Jurnal At-Thariq Edisi September 2013

Page 1


At-Thariq Jurnal Ilmiah Studi Keislaman Dan Sosial Penanggung jawab H. Tahrir Ketua Sekolah Tinggi Agama Islam Sufyan Tsauri Majenang Penyunting H. Masngudi, Mahmudin Tim Redaksi Aniroh, Doddy Afandi Firdaus, Khotibul Umam, Tim Editor Mawi Khusni Albar, Fathurohim Alamat Redaksi Tlp./Fax. Email

: Jl. KH. Sufyan Tsauri Po Box 18 Majenang Kab. Cilacap, Kode Pos 53257 : (0280) 623562 : redaksi.atthariq@gmail.com

Jurnal At-Thariq adalah jurnal ilmiah studi keislaman dan sosial Sekolah Tinggi Agama Islam Sufyan Tsauri (STAIS) Majenang. Diterbitkan pertama kali bulan September 2009 oleh Lembaga Penelitian dan Pengembangan Masyarakat (P3MP) STAIS Majenang dan terbit dua kali dalam satu tahun yakni: bulan September dan Maret. Redaksi menerima tulisan yang berkaitan dengan studi keislaman dan sosial, baik berupa artikel, laporan penelitian maupun resensi buku. Naskah diketik di atas kertas HVS kuarto (A4) spasi ganda sepanjang 20-25 halaman. Naskah diserahkan dalam bentuk print out dan soft copy. Catatan kutipan ditulis dalam bentuk footnote. Redaksi berhak melakukan penilaian tentang kelayakan suatu artikel baik dari segi isi, informasi maupun penulisan.

ii


PENGANTAR REDAKSI Jurnal At-Thariq edisi VIII Bulan September 2013 kali ini, kami menyajikan tujuh judul tulisan yang terdiri dari enam artikel ilmiah dan dua laporan penelitian. Artikel pertama ditulis oleh Suyanto, salah seorang dosen di IAIN Walisongo dengan judul “Pendidikan Tinggi Islam dan Tantangan Modernitas”. Dalam artikelnya, penulis mencoba memberikan analisis kritis terhadap model pendidikan Islam yang ada di Indonesia dalam menghadapi tantangan modernitas dengan menggunakan empat batasan yakni, problem epistemologi, problem kelembagaan, problem kurikulum dan problem pengembang sumber daya manusia. Artikel kedua berjudul “Manajemen Sumber Daya Manusia Sebagai Upaya Peningkatan Kualitas Pendidikan”. Artikel yang ditulis oleh Takiyudin Subki ini mencoba memberikan tawaran solusi bagi upaya merekonstruksi kembali kelemahan-kelemahan manajerial di madrasah, mulai dari manajemen sumber daya manusia, visi-misi, kepemimpinan, networking (jaringan) tingkat partisipasi masyarakat dan sebagainya. Artikel ketiga ditulis oleh Masyhud, dosen di STAIN Purwokerto dengan judul artikel “Pembelaan Islam Terhadap Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga”. Artikel selanjutnya ditulis oleh Mohammad Idris Hasan dengan judul “Hukuman dalam Syariat Islam dan Faktor-Faktor yang Membebaskan”. Dalam artikelnya, Mohammad Idris Hasan memberikan analisis terhadap hukuman dalam Islam dengan menggunakan kajian ayat-ayat al-Quran dan hadis. Artikel kelima ditulis oleh Suratman, dosen tetap di STAIN Purwokerto dngan judul “Budaya Organisasi”. Selanjutnya artikel yang ditulis oleh Zulfikri, mahasiswa Progran Doktoral (s3) di Turki dengan judul “Penafsiran Emansipatoris dalam al-Qur’an (Perspektif Nasaruddin Umar). Secara gamblang Zulfikri menjelaskan model penafsiran yang coba di tawarkan oleh Nasiriddin Umar. Dan artikel terakhir adalah hasil laporan penelitian yang di lakukan oleh mahasiswi program pasca sarjana (s2) Universitas Gajah Mada dengan judul “Selamatan Keba pada Masyarakat Cilacap (Studi Atas Masyarakat Margasari Kecamatan Sidareja Kabupaten Cilacap). Dalam laporan penelitiannya, Lia Restiawati Hanggara menjelaskan secara runtut tradisi Keba yang ada di Kabupaten Cilacap. Terakhir, kami sampaikan bahwa segenap Tim Redaksi Jurnal At-Thariq mengharap dukungan semua pihak bagi kelangsungan serta peningkatan peran dan kontribusi media tentang keislaman dan sosial yang kita cintai, baik berbentuk kritik, saran, maupun sumbangan tulisan yang berbentuk karya ilmiah, laporan penelitian dengan tema-tema keislaman dan sosial yang selalu berkembang di masyarakat. Segenap redaksi, mengucapkan selamat membaca dan berkarya! Majenang, 5 September 2013 Salam Redaksi

iii


ISSN 2088-8538

VOLUME VIII, (MARET–SEPTEMBER 2013)

At-Thariq Jurnal Ilmiah Studi Keislaman Dan Sosial Tim Redaksi Pengantar Redaksi Daftar Isi PENDIDIKAN TINGGI ISLAM DAN TANTANGAN MODERNITAS

Suyanto 

( 1 – 19)

MANAJEMEN SUMBER DAYA MANUSIA SEBAGAI UPAYA MENINGKATKAN KUALITAS DALAM PENDIDIKAN

Takiyudin Subki 

(20 –41)

PEMBELAAN ISLAM TERHADAP PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA (KDRT)

Masyhud 

( 42 – 63)

HUKUMAN DALAM SYARIAT ISLAM DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMBEBASKAN

Mohammad Idris Hasan  BUDAYA ORGANISASI

Suratman 

(64–84)

(85 –98)

PENAFSIRAN EMANSIPATORIS DALAM AL-QUR’AN (Perspektif Nasaruddin Umar)

Zulfikri 

( 99–120)

SELAMATAN KEBA PADA MASYARAKAT CILACAP (Studi Atas Masyarakat Margasari Kecamatan Sidareja Kabupaten Cilacap)

Lia Restiawati Hanggara 

(121 – 135)

iv


v


Suyanto

PENDIDIKAN TINGGI ISLAM DAN TANTANGAN MODERNITAS Suyanto1 Abstract Problems and Challenges of Islamic higher education in modern times increasingly large and complex.Various aspects of Islamic higher education are still become homework that is not only focused to the present, but also looking at the future.Globalization phenomenon is inevitable, since that new face of colonialism is having an intercourse with various joints of human life, either in economic, political, culture, social order even in the educational aspect.The society dynamics of industrial society becoming a society which dominated by information and technology as well as science has been going on the process of transformation which is always increasing, that has never been seen in the trajectory of human history in the previous era.that dynamics create a shifting paradigm and the changes in human behavior that reflect human behavior that lose the human value (humanism) and religious value.Islamic higher education has to be involved in overcoming and solving various challenges along with another national education, even social, political, and economic power in general.But islamic education needs to do a self-evaluation first, then do a repositioning and reactualization, by synchronizing with the national education policy to liberate the nation from the challenges of modernity.

Keywords: Islamic Education, Educational Problem, Modernization. A. Pendahuluan Pada abad modern ini, bangsa Indonesia menghadapi berbagai tantangan besar berskala global. Sebagian besar tantangan itu muncul dari proses modernitas atau globalisasi yang berlangsung sejak paruh kedua abad ke-20 dan diperkirakan semakin intensif pada abad mendatang. Globalisasi tidak hanya mendorong terjadinya transformasi peradaban dunia melalui proses modernisasi, industrialisasi, dan revolusi informasi. Lebih dari itu juga akan menimbulkan perubahanperubahan dalam struktur kehidupan bangsa-bangsa dunia, termasuk Indonesia. Memasuki abad baru bangsa Indonesia diperkirakan akan mengalami perubahanperubahan serba cepat dalam berbagai kehidupan, baik sosial, budaya, ekonomi, politik, maupun pendidikan (Zubaedi, 2012: 156). Pada sisi yang lain, Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI) juga masih memiliki beberapa kelemahan. Kelemahan yang dimiliki oleh pendidikan tinggi Islam, khususnya STAIN yang dimiliki oleh raw input peserta didik kurang selektif. Untuk UIN dan IAIN, belum terintegrasinya program studi S1, S2 dan S3 dalam 1

Penulis adalah lulusan S2 IAIN Walisongo Semarang bekerja sebagai Guru PNS dilingkungan Kemenag Kab. Pekalongan.

Volume VIII, (September-Februari 2013)| AT-THARIQ 1


Pendidikan Tinggi Islam Dan Tantangan Modernitas satu fakultas, daya dukung riset belum memberikan manfaat seluas-luasnya pada pengembangan ilmu dan kebutuhan masyarakat, belum maksimalnya konsorsium keilmuan mata kuliah sejenis, lemahnya penguasaan bahasa asing di kalangan dosen dan mahasiswa, lemahnya publikasi karya ilmiah dan penelitian di tingkat internasional, dan manajemen perencanaan dan keuangan yang kurang visioner, transparan dan akuntabel. Juga kerja sama jaringan yang belum optimal, lemahnya kerja sama luar negeri, dan lemahnya teknologi IT. Kelemahan yang sama juga dirasakan oleh Perguruan Tinggi Islam Swasta (PTIS), dengan indikasi bahwa sebagian besar PTIS belum terakreditasi BAN PT, pengelolaan lembaganya yang konvensional, penyelenggaraa kegiatan pembelajarannya yang tidak dikelola dengan baik, serta sumber daya yang sangat terbatas, terutama sumber daya keuangan (Zubaedi, 2012: 157). Fenomena globalisasi memang tidak bisa dihindari lagi, karena kolonialisme berwajah baru tersebut tengah bersetubuh dengan berbagai sendi kehidupan manusia, baik aspek ekonomi, politik, budaya, tatanan sosial bahkan dalam aspek pendidikan. Dinamika masyarakat dari masyarakat industri menjadi masyarakat yang didominasi oleh informasi dan teknologi serta ilmu pengetahuan ini telah berlangsung dan proses transformasinya selalu meningkat, yang belum pernah ditemui dalam sejarah lintasan manusia di era sebelumnya. Dinamika tersebut menciptakan pergeseran paradigma (shifting paradigm) dan perubahan tingkah laku manusia yang mencerminkan telah hilangnya nilai-nilai kemanusiaan (humanisme) dan nilai-nilai agama (Rembangy dalam Imam Machali dan Musthofa, 2004: 134). Bertolak dari uraian di atas, maka masalah mendasar yang penulis angkat adalah: 1) bagaimana problem dan tantangan pendidikan tinggi Islam di era modernitas?, problem ini penulis batasi pada empat aspek yaitu: problem epistemologi, problem kelembagaan, problem kurikulum dan problem pengembangan SDM, dan 2) bagaimana respon pendidikan tinggi Islam terhadap problem dan tantangan tersebut? B. Pendidikan Islam 1. Konsep dan Pengertian Pendidikan Islam Konsep filosofis pendidikan Islam, adalah berpangkal tolak pada hablun min Allah (hubungan dengan Allah) dan hablun min al-nÄ s (hubungan manusia dengan manusia), dan hablun min al-Ä lam (hubungan manusia dengan alam sekitarnya), menurut ajaran Islam (Nasir, 2005: 34).

2 AT-THARIQ|Volume VIII, (September-Februari 2013)


Suyanto Allah menciptakan manusia sebagai khalifah di bumi (alam). Khalifah berarti pemegang amanat, mandataris, dan kuasa, untuk merealisir dan menjabarkan kehendak dan kekuasaan Allah di alam. Dalam hubungannya dengan fungsi rububiyyah (kependidikan) Allah terhadap alam (manusia), maka manusia sebagai khalifah di bumi mendapat tugas kependidikan. Khalifah Tuhan atau orang yang ideal, mempunyai tiga aspek: kebenaran, kebaikan dan keindahan, atau dengan perkataan lain manusia ideal adalah manusia yang memiliki pengetahuan, akhlak dan seni (Ali, 1993: 78).2 Al-Qur’ân dengan ungkapannya yang sederhana namun tegas, menekankan individualitas dan uniknya manusia, dan mempunyai pandangan yang pasti tentang peran dan nasib manusia sebagai suatu kesatuan hidup. Akibat dari pandangan bahwa manusia adalah suatu individualitas yang unik, menjadikan mustahil bagi individu itu untuk menanggung beban orang lain, dan ia hanya berhak menerima buah atau akibat dari perbuatannya sendiri. Inilah sebabnya mengapa Al-Qur’ân menolak ide tentang penebusan dosa (Ali, 1993: 78).3 Empat sifat ideal diterangkan dalam Al-Qur’ân: pertama, manusia adalah makhluk yang dipilih oleh Tuhan.4 Kedua, manusia dengan segala kelalaiannya diharapkan menjadi wakil Tuhan di bumi.5 Ketiga, manusia menjadi

Lihat Ali Syariati, alih bahasa Saifullah Mahyuddin, 1982, Thesis Sociologi of Islam, Yogyakarta: Ananda, hlm. 113-118. 3 Lihat Sir Muhammad Iqbal, 1981, "Thesis Reconstruction of Religious Thought” di dalam Islam, New Delhi: Nusrat Ali Nasri for Kitab Bhavan, hlm. 95. Sebagaimana ditegaskan oleh Allah dalam QS. Al-An’am ayat: 164: “ ..... dan seseorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain” 4 Firman Allah dalam Surat Thaha ayat 122: 2

       “ Kemudian Tuhannya memilihnya (Adam) maka dia menerima taubatnya dan memberinya petunjuk” 5 Firman Allah dalam surat al-An’am ayat 165:                        “ Dan dia lah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi dan dia meninggikan sebahagian kamu atas sebahagian (yang lain) beberapa derajat, untuk mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu. Sesungguhnya Tuhanmu amat cepat siksaan-Nya dan Sesungguhnya dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” Firman Allah dalam Surat al-Baqarah ayat 30                               

Volume VIII, (September-Februari 2013)| AT-THARIQ 3


Pendidikan Tinggi Islam Dan Tantangan Modernitas kepercayaan Tuhan, sekalipun resikonya besar.6 Keempat, untuk itu semua manusia diberi kemampuan untuk mengetahui semua nama dan konsep benda yang malaikat sendiri tidak mampu. Karena itu malaikat sujud dan hormat kepadanya (Nasir, 2005: 35-37).7 Dengan penjelasan di atas, jelaslah bahwa ada empat sifat yang diberikan Allah kepada manusia: (1) manusia adalah makhluk terpilih, (2) sebagai khalifah Allah di bumi, (3) diberi kepercayaan melaksanakan amanat yang semua makhluk tidak bersedia, dan (4) untuk melaksanakan itu semua, manusia diberi kemampuan mengetahui nama semua benda, yang malaikat tidak tahu. Konsep dasar pendidikan Islam, sebenarnya dapat di analisa dari proses Allah mendidik manusia (dalam arti menumbuhkan dan mengembangkannya secara bertahap) sepanjang sejarah kehidupan manusia untuk mengembangkan potensi fitrahnya sekaligus menjalankan tugas kekhalifahan (Nasir, 2005: 39). Kata pendidikan, menurut Zakiyah Daradjat, sinonim dengan kata tarbiyah (dalam bahasa Arab). Pendidikan Islam yang merupakan terjemahan dari tarbiyah Islamiyyah, dipahami sebagai proses untuk mengembangkan fitrah8 “Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui." 6 Firman Allah dalam surat al-Ahzab ayat 72:                     “Sesungguhnya kami Telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, Maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh” 7 Firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 31:                 “Dan dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, Kemudian mengemukakannya kepada para malaikat lalu berfirman: "Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu mamang benar orang-orang yang benar!" 8Kata fitrah berarti sifat pembawaan (yang ada sejak lahir), ciptaan, agama, dan lain-lain (lihat Al-Munawar Kamus Bahasa Arab Indonesia, oleh Ahmad Warson Munawwir, Yogyakarta, Unit Pengadaan Buku-buku Ilmiah Keagamaan Pondok Pesantren al-Munawwir, 1984, hlm. 1142). Fitrah bermakna jabillah insaniyah menghimpun dua kehidupan, jasmania hewaniyah dan rokhani malakiyah, padanya tersedia potensi yang siap untuk mengenal alam syahadah dan alam ghaib (lihat Muhammad Rasyid Ridla, Wahyu Illahi kepada Muhammad, Dunia Pustaka Jaya, hlm. 397). Fitrah berarti pengakuan ke-Esaan Allah ketika janin masih ada di rahim ibunya (lihat Imam Ibnu Katsir, Tafsir Al-Qur’an ‘Adzim, Libanon: Beirut, 1412 H, hlm. 523). Fitrah berarti suci (lihat Ibnu Abdillah Muhammad Bin Ahmad Anshori al-

4 AT-THARIQ|Volume VIII, (September-Februari 2013)


Suyanto manusia, sesuai dengan ajarannya (pengaruh dari luar) (Daradjat, 1992: 25). Naquib al-Attas menekankan pendidikan Islam sebagai proses untuk membentuk kepribadian Muslim (Al-Attas, 1979: ix). Bassam Tibi mendefinisikan pendidikan sebagai sistem sosial yang dapat membentuk subsistem-subsistem dalam sistem sosial secara total. Interaksi terjadi antara subsistem dan institusi-institusi lain dari sistem sosial masingmasing. Dalam sistem pendidikan, orang-orang tersosialisasikan sesuai dengan orientasi yang ditentukan secara budaya. Sistem semacam ini kadangkala juga dipengaruhi secara eksternal, khususnya dalam konteks interaksi dengan lingkungan baik secara nasional maupun internasional (Tibi, 1991: 113).9 Achmadi memberikan pengertian Pendidikan Islam ialah segala usaha untuk memelihara dan mengembangkan fitrah manusia serta sumber daya manusia yang ada padanya menuju terbentuknya manusia seutuhnya (insan kamil) sesuai dengan norma Islam (Achmadi, 2005: 28-29). Yusuf al-Qardhawi memberikan pengertian pendidikan Islam sebagai pendidikan manusia seutuhnya, akal dan hatinya, rohani dan jasmaninya, akhlak dan keterampilannya. Pendidikan Islam menyiapkan manusia untuk hidup, baik dalam damai maupun perang, dan menyiapkan untuk menghadapi masyarakat dengan segala kebaikan dan kejahatannya, manis pahitnya (alQardhawi,1983: 39). Dari pengertian-pengertian tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa pendidikan Islam adalah proses membentuk anak didik untuk mendapatkan pengetahuan dan nilai-nilai Islam menuju manusia seutuhnya (insan kamil) agar dapat berinteraksi dengan lingkungannya.

2. Eksistensi Pendidikan Tinggi Islam Perguruan tinggi agama Islam sebagai salah satu lembaga pendidikan Islam sangat dibutuhkan oleh masyarakat bangsa Indonesia yang mayoritas penduduk muslim (Mansur dan Junaedi, 2005: 117). Globalisasi yang melanda Qurthubi, Tafsir al-Qurthubi, Cairo: Darus Sa’ab, hlm. 5106). Fitrah juga berarti dienul Islam (lihat ‘Alaudin Ali bin Mahmud al-Baghdadi, Tafsir Khazin Musammah Lubabut Ta’wil fi Ma’ani Tanzil, Beirut: Darul Fikr, hlm. 434). Fitrah berarti potensi dasar manusia. Dalam struktur jasmani dan rohani, Allah memberikan seperangkat kemampuan dasar yang memiliki kecenderungan berkembang, yang dalam psikologi disebut potensialitas atau disposisi, dan menurut aliran psikologi behaviorisme disebut prepotence reflexes (potensi dasar yang secara otomatis dapat berkembang. Ibnu Taimiyah membagi fitrah manusia menjadi dua macam, yaitu fitrah al-Gharizah (fitrah inheren) dan fitrah al-munazzalah (fitrah luar). 9 Lebih lanjut lihat Bassam Tibi, Islam and The Cultural Accomodation of Social Change, Westview Press, 1991, hlm. 113.

Volume VIII, (September-Februari 2013)| AT-THARIQ 5


Pendidikan Tinggi Islam Dan Tantangan Modernitas masyarakat dunia saat ini selain membuka peluang-peluang besar bagi perguruan tinggi untuk mengembangkan potensinya juga merupakan tantangan bagaimana perguruan tinggi bisa eksis di tengah perubahan dunia tersebut (Rahardjo, 2004: 131). Fungsi dan tujuan pendidikan tinggi menurut PP No. 17 Tahun 2010 tentang pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan pasal 84 yaitu: 1. Pendidikan tinggi berfungsi mengembangkan atau membentuk kemampuan, watak, dan kepribadian manusia melalui pelaksanaan: a) dharma pendidikan untuk menguasai, menerapkan, dan menyebarluaskan nilai-nilai luhur, ilmu pengetahuan, teknologi, seni dan olah raga; b) dharma penelitian untuk menemukan, mengem-bangkan,mengadopsi, dan/atau mengadaptasi nilai-nilai luhur, ilmu pengetahuan, teknologi, seni, dan olah raga; dan c) dharma pengabdian kepada masyarakat untuk menerapkan nilai-nilai luhur, ilmu pengetahuan, teknologi, seni, dan olah raga dalam rangka pemberdayaan masyarakat. 2. Pendidikan tinggi bertujuan: a) membentuk insan yang: (1) beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, dan berkepribadian luhur; (2) sehat, berilmu, dan cakap; (3) kritis, kreatif, inovatif, mandiri, percaya diri dan berjiwa wirausaha; serta (4) toleran, peka sosial dan lingkungan, demokratis, dan bertanggung jawab. b) menghasilkan produk-produk ilmu pengetahuan, teknologi, seni, atau olah raga yang memberikan kemaslahatan bagi masyarakat, bangsa, negara, umat manusia dan lingkungan (PP No. 17 Tahun 2010). Persoalan utama yang dihadapi oleh pendidikan tinggi Islam dalam hal ini PTAI (IAIN/STAIN/UIN) saat ini adalah kekurang berhasilannya dalam mencapai dua tujuan pokok pendidikan tinggi seperti yang termaktub dalam PP 17 Tahun 2010, yaitu masalah kualitas lulusan yang dihasilkannya, dan sumbangan pendidikan tinggi Islam pada pengembangan ilmu, dalam hal ini ilmu agama Islam (Furqan, 2004: 14). Masuknya era modernitas telah berpengaruh luas terhadap sistem dan institusi pendidikan tinggi Islam. Dengan adanya era modernitas ini, lulusan Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI) harus bersaing dengan seluruh PTAI internasional. Untuk itu pemerintah perlu mendorong, memfasilitasi dan memberikan otonomi kepada PTAI untuk siap bersaing secara global. Pada level institusi, modernitas telah memaksa PTAI untuk lebih berkualitas dan lebih berani bersaing. Untuk menjamin mutu tersebut PTAI perlu membentuk unit jaminan mutu di PTAI-nya sendiri. Di sisi lain masyarakat dan pengguna 6 AT-THARIQ|Volume VIII, (September-Februari 2013)


Suyanto lulusan PTAI semakin sadar untuk mencari dan memilih PTAI berkualitas ( Zubaedi, 2012: 193). Secara umum, kompetensi yang dibutuhkan dalam percaturan pasar global yang harus ditekankan oleh PTAI karena menyangkut seluruh lulusan adalah: 1) Kompetensi berbahasa Arab 2) Kompetensi dasar keislaman 3) Kompetensi berbahasa Inggris 4) Kompetensi menggunakan komputer 5) Kompetensi berkaitan dengan sikap kerja: keimanan dan ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, disiplin, kejujuran, ketelitian, tanggung jawab, kematangan emosi, inovatif, profesional. C. Modernitas dan Konsekuensinya Analisis Giddens mengenai modernitas dititikberatkan pada nation-state, Giddens menganalisisnya dalam empat dimensi institusional modernitas. Pertama, kapitalisme yang ditandai oleh produksi komoditi, pemilikan pribadi atas modal, tenaga kerja tanpa properti (propertyless), dan sistem kelas yang berasal dari ciri-ciri tersebut. Kedua adalah industrialisme yang melibatkan penggunaan sumber daya alam dan mesin untuk memproduksi barang. Industrialisme tak terbatas pada tempat kerja saja dan industrialisme memengaruhi sederetan lingkungan lain seperti transportasi, komunikasi, dan bahkan kehidupan rumah tangga (Gidden, 1990: 56). Meski dua ciri modernitas pertama yang dikemukakan Gidden ini hampir tak merupakan sesuatu yang baru, tetapi ciri ketiga–kemampuan mengawasi (surveillance capacities)–tampaknya berasal dari pemikiran Michel Foucault. Seperti difinisikan Giddens, “kemampuan mengawasi mengacu pada pengawasan atas aktivitas warga negara individual (terutama, tetapi bukan semata-mata) dalam bidang politik� (1990: 58). Dimensi institusional yang keempat dari modernitas adalah kekuatan militer atau pengendalian atas alat-alat kekerasan, termasuk industrialisasi peralatan perang. Perlu dicatat bahwa dalam analisisnya tentang modernitas, setidaknya di tingkat makro, Giddens memusatkan perhatian pada negara-bangsa (nation-state) yang dilihatnya sangat berbeda dari tipe komunitas yang menandai masyarakat pramodern (Ritzer dan Goodman, 2004: 555). Modernitas memperoleh dinamisnya melalui tiga aspek penting teori strukturasi Giddens: pertama, pemisahan waktu dan ruang atau distanciation (meski proses yang makin memisah ini tidak unlinear, tetapi bersifat dialektik). Dalam masyarakat pramodern, waktu selalu dikaitkan dengan ruang dan pengukuran Volume VIII, (September-Februari 2013)| AT-THARIQ 7


Pendidikan Tinggi Islam Dan Tantangan Modernitas waktu biasanya tidak tepat. Dengan modernisasi, waktu modernisasi waktu dibakukan ukurannya (standardized) dan kaitan erat antara waktu dan ruang diputus. Dalam hal ini, baik waktu maupun ruang “dikosongkan” dari isinya; tak ada waktu dan ruang khusus yang istimewa; keduanya menjadi bentuk yang murni. Dalam masyarakat pramodern, ruang umumnya ditentukan oleh kehadiran secara fisik dan karena itu ditentukan oleh ruang yang dilokalisir. Dengan datangnya modernitas, ruang makin lama makin dilepaskan dari tempat. Berhubungan dengan orang yang berjauhan jarak fisik makin lama makin besar peluangnya. Menurut Giddens, tempat semakin menjadi “phantasmagoric”, artinya “tempat terjadi peristiwa sepenuhnya ditembus dan ditentukan oleh pengaruh sosial yang jauh dari tempat terjadinya peristiwa itu” (Gidden, 1990: 19). Pemisahan waktu dan ruang adalah penting bagi modernitas karena beberapa hal. Pertama, memungkinkan tumbuhnya organisasi rasional seperti birokrasi dan negara-bangsa dengan dinamismenya (dibandingkan dengan bentuk pramodern) dan kemampuannya untuk menghubungkan otoritas lokal dan global. Kedua, kehidupan modern ditempatkan dalam pengertian radikal dari sejarah dunia dan itu dapat menimbulkan kesan bahwa sejarah membentuk masa kini. Ketiga, pemisahan ruang dan waktu seperti itu adalah syarat utama bagi sumber kedua dinamisme dalam modernitas menurut Giddens–yakni keterlepasan (disembedding) (Ritzer dan Good-man, 2004: 556). Seperti didefinisikan Giddens, keterlepasan menyebabkan hubungan sosial menjadi “terangkat” dari konteks lokal interaksi ke tingkat yang melintasi ruang dan waktu yang tak terbatas (1990:21). Ada dua tipe mekanisme keterlepasan yang penting perannya dalam masyarakat modern; keduanya dapat disebut sistem abstrak. Pertama, tanda simbolik, yang paling terkenal adalah uang. Uang memungkinkan pemisahan ruang-waktu. Dengan uang kita mampu terlibat dalam transaksi dengan orang lain yang jauh dipisahkan dari kita oleh waktu dan atau ruang. Kedua, adalah sistem keahlian (expert system) yakni “sistem kecakapan teknis atau keahlian profesional yang mengorganisir bidang material dan lingkungan sosial di mana kita hidup kini” (Giddens, 1990: 27). Sistem keahlian yang paling menonjol adalah profesi seperti pengacara dan dokter, tetapi fenomena sehari-hari seperti mobil dan rumah kita ciptakan dan dipengaruhi oleh sistem keahlian. Sistem keahlian memberikan jaminan (tetapi bukan tanpa risiko) pelaksanaan pekerjaan melintasi ruang dan waktu (Ritzer dan Goodman, 2004: 556). Pandangan Giddens mengenai modernitas terkait erat dengan teori strukturasinya. Individu bukanlah objek dalam proses modernisasi, melainkan individu memainkan peran yang sangat penting dalam proses ini di samping 8 AT-THARIQ|Volume VIII, (September-Februari 2013)


Suyanto keberadaan institusi penting lainnya yang menopang modernitas. Giddens menggambarkan modernitas sebagai sebuah lokomotif yang mengawal perubahan. Baginya, lokomotif modernitas merupakan: Sebuah mesin yang berlari cepat dengan tenaga yang besar yang secara kolektif, sebagai manusia, kita dapat menungganginya pada batas yang luas namun juga dapat melaju tanpa kendali dan dapat menghancurkan dirinya sendiri. Lokomotif ini menggilas siapa pun yang menahannya, dan kadang sepertinya ia memiliki jalur yang mantap, ada masanya ia keluar jalur dengan arah yang tidak menentu, ketika tidak dapat meramalnya. Perjalanan tersebut dengan demikian tidak selalu menyenangkan dan membawa hasil; terkadang dapat menjadi menyenangkan dan diisi dengan antisipasi yang penuh harapan. Namun, sejalan dengan bertahannya institusi modernitas, kita tidak dapat mengendalikan dengan aman sepenuhnya, karena medan yang dilaluinya penuh dengan risiko dan konsekuensi yang tinggi (Giddens, 2005). Gidden menggambarkan modernitas sebagai sebuah lokomotif untuk menggambarkan bagaimana proses ini berjalan dengan sangat cepatnya. Ia juga memiliki jalur sendiri yang tidak dapat dihalangi oleh siapa pun, siapa pun yang menghalangi modernitas, ia akan dilibas. Ide ini terkait erat dengan idenya mengenai strukturasi, terutama dalam pembahasan mengenai waktu dan ruang. Lokomotif digambarkan sebagai sesuatu yang bergerak sejalan dengan waktu dan ruang fisik. Namun, menurut Ritzar (2004), analogi modernitas sebagai sebuah “lokomotif� kurang sesuai dengan idenya mengenai kekuasaan agen, kesan ini lebih mengede-pankan kekuasaan struktur yang mengendalikan agen (Martono, 2011: 119). Giddens kemudian menjelaskan tiga karekteristik modernitas. Pertama, pemisahan waktu dan ruang. Waktu, dalam masyarakat pramodern selalu dikaitkan dengan ruang, dan pengukuran waktu tidaklah tepat (belum ada alat mengukur waktu secara tepat). Melalui modernisasi waktu distandardisasi, dan mata rantai yang tertutup antara waktu da ruang diputus. Ruang, dalam masyarakat pramodern, kebanyakan ditentukan oleh kehadiran fisik, artinya ruang yang dilokalisasi. Ruang menjadi terpecah melalui modernisasi, bukan lagi menunjuk pada satu temapt fisik. Interaksi di antara mereka tidak diwujudkan dlam interaksi tatap muka dalam sebuah ruang (Martono, 2011: 121) Kedua, pemisahan. Ada dua tipe pemisahan dalam masyarakat modern, yaitu: alat tukar simbolik (symbolic token [uang]), dan pemisahan sistem ahli (expert systems). Uang memungkinkan pemisahan waktu dan ruang, kita dapat masuk dalam transaksi-transaksi dengan mereka yang secara luas terpisah dari kita oleh Volume VIII, (September-Februari 2013)| AT-THARIQ 9


Pendidikan Tinggi Islam Dan Tantangan Modernitas waktu, ruang, dan uang. Uang merupakan sebuah media yang menegasikan kandungan sebuah barang atau jasa dengan beberapa standar. Uang memungkinkan terjadinya pertukaran atas segala hal, terlepas dari apakah benda tersebut secara substansial memiliki kesamaan kualitas satu sama lain atau tidak. Uang dalam bentuknya yang maju pada akhirnya didefinisikan sebagai debit dan kredit. Uang adalah acara penundaan yang menyediakan sarana untuk menghubungkan kredit dan pinjaman dalam situasi tempat pertukaran produk dengan segera (Martono, 2011: 121). Ketiga, refleksivitas. Refleksivitas dunia modern terdiri atas sejumlah fakta bahwa berbagai praktek sosial secara konstan ditelaah dan direformasi dari sudut pandang informasi yang masuk mengenai praktek yang mereka lakukan, sehingga secara konstitutif mengubah karakter mereka. Dalam dunia modern, segalanya terbuka untuk refleksi, dan termasuk di dalamnya adalah proses refleksi itu sendiri. Hal ini menyebabkan segala sesuatu terbuka untuk dipertanyakan, untuk meninggalkan kita dengan rasa ketidakpastian (Martono, 2011: 122). D. Pendidikan Tinggi Islam dan Tantangan Modernitas 1. Problematika dan Tantangan Pendidikan Tinggi Islam Problem dan Tantangan pendidikan tinggi Islam di zaman modern ini semakin besar dan kompleks. Berbagai aspek tentang pendidikan tinggi Islam masih menjadi pekerjaan rumah yang tidak hanya berorientasi pada saat sekarang, tetapi juga menatap masa depan. Dalam makalah ini akan dibatasi pada empat problem yang menyangkut problem epistemologi, problem kelembagaan, problem kurikulum, dan problem pengembagan SDM pendidikan tinggi Islam. Problem pendidikan Islam termasuk pendidikan tinggi Islam dalam kerangka epistemologi terjebak kepada dikotomi keilmuan yang antagonistik antara ilmu agama yang diperoleh melalui rasionalitas akal dan kalbu dan ilmu umum yang diperoleh melalui kepekaan inderawi dan eksperimentasi (Tholkhah dan Ahmad Barizi, 2004: 203). Problem dikotomi antara ilmu agama dan ilmu umum sebenarnya muncul sejak sebelum Indonesia merdeka, tetapi problem ini masih berkembang hingga sekarang. Hal ini setidaknya dapat dilacak dari kajian-kajian kependidikan Islam baik melalui kegiatan seminar maupun dalam buku-buku ilmiah. Seminar nasional tentang “Islam dan Pendidikan Nasional� yang diselenggarakan oleh IAIN Jakarta 25-27 April 1983 antara lain merekomendasikan bahwa pendidikan haruslah dilakukan tanpa bersifat dikotomis terhadap sains dan ilmu agama, 10 AT-THARIQ|Volume VIII, (September-Februari 2013)


Suyanto karena dalam sejarahnya ulama-ulama Islam terdahulu tidak mempunyai sikap dikotomis (Muhaimin, 2009: 86). Dalam problem kelembagaan pendidikan tinggi Islam harus diakui, eksistensi IAIN/STAIN, pada dasarnya, turut melestarikan dikotomi antara pendidikan agama Islam dan pendidikan umum. Sesuai dengan undang-undang dan ketentuan tentang pendidikan tinggi yang lama, IAIN/STAIN hanya memiliki mandat untuk bergerak dalam bidang yang sering disebut sebagai ilmu-ilmu agama Islam, sejak syariah, tarbiyah, tafsir-hadiแนก, tawasuf, dakwah, adab, dan semacamnya. IAIN/STAIN pada dasarnya tidak punya mandat untuk juga bergerak dalam ilmu-ilmu umum. IAIN/STAIN memang pernah main kucing-kucingan dengan Kementerian Pendidikan Nasional ketika membuka program tadris di Fakultas Tarbiyah, yang sebenarnya merupakan program-program studi umum yang menjadi mandat istimewa Kemendiknas belaka (Azra, 2012: 294). Dengan berbentuk institut, PTAIN ini pada dasarnya memiliki kewenangan terbatas pada pengajaran ilmu-ilmu dalam satu rumpun, yakni ilmu-ilmu keislaman (Rahim, 2004: 63). Sebagai perguruan tinggi agama IAIN/STAIN menurut pembidangan ilmu yang ditetapkan LIPI hanya boleh membuka jurusan-jurusan yang masuk dalam katagori ilmu agama yang tercermin dalam pembagian fakultas/jurusan yang didasarkan pada pembidangan ilmu agama Islam tersebut. Adanya rambu-rambu dari LIPI ini, diakui atau tidak, telah menghambat sekaligus membatasi ruang gerak pengembangan pendidikan Islam khususnya dalam pengembangan program studi umum yang sesungguhnya merupakan satu kesatuan dari ajaran Islam. Perlu diketahui bahwa kurikulum IAIN/STAIN belum mampu merespon perkembangan iptek dan perubahan masyarakat yang semakin komplek. Hal ini disebabkan terutama karena bidang kajian agama yang merupakan spesialisasi IAIN/STAIN kurang mengalami interaksi dan reapproachement dengan ilmu-ilmu umum, bahkan masih cenderung dikotomis. Kurikulum IAIN/STAIN masih terlalu berat pada ilmu-ilmu yang bersifat normatif; sedangkan ilmu-ilmu umum yang lebih empiris dan kontekstual nampaknya masih belum memadahi (Azra, IAIN di Tengah Paradigma Baru Perguruan Tinggi, dalam http://www.dipertais.net/artikel/azyu01.asp /diakses 18 April 2013). Berdasarkan latar belakang ini pengembangan IAIN/STAIN menjadi UIN mempunyai alasan yang cukup kuat. Problem pengembangan SDM, berdasarkan hasil kajian, kualitas PTAI dinilai masih rendah. Ada lima indikator masih rendahnya mutu PTAI. Pertama, Volume VIII, (September-Februari 2013)| AT-THARIQ 11


Pendidikan Tinggi Islam Dan Tantangan Modernitas akreditasi program studi-program studi pada PTAI hasilnya kebanyakan pada level B dan C dan hanya sekitar 10% terakreditasi A. Kedua, masih sangat sedikit PTAI yang mahasiswanya orang asing, kebanyakan mahasiswanya domestik. Ketiga, belum tampaknya PTAI yang menawarkan program studinya di luar negeri, seperti banyaknya PT asing yang menawarkan program studi di Indonesia. Keempat, masih sedikitnya forum-forum kerja sama antar PTAI baik dalam penyelenggaraan seminar-seminar bersama, tukar-menukar dosen termasuk saling mengirim penguji ujian disertasi doktor (external examinizer). Kelima, masih sedikitnya kerja sama program pendidikan dalam bentuk twinning program, kelas bersama ataupun franchising antar PTAI ataupun program mutual recognition antar PTAI (Zubaedi, 2012: 194). Sumbangan PTAI terhadap pengembangan ilmu, teknologi, seni dan budaya yang bernafaskan Islam juga dinilai masyarakat masih kurang signifikan. Masyarakat belum melihat PTAI sebagai pusat kajian ilmu agama tempat mereka menoleh apabila ada persoalan-persoalan yang menyangkut agama, apalagi di bidang ilmu pengetahuan, teknologi, seni dan budaya yang bernafaskan Islam. masyarakat masih lebih suka menoleh ke lembaga lain di luar PTAI, seperti MUI, Majlis Tarjih Muhammadiyah, Syuriah NU dan sebagainya (Furqan, 2004: 15-16). 2. Respon Pendidikan Tinggi Islam terhadap Tantangan Modernitas Pendidikan tinggi Islam mau tidak mau harus terlibat dalam mengatasi dan menyelesaikan berbagai tantangan tersebut di atas bersama dengan kekuatan-kekuatan pendidikan nasional yang lain, bahkan bersama kekuatan sosial, politik, dan ekonomi pada umumnya. Hanya saja pendidikan Islam perlu melakukan evaluasi diri terlebih dahulu untuk selanjutnya melakukan reaktualisasi10 dan reposisi, dengan cara melakukan sinkronisasi dengan kebijakan pendidikan nasional untuk membebaskan bangsa dari berbagai persoalan di atas (Muhaimin, 2009: 17). Sebagai respon dari problem dikotomis pendidikan agama dan pendidikan umum atau ilmu agama dan ilmu umum, maka muncul gagasan “Islamisasi Pengeta-huan�. Gagasan ini dilontarkan oleh Syed Muhammad Naquib Al-Attas dan Ismail Raji Al-Faruqi (Muhaimin, 2009: 86-87). Al-Attas melihat Islamisasi sebagai pembe-basan manusia dari unsur-unsur sekuler dan menjadikan manusia lebih beradab. Sementara, bagi Al-Faruqi, Islamisasi ilmu 10 Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2003: 698), reaktualisasi (kb) adalah proses, cara, perbuatan mengak-tualisasikan kembali; penyegaran dan pembaruan nilai-nilai kehidupan masyarakat.

12 AT-THARIQ|Volume VIII, (September-Februari 2013)


Suyanto mengkaji adalah semua khazanah keilmuan Barat dan menyesuaikannya dengan prinsip Islam (Karni, 2009: 304). Respon perguruan tinggi Islam terhadap problem kelembagaan adalah dengan gagasan mengubah status dari IAIN/STAIN menjadi UIN. Perubahan ini merupakan alternatif bagi gagasan untuk pengembangan keilmuan Islam secara lebih luas. Sampai tahun 2013 ada 6 IAIN/STAIN berubah menjadi IAIN yaitu: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (sejak 20 Mei 2002), UIN Malang (sejak 21 Juni 2004), UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta (sejak 14 Oktober 2004), UIN Sultan Syarif Kasim Riau (mulai 4 Januari 2005), UIN Alauddin Makassar (mulai 10 Oktober 2005), dan UIN Sunan Gunung Djati Bandung (juga mulai 10 Oktober 2005) (Karni, 2009: 304). Mainstrem ke arah ingin berubah itu telah menjadi tren bagi sebagian besar IAIN, setidaknya dalam bentuk wider mandate (mandat yang diperluas). UIN adalah peguruan tinggi Islam yang memiliki tugas menyelenggarakan program pendidikan tinggi dibidang ilmu agama Islam dan wider mandate di bidang ilmu umum yang mendukung terhadap program pendidikan tinggi bidang ilmu agama. PTAI jika dicermati memiliki sejumlah kekuatan. Kekuatan utama yang dimiliki oleh pendidikan tinggi terletak pada: eksistensi UIN yang telah diakui masyarakat, civitas akademika IAIN yang memiliki komitmen yang kuat untuk mengembangkan nilai-nilai keislaman, bersifat demokratis, semakin meningkatnya gelar master dan doktor bagi para tenaga pengajar. Oleh karena itu, pembangunan UIN ditujukan untuk mengemban amanat dalam mengintegrasikan bidang ilmu agama Islam dengan bidang ilmu umum (Zubaedi, 2012: 195). Dengan memperhatikan kondisi saat ini dan lingkungan strategis, maka arah pembangunan UIN difokuskan kepada revitalisasi program studi agama, peningkatan mutu pendidikan dan mutu layanan akademik. Untuk mengatasi problem kurikulum, PTAI perlu mendesain kurikulumnya agar bisa memberikan kompetensi kepada mahasiswa dengan menguasai konsep, prinsip, toeri, metodologi, dan aplikasi dalam praktik sebagai ahli-ahli (profesional) dalam pekerjaan teknis/praktis dan idealis keislamana. Melalui berbagai program studi di PTAI, lulusan dipersiapkan sebagai sarjana ahli agama Islam yang memiliki kelengkapan pengetahuan/wawasan, keterampilan, dan sikap sebagai seorang agama Islam yang diperlukan untuk menanga ni dan memecahkan berbagai tugas-tugas keagamaan keislaman di masyarakat (Zubaedi, 2012:16). Penataan kurikulum antara lain dengan memasukkan mata-mata kuliah lintas disiplin di mana ilmu-ilmu umum Volume VIII, (September-Februari 2013)| AT-THARIQ 13


Pendidikan Tinggi Islam Dan Tantangan Modernitas diajarkan. Kemudian juga ditempuh pembenahan dalam bidang pengajaran dengan memperkenalkan metode-metode yang berbasis pemikiran kontekstual, bukan doktrinal (Rahim, 2004:62). Sasaran yang akan dicapai melalui penyelenggaraan PTAIN yaitu menghasil-kan: tenaga ahli agama Islam yang mampu melaksanakan tugas dan pengabdian dalam bidang pembangunan agama. Mereka lulus dianggap telah menguasai tiga kompetensi: (1) kompetensi utama: ahli agama Islam (Islamic scholar), (2) kompetensi keahlian yang menunjukkan spesialisasi profesionalisme yang sudah ditekuni, (3) kompetensi pendukung: mampu memecahkan masalahmasalah sosial keagamaan, (4) kompetensi lain-lain sebagai pelengkap dalam mengantisipasi aneka perubahan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat (Zubaedi, 2011: 161). Diantara problem peningkatan kualitas SDM pendidikan tinggi islam, maka di antara “keunggulan-keunggulan� yang mutlak dimiliki bangsa Indonesia adalah peng-uasaan atas sains-teknologi, dan keunggulan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM). Penguasaan terhadap sains-teknologi, sebagaimana terlihat dalam pengalaman banyak negara seperti Amerika Serikat, Jepang, Jerman dan sebagainya, menunjukkan bahwa sains-teknologi merupakan salah satu faktor terpenting yang menghantarkan negara-negara tersebut kepada kemajuan (Azra,1999: 46). Realitas tersebut merupakan tantangan bagi IAIN/STAIN/UIN untuk menyiap-kan calon-calon sarjana atau tenaga-tenaga yang disiapkan melalui suasana lingkung-an yang kondusif bagi pengembangan nilai-nilai Islam. Karena itu, IAIN/STAIN/UIN perlu juga mengembangkan program ma’had (pesantren) yang sekaligus memiliki tujuan ganda, yakni pendalaman dan pengayaan wawasan akan ilmu-ilmu keagamaan (Islam), serta pembinaan ruh keislaman dan/ atau internalisasi nilai-nilai keagamaan (Islam) melalui sarana dan prasarana tersebut. Untuk mengungkap sejauh mana kualitas alumni PTAI dan sejauh mana problematika alumni membutuhkan sebuah research yang dikenal dengan penelitian pelacakan (tracer study). Manfaat tracer study adalah memberikan informasi tentang empat hal. Pertama, Penyesuaian lulusan di masyarakat dan tempat kerja. Kedua, peningkatan pemanfaatan lulusan oleh pasar kerja. Ketiga, peningkatan lulusan dalam hal mutu dan keahlian, etos kerja, dan kinerja di lembaga tempat kerja. Keempat, peningkatan mutu gagasan inovatif lulusan, dan. Kelima, peningkatan relevansi kurikulum PTAI terhadap dunia kerja. Tracer study merupakan pendekatan yang memungkinkan institusi pendidikan tinggi 14 AT-THARIQ|Volume VIII, (September-Februari 2013)


Suyanto memperoleh informasi tentang kekurangan yang mungkin terjadi dalam proses pendidikan dan proses pembelajaran dan dapat merupakan dasar untuk perencanaan aktivitas untuk penyempurnaan di masa mendatang. Dengan demikian diperlukan informasi dari lulusan yang berhasil di profesinya, misalnya informasi tentang pengetahuan dan penampilan yang relevan (hubungan antara pengetahuan terhadap ketrampilan dan tuntutan pekerjaan, area pekerjaan, posisi profesi). Selain itu, para lulusan dapat juga diminta untuk menilai kondisi studi yang mereka alami selama mengikuti proses pendidikan dan pembe-lajaran (Zubaedi, 2012: 170). IAIN/STAIN/UIN sebagai pendidikan tinggi Islam yang ada di Indonesia dalam kiprahnya untuk berperan serta dalam mencetak sumber daya manusia yang berkualitas di masa depan selalu berusaha untuk mengembangkan kelembagaannya baik secara internal maupun eksternal. Ada tiga domain penting yang selalu diperhati-kan dalam upaya pengembangan IAIN/STAIN/UIN yaitu: pertama, kepemimpinan yang visioner dan andal. Pemimpin seperti ini berciri utama: berkarakter, berkharisma, berkompeten dan berkomitmen terhadap lembaga yang dipimpinnya. Kepemimpinan ini mencakup semua lini dalam sebuah perguruan tinggi. Kepemimpinan yang visioner dan andal inilah yang akan mampu menjadi penggerak bagi dinamika dan pengembangan sebah institusi. Kedua, membangun jaringan kerja sama. Bagaimanapun cemerlangnya sebuah ide yang digagas para pemimpin sebuah perguruan tinggi Islam, ia tidak akan berarti jika perguruan tinggi itu tidak mau membangun jaringan kerja sama. terlebih dalam era modernitas sekarang ini. Ketiga, memperkokoh aktivitas penelitian. Adalah sudah menjadi pandangan umum jika kebesaran IAIN/STAIN/UIN tidak ditentukan oleh seberapa banyak mahasiswanya, seberapa luas kampusnya, dan seterusnya. Tetapi, kebesaran sebuah IAIN/STAIN/UIN diukur oleh seberapa banyak penelitian berkualitas yang dihasilkan oleh IAIN/STAIN /UIN. Oleh karena itu, dalam pengembangan pendidikan tinggi Islam domain pene-litian ini harus menjadi hal yang penting (Rahardjo, 2004:147). Hal inilah yang patut diperhatikan pendidikan tinggi Islam dalam rangka merespon tantangan modernitas. Menurut Penulis kebijakan pengembangan pendidikan tinggi agama Islam ke depan harus diorientasikan pada target keunggulan mengingat tantangan kompetitif baik pada tingkat lokal maupun global yang semakin menantang. Watak diversifikatif dari kelembagaan pendidikan tinggi agama Islam merupakan modal dasar yang dapat dikembangkan untuk memacu kemajuan pendidikan tinggi agama Islam secara keseluruhan. Berkaitan dengan Volume VIII, (September-Februari 2013)| AT-THARIQ 15


Pendidikan Tinggi Islam Dan Tantangan Modernitas tuntutan pengembangan lembaga pendidikan tinggi Islam di atas, maka lembaga-lembaga pendidikan tinggi agama Islam, khususnya IAIN dan STAIN, didorong untuk melakukan reinterpretasi terhadap fungsi pendidikan dan dakwah yang diembannya (Munawir, 2003: 233). Upaya yang dilakukan Kementerian Agama, tentu saja dalam kerangka peningkatan kualitas pendidikan tinggi agama Islam. Berkaitan dengan hal demikian, IAIN dan STAIN harus mampu meningkatkan mutu pendidikan dalam menghadapi tantangan persaingan modern. Lulusan IAIN dan STAIN diharapkan bukan hanya memiliki standar nasional, tetapi juga kompetetif setara internasional, dalam memenuhi pasar global. E. Kesimpulan Dari pembahasan di atas dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: 1. Untuk merespon problem dikotomi ilmu, Pendidikan Tinggi Islam (PTAIN) mengintegrasikan ilmu-ilmu agama dengan ilmu-ilmu umum. 2. Respon perguruan tinggi Islam terhadap problem kelembagaan adalah dengan gagasan mengubah status dari IAIN/STAIN menjadi UIN. Perubahan ini merupakan alternatif bagi gagasan untuk pengembangan keilmuan Islam secara lebih luas. 3. Penataan kurikulum antara lain dengan memasukkan mata-mata kuliah lintas disiplin di mana ilmu-ilmu umum diajarkan. Kemudian juga ditempuh pembenahan dalam bidang pengajaran dengan memperkenalkan metode-metode yang berbasis pemikiran kontekstual, bukan doktrinal. 4. Pengembangan/peningkatan kualitas out put PTAIN dilakukan untuk menghasilkan tenaga ahli agama Islam yang mampu melaksanakan tugas dan pengabdian dalam bidang pembangunan agama. Mereka lulus dianggap telah menguasai tiga kompetensi: (1) kompetensi utama: ahli agama Islam (Islamic scholar), (2) kompetensi keahlian yang menunjukkan spesialisasi profesionalisme yang sudah ditekuni, (3) kompetensi pendukung: mampu memecahkan masalahmasalah sosial keagamaan, (4) kompetensi lain-lain sebagai pelengkap dalam mengantisipasi aneka perubahan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat. 5. Ada tiga domain penting yang harus diperhatikan dalam upaya pengembangan IAIN/STAIN/UIN yaitu: pertama, kepemimpinan yang visioner dan andal. Kedua, membangun jaringan kerja sama. Ketiga, memperkokoh aktivitas penelitian.

16 AT-THARIQ|Volume VIII, (September-Februari 2013)


Suyanto DAFTAR PUSTAKA Abdullah, Abdurrahman Saleh, Educational Theory A Qur’anic Out Look, Makkah alMukarrah: Ummu Al-Qur’an University. Abdullah, Amin, 2005, Pendidikan Agama Era Multikultural-Multireligius, Jakarta: PSAP Muhammadiyah. Al-Abrasyi, Muhammad ‘Attiyah, 2003, Prinsip-prinsip Dasar Pendidikan Islam, terjemah Abdullah Zakiy al-Kaaf, At-Tarbiyah al-Islamiyyah, Bandung: Pustaka Setia Al-Nahlawi, Abdurrahman, 1979, Ushûl al-Tarbiyah al-Islamiyyah wa Asâlibuha fi al-Bayt wa al-Madrasah wa al-Mujtama’, Damaskus: Dâr al-Fikr. Al-Syaibani, Omar Mohammaad al-Toumy,1979, Falsafah Pendidikan Islam, terj. Hasan Langgulung, Jakarta: Bulan Bintang Azra, Azyumardi, 1999, Pendidikan Islam Tradisi dan Modernisasi Menuju Milinium Baru, Ciputat: Logos ........................., 2002, Paradigma Baru Pendidikan Nasional: Rekonstruksi dan Demokra-tisasi, Jakarta: Penerbit Buku Kompas. Dawam, Ainurrafiq, dan Ta’rifin, Ahmad, 2005, Manajemen Madrasah Berbasis Pesantren,Tanpa Kota: Lista Fariska Putra. Furqan, Arief, 2004, Memetakan Persoalan Perguruan Tinggi Agama Islam: Visi Misi dan Program Direktorat Perguruan Tinggi Agama Islam Depatemen Agama RI, Jakarta: Dirjen PTAI. Gibb, H.A.R, 1993, Aliran-aliran Modern dalam Islam, alih bahasa Machmun Husein, Jakarta: Rajawali. Hamid, Abdul, 2010, Pemikiran Modern dalam Islam, Bandung: CV Pustaka Setia. Hamzah, Umar Yusuf, 1996, Ma’âlim al-Tarbiyah fi Al-Qur’ân wa al-Sunnah, Yordan: Dâr Usâmah Hassân, Muhammad Hassân dan Jamâluddîn, Naḍiyah, 1984, Madâris al-Tarbiyah fi alHaḍârah al-Islâmiyah, Kairo: Dâr al-Fikr al-Arabi. Jalal, Abdul Fattah, 1988, Azas-azas Pendidikan Islam, terjemahan Hery Noer Aly dar Min al-Usuli al Tarbawiyah fi al Islam, Bandung: Diponegoro. Langgulung, Hasan, 2003, Asas-Asas Pendidikan Islam, Jakarta: PT. Pustaka Al-Husna Baru Madjid, Nurcholis, 1997, Bilik-Bilik Pesantren: Sebuah Potret Perjalanan, Jakarta: Paramadina Martono, Nanang, 2011, Sosiologi Perubahan Sosial: Perspektif Klasik, Modern, Posmodern dan Poskolonial, Jakarta: Rajawali Pers.

Volume VIII, (September-Februari 2013)| AT-THARIQ 17


Pendidikan Tinggi Islam Dan Tantangan Modernitas Mastudi HS, dan Marzuki Wahid, 2003, Perguruan Tinggi Agama Islam di Indonesia: Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan, Jakarta: Dirjen Binbagais Depag RI. Nasr, Sayyed Hosein, 1983, Islam and The Plight of Modern Man, Terj. Anas Muhyidiin Nasution,S., 1993, Pengembangan Kurikulum, Bandung: Citra Aditya Bakti. ................, 1994, Asas-Asas Kurikulum, Jakarta: Bumi Aksara Pye, Lucian W, 1965, Aspec of Political Development, Boston: Little Brown. Poerbakawatja, Soegarda, 1976, Ensiklopedi Pendidikan, Jakarta: Gunung Agung Putro, Suadi, 1998, Mohammad Arkoun Tentang Islam dan Modernitas, Jakarta: Paramida Rahman, Fathur, 1980, Tema-tema Al-Qur’ân, alih bahasa Anas Muhyiddin, Bandung: Pustaka. Ridha, Muhammad Rasyid, 1373, Tafsir al-Mannar Juz I, Kairo: Dar al Manar Ritzer, George dan Goodman Douglas J, 2004, Teori Sosiologi Modern, Jakarta: Prenada Media Roqib, Moh., 2009, Ilmu Pendidikan Islam: Pengembangan Pendidikan Integratif di Sekolah Keluarga dan Masyarakat, Yogyakarta: LkiS Shihab, Quraisy, 1996, Membumikan Al-Qur’ân, Bandung: Mizan Yunus, Mahmud, tp. th, Kamus Arab-Indonesia, Jakarta: PT Hidakarya Agung ......................., 1979, Sejarah Pendidikan Islam Indonesia, Jakarta: Mutiara

18 AT-THARIQ|Volume VIII, (September-Februari 2013)


Manajemen Sumber Daya Manusia Sebagai Upaya Meningkatkan Kualitas Dalam Pendidikan MANAJEMEN SUMBER DAYA MANUSIA SEBAGAI UPAYA MENINGKATKAN KUALITAS DALAM PENDIDIKAN Takiyudin Subkhi1 Abstract In order to establish a quality resource, then the existence of education becomes an important factor that should be seriously considered by all arties. Indeed, there are many factors and forms of activities that could influence the quality of human resources. But whatever the form factor and its activities can be ascertained therein education efforts. One institution that became the hope of Indonesian society in efforts to improve the human resource is the Madrassa. Vision of Madrassa at least considered more advanced than the vision developed by boarding that within certain limits considered less appreciative of the demands of the times. In addition Madrassa also be more comprehensive than that achieved by the orientation of public education is considered less meet the demands of the spiritual needs.

Keywords: Management, Quality of Education, Madrassa A. Latar Belakang Masalah Era global yang dicirikan persaingan bebas dengan berlatar pada kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi khususnya teknologi informasi, pada satu sisi merupakan suatu tantangan bagi kehidupan masa depan, namun pada sisi yang lain juga merupakan harapan dan sekaligus ancaman bagi seluruh bangsa yang tidak siap menghadapinya. Agar bisa survive dalam menapaki era ini, prasyarat mutlak yang harus dipenuhi adalah kemampuan berkompetisi dengan bekal keunggulan kompetetif. Upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia kemudian menjadi wacana yang mendesak untuk direalisasikan. Dalam kerangka pembentukan sumber daya yang berkualitas ini, maka keberadaan pendidikan menjadi suatu faktor penting yang harus mendapatkan perhatian serius oleh seluruh pihak. Memang terdapat banyak faktor dan bentuk kegiatan yang bisa mempengaruhi terhadap kualitas sumber daya manusia. Namun apapun faktor dan bentuk kegiatannya dapat dipastikan terdapat di dalamnya upaya pendidikan.2

Penulis adalah dosen di STAIS Majenang. Sanusi Uwes, Manajemen Pengembangan Mutu Dosen, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999) hal. V Lihat juga Mulyasa, Manajemen Berbasis Sekolah, Konsep Strategi dan Implementasi, (bandung : Remaja Rosadakarya, 2002), hal. 3. 1 2

20 AT-THARIQ|Volume VIII, (September-Februari 2013)


Takiyudin Subkhi Salah satu institusi yang menjadi harapan masyarakat (khususnya umat Islam) Indonesia dalam upaya peningkatan sumber daya manusia tersebut adalah madrasah. Madrasah yang merupakan perkembangan lebih kemudian dari institusi pendidikan Islam awal (pesantren, dayah atau surau), dipandang lebih memiliki keseimbangan visi, antara visi keduniawian (penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi) dan visi keakheratan (terbentuknya pribadi muttaqin). Visi madrasah ini setidaknya dipandang lebih maju dari pada visi yang dikembangkan oleh pesantren yang dalam batas tertentu dinilai kurang apresiatif terhadap tuntutan perkembangan zaman. Di samping itu madrasah juga dilihat lebih komprehenship dibandingkan dengan orientasi yang dicapai oleh pendidikan umum yang dinilai kurang memenuhi tuntutan kebutuhan spiritual keakheratan. Pada tataran praksis, pengelolaan institusi pendidikan di Indonesia termasuk madrasah dan juga lembaga pendidikan umum lain mayoritas diselenggarakan dan dikelola oleh swasta.3 Kondisi ini menyimpan sekian banyak persoalan yang sangat kompleks khususnya berkaitan dengan keterbatasan kemampuan madrasah swasta dalam menyediakan sarana dan fasilitas termasuk juga sumber daya manusia berkualitas yang diperlukan dalam mengelola madrasah. Sementara pada sisi lain, meskipun jumlah madrasah negeri jauh lebih sedikit dibandingkan dengan madrasah swasta namun madrasah negeri mendapatkan perhatian dan fasilitas lebih baik dari pada madrasah swasta. Realitas inilah yang kemudian memunculkan dikotomi (swasta-negeri) dalam penyelenggaraan madrasah di Indonesia. Hampir pada semua jalur dan jenjang di hampir seluruh wilayah Indonesia, madrasah swasta selalu kalah bersaing dengan madrasah negeri. Apalagi kondisi ini diperparah dengan pola pikir masyarakat yang negeri minded.4 Akibatnya dalam praktek pendidikan di Indonesia terjadi kesenjangan yang luar biasa antara sekolah negeri dan sekolah swasta. Berkait dengan paparan di atas, digulirkannya kebijakan desentralisasi bidang pendidikan dengan beberapa tawaran wacana pola penyelenggaraan manajemen pendidikan (manajemen berbasis sekolah atau school based management, manajemen berbasis masyarakat atau community based education, manajemen berbasis

3 Data tentang kondisi madrasah di Departemen Agama pada tahun2000/ 2001 menunjukan bahwa jumlah MI Negeri sebanyak 1481 (6,7 %), sementara MI Swasta berjumlah 20,554 (93,3 %). Mts negeri berjumlah 1.167 (11,3 %) sedangkan MTs swasta berjumlah 9.198 (88,7 %), MA negeri berjumlah 57 dan MA swasta berjumlah 2701. Lihat Dirjen Binbaga Islam Depag RI, Menelusuri Pertumbuhan Madrasah, 2001, halaman. 17. Lihat juga A. Malik Fajar, Madrasah dan Tantangan Modernitas, 1998, hal. 77. 4 Suyanto dan MS Abas, Wajah dan Dinamika Pendidikan Anak Bangsa, ( Yogyakarta ; Adicita karya Nusa, 2001 ), hal. 94.

Volume VIII, (September-Februari 2013)| AT-THARIQ 21


Manajemen Sumber Daya Manusia Sebagai Upaya Meningkatkan Kualitas Dalam Pendidikan kompetensi dan sebagainya) menjadi sebuah harapan yang menjanjikan, sekaligus tantangan dalam upaya untuk meningkatkan kualitas madrasah. Gambaran buram kondisi madrasah ini merupakan realitas obyektif yang terjadi hampir di seluruh madrasah di Indonesia, baik madrasah negeri ataupun swasta. Meskipun madrasah negeri sedikit lebih diuntungkan dengan kecukupan sarana dan fasilitas, namun secara umum merekapun masih dihadapkan pada problem-problem yang cukup kompleks khususnya berkait dengan kemandirian lembaga untuk mengembangkan visi kelembagaan. Sehingga daya saing madrasah negeripun belum cukup mampu berbicara banyak dalam konteks ketatnya persaingan dunia pendidikan. Dari problem inilah penelitian ini disusun, kemudian berupaya menemukan solusi bagi upaya merekonstruksi kembali kelemahan-kelemahan manajerial di madrasah, mulai dari manajemen sumber daya manusia, visi-misi, kepemimpinan, networking (jaringan) tingkat partisipasi masyarakat dan sebagainya , dengan harapan madrasah sebagai institusi nantinya dapat menjadi center of exellent yang dikelola secara profesional. Dengan kajian ini penulis ingin mengkaji lebih jauh manajemen sumber daya manusia yang ada di lembaga pendidikan. B. Manajemen Sumber Daya Manusia dan Tujuannya dalam Pendidikan Secara etimologi, manajemen (Bahasa Inggris) berasal dari kata to manage, dalam Webster’s New Coolegiate Dictionary, kata manage dijelaskan berasal dari bahasa Itali “Managgio” dari kata “Managgiare” yang selanjutnya kata ini berasal dari bahasa Latin manus yang berarti tangan (hand). Kata manage dalam kamus tersebut diberi arti: membimbing dan mengawasi, memperlakukan dengan seksama, mengurus perniagaan atau urusan-urusan, mencapai tujuan tertentu.5 Sedangkan secara terminologi, Ada beberapa definisi mengenai manajemen, di antaranya yang dikemukakan oleh R.C. Devis: management is the function of executive leadership anywhere. Manajemen itu merupakan fungsi dari kepemimpinan eksekutif pada organisasi apa pun. William Spriegel: management is that function of an enterprise which concers with the direction and control of the various activities to attain the business abjectives. Di sini Spriegel memandang manajemen sebagai kegiatan perusahaan (yang mestinya dapat diterapkan bagi kegiatan nonperusahaan juga). Manajemen dipandangnya sebagai fungsi perusahaan yang

5

Sukarna, Dasar-Dasar Manjemen, (Bandung, PT. Mandar Maju, 1992), hal. 1.

22 AT-THARIQ|Volume VIII, (September-Februari 2013)


Takiyudin Subkhi berupa pemberian pengarahan dan pengendalian bermacam-macam kegiatan dalam rangka mencapai tujuan perusahaan. 6 George R. Terry mengatakan management is the procces of planning, organizing, actuating and controlling, performed to determine and accomplish common goals by the use of human and other resources. Manajemen itu merupakan proses perencanaan, pengorganisasian, penggerakan dan pengendalian, yang dilakukan untuk menetapkan dan mencapai tujuan dengan menggunakan sumber daya manusia dan sumber-sumber lainnya.7 Dari beberapa pendapat dan keterangan definisi manajemen, maka dapat diambil kesimpulan bahwa: manajemen itu merupakan kegiatan pimpinan dengan menggunakan segala sumber yang diperlukan untuk mencapai tujuan organisasinya. Sehingga dengan manajemen yang baik, maka diharapkan tujuan dapat tercapai dengan efektif dan efisien. Secara konseptual manajemen sumber daya manusia di Indonesia menunjuk pada pengertian perencanaan, implementasi rencana, dan perhatian yang lebih besar terhadap aspek manajerial serta pendayagunaan orang-orang sebagai sumber daya organisasi secara lebih baik. Dengan kata lain manajemen sumber daya manusia adalah perefleksian peningkatan signifikasi yang berkenaan dengan pengelolaan orang-orang di dalam organisasi dan juga perspektif yang lebih luas atas pengkajian bidang ini.8 Manajemen SDM Amerika dikembangkan berangkat dari tradisi penghargaan atas prestasi dalam persaingan antar individu secara positif, dalam suasana informal, dan pembagian kerja yang spesifik. Oleh karena itu manajemen SDM Amerika sangat membuka peluang mobilitas struktural individu berdasarkan prestasinya. Sedangkan manajemen SDM Jepang berangkat dari tradisi penghargaan atas nilai-nilai kebersamaan dalam keluarga, saling tolong-menolong dan kerjasama. Oleh karena itu manajemen SDM Jepang sangat menjunjung tinggi nilai kebersamaan, dikembangkan rotasi kerja panjang sehingga orang bisa berganti-ganti posisi pekerjaan sehingga dapat saling mendukung untuk mencapai prestasi yang gemilang. Menurut hemat penulis arah pengembangan SDM Indonesia lebih condong kepada manajemen SDM ala Jepang, karena masyarakat Indonesia juga mempunyai kultur menghargai keluarga dan kebersamaan. Sejauh pengetahuan penulis, saat ini belum ada studi yang komprehensif tentang manajemen SDM 6

Ibnu Syamsi, Pokok-Pokok Organisasi dan Manajemen, (Jakarta: PT. Remaja Rosdakarya, 1994),

7

Ibid., hal. 59. Henry Simamora, Manajemen Sumber Daya Manusia, (Yogyakarta, STIE YKPN, 1987), hal. 11.

hal. 59. 8

Volume VIII, (September-Februari 2013)| AT-THARIQ 23


Manajemen Sumber Daya Manusia Sebagai Upaya Meningkatkan Kualitas Dalam Pendidikan pendidikan berangkat dari local culture Indonesia. Juga belum ada studi yang memadahi tentang manajemen SDM dalam konteks pendidikan Islam, di mana studi SDM dikembangkan dari nilai-nilai Islam. William B. Castetter dalam bukunya The Human Resource Function in Educational Administration perubahan internal dan lingkungan eksternal berpengaruh terhadap proses belajar mengajar adalah merupakan jantung realitas lembaga pendidikan kontemporer. Kegagalan untuk memahami dan mengatasi perubahan pendidikan saat ini, akan mencegah sistem lembaga pendidikan dari penanggalan imajinasi tak baik saat ini dan kelemahan-kelemahan organisasi. Dia menekankan arti penting fungsi SDM dalam administrasi pendidikan, dalam perencanaan, pengorganisasian, pengarahan, pengontrolan untuk mencapai efektivitas organisasi. Kemudian Hendry Simamora dalam bukunya, Manajemen Sumber Daya Manusia. Menurutnya organisasi yang berhasil adalah yang secara efektif dan efisien mengombinasikan sumber-sumber dayanya guna menerapkan strategi-strateginya. Yang menjadi pusat bagi setiap strategi untuk setiap penggunaan sumber daya adalah karyawan-karyawan yang merencanakan dan melaksanakan strategi sebuah organisasi. Seberapa baik sebuah organisasi memperoleh, memelihara, dan mempertahankan sumber-sumber daya manusianya merupakan determinan utama dari keberhasilan dan kegagalan. Dapat disimpulkan bahwa Manajemen SDM merupakan aktivitas yang perlu di dalam semua organisasi. Keputusan manajer mempengaruhi tidak hanya keberhasilannya, tetapi juga perilaku-perilaku karyawan, kinerja dan kepuasan mereka, fokus mereka terhadap pemuasan karyawan, perasaan mereka terhadap perlakuan yang adil, yang akan menentukan efisiensi dan efektivitas organisasi. Sebagaimana yang telah tercantum sebelumnya tentang Manajemen SDM, tentunya berkaitan erat dengan organisasi, perusahaan, lembaga pendidikan. Dan kesemuanya itu pasti mempunyai tujuan masing-masing. Untuk mencapai tujuan masing-masing tersebut maka sangat penting bagi SDM ini untuk selalu meningkatkan berbagai aspek yang mendukungnya. William B. Castetter dalam bukunya The Human Resource Function in Educational Administration perubahan internal dan lingkungan eksternal berpengaruh terhadap proses belajar mengajar adalah merupakan jantung realitas lembaga pendidikan kontemporer. Kegagalan untuk memahami dan mengatasi perubahan pendidikan saat ini, akan mencegah sistem lembaga pendidikan dari penanggalan imajinasi tak baik saat ini dan kelemahan-kelemahan organisasi. Dia menekankan arti penting fungsi SDM dalam administrasi pendidikan, dalam perencanaan, pengorganisasian, pengarahan, pengontrolan untuk mencapai efektivitas organisasi. 24 AT-THARIQ|Volume VIII, (September-Februari 2013)


Takiyudin Subkhi Sedangkan yang dimaksud dengan penyelenggaraan adalah “penerapan atau penataan�, sehingga Penyelenggaraan Manajemen Sumber Daya Manusia adalah proses penataan, merencanakan, mengorganisasikan, menggerakkan, mengendalikan dan mengembangkan serta kegiatan-kegiatan lainnya, untuk mencapai tujuan pendidikan yang telah ditentukan. C. Urgensi Manajemen Sumber Daya Manusia dalam Pendidikan Setiap organisasi tentunya mempunyai tujuan-tujuan yang hendak dicapainya. Tujuan-tujuan ini diraih dengan mendayagunakan sumber-sumber dayanya yang ada. Manajemen sumber daya manusia adalah pendayagunaan, pengembangan, penilaian, pemberian balas jasa, dan pengelolaan individu anggota organisasi atau kelompok pekerja. Manajemen sumber daya manusia juga menyangkut desain dan implementasi sistem perencanaan, penyusunan karyawan, pengembangan karyawan, pengelolaan karier, evaluasi kinerja, kompensasi karyawan, dan hubungan perburuhan yang mulus. Manajemen sumber daya manusia melibatkan semua keputusan dan praktek manajemen yang secara langsung mempengaruhi sumber daya manusia, orang-orang yang bekerja bagi organisasi. Akan tetapi dalam perkembangannya, pernah manusia diperlakukan sebagai alat semata-mata sama nilainya dengan alat-alat produksi lainnya untuk mencapai hasil yang maksimal. Dalam kerangka ini, perlakuan Terhadap manusia adalah sama dengan perlakuan terhadap mesin atau alat produksi lainnya. Proses dehumanisasi berlangsung terus, bahkan juga di abad kita yang serba komputer dan teknologi canggih ini. Padahal kalau dikaji lebih mendalam kunci keberhasilan apapun bukan pertama terletak pada alat-alat mutakhir yang di pakai, melainkan terletak pada manusia yang berada di balik alat-alat ataupun sumber-sumber daya lainnya. Karena itu pola pemakaian manajemen yang berorientasikan pada semua pihak yang berkepentingan semakin relevanlah menempatkan manusia sebagai peran sentral dalam memanajemen organisasi atau perusahaan. Metode-metode menginstrumenkan sumber daya manusia dalam kegiatan organisasi tidak dapat dipertanggungjawabkan lagi. Bahwa sumber daya manusia perlu dimanajemeni untuk mengoptimalkan keluaran, itu benar- asal tetap saja nilai dan harkat manusia merupakan dasar pijakan dan pertimbangan utama dari manajemen. Manajemen sumber daya manusia terdiri dari serangkaian keputusan tereintegrasi tentang hubungan kepegawaian yang mempengaruhi efektivitas karyawan-karyawan dan organisasi. Manajemen sumber daya manusia merupakan efektivitas-efektivitas atau kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan agar sumber daya Volume VIII, (September-Februari 2013)| AT-THARIQ 25


Manajemen Sumber Daya Manusia Sebagai Upaya Meningkatkan Kualitas Dalam Pendidikan manusia di dalam organisasi dapat digunakan secara efektif supaya mencapai berbagai tujuan.9 Hal pertama menganggap bahwa manajemen sumber daya manusia bukan hanya aktivitas strategi biasa, melainkan juga merupakan sesuatu yang sentral dalam pencapaian tujuan organisasi. Sumber daya manusia kini digunakan dan diakui sebagai asset organisasi yang paling berharga. Hal kedua mengesankan perlunya manajer sumber daya manusia menyerahkan tanggung jawab pengelolaan asset manusia kepada manajemen lini senior. Hal ketiga memperlihatkan adanya pergeseran dari “hubungan industri” menjadi “hubungan karyawan”. Hal keempat menyiratkan bahwa penciptaan dan pengelolaan kultur organisasi adalah sama pentingnya seperti kerja organisasi itu sendiri, di mana individu diberikan peluang merealisasikan seluruh potensi mereka.10 Manajemen Sumber Daya Manusia (MSDM) mempunyai dua posisi penting yaitu: 1. Merupakan bagian organisasi yang berkaitan dengan dimensi manusia. 2. Merupakan fungsi staff atau pendukung dalam organisasi. Kegunaan MSDM adalah: SDM untuk selalu ditingkatkan keterampilannya, dimotivasi untuk berprestasi lebih baik, diusahakan untuk tetap tinggi komitmennya dan tetap betah. Ada dua pendekatan dalam manajemen SDM yaitu: Pertama, pendekatan keras. Pendekatan ini bertujuan untuk mengembangkan dan mengeksploitasi semaksimal mungkin manusia dalam pengelolaan asset material. Pendekatan keras menekankan scientific management terdiri dari; desain jabatan, pelatihan, pengembangan, penilaian, dan kompensasi. Kedua, bertujuan untuk menciptakan kemampuan guru dan karyawan dengan menggali potensi dalam diri individu dengan mengembangkan sumber internal atau faktor-faktor human. Pendekatan lunak menekankan aspek human relation terdiri dari; motivasi, komitmen, shared values dan komunikasi. Keduanya dikembangkan berdasarkan filosofi yang sama, yaitu SDM merupakan sesuatu yang secara unik penting bagi keseimbangan keberhasilan organisasi.11 Robert J. Eaton, seorang chief executive office ( CEO ) produsen mobil terkemuka di Amerika Serikat, menyatakan “The only way we can beath the competition is with people“, persyaratan tersebut menggambarkan bahwa walaupun di era

Henry Simamora, Manajemen Sumber Daya Manusia, (Yogyakarta, STIE YKPN, 1987), hal. 3. Henry Simamora, Manajemen Sumber Daya Manusia, (Yogyakarta, STIE YKPN, 1987), hal. 5. 11 Aliyah Rasyid, Manajemen Sumber Daya Manusia, (Makalah dalam Perkuliahan mata kuliah Manajemen Pemberdayaan dan Sumber Daya Manusia dalam Pendidikan Islam, 2004). 9

10

26 AT-THARIQ|Volume VIII, (September-Februari 2013)


Takiyudin Subkhi teknologi canggih dewasa ini peran sumber daya manusia dalam menentukan keberhasilan perusahaan tak dapat diabaikan begitu saja. Selanjutnya Jeffrey Peffer, memperkuat pernyataan Eaton dengan berargumentasi bahwa sumber daya manusia merupakan sumber keunggulan daya saing yang tak lekang oleh panas, tak lapuk oleh hujan, ia membandingkan kedudukan istimewa sumber daya ini dengan sumber-sumber keunggulan daya saing lain yang kini semakin berkurang kemampuannya. Produk yang tahun tertentu misalnya tergolong canggih, satu atau dua tahun mendatang mungkin sudah menjadi produk yang tradisional dan konvensional.12 Sementara itu sumber daya manusia mampu bertahan karena memiliki kompetensi manajerial, yaitu kemampuan untuk merumuskan visi dan strategi serta kemampuan untuk memperoleh dan penggerakan sumber daya-sumber daya lain dalam rangka mewujudkan visi dan menerapkan strategi perubahan. Dengan demikian unsur sumber daya manusia merupakan humanware yang merupakan satu-satunya unsur dalam organisasi yang memiliki dinamika untuk berkembang ketika memperoleh ilmu dan pengembangan dari lingkungannya. Keberhasilan suatu organisasi dalam menjalankan tugas manajemennya ditentukan oleh keberhasilan para manajer mencapai tujuan organisasi itu. Peter Drucker sebagaimana dikutip oleh Amin Widjaya Tunggal mengusulkan 3 macam ukuran atau disebut juga 3E, sebagai indikator keberhasilan sebuah organisasi antara lain: 3. Efficiency (doing thing right), 4. Economy (minimisasi, maksimasi), 5. Effectiveness (doing the right thing). Di antara ketiga ukuran itu menurut Drucker, efektivitas lebih penting dari efisiensi dan ekonomis, sebab yang penting bagaimana melakukan sesuatu dengan baik (efisien), tapi yang lebih penting adalah bagaimana memilih sesuatu yang baik (goal) untuk dikerjakan (efektif).13 D. Faktor-Faktor Yang Berpengaruh Terhadap Proses Manajemen Sumber Daya Manusia. Sebagai suatu sistem, organisasi akan berinteraksi dengan lingkungannya. Apabila ingin bertahan hidup, organisasi harus dapat menyesuaikan diri terhadap Dicontohkan pada masa lalu, perusahaan macam Xerox mampu menguasai pasar mesin foto kopi selama kurang lebih 13 tahun karena memiliki tehnplogi produk (first plain-paper copier) yang dipatenkan. Sekarang ini sulit sekali hal semacam itu diwujudkan mengingat daur hidup produk sudah semakin singkat sejalan dengan semakin pesatnya perkembangan teknologi. 13 Amin Widjaya Tunggal, Manajemen “Suatu Pengantar�, (Jakarta, Rineka Cipta, 1993), hal. 3. 12

Volume VIII, (September-Februari 2013)| AT-THARIQ 27


Manajemen Sumber Daya Manusia Sebagai Upaya Meningkatkan Kualitas Dalam Pendidikan lingkungannya. Kegagalan menyesuaikan diri terhadap lingkungan akan berakibat fatal. Organisasi tersebut akan mati. Lingkungan yang akan mempengaruhi proses manajemen sumber daya manusia di antaranya dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu: lingkungan internal, dan lingkungan eksternal. Lingkungan eksternal merupakan elemen-elemen di luar organisasi yang relevan kegiatan organisasi. Organisasi memperoleh input dari lingkungannya (bahan baku, karyawan), memproses input tersebut dan memberikan output ke lingkungan (produk, informasi). Lingkungan internal berada dalam organisasi, bukan merupakan bagian dari lingkungan eksternal. Contoh lingkungan internal adalah karyawan, dewan komisaris, dan pemegang saham.14 Lingkungan juga bisa dibedakan menjadi lingkungan yang mempunyai pengaruh langsung (direct) terhadap organisasi dan yang tidak langsung (indirect). Lingkungan yang berpengaruh langsung sering disebut juga dengan lingkungan kerja (task environment) sedangkan lingkungan yang secara langsung disebut sebagai lingkungan umum (general environment). Contoh lingkungan yang berpengaruh secara langsung adalah perusahaan pesaing dan karyawan. Sedangkan contoh lingkungan yang tidak langsung adalah kondisi demografis di mana organisasi tersebut berada. Lingkungan yang tidak berpengaruh langsung dapat berubah menjadi berpengaruh langsung. Karena itu organisasi perlu mengamati lingkungan tidak langsung.15 a. Lingkungan Langsung Lingkungan langsung akan mempengaruhi nasib organisasi secara langsung. Karena itu lingkungan tersebut disebut juga sebagai stake holder (pihak yang menentukan nasib organisasi) ada dua jenis lingkungan langsung, yaitu: eksternal dan internal. Berikut ini beberapa contoh lingkungan langsung eksternal, yang kemudian dilanjutkan dengan contoh lingkungan langsung internal. 1. Konsumen Konsumen membeli produk yang dihasilkan oleh organisasi dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhannya. Konsumen yang membutuhkan makan akan membeli produk makan yang dihasilkan oleh perusahaan makanan. Dalam bahasa pemasaran, konsumen sering disebut sebagai pasar, yang diartikan sebagai orang yang mempunyai kebutuhan, uang, dan kesediaan untuk belanjakan uangnya. Konsumen tentu saja sangat menentukan nasib suatu organisasi. Apabila suatu organisasi gagal memenuhi kebutuhan konsumen, organisasi tersebut akan ditinggalkan oleh konsumennya. Dengan demikian 14 15

Mamduh M. Hanafi, Manajemen, (Yogyakarta, UPP AMP YKPN, 1997), hal. 58. Ibid, hal.58-68.

28 AT-THARIQ|Volume VIII, (September-Februari 2013)


Takiyudin Subkhi perusahaan harus mengenali perubahan selera atau kebutuhan konsumen tersebut. Semakin lama, secara umum ada kecenderungan konsumen menjadi semakin kuat posisi relatifnya terhadap perusahaan, karena tingkat pendidikan masyarakat semakin lama semakin maju, maka konsumen semakin tahu hakhaknya. Organisasi tidak lagi dapat memaksakan kehendak mereka atau membodohi mereka. Persaingan semakin ketat, dan konsumen mempunyai banyak pilihan. Dalam situasi semacam ini, organisasi tetap dituntut bertindak secara wajar karena organisasi terikat pada etika dan tanggung jawab sosial. Mengingat suatu saat konsumen menjadi kuat, sehingga tidak baik bagi perusahaan yang suka mengeksploitasi konsumen. 2. Pemerintah Pemerintah mempunyai peranan yang penting bagi kehidupan organisasi pemerintah biasanya berperan sebagai “wasit� dan memastikan aturan main berjalan dengan semestinya. Dengan peranan ini pemerintah akan mengeluarkan aturan-aturan perudangan yang akan mempengaruhi kehidupan organisasi pemerintah juga mempunyai peranan penting dalam kehidupan perekonomian suatu masyarakat, meskipun peranan tersebut selalu menjadi kontroversi. Pemerintah harus masuk berperan secara aktif memperbaiki kondisi yang tidak dalam keseimbangan. Meskipun pemerintah diharapkan menjadi wasit yang adil, tetapi pengambilan keputusan akan diwarnai oleh perbenturan kepentingan. Pihak yang berkepentingan akan melobi pemerintah agar mengeluarkan peraturan yang agak menguntungkan bagi dirinya, sementara pihak lain yang mempunyai kepentingan yang berlawanan juga akan melakukan hal yang sama. Jika yang berkepentingan mempunyai kedudukan yang sama kuatnya, maka peraturan yang keluar kemungkinan sekali akan merupakan kompromi dari kepentingan –kepentingan yang ada. Sedangkan beberapa contoh lingkungan langsung internal yang akan mempengaruhi sumber daya manusia di antaranya adalah: 1. Pekerja Pada saat karyawan belum bekerja pada suatu organisasi, maka ia merupakan bagian dari lingkungan eksternal. Tetapi sesudah bekerja untuk suatu organisasi, maka ia menjadi bagian dari lingkungan internal. Karyawan merupakan sumber daya organisasi. Jika karyawan dan organisasi mempunyai tujuan yang sama, maka organisasi akan berjalan semakin efektif . Volume VIII, (September-Februari 2013)| AT-THARIQ 29


Manajemen Sumber Daya Manusia Sebagai Upaya Meningkatkan Kualitas Dalam Pendidikan Pada situasi tertentu, manajemen dengan karyawan dapat bersatu dengan cepat. Beberapa alternatif dikembangkan untuk menyamakan kepentingan karyawan dan manajemen salah satu cara adalah EOSP (employee ownership stock plan) di mana karyawan, baik langsung maupun tidak langsung, memiliki saham perusahaan di tempat mereka bekerja. Apabila karyawan bekerja keras, dan organisasi memperoleh keuntungan yang baik, maka karyawan akan memperoleh keuntungan juga Karena kekayaannya naik. 2. Jaringan Stakeholder Pihak-pihak yang mempengaruhi nasib suau organisasi membentuk jaringan antara stkeholder dan dengan organisasi. Organisasi dapat memanfaatkan stakeholder untuk mencapai tujuan organisasi. Stakeholder juga dapat berperan ganda. Karyawan organisasi akan menjadi stakeholder sebagai karyawan apabila anaknya membeli produk yang dihasilkan oleh organisasi, maka ia akan menjadi stakeholder sebagai konsumen. Di samping itu, stakeholder yang berbeda dapat bersatu apabila memperjuangkan hal yang sama. Kepentingan pihak stakeholder tidak selalu sama, bahkan sering berbedbeda. Oleh karena itu dalam hal ini manajer bertugas untuk menyeimbangkan kepentingan-kepentingan yang berlawanan tersebut. Keseimbangan semacam itu akan menentukan nasib suatu organisasi. b. Lingkungan tidak langsung Lingkungan umum tidak berpengaruh secara langsung, setidaktidaknya pada saat sekarang. Berikut ini beberapa elemen lingkungan umum: 1. Sosial Lingkungan sosial dalam hal ini dibagi menjadi beberapa bagian yaitu: pertama demografi, yaitu struktur kependudukan lingkungan organisasi berada. Perubahan demografi akan menyebabkan kesempatan sekaligus ancaman bagi organisasi, tergantung bagaimana organisasi mengantisipasi perubahan tersebut. Kedua gaya hidup, yaitu manifestasi keluar yang nampak dari sikap dan nilai seseorang gaya hidup masyarakat akan berubah-ubah. Ketiga nilai social, nilai ini akan mempengaruhi organisasi. 2. Variabel ekonomi Variable ekonomi jelas mempengaruhi kegiatan suatu organisasi. Jika suatu perekonomian mengalami resesi, organisasi akan semakin sulit bergerak. Perubahan ekonomi dapat bersifat struktural dan dapat bersifat musiman atau siklus. Perubahan trend biasanya menunjukkan perubahan struktural, sedangkan perubahan musiman merupakan perubahan jangka pendek. 30 AT-THARIQ|Volume VIII, (September-Februari 2013)


Takiyudin Subkhi 3. Variabel politik Variable politik akan mempengaruhi suatu organisasi. Banyak peraturan dan perundangan yang mempengaruhi organisasi dihasilkan melalui proses politik. Peranan pemerintah dalam mempengaruhi kegiatan organisasi dapat dilihat dalam pembicaraan pemerintah sebagai lingkungan eksternal langsung di muka. Politik internasional juga akan mempengaruhi kegiatan suatu organisasi. 4. Variabel Ekonomi Teknologi telah mengubah cara hidup kita, meskipun tidak dengan gagap gempita. Perubahan yang diakibatkan oleh teknologi lebih tenang dibandingkan dengan perubahan yang terjadi oleh revolusi politik. Perubahan teknologi akan mengubah cara kerja organisasi, dan juga memunculkan stakeholder yang baru. Lebih dari itu semakin lama pertumbuhan teknologi semakin cepat, perubahan tersebut merupakan aplikasi dari ilmu dasar yang akan memberikan petunjuk bentuk teknologi masa depan. 5. Dimensi Internasional Dimensi internasional akan menjadi sangat penting di era globalisasi perekonomian di negara-negara menjadi terbuka. Perusahaan multinasional jelas harus memperhatikan dimensi internasional. Perusahaan dengan logika global akan mencari sumber daya di mana saja di dunia dengan tujuan mengoptimalkan penggunaan sumber daya tersebut. Apabila mata uang rupiah menguat terhadap mata uang dolar, harga barang Indonesia akan menjadi relatif mahal, dan akan menjadi lebih sulit menjual barang tersebut di Amerika. Dengan demikian organisasi baik langsung maupun tidak langsung akan dipengaruhi oleh dimensi internasional. E. Fungsi Manajemen Sumber Daya Manusia dalam Pendidikan 1. Perencanaan (Planning) Perencanaan pada hakikatnya adalah aktivitas pengambilan keputusan tentang sasaran apa yang akan dicapainya, tindakan apa yang akan diambil dalam rangka mencapai tujuan atau sasaran tersebut dan siapa yang akan melaksanakan tugas tersebut. Sebagaimana fungsi-fungsi manajemen yang lainnya, istilah perencanaan juga mempunyai bermacam-macam pengertian sesuai dengan pendapat para ahli manajemen. Sudjana mengemukakan, bahwa perencanaan merupakan proses yang sistematis dalam pengambilan keputusan tentang tindakan yang akan dilakukan Volume VIII, (September-Februari 2013)| AT-THARIQ 31


Manajemen Sumber Daya Manusia Sebagai Upaya Meningkatkan Kualitas Dalam Pendidikan pada waktu yang akan datang. Disebut sistematis karena perencanaan dilaksanakan dengan menggunakan prinsip-prinsip tertentu. Prinsip-prinsip tersebut mencakup proses pengambilan keputusan, penggunaan pengetahuan dan teknik secara ilmiah, serta tindakan atau kegiatan yang terorganisasi.16 George R Terry dalam bukunya Principles of Management menyebutkan bahwa perencanaan adalah pemilihan fakta-fakta dan usaha menghubungkan antara fakta yang satu dengan fakta yang lainnya, kemudian membuat perkiraan dan peramalan tentang keadaan dan perumusan tindakan untuk masa yang akan datang yang sekiranya diperlukan untuk mencapai hasil yang dikehendaki.17 Perencanaan terjadi di semua tipe kegiatan. Perencanaan adalah proses dasar di mana manajemen memutuskan tujuan dan cara mencapainya. Perbedaan pelaksanaan adalah tipe dan tingkat perencanaan yang berbeda pula, perencanaan dalam organisasi adalah esensial, karena dalam kenyataannya perencanaan memegang peranan lebih dibanding fungsi-fungsi manajemen lainnya. Fungsi-fungsi pengorganisasian, pengarahan, dan pengawasan sebenarnya hanya melaksanakan keputusan-keputusan perencanaan.18 Dengan mempertimbangkan berbagai definisi tersebut, selanjutnya kita bisa merangkaikan pengertian khusus bagi dunia pendidikan. Seperti yang dikemukakan oleh Sudjana bahwa perencanaan pendidikan dalam hal ini pendidikan non formal, merupakan kegiatan yang berkaitan dengan: a. Upaya yang sistematis yang menggambarkan penyusunan rangkaian tindakan yang akan dilakukan untuk mencapai tujuan organisasi atau lembaga dengan mempertimbangkan sumber-sumber yang tersedia atau sumber-sumber yang dapat disediakan. Sumber-sumber itu meliputi sumber daya manusia dan sumber daya non-manusia. Sumber daya manusia mencakup pamong belajar, fasilitator, tutor, warga belajar, pimpinan lembaga, dan masyarakat. Sumber daya non-manusia meliputi fasilitas, alatalat, waktu, biaya, alam hayati dan atau non-hayati, sumber daya buatan, lingkungan sosial budaya, dan lain sebagainya. b. Upaya untuk mengerahkan atau menggunakan sumber-sumber yang terbatas secara efisien dan efektif untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan, sehingga dengan perencanaan diharapkan dapat dihindari Sudjana, Manajemen Program Pendidikan, “Untuk Pendidikan Nonformal dan Pengembangan Sumber Daya Manusia�, (Bandung, Falah Production, 2004), hal. 57. 17 George R Terry, Azas-Azas Manajemen (terj.) Principles of Management oleh Dr Winardi (Bandung, Alumni, 1986), hal. 163 18 Hani Handoko, Manajemen Edisi II, (Yogyakarta: Penerbit BPFE., 2001), hal. 77. 16

32 AT-THARIQ|Volume VIII, (September-Februari 2013)


Takiyudin Subkhi penyimpangan sekecil mungkin dalam penggunaan sumber-sumber tersebut.19 2. Pengorganisasian (Organizing) Sepanjang perkembangannya, pengorganisasian atau sebagai fungsi manajemen, memiliki pengertian yang berbeda-beda. Pengertian tersebut disebabkan oleh perbedaan latar belakang keahlian para pakar yang memberikan pengertian itu, dan dipengaruhi oleh kondisi lingkungan dalam menerapkan fungsi pengorganisasian tersebut. Longenecher (1972) secara umum mendefinisikan pengorganisasian sebagai aktivitas menetapkan hubungan antara manusia dengan kegiatan yang dilakukan untuk mencapai tujuan. Pengertian ini menjelaskan bahwa kegiatan pengorganisasian berkaitan dengan upaya melibatkan orang-orang ke dalam kelompok, dan upaya melakukan pembagian kerja di antara anggota kelompok itu untuk melaksanakan kegiatan yang telah direncanakan dalam rangka mencapai tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya.20 Sedikitnya ada tujuh ciri-ciri pengorganisasian, mengingat pengertian yang dipaparkan oleh para pakar, yaitu: a. Pengorganisasian berkaitan dengan upaya pemimpin atau pengelola untuk memadukan sumber daya manusia yang diperlukan. b. Sumber daya manusia terdiri dari atas orang-orang atau kelompok orang yang memenuhi syarat yang diterapkan. Syarat itu meliputi keahlian, kemampuan, dan kondisi fisik yang sesuai dengan tuntutan organisasi serta perkembangan lingkungan. c. Adanya sumber daya non-manusia meliputi fasilitas, alat-alat dan biaya yang tersedia atau dapat disediakan, serta lingkungan fisik yang potensial. d. Sumber-sumber itu diintegrasikan ke dalam suatu organisasi. e. Terdapat pembagian tugas, wewenang dan tanggung jawab di antara orangorang untuk menjalankan rangkaian kegiatan yang telah direncanakan. f. Rangkaian kegiatan tersebut diarahkan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. g. Dalam kegiatan pencapaian tujuan, sumber daya manusia merupakan pemegang peran utama dan paling menentukan.21

Sudjana, Manajemen Program Pendidikan, “Untuk Pendidikan Nonformal dan Pengembangan Sumber Daya Manusia�, (Bandung, Falah Production, 2004), hal, 59. 20 Sudjana, Manajemen Program Pendidikan, “Untuk Pendidikan Nonformal dan Pengembangan Sumber Daya Manusia�, (Bandung, Falah Production, 2004), hal. 105. 21 Nanang Fatah, Landasan Manajemen Pendidikan Indonesia, hal. 108. 19

Volume VIII, (September-Februari 2013)| AT-THARIQ 33


Manajemen Sumber Daya Manusia Sebagai Upaya Meningkatkan Kualitas Dalam Pendidikan Sedangkan fungsi tujuan organisasi adalah: Sebagai pedoman bagi perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan nantinya, sebagai sumber legitimasi, untuk membenarkan segala kegiatan yang akan dilaksanakan, Sebagai sumber pelaksanaan, di mana segala kegiatan harus berorientasi pada tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya, Sebagai sumber motivasi, bagi karyawan untuk bekerja lebih produktif, Sebagai dasar rasional bagi kegiatan berorganisasi.22 Pengorganisasian sebagai fungsi kedua manajemen, memang tak kalah pentingnya dengan perencanaan. Pengorganisasian meliputi usahausaha departementalisasi yang merupakan spesialisasi dari segi organisasi sebagai suatu keseluruhan dan pembagian kerja, yakni spesialisasi para anggota organisasi. 3. Rekruitmen Berbicara rekrutmen atau penarikan merupakan bagian dari sebuah perencanaan sumber daya manusia. Perencanaan dapat diartikan sebagai inti manajemen, karena perencanaan membantu mengurangi ketidakpastian di waktu yang akan datang, dan oleh karena itu, dengan perencanaan tersebut membantu para pengambil keputusan untuk menggunakan sumber daya mereka yang terbatas secara paling efektif dan efisien. 23 Kebutuhan akan tenaga kerja dalam sebuah organisasi sangat penting dilakukan untuk mencapai tujuan organisasi secara optimal. Oleh karena itu, organisasi harus membuat prediksi-prediksi mana yang membutuhkan tenaga kerja mana yang tidak membutuhkan tenaga kerja, atau dengan kata lain apakah organisasi masih membutuhkan suplai tenaga kerja atau tidak. Perencanaan ini dilakukan oleh departemen personalia atau kepegawaian.24 Setelah departemen membuat proyeksi kebutuhan sumber daya manusia untuk waktu yang akan datang, maka langkah selanjutnya adalah mengisi atau pemenuhan lowongan-lowongan yang diproyeksikan tersebut. Ada dua sumber pengisian yaitu internal dan eksternal. Suplai internal berasal dari karyawan sendiri yang telah memenuhi persyaratan yang telah ditentukan oleh pihak yang berwenang atau keputusankeputusan yang telah ditetapkan atau karyawan yang sudah dipromosikan untuk mengisi sebuah jabatan. Sedangkan suplai eksternal berasal dari luar 22

Ibnu Syamsi, Pokok-Pokok Organisasi dan Manajemen, (Jakarta, PT. Remaja Rosdakarya, 1994),

hal. 13. 23Tilaar,H.A.R.Beberapa Agenda Reformasi Pendidikan Nasional,Dalam perspekti Abad 21.(Jakarta :Tera Indonesia.1998) hlm. 414. 24 T. Hani Handoko, Manajemen Personalia dan Sumber Daya Manusia, op. cit., hal. 239.

34 AT-THARIQ|Volume VIII, (September-Februari 2013)


Takiyudin Subkhi perusahaan. Analisis sumber kerja eksternal didasarkan pada informasi publikasi atau dari kerja sama dari penyedia tenaga kerja. Sedangkan kendalakendala dalam pelaksanaan penarikan biasanya berasal dari pelaksana organisasi, pelaksanaan penarikan dan lingkungan eksternal.25 Kebijakan organisasi yang mempengaruhi penarikan adalah: kebijakan promosi, kebijakan kompensasi, kebijakan status karyawan, kebijakan penerimaan tenaga lokal. Adapun pelaksanaan penarikan di antaranya: kondisi pasar tenaga kerja, kondisi-kondisi lingkungan eksternal, persyaratanpersyaratan jabatan, kebiasaan-kebiasaan pelaksanaan penarikan.26 Bagian terakhir dalam penarikan adalah evaluasi. Tidak semua organisasi atau lembaga berhasil dalam program-program penarikannya. Oleh karena itu, sumber-sumber yang digunakan senantiasa harus dievaluasi dan dinilai dengan derajat sukses dalam Perolehan personalia yang cakap dan memenuhi persyaratan. Secara singkat sukses fungsi dapat diukur dengan menggunakan sejumlah kriteria yaitu: a. Jumlah pelamar b. Jumlah usul tentang pelamar yang diajukan untuk diterima c. Jumlah penempatan karyawan yang berhasil. 4. Pelatihan dan Pengembangan (Training and Development) Setiap organisasi membutuhkan kepengurusan yang baik serta orangorang yang terlatih dan berpengalaman untuk melaksanakan semua aktivitas yang harus dijalankan. Ketika pekerjaan masih simpel, mudah untuk dipelajari, dan hanya sedikit terpengaruh oleh perubahan teknologi maka karyawan tidak begitu meningkatkan kemampuan keterampilan. Akan tetapi sekarang pekerjaan seperti itu sangat jarang, malahan perubahan pekerjaan terjadi sangat cepat sehingga, syarat keterampilan karyawan selalu cepat perubahannya. Di sinilah peran employee training dan employee development dalam organisasi.27 Training adalah proses sistematik pengubahan perilaku para karyawan dalam suatu arah guna meningkatkan tujuan-tujuan organisasional. Dalam pelatihan diciptakan lingkungan di mana karyawan dapat memperoleh mempelajari sikap, kemampuan, keahlian, pengetahuan dan perilaku yang spesifik yang berkaitan dengan pekerjaan. Pelatihan biasanya difokuskan pada

Emgne J. Benge, Element of modern Management, (Terj, Rochmulyati Hamzah), Pustaka Binaan Pressindo, Jakarta, 1986, hal. 26 Ibid. 27 William P. Anthony, Pamela L. Perrewe dan K. Michele Kacmar, Strategic Human Resource Management, The Dryden Press, Amerika, 1993, hal. 319. 25

Volume VIII, (September-Februari 2013)| AT-THARIQ 35


Manajemen Sumber Daya Manusia Sebagai Upaya Meningkatkan Kualitas Dalam Pendidikan penyediaan bagi karyawan keahlian-keahlian khusus atau membantu mereka mengoreksi kelemahan-kelemahan dalam kinerja mereka.28 Pelatihan merupakan proses mengajarkan pada karyawan baru atau yang ada sekarang, keterampilan dasar yang mereka butuhkan sesuai dengan pekerjaan mereka. Oleh karena itu pelatihan memberikan arti bagaimana menggerakkan roda organisasinya. Pelatihan berfokus pada keterampilan yang dibutuhkan untuk menjalankan pekerjaannya. Arahnya adalah mengembangkan karyawan yang akan menjalankan pekerjaannya tersebut. Tujuan pelatihan adalah memberikan keterampilan yang sesuai dengan pekerjaannya agar dapat menyesuaikan diri dengan perubahan teknologi yang semakin berkembang. Ada beberapa langkah dalam pengembangan pelatihan yaitu: a. menganalisis kebutuhan yaitu mengidentifikasi keterampilan kinerja jabatan khusus yang dibutuhkan, untuk menganalisis keterampilan dan kebutuhan akan pelatihan prospektif, dana untuk mengembangkan pengetahuan spesifik yang dapat diukur dan sasaran kerja. b. Rancangan instruksional yaitu muatan sesungguhnya dari program pelatihan. c. Keabsahan di mana segala kesalahan dibersihkan dari program pelatihan dengan menyajikan pada sebuah audiens kecil yang representatif hal ini berkaitan dengan: d. Implementasi dengan cara menggunakan teknik-teknik tertentu. Langkahlangkahnya adalah: Bila mungkin doronglah keberhasilan dengan lokakarya melatih-pelatih yang berfokus pada penyajian pengetahuan dan keterampilan selain isi pelatihan. Dalam pelaksanaan pelatihan dan pengembangan ada dua macam pendekatan yaitu metode pelatihan di tempat kerja (on-the job training) dan metode pelatihan di luar tempat kerja (off-the job training). Pendekatan yang paling umum dilakukan adalah metode pelatihan di tempat kerja (on-the job training) metode ini adalah metode yang digunakan oleh kalangan yang luas, popularitas metode ini disebabkan karena metode ini sederhana dan lebih sedikit biayanya.29 Yang termasuk on-job training adalah: a. Rotasi pekerjaan, metode ini mengharuskan karyawan melakukan sejumlah pekerjaan dalam periode tertentu. Karena melaksanakan setiap pekerjaan Henry Simamora, Manajemen Sumber Daya Manusia, STIE YKPN, Yogyakarta, 1997, hal. 342. David A. Decenzo dan Stephen P. Robbins, Human Resource Management sixth edition, Jhon Wiley & Sons, Inc, New York, 1999, hal. 227. 28 29

36 AT-THARIQ|Volume VIII, (September-Februari 2013)


Takiyudin Subkhi maka mereka memperoleh keahlian-keahlian, pengalaman dan pengetahuan baru yang berhubungan dengan pekerjaan tersebut. b. Aprenticeship (pemagangan), karyawan melaksanakan pelatihan di bawah bimbingan rekan sekerja yang mempunyai keterampilan tinggi selama jangka waktu tertentu. c. Internship, mirip dengan magang kecuali bahwa program ini lebih bersifat sementara, program ini hanya sebagai pengenalan terhadap pekerjaan, organisasi atau industri. Pendekatan yang lain adalah metode pelatihan di luar tempat kerja (0f-thejob training), mengambil tempat di luar tempat kerja, tetapi dengan usaha simulasi kondisi tempat kerja sebenarnya. Di sini karyawan dilatih menggunakan peralatan sebenarnya dan pengaturan pekerjaan yang realistis, tetapi di ruang berbeda di tempat mereka akan bekerja. Tujuannya adalah menghindari tekanan yang terjadi di tempat kerja yang mempengaruhi proses belajar. 5. Motivasi (Motivation) Banyak psikologi yang memakai istilah berbeda-beda dalam menyebut sesuatu yang menimbulkan perilaku. Ada yang menyebutnya sebagai motivasi (motivation), kebutuhan (need), desakan (urge), keinginan (wish), dan dorongan (drive). Motivasi adalah keadaan dalam pribadi seseorang yang mendorong keinginan individu untuk melakukan kegiatan tertentu guna mencapai suatu tujuan.30 Motivasi adalah keinginan atau gairah untuk melakukan sesuatu. Tanpa motivasi tak akan ada kegiatan karena tanpa motivasi orang akan menjadi pasif. Oleh karena itu pada setiap usaha apapun timbulnya motivasi sangat dibutuhkan. Untuk mau berkembang orang juga memerlukan motivasi.31 Pemahaman mengenai motivasi tidaklah mudah. Ia merupakan sesuatu yang ada dalam diri seseorang dan tidak nampak dari luar serta hanya kelihatan melalui perilaku seseorang yang dapat dilihat. Peranannya sangat besar untuk mendukung prestasi kerja. Di samping motivasi, prestasi juga tergantung pada faktor lain yaitu kemampuan (Abilty) dan persepsi peranan (role perception).32 6. Pengawasan (controlling) Drs. Supardi, MM., dan Drs. Syaiful Anwar, SU, Dasar-Dasar Perilaku Organisasi, UII Pers, Yogyakarta, 2002, hal. 47. 31 D'Souza, A. Leadership, A Trilogy on Leadership and Effective Management, (Nairobi, Kenya: Pauline Publication Africa, 1995), hal. 235-47. 32 Dr. T. Hani Handoko, MBA, Manajemen, Edisi 2, BPEF, Yogyakarta, 2001, hal. 251. 30

Volume VIII, (September-Februari 2013)| AT-THARIQ 37


Manajemen Sumber Daya Manusia Sebagai Upaya Meningkatkan Kualitas Dalam Pendidikan Menurut Sukanto Reksohadiprojo, pengawasan pada hakikatnya merupakan usaha memberi petunjuk pada para pelaksana agar mereka selalu bertindak sesuai dengan rencana. Lebih lanjut dikatakan bahwa pengawasan itu terdiri dari penentuan-penentuan standar, supervisi kegiatan atau pemeriksaan, pembandingan hasil dengan standar serta kegiatan mengoreksi kegiatan atau standar.33 Menurut Terry bahwa: Controling is determining what is being accomplished, that is, evaluating the performance takes place according to plans. Cotrolling can be viewed as the activity for detecting and corecting significant variations in the result obtained from planned activities.34 Dalam dunia pendidikan, pengawasan bisa digolongkan sebagai organisasional atau operasional. Metode pengawasan organisasional menilai perbuatan keseluruhan organisasi atau bidang-bidang bagiannya. Standar-standar pengukuran seperti biaya satuan per-murid, rasio guru-murid, angka pengulangan dan putus sekolah, dan lain-lain. Pengawasan operasional mengukur efisiensi perbuatan dari hari ke hari dan menunjukan bidang-bidang yang segera memerlukan tindakan pembetulan. Misalnya, buku pelajaran yang perlu bagi proses pengajaran bila diperlukan tidak ada. Kehadiran guru murid dan personil pendidikan lainnya harus mematuhi jadwal kegiatan pendidikan dan pengajaran yang telah ditetapkan.35 Pengawasan pendidikan sudah tentu tak dapat dipisahkan dari sistem manajemen dalam pola keseluruhan. Kegiatan pengawasan ini penting artinya untuk mengetahui keunggulan dan kelemahan dalam pelaksanaan manajemen, sejak dari awal selama dalam proses dan dalam akhir pelaksanaan program manajemen pendidikan. dengan pelaksanaan fungsi ini, maka pimpinan organisasi dapat memperoleh informasi balik yang besar manfaatnya dalam rangka upaya perbaikan dan penyesuaian. Pengawasan ditujukan pada perencanaan, pelaksanaan, dan pada akhir operasional tersebut. Fokus perhatian umumnya tertuju pada sisi kelemahan untuk segera diadakan perbaikan.36 F. Kesimpulan Berdasarkan data, fakta dan analisis yang telah diuraikan di muka, maka dapat diambil beberapa hal sebagai kesimpulan. Dalam penyelenggaraan manajemen sumber daya manusia memberikan kelebihan tersendiri. Dengan ini Sukanto Reksohadiprojo. Dasar-Dasar manajemen. (Yogyakarta: BPFE UGM., 2000), hal. 63. Terry, G.R. Principles of Management. (Illinois: America Richard D Irwin, Inc., 1977), hal. 481. 35 Oteng Sutisna. Administrasi pendidikan. (Bandung: Angkasa, 1983), hal. 205. 36 Ibid., hal. 206. 33 34

38 AT-THARIQ|Volume VIII, (September-Februari 2013)


Takiyudin Subkhi maka guru-gurunya diberikan kesempatan untuk melanjutkan pendidikan, pelatihan-pelatihan yang merupakan salah satu pengembangan dari profesionalitas dan sumber daya guru. Pada dasarnya lembaga pendidikan secara organisatoris sejak zaman dahulu merupakan organisasi yang dikelola sendiri oleh lingkungan setempat sehingga tumbuh dan berkembang sesuai dengan karakteristiknya. Di era otonomi daerah seperti saat sekarang ini, dengan desentralisasi penyelenggaraan pendidikan model pengelolaan manajemen sumber daya manusia sangat penting agar mampu mengelola lembaga pendidikan menuju ke arah yang baik. Banyak sekali aspekaspek berkaitan dengan pengelolaan lembaga pendidikan atau sekolah sebagai implementasi dari manajemen sumber daya manusia, namun demikian dengan segala keterbatasan yang ada, telah ditemukan beberapa kesimpulan penting berkaitan dengan implementasi manajemen sumber daya manusia.

Volume VIII, (September-Februari 2013)| AT-THARIQ 39


Manajemen Sumber Daya Manusia Sebagai Upaya Meningkatkan Kualitas Dalam Pendidikan DAFTAR PUSTAKA Aliyah Rasyid, Manajemen Sumber Daya Manusia, (Makalah dalam Perkuliahan mata kuliah Manajemen Pemberdayaan dan Sumber Daya Manusia dalam Pendidikan Islam, 2004). Amin Widjaya Tunggal, Manajemen “Suatu Pengantar”, (Jakarta, Rineka Cipta, 1993), David A. Decenzo and Stephen P. Robbins, Human Resources Management, Sixth Edition, (New York: Jhon Wiley & Sons, inc), 1999. Depag. RI, Manajemen Madrasah Aliyah (Jakarta: Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, 1998), D'Souza, A. Leadership, A Trilogy on Leadership and Effective Management, (Nairobi, Kenya: Pauline Publication Africa, 1995), Emgne J. Benge, Element of modern Management, (Terj, Rochmulyati Hamzah), Pustaka Binaan Pressindo, Jakarta, George R Terry, Azas-Azas Manajemen (terj.) Principles of Management oleh Dr Winardi (Bandung, Alumni, 1986), Hani Handoko T. Manajemen. Yogyakarta: (BPFE., 2001), Henry Simamora, Manajemen Sumber Daya Manusia, (Yogyakarta, STIE YKPN, 1987), Ibnu Syamsi, Pokok-Pokok Organisasi dan Manajemen, (Jakarta, PT. Remaja Rosdakarya, 1994), James AF. Stoner, R. Edward Freeman dan Daniel R. Gillbert Jr, Manajemen, terj. Drs. Alexander Sindoro, PT Prenhallindo, Jakarta, 1996, Mamduh M. Hanafi, Manajemen, (Yogyakarta, UPP AMP YKPN, 1997), Nanang Fatah, Landasan Manajemen Pendidikan Indonesia, (Bandung, PT Remaja Rosdakarya, 2003), hal.., hal. 71. Lihat juga Hani Handoko, Manajemen Edisi II, (Yogyakarta: Penerbit BPFE., 2001), Oteng Sutisna. Administrasi pendidikan. (Bandung: Angkasa, 1983), Sanusi Uwes, Manajemen Pengembangan Mutu Dosen, ( Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999) Soebagio Atmodiwirjo, Manajemen Pendidikan Indonesia, (Jakarta, PT. Ardadizya Jaya, 2000), Sondang P. Siagian, MPA, Manajemen Sumber Daya Manusia, PT. Bumi Aksara, Jakarta, 2003, Sudjana, Manajemen Program Pendidikan, “Untuk Pendidikan Nonformal dan Pengembangan Sumber Daya Manusia”, (Bandung, Falah Production, 2004), Sukanto Reksohadiprodjo, Dasar-Dasar Manajemen “edisi 5”, (Yogyakarta, BPFE., 2000), Sukarna, Dasar-Dasar Manjemen, (Bandung, PT. Mandar Maju, 1992),

40 AT-THARIQ|Volume VIII, (September-Februari 2013)


Takiyudin Subkhi Supardi, MM., dan Drs. Syaiful Anwar, SU, Dasar-Dasar Perilaku Organisasi, UII Pers, Yogyakarta, 2002, Suyanto dan MS Abas, Wajah dan Dinamika Pendidikan Anak Bangsa, (Yogyakarta ; Adicita karya Nusa, 2001 ), T. Hani Handoko, MBA, Manajemen, Edisi 2, BPEF, Yogyakarta, 2001 Terry, G.R. Principles of Management. (Illinois: America Richard D Irwin, Inc., 1977), Tilaar,H.A.R.Beberapa Agenda Reformasi Pendidikan Nasional,Dalam perspekti Abad 21.(Jakarta :Tera Indonesia.1998) William P. Anthony, Pamela L. Perrewe dan K. Michele Kacmar, Strategic Human Resource Management, The Dryden Press, Amerika, 1993, Yoseph Cargeni, Partisipative Management (New York: Philosophical Library, 1984),

Volume VIII, (September-Februari 2013)| AT-THARIQ 41


Pembelaan Islam Terhadap Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT)

PEMBELAAN ISLAM TERHADAP PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA (KDRT) Masyhud1 Abstract This paper discusses the problem of (1) restriction of domestic violence, (2) the relationship between feminism and domestic violence, (3) the factors of violence in the Muslim Household, and (4) the position of Islam as a solution. The results showed that: (1) Domestic Violence are various forms of action that was done deliberately in order to hurt, injure, make the external and the internal suffering, not to educate as taught by religion or legislation, (2) movement feminists who sued the content of religious teachings of Islam who set the pattern of relationship of husband and wife with the aim of "inciting" the women will not make women's dignity and degree of the more noble and respected, but will make the women as perpetrators of domestic violence as had happened in the Netherlands, (3) the factors that influence the occurrence of domestic violence include: (i) the attitude nushuz of husband or wife, (ii) lack of understanding, especially the practice of the teachings of Islam by individuals, (iii) the ever-expanding "incitement" committed feminists, (iv) attitude is reflected in the culture of greed that precede rights than obligations, (v) cultural values of patriarchy that consider that the position of women is lower than men, (vi) the weak of legal order, (vii) systemic factors, especially the application of the capitalist system, which separates religion and secular life, and (viii) the factors associated with individual disability in solving problems such as less able to communicate, control emotions, and find solutions, and (4) efforts offered by the doctrine of Islam to prevent the occurrence of domestic violence include: (i) for the husband as the leader or the wife as a follower able to see and appreciate the good side which is owned by a partner, (ii) provide advice and warnings to the couple who lovingly nushuz appropriate affection taught by religion, (iii) exert obligation of the husband and wife with the best, and (iv) communicate well. Key words: Rumah tangga, kekerasan, keluarga, Islam, dan feminisme

A. Pendahuluan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) adalah salah satu bentuk kekerasan terhadap perempuan yang diakui oleh Deklarasi PBB (The United Nations Declaration on the Elimination of Violence Against Women, 1993), penghapusan kekerasan terhadap perempuan. Dua bentuk kekerasan lainnya yang diakui oleh Deklarasi PBB adalah kekerasan dalam masyarakat, dan kekerasan dalam negara. Kasus-kasus Kekerasan dalam Rumah Tangga merupakan masalah yang sangat kompleks. Terkait dengan banyak hal. Harus dipahami dan di tangani secara objektif. Pemihakan yang berlebihan kepada pihak tertentu seperti yang sering dilakukan oleh kaum feminis, bukan hanya akan menimbulkan analisis yang bias, 1

Penulis adalah dosen di STAIN Purwokerto.

42 AT-THARIQ|Volume VIII, (September-Februari 2013)


Masyhud tetapi juga dapat memutarbalikkan fakta, yang dapat menyesatkan dan mengundang respon yang tidak benar. Gerakan feminisme sebagai filsafat dan gerakan yang dihembuskan dari Middelburg, sebuah kota di selatan Belanda oleh Lady Mary Wortley Montagu dan Marquis de Condorcet pada tahun 1867 telah membuat banyak kaum feminis seolah-olah “menang”. Tidak terkecuali mereka yang beragama Islam. Dewasa ini ada kaum feminis yang sudah lepas kontrol. Sampai berani mengatakan mitos atas fakta-fakta yang dianggapnya “memojokkan” dan merendahkan kaum perempuan. Di antara fakta yang dimitoskan adalah: (1) suami boleh memukul istrinya karena rewel dan berani membangkang, (2) istri yang menjadi korban kekerasan adalah tipe istri yang pembangkang, dan (3) korban dan pelaku KDRT kebanyakan dari masyarakat yang kurang berpendidikan.2 Ajaran ini disebarkan oleh kalangan kaum feminis Barat. Sudah masuk dan meracuni alam fikiran kaum feminis di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia. Di Indonesia, misalnya ada trend yang salah arah. Mereka belum merasa hebat apabila belum “menyalahkan” teks-teks suci dan hadis-hadis Nabi saw, yang dianutnya. Teks-teks agama hanya dipandang “melanggengkan” dominasi kaum pria. Kekuasaan laki-laki atas perempuan dalam keluarga, dianggap sebagai faktor terpenting bagi lahirnya kekerasan. Mereka berani menyalahkan norma-norma agama - budaya yang telah dikemas rapi yang telah diajarkan oleh para ulama. Para Intelektual muslim harus waspada. Apa gerangan maksud dan tujuan yang dinginkan ?. Apakah akan memutar balikkan fakta sejarah. Ada keyakinan besar, bahwa keinginan mereka adalah “memadamkan agama Allah SWT”, dengan ucapan-ucapan mereka, dan Allah tetap menyempurnakan cahaya-Nya meskipun orang-orang kafir membencinya. Seperti dijelaskan dalam Q. S. Al-Shaff [61] : 7 – 8 :

               :   “Dan siapakah yang lebih zalim daripada orang yang mengada-adakan dusta terhadap Allah sedang dia diajak kepada Islam? dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang zalim”.

1. Di antara kaum feminis yang sudah memitoskan fakta seperti itu, di Indonesia, antara lain adalah Siti Musdah Mulia. Lihat makalahnya yang berjudul "Kekerasan dalam Rumah Tangga: Perspektif Agama-agama”, Makalah, Disajikan dalam Seminar yang diselenggarakan oleh Tim PUG Departemen Agama, bekerja sama dengan Komnas Perempuan di Jakarta, Tanggal 22 Juni 2004. Bandingkan dengan Ford Foundation, Kekerasan terhadap Perempuan, 1998.

Volume VIII, (September-Februari 2013)| AT-THARIQ 43


Pembelaan Islam Terhadap Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT)

           “Mereka ingin memadamkan cahaya Allah dengan mulut (tipu daya) mereka, tetapi Allah (justru) menyempurnakan cahaya-Nya, walau orang-orang kafir membencinya". Dalam tafsir Ibnu Katsir, ayat di atas memiliki munasabah dengan Q.S. al-Tawbah [9] : 32. Isinya : kalangan musyrikin dan Ahli Kitab berupaya melakukan bantahan dan memutar balikan fakta ajaran-ajaran dalam al-Qur’an. Agar sinar agama bagi kaum muslimin lambat laun padam.3 Dugaan itulah yang di alamatkan kepada kaum muslimin dari kalangan Feminis sekuler. Issu mereka adalah memperjuangkan hak-hak kaum perempuan. Namun hanya kedok belaka. Mereka mempertentangkan kewajiban dan hak dalam kehidupan keluarga, sesuai ajaran Allah SWT. Jika tidak mendobrak teks-teks suci, anggapan mereka tidak akan menghasilkan harmoni dalam kehidupan rumah tangga. Kiranya memang itu yang diinginkan dan diperjuangkan. Keluarga yang sudah mawaddah, rahmah dan sakinahpun dapat bimbang/goyah diterpa oleh ajaran ini. Salah satu buktinya adalah Huiselijkgeweld, satu dari organisasi pemerhati masalah KDRT di Belanda. Dalam salah satu surve yang dilakukan pada tahun 1997, mengemukakan satu kesimpulan yang kacau. Memperkuat dugaan seperti yang dijelaskan di atas. Survei itu dilakukan melalui sampel 516 pria dan 489 perempuan. Usia antara 17–70 tahun. Sebagai pelaku kekerasan dalam rumah tangga. Memperhatikan angka itu, dengan sangat bangga kaum feminis yang tergabung dalam Huiselijkgeweld mengatakan bahwa gender equality (kesetaraan gender) di Belanda sudah sangat “baik”, karena yang menjadi pelaku tidak hanya pria. Perempuan di sana sudah berani melakukan perlawanan kepada suaminya. Bahkan, mereka sangat gembira ketika menemukan jumlah perlawanan mencapai angka 50 % dari pelaku.4 Makalah ini membahas tentang kekeliruan para soiolog, terutama kaum feminis Indonesia terhadap keterlibatan ajaran Islam yang dianggap “mengukuhkan” bentuk kekerasan dalam keluarga (domestic violence) muslim. Istilah Kekerasan dalam Rumah Tangga yang terkenal dengan (KDRT). Secara lebih spesifik, pembahasannya difokuskan kepada: (1) Batasan KDRT, (2) Feminisme dan Kekerasan dalam Rumah Tangga, (3) Faktor-faktor yang menyebabkan 3

. Lihat Ibnu Kas|ir dalam , Tafsi>r al-Qur’a>n al-‘Az}i>m , (tpn, Syirkah al-Nu>r Asia, jl. 2, tt) hlm 349. . Dessy, “Pemuliaan Wanita dalam Islam dan Kekerasan dalam Rumah Tangga (Indonesia & Belanda)”, Kajian Muslimah, 24 Januari 2008, (online), http://kajianmuslimah.wordpress.com. Diakses tanggal 20 Nopember 2010. 4

44 AT-THARIQ|Volume VIII, (September-Februari 2013)


Masyhud terjadinya Kekerasan dalam Rumah Tangga Muslim, dan (4) Islam membela penghapusan kekerasan. B. Batasan KDRT Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) dalam UU RI Nomor : 23 tahun 2004 adalah setiap perbuatan seseorang terutama perempua yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.5 Dalam BAB III Pasal 5 menjelaskan bahwa setiap orang dilarang melakukan kekerasan dalam rumah tangga terhadap orang dalam lingkup rumah tangganya dengan cara (a) kekerasan fisik (b) kekerasan psikis (c) kekerasan seksual; atau (d) penelantaran rumah tangga.6 Apabila dipersingkat pengertian kekerasan dalam rumah tangga adalah berbagai bentuk tindakan yang dilakukan dengan sengaja dengan tujuan untuk menyakiti, melukai, membuat menderita baik lahir maupun batin, kepada orang-orang yang disebut dari a sampai d, bukan untuk mendidik sebagaimana diajarkan oleh agama atau taat pada peraturan perundang-undangan yang berlaku. Klausul bukan untuk mendidik sebagaimana diajarkan oleh agama dan atau peraturan perundang-undangan, sering diabaikan oleh para pemerhati KDRT. Kealpaan klausul tersebut, menjadikan sebagian mereka dengan mudah mengatakan bahwa : “Islam ikut serta dalam mengabadikan kekerasan dalam rumah tangga�, Karena Islam sendiri membolehkan suami memukul istrinya yang nusyuz.7 Anak-anak boleh dipukul disaat memasuk usia 10 tahun meninggalkan shalat fardhu, seperti hadis Nabi saw :

5

Lihat UU RI No. 23 tahun 2004, tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, BAB III Pasal 5 s/d Pasal 9, Mustofa Hasan, Pengantar Hukum Keluarga, (Bandung : Pustaka Setia, cet 1 2011) hlm 377. 6 . I b i d, hlm. 376 – 378. 7 . Nusuz adalah istri durhaka, atau suami menelantarkan istrinya. Nuzuz istri adalah, istri tidak taat pada suaminya. Suami dianjurkan melakukan tiga hal (1) menasehatinya dengan cara diajak bicara dengan bijaksna (1) pisah tempat tidur jika no. 1 tadi tidak berhasil (3) boleh memukul istri nusuz tetapi tidak dengan pukulan yang membahayakan fisik maupun mental. Jika upaya melalui no. (1) dan nomor 2 tidak berhasil. Nuzuz adalah ajaran yang diperbolehkan oleh agama, sehingga istri dapat mengajukan cerai gugat, jika hidup kekeluargaannya tidak harmonis, lihat, Wahbah al-Zuhaily, al-Fiqhu al-Islamiy wa Adillatuhu, (Damaskus : Da>r al-Fikr, cet 3, jl. 7, 1989) hlm 338-339. Wahbah menambahkan; menurut al-Syafi’i dan Abu Hanifah tidak boleh memukul wajah dan bagian-bagian yang dianggap dapat menghilangkan kecantikannya, I b i d, hlm 340.

Volume VIII, (September-Februari 2013)| AT-THARIQ 45


Pembelaan Islam Terhadap Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT)

‫ ا ا ا لغ عرش ب نن فا رض‬, ‫قال النيب لسو هيلع هللا ىمص رواا البيب ا لب ا ا ا لغ ب ع ب نن‬ .)‫(رااه ألو دااد‬. ‫لو عغهيا‬ Dalam kajian maqashid al-Syari’ah dijabarkan betapa penting memelihara dan mempertahankan agama. Pada konteks aqidah anak kecil seperti tersebut di atas wajib diperkokoh dengan memiliki keyakinan tawhid yang kuat. Untuk bidang ibadah, agar tertanam kebiasaan yang secara reflex menjadi kesadaran serta kebutuhan dalam hidupnya. 9 Akhirnya dirasakan bahwa beribadah, seperti shalat adalah bagian dari kebutuhan hidupnya. Karena itu hadis\ diatas membatasi usia maksimal 10 tahun, anak yang membangkang diperintah shalat boleh dipukul dengan cara yang bijak. Tidak boleh melukai sampai berat. Hal-hal seperti inilah yang dianggap oleh sebagian kaum feminis, sebagai bentuk legitimasi kekerasan. Oleh sebab itu, tindakan kekerasan dapat dilihat dari berbagai unsur yang mempengaruhinya, misalnya (a) niat (b) tujuan (c) alat (d) subyek (e) obyek (f) situasi dan (g) luka atau sakit yang dirasakan. Niat, dalam hal ini harus diperhatikan apakah untuk melaksanakan perintah agama, taat peraturan perundang-undangan atau karena keinginan hawa nafsu belaka. Jika karena hawa nafsu, maka tindakan tersebut, sekecil apapun, termasuk tindakan kekerasan dan dzalim yang dilarang agama. Karena niat memiliki peranan yang sangat penting. Tujuan dan alat; Setiap orang yang melakukan kekerasan, memiliki tujuan tertentu. Baik secara eksplisit maupun implisit. Tujuan yang ingin dicapai, dapat diketahui dari alat yang digunakan atau akibat yang ditimbulkan. Sebagai contoh, jika ada seorang istri dengan sengaja menggunakan pisau tajam. Memotong penis suaminya yang dianggap telah mengecewakan dirinya sampai putus. Kekerasan itu dapat disimpulkan, bahwa tujuannya adalah menyakiti suaminya secara abadi. Agar suami menderita seumur hidupnya. Jika dilihat dari sisi akibatnya, pemotongan dzakar tersebut benar-benar disengaja, karena berakibat penderitaan seumur hidup dan juga merampas kenikmatan sang istri itu sendiri. Alat yang digunakan dalam melakukan suatu tindakan sangat penting untuk diidentifikasikan. Apakah termasuk tindakan melawan hukum atau tidak. Misalnya menggunakan senjata api, pedang, golok, clurit, pisau, api, atau air panas/keras dll. Ketika benda-benda itu berada di tangan pelaku kejahatan, maka disebut sebagai alat-alat kejahatan. Oleh sebab itu, cukup sulit untuk 8

. Abu Dawud, Sunan Abi> Da>wud, (Indonesia : Maktabah Dahlan, jl. 1, tt) hlm. 133. .Muhammad Sa’id Ramd}an al-But}y, D}awa>bit} al-Maslah}ah fi Syari’at al-Islamiyyah, ( Damaskus : Muassasah al-Risa>lah, 1973) hlm 121. 9

46 AT-THARIQ|Volume VIII, (September-Februari 2013)


Masyhud dikatakan bukan tindakan kekerasan dalam rumah tangga yang sekaligus melanggar hukum. Apabila ada seorang istri yang tega menyiram suaminya dengan bensin lalu membakarnya. Sebaliknya, pensil yang biasa digunakan oleh seorang penjahat. Digunakan suami untuk memukul istrinya dengan pensil tersebut. Dilaporkan ke polisi. Logika kita tidak dapat menerima, bahwa suaminya telah melakukan kekerasan rumah tangga. Subyek atau pelaku kekerasan; Perlu diidentifikasikan. Suatu tindakan termasuk bentuk kekerasan atau pendidikan. Dapat dilihat jika seorang suami misalnya, sedang mabuk berat karena miras, anak-anaknya sedang tidur lelap, kemudian menendang istrinya yang sedang shalat tahajjud sampai pingsan. Maka dapat diyakini bahwa kekerasan tersebut bukan untuk mendidik. Meski suami menguatkan pengakuannya dengan sumpah. Mengapa demikian?; Orang mabuk tidak dibenarkan untuk memberikan pendidikan. Dalam teori pendidikan, bahwa tendangan bukan termasuk bagian dari unsur pendidikan. Obyek atau sasaran kekerasan; Subyek dan obyek kekerasan penting untuk dipertimbangkan. Misalnya, seorang suami memukul wajah istrinya sampai lebam, hanya karena sayurnya kurang garam. Sedangkan kondisi istri dalam kesehariannya taat dan rajin beribadah. Dalam contoh seperti ini. Istri tidak berada dalam kondisi memerlukan pendidikan. Demikian juga misalnya, adik ipar yang tinggal serumah dengan kakaknya. Ia mengancam kakak iparnya, karena tidak diberi uang jajan. Ancaman itu tidak dapat dimasukkan dalam bentuk mendidik. Karena yang wajib memberi pendidikan adalah kakaknya (suaminya). Situasi yang melingkupi; Tindakan kekerasan terjadi, tidak dapat diabaikan dalam penggolongan suatu tindakan kekerasan atau bukan. Tidur membelakangi istri atau suaminya, sebagai misal, bisa dikategorikan bentuk tindakan kekerasan, jika dipahami dari situasinya. Terutama bagi pasangan di bulan madu, yang setiap malam tidur bermesraan, jika tiba-tiba salah satunya membelakangi pasangannya, maka jelas ada masalah. Masalah tersebut dapat dilihat dari kondisi dan situasinya. Jika suami membelakangi istrinya karena sebab nusyuz, maka yang salah adalah istrinya. Suami melakukan hal tersebut karena kepentingan edukasi. Apabila istri langsung sadar dan meminta maaf. Suami wajib segera memaafkannya, segera bertaubat kepada Allah SWT. Jangan mengungkit-ungkit kembali masalah yang menjadi induk konflik.10 Dengan

10

. Lihat Q. S. Al-Nisa [4] : 34 :

Volume VIII, (September-Februari 2013)| AT-THARIQ 47


Pembelaan Islam Terhadap Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) tindakan suami-istri yang sadar akan pentingnya saling asah-asih- asuh dan kemesraan rumah tangga, maka dapat disimpulkan bahwa keluarga idaman dalam Islam adalah keluarga yang sadar, yang selalu memohon bimbingan Nur Ilahi. Dengan demikian tujuan pokok pernikahan, yang tertuang dalam Q. S. al-Nur [30] : 21 adalah membentuk kehidupan rumah tangga yang mawaddah, rahmah dan sakinah. Sebaliknya, jika suami itu membelakangi istrinya yang salihah, karena ada masalah di tempat kerja atau dengan wanita lain, dapat digolongkan bahwa itu adalah tindakan kekerasan. Karena istri menjadi gelisah. Lain halnya jika salah seorang dari pasangan suami istri, tidur membelakangi, dengan terlebih dahulu meminta izin. Karena tangan kanannya keseleo. Perbuatan tersebut tidak termasuk kekerasan, karena alasannya dapat diterima akal sehat. Itulah sebabnya Ulama menyimpulkan bahwa: “hukum dapat berubah-ubah, karena situasi dan kondisi serta kemaslahatan yang akan dicapai”, seperti kaidah fiqhiyyah di bawah ini :

‫تغري ال حاك م لتغري ال ز رنة اا ل ركنة اال حو ال‬ Keadaan luka atau sakit akibat kekerasan, adalah merupakan indikator yang paling mudah ditentukan.. Besar kecilnya luka ikut mempermudah menggolongkan kekerasan tersebut. Misalnya, seorang istri yang sedang hamil sembilan bulan, baru pulang dari Saudi Arabia sebagai TKW. Di malam pertama, ia ditusuk oleh suaminya dengan pensil yang biasa dipakai anaknya, karena marah tidak berani berterus terang. Siapa laki-laki yang melakukan?. Perutnya luka berdarah, bahkan bayinya pun keluar, dalam keadaan miskram. Perbuatan tersebut termasuk kekerasan. C. Feminisme dan Kekerasan dalam Rumah Tangga Sampai saat ini, isu kekerasan terhadap perempuan terus menerus menjadi perbincangan hangat. Salah satunya adalah kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Perjuangan penghapusan KDRT nyaring disuarakan organisasi, kelompok atau bahkan negara yang meratifikasi konvensi mengenai penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan (Convention on the Elimination of All Form of Discrimination/CEDAW) melalui Undang-undang No 7 tahun 1984. Juga                        11

. Muhlish Usman, Kaidah-kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyyah, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, cet 1, 1996) hlm 145. Dikukuhkan lagi dengan kaidah yang sama oleh Ibn al-Qoyyim, I’lâmu al-Muwâqi’în, Juz III (Beirut: Mathba’ah al-Hayat, t.th.), hlm. 4.

48 AT-THARIQ|Volume VIII, (September-Februari 2013)


Masyhud berdasarkan Deklarasi Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan yang dilahirkan PBB tanggal 20 Desember 1993 dan telah diratifikasi oleh pemerintah Indonesia. Bahkan di Indonesia telah disahkan Undang-undang No 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Perjuangan penghapusan KDRT berangkat dari fakta banyaknya kasus KDRT yang terjadi dengan korban mayoritas perempuan dan anak-anak. Hal ini berdasarkan sejumlah temuan Komisi Nasional Anti-Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan). Karena korban kekerasan kebanyakan perempuan. Maka para propagandis anti-KDRT beranggapan bahwa KDRT adalah masalah gender (jenis kelamin). Adanya subordinasi perempuan telah menempatkan mereka sebagai korban kekerasan pria. Ajaran agama Islam dituduh melanggengkan budaya ini. Beberapa syariat Islam dicap sebagai upaya mensubordinasikan posisi ini. Akhirnya menjadi pemicu bagi kaum pria untuk memperlakukan perempuan semena-mena. Menurut sebagian kaum feminis, poligami dianggap sebagai bentuk penindasan terhadap wanita, karena ia ditempatkan pada posisi nomor dua. Menurut mereka dahulu, jilbab merupakan bentuk pengekangan terhadap kebebasan wanita. Perintah istri untuk taat kepada suaminyapun dianggap sebagai pendorong suami untuk berbuat sewenang-wenang. Memenjarakan wanita dalam rumah tangga. Kebolehan memukul istri atau anak dalam Islam, dalam rangka mendidik mereka, dituduh sebagai penganiayaan. Ajaran hitam bagi anak perempuan juga dianggap bentuk kekerasan. Sebaliknya, bagi kaum feminis beranggapan, seorang perempuan tidak wajib taat kepada suaminya. Perempuan tidak boleh dikekang untuk keluar rumah. Suami harus membebaskan istrinya bekerja. Selingkuh harus diperbolehkan, karena dianggap sebagai pelampiasan eksploitasi seksual. Poligami harus diharamkan, dan perilaku lesbi dilegalkan. Kaum feminis 12 beranggapan, bahwa untuk menghapuskan KDRT maka perempuan harus disejajarkan dengan pria. Relasi suami-istri dalam kehidupan rumah tangga harus seimbang. Istri memiliki kewenangan yang tidak harus 12

. Feminisme sebagai filsafat dan gerakan, lahir di era Pencerahan di Eropa yang dipelopori oleh Lady Mary Wortley Montagu dan Marquis de Condorcet. Perkumpulan masyarakat ilmiah untuk perempuan pertama kali didirikan di Middelburg, sebuah kota di selatan Belanda pada tahun 1785. Menjelang abad 19 feminisme lahir menjadi gerakan yang cukup mendapatkan perhatian dari para perempuan kulit putih di Eropa. Perempuan di negara-negara penjajah Eropa memperjuangkan apa yang mereka sebut sebagai universal sisterhood. Lady Mary Wortley Montagu menikah dengan lelaki yang tidak disetujui oleh ayahnya hanya karena persoalan harta kekayaan. Dia menjalani kehidupannya sebagai seorang wanita yang sering kesepian dan jauh dari orang tua. Lalu terlibat affairs dengan laki-laki lain sehingga diceraikan oleh suaminya. Kehidupan dijalani dengan penuh penderitaan dan menjjelang kematiannya dia terserang penyakit gila. Marquis de Condorcet sukses dalam karir sebagai ahli Matematika yang terkenal, tapi kehidupan yang dijalaninya tidak begitu mulus. Dalam usia kanakkanak dia sudah ditinggalkan oleh ayahnya dan dia juga gagal dalam membina rumah tangga, diceraikan oleh istrinya. Lama menduda dan akhirnya mati di penjara. Volume VIII, (September-Februari 2013)| AT-THARIQ 49


Pembelaan Islam Terhadap Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) bersandar kepada suami. Dari sinilah maka arah perjuangan penghapusan KDRT adalah untuk memperjuangkan hak-hak wanita menuju gender equality (persamaan hak jenis kelamin). D. Faktor-faktor Penyebab Terjadinya Kekerasan dalam Rumah Tangga. Kekerasan dalam rumah tangga bukan merupakan hal baru dan bukan persoalan terbesar yang dihadapi umat manusia sejak dahulu. Pemahaman yang benar, jujur, tulus dan ikhlas terhadap faktor-faktor yang mendorong terjadinya kekerasan akan menjadi langkah strategis dalam menemukan cara penghapusannya. Beberapa bukti dan fakta lain yang menjadi pemicu adanya kekerasan dalam rumah tangga, di antaranya adalah : 1) Pemahaman terhadap ajaran Islam bagi individu-individu umatnya sangat lemah. Hal itu disebabkan karena malas belajar (mengaji) tentang seluk beluk berkeluarga. Bukan karena terlalu fanatik. Islam mengatur dengan jelas batas-batas dan aturan-aturan. Kapan seorang suami boleh memukul istri atau anaknya. Itupun karena sebab, dan alasan tertentu. Tidak boleh menimbulkan luka. Demikian rapatnya aturan- aturan Islam ini, sehingga menjadi satu-satunya ajaran yang memuat seluk-beluk manusia secara lengkap, dari sejak ia lahir (hidup), mati dan sampai dengan dihidupkan kembali di alam akhirat kelak. 2) Karakteristik individu yang temperamental juga menjadi pemicu bagi seseorang untuk melanggar hukum syara.’ Termasuk melakukan tindakan KDRT, meskipun sudah mengetahui maupun paham tentang ajaran yang dimaksud. 3) Islam datang saat perempuan dipinggirkan dan direndahkan. Lalu diangkat sesuai kodrat yang semestinya. Pada masa jahiliah, orang biasa mengubur anak perempuannya untuk menutupi rasa malu, seperti dijelaskan dalam Q.S. alTakwir [81] :8. Islam juga menempatkan perempuan sebagai woman behind the gun. Sebagai salah satu penentu nasib dan masa depan bangsa lewat pendidikannya dari dalam rumah. Perempuan lah yang menciptakan manusiamanusia besar pada zamannya. Hanya saja bagian inilah yang sering ditentang oleh kaum feminis. Mereka merasa dibatasi kebebasannya. Islam mengajarkan kepada perempuan untuk tidak terus terpuruk menyesali nasib. Keseteraan gender, persamaan hak, terkadang dibutuhkan dalam situasi seperti ini. Persamaan hak dan persamaan rasa, untuk terus bertahan hidup dalam kondisi dan situasi apapun, bahkan yang terburuk sekalipun. Namun jangan sekali-kali melupakan kodratnya sebagai perempuan. Apabila gagal 50 AT-THARIQ|Volume VIII, (September-Februari 2013)


Masyhud menyadarinya, Islam akan dirasakan sebagai penghambat. Merasa tersiksa dengan agamanya sendiri. Dengan demikian, tidak ada tempat bagi perempuan untuk berkecil hati, jika laki-aki yang ditakdirkan sebagai suaminya ternyata menyalahi janji. Rahmat Allah terbuka luas. Mengajukan perceraian (cerai gugat) adalah sebagai jalan keluar terbaik.. 4) Dalam kitab-kitab fiqh dijelaskan bahwa hak seorang istri dari suaminya dapat ditemukan hal-hal yang menakjubkan. Istri dalam pandangan Islam berhak dipenuhi segala kebutuhannya oleh suami. Baik nafkah, rumah maupun pakaiannya. Termasuk kebutuhan-kebutuhan yang bersifat tahsiniyat. Istri tidak diwajibkan untuk memasak, mencuci, membersihkan rumah dan lain-lain. Pekerjaan-pekerjaan tersebut diserahkan pada suami untuk mencari pembantunya. Sebagai hubungan timbal baik, Islam mewajibkan kepada istri untuk taat dan patuh pada suami. Dalam hal taat dan patuh inilah yang biasa terjadi ketidak seimbangan. Istri ada yang belum dapat bersyukur atau terima kasih pada apa yang ada dan apa yang dibawa oleh suaminya. Dia menuntut agar semua keinginannya dipenuhi. Dalam kondisi seperti ini, suami marah kemudian secara terpaksa melakukan kekerasan kepada istrinya. Istri seperti ini dalam ajaran Islam termasuk berperangai buruk. Lebih baik diceraikan saja. Jika tidak dapat rukun kembali. 5) Kaum feminis dalam berbagai kesempatan, terus menyuarakan bahkan terkadang membesar-besarkan kekuarang beruntungannya. Bahkan, kegiatan mereka sampai berani menyalahkan teks-teks suci agama dan menafsirkannya sesuka hatinya. Termasuk menyudutkan peraturan perundang-undangan yang dianggap mendiskreditkan kaumnya. Ayat-ayat al-Qur’an dan hadis Nabi tentang waris, poligami, kepemimpinan, saksi, wali tidak memiliki arti sama sekali. Bahkan kaum feminis ektrim, berani secara terang-terangan menyalahkan Tuhan. Tuhan telah berbuat keliru ketika membolehkan suami berpoligami, sedangkan perempuan tidak boleh poliandri. Mereka berani mengharamkan poligami dan menghalalkan lesbi. 6) Nilai-nilai budaya patriakhat yang menganggap bahwa posisi perempuan lebih rendah dari pada laki-laki atau selalu berada di bawah otoritas dan kendali lakilaki. Hubungan perempuan dan laki-laki seperti ini telah dilembagakan di dalam struktur keluarga patriarkhat dan didukung oleh lembaga-lembaga ekonomi dan politik. Tidak bisa dipungkiri bahwa lemahnya posisi perempuan merupakan konsekuensi dari adanya nilai-nilai patriarki yang dilestarikan melalui proses sosialisasi dan reproduksi dalam berbagai bentuk oleh masyarakat maupun negara. Perempuan dalam kebudayaan patriarkal dihantui Volume VIII, (September-Februari 2013)| AT-THARIQ 51


Pembelaan Islam Terhadap Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) oleh pesan-pesan yang menegatifkan atau meremehkan keberadaan mereka. Tubuh seksual mereka dianggap ancaman berbahaya bagi kehebatan laki-laki dan menurut kaum feminis menjadi alasan untuk membenarkan aniaya verbal dan fisik terhadapnya. 7) Lemahnya penegakan hukum dari berbagai aspek. Aspek hukum, berupa substansi hukum (content of law), aparat penegak hukum (structure of law), maupun budaya hukum (culture of law) yang ada, menurut kaum feminis, belum memihak kepada kepentingan mereka. Terutama dalam masalah kekerasan. Memang, KUHP yang menjadi acuan pengambilan keputusan hukum dirasakan sudah tidak memadai lagi untuk mencover berbagai realitas kekerasan yang terjadi di masyarakat. 8) Faktor sistemik; Kekerasan yang terjadi saat ini sudah menggejala menjadi penyakit sosial di masyarakat. Baik di lingkungan domestik maupun publik. Kekerasan yang terjadi bersifat struktural yang disebabkan oleh berlakunya sistem yang tidak menjamin kesejahteraan masyarakat. Mengabaikan nilai-nilai Ilahiyah dan menafikkan perlindungan atas eksistensi manusia. Tak lain adalah sistem kapitalisme sekular yang memisahkan agama dan kehidupan. Penerapan sistem itu telah meluluh-lantakkan sendi-sendi kehidupan asasi manusia. Dari sisi ekonomi misalnya, sistem kapitalisme mengabaikan kesejahteraan seluruh umat manusia. Sistem ekonomi kapitalistik menitikberatkan pertumbuhan dan bukan pemerataan. Pembangunan negara yang dibiayai utang luar negeri, dan merajalelanya perilaku kolusi dan korupsi pada semua lini pemerintahan, telah mengjancurkan sendi-sendi perekonomian bangsa. Tak kurang 70% penduduk Indonesia berada di bawah garis kemiskinan. Mereka tidak mampu menghidupi diri secara layak karena negara mengabaikan pemenuhan kebutuhan pokok mereka. Himpitan ekonomi inilah yang menjadi salah satu pemicu orang berbuat nekat melakukan kejahatan, termasuk munculnya KDRT. Banyak kasus KDRT menimpa keluarga miskin, dipicu karena persoalan ekonomi. Kita perlu mengkritisi pernyataan, yang disampaikan oleh Siti Musdah Mulia, dalam seminar nasional Departemen Agama RI, terhadap beberapa pasal yang disebut dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Dia berpendapat: Nilai-nilai budaya yang membenarkan posisi subordinat perempuan malah dikukuhkan dalam berbagai perundang-undangan, misalnya dalam UU Perkawinan tahun 1974 yang membedakan dengan tegas peran dan kedudukan antara suami dan istri. Pasal 31 ayat 3 UU: "Suami adalah kepala keluarga dan 52 AT-THARIQ|Volume VIII, (September-Februari 2013)


Masyhud istri adalah ibu rumah tangga". Pasal 34 ayat 1 dan 2 ditetapkan: "Suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup rumah tangga sesuai dengan kemampuannya" dan "Istri wajib mengatur urusan rumah tangga dengan sebaik-baiknya". Terlihat secara jelas bahwa undang-undang tersebut menempatkan istri secara ekonomi menjadi sangat tergantung kepada suami. 13 Pernyataan Musda tentang istri secara ekonomi menjadi sangat tergantung pada suaminya, mempunyai penafsiran sangat banyak, di antaranya : a) Dia berpendapat bahwa ketentuan “suami adalah kepala keluarga dan istri adalah ibu rumah tangga" (Pasal 31 ayat 3) dan "Suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup rumah tangga sesuai dengan kemampuannya". Istri wajib mengatur urusan rumah tangga dengan sebaik-baiknya" (Pasal 34 ayat 1 dan 2). Dua pasal di atas, oleh Musda dianggap berasal dari nilai-nilai budaya. Bukan dari ajaran Islam. Padahal sudah jelas bahwa ajaran Islam secara lengkap mengatur kehidupan rumah tangga yang mawaddah, rahmah dan sakinah.. b) Anggapan dia, bahwa undang-undang tersebut menempatkan istri secara ekonomis, menjadi sangat tergantung kepada suaminya. Dalam Islam suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup rumah tangga, seperti nafkah, pakaian, rumah dan kebutuhan lainnya, sesuai dengan kemampuannya. Istri wajib mengatur urusan rumah tangga dengan sebaik-baiknya" (Pasal 34 ayat 1 dan 2). Kalimat “Suami wajib” … oleh Musda difahami keliru, karena istri akan sangat tergantung pada suaminya. Padahal Islam membolehkan istri membantu bekerja. c) Musdah ingin mengaburkan struktur dalam keluarga. Dia menghendaki perubahan; (1) suami, istri sama-sama wajib mencari nafkah, dan (2) suami, istri sama-sama wajib mengatur urusan rumah tangga. Sehingga status kepala keluarga dan ibu rumah tangga dapat berpindah-pindah. Dia kurang memahami “teori struktur dan fungsi.” 14 d) Musda ingin mendahulukan hak dari pada kewajiban. Hak dan kewajiban sudah ter-internalize dalam diri kita masing-masing. Jarang di antara kita yang menuntut hak dahulu kemudian kewajiban. Perilaku seperti itu dapat memicu 13

. Siti Musdah Mulia, "Kekerasan dalam Rumah Tangga: Perspektif Agama-agama”, Makalah, Disajikan dalam Seminar yang Diselenggarakan oleh Tim PUG Departemen Agama Bekerja sama dengan Komnas Perempuan di Jakarta, Tanggal 22 Juni 2004. 14 . Teori ini menjelaskan bahwa struktur memiliki peran dan fungsi masing-maing yang satu sama lain saling menopang. Salah satu buku yang mengupas tentang teori ini adalah karya Tajul Arifin, Tesis-tesis Teori Sosiologi Klasik dan Kontemporer, 2008.

Volume VIII, (September-Februari 2013)| AT-THARIQ 53


Pembelaan Islam Terhadap Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) konflik dari pasangannya. Islam mengajarkan bahwa, setiap Muslim harus memperhatikan kewajiban dahulu baru kemudian haknya. E. Pembelaan ajaran Islam terhadap Penghapusan KDRT. Kekerasan dalam rumah tangga bukan merupakan hal baru dan bukan persoalan terbesar yang dihadapi umat manusia sejak dahulu sampai sekarang. Pemahaman yang benar, jujur, tulus dan ikhlas terhadap faktor-faktor yang mendorong terjadinya kekerasan akan menjadi langkah strategis dalam menemukan cara penghapusannya. Banyak dugaan yang secara empirik seperti memberikan justifikasi terhadap adanya kekerasan dalam rumah tangga muslim.15 Jika dipahami secara sepintas, sangat dibutuhkan pemahaman secara berimbang, misalnya : a) Dalam UU No. 1 tahun 1974 pada BAB II Pasal 6 ayat (1) di jelaskan bahwa Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai. Dalam ajaran Islam, sebenarnya sudah dilaksanakan bahwa antara calon istri dan calon suami harus sama-sama mencintai, sebagaimana dijelaskan dalam hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah :

‫ فذ كو ت هل أ ن أ اها‬. ‫عن ا بن ععا س ريض هلل عنن أن جا ر ية بكوا أ تت أ ن النيب لسو هيلع هللا ىمص‬ .) ‫ (ر ااه ابن را جة‬.‫ خفريها النيب لسو هيلع هللا ىمص‬. ‫زاهجا ايه كو هية‬ “Artinya : Dari Ibnu ‘Abbas ra, ada seorang perempuan perawan datang kepada Nabi saw, untuk mengadukan, bahwa ayahnya telah menikahkannya, padahal ia tidak mencintai suaminya. Nabi kemudian memerintahkan untuk segera menceraikannya.” Hadis ini juga menjadi landasan bahwa, pernikahan harus didasarkan atas suka sama suka, atau sama-sama mencintai. Jika si perawan itu diam, saat dilamar atau dinikahkan. Itu pertanda setuju. Inilah yang berlaku sebagai al‘adah pada zaman Nabi dahulu. Klausul ini sama persis, disebutkan dalam KHI pada rukun dan syarat perkawinan pasal 16 ayat (1) dan (2). Sebagai bagian pembaruan dalam hukum Islam di Indonesia. Dalam KHI pasal 15 ayat 1 dan 2 membatasi usia minimal untuk perkawinan, yaitu umur 21 tahun. Pembaruan 15

. Di Indonesia, yang mayoritas penduduknya beragama Islam, dicatat oleh Komnas Perempuan bahwa kekerasan terhadap perempuan meningkat terus dari tahun ke tahun. Tahun 2004 misalnya, menyebut sebanyak 5.934 kasus kekerasan menimpa perempuan. Angka ini meningkat dibandingkan tahun 2001 (3.169 kasus) dan tahun 2002 (5.163 kasus). Angka ini merupakan peristiwa yang berhasil dilaporkan atau dimonitoring. Dari keseluruhan 5.934 kasus kekerasan terhadap perempuan, 2.703 adalah kasus KDRT. Tercakup dalam kategori ini adalah kekerasan terhadap istri sebanyak 2.025 kasus (75%), kekerasan terhadap anak perempuan 389 kasus (14%), kekerasan dalam pacaran 266 kasus (10%), dan kekerasan dalam keluarga lainnya 23 kasus (1%). 16 . Ibnu Ma>jah , Sunan Ibnu Maja>h, (ttp : Da>r al-Fikr , jl 1, tt) hlm .603.

54 AT-THARIQ|Volume VIII, (September-Februari 2013)


Masyhud hukum Islam, terutama Hukum Keluarga yang menyangkut perkawinan, hampir di seluruh negara Islam dan negara yang berpenduduk Islam, sudah dilakukan pembatasan usia nikah, kecuali Arab Saudi. Tabel Usia Nikah Minimum di Negara Islam dan Negara Berpenduduk 17 Islam : Minimal Usia Kawin No NEGARA PRIA WANITA 1 Aljazair 21 18 2 Bangladesh 21 18 3 Mesir 18 16 4 Indonesia 19 16 5 Iraq 18 18 6 Turki 17 15 7 Yordania 16 15 8 Libanon 18 17 9 Libya 18 16 10 Malaysia 18 16 11 Maroko 18 15 12 Yaman Utara 15 15 13 Yaman Selatan 18 16 14 Pakistan 18 16 15 Somalia 18 18 16 Syria 18 17 17 Tunisia 19 17 Meskipun di Indonesia sudah ditetapkan dalam Undang-undang no. 1/1974 serta dikukuhkan dalam Kompilasi Hukum Islam No. 1 tahun 1991, tentang usia minimum nikah, masih ada juga, yang melanggarnya. Caranya usia calon pengantin ditua-kan dalam KTP. Untuk masa sekarang sudah sulit dilakukan, karena pembuatan KTP berbasis IT. Pada sisi lain dapat diduga orang-orang yang berani menikahkan anak perempuannya masih di bawah umur adalah tokoh-tokoh dalam masyarakat. Dalam UU No. 1/1974 dan KHI tersebut, tidak ada pasal yang menyangkut hal-hal tersebut dapat

17

. Tabel diambil dari, Muhammad Amin Summa, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2005) hlm 183-184.

Volume VIII, (September-Februari 2013)| AT-THARIQ 55


Pembelaan Islam Terhadap Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) dipidanakan18. Tidak seperti halnya yang terjadi di Tunisia, Turki dll. Ketentuan Pidana dalam BAB IX dalam UU No. 1/1974 hanya merupakan pelanggaran saja. Artinya sanksi hukum sangat ringan dan dapat diganti dengan denda.19 Sekarang sudah ada perlindungan, yang tertuang dalam Undang-undang no. 23 tahun 2004. Tentang Penghapusan KDRT. Pemerintah dan masyarakat wajib ikut bertanggung jawab terhadap upaya pencegahan KDRT. Ikut mengawal, salah satunya Pasal 7, yang menjelaskan “Seseorang tidak boleh melakukan kekerasan psikis terhadap perempuan di bawah umur untuk dinikahkan, sebab perempuan tersebut tidak berdaya, karena dipaksa ayah atau walinya.20 Para tokoh yang berani memaksa anak perempuannya yang masih dibawab umur berdalih dengan Rasul saw menikah dengan Baginda ‘Aisyah, karena “ittiba sunnati Rasul”. Padahal seharusnya tidak demikian, sebab alasan Nabi Menikah dengan syayyidah ‘Aisyah karena wahyu dari Allah swt. Manfaatnya dikemudian hari ternyata banyak sekali. Hampir 90 % lebih. Hadis-hadis yang menyangkut aspek hukum tentang pergaulan suami istri secara langsung diriwayatkan oleh ‘Aisyah ra. Dalam urusan perang, peran perempuan adalah pengatur logistik. Hal ini pernah di lakuan oleh ‘Aisyah ra. Nabi Muhammad saw menikahi beberapa istri janda dan hanya satu-satunya yang perawan dan masih kecil. Hal ini memiliki beberapa alasan yang sangat mendasar baik untuk kepentingan agama maupun kepentingan perjuangan Islam. Ada hal yang cukup aneh bagi kita, saat menelaah hasil Lembaga Bahsul Masail Nahdlatul Ulama dalam Muktamar yang ke XXXII di Makasar tahun 2010. Salah satu pertanyaan yang dimunculkan adalah berapa batasan usia nikah bagi pria atau wanita. Terdapat dalam Masail Diniyyah Waqiiyyah soal no. VII, pertanyaan 1, dan 2. Dalam jawabannya dijelaskan bahwa menikahkan wanita kecil (dibawah umur) adalah boleh. Seperti yang dialami oleh Syayyidatina ‘Aisyah ra. Dasar hukum yang diambil adalah Syarah Muslim Imam Nawai. (Syarah Muslim al-Nawawi, jl. 9 hlm 296). 21 Sebenarnya harus 18

. Hal yang dapat dipidanakan dalam UU no. 1 tahun 1974 menyangkut aspek administrasi saja. Sedangkan pasal yang secara tegas, yang melakukan paksaan nikah perempuan dibawah umur atau memalsukan usia calon mempelai lewat KTP, tidak ada klausul yang secara tegas diancam dengan hukuman pidana. 19 . Dalam UU RI No. 1 tahun 1974 Tentang perkawinan, Wasil Aulawi, Hukum Perkawinan di Indonesia, (Jakarta : Bulan Bintang, 1981) hlm 131-132. 20 . Lihat Penghapusan KDRT BAB II, Pasal 3 dan pasal 7. Lihat UU RI No. 23 tahun 2004, tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, BAB III Pasal 5 s/d Pasal 9, Termasuk pelanggaran pada BAB II pasal 3 dan pasal 7, Mustofa Hasan, Pengantar Hukum Keluarga, (Bandung : Pustaka Setia, cet 1 2011) hlm 377-378-379. 21 . Lihat hasil LBM NU Masail Waqiiyyah , Sekjen PBNU, Hasil-hasil Muktamar NU Ke XXXII di Makassar, (Jakarta : Sekretaris Jenderal PBNU, cet 1, 2010) hlm. 200-2001.

56 AT-THARIQ|Volume VIII, (September-Februari 2013)


Masyhud dipahami, Nabi menikah dengan Sayyidah ‘Aisyah ra adalah karena wahyu dari Allah swt. ‘Aisyah ra menjadi sumber hukum dan tempat bertanya dalam bidang yang berkaitan dengan persoalan kewanitaan. Beliau tidak hamil, dan sangat dimanjakan oleh Nabi saw. Sedangkan ‘Ali al-Shabuniy menjelaskan hikmah Nabi beristri banyak dan termasyuk ‘Aisyah adalah karena alasan : (a) hikmah pendidikan dan pengajaran kaum perempuan (b) hikmah tasyri’iyyah (c) hikmah persaudaraan dan persahabatan dan (d) strategi politik.22 b) Dalam Q. S. Al-Nisa [4] : 34 suami sebagai pemimpin bagi istrinya. Dalam sebab nuzul ayat ini, Sa’ad ibn al-Rabi’ al-Anshary menampar istrinya, putri Muhammad ibn Maslamah. Kemudian mereka mengadukan halnya kepada Rasul saw. Rasul saw segera memutuskan untuk segera membalas (qishash). Qishash belum dilaksanakan, Allah lalu menurunkan ayat tersebut di atas.23 Dalam wacana hukum Islam, apa yang diperintahkan Nabi, agar istrinya segera membalas dengan qishash, memiliki makna yang amat dalam. Artinya, istri tidak boleh dianiaya oleh suaminya, sehingga istrinya sakit hati. Perintah qishash dalam suasana apapun, harus ditegakkan demi keadilan. Urusan keadilan ini mendapat perlindungan hukum dari Allah swt sendiri, sebagaimana di bakukan dalam Q.S. al-Baqarah [2] : 178-179, tentang qishash dan Q.S. al-Nahl [16] : 126 dan Surah al-Hajj [22] : 60, yang berisi jika melakukan balasan peganiayaan dari orang lain, harus dilakukan setimpal. Namun dalam hal Q.S. al-Nisa [4] : 34, Allah telah memberi teguran kepada dua belah pihak, agar saling sama-sama mengerti atas kedudukannya sebagai suami istri. Mereka sama-sama sahabat pilihan dari kalangan Anshar dan Muhajirin. Teguran dalam ayat 34 diatas menyadarkan kedua belah pihak untuk saling memaafkan. Hal yang paling dirasakan malu oleh mereka adalah, perbuatan Saad. Saad ibn al-Rabi’ sadar, bahwa peristiwanya diabadikan dalam ayat al-Qur’an. Setiap orang yang membaca ayat ini akan mengenang peristiwanya. Dalam Q.S al-Tahrim [66] : 6 : suami bertanggung jawab kepada istri, anak dan tanggungan keluarganya dalam pendidikan/pengajaran, agar selamat dari api neraka. Ayat ini dijelaskan dengan hadis Nabi saw, yaitu :

22

hlm 229-

. ‘Ali al-Shabuniy, Rawai’u al-Bayan, Tafsiru Ayati al- Ahkam min al-Qur’an, (Beirut : Dar al-Qur’an al-Karim, cet 1, 1999)

23

. Lihat Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’an al-‘Adzim, (tpn : Syirkah al-Nur Asia, jl 1, tt) hlm. 491-192. Bandingkan dengan , Usman ibn Hasan , Durratun al-Nasihin, (tpn : Syirkah al-Nur Asia, tt) hlm 43-44.

Volume VIII, (September-Februari 2013)| AT-THARIQ 57


Pembelaan Islam Terhadap Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT)

‫ االو جل را ع عىل أ ههل اهو رسؤ ل ااملوأ را عنة عىل ليت ز ا هجا ا يه‬... 4 ... ‫رسؤ ةل‬ “Suami sebagai pimpinan rumah tangga, dan ia bertanggung jawab atas kepemimpinannya. Begitu pula istri juga sebagai pemimpin di rumah suaminya dan ia juga harus bertanggung jawab atas kepemimpinannya “. c) Dalam Q. S. Al-Nisa [4] : 19 menjelaskan bahwa suami wajib menggauli istrinya dengan cara yang ma’ruf (baik). Istri sebagai obyek, dan suami sebagai subyek. Rasul saw sendiri dapat bergaul dengan istri-istrinya dengan cara yang baik.. Dalam hadis Ibnu Majah dari riwayat ‘Aisyah ra Rul bersabda :

‫ خا د را هل اال ا روأ‬. ‫ م‬. ‫ قا لت را رض ب ر بو ل هلل ص‬. ‫ ض‬. ‫ عن عا ئشة ر‬... ... ‫اال رض ب لـند ه شيئأ‬ “... Dari ‘Aisyahra, Beliau berkata Rasul Allah sama sekali tidak pernah memukul pelayan maupun istrinya dengan tangannya sendiri “. Rasul juga bersabda :

... ‫ قا ل " خريمك خريمك ل ههل اأ ان خري مك ل هيل‬. ‫ م‬. ‫ عن ا بن ععا س عن النيب ص‬... “... Dari Ibni Abbas ra, dari Nabi saw : Sebaik-baik kalian adalah orang yang paling dapat berbuat baik kepada istrinya. Saya adalah orang yang paling dapat berbuat baik kepada istriku (keluargaku) “ d) Tanggung jawab suami adalah memberi nafkah, kiswah (pakaian) dan

tempat tinggal (kediaman) serta kebutuhan tersier (tahsiniyah). Kewajiban-kewajiban suami dijelaskan dalam Q.S. al-Baqarah [2] : 233. Suami wajib memberi nafkah dan pakaian secara makruf, sesuai kemampuannya. Dalam Q.S. al-Thalaq [65] : 6, Suami wajib memberikan tempat tinggal pada istrinya. Adapun istri wajib taat dan patuh pada suaminya.

24

. Lihat al-Bukhary, Imam al-Bukhary, Shahih al-Bukhary,(tpn : Dar al-Fikr , jl. 5, 1981) hlm 146. . Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, (tpn: Dar al-Fikr jl. 1, tt) hlm 638. 26 . Ibnu Majah, hlm 636. 25

58 AT-THARIQ|Volume VIII, (September-Februari 2013)


Masyhud

e) Dalam pernikahan, perempuan harus mendapat izin walinya dan wali sebagai rukun nikah, 27 sedangkan wali pria cukup membantu dan mendoakannya. f) Pada BAB VI Hak dan Kewajiban Suami Istri Pasal 31 ayat 1, 2 dan 3 dijelaskan bahwa : (1). Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat (2). Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum, dan (3). Suami adalah kepala keluarga dan istri ibu rumah tangga.28 g) Nusuz artinya durhaka, baik nusuz suami kepada istrinya, diatur dalam Q.S. al-Nisa[4] : 128, atupun istri kepada suaminya, diatur dalam Q.S. alNisa [4] : 34. Jika upaya damai dalam nusuz istri tidak dapat dicapai, sedangkan masing-masing bersikeras tidak ada yang mengalah, maka disebut syiqoq, yang mengupayakan perdamaian adalah 2 orang hakam dari dua belah pihak. Hal ini diatur dalam Q. S. al-Nisa [4] : 35. Jiika upaya ini tidak berhasil, mengharuskan pada nomor selanjutnya, yaitu : h) Talak ; Hak menceraikan istrinya memang ada di pihak pria, sedangkan istri juga mempunyai hak istimewa yaitu hulu’ talak tebus (cerai gugat). Talak hak suami dan talak tebus hak istri dijelaskan dalam Q.S. alBaqarah [2] : 229. Islam juga memberikan pilihan pada perempuan untuk menentukan sendiri pilihan hidupnya, jika sang suami ternyata menyalahgunakan kepemimpinannya. i) Pembagian waris; Pria mendapat 2 bagian sedangkan istri 1 bagian. Dijelaskan dalam dua ayat Q.S. al-Nisa [4] : 11 dan 176. Pembagian yang tidak sama ini, malah sebuah keadilan dari Allah swt. Sebab harta yang dibawa suami (gono), itu harus dipergunakan untuk kebutuhan istri, anak dan orang yang menjadi tanggungannya. Adapaun harta istri (gini), akan tetap utuh tidak boleh dipergunakan oleh siapapun tanpa mendapat izin dan ridla dari sang istri. y) Poligami dibatasi sampai empat orang istri, suami wajib berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anaknya, sesuai dengan Q.S. al-Nisa [4] : 3. 27

.Lihat Hasan Bisri, Wali nikah dalam perkawinan merupakan rukun yang harus dipenuhi bagi calon mempelai wanita,

Kompilasi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional, (Jakarta : Logos Wacana Ilmu , 1999) 145. 28 . Dalam UU RI No. 1 tahun 1974 Tentang perkawinan, Wasil Aulawi, Hukum Perkawinan di Indonesia, (Jakarta : Bulan Bintang, 1981) hlm 93.

Volume VIII, (September-Februari 2013)| AT-THARIQ 59


Pembelaan Islam Terhadap Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT)

Harus mendapat persetujuan dari istri-istrinya serta izin dari Pengadilan Agama. 29 Adapun istri hanya diperbolehkan mempunyai seorang suami. F. Penutup.

Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT) adalah berbagai bentuk tindakan yang dilakukan dengan sengaja dengan tujuan untuk menyakiti, melukai, membuat menderita baik lahir maupun batin; bukan untuk mendidik sebagaimana diajarkan oleh agama atau peraturan serta perundang-undangan yang berlaku. KDRT dapat terjadi, dalam empat macam (1) penganiayaan fisik, (2) penganiayaan psikis atau emosional, (3) penganiayaan seksual dan (4) penelantaran rumah tangga. Penggolongan tindak kekerasan atau disebut tindakan mendidik harus memenuhi 7 unsur: (a) niat, (b) tujuan, (c) subyek, (d) obyek, (e) alat, (f) situasi, dan (g) tingkat luka atau sakit yang diakibatkannya. Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya KDRT antara lain adalah: (i) sikap nusyuz suami atau istri, (ii) lemahnya pemahaman terutama pengamalan ajaran Islam oleh individu umat Islam, (iii) meluasnya “hasutan” yang dilakukan kaum feminis, (iv) sikap mendahulukan hak dari pada kewajiban, (v) nilainilai budaya patriakhat yang menganggap bahwa posisi perempuan lebih rendah dari pada laki-laki, (vi) lemahnya tatanan hukum, (vii) faktor sistemik terutama penerapan sistem kapitalisme-sekular yang memisahkan agama dan kehidupan, dan (viii) sikap temperamental. Salah faham terhadap ajaran agama Islam, disebabkan karena malas belajar agama, di satu pihak, dan luasnya bidang agama dipihak lainnya. Sementara gerakan kaum feminis yang menggugat “ajaran Islam” menyalahkan pola relasi suami-istri, dengan tujuan “menghasut” dan anggapan bahwa harkat dan derajat perempuan tidak pernah akan terangkat, melainkan dijadikan sebagai obyek kekerasan, seperti yang telah terjadi di Belanda. Ajaran Islam secara tegas melarang kekerasan dalam sebuah keluarga. Beberapa ayat al-Qur’an dan hadis Nabi menjelaskan agar suami memperlakukan istrinya dengan sebaik-baiknya. Suami boleh 29

. Hasan Bisri, Wali nikah dalam perkawinan merupakan rukun yang harus dipenuhi bagi calon mempelai wanita,

Kompilasi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional, (Jakarta : Logos Wacana Ilmu , 1999) 145.

60 AT-THARIQ|Volume VIII, (September-Februari 2013)


Masyhud

memukul istrinya sebagaimana dijelaskan dalam Q. S. al-Nisa [4] : 34 hanya sebagai pendidikan saja. Bukan bermaksud menganiaya, balas dendam, menghajar dll. Semua bentuk Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT), harus dipandang sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan dan merupakan bentuk pelanggaran hak asasi manusia. Karena itu, semua pihak harus berperan serta dalam mencegah terjadinya perilaku kekerasan tersebut, kepada siapa pun. Upaya yang ditawarkan ajaran Islam untuk mencegah terjadinya kekerasan dalam rumah tangga antara lain adalah : (1) agar para suami sebagai kepala keluarga paham terhadap nilai-nilai ajaran Islam, yang wajib diamalkan, khususnya dalam bidang kerukunan rumah tangga. Termasuk juga istrinya. Jika tidak mampu, dianjurkan untuk dapat mencontoh keluarga-keluarga yang ada di sekelingnya yang dapat hidup penuh cinta-kasih-sayang, hidup rukun dan tenteram.

Volume VIII, (September-Februari 2013)| AT-THARIQ 61


Pembelaan Islam Terhadap Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) DAFTAR PUSTAKA abu Dawud, Sunan Abi Dawud, (Indonesia : Maktabah Dahlan, jl. 1, tt) al-Nasai, Sunan al-Nasai, (Semarang ; Toha Putra, cet 1, tt). ali al-Shabuny, Rawa’i al-Bayan Tafsir Ayat al-Ahkam, (Beirut : Dar al-Qur’an al-Karim, jl 1, 1999). al-Bukhary, Shahih al-Bukhary, (tpn : Dar al-Fikr , jl 6 , 1981). al-Buthy, Muhammad Sa’id Ramdan, al-Buty, Dawabit al-Maslahah fi Syari’at alIslamiyyah, ( Damaskus : Muassasah al-Risalah, 1973). Bisri, Hasan, Kompilasi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional, (Jakarta : Logos Wacana Ilmu , 1999).. BBC Radio, “Lady Mary Wortley Montagu”, Women's Hour, History and Science Archive, 6 April 2007. Diakses 10 November 2008. Dessy, “Pemuliaan Wanita dalam Islam dan Kekerasan dalam Rumah Tangga (Indonesia & Belanda)”, Kajian Muslimah, 24 Januari 2008, (online),http;//kajianmuslimah.wordpress. com. Diakses tanggal 20 Nopember 2010. Ford Foundation, Kekerasan terhadap Perempuan, 1998. Forum NGO Indonesia, Laporan Organisasi Non-Pemerintah tentang Pelaksanaan Landasan Aksi Beijing 1995-2005. Indonesia. Hasan, Mustofa, Pengantar Hukum Keluarga, (Bandung : Pustaka Setia, cet 1, 2011) Ibnu al-‘Araby, Ahkam al-Qur’an, (tpn ; Dar al-Fikr, jl 3, 1974) Ibn al-Qoyyim, I’lâmu al-Muwâqi’în, (Beirut: Mathba’ah al-Hayat, jl. 3, tt.) Ibnu Ma>jah , Sunan Ibnu Majah, (ttp : Dar al-Fikr , jl 1, tt). Ibnu Kas|ir dalam , Tafsir al-Qur’an al-‘Azim , (tpn, Syirkah al-Nur Asia, jl. 2, tt). Musdah Mulia, Siti, "Kekerasan dalam Rumah Tangga: Perspektif Agama-agama”, Makalah, Disajikan dalam Seminar yang Diselenggarakan oleh Tim PUG Departemen Agama Bekerjasama dengan Komnas Perempuan di Jakarta, Tanggal 22 Juni 2004. Mudor, At}o dan Khaeruddin Nasution, Hukum Keluarga di Dunia Islam Moderen (Jakarta : Ciputat Pres, cet 1, 2003). Pan Mohamad Faiz, Protection of Women with Special Emphasis on Domestic Violence Act: A Comparative Analysis between India and Indonesia, 2007, (online), http://faizlawjournal.blogspot.com, accessed 20 November 2008 PBB, The United Nations Declaration on the Elimination of Violence Against Women, 1993. Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, Keputusan Muktamar XXXII Nahdlatul Ulama (Jakarta : Sekjen PBNU, cet 1, 2010). 62 AT-THARIQ|Volume VIII, (September-Februari 2013)


Masyhud Summa, Muhammad Amin, Hukum Keluarga Islam di Dunias Islam, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2005). Tajul Arifin, Tesis-tesis Teori Sosiologi Klasik dan Kontemporer, (Bandung: Gunung Djati Press, 2008). Usman ibn Hasan , Durratun al-Nasihin, (tpn : Syirkah al-Nur Asia, tt) Undang – Undang Republik Indonesia No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga. Usman, Muslih,Kaidah-kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyyah, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, cet 1, 1996) Wahbah al-Zuhaily, al-Fiqhu al-Islamiy wa Adillatuhu, (Damaskus : Da>r al-Fikr, cet 3, jl. 7, 1989). -----------------------, Usul al-Fiqh al-Islamiy, (Damaskus : Dar al-Fikr, cet 1, 1986). Wasil Aulawi, Hukum Perkawinan di Indonesia, (Jakarta : Bulan Bintang, 1981). Wila Chandrawila Supriadi, Kumpulan Tulisan Perempuan dan Kekerasan dalamPerkawinan CV. Mandar Maju, 2001.

Volume VIII, (September-Februari 2013)| AT-THARIQ 63


Hukuman Dalam Syariat Islam Dan Faktor-Faktor Yang Membebaskan HUKUMAN DALAM SYARIAT ISLAM DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMBEBASKAN Mohammad Idris Hasan1 Abstract In every religion there must be a doctrine and rules that must be adhered , adhered to and implemented by his followers. Likewise, Islam has rules and teachings that must be executed by its adherents, whether it is worldly and hereafter, both with regard to the rights of Allah and human Rights. Given that Islam is a universal religion and perfectly aimed rahmatan lil alamin, then all aspects of a Muslim's life has set in it. Among the principal teachings of Islam with regard to aqidah (tawhid), character (character), and the law. Of course, every action there must be a reaction, as well as every law there must be penalties for those who violate them. Law is needed to regulate social life and state for the sake of justice, peace and security. Therefore, Islam highly emphasizes his people to carry out the law of God in every opportunity because God is omniscient about the welfare of His servants in the world and in the hereafter. Keywords: Punishment, Islam, Qisas, hudud, Ta'zir

A. Latar Belakang. Sebagian orang-orang yang mempunyai pemikiran sekuler dan liberal mempertanyakan tentang hukuman dalam islam khususnya masalah hudud dan qishas kenapa begitu keras? bahkan bertentangan dengan hak asasi manusia, bukankah islam merupakan agama yang penuh kasih sayang yang selalu menganjurkan umatnya untuk menyayangi sesama manusia bahkan kepada hewan dan tumbuh-tumbuhan sekalipun?, bukankah islam selalu mengajarkan umatnya untuk saling memaafkan? di manakah letak kasih sayang dan kelembutan dalam hudud dan qishas yang meliputi rajam, cambuk, potong tangan bahkan salib? Untuk menjawab pertanyaan ini banyak ulama yang mengarang buku yang menerangkan tentang rahasia, hikmah dan pelajaran dibalik hukuman yang kelihatannya keras dan kaku, seperti halnya para ulama menjelaskan kekurangan dan kelemahan hukuman dalam undang-undang konvensional yang selama ini dibangga-banggakan sebagian dengan dalih sejalan dengan perikemanusiaan dan fitrah manusia. Di antara jawaban ulama seputar disyaratkannya hudud dan qishash adalah: sesungguhnya pelaksanaan hukuman dalam syariat islam bukan sematamata hanya karena melakukan kejahatan namun di sana ada proses dan prosedur

1

Penulis adalah Dosen Di STAIN Purwokerto.

64 AT-THARIQ|Volume VIII, (September-Februari 2013)


Mohammad Idris Hasan yang sangat ketat, dan di sana juga ada namanya "pengguguran atau pembatalan hukuman" baik itu dalam qishah ataupun hudud ataupun ta'zir. Pembatalan hukuman merupakan bukti nyata bahwa islam adalah agama yang penuh kasih sayang, agama yang senantiasa mengedepankan keadilan, dan islam merupakan syariat yang luhur, Allah SWT berfirman: ‫ـ‬

‫ـ‬

‫ـ‬

‫ـ‬

‫ـ‬

‫ـ‬

‫ـ‬

‫ـ‬

‫ـ‬

‫ـ‬

Artinya: Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin ? Oleh karena itu dalam kesempatan ini penulis mengangkat tema "Hukuman dalam Syariat Islam dan Faktor-Faktor Menggugurkan". B. Konsep hukuman dalam Syariat Islam. Hukuman menurut bahasa adalah suatu tindakan yang diberikan kepada seseorang sebagai balasan atas kejahatan yang telah dilakukan3. Sedangkan menurut kamus besar bahasa Indonesia, hukuman adalah siksaan dan sebagainya yang dikenakan kepada orang yang melanggar undang-undang dan sebagainya.4 Adapun hukuman menurut istilah ahli fiqh adalah siksaan bagi pelaku kejahatan untuk mencegah dari kejahatannya; atau siksaan yang diterapkan untuk mencegah kerusakan.5 Sebagian ulama membedakan antara hukuman (‫ )العقوبة‬dan siksaan (‫;)العقاب‬ Hukuman (‫ )العقوبة‬adalah segala sesuatu yang menyakitkan yang menimpa manusia di dunia, sedangkan siksaan (‫ )العقاب‬adalah segala sesuatu yang menyakitkan yang menimpa manusia di akhirat.6 Menurut Imam Mawardi dalam kitabnya al-Ahkam al-Sulthaniah, beliau menekankan tentang arti sesungguhnya sebuah hukuman, bahwa hukuman adalah pembinaan untuk perbaikan sesuai dengan kesalahan yang dilakukan7. Sedangkan menurut Abdul Qadir Audah, hukuman adalah balasan yang telah ditetapkan untuk kepentingan kelompok atas pelanggaran perintah Allah SWT.8 Bahkan Ahli fiqh memperluas definisi tentang hukuman tertentu yang terkait dengan kepentingan suatu kelompok bahwa hukuman adalah larangan

. Q.S. al-Ma`idah : 50 . Lisan al-Arab, Juz 1, hlm. 619 ; Taj al-Arus, Juz 2, hlm. 251. 4 . Kamus Bahasa Indonesia, hlm. 578 5 . Tasyri' al-Jina'i al-Muqaran, hlm. 21 6 . Mausu'ah al-Fiqhiyah al-Kuwaitiyah, Juz 31, hlm. 256 7 . Al-Ahkam al-Sulthaniah, hlm. 401 8 . Al-Tasyri' al-Jina'i al-Islami, Juz 1, hlm. 534 2 3

Volume VIII, (September-Februari 2013)| AT-THARIQ 65


Hukuman Dalam Syariat Islam Dan Faktor-Faktor Yang Membebaskan sebelum melakukan sesuatu dan teguran setelahnya; adapun kadar hukumannya sesuai dengan kepentingan kelompok tersebut. Apabila kepentingan kelompok memerlukan untuk memperberat hukuman maka hukumannya bisa diperberat, dan apabila memerlukan untuk diperingan maka hukumannya bisa diperingan, karena hukuman tidak boleh lebih atau kurang dari kepentingan kelompok.9 Dari paparan di atas bisa disimpulkan bahwa hukuman dalam syariat Islam adalah balasan yang dibuat oleh Allah SWT untuk mencegah seseorang melakukan hal-hal yang dilarang dan meninggalkan hal-hal yang diperintahkan sebagai bentuk kasih sayang dari Allah SWT kepada hamba-Nya, yang bertujuan untuk menjaga kepentingan dan menegakkan keadilan di antara mereka dan mengarahkan mereka kepada ketaatan dan menghindarkan mereka dari kemaksiatan. C. Taubat dan Pengaruhnya dalam Membatalkan Hukuman. Taubat berasal dari bahasa Arab yang berarti kembali. Jika taubat dinisbatkan kepada seorang hamba maka artinya dia kembali dari kesalahan menuju penyesalan. Jika taubat dinisbatkan kepada allah SWT, maka artinya kembalinya kasih sayang dan nikmat-Nya bagi hamba-Nya dan pengampunan kepada mereka.10 ‫ـ‬

‫ـ‬

‫ـ‬

‫ـ‬

‫ـ‬

‫ـ‬

‫ـ‬

‫ـ‬

‫ـ‬

Artinya: Kemudian Allah menerima taubat mereka agar mereka tetap dalam taubatnya. Sesungguhnya Allah-lah yang Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, taubat adalah sadar dan menyesal akan dosa (perbuatan yang salah atau jahat) dan berniat akan memperbaiki tingkah laku dan perbuatan.12 Sedangkan taubat menurut istilah adalah menyesal dan berhenti melakukan maksiat karena semata-mata merupakan perbuatan terlarang, bukan karena perbuatan maksiat tersebut membahayakan badan atau hartanya, dan berazam (niat yang kuat) untuk tidak melakukan maksiat lagi selagi mampu13.

9 10

. Uqubat al-Sariq, hlm. 17 . Al-Misbah al-Munir, juz 2, hlm. 78 ; Lisan al-Arab, juz 1, hlm. 233 ; Taj al-Arus, juz 2, hlm.

77

. Q.s. al-Taubah : 118

11

12. 13.

Kamus Bahasa Indonesia, hlm. 1718 Al-Mausuah al-Fiqhiyah, Juz 14, hlm. 119

66 AT-THARIQ|Volume VIII, (September-Februari 2013)


Mohammad Idris Hasan 1. Syarat Taubat. Untuk sahnya suatu taubat maka ulama mensyaratkan syarat-syarat tertentu sesuai dengan jenis maksiat yang dilakukan.14 Apabila terkait dengan hak Allah maka ada 3 syarat: a. Meninggalkan maksiat sesegera mungkin. b. Menyesali perbuatannya. c. Azam (niat yang sungguh-sungguh) tidak akan mengulangi kembali perbuatan maksiat di kemudian hari untuk selamanya. Apabila maksiat tersebut terkait dengan hak manusia, maka ada 4 syarat. a. Meninggalkan maksiat secara sesegera mungkin. b. Menyesali perbuatannya. c. Azam (niat yang sungguh-sungguh) tidak akan mengulangi kembali perbuatan maksiat di kemudian hari untuk selamanya. d. Keluar dari kedhaliman untuk membebaskan diri dari hak orang yang di dhalimi, misal: Apabila maksiat tersebut karena mengambil harta atau sebagainya tanpa ada hak, maka pelaku harus mengembalikan harta tersebut kepada pemiliknya. Apabila maksiat tersebut berupa perbuatan menuduh yang tidak-tidak atau sebagainya maka si pelaku harus minta maaf kepada orang yang bersangkutan. Apabila maksiat tersebut berupa ghibah maka si pelaku harus minta maaf dan minta supaya di halalkan. Taubat yang memenuhi semua persyaratannya dinamakan taubat nasuha seperti yang diisyaratkan dalam firman Allah SWT yang berbunyi: ‫ـ‬ ‫ـ‬ ‫ـ‬ ‫ـ‬ ‫ـ‬ ‫ـ‬ ‫ـ‬ ‫ـ‬ Artinya: Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubatan nasuhaa (taubat yang semurni-murninya). 2. Hukum Taubat. Wajib segera, sebagaimana disebutkan al-Qur'an dan hadits nabi yang mewajibkan segera bertaubat ketika melakukan kesalahan. Hal ini bisa dilihat dari anjuran yang berulang kali tentang taubat, di antaranya: Firman Allah SWT yang berbunyi: ‫ـ‬

‫ـ‬

‫ـ‬

‫ـ‬

‫ـ‬

‫ـ‬

‫ـ‬

‫ـ‬

14. Ruh al-Ma'ani, Juz 28, hlm. 158; al-Dzakhirah, juz 13, hlm. 356; Qawaid al-Ahkam fi Mashalih al-Anam, juz 1, hlm. 187; al-Ghunyah fi Ushul al-Din, juz 1, hlm. 175 15 . Q.S. al-Tahrim: 8

Volume VIII, (September-Februari 2013)| AT-THARIQ 67


Hukuman Dalam Syariat Islam Dan Faktor-Faktor Yang Membebaskan Artinya: Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, Hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung. ‫ـ‬

‫ـ‬

‫ـ‬

‫ـ‬

‫ـ‬

‫ـ‬

‫ـ‬

‫ـ‬

‫ـ‬

Artinya: Dan hendaklah kamu meminta ampun kepada Tuhanmu dan bertaubat kepadaNya. (jika kamu mengerjakan yang demikian), niscaya Dia akan memberi kenikmatan yang baik (terus menerus) kepadamu. Hadits Nabi:

ِ ‫ « َ​َي َأُّيه َا النى ماس تموبموا ا َ​َل‬:‫هللا عَلَ ْي ِه َو َس ى َّل‬ ِ ‫ول‬ ‫ قَا َل َر مس م‬:‫َع ْن ا ْب ِن م َُع َر قَا َل‬ ‫ فَا ِ ِّن‬،‫هللا‬ ‫هللا َص ىَّل م‬ ِ ِ »‫ َم ىرة‬،‫ ِ​ِف الْ َي ْو ِم ال َ ْي ِه ِمائ َ َة‬،‫موب‬ ‫َأت م‬ ِ

Artinya: Dari Ibnu Umar, bahwasanya Rasulullah bersabda: 'Wahai manusia, bertaubatlah kepada Allah, karena aku bertaubat seratus kali dalam sehari.

ِ ‫ول ى‬ ‫ قَا َل َر مس م‬:‫ قَ َال‬،‫اَّلل َع ْنهم‬ ‫اَّلل َأفْ َر مح ِب َت ْوب َ ِة َع ْب ِد ِه‬ ‫ « ى م‬:‫هللا عَلَ ْي ِه َو َس ى َّل‬ ‫اَّلل َص ىَّل م‬ ‫ِض ى م‬ َ ِ ‫َع ْن َأنَس َر‬ »‫ َوقَدْ َأضَ ى مَّل ِ​ِف َأ ْر ِض فَ َالة‬،‫ َس َقطَ عَ َ​َّل ب َ ِع ِري ِه‬،‫ِم ْن َأ َح ِد م ُْك‬

Artinya: Dari Anas radliallahu 'anhu dia berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Allah lebih gembira dengan taubat hamba-Nya melebihi salah seorang dari kalian yang mendapatkan hewan tunggangannya yang telah hilang di padang yang luas." 3. Waktu Penerimaan Taubat Pada dasarnya kewajiban bertaubat adalah sesegera mungkin, meskipun demikian taubat diterima sepanjang hidup sebagai bentuk kemurahan Allah SWT dan kasih sayang-Nya. Hal ini diterangkan rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dalam sebuah hadits:

. »‫اَّلل ي َ ْق َب مل ت َْوب َ َة ال َع ْب ِد َما ل َ ْم يمغ َْر ِغ ْر‬ ‫ َع ِن النى ِ ِب َص ىَّل ى م‬،‫َع ْن ا ْب ِن م َُع َر‬ َ ‫ «ا ىن ى‬:‫اَّلل عَلَ ْي ِه َو َس ى َّل قَا َل‬ ِ

Artinya: Dari Ibnu Umar dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, beliau bersabda: "Sesungguhnya Allah menerima taubat seorang hamba selama nyawanya belum sampai ke tenggorokan."

16 17 18 19 20

. Q.S. al-Nur : 31 . Q.S. Hud : 3 . Shohih Muslim, juz 4, hlm. 2075 . Shohih Bukhori, juz 8, hlm. 68 . Sunan al-Turmudzi, juz 5, hlm. 547

68 AT-THARIQ|Volume VIII, (September-Februari 2013)


Mohammad Idris Hasan ‫ـ‬

‫ـ‬ ‫ـ‬

‫ـ‬ ‫ـ‬

‫ـ‬ ‫ـ‬

‫ـ‬ ‫ـ‬

‫ـ‬ ‫ـ‬

‫ـ‬ ‫ـ‬

‫ـ‬

‫ـ‬

‫ـ‬

‫ـ‬

‫ـ‬

‫ـ‬

‫ـ‬

Artinya: Sesungguhnya taubat di sisi Allah hanyalah taubat bagi orang-orang yang mengerjakan kejahatan lantaran kejahilan, yang kemudian mereka bertaubat dengan segera, Maka mereka Itulah yang diterima Allah taubatnya; dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana. ‫ ـ‬bahwa dunia semuanya

Ikrimah menafsirkan

adalah dekat, sedangkan al-Dhohhak menafsirkan bahwa segala sesuatu sebelum mati maka itu adalah dekat. 22 4. Taubat dan Pengaruhnya Terhadap Hukuman Akherat. Telah diketahui bahwa dalam syariat Islam ada 2 macam hukuman, yaitu hukuman dunia dan hukuman akhirat. Hukuman dunia adalah hukuman yang diterapkan oleh pemerintah atau yang berwenang dalam suatu negara. Sedangkan hukuman akhirat adalah hukuman yang diberikan Allah SWT terhadap pelaku kejahatan di akhirat nanti seperti siksa api neraka dan lain sebagainya.23 Ulama sepakat bahwa taubat nasuha (taubat yang sebenar-benarnya) bisa menggugurkan hukuman di akhirat selagi dosa itu berkaitan dengan hak Allah SWT, sekalipun dosa itu merupakan dosa besar seperti kufur atau menyekutukan Allah. Allah SWT telah mempertegas hal ini dalam al-Qur'an: ‫ـ‬

‫ـ‬

‫ـ‬

‫ـ‬

Artinya: Yang mengampuni dosa dan menerima taubat. ‫ـ‬

‫ـ‬

‫ـ‬

‫ـ‬

‫ـ‬

Artinya: Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Dari hadits juga banyak riwayat yang memperkuat hal ini di antaranya:

ِ ‫ َ َِس ْع مت َر مسو َل‬:‫َع ْن َأن َ ِس ْب ِن َم ِاِل قَا َل‬ ‫هللا عَلَ ْي ِه َو َس ى َّل ي َ مق م‬ ‫ َأ ْو‬- ‫ " َو ى ِاَّلي ن َ ْف ِ​ِس ِب َي ِد ِه‬:‫ول‬ ‫هللا َص ىَّل م‬ ‫ م ىُث ْاس َت ْغ َف ْر م مُت‬،‫الس َما ِء َو ْ َاْل ْر ِض‬ ‫ ل َ ْو َأخ َْطأْ م ُْت َح ىَّت تَ ْم َ َ​َل خ َ​َط َاَي م ُْك َما ب َ ْ َْي ى‬- ‫َو ى ِاَّلي ن َ ْف مس مم َح ىمد ِب َي ِد ِه‬

21 22 23 24 25

. Q.S. Al-Nisa : 17 . Tafsir ibn al-Katsir, juz 1, hlm. 463; Tafsir al-Qurtubi, juz 5, hlm. 92 . Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, juz 7, hlm. 5549 . Q.S. Ghafir : 3 . Q.S. al-Zumar : 53

Volume VIII, (September-Februari 2013)| AT-THARIQ 69


Hukuman Dalam Syariat Islam Dan Faktor-Faktor Yang Membebaskan

‫هللا ِب َق ْوم‬ ‫ ل َ ْو ل َ ْم م ُْت ِط مئوا ل َ َج َاء م‬- ‫ َأ ْو َو ى ِاَّلي ن َ ْف ِ​ِس ِب َي ِد ِه‬- ‫ َو ى ِاَّلي ن َ ْف مس مم َح ىمد ِب َي ِد ِه‬،‫هللا ل َ َغ َف َر لَ م ُْك‬ َ "‫ فَيَ ْغ ِف مر لَه ْمم‬،‫هللا‬ َ ‫ون‬ َ ‫ م ىُث ي َْس َت ْغ ِف مر‬،‫ون‬ َ ‫م ُْي ِط مئ‬ Artinya: Dari Anas bin Malik lalu ia berkata; Saya pernah mendengar Rasulullah Shallallahu'alaihi wasallam bersabda: "Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya", atau bersabda: "Demi Dzat yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya, seandainya kalian berbuat salah sehingga dosa-dosa kalian memenuhi antara langit dan bumi, kemudian kalian datang memohon ampunan kepada Allah 'azza wajalla, niscaya Dia mengampuni kalian. Demi Dzat yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya" atau "Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, jikalau kalian tidak berbuat kesalahan, niscaya Allah AzzawaJalla mendatangkan sebuah kaum yang berbuat salah (dosa) kemudian mereka memohon ampunan kepada Allah dan Dia mengampuni mereka."

،‫الس َم َاء‬ ‫ َص ىَّل ى م‬- ‫ َع ْن النى ِ ِب‬،َ‫َع ْن َأ ِ​ِب ه َمرْي َرة‬ ‫ "ل َ ْو َأخ َْطأْ م ُْت َح ىَّت تَ ْبلم َغ خ َ​َط َاَي م ُْك ى‬:‫ قَا َل‬- ‫اَّلل عَلَ ْي ِه َو َس ى َّل‬ "‫اب هللا عَلَ ْي م ُْك‬ َ ‫م ىُث تمبْ م ُْت ل َ َت‬ Artinya: Dari Abu Hurairah dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam beliau bersabda: "Sekiranya kalian melakukan kesalahan hingga kesalahan kalian mencapai langit dan bumi, kemudian kalian bertaubat, niscaya taubat kalian akan di terima". Adapun contoh dari taubatnya pelaku maksiat dan pendapat ulama tentang diterima atau tidaknya taubat mereka adalah sebagai berikut: 5. Taubatnya Orang Kafir. Yang dimaksud di sini adalah kufur atau menyekutukan Allah. Ulama sepakat bahwa taubat mereka diterima agar mereka mau masuk Islam. ‫ـ‬

‫ـ‬

‫ـ‬

‫ـ‬

‫ـ‬

‫ـ‬

‫ـ‬ ‫ـ‬

‫ـ‬

‫ـ‬ ‫ـ‬

‫ـ‬ ‫ـ‬

‫ـ‬

‫ـ‬ ‫ـ‬

Artinya: Katakanlah kepada orang-orang yang kafir itu: "Jika mereka berhenti (dari kekafirannya), niscaya Allah akan mengampuni mereka tentang dosa-dosa mereka yang sudah lalu; dan jika mereka kembali lagi sesungguhnya akan berlaku (kepada mereka) sunnah (Allah tenhadap) orang-orang dahulu".

26 27 28

. Musnad Ahmad, juz 21, hlm. 146 . Sunan Ibn Majah, juz 5, hlm. 319 . Q.S. al-Anfal :38

70 AT-THARIQ|Volume VIII, (September-Februari 2013)


Mohammad Idris Hasan 6. Taubatnya Orang Munafiq. Munafiq adalah memperlihatkan iman secara lisan dan menyembunyikan kekufuran dalam hati. Taubat mereka kemungkinan bisa diterima sebagaimana firman Allah SWT yang berbunyi: ‫ـ‬

‫ـ‬

‫ـ‬

‫ـ‬

‫ـ‬

‫ـ‬

‫ـ‬

‫ـ‬

‫ـ‬

‫ـ‬

‫ـ‬ ‫ـ‬

Artinya: Dan menyiksa orang munafik jika dikehendaki-Nya, atau menerima taubat mereka. Sesungguhnya Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. 7. Taubatnya Orang Zindiq. Menurut sebagian ulama, Zindiq adalah orang yang tidak mempunyai agama (atheist). Adapun menurut Ibnu Taimiyah Zindiq adalah orang munafik yang sangat keterlaluan30. Apabila mereka ketahuan dan ditangkap kemuadian diserahkan ke pemerintah (pihak yang berwenang) sebelum mereka sempat bertaubat maka menurut imam Malik, salah satu pendapat imam Ahmad bin Hanbal, dan sebagian ulama Syafi'i, yang juga merupakan salah satu pendapat madzhab Hanafi: Taubat mereka tidak diterima. Adapun pendapat yang terkenal dalam madzhab Syafi'i, salah satu pendapat imam Ahmad bin Hanbal dan salah satu pendapat dalam madzhab Hanafi: Taubat mereka diterima.31 8. Taubat dan Pengaruhnya Terhadap Hukuman di Dunia. Hukuman di dunia menurut bentuk kemaslahatan ada tiga macam yaitu: Hudud, Qishas, Ta'zir, masing-masing akan saya bahas secara terpisah. a. Taubat dan pengaruhnya terhadap gugurnya siksaan hudud. Ulama sepakat bahwa taubat bisa menggugurkan hukuman yang telah ditetapkan atas kejahatan pembegalan atau perampokan yang terkait dengan hak sekelompok masyarakat, karena Allah SWT telah berfirman: ‫ـ‬

‫ـ‬

‫ـ‬

‫ـ‬

‫ـ‬

‫ـ‬

‫ـ‬

‫ـ‬

‫ـ‬

‫ـ‬ ‫ـ‬

29 30 31 32

‫ـ‬ ‫ـ‬

. Q.S. al-Ahzab : 24 . Majmu' al-Fatawa, juz 7, hlm. 471 . Ibit . Q.S. al-Maidah : 34

Volume VIII, (September-Februari 2013)| AT-THARIQ 71


Hukuman Dalam Syariat Islam Dan Faktor-Faktor Yang Membebaskan Artinya: Kecuali orang-orang yang taubat (di antara mereka) sebelum kamu dapat menguasai (menangkap) mereka; Maka ketahuilah bahwasanya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Adapun hukuman begal yang telah ditetapkan berkaitan dengan hak perorangan maka tidak bisa digugurkan dengan taubat. Ulama berbeda pendapat tentang pengaruh taubat dalam menggugurkan hukuman, di luar (selain) kejahatan begal, dalam hal ini ada tiga pandangan sebagai berikut: 1) Pandangan pertama. Menurut sebagian ulama Syafi'i dan Hanbali: Taubatnya bisa menggugurkan hukuman. Argumen mereka adalah bahwa al-Qur'an telah menyatakan gugurnya hukuman begal dengan taubat, padahal begal merupakan kejahatan luar biasa. Hukuman begal saja bisa digugurkan dengan taubat apalagi hukuman selain kejahatan begal, tentunya bisa dimaafkan. Adapun kejahatan selain begal antara lain: - Kejahatan zina: al-Qur'an menerangkan bahwa taubat bisa mencegah hukuman atas perzinaan, ‫ـ‬

‫ـ‬

‫ـ‬

‫ـ‬

‫ـ‬

‫ـ‬

‫ـ‬

‫ـ‬

‫ـ‬ ‫ـ‬

‫ـ‬

‫ـ‬

‫ـ‬

‫ـ‬

Artinya: Dan terhadap dua orang yang melakukan perbuatan keji di antara kamu, Maka berilah hukuman kepada keduanya, kemudian jika keduanya bertaubat dan memperbaiki diri, Maka biarkanlah mereka. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang. - Kejahatan mencuri: al-Qur'an menyebutkan hukuman pencurian kemudian diiringi dengan menyebut taubat. ‫ـ‬

‫ـ‬

‫ـ‬

‫ـ‬

‫ـ‬

‫ـ‬

‫ـ‬

‫ـ‬

‫ـ‬

‫ـ‬

‫ـ‬ ‫ـ‬

‫ـ‬ ‫ـ‬

Artinya: Maka Barangsiapa bertaubat (di antara pencuri-pencuri itu) sesudah melakukan kejahatan itu dan memperbaiki diri, Maka Sesungguhnya Allah menerima taubatnya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam juga bersabda:

33 34

. Q.S. al-Nisa : 16 . Q.S. al-Maidah : 39

72 AT-THARIQ|Volume VIII, (September-Februari 2013)


Mohammad Idris Hasan

ِ ‫ول‬ ‫ قَا َل َر مس م‬:‫هللا َعُْ م َما قَ َال‬ ‫ " التىائِ مب ِم َن ا ىَّلن ِْب‬:‫هللا عَلَ ْي ِه َو َس ى َّل‬ ‫هللا َص ىَّل م‬ ‫ِض م‬ َ ِ ‫َع ِن ا ْب ِن َع ىباس َر‬ ." ‫َ​َكَ ْن َ​َل َذن َْب َ مَل‬ Artinya: Dari Ibnu Abbas r.a. berkata, rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah bersabda: “Orang yang bertaubat dari dosa maka seperti orang yang tidak memiliki dosa. Jadi, orang yang tidak berdosa maka tidak ada hukuman baginya”. Perkataan rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dalam hadits Maiz:

‫اب َج ِاري َ ًة ِم َن‬ َ ‫ فَأَ َص‬،‫ َ​َك َن َما ِع مز ْب من َم ِاِل ِ​ِف ِح ْج ِر َأ ِ​ِب‬:‫ قَا َل‬،‫ َع ْن َأبِي ِه‬،‫َع ْن يَ ِزيدم ْب من ن م َع ْ ِْي ِبن ه ىَزال‬ ِ ‫ ائْ ِت َر مسو َل ى‬:‫ فَ َق َال َ مَل َأ ِ​ِب‬،‫الْ َح ِي‬ .‫ ل َ َع ى مَّل ي َْس َت ْغ ِف مر َ َِل‬،‫هللا عَلَ ْي ِه َو َس ى َّل فَأَخ ِ ْ​ِْب مه ِب َما َصنَ ْع َت‬ ‫اَّلل َص ىَّل م‬ ِ ‫ َ​َي َر مسو َل ى‬:‫ فَأَ​َتَ مه فَ َق َال‬،‫ون َ مَل َمخ َْر ٌج‬ ‫اب‬ َ ‫ فَأَ ِق ْم عَ َ ىَل ِك َت‬،‫ ا ِ ِّن َ نزَيْ مت‬،‫اَّلل‬ َ ‫َوان ى َما مي ِريدم ب َِذ ِ َِل َر َج َاء أَ ْن يَ مك‬ ِ ِ ‫اب ى‬ ِ ‫ َ​َي َر مسو َل ى‬:‫ فَ َق َال‬،َ‫ فَ َعاد‬،‫ فَأَع َْر َض َع ْنهم‬.‫اَّلل‬ ِ ‫ِى‬ ‫ م ىُث‬،‫ فَأَع َْر َض َع ْنهم‬.‫اَّلل‬ َ ‫ فَأَ ِق ْم عَ َ ىَل ِك َت‬،‫ ا ِ ِّن َ نزَيْ مت‬،‫اَّلل‬ ِ ِ ‫اب ى‬ ِ ‫ َ​َي َر مسو َل ى‬:‫ فَ َقا َل‬،‫َأَتَ مه الث ىا ِلثَ َة‬ ‫ َ​َي َر مسو َل‬:‫ فَ َق َال‬،‫ م ىُث َأَتَ مه ىالرا ِب َع َة‬.‫اَّلل‬ َ ‫ فَأَ ِق ْم عَ َ ىَل ِك َت‬،‫ ا ِ ِّن َ نزَيْ مت‬،‫اَّلل‬ ِ ‫ول ى‬ ِ ‫اب ِ ى‬ ِ‫ى‬ ‫ فَ َقا َل َر مس م‬.‫اَّلل‬ ‫ «ان َىك قَدْ قملَْتَ َا َأ ْرب َ َع‬:‫هللا عَلَ ْي ِه َو َس ى َّل‬ ‫اَّلل َص ىَّل م‬ َ ‫ فَأَ ِق ْم عَ َ ىَل ِك َت‬،‫ ا ِ ِّن َ نزَيْ مت‬،‫اَّلل‬ ِ ِ .‫ ن َ َع ْم‬:‫َشَتَ َا؟» قَا َل‬ ْ َ ‫ «ه َْل َ​َب‬:‫ قَ َال‬.‫ ن َ َع ْم‬:‫ «ه َْل ضَ ا َج ْعَتَ َا؟» قَا َل‬:‫ قَا َل‬.‫ ِب مف َالن َ َة‬:‫ فَ ِب َم ْن؟» قَ َال‬،‫َم ىرات‬ ،‫ فَلَ ىما مر ِج َم‬،‫ فَأُ ْخ ِر َج ِب ِه ا َ​َل الْ َح ىر ِة‬:‫ قَا َل‬،‫ فَأَ َم َر ِب ِه َأ ْن مي ْر َج َم‬:‫ قَا َل‬.‫ ن َ َع ْم‬:‫ «ه َْل َجا َم ْعَتَ َا؟» قَ َال‬:‫قَا َل‬ ِ ‫ فَلَ ِق َي مه َع ْبدم ى‬، ‫ فَخ َ​َر َج ي َْش َتده‬،َ‫ َج َزع‬،‫فَ َو َجدَ َم ىس الْ ِح َج َار ِة‬ َ ْ ‫ َوقَدْ ِ َأ ْ َْع َز َأ‬،‫اَّلل ْب من ُأنَيْس‬ ‫ فَ َ َ​َن َع َ مَل‬،‫ْصاب َ مه‬ :‫ فَ َق َال‬،‫ فَ َذ َك َر َذ ِ َِل َ​َلم‬،‫هللا عَلَ ْي ِه َو َس ى َّل‬ ‫ م ىُث َأ َ​َت النى ِ ىب َص ىَّل م‬:‫ قَا َل‬،‫ فَ َقتَ َ​َّلم‬،‫ فَ َر َما مه ِب ِه‬،‫ب َِو ِظ ِيف ب َ ِعري‬ ‫ َع ْن‬،‫ فَ َحدى ثَ ِ​ِن يَ ِزيدم ْب من ن م َع ْ ِْي ْب ِن ه ىَزال‬:‫اَّلل عَلَ ْي ِه» قَا َل ِهشَ ا ٌم‬ ‫وب ى م‬ ‫«ه ىَال تَ َر ْك مت ممو مه ل َ َع ى مَّل ي َ مت م‬ َ ‫ فَيَ مت‬،‫وب‬ ِ ‫ « َو ى‬:‫هللا عَلَ ْي ِه َو َس ى َّل قَا َل ِ َْل ِ​ِب ِح َْي َرأ مه‬ ِ ‫ َأ ىن َر مسو َل ى‬:‫َأبِي ِه‬ ‫ ل َ ْو مك ْن َت َس َ َْتتَ مه‬،‫اَّلل َ​َي ه ىَز مال‬ ‫اَّلل َص ىَّل م‬ »‫ َ​َك َن خ ْ ًَريا ِم ىما َصنَ ْع َت ِب ِه‬،‫ِبث َْوب َِك‬

Artinya: Dari Yazid bin Nu'aim bin Hazzal dari ayahnya, ia berkata: Ma'iz bin Malik pernah ada dalam didikanku kemudian ia menggauli seorang budak wanita kampung, ayah saya kemudian berkata padanya: Datangilah Rasulullah Shallallahu'alaihiwasallam, dan beritahukan kepada beliau apa yang telah kau perbuat mudah-mudahan beliau memintakan ampunan untukmu. Ayah saya menginginkan hal itu karena berharap ada jalan keluarnya. Ma'iz mendatangi Rasulullah Shallallahu'alaihiwasallam lalu berkata: Wahai Rasulullah! aku telah berzina, maka tegakkan putusan Allah padaku. Rasulullah Shallallahu'alaihiwasallam berpaling darinya kemudian Ma'iz mendatangi beliau lagi dan berkata: Wahai Rasulullah! aku telah berzina, maka tegakkan putusan Allah padaku. Kemudian Ma'iz mendatangi beliau untuk ketiga kalinya. Kemudian Ma'iz datang lagi

35

. Musnad Ahmad, juz 36, hlm. 214

Volume VIII, (September-Februari 2013)| AT-THARIQ 73


Hukuman Dalam Syariat Islam Dan Faktor-Faktor Yang Membebaskan untuk keempat kalinya dan berkata: Wahai Rasulullah! aku telah berzina, maka tegakkan putusan Allah padaku. Kemudian Rasulullah Shallallahu'alaihiwasallam bersabda: " kau telah mengatakannya empat kali, lalu dengan siapa?" Ma'iz menjawab: Dengan Fulanah. Rasulullah Shallallahu'alaihiwasallam bertanya: "Apa kau menidurinya?" Ma'iz menjawab: Ya. Rasulullah Shallallahu'alaihiwasallam bertanya: "Apa kau menggaulinya?" Ma'iz menjawab: Ya. Rasulullah Shallallahu'alaihiwasallam bertanya: "Apa kau menyetubuhinya?" Ma'iz menjawab: Ya. Kemudian Rasulullah Shallallahu'alaihiwasallam memerintahkan Ma'iz dihukum rajam. Ma'iz pun dikeluarkan ke tanah tak berpasir. Saat dihukum rajam dan merasakan hantaman batu, Ma'iz takut kemudian keluar melarikan diri lalu ditangkap Abdullah bin Unais, ia telah melelahkan para sahabat-sahabatnya, kemudian Abdullah melepaskan alas kaki onta dan melemparkannya ke Ma'iz hingga membunuhnya. Setelah itu ia mendatangi Nabi Shallallahu'alaihiwasallam dan memberitahukan hal itu, Rasulullah Shallallahu'alaihiwasallam bersabda: "Kenapa tidak kalian biarkan dia, mudah-mudahan ia bertaubat sehingga Allah menerima taubatnya." Berkata Hisyam: Telah bercerita kepadaku Yazid bin Nu'aim bin Hazzal dari ayahnya, bahwa Rasulullah Shallallahu'alaihiwasallam bersabda kepada ayah saya saat melihat beliau: "Demi Allah wahai Hazzal, andai kau menutupinya dengan bajumu, tentu lebih baik dari apa yang kau perbuat terhadapnya."

:‫هللا عَلَ ْي ِه َو َس ى َّل فَ َج َاء مه َر مج ٌل فَ َقا َل‬ ‫ مك ْن مت ِع ْندَ النى ِ ِب َص ىَّل م‬:‫ قَا َل‬،‫اَّلل َع ْنهم‬ ‫ِض ى م‬ َ ِ ‫َع ْن َأن َ ِس ْب ِن َم ِاِل َر‬ ِ ‫َ​َي َر مسو َل ى‬ ‫ فَ َص ىَّل‬،‫الص َالةم‬ ‫َض ِت ى‬ َ َ ‫ َو َح‬:‫ قَا َل‬،‫ َول َ ْم ي َْسأَ ْ مَل َع ْنهم‬:‫ قَا َل‬،‫ ا ِ ِّن َأ َص ْب مت َحدًّا فَأَ ِق ْم مه عَ َ ىَل‬،‫اَّلل‬ ِ ‫ قَا َم ال َ ْي ِه ىالر مج مل‬،َ‫الص َالة‬ ‫ فَلَ ىما قَ َ ى النى ِ هب َص ىَّل م‬،‫هللا عَلَ ْي ِه َو َس ى َّل‬ ‫َم َع النى ِ ِب َص ىَّل م‬ ‫هللا عَلَ ْي ِه َو َس ى َّل ى‬ ِ ِ ‫اب ى‬ ِ ‫ َ​َي َر مسو َل ى‬:‫فَ َق َال‬ َ:‫ « َألَيْ َس قَدْ َصل ى ْي َت َم َعنَا» قَال‬:‫ قَا َل‬،‫اَّلل‬ َ ‫ فَأَ ِق ْم ِ ىِف ِك َت‬،‫ ا ِ ِّن َأ َصبْ مت َحدًّ ا‬،‫اَّلل‬ ِ " َ‫ َحدى ك‬:‫ َأ ْو قَا َل‬،‫اَّلل قَدْ غَ َف َر َ َِل َذنْ َب َك‬ َ ‫ " فَا ىن ى‬:‫ قَا َل‬،‫ن َ َع ْم‬ ِ

Artinya: Dari Anas bin Malik radliallahu 'anhu, mengatakan; aku berada di dekat Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, seorang laki-laki mendatangi beliau dan berujar: 'ya Rasulullah, Saya telah melanggar hukum had, maka tegakkanlah atasku! 'Nabi tidak menanyainya. Ketika tiba waktu shalat pun, ia pun ikut shalat bersama Nabi shallallahu 'alaihi wasallam. Selesai Nabi shallallahu 'alaihi wasallam mendirikan shalat, laki-laki itu menemuinya dan berkata; 'ya Rasulullah, aku telah melanggar had, maka tegakkanlah atasku sesuai kitabullah.' Nabi bersabda: "Bukankah engkau shalat bersama kami?" 'Benar' Jawabnya. Nabi bersabda: "Allah telah mengampuni dosamu -atau dengan redaksi-mengampuni hukuman had (yang menimpa) mu."

36

. Shohih al-Bukhari, juz 8, hlm. 166

74 AT-THARIQ|Volume VIII, (September-Februari 2013)


Mohammad Idris Hasan Hadits ini menunjukkan bahwa Allah SWT mengampuni dosa orang yang bertaubat tanpa harus dihukum selagi dia mengakui dosa yang telah dilakukan.37 Agar taubat bisa menggugurkan hukuman, maka ulama fikih mensyaratkan bahwa kejahatan tersebut harus berkaitan dengan hak Allah SWT, dan tidak berkenaan dengan hak sekelompok masyarakat seperti zina dan minuman keras, serta tidak berkenaan dengan hak perorangan seperti pembunuhan atau pemukulan. Sebagian ulama juga menambahkan syarat lain yaitu taubat tersebut harus dibarengi dengan kelakuan baik. Syarat ini memerlukan waktu untuk mengetahui keseriusan taubat tersebut. Akan tetapi sebagian ulama tidak mensyaratkan hal ini, jadi cukup taubat nasuha38. 2) Pandangan kedua. Menurut imam Abu Hanifah, imam Malik, sebagian ulama Syafi'i dan Ahmad: Taubat hanya bisa menggugurkan hukuman kejahatan begal dan tidak bisa menggugurkan hukuman kejahatan lainnya karena sudah ada nash yang jelas tentang itu, lagi pula menurut hukum asal hukuman tidak bisa digugurkan dengan taubat. Dalam al-Qur'an Allah SWT telah memerintahkan untuk mencambuk pezina laki-laki dan perempuan. ‫ـ‬

‫ـ‬

‫ـ‬

‫ـ‬

‫ـ‬

‫ـ‬

‫ـ‬

‫ـ‬

‫ـ‬

‫ـ‬

‫ـ‬

‫ـ‬

‫ـ‬

‫ـ‬ ‫ـ‬ Artinya: Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, Maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman. Dalam ayat ini hukuman cambuk berlaku secara umum baik bagi orang yang bertaubat maupun orang yang tidak bertaubat, Allah SWT juga berfirman: ‫ـ‬

‫ـ‬

‫ـ‬

‫ـ‬

Artinya: Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.

37 38 39 40

. Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, juz 7, hlm. 5570 . Al-Tasyri' al-Jinai al-Islami, juz 1, hlm. 306 . Q.S. Al-Nur : 2 . Q.S. al-Maidah : 38

Volume VIII, (September-Februari 2013)| AT-THARIQ 75


Hukuman Dalam Syariat Islam Dan Faktor-Faktor Yang Membebaskan Dalam ayat ini hukuman potong tangan juga berlaku secara umum baik orang yang bertaubat maupun orang yang tidak bertaubat. Sedangkan dalam hadits diterangkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga memerintahkan untuk merajam Maiz dan al-Ghamidiyah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga memotong pencuri yang telah mengaku. Mereka semua datang dengan bertaubat serta mengakui dosa yang mereka lakukan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga membenarkan taubat mereka dalam potongan hadits tentang perempuan dari bani Juhainah yang mendatangi rasullah shallallahu ‘alaihi wasallam agar merajamnya karena ia telah berzina: ‫سب ِعينَ ِمن أَه ِل ال َمدِينَ ِة لَ َو ِسعَت ُهم‬ َ َ‫لَقَد ت َابَت ت َوبَة لَو قُ ِس َمت َبين‬ Artinya: "Sungguh, dia telah bertaubat kalau sekiranya taubatnya dibagi-bagikan kepada tujuh puluh orang penduduk Madinah, pasti taubatnya akan mencukupi mereka semua”. Ulama tersebut di atas juga berpendapat bahwa hukuman tidak bisa digugurkan dengan taubat dikarenakan taubat merupakan tebusan dari kemaksiatan, sehingga tidak ada persamaan untuk diqiyaskan antara begal dengan kejahatan lainnya. Begal merupakan orang yang susah untuk ditangkap, oleh karenanya taubat bisa menggugurkan hukuman asalkan dia bertaubat sebelum tertangkap, sehingga memotivasi pembegal untuk bertaubat dan tidak melakukan kejahatan lagi di muka bumi. Sedangkan penjahat biasa adalah orang yang mudah untuk ditangkap, maka dari itu taubatnya tidak bisa menggugurkan hukuman. Bahkan hukuman merupakan upaya untuk mencegahnya dari melakukan kejahatan. Lebih dari itu pendapat yang mengatakan bahwa taubat bisa menggugurkan hukuman akan berakibat menghambat penegakan hukum karena semua penjahat akan berdalih telah bertaubat42. 3) Pandangan ketiga Menurut Ibnu Taimiyah dan Ibnu al-Qayyim, - keduanya merupakan ulama madzhab Hanbali - bahwa: Hukuman bisa membersihkan dosa, dan taubat juga bisa membersihkan dosa. Oleh karena itu taubat bisa menggugurkan dosa yang ada kaitannya dengan hak Allah SWT. Barang siapa bertaubat dari kejahatan yang ada kaitannya dengan hak Allah maka hukuman baginya gugur, kecuali penjahat tersebut ingin membersihkan dirinya dengan hukuman. Apabila dia memilih hukuman dalam membersihkan diri dari dosa, maka hukuman harus dilaksanakan walaupun dia telah bertaubat. Adapun, jika kejahatan tersebut

41 42

. Shohih Muslim, juz 3, hlm. 1324; Sunan al-Turmudzi, juz 3, hlm. 94 . Al-Tasyri’ al-Jina`I al-Islami, juz 1, hlm. 306

76 AT-THARIQ|Volume VIII, (September-Februari 2013)


Mohammad Idris Hasan berkaitan dengan hak perorangan maka taubat tidak bisa menggugurkan hukuman43. 9. Taubat dan Pengaruhnya Terhadap Hukuman Qishas. Apabila ada seseorang melakukan pembunuhan maka hukuman baginya adalah qishah (hukuman serupa) atau membayar diyat (denda). Hukuman qishah tidak bisa gugur kecuali keluarga korban memaafkan pembunuh baik itu dengan cara membayar diyat ataupun tidak. Ini dikarenakan kejahatan tersebut berkaitan dengan hak orang lain yaitu keluarga terbunuh. Atas dasar ini maka taubat orang yang melakukan kejahatan pembunuhan tidak bisa diterima sehingga dia menyerahkan dirinya untuk di qishah atau membayar diyat. Dengan demikian taubat pembunuh tidak cukup hanya dengan istighfar dan penyesalan, akan tetapi tergantung juga dengan keridlaan dari keluarga terbunuh, ketika mereka memafkan maka si pembunuh terbebas dari hukuman dunia.44 D. Hukuman Dalam Islam dan Hak Asasi Manusia. Banyak sekali anggapan miring yang ditujukan kepada Islam terutama terkait dengan hukuman kejahatan seperti qishas dan potong tangan, hukum rajam dan sebagainya. Anggapan miring ini bersumber dari lembaga swadaya masyarakat (LSM) di negara barat dan digembar-gemborkan oleh sebagian tokoh dan ahli perundang-undangan wadl'i (konvesional) di negara yang mayoritas penduduknya muslim. Mereka mengatakan bahwa hukuman dalam Islam bertentangan dengan hak asasi manusia yang berkaitan dengan hak hidup, kebebasan dan martabat manusia. Mereka juga mengatakan bahwa syariat Islam tidak cocok bagi masyarakat modern karena hukumannya keras, kasar dan sadis. Tidak cukup sampai disitu saja, mereka juga menyudutkan Islam dengan menghembuskan isu tentang gerakan garis keras dan radikalisme dalam Islam. Semua ini terjadi karena ada dua kemungkinan yaitu mereka tidak senang dan memusuhi islam atau memang mereka tidak tahu tentang hakikat hukum islam dan hanya melihat secara lahir tanpa melihat tujuan dan hikmah tasyri'nya. Dr. Wahbah al-Zuhaili telah menjawab anggapan miring terhadap hukum Islam dalam kitabnya al-Fiqh al-Islam wa Adillatuhu: "pada kenyataannya anggapan negatif bahwa hukum Islam bertentangan dengan hak asasi manusia adalah tidak benar, dikarenakan beberapa sebab sebagai berikut45:

43 44 45

. I’lam al-Muwaqqi’in, juz 2, hlm. 197 . Al-Fiqh al-Islami wa Adillahtuhu, juz 7, hlm. 5572 . Ibid, juz 7, hlm. 5235

Volume VIII, (September-Februari 2013)| AT-THARIQ 77


Hukuman Dalam Syariat Islam Dan Faktor-Faktor Yang Membebaskan 1.

2.

3.

4.

Yang membuat hukum adalah Allah SWT dan Allah lebih sayang terhadap hamba-Nya dari pada manusia terhadap dirinya sendiri. Allah lebih tahu tentang kemaslahatan dalam merealisasikan kebaikan, kemanfaatan, ketenangan dan keamanan atas diri manusia. Pelaku kejahatan dengan hukuman had telah melampaui batas kemanusiaan dan telah keluar dari batasan manusia normal dan menodai hal yang paling sakral dan berharga dalam kehidupan masyarakat. Menurut akal sehat kejahatan semacam ini tidak mungkin dibiarkan begitu saja dan tidak ada cara lain yang bisa menghentikannya kecuali hukuman yang telah ditetapkan Allah dalam syariat Islam. Hukuman alternatif yang ditawarkan oleh undang-undang konvensional ternyata tidak sesuai dengan tujuan yang diharapkan, bahkan kejahatan semakin nyata dan penjahatpun semakin merajalela dengan bermacammacam motif dan bentuk sampai-sampai akal pun susah mempercayainya. Al-Qur'an dengan jelas memberitahukan tentang hak asasi manusia dalam firman Allah SWT: ‫ـ‬

5.

‫ـ‬

‫ـ‬

‫ـ‬

Artinya: Dan Sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam Para ahli fikih merupakan orang yang paling tanggap dalam menjaga kehormatan manusia, oleh karena itu mereka menetapkan banyak aturan dan syarat dalam pelaksanaan hukuman. Dalam Islam makanan, minuman, pakaian dan tempat yang layak dijamin oleh negara dan Islam tidak memperbolehkan penyiksaan secara sadis dan sebagainya demi menjaga kehormatan manusia. Sesungguhnya upaya untuk mengasihani pelaku kejahatan hanyalah mempertimbangkan kemaslahatan pribadi dan tidak mempertimbangkan kepentingan umum sehingga hal ini menyebabkan hilangnya rasa aman dan ketenangan dalam masyarakat.

E. Apakah Hukuman Dalam Islam Bertentangan Dengan Hak Asasi Manusia? Sistem Hukuman dalam Islam merupakan sistem yang paling banyak mendapatkan sorotan dan kritikan negatif, di antara anggapan negatif yang beredar dan di ulang-ulang sejak zaman dulu hingga sekarang adalah bahwa hukum rajam, cambuk, potong tangan, dan qishas merupakan perilaku primitif dan sewenang-

46

. Q.S. al-Isra’ : 70

78 AT-THARIQ|Volume VIII, (September-Februari 2013)


Mohammad Idris Hasan wenang tidak cocok lagi untuk diterapkan pada zaman modern. Orang-orang barat dan yang sehalauan dengan mereka menolak hukum Islam mengatas namakan hak asasi manusia. Sebagai jawaban dari anggapan ini, maka sesungguhnya hukuman potong tangan, rajam dan sebagainya tidaklah bertentangan dengan hak asasi manusia, justru sebaliknya Islam mengedepankan kepentingan umum dan menjaga ketenteraman hidup manusia. Wal Hasil hukuman dalam islam dibuat untuk rahmatan lil alamin, adapun penjelasannya sebagai berikut: 1. Hukuman potong tangan dalam kejahatan pencurian dan perampokan. Sangat mengherankan jika orang-orang yang mengatakan bahwa hukuman potong tangan merupakan penyiksaan, padahal mereka sendiri juga memberlakukan hukuman mati dalam sebagian kejahatan yang dianggap berbahaya, tidak diragukan lagi bahwa hukuman mati melebihi hukuman potong tangan terhadap pencuri atau perampok. Mereka hanya fokus pada kerasnya hukuman dan melupakan bahayanya kejahatan dan dampaknya terhadap masyarakat. Entah sudah berapa banyak kejahatan dilakukan untuk sebuah pencurian, dan entah berapa banyak orang tidak berdosa menjadi korban dan menderita kerugian yang begitu besar yang disebabkan dari kejahatan pencurian. Entah berapa banyak harta yang hilang dan dirampas dan entah berapa banyak orang yang terlantar akibat kejahatan ini? Sebenarnya tujuan dari pelaksanaan hukuman dalam islam tidak lain demi mewujudkan keselamatan, keamanan, ketenteraman dan mencegah ancaman bagi kemaslahatan umat manusia47. Sayangnya para pegiat hak asasi manusia lupa bahwa dalam masyarakat modern ternyata banyak terjadi penghukuman masal dan main hakim sendiri yang di luar kontrol undang-undang, ketika terjadi pencurian di suatu desa atau kampung kemudian pelakunya tertangkap masyarakat memukulinya beramairamai hingga mati bahkan terkadang mereka membakarnya hidup-hidup. Hukuman manakah yang lebih kejam antara potong tangan dan pembunuhan massal dengan cara yang tidak manusiawi terhadap pencuri? Perlu diketahui bahwa hukuman potong tangan terhadap pencuri tidak akan dilaksanakan kecuali ada bukti kuat dan syarat-syaratnya sudah terpenuhi, bahkan kondisi pencuri dan masyarakat di mana dia hidup juga menjadi bahan pertimbangan. Begitu juga pencuri tidak akan dipotong tangannya jika korbannya memaafkan sebelum berkasnya sampai ke pengadilan. Inikah hukum potong

47

. Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, juz 7, hlm. 5278

Volume VIII, (September-Februari 2013)| AT-THARIQ 79


Hukuman Dalam Syariat Islam Dan Faktor-Faktor Yang Membebaskan tangan yang dikatakan bertentangan dengan hak asasi manusia?, hati yang jernih dan akal yang sehat tentu tidak akan setuju dengan anggapan tersebut.48 2. Hukuman cambuk terhadap penzina dan peminum minuman keras. Hukuman cambuk di syariatkan dengan tujuan untuk mencegah orang yang suka berzina dan minum minuman keras melakukan kejahatan mereka. Dr. Abdul Qadir Audah mengatakan bahwa yang mendorong orang untuk berzina adalah hasrat untuk mendapatkan kesenangan dan kenikmatan dengan cara bersetubuh, untuk memalingkan orang dari kelezatan dan kenikmatan tidak ada lain kecuali sakit, dan seseorang tidak mungkin bersenang-senang mengumbar nafsu seknya ketika merasakan siksaan. Apakah ada siksaan yang lebih pedih dari hukuman cambuk seratus kali? Walaupun sebagian besar undang-undang konvensional telah menghapuskannya namun di beberapa negara masih memberlakukan hukuman cambuk seperti Inggris, Amerika Serikat, undang-undang militer di Mesir. Jadi yang memberlakukan hukuman cambuk bukan hanya Islam tetapi undang-undang konvensional juga memberlakukannya karena hukuman ini masih efektif untuk membuat jera dan takut bagi pelaku kejahatan. Sedangkan orang yang menentang hukuman ini dengan dalih bertentangan dengan hak asasi manusia maka dia beranggapan semua orang salah dan hanya dia seorang yang benar49. 3. Hukuman Rajam Pada Kejahatan Zina. Banyak anggapan tentang hukuman rajam tidak lain adalah hukuman mati, sebagian negara membolehkan hukuman mati terhadap sebagian tindak kriminal dengan beberapa cara, seperti: Hukuman gantung, membunuh dengan menggunakan kapak, gas beracun, suntikan mematikan dan setruman listrik, akan tetapi pada akhirnya adalah kematian. Anggapan bahwa hukuman rajam adalah penyiksaan karena lambat dalam memberikan kematian adalah tidak benar karena pelemparan batu yang dilakukan banyak orang dalam waktu ya cepat dan bersamaan biasanya mengakibatkan kematian lebih cepat daripada ditembak atau digantung, karena terkadang tembakan mengenai anggota badan yang tidak mematikan dan ini merupakan penyiksaan terhadap pelaku kejahatan. Yang perlu diingat di sini bahwa hukuman rajam diberlakukan hanya untuk pezina muhson. Pada umumnya orang yang sudah menikah (muhson) tidak akan melakukan zina. Syariat islam juga memperbolehkan cara-cara yang halal dalam menyalurkan hasrat seksual, seperti pernikahan dan poligami untuk menghindarkan dari perbuatan yang diharamkan. Zina muhson merupakan contoh 48 49

. Al-Tasyri’ al-Jina’i al-Islami, juz 1, hlm. 548 . Ibid, juz 1, hlm. 549

80 AT-THARIQ|Volume VIII, (September-Februari 2013)


Mohammad Idris Hasan yang tidak baik oleh karena itu sayariat islam tidak akan membiarkannya tetap exis. Perlu diingat juga bahwa dampak dari kejahatan zina adalah campur aduknya nasab, merusak keharmonisan rumah tangga dan menodai kehormatan keluarga dan masyarakat50. 4. Hukuman Qishas. Pada dasarnya hukuman qishas merupakan bentuk keadilan yang sempurna karena nyawa dibayar dengan nyawa. Namun orang-orang sekuler dan liberal tidak setuju, dengan alasan bahwa dasar dari hukuman qishas adalah balas dendam, hal ini bertentangan dengan masyarakat modern yang beranggapan bahwa tujuan dari hukuman adalah untuk memperbaiki perilaku pelaku kejahatan. Sebagai jawaban dari anggapan ini, Muhammad Abu Zahrah menulis dalam kitabnya: "Balas dendam tidak terpaku pada kesamaan antara kejahatan yang dilakukan pelaku dan antara hukuman, terkadang malah menghukum selain pelaku atau keluarga dan keturunan pelaku kejahatan. Biasanya balas dendam terjadi dari pejabat terhadap rakyatnya sehingga yang lemah menerima penindasan dari yang kuat. Adapun qishas bersumber dari putusan hakim, dan ini berlaku bagi si kuat dan si lemah, pejabat dan rakyatnya sehingga tidak terjadi kekacauan dalam masyarakat yang bisa menyalakan api kemarahan dan dendam. Apabila kita membiarkan pembunuh hidup dengan bebas di antara anggota masyarakat maka sama saja kita membiarkan anggota masyarakat hidup dalam bahaya dan ketakutan�51. F. Kesimpulan. 1. Syariat Islam merupakan sistem yang sempurna mengenai tindakan kriminal dan hukumannya. 2. Anggapan bahwa hukuman dalam syariat islam tidak sesuai dengan hak asasi manusia dan bertentangan dengan perilaku modern adalah anggapan yang bersumber dari ketidak tahuan tentang ajaran islam atau karena kebencian terhadap agama islam dan pemeluknya. 3. Hukuman syariat islam diterapkan dengan tujuan melindungi manusia dan kemaslahan mereka dalam suatu masyarakat. 4. Hukuman syariat islam hanya akan dilaksanakan jika sudah memenuhi syarat dan tidak ada hal-hal yang bisa menggugurkannya.

50 51

. Ibid, juz 1, hlm. 551 . Al-Uqubat fi al-Fiqh al-Islami, hlm. 43

Volume VIII, (September-Februari 2013)| AT-THARIQ 81


Hukuman Dalam Syariat Islam Dan Faktor-Faktor Yang Membebaskan 5. Syariat islam tidak bertujuan untuk menjatuhkan hukuman kepada pelaku, oleh karena itu islam membuka banyak hal yang memungkinkan dalam menggugurkan dan membatalkan hukuman terhadap pelaku. 6. Hukuman syariat islam bisa dibatalkan oleh beberapa hal yaitu: pemberian maaf, kesepakatan antara pelaku dan korban atau keluarganya, pertaubatan dan sebagainya.

82 AT-THARIQ|Volume VIII, (September-Februari 2013)


Mohammad Idris Hasan

DAFTAR PUSTAKA Abdul Qadir Audah, Tasyri' al-Jina'i Muqaranan bi alQanun al-Wadl'i, (Kairo, Maktabah Dar al-Turats, 2003) Abi Abdillah Muhammad bin Ahmad bin Abi Bakar bin Farah al-Anshari al-Khazraji al-Qurtubi al-Maliki, Tafsir al-Qurtubi -al-Jami' al-Ahkam al-Qur'an, (Bairut, Dar alKutub al-Ilmiah, 1993) Abi Abdillah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim al-Mughirah al-Bukhari, Shohih Bukhori, (Kairo, Dar al-Rayyan li al-Turats, Cet. III, 1987) Abi Abdillah Muhammad bin Yazid al-Qazwaini, Sunan Ibn Majah, (Bairut, Dar al-Fikr, Tahqiq: Muhammad Abdul Baqi Abi al-Fadhal Syihabuddin al-Sayyid Mahmud al-Alusi al-Baghdadi, Ruh al-Ma'ani fi Tafsir al-Qur'an al-Adhim wa al-Sab'i al-Matsani, (Bairut, Dar al-Turats al-Arabi) Abi al-Fida' Ismail bin Katsir al-Qurasyi al-Dimasyqi al-Syafi'i, Tafsir Ibn al-Katsir -Tafsir al-Qur'an al-Adhim-, (Bairut, Dar al-Jail, Cet. II, 1990 Abi Muhammad Izzuddin al-Silmi, Qawaid al-Ahkam fi Mashalih al-Anam, (Bairut, Dar al-Kutub al-Ilmiah) Abu Abdullah Syamsuddin Muhammad bin Abi Bakar bin Ayyub bin Sa'ad al-Zar'i alDimasyqi, I’lam al-Muwaqqi’in an Rabbi al-'Alamin, (Bairut, Dar al-Jail, 1973, Tahqiq: Toha Abd al-Rauf Sa'ad. Abu al-Hasan Ali bin Muhammad bin Habib al-Bashri al-Baghdadi al-Mawardi, AlAhkam al-Sulthaniah, (Bairut, Dar al-Kutub al-Ilmiah, 1985) Abu Fadhal Jamaluddin Muhammad bin Makram bin Mandhur al-Afriqi al-Mishri, Lisan al-Arab, (Bairut, Dar Shadir, Cet. I). Abu Said abdurrahman al-Naisaburi al-Mutawalli, al-Ghunyah fi Ushul al-Din, (Libanon, Muassah al-Kutub al-Tsaqafiah, Cet. I, 1987, Tahqiq: Imaduddin Ahmad Haidar Ahmad bin Hanbal Abu Abdullah al-Syaibani, Musnad Ahmad bin Hanbal, (Mesir, Muassasah Qurtubah) Ahmad bin Muhammad bin Ali al-Muqri al-Fayyumi, al-Misbah al-Munir fi Gharib alSyarh al-Kabir li al-Rafi'i, (Bairut, al-Maktabah al-Ilmiah) -------------------------------- Al-Mausu'ah al-Fiqhiyah al-Kuwaitiyah, (Kementerian Wakaf dan Urusan Agama Islam Kuwait) DR. Abud al-Siraj, Al-Tasyri' al-Jina'i al-Muqaran fi al-Fiqh al-Islami wa al-Qanun al-Suriy, (Mathba'ah Jami'ah Dimasyqa). DR. Taufiq al-Ahwal, Uqubat al-Sariq Baina al-Qath'i wa Dhiman al-Masruq fi al-Fiqh Islami, (Riyadh, Dar al-Huda)

Volume VIII, (September-Februari 2013)| AT-THARIQ 83


Hukuman Dalam Syariat Islam Dan Faktor-Faktor Yang Membebaskan Tim Penyusun, Kamus Bahasa Indonesia, (Jakarta, Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, 2008) Muhammad bin Isa Abu Isa al-Turmudzi al-Silmi, al-Jami' al-Shohih Sunan al-Turmudzi, (Bairut, Ihya' al-Turats al-Arabi, Tahqiq: Ahmad Muhammad Syakir wa Akharun) Muhammad Murtadla al-Husaini al-Zubaidi, Taj al-Arus Min Jawahir al-Qamus, (Bairut, Dar al-Fikr, 1993) Muslim bin al-Hajjaj bin Muslim al-Qusyairi al-Naisaburi, Shohih Muslim, (Bairut, Dar Ihya' al-Turats al-Arabi, Tahqiq: Fuad Abd al-Baqi) Prof. DR. Wahbah al-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, (Damaskus, Dar Fikr, 2004) Taqiyuddin Abu al-Abbas Ahmad bin Abdul Halim bin Taimiyah al-Harani, Majmu' alFatawa, (Madinah, Majma' al-Malik Fahd li Thiba'ati al-Mushaf al-Syarif, 1995, Taqiq: Abdurrahman bin Muhammad bin Qasim).

84 AT-THARIQ|Volume VIII, (September-Februari 2013)


Suratman

BUDAYA ORGANISASI Suratman1 Abstract Humans as social beings can not live without co-exist with other people or creatures, of course, to meet human life should form a particular group. With a group of humans will interact to fulfill his life. Groups of people, commonly called an entity organization consciously coordinated social work continuously to achieve a common goal in a group or individual goals. Organization is the role of the system, the flow of activities and processes (patterns of employment relationship) and involves some as an administrative task that is designed to achieve a common goal. Keywords: Organizational, Community, Social Entities

A. Pendahuluan Manusia dapat diartikan sebagai sebuah konsep atau sebuah fakta, sebuah gagasan atau suatu realitas, sebuah kelompok (genus) atau seorang individu. Dalam hubungannya dengan lingkungannya, ia merupakan suatu organisme hidup (living organism). Terbentuknya pribadi seseorang dipengaruhi oleh lingkungan bahkan secara ekstrim dapat dikatakan, setiap orang berasal dari lingkungan, baik lingkungan vertikal (genetika, tradisi), horizontal (geografik, fisik, sosial), maupun kesejarahan.2 Manusia sebagai makhluk sosial tidak akan bisa hidup tanpa berdampingan dengan orang atau makhluk yang lain, tentunya untuk memenuhi kehidupannya manusia harus membentuk kelompok-kelompok tertentu. Dengan kelompok manusia akan berinteraksi untuk memenuhi kehidupannya. Kelompok manusia yang lazim disebut organisasi merupakan entitas sosial yang dikoordinasikan secara sadar bekerja secara terus menerus untuk mencapai tujuan bersama dalam satu kelompok atau tujuan individu. Organisasi adalah sistem peran, aliran aktivitas dan proses (pola hubungan kerja) dan melibatkan beberapa orang sebagai pelaksana tugas yang didesain untuk mencapai tujuan bersama. Manusia tidak akan berada dalam kondisi yang sustain (tidak bisa mempertahankan hidup), apabila manusia tidak berinteraksi dengan

1 2

Penulis adalah dosen di STAIN Purwokerto. Taliziduhu Ndraha, Budaya Organisasi, PT. Rineka Cipta, Jakarta, 2010, hal. 11

Volume VIII, (September-Februari 2013)| AT-THARIQ 85


Budaya Organisasi sesama manusia. Hal ini juga disebabkan karena pada diri manusia ada dorongan untuk berhubungan (interaksi) dengan orang lain.3 Dampak dari kumpulnya manusia dalam sistem sosial akan menimbulkan perilaku dan kebiasaan sesuai dengan falsafah dari kelompok manusia tertentu yang pada akhirnya akan disebut dengan budaya atau nilai-nilai perilaku manusia atau kelompok. Falsafah yang akhirnya menjadi norma dalam suatu masyarakat lazim disebut dengan budaya organisasi, tentunya hal yang seperti ini membutuhkan waktu dan proses internalisasi nilai-nilai yang diinginkan oleh kelompok atau organisasi tertentu. Dalam konteks yang lebih luas pengkajian tema budaya organisasi ini harus senantiasa dikaitkan dengan aspek-aspek lainnya dari perilaku organisasi yang menurut Sweeney & Mcfarlin (2002:4) berkaitan dengan bagaimana dan mengapa orang-orang bertindak, berpikir, dan merasa dalam suatu organisasi.4 Untuk dapat lebih memperjelas pengertian mengenai konsep budaya organisasi, maka kedua kata ‘budaya’ dan ‘organisasi’ akan penulis paparkan dalam bagian berikut ini, yang kemudian dilanjutkan dengan pembahasan tentang dimensi-dimensi yang terkait dengan budaya organisasi, dan sebagainya. B. Perumusan Masalah Dari uraian pendahuluan tersebut di atas, perumusan masalah dalam tulisan ini adalah; 1) Bagaimana pengertian Organisasi? 2) Bagaimana pengertian Budaya? 3) Bagaimana Budaya Organisasi?

3 4

Syamsir Torang, organisasi dan Manajemen, Alfabeta, Bandung, 2014, hal 2 Talizidhuhu Ndraha, Budaya Organisasi, Rineka Cipta, Jakarta, 2010, hal 78

86 AT-THARIQ|Volume VIII, (September-Februari 2013)


Suratman C. Kajian Teori 1) Organisasi Konsep pertama yang berusaha penulis paparkan sehubungan dengan usaha untuk dapat lebih memahami pengertian budaya organisasi adalah konsep organisasi. Salah satu hal penting dalam memahami budaya organisasi adalah bahwa kita seyogianya memahami pendekatan-pendekatan yang mempengaruhi cara berpikir atau cara pandang terhadap organisasi. Organisasi menurut Robbins (2001:4) diartikan sebagai suatu unit (satuan) sosial yang dikoordinasikan dengan sadar, yang terdiri dari dua orang atau lebih, yang berfungsi atas dasar yang relative terus menerus untuk mencapai suatu tujuan atau serangkaian tujuan bersama. Sementara Davis (1994) mengatakan bahwa organisasi adalah suatu kelompok orang-orang yang sedang bekerja ke arah tujuan bersama di bawah kepemimpinan. Demikian pula Miller (1997) mendefinisikan organisasi adalah orang-orang yang bekerja sama, dan dengan demikian mengandung ciri-ciri dari hubungan manusia yang timbul dalam aktivitas kelompok.5 Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa organisasi merupakan kelompok manusia yang bekerja sama untuk mencapai tujuan kelompok itu sendiri maupun tujuan masing-masing individu. Terdapat dua pendekatan dalam memahami organisasi, yaitu pendekatan objektif dan pendekatan subjektif. Makna “objektif” dalam konteks ini merujuk kepada pandangan bahwa objek-objek, perilaku-perilaku, dan peristiwa-peristiwa eksis di dunia nyata dan terlepas dari pengamatnya, sedangkan “ subjektif “ menunjukkan bahwa realitas itu sendiri adalah kontruksi sosial, realitas sebagai suatu proses kreatif yang memungkinkan orang menciptakan apa yang ada “di luar sana “ ( Pace & Faules , 2001 : 11 ).6 Menurut pendekatan objektif, organisasi merupakan suatu yang bersifat fisik dan konkret , dan merupakan sebuah struktur dengan batas-batas yang pasti,

5 6

Syamsir Torang, Organisasi dan Managemen, Alfabeta, Bandung, 2013, hal 26. Pace, R. Wayne, dkk, Komunikasi Organisasi, Remaja Rosda Karya, Bandung. 2001, hal 11

Volume VIII, (September-Februari 2013)| AT-THARIQ 87


Budaya Organisasi sesuatu yang stabil. Istilah “organisasi� mengisyaratkan bahwa sesuatu yang nyata merangkum orang-orang, hubungan-hubungan, dan tujuan-tujuan. Pendekatan subjektif memandang organisasi sebagai kegiatan yang dilakukan orang-orang, terdiri dari tindakan-tindakan, interaksi, dan transaksi yang melibatkan orang-orang. Organisasi di ciptakan dan dipupuk melalui kontakkontak terus menerus berubah yang dilakukan orang-orang antara yang satu dengan yang lainnya dan tidak eksis secara terpisah dari orang-orang yang perilakunya membentuk organisasi tersebut. Jadi berdasarkan pendekatan objektif, organisasi berarti struktur, sedangkan berdasarkan pandangan subjektif, organisasi berarti proses (mengorganisasikan perilaku). Implikasinya, menurut pendekatan objektif, mempelajari organisasi adalah mempelajari keseluruhan, bagaimana organisasi dapat beradaptasi dengan cara terbaik terhadap lingkungan untuk mengembangkan diri dan berlangsung hidup, sedangkan menurut pendekatan subjektif pengetahuan mengenai organisasi diperoleh dengan melihat perilaku-perilaku dan apa makna perilaku-perilaku itu bagi mereka yang melakukannya, struktur diakui tapi tekanannya pada perilaku manusia dalam arti tidak independen dari tindakan-tindakan manusia. Kedua pendekatan tersebut, baik objektif maupun subjektif tidak hanya mempengaruhi cara pandang terhadap budaya organisasi, tapi juga dalam memahami aspek lainnya yang terkait dengan perilaku organisasi. 2) Budaya Terdapat banyak definisi mengenai budaya atau kultur sebagai mana di adopsi dari bahasa inggris Culture, Colore, dalam bahasa latin. Secara harfiah budaya diartikan sebagai pikiran ,akal budi, atau sejumlah pola sikap, keyakinan, dan perasaan tertentu yang mendasari, mengarahkan, dan memberi arti pada tingkah laku seseorang dalam suatu masyarakat (kamus besar bahasa Indonesia ). Sweeney & McFarlin (2002 :334) mengemukakan bahwa budaya secara ideal mengomunikasikan secara jelas pesan pesan tentang bagaimana kita melakukan sesuatu atau bertindak, berperilaku di sekitar sini (“how we do things around here“). Dari pemikiran tersebut dapatlah diinterpretasikan bahwa budaya memberikan 88 AT-THARIQ|Volume VIII, (September-Februari 2013)


Suratman arahan mengenai bagaimana seseorang harus berperilaku , bersikap, bertindak dalam suatu komunitas , kata ‘here’ dalam pengertian di atas mengacu pada suatu komunitas tertentu, baik itu berbentuk organisasi, perusahaan, atau masyarakat.7 Pengertian lainnya menyatakan bahwa budaya merupakan pola asumsi asumsi dasar yang oleh suatu kelompok tertentu telah ditemukan , dibuka, atau dikembangkan melalui pelajaran untuk memecahkan masalah-masalah adaptasi eksternal dan integrasi internal, dan yang telah berjalan cukup lama untuk dipandang sahih, dan oleh sebab itu diajarkan kepada anggota-anggota baru sebagai cara yang benar untuk memandang, berpikir, dan merasa dalam kaitannya dengan masalah-masalah tersebut ( Schein, 1992 ). Robert A. Nisbet (1970 ) mengemukakan bahwa budaya adalah segala sesuatu yang kita temukan dalam tingkah laku manusia dalam sebuah masyarakat yang bukan merupakan produk langsung dari struktur biologisnya.8 Dari berbagai pengertian yang telah dikemukakan tersebut, dapatlah dinyatakan bahwa budaya ini merupakan cara hidup termasuk di dalamnya cara berpikir, bertindak dan sebagainya dalam suatu komunitas tertentu (organisasi / perusahaan/masyarakat ) , sehingga membedakan karakteristik suatu komunitas dengan yang lainnya. 3) Budaya Organisasi Pemaparan tentang pengertian budaya dan organisasi sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya tentu saja tidak serta-merta dapat disatukan begitu saja. Namun demikian dapat dilihat esensi dari masing-masing term yang membentuk pengertian budaya organisasi. Menurut Osborne & Plastrik (2000), budaya organisasi adalah seperangkat perilaku,perasaan, dan kerangka psikologis yang terinternalisasi sangat mendalam dan dimiliki bersama oleh anggota organisasi.

Sweeeney Paul D, dkk, Organisasi Behavior, Internastional Edition, 2002, hal 334. Robet, dkk, The Social Bond, an Introduction To The Study of Society, Alfred AKnof, New York. 7

8Nisbet

Volume VIII, (September-Februari 2013)| AT-THARIQ 89


Budaya Organisasi Definisi lain di kemukakan Robbins (2002:247), bahwa budaya organisasi merupakan suatu persepsi bersama yang di anut oleh anggota-anggota organisasi suatu sistem dari makna bersama. Uraian yang lebih lengkap mengenai hal-hal yang berkaitan dengan budaya organisasi di paparkan pada bagian C artikel ini mengenai dimensi-dimensi budaya organisasi. D. Pembahasan Budaya Organisasi Sebagai mana dikemukakan sebelumnya bahwa pengkajian terhadap budaya organisasi tidak dapat di lepaskan dari konteks perilaku organisasi secara keseluruhan. Studi perilaku organisasi adalah pengkajian sistematis mengenai sikap dan tindakan yang di tunjukan individu-individu dalam suatu organisasi, konstruksi ilmunya merupakan ilmu terapan yang terbentuk dari berbagai disiplin ilmu tentang

perilaku,

seperti

psikologi,

sosiologi,

antropologi,komunikasi,dan

sebagainya. Oleh karena itu, pengkajian terhadap budaya organisasi sebagai salah satu aspek dari perilaku organisasi, secara keilmuan memiliki arti penting ,karena dapat turut membangun konstruksi perilaku organisasi secara keseluruhan sebagai suatu ilmu terapan ,misalnya dengan memetakan budaya organisasi dalam suatu model penelitian, sehingga dari variabel-variabel yang dikaji dan di analisis dapat diperoleh gambaran yang lebih jelas atau dapat lebih menggambarkan fenomenafenomena yang ada dalam realitasnya. Pentingnya kajian terhadap budaya organisasi ini juga secara pragmatis dapat dilihat dari peranannya. Veithzal R.(2003:430) mengemukakan bahwa budaya organisasi berperan dalam : 1. Menetapkan tapal batas, dalam arti menciptakan perbedaan yang jelas antara suatu organisasi dengan organisasi lainya. 2. Memberikan ciri identitas bagi anggota organisasi. 3. Mempermudah timbulnya komitmen yang lebih luas dari pada kepentingan individu. 90 AT-THARIQ|Volume VIII, (September-Februari 2013)


Suratman 4. Meningkatkan kemantapan sistem sosial. 5. Memandu dan membentuk sikap anggota organisasi(budaya sebagai mekanisme pembuat makna dan kendali). Dalam konteks di atas maka budaya organisasi merupakan kerangka kerja yang menjadi pedoman tingkah laku dan pembuatan keputusan anggota organisasi serta mengarahkan tindakan mereka untuk mencapai tujuan organisasi. Dengan demikian jelas bahwa pengkajian budaya organisasi ini memiliki arti penting baik di lihat dari segi kepentingan keilmuan maupun dari segi pragmatisnya. 1

Uraian Dimensi Budaya Organisasi Pada bagian sebelumnya sepintas dikemukakan pengertian budaya

organisasi, Sweeney &Mcfarlin (2002:334) menyatakan budaya organisasi mengacu kepada cara hidup (way of life) organisasi/perusahaan. Berbagai pengertian lainnya ada yang lebih menekankan pada sistem nilai bersama (sharing values ), yang tumbuh dan berkembang dalam sebuah organisasi, yang dijadikan acuan seluruh anggota sebuah organisasi dalam mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkannya. Pengertian bersama, sharad meaning ,anggota anggota organisasi untuk berperilaku sama baik di dalam maupun di luar organisasi merupakan inti dari budaya organisasi (Sigit, 2003). Dari berbagai pengertian budaya organisasi yang telah dikemukakan, kemudian muncul pertanyaan, bagaimana budaya organisasi terbentuk? Jawaban atas pertanyaan tersebut secara skematis dapat di lihat dalam gambar 1 berikut ini. Manajemen puncak Filsafat dari pendiri organisasi

Budaya organisasi

Kriteria seleksi Sosialisasi

Terbentuknya budaya organisasi sebagaimana dideskripsikan dalam gambar 1 di atas, menurut Robbins (2002:262), berawal dari filsafat pendiri organisasi (mereka mempunyai visi mengenai bagaimana seharusnya organisasi itu), budaya Volume VIII, (September-Februari 2013)| AT-THARIQ 91


Budaya Organisasi asli diturunkan dari filsafat pendirinya, yang kemudian berpengaruh terhadap kriteria yang digunakan dalam memperkejakan anggota /karyawannya. Tindakan organisasi (melalui apa yang mereka katakan dan lakukan) dan sering kali menentukan iklim umum dari perilaku yang dapat diterima dan yang tidak. Bagaimana anggota/karyawan harus disosialisasikan akan dengan nilai-nilai organisasi dalam proses seleksi maupun pada preferensi manajemen puncak akan metode-metode sosialisasi. Sejarah dengan apa yang telah diuraikan di atas,masalah nilai dan karakteristik budaya organisasi, akan penulis paparkan dalam bagian-bagian berikut ini. 2

Nilai dan Karakteristik Budaya Organisasi Nilai, dapat diartikan sebagai suatu yang menjadi acuan ideal bagi individu-

individu dalam berperilaku /bertindak . Nilai merupakan konsepsi-konsepsi yang ada dalam alam pikiran masyarakat/organisasi mengenai hal-hal yang dianggap berarti dalam hidup ( Koentjaraningrat,1974 ). Dalam konteks nilai budaya organisasi, hal ini berarti pedoman atau kepercayaan yang dijadikan acuan dalam menjalankan tugas organisasi. Nilai budaya organisasi terkait dengan masalah pencapaian suatu organisasi, termasuk ke dalam nilai adalah ideologi, citacita,keyakinan. Namun di satu sisi, sebagaimana diungkapkan Robbins ( 2002 ), budaya juga dapat menjadi salah satu faktor penghambat dalam menghadapi berbagai perubahan. Dinyatakannya pula bahwa budaya organisasi pada hakikatnya merupakan sistem makna bersama atau dengan kata lain berkaitan dengan masalah nilai-nilai yang dianggap bersama. Sistem makna bersama ini, bila dicermati secara lebih seksama merupakan seperangkat karakteristik utama yang dihargai oleh organisasi. Sebuah penelitian mengemukakan karakteristik-karakteristik utama yang secara bersama-sama menangkap esensi dari budaya organisasi, sebagai berikut : Inifasi dan pengambilan resiko, Karakteristik ini berkaitan dengan sejauh mana para karyawan/anggota organisasi didorong untuk inovatif dan mengambil resiko. 92 AT-THARIQ|Volume VIII, (September-Februari 2013)


Suratman Perhatian kerincian, Karakteristik ini berkaitan dengan sejauh mana karyawan/anggota organisasi diharapkan memperlihatkan, analisis,dan perhatian kepada rincian. Orientasi hasil, Karakteristik ini berkaitan dengan sejauh mana manajemen memusatkan perhatian pada hasil bukan pada teknik dan proses yang digunakan untuk hasil tersebut. Orientasi orang, Karakteristik ini berkaitan dengan sejauh mana keputusan manajemen memperhitungkan efek hasil-hasil kepada orang-orang di dalam organisasi. Orientasi tim, Karakteristik ini berkaitan dengan sejauh mana kegiatan kerja diorganisasikan sekitar tim-tim, bukanya individu-individu. Keagresifan, Karakteristik ini berkaitan dengan sejauh mana individuindividu dalam organisasi memiliki keagresifan dan sikap kompetitif. Kemantapan, Karakteristik ini berkaitan dengan sejauh mana kegiatan organisasi yang melibatkan individu-individu di dalamnya mempertahankan status quo dibandingkan dengan pertumbuhan. Berbagai karakteristik tersebut berlangsung pada suatu kontinum dari rendah ke tinggi. Gambaran yang cukup komprehensif mengenai organisasi antara lain dapat

diperoleh

dengan

melakukan

penilaian

berdasarkan

karakteristik-

karakteristik tersebut. Dengan demikian, hal tersebut dapat dijadikan dasar bagi pemahaman bersama dari anggota-anggota organisasi, dasar bagi penyelesaian uraian di dalam organisasi, serta cara berperilaku anggota-anggota organisasi ( Robbins,2002:247-248 ). Dengan melihat bagaimana awalnya suatu budaya organisasi terbentuk, sampai kepada proses sosialisasinya, persoalannya tentu tidak akan berhenti pada apakah budaya organisasi yang ada disukai atau tidak. Namun diharapkan setelah nilai-nilai dan karakteristik budaya organisasi tersebut terinternalisasi,pengaruhnya akan tampak lebih signifikan antara lain kepada kepuasan kerja ataupun kinerja dari para anggota organisasi. Robbins ( 2002:265 ) mendeskripsikan bagaimana nilai-

Volume VIII, (September-Februari 2013)| AT-THARIQ 93


Budaya Organisasi nilai/karakteristik dari budaya organisasi mempengaruhi kinerja dan kepuasan dalam gambar 2 berikut ini. Faktor objektif  Inovasi dan pengambilan risiko  Perhatian kerincian  Orintasi hasil  Orintasi orang  Orientasi tim  Keagresifan  kemantapan

Tinggi

Kinerja

Budaya organisasi

Rendah

Kepuasan

Pengaruh budaya organisasi terhadap kinerja dan kepuasan Gambar 2 tersebut dapat dikatakan,mendeskripsikan budaya organisasi sebagai suatu variabel. Anggota-anggota organisasi membentuk suatu persepsi subjektif keseluruhan mengenai organisasi berdasarkan kepada faktor-faktor seperti toleransi resiko, tekanan pada tim,dukungan orang,dan sebagainya. Persepsi yang berbentuk itu sebenarnya merupakan budaya atau kepribadian dari organisasi yang bersangkutan. Dukungan atau penolakan sebagaimana bentukan persepsinya, mempengaruhi kinerja dan kepuasan anggota-anggota organisasi,atau dampak yang lebih besar adalah kepada terbentuknya budaya yang lebih kuat. 3

Tingkatan Budaya Organisasi Tingkatan budaya organisasi yang dimaksud merupakan tingkatan fenomena

budaya yang tampak bagi yang mengamatinya dan hal ini dapat berwujud mulai dari tingkatan yang nyata sehingga dapat dilihat dan dirasakan sampai kepada tingkatan yang tertanam sebagai asumsi yang tidak disadari sebagai hakikat budaya. Lebih jelasnya, Schein ( dalam Sweeney & Mc farlin,2002:336 ) mengilustrasikan tingkatan budaya organisasi dalam gambar 3 pada halaman 12. Tingkatan budaya organisasi ini terdiri atas 3 tingkat atau level sebagai berikut : 1. Arti facs ( Artefak ), Berkaitan dengan simbol-simbol, cerita, ritual dan sebagainya.

94 AT-THARIQ|Volume VIII, (September-Februari 2013)


Suratman 2. Values ( nilai-nilai ), Berkaitan dengan apa yang seharusnya, apa yang tidak seharusnya, dan nilai-nilai atau keyakinan yang mendukung. 3. Assumptions ( asumsi-asumsi ), Berkaitan dengan keyakinan mendasar tentang orang-orang

atau

individu-individu,

pandangan

mengenai

sifat

dasar

manusia,dan sebagainya. Artefak merupakan peninggalan yang dapat dilihat dan dapat didengar berdasarkan nilai-nilai dan asumsi-asumsi suatu budaya. Nilai-nilai ( values ) merupakan prinsip sosial, tujuan dan standar yang dianut dalam suatu budya. Sedangkan asumsi menunjukkan apa yang diyakini oleh individu dan mempengaruhi persepsi, cara berpikir dan merasakan sesuatu. Visible, but not necessarily understanble Artifacts 

Symbols

Stories

Rituals

Policies

interaction styles

Values What “should”be What “shouldn’t”be  Espoused values/beliefs Assumptions Basic beliefs about people/employees Views of human nature Basic nations of time, space, and reality  

  

Taken for granted / rarely questioned

Volume VIII, (September-Februari 2013)| AT-THARIQ 95


Budaya Organisasi E. Budaya Organisasi Dalam Organisasi Pendidikan Budaya organisasi dalam organisasi pendidikan, khususnya dalam konteks organisasi perguruan tinggi, bisa dikatakan merupakan wahana yang memiliki aspek ideologis, filosofis ataupun normatif dan merupakan acuan dari anggota – anggotanya, baik itu mahasiswa, tenaga edukatif, tenaga administratif, maupun pimpinan perguruan tinggi. Sebagai ilustrasi, Dosen di perguruan tinggi menjalani ritual dalam suatu kurun waktu untuk memperoleh kedudukannya yang tepat. Ritual dalam konteks ini merupakan deretan berulang dari kegiatan yang mengungkapkan dan memperkuat nilai-nilai utama organisasi, tujuan apakah yang paling penting, orangorang

manakah

yang

penting

dan

mana

yang

dapat

dikorbankan

(

Robbins,2002:262 ). Perjalanan yang harus ditempuh oleh dosen untuk sampai kepada kedudukan yang tetap menuntut mereka mulai dari tahapan evaluasi dalam kurun waktu tertentu, menjalankan kegiatan penelitian dan pengabdian, dan kegiatan-kegiatan keilmuan lainnya sebagai syarat yang harus ditempuh. Keberhasilan atau kegagalan pencapaian tujuan tersebut selain berkaitan dengan kinerja mereka,juga berkaitan dengan kemampuan mereka dalam menyesuaikan diri dengan nilai-nilai atau norma-norma yang telah ditentukan oleh organisasi, dalam hal ini apakah itu pada tingkatan program studi, jurusan,fakultas,ataupun universitas, mengingat bahwa masing-masing tingkatan/ sub organisasi memiliki cerita yang bisa saja berlainan satu sama lainnya. F. Simpulan Budaya organisasi dengan berbagai dimensinya dapat dipandang sebagai suatu cara untuk memetakan fenomena. Ketika kita menyadari bahwa pandangan terhadap fenomena/realitas pun tidak selalu ajeg, bergantung pada titik berdirinya, maka seyogiyanya kita menyikapinya bahwa hal itu mencerminkan suatu relativisme ilmu. Budaya organisasi sebagaimana telah dikaji sebelumnya dengan masingmasing contoh ilustrasinya, di suatu sisi mencerminkan, sebagaimana di ungkap

96 AT-THARIQ|Volume VIII, (September-Februari 2013)


Suratman Sweeney & McFarlin, kepribadian organisasi, dan di sisi lainnya hal tersebut juga mencerminkan bahwa budaya organisasi juga bersifat kontekstual , bergantung kepada faktor manusianya, bentuk organisasi, bidang organisasi, dan lain sebagainya. Sebuah contoh penelitian yang di paparkan dalam makalah ini memperlihatkan pengaruh-pengaruh dari dimensi-dimensi budaya organisasi terhadap kualitas kehidupan kerja. Ternyata dari berbagai faktor yang dianalisis faktor yang paling dominan berpengaruh adalah sistem struktur organisasi dan gaya manajemen organisasi. Perilaku organisasi dengan berbagai aspeknya –salah satunya budaya organisasi memiliki bidang kajian yang luas, mudah-mudahan dengan mengkaji berbagai aspek perilaku organisasi tersebut, kita dapat memperoleh pemahaman yang lebih komprehensif mengenai perilaku organisasi.

Volume VIII, (September-Februari 2013)| AT-THARIQ 97


Budaya Organisasi Daftar Pustaka Alo Liliweri.1997. Sosiologi Organisasi. PT. Citra Aditia Bakti. Bandung Katz D. & Kahn R.L. The Social Psychology Of Organizations. A Willey International Edition. 1966. Koenjaningrat. 1974. Kebudayaan Mentalitet Dan Pembangunan. PT. Gramedia, Jakarta. Kreitner, Robert & Angelo Kinicki .2003. Perilaku organisasi.Terjemahan Erly Suandi. Salemba Empat.Jakarta. Nisbet Robert. A. 1970. The Social Bond, an Introduction To The Study Of Society. AlfredA-Knopf, New York . Pace,R. Wayne & Don F. Faules .2001. Komunikasi Organisasi:strategi meningkatkan kinerja perusahaan. Terjemahan : Deddy Mulyana, MA., Ph. D. Remaja Rosda Karya, Bandung. R.,Veithzal .2003. Kepemimpinan & Perilaku Organisasi. Jakarta Raya: Grafindo Persada. Robbins, Stephen P. 1994. Teori Organisasi Struktur, Desain Dan aplikasi . Prentice Hall International, Inc., San Diego. --------------------- .2001. Perilaku Organisasi: Konsep, Kontroversi, Aplikasi. Prenhalindo, Jakarta. --------------------- .2002. Prinsip-prinsip perilaku organisasi, Terjemahan Halida, Dewi Sartika. Erlangga. Jakarta. Syamsir Torang, Organisasi dan Manajemen, Alfabeta, Bandung, 2013. Sweeney, Paul D. & Dean B. McFarlin.2002. Organisational Behavior : Solution For Management. McGraw-Hill,International Edition.

98 AT-THARIQ|Volume VIII, (September-Februari 2013)


Zulfikri

PENAFSIRAN EMANSIPATORIS DALAM AL-QUR’AN (Perspektif Nasaruddin Umar) Zulfikri1 Abstract There are four elements that could potentially be an important factor influencing the formation of the notion of stereotypes against women. First, the notion that women are created only as a complement to the desire and the desire of Adam in paradise. Second, where the first man was created, namely heaven (which is in the nature of supernatural), has given rise to the myth that menskreditkan perbagai women. Third, the notion that women are created from Adam's rib to position the position of women is lower than men. Fourth, the notion that women who drive the temptation of Adam from heaven to earth. This factor has given rise to the concept of "original sin" charged to women. Key Word: Tafsir emansipatoris, al-Qur’an, Nasiruddin Umar A. Pendahuluan Persoalan kajian perempuan dalam Islam menjadi suatu isu yang mengandung kontroversi, karena mau tidak mau dibenturkan dengan beragam narasi penafsiran yang ada dan juga budaya patriakhi yang melekat kuat. Hal ini terjadi secara tidak langsung berawal dari suburnya pemahaman ilmiah dan kultural akan perbedaan jenis kelamin yang itu turut berimplikasi pada perbedaan dalam ruang sosial di masyarakat. Perbedaan secara biologis itu terkadang merugikan salah satu pihak (khususnya perempuan). Dalam faktanya, bukan tidak mungkin perempuan juga memiliki kemampuan untuk mengaktualisasikan dirinya di ruang publik sebagaimana halnya laki-laki. Wacana seperti inilah agaknya yang mengusik para teolog untuk ikut serta andil dalam penafsiran-penafsirannya yang lebih kontekstual. Dalam proses perkembangan paradigma penafsiran, maka didapati proses penafsiran juga melibatkan suatu persaingan untuk menetapkan otoritas dan kompetensi penafsir baik dari segi strata sosial, etnisitas, dan juga gender. Perubahan yang terjadi dalam wacana tafsir termasuk metodologi yang tepat dalam mengakomodir perkembangan zaman menjadi tuntutan yang mesti dilakukan. Inilah barangkali yang banyak melahirkan para intelektual muslim modren dikalangan insider (Fazlurrahman, M.Sahrur, Amina Wadud, dll) bahkan outsider (Jhon Esposito, Andrew Rippin, dll) yang mencoba mengaplikasikan 1

Penulis adalah mahasiswa program S3 Turki.

Volume VIII, (September-Februari 2013)| AT-THARIQ 99


Penafsiran Emansipatoris Dalam Al-Qur’an interpretasi al-Qur’an dengan pendekatan interdispliner dan multidisipliner. Dan dari perubahan itulah mungkin yang mengispirasi dan memunculkan kesadaran para intelektual muslim Indonesia untuk mencoba pendekatan yang dikenalkan oleh pemikir diatas, salah satunya ialah Nasaruddin Umar, yang bisa dikatakan sebagai mufassir feminis, yang menyatakan bahwa proses transformasi sosial bisa berangkat dari konsep al-Qur’an yang bersifat holistik, demi terciptanya nuansa adil, berkeadaban dan berkeprimanusiaan. Sebenarnya pembahasan semacam ini bukanlah hal yang baru dalam pemikiran Islam, karena hampir setiap pemikir Islam di masa lalu selalu memiliki bahasan ekskulsif tentang perempuan. Namun dalam beberapa dekade terkahir kembali mencuat, S. Ruhaini Dzuhayatin mensiyalir hal ini salah satunya dipicu oleh konstruk feminisme itu sendiri yang dibangun diatas “kesadaran ketertindasan” kaum perempuan. Dari fenomena tersebut penulis ingin mengurai secara singkat model penafsiran yang berwawasan gender dari pemikiran Nasarudin Umar dalam kapasitasi intelektualnya mufassir muslim Indonesia. B. Biografi Nasaruddin Umar Nasaruddin Umar dilahirkan di ujung Bone, Sulawesi Selatan pada tanggal 23 Juni 1959.2 Ayahnya H. Andi Muhammad Umar adalah seorang guru pada sekolah dasar di kotanya. Sedangkan ibunya Hj. Andi Bunga Tungke sehariharinya disibukkan dengan usaha konfeksi. Bagi Nasaruddin, orang yang paling berjasa dalam hidupnya adalah kedua orang tuanya, karena keduanya sangat disiplin, tegas, dan telaten. Sedangkan kakeknya bernama H. Muhammad Ali Daeng Panturuh adalah seorang pendiri gerakan Muhammadiyah di Sulawesi Selatan, artinya Nasaruddin Umar sendiri secara genologis, memang berasal dari keturunan ulama. Latar belakang pendidikannya bermula dari pesantren, pada usia ketika duduk di kelas III SD. Kemudian ayahnya memindahkan ke pesantren As’adiyah Sengkang. Sedangkan pendidikan formalnya diawali dari sekolah dasar Islam selama 6 tahun sejak 1965-1971. Kemudian ia melanjutkan pendidikannya di sekolah guru agama Islam sampai tahun 1976. Semuanya ditempuh di Pondok Pesantren As’adiyah Sengkang. Kemudian ia melanjutkan studinya di Fakultas Syari’ah IAIN Alauddin Ujung Pandang3. Setelah lulus ia bertugas sebagai staf

2

Nasaruddin Umar, Kodrat Perempuan dalam al-Qur’an (Jakarta: PT. Fikahati Aneska, 2000), hlm.

38. 3 Adapun judul risalah sarjana muda “Pengertian Dewasa Menurut Hukum Posistif dan Hukum Islam” dan memperoleh predikat Sarjana teladan IAIN Alauddin ujung Pandang pada tahun 1980. Sedangkan Sarjana lengkapnya ia peroleh pada tahun 1984 dialmamater yang sama dengan judul skripsi “Islam dan Nasionalisme Indonesia, Analisa tentang Integrasi Syari’ah Islam dalam Pembinaan

100 AT-THARIQ|Volume VIII, (September-Februari 2013)


Zulfikri pengajar di Fakultas Syari’ah IAIN Alauddin Ujung Pandang (1984), selain itu ia juga pernah memangku jabatan, seperti; Pembantu Dekan II Sekolah Tinggi Ilmu Pertanian al-Ghazali Ujung Pandang (1985-1987), Direktur SLTP dan SLTA Pesantren Pondok Madinah Ujung Pandang (1987-1989), dan lain-lain. Setelah PNS penuh, Nasaruddin melanjutkan kembali studinya di IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan menyelesaikan S2-nya tanpa Tesis (karena mencapai nilai amat baik) di program Pascasarjana IAIN Jakarta pada tahun 1992, dan meraih penghargaan Doktor Terbaik di Program Pascasarjana IAIN Jakarta dalam bidang Studi Islam (1999) dengan judul desertasi “Perspektif Jender Dalam alQur’an”, yang kemudian dijadikan buku dengan judul judul “Argumen Kesetaraan Jender Prespektif Al-Qur’an” oleh Paramadina. Ia membutuhkan waktu yang cukup lama untuk menyelesaikan disertasinya tentang, dengan menghabiskan waktu kurang lebih tiga tahun karena ia melakukan riset di 17 Negara di Eropa, Amerika Serikat, Timur Tengah, Asia Tenggara, Jepang, dan Korea. Selama menyelesaikan program Doktor-nya, Nasaruddin telah menjalani Visiting Student di McGill University, Kanada pada tahun 1993 hingga tahun 1994, Visiting Student di Leiden University, Nedherlands pada tahun 1994 hingga tahun 1995 dan mengikuti Sandwich Program di University of Paris pada tahun 1995. Nasaruddin juga melakukan penelitian kepustakaan tentang persoalan gender dibeberapa Perguruan Tinggi di Negara-negara Eropa dan Timur Tengah pada tahun 1993 sampai 1996. Penelitiannya tersebut banyak dibantu oleh Prof. Dr. H.M. Quraish Shihab, MA, dan Dr. H. Johan Hendrik Meuleman, lalu Dr. Faisal Bakti, MA, dan istrinya Isabelle Lecomte, MA, (selama berada di Montreal Kanada), Dr. Alwi Shihab, Ph.D, Dr. Andi Alfian Malaranggeng dan Romo Alex (Amerika Serikat), Ali Murwani, staf perwakilan Indonesia di UNESCO Paris, Bapak Bagiono, Atase Pendidikan dan Kebudayaan di Paris serta Bapak BJ. Habibie yang ketika itu menjabat sebagai Dubes RI di Inggris,dll. Ketika mengikuti Sandwich Program di Universitas Leiden, Nasaruddin Umar menerima surat pindah tugas dari IAIN Alauddin Ujung Pandang ke IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada tahun 1995. Ketika itu Azyumardi Azra terpilih menjadi Rektor IAIN Jakarta, Nasaruddin mengaku tidak mengakui alasan ditunjuknya dirinya mendampingi Azyumardi Azra sebagai pembantu Rektor IV (bidang kerjasama dan hubungan internasional). Sewaktu menjabat sebagai Pembantu Rektor IV, Nasaruddin Umar dipercaya untuk menjadi Ketua Tim Konversi IAIN menjadi Universitas Islam Negeri (UIN). Nasaruddin mengakui bahwa ia menyadari misi ini membutuhkan dana yang tidak sedikit. Karena itu ia mengusulkan agar IAIN Jakarta meminta Hukum Nasional” dan memperoleh predikat Sarjana teladan IAIN Alauddin ujung Pandang pada tahun 1984.

Volume VIII, (September-Februari 2013)| AT-THARIQ 101


Penafsiran Emansipatoris Dalam Al-Qur’an bantuan kepada Islamic Development Bank (IDB). Akhirnya rektor IAIN Syarif Hidayatullah dan pihak Departemen Agama RI tidak keberatan dan Nasaruddin pun ditunjuk sebagai Ketua Tim penjajakan permohonan bantuan ke IDB. Selain itu ia juga mengajar pada Program Pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah, pernah juga menjadi staf Pengajar Program Pascasarjana UI Jurusan Studi Wanita, Staf Pengajar Program Pascasarjana Universitas Paramadinamulya, Staf Pengajar di Yayasan Wakaf Paramadina, dan Staf Pengajar Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi IBII. Ia juga aktif di kegiatan sosial masyarakat, seperti menjabat sebagai direktur dan kontributor Intensice Course and Networking for Islamic Sciences (ICNIS) tahun 1998, Wakil Ketua Yayasan Paramadina, Wakil Ketua Yayasan Padikasih dan salah seorang pendiri Masyarakat Dialog Antar Umat Beragama (MADIA). Ditengah-tengah kesibukannya ia sempat melahirkan beberapa karya berupa buku, diantaranya: Argumen Kesetaraan Jender (Perspektif Al-Qur’an), Teologi Menstruasi, Antropologi Jilbab, Agama dan Kekerasan Terhadap Perempuan, Agama dan Seksualitas, Deradikalisasi Pemahaman Al-Qur’an dan Hadis, Kodrat Perempuan Dalam Islam, dll. Bahkan buku yang disebut pertama telah diterjemahkan ke dalam 11 bahasa dengan sponsor salah satu badan dunia. Kini ia menyibukkan diri mengajar di berbagai Universitas, salah satunya tercatat sebagai salah satu Guru Besar luar biasa yang mengajar mata kuliah agama dan gender di Program Pascasarjana Pusat Kajian Wanita UI dan Program Pascasarjana UIN Jakarta, sebagai Dirjen Bimbingan Masyarakat Islam Departemen Agama RI, Rektor Institut Perguruan Tinggi Ilmu Al-Qur’an (PTIQ) Jakarta, Wakil Direktur Pusat Studi Al-Qur’an Jakarta.4 C. Sekilas Pengertian Term Gender Mayoritas pengertian atau pemahaman yang mengakar di masyarakat ialah mencampuradukkan pengertian “gender” dengan “kodrat”. Sebagai contoh, jika perempuan mengerjakan pekerjaan yang dianggap merupakan pekerjaan laki-laki, maka dianggap menyalahi ‘kodrat’. Sebenarnya, hal ini kurang tepat karena yang dimaksud kodrat lebih pada bentuk kemampuan, kekuasaan, atau sifat bawaan menunjukkan adanya keterlibatan secara aktif dari si pelaku terhadap apa yang bisa dan dapat dilakukannya sendiri, tanpa bergantung pada yang lain (lebih pada inner power)5, dan ini merupakan sifat biologis yang berasal dari Tuhan. Kodrat yang dimiliki seorang perempuan seperti ia memiliki rahim, vagina dan payudara, sedangkan laki-laki memiliki buah zakar, penis dan sperma. Sedangkan 4

Informasi didapatkan dari surat Nasaruddin Umar melalui via email, pada tanggal 15 Maret

5

Nasaruddin Umar, Kodrat Perempuan dalam al-Qur’an,…, hlm. 5.

2010.

102 AT-THARIQ|Volume VIII, (September-Februari 2013)


Zulfikri kemampuan seseorang untuk melakukan suatu pekerjaan, hak seseorang untuk memilih waktu, tempat, dan jenis pekerjaan adalah berkaitan dengan gender. Dalam term gender sendiri pada dasarnya mengandung dua pengertian. Pertama, kata gender secara etimologi berasal dari bahasa Inggris “gender”, yaitu jenis kelamin (sex)6. Kedua, term gender tidak ditujukan kepada perbedaan antara laki-laki dan perempuan secara biologis, tetapi merupakan hubungan ideologis dan material mengenai eksistensi keduanya7. Sedangkan dalam Eksiklopendia Feminis mengartikan gender dengan kelompok atribut dan perilaku yang dibentuk secara kultural yang ada pada laki-laki atau perempuan8. Nasaruddin Umar sendiri memberikan pengertian bahwa gender merupakan suatu konsep yang digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dilihat dari segi sosialbudaya, gender dalam arti ini mendefenisikan laki-laki dan perempuan dari sudut non-biologis9, dan konsep ini melekat pada laki-laki dan perempuan sebagai hasil dari konstruksi budaya dalam kehidupan manusia, sehingga tidak besifat alami. Berbeda jauh gender dalam pengertian “jenis kelamin” (sex) ini digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan secara anatomis dan biologis10, dan ini sesuatu yang dibawa sejak lahir, oleh karenanya lebih bersifat alami dan tidak dapat berubah. Kenyataan biologis yang membedakan dua jenis kelamin ini melahirkan dua teori besar yaitu pertama teori nature, yaitu peran sosial antara laki-laki dan perempuan ditentukan oleh faktor biologis. Perbedaan biologis ini dijadikan dasar untuk menentukan peran sosial antara laki-laki dan perempuan di masyarakat, kedua teori nurture adalah pendapat yang menyatakan bahwa perbedaan peran antara laki-laki dan perempuan lebih ditentukan oleh faktor budaya. Teori ini berkesimpulan bahwa perbedaan psikologis antara laki-laki dan perempuan tercipta melalui proses belajar dari lingkungan11. Secara garis besar teori ini banyak didukung oleh para feminis, yang kemudian pada perkembangannya melahirkan berbagai teori, seperti teori feminis liberal, radikal, sosialis12. 6

John M Echols dan Hassan Shadily. Kamus Inggris Indonesia. (Jakarta:Gramedia, 1983), hlm.

265. Jill Steans, Gender and International Relation, (London: Polity, 1998), hlm. 10. Maggie Humm, Ensiklopedia Feminisme, (Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2002), hlm. 177. 9 Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Jender Perspektif Al-Qur’an (Jakarta: Paramadina, 1999), 7 8

hlm. 35 Lisa Luttle, Encyclopedia of Feminism, (New York: Fact on File Publication, 1986), hlm. 123. Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Jender…hlm 70. 12 Ben Agger, Teori Sosial Kritis, alih bahasa oleh Nurhaidi, cet ke. Ke-3 Juni 2006, (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2006), hlm. 214. Bila dikaitkan dengan konsep-konsep universal dalam Islam, maka Nasaruddin Umar mendapati bahwa teori nature dan nurture tersebut tidak sepenuhnya bisa bahkan agak susah mencovernya. Yang jelas bahwa konsen al-Qur’an bukan “apakah mengacu pada teori-teori yang ada”, namun seberapa jauh teori tersebut sesuai dengan prinsip-prinsip universal Islam, dan al-Qur’an cendrung mempersilahkan kecerdasan-kecerdasan manusia dalam menata pembagian peran antara laki10 11

Volume VIII, (September-Februari 2013)| AT-THARIQ 103


Penafsiran Emansipatoris Dalam Al-Qur’an D. Epsitemologi Pemikiran al-Qur’an Nasaruddin Umar Dalam perspektif teologi feminis terdapat empat elemen yang berpotensi menjadi faktor penting mempengaruhi pembentukan anggapan stereotip terhadap perempuan. Pertama, adanya anggapan bahwa perempuan tercipta hanya sebagai melengkapi hasrat dan keinginan Adam di surga, kedua, tempat di mana manusia pertama telah diciptakan yaitu surga (yang berada di alam ghaib), telah melahirkan perbagai mitos yang menskreditkan perempuan, ketiga, anggapan bahwa perempuan tercipta dari tulang rusuk Adam yang ini memposisikan kedudukan perempuan lebih rendah dari laki-laki, keempat, adanya anggapan bahwa godaan perempuanlah yang menyebabkan terusirnya Adam dari surga ke bumi. Cerita ini telah melahirkan konsep “dosa warisan (original sin)” yang dibebankan kepada wanita13. Kemudian persoalan teologi ini memunculkan pandangan “misoginis”pada perempuan. Dari itu semua Nasaruddin Umar menginisiasi bahwa problem teologis seperti ini mengendap dialam bawah sadar perempuan disepanjang sejarah umat manusia sekian lama hingga perempuan menerima kenyataannya sebagai makhluk the second class/creation, dan ini salah satunya yang menjadi sebuah hambatan untuk mengembangkan penafsiran yang equal. Selain itu juga tradisi pemahaman keagamaan seperti ini diturunkan kepada tradisi intelektual dunia Islam melalui perhubungan Islam dengan budaya Yunani, Hellenisme, Sasania-Parsi, Yahudi, Kristian dan juga warisan adat Jahiliyah yang dipengaruhi Majusi dan Zoroaster. Dalam budaya agama tersebut hubungan laki-laki dan perempuan dominan dikonstruksi oleh mitos. Mulai mitos tulang rusuk tadi hingga mitos-mitos di sekitar menstruasi. Berangkat dari itu semua Nasaruddin Umar mencoba untuk menguraikan dan menjelaskan bahwa anggapan atau konstruk pemikiran yang sebagian dibangun dari teologi dan mitos tersebut bisa diminimalisir dalam memilah dan mengidentifikasi ayat-ayat gender dalam al-Qur’an dengan penjelasan yang ilmiah yang tertuang dalam bentuk penafsiran berwawasan gender. 1. Identitas gender dalam al-Qur’an Didapati dalam al-Qur’an tidak ditemukan kata yang persis sepadan dengan istilah gender. Akan tetapi, jika yang dimaksud gender disini adalah istilah yang dipergunakan untuk menunjukkan perbedaan peran antara laki-laki dan perempuan, maka terdapat beberapa istilah dan ayat-ayat di dalam al-Qur’an yang laki dan perempuan. Dengan demikian manusia menggunakan hak-hak kebebasanya dalam memilih pola pembagian peran laki-laki dan perempuan yang bisa saling menguntungkan, jauh dari lahirnya anggapan stereotip. 13 Bisa dibaca Nasaruddin Umar, Paradigma Baru Teologi Wanita (Malaysia: SISTRES IN ISLAM, 2004), hlm. 5-21.

104 AT-THARIQ|Volume VIII, (September-Februari 2013)


Zulfikri dapat dihubungkan dengan istilah tersebut. Nasaruddin Umar melihat bahwa setiap kata dalam al-Qur’an tidak hanya mempunyai makna literal, ia mencoba menggunakan pendekatan hermeneutika, semantik dalam mengulas ayat-ayat yang berbicara tentang status dan peran laki-laki dan perempuan. Didapati kata kunci untuk mengetahuinya ialah istilah yang sering yang digunakan untuk menyebut laki-laki dan perempuan, seperti kata al-rijāl dan an-nisā, al-zakr dan al-untsā, almar’/al-imru’ dan al-mar’ah, al-zauj (suami), al-zaujah (istri),al-ab (Ayah), al-umm (Ibu), kata sifat yag disandarkan pada bentuk muzakkar dan mu’anats, kata ganti (dhamẃīr)14 dll. Sebagai contoh oleh Nasaruddin Umar mengulas pada padanan kata alrijāl (jamak dari ar-rajul) dan an-nisā, al-zakr dan al-untsā . Seperti istilah yang umum untuk laki-laki adalah al-rajul / ‫ الرجل‬yang terulang sebanyak 57 kali, al-zakr / ‫ الذكر‬yang terulang sebanyak 15 kali, dan untuk perempuan al-Qur’an menggunakan beberapa istilah seperti an-nisā’ / ‫ النساء‬yang terulang sebanyak 57 kali, al-unsā / ‫ األنثى‬terulang sebanyak 30 kali dalam berbagi bentuk, dan imra’ah / ‫ اإلمرأة‬yang terulang sebanyak 26 kali dalam berbagi bentuk, yang masing-masing istilah tersebut mempunyai penekanan tersendiri.15 Ia membedakan padanan kata antara al-rajul / ‫الرجل‬, an-nisā’ / ‫( النساء‬jamak dari kata al-mar’ah) dan kata al-zakr / ‫الذكر‬, al-unsā / ‫األنثى‬. Padanan yang pertama pada umumnya digunakan pada laki-laki dan perempuan yang sudah dewasa atau matang, lebih berkonotasi jender (gender term) dan digunakan untuk menggambarkan kualitas moral dan budaya seseorang, kategori al-rajul menuntut sejumlah kriteria tertentu yang bukan hanya mengacu pada jenis kelamin, tetapi juga pada kualifikasi budaya tertentu terutama sifat-sifat kejantanan (masculinity) bagi laki-laki. Demikian juga dengan kategori an-nisa’ berarti gender perempuan. Sedangkan padanan kata yang kedua (al-zakr / ‫الذكر‬, al-unsa / ‫ ) األنثى‬lebih berkonotasi pada persoalan biologis (sex term) yang penekanannya kepada jenis kelamin, ini bisa juga digunakan untuk menerangkan jenis kelamin binatang (Q.S. al-An’am [6]: 144)16. Kata al-zakr lebih banyak digunakan untuk menyatakan lakilaki dilihat dari faktor biologis (sex), demikian juga dengan kata al-unsa. Bila dilihat Ulasan lebih lanjut mengenai al-zauj (suami), al-zaujah (istri),al-ab (Ayah), al-umm (Ibu), kata sifat yag disandarkan pada bentuk muzakkar dan mu’annats, kata ganti (dhamir) bisa dilihat di Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan...hlm. 173-201. 15 Nasaruddin Umar “Kodrat Perempuan dalam Perspektif al-Qur’an”, dalam K.H.A. Wahid Zaini, Memposisikan Kodrat: Perempuan dan Perubahan dalam Perspektif Islam (Bandung: Mizan, 1999), hlm. 94. 16 Nasaruddin Umar “Kajian Kritis terhadap Ayat-ayat Gender (Pendekatan Hermeneutika), dalam Siti Ruhaini Dzuhayatin, Rekonstruksi Metodologis Wacana Kesetaraan Gender dalam Islam, (Yogyakarta: PSW IAIn Su-Ka, Mc-Gill-ICIHEP & Pustaka Pelajar, 2002), hlm. 118, Lihat juga Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Jender, hlm. 144. 14

Volume VIII, (September-Februari 2013)| AT-THARIQ 105


Penafsiran Emansipatoris Dalam Al-Qur’an dari segi derivasinya dalam kamus dan konteks penggunaanya dalam al-Qur’an kata al-unsa lebih konsisten dari kata al-zakr. Ia juga menyebutkan bahwa dalam naskah-naskah terjemahan bahasa Arab ke bahasa Indonesia tidak dibedakan antara al-rajul / ‫الرجل‬, dan kata al-zakr / ‫الذكر‬. Keduanya diterjemahkan “laki-laki”. Disinilah salah satu benih-benih bias dalam penafsiran muncul17. Kemudian terakhir kata al-mar’ ‫ المرء‬dan imra’ah / ‫اإلمرأة‬, dalam padanan kata tersebut hampir sama dengan al-rajul, an-nisā’, yang digunakan untuk orang atau manusia yang sudah dewasa, yang sudah memilii kecakapan bertindak, atau sudah berumahtangga18. Selain melihat adanya bias dalam memahami makna leksikal bahasa yang dipakai al-Qur’an, Nasaruddin juga mensinyalir adanya bias pada hasil atau pemahaman teks al-Qur’an sendiri. Ia menemukan bahwa bias gender terdapat juga pada pembakuan tanda huruf, tanda baca, qira’at, bias dalam struktur bahasa, bias dalam kamus bahasa Arab, bias dalam metode tafsir, pengaruh isra’iliyyat, bias dalam pembakuan kitab-kitab fiqih, dll19. 3. Prinsip Kesetaraan Gender Menurut Nasaruddin Umar Nasaruddin Umar menawarkan ada beberapa variabel yang dapat digunakan sebagai standar dalam menganalisis prinsi-prinsip kesetaraan antara laki-laki dan perempuan dalam al-Qur’an, diantara variabel-variabel tersebut ialah20 : a. Laki-laki dan Perempuan Sama-sama sebagai Hamba dan khalifah di Bumi Salah satu tujuan penciptaan manusia adalah untuk menyembah kepada Tuhan, sebagaimana disebutkan dalam firman-Nya Q.S. Al-Zāriyāt/51:56 : “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.” Dalam kapasitas manusia sebagai hamba, tidak ada perbedaan antara lakilaki dan perempuan. Keduanya mempunyai potensi dan peluang yang sama untuk menjadi hamba yang ideal. Hamba ideal dalam al-Qur’an biasa diistilahkan dengan orang-orang yang bertakwa (muttaqān), dan untuk mencapai derajat muttaqun ini tidak dikenal adanya perbedaan jenis kelamin, suku bangsa atau kelompok etnis 17 Nasaruddin Umar mendapati terjemahan-terjemahan di al-Qur’an yang berkembang waktu itu tidak ada pembedaan antara ar-rijal dan al-zakr. Sebenarnya mungkin saja fenomena terjemahan seperti ini bisa saja ada di berbagai negara. Sedangkan di Arab sendiri dalam menyikapi padanan kata ini bevariasi pula, contoh al-Asfahani yang membedakan antara padana dua kata tersebut, dan Ibn Katisr, dll. 18 Q.S. ‘Abassa [80]: 34-35 dan Q.S. at-Thur [52]: 21. 19 Alasan dari itu semua bisa di baca dalam Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Jender,..hlm. 268-290. 20 Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Jender ,..hlm. 248-263.

106 AT-THARIQ|Volume VIII, (September-Februari 2013)


Zulfikri tertentu. al-Qur’an menegaskan bahwa hamba yang paling ideal adalah para muttaqun, sebagaimana disebutkan di dalam Firman-Nya Q.S. Al-Hujarāt/49:13 : “Hai manusia, Sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.” Kekhususan-kekhususan yang diperuntukkan kepada laki-laki, seperti seorang suami setingkat lebih tinggi diatas isteri, laki-laki pelindung bagi perempuan, memperoleh warisan lebih banyak, menjadi saksi yang efektif, dan diperkenankannya berpoligami bagi mereka yang memenuhi syarat tetapi ini semua tidak menyebabkan laki-laki menjadi hamba-hamba utama. Kelebihankelebihan tersebut diberikan kepada laki-laki dalam kapasitasnya sebagai anggota masyarakat yang memiliki peran publik dan sosial lebih ketika ayat-ayat al-Qur’an diturunkan. Selanjutnya, maksud dan tujuan penciptaan manusia di muka bumi ini adalah, disamping untuk menjadi hamba (‘abd) yang tunduk patuh serta mengabdi kepada Allah Swt, juga untuk menjadi khalifah di bumi (khalifah fi al-ard). Kapasitas manusia sebagai khalifah di bumi, Q.S. Al-An’am/6:165: “Dan Dia-lah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi dan dia meninggikan sebahagian kamu atas sebahagian (yang lain) beberapa derajat, untuk mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu. Sesungguhnya Tuhanmu amat cepat siksaan-Nya dan Sesungguhnya dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” Dalam ayat lain disebutkan, Q.S. Al-Baqarah/2:30 : “Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui." Kata khalifah dalam kedua ayat di atas tidak menunjuk kepada salah satu jenis kelamin atau kelompok etnis tertentu. Laki-laki dan perempuan mempunyai fungsi yang sama sebagai khalifah, yang akan dipertanggungjawabkan tugas-tugas kekhalifahannya di bumi, sebagaimana halnya mereka harus bertanggung jawab sebagai hamba Tuhan. b. Adam dan Hawa Sama-sama Terlibat Secara Aktif dalam Drama Kosmis Semua ayat yang menceritakan tentang drama kosmis, yakni cerita tentang keadaan Adam dan pasangannya di surga sampai ke luar bumi, selalu menekankan kedua belah pihak secara aktif dengan menggunakan kata ganti untuk dua orang Volume VIII, (September-Februari 2013)| AT-THARIQ 107


Penafsiran Emansipatoris Dalam Al-Qur’an (humā), yakni kata ganti untuk Adam dan Hawa, seperti dapat dilihat dalam beberapa kasus berikut ini: 1) Keduanya diciptakan di surga dan memanfaatkan fasilitas surga disebutkan dalam Q.S. Al-Baqarah/2:35: “Dan kami berfirman: "Hai Adam, diamilah oleh kamu dan isterimu surga ini, dan makanlah makanan-makanannya yang banyak lagi baik dimana saja yang kamu sukai, dan janganlah kamu dekati pohon ini, yang menyebabkan kamu termasuk orang-orang yang zalim.” 2) Adam dan Hawa mendapat kualitas godaan yang sama dari setan yang disebutkan dalam Q.S. al-A’rāf/7:20: “Maka syaitan membisikkan pikiran jahat kepada keduanya untuk menampakkan kepada keduanya apa yang tertutup dari mereka yaitu auratnya dan syaitan berkata: "Tuhan kamu tidak melarangmu dan mendekati pohon ini, melainkan supaya kamu berdua tidak menjadi malaikat atau tidak menjadi orangorang yang kekal (dalam surga)". 3) Keduanya memakan buah khuldi dan sama-sama menerima akibat jatuh ke bumi, sebagaimana disebutkan dalam Q.S. Al-A’rāf/7:22: “Maka syaitan membujuk keduanya (untuk memakan buah itu) dengan tipu daya. tatkala keduanya telah merasai buah kayu itu, nampaklah bagi keduanya auratauratnya, dan mulailah keduanya menutupinya dengan daun-daun surga. Kemudian Tuhan mereka menyeru mereka: "Bukankah Aku Telah melarang kamu berdua dari pohon kayu itu dan Aku katakan kepadamu: "Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagi kamu berdua?" 4) Keduanya memohon ampun dan sama-sama diampuni Tuhan, yang disebutkan dalam Q.S. Al-A’rāf/7:23: “Keduanya berkata: "Ya Tuhan kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri, dan jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya pastilah Kami termasuk orang-orang yang merugi. 5) Setelah di bumi, keduanya mengembangkan keturunan dan saling melengkapi serta saling membutuhkan, sebagaimana disebutkan dalam Q.S. Al-Baqarah/2:187: “Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan isteriisteri kamu; mereka adalah pakaian bagimu, dan kamupun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, Karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi ma'af kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang Telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri'tikaf dalam mesjid. 108 AT-THARIQ|Volume VIII, (September-Februari 2013)


Zulfikri Itulah larangan Allah, Maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa. Pernyataan-pernyataan dalam al-Qur’an diatas, tampak berbeda dengan pernyataan dalam al-kitab yang membebankan kesalahan lebih berat kepada Hawa. Dalam ayat-ayat tersebut di atas, Adam dan Hawa disebutkan secara bersama-sama sebagai pelaku dan tanggung jawab terhadap drama kosmis tersebut. Didapati adanya generalisasi dalam penjelasan Nasaruddin Umar, kalau seandainya Nasaruddin Umar konsisten terhadap apa yang ia nyatakan yaitu kata “Adam dan Hawa” selalu menekankan kedua belah pihak secara aktif dengan menggunakan kata ganti untuk dua orang humā, maka hal tersebut (humā) dalam drama kosmis tersebut didapati hanya dua ayat pada poin ke-2 dan 3, disayangkan ia hanya sekedar memaparkan kronologis drama kosmis tersebut. c. Laki-laki dan Perempuan Menerima Perjanjian Primodial Laki-laki dan perempuan sama-sama mengemban amanah dan menerima perjanjian primodial dengan Tuhan. Seperti diketahui, menjelang seorang anak manusia keluar dari rahim ibunya, ia terlebih dahulu harus menerima perjanjian dengan Tuhannya, Q.S. Al-A’rāf/7:172 : “Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi> mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah Aku Ini Tuhanmu?" mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi". (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap Ini (keesaan Tuhan)". Menurut Fakhruddin al-Rāzi, tidak seorangpun anak manusia lahir di muka bumi ini yang tidak berikrar akan keberadaan Tuhan, dan ikrar mereka disaksikan oleh para malaikat. Tidak ada seorangpun yang mengatakan “tidak”. Dalam Islam, tanggung jawab individual dan kemandirian berlangsung sejak dini, yaitu semenjak dalam kandungan. Sejak awal sejarah manusia, dalam Islam tidak dikenal adanya diskriminasi jenis kelamin. Laki-laki dan perempuan sama-sama menyatakan ikrar ketuhanan yang sama. Rasa percaya diri seorang perempuan dalam Islam semestinya terbentuk sejak lahir, karena sejak awal tidak diberikan beban khusus berupa “dosa warisan”, seperti yang dikesankan di dalam Yahudi-Kristen. Kedua ajaran ini memberikan citra negatif begitu seorang lahir sebagai perempuan, karena jenis kelamin perempuan selalu dihubungkan dengan drama kosmis, yang mana Hawa dianggap terlibat di dalam kasus keluarnya Adam dari surga, sebagaimana disebutkan dalam al-kitab: Manusia itu menjawab: Perempuan yang Kau tempatkan disisiku, dialah yang memberi dari buah pohon itu kepadaku, maka kumakan (Kitab Kejadian/3:12). Volume VIII, (September-Februari 2013)| AT-THARIQ 109


Penafsiran Emansipatoris Dalam Al-Qur’an Sebagai akibat terhadap kesalahan perempuan itu, maka kepadanya dijatuhkan semacam sanksi sebagaimana desebutkan dalam Kitab Kejadian/3:16: Firman-Nya kepada perempuan itu: Susah payahmu waktu mengandung akan kubuat sangat banyak; dengan kesakitan engkau akan melahirkan anakmu; namun engkau akan birahi kepada suamimu dan ia akan berkuasa atasmu. Dalam Talmud, sebagaimana dikutip oleh Nasaruddin Umar, disebutkan bahwa akibat pelanggaran Hawa/Eva di Surga maka kaum perempuan secara keseluruhan akan menanggung 10 beban penderitaan : 1) Perempuan akan mengalami siklus menstruasi, yang sebelumnya tidak pernah dialami Hawa 2) Perempuan yang pertama kali melakukan persetubuhan akan merasakan rasa sakit 3) Perempuan akan mengalami penderitaan dalam mengasuh dan memelihara anak-anaknya. Anak-anak membutuhkan perawatan, pakaian, kebersihan, dan pengasuhan sampai dewasa. Ibu merasa risih manakala pertumbuhan anakanaknya tidak seperti yang diharapkan. 4) Perempuan akan merasa malu terhadap tubuhnya sendiri 5) Perempuan akan merasa tidak leluasa bergerak ketika kandungannya berumur tua 6) Perempuan akan merasa sakit pada waktu melahirkan 7) Perempuan tidak boleh mengawini lebih dari satu laki-laki 8) Perempuan masih akan merasakan keinginan hubungan seks lebih lama sementara suaminya sudah tidak kuat lagi 9) Perempuan sangat berhasrat melakukan hubungan seks dengan suaminya, tetapi amat berat menyampaikan hasrat itu kepadanya. 10) Perempuan lebih suka tinggal dirumah.21 Adapun kutukan yang ditimpakan kepada laki-laki, dan ini menarik untuk diperhatikan adalah sebagai berikut: 1) Sebelum terjadi kasus pelanggaran (spiritual decline) postur tubuh laki-laki lebih tinggi daripada bentuk normal sesudahnya 2) Laki-laki aka merasa lemah jika ejakulasi 3) Bumi akan ditumbuhi banyak pohon berduri 4) Laki-laki akan merasa susah dalam memperoeh mata pencarian 5) Laki-laki perbah makan rumput di lapangan rumput bersama binatang ternak, tetapi Adam memohon kepada Tuhan agar kutukan yang satu ini dihilangkan 21 Nasaruddin Umar, Paradigma Baru Teologi Wanita,‌hlm. 22. Lihat Juga Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Jender‌,hlm. 255-256.

110 AT-THARIQ|Volume VIII, (September-Februari 2013)


Zulfikri 6) Laki-laki akan makan makanan dengan mengeluarkan keringat di alisnya 7) Adam kehilangan tampan menakjubkan yang telah diberikan Tuhan kepadanya 8) Ditinggalkan oleh ular yang sebelumnya telah menjadi pembantu setia lakilaki 9) Adam dibuang dari taman surga dan kehilangan status sebagi penguasa jagat raya 10) Laki-laki diciptakan dari debu dan akan kembali menjadi debu. Ia ditakdirkan untuk mati dan dikubur. Kutukan yang ditimpakan kepada kaum laki-laki, selain lebih lunak, langsung atau tidak langsung menimpa juga kepada kaum perempuan. Sebaliknya kutukan terhadap perempuan lebih berat dan permanen, dan hanya dialaminya sendiri, tidak dialami kaum laki-laki. Meskipun dalam Kristen dan Yahudi mempunyai banyak persamaan kultur, tetapi kutukan tersebut tidak umum diakui dalam tradisi Kristen. Berbeda dengan al-Qur’an yang mempunyai pandangan lebih positif terhadap manusia. al-Qur’an menegaskan bahwa Allah SWT memuliakan seluruh anak cucu Adam, sebagimana disebutkan dalam al-Qur’an Q.S. Al-Isrā’/17:70 : “Dan Sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, kami angkut mereka di daratan dan di lautan, kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang Sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah kami ciptakan”. Kata bani Adam dalam ayat ini menunjukkan kepada seluruh anak cucu Adam, tanpa membedakan jenis kelamin, suku bangsa, dan warna kulit. Dalam alQur’an tidak pernah ditemukan satu ayat-pun yang menunjukkan keutamaan seseorang karena faktor jenis kelamin atau karena keturunan suku bangsa tertentu. Kemandirian dan otonomi perempuan dalam tradisi Islam sejak awal terlihat begitu kuat. Perjanjian, bai’at, sumpah dan nazar yang dilakukan oleh perempuan mengikat dengan sendirinya sebagaimana halnya laki-laki. Dalam tradisi YahudiKristen, seorang perempuan hidup dalam pangkuan ayah, maka perjanjian, sumpah, dan nazarnya dapat digugurkan oleh ayah yang bersangkutan. Jika seorang perempuan hidup di dalam pangkuan suaminya, maka perjanjian, sumpah, dan nazar seorang perempuan dapat digugurkan oleh suami. Sebaliknya di dalam tradisi Islam, perempuan mukallaf dapat melakukan berbagai perjanjian, sumpah dan nazar, baik kepada sesama manusia maupun kepada Tuhan. Tidak ada suatu kekuatan yang dapat menggugurkan janji, sumpah, dan nazar mereka sebagaimana ditegaskan dalam al-Qur’an, Q.S. Al-Māidah/5:89: “Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu Volume VIII, (September-Februari 2013)| AT-THARIQ 111


Penafsiran Emansipatoris Dalam Al-Qur’an sengaja, Maka kaffarat (melanggar) sumpah itu, ialah memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi Pakaian kepada mereka atau memerdekakan seorang budak. barang siapa tidak sanggup melakukan yang demikian, Maka kaffaratnya puasa selama tiga hari. yang demikian itu adalah kaffarat sumpah-sumpahmu bila kamu bersumpah (dan kamu langgar). dan jagalah sumpahmu. Demikianlah Allah menerangkan kepadamu hukum-hukum-Nya agar kamu bersyukur (kepada-Nya).” Pernyataan ayat ini jelas sekali berbeda dengan pernyataan al-kitab yang mengisyaratkan subordinasi perempuan dari laki-laki, yakni anak perempuan dalam subordinsi dari ayahnya dan istri subordinasi dari suaminya. Dalam tradisi Islam, ayah dan suami mempunyai otoritas khusus tetapi tidak sampai mencampuri urusan komitmen pribadi seorang perempuan dengan Tuhannya. Bahkan dalam ursan-urusan keduniaan pun permepuan perempuan memperoleh hak-hak, sebagaimana halnya diperoleh laki-laki. Suatu ketika Nabi Muhammad SAW didatangi oleh sekelompok perempuan untuk menyatakan dukungan politik (bai’at), maka peristiwa langka ini menyebabkan turunnya ayat al-Qur’an surat AlMumtahanah/60:12 : “Hai Nabi, apabila datang kepadamu perempuan-perempuan yang beriman untuk mengadakan janji setia, bahwa mereka tiada akan menyekutukan Allah, tidak akan mencuri, tidak akan berzina, tidak akan membunuh anak-anaknya, tidak akan berbuat dusta yang mereka ada-adakan antara tangan dan kaki mereka dan tidak akan mendurhakaimu dalam urusan yang baik, Maka terimalah janji setia mereka dan mohonkanlah ampunan kepada Allah untuk mereka. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” d. Laki-laki dan Perempuan Sama-sama Berpotensi Meraih Prestasi Peluang untuk meraih prestasi maksimum tidak ada perbedaan antara lakilaki dan perempuan, hal ini ditegaskan secara khusus di dalam beberapa ayat berikut, Q.S. Ali-Imrān/3:195 : “Maka Tuhan mereka memperkenankan permohonannya (dengan berfirman): "Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal di antara kamu, baik laki-laki atau perempuan, (karena) sebagian kamu adalah turunan dari sebagian yang lain. Maka orang-orang yang berhijrah, yang diusir dari kampung halamannya, yang disakiti pada jalan-Ku, yang berperang dan yang dibunuh, Pastilah akan Ku-hapuskan kesalahankesalahan mereka dan Pastilah Aku masukkan mereka ke dalam surga yang mengalir sungai-sungai di bawahnya, sebagai pahala di sisi Allah. dan Allah pada sisi-Nya pahala yang baik." Dan Q.S. An-Nisā’/4:124 : “Barangsiapa yang mengerjakan amal-amal saleh, baik laki-laki maupun wanita 112 AT-THARIQ|Volume VIII, (September-Februari 2013)


Zulfikri sedang ia orang yang beriman, Maka mereka itu masuk ke dalam surga dan mereka tidak dianiaya walau sedikitpun.” Dan Q.S. An-Nahl/16:97 : “Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, Maka Sesungguhnya akan kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan Sesungguhnya akan kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang Telah mereka kerjakan.” Dan Q.S. Al-Mu’min/40:40 : “Barangsiapa mengerjakan perbuatan jahat, Maka dia tidak akan dibalasi melainkan sebanding dengan kejahatan itu. dan barangsiapa mengerjakan amal yang saleh baik lakilaki maupun perempuan sedang ia dalam keadaan beriman, Maka mereka akan masuk surga, mereka diberi rezki di dalamnya tanpa hisab.” Ayat-ayat tersebut mengisyaratkan konsep kesetaraan ideal antara laki-laki dan perempuan, dan memberikan ketegasan bahwa prestasi indvidual, baik dalam bidang spiritual maupun urusan karir profesional, mesti dimonopoli atau didominasi oleh salah satu jenis kelamin saja. Laki-laki dan perempuan mendapat kesempatan yang sama dalam meraih prestasi optimal. Namun, dalam realitas masyarakat, konsep ideal ini membutuhkan tahapan dan sosialisasi, karena masih terdapat sejumlah kendala, terutama kendala budaya yang sulit diselesaikan. Padahal salah satu obsesi al-Qur’an ialah terwujudnya keadilan di dalam masyarakat. Keadilan dalam al-Qur’an mencakup segala segi kehidupan umat manusia, baik sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat. Karena itu, al-Qur’an tidak mentolerir segala bentuk penindasan dan diskriminasi, baik berdasarkan kelompok, etnis, warna kulit, suku bangsa, dan kepercayaan maupun berdasarkan jenis kelamin. Jika terdapat suatu hasil pemahaman atau penafsiran yang bersifat menindas atau menyalahi nilai-nilai luhur kemanusiaan, maka hasil pemahaman dan penafsiran itu terbuka peluang untuk diperdebatkan atau harus di tafsir ulang. Dari uraian di atas, terlihat bahwa Nasaruddin Umar dalam kajiannya ini berusaha untuk menunjukkan secara lebih komprehensif tentang konsep gender dalam al-Qur’an, sehingga memungkinkan untuk mensejajarkan laki-laki dan perempuan dalam posisi yang setara, berkeadilan, dan egaliter. Dalam hal ini seakan-akan Nasaruddin Umar menegaskan bahwa secara substansial al-Qur’an tidak membedakan antara laki-laki dan perempuan, walaupun adanya membedakan, perbedaan ini hanya dari segi fungsi yang sifatnya kondisional. Pandangan diskriminatif itu muncul bukan karena konsep al-Qur’an yang diskriminatif terhadap perempuan, tetapi justru karena adanya unsur-unsur lain yang menyebabkan terjadinya bias dalam menafsirkan al-Qur’an.

Volume VIII, (September-Februari 2013)| AT-THARIQ 113


Penafsiran Emansipatoris Dalam Al-Qur’an E. Penafsiran Emansipatoris ala Nasaruddin Umar Berangkat dari model epistemologi dan prinsip pemikiran penafsiran yang dikenalkan Nasaruddin Umar, penulis mencoba mengetengahkan model penafsiran berwawasan gender yang bisa meminimalisir munculnya presespsi stereotip pada perempuan, dimana itu semua kemudian bisa berujung pada perlakuan hukum dan pemberian beban sosial budaya kepada masyarakat, khususnya perempuan. Didapati ada beberapa ayat krusial yang cenderung memberikan kesan keutamaan kepada laki-laki22, bisa jadi ayat tersebut merujuk pada beban sosial (dari fungsi dan perannya) berdasarkan jenis kelamin (gender roles) dikala itu, karena pada umumnya ayat-ayat mengenai perempuan memiliki asbāb nuzul (historical characteristic). Lagi pula ayat tersebut berbicara persoalan yang detail, dan umumnya ayat-ayat seperti itu dimaksudkan untuk mendukung dan mewujudkan tujuan umum (maqasid) ayat-ayat yang berbicara tema-tema pokok (esensial) seperti mewujudkan keadilan (Q.S. an-Nahl [16]: 90), meng-Esakan Tuhan (Q.S. al-Ikhlas [112]: 1-40, amanah (Q.S. an-Nisā [4]: 58) dll. Jika diperhatikan ayat-ayat yang turun berkenaan dengan persoalan perbudakan, kewarisan, poligami, dll runtut turunnya ayat mengarah pada suatu tujuan, yaitu mewujudkan keadilan, dan menegakkan amanah dalam masyarakat23. Sebagai contoh dia mengutip sejumlah ayat pokok yang berhubungan dengan status perempuan dalam al-Qur’an. Termasuk dalam hal ini mengenai kepemimpian perempuan Surat an-Nisā’ [4]:34. Sebagian ulama seperti al-Razi, misalnya, di dalam tafsirnya mengatakan bahwa kelebihan laki-laki atas perempuan meliputi dua hal: ilmu pengetahuan/akal pikiran (al-‘ilm) dan kemampuan (alqudrah). Artinya, akal dan pengetahuan laki-laki melebihi akal dan pengetahuan perempuan, dan bahwa untuk pekerjaan-pekerjaan keras laki-laki lebih sempurna.24 Nasaruddin Umar mengesankan bahwa ayat ini dalam tidak tepat dijadikan alasan untuk menolak perempuan menjadi pemimpin di dalam masyarakat. Ia merujuk pada pendapat Muhammad Abduh dalam al-Manar yang menyebutkan bahwa surat an-Nisā’ ayat 34 tersebut tidak memutlakkan kepemimpinan laki-laki terhadap perempuan, karena ayat tersebut tidaklah menggunakan kata َ‫ ما فَضلَ ُهم ي ِهن‬atau ‫( بتفضيلهم عليهن‬oleh karena Allah telah Seperti ayat warisan (Q.S. an-Nisa> [4]: 11), persaksian (Q.S. al-Baqarah [2]: 228 dan Q.S. an-Nisa> [4]: 34), dan kepemimpinan (Q.S. an-Nisa> [4]: 34). 23 Nasaruddin Umar, “Perspektif Jender dalam Islam”, dalam Paramadina, Vol I, No. 1, JuliDesember 1998, hlm. 112. 24 Fakhr al-Di>n al-Ra>zi, al-Tafsi>r al-Kabi>r, (Kairo: Maktabah al-Nahdan al-Misriyyah, 1938), hlm. 88. 22

114 AT-THARIQ|Volume VIII, (September-Februari 2013)


Zulfikri memberikan kelebihan kepada laki-laki) tersebut tetapi menggunakan kata ‫بما فضل‬ ‫( هللا بعضهم على بعض‬oleh karena Allah memberikan kelebihan diantara mereka di atas sebagian yang lain). Selanjutnya Ia memperkuat argumennya dengan pendapat Quraish Shihab yang beliau mengisyaratkan kemungkinan perempuan menjadi pemimpin di dalam masyarakat dengan mengutip Q.S. At-Taubah/9:71: “Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma'ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” Sebagaimana dikutip Nasaruddin Umar, kaata awliyā’ dalam ayat ini menurut Quraish Shihab mencakup kerjasama, bantuan, dan penguasaan; sedangkan “menyuruh mengerjakan yang ma’ruf” mencakup segala segi kebaikan, termasuk memberi masukan dan kritik terhadap penguasa.25 Selanjutnya ayat ini menggunakan kata al-rijāl (gender term), yang menunjuk kepada kapasitas tertentu yang dibebankan budaya terhadap laki-laki tertentu, bukannya menggunakan kata al-zakr (sex term), yang lebih menunjuk kepada setiap orang yang berjenis kelamin laki-laki. dan ayat ini turun dalam konteks keluarga (domestik). Berdasarkan pemahaman ini, maka bisa saja seseorang yang secara biologis dikategorikan sebagai perempuan, tetapi dari sudut gender dapat berperan sebagai laki-laki atau sebagai perempuan. Dengan demikian konsep dan manifestasi dari relasi gender tersebut lebih dinamis serta memiliki kelenturan dengan mempertimbangkan variabel psiko-sosial yang berkembang. Bila melihat sejarah pada masa Nabi dan sahabat kaum perempuan telah diajak bermusyawarah pada semua tingkatan, kaum perempuan diminta pendapatnya sebelum membuat keputusan-keputusan yang sangat penting.26 Bahkan di antara ulama seperti Ibnu Hazm menyatakan bahwa tidak ada larangan dalam Islam bagi seorang perempuan untuk menduduki jabatan apapun, walaupun selain sebagai khalifah dan kepala negara.27 Hal legalisasi kegiatan politik ini bagi kaum perempuan tergambar dalam al-Qur’an surat AlMumtahanah/60:12: Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Jender, hlm. 150-151. Hal ini tergambar dalam riwayat yang menceritakan bahwa Nabi pernah menerima delegasi kaum perempuan yang mengadukan kasus-kasus mereka kepada beliau. Diantaranya adalah Asma’ binti Yazid al-Anshari yang merupakan seorang perempuan terkemuka. Ia berbicara dan berargumen atas nama orang-orang perempuan muslim sebayanya, dan Nabi Saw selalu mendorongnya dan menyatakan kekaguman beliau pada kepribadiannya yang kuat. Lihat Haifa A. Jawad, Otentitas Hak-Hak Perempuan; Perspektif Islam atas Kesetaraan Jender (Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2002), hlm. 272. 27 Muhammad al-Ghazali, al-Sunnah al-Nabawiyah baina ahl al-Fiqh wa ahl al-Hadis (Beirut: Dar al-Shuruq, 1989), hlm. 47-48. 25 26

Volume VIII, (September-Februari 2013)| AT-THARIQ 115


Penafsiran Emansipatoris Dalam Al-Qur’an “Hai Nabi, apabila datang kepadamu perempuan-perempuan yang beriman untuk mengadakan janji setia, bahwa mereka tiada akan menyekutukan Allah, tidak akan mencuri, tidak akan berzina, tidak akan membunuh anak-anaknya, tidak akan berbuat dusta yang mereka ada-adakan antara tangan dan kaki mereka dan tidak akan mendurhakaimu dalam urusan yang baik, Maka terimalah janji setia mereka dan mohonkanlah ampunan kepada Allah untuk mereka. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. Istri-istri Nabi, terutama Aisyah, ia termasuk orang yang terpercaya sebagi sumber rujukan hukum, ia ikut serta memperjuangkan Islam dan menjalankan peran politik penting.28 Selain Aisyah dalam riwayat juga disebutkan kisah tentang ratu Balqis. Ratu Balqis adalah simbol kepemimpinan perempuan dalam alQur’an. Ratu Balqis dilukiskan sebagai "pemilik kerajaan superpower"29. Setidaknya, al-Qur’an mengisyaratkan dan sekaligus mengakui keberadaan perempuan sebagai pemimpin. Kita diingatkan bahwa di dalam al-Qur’an pernah ada tokoh perempuan yang mengendalikan kekuasaan besar dan di sekelilingnya banyak tokoh laki-laki. Dan ratu Balqis mendapatkan bintang penghargaan sebagai "Laha 'arsyun 'azim".30 Pengalaman ratu Balqis ini juga mendukung pernyataan ayat-ayat lain yang memberikan kesempatan kepada kaum perempuan untuk menjadi pemimpin, seperti tertera dalam Q.S. at-Taubah (9:71) yaitu: "Dan orang-orang yang beriman, laki-laki dan perempuan, sebagian mereka adalah 'pemimpin' bagi sebagian yang lain, mereka menyuruh mengerjakan yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar...". Ayat ini mengisyaratkan kemungkinan laki-laki dan perempuan dapat menjadi penguasa/pemimpin atau beroposisi dalam arti menyeru kepada kebenaran dan mencegah kebatilan. Perempuan diidealisasikan memiliki kemandirian politik dan kemandirian ekonomi guna memperoleh kehidupan yang layak. Perempuan dan laki-laki mempunyai kapasitas yang sama sebagai hamba dan khalifah. Dalam hal pembagian warisan. Penulis berasumsi Nasaruddin Umar tidak begitu mengulas secara detail, apalagi tentang formulasi pembagaian harta warisan 2:1. Ia hanya menyinggung sedikit mengenai persoalan ini. Seperti contoh Q.S. anNisa [4]; 731 dan ayat 3232. Umar menjelaskan kata an-nisa dalam ayat tersebut Haleh Asfar, “Islam and Feminism: An Analysis of Political Strategies” dalam Mai Yamani, Feminism and Islam: Legal and Literary Perspectives (USA: New York University Perss, 1996), hlm. 199. 29 Q.S. an-Naml (27). 23. 30 Informasi didapatkan dari surat Nasaruddin Umar melalui via email, pada tanggal 15 Maret 2010. 31 “Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan.” (Q.S. an-Nisa [4]; 7). 32 “Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebahagian kamu lebih banyak dari sebahagian yang lain. (karena) bagi orang laki-laki ada bahagian dari pada apa yang mereka usahakan, 28

116 AT-THARIQ|Volume VIII, (September-Februari 2013)


Zulfikri menunjukkan jender perempuan. Porsi pembagian hak dalam ayat ini tidak semata-mata ditentukan oleh realitas biologis sebagai perempuan atau laki-laki, melainkan berkaitan erat dengan realitas gender yang ditentukan oleh faktor budaya yang bersangkutan. Ada atau tidaknya warisan ditentukan oleh keberadaan seseorang. Begiru seseorang lahir dari pasangan muslim yang sah, apapun jenis kelaminnya, dengan sendirinya langsung menjadi ahli waris. Sementara itu besar kecilnya porsi pembagian peran ditentukan oleh faktor eksternal, atau menurut istilah ayat ini ditentukan oleh usaha yang bersangkutan (iktasabu dan mimāktasabna)33. Dari pernyataan ini, penulis agaknya berasumsi bahwa formulasi 2:1 tersebut tidaklah bermasalah. Sebagaimana komentar Quraish Shihab34 bahwa Dalam konteks waris, prinsip dasarnya laki-laki dan perempuan adalah dua jenis manusia yang harus diakui, suka atau tidak suka, berbeda (dalam bahasa Nasaruddin Umar perbedaan bilogis). Sangat sulit menyatakan keduanya sama, lewat pembuktian agama maupun ilmu pengetahuan. “Mempersamakannya hanya akan menciptakan jenis manusia baru, bukan lelaki bukan pula perempuan”, tegasnya. Perbedaan (distinction) itulah yang menyebabkan perbedaan fungsi, seperti patokan umum “fungsi utama yang diharapkan menciptakan alat”. Pisau dibikin tajam karena berfungsi untuk memotong. Sebaliknya, bibir gelas dibikin halus karena berfungsi untuk minum. Fungsi apa yang akan diharapkan akan menentukan seperti apa alat itu dibikin. Laki-laki dan perempuan memiliki kodrat, fungsi, dan tugas yang berbeda. Karena perbedaan inilah “alat” (hak) untuk keduanya juga berbeda. Selanjutnya dalam konteks perbedaan itu, laki-laki diwajibkan membayar mahar dan menanggung nafkah istri dan anak-anaknya, berbeda dengan perempuan. Dengan analogi “perimbangan”, Shihab menjelaskan, jika “fungsi” (kewajiban) yang sesuai dengan kodratnya itu kemudian diimbangi dan memenuhi rasa keadilan dengan memberi laki-laki “alat” (hak) waris dua kali bagian perempuan, maka perimbangan ini memenuhi rasa keadilan. Bahkan, secara matematis, al-Qur’an tampak lebih berpihak kepada perempuan yang lemah. dan bagi Para wanita (pun) ada bahagian dari apa yang mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui segala sesuatu.” (Q.S. an-Nisa [4]; 32). 33 Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Jender, hlm. 161. 34 Penulis memilih Quraish Shihab, karena Nasaruddin Umar secara akademis atau konteks sistem pengetahuan yang menyertainya adalah orang-orang yang memberi pengaruh besar terhadap pengembangan studi keislaman, khususnya isu-isu pemberdayaan dan penguat hak-hak asasi manusia dalam bingkai semangat agama. Seperti tokoh-tokoh ternama yaitu Quraish Shihab, Azyumardi Azra, Nurcholis Majid, dan lain-lain. Selain itu juga bisa di cek dalam; Fatimah, “Prinsip-Prinsip Kesetaraan Gender dalam Al Qur’an dan Implikasinya Terhadap Kepemimpinan Keluarga (Studi Buku Nasaruddin Umar; Argumen kesetaraan Jender Perspektif Al-Qur’an)”. Skripsi Fakultas Syariah UIN Sunan Kalijaga. Yogyakarta. 2002.

Volume VIII, (September-Februari 2013)| AT-THARIQ 117


Penafsiran Emansipatoris Dalam Al-Qur’an Mengutip al-Sya’râwî, ia menjelaskan bahwa laki-laki membutuhkan istri, tetapi ia harus membelanjainya, bahkan harus mencukupinya. Sebaliknya, perempuan juga membutuhkan suami, tetapi ia tidak wajib membelanjainya, bahkan ia harus dicukupi keperluannya. Jika laki-laki harus membelanjai istrinya, atas dasar keadilan dengan pembagian rata, bagian yang diterimanya dua kali lipat itu sebenarnya ditetapkan al-Qur’an untuk memenuhi keperluan diri dan istrinya. Seandainya, laki-laki tidak wajib membelanjai istrinya, tentu saja, setengah dari bagiannya sudah dapat memenuhi keperluan dirinya. Di sisi lain, perempuan dengan satu bagian itu dapat memenuhi keperluannya, seandainya ia belum menikah, dan jika telah menikah ia dibelanjai oleh suaminya, sehingga satu bagian yang diperolehnya bisa disimpan. Jadi, dua bagian untuk laki-laki dibagi habis, sedangkan satu bagian perempuan masih utuh35. Selanjutnya apa yang ditandas oleh Nasaruddin Umar sebagai “besar kecilnya porsi pembagian peran ditentukan oleh faktor eksternal atau apa yang usaha yang bersangkutan (iktasabuu) dalam artian bahwa laki-laki membutuhkan istri, tetapi ia harus membelanjainya, bahkan harus mencukupinya. Sebaliknya, perempuan juga membutuhkan suami, tetapi ia tidak wajib membelanjainya, bahkan ia harus dicukupi keperluannya. F. Kontribusi Pemikiran bagi Kesetaraan Gender di Indonesia Dari model pemikiran Nasaruddin Umar tersebut mengesankan bahwa adanya kecenderungan perhatian dari intelektual muslim Indonesia untuk mengangkat dan membongkar kembali konsep-konsep teologis yang dianggap “baku” tertanam di bawah alam sadar manusia, khususnya perempuan. Nasaruddin Umar merupakan bagian aliran feminis muslim Indonesia yang mempunyai karakteristik lokal yang berusaha untuk menjawab ketegangan antara wahyu dan akal, idealisme dan realisme yang sedang berkembang di masyarakat, perspektif al-Qur’an. Bila di kategorikan lagi pemiiran Nasaruddin Umar bisa digolongkan dalam teori feminis liberal. Karena secara umum adanya kemiripan kerangka pikir yaitu, teori ini berasumsi bahwa pada dasarnya tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Karena itu perempuan harus mempunyai hak yang sama dengan laki-laki. Meskipun demikian, kelompok feminis liberal menolak persamaan secara menyeluruh antara laki-laki dan perempuan. Dalam beberapa hal masih tetap ada pembedaan (distinction) antara laki-laki dan perempuan. Bagaimanapun juga, fungsi organ reproduksi bagi perempuan

35 Saifudin, “Relasi Gender Dalam Khazanah Tafsir Nusantara: Studi Perbandingan Tafsir Tarjumân al-Mustafîd karya ‘Abd al-Rauf Singkel dan al-Mishbâh karya M. Quraish Shihab”. Makalah Makalah disampaikan pada Annual Conference on Islamic Studies, yang diselenggarakan di Surakarta, 2-5 November 2009

118 AT-THARIQ|Volume VIII, (September-Februari 2013)


Zulfikri membawa konsekuensi logis dalam kehidupan bermasyarakat36. Konon teori kelompok ini termasuk paling moderat di antara teori-teori feminisme lainnya. Nasaruddin Umar berupaya untuk merekonstruksi dan mendekonstruksi pada pandangan-pandangan klasik yang mensubordinatkan perempuan di bawah superioritas laki-laki, yang kini mau tidak mau berhadapan dengan ruas-ruas modernitas yang terbuka lebar, keterbukaan ruang bagi perempuan untuk mendapatkan pendidikan setinggi-tingginya telah memberikan kesempatan melahirkan kemampuan-kemampuan perempuan dalam segala sektor kehidupan yang sebelumnya hanya diklaim milik kaum laki-laki. Jadi adanya suatu hubungan timbal balik yang saling menguntungkan antara mufasir (seperti Nasaruddin Umar) dan masyarakat secara umunya, perempuan pada khususnya. Sehingga terlihat bahwa al-Qur’an tetap informatif dan sejalan dengan zaman. Hal ini merupakan keniscayaan dalam menegakkan keadilan gender, dan menangkap pesan moralitas dan berkeadilan dari teks-teks al-Qur’an. Ini juga muncul sebagai gambaran dominasi pemikir patriakhi telah banyak memarginalkan dan menutup jalan tumbuhnya pemikir perempuan yang bisa terlibat dalam berbagai pergulatan pemikiran Islam. G. Kesimpulan Cara pemahaman yang diperkenalkan oleh Nasaruddin Umar di atas menunjukkan kepada kita bahwa al-Qur’an sesungguhnya memiliki pesan-pesan universal seperti keadilan, persamaan hak, penghormatan terhadap nilai-nilai kemanusiaan, dll. Atribut gender yang melekat pada laki-laki dan perempuan sesunggunya juga tidak menjadi penghalang untuk mengembangkan potensipotensi yang telah dianugerahkan. Menurut penulis ijtihad yang dilakukan oleh Nasaruddin Umar dengan cara melakukan kritik linguistik-historis al-Qur’an terhadap model-model penafsiran lama (dekonstruksi dan rekonstruksi) adalah hal yang sangat wajar dan mesti dilakukan. Pandangan dia mengenai perempuan dalam al-Qur’an ditentukan oleh akar-akar bahasa Qurani. Nasaruddin Umar mengajukan analisis etimologi dan menggunakan sejarah untuk meneliti banyak kata-kata dalam al-Qur’an. Tidak dapat dipungkiri bahwa seluruh aspek mengenai isu-isu perempuan berakar dari bahasa al-Qur’an.

36 Ratna Megawi, Membiarkan Berbeda: Sudut Pandang Baru tentang Relasi Gender. (Bandung: Mizan, 1999). hlm. 228.

Volume VIII, (September-Februari 2013)| AT-THARIQ 119


Penafsiran Emansipatoris Dalam Al-Qur’an DAFTAR PUSTAKA Agger, Ben. Teori Sosial Kritis, alih bahasa oleh Nurhaidi, cet ke. Ke-3 Juni 2006, (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2006) Asfar, Haleh. “Islam and Feminism: An Analysis of Political Strategies” dalam Mai Yamani, Feminism and Islam: Legal and Literary Perspectives (USA: New York University Perss, 1996) Echols, John M dan Hassan Shadily. Kamus Inggris Indonesia. (Jakarta:Gramedia, 1983) al-Ghazali, Muhammad. al-Sunnah al-Nabawiyah baina ahl al-Fiqh wa ahl al-Hadis (Beirut: Dar al-Shuruq, 1989) Humm, Maggie. Ensiklopedia Feminisme, (Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2002) Jawad, Haifa A. Otentitas Hak-Hak Perempuan; Perspektif Islam atas Kesetaraan Jender (Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2002) Luttle, Lisa. Encyclopedia of Feminism, (New York: Fact on File Publication, 1986) Megawi, Ratna. Membiarkan Berbeda: Sudut Pandang Baru tentang Relasi Gender. (Bandung: Mizan, 1999). Umar, Nasaruddin. Argumen Kesetaraan Jender Perspektif Al-Qur’an (Jakarta: Paramadina, 1999) -----------------------, “Kodrat Perempuan dalam Perspektif al-Qur’an”, dalam K.H.A. Wahid Zaini, Memposisikan Kodrat: Perempuan dan Perubahan dalam Perspektif Islam (Bandung: Mizan, 1999) ------------------------, Kodrat Perempuan dalam al-Qur’an (Jakarta: PT. Fikahati Aneska, 2000) ------------------------, Paradigma Baru Teologi Wanita (Malaysia: SISTRES IN ISLAM, 2004) ------------------------“Kajian Kritis terhadap Ayat-ayat Gender (Pendekatan Hermeneutika), dalam Siti Ruhaini Dzuhayatin, Rekonstruksi Metodologis Wacana Kesetaraan Gender dalam Islam, (Yogyakarta: PSW IAIn Su-Ka, McGill-ICIHEP & Pustaka Pelajar, 2002) ------------------------, “Perspektif Jender dalam Islam”, dalam Paramadina, Vol I, No. 1, Juli-Desember 1998 al-Rāzi, Fakhr al-Din. al-Tafsir al-Kabir, (Kairo: Maktabah al-Nahdan al-Misriyyah, 1938) Steans, Jill. Gender and International Relation, (London: Polity, 1998)

120 AT-THARIQ|Volume VIII, (September-Februari 2013)


Lia Restiawati Hanggara

SELAMATAN KEBA PADA MASYARAKAT CILACAP (Studi Atas Masyarakat Margasari Kecamatan Sidareja Kabupaten Cilacap) Lia Restiawati Hanggara1 Abstract The traditional ceremony in the Java community has an important role in life, because of the assumption that the traditional ceremony this community can preserve the traditions and rituals of ancestor. Folklore tradition is one of the old traditions for hundreds of years because it is inherited from ancestors who is still awake, although sometimes there is a small change in the implementation of the ceremony. Java community to know there are four life cycle, namely in the womb, childhood, marriage time and time of death. Life cycle of the Java community is still much to be associated with hereditary confidence because people believe that it is full of life cycle impediment to watch. Keywords: tradition, salvation Keba, community Cilacap

A. Latar Belakang Indonesia merupakan Negara yang memiliki beribu-ribu pulau beserta di dalamnya terdapat banyak suku-suku dan keragaman tradisi. Salah satu suku bangsa Indonesia yang ada yakni suku Jawa. Pada masyarakat suku Jawa memiliki kebudayaan yang menggambarkan corak dan ragam yang khas sesuai dengan daerahnya masing-masing. Keanekaragaman budaya masyarakat Indonesia khususnya masyarakat Jawa tersebut dapat berupa adat istiadat, upacara adat, cerita rakyat dan sebagainya. Upacara adat pada masyarakat Jawa memiliki peran penting dalam kehidupan, karena adanya anggapan bahwa dengan upacara adat inilah masyarakat dapat melestarikan tradisi dan ritual leluhur. Tradisi folklor adalah salah satu tradisi yang usianya beratus-ratus tahun karena merupakan warisan dari leluhur yang sampai saat ini masih terjaga, meskipun kadang terjadi perubahan kecil dalam pelaksanaan upacara adat tersebut.2 Masyarakat Jawa adalah salah satu masyarakat yang masih memegang teguh kepercayaan secara turun-temurun. Kepercayaan-kepercayaan yang hidup dalam masyarakat Jawa biasanya berfungsi sebagai kontrol sosial bagi masyarakat itu sendiri. Dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat dituntut untuk mengikuti kepercayaan dan kebiasaan setempat yang masih berlaku. Salah satu kepercayaan dalam masyarakat Jawa yang sampai saat ini masih dipegang teguh yaitu tentang Penulis adalah mahasiswa UGM Jurusan Linguistik konsentrasi Bahasa Jawa. Moertjipto, dkk. 1994-1995. Fungsi-Fungsi Upacara Tradisional Bagi Masyarakat Pendukungnya Masa Kini. Yogyakarta: Depdikbud. Hlm. 29. 1

2

Volume VIII, (September-Februari 2013)| AT-THARIQ 121


Selamatan Keba Pada Masyarakat Cilacap daur hidup masyarakat Jawa. Masyarakat Jawa mengenal ada empat daur hidup, yaitu alam kandungan, masa anak, masa perkawinan dan masa kematian. Daur hidup masyarakat Jawa masih banyak dihubung-hubungkan dengan kepercayaan turun-temurun karena masyarakat percaya bahwa daur hidup itu penuh dengan halangan yang harus diwaspadai. Halangan dan rintangan yang dikhawatirkan muncul dalam ritus peralihan biasanya diantisipasi oleh masyarakat Jawa khususnya, dengan mengadakan tradisi selamatan. Salah satu ritus peralihan yang sampai sekarang masih disertai dengan beberapa tradisi selamatan yaitu masa kandungan atau kehamilan. Ada beberapa hal yang menyebabkan pelaksanaan tradisi selamatan kehamilan masih dilakukan, di antaranya yaitu karena masyarakat Jawa masih menganggap bahwa masa kehamilan merupakan masa yang rawan terjadi hal-hal buruk dan merupakan masa yang penting untuk diperhatikan karena menyangkut keselamatan ibu dan bayinya. Kekhawatiran tersebut mendorong masyarakat Jawa berusaha tetap melakukan berbagai macam selamatan kehamilan yang dilaksanakan pada usia kehamilan tertentu. Pada masa sekarang ini, proses tradisi khususnya selamatan kehamilan mengalami perkembangan sesuai dengan perkembangan zaman dan pola pikir masyarakat yang semakin maju. Seperti yang akan dipaparkan dalam tulisan ini adalah terkait dengan tradisi selamatan kehamilan Keba. Namun, penulis membatasi pada makna simbolik ubarampe yang digunakan dalam prosesi selamatan Keba. Moertjipto (1995:52) menjelaskan bahwa pada usia kandungan 7 (tujuh) bulan, bayi telah dituakan usianya dan dianggap normal, sehingga bayi dalam kandungan tujuh bulan biasanya lahir dengan selamat.3 Selamatan ngapati dan tingkeban itu juga masih dilaksanakan oleh masyarakat di Kabupaten Cilacap, meskipun tidak semua warga melakukan upacara ini. Selamatan empat bulan disebut ngapati, sedangkan selamatan tujuh bulan disebut dengan kebanem (6 bulan), kebapitu (7 bulan), dan mitoni (7 bulan). Kata keba berasal dari kata tingkeban itu sendiri. Selamatan keba inilah yang dijadikan obyek dalam penulisan makalah ini. Selamatan keba ini memiliki perbedaan dari daerah lainnya. Selamatan keba yang dilakukan oleh warga Kecamatan Sidareja khususnya Desa Margasari hanya dilakukan pada kehamilan anak pertama saja. Pemilihan lokasi pengambilan data dilakukan di desa Margasari kecamatan Sidareja sebab, di desa tersebut merupakan desa yang tergolong jauh dari pusat Kabupaten Cilacap dan berbatasan dengan Propinsi Jawa Barat yang akan memungkinkan ubarampe dalam tradisi keba akan mengalami kekhasan dari pada daerah lain di Kabupaten Cilacap. 3

Moertjipto, dkk. 1994-1995. Fungsi-Fungsi Upacara, hlm. 40.

122 Volume VIII, (September-Februari 2013)| AT-THARIQ


Lia Restiawati Hanggara B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka muncullah rumusan masalah yang akan dikaji dalam makalah ini. “Apa makna simbolik ubarampe dalam selamatan kehamilan keba di Kabupaten Cilacap?�. C. Tujuan Tujuan dari penulisan ini adalah untuk mendeskripsikan makna simbolik ubarampe yang digunakan pada upacara selamatan keba khususnya di Margasari, kecamatan Sidareja, kabupaten Cilacap. D. Kerangka Teori 1. Tradisi Jawa Masyarakat Jawa memiliki suatu tradisi yang biasa dilakukan baik tradisi yang bersifat sosial maupun tradisi simbolik. Orang Jawa memiliki suatu pemikiran bahwa mereka hidup menyatu dengan segala gejala masyarakat yang ada. Sujamto, (1992: 184) juga menjelaskan tentang tradisi Jawa sebagai berikut.4 Tradisi Jawa dijalankan berdasarkan adat dan tata cara yang berlaku dalam masyarakat dan dipakai bersama-sama. Adat adalah perilaku budaya yang telah membaku dari suatu masyarakat. Sedangkan tata cara adalah rangkaian perbuatan yang juga telah membaku dalam pelaksanaan sesuatu jenis adat. Tata cara juga disebut sebagai rangkaian tindakan yang meliputi jenis, tata urutan juga peralatan tertentu. Ada berbagai macam tradisi Jawa yang masih dijalankan oleh masyarakat Jawa, salah satunya yaitu tradisi turun-temurun tentang pelaksanaan daur hidup. Seperti telah dijelaskan di atas, bahwa daur hidup orang Jawa dianggap masa yang rawan, maka berbagai macam tradisi seputar daur hidup tersebut masih dilakukan oleh sebagian besar masyarakat Jawa. Harapan dilakukan tradisi-tradisi tersebut yaitu, agar ketika melewati fase daur hidup tersebut, orang dapat terhindar dari segala hal negatif yang dapat membahayakan jiwa orang tersebut. Daur hidup yang termasuk dalam penelitian ini yaitu pada fase kehamilan yang kita fokuskan pada upacara selamatan keba.. 2. Selamatan Kehamilan Jawa Unsur slamat bagi orang Jawa masih menjadi prioritas dalam kehidupan. Segala bentuk perilaku dan kegiatan hidup sehari-hari bertumpu pada harapan slamet tersebut. Oleh karena itu, setiap memulai dan mengakhiri suatu kegiatan yang dianggap penting, orang Jawa selalu mengadakan upacara selamatan. Sujamto. 1992. Refleksi Budaya Jawa dalam Pemerintahan dan Pembangunan. Semarang: Dahara Prize. Hlm. 93. 4

Volume VIII, (September-Februari 2013)| AT-THARIQ 123


Selamatan Keba Pada Masyarakat Cilacap Selamatan kehamilan pada jaman dahulu dilakukan setiap bulan kehamilan, sekarang hanya dilakukan pada bulan-bulan tertentu. Selamatan kehamilan yang dilaksanakan setiap bulannya memiliki maksud dan tujuan yang berhubungan dengan usia kehamilan itu sendiri. Maksud dan tujuan itu biasanya tercermin dari ubarampe yang digunakannya. Sarjana Hadiatmaja dan Kuswa Endah (2009:101102) menjelaskan tentang selamatan kehamilan beserta ubarampe-nya sebagai berikut.5 a. Kehamilan satu bulan dengan sesaji berupa bubur sungsum yang dicampur dengan santan yang diberi gula Jawa. b. Kehamilan dua bulan dan tiga bulan dengan sesaji berupa: nasi tumpeng, gudhangan, dan berbagai macam sambal, yaitu: sambal puyang, laos, kedelai, keluwak, dan kacang. Adapun lauknya berupa sebutir telur yang dibelah menjadi lima bagian. Sesaji yang berupa jenang meliputi: jenang merah, jenang putih, jenang merah putih, dan jenang baro-baro. Selain itu juga dilengkapi dengan jajan pasar dan empon-empon. c. Kehamilan empat bulan disebut ngupati. Adapun sesajinya berupa: nasi kuning (nasi punar), dengan lauk daging kerbau semua bagi akan tetapi hanya sedikit saja. Pelengkapnya berupa ketupat sinta ,jago, sido lungguh,dan luar. d. Kehamilan lima bulan dengan sesaji berupa nasi tumpeng dari nasi punar, nasi putih (wuduk), dan nasi asahan, enten-enten dan uler-uleran. e. Kehamilan tujuh bulan disebu ttingkeban dan mitoni. Upacara tujuh bulan dalam masyarakat Jawa paling banyak dilakukan dikalangkan masyarakat Jawa dibandingkan upacara kehamilan lainnya. f. Kehamilan bulan kesembilan dengan sesaji berupa jenang procot. Hal itu dilakukan dengan tujuan agar bayi yang ada di dalam kandungan dapat mudah lahir tanpa halangan apapun. Jenang procot adalah jenang yang dibuat dari tepung beras yang diberi cairan gula kelapa dan pisang raja.6 3. Tingkeban Mutniatmo, dkk. (2000: 245-246), menjelaskan tentang selamatan tujuh bulanan atau tingkeban sebagai berikut. Tingkeban adalah upacara yang diadakan untuk keselamatan seorang perempuan yang pertama kali mengandung. Upacara tingkeban diadakan pada saat kandungan berumur tujuh bulan. Oleh sebab itu, upacara itu disebut mitoni. Bagi sementara orang Jawa, upacara tingkeban atau mitoni merupakan upacara terpenting di antara upacara lain yang berhubungan dengan kehamilan. Mereka beranggapan, 5

Endraswara, Suwardi. 2003. Mistik Kejawen. Yogyakarta: Narasi.

6 Sarjana, H.A dan Kuswa Endah. 2009. Pranata Sosial dalam Masyarakat Jawa. Yogyakarta: Grafika Indah.

124 Volume VIII, (September-Februari 2013)| AT-THARIQ


Lia Restiawati Hanggara jika tidak melakukan upacara ini akan timbul akibat yang tidak diharapkan baik selamatan ibu dan anak yang akan dilahirkannya. Untuk melaksana akan upacara tingkeban telah ada ketentuanya. Adapun ketentuan tanggal untuk melaksanakan upacara tingkeban yaitu tanggal ganjil menurut perhitungan Jawa dan tanggaltanggal sebelum bulan purnama misalnya tangga l1 ,3 , 5, 7, 9, 13, dan15. Upacara tingkeban ini dilengkapi dengan sarana-sarana yang berupa macam-macam sajian. Dalam upacara ini wanita yang sedang hamil itu dibawa ke sumur untuk di mandikan oleh perempuan- perempuan tua. Setelah dimandikan lalu dibawa ke dalam rumah untuk berganti pakaian sebanyak tujuh kali. Sebelum ganti pakaian yang ketujuh kali, para tamu yang terdiri atas wanita tua itu mengatakan secara bersama-sama bahwa pakaian yang dikenakan tidak pantas. Hal ini berlangsung terus sampai ganti pakaian yang ketujuh kali. Baru sesudah itu, pakaian yang dikenakan ibu hamil itu dikatakan pantas. Tradisi tingkeban atau keba biasanya merupakan rangkaian dari tradisi ngapati (empat bulanan). 4. Simbolisme Ubarampe dalam Kehamilan Endraswara (2003:196), menjelaskan tentang ubarampe atau sesaji sebagai wacana simbol yang digunakan sebagaisranauntuk‘negosiasi’spiritualkepadahal- hal gaib. Kamajaya dalam Suryadi (2000:17) juga menjelaskan tentang sesaji yang diartikan sebagai persembahan dalam upacara keagamaan yang dilakukan secara simbolis dengan tujuan berkomunikasi dengan kekuatan gaib. Segala bentuk sesaji yang digunakan sebagai persembahan mempunyai makna simbolis dan tujuan tertentu, yang dianggap sangat penting dalam kehidupan manusia.7 Ubarampe dalam selamatan kehamilan memiliki makna masing-masing yang tertuang di dalamnya, dan disediakan sebagai suatu anggapan persembahan terhadap roh leluhur atau makhluk halus dengan mengharpakan keselamatan pada prosesi kehamilan sang ibu. E. Makna Simbolik Ubarampe selamatan Keba Ubarampe atau perlengkapan yang digunakan untuk selamatan kehamilan keba memiliki maksud dan tujuan demi keselamatan ibu hamil dan bayinya. Maksud dan tujuan itu juga dapat disebut sebagai makna simbolik karena makna yang terkandung tersebut biasanya dihubungkan dengan nama ubarampe itu sendiri. Berikut ini ubarampe dan makna dalam tradisi kehamilan keba yang berhasil penulis uraikan dari berbagai sumber acuan. 1. Kupat-lepet Makna dari ubarampe kupat-lepet dapat kita maknai dari nama ubarampenya 7

Endraswara, Suwardi. 2003. Mistik Kejawen. Yogyakarta: Narasi.

Volume VIII, (September-Februari 2013)| AT-THARIQ 125


Selamatan Keba Pada Masyarakat Cilacap tersebut, yakni kupat-lepet = ngaku lepat “mengakui kesalaha� maksudnya adalah sebagai symbol wujud permohonan maaf atas kesalahan yang diperbuat baik sengaja ataupun tidak sengaja. Kata lepat berasal dari symbol lepet. Dengan demikian kupat-lepet dimaknai sebagai bentuk permohonan maaf calon ibu (wanita yang hamil) dan keluarga kepada sanak saudara, dan tetangga agar sang ibu dan jabang bayi diberikan keselamatan dan sehetana hingga waktu melahirkan nanti. Makna dari ubarampe kupat-lepet juga menurut warga Cilacap disimbolkan bahwa isi dari kupat yang berwarna putih di makna bahwa hati yang berwarna putih bersih. Lepet dimaknai bahwa kesalahan yang dibuat oleh sang ibu hamil dan keluarga dapat dimaafkan dan dikubur secara dalam-dalam segala kesalahan mereka.

Gb. Kupat-Lepet

2. Rujak Keba Rujak yang dibuat dalam acara keba oleh masyarakat setempat dinamai dengan sebutan rujak keba. Kekhasan rujak keba karena salah satu bahannya yang menggunakan tebu dan cengkir gadhing, oleh karena itu rujak keba juga disebut rujak cengkir. Pringgawidagda (2003:14), menyebutkan bahwa rujak dalam selamatan tingkeban merupakan salah satu makanan kesukaan wanita hamil yang sedang ngidham, selain itu rujak juga dapat menyegarkan perjamuan. Rujak keba memiliki makna agar ibu hamil selalu segar seperti segarnya rujak. Rujak keba memiliki rasa hampir sama dengan rujak pada umumnya, yakni mempunyai banyak rasa seperti manis (dari dula merah), pedas (dari cabai), sepeti (dari cengkir), dan juga asam(dari kedhondhong atau mangga muda), melambangkan bahwa rasa yang dialami ibu hamil ketika akan melahirkan bermacam-macam, tetapi setelah melahirkan hanya rasa bahagia yang terasa, seperti segarnya rujak tersebut.

126 Volume VIII, (September-Februari 2013)| AT-THARIQ


Lia Restiawati Hanggara

Gb. Rujak Keba 3. Srundeng daging kebo segluntung Selanjutnyayaitumaknasimbolikdarisrundengkebosegluntungyangharus ada dalam selamatan keba anak pertama. Srundeng adalah serupa abon namun terbuah dari kelapa yang disangrai dan dibumbui. Kebo segluntung mengibaratkan bahwa kerbau yang lengkap dari seluruh baik tubuhnya. Maksudnya agar bayi yang lahir dapat lengkap seluruh anggotabadannyasepertilengkapnyadagingkerbauyangdiikutkandalamsrundeng kebosegluntung tersebut. Srundeng kebo seglundung di dalamnya meliputi seluruh bagian dari kerbau meliputi daging, jeroan, tulang, kulit, dan sebagainya.

Gb. Srundeng Kebo Segluntung 4. Tumpeng Kuat Tumpeng kuat dalam selamatan kahamilan keba memiliki bentuk yang sama dengan tumpeng pada umumnya. Bentuk tumpeng yang seperti kerucut melambangkang bahwa, setiap manusia meski menyadari adanya hubungan vertikal yang menandai hubungan dengan Allah SWT. Dinamai dengan istilah tumpeng kuat, sebab diharapkan sang ibu dan calon bayi diberikan kekuatan oleh Allah Volume VIII, (September-Februari 2013)| AT-THARIQ 127


Selamatan Keba Pada Masyarakat Cilacap SWT. Ketika keba, yang berarti kandungan ibu sudah berumur enam atau tujuh bulan, dan sudah berbentuk bayi, maka harapanya agar bayi itu dikuatkan, begitu juga ibunya agar kuat sampai waktu melahirkan nantinya. Tumpang kuat dalam proses pebuatannya sederhana yakni beras yang sudah di pususi ‘dicuci bersih’ langsung di masukan ke dalam kusan. Tumpeng kuat ini setelah matang dan berjumlah 5 buah di masukan masing-masing ke dalam cething ‘alat seperti bakul nasi yang terbuat dari anyaman bambu’ dengan posisi tumbeng di balik, yakni sudut lancip berada di atas seperti tumpeng pada umumnya. Selain tumpeng kuat yang menyimbolkan suatu harapan agar sang ibu ketika melahirkan diberikan kekuatan. Sehingga bayi dapat lahir dengan sehat selamat. Dalam tradisi selamatan keba juga digunakannya symbol tumpeng brojol, tumpeng kendhit, dan tumpeng pitu.Namun, pada kesempatan ini, penulis tidak dapat menampilkan gambar tumpeng kuat yang dimaksudkan, sebab pada saat prose pembuatan penulis tidak melihat seperti apa bentuknya dan tidak mendapatkan gambar yang sesuai. 5. Tumpeng Brojol Tumpeng brojol bentuknya hampir sama dengan tumpeng kuat, perbedaannya dipucuk tumpeng brojol ada sebutir telur ayam, sedangkan tumpeng kuat tidak ada telur dipucuknya. Maksudnya adalah tumpeng brojol ini dalam proses membuatnya pada ujung kusan di masukan telur yang kemudian baru diberi nasi karu ‘nasi setengah matang’ sehingga tumpeng ini diujungnya akan terdapat warna telur yang ikut dikukus. Makna simbolik dari tumpeng brojol ini adalah berhubungan dengan sang ibu hamil, agar ibu hamil dapat melahirkan dengan mudah. Sesuai dengan nama tumpeng tersebut, yakni brojol yang dalam bahasa Jawa berarti ‘keluar’. Sehingga dibuatkanlah syarat tumpeng brojol yang memang dipercaya mengandung makna bayi akan terlahir dengan mudah dan lancar. Serta makna digunakannya telur yang ikut dikukus dipucuk tumbeng dilambangkan agar sang bayi ketika dilahirkan dapat dengan mudah dan tanpa paksaan. Telur disimbolkan sebagai bayi. 6. Tumpeng kendhit Kedhit (1937:208) 1. Tali kang dianggo sabukan, 2. Corak putih kang ngubengi weteng, 3. Watesing mega ing gunung, 4. Ban, 5. Kalenan kang tengah. Tumpeng kendhit berarti nasi dibentuk kerucut untuk selamatan dengan bahan dasar beras merah dan beras putih. Dinamai tumpeng kendhit sebab secara visualnya tumpeng ini memiliki perbedaan corak dengan tumpeng sebelumnya. Tumpeng kendhit merupakan tumpeng yang ditengahnya melingkar warna dari beras meranya. Makna simbolik dari tumpeng kendhit adalah diharapkan agar anak yang 128 Volume VIII, (September-Februari 2013)| AT-THARIQ


Lia Restiawati Hanggara dilahirkan akan menjadi anak yang pandai atau kuat pikirnya. Hubungan kekuatan pikir sang anak yang dilahirkan adalah dengan fungsi kendhit itu sendiri. Bagi ibu hamil di sana kendhit digunakan untuk membebat atau mengencangkan kembali perut sang ibu setelah melahirkan, sehingga dihubungkan bahwa kendhitfungsinya untuk mengecangkan juga dihubungkan dengan kuatnya pikir sang anak. Dilihat dari bentuknya yang terdiri atas warna merah dan putih, dapat jugadiartikan agar penyatuan unsur ibu (merah) dan ayah (putih) dapat tetap menyatu dengan kencang dan kuat sehingga terbentuk bayi yang sempurna. Oleh karena itu, tumpeng kendhit yang terdiri atas warna merah dan putih ini juga dapat diibaratkan sebagai bentuk penyatuan benih ayah dan ibu. Penyatuan warna dalam tumpeng ini sangat erat karena antara beras merah dan putih dimasak bermasaan, sehingga akan melekat kuat. 7. Tumpeng Pitu Sebenarnya tumbeng pitu di sini disimbolkan dengan jumlah tumpeng yang berjumlah tujuh. ketiga jenis tumpeng itu, selanjutnya menjadi tumpeng pitu. Tumpeng pitu ini memiliki makna simbolik sendiri, yaitu sebagai tanda bahwa selamatan yang dibuat adalah selamatan tujuh bulan kehamilan atau yang disebut dengan selamatan keba. makna ini sama seperti makna sesaji yang disebutkan oleh Moertjipto (1988:114) bahwa jumlah sesaji harus berjumlah 7 buah sebagai simbol untuk upacara mitoni (7 bulan dalam kandungan). Para informan juga menjelaskan hal yang sama tentang tumpeng pitu tersebut. 8. Jajanan Pasar Endraswara(2003:199), menjelaskan bahwa jajan pasar merupakan lambang sesrawungan (hubungan). Jajan pasar adalah lambang kemakmuran. Hal ini diasosiasikan bahwa pasar adalah tempat bermacam-macam barang. Jajan pasar yang ada dalam selamatan kehamilan keba terdiri atas berbagai macam makanan kecil yang biasanya terdiri atas kacang tanah goreng, kembanggula (permen), jipang, ampyang atau karagdan awug. Jajan pasar dalam selamatan keba bermakna sama untuk meminta keselamatan kepada leluhur. Leluhur yang dimaksud adalah Nabi Sulaeman. Sebab menurut kepercayaan masyarakat sekitar bahwa Nabi SulaemandipercayaorangJawajamandahulusebagai Nabi yang menjaga semua hal yang ada di bumi, seperti pepohonan, jalan, danair. Oleh karena itu, orang selamatan harus mempersembahkan sesuatu kepada Nabi yang menjaga dan merawat isi bumi. Harapannya agar ibu hamil juga dijaga keselamatannya dari halhal yang merugikan.

Volume VIII, (September-Februari 2013)| AT-THARIQ 129


Selamatan Keba Pada Masyarakat Cilacap

Gb. Jajanan pasar 9. Kluban Kluban atau gudangkan juga merupakan salah satu makanan yang harus dibuat ketika selamatan kehamilan baik ngapati maupun keba. Kluban terdiri atas sayuran yang direbus dan bumbu kluban yang disebut ampas kluban. Ampas kluban atau bumbu gudangan tersebut memiliki makna sebagai lukisan bakal (embrio) hidup manusia (Endraswara, 2003: 202). Ada satu kepercayaan jika tidak membuat gudangan maka anaknya akan kleyar-kleyor (badan bayi lemas dan kurang sehat). Kluban yang di dalamnya terdiri atas sayuran yang direbus dan bumbu dari parudan kelapa. Ternyata masing-maisng sayuran yang digunakan memiliki makna tersendiri. Sayuran seperti kacang panjang, kangkung, bayam dan kecambah juga memiliki makna simbolik. Menurut Endraswara (2003: 202), nama-nama sayuran tersebut juga memiliki makna simbolik. (1) Kacang panjang, diharapkan anak yang lahir dapat berpikir panjang dalam memutuskan segala hal, sehingga tidak akan merugikan diri sendiri maupun orang lain. (2) Kangkung, dalam bahasa Jawa hampir sama dengan kata langkung atau lebih, maksudnya agar anak yang lahir juga dapat menjadi anak yang lebih, lebih dalam hal kebaikan sehingga dapat membantu orang yang kekurangan. (3) bayam, sama seperti kata ayem yang artinya tenang. Harapannya anak yang lahir juga dapat selalu tenang dalam menghadapi segala kesulitan hidup. Menurut informasi yang di dapat dari sesepuh desa atau disebut dengan dukun bayi. Kluban keba merupakan bentuk pemaknaan untuk keselamatan calon jabang bayi.

130 Volume VIII, (September-Februari 2013)| AT-THARIQ


Lia Restiawati Hanggara

Gb.Kluban Keba 10. Telur rebus Telur merupakan salah satu lauk yang akan ditemukan dalam tradisi keba. Sebab adanya suatu kepercayaan bahwa keluarga yang salah satu anggota keluarganya sedang mengandung tidak diperbolehkan untuk menyembelih hewan. Sehingga digunakannya telur rebus sebagai pengganti lauk daging atau ikan. Kebiasaan tersebut menurut narasumber sudah berlaku turun temurun sejak dahulu.

Gb. Telur Rebus 11. Bubur Abang-Bubur Putih Bubur abang-bubur putih ini merupakan salah satu ubarampe atau kelengkapan yang digunakan dalam prosesi syukuran khususnya dalam hal ini syukuran kehamilan keba. Bubur abang-bubur putih terbuat dari beras yang dimasak hingga menjadi bubur namun salah satunya diberi gula merah, sehingga dikenal dengan sebutan bubur abang. Serta sebagian lagi tanpa diberi gula yang kita kenal dengan bubur putih. Menurut informan bubur abang-bubur putih makna yang terkandung dari buburabang-putih dalam selamatan kehamilan keba adalah sebagai saudara tua dan saudara muda si bayi. Bentuk saudara tua bayi adalah air ketuban Volume VIII, (September-Februari 2013)| AT-THARIQ 131


Selamatan Keba Pada Masyarakat Cilacap yang membuka jalan lahir, sedangkan saudara muda bayi adalah ari-ari yang keluar terakhir. Saudara tua dan saudara muda ini dipercaya sebagai singng emong awak (yang menjaga dan memelihara manusia). Selain itu, warna merah dan putih juga melambangkan benih dari ibu dan ayah yang menyatu menjadi bayi yang sedang dikandungnya.

Gb. Bubur abang-putih 12. Kembang telon Istilah kembang telon dalam tradisi keba merupakan ubarampe yang digunakan untuk prosesi siraman. Kembang telon terdiri dari tiga macam bunga yaitu bunga mawar, melati dan kenanga. Makna dari ubarampe kembang telon yang digunakan dalam prosesi siraman ini menurut informan dimaknai supaya ibu yang sedang mengandung akan dapat mengharumkan seperti makna kata kembang yang bermakna “bunga� dan telon “tiga�. Sehingga ibu hamil diharapkan akan dapat menjadi perempuan yang dapat bersifat seperti bunga yakni membuat harum keluarga, dirinya, dan masa depannya.

Gb. Kembang Telon (Melati, Mawar, Kenanga)

13. Daun dadap srep 132 Volume VIII, (September-Februari 2013)| AT-THARIQ


Lia Restiawati Hanggara Selain kembang telon, dalam prosesi siraman juga terdapat daun yang oleh masyarakat Cilacap disebut dengan godhong dadap srep. Digunakannya daun jenis ini pada prosesi siraman ternyata mengandung makna bahwa agar sang ibu diberikan rasa segar, dingin. Sesuai dengan symbol yang digunakan yakni godhong dadap srep. Daun yang menyimbolkan suasana dingin segar atau asrep kepada ibu hamil secara lahir dan batin. Daun dadap srep selain digunakan dalam upacara keba, memang dalam keseharian keberadaan daun ini digunakan oleh masyarakat sebagai obat untuk penurun panas, masyarakat di sana percaya bahwa daun tersebut dapat menimbulkan rasa yang dingin, sehingga anak-anak yang demam akan segera dapat turun panasnya.

Gb. Daun dadap srep 14. Cengkir gading Cengkir gadhing yang digunakan dalam upacara selamatan keba berjumlah dua buah. Cengkir gading ini digunakan dalam prosesi brojolan. Masing-masing cengkir(klapa yang berwarna kuning) diberi gambaran tokoh pewayangan. Seperti tokoh Ramadan Shinta. Maksudnya adalah agar calon bayi yang akan dilahirkan memiliki “rupa� yang tampan atau cantik seperti tokoh wayang yang disimbolkan, serta memiliki sikap, sifat, dan watak yang baik.

Volume VIII, (September-Februari 2013)| AT-THARIQ 133


Selamatan Keba Pada Masyarakat Cilacap Gb. Cengkir Gading F. KESIMPULAN Semua ubarampe yang digunakan dalam selamatan kehamilan keba memiliki makna simbolik yang kesemuanya untuk kebaikan sang ibu hamil dan bayinya serta keluarga. Secara umum ubarampe yang digunakan bermakna agar diberikan keselamatan dan kelancaran selama kehamilan dan diberikan kekuatan, kemudahan, serta kelancaran ketika prosesi melahirkan.

134 Volume VIII, (September-Februari 2013)| AT-THARIQ


Lia Restiawati Hanggara DAFTAR PUSTAKA Endraswara, Suwardi. 2003. Mistik Kejawen. Yogyakarta: Narasi. Moertjipto, dkk. 1994-1995. Fungsi-Fungsi Upacara Tradisional Bagi Masyarakat Pendukungnya Masa Kini. Yogyakarta: Depdikbud. Prnggawidagda, Suwarna. 2003. Upacara Tingkeban. Yogyakarta: Adicita Karya Nusa. Sarjana, H.A dan Kuswa Endah. 2009. Pranata Sosial dalam Masyarakat Jawa. Yogyakarta: Grafika Indah. Suryadi. 2000. Makna Simbolik dan Fungsi Sajen Pendirian Rumah Bagi Masyarakat Jawa di Kecamatan Pakem, Kabupaten Sleman, Yogyakarta. SkripsiSi. Yogyakarta: Program Studi Pendidikan Bahasa Daerah, FBS UNY Sujamto. 1992. Refleksi Budaya Jawa dalam Pemerintahan dan Pembangunan. Semarang: Dahara Prize.

Volume VIII, (September-Februari 2013)| AT-THARIQ 135


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.