Pewara Dinamika Agustus 2006

Page 27

VIRUS ITU BERNAMA TV Oleh: Wedho Chrisnarno *) Sepuluh stasiun televisi swasta nasional saat ini mengharu-biru, membius, dan nyaris menenggelamkan alam bawah sadar kita. Stasiun televisi, sebagaimana industri media lainnya, benar-benar menikmati berkah adanya kebebasan pengelolaan media massa pascareformasi. Slapa yang diuntungkan dan siapa dirugikan, agaknya sudah tidak penting lagi untuk diperdebatkan, karena yang berlaku dalam

dunia

industri

adalah

mengeksploitasi berbagai sumber daya untuk mendapatkan keuntungan material sebesar-besarnya. 'Syahwat kapitalistik' semacam ini barangkali yang menafikan idealisme dan haklkat media televisi sebagai sumber Informasi dan berita (fo inform), fungsi pendidikan (fo education), dan fungsi hiburan (to entertainment). Televisi sudah menjadi realitas hidup masyarakat. Stasiun televisi berpijak pada bisnis dan idealisme, dan tidak mudah menjalankan idealisme itu' (Ishadi, 2005). Apa yang dkatakan oleh pakar komunikasi dan Direktur Trans-TV ini barangkali sebuah keputusasaan dari seorang Idealis, tapi terkurung dalam rimba bisnis media yang amat kompetitif. Angka-angka hasil survey perolehan banyaknya penonton terhadap program acara tertentu {rating) menjadi 'berhala' bagi para pengelola media televisi. Sebuah program acara, semakin banyak penontonnya, akan makin mendatangkan iklan, dan ini berarti keuntungan besar bagi stasiun TV. Tidak peduli acara tersebut bermutu atau tidak. Masa bodoh acara itu

meracuni pemirsa atau tidak. Dikatakan bermutu tentu jika acara tersebut mampu memberikan

nilal-nilai

kebaikan

dan

peningkatan kualitas hidup, bukan sekedar tayangan dramatik yang akhirnya membuat penonton meniru-niru apa saja yang ada di TV.

'Sebagai media informasi televisi memiliki kekuatan yang ampuh {powerfuH) untuk menyampaikan pesan dan mengubah

perilaku, karena media ini dapat menghadirkan pengalaman yang seolaholah dialami sendiri dengan jangkauan luas dan dalam waktu yang bersamaan'(Anwas, 2002). Beraneka macam program acara televisi saat ini bisa kita tonton di rumah.

Informasi berita dunia dan siaran langsung olahraga merupakan tayangan yang cukup memiliki rating tinggi. Bagi mereka yang menyukai siaran rohani, bisa melihat ustadz favoritnya secara live di TV. Penggemar filmfilm box-office Hollywood tidak perlu susahsusah ke gedung bioskop. Apalagi ibu-ibu rumah tangga penikmat setia sinetron dan gosip artis, televisi menyediakan ruang dan waktu cukup banyak untuk menguras air mata haru kaum hawa. Bahkan bagi mereka yang menyukai dunia /c/en//c (supranatural), terdapat beberapa program siaran, baik berupa sinetron maupun kemasan dalam bentuk reality-show dengan nuansa klenik. Sementara itu, program untuk anak-anak, meskipun tidak banyak, menjadikan televisi sebagai sebuah panggung tontonan yang variatif sekaligusmenghibur. Anak-anak merupakan segment pasar yang cukup diperhitungkan oleh pengelola stasiun televisi. Celakanya, tidak semua program acara anak-anak di televisi benar-benar pantas ditonton oleh anakanak. Banyak film animasi (kartun) dan sinetron anak menggunakan dialog dan adegan yang tidak sesuai dengan tingkat usia mereka.'Sudah banyak hasil penelitian menyebutkan, siaran televisi mempunyai dampak buruk terhadap perkembangan perilaku anak. Di antara pengaruh buruk tersebut antara lain: berbagai film kartun kerap menampilkan adegan kekerasan dan jorok. Akibat lebih jauh dari tontonan itu adalah meningkatnya perilaku agresif, hilangnya kepekaan sosial, dan prestasi akademik menurun. Dan, yang lebih berbahaya adalah munculnya anggapan bahwa segala persoalan hanya bisa diselesaikan lewat kekerasan' (Wahyudi,

Agust-Sept| 2006

25


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.