cerpen
Pesan yang Terabaikan O l e h I nung S etya mi Salamah kembang desa di kampungnya. Kini, ketika ia menjadi mahasiswi, predikat kembang kampus pun melekat pada dirinya. Gadis itu semakin hari semakin mekar penampilannya. Ibarat bunga, ia mampu menarik banyak kumbang yang beterbangan. Beruntung, ia memiliki daya tarik siapa pun yang memandangnya. Beberapa tahun hidup di kota membuat Salamah lupa, bahwa ia gadis desa. Ia ubah penampilannya yang dianggap ndeso dengan penampilan gaya baru. Tak hanya gaya rambut yang berubah warna dan bentuk setiap waktu, baju-baju yang dikenakannya juga ber-merk dan mengenal mode. Tatto kupu-kupu yang melekat di pinggulnya menambah kesan eksotik. Ia wanita penggemar keindahan. Untuk menghilangkan kesan ndeso-nya, ia ganti namanya menjadi Salma. Di kampus ia enggan dipanggil “Salamah”, tapi lebih suka dipanggil “Sa lma”, seperti nama artis Happy Salma. Baginya nama “Salma” lebih gaul dan terkesan kota dibandingkan nama aslinya yang terkesan udik. Ia bangga dengan panggilan Salma. Salamah selalu mengutamakan penampilan, tak ada yang berantakan untuk soal mode dan gaya. Namun, untuk urusan perkuliahan tidak ada yang tidak berantakan. IPK-nya di bawah standar, C dan D banyak menghiasi KHS-nya. Selama ini ia tenang-tenang saja, toh masa studinya tujuh tahun. Masih ada waktu panjang untuk mengulang dan menyelesaikan skripsi, pikirnya. Salamah terlalu euforia dengan dunianya. Ia tak menghi raukan masa studinya yang kian menipis. Ia tak menggubris satu per satu temannya telah mengenakan toga, meninggalkan kampus, masuk dunia baru yang dicita-citakan. Satu hal penting yang ia lupa, segala rencana hanya Tuhan yang tahu. Ia tidak menduga segala kemungkinan yang bisa terjadi. Dalam benaknya, hanyalah mencari kesenangan dengan menghambur-hamburkan uang. Salamah terlalu menikmati dunianya dan tak peduli bahwa uang yang dihabiskannya adalah keringat ibunya. Ia lupa pesan ibu, pesan dari desa yang dianggap kampungan dan kolot itu, pesan bertele-tele menurutnya dan tak pantas untuk dihiraukan. Pesan selalu sholat lima waktu, pesan untuk menjaga diri, dan pesan menjadi manusia dewasa yang bertanggung jawab. Pesan-pesan kampungan itu telah terabaikan. Sejak itu, ia lupa pada doa, pada etika, dan pada tujuan. Mata Salamah melotot membaca surat peringatan dari kampus bahwa masa studinya habis. Kedua bibirnya terkatup, terkejut, jantung berdenyut keras tak beraturan. Keringat di ngin mengalir tak habis-habisnya. Ia serasa tak percaya, seper 46
Pewara Dinam i ka d e s e m b e r 2 0 0 9
ti mimpi, tapi ini nyata. Universitas tidak lagi memberikan kebijaksanaan. Ia terkena D-O. Seketika ia ambruk di kamar kostnya. Tubuhnya terasa lunglai dan kepalanya pening. Ia teringat segala kebohongan yang telah ia lakukan pada ibu di rumah yang kurang memiliki wawasan tentang kampus, sehingga begitu mudah dibohongi terutama soal uang. Berkali-kali ia minta uang untuk membayar semesteran dua kali lipat dari yang seharusnya dibayarkan. Uang itulah yang digunakan untuk ke bioskop, nongkrong di kafe, belanja-belanja, dan makan-makan di resto mewah. Ia lupa bahwa ibunya selalu berharap anak gadisnya bisa lulus menjadi sarjana, mengenyam pendidikan tinggi, tidak seperti orang tuanya yang sama sekali tidak tersentuh pendidikan. Tidak se perti bapaknya yang hanya abang becak dan ibunya yang hanya PRT. Mereka ingin Salamah memiliki masa depan yang menggembirakan. Salamah bingung. Kebingungan yang tak kunjung sirna, semakin menambah pening kepalanya. Mau tak mau Salamah harus pulang kampung. Meninggalkan kota Jogja untuk kem-