2 minute read

Jendela

Next Article
resensi BUkU

resensi BUkU

mUSTI HUmANIS DONg!

ALHAmDULILLAH, akhirnya kita sampai juga di penghujung tahun 2009 ini. Desember! bulan paling bontot dalam hitungan satu tahun. bulan paling menyenangkan, kata seseorang, karena munculnya menambah sesuatu. bulan paling menyedihkan, kata yang lain, karena hadirnya mengurangkan sesuatu.

Advertisement

Ya, bulan ini bulan Desember tahun 2009. Artinya, bagaimanapun, bulan depan sudah pasti bulan Januari tahunnya pun bertambah satu, tahun 2010. memang, orang bisa bilang ‘Apalah artinya Desember berganti dengan Januari?’ Toh, sama-sama nama bulan! ‘Apalah artinya tahun 2009 berganti menjadi tahun 2010?’ Toh, sama-sama angka tahun, cuma tambah satu angka.

Ternyata, jikalau saja sempat diadakan sensus, angket, kuesioner, wawancara, atau apalah itu, jawaban, komentar, ungkapan perasaan kita berbeda-beda. Yang masih anak-anak, jawabannya pasti berseri-seri, karena merasa tambah ‘besar’, dan akan segera berulang tahun lagi. Yang remaja pun menjawab dengan berbinar-binar, karena dengan bertambahnya usia, maka peluang untuk berpacaran pun semakin dekat. Yang muda-mudi juga menjawab dengan semangat, karena dengan demikian, mereka semakin bisa memantabkan kehidupannya. Nah, giliran yang tua-tua, mereka memandang pergantian tahun dengan wajah sendu, karena itu berarti ‘saatnya sudah semakin dekat!’ Saat memasuki pensiun, saat mengakhiri karier, saat memasuki ....... dst.

Itu dari satu sisi. Dari sisi lain, banyak “responden” yang tampak menjawab dengan “Tidak masalah, alhamdulillah, subhanallah!” Semua itu sudah diatur oleh Yang maha Perkasa. Sehingga, itu dirasakan sebagai anugerah Tuhan yang luar biasa, yang musti disyukuri dengan sebenar-benar syukur. bahwa kita tambah “besar”, bahwa kita tambah “dewasa”, bahwa “dunia” kita semakin luas, bahwa karier kita semakin menanjak, bahwa kita mesti bersiap-siap memberikan tongkat estafet kepada para penerus kita, bahwa kita .... dst., dst.

Apa pun komentar, jawaban, penjelasan dari mereka, dari kita, di samping tentu saja kita tidak lupa bersyukur atas semua nikmat yang sudah kita terima itu, ada satu hal yang juga tidak boleh dilupakan, yakni kesadaran kita untuk melakukan introspeksi, mawas dhiri, melihat ke dalam diri sendiri. Sudahkah yang kita lakukan “kemarin” sesuai dengan “juklak” vertikal maupun horizontal? Sudahkah beban, tugas, kewajiban, dan tanggung jawab yang kita laksanakan tempo hari sudah sesuai dengan “protap”-nya? Sudahkah kerja dan pekerjaan kita waktu itu kita tangani dengan penuh kreatif dan inovatif? Sudahkah segala sesuatu yang harus kita handle sebelum ini berjalan sesuai rencana, berhasil-guna dan berdaya-guna?

Ungkapan “klasik” tetapi tampaknya akan tetap relevan sampai akhir zaman (“Siapa bilang tahun 2012, bro!”): Hari ini kita harus lebih baik daripada kemarin, esok hari kita harus lebih baik daripada hari ini! Layak untuk secara menerus kita renungkan dan amalkan. Namun, masih ada satu yang tercecer, ketika yang kita hadapi adalah manusia, insan, human, maka “perlakuan” kita kepada mereka, siapa pun (: siswa, mahasiswa, guru, dosen muda, karyawan, pegawai rendahan, masyarakat luar, masyarakat luas, dst.) haruslah tetap humanis! Sekali lagi: Humanis!

drs�� s�maryadI, m��pd�� pemimpin redaksi

This article is from: