnya. Inti lagu ini sebenarnya ada pada melodi yang nyaman, namun dengan struktur yang seperti tadi, disonansi yang dihasilkan tetap menggelegar. “Schism” sepertinya merupakan lagu Tool yang paling dikenal dan disukai pendengar mainstream. Pada Grammy Awards tahun 2002, lagu ini menyisihkan lagu-lagu
dari Black Sabbath, Slayer, Slipknot dan System of a Down untuk memenangi kategori Best Metal Performance.
2
“Right in Two” / 10,000 Days “Right in Two” merupakan lagu yang pertama kali membuat saya betulan nyangkut pada Tool. Petikan gitar yang pelan di awal lagu yang kemudian berprogresi, menjadi lebih variatif, lalu cadas, distortif, naik turun, diselingi tetabuhan, ritmis, ditambah lirik “monkey killing monkey killing monkey” membuat saya penasaran, lalu terbawa. Salah satu penulisan lirik paling jenius dari Maynard dkk ketika secara sederhana, tapi tetap penuh metafora biblikal, menunjukkan kerusakan yang dibuat manusia pada alam dan, terutama, pada dirinya sendiri.
1
“Pushit” / Ænima & Salival Salah satu lagu Tool yang memicu paling banyak diskusi, atau malah debat. Metafora dalam liriknya memancing banyak sekali penafsiran, dari kekerasan dalam keluarga, hubungan asmara yang berat sebelah, sampai gerakan-gerakan dalam jiujitsu! Secara musikal, ini adalah salah satu lagu Tool yang paling kaya dan emosional. Lagu ini mencapai klimaks menjelang penghujungnya lewat vokal tinggi Maynard yang menumpahkan emosinya dalam teriakan “if, when I say I may fade like a sigh if I stay / you minimize my movement anyway / I must persuade you another way / there’s no love in fear”. “Pushit” pertama kali muncul di Ænima, tapi versi live di Salival lebih merasuk dan menghanyutkan.
.
TUCZINE X I 37
GIG REPORT
MARI KITA BERDANSKA MARI BERDANSKA X LAPANGAN TEGALEGA, BANDUNG 22 NOVEMBER 2015 oleh DERRY MARSELANO
ENTAH kebaikan apa yang saya buat hingga tahun 2015 lalu bagaikan sebuah anugerah tersendiri. Setelah puas berdanska trad dan two tone di Semarang Ska Festival, Mari Berdanska X digelar di Bandung menghadirkan band yang lima belas tahun lalu cuma bisa kami mimpikan untuk datang: Reel Big Fish. Padahal lima belas tahun yang lalu adalah puncak hingar-bingarnya musik ska, dan di tengah kenorakan dan segala macam pelecehan dari dunia musik terhadap ska macam ska dut, dan musik melayu cengeng dengan iringan brass section yang ingin dibilang trendi, Tipe X dan sejenisnya. Yup, Reel Big Fish manggung di Indonesia. Saya sempat tidak mau mencari tahu dan tidak mau berharap banyak, takut kejadian kayak MightyMighty Bostones yang gagal ke Indonesia, tapi akhirnya jadi kenyataan juga. Saat ini formasi awal Reel Big Fish tinggal Aaron Baret yang bertahan. Scott Klopfenstein, sejenis wakil kapten di band sebagai pemain gitar, keyboard, vokalis dan kebanyakan terompet. Konon, gigi serta struktur mulutnya agak rusak gara-gara jatuh waktu kecil, dan hal ini malah bikin dia jago main terompet. Sudah mundur karena punya anak, Matt Wong sang pemain bass -yang ada keturunan Asia dan bertanggung jawab atas nama Reel Big Fish. Harusnya Real Big 38 I TUCZINE X
Fish. Kesalahan penulisan adalah tanggung jawab si Matt ini- nasibnya sama juga kayak Scott, mundur karena anak dan istri. Sementara pemain trombonnya yang konon juga berprofesi sebagai pegulat WCW juga sudah tidak ada. Mungkin dia kembali menekuni dunia gulat. Kenapa konon semua, soalnya lima belas tahun lalu internet dan teknologi belum kayak sekarang, jadi ya begitu serabutan informasinya. Dan macam infotaiment saja, lima belas tahun lalu ada berita kalau Aaron Baret konon di-friendzone sama Monique Powel vokalisnya Save Ferris. So, lagu macam “She Has a Girlfriend Now” -di mana backing vocalist di lagu ini Monique sendiri- dan “She’s Famous Now” ditujukan buat Monique Powel. Walaupun tinggal Aaron Baret, tapi yakinlah personel-personel yang sekarang tidak kalah yoi. Mari Berdanska X kayaknya adalah acara yang rutin. Yang diadakan setiap diadakan, tidak tetap waktunya. Maksudnya, tahunan tidak, setahun dua kali juga kadang-kadang, dan kayaknya karena sudah yang ke-sepuluh, harus istimewa nih acara. Kali ini selain Reel Big Fish, mereka menghadirkan dan membagi pengisi acara jadi local heroes yang terdiri dari band-band ska-reggae-Jamaican sound-lah pokoknya asal Bandung seperti Coffe Reggae Stone, Skamigo, Rere-
gean, Scimmiaska, Scarpaska, Orind Pop Ska, dan The Croto Chip. Selain itu ada juga national lineup macam Don Lego, Rosemary, Souljah, Shaggy Dog, Noin Bulet (reuni), Purpose (reuni), dan Tony Q Rastafara. Dan saya maklum, demi mendapatkan dana untuk mengadakan acara ini mungkin panitia mesti mengundang Tipe-X yang massanya banyak betul. Pada 22 November 2015, setelah berdiskusi dan mendapatkan izin dari istri tercinta untuk menukar giliran jaga bayi, maka pada pukul 12.00 siang saya melompat ke penerbangan dengan pesawat baling-baling dari Semarang ke Bandung. Acara ini juga jadi semacam ajang reuni bersama teman-teman atau lebih tepatnya saudara sepernge-band-an yang mengarungi masa muda bersama. Jadi agak ribet berkumpulnya. Ada yang nyasar ke sini, ada yang nyasar ke sana. Saya sendiri harus sowan terlebih dahulu ke ketua angkatan perkuliahan saya yang penempatan di Bandung. Akhirnya formasi kami lengkap sekitar pukul 14.00 siang, berkumpul di Transtudio Mall dan lalu berangkat ke Lapangan Tegalega. Oh iya, di acara ini juga ada janji bertemu dengan teman dari Tax Underground Community, bung Ajar. Di tengah perjalanan terjadi drama: hujan turun tanpa malu-malu, deras berat, kayaknya baru besok pagi ini berhenti hujannya. Setelah
4gambar dipinjam dari bandungmagazine.com
diskusi, akhirnya diputuskan cari jas hujan dulu. Apapun yang terjadi kita harus pogo. Setelah dapat, berangkatlah kita ke venue. Dapat kabar juga dari bung Ajar kalau jaket kesayangannya dilarang masuk karena ada spike-nya. Akhirnya sampai juga ke venue. Dengan jas hujan lengkap kami penuh percaya diri menuju gate beli tiket. Ternyata anak di bawah 10 tahun bisa masuk secara gratis. Ada teman yang bawa anaknya umur 6 tahun. Begitu masuk venue, hujannya berhenti. Macam di film-film, langsung muncul matahari dan seolah tidak pernah ada hujan. Masih becek sedikit sih, tapi jadilah kami agak nyentrik dengan kostum jas hujan putih-putih ala Ku Klux Klan. Whateverlah. Begitu masuk baru sadar ternyata acara ini gede juga ya. Panggungnya dibagi dua: panggung utama Skanking Stage, dan yang agak kecil, Dance Hall. Saat itu yang ramai di Skanking Stage. Ternyata Rosemary yang sedang tampil. Oh ini dia band yang vokalisnya skater yang jago. Sudah belasan tahun masih awet band-nya. Keren. Cuma sempat lihat dua-tiga lagu dari Rosemary terus selesai. Dari sound sama lagu-lagunya terdengar seperti NOFX dengan cita rasa Bandung. Skatepunk keren dengan sound dan riff minimalis diiringi teriakan-teriakan harmonis dengan jumlah massa yang banyak
sekali sambil pogo dan bersenandung dan sing-a-long bersama. Mungkin suatu saat Rosemary atau vokalisnya yang jago skateboard bisa bikin film dokumenter tentang skateboard, band dan kehidupan. Selesai Rosemary kami memutuskan untuk pindah ke Dance Hall yang akan menampilkan Shaggy Dog, dan akhirnya bisa ketemu sama bung Ajar dengan rambut mohawk lunglai ke belakang yang bisa masuk setelah menitipkan jaket keramatnya ke tukang parkir. Shaggy Dog dipimpin vokalisnya Mr. Heru dan gitaris eksentrik Mr. Richard serta pemain keyboard yang lucu dan menghibur, Kakak Lilik dan personil lainnya. Shaggy Dog seperti biasa dan sewajarnya memainkan musik danska dengan rapi jali ganteng keren sekali. Lagu-lagu macam “Hey Cantik” dan “Jalan-Jalan” mengalun dengan rapi jali sementara lagu “Ditato” dengan nuansa koboi western sukses membuat kami sedikit pemanasan berdanska kecil. Tidak banyak waktu yang diberikan buat para Dogies kali ini, mungkin kepentok sama break maghrib. Cuma 5 atau 6 lagu yang dibawakan Shaggy Dog. Seperti biasa ditutup dengan lagu tentang kampung mereka di Jogja sana. Dengarkan lagu ini kalau mau ke kampung Sayidan di Jogja, dijamin tidak nyasar. Sing-a-long di tengah lagu membuat bulu kuduk merinding. Angkat gelasmu kawan.
Belum begitu puas dengan Shaggy Dog, adzan magrib berkumandang. Break kurang lebih setengah jam. Selain perhelatan musik, di acara ini ada juga kontes BMX dan skateboard. Kelar break, di Skanking Stage sudah siap Souljah dengan kostum seragam bendera Jamaika, seolah menegaskan kalau mereka ska bukan, reggea juga bukan. Jamaican music ala Souljah siap mengajak crowd berdanska Jamaica bersama. Kalau acara reuni begini melihat Souljah jadi teringat Arigato dengan “Indehoi di Teluk Bayurnya”. Suara vokal Danar mendayudayu diiringi suara vokal cowok yang Jamaican wannabe. Souljah menghibur dengan lagu-lagu hits macam “Bersamamu”, “Jatah Mantan”, “Satu Frekwensi”, “Move On”, “Ku Ingin Kau Mati Saja”, dan “Tak Selalu”. Lagu-lagu yang liriknya cocok buat anak-anak jaman sekarang. Penampilan Souljah ditutup dengan “I’m Free” dan diiringi dengan goyang bersama macam mobdance. Yang keren dari Souljah ini selain mainnya rapi, koreografi brass section-nya menghibur sekali kalau diperhatikan, kompak, terus gerakan sama musiknya selaras, juga tidak biasa gerakannya, sedikit akrobatik pemain terompet sama pemain trombonnya. Puas bergoyang santai dengan Souljah, acara kembali break untuk kumandang adzan isya’. TUCZINE X I 39
GIG REPORT Break isya’ selesai, 90% crowd mengarah ke Skanking Stage yang akan menyuguhkan Tipe-X. Begitulah orang Indonesia, ribuan menggemari sinetron dan sedikit yang suka hiburan bermutu. Akhirnya kami memutuskan ke Dance Hall yang paling cuma ada 100 orang untuk bereuni bersama Purpose yang mencoba kembali ke jalan yang benar seperti lima belas tahun yang lalu setelah vokalisnya mungkin akhirnya kehabisan ide lagu lucu mesum apa lagi yang harus dinyanyikan bersama Kungpow Chicken, dan juga mungkin semangat mereka bangkit setelah drummer Purpose meninggal di tahun 2015 ini. Purpose membuka break isya’ ini dengan hits mereka yang video klipnya sempat wara-wiri di MTV jaman dulu: “Tiger Clan”. Beberapa lagu lain yang saya tidak tahu judulnya juga dibawakan dengan rapi. Sayang karena di Skanking Stage sound-nya lebih besar jadi suaranya Trisno Tipe-X bocor sampai ke Dance Hall. Jadi mengganggu ke penonton dan ke Purpose sendiri. Beberapa kali vokalis Purpose teriak “oi Tipe-X salam ya”, sambil mimiknya tidak enak. Purpose mengajak reuni ke tahun ‘90an dengan meng-cover Mighty-Mighty Bostones “The Rascal King”. Enak sekali lagu ini buat lelompatan, dan leluasa lega karena yang lain nonton Tipe-X. Habis itu lagu yang sering wara-wiri di-cover sama band tahun ’90-an, “Special Brew” dari Bad Manners, tidak lupa lagu “Scooby Doo” dan cover lagu alm. Chrisye, “Anak Sekolah” menutup reuni mereka malam itu. Semoga mereka bisa membuat karya baru ke depannya. Selesai bereuni dengan Purpose, panggung Dance Hall bersiap untuk Tony Q Rastafara. Sementara di Skanking Stage suara Mr. Trisno masih sayup-sayup terdengar. Menyebalkan. Seperti terdengar suara “The Guns of Navarone” tapi ternyata bukan, ya sudahlah. Tony Q tidak lama nge-set panggungnya, dan tampil berempat: Tony Q, pemain bass, pemain drum sama pemain kendang. Crowd di Dance Hall dari yang tadinya sepi tibatiba penuh. Tony Q langsung menggebrak dengan lagu politik. Suara khasnya yang tidak dibuat-buat dan musik sederhana dibalut kendang tradisional menyihir penonton malam itu. “Yang jauh mendekat, yang dekat merapat”, sapaan khas hangat dari Tony Q mengawali lagu “Manteman” yang disambut riuh oleh penonton. Selepas “Manteman” kami memutuskan mundur dan menuju Skanking Stage untuk persiapan Reel Big Fish, beristirahat sejenak, serta mengganjal perut dan beruntung sekali karena bersamaan 40 I TUCZINE X
dengan Tony Q ternyata Skanking Stage menampilkan SIRIYAI, yang kemudian saya baru tahu kalau itu SIR Iyai dan O.K Paris van Java. Band, well lebih tepat disebut grup musik, ini menggabungkan cita rasa Jamaika dengan musik tradisional to the whole new level of awesomeness. They got 2 ukulele players, flute, brass section yang lebih dari lengkap, pemain-pemain cello, 2 atau 3 pemain gamelan, contra bass, guitar, bass, drum, kendang dan tetabuhannya lengkap. Pokoknya penuh dah itu panggung. Mereka memainkan musik yang megah, kombinasi tradisional dan modern saling mengisi dengan cara
yang pas. Tidak berlebihan, tidak tumpang tindih. Karena baru sekali itu dengar dan tahu grup ini, jadi cuma bisa menikmati dan terkagum-kagum di kejauhan. Vokalisnya yang kemudian baru saya tau itu adalah SIR Iyai tampak karismatik dan punya pengaruh yang cukup kuat di komunitas Jamaika di Bandung. Walaupun malam itu entah karena sound atau fisik atau emang suaranya begitu, vokalnya tidak begitu jelas terdengar, kurang nendang, tapi crowd dan kami sangat terpesona oleh musik mereka. Beberapa kali terdengar “Tahu Crispy” diteriakkan, saya pikir ada tukang jualan ternyata bukan,
4gambar dipinjam dari bandungmagazine.com
kayaknya itu lagu favorit para penonton malam itu dan mungkin dijadikan lagu penutup penampilan mereka malam itu. Keren. Pantaslah mereka menjadi band yang membuka Reel Big Fish. Finally, saatnya Reel Big Fish. Saat itu di Skanking Stage jumlah penonton malah sudah sedikit berkurang. Kami jadi leluasa untuk merangsek maju ke depan panggung. Setelah agak lama menunggu, Aaron Baret dan kawankawan muncul, membuka penampilan dengan gimmick “Final Countdown” dari Europe, menyapa penonton sebentar dan langsung dihajar dengan salah satu hits
mereka lima belas tahun lalu: “Trendy”. Sontak para penonton melakukan singa-long. Tanpa jeda mereka langsung menyambung dengan lagu “The Kids Dont Like It”, lalu “Your Guts. Pemain terompet Johny Crismas kayaknya menggantikan posisi Scott Klopfenstein dengan cukup lumayan. Walaupun agak tidak jelas tapi dia memimpin interaksi dengan penonton. Setelah menggebrak dengan hits jadulnya Reel Big Fish membawakan lagu-lagu dari album “Candy Coated Furry” (2012) macam “Hiding in My Headphones” dan “Don’t Stop Skankin”. Walau tidak terdengar familiar, tapi cukup mampu mengajak
penonton berdanska sambil sedikit sok tahu ikutan sing-a-long. Aaron Baret melanjutkan dengan hits lawas lagi macam “Sell Out”, “I Want Your Girl Friends”, dan “She Has a Girfriend” yang sontak membuat para penonton berdanska dan bernostalgia ke masa lalu. Lagu “Where Have You Been” yang lebih kental nuansa pop punk ska juga enak sekali didengerkan. Saat Reel Big Fish meng-cover lagu Toots N Mytals, “Monkey Man”, yang masuk dalam album cover mereka “Fame, Fortune and Fornication”, kami memutuskan bahwa lagu ini bisa digunakan untuk membuat keretakeretaan manusia, just like the good old times. Tapi ternyata sekarang kalau buat kereta-keretaan agak susah soalnya penonton banyak yang memegang kamera dan handphone, kalau tersenggol takut jatuh malah jadi masalah. Jadi cukup satu lagu itu saja kereta-keretaannya. Setelah “Monkey Man” menyusul “Everything Sucks” yang buat kami ikonik sekali soalnya sering kami mainkan waktu jaman dulu, dilanjutkan oleh “Beer” yang jadi kesempatan buat Aaron menunjukan skil solo guitar-nya sambil gitarnya ditaruh di belakang kepala. Yoilah Aaron di lagu ini. Juga mereka memperkenalkan masingmasing personel sekarang: Johnny Christmas (terompet), Derek Gibbs (bass), Matt Appleton (saksofon), Billy Kottage (trombon), Edward Larsen (drum) dan tentu saja Aaron Barrett (vokal, keys/synthesizers, dan gitar). Lagu yang ternyata jadi penutup malam itu adalah cover dari AHA, “Take on Me”, dengan repetan brass section khas dan aksi scatsing sejadinya oleh Aaron Baret di tengah lagu. Keren banget untuk menutup malam itu. Udara Bandung yang ternyata dingin baru berasa setelah kami sadar tidak bakal ada encore dari Reel Big Fish, atau mungkin seharusnya ada tapi panitia terlanjur menyalakan kembang api segambreng. Bubarlah para penonton malam itu. Wajah-wajah familiar lalu lalang. Beberapa kawan lama terlihat menunjukan rasa puas yang tertunda selama belasan tahun. Kami berpisah dengan bung Ajar yang mengejar bapak tukang parkir untuk mengambil jaket kesayangannya. Saya sendiri harus mengejar pesawat yang berangkat dari bandara Cengkareng pagi harinya untuk kembali bercengkrama dengan dunia nyata. Masih berasa semua itu cuma mimpi. Semoga Mari Berdanska XI tidak kalah kerennya dan semoga saya ada rejeki untuk hadir kembali.
.
TUCZINE X I 41
GIG REPORT
PESTA ROCK TANAH SULAWESI ROCK IN CELEBES FESTIVAL TOUR 2015: MAKASSAR CELEBES CONVENTION CENTER, MAKASSAR 14 NOVEMBER 2015 oleh SARADDASI
“Satu mimpi liar yang muncul kemudian, berhubung ini menyebut ‘celebes’ di namanya, alangkah serunya kalau di tahun-tahun selanjutnya diadakan bergiliran di kota-kota lain di Sulawesi: Manado, Palu, Gorontalo, Kendari, Mamuju atau Bantaeng sekalian.” SAYA menulis harap itu di ujung reportase gelaran Rock in Celebes 2013. Dua tahun kemudian, penyelenggara mendengar dan tuhan mengabulkan: jadilah di tahun ke-enamnya ini, Rock in Celebes, digelar bergiliran, berwujud tur festival di kota-kota besar di pulau Sulawesi selama lebih dari sebulan. Dimulai dari Palu pada 24-25 Oktober, lalu Kendari (7-8 November), Makassar (14-15 November), Gorontalo (21-22 November), kemudian ditutup di Manado (28-29 November). Tentu saja saya tidak bisa menghadiri semuanya, hanya yang di Makassar saja. Tapi itu cukup untuk merangsang antusiasme untuk hadir dan menjaga kontinuitas menyaksikan tiga gelaran terakhir, sejak 2013, meski tidak utuh. Saya bertambah antusias saat melihat jadwal. Unearth, Taring, FSTVLST, The Box, Godless Symptoms dan Vallendusk tampil di Makassar, dan semuanya di hari pertama! Tanpa bermaksud tidak respek pada yang lain, saya sudah menyiapkan diri untuk melewatkan Shaggy Dog, OMNI dan Rajasinga di hari kedua. Maklum, saya adalah pegawai negeri setan yang sejak delapan tahun lalu telah menjual separuh jiwa saya pada tuhan kecil bernama jam 42 I TUCZINE X
kerja. Yah, kamu dan jam kerjamu, Su! Saya tiba di venue, tempat yang sama tiga tahun terakhir, sekira pukul 14.00, membeli tiket, tapi ternyata gate belum dibuka. Hampir sejam kemudian gate baru dibuka. Oh ya, sedikit berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, kali ini ada 3 panggung yang disiapkan. Dua panggung utama saling bersebelahan di main hall, indoor, sementara satu lagi di luar untuk aksi-aksi yang tidak terlalu berisik. Setelah masuk, saya mendapati Eksekutor Mutilasi dari Watampone sedang beraksi di panggung B. Ada sekitar tiga lagu-lagu berirama slamming death metal yang mereka mainkan dengan enerjik meski, seperti seharusnya, area depan panggung masih sepi. Sayang sekali. Berturut-turut kemudian ada Undergrace, Guantanamo dan Overdosis. Semuanya bermain apik dan penuh semangat di depan penonton yang masih sepi, tapi Overdosis yang mencuri perhatian saya. Di jeda antar lagu beberapa kali pemain bass-nya yang sepertinya adalah pemimpin di kelompoknya itu berorasi tentang pembebasan, Palestina, dll. Allahu akbar! Kemudian ada FrontXSide, unit
hardcore paling hype di Makassar saat ini. Tampil hanya bertiga, mereka sukses memanaskan moshpit yang mulai padat di depan panggung. Lalu ada Budass yang jauh-jauh datang dari belantara Kalimantan Timur untuk berpartisipasi di Rock in Celebes kali ini. Speed Instinct tampil setelahnya. Saya cukup penasaran dengan band satu ini. Dan yah, itu terbayar dengan penampilan apik mereka. Ternyata di Makassar rap rock belum mati. Lalu saya sempat mundur sejenak saat The Lovers & The Haters dari Manado dan unit punk Makassar The Gameover naik panggung. Dari jauh saya masih sempat mendengar dan ikut berteriak “polisi dunia tai, polisi dunia tai” seperti dua tahun sebelumnya. Saya kembali maju saat Taring, salah satu penampil yang paling saya tunggu, muncul di atas panggung. Kelompok hardcore asal Bandung yang tahun lalu merilis debut Nazar Palagan yang memicu pujian di mana-mana itu berhasil mengacaukan moshpit sebelum jeda maghrib. Mereka tidak lupa memainkan anthem terbaru saya belakangan ini, “Kekal Menjalang” menjelang akhir set mereka.
Lalu jeda maghrib tiba. Setelah menunaikan hajat, saya sempatkan diri beredar di booth-booth merch, clothing dan makanan di luar. Sebelumnya, saya sempat menyimak Arian Arifin berbagi kiat tentang ya kira-kira, selling your band’s brand di bagian talkshow. Talkshow sendiri telah menjadi bagian tak terpisahkan di setiap gelaran Rock in Celebes sejak 2013. Cukup seru menyimak, dan ya seperti biasa dia masih songong. Setelah jeda yang sangat lama, molor seperti biasa, Unremains naik panggung. Kali ini dengan vokalis baru, dan sempat juga mengajak vokalis lama berkolaborasi. Tidak ada hal lain yang diharapkan saat band tuan rumah dengan massa fanatik seperti mereka ini tampil selain moshpit yang liar di depan panggung. Dan memang liar dan ramai malam itu. Mungkin karena lelah menunggu jeda yang lama, ditambah crowd yang datang semakin padat. Antivirus asal Gorontalo, 44 I TUCZINE X
Malvomed asal Samarinda dan Sidjil asal Bandung berturut-turut tampil kemudian. Lalu tibalah saatnya menyaksikan aksi black metal di Makassar. Ilemauzar, datang dari Singapura, lengkap dengan corpsepaint siap menjajal. Meski tidak tahu satupun lagu mereka, saya yakin penonton menikmati aksi mereka yang menghibur. Vokalisnya yang tambun aktraktif bergerak ke sana ke mari, dan puncaknya, meminum ‘darah segar’ di atas panggung. Oh sangat trve sekali kelihatannya. Kemudian datanglah rentetan aksi-aksi yang paling saya nantikan. Diawali oleh FSTVLST. Saya boleh kehabisan HITS KITSCH tahun lalu, tapi aksi mereka tidak boleh dilewatkan. Almost rock barely art, falsafah mereka, menjelma menjadi aksi panggung yang hidup, aktraktif dan menghibur. Farid si vokalis bahkan terlihat seperti sedang melawak berkat tingkah dan ekspresinya yang menggemaskan.
Dia membuka dan menutup aksinya dengan membaca puisi atau manifesto atau entah apa dari buku yang di sampulnya tertulis “sudah sex belum?”. Keren kan? Kalau boleh, saya menyebut aksi panggung FSTVLST sebagai yang paling hidup di hari pertama Rock in Celebes 2015 Makassar. Di panggung sebelah kemudian muncul Vallendusk. Mereka ini adalah unit metal lokal yang paling saya kagumi dua tahun belakangan. Sejak Black Clouds Gathering yang luar biasa itu, disusul Homeward Path tahun ini. Saya tidak mengharapkan aksi Rizky dkk seliar aksi Farid dkk, karena memang athmospheric black metal tidak menjanjikan aksi panggung yang liar. Sebaliknya, justru kegamangan yang dingin menelusup yang dinanti. Dan akhirnya memang, selain sesekali mengajak crowd untuk terlibat, aksi panggung Rizky dkk dingin dan tenang saja, tapi maksimal dan menghanyutkan.
GIG REPORT
Sayang sekali, malam itu mereka tidak memainkan favorit saya “Fragments of Light”. Seperti tidak peduli dengan alasan molornya jadwal setelah jeda maghrib, Unearth tetap tampil sekira pukul 22.00, sesuai jadwal mereka. Jadinya, mereka yang semestinya tampil kedua terakhir dimajukan dan Godless Symptomps serta The Box digeser setelahnya. Ya harusnya memang seperti itu. Karena semestinya rundown dibuat bukan cuma untuk dipajang. Hell yeah. Saat Trevor dkk menjejak panggung, keriuhan segera timbul dari segala penjuru. Sebagai penampil utama, dan pastinya dengan massa paling banyak, tentu saja aksi mereka yang paling dinanti sebagian besar penonton, tidak terkecuali saya. Maret tahun ini saya sebenarnya sempat melihat aksi mereka di Hammersonic, tapi tidak sedekat ini. Seperti biasa di setiap penampilan Unearth, duo gitaris petakilan Buzz
dan Ken selalu mencuri perhatian lewat aksi-aksi mereka. Juga Trevor yang aktif mengajak crowd terlibat lebih intens dalam pusaran circle pit paling liar malam itu. Sampai sejauh ini, di penampilan Unearth-lah crowd terlihat sangat liar dan bersemangat. Dalam lebih dari setengah jam beraksi, mereka memainkan sekira delapan lagu, yang ditutup secara epik dengan “The Great Dividers”. Penampilan Unearth luar biasa, pol-polan meski besoknya mereka masih harus menghajar Rock in Solo. Sound yang keluar juga maksimum, padahal kabarnya mereka datang tanpa teknisi atau soundman atau kru. Kelar Unearth, Godless Symptoms muncul di panggung sebelah. Apalagi yang diharapkan dari mereka selain musik crossover hardcore dan thrash metal yang menghancurkan? Kami semua di depan panggung sudah paham itu, dan tahu harus bereaksi seperti apa.
Entah berapa lagu yang mereka mainkan, tapi itu cukup untuk melanjutkan keriuhan yang dipantik Unearth sebelumnya. Partisipasi terakhir saya di Rock in Celebes tahun ini adalah menyaksikan The Box. Cukup spesial saya rasa. The Box, produk asli tanah Sulawesi yang perlu dibanggakan, telah, dari waktu ke waktu, tumbuh dan besar bersama Rock in Celebes. Begitu juga mungkin sebaliknya. Di gelaran-gelaran awal Rock in Celebes, mereka masihlah band yang tampil siang saat depan panggung masih sepi. Belakangan, mereka telah menjadi penampil utama. Salut. Dengan segala hormat kepada yang lain, The Box adalah produk tanah Sulawesi paling mencolok. Mereka tidak sekedar memainkan musik rock yang semestinya, tapi juga tidak lupa memasukkan unsur budaya, lewat musik tradisional Sulawesi Tengah dan Nusantara dalam lagu-lagu mereka. Seperti teriak sang vokalis yang potongan rambutnya mengingatkan pada Ucok AKA: “kawan-kawan, malam ini kita bermain musik dengan budaya ya”. Maka, menjadi spesial bagi saya karena, setelah luput pada dua gelaran sebelumnya, inilah pertama kalinya saya menyaksikan mereka. Langsung dan sangat dekat. Seperti yang saya saksikan di video-video, aksi panggung mereka malam itu memang aktraktif, enerjik dan maksimal. Padahal, baru beberapa bulan sebelumnya ditinggal wafat oleh salah satu personil mereka. Sekali lagi salut. Kelar The Box, saya memutuskan pulang. Seperti sebelumnya, saya melewatkan penampil terakhir, kali ini Endank Soekamti. Selain karena lelah setelah seharian headbang dan mengambil ribuan gambar, saya memang tidak tahu satupun lagu Endank Soekamti! Di perjalanan keluar, saya melihat penonton mulai berkurang, tersisa beberapa rombongan Kamtis Daeng yang terlihat bosan menunggu. Saya tidak menghadiri pertunjukan hari kedua dengan pertimbangan seperti di awal tadi, dan juga banyak sekali pembenaran lainnya. Sayang sekali sebenarnya melewatkan kesempatan menyaksikan Shaggy Dog, OMNI, Rajasinga dan lainnya di kampung sendiri, tapi mau bagaimana lagi. Secara keseluruhan Rock in Celebes 2015 Makassar berlangsung sukses dan lancar. Satu keluhan saya adalah mengenai rundown acara yang molornya lumayan. Semoga di tahun-tahun berikutnya bisa lebih baik. Sampai ketemu di Rock in Celebes berikutnya!
.
TUCZINE X I 45
GIG REPORT
GELEGAR KONSER TAIFUN KONSER TAIFUN BARASUARA ROSSI MUSIK FATMAWATI, JAKARTA - 22 OKTOBER 2015 oleh DIDIK YANDIAWAN ROSSI Musik Fatmawati terguncang. Sekumpulan Bara Genk militan mendemonstrasikan gerakan dan padu suara. Tata cahaya dan detil output suara menjadi bukti sahih yang telak membuat ekspektasi terkapar. Kerja keras Barasuara baru saja dimulai. Pergerakan Barasuara secara audio visual menimbulkan efek kejut tersendiri. Jika boleh disebut supergroup, Barasuara adalah contoh ideal. Lahir dengan ide besar dan kolaborasi para personelnya, Barasuara dapat dikatakan ambisius. Tujuan utama: menguasai kancah musik Indonesia. Ludesnya tiket Konser Taifun bisa disebut fenomena. Viralnya Barasuara didukung fakta promosi dan pergerakan rapi Barasuara di medan gerilya skena. Sejumlah penonton muda dengan antusias berbaris rapi. Tiket ditukarkan dengan keping CD. Satu persatu mudamudi mengisi kekosongan area panggung Rossi Musik. Lampu berpendar. Barasuara dikomandoi Iga Massardi menggiring penonton mengisi ruang-ruang koor “Tarintih”. Khatam lirik nampaknya menjadi keutamaan di Konser Taifun. Penggalan lirik nyaris tersapu riuh suara serempak. “Bahas Bahasa” nampak tak ada apa-apanya ketimbang harmonisasi “Hagia” yang membuat hampir seluruh personel terisak kala penggalan lirik yang dikutip dari Doa Bapa Kami dilantunkan repetitif. Gerald memikat dengan energi, kesana-kemari. Selincah ketukan Marco Steffiano memandu lagu. Puti Chtara dan 46 I TUCZINE X
Asteriska mengisi layer vokal dengan tertib dan teratur. Minim harmonisasi, namun menyisakan sisi manis di setiap vokal. Iga dan TJ Kusuma menjadi duet maut di sejumlah lagu, khususnya “Api dan Lentera”. Kolaborasi dengan Cholil Mahmud di lagu “Sendu Melagu” serta para penampil perkusi di lagu “Bahas Bahasa” menjadi daya tarik tersendiri. Pun kolaborasi ponsel penonton memutar track “Angin” dan “Hujan” dari Soundcloud menjadi intro
magis pada lagu “Taifun”. Barasuara menyuguhkan penampilan prima. “Api & Lentera” dan “Nyala Suara” menjadi penutup yang menghajar telak. Bermandikan cahaya kilat kamera dan lampu pertunjukan keriaan berpadu. Seperti yang sudahsudah, penampilan mereka mencuri hati. Bolehlah saya memberi empat dari lima bintang untuk Konser Taifun.
.
