P
E
W.
A
R
A
DiriAmiOi
I
Desember 2006
Mbah Maridjan dan Zaman Meleset(Malaise) Oleh: Reni Nuryanti
Icon selebriti Yogya bertambah satu. Dia bukan seorang wanita cantik bertubuh moiek, dengan kulit kuning langsat, dan bibir
rumor yang beredar kemudian menunjuk lakilaki berumur 79 tahun jtu sebagal provakator. Berulangkali ia diperingatkan oleh BPPK,
aduhai. Ataupun, pria ganteng bertubuh atletis semacam Anderw White, suami Nana Mirdad,
Sultan, bahkan tidak ketlnggalan SBY, si Mbah
Thomas JorgI, atau artis dan entertainer keren sekelas Feri Salim, Ferdi Hasan, dan Charles
Bonar Sirait. Namanya sempat menduduki grade teratas dalam jajaran orang-orang elit di negeri ini. Bahkan, nama SBY-JK sebagai bapak negara pun agaknya tersingkir oleh
kepopulerannya. Demikian pula, agaknya nasib yang sama - kalah tenar -juga dialami oleh Sri Sultan Hamengkubuwono X dan permaisurinya, GKR Hemas. Dia adalah Mbah Maridjan,'juru kunci' Gunung Merapi. Laki-laki tua yang kerap berkopiah hitam ini paling senang memakai batik. Corak ini seolah menjadi ciri sosoknya yang njawani. Demikian juga kopiah hitam yang tampak lusuh menjadi perlambang kebanggaan putra bangsa sejak zaman sebelum merdeka.
Pertentangan Kaum
Mistik dengan
Positivistik
Sejak ditingkatkannya status Gunung Merapi dari 'siaga' menjadi 'awas', umumnya
masyarakat- Yogya menjadi khawatir. Kekhawatiran itu diikuti dengan munculnya
ultimatum dari BPPK (Badan Pengawas dan Pemantau Kegunungapian), yang sejak pertengahan 2005 teiah berjaga-jaga. Status
penjagaan kemudian diperketat sejak Maret 2006. Seruan juga dilayangkan oleh Ngarsa Dalem Sri Sultan Hamengkubuwono X yang berisi imbauan agar warga yang berada di sekitar Gunung Merapi segera mengamankan diri. Untuk memberikan pelayanan tersebut, Pemerintah Propinsi DIY bekerjasama dengan TIM SAR dan SATKORLAP membuat barak-
barak pengungsian yang dilengkapi dengan sirinetandabahaya.
Satu ha! yang justru menarik dan unik adalah Mbah Maridjan, 'Juru Kunci' Gunung Merapi itu justru memerlntahkan agar warga
tenang dan tidak perlu mengungsi. Pernyataannnya yang polos disertal dengan guyonannya yang khas seolah menjadi magnet yang menarik masyarakat tetap tingga! di tempat."Nek Mbah Maridjan dereng mandhap, kuia mboten badhe ngungsi" demikian beberapa warga menuturkan. Pernyataan dan
yang mempunyai gelar Raden Ngabehi Surakso Hargo ini tetap tidak bergeming. "Merapi era apa-apa," demikian ia berkilah saat ada kesempatan diwawancarai. Alasan lain Juga dikemukakan, "Kawuia netepi Ngendikanipun
Ngarsa Dalem Sri Sultan Hamengkubuwono IX supados njagiGunung Merapi." Di sini tampak jelas adanya
pertentangan antara dua kelompok, kelompok Mbah Maridjan dan kelompok Pemerintah dengan jajarannya. Kelompok pertama yang
didukung oleh Mbah Maridjan berpendapat bahwa Gunung Merapi tidak apa-apa. Beliau mengatakan bahwa Merapi itu seperti manusia. "Jangan diganggu dan dirusak lingkungannya.
Apa yang terjadi selama ini adalah akibat kemarahan Gunung Merapi, akibat penambangan pasir yang berlebihan di sekitar Sungai Krasak. Karenanya, biarkan ia marah,
jangan ikut campur, nanti juga reda sendiri," katanya. Warga masyarakat yang berada di dekat Merapi dlimbau untuk tenang dan dilarang mengeluarkan kata-kata seperti: Merapi meletus, Mbledhug, NJeblug, atau pun Wedhus Gembel. "Itu pamaii," katanya. Yang justru seharusnya dilakukan oleh masyarakat, menurutnya, adalah banyak berdoa memohon keselamatan kepada Tuhan, misalnya dengan wiridan. Untuk menjembatani ini, Mbah Maridjan mengajak warga sekitar Gunung Merapi sebanyak 40 orang untuk laku bisu, berjalan mengelillngi desa tanpa bersuara atau bercakap-cakap. Mereka ini yang kemudian dijuluki dengan Istilah kelompok mistis. Pandangan mereka didasarkan pada ajaran teosofi, yang secara historis berkembang di Jawa sejak 1991, dengan ditandai munculnya "The Pekalongan Teosophy"6\ Semarang. Sementara itu, di sisi lain, kelompok
kedua yang menamakan dirinya elit akademik dengan dislplin ilmunya masing-masing memandang Mbah Maridjan telah melakukan pekerjaan yang berbahaya. Pandangan mereka ditopang oleh pemikiran positivistik yang empiris. Mereka mellhat aktivitas Gunung Merapi sebagai akitlvitas alam yang berbahaya dan membutuhkan penanganan secara cermat
dengan keilmuan yang matang. Pihak BPPK