6 minute read

cerpen

Next Article
dari pemBaca

dari pemBaca

alisa adalah “Tuhan”

oleh MISa FaHrIS

Advertisement

mencari kepastian akan sosok yang bisa dipilih untuk berkonsultasi. Sebentar kemudian Maria melihatku menggeleng.

“Hey, kalau mau menjadi sempurna kan kau harus berproses dulu,” protes Maria.

Tepat, tiga malam berikutnya, aku ditemani Maria menemui seseorang di sebuah café. Kami akan bertemu dengan Fayrus, senior Maria di sebuah forum kepenulisan.

Kami sampai di café favorit yang menyenangkan pandanganku terhadap dominasi bambu yang membentuk dindingdindingnya dengan jerami jerami di atapnya. aku dan Maria memilih tempat duduk paling ujung di sisi luar.

“Sebentar lagi Fayrus datang demi kau,” seloroh Maria sambil tersenyum riang. “Yee… demi kau juga kali,” protesku. Memangnya aku siapa?

Kami berdua memesan minuman. aku pilih Cappuccino sementara Maria memesan lemon Tea.

Beberapa saat kemudian muncullah seorang lelaki berpostur tegap dengan hem kotakkotak dan jaket hitam di luarnya. Mimik mukanya terlihat lega ketika Maria menoleh. lalu kami pun berjabatan tangan dan kuucapkan sepatah kata singkat, yaitu menyebut namaku. Dia memperkenalkan dirinya sebagai Fayrus.

Di meja kaca melingkar berkaki merah itu ada empat tempat duduk yang berukir elegan. Jadi, hanya ada satu tempat duduk kosong di meja kami. Seorang pramusaji menghampiri kami tapi Fayrus sedang tak ingin memesan sesuatu.

“Fayrus bekerja sebagai penulis jurnal, artikel, dan sekarang sedang menulis buku. Hatihati… banyak temanteman perempuan di forum kita yang jatuh hati padanya he he…,” kata Maria menggambarkan Fayrus tempo hari.

Pikiranku mendarat dan menepi kembali ke suasana taman café dengan kepulan asap rokok yang warawiri menganggu Maria.

Dengan berbasabasi kutanyakan perihal kesibukan Fayrus, manusia yang duduk di hadapanku. aku ceritakan semua masalahku dan juga pernyataan konyol Maria yang kebenarannya masih kupertanyakan.

“PerMaINaN gitarmu mati,” komentar dosenku suatu ketika.

“apa? Mati? aku sudah memainkannya dengan bagus kan? Kok?” batinku.

“Di kelas ini kau perempuan satusatunya, saya tahu kau mampu mengimbangi kawankawanmu. Jadi, berusahalah! Dan, pandaipandailah mencari kawan. Jika kau berkawan dengan yang maju, maka kau akan ikut maju. Sebaliknya, jika kau berkawan dengan yang tak punya gairah hidup, ya kau tidak akan berkembang. Saya kira cukup itu saja”

“eggh, ya, Pak”

Mata kuliah paling menyita waktu di semester tiga ini adalah Praktek Individu gitar. aku mulai diperkenalkan dengan interpretasi, serupa dengan penjiwaan. Matimatian aku berlatih repertoarrepertoar (semacam list lagu) yang dijadikan tugas. Begitulah, tapi aku harus menjalani ini. Kalau namaku bukan alisa, pasti sudah menangis darah dengan repertoarrepertoar yang waktu ujian harus dihafal semua itu. “Permainan gitarmu mati”

Katakata itu kembali terngiang. Hah, mati? ah, seperti apa sih interpretasi lagu yang benar? Bukankah tiap orang bedabeda? Kenapa hanya aku yang dicap mati? Kenapa kawankawanku tidak? apa bedanya? atas kejadian itu, aku langsung merasa paling lemah di antara kawankawanku. Dosenku terus mendorongku untuk berusaha menjiwai sebuah repertoar.

