2 minute read

Mimpi Buruk Bangsa Indonesia

Tragedi G 30 S PKl, Mimpi Buruk Bangsa Indonesia

Pasca gerakan reformasi dan tumbangnya kekuasaan Orde Baru pada 1998,'kita dihadapkan pada situasi yang amat khas dan mustahil kita temui pada masamasa sebelumnya, yakni munculnya semangat keterbukaan, kebebasan menyampaikan pendapat, dan

Advertisement

melakukan akses informas! secara lebih leluasa, termasuk dalam hal menyikapi perstiwa-peristlwa politik masa sllam. Kita semua tentu sependapat bahwa G-30-S/PKI adalah sebuah peritiwa politik paling fenomena! sepanjang sejarah Indonesia setelah perang kemerdekaan. Orang boleh mengeluarkan pendapat tentang kontroversi peristiwa 6-30-S/PKl, puluhan hipotesis para penelili dan akademisi meramaikan wacana seputar tragedi yang menghebohkan dunia itu. Tetapi, satu hal yang tidak terbantahkan, bahwa peristiwa tersebut merupakan sejarah paling hitamyangpemah dilewati Republikini. Hermawan Sulistyo dalam bukunya "Palu Arit di Ladang Tebu" (2000) menyebutkan laporan resmi tim dari Angkatan Darat (AD) pada awal Desember 1965, korban terbunuh mencapai 500-600 ribu jiwa. Yang lebih mencengangkan lagi adalah pengakuan Sarwo Edhi Wibowo, mantan Komandan RPI^D (sekarang Kopassus),

salah seorang tokoh militer yang turut berperan dalam operasi pengejaran orang-orang yang dianggap terlibat dalam 'kudeta' 1965, tercatat lebih dari 1 juta orang PKl dan simpatisannya terbunuh atau sengaja dibunuh. Jumlah itu belum termasuk yang ditahan di berbagai penjara di daerah-daerah (sekitarkita, 2005). Mereka mati tidak hanya di tangan aparat militer dalam aksi pembersihan, tetapijuga oleh masyarakat sipil sebagai aksi balas dendam terhadap kekejian orang-orang PKi di masa lalu. September 2007 Ini kita kembaii diingatkan oleh tragedi berdarah tersebut. Tragedi yang disebabkan oleh kepentingan poiitik dan kekuasaan yang menyumbat akal

sehat manusia. Jika hari ini kita masih menyaksikan orang berebut kepentingan serta memaksakan kehendak kepada orang lain, dan jika ketidakadilan dan arogansi kekuasaan terus saja dibiarkan, sebenamya kita telah menanamkan kebencian yang akan melahirkan kekerasan baru. Kasus

Malari, konfiik di Ambon, Pose, bom di Bali, kasus Semanggi, Trisakti, dan kasus-kasus kekerasan lain di negeri ini meslinya tidak akan terjadi jika kita mau belajar dari pengalaman sejarah. Kita tidak pernah tahu keuntungan apa sebenamya yang bisa didapatkan dari kejadian-kejadian semacam itu, kecuali banyak rakyat tidak berdosa yang menjadi korban. Sampai hari ini pun, barangkaii sebagian besar masyarakat tidak pernah mengerti, mengapa sebuah bangsa besar seperti bangsa Indonesia mampu berbuat keji terhadap bangsanya sendiri. Membangun kesadaran akan sebuah etika berbangsa serta solidaritas nasional bukanlah pekerjaan mudah, melainkan membutuhkan waktu iama. Fanatisme terhadap golongan atas dasar ras, suku, agama, partai, semangat kedaerahan, dan komunitas apa pun itu, harusnya dipandang sebagai upaya meneguhkan ciri khas keberagaman kita, bukan untuk meruntuhkan bangunan nasionalismeyang sudah ada.

Atas nama demokrasi dan keterbukaan yang tanpa dilandasi oleh moralitas dan etika, hanya akan melahirkan anarkhisme. Bangsa ini tengah menghadapi persoalan-persoalan rumlt. Data BPS menunjukkan angka pengangguran terbuka pada 2007 diperkirakan mencapai 12,7 juta jiwa, jumlah penduduk miskin mencapai 45,7 juta jiwa, tingkat kriminalitas juga semakin tingggi yang dari segi kualitas modusnya semakin canggih. Belum lagi masalahmasalah sosiai-ekonomi lainnya sebagai dampak dari ketidaksiapan kita menghadapi perubahan mendadak pasca

reformasi. Kompleksnya persoaian yang dihadapi negeri ini sudah pasti tidak akan bisa diselesaikanjika bangsa ini tidak segera sadar akan adanya kepentingan yang lebih besar lagi daripada sekedar menuruti ambisi-ambisi sesaat. Kepentingan yang lebih besar tersebut adalah menyelamatkan bangsa ini dari kemerosotan yang lebih

dalam lagi. Tragedi G-30-S/PKi adalah mimpi buruk yang hendaknya menjadi pengalaman berharga, betapa usaha apa pun jika hanya dilandasi oleh kepentingan satu atau dua golongan tertentu tidak akan menciptakan harmoni, tetapi justru kehancuran yang akan terjadi. (Red-w)

This article is from: