7 minute read

OPINI

Next Article
BINA ROHANI

BINA ROHANI

POLEMIK KEBIJAKAN DIKTI

Oleh EKO TRIONO

Advertisement

Ini kali kita mulai dengan surat edaran Dirjen Pendidikan Tinggi (Dikti), Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan, Nomor: 152/E/T/2012, yang berisi tentang persayaratan kelulusan bagi pembelajar program strata. Untuk S-1 dengan ketentuan menghasilkan makalah yang diterbitkan di jurnal ilmiah, S-2 pada jurnal ilmiah nasional yang terakreditasi Dikti, serta S-3 pada jurnal internasional. Pesyaratakan ini berlaku untuk kelulusan setelah Agustus 2012.

Kebijakan yang menuai banyak pertanyaan tersebut pada mulanya didasari oleh alasan internal pendidikan di Indonesia yang minim publikasi tulisan penelitian ilimiah yang sesuai dengan standar akademik, serta perlunya dialektika keilmuan yang progresif. Dan jurnal, dalam pemikiran Dikti, dapat menciptakan bangun ruang yang apabila tersistem dalam tanda atur (“kebijakan”) akan mampu memaksa, menampung, dan menopang salah satu fungsi pendidikan tinggi tersebut. Namun, kebijakan ini sebenarnya juga mengepung; mengandung pola penetrasi dengan sekian tembilang mata tombak yang tak hanya jadi ancam, tetapi juga alarm yang bakal menggaduhkan kurikulum perguruan tinggi yang selama ini ademayem. Akibatnya, akan terjadi semacam “insiden” beruntun.

Insiden pertama adalah secara teknis. Persoalan teknis pada S-1 melibatkan ketersediaan jurnal ilmiah yang mampu menampung jutaan karya ilmiah setiap periode kelulusan, ketersediaan pemeriksa, dan keterbacaannya (dengan kalimat lain: siapa yang akan membaca?). Jika kompenen tersebut salah satunya oklok, maka efeknya pada mutu karya ilmiah yang akan dihasilkan/asal jadi, serta pada masa studi, apabila jurnal tersebut diterbitkan dalam kala dan kuota tertentu saja.

Perkara masa studi, akan lebih dominan berakibat pada S-2 dan S-3, yang mengharuskan publikasi di jurnal tingkat nasional dan internasional yang terakreditasi, sebab tentu jurnal yang demikian sifatnya sangat selektif, tidak semua karya yang masuk dengan serta merta dapat diterbitkan. Akibatnya jelas berpengaruh pada sistem akademik atau kurikulum yang berlaku di perguruan tinggi tersebut, terlebih bagi peserta program strata yang bersangkutan.

Keluar dari insiden teknis, dilihat secara subtantif kebijakan Dikti ini mengandung sejumlah ion positif. Keberadaan karya ilmiah yang secara jamak disebut sebagai “yang-mengandung-objektivitas”, sebagaimana syarat dari sebuah keilmuan secara filsafati, telah menjadi tanda hormat bagi kelompok terdidik. Keberadaan ini memang penting, meski bukanlah yang terpenting, mengingat karya ilmiah yang dihasilkan dari suatu penelitian, baik yang bersifat material maupun imaterial, akan membantu membangun bangsa. Dari sini wajar bila muncul adagium: maju tidaknya suatu bangsa diukur dari kualitas dan kuantitas karya ilmiahnya.

Di negara maju, para peneliti mendapat prioritas dalam pembangunan serta berkorelasi erat dengan industri atau pengembang dalam berbagai bidang kehidupan, seperti sosial dan humaniora. Niat baik Dikti pun kemudian mendapat tempat. Indonesia masih menjadi negara dengan kuantitas karya ilmiah mengenaskan, misalnya dilihat dari jumlah jurnal adalah lebih rendah dibandingkan dengan Malaysia dan Thailand. Akan tetapi, tidak berarti kebijakan Dikti ini tampil sebagai langkah yang sepenuhnya “bijak”, bahkan lebih banyak terkesan layaknya sebuah “sekhak” yang kurang teliti, terlebih ketika strategi-strategi pendidikan yang lain masih gentar posisi tegapnya.

Namun, kebijakan ini sebenarnya juga mengepung; mengandung pola penetrasi dengan sekian tembilang mata tombak yang tak hanya jadi ancam, tetapi juga alarm yang bakal menggaduhkan kurikulum perguruan tinggi yang selama ini ademayem.

opini

ISTIMEWA

Tak bisa dielak, seperti permainan catur, pendidikan hadir dalam papan yang kompleks dan melibatkan banyak bidak serta strategi untuk menaklukan kebodohan dan pembodohan.

Di Indonesia fasilitas penelitian (laboratorium dan dana) belum memadai, sehingga daya dukung untuk mendorong dan memantik seseorang tampil sebagai manusia peneliti, yang berarti juga penulis karya ilmiah, terlalu mencekat. Sisi berikutnya, relasi industri tidak akrab. Ada dua faktor penting di sisi ini, pertama kualitas hasil penelitian yang tidak berorientasi publik (hanya untuk koleksi/bergaya keilmuan atau sekedar buat kompetisi yang di juri-juri lalu dilupakan), kedua paradgima ekonomi dan masyarakat Indonesia yang bergerak pada kepercayaan atas investor, produk, kutipan, hasil-hasil riset, bahkan gaya hidup dan gaya fisik dari negeri asing. Akibatnya, Indonesia tumbuh menjadi bangsa yang minder dan tidak produktif. Dengan demikian, terjadilah insiden ini.

Insiden ketiga adalah tumbuhnya pertanyaan-pertanyaan di sepanjang jalan: (1) apakah Dikti sedang mengantuk dengan menaruh alat ukur yang sama rata bagi semua mahasiswa berupa karya ilmiah?, (2) bukankah kecerdasan itu multi dan karya-karya non-ilmiah pun telah terbukti ikut membangun kemajuan suatu bangsa (seni, sastra, musik, kuliner, serta karya kreatif lain), apa Dirjen tidak mengakui?, (3) kenapa tidak benahi dulu pelajaran menulis biar jadi gemar? (4) bukankah skripsi, tesis, dan disertasi pun lebih banyak berhenti di rak-rak seusai ujian, berderet dari sekian generasi sebagai suatu yang nanti berdebu tapi kita menjadikannya suci?

EKO TRIONO mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia UNY, pernah meraih sejumlah penghargaan di tingkat lokal dan nasional untuk bidang penulisan

opini

FAKULTAS BAHASA DAN FAKULTAS SENI

Oleh ZAINAL ARIFIN

Memang terdengar sedikit memaksa judul tulisan di atas, tentunya penulis berharap dengan judul yang sedikit “nyeleneh” itu, para pembaca tertarik untuk membaca opini ini sampai tuntas. FBS (Fakultas Bahasa dan Seni) UNY kini telah tumbuh menjadi fakultas besar yang cukup diminati oleh para pelajar dari seluruh penjuru Indonesia. Fakultas multikultural ini terus berusaha meningkatkan kualitas di semua lini, baik akademis maupun nonakademis. Namun, jika kita cermati lebih dalam, “bahasa dan seni” itu sesuatu yang sudah cukup jauh berbeda. Contoh FISE (sekarang telah menjadi FIS dan FE), bisa dibilang hampir mirip kasusnya dengan FBS, dua buah keilmuan yang berbeda, di bungkus menjadi satu dalam sebuah fakultas.

Sebenarnya ini bukan hal yang krusial, yang harus mendapat respon dengan cepat. Tentu bukan begitu, namun intinya pemisahan fakultas di UNY mungkin sudah harus dipikirkan lagi. Meskipun prosesnya akan berlangsung sangat panjang, harus ada kesungguhan serta persetujuan dari semua pihak, baik rektorat maupun fakultas.

Kenapa pemisahan ini dirasa perlu? Dari segi materil, alokasi dana FBS selama ini mengalami pembagian, antara prodi-prodi beraliran seni dan prodi-prodi beraliran bahasa dan sastra. Hal ini membuat kurang optimalnya pemenuhan sarana terutama pada prodi-prodi seni. Kita ambil contoh Prodi Seni Musik, pemenuhan alat-alat musik untuk penunjang perkuliahan tentu membutuhkan dana yang lebih dibanding yang lain. Bisa dilihat di studio seni musik, ternyata alat-alat di sana sudah banyak yang tidak layak, sudah tua bahkan bernada fals.

Bergeser ke Prodi Seni Kerajinan, lebih miris lagi peralatan untuk praktik prodi ini sangat terbatas. Untuk praktik kerajinan kulit saja, para mahasiswa harus mengungsi ke P4TK Seni Budaya di Jalan Kaliurang km 13,5 hanya karena tidak adanya peralatan praktik yang memadai. Bukan hanya kerajinan kulit, kerajinan kayu dan logam pun tidak jauh berbeda nasibnya. Ruangan praktik yang panas, sempit ditambah peralatan yang sangat minim, membuat para mahasiswa tidak leluasa untuk berkarya. Tidak jauh berbeda dengan Seni Kerajinan, rekan satu jurusan yaitu Seni Rupa pun mengalami hal yang sama. Untuk praktik Desain Komunikasi Visual (DKV) komputernya kurang memadai, dan masih banyak lagi.

Dari segi akademis, jika pemisahan itu bisa terjadi, bisa dipastikan akan ada penambahan prodi-prodi yang akan menambah daya tarik dan minat para pelajar untuk mengambil studi di UNY. Sebenarnya bukan untuk dilihat agar menarik, namun profesionalitas akan teruji di sini, fakultas seni, membuat UNY lebih hidup dan berwarana, menghasilkan guru-guru seni bahkan seniman-seniman yang lebih berkualitas, karena konsentrasi sudah difokuskan dalam sebuah fakultas seni. Penambahan prodi yang akan terjadi juga pasti harus diiringi penambahan tenaga pengajar, dosen, dan karyawan. Memang perlu sebuah perhitungan yang matang dan proses yang panjang, namun demi sebuah kemajuan dan niat baik, kita percaya jalan pasti ada.

Bagaimana dengan Fakultas Bahasa? Fakultas ini sangat berpotensi untuk dilakukan penambahan prodi, seperti bahasa Jepang, bahasa Arab, bahasa Cina, sastra Jepang dan sastra Arab. Untuk penamaan fakultas juga mungkin bisa diubah menjadi Fakultas Bahasa dan Sastra. Fakultas ini perlu penambahan ruang perpustakaan, ruang baca, penambahan buku-buku sastra dan bahasa-bahasa yang terkait. Fakultas Bahasa dan Sastra akan menghasilkan guru-guru bahasa dan sastrawan-sastrawan yang siap terjun di realita dunia Indonesia.

Penambahan prodi di Fakultas Seni yang berpotensi, seperti seni teater, seni etnomusik, dan

Contoh FISE (sekarang telah menjadi FIS dan FE), bisa dibilang hampir mirip kasusnya dengan FBS, dua buah keilmuan yang berbeda, di bungkus menjadi satu dalam sebuah fakultas.

opini

KALAM/PEWARA

seni DKV. Kalau pun di fakultas ini belum bisa menjadikan salah satu prodi sebagai prodi nonkependidikan, berarti nama fakultas ini menjadi Fakultas Pendidikan Seni (FPS). Namun jika berhasil membuat satu atau dua prodi menjadi non-kependidikan, tentu gelar Fakultas Seni (FS) siap disandang.

Perlu dicatat bahwa wacana-wacana mengenai perlunya pemisahan fakultas di FBS bukan hal baru lagi di lingkungan fakultas ini. Isuisu semacam ini sudah banyak terdengar di sela-sela kesibukan para mahasiswa beraktivitas dan berkarya. Namun, jangan samakan dengan mahasiswa rumpun keilmuan ekonomi yang kabarnya kerap berdemo menuntut pemisahan segara dilakukan, karena mahasiswa FBS umumnya tidak begitu tertarik dengan hal-hal semacam itu. Mereka hanya butuh kelayakan, sarana dan semangat untuk berkarya dan berkarya.

Tidak menutup kemungkinan sebagian masyarakat FBS, bahkan dosen ada yang menyayangkan atau tidak setuju dengan pemisahan fakultas ini. Namun jika memang pemisahan ini tidak bisa dilakukan sekarang, jangan kubur dalam-dalam wacana dan opini ini. Ditunda, mungkin itu kata yang lebih pas, demi kemajuan UNY menuju WCU, Fakultas Bahasa dan Sastra (FBS) dan Fakultas Seni (FS) pasti bisa menjadi salah satu senjata bersama fakultasfakultas lainnya, hanya untuk UNY menjadi Word Class University.

ZAINAL ARIFIN mahasiswa Pendidikan Seni Kerajinan UNY

This article is from: