5 minute read
Virus itu Bernama TV
Oleh: Wedho Chrisnarno *)
Sepuluh stasiun televisi swasta nasional saat ini mengharu-biru, membius, dan nyaris menenggelamkan alam bawah sadar kita. Stasiun televisi, sebagaimana industri media lainnya, benar-benar menikmati berkah adanya kebebasan pengelolaan media massa pascareformasi. Slapa yang diuntungkan dan siapa dirugikan, agaknya sudah tidak penting lagi untuk diperdebatkan, karena yang berlaku
Advertisement
dalam dunia industri adalah mengeksploitasi berbagai sumber daya untuk mendapatkan keuntungan material sebesar-besarnya. 'Syahwat kapitalistik' semacam ini barangkali yang menafikan idealisme dan haklkat media televisi sebagai sumber Informasi dan berita (fo inform), fungsi pendidikan (fo education), dan fungsi hiburan (to entertainment). Televisi sudah menjadi realitas hidup masyarakat. Stasiun televisi berpijak pada bisnis dan idealisme, dan tidak mudah menjalankan idealisme itu' (Ishadi, 2005). Apa yang dkatakan oleh pakar komunikasi dan Direktur Trans-TV ini barangkali sebuah keputusasaan dari seorang Idealis, tapi terkurung dalam rimba bisnis media yang amat kompetitif. Angka-angka hasil survey perolehan banyaknya penonton terhadap program acara tertentu {rating) menjadi 'berhala' bagi para pengelola media televisi. Sebuah program acara, semakin banyak penontonnya, akan makin mendatangkan iklan, dan ini berarti keuntungan besar bagi stasiun TV. Tidak peduli acara tersebut
bermutu atau tidak. Masa bodoh acara itu meracuni pemirsa atau tidak. Dikatakan bermutu tentu jika acara tersebut mampu
memberikan nilal-nilai kebaikan dan peningkatan kualitas hidup, bukan sekedar tayangan dramatik yang akhirnya membuat penonton meniru-niru apa saja yang ada di
TV.
'Sebagai media informasi televisi memiliki kekuatan yang ampuh {powerfuH) untuk menyampaikan pesan dan mengubah perilaku, karena media ini dapat menghadirkan pengalaman yang seolaholah dialami sendiri dengan jangkauan luas dan dalam waktu yang bersamaan' (Anwas, 2002).
Beraneka macam program acara
televisi saat ini bisa kita tonton di rumah. Informasi berita dunia dan siaran langsung olahraga merupakan tayangan yang cukup memiliki rating tinggi. Bagi mereka yang menyukai siaran rohani, bisa melihat ustadz favoritnya secara live di TV. Penggemar filmfilm box-office Hollywood tidak perlu susahsusah ke gedung bioskop. Apalagi ibu-ibu rumah tangga penikmat setia sinetron dan gosip artis, televisi menyediakan ruang dan waktu cukup banyak untuk menguras air mata haru kaum hawa. Bahkan bagi mereka yang menyukai dunia /c/en//c (supranatural), terdapat beberapa program siaran, baik berupa sinetron maupun kemasan dalam bentuk reality-show dengan nuansa klenik. Sementara itu, program untuk anak-anak, meskipun tidak banyak, menjadikan televisi sebagai sebuah panggung tontonan yang variatif sekaligusmenghibur. Anak-anak merupakan segment pasar yang cukup diperhitungkan oleh pengelola stasiun televisi. Celakanya, tidak semua program acara anak-anak di televisi benar-benar pantas ditonton oleh anakanak. Banyak film animasi (kartun) dan sinetron anak menggunakan dialog dan adegan yang tidak sesuai dengan tingkat usia mereka. 'Sudah banyak hasil penelitian menyebutkan, siaran televisi mempunyai dampak buruk terhadap perkembangan perilaku anak. Di antara pengaruh buruk tersebut antara lain: berbagai film kartun kerap menampilkan adegan kekerasan dan jorok. Akibat lebih jauh dari tontonan itu adalah meningkatnya perilaku agresif, hilangnya kepekaan sosial, dan prestasi akademik menurun. Dan, yang lebih berbahaya adalah munculnya anggapan bahwa segala persoalan hanya bisa diselesaikan lewat kekerasan' (Wahyudi,
2005).
Kekhawatiran terhadap serbuan
arus informasi dan hiburan lewat media TV saat in! telah menemukan jawabannya. Banyak anak kita yang mengidentifikasikan perilaku dan gaya hidupnya seperti apa yang mereka tonton di TV. Mereka berpakaian ala tokoh favoritnya di film TV,
mereka makan camilan dan minum minuman seperti yang ada di ikian TV. Bahkan, anak-anak sekarang iebih pintar memiiih barang dan bisa membedakan antara sepatu yang asii seperti di TV dan yang paisu. Pada tingkatan periiaku konsumtif semacam itu, mungkin bagi yang berduit masih beium merepotkan. Tetapi, bagaimana jika orang tua dihadapkan pada kenyataan, bahwa anak-anak kita menjadi amat masa bodoh terhadap iingkungannya, termasuk terhadap orang tuanya sendiri. Reran orang tua terabaikan sebagai akibat teievisi telah memberikan banyak hai kepada anak-anak kita. Bagaimana jika sifat agresif kemudian berujung pada periiaku distruktif dan melawan norma-
norma sosial. Di sebuah sekolah 'SMU' di Coiorado Amerika Serikat, misalnya, pernah terjadi pembantalan yang diiakukan oleh seorang siswa terhadap beberapa temannya. Para pakar dan akademisi mencurigai periiaku sadis ini dipengaruhi oleh tayangan kekerasan di TV dan game. Lebih khawatir iagi jika anak-anak
dibiarkan ieluasa nonton teievisi dan bebas memiiih acara yang disukai, termasuk program acara yang seharusnya hanya untuk orang dewasa. Untuk mengurangi rasa bersalah, beberapa stasiun teievisi memang telah mencantumkan title yang dapat kita lihat di sudut atas iayar teievisi: SU (semua umur), dewasa atau 17 + (hanya untuk penonton dewasa), BO (bimbingan orang tua), artinya ketlka anakanak menonton periu didampingi orang tua. Pernahkan kita memperhatikan tulisan kecii di sudut iayar TV tersebut sebagi sebuah peringatan dini. Di antara orang tua hanya sedikit yang menyadari bahwa apabiia tidak pandai memiiih tayangan teievisi, kita seperti memelihara virus di rumah sendiri,
di ruang keiuarga, dan bahkan di kamartidur. Sebentar saja kita iengah, ancaman terhadap moraiitas dan kecerdasan anakanak kita menjadi taruhan. Memang tidak mudah meiindungi keiuarga kita dari tayangan-tayangan buruk di TV. Kita tidak mungkin mematikan TV, apalagi menyingkirkannya dari rumah. Karena, untuk masyarakat menengah ke bawah, teievisi adaiah satu-satunya hiburan di rumah yang paling murah-meriah. TV sudah menjadi kebutuhan hidup, bukan iagi gaya hidup. Faktanya, banyak puia informasi dan tayangan-tayangan bermanfaat, sekaiigus dapat dijadikan sebagai hiburan di tengah himpitan hidup. Layaknya virus penyakit, Jika
ketahanan tubuh kita lemah, maka virus itu akan semakin menggerogoti tubuh kita. Demikian hainya, ancaman tayangantayangan buruk di TV pada anak-anak. Sudahkah para orang tua memberikan perlindungan cukup dari serangan virus TV. Bagi orang tua yang seharian sibuk dengan pekerjaan dl iuar rumah, hampir bisa dipastikan tidak bisa mendampingi anakanak ketika menonton TV. Yang paling penting, barangkaii, membekali anak-anak dengan pemahaman tentang baik dan buruknya sebuah tayangan teievisi. Anakanak juga harus dibiasakan berani bertanya tentang berbagai hal yang mereka lihat di TV. Jika kemajuan teknologi menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan kita, maka piiihannya akan suiit. Menerimanya dengan berbagai konsekuensi, atau reia menjadi manusia primitif dengan peradaban terbelakang. Jika teknoiogi teiah mampu merebut anak-anak dari pangkuan orang tua, maka kita dihadapkan pada sebuah realitas, suka atau tidak suka. Sebagai orang tua, kita susahpayah membangun tata nilai pada anakanak, seketika itu puia teievisi merenggutnya dan menggantinya dengan tata nilai baru. Maka, tidak ada piiihan lain, kecuaii berhati-hati dengan virus TV, karena virus itu iebih jahat darlpada virus H5N1 penyebab flu burung yang mematikan itu.
*) Drs. Wedha Chrisnarno, Kasubag
Perlengkapan UNY