3 minute read
cerpen
Percakapan dengan Burung
Oleh InUng SETYaMI
Advertisement
ma bertahuntahun aku menekuri kesepian, merindukan istri di rumah, dan anak yang belum sempat kukenali wajahnya karena masih di dalam kandungan ibunya waktu itu.
“Samsul, apakah ini yang kaurasakan, saat kau berpisah dengan orangorang yang kausayangi? Sekarang kesedihanmu sudah berakhir, bukan? kamu telah bebas. kau akan bertemu dengan anakistrimu yang selama ini kaurindukan. kau lebih beruntung, Samsul.” aku terperanjat mendengar kicau burung itu. Burung itu tibatiba mengajakku bicara dengan bisikan kicaunya.
“kenapa aku lebih beruntung daripadamu, burung?” Dalam hati aku bertanya. Pertanyaan yang seharusnya tak kutanyakan karena aku sudah tahu jawabnya.
“kamu jangan bodoh, Samsul! Lakilaki keparat ini telah menangkapku, padahal anakanakku baru saja menetas. Bahkan, suamiku ditembaknya tiga hari lalu. Lalu, siapa yang akan mencarikan makan untuk anakanakku. Maut pasti segera menjemputnya dan aku hanya akan mengahabiskan sisasisa usiaku di dalam sangkar busuk ini.” Burung itu mengoceh. Ocehan yang menyedihkan.
“Lalu, apa yang kauharapkan?” Batinku, bertanya lebih tolol lagi pada burung itu.
“Hah, harapan? Terlalu getir bila kamu membicarakan harapan. aku tak punya harapan lagi, Samsul. aku hanya akan menghabiskan waktu hidupku di sangkar sempit ini. kecuali, kau mau menolongku.”
“aku akan menolongmu! Tapi, bagaimana caranya?”
“kamu tolol, Samsul! Makanya, kamu dapat dengan mudah dijebloskan ke penjara tanpa kesalahan apa pun. Sebenarnya, kamu tidaklah tolol. Tuhan telah mengistimewakan manusia dengan memberinya akal pikiran. Hanya saja, manusia kadang malas untuk berpikir, termasuk kamu. Jadilah, banyak manusia yang pola hidupnya tidak lebih daripada binatang. Oh ya, kamu ingin menolongku? kamu dapat membeliku dari pak tua brengsek ini, kemudian lepaskan aku ke alam bebas agar aku bisa menyelamatkan anakanakku,” pintanya.
“Tapi, aku tak punya uang sepeser pun. Mana mungkin aku dapat membelimu?”
“Coba kaupikir, Samsul. gunakan otakmu untuk berpikir menyelesaikan masalah. Jangan kauanggap otak hanya sebagai isi kepala saja. Jangan kamu membuat dirimu menjadi manusia bodoh yang enggan berpikir, Samsul. Itu sama hal
SIang yang garang. Matahari memanggang tubuhtubuh di jalanan. asap berdebu berhamburan masuk paruparu. Bus berhenti, penumpang turunnaik silih berganti. keringat dan parfum murahan aneka merk jadi satu. Membuat suasana dalam bus tidak nyaman, gerah, dan bikin muntah.
Sekilas, pandanganku tertuju pada seorang nenek renta yang berdiri terhuyung. Hatiku trenyuh. Orangorang di sekitar tak peduli, tetap duduk sambil menyandarkan punggung dan memejamkan mata. kuberikan tempat dudukku untuk nenek itu.
Suara kendaraan meraung bersahutan. Bus yang kutumpangi tetap melaju, mengeluarkan asapasap beracun, menambah Yogya semakin luka. kulihat di depanku seorang lelaki berbadan kekar. Lamalama tak tahan juga aku berdiri di situ. Bau keringat menyengat dari ketiaknya. Jujur aku tak tahan. Tapi, apa boleh buat. Tak ada lagi tempat untuk menghindar. Di sampingku, bapak tua dengan santai menyedot rokok klobotnya dan mengeluarkan asap tanpa rasa bersalah. Seakanakan di dalam bus itu hanya ada dirinya.
Bus berhenti lagi, mencari dan menurunkan penumpang. Semakin lama penumpang semakin berkurang. aku merasa lega karena udara dalam bus sedikit nyaman. Seorang bapak tua naik, membawa sangkar beserta burungnya. Dia duduk tak jauh dari tempat dudukku. Tak lama, bapak tua itu telah akrab bercakap dengan orang di sampingnya. Dari pembicaraan mereka, aku tahu burung dalam sangkar dengan kicau indah dan warna keemasan itu baru didapatkannya pagi tadi ketika matahari belum muncul. Entah burung apa namanya, yang pasti harga jualnya cukup tinggi, sehingga sampai siang ini belum ada yang berani menawarnya. Dan, bapak tua itu berniat untuk menjualnya ke kota lain. kulihat burung dalam sangkar itu meloncatloncat diiringi kicau merdu yang mampu menggetarkan hatiku. Semakin lama kicaunya menjadi seperti jeritan menyayat jiwa. Burung dalam sangkar itu telah mengingatkanku pada masa lalu. aku masih merasakan ketika kebebasanku terampas, saat aku dipenjara bertahuntahun tanpa kesalahan apa pun. aku dipenjara karena dituduh membunuh majikanku sendiri. aku yang hanya bekerja sebagai tukang kebun dan tak tahu apaapa harus mendekam di ruang sempit dan pengap, menjalani kehidupan yang sama sekali tidak kuinginkan. ah, rupanya hukum lebih kompromi pada uang daripada kebenaran. Sela
cerpen
IstImewa
nya kamu tidak mensyukuri nikmat Tuhan. kontan pandanganku tertuju pada cincin yang melingkar di jari manisku. kupikir cepat, kulepas cincinku, dan kutukar cincinku dengan burung pak tua itu. Pak tua itu ternyata tak keberatan. Maka, burung dalam sangkar itu kini jadi milikku. aku rela kehilangan cincin dan melepaskan burung dari dalam sangkar itu ke alam bebas. aku rela kehilangan harta benda demi menyelamatkan makhluk Tuhan yang membutuhkan. Bukankah harta benda hanyalah titipannya. Bukankah kini aku sedang menjemput kebahagiaan. aku telah menghirup udara bebas. Sebentar lagi aku akan bertemu keluarga tercinta. Maka, aku pun tak keberatan harus berbagi kebahagiaan dengan makhluk Tuhan yang lain. Walau hanya seekor burung! karena ia pun berhak hidup. Tanpa harus disakiti!
Inung setyamI mahasiswa jurusan bahasa dan sastra Indonesia Fbs uny