Dindintu UNMRitni Kiani vniYMURn
Mei 2007
Opini
Unggah-Ungguh Basa "Krama Inggil" dan "Krama Andhap"
Oli'h Sulris/Ki IDhawa
Misainya,(1) Nyuwun pangapunten Pak. kula badhe kondur rumiyin. (2) Nyuwun bahwa datam
b e r I a k u penggunaan Jawa m e n u r u t
u n gga h• ungguh basa,
^lH D a I a m
pangapunten Pak. kala wingi kula boten saged tindak kantor,(3) Asia kula nembe gerah,(4) Kala wingi kula mriksanipiyambak kedadosan menika. Pada kalimat (1) kata kondur seharusnya wangsul, pada kalimat (2) kata tindak seharusnya mfebet atau dhateng, pada kalimat(3)kata asta seharusnya tangan dan kata gerah seharusnya sakit, dan pada kalimat (4) mriksani seharusnya ningali atau sumerep.
"erirndung n i I a i-n i ia i
hormat atau sopan-santun dl antara para pembicaranya, yaitu orang yang berbicara (01), orang yang diajak berbicara (02), dan orang yang dibicarakan (03). Sebagal contoh, untuk menyatakan keadaan sedang makan, jika yang berbicara (01) anak dan yang dibicarakan (03) bapak, digunakan kallmat "Bapak. nembe dhahar"(Bapak baru makan). Jika yang sedang makan adalah orang yang berbicara (01)anak, digunakan kallmat "Kula saweg nedha" (Saya sedang makan). Penggunaan kata dhahar{makan) merupakan realisasi dari rasa hormat anak kepada orang tua.
Dalam penggunaan sehari-hari masih banyak dijumpai kesalahan penerapan
unggah'Ungguh basa. Sebagaimana yang sering penulis jumpai di lingkungan perkantoran di Universltas Negeri Yogyakarta, ada beberapa karyawan yang keliru dalam menerapkan unggah-ungguh basa, bahkan kekeliruan itu juga sering dijumpai di kalangan dosen muda, khususnya penggunaan kata
halus atau yang sering dijatikan sebagai krama inggil dan krama andhap. Kekeliruan itu sebenarnya tidak terlaiu banyak. Terutama, hanya terjadi pada penggunaan kata-kata tertentu yang maksudnya menghormati lawan bicara (02) dengan cara meng-krama inggilkan
kata-kata tertentu
untuk diri sendiri
(seharusnya kata krama inggil digunakan untuk menyebut lawan bicara, justru digunakan untuk menyebut dirinya sendiri).
Unggah-ungguh basa merupakan unsur pokok dalam berbahasa Jawa. Sebagian orang Jawa menilainya sebagai sopan santun. jika seseorang dapat menerapkan unggahungguh basa dengan benar. Kesalahan penerapan unggah-ungguh basa akan dicerca sebagai orang yang tidak tahu unggah-ungguh atau sopan santun. Begitu pada pokoknya unggah-ungguh basa dalam berbahasa Jawa. Maka, penggunaan bahasa Jawa sesuai dengan unggah-ungguh perlu mendapatkan perhatian secara khusus. Pakoe
Boewana
IX
pernah
menyampaikan pentingnya penggunaan basa krama sebagai realisasi dari sopan santun dalam bait tembang berikut ini. "Mungguh laku miwah hurip hiki, / wis cinakup hing haksara Jawa, / Jawa jawi Ian jiwane, / Jawa pikajengipun, / Prasahaja walaka yekti, / Jawi^ basa kramanya,/ Subasttanipun, / Jlwaning budayanira, / Jiwi hiku sawiji lawan Hyang Widhi, / Purneng haksara Jawa". Dalam puisi atau tembang macapat itu dinyatakan bahwa bahasa Jawa krama merupakan bagian dari si/bas/fa atau tata krama Jawa.
Unggah-ungguh bahasa Jawa adalah sistem ragam bahasa menurut hubungan antarpembicara (Kridalaksana, 1992: 10). Dalam sosiolinguistik unggah-ungguh berbahasa Jawa disebut ragam fungsloiek, yaitu ragam yang berhubungan dengan situasi berbahasa atau tingkat formalitas (Nababan, 1986: 14). Secara garis besar ada dua bentuk unggah-ungguh, yaitu tingkat krama dan ngoko. Apabila dilihat dari aspek tingkat bahasa atau diglosia, ada variasi tinggi, yaitu