4 minute read

cerpen

Next Article
opini

opini

Pesan yang Terabaikan

Oleh INUNg SeTYAmI

Advertisement

ti mimpi, tapi ini nyata. Universitas tidak lagi memberikan kebijaksanaan. Ia terkena D-O. Seketika ia ambruk di kamar kostnya. Tubuhnya terasa lunglai dan kepalanya pening. Ia teringat segala kebohongan yang telah ia lakukan pada ibu di rumah yang kurang memiliki wawasan tentang kampus, sehingga begitu mudah dibohongi terutama soal uang. berkali-kali ia minta uang untuk membayar semesteran dua kali lipat dari yang seharusnya dibayarkan. Uang itulah yang digunakan untuk ke bioskop, nongkrong di kafe, belanja-belanja, dan makan-makan di resto mewah. Ia lupa bahwa ibunya selalu berharap anak gadisnya bisa lulus menjadi sarjana, mengenyam pendidikan tinggi, tidak seperti orang tuanya yang sama sekali tidak tersentuh pendidikan. Tidak seperti bapaknya yang hanya abang becak dan ibunya yang hanya PrT. mereka ingin Salamah memiliki masa depan yang menggembirakan.

Salamah bingung. Kebingungan yang tak kunjung sirna, semakin menambah pening kepalanya. mau tak mau Salamah harus pulang kampung. meninggalkan kota Jogja untuk kem-

SALAmAH kembang desa di kampungnya. Kini, ketika ia menjadi mahasiswi, predikat kembang kampus pun melekat pada dirinya. gadis itu semakin hari semakin mekar penampilannya. Ibarat bunga, ia mampu menarik banyak kumbang yang beterbangan. beruntung, ia memiliki daya tarik siapa pun yang memandangnya. beberapa tahun hidup di kota membuat Salamah lupa, bahwa ia gadis desa. Ia ubah penampilannya yang dianggap ndeso dengan penampilan gaya baru. Tak hanya gaya rambut yang berubah warna dan bentuk setiap waktu, baju-baju yang dikenakannya juga ber-merk dan mengenal mode. Tatto kupu-kupu yang melekat di pinggulnya menambah kesan eksotik.

Ia wanita penggemar keindahan. Untuk menghilangkan kesan ndesonya, ia ganti namanya menjadi Salma. Di kampus ia enggan dipanggil “Salamah”, tapi lebih suka dipanggil “Salma”, seperti nama artis Happy Salma. baginya nama “Salma” lebih gaul dan terkesan kota dibandingkan nama aslinya yang terkesan udik. Ia bangga dengan panggilan Salma.

Salamah selalu mengutamakan penampilan, tak ada yang berantakan untuk soal mode dan gaya. Namun, untuk urusan perkuliahan tidak ada yang tidak berantakan. IPK-nya di bawah standar, C dan D banyak menghiasi KHS-nya. Selama ini ia tenang-tenang saja, toh masa studinya tujuh tahun. masih ada waktu panjang untuk mengulang dan menyelesaikan skripsi, pikirnya.

Salamah terlalu euforia dengan dunianya. Ia tak menghiraukan masa studinya yang kian menipis. Ia tak menggubris satu per satu temannya telah mengenakan toga, meninggalkan kampus, masuk dunia baru yang dicita-citakan. Satu hal penting yang ia lupa, segala rencana hanya Tuhan yang tahu. Ia tidak menduga segala kemungkinan yang bisa terjadi. Dalam benaknya, hanyalah mencari kesenangan dengan menghambur-hamburkan uang. Salamah terlalu menikmati dunianya dan tak peduli bahwa uang yang dihabiskannya adalah keringat ibunya. Ia lupa pesan ibu, pesan dari desa yang dianggap kampungan dan kolot itu, pesan bertele-tele menurutnya dan tak pantas untuk dihiraukan. Pesan selalu sholat lima waktu, pesan untuk menjaga diri, dan pesan menjadi manusia dewasa yang bertanggung jawab. Pesan-pesan kampungan itu telah terabaikan. Sejak itu, ia lupa pada doa, pada etika, dan pada tujuan. mata Salamah melotot membaca surat peringatan dari kampus bahwa masa studinya habis. Kedua bibirnya terkatup, terkejut, jantung berdenyut keras tak beraturan. Keringat dingin mengalir tak habis-habisnya. Ia serasa tak percaya, seper-

cerpen

repro�� kalam/pewara

bali menjadi gadis kampung. mau tak mau harus meninggalkan kampus karena ia bukan lagi mahasiswi. mau tak mau ia harus menjelaskan pada ibunya, orang tua satu-satunya. menjelaskan pada ibu? Seketika badannya bergetar ketakutan. Dengan apa ia akan menjelaskannya? Dengan air mata? Itu hanya akan membuat ibunya semakin bertanya-tanya. Namun, dengan kata-kata, bagaimana ia bisa memulainya? bertemu dan bertatapan saja rasanya ia takkan sanggup. “Sanggupkah aku ketemu ibu?” “Sanggupkah aku bertemu sama ibu?” Pertanyaan itu tak hanya menyergap hatinya, namun juga benak dan jiwanya. Salamah terluka oleh pisau yang selama ini diasahnya sendiri. Namun, segala kejadian perlu penjelasan.

“bu, bangunlah, bu. maafkan Salamah, bu.” Salamah dengan isak-tangisnya serak setelah terlalu lama menangis. Wanita setengah tua bertubuh kurus kering itu tetap diam mematung. Demi mendengar penjelasan dari anak gadisnya, wanita itu teramat kecewa hingga tak sadarkan diri. Kondisi jantungnya mendadak labil.

Wanita perkasa yang selama ini gigih bekerja demi anak gadisnya itu kini terbujur lunglai tak berdaya di amben bambunya. Salamah mendekat, dibelainya rambut ibunya yang hampir memutih itu. Dipandanginya mata cekung sayu itu, ia temukan deretan kesedihan dan kekecewaan di dasarnya. Sungguh ia tak menyangka, keterusterangannya itu berbuah petaka bagi ibunya.

Ia sadar bahwa ini salahnya. Jika saja dulu ia tak mengabaikan pesan-pesan ibunya yang dianggap kampungan itu, ia pasti mampu menata ruang dan waktu di hadapannya. Andaikan waktu bisa diajak kompromi, ingin sekali ia kembali ke masa lalu, tujuh tahun yang lalu. menghapus kembali peristiwa-peristiwa selama ini yang hanya terbuang sia-sia untuk hal-hal yang tak berguna.

Salamah termenung. Wajahnya murung. Hatinya seketika tercabik-cabik menyaksikan ibunya terkapar lunglai di depan mata. Hanya penyesalan yang tersisa, harapan-harapan telah sirna. Salamah tak mampu berkata-kata melihat kejadian yang tiba-tiba dan tak terduga. Air mata yang berlinang di kedua bola matanya, tak habis-habis berlelehan membasahi pipi serupa anak sungai yang arusnya tak putus-putus. ”Andai saja kini aku memakai toga, pasti ibu bahagia. Pasti ibu menyambutku dengan senyum, bukan, dengan tertawa lebar.” Kini, yang ada dalam benak Salamah hanyalah rangkaian penyesalan. Dan, yang pasti, Salamah tahu bahwa waktu tak mungkin diputar ulang kembali seperti alunan lagu. Salamah hanya punya sekumpulan lagu-lagu teramat sendu untuk didendangkan.

Yogya, 2009

IstImewa

In�n� setyamI mahasiswi bahasa dan sastra Indonesia Fbs �ny

This article is from: