5 minute read

cerpen

Next Article
dari redaksi

dari redaksi

Memaknai Pulang

Oleh APriDA NUr riYA SUSANTi

Advertisement

untuk dua orang. Namun hanya kugunakan sendiri. Satu untukku. Satu untuk ransel hitamku. 5 jam lebih. Dari sadartidurbanguntertidurterbangun, dan akhirnya dibangunkan petugas penarik karcis. Menyampaikan berita menyenangkan. Aku telah tiba di Terminal Purbaya, Madiun. Membenarkan letak jilbabku dan kugendong kembali ransel hitam yang baru kusadari ternyata cukup berat. Sepertinya selain barangbarang yang kubutuhkan untuk pulang, bukubuku kuliahku tadi siang masih ada di dalamnya. lengkap dengan kamus bahasa inggris versi tebal. bapakku pasti bangga melihat bukubuku ini. Kesannya aku belajar hal yang sangat luar biasa. “bukunya saja tebaltebal. Apalagi kuliahnya. Pasti luar biasa”, mungkin ini yang akan dikatakan bapak ketika melihat isi ransel hitamku.

Jam sepuluh malam lebih. Aku masih menanti kedatangan bis ke3 yang mengantarku pulang. bis rute MadiunPonorogo atau SurabayaPonorogo. Aku menantikannya dipinggiran ja

lan dalam terminal. Setauku sampai jam satu malam pun bis rute itu masih ada. insyaallah segera kuhirup bau Ponorogo. bumi sejarahku. hampir setengah jam aku menanti. hanya duduk di pinggiran jalan. Terminal ini masih hidup. ibuibu penjual pecel madiun masih lincah melayani para pembeli yang kebanyakan karyawan bis antar kota, antar provinsi, tukang ojek terminal, penumpang yang kemalaman dan ke

berADA jauh dari rumah, terkadang membuat kita menuntut hati dan pikiran untuk kuat pada arti yang sangat dalam. Meskipun ada juga yang memaknainya secara dangkal. Menjadi sebuah kemerdekaan sebagai manusia dewasa. Sebuah konsekuensi tentang jauh dari rumah. Ada tangis kesepian pada awal langkah. Ada sedih kebingungan tanpa alasan jelas. Yang kita tahu rasanya berada di sebuah tempat berbeda. Asing dengan segalanya.

Semester dua dalam perjuangan kuliahku. Seingatku itu hari jum’at. entah dari pagi atau tidak, tapi rasarasanya aku terus berkutat di kampus. Dari satu mata kuliah hingga mata kuliah yang lain. Dari mimpi yang satu sampai mimpi yang lain. Tentunya di kursi yang berbeda. Sampai sore. Sudah sekitar jam 15:40. Aku baru selesai kuliah. Dan lagilagi aku tertidur di kelas. Sepulang kuliah, aku berjalan sendirian menuju kos. Terasa sepi sekali. Ada yang harus kucari.

Kugapai ransel hitam. beberapa barang kumasukkan dalam tas. Setelah siap yang kuperlukan. bismillah. Aku pulang. Sudah hampir jam 17:00. Ada tiga bis yang harus kukejar demi kepulanganku. Dari kosku, elqowi, di Karang Malang, aku harus berjalan sekitar lima menit hingga Jalan gejayan. Sebuah jalan yang lebih tepat disebut padat penuh, dari pada sekedar ramai. Untuk menyeberang saja aku butuh waktu yang cukup lama. Ditambah jam sore. Mungkin orangorang sedang bergegas pulang. Sama sepertiku. bergegas pulang. Pembedanya hanya perkara jarak. Tapi rasa yang menaunginya sama. Sudah sore seperti itu, semoga masih ada bis jalur 7. itulah jalur bis yang akan mengantarkanku sampai di Terminal giwangan. Menanti dan menanti. Kakiku dari tadi tak bisa diam. Cemas menanti kedatangan bis penting. Kalau sudah tidak ada, terpaksa aku harus naik bis Trans Jogja yang jalurnya memutar. Sudah lewat jam 17:00. harapanku menipis. Kuputuskan berjalan kearah halte trans jogja terdekat. lama berjalan, aku cemas. Nampak dikejauhan, terhalang mobil dan motor di depannya. Ada. Akhirnya datang juga.

Sudah hampir jam 17:30. Aku masih berdamai dengan bis yang kunaiki. Duduk di dekat jendela. Menatap keluar. rumahrumah berjejal. Tidak ada halaman rumput hijau untuk bermain adekadek kecil. Tidak seperti depan rumahku.

Turun dari bis jalur 7, aku langsung masuk terminal. Secepat yang kubisa, aku menuju tempat bis menuju Madiun. bis ke2 yang mengantarku pulang. lalu perjalanan demi kelegaan atas rasa rindu pun dimulai. 56 jam duduk manis dalam bis.

Sepanjang perjalanan pulang. Menatap lampulampu di tepi jalan, di depan rumah, di tokotoko, sampai jauh di pelataran gunung nun jauh disana. bis ke2 ini, alhamdulillah tidak terlalu penuh. Aku masih bisa mengambil tempat duduk

cerpen

laparan, juga manusiamanusia tanpa tujuan, selain uang. Ada yang sekedar pakai baju mini super irit. berdiri jauh disana. Disudut gelap Terminal Purbaya. Disudut remang dunia. Melihat dari kegelapan tanpa mau sedikit keluar. Merasakan terang yang terkadang memang menyengat. Tapi terang selalu membuat manusia melihat dengan jelas. Ada adekadek kecil seniman dunia. Nyanyiannya terkadang menyayat haru penumpangpunumpang bis. Apakah mereka masih punya keluarga. Ataukah masih mencari keluarga dan masa depan. Sesekali kudengar candaan mereka tentang halhal tabu khas orang dewasa. Miris.

Di pinggiran jalan dalam Terminal Purbaya, dimanakah bis yang kunanti. Tak juga kunjung terlihat dari belokan jalan masuk terminal. hampir setengah area terminal gelap. hanya ada lampu di bagian bis menurunkan penumpang dan di ruang tunggu dekat rukoruko pedagang terminal. Tempatku duduk sekarang pun remangremang saja. Perempuan dengan jilbab selebar taplak duduk sendirian. Sebentarsebentar menengok ke kanan. Sebentarsebentar menengok kekiri. lelah menanti. Kutengadahkan wajah keatas. ingat mereka yang begitu cantik diatas sana. Panggung terindah yang Allah masih bermurah hati memperlihatkan pada kita setiap malam. Mereka semua berserakan diatasku.

Tibatiba sorot lampu terang menyinari tempatku duduk. bis ke3 telah datang. bis yang akan mengantarku pulang. Terburu aku berdiri lalu naik ke bis. bis terakhir sebelum kucium hawa Ponorogo. hawa rumah. Satu jam lagi pak. insyaallah. Aku pulang. Segera ku kirim pesan ke handphone bapakku. Seperti biasa, bapak akan menjemputku. Ditempat yang sama. Di pinggir sebuah perempatan sebelum masuk Terminal Selo Aji, Ponorogo. bapak akan berdiri dengan ekspresi dingin menanti aku turun dari sebuah bis.

Detik itu datang. Aku turun. Dengan penampilan lusuh. Dengan baju kuliah dan bukubuku kuliah tadi siang yang setia melekat di badan. Dengan rindu yang akhirnya bermuara ketika kucium punggung tangan beliau. Perjalanan panjang. Anak perempuan di tanah perantauan. Mengikuti kata hati. Sepenuhnya itu yang kujalani. hanya sekedar mengikuti kata hati. hampir jam satu malam. Telah kubayar tuntas letih dan rindu itu. Demi menatap langsung wajah teduh keluargaku. Dan lega menjadi muaranya. Mungkin bagi kita pulang adalah hal biasa. Tapi sadarilah, rasa syukur untuk berkumpul bersama keluarga, menjadi hal yang tidak mengenal siasia. Apalagi terganti. Maka hari ini, dari manapun,

daWor/deViantart.com

malam. Kaki yang tadinya kutekuk dan kupeluk demi membiaskan dinginnnya Madiun malam itu, sekarang kuluruskan. Kedua tangan yang letih tanpa alasan pun kuarahkan kebelakang. Duduk bersandar tangan yang lelah. Dan lihatlah, diatas sana. Cantik. ribuan mata malaikat sedang menatapku lekat. Terkadang terpikir. Mungkin saja Allah punya ember berisi bintangbintang lalu ia menaburkannya di langit tanpa mengenal bilangan jarak, pulanglah dengan penuh rasa syukur ketika setiap wajah teduh dalam rumah kita menyambut kepulangan kita.

aprida nUr riYa sUsanti cerpenis

This article is from: