cerpen Alisa Adalah “Tuhan” O l e h M is a Fa h r is “Permainan gitarmu mati,” komentar dosenku suatu ketika. “Apa? Mati? Aku sudah memainkannya dengan bagus kan? Kok?” batinku. “Di kelas ini kau perempuan satu-satunya, saya tahu kau mampu mengimbangi kawan-kawanmu. Jadi, berusahalah! Dan, pandai-pandailah mencari kawan. Jika kau berkawan dengan yang maju, maka kau akan ikut maju. Sebaliknya, jika kau berkawan dengan yang tak punya gairah hidup, ya kau tidak akan berkembang. Saya kira cukup itu saja” “Eggh, ya, Pak” Mata kuliah paling menyita waktu di semester tiga ini ada lah Praktek Individu Gitar. Aku mulai diperkenalkan dengan interpretasi, serupa dengan penjiwaan. Mati-matian aku ber latih repertoar-repertoar (semacam list lagu) yang dijadikan tugas. Begitulah, tapi aku harus menjalani ini. Kalau namaku bukan Alisa, pasti sudah menangis darah dengan repertoarrepertoar yang waktu ujian harus dihafal semua itu. “Permainan gitarmu mati” Kata-kata itu kembali terngiang. Hah, mati? Ah, seperti apa sih interpretasi lagu yang benar? Bukankah tiap orang bedabeda? Kenapa hanya aku yang dicap mati? Kenapa kawankawanku tidak? Apa bedanya? Atas kejadian itu, aku langsung merasa paling lemah di antara kawan-kawanku. Dosenku terus mendorongku untuk berusaha menjiwai sebuah repertoar. “Aku harus bisa,” geramku. Aku baru sadar beberapa saat kalau gitar telah kuceng keram bagian lehernya. Tok. Tok. Tok. Ketika pintu kubuka muncullah sesosok periang yang su dah membikin janji denganku siang ini. Maria namanya. Tuju annya menemuiku, tak lain adalah untuk membantu menye lesaikan masalahku. “Itulah teman,” katanya. “Jadi apa permasalahan yang mau kau ceritakan?” sam bungnya setelah kami mengarah pada permasalahanku. Aku ceritakan semua yang terjadi tentangku. Menurut dosen, lagu pada zaman romantik (akhir abad 18) seperti La grima sudah seharusnya dimainkan dengan penuh perasaan. “Wah, aku rasa kau butuh seseorang untuk dicintai dengan tulus, sehingga ketika kau memainkan lagu itu, kau akan sela lu mengingat wajahnya dan akan termehek-mehekkarena nya he he,” kupikir Maria hanya menyindirku. Memangnya cinta yang tulus itu seperti apa? Aku berka li-kali jatuh cinta tapi rasanya pengalaman cintaku hanya nafsu belaka. Masalah jaga image, menolak status jomblo. “Alisa, kurasa kau lebih baik berkonsultasi pada seniormu” Senior? Kuhadirkan bayang-bayang seniorku. Aku tengah 42
P ewara Di n amik a J ul i 2 0 1 1
mencari kepastian akan sosok yang bisa dipilih untuk berkon sultasi. Sebentar kemudian Maria melihatku menggeleng. “Hey, kalau mau menjadi sempurna kan kau harus berpro ses dulu,” protes Maria. Tepat, tiga malam berikutnya, aku ditemani Maria mene mui seseorang di sebuah café. Kami akan bertemu dengan Fayrus, senior Maria di sebuah forum kepenulisan. Kami sampai di café favorit yang menyenangkan pandang anku terhadap dominasi bambu yang membentuk dindingdindingnya dengan jerami- jerami di atapnya. Aku dan Ma ria memilih tempat duduk paling ujung di sisi luar. “Sebentar lagi Fayrus datang demi kau,” seloroh Maria sambil tersenyum riang. “Yee… demi kau juga kali,” protes ku. Memangnya aku siapa? Kami berdua memesan minuman. Aku pilih Cappuccino sementara Maria memesan Lemon Tea. Beberapa saat kemudian muncullah seorang lelaki berpos tur tegap dengan hem kotak-kotak dan jaket hitam di luarn ya. Mimik mukanya terlihat lega ketika Maria menoleh. La lu kami pun berjabatan tangan dan kuucapkan sepatah kata singkat, yaitu menyebut namaku. Dia memperkenalkan diri nya sebagai Fayrus. Di meja kaca melingkar berkaki merah itu ada empat tem pat duduk yang berukir elegan. Jadi, hanya ada satu tempat duduk kosong di meja kami. Seorang pramusaji mengham piri kami tapi Fayrus sedang tak ingin memesan sesuatu. “Fayrus bekerja sebagai penulis jurnal, artikel, dan seka rang sedang menulis buku. Hati-hati… banyak teman-te man perempuan di forum kita yang jatuh hati padanya he he…,” kata Maria menggambarkan Fay rus tempo hari. Pikiranku mendarat dan menepi kembali ke suasana taman café de ngankepulan asap rokok yang warawiri menganggu Maria. Dengan berbasa-basi kutanya kan perihal kesibukan Fayrus, manu siayang duduk di hadapanku. Aku ceritakan semua masalah ku dan juga pernyataan konyol Maria yang kebenarannya masih kup ert anyakan.