GIG REPORT
BERDANSKA DI SEMARANG SEMARANG SKA FESTIVAL 2015 LAPANGAN TRI LOMBA JUANG, SEMARANG - 17 OKTOBER 2015 oleh DERRY MARSELANO BUTUH waktu tiga tahun bagi Semarang untuk menggelar International Ska Fest setelah momen serupa digelar 2012 lalu. Kala itu, dengan konsep acara back to underground, Semarang International Ska Fest mengambil nuansa ska tahun ‘90-an akhir. Bertempat di GOR kecil nun ala kadarnya, bintang tamu internasional didapuk sebagai pengisi acara tersebut. Mereka adalah Mr. T. Bone a.k.a. Luigi de Gaspari yang tampil diiringi oleh The Authentics dan Chris Muray yang tampil diiringi oleh Semarang Ska All Star. Paduan mereka di atas panggung saat itu sukses menimbulkan riak semangat. Sebuah acara yang terlihat memiliki konsep jauh lebih matang dibandingkan acara tahun 2012 sudah digaungkan sejak pertengahan tahun 2015. Saya sendiri mengetahui acara ini saat berniat menghadiri acara Loenpia Jazz di bulan Mei sebelumnya. Dalam rundown acara tersebut, nama Semarang Ska Festival Pre Event muncul. Tak menunggu lama, saya langsung menjelajah dunia maya untuk mengetahui kapan dan siapa yang akan tampil mengisi acara tersebut. Line up awal yang saya dapatkan adalah deretan band lokal Jawa Tengah seperti Aime, The Yanto Brothers, Siscandens, dan band ska nasional yang diwakili oleh Shaggy Dog dan Sentimental Moods (kemudian tidak jadi datang karena waktu yang bentrok dengan jadwal rekaman album kedua mereka). Lalu ada pula perwakilan komunitas ska dari Jakarta dan Bandung. Sementara untuk Roy Ellis akan direncanakan datang sebagai artis internasional. Sungguh mati saya tidak tahu awalnya
siapa ini Roy Ellis! Ternyata dia adalah Mr. Symarip a.k.a. The Boss. Lagunya yang tenar adalah “Skinnedhead Moonstomp”. Lagu tipikal ska yang ya gitu sih, sing-along terus sepanjang lagu lewat lafal “ye ye yeyeye ye ye ye yee“. Lagu yang juga sering di-cover oleh semua orang. Saya tambah bingung lagi karena orang ini masih hidup juga ternyata. Mengingat sudah tiga generasi ska dia berkarya. Selain Mr. Symarip, line up internasional juga turut menghadirkan band ska dari Malaysia yang namanya Gerhana Ska Cinta (yoi banget namanya ya, seronok-lah!) dan juga The Red Stripes dari Hongkong. Iya, dari Hongkong! Waktu berlalu dan tibalah pada tanggal 16 Oktober 2015 atau sehari sebelum Semarang Ska Festival 2015 akan dihelat. Malam itu, untuk menyambut Mr. Symarip dan pengisi acara lainnya, diadakanlah welcoming party yang mengambil tempat di E-Plaza Simpang Lima Semarang. Well acaranya begitulah, mendengarkan alunan musik dari beberapa DJ sambil bercengkrama dan menuangkan air perdamaian serta membakar tanaman herbal. Karena badan sudah tidak seperti dulu dan ada jadwal jaga bayi shift malam di rumah, saya hanya sempat melihat Mr. Man-man yang memutarkan lagu-lagu tidak hits dari tahun ‘60-70-an mungkin. Lagu-lagu yang klasik sekali. Kayaknya sih itu lagu-lagu cikal bakal rocksteady yang agak bikin ngantuk sebenarnya. Setelah Mr. Man-man, Dr. Yes naik panggung dan mulai sedikit menghentak dengan alunan rocksteady dan crowd pun mulai bergoyang ringan. Setelah Dr. Yess masih ada DJ
Bobby, Juik Cobra dan DJ Oha. Pestanya sendiri katanya baru kelar menjelang subuh. Saya cukup beruntung sempat bertemu dan chitchat ringan dengan Mr. Symarip ketika keluar dari klub. Si Mbah ini ramah juga orangnya. Menurutnya, Semarang terasa nyaman karena memiliki hawa udara yang mirip dengan kampungnya di Jamaika sana meskipun dia sekarang tinggal di Swiss. Setelah itu kami foto-foto sedikit sebelum agak diusir oleh bodyguard lokalnya. But he said, “it’s okay.... it’s okay..... I see you guys tomorrow”. Akhirnya tanggal 17 Oktober 2015 pun tiba. Acara sebenarnya digelar pukul 14.00, namun karena beberapa hal, saya baru bisa bergabung di Lapangan Tri Lomba Juang Semarang pada pukul 17.00. Oh iya, acara kali ini free entry. Saya cuma ditawari untuk membeli pin atawa stiker di gate depan. Usut punya usut, ternyata acara ini didukung oleh Pemkot Semarang sehingga venue acara yaitu Lapangan dan Stadion Tri Lomba Juang disediakan secara cuma-cuma. Selain itu, ada pula dukungan lainnya yang diberikan Pemkot untuk acara ini. Yoilah Pemkot-nya! Mereka cuma nebeng tagline “Ayo ke Semarang SKArang”. Begitu saya masuk venue, band yang bernama Bandung Mari Berdanska All Star baru selesai main. Saya hanya sempat mendengar sayup-sayup lagu “Gangster” milik The Specials sebelum rehat maghrib. Fufufu! Saya belum sempat pogo-pogo namun sudah rehat. Ya sudah, akhirnya saya keliling melihat-lihat stan yang ada di venue. TUCZINE X I 47
GIG REPORT Di stan merchandise resmi Semarang Ska Festival 2015, panitia menjelaskan tentang rundown yang saya lewatkan yang ternyata banyak juga. Jakarta Ska Foundation All Star, Yanto Brothers, dan Bandung Mari Berdanska adalah nama besar yang telah tampil. Menyisakan Gerhana Ska Cinta, Red Stripes, Shaggy Dog dan Mr. Symarip yang belum naik panggung. Ya sudah, saya nemenin teman-teman dari Jakarta dulu nyari lumpia sebentar. Setelah kembali ke venue, saya mendapati Aime sudah selesai tampil dan tepat dengan rehat isya’. Celaka memang, kagak rejeki! Namun tak lama kemudian, band dari negeri jiran yaitu Gerhana Ska Cinta tampil meramaikan malam. Isu gesekan antar negara yang sempat berhembus, ternyata di sini gak berlaku tuh. “Kita negara serumpun yee, ada yang dari Singapure? ada yang dari KL? Semarang piye kabareee.”, dengan logat khas Upin Ipin, Gerhana Ska Cinta menyapa crowd sebelum menghantam mereka dengan empat lagu mereka sendiri. Malam itu, Gerhana Ska Cinta datang bertiga. Mereka terdiri dari seorang vokalis cewek yang mirip Siti Nurhaliza, seorang vokalis cowok, dan seorang gitaris. Mereka diiringi oleh personil Semarang Ska All Star sembari membawakan lagu-lagu andalan mereka. Walaupun banyak yang tidak tahu lagu-lagu mereka (termasuk saya), tetapi crowd dapat menikmati alunan musik mereka. Sebuah cover dari lagu “My Girl Lollipop” yang pernah dipopulerkan oleh Millie Small di tahun ’60-an dan Bad Manners di tahun ’80-an, serta tembang andalan mereka “Senyuman Ragamu “ mengakhiri penampilan Gerhana Ska Cinta. Setelah Gerhana Ska Cinta yang dengan seronoknya meramaikan suasana, giliran Red Stripes tampil. Band dari Hongkong ini beranggotakan 10 orang yang ternyata adalah makhluk-makhluk ras Kaukasia. Warga negara Hongkong hanya status, mereka ya bule-bule gitulah. Perhelatan kali ini menjadi cukup lengkap karena ada perwakilan dari Asia, Afro dan Euro. Red Stripes masuk ke stage dengan dandanan khas two tone dan langsung melantunkan tembang instrumental anthemic “The Guns of Navarone”, lagu soundtrack film dengan judul sama yang pernah dibawakan oleh The Skatalites tahun ‘60-an dan kembali dipopulerkan oleh The Specials di tahun ‘80-an. Walaupun lagunya instrumental, vokalis Red Stripes tidak kehabisan akal untuk ikut beraksi. Pada saat refrain, ia mengambil alih bagian yang seharusnya dimainkan oleh brass section. Crowd yang 48 I TUCZINE X
ada pun ikut melantunkan suara brass section dengan suara mereka masingmasing. Lucu juga sih jadinya. Lagu berikutnya yang dibawakan oleh Red Stripes adalah tembang rocksteady klasik lagi yaitu “A Message to You (Rudy)”. Lagu dimulai dengan tiupan harmonika lalu dilanjutkan dengan sing-a-long oleh satu lapangan yang membuat saya merinding. Setelah dua lagu yang diiringi dansa bersama, personil Red Stripes perlahan melucuti kostum mereka. Tapi mereka tidak bermaksud pamer badan atawa perut buncit. Sang Vokalis berujar bahwa mereka tidak kuat memakai kostum beginian. “Panas”, katanya. Beberapa lagu instrumental lain turut dibawakan oleh Red Stripes seperti “One Step Beyond”-nya Prince Buster yang dipopulerkan oleh Madness dan beberapa lagu The Skatalites. Ketika mereka membawakan lagu “Monkey Man”, sontak efek gurun sahara muncul di lapangan. Yap! Debu–debu berterbangan karena sedari tadi crowd berdansa pelan menikmati irama two tone, dan seketika itu juga beat sedikit meningkat. Suasana kala itu mengingatkan saya kepada berita di televisi mengenai debu di wilayah Indonesia bagian barat (semoga cepat hilang asap dan debunya). Tak lupa, mereka juga membawakan lagu mereka sendiri. Judulnya adalah “OK La”. Lagu ini sempat saya lihat lewat Youtube. Model lagunya yang simpel membuat mereka yang belum tau lagu ini dengan mudah ikut sing-a-long. Cuma berbatas ujaran “Ok la… Ok la... Ok la...” yang hanya diselingi brass section dan penampilan solo. Ada satu hal yang keren bagi saya, yaitu koreografi yang dilakukan Red Stripes di lagu “Rankin Full Stops”-nya English Beats. Koreografi yang ditampilkan mirip dengan sebuah babak game di Kuis Dangdutnya Jaja Miharja. Pada saat bagian liriknya berhenti dinyanyikan, personil Red Stripes melakukan freeze di posenya masing–masing. Setelah itu penonton juga diajak gerak ke kiri-kanan menggunakan Bahasa Indonesia. Walau penontonnya agak bingung, personel Red Stripes tetap menunjukkan kekompakan di koreografinya. Setelah Red Stripes membawakan lagu “Pressure Drop”, panitia sudah memberikan kode bahwa waktu mereka telah habis. Padahal, ketika saya temui saat rehat menuju penampilan berikutnya, vokalis Red Stripes berujar bahwa setlist mereka masih cukup panjang. Ia berkata bahwa mereka akan menyanyikan lagu-lagu dari Bad Manners seperti “Sally Brown” sama “Lip Up Fatty”.
Tetapi memang waktunya sudah tidak keburu, ya sudah next time kalau main lagi di Indonesia dia mau bawain. Next performance is our local hero Shaggy Dog. Band ska Lokal dengan cita rasa internasional ini seakan tidak ngasih jeda waktu lama buat para penonton buat langsung berdansa. Dipimpin oleh Mr. Heru, mereka langsung menyapa dengan “Doggy, Anjing Kintamani”. Mr. Richard sang gitaris gayanya atraktif sekali! Dengan style dan bebunyian gitar yang nuansanya tidak monoton, jadinya lagu-lagunya terasa sangat variatif. Memang pantas jika band ini bisa wara-wiri manggung di luar negeri. Tidak hanya Mr Heru, sang kibordis Kakak Lilik juga diberi kesempatan unjuk kebolehan menyanyi mengiringi para Doggies bernyanyi dan menari bersama lagu “Hey Cantik”. Lalu, lagu “Jalan-Jalan” juga menjadi tembang yang sangat menyenangkan apalagi diselipi repetan dari lagu klasik “Rock Fort Rock” yang di Indonesia dipopulerkan oleh Warkop DKI. Ituloh, lagu yang liriknya “Bakumba kumba kumba kumba teo teo laturun turun turun turun bero bero. Kebiasaan anak muda dalam pergaulan masa kini Suka suka sendiri......” Tak lama kemudian, seolah memberi kode buat Shaggy Dog, panitia mengumumkan agar para penonton untuk mengosongkan area back stage dan area barikade. Ya sudahlah, nampaknya memang eyang sudah mau datang sehingga Shaggy Dog pun harus mengalah untuk menutup rangkaian penampilan mereka dengan bersama sama penonton menyalakan lighter, senter atau HP ke atas.
4gambar dipinjam dari semarangonfire.com
Sembari tidak lupa berterimakasih kepada sponsor mereka Anggur Cap Orang Tua yang selalu menemani mereka dari awal masa–masa susah sampai akhirnya jadi sponsor, mereka pun menyanyikan koor “Oh coba kawan kau dengar ku punya cerita.. tempat biasa ku berbagi rasa... di Sayidan di jalanan angkat sekali lagi gelasmu kawan”. Bahkan beberapa Doggies yang datang memang dengan sengaja membawa gelas untuk diangkat bareng di lagu ini. Jeda sejenak memberi napas buat rude boys, skinhead dan moods untuk sekedar menghapus dahaga atau mengambil udara segar. Cukup lama sebelum Mr. Symarip, yang namanya berasal dari kebalikan nama bandnya dulu The Pyramids, naik ke atas panggung. Temanteman dari Semarang Ska All Star telah mempersiapkan segala sesuatunya sebaik mungkin untuk kesempurnaan penampilan eyang satu ini. Setelah 10 menit check sound dan segala sesuatunya, Mr. Symarip naik ke atas panggung dengan kostum yang yoi banget! Dia tampil mengenakan seragam metalik berkelap-kelip yang seakan menyapa kota atlas Semarang. Sebelum keterpanaan crowd mereda, tanpa diduga eyang satu ini koprol di atas panggung, jungkir balik ke sana kemari seakan-akan nggak tahu umur. Rasa lelah di kaki saya yang serupa agar-agar ini seketika menghilang ketika “Skinedhead Dem a Come” dilantunkan sebagai pengiring koor malam itu. Sontak para skinhead dan rude boys jejingkrakan bahkan beberapa skinhead yang nggak mampu menahan
kegembiraannya nekat naik ke atas panggung sekedar numpang berdansa. Untung nggak sampai mengganggu penampilan secara keseluruhan. Lagu berikutnya dibuka dengan kata pengantar yang sepertinya mengenalkan bahwa lagu itu adalah lagu baru Mr. Symarip dan akan pertama kali dibawakan live. Judulnya “One Way Ticket to the Moon” kalau nggak salah. Setelah lagu tersebut, kembali lagi para skinhead menyeruak ke atas panggung. Namun, mereka dapat dilokalisir secara damai ke sisi kanan panggung. Walaupun akibatnya pemain keyboard dari Semarang Ska All Star sedikit kesulitan menampar tuts jahanamnya sehingga membutuhkan bantuan dari kru untuk menjaga keyboardnya agar tetap berdiri. Lalu, “Must Catch a Train” mengalun diawali dengan kesalahan komunikasi antara Mr. Symarip dengan penabuh drum sehingga Mr. Symarip dengan kerennya meminta lagu di-rewind, and then, musik pun berjalan mundur. Sekira selusin tembang dibawakan eyang malam itu. Antara lain lagu “The Boss Is Back” dan “You Can’t Leave Now” yang mengalun santai, lagu “I Don’t Want You” yang menampilkan gimmick dari Mr. Symarip yang menjebak penonton dengan berpura-pura hendak pergi karena penonton koor menyanyikan “I Don’t Want You, I Don’t Need You anymore”. Pada lagu “Skinhead Girl” Roy Ellis mengundang para rude girl dan skinhead girl naik ke atas panggung untuk bernyanyi dan berdansa bersama sehingga situasi panggung agak kacau karena terlalu ramai. Akhirnya, yang dinanti pun
tiba. Intro “Skinhead Moonstomp” terdengar sayup-sayup. Tapi, eyang menahan agar lagu tidak tergesa-gesa mengayun. Ia malah mengajak ngobrol sebentar para penonton agar suasana yang tercipta mirip dengan lagunya. “I want all you skinheads to get up on your feet. Put your braces together and your boots on your feet. And give me some of that old moonstomping. Are you ready... Are you ready..?”, Si Eyang berkata sembari diikuti intro gitar yang menyeruak mengiringi penonton menuju sing-a-long. Lagu ini membuat saya sedih karena hal tersebut menandakan bahwa acara hampir selesai walau kaki sama mulut tetap berdansa dan menyanyikan “ye yey yeyeye yee yee yee yeee!!” Namun, eyang masih memberikan satu nomor encore dengan sisa-sisa semangatnya. Eyang menutup malam itu dengan “This Boots Are Made for Walking? Nah, This Boots Were Made for Stomping”, lagu lama Nancy Sinatra yang mungkin udah ratusan kali digubah oleh grup-grup seperti Operation Ivy, Megadeath hingga Jessica Simpson. Salut buat teman-teman Semarang Ska Foundation yang keren abis! Di akhir acara terlihat teman-teman yang asam uratnya kumat, masuk angin dan lain lain karena usia sudah berbicara. Namun malam itu, ratusan kilo kalori kami bakar dan semoga tahun depan ada keajaiban lagi sehingga Semarang Ska Festifal 2016 terselenggara dengan bintang tamu yang nggak kalah dahsyat tentunya!
.
TUCZINE X I 49
SPACE FOR YOUR ASS
REVIEW
ALBUM-ALBUM INDONESIA TERFAVORIT TAHUN 2015 oleh DIDIK YANDIAWAN TAHUN 2015 masih riuh dengan musik bermutu tinggi. Pergerakan musisi Indonesia tampak masif. Kemunculan sejumlah nama besar dari kancah musik independen seperti Sore, Rumahsakit, dan Efek Rumah Kaca menjadi perhatian khusus. Tak dapat disangkal, kehadiran album dari musisi pendatang baru, pun tak kalah seru. Sebut saja Barasuara, Kelompok Penerbang Roket, Sigmun, Silampukau, The Kuda, serta Polka Wars.
Saya mencoba menyusun daftar album terfavorit saya tahun ini. Aspek yang menjadi bahan penilaian adalah konsep, tema, artwork, aransemen, lirik, dan paket utuh dari rilisan musisi. Siapa saja mereka? Simak hitung mundur 15 Album Indonesia Terfavorit Tahun 2015 versi saya sebagai berikut
15
10
PERJALANAN WAKTU YOCKIE SURYO PRAYOGO Greenland Indonesia Karya maestro Indonesia yang menghadirkan kolaborasi musisi yang digarap dengan sederhana tanpa kehilangan makna.” Lagu favorit: “Sing Sabar” dan “Terbanglah Rajawali”
14
RUE MASSENA THE YOUNG LIARS Leeds Records Fotokopi Arctic Monkeys era Favourite Worst Nightmare. Gitar meraungraung. Drum bertalu-talu. Vokal bak Alex Turner. Lagu favorit: “Nothing To Lose” dan “One-Eyed Jones”
13
TERIAKAN BOCAH KELOMPOK PENERBANG ROKET Berita Angkasa Serasa terbang mengangkasa. Jauh meninggalkan planet bumi. Membawa jiwa penasaran menemukan esensi musik rock. Trio yang mengingatkan pada kemunculan The Brandals di pertengahan era 2000-an. Lagu favorit: “Mati Muda” dan “Tanda Tanya”
9
+IMELESS RUMAHSAKIT Bravo Music Vokalis baru, arah baru; namun berpotensi membuat penggemar lama skeptis. Lagu favorit: “3:56” dan “Demi Hari”
SHORT DISTANCE GIZPEL Kolibri Rekords Dreampop segar dari Jakarta. Lagu favorit: “Zittau” dan “Juvenile”
12
CONSTELLATION STARS & RABBIT Lilystars Records Idola baru dari Yogyakarta. Duo paling panas tahun ini. Lagu Favorit: “Like It Here” dan “Man Upon The Hill”
11
SATU AKU SEJUTA KALIAN THE KUDA Majemuk Records Skuad punkrock Bogor yang percaya diri dengan formula lugas musik mereka. Lagu Favorit: “Hantu Laut” dan “Hei Jansen”
5
CRIMSON EYES SIGMUN Orange Cliff Stoner rock kelas kakap mengejutkan pendengarnya. Saking bagusnya, gelenggeleng dibuatnya. Lagu favorit: “Ozymandias” dan “Prayer of Tempest”
4
TAIFUN BARASUARA Juni Records Musik dengan aransemen bersih dan rapi. Sangat sadar imej. Lagu favorit: “Nyala Suara” dan “Api & Lentera”
3
DOSA, KOTA, & KENANGAN SILAMPUKAU Moso’iki Records
8
HOBGOBLIN SAJAMA CUT Elevation Records Dewa alternatif Jakarta terlahir kembali dengan kemasan menjanjikan. Lagu favorit: “Bloodsport” dan “Fatamorgana”
Folk Surabaya yang intim, hangat, tanpa basa-basi. Lagu favorit: “Doa 1” dan “Puan Kelana”
2
LOS SKUT LEBOYS SORE Rooftopsound/ Organics Records
7
HASTA KARMA DEWA BUDJANA MoonJune Records Dewa gitar Indonesia menyuguhkan teknik tinggi fusion, etnik, dan pengayaan jazz. Lagu favorit: “Saniscara” dan “Jayaprana”
Para lelaki jelang paruh baya, setengah gila, bersenang-senang dalam eksplorasi. Lagu favorit: “There Goes” dan “8”
1
SINESTESIA EFEK RUMAH KACA Demajors
6
AXIS MUNDI POLKA WARS Helat Tubruk
dan “Piano Song”
Album religi dengan musik Dajjal. Lagu favorit: “Mokele”
Tak lagi sekedar trio pop minimalis. Penantian panjang berbuah manis dengan kemunculan progressive rock yang matang dan dewasa. Bisa jadi mereka saat ini ada di level makrifat. Lagu favorit: “Putih”, “Kuning”, dan “Merah”
.
TUCZINE X I 53
REVIEW
15 RILISAN LUAR PALING DINIKMATI SEPANJANG 2015 oleh SARADDASI SEPERTI biasa di awal tahun, tiba masanya melihat kembali rilisan-rilisan yang telah terperangkap memori dalam menemani momen-momen tertentu hidup saya sepanjang 2015 lalu, dan mengurutkannya dalam daftar, sebutlah, terbaik. Berikut beberapa di antara yang berkesan dan meninggalkan bekas. Seperti biasa, parameternya hanyalah yang paling lama bertahan di daftar main dan semua atau hampir semua lagu di dalamnya nyaman di kuping. Sederhana dan subyektif sekali, tentu saja. Seperti tahun 2014, tidak ada daftar rilisan-rilisan lokal. Dengan berbagai macam pembenaran, tidak cukup banyak rilisan lokal yang saya miliki dan simak sepanjang tahun ini. Tapi kalau diminta menyebut yang terbaik, saya mengajukan Taifun oleh Barasuara. Tabik.
15
EXHAUSTING FIRE KYLESA Ini adalah rilisan Kylesa yang sangat berbeda dari sebelumnya. Laura bahkan lebih banyak bernyanyi ketimbang merengut seperti dulu. Perubahan seperti ini biasanya memecah fans: yang membenci dan yang tetap menyukai. Saya termasuk yang kedua. Simak: “Lost and Confused”
14
GENEXUS FEAR FACTORY Ini adalah Fear Factory yang senantiasa saya kenal. Album ini berisi lebih banyak melodi dan bagianbagian yang bersih yang pada akhirnya menciptakan lagu-lagu paling catchy, easy atau sentimentil sepanjang diskografi mereka. Simak: “Expiration Date”
54 I TUCZINE X
13
ENKI MELECHESH Sekian tahun bergonta-ganti personil, salah satu grup terkemuka asal Timur Tengah ini akhirnya kembali ke formasi terkuat dan Enki, adalah kelanjutan yang tidak terlalu inferior dari The Epigenesis lima tahun lalu. Simak: “Multiple Truths”
12
MOZAIC SUNSET IN THE 12TH HOUSE Edmond Karban dan Christian Popescu sepenuhnya meninggalkan black metal, dan bereksperimen lebih dalam ke arah post-metal/rock yang kompleks, megah, berlapis-lapis dan eklektik nan memabukkan dalam 6 lagu-lagu instrumental yang panjang dan melenakan. Simak: “Paraphernalia of Sublimation”
11
AUTUMN ETERNAL PANOPTICON Meski telat mengenalnya, Austin Lunn hadir menggantikan Neige sebagai sosok yang mampu meramu atmospheric black metal yang memenuhi selera saya. Album ini sekaligus menyelamatkan saya dari New Bermuda dan All Fours yang susah payah coba saya nikmati, meski akhirnya, lagilagi, gagal. Simak: “Pale Ghosts”
10
RESTARTER TORCHE Seberat sludge/ doom yang bisa diharapkan, tetapi Torche selalu tahu cara menyeimbangkan itu dengan sentuhan hard rock yang lebih ringan, manis, namun tetap gahar, maskulin dan brutal. Simak: “Loose Men”
9
MAKTBEHOV GOD MOTHER Ada kalanya saya hanya ingin mendengarkan musik untuk mengalihkan diri dari sekitar. Biasanya pilihan untuk itu adalah grindcore. Well, saya lalu melongok ke Swedia. Karena di sana, setiap waktu, pasti ada anak-anak muda yang memainkan grindcore yang apik. Tahun ini ada debut dari God Mother: Maktbehov. Simak: “Nothing”
8
THE DIRECTION OF LAST THINGS INTRONAUT Intronaut tetap membuat saya terkesan setelah lima tahun. Kemampuan mereka memadukan kecadasan dan keindahan dalam komposisi yang rumit dan teknikal namun tetap ringan masih terjaga baik, malah meningkat. Simak: “Fast Worms”
7
PSYCHIC WARFARE CLUTCH
Psychic Warfare didominasi hard rock bergaya stoner yang dimainkan dalam kecepatan tinggi, fun, enerjik, bertenaga dan macho. Sekalinya menurunkan kecepatan, Clutch melakukannya dengan mulus. Tahun lalu, mereka menyelamatkan musik rock. Simak: “XRay Visions”
6
GUNSHIP GUNSHIP Gunship membawa kembali lantai dansa tahun ‘80-an yang didominasi synthwave yang menyentak dan kerlapkerlip neonbox yang menyolok. Entakan musik yang dihasilkan tidak seliar EDM memang, tapi di situlah saya menyukai debut ini. Simak: “Tech Noir”
5
THE ANTHROPOCENE EXTINCTION CATTLE DECAPITATION Dulu banyak yang takut rilisan Cattle Decapitation setelah Monolith of Inhumanity (2012) tidak akan mampu menyamai album yang luar biasa tersebut. Tiga tahun kemudian, mereka bahkan mampu melampauinya lewat album ini. Deathgrind at it’s best. Simak: “Manufactured Extinct”
4
NONSTOP FEELING TURNSTILE Lou Koller pernah bilang: hardcore bukan tentang siapa yang paling tangguh, tapi tentang berpikiran terbuka dan bersenang-senang. Nah, anak-anak muda ini menerjemahkan itu dengan sempurna. Hardcore yang segar sekaligus fun. Simak: “Gravity”
3
LORE ELDER
Lore berangkat dari arah stoner metal yang seperti biasa, kemudian menempuh jalan panjang berkelok-kelok progresif rock, menyesap psikedelia dan kembali berakhir di tempat dia bermula, tapi dengan rasa yang berbeda. Tidak seperti sebelumnya, album ketiga Elder ini lebih bersih, lebih dinamis, lebih bergolak dan tidak lagi beringasan. Lewat kehandalan mereka mencipta komposisi yang pas, terutama riff dan melodi yang memorable dalam lagu-lagu yang panjang namun tak membosankan, DiSalvo dan kawan-kawan menjejak batas-batas luar stoner metal, menunjukkan bahwa genre ini masih bisa dibawa lebih jauh. Simak: “Compendium”
2
MONOTONY FIELDS SHAPE OF DESPAIR
Monotony Fields adalah comeback grup asal Finlandia ini setelah sebelas tahun tidak merilis apapun! Sebuah persembahan kedatangan kembali yang luar biasa. Saya sampai-sampai tidak ingin menyimak rilisan funeral doom lainnya karena takut impresi saya tentang subgenre ini rusak. Simak: “Withdrawn”
1
ARIA OF VERNAL TOMBS OBSEQUIAE Obsequiae menggiring black metal jauh kembali ke Abad Pertengahan, lalu mengurapinya dengan sentuhan folk. Jika di jaman itu sudah ada gitar listrik, mungkin akan terdengar seperti ini kidung para pagan. Simak: ““Autumnal Pyre”, Until All Ages Fall”, Pools of Vernal Paradise”, Anlace and Heart”, In the Absence of Light”, Wilweorthunga”, dan “Orphic Rites of the Mystic”.
.
TUCZINE X I 55
REVIEW
4gambar dipinjam dari medium.com
SINESTESIA EFEK RUMAH KACA 2015 90/100 oleh Didik Yandiawan
Karya musik progresif dengan cita rasa Indonesia yang kaya makna. DI AWAL kemunculannya pada tahun 2007, trio pop minimalis adalah gelar yang disematkan oleh Cholil Mahmud (vokal/gitar), Adrian Yunan Faisal (bass, vokal), dan Akbar Bagus Sudibyo (drum) pada entitas musik yang mereka namai Efek Rumah Kaca. Melalui album Efek Rumah Kaca (2007) dan Kamar Gelap (2008), Efek Rumah Kaca sukses menawarkan pembaruan di tengah pasar musik yang stagnan. Tujuh tahun berselang, melalui proses panjang, Sinestesia (2015) gagah terpampang. 56 I TUCZINE X
Sejak pertama kali merekam penggalan lagu “Jingga: Hilang” pada Desember 2009, Efek Rumah Kaca dihadapkan pada persoalan teknis dan non teknis yang memperpanjang durasi pengerjaan lagu. Bongkar pasang aransemen hingga urusan studi Cholil menjadikan proses rekaman sempat terkatung-katung. Proses pematangan konsep, rekaman, mixing, dan mastering lagu dan album dilakukan bertahap sejak tahun 2009 hingga 2015. Hasilnya, 6 lagu dengan fragmen, durasi, dan kiblat khas progressive rock sukses mewarnai album ini. Pemilihan Sinestesia sebagai judul album serta pemilihan nama warna pada judul lagu seperti “Merah”, “Biru”, “Jingga”, “Hijau”, “Putih”, dan “Kuning” adalah kesatuan utuh jika melihat makna kata “sinestesia”. Adrian dipercaya untuk mendengarkan lagu dengan seksama dan menerjemahkannya menjadi warna. Hebatnya, bila disimak dengan seksama, karakter dan tema lagu pada Sinestesia benar-benar mencerminkan sematan warna sebagai judulnya. “Merah” adalah lagu berdurasi
11:20 yang bercerita tentang iklim politik yang rumit yang melahirkan ketidakpercayaan dan apatisme pada fragmen berjudul “Ilmu Politik” dan “Lara di ManaMana”, yang berujung pada pernak-pernik gurauan politik pada fragmen “Ada-Ada Saja”. “Ada-Ada Saja” menceritakan sikap politik yang menjadi sebab-akibat dari fenomena politik. “Biru” yang merupakan lagu yang terdiri dari dua fragmen “Pasar Bisa Diciptakan” dan “Cipta Bisa Dipasarkan”. “Pasar Bisa Diciptakan” adalah pernyataan sikap penolakan terhadap kepasrahan pada kredo dan dikte hukum permintaan dan penawaran terhadap karya seni. Sementara itu, “Cipta Bisa Dipasarkan” menceritakan proses kelahiran sebuah karya seni. Lirik “dari kegelisahan dipadatkan dengan cinta / bergemuruh di dada / jauh dari mereda / fantasi yang menggila bercampur rasa kecewa / pelan-pelan hilangnya / jadi sepercik cahaya” menjadi premis yang mengalir hingga ke konklusi lirik “kegelapan masih membayangi / menyelimuti, menolak pergi / mencari ruang gerak ditentang / dan menjadi ironi.
REVIEW “Jingga” terdiri dari fragmen “Hilang”, “Nyala Tak Terperi”, dan “Cahaya, Ayo Berdansa”. Kisah yang didedikasikan untuk mereka yang hilang di era menjelang Reformasi 1998. Titik kulminasi digapai melalui pembacaan nama-nama orang hilang yang kemudian disambut dengan “Nyala Tak Terperi”. Lagu yang menceritakan tentang regenerasi ide yang tak akan pernah mati. Patah tumbuh hilang berganti. “Hijau” adalah lagu yang terdiri dari fragmen “Keracunan Omong Kosong” dan “Cara Pengolahan Sampah”. Lagu ini penuh dengan metafora. Informasi dari berbagai sumber secara masif membanjiri ruang-ruang privat. Nyaris tak memberi ruang untuk membatasi dan memilahnya. Efek Rumah Kaca menawarkan solusi untuk mengatasi penyakit “Keracunan Omong Kosong” melalui “Cara Pengolahan Sampah”. Lirik “dalam demokrasi, sampahpun meninggi / cari eksistensi, bukan disesali atau dimungkiri / jangan dibaui, diatasi, dialihfungsi ke energi” menjadi strategi jitu untuk mengatasinya. “Putih” adalah lagu kelima yang mengetengahkan cerita tentang konsep kematian dan kelahiran. Melalui fragmen “Tiada”, Efek Rumah Kaca mengisahkan proses lepas jiwa secara dramatis secara kronologis. Saat manusia meregang nyawa dalam mobil ambulans, situasi pemakanan jenazah, hingga tahlilan. “Akhirnya aku usai sudah / kini aku lengkap sudah” serta “karena kematian untuk kehidupan tanpa kematian” adalah lirik yang menjadi kunci dari fragmen “Tiada”. Konsepsi kematian dari sudut pandang Efek Rumah Kaca. Sementara itu, fragmen “Ada” dengan sigap menyambut “Tiada” dengan lantunan lirik tentang kelahiran manusia baru. Manusia baru yang akan menghadapi fase kehidupan dunia yang penuh rahasia, teka-teki, takdir, dan misteri. “Kuning” menutup jalinan album Sinestesia dengan fragmen “Keberagamaan” dan “Keberagaman”. “Keberagamaan” mengetengahkan konsepsi Tuhan dalam diri individu manusia yang kemudian di bawa ke dalam tatanan hubungan antar-individu. Ada dua kutub individu yang saling bertarung dalam perspektif “Keberagamaan” yang dihadirkan Efek Rumah Kaca: “Manusia mengonsepsi Tuhan” versus “Manusia menafikan Tuhan”. Lirik “karena cinta bersemayam dalam jiwa” adalah konsepsi hubungan vertikal-horizontal antara manusia dengan Tuhan dan sesama manusia yang menjadi penutup babak akhir dari pertarungan tersebut. Tak berhenti di sana, fragmen “Keberagaman” hadir dengan cerdas
mengulas perkara Hari Penghakiman. Suasana keberagaman dipotret pada situasi di mana manusia dari segala zaman berkumpul. “Bila matahari sepenggal jaraknya / padang yang luas tak ada batasnya / berarak beriringan / berseru dan menyebut… Dia…”. Kelengkapan referensi tema lagu juga diperkuat dengan taburan karya seni grafis karya The Secret Agents dan The Popo. Paket utuh yang menyajikan pengalaman visual dan audio yang teramat diasayangkan jika dilewatkan. Menyimak enam lagu berdurasi panjang dalam Sinestesia seperti memulai sebuah perjalanan. Kita tak bisa menerka apa yang terjadi di sepanjang perjalanan, tetapi kita paham destinasi akhirnya: kontemplasi dan pengayaan hidup. Melalui kelahiran Sinestesia pula, mulai saat ini Efek Rumah Kaca tak lagi sekedar trio pop minimalis. Dalam tatanan dunia musik Indonesia, bisa jadi mereka saat ini ada di level makrifat.
.
DOSA, KOTA, & KENANGAN SILAMPUKAU 2015 85/100 oleh Didik Yandiawan
Potret jujur wajah kota, manusia, dan interaksi sosial dari sudut Surabaya KELIHAIAN Kharis Junan-dharu dalam meloncati pijakan kata per kata dalam sejumlah lirik Silampukau menjadi daya tarik utama album Dosa, Kota, & Kenangan. Silampukau, grup folk Surabaya yang mengemuka dengan pendekatan penulisan lirik yang lekat dengan keseharian manusia. Entah di Surabaya atau di kota manapun di dunia ini. Sejumlah lagu mengisahkan sisi manusiawi seseorang dengan sudut pandang beragam disiplin peran. Perantau, pekerja kantoran, penjaga distro, pecinta, dan peran-peran lainnya. “Bola Raya” dan “Bianglala” mengetengahkan kisah hiburan jalanan anak-anak dan remaja yang kian terampas akibat minimnya ruang terbuka publik. “Si Pelanggan” dan “Sang Juragan” mengisahkan curahan hati dari dua sudut pandang penerima dampak kebijakan penutupan lokalisasi ternama di Surabaya. “Balada Harian” dan “Malam Jatuh Di
Surabaya” adalah puisi untuk dinamika kota yang kian asing bagi penghuninya, atau penghuni yang kian asing bagi kotanya. “Doa 1” dan “Aku Duduk Menanti” merupakan lagu kontemplasi yang penuh kesederhanaan. “Puan Kelana” dan “Lagu Rantau (Sambat Omah)” merupakan jeritan kerinduan akan dua hal yang paling lekat dalam hidup manusia: kekasih dan kampung halaman. Dengan pendekatan gaya bernyanyi ala Iwan Fals oleh Eki Tresnowening dan Bob Dylan muda oleh Kharis Junandharu, Silampukau menjalin kesatuan lagu dan lirik yang solid dan membumi. Surabaya mungkin sudah ditakdirkan melahirkan musisi cerdas dan berkualitas. Dosa, Kota, & Kenangan layak diperhitungkan.
.
TERIAKAN BOCAH KELOMPOK PENERBANG ROKET 2015 85/100 oleh Didik Yandiawan
Tiga kata untuk mereka: Lugas! Ganas! Beringas! SERASA terbang mengangkasa. Jauh meninggalkan bumi. Atmosfer rock yang akrab dengan suasana di mana bebunyian liar, setengah matang, membuat tubuh terhuyung dengan sekali hajar. Tanpa basa-basi, Kelompok Penerbang Roket membawa jiwa penasaran menemukan esensi musik rock dengan pendekatan era ‘70-an. Langkah fenomenal melalui serangan gitar Justin, ditabrakkan dengan deru dan dentum bedug Inggris Vicky. Lolongan J. Patton merajai lagu dengan penjagaan penuh bass di sepanjang lagu andalan Kelompok Penerbang Roket seperti “Anjing Jalanan”, “Target Operasi”, dan “Dimana Mereka”. Tembang bergengsi dengan pendekatan balada manis di lagu “Tanda Tanya” dan koor liar di refrain “Beringin Tua” berpotensi menjadi favorit di setiap gig mereka. “Mati Muda” menjadi anthem yang sedikit mengingatkan dengan kemunculan The Brandals di awal karir. Tapi tunggu, ini berbeda. Berbeda dari yang pernah ada. Perlulah kita meluangkan apresiasi untuk menggamit teriakan lantang Kelompok Penerbang Roket. Melalui Teriakan Bocah, debut mereka serasa tiada tandingannya.
.
TUCZINE X I 57
REVIEW
HYPERVIEW TITLE FIGHT 2015 oleh Kodeen MENDENGAR frasa “title fight”, dengan cepat kita akan bisa menduga jika kata tersebut terdengar sangat hardcore sekali. Tidak salah, karena Title Fight merupakan nama sebuah band dari Pennsylvania dan pada dua album pertama yang mereka rilis memainkan hardcore yang penuh tenaga dengan sentuhan punk. Mereka melakukan perubahan yang sangat signifikan pada rilisan terbaru mereka yaitu Hyperview, yang merupakan salah satu album kesukaan saya di tahun 2015, dengan memasukkan unsur shoegaze dan tanpa takut kehilangan penggemar setia mereka. Ajaibnya hal tersebut terasa natural dan masih seperti Title Fight di album sebelumnya walaupun mereka memainkan intro yang sedikit lebih panjang, melambatkan temponya dengan nuansa mengawang dan lebih bernyanyi. Jika sebelumnya kita mendengar Title Fight seperti menunggangi kuda yang berlari kencang, maka sekarang seperti menjelma menjadi pegasus yang bersayap dan bertanduk serta terbang di antara awan. Lebih mempesona dan se-perti di dalam mimpi. Di album ini mereka mempunyai lagu pembuka “Murder Your Memory” dengan intro yang apik disertai suara vokal dan melodi yang menghantui sepanjang lagu, single mereka “Chlorine” yang dreamy dengan melodi yang me-ngiris kasar, “Your Pain is Mine Now” yang lambat dan membakar perlahan, “Dizzy” yang memabukkan, “Hypernight” dengan line bass yang 58 I TUCZINE X
lengket di telinga dan merupakan lagu yang paling saya suka dan terakhir “Rose of Sharon” dan “Trace Me onto You” serta “Mrahc” sebagai upaya membahagiakan penggemar lama mereka. Walaupun Hyperview terdengar seperti pengantar untuk tidur tetapi sangat terasa ada potensi endapan energi yang sangat besar dan siap meledak kapan saja.
yang dominan di album sebelumnya, tergantikan synth dengan ritme beat drum yang konstan. Hanya muncul di beberapa bagian, namun tetap mengunci dengan riff-riff maut. Keberanian Tame Impala hijrah menuju Interscope dengan pengayaan musik di beberapa lini patut dicoba oleh mereka yang paham bahwa butuh keberanian untuk berubah demi produksi musik yang terbaik.
