![](https://assets.isu.pub/document-structure/210412054756-56f7f959edcce67de5252bed55819c88/v1/a0a9a7fda962477f3d67ac3cdad5dd3c.jpg?width=720&quality=85%2C50)
5 minute read
Unggah-Ungguh Basa
Opini Unggah-Ungguh Basa
Oli'h Sulris/Ki IDhawa
Advertisement
bahwa datam
b e r I a k u penggunaan Jawa
m e n u r u t u n g g a h • ungguh basa, ^lH D a I a m
"erirndung
n i I a i - n i i a i hormat atau sopan-santun dl antara para pembicaranya, yaitu orang yang berbicara (01), orang yang diajak berbicara (02), dan orang yang dibicarakan (03). Sebagal contoh, untuk menyatakan keadaan sedang makan, jika yang berbicara (01) anak dan yang dibicarakan (03) bapak, digunakan kallmat "Bapak. nembe dhahar" (Bapak baru makan). Jika yang sedang makan adalah orang yang berbicara (01) anak, digunakan kallmat "Kula saweg nedha" (Saya sedang makan). Penggunaan kata dhahar {makan) merupakan realisasi dari rasa hormat anak kepada orang
tua.
Dalam penggunaan sehari-hari masih banyak dijumpai kesalahan penerapan unggah'Ungguh basa. Sebagaimana yang sering penulis jumpai di lingkungan perkantoran di Universltas Negeri Yogyakarta, ada beberapa karyawan yang keliru dalam menerapkan unggah-ungguh basa, bahkan kekeliruan itu juga sering dijumpai di kalangan dosen muda, khususnya penggunaan kata halus atau yang sering dijatikan sebagai krama inggil dan krama andhap. Kekeliruan itu sebenarnya tidak terlaiu banyak. Terutama, hanya terjadi pada penggunaan kata-kata tertentu yang maksudnya menghormati lawan bicara (02) dengan cara meng-krama inggil-
kan kata-kata tertentu untuk diri sendiri (seharusnya kata krama inggil digunakan untuk menyebut lawan bicara, justru digunakan untuk menyebut dirinya sendiri). Misainya, (1) Nyuwun pangapunten Pak. kula badhe kondur rumiyin. (2) Nyuwun pangapunten Pak. kala wingi kula boten saged tindak kantor, (3) Asia kula nembe gerah, (4) Kala wingi kula mriksanipiyambak kedadosan menika. Pada kalimat (1) kata kondur seharusnya wangsul, pada kalimat (2) kata tindak seharusnya mfebet atau dhateng, pada kalimat (3) kata asta seharusnya tangan dan kata gerah seharusnya sakit, dan pada kalimat (4) mriksani seharusnya ningali atau
sumerep. Unggah-ungguh basa merupakan unsur pokok dalam berbahasa Jawa. Sebagian orang Jawa menilainya sebagai sopan santun. jika seseorang dapat menerapkan unggahungguh basa dengan benar. Kesalahan penerapan unggah-ungguh basa akan dicerca sebagai orang yang tidak tahu unggah-ungguh atau sopan santun. Begitu pada pokoknya unggah-ungguh basa dalam berbahasa Jawa. Maka, penggunaan bahasa Jawa sesuai dengan unggah-ungguh perlu mendapatkan perhatian secara khusus. Pakoe Boewana IX pernah menyampaikan pentingnya penggunaan basa krama sebagai realisasi dari sopan santun dalam bait tembang berikut ini. "Mungguh laku miwah hurip hiki, / wis cinakup hing haksara Jawa, / Jawa jawi Ian jiwane, / Jawa pikajengipun, / Prasahaja walaka yekti, / Jawi^ basa kramanya, / Subasttanipun, / Jlwaning budayanira, / Jiwi hiku sawiji lawan Hyang Widhi, / Purneng haksara Jawa". Dalam puisi atau tembang macapat itu dinyatakan bahwa bahasa Jawa krama merupakan bagian dari
si/bas/fa atau tata krama Jawa. Unggah-ungguh bahasa Jawa adalah sistem ragam bahasa menurut hubungan antarpembicara (Kridalaksana, 1992: 10). Dalam sosiolinguistik unggah-ungguh berbahasa Jawa disebut ragam fungsloiek, yaitu ragam yang berhubungan dengan situasi berbahasa atau tingkat formalitas (Nababan, 1986: 14). Secara garis besar ada dua bentuk unggah-ungguh, yaitu tingkat krama dan ngoko. Apabila dilihat dari aspek tingkat bahasa atau diglosia, ada variasi tinggi, yaitu
Opini
tingkat krama dan variasi rendah, yaitu tingkat ngoko (Hudson, 1980:53). Bentuk unggah-ungguh dapat dirinci menjadi bentuk yang lebih kecil. Berdasarkan pandangan tradisional, unggah-ungguh berbahasa Jawa dapat dirinci menjadi: (a) basa ngoko: ngoko lugu dan ngoko andhap (antya basa dan basa antya), (b) basa krama:
wredha krama, mudha krama., dan kramantara, (c) basa madya: madya ngoko, madya krama, dan madyantara, (d) krama desa, (e) krama inggil, (f) basa kedhaton, dan (g) basa kasar {SudaryanXo, 1989:98-99). Keadaan unggah-ungguh bahasa Jawa saat ini tidak perlu ditakutkan. Bahasa Jawa memang bertingkat-tingkat. Dalam Tata Bahasa Baku Bahasa Jawa (Sudaryanto ed., 1991: 5), dengan pertimbangan demi tata bahasa baku, unggah-ungguh bahasa Jawa dibedakan atas dipakai tidaknya kosakata yang berkadar "halus", yaitu tingkat ngoko dan krama. Dalam ngoko ada (a) ngoko biasa dan (b) ngoko alus: dalam krama ada (a) krama biasa dan (b) krama a!us. Untuk ngoko biasa dan krama biasa. yaitu yang bukan alus, selanjutnya disebut ngoko dan krama saja. Dengan demikian, ada empat bentuk unggahungguh, yaitu (a) ngoko, (b) ngoko aius, (c) krama, dan (d) krama alus. Kata yang berkadar halus (alus) yang memberi ciri adanya ngoko alus dan krama alus adaiah kata yang secara tradisional dijatikan sebagai kata krama inggil dan krama andhap. Penggunaan krama inggil dimaksudkan untuk menghormati lawan berbicara (02) dan yang dibicarakan (03) dengan cara meluhurkan "meninggikan" lawan berbicara atau yang dibicarakan {inggil: dhuwur, fuhur). Kata-kata yang tergolong dalam krama inggil tidak terlalu banyak, umumnya berkaitan dengan sesuatu yang dilakukan (sare, dhahar, wungu, siram, tindak), bagian anggota badan (asfa, grana, rikma, soca, tutuk), kata-kata sapaan (panjenengan, rayi, eyang), dan kata-kata yang menyatakan milik atau sesuatu yang dipakai {dalem, asma) (Suwaji, 1994: 9). Sedangkan krama andhap juga dimaksudkan untuk menghormati lawan berbicara, tetapi
![](https://assets.isu.pub/document-structure/210412054756-56f7f959edcce67de5252bed55819c88/v1/39bc98a2dac77afc7bb684bd315a4033.jpg?width=720&quality=85%2C50)
dengan cara merendahkan diri sendlri {andhap: cendhek, asor). Kata-kata yang tergolong krama andhap tidak banyak, bahkan sangat sedikit, terbatas pada kata-kata yang menyatakan pekerjaan, seperti: matur, nyuwun, ngaturi, caos, ndherek, dan matur. Kunci penggunaan krama inggil dan krama andhap adaiah sebagai realisasi penghormatan kepada lawan berbicara (02) dan yang dibicarakan (03). Krama inggil digunakan untuk menghormati lawan berbicara dan yang dibicarakan dengan cara meluhurkan lawan berbicara, sedangkan krama andhap digunakan untuk menghormati lawan berbicara dengan cara merendahkan
diri.
Kekeliruan berbahasa Jawa dalam kehidupan sehari-hari terletak pada kesalahan penggunaan krama inggil untuk meluhurkan diri sendiri, yang seharusnya digunakan untuk meluhurkan lawan berbicara. Misalnya, ka\\mai"Nyuwunpangapunten, kula badhe kondur langkung rumiyin". Tembung kondur seharusnya dipakai untuk meluhurkan (meng-krama inggil-kan) lawan berbicara, tidak untuk meluhurkan (meng-krama inggilkan) diri sendiri. Kalimat yang benar adaiah "Nyuwun pangapunten, kula badhe wangsul langkung rumiyin." Penggunaan krama andhap, demikian juga, yang seharusnya digunakan untuk merendahkan diri sendiri dipakai untuk meluhurkan diri sendiri. Misalnya, "Nuwun sewu, Bapak kok boten estu nyaosi buku". Tembung nyaosi seharusnya dipakai untuk meluhurkan lawan berbicara, tidak untuk meluhurkan diri sendiri. Kalimat yang benar adaiah, "Nuwun sewu, Bapak kok boten estu maringi buku". Tembung nyaosi seharusnya digunakan oieh pembicara (01), seperti pada kalimat "Kula nyaosi phksa, bilih adicara sampun badhe dipunwiwiti." (Catatan: daftar kata krama inggil, jumlahnya sekitar 200 kata, dapat dilihat pada buku-buku Tata Bahasa Jawa.)
H. Sutrisna Wibawa, M.Pd., PR IIUNY