“aku harus bisa,” geramku. aku baru sadar beberapa saat kalau gitar telah kucengkeram bagian lehernya.

Tok. Tok. Tok.

Ketika pintu kubuka muncullah sesosok periang yang sudah membikin janji denganku siang ini. Maria namanya. Tujuannya menemuiku, tak lain adalah untuk membantu menyelesaikan masalahku.

“Itulah teman,” katanya.

“Jadi apa permasalahan yang mau kau ceritakan?” sambungnya setelah kami mengarah pada permasalahanku. aku ceritakan semua yang terjadi tentangku. Menurut dosen, lagu pada zaman romantik (akhir abad 18) seperti Lagrima sudah seharusnya dimainkan dengan penuh perasaan.

“Wah, aku rasa kau butuh seseorang untuk dicintai dengan tulus, sehingga ketika kau memainkan lagu itu, kau akan selalu mengingat wajahnya dan akan termehekmehek karenanya he he,” kupikir Maria hanya menyindirku.

Memangnya cinta yang tulus itu seperti apa? aku berkalikali jatuh cinta tapi rasanya pengalaman cintaku hanya nafsu belaka. Masalah jaga image, menolak status jomblo.

“alisa, kurasa kau lebih baik berkonsultasi pada seniormu”

Senior? Kuhadirkan bayangbayang seniorku. aku tengah

cerpen

Betulkah aku harus bisa mencintai dulu sebelum bermain gitar? Dan ia lalu mencecarku dengan pertanyaanpertanyaan yang tak kuduga akan merongrong kembali masa laluku.

“Berapa kali pacaran?”

Pertanyaan pembuka yang membuat shock, bukan?

“apa motivasi kau pacaran?”

“Prestasi? apa pacaran adalah sebuah prestasi?”

“Berarti kalau enggak pacaran kita enggak punya prestasi dalam hidup? Karena kau akan merasa bodoh dan malu kalau dilecehkan secara status dan disingkirkan lingkunganmu yang semacam itu?”

“Setelah putus, kau frustasi. Pantaskah kau kecewa dengan mereka kalau dirimu saja tak tulus mencintai mereka?” aku kaget dengan pernyataannya barusan. Menusuk. Pandanganku beralih ke Maria yang sibuk membaca majalah. Ketika kuberbalik ke Fayrus, ternyata lakilaki itu masih saja melihatku.

“apakah kau mencintai gitarmu?”

“Tentu saja”

“Kenapa kau bilang gitarmu mati?”

“Jika gitar adalah manusia, maka kaulah Tuhannya. Seperti Tuhan memberi nyawa pada manusia. Dengan nyawa kita hidup. gitarmu seperti manusia yang mati, tidak punya ruh sehingga sekuat apapun kau memainkannya, orang yang mendengarnya akan bilang bahwa gitarmu mati. Itu karena kau tidak memberinya nyawa. Kau harus punya cinta. Seperti Tuhan punya cinta, dengan itu Dia menghidupkan manusia yang bisa makan, minum, bahkan mencintai dari jenis mereka yang lainnya. akhirnya, mereka berkembang dan beranak pinak. Itulah cinta, dia mengalir terus tiada habisnya.”

“gitarmu tak akan menjerumuskanmu jika cintamu tulus. Dia akan mengikutimu bahkan tanpa kau sadari dia akan bernyanyi untukmu saat kau sedih.”

“Tuhan itu dekat jika kita mendekatiNya, Dia pun jauh jika kita menjauhiNya. apa bedanya dengan gitar?”

Baik, baik, baik. Saat itu aku kelihatan begitu bego di depan Fayrus. aku benarbenar terguncang meladeni pertanyaannya. Seakanakan otakku benarbenar dicuci olehnya. Dia mengambil yang layak untuk diluruskan dan membuang yang tak berguna dari otakku. Nuraniku seakan menggeliat karena seringnya aku membiarkan perasaan leleh karena berhasil diobrakabrik olehnya. Dia benarbenar merusak tataran pemikiranku yang selama ini kuanggap sempurna.

“Mencintai seseorang berarti menjadi teman untuk saling bertumbuh.” ah, apalagi ini? Pada saat otakku sedang bekerja menyucikan diri, dan perasaanku tengah teradukaduk dia mengatakan itu. aku tahu itu dalam sekali maknanya tapi butuh beberapa menit untuk mencernanya.

Bertumbuh? Menjadi teman? ah, harus jawab apa untuk menunjukkan bahwa aku sebenarnya mengerti. Susah juga berhadapan dengan lelaki dewasa seperti Fayrus. Dia berbeda. aku sampai terbatabata. aku ini seperti anak kecil yang digilas habishabisan dengan gayanya yang superior. Untung saja aku tidak mau konsultasi dengan senior yang masih di kampus. Bisabisa aku dijadikan bulanbulanan mereka. ***

Dua hari kemudian…

Hening di ruanganku latihan sore ini. Ini ruangan tempat kuliah Praktik Individu gitar yang juga jadi favoritku karena dengan kacakaca yang menutupi hampir seluruh permukaan dinding ini aku bisa latihan sambil berkaca melihat posisi duduk dan posisi penjarianku. aroma sore kali ini mekar begitu semerbak. Bungabunga di taman depan ruangan ini bergoyanggoyang seperti sedang menghinaku.

Sebuah kebetulankah pertemuanku dengan Fayrus? Mengapa Fayrus yang dipilih Maria untuk menemuiku? apakah kebetulan itu memang bisa diyakini? aku lebih yakin bahwa semua ini bukan kebetulan. Ini semua adalah skenario Tuhan.

Semalaman aku tak bisa tidur setelah bertemu dengan Fayrus. aku tahu dia bukan orang sembarangan. Percuma aku mendebatnya karena aku pasti kalah. Dari energi yang dia pancarkan kala menghakimiku, aku tahu dia sedang memberi kekuatan untukku.

Seperti inilah kirakira yang aku pahami dari katakata Fayrus, “Mencintai seseorang berarti menjadi teman untuk saling bertumbuh.” aku mulai mendekati gitarku. aku yakinkan bahwa aku mencintainya dan menjaganya dengan baik.

Kalau mengikuti realita yang selama ini menggangguku tinggal mengganti saja kata “seseorang” dengan “gitar”. Ketika gitar ini telah melahirkan suaranya yang cantik dengan getarangetaran dawai yang kusentuh dengan kejujuran, kuyakinkan bahwa dia percaya padaku sepenuhnya. aku tak akan menyakitinya dan selalu memperhatikan dia saat aku senang dan sedih. Dia adalah temanku sekarang.

Semakin lama dia mengikutiku, semakin dia bersedia membantuku berkembang. aku percaya Fayrus mewarisi sifat pengasih Tuhan yang mencintainya. Maka, aku ingin diperhatikan olehnya seperti Tuhan memperhatikanku. Dan, satu kesensitifan yang harus kuterima sejujurnya adalah bahwa kini perasaanku selalu berbungabunga tiap mengingat Fayrus. astaga, sekelebat bayangan tertangkap di kaca, membuatku ngeh kalau dentingan gitarku membasahi kerongkongan sore tanpa aku sadari kapan ini dimulai.

“alisa, masih latihan? rajin sekali. Besok saya harus melihat kemajuanmu. Saya tahu kau mampu”

“Bb.. baik, Pak!” bahuku terangkat dengan nafas tertahan sambil menyembunyikan kekikukanku. ah, melamun saja aku ini. Pak dosen baru saja menantangku. ayo temanku, kita harus latihan!!

mIsa FahrIs mahasiswa pendidikan seni musik unY

This article is from: