Daftar ISI Sambutan
... 06
Pengantar
... 07
Exhibition
... 53
Collaboration
... 68
Thanks To
... 70
sambutan Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh, Salam sejahtera bagi kita semua, Om Swastiastu.
Indiria Maharsi, S.Sn., M.Sn.
Diskomfest7
Kaprodi
Dinamika berpameran menjadi ‘tugas’ wajib bagi para mahasiswa DKV ISI Yogyakarta. Karena dari sanalah para mahasiswa bisa berkomunikasi kepada masyarakat luas lewat karya-karya mereka. Dari sana pula karya tersebut menjadi karya seni yang bisa diapresiasi maupun dikritisi oleh para pemerhati seni maupun masyarakat luas. Patut disyukuri bahwa pameran Diskomfest menjadi agenda rutin dari kegiatan Program Studi Disain Komunikasi Visual ISI Yogyakarta. Pameran ini dalam setiap periodenya menghadirkan tema-tema yang beragam dan selaras dengan konteks atau spirit jaman pada saat itu. Sehingga dengan demikian dinamika berkarya dan berpameran para mahasiswa DKV ISI Yogyakarta dalam setiap pagelarannya menjadi dinamis dan segar dengan ide-ide baru. Atas nama lembaga, saya menyampaikan apresiasi yang tinggi kepada panitia yang telah dengan sigap bekerja dan tanpa lelah mewujudkan pameran Diskomfest ini. Demikian pula kepada seluruh peserta pameran yang telah menampilkan karya terbaiknya. Serta para mahasiswa DKV ISI Yogyakarta yang telah ikut serta memeriahkan acara ini. Semoga kegiatan ini menjadi catatan sejarah penting yang tertulis dalam lembar perjalanan kiprah DKV ISI Yogyakarta dalam dunia seni rupa di Indonesia. Demikan sambutan ini saya sampaikan, terima kasih dan selamat berpameran. Wassalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh, Om Santi, Santi, Santi, Om. Ketua Program Studi Disain Komunikasi Visual ISI Yogyakarta Indiria Maharsi, S.Sn., M.Sn.
06
pengantar Diskomfest & Tema
Faruza Arkan
Ketua II Diskomfest 7
Sebelum membuka lebih jauh cetakan ini, pertama saya ingin mengucapkan banyak terimakasih kepada orang-orang keren yang terlibat secara langsung maupun tidak langsung dalam hajatan kami ini. Terimakasih pula untuk Sang Kreator Tuhan Y.M.E yang melancarkan semuanya. Tidak lupa juga untuk para pengunjung yang sudah membuat kami ada. Yang kedua, sedikit ingin saya ceritakan tentang Diskomfest sejak awal kemunculannya sampai saat ini yang sudah menggandeng angka tujuh. Berdasarkan cerita dari Mbak Santi Indieguerillas yang saya temui dengan beberapa teman panitia di rumahnya beberapa waktu lalu, dia menceritakan sedikit tentang Diskomfest. Bahwa Diskomfest itu muncul sebagai sebuah kegiatan senang-senang sebelum menjadi format sebuah acara festival seperti saat ini. Kehadirannya juga dilakukan untuk persiapan acara-acara lain termasuk sebuah ajang kumpul mahasiswa DKV se-Indonesia KMDGI. Disini terlihat cara kami untuk berkumpul dan berkegiatan di luar wilayah akademis. Mulai dari ngumpul di parkiran kampus sampai bermain basket kami lakukan untuk sekedar bersenang-senang, dan sampai akhirnya setelah semakin sering berkumpul, berkegiatan, dan bersenang-senang bersama kami semakin siap dan kompak untuk mengikuti kegiatan di luar. Lalu pada akhirnya di tahun 2004 Diskomfest menjadi sebuah festival DKV. Bisa dibilang bahwa wujud Diskomfest ini muncul dari adanya rasa tidak puas. Tidak puas akan atmosfer dan acara-acara DKV yang gitu-gitu saja dan dinilai semakin kaku. Atau mungkin juga karena karakteristik dari kami yang gemar berselebrasi atau senang-senang dalam mengekspresikan suatu hal. Mungkin karakteristik itu yang
07
Diskomfest7
menjadi alasan kemunculan Diskomfest. Kami punya cara sendiri untuk memecahkan masalah, kami punya cara sendiri untuk bicara persoalan DKV, kami punya cara sendiri untuk menyuarakan kreatifitas atau gagasan. Karena bagaimanapun tiap orang punya caranya masing-masing untuk menyuarakan kreatifitas, dan di Diskomfest kreatifitas atau gagasan itu perlu dirayakan. Diskomfest juga merupakan wujud aksi atau gerakan dalam mengembangkan ide-ide atau insight yang didapat. Rasanya percuma jika ilmu atau gagasan yang didapat dalam perkuliahan maupun diluar perkuliahan hanya disimpan dan untuk kepentingan sendiri, lalu kami memutuskannya berbagi dengan cara merayakannya. Pada Diskomfest pertama, dengan tema “Study Hard, Play Hard” semangat selebrasi itulah yang mulai diusung untuk dikenalkan pada masyarakat. Tidak muluk-muluk mengenai bentuk acara seperti apa, karena Diskomfest pertama hadir sebagai wujud perkenalan mengenai siapa kami dan bagaimana cara kami berkomunikasi. Terlihat semangat kami untuk belajar namun juga tidak lupa bersenang-senang. Pada Diskomfest kedua, dengan tema “Challenging Heroes” kami mengangkat gagasan mengenai desainer lokal yang tak kalah keren dengan desainer internasional. Lalu pada Diskomfest ketiga “Ring of
08
Fire”, keberagaman mahasiswa DKV ISI yang menjadi ide dasarnya. Mulai dari keberagaman metode kreatif, referensi, sampai gaya visual yang menjadikan Diskomfest mampu bertahan. Diskomfest keempat dengan tema “Culture Expansion” Diskomfest mencoba mengajak masyarakat secara langsung untuk ikut merayakannya. Bersama dengan masyarakat Kotagede kami berkarya bersama dengan membuat sign system, mural, dan komik. Dalam diskomfest keempat ini, peran desainer harus mampu mengurai ego dan idealisnya. Desainer tidak dapat memaksakan referensinya kepada masyarakat, karena tiap orang memiliki pengalman artistiknya masingmasing. Diskomfest kelima “Lokalisasi, untuk Lokal Solusi” adalah respon kami terhadap permasalahan sehari-sehari yang bersangkutan dengan ruang publik. Dimana ruang publik yang seharusnya sebagai fasilitas publik seringkali dimanfaatkan oleh kepentingan lain baik dari personal sampai politik. Lalu pada tahun kemarin Diskomfet keenam mengangkat tema “Future Food” yang memberikan gagasan seputar makanan alternatif dan ketahanan pangan di Indonesia. Pada akhirnya, kami sampai pada angka ketujuh di tahun ini. Ah, serius sudah ketujuh? sudah bukan usia yang muda lagi untuk sebuah acara dua tahunan. Bukan perkara mudah awalnya untuk menentukan kelanjutan dari Diskomfest ini, bahkan sempat berpikiran untuk tidak melanjutkannya lagi kalau hanya mengatasnamakan tradisi turun-temurun.
menjadi alasan kemunculan Diskomfest. Kami punya cara sendiri untuk memecahkan masalah, kami punya cara sendiri untuk bicara persoalan DKV, kami punya cara sendiri untuk menyuarakan kreatifitas atau gagasan. Karena bagaimanapun tiap orang punya caranya masing-masing untuk menyuarakan kreatifitas, dan di Diskomfest kreatifitas atau gagasan itu perlu dirayakan. Diskomfest juga merupakan wujud aksi atau gerakan dalam mengembangkan ide-ide atau insight yang didapat. Rasanya percuma jika ilmu atau gagasan yang didapat dalam perkuliahan maupun diluar perkuliahan hanya disimpan dan untuk kepentingan sendiri, lalu kami memutuskannya berbagi dengan cara merayakannya. Pada Diskomfest pertama, dengan tema “Study Hard, Play Hard” semangat selebrasi itulah yang mulai diusung untuk dikenalkan pada masyarakat. Tidak mulukmuluk mengenai bentuk acara seperti apa, karena Diskomfest pertama hadir sebagai wujud perkenalan mengenai siapa kami dan bagaimana cara kami berkomunikasi. Terlihat semangat kami untuk belajar namun juga tidak lupa bersenang-senang. Pada Diskomfest kedua, dengan tema “Challenging Heroes” kami mengangkat gagasan mengenai desainer lokal yang tak kalah keren dengan desainer internasional. Lalu pada Diskomfest ketiga “Ring of Fire”, keberagaman mahasiswa DKV ISI yang menjadi ide dasarnya. Mulai dari keberagaman metode kreatif, referensi, sampai gaya visual yang menjadikan Diskomfest mampu bertahan. Diskomfest
keempat dengan tema “Culture Expansion” Diskomfest mencoba mengajak masyarakat secara langsung untuk ikut merayakannya. Bersama dengan masyarakat Kotagede kami berkarya bersama dengan membuat sign system, mural, dan komik. Dalam diskomfest keempat ini, peran desainer harus mampu mengurai ego dan idealisnya. Desainer tidak dapat memaksakan referensinya kepada masyarakat, karena tiap orang memiliki pengalman artistiknya masingmasing. Diskomfest kelima “Lokalisasi, untuk Lokal Solusi” adalah respon kami terhadap permasalahan sehari-sehari yang bersangkutan dengan ruang publik. Dimana ruang publik yang seharusnya sebagai fasilitas publik seringkali dimanfaatkan oleh kepentingan lain baik dari personal sampai politik. Lalu pada tahun kemarin Diskomfet keenam mengangkat tema “Future Food” yang memberikan gagasan seputar makanan alternatif dan ketahanan pangan di Indonesia. Pada akhirnya, kami sampai pada angka ketujuh di tahun ini. Ah, serius sudah ketujuh? sudah bukan usia yang muda lagi untuk sebuah acara dua tahunan. Bukan perkara mudah awalnya untuk menentukan kelanjutan dari Diskomfest ini, bahkan sempat berpikiran untuk tidak melanjutkannya lagi kalau hanya mengatasnamakan tradisi turun-temurun. Namun, apa iya kita mau berhenti begitu saja? Apa iya kita tidak ingin berkegiatan lagi? Lantas apa lagi yang bisa kita bagi ke orang lain kalau bukan lewat Diskomfest?
09
Spontanitas & Sapaan
Koskow
Dosen
Tulisan ini dikerjakan berdasarkan pengalaman pribadi. Lebih memilih melalui pengalaman pribadi disebabkan topik penulisan buku ini, yaitu kerja kolektif, dirasa lebih kaya jika bersumber dari pengalaman langsung. Buku-buku tetap dibutuhkan, terlebih pemikiran yang menyampaikan bahwa kerja kolektif juga memiliki kekurangan. Atas dasar hal tersebut saya menyadari bahwa apa-apa yang akan dan telah dituliskan pun memiliki bolong atau celah di sana-sini. Setidaknya, apa-apa yang dituliskan tersebut, dalam ruang yang terbatas ini, bisa ditempatkan sebagai medan berbagi pengalaman. Bolehlah dari situ muncul satudua gagasan yang lebih baik.
Diskomfest7
Batuk Merapi Akhir tahun 2010 gunung Merapi erupsi untuk kesekian kalinya. Waktu itu saya sudah menetap di Yogyakarta, dan mengajar di Program Studi Desain Komunikasi Visual (DVK) ISI Yogyakarta. Seperti yang kerap saya kerjakan, dalam beberapa kesempatan saya menyempatkan diri untuk ngobrol bersama mahasiswa. Obrolan pun bisa bermacam-macam, dari sepakbola, musik, masalalu, pameran, hingga berbagai project dalam perkuliahan. Akhir tahun 2010 menjadi waktuwaktu dimana event dua tahunan, Diskomfest yang keempat, akan digelar di Jogja National Museum. Namun, erupsi gunung Merapi di akhir tahun tersebut menyebabkan banyak agenda tidak jadi dilangsungkan. Kampus merupakan ruang dimana ia juga ditimpa rasa panik. Rasa panik bersumber dari media massa yang mengabarkan kekhawatiran massal terkait dampak atau akibat erupsi gunung Merapi. Banyak mahasiswa rantau diminta pulang ke tempat asal oleh orangtua mereka masingmasing. Kampus pun diliburkan, bukan karena keberatan faktor orangtua tadi namun infrastruktur yang tidak layak untuk dilangsungkan perkuliahan. Lagipula, rumah para pengajar dan karyawan juga perlu perhatian akibat erupsi gunung Merapi tersebut. Beberapa hari setelah erupsi, dosen, karyawan, dan mahasiswa melakukan kerjabakti membersihkan abu erupsi gunung Merapi.
10
Tidak semua mahasiswa rantau pulang ke kota asal mereka. Namun, dari sekian yang memilih untuk berada di Yogyakarta tersapa untuk berbuat sesuatu terutama bagi masyarakat yang terkena dampak parah akibat erupsi Merapi tersebut. Berbagai kerja pun kami lakukan bersama, seperti mengumpulkan dan mengirimkan pakaian layak pakai. Pula, produksi desain (social campaign) atas undangan sebuah asosiasi atau lembaga desain grafis/dkv di Yogyakarya untuk merancang pesan-pesan yang menyampaikan warta agar bencana tidak menjadi komoditas, bencana tidak menjadi wujud dikasihani terus-meneurs, dan terutama penghargaan bagi para relawan serta semangat untuk bangkit pasca bencana. Saya ingat waktu itu saya dengan beberapa mahasiswa mengerjakan perabot Merapi, demikian kami menyebutnya, dan komunitas fotografi Titik Api DKV ISI Yogyakarta merancang iklan layanan sosial untuk turut berpartisipasi atas undangan asosiasi atau lembaga desain grafis/dkv di atas. Pemotretan untuk iklan layanan dikerjakan di studio foto di gedung Prodi DKV, dan saya bersyukur bisa turut menyaksikan proses pemotretan tersebut. Sebagai catatan, sewaktu terjadi gempa di Yogyakarta (tahun 2006), pasca gempa saya dan beberapa mahasiswa juga mengerjakan hal yang sama yaitu merancang pesanpesan sosial untuk memberi informasi bahwa warga Yogyakarta mampu bangkit, tidak malas, dan bencana jangan/ tidak boleh dijadikan komoditas (oleh partai,
misalkan, atau kepentingan iklanpemberitaan televisi suwasta, dsb). Apa yang kami rancang tersebut berupa desain sosial yang hadir dalam berbagai teknik dan idiom. Koordinasi kami kerjakan di rumah Ong Harry Wahyu, sosok desainer senior di Yogyakarta yang khas dengan pendekatan lokal di hampir setiap rancangan desainnya. Desain-desain yang kami rancang tersebut kami kirim ke majalah CONCEPT dan dimuat di majalah tersebut. Majalah CONCEPT merupakan salah satu majalah yang saat itu kerap dirujuk guna mengetahui perkembangan trend dan wacana dkv. Karya-karya desain sosial yang kami kirim tersebut disertai tulisan yang dikerjakan oleh seorang rekan yang juga alumni DKV ISI Yogyakarta. Tujuan tulisan yaitu guna memperjelas perspektif dan paparan kerja yang kami kerjakan bersama-sama waktu itu. Saya lupa, majalah CONCEPT edisi ke berapa yang memuatnya. “Saya ingat ketika Bantul diguncang gempa bumi 2006 silam, kelompok utara (kawasan Sleman-red) datang berbondongbondong membantu kami yang tengah dilanda duka. Maka tak salah kiranya saat ini kelompok selatan (kawasan Bantul-red) yang datang membantu kelompok utara,� tutur Aznar. (Sumber: Lentera Timur.com/Arif Budiman, 14 November 2010; Foto-foto
11
Keterangan: Dua buah karya saya untuk majalah CONCEPT, karya dalam rangka merespon bagaimana media massa (pers) mengokeploitasi gempa Jogja sebagai komoditas berita. Saya lupa di mana saya menyimpan file karya lain rancangan teman-teman yang turut berkarya waktu itu. Setidaknya karya-karya tersebut masih dapat dicari di Majalah CONCEPT yang terbit tidak lama setelah peristiwa gempa Jogja tahun 2006.
perabot Merapi bersumber dari situs tersebut dan foto oleh Arif Budiman; Arif Budiman merupakan mahasiswa DKV ISI Yogyakarta yang saat itu menjadi kontibutor tulisan-foto di situs Lentera Timur; Saat ini Arif Budiman mengajar DKV di ISBI Aceh). Pengalaman yang saya kerjakan terkait gempa di Yogyakarta memengaruhi kerja-kerja spontanitas selanjutnya, yaitu perabot Merapi. Jika sewaktu gempa Yogyakarta kami (saya, mahasiswa, alumni) merancang publikasi/ iklan sosial, pada erupsi gunung Merapi kami (saya, mahasiswa) merancang perabot untuk kebutuhan rumah tangga terutama mereka yang terkena musibah parah. Jika pada gempa Yogyakarta kami melihat dan menanggapi realitas media, dan atas dasar itu kami mendesain dengan logika yang berbeda dari logika pemberitaan bencana oleh media pada umumnya, pada perabot Merapi kami berbagi tugas. Titik Api merancang iklan sosial dengan pesan-pesan positif apresiatif, dan yang lain mengerjakan perabot Merapi.
Diskomfest7
Asal muasal perabot Merapi juga dari kebingungan. Beberapa mahasiswa (saya juga) tidak memiliki kecakapan lapangan jika terjun sebagai relawan. Relawan merupakan agen tercepat dalam situasi tanggap bencana. Namun, pasca bencana, dalam hal ini recovery juga penting. Kami pun mencoba membayangkan (imajinasi) tahap recovery tersebut. Tahap ini kami bayangkan tahap dimana warga yang tempat tinggalnya rusak akibat erupsi gunung Merapi memerlukan berbagai barang atau benda untuk keperluan sehari-hari, seperti lemari, meja, dingklik (kursi kecil untuk duduk rendah), rak cuci gelas piring, dan kursi panjang (untuk duduk lebih dari satu orang). Barang-barang tersebut untuk melanjutkan aktivitas sehari-hari seperti biasanya. Berbagai perabot tersebut kami buat dan susun dari kayu bekas
12
Keterangan: (kiri) Untuk persiapan rekonstruksi pascaletusan gunung Merapi, mahasiswa dan dosen bergiat membuat perabot rumah tangga di selasar kampus Desain Komunikasi Visual Institut Seni Yogyakarta. (Lentera Timur.com/Arif Budiman, 14 November 2010) (kanan) Karya pameran mahasiswa yang tidak dipakai menjadi bahan mentah pembuatan perabot. (Lentera Timur. com/Arif Budiman, 14 November 2010)
spanram pigura. Penggunaan kayu-kayu juga seijin lembaga (dalam hal ini Ketua Program Studi DKV ISI Yogyakarta). Model atau desain perabot dibantu oleh beberapa mahasiswa Prodi Desain Interior, yang selanjutnya kami terapkan desain tersebut untuk menjadi desain seperti yang telah dirancang oleh mereka. Peralatan kerja kami bawa dari rumah, dari kos, dan hadir pula peralatan kerja mahasiswa DKV yang memang memilih menekuni kerja ketukangan-display. Peralatan-peralatan tersebut sangat membantu dalam mengerjakan perabot Merapi. Material print (vinil) yang tadinya terpasang di spanram pun digunakan oleh mahasiswa Jurusan Kriya. Material bekas dipola dan dijahit dan menjadi tas. Tas dijual, dan hasil penjualan untuk donasi ke korban bencana erupsi gunung Merapi. Pengerjaan perabot Merapi berlangsung selama seminggu, dan kami kerjakan di lobi gedung DKV, sejak pagi hingga sore hari. Setelah semingguan itu kami merasa lelah juga. Bahan untuk mengecat perabot belum ada. Sebuah kabar baik pun hadir menyapa, rekan saya seorang pengajar di DKV ITS menghubungi saya melalui handphone. Dia menanyakan apa yang dapat mereka (DKV ITS) bantu. Sewaktu mereka menanyakan “apakah pakaian layak pakai�, saya menjawab bahwa sumbangan dan ketersediaan pakaian sudah mencukupi. Informasi tersebut saya dapati dari satudua teman relawan yang memilih untuk bergerak dalam hal penyediaan pakaian, dapur umum, logistik. Lantas saya sampaikan bahwa kami sedang merancang perabot rumah tangga, namun belum ada cat untuk mengecat kayukayu perabot. Rekan saya di Despro ITS akan menyampaikan pada kolega di kampusnya. Dan, beberapa hari setelahnya, datanglah seorang rekan yang juga pengajar di DKV ITS yang sedang menempuh S2 di ISI Yogyakarta. Dia ke Jogja sambil membawa sekardus berisi kaleng-kaleng cat, ada yang bekas, namun beberapa baru. Kardus berisi kaleng-kaleng cat saya jemput dan ambil di Stasiun Tugu, bersama seorang mahasiswa.
13
Keterangan: Beberapa perabot yang sudah setengah jadi namun belum dicat di simpan di Studio Desain Komunikasi Visual Institut Seni Yogyakarta. (Lentera Timur.com/Arif Budiman, 14 November 2010)
Lalu kami bawa ke kampus dan siap untuk digunakan. Persoalan tidak selesai di situ. Mengecat sekitar 30-an lebih perabot tidak mudah juga. Yang jadi kendala yaitu fisik kami mulai tidak fit. Lalu, datang teman-teman dari Pondok Pesantren Mahasiswa Hasyim Asy’ari, yang letak pondok mereka tidak begitu jauh dari kampus ISI Yogyakarta, tepatnya di selatan kampus, sisi timur jalan Parangtritis. Teman-teman dari pondok itulah yang mengecat dan juga mengalokasikan perabot untuk para warga di daerah yang tertimpa dampak erupsi Merapi. Selepas perabot dicat dan mengering, bersama sebuah pick up warna merah, perabot diangkut ke Muntilan. “…kau tak perlu meratapi diri telah kubaringkan hatiku di tempat ini sungguh, apa pun keadaannya
Diskomfest7
Hei, aku ingat waktu itu atap-atap bangunan bertabur salju Merapi sedang kalian sembari menutupi hidung grak grek grok membangun perabot-perabot : almari, meja, dingklik, kursi panjang yang terbuat dari kayu sisa berdandan dan dikirimkan ke sebuah sekolahan di Muntilan, bersama sebuah pick up warna merah…” (baris puisi dalam “sepi yang paling indah – membayangkan desain(er), Koskow, 2016)
14
“Jika bencana meletusnya gunung Merapi di Yogyakarta biasanya disikapi dengan penggalangan dana, tidak demikian halnya dengan Institut Seni Yogyakarta. Fakultas Seni Rupa, melalui Program Studi Desain Komunikasi Visual, Desain Interior, dan Jurusan Kriya, justru melakukan kerja-kerja produksi: penciptaan berbagai perabotan rumah tangga. Perabotan rumah tangga yang dibuat tersebut diantaranya adalah meja, kursi, rak piring, dan tempat jemuran. Benda-benda yang dibuat dari barang-barang bekas ini diciptakan sejak Senin (7/11) lalu untuk mengantisipasi kebutuhan para korban saat kesulitan membuat atau membeli kebutuhan rumah tangganya.� (Lentera Timur.com/Arif Budiman, 14 November 2010) (Ke)kabur(an) Dua bentuk kerja di atas masih dekat sebagai kerja kolektif, digerakkan karena faktor bencana alam. Kerja kolektif juga berlaku untuk hal-hal lain di luar bencana alam. Pengalaman kerja kolektif gempa Jogja dan erupsi gunung Merapi menjadi modal bagi saya dalam berkarya bersama mahasiswa di kemudian hari. Singkat kata, kerja-kerja kolektif tersebut tidak hanya ada karena bencana alam, namun juga untuk ruang lain, misalkan workshop/ lokakarya). Satu hal yang menjadi dasar kerja kolektif yaitu adanya trust dan rasa menghargai keberadaan atau peran masing-masing. Cara membangun trust yaitu lewat hubungan-hubungan kultural (ngobrol bareng, nongkrong bareng, main ke rumah, dsb). Hubungan-hubunga
tersebut memperjelas kekaburan dalam mengenal satu sama lain. Kekaburan inilah yang perlu diperjelas yang dari situ trust mendapati ruangnya, ruang kolektif. Kesadaran kolektif: Suatu prasyarat penting bagi solidaritas sosial, istilah Durkheim untuk sharing keyakinan, penilaian dan pandangan dunia dan, sebagai hasilnya, melindungi kesadaran akan identitas bersama di kalangan populasi dari individuindividu yang berbeda. Menurut Durkheim, fungsi utama agama adalah sangat penting dalam menghasilkan dan melindungi kesadaran kolektif. (Pip Jones, 2009: 277) Istilah kolektif mengandaikan ada kehadiran langsung orang lain, atau bersama (sharing). Kebersamaan yang berbagi tersebut merupakan hal penting bagi solidaritas sosial. Demikian pula dengan kerja perabot Merapi yang dikerjakan di atas juga didasari dengan adanya solidaritas sosial. Tidak hanya sivitas akademik DKV tetapi juga desain interior, dan Kriya, meski melibatkan beberapa orang/ mahasiswa saja. Solidaritas tersebut juga disebabkan tuturan pak Asnar Zacky, pengajar senior di DKV ISI Yogyakarta, bahwa “Saya ingat ketika Bantul diguncang gempa bumi 2006 silam, kelompok utara (kawasan Sleman-red) datang berbondong-bondong membantu kami yang tengah dilanda duka. Maka tak salah kiranya saat ini kelompok selatan (kawasan Bantul-red) yang datang membantu kelompok utara.� Tuturan pak Asnar Zacky tersebut seolah menyampaikan bahwa ada warga Jogja utara dan selatan, dan tentunya juga barat, timur, dsb. Sebagai warga yang menetap di sebuah ruang (kota) saya, dan
15
juga kita menghuni di tempat tertentu yang secara geografis terpetakan. Ruang atau tempat tersebut bisa berada di salah satu sisi kota yang kita huni. Pembagian berdasarkan wilayah memang mudah, namun solidaritas dan kerja kolektif pun tidak bertentangan dengan pembagian tersebut. Utara dan selatan dalam pernyataan pak Asnar Zacky menunjuk pada kekhasan ruang di Yogyakarta bahwa sisi utara berbatas dengan gunung Merapi (dataran tinggi), dan sisi selatan berbatas dengan laut/ Samudera Indonesia (dataran rendah). Gempa Jogja tahun 2006 berpusat di laut tersebut, dan erupsi gunung Merapi di Jogja utara. Keduanya memunculkan korban bencana alam yang cukup luas. Bagi saya yang penting atau mendasar dari tuturan pak Asnar Zacky yaitu “saya ingat ketika...”. “Ingat” inilah yang hadir melalui sebuah peristiwa terlebih dahulu (kehadiran warga dari Jogja utara yang datang ke Jogja selatan untuk membantu recovery pasca gempa, dan ingat di situ merupakan satu modal bagi keberlangsungan dan keberlanjutan solidaritas sosial melalui kerja-kerja kolektif atau bersama di kemudian hari. Orang Jawa punya istilah eling. Istilah ini biasanya digunakan untuk sebuah tindakan yang hendak diputuskan dan dikerjakan dimana tindakan tersebut bukan sebuah keputusan dan tindakan yang sembarangan terutama jika dikaji hingga ke yang mendalam. Eling mengandaikan keberadaan pada yang lain dan yang lain ini mendalam.
Diskomfest7
Dalam kerja perabot Merapi keberlangsungan “saya ingat ketika...” merupakan satu penanda bahwa kerja kolektif tidak bertujuan untuk kerja itu sendiri namun untuk, katakanlah, sistem sosial yang senantiasa kita rawat. “Saya ingat ketika...” juga bisa kita ajukan sebagai satu unsur dalam memperkuat dasar kerja kolektif dan bangunan solidaritas sosial untuk menyertai unsur lain yang kerap melatari seperti agama, kelas, wilayah/ daerah, dsb. Kampus, kita rasa, merupakan satu ruang (habitus) dalam menjalankan berbagai bentuk kerja kolektif karena sejauh ini kita percaya bahwa kepentingan kampus adalah untuk pengetahuan dan bukan untuk, katakanlah, politik praktis. Kesadaran ini penting mengingat solidaritas kerap diaju-ajukan namun tidak untuk kemaslahatan bersama (keberagaman) tetapi untuk memperkuat identitas kelompok tertentu/ sektarian. Kolektif yang demikian saya rasa kurang atau
16
tidak tepat (bahkan tidak benar) karena konteks hidup kita yaitu masyarakat yang beragam. Kolektif yang demikian tadi mengingatkan saya pada apa yang mau saya tunjuk pada praktik penggalangan massa yang kerap dipicu oleh prasangka kelas-kelas sosial dan untuk tujuan-tujuan praktis-politis. Setelah Bencana Sekarang ini saya masih di kampus, sedangkan mahasiswa yang juga teman ngobrol saya pun satu persatu lulus. Ada sebagian dari mereka yang masih saya jumpai, baik sewaktu mereka mampir ke kampus, atau saya yang mampir ke rumah yang bersangkutan. Kadang, perjumpaan bersama mereka, yang saat ini menyandang diri sebagai alumni, berlangsung di gelaran seperti Diskomfest. Memang, ruang perjumpaan di sosial media dimungkinkan, namun berjumpa langsung memberi kesan yang berbeda, bahwa di situ spontanitas bisa hadir dan langsung terasakan. Seolah, semua indera bekerja dan menangkap momen-suasana. Kerja kolektif gempa Jogja dan erupsi gunung Merapi pun menjadi modal saya dalam berbagi kisah bahwa kebersamaan itu memperkuat rasa atau ikatan sebagai sesama manusia. Satu hal yang bagi saya penting dalam kerja kolektif yaitu sisi trust dan terbuka diri. Memang, tidak semua hal harus kita tunjukkan, bahwa ada sisi lain yang tetap menjadi privasi kita. Namun, kerja kolektif membutuhkan dasar yang kuat sebagai sebuah kesadaran (kolektif) yaitu solidaritas sosial. Dengan begitu kerja kolektif pertama-tama tidak untuk mengumpulkan banyak dana, banyak uang, banyak penyumbang, namun mengumpulkan atau tepatnya bagaimana melibatkan banyak orang. Dalam kalimat lain, kerja kolektif yaitu bagaimana saya mau dan bisa terlibat bersama dengan yang lain. Dari situ gagasan, pengalaman,
dan pemikiran boleh diharapkan muncul tanpa disertai prasangka. Mungkin satu cara mengidentifikasi kerja kolektif yaitu manakala diri saya turut dan terlibat di sana setelahnya saya akan mendapati diri saya diperluas oleh kehadiran orang lain dan orang lain diperluas karena kehadiranku. Perluasan tersebut merupakan wujud saling membuka diri. Maka itu, meski dalam sebuah kerja kolektif ada seorang pemimpin, namun prinsip dasarnya yaitu trust dan inisiatif. Jadi, bagi saya, ada hubungan ngobrol dan nongkrong bersama mahasiswa bagi kerja kolektif. Dari situ trust muncul dikarenakan obrolan dan tongkrongan merupakan ruang bagi kita untuk saling berbicara dan saling mendengar, tentu tergantung seperti apa obrolan dan tongkrongan tersebut. “Saya ingat ketika...� tak lain satu bentuk berbicara bahwa di suatu masa kolektif itu pernah ada. Tugas selanjutanya yaitu memperluasnya, mengingatnya, memperluasnya, dst. Beberapa tahun setelah kerja kolektif di atas saya berjumpa dengan generasi baru yang membawa perbedaan dalam beberapa hal. Kerja-kerja kolektif tetap kami (saya, mahasiswa, dan alumni) kerjakan hanya saja ruangnya berbeda: lokakarya seni (tindes art), perbukuan dan pembaca (Bundakata), dan yang belakangan tergelar yaitu Andong buku #2 di Bentara Budaya Yogyakarta (November 2016), dsb. Kerjakerja tersebut bisa berlangsung hingga kini juga karena adanya ikatan emosi dan diskusi-diskusi bersama selepas kuliah. “Andong Buku lebih memilih diri sebagai ruang dan peristiwa buku, dibanding sebagai (sebuah) lembaga.�
17
Keterangan: Teman-teman yang berpartisipasi dalam gelaran Andong Buku #2, sebuah gelaran apresiasi buku, berupa launching buku bersama, dan pertunjukkan mengapresiasi buku (pembacaan puisi, monolog, performans art, dsb). (Sumber foto: Facebook Kanjeng Tok)
Perjumpaan dengan kawan lain memperluas rasa kolektif sekaligus memperdalamnya. Selain konsisten dalam menjalankan niatan bersama (kolektif), hal lain yang membuat kolektif agar tidak mekanis yaitu spontanitas. Setidaknya itu yang saya alami. Maka itu perluasan dan perjumpaan bersama yang lain merupakan satu usaha agar spontanitas terjaga. Kolektif yang tanpa disertai spontanitas berpeluang menjadi kerja yang serba mekanis. Spontanitas terus tanpa refleksi berpotensi bagi kerja-kerja berkala mengingat dalam hidup ada hal-hal yang kontinu dikerjakan, ada pula yang merupakan respon spontan (insting mengendus kahanan). Kolektif itu sebuah ruang, kerja, dan cara dalam memperluas diri bersama-sama dengan yang lain. []
Diskomfest7
Pustaka: Koskow, “sepi yang paling indah – membayangkan desain(er)”, Tan Kinira Books, Yogyakarta, 2016. Pip Jones, “Pengantar Teori-Teori Sosial – Dari Teori Fungsionalisme hingga Post-modernisme”, Buku Obor, 2009. Tautan: Lentera Timur.com
18
Keterangan: Gelaran dalam Andong Buku #1, 2016, di N-Workshop, Yogyakarta. Skala Andong Buku #1 lebih kecil dibanding Andong Buku #2, namun apresiasi dalam acara tersebut dan kerja bersama-sama itulah yang penting dan mengelolanya. (Sumber foto: Facebook Kanjeng Tok)
Facebook Kanjeng Tok Tentang penulis: Koskow (F X Widyatmoko), dilahirkan di Semarang, 10 Juli 1975. Sejak 2005 mengajar di Program Studi Desain Komunikasi Visual ISI Yogyakarta. Buku yang diterbitkan antara lain “Merupa Buku” (LKiS, Yogyakarta, 2009), “Teman Merawat Percakapan” (Tan Kinira Books, Yogyakarta, 2013), “sepi yang paling indah – membayangkan desain(er)” (Tan Kinira Books, Yogyakarta, 2016), “Sudut-Sudut Hati” (Sastra Sewu, Yogyakarta, 2016). Email: koskowbuku@gmail.com
19
Kegotongroyongan Bundakata
Restu Ismoyo Aji
Diskomfest7
Alumni DKV ISI Yogyakarta 2009
20
Industri buku selama ini tidak memberi banyak pilihan bagi pembaca. Pembaca selalu hanya dijadikan pasar potensial oleh penerbit demi meraup keuntungan sebesar-besarnya. Hal ini bisa diamati dari tren buku yangmuncul silih berganti mengatasnamakan pelayanan atas selera pembaca. Hingga saat ini ruang penataan di toko-toko buku terus dipenuhi tema-tema yang nyaris seragam, di mana satu buku mengekor kepopuleran lainnya. Tidak cukup soal tema keseragaman juga ikut merambah sisi sampul luarnya. Sampul luar pun ikut menghamba kemauan pasar. Dari situasi ini tumbuh Bundakata, sebuah gagasan mengenai “buku” yang semangatnya adalah hendak menghargai pembaca. Cara pandang segar tentang “buku” yang berbeda dari buku pada umumnya ditawarkan kepada manusia pembaca melalui permainan di ranah pemaknaan yang timbul dari pilihan kata-kata bersanding bersama praktik-praktik unik darinya. Agak rumit sesungguhnya memahami konsep Bundakata dan jalan yang diambilnya. Ada yang berkomentar dengan nada bergurau bahwa ini adalah model gerakan marxis. Rain Rosidi, seorang kurator dan pengajar di ISI Yogyakarta menyebutnya sebagai gerakan “turba” (turun ke bawah). Setidaknya ada tiga konsep kunci: peristiwa— bukan lembaga, gotong royong, dan memberi pilihan. Oleh dua orang pengagasnya, Widyatmoko (40 tahun) yang akrab disapa Koskow dan Awalludin Luthfi (27) yang biasa dipanggil Cak Udin, Bundakata timbul dari penolakan terhadap yang baku dalam industri buku. Keduanya memang “orang-orang
Bentuk display seni rupa buku di Nandur Srawung
buku,� orang yang telah berkecimpung dan memiliki kepedulian di dunia perbukuan. Koskow seorang pengajar di Fakultas Seni Rupa ISI Yogyakarta, penulis Merupa Buku (LKis) dan Teman Merawat Percakapan (Tan Kinira). Sementara Cak Udin semenjak kuliah di Surabaya telah aktif di sejumlah event organizer perbukuan dengan ikut mengadakan pameran buku di beberapa kota kecil di Pulau Jawa. Nama Bundakata itu sendiri sudah merupakan pilihan bahasa yang berkesan damai dan menenangkan. Dicetuskan Cak Udin dalam sebuah perjalanan berkendara sepeda motor bersama Koskow, nama ini diinspirasi dari peran mulia seorang ibu. Bundakata bagai rahim yang mampu melahirkan siapa saja (penulis) dan apa
saja (tulisan/karya). Begitu pula tulisantulisan yang lahir dari Bundakata yang pada ujungnya mampu menggerakkan dan menginspirasi orang-orang yang bersentuhan dengannya. Di Bundakata setiap penulis (yang bisa siapa saja) akan berkarya dalam format selembar kertas A4 yang dilipat menjadi dua sehingga didapati dua lembar A5 yang berdampingan (4 halaman bolak-balik). Isinya boleh berupa apa saja baik tulisan, gambar, foto, hingga komik. Karya ini setelah dilayout lantas dicetak pada kertas buram (ukuran 21,5 x 33 cm) dengan memakai mesin cetak toko atau fotokopi, terserah kemampuan penulis. Kertas buram dipilih agar lebih ramah lingkungan. Penulis dapat mencetak sendiri atau mengirim tulisan
21
Diskomfest7
(yang belum dilayout) ke Cak Udin atau Koskow untuk dicetak bersama. Biaya cetak akan diusahakan bersama alias patungan. Jika ada penulis yang belum sanggup membayar ongkos produksi, Bundakata tidak menuntut penulis untuk segera membayar. Ini karena hubungan pertemanan dan perkenalan yang serba guyup dikedepankan. Tulisan atau karya tersebut lalu akan dipertemukan dalam sebuah ajang yang dilabeli dengan “peristiwa” Bundakata yang menumpangi pameran buku atau seni di sebuah stan. Lembar-lembar karya penulis yang ditata dan dibentangkan ini dihadapkan kepada pengunjung pameran/pembaca untuk disusun sendiri urutannya langsung di lokasi sesuai kemauan pembaca. Pembaca dapat memilih tulisan/karya yang disukai, mengkreasi sampul untuknya, dan membawanya pulang tanpa dipungut biaya.
disusun sesuai selera dan preferensi dalam folder komputer. Model berkarya, pameran, dan interaksi dengan pengunjung semacam ini sesungguhnya ditelurkan dari obrolan di DDF (Diskom Drawing Foundation),
Pendeknya Bundakata lahir karena dan ada demi pembaca. Posisi pembaca dihargai dengan kebebasan memilih tulisan yang disukai. Bundakata memberi mereka pengalaman bagai seorang editor buku walau hanya dalam taraf penyusunan. Tulisan mana yang diletakkan di depan, di tengah, dan mana yang di belakang seluruhnya berada
organisasi. Tubuh ini berhubungan, saling bersinggungan antara titik satu dan lainnya, dan terus berubah. Tubuh-tanpaorgan dipertentangkan dengan organisme (yang diasosiasikan bagai pohon) di mana setiap unsur punya fungsi. Tubuh ini keluar dari teritori (kriteria-kriteria tetap), dan membentuk kembali dengan cara baru di daerah baru (Haryatmoko, Basis no. 5-6, tahun 64, 2015). Mungkin karena itulah Bundakata mudah menyebar dan telah hadir di Semarang, Jepara, Malang, keluar dari kota Yogyakarta yang membenihinya.
dalam kendali pembaca. Layaknya perilaku orang yang berkelana di internet, di mana orang bebas membaca/ menyimpan apa saja yang disukainya dan
22
sebuah komunitas pehobi menggambar di program studi Desain Komunikasi Visual ISI Yogyakarta. Hanya saja gagasan itu belum terujud. Oleh Koskow dan Cak Udin gagasan ini dipinjam dan diadaptasi untuk mengakomodir konsep “buku” Bundakata. Toh, para pehobi gambar pun akhirnya jadi punya ruang ikut serta di Bundakata. Karya gambar bisa dijadikan ilustrasi atau sampul buku. Peristiwa, bukan Lembaga Bundakata yang menyebut diri bukan lembaga, forum, ataupun komunitas namun hanya “peristiwa” sedikit mengingatkan akan konsep tubuhtanpa-organ Deleuze yang melampaui
Istilah pengurus bayangan mengandaikan bentuk pelembagaan juga. Dia lebih suka menyebut Bundakata sebagai “ada orangorangnya.” Cak Udin menyebut mereka sebagai “pelaku” (Awalludin dalam Hadid
Sambutan para pembaca Bundakata
Ketiadaan bentuk lembaga/badan tak pelak membuat Bundakata seolah kosong. Kosong dalam arti tanpa ada struktur kepengurusan. Meskipun kenyataannya tetap saja ada yang mengurus agar ia berjalan. Misalnya ada yang mengurus penataletakan (layout) karya-karya penulis lewat media Adobe InDesign sebelum naik cetak, ada pula yang mengambil peran mencetak lalu menjadi “kurir” karya-karya tersebut, ada yang mengurus patungan dana cetak, ada pula yang kebagian men-display dan membongkar karya, ada juga yang mengambil peran jaga stan, pendokumentasian, hingga pengarsipan. Koskow menolak sebutan “pengurus bayangan” untuk mereka.
ed. 2014). Toh, banyak dari mereka yang menjalani peran ganda tanpa ada yang ribut dengan ketidakadilan pembagian kerja. Cara kerja model ini meniadakan job description yang lazim terdapat pada organisasi/lembaga. Di sinilah kegotong royongan terlihat dalam sebuah peristiwa. Peristiwa yang dipenuhi oleh orang-orang yang menghidupi Bundakata. Orangorang biasa yang bahkan bukan penulis di Bundakata. Ketiadaan lembaga ini diakui oleh Cak Udin berdampak pada ketidaktahuan mereka yang tertarik untuk urun berkarya harus menghubungi siapa. Perekat antar para pelaku hanya melalui laman Facebook Bundakata yang terbuka bagi semua orang. Dia tidak merasa ini adalah sesuatu yang buruk sebab dengan begitu gagasan Bundakata justru bisa menyebar dan semakin meluaskan jaringan pertemanan dan perkenalan. Dalam memahami “peristiwa” sebagaimana dimaksud Bundakata, Cak Udin menyebutnya sebagai sesuatu yang “serba tak terduga” atau “yang dinanti-nanti.” Peristiwa Bundakata berupaya menghindari segala hal yang bersifat rutin: pertemuan rutin, acaraacara rutin, rapat, dsb. Banyak komunitas menulis yang mencoba melakukan rutinitas
23
Diskomfest7
atau sesuatu yang diagendakan secara tetap sehingga kegiatan tersebut terasa seperti kewajiban atau beban, Bundakata sebaliknya tidak harus selalu ada dalam rentang waktu tertentu. Dengan begini Bundakata menjadi langkah yang bebas dari tuntutan. Sejauh ini telah terjadi tiga peristiwa Bundakata yang mengangkat tema khusus. Yang pertama “Buku Istimewa” (2013), kedua “Jaman Ngedan” (2014), dan ketiga “Ironi dan Daya Hidup” (2014). Setiap tema hadir dari obrolan akrab dan diskusi kecil orang-orang Bundakata untuk menyikapi situasi yang terjadi ketika itu. Setiap peristiwa Bundakata yang terujud dalam tema tidak selalu harus hadir setiap saat atau dalam kurun waktu tertentu, sesuai dengan ke-peristiwa-an yang menjadi jalannya. Kendati Bundakata senantiasa hadir di manapun meskipun tanpa
dihadirkan oleh Bundakata. Tidak saja dari orang-orang yang terlibat atau pembaca yang diberi kebebasan menyusun, tapi juga dari sisi penulisnya. Di sini siapapun boleh bergabung untuk berkarya. Siapapun
ada tema baru. Bundakata berkeliling dari ajang pameran seni, pameran buku, dan ajang-ajang lain. Jaringan perkawanan dan perkenalan betulbetul dimanfaatkan. Terakhir ia dihelat berbarengan dengan Dies Natalis ISI Yogyakarta XXXI akhir Mei 2015 bertajuk “Selipat.” Berupa naskah/karya-karya di Bundakata yang lalu dijahit bersama
Bundakata memicu rasa resah mereka yang cuma dipandang sebagai “pembaca” (konsumen) agar mau merasakan menjadi “penulis” (produsen). Terbukti jumlah penulis meningkat di setiap helatan ajang Bundakata. Kegotong royongan juga tampak dari logo Bundakata yang disumbangkan oleh Andre Tanama, seniman dan pengajar di Fakultas Seni Rupa ISI Yogyakarta. Diambil dari lukisan tahun 2010 berjudul Dreamy World (Awalludin dalam Hadid ed. 2014), logo ini menampilkan seorang
menjadi buku dengan seutas benang. Buku Gotong Royong Ruang-ruang cair tanpa batas
24
diundang ikut serta tanpa ada batasan usia, jenis kelamin, jenjang pendidikan, pekerjaan, tingkat ekonomi, dan sosial. Bundakata tidak mencoba membuat sekatsekat pemisah, atau yang dikatakan oleh Koskow sebagai partisi-partisi. Bundakata berbeda dari buku bunga rampai pada umumnya yang disusun dengan syarat tema tulisan dan kualifikasi tertentu dari penulisnya. Hanya di Bundakata tulisan seorang anak berumur 3 tahun disandingkan dengan tulisan seorang mahasiswa S2. Semua bergantung kepada pembaca yang diberi kebebasan menyusun karya-karya tersebut menjadi satu bundel buku. Pun pembaca bila tertarik untuk ikut menjadi penulis. Sebab rupanya
Bundakata di Hindu Fair
anak perempuan yang tengah menunduk membaca buku. Koskow menyampaikan bahwa dalam menulis atau berimajinasi saat menulis, seorang dibebaskan untuk berimajinasi, berkreasi penuh angan dan mimpi seperti anak kecil yang hanya ingin berbagi. Demi menjaga interaksi dan ikatan antara pembaca dengan Bundakata, sistem “barter” diperkenalkan bagi pembaca yang ingin mengambil/ menyusun karya para penulis. Tujuannya untuk saling mengapresasi. Penulis menghargai hak-hak pembaca memilih tulisan yang disukai, begitu pula pembaca menghargai karya para penulis. Barter ini dapat berupa apa saja seikhlasnya, sukarela, dan semampu pembaca. Ujudnya pun amat sangat beragam tak harus selalu uang, malah uang sebagai alat tukar sebisa mungkin dihindari. Di kesempatan Bundakata tema pertama (“Buku Istimewa”) di Semarang pada acara pemeran Semarang Sejuta Buku. Natalia Afnita, salah seorang penulis dan penjaga
stan di Bundakata menuliskan bahwa tak urung barter ini menimbulkan kebingungan pengunjung/pembaca karena tidak tahu nilai yang layak dari buku Bundakata yang mereka susun. Akhirnya buku lain yang baru saja dibeli oleh pembaca di pameran buku yang sama diberikan kepada Bundakata. Ada pula yang menulis puisi, ada yang membacakan puisi langsung di stan Bundakata, ada yang menawarkan diri untuk menjaga stan, hingga memberikan harmonika miliknya. Ditambahkan oleh Cak Udin ada pula yang menyanyi atau sekedar menulis kesan dan pesan di lembar yang tersedia. Bentuk-bentuk apresiasi ini cukup mencengangkan dan dapat dibaca betapa nyata kegotongroyongan itu di kala setiap orang yang berpartisipasi memberi semampunya. Dalam perkembangannya, kata barter yang terlalu berkonotasi pertukaran setara dan dinilai bermotif ekonomi kemudian diganti dengan istilah “take and give.” Ini terlihat pada Bundakata #3 bertema Ironi dan Daya Hidup. Semangatnya tetap menjaga hubungan dan saling menghormati. Tetapi take and give pun masih mengandaikan adanya transaksi di mana salah satu pihak bisa jadi lebih diuntungkan dari lainnya. Belakangan kata take and give digantikan dengan “give and give.” Di sinilah kekuatan bahasa dalam memberi makna. Bundakata yang sedari awal ingin memberi pilihan semakin mendekat dengan mendorong “saling
25
mampu berkembang biak ke segala arah, tanpa dibatasi kode penyatu (Haryatmoko, Basis no. 5-6, tahun 64, 2015). Bagi Koskow Bundakata adalah sebentuk dari tindakan “memberi pilihan.” Mengenai
Bundakata ke kampus ISI Yogyakarta
Diskomfest7
memberi.” Saling memberi jelas berbeda dengan “ambil baru kemudian memberi” seperti yang terkandung dalam “take and give.” Memberi Pilihan Berbeda dari penerbit buku indie yang menetapkan visimisi perlawanan secara jelas kepada kemapanan penerbit besar dan industri buku yang cenderung melakukan pendiktean tema. Koskow tidak secara tegas mengelak istilah “melakukan perlawanan,” tapi juga tidak mengiyakan. Bundakata juga tidak tepat jika disebut gerakan sosial. Koskow menyebut sebuah pepatah Jawa: “ngono yo ngono ning ojo ngongo” untuk mengilustrasikan ‘gerakan’ Bundakata. Tujuannya bukan untuk perubahan sosial. Dengan gerakan semacam inilah Bundakata justru bisa mudah masuk/diterima di mana-mana. Bundakata menjadi seperti rhizome yang dimaksud oleh Deleuze. Tidak ada pusat,
26
“pilihan” Cak Udin mempersilakan bila istilah ini dipahami seperti memahami jalur alternatif atau musik alternatif. Yang jelas Bundakata memang hadir sebagai respon atau tanggapan atas industri buku yang makin terseret arus pelayanan pasar dan kian berorientasi keuntungan. Respon atau tanggapan tentu tidaklah sama dengan “reaksi” yang timbul lebih cepat dan tanpa dipikirkan dengan matang. Koskow juga menolak jika Bundakata dikatakan bentuk budaya tanding apalagi gerakan subversif. Mau kemana arah Bundakata oleh Cak Udin dianalogikan seperti angin yang berembus, kehadirannya dapat dirasakan namun tidak terlihat. Ia dapat berembus ke mana saja, dapat mengisi apa saja. Sony Prasetyotomo, salah seorang penulis dan pelaku Bundakata sepakat bila Bundakata diibaratkan air yang mengalir. Mungkin dengan analogi air ini Bundakata hendak memasuki setiap ceruk dan meresap di dalamnya. Bagi Cak Udin bila ada yang berminat pun dipersilakan mengadakan “peristiwa” yang sama dengan nama Bundakata di mana pun tanpa izin resmi dari orang-orang yang terlibat selama ini, bahkan tanpa restu pencetusnya sekalipun. Hanya saja untuk urusan satu ini Koskow menekankan pentingnya berkomunikasi
Udin pemilik akun tersebut ditegurnya. Bundakata tidak boleh untuk jualan buku. Ia tidak dibuat untuk mencari keuntungan. Menyusul teguran tersebut, pihak yang mengatasnamakan Bundakata tersebut
Logo oleh Andre Tanama
bagi pihak yang ingin menyelenggarakan Bundakata dengan orang-orang yang telah terlibat. Agaknya ada kecemasan yang berangkali cukup beralasan lantaran pemakaian nama Bundakata oleh lain pihak turut menggeser sisi konseptual Bundakata. Berdasar pengalaman sebelumnya keseksian nama dan konsep Bundakata telah menarik sejumlah pihak. Moammar Emka (penulis Jakarta Underground) yang pernah menyambangi stan Bundakata menawari agar naskahnaskah/tulisan/karya di Bundakata untuk diterbitkan di Gagas Media. Tawaran ini ditolak oleh Cak Udin tentu saja. Menyerahkan naskah ke penerbit berarti menghilangkan penghargaan kepada pembaca untuk berperan sebagai penyusun naskah. Pada kesempatan lain pernah pula ada pihak yang tanpa izin mendompleng nama dan logo Bundakata untuk jualan buku di Twitter. Oleh Cak
kemudian mengganti nama dan logonya. Mengenai ketidakbersediaan menerima uang ini, Koskow menyebutnya gagasan ‘sombong’ dalam arti khusus. Bayangkan saja para penulis menulis, mengeluarkan uang untuk ongkos cetak, keluar tenaga dan waktu untuk men-display, tetapi tidak mau menerima bayaran jika karya mereka diambil pembaca. Uniknya kerja ikhlas orang-orang Bundakata, termasuk para penulisnya seperti berbuah manis ketika secara “kebetulan” di helatan ketiga bertema “Ironi dan Daya Hidup” yang membarengkan diri dengan pameran seni rupa Nandur Srawung di Taman Budaya Yogyakarta pada November 2014 mereka turut menerima limpahan dana istimewa sebesar ratusan ribu per penulis. Barangkali analogi bagaikan hembusan angin dan aliran air cukup tepat, sebab pergerakannya mampu memasuki setiap relung hidup yang kemudian ikut meniupkan/mengalirkan rezeki kepada mereka. “Tidak mencari uang tapi malah mendapat uang.” Pada akhirnya langkah memberi pilihan dari Bundakata yang kecil dan sederhana ternyata tidaklah sesederhana itu.
27
Diskomfest7
Penutup Melihat langkah-langkah yang di ambil Bundakata beserta para pelaku/orang-orangnya sesungguhnya buku seperti ini tidak dapat dikatakan sama sekali baru, ia lebih tepat disebut memberi penyegaran. Penyegaran terhadap konsep buku yang telah dibakukan oleh industri, penulis, dan (ironisnya) pembaca sendiri, bahwa buku bukan hanya berisi penerbit dan penulis tapi ada pembaca, editor, dan perancang sampul. Penyegaran muncul melalui pembedaan-pembedaan yang dihadirkan secara sengaja terhadap yang bukan atau bentuk-bentuk yang ditolaknya lewat kesadaran akan kuasa bahasa dalam membentuk makna yang dibarengi dengan praktik. Karena itulah istilah “peristiwa” digunakan, bukannya lembaga. Ketiadaan bentuk lembaga berarti penolakan pada bentukbentuk hierarki di dalamnya yang serba membatasi peran manusia dan merupakan pangkal kesenjangan hati. Sebutan yang dipakai untuk mereka yang menghidupi bukan pengurus melainkan pelaku atau orang-orang. Kata “pengurus” merujuk pada fungsifungsi berjenjang di mana satu posisi lebih tinggi dari bawahnya. Bundakata adalah buku yang mencomot istilah gotong royong yang berakar dari tradisi Nusantara. Melalui gotong royong,
28
semua akan terlibat dalam interaksi berdasarkan keikhlasan bukan transaksi untuk membangun bersama. Gotong royong timbul dari rasa “senasib” sebagai penulis, pelakunya, dan pembaca ketika menghadapi gempuran industri buku yang kian mengabdi pada penguasaan pasar. Lewat cara-cara yang ditempuh dengan menegaskan diri dan menegasi yang bukan diri, Bundakata telah menjadi sebuah jalan pilihan sekaligus warisan yang kemudian akan dijaga bersama oleh pembaca di manapun berada, bahkan nanti bila kedua penggagasnya tiada.
Sumber dan sumber: Afnita, N. 2013, Sepekan Bersama Bundakata. http://nocturvis.blogspot. com/2013/12/sepekan-bersamaBundakata.html, diakses 28 Juni 2015. Awalludin. 2014. Seni Rupa Buku, Bundakat: Ironi dan Daya Hidup dalam katalog Pameran Ruparupa Senirupa Nandur Srawung, diedit oleh Hadid, M. Yogyakarta: Taman Budaya Yogyakarta. Haryatmoko, 2015, Gilles Deleuze (3): Tubuh-tanpa-Organ dan Mesin hasrat. Basis No. 5-6, tahun 64, 2015, hal 62-68. Koskow. 2013. Bundakata Buku Gotong Royong Bundakata,http://koskowbuku. wordpress.com/Bundakata/, diakses 28 Juni 2015. Wawancara dengan Widyatmoko dan Awalludin Luthfi, Juni-Juli 2015 Foto dokumentasi oleh Cak Udin dkk.
Memahami Kerja Kolektif di kelompok Sanggar Batik Jenggolo
Karina Rima Melati Alumni DKV ISI Yogyakarta
Latar Belakang Budaya kolektif masyarakat kita bisa jadi hampir tenggelam dalam lautan modernitas yang mensekat-sekat manusia lebih individualistik. Hal ini berdampak pada cara pandang dan perilaku terhadap sesama yang pada akhirnya mempengaruhi identitas kita. Kegelisahan pergeseran kolektivitas masyarakat di masa kini misalnya gotong-royong, kerja bakti, urun rembug, ronda, arisan sudah jarang dilakukan terutama di kota-kota besar. Meski demikian ada baiknya kita kembalikan lagi kaidah manusia sebagai mahluk sosial yang tidak terpisahkan dari manusia lainnya. Maka bisa jadi bentuk kekuatan komunal masa kini mewujud dalam bentuk interaksi orang-orang di dalam komunitas-komunitas hobi, kepemilikan, pecinta atau minat yang sama pada satu bidang atau objek tertentu. Dalam tulisan ini saya akan mengupas kerja kolektif kelompok Sanggar Batik Jenggolo, di mana berbeda dengan komunitas pada umumnya, Jenggolo dilatarbelakangi oleh program pemberdayaan masyarakat, khususnya bagi perempuan. Pemberdayaan seperti yang disampaikan Kartasasmita (1997) berarti memungkinkan dan memperkuat potensi dan daya yang dimiliki masyarakat (empowering) agar dapat berkembang (enabling) dan dilindungi. Potensi yang ada di Jenggolo adalah memproduksi batik dan jumputan yang dibuat dalam kerangka Rintisan Usaha Mandiri (kemudian
29
Diskomfest7
ditulis RUM) atau bentuk kelompok kewirausahaan karena umumnya proyek pemberdayaan mengacu pada konsep pembangunan ekonomi yang memuat nilai-nilai kebersamaan dan kesamarataan. Soetomo (2006) lebih jauh mengatakan bahwa salah satu strategi yang selama ini dikembangkan pada pembangunan manusia adalah pada manajemen Sumber Daya Manusia pada komunitas atau berhubungan dengan aksi kolektif untuk meningkatkan kualitas hidup (Sarah Rum Handayani Pinta, 2013). Social learning Sanggar Jenggolo akan ditekankan pada praktek komunitas yang menekankan pada partisipasi dan pengalaman para anggotanya dalam mengembangkan batik di tingkat internal maupun eksternal. Belajar dan memproduksi batik merupakan proses
2009, penggagas sanggar Ir. Tien Suhartini (kemudian ditulis Ibu Tien) seorang pensiunan Balai Besar Kerajinan dan Batik Yogyakarta bersama dengan Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) Saka Widya di lingkungan tempat tinggalnya, Kampung Golo, Kelurahan Pandeyan, Kecamatan Umbulharjo, Jogjakarta menyelenggarakan pelatihan batik pewarnaan alam bagi 30 orang ibu-ibu lansia. Program ini dibiayai dan menjadi pilot project Kantor Pemberdayaan Masyarakat dan Perempuan (kemudian ditulis KPMP) Pemerintah Kota Yogyakarta. Pasca pelatihan sebagian besar peserta justru menolak berhenti dan ingin meneruskan kegiatan membatik. Mereka kemudian bersama-sama menggagas Sanggar Batik Jenggolo. Nama ‘Jenggolo’ berasal dari kata Jeng atau panggilan perempuan dalam bahasa Jawa, dan Golo adalah nama kampung tempat mereka tinggal. Dari awalnya 30 peserta
yang terus dilakukan oleh Sanggar Jenggolo karena pada prakteknya sebuah komunitas adalah sekelompok orang yang berbagi perhatian, serangkaian masalah, atau gairah tentang satu topik, dan memperdalam pengetahuan dan keahlian mereka dengan berinteraksi secara terus-menerus (Wenger McDermott & Snyder, 2002: 7).
pelatihan kemudian mengerucut menjadi 12 orang hingga akhirnya kini tinggal tujuh perempuan dari berbagai usia dan latar belakang pendidikan dan pekerjaan; seperti pensiunan (PNS dan Pegawai Bank Indonesia), dosen, guru, pegawai swasta, pengusaha katering, dan ibu rumah tangga. Jenggolo sedari awal telah berinisiatif untuk menggunakan
Batik sebagai gairah Batik adalah topik yang menggairahkan kelompok ini. Diawali ketika tahun
pewarnaan alam karena lingkungan Golo sangat padat penduduk sehingga ada tanggung jawab untuk tidak menciptakan limbah yang mengganggu warga
30
kontemporer dan terutama lebih cepat dalam proses produksinya. Seluruh proses produksi mulai dari membatik hingga mencelup dilakukan di bagian belakang rumah Ibu Tien, termasuk
Desain logo Sanggar Jenggolo. Sumber: data milik Sanggar Jenggolo
sekitarnya. Meskipun terhitung lebih rumit dibandingkan dengan penggunaan pewarnaan sintetis, kesadaran untuk menjaga lingkungan ini dianggap sesuai dengan nilai-nilai pelestarian lingkungan yang berjalan bersamaan dengan konsep nguri-uri kabudayan. Pewarnaan batik yang digunakan seperti kayu Tingi, Jalawe, Mahoni, Tegeran, hingga Indigo (berasal dari pasta daun Tom atau Nila). Meskipun juga menggunakan pewarnaan sintetis mereka telah membangun PAL atau Pembuangan Air Limbah sederhana sehingga limbah kimia bisa diproses terlebih dahulu agar tetap aman dibuang ke luar atau ke sungai tempat pembuangan akhir sebagian besar warga Golo. Selain membatik, Jenggolo kemudian mengembangkan produksi jumputan atau tritik yang memang sedang tren saat ini. Jumputan hasil Jenggolo dibuat dengan pewarnaan alam dan mengkombinasikan dengan batik. Cap batik dan kuas juga digunakan untuk membuat batik dengan motif yang lebih
showroom berada di ruang tamu pemilik rumah sehingga pengunjung bisa langsung melihat pembuatan dan hasil batiknya dari satu atap. Para anggota Sanggar Jenggolo hanya diwajibkan untuk datang tiga hari dalam seminggu dari jam 10.00 – 14.30 WIB. Awalnya mereka kurang percaya diri dengan hasil buatannya, namun seiring meningkatnya kecakapan batik yang dihasilkan semakin baik bahkan ada saja minat orang-orang untuk membeli batik buatan Jenggolo. Branding-pun dilakukan. Nilai jual dari kelompok ini bukan hanya pada produk yang dihasilkan tetapi justru terletak pada ‘cerita dibalik’ proses pemberdayaan para perempuan ini dalam menghasilkan batik. Ada sekelumit proses panjang bahkan berliku dari tiap batik yang bisa diceritakan langsung kapada pembelinya. Ini tentu saja berbeda dengan produsen atau toko batik kebanyakan yang menjadikan produk batiknya sebagai komoditas utama. Pemahaman Kerja Kolektif Kelompok Pemberdayaan Seperti yang sudah disampaikan sebelumnya bahwa Sanggar Jenggolo adalah pilot project KPMP dalam program pemberdayaan dengan melatih dan
31
Diskomfest7
membina sekelompok masyarakat memproduksi batik sehingga bisa menggerakaan perekonomian anggotanya. Program ini kemudian diistilahkan sebagai Rintisan Usaha Mandiri (RUM). Karena dianggap cukup berhasil Sanggar Jenggolo kemudian dipercaya KPMP untuk melatih batik bagi kelompok inisiasi RUM baru yang berasal dari beberapa kelurahan di wilayah kota Yogyakarta. Sejak 2010 Sanggar Jenggolo setidaknya sudah melatih lebih dari 10 kelompok RUM batik maupaun jumputan seperti: ‘Batik Toegoe’ di kecamatan Jetis, ‘Batik dan Jumputan Tahunan’ di kecamatan Umbulharjo, ‘Batik Sekar Prawiro’ di kecamatan Gondomanan, ‘Batik Sekar Arum Gunung Ketur’ di kelurahan Pakualaman, ‘Batik Purwokinanti’ di kelurahan Pakualaman, ‘Batik Warungboto’ di kecamatan Umbulharjo, ‘Batik Brongtokusuman’ di kecamatan Mergangsan, ‘Batik Brontokusuman’ di kecamatan Mergangsan, ‘Batik Rejowinangun’ di kecamatan Kotagede, dan ‘Jumputan Code Arum’ di kecamatan Cokrodiningratan. Dalam setiap pelatihannya para anggota Jenggolo juga memberikan testimoni perjuangan, perjalanan dan pencapaian mereka kepada para peserta RUM baru sehingga bisa mendapatkan inspirasi langsung dari pendahulunya.
32
Salah satu kegiatan pelatihan batik untuk kelompok RUM dari Kelurahan Tahunan, Kecamatan Umbulharjo. Sumber: https:// www.facebook.com/jenggolo.batik/
Pelatihan yang dilakukan di awal program menjadi bagian penting dalam RUM maupun kelompok kerja kolektif karena tiap anggotanya kemudian mendapat pemahaman dan pengetahuan yang sama terhadap cara kerja dalam kelompok tersebut. Hal ini dilakukan agar tidak terbentuk hierarki karena masing-masing memiliki derajat pengertian yang sama sehingga dalam prakteknya tidak ada yang merasa paling unggul sehingga bisa menjadi juragan atau yang dianggap lemah sehingga menjadi pekerja atau buruhnya. Ini penting karena dimensi praktek dalam komunitas tentu terbentuk adanya saling keterlibatan antar anggotanya dengan derajat yang sama. Dengan cara ini sebetulnya menjadi cara yang ideal bagi usaha batik karena pada hakekatnya estetika membatik bukan hanya terletak pada motifnya saja tetapi justru pada embodiment atau pengalaman kebertubuhan pembuatnya dalam melalui setiap prosesnya; mulai dari njlimet-nya
menggambar motif dengan canting berisi lelehan lilin panas, rumitnya mencelup kain yang bisa dilakukan lebih dari lima kali celup, atau bahkan beratnya melorod atau menghilangkan lilin di akhir proses. Karena bukan ditentukan oleh juragan tiap anggota RUM bisa memilih pekerjaan menyesuaikan kompetensi masing-masing, bahkan bisa bergantian atau menggilir pekerjaan agar tidak jenuh. Ini sekaligus menghindarkan kelompok dari penerapan division of labor atau sebuah cara membagi dan menyekatnyekat pekerjaan buruh sehingga mereka terkoptasi pada satu pekerjaan yang hanya ditugaskan kepadanya dan menjadi asing terhadap proses lainnya. Dengan demikian masing-masing anggota RUM bisa melakukan negosiasi terus-menerus untuk menciptakan tanggung jawab bersama sehingga membuktikan terbentuknya akuntabilitas kerja dari sebuah program pemberdayaan yang dijalankan oleh perempuan. Sarah Pinta (2013: 123) menyatakan bahwa model pemberdayaan pada komunitas pembuat batik dengan kelompok para perempuan bisa diperkenalkan sebagai masukan inovatif dalam mempromosikan pengembangan kemandirian perempuan. Dalam wawancara penulis dengan ketua KPMP Dra. Christina Lucy Irawati, terungkap fakta dari data di tahun 2015 bahwa meski jumlah penduduk perempuan di kota Jogja lebih banyak 2% dibandingkan laki-laki
tetapi perannya belum terasa. “Padahal jika kita tengok ke belakang terjadinya krisis ekonomi tahun 1998 banyak keluarga bisa survive berkat usaha ibu-ibu yang membangun kreativitasnya dari dalam rumah tangganya. RUM kemudian dibentuk untuk meningkatkan peran perempuan dalam pengembangan perekonomian.� Keberlangsungan Sanggar Jenggolo Beberapa capaian Sanggar Jenggolo yang didapatkan selama lebih dari lima tahun keberlangsungannya membuktikan semakin tingginya solidaritas, sharing dan jalinan emosial di antara para anggotanya. Kesiapan masingmasing anggota dalam membentuk dan mempertahankan kelompok menjadi tantangan tersendiri. Tidak mudah menyatukan visi dan misi antar anggota dalam kerangka usaha kolektif meskipun status mereka bertetangga selama sekian tahun. Seleksi alam berlaku di sini. Beberapa kelompok mengalami sendiri pergantian anggota karena terjadi konflik internal. Belum lagi beberapa kasus menunjukkan salah satu anggota kelompok yang merasa lebih unggul dari yang lain memilih keluar dan mendirikan usaha sendiri. Ini tentu yang dihindari karena tujuan pemberdayaan masyarakat akan gugur dengan sendirinya. Agar tidak pecah Sanggar Jenggolo secara rutin melakukan rekreasi atau ’studi banding’ ke sentra batik di kota-kota di Jawa dan Madura,
33
Diskomfest7
Para anggota Sanggar Jenggol (dari kiri ke kanan): Ibu Tien Suhartini, Ibu Fashihah, Ibu Zuraida, Ibu Karina Rima Melati, Ibu Lilies Marikah, Ibu Marsilah, ibu Sri Utari. Sumber: Koleksi Sanggar Jenggolo
34
atau sekedar pleasure activities dengan wisata kuliner atau jalan-jalan ke obyek wisata. Semua itu bertujuan memperkuat kebersamaan dan rasa kekeluargaan. Di tahun 2012, Ibu Tien dinilai berhasil menggerakkan perempuan di Jenggolo dan mendapatkan penghargaan sebagai Motivator Pemberdayaan Wanita dari Walikota Yogyakarta. Setahun kemudian Jenggolo menjadi potensi unggulan kelurahan Pandeyan dalam Lomba Desa tingkat Nasional yang diselenggarakan Kementrian Dalam Negeri Republik Indonesia, dan keluar sebagai juara pertama. Pasca gelar juara tersebut, nama Sanggar Jenggolo bergema
sehingga mendapatkan berbagai perhatian dan kunjungan dari beberapa Lembaga Pemerintahan pusat maupun daerah, perusahaan swasta, maupun wartawan. Beberapa mahasiswa
anggotanya mencintai batik dengan pemahaman proses membatik dan pengalaman kemandirian dalam pembuatannya. Kepercayaan mereka tertuang dalam slogan merek Sanggar
bahkan menjadikan Sanggar Jenggolo sebagai tempat magang maupun objek penelitiannya.
Jenggolo; “Batik menjadikan Kehidupan Indonesia lebih Baik”. Pustaka:
Hingga kini Jenggolo masih dipercaya melatih batik bukan hanya oleh KPMP namun beberapa kantor kelurahan baik di dalam maupun luar kota Jogja. Program pelatihan ini akan terus menjadi agenda utama Sanggar Jenggolo dalam usaha penyebaran pengetahuan tentang batik kepada kelompok-kelompok perempuan, selain terus memperbaiki kualitas produksi mereka sendiri. Saat ini Sanggar Jenggolo bisa dikatakan mendapatkan ‘buah’ dari usaha yang sudah dijalankan karena mendapatkan banyak kesempatan dalam pengembangan usahanya seperti undangan sebagai pembicara dengan tema pemberdayaan kelompok, dipercaya desainer batik kenamaan untuk membuatkan bahan batik rancanganya, undangan pameran dagang, hingga fashion show. Pada akhirnya seluruh kegiatan yang ada di Sanggar Jenggolo membentuk differensiasi atau pembeda dengan produsen batik maupun komunitas berbasis cinta batik lainnya. Para
Kartasasmita, Ginanjar. (1997). Pemberdayaan Masyarakat: Konsep Pembagunan yang Berakar Pada Masyarakat. Yogyakarta: Universitas Gajah Mad Pinta, Sarah Rum Handayani. (2013). Empowerment of Female Batik Worker on the Development of Batik Industry in Sragen : Case Study at Wisata Kliwonan Village Subdistrict Masaran. International Journal of Humanities and Social Science Vol. 3 No. 11; June 2013 Soetomo. (2006). Strategi-strategi Pembangunan Masyarakat. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Wenger, E., McDermott, R. A., & Snyder, W. (2002). Cultivating communities of practice : a guide to managing knowledge. Boston: Harvard Business School Press Wawancara: Dra. Christina Lucy Irawati, ketua Kantor Pemberdayaan Masyarakat dan Perempuan, Pemkot Yogyakarta, wawancara berlangsung Rabu, 2 Maret 2016
35
“Dalam kolektif tidak ada yang namanya peng’aku’an karena yang terpenting adalah peng’kita’an, dan berpuaslah ketika karya atau hasil yang dikerjakan menjadi hasil bersama, bukan menonjolkan nama personal, bukan menonjolkan eksistensi namun esensi dari kolektif itu sendiri, esensi dari keberadaanmu
Galuh Sekartaji
Diskomfest7
Alumni DKV ISI Yogyakarta
Selasa siang tepatnya tanggal 11 Oktober 2016, kami bertiga sowan ke rumah Mbak Galuh Sekartaji yang juga alumnus DKV ISI 2008 Yogyakarta. Kami sempat tersesat , namun akhirnya ketemu juga rumah dengan pagar berwarna hijau tua dan kuning gading. Sesampainya di rumahnya, kami disambut oleh Mbak Galuh yang sedang menyiapkan cem-ceman. Singkat cerita, kami langsung memulai pembicaraan kami mengenai kerja kolektif. Obrolan diawali dengan mengidentifikasi antara kolektif dan komunitas. Ketika kesamaan menjadi hal yang harus dijaga dan dikedepankan dalam sebuah komunitas, kolektif memiliki makna yang berbeda. Kolektif menurutnya berangkat dari keberagaman, sesuai keahlian maupun perspektif tiap pelakunya. Kesemuanya secara alami atau sengaja berpartisipasi dalam menyelesaikan suatu permasalahan maupun mencapai tujuan yang sama. Gotong royong adalah asasnya, kehendak berpartisipasi adalah alatnya, permasalahan maupun tujuan bersama adalah bahan bakarnya. Dan kerja kolektif merupakan prinsip utama bagi DKV. DKV dan Kerja Kolektif Kerja kolektif bagi DKV adalah harga mati. Mungkin saja kamu membuat karya sendiri, tapi apa kamu yakin itu sendiri? Desainer terdidik sebagai problem solver, dan masalah yang ia selesaikan bukanlah masalahnya sendiri. Ia mewakili dan
36
menyuarakan aspirasi orang banyak. Ia harus mampu menangkap permasalahan di luar dirinya. Yap. Seorang desainer tidak bekerja sendirian. Dalam dunia industri komersil ada desainer-klien-target pasar, dan dalam wilayah sosial ada desainermasyarakat (sebagai klien dan target audiens sekaligus). Begitu juga ketika karya DKV dirancang oleh sebuah tim. Karya DKV bukan hanya karya si desainer tapi juga partisipasi masyarakat. Karya DKV adalah gambaran dialektika dan kerjasama antara si desainer dengan masyarakat. Dalam keilmuan, pendekatan maupun paradigma yang digunakan desainer dalam memecahkan masalah juga sering berdampingan dengan bidang lain seperti ekonomi, politik, psikologi, sosial-budaya, dan sebagainya. Multidisipliner itu juga bentuk gotong royong ilmu.
mengumpamakan tentang siapa yang menjadi kepala, kaki, maupun buntut . Namun dalam kerja kolektif mana kepala mana yang buntut itu sama-sama penting, tidak ada yang lebih tinggi atau rendah.
Jadi seorang yang bergelut atau pernah mengenyam ilmu DKV pasti menjadi orang yang peka rasa, peka pikir, sak sek, dan bisa fleksibel dalam bergaul. Karena kita sering menghadapi banyak persoalan (diri dan orang lain) dan banyak pribadi.
jalan kalau jadi roda semua, lalu siapa yang bakal mengingatkan jika kita melakukan kesalahan? Pada dasarnya manusia itu membutuhkan yang lain untuk jadi manusia.� Maka dari itu, tidak ada alasan untuk menyombongkan diri, akan muncul penghargaan terhadap yang lain, kepedulian merupakan motivasi untuk menyenangkan orang lain, susah senang dipikul bersama. Kerja kolektif bukan untuk menekan ego namun mengurai ego kita. Perdebatan dan permasalahan
Kerja kolektif dan Pembentukan karakter Tentunya kultur kerja kolektif memiliki manfaat terhadap pembentukan karakter pelakunya, salah satunya adalah sikap rendah hati.“ Banyak orang
Kepala membutuhkan kaki dan buntut, begitu juga sebaliknya. Mungkin saat ini kamu jadi buntut, tapi tidak menutup kemungkinan beberapa jam kemudian kamulah yang jadi kepala. Apa yang mengikat ini semua adalah sebuah tujuan yang sama, ada kegelisahan yang sama.� “Kalau kita merasakan betul prosesnya , ada masanya dimana kita sadar akan keterbatasan kita, dari situ keberadaan yang lain sangat penting. Setiap orang dibekali kemampuan dan pandangan yang berbeda, mereka punya tempat atau cara masing-masing untuk saling bantu. Nah, keberagaman itulah yang menggerakkan. bayangin kalau semua satu pandangan dan satu cara, ibarat sepeda ya nggak bisa
37
Diskomfest7
tidak pernah lepas dalam kerja kolektif, tapi gesekan-gesekan (pemikiran atau kultur) dengan keberadaan yang lain sebagai penengah atau lawan, itulah yang dimaksud mengurai ego. Ego tidak bisa dihilangkan tapi bisa ditempatkan dalam keadaan yang tepat. Kita jadi mengenal kelemahan dan kekuatan diri kita lebih luas melalui proses ini, belajar menempatkan diri dalam berbagai situasi untuk menjaga atmosfer bersama, karena kerja kolektif bukan hanya perkara aku atau kamu. Tapi kita bersama.” imbuh Mbak Galuh. Dilanjutkan Mbak Galuh bercerita tentang pengalaman kerja kolektifnya. Ia bersama Ari Ahmad (alumni DKV 2008) mengelola Sanggar Anak Jaman yang merupakan wadah bagi anak-anak bereksplorasi, terutama melalui seni, di Singosaren, Imogiri Timur. “Sanggar mencoba menyediakan apa
yang membuat sanggar ini bertahan.” Dalam bisnis rumahan yang ia jalani, membentuk jaringan dengan bakul pasar maupun konsumen itu juga penting. ”Masukan (kritik dan saran) konsumen
yang anak-anak ingin pelajari, termasuk ilmu-ilmu yang saya dan Ari tidak tekuni, namun disitulah peran teman-teman di luar bidang kami dibutuhkan. Dan itu sukarela.” Dalam kolektif ini bukan berarti Mbak Galuh dan Mas Ari murni sebagai pengajar, namun mereka juga banyak belajar dari anak-anak tentang cara asuh
keadaan-keadaan tertentu maupun ketidak nyamanan. Mungkin melibatkan lebih banyak orang atau malah beberapa komunitas yang berbeda. Dalam kolektif tiap personalnya “saling” melengkapi, kata “saling” di sini menunjukan adanya hubungan timbal balik antar personalnya.
dan bagaimana mengayomi. “ Dalam sanggar, kami saling belajar. Anak-anak mempelajari sesuatu dari kami, dan kami juga belajar sesuatu dari mereka. Itulah
38
sangat penting dan keberlanjutan kualitas bahan baku juga patut dijaga karena untuk merekalah saya berkreasi. Jadi produk herbal yang saya buat bukanlah karya saya saja, ini juga karya mereka.” Dalam akhir perbincangan, Mbak Galuh kembali menegaskan lagi identifikasinya mengenai kerja kolektif yang kali ini coba dibandingkan dengan kerja tim. Dalam keja tim jelas ada pembagian tugas dan peran setiap personalnya tergantung dengan fungsi mereka di tim tersebut. “Tim itu bentuk kerja kolektif dengan lebih sedikit orang, jobdesknya jelas, masalah yang diselesaikan lebih konkret, dan hanya sampai periode tertentu. Sedangkan kolektif lebih fleksibel, terbentuk dari
Peng “AKU”an menjadi kendala Pengakuan yang dimaksud adalah ketika seseorang mengutamakan eksistensi dirinya untuk mendapatkan popularitas. Ketika itu diterapkan dalam kerja kolektif
maka akan timbul jarak dan bisa mengarah pada perpecahan. Contohnya begini; ketika dalam sebuah proses desain ada konseptor, ada strategic planner, desainer grafis, art director, dll dan itu hanya diakui sebagai karya satu orang, gimana perasaanmu ? Orang memilih mendapatkan pengakuan secara utuh daripada membaginya dengan yang lain, karena jaman sekarang popularitas itu dibutuhkan dalam karier. Kamu populer seolah-olah kamu punya kuasa. Padahal kenyataannya belum tentu mampu menguasai keadaan. Dan “kesempatan karier” tersebut akhirnya meredam para individu untuk gotong royong lagi. “Aduuuh..... garing uripmu...dadi jemuran waelah.” imbuh Mbak Galuh. “Saya masih menyangsikan apakah DKV butuh pengakuan yang seperti itu. Pengakuan individu dalam
and error. Jadi bisa dibilang karya tersebut adalah karya bersama.” Ada metode desain partisipasi yang mana kita melibatkan masyarakat dalam pembuatan karya, jadi banyak corak otentik
dunia seni makin ngangkat dengan kultur pameran di galeri. Tapi apakah DKV itu sebatas di galeri? Tentunya tidak. DKV akan menjadi karya utuh apabila berbaur dengan masyarakat, apabila sudah direspon, digunakan, menyatu dengan target audiens. Pameran bagi orang DKV itu menjadi sekedar tahap awal untuk tawar menawar konsep, bukan untuk
panitia Diskomfest 4. Metode tersebut sebelumnya dipopulerkan oleh Romo Mangunwijaya dalam membangun Kali Code. Rumah Kardus dan sebagainya adalah hasil partisipasi warga dan sukarelawan yang terlibat waktu itu. Romo Mangun ingin memancing kepedulian warga terhadap sungai. Dan beliau memulainya dengan membangun ruang dialog dan komunitas warga setempat untuk mengatasi masalah sosial. Ini pun adalah karya bersama. Tanpa partisipasi masyarakat, gagasan Romo Mangun pun tidak berjalan.
tujuan sesungguhnya. Dan dalam ruang publik, keberhasilan karya DKV bukan dari senimannya tapi bagaimana masyarakat meresponnya, ini membutuhkan trial
dan gagasan yang muncul dari masyarakat. Proses tersebut pernah dilakukan di Side Event Diskomfest 4 (Kampus to Kampung). Masyarakat Pekaten, Kota Gede waktu itu bersama-sama membuat sign sistem tentang himbauan berkendara. “Kami para panitia memfasilitasi dan menempatkan. Hasilnya adalah mereka merasa turut memiliki karya tersebut. dan turut andil dalam menjaga kampung mereka. Kita tidak mau dan tidak bisa memaksakan standar artistik ala referensi kita, setiap orang punya keartistikannya sendiri. Apakah ini karya panitia? Bukan, meskipun kami ikut menggarap konsep dan beberapa sign. Ini tetap karya bersama.” kata Mbak Galuh menceritakan pengalamannya sebagai
39
Merayakan Kolektif Dengan Opensource
EBYMA SEGIA BAKTI
Diskomfest7
Mahasiswa
40
Apa itu opensource? opensource adalah istilah yang sering digunakan dalam dunia IT yang merujuk kepada perangkat lunak yang menyediakan kode sumbernya secara terbuka, dalam artian bisa dilihat, diakses, maupun dimodifikasi. Walaupun istilahnya sendiri baru mulai dikenal pada akhir 90an, prinsip opensource sudah ada sejak dulu, sejalan dengan perkembangan teknologi komputer dan perangkat lunak. Open source mulai populer dalam dunia pengembangan IT sejak keberhasilan projek Linux. Maka, jika ingin membicarakan opensource, akan lebih baik jika kita memulainya dengan membahas Linux. Linux adalah sebuah kernel, bagian penting dari sistem operasi yang membuat sistem tersebut dapat digunakan. Linux lahir pada masa dimana komputer untuk pengguna personal masih baru dan sulit untuk dijangkau oleh semua kalangan. Kesulitan ini tidak hanya terletak pada perangkat kerasnya, melainkan juga pada perangkat lunak. Meskipun seseorang sanggup membeli perangkat komputer, dia masih harus mengeluarkan dana lebih untuk membeli lisensi sistem operasi, yang terbilang mahal bagi pengguna biasa. Hal inilah yang mendorong seorang mahasiswa ilmu komputer bernama Linus Torvalds, selain sebagai hobinya, untuk membuat sebuah program yang nantinya akan dikenal sebagai Linux. Kejenuhan dan kegelisahan terhadap keadaan selalu menjadi pemicu dari sebuah perubahan. Maka, hal yang dilakukan Linus adalah hal yang wajar. Jika bukan Linus, pasti
akan ada orang lain yang melakukan hal yang sama. Yang perlu digaris bawahi adalah apa yang dilakukan Linus ketika program tersebut selesai. Saat itu dia memiliki beberapa pilihan: dia bisa menyimpannya sendiri, mencari keuntungan dengan menjualnya, atau membagikannya. Linus memilih untuk membagikan program tersebut melalui Usenet, karena dia juga menyadari bahwa programnya masih jauh dari sempurna. Dengan membagi, dia berharap orang orang akan memberi tanggapan yang tentu akan sangat membantu dalam pengembangan programnya itu. Tanggapan yag diterimanya sangat baik, banyak programmer lain yang tertarik untuk berkontribusi dalam pengembangan Linux. Linus kemudian menggunakan lisensi GPL untuk programnya sehingga orang lain bisa lebih bebas berpartisipasi. GPL atau GNU General Public License, merupakan lisensi yang diterbitkan oleh Free Software Foundation, sebagai upaya untuk mencegah monopoli perangkat
lunak oleh kalangan tertentu yang mulai lazim dilakukan saat itu. GPL menjamin hak seseorang untuk merubah, memodifikasi, menggandakan, dan menyebarkan source code sebuah program, dengan syarat hasil modifikasi tersebut juga harus disediakan source code nya agar orang lain dapat melakukan hal yang sama. sejak saat itulah jumlah kontributor linux meningkat dengan pesat. Metode pengembangan yang digunakan dalam proyek linux terbilang unik. Tidak ada hirarki dalam pengembangannya, semua orang bebas untuk menyarankan perubahan. Akan tetapi, saran tersebut haruslah hasil nyata berupa kode yang bisa diuji dan dipertanggung jawabkan. Kode dan perubahan tersebut nantinya akan dipilih yang terbaik dan paling berguna untuk di-implementasikan dalam source code utama Linux. Metode seperti ini melahirkan salah satu prinsip kerja para pengembang openSource, Code Speak Louder. Prinsip ini yang menjaga proses pengembangan Linux sehingga tidak melulu terjebak pada
41
Diskomfest7
masalah konsep dan lebih fokus kepada tindakan nyata dalam menyelesaikan masalah. Pengembangan tanpa hirarki ini pernah disinggung Eric Raymond dalam esainya The Catedhral and The Bazaar. “Linus Torvalds’s style of development—release early and often, delegate everything you can, be open to the point of promiscuity—came as a surprise. No quiet, reverent cathedralbuilding here—rather, the Linux community seemed to resemble a great babbling bazaar of differing agendas and approaches (aptly symbolized by the Linux archive sites, who’d take submissions from anyone) out of which a coherent and stable system could seemingly emerge only by a succession of miracles.” Eric Raymond dan sebagian besar programmer lain pada masa
gaya pengembangan seperti itu, sebuah sistem, program, software yang stabil hanya mungkin muncul dengan keajaiban. Namun pada akhirnya gaya tersebut berhasil. Linux menjadi sebuah sistem yang stabil, dan
itu percaya bahwa software yang penting harus dibuat layaknya sebuah katedral, dibuat dengan hati-hati oleh individual atau sekelompok kecil orang yang bekerja dalam pengasingan, tanpa ada beta-release sebelum software tersebut benar-benar selesai. Gaya pengembangan Linux, yang dia metaforakan sebagai sebuah bazar,
akhirnya membuat pengembangan bergaya opensource semakin populer. Ini ditandai dengan didirikannya organisasi Open Source Initiative oleh Eric Raymond dan Bruce Perens pada akhir Februari 1998. Perjalanan opensource dan Linux bukannya tanpa hambatan. Sistem kerja kolektif yang diusung oleh keduanya justru menjadi sasaran kritik dari beberapa pihak. Hal ini dikarenakan Linux dan Open Source tumbuh di negara-negara Eropa dan Amerika yang lekat dengan budaya kapitalistik. Budaya kolektif dan berbagi
membuatnya terkejut. dalam bazar ini, semua orang dengan berbagai kepentingan bebas untuk masuk dan berpartisipasi. Menurutnya, pada
42
berkembang pesat. Linux tersusun dari baris-baris kode berupa fungsi logika dan algoritma yang dapat diterjemahkan oleh komputer untuk melaksanakan perintah tertentu. Kodekode inilah yang dibuat dan disumbangkan oleh para programmer. Sampai saat ini telah ada 22 juta baris kode pada kernel linux, yang disusun oleh ribuan programmer. Kita bisa memandangnya sebagai sebuah epos layaknya Mahabharata, dengan jutaan bait yang ditulis oleh ribuan penyair dari berbagai penjuru dunia, lalu dikumpulkan dalam satu kitab yang dinamai Linux. Kitab ini tersedia secara bebas dan dapat digunakan oleh siapapun yang membutuhkan, untuk keperluan apapun. Keberhasilan Linux pada
ini sering dianggap sebagai ancaman bagi kekayaan intelektual, bahkan banyak yang mengaitkannya dengan paham sosialis. Perlu kita ingat, negara seperti amerika pada saat itu sangat sensitif mengenai isu-isu yang berkaitan dengan sosialisme dan komunisme. Linus Torvalds sering dicap sebagai seorang sosialis, walaupun dalam beberapa wawancaranya dia selalu menjaga jarak dari dunia politik. Prinsip-prinsip kolektif yang dibawa Linux dan Opensource memang erat dengan sosialisme. Bahkan beberapa penggiatnya berkomentar bahwa Linux merupakan Socialism in action. Salah satu karakteristik sistem sosial dan ekonomi sosialis adalah ‘social ownership’ atau kepemilikan sosial, yang bisa merujuk pada kepemilikan publik, kolektif, atau koperasi; kepemilikan warga ekuitas; atau kombinasi dari semuanya [Encyclopedia of Political Economy, Volume 2]. Jika dilihat
Istilah ini dapat dirujuk pada tiga bentuk hubungan antara design dan open source, yang mungkin dilakukan. Bentuk pertama adalah Design in the Open, mendisain dengan terbuka. bentuk ini bisa dipahami
melalui perspektif ini, Linux dan open source memang sesuai dengan sosialisme. Bedanya, baik Linux maupun Opensource tidak dibatasi oleh wilayah-wilayah geografis maupun politik. Linux dan Opensource dimiliki oleh manusia sebagai kelompok kolektif yang global, mendunia. Penggunaan metode Opensource sejauh ini memang masih terpaku pada dunia
Bentuk kedua merujuk pada Designing Free Resource, mendesain resource bebas. Free disini diartikan sebagai bebas atau kebebasan, sedangkan resource secara harfiah berarti sumber daya. Dalam konteks desain, sumber daya ini bisa berupa banyak hal, seperti logo, template desain, typeface, dsb yang bisa dipergunakan oleh orang lain untuk menghasilkan produk desain. Dalam bentuk ini, desainer memberikan kebebasan bagi siapa saja untuk menggunakan sumber daya desain yang dibuatnya. Hal ini dilakukan sebagai
IT, namun tidak menutup kemungkinan untuk diterapkan dalam berbagai bidang, termasuk desain. Istilah Open Source Design sudah mulai diperkenalkan.
sebagai upaya untuk beralih dari gaya katedral yang tertutup menuju gaya bazar yang lebih terbuka. Designer, dalam bentuk ini, membagikan proses perancangannya agar dapat dilihat oleh khalayak. Dengan begitu dia bisa mendapat tanggapan dari komunitas dalam setiap langkah mendesain. Semangat ini juga sama dengan semangat yang melatarbelakangi Linus untuk membagikan programnya. Dengan berbagi dan terbuka atas kritik, desainer dapat membuka pikirannya, bahkan terhadap solusi-solusi yang mungkin luput dari pandangannya. Menjadi terbuka dapat mengembangkan awareness seorang desiner sebagai produsen tanda terhadap insight dari konsumennya.
43
Diskomfest7
upaya untuk menjalankan fungsi sosial dari dari desainer, karena pada dasarnya desainer adalah manusia. Dengan berbagi, desainer mendorong pemberdayaan dan kemajuan masyarakat. Dengan menyediakan sumber daya desain berkualitas secara bebas, semua orang bisa lebih fokus dalam memproduksi pesan, tanpa khawatir terganggu oleh medianya. Misalnya, ketika desainer menyediakan template sebuah website untuk digunakan, pengguna bisa fokus dalam memproduksi konten dari website tersebut tanpa khawatir tampilannya akan mengganggu pesan. Bentuk ketiga, Designing for Open Source Project, mendisain untuk projek open source. Seringkali desain menjadi masalah bagi projek-projek open source. Hal ini dikarenakan masih sedikit desainer yang terlibat
royong. Gotong royong merupakan salah satu warisan budaya adiluhung bangsa Indonesia. Gotong royong mengedepankan semangat sosial yang mementingkan tujuan bersama melebihi kepentingan individu. Sayangnya, kebudayaan tersebut juga sudah mulai luntur. Kolektifitas dan gotong royong saat ini sudah mulai bergeser menjadi sebatas konsep yang hanya menarik untuk dibicarakan. Hal ini dikarenakan munculnya masalah-masalah baru yang dianggap sulit, atau tidak cukup untuk diselesaikan hanya dengan bergotong royong. Desain Komunikasi Visual merupakan suatu upaya pemecahan masalah melalui media-media komunikasi visual. seringkali masalah masalah yang ditemui ini sangat kompleks, sehingga tidak mungkin atau sangat sulit diselesaikan sendiri. Kalaupun bisa, dampak yang ditimbulkan tentu terbatas pada kemampuan si desainer. Hal yang sama terjadi ketika Linus Torvald
dalam prosesnya. Sebagai desainer, kita meyakini bahwa desain dapat memberikan nilai yang lebih terhadap sesuatu. Dengan ikut berkontribusi pada projek-projek open source, seorang desainer menjadi bagian kolektif dari sesuatu yang jauh lebih besar dari dirinya. Pudarnya semangat kolektif
gelisah dengan keadaan dunia komputer yang mulai dimonopoli oleh beberapa pihak. Linus memberi solusi, sebuah program yang memang masih jauh dari kata sempurna. Namun dia memilih untuk berbagi, sehingga menyentuh orang-orang yang memiliki masalah yang sama untuk ikut menyempurnakan solusi tersebut. Lalu lahirlah Linux yang sampai sekarang
melatarbelakangi hadirnya diskomfest sekarang. di indonesia, semangat bekerja secara kolektif telah kita wujudkan melalui kegiatan gotong
masih bertahan, bahkan telah menyusupi berbagai aspek dalam kehidupan manusia. Maka, adalah hal yang wajar jika seorang desainer ingin memberi dampak yang jauh
44
lebih besar dari kemampuannya, dia bisa memulai dengan berbagi dan bekerjasama. Ada beberapa nilai dalam komunitas opensource yang penting untuk dipahami dan diterapkan dalam projek-projek kolektif. Pertama, prinsip Code Speak Louder. dalam sebuah kelompok kolektif, perbedaan cara pandang adalah hal yang biasa. Kita tidak bisa menafikkan bahwa setiap orang memiliki pandangannya sendiri mengenai masalah yang dihadapi serta solusi yang sebaiknya diterapkan. Dalam komunitas opensource, siapa saja bebas untuk menyarankan perubahan asalkan disertai hasil nyata berupa kode yang bisa diuji dan dipertanggung jawabkan. Pendapat harus disertai dengan aksi yang nyata, sehingga tidak terjebak pada perdebatan yang tak berkesudahan. Kedua, GPL atau GNU General Public License. Lisensi GPL menjamin hak setiap orang untuk dapat mengakses source
aset tersebut, serta memberi mereka kesempatan untuk membuat perubahan. GPL dan lisensi opensource lainnya menjadi pembeda Menerapkan metode open
code suatu program dan memodifikasinya. source code merupakan sumber daya dan aset yang bisa digunakan untuk membuat perubahan. Dengan kata lain, dalam komunitas open source, setiap orang berhak untuk berkontribusi dan membuat perbedaan. sering terjadi dalam sebuah projek, aset-aset utama ini hanya dapat diakses oleh sebagian orang, sehingga
ke model bazar, maka dia harus siap untuk melepas posisinya sebagai pemegang kendali penuh atas produk-produk desain. Menjadi Opensource berarti memberi tempat kepada masyarakat, sebagai konsumen, juga bidang-bidang lainnya untuk turut serta dalam proses mendesain.
source secara utuh dalam projek dkv bisa menjadi sebuah tantangan, karena, bekerjasama saja sebenarnya belum cukup untuk mewakili semangat kolektif dari open source. ‘Open’ dalam open source benar-benar berarti terbuka, sesuai dengan metafora dari Eric Raymond, bagaikan sebuah bazar yang setiap orang bebas untuk berpartisipasi apapun kepentingannya. Metafora Raymond juga cocok untuk menggambarkan situasi dunia desain sekarang ini, yaitu dibangun layaknya katedral, oleh individu maupun sekelompok kecil orang dalam pengasingan, yang seringkali tidak menunjukkan dirinya sebelum karya desain tersebut betul-betul selesai. Jika desainer memilih untuk beralih
anggota yang tidak termasuk menjadi sulit untuk berkontribusi. Maka, penting dalam sebuah kerja kolektif untuk menjamin hak setiap penggiatnya dalam mengakses
45
Kolektif Yang Bukan Kolektif
Yonaz Kristy
Diskomfest7
RAR
46
“Secara pribadi kerja kolektif buat mempelajari memanusiakan manusia, dan menjaga tetap manusiawi.� Yonaz Christy merupakan salah satu pegiat seni yang sudah berkecimpung dalam banyak event, namun salah satu yang sudah pasti ia sendiri berkecimpung dalam dunia penerbitan independen dibawah naungan RAR. RAR sendiri merupakan salah satu penerbitan mandiri dengan menerapkan sistem kerja kolaboratif didalamnya, dimana ia tidak hanya menerbitkan projek dari klien namun juga projek yang dibuat sendiri. RAR adalah Project Based Self Publish sehingga tidak hanya menerima naskah tapi turun dalam bentuk projek. RAR sendiri bermula dari obrolan kolektif perupa muda di Magelang, bernama Young Street Rebel (YSR) pada tahun 2011, dimana awalnya mengambil fokus pada pameran seni rupa, hingga pada akhirnya terbersit untuk mendokumentasikan karya teman-teman disekitarnya entah itu berupa katalog atau buku. Pertemuan dengan Karamba Art Movement (SMG) yang sempat berpameran di Magelang kemudian membuat mereka tertarik untuk mendalami zine. Pada 21 April 2012 ketika YSR berpameran kedua kalinya, kami sepakat untuk membuat terbitan yang berisi karya teman-teman dari Magelang, yang diterbitkan bersama Indonesian Street Art Database (ISAD/ JKT), dengan nama RAR Magazine. RAR sendiri diambil dari WInrar (.Rar) yang memiliki fungsi sebagai media kompresi file sehingga dapat disebarkan lebih mudah. Setelah beberapa edisi
terbit secara dwi-bulanan, memunculkan perasaan jangal dengan memberi nama RAR Magazine, hingga pada edisi ketiga (jika tidak salah) berubah nama menjadi RAR Funzine Perubahan nama dan anggota yang menyusut tak mematahkan semangat yang bertahan hingga edisi ketujuh (2014), yang merupakan paripurna bagi RAR Funzine. Pada edisi kedelapan (Weird Life Sequence/2014) pada akhirnya RAR mengurungkan niat untuk menerbitkan, karena dirasa sudah tidak relevan untuk menggunakan formula yang sama selama 2 tahun sudah dipakai. Pada awal 2015, beberapa rencana telah disusun untuk menghidupkan kembali RAR Funzine, hingga akhirnya kami mengadaptasi pola kerja Rally the Troops (JKT) untuk menjadi penerbit independent sekaligus kolektif berbasis projek. Diawali dengan kerjasama bersama Club Etsa (YK) untuk menangani terbitan khusus projek “Etching, Share, and Fun�, merupakan titik balik yang membuat hadirnya RAR Editions (2015). Secara berangsur perubahan mulai dibenahi di lambung kapal kanan-kiri RAR
Editions dari manajemen, distribusi, hingga anggota. Hingga saat ini RAR Editions telah menerbitkan delapan judul. dari RAR sendiri, sebenarnya Yonaz tidak berniat membuat kolektif yang besar. RAR sendiri berawal dari 8 orang hingga akhirnya terpilah-pilah hingga tinggal berdua, yaitu tinggal Yonaz sendiri temannya, dan Isnain Bahar. setelah mengalami masa bekerja selama berdua, ritme kerja mereka kemudian semakin terbentuk hingga pada pembuatan projek dapat membagi porsi berdua. Isnain sendiri pada awalnya tertarik ikut karena berawal dari keinginannya mempelajari desain. Kini keanggotaan RAR bertambah kembali menjadi 6 orang yaitu Yonaz, Isnain, Vita, Santi, Bigot, Alwan. Dengan bertambahnya anggota RAR, mereka saling mencoba menyesuaikan, terutama empat orang anggota baru tersebut yang memiliki jadwal yang cukup cair. Yonaz sendiri memang tidak pernah membatasi teman-teman RAR dari kegiatan mereka diluar RAR, dan mengharapkan mereka tetap berkembang diluar RAR, namun tetap menjaga
47
Diskomfest7
komunikasi dan mengusahakan tiap projek yang dikerjakan tetap berjalan dengan dengan meminimalisir beragam permasalahan karena banyaknya orang yang berkecimpung dan membangun ide didalamnya. Perlunya memperkuat keanggotaan sebelum bermain pada lingkaran luar sangat penting. Bukannya mengekang, namun hal ini perlu dilakukan dalam menjaga ritme kerja serta keberlangsungan projekprojek yang sedang digarap ataupun yang direncanakan selanjutnya. Selain itu ruang baru perlu diciptakan dalam mengembangkan daya kreasi baik didalam RAR sendiri maupun dalam pembangunan karakter tiap pribadi didalamnya. Hal ini menurut Yonaz cukup berbeda ketika melihat generasi baru yang mulai berkolektif. Kolektif yang dibentuk cepat banyak bermunculan, namun banyak pula yang menghilang. Hal ini menurutnya sendiri terjadi karena kolektif yang dibangun tidak berdasarkan persamaan latar belakang untuk berkembang, namun memiliki visi yang sama, dan justru menimbulkan perebutan dalam mencapai visi tersebut. Kolektif seperti kejadian tersebut belum membangun jati diri. Disini ia melihat dari RAR sendiri yang terbangun bukan dari keinginan membangun kolektif, karena RAR sendiri terbentuk secara alami berdasarkan
48
proses yang terjadi baik eksternal maupun internal, alasan ini pula yang mendasari RAR sangat terbuka dalam menerima maupun memberi dukungan baik dalam internal atau eksternalnya. Menurutnya sendiri, keadaan penerbitan diYogyakarta sendiri cukup terasa jaraknya dari satu penerbit dengan penerbit lainnya; terjadi persaingan. Apa yang ia bangun sendiri dalam membangun jaringan tidak berdasarkan untuk menjatuhkan penerbit Independen lainnya, sebutlah Barasub atau Amazing Frontier merupakan kolega kerja RAR dalam mengembangkan ranah penerbitan independen di kota ini. Membangun hubungan dan saling berkomunikasi diperlukan dalam menjaga kinerja mereka dalam ranah ini. Sistem kolektif diterapkan dalam membangun jaringan dengan yang lain agar menjadi sebuah ruang kolektif yang baru.
All Is Good
Lingga Satya SEMUA BISA DIBELI
Sosok yang berbadan kecil namun terlihat nakal, mungkin seperti itulah jika meliht Lingga Satya secara sekilas. Seorang mahasiswa tua di DKV ISI Yk dengan segudang aktivitas ini adalah seorang pegiat kolektif juga. Ia pernah membuat banyak project dalam bergama varian media dari kayu hingga besi. Dari projectnya bernama GOD SAVES, membuat homemade G-Plug, membuat WESELLBADWORKS, ikut bergabung dalam SEMUA BISA DIBELI (SESALI), dan yang paling terakhir ini adalah DAGGER MBANTUL, ia mendedikasikan diri serta masih aktif pula pada dunia seni rupa seperti salah satunya pameran JAMMIN IN THE NAME OF GOD di Masriadi Artspace beberapa waktu lalu. Beberapa waktu lalu pula, teman-teman DISKOMFEST 7 berdialog dengan beliau sembari menikmati senja dengan meminum anggur. Lingga menceritakan soal bagaimana ia memulai project dari WESELLBADWORKS yang awalnya ia inisiasikan berdua, hingga selanjutnya adalah kolektif lainnya yaitu SEMUA BISA DIBELI. WESELLBADWORKS sendiri berawal saat lingga membuat unofficial merchandise untuk Rock Siang Bolong. Berawal dari sinilah kemudian WESELLBADWORKS kemudian semakin dikenal sebagai salah satu pembuat homemade enamel pin. Produksipun semakin lancar dengan adanya orang yang ikut di-hire serta barang yang dapat dipinjam dari teman-teman yang mendukungnya. Namun dengan makin dikenalnya WESELLBADWORKS, Lingga justru tidak ingin namanya yang terangkat, ia justru lebih ingin agar WESELLBADWORKS lebih anonim, atau paling tidak bukan
49
Diskomfest7
Lingga yang diketahui namun orang yang menurutnya lebih memiliki nama seperti Ahmad Oka (Wirosatan), atau figur publik lainnya. Salah satu yang menarik dari kelanjutan WESELLBADWORKS, pergaulan Lingga semakin luas dengan semakin dekatnya hubungan dengan pihak-pihak yang sebelumnya tidak begitu dekat dengannya. Ahmad Oka yang awalnya sebagai salah satu orang yang Lingga inginkan menjadi “Pemilik WESELLBADWORKS” dimata awam, justru makin dekat dengannya mulai dari bermain ke kosnya Lingga hingga akhirnya membentuk Semua Bisa Dibeli (SESALI). Nama Semua Bisa Dibeli sendiri berasal dari bercandaan Oka dan Lingga dikosnya. Awalnya mereka merencanakan membuat sebuah acara dengan ada lapak didalamnya, kemudian muncul pertanyaan mengenai apa saja yang bakal dijual saat acara tersebut, dan ditimpali dengan semua barang (yang berada di kosnya Lingga) yang bisa dibeli. “Semua-semuanya aja bisa
50
dibeli.”. Dari bercandaan inilah kemudian nama Semua Bisa Dibeli dicetuskan. SESALI kemudian mulai muncul bersamaan dengan acara Floh Market di Jakarta beberapa waktu lalu, disini pula kemudian keanggotaan SESALI pun makin bertambah. Mungkin ketika dibilang sebagai anggota tidak bisa disebut pula demikian, karena sistem yang dibangun oleh mereka sendiri sebagai mediator tiap kreator kepada pembeli, sehingga jika disebut sebagai sebuah kelompok keanggotaan juga tidak, menariknya mereka justru membangun jaringan dengan kreator-kreator lain dan ditampung dalam wadah SESALI. Bentuk kerja kolektif mereka bukan kerja kolektif yang sengaja ingin membuat, namun justru mengajak orang dalam membangun jaringan serta dibuka kepada khalayak luas. Hal ini juga memungkinkan mewujudkan nama mereka sendiri, semua bisa dibeli, membuka kemungkinan orang-orang untuk berkreasi lebih luas dalam membuka jaringan.
Sebuah Muara
Barasub
Barasub, sebuah kelompok kolektif yang sudah tidak asing lagi di telinga kita, sebuah penerbit alternative muda yang terbentuk tahun 2015 lalu dimana mereka membuat sebuah karya yang berbentuk buku berjudul Beringas vol 1, munculnya beringas vol 1 juga sebagai tanda lahirnya barasub. Hingga saat ini barasub mengeluarkan beringas vol2 dan mulai merangkul dan membuka diri kepada teman teman yang tertarik pada beringas vol 1. Barasub sendiri berawal daari bersenang –senang yang tidak terlalu fokus kepada hasil maupun uang tetapi lebih kepada proses tidak hanya itu barasub sering mengalami anggota yang datang dan pergi tetapi tidak jadi sebuah masalah karna barasub sendiri lebih fleksibel dan tidak terikat mereka lebih mengikuti emosi jadi mereka bisa melakukan apapun tetapi tetap bertanggung jawab. Begitu juga soal pembagian tugas tidak ada hierarki tertentu yang membentuk suatu target karena dikhawtirkan akan mengkang masing-masing orang. Komunikasi merupakan salah satu poin penting, disini barasub menggunakan komunikasi menjadi salah satu metode yang penting antara satu dan yang lainnya, dan jikalaupun terjadi suatu konflik disini barasub membuat bagian dimana ada yang bisa jembatan dan perekat yang bisa menetralisir suatu konflik dan menekan ego sehingga terjadi keterbukaan untuk diberi kritik dan saran. Pada dasarnya membangun komunikasi agar setiap individu menjadi terbuka dan transparan akan masalahnya. Kolektif sendiri berhubungan dengan komunikasi karena pada dasarnya kolektif berasal dari
51
Diskomfest7
individu individu yang punya latah belakang berbeda tetapi punya visi misi yang sama bertemu menjadi satu lingkaran. Kolektif sendiri tidak muncul karena dibuat buat dan bisa saja kolektif menjadi suatu catatan sejarah pada suatu generasi, kolektif sendiri mempunyai analogi seperti sungai dan laut dimanan dari banyak sungai bermuara di laut (hal kecil dapat menciptakan hal yang besar atau kompleks)
52
EXHIBITION
53
MUSIK
DISKOM DRAWING FOUNDATION X CALLING ATTACK
Diskomfest7
Calling Attack merupakan perpaduan dari Sewon Calling dan Attack FIB dengan membawa skena musik masing-masing yang kerap dipisahkan dengan gap skena utara (Yogyakarta) dan skena Selatan (Yogyakarta) dan mencoba memisahkan jarak yang ada. Keduanya merupakan penyelenggara gigs dari dua kampus yang berbeda yaitu ISI Yogyakarta (Sewon Calling) dan UGM (Attack FIB). Kedua penyelenggara acara ini masing-masing memiliki cara berkolektif tersendiri. Calling merupakan sebuah kolektif sekaligus tradisi yang diturunkan turun temurun ke tiap angkatan dalam membangun kebersamaan, sedangkan Attack membangun kolektif dengan latar belakang yang berbeda dengan masing-masing anggota yang berbeda porgram studi (namun masih dalam satu fakultas). Sewon Calling sebagai salah satu acara kampus DKV ISI Jogja awal mulanya terlahir pada tahun 2011 yang diinisiasi oleh mahasiswa diskom angkatan 2008. Saat itu Sewon Calling mengusung acara pameran yang dibungkus dengan band-band an kecil a la mini gigs. Selain menjadi wadah bersenang-senang mahasiswa diskom, Sewon Calling juga menjadi salah satu pemicu munculnya band-band baru kampus DKV ISI Jogja, salah satunya adalah Cika dan Pistol Air, BBDKK. Sengaja tidak sengaja Sewon Calling telah menjadi acara rutin tahunan mahasiswa DKV ISI Yogyakarta. Saat ini Sewon Calling sudah terselenggara untuk yang kelima kalinya. Attack FIB sendiri juga merupakan bentuk inisiasi dalam memicu berkembangnya band dikampus sendiri. Berawal dari inisiatif Hafid dan Danu ketika melihat kurangnya acara dikampus, mereka mengajak teman-teman lainnya dan membuat Attack FIB. Attack 1 muncul pada april 2015. Attack
54
kini telah terselanggara sebanyak enam kali dan telah mengundang banyak band dengan alumni seperti Robbrs atau Los Partjok Dakosta. Kesamaan dari kedua penyelenggara acara, baik Attack ataupun Calling, bahkan yang lainnya adalah membutuhkan media yang mampu menyebarluaskan informasi. Poster adalah salah satunya. Poster adalah salah satu media yang sering dipilih untuk menyampaikan informasi. Karena didalam poster termuat informasi penting terkait jadwal agenda, pengisi acara, waktu dan tempat. Poster yang baik dan menarik merupakan keharusan agar pembaca tidak hanya tertarik untuk membaca pesan yang ada didalamnya, tapi juga terdorong untuk melakukan tindakan. Unsur visual seperti ilustrasi harus diperhatikan sehingga ketika orang melihat poster tersebut mereka akan termotivasi untuk datang ke acara tersebut. Kali ini teman-teman DDF (Diskom Drawing Fondation) yang ahli dalam membuat ilustrasi-ilustrasi manual akan berkolaborasi dengan membuat poster untuk projek acara studio gigs Calling Attack. Nantinya poster tidak
akan dibuat hanya satu, namun akan ada beberapa alternatif poster yang juga akan sekaligus menjadi karya yang dipamerkan didalam studio gigs tersebut. Sama halnya dengan Diskomfest, kolaborasi Calling Attack juga mengusung tema “we infect and re-collect� namun dalam prespektif musik. Selain alternatif poster acara yang dipamerkan sebagai karya juga akan memamerkan arsip-arsip dari kedua acara tersebut terkait poster acara dan dokumentasi acara yang sudah pernah berlangsung. Diharapkan dari beberapa karya visual tersebut akan dapat menjadi bagian dari pengalaman mengkonsumsi musik di dalam studio gigs.
55
PUBLISHING
RAR EDITION
Diskomfest7
Mesin penetak milik RAR akan dipergunakan hingga maksimal dengan membuat print tanpa dipotong. Ditujukan untuk direspon masyarakat dengan mengangkat tema yang berasal dari sejarah. Menggambarkan peran sejarah yang kemudian diarsipkan dalam scrollbook yang panjang. Diperkirakan perhari sekitar 300 cetakan.RAR sebagai salah satu kelompok yang selalu melihat kemampuan daya tahan mesin cetak ini secara langsung telah menjadi analogi yang secara sadar dan tidaksadar mnghidupi mereka dan mendorong mereka mengoptimalkan ide mereka. Terus eksploratif. RAR sebagai sebuh kolektif dibangun dengan mengkomunikasikan apa yang mereka akan selalu mereka buat. Hal ini dilihat dari pentingnya komunikasi bagi mereka. Interaksi membuka kemungkinan yang baru dari berbagai sisi. Kolektif yang dipaksakan untuk saling berkomunikasi itu sulit, karena kolektif itu seharusnya untuk belajar untuk mengembangkan diri, tidak mengekang satu sama lain agar tidak keluar dari kolektif, hingga semua berasal dari kemauan diri sendiri (inisiatif untuk bereksplorasi).
56
DISKO
Ide untuk karya yang akan dihadirkan adalah dengan menggabungan gaya bercerita komik dengan karakter yang berada pada tokoh-tokoh pewayangan. Unsur-unsur yang menjadi gaya bercerita serta karakteristik dari sebuah komik yang akan digunakan dalam karya kami adalah penggunaan panel dan balon teks seperti komik-komik pada umumnya. Pada karya kami ini gaya penggambaran tokoh-tokoh yang ada akan dibentuk menggunakan gaya wayang. Namun, penggunaan tokoh wayangnya tidak digambar pada bidang kertas atau bidang 2D lainnya tapi benar-benar dibuat menyerupai sebuah wayang. Jadi benar-benar seperti sebuah pewayangan, namun yang menjadi dalangnya adalah seorang komikus. Gestur atau gerak wayangnya bersifat diam atau tak bergerak seperti pewayangan pada umumnya, dan permainan ekspresi akan lebih mengandalkan balon teks serta tipografinya. Desain tokoh wayangnya sendiri akan mengalami perubahan pada kostum atau atribut, yang akan dibuat kekinian atau sesuai dengan penampilan-penampilan yang umum pada masa kini. Untuk tema cerita yang diambil atau dipilih adalah internet. Yang dari sebuah media internet, kita dapat menggerakkan masa untuk melakukan sesuatu dengan tujuan tertentu.
57
FASHION
Diskomfest7
BOADICEA
58
ON COMMUNITY Opresi terhadap perempuan memiliki saling-silang dengan berbagai identitas yang perempuan tersebut miliki— ras, kelas sosial, orientasi seksual, dan lain-lain. Diversitas ini mendorong Feminisme, sebagai aliran pemikiran yang berusaha meliberasi perempuan dari opresi patriarki, terbelah dalam berbagai aliran pemikiran—yang tidak semuanya saling akur satu sama lain. Bagaimanapun, sejarah panjang perkembangan feminisme melahirkan sebuah pemikiran bahwa diversitas adalah bagian yang harus dipeluk dalam persaudarian perempuan. Karena pengalaman keperempuanan tidaklah tunggal melainkan berbeda-beda sesuai saling- silang identitasnya, perbedaan bentuk liberasi adalah hal yang wajar. Konsep komunitas yang dilahirkan, lantas, adalah hal yang melekat dalam perjuangan feminisme. Perempuan perlu memeluk satu sama lain dalam usaha mereka meruntuhkan patriarki. Konsep ini, sejatinya, tidaklah modern: Masyarakat Afrika Barat dari Liberia hingga Pantai Gading mengenal apa yang disebut sebagai masyarakat Sande, persaudarian rahasia yang membesarkan para perempuan menjadi pemimpinpemimpin spiritual di wilayahnya. Masyarakat Sande memeluk anak-anak perempuan Afrika Barat dan mengedukasi mereka dengan berbagai ritual yang penting bagi kedewasaan mereka. Tradisi masyarakat Sande yang kuat meninggalkan jejak tradisi kesetaraan gender yang dalam di wilayah Afrika Barat. Konsep komunitas dalam masyarakat Sande inilah yang berusaha diangkat. Kolaborasi ini menjadi sebuah tribute bagi masyarakat Sande, dengan persaudarian perempuan yang memeluk perempuan-perempuan Afrika Barat menjadi sebuah kekuatan kolektif dalam melawan patriarki. Seperti masyarakat Sande, perempuan-perempuan perlu menyadari bahwa kolektivitas dan kolaborasi merupakan kunci dalam melawan gurita patriarki yang mengglobal. Dengan memeluk, menerima, dan merawat sesama perempuan, dengan diversitas identitas yang mereka miliki, dalam sebuah komunitas persaudarian, perempuan dapat meruntuhkan opresi maskulinitas dan meliberasi sesamanya.
Jogja Street Style X Titik Api Jogja Street Style terbentuk atas inisiasi Gilang Chandra (Gil) dengan bantuan Swastati Dipta (Tita), karena keduanya menangkap fenomena bahwa fashion scene di Yogyakarta sebenarnya ada, tetapi kurang terdokumentasikan. Hal tersebut berawal dari Gil yang semasa sekolah sudah menyenangi hal-hal berbau fashion dan fotografi, hingga pada saat SMA ia disarankan kakaknya untuk mendokumentasikan gaya berpakaian orang-orang di Yogyakarta. Namun, saran tersebut tidak ditindaklanjuti lebih jauh. Barulah ketika berkuliah dan semakin sering mendatangi berbagai pameran, bazar, maupun gigs di Yogyakarta, Gil menyadari bahwa banyak individu dengan personal style unik, tetapi individu tersebut jarang mendokumentasikan gaya berpakaiannya sendiri. Keinginan untuk mendokumentasikan personal style itulah yang kemudian melahirkan Jogja Street Style pada awal 2016 di Instagram dengan username @jogjastreetstyle bersama Tita yang juga memiliki ketertarikan sama. Frasa street style dipilih sebagai representasi dari gaya berpakaian seharihari yang bila ditengok dari sejarahnya, selebrasi atas adanya gaya personal lahir di jalanan. Jogja Street Style ingin membawa spirit tersebut dan secara tidak langsung menyampaikan bahwa, “you can dress to express your identity”.
Menyatakan diri sebagai akun style hunting, Jogja Street Style bekerja dengan cara mendatangi bazar, pembukaan pameran, gigs, dan juga berkeliling kampus (sejauh ini masih di ISI Yogyakarta dan UGM) di Yogyakarta untuk mengisi kontennya. Format konten di Instagram berupa foto seluruh atau setengah badan serta detail dari pakaian yang dikenakan individu yang ditemui. Pada Diskomfest 7, Jogja Street Style akan berkolaborasi dengan Titik Api— komunitas fotografi Desain Komunikasi Visual ISI Yogyakarta—untuk membuat sebuah tribut bagi keberagaman personal style yang terinsipirasi dari musik maupun youth subculture di masa silam. Berbagai gaya tersebut adalah mods, hippies, punk, hip-hop, grunge, dan harajuku. Jogja Street Style memercayai bahwa tanpa adanya berbagai gaya (dan pergerakan) tersebut di masa lampau, maka tidak akan ada kebebasan berpakaian maupun keberagaman fashion item dapat dirayakan saat ini. Hasil kolaborasi antara Jogja Street Style dan Titik Api akan ditampilkan dalam bentuk foto dan video. Tidak hanya secara visual, informasi mengenai masing-masing gaya tersebut juga akan diberikan. Selain itu, Jogja Street Style akan melanjutkan proyek mereka sebelumnya, yaitu “Style, Story, and Statement” yang menampilkan gaya personal seperti konten di Instagram, tetapi dengan tambahan cerita di balik setiap gaya personal individu terkait.
59
MAHAPUTRA X TIA ROTEN
Diskomfest7
Kolaborasi TRMP pada DSIKOMFEST 7 kali ini mengangkat soal pengolahan fashion dalam menerapkan karya seni sehingga karya seni tidak hanya untuk dinikmati namun juga dapat diaplikasikan pada penerapan sehari-hari. Kolaborasi Mahaputra dan Tia Roten sendiri memadukan seni rupa yang sudah menjadi bidang yang didalami Mahaputra serta Fashion Design sebagai bidang yang telah dijalani Tia dalam beragam project mereka selama ini. Menjadi sebuah tantangan bagi Tia dalam bekerja bersama Mahaputra ketika ia dulu sempat membuat desain fashion yang girly, kini mencoba mencari eksplorasi dalam mengemas karya seni rupa. Dalam menghadapi tantangan ini merekapun menjalin kerja dengan modal komunikasi dan belajar saling berkompromi baik Tia maupun Mahaputra sendiri, terutama awal pertemuan mereka karena adanya project All You Can Art dan bukan dari ketidak sengajaan menjadikan kolaborasi ini menjadi sebuah kolaborasi yang menarik hingga akhirnya mereka dapat membangun diri dalam berkolektif. Konsep visual yang dibawa oleh Mahaputra sendiri mengambil dari figur tri-suci para dewa dalam agama Hindu, yaitu Shiva, Brahma, dan Vishnu. Ketiga dewa tersebut menurut Mahaputra mewakili nilai-nilai filosofis yang sebenarnya ada pada agama-agama lain. Berangkat dari figur ketiga dewa tersebut, TRMP menampilkan dalam 3 jenis jaket yang berbeda sesuai dengan karakter yang dibawa oleh masing-masing dewa tersebut, yaitu Denim Jacket, Worker Jacket, dan Suka Jacket. Ketiga jenis jaket dengan beda bahan serta gaya tersebutlah yang akan ditampilkan pada DISKOMFEST 7.
60
KUSTOM CULTURE
DADDYS JOKE Ramadhan Arifathkur, selain menjalani hidup sebagai desainer dan ilustrator, ia juga seorang penggemar otomotif. Berangkat dari ketertarikan dengan kustom culture, pada tahun 2014, ia membuat brand bernama Daddy’s Joke. berawal dari ingin mempublikasikan karyanya ke publik, dan temadari karya-karyanya yg ia sadurkan sendiri membawa konten kustom culture sendiri. Ia kemudian mengaplikasikanya pada t shirt, slayer, poster, custom helm dsb. Latar belakang daddys joke sendiri mengambil dari filosofi kehidupan yang seakan menertawakan masa-masa yang sudah lewat. Begitu pula dengan pengarsipan Kustom Culture yang dulu-dulu, rasanya lucu sekaligus ironis, Budaya yang sudah merambah di masyarakat justru tidak didokumentasikan secara baik. IInilah yang kemudian melatarbelakangi Daddys joke membuat data base artist baik itu builder, illustrator, seniman yang menggambar, barbershop, home industry, bahkan kolektor motor yang berlatarkan kustom culture. Ia melihat banyaknya kemungkinan dalam berkolektif pada Kustom Culture dengan adanya banyak orang yang ikut membangun Kustom Culture sendiri.
61
HARIMAU! HARIMAU!
Diskomfest7
Harimau! Harimau!, sebuah proyek kolaboratif yang mengangkat tentang fermentasi, berawal dari inisiatif pribadi yang melihat peluang dari lingkungan sekitarnya, dimana tidak banyak pilihan baru untuk minuman fermentasi, disini harimau harimau ingin menjadi pilihan baru itu. Selain melihat peluang dari lingkungan sekitar, proyek harimau harimau ini tidak hanya berdiri sendiri disini Harimau! Harimau! masih dalam proses mencari partner yang cocok untuk proyek ini. Kata-kata Harimau! Harimau! sendiri teinspirasi dari novel mochtar lubis yang berjudul Harimau! Harimau! dimana terdapat munculnya relasi relasi baru didalam cerita tersebut. Harimau! Harimau! sendiri membuat konsep dimana masyarakat bisa mencoba membolak balikan proses dan melihat peluang yang lainnya, harimau harimau ingin melihat seberapa antusias masyarakat pada apa yang mereka minum, biarpun Harimau! Harimau! bermain main dengan probabilitas yang ada tetapi bukan berarti harimau harimau menjadi suatu proyek yang pure bisnis, harimau harimau sendiri lebih fokus untuk berbagi eksperimen ke masyarakat dan dari sana muncul peluang yang berbeda dari cara kolaboratif tersebut, karena setiap orang memberikan hasil yang berbeda disebabkan banyaknya faktor dalam proses tersebut. Kerja kolaboratif dari Harimau! Harimau! pun tidak takut terjadi domino efek atau penyebaran ilmu dimana kawanbisa jadi lawan. Selain memakai konsep yang berbeda harimau harimau juga ingin mengeksplorasi kemampuan dan potensi lingkungan yang ada. Hariamau harimau juga sangat terbuak kepada audience nya untuk berbagi informasi dari proses hingga hasil yang didapat. Dari proses audience bisa ter edukasi terhadap hal yang di konsumsinya . Pada kali ini Harimau! Harimau! ikut meramaikan diskomfest dimana ia akan memerkan sebuah karya berupa kitchen lab kolaboratif, disini pengunjung tidak hanya melihat dan mencicipi fermentasi yang ada tetapi dapat merasakan bereksperimen dengan apa yang akan dicicipinya. Di kitchen lab tersebut terdapat bahan bahan dasar fermentasi yang terbuat
62
dari bahan alami di sekitar, bahan bahan yang digunakan bisa saja berbeda beda mengikuti musim yang ada. Dari situ juga terdapat kedekatan antara manusia dan lingkungan terjadi. Selain bahan dasar, disana juga akan disediakan bahan bahan tambahan yang akan diracik sendiri oleh pengunjung, bahan tambhana tersebut berupa tumbuhan tumbuhan lain yang aakan menambah rasa dan aroma dari minuman tersebut, analoginya fermentasi dasar tersebut sebagai konstanta dimana tidak dapat diubah atau bersifat tetap dan tumbuhan perasa lainnya sebagai variable variable dimana akan menghasilkan aroma dan warna yang berbeda tergantung bagaiman setiap pengunjung melakukan eksperimennya. Dari experiment tersebut harimau harimau ingin melihat betapa antusias pengunjung pada kitchen lab ini. Karya kolaboratif seperti ini dapat dikatakan sebagai kerja kolektif dimana memunculkan rasa dan warna yang berbeda setiap racikannya sama halnya seperti memunculkan ide ide baru yang berbeda.
63
GALIH GALAKSI BARBER BARBAR
Diskomfest7
Galih beraksi memotong rambut dengan cara yang tidak biasa, mengendarai motor trail Yamaha DTX ’78 warna kuning untuk bertemu pelanggan dimana pun berada. Galih menyebutnya “Galaksi Barber Barbar”. Kemampuan Galih memotong rambut berawal dari kebiasaannya memotong rambut teman-temannya yang terkena razia sewaktu masa sekolah Konsep: Ars Longa, Pilis Brevis. Kurang lebih artinya Seni itu Panjang, Rambut itu Pendek. Galaksi barber barbar adalah galih beraksi, itu unit usaha Galih dalam potong rambut, barbar karena liar. Ingat g-a-l-a-k-s-i pakai “K”. Beraksi tanpa alasan politis, Galih beraksi menjadi tukang potong rambut dengan cara yang tidak biasa (liar). Galih membawa motor trail Yahama DT X ’78 miliknya untuk menemui orang-orang yang ingin potong rambut, dimana pun tempatnya Galih akan tetap memotong rambut, asalkan tidak gelap. Galih sudah bisa potong-memotong rambut sejak SMP, saat itu galih membantu memotong rambut temannya yang kena razia BK. Lama-kelamaan skill memotong rambutnya bertambah. Selain itu, Galih juga hobi motor-motoran dan nge-custom motor, dilihat dari sejarah kustom kulture, barber merupakan bagian dari kustom kulture seperti yang lainnya jika hal tersebut ikut berkontribusi dalam perihal otomotif. Dengan hobi miliknya bermain motor, galih ingin beraksi lebih dan membawa skill memotong rambutnya dengan membuat Galaksi Barber Barbar. Di dalam kustom kulture juga terdapat kerja kolektif, seperti pengalaman Galih ketika membangun sebuah motor sendiri, yaitu saling membutuhkan, seperti bengkel membutuh tukang las, tukang bubut, sampai artist pinstriper untuk motor yang di-custom. Ini merupakan contoh kecil kerja kolektif yang ada di kustom kulture.
64
PINSTYPE TYPEFACE
Pinstype yaitu pinstriping dan typeface, dalam prosesnya tidak sekedar mengambil bentuk pinstriping mentahmentah ke dalam digital, namun mengambil bentuk-bentuk ikonik dari “scroll pinstriping” yaitu salah satu jenis pinstriping. Pola dasar tipografi script —tipografi yang menyerupai goresan tangan— dibuat secara manual dengan menggunakan kuas dan cat pinstriping agar memunculkan ciri khas dari pinstriping itu sendiri, kemudian pola-pola dasar tersebut dijadikan opsi yang dipilih oleh 3 pelaku pinstriping kustom kulture. Pertama, pemilik perusahaan “Moon Eyes” bernama Shige Suganuma dari Jepang. Kedua, pinstriper dari “Boostriping” bernama Kiyotaka Fukuda berasal dari Jepang. Ketiga, ahli pinstriping dari Bandung bernama Moch Syamsul Fahmi. Hasil yang dipilih dijadikan 1 set dasar huruf yang akan digabungkan dengan bentuk ikonik dari scroll striping menjadi Pinstype. Typeface ini berusaha mengenalkan dan menambah wawasan kepada masyarakat bahwa pinstriping itu bisa mempengaruhi segala media menjadi satu kesatuan ciri khas kustom kulture. Pinstype akan menambah kekayaan dan koleksi huruf yang berkarakter pinstriping. Pinstriping sendiri adalah sebuah ornamen yang unik dengan proses yang tidak mudah, artisnya dituntut untuk mempunyai skill dan ciri khas yang tinggi. Menurut buku Robert William tahun 1993, pinstriping adalah sebuah karya berbentuk garis tipis-tipis yang dibuat dengan teknik khusus oleh seniman terampil. Seiring perkembangannya, tidak menutup kemungkinan juga pinstriping diterapkan pada media-media lain seperti gitar, skateboard atau apapun dan secara otomatis akan berbau kustom kulture. Abdurrahman sebagai desainer tipografi, bukan sebagai pinstriping artist, menciptakan tipografi berkarakter pinstriping yang dapat digunakan dan diaplikasikan bagi masyarakat kustom dan masyarakat umum.
65
INTERNET
SENDER CLUB
Salah satu kolektif yang diinisasi oleh beberapa alumni DKV ISI Yogyakarta ini mhadir dengan membawa tajuk judul “Pujaan Remaja Putri�. Dengan mengisi ruag Internet mereka akan merespon ruang tersebut mengenai pembahasan dampak internet berikut perilaku yang terjadi didalamnya. Berikut adalah konsep yang dibawa kan oleh mereka:
Diskomfest7
“Kehadiran teknologi internet mengubah tatacara manusia untuk berbisnis, berperilaku, dan bersosial. Berbagai media sosial yang dapat diakses lewat teknologi tersebut membuat pengguna dapat menampilkan kepribadian artifisal yang acap kali digunakan untuk menarik perhatian pengguna lain demi memenuhi berbagai kebutuhan, baik berbentuk spiritual maupun yang berujung pada materi. Kepribadian artifisal tersebut menyajikan sebuah wacana menarik tentang bagaimana proses pertukaran kebutuhan antara penyedia konten dan apresiator, serta bagaimana proses interaksi tersebut berlangsung melalui simbol-simbol yang mewakili benda di kehidupan nyata namun memiliki makna yang berbeda ketika dipindah ke dalam dunia digital.�
66
STUDIS TV
Media informasi kampus seni. Berawal dari tugas akhir iqbal alditio. Membawa permasalahan fakultas seni rupa dimana seni rupa kurang dikembangkan secara branding, ia, serta apa yang dilihat oleh kaprodi, diangkat sebagaisalah satu ukm sebagai tempat pengarsipan. Kampus sering kelabakan dalam akreditasi karena kurangnya expose mahasiswa yang telah memiliki penghargaan serta rekam jejak yang baik, studis hadir dalam mengatasi permasalahan tersebut. dengan berawal oleh inisiasi pribadi, studis semakin dikenal serta makin muncul dukungan. Baginya ranah kolektif sangat penting dalam ranah desain, karena kemampuan dsiplin ilmu desain tidakdapat dipisah oleh individu lain. Kita tidak menyelesaikan permasalahan dengan sendirian, namun jika dilihat kembali banyak anak desain yang belum menyadarinya, karena peran kebutuhan desain tidak hanya berdiri sendiri. Karya yang akan ditampilkan adalah arsip sedangkan media utama video platformnya saat ini dapat diakses pada Youtube.
67
Diskomfest7
COLLABORATION
68
REACT ANGLE: Mangun Stijl X Diskomfest Mangun Stijl merupakan salah satu projek yang diinisasikan olehHk. Sidharta, seorang mahasiswa interior yang juga kerap bergaul dengan mahasiswa diskomvis dikampusnya, ISI Yogyakarta. Dengan berasal dari pergaulannya tersebut, Mangun Stijl berkolaborasi dengan DISKOMFEST untuk menggabungkan desain interior dengan diskomvis. “React Angle” merupakan judul dalam karya yang akan ditampilkan. Dengan menciptakan enviromental typeface membangun psikologi perspektif audience. Pada ruang yang disediakan, Mangun Stijl merespon ruang tersebut yang nantuinya akan dipakai sebagai ruang gathering antar komunitas serta pengunjung yang akan datang. “Submit Your Collective” merupakan konsep yang dibangun pada karyanya dimana nantinya para pengunjung ataupun komunitas dapat duduk pada kursi-kursi yang disediakan. Kursikursi tersebut disusun sedemikian rupa bersama meja yang dipakai sehingga ketika dilihat pada satu titik akan membentuk teks. Pada meja pada ruang tersebut pula, Mangun Stijl akan menampilkan arsip-arsip miliknya berikut proses dari Mangun Stijl termasuk yang menemani mereka berproses, yaitu laptop yang digunakan untuk mendesain oleh Mangun Stijl sendiri.
69
Diskomfest7
Thanks To
70
71
72
Diskomfest7