CURRENTS TAME IMPALA 2015 85/100 oleh Didik Yandiawan
SOMETIMES I SIT AND THINK, AND SOMETIMES I JUST SIT COURTNET BARNETT 2015 oleh Maraha Sufitra
.
Selamat tinggal psychedelic, selamat datang elektronik. KEVIN Parker tampaknya tidak pernah berhenti bereksperimen. Petualangan bermusiknya melalui Tame Impala ternyata tidak terhenti di lezatnya psikedelik Innerspeaker (2010) dan Lonerism (2012). Melalui Currents, Tame Impala memperkenalkan racikan musik terbaru mereka. Tanpa meninggalkan ciri khas lantunan lagu dan musik yang mengawang, Tame Impala menempuh pendekatan terbaru yang punya sasaran kombo: merangkul pendengar baru dan membawa penggemar lama dalam tatanan baru musikTame Impala. “Let It Happen” lagu berdurasi 8 menit terbilang sukses menjadi jembatan perantara Lonerism dan Currents. Nyaris tidak tertinggal jejak karakter psikedelik seperti hits besar mereka di album Lonerism seperti “Be Above It” atau “Mind Mischief”. Pendekatan progresif cenderung dipilih dengan sampel musik yang didominasi sampel elektronik. Peran gitar
.
WALAUPUN album Sometimes I Sit and Think, and Sometimes I Just Sit ini adalah album penuh pertamanya, tapi Courtney Barnett mulai menarik perhatian sejak merilis The Double EP: A Sea of Split Peas. Tidak heran banyak orang berharap lebih dengan album pertamanya. Ekspektasi tersebut terlihat dalam liriknya “Pedestrian at Best”: “put me on a pedestal and I’ll only disappoint you”. Pada “Elevator Operator” dia bercerita tentang penjaga lift yang bosan dengan pekerjaannya. Sementara “An Illustration of Loneliness (Sleepless in New York)” bercerita tentang memandang plafon sambil mengingat seseorang, atau pada “Dead Fox” tentang mencoba gaya hidup sehat dengan memakan makanan organik. Terlihat sederhana dan mudah memang. Tapi kelihaiannya merangkai kalimat membuat album ini istimewa. Apalagi nada-nada yang cukup catchy dan terasa familiar membawa kita kembali ke era kejayaan alternatif di tahun 1990-an.
.
REVIEW FAIL TO FEEL SAFE ENABLER 2015 oleh Saraddasi
bersimpati pada Amanda saat menyimak lagu seperti “Fail to Feel Safe” sementara membayangkan Jeff gagal memberikan rasa aman pada orang yang semestinya dilindunginya tersebut. Entah.
TAHUN 2014 lalu, La Fin Absolue du Monde adalah salah satu favorit. Album kedua band yang disebut-sebut menyelamatkan metalcore itu cukup lama berputar di daftar main dan termasuk dalam daftar terbaik 2014. Sungguh antusias ketika mendengar mereka merilis kelanjutannya tahun ini. Antusiasme yang kemudian berubah jadi keterkejutan luar biasa demi mengetahui segala kisah yang mengiringinya. Beberapa minggu sebelum perilisan Fail to Feel Safe, Amanda Daniels, eks pemain bas, melalui blog pribadinya, menuduh Jeff Lohrber, vokalis yang juga mantan pasangannya, telah, selama bertahun-tahun, melakukan kekerasan seksual dan fisik kepadanya. Tuduhan serius Amanda tersebut tentu saja sangat mengejutkan dan membuat marah. Jika terbukti benar, agresifitas musik, kepedasan lirik dan aksi panggung Jeff yang liar ternyata tidak sebatas gimmick. Lewat pengakuan itu juga akhirnya terungkap mengapa selepas La Fin Absolue du Monde Enabler tinggal diisi Jeff seorang. Meski mencoba untuk tetap objektif menilai hanya musiknya semata, sulit untuk menyimak Fail to Feel Safe tanpa bias. Semua lirik dan instrumen di album ini ditulis dan dimainkan Jeff sendirian, dan masih melanjutkan apa yang ada di La Fin Absolue du Monde. Seperti album sebelumnya, Jeff menunjukkan kemampuannya mengawinkan hardcore dan heavy metal, sembari menambahkan ciri khasnya sendiri yang membuat musik Enabler terdengar lebih segar dan membawa kebaruan pada genre metalcore yang mulai seragam dan membosankan menjelang akhir 2000-an. Meski belum ada yang langsung menohok semisal “Close My Eyes” atau “New Life”, lagu-lagu di album ini tetap heavy dan asyik, meski dari trek pertama hingga terakhir, hampir tidak terdengar sesuatu yang benar-benar berbeda, kecuali “Malady” yang melodik, sentimentil dan mengingatkan pada lagu-lagu emocore pada awal 2000-an. Sepertinya Jeff mulai repetitif, atau saya yang terlalu larut
ENKI MELECHESH 2015 oleh Saraddasi
.
DALAM serbuan blackened-trash yang menghajar tanpa ampun, lewat vokal penuh kutukan dan lead guitar yang mencekam, yang dipadu secara apik bersama partpart groove dan melodik, serta instrumentasi bernuansa padang pasir yang tidak berlebihan, Ashmedi dan kawan-kawan mengajak kita mengeksplorasi bagianbagian misterius nan suram dunia kuno Sumeria. Setelah sekian tahun bergontaganti personil, salah satu grup terkemuka asal Timur Tengah ini akhirnya kembali ke formasi terkuat dan Enki, adalah kelanjutan yang tidak terlalu inferior dari The Epigenesis lima tahun lalu. Salah satu rilisan terbaik 2015 menurut Masboi.
.
GENEXUS FEAR FACTORY 2015 oleh Saraddasi “We were never made to last, just bodies made and fabricated, we’re living for an expiration” TEMA Genexus melanjutkan visi Bell tentang perang manusia melawan mesin yang dimulainya sejak Obsolete. Album-album Fear Factory adalah versi audio dari dunia menjelang dan pasca apokalip dalam seri Terminator. Melihat perkembangan jaman, visi mengerikan ini bisa jadi mendekati kenyataan. Yang paling sederhana, saat ini pada kenyataannya kita lupa siapa yang memegang kendali atas waktu dan diri kita: kita atau gawai kita? Untuk musiknya, Fear Factory selalu menggunakan formula yang sama
di setiap album sejak mereka bubar dan bersatu kembali -tanpa Dino Cazares- di 2002, dan bubar dan bersatu kembali beberapa tahun kemudian. Drum mesin yang bergemuruh, riff yang pedas, berlapis-lapis bebunyian industrial yang bising dan struktur lagu yang bisa ditebak: kombinasi growl vocal pada verse dan melodic clean singing pada chorus. Yah, musik Fear Factory selalu sama. Formula yang sama tetap digunakan di Genexus, dan itu berarti baik. Inilah Fear Factory yang senantiasa saya kenal. Namun, bagi yang jeli, akan menemukan sedikit perbedaan: drummer baru mereka Mike Heller mendapat jatah main yang lumayan untuk mengimbangi banyak slot yang diisi machine drum. Juga, album ini berisi lebih banyak melodi dan bagian-bagian yang bersih yang pada akhirnya menciptakan lagu-lagu paling catchy, easy atau sentimentil sepanjang diskografi Fear Factory: “Regenerate”, “Battle for Utopia” dan “Expiration Date”, tiga lagu penutup di satu lagi album solid dari Dino Cazares, Burton C. Bell dkk.
.
ASUNDER, SWEET AND OTHER DISTRESS GODSPEED YOU! BLACK EMPEROR 2015 oleh Saraddasi SEPERTI seharusnya, kelompok avant-garde asal Kanada ini menihilkan lirik yang justru membatasi dan menerjemahkan sikap dan pandangan mereka sepenuhnya lewat suara dan bunyi, dan menjadikan musik sebagai obyek sekaligus subyek dan satu-satunya konteks, yang diharapkan –dan memangbisa menggerakkan pendengar bukan secara verbal lewat petuah kosong, tapi melalui instrumentasi megah dan konsepsi besar di belakangnya lewat kresendo yang lamat-lamat semakin menusuk batin, mengantar menuju transendensi, yang mestinya berujung kesepahaman bahwa musik seharusnya memang seperti ini: kontemplatif, introspektif, dan seterusnya. Asunder, Sweet and Other Distress adalah rilisan Godspeed You! Black Emperor yang paling singkat, berisi empat lagu, dan berdurasi kurang lebih 40 menit. Seharusnya itu sudah lebih dari cukup untuk menyentil bahwa setidakpeduli apapun kalian, dunia tidak sedang baik-baik saja.
.
TUCZINE X I 59
REVIEW HONEYMOON LANA DEL REY 2015 oleh Saraddasi TAHUN 2014 yang lalu Lana menarik dan menenggelamkan saya dalam Ultraviolence: rangkaian nyanyian sendu dan lirih tentang romansa yang getir, gelap, kelam, destruktif dan nihilistik. Setahun berselang, Lana merilis Honeymoon. Sepintas dari judulnya, ini akan lebih ceria dari pendahulunya tersebut. Tidak juga ternyata. Lana masih saja mencari cinta di tempat yang salah, dan tetap seorang bintang yang hilang dan kesepian dalam keterkenalannya. Honeymoon, meski lebih subtle, tidak lebih terang, hidup, optimis dan ceria dari Ultraviolence. Mendengar vokal Lana yang lirih, perih dan setengah mabuk di 14 lagu yang tetap membawa nuansa vintage Hollywood di album ini, menegaskan itu. Belum lagi hampir semua lagu -selain “High by the Beach”- yang cenderung depresif, bergerak pelan, lamat-lamat menusuk hati. Honeymoon sekalian menjadi album paling padat, komplit dan dewasa dari Lana. Dengan album ini, dia membuktikan konsistensinya: seorang gadis sedih dari Hollywood puluhan tahun lalu yang terperangkap dalam dunia popstar masa kini. Beberapa lagu yang menjadi favorit saya di album ini: “God Knows I Tried”, “Honeymoon”, “Terrence Loves You”, “Religion”, dan “Swan Song”.
.
HOMEWARD PATH VALLENDUSK 2015 oleh Saraddasi LEWAT debut Black Clouds Gathering -album terbaik 2013 menurut Masboi- yang luar biasa dan mengundang pujian di manamana, Vallendusk melejitkan diri mereka ke jajaran pendatang baru yang perlu dinanti. Menghadirkan variasi di skena 60 I TUCZINE X
bawah tanah lokal dengan atmospheric black metal mereka yang segar. Seperti di Black Clouds Gathering, Homeward Path dibuka dengan cara tepat. Meski belum seepik “Fragments of Light” yang langsung memerangkap imajinasi dan melarikannya ke hutanhutan berkabut Skandinavia, “Windswept Plain” tetaplah sebuah sajian pembuka yang pas: cepat, bergemuruh tapi tetap menyajikan momen-momen pelan untuk menyempurnakan tugasnya sebagai trek atmospheric black metal yang semestinya. Tujuh lagu berikutnya menawarkan suasana hampir serupa, namun tidak juga repetitif. Kesegaran yang ditawarkan di Black Clouds Gathering lewat sentuhan post-rock dalam wujud selingan sesi akustik di antara blastbeat dan high shriek sedikit berkurang, diganti dengan bunyi organ. Namun kekuatan utama mereka, melodi aduhai dari lead guitar yang menggigit di semua lagu, tetap dipertahankan. Menyimak Homeward Path tentulah berbeda ketika dulu pertama menyimak Black Clouds Gathering. Album ini sudah diantisipasi dan tentu saja kita sudah tahu apa yang bisa diharapkan. Bagi sebagian orang, termasuk saya sepertinya, Homeward Path tentulah inferior jika disandingkan dengan Black Clouds Gathering. Masalahnya adalah, Vallendusk terlanjur menetapkan standar yang terlalu tinggi lewat debut mereka tersebut.
.
MONOTONY FIELDS SHAPE OF DESPAIR 2015 oleh Saraddasi DI ANTARA subgenre metal lainnya, doom metal adalah yang paling terakhir saya jajaki. Musiknya yang lambat dan berat bikin saya -yang waktu itu merasa cocoknya dengan musik cepat pemacu adrenalinkeder. Itu dulu, sebelum saya kenal dan jatuh hati setengah mati pada salah satu turunannya: funeral doom metal berkat Monotony Fields oleh Shape of Despair, baru-baru saja. Entah ini pengaruh usia, atau akibat suasana hati yang sedang melankolis atau galau atau lainnya, saya langsung terkesima dan merasa sangat familiar dengan album ini. Sejak lagu pembuka “Reaching the Innermost”, saya
langsung ditarik, hanyut dalam atmosfir penuh penderitaan. Sampai lebih dari sejam kemudian di lagu penutup “Written in My Scars”, saya tidak bisa beranjak dan terus saja tenggelam dalam kecamuk berupa-rupa perasaan: kehilangan, sepi, ditinggalkan, hampa, sedih, putus asa dan lainnya. Sejatinya, funeral doom metal memang identik dengan hal-hal di atas. Itu diperkuat dengan atmosfir senada yang disuarakan oleh musik yang lambat, berat, mendengung, vokal grunt rendah yang saling melengkapi bersama vokal bersih serta choral yang menyayat hati, dan lainnya. Tapi ternyata, setelah menyimak lirik-lirik Shape of Despair, mereka senantiasa menyelipkan optimisme dan harapan. Bahwa tidak ada penderitaan yang tidak berujung. Seperti yang mereka tunjukkan di “The Distant Dream of Life” yang lebih “ceria” dan berbeda dari lagulagu lainnya. “Monotony Fields” adalah “comeback” grup asal Finlandia ini setelah sebelas tahun tidak merilis apapun! Sebuah persembahan kedatangan kembali yang luar biasa. Saya sampaisampai tidak ingin menyimak rilisan funeral doom lainnya karena takut impresi saya tentang subgenre ini rusak. Lagu-lagu favorit saya di album ini: semuanya! Terutama “Reaching the Innermost”, “The Distant Dream of Life” dan “Withdrawn”. Salah satu album terbaik 2015 menurut Masboi..
.
FRONTSCHWEIN MARDUK 2015 oleh Saraddasi MEMASUKI umur seperempat abad, gerombolan asal Swedia ini masih tahu cara membuat musik black metal yang semestinya. Kasar, cepat, akut, eksplosif, dan seterusnya. Seperti ledakan bertubi-tubi dan tiada henti meriam mesin perang Jerman pada Perang Dunia Kedua yang menjadi tema pokok di album ini, Frontschwein dimulai dengan cepat, tanpa basa-basi, juga ditutup dengan cara yang sama, serta diselingi sesi-sesi agak pelan di antaranya. Satu lagu untuk menggambarkan album ini secara utuh adalah “ThousandFold Death” yang cepat, menderu, beringas dan mematahkan leher.
.
REVIEW
M MYRKUR 2015 oleh Saraddasi TAHUN lalu self titled EP Myrkur -termasuk salah satu rilisan paling sering disimak Masboi sepanjang 2014- berhasil mencuri perhatian, mengundang pujian dan memancing penasaran sekaligus kontroversi. Aksi black metal tunggal yang dimotori seorang wanita, misterius pula, tentulah tidak banyak ditemui dalam dunia black metal yang maskulin. Apa lacur, puja-puji beralih caci-maki, terutama dari para elitis dan purist setelah terungkap siapa sebenarnya di belakang Myrkur: Amalie Bruun, seorang penyanyi, penulis lagu dan model asal Denmark. Kontroversi dan caci-maki, juga pujian, kembali mengiringi album debut ini. Bagi sebagian orang, M hanyalah karya biasa dari seorang terkenal yang mendadak black metal. Dangkal, tidak orisinil dan seterusnya. Bagi sebagian lainnya, ini adalah pembuktian Bruun yang tidak sekedar mendadak black metal. Di M, Bruun mengajak Kristoffer Rygg dedengkot Ulver untuk membantu memoles album ini. Hasilnya: sajian black metal -memang “tidak true”, dan banyak menerima pengaruh dari Ulver, dan sudah pernah dilakukan Alcest di era awal-,
namun tetap atmosperik, berbalut gotik, folk, mistik, misterius dengan nyanyian choir yang mencekam, yang lebih rapi dan lebih serius dari EP setahun sebelumnya. Kredit tentulah pantas diberikan pada Bruun yang, meski menerima banyak sekali caci-maki, mencurahkan energinya di album ini. Dia bernyanyi, berteriak, bersenandung lirih, menulis lirik, memainkan instrumen, piano, lainnya dan tetap percaya diri, menantang para misoginis: “This is my music, so I will write what I want. And if you are listening to music because “a woman made it”, then turn it off. Listen to any music only if it speaks to your ears and your heart”.
.
MOZAIC SUNSET IN THE 12TH HOUSE 2015 oleh Saraddasi SUNSET in the 12th House adalah grup baru, dan Mozaic adalah debut mereka. Jangan salah, di belakangnya adalah orangorang lama: Edmond Karban dan Christian Popescu, eks Neguraă Bunget, grup black metal tidak biasa asal Rumania. Lepas dari Negurăa Bunget pada 2009, keduanya langsung membentuk Dordeduh yang masih seturut grup sebelumnya, ditambah folk dan atmosperik yang kian
kental. Di proyek terbaru ini, mereka sepenuhnya meninggalkan black metal, dan bereksperimen lebih dalam ke arah post-metal/rock yang progresif, kompleks, megah, berlapis-lapis dan eklektik dengan berbagai campuran yang memabukkan dalam 6 lagu-lagu instrumental -kecuali “Rejuvenation” yang diisi geraman Karban- yang panjang dan melenakan.
.
DESIRE WILL ROT FUCK THE FACTS 2015 oleh Saraddasi LEWAT album kesepuluh ini, Fuck the Facts mengklaim tempatnya di antara bandband metal “nakal” nan teknikal semisal Converge atau The Dillinger Escape Plan. Mereka yang berani keluar dari pakem metal tradisional dengan bermain-main bid’ah dan mencampuradukkan banyak sekali unsur-unsur dari luar metal. Padahal, pada perjumpaan pertama saya dengan Topon Das dkk lewat Disgorge Mexico (2008), mereka masih memainkan grindcore dengan tingkat hampir puritan. Desire Will Rot menabrak semua limitasi. Dengannya, Fuck the Facts menunjukkan bahwa grindcore yang sejatinya abrasif bisa dengan nyaman disisipi twist-twist mengejutkan, mulai dari jazz, ambient, post-rock, dan banyak lainnya.
.
TUCZINE X I 61
REVIEW
4gambar dipinjam dari jurnalbanal.wordpress.com
MONOKROM TULUS 2016 75/100 oleh Meidiawan Cesarian Syah
Eksperimen Monokrom yang kurang tulus TULUS mungkin menjadi bukti sahih bahwa jalur independen tidak melulu menjadi terkucil. Dengan memadukan notasi unik dan musikalitas nun ekletik, ia mampu menaklukkan telinga masyarakat Indonesia dan merajai tangga lagu. Tak heran, popularitas Tulus kian melejit dan disejajarkan dengan musisi-musisi yang bernaung di bawah label mainstream. Di bawah label yang didirikannya sendiri, Tulus Co, Tulus telah mempersembahkan dua album yakni Tulus pada tahun 2011 dan Gajah pada tahun 2014. Ia pernah menggebrak skena musik nasional ketika merilis lagu “Sewindu” dan “Teman Hidup” dari album pertama serta lagu “Baru” dan “Jangan Cintai Aku Apa Adanya” dari album kedua. Kedua album Tulus merengkuh banyak pendengar sekaligus penggemar setia yang bernaung dalam nama Teman Tulus. Dua tahun setelah album Gajah, Tulus merilis album panjangnya yang ketiga bertitel Monokrom. Diawali dengan merilis dua single-nya terlebih dahulu, “Pamit” dan “Ruang Sendiri”, album ketiga Tulus terasa menjanjikan dengan perbedaan nuansa yang meruah dari dua 62 I TUCZINE X
single ini. Ketika benar-benar dirilis, lagulagu di album Monokrom memang memiliki nuansa yang berbeda dengan dua album sebelumnya. Tulus bermain-main dengan balutan musik orkestra, musik jazz yang lebih umum, hingga lapisan-lapisan vokal yang sahut menyahut. Sayangnya, eksperimen baru Tulus terasa kurang mulus. Beberapa nada yang dimainkan tidak ramah dengan telinga -setidaknya telinga saya-. Pun ada lompatan-lompatan bebunyian instrumen yang membuat saya mengernyitkan dahi. Tulus memang masih menggubah notasinotasi baru yang aneh, namun tidak semuanya memuaskan didengar. Monokrom dibuka dengan “Manusia Kuat” yang saya pikir adalah versi upbeat dari lagu “Kita Bisa” yang pernah Tulus nyanyikan bersama RAN karena memiliki tema yang sama. Tulus menceritakan kisah mereka yang tidak ambruk meskipun dihajar ujian dari sekelilingnya. Di lagu ini, Tulus juga membubuhi string section yang menambah kemegahan lagu pembuka ini. String section terus digunakan di lagu kedua sekaligus single pertama album ini: “Pamit”. Saya tidak bisa menolak perasaan bahwa Tulus mencoba menjelma Sam Smith yang menyanyikan “Writing on the Wall” dalam lagu ini. Namun, pesan pamit yang diutarakan Tulus tidak bisa dibilang tidak tersampaikan melalui gagah gemerlapnya orkestrasi yang menangkupi sepanjang lagu. Tulus benar-benar kembali menjadi Tulus di lagu ketiga sekaligus single kedua album Monokrom: “Ruang Sendiri”. Tulus nampaknya masih menyenangi permainan tema seputar dekonstruksi cinta. Dalam “Ruang Sendiri”, Tulus membingkai kebosanan bertemu dengan
lirik manis “Beri aku kesempatan tuk bisa merindukanmu / Jangan datang terus” lalu “Percayalah rindu itu baik untuk kita”. Lagu ini pun terasa manis dengan bebunyian khas Tulus yaitu tumpukan gitar, piano, dan drum serta tidak melibatkan string section yang masif. Setelah lagu ini, Tulus memberikan dua lagu eksperimennya yaitu “Tukar Jiwa” dan “Tergila-gila”. Tulus memasukkan unsur free jazz dan soul dengan brass section yang cukup kaya dalam dua lagu ini yang membuat dahi saya berkernyit. Sebenarnya ada satu lagu lainnya yang serupa yakni “Mahakarya”. Tiga lagu ini terpaksa saya pinggirkan sering-sering ketika mendengarkan album ini karena terasa sangat eksperimental serta notasinya aneh. Di bagian kedua album, Tulus menurunkan penggunaan orkestra dan mengoptimalkan kesederhanaan bunyi untuk menggelitik telinga. Hasilnya adalah lagu-lagu yang menyenangkan sekali untuk didendangkan. “Cahaya” berpusar pada bunyi gitar dan piano dan sejuk, pun “Monokrom”. Kedua lagu ini, beserta “Langit Abu-Abu”, mungkin lagu yang khas Tulus dari keseluruhan album ini. Monokrom, sebagai eksperimen teranyar Tulus, mungkin akan makin menahbiskan Tulus sebagai penyanyi cutting edge ternama yang mendedah habis musik pop dan jazz. Namun sayangnya album ini tidak lebih baik dari album Gajah. Setidaknya tiga lagu yang disebutkan tadi terasa terlalu bermain-main dan membuat orang cenderung ingin melewatkan saja lagu-lagu itu secepatnya. Walaupun di sisi lain, eksperimen Tulus dengan melibatkan orkestra adalah pernik cemerlang yang mungkin bisa dikulik lagi di album selanjutnya.
.
REVIEW
4gambar dipinjam dari jalurindie.com
TALKING DAYS CHRISTABEL ANNORA 2016 85/100 oleh Meidiawan Cesarian Syah
Pesaing album pop terbaik tahun ini JEMARINYA seakan berdansa di atas tuts Keyboard Korg. Sementara di sisinya, dua orang memainkan cello dan biola. Larik demi larik lagu “60 km/h” lalu ia lantunkan sembari menjelajahi tubuh keyboard. Komposisi bebunyian keyboard, cello, dan biola pun mengiringi suaranya yang indah dan membawa pendengarnya terlecut, entah untuk apa. Tidak banyak pianis sekaligus penyanyi dan pencipta lagu yang berlalu lalang dalam jagat musik Indonesia. Tambahkan atribusi perempuan, maka figur yang dimaksud akan makin terbatas. Saya sendiri baru mafhum dengan Leilani Hermiansyah yang akrab dengan nama panggung Frau sebagai figur yang bisa memenuhi atribut-atribut tadi. Lalu muncullah Christabel Annora, seorang pianis perempuan dari Malang, dengan album penuhnya yang berjudul Talking Days. Ista mulai cukup menarik perhatian ketika sebuah TV lokal milik sebuah universitas menyiarkan penampilannya. Di sana, Ista, nama akrab Christabel, menghunus piano sebagai instrumen utama dan dipadu padankan dengan biola, cello, dan glockenspiel yang
dimainkan oleh Timotius Nugraha, Octavianus Triangga, dan Steffani BPM. Per 14 Mei 2016, Talking Days sudah bisa didendangkan secara penuh. Telinga akan dimanjakan oleh nuansa musik klasik yang berlarian disesaki suara Ista. Berlatar sebagai pengajar sekolah musik di kota Malang dan Surabaya, Ista sengaja mengambil saripati musik klasik sebagai basis berdiri lagu-lagunya. Dalam “60 km/h”, nuansa itu terdengar sekali berjejal dengan lapisan-lapisan suara Ista dan dentingan glockenspiel. Lagu bertempo cepat ini niscaya membawa pendengarnya seakan berada dalam awang-awang. Formula yang sama digunakan Ista dalam “If These Walls Could Talk”. Lebih jauh, Ista tahu betul bagaimana mementaskan “If These Walls Could Talk” dengan pendalaman yang parau sekaligus indah. Lagu yang sempat masuk dalam album Kompilasi Sepi rilisan Barongsai Records ini menjadi penenang keriangan yang meluap-luap dalam separuh pertama album. Tentunya single utama album “Talking Days” tidak boleh dilewatkan. Dari larik-larik manis “I open my eyes, and all I see is you / Waving through the branch and leaves, so true / Birds saying hi, the butterfly smiles to you / What a greeting in the morning from you” menyajikan pengalaman bangun pagi menyenangkan yang dibingkai gesekan biola dan cello sedemikian manis. Ista tahu betul bagaimana pagi itu berderap datang dan meninggalkan kita dalam singkat, secepat pendar luka dan bahagia bergiliran hadir. Lagu selanjutnya yang berbahaya tentulah “Ini Sementara”. Berduet
dengan Odeding, Ista menembangkan kerisauan mengenai keperihan dan lara yang seakan tidak berakhir lewat permainan solo piano yang mengiris. Di paruh kedua, ballad terbaik juga dimainkan Ista via aransemen ulang lagu “Desember” dari Efek Rumah Kaca. Ista yang mengaku menggemari lagu itu menampilkan hormatnya dengan aransemen yang sarat nuansa magis. “Desember” milik Ista terasa seperti teduhnya sisi perempuan yang menangkupi bulan pungkasan tahun itu. Beberapa lagu lain tak kalah indahnya, seperti “Lucid Dream”, “Rindu Itu Keras Kepala”, atau komposisi riang “New Kind of Lame”. Berpegang teguh terhadap nuansa musik klasik, album Talking Days melengkapi sebuah bingkai emosional seorang pianis muda yang patut disimak. Berbekal pahatan nadanya di album ini, Ista bisa saja melesat menjadi jajaran pianis perempuan yang mumpuni. Tak berlebihan jika Talking Days menjadi pesaing album pop terbaik tahun ini.
.
TUCZINE X I 63
REVIEW
SUICIDE SQUAD: THE ALBUM VARIOUS ARTIST 2016 55/100 oleh Ajar Redindra Islami SEJUJURNYA tidak pernah terbersit dalam benak saya untuk mencoba mendengarkan album soundtrack film ini apabila tidak karena permintaan seorang kawan. Tapi, apa boleh buat. Mungkin beliau kehabisan orang untuk dimintai tolong untuk meresensi sebuah album yang didominasi hiphop dan RnB. So, okay! segera saya coba album ini via streaming online. First thing first, saya berusaha mendengarkan album ini seobjektif mungkin terlepas dari ketidak sukaan saya pribadi atas beberapa nama yang muncul menghiasi playlist. Tapi pada akhirnya kekecewaan saya toh tetap terbukti. Trap music (or Crap Music? Ha!) dan autotunes bertebaran selama 50 menit durasi album ini: dua hal yang menurut perspektif pribadi saya adalah kanker dalam dunia musik. Dimulai dari si delusional Rick Ross yang di sepanjang karirnya berpurapura menjadi orang lain, si cabul Ty Dolla $ign, Wiz Khalifa yang tidak ada apaapanya selain di lagu “Young, Wild, and Free”, serta “that good for nothing” Lil Wayne didapuk menjadi “wajah” hiphop di 64 I TUCZINE X
album ini (Well, sekedar saran saja, apabila anda mencari musik hiphop bagus maka hindari menjadikan rapper dengan nama depan Lil atau Young sebegai referensi. They’re just never too litlle or too young to get you stupid). Nama-nama tadi tampil bergantian dengan skill rap medioker dan belepotan mulai dari beat, permainan kata yang tidak terlalu cerdas, hingga suara jelek mereka yang justru merusak lagu di mana Imagine Dragons terlihat seperti sangat terpaksa berkolaborasi dengan mereka. Selain hiphop, di bagian lain album ini ada juga beberapa musisi RnB dan electro yang, karena saking bercampurnya kedua genre itu, membuat saya kesulitan untuk membedakan. Beat bikinan Twenty One Pilots menurut saya sebenarnya lumayan, sayangnya mereka menggunakan vokal autotunes. Ada juga penyanyi RnB Kehlani serta Skylar Grey, yang namanya sempat terangkat karena menjadi co-writer hits lembeknya Eminem bersama Rihanna di lagu “Love the Way You Lie”, turut menghiasi jajaran musisi pengisi album ini, yang sayangnya -lagi dan lagi- lebih memilih meletakkan isi kepala mereka di lemari es dan ikut-ikut menggunakan autotunes. Damn! saya sungguh merindukan masa di mana RnB lebih identik dengan soul daripada electro yang ditandai malang melintangnya suara-suara merdu Whitney Houston, Charlie Wilson, atau Boyz II Men menghiasi TV dan radio. Ada juga dua cover song dalam album ini: “I Started a Joke” dari Bee Gees yang di-cover oleh ConfidentialMX dan “Bohemian Rhapsody”-nya Queen
yang dinyanyikan ulang oleh Panic! At the Disco. Tapi, saya pun haqqul yaqin keduanya tidak bisa merebut pesona versi aslinya yang sudah melekat di benak kita. Kabar baiknya, di dalam kompilasi bunuh diri ini masih ada lagu-lagu yang baik dan menjadi penyelamat, meskipun tetap tidak bikin selamatselamat amat. Lagu-lagu itu adalah beberapa hits lawas yang dicomot ke dalam album seperti “Without Me”-nya Eminem dan karya klasik dari genre-genre non hiphop seperti “Slippin Into Darkness”-nya War yang sebetulnya lebih familiar di telinga saya melalui grup reggae Black Uhuru, dan “Fortunate Son” dari band rock tahun ‘70-an CCR yang masih terdengar oke. Tidak bisa ditampik kemungkinan para pembuat album ini untuk mencoba meniru sebagian formula kesuksesan album soundtrack film Guardian of the Galaxy yang penuh dengan hits jaman baheula. Tetapi, apalah artinya. Jika kelak saya ingin mendengarkan “Without Me” tentu saya akan memilih mendengarkan album Eminem Show daripada album kompilasi bunuh diri ini. Akhir kata, menurut saya tidak ada yang spesial dari album ini. Bahkan album ini tampak seperti filmnya: penuh dandanan yang berlebihan serta abai terhadap logika. Beberapa track mungkin masih enjoyable namun lebih banyak yang sangat tidak bisa saya nikmati. Sepertinya saya harus mulai mendengarkan lagu “Triumph” dari Wu Tang Clan sejak menulis resensi ini hingga beberapa waktu ke depan untuk membersihkan isi telinga saya dari sisa-sisa memori lagulagu di album ini.
.
REVIEW
BLACKSTAR DAVID BOWIE 2016 95/100 oleh Didik Yandiawan
Salam perpisahan elegan dari Sang Bunglon Musik Rock. DAVID Bowie memberikan hal yang biasa dilakukannya dalam perilisan album: kejutan. Blackstar resmi dirilis 8 Januari 2016, tepat di hari ulang tahunnya yang ke-69, dua hari jelang kematiannya. Komposisi musik imajinatif yang memadukan rock ‘70-an yang kental dengan nuansa art dan experimental rock dengan sentuhan jazz menjadi pijakan David Bowie dalam mengusung idenya. Album Blackstar dikerjakan kala Bowie bertarung melawan kanker yang dideritanya menyiratkan pesan perpisahan dalam lagunya. “Lazarus” adalah sebuah gubahan lagu yang mengantarkan wasiat ke para pemuja David Bowie. “Look up here, I’m in heaven / I’ve got scars that can’t be seen / I’ve got drama, can’t be stolen / Everybody knows me now”. Diiringi bebunyian gitar, bass, drum, dan brass yang mengayun dalam tempo mid, David Bowie mengajak pendengarnya larut dalam kontemplasi pedih yang elegan di sepanjang lagunya. Pesan yang kuat juga terdapat dalam lagu “I Can’t Give Everything Away”. Secara bersahaja, David Bowie menulis kalimat sakralnya, “Seeing more and feeling less / Saying no but meaning yes / This is all I ever meant / That’s the message that I sent / I can’t give everything away”. Di hari kematian David Bowie, Tony Visconti, co-producer album Blackstar mengutarakan pesan singkat di akun
Facebook miliknya. Visconti berkata, “His death was no different from his life – a work of Art. He made Blackstar for us, his parting gift. I knew for a year this was the way it would be. I wasn’t, however, prepared for it. He was an extraordinary man, full of love and life. He will always be with us.” Tidaklah berlebihan, jika satu album Blackstar kita putar, cahaya magisnya berpendar.
.
DYSTOPIA MEGADETH 2016 oleh Aji Rebel KABAR akan bergabungnya Chris Adler ( Lamb of God ) dan Kiko Loureiro (Angra) menggantikan posisi Shawn Drover dan Chris Broderick dalam penggarapan album terbaru Megadeth menjadi kabar yang paling menggembirakan. Ini menjadi album Megadeth yang paling saya tunggu -tunggu. Saya membayangkan ini akan menjadi penggabungan yang sempurna antara Megadeth, Lamb of God, dan Angra. What a perfect line up! Album inipun menjadi salah satu album yang masuk ke dalam “30 Most Anticipated Rock + Metal Albums” versi Loudwire. Full album ke-15 Megadeth yang diberi tajuk Dystopia ini akhirnya dirilis pada 22 Januari 2016. Dystopia memuat 11 track dengan 1 track instrumental “Conquer or Die”dan 1 track “Foreign Policy” yang merupakan cover dari salah satu track band hardcore-punk dari Los Angeles: FEAR. Track pembuka “The Threat Is Real“ benar-benar memuaskan kerinduan saya akan Megadeth era Marty Friedman. The old school Megadeth. Mustaine kembali dengan riff-riff gitar yang
memancing kita untuk ber-headbanging diselingi dengan intro lead guitar bernuansa Timur Tengah. Kalau didengar sepintas riff di lagu “The Threat Is Real” akan mengingatkan kita dengan track “Territory” dari Sepultura. Track kedua “Dystopia” membawa semangat yang sama dengan track pembuka. Sepertinya Mustaine memakai formula yang sama dengan formula yang dipakai pada album Rust in Peace. Track ketiga “Fatal Illusion” diawali dengan intro yang menurut saya agak membosankan seperti terkesan dipaksakan. Namun memasuki part solo bass dari Eleffson barulah track ini menjadi semakin asyik dengan break antar part lagu yang makin meningkatkan tempo track ini. Part yang sempurna untuk circle pit. Track berikutnya yang layak mendapat perhatian lebih selain “Death from Within”, “Bullet to the Brain”, dan “Poisonous Shadows” adalah track “”Lying in State”. Di track “Lying in State” ini baru terasa kehadiran Chris Adler dengan signature beat khas Chris Adler. Mungkin track ini satu-satunya track yang bisa menggambarkan dengan sempura hasil dari percampuran Megadeth, Lamb of God, dan Angra: musik yang solid, liar, dan melodius. Secara keseluruhan, semua track di album ini seperti mengembalikan lagi Megadeth ke jalur yang benar. Kembali ke masa-masa kesuksesan album Rust in Peace. Pada minggu pertama perilisannya, Dystopia langsung menempati posisi nomor 3 di Billboard 200 dan terjual sebanyak 48.000 copy. Tidak menutup kemungkinan, album ini menjadi salah satu kandidat The Best Metal Album of the Year. Melalui album Dystopia dan line-up yang begitu menjanjikan ini, Dave Mustaine benar-benar memberikan ancaman yang nyata bagi ketiga member Big Four yang lain (Metallica, Slayer, dan Anthrax). The threat is real!
.
TUCZINE X I 65
REVIEW AIR ASTRONOID 2016 oleh Saraddasi PERTAMA menyimak “Incasdescent”, lagu pembuka album debut band muda ini, saya kira sedang menyimak Lantlos. Sound-nya betulan mirip. Saya lalu berpikir akan menyimak satu lagi yang memainkan postblack metal (bukan saya yang memulai istilah ini) semisal Alcest, Amesoeurs dan tentu saja, Lantlos. Tapi ternyata itu hanya satu pengaruh saja dari referensi musikal mereka yang beragam. Lagu-lagu berikutnya membedakan mereka secara telak dari ketiga grup asal Perancis tadi. Bayangkan ini: mereka memadukan melodi yang indah, pukulan drum yang rapat dan cepat, atmosfer yang mengawang-awang dan vokal dreamy dalam komposisi musik yang agresif, bertenaga, sekaligus melodik, emosional dan membius.
.
NATTESFERD KVELERTAK 2016 oleh Saraddasi ENAM tahun lalu Kvelertak muncul secara tiba-tiba, dan menciptakan keriuhan di komunitas metal dunia lewat debut self titled mereka. Mengawinkan black metal dan rock ‘n roll dalam crossover segar yang liar dan fun, mereka membuat metalhead garis keras dan hipster sekaligus jatuh cinta. Album kedua, Meir, pada 2013 memang tidak seriuh pendahulunya, tapi tetap mengundang pujian. Tahun ini mereka merilis Nattesferd. Album ketiga ini berpotensi membuat sebagian orang berpaling. Kegilaan mereka masih berlanjut, cuma mengambil jalur yang sedikit berbeda. Masih membawa black metal, tapi lebih sarat pengaruh hard rock, utamanya dari era ‘80-an seperti Van Halen, salah satu yang membuat album ini lebih kalem jika dibandingkan debut mereka dulu. Meski 66 I TUCZINE X
demikian, Lagu-lagu seperti “Dendrofil for Yggdrasil”, “!985” dan “Nattesferd” tetap liar, fun dan tendang bokong. Lewat Nattesferd Kvelertak menunjukkan mereka masihlah enam orang sinting yang hanya ingin bersenang-senang dengan musik, tanpa perlu peduli apa pendapat orang.
.
PILLARS OF ASH BLACK TUSK 2016 oleh Saraddasi ENTAH ada apa antara Savannah dengan sludge metal. Mungkin di sana banyak rawa. Yang pasti di kota itu lahir Kylesa, Baroness dan Black Tusk: trio yang merupakan definisi paling sahih genre tersebut. Mungkin dua yang pertama sedikit mengendur, tapi yang ketiga belum berhenti menginjak pedal gas. Pillars of Ash seharusnya menjadi album yang sentimentil. Pemain bass Jonathan Athon menggeber motor gedenya di sela rehat pengerjaan album, sebelum ditabrak lalu meninggal akibat kerusakan otak. Itu adalah cerita di balik album ini. Tapi Andrew Fidler (gitar, vokal) dan James May (drum, vokal) tidak berlama-lama bersedih atau berganti haluan. Untuk menghormati Athon (yang semua bagian bass-nya sudah selesai direkam), mereka merilis album yang berisi sebelas lagu-lagu yang tetap cepat, kotor, kasar, dan berat seperti seharusnya saat punk, hardcore, hard rock dan death metal dicampurkan dengan sedikit paksaan dan banyak mabuk ini.
.
WINTER OCEANS OF SLUMBER 2016 oleh Saraddasi
WINTER dari Oceans of Slumber adalah rilisan paling unik yang saya simak tahun ini. Grup berisi enam orang asal Texas ini menciptakan komposisi musik yang secara umum tetap dalam payung besar progressive metal tapi berbeda dari yang lain. Pengaruh
dan referensi musikal (death metal, gothic metal, hard rock, pop, musik gospel, sedikit blues) mereka sangat lebar , tapi berhasil dipadukan dengan nyaman dan tidak terkesan terpaksa. Satu hal yang paling menonjol dari album ini tentu saja vokal Cammie Gilbert yang berkarakter kuat, angelic dan menghantui. Di sepanjang album ini dia bernyanyi bersih dan emosional. Vokalnya menjadi semacam pemandu bagi temantemannya. Sementara para personil yang memegang instrumen mengisi ruang ekspresi masing-masing dengan harmonisasi yang indah. Winter adalah album metal yang dingin, sedikit gloomy, melodik namun tetap cadas, dan segar serta menonjol di antara banyak sekali rilisan metal belakangan ini.
.
MAGMA GOJIRA 2016 oleh Saraddasi RAKSASA progressive/ technical death metal asal Perancis ini merilis album keenam mereka, Magma yang kemudian memantik sentimen cinta-benci di kalangan penggemar lama mereka. Tak bisa disangkal, Magma jelas sekali berbeda dari album-album Gojira sebelumnya. Di album ini komposisi yang mereka hasilkan terdengar disederhanakan atau dibuat lebih pelan. Tidak semegah L’Enfant Sauvage (2012), tidak seintens From Mars to Sirius (2005). Berisi sepuluh lagu, Magma menunjukkan kebiasaan Gojira yang senantiasa menyajikan sesuatu yang berbeda di tiap album, dan tetap bisa membuat geleng-geleng penggemar. Hanya saja kali ini, sepertinya banyak yang geleng-geleng akibat tidak percaya ketimbang kagum. Sejak album-abum awal, vokalis/gitaris Joe Duplantier sudah menggunakan clean vocal di sela-sela geramannya, kali ini dia lebih banyak bernyanyi ketimbang menggeram. Komposisi dan struktur musik mereka yang biasanya rumit kali ini lebih simpel, dengan riff-riff melodik yang lebih radio friendly. Tapi mereka tetap Gojira, raksasa progressive/technical death metal yang berbeda dari lainnya, dan Magma, meski lebih inferior dari pendahulu-pendahulunya, tetap lebih superior dari banyak rilisan metal tahun ini.
.
REVIEW
CIKAL BAKAL HEAVY METAL oleh DIDIK YANDIAWAN BLACK SABBATH Black Sabbath 1970 90/100
Awal dari kegelapan mencekam yang menjadi cikal bakal Heavy Metal. BLACK Sabbath adalah album self titled dari kuartet yang terdiri dari Tony Iommi (gitar), Geezer Butler (bass), Bill Ward (drum), dan Ozzy Osbourne (vokal, harmonika). Black Sabbath hadir dengan karakteristik musik yang lebih keras dan gelap dari akarnya, seperti blues-rock, psychedelic rock, atau bahkan rock and roll. Ini adalah album yang disinyalir mengetengahkan tema okultisme. Kendati Black Sabbath menampiknya, tema sihir, iblis, kejahatan, dan hal gaib menge-
muka dalam album Black Sabbath. Cover yang penuh nuansa mistis dengan latar Mappledurham Watermill di Oxfordshire dengan penampakan wanita berjubah hitam, cukup untuk menegaskan betapa mencekamnya perkenalan awal dunia dengan debut Black Sabbath. Pada side A, Black Sabbath menghadirkan kengerian yang detail. Dentang lonceng dengan latar suara hujan mengiringi “Black Sabbath”, track doom metal berdurasi 6:16. “The Wizard” yang terinspirasi dari Gandalf, tokoh dari The Hobbit dan The Lord of the Rings karya J.R.R. Tolkien, juga memperkuat side A. Ketimbang track “Black Sabbath”, “The Wizard” jauh lebih optimis dan liar. “Behind the Wall of Sleep” mengantarkan perjalanan musik yang menjanjikan menuju track “N.I.B”. Lagu ini merujuk pada penceritaan Lucifer menutup gelapnya babak pertama pada empat lagu awal yang ditingkahi sejumlah riff Iommi yang keras, di tengah produksi minimalis. Pada side B, Black Sabbath memainkan lagu milik Crow dari album Crow Music berjudul “Evil Woman”. “Sleeping
Village” adalah oasis akustik yang kelak menjadi template Black Sabbath di produksi selanjutnya dalam mengimbangi gempuran musik keras mereka dengan sebuah pengayaan akustik. “Warning” menutup side B dengan improvisasi yang layak, meskipun terdengar canggung. Keterpaduan skill Iommi-Butler-Ward nampaknya menjadi daya dorong bagi erangan Osbourne yang belum terdengar signifikan di album Black Sabbath. Sebuah album yang jahat dengan balutan hard rock blues, begitulah saya memberi gelar untuk album ini. Kelak, jejak tersebut dapat kita dengarkan pengaruhnya secara lebih keras, dewasa, dan monumental. Magnum opus Black Sabbath, yaitu Paranoid maupun Master of Reality membuktikan bahwa Black Sabbath memang menakutkan sejak awal kemunculannya. Bunyi lonceng di tengah hujan badai pada track “Black Sabbath” sekali lagi mengetengahkan kecemasan yang terus menghantui dari waktu ke waktu.
.
TUCZINE X I 67
BOOK
oleh MEIDIAWAN CESARIAN SYAH
MENCINTAI ADALAH SEBUAH PEKERJAAN 68 I TUCZINE X
THE ART OF LOVING ERICH FROMM
LOVE is a verb. Frase ini menjadi sebuah dekonstruksi yang tersaji di awal saya membaca buku ini. Cinta, bukan sebuah benda. Cinta, bukan sebuah sifat. Ia adalah sebuah pekerjaan. Sebuah pekerjaan berarti membutuhkan subjek dan objek. Subjek melakukan sesuatu sehingga objek meniadakan gemingnya. Ia bergerak, atau ia tergerak. Artinya, permasalahan mengenai cinta dapat menarik siapa saja ke dalam pusarannya. Jadi, jika Anda berpikir bahwa cinta adalah sebuah benda atau keadaan, buku ini akan meruntuhkan bangunan pemikiran anda menjadi puing belaka.
The Art of Loving adalah buku karya Erich Fromm, seorang yang rajin menggerimiskan kesinisannya terhadap zaman. Fromm dikenal sebagai seorang filsuf, psikologis dan psikoanalis yang bergulat dalam roda kemanusiaan sebagai bidangnya. Buku ini didengungkan sebagai karya terbaik Fromm, walau saya lebih memandangnya sebagai karyanya paling populer. Fromm, lahir dan besar di Jerman. Ia menjadi saksi dari kesombongan manusia yang memegang senjata. Perang Dunia I menjadi pergolakan yang sangat mempengaruhi kepribadian warga negara Jerman saat itu. Potret yang dibingkai oleh Fromm adalah cinta dalam arti luas. Cinta yang ternyata adalah sebuah semesta di mana seluruh elemennya saling menguatkan sekaligus saling meniadakan. Fromm membagi cinta berdasarkan objeknya: cinta sesama, cinta diri, cinta erotis, cinta ibu, dan cinta kepada Tuhan. Setiap elemen hanya berbeda dalam objek, tapi Fromm menarik garis di mana objek itu masih berada dalam lingkaran yang sama. Cinta, yang kita kenal sekarang dipahat dari budaya kontemporer yang sudah berjalan sejak awal abad 20: budaya kapitalisme. Kapitalisme berarti pasar yang terdiri dari penjual dan pembeli. Cinta, dalam budaya kapitalisme, tak ubahnya komoditas yang diperjualbelikan dalam tatanan pasar. Ia taat pada pemberlakuan hukum permintaan dan penawaran. Tiap orang berlomba menawarkan “paket kepribadian” yang dimilikinya untuk mendapatkan “paket kepribadian” yang dimiliki orang lain. Masyarakat secara bersama-sama menjadi organisme egosentris yang teralienasi serta berorientasi pada konsumsi. Fromm menulis; “manusia modern teralienasi dari dirinya, sesama, dan alam. Ia telah berubah menjadi komoditas, menghayati kekuatan hidupnya sebagai investasi yang harus memberikan keutungan maksimal yang diperoleh dari kondisi pasar yang ada.” Dengan pasar sebagai titik tolak cinta, karakter masyarakat pun berubah. Ia bergeser menjadi, mengutip Fromm lagi, pengisap yang selalu penuh harapan dan selalu kecewa. Oleh karena itu, selera pasar “Cinta” itu pun berubahubah. Jika pada awal abad ke-20, gadis yang menarik adalah mereka yang suka minum-minum, merokok, dan dansa-dansi, maka pada waktu sekarang pasar lebih memihak gadis yang malu-malu kucing dan sayang pada keluarga. Demikian juga dengan lelaki. Kini, pasar lebih memuja lelaki yang suka bergaul dan toleran,
menggeser fenomena lelaki yang dipuja karena ambisius dan agresifitasnya. Begitu volatilitasnya pasar “cinta” atau kepribadian ini, maka peserta yang terjun dan berinteraksi di dalam kumparan ini digiring secara tidak sadar ke dalam kekecewaan. Penilaian terhadap cinta menjadi sesuatu yang dipersyaratkan, dan manusia, pada satu titik waktu, akan tidak merasa puas atas pertukaran paket kepribadian yang telah dilakukan. Lalu kenapa manusia harus bisa memeluk cinta dalam sayap-sayap kehidupannya? Fromm memaknakan cinta sebagai jawaban atas eksistensi manusia. Manusia sadar ketika lahir, bahwa dirinya hadir dalam sebuah entitas yang terpisah, berumur pendek, tidak memiliki kehendak atas kematiannya, serta keragu-raguan atas semua probabilitas yang menghampar di hadapannya. Keterpisahan yang dituntun oleh ketidakpastian serta keragu-raguan, akan menyeret manusia dalam padang kegelisahan yang mendalam. Cinta, menurut Fromm, terlukis sebagai jalan keluar bagi manusia untuk mengatasi keterpisahannya. Cinta adalah media agar manusia tidak terjebak ke dalam kelenyapan dirinya dari dunia, akibat dari kegagalan untuk mengatasi isolasi dirinya. Interaksi antar manusia kemudian berkembang dengan adanya konformitas, yaitu penyesuaian sikap dan perilaku. Penyatuan dengan orang lain demi menghilangkan kemungkinan kesendiriannya membuat manusia melakukan tawar menawar untuk mengikuti kesepahaman umum, kebiasaan, pola-pola yang dibuat kelompok semata-mata agar mereka tidak merasa tersisih dan sendirian, dan kemudian lenyap dari lingkaran sosialnya. Fromm dalam buku ini mengetengahkan sikap bahwa ia memandang konformitas dalam hal penyatuan atas lawan dari keterasingan tidak melulu diidentifikasikan sebagai cinta. Fromm menulis bahwa apabila dalam suatu penyatuan terdapat submisi atau dominasi, maka hal tersebut bukanlah cinta. Pribadi yang tunduk (submisi) keluar dari perasaan isolasinya dengan menjadikan dirinya sebagai bagian dari pribadi lain yang menjadi daya hidupnya. Bagi pribadi jenis ini, dirinya bukan siapa-siapa, minor, cenderung masokis. Lawannya adalah pribadi yang memiliki sifat dominasi. Pribadi jenis ini keluar dari keterpenjaraannya dengan membuat pribadi lain sebagai bagian dirinya. Ia adalah sosok yang sadistis, egosentris, dan narsis. Cinta, adalah ketika keduanya melakukan peleburan tanpa integritas. Dalam soal ini, Fromm sendiri berujar
“Cinta membuat dirinya mengatasi perasaan isolasi dan keterpisahan, namun tetap memungkinkan dirinya menjadi dirinya sendiri. Dalam cinta terdapat paradoks: dua insan menjadi satu, namun tetap dua”. Dalam persoalan eksistensial manusia, hal ini menjadi penting untuk dipahami. Dengan adanya peleburan tanpa integritas, manusia bisa mempertahankan sifat-sifatnya dan menolak mekanisme pasar yang terlalu cepat. Fromm menyentil untuk tidak terlibat dalam cinta yang semu terkait dengan mekanisme pasar. Cinta yang semu adalah keadaan di mana ia menyerahkan dirinya kepada sebuah mekanisme proyektif, yang menganggap sebuah fantasi tertentu adalah titik ideal di mana hal tersebut tidak dialami di sini dan sekarang. Akhirnya, hubungan cinta hanya serupa kegiatan saling proyeksi antara kedua belah pihak yang tidak berkesudahan. Cinta dalam perspektif buku ini adalah mengenai sebuah pemberian, bukan penerimaan. The Art of Loving menjelaskan bahwa cinta yang hakiki adalah sebuah pemberian diri. Ia tidak merelakan hidupnya sebagai korban yang akhirnya tunduk pada submisif tertentu. Hal yang direlakan adalah apa yang hidup di dalam dirinya: kebahagiaan, minat, pemahaman, pengetahuan, kejenakaan, dan kesedihannya pada orang lain. Ia memperkaya orang lain, sekaligus memperkaya diri sendiri. Di sisi ini, manusia merestorasi kata-kata yang pernah diutarakan Chris McCandles: “Happiness only real when shared”. The Art of Loving memberikan sebuah definisi cinta ala Timur. Cinta adalah perhatian aktif pada kehidupan dari apa yang kita cintai. Oleh karena itu, Fromm memegang teguh kenyataan bahwa daripada manusia sibuk melakukan proyeksi keinginannya untuk dicintai (yang selalu gagal), manusia lebih baik melakukan pekerjaan mencintai. Manusia harus bisa menghindarkan diri untuk menjadi komoditas dengan menjadikan atribut dalam dirinya sebagai sebuah nilai takar untuk meletakkan posisi diri di pasar kepribadian. Berlakulah, karena mencintai adalah sebuah pekerjaan. Kebahagiaan atas cinta lahir apabila pemberian yang dilakukan ditujukan untuk melestarikan kehidupan. Cinta bukan kebutaan pada realitas, namun menjadikan realitas sebagai daya untuk, mengutip Eckhart, mencintai semua dengan sama, termasuk diri sendiri. Dan dengan cara itu manusia dapat mencintai mereka sebagai satu pribadi dan pribadi itu adalah Tuhan dan Manusia.
.
TUCZINE X I 69
BOOK ANTOLOGI PUISI MANUSKRIP SEPI NISSA RENGGANIS oleh Meidiawan Cesarian Syah DALAM dunia di mana batas tidak lagi mengenal tapal, rangkaian peristiwa yang berlalu-lalang dapat seketika mengejar lalu tertinggal. Berita lahir dan luruh dalam gelanggang untuk kemudian merangkak hingga tiba di tengah riuhnya manusia. Hadirnya berita adalah sebuah titik dari siklus kehidupan berita itu sendiri. Manusia, yang memahami berita sebagai informasi, secara sadar atau tidak akan mengambil laku atas informasi tersebut. Secara resiprokal, informasi membuat konstruksi bagi tindakan manusia untuk bergerak melahirkan peristiwa-peristiwa baru. Sebagian manusia bersikap acuh terhadap gugus peristiwa meski mereka berada di antaranya. Peristiwa, barangkali, terlalu lekat dengan kehidupan sang manusia, sehingga manusia memandang dirinya berperan hanya sebagai pelaku. Mereka berada dalam ekosistem peristiwa. Pada kondisi tersebut, mereka tidak sadar (atau tidak ingin) memosisikan diri berada di luar ekosistem tersebut. Antitesis dari sebagian manusia ini adalah mereka yang berupaya melangkahkan diri keluar dari lingkaran peristiwa, mengedapkan napas barang sejenak, melihat dengan tenang riak-riak yang terjadi di sekelilingnya, lalu merekam dalam catatan-catatan yang ritmis. Mereka berada di dalam ekosistem peristiwa, namun berusaha menyeruak keluar untuk kemudian menyajikan persepsi atasnya. Nissa Rengganis mencoba menjadi antitesis tersebut. Sambil bergerak di jalanan usia, ia sibuk menyuji peristiwa yang terjadi di tempatnya menapak: dunia. Nissa tidak terkesiap begitu saja pada rupa-rupa peristiwa. Dia cenderung menafsir adegan demi adegan kehidupan yang berwarna-warni. Tafsiran itu ia hadirkan dalam bentuk puisi. Manuskrip Sepi menyajikan tafsiran-tafsiran Nissa atas peristiwa, baik yang dia alami sendiri maupun yang dialami orang lain. Nissa berusaha berdiri tegak sambil mengerlingi dunia tempatnya berada. Sebuah dunia dengan banyak 70 I TUCZINE X
kota, banyak wajah. serta gempita peristiwa. Cirebon, kota tempat Nissa tinggal, menjadi salah satu pengaruh desingan catatan-catatannya.
Reguklah Air mata ini terlampau asin dari garam di lautan Nelayan tak berlayar Sudah lama kompas tak mengarah ke laut (“Perempuan Pesisir Utara”) Di kota yang bersinggungan langsung dengan laut tersebut, Nissa merekam kegundahan para istri-istri nelayan yang, mengambil kata-kata Nissa, “dapurnya lama tak berasap” karena “para ayah menyimpan kerinduan” namun “tertahan di anjungan”. Nelayan tak dapat pergi karena siklus musim yang tidak beraturan. Kegetiran dan harapan yang saling menumbuk pada puisi ini melengkapi paradoks Cirebon sebagai kota pesisir yang nelayannya nestapa. Paradoks pun tidak berhenti di situ. Cirebon, dengan liatnya menjadi kota yang asing, bahkan bagi para penduduknya. Dalam puisi “Menjadi Angin dan Api dari Sepi Tubuhku” Nissa menulis
Kota yang belum tuntas kubaca Adakah lesat jejakku tertinggal di sana Adakah bau tubuhku ikut tertimbun di dalamnya Larik tersebut mencetuskan kekhawatiran dari Nissa untuk mengenali kotanya sendiri. Cirebon, yang berada pada perbatasan Jawa Barat dan Jawa Tengah menjadi kota penuh lalu lalang. Pejalan yang singgah sejenak kemudian pergi sedikit banyak menuangkan identitas pada Cirebon. Semakin gaduh pejalan yang melintas, semakin banyak pula identitas yang tertuang. Lalu, Cirebon menjadi kota yang kabur. Kota yang seakan berlari menjauhi penduduknya, menjauhi Nissa. Lantas Nissa seperti khawatir apakah Cirebon terbentuk dari leburan keinginan dan budaya penduduknya, atau malah berakhir dalam kekaburan, seperti pada akhir puisi “Pulang”: Kendaraan berebut laju/ Berkejaran dengan Waktu/ Kotaku bising/ dan aku tetap asing. Jalanan politik yang ditapaki Nissa makin menambah jumlah kekhawatiran yang terus mendesing menjadi larik-larik puisi. Politik membuat Nissa mengerling lebih luas dan memproduksi catatan yang melimpah. Nissa melompat-lompat dari satu belahan dunia ke
belahan dunia yang lain untuk menekat apa-apa yang dicerapnya. Sayangnya, politik lebih mempersembahkan banyak luka daripada suka. Tak ayal, luka yang pejal menjadi bagian dari puisi-puisi Nissa. Dalam puisi “Kematian Demonstran Bima”, Nissa menulis ihwal demonstran yang meregang nyawa ditembak aparat saat menyuarakan penolakannya atas kehadiran pertambangan yang berpotensi merusak mata pencaharian penduduk Bima.
Tanah adalah ibu kandung yang tak boleh dilacurkan Kami tak mengambil apapun Hanya menjaga apa yang kami miliki Durhaka seorang anak yang tak santun pada ibunya. Lalu mengapa mesti ada peluru menembus tubuhmu Juga pada tubuh-tubuh lain yang tak kukenal Puisi yang dibuat pada tahun 2013 itu bahkan secara menakjubkan masih bersuara di tempat-tempat lain hingga kini. Benturan antara manusia dan kapital memproduksi pelik yang berserakan. Begitu juga dengan benturan antar sesama manusia. Dalam puisi “Sipon”, misalnya, Nissa bercerita tentang orang-orang yang menjadikan Wiji Thukul, suami dari Sipon, sebagai simbol sebuah komemorasi tanpa isi.
Lima tahun lagi, Sipon Para amnesia bangkit dari tidurnya Membangunkan yang telah lama mati Untuk kemudian meminum obat tidur lagi Nissa berupaya keras mengingatkan peristiwa-peristiwa yang lalu agar tidak menjadi nisan yang berisi namanama, tetapi juga menziarahi unsur-unsur pembentuk peristiwa tersebut. Ada manusia di sana. Ada peran-peran yang ditinggalkan setelah peristiwa tersebut berlalu. Dalam “Sipon”, Nissa menyergah kita untuk tidak melupakan Wiji Thukul sebagai seorang manusia biasa. Manusia yang seharusnya berdaulat atas nasib napasnya. Manusia yang memiliki orangorang yang dikasihi dan mengasihi dirinya. Manusia dengan keluarga yang semertamerta harus ditinggalkan tanpa mendapat sedikit pun penjelasan. Kita diingatkan soal kemanusiaan. Bahwa setiap individu memiliki jiwa dan kehidupan yang sama dengan kita. Kemanusiaan, yang terreduksi menjadi sekedar statistik angka, mengusik rasa keadilan kita. Berita-berita tentang kema-
BOOK tian menjadi urusan jumlah belaka. Nissa terus mengingatkan kita soal kemanusiaan yang hilang dalam setiap kematian. Tentang peluru yang masih berlari-larian sedangkan anak-anak mati, bukan sebaliknya. Kemanusiaan yang terreduksi itu dijejalkan Nissa pada puisi “Ishmael Beah”, “Darfur”, dan “Perempuan-perempuan Plaza de Mayo”. Pada “Ishmael Beah”, Nissa mengingatkan tentang Sierra Leone yang muram. Keceriaan anak-anak yang dihabisi dan masa depan yang buram dihadirkan Nissa di sana. Katanya di sini tak ada lagi/ karnaval dan pesta kembang api/ hanya bising dentuman sepatu lars/ dan sesak kepulan asap mesiu. “Darfur” bercerita tentang ingatan yang serupa, di mana Kabar baik apa lagi?/ ketika kita hanya sepi pada tanah retak ini/. Sedangkan “Perempuan-perempuan Plaza de Mayo” mengumbar keletihan ibu yang merelakan anaknya pergi. Anakku, anak lelakiku/ Kapan terakhir kali kita bertemu?. Dalam ketiga puisi tadi, Nissa berpindah posisi menjadi seorang anak, seorang dewasa, serta seorang ibu. Nissa mencoba merasakan kehadiran yang tercerabut dari kehidupan mereka. Keluarga, alam, relasi sosial yang hangus ditelan asap-asap peperangan. Namun tak selamanya Nissa bercerita tentang peristiwa yang jauh. Nissa juga mencatat pasang surut perjalanan hidupnya serta kontradiksi antara kehidupan tenang pada saat ini yang dibangun di atas puing-puing kekejaman di masa lalu. Kali ini, ia menuliskan melalui pengalamannya sendiri. Seperti halnya tertulis pada “Romusha”. Simak saja sepenggal baitnya: Di kereta/ Aku kerap merasa berdosa/ Duduk manis di atas tumpukan jasad Romusha. Lebih jauh, Nissa juga tidak menafikan tendensi pribadi yang intim dengan kekasih, cinta, orang tua. Pada ranah yang pribadi ini, Nissa menjelma sebagai perempuan manis yang bermainmain dengan kesederhanaan puisi. “Aku Belajar Mencintaimu” bahkan secara banal dibuka dengan sepenggal lirik lagu dari band Dygta:
“Adakah seseorang yang melepaskanku dari kesepian ini” Itu bait lagu, katamu Tapi bolehkah aku mendadak puitis? kataku Pada sisi ini, Nissa tidak melepaskan puisi-puisinya untuk melulu berpijak dan berpindah posisi menjadi orang
lain, tapi juga berusaha menerjemahkan kekariban dirinya dengan peristiwa yang ia alami. “Cerita Ayah”, “Pulang”, “Jarak”, dan “Terperangkap” adalah kisah tentang kejadian yang dilalui sendiri oleh Nissa. Manuskrip Sepi merupakan sebuah usaha Nissa Rengganis sebagai pencatat peristiwa. Usahanya itu, membuat 49 puisi yang terdapat pada Manuskrip Sepi memiliki warna yang berbeda-beda. Dalam keberbedaan tersebut, Nissa mengetengahkan rupa kabar-kabar agar tetap hidup dan hadir di sekeliling kita. Banyaknya puisi, menjadikan buku puisi ini sesak dengan penceritaan. Koridor yang membatasi cerita dalam puisi ini begitu lengkung hingga garis besar tema puisi betul-betul besar. Selain itu, dalam beberapa puisinya, Nissa menggunakan kata-kata yang sama seperti “sepatu lars” dan “rapal doa-doa” untuk menceritakan peristiwa dengan nuansa sama. Agaknya masih ada potensi yang bisa dieksplorasi oleh Nissa Rengganis dalam puisi-puisinya kelak, seperti mengambil koridor yang lebih kecil untuk menerjemahkan kejadian dalam tajuk tertentu mengingat Nissa masih bergulat dalam ilmu politik. Pada peristiwa dan waktu yang terus berkejaran, Manuskrip Sepi memberikan jeda. Pada kegugupan dan kecemasan akan identitas kota, Manuskrip Sepi memberikan ruang. Dan pada kesetiaan dan cinta yang sederhana, Manuskrip Sepi menyajikan rasa manis. Manuskrip Sepi, yang datang sebagai pengingat, memberikan cerita yang berjubal, banyak arti, tanpa sekalipun berusaha menggurui.
.
BUKU PWISSIE PENDIDIKAN JASMANI DAN KESUNYIAN BENI SATRYO oleh Meidiawan Cesarian Syah COBA kau tanyakan sepuluh orang di dekatmu tentang nama Beni Satryo dan dengarlah jawaban mereka. “Tidak kenal” atau “Siapa ya?” barangkali jawaban paling sering kau dapatkan. Padahal namanya sangat galib. Beni dan Satryo sangat sering dipakai sebagai nama. Keduanya bahkan umum digunakan sebagai nama panggilan. Tapi
begitu kedua nama itu dipadukan, kebanyakan dari kita akan bertanya-tanya tentang siapa sebenarnya dia. Beni Satryo, si empunya nama, sesungguhnya mewarisi kegaliban namanya. Ia adalah orang biasa dengan kegiatan biasa yakni hilir mudik menjadi seorang wartawan. Jikalau ada yang berbeda dari Beni, tak lain adalah soal lelaki kurus berkacamata itu yang mendaku bershio gabah dan mahir menulis pwissie. Belakangan, Beni menghimpun serakan pwissienya ke dalam sebuah buku pwissie berjudul Pendidikan Jasmani dan Kesunyian. Pwissie adalah slang dari kata puisi. Pwissie mungkin juga menjadi istilah yang Beni tabalkan untuk puisi-puisinya. Beni acap mengganti u dengan w. Di jagad twitter sendiri, Beni seringmemplesetkan kata luar biasa menjadi “warbyasak~”, tingkah yang ditularkan kemudian kepada kata-kata lain, termasuk mengubah puisi menjadi pwissie. Plesetan puisi menjadi pwissie juga menyiratkan tawa yang berkembang di dalam nomina itu. Beni seakan mencoba membedakan pwissie dari puisi. Puisi, yang konon dikuasai tutur bahasa yang tinggi, dirayakan Beni dengan lebih sederhana. Beni, yang memang menyukai humor, membawa unsur gelak ke dalam puisi-puisinya. Ia tidak menggunakan alegori atau perumpamaan yang megah, tetapi mencomot apa saja yang ada di sekitar dirinya menjadi bahan utama. Puisi pun luruh menjadi sesuatu yang lucu sekaligus lumrah dan dekat. Seperti puisi “Di Restoran”.
Kau bertanya banyak hal saat kita mampir di restoran itu Ini apa? Lada. Ini? Garam dan saus. Itu apa? Pisau dan garpu. Itu? Kau menunjuk sesuatu yang mengalir dari kedua mataku yang hambar. Aku menunjuk struk-struk yang terselip di bawah mangkuk acar. Itu apa? Harga yang harus kita bayar. “Di Restoran” menyajikan narasi lucu tentang dua orang muda-mudi yang berkencan di restoran. Latarnya adalah keluguan seorang kekasih yang bertanya saking banyaknya hingga membuat pasangannya kesal. Persoalan dipungkasi tentang membayar makanan yang baru saja disantap, sebuah problematika keseharian muda-mudi. Di sana, Beni menghadirkan cerita itu begitu saja tanpa dipersolek melalui kata-kata yang wah, dan menjadi semacam antitesis puisi berjudul sama dari Sapardi Djoko Damono. TUCZINE X I 71
BOOK Makanan, agaknya, berpengaruh besar dalam puisi-puisi Beni. Dalam Pendidikan Jasmani dan Kesunyian, tak kurang 23 dari 58 puisinya mengandung nama makanan. Beberapa makanan bahkan didaulat menjadi judul puisi, yaitu “Ledre”, “Telur”, “Klepon”, “Onde”, “Nagasari’, “Permen Yupi”, dan “Mie Cakalang”. Di puisi-puisi itu, makanan terkadang dihadirkan sebagai sebuah perumpamaan seperti dalam “Mie Cakalang”.
Ah, hatiku yang mie goreng cakalang diunyel-unyel garpumu yang jalang Itupun tak kau makan Namun, di puisi lain ia menaruhnya sebagai subjek yang diceritakan. Puisi “Permen Yupi” contohnya:
Di dalam hatiku Ada seekor permen yupi Sedang mengunyah dirinya sendiri Tidak hanya menjadi menu utama dalam puisi, Beni memperlebar latar dari makanan ke tempat hingga alat menyantapnya. Seperti puisi “Di Restoran” yang membuat cerita berlatar sebuah tempat, Beni juga menulis larik lucu tentang perkakas makan dalam “Tenda Biru”.
Pergilah! Kejarlah keinginanmu untuk menjadi bakul pecel lele. Saat air kobokan di meja-mejamu mulai keruh, kenang, kenanglah aku. Sebagai kemangi yang mulai layu. Beni begitu mahir merontokkan imaji cinta yang sering tercermin agung sekaligus perih lewat kata-kata hujan, senja, atau mentari. Alih-alih mengikuti arus dengan menggunakan kacamata urban, ia lebih memilih bakul pecel lele, kemangi, dan kobokan untuk mengisahkan sudut pandangnya akan cinta. Tentu pemilihan benda-benda tadi paralel jua. Agak aneh jika bakul pecel lele tiba-tiba mengasosiasikan cinta dengan gunung dan ngarai, tempat yang tak lazim bagi bakul pecel lele berjualan. Selain itu, melalui puisi-puisinya Beni menyiratkan posisinya yang berada di antara manusia-manusia rural, yaitu mereka yang berpredikat kelas bawah dan menengah Indonesia. Mereka yang berjumlah lebih dari separuh penduduk Indonesia. Mereka yang lebih sering melewati trotoar dan mengantri angkutan. Beni dengan penuh kesadaran memilih menceritakan liku-liku hidup mereka yang lugu dan apa adanya. Dengan pijakan seperti itu, puisi Beni bisa lahir 72 I TUCZINE X
dan melancong dari restoran (puisi “Di Restoran”), bakul pecel lele (puisi “Tenda Biru”), metromini (puisi Di “Metromini”), angkutan kota (puisi “Dari Dramaga, Kita Pernah Satu Angkot”), bahkan dari bak cuci piring (puisi “Bak Cuci Piring”). Salah satu puisinya yang kuat juga berasal dari tempat yang jamak disebut kala musim mudik: “Di Pantura”.
Di Pantura, Air mata dan samudera mesra berkawin. Berbulan madu di cakrawala Menjadi sebutir telur asin. Saat menanak puisi-puisinya, Beni mengambil pendekatan yang mirip dengan pendekatan yang dilakukan oleh Joko Pinurbo. Keterampilan Jokpin, panggilan Joko Pinurbo, mempermainkan kata-kata diseruput dalam-dalam dan dimuntahkan oleh Beni dalam serat katanya. Nuansa yang ditampilkan Jokpin dalam puisi “Ranjang Kecil” misalnya, yang berbunyi Tubuhmu tak punya lagi ruang/ ketika relungmu menghembuskan raung/ dengan mudah terasa dalam puisi “Peluk Luka”.
Seorang penyair kelimpungan mengejar huruf A yang lari dari puisipuisinya. Huruf itu angslup ke dalam sebuah peluk Lalu menjadi peluka. Lalu luka. Nuansa yang sama bisa ditemukan dalam puisi “Korintian”, “Pencuri Akhir Pekan”, “Obat Tidur”, “Aduh”, ataupun puisi yang menjadi judul buku ini “Pendidikan Jasmani dan Kesunyian.” Tapi tentu saja tidak semua puisi Beni beraroma Jokpin. Dalam “Bandung 1” dan “Bandung 2”, Beni memiliki tapal tempat ia mendirikan keromantisannya sendiri. Selain itu, tempat bermain-main Beni dan Jokpin sungguh berbeda. Puisi Jokpin kian sarat akan kritik sosial, sementara Beni menyajikan tawarnya kehidupan yang bergerak di sekelilingnya. Beni, yang konon pernah mengasong puisi, luwes bermain-main di tema yang menyangkut derita-derita kecilnya. Ia tidak memaksakan untuk mencoba berfilsafat atau menyasar ke tema lain yang asing. Walaupun begitu, di tema itulah Beni bisa tampil sebagai Beni. Dengan humor, ia membuat potret sebagian besar kita. Sebagian potretnya bahkan mengangkat hal-hal yang luput dari indera kita padahal kita enyam sehari-hari, halhal yang berada sedekat tengokan kepala
kita, serta hal-hal yang kita terima begitu saja tanpa tapi. Seperti halnya asongan, Beni menjaja apa yang sebenarnya kita butuhkan walaupun dengan banyak alasan kita sering memalingkan muka padanya. Padahal mengonsumsi puisi Beni adalah membaca kealpaan kita sendiri. Puisi Beni adalah himpunan suara-suara, baik suara manusia maupun benda, yang tidak didengar dengan penuh seluruh. Dengan memungut kata sederhana, merajutnya, dan memberikan sentuhan humor, Beni sejatinya menulis sebagai perayaan atas gelak puisi yang mengendurkan otot-otot rindu, sekaligus aktivitas yang bisa mengencangkan air matamu. Lain kali, jika kamu sedang bertandang ke tenda-tenda penjaja tanpa tamu, longoklah ke dalam. Siapa tahu kamu bisa menemui Beni dalam tendatenda yang wajah bakulnya sudah kau lupakan itu.
.
PULANG LEILA S. CHUDORI oleh Saraddasi SAYA termasuk terlambat menemukan buku ini. Diterbitkan dan dicetak pertama kali pada Desember 2012, baru belakangan saya mendapatkan dan menyelesaikannya. Novel ini melengkapi sekaligus menghidupkan bacaan saya -edisi-edisi khusus majalah Tempo yang kemudian dibukukan ke dalam beberapa seri tokoh atau peristiwa- beberapa waktu terakhir mengenai prahara-prahara 1965 dan 1998. Leila S. Chudori menulis cerita drama keluarga, percintaan tragis dan lain-lain dengan latar dua peristiwa besar yang pernah mengguncang negeri ini: pemberontakan -seperti diajarkan di sekolah dasar dulu- G 30 S PKI pada 1965, serta pembasmian komunisme pada tahun-tahun setelahnya, dan juga demonstrasi mahasiswa yang berakhir dengan lengsernya Bung Besar dan reformasi pada 1998. Menambah luas cakupan setting sejarahnya, Leila juga menghubungkan ceritanya dengan demonstrasi mahasiswa Perancis pada 1968. Cerita berpusat pada dua karakter utama, Dimas Suryo, seorang
BOOK eksil politik yang berakhir -dan menikahdi Paris dan tidak bisa kembali ke tanah air pasca geger pembasmian semua yang dianggap berafiliasi komunis sejak 1965 dan putrinya, Lintang Utara, yang pada 1998 mengunjungi tanah kelahiran ayahnya demi membuat dokumenter untuk tugas kuliahnya di Sorbonne. Di samping mereka, novel ini mengisahkan dan mewakili kegetiran, perjuangan, penolakan, cinta dan dendam para eksil politik setelah September 1965 dan anak-anak mereka berpuluh-puluh tahun kemudian. Meski secara implisit terkesan merayakan korban dalam euforia menuntaskan kesumat terhadap Orde Baru dan semua pelaku anti-kiri pada 1965 dan setelahnya, Leila pada akhirnya cukup arif untuk tidak terjebak pada pretensi serius akan hal-hal tersebut, salah satunya dengan menyertakan beberapa karakter yang tidak hitam-putih, tidak kita-mereka. Salah satunya Bang Amir yang merupakan perwakilan kaum kanan moderat yang banyak membantu Dimas. Malah, karakter Dimas sendiri digambarkan hampir apolitikal, tidak di kanan, tidak di kiri. Dengan alur yang maju-mundur, beragam point of view dan teknik suratmenyurat, Leila membangun narasi yang hidup, self-explanatory dalam diksi yang memikat dan mudah dimengerti, meski juga tidak seadanya. Demikian, novel ini tidak bertele-tele dan mengasyikkan untuk diikuti hingga tuntas. Cakupan peristiwa sejarah yang menjadi latarnya begitu luas dan mendalam, dan pada satu titik bisa dikatakan otentik dan akurat, meskipun masih akan mengundang perdebatan sebagian orang -well, karena sejarah selalu ditulis oleh pemenang-. Untuk yang terakhir, rasanya tidak perlu heran mengingat latar belakang Leila sebagai jurnalis dan redaktur majalah Tempo yang, seperti kita tahu, memiliki dokumentasi arsip yang lengkap tentang berbagai peristiwa di negeri ini. Selain itu, novel ini juga membawa banyak sekali referensi literasi, musik dan film yang menggambarkan kekayaan khasanah sang penulis. Untuk saya pribadi, kalau bukan karena pesan menolak lupa-nya yang luhur, setting ceritanya yang kuat dan referensinya yang kaya, novel ini akan berakhir seperti roman percintaan picisan lainnya. Beberapa kali saya menemukan hal-hal, katakanlah, kebetulan-kebetulan yang terlalu sinetron, too good to be true. Tadinya saya berharap akan menemukan sedikit gaya Steinbeck yang muram. Tapi, bagi kamerad sekalian yang belum sempat membaca, novel ini sangat disa-
rankan. Selain bisa mendapat pelajaran sejarah yang sudah “diluruskan”, kamerad sekalian bisa menambah pengetahuan tentang dunia pewayangan, bumbubumbu masakan tradisional Indonesia, slogan-slogan yang keren untuk poster -perzinahan politik, malpraktek sejarah, dll-, plus beberapa adegan senggama yang, meski tidak eksplisit, cukup wajar menggambarkan “nafsu kaum proletar yang bergelora”. Haha.
.
AMBA LAKSMI PAMUNTJAK oleh Saraddasi SETELAH Pulang, satu lagi novel berlatar 1965 yang saya selesaikan. Sebenarnya, saya lebih dulu menemukan Amba, tapi kemudian mendahulukan Pulang, karena – membaca sinopsis di sampul belakang- sepertinya yang pertama lebih berat. Selain sama-sama berlatar 1965, dua buku ini juga terbit di akhir 2012, dan lagi, keduanya baru saya temu dan selesaikan belakangan. Ternyata, alasan saya tadi tepat adanya. Berbeda dengan Pulang yang beralur cepat dan gampang diikuti, Amba lebih lambat dalam bertutur, sehingga perlu disimak seksama untuk kemudian bisa lebur bersamanya. Sama-sama mengambil setting utama pada huru-hara 1965, juga tentang cinta segitiga yang tragis, Amba lebih jauh menitikberatkan kisahnya pada sang tokoh utama, Amba Kinanti dalam pergulatannya yang berputar-putar pada cinta yang menderu-deru, tragedi berdarah yang melatarinya dan pencariannya berpuluh tahun kemudian. Tidak sekedar meminjam nama-nama (Amba, Bisma, Salwa), Laksmi, penulis lebih jauh memasukkan garis besar kisah dari epos Mahabharata yang diterjemahkannya ke dalam lakon Indonesia pertengahan ‘60-an: Amba, seorang wanita muda cerdas, mandiri sekaligus penurut, dua kali ditinggalkan oleh dua lelaki terintim dalam hidupnya. Jika Pulang merayakan para eksil, Amba mengangkat para tapol, orang-orang yang diasingkan di negeri sendiri karena pilihan warna mereka yang berbeda. Secara garis besar, plotnya berkisah tentang Amba (pada pada masa
kini) yang menelusuri Pulau Buru untuk mencari kepastian tentang kekasihnya, Bhisma yang diasingkan ke sana setelah peristiwa September-Oktober 1965. Dari situ kemudian kisah mundur ke masa-masa pertemuan mereka, juga Salwa, bahkan lebih jauh ke masa kecil Amba dan keluarganya, dan kembali lagi ke masa kini. Selain Amba, keluarganya, Bhisma dan Salwa, penokohan karakterkarakter lain yang ada dalam novel ini boleh dibilang kurang kuat meski tidak terlalu mengganggu keutuhan cerita. Ada beberapa karakter minor yang seperti dipaksa ada tanpa penjelasan lebih lanjut kenapa dia mesti ada. Apa yang terjadi kemudian dengan Adalhard? Atau Samuel yang sampai sekarang saya belum mengerti motifnya mengabdi pada Amba tua. Yah, seperti sedikit lubang kecil pada plotnya. Selain kekurangan atomik tersebut, novel ini nyaris sempurna. Salah satu yang mungkin membuat banyak orang (termasuk saya awalnya) menganggap novel ini berat adalah gaya penulisannya yang puitikal dan sedikit terlalu bermetafora. Well, bukannya novel sastra memang seperti itu ya? Menurut saya kemudian, justru di situlah letak keasyikan novel ini. Seperti bagaimana misalnya dia menggambarkan adegan senggama yang berapi-api tanpa terjebak menjadi terlalu seronok. Kelebihan lainnya, adalah bagaimana penulis memberikan deskripsi dan ilustrasi yang sangat hidup tentang suasana sosial-politik-geografis tahun ’60-an tanpa perlu menggurui pembaca. Penulis juga tidak ingin terkesan terlalu pintar dengan memaksakan memasukkan banyak sekali referensi musik, film dan lainnya. Yup, penulis tidak melakukan itu. Pun dengan literatur-literatur (Serat Centhini, Steinbeck, Rosa Luxemburg, T.S. Elliot, dll) yang banyak disebutkan, semuanya masih dalam batas wajar untuk mendukung kekuatan narasi. Pada akhirnya, Amba adalah novel yang kuat dan hidup. Bacaan sejarah non-tematik yang mengalir dan menghidupkan yang pernah ditabukan, bukan untuk meluruskan, apalagi mengungkit kembali, tapi sekedar mengingatkan: sejarah bangsa ini penuh borok yang tidak semestinya dilupakan.
.
TUCZINE X I 73
MOVIE
PERANG TERUS BERLANJUT Perang Dunia Kedua masih terus berlanjut sampai 2015. Seperti pada tahun sebelumnya, pada 2015 masih saja, malah lebih banyak, bermunculan film-film yang mengangkat tema Perang Dunia Kedua yang tidak pernah kehabisan bahan untuk terus digali, diceritakan dan diangkat ke layar. oleh SARADDASI
JIKA pada 2014 beberapa film merupakan produksi besar Hollywood yang mendapatkan publikasi dan sambutan meriah, maka film-film rilisan tahun 2015 kebanyakan muncul dari Eropa dan Asia, atau lebih tepatnya, Jepang. Meski tidak semuanya disertai publikasi dan sambutan meriah, beberapa di antara film ini membawa kualitas yang tidak kalah, bahkan lebih, dari film-film Hollywood tadi. Beberapa dari film-film ini merupakan remake dan mengangkat kisah yang sudah familiar, beberapa lagi mengangkat kisah yang jarang atau malah belum pernah diketahui banyak orang. BITVA ZA SEVASTOPOL Sergey Mokritskiy Kita mulai dari Ukraina, atau Rusia. Jika Vasily Zaitsev, salah satu penembak runduk pria paling mematikan Uni Soviet selama perang telah mendapatkan biopiknya lewat Enemy at the Gates yang, ya bolehlah itu, maka kini giliran penembak runduk perempuan paling mematikan, bukan saja selama perang, tapi sampai saat ini! Lyudmila Pavlichenko, perempuan muda (berusia 24 tahun saat Wehrmacht mulai menyerbu Uni Soviet) kelahiran Ukraina yang membunuh 309 sembilan orang, -bukan orang, tapi fasis- sejak keterlibatannya dalam pertempuran pada Juni 1941 sampai ditarik dari garis depan pada Juni 1942 akhirnya mendapatkan biopiknya juga. Lewat film produksi bersama UkrainaRusia (di tengah tensi tinggi antar kedua negara) berjudul Bitva za Sevastopol sutradara Sergey Mokritskiy mengangkat salah satu kisah luar biasa dan menarik dari sisi Uni Soviet. Secara runtut melalui flashback kisah Lyudmila dituturkan lewat interaksinya dengan Eleanor Roosevelt pada saat berkunjung ke Amerika Serikat pada 1942. Dari situ adegan-adegannya kemudian berjuktaposisi dan maju-mundur antara Gedung Putih dan medan perang. Semestinya, judul film ini “Lyudmila” saja, karena, well, ini adalah tentang dia. Tentang kegamangannya, kesedihannya, kepahlawanannya, juga romansanya.
Pertempuran dan pengepungan Sevastopol hanya menjadi latar tak penting, dan tidak ada pengembangan historikal memadai untuk mendukung kekuatan cerita. Sayang sekali kisah luar biasa seperti Lyudmila ini difilmkan dengan tidak semestinya. Meski secara visual bagus, pondasi narasi yang dibangun tidak kuat, dangkal, dan kadang terlalu dipaksakan. Lalu masalah berikutnya, presentasi Sergey terjebak, seperti halnya film-film serupa dari Rusia sedekade belakangan, pada glorifikasi secara berlebihan, mengarah propaganda. Meski tidak selebay Stalingrad (2013), Bitva za Sevastopol tidak bisa lepas dari tudingan tersebut. Satu contoh, di awal film diperlihatkan keadaan di Ukraina yang makmur dan semua orang berbahagia. Kenyataannya, baru beberapa tahun sebelumnya lebih dari 2 juta penduduk negara tersebut dibuat mati kelaparan oleh Stalin. Jika bukan karena kecantikan Yulia Peresild yang kelewatan itu, saya tidak akan kuat menyelesaikan film ini. (2/5) A ZORI ZDEZ TIKHIE… Renat Davletyarov Masih dari Rusia, A Zori Zdez Tikhie… hadir menghidupkan kembali salah satu kisah paling dicintai. Di salah satu desa jauh dari garis depan, Vaskov, seorang sersan ditugaskan memimpin unit anti serangan udara berisi belasan tentara. Masalah bagi sersan itu adalah, belasan tentara tadi semuanya
perempuan. Lebih buruk, mereka adalah perempuan-perempuan yang menjadi tentara karena terpaksa (setelah semua lelaki tua dan muda dikirim ke garis depan), hampir tanpa disiplin dan membawa masalah mereka sendiri-sendiri. Kisah berdasar gegar gender dengan latar ketentaraan bisa menjadi komedi yang bagus bila disajikan dengan pas. Dan itulah yang berhasil dilakukan film ini. Setidaknya di paruh pertama. Setelah adegan-adegan lucu yang menggambarkan interaksi akward sang sersan dengan para bawahannya, tone film ini kemudian berubah menjadi serius, cenderung mencekam dalam nuansa thriller di paruh kedua. Kedatangan sekelompok penerjun payung Jerman di hutan dekat desa mereka untuk melakukan sabotase, membuat sang sersan secara bertahap memercayai dan mengandalkan, bahkan mulai menyayangi anak buahnya, dan membawa mereka ke petualangan berbahaya dalam usahanya menggagalkan rencana para penyusup. A Zori Zdez Tikhie… merupakan remake film berjudul serupa rilisan tahun 1972. Membuat ulang sebuah film klasik bagus (masuk nominasi Best Foreign Language Film pada Oscar 1972) yang sudah kadung dicintai adalah beresiko mengundang hujatan, dan saya sempat takut dibuat kecewa. Syukurnya, sutradara Renat Davletyarov setia pada film aslinya, bahkan seringkali menggunakan dialog dan sudut pengambilan gambar yang sama persis. Meski demikian, Renat tidak serta-merta mencontek semuanya. Dia tidak memasukkan gambar-gambar close up semi surreal berulang-ulang yang membuat film aslinya membutuhkan durasi lebih dari 3 jam. Tanpa merusak keutuhan cerita, Renat berhasil memangkas durasi dan memadatkan filmnya, dan hasilnya tetap layak dicintai. (3/5) TUCZINE X I 75
MOVIE KÄTILÖ Antti Jokinen Dari Rusia kita menyeberang ke Finlandia. Dari negara Skandinavia ini telah beberapa kali muncul film-film Perang Dunia Kedua yang bagus, di antaranya Äideistä Parhain (2005), Rukajärven Tie (1999), Talvisota (1989), dan Tuntematon Sotilas (1955) yang kemudian di-remake dengan judul sama pada 1985. Tahun lalu ada Kätilö, yang mendapat sambutan baik dari penonton dan berjaya di box office di sana. Film ini berkisah tentang romansa di waktu dan tempat yang salah antara seorang perawat, lebih tepatnya bidan, dengan seorang perwira SS Nazi, dan mengambil latar belakang Perang Lapland pada 1944-1945. Perang Lapland sendiri adalah perang antara Finlandia melawan Jerman yang pada awalnya sempat bersekutu. Latar seperti itu seharusnya pas untuk sebuah kisah romantis yang tragis dan mengharu-biru. Sayangnya, sutradara Antti Jokinen bersama sinematografernya terlalu sibuk mengambil gambar-gambar cantik, hingga melupakan jalinan cerita dan pendalaman karakter. Plotnya lemah, sarat klise, kadang dipaksakan, kadang berlebihan, dan akhirnya kesusahan dua sejoli ini tidak mengundang simpati. (2/5) 9. APRIL Roni Ezra Negara Skandinavia lain, Denmark juga beberapa kali memunculkan film-film Perang Dunia Kedua yang bagus: Drengene fra Sankt Petri (1991), Flammen og Citronen (2008) dan Hvidsten Gruppen (2012). Ketiga film ini mengangkat resistensi warga Denmark atas pendudukan Jerman. Tahun 2015, dua film muncul membawa cerita berbeda dan jarang diketahui atau, boleh dibilang, sama sekali baru. 76 I TUCZINE X
Film pertama, 9. April, mengingatkan tentang awal keterlibatan Denmark ke dalam perang. Pagi buta tanggal 9 April 1940, Operasi Weserübung dimulai, Wehrmacht menyeberangi perbatasan dan menginvasi Denmark yang saat itu masih netral. Di Jutland, salah satu perbatasan yang paling pertama diterobos, sepasukan infantri bersepeda dengan perlengkapan minim diperintahkan menahan para penyerbu sampai bantuan datang. Kalah jumlah dan persenjataan, di tengah kebingungan, keputusasaan dan ketakutan, pasukan kecil ini berusaha semampu mereka. Beberapa jam kemudian pemerintah Denmark menyatakan kapitulasi, dan Jerman kemudian menduduki negara tersebut selama lima tahun ke depan. Pertempuran tak seimbang di perbatasan tersebut hanya berlangsung beberapa jam, tapi sudah cukup bagi sutradara Roni Ezra untuk diceritakan dan diangkat ke layar, sekalian untuk menunjukkan bahwa, meski sebentar, Denmark pernah secara terbuka bertempur melawan kekuatan paling ditakuti di Eropa saat itu. Oleh Jerman sendiri, dan banyak negara Sekutu, serbuan ke Denmark dianggap sebagai invasi yang damai dan diterima. Dengan premis David lawan Goliath seperti di atas, saya mengharapkan sebuah film heroik tipikal. Bagusnya, Ezra
tidak terjebak ke situ. Dalam jalinan narasi yang masuk akal dan plot yang realistis, dia hanya menampilkan ketakutan yang sangat manusiawi sekelompok orang, dan usaha mereka untuk bertahan, yang didukung para pemeran dengan acting yang natural dan kuat. Meski berdana rendah, film ini tidak mengorbankan otentisitas dan tetap memperhatikan detil-detil kecil yang menguatkan rasa realisnya. Seragam, persenjataan, kendaraan, sampai adegan latihan mengganti ban sepeda, semua diperhatikan dengan teliti. (3/5) UNDER SANDET Martin Zandvliet Jika 9. April mengangkat awal terseretnya Denmark ke dalam perang, film berikutnya, Under Sandet mengisahkan akhir perang. Pada akhir-akhir perang, ketika sumber daya manusia mesin perang Jerman mulai menipis, sementara front semakin melebar,
MOVIE
Wehrmacht menurunkan standar rekrutmen mereka. Orang-orang dari negeri taklukan, orang-orang tua dan bahkan remaja belasan tahun dipanggil mengangkat senjata. Sebagian dari mereka dikirim ke Denmark. Under Sandet mengangkat kisah yang mungkin diketahui hanya sebagian sejarawan, atau mereka yang dulu terlibat, dan setahu saya belum pernah dituangkan ke layar perak. Ketika Jerman akhirnya dikalahkan pada 1945 dan diusir dari Denmark, mereka meninggalkan setidaknya 1,5 juta ranjau aktif di sepanjang pantai barat negara tersebut. Tak habis akal, pemerintah Denmark melalui usul Inggris memerintahkan para tawanan perang Jerman untuk membersihkan ranjau-ranjau tersebut. Tanpa peralatan yang memadai, lebih sering menggunakan tangan kosong, dan hanya dibekali sedikit pelatihan, para tawanan perang ini mempertaruhkan nyawa mereka. Di bawah pimpinan sersan Carl Rasmussen yang keras, pemarah dan penuh dendam, belasan tawanan perang remaja ingusan yang ketakutan, berusaha membersihkan satu pantai penuh ranjau. Drama yang disajikan film ini menyasar psikologi dasar manusia setelah perang, para pemenang dan yang dikalahkan. Perangai kasar dan perlakuan brutal Ras-
mussen pada para tawanannya adalah akumulasi kegetiran yang dialaminya, juga negaranya di bawah pendudukan Jerman selama lima tahun. Sementara para tawanan remaja itu, mereka adalah korban doktrinasi Hitlerjugend, dan di hadapan konsekuensi perang yang mengerikan, mereka hanya ingin pulang ke ibu mereka. Dalam perjalanannya kemudian, setelah interaksi selama beberapa bulan, sikap Rasmussen berubah. Lamat-lamat, perasaan iba menyusup nuraninya, dan dia mulai merasa terikat pada para tawanannya, begitu juga sebaliknya. Under Sandet disutradarai Martin Zandvliet, dari naskah orisinil yang ditulisnya sendiri setelah membaca artikel mengenai tawanan perang remaja yang dipaksa menjadi penjinak ranjau. Bangunan cerita film ini solid dan realistis. Begitu juga acting para pemeran, utamanya Roland Møller yang berhasil menjiwai dan menghidupkan karakter Carl Rasmussen. Urusan teknis juga jempolan. Sinematografer Camilla Hjelm (istri sang sutradara) lewat syut panjang dari kejauhan memberikan kita gambar-gambar indah pantai Oksbøllejren dan Varde, lokasi kejadian sesungguhnya puluhan tahun silam. Pun begitu dengan scoring minimalis yang jitu mengawal momen-momen penting dalam film. Di luar itu semua, satu hal yang membuat saya memuji film ini adalah cerita yang diusungnya. Keberanian Zandvliet mengangkat cerita yang tidak populer harus dihargai. Lewat film ini, dia mengingatkan: kejahatan perang tidak cuma dilakukan Jerman dan Jepang, para pemenang pun melakukannya. Under Sandet (atau Land of Mine, judul internasionalnya) memenangi kategori Best Film, Best Actor dan Best Supporting Actor di Bodil Awards, Oscar-nya Denmark. Film terbaik tahun 2015 menurut saya. (4,5/5) 1944 Elmo Nßganen Dari pantai Skandinavia, kita beralih ke hutan Baltik. Saya belum pernah menemukan film Perang Dunia Kedua dari Estonia. Maka 1944 yang di negara asalnya disambut positif, adalah pengalaman pertama saya. Film
ini sekaligus mengenalkan perpekstif baru mengenai sejarah perang yang belum pernah diangkat ke layar. Sesuai judulnya, film ini ber-setting pada tahun 1944, dan menjadikan Pertempuran Tannenberg dan Tehumardi antara Wehrmacht dan Tentara Merah sebagai latarnya. Meski tidak sesemrawut di Balkan, palagan Baltik, khususnya Estonia, juga menyimpan cerita yang rumit. Pada awal perang, Estonia menyatakan kenetralannya, tapi negara ini tidak mampu berbuat banyak saat Uni Soviet mendudukinya pada 1940. Pendudukan Soviet diikuti dengan banyak penangkapan dan deportasi anasir-anasir anti komunis. Pada 1941, setelah dimulainya Operasi Barbarossa, Jerman menguasai Estonia dan mengusir Tentara Merah, termasuk orang-orang Estonia pro komunis. Kedatangan Jerman disambut sebagian orang dengan suka cita, dan akibat perlakuan buruk Tentara Merah setahun sebelumnya mereka bergabung dengan Wehrmacht untuk memerangi Uni Soviet. Pada 1944, saat Jerman mulai mundur di mana-mana, Tentara Merah kembali memasuki Estonia, dan bersama mereka ikut puluhan ribu warga Estonia (yang kini menjadi bagian Tentara Merah), untuk mengusir Jerman. Maka, pertempuran antar saudara setanah air antara tentara Estonia pro Uni Soviet melawan tentara Estonia pro Jerman, tidak bisa dielakkan. Cerita film ini berangkat dari dan berpusat di situ. Elmo NĂźganen, sutradara, lewat naskah garapan Leo Kunnas, mengetengahkan nasib Estonia, seperti juga negara-negara kecil lainnya, yang terombang-ambing di antara negara-negara besar di sekelilingnya, yang membawa konsekuensi buruk bagi warganya, apapun pilihan mereka. Elmo berlaku adil dengan membagi dua filmnya. Paruh pertama untuk yang pro Jerman, paruh kedua untuk yang pro Uni Soviet, dan secara subtil mengesankan bahwa orang-orang ini hanyalah korban nazisme dan komunisme. Meski sempat dibuat bingung, secara perlahan perpindahan sudut pandang protagonis di tengah film berlangsung halus, dan dengan jitu Elmo menghindari apa yang awalnya saya kira akan menjadi twist yang terlalu sinetron. Untuk acting, well, semua pemeran bermain baik, meski juga tidak luar biasa. Beberapa karakter tidak digali lebih dalam, dan ada beberapa kelemahan di narasinya, tapi tidak begitu mengganggu. Yang paling saya suka adalah adegan pertempuran seru di awal film yang terlihat realistis dan otentik. (3/5) TUCZINE X I 77
MOVIE mendapat pujian dan penghargaan di mana-mana, salah satunya memenangi kategori Best Foreign Language Film di Oscar tahun ini, menjadikannya film kedua asal Hungaria yang membawa pulang piala tersebut. (4/5) ELSER Oliver Hirschbiegel
SAUL FIA László Nemes Kita pindah ke Hungaria, negara asal István Szabó, sutradara senior yang banyak mengangkat tema Perang Dunia Kedua dalam film-filmnya, di antaranya Taking Sides (2001), Sunshine (1999) dan Mephisto (1981). Yang terakhir memenangi kategori Best Foreign Language Film di Oscar tahun 1982, dan merupakan kali pertama Hungaria membawa pulang piala dari ajang bergengsi tersebut. Mengomentari Schindler’s List (1993), Claude Lanzmann, sutradara senior asal Perancis yang pernah mengumpulkan testimoni para korban Holocaust dan menyajikannya dalam dokumenter berdurasi lebih dari 9 jam Shoah (1985), menyebut bahwa kengerian Holocaust tidak bisa disajikan dan didramatisir secara tepat ke dalam film, bagaimanapun realistis dan bagusnya film tersebut. Dia menambahkan, mendramatisir Holocaust ke dalam film adalah pelanggaran. Tapi kemudian, dia memuji Saul Fia. Saul Fia, atau judul internasionalnya Son of Saul, sekali lagi mengajak kita menengok Holocaust. Mengajak kita sekali lagi mengunjungi Auschwitz. Meski sudah banyak sekali diangkat ke dalam film, Auschwitz selama ini hanya kita lihat dari luar, dari kulitnya. Saul Fia mengajak kita langsung ke inti pabrik kematian yang tersohor tersebut. Saul, seorang anggota Sonderkomando -tahanan Yahudi 78 I TUCZINE X
yang ditugaskan mengurus dan membakar mayat-mayat rekan sebangsanya ke dalam krematorium- pada suatu pagi menemukan mayat anak kecil di antara jejalan ratusan mayat lainnya, dan entah karena dorongan apa dia menyelamatkannya dari api, dan dengan segala cara berusaha menguburkannya secara layak. Usaha Saul berbenturan dengan dan berpotensi merusak rencana tahanan lainnya untuk menggalang pemberontakan dan melarikan diri. Tapi Saul tak bergeming pada rencana dan ancaman rekan-rekannya. Apa guna menguburkan satu mayat di antara ribuan lainnya? László Nemes, sutradara yang juga menulis naskah bersama Clara Royer, memberikan jawaban kontemplatif: masih ada sisa-sisa kemanusiaan di tengah-tengah neraka sekalipun. Saul, yang pekerjaan rutinnya adalah membakar ratusan, mungkin ribuan mayat, sudah kehilangan itu. Bisa dilihat dari ekspresinya yang datar dan tanpa emosi. Tapi sejak menemukan mayat anak kecil yang kemudian diakui sebagai anaknya tersebut, dia seperti menemukan kembali kemanusiaannya. Selain kisah sederhana tapi mengerikan di atas, yang membuat film ini terasa realistis dan hidup adalah gaya pengambilan gambar sinematografer Mátyás Erdély yang tidak biasa. Lewat syut panjang dan rasio layar yang sempit, kita seperti berada di balik punggung Saul, mengikutinya dari dekat sekali sepanjang durasi film. Beberapa kali layar dipenuhi gambar close up wajah Saul yang datar dan tanpa ekspresi. Gaya sinematografi ini, bersama score dan dan dialog yang minim (kebanyakan berupa bisikan) sukses menyusupkan ketakutan yang terasa sangat dekat dan nyata ke hati penonton. Saul Fia yang merupakan debut penyutradaraan László Nemes ini
Kengerian di Auschwitz mungkin bisa dihindari jika saja rencana protagonis dalam film berikut berhasil. Sayangnya, Elser bukanlah alternative history seperti Inglorious Basterds-nya Tarantino yang bisa bermain imajinasi seenaknya. Kenyataannya, Adolf Hitler ditakdirkan tidak bisa dibunuh kecuali oleh dirinya sendiri. Beberapa kali usaha orang lain mengakhiri hidupnya berakhir kegagalan. Yang paling mendekati kesuksesan dan paling terkenal tentu saja plot 20 Juli 1944 yang diotaki Claus von Stauffenberg. Kisahnya sudah sering diangkat dalam film, kali terakhir lewat Valkyrie (2008). Kecuali bagi World War II enthusiast, kisah dalam Elser mungkin cukup baru. Film ini mengangkat salah satu usaha pembunuhan terhadap Hitler paling mendekati sukses lainnya, tepatnya oleh Georg Elser pada 8 November 1939. Tanggal tersebut dipilih dengan cermat oleh Elser. Pada tanggal 8 November setiap tahun sejak berkuasa, Hitler dan para elit Nazi berkumpul di sebuah beer hall di München untuk memperingati percobaan kudeta mereka yang gagal pada 1923 di tempat dan jam yang sama. Pada 1939 itu, selain Hitler hadir pula Nazi kelas berat lainnya: Joseph Goebbels, Reinhard Heydrich, Rudolf Hess, Alfred Rosenberg, Julius Streicher, dan Heinrich Himmler. Rencana Elser yang sudah disusun dengan matang dan dipersiapkannya dengan teliti selama setahun berjalan sukses. Bom yang ditanamnya meledak tepat waktu dan menghancurkan mimbar tempat Hitler berpidato. Satu yang tidak diperhitungkan Elser adalah Hitler, karena suatu hal, mungkin juga mendapat firasat seperti yang selalu diklaimnya, meninggalkan tempat tersebut 13 menit lebih cepat dari seharusnya. Itu adalah 13 menit yang mengubah hidup Elser, orang-orang
MOVIE terdekatnya, juga peta dunia. Dengan premis seperti di atas, tadinya saya mengharapkan sebuah thriller mencekam seperti Valkyrie. Tapi, sutradara Oliver Hirschbiegel mengambil pendekatan berbeda. Ledakan bom disajikan di awal, dan dari interogasi atas Elser oleh Gestapo kemudian film lalu mundur dalam flashback, menceritakan lebih dalam karakter Georg Elser, latar belakang, dan motifnya, dalam drama psikologis yang panjang dan sesekali diselingi adegan penyiksaan yang disebut otentik oleh beberapa sejarawan. Sepertinya Oliver Hirschbiegel punya obsesi tertentu pada Hitler. Sebelumnya pada 2004, dia pernah menghidupkan sang Fuhrer lewat Der Untergang yang luar biasa itu. Meski Elser tidak sebagus dan sesukses Der Untergang, film ini tetap pantas masuk dalam daftar terbaik dalam filmografinya. (3/5) NIHON NO ICHIBAN NAGAI HI KETTEIBAN Masato Harada Tokoh lain yang dianggap (harusnya) bisa merubah jalannya sejarah adalah kaisar Jepang, Hirohito. Ada yang unik, atau ruwet, dari struktur hirarkis pengambilan keputusan penting di pemerintahan Jepang yang bergaya militeristik sekaligus kekaisaran menjelang dan saat perang. Misalnya, rencana atau usulan untuk menyerbu suatu negara (termasuk Pearl Harbor tentunya) disusun dan dipersiapkan oleh para perwira militer di tingkat menengah di tiga angkatan perang: darat, laut dan udara. Usulan itu lalu diperdebatkan para jenderal di kementerian, lalu diperdebatkan lagi di kabinet. Setelah itu perdana menteri bersama para menterinya mendatangi kaisar di istananya untuk meminta restu. Seharusnya, di titik itu kaisar, yang dianggap tuhan oleh rakyat Jepang, bisa merubah jalannya sejarah. Kenyataannya, dalam banyak kesempatan seperti itu Kaisar Hirohito lebih banyak pasif dan diam, yang kemudian diterjemahkan oleh para penganjur perang seperti Tojo dan koleganya di Angkatan Darat sebagai restu. Tidak heran jika setelah perang banyak jenderal Sekutu yang bernafsu
menyeret sang kaisar ke pengadilan penjahat perang. Perdebatan melelahkan seperti itu sekali lagi terjadi pada 15 Agustus 1945, satu hari yang menentukan sejarah Jepang. Well, sudah terlambat untuk mencegah perang, tapi pada tanggal tersebut kaisar akhirnya bisa mengambil keputusan yang menyelamatkan rakyatnya dari kehancuran total: dia meminta angkatan perangnya untuk meletakkan senjata. Meski beberapa hari sebelumnya Hiroshima dan Nagasaki baru saja diratakan, beberapa perwira muda fanatik di Angkatan Darat tidak mau menyerah dan ingin menyongsong pendaratan tentara Amerika. Mereka mendesak beberapa jenderal untuk mempengaruhi kaisar agar tidak menerima tawaran kapitulasi tanpa syarat dari Sekutu, atau jika tidak, mereka akan melakukan kudeta. Kisah di atas menjadi dasar plot Nihon no Ichiban Nagai hi Ketteiban. Film ini merupakan remake film berjudul serupa (judul internasionalnya Japan’s Longest Day) rilisan tahun 1967, dan mengangkat cerita di hari yang sangat melelahkan bagi kaisar itu. Ritme dan peralihan antar adegan film ini berjalan cepat, yang sepertinya dilakukan untuk mencoba menjaga ketegangan yang dimulai sejak awal. Sayangnya, akibat banyaknya karakter yang dimunculkan membuat film ini terasa sesak yang, alihalih membuat tegang, justru membuat bingung. Demikian, secara keseluruhan film ini perlu dipuji. Meski, terlihat usaha sutradara Masato Harada untuk “membersihkan” nama kaisar, dan menimpakan kesalahan pada Angkatan Darat, dia tidak terseret arus glorifikasi perang oleh kaum sayap kanan yang dibawa oleh film-film Perang Dunia Kedua produksi Jepang dalam beberapa tahun terakhir. (3/5) SUGIHARA CHIUNE Cellin Gluck Meski lebih banyak bersetting di Eropa, film berikut, Sugihara Chiune (atau Persona Non Grata, judul internasionalnya) masih tentang Jepang, atau seseorang berkebangsaan Jepang. Oskar Schindler, Raoul Wallenberg, Ángel Sanz-Briz dan Giorgio
Perlasca (orang-orang non-Yahudi yang dengan cara mereka masing-masing menyelamatkan ratusan sampai ribuan orang Yahudi pada saat Holocaust) sudah mendapatkan film mereka masing-masing. Raoul Wallenberg bahkan lebih dari sekali. Sekarang giliran seorang diplomat Jepang bernama Sugihara Chiune. Sugihara Chiune adalah seorang diplomat yang ditempatkan di konsulat Jepang di Kaunas, Lithuania sejak 1939. Pada 1940, ribuan pengungsi Yahudi yang kebanyakan berasal dari Polandia dan menyadari Lithuania juga akan jatuh ke tangan Hitler, mengajukan permohonan visa ke konsulat Jepang. Meski sempat bimbang, tapi berkat kompas moralnya yang baik dan rasa kemanusiaanya yang tergugah, konsul Sugihara, melawan perintah atasannya di Jepang, meloloskan permohonan para pengungsi dan memberikan mereka visa transit di Jepang untuk kemudian melanjutkan perjalanan menuju tujuan akhir. Konon, selama beberapa hari di akhir bulan Agustus 1940 Sugihara menulis dan menerbitkan ribuan visa yang pada akhirnya menyelamatkan lebih dari 6.000 orang Yahudi dari Holocaust. Seperti film-film lain tentang pahlawan Holocaust, seharusnya film ini menjanjikan drama yang kuat. Sayangnya, sutradara Cellin Gluck, alih-alih fokus pada usaha Sugihara, memasukkan banyak subplot tak relevan yang membuat sesak narasi dan merusak ritme film secara keseluruhan. Tapi sebagai sebuah biopik, Sugihara Chiune menunaikan tugasnya. Jika bukan karena film ini, saya tidak akan tahu bahwa di monumen Yad Vashem di Israel ada satu nama orang Jepang terpatri. (2,5/5) Sebenarnya masih ada beberapa film lainnya, tapi belum sempat saya tonton. Setidaknya, sepuluh yang ada di daftar ini telah memenuhi fetisisme saya yang sepertinya kembali akan terpuaskan di tahun-tahun mendatang mengingat ada beberapa film kelas berat yang siap dirilis. Pada 2016-2017 ada, bukan cuma satu, tapi dua sekaligus, dramatisasi terbaru atas pembunuhan Reynhard Heydrich: Anthropoid (2016) yang dibintangi Cillian Murphy, dan HHhH (2017) yang dibintangi Rosamund Pike dan Mia Wasikowska. Lalu ada Robert Zemeckis mengajak Brad Pitt sekali lagi terjun ke medan perang bersama Marion Cotillard dalam Allied (2016). Mel Gibson juga kembali mengunjungi Pasifik, kali ini sebagai sutradara dalam Hacksaw Ridge (2016). Dan tentu saja yang paling ditunggu: Dunkirk (2017) dari Christopher Nolan. Can’t wait.
.
TUCZINE X I 79
MOVIE
AKHIR KISAH YANG SUDAH DIDUGA
oleh MEIDIAWAN CESARIAN SYAH
ADA APA DENGAN CINTA 2 2016 RIRI RIZA SETELAH 9 tahun berpisah, sepasang laki-laki dan perempuan yang pernah saling mencintai bertemu kembali secara tidak sengaja. Sembari menekuri ingatan-ingatan yang jauh, mereka terlibat percakapan panjang nun emosional. Jalan dan lanskap kota disusuri, romansa pertemuan pun memanggil reaksi kimiawi, dan perasaan-perasaan yang terkubur mampu tumbuh kembali. Namun, kesemua cerita itu berakhir ketika salah seorang harus kembali ke kehidupannya semula. Tukilan cerita itu bukanlah sinopsis film Ada Apa Dengan Cinta? 2 (AADC 2), melainkan ringkasan film kedua dari trilogi film yang disebut-sebut paling romatis sepanjang masa: Before Sunset. Dua tokoh utama, Jesse dan Celine, bertemu kembali di Paris setelah rentang waktu 9 tahun meninggalkan keduanya. Sebelumnya, mereka bertemu dalam sebuah 80 I TUCZINE X
perjalanan satu malam yang membekas pada kenangan yang indah dan dibingkai apik dalam film pertamanya: Before Sunrise. Alur seperti itulah yang nampaknya berusaha dipahat oleh Trio Riri RizaMira Lesmana-Prima Rusdi dalam AADC 2. Rangga (Nicholas Saputra) dan Cinta (Dian Sastrowardoyo) menjadi tokoh sentral seperti Jesse dan Celine. Mereka saling bertukar cakap hampir di sepanjang film. Tiap dialog bagaikan potongan teka-teki jigsaw yang disusun perlahan untuk menceritakan histori masingmasing tokoh dalam kurun waktu 9 tahun terakhir (Rangga dan Cinta dikisahkan terakhir bertemu di tahun 2006). Namun, Riri-Mira-Prima mengambil pendekatan berbeda dari Richard Linklater-Ethan Hawke-Julie Delpy. Riri dkk sepertinya juga ingin menambahkan ornamen berupa pesona kesenian dan nuansa kota Yogyakarta selain pergumulan dialog-dialog panjang antar dua tokoh utama. Maka, durasi AADC 2 tidak hanya dibagikan pada adegan obrolan dan lanskap, tetapi juga cerita tentang penjlentrehan seni dan budaya. Perihal ini pada akhirnya mengurangi intensitas dan kompleksitas dialog antara Rangga dan Cinta. Memori Before Sunrise yang menguar
AADC 2 mengambil latar waktu 14 tahun setelah film Ada Apa Dengan Cinta (AADC). Cerita dimulai dengan berkumpulnya Cinta, Maura (Titi Kamal), Milli (Sissy Priscilla), Mamet (Dennis Adhiswara) dengan pasangan masingmasing untuk menunggu Karmen (Adinia Wirasti) yang dikisahkan baru kembali dari proses rehabilitasi karena ketergantungan obat. Ajang temu muka di galeri seni milik Cinta ini bermuara kepada dua rencana: Geng Cinta yang akan pergi berlibur ke Yogyakarta dan rencana pernikahan Cinta dengan tunangannya, Trian (Ario Bayu). Sementara itu di sudut Brooklyn, New York, Rangga menjalani rutinitasnya sebagai pemilik sebuah kedai kopi bersama kedua temannya sembari menjadi kolumnis tetap di sebuah majalah. Suatu pagi, Rangga dikejutkan oleh kehadiran gadis muda yang ternyata adalah adik tirinya. Sukma (Dimi Cindyastira), nama gadis muda itu, mengabarkan ihwal keberadaan ibunda Rangga yang kini sakit dan tinggal di Yogyakarta. Kecamuk pikiran pun membawa Rangga dalam usaha memaafkan Ibunya dengan terbang menuju Yogyakarta. Yogyakarta akhirnya menjadi latar utama dari keseluruhan film ini. Rangga dan Cinta, setelah melalui beberapa friksi, akhirnya bersepakat untuk bertemu dan mencoba berdamai terhadap masa lalu mereka masing-masing.
Tapi, masa lalu memang sesuatu yang tak teraih dan kadang tidak bisa dijelaskan. Alih-alih selesai, percobaan berdamai antara mereka berkembang menjadi sebuah kisah baru. Setelah titik ini, film hanya menyoroti Rangga dan Cinta dalam rendezvous panjang mereka. Mereka berpindahpindah dan saling berbicara hingga pagi menjelang. Tak ayal, fragmen-fragmen inilah yang membuat uar memori tentang film Before Sunset dan Before Sunrise hadir sekaligus. Dua pekerjaan yang gagal Sebagai sebuah sekuel, ada dua pekerjaan besar yang harus dilakukan oleh sang pembuat film. Pertama, membuat pertalian cerita dengan film sebelumnya, dan kedua adalah membangun kekokohan jalinan cerita film sebagai sebuah entitas sendiri. Riri dkk, dalam AADC 2, gagal menyelesaikan dua pekerjaan besar tersebut. AADC 2 pun jatuh ke dalam pusaran romantisme AADC dan transisi gambar-gambar yang indah belaka. Dari sisi cerita, Riri dkk tampak sangat tergesa-gesa mengadaptasi Before Sunrise dan Before Sunset ke dalam perspektif Rangga dan Cinta. Jika dalam AADC setiap dialog yang diucapkan Rangga dan Cinta betul-betul quotable, maka hanya sedikit dialog di AADC 2 yang betul-betul “membunuh”. Beberapa dialog bahkan hanya berupa negasi logika yang sudah dilontarkan di AADC, seperti “dulu kamu kalau lagi bingung nyenengin, sekarang nyebelin” atau dialog terakhir yang berkutat di kata-kata “terakhir kali saya ketemu kamu…”. Dialog antara Rangga dan Cinta pun terasa miskin dengan bahan obrolan mereka yang sangat biasa. Mengingat Rangga dan Cinta adalah manusia yang lahir dari rahim buku dan (terutama) puisi, dialog mereka malah terjebak dalam usaha menjadi kekinian. Jika AADC mengangkat perbincangan buku Aku, AADC 2 tidak membicarakan buku atau puisi sama sekali. Padahal beberapa pernik yang terlintas di film ini sangat bisa dieksploitasi lebih lanjut menjadi dialog yang kaya, Seperti, kedua orang ini yang sama-sama memiliki buku puisi Melihat Api Bekerja, Rangga yang memiliki banyak buku Haruki Murakami, Cinta yang memiliki galeri seni kontemporer, dan yang paling disayangkan adalah tulisan terakhir Rangga yang ditunjukkan Roberto, “Wondering in Orwell’s Shoes”, yang tidak berujung apaapa. Puisi pun, yang dibacakan secara aduhai Nicholas Saputra, cuma menjadi
latar suara adegan-adegan Rangga dan Cinta. Riri Riza tampak serba tanggung mengaduk unsur-unsur yang dia comot dalam membangun suasana film ini. Riri mencoba menyajikan kesenangan travelling dalam balutan dialog serta melalui adegan-adegan avonturis perjalanan Rangga dan Cinta ke tempat-tempat eksotis. Usaha ini pernah dilakukannya dalam film 3 Hari untuk Selamanya. Sayangnya, hasil yang diperoleh AADC 2 jauh lebih buruk. Tempat eksotis seakan hanya berfungsi sebagai latar tanpa terlibat dalam bagian yang lebih jauh dalam film. Rangga dan Cinta hanya melontarkan puji-pujian keindahan terhadap latar dan suasana yang ada di sekeliling mereka. Tak menerabas lebih jauh. Jalinan film ini sebagai entitas janin yang tumbuh sebagai sebuah film sendiri pun lemah dengan plot yang berlubang. Karakter-karakter baru yang muncul terkesan hanya digunakan sebagai dekorasi kisah panjang Rangga-Cinta. Trian, misalnya. Ia seperti bingkai foto yang ditampilkan untuk memberi bumbu melankolia. Trian hanya hadir di awal dan menjelang akhir film saja dalam konflik yang mudah sekali dinyana. Pun juga dengan Sukma dan Ibu Rangga (Sarita Thaib). Mereka seakan ada hanya sebagai alasan untuk “memulangkan” Rangga ke Indonesia. Sebaliknya, ketiadaan satu karakter besar di AADC 2, Alya, juga menimbulkan ceruk yang menganga. AADC memiliki cerita yang kuat dan begitu monumental tidak hanya karena pasang surut hubungan Rangga dan Cinta, tetapi juga konflik keluarga Alya yang membuat Cinta dihadapkan dilema antara persahabatan dan cinta. Alya, sahabat terdekat Cinta, memiliki sikap penyabar dan tenang yang melengkapi keunikan Maura, Karmen, dan Milli. Komposisi sifat mereka berlima membuat keseimbangan emosi geng Cinta terjaga sehingga anyaman cerita terasa sangat pas. Ketiadaan Alya membuat keseimbangan itu hilang. Dilegitimasi atau tidak, peran Alya berusaha direposisi sedemikian rupa ke tokoh-tokoh lain. Maka di film ini kita bisa melihat Karmen yang menjadi super perhatian, Cinta yang mudah luluh, hingga Rangga yang kehilangan keteguhannya di saat-saat tertentu. Lubang juga terasa lewat cerita yang timbul belakangan karena adanya tokoh yang terlanjur “dihadirkan” di awal. Beberapa adegan pun menjadi tidak berkelindan dengan jalinan cerita yang dipaparkan dalam alur film, seperti perte-
muan Rangga dan Ibunya yang terkesan hanya formalitas belaka. Sepertinya, AADC 2 memang diniatkan hadir sebagai pengakhiran dari hubungan Rangga dan Cinta seusai perpisahan yang monumental di bandara. Maka dari itu, setiap benang cerita pada akhirnya menuju akhir yang tidak mengagetkan lagi. Hampir tidak ada riak-riak yang membuat penonton berpikir akhir kisah cinta mereka akan berbeda dari ekspektasi awal. Semuanya tepat seperti apa yang diinginkan. Tidak semuanya buruk Film ini memang bukan film cinta dengan kualitas cerita yang prima. Namun, bukan berarti ini film buruk. Ada sisi-sisi baik yang mampu disajikan dalam film ini. Sissy Priscilla, misalnya, tampil sangat menawan membawakan persona Milli. Karakter Milli masih terasa otentik walaupun usianya telah bertambah belasan tahun. Nicholas Saputra dan Dian Sastro juga bermain baik. Tak mungkin dielakkan bahwa di antara kedua orang ini telah terjalin kimiawi yang kuat. Mengutip Sanford Meisner, lakon mereka terasa natural karena mereka tidak terlihat seperti sedang berperan. Lalu, kita tentu saja sangat mengapresiasi bagaimana AADC 2 membangkitkan kegairahan masyarakat Indonesia kepada puisi. Ketika AADC berhasil membuat remaja-remaja ketagihan berpuisi bernas ala Chairil Anwar, kini baik tua maupun muda melongok kenikmatan permainan bahasa Aan Mansyur. Cetakan pertama buku Tidak Ada New York Hari Ini yang berisi puisi-puisi Rangga di AADC 2 pun dilahap habis hanya dalam satu hari. Tampaknya puisi-puisi Rangga masih akan menjadi anthem dan bakal terus berlarian di media sosial sebagai quote. AADC adalah film milik satu generasi. Generasi yang sama yang menghendaki jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang muncul setelah menonton film AADC. Ketika AADC 2 hadir sebagai jawaban yang absen tersebut, memang sebaiknya film ini diletakkan dalam kerangka nostalgia akan romantisme kisah film pertamanya. Tak perlu berharap ada pendalaman yang lebih. Kita mungkin akan menontonnya berulang-ulang karena film ini memberikan kepuasan pada kita yang terus mencari pengakhiran atas sebuah kisah yang melegenda. Tapi kita juga tahu bahwa bentuk pengakhiran itu pun sebenarnya sudah kita duga sejak awal.
.
TUCZINE X I 81
MOVIE
ROMANTIKA REMAJA DALAM BALUTAN NEW WAV MUSIC
oleh MARDHANI MACHFUD RAMLI SING STREET 2016 JOHN CARNEY
You only have the power to stop things, not to create! BEGITULAH kalimat yang dilayangkan Cosmo “Connor” Lalor kepada pem-bully-nya di sekolah dalam film ini. Setelah sukses dengan film bertema musik lainnya, Once (2007) dan Begin Again (2013), John Carney kembali menggarap film bertemakan musik, yang kali ini berbeda dengan dua film sebelumnya karena berlatar belakang kehidupan remaja tanggung di kota Dublin. Film ini mengajak kita kembali ke 1985 di kota Dublin, Irlandia. Cosmo “Connor” Lalor (Ferdia Walsh-Peelo) adalah seorang remaja yang memiliki masalah keluarga dan dipaksa untuk beradaptasi dengan sekolah barunya, belum 82 I TUCZINE X
lagi menghadapi pem-bully-an dan sikap represif dari sang kepala sekolah, Brother Baxter (Don Wycherley). Memiliki bakat dalam menulis lagu, Connor bertekad untuk membentuk sebuah grup band demi memikat hati seorang model yang ditemuinya di seberang jalan sekolah, Raphina (Lucy Boynton). Film ini sendiri memiliki premis yang sederhana, bagaimana seorang remaja berusia 15 tahun dengan hidupnya yang membosankan berusaha menarik perhatian seorang gadis dengan ngeband. Banyak dari kita sendiri yang pernah mengalaminya, bukan? Namun yang menjadi kekuatan di film ini sendiri adalah bagaimana John Carney mengemas cerita itu semua dengan salah satu keajaiban Tuhan yang pernah diciptakan di dunia: musik. Musik adalah media bagi John Carney dalam menyampaikan pesan dan membawa emosi cerita ke hadapan penonton, seperti yang telah kita saksikan dalam film Once yang bernafaskan Irish-Folk, dan Begin Again tentunya yang dibalut dengan musik modern pop. Lantas apa yang membuat Sing Street ini menarik? Selain latar belakang kehidupan “anak sekolahan” yang diusung, John
Carney memasukkan unsur musik new wave sebagai bumbu penyedap dalam film ketujuhnya ini. Lantas bukan hanya unsur musikal saja yang istimewa dari film ini, romantisme remaja dan musik berhasil dipadukan tanpa terkesan murahan dan klise. Ditambah dengan unsur bromance antara Connor dan abangnya, Brendan (Jack Reynor) yang cukup mengundang haru, dan chemistry ala John Lennon-Mc Cartney yang ditampilkan oleh Connor dan Eamon (Mark McKenna). Soundtrack film pun digarap dengan begitu apik, selain lagu original yang dinyanyikan sendiri oleh Ferdia Walsh-Peelo, ada juga deretan lagu populer di era ‘80-an seperti “Rio” (Duran Duran), “Steppin Out” (Joe Jackson), dan “In Between Days” (The Cure). Di akhir film kita juga bisa mendengarkan lengkingan suara Adam Levine yang ikut mengisi original soundtrack di film ini. Sing Street berhasil merefleksikan kehidupan kita ke dalam dunia penuh hura-hura remaja tahun ’80-an, dan jangan salahkan saya ketika Anda mengubek-ubek kaset Duran-Duran ataupun The Cure yang telah tersimpan rapih dalam lemari setelah menonton film ini.
.
MOVIE
BALADA PENCURI SEPEDA oleh SARADDASI
LADRI DI BICICLETTE 1948 VITTORIO DE SICA KEGEMARAN saya akan film-film bertema Perang Dunia Kedua membawa saya berkenalan dengan Roberto Rossellini, salah satu sosok penting dalam gerakan sinema neorealis Italia. Lewat Neorealist Trilogy miliknya: Roma CittĂ Aperta, PaisĂ dan Germania Anno Zero, saya kemudian sedikit banyak mulai -atau setidaknya, mencoba- mengerti apa itu sinema neorealis. Italia yang luluh lantak akibat perang menjadi latar sangat nyata dari gerakan ini. Legasi langsung dari perang berupa masalah-masalah sosial yang kompleks seperti kemiskinan, kriminalitas dan lainnya ditangkap ke dalam layar secara langsung, apa adanya dan tanpa dipaksa justru menjadi drama yang sesungguhnya. Dari Rossellini, saya kemudian berkenalan dengan salah satu koleganya, Vittorio De Sica, yang membuat film yang, bisa dibilang, terbesar di antara film-film neorealis Italia lainnya: Ladri di Biciclette. Film yang dirilis pada tahun yang sama dengan Germania Anno Zero ini, bersama kesederhanaannya adalah definisi semi-resmi dari gerakan ini. Menggunakan aktor amatir (seorang buruh dan anak jalanan), difilmkan di lokasi yang sesungguhnya dan bercerita tentang kehidupan sehari-hari kaum kelas pekerja.
Plotnya sederhana, atau malah biasa saja. Seorang kepala keluarga, Antonio, mendapatkan pekerjaan sebagai penempel poster. Tapi pekerjaan itu memberinya satu syarat mutlak: ia harus punya sepeda. Di rumah, istrinya yang gembira akan kabar tersebut, dengan senang hati menjual seprai kesayangan untuk menebus sepeda suaminya dari pegadaian. Celakanya, di hari pertama kerja, sepedanya dicuri. Dari situ, ia bersama anaknya, Bruno, kemudian berkeliling Roma mencari sepedanya. Nilai suatu barang adalah relatif, tergantung dari kondisi dan berbedabeda bagi tiap orang. Bagi polisi tempat Antonio melaporkan kehilangannya, sepeda yang dicuri adalah urusan sepele di tengah maraknya kriminalitas yang lebih besar di kota Roma yang baru saja dimiskinkan oleh perang. Tapi bagi Antonio yang pengangguran, sepeda itu berarti pekerjaan. Pekerjaan berarti keluarga. Keluarga berarti itu harus diperjuangkan, hidup dan mati. Hal sepele tapi besar seperti ini juga diangkat Majid Majidi dalam Children of Heaven, yang menginisiasi sinema neorealis Iran yang menggeliat dalam dua dekade terakhir. Dalam hal acting, kiranya De Sica tidak perlu terlalu repot mengarahkan, karena orang-orang ini adalah benarbenar orang kelas pekerja, yang tentunya mengalami hal-hal getir seperti dalam naskah. Lewat durasi sekira satu setengah jam, De Sica mengajak kita menyelami berbagai karakter dasar manusia. Gembira, putus asa, sedih, oportunis, masa bodoh, nekat dan lainnya. Kita melihat Antonio yang putus asa mencari sepedanya, Bruno yang lugu ikut membagi dan merasakan beban ayahnya, (meskipun hubungan ayah-anak ini tidak digambar-
kan sesentimentil cara Hollywood, malah lebih baik), juga Maria yang mencoba tegar. Mengikuti perjalanan ayah-anak ini mau tidak mau merayapkan perasaan sedih yang sama ke hati penonton. Setidaknya itulah yang saya rasakan. Salah satu adegan yang paling memorable dari film ini adalah ketika Antonio, mencoba berlaku masa bodoh akan kegetirannya: mengajak Bruno makan di restoran mewah dengan sisa terakhir uang mereka. Yah, kadang kita perlu berlaku masa bodoh sebagai sarana eskapis paling masuk akal, meski singkat, dari susahnya kehidupan. Salah satu kutipan yang paling saya ingat dari film, sebuah film tentang Holocaust, saya lupa judulnya, adalah kira-kira: “bagaimanapun mereka memperlakukan kita tidak manusiawi, yang membuat kita putus asa dan geram, kita tetap tidak boleh kehilangan kemanusiaan kita.� Dalam konteks Ladri di Biciclette, wejangan ini terlihat terlalu muluk. Justru, karena kehilangan dan kemalangannya itulah, Antonio dalam kondisinya yang putus asa menemukan cara paling manusiawi menyelesaikan masalahnya: mencuri sepeda. Adegan tragis menjelang ujung film ini adalah sekalian konklusi menohok tentang akar segala kejahatan: kemiskinan. Film yang berjudul internasional Bicycle Thieves atau The Bicycle Thief ini memperoleh banyak penghargaan dan sejak perilisannya memberi pengaruh yang sangat besar bagi perkembangan sinema di seluruh dunia. Berbeda dengan Rossellini yang saya cari dan tonton beberapa karyanya, ini adalah satu-satunya film De Sica yang saya cari dan tonton, sampai saat ini. Simpel saja, ini adalah karya terbaiknya.
.
TUCZINE X I 83
MUSIC CLINIC
MEMBEDAH LINE 6 POD HD400 oleh HER_DIST
SELAMAT berjumpa lagi teman-teman, pasti di kantor kalian masih sibuk dengan Amnesti Pajak akhir-akhir ini. Tapi kita bahas yang lain dulu ya, yang penting fun. Kali ini saya mau cerita pengalaman memakai alat efek gitar terbaru saya: LINE 6 POD HD400. Sebelumnya saya memakai beberapa efek gitar. Ada yang stompbox (analog dan digital) dan ada yang multi efek (kalau ini pasti digital), karena masing-masing ada plus-minusnya. Untuk yang multi efek, saya punya Korg AX1500G yang sudah dipakai sekitar sebelas tahun. Jadi dengan pertimbangan rentang waktu yang cukup lama itu saya pikir pasti teknologi, apalagi yang namanya teknologi digital, sudah sangat banyak perkembangannya, jadi pas lah waktunya buat modernisasi. Kenapa akhirnya efek ini yang saya pilih karena dari berbagai referensi yang saya dapat seperti dari brosur, artikel, ulasan, komentar, testimoni, dan Youtube, efek ini sangat menjanjikan dan direkomendasikan. Beberapa gitaris profesional juga memakai efek ini. Lainnya saya suka karena bentuknya tidak terlalu aneh, di panelnya tidak terlalu banyak tombol, warnanya dominan hitam dof, tidak mengkilap, dan yang terpenting: harganya masih realistis dan terjangkau buat dana saya. Kalau misalnya harga tidak masalah, mungkin bukan efek ini pilihannya. Kenapa yang HD400 bukan yang HD300 atau HD500? Karena di tokonya waktu itu yang ada yang itu saja. Untuk upgrade sound gitar sebenarnya yang saya perhatikan cuma sound distorsinya saja, kalau efek lainnya seperti modulasi tidak terlalu penting, dianggap bonus sajalah. Oh iya, sebelumnya sebagai informasi, lineup dari LINE 6 POD HD ini adalah POD HD300, POD HD400, dan POD HD500. Dari salah satu artikel yang saya baca, efek-efek ini sudah tidak diteruskan sekarang, jadi kalau temantaman cari barang-barang ini yang baru 84 I TUCZINE X
mungkin sudah tidak ketemu atau masih bisa dapat kalau tokonya masih punya stok lama. Sementara yang ada di pasar sekarang yang saya tahu adanya POD HD500X, POD Firehawk, atau yang terbaru POD Helix yang punya harga sangat bagus sekali yaitu sekitar Rp. 19 juta. Merek ini sekarang dijual di toko musik grup Yamaha, sebelumnya dipegang oleh toko musik grup Roland dan Fender (Citra Intirama), sebelumnya lagi oleh toko Wijaya Musik. Oke, jadi sekarang kita bahas LINE 6 POD HD400! Penampilan Seperti yang saya jelaskan tadi, ini adalah salah satu alasan kenapa efek ini saya beli. Dari mulai dimensi panjang dan lebarnya, warna, jenis dan penempatan tombol-tombol, bentuk expression, ukuran dan warna tulisan-tulisan petunjuk, semuanya oke. Kalaupun ada yang masih kurang, mungkin posisi layar LCD-nya akan lebih enak kalau posisinya agak ke kanan, tidak di tengah, tapi bukan masalah besar itu. Bahan body utamanya sepertinya dari pelat logam, bukan plastik, makanya kalau dipegang terasa kokoh, dan sedikit lebih berat. Lebih berat ini bagus menurut saya karena membuat efek lebih stabil tidak mudah tergeser kalau sedang dipencet-pencet. Nah, antara tombol-tombol pengaturan (putar) di bagian atas dan tombol-tombol pindah saluran (tekan) di bagian bawah ada seperti bar besi, sepertinya bisa buat mengangkat efek atau untuk menghalangi kaki dari tertekannya tombol pengaturan sewaktu menginjak tombol ganti saluran. Besi ini buat saya membuat efek ini semakin gagah saja, seperti heavy duty equipment saja kesannya. Oh iya, ada satu lagi yang sangat saya suka, di panel bagian atas terdapat keterangan yang lengkap dari fungsi koneksi dan kenop yang ada di bagian belakang efek, sehingga sewaktu kita mengeset dan memasang kabel-
kabel koneksi tidak perlu diangkat-angkat untuk melihat fungsi dari setiap colokan atau kenop. Di Korg AX1500G sebelumnya, ini tidak ada. Fitur Untuk informasi umum, efek ini punya 128 preset efek yang terdapat kelompok bank sound, dan penggunaan maksimal 4 efek (simultaneous) dalam 1 preset. Jumlah simulasinya amp 16, preamp 16, cabinet 16, dan efek sekitar 100. Untuk fitur-fiturnya, selain dari yang sudah standar pada kebanyakan multi efek sejenis lainnya seperti penggunaan expression pedal untuk vol atau wah, adanya tunner, ada mode antar patch efek atau sebagai on-off efek dalam satu patch (seperti menggunakan efek stompbox). Yang baru buat saya di efek ini adalah adanya fitur looper yang membuat kita bisa bermain solo dengan menambahkan part-part gitar secara sound on sound. Cool! Lainnya yang oke adalah tersedianya output untuk balanced (jack Ÿ’) dan unbalanced (XLR). Jadi kita bisa route output gitar kita untuk ampli atau mixer, bahkan untuk yang unbalance bisa dipilih LINE (untuk ke mixer atau PA, sudah ada cabinet simulator-nya) atau AMP (untuk ke ampli gitar tanpa pewarnaan kabinet). Fitur utama dari pengaturan sound-nya adalah pilihan jenis amp yang terdiri dari 8 kelompok amp dari clean sampai metal. Buat kita yang main metal jangan kuatir, karena ampli wajib buat metal yaitu Mesa/Boogie dan Engl Fireball ada dalam daftarnya. Yang lainnya untuk expression pedal, perpindahan dari vol ke wah atau lainnya perlu ditekan sedikit lebih keras pedalnya, ini bagus sehingga kita sewaktu mengakses vol atau wah tidak mudah pindah-pindah karena tidak sengaja terpencet switchnya. Di bagian bawah efek ada 4 karet untuk dudukan efek sehingga body efek
tidak menempel di lantai. Yang terakhir, efek ini bisa disambungkan ke komputer via USB buat mengedit patch lebih jauh (deep editing) dengan aplikasi POD HD EDIT, atau buat merekam gitar dengan menggunakan aplikasi DAW yang kita punya. Untuk pembaruan driver ada aplikasi LINE 6 MONKEY yang akan memperbarui perangkat lunak kita secara otomatis jika tersambung dengan internet. POD HD EDIT dan LINE 6 MONKEY bisa diunduh dari laman LINE 6. Pengoperasian Efek ini menurut saya termasuk simpel pengoperasiannya. Kalau yang sudah biasa pakai efek-efek seperti ini, tinggal belajar sedikit bagaimana mengakses tombol dan menu-menu, beres langsung jreeng! Tapi saran saya, baca saja buku petunjuknya. Biarpun caranya gampang, tapi bisa jadi ada fitur yang terlewat karena kita tidak tahu kalau fitur itu ada. Adanya tombol-tombol pengaturan khusus (dedicated) di bagian atas membantu kita mengoperasikan alat ini. Jadi misalnya dari satu patch efek ada perlu sedikit modifikasi bisa diakses secara langsung. Dengan membaca tulisan petunjuk di bawah, samping, atau atas, dari tombolnya kita bisa langsung tahu apa fungsinya. Ya kombinasinya dari satu tombol antara putar, tekan, atau putartekan. Beberapa pengaturan juga ada di bagian belakang efek, tapi ini untuk pengaturan utama saja seperti jenis output dan volume output yang cuma disetel sekali dalam satu acara, jadi memang tidak perlu di depan karena tidak sering dipakai. Jumlah tombolnya juga cukuplah, tidak terlalu sedikit dan tidak terlalu banyak, jadinya enak dilihat. Simple but useful. Lampu-lampu indikator yang ada juga informatif dan enak dilihat. Jika kita bermain dalam suasana yang agak gelap, dijamin tidak kesasar pencetannya.
Sound Nah ini dia yang paling utama. Kesan pertama saya waktu mencoba efek ini adalah karakter ketebalan sound, yang agak sulit didapat dari multi efek digital pada umumnya. Efek-efek digital pada umumnya memiliki karakter sound yang lebih tipis dari efek analog, makanya kenapa masih banyak gitaris pro yang memakai efek analog. Jadi waktu mencoba pertama kali, ketebalan sound inilah yang saya perhatikan dulu, bukan fitur-fitur lainya, dan menurut saya kualitas ketebalannya sudah jauh lebih baik. Pokoknya untuk sound sangat oke! Yang berikutnya yang saya perhatikan adalah karakter sound dari setiap jenis amp. Nah ini penting, apalagi buat yang jenis amp hi gain dan lownya harus dapat, karena musik dalam metal kan bagian ritem harus dominan, berkarakter mid low, apalagi kalau memainkan musik aliran djent. Bahkan saya juga suka dengan sound distorsi dari amp tipe clean. Nah bingung kan? Maksudnya di pilihan amp bertipe clean, kadar distorsinya dibesarkan, ya jadinya seperti crunch begitulah. Dinamika picking dapat. Ini buat yang main blues penting sekali. Sound clean-nya juga bagus, tetap dapat ketebalannya! Kalau buat wah-nya standarlah. Sewaktu saya coba langsung ke komputer pakai USB, sound-nya mantap sekali, dengan sedikit penyesuaian pada aplikasi DAW hasilnya bisa sangat bagus, yang penting harus punya pengetahuan menggunakan perangkat lunak pendukung untuk mixing. Untuk memainkan sound lewat expression pedal saya tidak terlalu banyak mengulik. Sebelumnya juga saya tidak pernah punya wah pedal, jadi buat saya ini bonus saja. Lainnya yang saya juga suka dari efek ini adanya semacam intelligent pitch shifter kalau seperti di efek Boss. Jadi membuat sound gitar kita didobel sama nada lain, seperti kalau pada orang
bernyanyi seperti suara dua atau suara tiga. Buat saya yang suka mengulik lagulagu Yngwie J. Malmsteen atau beberapa lagu-lagu dari eranya guitar hero ‘80-’90an (bukan yang gim itu loh), fitur ini jadi sering terpakai. Jadi sebenarnya efek ini all round-lah buat macam-macam genre musik.
Overall Jadi buat saya secara umum cukup puaslah sama efek ini. Tinggal bagaimana alat-alat yang lain seperti gitar, kabel dan ampli juga harus bagus kualitasnya biar hasilnya maksimal. Dimensinya pas, tidak terlalu besar tidak terlalu kecil, jadi tidak perlu sampai takut salah pencet. Penampilan oke, sound juga oke! Sekarang tinggal tergantung bagaimana mengoptimalkannya. Buat yang suka mengulik sound, bisa mengoptimalkan aplikasi POD HD EDIT, tapi buat yang simpel seperti saya cukup pakai yang preset atau modif sedikit dari preset untuk dapat sound yang dicari, langsung utak-utik di efeknya. Tapi tetap harus memperhatikan standar penggunaan dari alat ini seperti bagaimana menyeimbangkan suara antara gain efek dan gain ampli, antara pilihan output untuk mixer atau ampli gitar, juga pengaturan sound di ampli gitarnya, karena semuanya berpengaruh ke hasil sound akhirnya. Oke teman-teman, alat tetap alat, skill tetaplah yang utama, yang harus diasah secara rutin. Jadi sambil kita bekerja demi tercapainya target Amnesti Pajak Rp. 165 T dan juga lembur masuk kantor pada hari sabtu, mari kita ambil gitar yang sudah berdebu akibat jarang dipakai itu, pangku, dan mainkan. Setiap hari. Rock on!
.
TUCZINE X I 85
GALERI
YANG TERSISA DARI ROCK IN CELEBES 2015 MAKASSAR foto-foto oleh SARADDASI
kami merilis musik yang kami sukai etalaserecords
WTF
HIGHLY EDUCATED ROCK MUSICIANS Musik rock diasosiasikan dengan hedonisme, kemalasan dan kebodohan. Banyak sekali musisi rock, punk, metal dan lainnya mematahkan tuduhan tersebut. Berteriak-teriak dan berjumpalitan layaknya orang gila di atas panggung, mereka juga adalah orang-orang berpendidikan tinggi di saat bersamaan. Berikut kompilasi beberapa musisi genial dan berpendidikan tinggi.
Tom Scholz (Boston) Bahkan sebelum Boston sukses dan menjual berjuta-juta copy album-album mereka, Tom Scholz sudah mendapat gelar master bidang teknik mesin dari Massachusetts Institute of Technology pada 1970. Kecakapannya dalam rekayasa mekanik berguna bagi karir musiknya, juga bagi musisi lain. Dia merancang, menemukan dan memegang hak cipta lebih dari 30 jenis peralatan musik, di antaranya ampli Rockman. Pada 2005, Jeremy, anak dari pernikahan pertamanya lulus dari kampus yang sama, dan meraih gelar yang sama. Jadi ya, kepintaran itu menurun.
Greg Graffin (Bad Religion) Tanpa perlu mengetahui latar pendidikannya, kejeniusan punk rocker satu ini sudah bisa dibaca dalam lirik-lirik Bad Religion. Setelah lulus dari SMA El Camino Real, Greg Gaffin kuliah di University of California Los Angeles di mana dia lulus dengan dua gelar sarjana: antropologi dan geologi. Gaffin lalu melanjutkan pendidikan ke jenjang lebih tinggi dan pada 2003 lulus program doktorat di bidang geologi dengan gelar Ph.D dari Cornell University setelah menyusun disertasi setebal 292 halaman berjudul Monism, Atheism, and the Naturalist Worldview: Perspectives from Evolutionary Biology. Pada 2010 dia menerbitkan buku Evolution and Religion: Questioning the Beliefts of the World’s Eminent Evolutionists, dan bersama Steve Olson menerbitkan Anarchy Evolution: Faith, Science, and Bad Religion in a World Without God pada 2011. Terdengar seperti bacaan yang berat.
Milo Aukerman (The Descendents) Pada 1982 The Descendents merilis album penuh pertama mereka Milo Goes to College. Ya, itu untuk mengiringi vokalis mereka Milo Aukerman melanjutkan pendidikan ke University of California San Diego. Dari sana, Aukerman meraih gelar doktor di bidang biologi. Dia melanjutkan riset pascasarjana di bidang biokimia di University of Wisconsin. Sejak 2010, jika tidak sedang berteriak bersama The Descendents, Aukerman bisa ditemukan di sebuah laboratorium di DuPont sibuk meneliti tumbuhan! Tahun ini, Aukerman mengumumkan akan meninggalkan laboratorium dan berkonsentrasi sepenuhnya di dunia musik. Hasilnya: Hypercaffium Spazzinate, album terbaru The Descendents setelah 12 tahun! Brian May (Queen) Semangat belajar Brian May, orang yang menulis lagu “See What a Fool I’ve Been”, perlu ditiru oleh generasi muda. May belajar fisika dan matematika di Imperial College London, dan selama empat tahun
sejak 1970 mengejar gelar doktornya dengan mempelajari “pantulan cahaya dari debu antar-planet dan kecepatan debu dalam tata surya”. Namun, kesuksesan Queen setelah merilis Sheer Heart Attack pada 1974 memaksa May melupakan cita-citanya untuk “sesaat”. Pada 2006, dalam usia 60 tahun, May melanjutkan cita-citanya, mendaftar kembali di kampus yang sama. Setahun berselang dia meraih gelar Ph.D dalam astronomi lewat tesis berjudul A Survey of Radial Velocities in the Zodiacal Dust Cloud. Dexter Holland (The Offspring) Kepintaran Dexter Holland sudah nampak sejak di SMA. Di angkatannya, dia adalah juara umum untuk mata pelajaran matematika. Selepas SMA Dexter melanjutkan pendidikan ke University of Southern California di mana dia lulus sarjana di bidang biologi dan pascasarjana di bidang biologi molekuler. Dia sempat melanjutkan ke jenjang doktorat sebelum berhenti untuk berkonsentrasi pada The Offspring. Syukur saat itu dia berhenti. Jika tidak, dunia mungkin tidak akan pernah mendengar Smash. Setelah The Offspring tidak terlalu sibuk, pada 2013 Dexter melanjutkan pendidikan doktoratnya di Laboratory of Viral Oncology and Proteomics Research, Keck School of Medicine. Tahun itu, Dexter bersama peneliti lainnya merilis kajian ilmiah berjudul Identification of Human MicroRNA-Like Sequences Embedded within the Protein-Encoding Genes of the Human Immunodeficiency Virus. Selain itu, Dexter juga adalah seorang pilot dan memegang lisensi instruktur penerbangan. Termasuk luar biasa untuk seseorang yang menyanyikan “Why Don’t You Get a Job?”.
.
TUCZINE X I 103
FREE ROAR
TANGAN TERIKAT MULUT TERKUNCI oleh EARTH
Kebencian. Kesombongan. Kebusukan. Kemunafikan. Ilusi harga diri mereka memaksaku untuk mencari kehidupan. Kematian. Keangkuhan. Keserakahan. Kesunyian. Kebohongan. Kegalauanku akan kehidupan. Dunia kita terlalu berbeda. Dunia kita tidak pernah akan sama. - Rusuah
TERPENJARA, mungkin kalimat yang tepat. Tapi tidak! Karena kakimu tak terikat. Kamu masih bisa merangkak, berjalan, bahkan bisa berlari. Ada usaha untuk membebaskan diri. Dengan otak. Tidak! Harus dengan hati. Seharusnya dengan hati. Karena banyak yang berotak tapi tak punya hati. Tapi seringkali mereka yang punya hati, merekalah yang punya otak. Dan seandainya keduanya bersinkronisasi tepat, saling mengisi, aduhai indahnya dunia. Terkadang imajinasimu berkembang liar, tapi tak berguna. Kamu merasa bergerak, tapi sebenarnya diam. Lihatlah contoh syair di atas. Syair itu bisa untuk siapa saja. Bisa untuk siapapun yang membaca. Bisakah kita balik? Bukan untuk sang pembaca. Jika kau yang menulisnya, coba kau balik, untuk dirimu. Akan kucoba untuk membaliknya, menuliskannya untukku. Dan seketika, pertanyaan akan menyeruak ke otakku: “Siapa yang sombong, siapa yang dipenuhi kebencian, sehingga melahirkan kemunafikan, kebusukan?”. Aku? Atau bukan aku? Kadang ilusi tentang ke-aku-an, itulah belenggu yang sesungguhnya. Yang menutup mulutmu rapat, yang menali tanganmu rekat. Terjebak atau kejebak? Dalam kubikel yang makin lama makin menyempit. Tak ada kreasi. Buntu. Seperti gumpalan ide yang membatu. Yang makin lama tergerus, meluruh dan menjadi abu. Abu-abukah aku? Atau aku sebenarnya bisa memilih warnaku? Merah kuning hijau ungu. Tapi warnaku telah tercampur, membaur. Warnaku dipengaruhi oleh sekelilingku. Hingga tak bisa lagi kubedakan warnaku dengan warnamu, warna mereka, warna duniaku. Pada saat yang sama, akhirnya ada yang harus dipersalahkan. Ilusi semakin kuat. Sekelilingku menghitam. Kubikelku menjadi bentuk prisma atau apalah yang mulai tak beraturan. Teman yang kuanggap teman yang sesungguhnya ada di dimensi yang penuh jalur-jalur pertemanan dan kelompok, yang kusebut grup, komunitas, atau apalah penamaanmu, yang sesungguhnya entah mereka teman yang sesungguhnya atau tidak. Yang mengucapkan nasehat, ucapan selamat atau bahkan umpatan dengan sebuah ketikan. Karena aku mulai melupakan sekelilingku. Melupakan pendar cahaya matahari, tetesan embun di kuncup bunga dan daun, sapuan jingga sore, kegelapan
malam dengan buaian angin, sentuhan malam bunyi jangkrik ataupun lolongan anjing. Sementara keterpakuanku hanya pada ilusi. Ilusi yang menciptakan keindahan gombal yang tersulap berbentuk kotak kecil yang kusebut teknologi terkini. Pada saat ini, kalimat yang kukeluarkan hanya berupa ketikan. Apakah itu protes, sindiran, umpatan, terima kasih, bahkan rasa syukur. Ah iya aku lupa, mulutku terekat sempurna. Semua yang ingin kulakukan, sudah kukeluarkan. Tetapi bukan tindakan. Hanya ketikan. Sempurna. Pada saat yang sama, saat kawan terbaikku, atau yang kuanggap teman terbaikku, yang ada di kelompokku, dengan apa yang kusebut grup apalah itu, harus terbujur kaku, terkafani. Aku akan menangis, aku akan melayat. Tetapi dalam bentuk ketikan. Beberapa ketikan bela sungkawa, emotikon menangis, semuanya telah mewakiliku. Atau saat kaum kerabatku sedang merayakan sesuatu, aku akan ikut bersenang, dengan mengirim gambar dan doa-doa. Semuanya bersenang, semuanya senang, semuanya maya. Dan aku merasa telah berbuat sesuatu. Begitu banyak kutipan yang kuciptakan, kusalin untuk memotivasi yang lain. Mungkin dengan kata-kata indah itu, dunia akan menjadi baik. Dan aku sudah merasa berbuat banyak, memperbaiki orang, memperbaiki dunia. Aku sempurna. Apakah yang salah kotak kecil yang kusebut teknologi terkini itu? Tapi memang harus ada yang disalahkan. Tapi bukan aku. Aku sempurna. Aku sudah membuat perubahan lewat kotak kecil bergelar komunikasi itu. Dunia begitu mudah digerakkan dengan hanya beberapa ketikan pendorong emosi. Masif. Entah itu dorongan positif ataupun dorongan destruktif. Kenapa? Karena semua ada di dunia yang sama, dunia ilusi yang bernama maya. Saat aku tak mengenal maya ini, duniaku menjadi sempit, tak berarti. Meskipun sesungguhnya dunia yang luas terbentang ada di depan mataku. Life isn’t about finding yourself... It’s about creating yourself. Kalimat yang terlampau mudah untuk dibaca tetapi susah untuk diwujudkan. Karena memerlukan kata lain: niat. Kotak kecil bergelar komunikasi dan teknologi terkini bisa digunakan dengan banyak hal. Dan seharusnya contoh syair di atas ditujukan pada diri kita. Aku, kamu? Beberapa orang, atau kawan,
atau saudara melakukan perubahan. Pada sekeliling yang kecil, yang luas, bahkan yang memerlukan langkah untuk berlari ke sana. Tapi sebagian mengumpatnya, mencibirnya atau malah membungkamnya. Karena apa? Karena ilusi ke-aku-an yang masih melekat sempurna. Ketika hidup berada di kutipan: life is about finding yourself, dan bukan pada creating yourself. Saat dengan beberapa ketikan, seperti aku, yang merasa sempurna. Dan aku pun menjadi sombong dan angkuh, karena telah merasa berbuat banyak. Tindakan yang nyata seringkali berbenturan pada waktu, kesempatan. Meskipun kawan-kawan yang telah berlari juga meraihnya dengan mencari kesempatan, bukan menunggu kesempatan. Banyak hal yang membuat dunia menjadi berwarna. Tentu saja kita tidak salah jika tidak mencari kesempatan itu. Tak ada yang menyalahkan. Karena setiap mata yang terbuka adalah dari hati, bukan dari otak. Meskipun secara teori yang disebut dengan pengetahuan sudah menjelaskan bahwa mata bisa terbuka karena syaraf otak yang bekerja yang menyuruh mata terbuka. Dan memang, mata hati tidak tertulis secara gamblang di ilmu pengetahuan tentang anatomi tubuh manusia. Ketika ilusi ke-aku-an yang menciptakan harga diri kemudian melekat dan membuat pekat hati dan jiwa, dan kemudian mulai berujar: “duniaku kita terlalu berbeda, dunia kita tidak akan pernah sama”. Bisakah kita balik menjadi “dunia kita sama, dunia kita tak berbeda kawan”. Dan seketika, kesombongan-kesombongan akan meluruh, mengikis angkuh, dan menghapus keruh. Sehingga desiran angin di helai rambutmu, gerimis yang menerpa wajahmu, akan kembali nyata, bukan maya. Ketika tanganmu erat terekat dan mulutmu rapat terkunci, kau masih bisa berjalan, mendekat pelan kepada tangan yang menolongmu membuka ikatan tangan dan membuka bungkam mulutmu. Membaur. Bertindak. Mengertikah kau?
.
TUCZINE X I 105
FREE ROAR
ERICH HARTMANN oleh RADEN ANDRIANA
PERANG Dunia II melahirkan banyak pilot pesawat tempur yang jagoan dan legendaris. Banyak di antaranya yang tercatat sebagai “ace” (sebutan untuk pilot pesawat tempur yang berhasil menembak jatuh setidaknya lima pesawat tempur musuh). Salah satu pilot pesawat tempur legendaris dari Perang Dunia II adalah seorang pilot Angkatan Udara Jerman (Luftwaffe) bernama Erich Hartmann. Erich Hartmann lahir pada tanggal 19 April 1922 dan bergabung dengan Luftwaffe pada tahun 1940. Pada saat mengikuti pendidikan sebagai pilot pesawat tempur, ia sering melanggar aturan sehingga beberapa kali grounded dan menjalani hukuman disiplin. Setelah kecelakaan latihan yang menewaskan teman sekamarnya kemudian Hartmann 106 I TUCZINE X
berubah dan bersedia mengikuti aturan. Tahun 1942 Hartmann lulus pendidikan sebagai pilot pesawat tempur dan dikirim ke front Eropa Timur. Sebagai pilot pesawat tempur, Hartmann menerbangkan pesawat tempur Messserschmitt Bf-109 yang merupakan pesawat tempur andalan Luftwaffe dalam Perang Dunia II. Karena wajahnya yang baby face, Hartmann mendapatkan julukan “Bubi” dari temantemannya sesama pilot. Mulai bertempur di Uni Soviet pada bulan Oktober 1942, pada awalnya Hartmann tidak berhasil menembak jatuh banyak pesawat terbang musuh. Bahkan sampai dengan akhir tahun 1942 ia hanya berhasil menembak jatuh satu pesawat terbang Rusia. Memasuki tahun 1943, keberuntungan Hartmann berubah dan dia memperlihatkan keunggulannya sebagai pilot pesawat tempur. Ia pun dianugerahi medali Iron Cross 1st Class pada bulan Maret 1943. Pada bulan September 1943 saja ia tercata sudah berhasil menembak jatuh 100 pesawat musuh, dan pada akhir tahun 1943 korban Hartmann sudah mencapai 159 pesawat musuh. Pada bulan Agustus 1944 Hartmann sudah menembak jatuh 290 pesawat musuh dan kemudian dianugerahi medali penghargaan Knight’s Cross of the Iron Cross with Oak Leaves, Swords and Diamonds. Knight’s Cross of the Iron Cross with Oak Leaves, Swords and Diamonds
adalah salah satu medali penghargaan tertinggi bagi tentara Jerman dalam Perang Dunia II. Hanya ada 27 orang yang pernah menerima medali ini, dan Erich Hartmann adalah salah satunya. Hartmann menerima medali tersebut langsung dari Adolf Hitler di Berlin. Secara total dalam Perang Dunia II Erich Hartmann melaksanakan 1.404 misi tempur dan terlibat dalam 825 pertempuran udara dan berhasil menembak jatuh 352 pesawat musuh. Jumlah 352 kills ini adalah jumlah kills paling tinggi dalam sejarah sehingga Hartmann bukan saja menjadi top ace pilot tempur dalam Perang Dunia II, tetapi juga top ace pilot tempur sepanjang masa (sebagai perbandingan, top ace dalam Perang Dunia I adalah Manfred von Richtofent “The Red Baron” yang mencatat 80 kills). Setelah Perang Dunia II berakhir, Erich Hartmann menjadi tawan perang di Uni Soviet. Pihak komunis berkali-kali membujuknya untuk bergabung dengan Angkatan Udara Jerman Timur, namun Hartmann menolak walaupun berkali-kali pula harus mengalami siksaan dan kerja paksa. Melalui campur tangan Kanselir Jerman Barat, Konrad Adenauer, Hartmann akhirnya bebas pada tahun 1955. Erich Hartmann adalah bagian dari 16.000 orang tawanan perang terakhir yang akhirnya dibebaskan Uni Soviet setelah menjalani hukuman penjara selama 10 tahun. Erich Hartmann kemudian bergabung dengan Angkatan Udara Jerman Barat, namun kemudian terlibat perselisihan dengan para petinggi militer lainnya karena ketidaksetujuan Hartmann terhadap pembelian pesawat tempur Lockheed F-104 Starfighter dari Amerika Serikat. Hal tersebut memaksa Hartmann untuk pensiun dini dari Angkatan Udara Jerman Barat pada tahun 1970. Pilot tempur legedaris ini tutup usia tahun 1993 dalam usia 71 tahun.
.
FREE ROAR
KERJA oleh MEIDIAWAN CESARIAN SYAH SEDIKITNYA lima hari dalam seminggu, sinar matahari terbit akan saya tentang demi berangkat menuju kantor. Debu dan asap juga menjadi karib mengiringi perjalanan yang biasanya memakan waktu 15 menit itu. Tempat yang saya tuju adalah sebuah gedung megah di bilangan Gatot Subroto, Jakarta Selatan. Di sanalah, sembilan jam waktu saya amblas untuk melakukan aktivitas yang disebut dengan bekerja. Pekerjaan adalah sebuah identitas. Dalam Kartu Tanda Penduduk, jenis pekerjaan tertulis tepat di bawah identitas status perkawinan. Orang-orang sering bertanya “kerja di mana?” kepada relasi-relasi baru mereka. Pekerjaan juga menjadi salah satu identitas awal yang ingin kita ketahui tentang lawan bicara kita. Kesemua ini membuat pekerjaan, mau tidak mau, menjadi sesuatu yang penting untuk dimiliki. Sebagai sebuah identitas, pelbagai asumsi tak pelak hadir dalam memandang pekerjaan. Misalnya, pekerjaan sebagai pegawai yang dalam konsensus masyarakat tradisional lebih terhormat dibandingkan mereka yang bekerja tidak tetap, atau sektor formal yang terlihat lebih menawan daripada sektor informal. Anggapan lain menilai sektor pegawai terbagi-bagi menjadi krah putih dan krah biru. Krah biru yang terasosiasi dengan para pekerja kasar dan krah putih yang berasosiasi dengan para pekerja kantoran. Tapi, setujukah kita terhadap penyederhanaan dan generalisasi semacam itu? Jika tidak, bagaimana sebetulnya kita harus memandang pekerjaan? Apakah hakikat pekerjaan sesungguhnya? Ketika abad masehi belum bermula, filsuf Yunani menganggap pekerjaan adalah sesuatu yang rendah. Masyarakat kota (polis) sangat menghormati waktu luang sehingga mereka yang tidak perlu bekerja keras dianggap sebagai warga negara dalam arti sebenarnya. Kala itu, Aristoteles mengamini risalah Plato yang berpendapat bahwa aktivitas manusia
paling mulia adalah pengembangan diri seperti kegiatan ilmiah (theoria) dan sosial politis (praxis). Kegiatan bekerja (poesis) tidak bernilai apa-apa karena dianggap hanya aktivitas membuat bentuk secara fisik saja. Anggapan ini berubah ketika abad modernisasi datang. Mula-mula John Locke menyatakan pendapat bahwa pekerjaan menciptakan nilai ekonomis. Lalu Adam Smith dan David Ricardo mengambil alih ide Locke dan menyebut pekerjaan adalah sumber dari hak milik pribadi. Di tempat lain, para filsuf Jerman mengambil kajian berbeda mengenai hubungan manusia dengan pekerjaan. Pekerjaan, menurut mereka, membentuk kepribadian manusia dan sifat historisnya. Hegel, misalnya, mengemukakan bahwa pekerjaan adalah cara manusia “menciptakan diri”. Marx pun mengamini Hegel dan menambahkan perihal “penciptaan diri” itu berkelindan dengan identitas individual, sosial, dan historis. Lebih lanjut, dalam masyarakat modern Jerman sendiri terdapat istilah Arbeitsgesellschaft atau Working Society. Mengutip Haeffner, tatanan working society percaya bahwa pembagian nilai-nilai sosial, kesempatan-kesempatan kehidupan, wibawa sosial serta perasaan harga diri individual untuk sebagian besar diatur melalui pekerjaan yang dibayar. Pendapat dari para filsuf Jerman inilah yang saya kira teraplikasikan tanpa sadar dalam konstelasi umum masyarakat kita. Kita lebih mudah memberikan kepercayaan kepada seseorang yang memiliki pekerjaan bonafid daripada yang tidak. Sebaliknya, pekerjaan yang bonafid tidak hanya menjanjikan kemapanan finansial bagi orang tersebut, tapi juga harkat dan wibawa yang tinggi di mata masyarakat sekitar. Pekerjaan, pendeknya, menjadi jembatan untuk menciptakan kemuliaan diri. Tak heran jika jenis pekerjaan yang bonafid menyedot banyak sekali peminat. Para peminat itu ingin mereguk kemapanan finansial sekaligus menaiki tangga sosial, dua pulau yang bisa dilampaui dalam sekali merengkuh dayung.
Dengan demikian, secara sadar maupun tidak, mereka menjadi pelaku yang bisa menjembatani konsep pekerjaan dari Locke maupun Hegel. Tapi, apa benar kita hanya mengincar status sosial dan finansial saja dalam bekerja? Pertanyaan ini patut diajukan ke masing-masing kita secara terus menerus. Kita tidak bisa begitu saja abai terhadap pendapat Marx soal pekerjaan yang “menciptakan” kita. Betapa mengerikannya jika setiap orang mencari pekerjaan hanya untuk status sosial dan finansial semata. Pekerjaan bisa berubah fungsi dari jembatan menjadi tujuan hidup. Zinn, seorang antropolog Jerman, menyebut pekerjaan memiliki tiga fungsi antropologis yaitu reproduksi material, integrasi sosial, dan pengembangan diri. Fungsi pertama dan kedua sudah terepresentasikan dan cukup akrab dimaknai oleh masyarakat Indonesia. Fungsi antropologis ketiga, pengembangan diri, baru dilirik belakangan setelah fungsi pertama dan kedua terpenuhi. Padahal, pengembangan diri, sesuai pendapat Aristoteles, adalah sikap yang mengantar manusia mencapai kemuliaan. Status sosial dan finansial memang bisa saja masih terengkuh, namun kedua fungsi itu menjadi semu belaka. Absennya fungsi pengembangan diri juga membuat pekerjaan tak lebih dari ritual tanpa arti. Pekerjaan, agaknya, bisa membuat hidup termekanisasi. Manusia menjadi mesin-mesin yang akan teronggok begitu saja setelah mereka tidak terpakai. Pekerjaan adalah salah satu pembangun identitas utuh manusia. Ia adalah atribut, tapi tidak melulu mewakili identitas utuh. Manusia bukan sarden kaleng yang bisa diberi merek sesederhana itu. Pekerjaan, menjadi identitas berarti ketika di dalamnya terkandung aktivitas pengembangan diri dan aktivitas sosial, bukan hanya alat mencapai kewibawaan dan kekayaan. Sehingga kita juga harus sedikit memunggungi Marx dan mulai menjabat Aristoteles. Pekerjaan tidak menciptakan kita. Ia hanya mencipta bagian dari identitas kita.
.
TUCZINE X I 107
FREE ROAR
SEKS DAN TUHAN YANG KEHILANGAN PERAN oleh MEIDIAWAN CESARIAN SYAH
SAINS dan agama adalah potret relasicinta-benci abadi. Kadang relasi tersebut berisi gairah yang membuncah, keinginan saling memeluk, bergandengan, dan berusaha menyatukan visi, tapi di sisi lain mereka mempertontonkan percik-percik benci, usaha saling memunggungi, hingga pengejawantahan laku egoistik. Potret tersebut muncul salah satunya dalam usaha menelaah seks. Kajian agama menjelaskan seks sebagai sebuah aktivitas kudus karena seks menjadi media regenerasi: penciptaan makhluk hidup berikutnya (pada tulisan ini konteks seks dimaksudkan khusus untuk manusia). Proses penciptaan atau prokreasi yang semula menjadi tugas mutlak Tuhan, sebagian dialihkan secara cuma-cuma kepada manusia. Karena terkait dengan proses prokreasi-semestinya berada dalam ranah absolut Tuhan, ada prasyarat ihwal seks yang kudus. Seks disebut kudus ketika berada di bawah konstruksi yang diridai Tuhan sehingga 108 I TUCZINE X
harus dilaksanakan oleh sepasang lakilaki dan perempuan dalam sebuah pernikahan yang sah menurut agama. Jika seks dilakukan di luar koridor tersebut, kekudusan aktivitas seks tidak berlaku lagi. Sebaliknya, kaidah sains tidak memperhatikan kekudusan seks. Sains merujuk seks sebagai aktivitas untuk bereproduksi. Persepsi terhadap seks oleh sains dan agama semakin beragam terkait fenomena Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender (LGBT). Konsepsi tradisional agama-agama samawi dengan tegas menolak perilaku LGBT meskipun kini beberapa orang mencoba menawarkan interpretasi baru atas ayat-ayat atau dalil-dalil yang semula dimaknai berisi pengharamaan atas perilaku tersebut. Konsepsi awal ini jelas mengakibatkan aktivitas seks pasangan sesama jenis tidak hanya dikatakan tidak kudus, tetapi juga dicap sangat kotor. Sementara sains, dengan semesta ilmu yang lentur, memberikan aneka sudut konsep sikap
terhadap orientasi seksual, khususnya LGBT. Sains membelah pendapat ilmuwan soal orientasi seksual menjadi dua bagian besar. Di satu sisi, beberapa ilmuwan memperoleh simpulan orientasi seksual kepada sesama jenis (same sex attraction) merupakan varian dari gen sehingga dapat dikatakan normal. Di sisi yang lain, terdapat penelitian yang dilakukan oleh ilmuwan lain yang menyatakan faktor gen berpengaruh sangat minimal pada orientasi seksual sesama jenis. Adanya dua persepsi, baik di agama dan sains, membuat interpretasi seksualitas mendekati kemungkinan-kemungkinan tak terbatas. Apalagi, teknologi seperti biasanya membuat aturan prokreasi menjadi samar. Jika semula prokreasi memerlukan satu ayah genetis dan satu ibu genetis yang menghasilkan masing-masing sperma dan ovum lalu bertemu dalam proses pembuahan, kini beberapa penelitian memberikan sebuah tawaran baru: bayi yang lahir dari dua
ayah genetis atau dua ibu genetis. Mereka yang berpasangan sesama jenis. Berkat alasan tersebut, proses prokreasi yang sedianya dititipkan hanya melalui aktivitas seksual menjadi tidak berlaku utuh. Beberapa orang yang berpegang teguh atas konsep tradisional agama samawi dan seringkali mengutarakan argumen yang berusaha menggandeng sains untuk bersama-sama memunggungi perilaku LGBT juga terkena senjata makan tuan ketika argumen yang dikemukakan adalah “jika pasangan sesama jenis adalah wajar, ras manusia akan punah karena tidak akan berketurunan�. Sains mengambil inti dari proses prokreasi yaitu pertemuan antara sperma dan sel telur. Bertolak dari dasar ini, dalam kurun waktu 30 tahun terakhir, ilmuwan telah mampu merekayasa pembuahan di luar rahim, tepatnya di dalam sebuah tabung, dengan mempertemukan sperma dan sel telur. Berangkat dari landasan serupa, sains menawarkan jejak yang lebih radikal: bioengineering sperma dan sel telur. Renee Reijo Pera, ahli fertilitas dari Stanford University, memaparkan terobosan yang lahir pada tahun 2007 di mana peneliti dapat mengambil sel kulit (skin cells) dan mentransformasikannya ke dalam keadaan mula-mula kehidupan, yaitu keadaan embrionik. Sel ini kemudian direkayasa hingga menjadi embryonic stem cell, sebuah sel yang ada dalam embrio manusia dan juga dapat diubah menjadi sel apapun yang ada di dalam tubuh manusia. Embryonic stem cell sering direkayasa peneliti guna mereparasi sel tubuh yang terdegradasi akibat penyakit tertentu. Renee lalu melontarkan gagasan yang lebih radikal yaitu bioengineering atau rekayasa genetik. Ia berkehendak untuk memprogram embryonic stem cell tersebut dengan instruksi-instruksi kimiawi -terdiri dari piramida protein yang sangat banyak dan bahan kimia lainnya- yang membuatnya berkembang menjadi sebuah sperma dan sel telur untuk kemudian saling membuahi. Cara ini sangat dimungkinkan dilakukan pada pasangan gay (terdiri dari dua laki-laki) yang memiliki kromosom X dan Y pada masing-masing orang. Untuk pasangan lesbian (terdiri dari dua perempuan), aplikasi menjadi lebih sulit karena perempuan tidak memiliki kromosom Y, walau bukan berarti mustahil. Renee memperkirakan 5-10 tahun pengembangan ide dan penelitian untuk dapat mengonversi stem cell pada perempuan menjadi sebuah
sperma. Gagasan ini memiliki pekerjaan rumah berikutnya yaitu tempat perkembangan janin. Pembuahan di luar tubuh yang telah ada masih memerlukan rahim sebagai tempat berkembangnya embrio. Bagi pasangan gay, misalnya, mencari orang untuk menjadi inang dari pembuahan hasil rekayasa genetiknya bukan hal yang mudah. Itu pun belum menyertakan risiko yang menyertai perkembangan janin tersebut. Nick Otway, seorang ahli biologis kelautan, mencoba menjawab persoalan yang mengemuka itu. Ia dengan sukses membuat rahim mekanis untuk melahirkan Hiu Wobbegong. Rahim mekanis buatan Nick benar-benar meniru fungsi rahim induk Hiu Wobbegong. Nick mengatur kompleksitas cairan yang ada di rahim mekanik sesuai dengan urutan waktu perubahan cairan yang terjadi secara natural. Perlakuan serupa, menurut Nick, dapat diterapkan kepada embrio manusia asalkan peneliti mampu mengetahui (bukan sekadar memprediksi) bagaimana dan kapan komposisi cairan dalam rahim sang ibu berubah. Dengan demikian, manusia bukan hanya dapat menjalani pembuahan di luar tubuh, melainkan juga dapat mengalami proses kelahiran di luar tubuh. Perkembangan sains mampu menjawab alternatif prokreasi secara radikal. Jika kesemua ide-ide itu terwujud, manusia bukan hanya tidak perlu memedulikan soal gender dalam bereproduksi. Manusia bahkan dapat bereproduksi tanpa sekalipun melakukan hubungan seksual. Imbasnya, kelenturan sains membuat alternatif prokreasi tadi mampu mendekonstruksi ide mengenai keluarga yang telah berjalan selama puluhan ribu tahun. Ide keluarga dalam perspektif agama samawi terdiri dari seorang lakilaki sebagai ayah, perempuan sebagai ibu dan anak-anak. Konstruksi agama samawi lalu diadopsi sebagai konstruksi sosial yang berlaku di masyarakat. Alhasil, keluarga dalam norma sosial memiliki kesamaan dengan konsep keluarga agama samawi: seorang lelaki, perempuan, beserta anak-anak. Betapa elaborasi dari alternatif prokreasi ditantang langsung oleh konstruksi sosial yang telah mapan. Tidak mudah memperlakukan anak yang lahir bukan dari sebuah keluarga umum. Hukum Amerika Serikat dan beberapa negara lain memang sudah mengakomodasi tentang legalitas perkawinan sesama
jenis, tetapi konstruksi sosial lebih dari legalisasi perkawinan semata. Bagaimana, misalnya, alternatif prokreasi yang bisa membuat sebuah manusia super dengan merekayasa gen-gen terbaik dari beberapa macam makhluk hidup seperti gagasan Randy Lewis -yang telah merekayasa gen kambing hingga mampu menghasilkan pintalan jaring laba-laba dari hasil pengolahan susu kambing tersebut- dari Utah Utara? Konstruksi sosial membuat manusia cenderung melakukan aktivitas seksual dengan pasangannya. Anak hasil perkawinan tersebut nantinya dibesarkan dalam lembaga keluarga. Preferensi seperti ini diperkirakan masih terus berlaku hingga beberapa ratus tahun ke depan meskipun terjadi perubahan radikal dalam persediaan makanan hingga perkembangan sains yang menyebabkan prokreasi memiliki aneka alternatif. Persepsi terhadap ide keluarga nampaknya telah melekat kuat dalam masyarakat kita sehingga ruang yang tersisa untuk meletakkan konsep anak yang dilahirkan dan tumbuh di luar keluarga umum sangat sulit. Agama, terutama agama samawi, membuat posisi Randy Lewis, Nick Otway, atau Renee Reijo Pera menjadi sangat sulit. Prokreasi tradisional melalui hubungan seksual yang telah diterima umum menyebabkan alternatif lainnya dianggap, meminjam istilah Jamiroquai, kegilaan virtual sekaligus usaha mempermainkan peran Tuhan. Peran Tuhan yang kudus semakin tidak penting jika prokreasi dapat dilakukan seperti membuat kue atau produk dengan atribut-atribut tertentu yang diinginkan. Tapi, sains memang memiliki kelenturan yang tidak menyerupai keterbatasan dinding-dinding agama. Ketika seks ditafsir agama dengan pendekatanpendekatan yang statis, sains berusaha melompati tafsiran-tafsiran tersebut. Dengan pencapaian-pencapaian hasil penelitian terbaru, kekudusan seksual sebagai aktivitas prokreasi akan menurun apalagi jika agama mampu menempatkan akrobat sains tadi ke dalam tafsirantafsirannya. Agama, bisa jadi masih akan mampu menjaga iman para pemeluk teguh dengan terbitnya fatwa-fatwa atas lesatan teknologi ini. Namun, dengan perwujudan pelbagai macam cara untuk bereproduksi, bisa jadi hubungan seksual tidak bersifat kudus lagi. Ia berubah dari aktivitas prokreasi menjadi aktivitas rekreasi semata.
.
TUCZINE X I 109
FREE ROAR
DOLANAN YANG MEMUGAR INGATAN oleh MEIDIAWAN CESARIAN SYAH
GADIS kecil itu melempar pecahan genteng ke jalan raya. Di dalam sebuah gambar kotak yang dibentuk dari garis kapur, pecahan tadi mendarat dengan sempurna. Kemudian ia melompat-lompat dengan kaki kanannya sementara kaki kirinya ia angkat. Ia berusaha keras menjaga keseimbangan sambil menjejaki gambar-gambar kotak lainnya yang tidak berisi pecahan genteng. Setelah sampai di ujung, ia berbalik dan melompat kembali ke tempat semula sambil membawa pecahan genteng yang tadi ia lemparkan. Lalu, ia pun melempar lagi, namun kali ini ke gambar kotak lainnya. “Seru, Mas”, kata gadis kecil itu pada orang di sebelahnya, yang lalu menanggapi dengan simpul senyum dan anggukan kecil. Ada kata “Engklek” ditulis besarbesar di sebelah gambar kotak-kotak itu. Melihat tulisan itu, rekah senyum tak mampu saya tahan. Pun ketika melihat tingkah gadis kecil tadi yang mengulang lompatannya dengan mimik serius. Kadang ia goyah, keseimbangannya hilang, atau lompatannya kurang stabil. Tapi ia betul-betul berusaha untuk tidak terjatuh meski harus bergoyang-goyang menemukan titik keseimbangan yang terlucuti itu. Senyum saya pun berganti tawa kecil. Belasan tahun lalu, saya adalah gadis kecil itu, yang bermain engklek saban sore. Setiap minggunya, Car Free Day menjadi tempat berkerumun orangorang dari pelbagai penjuru Semarang. Di 110 I TUCZINE X
sana pula, aneka komunitas menggelar aktivitas interaktif dengan para pengunjung Car Free Day. Engklek yang dimainkan oleh gadis tadi adalah satu rupa permainan yang ditawarkan Forum Komunikasi Peduli Sosial Pendidikan Semarang (Forkom PSP). Selain engklek, ada pula gasing, egrang, bakiak, dakon, boy-boyan, lompat tali, dan yoyo. Forkom PSP sengaja memilih permainan tradisional untuk dimainkan dalam Car Free Day sebagai bagian dari perayaan Hari Anak Nasional 23 Juli 2016. Saya melenggang menuju kerumunan lain di sebelah gadis kecil tadi. Di sana, seorang anak kecil sedang menggulungkan tali ke sebuah gasing. Beberapa saat kemudian, dipelantingkannya gasing itu hingga berputar. Di belakangnya, beberapa anak lain mengantri. Mereka menunggu giliran untuk memainkan gasing. Tapi, sayang sekali, anak kecil tadi masih ingin bermain lebih lama dengan gasing sehingga air muka muram menghiasi wajah antrian anak-anak lain itu. “Nyoba egrang yok, Bos”, saya menantang Galuh, adik saya. “Nggak mau, ah, Kak Rian aja”, jawabnya. “Ayo coba sek, to. Kayak’e gampang”, saya menukas sembari berjalan menuju egrang yang tidak dipakai. Ketika kaki kanan saya tapakkan di egrang, saya masih sedikit ragu bisa berjalan menggunakan egrang. Namun
begitu kaki kiri saya naikkan juga, keraguan tadi lenyap. Ternyata, susah sekali memainkan egrang. Saya kehilangan keseimbangan dan langsung melompat turun sebelum aspal menerima tubuh saya. Adik saya senyum-senyum saja dari kejauhan. “Asem!”, umpat saya dalam hati. Walaupun sulit, egrang menjadi sebuah tantangan sendiri bagi anak-anak, remaja, maupun orang dewasa. Mereka penasaran bagaimana caranya menjaga keseimbangan hanya dengan bertumpu dua bilah bambu. Tak heran jika antrian permainan egrang ini cukup panjang, padahal hanya ada tiga buah egrang yang disediakan oleh Forkom PSP. Selain saya yang sedang bersusah payah mencoba menaiki egrang kembali, dan akhirnya gagal juga, ada seorang anak laki-laki kecil yang tampak tegang saat mencoba menaiki egrang. Padahal, ia sudah dipegangi dan dipandu Forkom PSP. Tapi, toh keseimbangan bekerja seperti nasib. Ia hanya berlaku pada pribadi masing-masing. Begitu pegangan dari pemandu dilepaskan, anak kecil itu terseok-seok juga. Tidak berbeda dengan saya. Dia pun mengambil pilihan saya: menyerah saja daripada babak belur dihantam aspal dan malu. Sementara saya menyerahkan dua bilah egrang pada pemain berikutnya, tawa lepas terdengar dari arena lompat tali. Dari suaranya, jelas tawa itu tidak berasal dari kebahagiaan para pemain menaklukkan tali. Sebaliknya, sudah tidak terhitung berapa kali tali yang dimainkan tersangkut dan pemainnya gagal berta-
han melompat lebih lama. Alih-alih kesal, mereka malah tertawa terbahak-bahak dan mencoba lagi walau tidak berubah hasil. Keriuhan pelbagai permainan tradisional pagi itu mau tidak mau membenturkan ingatan masa kecil saya. Kala gedung-gedung belum terlalu menghampari bumi, jalanan adalah tempat bermain saya. Walhasil permainan tradisional terasa sangat akrab dengan kehidupan masa kecil saya dan generasi saya karena permainan itu dulu sering saya mainkan, paling sering bersama anak-anak tetangga. Namun pagi itu, nuansa keakraban juga terlihat di generasi yang lebih muda. Mereka yang dihadapkan pada kenyataan gedung-gedung yang lebih tinggi dan lahan permainan mereka yang makin menyempit. “Seru, ga, Dik?”, saya bertanya kepada anak laki-laki lain yang sedang mencoba egrang. “Angel e, Mas. Tapi pengen nyoba lagi.” sahutnya “Udah main apa aja?” “Baru ini sama gasing. Habis ini mau nyoba bakiak. Nyari temen sek tapinya”, Ia masih terus mencoba egrang, sedangkan mata saya tertumbuk pada hal lain. Seorang ibu tak kalah turut larut menggelindingkan bola tenis ke tumpukan pecahan genteng. Ia sedang memainkan
boy-boyan. Beberapa kali bola tenis ia gelindingkan, tumpukan pecahan genteng masih lolos dari terjangan. Namun, ia tetap mencoba. “Ini mainan saya waktu dulu he, Mas”, ia berkata sambil menyapa ketika saya mendekatinya. “Seneng banget sekarang bisa main ini lagi. Mudah-mudahan acara kayak gini sering ada ya.” sambungnya. “Iya, Bu. Saya juga tertarik mainan kayak gini lagi, hehe”, jawab saya. Dulu sekali, mungkin lima belas tahun silam, hampir setiap sore, saya memainkan bakiak dan engklek. Kedua permainan itu adalah kemahiran saya. Bakiak juga lah yang menjadi andalan saya meneguk macam-macam hadiah dalam acara tujuhbelasan kampung. Sedangkan boy-boyan dan lompat tali saya mainkan sebagai bagian gelak tawa bersama teman-teman saja. Tak lain karena saya betul-betul tidak mahir memainkannya. Matahari sudah sepenggalah. Teriknya mulai memanaskan kepala. Saya pun bersiap pulang. Namun, saya sempatkan menghampiri seorang anggota Forkom PSP yang sayangnya, saya lupa menanyakan siapa namanya. Pemuda tanggung itu saya paksa bercerita pada saya tentang acara dolanan tradisional ini. Ia menjelaskan bahwa acara ini
hadir sebagai kampanye mengenalkan ulang khazanah permainan yang sudah mengakar lama. Menurutnya, salah satu kelebihan permainan tradisional dibandingkan permainan modern, terutama yang ada di ponsel pintar, adalah sifatnya yang komunal sehingga menimbulkan interaksi antar manusia. Dengan begitu, kepekaan bisa terasah sejak kecil. Bagi saya, permainan tradisional adalah arena memugar ingatan akan kenakalan dan tawa masa kecil yang terlupakan dan terhapus bermacam kesibukan seiring pesatnya pertumbuhan gedung dan usia. Di acara dolanan tradisional minggu itu, ingatan, keceriaan, pengalaman, hingga kebahagiaan yang telah lalu timbul dan bertemu kebahagiaan baru. Merasa telah cukup, saya ayunkan langkah kaki menuju rumah. Belum seberapa lama meninggalkan pemuda tadi, langkah saya berhenti di arena permainan engklek. Tinggal beberapa orang saja yang masih bertahan dan mencoba memainkannya. Hari makin siang, Car Free Day akan segera berakhir, dan jalanan akan kembali lengang. Gambar kotak dari kapur juga akan dihapus dan peralatan akan dibawa pulang. Tinggal saya yang menggantung harapan tentang ingatan masa kecil saya yang telah dipugar akan tetap berdiri lewat kesempatan memainkan dolanan tradisional sekali atau berkali-kali lagi.
.
TUCZINE X I 111
FREE ROAR
ANTAGA YANG TERLUPAKAN oleh DERRY MARSELANO
PAGI itu mentari memuntahkan cahayanya yang kuning keemasan. Menghidupkan kembali tanaman liar yang hampir lumpuh oleh embun. Memunculkan kembali pepohonan yang lenyap ditelan kegelapan malam. Menyegarkan kembali bunga-bunga yang menderita semalaman oleh hawa dingin yang menusuk. Sebelum semua cahaya pertama itu muncul seperti biasa Antaga, Ismaya, dan Manikmaya, tiga bersaudara dengan paras elok rupawan yang saat ini sedang beranjak remaja itu, mulai berlatih ilmu kanuragan dengan begitu dashyatnya. Teriakan mereka mengalahkan gemuruh ombak di lautan. Sementara gerakan tubuh mereka ringan bagaikan burung camar yang meliuk di angkasa. Berbagai jurus dan ajian mereka latih bersamasama. Semua pukulan dan tendangan yang mereka lepaskan dapat menghancurkan segala macam unsur yang ada di jagad raya ini. Selain itu, berbagai ilmu pengetahuan dan kesaktian diberikan oleh orang tua mereka, Sang Hyang Tunggal penguasa Kahyangan Suralaya. Senja tenggelam di ufuk dan kegelapan datang lalu sirna diterpa sinar matahari. Hal tersebut berulang secara konstan dan musim serta tahun berganti. Saat ini ketiga saudara itu sudah tumbuh 112 I TUCZINE X
dewasa dan menjadi Ksatria Tinanding. Antaga dan Ismaya dalam perkembangannya berimbang dalam segala hal, baik itu ilmu kanuragan dan ilmu pengetahuan. Antaga lebih unggul dalam hal kebijaksanaan, namun dia memiliki sifat temperamen dan mudah meluap emosi. Sementara Ismaya lebih memiliki sifat kesabaran yang melebihi Antaga dan juga sifat yang terkadang terlalu lugu. Kedua saudara ini tidak mempermasalahkan keberimbangan mereka dan memiliki hubungan yang sangat harmonis. Keduanya adalah ksatria dan calon pemimpin terbaik pada masa itu. Sementara itu, saudara mereka Manikmaya yang tertinggal selangkah dalam segala hal dari kedua Saudaranya merasa iri dan menyimpan kedengkian yang terpendam. Baginya kedua saudaranya adalah batu sandungan yang menghalangi dirinya untuk bersinar terang. Satu hal yang lebih menonjol dari diri Manikmaya adalah sifat kecerdasan dalam berstrategi, namun sifat ini cenderung mengarah ke sifat culas dan mau menang sendiri. Suatu hari Sang Hyang Tunggal mengumpulkan ketiga putranya di Istana Jonggring Salaka. Ia bercerita tentang asal muasal ketiga bersaudara yang
ternyata terwujud dari sebutir telur dan tercipta melalui tapa brata yang sedemikian hebatnya, sehingga menjadi sosok dewa seperti saat ini. Ketiganya terwujud secara bersamaan, sehingga tidak ada yang tercipta terlebih dahulu dari satu dan lainya dan tidak ada yang tercipta lebih belakangan dari yang lainnya. Tidak pula ada yang tertua dan yang termuda. Antaga terwujud dari cangkang telur, Ismaya terwujud dari putih telur, dan Manikmaya terwujud dari kuning telur. Selain itu, Sang Hyang Tunggal juga mengutarakan niatanya untuk turun tahta pada beberapa purnama ke depan dan akan menyerahkan semua tanggung jawab dan segala kekuasaan di Kahyangan ini kepada para putranya. Sang Hyang Tunggal menitahkan kepada ketiga putranya untuk mempersiapkan diri, mendengar penjelasan dari Sang Hyang Tunggal Manikmaya merasa seharusnya dirinyalah seorang yang berhak memegang kekuasaan, karena dirinyalah kuning telur yang merupakan inti. Sementara Antaga dan Ismaya hanyalah pelindung yang sudah tidak diperlukan lagi. Ketika inti sudah sempurna, yang harus dilakukan sekarang adalah menemukan cara untuk menyingkirkan mereka. Secara perlahan, Manikmaya menebarkan bibit- bibit perpecahan melantunkan kata dan kisah yang mengandung racun pertikaian kepada Antaga. Cerita tentang pentingnya cangkang sebagai pelindung, sehingga seharusnya Antagalah yang seharusnya menjadi pemimpin tunggal dan berada diatas kedua Saudaranya. Sementara Ismaya dibius oleh cerita yang penuh kesesatan dan mengandung aroma dan tunas perpecahan, bahwa betapa sesungguhnya telah ada contoh atas keadaan mereka saat ini dahulu kakek buyut mereka Sang Hyang Nurrasa memiliki tiga orang keturunan yaitu Darmanjaka, Sang Hyang Wenang (ayah dari Sang Hyang Tunggal dan kakek dari Antaga, Ismaya dan Manikmaya), dan Taya. Sang Hyang Wenang menyerupai Ismaya karena Sang Hyang Wenang adalah putra kedua yang dilindungi oleh kakaknya Darmanjaka dan memiliki seorang adik yaitu Taya dan Sang Hyang Wenanglah yang ditunjuk menjadi penguasa tunggal Kahyangan Suralaya. Dengan kelihaian dan kelicikan kata yang diucapkan, Manikmaya mencoba membuat keyakinan dan kepercayaan kedua bersaudara ini goyah kepada satu dan lainnya. Manikmaya kepada Antaga mengatakan bahwa apabila tidak terpilih menjadi penguasa Ismaya akan
mengamuk dan memporak-porandakan jagad raya. Selain itu, Manikmaya juga mengatakan akan bersedia tunduk di bawah kekuasaan Antaga demi meredam Ismaya, begitu juga hal yang ia ucapkan kepada Ismaya. Walaupun sedemikian rupa Manikmaya menebarkan benih perpecahan, namun Antaga dan Ismaya belum bertindak atau melakukan apapun. Justru lama-kelamaan Antaga yang bijaksana menaruh rasa curiga terhadap Manikmaya yang terus-menerus menyudutkan Ismaya di hadapannya. Sehingga tanpa sepengetahuannya, Antaga menyanyakan kebenaran terhadap Ismaya dan setelah kedua berasaudara ini mengetahui bahwa mereka diadu domba oleh Manikmaya, justru timbul perpecahan di antara mereka. Hal ini disebabkan karena tanpa sepengetahuan Ismaya dan dikarenakan sifat lugunya. Manikmaya telah menanamkan suatu ajian terlarang yang diperolehnya dari kegelapan. Ajian ini mampu mempengaruhi alam bawah sadar Ismaya dan menyebabkannya akan selalu membela Manikmaya apapun yang terjadi, sehingga ketika Antaga akan melaporkan perbuatan keji yang dilakukan Manikmaya kepada Sang Hyang Tunggal, maka sontak ajian ini bangkit dan Ismaya mencegah serta membela, bahkan menantang Antaga. Hal yang sesungguhnya dihindari Antaga justru harus terjadi. Kedua bersaudara itu bertarung saling adu kesaktian, semua ilmu kanuragan dan berbagai ajian dirapalkan demi saling mengalahkan. Namun keduanya sama-sama kuat dan sulit menentukan siapa yang lebih sakti dari yang lain. Tak jauh dari tempat pertempuran mereka, Manikmaya mengamati dengan maksud akan menggunakan taktik menghancurkan arang. Menunggu siapa yang menang, lalu maju ke gelanggang sebagai pahlawan pembela yang kalah sehingga akhirnya akan menjadi pemenang sejati. Namun setelah satu hari satu malam pertarungan berlangsung tanpa ada tanda–tanda munculnya pemenang, Antaga dan Ismaya mulai menggunakan ajian-ajian Kawijaya dan Pusaka Kadewatan Pamungkas yang sebenarnya terlarang untuk digunakan. Ketika gelombang keduanya bertemu maka gegerlah alam jagad raya, guncangan yang terjadi begitu dashyat guntur menggelagar dan kilat menyambar, bumi bergetar ,longsor, gempa dan air bah. Candradimuka menyemburkan ledakan lahar api, awan hitam bergerak
berkejaran menutupi langit. Hal ini menyebabkan Sang Hyang Tunggal menyadari apa yang terjadi dan sekejap dia tiba tidak jauh dari gelanggang pertarungan. Belum begitu sadar karena guncangan yang baru saja terjadi, Antaga dan Ismaya tidak menyadari kehadiran orang tua mereka. Namun tidak bagi Manikmaya yang ingin tampil sebagai pahlawan. Ia mewujud di hadapan Sang Hyang Tunggal dan dengan penuh dusta dia berucap bahwa pertempuran ini adalah dalam rangka memperbutkan kekuasaan dan ia akan menghentikan dan menyadarkan kedua Saudaranya. Tanpa menunggu titah dari Sang Hyang Tunggal, Manikmaya langsung menyeruak menengahi kedua Saudaranya dengan berjuta kata bijak penuh kepalsuan mencoba seolah-olah menenangkan kedua Saudaranya. Namun malang, Antaga tanpa pikir panjang menghajar Manikmaya yang menurutnya adalah akar dari segala kekacauan ini. Ismaya yang berusaha mencegah tidak kuasa dan terlambat sepersekian detik, sehingga hasil dari perbuatan Antaga menyebabkan kaki kanan Manikmaya pincang selamanya. Sang Hyang Tunggal yang menyaksikan dari kejauhan tidak tahan lagi, ia menyelamatkan Manikmaya menbawanya menyingkir menjauh dari Antaga. Di tengah kemelut yang terjadi, Manikmaya berpikir dengan cepat dan dengan sangat cerdik ia membisikan sesuatu kepada Sang Hyang Tunggal yang sesungguhnya sudah murka kepada Antaga dan Ismaya. Sang Hyang Tunggal bersabda dengan penuh murka: “wahai Antaga dan Ismaya, tingkah kalian sungguh mengecewakan, memperebutkan kekuasaan yang sesungguhnya akan aku bagi rata diantara kalian bertiga.� Antaga mencoba menjelaskan kejadian yang sesungguhnya, namun Sang Hyang Tunggal tidak bergeming dan Sang Hyang Tunggal mengadakan sayembara bahwa siapapun putranya yang mampu menelan dan mengeluarkan kembali Gunung Berapi Jamurdwipa yang merupakan salah satu gunung berapi yang sangat besar dan selalu mengeluarkan letupan lahar berbahaya, maka dialah yang akan didengar dan dikabulkan permintaannya. Menyadari bahaya yang akan timbul apabila Manikmaya berhasil memenangkan sayembara ini, Antaga tanpa pikir panjang langsung merapalkan ajiannya dan berubah bertiwikrama menjadi berhala yang besarnya jauh melebih raksasa manapun.4 TUCZINE X I 113
FREE ROAR
Tanpa perhitungan yang matang, gunung tersebut diangkatnya. Dia mencoba memasukanya ke dalam mulutnya, namun ternyata gunung berapi itu masih lebih besar dibandingkan dengan ukuran mulutnya. Tapi karena kebulatan tekadnya, Antaga terus berusaha memasukan gunung tersebut. Hal ini menyebabkan mulut Antaga robek terkoyak dengan sangat parah. Belum selesai penderitaan Antaga, ternyata gunung tersebut meletus di mulut Antaga dan menyebabkan kondisi Antaga kembali luruh ke ukuran semula, serta terpental dan tergeletak tidak sadarkan diri. Ismayapun mencoba memenangkan sayembara ini. Ia mengikuti langkah Antaga bertiwikrama menjadi berhala yang ukurannya jauh lebih besar dibandingkan Antaga. Kali ini Ismaya berhasil menelan gunung tersebut masuk ke dalam mulutnya tanpa kesulitan. Namun ketika gunung tersebut masuk ke dalam tenggorokan, ia merasa tercekik lahar yang mengalir dari gunung tersebut mulai perlahan keluar dan merusak organ Ismaya. Namun dengan kesaktianya ia berhasil menyelimuti gunung tersebut agar tidak menyebabkan kerusakan yang lebih parah lagi. Akhirnya dengan segenap tenaga dan kesaktian yang tersisa, gunung tersebut berhasil ditelan dan amblas kedalam perut Ismaya. Namun karena kehabisan tenaga Ismaya tidak mampu untuk mengeluarkan kembali Gunung Jamurdwipa tersebut. Tubuhnya bergetar hebat dan gunung tersebut meletus dengan dashyat di dalam perut Ismaya, yang kemudian terkapar tak sadarkan diri dan kembali menciut ke ukuran semula. Karena Gunung Jamurdwipa berada di perut Ismaya dan tidak dapat dikeluarkan lagi, maka dengan cerdiknya Manikmaya mengklaim menjadi pemenang sayembara tersebut dan Sang Hyang Tunggal pun menyetujuinya. Ia menyerahkan semua kekuasaan, tahta, dan semua hak atas berbagai macam pusakanya kepada Manikmaya. Antaga yang terlebih dahulu tersadar mencoba mengajukan protes dan pembelaan atas semua kejadian yang terjadi. Namun malangnya, akibat meledaknya Gunung Jamurdwipa di mulutnya, kondisi fisik Antaga sekarang sudah berubah. Tak ada lagi wajah rupawan. Hidung mancung berganti menjadi lebar dan tak ada lagi tatapan tajam yang keluar dari mata yang saat ini melotot bagaikan hendak keluar dari rongganya. Tubuh yang tadi ramping saat ini bagaikan raksasa kecil dan dengan satu ciri khas, 114 I TUCZINE X
yaitu mulut yang teramat lebar sehingga menyebabkan segala kata yang keluar tidak dapat terdengar dengan jelas. Sang Hyang Tunggal pun tidak dapat mendengarkan dan memahami dengan jelas apa yang dimaksud oleh Antaga. smaya pun ternyata mengalami hal yang sama dengan Antaga. Tubuhnya berubah menjadi seperti orang yang sudah tua dengan perut yang membuncit dan bokong yang membesar akibat keberadaan Gunung Jamurdwipa di dalamnya. Ketampanan dan paras eloknya pun terhapus hilang. Sang Hyang Tunggal yang merasa kecewa dan bersedih atas keadaan putranya menyerahkan segala urusan atas Antaga dan Ismaya kepada Manikmaya selaku penguasa baru dan Sang Hyang Tunggal pun moksa menuju ketiadaan abadi. Selepas Sang Hyang Tunggal Moksa, Antaga masih bersikeras kepada Manikmaya bahwa tahta itu sebenarnya bukanlah hak dari Manikmaya dan menuntut agar Manikmaya yang saat ini menjadi penguasa untuk mengembalikan wujud Antaga dan Ismaya menjadi seperti semula. Namun Manikmaya menolak dan untuk memperoleh legitimasi dari kedua saudaranya. Ia mengatakan bahwa akan melakukan hal yang sebagaimana disayembarakan Sang Hyang Tunggal, yaitu menelan gunung berapi lainnya dan mengeluarkannya lagi. Apabila ia bisa melakukannya, Antaga dan Ismaya diharapkan tunduk selamanya kepada Manikmaya. Perasaan jumawa Antaga bahwa dirinya dan Ismaya tidak bisa menuntaskan sayembara tersebut, maka pasti Manikmaya pun tidak mampu melakukannya. Maka Antaga menyetujuinya dengan syarat apabila gagal maka kekuasaan akan kembali dibagi rata seperti keinginan Sang Hyang Tunggal semula dan Antaga serta Ismaya akan dikembalikan ke kondisi seperti semula. Kesepakatan pun dibuat dan Gunung Berapi Kaelasa pun dipilih untuk Manikmaya menyelesaikan sayembara. Di luar dugaan bukan langkah tiwikrama yang dilakukan, namun Manikmaya tertunduk diam layaknya sedang mengheningkan semua indra dan merapalkan ajian yang tidak diketahui asal usulnya, sehingga Gunung Berapi Kaelasa pun ukuranya menciut sedemikian rupa menjadi sebesar genggaman. Manikmaya kemudian menelan dan mengeluarkannya dengan begitu mudahnya. Setelah dikeluarkan, gunung tersebut kembali keukuran sebenarnya. Antaga dan Ismaya akhirnya
mengakui kekalahan mereka dan tunduk dan pasrah atas nasib mereka saat ini. Sang Hyang Manikmaya akhirnya memutuskan untuk tidak mengembalikan bentuk Antaga dan Ismaya menjadi seperti sediakala. Mereka ditugaskan untuk turun ke Marcapada untuk mengasuh, mendidik, dan memberikan ajaran budi pekerti kepada para pemimpin. Sang Hyang Manikmaya yang masih dendam dan khawatir atas Antaga menugaskannya untuk mengasuh dan menghamba kepada para raja. Kelak nama Antaga akan terlupakan dan digantikan dengan nama yang baru dan di kemudian hari, semua raja yang diasuh oleh Antaga akan selalu diusik keberadaanya oleh Sang Hyang Manikmaya. Semua hak dan segala macam keinginan para raja di bawah Antaga tidak pernah berjalan dengan lancar. Bagaimanapun cara yang digunakan Antaga untuk mengembalikan para raja yang dianggaap lalim dan dicitrakan penuh angkara murka untuk berada di jalan kebenaran dan memperoleh keadilan selalu mendapat hadangan tidak langsung dari sang Hyang Manikmaya. Sementara Ismaya ditugaskan untuk mengasuh para raja, brahmana, dan ksatria yang selalu dibela oleh Sang Hyang Manikmaya. Semua yang berada di bawah asuhan Ismaya akan memperoleh apa yang diinginkan dan akan selalu disembunyikan semua kebusukan yang sebenarnya terjadi . Waktu pun berlalu. Alam kembali menjadi tenang, walaupun diselimuti duka dan kekecewaan atas kemenangan Manikmaya yang mengorbankan kedua Saudaranya untuk kekuasaan pribadinya. Kemudian burung-burung berkicau di hangatnya pagi dan waktu mengubah perlahan dari nyanyian kesedihan atas duka Antaga. Hingga saat ini, mereka menyanyikan kisah kecerdikan Manikmaya dan kisah Antaga yang haus kekuasaan. Perlahan kisah kebenaran mulai pudar, terhembus angin semilir yang meniupkan nafas kepalsuan yang gemulai melenakan. Di antara embun yang membasahi dedaunan serta kebusukan Manikmaya yang tersembunyi dibalik namanya, saat ini Batara Guru, Sang Penguasa Kahyangan, bertahta dengan penuh ketenangan.
.
FREE ROAR
MENGEJA MEMBACA MENULIS oleh IMANIA DIAH RACHMA
SEBELUM kenal huruf adalah mengeja. Satu per satu karakternya bukan hanya A-Z, bukan hanya angka. Mengeja adalah mengenali satu persatu huruf, membaca adalah mengenali satu persatu kata. Menulis adalah menggabungkan semua menjadi satu rangkaian. Menjadi kompleks dan bermakna. Membaca adalah salah satu aktifitas dengan segudang manfaat. Otak ibarat sebuah pedang, semakin diasah akan semakin tajam. Baca tulis adalah hal mendasar di era saat ini. Tapi yang perlu disoroti adalah tentang peranan apa yang dibaca. Generasi di atas 2000 adalah generasi modern yang tidak perlu susah payah dalam urusan segala hal, semua serba instan dan cepat saji. Bukannya ini suatu kemajuan yang sangat pesat apalagi jika ditengok lagi tahun 2000 ke bawah atau saat kelahiran saya yang waktu itu mendengarkan musik portabel baru lewat walkman atau akrabnya “wokmen”, atau tentang perpustakaan yang hanya bisa meminjamkan pertigahari-an. Tapi sekarang Google adalah gudang dari semua-muanya. Dan kami semakin malas untuk masuk perpustakaan atau keluar masuk toko buku untuk mencari informasi. Saking manjanya dan jadi kecanduan. Dan kemalasan-kemalasan itu mulai menjangkit lalu meluas. Umur saya masih 17 tahun saat ini dan, di semasa SMK saya masih sekitaran 15 atau 16-an tahun. Tinggal di lingkungan pertemanan yang di mana tradisi membaca sudah mulai dilupakan apalagi tradisi menulis. Sebenarnya inilah
salah satu penyebab surutnya generasi gemilang bangsa. Malahan saat itu saya yang sedang asik membaca buku kalau tidak salah tentang Soe Hok Gie judulnya Catatan Seorang Demonstran, mereka bertannya; “Soe Hok Gie itu siapa?” atau saat “Tan Malaka itu siapa?”. Dari situ saya mulai sadar betapa selama ini banyak hal-hal yang tersembunyi, yaitu tentang sejarah dan tentang mengamati proses seseorang yang bisa sukses, tentunya di bidangnya sendiri. Terbatasnya jangkauan diri kita terhadap peristiwaperistiwa di dunia, hanya bisa dijangkau dengan membaca. Ketika ditanya kenapa saya jadi maniak membaca? Saya tekankan soal manfaat dan guna. Jika dikaitkan dengan agama mungkin akan jelas semua. Iqra’, bacalah adalah perintah pertama Allah SWT. Pun demikian dengan menulis. Bukan akan sia-sia sekali apa yang kita tahu dan kita pahami baik yang melalui pengelihatan, pendengaran ataupun informasi yang datang dari berbagai arah, dan akan berguna untuk masa mendatang akan terlupakan begitu saja? Menulis adalah solusi termutakhir dan paling purba. Bagaimana seseorang dikenali. Dikenali bukan berarti diingat wajahnya atau namanya. Dikenali lewat tulisannya. Banyak pahlawanpahlawan di negara ini yang hilang begitu saja karena sedikit sekali tulisan tentang mereka baik otobiografi atau kisah heroisme mereka. Tapi beda dengan mereka yang mangangkat perjuangan melalui tindakan heroisme sekaligus menggores-
kan tinta dari pena. Angkat saja seperti Soekarno, Tan Malaka sampai Kartini. Tulisan dan nama mereka tidak surut oleh waktu, tidak luntur begitu saja. Bukankah ini dampak nyata dari tulisan yang begitu melekat? Tapi makin disayangkan jika melihat dari generasi era ini, ketika liberalisme dalam menulis sudah meluas seluas-luasnya. Dipermudah semudahmudahnya. Yang ada malah rasa malas yang berlarut-larut. Pertama-tama dimulai dari hilangnya gairah menulis, kemudian hilangnya kebiasan membaca. Perpustakaan dimana-mana dan penuh buku, tapi manusianya kosong. Buku bukan komoditas mahal lagi. Bukan lagi diperuntukkan bagi golongan tertentu. Buku sekarang bersifat universal dan untuk semua golongan. Ada pertanyaan tentang kenapa generasi kita tidak ada yang segemilang dan legendaris seperti Soekarno, Tan Malaka dan kawan-kawan. Salah satu faktor kongkrit selain kita gagap baca dan tulis karena memang keadaan kepekaan sosial yang makin rendah (walaupun media sosial di dunia maya semakin berkembang) serta konflik yang seperti dikonsep atau diperuntukkan untuk golongan ‘elit’ tertentu. Gagap baca tulis ini berdampak ke kurangnya informasi terkait dan cara menghadapinya. Solusi terbaik dan efektif dengan menggalakkan kembali 3 M: Mengeja, Membaca dan Menulis.
.
TUCZINE X I 115
A N D R I A’ S N O T E S
THE KEEPER OF ALL KEYS catatan-catatan oleh PAK KETUA
The Keeper of All Keys Saya mengenal nama Helloween dari teman SMA saya, Kusumanto Sigit, dan radio Rasia Lima Yogyakarta dalam acara Rabu Rock. Lagunya yang saya dengar saat itu “Future World” dan “Helloween”. Maklum, kaset yang beredar saat itu cuma Walls of Jericho dan Keeper of the Seven Keys: Part 1. Walaupun si Kus suka Helloween tapi justru dia tak punya kasetnya. Saya sendiri baru beli kasetnya saat kaset bajakan resmi sudah menghilang. Saya akhirnya mendapatkan Walls of Jericho. Rasanya senang sekali walau yang saya cari justru album Keeper of the Seven Keys: Part 1. Sampai saat ini pun saya belum dapat kaset sekennya yang terbitan Rockshots. Tapi saat itu di SMA saya, cuma dua orang yang punya kaset Helloween: saya dan satunya adik kelas yang punya kaset Keeper of the Seven Keys: Part 1 terbitan Billboard. Sayangnya lagu-lagu Helloween makin lama makin tak semenyenangkan saat pertama saya mendengarkan tiga album awal mereka. Flight of the Beast Bagi saya Iron Maiden adalah salah satu dari sedikit grup heavy metal yang lulus melewati ujian waktu di atas 20 tahun. Sebagai pionir New Wave of British Heavy Metal, sampai saat ini konser mereka masih tetap ditunggu dan dihadiri oleh berbagai generasi. Mereka diakui juga telah menjadi inspirasi dari berbagai grup di berbagai negara, baik amatir atau profesional. Beberapa pergantian pemain, termasuk gitaris Adrian Smith dan bahkan vokalis Bruce Dickinson, tak membuat mereka benar-benar terpuruk dan bubar. Bahkan mantan vokalis pengganti Bruce, Blaze Bailey masih bisa bersolo
karir setelah dikeluarkan dari Iron Maiden. Memang beberapa album mereka di masa transisi aliran maupun pergantian personil tadi tidak memuaskan penggemar fanatik mereka. Dengan kembalinya sang vokalis dan gitaris di formasi klasik mereka, tanpa harus mendepak gitaris Janick Gers, mereka mampu menyelesaikan tur Somewhere Back in Time World Tour, yang desain panggungnya mengacu ke era Powerslave di tahun ‘80-an. Ingat Powerslaves saya jadi teringat Live After Death. Sang Pemula Repulsion adalah grup grindcore/death yang disebut-sebut sebagai “the most influential grindcore band of all time”. Padahal album Horrified (1986) adalah satu-satunya album penuh yang mereka terbitkan. Mungkin karena sejak mereka mengeluarkan album tadi, isinya lagu-lagu yang pendek dengan drum yang sangat rapat dan sound gitar yang dikatakan sebagai “extremely distorted down-tuned guitars, overdriven punkish riffs, absurd rambling solos”, menjadi acuan grup grindcore lainnya seperti Napalm Death, Impaled dan Entombed. Paradise Lost, bersama Anathema dan My Dying Bride, disebut sebagai pencipta subgenre death/doom metal. Musiknya lebih pelan temponya yang mencerminkan keresahan. Namun demikian dengan dirilisnya album Gothic di tahun 1991 dengan adonan yang lebih melodik dengan diiringi orkestrasi dan Sarah Marrion sebagai vokal wanita maka mereka juga disebut sebagai pionir gothic metal. Mungkin gara-gara sering berganti corak musik pada masa awal maka mereka justru lebih populer di Eropa daratan, Yunani dan Jerman, dibanding di kampung halaman mereka di Inggris.
Lonely Rose Appetite for Destruction, album Guns n’ Roses yang keluar tahun 1987 adalah tonggak awal dikenalnya grup ini di dunia, termasuk di Indonesia. Kasetnya pertama kali terbit di Indonesia saat era kaset bajakan resmi di Indonesia hampir berakhir, menuju era kaset lisensi resmi. Selain buatan Hins Collection ada juga buatan Team Record yang mengeluarkan dua sampul yang berbeda. Sampul albumnya menjadi fenomenal karena sampai sekarang kebanyakan masih dipakai para penggemar, bahkan oleh yang tak terlalu paham Guns n’ Roses sekalipun. Padahal formasi lima kepala itu sudah tidak lengkap lagi, tinggal Axl doang. Marching to Marsh James Marshal Hendrix lahir di Seattle, Washington pada 27 November 1942. Seorang keturunan campuran kulit hitam (jelas), Eropa, Indian Cherokee dan Mexico. Sepertinya untuk artis kulit hitam sekarang cuma Michael Jackson yang penggemarnya bisa seberagam Jimi. Jimi dikenal sebagai jenius gitar yang mati muda. Umurnya 27 tahun saat meninggal pertengahan September 1970. Saya mengenal musik Jimi justru dari para gitaris yang terpengaruh gaya permainannya. Maklum, saat kaset bajakan lokal dulu saya tak sempat beli, baru belakangan saya dapat boxset-nya. Ada teman saya, mas Dhani Machfud, walau muda tapi mendalami blues terutama Jimi Hendrix. Cukup langka untuk orang seusianya. Rush Hour Jaman saya SMP dulu tulisan “Rush” atau 2112 (salah satu judul albumnya) banyak dicoretkan di dinding gedung atau bangunan. Saat itu Rush sepertinya sedang berjaya karena lagunya: “Tom Sawyer” banyak digemari anak muda. Mungkin gejalanya sama dengan Lingkin Park awal 2000-an. Saat itu kakak saya sempat beli The Best of Rush terbitan Aquarius. Sayangnya dengan mengikuti perkembangan jaman, dengan banyak memakai efek synthesizer maka lama kelamaan musik Rush malah tidak semenarik awal kemunculan mereka. Tentu saja konsernya tetap diserbu banyak penggemarnya, termasuk personil Dream Theater, karena tetap saja menghibur. Dari ketiga anggota Rush, tinggal satu saja yang setia gondrong, yaitu Geddy Lee, pemain bass. Gimme the Prize Akhir September tahun lalu saya menemukan kaset pita di sebuah lapak di pasar Magetan. Semula saya kira cuma kaset promosi suatu produk atau ka-
set motivasi yang dulunya, sebelum CD mudah didapat, biasa dipakai untuk menyampaikan suatu pesan. Ternyata ini kaset biasa. Cuma saya kemudian ingat bahwa dulu ada iklan di majalah atau koran dari suatu produk krim rambut pria yang bekerja sama dengan perusahaan rekaman kaset. Agak lucu juga kalau lihat sekaran. Di dalam sampul kaset ada bagian yang bisa kita potong lalu kirim untuk diundi. Pembeli kaset tinggal menyilang pilihan di angket tadi. Hadiahnya juga ada gambarnya, seperangkat stereo set untuk yang beruntung. Di akhir kaset ada jingle iklan tentang produk krim rambut tadi, semula saya kira itu rekaman iseng yang dilakukan oleh pemilik semula. Surfing with Joe Beberapa waktu lalu saya beli kaset seken terbitan Billboard, To the Power of Three milik 3. Grup ini terdiri dari Keith Emerson, Robert Berry dan Carl Palmer. Awal era ‘70-an, Keith Emerson, Greg Lake dan Carl Palmer membentuk ELP yang mengkombinasikan elemen klasikal, jazz, dan rock. Adonan musik mereka dipusatkan ke permainan keyboard yang saat itu belum banyak dikenal para pecinta prog rock. Keith Emerson sang pimpinan menggunakan piano, Hammond organ, dan versi awal Moog synthesizer. Lalu ada apa dengan 3? ELP di tahun 1977 mengalami kemerosotan popularitas karena mewabahnya musik punk rock. Mereka menyatakan bubar setelah mengeluarkan lagu yang menurut para progger terlalu nge-pop di tahun 1978. Grup 3 adalah reuni kedua sebagian anggota ELP (yang pertama adalah Emerson, Lake & Powell di tahun 1986) di tahun 1988. Kali ini karena EP tak bisa mengajak Greg Lake yang kemudian mendapat Robert Berry sebagai penggantinya. Seperti ELP dengan Powell, lineup yang ini juga cuma menghasilkan satu album. ELP berhasil bereuni lengkap di tahun 1992 dengan mengeluarkan album Black Moon. Sejujurnya saya membeli kaset ini karena sisi tambahannya di side B. Memang saya sekarang mengumpulkan kaset grup rock apa saja, bahkan seandainya dulu saya tak pernah ingin membelinya. Side B kaset ini berisi 5 lagu dari album Joe Satriani, Surfing with the Alien. Bukan apa-apa, setahu saya Joe Satriani baru dikenal di awal era ’90-an di Indonesia oleh segelintir penggemar musik instrumental gitar. Yngwie Malmsteen masih lebih dikenal dibanding Joe karena pada tahun 1991 dia dicegat di Solo dan Surabaya untuk membuat konser. Namun
beberapa tahun sebelumnya, 1988, Joe Satriani sudah datang duluan ke Indonesia walau cuma sebagai giaris sewaan konser Mick Jagger pertama dan terakhir di Indonesia. Album Surfing... keluar tahun 1987 sehingga tak heran kalau disisipkan di kaset yang terbit tahun 1988 ini. Shock Me! Secara visual, Twisted Sister dan W.A.S.P membuat orang awam bergidik, terutama di pertengahan era ’80-an. Lihatlah sampul kaset Twisted Sister, Stay Hungry. Pertama kali saya lihat sampul kasetnya, saat saya masih mendalami Queen, juga sama, cukup menggoncang. Saya anggap grup ini benar-benar brutal atau setidaknya memainkan irama film horor. Poster W.A.S.P. yang saat itu dijual di sebelah timur Monumen Serangan Umum 1 Maret Yogyakarta juga saya anggap sangat mengerikan karena didominasi warna merah. Tak perlu riasan ala Alice Cooper untuk membuat takut orang awam. Belakangan saat saya SMA poster Dee Snider malah saya tempelkan di kamar saya. Walau begitu, om saya almarhum masih juga mengernyitkan dahi saat melihatnya. W.A.S.P. oleh beberapa kritikus memang dijuluki grup “shock rock”. Thrash Talk Ada beberapa kesamaan antara album Kill ‘Em All-nya Metallica dengan Killing Is My Business-nya Megadeth: ini adalah album resmi mereka yang pertama; musiknya berirama thrash metal yang kasar tapi tampak orisinil; lagu “Four Horsemen”-nya Metallica adalah juga versi yang agak lambat dari lagu “Mechanix”-nya Megadeth. Dave Mustaine sehabis dipecat dari Metallica, dengan penuh amarah (sampai sekarang dia juga selalu begitu) bertekad untuk membentuk grup yang lebih hebat dari Metallica. Akhirnya setelah sempat berganti personil, termasuk Kerry King sebelum masuk Slayer, akhirnya memproklamirkan Megadeth sebagai kendaraan kreatifitas musiknya. Berbeda dengan Megadeth, Metallica mulai stabil anggotanya sejak album ini. Bagaimana tidak, mereka yang direkrut benar-benar mendukung ide musik James dan Lars, bahkan sampai maut memisahkan mereka (Cliff Burton tewas dalam kecelakaan saat tur ke Eropa). Album ini memang sarat pengaruh dari grup-grup New Wave of British Heavy Metal yang dipercepat iramanya oleh mereka.
.
TUCZINE X I 117
TUCZINE
TAX UNDERGROUND COMMUNITY MAGAZINE DESIGN, EDITING & PROPAGANDA SARADDASI, DIDIK YANDIAWAN, MEIDIAWAN CESARIAN SYAH, MARAHA SUFITRA EMAIL TUC.ZINE@GMAIL.COM TWITTER @TUCZINE TUCZINE.TUMBLR.COM I TUCZINE.COM
Death is an inevitability, isn’t it? You become more aware of that when you get to my age. I don’t worry about it. I’m ready for it. When I go, I want to go doing what I do best. If I died tomorrow, I couldn’t complain. It’s been good. Lemmy Kilmister, 1945-2015
T U C Z I N E . T U M B L R . C O M