9 minute read
opini
HaK PaTeN, MeMBaNggaKaN aTaU …?
oleh Dr. Da S SalIraWaTI, M.Si
Advertisement
Dies natalis ke47 tanggal 21 Mei 2011 Universitas Negeri Yogyakarta kemarin diwarnai dengan satu berita aktual yang diangkat, yaitu semakin banyaknya peneliti UNY yang sudah terdaftar hasil penelitian dan penemuannya sebagai HaKI (Hak atas Karya Intelektual) yang dibuktikan dalam selembar kertas sertifikat. rasanya bangga sebagai salah satu warga UNY, karena saat ini UNY melesat jauh ke depan, bahkan tidak kalah dengan Universitas ternama di Yogyakarta yang negeri tetapi tidak negeri (UgM kalau dipanjangkan tidak mengandung kata negeri, bukan?). Hal ini tidak terlepas dari usaha keras seluruh civitas akademika UNY dan SDM yang semakin mantap (banyak profesor dan doktor bermunculan setiap bulan). Pertanyaannya kemudian, sebenarnya HaKI atau hak paten terhadap apa yang kita temukan itu membanggakan bagi yang meraihnya atau sebaliknya, mengingat ilmu itu milik Tuhan, bukan milik manusia?
ilmu Adalah Milik Tuhan
alam semesta ini diciptakan Tuhan Yang Maha esa memang untuk manusia sebagai ciptaan Tuhan yang paling sempurna dan sebagai khalifah di muka bumi. Manusia diberi akal pikiran agar dapat berkembang pengetahuannya dan dapat menyibak semua ilmu yang menjadi rahasia Tuhan. Dalam alQur’an allah menegaskan bahwa ilmu merupakan bekal utama untuk meneliti dan menguasai alam semesta ini (QS. alrahman (55): 33). otak yang diberikan Tuhan dengan cumacuma ini akan dimanfaatkan atau tidak, sangat tergantung pada manusia itu sendiri, tetapi yang jelas yang harus kita ingat otak yang kita miliki berasal dari Tuhan!
Pertanyaannya kemudian, apakah kecerdasan yang kita miliki dan ternyata dapat kita gunakan untuk menemukan satu dari milyaran ilmu Tuhan itu karena hasil usaha dan perjuangan kita sendiri tanpa campur tangan Tuhan? Jika ya, berarti ketika kita menemukan ilmu tersebut, maka kita dapat mengatakan ilmu itu milik kita sendiri. Namun jika jawabannya tidak, berarti kita mengakui bahwa kita hanyalah perantara Tuhan dalam menemukan ilmu tersebut untuk dapat dimanfaatkan oleh seluruh umat manusia. Bukankah alQur’an yang luar biasa hebatnya itu juga diturunkan oleh allah SWT melalui perantara Nabi besar Muhammad SaW dan Nabipun tidak pernah menghak patenkan alQur’an sebagai milik beliau? Dalam QS alKahf (18): 110, allah berfirman, “Katakanlah (Muhammad), sesungguhnya aku ini hanya seorang manusia seperti kamu, yang telah menerima wahyu, bahwa sesungguhnya Tuhan kamu adalah Tuhan Yang Maha esa”. Firman tersebut menunjukkan bahwa Nabi Muhammad sebagai junjungan dan teladan bagi umat Islam di seluruh dunia saja hanyalah perantara Tuhan bukan pemilik alQur’an.
Dalam QS alBaqarah (2): 147, allah berfirman “kebenaran itu adalah dari TuhanMu, sebab itu jangan sekalikali kamu termasuk orangorang yang ragu”. Secara tersirat ayat tersebut mengandung makna bahwa semua yang benar pastilah berasal dari allah, sehingga kita tidak boleh meragukannya, karena kebenaran dari allah bersifat mutlak. Sedangkan ilmu yang ditemukan manusia tidaklah demikian, hanya bersifat tentatif, relatif, dan terbuka. Tentatif artinya kebenarannya hanya sementara. Sebagai contoh, sebelum tahun 2006 Pluto adalah planet yang diakui keberadaannya. andai kata yang menemukan Pluto menghakpatenkan penemuannya, lalu bagaimana jadinya setelah tahun 2006 ternyata dunia tidak mengakui ke
opini
beradaannya? relatif, artinya kebenaran ilmu yang ditemukan manusia dapat ditinjau dari berbagai aspek atau sisi. Dari satu sisi memang benar, sisi lain lagi juga benar, tetapi ada kemungkinan ada sisi yang berbeda yang memandang ilmu tersebut menjadi tidak benar. Sebagai contoh, Niels Bohr mengatakan bahwa elektron mengelilingi inti pada orbit (kulit atom) yang tetap (stasioner) dengan energi tertentu. Jika ditinjau dari atom Hidrogen yang digunakan untuk eksperimen, dia tentu benar karena Hidrogen hanya memiliki satu elektron, tetapi bagaimana untuk atom berelektron banyak, apakah konsep Niels Bohr tetap benar? Bahkan Niels Bohr sendiri masih ragu, sampaisampai dia memberi nama kulit atomnya dengan inisial K, l, M, N, dan seterusnya, bukan a, B, C, D, dan seterusnya, karena dia tidak yakin bahwa kulit atom yang dia temukan adalah yang paling dekat keberadaannya dari inti. Namun demikian dia mendapat hadiah Nobel, tetapi Nobel tidak sama dengan hak paten!
Terbuka, artinya bahwa ilmu yang ditemukan kita terbuka untuk diteliti ulang oleh orang lain kebenarannya. Hal ini mengandung arti kebenaran ilmu yang kita patenkan tidaklah benar mutlak, tetapi kapan saja dapat gugur dan digantikan kebenaran lain yang lebih dapat dipertanggungjawabkan. Sebagai contoh, dulu tanaman mahkota dewa dianggap dapat menyembuhkan penyakit hipertensi, tetapi ternyata sekarang diketahui malah dapat berbahaya, karena mengandung senyawa yang beracun bagi tubuh. Ketika seseorang menemukan senyawa X dalam suatu bahan alami dipatenkan dapat menjadi obat anti kanker, tetapi apakah sebelum mematenkan sudah benarbenar meneliti secara klinis dan laboratoris senyawa tersebut tidak menimbulkan kerusakan organ lain atau memiliki efek samping? Dan apakah memang benarbenar terbukti menyembuhkan kanker? Berapa orang yang telah sembuh dari kanker dengan mengonsumsi senyawa tersebut? Jika Tuhan yang kaya akan ilmu saja membiarkan umatNya memanfaatkannya, mengapa kita manusia sebagai umatNya “berani” menghaki milik Tuhan?
Dalam kehidupan, kita diwajibkan saling tolong menolong dan membantu satu dengan yang lain, termasuk memberikan ilmu; bentuk pertolongan orang berilmu terhadap yang membutuhkan. Ketika kita memiliki ilmu lebih tinggi dari orang lain, sesungguhnya sudah merupakan pahala bagi kita. Seperti firman allah dalam QS. alMujadilah (58): 11 yang menyatakan, “allah akan meninggikan orangorang yang beriman di antara kamu dan orangorang yang diberi ilmu beberapa derajat. Dan allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”. ayat ini mengandung makna bahwa kita yang diberi ilmu sudah diangkat derajatnya lebih tinggi dari mereka yang tidak berilmu, mengapa kita ragu untuk memberikan semua ilmu yang kita miliki pada orang lain. Bukankah memberikan ilmu yang bermanfaat termasuk shodaqoh jariyah? Pahalanya mengalir sepanjang masa sampai kita di akhirat nanti.
Nabi Muhammad SaW mengingatkan kepada kita, “Carikan untukku orangorang yang lemah, maka (ketahuilah) bahwa sesungguhnya kalian mendapat kemenangan dan rizki sematamata lantaran mereka yang lemah diantara kalian (Hr. abu Daud).” Pengertian orangorang lemah di sini bukan hanya lemah harta, tetapi juga lemah ilmu. Jadi, jika kita merasa hebat dan dapat menemukan suatu ilmu baru yang bermanfaat untuk orang banyak (termasuk orangorang lemah), mengapa kita harus memperjualbelikan lewat hak paten? Jika ilmu kita dapat diaplikasikan untuk menyejahterakan orang banyak, hal itu merupakan aliran pahala yang tak ada hentinya. Bukankah sesungguhnya milik allahlah apa yang ada di langit dan di bumi ini?
IstImewA
dr. dAs sAlIRAwAtI, m.si dosen pendidikan kimia, FmIpA, unY
opini
PUSTaKa (DaN) PeNDIrI BaNgSa
oleh SUDarYaNTo, S.Pd.
Bulan Juni diidentikkan dengan Bulan Bung Karno. apa pasal? Pada bulan tersebut, tokoh proklamator asal Blitar itu lahir (6 Juni 1901) dan wafat (21 Juni 1970). Tak hanya itu, pidatonya tentang Pancasila sebagai ideologi bangsa, dipublikasikan pada 1 Juni 1945. alhasil, Juni menjadi bulan istimewa bagi bangsa ini guna mengenang mantan presiden pertama rI itu. apa yang menarik dari ketokohan Bung Karno selain ia dikenal sebagai sosok negarawan sejati?
Dalam sebuah liputannya, majalah Tempo pernah memberikan tamsil Bung Hatta sebagai “sebuah buku yang tak pernah tamat dibaca”. Menurut penulis, tamsil serupa juga layak disematkan pada diri Bung Karno. Semasa mudanya, Bung Karno merupakan sosok yang gemar membaca. Karenanya, tak aneh jika pidato pidatonya disimak, selalu berisikan referensi dan inspirasi yang cerdas, hidup, serta memukau publik.
Meski usianya baru 15 tahun, Bung Karno remaja pergi ke Surabaya. Di kota itu, ia indekos di tempat HoS Cokroaminoto, pendiri Sarekat Islam (SI). Dari Pak Cokrolah, ia belajar banyak hal, termasuk kecintaannya pada buku. Nyaris tiap hari ia habiskan di perpustakaan di kota tersebut. Di sana, beragam literatur/bacaan ia lahap satu demi satu. Hal itu dilakukannya demi meluaskan cakrawala pemikiran, visi, serta misinya tentang Indonesia yang merdeka.
Dalam pidatonya di Taman raden Saleh, Jakarta, Bung Karno berkata jelas: “Indonesia yang kita citacitakan bukan Indonesia merdekamerdekaan, bukan Indonesia Merdeka boneka, akan tetapi adalah kemerdekaan yang berdaulat.” Jika disimak cermat, perkataan ini bukan sematamata terlahir karena kecerdasan Bung Karno sebagai negarawan sejati, tetapi juga terlahir dari pertumbuhan intelektualnya yang tercerap dari beragam pustaka.
Namun sungguh ironis, koleksi pustaka Bung Karno di perpustakaan pribadinya tidak terawat baik. Menyusul pula perpustakaan Bung Hatta di Jalan adisucipto, Yogyakarta yang telah lama “tiarap”. Belum lagi perpustakaan terlengkap seperti PDS HB Jassin, yang kini mengalami kondisi “hidup enggan mati tak mau”. Bahkan, info termutakhir, majalah sastra Horison akan segera “tutup buku” karena negara tidak mau membiayanya lagi.
Pertanyaannya, apakah negara saat ini mengalami krisis keuangan sekaligus krisis nilai? Tentu, kita amat prihatin jika dugaan itu benar adanya. Negara kini telah berjalan dengan logikanya sendiri, sementara masyarakat pengelola pustaka kian terabaikan. alhasil, beragam pustaka yang merupakan wasiat para pendiri bangsa ini, seperti Bung Karno, Bung Hatta, dan HB Jassin kini mangkrak, tinggal menantinanti disantap rayap dengan lahap.
Padahal, dari beragam pustaka itu kita dapat belajar dari sejarah atau pengalaman di masa silam. Melalui karyakarya sastrawan yang tersimpan di PDS HB Jassin, misal, kita dapat menyimak indahnya mozaik kehidupan Indonesia di masa silam dan masa depan. lewat buku Di Bawah Bendera revolusi karya Bung Karno, misal lainnya, kita dapat melacak ide atau gagasan brilian tentang keindonesiaan yang memesona peneliti asing.
Betapa bangganya kita tatkala negeri ini banyak dilirik oleh peneliti asing, seperti Benedict anderson, greg Barton, greg Fealy, hingga Ian l. Betts. Mereka semua terkagumkagum akan keindahan pesona Indonesia, baik alamnya, sikap hidupnya, maupun para pendiri bangsanya. Bahkan, ada sebagian dari mereka yang berhasil meraih gelar doktor melalui risetnya tentang Indonesia. Tentunya, mereka dapat terbantukan berkat pustakapustaka yang ada.
Karenanya, sungguh ironis jika bangsa ini
tidak mau dan mampu menjaga pustakapustaka milik para pendiri bangsa ini. Bukankah kita pernah kecolongan tatkala Belanda mengangkut semua artefak budaya milik kita ke negerinya nun jauh di sana? adalah ironis, jika kita ingin belajar sastra Jawa, misalnya, justru kita harus ke Belanda dan belajar kepada orang Belanda, yang sejatinya bukan “pemilik sah” artefak budaya tersebut.
Kondisi kian parah, ketika pemerintah seolah tidak peduli dengan perpustakaanperpustakaan milik pendiri bangsa ini. alasannya selalu klise: ketiadaan dana! Padahal, sejatinya yang terjadi ialah ketiadaan komitmen pemerintah pada artefakartefak kebudayaan itu. Bila ini tidak dipedulikan, sinyalemen Milan Kundera akan nyata. Bahwa, negeri ini akan mengidap “penyakit lupa” dengan kondisi yang demikian akut.
Tak ada pilihan lain bagi masyarakat sipil, kecuali terusmenerus menggedor pintu kesadaran pemerintah guna lebih memerhatikan pelbagai perpustakaan milik para pendiri bangsa ini. Kini, tak hanya Bung Karno, Bung Hatta, dan HB Jassin yang memiliki perpustakaan pribadi. Syafii Maarif, azyumardi azra, gus Dur, goenawan Mohamad, ajip rosidi, ialah sederet nama yang memiliki koleksi ratusan, bahkan mungkin ribuan buku.
Nama terakhir yang cukup menginspirasi, sepengetahuan penulis, telah memiliki perpustakaan pribadi di Magelang. Sepulangnya dari Jepang, ajip membawa satu kontainer yang berisi koleksi bukubukunya. Selama ia menjadi dosen tamu di Universitas Chiba, Tokyo, ia begitu berjasa dalam memperkenalkan khasanah kesusastraan Indonesia berikut pernakperniknya, hingga orang Jepang terkagumkagum pada negeri ini.
Untuk itu, ada dua hal yang dapat kita perbuat. Pertama, kita perlu menumbuhkan kesadaran bahwa membaca itu penting! Membaca tidak saja membuat yang membaca jadi pintar dan cerdas, tetapi juga dapat mencapai derajat kemuliaan. Di dalam diri Bung Karno, kita dapati adanya kecerdasan yang bersinergi dengan kemuliaan. Terlepas dari kekurangannya, Bung Karno tetap berjasa kepada negeri ini dengan beragam pustakanya.
Kedua, kita perlu tetap membuka katup kesadaran kepada masyarakat luas, terlebih pemerintah, agar tetap berkomitmen dalam memupuk kegiatan literasi (membacamenulis diskusi) di kalangan kaum muda. Selain itu, komitmen dapat diwujudkan ke dalam kebijakan publik, seperti pemangkasan pajak kertas, penyediaan bukubuku murah dan terjangkau, serta penumbuhan kesadaran melek literasi melalui perpustakaan keliling bagi orang umum/awam.
Memang, anggaran demi pemenuhan pencerdasan masyarakat ini cukup tinggi, bahkan setara dengan pelunasan hutang negara ini. Namun, selama pemerintah memiliki komitmen untuk merawat perpustakaan dan demokratisasi informasi melalui buku, selama itu pula pemerintah akan terhindar dari kutukan Kundera. Bahwa “mudah saja menghancurkan sebuah bangsa, dengan menghancurkan arsiparsipnya”. Semoga kita tidak bermimpi seburuk itu!
opini
H.A. notosoetARdjo (RepRo.)
sudARYAnto guru man yogyakarta III