At-Thariq Jurnal Ilmiah Studi Keislaman Dan Sosial Penanggung jawab H. Tahrir Ketua Sekolah Tinggi Agama Islam Sufyan Tsauri Majenang Penyunting H. Masngudi, Mahmudin Tim Redaksi Aniroh, Doddy Afandi Firdaus, Khotibul Umam, Tim Editor Mawi Khusni Albar, Fathurohim Alamat Redaksi Tlp./Fax. Email
: Jl. KH. Sufyan Tsauri Po Box 18 Majenang Kab. Cilacap, Kode Pos 53257 : (0280) 623562 : redaksi.atthariq@gmail.com
Jurnal At-Thariq adalah jurnal ilmiah studi keislaman dan sosial Sekolah Tinggi Agama Islam Sufyan Tsauri (STAIS) Majenang. Diterbitkan pertama kali bulan September 2009 oleh Lembaga Penelitian dan Pengembangan Masyarakat (P3MP) STAIS Majenang dan terbit dua kali dalam satu tahun yakni: bulan September dan Maret. Redaksi menerima tulisan yang berkaitan dengan studi keislaman dan sosial, baik berupa artikel, laporan penelitian maupun resensi buku. Naskah diketik di atas kertas HVS kuarto (A4) spasi ganda sepanjang 20-25 halaman. Naskah diserahkan dalam bentuk print out dan soft copy. Catatan kutipan ditulis dalam bentuk footnote. Redaksi berhak melakukan penilaian tentang kelayakan suatu artikel baik dari segi isi, informasi maupun penulisan.
ii
PENGANTAR REDAKSI Jurnal At-Thariq edisi IX Bulan Maret 2014 kali ini, kami menyajikan delapan judul tulisan yang terdiri dari dua laporan penelitian, enam artikel ilmiah. Laporan penelitian berjudul “Analisis Kritis Nurcholish Madjid Terhadap Sistem Pendidikan Pesantren di Indonesia (Telaah buku bilik – bilik Pesantren)” yang ditulis oleh Suratman. Dosen Tarbiyah STAIN Purwokerto. Dalam penelitiannya, Suratman memberikan gambaran kritis pembaharuan pendidikan pesantren di Indonesia agar dapat bersaing di era global menurut pemikiran Nurcholis Madjid. Laporan penelitian kedua ditulis oleh Fathul Aminudin Aziz Dosen STAIN Purwokerto dengan judul “Pengaruh Budaya dan Iklim Organisasi Terhadap Profesionalitas Serta Implikasinya pada Kinerja Pegawai Kantor Urusan Agama (KUA) (Study Kasus Moratorium Bedolan di Kabupaten Cilacap)”. Di dalamnya, penulis Menjelaskan pengaruh iklim organisasi terhadap profesionalitas pegawai KUA, pengaruh profesionalitas terhadap kinerja pegawai KUA di Kabupaten Cilacap Provinsi Jawa Tengah. Selanjutnya, artikel tentang Pendidikan Agama Islam (PAI) ditulis oleh Sarno Hanipudin. Sebagai penganut paham pendidikan kritis, Sarno Hanipudin memposisikan peran PAI dalam kajian agama, sains dan teknologi. dengan judul “Transformasi Dialektika Segi Tiga: posisi dan peran PAI dalam kajian integrasi agama, sains, teknologi”. Selanjutnya artikel yang di tulis oleh Mawi Khusni Albar dosen STAIN Purokerto dengan judul “Kepemimpinan dalam Administrasi Pendidikan. Dalam artikelnya, penulis memberikan analisis kritis terhadap seorang pemimpin di mana seorang pemimpin harus bisa menjadi teladan yang baik. Artikel ketiga ditulis oleh Donny Khoirul Azis dengan judul “Menciptakan Iklim Kelas yang Efektif di Sekolah Dasar”. Pada kajian keempat diisi oleh Sri Winarsih dengan judul Manajemen Pembiayaan dan Kinerja Guru dalam Meningkatkan Mutu Pendidikan. Di dalamnya dibahas manajemen dan sumber biaya pendidikan, kinerja seorang guru dan manfaat dari pengukuran kinerja. Artikel kelima tentang kekerasan agama ditinjau dari sudut pandang al-Qur’an dan Hadis, di dalamnya penulis mencoba memetakan konsep dasar dan akar kekerasan dalam pandangan al-Qur’an dan Hadis dengan judul “Kekerasan Dalam Agama (Tinjauan al-Qur’an dan Hadis)”. ditulis oleh Fathurohim dosen tetap STAIS Majenang. Dan artikel keenam berjudul “Kewajiban dan Hak Kepala Negara Perspektif Hukum Islam” yang ditulis oleh Masyhud dosen di STAIN Purwokerto. Terakhir, kami sampaikan bahwa segenap Tim Redaksi Jurnal At-Thariq mengharap dukungan semua pihak bagi kelangsungan serta peningkatan peran dan kontribusi media tentang keislaman dan sosial yang kita cintai, baik berbentuk kritik, saran, maupun sumbangan tulisan yang berbentuk karya ilmiah, laporan penelitian dengan tema-tema keislaman dan sosial yang selalu berkembang di masyarakat. Segenap redaksi, mengucapkan selamat membaca dan berkarya! Majenang, 05 Maret 2014 Salam Redaksi iii
ISSN 2088-8538
VOLUME VI, (MARET–SEPTEMBER 2014)
At-Thariq Jurnal Ilmiah Studi Keislaman Dan Sosial Tim Redaksi Pengantar Redaksi Daftar Isi KEPEMIMPINAN DALAM ADMINISTRASI PENDIDIKAN Mawi Khusni Albar (1–9) ANALISIS KRITIS NURCHOLISH MADJID TERHADAP SISTEM PENDIDIKAN PESANTREN DI INDONESIA (Telaah buku bilik – bilik Pesantren) Suratman ( 10 – 33 ) TRANSFORMASI DIALEKTIKA SEGI TIGA: POSISI DAN PERAN PAI DALAM KAJIAN INTEGRASI AGAMA, SAINS, TEKNOLOGI Sarno Hanipudin ( 34 –52 ) MENCIPTAKAN IKLIM KELAS YANG EFEKTIF DI SEKOLAH DASAR Donny Khoirul Azis ( 53 –68 ) MANAJEMEN PEMBIAYAAN DAN KINERJA GURU DALAM MENINGKATKAN MUTU PENDIDIKAN Sri Winarsih ( 69 –81 ) KEKERASAN DALAM AGAMA (Tinjauan al-Qur’an dan Hadis) Fathurohim
( 82– 95 )
PENGARUH BUDAYA DAN IKLIM ORGANISASI TERHADAP PROFESIONALITAS SERTA IMPLIKASINYA PADA KINERJA PEGAWAI KANTOR URUSAN AGAMA (KUA) (Study Kasus Moratorium Bedolan di Kabupaten Cilacap) Fathul Aminudin Aziz ( 96 –118 ) KEWAJIBAN DAN HAK KEPALA NEGARA DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM Masyhud ( 119 – 1138 )
iv
v
Kepemimpinan Dalam Administrasi
1
KEPEMIMPINAN DALAM ADMINISTRASI PENDIDIKAN Khamid Alwi*1
Abstract Leader is someone who is in a group, as assignor or as steering and conditioning activities which is relevant with the group, and as the main responsible and also provide a good example in the workplace and in everyday life so that the organization becomes conducive. There are two things that characterize a leader in performing their duties, namely "openness and willing to serve". Leaders must be able to provide a good example of those who led and put in accordance with the field that suitable. To lead the group the leader needs not only the ability to utilize available resources to achieve the goals, but also the capacity to develop confidence and need the higher human resources and “tricked”. The purpose of the organization is not only known by the leader of organization or group leader, the goals should be disseminated to all the "customer education", in order to achieve the goals rapidly that accordance with the vision and mission.
Keywords: Leadership, Education Administration. A. Pendahuluan Kajian tentang konsep kepemimpinan jauh hari sudah dilakukan oleh para ahli manajemen. Kepemimpinan di artikan sebagai kemampuan untuk mengarahkan dan meyakinkan rekan sejawat atau staf agar sukarela melakukan aktivitas kerja sama untuk mencapai tujuan organisasi sesuai dengan visi dan misi organisasi. Kepemimpinan atau leadership termasuk kelompok,ilmu terapan “applied sciences” dari ilmu-ilmu sosial. Sebab prinsip-prinsip, rumus serta dalil-dalilnya bermanfaat dalam meningkatkan kesejahteraan manusia. Sebagai salah satu cabang ilmu pengetahuan,kepemimpinan memiliki peranan penting dalam rangka manajemen. Sebab peranan seorang pemimpin pada dasarnya merupakan penjabaran serangkaian fungsi kepemimpinan. Selain itu seorang pemimpin harus mampu mengambil suatu keputusan. Pengambilan keputusan merupakan prasyarat penentu tindakan,juga merupakan causa (sebab) bagi respons (tindakan). Sedangkan fungsi kepemimpinan itu sendiri sesungguhnya merupakan salah satu di antara peranan manajer dalam rangka untuk mengajak atau menghimbau semua bawahan atau rekan sejawat, agar dengan penuh kemauan. memberikan pengabdian dalam mencapai tujuan organisasi sesuai dengan kemampuan para bawahan itu secara maksimal. Apabila kepemimpinan 1*
Penulis adalah Kepala Madrasah Aliyan Negeri (MAN) Majenang.
2
Khamid Alwi diartikan sebagai kemampuan seseorang untuk mempengaruhi orang lain sehingga mereka mengikuti kehendaknya, maka seseorang itu dapat di sebut mempunyai pengaruh terhadap orang lain,pengaruh itu dinamakan kekuasaan atau wewenang. Istilah kekuasaan dalam hal ini merujuk pada kemampuan seseorang untuk mempengaruhi orang atau pihak lain,sedangkan wewenang merupakan kekuasaan seseorang atau sekelompok orang yang mendapat dukungan atau pengakuan dari masyarakat. Dalam era globalisasi sekarang ini, apa itu kepemimpinan dan siapa yang bisa menjalankannya telah berubah. Kompetensi kepemimpinan tetap konstan,namun pemahaman kita tentang artinya,bagaimana cara kerjanya,dan cara-cara di mana orang belajar untuk menerapkan telah berubah. Kita memang memiliki awal dari teori umum kepemimpinan dan keterampilan memimpin pernah dianggap sebagai bawaan lahir. Pemimpin dilahirkan,tidak buat terpanggil melalui sejumlah proses yang tak bisa di bayangkan,tetapi pandangan tersebut tidak dapat di buktikan. Seiring dengan proses dinamika kehidupan dan kompleksitasnya suatu lembaga/organisasi. Dari pernyataan-pernyataan di atas, penulis akan menuangkan mengenai pengertian kepemimpinan dari berbagai segi,pandangan-pandangan tentang kepemimpinan dalam institusi maupun organisasi masyarakat. Dari Uraian di atas �kepemimpinan dalam Administrasi Pendidikan� dapat dirumuskan sebagai berikut: 1.Apakah yang dimaksud dengan kepemimpinan ? 2.Bagaimana tugas-tugas,prinsip-prinsip dan model kepemimpinan itu ? 3.Bagaimana seorang pemimpin dalam mengambil suatu keputusan ?
B. Pembahasan Kepemimpinan pada setiap orang dalam berbagai aktivitas kehidupan manusia secara alami terus berlangsung dan tumbuh seiring dengan mengaplikasikan kemampuan dan peran individu sebagai makhluk sosial. Proses ini di tandai dengan terjadinya komunikasi di antara individu tersebut yang berakibat adanya saling mempengaruhi sebagai upaya untuk memenuhi keinginan-keinginannya atau untuk satu tujuan dalam suatu komunitas tertentu. Pemahaman ini dapat di pandang bahwa kepemimpinan sebagai proses saling mempengaruhi dari aktivitas seseorang atau pemimpin untuk memenuhi suatu keinginannya. Sejalan dengan pemahaman di atas kepemimpinan adalah merupakan suatu proses yang terus menerus,yang membuat semua anggota
Kepemimpinan Dalam Administrasi
3
organisasi bergairah dan berdaya upaya untuk memahami dan untuk mencapai tujuan-tujuan yang ditentukan oleh pemimpin2. Kepemimpinan adalah setiap perbuatan yang dilakukan oleh individu atau kelompok untuk mengkoodinasi di dalam wadah tertentu untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya3. Jadi pemimpin adalah seseorang yang berada dalam kelompok,sebagai pemberi tugas atau sebagai pengarah dan mengkondisikan kegiatan kelompok yang relevan,dan sebagai penanggung jawab utama serta bisa memberi contoh baik dalam kedinasan maupun dalam kehidupan sehari-hari sehingga organisasi menjadi kondusif. Jadi hakikatnya kepemimpinan dapat dipahami sebagai kemampuan untuk mempengaruhi pihak lain. Keberhasilan seorang pemimpin sangat tergantung kepada kemampuan mereka di dalam bekerja sama dan berkomunikasi secara tepat dengan orang lain untuk mempengaruhinya. Dengan demikian Kepemimpinan dapat diartikan sebagai kemampuan seseorang untuk mempengaruhi orang lain dengan maksud untuk menggerakkan orang-orang tersebut bersedia mengikuti kehendak-kehendak pemimpin itu. Ada dua hal yang mengarakterisasi pemimpin dalam melaksanakan tugasnya,yaitu “keterbukaan dan mau melayani”. Pemimpin harus bisa memberikan teladan yang baik dari orang-orang yang dipimpin dan menempatkan sesuai dengan bidangnya yang cocok. Untuk melakukannya,di butuhkan tidak hanya kemampuan untuk memanfaatkan sumber yang ada untuk mencapai sasaran,tapi juga kapasitas untuk mengembangkan kepercayaan dan di butuhkan SDM yang tinggi dan “diperdayakannya”.Tujuan organisasi tidak bisa hanya diketahui oleh pemimpin,tujuan itu harus disosialisasikan kepada semua”pelanggan pendidikan”. 1. Tugas-Tugas Pokok Pemimpin Kegiatan kepemimpinan dalam sebuah organisasi merupakan langkahlangkah pokok organisasi atau tugas-tugas pokok yang harus dijalankan oleh setiap orang yang mempunyai tanggung jawab untuk memimpin organisasi itu. Hal ini merupakan bagian dari upaya mempengaruhi orang-orang yang ada di sekitarnya agar mereka tetap melaksanakan tugas dengan baik,memiliki dedikasi terhadap organisasi dan tetap mereka berkewajiban untuk mencapai tujuan organisasi atau tujuan organisasi atau tujuan pendidikan dengan manajemen yang baik. Pada hakikatnya antara administrasi dengan manajemen tidak dapat 2
Imam Munawir, Asas-Asas Kepemimpinan dalam Islam, (Jakarta: Penerbit Usaha Nasional,1993), hlm. 15-16. 3 Sudarwin Danim, Motivasi dan Kepemimpian efektivitas kelompok, (Jakarta: PT Rineka Cipta,2004), hlm. 56.
Khamid Alwi
4
dipisahkan, perbedaannya terletak dalam penentuan tujuan yang di batasi oleh jenjang dan sektoral. Dengan kata lain dalam menentukan kebijakan, manajemen mempunyai wilayah yang terbatas pada tingkat operasional. Oleh karena itu,Administrasi pendidikan adalah rangkaian kegiatan atau keseluruhan proses pengendalian usaha kerja sama sejumlah orang untuk mencapai tujuan pendidikan secara berencana dan sistematis yang di selenggarakan di lingkungan tertentu, terutama berupa lembaga pendidikan formal4. Sedangkan manajemen pendidikan adalah suatu ilmu yang mempelajari bagaimana menata sumber daya untuk mencapai tujuan dan memberdayakan SDM yang ada sesuai bidangnya,sehingga tujuan organisasi dapat di capai. Oleh Karena itu, agar proses penyelenggaraan organisasi dapat terlaksana secara efektif, maka penataan berbagai sumber daya pendidikan dan penciptaan suasana yang kondusif harus dilakukan. Untuk itu, pemimpin pendidikan harus menguasai wilayah kerja manajemen pendidikan. Dengan mengacu pada konsep ini. Administrasi pendidikan adalah ilmu yang mempelajari bentuk dan proses kerja sama, antara rekan sejawat dengan pimpinan untuk mencapai tujuan pendidikan. Adapun tugas-tugas pokok pimpinan terdiri dari5: 1) merencanakan (to plan) mengorganisasikan (to organize) 2) menggerakkan (to command),mengkoordinasikan (to coordinate) 3) mengendalikan (to control). Selain itu seorang pemimpin harus bisa menjaga amanah. Amanah berkaitan dengan keimanan,barang siapa menjaga amanah Allah Swt, maka Allah Swt menjaga keimanannya. Sesuai dengan firman Allah Swt dalam QS.33:ayat 72 yang artinya:”Sesungguhnya kami telah mengemukakan amanah kepada langit,bumi dan gunung-gunung,namun semuanya enggan memikul amanah itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya. Dan dipikullah amanah itu oleh manusia...”6. Selain itu amanah atau kepercayaan merupakan “penghargaan” terhadap dirinya,maka harus di jaga dan dilaksanakan dengan sebaik-baiknya sesuai dengan peraturan. 2. Prinsip-Prinsip Kepemimpinan Sebagaimana di ungkapkan bahwa keberhasilan seorang pemimpin sangat di tentukan oleh kemampuan/kecakapan di dalam melakukan kerja sama dan berkomunikasi secara tepat dengan orang lain .Untuk itu sebaliknya seorang pemimpin yang baik harus memiliki prinsip-prinsip kepemimpinan. 4
Hudari Nawawi, Administrasi Pendidikan, (Jakarta: CV Haji Masa Agung, 1981),
5
Suryo Broto, Manajemen Pendidikan di Sekolah (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2004) Depag. RI. Al-Qur’an dan Terjemah.Juz 1-30.(Surabaya: Surya Cipta Aksara, 1995)
hlm. 11. 6
Kepemimpinan Dalam Administrasi
5
1) Konstruktif artinya harus mendorong dan membina setiap staf untuk berkembang secara optimal. 2) Kreatif artinya mendorong keterlibatan semua pihak yang terkait dalam setiap kegiatan. 3) Partisipatif artinya mendorong keterlibatan semua pihak yang terkait dalam setiap kegiatan. 4) Kooperatif artinya mementingkan kerja sama dengan staf dan pihak lain yang terkait dalam melaksanakan setiap kegiatan. 5) Delegatif artinya berupaya mendelegasikan tugas kepada staf sesuai dengan deskripsi tugas/jabatan serta kemampuan mereka. 6) Integratif artinya mengintegrasikan semua kegiatan,sehingga dihasilkan sinergi untuk mencapai tujuan. 7) Rasional dan obyektif,artinya dalam melaksanakan tugas atau bertindak selalu berdasarkan pertimbangan rasional dan obyektif. 8) Pragmatis artinya menetapkan kebijakan atau target. 9) Keteladanan artinya pemimpin dapat menjadi contoh yang baik. 10) Adaptabel dan fleksibel artinya pemimpin harus dapat beradaptasi dan fleksibel dalam menghadapi situasi baru dan juga menciptakan situasi kerja yang memudahkan staf beradaptasi. 3. Model Kepemimpinan Ada tiga jenis kepemimpinan yang dipandang representatif dengan tuntutan era desentralisasi yaitu7: 1) Kepemimpinan transaksional adalah kepemimpinan yang menekankan pada tugas yang di emban bawahan. Kepemimpinan transaksional lebih di fokuskan pada peranannya sebagai manajer karena ia sangat terlibat dalam aspek-aspek prosedual manajerial yang metodologis dan fisik. 2) Kepemimpinan transformasional adalah sebagai suatu proses yang pada dasarnya,para pemimpin dan pengikut saling menaikkan diri ke tingkat moralitas dan motivasi yang lebih tinggi. Pemimpin transformasional adalah agen perubahan dan bertindak sebagai katalisator yaitu yang memberi peran mengubah sistem ke arah yang lebih baik. 3) 3.Kepemimpinan visioner adalah kemampuan seorang pimpinan dalam mencipta, merumuskan, mengomunikasikan, mensosialisasikan atau mentransformasikan, dan mengimplementasikan pemikiran-pemikiran ideal yang berasal dari dirinya atau sebagai hasil interaksi sosial di antara anggota organisasi dan stakeholders yang diyakini sebagai cita-cita organisasi di masa 7
Aan Komariah dan Cepi Triatna, Visionary Leadership menuju Sekolah efektif, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2004), hlm. 75-80.
Khamid Alwi
6
depan yang harus diraih atau diwujudkan melalui komitmen semua personal. Sedangkan kepemimpinan pendidikan dapat diklasifikasikan ke dalam empat tipe antara lain8: Pertama, Tipe otoriter adalah tipe kepemimpinan�authoritarian�. Dalam kepemimpinan otoriter pemimpin bertindak sebagai diktator terhadap anggota-anggota kelompoknya. Kedua, Tipe Laissez-faire adalah dalam tipe kepemimpinan ini sebenarnya pemimpin tidak memberikan kepemimpinannya,dia membiarkan bawahannya berbuat sekehendaknya. Ketiga, Tipe Demokratis adalah pemimpin yang bertipe demokratis menafsirkan kepemimpinannya bukan sebagai diktator,melainkan sebagai pemimpin di tengah-tengah anggota kelompoknya. Keempat,Tipe Pseudo-demokratis adalah Tipe ini disebut juga demokratis semu atau manipulasi diplomatik. Pemimpin yang bertipe pseudo-demokratis hanya tampaknya saja bersikap demokratis padahal sebenarnya dia bersikap otokratis. Jadi dengan uraian singkat di atas pemimpin menganggap dirinya sebagai pemimpin yang demokratis,tetapi sebenarnya ia adalah pemimpin yang memanipulasi demokrasi,menganut demokrasi semu dan lebih mengarah kepada kegiatan pemimpin yang otoriter dalam bentuk yang halus,samar-samar sampai personalia di dalam organisasi tidak menyadarinya ( kecuali yang kritis dan yang SDM nya tinggi tahu permainan pimpinannya), dan yang mungkin dilaksanakan tanpa di sadari bahwa tindakan itu bukan tindakan pimpinan yang demokratis. 4. Pemimpin dalam pengambilan keputusan. Pemimpin dalam administrasi pendidikan yang efektif memimpin anggota kelompoknya sehingga mereka merasa kebutuhannya terpenuhi,dan memuaskan pelanggan pendidikan serta pemimpin sendiri juga merasa kebutuhannya terpuaskan sehingga tujuan organisasi tercapai. Administrasi pendidikan merupakan bagian dari Administrasi negara, konsep keputusan dalam administrasi pendidikan tentu juga merupakan bagian dari administrasi negara. Dalam bahasa Belanda keputusan di sebut�Verwaltungsukt�. Van Vollenhoven, mengemukakan keputusan adalah tindakan hukum yang bersifat sepihak dalam bidang pemerintahan dan di lakukan oleh suatu badan hukum berdasarkan wewenangnya yang luar biasa. Sedangkan dalam konsep manajemen hasil dari proses dalam manajemen adalah suatu keputusan yang dapat ditentukan sebagai arah tindakan yang di pilih secara sadar dari alternatif-alternatif yang tersedia dengan maksud untuk mencapai suatu hasil yang di kehendaki9.Suatu keputusan tidak akan 8
Tim Dosen jurusan Administasi pendidikan, Pengelolaan pendidikan, (Bandung: Penerbit UPI Bandung,2005), hlm. 173 9 Syaiful Sagala, Administrasi pendidikan kontemporer, (Bandung: CV Alfabeta, 2000), hlm. 157.
Kepemimpinan Dalam Administrasi
7
memiliki tingkat keakuratan yang kuat jika tidak di dukung berbagai informasi yang ada dan buktikan dengan data yang valid,dari berbagai input informasi yang diterima akan di analisis secara komprehensif oleh pihak manajemen organisasi untuk di bentuk suatu rekomendasi keputusan yang bersifat alternatif dan selanjutnya alternatif keputusan yang di tawarkan itu diambil mana yang terbaik. Keputusan adalah proses penelusuran masalah yang berawal dari latar belakang masalah,identifikasi masalah hingga kepada terbentuknya kesimpulan atau rekomendasi.10 Lahirnya suatu keputusan tidak serta merta berlangsung secara sederhana begitu,sebab sebuah keputusan itu selalu saja lahir berdasarkan dari proses yang memakan waktu,tenaga dan pikiran hingga akhirnya terjadinya suatu pengkristalan dan lahirlah keputusan tersebut. Selanjutnya yang dianggap penting adalah pertanggung jawaban dari keputusan itu sendiri kepada pihak yang berkepentingan. Dalam setiap keputusan yang dibuat selalu saja menyimpan resiko yang timbul, resiko tersebut pada prinsipnya tidak bisa di hindari apa dan bagaimanapun bentuknya selalu saja dan pasti timbul ini disebut dengan dampak dari suatu keputusan. Pengambilan keputusan yang beresiko adalah dihasilkannya suatu keputusan yang mengandung lebih dari satu kemungkinan hasil berdasarkan beberapa alternatif keputusan yang diambil,dan karena terdapat beberapa alternatif maka otomatis terdapat pula beberapa peluang yang sama besarnya. Untuk mengatasi resiko yang timbul dalam suatu organisasi baik yang bersifat profit maupun non profit adalah dengan mengimplementasikan “manajemen resiko�. Oleh karena itu seorang pemimpin harus cermat dalam mengambil keputusan,agar keputusan itu baik,tidak merugikan personalia di dalam organisasi dan tidak merugikan organisasi. Pemimpin seperti ini sadar betul akan adanya pertanggung jawaban atas apa yang di pimpinnya sebagaimana sunnah rosul yang artinya�...dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggung jawaban atas apa yang di pimpinnya�,dan seorang pemimpin dalam mengambil keputusan mengacu pada tujuan organisasi yang di pimpinnya,untuk mencapai itu pemimpin tersebut menggunakan secara optimal sumber daya organisasi terutama SDM di organisasi tersebut di berdayakan secara optimal sesuai dengan bidangnya.
10
hlm. 104.
Irham Fahmi, Manajemen kinerja teori dan aplikasi ,(Bandung:CV Alfabeta, 2010),
8
Khamid Alwi
C. Kesimpulan 1. Pemimpin adalah seseorang yang berada dalam kelompok,sebagai pemberi tugas atau sebagai pengarah dan mengkondisikan kegiatan kelompok yang relevan,dan sebagai penanggung jawab utama serta bisa memberi contoh baik dalam kedinasan maupun dalam kehidupan sehari-hari sehingga organisasi menjadi kondusif. Ada dua hal yang mengarakterisasi pemimpin dalam melaksanakan tugasnya,yaitu “keterbukaan dan mau melayani”. 2. Pemimpin harus bisa memberikan teladan yang baik dari orang-orang yang dipimpin dan menempatkan sesuai dengan bidangnya yang cocok. Untuk melakukannya, di butuhkan tidak hanya kemampuan untuk memanfaatkan sumber yang ada untuk mencapai sasaran, tapi juga kapasitas untuk mengembangkan kepercayaan dan di butuhkan SDM yang tinggi dan “diperdayakannya” dan bukan menjadi saingannya.Tujuan organisasi tidak hanya diketahui oleh pemimpin atau kelompok,tujuan organisasi harus disosialisasikan kepada semua”pelanggan pendidikan” ,supaya tujuan organisasi cepat tercapai sesuai dengan Visi dan Misi. 3. Jabatan merupakan suatu “Amanah” dan akan dimintai pertanggung jawabannya.[]
Kepemimpinan Dalam Administrasi
9
Daftar Pustaka Ace suryadi, Pendidikan, Investasi SDM dan Pembangunan. Jakarta: PT Balai Pustaka. 1999. Aan komariah, Cepi Triatna, Visionary Leadership Menuju Sekolah Efektif. Jakarta: PT Bumi Aksara, 2004. Becker G.S. Human Capital, A Theoritical and Empirical Analysis with Speccial Reference to Education. Chicago, University of Chicago Press, 1993. Buchari Alma & Ratih Hurriyati, Manajemen Corporate & Strategi Pemasaran Jasa Pendidikan. Bandung : CV alfabet, 2008. Depag RI, Al qur’an Terjemah. Surabaya: Surya Cipta Aksara, 1995. Engkoswara, Paradigma Manajemen Pendidikan Menyongsong Ekonomi Daerah. Bandung : Yayasan Amal Keluarga, 2001. Hadari Nawawi, Administrasi Pendidikan, Jakarta: CV Haji Masa Agung, 1981. Nanang Fattah, Landasan Manajemen Pendidikan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2004. ------------------- Ekonomi dan Pembiayaan Pendidikan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2000. ------------------ Konsep Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) dan Dewan Sekolah. Bandung : Pustaka Bani Quraisy, 2003. Nur Aedi, Dasar-Dasar Manajemen Pendidikan. Bandung: Pustaka Cendekia Utama, 2012. Imam Munawir, Asas-Asas kepemimpinan dalam Islam. Penerbit Usaha Nasional, 1993. Irham Fahmi, Manajemen kinerja Teori dan Aplikasi. Bandung: CV Alfabeta. 2010. Jac Fitz-enz, The ROI of Human Capital, Measuring the Economic Value of Employee Performance, New York, Amacom, 2000. Syaiful Sagala, Administrasi Pendidikan Kontemporer. Bandung: CV Alfabeta, 2000. Syaiful Sagala, Manajemen Strategik dalam Peningkatan Mutu Pendidikan. Bandung: CV Alfabeta, 2009. Sudarwin Danim, Motivasi dan Kepemimpinan Efektivitas Kelompok. Jakarta: PT Rineka Cipta 2004. Suryobroto, Manajemen Pendidikan di Sekolah,Jakarta: PT Rineka Cipta, 2004. Tim Dosen Jurusan Administrasi pendidikan, Pengelolaan Pendidikan. Bandung: UPI/Universitas Pendidikan Indonesia, 2005.
Analisis Kritis Nurcholish Madjid Terhadap Sistem Pendidikan Pesantren Di Indonesia
10
ANALISIS KRITIS NURCHOLISH MADJID TERHADAP SISTEM PENDIDIKAN PESANTREN DI INDONESIA (Telaah Buku Bilik – Bilik Pesantren) Suratman1 Abstract One of the Islamic educational institutions targeted by Nurcholish Madjid criticism is that he thinksthat islamic boarding school that are not able to formulate the aim of the education and pour into stages of work plans and programs.The lack in formulating their goals implies to the lack of islamic boarding school in response to the era, in addition to the other various factors,make the output of the boarding school is considered lack of readiness to 'melt' and coloring th modern life.It is not modern when it appeared the image of the students, compared with the demands of real life today, is a picture of themselves with limited capabilities.Due to that limited ability so that the roles may be done is only secondary and less significant in the whole of society system.and less touching, especially the influence of the core axis of the development of society.
Keywords: Nurcholish Madjid, Boarding School Education, Indonesian A. Pendahuluan Menyikapi realitas pendidikan sekarang Nurcholish Madjid sebagaimana di kemukakan oleh Yasmadi, tampil memodernisasi pendidikan Islam. Usaha yang dimaksudkan ialah menemukan format pendidikan ideal sebagai sistem pendidikan alternatif bangsa Indonesia ke depan. Kelebihan dan keunggulan lembaga pendidikan masa lampau dijadikan sebagai kerangka acuan untuk merekonstruksi konsep pendidikan yang dimaksudkan. Sedangkan berbagai bentuk sistem pendidikan yang tidak relevan berdasarkan ruang dan waktu harus ditinggalkan.2 Salah satu lembaga pendidikan Islam yang dijadikan sasaran kritik oleh Nurcholish Madjid ialah pendidikan pesantren yang menurutnya lembaga tersebut tidak sedikit yang belum mampu secara sadar untuk merumuskan tujuan pendidikannya dan menuangkan dalam tahapan-tahapan rencana kerja dan program.3 Kurangnya pesantren dalam merumuskan tujuannya tersebut berimplikasi kepada kurangnya kemampuan pesantren dalam meresponi zaman, ditambah lagi dengan faktor lain yang sangat beragam, membuat produk-produk pesantren dianggap kurang siap untuk ‘lebur’ dan mewarnai kehidupan modern. Tidaklah modern apabila muncul gambaran seorang santri itu, di banding dengan Penulis adalah dosen di STAIN Purwokerto. Yasmadi, “Modernisasi Pesantren: Kritik Nurcholish Madjid terhadap Pendidikan Islam Traadisional”, (Ciputat: Quantum Teaching, 2005), hlm. 113. 3 Ibid., hlm. 6. 1 2
11
Suratman tuntutan-tuntutan kehidupan nyata pada zaman sekarang, adalah gambaran diri seorang dengan kemampuan-kemampuan terbatas. Sedemikian terbatasnya kemampuan itu sehingga peranan-peranan yang mungkin di lakukan ibarat hanya bersifat tambahan yang kurang berarti pada pinggiran-pinggiran keseluruhan sistem masyarakat saja, dan kurang menyentuh, apalagi pengaruh dari inti poros perkembangan masyarakat itu.4 Meskipun demikian, Nurcholish Madjid sebagai salah seorang santri yang egaliter, bersifat terbuka, kosmopolit, dan demokratis, mengadakan penelaahan kembali terhadap kondisi dunia pesantren. Menurutnya, dalam lembaga pesantren ada plus minusnya. Ia tidak mengungkapkan terlalu jauh tentang plusnya, karena memang mudah untuk dilihat dan dirasakan. Akan tetapi, secara tegas Nurcholish Madjid memberikan kejelasan, paling tidak minus pesantren terlihat dari sisi metodologinya yang tidak begitu efisien, penekanan pada hal-hal yang sebenarnya tidak terlalu berlebihan, (misalnya fiqih, minimnya ilmu-ilmu umum), dan lainlain.5Selanjutnya terkait minus pesantren dari segi metodologi Yasmadi menjelaskan bahwa salah satunya ialah pesantren memiliki kelemahan dari segi perumusan tujuan pendidikannya karena tidak menuangkan dalam tahapantahapan rencana kerja atau program.6Selain itu, dari aspek kurikulum, pesantren cenderung fiqih oriented, sementara aspek inti keagamaan semisal tasawuf cenderung terabaikan. 7 Berdasarkan uraian di atas, menurut Yasmadi setidaknya perlu dipertegas agar tidak menimbulkan kesalahpahaman, yakni: pertama, asumsi atau tesis Nurcholish Madjid ini tidak dapat diterima bila dikaitkan dengan pondok pesantren yang telah memodernisasi diri. Biasanya pesantren-pesantren tersebut telah memiliki manajemen yang rapi, menggunakan sistem klasikal dan berjenjang, bahkan jenjang pendidikannya telah sampai pada level universitas atau sekolah tinggi. Kedua, asumsi itu cukup beralasan bila dihadapkan pada model pesantren salaf. Pesantren ini masih terbelenggu dengan tradisi dan menolak untuk menerima, atau melakukan upaya pembaharuan.8 Berdasarkan gambaran sekilas pesantren dan upaya pembaharuan pesantren yang dilakukan Nurcholish Madjid yang secara keseluruhan terlihat pada salah satu karyanya yang berjudul: “Bilik-bilik Pesantren Sebuah Potret Perjalanan�, maka penulis merasa berkepentingan untuk mengangkat pemikiran
Ibid., hlm. 7. Yasmadi, “Modernisasi Pesantren: Kritik Nurcholish Madjid terhadap Pendidikan Islam Tradisional�, (Ciputat: Quantum Teaching, 2005), hlm. 72. 6 Ibid. 7 Ibid., hlm. 78-79. 8 Ibid., hlm. 75. 4 5
Analisis Kritis Nurcholish Madjid Terhadap Sistem Pendidikan Pesantren Di Indonesia
12
Nurcholish Madjid, tentang pembaharuan pendidikan pesantren di Indonesia agar dapat bersaing di era global dalam sebuah penelitian dengan judul: “Analisis Kritis Nurcholish Madjid terhadap Sistem Pendidikan Pesantren di Indonesia ( Telaah buku bilik – bilik Pesantren). B. Pembahasan 1. Biografi Nurcholis Madjid Nurcholish Madjid dilahirkan di Mojoanyar, Jombang, pada tanggal 17 Maret 1939/26 Muharam 1358. Seorang cendekiawan muslim Indonesia yang dikenal dengan gagasannya tentang pembaruan pemikiran Islam. Lahir dari kalangan keluarga pesantren, ia adalah putra seorang guru Madrasah AlWathaniah di Jombang, Haji Abdul Madjid. Pendidikan awal ia peroleh dari Sekolah Rakyat (pagi) dan Madrasah Ibtidaiyah (sore) di daerah kelahirannya. Kemudian ia melanjutkan ke Pesantren Darul Ulum Rejoso, Jombang, selama 2 tahun. Salah satu gurunya adalah KH Hasyim Asy'ari. Kemudian ia meneruskan pendidikan ke Kulliyatul muallimin alIslamiyah (KMI) di Pesantren Darussalam, Pondok Modern Gontor, Ponorogo, Jawa Timur, sampai tamat 1960. Lalu mengajar selama setahun lebih di pesantren tersebut. Pendidikan tinggi diperolehnya dari Fakultas Adab (Sastra Arab dan Kebudayaan Islam), jurusan Bahasa dan Sastra Arab, IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, hingga menyandang gelar sarjana pada tahun 1968. Sejak bulan Maret 1978, ia mendapat kesempatan mengikuti studi lanjut (tugas belajar) di Universitas Chicago, Amerika Serikat, hingga meraih gelar doktor dalam bidang Kalam dan Falsafah, dengan predikat cum laude pada bulan Maret 1984. Selama menjadi mahasiswa IAIN, Nurcholish Aktif di organisasi kemahasiswaan, Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). la pernah menjadi ketua Umum Pengurus Besar HMI untuk dua periode 1966-1969 dan 1969-1971; presiden Persatuan Mahasiswa Islam Asia Tenggara, 1967-1969; asisten IIFSO (International Islamic Federation of Students Organizations/Federasi Organisasiorganisasi Mahasiswa Islam Internasional), 1968-1971. Nur Cholish pernah menjadi staf pengajar di IAIN (1972-1974) serta pemimpin umum majalah Mimbar, Jakarta (1971-1974), dan pemimpin redaksi majalah Forum. Bersama teman-temannya, ia mendirikan dan memimpin LSIK (Lembaga Studi IlmuIlmu Kemasyarakatan, 1972-1976) dan LKIS (Lembaga Kebajikan Islam Samanhudi, 1974-1977). Sebelum dan sepulangnya dari Amerika Serikat ia bekerja di LIPI sebagai anggota staf peneliti, menjadi dosen di Fakultas Adab dan Pasca Sarjana IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta; mendirikan dan menjadi
13
Suratman ketua Yayasan Paramadina, yang aktif dalam kajian keislaman; menjadi penulis tetap harian Pelita, Jakarta; 1988 anggota MPR; Agustus 1991 dosen tamu di Institute of Islamic Studies, McGill University, Montreal, Canada. Nurcholish Madjid pertama kali menyampaikan ide-ide pembaharuannya secara formal pada 2 Januari 1970 di Jakarta dalam acara halal bihalal di depan keluarga HMI, GPI (Gerakan Pemuda Islam), PII (Pelajar Islam Indonesia) dan Persami (Persatuan Sarjana Muslim Indonesia), dengan judul "Keharusan Pembaharuan Pemikiran Islam dan Masalah Integrasi Umat". Bahasannya mencakup: 'Islam Yes, Partai Islam No', Kuantitas versus Kualitas, Liberalisasi Pandangan terhadap 'Ajaran Islam' sekarang (Sekularisasi, Kebebasan Berpikir, Idea of Progress, dan Sikap Terbuka), dan perlunya kelompok pembaharuan "liberal". Makalah tersebut kemudian dilengkapi wawancara dengan Harian Kompas (1 April 1970), yang bahasannya mencakup: Beragama secara Konvensional, Sekularisasi dan Sekularisme, dan Beberapa 'Asuhan' dari Agama (Al-Qur'an). Sebelumnya, 5 Februari 1970, ia menyampaikan pidato pada acara HUT ke-3 HMI di Jakarta, dengan judul "Menuju Pembaharuan Pemikiran dalam Islam", memberikan kuliah di Pusat Kesenian Jakarta, 30 Oktober 1972, dengan judul "Menyegarkan Paham Keagamaan di Kalangan Ummat Islam Indonesia," dan sebagainya yang dimuat dalam Pos bangsa, Tribun, dan Panji Masyarakat. Ide-idenya tersebut mendapat pro dan kontra, sehingga tahun 70-an ia disebut tokoh kontroversi. Ada pula yang menyebutnya dengan "Natsir Muda", sebutan yang dihubungkan dengan nama salah seorang tokoh partai Masyumi yang berpandangan modern, Mohammad Natsir. 2. Karir dan Karya-Karya Nurcholish Madjid Karir Nurcholis Madjid sangat cepat melonjak terutama karena ide-ide pembaharuan beliau yang sangat terkenal. Antara lain: a. Anggota MPR-RI 1987-1992 dan 1992–1997 b. Anggota Dewan Pers Nasional, 1990–1998 c. Ketua Yayasan Paramadina, Jakarta 1985–2005 d. Fellow, Eisenhower Fellowship, Philadelphia, Amerika Serikat, 1990 e. Anggota KOMNAS HAM, 1993-2005 f. Profesor Tamu, McGill University, Montreal, Kanada, 1991–1992 g. Wakil Ketua, Dewan Penasehat Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI), 1990–1995 h. Anggota Dewan Penasehat ICM, 1996 i. Penerima Cultural Award ICM, 1995
Analisis Kritis Nurcholish Madjid Terhadap Sistem Pendidikan Pesantren Di Indonesia
14
j. Rektor Universitas Paramadina Mulya, Jakarta 1998–2005 k. Penerima Bintang Mahaputra, Jakarta 1998 Beberapa karya hingga wafatnya banyak diterbitkan oleh beberapa penerbit terkenal antara lain: a. The issue of modernization among Muslim in Indonesia, a participant point of view in Gloria Davies, ed. What is Modern Indonesia Culture (Athens, Ohio, Ohio University, 1978) b. “Issue tentang modernisasi di antara Muslim di Indonesia: Titik pandangan seorang peserta” dalam Gloria Davies edisi. Apakah kebudayaan Indonesia Modern (Athens, Ohio, Ohio University, 1978) c. “Islam In Indonesia: Challenges and Opportunities” in Cyriac K. Pullabilly, Ed. Islam in Modern World (Bloomington, Indiana: Crossroads, 1982) d. “Islam Di Indonesia: Tantangan dan Peluang” dalam Cyriac K. Pullapilly, Edisi, Islam dalam Dunia Modern (Bloomington, Indiana: Crossroads, 1982) e. Khazanah Intelektual Islam (Intellectual Treasure of Islam) (Jakarta, Bulan Bintang, 1982) f. Khazanah, Intelektual Islam (Jakarta, Bulan Bintang, 1982) g. Islam Kemoderanan dan Keindonesiaan (Islam, Modernity and Indonesianism), (Bandung: Mizan, 1987, 1988) h. Islam, Doktrin dan Peradaban (Islam, Doctrines and civilizations), (Jakarta, Paramadina, 1992) i. Islam, Kerakyatan dan KeIndonesiaan (Islam, Populism and Indonesianism) (Bandung: Mizan, 1993) j. Pintu-pintu menuju Tuhan (Gates to God), (Jakarta, Paramdina, 1994) k. Islam, Agama Kemanusiaan (Islam, the religion of Humanism), (Jakarta, Paramadina, 1995) l. Islam, Agama Peradaban (Islam, the Religion of Civilization), (Jakarta, Paramadina, 1995) m. “In Search of Islamic Roots for Modern Pluralism: The Indonesian Experiences.” In Mark Woodward ed., Toward a new Paradigm, Recent Developments in Indonesian n. IslamicThoughts (Tempe, Arizona: Arizona State University, 1996) 3. Pemikiran Nurcholis Madjid Pesantren merupakan salah satu jenis lembaga pendidikan Islam Indonesia untuk mendalami ilmu agama Islam dan telah diakui sebagai lembaga yang telah ikut serta mencerdaskan kehidupan bangsa. bila dilihat dari segi historis pesantren tidak hanya identik dengan makna keislaman, tapi
15
Suratman juga mengandung makna keaslian Indonesia (indigenous). Pesantren muncul dan berkembang dari pengalaman sosiologis masyarakat lingkungannya. Dengan kata lain pesantren mempunyai keterkaitan erat yang tidak terpisahkan dengan komunitas lingkungannya. Istilah pesantren berasal dari kata santri yang mendapat awalan “pe” dan akhiran “an” sehingga terbentuklah kata “pesantrian”. Menurut buku Babad Tanah Cirebon, santri berasal dari kata ‘chantrik” yang berarti orang yang sedang belajar kepada seorang guru. Kemudian kata itu diserap ke dalam bahasa Jawa menjadi “pesantrian” (orang Jawa mengucapkannya “pesantren”) yang menunjukkan tempat, jadi berarti “tempat para santri menginap dan menuntut ilmu”. Kadang-kadang ikatan kata “sant” (manusia baik) dihubungkan dengan kata “tra” (suka menolong) sehingga kata pesantren berarti “tempat pendidikan manusia baik-baik”.9 Menurut Profesor Johns seperti dikutip oleh Zamachsyari Dhofier bahwa istilah santri berasal dari bahasa Tamil yang berarti guru mengaji. Sedangkan CC. Berg berpendapat bahwa istilah tersebut berasal dari istilah shastri yang dalam bahasa India berarti orang yang tahu buku-buku suci Agama Hindu, atau seorang sarjana ahli kitab suci agama Hindu, Kata shastri berasal dari kata shastra yang berarti buku-buku suci, buku-buku agama atau buku-buku tentang ilmu pengetahuan.10 Secara terminologi, dapat dikemukakan beberapa pandangan yang mengarah pada definisi pesantren. Menurut Mastuhu, Pesantren merupakan lembaga pendidikan tradisional Islam untuk memahami, menghayati, dan mengamalkan ajaran Islam dengan menekankan pentingnya moral agama Islam sebagai pedoman hidup bermasyarakat sehari- hari.11 Abdurrahman Mas’ud, seperti disitir Ismail SM, menulis: the word pesantren stems from “santri” which means one who seeks Islamic knowledge. Usually the word pesantren refers to a place where the santri devotes most of his or her time to live in and acquire knowledge (dalam Ismail.12 Sedangkan menurut Abdurrahman Wahid, pesantren secara teknis berarti: a place where santri (students) live. Selanjutnya, Zamachsyari Dhofier menulis: pondok, masjid, santri,
Wahjoetomo, Perguruan Tinggi Pesantren,Jakarta: Gema Insani Press,1997.cet 1.hlm 70 Zamachsyari Dhofier, Tradisi Pesantren: Studi tentang pandangan hidup Kyai, ( Jakarta: LP3ES,1994 ), hlm.18 11 Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren: Suatu Kajian Tentang Unsur dan Nilai Sistem Pendidikan Pesantren,( Jakarta: INIS, 1994), Hlm.55 12 Ismail SM (eds), Pendidikan Islam dan Demokratisas idan Masyarakat Madani,( Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000), hlm.50 9
10
Analisis Kritis Nurcholish Madjid Terhadap Sistem Pendidikan Pesantren Di Indonesia
16
pengajaran kitab-kitab Islam klasik dan kiai merupakan lima elemen dasar dari tradisi pesantren. Namun demikian, karakteristik pondok pesantren tradisional seperti di atas sudah semakin sulit ditemui. Sejak awal abad XX dan terutama sejak kemerdekaan hingga dewasa ini, pondok pesantren telah mengalami transformasi kelembagaan secara signifikan. Meskipun kelima unsur tersebut tetap ada pada semua pesantren, namun pada umumnya juga terdapat unsurunsur lain. Jadi dari beberapa definisi di atas dapat dipahami bahwa, pondok pesantren adalah suatu lembaga pendidikan Islam yang telah tua sekali usianya, telah tumbuh sejak ratusan tahun yang lalu, setidaknya memiliki lima unsur pokok, yaitu kyai, santri, pondok, masjid dan pengajaran ilmu-ilmu agama.13 Buku bilik-bilik pesantren ini merupakan karya monumentalnya yang hingga kini banyak dijedikan referensi oleh para ahli dalam mengkaji pendidikan pesantren era modern. Meskipun para kyai pengelola pesantren tidak semua sepakat dengan pemikiran-pemikirannya ini, namun dalam kenyataannya semakin hari semakin banyak yang telah membuka mata untuk mencoba memahami dan bahkan mempraktikkan gagasan-gagasan yang diutarakan olehnya. 1. Tujuan Pendidikan Pesantren Gagasan-gagasan yang dikemukakan di atas bersifat sangat tentatif, seandainya deskripsi, analisa, dan tinjauan tadi benar, maka ada dua kesimpulan pokok yang bisa kita tarik, yaitu: Pertama, pesantren berhak, maka lebih baik dan lebih berguna, mempertahankan fungsi pokoknya semula, yaitu sebagai tempat menyelenggarakan pendidikan agama. Tetapi mungkin diperlukan suatu tinjauan kembali sedemikian rupa sehingga ajaran-ajaran agama yang diberikan kepada setiap pribadi merupakan jawaban yang komprehensif atas persoalan makna hidup dan weltanscbauung Islam, selain tentu saja disertai dengan pengetahuan secukupnya tentang kewajiban-kewajiban praktis seorang Muslim sehari-hari .14 Pelajaran-pelajaran ini kemungkinan dapat diberikan melalui beberapa cara, diantaranya:
13 Zamachsyari Dhofier, Tradisi Pesantren: Studi Tentang Pandangan hidup Kyai,( Jakarta: LP3ES, 1994 ), cet.ke-6. hlm.44 14 Nurcholish Madjid, Bilik - bilik pesantren sebuah potret perjalanan, ( Jakarta: Paramadina, 1997), hlm.16
17
Suratman a. Mempelajari al-Qur’an dengan cara yang lebih sungguh-sungguh daripada yang umumnya dilakukan orang sekarang, yaitu dengan menitikberatkan pada pemahaman makna dan ajaran-ajaran yang terkandung di dalamnya. Ini memerlukan kemampuan pengajaran yang lebih besar. Yaitu pengajaran kesatuan-kesatuan pengertian tentang ayat-ayat dan surat-surat yang dibacanya dengan menghubungkannya dengan ayat-ayat atau surat-surat lain (yang belum terbaca pada saat itu). Pelajaran ini mungkin mirip dengan pelajaran tafsir, tetapi dapat diberikan tanpa sebuah buku atau kitab tafsir melainkan cukup dengan al-Qur’an secara langsung. b. Melalui pertolongan sebuah bahan bacaan atau buku pegangan. Penggunaan ini sangat tergantung pada kemampuan para pengajar dalam mengembangkannya secara lebih luas. c. Selain itu baik sekali memanfaatkan mata pelajaran lain untuk “disisipi” pandangan-pandangan keagamaan tadi. Dan menanamkan kesadaran dan penghargaan yang lebih wajar pada hasil-hasil seni budaya Islam atau seni budaya umumnya. Hal ini penting sekali untuk menumbuhkan kepekaan rohani, termasuk kepekaan rasa ketuhanan yang menjadi inti rasa keagamaan. Selain dari segi yang lebih universal ini, pesantren dapat mengadakan pendalaman-pendalaman pada segi lainnya dalam suatu tingkat yang lebih lanjut dan bersifat “takhassus”. Suatu catatan berkaitan dengan hal tersebut adalah keharusan mengadakan pengaturan kembali alokasi waktu dan tenaga pengajaran sehingga terjadi pengehematan dan intensifikasi bagi pelajaranpelajaran lainnya .15 Kedua, pesantren harus tanggap dengan tuntutan-tuntutan hidup anak didiknya kelak dalam kaitannya dengan perkembangan zaman. Di sini pesantren dituntut dapat membekali mereka dengan kemampuan-kemampuan nyata yang didapat melalui pendidikan atau pengajaran pengetahuan umum secara memadai. Di bagian ini pun, sebagaimana layaknya yang terjadi sekarang, harus tersedia jurusan-jurusan alternatif bagi anak didik sesuai dengan potensi dan bakat mereka. Jadi tujuan pendidikan pesantren adalah membentuk manusia yang memiliki kesadaran tinggi bahwa ajaran Islam merupakan weltanschauung yang bersifat menyeluruh. Selain itu produk pesantren ini diharapkan memiliki kemampuan tinggi untuk mengedakan response terhadap tantangan-tantangan dan tuntutan-tuntutan hidup dalam konteks ruang dan waktu yang ada (Indonesia dan dunia abad sekarang). 15
Ibid, hlm.17
Analisis Kritis Nurcholish Madjid Terhadap Sistem Pendidikan Pesantren Di Indonesia
18
2. Kyai dan Santri (Guru dan Murid) Menurut Nurcholis Madjid, pergaulan bisa diibaratkan as the core of the pesantren. Sebagaimana kita ketahui, pesantren merupakan tempat berkumpulnya para santri. Jadi kalau berbicara mengenai pola pergaulan di pesantren tentunya tidak bisa kita lepaskan dari santri itu sendiri. Perkataan santri digunakan untuk menunjukkan pada golongan orang-orang Islam di Jawa yang memiliki kecenderungan lebih kuat pada ajaran-ajaran agamanya, sedangkan untuk orang-orang yang lebih mengutamakan tradisi kejawaannya biasanya disebut kaum “abangan”. Lebih lanjut Nurcholis Madjid menjelaskan mengenai asal usul perkataan “santri”, menurutnya sekurang-kurangnya ada dua pendapat yang bisa dijadikan acuan. Pertama, adalah pendapat yang mengatakan bahwa “santri” itu berasal dari perkataan “sastri”, sebuah kata dari bahasa Sanskerta, yang artinya melek huruf. Agaknya dahulu, lebih-lebih pada permulaan tumbuhnya kekuasaan politik Islam di Demak, kaum santri adalah kelas “literary” bagi orang Jawa. Ini disebabkan pengetahuan mereka tentang agama melalui kitab-kitab bertulisan dan berbahasa Arab. Dari sini bisa kita asumsikan bahwa menjadi santri berarti juga menjadi tahu agama (melalui kitab-kitab tersebut). Atau paling tidak seorang santri itu bisa membaca alQur’an yang dengan sendirinya membawa pada sikap lebih serius dalam memandang agamanya. Sedangkan yang kedua, menurutnya ada pendapat yang mengatakan bahwa perkataan santri sesungguhnya berasal dari bahasa Jawa, persisnya dari kata cantrik ini masih bisa kita lihat sampai sekarang, tetapi sudah tidak “sekental” seperti yang pernah kita dengar. Misalnya seseorang yang hendak memperoleh kepandaian dalam pewayangan, menjadi dalang atau menabuh gamelan, dia akan mengikuti orang yang sudah ahli, dalam hal ini biasanya dia disebut “dalang cantrik”, meskipun juga kadang-kadang dipanggil “dalang magang”. Sebab dulu, dan mungkin juga sampai sekarang, tidak terdapat cara yang sungguh-sungguh dan “professional” dalam mengajarkan kepandaiankepandaian tersebut. Pemindahan kepandaian itu, sebagaimana juga dengan pemindahan obyek kebudayaan lain pada orang Jawa “abangan”, lebih banyak terjadi melalui pewarisan langsung dalam pengalaman sehari-hari. Pola hubungan “guru cantrik” menjadi masa Islam. Pada proses evolusi selanjutnya “guru cantrik” menjadi “guru santri”. Dan sekalipun perkataan “guru” masih dipakai secara luas sekali, tetapi untuk guru yang terkemuka kemudian digunakan perkataan “kyai” untuk laki-laki dan “nyai” untuk wanita. Perkataan “kyai” sendiri agaknya berarti tua, pernyataan dari
19
Suratman panggilan orang Jawa kepada kakeknya yahi, yang merupakan singkatan dari pak kyai, dan kepada nenek perempuannya nyahi. Tetapi di situ terkandung juga rasa pensucian pada yang tua, sebagaimana kecenderungan itu umum dikalangan orang Jawa. Sehingga “kyai” tidak saja berarti “tua” (yang kebetulan sejalan dengan pengertian syeikh” dalam bahasa Arab), tetapi juga berarti “sacral”, keramat, dan sakti. Begitulah, maka benda-benda yang dianggap keramat seperti keris pusaka, dan pusaka keratin disebut juga kyai . Proses belajarnya santri kepada kyai atau guru itu sering juga sejajar dengan sesuatu kegiatan pertanian. Agaknya arti sesungguhnya dari perkataan “cantrik” adalah orang yang menumpang hidup atau dalam bahasa Jawa juga disebut ngenger. Pada masa sebelumnya kemerdekaan, orang yang datang menumpang di rumah orang lain yang mempunyai sawah lading untuk ikut menjadi buruh tani adalah juga disebut santri. Tentu itu juga berasal dari perkataan cantrik tadi. Dan memang bukanlah soal kebetulan jika seorang kyai adalah juga seorang pemilik sawah yang cukup luas. Umumnya memang demikian. Dengan sendirinya biasanya mereka adalah juga seorang haji. Kedudukan guru atau kyai sebagai seorang haji (Jawa kaji) itu kiranya dapat menerangkan, mengapa kemudian proses belajar kepada seorang kyai disebut “ngaji”. “Ngaji” adalah bentuk kata kerjaaktif dari perkataan kaji yang berarti mengikuti jejak haji, yaitu belajar agama dengan berbahasa Arab. Agaknya karena keadaan pada abad-abad yang lalu memaksa orang yang menunaikan ibadah haji untuk tinggal cukup lama di tanah suci sehingga ini memberi kesempatan padanya untuk belajar agama di Makkah, yang kelak diajarkan kepada orang lain ketika pulang..16 Tetapi mungkin juga perkataan “ngaji” itu berasal sebagai bentuk kata kerja aktif dari aji yang berarti terhormat, mahal, atau kadang-kadang sakti. Keterkaitan ini bisa kita buktikan dari adanya perkataan aji-aji yang berarti jimat. Jadi “ngaji” dalam hal ini berarti mencari sesuatu yang berharga, atau menjadikan diri sendiri aji, terhormat atau berharga. Terlepas dari apa pun asal kata-kata “ngaji”, “santri”, dan “kyai” ini, ngaji adalah memang merupakan kegiatan belajar yang dianggap suci atau aji oleh seorang santri yang menyerahkan dan menitipkanh hidupnya kepada seorang kyai yang selain sangat dihormati juga biasanya sudah tua dan sudah menunaikan haji karena kemampuan ekonominya. Pada mulanya seorang santri atau beberapa orang dapat ditampung hidupnya dirumah seorang kyai. Mereka itu bekerja untuk kyai di sawah dan di lading atau menggembalakan ternaknya. Dan ketika bekerja ini kehidupan 16
Ibid, hlm.18-21
Analisis Kritis Nurcholish Madjid Terhadap Sistem Pendidikan Pesantren Di Indonesia
20
mereka ditanggung oleh kyai. Tetapi lama-kelamaan hal itu tidak lagi terpikul oleh kyai, dan mulailah para santri mendirikan bangunan-bangunan kecil tempat mereka tinggal. Dalam bahasa Jawa (juga Indonesia), bangunanbangunan kecil tempat tinggal mereka yang semula sementara itu disebut pondok. Karena itu pesantren juga sering disebut pondok. Pergi ke pesantren adalah pergi ke pondok atau “mondok”, bagi orang yang inggin menjadi santri. 3. Sistem Nilai di Pesantren Menurut Nurcholis Madjid,17 sistem nilai yang digunakan di kalangan pesantren adalah yang berakar dalam agama Islam. Tetapi tidak semua yang berakar dalam agama ini dipakai oleh mereka. Kalangan pesantren sendiri, menamakan sistem nilai yang dipakainya itu dengan ungkapan “Ahl-u ‘l-Sunnah wa ‘l-Jamâ’ah”. Kalau kita lihat, Ahl-u ‘l-Sunnah wa ‘l-Jamaa‘ah sendiri pertamapertama adalah mengacu pada golongan Sunni. Maka dalam hal kalam atau ilmu ketuhanan, pesantren mengikuti madzhab sunni, sebagaimana dirumuskan oleh Abu Hassan al-Asy’ari, dan yang kemudian tersebar antara lain melalui karya-karya Imam Ghazali. Teologi Asy’ari itu yang biasa dipelajari oleh kaum santri adalah (khususnya) rumusannya tentang dua puluh sifat Tuhan yang terkenal itu. Santri menghafalkan itu di luar kepala, dan mereka percaya bahwa hal itu akan menjadi salah satu pertanyaan di alam kubur. Bahan pelajaran kalam yang paling umum digunakan adalah 'Aqidat-u ‘l-’Awâmm, sebuah buku kecil berbahasa Arab, dengan susunan nazham. Di beberapa pesantren, khususnya Jombang, nazham ‘Aqidat-u ‘l-‘Awâmm itu dijadikan “wirid” di masjid, dilagukan bersama pada waktu menunggu shalat, antara azan dan iqamat. Meskipun menamakan diri Ahl-u ‘l-Sunnah tetapi kaum santri tidak banyak yang menyadari adanya golongan-golongan lain di luar mereka (Ahl-u ‘lSunnah), kecuali Mu’tazilah. Kaum Mu’tazilah menjadi target kutukan kalangan pesantren sampai sekarang. Sedangkan golongan Syi’ah yang merupakan golongan terbesar di luar Ahl-u ‘l-Sunnah, tidak begitu disadari kehadirannya oleh kaum santri. Tetapi sebaliknya, mereka menyadari sepenuhnya tentang adanya golongan reformasi di Saudi Arabia, yang mereka kenal sebagai golongan Wahhabi. Selain golongan Mu’tazilah di atas, golongan Wahhabi ini juga menjadi target kutukan kalangan kiai dan santri. Kiranya hal ini tidak begitu mengherankan, sebab peristiwa yang membawa kebangkitan kesadaran diri Nurcholis Madjid, (Jakarta:Paramadina,1997),hlm.31 17
Bilik-bilik
Pesantren,
Sebuah
Potret
Perjalanan,
21
Suratman kaum kiai atau ulama di Jawa adalah peristiwa pendudukan Makkah pada tahun 1927 oleh kaum Wahhabi yang datang dari Timur itu. Peristiwa itulah yang mendorong Kiai Abdul Wahab Hasbullah dan kawan-kawan dari pesantren Tambak Beras di Jombang untuk mendirikan organisasi dengan nama Nahdlatul ‘Ulama. Mula-mula tujuan organisasi itu adalah mengirim utusan ke Makkah mengajukan resolusi menentang kaum Wahhabi, atau sekurangnya menghalangi tindakan lebih lanjut dari golongan ini yang ingin “membersihkan” makam-makam dan Tanah Suci, karena menurut mereka (kiai Hasbullah dan kawan-kawan ini), masalah yang menyangkut Tanah Suci merupakan tanggung jawab bersama kaum Muslim. Sepanjang keterangan, antara lain dan Kiai Saifuddin Zuhri, seorang bekas Menteri Agama, usaha itu berhasil baik, dengan Kiai Wahab sendiri yang mengetuai utusan . Tetapi konsep tentang Ahl-u ‘l-Sunnah wa ‘l-Jama’ah itu lebih terasa dalam hal fiqh. Kaum santri dalam hal fiqh mengikuti dan mewajibkan mengikuti salah satu dari sekurang-kurangnya empat imam madzhab fiqh, yaitu Maliki, Syafi’i, Hanafi dan Hambali. Di Indonesia sendiri yang umum dianut adalah Imam Syafi’i. Pembelaan mereka kepada penganut madzhab itu sejalan dengan paham tentang taqlid yang berposisi menjadi lawan ijtihad. Sedang untuk ijtihad ini diperjuangkan oleh organisasi reformasi di Indonesia, yaitu (terutama) oleh Muhammadiyah, Al-Irsyad, dan Persis. Maka kalangan pesantren, dengan menamakan diri Ahl-u ‘l-Sunnah wa ‘l-Jama’ah membedakan diri dan golongan reformis itu, dan sering menyebut mereka (golongan reformis) secara tak langsung sebagai ahli bid’ah yang sesat. Meskipun pada tingkat yang lebih tinggi perbedaan antara Ahl-u ‘lSunnah wa ‘l-Jama’ah itu adalah perbedaan antara mereka yang menganjurkan ijtihad dan yang menganjurkan taqlid, tetapi dalam kenyataan sehari-hari perbedaan dalam fiqh itu hanya terbukti dalam hal-hal yang amat sederhana, seperti persoalan niat sebelum wudlu (nawaytu), jumlah azan sebelum sembahyang Jum’at satu atau dua kali, shalat tarawih di malam bulan Puasa 11 rakaat atau 23 rakaat, dan tentang bald tidaknya beberapa binatang untuk dimakan, seperti katak, ular, dan musang. Selain itu perlu kita ketahui juga bahwa dalam hal fiqh ini sikap-sikap kaum santri (terutama yang pesantrennya di desa dengan desa) banyak dipengaruhi oleh kitab Safinat-u 'l-Najah, sedangkan dalam hal keagamaan sikap mereka umumnya dibentuk oleh kitab Sullam-u 'l-Tawfiq. Persoalan lain yang membedakan kaum Ahl-u 'l-Sunnah wa ‘l-Jamaah dan lainnya ialah yang menyangkut masalah adat, khususnya adat Jawa. Kaum santri menolak banyak sekali unsur-unsur adat Jawa, tetapi mempertahankan
Analisis Kritis Nurcholish Madjid Terhadap Sistem Pendidikan Pesantren Di Indonesia
22
sebagian lain yang kemudian diberi warna Islam. Adat jawa yang masih dipertahankan kaum santri dan yang paling banyak menjadi target kutukan kaum reformis adalah sekitar selamatan. Yang dinamakan selamatan di sini adalah acara makan-makan untuk mendoakan orang mati, baik pada saat meninggalnya maupun sesudahnya, seperti selamatan tiga hari, tujuh hari, empat puluh hari, setahun (pendak), dan seribu hari setelah meninggal. Selain selamatan-selamatan tersebut pada saat yang dirasa perlu keluarga yang meninggal ini bisa menyelenggarakan haul. Dalam selamatan itu biasanya dibacakan tahlil, suatu ritus dengan bahasa Arab yang intinya adalah membaca kalimat “La ilah-a illa 'l-lah", dengan maksud berdo’a untuk kebahagiaan yang meninggal, atau yang lebih kontroversial lagi (di mata kaum reformis) adalah “mengirimkan pahala wird” itu kepada arwah yang meninggal. Tetapi unsur kejawaan kaum Ahl-u ‘l-Sunnah wa ‘l-Jama‘ah itu tidak hanya terbatas pada soal tahlil. Kebiasaan datang berziarah ke makam-makam tertentu adalah umum sekali di kalangan mereka. Hanya saja dalam hal ini menjadi tidak jelas, apakah kebiasaan ini lebih berakar dalam konsep-konsep sufisme ataukah jawanisme. Sebab sebelum Islam datang, agama yang ada adalah Hindu yang tidak mengenal kubur atau makam. Dan makam yang banyak dikunjungi untuk ziarah itu umumnya adalah makam orang-orang yang dinamakan wali atau orang suci yang keramat, sehingga meskipun sudah meninggal akan mampu menolong memberi kesehatan, keselamatan, sukses dalam usaha, dan lain-lain. Di Jombang, makam yang paling terkenal ialah yang di Betek, Mojoagung, kurang lebih 10 KM sebelah timur Jombang menuju Surabaya. Setiap malam Jum’at beratus orang datang berziarah, dan pada malam Jum’at Legi jumlah itu dapat mencapai ribuan. Mereka datang dan segenap penjuru Jawa Timur. Makam lainnya di Jawa Timur yang banyak diziarahi adalah di Giri (Makam Sunan Giri, salah seorang wali sanga) dan di Batuampar, Madura. Selain kepercayaan kepada orang keramat yang telah meninggal, kepercayaan kepada adanya wali yang masih hidup juga umum sekali di kalangan kaum santri. Pada tahun 70 – 80-an di daerah Jombang sekurangnya ada seorang yang dianggap wali dan masih hidup, yaitu yang terkenal dengan sebutan Gus ‘Ud, dan Mojoagung. Cerita tentang kekeramatan dan kekuatan gaibnya sangat umum di masyarakat. Kiai Hamid di Pasuruan juga dipercaya sebagai wali. Demikian pula Kiai Ramli (almarhum), tokoh pesantren Rejoso yang sampai kini dianggap paling besar dan merupakan guru mursyid gerakan tarekat Qadiriyah-Naqsyabandiyah yang terbesar di Jawa Timur, adalah juga
23
Suratman dipandang sebagai wali kaum santri di sana. Tidak perlu diterangkan lagi bahwa santri sangat menghormati para wali itu dan mengkultuskannya. Tetapi memang terdapat unsur yang benar-benar berbau animisme kejawaan dalam sistem nilai kaum santri, dan mungkin contoh berikut ini termasuk yang sangat ekstrim. Contoh yang dimaksud adalah adanya pemujaan kepada sebuah pohon asem besar di Pati, Jawa Tengah, yang katanya ditanam oleh Syeikh Jangkung dari biji asem asal sayur asem yang dihidangkan kepadanya oleh sultan Jogya. Kayu asem itu dianggap keramat dan membawa berkali. Banyak pengunjung yang jauh-jauh datang hanya mencari berkah dari kayu asem ini. Lebih-lebih jika membawa cuilan kayu itu, pengunjung akan merasa beruntung dan akan membawanya pulang sebagai “jimat”. Karena itu ada yang berinisiatif untuk membuat tasbeh dari kayu asem itu dan menjualnya kepada masyarakat, seperti yang dulu pernah saya beli pada waktu kongres ke 5 Jam‘iyah Thariqah Mu’tabarah di Madiun bulan Mei 1975. Tasbeh itu di bungkus dalam kertas kaca, di dalamnya terdapat secarik kertas dengan keterangan dalam bahasa Jawa huruf Pego.18 Meskipun pada hal-hal tertentu kaum santri mengikuti sistem nilai yang dipakai di Jawa, namun dalam pandangan kaum “abangan” dan “kejawen” kaum santri dianggap kearab-araban, yang dibuktikan dengan ajaran-ajarannya harus dipelajari dari bahasa Arab, hingga tata cara beribadahnya. Selain itu, pada waktu itu kaum santri juga dianggap tidak menyukai kebudayaan dan seni Jawa, seperti wayang, ketoprak, wayang wong, dan lainlain, namun mereka lebih suka qasidah-qasidah yang berbau Arab, seperti Dziba’I, al-Barzanji, dan lain-lain. Segi lain yang menurut Nurcholis Madjid membedakan kaum santri dengan yang lainnya adalah segi pakaian, seperti sarung dan songkok, yang menjadi symbol kaum santri, lebih-lebih di pesantren, meskipun sekarang sudah mulai berubah dengan membuka kepala dan memakai celana.19 4. Tasawuf dan Kiprah Pesantren di dalamnya Sudah menjadi fakta sejarah bahwa sufisme pernah mengalami penyimpangan dari sunnah yang sangat jauh. Tetapi tidaklah adil kalau kita hanya menimpakan tanggung jawab penyimpangan ini pada dunia tasawuf. Karena kita juga tidak bisa mengingkari jasa-jasa yang pernah diberikan kaum sufi kepada agama Islam. Pada saat kaum Muslim mengalami kemunduran dalam hal kekuatan politik dan militer, serta mundurnya kegiatan intelektual Islam pada abad-abad ke-12 dan ke-13, gerakan-gerakan sufilah yang 18 19
Ibid, hlm.35 Ibid, hlm.32-38
Analisis Kritis Nurcholish Madjid Terhadap Sistem Pendidikan Pesantren Di Indonesia
24
memelihara jiwa keagamaan di kalangan kaum Muslim. Mereka pulalah yang menjadi perantara bagi tersebarnya agama Islam keluar dari daerah Timur Tengah, terutama ke Asia Tenggara, termasuk Indonesia dan pedalaman Afrika. Para pedagang, pengembara, dan pengamal tasawuf merupakan juru tabligh utama penyebaran agama Islam ke daerah-daerah tersebut, baru kemudian tugas itu diteruskan dan diselesaikan oleh ulama-ulama ahli fiqh dan ahli kalam.20 Bahkan di beberapa tempat, seperti di India, menurut Nurcholis 21 Madjid struktur organisasi gerakan tasawuf telah membentuk masyarakat setempat begitu rupa sehingga mendekati pola-pola yang ada di dunia Islam (Timur Tengah), dan ini sangat mendukung bagi penyebaran Islam selanjutnya. Keadaan serupa juga berlaku di Indonesia. Pusat-pusat penyebaran Islam yang mula-mula, khususnya di Jawa seperti di daerah Ampel dan Giri, agaknya merupakan sambungan, sistem zawiyah di India atau Timur Tengah, yang kemudian berkembang menjadi pondok atau pesantren seperti yang kita kenal sekarang. Dianggapnya para tokoh penyebar ajaran Islam itu sebagai wali yang keramat menunjukkan kuatnya pengaruh segi tasawuf dalam ajaranajarannya. Meskipun pesantren atau pondok merupakan perkembangan dari sistem zawiyah yang dikembangkan kaum sufi, tetapi bukan berarti setiap pesantren merupakan pusat gerakan tasawuf. Pada saat ini pesantren lebih dikenal sebagai lembaga pendidikan dan pengajaran. Sedangkan yang melakukan peranan sebagai pusat gerakan tarekat (tasawuf) hanya sedikit. Lebih sedikit lagi adalah pesantren yang mengkhususkan diri dalam bidang tasawuf sebagai obyek pengajarannya. Barangkali memang benar tuduhan Amir Sakib Arsalan bahwa tasawuf telah menyebabkan kaum Muslim mundur karena ajaran-ajarannya yang mengakibatkan jiwa “melempem�. Demikian juga Dr. Mahmud Kasim yang dengan tegas menuduh tasawuf sebagai biang keladi kemunduran dunia Islam sekarang ini. Tetapi barangkali juga patut diperhatikan seruan Gibb untuk menelaah kembali kemungkinan keringnya rasa keagamaan yang mendalam, yang bakal diderita kaum Muslim sendiri dan umat manusia karena kekakuan puritanisme kaum reformis dan kesembronoan modernisme kaum sekularis .22 20Nurcholis
Madjid, Bilik-bilik Pesantren, Sebuah Potret Perjalanan, (Jakarta:Paramadina, 1997), hlm.
54. 21 22
hlm.70.
Ibid, hlm. 55-56. Nurcholis Madjid, Bilik-bilik Pesantren, Sebuah Potret Perjalanan,
(Jakarta:Paramadina,1997),
25
Suratman Jika hal itu dibenarkan, maka yang dapat dilakukan pada saat ini adalah meninjau kembali segi-segi kebaikan dan kekuatan gerakan-gerakan tasawuf tradisional di pondok-pondok pesantren serta meneliti segi-segi kelemahannya. Sebab, memang sudah mulai terasa bahwa sekelompok kaum Muslim yang memiliki “kesenian agama” adalah terutama meraka yang cekat hubungannya dengan dunia tasawuf atau tarekat, yaitu santri-santri baik kesenian itu berupa seni baca al-Qur’an, qasidah (antara lain Diba’I dan Berzanji), rebana, gambus sampai pada seni suluk dan bacaan shalawat, salah satunya adalah “shalawat badar” yang terkenal sangat mudah menggugah solidaritas dan semangat berjuang. Memang timbulnya praktek superstitious yang menyimpang dari ajaran-ajaran ortodoks itu harus dicegah, tetapi jelas harus dipelihara unsur kedalaman rasa keagamaan yang ada. Dalam hal ini dunia tarekat sendiri telah terlebih dulu memagari diri terlepas dari penilaian berhasil atau tidaknya dengan menekankan kesatuan mutlak antara syariah, thariqah, ma’rifah, dan baqiqah. Barangkali satu pagar lagi yang sangat diperlukan, yaitu peningkatan taraf kecerdasan umat Islam pada umumnya. Suatu tantangan baru yang harus diselesaikan oleh pesantren-pesantren kita.23 5. Pesantren dalam Perkembangan Politik Keterkaitan antara pesantren dengan politik dapat dipahami dengan melihat kedudukan pesantren sebagai “trustee” masyarakat santri, dimana para santri ini mengharapkan bimbingan cultural, khusunya dalam hubungannya dengan agama Islam. Pesantren secara keseluruhan mempunyai peranan dalam mendefinisikan situasi pada umat Islam, khususnya untuk kaum santri. Pendefinisian itu menghasilkan suatu pandangan politik tertentu, yang pada gilirannya melahirkan pengelompokan politik tertentu pula .24 Ideologi kaum santri harus dibedakan dari agama Islam itu sendiri, karena kekhususan sifat dan corak keislaman kaum santri, sebagaimana telah dikemukakan, telah banyak mendapat warna local , yaitu kejawaan. Perbedaannya terletak pada tekanan perhatiannya (kalau ada atau mungkin potensial ada) terhadap masyarakat. Meskipun perbedaan ini ada, namun sudah tentu kita tidak bisa memungkiri adanya keterkaitan antar ideology kaum santri dengan ajaran Islam itu sendiri. Maka pesantren merupakan salah satu tempat dilahirkannya suatu aliran ideology politik tertentu di Indonesia dengan pembelaan yang jelas atas penilaian-penilaian tertentu, baik yang positif maupun yang negative. Ideologi 23 24
hlm. 73.
Ibid, hlm.71. Nurcholis Madjid, Bilik-bilik Pesantren, Sebuah Potret Perjalanan,
(Jakarta:Paramadina,1997),
Analisis Kritis Nurcholish Madjid Terhadap Sistem Pendidikan Pesantren Di Indonesia
26
politik itu dilembagakan dalam partai politik NU (Nahdlatul ‘Ulama). Memang dapat dibenarkan untuk menggeneralisasikan NU sebagai partai politik Islam, sama dengan Masyumi, PSII, dan Perti, yaitu partai-partai politik Islam yang ada pada waktu itu. Tetapi dengan generalisasi itu maka terpisahlah NU dari yang lain, atau ketika NU memisahkan diri dari Masyumi pada tahun 1952 di Palembang, menjadi tidak dapat diterangkan. Demikian pula dengan generalisasi itu dasar-dasar percekcokan politik yang selama ini terjadi tidak bisa disingkapkan secara gamblang .25 Puncak ketidakpuasan NU pada Masyumi adalah ketika keinginan Nu untuk memiliki hak prerogratif atas kursi Menteri Agama dipatahkan Masyumi dengan diangkatnya tokoh Muhammadiyah, yaitu Faqih Usman menjadi menteri agama pada Kabinet Natsir. Sebenarnya menteri agama pertama adalah dari Muhammadiyah (Rasyidi), kemudian menteri-menteri agama sesudahnya adalah dari NU, sampai cabinet Natsir (Masyumi) pada tahun 1951 ketika kedudukan itu diberikan kepada tokoh Muhammadiyah, dan ini yang mendorong NU memisajkan diri dari Masyumi. Untuk kalangan NU, lebih-lebih rank and file, jabatan menteri agama adalah yang paling ideal dan prestigious. Agaknya ini disebabkan orientasi keagamaannya kuat sekali, dank arena identifikasinya dengan “Islam Indonesia”, dan didukung oleh kenyataan bahwa mereka adalah single kelompok yang terbesar. Tokoh-tokoh NU merasa jika menteri agama itu berasal dari mereka maka itu berarti mereka mampu memberi sumbangan kepada republic, atau dengan ungkapan lain, mereka lebih mampu menunjukkan “political performance”. Memang NU pernah menyumbangkan tenaganya untuk jabatan-jabatan menteri secular, seperti menteri dalam negeri (Sunaryo), menteri ekonomi (Sunardjo), dan menteri keuangan (Muh. Hassan). Tetapi peranan mereka dalam performance itu bukanlah merupakan peranan yangh spektakuler di Indonesia. Bahkan lebih jauh lagi menurut Nurcholis Madjid, masyarakat santri itu sedikit banyak merupakan piramida tersendiri dalam piramida Republik Indonesia. Pada “piramida minor” itu terdapat susunan menjulang dengan menteri agama di puncaknya, sedangkan dalam “piramida major” yang menjadi puncak piramida adalah Presiden. Sehingga menurutnya susunan departemen agama sedikit banyak memiliki analogi dengan susunan republik. Di situ ada pengadilan agama yang sebanding dengan pengadilan negeri dan mahkamah agung, di situb terdapat juga jawatan penerangan agama yang sebanding 25
Ibid, hlm.74-77.
27
Suratman dengan department penerangan. Lebih penting dari itu bahwa bagian pendidikannya yang membawahi suatu sistem pendidikan agama dengan wilayah meliputi seluruh Indonesia, dan ini sedikit banyak menjadi saingan sistem pendidikan umum di bawah department pendidikan dan kebudayaan. Lebih lanjut Nurcholis Madjid menjelaskan bahwa tidak mengherankan apabila pendidikan pesantren dalam perkembangan lebih lanjut lebih diorientasikan pada pembentukan rank and file serta masa partai NU. Hal inilah yang pada gilirannya mendorong kalangan pesantren untuk menjadikan pendidikan tingkat menengahnya sebagai PGA, atau sekurang-kurangnya Mu’alimin. Sehingga banyak sekali pesantren yang menerima bahkan mengharapkan madrasahnya dinegerikan, dalam arti guru-gurunya dibayar oleh pemerintah . Keputusan pesantren menerima perubahan status madrasahnya menjadi negeri itu sangat menguntungkan segi keuangan pesantren. Pesantren tidak lagi terlalu banyak menyandarkan pemasukan dari santri atau sedekah masyarakat untuk menggaji gurunya. Nurcholis Madjid mencontohkan kebenaran umum itu juga berlaku di pesantren Rejoso. Penegerian madrasah-madrasahnya, yaitu MIN, MTsAIN, dan MAAIN adalah hasil artikulasi politik dengan lingkungannya. Demikian pula ketika mereka memperkenalkan madrasah mualimin, yang kemudian pula diubah lagi menjadi PGA, dan akhirnya “dinegerikan�. 6. Permasalahan yang Dihadapi Pesantren Menurut Nucholis Madjid pesantren diharapkan dapat menciptakan dukungan sosial bagi pembangunan yang sedang berjalan. Apalagi jika dikaitkan dengan keperluan untuk menemukan suatu pola pembangunan yang bersifat indigenous, asli sesuai dengan aspirasi bangsa Indonesia sendiri, maka akses pesantren untuk memenuhi keperluan tersebut semakin besar, sebab pesantren adalah sebuah lembaga pendidikan dan pengajaran asli Indonesia yang paling besar dan mengakar kuat. Seiring dengan perkembangan zaman maka persoalan-persoalan yang dihadapi pesantren juga semakin kompleks, terutama dihadapkan pada tantangan yang ditimbulkan oleh kehidupan modern. Padahal, menurut Nurcholis Madjid ada semacam ketidakcocokan antara dunia pesantren dan dunia luar yang dinilai sebagai ashry atau modern. Oleh karena itu menurutnya perlu penelaahan dan peninjauan yang cukup mendalam mengenai responsi pesantren terhadap modernisasi.
Analisis Kritis Nurcholish Madjid Terhadap Sistem Pendidikan Pesantren Di Indonesia
28
Digambarkan beberapa ilustrasi tentang ketidakcocokan dengan dunia modern, yang menurut Nurcholis Madjid menyebabkan lembaga pesantren “lagging behind the time� atau tidak mampu menjawab tantangan zaman. 7. Asrama (Lingkungan) Nurcholis Madjid mengkritik dan sekaligus memberikan solusinya terutama terkait dengan lingkungan pesantren secara umum, yang pada saat itu masih semrawut dan tak berencana. Ia memngungkapkan beberapa kekurangan pesantren, yang sebenarnya sangat riskan untuk diungkapkan, antara lain: a. Pengaturan “tata kota�, yaitu letak masjid, asrama, madrasah, kamar mandi, WC, rumah pimpinan dan lain-lain umumnya masih sporadis. b. Kamar terlalu sempit, pendek, dan semrawut serta minimnya segala peralatan. c. Jumlah kamar mandi dan WC tidak sebanding dengan jumlah santri yang ada d. Halaman tidak teratur dan gersang sehingga sering mengeluarkan debu kotor e. Ruang belajar tidak memenuhi standar persyaratan dedaktik-metodedik atau ilmu pendidikan f. Tempat ibadah (masjid atau mushalla) pada umumnya sangat mengecewakan dan tak terjaga, baik dari segi kebersihan, persediaan air, arsitektur, pembagian ruang, kerapian dan penerangan.26 Serta masih banyak lagi indikator yang menunjukkan bahwa lingkungan pesantren pada waktu itu masih kurang berencana. Namun, Ia tidak hanya mengkritik tetapi juga memberikan solusinya, yaitu untuk mempertimbangkan efisiensi dan keterbatasan biaya, sarana dan lain-lain, maka perlu disusun skala prioritas yang perlu dituangkan dalam rencara kerja, baik jangka pendek maupun jangka panjang. 8. Penghuni/Santri Bagi Nurcholis Madjid, kondisi keseharian para santri di pesantren ini ternyata memberikan fenomena menarik bila dibandingkan dengan kehidupan di luar pesantren. Permasalahan yang justru tidak terfikirkan ialah mengenai input, proses, output dan outcome santri pada masa yang akan datang dalam rangka
Nurcholis Madjid, (Jakarta:Paramadina,1997),hlm.91 26
Bilik-bilik
Pesantren,
Sebuah
Potret
Perjalanan,
29
Suratman menghadapi kemajuan zaman ini. Nurcholis Madjid27 mengkritik perilakuperilaku yang harus dirubah dalam kehidupan kesehariannya, antara lain: a. Mengenai cara berpakaian yang kumuh b. Kondisi kesahatan yang tak terjaga c. Perilaku rendah diri dalam pergaulan, dan d. Penyimpangan-penyimpangan lain yang dilakukan oleh para santri, yang terkesan sangat ketinggalan jauh dengan dunia luar. Indikator keterbelakangan pesantren sebagaimana tersebut di atas, menurutnya perlu diperbaiki guna menyesuaikan dengan keadaan zaman yang serba canggih. Ia menilai jika pesantren tidak segera memperbaiki diri, maka akan semakin ditinggalkan oleh masyarakat zaman sekarang. Sebab, masyarakat masa mendatang akan lebih mendambakan pendidikan yang tidak hanya menjamin keilmuan ruhaniahannya saja, namun juga yang menjamin kebutuhan jasmaniah dan metriil. 9. Kurikulum Menurut Nurcholis Madjid,28 kurikulum merupakan segi yang paling penting daripada yang lainnya. Ia memandang adanya ketidakcocokan antara dunia pesantren dengan dunia luar. Indikator kelemahan pesantren antara lain sebagai berikut: a. Ilmu agama yang diajarkan masih menekankan pada bidang tertentu saja yaitu fiqih, aqidah, bahasa Arab dan tasawuf saja, yang lain hanya pelengkap. b. Pada bidang pengetahuan umum terkesan masih setengah-setengah atau sekedar memenuhi syarat agar tidak dinamakan kolot saja. c. Pada sistem pengajarannya terkenal tidak efisien, serta d. Tumbuhnya intelektualisme dicampur dengan verbalisme yang terkadang berlebihan. Apabila para permasalahan kurikulum yang masih menjadi kendala, maka menurut Nurcholis Madjid prioritas utama reformasi pesantren ialah perombakan kurikulumnya, sebab selain biayanya relatif kecil pengaruh dan implikasinya pun sukup besar dan luas.29 Selain itu, Nurcholis juga memberikan solusi bagi pembaharuan pesantren ini dengan cara menyesuaikan dengan dunia modern. Menurutnya pesantren belakangan ini bukan saja perlu untuk memfokuskan diri pada kajian-kajian disiplin agama. Namun juga telah mulai untuk merambah dan
Ibid, hlm. 92-93. Nurcholis Madjid, Bilik-bilik Pesantren, Sebuah Potret Perjalanan, hlm. 94-95. 29 Ibid, hlm.102 27 28
(Jakarta:Paramadina,1997),
Analisis Kritis Nurcholish Madjid Terhadap Sistem Pendidikan Pesantren Di Indonesia
30
melintas dengan memasukkan kajian-kajian ilmu non agama melalui madrasahmadrasah formal (Tsanawiyah, Aliyah, SMP, SMK, SMU, STM) pada sebagian pesantren-pesantren yang telah berani 'membuka diri'. Sebutlah di antaranya Pesantren Annuqayah dan Al-Amien, di Madura. Gontor, di Ponorogo, Nurul Jadid, di Probolinggo dan Tambak Beras di Jombang, serta diikuti oleh ratusan pesantren di seluruh penjuru nusantara. Bahkan beberapa pesantren yang disebutkan di atas telah memiliki pendidikan tinggi program Strata Satu dan Strata Dua. Hal ini tentu dan akan memungkinkan santri dapat 'tercerahkan' secara baik, yang tentunya menjadi cita-cita dan dambaan kyai, orang tua dan masyarakat secara umum. 10. Kepemimpinan Secara apologetic menurut Nurcholis Madjid, sering dibangggakan bahwa kepemimpinan atau pola pimpinan dalam pesantren adalah demokratis, ikhlas, sukarela, dan setrusnya. Mungkin jika dibandingkan dengan pola pimpinan di sekolah-sekolah Kolonial Belanda, anggapan ini memang benar, tetapi bila diukur dengan perkembangan zaman, keadaannya menjadi lain, klise-klise itu perlu dipertanyakan lagi kebenarannya. Banyak criteria yang dijadikan tolok ukur bagi seorang pimpinan pesantren. Keberadaan seorang kyai sangatlah menentukan, ia ibarat jantung kehidupan bagi pesantren itu sendiri. Sekaligus merupakan perintis, pendiri, pengelola, pengasuh, pemimpin dan bahkan juga pemilik tunggal sebuah pesantren. Figur seorang kyai menjadi panutan dan teladan bagi santri. Perilaku dan tindak-tanduk kesehari-harian seorang kyai semacam 'soko guru' bagi santri untuk diteladaninya. Baik itu pola perilaku yang privat maupun hal-hal lainnya yang bersifat urusan publik. Tegasnya, kehidupan sekaligus perilaku seorang kyai 'meniscayakan' sebagai teladan dan contoh positif yang dapat diteladani oleh murid-muridnya. Nurcholis Madjid 30 mengkritik atas kepemimpinan kyai, meskipun banyak nilai positifnya, namun menurutnya, dari segi kharismatik kyai menunjukkan kurangnya demokratis dan tidak rasional. Selain itu kepemimpinan personal (bersifat pribadi) sehingga berimplikasi terhadap administrasi dan managemen yang kurang professional di era modern. Lebih lanjut ia memberikan solusinya, bahwa kepemimpinan pesantren tidak cukup hanya dengan kharisma saja, tetapi juga diperlukan skill atau keahlian. 30
hlm. 95.
Nurcholis Madjid, Bilik-bilik Pesantren, Sebuah Potret Perjalanan,
(Jakarta:Paramadina,1997),
31
Suratman
C. Kesimpulan Dari tulisan di atas Nurcholish Madjid mempunyai pikiran bahwa sistem Pendidikan Pesantren adalah :. a. Sistem Pendidikan Pesantren di Indonesia terbagi atas dua, yaitu:a. unsur organik, yaitu: Para Pelaku Pendidikan: pimpinan,guru, murid dan pengurus. b.unsur an-organik, yaitu : Tujuan, filsafat dan tata nilai, kurikulum dan sumber belajar, proses kegiatan belajar mengajar, penerimaan murid dan tenaga kependidikan , teknologi pendidikan, dana, sarana, evaluasi dan peraturan terkait lainnya di dalam mengelola sistem pendidikan. b. Nurcholish Madjid mengkritisi terhadap Pendidikan Pesantren dan menggunakan konsep : a. Tujuan pendidikan pesantren yang masih belum bisa mengikuti perkembangan zaman dan kurangnya menerima keterbukaan dalam perubahan zaman. b. Tujuan pendidikan Pesantren yang belum mampu bersikap demokratis dan rasionalistis. Pemikiran Nurcholis Madjid tentang Sistem pendidikan pesantren di Indonesia dalam buku Bilik-bilik Pesantren setidaknya terdapat beberapa hal yang dapat diambil sebagai pijakan untuk pembaharuan pesantren di masa mendatang. Pertama, mengenai unsur-unsur yang ada di pesantren itu sendiri. Antara lain: santri, yakni seseorang yang selalu mengikuti seorang gurunya (kyai) ke mana guru itu pergi menetap, kemudian keberadaan pesantren itu sendiri. Sebuah lembaga di mana santri mengasah kematangan diri akan nilai-nilai spritual-intelektualitas. Oleh Cak Nur dikatakan, secara historis pesantren tidak hanya mengandung makna keislaman, tetapi juga makna keaslian Indonesia. Maka, seandainya pesantren di perbaiki sesuai dengan perkembangan jaman dengan tanpa meninggalkan akar budayanya, tentu akan diminati oleh berbagai kalangan masyarakat Kedua, terkait dengan sistem pendidikan pesantren, yang tidak dapat dilepaskan satu sama lainnya, yaitu 1) Tujuan pesantren ada dua alternatif yang ditawarkan Nurcholis: mempertahankan fungsi pokoknya menyelenggarakan pendidikan agama atau pesantren harus tanggap dengan tuntutan-tuntutan hidup anak didiknya kelak dalam kaitannya dengan perkembangan zaman. 2) Figur Seorang Kyai, yang tidak hanya kharismatik tetapi perlu juga demokratis dan rasionalis dengan tetap memperhatikan segi manajemen dan administrasi 3) Harus memperhatikan bagaimana
Analisis Kritis Nurcholish Madjid Terhadap Sistem Pendidikan Pesantren Di Indonesia
32
input, proses, output dan outcome santri pada masa yang akan datang dalam rangka menghadapi kemajuan zaman.4) Lingkungan Pesantren yang secara umum pada saat itu yang masih semrawut dan tak berencana perlu diperbaiki dan direncanakan melalui program kerja jangka pendek maupun jangka panjang. 5) Kurikulum yang selama ini dikothomi harus dihilangkan. Sebab, perombakan kurikulum selain biayanya relatif kecil pengaruh dan implikasinya pun sukup besar dan luas Ketiga, pesantren memiliki sisi kelebihan untuk pengembangan perguruan tinggi di masa depan dan memiliki kelemahan yang harus diperbaiki. Segi kelebihannya, pesantren bisa berkembang pesat sebagaimana halnya sekolah keagamaan di Barat yang dikemudian hari tumbuh menjadi universitas-universitas. Sedangkan segi kekurangan pesantren di era modern ini sangat banyak sekali, yang harus segera diperbaiki. Baik kepemimpinan yang masih sentralistik dan hirarkis perlu dikelola dengan pola yayasan, kemudian memperbaiki metodologi, serta menghilangkan disorientasi yang diharapkan mampu memposisikan diri di tengah realitas sosial yang sekarang ini berubah sangat cepat. Hal ini bisa dilakukan dengan sintesa pesantren dan perguruan tinggi, yang sangat bagus jika dikembangkan dengan memperhatikan dan memikirkan masalah manajemen dan kepemimpinannya, pembentukan tradisi, serta keterkaitan institusi dengan perkembangan masyarakat, hingga sintesa yang diinginkan betul-betul menyeluruh, bukan hanya bersifat artifisial. Ada beberapa hal yang mendesak dilakukan untuk menyesuaikan pesantren dengan perkembangan zaman. Pertama, pendidikan pesantren hendaknya lebih adaptif, akomodatif dan meninggalkan status quo. Tentu saja dengan tanpa meninggalkan misi yang diamantkan oleh Al-Quran sebagai pedoman hidup umat Islam. Kedua, pendidikan pesantren harus menekanakan pada ilmu agama dan ilmu umum. Ketiga, pendidikan pesantren hendaknya memperhatikan muatan bahasa asing yang lebih intens, utamanya bahasa Arab dan bahasa Inggris. Keempat, pendidikan pesantren harus didesain dan di-manage sedemikian rupa sehingga mampu menumbuhkan kemampuan dan kemandirian dalam kehidupan. Pemikiran Nurcholis Madjid dalam buku Bilik-bilik Pesantren ini nampaknya banyak dijadikan rujukan oleh banyak kalangan pemerhati pondok pesantren di masa sekarang ini. Tentunya pemikiran-pemikiran yang sangat genius ini sangat relevan untuk terus dikembangkan demi terciptanya perkembangan pesantren dalam menghadapi persaingan global.
33
Suratman DAFTAR PUSTAKA
Dewan Redaksi Enslokpedi Islam, Enslokpedi Islam, Jakarta: PT Ichtiar Baru van Houve, 1994. Ismail SM (eds), Pendidikan Islam dan Demokratisas idan Masyarakat Madani, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000. Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren: Suatu Kajian Tentang Unsur dan Nilai Sistem Pendidikan Pesantren, Jakarta: INIS, 1994. Nurcholish Madjid, Bilik - bilik pesantren sebuah potret perjalanan, Jakarta: Paramadina, 1997. Wahjoetomo, Perguruan Tinggi Pesantren,Jakarta: Gema Insani Press, 1997. Yasmadi, “Modernisasi Pesantren: Kritik Nurcholish Madjid terhadap Pendidikan Islam Traadisional�, Ciputat: Quantum Teaching, 2005. Zamachsyari Dhofier, Tradisi Pesantren: Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai, Jakarta: LP3ES, 1994.
34
Sarno Hanipudin
TRANSFORMASI DIALEKTIKA SEGI TIGA: Posisi Dan Peran PAI Dalam Kajian Integrasi Agama, Sains, Teknologi Sarno Hanipudin* Abstract Science and technological progress that very fast have serious impact in so many aspect of life. That impact demands us to determine correct attitudeand according to value insaniyatul-insan (humanitarian) by creating three balance; soul, mind and physis. The threefold element represents the holistic integrity that refusing dichotomy. Thus, the real education is that capable to coordinated all desire, digging all potency, recognizing existing capability and tendency, and supply it with the skill so that can fase the existing reality and follow to pursue idealism and targets to reach. This becames special responsibility to Moslem scientist and professional, especially teacher of Islamic educations. They have the responsibilities to perform contact and discussion across science discipline. Keyword: Islamic education, science & technology progress.
A. Pendahuluan Perkembangan Sains dan Teknologi di zaman ini semakin terasa pesat dan diperlukan manusia. Manusia modern sudah sangat bergantung kepada produk-produk sains dan teknologi. Sukar untuk dibayangkan manusia modern hidup tanpa menggunakan produk-produk sains dan teknologi. Keperluan hidup harian manusia modern mulai dari makan, minum, tidur, tempat tinggal, tempat bekerja, alat-alat transportasi, sampai alat-alat komunikasi, alat-alat hiburan, kesehatan dan semua aspek kehidupan manusia tidak terlepas dari pada menggunakan produk sains dan teknologi. Perkembangan teknologi pertanian, peternakan, perikanan serta pemrosesan makanan dan minuman telah memudahkan manusia untuk memenuhi keperluan makan minum semua manusia di muka bumi ini. Perkembangan teknologi informasi, dengan adanya telpon, handphone, faksimili, internet dan lain-lain, telah mempercepat penyampaian informasi yang dahulu memerlukan waktu hingga berbulan-bulan, sekarang dapat sampai ke tujuan hanya dalam beberapa detik saja, bahkan pada masa yang (hampir) bersamaan. Melalui TV, satelit dan lain-lain alat komunikasi canggih, kejadian di satu tempat di permukaan bumi atau di angkasa dekat permukaan bumi dapat diketahui oleh umat manusia di seluruh dunia dalam masa yang bersamaan.
35
Transformasi Dialektika Segi Tiga Kita mengakui bahwa sains dan teknologi memang telah mengambil peranan penting dalam pembangunan peradaban material manusia. Penemuanpenemuan sains dan teknologi telah memberikan bermacam-macam kemudahan pada manusia. Perjalanan yang dulu perlu ditempuh berbulan-bulan, sekarang dapat ditempuh hanya beberapa jam saja dengan pesawat terbang, kereta api cepat, hinggalah penemuan-penemuan lain yang sangat membedakan, memudahkan dan menyenangkan cara hidup manusia zaman sekarang dibanding zaman dulu. Islam, agama yang sesuai dengan fitrah manusia, maka syariatnya bukan saja mendorong manusia untuk mempelajari sains dan teknologi, kemudian membangun dan membina peradaban, bahkan mengatur umatnya ke arah itu agar selamat dan menyelamatkan baik di dunia lebih-lebih lagi di akhirat kelak.1 Namun hingga kini, masih saja ada anggapan yang kuat dalam masyarakat luas yang mengatakan bahwa agama dan ilmu adalah dua entitas yang tidak dapat dipertemukan. Keduanya mempunyai wilayah masing-masing, terpisah antara satu dan lainnya, baik dari segi objek formal-material, metode penelitian, kriteria kebenaran, peran yang dimainkan oleh ilmuwan. Ungkapan lain, ilmu tidak memperdulikan agama dan agama-pun tidak memperdulikan ilmu. Hal ini dikarenakan oleh anggapan bahwa sains dan agama memiliki cara yang berbeda baik dari pendekatan, pengalaman, dan perbedaan-perbedaan ini merupakan sumber perdebatan. Ilmu-terkait erat dengan pengalaman yang sangat abstrak, misalnya matematika. Sedangkan agama lebih terkait erat dengan pengalaman biasa kehidupan. Sebagai interpretasi pengalaman, ilmu bersifat deskriptif dan agama bersifat preskriptif. Ada juga yang memandang bahwa sains dan agama berdiri pada posisinya masing-masing, karena bidang ilmu mengandalkan data yang didukung secara empiris untuk memastikan apa yang nyata dan apa yang tidak, agama sebaliknya siap menerima yang gaib dan tidak pasti hanya didasarkan pada variabel berwujud dari iman dan kepercayaan. Bahwa agama dan sains harus hidup berdampingan independen satu sama lain, sebab meskipun ada kesamaan dalam misi mereka, perbedaan mendasar antara keduanya menyajikan sebuah konflik yang akan beresonansi pada inti masing-masing. Sehingga integrasi antara sains dan agama hampir tidak layak, sebagai kriteria ilmiah untuk mengidentifikasi asumsi tersebut menjadi nyata, karena dipastikan ada proses kanibalisasi antara keduanya, sementara agama sangat penting bagi kesejahteraan individu dan bertujuan menciptakan harmoni bagi kehidupan. 35
Sarno Hanipudin
36
Persoalan yang muncul sekarang adalah bagaimana melakukan integrasi antara sains dan agama melalui pendidikan agama Islam, dan integrasi seperti apa yang dapat dilakukan? B. Memahami Integrasi Pendidikan Islam 1. Pengertian Integrasi Dalam Kamus Pelajar Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama, kata integrasi memiliki pengertian penyatuan hingga menjadi kesatuan yg utuh atau bulat.2 Jika demikian halnya maka bagaiamanakah cara mengintegrasikan pendidikan agama Islam dengan Sains dan Teknologi? Apakah dengan memadukan antara pendidikan agama Islam dan pendidikan umum seperti yang terjadi di lingkungan pendidikan Islam saat ini? Khudori Sholeh mengatakan bahwa sebenarnya lembaga pendidikan Islam telah melakukan integrasi tersebut meskipun dalam pengertian sederhana. Lembaga pendidikan Islam mulai dari Madrasah Ibtidaiyah sampai Perguruan Tinggi, memang telah memberikan materi-materi ilmu keagamaan seperti tafsir, hadist, fiqh, dan seterusnya, dan pada waktu yang sama juga memberikan berbagai disiplin ilmu modern yang diadopsi dari Barat. Artinya, mereka telah melakukan integrasi antara ilmu dan agama. Akan tetapi, integrasi yang dilakukan ini biasanya hanya dengan sekedar memberikan ilmu agama dan umum secara bersama-sama tanpa dikaitkan satu sama lain apalagi dilakukan di atas dasar filosofis yang mapan. Sehingga pemberian bekal ilmu dan agama tersebut tidak memberikan pemahaman yang utuh dan komprehensif pada peserta didik. Apalagi kenyataannya, ilmu-ilmu tersebut sering disampaikan oleh guru atau dosen yang kurang mempunyai wawasan keislaman dan kemoderenan yang memadai.3 Dalam tulisan ini yang diharapkan adalah integrasi antara pendidikan agama Islam dengan Sains dan Teknologi dalam rangka memberikan pengertian secara utuh kepada peserta didik tentang materi pelajaran pendidikan agama Islam yang sering disampaikan secara dogmatis dengan mengesampingkan fakta-fakta ilmu pengetahuan dan teknologi. Peserta didik saat ini sangat kritis dan tidak begitu saja menerima pelajaran pendidikan agama Islam. Ketika disampaikan tentang haramnya makanan tertentu maka mereka tidak serta merta menerima namun mereka mempertanyakan tentang keharaman makanan tersebut. Dalam kasus seperti inilah peran sains diharapkan mampu memberikan penjelasan secara menyeluruh. Sehingga
37
Transformasi Dialektika Segi Tiga antara pendidikan agama Islam dan sains dapat saling mendukung dalam memberikan pemahaman yang utuh kepada peserta didik. Selain itu, dengan perkembangan teknologi informasi yang demikian pesat juga diharapkan dapat dikembangkannya model-model pembelajaran dan pemanfaatan kemajuan teknologi informasi dalam proses kegiatan belajar mengajar. Hal ini dengan tujuan untuk memudahkan penyampaian informasi tentang pendidikan agama Islam kepada peserta didik. Tentunya harus didukung dengan sumber daya manusia dalam hal ini adalah guru pendidikan agama Islam yang memadai dalam penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi. 2. Pendidikan Agama Islam Pengertian pendidikan Islam menurut Hasbullah merupakan pewarisan dan perkembangan budaya manusia yang bersumber dan berpedoman ajaran Islam sebagai yang termaktub dalam Al-Qur’an dan Sunnah Rasul, yang dimaksudkan adalah dalam rangka terbentuknya kepribadian utama menurut ukuran-ukuran Islam.4 Dengan demikian ciri yang membedakan antara pendidikan Islam dengan yang lain adalah pada penggunaan ajaran Islam sebagai pedoman dalam proses pewarisan dan pengembangan budaya umat manusia tersebut.5 Sedangkan Haidar Putra Daulay menyatakan bahwa hakikat pendidikan Islam adalah pembentukan manusia yang dicita-citakan, sehingga dengan demikian pendidikan Islam adalah proses pembentukan manusia ke arah yang dicita-citakan Islam.6 Dari beberapa definisi di atas, maka dapat diambil pengertian bahwa yang dimaksud Pendidikan Agama Islam adalah suatu aktivitas atau usahausaha tindakan dan bimbingan yang dilakukan secara sadar dan sengaja serta terencana yang mengarah pada terbentuknya kepribadian anak didik yang sesuai dengan norma-norma yang ditentukan oleh ajaran agama. Pendidikan Agama Islamjuga merupakan upaya sadar dan terencana dalam menyiapkan peserta didik untuk mengenal, memahami, menghayati, hingga mengimani, bertaqwa, dan berakhlak mulia dalam mengamalkan ajaran agama Islam dari sumber utamanya yaitu kitab suci Al-Quran dan Al-Hadits, melalui kegiatan bimbingan pengajaran, latihan, serta penggunaan pengalaman.7 Sedangkan tujuan Pendidikan Agama Islam identik dengan tujuan agama Islam, karena tujuan agama adalah agar manusia memiliki keyakinan yang kuat dan dapat dijadikan sebagai pedoman hidupnya yaitu untuk menumbuhkan pola kepribadian yang bulat dan melalui berbagai proses usaha 37
Sarno Hanipudin
38
yang dilakukan. Dengan demikian tujuan Pendidikan Agama Islam adalah suatu harapan yang diinginkan oleh pendidik Islam itu sendiri. Zakiah Daradjad dalam Metodik Khusus Pengajaran Agama Islam mendefinisikan tujuan Pendidikan Agama Islam sebagai berikut: Tujuan Pendidikan Agama Islam yaitu membina manusia beragama berarti manusia yang mampu melaksanakan ajaran-ajaran agama Islam dengan baik dan sempurna, sehingga tercermin pada sikap dan tindakan dalam seluruh kehidupannya, dalam rangka mencapai kebahagiaan dan kejayaan dunia dan akhirat. Yang dapat dibina melalui pengajaran agama yang intensif dan efektif.8 Dari pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa tujuan Pendidikan Agama Islam adalahsebagai usaha untuk mengarahkan dan membimbing manusia dalam hal ini peserta didik agar mereka mampu menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Allah SWT, serta meningkatkan pemahaman, penghayatan, dan pengamalan mengenai Agama Islam, sehingga menjadi manusia Muslim, berakhlak mulia dalam kehidupan baik secara pribadi, bermasyarakat dan berbangsa dan menjadi insan yang beriman hingga mati dalam keadaan Islam, sebagaimana Firman Allah Swt dalam Al-Qur’an surat Ali Imran ayat 102.
االلاا َاح َاقاتاَاقاذاتهاا َاو َالااتَما اوتا َاناا َال َااوَناتااماساذالماوا َانا اااّليا َاناَاَامناواااات َقاو َا َاياَاّيُاَ َ ذا Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam. Untuk mencapai tujuan pendidikan agama Islam tersebut menurut Amin Abdullah ada tiga tahapan, yaitu: pertama, adalah mentransfer atau memberikan ilmu agama sebanyak-banyaknya kepada anak didik. Dalam kegiatan ini, aspek kognisi anak didik menjadi sangat dominan. Kedua, selain memenuhi harapan pada tahapan pertama, proses internalisasi nilai agama diharapkan dapat juga terjadi. Aspek afeksi dalam pendidikan agama, aturannya terkait erat dengan aspek kognisi. Sebenarnya, dalam bidang pendidikan agama, aspek yang kedua ini lebih diutamakan daripada yang pertama. Kalau pun tahapan kedua tersebut sudah diutamakan dan memperoleh porsi yang memadai, masih ada satu tahapan lagi yang hendak dicapai oleh pendidikan agama Islam, yakni aspek psikomotorik. Aspek atau tahapan ini lebih menekankan kemampuan anak didik untuk dapat menumbuhkan motivasi dalam diri sendiri sehingga dapat menggerakkan, menjalankan dan mentaati
39
Transformasi Dialektika Segi Tiga nilai-nilai dasar agama yang telah terinternalisasikan dalam dirinya sendiri lewat tahapan kedua.9 Sedangkan ruang lingkup Pendidikan Agama Islam meliputi keserasian, keselarasan, dan keseimbangan antara hubungan manusia dengan Allah SWT, hubungan manusia dengan sesama manusia, dan ketiga hubungan manusia dengan dirinya sendiri, serta hubungan manusia dengan makhluk lain dan lingkungannya. Ruang lingkup Pendidikan Agama Islam juga identik dengan aspekaspek Pengajaran Agama Islam karena materi yang terkandung di dalamnya merupakan perpaduan yang saling melengkapi satu dengan yang lainnya. Apabila dilihat dari segi pembahasannya maka ruang lingkup Pendidikan Agama Islam yang umum dilaksanakan di sekolah adalah: a. Pengajaran keimanan Pengajaran keimanan berarti proses belajar mengajar tentang aspek kepercayaan, dalam hal ini tentunya kepercayaan menurut ajaran Islam, inti dari pengajaran ini adalah tentang rukun Islam. b. Pengajaran akhlak Pengajaran akhlak adalah bentuk pengajaran yang mengarah pada pembentukan jiwa, cara bersikap individu pada kehidupannya, pengajaran ini berarti proses belajar mengajar dalam mencapai tujuan supaya yang diajarkan berakhlak baik. c. Pengajaran ibadah Pengajaran ibadah adalah pengajaran tentang segala bentuk ibadah dan tata cara pelaksanaannya, tujuan dari pengajaran ini agar siswa mampu melaksanakan ibadah dengan baik dan benar. Mengerti segala bentuk ibadah dan memahami arti dan tujuan pelaksanaan ibadah. d. Pengajaran fiqih Pengajaran fiqih adalah pengajaran yang isinya menyampaikan materi tentang segala bentuk-bentuk hukum Islam yang bersumber pada Al-Quran, sunnah, dan dalil-dalil syar’i yang lain. Tujuan pengajaran ini adalah agar siswa mengetahui dan mengerti tentang hukum-hukum Islam dan melaksanakannya dalam kehidupan sehari-hari. e. Pengajaran Al-Quran Pengajaran Al-Quran adalah pengajaran yang bertujuan agar siswa dapat membaca Al-Quran dan mengerti arti kandungan yang terdapat di setiap ayat-ayat Al-Quran. Akan tetapi dalam prakteknya hanya ayat-ayat tertentu yang di masukkan dalam materi Pendidikan Agama Islam yang disesuaikan dengan tingkat pendidikannya. 39
Sarno Hanipudin
40
f. Pengajaran sejarah Islam Tujuan pengajaran dari sejarah Islam ini adalah agar siswa dapat mengetahui tentang pertumbuhan dan perkembangan agama Islam dari awalnya sampai zaman sekarang sehingga siswa dapat mengenal dan mencintai agama Islam.10 3. Sains dan Teknologi Pengertian Sains (science) menurut Agus S. diambil dari kata latin scientia yang arti harfiahnya adalah pengetahuan. Sund dan Trowbribge merumuskan bahwa Sains merupakan kumpulan pengetahuan dan proses. Sedangkan Kuslan Stone menyebutkan bahwa Sains adalah kumpulan pengetahuan dan cara-cara untuk mendapatkan dan mempergunakan pengetahuan itu. Sains merupakan produk dan proses yang tidak dapat dipisahkan. "Real Science is both product and process, inseparably Joint".11 Sains sebagai proses merupakan langkah-langkah yang ditempuh para ilmuwan untuk melakukan penyelidikan dalam rangka mencari penjelasan tentang gejala-gejala alam. Langkah tersebut adalah merumuskan masalah, merumuskan hipotesis, merancang eksperimen, mengumpulkan data, menganalisis dan akhimya menyimpulkan. Sedangkan menurut kamus bahasa seperti yang dikutip oleh Abdurrahman R Effendi dan Gina Puspita sains adalah ilmu pengetahuan yang teratur (sistematik) yang boleh diuji atau dibuktikan kebenarannya. Ia juga merupakan cabang ilmu pengetahuan yang berdasarkan kebenaran atau kenyataan semata-mata, misalnya sains fisika, kimia, biologi, astronomi, termasuk-lah cabang-cabang yang lebih detil lagi seperti hematologi (ilmu tentang darah), entomologi, zoologi, botani, cardiologi, metereologi (ilmu tentang kajian cuaca), geologi, geofisika, exobiologi (ilmu tetang kehidupan di angkasa luar), hidrologi (ilmu tentang aliran air), aerodinamika (ilmu tentang aliran udara) dan lain-lain. Sedangkan teknologi adalah aktivitas atau kajian yang menggunakan pengetahuan sains untuk tujuan praktis dalam industri, pertanian, perobatan, perdagangan dan lain-lain. Ia juga dapat didefinisikan sebagai kaedah atau proses menangani suatu masalah teknis yang berasaskan kajian saintifik termaju seperti menggunakan peralatan elektronik, proses kimia, manufaktur, permesinan yang canggih dan lain-lain.12 Sains dan teknologi menjadi satu kesatuan yang tidak terpisahkan karena saling mendukung satu sama lain. Teknologi merupakan bagian dari sains yang berkembang secara mandiri, menciptakan dunia tersendiri. Akan
41
Transformasi Dialektika Segi Tiga tetapi teknologi tidak mungkin berkembang tanpa didasari sains yang kokoh. Maka sains dan teknologi menjadi satu kesatuan tak terpisahkan.
C. Integrasi Pendidikan Agama Islam dengan Sains dan Teknologi
Berdasarkan tujuan dan ruang lingkup pendidikan agama Islam yang telah dijelaskan di atas, diharapkan integrasi antara pendidikan agama Islam dengan sains dan teknologi dapat meningkatkan pemahaman dan pemantapan bagi peserta didik. Islam memandang bahwa agama adalah dasar dan pengatur kehidupan. Aqidah Islam menjadi basis dari segala ilmu pengetahuan. Aqidah Islam yang terwujud dalam apa-apa yang ada dalam Al-Qur`an dan Al-Hadits menjadi qaidah fikriyah (landasan pemikiran), yaitu suatu asas yang di atasnya dibangun seluruh bangunan pemikiran dan ilmu pengetahuan manusia. Islam memerintahkan manusia untuk membangun segala pemikirannya berdasarkan aqidah Islam, bukan lepas dari aqidah itu. Ini bisa kita pahami dari ayat yang pertama kali turun :
اّلياا َاخالَ َاقا كا َ ذا ساَا ذراب َا ذاق َارَاا ذاب ذا
Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan Ayat ini berarti manusia telah diperintahkan untuk membaca guna memperoleh berbagai pemikiran dan pemahaman. Tetapi segala pemikirannya itu tidak boleh lepas dari Aqidah Islam, karena iqra` haruslah dengan bismi rabbika, yaitu tetap berdasarkan iman kepada Allah, yang merupakan asas Aqidah Islam. Itulah ajaran yang dibawa Rasulullah SAW yang meletakkan aqidah Islam yang berasas Laa ilaaha illallah Muhammad Rasulullah sebagai asas ilmu pengetahuan. Beliau mengajak memeluk aqidah Islam lebih dulu, lalu setelah itu menjadikan aqidah tersebut sebagai pondasi dan standar bagi berbagai pengetahun. Ini dapat ditunjukkan misalnya dari suatu peristiwa ketika di masa Rasulullah SAW terjadi gerhana matahari, yang bertepatan dengan wafatnya putra beliau (Ibrahim). Orang-orang berkata.gerhana matahari ini terjadi karena meninggalnya Ibrahim. Maka Rasulullah SAW segera menjelaskan: Sesungguhnya matahari dan bulan ini keduanya sebagai bukti kebesaran Allah, tidaklah gerhana ini karena mati atau hidupnya seseorang, maka bila kalian melihat gerhana segeralah berdoa dan bertakbir mengagungkan Allah, shalat, dan shadaqah.13 41
Sarno Hanipudin
42
Dengan jelas kita tahu bahwa Rasulullah SAW telah meletakkan aqidah Islam sebagai dasar ilmu pengetahuan, sebab beliau menjelaskan, bahwa fenomena alam adalah tanda keberadaan dan kekuasaan Allah, tidak ada hubungannya dengan nasib seseorang, hal ini sesuai dengan aqidah muslim yang sebenarnya. Menurut Abuya Syeikh Imam Ashaari Muhammad At Tamimi seperti yang dikutip oleh Abdurrahman R Effendi dan Gita Puspita menegaskan bahwa semua aktifitas keseharian kita termasuk mengkaji dan mengembangkan sains dan teknologi dapat bernilai ibadah bahkan perjuangan di sisi Allah bila memenuhi 5 syarat ibadah yaitu: 1. Niat yang betul, yaitu karena untuk membesarkan Allah. Sabda Rasulullah SAW :“Sesungguhnya amalan-amalan itu tergantung dengan niatnya dan yang didapat setiap orang itu sesuai dengan apa yang dia niatkan. “Niat orang mukmin itu adalah lebih baik daripada amalannya.“ 2. Pelaksanaannya benar-benar di atas landasan syariat atau aturan Allah. 3. Perkara atau subyek yang menjadi tumpuan untuk dilaksanakan atau dikaji itu mestilah mendapat keredhaan Allah. Subyek yang paling utama mestilah suci agar benar-benar menjadi ibadah kepada Allah. 4. Natijah (Hasil) mesti baik karena merupakan pemberian Allah kepada hamba-Nya. Dan setelah itu, hamba-hamba yang dikaruniakan rahmat itu wajib bersyukur kepada Allah dengan berzakat, melakukan korban, serta membuat berbagai amal . Jika aktifitas tersebut menghasilkan ilmu yang dicari maka ilmu itu hendaklah digunakan sesuai dengan yang diridhai Allah. 5. Tidak meninggalkan atau melalaikan ibadah-ibadah asas, seperti belajar ilmu fardhu ‘ain, shalat 5 waktu, puasa, zakat dan sebagainya.14 Integrasi yang diharapkan antara pendidikan agama Islam dengan Sains dan Teknologi bukan dipahami dengan memberikan materi pendidikan agama Islam yang diselingi dengan dengan materi sains dan teknologi. Akan tetapi yang dimaksudkan adalah adanya integrasi yang sebenarnya, di mana ketika kita menjelaskan tentang suatu materi pendidikan agama Islam dapat didukung oleh fakta sains dan teknologi. Sebab, di dunia yang demikian modern ini, peserta didik tidak mau hanya sekedar menerima secara dogmatis saja setiap materi pelajaran agama yang mereka terima. Secara kritis mereka juga mempertanyakan tentang materi pendidikan agama yang kita sampaikan sesuai dengan kenyataan dalam kehidupan sehari-hari. Kita ambil contoh, ketika menyampaikan materi tentang Isra’ Mi’raj Nabi Muhammad Saw, memang tidak salah jika kita hanya menyampaikan
43
Transformasi Dialektika Segi Tiga bahwa perjalanan yang dilakukan Nabi tersebut atas kehendak Allah semata tetapi perlu juga disampaikan pembahasan secara sains dan teknologi modern. Memang benar banyak ayat Al-Qur’an dan Hadis yang menunjukkan kebenaran perjalanan Nabi tersebut, namun akan lebih mantap lagi jika dalam penyampaian materi pelajaran tersebut disertakan fakta-fakta yang berdasarkan sains dan teknlogi. Menurut Thomas Djamaluddin, Isra’ mi’raj bukanlah kisah perjalanan antariksa. Aspek astronomis sama sekali tidak ada dalam kajian Isra’ mi’raj. Namun, Isra’ mi’raj mengusik keingintahuan akal manusia untuk mencari penjelasan ilmu. Aspek aqidah dan ibadah berintegrasi dengan aspek ilmiah dalam membahas Isra’ mi’raj. Inspirasi saintifik Isra’ Mi’raj mendorong kita untuk berfikir mengintegrasikan sains dalam aqidah dan ibadah. Mari kita mendudukkan masalah Isra’ mi’raj sebagai mana adanya yang diceritakan di dalam Al-Qur’an dan hadits-hadits shahih. Kemudian sekilas kita ulas kesalahpahaman yang sering terjadi dalam mengaitkan Isra’ mi’raj dengan kajian astronomi. Hal yang juga penting dalam mengambil hikmah peringatan Isra’ mi’raj adalah menggali inspirasi saintifik yang mengintegrasikan sains dalam memperkuat aqidah dan menyempurnakan ibadah. Di dalam QS. Al-Isra’:1, Allah menjelaskan tentang Isra’: “Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya (Nabi Muhammad SAW) pada suatu malam dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya, agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” Dan tentang Mi’raj Allah menjelaskan dalam QS. An-Najm:13-18: “Dan sesungguhnya dia (Nabi Muhammad SAW) telah melihat Jibril itu (dalam rupanya yang asli) pada waktu yang lain, di Sidratul Muntaha. Di dekat (Sidratul Muntaha) ada surga tempat tinggal. (Dia melihat Jibril) ketika Sidratul Muntaha diliputi oleh suatu selubung. Penglihatannya tidak berpaling dari yang dilihatnya itu dan tidak (pula) melampauinya. Sesungguhnya dia telah melihat sebahagian tanda-tanda (kekuasaan) Tuhannya yang paling besar.” Sidratul muntaha secara harfiah berarti ‘tumbuhan sidrah yang tak terlampaui’, suatu perlambang batas yang tak seorang manusia atau makhluk lainnya bisa mengetahui lebih jauh lagi. Hanya Allah yang tahu hal-hal yang lebih jauh dari batas itu. Sedikit sekali penjelasan dalam Al-Qur’an dan hadits yang menerangkan apa, di mana, dan bagaimana sidratul muntaha itu. Isra’ mi’raj jelas bukan perjalanan seperti dengan pesawat terbang antarnegara dari Mekkah ke Palestina dan penerbangan antariksa dari Masjidil 43
Sarno Hanipudin
44
Aqsha ke langit ke tujuh lalu ke Sidratul Muntaha. Isra’ Mi’raj adalah perjalanan keluar dari dimensi ruang waktu. Tentang caranya, ilmu pengetahuan dan teknologi tidak dapat menjelaskan secara rinci. Tetapi bahwa Rasulullah Saw melakukan perjalanan keluar ruang waktu, dan bukan dalam keadaan mimpi, adalah logika yang bisa menjelaskan beberapa kejadian yang diceritakan dalam hadits shahih. Penjelasan perjalanan keluar dimensi ruang waktu setidaknya untuk memperkuat keimanan bahwa itu sesuatu yang lazim ditinjau dari segi sains, tanpa harus mempertentangkannya dan menganggapnya sebagai suatu kisah yang hanya dapat dipercaya saja dengan iman. Kita hidup di alam yang dibatasi oleh dimensi ruang-waktu (tiga dimensi ruang –mudahnya kita sebut panjang, lebar, dan tinggi –, serta satu dimensi waktu). Sehingga kita selalu memikirkan soal jarak dan waktu. Dalam kisah Isra’ mi’raj, Rasulullah bersama Jibril dengan wahana “Buraq” keluar dari dimensi ruang, sehingga dengan sekejap sudah berada di Masjidil Aqsha. Rasul bukan bermimpi karena dapat menjelaskan secara detail tentang masjid Aqsha dan tentang kafilah yang masih dalam perjalanan. Rasul juga keluar dari dimensi waktu sehingga dapat menembus masa lalu dengan menemui beberapa Nabi. Di langit pertama (langit dunia) sampai langit tujuh berturut-turut bertemu (1) Nabi Adam, (2) Nabi Isa dan Nabi Yahya, (3) Nabi Yusuf, (4) Nabi Idris, (5) Nabi Harun, (6) Nabi Musa, dan (7) Nabi Ibrahim. Rasulullah SAW juga ditunjukkan surga dan neraka, suatu alam yang mungkin berada di masa depan, mungkin juga sudah ada masa sekarang sampai setelah kiamat nanti. Sekadar analogi sederhana perjalanan keluar dimensi ruang waktu adalah seperti kita pergi ke alam lain yang dimensinya lebih besar. Sekadar ilustrasi, dimensi 1 adalah garis, dimensi 2 adalah bidang, dimensi 3 adalah ruang. Alam dua dimensi (bidang) dengan mudah menggambarkan alam satu dimensi (garis). Demikian juga alam tiga dimensi (ruang) dengan mudah menggambarkan alam dua dimensi (bidang). Tetapi dimensi rendah tidak akan sempurna menggambarkan dimensi yang lebih tinggi. Kotak berdimensi tiga tidak tampak sempurna bila digambarkan di bidang yang berdimensi dua. Sekarang bayangkan ada alam berdimensi dua (bidang) berbentuk U. Makhluk di alam “U” itu bila akan berjalan dari ujung satu ke ujung lainnya perlu menempuh jarak jauh. Kita yang berada di alam yang berdimensi lebih tinggi dengan mudah memindahkannya dari satu ujung ke ujung lainnya dengan mengangkat makhluk itu keluar dari dimensi dua, tanpa perlu berkeliling menyusuri lengkungan “U”. Alam malaikat (juga jin) bisa jadi berdimensi lebih tinggi dari dimensi ruang waktu, sehingga bagi mereka tidak ada lagi masalah jarak dan waktu.
45
Transformasi Dialektika Segi Tiga Karena itu mereka bisa melihat kita, tetapi kita tidak bisa melihat mereka. Ibaratnya dimensi dua tidak dapat menggambarkan dimensi tiga, tetapi sebaliknya dimensi tiga mudah saja menggambarkan dimensi dua. Bukankah isyarat di dalam Al-Quran dan Hadits juga menunjukkan hal itu. Malaikat dan jin tidak diberikan batas waktu umur, sehingga seolah tidak ada kematian bagi mereka. Mereka pun bisa berada di berbagai tempat karena tak di batas oleh ruang. Rasulullah bersama Jibril diajak ke dimensi malaikat, sehingga Rasulullah dapat melihat Jibril dalam bentuk aslinya (baca QS 53:13-18). Rasul pun dengan mudah pindah dari suatu tempat ke tempat lainnya, tanpa terikat ruang dan waktu. Langit dalam konteks Isra’ Mi’raj pun bukanlah langit fisik berupa planet atau bintang, tetapi suatu dimensi tinggi. Langit memang bermakna sesuatu di atas kita, dalam arti fisik maupun non-fisik. Bagaimanapun ilmu manusia tak mungkin bisa menjabarkan hakikat perjalanan Isra’ mi’raj. Allah hanya memberikan ilmu kepada manusia sedikit sekali (QS. Al-Isra: 85). Hanya dengan iman kita mempercayai bahwa Isra’ mi’raj benar-benar terjadi dan dilakukan oleh Rasulullah SAW. Rupanya, begitulah rencana Allah menguji keimanan hamba-hamba-Nya (QS. Al-Isra:60) dan menyampaikan perintah shalat wajib secara langsung kepada Rasulullah SAW. Pemahaman dengan pendekatan konsep ekstra dimensi sekadar pendekatan sains untuk merasionalkan konsep aqidah terkait Isra’ mi’raj, walau belum tentu tepat. Tetapi upaya pendekatan saintifik sering dipakai sebagai dalil aqli (akal) untuk memperkuat keyakinan dalam aqidah Islam. Sains seharusnya tidak kontradiktif dengan aqidah dan aqidah bukan hal yang bersifat dogmatis semata, tetapi memungkinkan dicerna dengan akal. Mengintegrasikan sains dalam memahami aqidah dapat menghapuskan dikotomi aqidah dan sains, karena Islam mengajarkan bahwa kajian sains tentang ayat-ayat kauniyah tak terpisahkan dari pemaknaan aqidah.15 Penjelasan tentang peristiwa Isra’ Mi’raj di atas merupakan salah satu contoh materi tentang aqidah dan keimanan yang dicoba dijelaskan dengan pendekatan sains dan tenologi sehingga akan mudah dicerna oleh peserta didik. Contoh lain yang dapat dikemukakan di sini adalah informasi dari Al-Qur’an Surat Al-Qomar ayat 1tentangterbelahnya bulan.
السااعَةاا َاواناشَا َاقاالاَاق َامراا تا َا ذاقا ََاتاب َ ذا
Telah dekat (datangnya) saat itu dan telah terbelah bulan 45
Sarno Hanipudin
46
Ayat ini merupakan salah satu ayat yang dapat meningkatkan keimanan dan ketakwaan seorang muslim jika dia benar-benar beriman akan kebenaran Al-Qur’an. Akan tetapi keimanan ini akan lebih sempurna jika ada penjelasan secara sains terkait terbelahnya bulan tersebut. Beberapa pendapat mengenai pemahaman terbelahnya bulan tersebut, antara lain:16 1. Secara Geo-sains memang telah terbukti bahwa dahulu kala bulan pernah terbelah akibat benturan asteroid. Data perbatuan bulan menyajikan informasi adanya jalur batuan metamorf yang menembus bulan. Jalur itu berawal dari permukaan hingga ke inti dan menembus ke permukaan bulan di sisi yang berseberangan. 2. DR. Khalifa dari NASA telah menjelaskan pengertian ayat tersebut, yaitu bahwa tidak seorang pun dapat menyangkal kebenaran surat Al-Qomar ayat 1 tersebut. Kita dapat merujuk suatu kenyataan bahwa Neil Amstrong dan Aldrin meninggalkan bulan dengan membawa batuan bulan sebanyak 21 kg untuk contoh penelitian. Itulah yang dimaksud dengan pengertian terbelahnya bulan, dan inilah yang membuat sang ilmuwan NASA itu memeluk agama Islam dan mengganti namanya menjadi Khalifa. 3. Suatu saat bulan akan terbelah bila mendekati hari kiamat. Secara sains, hal ini juga dimungkinkan apabila asteroid membentur bulan sehingga bulan lenyap atau hancur. Dua contoh di atas kiranya dapat dijadikan gambaran tentang integrasi pendidikan agama Islam dengan sains dan teknologi. Bahwa sains dan teknologi sebenarnya dapat dijadikan fakta empiris penguat kebenaran ajaran agama Islam. Pengajaran yang awalnya lebih banyak bersifat dogmatis semakin terasa mudah untuk dipahami. Integrasi ini tentunya dengan harapan untuk lebih meningkatkan pemahaman peserta didik akan materi pelajaran pendidikan agama Islam dan sekaligus sebagai pengguat keyakinan akan kebenaran AlQur’dan. D. Peran Pendidikan Agama Islam (PAI) dalam Perkembangan Sains dan
Teknologi Peran Pendidikan Islam dalam perkembangan teknologi, diantaranya adalah sebagai berikut : 1. Aqidah Islam Sebagai Dasar Sains dan Teknologi Inilah peran pertama pendidikan islam yang dimainkan dalam iptek, yaitu menjadikan aqidah Islam sebagai basis segala konsep dan aplikasi iptek.
47
Transformasi Dialektika Segi Tiga Inilah paradigma Islam sebagaimana yang telah dibawa oleh Rasulullah SAW. 2. Syariah Islam sebagai Standar Pemanfaatan Sains dan Teknologi Peran kedua Islam dalam perkembangan sains dan teknologi, adalah bahwa Syariah Islam harus dijadikan standar pemanfaatan sains dan teknologi. Ketentuan halal-haram (hukum-hukum syariah Islam) wajib dijadikan tolok ukur dalam pemanfaatan iptek, bagaimana pun juga bentuknya. Iptek yang boleh dimanfaatkan, adalah yang telah dihalalkan oleh syariah Islam. Sedangkan sains dan teknologi yang tidak boleh dimanfaatkan, adalah yang telah diharamkan syariah Islam. Jika dua peran ini dapat dimainkan oleh umat Islam dengan baik, insyaallah akan ada berbagai berkah dari Allah kepada umat Islam dan juga seluruh umat manusia. Sedangkan peran sains dan teknologi menurut Islam sesuai dengan firman Allah yang artinya sebagai berikut: Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi serta silih bergantinya malam dan siang, terdapat tanda-tanda (Kebesaran Allah) bagi kalangan ulul albab. Yaitu mereka yang hatinya selalu bersama Allah di waktu berdiri, duduk dan dalam keadaan berbaring dan memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata), Ya Tuhan kami,tidaklah Engkau menciptakan ini semua dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka perliharalah kami dari azab neraka. (QS Al Imron 190-191) Dari ayat ini dapat kita lihat, bahwa melalui pengamatan, kajian dan pengembangan sains dan teknologi, Allah menghendaki manusia dapat lebih merasakan kebesaran, kehebatan dan keagunganNya. Betapa hebatnya alam ciptaan Allah, yang kebesaran dan keluasannyapun manusia belum sepenuhnya mengetahui, maka sudah tentu Maha hebat lagi Allah yang menciptakannya. Tidak terbayangkan oleh akal fikiran dan perasaan manusia Maha Hebatnya Allah. Kalaulah alam semesta yang nampak secara lahiriah saja sudah begitu luas, menurut kajian dengan menggunakan peralatan terkini yang canggih diameternya 20 milyar tahun cahaya, terasa betapa besar dan agungnya Allah yang menciptakannya. Ini alam lahiriah yang nampak dan dapat diukur secara lahiriah, belum lagi alam-alam yang berbagai jenis yang tidak dapat dikaji dan diobservasi dengan peralatan lahiriah buatan manusia, walau secanggih apapun. Maka melalui kajian sains dan pengembangan teknologi, sepatutnya rasa hamba para saintis dan teknolog meningkat. Tetapi sedikit sekali saintis dan teknolog yang meningkat rasa hambanya, yang semakin tawadhu, yang semakin cinta dan takut dengan Allah. Bahkan kebanyakannya semakin mereka 47
Sarno Hanipudin
48
menemukan benda-benda dan inovasi-inovasi yang baru, semakin bangga dan rasa hebat. Bukan bertambah rasa kehambaan, rasa takut dan cintakan Allah.17 E. Upaya Pendidikan Islam dalam Menghadapi Dampak Negatif Sains dan
Teknologi Materi pendidikan Islam harus mampu menstimulir fitrah manusia, baik fitrah ruhani, akal, maupun perasaan sehingga dapat melaksanakan perannya dengan baik, entah sebagai hamba Allah SWT.. ataupun sebagai khalifah dimuka bumi. Menurut Prof. A. Qodry Azizy (2004: 81), tiga komponen yang dimiliki pendidikan Islam sebagai kunci dalam mengendalikan dan mengembalikan sains dan teknologi ke posisi semula, yaitu: 1. Amar ma’ruf Pendidikan Islam memperkenalkan konsep pengembangan amar ma’ruf. Tidak hanya kaitannya dalam pergaulan sosial saja, akan tetapi amar ma’ruf ini dimaknai juga sebagai pengembangan diri dan iptek secara positif. Jadi apapun yang dihasilkan oleh umat Islam harus mampu memberikan nilai positif bagi kehidupannya dan habitat di sekelilingnya. Begitu pun dalam pengembangan iptek, umat Islam harus mengarahkan penggunaan iptek kepada hal yang benar, yang diridhoi oleh Allah SWT. 2. Nahi Munkar Pendidikan Islam mengarahkan manusia untuk mampu membedakan dan memilih kebenaran. Andaikan ada penyalahgunaan iptek, maka pendidikan Islam mengharuskan umat Islam untuk menghindarinya dan memperbaiki serta mencegah penyalahgunaannya kembali. 3. Iman kepada Allah Poin ketiga ini menjadi poin utama dasar pendidikan Islam. Karena dengan keimanan yang kuat, umat Islam akan mampu menghadapi dampak negatif iptek yang hadir. Iman kepada Allah SWT akan menghadirkan rasa takut untuk bermaksiat terhadap-Nya, dan rasa malu untuk melakukan kerusakan di bumi. Sebesar apapun serangan dampak negatif iptek, umat Islam akan mampu membentengi diri melalui peningkatan keimanan yang terus menerus. Karena pada dasarnya dampak negatif iptek tidak akan terbendung, hanya diri kitalah yang harus membentengi diri sebaik mungkin untuk menghadapinya.18
49
Transformasi Dialektika Segi Tiga
F. Problematika Integrasi Pendidikan Agama Islam (PAI) dengan Sains dan
Teknologi Idealnya integrasi pendidikan agama Islam dengan sains dan teknologi dapat dilaksanakan dengan sebaik-baiknya sebagai upaya dalam memantapkan materi pendidikan agama Islam. Juga sebagai sarana memperjelas permasalahan yang timbul dalam penyampaian materi pendidikan agama Islam yang awalnya hanya bersifat dogmatis saja. Juga sebagai peningkatan rasa keimanan akan kebenaran segala yang disampaikan Al-Qur’an dan Hadis. Namun kenyataan di lapangan tentu akan berbeda pelaksanaannya dengan adanya beberapa hambatan atau problematika yang dihadapi dalam proses integrasi tersebut. Di antara problematika tersebut adalah: 1. Sumber Daya Manusia Tidak dapat dipungkiri bahwa guru pendidikan agama Islam berangkat dari disiplin ilmu yang hanya membekalinya untuk dapat mengajar pendidikan agama Islam sesuai dengan bidang keahliannya saja. Sehingga dalam aplikasinya ketika integrasi dengan sains dan teknologi dilaksanakan akan menimbulkan permasalahan kurangnya pemahaman dari guru pendidikan agama Islam tersebut tentang sains dan teknologi. Hal ini dapat dicarikan solusi dengan beberapa langkah, di antaranya: dengan mengikuti pendidikan dan latihan terkait dengan sains dan teknologi, menambah referensi bacaan tentang sains dan teknologi, dan pembahasan dalam forum musyawarah guru mata pelajaran. Untuk mewujudkan hal tersebut tentunya membutuhkan pembiayaan yang tidak sedikit. Dalam hal ini pemerintah telah memberikan perhatiannya dengan program sertifikasi guru. Dengan adanya program sertifikasi guru yang diikuti dengan peningkatan kesejahteraan yang berupa tunjangan profesi bagi guru. Undang-undang guru dan dosen antara lain dimaksudkan untuk meningkatkan mutu guru sekaligus kesejahteraannya sebagai upaya untuk meningkatkan mutu pendidikan.19 Selain itu dalam rangka meningkatkan kualitas hasil pendidikan, para pengambil kebijakan di bidang pendidikan sering memperkenalkan inovasi pendidikan. Inovasi di bidang pembelajaran misalnya, sering ditatarkan atau di-diklat-kan kepada para guru.20 2. Laboratorium Pendidikan Agama Islam Pendidikan agama sebagaimana pendidikan lainnya juga membutuhkan sarana dan fasilitas. Bila di sekolah ada laboratorium IPA, Biologi, Bahasa, maka sebetulnya sekolah juga membutuhkan laboratorium agama di samping masjid. Laboratorium itu dilengkapi dengan sarana dan fasilitas 49
Sarno Hanipudin
3.
50
yang membawa peserta didik untuk lebih menghayati agama, misalnya video yang bernapaskan keagamaan, music dan nyanyian keagamaan, syair, puisi keagamaan, alat-alat peraga pendidikan agama, foto-foto yang bernapaskan keagamaan, dan lain sebagainya yang merangsang emosional keberagaman peserta didik. Buku Referensi Buku merupakan faktor yang sangat mendukung dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Penambahan referensi buku-buku agama maupun buku-buku tentang sains dan teknologi akan membantu menyelesaikan problem integrasi pendidikan agama Islam dengan sains dan teknologi. Pengadaan buku ini sebenarnya menjadi tanggung jawab pemerintah dan lembaga pendidikan yang ada.
G. Kesimpulan
Manusia sebagai ciptaan Tuhan dengan kesempurnaan akal pikirannya, di dalam ajaran Islam, dianjurkan untuk membaca ayat-ayat yang tersirat lewat fenomena dan keteraturan alam. Dengan kajian-kajiannya yang kemudian menjadi ilmu pengetahuan dan teraplikasi dalam wujud teknologi, kehidupan manusia menjadi lebih mudah dan sejahtera. Dengan mengetahui dan merenungi berbagai keteraturan dan fenomena alam yang ada akan menimbulkan keimanan, ketakwaan, dan kesadaran rohaniyah dalam diri manusia bahwa betapa kecilnya makhluk manusia dan betapa besarnya Tuhan sebagai pencipta alam semesta serta segala isinya. Selain memberi panduan hidup kepada manusia agar menjadi manusia yang bertaqwa yang dapat selamat dan menyelamatkan, Al-Qur’an banyak terkandung informasi-informasi ilmiah. Walaupun Al-Qur’an bukan merupakan kitab sains dan teknologi, ia banyak memuat informasi sains dan teknologi, tapi ia hanya menyatakan bagian-bagian asas yang sangat penting saja dari ilmuilmu dan teknologi yang dimaksud. Al Qur’an juga mendorong umat Islam untuk belajar, mengkaji dan menganalisa alam ciptaan Allah ini. Dengan integrasi pendidikan agama Islam dengan sains dan teknologi diharapkan pembelajaran yang dilaksanakan menjadi lebih bermakna dan mudah dipahami. Sehingga tujuan pendidikan agama Islam dalam mengarahkan peserta didik untuk mengenal, memahami, menghayati, hingga mengimani, bertaqwa, dan berakhlak mulia dalam mengamalkan ajaran agama Islam dari sumber utamanya yaitu kitab suci Al-Quran dan Al-Hadits, melalui kegiatan bimbingan pengajaran, latihan, serta penggunaan pengalaman dapat terlaksana.
51
Transformasi Dialektika Segi Tiga
Endnote 1
Abdurrahman R Effendi dan Gina Puspita, Membangun Sains dan Teknologi Menurut Kehendak Tuhan, (Jakarta: Giliran Timur, 2007), hlm. 15. 2 Menuk Hardaniwati dkk, Kamus Pelajar Sekolah Lanjutan Pertama, (Jakarta: Pusat Bahasa, 2003), hlm. 251-252 3 Khudori Sholeh, Pokok Pikiran tentang Paradigma Integrasi Ilmu dan Agama dalam Intelektualisme Islam: Melacak Akar-akar Integrasi Ilmu dan Agama, (Malang: LKQS UIN Malang, 2007), hlm. 231. 4 Ahmad D Marimba, Filsafat Pendidikan Islam (Bandung: PT. Al-Maarif, 1984), hlm. 23 5 Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia: Lintasan Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan (Jakarta: RajaGrafindo, 1999, cetakan ke-3), hlm. 9. 6 Haidar Putra Daulay, Pendidikan Islam: Dalam Sistem Pendidikan Nasional di Indonesia (Jakarta: Kencana, 2004), hlm. 3. 7 Babam Suryaman, Pengertian, Dasar, Fungsi, Ruang Lingkup Pendidikan Agama Islam (PAI) dalam http://www.kosmaext2010.com/pengertian-dasar-fungsi-ruang-lingkup-pendidikanagama-islam-pai.php 8 Zakiah Daradjad, Metodik Khusus Pengajaran Agama Islam, (Jakarta : Bumi Aksara, 1995), hlm. 172 9 Abdul Munir Mulkhan dkk, Rekonstruksi Pendidikan dan Tradisi Pesantren: Religiusutas Iptek (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998), hlm. 56. 10 Babam Suryaman, Pengertian, Dasar, Fungsi, Ruang Lingkup Pendidikan Agama Islam (PAI)dalam http://www.kosmaext2010.com/pengertian-dasar-fungsi-ruang-lingkup-pendidikanagama-islam-pai.php 11 Agus S. dalam, Ilmu Alam dalam http://id.wikipedia.org/wiki/Ilmu_alam 12 Abdurrahman R Effendi dan Gina Puspita, Membangun Sains dan Teknologi Menurut Kehendak Tuhan, (Jakarta: Giliran Timur, 2007), hlm. 2. 13 Achmad Zaidun, Ringkasan Hadis Shahih Al-Bukhari, (Jakarta: Pustaka Amani, 2002), hlm. 263 14 Abdurrahman R Effendi dan Gita Puspita, Membangun Sains dan Teknologi Menurut Kehendak Tuhan, hlm. 7. 15 Thomas Djamaluddin, Isra’ Mi’raj: Inspirasi Mengintegrasikan Sains dalam Aqidah dan Ibadaha dalam http://www.dakwatuna.com/2011/06/12964/isra-miraj-inspirasi-mengintegrasikansains-dalam-aqidah-dan-ibadah 16 Agus Haryo Sudarmojo, Menyibak Rahasia Sains Bumi dalam Al-Qur’an, (Bandung: Mizan Pustaka, 2008), hlm. 66-68. 17 Abdurrahman R Effendi dan Gita Puspita, Membangun Sains dan Teknologi Menurut Kehendak Tuhan, hlm. 54-55 18 Syaifur Al-Muntasyiri, Dampak Perkembangan Iptek dan Pendidikan Islam, dalam massyaifur.blogspot.com/.../dampak-perkembangan-iptek-dan.html 19 Muhaimin, Pemikiran dan Aktualisasi Pengembangan Pendidikan Islam, (Jakarta: Rajawali Pers, 2011), hlm. 99. 20 Ibid, hlm. 102.
51
52
Sarno Hanipudin
DAFTAR PUSTAKA R Effendi.Abdurrahman,dkk.2007.Membangun Sains dan Teknologi Menurut Kehendak Tuhan, Jakarta: Giliran Timur Agus S. dalam, Ilmu Alam dalam http://id.wikipedia.org/wiki/Ilmu_alam Syaifur, Al-Muntasyiri.Dampak Perkembangan Iptek dan Pendidikan Islam, dalam massyaifur.blogspot.com/.../dampak-perkembangan-iptek-dan.html Daradjad, Zakiah. 1995.Metodik Khusus Pengajaran Agama Islam, Jakarta: Bumi Aksara Hardaniwati, Menuk dkk. 2003.Kamus Pelajar Sekolah Lanjutan Pertama, Jakarta: Pusat Bahasa Hasbullah. 1999.Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia: Lintasan Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan, Jakarta: RajaGrafindo Marimba,Ahmad D. 1984.Filsafat Pendidikan Islam, Bandung: PT. Al-Maarif Muhaimin. 2011.Pemikiran dan Aktualisasi Pengembangan Pendidikan Islam, Jakarta: Rajawali Pers Munir, Mulkhan Abdul dkk. 1998.Rekonstruksi Pendidikan dan Tradisi Pesantren: Religiusutas Iptek, Yogyakarta: Pustaka Pelajar Putra, Daulay Haidar. 2004Pendidikan Islam: Dalam Sistem Pendidikan Nasional di Indonesia, Jakarta: Kencana Sudarmojo, Agus Haryo. 2008Menyibak Rahasia Sains Bumi dalam Al-Qur’an, Bandung: Mizan Pustaka Suryaman, Babam.Pengertian, Dasar, Fungsi, Ruang Lingkup Pendidikan Agama Islam (PAI) dalam http://www.kosmaext2010.com/pengertian-dasarfungsi-ruang-lingkup-pendidikan-agama-islam-pai.php Thomas, Djamaluddin. Isra’ Mi’raj: Inspirasi Mengintegrasikan Sains dalam Aqidah dan Ibadaha dalam http://www.dakwatuna.com/2011/06/12964/ isra-miraj-inspirasi-mengintegrasikan-sains-dalam-aqidah-dan-ibadah Zaidun, Achmad. 2002.Ringkasan Hadis Shahih Al-Bukhari, Jakarta: Pustaka Amani
53
Menciptakan Iklim Kelas Yang Efektif di Sekolah Dasar
MENCIPTAKAN IKLIM KELAS YANG EFEKTIF DI SEKOLAH DASAR Donny Khoirul Azis1 Abstract Learning can occur where there is a positive relationship between teacher and pupil. The teacher's role is to develop a healthy classroom climate in which learning will automatically evolve.There are three basic nature for the relationship with the students to make them more comfortable.They are acceptance, authenticity, and empathy. Acceptance involves recognizing and accepting the children, authenticity implies sthat acceptance in a real and sincere way.While empathy shows that teachers are able to appreciate what is going on in class and feel like kids are feeling.One of the effective learning is by taking a comfortable place as determinant of successful learning, therefore the classroom climate should be supportive, encouraging and sensitive to the individual.Keywords: elementary school, effective, the role of the teacher.
A. Pendahuluan Jika pembelajaran yang efektif adalah untuk mengambil tempat sebagai faktor penentu berhasilnya pembelajaran, maka iklim kelas harus mendukung, mendorong dan peka terhadap individu. Anak-anak perlu merasa yakin sehingga mereka bisa mengambil risiko mendapatkan sesuatu yang salah. Dalam proses pembelajaran di kelas seorang guru harus ramah kepada semua anak-anak, serta dapat bersikap objektif tentang mengidentifikasi kebutuhan anak. Guru harus bersikap baik tapi tegas dan konsisten dalam berurusan dengan semua orang di kelas dan hubungan guru dengan murid harus didasarkan pada saling menghormati di antara lainnya. Ada tiga sifat dasar yang diperlukan untuk hubungan orang agar menjadi lebih nyaman di antaranya adalah penerimaan, keaslian dan empati. Penerimaan melibatkan mengakui dan menerima anak-anak, keaslian menyiratkan bahwa penerimaan tersebut adalah nyata dan tulus; sementara empati menunjukkan bahwa guru mampu menghargai apa yang terjadi di kelas serta merasa seperti anak-anak rasakan.2 B. Kemampuan guru dalam menciptakan iklim kelas Ada ketegangan antara guru dan anak-anak yang merupakan hasil tak terelakkan dari perbedaan posisi mereka. Pollard menggambarkan guru sebagai menonton anak-anak, menafsirkan tindakan mereka dari sudut pandang perspektif 1Penulis 2
Education.
adalah Dosen IAIN Purokerto. Pollard, A. and Tann, S. (1987) Reflective Teaching in the Primary School, London: Cassell
Donny Khoirul Azis
54
dan mengevaluasi dampak dari mereka pada kepentingannya. Anak-anak menonton dan mengevaluasi, secara bertahap mengumpulkan bekal pengetahuan dan pengalaman guru yang sebagian besar diorganisir sekitar ancaman kekuasaan guru.3 Di jantung pengajaran yang efektif harus ada aspek kemampuan guru untuk menciptakan iklim emosional yang tepat untuk pelajaran yang akan memungkinkan murid untuk terlibat secara tepat dalam sikap mental yang diperlukan untuk belajar dapat berlangsung memuaskan "Dia juga menyatakan bahwa : Sebuah iklim kelas yang efektif adalah satu di mana kekuasaan guru untuk mengatur dan mengelola kegiatan pembelajaran diterima oleh murid, ada saling menghormati dan hubungan yang baik, dan suasana adalah salah satu kepercayaan dalam pembelajaran.4 Sifat dan kualitas interaksi sosial akan mencerminkan etos atau iklim moral kelas. Iklim moral yang mengacu pada iklim harapan sosial yang mempengaruhi hubungan antara siswa, antara guru dan murid dan , di luar kelas, antara guru . Hal ini juga tercermin dalam rangka guru prioritas dan nilai dianggap berasal dari pencapaian murid tertentu atau sekelompok murid.5 Penelitian pembelajaran yang efektif membuat hal-hal berikut tentang iklim sosial kelas iklim sosial kelas, terutama dalam kaitannya dengan cara-cara di mana guru yang berkaitan dengan murid , merupakan faktor yang signifikan bagi siswa untuk menentukan dalam beberapa kasus, sejauh mana mereka dipekerjakan strategi yang paling efektif atau apakah mereka memilih untuk mempekerjakan mereka.6 C. Peraturan yang ada dalam kelas sekolah dasar Ketika anak-anak pertama kali datang ke sekolah, baik di kelas anak usia dini atau taman kanak-kanak, mereka harus belajar sebagai peran murid. Edwards dan Knight (1994 : 14) menyatakan bahwa ' Salah satu kesulitan yang praktisi tahun-tahun awal harus mengelola adalah kebutuhan untuk mempertahankan rasa anak-anak dari efektivitas pribadi sementara mereka belajar untuk beroperasi dalam konteks di mana aturan-aturan sosial dan jumlah orang dewasa perhatian akan sangat berbeda dengan yang ada rumah. " mereka pergi untuk menjelaskan
Pollard, A. (1985) The Social World of the Primary School, London: Holt, Rinehart and Winston. Kyriacou, C. (1986) Effective Teaching in Schools, Oxford: Blackwell. 5 Galloway, D. (1990) ‘Interaction with children with special educational needs’, in Rogers, C. and Kutnick, P. (eds) The Social Psychology of the Primary School, London: Routledge. 6 Cooper, P. and McIntyre, D. (1996) Effective Teaching and Learning: Teachers’ and Students’ Perspectives, Buckingham: Open University Press. 3 4
55
Menciptakan Iklim Kelas Yang Efektif di Sekolah Dasar cara di mana guru kelas penerimaan bertindak seolah-olah anak-anak sudah tahu aturan dan rutinitas kelas memuji orang-orang yang sesuai dengan mereka.7 Guru umumnya menetapkan peraturan kelas baik dengan menyatakan secara eksplisit atau dengan cara mereka bereaksi dengan cara anak berperilaku. Pollard menunjukkan aturan berkembang melalui insiden dan hukum kasus ini, guru dan anak-anak datang untuk memahami satu sama lain dan untuk menentukan parameter dari perilaku yang dapat diterima dalam situasi tertentu. Seiring waktu anak-anak belajar untuk menyesuaikan diri dengan aturan-aturan ini dan guru harus siap untuk mendiskusikan dan bernegosiasi mereka di mana diperlukan. Anak-anak akan menguji aturan yang guru tampaknya akan menempatkan maju untuk melihat seberapa jauh mereka bisa pergi. Docking menyatakan bahwa peraturan kelas melayani tiga tujuan yang tumpang tindih:8 1. untuk memastikan keamanan dan kesejahteraan pribadi; 2. untuk menyediakan kondisi yang efektif untuk pengajaran dan pembelajaran ; 3. untuk membantu anak-anak mengembangkan perilaku dan rasa hormat. Dia mencatat bahwa aturan sering mencakup hal-hal berikut : 1. memasuki , meninggalkan dan bergerak di sekitar ruangan, 2. penanganan material dan peralatan, 3. berbicara dan mendengarkan, 4. memperlakukan orang lain seperti guru ingin mereka memperlakukan guru, 5. membuat ruangan kelas yang lebih menyenangkan untuk kegiatan belajar mengajar. Dia membuat titik bahwa hubungan konstruktif dengan anak-anak lebih mungkin untuk dipromosikan jika aturan umumnya diungkapkan dalam hal perilaku yang diinginkan daripada perilaku tidak inginkan. Pembelajaran terjadi di mana hubungan positif ada antara guru, kelas dan di antara murid. Peran guru adalah untuk mengembangkan iklim kelas yang sehat di mana pembelajaran secara otomatis akan berkembang. " Hal ini juga bijaksana untuk mendiskusikan kemungkinan aturan dengan anak-anak dan memberi mereka kesempatan untuk menunjukkan aturan sendiri sehingga mereka merasa beberapa kepemilikan mereka.9 Aturan perlu diperkenalkan secara bertahap dan beberapa dari mereka akan disimpulkan oleh anak-anak dari perilaku guru. Ini adalah salah satu masalah
Edwards, A. and Knight, P. (1994) Effective Early Years Education: Teaching Young Children, Buckingham: Open University Press. 8 Docking, J. (1992) Managing Behaviour in the Primary School, London: David Fulton in association with the Roehampton Institute. 9 Wragg, E.C. (1993) Primary Teaching Skills, London: Routledge, Hal. 31. 7
Donny Khoirul Azis
56
yang anak hadapi ketika mereka mulai sekolah mereka perlu belajar bagaimana berperilaku di dalam kelas. Mereka juga mungkin perlu belajar bagaimana berhubungan dan berinteraksi dengan kelompok sebaya mereka dan meskipun kebanyakan anak-anak sekarang memiliki beberapa pengalaman pra - sekolah yang membuat ini lebih mudah , masih banyak pembelajaran yang dibutuhkan. D. Harapan Guru Dalam Kelas Sekolah Dasar Bagian penting dari iklim kelas adalah cara yang guru tawarkan dapat menambah penguatan positif untuk anak-anak serta memberi mereka pujian untuk perilaku serta prestasi dan untuk usaha . Akan sangat membantu jika guru membuat titik memuji anak untuk berolahraga keterampilan sosial. Ini juga mungkin ide yang baik untuk membahas perilaku sosial cukup sering sehingga anak-anak secara bertahap datang untuk mengenali apa yang diperlukan dari mereka dan bagaimana mereka dapat belajar untuk mendapatkan sesuatu dari orang lain. Beberapa anak tampaknya memiliki keterampilan sosial secara alamiah atau telah diperoleh dengan mudah di pra - sekolah atau di rumah . sedangkan lainnya memerlukan bantuan dalam akuisisi mereka. Harapan Guru merupakan faktor penting dalam prestasi anak-anak dan guru perlu terus-menerus menyampaikan gagasan bahwa banyak yang diharapkan dari anak-anak . Ada sebuah studi terkenal oleh Rosenthal dan Jacobson di mana guru sengaja menyesatkan tentang potensi murid mereka sehingga mereka diberitahu bahwa ada yang lebih mampu daripada yang lain . Kemudian pengujian menunjukkan bahwa murid yang telah ditetapkan sebagai salah lebih mampu benar-benar menunjukkan hasil tes yang lebih tinggi . Studi ini menunjukkan bahwa guru yang bersangkutan diperlakukan anak-anak yang dikatakan lebih mampu berbeda dari anak-anak lain dan dalam melakukan ini mengangkat tingkat kinerja. Studi ini telah dikritik atas dasar desain dan upaya untuk meniru studi ini tidak selalu berhasil, tetapi temuan secara keseluruhan tetap penting bagi guru. Ketika ditemukan bahwa profil kinerja khususnya anak-anak di kelas bervariasi menurut persepsi terwujud guru mereka . Anak-anak positif dirasakan oleh guru melakukannya dengan baik dan mengatakan mereka suka berada dengan guru itu, tapi di mana anak-anak tidak melakukan dengan baik , mereka tidak menguntungkan dirasakan oleh guru dan dilaporkan tidak menyukai guru itu.10 Masalah bagi guru tentang harapan adalah bahwa harapan guru tentang apa yang anak-anak dapat mencapainya adalah hasil dari pengalaman guru. Jika guru secara konsisten menemukan bahwa anak-anak asal Karibia misalnya, Moyles, J. (1992) Organising for Learning in the Primary Classroom, Buckingham, Open University Press. Hal. 71 10
57
Menciptakan Iklim Kelas Yang Efektif di Sekolah Dasar cenderung untuk tampil di tingkat bawah anak-anak kulit putih atau bahwa anakanak kelas pekerja muncul untuk belajar kurang baik daripada anak-anak dengan latar belakang kelas menengah, sulit bagi guru untuk mempertahankan harapan yang tinggi dari kelompok-kelompok anak-anak yang berasal dari anak pekerja. Maka dari itu pandangan seperti ini harus dihilangkan dari pikiran yang ada dari guru dan menganggap bahwa latar belakang murid tidak terlalu mempengaruhi kemampuan murid di kelas. Hal ini menyebabkan pertimbangan masalah stereotip. Guru dapat dengan mudah menganggap bahwa semua anak-anak dengan latar belakang kelas pekerja , atau dengan aksen lokal , kurang cerdas daripada rekan-rekan mereka . Hal ini menyebabkan mereka untuk memperlakukan anak-anak ini seolah-olah ini adalah kasus dan anak-anak merespon dengan bersikap seolah-olah. Menurut Mortimore,11 yang menemukan guru Peringkat anak-anak dari latar belakang workingclass kurang mampu dari hasil tes menunjukkan mereka benar-benar merupakan peringatan bagi guru untuk tidak stereotip anak-anak tetapi untuk menyadari betapa mudahnya ini adalah untuk melakukan . Mengetik individu adalah sesuatu yang setiap orang alami sepanjang waktu. Ini adalah bagian dari interaksi sosial dan diperlukan bagi guru jika mereka menghadapi kompleksitas kelas dan berbagai besar bahwa setiap kelompok anakanak mewakili. Yang penting adalah untuk menyadari bahwa seseorang melakukannya dan bahwa hal itu dapat mempengaruhi cara seseorang memperlakukan orang lain. Guru cenderung memiliki harapan yang lebih rendah dari anak-anak dengan bahasa Inggris non -standar dan keterampilan yang lebih rendah verbal, latar belakang kelas sosial yang lebih rendah dan masalah perilaku dan harapan yang lebih tinggi dari anak-anak yang menyenangkan untuk mengajar. Mereka juga menemukan bahwa kesalahan guru dalam mengklasifikasi anak-anak yang menyenangkan untuk mengajar dan anak-anak dengan kemampuan verbal yang lebih rendah terkelompokan ke bawah. Beberapa guru juga mengatakan bahwa beberapa item kurikuler yang terlalu sulit bagi anak-anak mereka meskipun mereka diajarkan berhasil di sekolah yang sama.12 Cooper dan McIntyre 13 menemukan beberapa indikasi bahwa guru cenderung kaku dalam menemani anak-anak . " Hal ini menunjukkan bahwa guru
11 Mortimore, P., Sammons, P., Stoll, L., Lewis, D. and Ecob, R. (1988) School Matters, London: Open Books. 12 Tizard, B., Blatchford, P., Burke, J., Farquhar, C. and Plewis, I. (1988) Young Children at School in the Inner City, Hove and London: Lawrence Erlbaum Associates. 13 Cooper, P. and McIntyre, D. (1996) Effective Teaching and Learning: Teachers’ and Students’ Perspectives, Buckingham: Open University Press.
Donny Khoirul Azis
58
yang tahan terhadap perubahan perilaku murid yang mungkin merusak identitas yang telah dikaitkan. Alexander,14menyatakan bahwa bukti tentang guru di bawah harapan dan murid di bawah - prestasi berarti bahwa guru harus menghindari perangkap dengan asumsi bahwa murid kemampuannya adalah tetap. Kemampuan murid dapat berubah bisa jadi karena pengaruh dari lingkungan di mana mereka berada. Mortimore15 mencatat bahwa harapan Guru ditransmisikan di kedua cara langsung dan halus. Di mana mereka berbeda untuk kelompok murid perempuan daripada anak laki-laki ; anak-anak dari keluarga kelas menengah bukan dari kelas pekerja ; hitam bukan putih mereka mengabadikan perbedaan prestasi yang sangat tidak adil. Sammons16menyatakan bahwa jika guru menetapkan standar yang tinggi untuk murid mereka , biarkan mereka tahu bahwa mereka diharapkan untuk bertemu dengan mereka dan memberikan pelajaran intelektual menantang untuk sesuai dengan harapan tersebut, maka dampak terhadap prestasi dapat cukup . mereka pergi untuk mengatakan harapan rendah dengan rasa kurangnya kontrol atas kesulitan murid dan pendekatan pasif untuk mengajar. Harapan yang tinggi sesuai dengan peran yang lebih aktif untuk guru dalam membantu murid untuk belajar. Docking17 menyatakan bahwa risiko menghasilkan harapan yang rendah pembelajaran dan potensi perilaku dapat dikurangi jika guru bertekad untuk mencari bukti yang membantah label negatif yang telah murid dapatkan . Harapan ini terutama masalah perhatian di mana siswa dikelompokkan oleh kemampuan. Hal ini sangat mudah untuk menyampaikan kepada kelompok-kelompok yang kurang mampu sehingga mereka tidak diharapkan untuk mencapai sangat banyak. Di sisi lain , dalam kelas-kelas di mana tidak ada kemampuan pengelompokan , ada bahaya mengharapkan terlalu sedikit dari anak-anak yang paling mampu. Guru hanya dapat menghindari bahaya ini dengan menyadari dari mereka dan terusmenerus memikirkan praktek yang guru lakukan sendiri dan mencari kesempatan ketika guru sadar menyampaikan pandangan tentang harapan anak-anak yang berbeda. Guru memberi prestasi tinggi kepada sejumlah besar pujian berikut jawaban yang benar dan jumlah yang lebih kecil dari kritik daripada anak-anak lainnya. Mereka juga memberikan lebih banyak pengulangan dan petunjuk beserta jawaban yang salah . Alexander, R. (1984) Primary Teaching, London: Holt, Rinehart and Winston. Hal 27. Mortimore, P., Sammons, P., Stoll, L., Lewis, D. and Ecob, R. (1988) School Matters, London: Open Books. Hal. 287. 16 Sammons, P., Hillman, J. and Mortimore, P. (1995) Key Characteristics of Effective Schools: A Review of Effectiveness Research, London: Institute of Education and Ofsted. hal. 17. 17 Docking, J. (1992) Managing Behaviour in the Primary School, London: David Fulton in association with the Roehampton Institute. Hal. 76. 14 15
59
Menciptakan Iklim Kelas Yang Efektif di Sekolah Dasar Alexander 18 meringkas pada guru yang memiliki masalah dalam membuat penilaian tentang anak-anak sebagai berikut : Semakin kita bisa tahu tentang anakanak , tentang pengajaran danbelajar , dan tentang keragaman yang sangat besar dan keterbukaan pengetahuan , semakin kita harus menerima bahwa penilaian kita terbaik dari apa yang dapat dilakukan seorang anak , baik meskipun , adalah sebuah pendekatan bukan penghakiman mutlak tetapi keadaan yang paling dapat diandalkan dan tidak memihak yang dan pengalaman kami , pengetahuan dan keterampilan memungkinkan.
E. Peran Kurikulum Tersembunyi Bagian dari iklim kelas adalah kurikulum yang tersembunyi, hal ini ada pada saat anak-anak belajar tetapi tidak dibuat secara eksplisit oleh guru. Biasanya kurikulum tersembunyi berasal dari kegiatan yang disimpulkan dari perilaku guru di dalam kelas sekolah dasar. Jika guru muncul untuk memberikan nilai yang lebih besar dengan kontribusi beberapa anak dibandingkan dengan orang lain , ini akan dijemput oleh semua anak-anak yang mungkin menunjukkan bahwa mereka juga menghargai beberapa anak lebih daripada yang lain. mereka akan menyimpulkan dari perilaku guru bahwa beberapa bagian dari kurikulum resmi lebih penting daripada yang lain, beberapa perilaku yang dapat diterima dan tidak dapat diterima. Semua ini memberikan kontribusi terhadap iklim kelas secara keseluruhan dan guru harus sangat sadar bagaimana potongan cukup kecil perilaku pada bagian guru akan ditafsirkan oleh anak-anak. Ada rasa di mana setelah kesimpulan dibuat tentang perilaku maka sudah tidak lagi tersembunyi karena Ini juga termasuk bagian dari kurikulum. Akan selalu ada aspek yang tetap tersembunyi yaitu aspek yang guru tidak menyadarinya. Misalnya apakah anak-anak dapat belajar bahwa tidak membayar untuk bekerja dengan cepat karena mereka akan diberikan lebih banyak pekerjaan dari jenis yang sama yang harus dilakukan? Apakah beberapa anak-anak menghabiskan waktu menebak jawaban yang guru inginkan daripada mencoba untuk alasan melalui untuk menemukan jawaban yang benar ? Apakah perempuan merasa rendah diri untuk anak laki-laki atau sebaliknya ? Apakah anak-anak mendapatkan kesan bahwa lebih baik menjadi putih daripada hitam? Desforges dan Cockburn19 mempelajari pengajaran matematika di kelas sejumlah guru bayi dan membuat komentar Banyak anak yang sangat cemas untuk menyenangkan dan sebagai akibatnya lebih sibuk dengan mengidentifikasi Alexander, R. (1984) Primary Teaching, London: Holt, Rinehart and Winston. Hal. 43. Desforges, C. and Cockburn, A. (1987) Understanding the Mathematics Teacher: A Study of Practice in First Schools, London: Falmer. Hal. 37 18 19
Donny Khoirul Azis
60
prosedur yang membuat guru bahagia daripada berpikir tentang apa yang mereka lakukan. Kurikulum disimpulkan penting dalam menjaga ketertiban dan kontrol di dalam kelas. Cara yang Anda sinyal perilaku yang Anda inginkan mempengaruhi cara anak berperilaku. Galloway20 mencatat bahwa Jika kurikulum tersembunyi menumbuhkan iklim di mana semua anak mengharapkan dan diharapkan untuk berkontribusi pada pekerjaan kelas, maka kebutuhan untuk program berfokus secara eksplisit pada perkembangan sosial anak adalah individu sangat berkurang. Eggleston21 membuat pernyataan berikut tentang kurikulum tersembunyi: Bagi kebanyakan orang dewasa sebagian besar dari kurikulum resmi adalah fana, akan segera terlupakan dalam semua tetapi ingatan yang paling umum. Tapi pelajaran dari kurikulum tersembunyi bertahan, karena mereka merupakan aturan hidup dengan sesama manusia. Dia memiliki definisi yang lebih terbatas dari kurikulum tersembunyi dan mendefinisikan komponen sebagai berikut: 1. Belajar hidup dalam kerumunan. 2. Belajar menerima penilaian oleh orang lain , tidak hanya oleh guru tetapi juga oleh sesama murid. 3. Belajar bagaimana untuk bersaing untuk menyenangkan para guru dan sesama siswa dan memperoleh pujian mereka, reward dan penghargaan oleh perilaku yang tepat . 4. Belajar bagaimana dibedakan. 5. Belajar cara untuk mengontrol kecepatan dan kemajuan apa yang guru menyajikan dalam kurikulum resmi. Edwards dan Mercer 22 mencatat bahwa anak-anak , sementara tidak menyadari beberapa aturan perilaku kelas, namun menerima bahwa guru menguasai wacana di kelas mendefinisikan apa itu tepat untuk berbicara tentang dan bertindak sebagai wasit pengetahuan yang valid. Pertanyaan tes guru perlu dijawab dengan tingkat ketegasan tidak diperlukan dalam percakapan biasa. Pengulangan pertanyaan tersirat bahwa jawaban yang diberikan di tempat pertama adalah salah. F. Pendidikan pribadi dan sosial Sekolah dasar cenderung untuk mengambil pendidikan pribadi dan sosial untuk diberikan. Guru sekolah dasar yang hampir semua guru kelas yang melihatnya sebagai tanggung jawab mereka untuk mendidik anak secara 20 Galloway, D. (1990) ‘Interaction with children with special educational needs’, in Rogers, C. and Kutnick, P. (eds) The Social Psychology of the Primary School, London: Routledge. Hal. 216. 21 Eggleston, J. (1992) The Challenge for Teachers, London: Cassell. Hal. 41. 22 Edwards, D. and Mercer, N. (1987) Common Knowledge, London: Methuen.
61
Menciptakan Iklim Kelas Yang Efektif di Sekolah Dasar keseluruhan. Salah satu konsekuensi dari ini adalah bahwa tidak banyak yang memikirkan apa yang harus merupakan program pendidikan pribadi dan sosial. Pihakk sekolah harus mendorong siswa untuk: 1. Mengembangkan rasa seimbang layak, harga diri dan kesadaran sendiri dan kepercayaan diri untuk menjadi kritis terhadap diri sendiri. 2. Pelajari dan menerapkan perilaku yang sesuai dalam berbagai situasi dan keadaan. 3. Mengembangkan keyakinan dan kepekaan dalam bekerja sama, bernegosiasi, melihat sesuatu dari lebih dari satu sudut pandang dan menyelesaikan konflik. 4. Keuntungan kepuasan dan kenikmatan untuk menjadi anggota kontribusi sekolah dan masyarakat luas. 5. Mengembangkan kemampuan adaptasi, fleksibilitas dan kemampuan untuk melaksanakan inisiatif. 6. Mengembangkan peningkatan kesadaran dan tanggung jawab terhadap lingkungan sekitar dan lebih luas. 7. Ambil meningkatkan tanggung jawab untuk belajar mereka sendiri . Lang23 mewawancarai empat puluh kepala sekolah dasar dan guru dan menemukan bahwa mereka percaya: 1. pendidikan pribadi dan sosial adalah penting ; 2. tidak memerlukan pemikiran tertentu karena sifat khusus dari sekolah dasar ; 3. itu tertangkap dalam pikiran guru akan tetapi tidak diajarkan dalam kelas sekolah dasar. Ia menemukan bahwa pandangan ini sementara dipegang oleh banyak sekolah dasar tidak selalu sesuai dengan praktek yang sebenarnya . Sebuah kuesioner kepada lima puluh tiga kepala dan guru dari sekolah dasar dan menengah menunjukkan kecenderungan untuk merasa bahwa pendidikan personal dan sosial memuaskan dipenuhi. Balasan untuk pertanyaan yang menanyakan bagaimana guru membantu anak-anak dengan masalah menyarankan ketergantungan lebih besar pada obat daripada pencegahan dan apa yang mungkin digambarkan sebagai tindakan iman dan bukan strategi yang direncanakan. Dia menemukan hasil yang sama ketika meminta guru bagaimana mereka membantu anak-anak untuk mendapatkan satu sama lain. Pertimbangan sistematis etos sekolah dan kurikulum tersembunyi tidak sering terjadi. Daerah ini bekerja benar-benar perlu dipertimbangkan pada tingkat sekolah secara menyeluruh tetapi implementasi aktual dari program pendidikan personal dan sosial harus terjadi di dalam kelas . Semua guru , tetapi terutama
23 Lang, P. (ed.) (1988) Thinking about Personal and Social Education in the Primary School, Oxford: Blackwell. Hal. 88.
Donny Khoirul Azis
62
mereka yang bekerja dengan anak-anak muda , harus peduli dengan sosialisasi , dengan membantu anak-anak belajar untuk hidup dalam suatu komunitas dan melanjutkan dengan anak-anak lain dan orang dewasa . Selanjutnya, guru perlu mempertimbangkan perkembangan setiap anak sebagai orang yang berkembang yang sedang mengembangkan nya citra diri dan harga diri. Ini mengarah ke pertimbangan hubungan dan pengembangan nilai-nilai dan sikap . Sekolah perlu mempertimbangkan dan mengevaluasi untuk murid: Kualitas pribadi dan kemampuan misalnya kesadaran kekuatan dan kelemahan pribadi, peningkatan pemahaman, pembangunan sosial dan fisik emosional; peningkatan pemahaman tanggapan dan perasaan orang lain, akuisisi kepercayaan dan kemampuan untuk mengungkapkan pendapat pribadi mereka sendiri sementara menghormati pandangan orang lain. Lang24 ( 1990) menunjukkan bahwa sementara itu adalah penting bahwa pelayanan pastoral memiliki tempat yang layak dalam kurikulum dengan struktur dan program yang disepakati , banyak juga mungkin dilakukan dalam konteks pekerjaan lain . Sekolah perlu untuk memenuhi kebutuhan afektif anak-anak serta kebutuhan akademis mereka . Dia menunjukkan bahwa sekolah mungkin menggunakan berikut sebagai titik awal untuk diskusi , mengingat bagaimana setiap item terbaik mungkin dikembangkan. Dia melanjutkan dengan menunjukkan bahwa pendekatan yang intensif di kelas akan melibatkan mendorong murid baik secara individu maupun dalam kelompok untuk memikirkan dan mengkaji berbagai aspek pembangunan mereka sendiri dalam rangka untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik dari diri mereka sendiri dan orang lain. Maxwell25 ( 1990:184 ) mencatat bahwa melalui pengalaman mereka dengan teman-teman, anak-anak belajar untuk mengelola hubungan sosial , memahami dan mengakomodasi perasaan dan tindakan orang lain, dan berhubungan dengan aturan dan rutinitas sosial ' . Dia melanjutkan dengan mengatakan : Jika salah satu tujuan utama sekolah adalah untuk mendorong pengembangan murid dalam menyesuaikan diri dengan baik, orang dewasa yang kompeten secara sosial , maka kehidupan sosial kelas harus diberikan pertimbangan oleh guru . Pertimbangan harus mencakup membina hubungan yang tepat dalam kelompok dan memfasilitasi kegiatan kelompok konstruktif antara teman-teman , dan perakaran pengalaman pendidikan yang dirancang untuk mempromosikan pemahaman sosial atau moral dalam konteks anak-anak sehari- hari pengalaman dengan teman-teman mereka sendiri. 24 Lang, P. (1990) ‘Responding to dissaffection: talking about pastoral care in the primary school’, in Docking, J. (ed.) Education and Alienation in the Junior School, London: Falmer. 25 Maxwell, W. (1990) ‘The nature of friendship in the primary school’, in Rogers, C. and Kutnick, P. (eds) The Social Psychology of the Primary School, London: Routledge. Hal. 184.
63
Menciptakan Iklim Kelas Yang Efektif di Sekolah Dasar Kewarganegaraan adalah daerah yang jauh dalam pembahasan pada saat ini dan harus menjadi bagian dari kurikulum. Pendidikan kesehatan termasuk pendidikan seks juga merupakan bagian penting dari belajar anak-anak. Braddy26 memberikan tujuan sebagai berikut untuk pembelajaran sosial: 1. mendorong kerja sama, berbagi , peduli. 2. mendorong saling menghormati. 3. mendorong anak-anak agar mendengarkan satu sama lain. 4. mendorong anak-anak untuk bersikap ramah satu sama lain dan ramah kepada pendatang baru. 5. membantu anak-anak untuk menghargai dan menerima perbedaan antara satu sama lain seks, ras, kepercayaan . Ini semua bagian dari iklim kelas dan anak-anak akan belajar untuk berperilaku dengan cara sosial dengan dorongan dari guru . Hal ini juga merupakan bagian dari iklim umum sekolah dan dapat tercermin dalam kebijakan perilaku sekolah . Cara guru bereaksi terhadap anak-anak dan pekerjaan mereka membantu untuk membentuk selfimages mereka . Cara guru berurusan dengan perilaku juga penting . Harus ada penekanan pada memikirkan apa yang telah terjadi dan bekerja keluar apa yang akan menjadi cara yang lebih baik untuk berperilaku . Whitaker27 mempelajari kegiatan kelas di 550 sekolah dasar dan menengah dan sebagai hasil dari penelitian ini menemukan bahwa tiga perilaku guru yang sangat signifikan: 1. Kemampuan guru untuk memahami makna bahwa pengalaman yang didapat dalam kelas bias dinikmati oleh setiap murid. 2. Rasa hormat dan hal positif bahwa guru memiliki untuk setiap murid sebagai orang yang terpisah . 3. Kemampuan guru untuk terlibat dalam hubungan dengan masing-masing murid. Ia menemukan bahwa siswa di kelas dengan guru yang menunjukkan sifatsifat ini untuk tingkat tinggi membuat keuntungan signifikan lebih besar dalam belajar. Sebagai seorang guru, mungkin ada anak-anak kelas yang sedang menghadapi masalah rumah seperti keluarga putus, berkabung, hubungan langkah - tua, penyakit orang tua atau saudara atau orang tua yang sendiri mengalami
Braddy, S. (1988) ‘Personal, social and moral education in the infants school: a practical approach’, in Lang, P. (ed.) Thinking about Personal and Social Education in the Primary School, Oxford: Blackwell. Hal. 161. 27 Whitaker, P. (1988) ‘The person-centred teacher’, in Lang, P. (ed.) Thinking about Personal and Social Education in the Primary School, Oxford: Blackwell. Hal. 51. 26
Donny Khoirul Azis
64
kesulitan seperti pengangguran yang mencerminkan pada anak-anak . Untuk beberapa , sekolah dapat menjadi tempat tenang di dunia bermasalah. Hal ini sering membantu anak-anak tersebut untuk dapat berbicara dengan orang dewasa yang simpatik dan penting bahwa mereka tahu bahwa guru tahu dan bersimpati dengan kesulitan mereka. Mereka mungkin menggunakan kesempatan untuk menulis secara pribadi untuk mengungkapkan beberapa perasaan mereka. Anakanak muda juga dapat mencoba untuk mengekspresikan perasaan mereka dalam lukisan atau melalui bermain. Sikap guru terhadap anak-anak tersebut dapat mendorong anak-anak lain untuk menjadi simpatik. Kesempatan ketika anak-anak sedang disiksa oleh atau intimidasi rekanrekan yang marah oleh berkabung keluarga khawatir tentang aspek pekerjaan akademis mereka, cemas menunggu transfer ke sekolah menengah atau khawatir tentang masa pubertas, merupakan beberapa masalah sosial dan akademik pribadi dan kekhawatiran yang mungkin dapat diatasi oleh efisiensi penggunaan keterampilan konseling individu atau kelompok oleh guru di kelas mereka . Dia melanjutkan dengan menyarankan konseling yang dapat digunakan: 1. Dalam arti reaksi menanggapi masalah murid . 2. Terintegrasi ke dalam mengajar . 3. proaktif - ' untuk mempromosikan beberapa aspek dari anak-anak pribadi dan kesejahteraan sosial. Konseling melibatkan mendengarkan orang lain dengan hati-hati dan mencoba untuk memimpin mereka untuk memikirkan masalah mereka. Guru tidak melibatkan untuk mencoba dalam memecahkan masalah yang dialami oleh murid, meskipun guru mungkin memiliki saran untuk menawarkan pemecahan masalah kepada anak-anak. G. Bullying di sekolah dasar Sekolah dasar sering cenderung berpikir bahwa bullying adalah sesuatu yang hanya terjadi di sekolah menengah. Bukti adalah bahwa cukup banyak anakanak yang mengalami intimidasi oleh teman-teman mereka atau oleh anak-anak yang lebih tua di sekolah dasar. Kepala sekolah dari salah satu sekolah di mana orang tua dan anak-anak merasa bahwa ada masalah serius, ketika ditanya tentang bullying menjawab 'Tidak ada masalah di sini , orang tua dan anak-anak yang berlebihan. "Dia menunjukkan bahwa alasan yang paling jelas untuk kurangnya informasi tentang bullying adalah bahwa anak-anak itu sendiri tidak akan membahas kesulitan yang mereka hadapi dengan pengganggu. "Dia melanjutkan dengan mengatakan Selain itu, korban mungkin merasa sangat malu dan terdegradasi oleh serangan dan menghina bahwa mereka cukup mampu untuk mengakui kegagalan sosial ini. Anak-anak yang mendekati guru untuk bantuan
65
Menciptakan Iklim Kelas Yang Efektif di Sekolah Dasar hanya 60 persen anak-anak primer dan 40 persen anak-anak yang lebih tua dianggap bahwa orang dewasa yang baik mau atau mampu meringankan penderitaan mereka. Semua sekolah harus waspada untuk intimidasi dan guru perlu menyadari bahwa hal itu bisa pergi tanpa diketahui jika mereka tidak waspada . Anak yang ingin tinggal di saat istirahat atau yang tampaknya sendirian di taman bermain atau relatif berteman mungkin salah satu yang menderita . Anak seperti itu juga mungkin secara fisik lebih kecil dan lebih lemah dari sezaman . Ada juga mungkin intimidasi rasis . Fakta bahwa anak-anak biasanya cukup siap untuk mengeluh tentang perlakuan oleh anak-anak lain seharusnya tidak diperbolehkan untuk menyamarkan fakta bahwa beberapa anak mungkin diintimidasi dan berdiam diri tentang hal itu . Hal ini dapat bermanfaat untuk memberikan anak-anak yang lebih tua sebuah kuesioner yang meliputi pertanyaan ' Apakah anda pernah diganggu ? " Apa yang harus guru lakukan tentang bullying jika ditemukan ? Secara umum hukuman sangat tidak efektif dan selalu ada bahaya bahwa pengganggu akan membawanya keluar pada korban yang melaporkan apa yang terjadi pada guru. Salah satu cara mengatasi masalah ini adalah untuk mencoba untuk membantu pengganggu untuk melihat sudut pandang korban . Membawa bully dan korban bersama-sama, mungkin dalam sebuah kelompok kecil, dapat membantu, mungkin meminta kelompok untuk menyarankan cara-cara di mana mereka dapat membantu korban untuk memiliki waktu yang bahagia di bermain atau setelah sekolah atau setiap kali pengganggu cenderung untuk beroperasi. Hal ini juga perlu mempertimbangkan bagaimana memperlakukan korban bullying . Dengan menjaga intervensi apapun sejauh mungkin impersonal, kepercayaan korban dapat lebih mudah dikembalikan. Adalah penting untuk menekankan normal situasi, yang terjadi pada kebanyakan orang pada suatu waktu atau lain - bahkan orang dewasa - dan merupakan situasi yang sulit untuk menyelesaikan sendiri, karena anak mungkin merasa tidak memadai karena tidak mampu mengatasi . Segala sesuatu yang mungkin harus dilakukan untuk melarang bullying. Idealnya sekolah harus memiliki kebijakan anti -intimidasi. Ini harus didiskusikan di kelas dan anak-anak didorong untuk melindungi anak-anak yang lebih muda dan lebih rentan dan melaporkan intimidasi ketika mereka melihatnya. Peluang merangsang kejahatan, sehingga pengawasan suara membantu untuk mencegah intimidasi karena perilaku nakal belum tentu merupakan karakteristik bawaan dari individu, tetapi terjadi sebagai akibat dari interaksi antara individu dan lingkungan .
Donny Khoirul Azis
66
H. Kesimpulan Kedatangan dari kurikulum nasional telah membawa manfaat baik dan kerugian. Beberapa guru telah menemukan bahwa sementara mereka sekarang menawarkan lebih luas kurikulum daripada sebelumnya, tidak ada waktu lagi untuk mengejar topik menarik yang timbul dan tema yang anak-anak telah memicu. Hal ini telah membuat mengubah iklim kelas di mana hal itu mungkin untuk bermain dengan telinga ketika sesuatu yang menarik terjadi. Ini mungkin sebuah penghargaan untuk guru kreatif bahwa begitu banyak telah berhasil tetap menjaga iklim yang menghargai kreativitas. Mereka pasti dibatasi oleh sistem dan struktur eksternal ditentukan , tetapi guru kreatif bisa, sampai batas tertentu,mempengaruhi situasi di mana mereka bekerja menerapkan nilai-nilai mereka untuk mengubah atau memodifikasi keadaan dan meningkatkan jangkauan peluang. Mereka tidak bisa melakukan ini tanpa ukuran besar komitmen terhadap nilai-nilai yang mereka dukung dan motivasi yang kuat, dan memang, pada kesempatan, inspirasi, dalam melihat mereka diimplementasikan. Lang menyatakan bahwa dalam rangka menciptakan iklim positif dalam proses belajar mengajar maka guru kelas harus: 1. Jelas mendefinisikan harapan spesifik dan realistis dengan jumlah minimum aturan hanya menyatakan dalam hal positif, dan melakukannya sedini mungkin pada tahun ajaran sebelumnya kesulitan timbul di dalam kelas, 2. melibatkan murid, apa pun panggung dan usia mereka dalam merumuskan atau memodifikasi aturan ini, 3. pastikan mereka berkomunikasi di muka untuk murid setiap perubahan dalam rutinitas perilaku atau harapan, 4. memperhatikan dan mendorong perilaku kelas yang sesuai, 5. menekankan kekuatan ketimbang kelemahan, penghargaan daripada hukuman, dorongan daripada koreksi, 6. memberikan kesempatan bagi pengalaman sukses berkelanjutan yang akan meningkatkan harga diri masing-masing murid di kelas, 7. mempromosikan dan mendorong pengembangan keterampilan sosial dalam kurikulum.
67
Menciptakan Iklim Kelas Yang Efektif di Sekolah Dasar DAFTAR PUSTAKA
Alexander, R. (1984) Primary Teaching, London: Holt, Rinehart and Winston. Braddy, S. (1988) ‘Personal, social and moral education in the infants school: a practical approach’, in Lang, P. (ed.) Thinking about Personal and Social Education in the Primary School, Oxford: Blackwell. Cooper, P. and McIntyre, D. (1996) Effective Teaching and Learning: Teachers’ and Students’ Perspectives, Buckingham: Open University Press. Desforges, C. and Cockburn, A. (1987) Understanding the Mathematics Teacher: A Study of Practice in First Schools, London: Falmer. Docking, J. (1992) Managing Behaviour in the Primary School, London: David Fulton in association with the Roehampton Institute. Edwards, A. and Knight, P. (1994) Effective Early Years Education: Teaching Young Children, Buckingham: Open University Press. Edwards, D. and Mercer, N. (1987) Common Knowledge, London: Methuen. Eggleston, J. (1992) The Challenge for Teachers, London: Cassell. Galloway, D. (1990) ‘Interaction with children with special educational needs’, in Rogers, C. and Kutnick, P. (eds) The Social Psychology of the Primary School, London: Routledge. Kyriacou, C. (1986) Effective Teaching in Schools, Oxford: Blackwell. Lang, P. (ed.) (1988) Thinking about Personal and Social Education in the Primary School, Oxford: Blackwell. Lang, P. (1990) ‘Responding to dissaffection: talking about pastoral care in the primary school’, in Docking, J. (ed.) Education and Alienation in the Junior School, London: Falmer. Maxwell, W. (1990) ‘The nature of friendship in the primary school’, in Rogers, C. and Kutnick, P. (eds) The Social Psychology of the Primary School, London: Routledge. Mortimore, P., Sammons, P., Stoll, L., Lewis, D. and Ecob, R. (1988) School Matters, London: Open Books. Moyles, J. (1992) Organising for Learning in the Primary Classroom, Buckingham, Open University Press. Olweus, D. (1993) Bullying at School: What We Know and What We Can Do, Oxford: Blackwell. Pollard, A. (1985) The Social World of the Primary School, London: Holt, Rinehart and Winston. Pollard, A. and Tann, S. (1987) Reflective Teaching in the Primary School, London: Cassell Education.
Donny Khoirul Azis
68
Rosenthal, R. and Jacobson, L. (1968) Pygmalion in the Classroom, New York: Holt, Rinehart and Winston. Sammons, P., Hillman, J. and Mortimore, P. (1995) Key Characteristics of Effective Schools: A Review of Effectiveness Research, London: Institute of Education and Ofsted. Tizard, B., Blatchford, P., Burke, J., Farquhar, C. and Plewis, I. (1988) Young Children at School in the Inner City, Hove and London: Lawrence Erlbaum Associates. Whitaker, P. (1988) ‘The person-centred teacher’, in Lang, P. (ed.) Thinking about Personal and Social Education in the Primary School, Oxford: Blackwell. Wragg, E.C. (1993) Primary Teaching Skills, London: Routledge.
69
Manajemen Pembiayaan Dan Kinerja Guru
MANAJEMEN PEMBIAYAAN DAN KINERJA GURU DALAM MENINGKATKAN MUTU PENDIDIKAN Sri Winarsih1 Abstract Education is one of the services sector which is very important and decisive in the development of a country. Education is also a service sector that investatifproductive and be determinant for the development of a nation. In developed countries other than as aspects of consumer education is also considered as investatif "human investment" and become "leading sector" are in priority. In addition, the education budget not less magnitude than other sectors, so that the success of educational investment is correlated to the progress of development. Education costs include direct costs (direct costs) and indirect costs (Inderect cost). The direct costs (Direct Cost) is the cost incurred by students or parents for teaching and learning purposes. Indirect costs (Inderect Cost) is the cost that is issued by the students, parents, community or government for purposes that are not directly related to the purpose of the learning process, for example: the cost of procurement of building and so on. Financial resources of the school include: 1) Parents .2) Central Government.3) local Government.4) Community 5) school facilities. 6) students 7) Foundation. Therefore, the school must implement TQM as optimal as possible. TQM is an integrated quality management will be undertaken by all levels of management and the inside of the institutional system / organization with the goal of providing satisfactory service to customers / users / (Customer). Keywords: financial management, teacher performance, Quality of Education A. Pendahuluan Pendidikan merupakan salah satu sektor jasa yang sangat penting dan menentukan dalam pembangunan suatu negara. Pendidikan juga merupakan sektor jasa yang investatif-produktif dan menjadi determinan bagi pembangunan suatu bangsa. Di negara –negara maju pendidikan selain sebagai aspek konsumtif juga di anggap sebagai investatif ”human investment” dan menjadi “leading sector” yang di utamakan. Selain itu anggaran pendidikan tidak kalah besarnya dari sektor lainnya,sehingga keberhasilan investasi pendidikan berkorelasi bagi kemajuan pembangunannya. Oleh karena itu,Suatu lembaga pendidikan akan dapat berfungsi dengan memadai kalau memiliki sistem manajemen yang didukung 1
Penulis adalah lulusan S3 UPI Bandung.
Sri Winarsih
70
dengan sumber daya manusia (SDM), dana/biaya, dan sarana-prasarana. Sekolah sebagai satuan pendidikan juga harus memiliki tenaga (kepala sekolah, wakil kepala sekolah, guru, tenaga administratif, laboran, pustakawan, dan teknisi sumber belajar), sarana (buku pelajaran, buku sumber, buku pelengkap, buku perpustakaan, alat peraga, alat praktek, bahan dan perabot), dan prasarana (tanah, bangunan, laboratorium, perpustakaan, lapangan olahraga), serta biaya yang mencakup biaya investasi (biaya untuk keperluan pengadaan tanah, pengadaan bangunan, alat pendidikan, termasuk buku-buku dan biaya operasional baik untuk personil maupun nonpersonil). Biaya untuk personil antara lain untuk kesejahteraan dan pengembangan profesi, sedangkan untuk biaya nonpersonil berupa pengadaan bahan dan pemeliharaan, dan kegiatan pembelajaran. Suatu sekolah untuk memiliki tenaga kependidikan yang berkualitas dengan jumlah yang mencukupi kebutuhan memerlukan biaya �rekrutmen yang selektif sesuai bidangnya�, penempatan, penggajian, pendidikan dan latihan, serta mutasi. Dalam usaha pengadaan sarana dan prasarana untuk menunjang proses pembelajaran tentu saja diperlukan dana yang tidak sedikit, bahkan setelah diadakan maka diperlukan,dana untuk perawatan, pemeliharaan, dan pendayagunaannya. Meskipun ada tenaga, ada fasilitas, untuk memanfaatkan dan mendayagunakan secara optimal perlu biaya operasional baik untuk bahan dan ATK habis pakai, biaya pemeliharaan, maupun pengembangan personil agar menguasai kompetensi yang dipersyaratkan. Dari uraian di atas jelas bahwa untuk penyelenggaraan pendidikan di sekolah/Madrasah perlu biaya, perlu dana, paling tidak memenuhi pembiayaan untuk memberikan masukan dana untuk penyelenggaraan pendidikan. Biaya pendidikan merupakan komponen sangat penting dalam penyelenggaraan pendidikan. Dapat dikatakan bahwa proses pendidikan tidak dapat berjalan tanpa dukungan biaya. Dalam konteks perencanaan pendidikan, pemahaman tentang anatomi dan problematik pembiayaan pendidikan amat diperlukan. Berdasarkan pemahaman ini dapat dikembangkan kebijakan pembiayaan pendidikan yang lebih tepat dan adil serta mengarah pada pencapaian tujuan pendidikan, baik tujuan yang bersifat kuantitatif maupun kualitatif. Pendidikan mempunyai peranan yang sangat penting dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Pendidikan mempengaruhi secara penuh pertumbuhan ekonomi suatu bangsa. Dalam meningkatkan kualitas manusia Indonesia, pemerintah tidak merupakan satu sistem yang lepas dengan pihak swasta dan masyarakat. Hubungan yang tidak terpisahkan dalam peranannya untuk meningkatkan pemerataan dan mutu pendidikan. Sementara itu, pendidikan nasional kita dihadapkan kepada masalah antara lain :
71
Manajemen Pembiayaan Dan Kinerja Guru 1.
peningkatan kualitas, pemerataan kesempatan, keterbatasan anggaran yang tersedia dan belum terpenuhi sumber daya dari masyarakat secara profesional sesuai dengan prinsip pendidikan sebagai tanggung jawab bersama antara pemerintah, masyarakat dan orang tua. 2. Keuangan dan pembiayaan merupakan salah satu sumber daya yang secara langsung menunjang efektivitas dan efisiensi pengelolaan pendidikan. 3. Manajemen pendidikan yang belum optimal, di antaranya adalah masih banyak tenaga pendidik yang mengajar tidak sesuai dengan bidangnya,sehingga sertifikasinyapun tidak sesuai dengan bidangnya padahal itu berdampak kepada peserta didik dan mutu lulusan serta akuntabilitas sekolah/Madrasah tersebut. Hal tersebut lebih terasa lagi dalam implementasi MBS,yang menuntut kemampuan sekolah untuk merencanakan ,melaksanakan, dan mengevaluasi serta mempertanggung jawabkan pengelolaan dana secara transparan kepada masyarakat dan pemerintah. Maka dari itu, dalam rangka mengimplementasikan MBS, yang memberikan kewenangan kepada sekolah untuk mencari dan memanfaatkan berbagai sumber dana sesuai dengan keperluan masing-masing sekolah, karena umumnya dunia pendidikan selalu di hadapkan pada keterbatasan dana. Selain itu MBS juga bertujuan untuk mendesain pengelolaan sekolah dengan memberikan kekuasaan kepada kepala sekolah dan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam upaya perbaikan kinerja sekolah yang mencakup guru,kepala sekolah, orang tua siswa dan masyarakat, sehingga autputnya diharapkan bisa memuaskan pelanggan pendidikan. Beberapa pokok permasalahan yang terjadi antara lain: 1. Bagaimana implementasi manajemen pembiayaan pendidikan dan sumbersumber dana pembiayaan pendidikan ? 2. Bagaimana kinerja guru ? 3. Bagaimana peran manajemen pembiayaan dan kinerja guru dalam meningkatkan mutu pendidikan ? B. Manajemen Pembiayaan Pendidikan Kata manajemen menurut asal katanya(etimologis) berasal dari bahasa latin, manus+agere. Manus berarti tangan,sedangkan agere berarti melakukan. Digabungkan menjadi kata kerja Managere yang artinya menangani. Managere di terjemahkan ke dalam bahasa Inggris dalam bentuk kata kerja to manage , dengan kata benda Management, manager untuk orang yang melakukan kegiatan manajemen2. 2
hlm. 25
Nur Aedi, Dasar-Dasar Manajemen Pendidikan (Bandung:CV.Pustaka Cendekia utama,2012),
Sri Winarsih
72
Menurut Sondang P. Siagian, Manajemen adalah keseluruhan proses pelaksanaan dari pada keputusan yang telah di ambil dan pelaksanaanya itu pada umumnya dilakukan oleh dua orang manusia atau lebih untuk mencapai tujuan yang telah di tentukan3.Oleh karena itu,Pembiayaan pendidikan merupakan aktivitas yang berkenaan dengan perolehan dana (pendapatan) yang diterima dan bagaimana penggunaan dana tersebut dipergunakan untuk membiayai seluruh program-program pendidikan yang telah ditetapkan. Pendapatan atau sumber dana pendidikan yang diterima sekolah diperoleh dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN),anggaran pendapatan dan belanja Daerah (APBD) dan Masyarakat atau orang tua. Pembiayaan pendidikan baik yang bersumber dari pemerintah dan masyarakat perlu evaluasi dan perhitungan guna mengefisienkan pengelolannya sehingga keuntungan dari pendidikan tersebut dapat maksimal. Biaya dalam pendidikan meliputi biaya langsung (Direct cost) dan biaya tidak langsung (Inderect cost). Biaya langsung (Direct Cost) adalah biaya yang dikeluarkan oleh siswa atau orang tua murid untuk keperluan proses belajar mengajar,misalnya: biaya Untuk buku pelajaran,praktek dan sebagainya. Biaya tidak langsung (Inderect Cost) adalah biaya yang di keluarkan oleh siswa,orang tua murid,masyarakat,atau pemerintah untuk keperluan yang tidak langsung berhubungan dengan keperluan proses belajar mengajar,misalnya: biaya untuk pengadaan gedung,sarana umum,kantin,UKS dan sebagainya 4. Menurut PP No. 32 tahun 2013 standar pembiayaan pendidikan adalah kriteria mengenai komponen dan besarnya biaya operasi satuan pendidikan yang berlaku5. Biaya adalah keseluruhan pengeluaran baik yang bersifat uang maupun bukan uang, sebagai ungkapan rasa tanggung jawab semua pihak terhadap upaya pencapaian tujuan yang sudah ditentukan. Biaya merupakan salah satu unsur yang sangat penting dalam penyelenggaraan pendidikan. Penentuan biaya akan mempengaruhi tingkat efisiensi dan efektivitas kegiatan di dalam suatu organisasi. Jika suatu kegiatan dilaksanakan dengan biaya yang relatif rendah, tetapi menghasilkan produk yang berkualitas tinggi, maka hal ini dapat dikatakan bahwa kegiatan tersebut dilaksanakan secara efektif dan efisien. Biaya pendidikan adalah seluruh pengeluaran baik yang berupa uang maupun bukan uang sebagai ungkapan rasa tanggung jawab semua pihak (masyarakat, orang tua, dan pemerintah) terhadap pembangunan pendidikan agar tujuan pendidikan yang dicita-citakan tercapai secara efektif dan efisien, yang harus terus digali dari berbagai sumber, Sondang P Siagian, Peranan Staf Dalam Manajemen (Jakarta:Gunung Agung,1986), hlm. 2 Nanang fattah, konsep manajemen berbasis sekolah (MBS) dan Dewan Sekolah, (Bandung:CV Pustaka Bani Quraisy,2004),107. 5 Peraturan Pemerintah No 32 tahun 2013,Standar Pembiayaan Pendidikan. 3 4
73
Manajemen Pembiayaan Dan Kinerja Guru dipelihara, dikonsolidasikan, dan ditata secara administratif sehingga dapat digunakan secara efektif dan efisien. Oleh karena itu,sistem pembiayaan pendidikan merupakan proses di mana pendapatan dan sumber daya tersedia digunakan untuk memformulasikan dan mengoperasionalkan sekolah. Sistem pembiayaan pendidikan sangat bervariasi tergantung dari kondisi masing-masing negara seperti kondisi geografis, tingkat pendidikan,kondisi politik pendidikan, hukum pendidikan, ekonomi pendidikan, program pembiayaan pemerintah dan administrasi sekolah. Sementara itu terdapat beberapa faktor yang perlu diperhatikan untuk mengetahui sesuai tidaknya sistem dengan kondisi negara. Setiap keputusan dalam masalah pembiayaan sekolah akan mempengaruhi bagaimana sumber daya diperoleh dan dialokasikan. Selain itu, perlu dilihat siapa yang akan dididik dan seberapa banyak jasa pendidikan dapat disediakan, bagaimana mereka akan dididik, siapa yang akan membayar biaya pendidikan. Demikian pula sistem pemerintahan seperti apa yang paling sesuai untuk mendukung sistem pembiayaan pendidikan. Sistem pembiayaan pendidikan merupakan proses di mana pendapatan dan sumber daya tersedia digunakan untuk memformulasikan dan mengoperasionalkan sekolah. Sistem pembiayaan pendidikan sangat bervariasi tergantung dari kondisi masing-masing negara seperti kondisi geografis, tingkat pendidikan, kondisi politik pendidikan, hukum pendidikan, ekonomi pendidikan, program pembiayaan pemerintah dan administrasi sekolah. Sementara itu terdapat beberapa faktor yang perlu diperhatikan untuk mengetahui sesuai tidaknya sistem dengan kondisi negara. Untuk mengetahui apakah sistem tersebut memuaskan, dapat dilakukan dengan cara: 1) menghitung berbagai proporsi dari kelompok usia, jenis kelamin, tingkat buta huruf; 2) distribusi alokasi sumber daya pendidikan secara efisien dan adil sebagai kewajiban pemerintah pusat mensubsidi sektor pendidikan dibandingkan dengan sektor lainnya. Setiap keputusan dalam masalah pembiayaan sekolah akan mempengaruhi bagaimana sumber daya diperoleh dan dialokasikan. Jadi perlu dilihat siapa yang akan dididik dan seberapa banyak jasa pendidikan dapat disediakan, bagaimana mereka akan dididik, siapa yang akan membayar biaya pendidikan. Demikian pula sistem pemerintahan seperti apa yang paling sesuai untuk mendukung sistem pembiayaan pendidikan. Tanggung jawab pemerintah dalam pembiayaan pendidikan termasuk untuk pendidikan kejuruan dan bantuan terhadap murid. Hal itu perlu dilihat dari faktor kebutuhan dan ketersediaan pendidikan, tanggung jawab orang tua dalam menyekolahkan vs social benefit secara luas, pengaruh faktor politik dan ekonomi terhadap sektor pendidikan. Sedikitnya terdapat tiga syarat utama yang harus diperhatikan dalam pembangunan pendidikan agar dapat berkontribusi terhadap peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM),yakni: (1) sarana gedung,(2)
Sri Winarsih
74
buku yang berkualitas,(3) guru dan tenaga kependidikan yang profesional,Demikian diungkapkan mantan Menteri Pendidikan Nasional Wardiman Djoyonegoro dalam wawancaranya dengan Televisi Pendidikan Indonesia (TPI) tanggal 16 Agustus 20046. Bila suatu negara ingin maju di bidang politik,ekonomi dan lain-lain, maka negara tersebut harus meningkatkan SDM,selain itu dengan SDM yang tinggi akan terjadi perubahan pola pikir,wawasan dan lain-lain pada individu orang yang belajar. Oleh karena itu,Pendidikan merupakan suatu�investasi�. C. Sumber Dana Pembiayaan Pendidikan Pada era globalisasi saat ini,terjadi peningkatan angka pengangguran karena tenaga terampil berkurang,kesenjangan mendapatkan kesempatan pendidikan antara kaya miskin semakin tajam,dan merosotnya kepercayaan masyarakat terhadap lembaga pendidikan, dikarenakan implementasi manajemen tenaga pendidik belum optimal, Di antaranya adalah tentang penempatan tenaga pendidik,ada daerah yang kelebihan tenaga pendidik,tetapi ada daerah yang kekurangan tenaga pendidik seperti di luar jawa. Selain itu,masih banyak tenaga pendidik,yang mengajar tidak sesuai dengan bidangnya,sehingga sertifikasinyapun tidak sesuai dengan bidangnya,dan ini berpengaruh terhadap peserta didik dan output di organisasi tersebut. Berkaitan dengan hal itu,UUSPN No.20 Tahun 2003 mengemukakan bahwa pendanaan pendidikan menjadi tanggung jawab bersama antara pemerintah,pemerintah daerah,dan masyarakat. Sumber utama keuangan sekolah adalah: pemerintah,orang tua,dan masyarakat. Sekolah juga dapat mencari dana selain dari iuran BP 3,misalnya melalui penyewaan fasilitas,pembayaran siswa,bantuan yayasan,dan gerakan pengumpulan dana. Sumber-sumber keuangan sekolah antara lain : 1) Orang tua .2) Pemerintah pusat. 3) Pemerintah daerah. 4) Masyarakat. 5) Fasilitas sekolah. 6) Siswa. 7) Yayasan7. 1) Orang tua. Salah satu unsur penting dalam pembiayaan pendidikan adalah partisipasi orang tua siswa dalam membayar kewajiban mereka membayar iuran ataupun dana bantuan lainnya. Ketika partisipasi orang tua dalam memenuhi kewajibannya rendah,maka tidak sedikit lembaga pendidikan yang tidak bisa melanjutkan proses belajar mengajarnya. Jadi,kontribusi orang tua sangat penting pada saat pemerintah tidak mempunyai kemampuan untuk membiayai kebutuhan sekolah yang memadai ,seperti yang biasa dialami oleh negara-negara berkembang. Hal yang perlu di E. Mulyasa, Menjadi Guru Profesional menciptakan Pembelajaran kreatif dan menyenangkan, (Bandung:PT Remaja Rosdakarya,2006), hlm. 3. 7 Nanang Fattah, Konsep manajemen berbasis sekolah (MBS) dan Dewan sekolah, (Bandung: CV Pustaka Bani quraisy, 2004), hlm. 143. 6
75
Manajemen Pembiayaan Dan Kinerja Guru perhatikan adalah kepala sekolah perlu mendorong orang tua yang mampu tetapi tidak memiliki kemauan untuk membantu. Dalam membantu keluarga yang kurang mampu,kepala sekolah dapat membentuk dana khusus untuk membiayai anak yang berbakat. 2) Pemerintah pusat. Pendidikan di negeri ini tanggung jawab utamanya adalah pemerintah,maka yang paling bertanggung jawab dalam biaya pendidikan di suatu lembaga adalah pemerintah,dan pemerintah telah menunjukkan sinyal positif dengan beberapa program kerjanya,yaitu anggaran pendidikan menjadi 20% dari APBN,adanya program sertifikasi bagi staf pengajar,program akriditasi sekolah untuk meningkatkan mutu pendidikan suatu sekolah dan program-program lainnya yang merupakan bentuk perhatian pemerintah terhadap dunia pendidikan. Selain itu, Pemerintah juga membantu sekolah secara finansial dalam beberapa cara misalnya:memberikan dana hibah untuk sekolah,membayar gaji para guru,membantu pencarian dana sekolah berupa penyediaan tenaga ahli bahan dan peralatan,membiayai proyek pembangunan dan rehabilitasi sekolah untuk daerah tertentu. Pemerintah juga memberikan sumbangan tak langsung melalui: pelatihan guru,pelatihan kepala sekolah,pelatihan pengawas dan lain-lain. 3) Pemerintah daerah. Banyak negara menyerahkan pendidikan dasar kepada pemerintah daerah. Tiap pemerintah mempunyai tanggung jawab untuk menempatkan dan membuka sekolah,menyediakan sarana fisik,fasilitas ruang kelas dan perlengkapan kantor. Dana ini berasal dari pendapatan yang di kumpulkan daerah berupa pajak. 4) Masyarakat. Dalam sejarah dunia pendidikan,peran serta masyarakat dalam mendirikan suatu lembaga pendidikan tidak bisa di lepaskan begitu saja. Peran serta masyarakat terhadap dunia pendidikan bisa berupa dukungan moril maupun material. Banyak di antara mereka yang mewakafkan sebidang tanah untuk pendirian bangunan pendidikan,atau ada juga sebagian mereka yang menghibahkan hartanya untuk keberlangsungan sebuah pendidikan. Selain itu biasanya,Kelompok masyarakat biasanya merupakan sumber keuangan bagi sekolah. Mereka di gerakkan oleh pemimpin masyarakat setempat untuk tugas tertentu. Banyak sekolah di negara berkembang yang di bangun oleh sekolah. 5) Fasilitas sekolah. Apabila pemerintah mengizinkan dengan manajemen yang baik,fasilitas sekolah dapat menghasilkan uang yang besar jumlahnya,misalnya dengan jalan: menyewakan aula,menyewakan tempat bermain (lapangan olah raga) dan lain-lain. 6) Siswa.
Sri Winarsih
76
Siswa dapat menjadi sumber keuangan yang baik. Hal ini tergantung kepada kondisi sekolah dan kemampuan manajerial pimpinan sekolah dan stafnya. Cara yang di tempuh untuk memanfaatkan siswa antara lain: usaha perkebunan,peternakan dan lain-lain. 7) Pemilik sekolah (yayasan). Sebagian sekolah di bangun oleh badan-badan keagamaan atau yayasan usaha sosial yang bukan pemerintah. Pembangunan dan pembukaan sekolah tersebut biasanya mengandung tujuan khusus,biasanya menyangkut kesejahteraan moral dan spiritual anak-anak. Konsep biaya pendidikan sifatnya lebih kompleks dari keuntungan,karena komponen biaya terdiri dari lembaga jenis dan sifatnya. Biaya pendidikan bukan hanya berbentuk uang dan rupiah,tetapi juga dalam bentuk biaya kesempatan (apportunity cost), biaya kesempatan ini sering di sebut “Income Forgone� yaitu potensi pendapatan bagi seorang siswa selama ia mengikuti pelajaran atau mengikuti study. Biaya pendidikan merupakan dasar empiris untuk memberikan gambaran karakteristik keuangan sekolah. Pelayanan pendidikan belum dapat sepenuhnya disediakan dan dijangkau oleh seluruh warga negara. Selain fasilitas pendidikan belum mampu disediakan di seluruh pelosok tanah air,termasuk di daerah terpencil dan kepulauan,biaya pendidikan juga dinilai makin mahal. Masih banyaknya penduduk Indonesia yang hidup di bawah garis kemiskinan merupakan salah satu kendala utama terbatasnya partisipasi pendidikan di Indonesia. D. Kinerja guru Kinerja merupakan kegiatan yang telah di capai seseorang tenaga kerja dalam melaksanakan tugas dan pekerjaan yang di berikan kepadanya. Dalam kamus besar bahasa Indonesia kinerja di artikan sebagai sesuatu yang di capai,prestasi yang di perlihatkan,atau kemampuan kerja. Kinerja adalah hasil yang di peroleh oleh suatu organisasi baik organisasi tersebut bersifat profit oriented dan non profit oriented yang dihasilkan selama satu periode waktu8. Menurut Indra Bastian kinerja adalah gambaran mengenai tingkat pencapaian pelaksanaan suatu kegiatan/program/kebijaksanaan dalam mewujudkan sasaran, tujuan, misi dan visi organisasi yang tertuang dalam perumusan skema strategis (strategic planning) suatu organisasi9. Berdasarkan pendapat tersebut,maka kinerja dapat di golongkan menjadi dua yaitu bersifat konkret dan abstrak. Irham Fahmi, manajemen kinerja teori dan aplikasi, (Bandung: CV Alfabeta, 2010), hlm. 2. Indra Bastian, akutansi sektor publik,Edisi pertama, ( Yogyakarta: Badan penerbit Fakultas Ekonomi UGM,2001), hlm. 329. 8 9
77
Manajemen Pembiayaan Dan Kinerja Guru 1. Kinerja yang bersifat konkret adalah hasil kerja yang mudah dan langsung dapat dilihat,dibuktikan dan di ukur. 2. Kinerja yang bersifat abstrak adalah hasil kerja yang tidak dapat di lihat dan di perlukan proses yang rumit untuk mengukurnya,seperti tanggung jawab,loyalitas dan lain-lain. Sedangkan menurut Nanang Fattah prestasi kerja (Performance) adalah sebagai ungkapan kemampuan yang di dasari oleh pengetahuan,sikap dan keterampilan dan motivasi dalam menghasilkan sesuatu kerja10.Dengan demikian jabatan guru sebagai suatu profesi menuntut keahlian dan keterampilan khusus di bidang pendidikan dan pengajaran. Jadi guru adalah seorang pendidik,maka keberadaan guru bukan hanya kepada kewajiban menyampaikan materi (Transfer of knowledge) kepada siswa,akan tetapi juga berkewajiban skill dan nilai (transfer of skill and transfer of value).Ini berarti bahwa tugas guru tidak selesai pada aspek knowledge saja, pandai ilmu pengetahuan dan dapat menyampaikan kepada siswa,namun juga harus dapat menjadi teladan bagi siswanya,perilaku yang di lakukan oleh guru harus menjadi cermin atau contoh bagi siswanya.
E. Manfaat Pengukuran Kinerja Seorang guru dapat di katakan profesional,bilamana memiliki SDM tinggi, kemampuan tinggi (high level of abstract) dan motivasi kerja tinggi (heigh level of commitment). Guru yang memiliki SDM yang rendah, komitmen yang rendah,biasanya kurang memberikan perhatian kepada murid. Demikian pula waktu dan tenaga yang di keluarkan untuk meningkatkan mutu pembelajaran pun sangat sedikit. Sebaliknya seorang guru yang memiliki SDM tinggi, dan komitmen tinggi biasanya tinggi sekali motivasi kerjanya,maka waktu yang di sediakan untuk peningkatan mutu pendidikan sangat banyak. Faktor yang mempengaruhi kinerja guru meliputi: SDM yang tinggi,Pengetahuan,keterampilan,kecakapan,sikap dan perilaku pegawai. Adapun manfaat pengukuran kinerja berdasarkan modul akuntabilitas kinerja instansi pemerintah- lembaga administrasi negara (Akip-Laru, 2003) adalah: 1. Memastikan pemahaman pada pelaksanaan dan ukuran yang di gunakan untuk mencapai kinerja. 2. Memastikan tercapainya rencana kerja yang telah disepakati 3. Memonitor dan mengevaluasi pelaksanaan kerja serta melakukan tindakan perbaikan kinerja. 10
hlm. 19 .
Nanang Fattah, Landasan Manajemen Pendidikan, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2000),
Sri Winarsih
78
4. Memberikan penghargaan dan hukuman yang objektif atas prestasi pelaksanaannya yang telah di ukur sesuai dengan sistem pengukuran kinerja yang telah di sepakati. 5. Mengidentifikasi apakah kepuasan pelanggan telah terpenuhi. 6. Membantu memahami proses kegiatan instansi pemerintah. 7. Memastikan bahwa pengambilan keputusan di lakukan secara objektif. 8. Menunjukkan peningkatan yang perlu di lakukan. 9. Mengungkap permasalahan yang. Sedangkan menurut Irham Fahmi fungsi manajemen kinerja adalah mencoba memberikan suatu pencerahan dan jawaban dari berbagai permasalahan yang terjadi di suatu organisasi baik yang di sebabkan oleh faktor internal dan eksternal,sehingga apa yang di alami pada saat ini tidak membawa pengaruh yang negatif bagi aktivitas perusahaan pada saat ini dan yang akan datang11.Dengan demikian penilaian kinerja merupakan peninjauan kembali atau evaluasi yang merujuk pada gambaran sistematik dan peninjauan kembali kinerja pekerjaan seseorang. Selain itu, memberi umpan balik kepada guru dengan tujuan memotivasi guru tersebut untuk menghilangkan kemerosotan kinerja atau terus bekerja lebih tinggi,Sehingga terjadi peningkatan kinerja guru. F. Peningkatan Mutu Mutu pendidikan harus diupayakan untuk mencapai kemajuan yang dilandasi oleh suatu perubahan terencana. Dalam sektor jasa seperti sekolah, pelayanan prima semua personalia organisasi,merupakan aspek penting dalam menentukan mutu untuk memuaskan pelanggan pendidikan. Jadi mutu merupakan suatu kondisi dinamis yang berhubungan dengan produk,jasa, manusia, proses dan lingkungan yang memenuhi atau melebihi harapan. Peningkatan mutu pendidikan di peroleh melalui dua strategi,yaitu Pertama, Peningkatan mutu pendidikan yang berorientasi akademis untuk memberi dasar minimal dalam perjalanan yang harus ditempuh mencapai mutu pendidikan yang dipersyaratkan oleh tuntutan zaman. Kedua, Peningkatan mutu pendidikan yang berorientasi pada keterampilan hidup yang esensial yang di cakupi oleh pendidikan yang berlandasan luas, nyata dan bermakna12. Mutu pendidikan tidak saja ditentukan oleh sekolah sebagai lembaga pengajaran, tetapi juga disesuaikan dengan apa yang menjadi pandangan dan harapan masyarakat yang cenderung selalu berkembang seiring dengan kemajuan zaman. Irham Fahmi, manajemen kinerja teori dan aplikasi, (Bandung:CV Alfabeta,2010), hlm. 14 Syaiful Sagala, Manajemen strategik dalam Peningkatan Mutu Pendidikan, (Bandung:CV afabeta,2009), hlm. 170. 11 12
79
Manajemen Pembiayaan Dan Kinerja Guru Oleh karena itu, sekolah harus mengimplementasikan TQM seoptimal mungkin. TQM adalah manajemen mutu terpadu yang di lakukan oleh setiap tingkatan manajemen dan bagian dalam sistem kelembagaan/organisasi dengan tujuan memberikan pelayanan yang memuaskan terhadap 13 pelanggan/pemakai/(Customer) . Bila aspek tersebut di abaikan atau bahkan secara sengaja dilupakan,maka dalam waktu yang tidak terlalu lama sekolah yang bersangkutan bisa kehilangan banyak pelanggan pendidikan. Meningkatkan intensitas persaingan dalam penyelenggaraan pendidikan di sekolah dan semakin terdidiknya masyarakat juga memandang konsumen untuk beralih ke sekolah lain yang lebih baik dan dapat memahami kebutuhan pelanggan dengan tepat dan memberikan pelayanan yang terbaik sehingga out putnya memuaskan pelanggan pendidikan. Ada empat unsur pokok dalam pelayanan prima:1) .Kecepatan 2).Ketepatan 3). Keramahan 4).Kenyamanan. Ada dua faktor utama yang mempengaruhi mutu jasa pendidikan di sekolah: expected service (layanan yang diharapkan) dan perceived service (layanan yang di terima/dirasakan). Menurut Ikke Dewi Sartika bentukbentuk penerapan mutu adalah14: 1. Pendekatan unsur-unsur mutu tidak menggunakan unsur program peningkatan mutu tidak seperti,lingkaran mutu,proses pengawasan statistik,dan penetapan manfaat mutu. 2. Pendekatan ahli menggunakan tulisan-tulisan deming, juran untuk menganalisa penerapan mutu. 3. Menggunakan pendidikan model Japan. 4. Menerapkan contoh-contoh lembaga/sekolah yang berhasil. 5. Pendekatan rancangan Hashim, yang memfokuskan pada keberhasilan yang dicapai dalam perencanaan,penerapan dan pelaksanaan serta pengalamannya tiap bulannya. 6. Pendidikan menurut kriteria penghargaan semacam di Amerika Serikat (balridge),untuk menentukan mana yang akan di kembangkan. Dalam peningkatan mutu perlu adanya peran aktif parneted relationship. Mereka itu terlibat langsung dalam masyarakat sekolah atau stakeholder. Intervensi mereka sangat diperlukan baik dalam hal ide-ide, pendanaan, bahkan dalam tahap pengambilan keputusan atau kebijaksanaan.
Nanang Fattah, Konsep Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) dan Dewan sekolah ,(Bandung:CV Pustaka Bani quraisy,2004),107. 14 Ikke Dewi Sartika, Quality Service in Education. (Bandung:Kantor Konsultan yayasan Piotensia,2003),80. 13
Sri Winarsih
80
G. Penutup Bertitik tolak dari uraian di atas, secara jelas disadari bahwa faktor utama penentu mutu pendidikan berkaitan erat dengan masalah biaya. Jadi, pembahasan masalah-masalah sumber daya pendidikan, sarana dan prasarana itu tidak lepas dari masalah biaya. Dalam hubungan ini, semakin besar jumlah biaya pendidikan itu akan lebih untuk dapat meningkatkan mutu pendidikan. Oleh karena itu, apabila kita ingin meningkatkan mutu supaya lebih tinggi, maka dana pendidikan itu haruslah berlipat ganda. Singkatnya, faktor biaya pendidikan adalah penting dan strategis dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan. Kinerja di artikan sebagai sesuatu yang di capai,prestasi yang di perlihatkan,atau kemampuan kerja. Faktor yang mempengaruhi kinerja guru meliputi: SDM yang tinggi, Pengetahuan, keterampilan, kecakapan, sikap dan perilaku pegawai. Jadi guru adalah seorang pendidik, maka keberadaan guru bukan hanya kepada kewajiban menyampaikan materi (Transfer of knowledge) kepada siswa,akan tetapi juga berkewajiban skill dan nilai (transfer of skill and transfer of value). Seorang guru dapat di katakan profesional, bilamana memiliki SDM tinggi, kemampuan tinggi (high level of abstract) dan motivasi kerja tinggi (heigh level of commitment).
81
Manajemen Pembiayaan Dan Kinerja Guru
DAFTAR PUSTAKA Atmodiwiryo, Soebagio, 2000. Manajemen Pendidikan Indonesia, Jakarta: Ardadizya Jaya. Aedi, Nur, 2012. Dasar-Dasar Manajemen Pendidikan, Bandung: CV Pustaka Cendekia Utama. Arikunto, Suharsimi, 2002. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, Jakarta : PT Rineka Cipta. Bafadal, Ibrahim, 2006. Manajemen Peningkatan Mutu Sekolah Dasar: dari Sentralisasi Menuju Desentralisasi, Jakarta: PT Bumi Aksara cet 2. Buchari Alma dan Ratih Hurriyati, 2008. Manajemen Corporate dan Strategi Pemasaran Jasa Pendidikan (Fokus pada mutu dan layanan prima),Bandung: CV Alfabeta. Departemen Agama, 2003. Pedoman Manajemen Berbasis Madrasah, Bandung: Direktorat Jendral Kelembagaan Agama Sekolah. Fattah, Nanang, 2000. Ekonomi dan Pembiayaan Pendidikan, Bandung: Remaja Rosdakarya. ------------------, 2004. Konsep Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) dan Dewan sekolah, Bandung: CV Pustaka Bani Quraisy. ------------------, 2000. Landasan Manajemen Pendidikan, Bandung: Remaja Rosdakarya. Mulyasa E, 2005. Manajemen Berbasis Sekolah, Bandung : PT Remaja Rosdakarya. ------------,2006. Menjadi Guru Profesional Menciptakan Pembelajaran Kreatif dan Menyenangkan, Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Mantry, Nurdin, 2008. Implementasi Dasar-Dasar Manajemen Sekolah Dalam Era Otonomi Daerah, Yogyakarta: Aksara Madani. Irham Fahmi, 2010. Manajemen Kinerja teori dan aplikasi, Bandung: CV Alfabeta. Idra Bastian, 2001. Akutansi sektor publik,Edisi pertama, (Yogyakarta: Badan Penerbit fakultas Ekonomi UGM). Ikke Dewi Sartika, 2003. Quality service in Education, (Bandung: kantor konsultan yayasan piotensia). Siagian, Sondang, P 1986. Peranan Staf dalam Manajemen. Jakarta: Gunung Agung. Sagala, Syaiful, 2000. Administrasi Pendidikan Kontemporer. Bandung: CV Alfabeta. ----------------, 2009. Manajemen Strategik dalam Peningkatan Mutu Pendidikan. Bandung: CV Alfabeta. Peraturan Pemerintah No. 32 tahun 2013, Standar Pembiayaan Pendidikan.
82
Fathurohim
KEKERASAN DALAM AGAMA (Tinjauan al-Qur’an dan Hadis) Fathurohim1 Abstract
In the last decade, there have been many practices of religious violence in the name of Islam. Various social tensions and conflicts both between internal adherents of religion, and between religious communities has sparked violence that claimed many victims. Religion seemed as a basis to kill people because of differences in ideology or confidence. In fact Islam has declared itself as a religion is a mercy to the universe and to guarantee freedom of religion and believes. Conflict should be seen as part of the communication, the more intelligent the believers in managing the conflicts that occur in the society, so the quality of their diversity are better. Because the essence of religion is how one be able to interact socially as well to the fellow believers and to different religions.
Keywords: Theological Conflict, Quran, Hadith
A. Pendahuluan Agama merupakan totalitas sumber kearifan, cinta, dan perdamaian di antara sesama manusia2 dan sekaligus sebagai sistem pengetahuan dan sistem keyakinan. Agama menyediakan sarana-sarana pengetahuan keagamaan yang menurut keyakinan pemeluknya sendiri bersumber dari wahyu yang termodifikasi ke dalam teks-teks suci berupa simbol-simbol terutama simbol-simbol konstitutif. Hasil dari sebuah penafsiran pemahaman atas teks-teks simbol-simbol itu melahirkan kecenderungan umum bagi para pelakunya seperti klaim kebenaran secara sepihak. Dengan demikian pada setiap agama terdapat aliran-aliran keagamaan yang diikuti, hal ini cenderung makan melahirkan perbedaanperbedaan pemahaman, penyikapan, dan tindakan terhadap berbagai persoalan yang dihadapi. Dari sini pula agama dalam kehidupan sosial mengekspresikan atau diekspresikan oleh umatnya sebagai pemersatu sekaligus sebagai pemisah.3 Pada batasan-batasan tertentu, konsep pemersatu di sini sering kali ditarik dalam batasan dan kepentingan komunitas keagamaan menurut aliran dan lingkungan sosialnya, tidak dilihat dan ditempatkan sesuai dengan misi dari agama-agama itu sendiri sebagi pengembangan peradaban manusia secara universal. Hal ini dalam kehidupan sosial agama sering kali juga menjadi alat pemisah bagi setiap umat yang berbeda agama atau berbeda aliran keagamaan yang berpotensi melahirkan hubungan-hubungan yang tidak harmonis bahkan Penulis adalah dosen di STAIS Majenang. Agus Purnomo, Ideologi Kekerasan, Argumentasi teologis-sosial Radikalisme Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), hlm. 1. 3 M. Aji Nugroho “Radikalisme Agama� dalam Sahiron Syamsuddin (ed.), Al-Quran dan Isu-isu Kontemporer, (Yogyakarta: Elsa Press, 2011), hlm. 35. 1 2
83
Kekerasan Dalam Agama saling bertentangan. Dalam konteks yang seperti ini sepertinya agama menjadi dan dijadikan sarana pendorong melakukan serangkaian tindakan sekalipun dalam bentuk kekerasan. Ini artinya antara kepentingan agama dan kepentingan umat beragama dalam kehidupan sosial sering kali menjadi tumpang tindih. Bertolak dari fenomena tersebut, maka hubungan antara agama dan kekerasan sosial pada dasarnya dapat dikelompokkan dalam tiga pandangan. Pertama, hubungan keduanya dilihat dalam oposisi biner yakni masing-masing dari keduanya saling menafikan atau saling dipertentangkan. Agama menilai kekerasan sementara kekerasan sosial merupakan ekspresi dari penyeberangan dari agama. Kedua, pandangan yang menjelaskan bahwa antar agama dan kekerasan sosial beroperasi dalam ranah yang berbeda. Agama dalam ruang sakral sementara kekerasan sosial berada dalam ranah profan. Dengan kata lain kekerasan sosial itu terjadi di luar wilayah keagamaan. Ketiga, antara agama dan kekerasan sosial keduanya bisa saling bersinggungan. Maksudnya, dalam batasan-batasan tertentu tindak kekerasan dipahami dan diterapkan sebagai tanggapan atau strategi yang dipilih dalam menjawab kondisi yang ada dalam kaitannya pilihannya itu diklaim sebagai amar ma’ruf nahi mungkar sehingga bernuansa keagamaan.4
B. Agama dan Kekerasan Secara normatif teks-teks agama memang bersifat ambivalen. Ia bisa menebarkan perdamaian dengan pesan-pesan perdamaiannya, namun ia juga bisa rentan menimbulkan sebuah konflik dan kekerasan karena pesan-pesan tekstualnya yang mengandung kekerasan. Dalam konteks Islam, beberapa teks yang memicu dan melahirkan kekerasan pada kelompok gerakan radikal antara lain dapat dilihat misalnya pada teks yang menerangkan jihad, yang kemudian disistematisasi sebagai ideologi perang sehingga serat dengan kekerasan. Namun bagi gerakan radikal, jihad dilakukan atas dasar keyakinan yang dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya dan dapat diuji otentisitas sumber hukumnya. Sedangkan secara sederhana istilah kekerasan agama dapat didefinisikan dengan kekerasan yang mengatasnamakan agama atau menggunakan doktrindoktrin agama untuk melegitimasi melakukan kekerasan pada pihak lain. Katakata kekerasan secara harfiah diartikan sebagai sifat atau hal yang keras, kekuatan atau paksaan. Kekerasan dalam hal ini adalah kekerasan yang merupakan terjemahan dari kata violence.5 Robet Audi, seperti dikutip I Marshanda Windu ,merumuskan violence sebagai serangan atau penyalahgunaan fisik terhadap M. Aji Nugroho “Radikalisme Agama�, hlm. 37. I Mareshanda Windhu, Kekuasaan dan Kekerasan menurut Johen Galtung, (Yogyakarta: Kanisius, 1992), hlm. 62. 4 5
Fathurohim
84
seseorang, binatang, atau penghancuran, perusakan yang sangat keras, kasar, kejam atas milik atau sesuatu yang secara potensial dapat menjadi milik seseorang. Menurut terminologi, kekerasan berarti perubahan seseorang atau sekelompok orang yang menyebabkan cedera atau matinya orang lain atau menyebabkan kerusakan fisik atau barang yang lain.6 Secara garis besar makna kekerasan dapat dikelompokkan menjadi tiga.7 Pertama, kekerasan merupakan tindakan aktor atau kelompok aktor, dalam pandangan kelompok ini manusia melakukan kekerasan karena bawaan atau sebagai konsekuensi dari kelainan dengan keadaan biologis manusia. Kedua, kekerasan sebagai produk dari struktur, kelompok ini memahami kekerasan sebagai tindakan yang terkait dengan struktur. Kelompok ini mendefinisikan kekerasan sebagai segala sesuatu yang menyebabkan orang terhalang untuk mengaktualisasikan potensi diri secara wajar. Dibandingkan yang pertama kelompok ini lebih terselubung dan bisa dilakukan oleh banyak subyek, tidak terbatas pada aktor atau kelompok aktor tetapi juga oleh struktur. Ketiga, kekerasan sebagai jaringan antara aktor dengan struktur, pada kelompok ini, kekerasan adalah segala bentuk kekerasan tanpa membedakan antara yang dilakukan aktor atau kelompok aktor maupun struktur, karena kekerasan merupakan paduan aktor dan kekerasan struktur. Sedangkan dalam al-Quran maupun hadis dilukiskan kekerasan dengan berbagai istilah, di antaranya adalah ghuluw yang berarti berlebihan, tanathu’ berarti melampaui batas, dan tasydid yang berarti keras dan mempersulit,8 al-ta ashub yang berarti fanatisme berlebihan, al-sukhriyah wa al-tanabuz bila l-qab yang berarti saling merendahkan dan memberikan pelabelan negatif antar kelompok, su’uzhan yang berarti sakwa sangka atau curiga, al-zulem yang berari kezaliman suatu pihak terhadap pihak lain.9 Akan tetapi tidak semua kalimat di atas yang tertera dalam alQuran dan hadis, penulis beranggapan islam sebenarnya sangat melarang sikap kekerasan dalam beragama, adapun penjelasannya adalah sebagai berikut: 1. Imam Ahmad meriwayatkan dalam musnadnya, dari Inbu Abas ra bahwa Nabi Muhammad saw bersabda:
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Depdikbud dan Balai Pustaka, 1988), hlm. 425. 7 Thomas Santoso, Kekerasan Agama Tapa Agama, (Surakarta: Pustaka Utan Kayu, 2001), hlm. 2. 8 Yusuf Qordowi, Islam Radikal, Analisis terhadap Radikalisme dalam Berislam dan Upaya Pemecahannya, Terj. Hawin Murtadho, (Surakarta: Era Intermedia, 2004), hlm. 22. 9 Abul Mustaqim, dalam Konflik Teologis dan Kekerasan Agama Perspektif Tafsir al-Quran, salah satu bahan kuliah studi al-Quran di Pascasarjana IUN Sunan Kalijaga. 6
85
Kekerasan Dalam Agama
َ َلَ َم مَنَ ََك ََنَقَ مبلَ ُمَكَ اِبلم ُغلُ اَوَ ا َفَ اإل اين ََ َ َوقَا ََلَإ اَّي ُمَكَ َوإلم ُغلُ اَوَفَان ا َماَ ََه ِ ِ
Janganlah bersikap berlebihan dalam beragama, sesungguhnya orang-orang sebelum kamu hancur karena sikap berlebihan dalam beragama. Maksud dari orang sebelum kita ialah para penganut agama-agama terdahulu khususnya ahlul kitab. Lebih khusus lagi orang Nasrani, hal ini diperkuat lagi dengan firman Allah pada surat al-Maidah ayat 77: “Katakanlah: "Hai ahli kitab, janganlah kamu berlebih-lebihan (melampaui batas) dengan cara tidak benar dalam agamamu. dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu orang-orang yang Telah sesat dahulunya (sebelum kedatangan Muhammad) dan mereka Telah menyesatkan kebanyakan (manusia), dan mereka tersesat dari jalan yang lurus". Maksud dari ayat ini bahwa Allah melarang sikap berlebih-lebihan sebagaimana yang pernah di lakukan oleh orang-orang sebelumnya, maka orang yang berbahagia adalah orang yang bisa mengambil pelajaran dari orang lain. 2. Imam Muslim meriwayatkan dalam Shahihnya dari Ibnu Mas’ud yang berkata, Rasulullah bersabda:
َ(ونَ)قَالَهَاَثَ ََل ًَث ََ َلَإلم ُمتَنَ اط ُع ََ َ ه “Sesungguhnya binasalah orang-orang yang berlebih-lebihan. Beliau mengucapkan tiga kali”. Imam Nawawi berkata, Mutanathi’un adalah orang-orang yang melampaui batas dalam ucapan dan perbuatan mereka.11 3. Abu Ya’la meriwayatkan dari musnad-nya dari Anas bin malik bahwa Rasulullah pernah bersabda:
َال َتشدوإ َعىل َإنفسك َفيشدد َعليك َفان َقوما َشددوإعىل َإنفسهم َفيشدد َعلهيم َفتل ََبقاَّيَمهَىفَإلصومعَوإلَّيرإتَرهباَنيةَإبتدعوهاَماَكتبناَعلهيم Jangan kalian bersikap keras terhadap diri sendiri, sehingga ditetapkan ketentuan yang keras bagi kalian. Sesungguhnya, ada suatu kamum yang bersikap keras terhadap diri mereka sendiri, lantas ditetapkan ketentuan yang keras bagi mereka. Itulah sia-sia mereka di sinago-sinago dan biara-biara “dan pahbaniyah yang mereka ada-adakan, kami tidak mewajibkannya kepada mereka, kecuali mencari keridaan Allah (al-Hadid). Ibnu Kasir menjelaskan dalam tafsirnya, nabi Muhammad saw mencegah setiap kecenderungan berlebih-lebihan dalam beragama serta mengecam siapapun sahabatnya yang melampaui beribadah dan hidup prihatin, yang melampau batas kewajaran yang di ajarkan oleh Islam yang menyeimbangkan antara spiritualism dan materialism, memadukan antara agama dengan dunia. 10 HR. Ahmad, Bab Baqi Musnad as-Sabiq, no Hadis 3078, dalam CD Mausu’ah al-Hadis asysyarif, Global Ialamic Sofwere Company, 1997. 11 M. Aji Nugroho “Radikalisme Agama”, hlm. 40.
Fathurohim
86
C. Dasar Sikap Kekerasan dari Tinjauan al-Quran dan Hadis Dari pengertian yang telah di paparkan sebelumnya, dapat di tarik sebuah kesimpulan bahwa dasar sikap kekerasan agama yang merupakan aksi yang bermula dari pemahaman radikal dalam menafsirkan al-Quran dan hadis yang hanya melihat teks saja tanpa melihat konteks, inilah penyebab pemahaman radikal terhadap teks al-Quran dan hadis yang menjadi acuan dalam hidup umat muslim, tanpa melihat manfaat dan madharatnya. Adapun mengenai contoh pemahaman radikal yang penulis temukan adalah sebagai mana pemahaman yang tertera pada ayat berikut ini:
َََََََََََ “Barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir”(QS. Al-Maidah 5: 44). Kemudian diperkuat lagi pada ayat berikutnya yang sekaligus menjadi pendukung ayat di atas, sebagai berikut:
ََََََََََ “Barang siapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim”(QS. Al-Maidah 5:45). Surat al-Maidah ayat 44 dan 45 ini sering kali di gunakan oleh sebagian orang Islam sebagai justifikasi hukum mengenai wajibnya mendirikan negara islam dalam suatu negara yang mayoritas penduduknya islam. Memang yang penulis pahami sekilas pada ayat tersebut memberikan kesan bahwa suatu negara harus menggunakan hukum islam dalam menjalankan pemerintahannya, akan tetapi sayangnya mereka menganggap bahwa penduduk suatu negara yang tidak menggunakan hukum islam maka mereka semua adalah kafir dan dzalim. Oleh karena itu, perilaku terorisme, pencurian, membunuh dan membuat kekacauan itu dianggap sah, dengan anggapan mereka hidup pada suatu negara yang tidak sesuai dengan hukum seperti pada ayat di atas. Pemahaman al-Quran seperti inilah yang harus diminimalisir, karena akan menimbulkan dampak sosial secara global, walaupun ayat tadi mengatakan kata kafir dan dzalim, tapi banyak literatur islam baik klasik maupun moderen yang menganjurkan dengan cara damai sebagaimana sabda Nabi:
ََإّلل َعَلَ مي اَه َ َو َس اََّل َ َأفمضَ َُل َإلمجا هَا اَد َ َ اَك َم َُة َعَدم ل َُ ىل َ ا َ إّلل َ َص ا ََع مَن َ َأ ا َب َ َس اَعيدَ َإلم ُخدم ار اَي َقَا ََل َقَا ََل َ َر ُسو َُل َ ا ا َ َاع مندَََ ُسلم َطانََ َجائارََ َأ مَوَ َأ اميََ َجائار Hadis no. 3781, diriwayatkan oleh Abi Daud dalam sunsn Abi Daud, bab al-Amr wa Nahyu (CD Mausu’ah al-Hadis asy-Syarif, Global Ialamic Sofwere Company, 1997). 12
87
Kekerasan Dalam Agama Diriwayatkan dari Abi Said al-Khudry, Nabi Muhamad bersabda, sebaik-baik jihad adalah menyatukan kata-kata (pendapat atau nasihat) yang hak dihadapkan penguasa yang dzalim. (HR. Abi Dawud). Hadis ini mengemukakah bahwa jihad terbaik adalah dengan kalimat yang baik, sekaligus isyarat bahwa membela dan menegakan hukum islam tidak harus dengan jalan kekerasan, tetapi dengan menyampaikan yang baik. Karena tidaklah mungkin menegakan jalan Allah dengan cara yang tidak diridhoi oleh Allah. Dalam hadis lain juga Ibnu Majah meriwayatkan:
َ ََض َإر ََ َض ََرَ َو ََالَ ا َ َ َإّللَعَلَ مي اَهَ َو َس اََّلَق َُ ىلَ ا َ إّللَ َص ا َتَ َأ اَنَ َر ُسو ََلَ ا ا َإلصا ام ا َع مَنَ ُع َبا َدََةَ مب اَنَ ا َ َ َضَ َأ مَنَ ََال
Diriwayatkan dari Ubadah bin as-Samit Rasulullah saw ketika memutuskan sesuatu perkara, tidak (boleh) membahayakan diri sendiri dan orang lain. (HR. Ibnu Majah). Hadis ini merupakan pendukung dari hadis sebelumnya yang merupakan pondasi dari setiap umat muslim agar tidak berbuat anarkis dalam melaksanakan segala aktivitas yang berkenaan dengan keagamaan yang diyakininya yaitu islam di dalam mendakwahkannya. Adapun contoh hadis yang menjadi dasar pijakan tindak kekerasan dalm beraksi terhadap pemahamannya adalah hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dari Jundab bin Abi Umayah, yang artinya sebagai berikut: Diriwayatkan dari Jundab bin Ani Umayah, berkata, Nabi bersabda: hendaknya kita tidak merebut urusan (kepentingan atau pemerintahan) tersebut dari yang berhak, kecuali jika kalian menyaksikan kekufuran yang nyata, sedang kalian mempunyai bukti yang nyata dihadapkan Allah. Dalam hadis ini sebenarnya merupakan bukti nyata bahwa mengambil kekuasaan dengan jalan kekerasan adalah salah, tetapi sayangnya yang menjadi acuan dalam hadis ini bukan larangan untuk berbuat kekerasan akan tetapi diterjemahkan atau ditafsirkan menjadi pemberangusan ke kufuran. Sebenarnya hukum di atas adalah jelas tentang kekufuran, akan tetapi yang menjadi permasalahan adalah standar kekufuran itu sendiri menurut perspektif islam?. Apakah orang yang tidak melakukan syariat sudah bisa dianggap kufur dan dzalim atau ada alasan-alasan lain yang melatarbelakanginya. Ini merupakan bukti bahwa pemahaman yang keliru membawa dampak yang negatif bagi umat muslim sendiri. Oleh sebab itu memahami teks tanpa melihat konteks itu menjadi keliru.14 Oleh karena itu ada beberapa hal yang harus dilakukan umamt islam ketika hendak menafsirkan al-Quran di samping persyaratan yang harus dipenuhi, juga harus disesuaikan dengan kondisi yang sedang dialaminya. Relasi penafsiran dengan teks memberi pesan yang sangat 13 Hadis no. 2331, diriwayatkan oleh Ibnu Majah dalam kitab al-Ahkam, bab Man bana fi Haqqihi wa Yadzurru bi Jariah (CD Mausu’ah al-Hadis asy-Syarif, Global Ialamic Sofwere Company, 1997). 14 Naser Hamid Abu Zayd, Naqd Khitab ad-Dini, (Kairo: Sina li An-Naseyr, 1994). Hlm. 140.
Fathurohim
88
besar pada penafsir untuk mengembangkan apa yang disebut dengan signifikansi teks sesuai dengan horison yang terdapat di dalamnya. D. Indikasi-indikasi kekerasan Beberapa indikasi yang menyebabkan tumbuhnya kekerasan adalah terkait dengan beberapa masalah mendasar, antara lain : (1)fanatik terhadap suatu pendapat tapa menghargai pendapat yang lain, (2) mewajibkan orang lain untuk melakukan apa yang tidak diwajibkan oleh Allah, (3) sikap keras yang tidak pada tempatnya, (4) mempunyai sikap kasar dalam bergaul, keras dan pedas dalam berda’wah dengan menyelisihi petunjuk Allah dan petunjuk Rasulullah, (5) berburuk sangka pada orang lain dengan prinsip pokok yaitu menuduh dan menyalahkan, (6) mengafirkan orang lain dengan menghalalkan darah dan harta mereka tanpa melihat bahwa mereka itu memiliki kehormatan.15 Keenam hal tersebut merupakan ciri khusus yang dimiliki orang yang memiliki pemahaman keras, dimulai dengan pemahaman yang fanatik, kemudian keras terhadap segala sesuatu yang berkaitan hukum Allah dengan mewajibkan mewajibkan segala hukum yang Allah tidak wajibkan, dan puncak dari sikap itu adalah mengafirkan orang lain dengan alasan tidak sependapat dengan pemahamannya. Hal yang seperti ini jelas tidak sesuai dengan firman Allah pada surat at-Taubah ayat 6:
ََ َ َ َ َ َ َ َ َ َ َ ََََََََ “Dan jika seorang di antara orang-orang musyrikin itu meminta perlindungan kepadamu, Maka lindungilah ia supaya ia sempat mendengar firman Allah, Kemudian antarkanlah ia ke tempat yang aman baginya. demikian itu disebabkan mereka kaum yang tidak Mengetahui”. (QS. At-Taubah : 6). Ar-Razi berpendapat bahwa orang kafir yang meminta perlindungan dapat dikategorikan sebagai kafir dzilmmi yaitu kafir yang harus dilindungi. Dengan demikian adalah menjadi tanggung jawab orang islam untuk melindunginya, dengan harapan bisa mendapatkan hidayah dari al-Quran hal ini dikarenakan kemauannya untuk mendengarkan firman Allah. Posisi orang kafir yang meminta pertolongan ini berbeda dengan kafir harbi yaitu kafir yang layak untuk di perangi oleh islam dikarenakan dianggap mengancam bagi umat islam.16 Hidayah dari Allah tidak dapat dipaksakan akan tetapi hidayah itu akan datang tatkala orang M. Aji Nugroho “Radikalisme Agama”, hlm. 47. Yusuf Qordowi, Islam Radikal, hlm. 26. Fahruddin al-Razi, Tafsir Kabir, Mafatihul Qhoib, Jilid ke 8 (mesir: Maktabah Taufiqiyah, 2003), hlm. 186. 15 16
89
Kekerasan Dalam Agama tersebut mau membuka diri terhadap hidayah yang salah satunya dengan meminta perlindungan kepada islam, ini berarti langkah untuk mendapatkan hidayah semakin terbuka buat para orang kafir di atas. Ditambah dengan larangan Allah kepada umat muslim untuk menjustifukasi orang lain, hal ini terdapat dalam surat al-Hujarat ayat 12:
ََ َ َ َ َ َ َ َ َ َ َ َ َ ََ َ َ َ َ َ َ َ َ َ َ ََََََََََ Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), Karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang. (QS. Al-Hujrat: 12). Pada ayat ini adalah larangan Allah untuk menyelisihi petunjuk Allah dan petunjuk Rasulullah, dengan tidak berburuk sangka terhadap orang kain. Paparan ayat ini menunjukan betapa jauhnya pemahaman kaum radikal dalam mengaplikasikan perintah agama yang tertera dalam al-Quran yang tujuan inti diturunkannya kitab suci al-Quran agar dijadikan petunjuk dalam segala aktivitas kehidupan. Dengan harapan akan tercipta sebuah hukum untuk mengatur kepribadian masing-masing tanpa mengganggu dan menyakiti ketenteraman orang lain dalam segala bentuk aktivitas masing-masing. E. Faktor-faktor penyebab terjadinya kekerasan Kekerasan tidaklah datang tanpa sebab dan tidaklah muncul secara kebetulan, melainkan memiliki sebab-sebab dan faktor-faktor yang mendorong untuk muncul, adapun faktor-faktor secara umum penyebab terjadinya kekerasan adalah sebagai berikut: 1. Lemahnya pengetahuan tentang hakikat agama, hal ini disebabkan kurangnya bekal untuk memahami agama secara mendalam, memahami maksudmaksudnya dan mengenali ruhnya. Dalam kata lain pemahaman agama yang setengah-setengah. 2. Memahami nash secara tekstual, artinya mereka hanya berpegang pada makna harfiah teks dalil tanpa berusaha memahami kandungan dan maksudnya. 3. Memperdebatkan persoalan lateral, sehingga mengesampingkan persoalan besar. Ini membuktikan tidak mendalamnya ilmu dan lemahnya pengetahuan dalam agama dengan menyibukkan diri memperdebatkan persoalan-persoalan
Fathurohim
90
parsial dan persoalan-persoalan cabang sampai melupakan persoalan-persoalan besar berkaitan dengan persoalan eksistensi, jati diri, dan nasib umat. 4. Berlebihan dalam mengharamkan yang disebabkan kerancuan konsep pemahaman terhadap syariat dengan kecenderungan selalu menyudutkan dan bersikap keras, serta berlebih-lebihan dalam berpendapat mengharamkan dan memperluas ruang lingkup hal-hal yang diharamkan. 5. Mengikuti ayat-ayat mutasyahihat dan meninggalkan ayat-ayat muhkamat, maksudnya nash mutasyahihat adalah nash yang mengandung konotasi makna adapun muhkamat adalah nash yang maknanya sudah jelas, indikasinya nyata, dan pengertian terbatas. 6. Mempelajari ilmu hanya dari buku dan mempelajari al-Quran hanya dari Mufasir, tanpa memiliki kesempatan untuk dipikir ulang, didiskusikan, diterima, dan ditolak. Hal ini karena mereka mempelajari ilmu bukan dari ahlinya dan bukan pada spesialis bidangnya. 7. Lemahnya pengetahuan tentang sejarah, realita, sunnatullah, dan kehidupan yang berlaku bagi makhluk-makhlukNya.17 Di samping faktor-faktor penyebab terjadinya kekerasan secara umum, berikut juga akan penulis sampaikan beberapa faktor terjadinya kekerasan secara khusus. Mengingat Rasulullah sangat mewanti-wanti untuk tidak terjebak pada tindakan kekerasan, berlebihan, berpemahaman sempit, kaku. 1. Faktor pemikiran, merupakan refleksi penentangan terhadap alam realitas yang dianggapnya sudah tidak dapat ditolerir lagi, dunia dipandangnya saat ini sudah tidak akan mendapat keberkahan dari Allah Swt, penuh dengan kenistaan sehingga satu-satunya jalan selamat adalah hanya kembali kepada agama. Namun jalan yang dilakukan menuju agama itu dengan cara yang sempit, keras dan kaku. 2. Faktor ekonomi, terorisme yang belakangan muncul merupakan salah satu reaksi dari kesenjangan ekonomi yang terjadi di dunia. Ditambah lagi dengan kemiskinan, pengangguran dan keterjepitan ekonomi dapat merubah pola pikir seseorang dari yang sebelumnya baik menjadi orang yang sangat kejam dan dapat melakukan apa saja termasuk melakukan teror. 3. Faktor politik, stabilitas politik yang diimbangi dengan pertumbuhan ekonomi yang tidak baik maka kondisi ini lambat laun akan melahirkan tindakan skeptis masyarakat. Hal ini akan memudahkan munculnya kelompok-kelompok atas mana yang berbeda baik politik, agama ataupun sosial yang mudah saling menghancurkan satu sama lain. 4. Faktor sosial, hal ini bermula dari pemahaman yang menyimpang, disebabkan adanya kondisi konflik yang sering terjadi di dalam masyarakat. 17
M. Aji Nugroho “Radikalisme Agama�, hlm. 51-52.
91
Kekerasan Dalam Agama 5. Faktor psikologi, faktor ini sangat terkait dengan pengalaman individu seseorang. Pengalamannya yang pahit dalam hidup, lingkungan, kegagalan dalam karier dapat juga mendorong seseorang untuk melakukan perbuatanperbuatan yang menyimpang dan anarkis. 6. Faktor pendidikan, faktor pendidikan dapat menyebabkan terjadinya terorisme yang merupakan hasil dari suatu pendidikan yang keliru dan juga sangat berbahaya. Pendidikan agama yang khususnya harus lebih diperhatikan. Ajaran agama yang mengajarkan toleransi, kesatuan, keramahan dan yang mengajarkan persatuan jarang di perdengungkan. Retorika ajaran yang sering disuguhkan lebih bernada mengejek bukan mengajak, lebih sering memukul dari pada merangkul. Maka lahirnya generasiumat yang merasa dirinya dan kelompoknyalah yang palingbenar sementara yang lain salah maka harus diperangi.18
F. Resolusi konflik, sebuah tawaran al-Qur’an Konflik teologis dan kekerasan agama memang sudah seharusnya dieliminasi, agama bukanlah untuk memisahkan seseorang dengan orang lain, agama bertujuan untuk menyatukan mereka. Suatu malapetaka saat ini agama yang sedemikian terdistrsi sehingga menjadi penyebab perselisihan dan pembantaian. Untuk itu, al-Quran sebagai sumber tertinggi dalam islam sangat layak dijadikan sebagai rujukan untuk melakukan beberapa proses sehingga dapat tercapai sebuah perdamaian. Dalam hal ini, tidak bermaksud memaksakan ayat-ayat al-Quran sebagai teori resolusi konflik, namun paling tidak dengan mengacu pada ayat-ayat alQuran atau semangat ayat-ayat al-Quran bisa dijadikan sebuah inspirasi motivasi dan advokasi untuk terwujudnya resolusi konflik demi terwujudnya perdamaian.19 1. Melakukan tabayun (klarifikasi) Tabayun bisa diartikan sebagai upaya mencari kejelasan dan informasi atas sebuah informasi atau al-kasyf a nal-syai’. Tabayun ini bisa dilakukan dengan menguji informasi yang datang tersebut melalui bukti-bukti tertulis atau faktafakta empiris dan logis.
ََ َ َ َ َ َ َ َ َ َ َ َ َ.ََََ 18 M. Aji Nugroho “Radikalisme Agama”, hlm. 55. Salah Mahfus, faktor-faktor Penyulut Radikalisme Agama, file://C:/Users /aji/downloads/pesantren virtual/faktor-faktor-penyulutradikalisme-agama.htm, 19 Abul Mustaqim, dalam Konflik Teologis dan Kekerasan Agama. hlm. 14.
Fathurohim
92
Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, Maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu. (QS. Al-Hujarat: 6). 2. Tahkim (upaya medis) Tahkim atau mediasi adalah merupakan sebuah proses penyelesaian sengketa antara dua belah pihak dengan mendatangkan seorang mediator atau juru damai. Di dalam al-Quran disebutkan:
ََ َ َ َ َ َ َ َ َ َ َ َ َََََََََ َََ Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, Maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.(QS. Al-Nisa: 35). 3. Syura (musyawarah) Musyawarah adalah merupakan sebuah upaya untuk menyelesaikan sebuah masalah (mancari jalan keluar) guna mengambil keputusan bersama dalam penyelesaian atau pemecahan masalah yang menyangkut urusan keduniawian, termasuk juga persoalan konflik dan kekerasan agama. Dalam al-Quran disebutkan tentang pentingnya musyawarah, misalnya dalam firman Allah Swt:
َ .َََََََ Dan sungguh jika kamu meninggal atau gugur, tentulah kepada Allah saja kamu dikumpulkan. (QS. Ali Imran: 158).
4. Saling memaafkan Al-Quran menegaskan betapa memaafkan menjadi indikator tentang kebaikan dan ketakwaan seseorang.
ََ َ َ َ َ َ َ َ َ َ َ َ ََََََ ََََََََ ََََََََََََ
93
Kekerasan Dalam Agama Jika kamu menceraikan Isteri-isterimu sebelum kamu bercampur dengan mereka, padahal Sesungguhnya kamu sudah menentukan maharnya, Maka bayarlah seperdua dari mahar yang Telah kamu tentukan itu, kecuali jika Isteri-isterimu itu mema'afkan atau dima'afkan oleh orang yang memegang ikatan nikah[151], dan pema'afan kamu itu lebih dekat kepada takwa. dan janganlah kamu melupakan keutamaan di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha melihat segala apa yang kamu kerjakan. (QS. Al-Baqarah: 237) 5. Islahah (berdamai) dan Ihsan (berbuat baik) Al-Quran dalam hal ini menegaskan akan pentingnya beragama secara damai,
َََ ََََََََََ ََََ Wahai orang-orang yang beriman, masuklah kalian dalam al-Silm (perdamaian)secara keseluruhan. Dan jangan kalian mengikuti langkah-langkah syaiton (yang mendorong kalian untuk terus bertikai, bermusuhan atau yang lain), sebab sesungguhnya ia bagi kalian adalah musuh yang nyata. (QS. Al-Baqarah: 208).20 Adapun beberapa solusi secara umum yang bisa ditawarkan dalam menyikapi fenomena kekerasan agama di atas antara lain: Pertama, menampilkan islam sebagai ajaran universal yang memberikan arahan bagi terciptanya perdamaian di muka bumi. Kedua, perlu adanya penggalangan aksi untuk menolak sikap kekerasan dan terorisme. Aksi ini tidak hanya umat islam tetapi melibatkan agama-agama lain yang memang tidak menginginkan hal demikian terjadi. Ketiga, sudah saatnya kita menumbuhkan karakter keberagamaan yang moderat. Memahami dinamika kehidupan ini secara terbuka dengan menerima pluralitas pemikiran yang lain yang ada di luar kelompoknya. Keberagaman yang moderat akan melunturkan pertentangan antara paham fundamentalisme dengan sekularisme dalam menyikapi modernitas dan perubahan. Oleh karena itu bahwa teks al-Quran sampai kapan pun tidak akan pernah berubah, tetapi metodologi dan sistematika pemahaman dan pembahasan yang harus berubah sesuai dengan perkembangan zaman, hal ini berkaitan dengan kaidah fikih : berubahnya hukum, karena sebab berubahnya waktu dan tempat. Munculnya variasi penafsiaran dan pemikiran dalam islam tidak terlepas dari tarik menarik pendapat tentang posisi transendental islam terhadap wahyu alQuran yang bersifat abadi dan kekal di satu sisi dengan sisi historis budaya Arab di sisi lain. Perpaduan antara keduanya itu (historis dan ahistoris) yang memang 20 Terjemahan di kutip dari Abdul Mustaqim dalam Konflik Teologis dan Kekerasan Agama Perspektif Tafsir al-Quran, salah satu bahan kuliah studi al-Quran di Pascasarjana IUN Sunan Kalijaga. Hlm. 17.
Fathurohim
94
sulit untuk dipertemukan pada wilayah epistemologis inilah yang membuat kitab yang satu ini menjadi unik dan banyak menelorkan pemahaman dan penafsiran yang berkesinambungan dalam pentas sejarah islam. Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka pemaknaan terhadap nilai islam yang tertuang dalam al-Quran menjadi sebuah keniscayaan untuk dikaji agar bisa mendapatkan pemahaman islam secara sempurna, dan untuk mengatasi keterbatasan ini perlu ditinjau kondisi yang sekarang sehingga al-Quran betul-betul Shalih likuli zaman wal makan.21 G. Penutup Kekerasan adalah merupakan prinsip-prinsip atau praktek-praktek yang dilakukan secara keras. Suatu pilihan tindakan yang umumnya dilihat dengan mempertentangkan secara tajam antara nilai-nilai yang diperjuangkan oleh kelompok-kelompok atau aliran agama tertentu dengan tatanan nilai yang berlaku atau dipandang mapan saat itu. Oleh karena itu tindak kekerasan sering di sejajarkan dengan istilah ekstremisme, militanisme, atau fundamentalisme. Gerakan islam radikal muncul karena pemahaman agama yang cenderung tekstual, sempit dan hitam putih. Pemahaman seperti ini kanan mudah menggiring sang pembaca pada sikap keberagaman yang kaku. Pemahaman agama tidak bisa terlepas dari konteks historisnya, pemahaman agama sangat dimanisi. Untuk itulah pembacaan yang terbuka akan menghindarkan kita pada sikap-sikap yang berbau kekerasan. Islam hadir juga untuk memenuhi panggilan kemanusiaan dan perdamaian. Adalah tugas kita semua untuk memberikan citra positif bagi islam yang berwadah humanis dan anti kekerasan ini. WaAllahu A’lam bish-Shawab.
Fahrudin Faiz, Hermeneutika al-Quran, tema-tema kontroversial (Yogyakarta: eLSAK Press, 2005), hlm. 16. 21
95
Kekerasan Dalam Agama DAFTAR PUSTAKA
Al-Quran dan terjemahnya. Purnomo Agus, Ideologi Kekerasan, Argumentasi teologis-sosial Radikalisme Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009. CD Mausu’ah al-Hadis asy-Syarif, Global Ialamic Sofwere Company, 1997. Faiz Fahrudin, Hermeneutika al-Quran, tema-tema kontroversial, Yogyakarta: eLSAK Press, 2005. al-Razi Fahruddin, Tafsir Kabir, Mafatihul Qhoib, Jilid ke 8, mesir: Maktabah Taufiqiyah, 2003. Nugroho M. Aji “Radikalisme Agama” dalam Sahiron Syamsuddin (ed.), Al-Quran dan Isu-isu Kontemporer, Yogyakarta: Elsa Press, 2011. Hamid Abu Zayd Naser, Naqd Khitab ad-Dini, Kairo: Sina li An-Naseyr, 1994. Mustaqim Abul, dalam Konflik Teologis dan Kekerasan Agama Perspektif Tafsir alQuran, salah satu bahan kuliah studi al-Quran di Pascasarjana IUN Sunan Kalijaga. Santoso Thomas, Kekerasan Agama Tapa Agama, Surakarta: Pustaka Utan Kayu, 2001. Qordowi Yusuf, Islam Radikal, Analisis terhadap Radikalisme dalam Berislam dan Upaya Pemecahannya, Terj. Hawin Murtadho, Surakarta: Era Intermedia, 2004. Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Depdikbud dan Balai Pustaka, 1988. Windhu I Mareshanda, Kekuasaan dan Kekerasan menurut Johen Galtung, Yogyakarta: Kanisius, 1992.
Fathul Aminudin Aziz
96
PENGARUH BUDAYA DAN IKLIM ORGANISASI TERHADAP PROFESIONALITAS SERTA IMPLIKASINYA PADA KINERJA PEGAWAI KANTOR URUSAN AGAMA (KUA) (Study Kasus Moratorium Bedolan di Kabupaten Cilacap) Fathul Aminudin Aziz1 Abstract Anxiety of religious affairs office employees against Bedolan Moratorium is being felt almost in every corner of the archipelago. The stigma of receiving gratuities to the headman has increased his image as a clean institution extremely has degraded in the eyes of society. SEM Model Analysis methodology using AMOS software program, then analyzed by using 3 kinds; Univariate, bivariate, and the complex one (multivariate). This study starts from the theory of performance which states that the work can be accomplished by a person or group within an organization in accordance with the authority and responsibility of each in achieving the goals of the organization concerned not illegally breaking the law and in accordance with the moral and ethical. (Irham Fahmi, 2010:10) These results indicate that the organizational culture, organizational climate and professionalism effect on employee performance indicated from the value of R-Square of 0.839 (see table 5.9). This suggests that organizational culture, organizational climate and professionalism simultaneously have a significant contribution to the performance of employees. An active step that must be undertaken by the Ministry of Religious Affairs is to publish rules on Bedolan Marriage in order to increase the performance of religious affairs office employees. Keywords: Culture, Organizational Climate, Employee Professionalism And Performance
A. Latar Belakang Kegelisahan pegawai Kantor Urusan Agama (KUA) atas moratorium bedolan terasa hampir disegenap penjuru Nusantara. Stigma penghulu menerima gratifikasi semakin menguat, citra sebagai sebuah lembaga yang bersih mengalami degradasi yang luar biasa dimata masyarakat.Dampaknya banyak penghulu di berbagai wilayah menolak melangsungkan pernikahan di luar Kantor Urusan Agama (KUA), hal ini menjadi isu kurang baik bagi Kementrian Agama terutama pada ranah manajerial. Survei integritas yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyebutkan bahwa Kementerian Agama (Kemenag) sebagai lembaga paling korup di Indonesia. Survei di Kemenag ini menemukan praktik korupsi di sejumlah titik pada sektor pelayanan publik. Bahkan, praktik korupsi itu terjadi hingga ke tingkat daerah, Terkait administrasi pernikahan di Kantor Urusan Agama (KUA). Sebagai salah satu gambaran, Romli seorang Kepala KUA Kecamatan Kediri Kota yang sekaligus Petugas Pencatat Nikah (P2N), ditahan oleh 1
Penulis adalah dosen Tarbiah dan program pascasarjana IAIN Purokerto.
97
Pengaruh Budaya Dan Iklim Organisasi Kejaksaan Negeri Kota Kediri, Jawa Timur. Dia diduga terlibat pungutan liar (pungli) atas biaya pencatatan nikah di luar ketentuan yang ada selama kurun waktu setahun pada 2012. Kepala Seksi Pidana Khusus Kejaksaan Negeri Kota Kediri, Sundaya mengatakan, dugaan keterlibatan tersangka berupa penerimaan uang sebesar Rp 50.000,- dari setiap pernikahan di luar KUA, serta Rp10.000,tambahan karena jabatannya sebagai Kepala KUA. Kejaksaan Negeri Kota Kediri menjeratnya dengan tiga pasal, yaitu Pasal 11, Pasal 12 huruf e, serta Pasal 12 huruf i Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) dan ia dititipkan di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Kediri hingga selama 20 hari sambil menunggu jadwal persidangan kasusnya di pengadilan Tipikor di Surabaya. Pasca kemelut di KUA Kecamatan Kediri Kota mengenai terjadinya praktik korupsi yang ditangani Kejaksaan, penghulu tidak bersedia datang ke rumah calon pengantin, mereka takut terjadi gratifikasi. Namun, persepsi masyarakat mengenai pemberian amplop atau uang sekedarnya sudah menjadi budaya, masyarakat menganggap uang tersebut sebagai pengganti uang bensin (transport) untuk penghulu. Pegawai Pencatat Nikah (PPN) diatur dalam perundang-undangan di Indonesia (UU No.22 Tahun 1946 jo UU No. 32 Tahun 1954) adalah satusatunya pejabat yang berwenang mencatat perkawinan yang dilangsungkan menurut hukum agama Islam dalam wilayahnya. PPN mempunyai tugas dan kedudukan yang kuat menurut hukum, ia adalah Pegawai Negeri yang diangkat oleh Menteri Agama pada tiap-tiap KUA Kecamatan. Dengan demikian sebuah perkawinan harus dilangsungkan dihadapan dan dibawah pengawasan PPN. Melangsungkan sebuah pernikahan harus dilaksanakan di Kantor Urusan Agama (KUA) dengan biaya administrasi akad nikah di Kantor Urusan Agama (KUA) yaitu sebesar Rp 30.000. Diatas biaya yang telah ditentukan itu oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dianggap sebagai perbuatan menerima suap atau gratifikasi. Sedangkan nikah di luar KUA atau bedolan, besar nominalnya tidak diatur, karena sifatnya membantu keluarga calon pengantin. Proses pernikahan yang dilaksanakan di luar KUA (bedolan) diatur dalam Peraturan Menteri Agama 11/2007. Istilah menikah bedolan yaitu mengundang petugas KUA di luar jam kerja. Karena mengundang seorang petugas KUA, maka konsekuensinya adalah pihak keluarga mempelai harus menyediakan uang transport bagi penghulu yang datang untuk mencatat proses pernikahan. Besarnya nominal biaya transportasi sangat variatif, tergantung dari pemberian pihak keluarga mempelai. Umumnya biaya transportasi tersebut disesuaikan dengan jarak tempuh dan kondisi medan menuju lokasi pernikahan.
Fathul Aminudin Aziz
98
Seorang penghulu dengan kedudukannya sebagai Pengawai Negeri Sipil (PNS) tidak dibenarkan menerima imbalan dalam profesinya sebagai penghulu karena ia sudah diberi gaji dari pemerintah. Pernikahan yang dilangsungkan tidak di KUA akan memicu terjadinya gratifikasi. Bahkan sampai saat ini konteks boleh atau tidaknya pemberian “amplop� kepada penghulu masih ramai diperbincangkan. Kepala Kantor Wilayah Kementrian Agama (Kemenag) Jawa Tengah, Drs. H. Khaeruddin, MA mengatakan, pihaknya sementara mengeluarkan edaran agar para penghulu untuk mencatat pernikahan di KUA. Pelarangan nikah bedolan yang sudah membudaya di kalangan masyarakat ini banyak pihak yang mendukung ataupun sebaliknya. Hal ini juga dikhawatirkan akan berpengaruh kurang positif terhadap profesionalitas kinerja para pegawai Kantor Urusan Agama (KUA) di masing-masing wilayah. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Kementrian Agama (Kemenag) menyepakati penghulu dilarang menerima amplop atau uang tanda terima kasih (transport) terkait pelaksanaan tugasnya sebagai petugas pencatat nikah. Pasalnya hal itu termasuk ke dalam kategori gratifikasi sesuai pasal 12B Undang-Undang (UU No. 31 Tahun 1999) tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Berkaitan dengan hal di atas, Menteri Agama Suryadharma Ali menyatakan tidak bisa menghalangi para petugas KUA ataupun penghulu untuk membatasi pelayanan pernikahan di luar jam kantor ataupun hari libur, yaitu mulai 1 Januari 2014 tidak ada lagi pelayanan di luar balai nikah guna menghindari praktik menerima gratifikasi. Ketegasan para pemimpin diharapkan agar kinerja pegawai bisa ditingkatkan. Kerangka yang melandasi pemikiran tentang makna kepemimpinan dapat dilihat dari berbagai sudut pandang. Hal ini dapat dilakukan dengan menggunakan pendekatan sifat, perilaku, situasi dan pendekatan kontingensi. Kepemimpinan adalah kemampuan seseorang mempengaruhi dan memotivasi orang lain untuk melakukan sesuatu sesuai tujuan bersama. Kepemimpinan meliputi proses mempengaruhi dalam menentukan tujuan organisasi, memotivasi perilaku pengikut untuk mencapai tujuan, mempengaruhi untuk memperbaiki kelompok dan budayanya. Begitu peliknya berbagai persoalan bedolan mulai dari manajerial, gratifikasi, hukum, administrasi dan masih banyak yang lainya, hal yang mungkin akan mengurangi beban para pegawai KUA adalah dengan adanya rancanagan perubahan peraturan pemerintah nomor 47 tahun 2004 tentang tarif atas jenis penerimaan negara bukan pajak yang berlaku pada departmen agama. Namun hal ini masih belum jelas kapan PP ini akan disyahkan karena memerlukan banyak
99
Pengaruh Budaya Dan Iklim Organisasi kajian dan kepentingan, minimal melibatkan 4 kementrian yaitu KEMENKOKESRA, KEMENKUMHAM, KEMENAG DAN KEMENKEU.
B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang diatas dapat dirumuskan masalah penelitiansebagai berikut: 1. Apakah terdapat pengaruh dari budaya organisasi terhadap profesionalitas pegawai KUA di Kabuaten Cilacap Provinsi Jawa Tengah? 2. Apakah terdapat pengaruh dari iklim organisasi terhadap profesionalitas pegawai KUA di Kabuaten Cilacap Provinsi Jawa Tengah? 3. Apakah terdapat pengaruh dari budaya dan iklim organisasi secara simultan terhadap profesionalitas pegawai KUA di Kabuaten Cilacap Provinsi Jawa Tengah? 4. Apakah terdapat pengaruh dari profesionalitas terhadap kinerja pegawai KUA di Kabuaten Cilacap Provinsi Jawa Tengah? 5. Apakah terdapat pengaruh dari budaya organisasi terhadap kinerja pegawai KUA di Kabuaten Cilacap Provinsi Jawa Tengah? 6. Apakah terdapat pengaruh dari iklim organisasi terhadap kinerja pegawai KUA di Kabuaten Cilacap Provinsi Jawa Tengah? 7. Apakah terdapat pengaruh dari budaya dan iklim organisasi serta profesionalitas secara simultan terhadap kinerja pegawai KUA di Kabuaten Cilacap Provinsi Jawa Tengah? C. Tujuan dan Signifikansi Sesuai dengan rumusan masalah penelitian yang telah diuraikan, maka tujuan dari penelitian ini adalah: 1. Menjelaskan pengaruh dari budaya organisasi terhadap profesionalitas pegawai KUA di Kabupaten Cilacap Provinsi Jawa Tengah 2. Menjelaskan pengaruh dari iklim organisasi terhadap profesionalitas pegawai KUA di Kabupaten Cilacap Provinsi Jawa Tengah 3. Menjelaskan pengaruh dari budaya dan iklim organisasi secara simultan terhadap profesionalitas pegawai KUA di Kabuaten Cilacap Provinsi Jawa Tengah? 4. Menjelaskan pengaruh dari profesionalitas terhadap kinerja pegawai KUA di Kabupaten Cilacap Provinsi Jawa Tengah 5. Menjelaskan pengaruh dari budaya organisasi terhadap kinerja pegawai KUA di Kabupaten Cilacap Provinsi Jawa Tengah 6. Menjelaskan pengaruh dari iklim organisasi terhadap kinerja pegawai KUA di Kabupaten Cilacap Provinsi Jawa Tengah
Fathul Aminudin Aziz
100
7. Menjelaskan pengaruh dari budaya dan iklim organisasi serta profesionalitasterhadap kinerja pegawai KUA di Kabupaten Cilacap Provinsi Jawa Tengah 8. Diharapkan dapat memberikan informasi dan masukan yang berguna bagi institusi Kantor Urusan Agama, terutama sebagai bahan pertimbangan dalam pengambilan keputusan pemimpin Kementrian Agama. D. Metode Penelitian 1. Lokasi dan waktu penelitian Penelitian mengenai pengaruh budaya dan iklim organisasi terhadap profesionalitas serta implikasinya pada kinerja pegawai Kantor Urusan Agama (KUA) dilaksanakan dari bulan Maret 2014 sampai dengan bulan Juni 2014 dan bertempat di Kantor Urusan Agama (KUA) yang berada di Kabupaten Cilacap Provinsi Jawa Tengah. 2. Jenis dan pendekatan penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif. Tujuan penelitian kuantitatif adalah mengembangkan dan menggunakan model-model matematis, teori-teori dan/atau hipotesis yang berkaitan dengan fenomena alam. Proses pengukuran adalah bagian yang sentral dalam penelitian kuantitatif karena hal ini memberikan hubungan yang fundamental antara pengamatan empiris dan ekspresi matematis dari hubungan-hubungan kuantitatif dengan sampelnya yaitu mereka para pegawai Kantor Urusan Agama (KUA) di Kabupaten Cilacap Provinsi Jawa Tengah. Pengujian instrumen penelitian yang dilakukan meliputi uji validitas dan reliabilitas. Pengujian instrumen penelitian ini dilakukan dengan bantuan software statistik SPPS for windows versi 16dan software AMOS versi 18. 3. Responden penelitian Responden Penelitian adalah pihak-pihak yang dijadikan sebagai sampel dalam sebuah penelitian, dalam penelitian ini yang menjadi responden adalah pegawai Kantor Urusan Agama (KUA) di Kabupaten Cilacap Provinsi Jawa Tengah. 4. Populasi dan sampel Dalam penelitian ini populasi dan responden adalah: Kantor Urusan Agama, Pegawai Kantor Urusan Agama di Kabupaten Cilacap Provinsi Jawa Tengah. Jumlah populasi penelitian ini mencakup seluruh Kantor Urusan Agamadi Kabupaten Cilacap sebanyak 25 KUA, dengan jumlah tenaga pegawai sebanyak 119. Dari sejumlah populasi yang ada, diambil beberapa sampel dengan menggunakan purposivesampling.
101
Pengaruh Budaya Dan Iklim Organisasi Berdasarkan variabel-variabel yang diteliti, peneliti melihat bahwa karakteristik sampel relatif homogeny. peneliti menggunakan pendapat Slovin dalam Ridwan, (2008) mengenai jumlah sampel minimal ditentukan menggunakan rumus : Keterangan : n : Jumlah Sampel N : Jumlah Populasi d : presisi atau tingkat ketepatan / akurasi yang ditetapkan, pada umumya diambil 0,05
N n= Nd2 + 1
E. Deskripsi Responden Data penelitian dikumpulkan dengan membagikan sebanyak 32 kuesioner kepada responden yang diambil dengan menggunakan purposive sampling.Gambaran kondisi responden memberikan penjelasan tentang deskripsi responden berkenaan dengan analisis variabel penelitian. Deskripsi responden diperoleh gambaran seperti disajikan pada Tabel 5.1. Tabel 5.1. Deskripsi Karakteristik Responden No. Karakteristik Responden Frekuensi Persentase 1. Jenis Kelamin : a. Laki-laki 27 84% b. Perempuan 5 16% 2. Umur : a. < 40 tahun 7 22% b. 40 â&#x20AC;&#x201C; 49 tahun 15 47% c. â&#x2030;Ľ50 tahun 10 31% 4. Jabatan / Golongan : a. Golongan I 0 0% b. Golongan II 6 19% c. Golongan III 23 72% d. Golongan 1V 3 9% 5 Status a. Belum Menikah 1 3% b. Menikah 32 97% c. Duda 0% 0% d. Janda 0% 0% Sumber : Data primer diolah Berdasarkan tabel 5.1 dapat diketahui bahwa responden penelitian terdiri dari 32 orang (84%) laki-laki dan 5 orang (16%) perempuan. Sesuai data di atas
Fathul Aminudin Aziz
102
dapat diketahui bahwa jenis kelamin responden didominasi oleh jenis kelamin laki-laki. Umur responden sebagaimana deskripsi data di atas berada pada kisaran 40 - â&#x2030;Ľ50 tahun. Responden dengan usia < 40 tahun sebanyak 7 orang (22%), responden terbanyak adalah umur antara 40 â&#x20AC;&#x201C; 49 tahun sebanyak 15 orang (47%), dan responden dengan usia â&#x2030;Ľ50 tahun yaitu sebanyak 10 orang (31%). Dengan demikian sesuai data di atas dapat diketahui bahwa umur responden terbanyak pada usia 40 â&#x20AC;&#x201C; 49 tahun. Pangkat/Golongan responden berdasarkan data karakteristik responden di atas menunjukkan responden dengan pangkat/golongan I sebanyak 0 orang (0%), responden dengan pangkat/golongan II sebanyak 6 orang (19%), responden dengan pangkat/golongan III sebanyak 23 orang (72%) dan responden dengan pangkat/golongan IV sebanyak 3 orang (9%). Sesuai data karakteristik di atas dapat diketahui bahwa responden terbanyak adalah responden dengan pangkat/golongan III sebanyak 23 orang. Status responden berdasarkan data karakteristik responden di atas menunjukkan status perkawinan didominasi oleh menikah/kawin sebanyak 31 orang (97%), responden yang belum menikah terdapat 1 orang (3%), sedangkan status janda/duda tidak ada, dengan demikian hampir seluruh responden telah menikah. Ini menunjukkan bahwa mereka yang menjawab kuesioner relatif telah berpengalaman dalam bidangnya dan ketegasan dalam mengisi kuesioner. F. Pembahasan Adapun hasil pengolahan data dapat terlihat dari gambar 5.1 di bawah ini yang menunjukkan bahwa masing-masing variabel memiliki keterhubungan yang signifikan. Analisis summary model berikut ini menunjukkan bahwa signifikansi antara variabel valid. Gambar. 5.1 Analysis Summary Model
Pengaruh Budaya Dan Iklim Organisasi
103
1. Statistik Deskriptif Hasil analisis data penelitian untuk masing-masing variabel penelitian akan diuraikan dengan statistik deskriptif. Hasil analisis deskriptif variabel penelitian disajikan sebagai berikut ini. Tabel 5.6. Hasil Analisis Deskriptif Variabel Minimum Maximum Mean Std. Dev Budaya Organisasi 2,00 5,00 4,20 0,67 Iklim Organisasi 2,00 5,00 4,22 0,73 Profesionalitas 3,00 5,00 3,81 0,76 Kinerja Pegawai 2,00 3,00 4,28 0,76 Sumber: Data primer diolah Berdasarkan Tabel 5.6 diketahui bahwa tanggapan responden terhadap variabel penelitian adalah cukup baik. Hal ini ditunjukkan dari rata-rata skor yang berkisar antara 3,81 sampai 4,28. Variabel Kinerja Pegawai adalah variabel yang mempunyai skor rata-rata tertinggi yaitu 4,28. Variabel yang mempunyai skor rata-rata paling rendah adalah Profesionalitas yaitu 3,81. 2. Pengujian Validitas dan Reliabilitas a. Analisis Univariat 1) Uji Normalitas Tabel 5.2 Hasil Uji Normalitas Data Variable Min Max skew c.r. kurtosis c.r. kp6 2.000 5.000 -.001 -.001 -.271 -.312 kp5 2.000 5.000 .113 .262 -.793 -.916 kp4 2.000 5.000 .277 .639 -.696 -.804 kp3 2.000 5.000 -.169 -.390 -.699 -.807 kp2 2.000 5.000 -.222 -.513 -.333 -.385 kp1 2.000 5.000 -.126 -.292 -.371 -.429 pr1 3.000 5.000 .102 .235 -1.205 -1.392 pr2 3.000 5.000 -.444 -1.026 -1.111 -1.283 pr3 3.000 5.000 -.222 -.512 -1.329 -1.535 pr4 3.000 5.000 .266 .615 -1.207 -1.393 pr5 3.000 5.000 .203 .468 -1.154 -1.333 pr6 3.000 5.000 -.474 -1.095 -1.250 -1.443 io1 2.000 5.000 .057 .132 -1.168 -1.349 io2 2.000 5.000 .640 1.478 -.775 -.895 io3 2.000 5.000 .320 .740 -.837 -.966 io4 2.000 5.000 .334 .772 -1.297 -1.497 io5 2.000 5.000 .493 1.138 -1.261 -1.456 io6 2.000 5.000 -.108 -.251 -1.038 -1.198 bo6 2.000 5.000 -.368 -.850 -.946 -1.092
Fathul Aminudin Aziz
104
Variable Min Max skew c.r. kurtosis c.r. bo5 2.000 5.000 .291 .673 -.555 -.641 bo4 2.000 5.000 .419 .967 -.193 -.223 bo3 2.000 5.000 .291 .673 -.555 -.641 bo2 2.000 5.000 .022 .050 -.748 -.864 bo1 2.000 5.000 -.092 -.211 -1.222 -1.411 Multivariate 9.551 .765 Berdasarkan tabel di atas dapat dilihat bahwa tidak ada nilai pada kolom c.r. yang lebih besar dari 2,58 ataupun lebih kecil dari -2,58. Oleh karena itu dapat dinyatakan bahwa data penelitian ini telah berdistribusi normal. 2) Uji Outliers Tabel 5.3 Hasil Pengujian Multivariate Outliers Model Observation number Mahalanobis d-squared p1 p2 12 29.246 .211 .999 21 29.174 .214 .996 4 29.071 .217 .981 . . . . . . . . 1 11.725 .983 .575 Nilai standar untuk mahalanobis distance pada penelitian ini sebesar 51,179 (χ224;0.001). Berdasarkan hasil pada tabel di atas, karena nilai Mahalanobis d-squared dari hasil analisis yang diperoleh tidak ada yang lebih besar dari 51,179 maka dapat disimpulkan tidak ada outlier pada data penelitian. 3) Uji Goodness Of Fit Model Tabel 5.4 Goodness of Fit Index Goodness of Fit Hasil Analisis Cut-off Value Keterangan 2 271,350 ≤ 283,586 Fit (Chi-Square) Probability 0,128 Fit 0,05 CMIN/DF 1,103 <2,00 Fit GFI 0,622 Kurang 0,90 AGFI Kurang 0,539 0,90 NFI Kurang 0,690 0,90 CFI Fit 0,958 0,95 TLI Fit 0,952 0,95 RMSEA 0,058 ≤ 0,08 Fit
105
Pengaruh Budaya Dan Iklim Organisasi
Sumber: data primer diolah 2014 Hasil Goodness of Fit diperoleh nilai Chi-Square sebesar 271,350 dengan probabilitas 0,128 menunjukkan model telah fit karena nilainya sesuai dengan nilai yang direkomendasikan. Kriteria Goodness of Fit berdasarkan GFI, AGFI dan NFI belum mendekati nilai yang direkomendasikan sehingga nilai-nilai tersebut masih kurang fit. Namun, perlu dilihat kriteria fit yang lain yaitu TLI, CFI, dan RMSEA untuk menyimpulkan goodness of fit overall model. Nilai TLI sebesar 0,952, CFI sebesar 0,958 menunjukkan bahwa model sudah fit, sedangkan nilai RMSEA sebesar 0,058 menunjukkan bahwa model fit sesuai dengan nilai yang direkomendasikan. Hasil pengujian goodnees of fitsecara keseluruhan dapat disimpulkan bahwa model hipotetik didukung oleh data empirik, atau model dapat dikatakan fit. Instrumen penelitian sangat menentukan kualitas data yang diperoleh. Data penelitian menjadi sahih dan dapat dipercayai apabila instrumen penelitian valid dan reliabel. Dengan demikian instrumen penelitian yang dinyatakan valid adalah instrumen yang memang difungsikan untuk mengukur gejala variabel penelitian. Adapun reliabilitas instrumen dimaksud menunjuk pada pengertian bahwa alat ukur yang digunakan secara cermat mampu mengukur dengan derajat kesalahan (presisi) yang sekecil mungkin. Hasil uji validitas dan reliabilitas instrumen penelitian disajikan pada Tabel berikut: Tabel 5.5. Hasil Uji Validitas Instrumen Faktor Faktor 1 - Faktor No Nama Variabel Item AVE CR Loading Loading^2 Loading^2 1 Budaya bo1 0,857 0,734 0,266 0,656 0,919 Organisasi 2 bo2 0,928 0,861 0,139 3 bo3 0,725 0,526 0,474 4 bo4 0,830 0,689 0,311 5 bo5 0,753 0,567 0,433 6 bo6 0,747 0,558 0,442 Jumlah 4,840 3,935 2,065 1 Iklim io1 0,864 0,746 0,254 0,702 0,934 2 Organisasi io2 0,867 0,752 0,248 3 io3 0,856 0,733 0,267 4 io4 0,777 0,604 0,396 5 io5 0,854 0,729 0,271 6 io6 0,805 0,648 0,352 Jumlah 5,023 4,212 1,788
Fathul Aminudin Aziz 1 2 3 4 5 6 1 2 3 4 5 6
Profesionalitas
Jumlah Kinerja Pegawai
106 pr1 pr2 pr3 pr4 pr5 pr6 kp1 kp2 kp3 kp4 kp5 kp6
0,720 0,721 0,833 0,919 0,836 0,770 4,799 0,789 0,920 0,800 0,790 0,779 0,876 4,954
0,518 0,520 0,694 0,845 0,699 0,593 3,868 0,623 0,846 0,640 0,624 0,607 0,767 4,107
0,482 0,480 0,306 0,155 0,301 0,407 2,132 0,377 0,154 0,360 0,376 0,393 0,233 1,893
0,645
0,915
0,685
0,928
Jumlah Sumber : Data primer diolah 2014 Berdasarkan Tabel 5.5 dapat diketahui bahwa semua item-item pertanyaan kuesioner mempunyai nilai factor loading yang lebih besar dari 0,50. Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa semua pertanyaan dalam kuesioner adalah valid. b. Analisis Bivariat Analisis Bivariat menggunakan pengujian hipotesis. Berikut ini adalah output table pengujian hipotesis penelitian dengan menggunakan alat uji AMOS 21.0 dalam bentuk Output Regression Weights Tabel 5.7 dan Output Standardized Regression Weights seperti pada Tabel 5.8. Jika nilai CR â&#x2030;Ľ 1,96 atau P â&#x2030;¤ 0,05 maka hipotesis penelitian dapat diterima. Tabel 5.7. Output Regression Weights Profesionalitas Profesionalitas Kinerja_Pegawai Kinerja_Pegawai Kinerja_Pegawai
<--<--<--<--<---
Budaya_Organisasi Iklim_Organisasi Profesionalitas Budaya_Organisasi Iklim_Organisasi
Estimate 0.308 0.321 0.351 0.243 0.301
C.R. 2.473 2.107 2.048 2.428 2.505
P 0.013 0.035 0.041 0.015 0.012
Pengaruh Budaya Dan Iklim Organisasi
107
Tabel 5.8. Output Standardized Regression Weights Profesionalitas Profesionalitas Kinerja_Pegawai Kinerja_Pegawai Kinerja_Pegawai
<--<--<--<--<---
Budaya_Organisasi Iklim_Organisasi Profesionalitas Budaya_Organisasi Iklim_Organisasi
Estimate 0.455 0.390 0.349 0.357 0.363
Tabel 5.10. Nilai koefisien regresi dan thitungnya (terlihat dalam kolom critical ratio) C.R. Profesionalitas
<---
Budaya_Organisasi
2.473
Profesionalitas
<---
Iklim_Organisasi
2.107
Kinerja_Pegawai
<---
Profesionalitas
2.048
Kinerja_Pegawai
<---
Budaya_Organisasi
2.428
Kinerja_Pegawai
<---
Iklim_Organisasi
2.505
ttabel Keterangan H1 1.960 Diterima 1.960 H2 Diterima 1.960 H4 Diterima 1.960 H5 Diterima 1.960 H6 Diterima
Tabel 5.9 Hasil Nilai R-Square R-Square Profesionalitas 0.543 Kinerja_Pegawai 0.839 Penjelasan hasil uji hipotesis melalui parameter Output Regression Weights dan Output Standardized Regression Weights untuk mengetahui pengaruh antar masing-masing variabel adalah sebagai berikut: 1) Pengaruh Budaya Organisasi Terhadap Profesionalitas Hasil uji pada parameter Regression Weights tabel 5.7 untuk mengetahui pengaruh Budaya Organisasi terhadap Profesionalitas diperoleh nilai C.R sebesar 2.473 dengan nilai signifikansi 0,013, oleh karena nilai signifikansi kurang dari 0,05 (p<0,05), serta hasil uji pada parameter estimasi Standardized Regression Weights Tabel 5.8 mempunyai nilai sebesar 0.455 maka hipotesis yang menyatakan bahwa â&#x20AC;&#x153;Budaya Organisasi berpengaruh terhadap Profesionalitasâ&#x20AC;? didukung.
Fathul Aminudin Aziz
108
Budaya organisasi berpengaruh terhadap profesionalitas sejalan dengan pandangan Robbins (1996) mengemukakan beberapa faktor yang mempengaruhi budaya organisasi: 1) Inisiatif Individu (individual initaiative) yaitu tingkat tanggung jawab dan kemandirian yang dimiliki oleh setiap anggota organisasi 2) Toleransi Resiko (risk tolerance) yaitu tingkat resiko yang boleh atau mungkin dipikul oleh setiap anggotanya guna mendorong mereka agar manjadi agresif, inovatif, dan berani mengambil risiko. 3) Integrasi (integration) yaitu tingkat masing-masing unit kerja dalam organisasi yang mendorong untuk beroperasi dan kondisi yang baik. 4) Dukungan manajemen (management support) yaitu tingkat kejelasan komunikasi, bantuan dan dukungan yang disediakan manajemen terhadap unit kerja yang berada di bawahnya. 5) Pengawasan (control) yaitu sejumlah peraturan dan pengawasan yang digunakan guna mengatur dan mengawasi perilaku pegawai/karyawan. 6) Identifikasi (identify) yaitu tingkat identifikasi diri dari setiap anggota dalam suatu organisais secara keseluruhan melebihi grup kerja atau bidang profesi masing-masing. 7) System penghargaan (reward system) yaitu tingkat alokasi penghargaan (kenaikan gaji, promosi jabatan) berdasarkan performance pegawai sebagai lawan dari senioritas. 8) Toleransi terhadap konflik (conflict tolerance) yaitu tingkat toleransi terhadap konflik dan kritik keterbukaan yang muncul dalam organisasi. 9) Pola komunikasi (communication patterns) yaitu tingkat keterbatasan komunikasi dalam organisasi yang sesuai dengan otoritas pada hierarki formal. 2) Pengaruh Iklim Organisasi Terhadap Profesionalitas Hasil uji pada parameter Regression Weights tabel 5.7 untuk mengetahui pengaruh Iklim Organisasi terhadap Profesionalitas diperoleh nilai C.R sebesar 2.107 dengan nilai signifikansi 0,035, oleh karena nilai signifikansi kurang dari 0,05 (p<0,05), serta hasil uji pada parameter estimasi Standardized Regression Weights Tabel 5.8 mempunyai nilai sebesar 0.390 maka hipotesis yang menyatakan bahwa â&#x20AC;&#x153;Iklim Organisasi berpengaruh terhadap Profesionalitasâ&#x20AC;? didukung. Iklim organisasi terhadap profesionalitas sangat berpengaruh sejalan dengan pandangan Davidson (2000:28) mengemukakan bahwa
109
Pengaruh Budaya Dan Iklim Organisasi organizational cilamet is relatively enduring characteristic of an organization which distinguishes it from other organizations (1). And embodies members collective perceptions about their organization with respect to such dimensions as autonomy, trust, cohesiveness, support, recognition, innovation, and fairness; (2) is produced by member interaction; (3) serves ad a basis for interpreting the situation; (4) reflects the prevalent norms, values and attitudes of the organizations culture and (5) acts as a source of influence for shaping behavior. Iklim organisasi merupakan karakteristik yang relatif yang berkaitan dengan perbedaan organisasi satu dengan organisasi lainnya. (1) persepsi kolektif anggota terhadap organisasi mereka dengan perhatian pada otonomi, keprcayaan, kohesivitas, dukungan, pengakuan, inovasi dan keadilan. (2) dihasilkan oleh interaksi anggota (3) pelayanan sebagai basis untuk mengintrepresentasikan situasi (4) refleksi norma, nilai dan sikap dari budaya organisasi (5) aksi sebagai sumber pengaruh untuk pembentukan perilaku. 3) Pengaruh Profesionalitas Terhadap Kinerja Pegawai Hasil uji pada parameter Regression Weights tabel 5.7 untuk mengetahui pengaruh Profesionalitas terhadap Kinerja Pegawai diperoleh nilai C.R sebesar 2.048 dengan nilai signifikansi 0,041, oleh karena nilai signifikansi kurang dari 0,05 (p<0,05), serta hasil uji pada parameter estimasi Standardized Regression Weights Tabel 5.8 mempunyai nilai sebesar 0.349 maka hipotesis yang menyatakan bahwa â&#x20AC;&#x153;Profesionalitas berpengaruh terhadap Kinerja Pegawaiâ&#x20AC;? didukung. Profesional berpengaruh terhadap kinerja pegawai sejalan dengan pandangan Manring yang mengemukakan bahwa kondisi di dalam suatu organisasi sangat berpengaruh terhadap keberhasilan seseorang dalam memungkinkan mengembangkan kariernya. Ia menyebutkan bahwa dalam meningkatkan kepuasan dan produktivitas seorang profesional dipengaruhi beberapa faktor yaitu: (1) sifat pekerjaan, (2) proses organisasi, (3) isu pengembangan karir, dan (4) reward atau penghargaan. Faktor-faktor tersebut sangat berperan dalam peningkatan profesionalitas seseorang meski faktor-faktor tersebut bukan sebagai prinsip bagi mereka yang memiliki sikap profesional. Pelayanan dan pengabdaian sebagai citra dan komitmen merupakan hal yang lebih dikedepankan oleh seorang Professional jika dibandingkan dengan uang (karir, hadiah atau penghargaan) sebagai motivatornya.
Fathul Aminudin Aziz
110
4) Pengaruh Budaya Organisasi Terhadap Kinerja Pegawai Hasil uji pada parameter Regression Weights tabel 5.7 untuk mengetahui pengaruh Budaya Organisasi terhadap Kinerja Pegawai diperoleh nilai C.R sebesar 2.428 dengan nilai signifikansi 0,015, oleh karena nilai signifikansi kurang dari 0,05 (p<0,05), serta hasil uji pada parameter estimasi Standardized Regression Weights Tabel 5.8 mempunyai nilai sebesar 0.357 maka hipotesis yang menyatakan bahwa â&#x20AC;&#x153;Budaya Organisasi berpengaruh terhadap Kinerja Pegawaiâ&#x20AC;? didukung. Pengaruh budaya organisasi terhadap kinerja pegawai sejalan dengan pandangan Mitchell dalam Sedarmayanti (2009) menyebutkan bahwa terdapat beberapa aspek yang mempengaruhi kinerja, yaitu (1) quality of work (kualitas kerja); (2) promptness (ketepatan); (3) initiative (prakarsa); (4) capability (kapabilitas); dan (5) communication (komunikasi). Terdapat sebuah hubungan di dalam kerangka organisasi antara kinerja perorangan (individual Performance) dengan kinerja organisasi (Organization Performance). Suatu organisasi pemerintah maupun swasta besar maupun kecil dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan harus melalui kegiatan-kegiatan yang digerakkan oleh seseorang atau sekelompok orang yang aktif berperan sebagai pelaku, dengan kata lain tercapainya tujuan organisasi dikarenakan adanya upaya yang dilakukan oleh pegawai yang ada di dalamnya. Berkaitan dengan hal itu, tidak sedikit para ahli yang melakukan penelitian tentang kinerja pegawai dan faktor-faktor yang mempengaruhinya. 5) Pengaruh Iklim Organisasi Terhadap Kinerja Pegawai Hasil uji pada parameter Regression Weights tabel 5.7 untuk mengetahui pengaruh Iklim Organisasi terhadap Kinerja Pegawai diperoleh nilai C.R sebesar 2.505 dengan nilai signifikansi 0.012, oleh karena nilai signifikansi kurang dari 0,05 (p<0,05), serta hasil uji pada parameter estimasi Standardized Regression Weights Tabel 5.8 mempunyai nilai sebesar 0.363 maka hipotesis yang menyatakan bahwa â&#x20AC;&#x153;Iklim Organisasi berpengaruh terhadap Kinerja Pegawaiâ&#x20AC;? didukung. Iklim organisasi berpengaruh terhadap kinerja pegawai hal ini sejalan dengan pandangan Tagiuri dan Litwin (dalam Wirawan, 2007: 121) yang mendefinisikan iklim organisasi sebagai ...a relatively enduring quality of the internal environment of an organization that (a) is experienced by its members, (b) influences their behavior, and can be described in terms of the values of a particular set of characteristics (or attributes) of the organization.Iklim organisasi merupakan kualitas lingkungan internal organisasi yang secara relatif terus berlangsung, dialami oleh anggota organisasi; memengaruhi
111
Pengaruh Budaya Dan Iklim Organisasi perilaku mereka dan dapat dilukiskan dalam pengertian satu set karakteristik atau sifat organisasi. Suatu Iklim organisasi yang kondusif memiliki pengaruh yang baik terhadap kinerja pegawai/karyawannya dimana ia ditempatkan. 6) Pengaruh Budaya Organisasi dan Iklim Organisasi Terhadap Profesionalitas Berdasarkan hasil R-Square pada tabel 5.9 diperoleh nilai RSquarepada profesionalitas sebesar 0.543 yang menunjukkan bahwa budaya organisasi dan iklim organisasi secara bersama-sama memiliki kontribusi terhadap profesionalitas sebesar 50,43%. Hal ini berarti budaya organisasi dan iklim organisasi secara simultan berkontribusi terhadap profesioanlitas. Budaya organisasi dan iklim organisasi terhadap profesionalitas berpengaruh sejalan dengan pandangan . 7) Pengaruh Budaya Organisasi, Iklim Organisasi, dan Profesionalitas Terhadap Kinerja Berdasarkan hasil R-Square pada tabel 5.9 diperoleh nilai RSquarepada kinerja pegawai sebesar 0.839 yang menunjukkan bahwa budaya organisasi, iklim organisasi, dan profesionalitas secara bersamasama memiliki kontribusi terhadap kinerja pegawai sebesar 80,39%. Hal ini berarti budaya organisasi, iklim organisasi, dan profesionalitas secara simultan berkontribusi terhadap kinerja pegawai. Budaya organisasi berpengaruh signifikan terhadap profesionalitas. Nilai CR (Critical Ratio) pengaruh budaya organisasi terhadap profeionalitas adalah sebesar 2,473 (lihat tabel 5.7). hal ini menunjukkan bahwa nilai CR > dari ttabel (2,473 > 1,960), dengan demikian hipotesis yang menyatakan bahwa budaya organisasi berpengaruh signifikan terhadap profesionalitas diterima. Pembuktian hipotesis 1, budaya organisasi berpengaruh terhadap profesionalitas, nilai dimensi tertinggi adalah dimensi Empirisme sebesar 0,928 (lihat gambar 5.1). dengan demikian dimensi empirisme harus dipertahankan terutama indikator yang memiliki nilai tertinggi yaitu peran aktif dalam pengambilan keputusan (lihat gambar 5.1), sedangkan dimensi integritas harus terus ditingkatkan agar profesionalitas kerja pegawai Kantor Urusan Agama di Kabupaten Cilacap terus meningkat. Iklim organisasi berpengaruh signifikan terhadap profesionalitas. Nilai CR (Critical Ratio) pengaruh budaya organisasi terhadap profeionalitas adalah sebesar 2,107 (lihat tabel 5.7). hal ini menunjukkan bahwa nilai CR > dari ttabel (2,473 > 1,960), dengan demikian hipotesis 2
Fathul Aminudin Aziz
112
yang menyatakan bahwa budaya organisasi berpengaruh signifikan terhadap profesionalitas diterima. Pembuktian hipotesis 2, iklim organisasi berpengaruh terhadap profesionalitas, nilai dimensi tertinggi adalah dimensi Motivasi sebesar 0,867 (lihat gambar 5.1). dengan demikian dimensi Motivasi harus dipertahankan terutama indikator yang memiliki nilai tertinggi yaitu Penghargaan (lihat gambar 5.1), sedangkan dimensi Kepercayaan harus terus ditingkatkan agar profesionalitas pegawai Kantor Urusan Agama di Kabupaten Cilacap terus meningkat. Budaya organisasi dan iklim organisasi secara simultan berpengaruh signifikan terhadap profesionalitas. Berdasarkan hasil di atas tampak bahwa budaya organisasi dan iklim organisasi berpengaruh terhadap profesionalitas kerja yang ditunjukkan dari nilai R-Square sebesar 0,543( lihat tabel 5.9). hal ini menunjukkan bahwa budaya organisasi dan iklim organisasi secara simultan memiliki kontribusi yang signifikan terhadap profesionalitas. Pembuktian hipotesis 3, budaya organisasi dan iklim organisasi berpengaruh terhadap profesionalitas, nilai dimensi tertinggi adalah dimensi Integritas sebesar 0,928 (lihat gambar 5.1), dengan demikian dimensi Integritas harus dipertahankan terutama indikator yang memiliki nilai tertinggi yaitu hak dan kewajiban (lihat gambar 5.1), sedangkan dimensi-dimensi lain dari masing-masing variabel harus terus ditingkatkan agar profesionalitas pegawai Kantor Urusan Agama di Kabupaten Cilacap terus meningkat. Profesioanlitas berpengaruh signifikan terhadap kinerja pegawai. Nilai CR (Critical Ratio) pengaruh profesionalitas terhadap kinerja pegawai adalah sebesar 2,048 (lihat tabel 5.7). hal ini menunjukkan bahwa nilai CR > dari ttabel (2,048 > 1,960), dengan demikian hipotesis 4 yang menyatakan bahwa profesionalitas berpengaruh signifikan terhadap kinerja diterima. Pembuktian hipotesis 4, profesionalitas berpengaruh terhadap kinerja pegawai, nilai dimensi tertinggi adalah dimensi komitmen sebesar 0,919 (lihat gambar 5.1). dengan demikian dimensi komitmen harus dipertahankan terutama indikator yang memiliki nilai tertinggi yaitu tanggung jawab (lihat gambar 5.1), sedangkan dimensi kepribadian harus terus ditingkatkan agar kinerja pegawai Kantor Urusan Agama di Kabupaten Cilacap terus meningkat. Budaya organisasi berpengaruh signifikan terhadap kinerja pegawai. Nilai CR (Critical Ratio) pengaruh budaya organisasi terhadap
113
Pengaruh Budaya Dan Iklim Organisasi kinerja pegawai adalah sebesar 2,428 (lihat tabel 5.7). hal ini menunjukkan bahwa nilai CR > dari ttabel (2,428 > 1,960), dengan demikian hipotesis 5 yang menyatakan bahwa budaya organisasi berpengaruh signifikan terhadap kinerja pegawai diterima. Pembuktian hipotesis 5, budaya organisasi berpengaruh terhadap kinerja pegawai, nilai dimensi tertinggi adalah dimensi empirisme sebesar 0,928 (lihat gambar 5.1). dengan demikian dimensi empirisme harus dipertahankan terutama indikator yang memiliki nilai tertinggi yaitu peran aktif dalam pengambilan keputusan (lihat gambar 5.1), sedangkan dimensi integritas harus terus ditingkatkan agar kinerja pegawai Kantor Urusan Agama di Kabupaten Cilacap terus meningkat. Iklim organisasi berpengaruh signifikan terhadap kinerja pegawai. Nilai CR (Critical Ratio) pengaruh budaya organisasi terhadap kinerja pegawai adalah sebesar 2,505 (lihat tabel 5.7). hal ini menunjukkan bahwa nilai CR > dari ttabel (2,428 > 1,960), dengan demikian hipotesis 6 yang menyatakan bahwa iklim organisasi berpengaruh signifikan terhadap kinerja pegawai diterima. Pembuktian hipotesis 6, iklim organisasi berpengaruh terhadap kinerja pegawai, nilai dimensi tertinggi adalah dimensi motivasi sebesar 0,867 (lihat gambar 5.1). dengan demikian dimensi motivasi harus dipertahankan terutama indikator yang memiliki nilai tertinggi yaitu penghargaan (lihat gambar 5.1), sedangkan dimensi kepercayaan harus terus ditingkatkan agar kinerja pegawai Kantor Urusan Agama di Kabupaten Cilacap terus meningkat. Budaya organisasi, iklim organisasi dan profesioanlitas secara simultan berpengaruh signifikan terhadap kinerja pegawai. Berdasarkan hasil diatas tampak bahwa budaya organisasi, iklim organisasi dan profesioanlitas berpengaruh terhadap kinerja pegawai yang ditunjukkan dari nilai R-Square sebesar 0,839 (lihat tabel 5.9). hal ini menunjukkan bahwa budaya organisasi, iklim organisasi dan profesionalitas secara simultan memiliki kontribusi yang signifikan terhadap kinerja pegawai. Pembuktian hipotesis 7, budaya organisasi, iklim organisasi, dan profesionalitas berpengaruh terhadap kinerja pegawai, nilai dimensi tertinggi adalah dimensi empirisme sebesar 0,928 (lihat gambar 5.1), dengan demikian dimensi empirisme harus dipertahankan terutama indikator yang memiliki nilai tertinggi yaitu peran aktif dalam pengambilan keputusan (lihat gambar 5.1), sedangkan dimensi-dimensi lain dari masing-masing variabel harus terus ditingkatkan agar
Fathul Aminudin Aziz
114
profesionalitas pegawai Kantor Urusan Agama di Kabupaten Cilacap terus meningkat. E. Kesimpulan
Berdasarkan latar belakang, landasan teori dan analisasi penelitian ini serta melakukan berbagai macam uji dan persyaratan kelayakan, penyusun menyimpulkan hasil penelitian yang merupakan jawaban dari rumusan masalah, serta memaparkan temuan-temuan yang diperoleh. 1. Budaya Organisasi Berpengaruh Signifikan terhadap Profesionalitas. budaya organisasi berpengaruh terhadap profesionalitas, nilai dimensi tertinggi adalah dimensi Empirisme sebesar 0,928 (lihat gambar 5.1). dengan demikian dimensi empirisme harus dipertahankan terutama indikator yang memiliki nilai tertinggi yaitu peran aktif dalam pengambilan keputusan (lihat gambar 5.1), sedangkan dimensi integritas harus terus ditingkatkan agar profesionalitas kerja pegawai Kantor Urusan Agama di Kabupaten Cilacap terus meningkat 2. Iklim organisasi Berpengaruh Signifikan terhadap Profesionalitas. Iklim organisasi berpengaruh terhadap profesionalitas, nilai dimensi tertinggi adalah dimensi Motivasi sebesar 0,867 (lihat gambar 5.1), dengan demikian dimensi Motivasi harus dipertahankan terutama indikator yang memiliki nilai tertinggi yaitu Penghargaan (lihat gambar 5.1), sedangkan dimensi Kepercayaan harus terus ditingkatkan agar profesionalitas pegawai Kantor Urusan Agama di Kabupaten Cilacap terus meningkat. 3. Budaya Organisasi dan Iklim Organisasi Secara Simultan Berpengaruh Signifikan terhadap Profesionalitas. Berdasarkan hasil penelitian tampak bahwa budaya organisasi dan iklim organisasi berpengaruh terhadap profesionalitas kerja yang ditunjukkan dari nilai R-Square sebesar 0,543 ( lihat tabel 5.9). hal ini menunjukkan bahwa budaya organisasi dan iklim organisasi secara simultan memiliki kontribusi yang signifikan terhadap profesionalitas. 4. Profesioanlitas Berpengaruh Signifikan terhadap Kinerja Pegawai. Nilai CR (Critical Ratio) pengaruh profesionalitas terhadap kinerja pegawai adalah sebesar 2,048 (lihat tabel 5.7). hal ini menunjukkan bahwa nilai CR > dari ttabel (2,048 > 1,960), dengan demikian hipotesis 4 yang menyatakan bahwa profesionalitas berpengaruh signifikan terhadap kinerja diterima. Profesionalitas yang dibangun secara terus menerus oleh pegawai akan dapat meningkatkan kinerja dalam suatu organisasi. Hal ini juga dapat meningkatkan kepribadian para anggota terutama tanggung jawabnya terhadap organisasinya. 5. Budaya Organisasi Berpengaruh Signifikan terhadap Kinerja Pegawai.
Pengaruh Budaya Dan Iklim Organisasi
115
Budaya organisasi berpengaruh terhadap kinerja pegawai, nilai dimensi tertinggi adalah dimensi empirisme sebesar 0,928 (lihat gambar 5.1). dengan demikian dimensi empirisme harus dipertahankan terutama indikator yang memiliki nilai tertinggi yaitu peran aktif dalam pengambilan keputusan (lihat gambar 5.1), sedangkan dimensi integritas harus terus ditingkatkan agar kinerja pegawai Kantor Urusan Agama di Kabupaten Cilacap terus meningkat. 6. Iklim Organisasi Berpengaruh Signifikan terhadap Kinerja Pegawai. Iklim organisasi berpengaruh terhadap kinerja pegawai, nilai dimensi tertinggi adalah dimensi motivasi sebesar 0,867 (lihat gambar 5.1), dengan demikian dimensi motivasi harus dipertahankan terutama indikator yang memiliki nilai tertinggi yaitu penghargaan (lihat gambar 5.1), sedangkan dimensi kepercayaan harus terus ditingkatkan agar kinerja pegawai Kantor Urusan Agama di Kabupaten Cilacap terus meningkat. 7. Budaya Organisasi, Iklim Organisasi dan Profesioanlitas Secara Simultan Berpengaruh Signifikan Terhadap Kinerja Pegawai. Budaya organisasi, iklim organisasi, dan profesionalitas berpengaruh terhadap kinerja pegawai, nilai dimensi tertinggi adalah dimensi empirisme sebesar 0,928 (lihat gambar 5.1), dengan demikian dimensi empirisme harus dipertahankan terutama indikator yang memiliki nilai tertinggi yaitu peran aktif dalam pengambilan keputusan (lihat gambar 5.1), sedangkan dimensi-dimensi lain dari masing-masing variabel harus terus ditingkatkan agar kinerja pegawai Kantor Urusan Agama di Kabupaten Cilacap terus meningkat. F. Rekomendasi
Hasil penelitian ini merekomendasikan bahwa kinerja pegawai Kantor Urusan Agama (KUA) di Kabupaten Cilacap dapat ditingkatkan dengan meningkatkan profesionalitas pegawai terutama dimensi empirisme, terkait dengan indikator yang berupa ikut berperan aktif dalam pengambilan keputusan organisasi. Motivasi dengan memberikan penghargaan kepada pegawai juga menjadi rekomendasi dari penelitian ini untuk secara intensif terus dilakukan dalam rangka meningkatkan kinerja pegawai organisasi Kantor Urusan Agama (KUA). Kejelasan adanya aturan yang pasti dari sisi aturan perundang-undangan akan dapat meningkatkan budaya organisasi dan iklim organisasi yang akan berdampak pada profesionalitas kinerja pegawai yang pada giliranya akan mampu meningkatkan kinerja pegawai di Kantor Urusan Agama (KUA) khususnya di Kabupaten Cilacap dan umumnya di seluruh Indonesia. Dengan demikian penerbitan peraturan menjadi hal yang sangat urgen untuk segera dilakukan dalam waktu yang tidak lama.
Fathul Aminudin Aziz
116 DAFTAR PUSTAKA
Adam M. Grant, 2008. Journal of Apllied Psychology (American Psychology Association), Volume 93 No. 1 Akadum, 1999. Sistem Manajemen Kinerja Guru, Jakarta, Gramedia Pustaka Utama. Al-Munawwaroh, Madinah.2002.Al Qur’andan Terjemahannya, :Lembaga percetakan alQuran Raja Fath. Andy Sylvana.Pengaruh Gaya Kepemimpinan terhadap Kinerja dan Kepuasan Kerja Anggota POLRI. Universitas Terbuka 2003. Arikunto, Suharsimi, 2002. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, Jakarta, Rhineka Cipta. Azwar, Syaifuddin, 2008, Reliabilitas dan Validitas, Yogyakarta: Pustaka Pelajar Baird, 2004. What’s New In Libraries Supervisor’s attitude and employee’s performance. New Library World. Vol 108 No.9/10, pp.460-462. Q emerald group Publishing Limited Brown Andrew, 1998. Organization Culture, London, Pitman Publishing. Bungin, Burhan. 2004. Metodologi Penelitian Kuantitatif. Jakarta: Prenada Media. Dane, Erik Ian, Ph.D. Does experience matter? Examining the relationship between experience and dynamic decision-making effectiveness among professional. University of Illinois at Urban Champaign, 2007, 146 pages, AAT 3290215. Darlius. Pengaruh kepemimpinan dan kompetensi terhadap motivasi kerja dan implikasinya pada kinerja pegawai, Disertasi, 2009. Elviera Sari. Pengaruh Kompensasi dan iklim organisasi terhdap kepuasan kerja. Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi, 16 (1) Jan-Apr 2009:18 Eshraghi, Hesam, harati, Seyyed hasan; Ebrahimi, Khadijaeh; Nasri, Mohammad. The Relationship Between Organizational Climate And Leadership Styles Of The Managers Of Physical Education Offices In Isfahan Province. Australian Journal Of Basic and Applied Sciences Irham Fahmi, 2010. Manajemen Kinerja: Teori dan aplikasi. Bandung, CV. Alfabeta. Imran, Rabia; Ul-Haque, M. Anis. Mediating effect of organization climate between transformational leadership and Innovative work behavior. Pakistan Journal of pshycological Research, Vol. 26, No.2, 2011. Latan Hengky. 2012. Structural Equation Modeling. Bandung : Alvabeta. Litchman, Robert J. 2007, effect of an organization’s climate on performance of supply chain managers in michigan: A perception study. International journal of quality and productivity management, vol.7, no.1 desember 2007
117
Pengaruh Budaya Dan Iklim Organisasi
Luthans, Fred, 2008. Organization Behavior, International Edition, New York, The McGraw-Hill Companies, Inc. Mahsusi, 2010. Pengaruh Kepemimpinan Transformasional dan Budaya Organisasi terhadap pProfesionalitas serta Implikasinya pda Kinerja Guru Madrasah Aliyah di DKI Jakarta, Disertasi. Martono, Nanang 2011. Metode Penelitian Kuantitatif, Jakarta: Rajawali Pers. Mathis, Robert dan John H. Jackson, 2006. Human Resources Management, terjemah Diana Angelica, edisi ke 10, Jakarta, Salemba Empat. Miller, S,. Wilson, D., & Hickson, D., 2004. Beyond Planning Strategis for Successfully Implementing Strategisc Decision. Long Range Planning, 37. Mulyasa, 2007. Menjadi Kepala Sekolah Profesional, Bandung, Remaja Rosda Karya. Mangkunegara, A. Prabu, 2008. Manajemen Sumber Daya Manusia Perusahaan, Bandung, Remaja Rosda Karya. Nor, Mahmood; Bhatti, Afkar Majeed; Khan, Muhammad Asisf Ali; Khan Muhammad Yaqoob.The imcapct of employees perception of organizational climate on organizational citizenship behavior. Mediating Role of Organizational commitment and moderating Impact of social Network ties inPakistani context. European Journal of Social Sciences, Vol.22, No.1,2011 Raza, Ahmad Syed; Arid, Pir Mehr Ali Shah, 2010. Impact of Organizational Climate on Performance of College Teacher in Punjab. Journal of college Teaching & Learning, october 2010, Vol. 7, Number 10. Restu Kartika Widi. 2010. Asas Metodologi Penelitian; Sebuah Pengenalan dan Penuntun Langkah Demi Langkah Pelaksanaan Penelitian, Yogyakarta : Graha Ilmu. Riduwan, 2008. Cara Menggunakan dan Memaknai Analisis Jalur, Bandung : Alfabeta Robbins, Stephen, 1996. Perilaku Organisasi, Alih Bahasa Pujaatmaka, Jakarta, Prenhallindo. Robbins, Stephen, 2003. Perilaku Organisasi, Terjemah Tim Indeks, Jakarta, Gramedia. Robert, Arthur, 1991. Organizational Behavior in education. New Jersey, Prentice Hall International Edition. Schein, 1985. Organizational Culture and Leadership.San Francisco, Jossey. Soelaiman Sukmalana, 2007. Manajemen Kinerja, Jakarta, Intermedia Personalia Utama Sedarmayanti, 2009. Sumber Daya Manusia dan Produktivitas Kerja, Bandung, Mandar Maju. Sugiyono. 2012. Statistika Untuk Penelitian, Bandung: Alfabeta. The effect of professionalism and competence on the performance of regional representative council. Journal of administrative science & organization, January , vol 18. no.1
Fathul Aminudin Aziz
118
Toole, J.C. and Lpuis, K.S., 2002. The role of professional learning communities in international education, in K. Leithwood and P. Hallinger (eds) Second International Handbook of Educational Leadership and Administration. Dordrecht, Kluwer. Wibowo, 2007. Manajemen Kinerja, Jakarta, Salemba Empat. Wirawan, 2007. Budaya dan Iklmi Organisasi: Teori Aplikasi dan Penelitian, Salemba Empat. ________, 2008. Budaya dan Iklim Organisasi, Jakarta, Salemba Empat. Zang, Jianwei; Liu, yuxin.Climates and Its effects on Organizational variables: AN empirical Study. International Journal of Psychological Studies, Vol.2, no.2, Desember 2010
Kewajiban Dan Hak Kepala Negara
118
KEWAJIBAN DAN HAK KEPALA NEGARA DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM Masyhud1 Abstract This paper discusses: (1) the power of head of the state and head of government, (2) head of the state functions and its position as a priest or caliph, and (3) the obligation and the right head of the state. The results show that: (1) in the perspective of modern politics, power in the country has undergone changes in line with current democratic and modern state system, one of which occurs the separation between the powers of heads of state and head of government, although in practice some are combined, (2) in the history of Islamic Dustur, the separation between the powers of heads of state and head of government is not becoming a very urgent, but really highlighted is the function and position as imam or caliph, who in the context of science is the supreme authority of state administration, and (3) head of state has a clear obligation and rights according to the norms of Islamic law, which is based on the al-Quran and al-Sunna. Everything must be done with full responsibility. Kata kunci : khali>fah, rakyat, kewajiban, hak dan negara
A. Pendahuluan Kepala negara atau khali>fah merupakan jabatan yang diamanatkan Allah kepada manusia. Fungsi kekhali>fahan manusia itu akan terus berlangsung selama manusia itu sendiri ada di muka bumi.2 Fungsi lainnya, adalah bahwa manusia memiliki tugas sebagai hamba Allah, yang penciptaannya diorientasikan hanya beribadah kepada-Nya semata.3 Jabatan khalifah merupakan hak bagi setiap orang yang memiliki kemampuan untuk 1
Penulis adalah dosen di STAIN Purwokerto. Firman Allah, “Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi”. Mereka berkata: “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji engkau dan mensucikan Engkau?” Tuhan berfirman: “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui”. QS. Al-Baqarah [2]: 30. 3 Firman Allah, “Dan tiadalah Aku menciptakan jin dan manusia melainkan hanya untuk mengabdi kepada-Ku”, Q.S. Al-Zariyat [51]: 56. dalam surat lain Allah berfirman, “Dan tiadalah mereka diperintahkan melainkan supaya mereka menyembah Allah dengan ikhlas dan lurus (hanif) , dan supaya mereka menegakkan shalat dan menunaikan zakat, itulah agama yang benar” Q.S. AlBayyinah [98]: 5. penjelasan lebih rinci tentang kedudukan manusia sebagai khali>fah dan hamba Allah dapat dilihat dalam Abd. Muim Sali>m, Konsepsi Kekuasaan Politik dalam Al-Qur’an, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1994), hlm. 110-122 dan 149-157. 2
Masyhud
119
menjabatnya. Ia tidak menjadi hak yang dapat dimonopoli oleh sekompok orang, suku, atau bangsa tertentu. Al-Qur'an mengisyaratkan bahwa manusia secara keseluruhan memiliki potensi sebagai khali>>fah, bahkan dalam ayat lain secara khusus menjelaskan bahwa orang beriman memiliki kemampuan besar untuk menjabat sebagai khali>>fah, sebagaimana dinyatakan dalam Q.S. Al-Nur [24]: 55.4 Khali>fah merupakan pemegang kekuasaan dalam negara. Kedudukan kepala negara tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan sebagai pribadi, selama umat tetap menempatkan dirinya pada jabatan tertinggi. Jabatan ini dimaksudkan agar ia dapat mengatur umat manusia dengan hukum Allah dan syari’at-Nya serta membimbingnya ke jalan kemaslahatan. Mampu mengurus kepentingan umat secara jujur dan adil, serta memimpin kehidupan mereka ke arah kehidupan mulia dan terhormat. Meskipun demikian, seorang khali>fah tetap merupakan salah seorang dari warga negara itu sendiri, tetapi dipercaya untuk mengurus persoalan agama dan mengatur dunia. Oleh karena itu, ia merupakan orang yang paling banyak tanggung jawabnya. Seorang khali>fah bertanggung jawab langsung kepada Allah dan bertanggung jawab pula kepada umat yang telah mendelegasikan kepada dirinya. Oleh sebab itu, ia tidak dapat seenaknya saja memerintah orang lain. Ia tidak dapat beranggapan bahwa tak ada lagi kekuasaan yang melebihi dirinya dan merasa sebagai sumber kekuasaan.5 Berpijak pada pokok-pokok pikiran di atas, para ahli politik Islam, menyusun hak-hak dan kewajiban kepala negara. Menurut Yu>suf Mu>sa “Setiap hak harus diimbangi dengan kewajiban, maka seseorang tidak bisa menuntut haknya sebelum dia memenuhi kewajibannya. Dengan cara demikian, maka dapat terjalin berbagai hubungan antara manusia yang didasarkan kepada prinsip yang kuat, adil, dan sehat”.6 Islam lebih banyak 4
Firman Allah : “ Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang yang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka berada dalam ketakutan menjadi aman sentausa. Mereka tetap menyembah-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. Dan barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik”. Soenarjo dkk., Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Jakarta: Departemen Agama Republik Indonesia, 1989), hlm. 553-554. 5 Abul ‘Ala> Al-Maududi, Sistem Politik Islam (Hukum dan Konstitusi) , terj. Asep Hikmat, (Bandung: Mizan, 1995), hlm. 171. 6 Muhammad Yu>suf Mu>sa, Niz}a>m al-Hukm fi al-Isla>m, (Kairo: Da>r al-Kita>b al-‘Arabi, t.t.), hlm. 137.
119
Kewajiban Dan Hak Kepala Negara
120
membicarakan kewajiban dari pada hak. Dengan melakukan kewajiban, maka hak akan didapat. Hal ini dapat kita temukan penegasannya dalam al-Qur’an maupun Sunnah. Di antaranya Q. S. Muhammad [47] : 7;
“Wahai orang-orang beriman, jika kamu menolong Allah, maka Dia akan menolong kamu dan meneguhkan langkahmu” .7 Dalam Q.S. al-Fa>tih}ah [1]: 5;
“Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan” .8 Dalam Q.S. Al-Zalzalah [99]: 7-8 ;
“Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat z\arahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya. Dan Barangsiapa yang mengerjakan kejahatan seberat z\arahpun, nicaya dia akan melihat (balasan)nya pula” .9 Nabi Muhammad menganjurkan menuaikan kewajiban terlebih dahulu, kemudian hak akan datang sebagai konsekwensi menunaikan kewajiban tersebut, sesuai hadits Nabi riwayat Abu> Hurairah ra dalam Sunan Abi> Da>wud ;
“Barangsiapa meringankan beban orang mukmin di dunia, maka Allah akan meringankan bebannya kelak di akherat” .10 Dengan berdasarkan pada ketentuan ayat al- Qur'an dan al-Hadis di atas, jelaslah bahwa dalam Islam menunaikan kewajiban harus lebih dahulu diutamakan dibanding dengan pengambilan hak. Karena hak-hak seseorang timbul dari kewajiban-kewajiban yang ditunaikannya. Pengambilan hak tanpa menunaikan kewajiban dapat digolongkan pada perbuatan tidak adil dan sewenang-wenang. Mengingat seorang kepala negara atau khali>fah merupakan seorang yang dipilih umat, maka dia memiliki hak dan kewajiban yang mengiringi tugasnya. Pembahasan mengenai hak dan kewajiban kepala negara merupakan bagian penting dalam kajian politik Islam. Kajian tentang hak dan kewajiban kepala negara ini dapat dilihat dari sudut pandang tujuan, fungsi negara dan syariat, serta pandangan para ilmuwan politik Islam (ulama) yang membahas hal ini, seperti al-Ma>wardi (975-1059), Ibnu Taimiyah (12631329), dan Muhammad Yu>suf Mu>sa.
7
Soenarjo dkk,, hlm. 831. Ibid., hlm. 6. 9 Ibid., hlm. 1087. 10 Lihat dalam Abu> Da>wud, Sunan Abi> Da>wud , (Indonesia: Maktabah Dahla>n, t.t), IV, hlm. 287. 8
Masyhud
121
B. Kewajiban Kepala Negara Kewajiban kepala negara dari sudut pandang tujuan negara dan syariâ&#x20AC;&#x2122;at yang melekat pada kepala negara tidak bisa lepas dari tujuan dan fungsi negara. Seorang kepala negara memiliki kewajiban untuk menegakkan dan melaksanakan tujuan negara itu sendiri. Kewajiban-kewajiban negara dalam hukum Islam meliputi: a. Melaksanakan penertiban (law and order); untuk mencapai tujuan bersama dan mencegah bentrokan-bentrokan dalam masyarakat. Kepala negara harus melaksanakan penertiban. Dalam posisi demikian, dapat dikatakan bahwa kepala negara bertindak sebagai stabilisator; b. Mengusahakan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat; c. Pertahanan; hal ini diperlukan untuk menjaga kemungkinan serangan dari luar; d. Menegakkan keadilan. Keadilan harus ditegakkan pertama kali oleh kepala negara. Pejabat-pejabat negara juga harus berbuat adil mengikuti sikap adil yang dicontohkan oleh kepala negara. Menegakkan keadilan harus dimulai dan dicontohkan oleh badan-badan pengadilan pula.11 Keempat tujuan dan fungsi negara di atas, dapat dikorelasikan dengan kewajiban kepala negara. Meskipun dalam Islam ada beberapa bagian tambahan yang menjadi kewajiban kepala negara, khali>fah dalam hukum Islam memiliki kedudukan sebagai pengganti Nabi untuk memelihara agama dan mengatur dunia. Ibnu Khaldu>n menjelaskan bahwa khila>fah merupakan pertanggungjawaban yang dipikulkan kepada seseorang untuk mengusahakan kemaslahatan agama dan dunia yang bermuara pada kepentingan akhirat. Pada hakikatnya pemegang khila>fah adalah sebagai penerus missi kenabian, yaitu menjaga agama dan mengatur dunia.12 Dengan demikian, tujuan negara dalam Islam meliputi dua tujuan utama. Juga merupakan tanggung jawab kepala negara untuk merealisasikannya. Kedua tujuan tersebut: Pertama, melaksanakan ketentuan agama sesuai dengan perintah Allah dan Rasul-Nya dengan ikhlas serta patut, agar seluruh manusia dapat melakukan taat kepada Allah dengan baik. Kedua, memperhatikan dan mengurus persoalan-persoalan
11
Miriam Budiarjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, ( Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1992), hlm. 46. 12 Al-Ma>wardi, al-Ah}ka>m al-Sult}a>niyah wa al-Wila>ya>t al-Di>niyyah, (t.t.p: t.p, 1960), hlm 5.
121
Kewajiban Dan Hak Kepala Negara
122
duniawi. Misalnya menghimpun dana dari sumber-sumber yang sah dan menyalurkannya kepada yang berhak, dan mencegah timbulnya kez}}aliman.13 Menurut Muhammad Yu>suf Mu>sa, ada tiga tujuan utama negara, yaitu : a. Memberikan penjelasan keagamaan yang benar dan menghilangkan keraguraguan terhadap hakikat Islam kepada seluruh masyarakat. Mengajak manusia kepada Islam dengan kasih sayang. Melindungi seseorang dari tindakan golongan anti agama dan agresor serta membela syari’at terhadap seseorang yang ingin melanggar hukum. b. Mengupayakan segala cara untuk menjaga persatuan umat dan saling tolong menolong sesama mereka. Memperbanyak sarana kehidupan yang baik bagi setiap umat sehingga seluruh umat seperti satu bangunan yang kokoh. c. Melindungi tanah air dari segala bentuk agresi. Menjaga seluruh warga negara dari kez}aliman, kedurhakaan dan tirani. Memperlakukan seluruh masyarakat, sama dalam memikul kewajiban dan memperoleh hak, tanpa adanya perbedaan satu dan yang lainnya.14 Sebagaimana dipertegas dalam Q. S. al-Anfa>l [8] : 60:
“Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka (dengan) kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah, musuhmu dan orang-orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya. Apa saja yang kamu nafkahkan pada jalan Allah niscaya akan dibalas dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan dianiaya (dirugikan)”. Menurut Muhammad Asad, tujuan negara bukanlah penjajahan satu bangsa atas bangsa lain, atau kebudayaan tertentu untuk mengalahkan kebudayaan lainnya, melainkan semata-mata untuk melaksanakan syari’at Islam sebagai satu sistem praktis bagi seluruh aspek kehidupan masyarakat. Dengan demikian, jelaslah bahwa seorang kepala negara tidak mungkin menerapkan kekuasaannya kecuali pada orang-orang yang mengimani syari’at dan sumber hukum Ilahiah yang berasal dari sisi-Nya. Syari’at Islam tidak mungkin dapat diwujudkan secara sempurna tanpa adanya negara yang menopangnya. Begitu pula tidak mungkin syari’at Islam dapat terwujud, jika para penguasanya tidak tunduk secara tulus kepada aturan –aturan Islam.15 13
Muhammad Yu>suf Mu>sa, hlm. 168. Ibid., hlm. 169. 15 Muhammad Asad, Sebuah Kajian tentang Sistem Pemerintahan Islam , terj. Afif Muhammad, (Bandung: Pustaka, 1985), hlm. 73-74. 14
Masyhud
123
Kewajiban kepala negara dalam melaksanakan hukum agama, tidak bisa lepas dari tujuan syari’ah yang paling utama, yaitu terciptanya kemaslahatan bagi seluruh umat manusia. Dalam konteks ini, tujuan tersebut tercakup dalam tujuan syariat (maqa>s}id al-syari’ah) meliputi lima sasaran yang bermuara kepada terwujudnya kemaslahatan. Menurut al-Sya>t}ibi, kemaslahatan yang tercakup dalam lima aspek tersebut meliputi pemeliharaan agama (hifz} al-dîn), pemeliharaan jiwa (hifz}} al-nafs), pemeliharaan keturunan (hifz}} al-nasl), pemeliharaan akal (hifz}} al-‘aql), dan pemeliharaan harta (hifz} al-ma>l). Konsep maslah}ah dibagi berdasarkan prioritas kepentingannya menjadi tiga tingkatan, yaitu:
a. Maqa>s}id al-d}arûriya>t b. Maqa>si} d al-h}âjiya>t, dan c. Maqa>s}id al-tah}siniya>t. 16 Khali>fah sebagai kepala negara yang memiliki peran pengganti Nabi, baik dalam otoritas politik maupun keagamaan, memiliki tanggung jawab menegakkan syari’ah yang tujuan dari syari’ah itu sendiri adalah kemaslahatan. Penegakkan syari’ah tidak bisa menjadi tanggung jawab individu atau umat semata, tetapi juga menjadi tanggung jawab kepala negara. Karena Islam tidak mengenal pemisahan antara tanggung jawab politik dan tanggung jawab penegakan agama (syari’ah). Ibnu Taimiyah, seorang ahli ilmu politik Islam berpendapat bahwa terbentuknya negara maupun bentuk negara, wajib ditopang oleh syari’ah. 16
Asafri Jaya Bakri, Konsep Maqas}id Syari’ah menurut Al-Sya>t}ibi, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996), hlm. 71. Adapun penjelaan dari ketiga konsep maqashid syari’ah tersebut adalah: (1) Maqa>s}id al-d}arûriya>t atau tujuan primer merupakan tujuan Syari’at yang mesti ada demi adanya kehidupan manusia. apabila tujuan itu tidak tercapai, maka akan menimbulkan ketidakajegan kemaslahatan hidup manusia di dunia dan akhirat, bahkan merusak kehidupan itu sendiri. Kebutuhan hidup yang primer ini hanya bisa dicapai bila terpeliharanya lima tujuan Syari’at (memelihara agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta). (2) Maqa>s}id al-h}âjiya>t atau tujuan sekunder ialah terpeliharanya tujuan kehidupan manusia yang terdiri atas berbagai kebutuhan sekunder hidup manusia itu. Kebutuhan hidup sekunder ini bila tidak terpenuhi atau terpelihara akan menimbulkan kesempitan yang mengakibatkan kesulitan hidup manusia. Namun demikian, kesempitan hidup tersebut tidak akan mengakibatkan kerusakan yang menimbulkan kerusakan hidup manusia secara umum. (3) Maqa>s}id al-tah}siniya>t atau tujuan tersier ialah tujuan syari’at yang ditujukan untuk menyempurnakan hidup manusia dengan cara melaksanakan apa-apa yang baik dan yang paling layak menurut kebiasaan dan menghindari hal-hal yang tercela menurut akal sehat. Pencapaian tujuan tersier ini biasanya terdapat dalam bentuk budi pekerti yang baik atau akhlak karimah. Lihat Juhaya S. Praja, Filsafat Hukum Islam, (Bandung: LPPM-UNISBA, 1995), hlm. 101-102.
123
Kewajiban Dan Hak Kepala Negara
124
Syariâ&#x20AC;&#x2122;ah dijadikan kekuasaan tertinggi. Kewajiban-kewajiban seorang kepala negara ditentukan oleh fungsi dan tujuan syariâ&#x20AC;&#x2122;ah tersebut. Setiap wilayah di dalam Islam bahwa kepentingan agama harus didahulukan dan hal ini merupakan hak Allah semata-mata.17 Menurut Ibn Khaldu>n, kedudukan raja yang sewajarnya ialah mewujudkan usaha memerintah rakyat sesuai dengan tujuan dan keinginan rakyat yang memerintah. Kekhali>fahan adalah memerintah rakyat sesuai dengan petunjuk agama, baik untuk soal-soal keakhiratan maupun keduniawian. Dalam pandangan pembuat undang-undang, semua persoalan kehidupan di dunia ini, harus bertumpu pada kehidupan di akhirat. Oleh sebab itu khali>fah bertanggung jawab pada undang-undang, sebagai aspek penegak agama dan pengatur persoalan keduniaan.18 Al-Baqilla>ni berpendapat bahwa tugas kepala negara adalah untuk melaksanakan fungsi negara, yaitu menegakkan hukum yang telah ditetapkan. Membela umat dari gangguan musuh. Melenyapkan penindasan dan meratakan penghasilan negara bagi rakyat. Sedangkan menurut al-Baghda>di, fungsi negara yang harus dilaksanakan oleh kepala negara adalah melaksanakan undang-undang. Melaksanakan hukuman bagi orang yang melanggar, mengatur militer, mengelola pajak dan zakat.19 Tugas-tugas negara tersebut di atas telah dilaksanakan oleh Muhammad saw. Beliau telah membuat undang-undang dalam bentuk tertulis. Mempersatukan penduduk Madinah untuk mencegah konflik-konflik di antara mereka, agar terjamin ketertiban intern. Menjamin kebebasan bagi semua golongan. Mengatur militer. Memimpin peperangan dan melaksanakan hukuman bagi pelanggar. Menerima utusan-utusan dari suku-suku yang berada di luar Madinah. Mengirim surat-surat kepada para penguasa di Jazirah Arab dan di luar Jazirah. Mengadakan perjanjian damai dengan tetangga agar terjamin keamanan ekstern. Mengelola pajak dan zakat. Dalam urusan ekonomi dan perdagangan, beliau melarang riba, untuk menjembatani jurang pemisah antara golongan kaya dan miskin. Membudayakan musyawarah, menjadi hakam (arbiter) dalam menyelesaikan perbedaan pendapat dan perselisihan. Menunjuk para sahabat untuk menjadi hakim daerah di luar Madinah serta mendelegasikan tugas-tugas lain kepada para sahabat. Tugas 17
Qamaruddin Khan, Pemikiran Politik Ibnu Taymiyyah, terj. Anas Mahyudin, (Bandung: Pustaka, 1983), hlm. 257-258 18 Ibn Khaldu>n, Muqaddimah Ibn Khaldu>n, terj. Ahmadie Thaha, (Jakarta: Pustaka Pidaus, 2000), hlm. 234. 19 J. Suyuthi Pulungan, Prinsip Pemerintahan dalam Piagam Madinah Ditinjau dari Pandangan Al-Quran, (Jakarrta: PT. Raja Grafindo Persada, 1994), hlm. 76.
Masyhud
125
yang dilaksanakan oleh Muhammad saw tersebut menunjukkan kesamaan dengan konsep dan teori politik dan kenegaraan tentang tugas kepala negara, dan dengan demikian posisi Muhammad di samping sebagai seorang Rasul juga merupakan seorang kepala negara. Para ahli seperti C.A. Nallino mengatakan bahwa, “Selama hidupnya, Muhammad telah sukses membangun Islam sebagai agama dan sebagai negara secara harmonis dalam waktu yang bersamaan”. Muhammad Jala>l Syaraf dan ‘Ali ‘Abd al-Mu’t}i Muhammad, sepakat bahwa dalam waktu yang bersamaan Muhammad Saw di samping sebagai Rasul dan pemimpin agama, juga sebagai kepala negara. Karena itu, Montgomery Watt mengatakan bahwa Nabi Muhammad adalah seorang negarawan dengan menyebutkan empat alasan. Pertama, Muhammad saw memiliki bakat sebagai orang yang mampu melihat sesuatu sebelum terjadi karena didukung wahyu dan kejeniusannya. Kedua, kearifannya sebagai negarawan ditunjukkannya dalam menerapkan struktur ajaran al-Qur’an yang global secara kongkrit melalui kebijaksanaannya yang tepat. Ketiga, reformasinya di bidang sosial yang berwawasan jauh, serta ditunjang oleh strategi politiknya yang akurat. Keempat, Muhammad saw mempunyai kemampuan sebagai administrator dan arif dalam menunjuk para pembantunya untuk melaksanakan tugas-tugas administrasi.20 Kepemimpinan Muhammad saw sebagai kepala negara merupakan contoh terbaik dari berbagai pemimpin. Mampu melaksanakan fungsi kepemimpinannya dengan baik. Hak dan kewajibannya sebagai seorang pemimpin dapat diaktualisasikan secara sempurna. Antara tujuan agama dan duniawi dapat diwujudkan secara maksimal. Isma>'i>l R. Al-Fa>ru>qi menggambarkan bahwa, “Muhammad memiliki kapasitas kepemimpinan sampai tingkatan yang sangat tinggi. Seandainya tak ada Islam, Dia tetap merupakan negarawan tercakap yang pernah dimiliki Makkah. Islam menambahkan pandangan-dunia Islam sendiri sebagai tujuan baru, dan memperluas lingkup kepemimpinan kepada umat manusia dan dunia”.21 Gambaran Muhammad saw sebagai pemimpin besar yang dapat menyeimbangkan antara hak dan kewajiban, tampak dalam sikapnya yang mampu berbuat adil dengan tanpa melebihkan satu kepala suku atau kabilah atas yang lainnya. Dia selalu hati-hati agar tak menuntut hak istimewa atas
20 21
Ibid., hlm. 78.
Ismail R. Al-Faruqi dan Lois Lamya Al-Faruqi, Atlas Budaya Islam (Menjelajah Khazanah Peradaban Gemilang), terj. Ilyas Hasan, (Bandung: Mizan, 1998), hlm. 163.
125
Kewajiban Dan Hak Kepala Negara
126
dirinya dan selalu memandang dirinya sama seperti yang lain. Kewajibankewajiban kepala Negara menurut ulama : 1. Pendapat Al-Ma>wardi tentang Kewajiban Kepala Negara Nama lengkap al-Ma>wardi adalah Abu> Hasan `'Ali bin Habi>b alMa>wardi al-Bas}ry. Hidup antara tahun 364-450 H/975-1059 M. Dia adalah seorang pemikir Islam terkenal. Termasuk tokoh terkemuka mazhab Sya>fiâ&#x20AC;&#x2122;i, dan pejabat tinggi yang besar pengaruhnya dalam pemerintahan Abba>siyah. Dia mendapat kedudukan terhormat pada pemerintahan Khali>fah Al-Qa>dir.22 Menurut al-Ma>wardi, mengangkat khali>fah hukumnya wajib berdasarkan syariâ&#x20AC;&#x2122;at, dan bukan berdasarkan akal. Sebab khali>fah bertugas mengurusi urusan-urusan agama, dan akal tidak menggolongkan kepemimpinan (ima>mah) sebagai ibadah. Akal hanya menghendaki agar setiap orang dapat melindungi dirinya dari segala bentuk ketidakadilan dan bukan pemutusan hubungan serta betindak adil dalam pelayanan dan komunikasi. Syariâ&#x20AC;&#x2122;at menghendaki bahwa segala persoalan menyangkut kepemimpinan (ima>mah) harus diserahkan kepada aturan Allah swt. Kepala negara (khali>fah) adalah orang yang dipersiapkan sebagai pengganti Nabi untuk menjaga agama dan mengatur dunia.23 Kedudukan kepala negara menurut al-Ma>wardi sebagai pengganti rasul, memiliki sepuluh kewajiban24 yang harus dilaksanakan. Sepuluh kewajiban tersebut diurai secara ringkas sebagai berikut : a. Melindungi keutuhan agama sesuai dengan prinsip-prinsipnya yang establish, dan ijma generasi salaf. Jika muncul pembuat bidâ&#x20AC;&#x2122;ah, atau orang sesat yang membuat syubhat tentang agama. Ia segera menjelaskan hujjah kepadanya, menerangkan kebenaran dan menindaknya sesuai dengan hakhak dan hukum yang berlaku, agar agama tetap terlindungi dari segala penyimpangan. Ummat terlindungi dari usaha penyesatan. b. Menerapkan hukum kepada dua pihak yang berperkara. Melindungi wilayah negara dan tempat-tempat suci. Menegakkan supremasi hukum. Melindungi daerah-daerah perbatasan dengan benteng yang kokoh. c. Memerangi orang yang menentang Islam setelah sebelumnya didakwahi, sehingga memeluk Islam atau masuk dalam perlindungan kaum Muslimin (ahl z\immah). Mengambil fai (harta yang didapatkan kaum muslimin tanpa pertempuran). 22
Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara (Ajaran, Sejarah dan Pemikiran) , (Jakarta: UI Perss, 1993), hlm. 58. 23 Al-Ma>wardi, hlm. 5 24 Ibid., hlm. 15-16.
Masyhud
127
d. Menentukan gaji, mengangkat orang-orang terlatih untuk menjalankan tugas-tugas kenegaraan serta memilih orang-orang yang jujur untuk mengurusi masalah keuangan. e. Terjun langsung menangani segala persoalan. Menginspeksi keadaan di lapangan. Tugas ini tidak boleh didelegasikan kepada orang lain dengan alasan apapun. Apabila tugas-tugas tersebut dilimpahkan kepada orang lain, ia benar-benar telah berkhianat kepada umat dan menipu penasihat. Hal ini didasarkan pada Q.S. S{창d [38]: 26. Menurut al-Ma>wardi, apabila khali>fah telah menunaikan hak-hak umat atau kewajibannya sebagai kepala negara, maka secara otomatis ia telah menunaikan hak Allah. Oleh sebab itu, secara otomatis ia mempunyai hak atas umatnya.25 Selanjutnya menurut al-Ma>wardi, seorang kepala negara atau khali>fah harus mengundurkan diri dari jabatannya apabila dia mengalami dua keadaan : a. Cacat dalam keadilannya; Hal ini ada dua macam: Pertama, disebabkan oleh syahwat. Kedua, disebabkan karena syubh}at. b. Cacat tubuh; meliputi tiga faktor: Pertama, cacat pancaindra. Kedua, cacat organ tubuh, dan ketiga, cacat tindakan.26 Menurut al-Ma>wardi, cacat dalam keadilan dan cacat tubuh memaksa seorang kepala negara harus mundur dari jabatannya. Karena dua cacat tersebut dapat mempengaruhi kinerjanya dalam melaksanakan kewajibankewajibannya secara sempurna. Apabila kepala negara tidak lagi mampu melaksanakan kewajiban tersebut, yang merupakan hak umat dan hak Allah, maka secara langsung tidak lagi mempunyai hak menjabat sebagai kepala negara. 2. Pendapat Ibnu Taimiyah tentang Kewajiban Kepala Negara Nama lengkap Ibnu Taimiyah adalah Taqiy ad-Di>n Abu>l Abba>s ibn Abdul Hali>m ibn Abdu as-Sala>m ibn Taimiyah. Ibnu Taimiyah lahir di Harran dekat Damaskus tahun 1262, dan wafat dalam penjara tahun 1328. Ibnu Taimiyah hidup pada masa penyerbuan bangsa Mongol ke dunia Islam. Dia dikenal sebagai seseorang yang memiliki kepribadian yang luar biasa dan dikenal sebagai seorang teolog muslim abad ke-13 dan 14 paling terkemuka.27
25 26 27
Ibid., hlm. 17. Ibid., hlm. 17.
Khalid Ibrahim Jindan, Teori Pemerintahan Islam Menurut Ibnu Taimiyah , terj. Mufid, (Jakarta: Rineka Cipta, 1994), hlm. 22.
127
Kewajiban Dan Hak Kepala Negara
128
Ibnu Taimiyah hidup pada masa dunia Islam sedang mengalami puncak disintegrasi politik, dislokasi sosial dan dekadensi moral. Seperti diketahui bahwa kekuasaan pemerintah pada waktu itu tidak lagi berada di tangan khali>fah yang berkedudukan di Bagdad, melainkan dipegang oleh penguasa-penguasa wilayah atau daerah, bahkan Ibnu Taimiyah sendiri yang tinggal di Damaskus hidup berada di bawah kekuasaan Malik. Melihat kondisi tersebut, Ibnu Taimiyah beranggapan bahwa kebobrokan umat pada saat itu disebabkan oleh kebobrokan para pemimpin. Para penguasa juga salah memilih wakil-wakil dan para pembantu-pembantunya, baik di pemerintah pusat maupun di daerah. Oleh sebab itu, dia menyajikan suatu contoh atau model pemerintahan yang baik berdasarkan keyakinannya. Umat hanya dapat di atur dengan cara yang baik oleh pemerintah yang baik pula. Kemudian Ibnu Taimiyah mendasarkan teori politik tersebut dengan Q.S. alNisa> [4]: 58-59.
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat” 28 “Hai orang-orang yang beriman, ta’atilah Allah dan ta’atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”. Q.S. alNisa [4]: 58-59.29 Menurut Ibnu Taimiyah ayat 58 dan 59 surat al-Nisa di atas mengandung maksud bahwa waliyyul amri wajib menganggkat para pemimpin negara yang memiliki kriteria paling layak (as}lah) untuk mengemban tugas.30 Untuk menciptakan kehidupan bernegara yang as}lah hendaknya mereka menyampaikan amanat kepada yang berhak. Bertindak adil dalam mengambil keputusan atas sengketa antar sesama anggota masyarakat. Sedangkan ayat 59 surat yang sama, ditujukan kepada rakyat. Mereka diperintahkan agar taat, tidak saja kepada Allah dan Rasul-Nya, 28
Soenarjo dkk, hlm. 128. Soenarjo dkk, hlm. 128. 30 Ibnu Taimiyah, Siyasah Syar’iyah (etika Politik Islam), terj. Rofi’ Munawwar, Lc. (Surabaya : Cet. 3, Risalah Gusti, 2005) hlm. 3. 29
Masyhud
129
tetapi juga kepada pemimpin mereka, dan melakukan segala perintahnya (partisipasi rakyat), selama tidak diperintahkan berbuat maksiat. Kemudian jika terjadi perbedaan pendapat di antara mereka, maka dalam mencari penyelesaian hendaknya kembali kepada Allah (al-Qur'a>n) dan Rasul (assunnah).31 Amanat yang terkandung dalam Q S an-nisa> 58 tersebut di atas membawa dua manifestasi politik: Pertama, penunjukan dan cara pengangkatan pejabat negara; Kedua, pengelolaan kekayaan negara, pengurusan serta perlindungan atas harta benda dan hak milik rakyat. Ibnu Taimiyah selanjutnya menandaskan bahwa kepala negara memiliki kekuatan dan otoritas tertinggi dalam memikul tanggung jawab. Kepala negara bertanggung jawab pula terhadap pelaksanaan segala kewajiban agama yang merupakan lambang-lambang Islam, seperti menegakkan shalat, puasa, ibadah haji, menghormati hari raya, zakat, menjalankan sanksi-sanksi hukum (hudu>d wa taâ&#x20AC;&#x2122;zi>r), meratakan kesejahteraan masyarakat, membela orang-orang yang tertindas, menyempurnakan fungsi pelayanan-pelayanan kemasyarakatan. Fungsi-fungsi ini memiliki dimensi temporal (duniawi) dan spiritual, karena Allah tidak hanya akan meminta pertanggungjawaban kesejahteraan material rakyat semata, tetapi juga pertanggung jawaban pengamalan ibadah pula. Ia menambahkan bahwa kepala negara dapat diibaratkan sebagai wali anak yatim, atau pengurus wakaf, yang mampu mengurus dan mengelola harta kekayaan sedemikian rupa sehingga dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi orang yang telah memberikan tanggung jawabnya.32 Selain ama>nah, Ia juga menentukan bahwa keadilan sebagai bagian yang terpenting dari tugas kepala negara. Penegakan keadilan dan amanah merupakan dua hal yang sangat esensial bagi pemerintahan Islam.33 Tanggung jawab kepala negara yang lain adalah jiha>d. Penyelenggaraan jiha>d merupakan kewajiban kepala negara. Seperti halnya Muhammad saw mendapat izin untuk perang diterima saat Nabi berdomisili di Madinah. Kaum muslimin diizinkan untuk hal itu karena untuk membela diri dari serangan musuh, seperti dalam kandungan Q S. al-Baqarah [2]: 216. Tujuan jihad adalah agar keseluruhan agama untuk Allah semata-mata dan perintah-Nya sajalah yang harus ditaati umat manusia. Apabila kepala negara menyatakan perang melawan musuh, maka jiha>d merupakan kewajiban 31
Sjadjzali, hlm. 82-83. 32 Qamaruddin Khan, hlm 260 33 Ibid., hlm. 263.
129
Kewajiban Dan Hak Kepala Negara
130
masyarakat (fard} ‘ala al-kifa>yah); tetapi apabila musuh mulai menyerang dan masuk ke negeri muslim, maka jihad berubah menjadi kewajiban bagi setiap muslim (fard} 'ain). Di samping itu, Ibnu Taimiyah memandang syi’ar agama (da’wah) sebagai tugas pokok kepala negara juga. Ia tidak menggunakan istilah da’wah, karena orang-orang Khawarij menyebut diri mereka sebagai ahl al-da’wah. Sebagai gantinya, ia menggunakan istilah al-amr bi al-ma’ru>f wa al-nahy ‘an al-munkar. Menurutnya, da’wah dan jihad harus dilaksanakan secara serentak.34 Ibnu Taimiyah menambahkan bahwa musyawarah merupakan salah satu kontrak politik yang esensial bagi kepala negara. Ia menginginkan adanya musyawarah yang lebih efektif dan lebih luas. Di samping menerima pendapat para ulama, juga harus menerima pendapat dari semua wakil-wakil rakyat yang otoritatif, dari semua kelas di masyarakat. Terutama dari orang-orang yang sanggup memberikan pendapat yang dinamis. Ibnu Taimiyah juga menandaskan agar seorang kepala negara berkonsultasi dengan para ulama yang berpengetahuan luas dan memiliki kejujuran yang meyakinkan.35 3. Pendapat Muhammad Yu>suf Mu>sa tentang Kewajiban Kepala Negara Muhammad Yu>suf Mu>sa dalam bukunya, Niz}a>m al-Hukm fi> al-Isla>m, menjelaskan bahwa, bila seorang kepala negara telah dipilih, maka segala urusan pemerintahan wajib diserahkan kepadanya tidak boleh dihalanghalangi oleh siapapun, kecuali memberi nasihat dan membentuk apabila ia membutuhkannya. Hal ini dimaksudkan agar ia dapat menjalankan tugastugasnya dengan baik dalam mengatasi semua persoalan umat, sesuai dengan kewajiban yang menjadi tanggung jawabnya.36 Dalam pembahasan berikutnya, Muhammad Yu>suf Mu>sa mengutip pendapat al-Ma>wardi yang menjelaskan tentang sepuluh kewajiban pokok kepala negara. Dari sepuluh kewajiban versi al-Ma>wardi, Yu>suf Mu>sa menyimpulkan dua kewajiban pokok, yaitu ; a) Menegakkan agama, menjelaskan hukum dan ajarannya kepada seluruh umat manusia. b) Mengatur kepentingan negara sesuai dengan tuntutannya, sehingga membawa kebaikan bagi individu maupun masyarakat baik urusan ke dalam maupun urusan ke luar. Muhammad Yu>suf Mu>sa berpendapat bahwa kewajiban kepala negara yang utama adalah menjelaskan dan memelihara agama. Kewajiban ini 34 35 36
Ibid., hlm. 267-268. Ibid., hlm. 275-276. Muhammad Yu>suf Mu>sa, hlm. 138.
Masyhud
131
memiliki arti penting pada zaman sekarang sebagaimana pentingnya hal tersebut pada masa Nabi dahulu. Menurut Yu>suf Mu>sa kewajiban kepala negara lainnya adalah menyebarluaskan ilmu-ilmu dengan segala macam cara. Karena kemajuan umat bergantung kepada tingkat pencapaian ilmu-ilmu agama dan dunianya.37 Penambahan kewajiban kepala negara untuk mengembangkan ilmu agama dan ilmu umum merupakan suatu keharusan, karena melalui penyebaran ilmu-ilmu tersebut tingkat peradaban yang tinggi akan dapat dicapai. Dalam sejarah peradaban Islam, kemajuan ilmu pengetahuan pernah terjadi pada masa pemerintahan Khali>fah al-Maâ&#x20AC;&#x2122;mu>n (198-218/813-833), seorang khali>fah dari Dinasti Abbasiyah. Pada masa ini dicapai berbagai bidang ilmu pengetahuan, di antaranya bidang kedokteran. Hunayn bin Ish}a>q (w.260/873) diangkat oleh Al-Maâ&#x20AC;&#x2122;mu>n menjadi kepala perpustakaan Bayt AlH}ikmah. Ia bersama kolega dan muridnya diperintahkan untuk mendapatkan dan menerjemahkan seluruh warisan pengetahuan kedokteran dan ilmu lain ke dalam bahasa Arab. Kedokteran mendapat tempat terhormat sebagai ratu ilmu alam. Pengetahuan agama dan alam merupakan si kembar yang tak terpisahkan. Keduanya saling melengkapi dan mendukung. Munculnya para tokoh ilmuwan baik di bidang agama maupun umum tidak lepas dari dukungan pemerintah. Hal ini terlihat jelas terutama pada masa pemerintahan Al-Maâ&#x20AC;&#x2122;mu>n yang dengan dukungannya ilmu pengetahuan berkembang sangat pesat dan mencapai tingkat peradaban yang tinggi. Tanggung jawab kepala negara dalam memajukan ilmu pengetahuan sangat besar. Tanpa kesungguhan dan kegigihannya, bidang ini tidak dapat diwujudkan. Akibatnya masyarakat hidup dalam kebodohan dan kemiskinan. C. Hak-hak Kepala Negara Apabila kaum Muslimin telah menyetujui seseorang sebagai kepala negara untuk mengurus diri, agama, dan keduniaan mereka serta melaksanakan kewajiban-kewajiban kepada Allah dan umatnya, maka ia mempunyai hak-hak tertentu dari kewajiban-kewajiban rakyatnya, sebagai hubungan timbal balik. Kewajiban rakyat atas kepala negara adalah taat, patuh dan membantu kepadanya. Selama tidak diperintahkan untuk berbuat maksiat.38
37 38
Ibid., hlm. 140-141. Ibid., hlm.142.
131
Kewajiban Dan Hak Kepala Negara
132
Al-Maududi menegaskan bahwa hak kepala negara dari rakyatnya yang menduduki peringkat pertama adalah ketaatan. Dengan kata lain, perintah kepala negara, tak peduli diterima atau tidak, ringan atau berat harus ditaati dalam situasi dan kondisi bagaimanapun, kecuali jika akan menimbulkan maksiat kepada Tuhan.39 Hal ini kemudian ditegaskan oleh alMa>wardi bahwa apabila seorang kepala negara telah menunaikan hak-hak umat yang tercakup dalam sepuluh kewajiban kepala negara, maka dengan sendirinya ia mempunyai dua hak atas umatnya. Pertama, rakyat wajib taat kepadanya; Kedua, partisipasi masyarakat, selagi kepala negara tidak menyimpang dari hal-hal yang telah ditentukan.40
1. Taat dan patuh kepada Kepala Negara Menurut al-Ma>wardi hak ima>m atas rakyatnya ada dua macam yaitu hak untuk ditaati dan hak untuk dibantu (partisipasi rakyat).41 Muhammad Yu>suf Mu>sa menambahkan hak yang ketiga adalah mendapat imbalan (gaji) dari baitul mal untuk keperluan hidupnya dan keluarganya secara patut.42 Ibnu Taimiyah berpendapat bahwa kekuasaan kepala negara adalah sakral dan mutlak, tidak dapat diganggu gugat oleh siapapun, karena itu umat atau rakyat wajib taat secara mutlak pula. Mereka diharamkan untuk melakukan pemberontakan terhadap kepala negara, meskipun kafir. Asalkan masih menjalankan keadilan dan tidak menyuruh berbuat maksiat kepada Allah. Ibnu Taimiyah mengajukan dasar hadits sebagai argumentasi pendapatnya dari riwayat Muslim ;
â&#x20AC;&#x153;Barang siapa melihat sesuatu yang tidak disenanginya dari pimpinannya, hendaklah ia bersabar. Siapa yang keluar dari pemerintahnya (menentang) meskipun sejengkal, kemudian mati, maka mati dalam keadaan jahiliyah â&#x20AC;&#x153;.43 Berbeda dengan pendapat al-Ma>wardi. Menurutnya, sumber kekuasaan kepala negara adalah berdasarkan kontrak sosial. Artinya perjanjian antara kepala negara dan rakyatnya secara timbal balik. Dari perjanjian ini muncul hak dan kewajiban secara timbal balik pula antara dua belah pihak. Rakyat yang telah memberikan kekuasaan dan haknya kepada 39
Al-Maududi, hlm. 275. Al-Ma>wardi, hlm. 26. 41 Ibid., hlm 17. 42 Muhammad Yu>suf Mu>sa, hlm 144. 43 Lihat dalam S}ah}ih} Muslim, Muslim, S}ah}i>h} Muslim, (Indonesi : Da>r al-Kutub alâ&#x20AC;&#x2DC;Arabiyyah t.t) II, hlm. 136. 40
Masyhud
133
kepala negara, berhak untuk menurunkan kepala negara dari jabatannya, jika ia tidak mampu menjalankan pemerintahannya, sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati. Kekuasaan kepela negara menurutnya tidak suci dan mutlak. Meskipun demikian Ia menandaskan bahwa taat dan patuh kepada kepala negara hukumnya wajib. Kepatuhan terhadap kepala negara ini tidak dikhususkan pada yang adil, tetapi juga yang jahat (faji>r). Al-Ma>wardi mendukung pendapatnya dengan berdasarkan hadits Abi Hurairah ra ;44 Negara selanjutnya terbentuk setelah diadakan bai’at (mubay’ah), yaitu pengakuan mematuhi dan mentaati ima>m (kepala negara), yang dilakukan oleh ahl al-h}all wa al-‘aqd dan dilaksanakan sesudah permusyawaratan.45 Selanjutnya diikuti oleh masyarakat. Bai’at tersebut berpengaruh besar terhadap seluruh masyarakat, karena dapat menumbuhkan kesetiaan mereka kepada kepala negara. Sumpah setia (bai’at) ini memaksakan kepatuhan mereka sebagai kewajiban utama semua warga. Selama perintahnya sesuai dengan perintah Allah dan Rasul-Nya.46 Dasar hukum yang menjadi landasan bai’at adalah QS. Al-Fath} [48] : 12, QS AlMumtah}anah [60] : 12 dan QS Al-Tawbah [9] : 111.47 Sumber normatif tersebut sering kali digunakan sebagai argumentasi ketaatan kepada kepala negara secara total dan teguh tanpa menghiraukan apa pun yang dilakukan oleh penguasa. Namun dalam hal ini, Ibnu Taimiyah berpandangan bahwa ketaatan kepada penguasa bukanlah ketaatan yang pasif dan kaku. Akan tetapi ketaatan yang harus disertai dengan kondisi di mana setiap orang dapat berpartisipasi di dalam kehidupan masyarakat dan di dalam kehidupan bernegara secara gotong-royong. Ketaatan kepada penguasa merupakan ketaatan politis yang pada dasarnya merupakan ketaatan yang bersifat kritis. Masyarakat tidak pernah kehilangan hak untuk menyampaikan pendapat.48 Ketaatan politik tidak hanya dibatasi dengan pertimbangan keadilan dan kebenaran. Akan tetapi lebih dari itu, perilaku bai’ah itu sendiri menunjukkan adanya eksistensi sebuah perjanjian atau ikrar yang berisi sumpah setia rakyat untuk mematuhi penguasa yang berjanji mempertahankan dan menjaga syari’ah. Kesepakatan antara penguasa dan rakyat tidak dapat 44
Al-Ma>wardi, hlm. 5. Prof.T.M. Hasbi Ash Shiddieqqy, Asas-asa Hukum Tata Negara menurut Syari’at Islam, Yogyakarta : Matahari Masa, 1969, hlm. 66. 46 Qamaruddin Khan, hlm. 278. 47 Djazuli, Prof. H.A, Fiqh Siyasah, (Implementasi Kemaslahatan Ummat dalam Ramburambu Syari’ah), (Bandung : Sunan Gunung Jati Pres, 2003), hlm. 101-102. 48 Qamaruddin Khan, hlm. 280 45
133
Kewajiban Dan Hak Kepala Negara
134
diganggu gugat selama sang penguasa mampu melaksanakan tanggung jawabnya. Nasihat baik yang dihubungkan dengan perintah utama kepada setiap anggota masyarakat untuk menyerukan kebajikan dan memerangi kejahatan, sejalan dengan semangat QS. Ali Imran [3]: 103 dan QS. al-Maidah [5]: 2. Rakyat ikut berpartisipasi dalam peningkatan kesiapan moral dan mengemukakan kritik (nasihat) yang membangun. Nasihat tersebut dapat disampaikan dalam setiap bidang aktivitas pemerintahan. Ketaatan dalam hal seperti inilah merupakan ketaatan yang ideal yang harus diperjuangkan masyarakat secara terus menerus. Masyarakat dapat melakukan kontrol kepada penguasanya tanpa mengabaikan hak ketaatan kepadanya. Adapun kepala negara yang z}alim atau fasik, dalam hal ini terjadi perbedaan pendapat. Satu pendapat tetap mempertahankan ketaatan secara penuh kepadanya. Pendapat yang lain adalah tidak perlu taat kepadanya. Ibnu Taimiyah salah satu tokoh yang berpendapat, bahwa mengingkari imam (kepala negara) hanya boleh apabila keputusan-keputusannya terang-terangan bertentangan dengan ketetapan yuridis yang tegas di dalam al-Qurâ&#x20AC;&#x2122;an atau asSunnah. Ia kemudian membuat perbedaan antara pengingkaran dan pemberontakan. Selanjutnya berpendapat, boleh mengingkari seorang kepala negara dan menderita hukuman karenanya, tetapi rakyat tidak boleh mengangkat senjata untuk melawannya, selama ia masih melakukan shalat.49 Lebih jauh lagi, Ibnu Taimiyah menjelaskan, bahwa perlawanan terhadap kezaliman atau korupsi pemimpin dapat menggiring pada kezaliman atau kejahatan yang lebih besar karena munculnya perpecahan di kalangan masyarakat. Oleh sebab itu, jika perlawanan terhadap pemerintah z}alim dapat menimbulkan pertikaian penduduk, maka seluruh umat Islam lebih baik mempertahankan apa yang telah dimiliki daripada memulai suatu tindakan yang dapat menimbulkan suasana yang lebih buruk 50 atau perang saudara. Sebaliknya kelompok Khawarij merupakan kelompok yang paling keras, membolehkan menentang kepala negara (khali>fah) yang durhaka. Ibnu Hazm pun ketika membicarakan â&#x20AC;&#x153;amr maâ&#x20AC;&#x2122;ruf nahi mukarâ&#x20AC;?, berpendapat, bahwa wajib menentang imam yang patut dipecat. Bahkan orang yang bersikap sabar terhadap imam seperti ini telah berbuat dosa, dan membantu kez}alimannya.51 Sebuah pandangan yang mengambil jalan tengah tentang ketaatan kepada imam dikemukan oleh Muhammad Yu>su>f Mu>sa adalah sebagai berikut : 49 50 51
Ibid., hlm. 285. Khalid Ibrahim Jindan, hlm. 94. Muhammad Yu>suf Mu>sa, hlm. 154.
Masyhud
135
a. Kepala negara (khali>fah) sebagai pelaksana eksekutif di dalam negara, mempunyai hak untuk ditaati oleh semua warga negaranya, tanpa memperdulikan adanya sekelompok atau seseorang yang tidak suka atau tidak setuju terhadap sebagian kebijakannya di dalam menjalankan urusan negara. b. Apabila pemerintah mengeluarkan undang-undang atau perintah yang dengan jelas menurut syaraâ&#x20AC;&#x2122; memuat hal-hal maksiat, maka warga negara tidak ada kewajiban taat dan mendengarkan undang-undang dan perintah tersebut.. c. Apabila pemerintah bersikap terang-terangan melawan nash-nash al-Quran, maka sikap semacam ini dinilai sebagai kufur yang terang-terangan. Perbuatan semacam ini merupakan alasan yang membolehkan untuk mencabut atau memecat kekuasaan dari tangannya. d. Pencabutan kekuasaan dari tangan pemerintah tidak dapat dilakukan dengan revolusi bersenjata oleh golongan minoritas dari umat.52 Karena dapat menimbulkan perang saudara. 2. Biaya Hidup untuk Kepala Negara Menurut Yu>suf Mu>sa, seorang khalifah harus dicukupi kebutuhannya oleh umat secara wajar bagi diri dan keluarganya, selama ia sepenuh waktunya mengurus kepentingan rakyat dan mencurahkan seluruh waktu dan kemampuannya semata-mata untuk persoalan umat.53 Pandangan ini berdasarkan riwayat-riwayat yang sahih mengenai apa yang pernah terjadi pada masa khali>fah Abu> Bakar dan Umar ibn Khat}t}a>b. Semasa menjabat khali>fah, Abu> Bakar memperoleh belanja bagi diri dan keluarganya dari kas negara (baitul ma>l). Begitu pula ketika Umar menjabat khali>fah, atas usulan â&#x20AC;&#x2DC;Ali ibn Abi> T}a>lib, memperoleh biaya hidup dari negara sekedar cukup untuk diri dan keluarganya. Dasar dari pemberlakuan prinsip ini adalah agar seorang kepala negara (khali>fah) dapat berbakti sepenuhnya kepada umat dalam menangani kebutuhan mereka, tanpa terganggu oleh mencari nafkah untuk hidupnya. Dengan demikian ia dapat mewujudkan ketenangan, ketenteraman, kemuliaan dan kebesaran rakyat.
52 53
Ibid., hlm. 164. Ibid., hlm. 143.
135
136
Kewajiban Dan Hak Kepala Negara
D. Kesimpulan Dari hasil pemaparan di atas dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Kepala negara atau khalifah dalam teori politik Islam memiliki hak dan tanggung jawab yang besar. Tanggung jawab kepala negara baik dilihat dari fungsi dan tujuan negara maupun pandangan para ahli politik Islam seperti Al-Ma>wardi, Ibnu Taimiyah dan Muhammad Yu>suf Mu>sa, memiliki kesamaan antara yang satu dengan lainnya, yaitu bahwa pada prinsipnya kewajiban kepala negara, dititik beratkan pada pemeliharaan agama, dengan terwujudnya syariâ&#x20AC;&#x2122;ah dalam kehidupan masyarakat, serta mengatur kehidupan duniawi yang berkaitan dengan kebutuhan manusia. Ibnu Taimiyah menegaskan bahwa kewajiban kepala negara adalah amanah, jujur, adil, menyelenggarakan jihad dan dakwah, serta melaksanakan musyawarah. Konsep Al-Ma>wardi tentang kewajiban kepala negara disusun dalam teorinya â&#x20AC;&#x153;sepuluh kewajiban kepala negaraâ&#x20AC;?, dan Muhammad Yu>suf Mu>sa berpendapat bahwa kewajiban kepala negara yang utama adalah menjelaskan dan memelihara agama. Kewajiban lainnya adalah menyebarkan ilmu pengetahuan secara merata, serta mendidik warganya dalam ilmu agama (sebagai fardu â&#x20AC;&#x2DC;ain) dan dalam ilmu umum (sebagai fardu kifa>yah). 2. Kepala negara memiliki hak sebagai hubungan timbal balik dari kewajiban yang ia laksanakan. Hak tersebut adalah, seluruh rakyat wajib taat dan patuh kepadanya, hak mendapat bantuan atau partisipasi masyarakat dan hak memperoleh biaya hidup untuk dirinya, keluarganya dan orang yang menjadi tanggungannya secara patut.
Masyhud
137 DAFTAR PUSTAKA
Abu> Da>wud, Sunan Abi> Da>wud , Indonesia: Maktabah Dahla>n, IV, t.t. Al-Fa>ru>qi, Isma>i>l R. dan Lois Lamya Al-Faru>qi, Atlas Budaya Islam (Menjelajah Khazanah Peradaban Gemilang), terj. Ilyas Hasan, Bandung: Mizan, 1998. Al-Maududi, Abu>l A’la>, Sistem Politik Islam (Hukum dan Konstitusi), terj. Asep Hikmat, Bandung: Mizan, 1995. Al-Ma>wardi, al-Ah}ka>m al-Sult}a>niyah wa al-Wila>ya>t al-Di>niyyah, t.t.p: t.p, 1960. -------------- , Al-Ahkam Al-Sulthaniyah (Prinsip-prinsip Penyelenggaraan Negara Islam), terj. Fadhli Bahri, Jakarta: Darul Falah, 2000. Asad, Muhammad, Sebuah Kajian tentang Sistem Pemerintahan Islam, terj. Afif Muhammad, Bandung: Pustaka, 1985. Ash Shiddieqqy, Hasbi, Prof T.M. Asas-asa Hukum Tata Negara menurut Syari’at Islam, Yogyakarta; Matahari Masa, 1969. Bakri, Asafri Jaya, Konsep Maqashid Syari’ah menurut Al-Syatibi, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996. Budiarjo, Miriam, Dasar-dasar Ilmu Politik, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1992. Djazuli, Prof. H.A, Fiqh Siyasah, (Implementasi Kemaslahatan Ummat dalam Rambu-rambu Syari’ah), Bandung; Sunan Gunung Jati Pres, 2003. Ibn Khaldu>n, Muqaddimah Ibn Khaldu>n, terj. Ahmadie Thaha, Jakarta: Pustaka Pidaus, 2000. Ibnu Taimiyah, Siyasah Syar’iyah (etika Politik Islam), terj. Rofi’ Munawwar, Lc. Surabaya: Risalah Gusti, Cet. III, 2005. Jinda>n, Khali>d Ibrahi>m, Teori Pemerintahan Islam Menurut Ibnu Taimiyah, terj. Mufid, Jakarta: Rineka Cipta, 1994. Khan, Qamaruddin, Pemikiran Politik Ibnu Taymiyyah, terj. Anas Mahyudin, Bandung: Pustaka, 1983. Komisi Nasional Mesir untuk Unesco, Sumbangan Islam kepada Ilmu dan Kebudayaan, terj. Ahmad Tafsir, Bandung: Pustaka, 1986. Muslim, S}ah}i>h} Muslim, Indonesi : Da>r al-Kutub al-‘Arabiyyah, t.t), II. 137
138
Kewajiban Dan Hak Kepala Negara
Mu>sa, Muhammad Yusu>f, Niz}am al-Hukm fi> al-Isla>m, Kairo: Da>r al-Kita>b al‘Arabi, t.t. Praja, Juhaya S., Filsafat Hukum Islam, Bandung: LPPM-UNISBA, 1995. Pulungan, J. Suyuthi, Prinsip Pemerintahan dalam Piagam Madinah Ditinjau dari Pandangan Al-Qur’an, Jakarrta: PT. Raja Grafindo Persada, 1994. Salim, Abd. Muim, Konsepsi Kekuasaan Politik dalam Al-Qur’an, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1994. Sjadzali, Munawir, Islam dan Tata Negara (Ajaran, Sejarah dan Pemikiran), Jakarta: UI Perss, 1993.